Anda di halaman 1dari 296

ZAIYARDAM ZUBIR

PERTEMPURAN NAN TAK


KUNJUNG USAI
Eksploitasi Buruh
Tambang Batubara Ombilin
Oleh kolonial Belanda 1891-1927
ZAIYARDAM ZUBIR

PERTEMPURAN NAN TAK


KUNJUNG USAI
Eksploitasi Buruh
Tambang Batubara Ombilin
Oleh kolonial Belanda 1891-1927
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

PERTEMPURAN NAN TAK KUNJUNG USAI: Eksploitasi Buruh


Tambang Ombilin oleh Kolonial Belanda 1891-1927
Penulis: Zaiyardam Zubir
Tata letak: Benny D.P.
Kalibrasi: Amongkarta

ISBN(E): 978-623-7056-97-3
15 x 21 cm; xvi + 279 halaman
II, Agustus 2018
I, Juli 2006

Diterbitkan oleh:
ANDALAS UNIVERSITY PRESS
Kampus UNAND Limau Manis
Padang 25163
Telp. 0751-71181. Fax. 0751-71085

Kerjasama dengan:
Amongkarta
Kavling Taman Bunga No.11 Gg.4, Dayakan RT.06 RW.36.
Desa Sardonoharjo. Kec. Ngaglik. Kab. Sleman.
Provinsi DI Yogyakarta
Email: amongkarta@gmail.com
Mengenang :
yang tertindas dan ditindas
dan
orang-orang lobang
yang terkubur hidup-hidup
dalam lobang penggalian
PRAKATA

Lantas, haruskah Greve –orang Belanda- itu dikutuk atau


justru dipuja, karena penemuannya tentang batu bara Ombiln
membawa senang sekaligus petaka bagi orang-orang yang
berada dalam lingkaran bisnis batu bara itu dan juga
masyarakat sekitrar batu bara. Senangnya adalah ada sebagian
orang yang mendapat pekerjaan dan menggantungkan hidup
dari batu yang hitam itu. Namun, ketika mereka
menggantungkan harapan untuk sekedar bertahan hidup,
pada saat yang sama mereka juga dieksploitasi habis-habisan,
yang kemudian menimbulkan penderitaan yang teramat
panjang. Dapat dikatakan bahwa satu abad batu bara Ombilin
merupakan sisi-sisi buram dan kelam dalam kehidupan
manusia, terutama mereka yang bekerja sebagai buruh pada
perusahaan negara itu. Dalam konterks inilah, buku ini
mencoba mengkaji pertempuran buruh untuk sekedar
bertahap hidup melawan kekuatan-kekuatan kapitaslisme,
negara dan persoalan nternal mereka sendiri seperti masalah
rendahanya pendidikan.
Untuk sampai menjadi buku seperti yang ada ditangan
pembaca ini, pertama sekali penulis mengucapkan puji
syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kelapangan pikiran dan ketabahan hati sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan buku ini. Buku yang berjudul
Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai : Eksploitasi Buruh
Tambang Batubara Ombilin Oleh kolonial Belanda 1891-
1927. (Judul ini diilhami dari novel Sutan Takdir Alisyahabana
“ Dian Nan Tak Kunjung Padam)
Pada prinsipnya berasal dari tesis S 2 di Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Penulis amat menyadari bahwa penulisan
buku ini sesungguhnya belum sempurna, sehingga di sana-
sini akan ditemukan banyak kekurangan dan kedangkalan
analisis. Hal ini dapat dipahami sepenuhnya karena
keterbatasan-keterbatasan yang penulis miliki.
Perlu juga disampaikan bahwa bagian-bagian dari buku
ini juga sudah pernah dimuat dalam buku-buku yang lain
seperti Zaiyardam Zubir, “Orang Rantai, Orang Tambang
dan Orang Lobang : Studi Tentang Eksploitasi Buruh
Tambang Batu Bara Ombilin, dalam Edy S. Ekawati dan
Susanto Zuchri (Eds), Arung Samudra : Persembahan
Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian. Jakarta : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Budaya UI Jakarta, 2001.
Zaiyardam Zubir Radikalisme Kaum Pinggiran : Studi Tentang
Issue, Strategi dan Dampak gerakan. Yogyakarta : Insist Press,
Desember 2002 dan dalam Andi Asoka (dkk) Sawahlunto,
Kemaren, Kini dan Esok : Menyongsong Kota Wisata Tambang
Berbudaya. Padang : PSH Unand, 2005. Ada juga bagian
naskah ini disampaikan diberbagai forum seperti Seminar
Internasional kerja UGM Yogyakarta dengan NIOD Belanda
dengan judul Nasionalisme atau Bukan, apa bedanaya : Studi
Kasus Tentang Buruh Tambang Batu Bara Ombilin 1930-
1960.Namun, secara keseluruhan buku ini baru diterbitkan
sebagai yang berada ditangan pembaca ini.

vii
Selama proses penelitian dan penulisan sampai menjadi
buku ini, penulis telah banyak mendapat bantuan, baik moril
maupun material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih atas
bantuan yang diberikan. Pertama sekali, penulis menyam-
paikan terima kasih yang setulusnya kepada Pembimbing
Utama bapak Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dan ibu, yang telah
banyak membimbing penulis dengan penuh kesabaran. Selama
bimbingan yang beliau berikan telah membuka pikiran dan
memperluas wawasan penulis akan berbagai hal, terutama
tentang masalah perburuhan, yang selama ini tidak terlintas
dalam pikiran penulis. Jika boleh bicara untung, maka penulis
memperoleh keberuntungan yang besar dan tak terhingga
dibimbing oleh Sejarawan Besar ini.
Selama mengikuti perkuliahan di program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, penulis telah banyak
mendapatkan bimbingan dan bekal ilmu dari ibu dan bapak
dosen. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-sebesarnya kepada bapak Prof. Dr. Sartono
Kartodirdjo, bapak Prof. Dr. H. T. Ibrahim Alfian, M.A.,
(almarhum) bapak Dr. H. Djoko Suryo, bapak Dr.
Kuntowijoyo (Alaamarhum), ibu Prof. Dr. Darsiti Soeratman,
ibu Prof. Dr. Soelastin Soetrisno (Almarhumah), bapak Prof.
Dr. R. M. Soedarsono, bapak Prof. Dr. H. Umar Kayam
(Almarhum), bapak Prof. Dr. Lukman Sutrisno (Almarhum),
bapak Prof. Dr. Suhartono, bapak Prof. Dr. Syafri Sairin,
bapak Dr. Nasikun, dan bapak Prof. Dr. Bambang Purwanto.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Direktur Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Rektor Universitas Gadjah Mada, Jurusan Sejarah Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada, Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada, Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Univer-

viii
sitas Andalas, Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas dan
Rektor Universitas Andalas yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti jenjang
pendidikan di Program Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman sesama mahasiswa Program Studi Sejarah Jurusan
Ilmu-Ilmu Humaniora Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada yang telah memberikan kesan yang mendalam
bagi penulis. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada Drs. Tanto Sukardi, yang telah banyak
membantu penulis sejak perkuliahan sampai selesai. Dra. Liza
Rivai, Drs. Gustanto, M. Hum, Drs. Zulqayyim, Dra. Sarifah,
Dra. Ramadhani Ghafar, Drs. Dudung Abdurrahman, M. Ali,
Ir. Rudi Harahap, Ir. Jhon Odius, Fildi, Nildi, Bambang, dan
Remon yang telah memberikan banyak perhatian kepada
penulis selama mengikuti pendidikan.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih secara
khusus kepada bapak Prof. Dr. Abdul Aziz Saleh
(Almarhum), bapak Prof. Dr. Khaidir Anwar, (Almarhum)
ibu Dra. Wahidar Khaidir MLS, (Almarhumah), bapak Dr.
Mestika Zed, bapak Dr. Bustanuddin Agus, bapak dan Drs.
Fatchurrahman (Almarhum). Atas bantuan dan dorongan dari
teman-teman di jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas
Andalas penulis juga menyampaikan terima kasih.
Dalam penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan,
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu penyediaan sumber. Kepada bapak Djoko
Suroso, pegawai Perpustakaan Pertanian Bogor, penulis ingin
mengucapkan terima kasih atas bantuan selama penelitian di
Bogor. Kepada bapak Saleh Chairudin, Pegawai Perpustakaan
Departemen Pertambangan dan Energi di Bandung, penulis juga
mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan.

ix
Kepada Dra. Suri Bidari, penulis juga ingin menyampaikan terima
kasih atas bantuan sumber dan penelitian di Pusat Dokumentasi
dan Informasi Kebudayaan Minangkabau di Padang Sumatera
Barat. Untuk terjemahan naskah-naskah yang berbahasa
Belanda, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada Dra. Lindayanti M. Hum, yang telah
menterjamhkan arsip Bahasa Belanda. Untuk penyelaras dan
editor bahasa, penulis mengucapkan terima kasih kepada
Mulyadi SS, peneliti dari Balai Bahasa Padang.
Selama penelitian lapangan di Sawah Lunto, kami ingin
mengucapkan terima kasih pada banyak pihak, seperti Drs.
Zulheri dan mas Sugianto, yang telah membantu
mengumpulkan data dan menjadi pemandu penulis.
Selanjutnya kepada para informan yang tak mungkin
disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih
atas berbagai informasi yang telah diberikan tentang
kehidupan buruh tambang batu bara Ombilin Sawah Lunto.
Dalam proses penerbitan menjadi buku, penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada bapak
Walikota Sawahlunto, Ir. H. Amran Nur, bapak Sekda
Zohirin Sayuti, SE , dan bapak biro Kesra Drs. H. Husril
Kasim, yang telah membantu pendanaan penerbitan buku
ini. Tanpa bantuan dana dari pemerintah Kota Sawahlunto
itu, jelas sekali buku ini belum dapat diterbitkan.
Kepada bapak Rektor Unand bapak Prof. Dr. H. Musliar
Kasim , MS, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih
yang atas terbitnya buku ini melalui program 50 tahun Unand
50 buah buku. Kepada teman-teman Panitia bidang
penerbitan Dr. Rusmana Setia Ningrat, Dra. Zuriati, M. Hum.
Hari Efendi, SS, Dra. Sri Meiyenti, M. SI., Deviyanti, SH,
MH, Dr. Tesri Meidiliza dan Perdana Putra SS penulis ingin
ucapkan terima kasih atas kerjsama selama kepanitian

x
poenerbitan buku ini. Kepada Drs. Alfan Miko, M.Si, Ketua
Umum Lustrum X Unand dan Zano sekretariat penulis juga
sampaikan terima kasih atas kerjsama selama kepanitian ini.
Penulis juga ingin sampaikan terima kasih kepada Team
Kreatif Cover dari Flas Studio Bayu, Eros dan Bahren, atas
bantuan dalam proses penerbitan buku ini. Dra, Sri Setyawati,
MA,Risnayenti SS, Joni Saputra,SS, Mega SS, dari Museum
gudang Ramsum juga ingin disampaikan terima kasih atas
bantuan dan perhatian selama ini. Sahabat-sahabat di PSH
Fakultas Sastra Unand, Drs. Zulqayyim, M. Hum. Dr.
Herwandi, Haryy Efendi, SS, Sudarmoko, SS, MA, Yono,
dan Buya, penuls sampaikan terimakasih atas persahabatan
yang hangat selama bergaul. Kepada Dra. Suri Bidari, Dr.
Erwiza “Ni eng” Erman, penulis haturkan terima kasih yang
dalam atas banyak kerjasama yang kita lakukan selama ini.
Pada kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Rosmanidar,
Nenek Siti Alam (Almarhumah) dan Mak Rajuna
(almarhumah), Etek Yunilas, Ibunda Masni Aziz kakanda
Irwan Zubir dan keluarga, Zusfina dan keluarga, Zusfiarni
dan keluarga, Zusfahair dan keluarga, kakanda Andrianto dan
keluarga dan kakanda Ezrinal Aziz dan keluarga yang selalu
memberikan bantuan moril dan meterial. Butet dan Eka
Gandhiz, juga penulis ingin sampaikan terima kasih atas
perhatian selama ini. Yoyon dan Yobi sumber dinamika di
rumah, penulis juga berterima kasih.
Akhirnya, ucapan terimakasih teristimewa penulis
sampaikan kepada ayahanda Zubir (almarhum.), ibunda Sofia
(almarhumah.), semoga Allah SWT memberi tempat yang
layak kepada keduanya. Kepada orang-orang tercinta, istri
Dra. Destina Aziz dan buah hati kami, Nurul Azizah Zayzda
dan adiknya yang masih dalam kandungan saat penulisan

xi
naskah ini (kemudian lahir dengan nama Muhammad Zuchri
Zayzda tahun 1995) si bungsu Muharroman Ath Thoriq
Zayzda, penulis ucapkan terima kasih yang suci atas
kesabaran dalam mengikuti berbagai langkah yang penulis
lakoni. Sebagaimana yang dulu-dulunya, mereka tidak
mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti penulis dalam suka
dan duka. Semoga saja buku ini dapat memberi sedikit
kebahagian bagi mereka semuanya.

Padang, 10 Juni 2006

xii
DAFTAR ISI
Prakata v
Daftar Isi xiii
Daftar Tabel xv
BAB I
PENDAHULUAN 1
A.Latar Belakang Masalah 1
B. Fenomena dalam Dunia Tambang 7
C. Posisi Persoalan Buruh 11
D. Kajian–kajian Tentang Buruh 12
E. Pemahaman Teoritis dan Metodologi
Gerakan Buruh 15
F. Tinjauan Singkat Isi Buku 23
BAB II
PETA SOSIAL BUDAYA MINANGKABAU 25
A. Tinjauan Ekologis 25
B. Tinjauan Sosial 32
C. Kondisi Ekonomi 41
D. Dinamika Budaya 53
E. Pola Pemilikan Tanah 60
BAB III
PRODUKSI MELIMPAH BURUH SENGSARA 68
A.Penemuan Batu Bara Ombilin 68
B. Topografi Tambang Batu Bara Ombilin 75
C. Masalah Pembebasan Tanah
Tambang Batu Bara Ombilin 84
D. Konsesi Penambangan Batu Bara Ombilin 92
E. Masalah Transportasi 100
F. Produksi Tambang Batu Bara Ombilin 109

xiii
BAB IV
SISI GELAP DALAM KEHIDUPAN
BURUH TAMBANG BATU BARA
OMBILIN SAWAHLUNTO 131
A. Pengerahan Buruh Tambang 131
B. Eksploitasi Nan Tiada Kunjung Habis 147
C. Klasifikasi Buruh Tambang Batu Bara Ombilin 157
C.1 Buruh Paksa 161
C.2 Buruh Kontrak 163
C.3 Buruh Bebas 165
D. Kebijakan Yang Menyengsarakan 168
BAB V
MENUNGGU MELEDAKNYA BOM WAKTU
BURUH TAMBANG BARU BARA
OMBILIN SAWAHLUNTO 175
A. Sumber-sumber Keresahaan 176
A.1 Masalah Upah Buruh dan Kondisi
Ketergantungan 179
A.2 Jaminan Kesehatan 190
A.3 Masalah Hak Asasi Buruh 196
B. Gejolak Politik tahun 1920-an 204
C. Organisasi Buruh Tambang Batu Bara Ombilin 210
C.1 Organisasi Buruh 212
C.2 Ideologi Organisasi Buruh 223
C.3 Tokoh-tokoh Gerakan Buruh 227
D. Keterlibatan Buruh dalam Pemberontakan
Komunis 1927 230
D.1 Kondisi Prapemberontakan 230
D.2 Keterlibatan Buruh Tambang dalam
Pemberontakan 1927 240

xiv
BAB VI
EPILOG dan, SATU ABAD KEMUDIAN 248
Daftar Pustaka 254
Glosarium 274
Riwayat Singkat Penulis 278

DAFTAR TABEL

1. Perkiraan batu bara di sungai Durian 83


2. Perkiraan batu bara Ombilin Sawah Lunto 112
3. Perkiraan batu bara di Parambahan, Sigalut,
Sungai Durian dan Loerah Gadang 113
4. Produksi Batu Bara Ombilin dari tahun 1893
sampai tahun 1927 124
5. Biaya, Pendapatan dan Keuntungan Batu Bara
Ombilin dari tahun 1893 sampai tahun 1927 126-127
6. Jumlah penduduk Minangkabau tahun 1880 134
7. Perkembangan penduduk Minangkabau dari
tahun 1880 sampai tahun 1915 135
8. Jumalah penduduk Sawah Lunto tahun 1930 136
9. Jumlah rata-rata buruh paksa yang pada
tambang batu bara Ombilin 1892-1929 148
10. Jumlah rata-rata buruh kontrak yang
bekerja pada tambang Batu Bara Ombilin
1902 -1927 152

xv
11. Jumlah rata-rata buruh bebas yang bekerja
pada tambang Batu Bara Ombilin 1903 – 1927 154
12. Tingkat upah buruh di sungai Durian dan
Parambahan tahun 1917 180
13. Tingkat upah buruh tambang batu bara
Ombilin dari tahun 1905 sampai tahun 1903 185
14. Jumlah rata-rata buruh yang kena penyakit
dari tahun 1900 sampai tahun 1925 193
15. Jumlah rata-rata buruh yang mati dari tahun
1900 sampai tahun 1925 195
16. Jumlah rata-rata buruh yang melarikan diri
dari tahun 1910 sampai tahun 1916 198
17. Jumlah rata-rata buruh tambang yang dihukum
cambuk, penjara dan dipecat dari tahun 1925
sampai tahun 1927 235

xvi
BAB I

PENDAHULUAN
Dari tapian ka sawah lunto kanduang
Sawahlunto bukit barantai
Parasaian-parasaian badan
Sarupo iko-sarupo iko
Aia mato jatua badarai

(Nasib Sawahlunto oleh : B. Sutan)

A.Latar Belakang Masalah


Kedatangan Belanda ke wilayah Minangkabau telah
membawa berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Perubahan yang terjadi itu meliputi berbagai bidang, seperti
pendidikan, politik, dan ekonomi. Dalam bidang pendidikan,
pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem
pendidikan barat. Hal itu ditandai dengan berdirinya Sekolah
Raja pada tahun 1873 di Bukittinggi.1 Kehadiran itu merupakan
awal persentuhan masyarakat Minangkabau dengan dunia
intelektual Barat. Hal yang terpenting dari kehadiran pendidikan
1
Tentang Sekolah Raja, lihat misalnya R.Friederich, Gendenkboek Samengesteld
bij Gelegenheid van het 35-Jariq Bestaan der Kweekschool voor Inlandsche
Onderwijzers te Fort de Kock. (Arhem: Threme, 1908), hlm. 1—20.
Barat itu adalah munculnya ide tentang kemajuan. Ide kemajuan
yang datang dari barat kemudian menjadi pusat konflik
intelektual tentang bermacam subjek, serperti adat dan agama.2
Penguasaan Belanda dalam bidang politik dan ekonomi ber-
langsung secara bersamaan di Minangkabau. Dalam bidang po-
litik, sejak kekalahan Minangkabau dalam Perang Paderi tahun
1837 praktis Minangkabau berada di bawah kekuasaan pe-
merintah kolonial Belanda. Untuk mencapai tujuan politiknya,
pemerintah kolonial Belanda mematahkan pengaruh pemimpin
Paderi, yang memiliki kemampuan besar untuk mengerahan
perlawanan orang Minangkabau terhadap tuntutan Belanda.3
Setelah kekuasaan Paderi dipatahkan, Belanda pun berhasil
menguasai Minangkabau yang meliputi wilayah pantai
(Padangnsche Benendenlanden) dan wilayah pedalaman
(Padangsche Bovenlanden).4 Kekuasan itu juga kemudian diikuti
penguasaan pemerintah kolonial Belanda dalam bidang ekonomi.
Dalam bidang ekonomi, kehadiran pemerintah kolonial
Belanda di Minangkabau ditandai dengan berlangsungnya sistem
tanam paksa. Kopi ditanam sebagai perkebunaan rakyat. Pada
awalnya, sistem taman paksa yang diterapkan di Minangkabau
tidak saja menguntungkan pemerintah kolonial Belanda, tetapi
juga dinikmati petani kopi.5

2
Konfilik yang terdapat di Minangkabau tidak hanya berasal dari ide kemajuaan
barat, akan tetapi yang tak kalah penting lainnya adalah pengaruh dari agama
Islam. Taufik Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West
Sumatera (1927-1933). (Ithaca: Cornell University Press, 1971), hlm. 13—14.
3
Kenneth R. Young, “Sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat: Stagnasi Ekonomi
dan Jalan Buntu dalam Politik” dalam Anne Both (eds.), Sejarah Ekonomi
Indonesia. (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 140.
4
Elizabeth E. Graves, The Minangkabau Respone to Dutch Colonial Rule in The
Nineteenth Century. (New York: Cornell Modern Indonesia Project,
Cornell University, 1980), hlm. 29—45.
5
Kenneth R. Young, op.cit., hlm. 153—157.

2
Hal yang tak kalah pentingnya dilakukan oleh Belanda adalah
mengirimkan ekspedisi untuk menemukan kekayaan alam yang
terdapat di Minangkabau. Berbagai penemuan kekayaan alam
adalah besi, emas, perak, semen dan batu bara. Besi, emas dan
perak diolah oleh Belanda sebagai lanjutan pengelolaan yang
telah dilakukan secara tradisional oleh masyarakat Minangkabau.
Emas yang diproses lewat pendulangan dan muncul sebagai
serpihan telah lama berjalan di zaman Kerajaan Pagaruyung
dan sampai pada tahun 1820 dan 1830-an emasnya telah habis
dikuras.6 Tambang emas yang lebih besar terdapat di Salido,
Pesisir Selatan. Daerah yang memiliki emas meliputi Salido
Saribulan dan Salido kecil. Pertambangan itu dikelola secara
lebih maju dibandingkan dengan tambang emas di Saruaso yang
diolah secara tradisional. Pada lokasi penambangan emas di
Salido, juga terdapat penambangan perak.7
Peleburan besi juga sudah berkembang, terutama terdapat
di dataran tinggi Minangkabau.Wilayah utama penghasil besi
adalah Bukit Besi, Lima Kaum dan Gunung Merapi.8 Kekayaan
alamnya yang sangat penting lainnya yang terdapat di
Minangkabau adalah semen. Semen telah ditambang sejak 1912.9

6
Christine Dobbin, Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang
Berubah, Sumatera Tengah 1784- 1847. (Jakarta: INIS, 1992), hlm. 30—34.
7
Tambang perak dijalankan bersamaan dengan tambang emas di Salido. Tambang
itu telah berjalan sejak masa VOC dan pemerintah kolonial Belanda di Salido
Pesisir Selatan. Lihat G. B. Hoogenraad , “De Salida Mijn”, dalam Ingenieur in
Nederlandsch- Indie, Januari , 1934 , hal . 30-50. Lihat juga J. E. de Meyier, “De
Goud en Zilvermijn in salida ter Sumatera’s westkust”, dalam De Ingenieur in
Nederlandsch Indie, Maart, 1911, hlm. 40—45.
8
Christine Dobbin, Op. cit., hlm. 27—29.
9
Semen ditambang oleh pemerintah Hindia Belanda setelah penambangan batu
bara Ombilin dimulai, yaitu pada tahun 1912. Sampai sekarang semen merupakan
tambang yang sangat penting di Sumatera Barat. Lihat Jaarboek van Mijnwezen
in Nederlandsch-Indie 1912, (Batavia: Landsdrukkerij, 1913, hlm. 20—80).

3
Selain ketiga kekayaan alam itu, batu bara merupakan kekayaan
alam penting yang berasal dari Minangkabau.10
Penemuan penting lainnya dari ekspedisi Belanda ke
daerah ini adalah batu bara. Ekspedisi itu dipimpin oleh Groot
yang menemukan batu bara pertama di Padang Sibusuk, yang
terletak 20 km dari Ombilin pada tahun 1858.11 Ekspedisi yang
dirintis oleh Groot kemudian diikuti oleh Greve yang
menemukan batu bara yang terdapat di Ombilin Sawahlunto
pada tahun 1868.12

10
Selain di Ombilin Sawahlunto, batu bara juga terdapat di Pesisir Selatan. Jumlah
dan mutu batu bara Ombilin lebih baik dibandingkan dengan di Pesisir Selatan.
Lihat De Inqenieur in Nederlandsch Indie, 1913, hlm. 25.
11
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oost Indie No. 3. (Batavia :
Landsdrukkerij-weltervreden, 1860), hlm.80—95.
12
W.H. van Greve, Het Ombilin Kolenveld in PadangscheBovelanden en het het
Transport System ter Sumatra Westkust. (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1871),
hlm. 1—20.

4
Kandungan batu bara Ombilin diperkirakan cukup besar.
Seorang ahli geologi Belanda yang bernama Verbeek mem-
perkirakan secara kasar jumlahnya sekitar 200 juta ton yang
terdiri atas 20 juta di daerah Parambahan, 80 juta ton di
Sigulik, 93 juta ton di daerah Sungai Durian, 4 juta ton di
Lurah Gadang.13

13
R.D.M. Verbeek, “Over de Beste Ontginnging swijze Gedeelte van het Ombilin
Kolenveld” dalam Jaarboek van Landsdrukkerij, 1875), hal. 190-192.

5
Berdasarkan kekayaan batu bara yang diperkirakan
terdapat di Ombilin itu, pemerintah kemudian berkeinginan
menanamkan modalnya. Dalam konteks inilah penemuan batu
bara Ombilin beserta masalah buruh tambang batu bara
Ombilin Sawahlunto, Sumatra Barat 1891–1927 dijadikan
sebagai tema sentral dalam penulisan ini. Penemuan batu bara
kemudian membawa perubahan penting dalam tatanan
ekonomi penduduk Minangkabau, terutama terbukanya
kesempatan bekerja sebagai buruh. Dalam perkembangannya
pertambangan batu bara Ombilin tidak hanya menggunakan
buruh lokal, tetapi juga mendatangkan buruh dari luar melalui
berbagai cara, seperti kontrak dan paksa.
Keberadaan buruh pribumi dapat dibedakan dalam bentuk
ikatan, yaitu buruh paksa, buruh kontrak, dan buruh bebas.
Buruh paksa (dwangerbeiders) diambil dari orang-orang
hukuman di berbagai penjara di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.
Buruh kontrak (contrackoelies) didatangkan dari Penang,
Singapura, dan Jawa. Buruh bebas (vrije arbeiders) berasal dari
penduduk Minangkabau. Kehidupan ketiga kelompok buruh
itulah yang dijadikan sebagai inti dari penulisan buku ini.
Buku ini akan mencoba membahas berbagai aspek dalam
kehidupan buruh tambang batu bara Ombilin Sawahlunto.
Aspek–aspek yang ingin dibahas meliputi berbagai segi
kehidupan buruh tambang batu bara Ombilin seperti masalah
sosial buruh, aspek ekonomi dan kesejahteraan buruh, organisasi
buruh, aktivitas politik buruh, dan keresahan yang terjadi di
kalangan buruh. Keresahan buruh tambang batu bara Ombilin
itu mencapai puncaknya ketika buruh terlibat dalam
pemberontakan PKI tahun 1927.
Setiap peristiwa itu akan dicoba dikaji sebagai satu
kesatuan sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas
tentang kehidupan burtuh tambang batu bara Ombilin.

6
Sebagai contoh bahasan, yaitu masalah keresahan buruh itu,
akan dicoba untuk diteliti sejauh manakah kaitan antara
keresahan ataupun pemberontakan buruh dengan masalah
upah, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan masalah hak
asasi buruh tambang batu bara Ombilin.

B. Fenomena dalam Dunia Tambang


Fokus pembicaraan dalam buku ini adalah kehidupan
buruh tambang batu bara Ombilin antara tahun 1891 sampai
tahun 1927, terutama buruh paksa, buruh kontrak, dan buruh
bebas. Selama periode itu, akan dicoba dibahas secara seksama
beberapa persoalan pokok yang melingkupi kehidupan
buruh, seperti masalah pengerahan buruh, kehidupan sosial,
ekonomi dan sosial politik buruh tambang.
Masalah pengerahan buruh menyangkut pola yang
ditempuh oleh pihak perusahaan tambang batu bara Ombilin
untuk mendatangkan buruh ke Sawahlunto. Buruh
dikerahkan dengan berbagai cara, seperti memanfaatkan or-
ang-orang tahanan sebagai buruh paksa, mengerahkan buruh
kontrak Cina dari Penang dan Singapura, mendatangkan
buruh kontrak dari Jawa, dan menggunakan orang
Minangkabau sebagai buruh bebas. Dari pengerahan buruh
seperti itu akan terlihat beragamnya asal-usul buruh yang
bekerja pada tambang batu bara Ombilin Sawahlunto.
Setiap tahunnya terjadi arus keluar masuk buruh
tambang. Dengan demikian, setiap tahun pula perusahaan
tambang batu bara Ombilin mendatangkan buruh dari
berbagai tempat. Sebagai contoh adalah pada tahun 1914.
Dalam buku tahunan tambang dikemukakan bahwa untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja pada tambang, perusahaan
tambang batu bara Ombilin menerima buruh terdiri atas
sebanyak 1625 buruh kontrak, 2067 buruh bebas, dan 1040

7
orang tenaga kerja paksa.14 Persoalan yang menarik adalah
bagaimana cara-cara yang ditempuh oleh perusahaan tambang
batu bara Ombilin untuk mendatangkan mereka.
Pasokan tenaga buruh ke tambang batu bara Ombilin
disuplai melalui berbagai pola. Setiap pola memiliki perbedaan.
Perbedaan pola pengerahan buruh akan melahirkan tingkatan.
Hal yang akan menarik untuk dikaji adalah sejauh mana
perbedaan yang terdapat dan apakah perbedaan-perbedaan itu
memicu konflik antarsesama buruh ataupun antara buruh
dengan pihak perusahaan.
Gambaran perbedaan kehidupan buruh akan dilihat dari
beberapa kelompok buruh. Perbedaan yang mencolok terlihat
dari sistem kontrak, seperti buruh paksa, buruh kontrak, dan
buruh bebas. Akan lebih menarik untuk dikaji jika kita
membandingkan setiap sistem kontrak itu dengan upah dan
jaminan sosial serta masalah hak asasi buruh yang diterima buruh
tambang sesuai dengan ikatan kontrak yang dibuat oleh buruh
dengan pihak perusahaan.
Masalah upah sering menjadi pemicu keresahan di
kalangan buruh. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah
masalah itu juga dihadapi oleh buruh tambang batu bara
Ombilin. Dalam melihat masalah sosial ekonomi buruh,
khususnya masalah upah buruh tambang batu bara Ombilin
adalah sejauh mana masalah upah berpengaruh terhadap
kehidupan sosial politik buruh. Contoh yang menonjol adalah
apakah keterlibatan buruh tambang batu bara Ombilin dalam
pemberontakan 1927 disebabkan oleh masalah upah atau
faktor–faktor sosial, ekonomi, dan politik lainnya. Pernyataan
yang dikeluarkan oleh surat kabar Soera Tambang sebagai
14
“Gouvernement’s Steenkolen ontginning Nabij Sawah Lunto”, dalam Jaarboek
van Mijnwezen in Nederlandsch Oost Indie over 1913, (Batavia: Landsdrukkerij,
1914), No. 42/43, hlm. 110.

8
koran yang menyuarakan aspirasi buruh–buruh melaporkan
bahwa “Boekan sadja orang kontrakan yang bekerdja berat,
tetapi ada djuga orang hukuman yang nasibnya lebih djelek
dari pada hewan”.15 Sebuah pertanyaan dapat diajukan dari
pernyataan tersebut, apakah pernyataan itu hanya sebagai
suatu propaganda untuk menentang dominasi kekuasaan
Belanda ataukah merupakan suatu realitas buruh dalam
kehidupan sehari-harinya. Dengan mengkaji hal itu,
diharapkan akan dapat memberikan gambaran kehidupan
buruh tambang batu bara Ombilin lebih jelas.
Secara ideal, dalam hubungan buruh dengan majikan
haruslah terdapat keseimbangan dalam pembagian
pendapatan. Menyimak hubungan yang ideal antara buruh
dengan majikan, menariklah gagasan yang dikemukakan
Hendry Ford, yaitu “semakin banyak upah yang diberikan
kepada buruh, semakin banyak yang dapat dibelinya dari
Anda, dan merupakan keuntungan besar yang Anda raih.”
Buruh juga akan menghargai aturan-aturan ekonomi yang ada
karena adanya keuntungan yang diberikan oleh majikan
kepada mareka.16 Hubungan yang ideal antara buruh dengan
majikan, menurut Ford, adalah dengan adanya keuntungan
yang diperoleh buruh, hal itu semakin baik bagi perusahaan
karena loyalitas dan semangat kerjanya semakin tinggi.17
Bertitik tolak dari pernyataan tersebut, bagaimana
perhatian yang diberikan oleh pihak perusahaan tambang
terhadap buruh dapat dikaji berbagai hal lainnya di kalangan
buruh. Sebagai contoh adalah bahasan mengenai keterlibatan

15
“Satoe Mei di Kalangan Kaoem Boeroeh”, dalam Soera Tambang, 30 April
1925, hlm. 1.
16
Marvin E. Olsen, The Process of Social Organization. (New Delhi: Oxford &
IBH Publishing Co., 1986), hlm. 137.
17
ibid. hlm. 138.

9
buruh dalam berbagai gejolak, mogok, keresahan dan pem-
berontakan buruh. Dalam konteks ini faktor-faktor yang
menyebabkan buruh tambang batu bara Ombilin Sawahlunto
telibat dalam peristiwa pemberontakan PKI tahun 1927 di
Silungkang menarik untuk dikaji. 18 Dalam peristiwa
pemberontakan PKI di Silungkang itu, banyak buruh
tambang batu bara yang terlibat.19
Dimensi waktu merupakan hal pokok dalam penelitian
sejarah. Untuk itu kita perlu merumuskan periode
penulisannya. Periodisasi penulisan ini adalah tahun 1891-
1927. Penetapan tahun 1891 sebagai patokan awal dalam
penulisan ini bertitik tolak dari keputusan pemerintah secara
langsung untuk mengelola tambang batu bara Ombilin. Pada
tanggal 28 Desember 1891 pemerintah Belanda memutuskan
untuk menambang batu bara Ombilin secara langsung.
Keputusan itu kemudian dituangkan melalui surat keputusan
pemerintah tanggal 4 Januari 1892, Nomor 2, Tahun 1892.20
Dengan turunnya keputusan dari pemerintah itu, resmilah
pemerintah menanamkan modalnya pada perusahaan
tambang batu bara Ombilin Sawah Lunto.
Tahun 1927 sebagai batasan akhir periodisasi dalam
penulisan ini adalah berakhirnya pemberontakan buruh
tambang batu bara Ombilin. Tindakan yang sewenang-
wenang, terutama kerja paksa dalam lubang penggalian,
masalah upah dan hukuman cambuk yang dilakukan oleh
pihak perusahaan mengakibatkan buruh melakukan

18
Silungkang suatu nagari pertekstilan yang terletak lebih kurang 15 km dari
tambang batu bara Ombilin. Silungkang inilah yang menjadi pusat dari
pemberontakan PKI tahun 1927 itu. Abdul Muluk Nasution, Pemberontakan
Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1926- 1927. (Jakarta: Mutiara, 1981), hlm.
65—97.
19
Lihat misalnya B. Schrieke, op. cit., hlm.125—156.
20
Lihat Lembaran Negara, Nomor 2,1892.

10
perlawanan terhadap perusahaan didukung oleh organisasi
buruh PKBT yang secara bersama-sama mengadakan
pemberontakan tahun 1927.
Untuk mempertajam pokok bahasan, perlu dirumuskan
masalah utama yang akan dibahas. Adapun rumusan masalah
itu adalah:
1. Bagaimana cara yang ditempuh untuk mendatangkan
buruh tambang batu bara Ombilin.
2. Bagaimanakah masalah sosial ekonomi buruh tambang
batu bara Ombilin.
3. Bagaimanakah masalah sosial politik di kalangan buruh
tambang batu bara Ombilin

C. Posisi Persoalan Buruh


Kehidupan buruh tambang merupakan hal yang menarik
untuk dikaji. Alasannya adalah, pertama, penelitian tentang
buruh tambang masih sedikit dilakukan oleh para sejarawan.
Dibandingkan dengan buruh kebun misalnya, buruh mendapat
sorotan yang banyak dari sejarawan. Untuk mengisi peluang
seperti inilah penulis berkeinginan untuk meneliti kehidupan
buruh tambang batu bara Ombilin.
Kedua, penelitian tentang buruh tambang ini diharapkan
akan dapat memberikan suatu gambaran tentang kehidupan
buruh tambang batu bara, khususnya pada tambang batu bara
Ombilin. Dengan gambaran berbagai perlakuan yang diterima
buruh, diharapkan dapat memberikan suatu cerminan tentang
sikap dan tindakan yang diperbuat oleh majikan terhadap buruh
di masa kolonial. Artinya, jika pada masa kolonial terdapat
sistem tenaga kerja paksa dengan bekerja secara paksa tanpa
mendapatkan upah dan perlakuan, serta jaminan sosial yang
tidak layak, diharapkan keadaan seperti itu tidak terjadi lagi
dalam era sekarang ini.

11
Ketiga, penelitian ini mencoba mengkaji kehidupan buruh
dengan ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan politik. Kajian
ini diharapkan dapat memberikan alternatif yang baik untuk
menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi kaum
buruh. Pada akhirnya berbagai persoalan yang dihadapi
buruh, seperti masalah upah, jaminan kesehatan, jam kerja,
pemogokan, dan tunjangan buruh dapat diselesaikan secara
manusiawi tanpa murugikan buruh.

D. Kajian–kajian Tentang Buruh


Masalah buruh yang mendapat banyak perhatian dari
sejarawan adalah buruh perkebunan. Untuk penelitian buruh
perkebunan, berbagai sudut pandang telah diteliti sejarawan dari
dalam maupun luar negeri. Sebagai contoh yang dapat di-
kemukakan adalah karya Anne Both (ed.) Sejarah Ekonomi In-
donesia. Berbagai tulisan tentang buruh perkebunan amat
menarik untuk dilihat sebagai perbandingan, yaitu tulisan Will-
iam O’Maley yang menulis tentang Perkebunan 1830-1940:
Ikhtisar. Tulisan ini mencoba memberikan berbagai gambaran
tentang kehidupan perkebunan di Pulau Jawa. Perkebunan itu
menjadikan gula sebagai primadona. Malley mencoba membahas
secara umum tentang gula di berbagai wilayah, seperti Cirebon,
Tegal, Pekalongan, Yokjakarta, Besuki dan Pasuruan.21
Karl J. Pelzer, melalui karyanya Toean Keboen dan Petani:
Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria memberikan bahasan
yang menarik tentang perkebunan di Sumatera Timur. Buku
yang terdiri atas delapan bab itu membahas berbagai persoalan,
seperti penguasa onderneming dan petani, politik agraria dan
masalah konsisi pertanian.22
21
Anne Both, op. cit., hlm.197—235.
22
Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan
Agraria 1863—1947 (Jakarta: Sinar Harapan), 1985, hlm. 90—120.

12
Karya Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah
Perkebunan di Indonesia membahas awal pertumbuhan
perkebunan sejak tahun 1600 sampai periode 1980-an. Buku
yang berisi 12 bab itu membahas berbagai aspek dunia
perkebunan mulai dari perkebunan masa kolonialisme sampai
modernisasi di Indonesia. Persoalan buruh terdapat pada bab
X, yaitu Masyarakat dan Kebudayaan Perkebunan.23 Adapun
perbedaan kepentingan antara perusahaan dengan rakyat yang
mudah menimbulkan konflik ialah masalah penggunaan lahan
untuk perkebunan, terutama persawahan khususnya
mengenai areal dan waktu. Ketidaksesuaian mengenai hal itu
menimbulkan konfrontasi yang dalam berbagai kasus berakhir
dengan bentrokan berdarah.24
Menarik juga dikemukakan karya dari Christine Dobbin
yang berjudul Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang
Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784—1847.25 Christine Dob-
bin dalam buku itu menceritakan berbagai hasil tambang di
Minangkabau, seperti emas dan besi. Penggalian emas telah
berlangsung sejak zaman Kerajaan Pagaruyung dan di zaman
VOC besi juga telah ditambang di Bukit Besi dan digunakan
untuk keperluan rumah tangga.
Rusli Amran melalui karyanya Sumatera Barat Plakat
Panjang secara sepintas menyinggung perkembangan tahap
awal dari batu bara Ombilin. Pada bab X dengan judul Tiga
Serangkai26 Rusli Amran menceritakan tambang batu bara
Ombilin, terutama periode awal penemuannya. Bab yang

23
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Surya, Sejarah Perkebunan di Indonesia.
(Yogyakarta: Aditya Media, 1991), hlm. 143—160.
24
ibid., hlm. 158.
25
Christine Dobbin, op.cit., hlm. 14—62.
26
Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang. (Jakarta: Sinar Harapan, 1985),
hlm. 303—315. Tiga Serangkai yang dimaksudkan Rusli Amran adalah tambang
batubara Ombilin, kereta api, dan pelabuhan Emmahaven di Padang.

13
hanya terdiri atas 12 halaman itu bukanlah menceritakan
tambang batu bara Ombilin saja, tetapi juga menyangkut
pembuatan jalan kereta api dan pelabuhan Teluk Bayur.
Dalam tulisannya, Amran tidak menyebut masalah buruh
sama sekali. Pokok bahasan yang ditulis Amran hanya
mengemukakan kandungan batu bara dan proses penemuan
batu bara oleh seorang serjana Belanda yang bernama Greve.
Dalam konteks inilah, penelitian ini menjadi lebih menarik
dengan belum adanya studi-studi sejarah sebelum ini yang
meneliti tambang batu bara Ombilin Sawahlunto.
Walaupun dalam penulisan ini terdapat kesulitan untuk
memperoleh tinjauan pustaka mengenai buruh tambang,
khususnya buruh tambang batu bara, penulis mendapatkan
banyak sumber yang dapat dijadikan sebagai sumber primer
dalam penulisan ini. Sumber-sumber itu terdapat dalam bahasa
Belanda yang membahas langsung kehidupan buruh tambang
batu bara Ombilin. Di antaranya adalah tulisan George Nypels,
Dwangerbeiders of Contractkoelies als Wervolk in de
Ombilibmijnen, tulisan Sandick, Het Laatste Hoofdstuk Van de
Ombilien-guestie, J. Van Beckhoven dalam tulisannya Een Reisje
Van Padang naar de Ombilien-kolenvelden dan laporan dari
pemerintah kolonial Belanda, buku tahunan tambang batu bara
Ombilin yang berkaitan langsung dengan tema penulisan ini.
Contoh buku laporan tahunan departemen pertambangan dan
laporan tahunan perusahaan tambang batu bara Ombilin
adalah Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oost Indie
dan Verslag der Exploitatie van den Sumatra-Staatspoorweg en
van de Ombilin-mijnen.27

27
Lebih jauh tertulis dalam daftar pustaka.

14
E. Pemahaman Teoritis dan Metodologi Gerakan
Buruh
Dalam kehidupan buruh tambang terdapat suatu pola
ketergantungan antara perusahaan dengan buruh. Di satu sisi,
perusahaan membutuhkan buruh dalam jumlah yang besar.
Pada sisi lain, buruh membutuhkan pekerjaan untuk
menghidupi keluarganya. Dalam kondisi seperti itu perusahaan
berusaha menekan dan menahan buruh untuk tetap bekerja
pada perusahaan tambang. Hal itu diperkuat lagi dengan
sulitnya mencari buruh di Minangkabau.
Untuk mengikat buruh tetap bekerja pada tambang batu
bara, pihak tambang berusaha untuk merekayasa buruh yang
ada untuk tetap bekerja. Pihak tambang membuat
ketergantungan buruh terhadap pihak perusahaan dengan jalan
menciptakan suatu perangkap kemiskinan.28 Perangkap yang
direkayasa itu mempunyai sasaran untuk mengikat buruh agar
tetap bekerja di tempat itu. Perangkap yang dibuat tersebut
menimbulkan keresahan buruh.
Keresahan–keresahan menimbulkan konflik antara
buruh dengan pihak pengelola tambang. Konflik yang muncul
dapat dalam beberapa tingkatan. Robert Gurr merumuskan
konflik atas tiga tingkatan, yaitu sebagai berikut.29
1. Turmoil : kekerasan politis yang tidak terorganisasi dan
partisipasi popular, termasuk serangan politis,
kerusuhan, konflik politik, dan pemberontakan
kedaerahan yang relatif spontan.

28
Chamber merumuskan lima bentuk perangkap kemiskinan, yaitu ketidakberdayaan,
isolasi, kerawanan, kemiskinan, dan kelemahan fisik. Perangkap ini dapat berdiri
sendiri dan dapat pula sejalan satu dengan lainnya. Robert Chambers, Pembangunan
Desa: Mulai dari Belakang. (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 145.
29
Robert Gurr, Why Men Rebel. (Princeton: Princeton University Press, 1971),
hlm. 11.

15
2. Konspirasi : kekerasan politik yang terorganisir rapi, seperti
pembunuhan politik yang terorganisir,
terorisme dalam skala kecil, kudeta dan
pemberontakan.
3. Perang Internal : kekerasan politik yang terorganisir rapi dan
partisipasi popular dari luar yang bertujuan
menumbangkan rezim, merombak negara,
terorisme, perang gerilya dalam skala besar,
perang saudara sampai revolusi.
Dalam kurun waktu tersebut, buruh tidak terlepas dari
berbagai keresahan dan bahkan mencapai puncaknya dalam
bentuk pemberontakan. Melalui berbagai organisasi buruh
berusaha untuk memperjuangkan nasibnya. Hal seperti itu
mengakibatkan munculnya keresahan di kalangan buruh
tambang. Keresahan–keresahan yang berlangsung pada buruh
tambang tersebut coba diteropong dari pemikiran yang
dikemukakan oleh Gurr.
Bertitik tolak dari keresahan-keresahan yang muncul, pada
tahap awalnya biasanya dimulai dari ketidakpuasan yang
berkembang di kalangan buruh. Ketidakpuasan menjadi pemicu
untuk mengadakan serangkaian aksi. Secara teoretis Robert Gurr
menggambarkan adanya konflik yang diawali dengan
ketidakpuasan. Ketidakpuasan diikuti dengan tindakan untuk
mempolitisirnya. Di satu sisi ada keinginan relatif yang muncul
dari selisih antara nilai harapan dan kemampuan. Nilai harapan
adalah hal-hal dan kondisi kehidupan yang menurut orang itu
menjadi haknya, sedangkan nilai kemampuan adalah kondisi
yang menurut mereka dapat dilaksanakan.30 Kesenjangan antara
nilai harapan dengan kenyataan mempercepat proses terjadinya
tindakan kekerasan dan pemberontakan di kalangan buruh.
30
ibid., hlm. 24.

16
Untuk mengungkapkan peristiwa–peristiwa di kalangan
buruh seperti pemberontakan tahun 1927 itu, hal itu dapat
dipandang dari segi gerakan sosial karena konflik adalah
perwujudan gerakan sosial. Mengikuti pendapat Sartono
Kartodirdjo, yaitu bahwa dalam menganalisis konflik sosial
dalam masyarakat, kita harus memperhatikan sistem
tradisional dan keagamaan sebagai suatu kekuatan konservatif
yang berusaha menentang dominasi barat.31
Selama berlangsungnya konflik, pusat perhatian juga
harus ditujukan kepada elite-elite yang terdapat dalam
kelompok itu. Keberadaan seorang elite amat penting karena
kelompok itulah yang sesungguhnya menjadi motor
penggerak dan kelompok pemikir dari setiap gerakan yang
direncanakan itu. 32 Mengacu pada pemberontakan yang
dilakukan oleh PKI di Silungkang tahun 1927, hal itu
sesungguhnya sudah merupakan suatu bentuk gerakan untuk
melawan dominasi pemilik modal atau pihak perusahaan
tambang dengan pemberontakan yang dimotori oleh tokoh–
tokoh komunis di Minangkabau.
Dalam bentuk yang lebih spesifik lagi, perjuangan yang
dilakukan oleh Karl Marx hanyalah usaha mewakili
kepentingan kelas, terutama kelas buruh. Hal itu adalah faktor
yang menonjol dalam sejarah Barat modern, yaitu bangkitnya
kelas kaum buruh sebagai kekuatan sosial baru yang dapat
mempengaruhi sistem politik. Keberadaan elite politik
komunis menjadikan keresahan di kalangan buruh menjadi
semakin tegang. Elite buruh memang ada kalanya berasal dari
kalangan buruh itu sendiri, namun juga berasal dari luar

31
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta: Pustaka
Jaya 1084), hlm. 26—33.
32
ibid.

17
kalangan buruh. Hal yang penting adalah bagaimana
munculnya elite buruh itu dan kemampuan mereka untuk
memobilisasi massa.
Secara spesifik, pembahasan masalah elite dapat
menggunakan beberapa pendekatan. Pendekatan yang
digunakan tergantung dari sudut mana kita melihat keberadaan
elite itu dalam masyarakat. Sebagai salah satu contoh adalah
pendekatan yang digunakan oleh Keller yang mengemukan
bahwa ada lima cara untuk terbentuknya suatu elite. Kelima
pola terbentuknya elite itu adalah sebagai berikut.33
Pertama, kelompok elite muncul sebagai pemimpin atau
penguasa karena faktor politik. Mereka menduduki
posisi ini kerena dukungan yang diberikan kepada
sistem politik yang sedang memegang kendali
kekuasaan.
Kedua, kelompok elite yang muncul kerena melalui proses
pendidikan formal.
Ketiga, kelompok elite yang muncul karena geneologis yang
didukung langsung oleh sistem sosial budaya dari
masyarakat.
Keempat, kelompok elite yang muncul berdasarkan reputasi
sosial dengan kombinasi pengalaman dan
pengetahuan agama yang dimilikinya.
Kelima, kelompok elite yang muncul berdasarkan faktor
kekayaan yang dimilikinya, termasuk di dalamnya
faktor keluarganya.
Hal penting yang juga dibahas adalah bentuk pola
hubungan yang diterapkan antara buruh dengan perusahaan

33
Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elite:Peranan Elite Penentu dalam
Masyarakat Modern. ( Jakarta: Rajawali, 1984) , hlm. 25—30.

18
tambang. Perusahaan tambang memang merupakan badan
usaha milik negara, namun dalam kenyataannya tidak tertutup
kemungkinan pimpinan tambang bertindak sebagai “Raja
Kecil” pada tambang batu bara itu. Sebagai seorang raja, ia
juga minta disembah dan semua perkataannya menjadi hukum
yang harus dipatuhi.
Dalam konteks ini, bahasan yang menarik untuk dikaji
adalah bentuk perlakuan yang diterima buruh dari perusahaan
dan pola hubungan yang diterapkan terhadap buruh. Pola
hubungan antara pimpinan tambang sebagai majikan dengan
buruh tambang sebagai bawahan telah terbentuk berupa pola
hubungan seperti patron dengan client.34
Persoalan selanjutnya menyangkut metodologi penulisan
sejarah. Era baru dalam historiografi modern ditandai dengan
berlangsungnya reapproachment antara ilmu sejarah dengan ilmu
sosial, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik dan ilmu
ekonomi. Perkembangan ini membawa perubahan mendasar
dalam historiografi, yaitu perubahan bentuk penulisan sejarah
dari deskriptif naratif menjadi deskriptif analisis. Dengan
demikian, dalam sejarah analisis haruslah bersifat method ori-
ented dan theory oriented dan bukan grand theories.35
Corak penulisan seperti itu mencoba untuk mengadakan
saling pendekatan antara ilmu sejarah dengan ilmu sosial lain,
seperti sosiologi, ekonomi, politik, antropologi, agama, dan
psikologi. Hal ini dianggap amat penting karena dapat
menyerap lebih banyak metodologi interdisipliner.36

34
James R. Scott, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 309—318.
35
Sartono Kartodirdjo, Perkembangan dan Pemikiran Historiografi Indonesia.
(Jakarta: PT Gramedia, 1982), hlm. 13.
36
Sartono Kartodirdjo, “Tak Ada Sejarah yang Final” dalam majalah Tempo, 24
Oktober 1992, hlm. 67—68.

19
Bentuk konkret pendekatan sejarah yang menggunakan
ilmu sosial lainnya adalah dalam sejarah struktur. Masalah
pendekatan sejarah struktur akan menjelaskan suatu pengertian
bahwa sejarah selama ini dikenal dengan mengutamakan segi
diakronis, sedangkan ilmu–ilmu sosial lainnya adalah sinkronis.
Sejarah mengutamakan proses, ilmu sosial mengutamakan segi
struktural.37
Hal yang penting dalam sejarah struktur adalah perubahan,
pertalian, realitas, dan struktur dalam masyarakat sehingga dari
sinilah dapat ditarik suatu benang merah yang menghubungkan
semua aspek. Untuk itu dibutuhkan pemahaman aspek
struktur sosial, politik, ekonomi dan agama dalam masyarakat.
Harry J. Benda menawarkan pendekatan struktural sebagai
leitmotif dalam sejarah struktur.38
Untuk memperoleh eksplanasi yang baik dalam suatu
peristiwa sejarah yang terjadi secara kompleks, diperlukan
pendekatan berbagai disiplin ilmu sosial lain. Pendekatan seperti
ini diharapkan untuk dapat mempertajam analisis terhadap
peristiwa-peristiwa sejarah sehingga penulisan sejarah akan
dapat menghasilkan karya yang baik. Untuk itu, diperlukan
pendekatan ilmu sosial lainnya dalam menopang penelitian
sejarah. Dalam konteks inilah penelitian masalah buruh
membutuhkan pendekatan ilmu sosial lainnya. Pendekatan ini
diharapkan akan dapat mempertajam analisis terhadap berbagai
persoalan yang dihadapi dalam penelitian, terutama sekali
pendekatan ekonomi, terutama menyangkut masalah upah
buruh.

37
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam MetodologiSejarah.
(Jakarta: PT Gramedia, 1992), hlm. 232.
38
Harry J. Benda, “The Structur of History of Southeast Asian History’’, dalam
jurnal Southeast Asian History, Vol. 3, No. 1. March 1992, hlm. 106—138.

20
Dalam membicarakan masalah buruh sebagai kajian,
pendekatan ini akan berkaitan erat dengan berbagai disiplin ilmu
sosial, terutama sosiologi dan ilmu ekonomi. Sosiologi
diharapkan akan mampu memberikan gambaran kehidupan
sosial buruh dengan berbagai persoalan yang dihadapinya,
sedangkan ilmu ekonomi diharapkan akan mampu memberikan
gambaran kehidupan buruh, terutama masalah tingkat upah yang
diterima buruh.
Dalam penelitian sejarah sebagai suatu proses bukan berarti
tidak terdapat suatu peristiwa di dalamnya. Untuk membahas
suatu peristiwa dalam suatu periode tertentu sebagai batasan,
peristiwa yang dianggap penting dapat dianggap sebagai suatu
hal yang perlu untuk dikemukakan. Misalnya, dalam penelitian
ini kurun waktu 1891–1927 akan dapat dilihat hal-hal penting,
seperti keresahan-keresahan di Silungkang pada tahun 1927.
Segi lain yang amat penting dalam masalah penulisan sejarah
adalah masalah metode untuk penulisan. Penulisan sejarah
memerlukan metode untuk merekonstruksi masa lalu ataupun
objek yang akan diteliti. Untuk itu ada beberapa langkah yang
harus ditempuh. Ibnu Khaldun merumuskan langkah-langkah
itu sebagai berikut. Pertama, sumber yang diperoleh harus
melalui observasi. Kedua, telah khusus terhadap sumber yang
ada. Ketiga, pengujian terhadap sumber yang diperoleh dari
observasi. Keempat, penulisan sejarah. Penulisan dibagi atas
beberapa pasal, setiap pasal membicarakan peristiwa sejauh
peristiwa itu menyangkut penulisan. Pada akhirnya, sejarawan
haruslah menulis secara mendetail dan memperhatikan benang
merah dari setiap peristiwa yang terjadi.39

39
Ali Abdul Wahab Wafi, Ibnu Khaldun,Riwayat dan Karyanya. (Jakarta: PT
Grafiti Pers, 1985), hlm. 146—147.

21
Mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu
Khaldun, observasi merupakan jalan untuk mengumpulkan
sumber lapangan. Hal itu dilakukan dengan jalan mengadakan
wawancara dengan tokoh dari peristiwa. Hal terpenting adalah
memperhatikan suatu kausalitas dalam setiap peristiwa
sehingga terdapat benang merah yang menghubungkan
peristiwa yang ada.
Sejalan dengan hal itu, menurut Taufik Abdullah, dalam
sejarah lisan yang dapat diwawancarai dan dijadikan sumber
lisan adalah, pertama, yang langsung mengalami baik sebagai
tokoh utama maupun pengikutnya. Kedua, orang yang
langsung mendengar cerita dari tangan pertama. Ketiga, orang
yang menerima akibat dari peristiwa itu.40 Langkah–langkah
yang ditempuh dalam mendapatkan sumber adalah
pengumpulan sumber tulisan dan sumber lisan. Sumber tulisan
diperoleh dengan jalan metode dokumenter, sedangkan sumber
lisan melalui penelitian sejarah lisan, yaitu wawancara dengan
buruh tambang.
a. Metode dokumentar adalah mengumpulkan berbagai
dokumen, arsip, dan bukti tertulis lainya. Beberapa
sumber yang digunakan dalam penulisan ini adalah
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oost Indie,
Verslag der Exploitatei van den Staatsspoorweg ter
Sumatra’s westkust en van de Ombilin-kolenvelden,
Tectona, Ingenieur, de Indische Gids, Indische Mercuur,
surat kabar Seoara Tambang, Pertimbangan, dan Panas.
b. Metode wawancara adalah melakukan serangkaian
wawancara dengan tokoh-tokoh, informan, dan orang
yang mengetahui tambang batu bara Ombilin.
40
Taufik Abdullah, “Ke Arah Perencanaan Penelitian Kelompok Sejarah Lisan,
dalam Lembaran Berita. Proyek Sejarah Lisan Arsip Nasional RI No. 6,
Tahun 1977, hlm. 7.

22
F. Tinjauan Singkat Isi Buku
Penelitian ini dibagi dalam enam bab. Setiap bab
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan
lainnya. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang
membicarakan beberapa hal pokok, seperti latar belakang
masalah, rumusan masalah, lingkup masalah, arti penting
penelitian, tinjauan pustaka terdahulu, landasan teoretis,
kerangka metodologis,dan sistematika penulisan.
Latar belakang sosial dan budaya Minangkabau
merupakan pokok bahasan yang dibicarakan dalam bab
kedua. Yang dibahas dalam bab itu meliputi tinjauan ekologis
daerah Minangkabau, struktur sosial, tinjauan ekonomi,
sistem kebudayaan, dan pola pemilikan tanah. Masalah
pemilikan tanah merupakan persoalan penting yang dibahas
dalam bab tersebut. Hal itu disebabkan kajian dalam studi ini
akan berkaitan erat dengan cara–cara yang ditempuh
pemerintah dalam proses pembebasan tanah tambang.
Pada bab ketiga dibahas perkembangan pertambangan batu
bara Ombilin. Pembahasan bab ini dimulai sejak penemuan
batu bara Ombilin, topografi, pembebasan tanah atau areal
pertambangan, konsesi pertambangan, transportasi, dan
pelaksanaan penambangan. Pembahasan ini dianggap penting
untuk mengetahui hal–hal yang berhubungan dengan teknis
pertambangan batu bara Ombilin Sawahlunto. Usaha untuk
menemukan tambang batu bara itu juga berkaitan dengan
upaya pemerintah kolonial Belanda untuk mencari alternatif
lain dalam mengeksploitasi kekayaan alam Sumatra Barat.
Bab keempat membahas pengerahan buruh yang
dibutuhkan untuk penambangan batu bara Ombilin. Buruh
tambang dapat berasal dari bangsa Belanda, Cina, dan pribumi.
Fokus bahasan ini diarahkan pada buruh tingkatan paling

23
bawah, yaitu buruh pribumi. Buruh pribumi dapat dibagi atas
beberapa klasifikasi, yaitu buruh bebas, buruh kontrak dan
buruh paksa yang mempunyai tingkatan upah dan
kesejahteraan yang berbeda. Kebijakan perusahaan terhadap
buruh tambang batu bara termasuk persoalan pokok yang
dibahas dalam bab ini.
Bab kelima membahas keresahan–keresahan yang muncul
di kalangan buruh. Adapun sebab-sebab keresahan itu dapat
dilihat dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah
masalah upah, jaminan kesehatan, dan hak-hak asasi buruh.
Kondisi itu dipertajam oleh faktor eksternal, yaitu kondisi politik
yang berkembang pada tahun 1920-an. Pada tahun itu organisasi
yang memperjuangkan hak-hak buruh, seperti PKBT dan
Serikat Rakyat bermunculan. Organisasi tersebut berhaluan
komunis dan menjadi motor gerakan buruh. Puncak keresahan
terjadi dengan meletusnya pemberontakan PKI tahun 1927 yang
melibatkan buruh tambang.
Bab keemam memcoba melihat posisi buruh setelah lebih
1 abad sejak digalinya batu bara Ombilin. Uraian pokok adalah
apakah mereka memperlihatkan peningkatakan kesejahteraan
atau malahan masih tetap seperti yang dulu nasibnya.

24
BAB II

PETA SOSIAL BUDAYA


MINANGKABAU
Dibalik Nageri nan elok
Alam nan permai
Menyimpan
Sejuta gurat
penderitaan manusia

A. Tinjauan Ekologis
Secara geografis Minangkabau yang terletak pada pantai
barat Pulau Sumatra dapat dibagi atas dua bagian, yaitu luhak
dan daerah rantau. Wilayah luhak meliputi tiga bagian, yaitu
Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluh
Koto. 1 Ketiga luhak itu berada di daerah pedalaman
Minangkabau dan terletak di sekitar lembah-lembah dan kaki
gunung. Dengan demikian terlihat bahwa ciri khas dari pola
permukiman yang didiami oleh penduduk Minangkabau

1
Masyarakat Minangkabau menamakannya ketiga luhak itu dengan sebutan
Luak Nan Tigo (Luhak yang Tiga). Dalam tambo Minangkabau, ketiga luhak
kini dianggap sebagai negeri tua dan cikal bakal dari akar kebudayaan
Minankabau tradisional. H. Datoek Toeah, Tambo Alam Minangkabau.
(Bukittinggi: CV Pustaka Indonesia) cetakan XIII, 1976, hlm.55—58.
adalah perkampungan di sekitar dataran rendah, pinggir
lembah, kaki bukit dan kaki gunung.2
Daerah yang berada di luar Luhak Nan Tigo dinamakan
sebagai daerah rantau.3 Perbatasan daerah rantau tidak dikenal
dalam budaya Minangkabau. Filosofi dasar adat Minangkabau
memperlihatkan bahwa daerah rantau tidak mengenal batas
dan tempat. Hal seperti ini terlihat dalam tambo adat
Minangkabau, yaitu “di mana kaki berpijak, di sana langit
dijunjung.”4 Hal itu bermakna bahwa setiap daerah yang
didatangi oleh perantau Minangkabau dapat saja mereka anggap
sebagai kampung halaman keduanya sehingga pergi merantau
sudah menjadi suatu keharusan bagi masyarakat Minangkabau,
terutama bagi kalangan mudanya. Dalam kenyataanya, hal
seperti ini akan terlihat banyak perantau Minangkabau pergi
meninggalkan kampung dengan berbagai motivasi, seperti
ekonomi, pendidikan, dan faktor sosial–politik.
2
Batasan yang tegas tentang batasan dari wilayah Minangkabau tidak ada.
Batasannya hanya akan dapat ditemukan dalam tambo. Pepatah-petitih dalam
tambo menyebutkan batasan Minangkabau, yaitu dari riak nan badabur, siluluk
punai mati, sirangkak nan badangkang, buayo putia daguak, taratak air hitam,
sikilang air bangis sampai durian ditakuak rajo. Datuk Batuah Sango, Tambo
Alam Minangkabau. (Payakumbuh: Percjetakan Lembaga, 1954), hlm. 10—12.
Sementara itu, batasan yang dirumuskan oleh W. Marsden menyebutkan bahwa
berbatasan sungai-sungai di Palembang dan sungai Siak, pada pulau-pulau bagian
timur, dan bagian barat antara Manjuta (dekat Indrapura) dengan Singkel.
Lebih jauh, lihat misalnya W. Marsden, The History of Sumatra. (Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1966), hlm. 333—334.
3
Ada enam unsur dalam melihat konsep merantau dalam budaya Minangkabau.
Keenam unsur itu adalah pertama, merantau dengan kemauan sendiri. Kedua,
pergi dari kampung. Ketiga, untuk jangka waktu lama atau tidak lama. Keempat,
dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu, atau mencari pengalaman.
Kelima, biasanya dengan maksud kembali pulang. Keenam, merantau sudah
menjadi lembaga sosial yang membudaya. Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi
Suku Minangkabau. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), hlm.
2—3.
4
Bahar Datuak Nagari Basa, Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau.
Pajakumbuh: Eleonora, 1966), hlm. 13.

26
Secara umum wilayah rantau (darek, secara harfiah berarti
‘darat’ atau dataran tinggi) dapat dibagi atas dua bentuk, yaitu
rantau pesisir dan rantau perdalaman. Ditinjau dari sudut rantau
tradisional, rantau pesisir meliputi sepanjang pantai barat Pulau
Sumatra, mulai dari utara Sumatra, yaitu Labuan Haji, Meulabuh,
Tapak Tuan, Singkel, Barus, Sibolga, Natal, Ujung Gading, Air
Bangis, Tiku, Pariaman, Padang, Painan, Balai Selasa, Terusan,
Air Haji, dan Bengkulu.5
Adapun yang termasuk rantau perdalaman (juga seringkali
dinamakan sebagai rantau hilir) meliputi bagian sebelah timur
Sumatra seperti Solok, Sijunjung, Sawahlunto, Kerinci,
Bangkinang, Pakanbaru, Taluk Kuantan, Jambi, Singapura, dan
Malaysia.6 Dalam perkembangan dewasa ini, batasan rantau
tidak lagi sekadar rantau perdalaman dan rantau hilir, tetapi
masyarakat Minangkabau pergi merantau ke berbagai wilayah.
Ditinjau dari keadaan alamnya, keadaan geografis
Minangkabau yang berbukit-bukit dan bergunung berada di
perdalaman, sedangkan daerah pantai relatif datar. Perbedaan
antara wilayah “darek” dengan wilayah “pantai” tidak hanya

5
Studi yang lebih spesifik tentang rantau pesisir ini dilakukan oleh seorang sarjana
Jepang, yaitu Tsuyoshi Kato. Tsuyoshi Kato melakukan studi tentang satu rantau
saja, yaitu rantau Pariaman. Lebih jauh lihat Tyuyoshi Kato, “Rantau Pariaman:
The Worid of Minangkabau Merchants in the Nineteenth Century”, dalam
Journal of Asian Studies, No. 4, Vol. XXXIX, Agustus 1980, hlm. 729-752.
6
Pada daerah tertentu mereka membentuk komunitas tersendiri sehingga
menjadikan daerah itu sebagai Minangkabau kecil. Contoh yang paling menarik
adalah Negeri Sembilan di Malaysia. Di Negeri Sembilan sebagai salah satu
wilayah rantau masyarakat Minangkabau, berbagai unsur kebudayaan
mempunyai banyak persamaan dengan Minangkabau, seperti Bahasa, adat
istiadat, sistem keluarga yang berbentuk matrilinial dan upacara-upacara adat.
Lebih jauh lihat misalnya, E. de Joselin de Jong, Minangkabau dari Nagari
Sembilan: Social-Political Structure in Indonesia. (Den Haag, Martinus Nijhoff,
1952), hlm. 20—25. Lihat juga misalnya Tsuyhosi Kato, Social Change in a
Centrifugal Society: The Minangkabau of West Sumatera. Disertasi Doktor
(New York: Cornell University), 1977, terutama bab III.

27
bersifat perbedaan geografisnya, namun juga terdapat perbedaan
dalam bidang lainnya, seperti mata pencarian dan kebudayaan.7
Perbedaan-perbedaan yang terdapat bukan saja antara
“darek dengan “pantai”, tetapi juga antara sesama daerah
“darek”. Perbedaan geogarafis juga mempengaruhi watak
masyarakat di daerah itu. Dalam melihat perbedaan ini, A.A.
Navis melukiskan perbedaan–perbedaan watak di wilayah
Luhak Nan Tigo dalam bentuk ungkapan, yaitu Luhak
Agam, buminya hangat, airnya keruh dan ikannya liar. Luhak
Tanah Data, buminya lembang, airnya tawar dan ikannya
banyak. Luhak Limo Puluh Koto, buminya sejuk, airnya
jernih dan ikannya jinak.8
Antara daerah “darat” dengan daerah “pantai” di
Minangkabau terdapat perbedaan yang mencolok. Secara
geografis daerah perdalaman pada umumnya berlembah-
lembah, berbukit-bukit, dan bergunung-gunung. Daerah darek
juga dilalui jajaran bukit yang membujur dari utara sampai

7
Sebutan daerah “darat dan pantai” sudah terdapat sejak zaman prakolonial.
Sebutan ini menjadi Padang Bovenladen untuk daerah pedalaman (darek) dan
Padang Benenlanden untuk daerah pantai. Pada masa prakolonial maupun
kolonial, dikotomi pantai dengan darat menggambarkan dua bentuk aktifitas
yang berbeda. Salah satu perbedaannya adalah penduduk darat bergerak dalam
aktifitas pertaniannya, sedangkan daerah pantai merupakan pusat lalu lintas
perdagangan. Lihat misalnya Kenneth R. Young, “Sistem Tanam Paksa di
Sumatra Barat: Stagnasi Ekonomi dan Jalan Buntu Dalam Politik”, dalam Anne
Both (ed.), Sejarah Ekonomi Indonesia. (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 136—146.
Perbedaan yang kuat antara darek dengan pantai seperti dalam perkawinan. Di
Pariaman, calon mempelai laki-laki dijemput (dibayar dengan uang, sesuai dengan
status sosial dan pendidikannya), sedangkan di pedalaman hal ini tidak berlaku.
8
Ungkapan ini menyatakan bahwa Luhak Agam sebagai gambaran dari penduduk
yang berwatak keras, panas, dan heterogen. Luhak Tanah Datar sebagai
gambaran dari penduduk yang tidak merata dan sebagai pusat Kerajaan
Pagaruyung. Luhak Lima Puluh Kota sebagai gambaran dari masyarakat yang
lebih bersifat homogen dan hidup penuh dengan kerukunan. A.A. Navis, Alam
Terkembang Jadi Guru. (Jakarta: PT Grafiti Pers, 1986). Hlm. 105.

28
selatan Pulau Sumatra, yaitu Bukit Barisan. Sebaliknya, daerah
pantai secara umum relatif datar.
Wilayah Minangkabau secara umum terdapat pada dataran
tinggi dan lembah-lembah. Wilayahnya penuh diliputi oleh
gunung ataupun bukit. Gunung utama di Minangkabau adalah
Gunung Merapi, Gunung Singgalang, Gunung Sago, Gunung
Tandikek, dan Gunung Pasaman. Jajaran Bukit Barisan juga
membentang dari utara sampai ke selatan di wilayah ini. Dengan
demikian, secara umum wilayah Minangkabau dikelilingi oleh
bukit-bukit dan gunung-gunung. Selanjutnya, juga terdapat
berbagai lembah yang dalam dan curam, seperti Lembah Anai,
Lembah Gumanti dan Lembah Alahan Panjang, Lembah Pato
dan Lembah Solok Singkarak. Lembah dan gunung itulah
wilayah yang melingkari daerah Minangkabau.
Berdasarkan kondisi alam yang demikian itu, masyarakat
Minangkabau secara umum membangun kehidupan dan
perkampungan di sekitar lembah-lembah, pada kaki bukit
ataupun kaki gunung. Gambaran seperti itu akan jelas terlihat
dari berbagai perkampungan yang terdapat di Minangkabau,
terutama pada Luhak Nan Tigo.
Menarik juga untuk dikemukakan bahasan yang dilakukan
oleh Christine Dobbin tentang perkampungan Minangkabau,
khususnya pada daerah lembah yang menjadi pusat daerah
permukiman di Minangkabau. Lembah-lembah yang menjadi
pusat permukiman masyarakat pedesaan Minangkabau terdiri
atas empat lembah di dataran tinggi, dalam pelukan Bukit
Barisan di satu titik yang mencapai lebar 50 mil dan menjadi
dua deretan pergunungan yang terpisah. Lembah pertama adalah
Lembah Agam di kaki Gunung Merapi dan Gunung Singgalang.
Lembah kedua adalah Lembah Tanah Data terletak di selatan
lembah, di sana Agam dipisahkan oleh kerucut Gunung
Merapi. Lembah ketiga adalah antara Singkarak hingga Solok

29
yang berada di sekitar Danau Singkarak. Lembah keempat
adalah Lembah Limo Puluh Koto yang membentang di sebelah
timur antara Gunung Sago dengan bukit-bukit yang terdapat
di sekitar gunung itu.9
Kehidupan masyarakat Minangkabau berkembang pada
daerah lembah. Mata pencaharian yang sesuai dengan
kehidupan masyarakat adalah pertanian yang mengandalkan
sawah dan ladang. Dataran luas berbentuk piring di lembah-
lembah dataran tinggi utama di Minangkabau sangat cocok
untuk budidaya padi. Pada dasar lembah-lembah itulah
kebudayaan Minangkabau berkembang.10
Ada sebuah ilustrasi yang menarik untuk dikemukakan,
terutama dalam melihat wilayah yang penuh dengan
pergunungan, perbukitan, dan lembah di Minangkabau, yaitu
Luhak Tanah Data. Melihat namanya, gambaran pertama yang
muncul adalah daerah luhak itu merupakan hamparan tanah
yang datar. Dalam kenyataannya, luhak yang bernama Tanah
Datar (sekarang menjadi nama Kabupaten Tanah Datar)
tidaklah sesuai dengan namanya.
Luhak Tanah Data sesungguhnya tidaklah sebuah
wilayah yang tanahnya datar, tetapi diliputi oleh bukit,
gunung, dan lembah. Beberapa gunung dan bukit yang
terdapat di Luhak Tanah Data adalah Bukit Seribu, Bukit Pato,
Bukit Gadang, Bukit Selo, Gunung Bungsu, Gunung Merapi,
Gunung Singgalang, Gunung Tandikek dengan lembah-
lembahnya, seperti Lembah Anai, Lembah Tabek Patah, dan
Lembah Pato, serta Lembah Singkarak. Dari gambaran yang
dikemukakan tersebut, wilayah Tanah Data sesungguhnya
dikelilingi oleh lembah, bukit, dan gunung. Pada akhirnya,
9
Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang
Berubah, Sumatra Tengah, 1784-47. (Jakarta: INIS, 1992), hlm. 3.
10
ibid., hlm. 14.

30
mengikuti kata yang dipakai untuk nama luhaknya, yaitu
Tanah Data sesungguhnya bertolak belakang dengan
kenyataan geografisnya.
Di wilayah Minangkabau juga terdapat banyak hulu
sungai. Sungai itu ada yang mengalir ke pantai barat dan juga
ke pantai timur Sumatra. Antara sungai yang mengalir ke
pantai barat dengan sungai yang mengalir ke pantai timur
pulau Sumatra terdapat perbedaan yang mencolok.
Perbedaannya adalah sungai yang mengalir ke pantai barat
Pulau Sumatra pada umumnya dangkal, airnya deras, dan
kecil, seperti Batang Antokan dan Batang Anai.11
Sungai yang mengalir ke pantai timur Pulau Sumatra pada
umumnya besar dan dalam. Contoh sungai yang seperti itu
adalah Batang Ombilin, Batang Sinamar, Batang Hari, Batang
Kuantan, dan Batang Kampar. Sungai yang mengalir ke pantai
barat pada umumnya tidak bisa dilayari kapal, tetapi sungai
yang mengalir ke pantai timur dapat dilayari kapal-kapal besar.12
Ditinjau dari fungsinya, sungai berfungsi sebagai sarana
transportasi yang amat penting di Minangkabau. Sebagai sarana
transportasi, baik pada masa prakolonial maupun kolonial
Barat, sungai menjadi sarana transportasi yang menghubungkan
daerah perdalaman Minangkabau dengan dunia luar.
Sungai-sungai itu juga sebagai jalur transportasi utama
untuk mencapai daerah rantau, terutama dengan tujuan rantau
hilir, seperti Taluk Kuantan, Rengat, Jambi, Singapura, dan
Malaysia. Bahkan, pada saat berlangsungnya sistem tanam
paksa di Minangkabau, penyelundupan kopi oleh pedagang

11
ibid., hlm. 55—60.
12
Beberapa sungai yang dapat dilayari oleh kapal-kapal dalam ukuran besar
adalah Batang Kuantan, Batang Hari, Batang Kampar dan Sungai Siak. ibid.,
hlm. 62—68.

31
pribumi menggunakan jalur-jalur sungai itu. Barang
selundupan itu kemudian dijual sendiri ke Singapura.13

B. Tinjauan Sosial
Etnik terbesar yang medalami daerah Sumatra Barat adalah
Minangkabau.14 Sebelum kedatangan Belanda ke Minangkabau,
orang asing yang menetap di Minangkabau sedikit sekali
jumlahnya. Mereka yang datang pada umumnya adalah
pedagang dari Aceh, Arab, dan India. Mereka hanya singgah
sementara di berbagai pelabuhan pantai barat Minangkabau,
seperti di Tiku, Sasak, Air Bangis, Indrapura, Pariaman, dan
Padang.15 Di pelabuhan-pelabuhan tersebut orang Minangkabau
melakukan interaksi dengan pendatang yang berasal dari
berbagai etnik. Persentuhan dengan etnik lain menjadi penting,
terutama dalam tumbuhnya dinamika sosial dalam masyarakat
Minangkabau.
Kedatangan Belanda dengan berbagai bidang usaha yang
dilakukannya di Minangkabau membawa sejumlah pendatang
baru dari luar. Mereka umumnya bekerja sebagai buruh, seperti

13
Penyeludupan kopi pada masa sistem tanam paksa ini disebabkan harga kopi di
Singapura lebih tinggi dibandingkan dengan harga kopi di pantai barat yang
dikelola oleh Belanda. Hal itu membuat pedagang kopi menyeludupkan kopi ke
Singapura. M.D. Mansur, Sedjarah Minangkabau. (Djakarta: Bharatara, 1970),
hlm., 160.
14
Dari hasil sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 1930, jumlah penduduk
Minangkabau yang berada di Minangkabau dan yang berada di berbagai daerah
rantau adalah 1.928.332 orang. Dari jumlah itu tidak termasuk perantau yang
bersifat menetap di berbagai tempat. Perantau yang telah lama menetap di pantai
barat dan barat daya Aceh berjumlah 350. 000 orang (Penduduk Aceh
menamakan orang Minangkabau ini dengan sebutan Anak Jamee), di Negeri
Sembilan terdapat 200.000 orang, di barat Tapanuli 28.000 orang Minangkabau
dan Kerinci berjumlah 70.000 orang. Angka-angka ini dikutip oleh Mochtar
Naim dari Volkstelling, 1930, hlm. 162 sgg: V, hlm. 25. Lebih jauh lihat
Mochtar Naim , op. cit., hlm. 31.
15
Tsuyoshi Kato, op. cit. , hlm. 730—740.

32
buruh pada tambang emas Salido di Pesisir Selatan, buruh
perkebunan tembakau di Halaban, buruh teh di Kayu Aro
Kerinci dan buruh tambang batu bara Ombilin di Sawahlunto.16
Buruh-buruh pada perkebunan dan pertambangan secara
umum didatangkan dari Jawa. Mereka didatangkan sebagai buruh
kontrak maupun sebagai buruh paksa. Para buruh diikat untuk
bekerja dalam suatu kontrak, yaitu sebagai buruh kontrak,
sedangkan buruh paksa berasal dari orang-orang hukuman.
Buruh paksa bekerja tidak melalui ikatan kontrak, tetapi direkrut
dari penjara-penjara dan dipekerjakan secara paksa.17
Etnik lain yang bermukim di Minangkabau adalah orang
Cina dan orang Keling/India. Etnik Cina pada umumnya
tinggal kota-kota besar, seperti Padang, Batu Sangkar,
Bukittinggi, Payakumbuh, Solok, Padang Panjang, dan
Sawahlunto. Sebagaimana umumnya, mereka mempunyai
mata pencaharian sebagai pedagang.18 Orang Keling atau or-
ang India juga terdapat di beberapa kota di Minangkabau,
seperti Padang, Batu Sangkar, Bukittinggi, dan Padang
Panjang. Mata pencaharian pokok mereka tidak berbeda

16
Sebagai contoh buruh tambang emas di Salido, perusahaan Kinandam yang
mengelola tambang itu mendatangkan buruh dari Jawa. Lihat misalnya,
“Kinandam-Sumatra Mijnbouw Maatschappij”, dalam Verslag der Directie en
van den raad van Commissariees over het Veertiende Boekjaar 1924. (Amsterdam:
J.H. de Bussy, 1925), hlm. 16. Dalam
laporan itu dikatakan bahwa terdapat sebanyak 375 buruh kontrak yang berasal
dari Kerinci, Jawa, dan Cina.
17
Tentang perekrutan buruh untuk bekerja pada perkebunan dan pertambangan
yang didatangkan dari luar Minangkabau, lihat misalnya S. Stibe, “Werkvolk
ter Westkust van Sumatra”, dalam Indische Gids, 6—11. (Amsterdam: J.H. de
Bussy, 1884), hlm. 697 – 699.
18
Orang Cina di Sawahlunto umumnya berasal dari mantan buruh tambang batu
bara Ombilin. Orang Cina hidup sebagai pedagang. Henry T. Damste “Als
Jong Controleur in Sijunjung, dalam Haagsc Maanblad, Maret, 1928, hlm .
212—215.

33
dengan orang Cina, yaitu berdagang.19 Dalam konteks ini akan
menarik untuk membicarakan masalah dinamika sosial
masyarakat Minangkabau, terutama kaitannya dengan orang
Minangkabau yang bekerja sebagai buruh pada tambang batu
bara Ombilin.
Masalah dinamika sosial masyarakat Minangkabau itu
berkaitan erat dengan pengerahan buruh tambang batu bara
Ombilin. Persoalan itu sudah muncul sejak dekade pertama
pembukaan tambang batu bara Ombilin. Pada awal pengerahan
buruh tambang dari penduduk Minangkabau yang mendiami
sekitar areal penambangan, penduduk setempat merasa enggan
untuk menjadi buruh tambang. Keengganan itu berkaitan erat
dengan masalah sosial masyarakat Minangkabau, terutama
karena anggapan bahwa menjadi buruh tambang merupakan
sebuah pekerjaan yang hina.
Keengganan masyarakat bekerja sebagai buruh kemudian
diperkuat pula oleh kuatnya kontrol sosial masyarakat.
Kekuatan-kekuatan utama yang mengontrol kehidupan
masyarakat adalah Islam dan adat Minangkabau. Agama Islam
lebih cenderung mengontrol masalah moral dan kehidupan
beragama, sedangkan adat mengontrol kehidupan sosial.
Walaupun demikian, pemisahan secara tegas kontrol sosial itu
sulit berjalan karena pada kasus-kasus tertentu kontrol
dijalankan oleh keduaya. Dalam konteks ini, kontrol sosial
adatlah yang lebih kuat.
19
Hampir semua kota kabupaten dan kota madya di Sumatra Barat terdapat
penduduk Cina dan Keling. Hanya di Padang Pariaman yang tidak terdapat
penduduk Cina. Hal ini sebagai akibat dari gerakan anti Cina pada tahun 1946.
pada peristiwa itu, hampir seluruh etnis Cina di Pariaman mati terbunuh oleh
penduduk setempat. Pada kota-kota besar, seperti Padang, Bukittinggi, Batu
Sangkar, Solok merupakan kota-kota yang didiami oleh etnik Cina dan India/
Keling. Kehadiran mereka di kota itu ditandai dengan terdapatnya beberapa
perkampungan dalam kota sesuai dengan etnik, seperti Kampung Cina, Kampung
Keling, dan Kampung Jawa. Tsuyhosi Kato, op. cit., hlm. 40—45.

34
Dalam realitas keseharian, kontrol sosial yang terkuat
terutama berasal dari suku. Masyarakat Minangkabau,
terutama yang tinggal di perdesaan, memiliki ikatan yang kuat
secara kesukuan sehingga setiap penyimpangan dari tatanan
nilai yang ada menumbuhkan kontrol yang kuat.20 Kontrol
sosial akan berlaku terhadap setiap anggota suku dalam
kehidupan keseharian masyarakat. Masyarakat akan lebih
kritis terhadap setiap penyimpangan yang dilakukan oleh
setiap anggota masyarakat.
Setiap penyimpangan yang dilakukan oleh seorang
anggota suatu suku akan ditanggung oleh suku itu secara
keseluruhan. Dalam kodisi itu, akibatnya bukan saja terhadap
pribadi yang melanggarnya, tetapi mencemarkan nama
sukunya secara keseluruhan.21 Misalkan seorang anggota suku
Piliang dari Negari Kubang yang menjadi buruh tambang batu
bara Ombilin, yang dianggap sebagai pekerjaan rendah oleh
masyarakat, maka seluruh suku Piliang di Nagari Kubang
akan turut merasa tercemar oleh tindakan yang dilakukan
anggotanya itu. Persoalan seperti itulah yang membuat
masyarakat di sekitar areal pertambangan menjadi tidak
bersedia untuk bekerja sebagai buruh tambang batu bara
Ombilin Sawah Lunto.
Keengganan masyarakat Minangkabau bekerja sebagai
buruh tambang tidak statis, tetapi lebih bersifat dinamis.
Masyarakat sekitar tambang memang tidak bersedia menjadi
buruh, namun akan berbeda dengan orang Minangkabau
yang berasal dari luhak-luhak lainnya.

20
D.G. Stibbe, “Het Soekeo-Bestuur in der Padangsche Bovenlanden”, dalam
Tijdschrift Nederlandsch Indie. (Zal Bommel bij Jon Noman en Zoon, 1869),
hlm. 30—40.
21
L.C. Westenank, Het Soekoe-Wezen. (Leiden: S. Gravenhage Martinus Nijhoff,
1918), hlm. 68—69.

35
Dengan berbagai pertimbangan mereka mengambil
pekerjaan itu sebagai sumber pendapatan. Penduduk asli
Minangkabau yang berada jauh dari areal tambang akan tetap
saja bersedia menjadi buruh, terutama jika kondisi-kondisi
tertentu mendorongnya untuk menjalani pekerjaan itu.
Perubahan dalam diri masyarakat akan terjadi ketika ia berada
jauh di luar jangkauan kontrol sosial sukunya. Kontrol sosial
masyarakat sangat tergantung dari jauh dekatnya seseorang
berada dari sukunya. Semain dekat ia dari kaumnya, semakin
tinggi pula kontrol sosial yang diterimanya. Sebaliknya,
semakin jauh ia dari kampungnya, maka semakin tipis pula
kontrol sosial dari sukunya. Dalam kondisi yang demikian
itulah peranan rantau menjadi penting dalam menumbuhkan
dinamika sosial bagi masyarakat Minangkabau di perantauan.
Contoh yang menarik dari kasus buruh tambang batu bara
Ombilin adalah seorang penduduk dari Kubang yang terletak
di Sawahlunto tidak akan mau menjadi buruh karena ia berada
dalam jangkauan kontrol sosial sukunya. Namun, seorang
penduduk Suliki di Luhak Limo Puluh Koto bersedia menjadi
buruh tambang karena ia telah berada di luar jangkauan kontrol
sosial sukunya.
Dinamika sosial dalam masyarakat Minangkabau akan
muncul secara lebih kuat setelah mereka pergi merantau.
Bahkan, jika satu keluarga pergi marantau, hal itu
menimbulkan perubahan yang tajam dalam struktur sosial
masyarakat. Di rantau mereka tidak saja melepaskan diri dari
kontrol sukunya, bahkan peranan tatanan keluarga matrilin-
eal dalam masyarakat Minangkabau bergeser menjadi patrilin-
eal. Artinya, jika peranan mamak yang selama ini menentukan
dalam keluarga di kampung, di perantauan peranan mamak
(saudara ibu) itu menjadi hilang dan kemudian digantikan oleh

36
peranan ayah.22 Gambaran perubahan semakin jelas jika kita
memahami terlebih dahulu sistem kekerabatan yang berlaku
dalam masyarakat di Minangkabau.
Untuk memahami sistem sosial masyarakat dalam
masyarakat Minangkabau, kajian ini akan mengacu pada
bentuk sistem kekerabatan yang mereka miliki. Minangkabau
memiliki susunan kekerabatan dalam bentuk sistem matrilin-
eal. Sistem masyarakat yang bercorak matrilineal mempunyai
ciri khas yang berbeda dengan sistem patrilineal. Dalam melihat
sistem itu di Minangkabau, Josselin de Jong merumuskan
delapan ciri sistem matrilineal, yaitu pertama, keturunan
menurut garis ibu. Kedua, suku terbentuk menurut garis ibu.
Ketiga, perkawinan harus ke luar suku (suku Minangkabau
yang berbeda). Keempat, balas dendam adalah kewajiban
seluruh kaum. Kelima, kekuasaan secara teoretis berada di
tangan ibu walaupun dalam praktiknya jarang dilaksanakan.
Keenam, yang memegang kekuasaan dan harta warisan di
dalam keluarga adalah mamak (saudara laki-laki dari ibu).
Ketujuh, dalam perkawinan, suami harus tinggal di rumah istri.
Kedelapan, pembagian harta warisan diturunkan dari mamak
kepada anak dari saudara perempuannya (kemenakan).23
Dalam bentuk yang lebih spesifik, Hamka merumuskan
sembilan ciri khas sistem matrilineal yang terdapat di
Minangkabau. Sembilan ciri itu adalah pertama, tersusun atas
dasar garis keturunan ibu. Kedua, yang menjadi pimpinan
tertinggi dalam rumah tangga adalah nenek perempuan.
Ketiga, harta benda diusahakan dan dicari untuk memperbesar

22
Tyuyhosi Kato, Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions
in Indonesia. New York: Cornell University Press, 1982, hlm. 45—70.
23
Jossellin de Jong, op.cit., hal. 84. Lihat juga misalnya, M. Radjab, Sistem
Kekerabatan di Minangkabau. (Padang: Center Minangkabau Study Press,
1969), hlm. 17.

37
harta suku. Keempat, hasil usaha dan pencaharian seorang
laki-laki adalah untuk kemenakannya. Kelima, suami tidak
memiliki kewajiban untuk memberi nafkah lahir kepada istri
dan anak-anaknya. Keenam, penghulu hanya berkuasa
menjaga harta kaum dan memeriksa penggunaan serta
pengurusannya dengan pihak luar. Ketujuh, mamak-mamak,
tungganai-tungganai dan penghulu tidak memiliki hak untuk
membawa hasil harta kaumnya ke rumah istrinya. Kedelapan,
sumando (suami di rumah keluarga istri) tidak boleh ikut
campur tangan dalam urusan di rumah istri. Kesembilan, bila
seorang anak akan dikawinkan oleh mamak atau oleh
tungganai dan penghulu, maka si sumando hanya diberi tahu
saja tentang perkawinan anak kandungnya sendiri.24
Dalam pola hubungan yang bercorak matrilineal,
hubungan sosial akan terasa unik. Contoh yang menarik adalah
pola hubungan seorang anak dengan ayahnya. Dalam
perkawinan misalnya, dalam pola patrilineal bapak merupakan
kepala dalam keluarganya sehingga bapaklah yang
mengawinkan anaknya. Sebaliknya, dalam sistem matrilineal
yang diterapkan di Minangkabau, bapak hanya diberitahu saja
tentang perkawainan anaknya tanpa dilibatkan lebih jauh dalam
urusan perkawinan itu. Peranan bapak dalam perkawinan
anaknya terbatas dalam akad nikah saja. Hal itu disebabkan
alasan sah atau tidaknya sebuah perkawinan dalam hukum Is-
lam adalah bapak kandung atau saudara laki-laki kandung dari
mempelai wanita itu sendiri yang mengawinkannya.25 Setelah
ijab kabul berjalan, urusan rumah tangga selanjutnya diurus
oleh kaum dari pihak perempuan itu.

24
Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. (Djakarta: Firma Tekad,
1986), op. cit., hlm. 33—34.
25
A.A. Navis, (1986), op. cit., hlm. 211—213.

38
Akibat langsung dari sistem matrilineal itu adalah seorang
laki-laki di Minangkabau tidak mempunyai hak, kewajiban,
dan kedudukan dalam rumah tangganya sendiri. Hal ini amat
bertentangan dengan pola hubungan patrilineal yang terdapat
dalam ajaran Islam yang juga berpengaruh kuat di
Minangkabau. Dalam ajaran Islam, yang menjadi kepala
rumah tangga adalah seorang suami, bukan mamak sehingga
terdapat pertentangan di antara dua pola itu.26
Dalam kehidupan keseharian, suami hanya tinggal rumah
istrinya pada malam hari. Pada siang hari, ia tinggal di luar
mungkin di rumah orang tuanya dan mengurus harta kaumnya.
Ia sesungguhnya tidak benar-benar hidup dengan keluarganya.
Dilihat dari segi tanggung jawab sebagai seorang bapak, seorang
suami tidak bertanggung jawab untuk menghidupi istri dan anak
kandungnya sendiri.
Kondisi sosial seperti itu berubah secara total jika seorang
atau satu keluarga pergi merantau. Selama di perantauan, dengan
sendirinya mereka melepaskan diri dari ikatan matrilineal yang
berlaku dalam masyarakat di Minangkabau. Ciri khas yang
tertinggal sebagai masyarakat yang menganut pola matrilineal
adalah seorang anak yang terlahir masih mengikuti suku ibu,
sedangkan semua ciri khas matrilineal lainnya berubah menganut
pola patrilineal.27 Beberapa perubahan terjadi dalam kehidupan
berumah tangga misalnya, segala tanggung jawab terhadap anak
bukan lagi menjadi tanggungan mamak, tetapi menjadi
tanggungan bapak. Pola keluarga mamak-ibu-anak berubah
menjadi ayah-ibu-anak.
26
Hal in merupakan salah satu sebab banyaknya laki-laki Minangkabau pergi
merantau karena di rumah sendiri tidak memiliki peran, hak, dan tanggung
jawab. Laki-laki di rumah istrinya tidak ubahnya seperti abu di atas tunggul saja,
yang setiap waktu bisa diterbangkan angin. Lebih jauh lihat Mochtar Naim, op.
cit., hlm. 266—270.
27
Tsuyhosi Kato, op. cit., hlm. 40—60.

39
Perubahan juga terjadi dalam masalah bidang mata
pencaharian. Jika sebelumnya menjadi buruh tambang
merupakan pekerjaan yang hina, namun tuntutan ekonomi
membuat mereka harus memasuki bidang itu. Tidaklah
mengherankan jika mereka yang bekerja sebagai buruh
tambang adalah orang Minangkabau yang berasal dari
berbagai tempat di Luhak Limo Puluh Koto, Luhak Tanah
Data, dan Pasaman yang berada di luar jangkauan kontrol
sosial kaumnya.
Perubahan tidak hanya dalam bidang mata pencaharian,
tetapi juga terjadi dalam bidang sosial lainnya, seperti
perkawinan. Menurut tradisi, perkawinan dengan orang luar
kampung merupakan suatu pencemaran nama baik bagi
sukunya. Aib akan semakin besar menimpa suatu suku jika
seorang anggota suku kawin dengan orang yang berada di
luar etnik Minangkabau. Ada berbagai faktor yang
menyebabkan dilarangnya perkawinan campuran. Misalnya
adalah pandangan pentingnya asal-usul suatu keluarga,
masalah agama, dan menyangkut masalah harta warisan.
Larangan perkawinan antaretnik itu kemudian banyak juga
dilanggar oleh masyarakat Minangkabau. Pelanggaran yang terjadi
terutama bagi mereka yang pergi merantau. Di rantau, mereka
mengadakan perkawinan dengan orang yang berasal dari etnik
lain. Dalam konteks ini banyak berlangsung perkawinan
antarsuku bangsa pada buruh tambang batu bara Ombilin
Sawahlunto. Perkawinan seperti itu menjadi suatu persoalan
besar dan dianggap tabu dalam masyarakat Minangkabau.

C. Kondisi Ekonomi
Perubahan sosial yang terjadi di Minangkabau juga diikuti
oleh perubahan dalam bidang ekonomi. Jika selama ini
penduduk bergerak dalam sektor pertanian, dengan adanya

40
berbagai kesempatan bidang pekerjaan baru, mereka juga
bersedia memasukinya. Berbagai alternatif bidang pekerjaan
baru dimasuki penduduk Minangkabau. Beberapa bidang
kerja yang dimasuki penduduk yang cukup menonjol adalah
menjadi buruh perkebunan dan buruh pertambangan.
Perubahan bidang pekerjaan itu sesungguhnya tidak terlepas
dari kondisi ekonomi yang dihadapi penduduk Minangkabau.
Untuk melihat perubahan dalam bidang ekonomi, maka akan
dapat dilihat kondisi ekonomi penduduk Minangkabau.
Secara umum, penduduk perdesaan Minangkabau
bermukim di daerah dataran rendah dan perbukitan.28 Penduduk
mempunyai mata pencaharian pokok sebagai petani. Sektor
pertanian yang dikerjakan penduduk Minangkabau adalah
bersawah. Sawah yang terdapat di pedalaman Minangkabau
secara umum berjenjang-jenjang pada daerah dataran tinggi dan
tanah yang tidak datar. Sawah dibuat di kaki bukit, pinggang
bukit, dan kaki gunung, maupun di pinggir lembah. Daerah yang
paling utama menghasilkan padi sebagai komoditas perdagangan
adalah Lintau, Solok, dan Tanah Datar.
Sawah mempunyai arti penting dalam masyarakat
Minangkabau. Arti penting itu dapat ditinjau dari segi ekonomi,
terutama masyarakat yang hidup dalam pertanian. Dalam
masyarakat pertanian, tanah merupakan sumber produksi dan
kekayaan utama. Oleh sebab itu, tanah dijaga karena pemiliknya
mendapat prestise yang tinggi dan penghargaan di mata
masyarakat. 29 Hal itu juga berlaku dalam masyarakat
Minangkabau, yaitu tanah menjadi harta pusaka yang harus
dipelihara secara bersama.

28
Masyarakat yang bertempat tinggal di perbukitan, dalam bahasa Minangkabau
wilayah permukiman itu dinamakan di ate koto (di atas bukit).
29
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani di Banten 1888. (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1984), hlm. 56.

41
Dalam tinjauan hukum adat Minangkabau, tanah, terutama
sekali sawah, termasuk dalam kategori pusaka tinggi. Pusaka
tinggi merupakan pusaka yang didapatkan secara turun-temurun
oleh satu keluarga atau satu kaum.30 Sebagai harta yang bersifat
tinggi, sawah harus dijaga sedemikian rupa sehingga
keberadaannya akan menentukan nama baik dari kaumnya.
Sawah yang berasal dari pusaka tinggi tidak boleh di-
perjualbelikan. Hanya pada kondisi yang sangat mendesak
harta pusaka tinggi dapat digadaikan. Adapun kondisi yang
dianggap mendesak karena tidak ada jalan lain untuk
mendapatkan biaya selain dibolehkan menggadaikan harta
pusaka tinggi adalah mayat terbujur di atas rumah, perawan tua
yang belum mendapatkan suami, rumah gadang yang bocor, dan
menegakkan penghulu (jenasah yang belum dapat dikuburkan,
perempuan yang masih gadis tetapi belum juga memperoleh
jodoh, rumah induk/kaum yang mengalami kerusakan, dan
mengukuhkan jabatan penghulu).31
Hasil utama dari sektor pertanian di Minangkabau adalah
padi. Hampir seluruh wilayah perdasaan di Minangkabau
memiliki lahan persawahan. Persawahan itu berupa tanah
hujan. Untuk peningkatan produksi beras, pemerintah
membantu pembuatan irigasi. Peraturan pemerintah untuk
perbaikan irigasi kemudian diwujudkan melalui “Plakaat

30
Selain pusaka tinggi ada juga pusaka rendah. Pusaka rendah adalah harta
pencaharian selama satu keluarga menjadi suami istri. Hamka, “Adat
Minangkabau dan Harta Pusakanya”, dalam Mochtar Naim (ed.), Menggali
Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. (Padang: Centre of
Minangkabau Study, 1968), hlm. 60—65.
31
Menurut adat Minangkabau, harta pusaka tinggi sawah tidak boleh
diperjualbelikan. Namun, dalam realitasnya hal itu sering kali menjadi sumber
perselisihan dalam keluarga. Amir Syarifiddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. (Jakarta: Gunung Agung, 1984),
hlm. 223.

42
Sawah”.32 Plakaat Sawah dicoba dijalankan oleh pemerintah
kolonial Belanda dengan menjalin kerja sama dengan para petani.
Dalam kerjasama itu, pemerintah lebih banyak menggunakan
jasa elite tradisional setempat, yaitu penghulu, untuk
mengadakan pendekatan kepada petani. Dapat dikatakan
bahwa penghulu merupakan perpanjangan tangan pemerintah
kepada petani. Kerjasama dalam pembuatan irigasi itu kemudian
membawa dampak positif dan dibuktikan dengan terjadinya
peningkatan produksi beras.33
Sawah tidak hanya dikerjakan oleh penduduk setempat,
tetapi juga dikerjakan oleh penduduk yang berasal dari daerah
lain. Contoh yang menarik adalah sawah yang terdapat di
Nagari Koto Gadang. Sawah yang terdapat di Koto Gadang
tidak dikerjakan oleh penduduknya, tetapi lebih banyak
dikerjakan oleh penduduk sekitarnya, terutama dari Balingka.34
Bagi orang Balingka, status mereka dalam penggarapan sawah
itu adalah sebagai buruh sawah di Koto Gadang. Gambaran
kehidupan seperti ini tidak hanya di Nagari Koto Gadang, tetapi
juga banyak terdapat di nagari lain.
32
Tentang Plakaat Sawah, lihat misalnya K.F. Holle, Bahwa ini Soeatoe Peringatan
Menjatakan Haak Bertanam Padi. (Batavia: 1910), hlm. 12—15. Lihat juga misalnya
W. Frijling, “Bestuurs-Controle op de Inlandsche Rijstcultuur ter Sumatra’s
Westkust”, dalam TBB, 52, 1912, hlm. 94—97.
33
Erwiza Erman, “Produksi Beras dan Kontrol Pemerintah Kolonial Belanda di
Sumatra Barat, dalam Jambatan, Tijdschrift voor de Geschiedenis van Indonesia.
Jaargaang, 7, Nummer 3, 1989, hlm. 17—19.
34
Di penghujung abad XIX, penduduk Koto Gadang mulai banyak memasuki
bidang baru, yaitu dunia pendidikan. Konsekuensi dari perubahan itu adalah sawah
sebagai bidang pekerjaan tradisional mulai ditinggalkan dan mereka memasuki
dunia pendidikan. Untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh penduduk
Koto Gadang, maka berdatanganlah penduduk dari desa sekitarnya untuk
mengerjakan sawah tersebut. Status mereka adalah sebagai buruh dengan
pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan. Model pembagian keuntungan
yang lazim dalam masyarakat Minangkabau adalah “mampaduai”, yaitu bagi dua
dari hasil panen. Lihat K.A. James, “De Nagari Koto Gadang”, dalam Tijdshrift
Binnenlandsch Bestuur No. 49. (Batavia, 1915).

43
Mereka yang bersedia menjadi buruh umumnya berasal
dari daerah miskin. Ketidakberdayaan di negeri sendiri, seperti
lahan yang tidak subur dan tidak memiliki sawah yang digarap
kemudian mengharuskan mereka melakukan pekerjaan apa
pun juga di tempat lain. Dalam konteks seperti itulah berbagai
bidang pekerjaan yang dimasuki penduduk tidak lagi sebatas
bertani di tanah sendiri, tetapi juga mengerjakan sawah orang
lain, menjadi buruh perkebunan, dan buruh pertambangan.
Selain sawah, bidang garapan penduduk adalah
perkebunan. Areal perkebunan tidaklah seluas areal
persawahan di Minangkabau. Perkebunan yang bersifat
tradisional dikerjakan penduduk sebagai pekerjaan yang bersifat
sambilan saja. Hasil pokok perkebunan adalah pisang, kelapa,
dan ubi-ubian. Perubahan besar dalam bidang perkebunan
terjadi ketika Belanda memasuki pedalaman Minangkabau.
Sejak kedatangan Belanda di Minangkabau muncullah
perkebunan. Perkebunan terutama bersifat perkebunan
rakyat. Melalui sistem tanam paksa, pemerintah kolonial
Belanda mengintensifkan sistem ladang kopi yang telah dikenal
petani selama ini. Ladang-ladang kopi itu berbentuk
perkebunan rakyat yang terdapat di berbagai tempat di
Minangkabau. Ladang kopi diusahakan di daerah perbukitan
atau pergunungan. Berdasarkan kondisi lahan yang digarap di
Minangkabau yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung,
pemerintah menjadikan daerah ini sebagai areal yang sesuai
untuk budidaya kopi.
Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa di Minangkabau,
keadaannya tidak jauh berbeda dengan praktik sistem tanam
paksa di daerah lainnya, seperti di Jawa. Rakyat secara sukarela
maupun tidak dipaksa untuk menanam kopi di ladang-ladang
dan hutan yang terdapat di sekitar kampung mereka. Sistem
kerja yang dijalankan dinamakan rodi kopi. Dalam sistem kerja

44
rodi itu buruh bekerja tanpa bayaran dan biaya makan
ditanggung sendiri.35
Pada tahap awalnya, sistem tanam paksa berjalan lancar di
Minangkabau. Kelancaran itu disebabkan pengawasan yang ketat
dari pihak Belanda, terutama terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh petani. Setiap terjadi pelanggaran, mereka
mendapat ancaman senjata dan hukuman berat, sedangkan yang
ingkar didera dengan rotan dan digantung dengan kepala ke
bawah. Sistem tanam paksa semakin berkembang pesat terutama
berkat kerjasama antarpenghulu dan pemerintah kolonial
Belanda. Dengan demikian, sistem itu dapat berjalan sesuai
dengan perencanaan dan mampu meningkatkan produksi kopi.
Sementara itu, untuk membeli kopi dari petani dan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari para petani kopi, yang
mendapat hak untuk melakukan monopoli adalah perusahaan
dagang Belanda, yaitu Nederlandsche Handel Maattschappij.36
Selama berlangsungnya sistem tanam paksa kopi di
Minangkabau, terjadi berbagai kerugian bagi masyarakat
perdesaan. Ungkapan yang popular di mata masyarakat, yaitu
“Melayu kopi daun” sebagai gambaran kontradiksi antara
petani kopi dengan pihak Belanda.37 Ungkapan itu adalah suatu
gambaran bahwa biji kopi adalah untuk konsumsi orang-or-
ang Belanda, sedangkan petani pribumi hanya diperbolehkan
menikmati daunnya saja. Daun itu dikenal dengan air kawah,
yaitu daun kopi yang telah dikeringkan dengan sinar matahari.
Daun kopi yang telah kering itu dicampur dengan air panas
dan gula.

35
Kenneth R. Young, op. cit., hlm. 151.
36
ibid., hlm. 153—157. Lihat juga M.D. Mansoer, op. cit., hlm. 159.
37
Lebih jauh lihat misalnya, Mestika Zed, Melayu Kopi Daun Eksploitasi dalam
Sistem Tanam Paksa di Minangkabau Sumatra Barat. Thesis pada Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, 1983.

45
Dekade pertama penanaman kopi membawa hasil yang
baik bagi keuntungan Belanda. Manakala petani melihat
bahwa kopi dapat meningkatkan pendapatan, maka
berlomba-lombalah masyarakat untuk menanam kopi.
Artinya, sistem tanam paksa yang dijalankan Belanda juga
dimanfaatkan oleh petani untuk dapat mengeruk ke-
untungan. Hal ini dimungkinkan, sebab penanaman kopi di
Minangkabau dilakukan pada areal tanah penduduk dan tanah
ulayat sehingga kopi yang dihasilkan tidak begitu saja
diserahkan, tetapi rakyat menjualnya kepada Belanda.
Melihat harapan yang menguntungkan, terutama
kesempatan untuk meningkatkan taraf ekonomi petani dalam
sistem tanam paksa yang terbuka, pada tahap selanjutnya
penanaman kopi mendapat respons yang baik dari petani. Ada
tiga faktor yang membuat petani secara sukarela menaman
kopi. Pertama, harga yang ditetapkan cukup tinggi. Kedua,
penanaman kopi membutuhkan tenaga kerja sangat sedikit.
Ketiga, masyarakat turut serta dalam sistem perdagangan.
Pendapatan petani melalui perdagangan barter dan pendapatan
uang kontan merangsang selera mereka untuk bertanam kopi
di tanah yang dimiliki sendiri.38
Pada tahap awal, sistem tanam paksa tidak hanya
menguntungkan pemerintah Belanda, tetapi juga bagi
masyarakat Minangkabau. Kenneth R. Young mengemukakan
bahwa keuntungan kopi tidak saja dinikmati oleh pemerintah
Belanda, tetapi juga dinikmati oleh petani kopi. Hal itu
disebabkan oleh karakteristik paling awal dari bertanam kopi
adalah cukup hemat dalam jumlah tenaga kerja, tidak
menimbulkan kesukaran bagi penanamnya, spesialisasi rumah
tangga tidak ada, dan bahkan kopi juga ditanam bersama-sama
dengan usaha komersial lainnya. Ekologi wilayah pergunungan
38
Kenneth R. Young, op. cit., hlm. 153—156.

46
yang cocok dan harga kopi di daerah pantai lebih tinggi dari
yang diterima oleh petani dari pedagang kecil melahirkan
pedagang-pedagang kecil yang mengangkut kopi dari daerah
pergunungan ke pantai (Padang).39
Keuntungan yang diperoleh dari sistem tanam paksa
membuat masyarakat bergairah untuk mengembangkan
budidaya kopi. Didukung kondisi tanah dan alamnya, kopi
semakin banyak menghiasi ladang-ladang penduduk. Kopi juga
ditanam dalam bentuk pagar hidup di sekitar tempat tinggal
dengan jarak yang lebih dekat dari jarak yang disarankan,
yaitu antara 2 – 3 meter.40
Walaupun pada kurun waktu tertentu tanam paksa kopi
membawa keuntungan bagi petani, namun juga tidak dapat
dipungkiri bahwa sistem itu membawa kemelaratan bagi
petani. Pemaksaan untuk menanam kopi pada hutan-hutan
yang jauh dari permukiman petani merupakan bentuk
siksaan yang diterima petani. Hal itu merupakan salah satu
sebab menurunnya produksi kopi. Petani kopi memilih pergi
merantau untuk menghindari kerja rodi yang memaksa itu.41
Selama sistem tanam paksa berjalan di Minangkabau,
peredaran uang dan pasar sangat penting dalam jual-beli. Hal
yang menarik adalah terdapatnya sistem barter dalam dunia
perdagangan. Sistem barter itu kemudian lebih populer dalam
masyarakat dengan sebutan sistem “kopi-tekstil-garam-beras”,
yaitu barter antara keempat kebutuhan tersebut. Pola barter
yang berkembang secara umum itu dalam masyarakat
disebabkan oleh keberadaan keempat kebutuhan itu saling
berkaitan.42

39
ibid.
40
ibid. hlm. 150.
41
Mochtar Naim, op. cit., hlm. 79—81.
42
Kenneth R. Young, op. cit., hlm. 144—147.

47
Dalam penjualan kopi, petani mencari pembeli yang bukan
orang Belanda. Petani berusaha menjualnya kepada pedagang
lain dengan harga yang lebih tinggi. Dalam kondisi yang
demikian, terbukalah jalur perdagangan bagi petani, yaitu dengan
menjual kopi tidak hanya kepada pedagang Belanda, tetapi juga
menjualnya kepada orang India, Arab, dan Inggris.43 Persoalan
yang sesungguhnya adalah barang siapa yang mampu memberi
keuntungan yang tinggi, maka kepada pihak itulah hasil bumi
tersebut dijual.
Dalam proses penjualan, Belanda menjaga ketat penjualan
kopi dari pihak petani. Monopoli yang dilakukan dan tingkat
harga yang ditentukan secara sepihak oleh pedagang Belanda
membuat petani mencari alternatif lain untuk menjual hasil bumi
itu. Salah satu caranya adalah menyeludupkan kopi ke Singapura.
Jalan yang ditempuh untuk menyeludupkan kopi adalah melalui
jalur perdagangan tradisional Minangkabau, yaitu melalui sungai-
sungai yang mengalir ke pantai timur Sumatra.
Penyeludupan yang dilakukan oleh pedagang-pedagang
pribumi amat merugikan kepentingan pedagang Belanda di
Minangkabau. Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah
Belanda menjaga secara ketat penyeludupan kopi ke luar
Minangkabau. Walaupun sudah dijaga dengan ketat, tetap saja
ada yang lolos dari penjagaan Belanda. M.D. Mansur me-
ngemukakan, “Betapapun ketat penjagaan kompeni, sebagian
besar kopi lolos juga ke Singapura melalui sungai-sungai besar
dan melewati Selat Sumatra. Persoalan yang tak wajar ini
menimbulkan kemarahan pemerintah Belanda. Untuk
mengatasinya, pemerintah Belanda memblokir muara-muara

43
Delliar Noer, Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES, 1990, hlm.
12. Lihat juga misalnya Elizabeth Graver, The Ever Victorius Bufallo: How the
Minangkabau of Indonesia Solved Their Colonial Question. Disertasi Ph.D.
Wisconsin University, 1971, hlm. 50—60.

48
sungai besar di pesisir timur dan Selat Malaka. Cara ini tidak
efektif, terbukti biaya blokade sangat besar, sedangkan
penyelundupan tetap saja lolos dari penjagaan pemerintah
Belanda. Untuk memberantas penyelundupan kopi ke luar
Minangkabau, Pemerintah Belanda menempuh jalan lain, yaitu
mengadakan perjanjian dengan raja-raja pesisir timur pantai
Sumatra.”44
Hal yang menarik di Minangkabau adalah sepanjang sistem
tanam paksa berlangsung ternyata tidak ditemukan perkebunan
besar. Tanaman kopi lebih bersifat perkebunan rakyat yang
ditanam pada tanah kaum atau pada tanah ulayat. Kondisi itu
berkaitan erat dengan pola pemilikan tanah di Minangkabau,
yaitu tanah merupakan milik kaum sehingga kopi hanya
ditanam pada tanah kaum masing-masing.
Perubahan kebijakan penanaman kopi dari sistem
perorangan dengan inti perkebunan rakyat ke arah perkebunan
besar pada prinsipnya berlawanan dengan sistem hak
perorangan yang pada awal tanam paksa menimbulkan hasil
yang baik. Inti dari keterlibatan orang Minangkabau dalam
sistem tanam paksa adalah sistem penguasaan harta kekayaan.
Harta kekayaan merupakan suatu organisasi produksi dan
melalui hak-hak pemilikan itu tanah dapat dipergunakan oleh
perorangan secara bebas ataupun oleh satu keluarga.45 Namun,
ketika tanah dipakai secara kolektif untuk membuat sebuah
perkebunan besar, konteks itu bertentangan dengan pola
pemilikan tanah yang berlaku, yaitu tanah kaum atau tanah
ulayat. Berdasarkan alasan seperti itulah sistem tanam paksa di
Minangkabau berakhir pada tahun 1909.
Lahan pertanian tergolong sempit di Minangkabau. Di
daerah pedalaman Minangkabau, walaupun masyarakat pada
44
M.D. Mansoer, op. cit., hlm. 160—162.
45
Kenneth R. Young, op. cit., hlm. 162.

49
umumnya hidup dari pertanian pada kenyataanya lahan
pertanian yang dapat digarap sangat sempit. Di satu sisi tanah
kelihatan subur, namun pada sisi lain karena tanah yang
ditanami di kaki bukit, kaki gunung, dan lembah areal tanah
yang diusahakan itu sangat sempit.
Hal itu akan terlihat ketika berakhirnya sistem tanam paksa
ketika penanaman kopi di bukit-bukit dan gunung dibiarkan
begitu saja. Diperkirakan tanah yang dapat dijadikan sebagai
lahan pertanian hanya sekitar 35% saja dari lahan yang ada,46
sedangkan sisanya adalah daerah bukit, gunung, dan lembah
yang tidak dapat dijadikan sebagai areal persawahan. Dalam
konteks yang demikian itulah penduduk mencari pekerjaan
lain, yaitu sebagai pedagang.
Perdagangan merupakan salah satu mata pencaharian
pokok setelah pertanian. Mengkaji minat masyarakat
Minangkabau dalam dunia perdagangan akan menarik jika
dilihat melalui kacamata kebudayaannya. Berbagai faktor,
seperti eksistensi kaum lelaki dalam tatanan budaya
Minangkabau, membuat mereka harus meninggalkan kampung
untuk pergi merantau. Pepatah-petitih yang berbunyi karatau
madang dahulu, berbuah berbunga belum, ka rantau bujang
dahulu, di kampung berguna belum.47 Pada prinsipnya menyuruh
kaum mudanya untuk pergi merantau ke tempat lain
disebabkan mereka belum berguna bagi masyarakatnya.
Di rantau, mata pencaharian yang dimasuki oleh
masyarakat Minangkabau pada umumnya adalah berdagang.
Seorang perantau pemula akan berdagang menjadi seorang
pedagang kecil. Mereka biasanya menjualkan barang-barang

46
Lihat Sumatra Barat dalam Angka, 1971.
47
Lihat M. Nasroen, op. cit., hlm. 25.

50
orang lain dan mendapatkan keuntungan dari penjualan itu.48
Mengkaji watak Minangkabau terutama melihat perilaku
ekonominya, dapatkah hal ini disoroti dari pendekatan
pemikiran yang dilontarkan oleh Max Weber?49
Satu hal yang penting adalah bahwa antara agama dengan
sektor ekonomi mempunyai kaitan erat dalam kehidupan
manusia. Artinya, tindakan yang diambil oleh seseorang
dipengaruhi oleh ideologi atau ajarannya sehingga ketika or-
ang itu ikut dalam suatu kegiatan ekonomi, ia pun dipengaruhi
oleh ajaran agamanya.
Hubungan ekonomi dan agama terasa kuat setelah mereka
ikut dalam persaingan perdagangan. Mereka mencoba mencari
celah-celah dari dominasi kolonial Belanda. Taufik Abdullah
mengemukakan tinjauan sekilas tentang suku-suku di Indo-
nesia bahwa terdapat kesesuaian antara penghayatan agama
Islam dengan kegairahan dalam bidang ekonomi. Suku Banjar,
Aceh, dan Minangkabau menunjukkan adaptasi dalam bidang
ekonomi ketika sistem perekonomian didominasi oleh sistem
perekonomian kolonial di tangan orang-orang Belanda.50

48
Seorang pedagang pemula umumnya adalah pedagang kecil. Dagangan mereka
berupa barang-barang kelontong. Salah satu nagari yang khusus berdagang
kelontong adalah Kumango, Tanah Datar. Bahkan, daerah ini identik dengan
dagangan kelontongnya. Di Bukittinggi, pusat penjualan kelontong ini dinamakan
los atau pasar Kumango, di Medan pusat penjualan kelontong terletak di Jalan
Kumango yang memang diisi oleh pedagang kelintong dari Kumango. Lihat
Mochtar Naim, op. cit.
49
Dalam teori Weber dikemukakan bahwa terdapat kegairahan antara semangat
kapitalisme dengan etika Protestan, sedangkan tinjauan dalam konteks ini adalah
antara ajaran Islam dengan semangat berdagang yang diperlihat oleh Nabi
Muhammad SAW itu. Sejarah Nabi Muhammad SAW sendiri sesungguhnya
tidak jauh dari dunia perdagangan, terutama ketika mudanya ia sudah bergerak
dalam dunia perdagangan. Lebih jauh lihat Max Weber, The Protesttant Ethic
and Spirit of Capitalism. (New York: Charles Scribner’s Son, 1958).
50
Taufik Abdullah (ed.), Agama Ethos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. (Jakarta:
LP3ES, 1982), hlm. 2.

51
Dunia perdagangan dalam kacamata orang Minangkabau
merupakan mata pencaharian utama (selaian sebagai petani).
Bidang mata pencaharian itu sangat digemari oleh ma-
syarakatnya. Pemikiran dasar dalam bekerja itu adalah adanya
janji kesuksesan dan dalam berbagai hal lebih memiliki
kebebasan dibandingkan dengan pekerjaan sebagai pegawai.51
Syeid Husein Alatas mengemukakan bahwa selain faktor
agama, semangat migrasi serta mencari pekerjaan sebagai
pedagang dan bukan sebagai pegawai negeri adalah sebagai alasan
utama untuk pergi merantau.52
Bidang usaha lain yang dimasuki oleh masyarakat
Minangkabau, di antaranya, adalah usaha kerajinan tangan.
Pengrajin tangan yang terkenal adalah Pandai Sikek yang
menghasilkan tenunan, daerah Kubang, Silungkang terkenal
sebagai daerah industri tekstil. Pandai besi di Sungai Pua meng-
hasilkan alat rumah tangga, seperti pisau, parang, gergaji, dan
cangkul.53 Selain bidang pekerjaan itu, orang Minangkabau juga
memasuki bidang pekerjaan lainnya, seperti menjadi pegawai
negeri pemerintah Belanda, buruh, dan nelayan. Dalam konteks
adalah penting untuk mengkaji keterlibatan orang Minangkabau
yang bekerja sebagai buruh pada tambang batu bara Ombilin.

51
Ada semacam kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau
bahwa rezeki itu jatuhnya pada kaum pedagang. Hal ini bertitik tolak dari
pekerjaan Nabi Muhammad SAW semasa muda. Jika Nabi Muhammad SAW
sebagai panutan, semasa hidupnya ia juga sebagai pedagang sehingga dunia
daganglah yang banyak dimasuki. A.A.Navis, 91984), op. cit. hlm. 69.
52
S. Husein Alatas, “Thesis Weber dan Islam di Asia Tenggara”, dalam Taufik
Abdullah (1982), ibid. hlm. 152.
53
Akira Oki, “Catatan Mengenal Sejarah Industri Tekstil di Sumatra Barat”,
dalam Akira Nazagumi (ed.) Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang. Jakarta:
LP3ES, 1986), hlm. 116—128.

52
D. Dinamika Budaya
Dalam mengkaji masalah transformasi budaya di
Minangkabau, kata kunci untuk memahaminya adalah merantau.
Hal ini disebabkan bahwa para perantaulah yang membawa
berbagai perubahan tatanan nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Berdasarkan pengalaman para perantau, mereka menjadi
terbuka terhadap berbagai nilai yang diperoleh di perantauan
itu. Kelompok perantau itu berperan besar dalam me-
ngembangkan berbagai nilai ke Minangkabau.
Keterbukaan nilai yang dimiliki memudahkan masuk dan
berkembangnya berbagai nilai atau ideologi dari luar. Ideologi
yang masuk itu akan dapat diterima jika tidak bertentangan
dengan nilai adat dan ajaran Islam. Hal seperti ini akan terlihat
secara nyata dengan beragamnya nilai ataupun ideologi yang
datang dari luar yang merasuki wilayah kebudayaan
Minangkabau.54
Dalam perkembangan sebuah ideologi di Minangkabau,
sering terjadi pertentangan. Pada satu sisi, walaupun ideologi
atau organisasi itu belum tentu sesuai ataupun bertentangan
dengan filosofi adat Minangkabau, dengan pola kebebasan
dan keterbukaan yang terdapat dan dianut dalam nilai budaya
masyarakat mengakibatkan berlangsungnya sebuah konflik.
54
Beragamnya organisasi sosial, agama, dan politik dan dengan beragam pula
ideologinya dapat dilihat sebagai indikator terbukanya budaya masyarakat dari
pengaruh luar. Dalam sejarah Minangkabau akan ditemukan berbagai organisasi
dengan ideologinya masing-masing. Organisasi yang mempunyai ideologi Islam
dengan berbagai aliran, di antaranya adalah Muhammadiyah, Tarikat
Naqsyabandiyah, NU dan Tarbiyah Islamiyah. Ideologi nasionalis juga mempunyai
pengikut melalui PNI dan Perti. Ideologi komunis juga berkembang melalui Serikat
Islam Merah dan PKI. Lebih jauh lihat misalnya, Deliar Noer, “Yamin dan Hamka:
Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia”, dalam Anthony Reid (ed.), Dari Raja Ali
hingga Hamka. (Jakarta: Grafiti Press, 1983), hlm. 37—52. Lihat juga Elizabeth
Graves, The Minangkabau Respons to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth
Century. Cornell Modern Indonesia Project. (New York: Cornell University,
Ithaca New York, 1980), hlm. 29—50.

53
Konflik seperti ini diakui sebagai sebuah dinamika dalam
budaya Minangkabau. Masyarakat akan menerima lebih
mudah dan menyerap berbagai nilai asing setelah nilai-nilai
itu dapat melewati berbagai konflik dalam masyarakat.55
Salah satu hal yang menarik untuk dikaji dalam per-
kembangan budaya Miangkabau adalah eksistensi konflik
dalam masyarakat. Dalam masyarakat Minangkabau, konflik
menduduki tempat yang penting, terutama sebagai media
untuk mempertajam visi. Konflik itu menumbuhkan
dinamika dalam budaya masyarakat.56 Konflik biasanya
ditumbuhkan dengan berbagai cara, seperti melalui perbedaan
pemikiran dalam diskusi, debat, sikap hidup, dan pandangan
hidup. Perbedaan itu dengan sengaja direkayasa sedemikian
rupa sehingga menimbulkan suatu kompetisi dalam
masyarakat. Kompetisi itu dijalankan dengan nilai yang telah
berkembang dalam masyarakat maupun dengan nilai baru
yang berasal dari luar Minangkabau.
Ideologi yang datang dari luar ada kalanya sesuai dengan
nilai adat dan kadang sebagai sumber konflik. Bagi ideologi yang
tidak bertentangan dengan nilai adat yang telah berakar dan
berkembang sebelumnya, ia tidak akan menimbulkan konflik.
Namun, bagi ideologi yang bertentangan dengan nilai adat
Minangkabau, hal itu merupakan sumber konflik yang tidak
habis-habisnya dihadapi oleh elite maupun masyarakat di
55
A.A. Navis, (1986), op. cit., hlm. 7—12.
56
Taufik Abdullah “Adat dan Islam: Suatu Tinjauan tentang Konflik di
Minangkabau”, dalam Taufik Abdullah (ed.), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan
Historis Islam di Indonesia. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 126.
57
Walaupun adat Minangkabau dan Islam telah merumuskan suatu perjanjian yang
berbunyi “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”, dalam praktiknya
tetap saja banyak hal yang bertentangan. Pertentangan dapat saja menyangkut
masalah nilai dan praktik adat, seperti dalam perkawinan, dapat juga dalam bentuk
pemikiran. Abdul Aziz Saleh (ed.), Menelusuri Perjanjian Bukit Marapalam dan
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. (Padang: Pusat Penelitian
Unand, 1990), hlm. 25—40.

54
Minangkabau.57 Dalam memahami konflik itu, satu hal yang
perlu diperhatikan adalah makna konflik dalam kebudayaan
Minangkabau. Dalam budaya Minangkabau, perbedaan dari
berbagai nilai dalam masyarakat seperti itu merupakan hal yang
wajar dan alami.
Dalam masyarakat Minangkabau, konflik diakui sebagai
suatu nilai budaya. Konflik berguna dalam rangka
menumbuhkan dinamika masyarakat.58 Dengan demikian,
konflik dijaga dan dipelihara keberadaannya. Terpeliharanya
konflik akan dapat memicu masyarakat untuk lebih
berkompetisi dalam menghadapi berbagai persoalan yang
dihadapinya.
Watak dasar budaya masyarakat Minangkabau menganut
pemikiran konflik, sebuah konflik merupakan hal yang hakiki
dalam kehidupan masyarakat. Dalam dialektika Minangkabau,
konflik merupakan suatu kewajaran yang mutlak untuk
mengembangkan kepribadian setiap anggota masyarakat.
Hanya saja, yang penting untuk diperhatikan adalah konflik
haruslah dipahami berdasarkan visi budaya Minangkabau, yaitu
suatu sikap yang ingin berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan
yang dikembangkan itu diharapkan sebagai upaya untuk
memperkaya pemikiran dalam masyarakat.59
Bentuk penyelesaian konflik dapat dilakukan secara fisik
dan ada juga lewat dialog. Penyelesaian secara dialog adalah
melalui perundingan, sedangkan penyelesaian secara fisik
melalui kekerasan. Bentuk penyelesaian secara fisik sering juga
terdapat dalam sejarah Minangkabau. Mengikuti pemikiran
58
Taufik Abdullah (1987), op. cit., hlm. 104-107.
59
Menyimak tingkatan konflik seperti yang dirumuskan Robert Gurr, yaitu
turmoil, konpirasi, dan internal war, konflik di Minangkabau bukanlah dalam
bentuk yang demikian, tetapi lebih berbentuk konflik pemikiran. Lihat Alfian,
“Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian”, dalam Taufik Abdullah,
Manusia dalam Kemelut Sejarah. (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 45. Lihat juga
Robert Gurr, Why Men Rebel? Princeton University, 1971), hal.11-12.

55
tentang tingkatan konflik yang seperti dikemukakan oleh
Robert Gurr, dalam berbagai tingkatan kekerasan, seperti
turmoil, konpirasi dan internal war60 juga terjadi berbagai
tingkatan kekerasan dalam sejarah Minangkabau. Beberapa
perang di Minangkabau, seperti Perang Paderi, Perang
Kamang, Pemberontakan Silungkang, dan PRRI merupakan
bentuk penyelesaian pada tingkat kekerasan paling tinggi,
yaitu penyelesaian secara internal war.61 Hal ini biasanya
dilakukan manakala penyelesaian lewat perundingan atau pun
debat tidak tercapai, barulah penyelesaian konflik yang
berbentuk tindakan kekerasan berjalan.62
Walaupun kekerasan merupakan jalan keluar dalam
penyelesaian konflik, namun langkah itu merupakan jalan
akhir yang tak dapat dielakkan karena cara diplomasi tidak
dapat dijalankan. Namun demikian, nilai budaya lebih
mengutamakan penyelesaian setiap masalah melalui meja
perundingan. Melalui perdebatan inilah pemikiran seseorang
akan dapat dilihat. Media yang lazim sebagai ajang perdebatan
dalam masyarakat bersifat formal maupun informal. Sarana
yang lazim digunakan adalah pertemuan adat, acara
perkawinan, sekolah, surau, dan kedai kopi.63 Tempat-tempat

60
Robert Gurr, ibid., hlm.11.
61
Tentang Perang Paderi lihat misalnya, M. Radjab, Perang Paderi di Sumatra Barat
1803-1838. (Jakarta: Balai Pustaka, 1954). Tentang Perang Kamang lihat misalnya
Rusli Amran, Pemberontakan Pajak 1908. (Jakarta: PT Cita Karya, 1980).
62
Dalam sejarah buruh tambang batu bara Ombilin, pada tahap awal buruh masih
melakukan perjuangannya melalui perundingan dengan pihak tambang. Namun,
dalam perkembangan akhir, perundingan tidak ada lagi sehingga diselesaikan
dalam bentuk pemberontakan. Hal ini juga tidak terlepas dari strategi ajaran
komunis dalam rangka merebut kekuasaan. Regis Debray, Strategi for Revolution.
(New York and London: Monthly Review Press, 1969), hlm. 9—12.
63
Navis menyebutkan bahwa perdebatan dalam berbagai bidang di kedai kopi tak
ubahnya seperti perdebatan pada tingkat parlemen saja. Ungkapan ini menjadi
popular menjadi “DPR Kedai Kopi” yang memperdebatkan masalah dalam sampai
luar negeri. A.A. Navis, (1986), hlm. 8—10.

56
itulah yang menjadi media untuk mengasah keterampilan
berpikir bagi masyarakat.
Perbedaan yang berkembang dalam masyarakat akan
dapat menimbulkan berbagai konflik. Kedudukan konflik
diakui dalam masyarakat dan tidaklah mengherankan wilayah
yang kuat dengan adat dan agama ini melahirkan tokoh dari
berbagai aliran. Dalam sejarah Minangkabau dapat ditemukan
berbagai tokoh dari ideologi yang berbeda. Bahkan, sering
kali ditemukan ideologi yang berlawanan satu dengan yang
lainnya. Komunisme, misalnya, merupakan ideologi yang
secara jelas bertentangan dengan Islam. Namun demikian,
dalam realitasnya ideologi itu memiliki tokoh dan pengikut
yang cukup banyak di Minangkabau. Datuak Batuah dan Tan
Malaka merupakan tokoh komunis yang berhasil
mengembangkan ideologinya di Minangkabau.64
Konflik yang sering dihadapi oleh masyarakat
Minangkabau adalah konflik antara agama Islam dan adat
Minangkabau. Makna konflik antara nilai adat dengan ajaran
Islam tergambar secara jelas seperti yang dikemukakan oleh
Bousquet. Bousquet dalam melihat konflik antara adat dengan
agama Islam menyatakan bahwa Ranah Minangkabau sebagai
daerah yang kuat dengan ajaran adatnya, tetapi mengalami
proses Islamisasi yang sangat dalam sehingga menimbulkan
suatu paradoks yang sangat mencolok ditinjau dari segi

64
Dari daerah ini lahir tokoh-tokoh dari berbagai ideologi yang berasal dari luar
wilayah kebudayaan Minangkabau. Dalam skala nasional, misalnya terdapat
berbagai tokoh dari aliran yang berbeda-beda seperti Haji Agus Salim, Hamka,
dan M.Natsir dari ideologi Islam, Hatta dan Yamin dari ideologi Nasionalis,
Syahrir yang sosialis, Datuak Batuah, Tan Malaka dan Aidit dari ideologi
komunis. Lihat Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement
in Minangkabau 1927-1933. (New York: Cornell Modern Indonesia Project,
1971), hlm. 139—155. Lihat juga misalnya Taufik Abdullah (1983), hlm. 1—15.

57
sosiologi Islam.65 Paradoks itu adalah terutama proses dua nilai
yang berbeda, namun mencoba menemukan suatu titik temu.
Konflik adat dan agama Islam melahirkan suatu sintesis
baru dalam masyarakat Minangkabau. Sintesis yang muncul
berupa perpaduan antara nilai adat dengan Islam. Mengikuti
pemikiran Ronkel tentang sintesis adat agama Islam di
Minangkabau, ia mengemukakan bahwa betapa antitesis
antara adat dan Islam, antara kebiasaan setempat dengan agam
Islam yang datang dari luar dapat menghasilkan sebuah sintesis
dan dalam perkembangan selanjutnya yang menjadi dasar dari
pembentukan watak masyarakat Minangkabau.66
Watak dasar konflik yang telah memiliki akar dalam
masyarakat Minangkabau dipertajam pula oleh kedatangan agama
Islam. Kedatangan agama Islam pada awalnya bersifat di pinggiran
saja. Dalam perkembangan berikutnya agama Islam mencoba
mengoreksi berbagai aktifitas adat dan agama yang tidak sesuai
dengan ajaran agama Islam.67 Gerakan Islam seperti inilah yang
menimbulkan berbagai konflik dalam masyarakat Minangkabau.
Pada tahap tertentu, antara nilai adat dan agama Islam bisa
berjalan berdampingan, namun di lain waktu merupakan
sumber konflik yang tajam dan berkepanjangan dalam sejarah

65
Kutipan ini diambil dari Taufik Abdullah yang mengutip Bousquet. Taufik
Abdullah, (1987), op. cit., hlm.104.
66
ibid. hlm. 105.
67
Ronkel dalam laporan rahasia kepada Gubernur Jendral melaporkan bahwa ada
tiga orientasi keagamaan di Minangkabau yang bersifat radikal, yaitu pertama,
berlanjutnya tradisi agama lama yang mendapat akomodasi dari kaum adat,
kedua, aliran baru yang lebih bersifat ortodoks, yang dilansir oleh Syekh Akhmad
Khatib dan murid-muridnya yang tidak menyetujui bentuk tarekat dan adat
Minangkabau (terutama soal harta pusaka). Ketiga, kebangkitan baru suatu
aliran yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan modernisme Islam atau
kaum muda Minangkabau. Taufik Abdullah (1987), hlm. 222.

58
daerah ini.68 Berbagai konflik telah terjadi antara kedua nilai
ini. Dalam melihat dinamika budaya Minangkabau, sorotan
yang banyak ditujukan oleh ahli adalah segi konfliknya. Sebagai
contoh adalah pemikiran yang dikemukakan oleh Taufik
Abdullah dalam melihat konflik di Minangkabau. Ia me-
ngemukakan bahwa sifat ganda dari posisi adat dan Islam di
Minangkabau tidak dapat dipahami secara tepat apabila tanpa
memperhitungkan fungsi konflik dalam masyarakat secara
keseluruhan. Di Minangkabau, konsep tentang konflik tidak
hanya diakui, tetapi juga dikembangkan dalam sistem sosialnya,
konflik dilihat secara dialektis sebagai unsur hakiki untuk
tercapainya integrasi masyarakat.69
Dari sana tergambar bahwa nilai konflik telah berkembang
dalam sistem sosial masyarakat. Pelembagaan konflik pada
gilirannya membawa masyarakat terbiasa melihat segala sesuatu
dalam sudut pandang yang berbeda-beda sehingga dialektika
Minangkabau merupakan proses untuk mencapai integrasi dalam
masyarakat.
Konflik-konflik seperti itu menjurus kepada kebebasan
dalam memilih nilai-nilai yang dianut. Pada gilirannya, wilayah
kebudayaan yang memiliki falsafah dasar adatnya yang
berbunyi “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”70 bukan
berarti seluruh masyarakat Minangkabau merupakan pemeluk

68
Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1982), hlm. 50—80.
69
Taufik Abdullah (1987), op. cit. hlm. 107.
70
Taufik Abdullah dalam sebuah kredo tentang adat dan agama Islam di
Minangkabau menyatakan bahwa nilai-nilai adat hanyalah ibarat bunga penghias
taman dan akan dapat hilang ditelan masa, namun ciri khas seorang Minangkabau
terletak pada keagamaannya, Hilangnya keminangkabauan dalam diri seseorang
apabila orang itu meninggalkan ajaran Islam sebagai pegangannya. Taufik
Abdullah, “Remaja Minang di Perantauan” dalam A.A.Navis, (1984), op.cit.
hlm. 110.

59
ajaran Islam semata, tetapi terdapat juga pengikut aliran lainnya
yang tidak sesuai dengan hukum adat dan ajaran Islam.
Dalam realitasnya, orang Minangkabau juga menganut
paham yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti komunis.
Satu hal yang perlu digarisbawahi untuk melihat masalah ini
adalah kadar keminangan bukanlah adat, tetapi adalah ke-
Islamannya.71 Namun demikian, ukuran yang dipakai tetap
berdasarkan ajaran Islam dalam diri individu Minangkabau.
Hakikat seorang Minangkabau terletak pada agama Islam
yang dipeluknya. Walaupun nilai Islam tidak bisa dilepas dalam
diri seorang Minangkabau, dalam realitasnya terdapat juga
ideologi lainnya yang dianut masyarakat Minangkabau.
Sementara itu, ideologi yang dianut itu tidak sesuai atau bahkan
bertentangan dengan nilai adat dan ajaran Islam. Contoh yang
menarik untuk dibahas adalah masuk dan berkembangnya
ideologi komunis di Minangkabau.72 Pembahasan mengenai
idiologi komunis di Minangkabau berkaitan erat dengan tema
sentral tesis ini, yaitu keterlibatan tokoh-tokoh komunis dalam
gerakan buruh tambang batu bara Ombilin Sawahlunto. Puncak
gerakan itu adalah kemudian meletusnya pemberontakan PKI
di Silungkang tahun 1927.73

E. Pola Pemilikan Tanah


Pada umumnya penduduk Minangkabau mempunyai mata
pencaharian sebagai petani. Bidang pertanian yang dikerjakan

71
Taufik Abdullah (1971), op.cit., hlm. 40—41.
72
Komunisme mempunyai pengaruh yang kuat di Minangkabau. Dalam berbagai
pemberontakan yang dipelopori oleh PKI, pengikut komunis Minangkabau juga
melakukan aksi serupa, seperti Pemberontakan PKI 1927, 1948, dan 1965, pengikut
PKI di Minangkabau juga memberontak. ibid., hlm. 42—44.
73
Dapat dikatakan dari propaganda sampai pemberontakan yang dilakukan oleh
buruh tambang batu bara Ombilin dimotori oleh tokoh-tokoh komunis. B.
Schrieke, op.cit. hlm. 105—120.

60
penduduk adalah bersawah, berladang, dan berkebun. Dari
ketiga sektor itu, bersawah merupakan mata pencaharian yang
terpenting dalam masyarakat. Lahan pertanian yang dapat
dijadikan lahan persawahan lebih sedikit dibandingkan dengan
luas wilayah Minangkabau. Hal ini disebabkan daerah
Minangkabau umumnya berbukit-bukit, bergunung-gunung,
dan berlembah-lembah.74
Masalah lahan garapan yang sedikit itu dipertajam lagi dengan
pola pemilikan tanah dalam tata nilai kebudayaan Minangkabau
ketika pola pemilikan tanah di Minangkabau menggunakan
sistem matirlineal. Pola pemilikan tanah yang berbentuk matri-
lineal di Minangkabau mempunyai suatu keunikan tersendiri,
terutama terdapatnya dualisme nilai yang secara kuat
mempengaruhi kehidupan masyarakat Minangkabau, yaitu
antara nilai adat dan ajaran Islam.
Di Minangkabau, pola pemilikan tanah mempunyai
kaitan yang erat dengan sistem sosial dan budaya, yaitu
diterapkannya sistem matrilineal. Sistem matrilineal
menimbulkan sebuah kajian yang menarik untuk dibahas,
yaitu terdapatnya suatu kontradiksi dalam pemilikan tanah
di Minangkabau. Paradoks dalam pemilikan tanah terutama
akan dapat ditinjau dari dua nilai yang berakar kuat dalam
masyarakat Minangkabau, yaitu nilai Islam dan nilai adat.
Kedua nilai itu mempunyai perbedan yang tajam dalam
melihat harta warisan. Perbedaan antara keduanya adalah

74
Dalam sebuah laporan yang disampaikan oleh Bapedda, wilayah Sumatra Barat
yang dapat digarap sebagai lahan pertanian hanya sekitar 35%, sedangkan sisanya
merupakan bukit, gunung dan lembah yang tidak dapat digarap. Hal ini amat
sedikit sekali seperti di Pasaman Barat dan Solok Selatan. Sementara itu, hasil tambang
yang diandalkan hanya batu bara Ombilin dan Semen Indarung. Sumatera Barat
dalam Angka, 1973. (Padang: Bapeda, 1974), hlm. 59.

61
ajaran Islam menganut sistem patrilineal, sedangkan nilai adat
menganut sistem matrilineal.75
Dalam masyarakat Minangkabau, nilai yang dominan
diterapkan berdasarakan nilai adat yang terdapat dalam bentuk
tertentu, seperti pemilikan tanah adalah nilai adat. Arti penting
dari keberadaan tanah dalam pandangan adat sesungguhnya
sebagai harta yang harus diwariskan pada generasi yang akan
datang sehingga tanah pusaka haruslah dipertahankan oleh
sukunya.76
Masalah pemilikan tanah amat penting dalam masyarakat
Minangkabau. Tanah akan dilihat sebagai simbol keberadaan
seseorang atau suatu kaum dalam masyarakat. Semakin banyak
harta sesorang, semakin tinggi pulalah kedudukannya di mata
masyarakat. Sebaliknya, semakin banyak harta pusaka yang
digadaikan oleh seseorang atau kaumnya, semakin rendahlah ia
dalam pandangan masyarakat. 77 Dalam pepatah-petitih
disebutkan arti penting sawah dan ladang, yaitu hilangnya suatu
bangsa (harkat dan martabat), yaitu karena tidak memiliki
kekayaan.78 Dalam perkembangannya, dominasi harta kekayaan
menggeser keberadaan nilai-nilai kekerabatan dan nilai adat.
75
A.R. Radchilffe Brown, Structure and Function in Primitive Society. (New
York: The Free Press, 1952), hlm. 56—70.
76
Dalam petatah petitih dikatakan bahwa bangso jaan sampai pupuih, manah
jangan sampai hilang, suku jaan sampai baranjak dan hak jaan sampai
habia. Ungkapan itu bermaksud bahwa segala sesuatu harus dijaga dan diwariskan
kepada anak cucu. Hermayulis, “Status Tanah Ulayat dan Sertifikat Milik di
Sumatra Barat”, dalam Firman Hasan (ed.), Dinamika Masyarakat dan Adat
Minangkabau. (Padang: Pusat Penelitian Unand Padang, 1988), hlm. 91—92.
77
Pada umumnya harta pusaka (terutama pada pusaka tingi) tidak dapat
diperjualbelikan, tetapi hanya digadaikan. ibid. hlm. 90.
78
Masalah sawah dan ladang pada prinsipnya menyangkut masalah pemupukan
kekayaan. Nilai-nilai adat mendukung masyarakat Minangkabau untuk menjadi
orang berada. Hal ini akan lebih jelas terlihat dalam pepatah petitih adat
Minangkabau, yaitu hilang warano dek penyakit, hilang bangso dek indak baameh
(hilang rupa karena penyakit, hilang martabat karena tidak mempunyai emas).
Emas dalam hal ini merupakan simbol kekayaan. ibid. hlm. 98.

62
Pemupukan kekayaan sudah menjadi tujuan pokok dalam hidup
sehingga melupakan hakikat harta itu.79
Walaupun nilai adat mendominasi kehidupan, bukan
berarti masyarakat menerima saja sistem nilai itu. Reaksi yang
menentang nilai-nilai adat tetap bermunculan. Bentuk reaksi
dari sistem matrilineal ini adalah sikap masyarakat yang enggan
tinggal di kampung. Dengan pergi meninggalkan kampung
halaman untuk merantau, mereka dapat melepaskan diri dari
kungkungan nilai-nilai adat yang amat membelenggu
kehidupan dan kebebasan selama berada di kampung
halamannya.80
Islam menjadi kekuatan yang penting dalam proses
pergeseran nilai matrilineal ke arah patrilineal. Dalam
laporannya, Snouck Hurgronje secara panjang lebar
menceritakan perubahan sistem matrilineal menjadi sistem Is-
lam yang dibawa dan dikembangkan oleh ulama. Hukum waris
matrilineal sudah lama diganti dengan yang disebutnya hukum
waris Mohammaden.81 Perubahan itu terutama berjalan di kala
masyarakat mulai melepaskan diri dari ikatan adat
Minangkabau. Proses seperti itu biasanya terjadi pada perantau

79
Dalam pepatah petitih dikatakan bahwa dahulu rabab nan batangkai, kini gulandi
nan babungo, dahulu adat nan tapakai, kini piti nan baguno (maksudnya: dahulu
adat yang terpakai, kini uanglah yang berguna). Pepatah ini merupakan gambaran
watak masyarakat Minangkabau yang materialistis. Lihat Amir Benson, Dampak
Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah Sumatra Barat. (Jakarta:
PDK, 1983), hlm. 145.
80
Studi tentang hubungan sistem matrilineal dengan merantau dibahas oleh Tsuyoshi
Kato. Kato menitikberatkan sistem matrilineal yang menjadikan lelaki di
Minangkabau tidak mendapatkan tempat, sehingga untuk mendapatkan eksistensi
dirinya, ia pergi merantau dan membentuk kehidupan keluarga tersendiri yang
berbeda dengan pola matrilinial, yaitu mamak-ibu-anak menjadi ayah-ibu-anak.
Tsuyoshi Kato, op. cit., hlm. 46—57.
81
E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya kepada Pemerintahan Hindia Belanda 1889-1936. (Jakarta:
INIS, 1991), hlm. 747.

63
Minangkabau yang membawa anak istrinya sehingga di rantau
terbentuk pola baru bapak-ibu-anak. Pola ini bertolak belakang
dengan pola adat yang menganut pola mamak-ibu-anak.
Dengan menerapkan sistem matrilineal dalam kehidupan
bermasyarakat, pembagian harta warisan jatuh ke tangan pihak
wanita. Sementara itu, ajaran Islam sebagai agama yang kuat
berakar dalam kehidupan masyarakat mempunyai cara
pembagian harta yang berbeda dengan sistem matrilineal. Dalam
tinjauan hukum Islam, yang berhak memperoleh harta warisan
adalah kaum laki-laki. Sebaliknya, dalam sistem adat
Minangkabau pihak laki-laki tidak memperoleh harta warisan,
tetapi jatuh kepada pihak perempuan. Perbedaan yang bertolak
belakang seperti itu merupakan hal yang penting dalam
menumbuhkan dinamika yang penting dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau.
Salah satu persoalan yang amat penting dalam sistem matri-
lineal di Minangkabau adalah masalah harta warisan. Setidak-
tidaknya ada dua bentuk harta warisan yang diakui, yaitu
pusaka tinggi dan pusaka rendah.82 Pusaka rendah merupakan
harta warisan yang diperoleh berdasarkan usaha mereka selama
masa perkawinan, sedangkan pusaka tinggi merupakan harta
warisan yang diwarisi dari suku atau kaumnya. Bentuk-bentuk
pusaka tinggi adalah sawah, ladang, bukit, dan rumah.83
Secara hukum adat, pusaka tinggi tidak diperjualbelikan. Hal
itu terutama karena kedudukannya sebagai tanah milik kaum
atau milik suku. Namun dalam kenyataannya, anggota kaum
dengan berbagai cara menjualnya sehingga menimbulkan konflik

82
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), hlm.
96—97.
83
Mochtar Naim, op.cit., hlm. 24—40.

64
dalam kaumnya. Dalam tingkat tertentu, persoalan tersebut juga
menimbulkan konflik fisik dan korban dalam kaum itu.84
Tanah merupakan harta warisan yang terpenting dalam
masyarakat Minangkabau. Dalam budaya Minangkabau
dikatakan bahwa seluruh tanah yang terdapat dalam kawasan
kebudayaan Minangkabau merupakan milik sebuah kaum.
Misalnya saja tanah ulayat, setiap negeri memiliki tanah ulayat.
Tanah ulayat secara mikro merupakan milik suatu suku.
Sebagai contohnya adalah sebuah bukit yang terletak di
pinggiran desa, maka bukit itu akan dibagi-bagi berdasarkan
suku yang terdapat di negeri itu. Untuk lebih jelasnya, tanah
yang terdapat di seluruh wilayah kesatuan adat Minangkabau
dapat digolongkan atas tiga macam; tanah yang diusahakan,
tanah yang telah dibuka dan hutan lepas.85
Tanah mempunyai fungsi dalam masyarakat
Minangkabau. Tanah yang diusahakan adalah sawah dan
ladang yang telah digarap. Tanah yang telah dibuka adalah
tanah yang diteroka dan digarap. Hutan lepas merupakan
tanah yang dipersiapkan untuk masa depan mengingat terus
bertambahnya anggota suatu kaum.86
Kedudukan tanah menjadi amat penting dalam masyarakat
Minangkabau, terutama dikaitkan dengan mata pencaharian
penduduk untuk dijadikan lahan pertanian. Bidang pertanian
yang dijalankan masyarakat adalah sawah dan ladang,
sedangkan tanah persawahan dan tanah ladang pada umumnya
merupakan warisan tinggi sehingga hasilnya dibagi untuk
kaumnya. Dalam konteks ini, masalah pola pemilikan tanah

84
Sebab-sebab Perang Paderi di Luhak Tanah Datar lebih banyak disebabkan oleh
faktor tanah ini. Christine Dobbin, op. cit., hlm . 123—124.
85
H. Datoek Toeah, op. cit., hlm. 198.
86
ibid., hlm. 199.

65
menjadi hal yang spesifik dalam adat Minangkabau. Dalam
adat Minangkabau, semua tanah merupakan milik suatu kaum
sehingga segala bentuk penggarapan terhadap tanah haruslah
disesuaikan dengan hukum adat setempat. Begitu juga halnya
dengan masalah tanah pada tambang batu bara Ombilin.
Dalam masalah pembebasan tanah tambang batu bara itu,
pihak perusahaan mengikuti pola pembebasan tanah yang
sesuai dengan adat Minangkabau.
Karakteristik dari usaha ekonomi petani (farm economy) di
Minangkabau adalah bahwa pertanian merupakan suatu sistem
perekonomian keluarga (family economy). Organisasi ekonomi
ditentukan oleh ukuran, komposisi keluarga petani dan
koordinasi tuntutan konsumsinya dengan jumlah tenaga kerja.87
Dengan demikian, setiap individu memiliki peran penting dalam
struktur ekonomi itu.
Pengertian keluarga inti dalam masyarakat Minangkabau
berbeda dengan yang dikenal dalam sistem patrilineal. Dalam
sistem patrilineal keluarga inti adalah bapak-ibu-anak. Dalam
adat Minangkabau yang memakai sistem matrilineal, sitem
yang diterapkan dalam kehidupan masyarakatnya
menggunakan pola mamak-ibu-anak.88 Masri Singarimbun
mengemukakan pola hubungan keluarga yang berlaku di
Minangkabau bahwa lelaki Minangkabau dirundung dilema.
Di rumah istrinya, ia dianggap sebagai sumando (tamu). Sebagai
sumando ia dihormati, tetapi tidak mempuyai hak dan
kekuasaan di rumah istrinya sendiri. Sementara itu, di rumah
ibunya ia dianggap sebagai mamak, pengawal keluarga.

87
Erich R. Wolf, Petani, sebuah Tinjauan Antropologi. (Jakarta: CV Rajawali,
1983), hlm. 21.
88
A.R. Radchilffe Brown, op. cit., hlm. 80.

66
Namun demikian, ia tidak mempunyai hak untuk menikmati
hasil dari sawah dan ladang yang telah dikerjakannya untuk
dibawa ke rumah istrinya.89
Ditinjau secara ekonomi, pola pemilikan tanah dalam
budaya Minangkabau tidak dapat mengembangkan ekonomi
suatu keluarga, dalam konteks ayah-ibu-anak, tetapi dapat
membangun ekonomi keluarga dalam konteks mamak-ibu-
anak. Kondisi budaya tentang pemilikan tanah seperti inilah
yang menjadi salah satu sebab orang Minangkabau pergi
merantau karena hasil dari tanah yang diolahnya tidak dapat
untuk menghidupi anak dan istrinya.

89
Kata pengantar Masri Singarimbun, dalam Mochtar Naim, op. cit., hlm. xxii – xxiv.

67
BAB III

PRODUKSI MELIMPAH
BURUH SENGSARA

Jelas sekali
Terjadi Peningkatan Produksi
Namun
berbanting terbalik dengan kesejahteraan

A.Penemuan Batu Bara Ombilin


Pada beberapa tempat di Indonesia, seperti di Kalimantan,
Bukit Asam, dan Ombilin Sawahlunto batu bara telah memiliki
usia yang tua. Batu bara yang pertama kali ditambang di Indo-
nesia adalah di Borneo (Kalimantan) pada tahun 1886. Lima
tahun setelah pembukaan tambang batu bara di sana,
pemerintah kolonial Belanda membuka tambang batu bara di
Ombilin Sawahlunto pada tahun 1891.1 Lima tahun setelah
pembukaan tambang batu bara Ombilin bagi pemerintah

1
Jaarboek van Mijnwezen Nederlansc Oost Indie. (Batavia: Landsdrukkerij-
Weltervreden, 1887), hlm. 43—89.
kolonial Belanda merupakan babak baru dalam sejarah
pertambangan dan perubahan di Minangkabau.2
Sejak penguasaan pemerintah kolonial Belanda di
pedalaman Minangkabau, dapat dikatakan bahwa secara
ekonomis sumber pendapatannya yang utama hanya berasal
dari penanaman kopi. Untuk peningkatan sumber pendapatan
dari hasil lainnya, pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk
mencari alternatif lain, di antaranya adalah dengan melakukan
ekspedisi ke perdalaman Minangkabau.3
Ekspedisi itu sesungguhnya bertitik tolak dari bidang usaha
yang telah dikerjakan penduduk pribumi seperti penambangan
besi, emas, dan perak.4 Bahkan, di daerah pesisir Sumatra, sejak

2
Pada lokasi penambangan ini, tidak semua batu bara berusia tua. Sebagai contoh
di Ombilin, batu bara yang berusia tua terdapat di Sungai Durian, Sawahlunto
dan Sigalut, sedangkan di Tanjung Ampalu, Padang Sibusuk, usia batu baranya
masih muda. R.D.M. Verbeek, “Over de Ouderdom der Steenkolen van het
Ombilin-Kolenveld in de Padansche Bovenlanden en van de Sedimentaire
Vormingen van Sumatra in het Elgemen”, dalam Jaarboek van het Mijwezen in
Nederlandsc Oost Indie. (Batavia: Landsdrukkerji- Wetervreden, 1875), No. 4
Bg. I, hlm. 135—143.
3
V. J. H. Houben, “Profit Vernus Ethics Government Enterprises in the Late
Colonial State”, dalam, Robert Cribb, The Late Colonial State in Indonesia, Political
and Economic Foundation of the Netherlands Indies 1880-1942. (Leiden: KITLV
Press, 1994), hlm. 191—196.
4
Sebagai catatan, sebelum kedatangan Belanda ke pedalaman Minangkabau, berbagai
barang galian telah ditambang secara tradisional oleh penduduk Minangkabau. Di
antara hasil tambang yang penting adalah biji besi dan emas. Biji besi ditemukan di
Sungai Umbilan Lima Kaum, Gunung Besi. Rafles, sebagaimana dikutip Dobbin
menyebutkan bahwa kota besar di dekat Gunung Besi sejak dahulu kala
mengerjakan besi yang diperoleh dari gunung itu. Emas didulang dari aliran-
aliran sungai. Wilayah yang memiliki emas terdapat di Singkarak, Batang Ombilin,
Sulit Aie, dan Saruaso. Bahkan sebuah sungai kecil di Saruaso yang bernama
Sungai Selo oleh penduduk dinamakan Sungai Emas. Penamaan itu disebabkan
banyaknya emas ditemukan pada sungai itu. Lebih jauh lihat Christine Dobbin,
Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah Sumatra Tengah
1784-1847. (Jakarta: INIS, 1992), hlm. 69—84.

69
zaman VOC pemerintah Belanda telah menambang emas di
Salido, Pesisir Selatan.5
Alternatif yang dijalankan oleh pemerintah kolonial
Belanda adalah mengirimkan ekspedisi-ekspedisi ke
pedalaman Minangkabau. Salah satunya, ekspedisi itu
bertujuan melakukan berbagai penelitian mengenai kekayaan
alam yang terdapat di daerah Padang Sibusuk yang
mengandung cadangan batu bara yang siap untuk ditambang.
Seorang insinyur Belanda lainnya bernama W.H. de Greve
pada tahun 1868 menemukan batu bara di Ombilin
Sawahlunto.6
Sepuluh tahun sebelum Greve menemukan batu bara di
Ombilin, Groot dalam perjalanannya ke Tanjung Ampalu
telah melaporkan batu bara yang terdapat antara Tanjung
Ampalu dan Padang Sibusuk.7 Batu bara yang ada di Padang
Sibusuk yang ditemukan oleh Groot itu masih termasuk ke
dalam jajaran batu bara Ombilin. Jarak antara Padang Sibusuk
dan Sawahlunto adalah lebih kurang 20 km. Dalam
perkembangannya, penambangan batu bara dipusatkan di
Sawahlunto sehingga dikatakan bahwa penemu batu bara
pertama kali adalah Greve.

5
Sebelum ekspedisi ke pedalaman itu, keikutsertaan orang Belanda dalam penggalian
kekayaan alam hanya sampai di pesisir saja. Penambangan emas dan perak di Salido
Pesisir Selatan merupakan contoh modal swasta Belanda yang ditanamkan di
Minangkabau sejak masa VOC. Lihat masalnya Je de Mayier, De Goud en Zilvermijn
in Salida teer Sumatra‘s Westkust”, dalam De Ingenieur in Nederlandsch Indie, 1911,
hlm . 40.
6
Dalam buku 100 Tahun Batu Bara Ombilin dikatakan bahwa Greve (lihat
fhoto I) sebagai penemu endapan batu bara Ombilin. Adeng Sunardi, 100 Tahun
Batu Bara Ombilin Sumatra Barat Indonesia. (Sawahlunto: PT Tambang Batu
Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin, 1992 ), hlm. 2.
7
W.H. van Greve, Het Ombilin Kolenveld in Padangsche Bovenlanden en het
Transport System ter SWK. (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1871 ), 12-40. Lihat
juga laporan dari R. D. M Verbeek, op. cit., hlm. 6—7.

70
Batu bara yang terdapat di Ombilin memiliki kelebihan
dibandingkan dengan yang terdapat di Padang Sibusuk dan
Tanjung Ampalu. Kelebihan utama yang dimiliki batu bara
yang terdapat di Ombilin adalah mutu yang baik dan cadangan
lebih banyak dibandingkan dengan batu bara yang terdapat di
Padang Sibusuk.8 Bertitik tolak dari mutu dan cadangan batu
bara yang terdapat di Ombilin, batu bara yang ditemukan oleh
Greve itulah yang ditambang oleh pemerintah Hindia Belanda.9
Penemuan batu bara mempunyai arti penting terhadap
tatanan ekonomi masyarakat di Minangkabau. Hal yang
terpenting adalah terbukanya daerah perdalaman
Minangkabau bagi perkembangan ekonomi luar dan
tersedianya kesempatan kerja baru di luar sektor pertanian
yang selama ini sebagai mata pencaharian pokok penduduk
masa kolonial Belanda maupun pada masa sebelumnya.
Lowongan lapangan kerja baru adalah sebagai buruh pada
tambang batu bara Ombilin.10
Batu bara yang terdapat di berbagai tempat di Ombilin
memiliki jumlah yang banyak. Dari cadangan batu bara yang
tersedia di berbagai tempat di Ombilin, diperkirakan batu bara
itu dapat ditambang lebih kurang selama 200 tahun.11 Perkiraan

8
R. D.M. Verbeek, op.cit., hlm. 97—99.
9
Batu bara Ombilin telah ditambang selama 103 tahun, sedangkan batu bara
Padang Sibusuk dan Tanjung Ampalu sampai sekarang belum ditambang. Lihat
Adeng Sunardi, op. cit., hlm. 7.
10
Walaupun daerahnya dikenal subur, namun tanah di sana sulit untuk ditanami.
Hal ini disebabkan secara umum tanah tanah berbukit-bukit, bergunung-gunung
dan berlembah-lembah. Hasil pertanian utama dari wilayah ini adalah beras.
Lihat misalnya Erwiza Erman, “Produksi Beras dan Kontrol Pemerintah
Kolonial Belanda di Sumatra Barat (1910-1924)”, dalam Jambatan Tijdschrift
voor den Geschiedenis van Indonesie, Jaargang 7, Nummer 3, 1989, hlm. 111—
124.
11
W.H. de Greve, “De Arbeid bij de Mijnbouwkundige Geognostische Opneming
van Sumatra`s Westkust dalam Tijdschrift voor Nederlands Indie, 1873 Bg. I.
(Batavia: Groningen 1874 ), hlm. 369—371.

71
itu sangat memungkinkan mengingat persediaan batu bara di
sepanjang Batang Ombilin dan tempat-tempat di sekitarnya,
seperti Durian, Sungai Durian, Parambahan, dan Sawahlunto
memiliki cadangan batu bara dalam jumlah cukup besar.
R.D.M. Verbeek, seorang Belanda yang banyak berperan
penting dalam penyelidikan batu bara Ombilin dalam
laporannya memperkirakan secara kasar persediaan batu bara
yang terdapat di berbagai tempat di Sawahlunto yang memiliki
kandungan batu bara lebih kurang 200 juta ton.12
Wilayah yang utama mengandung persediaan batu bara
tidak hanya di sepanjang Batang Ombilin saja, tetapi pada bukit-
bukit dan gunung-gunung kecil di berbagai tempat di sepanjang
aliran Batang Ombilin dan daerah sekitarnya.13 Daerah utama
penghasil batu bara adalah Bukit Siguntang, Sungai Durian,
Perambahan, Lutah Gadang, Sugar, dan Sawahlunto.14 P.H.
Diest, dalam tulisannya mengenai nota konsesi untuk
mengerjakan penambangan batu bara Ombilin Sawahlunto
tertanggal dd. Februari 1872 menyatakan bahwa Sluiter, seorang
pejabat pemerintah Belanda mengajukan permohonan untuk
mengeksploitasi batu bara Ombilin. Rencana areal

12
Lihat misalnya laporan dari R. D. M. Verbeek, (1875 No.4 Bg.II), op. cit., hlm.
89—92.
13
Semua wilayah yang mengandung batu bara itu termasuk dalam Kabupaten
Tanah Datar dan dengan Kecamatannya Sawah Lunto. Hal ini berdasarkan
pembagian administrasi tahun 1908. Pada pembagian administrasi tahun 1913,
Sawah Lunto termasuk Afedeling Solok, dengan Ibu Kota Sawahlunto. Sementara
itu, Kota Sawah Lunto itu sendiri termasuk ke dalam wilayah Onderafdeling
Sawahlunto. Lihat Lembaran Negara Tahun 1935, Nomor. 450.
14
Kondisi Kota Sawahlunto sesungguhnya berada di atas tanah yang mengandung
batu bara. Pada permulaan penambangan yang berbentuk penambangan dalam
(penambangan yang dilakukan dengan membuat lobang dalam tanah ), lubang-
lubang penggalian itu dimulai dari Sawahlunto. Pada saatnya, kalau batu bara
habis ditambang di tempat-tempat lain, Kota Sawahluntolah yang akan
ditambang. Lihat Verslag van den Sumatra-Staatsspoorweg en van de
Ombilinmijnen over 1912. (Batavia: Landsdrukkerij, 1914), hlm . 60—64.

72
penambangan batu bara yang diajukannya adalah di Sungai
Durian.15 Dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh L. de
Bree, ia melaporkan bahwa persediaan batu bara yang terdapat
di Sungai Durian diperkirakan berjumlah 93 juta ton.16
Hal penting dari penemuan tambang batu bara adalah tidak
hanya sebagai suatu usaha proses penambangan saja, tetapi juga
membuka lowongan kerja baru bagi masyarakat sebagai
penambang. Sebagai sebuah pertambangan, dibutuhkan berbagai
sarana dan prasarana untuk mendukung proses penambangan,
seperti transportasi, mesin, buruh, dan fasilitas buruh.17
Pengadaan berbagai sarana dan prasarana untuk tambang
membawa berbagai perubahan, seperti penyediaan buruh yang
didatangkan dengan berbagai cara dari berbagai daerah,
penyediaan berbagai fasilitas untuk buruh, seperti makanan,
perumahan, dan sarana kesehatan. Hal utama lainnya adalah
penyediaan sarana transportasi untuk mengangkut batu bara
dari lokasi penambangan ke pelabuhan dan dari pelabuhan ke
negara pengekspor dan negara lain yang membutuhkannya.18
15
Lebih jauh lihat P. H. Diest, Nota Over den Stand der Concessieaan- vraag tot
Ontginnig van Ombilin Kolenveld and aanleg Spoorweg naar Padang. (Den
Haag: Martinus Nijhoff, September 1872 ), hlm. 1—8.
16
L. De Bree, Nederlandsch in de Twintigste Eeuw. (Batavia: G-Kolff & Co, 1916),
hlm. 467.
17
Pembukaan tambang batu bara Ombilin menyebabkan lebih terbukanya wilayah
Minangkabau pedalaman dari berbagai pengaruh asing. Pembukaan tambang
membutuhkan banyak tenaga kerja dan satu hal lagi pembukaan jalan kereta api
untuk mengangkut hasil tambang menyebabkan transportasi dan komunikasi
antara pedalaman Minangkabau dengan daerah pantai semakin lancar. Satu hal
yang perlu digarisbawahi di sini adalah untuk membedakan antara daerah pedalaman
atau darek dengan pantai, maka orang Belanda menyebutkannya dengan
Padangsche Bovelanden untuk daerah darek dan Padangsche Benedenlanden untuk
daerah pantai. Pada waktu-waktu tertentu, oleh pemerintah Belanda perbedaan
ini dipertajam untuk mengadu domba dan mendapatkan pengaruhnya. Okira
Oki, op. cit., hlm. 130—150.
18
Rusli Amran menamakannya Tiga Serangkai, yaitu tambang batu bara Ombilin,
kereta api dan pelabuhan Emmahaven. Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat
Panjang. (Jakarta: PT Sinar Harapan, 1981), hlm. 303—315.

73
Beberapa penambangan batu bara Ombilin mempunyai
tingkat kesulitan yang rendah. Kemudahan itu disebabkan
kandungan batu bara tidak terlalu dalam di bawah permukaan
tanah yang tidak terlalu sulit untuk digali. Batu bara dibagi atas
tiga lapisan, yaitu lapisan A, B, dan lapisan C. Penambangan
yang dilakukan pada lapisan A membawa keuntungan tersendiri.
Penggalian batu bara pada lapisan itu tidak membutuhkan lubang
penggalian yang dalam. Batu bara yang terdapat pada lapisan A
memiliki kualitas yang tidak baik sehingga hanya digunakan
sebagai alat pembakaran untuk kebutuhan tambang.19
Pada tempat-tempat tertentu, batu bara sudah terlihat di
permukaan tanah. Bahkan ada juga batu bara yang bertumpuk-
tumpuk membentuk bukit. Batu bara yang terlihat dari
permukaan tanah termasuk ke dalam lapisan A, sedangkan di
bawahnya terdapat lapisan B. Lapisan C terdapat paling bawah
dari permukaan tanah. Lapisan-lapisan batu bara itu tidak
merata, tetapi mempunyai tingkat kedalaman dan jumlah yang
berbeda-beda di setiap lokasi terdapatnya batu bara.20
Kualitas terbaik terdapat pada lapisan C. Lapisan itu pada
umumnya berada dalam kedalaman 6 meter lebih di bawah
permukaan tanah. Lapisan batu bara yang berada pada lapisan
A, yang berada di atas permukaan tanah tidak memiliki
kualitas yang baik dibandingkan dengan yang berada di bawah
permukaan tanah. Tidaklah mengherankan pada awal
penambangan dijalankan, endapan batu bara yang berada pada
lapisan atas itu dengan mudah dapat dikerjakan dan tidak
memerlukan penggalian yang dalam.

19
H. Lever, Houtvoorziening de Ombilinmijnen te Sawah Lunto, dalam Tectonan,
Deel XIV, 1921. (Buitenzorg: Archipel Drukkeij, 1921), hlm. 546—548.
20
W. Holleman, Bescherijving van de Afbouwmethode voor Ontginning der 8 Meter
Dikke C-laag der Ombilin-Steenkolenmijnen. (Bandoeng: Drukkerij Maks & van
der Klits, 1931), hlm. 5.

74
Batu bara pada lapisan A dapat digunakan untuk
pembakaran pada mulut lubang tambang atau digunakan sendiri
oleh perusahaan sebagai alat pembakaran.21 Tentang lokasinya,
Beckhoven menceritakan kondisi batu bara yang terdapat di
Ombilin, yaitu Sawahlunto yang memiliki cadangan batu bara
yang besar. Di beberapa tempat kita bisa melihat batu bara
yang terdapat atau muncul di lereng-lereng bukit dan orang
bisa menambangnya langsung tanpa harus menggali tanah
terlebih dulu. Tanpa susah payah batu bara bisa diperoleh
dengan mudah saja. Bukit-bukit di sekitar Ombilin mempunyai
tiga tingkat kedalaman batu bara. Yang paling atas adalah 2—3
meter di bawah permukaan tanah, setelah itu 6—10 meter, dan
18 meter di bawah permukaan tanah.22

B. Topografi Tambang Batu Bara Ombilin


Untuk menjelaskan kondisi topografi dari batu bara
Ombilin, perlu dijelaskan terlebih dahulu wilayah-wilayah
yang mengandung kadar batu bara di sekitar Sawahlunto.
Sebagai pusat lokasi batu bara adalah Sawahlunto. Tempat-
tempat yang memiliki cadangan batu bara adalah Parambahan
yang terletak 10 km dari Sawahlunto, Sikalang 5 km dari
Sawahlunto, Sungai Durian 7 km dari Sawahlunto, Sigalut 2
km dari Sawahlunto, Padang Sibusuk 20 km dari Sawahlunto,
Lurah Gadang 6 km dari Sawahlunto, dan Tanjung Ampalu
20 km dari Sawahlunto. Sigaluit lebih kurang 10 km dari
Sawahlunto. Secara keseluruhan, tempat-tempat yang
mengandung batu bara Ombilin berada dalam posisi mengitari

21
Lihat Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsc Oost Indie, 1914, No. 42/
432, (Batavia: Landsdrukkerij, 1914), hlm 18.
22
J. van Boechkoven, Een Reisje van Padang Naar de Ombilien Kolenvelden.
(Den Haag, Martinus Nijhoff 1906), hlm.60—65.

75
daerah Sawahlunto. Dari kondisi geografis yang demikian
itulah akan terlihat secara jelas bahwa daerah Sawahlunto
yang menjadi titik sentral penambangan batu bara.23
Ditinjau dari sudut topografisnya, batu bara Ombilin
terletak pada lapisan tanah yang berbeda-beda. Artinya, pada
daerah tertentu, batu bara sudah kelihatan dari pandangan
mata, namun pada tempat lainnya batu bara berada jauh dalam
perut bumi. Letek batu bara yang tampak dari permukaan
tanah dapat terlihat seperti dari laporan Beckhoven yang juga
seorang pendeta Belanda. Dalam laporan itu dikatakan bahwa
Sawahlunto merupakan daerah yang memiliki kandungan
batu bara yang banyak dan bahkan di tempat-tempat tertentu,
batu bara bisa terlihat dengan pandangan mata.24
Pada tempat lain batu bara berada jauh di perut bumi. Batu
bara seperti itu mempunyai kualitas yang baik, tetapi sangat
sulit ditambang. Contoh wilayah yang memiliki lapisan batu
bara yang terletak jauh di bawah permukaan tanah terdapat
seperti di wilayah Sungai Durian. Di Sungai Durian, batu bara
baru ditemukan pada kedalaman 217 meter dari permukaan
tanah yang masih memiliki kandungan batu bara.25

23
Lihat lampiran 2, rencana pembukaan tambang batu bara Ombilin yang
dirumuskan Greve.
24
J. van Beckhoven op. cit., hlm. 65.
25
R. D. M. Verbeek, op. cit., hlm. 87.

76
Lapisan batu bara menjadi masalah tersendiri pada tambang
batu bara Ombilin. Dari areal pertambangan yang tersebar di
berbagai tempat, setiap lokasi penambangan memiliki tingkat
kedalaman yang berbeda-beda. R.D.M. Verbeek dalam
laporannya tentang letak batu bara Ombilin melaporkan bahwa
sebagai gambaran letaknya, batu bara terdapat pada lapisan yang
tidak teratur. Ketidakteraturan itu sesungguhnya tidak baik,
terutama ditinjau dari proses penambangan. Batu bara berada
pada lapisan bertingkat-tingkat sehingga menimbulkan tata letak
yang tidak beraturan.26

26
ibid., hlm. 85.

77
Persoalan pokok yang akan dihadapi adalah tingkat
kesulitan yang tinggi dalam penambangan. Verbeek dalam
laporannya memperkirakan secara lebih rinci tentang letak
batu bara Ombilin dari permukaan tanah, yaitu batu bara di
Lunto (muara Sungai Lunto) lebih kurang 64 meter, Sungai
Durian lebih kurang 217 meter, Lurah Gadang lebih kurang
22 meter, muara Sungai Gadang 20 meter, dan Parambahan
lebih kurang 2 meter dari permukaan tanah.27
Untuk dapat lebih memahami daerah yang mengandung
batu bara Ombilin, hal itu akan dijelaskan melalui sebuah
gambar yang berbentuk sebuah “baskom”. Seperti sebuah
baskom, sekelilingnya dibatasi oleh dinding yang terjal. Sebagai
dasarnya adalah Kota Sawahlunto. Kota ini sekaligus dijadikan
sebagai pusat penambangan batu bara. Dinding-dinding
pembatas Kota Sawahlunto pada umumnya berbentuk bukit-
bukit yang terjal sehingga kota ini berada pada daerah yang
curam atau di dasar lembah.28
Melihat letaknya secara keseluruhan, kota itu berada pada
sebuah lembah. Namun demikian, pada beberapa wilayah
terdapat tempat yang agak landai, terutama yang dilalui Sungai
Lunto. Di pinggiran sungai itulah terbentuknya permukiman
buruh tambang batu bara.29
Kota yang berada di lembah itu memiliki batas sebagai
berikut. Sebelah utara dibatasi oleh tanggul atau gang dari

27
ibid., hlm. 87.
28
Henry T. Damste, op.cit., hlm. 10-11.
29
Penduduk setempat menamakan Kota Sawahlunto sebagai kota kuali. Hal ini
disebabkan Kota Sawahlunto itu berbentuk kuali (baskom). Permukiman
penduduk terletak pada dasar kuali itu. Sementara itu, kota dikelilingi oleh
bukit yang umumnya mengandung batu bara. Dapat dengan mudah dipahami
jika di Sawahlunto batu bara terlihat di permukaan tanah, sedangkan pada
daerah lainnya jauh di bawah permukaan tanah disebabkan karena terletak di
atas bukit yang mengelilingi kota itu. R. D. M. Verbeek, ibid., hlm. 80-81.

78
kwarsporpier yang diakhiri lapisan curam yang mempunyai
tingkat kemiringan 60º ke arah selatan. Di arah selatan tingkat
kemiringannya adalah 45º. Semakin ke selatan, konturnya
semakin landai, terutama menuju sungai Ombilin dengan
tingkat kemiringan antara 15º-20º. Masih ke arah selatan, dari
areal ladang batu bara terdapat lapisan-lapisan yang cenderung
miring ke timur laut menuju areal pertambangan Sungai Durian
dengan tingkat kemiringan sekitar 25º-30º. Pada bagian selatan
sampai pada Groenstenen, lapisan batu bara terdapat pada tebing
yang terjal.30
Perkiraan yang jelas tentang lapisan batu bara Ombilin baru
diketahui secara lebih rinci pada tahun 1868. Pengenalan ini
berkat catatan Geognostische yang dibuat oleh geolog Belanda
yang bernama W.H.van Greve. Berdasarkan laporan yang
dibuat oleh Greve, Diest kemudian merumuskan lapisan batu-
batuan dan letak kedalaman batu bara yang terdapat di Ombilin
Sawahlunto. Adapun rumusan yang dibuat oleh Diest itu adalah
sebagai berikut.31
1. Lebih kurang 50 meter berselang-seling dari batu pasir,
koollei dan batuan tanah liat.
2. 0,77 meter batu bara.
3. 5,37 meter koollei.
4. 1,06 meter batu bara.
5. 50 meter lapisan berselang-seling batu dan pasir.
6. 1,97 meter.
7. 15 meter selang-seling batu pasir.
8. 2,38 meter batu bara.

30
P. van Diest, De Kolenrijkdom der Padangsche Bovenlanden en de Mogelijkheid
van Voordeelige Ontginning. (Amsterdam: C.F. Stemler, 1871), hlm. 12.
31
ibid., hlm. 13.

79
Laporan yang ditulis itu pada pokoknya berdasarkan studi
awal yang dilakukan Greve mengenai masalah lapisan batu bara
Ombilin Sawahlunto. Hasil penelitian awal itu memberikan
gambaran tentang keanekaragaman batu-batuan yang terdapat
pada tambang batu bara Ombilin Sawahlunto. Pada setiap
lapisan akan terdapat batu-batuan yang berbeda-beda. Pada
lapisan tertentu terdapat batu bara, namun lapisan lainnya
diselingi oleh tanah liat dan pasir.32 Berdasarkan gambaran yang
terdapat di bawah ini, akan terlihat secara jelas lapisan batu
bara di Ombilin Sawahlunto.
Gambar
Topografi Batu Bara Ombilin Sawahlunto

Sumber: P. Van Diest, De Kolenrijkdom der Padangsche


Bovenlanden en de Mogelijkheid van Voordeelige
Ontginning. Amsterdam: C.F. Stemler, 1871, hlm. 13.

32
ibid., hlm. 14.

80
Berdasarkan gambaran tadi akan terlihat secara jelas topografi
kandungan batu bara yang terdapat di Ombilin Sawahlunto.
Topografi itu bukanlah pada wilayah yang datar, tetapi di bukit
dan lembah. Pengetahuan tentang topografi diperlukan untuk
memahami areal batu bara yang akan ditambang.
W. Holleman, seorang geolog Belanda dalam sebuah laporan
yang ditulisnya memperkirakan kedalaman batu bara yang
terdapat di Sungai Durian. Holleman menuliskan secara lebih
rinci bahwa di sana batu bara terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan
A, B, dan C. Pengukuran lapisan itu berdasarkan pada kedalaman
dan kualitas batu bara. Adapun ketiga lapisan itu adalah sebagai
berikut.33
1. Batu bara lapisan A terletak di permukaan tanah atau
dari permukaan tanah sampai mencapai kedalaman 0,80
meter.
2. Batu bara lapisan B terletak pada kedalaman 0,80 meter
sampai pada kedalaman 8 meter dari permukaan tanah.
3. Batu bara yang terletak pada lapisan C berada pada
kedalaman 8 meter dari permukaan sampai dengan tingkat
seterusnya.
Batu bara yang memiliki kualitas terbaik terdapat pada
lapisan C dengan kedalaman 8 meter. Untuk lebih jelas,
diambilah contoh batu bara yang terdapat di Sungai Durian.
Gambar yang terdapat di bawah ini dapat memperlihatkan
secara lebih jelas lapisan-lapisan batu bara yang terdapat di
Sungai Durian.

33
W. Holleman, op. cit., hlm. 4—6.

81
Gambar II
Lapisan Batu Bara A, B dan C
di Sungai Durian Sawahlunto

Sumber: W. Holleman, Beschrijving van de Afbouwmethode


Voor Ontginning der 8 Meter Dikke C- laag der
Ombilin-steenkolenmijnen. Bandoeng: Maks & van
der Klits, 1931, hlm. 5.
Setiap lapisan batu bara memiliki cadangan yang berbeda-
beda. Lapisan A memiliki cadangan yang paling sedikit, lapisan
B memiliki cadangan lebih banyak dibandingkan dengan lapisan
A. Lapisan yang paling banyak mengandung cadangan batu bara
adalah lapisan C. Holleman dalam laporannya mengenai
kandungan batu bara yang terdapat di Sungai Durian
memperkirakan secara lebih terperinci kandungan batu bara
yang terdapat dalam setiap lapisan. Untuk jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut ini.

82
Tabel I
Perkiraan Batu Bara di Sungai Durian
(dalam ton)

Lapisan Jumlah
A 260. 000
B 515. 000
C 6.315. 000

Sumber : W.Holleman, Beschrijving van de Afbouwmethode


Voor Ontginning der 8 Meter Dikke C- Laag der
Ombilin-steenkolenmijnen. Bandoeng: Maks &
vander Klits, 1931, hlm. 10.
Ditinjau dari sudut kualitas, batu bara Ombilin memiliki
kualitas yang baik. Dalam sebuah laporan penyelidikan yang
dilakukan oleh P. van Diest tentang kualitas batu bara
Ombilin dikatakan bahwa tidak disangsikan lagi batu bara
Ombilin memiliki kualitas yang sangat tinggi. Oleh karena
itu, jika sudah dapat ditambang, batu bara Ombilin akan dapat
ditawarkan dengan harga yang tinggi di pasar batu bara
internasional di Singapura, Eropa, ataupun tempat lainnya.34
Masalah kualitas batu bara akan berkaitan erat dengan
masalah pemasarannya di luar negeri. Dengan kualitasnya, batu
bara Ombilin tidak akan kalah bersaing dengan kualitas batu
bara dari tempat lain. Berdasarkan laporan yang dibuat oleh
Verbeek, dikatakan bahwa kualitas batu bara Ombilin tergolong
memiliki tingkat yang baik sehingga diharapkan dapat bersaing
di pasar luar negeri. Verbeek membandingkan kualitas yang
dimiliki batu bara Ombilin dengan batu bara yang ditemukan

34
P. van Diest, op. cit., hlm. 16.

83
di Australia dan Borneo bahwa kualitas batu bara yang terdapat
di daerah Ombilin Sawahlunto sedikit lebih baik.35

C. Masalah Pembebasan Tanah Tambang Batu


Bara Ombilin
Penemuan batu bara di sepanjang Batang Ombilin dan
wilayah Sawahlunto sekitarnya menarik minat para investor
untuk menanamkan modalnya. Pada tahap awal, penambangan
batu bara Ombilin haruslah melewati dua tahap. Pertama,
proses pembebasan tanah dari kaum adat setempat, dan kedua,
konsesi penambangan dari pemerintah kolonial Belanda.
Dalam pelaksanaannya, pembebasan tanah diselesaikan
secara hukum adat Minangkabau, sedangkan masalah konsesi
penambangan berhubungan dengan pemerintah kolonial
Belanda. Kedua proses ini berjalan pada proses awal
penambangan batu bara Ombilin. Pemerintah kolonial Belanda
dan pimpinan adat mengadakan perjanjian untuk membebaskan
tanah di areal tambang. Pembebasan tanah dilakukan secara
hukum adat setempat, sedangkan konsesi dilaksanakan oleh
pemerintah kolonial Belanda.36
Masalah pembebasan tanah yang akan ditambang oleh
pemerintah pada prinsipnya berhubungan erat dengan hukum
pribumi atau hukum adat setempat. Hukum adat yang
dimaksudkan adalah hukum adat Minangkabau. Hukum adat
di Minangkabau memiliki konsep tersendiri tentang pola
pemilikan tanah sehingga dalam pembebasan tanah yang
35
ibid., hlm. 17. Lebih jauh lihat juga misalnya R. D. M. Verbeek, op. cit., hlm. 140—
141.
36
Lebih jauh lihat misalnya Okira Oki, Social Change in West Sumatra Village 1908
–1945. (Camberra: Thesis pada Australian National University, 1977), hlm. 122—
129. Lihat juga misalnya, Joel S. Kahn, Constituting the Minangkabau, Peasants,
Culture and Modernity in Colonial Indonesia. (London: A University College
London, 1988), hlm. 217—220.

84
mengandung batu bara di Ombilin mengalami proses
pembebasan berdasarkan pola-pola hukum adat Minangkabau.
Persoalan seperti itu menjadi suatu hal yang lazim, terutama
dalam upaya pemerintah untuk mendapatkan tanah yang
mengandung kekayaan alam yang potensial.
Masalah konsesi menyangkut proses perizinan
penambangan batu bara dari pemerintah kolonial Belanda.
Masalah konsesi penambangan berkaitan dengan hukum
kolonial Belanda. Penerapan hukum kolonial dalam proses
perizinan penambangan batu bara Ombilin disebabkan
pemerintah kolonial Belanda merupakan pemegang
kekuasaan di Minangkabau pada waktu itu. Untuk lebih jelas,
uraian berikut ini akan mencoba membahas masalah
pembebasan areal tanah tambang batu bara Ombilin yang
berhubungan dengan hukum adat Minangkabau.
Ditinjau secara keseluruhan, dalam proses pembebasan
tanah berjalan lancar saja. Dengan kondisi tanah yang selama
ini tidak dimanfaatkan sama sekali oleh penduduk di sekitar
areal penambangan karena tidak dapat ditanami, mereka pun
melepaskan tanah itu untuk ditambang. Hukum adat
melihatnya dalam konteks memberi izin usaha bagi orang luar.37
Sebelum melakukan pembahasan tentang pembebasan
tanah yang memiliki kandungan batu bara, haruslah dilihat pola
kepemilikan tanah yang berlaku di Minangkabau. Tanah di
Minangkabau adalah milik suatu kaum, yang dikenal dengan

37
Secara hukum adat, terutama pada Luhak Nan Tigo, izin pemanfaatan tanah untuk
asing seperti orang Belanda tidak diizinkan. Namun, Ombilin berada di luar Luhak
Nan Tigo, sehingga aturan adatnya longgar. Secara hukum adat, bila tanah digarap
oleh orang luar, hal itu haruslah memenuhi syarat sebagai berikut, yaitu membayar
bea. Jangka waktu pengerjaan tanah terbatas. Tidak boleh memindahkan hak pada
orang lain. Pemegang izin wajib mengembalikan pada penghulu yang memberinya
izin. Apabila penggarap itu meninggal, garapannya menjadi harta gantung sampai
waktu tertentu. A. A. Navis, op. cit., hlm. 152—153.

85
nama tanah ulayat.38 Sebagai tanah kaum, tanah merupakan harta
pusaka tinggi dalam masyarakat. Pada tanah yang demikian itulah
pemerintah kolonial Belanda berusaha mendapatkan tanah
untuk dijadikan areal penambangan batu bara. Batu bara Ombilin
terdapat pada areal yang luas dan tersebar di berbagai tempat di
sekitar daerah Sawahlunto. Salah satu contoh dari luas tanah
yang mengandung batu bara adalah Sungai Durian, Parambahan,
Sigalut dan Lurah Gadang. Di daerah itu diperkirakan batu bara
terdapat pada areal seluas 6000 ha.39
Dalam menyelesaikan persoalan ganti rugi tanah kaum,
penduduk diwakili oleh elite tradisionalnya, yaitu penghulu.
Penghulu diangkat oleh pemerintah Belanda. Dalam persoalan
tanah di Minangkabau, peranan penghulu amat besar. Keputusan
diambil oleh seorang penghulu setelah melakukan musyawarah
dengan kaumnya. Berdasarkan hasil musyawarah itu penghulu
mengajukan persyaratan yang diminta kepada pihak
pemerintah.40 Hal itu akan terlihat dalam proses penyelesaian
ganti rugi tanah tambang batu bara Ombilin Sawahlunto.41
Pemerintah Hindia Belanda sendiri amat menyadari
keharusan untuk membayar ganti rugi atas tanah ulayat. Laporan
pemerintah Belanda menyatakan bahwa masalah pembebasan
tanah juga harus diperhitingkan dan dimasukkan ke dalam
rancangan anggaran penambangan batu bara Ombilin.42

38
Lebih jauh lihat pada bab II D, yaitu “Pola Pemilikan Tanah di Minangkabau”.
39
Luas areal batu bara belum termasuk di berbagai tempat lainnya seperti di
Tanjung Ampalu, Padang Sibusuk, Sawahlunto, dan Hulu Lunto. L. de Bree,
Nederlandsch-Indie in de Twintigste Eeuw in 1900 – 1913. (Batavia: G. Kolff &
Co. 1916) hlm. 467.
40
D. G. Stibee, op. cit., hlm. 32—42.
41
Akira Oki, op. cit., hlm. 113—126.
42
Okira Oki, ibid. Sebagai catatan, Oki mengutip dari sumber-sumber Belanda,
seperti tulisan Ijzerman, 31 Desember 1886 Np. 8820, dalam, B. H. F. van Heuzen,
Het Ombilin Steenkolenbedrijd door een Bestuursambtenaar Bezien. (Korn
Collection, 1931), hlm. 40—56.

86
Ditinjau dari segi hukum adat yang terdapat di
Minangkabau, tanah tambang batu bara Ombilin termasuk ke
dalam katagori tanah pusaka tinggi. Walaupun kondisi tanah
yang mengandung batu bara bukanlah tanah yang dijadikan
sebagai lahan garapan penduduk, namun dalam tinjauan
hukum adat tetap termasuk ke dalam harta pusaka tinggi.
Wilayah tanah tambang batu bara hanya termasuk ke dalam
kategori hutan lepas.43 Sebagai harta pusaka tinggi, pembebasan
tanah haruslah tetap diselesaikan berdasarkan aturan-aturan
hukum adat. Dalam konteks ini, usaha pembebasan tanah
tambang oleh pemerintah kolonial Belanda menjadi menarik.
Pengaturan tentang tanah yang mengandung barang berharga
di wilayah pemerintah kolonial Belanda diatur berdasarkan hak-
hak atas barang galian yang terdapat dalam tanah. Hak-hak atas
barang galian atas tanah dirumuskan dalam sebuah undang-
undang, yaitu Nederlansch Indie Mijnwet, yang dimuat dalam S.
1899 No. 214. Peraturan Pelaksanaan Undang-undang itu dimuat
dalam Peraturan Pertambangan atau Mijnordonantie, 1930, No.
38.44 Undang-undang tersebut dibuat setelah dilaksanakannya
berbagai proyek penambangan, seperti pada batu bara Ombilin.
Pola kepemilikan tanah di Minangkabau berbeda dengan
sistem pemilikan tanah daerah lainnya, seperti di Sumatra
Timur, Jambi, dan Sumatra Selatan. Di daerah itu tanah
merupakan milik kerajaan, sedangkan rakyat hanya memiliki
hak untuk mengelola saja. Pemanfaatan tanah itu lebih mudah

43
Hutan lepas merupakan tanah adat dalam katagori ketiga setelah tanah garapan
seperti sawah dan ladang, tanah rambahan yaitu tanah yang sudah ditebangi,
namun belum ditanami dan hutan lepas sebagai tanah yang belum di olah sama
sekali. Pada umumnya areal tanah tambang terdapat pada katagori ketiga ini
yaitu hutan lepas. Akira Oki, op. cit., hlm. 115.
44
Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria Indonesia. (Yogyakarta:
Liberty, 1987), hlm. 76.

87
disebabkan segala persoalan berhubungan dengan satu tangan,
yaitu raja atau sultan.45
Sebaliknya, dalam sistem adat Minangkabau semua tanah
yang terdapat dalam kesatuan adatnya adalah milik suatu suku
atau kaum. Sebuah contoh adalah bukit yang terdapat dalam
suatu nagari, bukit itu biasanya dimiliki oleh beberapa suku.
Pembebasannya akan melibatkan banyak suku. Setiap
penggunaan, jual-beli, dan penggadaian tergantung pada
persetujuan setiap anggota suku yang terdapat dalam kaum
itu untuk melakukannya.46
Dalam hukum adat Minangkabau, tanah ulayat atau
pusaka tinggi pada prinsipnya tidak boleh diperjualbelikan.
Harta pusaka tinggi hanya boleh digadaikan. Penggadaian harta
pusaka tinggi berlaku pada kondisi-kondisi tertentu saja,
terutama dalam kondisi yang amat mendesak dalam keluarga.
Adat Minangkabau merumuskan tiga kondisi yang dianggap
sangat medesak, seperti dalam ungkapan “perawan tua belum
kawin, mayat terbujur di atas rumah, dan rumah gadang yang
kebocoran.” 47 Persoalannya adalah kondisi masyarakat
bukanlah pada keadaan yang terdesak seperti itu sehingga tidak
diperlukan putusan adat untuk masalah pembebasan tanah.
Berdasarkan hal itu, tanah yang mengandung batu bara di
Sawahlunto sesungguhnya merupakan tanah milik suku atau
kaum di Sawahlunto. Suku-suku yang mendapatkan ganti rugi

45
Moehammad Said, Koelie Kontrak Tempo Doeloe: Riwayat dan Penderitaannya
(Medan: Waspada, 1977). Lihat juga Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani,
Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863 – 1947. (Jakarta:
Sinar Harapan, 1985), hlm. 90—119.
46
A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru. (Jakarta: Grafiti Press, 1986), hlm.
160—165. Lihat juga misalnya Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. (Jakarta: Gunung Agung, 1984),
hlm. 212 – 229.
47
A. A. Navis, ibid., hlm. 167—168.

88
dalam pembebasan tanah tambang adalah suku Piliang, Bodi,
dan Madailiang. Penggantian itu bukanlah dibagi kepada
penduduk yang memiliki tanah, tetapi digunakan untuk
upacara adat.
Sebagai pemilik tanah, suku itu mempunyai hak untuk
menentukan pengelolaannya. Ditinjuau secara geografis, tanah
itu tidaklah dikelola oleh masyarakat karena bukanlah lahan
yang subur untuk lahan pertanian, tetapi lebih merupakan
perbukitan yang dipenuhi oleh batu-batuan. Perbukitan itu
selama ini menjadi lahan yang tidak diolah. Tanpa memiliki
pengetahuan tentang batu-batuan, khususnya batu bara,
mereka tidaklah dapat mengetahui, mengelola, dan me-
manfaatkan batu bara sebagai sumber energi.
Persyaratan untuk menambang batu bara haruslah
memiliki dukungan teknologi maupun dana.48 Melihat kondisi
proyek penambangan batu bara merupakan suatu proyek
besar, sementara masyarakat tidak mempunyai dana dan
pengetahuan yang cukup mengenai manfaat batu bara,
pemerintah Hindia Belanda pun berkeinginan untuk
menambang areal pertanahan yang mengandung batu bara
dalam jumlah yang besar itu. Dorongan lainnya adalah per-
kembangan teknologi di Eropa, terutama dengan ditemukannya
batu bara sebagai sumber energi baru. Penemuan penting itu
membuat pemerintah kolonial Belanda sangat berminat untuk
menambang batu bara di Ombilin.
Yang menjadi masalah adalah biaya pembebasan tanah
pada saat awal penambangan, apakah pemerintah membayar
ganti rugi atas tanah kaum yang mengandung batu bara itu.

48
Studi kelayakan tentang biaya yang dibutuhkan untuk penambangan dan sarana
seperti transportasi, dibutuhkan dana 12 juta gulden. Rusli Amran, op. cit., hlm.
311.

89
Joel S. Khan telah membahas secara ringkas masalah
pembebasan tanah tambang itu. Dalam pembebasan areal
tanah tambang, pemerintah menggunakan kedudukan
penghulu untuk mempengaruhi kaumnya.49
Dalam masalah ganti rugi tanah, pemerintah membayar
ganti ruginya secara menyeluruh atau satu kampung.
Pemerintah Belanda tidak membayar ganti rugi atas tanah
penduduk secara perorangan, tetapi dibayarkan kepada suatu
kampung secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah ganti
rugi yang diberikan kepada Kampung Kubang.50
Uang ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah Belanda
dinamakan sebagai uang adat. Jumlah ganti rugi yang diterima
oleh penduduk Kubang adalah f 1.500,- dengan perincian, f
1.000,- sebagai ganti rugi atas tanah yang mengandung batu
bara dan f 500,- untuk biaya pelaksanaan upacara adat.51 Jadi,
uang yang diterima bukanlah dibagikan kepada penduduk,
tetapi digunakan untuk pesta adat. Biaya yang dikeluarkan
dalam pesta adat itu tidak hanya uang f 500,- saja, tetapi juga
diambil dari uang ganti rugi untuk tanah karena pesta adat itu
membutuhkan biaya yang cukup besar.52
Bentuk ganti rugi seperti itu diterapkan secara menyeluruh
oleh pemerintah pada tanah yang mengandung batu bara.
Dalam proses pembayaran ganti rugi, pemerintah
membayarnya secara bertahap berdasarkan pembukaan setiap
areal penambangan baru, seperti yang telah disebutkan tadi.

49
Pola-pola seperti itu sudah lazim digunakan oleh Belanda dalam menyelesaikan
berbagai persoalan dengan masyarakat. Belanda tinggal menunjuk penghulu
dalam setiap nagari untuk penyelesaian ganti rugi tanah. Bagi penghulu, hal itu
pun menjadi kehormatan baginya. Joel S. Kahn, op. cit., hlm . 240.
50
Okira Oki, op. cit., hlm. 112.
51
ibid., hlm. 111.
52
ibid., hlm. 112—113.

90
Uang pembayaran tidak langsung diterima penduduk, tetapi
melalui penghulu dan digunakan untuk keperluan pesta adat.
Dalam proses pembebasan tanah, pihak pemerintah
menawarkan ganti rugi secara tahunan. Tawaran itu tidak
disetujui oleh penduduk. Masalah sebenarnya adalah pemerintah
tidak berkeinginan untuk membayar ganti rugi atas tanah ulayat
tersebut. Perbedaan pandangan antara penduduk dengan
pemerintah tentang status tanah mengakibatkan pemerintah
enggan untuk membayarkan ganti rugi. Pada satu sisi, penduduk
beranggapan bahwa tanah yang mengandung batu bara itu adalah
tanah kaum, namun pada sisi lain pemerintah beranggapan
bahwa tanah itu hanya diakui sebagai hak guna. Perbedaan itulah
yang menjadi persoalan mendasar dalam pembebasan tanah
tambang batu bara Ombilin.53
Masalah ganti rugi atas tanah ulayat dianggap sebagai
pemindahan hak teritorial nagari sehingga dianggap sebagai hak
pakai. Berdasarkan pemikiran seperti itu, pemerintah berusaha
mengaburkan konsep tanah ulayat dengan tujuan menghindari
ganti rugi. Walaupun akhirnya pemerintah tetap membayar
ganti rugi, namun jumlah yang diberikan tidaklah sesuai dengan
hasil yang diperoleh dari tanah itu.
Dengan melihat kondisi pertanahan di Minangkabau,
agaknya pemerintah tidaklah mengadakan suatu perjanjian
dengan masyarakat setempat menyangkut masalah ganti rugi
atas tanah kaum itu secara keseluruhan. Dasar pemikiran
pemerintah kolonial Belanda adalah bahwa tanah yang
mengandung batu bara bukanlah tanah garapan penduduk
sehingga dianggap sebagai tanah lepas.
Tanah lepas itu dianggap oleh pemerintah sebagai tanah
negara. Sebagai tanah negara pemerintah mempunyai hak

53
ibid., hlm. 115.

91
mengelola. Hal itu berlaku juga untuk tanah tambang batu bara
Ombilin. Dengan sengaja pemerintah tidak memperhatikan
hukum adat Minangkabau dengan tujuan tidak membayar ganti
rugi atas tanah tambang.54 Keengganan pemerintah untuk
membayar ganti rugi akan terlihat dari kecilnya jumlah yang
diberikan kepada penduduk dibandingkan dengan luas areal
dan nilai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

D. Konsesi Penambangan Batu Bara Ombilin


Sebelum membahas masalah konsesi atau izin penambangan
batu bara Ombilin secara lebih jauh, akan dilihat dahulu masalah
undang-undang penambangan di Hindia Belanda. Untuk
pengaturan pertambangan, pemerintah kolonial Belanda
mempunyai suatu kebijakan tersendiri. Kebijakan pemerintah
itu dituangkan dalam bentuk undang-undang dengan tujuan
penertiban penambangan oleh orang-orang Belanda, pihak
swasta asing, maupun oleh penduduk pribumi.
Undang-undang pertambangan dapat dibedakan atas dua
bentuk yaitu opspring (penyelidikan) dan ontginning
(pembukaan). Opspring adalah usaha penyelidikan dengan
sengaja untuk mencari barang galian. Adapun ontginning adalah
suatu usaha untuk mengeluarkan barang tambang yang telah
ditemukan itu. Kesemuanya itu oleh pemerintah diatur dalam
pasal 1, S. 1899, No. 214.55
Selain penyelidikan maupun pembukaan, pemerintah
pun mempunyai peraturan. Peraturan itu adalah, di antaranya,
untuk melakukan penyelidikan diperlukan vergunning dari
pemerintah. Penyelidikan harus dilakukan dalam waktu satu
tahun. Izin penelitian hanya berlaku selama tiga tahun.

54
Joel S. Khan, op. cit., hlm. 246.
55
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm. 76.

92
Pemegang izin diperbolehkan menguasai hasil galian yang ia
temukan. Permohonan izin dapat ditolak dengan alasan
kepentingan umum. Pihak yang berhak mengadakan
penggalian adalah orang Belanda, perseroan Belanda dan
penduduk pribumi. Untuk hak penyelidikan, ia harus
membayar 2,5 sen setiap hektar dan 4 % dari hasil kotor. Izin
berlaku selama 75 tahun dan meliputi tanah paling luas 1000
hektar.56 Semua aturan itu dituangkan dalam Staatbalad No.
348 tahun 1930. Dalam konteks ini penambangan batu bara
Ombilin Sawahlunto berada dalam rangkuman peraturan
pemerintah Hindia Belanda.
Setelah ditemukannya batu bara di Ombilin dan terdapat
persetujuan masalah pembebasan tanah areal penambangan,
selanjutnya adalah masalah konsesi atau perizinan penambangan
batu bara Ombilin yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Dalam konsesi penambangan itu, pemerintah pada
awalnya sudah menawarkan kepada pihak swasta untuk
menanamkan modalnya pada tambang batu bara Ombilin.57
Sejak awal ditemukannya batu bara Ombilin, pemerintah
berkeinginan agar pihak swasta yang mengerjakannya.
Pemerintah hanya berkeinginan mendapatkan berbagai pajak
dari hasil tambang itu. Hal itu terbukti ketika diadakannya
penawaran pertama pada tahun 1883. Dalam penawaran
untuk mengerjakan tambang itu, pemerintah telah melakukan
tender secara terbuka kepada pihak swasta untuk mengelola
tambang batu bara Ombilin. Ternyata tender pertama itu
menarik minat pihak swasta yang secara antusias menanggapi

56
ibid., hlm. 77.
57
P. H. van Diest, Nota tot Aanvulling der Mededelingen Over den Stand der
Concessie-aanvrage tot Ontginning van kolen uit het Ombilienveld en Aanleg
van een Spoorweg van daar naar Padang. (Amsterdam: C. F. Stemler, dd 20
Agustus 1872), hlm. 1—3.

93
penawaran pemerintah itu. 58 Pihak swasta menghadapi
kendala yang sangat berat dalam rangka eksploitasi batu bara
Ombilin, yaitu besarnya modal yang harus dikeluarkan. Dari
hal itu muncul persoalan, siapa yang mampu menanamkan
modal pada pertambangan batu bara Ombilin.
Pada tahun 1883, pemerintah mengadakan tender terbuka
untuk mengerjakan penambangan batu bara Ombilin. Tender
yang diajukan oleh pemerintah kepada pihak swasta adalah dalam
rangka menambang batu bara seluas 70 hektar di daerah Sungai
Durian. Berdasarkan kandungan batu bara yang dimiliki
Ombilin, banyak pihak yang tertarik, namun karena biaya yang
dibutuhkan terlalu tinggi pihak swasta merasa enggan untuk
menanamkan modalnya.59 Dalam penawaran itu tidak ada pihak
swasta yang merasa mampu mengerjakan proyek itu.
Pada tahun 1886, pemerintah kembali menawarkan secara
terbuka kepada pihak swasta untuk menambang batu bara
Ombilin. Melalui surat keputusan tanggal 20 Juli 1886, dengan
Nomor 29,60 pemerintah mengadakan tender terbuka bagi
swasta untuk menanamkan modalnya pada tambang batu
bara Ombilin. Modal awal yang dibutuhkan untuk melakukan
penambangan adalah juga sekaligus untuk pembuatan jalan
kereta api yang berkisar 17 juta gulden.61
Dalam laporan tentang biaya penambangan dan kereta
api, Wiltens membuat laporan lebih rinci. Teryata biaya
pembuatan jalan kereta api melebihi biaya operasional
tambang itu sendiri. Adapun biaya penambangan batu bara

58
Jaarkoek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oost Indie 1983, Sumatra‘s
Westkust Verslag Np. 1. (Amsterdam: C. F. Stemler, 1884), hlm. 121 – 134.
59
H.W.A. Wiltens, Aanleg van Spoorwegen en Kolenmijn Ontginning: Consessie
Aanvrag. (Batavia: G. Kolff & Co, 1889), hlm. 3—9.
60
Lihat Lembaran Negara No. 29 tahun 1886.
61
12 Juta gulden untuk pembuatan jalan kereta api, sedangkan 5 juta untuk biaya
penambangan. Lebih jauh lihat Rusli Amran, op. cit., hlm. 311.

94
dan pembuatan jalan kereta api secara keseluruhan adalah f
15.000.000.-, yang terdiri atas 5,5 juta gulden untuk sarana
dan prasarana penambangan batu bara dan selebihnya untuk
biaya sarana transportasi.62
Pemerintah pada pokoknya memberi keringanan dalam
pengerjaan proyek tambang. Adapun bentuk keringanan yang
diberkan adalah memberikan bunga sebesar 5 % atas proyek
itu.63 Setelah melihat modal awal yang harus dikeluarkan untuk
mengerjakan penambangan dan keharusan penyediaan dana
untuk sarana kereta api demikian besarnya, pihak swastapun
merasa tidak sanggup melaksanakan proyek itu.
Ketidaksanggupan pihak swasta bukan hanya karena
masalah modal, tetapi juga berkaitan dengan masalah harapan
keuntungan yang akan didapatkan. Besarnya modal yang
harus ditanamkan dalam proyek itu membuat pihak swasta
merasa tidak bersedia untuk menanamkan modalnya pada
perusahaan tambang batu bara. Hal itu dapat dipahami karena
penggunaan batu bara sebagai sumber energi pada waktu itu
belumlah menjadi kebutuhan yang tinggi, baik kebutuhan
dalam negeri maupun untuk dijadikan komoditas ekspor.
Walaupun batu bara Ombilin memiliki kualitas yang cukup
baik, namun untuk bersaing di pasar internasional masih
kalah dengan batu bara dari tempat lainnya, seperti batu bara
California, Amerika Serikat. Sebagai akibatnya, tidak satupun
pihak swasta yang bersedia membiayai proyek itu dan
kemudian mengundurkan diri. Pihak swasta akhirnya
menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk
mengerjakan proyek pertambangan batu bara Ombilin.64

62
H.W.A. Wiltens, op. cit., hlm. 16—21.
63
Rusli Amran, op. cit., hlm. 311.
64
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oost Indie 1986, Sumatra‘s
Westkust Verslag Np. 1. (Amsterdam: C.F. Stemler, 1887), hlm. 125—130.

95
Pemerintah menginginkan bahwa penanaman modal tidak
hanya berkaitan dengan sarana penambangan, tetapi juga
dengan sarana transportasi pengangkutan batu bara ke
pelabuhan. Sebagai alternatif yang ditawarkan, transportasi
yang terbaik untuk mengangkut batu bara haruslah melalui
jalan darat, yaitu kereta api. Bentuk pilihan itu menjadi amat
berat bagi pihak swasta, terutama penyediaan dana dalam
jumlah yang besar. Walaupun demikian, pemerintah tetap
membuka kesempatan kepada modal swasta untuk ikut
menanamkan modalnya di pertambangan batu bara Ombilin.
Persoalan pembuatan jalan kereta api untuk pengangkutan
batu bara Ombilin menjadi topik pembicaraan di tingkat pusat.
Melalui penelitian yang telah dilakukan, sarana transportasi
yang menguntungkan adalah kereta api. Bertitik tolak dari
kondisi seperti itu, dengan sendirinya pembuatan jalan kereta
api dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
penambangan batu bara Ombilin sehingga sebelum
penambangan batu bara Ombilin dikerjakan, terlebih dahulu
haruslah disediakan sarana transportasinya.65
Dalam sebuah laporan kepada pemerintah dikatakan bahwa
menteri jajahan di Negeri Belanda menanti kabar dari Hindia
Belanda mengenai pembuatan jalan kereta api antara Padang,
Solok, dan Sawahlunto. Pembuatan jalan itu belum dilengkapi
dengan peraturan yang bersifat definitif, tetapi ditentukan untuk
menjalankannya dengan bantuan seorang insinyur yang
berkebangsaan Inggris.

65
Alam yang bergunung-gunung dan berlembah-lembah mengakibatkan sarana
transportasi menjadi sulit. Salah satu alternatif yang diajukan untuk
pengangkutan batu bara antara Sawahlunto dengan Padang adalah kereta api
kabel atau gantung. Lebih jauh lihat misalnya, D. D. Veth, “De Zwevende
Kabelspoorweg en zijn Toepassing bij de Ontginning der Ombilienkolen”, dalam
Tijdschrief Voor Nederlands Indie. (Batavia-Gronigen, No. 3, Bg. I th. 1881),
hlm. 827—836.

96
Bantuan dari insinyur Inggris itu didatangkan karena di
Hindia Belanda tidak ada insinyur Belanda yang memiliki
pengalaman mengerjakan jalan kereta api yang sesuai dengan
kondisi alam di Minangkabau.66 Kondisi alam yang terberat
adalah lokasi pembuatan jalan kereta api di lembah, lereng
bukit, terowongan, dan jembatan.67 Pada akhirnya, jalan
kereta api yang menghubungkan Padang dengan Sawahlunto
lebih dahulu dioperasionalkan dibandingkan dengan
penambangan batu bara. Kereta api sudah dapat
dioperasionalkan pada tahun 1887, sedangkan batu bara baru
mulai berproduksi pada tahun 1892.68
Berbagai hambatan ditemui dalam pelaksanaannya,
terutama masalah dana dan transportasi yang mengakibatkan
proses penambangan terlambat dikerjakan. Barulah pada tahun
1891, surat keputusan penambangan diturunkan, sedangkan
produksi baru berjalan pada tahun 1892.69
Pada tahun 1891 pemerintah Hindia Belanda secara langsung
menanamkan modalnya pada tambang batu bara Ombilin.
Untuk operasional pertamanya, pemerintah menunjuk Ir. J.A.
Hooze melakukan persiapan kebutuhan penggalian batu bara.
Penunjukkan Hooze tidak terlepas dari desakan Ir. E.Van der
Elst, Direktur Jenderal Tambang Belanda. E. van der Elst
mempunyai keinginan besar menempatkan Hooze sebagai
direktur pertambangan batu bara.
Penempatan itu dengan dasar pemikiran bahwa Hooze
merupakan seorang insinyur pertambangan dan telah

66
P. H. van Diest, op. cit., hlm. 4.
67
Lihat lampiran I, profil tanah yang terdapat dari Padang ke Sawahlunto.
68
E.Y.K. Sprenger, “De Eerste Spoorweg op Sumatra`s Westkust”, dalam,
Tijdschrift voor Nederlands Indie Bg. I & II. (Batavia: Groningen, 1887), hlm.
241—250. Untuk masyarakat umum, kereta api pertama kali dibuka pada tahun
1 Oktober 1892.
69
Adeng Sunardi, op. cit., hlm. 4.

97
mempunyai pengalaman dalam pertambangan di Kalimantan.
Dengan kedudukan yang diberikan kepadanya, diharapkan
proses awal penambangan dapat berjalan lancar sehingga
tambang batu bara Ombilin mampu memberikan keuntungan
ke dalam kas negara.70 Akan tetapi, yang diangkat sebagai
pimpinan pertama dari tambang batu bara Ombilin adalah Ir.
W. Godefroy, seorang geolog lainnya.71 Ia memimpin tambang
batu bara Ombilin dari tahun 1891 sampai tahun 1892. Pada
tahun 1892, ia digantikan oleh Ir. J.W. Ijzerman.72 Ketika di
bawah pimpinan Ijzermanlah proyek penambangan batu bara
Ombilin Sawahlunto mulai berproduksi.73

70
J.W. Ijzerman, “Verslag Betrefende Midden Sumatra`s”, dalam Tijdschrift
Aardrijkskunding Genootschap. (Leiden: E. J. Briil, 1892), hlm. 20—21.
71
Untuk melihat pimpinan tambang batu bara dari tahun ke tahun, lihat lampiran 7.
72
Adeng Sunardi, op. cit., hlm. 39.
73
ibid., hlm. 39. Lihat juga Ijzerman, op. cit., hlm. 24.

98
Untuk dapat melakukan penambangan batu bara di
Ombilin, diperlukan rancangan undang-undang. Rancangan
undang-undang tidaklah bisa diperoleh begitu saja, tetapi
harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat di Negeri
Belanda. Setelah dewan melakukan persidangannya, di-
tetapkanlah rancangan undang-undang tersebut pada tanggal
24 November 1891.74
Masalah kekuatan hukum merupakan masalah tersendiri
dalam pelaksanan rancangan undang-undang itu. Untuk
mendapatkan kekuatan hukum sebagai sebuah undang-
undang yang syah, Dewan Penasehat Negara menerbitkan
Lembaran Negara No. 2 tertanggal 4 Januari 1892. Adapun isi
pokok undang-undang itu adalah menaikkan anggaran belanja
pemerintah Hindia Belanda untuk tahun anggaran 1892 dalam
rangka eksploitasi tambang batu bara Ombilin.75
Hal yang perlu diperhatikan dalam masalah konsesi
penambangan adalah konsesi yang diberikan berdasarkan
paket untuk satu daerah saja. Sebagai contoh adalah paket
pertama berlaku untuk wilayah Sungai Durian, sedangkan
paket berikutnya pada wilayah-wilayah yang belum
ditambang, baik di Sungai Durian maupun di tempat lainnya
di Sawahlunto. Tidaklah mengherankan, pada tahun-tahun
selanjutnya akan terlihat banyaknya konsesi yang diberikan
oleh pemerintah dalam penambangan itu. Konsesi-konsesi
yang dikeluarkan bukanlah berisi ganti rugi atas tanah kaum,
tetapi untuk melakukan penambangan batu bara.
Sejalan dengan pemberian konsesi yang dilakukan oleh
pemerintah, pihak perusahaan penambangan juga
membutuhkan buruh untuk melaksanakan berbagai pekerjaan

74
Lembaran Negara No.2, Januari 1892.
75
ibid.

99
pada proyek itu. Berbagai cara dilakukan untuk mendatangkan
buruh supaya mau bekerja di proyek penambangan batu bara.
Beberapa pola yang digunakan untuk merekrut buruh adalah
mempekerjakan tahanan penjara (di kemudian hari lebih
dikenal dengan sebutan orang rantai karena dalam bekerja kaki
mereka dirantai), merekrut buruh secara kontrak dari
Singapura (terutama buruh Cina) dan dari Jawa, serta
mempekerjakan penduduk sekitarnya sebagai buruh bebas atau
harian. Dalam konteks yang demikian tulisan ini mencoba
membahas secara lebih dalam berbagai masalah yang dihadapi
oleh buruh tambang batu bara Ombilin Sawahlunto antara
tahun 1891 sampai 1927.

E. Masalah Transportasi
Ditinjau dari segi geografis, areal pertambangan batu bara
Ombilin terletak di pedalaman Minangkabau. Sebagai daerah
pedalaman, sarana transportasi merupakan masalah besar yang
dihadapi pada masa-masa kolonial. Sebelum dibukanya jalan
kereta api yang menembus wilayah perdalaman Minangkabau,
sarana transportasi yang tersedia menghubungkannya dengan
dunia luar adalah jalan darat biasa dan melewati sungai-sungai.
Jalan darat menghubungkan daerah pedalaman dengan pantai
barat Sumatra, sedangkan jalur sungai menghubungkan
pedalaman dengan pantai timur Sumatra.76
Jalan darat yang menembus daerah perdalaman
Minangkabau lazim juga disebut dengan jalan setapak.77 Jalan
setapak yang sering digunakan terdapat sebanyak empat jalur.
Keempat jalur itu adalah; pertama, menelusuri Danau
Singkarak, Saniang Baka melewati Bukit Barisan menenbus
76
Christine Dobbin, op. cit., hlm. 70.
77
Jalan itu dinamakan jalan setapak disebabkan hanya bisa dilewati oleh manusia
dan tidak bisa dilewati oleh kendaraan. ibid., hlm. 71.

100
Limau Manis dan terus ke Koto Tangah menuju Pariaman
dan Padang. Jalur kedua dikenal juga dengan Jalan Bukit Tujuh
menuju VI Koto melewati sebelah timur Gunung Singgalang
terus ke Kayu Tanam dan Pariaman. Jalur ketiga adalah dari
Luhak Tanah Data, Batipuh, Bukit Ambacang, Bukit Timbun
Tulang, Kayu Tanam, Sicincin menuju Pariaman. Jalur
keempat adalah “jalan sapi” yang digunakan oleh penduduk
IV Koto melewati tenggara Gunung Singgalang menuju Kayu
Tanam dan Pariaman.78

78
Rusli Amran, op. cit., hlm. 304—305. Lihat juga Christine Dobbin, op. cit., hlm.
70. Pada abad XIX Pariaman menjadi pusat perdagangan utama di pantai barat
bagian tengah Pulau Sumatra. Tentang Pariaman, lihat Tsuyoyoshi Kato, “Rantau
Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad XIX, dalam Akira Nagazumi
(ed.), Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1986 ), hlm. 77—115.

101
Jalan darat yang menghubungkan daerah pantai dengan
Sawahlunto merupakan jalur tradisional. Sebagai jalur
tradisional, jalan hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki saja
dan tidak mungkin dilewati oleh kendaraan tradisional seperti
pedati.79 Persoalan pokok yang dihadapi adalah jalan itu
melewati bukit dan lembah sehingga medan yang ditempuh
menjadi sangat sulit. Jalur transportasi lainnya yang cukup
penting yang menghubungkan daerah Sawahlunto dengan
dunia luar adalah melalui sungai.
Sungai yang melewati daerah Sawahlunto adalah Batang
Ombilin. Batang Ombilin yang berhulu di Danau Singkarak,
ketika melewati daerah Ombilin Sawahlunto sungainya kecil
dan dangkal. Dengan demikian, Batang Ombilin tidak bisa
dilewati oleh kapal kecil ataupun kapal besar. Batang Ombilin
ini bermuara ke Batang Kuantan. Batang Kuantan atau muara
Batang Ombilin itulah baru dapat dilewati oleh kapal-kapal.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kemungkinan
untuk mengeruk keuntungan yang amat besar dari
penambangan batu bara Ombilin telah menarik minat
pemerintah Belanda untuk mengerjakannya. Untuk
mewujudkan keinginan itu, pemerintah Belanda kemudian
menunjuk seorang Geolog Belanda yang bernama Greve untuk
melakukan studi kelayakan dan kemungkinan untuk
melakukan penambangan batu bara Ombilin.80 Hanya saja
yang menjadi persoalan adalah tidak terdapatnya sarana dan

79
Pada masa prakolonial dan kolonial Belanda, pedati merupakan sarana transnportasi
tradisional yang menghubungkan Minangkabau dengan dunia luar. Pada masa
sistem taman paksa, kopi diangkut dengan pedati dari pedalaman Minangkabau
ke Padang. Lihat, Mestika Zed, Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial dalam
Sistem Tanam Paksa di Minangkabau, Sumatra Barat. (Jakarta: Thesis S-2 pada
Universitas Indonesia, 1983, khususnya bab II mengenai “geografi Minangkabau”.
80
W. H. de Greve, op. cit., hlm. 50—60.

102
prasarana transportasi untuk pengangkutan batu bara dari
Sawahlunto ke pelabuhan laut di Padang.
Letak batu bara yang berada di pedalaman Sumatra dan tidak
adanya jalur sungai yang memadai itu menyebabkan
dibutuhkannya transportasi alternatif, seperti jalur darat. Pada
awalnya, ada dua tawaran untuk mengangkut batu bara, yaitu
melalui jalur sungai ke pantai timur Sumatra dan melalui jalur
darat ke pantai barat Sumatra dengan menggunakan kereta api.
Kedua jalur itu memungkinkan, sebab memiliki beberapa
kondisi. Dalam praktiknya, jalan yang ditempuh adalah jalan
darat ke pantai barat Sumatra.
Pada tahap awal, beberapa jalan direncanakan sebagai
sarana transportasi seperti melalui sungai, yaitu Batang
Ombilin. Orang yang pertama mengajukan jalur sungai adalah
Greve. Hanya saja, sebelum sampai di daerah yang bisa
dimasuki kapal, batu bara harus juga diangkut melalui jalan
darat terlebih dahulu. Greve mengusulkan untuk membuat
terminal/gudang batu bara di Durian Gadang, Lubuk
Ambacang, atau di Lubuk Jambi. Dari tempat itu barulah
batu bara dapat diangkut dengan kapal dan dijual ke
Singapura.81 Rencana Greve itu tidak terlaksana karena ia
keburu meninggal dunia dalam sebuah survey di Batang
Kuantan. Dengan meninggalnya Greve yang tadinya sebagai
pemimpin ekspedisi itu, berakhir pulalah rencananya.
Gagalnya pengangkutan melalui Batang Ombilin
mendorong dicarinya alternatif lain. Alternatif yang
ditawarkan adalah melalui Pakanbaru. Dari Pakanbaru, batu
bara diangkut melalui Sungai Siak.82 Rencana itu juga gagal

81
ibid., hlm. 371—375.
82
Di kemudian hari, pada zaman pendudukan Jepang, tentara Jepang membuat
jalan dari Sawahlunto ke Pekanbaru. Pembuatan jalan menggunakan tenaga
kerja dari Logas, suatu tempat di mana banyak buruh paksa meninggal dunia.

103
disebabkan jarak antara Sawahlunto dengan Pakanbaru adalah
sekitar 300 km dan melewati beberapa sungai, seperti Batang
Sumpur, Kampar Kiri, dan Kampar Kanan.83
Gagalnya rencana pengangkutan batu bara melalui jalur
sungai mendorong munculnya rencana baru yaitu pengangkutan
melalui jalur darat. Alat yang ditawarkan adalah kereta api.
Persoalan yang dihadapi adalah masalah dana yang harus
disediakan. Jumlah biaya yang harus disediakan sangat besar
karena diperuntukkan bukan saja untuk pembangunan sarana
penambangan dan transportasi, tetapi juga penyediaan sarana-
sarana pokok lainnya, seperti perumahan buruh, peralatan
pertambangan, kesehatan, dan kesejahteraan karyawan.
Penambangan batu bara Ombilin membutuhkan dana yang
besar. Pada tahap awal, pemerintah menawarkan kepada pihak
swasta untuk mengelola tambang sekaligus untuk melengkapi
sarana dan prasarana, seperti transportasi batu bara. Pada awalnya
pihak swasta bersedia untuk menambang, namun meminta
supaya biaya sarana transportasi ditanggung oleh pemerintah.
Pemerintah tetap menghendaki agar pihak swastalah yang
sekaligus menyediakan sarana transportasi batu bara. Dalam
melihat permasalahan penambangan batu bara dan sarana
transportasi tersebut, Rusli Amran menuliskan bahwa pada
tahun 1883 pihak pemerintah mengajukan syarat baru dalam
masalah penambangan batu bara Ombilin, yaitu pengelolaan
kedua proyek (batu bara dan kereta api) harus dipegang oleh
satu tangan saja.84 Dengan demikian, jika ada pihak swasta yang
ingin mengeksploitasi batu bara Ombilin Sawahlunto, semua
sarana seperti transportasi harus disediakannya.

83
Rusli Amran, op. cit., hlm. 312—313.
84
Rusli Amran, op. cit., hlm. 311.

104
Permintaan pemerintah itu tidak dapat disanggupi oleh pihak
swasta. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangaan selanjutnya,
tidak satupun dari pihak swasta yang mampu mengelola proyek
penambangan batu bara karena ketidakmampuan mereka untuk
menyediakan modal untuk pembuatan jalan kereta api. Proyek
kereta api dan biaya penambangan dalam waktu yang bersamaan
menyebabkan dana yang dikeluarkan amat besar.85
Ada dua tawaran jurusan jalan kereta api. Jurusan pertama
adalah antara Sawahlunto ke Subang dengan jarak 94,5 km.86
Tawaran kedua adalah antara Sawahlunto, Solok, menyusuri
tepian Danau Singkarak, Padang Panjang, dan Padang dengan
jarak yang ditempuh sekitar lebih dari 150 km. Setelah
membandingkan kedua jurusan itu, diputuskanlah untuk
menempuh jalan melalui Padang Panjang. Walaupun melalui
Padang Panjang dengan jarak yang ditempuh lebih jauh, namun
tingkat kesulitan yang dihadapi relatif lebih rendah dan
pengeluaran juga dapat ditekan. Pada akhirnya pemerintah
memutuskan untuk mengambil jalur ini.87
Alternatif yang ideal sebagai sarana transportasi yang
dibutuhkan untuk mengangkut batu bara dari Sawahlunto ke
pelabuhan Emmahaven di Padang adalah kereta api.88 Dengan
menggunakan jalur kereta api, batu bara akan dapat diangkut
dalam jumlah yang besar sehingga akan lebih menguntungkan
perusahaan. Segi lain yang diperhitungkan ialah kereta api juga
dapat menghematkan biaya karena daya angkutnya yang banyak.
Pembuatan sarana transportasi seperti kereta api ini
membutuhkan jumlah dana yang amat besar. Pengeluaran
terbesar yang harus dikeluarkan adalah untuk penyediaan

85
H. W. A. Wiltens, op. cit., hlm. 3.
86
ibid., hlm. 4.
87
ibid., hlm. 6—10.
88
W.H. Greve, op. cit., hlm. 75.

105
kereta api dan pembuatan jalannya.89 Besarnya dana pembuatan
jalan kereta api yang harus dibangun karena tingkat
kesulitannya yang tinggi. Kesulitan dan kebutuhan biaya yang
besar terutama terdapat pada pos-pos pengeluaran seperti
pembangunan jembatan, terowongan dan penimbunan tanah
yang berawa-rawa.90

Tingkat kesulitan yang dihadapi dalam pembuatan jalan


kereta api terutama adalah pembangunan sarana jalan yang
dibuat pada tanah yang tidak datar. Bahkan, pada tempat-tempat
tertentu, pembuatan jalan kereta api mempunyai tingkat

89
Sejak proses pertama penambangan, dalam setiap laporan mengenai Tambang
batu bara Ombilin, selalu diikuti dengan laporan tentang kereta api. Hal ini
memperlihatkan kaitan erat antara tambang batu bara dengan sarana transportasi,
seperti kereta api. Dalam berbagai laporan resmi yang dibuat pemerintah, seperti
Verslag der Exploitatie van den Staatsspooweg ter Sumatra‘s Westkust en van de
Ombilin-Kolenvelden, akan terlihat laporan itu selalu menyatukan laporan batu
bara Ombilin dengan kereta api.
90
Melihat medan yang sulit, salah satu bentuk jalan kereta api yang ditawarkan
adalah kereta api gantung. Kereta api gantung ini sebagai alternatif menghadapi
medan yang sulit. Lebih jauh lihat misalnya D. D. Veth, “De Zwevende
Kabelspoorweg en zijn Toepassing bij de Ontginning der Ombilinkolen”, dalam,
Tijdschrif voor Nederlands Indie. No. 3. Bg. I. (Batavia: Groningen, 1881), hlm.
827—836.

106
kesulitan yang sangat tinggi, seperti di pinggang-pinggang bukit,
terowongan-terowongan yang harus menembus perut bukit
maupun melewati lembah-lembah yang dalam. Sungai-sungai
yang dilewati membutuhkan jembatan dalam jumlah yang
cukup banyak.91 Mengikuti tulisan yang dikemukakan oleh
Rusli Amran mengenai tingkat kesulitan yang dihadapi
pemerintah dalam pembuatan jalan kererta api, hal itu dapat
dilihat dari kutipan berikut ini.92
Pilihan hubungan kereta api dari Solok ke Padang melalui
Padang Panjang diambil pada tahun 1878. Tidak saja Teluk
Bayur yang dipilih menjadi pelabuhan, tetapi juga karena
membuat jalan kereta api lewat Subang jauh lebih sulit dan
sepertiga lebih tinggi dari pada Padang Panjang. Antara lain
harus pula membuat paling sedikit 32 terowongan. Jarak via
Padang Panjang lebih jauh (145 banding 78 kilometer), namun
ongkosnya ditaksir kira-kira 5 ½ juta gulden lebih murah.
Kesulitan yang dihadapi lebih banyak disebabkan kondisi
alamnya. Walaupun jalur Solok-Padang sebagai alternatif jauh
lebih dekat, jalur ini mempunyai tingkat ketinggian yang lebih
berat dibandingkan dengan jalur yang melewati Padang Panjang.

91
Laporan-laporan yang ditulis oleh J. L. Cluysenaar memperlihatkan masalah
pembuatan jalan kereta api. Lebih jauh lihat J. L. Cluysenaar, Rapport Over de
aanleg van een Spoorwegen Verbinding van den Ombilin Kolenvelden op Sumatra
met de Ind. Zee. (Batavia: S-Gravenhage G. Kolff & Co., 1876), hlm. 10—23.
Lihat juga laporan J. L. Cluysenaar yang lain, seperti L.C. Cluysenaar,
Ontginning de Ombilin Kolenden en Spoorwegaanleg op Sumatra West Kust.
Verslag Indische Genootschp. (Batavia: S‘Gravenhage G. Kolff & Co., 1884),
hlm. 45—50.
92
Pembuatan jalan kereta api dapat dijadikan sebagai suatu kajian tersendiri. Hal
ini disebabkan banyaknya persoalan yang harus dihadapi dalam proses pembuatan
jalan kereta api, seperti persoalan biaya yang lebih murah dalam membuat jalan
kereta api antara ke pantai barat atau pantai timur Sumatra, buruh pembuatan
jalan kereta api dikerjakan secara paksa dan masalah pembebasan tanah areal
jalan kereta api. Lebih jauh lihat Rusli Amran, op. cit., hlm. 311.

107
Setelah dikaji secara finansial, pada akhirnya pilihan
pembuatan jalan kereta api adalah jalur Solok-Padang Panjang-
Padang. Dasar pemikiran untuk mengambil rute ini sebagai
pilihan akhir adalah dengan pertimbangan bahwa tingkat
kesulitan yang dihadapi relatif rendah dibandingkan dengan
jalur lainnya. Pertimbangan lainnya dalam pengambilan rute
melewati Padang Panjang adalah walaupun jarak yang
ditempuh relatif lebih jauh, biaya yang harus dikeluarkan
relatif lebih rendah.93
Walaupun pihak swasta tidak bersedia untuk mengelola
tambang batu bara Ombilin karena kekurangan dana, pihak
pemerintah tetap berkeinginan untuk melakukan sendiri
penambangan batu bara. Cadangan batu bara dalam jumlah
yang besar dan dengan kualitasnya yang baik membuat
pemerintah berkeinginan membiayai proyek itu di samping
kebutuhan terhadap batu bara di pasar internasional dan
bayangan keuntungan yang akan diperoleh. Keinginan
pemerintah untuk menambang dibuktikan oleh nota Menteri
Jajahan Mr. W. K. Baron van Deden yang menuliskan, “Tatkala
tahun 1885 diputuskan untuk membuat jalan kereta api dari
Ombilin di Sawahlunto ke Padang, namun belum ditentukan
bahwa tambang batu bara Ombilin akan dimodali secara
langsung oleh pemerintah.”94
Sampai tahun 1889/1890 pemerintah belum memutuskan
masalah penambangan batu bara Ombilin. Pertanyaan pokok
antara Kementrian Jajahan pada satu pihak dengan pemerintah
Hindia Belanda pada pihak lain adalah apakah batu bara akan
ditambang oleh pemerintah atau oleh pihak partikulir. Pada
bulan Agustus 1890, Menteri Jajahan memutuskan bahwa

93
E.Y.K. van Sprenger, op. cit., hlm. 242—293.
94
ibid., hlm. 298.

108
dalam pembuatan undang-undang diusulkan pengolahan batu
bara akan diserahkan kepada pemerintah. Oleh karena itu,
pemerintah Hindia Belanda menanggung semua anggaran biaya
penambangan.95
Berdasarkan surat Menteri Jajahan tersebut terlihat bahwa
persoalan penggalian tambang dikaitkan dengan berbagai
sarana transportasi untuk mengangkut hasil tambang.
Penyediaan sarana transportasi sudah menjadi pemikiran awal
sejak perencanaan penambangan dilakukan. Persoalan
mendasar lainnya adalah masalah penanaman modal oleh
swasta untuk penambangan dan sarana transportasi. Pada
gilirannya, kereta api merupakan alternatif yang diberikan
oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengangkut hasil
tambang batu bara dari Sawahlunto ke pelabuhan
Emmahaven di Padang.96
Sementara itu, dalam realisasi penambangan batu bara
Ombilin diputuskan bahwa penambangan dan segala sarana
dan prasarana akan dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda
secara langsung.97 Berdasarkan keputusan itu, sejak awal
penambangan sampai berakhirnya kekuasaan Belanda pada
tahun 1942, batu bara Ombilin merupakan perusahaan yang
secara langsung dikelola oleh pemerintah Kolonial Belanda.

F. Produksi Tambang Batu Bara Ombilin


Kandungan batu bara di Ombilin Sawahlunto terdapat
dalam beberapa lapisan. Setiap lapisan memiliki tingkat
kedalaman yang berlainan dari permukaan tanah serta kualitas
yang berbeda-beda. Ada batu bara yang telah terlihat dengan

95
R.A. van Sandick, “Het Laatste van de Ombilin-questie”, dalam De Indische
Gids (Amsterdam: J. H. Bussy, 1892), hlm. 45—50.
96
Lihat lampiran 6.
97
Lihat Lembaran Negara No. 2, 1892.

109
pandangan mata dari permukaan tanah, bahkan pada tempat-
tempat tertentu batu bara membentuk gundukan-gundukan
dan menjadi perbukitan yang seluruhnya mengandung batu
bara. 98 Di tempat lain, ada juga batu bara yang berada
berpuluh-puluh meter dari permukaan tanah. Dengan
demikian, para geolog membedakan lapisan itu atas tiga bagian
yaitu lapisan A, lapisan B, dan lapisan C.99

98
Lihat foto III
99
W. Wolleman, op. cit., hlm. 25—30.

110
Ditinjau dari segi kualitasnya, setiap lapisan batu bara
memiliki kualitas yang berbeda-beda. Pada lapisan A yang
terletak di permukaan tanah, batu baranya tidak memiliki
kualitas yang tidak begitu baik. Batu bara lapisan B lebih baik
dibandingkan dengan lapisan A, sedangkan antara lapisan C
yang terletak di bawah lapisan B atau pada lapisan paling bawah
dari permukaan tanah lebih baik kualitasnya dari lapisan B.
Dengan kata lain, batu bara pada lapisan C itulah batu bara
memiliki kualitas terbaik dari seluruh cadangan yang tersedia.100
Kualitas terbaik yang terletak pada lapisan C disebabkan
oleh faktor usianya yang berarti batu bara pada lapisan C jauh
lebih tua dibandingkan dengan batu bara yang terdapat pada
lapisan A dan B.101 Bertitik tolak dari kualitasnya pekerjaan
penambangan batu bara selalu bertujuan menggali lapisan C
terlebih dahulu. Hal seperti ini juga dilakukan pada waktu
penambangan batu bara Ombilin Sawahlunto.
Pembukaan penambangan pertama batu bara Ombilin
adalah di Sungai Durian. Pemilihan daerah ini sebagai areal
penambangan berdasarkan segi kualitasnya yang baik dan
kandungan batu baranya yang besar. Dalam sebuah laporan
yang dibuat tahun 1915 misalnya, untuk beberapa daerah utama,
seperti Sungai Durian, Panjang, dan Lunto mengandung batu
bara dalam jumlah besar. Tabel berikut ini memperlihatkan
perkiraan kandungan batu bara Ombilin.

100
Tentang kualitas batu bara, lihat misalnya “De Exploitatie van de Ombilien-
Steen Kolenvelden “, dalam De Indsiche Gids I. (Amsterdam: J.H. de Bussy, 1884),
hlm. 452—456.
101
ibid., hlm. 457—459.

111
Tabel II
Perkiraan Jumlah Batu Bara
Ombilin Sawahlunto
(dalam 1.000 ton)

Daerah Tambang Lapisan A Lapisan B Lapisan C Total


Sungai Durian 100.000 - 1.800.000 1.900.000
Sigalut 130.000 - 130.000
Lunto 65.000 - 5.000 70.000
Lurah Gadang 5.000 - 10.000 25.000
Jumlah 210.000 1.815.000 2.125.000
Sumber: “Verslag van den Sumatra-staatsspoorweg en van de
Ombilinmijnen Over 1915”, dalam Indische Gids, I.
Amsterdam: J.H. de Bussy, 1917, hlm. 419.
Gambaran yang ada bahkan sudah memperkirakan
kandungan batu bara dalam setiap lapisan. Dalam perhitungan
itu, angka yang dikemukakan bersifat perkiraan saja.
Walaupun hanya perkiraan, secara jelas dalam laporan itu
dituliskan tiga wilayah yang mengandung batu bara, yaitu
Durian, Lunto, dan Panjang. Ketiga wilayah itu kemudian
ditambang oleh pemerintah kolonial Belanda. Tambang yang
pertama adalah di Sungai Durian yang dipilih karena jumlah
cadangan yang besar.102
Sebagai sebuah perkiraan, angka yang dikemukakan
bukanlah jumlah yang pasti. Dapat dengan mudah dipahami
jika terdapat perbedaan dalam setiap laporan tentang jumlah
batu bara pada satu lokasi dengan lokasi lainnya. Hal ini akan
terlihat dari laporan lainnya yang berbeda dengan laporan tadi.

102
Verslag der Exploitatie van de Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van de
Ombilin-Kolenvelden. (Batavia: Landsdrukkerij, 1893), hlm. 1—10.

112
Melalui perbandingan antara tabel tersebut dengan
laporan yang dibuat Verbeek akan terlihat perbedaan
kandungan batu bara yang terdapat di Ombilin. Dalam
laporan yang ditulisnya, ia memperkirakan jumlah
kandungan batu bara yang terdapat di berbagai tempat di
Ombilin sebanyak 197 juta ton. Untuk lebih jelasnya, tabel
berikut ini memperlihatkan kandungan batu bara di beberapa
tempat di Ombilin.
Tabel III
Perkiraan Jumlah Batu Bara
Parambahan, Sigalut, Sungai Durian, dan Loerah
Gadang (dalam ton)
Daerah Tambang Jumlah batu bara
Parambahan 20.000.000
Sigalut 80.000.000
Sungai Durian 93.000.000
Loerah Gadang 4.000.000
Total 197.000.000

Sumber: Diolah dari R.D.M. Verbeek, “Sumatra’s Westkust,


Verslag No. 3, Het Ombilin Kolenveld in de
Padangsche Bovelanden”, dalam Jaarboek van het
Mijnwezen in Nederlandsch Oost-Indie. (Amsterdam:
C.F. Stemler, 1875), hlm. 82.
Dari dua tabel tersebut terlihat perbedaan-perbedaan
kandungan batu bara pada satu tempat. Sebagai contoh adalah
pada tabel IV yang memperkirakan batu bara di Sungai Durian
misalnya sebanyak 80.000.000 ton, sedangkan tabel V mem-
perkirakan sejumlah 93.000.000 ton. Dari contoh ini dapat di-
amati bahwa batu bara yang tersedia bersifat taksiran saja.103
103
R. D. M. Verbeek, op. cit., hlm. 82.

113
Laporan lain menunjukan angka yang sama tentang
kandungan batu bara. Sebagai contoh adalah laporan yang ditulis
oleh L. de Bree. Ia memperkirakan bahwa dengan luas daerah
yang mengandung batu bara lebih kurang 6000 ha, diperkirakan
jumlah batu bara yang terdapat di Sungai Durian adalah sekitar
93 juta ton.104 Dari cadangan batu bara yang tersedia di Sungai
Durian, sampai pada tahun 1914 batu bara yang telah berhasil
ditambang mencapai 5.320.473 ton.105 Di samping untuk ekspor,
ada juga batu bara yang digunakan untuk keperluan sendiri yang
jumlahnya sedikit.
Sejak penambangan batu bara Ombilin dioperasikan pada
tahun 1892, sasaran penggalian adalah batu bara yang terdapat
pada lapisan C. Penambangan pada lapisan ini dilakukan
sebagai upaya untuk mendapatkan kualitas batu bara yang baik
yang dalam penjualannya dapat bersaing di pasaran
internasional. Sebagai konsekuensinya, selama penambangan
batu bara Ombilin berada di bawah penguasaan Hindia Belanda
antara tahun 1892-1942, metode penambangan yang dijalankan
adalah penggalian lubang-lubang pada areal penambangan.106
Lubang-lubang yang digali tersebut mencapai berpuluh ki-
lometer. Sebagai contoh adalah mulut lubang yang terdapat di
Sawahlunto. Penggalian lubang itu bahkan dapat sampai ke
Sungai Durian yang jaraknya mencapai 15 km. Dalam
perkembangan penambangan selanjutnya, panjang lubang
yang terdapat di bawah permukaan tanah itu mencapai 50
hingga 70 km dan dengan tingkat kedalamannya antara 20 meter
sampai dengan 30 meter di bawah permukaan tanah.107 Seperti

104
L De Bree, “Steenkolen”, dalam Nederlandsch – Idie ini de Twintigte Eeuw.
(Batavia: G. Kolff & Co., 1916), hlm. 467—469.
105
Untuk lebih jelasnya lihat tabel II dan III.
106
Lihat foto IV.
107
Lihat lampiran VIII, jaringan penggalian bawah tanah.

114
dikemukakan tadi, panjang dan tingkat kedalaman penggalian
lubang seperti itu dibuat hanya dengan tujuan memperoleh
batu bara lapisan C.108

Sistem penggalian lubang-lubang itu tidaklah lurus. Lubang


digali sesuai dengan lempengan-lempengan batu bara yang

108
Berbeda dengan sistem penambangan sekarang, dengan kemajuan teknologi,
penambangan tidak perlu lagi dengan membuat lubang-lubang yang dalam
panjangnya berpuluh-puluh kilo, tetapi dengan menggranat saja atau dengan mesin
kerut langsung menembus lapisan C. Lihat juga misalnya Harijono Djojodihardjo,
Penambangan Teknologi Pemanfaatan Batu Bara di Indonesia: Status, Peluang,
dan Tantangan. Makalah untuk disampaikan di Konvensi Batu Bara di Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, 8 September 1993, hlm. 17—22.

115
terdapat di bawah permukaan tanah.109 Lubang yang terdapat di
bawah permukaan tanah itu berliku-liku, turun-naik, dan bahkan
bergelombang. Proses penggaliannya dilakukan dengan
mengikuti pola pecahan batu bara yang terdapat di dalam tanah.
Bentuk pekerjaan seperti itu mengakibatkan semakin beratnya
proses penggalian batu bara yang dilakukan dengan alat yang
sederhana. Alat yang digunakan adalah cangkul dan linggis
sehingga proses penggalian itu membutuhkan banyak tenaga.110
Pola penggalian lubang tersebut di satu sisi memang
menguntungkan karena dapat mencapai batu bara berkualitas
terbaik. Namun di sisi lain, pekerjaan itu sangatlah berat bagi
para buruh tambang. Dengan kerja keras yang dilakukan setiap
harinya dalam lubang-lubang,111 secara fisik mereka terlihat lebih
tua dari usia yang sebenarnya. Kerja keras sepanjang hari dan
kurangnya mendapatkan cahaya matahari membuat kulit
mereka cepat keriput dan terlihat lebih tua. Kondisi seperti itu
terlihat secara nyata pada mantan buruh yang bekerja sebagai
penggali batu bara dalam lubang-lubang penggalian.112
Untuk menggali batu bara pada lapisan C dibutuhkan
teknik khusus. Beberapa langkah awal yang harus ditempuh
dalam proses penambangan adalah pertama, menentukan lokasi

109
Batu bara pada dasarnya berbentuk lempengan-lempengan. Setiap lempengan
memiliki besar yang berbeda. Dalam penggalian batu bara, maka haruslah diambil
secara keseluruhan setiap lempengan yang ada. Jika tidak demikian, lempengan
yang tersisa bisa mengakibatkan longsoran. R.D.M. Verbeek, op. cit., hlm.
85—90.
110
Jumlah buruh yang terbanyak jusrtu untuk bekerja sebagai tenaga penggali
batu bara di bawah tanah. Buruh lapangan, seperti buruh bebas, buruh kontrak,
dan buruh paksa semuanya bekerja sebagai buruh lapangan itu.
111
Bagi mereka yang bekerja pada lubang-lubang itu, ungkapan yang popular di
kalangan buruh tambang adalah sebagai “orang lubang”. Dikatakan sebagai “orang
lubang” adalah karena mereka menghabiskan waktu siang hari menggali batu
bara pada lubang-lubang penggalian. Wawancara dengan Bapak Wiji, Abdul Muin,
dan Bapak Soegino.
112
Lihat foto V, profil buruh tambang batu bara Ombilin Sawahlunto.

116
penambangan. Dalam penentuan lokasi itu, hal yang perlu
diperhatikan adalah kandungan batu bara yang terdapat di
dalam tanah. Kedua, memulai penambangan dengan jalan
menggali permukaan lubang menuju lokasi penambangan.
Ketiga, lubang haruslah digali pada tanah miring atau pada kaki
bukit.113 Penggalian seperti itu memudahkan pengangkutan
batu bara dan upaya untuk mendapatkan batu bara yang
terletak pada lapisan C.114
Dalam proses pelaksanaan penambangan batu bara
dibutuhkan peralatan dan bahan-bahan pembantu. Di
antaranya adalah cangkul, parang, linggis, kayu, pasir,
keranjang, dan penerangan, serta pendeteksi gas beracun.115
Setiap alat memiliki fungsi penting dalam proses penggalian.
Sebagai contoh, cangkul dan linggis berfungsi untuk menggali
batu bara, pasir berfungsi untuk menimbun lubang-lubang batu
bara yang telah digali, keranjang berfungsi untuk mengangkut
batu bara dari dalam ke luar lubang. Alat yang terpenting
lainnya yang harus terdapat dalam lubang penggalian adalah
pendeteksi gas beracun.
Dalam tambang batu bara terdapat bermacam gas beracun.
Di antaranya yang harus selalu diwaspadai oleh buruh tambang
adalah gas tanah dan gas api. Kedua gas itu tidak terlihat oleh
pandangan mata, tetapi akibatnya dapat dirasakan. Gas tanah
bekerja secara perlahan-lahan. Orang yang terpapar gas tanah
113
Lihat foto IV.
114
Holleman menguraikan secara rinci metode penggalian batu bara berdasarkan
yang digali. Untuk lebih jelasnya, lihat W. Holleman, op. cit., hlm. 110—120.
Verbeek juga memperkenalkan cara-cara penambangan yang baik. Sebagai
serjana Geologi, Verbeek mengenal dengan baik karakter batu bara sehingga
melalui petunjuk yang diberikannya akan memudahkan penambangan. Lihat
R. D. M. Verbeek, “Over de Beste Ontginningswijze van het Mijnwezen in
Nederlandsch Oost Indie, Sumatra`s Westkust Verslag No. 4. (Amsterdam:
C.F. Stemler, 1875), hlm. 64—81.
115
ibid.

117
tidak merasakan langsung akibatnya, tetapi secara berangsur-
angsur membuat tubuh menjadi lemas. Jika lambat dikeluarkan,
orang itu akan mati lemas.
Gas api bekerja dalam cara yang berbeda lagi. Gas itu
dirasakan menyengat tubuh manusia dan ditandai pada kulit
seperti terbakar. Gas api sangat berbahaya bila tersambar api.
Jika terkena percikan api, gas itu dapat menimbulkan ke-
bakaran yang membahayakan nyawa para buruh dalam lubang
penggalian.116 Pendeteksi gas sangat berguna untuk mendeteksi
serangan gas beracun. Gas beracun sering ditemukan dalam
lubang-lubang tambang batu bara yang sangat membahayakan
jiwa buruh tambang yang sedang bekerja. Sebagai contoh adalah
peristiwa buruh tambang tahun 1896.117 Peristiwa mengerikan
itu terjadi dalam lubang penambangan akibat gas beracun yang
muncul secara tiba-tiba dalam lubang yang sedang digali buruh.
Akibat serangan gas beracun itu, sebanyak 139 orang buruh
paksa dan mandor tambang meninggal dan terkubur dalam
lubang tambang.118 Jasad mereka yang mati dalam lubang itu
dibiarkan begitu saja. Pihak perusahaan hanya menutup dan
menghentikan penggalian di lubang itu.
Pada umumnya yang terpapar gas beracun itu adalah buruh
paksa. Dalam kecelakaan yang dialami buruh paksa, pihak
pertambangan berusaha menutupi saja kejadian yang menelan
korban jiwa itu. Pada tahap awal penambangan, perlakuan
yang diterima oleh buruh paksa memang menyedihkan. Posisi

116
Untuk menanggulangi serangan gas beracun, setiap buruh diberikan pelajaran
tentang gas itu. Wawancara dengan Bapak Wiji dan Bapak Surajin.
117
Jaarboek van Het Mijnwezen, In Nederlandsc Oost Indie, Sumatra‘s Westkust.
(Amsterdam: C.F. Stemler, 1897), hlm. 348-351. lihat juga Verslag der Exploitatie
van Ombilin –Kolenvelder 1896. (Batavia: Landsrukkerij, 1897), hlm. 12—13.
118
Masyarakat Sawah Lunto dan buruh tambang mengingat kejadian itu sebagai
peristiwa yang paling mengerikan dalam sejarah tambang batu bara Ombilin.
Wawancara dengan Bapak Wiji.

118
mereka sebagai orang buangan ataupun sebagai narapidana
membuat mereka menerima perlakuan yang sewenang-wenang
dari pihak pertambangan.
Peristiwa serangan gas beracun terjadi lagi tahun
penambangan Sawah Rasau III. De Ingenieur melaporkan
kejadian itu, pada tanggal 29 Januari 1928, kira-kira pukul
sepuluh malam, ketika buruh paksa bekerja dalam lubang
lapisan C, terlihat asap menerobos ke berbagai arah melalui
lubang transportasi utama pada biveau 292 yang dengan cepat
menjalar mencapai lubang biveau 335 dan menembus ke luar.
Asap itu mulanya putih dan memedihkan mata dan
tenggorokan. Asap cepat menyebar dan berubah warna
menjadi kecoklatan dan berbau asap batu bara dalam suhu yang
tinggi. Asap tersebut mengandung karbon monoksida.
Peristiwa gas beracun itu mengakibatkan kematian buruh
sebanyak 100 orang yang sedang bekerja dalam lubang tambang.
Pada tanggal 2 Febuari, seorang buruh paksa yang bernama
Kemis, yang sudah dianggap hilang berhasil selamat keluar
melalui lubang Sungai Durian. Ia selamat karena berhasil lari
ke tempat yang berlawanan dengan datangnya asap.119
Kembali kepada masalah proses penambangan,
penambangan diawali dengan memilih lokasi yang tepat untuk
areal yang akan ditambang. Pemilihan lokasi berdasarkan
pertimbangan jumlah batu bara yang dikandung di daerah itu
dan kualitas yang dimilikinya. Setelah ditemukan areal
penambangan yang tepat, maka dimulailah menggali pintu masuk
yang berbentuk lubang. Lubang itu merupakan jalan ke lapisan
C yang merupakan sasaran batu bara yang ditambang.120

119
“Mijnbrand in de Ombilin-mijnen”, dalam De Ingenieur In Nederlandsch Indie.
Maart 1929, hlm. 1—3.
120
W. Holleman, op. cit., hlm. 20—21.

119
Secara kronologis, mulut lubang digali setinggi lebih kurang
dua sampai tiga meter.121 Bertitik tolak dari sasaran penggalian,
yaitu pada lapisan C dan untuk memudahkan proses pekerjaan
penambangan, dibuatlah tangga-tangga. Tingginya adalah
antara dua setengah sampai tiga meter. Pada penggalian yang
relatif terletak pada dataran rendah, tidak diperlukan tangga
yang dalam karena sasaran penggalian, yaitu pada lapisan C
akan lebih dekat untuk dicapai. Hal itu biasanya dilakukan
pada kaki bukit atau pada lembah, seperti di Sawahlunto.122
Setelah pembuatan tangga-tangga itu sampai pada lapisan
batu bara yang akan ditambang, maka pada saat itulah
pelaksanaan penambangan batu bara yang sesungguhnya dimulai.
Untuk memperkokoh, tangga-tangga dan atap tangga dalam
lubang itu biasanya disemen. Penyemenan itu bertujuan untuk
menjaga jangan sampai terjadi longsoran dalam lubang penggalian
batu bara yang membahayakan nyawa buruh tambang.123
Pelaksanaan penambangan batu bara itu diawali dengan
menggali setapak demi setapak. Setiap batu bara yang telah
selesai digali itu diangkut ke luar dengan menggunakan pundak
para buruh. Setiap lokasi batu bara yang telah selesai digali,
lubang-lubang yang diakibatkan oleh penggalian itu pun
ditimbun dengan pasir untuk menghindari terjadinya longsoran.
Metode itu cukup efektif dan hasilnya akan terlihat dari
kecilnya tingkat longsoran yang terjadi pada mulut lubang
penggalian dan juga dapat meningkatkan produksi batu bara.124

121
Untuk wilayah Sungai Durian terdapat 7 buah mulut lubang, sedangkan untuk
daerah Sawah Lunto terdapat 9 buah mulut lubang. ibid., hlm. 12—17.
122
Lihat foto IV.
123
G.H. Willy “De Ombilin Steenkolen Mijnen”, dalam De Ingenieur in
Nederlandsch – Indie In No. 10, Oktober 1939, hlm. 150—151.
124
Dalam berbagai laporan, kerugian yang diakibatkan oleh longsoran tanah
dalam tambang tidak disebutkan. Dengan penimbunan pada setiap areal yang
telah selesai ditambang, resiko kelongsoran dapat dihindari. ibid., hlm. 30—31.

120
Lubang-lubang di bawah tanah itu membentuk jaringan
jalan yang menghubungkan satu lubang dengan lubang
lainnya. Panjang jalan yang terdapat di bawah permukaan
tanah itu dapat mencapai puluhan kilometer. Jika mulut
lubang sebagai tempat masuk disanggah dengan menggunakan
semen, maka lubang itu disanggah dengan menggunakan kayu
yang kemudian disemen.
Hal yang terpenting dari pola penambangan batu bara
seperti itu adalah berlangsungnya kehidupan di bawah tanah.
Proses untuk menjadi buruh bawah tanah haruslah terlebih
dahulu melewati seleksi. Pada awal kedatangan mereka di
Sawahlunto, kesehatan setiap buruh diperiksa oleh dokter
perusahaan. Jika sakit, mereka mendapat perawatan terlebih
dahulu. Selama satu bulan pertama, mereka bekerja di luar yang
terkena sinar matahari. Proses selanjutnya adalah selama dua
minggu pertama mereka bekerja selama empat jam di lubang
dalam. Setelah berhasil melewati proses itu, dua minggu
berikutnya mereka bekerja enam jam sehari dalam lubang
dalam. Jika buruh itu berhasil melewati proses tersebut, sang
buruh pun secara penuh dapat dijadikan sebagai buruh
tambang yang bekerja di bawah tanah.125
Mereka yang bekerja sebagai buruh tambang dalam ada
kalanya tidak “mengenal” cahaya matahari. Pada siang hari
buruh menghabiskan waktunya untuk menambang batu bara
dalam lubang-lubang yang terletak di bawah permukaan
tanah. Hal itu berjalan bertahun-tahun sampai terjadinya
pembagian jam kerja, yaitu masuk pagi dan masuk siang. Pagi
hari umumnya untuk buruh kontrak dan buruh bebas,
sedangkan buruh paksa bekerja pada malam hari.126
125
“De Ombilin Steenkolen”, dalam De Ingenieur in Nederlandsch Indie, October
1910, hlm . 150 – 151.
126
V. J. H. Houben, op. cit., hlm. 200.

121
Sejak tahun 1910, penggalian batu bara dijalankan pada
siang dan malam hari. Untuk shift pertama mereka turun ke
dalam lubang pukul enam pagi dan keluar pukul 14.00. Dalam
praktiknya mereka baru sampai di atas permukaan tanah
pada sore harinya. Shift kedua masuk pukul 14.00 dan keluar
tengah malam.127 Untuk makan, para buruh membawa
makanan yang disediakan oleh pihak perusahaan ke dalam
lubang. Makanan dimasak secara umum dari dapur yang
disediakan oleh perusahaan tambang.128
Buruh mengikuti siklus seperti itu setiap harinya. Secara
bergantian, buruh mendapatkan libur pada hari minggu.
Dengan mengikuti pola kerja seperti itu, para buruh tambang
menghabiskan usianya dalam lubang tambang. Masyarakat
setempat menamakan mereka “orang lubang”.129 Tentang
kondisi buruh yang bekerja pada lubang-lubang tambang,
mereka menyatakan bahwa mereka sudah terbiasa berada
dalam lubang-lubang penggalian setiap hari dan bahkan lebih
banyak tidak melihat matahari. Betapa tidak demikian, ketika
masuk lubang, hari masih pagi dan ketika keluar, matahari sudah
berada di balik bukit.130
Pola kehidupan buruh seperti itu didukung pula oleh letak
kota Sawahlunto. Sawahlunto sebagai pusat kehidupan buruh
tambang terletak pada kaki bukit. Sebagai dasar sebuah bukit,
matahari muncul di kota itu hampir pukul tujuh. Hal itu
membuat buruh tidak terkena cahaya matahari. Manakala
buruh berangkat ke dalam lubang, matahari belum muncul.
Setelah selesai bekerja pada sore harinya, untuk sampai keluar
127
ibid., hlm. 201.
128
Lihat foto VI, dapur umum perusahaan tambang batu bara Ombilin.
129
Masyarakat setempat menamakan mereka orang lubang. Orang lubang atau
juga seringkali disebut orang dalam adalah buruh yang bekerja dalam lubang-
lubang penambangan.
130
Wawancara dengan Bapak Wiji.

122
dari lubang tambang butuh waktu antara satu sampai dua jam.
Begitu muncul di permukaan tanah, hari sudah gelap sehingga
mereka tidak dapat melihat matahari lagi.131 Kondisi itu sangat
mempengaruhi kondisi fisik buruh, terutama ketika
menghadapi penyakit karena kurang memperoleh cahaya
matahari dan kelembaban di bawah tanah. Penyakit yang
banyak dihadapi buruh adalah paru-paru.132
Dengan pola kerja demikian, buruh tambang meng-
habiskan waktunya dari hari ke hari sebagai penggali batu bara.
Suka atau tidak suka, buruh tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali mengikuti pola kerja yang telah ditetapkan oleh pihak
perusahaan tambang. Jika menyimpang dari hal itu, hukuman
fisik maupun nonfisik telah siap menunggu buruh yang
dianggap bersalah itu.133 Bagi buruh paksa, mereka menerima
hukuman fisik, sedangkan sangsi bagi buruh bebas dan buruh
kontrak adalah pemotongan gaji.134
Seperti yang telah disinggung tadi, areal penambangan
yang pertama kali beroperasi adalah tambang batu bara yang
terdapat di Sungai Durian.135 Alasan menjadikan Sungai Durian
sebagai lokasi yang dipilih adalah kualitas batu baranya lebih
baik dibandingkan dengan tempat lainnya. Segi lainnya adalah,

131
Kalau dalam dunia pers sering didengar istilah “wartawan tiga zaman”, buruh
tiga zaman juga ada di Ombilin karena telah bekerja sejak zaman Belanda,
buruh zaman Jepang dan buruh zaman Indonesia. Pada umumnya buruh yang
diwawancarai adalah buruh yang telah bekerja sejak batu bara di bawah
penguasaan kolonial Belanda. Wawancara dengan Soegiman, Darso dan Parno.
Lihat juga foto V.
132
Lihat tabel XX
133
Ukuran bersalah itu seringkali ditentukan oleh pihak pimpinan tambang.
Kesalahan yang dibuat buruh tidak ditentukan lewat sebuah forum pengadilan.
Soeara Tambang, Oktober 1923, hlm. 1.
134
Surat kabar Soeara Tambang, 21 Maret 1925, hlm. 2.
135
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlands – Oost Indie, Sumatra‘s Westkust,
1893. (Batavia: Landsdrukkerij, 1894), hlm. 456.

123
selain kualitas, cadangannya terbesar dari semua lokasi batu
bara yang terdapat di Ombilin.136
Di tengah kondisi buruh itulah penambangan baru terus
dikembangkan ke tempat lain dan ditinjau dari produksinya,
di sana terdapat peningkatan. Perkembangan produksi batu
bara Ombilin Sawahlunto dapat diamati pada tabel berikut ini.
Tabel IV
Produksi Batu Bara Ombilin
dari tahun 1893 sampai tahun 1929
(dalam ton)
Tahun Produksi Tahun Produksi
1893 47.833 1912 407.452
1894 72.452 1913 411.017
1895 107.943 1914 443.140
1896 126.284 1915 453.141
1897 142.850 1916 505.363
1898 149.434 1917 508.226
1899 181.325 1918 504.201
1900 196.207 1919 810.812
1901 198.074 1920 1.467.142
1902 180.702 1921 1.202.853
1903 201.292 1922 544.022
1904 207.280 1923 808.374
1905 221.416 1924 606.423
1906 277.097 1925 53.328
1907 300.999 1926 488.482
1908 314.065 1927 504.201
1909 339.694 1928 507.179
1910 387.522 1929 528.252
1911 406.395

136
ibid., hlm. 457—458.

124
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, seperti Jaarboek van
het Mijnwezen in Nederlandsch-Indie, Indische Gids,
Tijdshrift voor Nederlands Indie dan Verslag der
Exploitatie van de Staatsspoorweg ter Sumatra’s
Westkust en van de Ombilin Kolenvelden.
Berdasarkan gambaran tabel yang dikemukakan tadi
terlihat bahwa produksi batu bara dari tahun ke tahun
memperlihatkan perkembangan relatif stabil. Sepanjang
perkembangan batu bara, turun dan naiknya produksi
merupakan hal yang biasa.
Penurunan produksi yang cukup mencolok hanya terjadi
sekali, yaitu pada tahun 1925. Penurunan produksi yang
cukup drastis adalah dari 606.423 ton menjadi 53.328 ton.
Penyebab utama penurunan produksi itu adalah karena pihak
perusahaan membeli mesin-mesin baru,137 namun mesin yang
dibeli itu tidak langsung dapat bekerja dan membutuhkan
waktu yang panjang untuk dioperasikan.138 Setelah mesin batu
bara berjalan dengan normal, produksi pun dapat berjalan
dengan baik dan melebihi produksi sebelumnya.139
Peningkatan produksi diikuti oleh peningkatan laba yang
diperoleh perusahaan. Semakin tinggi produksi, semakin besar
keuntungan yang dapat ditarik oleh perusahaan. Gambaran
ini terlihat dari perkembangan produksi batu bara dan
peningkatan keuntungan yang diperoleh.140 Setelah biaya
produksi diperhitungkan, keuntungan yang diperoleh itu pun
cukup besar.

137
Verslag der Exploitatee van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van de
Ombilij – mijnen over 1925. (Batavia: Landsdrukkerij, 1926), hlm. 13—15.
138
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlands–Indie, 1926. (Batavia:
Landsdrukkerij, 1927), hlm. 325.
139
Perkembangan ini terlihat dari tabel IV.
140
Lihat tabel V.

125
Tabel V
Biaya, Pendapatan, dan Keuntungan
Tambang Batu Bara Ombilin
dari tahun 1893 sampai tahun 1927
(dalam gulden)
Tahun Biaya Pendapatan Untung / rugi
1893 468.279 443.276 25.003
1894 828.667 883.950 55.283
1895 1.111.723 1.210.769 99.073
1896 1.183.708 1.372.050 188.341
1897 1.272.959 1.601.905 328.946
1898 1.346.775 1.826.125 479.350
1899 1.716.734 2.293.477 576.743
1910 1.839.633 2.533.885 694.252
1901 1.940.966 2.516.415 575.449
1902 2.098.922 2.297.679 198.757
1903 2.201.954 2.455.678 253.724
1904 2.390.562 2.460.597 70.035
1905 2.376.173 2.390.158 13.984
1906 2.672.711 2.709.152 36.441
1907 2.862.990 3.041.307 178.317
1908 2.794.009 2.863.832 69.823
1909 2.794.917 3.058.539 263.621
1910 3.142.145 3.520.240 378.094
1911 3.250.924 3.609.018 358.094
1912 3.276.068 3.614.208 338.140
1913 3.309.015 3.678.138 369.087
1914 3.765.780 4.104.689 338.909
1915 4.784.514 5.266.676 482.162
1916 5.240.683 5.831.767 591.084
1917 5.264.762 5.771.994 507.084

126
Tahun Biaya Pendapatan Untung / rugi
1918 4.595.053 5.254.184 659.131
1919 5.572.739 6.892.902 1.320.163
1920 7.194.842 11.853.283 4.658.441
1921 8.411.202 12.664.126 4.252.924
1922 8.863.355 9.536.642 673.287
1923 10.214.131 8.940.234 1.273.897
1924 10.780.587 10.562.704 217.883
1925 11.085.558 11.750.205 664.647
1926 9.234.785 10.132.049 897.264
1927 10.567.980 11.131.652 563.672
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, seperti Jaarboek van
het Minjnwezen in Nederlandsch-Indie, Indische Gids,
Indische Mercuur, Verslag der Exploitatie van den
Staatsspoorweg ter Sumatra’s Westkust en van den
Ombilin-Kolenvelden dan Ingenieur.
Dari sana terlihat turun naiknya keuntungan atau kerugian
yang diperoleh perusahaan tambang batu bara Ombilin. Pada
tahap pertama, perusahaan mengalami kerugian sejumlah
25.003 gulden. Hal itu dapat dipahami karena sebagai
perusahaan baru, masih banyak yang harus dibenahi, seperti
masalah proses produksi maupun penyediaan berbagai
keperluan penambangan. Kerugian kembali diderita
perusahaan pada tahun 1924 dan tahun 1925. Kerugian itu
disebabkan oleh pembelian mesin-mesin baru dan ternyata
mesin itu belum sepenuhnya dapat dioperasikan yang
mengakibatkan penurunan produksi batu bara.141
Dalam tabel V, secara umum dari tahun ke tahun
perusahaan tambang batu bara Ombilin memperoleh
keuntungan. Pada tahun kedua dari produksi tambang,
141
Lihat tabel V.

127
perusahaan telah mendapatkan keuntungan sebesar 55.283
gulden. Pada tahun selanjutnya, keuntungan yang diperoleh
perusahaan semakin naik dan mencapai puncaknya tahun 1920
sebanyak 4.658.441 gulden.142
Pada tahap awal pemerintah menanamkan modal sebanyak
17 juta gulden untuk perusahaan. Dengan perolehan
keuntungan dari penjualan batu bara selama lebih kurang 8
tahun, seluruh modal yang ditanamkan itu sudah kembali.
Untuk tahap selanjutnya, pemerintah mendapatkan
keuntungannya saja dari perusahaan tambang itu. Sebagai
sebuah perusahaan negara, dengan sendirinya keuntungan itu
pun masuk ke dalam kas pemerintah kolonial Belanda.143
Penurunan keuntungan terjadi selama tiga tahun berturut-
turut, yaitu antara tahun 1904 sampai tahun 1906. Pada tahun
itu keuntungan yang diperoleh sekitar 13.000,- gulden.144
Penurunan keuntungan yang cukup drastis itu disebabkan
perusahaan melakukan pembukaan lahan pertambangan baru
dan modalnya diambil dari keuntungan yang diperoleh
perusahaan.
Pada tahun-tahun itu, pihak perusahaan tambang batu bara
Ombilin mengadakan perluasan pertambangan, yaitu Durian
II dan Lunto III. Sebagai akibat perluasan itu, pihak perusahaan
pun membutuhkan dana dalam jumlah yang besar. Pelebaran
perusahaan tidak mengambil dana dari kas negara, tetapi dari
keuntungan yang didapatkan perusahaan.145 Pengeluaran dana

142
Lihat tabel V.
143
Setelah berakhirnya sistem tanam paksa di Minangkabau, sumber pendapatan
pemerintah Belanda yang paling penting adalah batu bara. Barulah sejak tahun
1912, pemerintah mendapatkan sumber pamasukan lainnya, yaitu sejak dibukanya
pabrik semen Indarung Padang.
144
Lihat tabel V.
145
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van den
Ombilin – Kolenvelden over 1906. (Batavia: Landsdrukkerij, 1907), hlm. 12—15.

128
yang cukup besar itu menyangkut berbagai sarana dan
prasarana pembukaan tambang batu bara, seperti penyediaan
alat-alat tambang, perumahan buruh, dan transportasi.
Persoalan bagi buruh tambang adalah pembagian
keuntungan dalam perusahaan tambang. Kondisi idealnya
adalah di saat terjadi peningkatan keuntungan, maka buruh
pun mendapatkan sebagian dari laba itu. Sebaliknya, jika
perusahaan mengalami kerugian, buruh pun ikut meng-
alaminya. Jika pembagian keuntungan menganut pola seperti
ini, maka mereka akan menerima bagian keuntungan sebagai
bagian dari perusahaan. Buruh tidak merasa sebagai tenaga yang
hanya diperas saja, sebab para buruh mendapatkan bagian dari
hasil kerja mereka sebagai buruh.146
Bentuk kebijakan demikian tidaklah berjalan di tambang
batu bara Ombilin. Mereka hanya dibayar berdasarkan upah
yang telah ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan. Hal inilah
yang menjadi salah satu persoalan pokok dari berbagai gejolak
yang ditimbulkan oleh buruh tambang batu bara Ombilin
Sawahlunto.147
Realisasi dari pembagian keuntungan akan terlihat dari
pembagian keuntungan dan peningkatan kesejahteraan buruh
tambang. Dengan berbagai keuntungan yang didapatkan
perusahaan, apakah keuntungan itu juga dinikmati oleh
buruhnya? Pokok pikiran seperti inilah yang menjadi persoalan
mendasar yang diterapkan dalam perusahaan tambang batu bara.

146
Malvin E. Olsen, The Proces of Social Organitation. (New Delhi: Oxford & IBH
Publishing Co., 1968), hlm. 137.
147
Tema sentral dari gerakan PKBT adalah masalah jaminan sosial untuk buruh.
Surat kabar Soeara Tambang, 28 Juni 1925, hlm. 1.

129
Untuk lebih tegasnya, perolehan keuntungan perusahaan
tambang itu hendaknya juga dapat dinikmati dan dapat
meningkatkan kesejahteraan buruh tambang.148
Kajian ini diarahkan untuk melihat perhatian yang
diberikan oleh pihak perusahaan terhadap buruh tambang.
Persoalannya adalah sejauh manakah kebijakan pihak
perusahaan untuk dapat meningkatkan taraf hidup para buruh
tambang. Dalam konteks seperti inilah menarik untuk
membahas masalah kebijakan yang diambil oleh pihak
pertambangan terhadap buruh tambang batu bara Ombilin.

148
Salah satu persoalan yang dihadapi buruh adalah masalah upah. Masalah ini seringkali
menjadi pemicu ketegangan di kalangan buruh tambang. Persoalan lain adalah juga
masalah perlakuan yang tidak layak diterima buruh dari pihak perusahaan. Lihat
surat kabar Soeara Tambang, Mei 1922, hlm. 1.

130
BAB IV

SISI GELAP DALAM


KEHIDUPAN BURUH
TAMBANG
BATU BARA OMBILIN
SAWAHLUNTO
Sehitam baramu
Sehitam nasibmu
Sehitam penderitaanmu

A. Pengerahan Buruh Tambang


Sejak berlangsungnya sistem tanam paksa di Minangkabau,
pengerahan buruh untuk dipekerjakan pada perkebunan sudah
menjadi persoalan besar. Dibandingkan dengan di Jawa
misalnya, pasokan buruh pada perkebunan dapat dipenuhi dari
penduduk yang berada di sekitar perkebunan maupun dari
pemilik tanah yang diwajibkan bekerja sebagai konsekuensi dari
pemilikan tanah itu.1 Sebaliknya, di Minangkabau justru terdapat
1
G. R. Knight, “Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa abad ke-19”, dalam,
Anne Both (eds.), Sejarah Ekonomi Indonesia. (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 74 –
98. Lihat juga misalnya Uemura Yasuo, “Perkebunan Tebu dan Masyarakat
Pedesaan di Jawa”, dalam, Akira Nagazumi (ed.) Indonesia dalam Kajian Sarjana
Jepang, Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX & XX dan berbagai Aspek
Nasionalisme Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 42—76.
kesulitan dalam pengerahan buruh, khususnya tambang batu
bara, yang disebabkan jarangnya penduduk2 dan juga penduduk
setempat tidak memenuhi persyaratan untuk bekerja sebagai
buruh pertambangan, seperti fisik mereka yang lemah.
Persoalan lainnya adalah minat kerja penduduk. Penduduk
Minangkabau tidak memiliki minat yang besar untuk bekerja
sebagai buruh. Mereka hanya mau bekerja dalam waktu tertentu
saja, seperti masa ketika mereka tidak turun ke sawah. Bagi
penduduk Minangkabau, pilihan bekerja sebagai buruh tambang
batu bara hanya dijadikan sebagai pekerjaan sambilan saja. Dalam
kondisi itu, pihak perusahaan tambang batu bara tidak dapat
mengerahkan buruh yang berasal dari penduduk di sekitar areal
pertambangan batu bara.3
Untuk mengatasi kesulitan kebutuhan tenaga kerja, buruh
didatangkan dari luar Minangkabau. Hal itu terlihat pada masa
sistem tanam paksa ketika buruh dipekerjakan, seperti di
perkebunan teh di Kerinci dan perkebunan tembakau di
Halaban. Dalam laporan yang ditulis oleh Stibe, ia
memperkirakan bahwa buruh yang didatangkan dari luar
Minangkabau dan bekerja di perkebunan berjumlah sekitar
3.500 orang.4
Persoalan sesungguhnya adalah menyangkut pengerahan
tenaga kerja. Hambatan pengerahan tenaga kerja disebabkan
sedikitnya jumlah penduduk yang mendiami Minangkabau.5

2
Tingkat kepadatan penduduk di Minangkabau, dapat dibuktikan dengan tabel
VI.
3
“De Exploitatie van de Ombilin – steenKolenvelden”, dalam De Indische Gids I,
No. 6. (Amsterdam: J.H. de Bussy, 1894), hlm. 441—443.
4
S. Stibbe, “Werkvolk ter Sumatra`s Westkust”, dalam De indische Gids. No. 6
Bg. II. (Amsterdam: J. H. de Bussy, 1884), hlm. 698.
5
Lihat tabel VI dan sebagai bahan perbandingan, penduduk yang terdapat di Pulau
Jawa pada tahun 1830 berjumlah 7.054.853 jiwa. Widjojo Nitisastro, Population
Trends in Indonesia. (New York: Ithaca Cornell University Press, 1970), hlm. 12.

132
Dari jumlah penduduk yang sedikit itu, mereka kebanyakan
telah memiliki lahan pertanian dan perkebunan yang harus
dikerjakan. Bahkan, tanah pertanian dan perkebunan, terutama
ladang, yang mereka miliki baik secara kolektif maupun indi-
vidual pun belum dapat dikerjakan secara menyeluruh.6 Selain
itu, lahan yang belum digarap oleh penduduk masih luas, seperti
hutan lepas. Ditinjau secara ekonomi, hutan memiliki kekayaan
alam yang besar, terutama hasil hutan berupa kayu, damar,
rotan, dan berbagai buah-buahan. Tanah yang ada untuk lahan
pertanian tidak dapat digarap sepenuhnya oleh penduduk.
Dengan demikian, bekerja sebagai buruh tambang batu bara
di samping sebagai bidang pekerjaan yang tidak diminati, juga
lahan pertanian yang ada belum digarap sepenuhnya.7 Hal lain
yang menyebabkan kurangnya tenaga buruh adalah tradisi
merantau di kalangan masyarakat Minangkabau.

6
Dalam sistem sosial masyarakat Minangkabau, pola yang dipakai adalah pola
kolektif. Dengan pola ini, masyarakat mengerjakan lahan pertaniannya secara
kolektif pula seperti sawah milik kaum Piliang, maka akan dikerjakan oleh
masyarakat Piliang. Istilah buruh upahan tidak dikenal dalam idiom budaya
Minangkabau. Istilah yang dikenal adalah mengerjakan sawah atau ladang
dengan membagi hasilnya sesuai dengan kesepakatan seperti mampaduoai,
artinya dibagi dua atau mampatigoai artinya sepertiga untuk yang mengerjakan,
dua pertiga untuk pemilik tanah. Dalam pola ini biasanya benih berasal dari
pemilik tanah. A.M.P.A. Scheltema, Bagi Hasil di Hindia Belanda. (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 51—55. Dengan pola kolektif, maka
pemilikan individu tidak terdapat dalam sistem budaya Minangkabau. Pemilikan
individu baru diperoleh, ketika mereka keluar dari wilayah kesatuan Minangkabau
seperti merantau. Lihat A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru. (Jakarta:
Grafiti Press, 1986), hlm. 150—152.
7
Tanah pusaka tinggi yang berbentuk hutan lepas pada umumnya merupakan contoh
areal tanah yang belum tergarap oleh masyarakat. Hutan lepas tidaklah dikelola dan
hasilnya diambil begitu saja. Lihat Joel S. Kahn, Constituting the Minangkabau,
Peasants, Culture and Modernity in Colonial Indonesia. (London: A University
College London, 1988), hlm. 219.

133
Tabel VI
Jumlah Penduduk di Minangkabau
Tahun1880
No Kelompok Ras Padangsche Padangsche Total
Benendelanden Bovenlanden
1. Eropa 990 505 1495
2. Pribumi 289979 647030 937009
3. Cina 3468 560 4028
4. Arab 152 25 177
5. Timur lainnya 514 177 691
Total 295103 648297 943400

Sumber: Erwiza Erman, “Produksi Beras dan Kontrol


Pemerintah Kolonial Belanda di Sumatera Barat 1910-
1924”, dalam Jambatan Tijdschrift voor de Geshiedenis
van Indonesia, Jaargang,7, Nummer 3, 1989,hal.113.
Dalam tabel itu terlihat bahwa jumlah penduduk yang
mendiami Padangsche Bovenlanden lebih banyak dibandingkan
dengan penduduk yang mendiami Padangsche Benedelanden.8
Penduduk itu berasal dari berbagai bangsa dan dengan latar
belakang pekerjaan. Dalam kondisi itulah pemerintah
berusaha merekrut buruh untuk tambang batu bara Ombilin.
Tingkat kepadatan penduduk di Minangkabau semakin
hari semakin bertambah. Sebagai akibat pengerahan buruh dari
luar, jumlah penduduk di Minangkabau pun mengalami
peningkatan tajam. Tentang pertambahan jumlah penduduk

8
Daerah yang termasuk Padang Bovenlanden adalah pedalaman Minangkabau,
seperti Luhak nan Tigo (Tanah Datar, Agam dan Limo Puluh Koto), Solok,
Sawah Lunto, sedangkan Padang Benenlanden meliputi Pesisir Selatan, Padang,
Padang Pariaman. Daerah pertambangan Ombilin termasuk ke dalam wilayah
Sawahlunto. Rusli Amran, Sumatera Hingga Plakat Panjang (Jakarta: Sinar
Harapan, 1981), hlm. 120—125.

134
sejak pembuatan jalan kereta api dan pembukaan tambang batu
bara Ombilin, J. Bollot dalam tulisannya tentang perkembangan
penduduk Minangkabau menyebutkan bahwa antara tahun
1884 sampai 1893, jumlah penduduk di Minangkabau naik dari
943.400 orang menjadi 1.005.000 orang. Dalam perkembangan
selanjutnya, antara tahun 1893 sampai 1915 jumlah penduduk
meningkat lagi menjadi 1.128.000 orang. Untuk lebih jelasnya
perkembangan penduduk di Minangkabau dari tahun 1880
sampai tahun 1915, hal itu dapat diamati melalui tabel berikut.
Tabel VII
Perkembangan Penduduk di Minangkabau
dari tahun 1880 sampai tahun 1915

Tahun Jumlah
1880 943.400
1893 1.005.000
1915 1.128.000

Sumber: J. Bollot., Memorie van Overqave, 1915, No.15.


Peningkatan jumlah penduduk yang cukup tajam
berkaitan dengan tenaga kerja yang didatangkan dari luar
Minangkabau. Mereka yang didatangkan itu dipekerjakan di
proyek-proyek pemerintah kolonial Belanda, seperti buruh
pada perkebunan tembakau di Halaban, perkebunan teh di
Kayo Aro Kerinci, pembuatan jalan kereta api dari
Sawahlunto ke Padang dan perusahaan tambang batu bara
Ombilin Sawahlunto.9
9
Dalam pengerahan buruh tambang batu bara Ombilin yang berasal dari luar
Minangkabau, biasanya mereka membawa anggota keluarganya ke tempat
bekerja. Hal itu terlihat pada buruh yang bekerja pada tambang batu bara
Ombilin. Lihat misalnya “De Sumatra – staatsspoorweg en de Ombilinmijnen
in 1910”, dalam Indische Gids II. (Amsterdam: J.H. de Bussy, 1911), hlm.
1399—1400.

135
Perubahan jumlah penduduk juga terjadi di Sawahlunto.
Daerah perdalaman yang terisolir kemudian banyak didatangi
oleh orang luar. Orang Eropa datang sebagai pegawai tambang
batu bara Ombilin, sedangkan orang asing lainnya adalah orang
Cina yang bekerja sebagai buruh kontrak. Melalui tabel berikut
ini akan terlihat gambaran jumlah penduduk yang terdapat di
Sawahlunto 1930.
Tabel VIII
Jumlah Penduduk Sawahlunto
tahun 1930
Bangsa Laki-laki Wanita Jumlah
Pribumi 23.344 19.640 42.984
Eropa 310 254 564
Timur Asing 20 8 28
Total 23.674 19.902 43.576

Sumber: Diolah dari B.H.F. van Heuven, Memorie van Overqave


Onderafdeeling Sawah Lunto dan De Inqenieur Septem-
ber 1931.
Pembukaan tambang batu bara Ombilin diikuti dengan
persoalan masalah tenaga kerja yang akan mengerjakan
proyek penambangan itu. Untuk tenaga pada level atas, seperti
pimpinan tambang, pimpinan produksi, pengawasan, bagian
administrasi, dan kepegawaian tidaklah menjadi masalah. Pada
level itu, bidang pekerjaan yang mengutamakan keahlian
dijalankan secara langsung oleh orang Belanda.10
Selain komposisi tenaga kerja asing dalam perusahaan
tambang itu, kondisi para buruh yang bersedia menambang
batu bara dalam lubang tambang merupakan masalah utama

10
Lihat lampiran VIII, struktur pegawai perusahaan tambang batu bara Ombilin.

136
lainnya yang dihadapi. Keengganan buruh yang bersedia
untuk bekerja sebagai buruh kasar yang bertugas mengggali
batu bara merupakan persoalan tersendiri yang dihadapi
perusahaan. Bidang pekerjaan untuk buruh pribumi adalah
sebagai pembantu montir, tukang kayu, tukang batu untuk
menggali batu bara pada lobang-lobang penggalaian di areal
penambangan. Pekerjaan utama yang membutuhkan jumlah
tenaga yang begitu besar adalah sebagai tenaga untuk penggali
batu bara dalam lubang-lubang penggalian lapisan C.11
Para buruh yang menggali batu bara secara langsung
dibutuhkan dalam jumlah yang besar. Adapun buruh yang
dibutuhkan haruslah dalam usia muda dan kuat. Hal itu
disebabkan pekerjaan yang harus mereka lakukan adalah untuk
menggali batu bara yang keras dan mengangkutnya keluar dari
lubang penambangan.12 Sementara itu, orang Belanda yang ada
juga sedikit dan tidak berkehendak bekerja sebagai buruh
lapangan dalam penambangan.
Untuk mengantisipasi persoalan kebutuhan terhadap buruh
yang semakin besar, pengerahan buruh pun ditingkatkan.
Langkah yang dilakukan untuk mendapatkan buruh adalah
pertama, mendapatkan buruh dari masyarakat yang berada di
sekitar areal penambangan. Kedua, mendatangkan buruh dari
luar daerah itu. Ketiga, memperkerjakan orang hukuman dengan
status sebagai buruh paksa.

11
Sistem penambangan itu adalah menggali batu bara di bawah permukaan tanah.
Penggalian dilakukan untuk mendapatkan batu bara pada lapisan C yang
dianggap sebagai lapisan terbaik dari batu bara. Dengan demikian, jalan di bawah
tanah yang dibuat untuk mendapatkan batu bara pada lapisan C mencapai antara
20 sampai 45 km. Lihat W. Holleman, Beschrijving Van de Afbouwmethode
voor Ontginning der 8 meter Dikke C–Laag der Ombilin– Steenkolenmijnen.
(Bandoeng: Drukkerij Maks & Van Der Klits, 1931), hlm. 4—15.
12
ibid., hlm. 25—30.

137
Langkah pertama menghadapi persoalan karena penduduk
setempat enggan menjadi buruh tambang. Di mata penduduk,
pekerjaan sebagai buruh tambang merupakan pekerjaan yang
paling tidak disukai. Ketidaksukaan penduduk Minangkabau
bekerja sebagai buruh tambang sudah berkembang dalam
masyarakat jauh sebelum tambang batu bara Ombilin dibuka
oleh pemerintah kolonial Belanda. Sikap yang diperlihatkan oleh
penduduk itu kemudian terlihat pada awal penambangan, yaitu
ketika tidak ada yang mau bekerja sebagai buruh tambang. Dalam
kondisi seperti itu, pihak perusahan tambang batu bara Ombilin
mencoba untuk mendapatkan buruh dari penduduk
sekitarnya.13 Usaha itu mengalami kegagalan dan terbukti dengan
tidak adanya penduduk setempat yang bersedia bekerja sebagai
buruh tambang pada awal tambang dibuka.
Pengerahan buruh yang berasal dari penduduk sekitar areal
penambangan pada mulanya merupakan alternatif utama yang
diinginkan oleh pihak pemerintah. Berdasarkan pengamatan awal
yang dilakukan pemerintah,14 pengerahan buruh seperti itu amat
13
Masalah yang berkaitan dengan pilihan pekerjaan bagi penduduk Minangkabau,
Christine Dobbin menyatakan bahwa pekerjaan yang paling tidak diminati
oleh orang Minangkabau adalah sebagai buruh tambang. Bahkan, pekerjaan
penambangan emas misalnya adalah pekerjaan yang tidak disukai, sehingga
tidak pernah ada kelas penambang secara tradisional dalam masyarakat
Minangkabau. Hanya yang sangat terpaksa saja yang mau bekerja di tambang
atau ketika panen gagal atau gangguan ekonomi lain. Orang Belanda sejak awal
tahun 1688 mencatat bahwa “ribuan orang miskin” dapat direkrut untuk sebuah
tambang besar pada waktu ada kesulitan. Dua ratus kemudian masih dicatat
bahwa di antara penduduk pribumi ada ungkapan bahwa “tidak ada yang lebih
malang dari pada anak tambang”. Christine Dobbin sendiri mengutip hal ini
dari Verkerk Pistorius, “Inlandsche Huishouding”, hal . 155. Christine Dobbin,
Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatra
Tengah, 1784–1847. (Jakarta: INIS, 1992), hlm. 33.
14
Greve sendiri juga berpikir demikian bahwa dengan kondisi ekonomi penduduk
sekitar areal penambangan diharapkan merekalah yang akan diandalkan sebagai
buruh lapangan. W. H. de Greve, “De Arbeid deMijnbouwkundige–Geonostische
Opneming van Sumatra`s Westkust, dalam Tijdscrift voor Nederlands Indie.
(Batavia: Groningen, 1873), hlm. 371—374.

138
memungkinkan disebabkan taraf ekonomi masyarakat areal
penambangan yang relatif miskin. Rumah yang didiami
penduduk sekitar areal penambangan sangat sederhana. Rumah
mereka masih berlantaikan tanah, beratap rumbia, dan
berdinding bambu. Ditinjau dari mata pencahariannya,
masyarakat hidup dari bertani. Pertanian yang dijalankan rakyat
juga tidak berjalan lancar karena irigasinya masih sederhana.
Bahkan, di musim kemarau mereka tidak dapat mengerjakan
lahan pertanian mereka.15
Ditinjau dari sudut ekonomi, pengamatan yang dilakukan
pihak pemerintah memang benar. Dalam realitas masyarakat
sekitar areal penambangan, memang kehidupan mereka berada
di bawah garis kemiskinan.16 Hanya saja, dalam mengamati
persoalan seperti itu, pemerintah tidak memperhatikan nilai-
nilai budaya setempat, terutama masalah pilihan kerja.
Ketidakcermatan itulah yang menimbulkan hambatan dalam
pengerahan buruh tambang yang berasal dari penduduk sekitar
areal penambangan.
Etos kerja yang dimiliki masyarakat setempat umumnya
adalah untuk bekerja secara bebas, seperti sebagai pedagang atau
petani pada tanah sendiri. Dengan demikian, tradisi bekerja
sebagai orang upahan maupun buruh sesungguhnya tidak
mereka miliki.17 Masalah etos kerja sebagai buruh dalam

15
“Het Transport der Ombilin – Stennkolen, Naar Sumatra`s Westkust”, dalam
Jaarboek van het Mywezen in Nederlandsch – Oost – Indie 1884. (Amsterdam:
Landsdrukkerij– Weltervreden, 1885), hlm. 35—360.
16
Perkampungan di sekitar batu bara meliputi Durian, Sawahlunto, Silungkang,
Parambahan, Talawi, Padang Sibusuk, Padang Ganting, Tanjung Ampalu, dan
Sikabau. Perkampungan tersebut termasuk daerah miskin dengan tanah yang
berbatuan, ibid., hlm. 362—365.
17
Pada umumnya masyarakat hidup dengan bertani dan berladang. Dalam pertanian,
mereka umumnya mengerjakan tanah kaumnya sehingga sistem upah dalam
masyarakat Minangkabau tidak dikenal. A. M. P. A. Scheltema, op. cit., hlm.
51—53.

139
masyarakat Minangkabau luput dari perhatian pemerintah. Hal
itu membawa pengaruh yang besar dalam upaya pengerahan
buruh dari penduduk pribumi setempat. Ketika pihak
pertambangan mencoba menggunakan penduduk sekitar areal
tambang untuk menjadi buruh tambang, masyarakat malah tidak
memberikan respon yang positif atas tawaran kerja itu.
Masyarakat sekitar areal pertambangan merasa bahwa
menjadi buruh bukanlah pekerjaan yang menarik, dan mereka
pun tidak bersedia bekerja sebagai buruh tambang. Hal penting
lainnya adalah bahwa menjadi buruh berarti tidak memberikan
kebebasan untuk perkembangan ekonomi mereka karena
bekerja sebagai buruh bukan hanya memakan gaji yang telah
ditetapkan, tetapi juga keterbatasanlah yang mereka peroleh.18
Namun demikian, perubahan pandangan masyarakat terjadi
juga. Perubahan terlihat pada tahun 1903 ketika sebagian
penduduk Minangkabau mulai bekerja sebagai buruh tambang
batu bara Ombilin Sawahlunto.19
Kondisi itu berlangsung sampai awal abad ke-20. Pada
tahun 1903, tampaknya terjadi perubahan dalam pandangan
masyarakat Minangkabau tentang bekerja sebagai buruh
tambang. Tawaran pekerjaan dan upah membuat orang
Minangkabau bersedia menjadi buruh tambang. Pada

18
Akira Oki, Social Change in West Sumatera Village 1990–1945. Canberra:
Australia National University, 1977, hlm. 110—120.
19
Verslag der Exploitatir van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van de
Ombilin–Kolenvelden Over 1905. (Batavia: Landsdrukkerij, 1903), hlm. 20.
Penduduk Minangkabau yang bekerja pada tambang batu bara mencapai puncaknya
pada tahun 1935. Pada tahun itu, banyak orang Minangkabau berdatangan ke
Sawahlunto untuk bekerja sebagai tukang dan buruh. Penduduk Minangkabau
yang bekerja di sektor tambang mencapai 3.800 orang dan hanya 30 orang yang
bekerja sebagai buruh tambang bawah tanah. Sedikitnya penduduk Minangkabau
yang bekerja pada lubang bawah tanah disebabkan fisiknya dianggap lemah. Lihat
G. J. Wally, “De Ombilin Steenkolen Mijnen”, dalam De Ingenieur in Nederlandsch–
Indie in Nummeer 10, Oktober 1939, hlm. 150—151.

140
umumnya, penduduk Minangkabau yang bekerja sebagai
buruh tambang adalah dengan status sebagai buruh bebas.
Pilihan ikatan seperti itu adalah untuk memudahkan mereka
keluar sebagai buruh jika mereka tidak menghendakinya lagi.20
Hal yang perlu diperhatikan adalah mereka yang bersedia
bekerja sebagai buruh tambang bukanlah penduduk sekitar ar-
eal pertambangan. Orang Minangkabau yang bekerja sebagai
buruh tambang berasl dari daerah lainnya, seperti dari Luhak
Limo Puluh Koto dan Luhak Tanah Data. Beberapa nagari yang
penduduknya banyak bekerja sebagai buruh tambang adalah
dari Nagari Suliki, Taram, dan Piladang dari Luhak Limo Puluh
Koto, dan Nagari Koto Tuo, Situmbuk, Supayang, dan Supatai
dari Luhak Tanah Data.21
Mereka bekerja sebagai buruh pada tambang batu bara
Ombilin jauh dari kampung. Secara umum jarak antara Ombilin
dengan daerah tersebut sekitar 50 atau hingga lebih dari 100 km.
Dengan demikian akan tergambar bahwa mereka sudah di rantau
sehingga mereka dapat menentukan kehidupan sendiri tanpa
dikontrol oleh kaumnya.
Faktor utama yang menyebabkan terjadinya perubahan
sikap masyarakat dalam memilih lapangan kerja adalah masalah
ekonomi. Tawaran gaji yang diberikan oleh perusahaan
tambang batu bara membuat mereka berkeinginan untuk
bekerja sebagai buruh tambang.22 Dorongan seperti itu
20
Pada umumnya penduduk Minangkabau yang bekerja sebagai buruh lapangan
adalah buruh bebas. Mereka tidak ada yang menjadi buruh kontrak, dengan sistem
kontrak 2 sampai 3 tahun, tetapi buruh bebas yang bekerja dan mendapat upah
secara mingguan atau bulanan. Lihat Verslag der Exploitatir van den Staatsspoorweg
ter Sumatra‘s Westkust en van de Ombilin – Kolenvelden Over 1905. (Batavia:
Landsdrukkerij, 1906), hlm. 18—19.
21
Verslag der Exploitatir van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van
de Ombilin – Kolenvelden Over 1905. (Batavia: Landsdrukkerij, 1906), hlm.
18—19.
22
Tentang gaji buruh, lihat tabel.

141
mengalihkan hambatan-hambatan sosial lainnya, seperti
masalah pandangan masyarakat yang merendahkan buruh.23
Perubahan mata pencaharian dan sikap hidup itu menjadi
ciri khas dari perubahan sosial yang telah berlangsung sejak
akhir abad ke-19 di Minangkabau. Perubahan itu tidak hanya
dalam mata pencaharian, tetapi juga mencakup segi kehidupan
lainnya, seperti banyaknya penduduk Minangkabau yang
mengikuti pendidikan Barat yang selama ini dianggap sebagai
bangsa yang kafir.24
Langkah penting lainnya yang diambil oleh pihak
perusahaan dalam pengerahan buruh tambang adalah dengan
jalan sistem tenaga kerja paksa (dwangarbeiders) dan sistem
tenaga kerja kontrak (contractkoelies). Tenaga kerja paksa
dijalankan oleh pihak perusahaan dengan memanfaatkan or-
ang-orang yang menjalani hukuman di berbagai penjara sebagai
buruh paksa. Buruh paksa dikerahkan dari berbagai penjara
pemerintah di Padang, Bukittinggi, Jawa, Madura, Bali, dan
Makasar.25
Pengerahan pertama buruh lapangan yang dilakukan
perusahaan tambang diambil dari kalangan orang hukuman/
tahanan untuk dijadikan sebagai tenaga buruh paksa. Orang-
orang tahanan itu diambil oleh pihak tambang dari bekas buruh
paksa yang membuat jalan kereta api dari Padang ke

23
Dalam kasus-kasus lainnya, banyak juga orang Minangkabau yang bekerja sebagai
buruh. Contoh yang menarik adalah di negari Koto Gadang. Pada umumnya
penduduknya adalah kaum terpelajar sehingga sawah mereka dikerjakan oleh
penduduk desa lain. Buruh sawah itu memiliki status sosial yang rendah di mata
penduduk Koto Gadang. Mereka diangkat menjadi “kemenakan di bawah lutut”,
sebuah status sosial yang rendah dalam masyarakat Minangkabau. Pertimbangan
ekonomi membuat mereka tetap mengerjakan sawah di Koto Gadang itu. Lihat
K. A. James, “De Nagari Koto Gadang, dalam, Tidschrift Binnenlandsch Bestuur
No. 49. (Batavia: 1915).
24
Akira Oki, op. cit., hlm. 120.
25
Register Arsip Nasional 1891–1907, hlm. 412—413.

142
Sawahlunto dan dari berbagai penjara di Minangkabau, seperti
dari Padang, Bukittinggi, Lubuk Aluang, dan Batu Sangkar.
Namun demikian, karena jumlah belum mencukupi untuk
bekerja sebagai tenaga lapangan, buruh paksa lebih banyak
diambilkan dari orang-orang hukuman dari luar Minangkabau.
Mereka umumnya berasal dari Jawa, Bali, Madura, dan Sulawesi
Selatan.26 Para tahanan itu diangkut dengan kapal laut sampai
ke Padang. Dari Padang, mereka kemudian diangkut dengan
kereta api ke Sawahlunto.
Pengambilan para hukuman dari berbagai penjara sebagai
buruh paksa pada pokoknya ditangani oleh pemerintah.
Mengingat posisi tambang batu bara sebagai perusahaan
negara, pemerintahpun secara langsung turut serta mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi oleh perusahaan tambang
seperti penyediaan buruh, mengatasi keresahan di kalangan
buruh, dan penjualan batu bara. Perhatian pemerintah adalah
lazim, sebab modal yang ditanam dalam perusahaan tambang
adalah modal pemerintah. Akan berbeda halnya jika modal
itu berasal dari pihak swasta, perhatian pemerintah dalam
mengatasi berbagai masalah tambang batu bara Ombilin tidak
akan sebesar itu. 27 Melalui kerja sama antara pihak
pertambangan dengan Departemen van Justitie (Departemen
Kehakiman), perekrutan buruh paksa pun berlangsung sejak
mula pembukaan tambang tersebut.28

26
G. Nypels, “Dwangarbeiders of Contractkoelies als Werkvolk in de
Ombilinmijnen”, dalam, De Indische Gids. (Amsterdam: J.H. de Bussy, 1925),
hlm. 340–350.
27
Tentang penanaman modal pemerintah dalam perusahaan tambang batu bara
Ombilin, lihat Rusli Amran, Sumatera Barat hinggaPlakat Panjang. (Jakarta:
PT Sinar Harapan, 1984), hlm. 311–313. Lihat juga F.A. Delpart, Gouvernement‘s
Ombilin Steenkool – Ontginning Of Sumatra. (Amsterdam: J.H. de Bussy,
1894), hlm. 45—55.
28
Register Arsip Nasional 1891, hlm. 412—413.

143
Pada pokoknya keputusan yang diambil oleh pemerintah
untuk mempekerjakan orang-orang hukuman sebagai buruh
tambang adalah dalam rangka memanfaatkan tenaga-tenaga
tahanan. Pihak perusahaan mendapatkan keuntungan dengan
memperkerjakan para tawanan, terutama karena upahnya
dapat ditekan dan mereka dapat dipaksa bekerja. Bagi orang-
orang yang sedang menjalani hukuman itu, bekerja sebagai
buruh paksa pada tambang batu bara Ombilin sesungguhnya
merupakan siksaan yang mahaberat. Bahkan, kondisi kerja,
fisik, dan penderitaan mereka selama menjadi buruh paksa pada
tambang batu bara Ombilin jauh lebih berat dibandingkan
ketika mereka tetap berada dalam penjara.29
Pengerahan pertama buruh paksa dilakukan pada saat
pembukaan tambang dilakukan pada tahun 1892. Perekrutan
tenaga kerja paksa amat memperhatikan fisik dan usia. Mereka
yang direkrut pada umumnya berusia antara 18 sampai 40
tahun.30 Buruh yang akan diperkerjakan haruslah memiliki
kondisi fisik yang baik dan sehat karena mereka akan
ditempatkan sebagai buruh lapangan untuk menggali batu bara
di lubang-lubang penggalian yang menuntut kesiapan fisik yang
baik dan kuat.31
Seperti disebutkan tadi, buruh paksa tahap pertama yang
menggali batu bara Ombilin berasal dari para buruh paksa yang
membuat jalan kereta api dari Sawahlunto ke Padang. Setelah

29
Orang hukuman itu sendiri berasal dari penduduk pribumi yang mendapat hukuman
akibat berbagai kesalahan yang mereka perbuat, seperti membunuh, merampok,
dan pemberontak. ibid., hlm. 410. Abdul Muluk Nasution melaporkan bahwa
buruh paksa nasibnya jauh lebih buruk dibandingkan dengan budak di Afrika.
Abdul Muluk Nasution, Pemberontakan Rakyat Silungkang Sumatera Barat.
(Jakarta: Mutiara, 1981), hlm. 59—65.
30
Tentang aturan-aturan pengerahan buruh paksa ini, lihat misalnya dalam Register
Arsip Nasional 1895, hlm. 319.
31
ibid., hlm. 320.

144
pembuatan jalan kereta api yang dikerjakan oleh buruh itu
selesai, mereka kemudian ditarik oleh pemerintah untuk
mengerjakan penambangan batu bara Ombilin. Perpanjangan
pekerjaan seperti itu hanya ditentukan langsung oleh
pemerintah, tanpa persetujuan dari buruh paksa tersebut.
Pada tahap awal, buruh paksa yang dikerahkan adalah
sebanyak 336 orang. Mereka diambil dari berbagai penjara di
Minangkabau dan Jawa, serta dari tempat lain. Pada tahun 1893,
pengerahan buruh paksa bertambah terus mencapai 1500 or-
ang.32 Jumlah buruh paksa yang bekerja pada tambang batu
bara Ombilin Sawahlunto mengalami pasang surut dalam setiap
tahunnya.33 Terjadinya peningkatan atau penurunan tenaga
paksa sangat ditentukan oleh kebutuhan tenaga untuk menggali
batu bara pada lubang-lubang penggalian. Kebutuhan terhadap
batu bara tidak terlepas dari permintaan pasar internasional.
Pengerahan buruh tambang batu bara lainnya adalah
melelui sistem kontrak kerja. Buruh-buruh yang dikontrak
oleh pihak pemerintah adalah buruh kontrak beretnik Cina
yang didatangkan dari Penang dan Singapura dan buruh
kontrak beretnik Jawa yang didatangkan dari berbagai tempat

32
Buruh paksa yang pertama kali bekerja pada perusahaan tambang diambil dari
para buruh paksa yang mengerjakan pembuatan jalan kereta api dari Sawahlunto
ke Padang. Lihat tabel I. Lihat Adeng Sunardi, op. cit., hlm. 15. Sebagai catatan,
beberapa nama yang dapat ditemukan sebagai buruh paksa pada tambang batu
bara Ombilin tahun 1896 adalah Toebah, Ladam, Tamin, dan Amir yang Berasal
dari penjara di Padang. Singoredjo, Projosmito, Marsaid, Sodrono, Dipowidjojo,
Sodikromo, Amat, Darso, Roepeoh, dan Gendon diambil dari penjara-penjara di
Jawa. Dedaga, Kottoi, dan Anoe Aing diambil dari penjara Sulawesi Selatan. Lebih
jauh lihat “Behoort by het Verslag van de Gason plofing in de Mijn Lunto I op
November 1896” dalam Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg ter
Sumatra`s Westkust en van de Ombilin – Kolenvelden Over 1896. (Batavia:
Landsdrukkerij, 1897), hlm. 19.
33
Lihat tabel IX.

145
di Pulau Jawa.34 Buruh kontrak Cina hanya dua kali saja
direkrut. Hal itu disebabkan mereka tidak bersedia
memperpanjang kontrak dan kemudian mencari pekerjaan lain,
terutama sebagai pedagang. Buruh kontrak dari Jawa yang
jumlahnya banyak selalu diperkerjakan oleh pihak perusahaan
tambang batu bara Ombilin.
Para buruh kontrak itu didatangkan dengan berbagai cara.
Cara yang umum dijalankan adalah melalui biro jasa, iklan,
dan langsung dengan mencari bekas buruh tambang. Pihak
perusahaan tambang seringkali memanfaatkan biro-biro
pencari kerja. Pola ini lebih memudahkan karena pihak
perusahaan hanya menghubungi biro jasa untuk mendapatkan
buruh. Tawaran melalui iklan surat kabar juga digunakan pihak
perusahaan untuk mencari buruh. Akan tetapi, cari ini tidak
berjalan dengan baik karena pihak perusahaan tambang
kesulitan dalam menyeleksi buruh.
Cara yang lebih sering dilakukan pihak perusahaan tambang
batu bara Ombilin adalah melalui laukeh/laukek atau buruh yang
telah habis masa kontraknya. Cara itu adalah dengan
mengerahkan bekas buruh untuk mencari buruh kontrak baru.
Mereka mencari langsung ke berbagai tempat di negerinya
ataupun kenalan mereka di berbagai tempat di Pulau Jawa. Calon
buruh dibujuk dengan imbalan penghasilan yang besar. Bagi
perusahaan, pola perekrutan ini menjadi efektif karena para
laukek sudah mengetahui persyaratan untuk menjadi buruh

34
Wawancara dengan Bapak Darman tanggal 20 Oktober 1994. Bapak Darman
dilahirkan di Sawahlunto pada tahun 1917 dan telah bekerja sebagai buruh tambang
sejak tahun 1935. Orang tuanya bekerja sebagai buruh kontrak pada tambang
batu bara Ombilin sejak tahun 1910. Lihat juga Adeng Sunardi, 100 Tahun
Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto. (Sawah Lunto: PT Tambang Batu
Bara Bukit Asam, 1989), hlm. 5—7.

146
tambang dan pihak perusahaan akan lebih mudah menggunakan
buruh yang direkrut dengan cara itu.35
Hal lain yang memudahkan pola perekrutan buruh seperti
itu adalah mereka yang bekerja di Ombilin membentuk suatu
kelompok berdasarkan ikatan kekeluargaan. Mereka yang
direkrut itu masih dalam ikatan keluarga. Di Sawahlunto,
kondisi kekeluargaan buruh tidak berbeda dengan tempat asal
mereka karena mereka hidup dalam tatanan nilai seperti di
kampung sendiri.
Gambaran pola perekrutan buruh seperti ini tercermin dalam
kehidupan sehari – hari buruh di Sawahlunto. Kota Sawahlunto
sebagai pusat permukiman buruh memperlihatkan pola
kehidupan yang sesuai dengan negeri asal mereka di Jawa. Bahkan
nama perkampungan penduduk disesuaikan dengan nuansa
Jawa. Tidaklah mengherankan, misalnya, beberapa nama
kampung di Sawahlunto memiliki nama, seperti Sukosari,
Sidomulyo, dan Cebongan. Di kampung itu pada umumnya buruh
masih memiliki hubungan keluarga.36
Dalam sejarah tambang batu bara Ombilin, buruh paksa
dan buruh kontraklah yang menjadi buruh yang diandalkan
oleh perusahaan. Selama bertahun-tahun dalam penambangan
merekalah yang menjadi tenaga utama dalam melaksanakan
penggalian batu bara pada lubang dalam.37

B. Eksploitasi Nan Tiada Kunjung Habis


Buruh lapangan yang bekerja pada tambang batu bara
Ombilin dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Ada
kalanya pihak perusahaan membutuhkan buruh lapangan
dalam jumlah yang banyak, namun kadang kala juga terjadi
35
Wawancara dengan Bapak Darman tanggal 20 Oktober 1994.
36
ibid.
37
G. Nypels, op. cit., hlm. 340—351.

147
pemutusan hubungan kerja. Semua itu sangat tergantung pada
permintaan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri maupun
yang diekspor. Untuk mengetahui jumlah buruh paksa dari
tahun ke tahun, dapat diamati pada tabel berikut ini.
Tabel IX
Jumlah Rata-rata Buruh Paksa
yang Bekerja pada Tambang Batu Bara Ombilin
dari tahun 1892 hingga 1929
Tahun Jumlah Tahun Jumlah
1892 336 1911 1.579
1893 1.500 1912 2.065
1894 1.800 1913 2.659
1895 2.123 1914 3.264
1896 2.215 1915 3.209
1897 2.112 1916 3.227
1898 1.879 1917 3.490
1899 1.998 1918 3.250
1900 2.350 1919 3.459
1901 2.402 1920 2.989
1902 2.108 1921 3.204
1903 1.443 1922 3.176
1904 1.448 1923 2.860
1905 1.179 1924 2.907
1906 1.207 1925 2.875
1907 1.307 1926 3.221
1908 1.736 1927 2.240
1909 1.665 1928 1.987
1910 1.606 1929 1.650

148
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, seperti Jaarboek van
Mijzwezen 1900-1945, Verslag der Exploitatie van den
Staatsspoorweg ter Sumatra’s Westkust en van de
Ombilin-Kolenvelden, Kolonial Verslag, Indische Gids
dan Indische Mercuur.
Sejak tahun 1927, secara berangsur-angsur buruh paksa
mulai dikurangi. Dasar kebijakan penghapusan itu adalah dari
protes buruh atas perlakuan yang tidak manusiawi yang mereka
terima selama bekerja sebagai buruh paksa. Puncak dari protes
buruh adalah pemberontakan buruh tambang tahun 1927 di
Silungkang. Dalam pemberontakan yang dimotori oleh PKI,
Sarikat Rakyat, dan PKBT, banyak buruh tambang batu bara
Ombilin yang terlibat.38
Dalam perkembangan berikutnya, di samping pengerahan
buruh paksa, pihak pemerintah juga mengerahkan buruh
dengan bentuk ikatan lainnya, seperti buruh kontrak dan buruh
bebas. Buruh kontrak pertama kali bekerja pada perusahaan
tambang batu bara Ombilin pada tahun 1893. Buruh kontrak
itu berasal dari buruh kontrak Cina. Buruh kontrak dari Jawa
mulai bekerja sejak tahun 1902. Pada tahun selanjutnya mereka
mendominasi jumlah buruh pada perusahaan tambang. Sejak
saat itu, buruh kontraklah yang menjadi tenaga utama untuk
menggali batu bara.39
Pengikatan kontrak yang pertama bagi buruh Cina
berlangsung tahun 1893. Berdasarkan keputusan pemerintah
No. 17, tanggal 3 Agustus 1893, buruh Cina pun dikontrak
38
Pemberontakan yang terjadi pada Mei 1927 itu dimotori oleh Partai Komunis
Indonesia. Paham komunis mempunyai pengaruh yang kuat pada buruh tambang,
terutama melalui berbagai organisasi buruh seperti Persatoean Kaoem Boeroeh
Tambang (PKBT), dan surat kabar tambang, yaitu Soeara Tambang, Panas, dan
Pertimbangan.
39
Sampai sekarang, buruh yang berasal dari Jawa tetap mendominasi buruh kerja
tambang batu bara. Adeng Sunardi, op. cit., hlm. 40.

149
sebanyak 600 orang.40 Pada tahun 1895, perusahaan tambang
Ombilin kembali merekrut buruh Cina. Kontrak kedua buruh
Cina dengan perusahaan tambang batu bara Ombilin berhasil
mendatangkan pekerja sebanyak 1200 orang.41
Buruh Cina dikontrak sebagai buruh selama dua sampai tiga
tahun. Setelah masa kontrak berakhir, banyak di antara mereka
yang memutuskan berhenti bekerja sebagai buruh tambang.
Buruh kontrak Cina yang memperpanjang kontraknya hanya
sebanyak enam orang.42 Keadaan itu menimbulkan persoalan
bagi perusahaan tambang.
Persoalan utama yang dihadapi pihak perusahaan tambang
dengan buruh kontrak Cina adalah mereka tidak
memperpanjang kontrak. Setelah masa kontrak habis, buruh
Cina mencari pekerjaan lain, seperti berdagang.43 Hal itu tidak
diinginkan oleh perusahaan tambang karena pihak perusahaan
telah mengeluarkan dana untuk merekrut mereka.
Sedikitnya jumlah buruh Cina yang memperpanjang
kontrak membuat pihak perusahaan tambang batu bara
Ombilin mengeluarkan kebijakan tersendiri terhadap buruh
Cina. Adapun kebijakan baru yang diambil pihak perusahaan
adalah tidak dibukanya kesempatan pengerahan buruh Cina dari
Penang, Malaysia.44 Dengan demikian, buruh Cina yang bekerja
40
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van
de Ombilin Kolenvelden over 1893. (Batavia: Landsdrukkerij, 1904), hlm. 9.
41
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van
de Ombilin Kolenvelden over 1895. (Batavia: Landsdrukkerij, 1896), hlm. 10.
42
Bahkan pada tahun 1897, buruh Cina yang bekerja sebagai buruh tambang
tinggal dua orang, yaitu Han Tjoen dan Eng Sio. Kedua buruh itu terikat dalam
bentuk buruh bebas. Lihat misalnya, Verslag Exploitatie 1896, op. cit., hlm. 9.
43
Adeng Sunardi, op. cit., hlm. 6.
44
Dibandingkan dengan tambang lainnya, seperti di Bangka dan Belitung, pada
daerah ini buruh kontrak Cina mampu bertahan bekerja bertahun-tahun lamanya.
Persoalan utama yang dihadapi buruh kontrak Cina adalah beratnya kerja yang
harus dilakukan itu tidak sebanding dengan upah yang mereka terima. J.C. de
Mollema, De Ontwikkeling van het Eiland Billiton en van de Billiton Matschappij.
(Amsterdam: S–Gravenhage Martinus Nijhoff, 1922), hlm. 235—245.

150
pada tambang batu bara Ombilin hanya dalam satu masa
kontrak dan kemudian diputuskan. Bahkan, sejak tahun 1897,
buruh Cina hampir tidak ada lagi yang bekerja pada perusahaan
tambang batu bara Ombilin.45
Untuk mengisi kekosongan tenaga buruh tambang,
terutama yang bekerja sebagai buruh lapangan untuk menggali
batu bara, pihak perusahaan tambang kemudian mengalihkan
perhatiannya dengan mendatangkan buruh kontrak dari Jawa.
Berbeda dengan buruh kontrak dari Cina yang memutuskan
kontraknya setelah selesai satu masa kontrak kerja, buruh
kontrak dari Jawa bersedia untuk memperpanjang kontrak.
Bahkan, untuk itu, pihak perusahaan membuat strategi untuk
mengikat dan memerangkap buruh kontrak sedemikian rupa,
yaitu dengan diadakannya pasar malam, arena judi, dan
peminjaman uang sehingga mereka terjerat untuk bekerja dalam
waktu yang lama pada tambang itu.46
Persoalan ini akan berbeda dengan buruh kontrak dari
Jawa. Mereka umumnya melanjutkan kontrak kerja dengan
pihak perusahaan tambang. Mengamati perkembangan buruh
kontrak dari tahun ke tahun, banyak di antara mereka bekerja
sampai anak dan cucu mereka menjadi buruh tambang di
perusahaan itu47
45
Adeng Sunardi, op. cit., hlm. 10.
46
Masa kontrak yang dibuat oleh perusahaan tambang batu bara terhadap buruh
tambang biasanya antara 2 sampai 3 tahun. Setelah habis masanya, kontrak dapat
disambung kembali. Hanya saja, pihak tambang dengan berbagai cara berusaha
memperpanjang kontrak itu. Lihat Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg
ter Sumatra‘s Westkust en van de Ombilin – Kolenvelden over 1899. (Batavia:
Landsdrukkerij, 1900), hlm. 9—14.
47
Pada umumnya buruh kontrak dari Jawa melanjutkan kontraknya. Bahkan
dalam perkembangannya, mereka bekerja secara temurun pada tambang batu
bara Ombilin. Beberapa orang yang diwawancarai menyatakan bahwa jika orang
tua mereka bekerja sebagai buruh tambang, anaknya pun berkemungkinan besar
direkrut menjadi buruh tambang. Perekrutan terhadap anak-anak buruh tambang
adalah setelah usia mereka mencapai 18 tahun. Wawancara dengan Sugiman,
Abdul Muin Pardi, Wagino, dan Paiman.

151
Dari tahun ke tahun, buruh kontrak yang bekerja pada
perusahaan tambang batu bara Ombilin mengalami pasang-
surut. Hal ini tidak terlepas dari peningkatan atau permintaan
akan kebutuhan batu bara. Jika permintaan meningkat,
kebutuhan tenaga kerja juga mengalami peningkatan. Namun,
di kala permintaan menurun, pemutusan hubungan kerja
menjadi momok yang menakutkan bagi buruh kontrak. Untuk
lebih jelasnya, jumlah buruh kontrak tambang batu bara
Ombilin dapat diamati melalui tabel berikut.
Tabel X
Jumlah Rata-rata Buruh Kontrak
yang Bekerja pada Tambang Batu Bara Ombilin
dari tahun 1902—1927
Tahun Jumlah Tahun Jumlah
1902 794 1915 1.723
1903 1.605 1916 1.904
1904 2.366 1917 1.709
1905 2.864 1918 1.947
1906 2.220 1919 2.110
1907 2.622 1820 2.021
1908 2.039 1921 1.984
1909 2.017 1922 1.998
1910 1.872 1923 2.114
1911 1.774 1924 2.115
1912 1.714 1925 2.262
1913 1.541 1926 2.507
1914 1.534 1927 2.279
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, seperti Jaarboek van
Mijzwezen 1900-1945, Verslag der Expiotatie van den
Staatsspoorweg ter Sumatra Westkust en van de Ombilin-
Kolenvenden, Kolinial Verslag, Indische Gids dan
Indische Mercuur.
152
Dari tabel itu terlihat bahwa antara tahun 1902 sampai
tahun 1927, buruh kontrak yang bekerja pada tambang batu
bara Ombilin berjumlah antara 1600 orang sampai 2200 or-
ang. Jumlah yang demikian sesungguhnya cukup banyak,
terutama dilihat dengan tingkat produksi batu bara yang mampu
mereka hasilkan. Dari tahun ke tahun akan terjadi pertukaran
orang-orang yang bekerja sebagai buruh kontrak. Jumlah
buruh yang berganti itu tidaklah terlalu banyak. Mereka yang
berhenti pada umumnya meninggal atau sakit-sakitan.
Selain buruh paksa dan buruh kontrak, pihak pertambangan
juga merekrut buruh yang bekerja secara bebas. Pengertian bebas
dalam konteks ini adalah mereka bekerja sebagai buruh harian
dan tidak diikat dengan sebuah kontrak bekerja sebagaimana
dengan buruh kontrak yang dibahas sebelum ini. Apabila seorang
buruh bebas ingin bekerja pada tambang batu bara Ombilin,
mereka cukup melapor ke perusahaan dan akan dapat langsung
bekerja.48 Bidang pekerjaan yang dimasuki oleh buruh bebas
tidak berbeda dengan buruh-buruh paksa ataupun buruh
kontrak, yaitu sebagai tenaga penggali dan pengangkut batu bara
dalam lubang penggalian.
Buruh bebas bekerja pada waktu senggang. Mereka
umumnya bekerja sebagai buruh tambang pada saat tidak turun
ke sawah. Manakala selesai menanam padi ataupun panen, waktu
lowong itu dimanfaatkan dengan bekerja sebagai buruh tambang.
Jumlah buruh bebas yang bekerja pada tambang batu bara
Ombilin dari waktu ke waktu tidaklah tetap. Perubahan itu
berdasarkan buruh yang melamar dan kebutuhan tambang batu
bara Ombilin akan tenaga buruh. Pada waktu tertentu, jika
perusahaan membutuhkan buruh yang banyak, perusahaan

48
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van
de Ombilin – Kolenvelden, 1904. (Batavia: Landsdrukkerij, 1905), hlm. 12.

153
mengutus orang untuk mencari buruh yang berasal dari
perkampungan yang berada di sekitar areal pertambangan.49
Untuk lebih jelasnya dapat diamati melalui tabel berikut.
Tabel XI
Jumlah Rata-rata Buruh Bebas
yang Bekerja pada Tambang Batu Bara Ombilin
dari tahun 1903 sampai tahun 1927

Tahun Jumlah Tahun Jumlah


1903 117 1916 2.406
1904 219 1917 2.157
1905 813 1918 2.800
1906 899 1919 2.574
1907 913 1920 2.119
1908 1.443 1921 2.479
1909 1.486 1922 2.857
1910 1.339 1923 2.618
1911 1.813 1924 2.156
1912 1.671 1925 697
1913 1.927 1926 985
1914 1.992 1027 1.568
1915 1.887 1928 1.574
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, seperti Jaarboek van
Mijzwezen, Verslag der Exploitatie van den
Staatsspoorweg ter Sumatra’s Westkust en van de
Ombilin-Kolenvelden, Kolonial Verslag.
Berdasarkan perkembangan buruh yang terdapat pada tabel
IX, X, dan XI, dapat diperhitungkan bahwa dalam setiap
tahunnya perusahaan tambang batu bara Ombilin
memperkerjakan buruh lapangan lebih kurang 8.000 orang,

49
Akira Oki, op. cit., hlm. 216.

154
yang terdiri atas buruh bebas, buruh paksa, dan buruh kontrak.
Jumlah itu belum termasuk di dalamnya tenaga kerja yang
berasal dari orang Belanda, indo, dan pribumi yang menjadi
pegawai negeri pada perusahaan tambang batu bara. Mereka
pada umumnya bekerja sebagai pimpinan tertinggi, tenaga ahli,
dokter dan pegawai rumah sakit tambang, pembukuan dan
administrasi di perkantoran, dan mandor lapangan.50
Setiap tahun jumlah buruh lapangan memperlihatkan
kecenderungan turun dan naik. Turun naik itu tidak terlepas
dari permintaan batu bara di pasar International. Sebagai
contoh, antara tahun 1904 sampai tahun 1907, buruh kontrak
yang direkrut antara 2366 orang sampai 2864 orang. Pada
waktu yang sama, buruh paksa yang bekerja pada tambang
batu bara Ombilin berjumlah antara 1207 orang hingga 1448
orang. Sementara itu buruh bebas berjumlah antara 218 or-
ang sampai 913 orang.51 Dari angka itu terlihat bahwa buruh
kontrak merupakan buruh yang terbanyak bekerja pada
tambang batu bara Ombilin.
Penurunan tenaga kerja paksa antara tahun 1903–1907
tidak terlepas dari kedatangan buruh kontrak. Buruh kontrak
yang didatangkan mampu mengisi lowongan kerja yang
tersedia sehingga buruh lain yang diperkerjakan itu sedikit.
Dalam pekerjaan, buruh kontrak lebih mudah diatur
dibandingkan dengan buruh paksa sehingga lebih efisien.

50
Kelompok tersebut termasuk pegawai negeri yang bekerja di kantor. Mereka
adalah golongan C, B, dan A 18. Golongan A 18 berasal dari penduduk pribumi
yang telah mendapatkan pendidikan. Mereka telah berasil menyelesaikan
Inlandsche School 2e Klasse dan diangkat menjadi pegawai negeri dan juga
termasuk di dalamnya adalah dokter pribumi. Buruh lapangan umumnya pribumi
dan termasuk ke dalam golongan A. Lihat Verslag der Exploitatie van den
Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van de Ombilin–Kolenvelden over
1915. (Batavia: Landsdrukkerij), hlm. 12—15.
51
Bandingkan tabel IX, X dan XI.

155
Keuntungan yang diperoleh dalam memperkerjakan buruh
paksa adalah upah mereka yang rendah. Mereka lebih sulit
diatur dan seringkali membuat kekacauan di dalam tambang.52
Perubahan mencolok dalam komposisi buruh kembali
terjadi antara tahun 1914 sampai tahun 1918. Pada tahun itu
jumlah buruh paksa lebih banyak daripada buruh bebas dan
buruh kontrak. Peningkatan buruh paksa itu berkaitan de-
ngan meningkatnya jumlah orang hukuman sehingga mereka
diperkerjakan pada tambang batu bara Ombilin. Pada tahun
1914–1918 buruh paksa berkisar 3029 orang sampai 3490 or-
ang, sedangkan buruh kontrak 1535 orang sampai 1947 or-
ang dan buruh bebas 1887 orang sampai 2157 orang.53 Jumlah
buruh tertinggi pada tahun-tahun itu dipegang oleh buruh
paksa. Buruh bebas juga memperlihatkan kecenderungan
meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pada periode itu, buruh kontrak menjadi buruh yang paling
sedikit bekerja pada tambang batu bara Ombilin.
Pada tahun 1925 dan tahun 1926, terjadi lagi penurunan
jumlah buruh bebas. Buruh bebas hanya berjumlah 697 or-
ang dan 985 orang. Pada hal, tahun-tahun sebelumnya
berjumlah di atas 2000 orang. Perubahan pada buruh bebas
itu adalah sebagai pengaruh kondisi politik yang berkembang
saat itu. Masyarakat mulai tidak mau bekerja sebagai buruh
tambang karena pengaruh partai-partai politik yang
berkembang di Sawahlunto. Partai seperti Sarikat Rakjat telah
berhasil berpropaganda untuk mempengaruhi buruh, seperti
diperlihatkan oleh buruh bebas.54

52
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van
de Ombilin–Kolenvelden over 1907. (Batavia: Landsdrukkerij, 1908), hlm. 16.
53
Bandingkan tabel IX, X dan XI.
54
Surat kabar Soeara Tambang, 19 Febuari 1926, hlm. 1.

156
Setelah terjadi pemberontakan 1927, terjadi lagi perubahan
jumlah buruh paksa. Pihak perusahaan membuat kebijakan
baru, yaitu secara berangsur-angsur jumlah buruh paksa yang
bekerja pada tambang batu bara Ombilin dikurangi.
Penghapusan buruh paksa terjadi pada tahun 1933.55 Sebagai
penggantinya, pihak tambang kemudian meningkatkan
perekrutan buruh kontrak dari Jawa. Sejak itu, dominasi buruh
tambang batu bara Ombilin dipegang oleh buruh kontrak.56

C. Klasifikasi Buruh Tambang Batu Bara Ombilin


Untuk memperoleh gambaran kehidupan buruh tambang
batu bara Ombilin yang sesungguhnya, kita membahas
terlebih dahulu klasifikasi buruh tambang. Klasifikasi buruh
merupakan hal yang penting untuk dikemukakan karena
berbagai alasan, antara satu klasifikasi dengan yang lainnya
memperlihatkan perbedaan yang mencolok.
Ditinjau berdasarkan tingkatannya, buruh tambang batu
bara Ombilin dapat dibagi atas beberapa klasifikasi. Setiap
klasifikasi akan dapat memberikan gambaran tentang berbagai
kondisi internal kehidupan buruh, seperti perlakuan yang
diterima buruh, kondisi ekonomi, masalah tingkat
kesejahteraan, bidang pekerjaan, latar belakang etnik, dan
kedudukannya dalam perusahaan tambang.57

55
Adeng Sunardi, op. cit., hlm. 16.
56
Pada tahun 1934, buruh kontrak berjumlah 4800 orang. Lihat misalnya Rapport
Eener Inspectiereis naar de Ombilin–Kolenvelden in 1934. (Batavia:
Landsdrukerij, 1935), hlm. 65.
57
Dalam realitasnya, selama bekerja sebagai buruh tambang, kehidupan mereka
sangat ditentukan oleh klasifikasi yang dimiliki. Seorang buruh paksa akan
mendapat perlakuan yang amat berbeda dengan buruh kontrak. Contohnya dalam
bekerja, kaki buruh paksa dirantai supaya tidak melarikan diri, sedangkan buruh
kontrak dapat bekerja secara bebas. Lihat G. Nypels, op. cit., hlm. 350—352.

157
Klasifikasi buruh tambang itu dapat ditinjau dari dua
bentuk, yaitu pertama, berdasarkan etnik dan berdasarkan
sistem kontrak kerja. Etnik yang bekerja pada tambang batu
bara Ombilin dapat dibagi atas beberapa, yaitu bangsa Eropa,
indo, Cina, dan pribumi. Kalangan Eropa umumnya adalah
bangsa Belanda, sedangkan etnik pribumi dapat dibagi lagi yaitu
penduduk Minangkabau dan yang didatangkan dari berbagai
daerah, seperti Jawa, Bali, dan Makassar. Klasifikasi kedua dapat
dibedakan atas buruh tetap dan buruh bebas. Buruh tetap
adalah pegawai perusahaan. Kelompok ini memegang jabatan
mulai dari pimpinan perusahaan sampai mandor lapangan,
sedangkan yang tergolong buruh adalah buruh bebas, buruh
kontrak, dan buruh paksa.58
Sebagai sebuah perusahaan pemerintah, di sana orang
Belanda menduduki posisi yang strategis. Posisi itu
menyangkut kebijakan tambang, seperti pimpinan tambang.
Hal itu dapat dengan mudah dipahami karena bangsa Belanda
sebagai pemilik modal dalam perusahaan, merekalah yang
menentukan segala kebijakan.59
Kelompok pegawai indo berada pada satu lapisan dengan
orang Belanda. Secara hukum, mereka telah mendapat status
disamakan dengan orang-orang Belanda.60 Dalam bidang
pekerjaan yang dimasuki, mereka termasuk pekerja yang
membutuhkan keahlian dalam bidangnya dan bukan sebagai
tenaga lapangan yang bertugas menggali batu bara dalam lubang-
lubang penggalian. Beberapa jabatan penting yang diduduki
oleh orang Belanda adalah pimpinan perusahaan, mekanik,

58
Lihat misalnya, Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oost–Indie,
Sumatra‘s Westkust 1910. (Batavia: Landsdrukkerij, 1911), hlm. 229—235.
59
Lihat Lampiran VIII.
60
Lebih jauh lihat misalnya B. H. F. van Heuven, Memorie van Overgave
Onderofdeeling Sawah Lunto. (Batavia: Landsdrukkerij, 1931), hlm. 346.

158
kepala produksi, kepala perusahaan, dan tenaga administrasi,
serta bagian kepegawaian.61
Golongan indo menempati kedudukan yang cukup tinggi
dalam perusahaan tambang batu bara Ombilin. Mereka
mendapatkan fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan
buruh pribumi yang bekerja sebagai buruh kasar di lapangan.
Mereka dimasukkan ke dalam kategori pegawai, bukan sebagai
buruh. Hal itu bertujuan untuk membedakan mereka dengan
buruh. Adapun yang disebut sebagai buruh adalah mereka yang
menggunakan tenaga kasar untuk menggali batu bara dalam
lubang-lubang penggalian.
Kebijakan yang dibuat pemerintah adalah yang menjadi
pimpinan tambang batu bara Ombilin haruslah orang Belanda.
Hal itu terlihat dari sejarah tambang batu bara yaitu sejak
diresmikan pada tahun 1891 sampai berakhir dikuasai oleh
Belanda pada tahun 1924, pimpinan tertinggi tambang tidak
pernah dipegang bangsa lain, tetapi sepenuhnya dipegang oleh
orang yang berkebangsaan Belanda.62
Hal itu terlihat dari pimpinan pertama tambang batu bara
Ombilin, yaitu Ir. W. Godefroy yang merupakan seorang sarjana
berkabangsaan Belanda.63 Penempatan seorang sarjana Belanda
tidaklah mengherankan mengingat besarnya modal yang
ditanamkan oleh pemerintah di balik harapan penjualan batu
bara yang akan dapat memberikan keuntungan ke dalam kas
negara. Pimpinan tambang batu bara secara struktural
merupakan pimpinan langsung untuk mengawasi dan
bertanggung jawab atas kelancaran produksi tambang. Tugas
pokok yang dikerjakannya adalah mengawasi segala aktivitas

61
Lihat Lampiran VIII.
62
Lihat Lampiran IX, pimpinan tambang batu bara Ombilin dari tahun ke tahun.
63
Jaarboek van het Mijnwezen uit Nederlandsch Oost–Indie Sumatra‘s Westkust
1892. (Amsterdam: C.F. Stemler, 1893), hlm. 267—269.

159
selama berlangsungnya proses produksi. Berbagai aktivitas yang
menyangkut produksi tambang di bawah pengawasan kepala
tambang adalah seperti masalah mutu batu bara, penyediaan
buruh, kesehatan buruh, kesejahteraan buruh, sarana
transportasi batu bara sampai pada ekspor ke pasar
internasional, seperti ke Singapura.64
Setelah pimpinan tambang, klasifikasi selanjutnya adalah
pegawai tambang. Pegawai bertugas pada bagian administrasi
pertambangan, seperti masalah surat menyurat, catatan produksi
tambang, laporan keuangan tambang, dan data buruh tambang.
Secara umum kelompok ini dipegang oleh bangsa Belanda dan
golongan indo. Sebagian kecil penduduk pribumi yang mendapat
pendidikan Belanda juga berhasil menembus kelompok ini
terutama sebagai juru tulis dan dokter perusahaan.
Untuk selanjutnya klasifikasi buruh pribumi yang bekerja
pada tambang batu bara Ombilin. Buruh pribumi pada
umumnya bertugas sebagai buruh lapangan. Tugas pokok
mereka adalah menggali dan mengangkut batu bara dari dalam
lubang-lubang penggalian. Mereka dapat dibedakan atas
beberapa etnik. Klasifikasi berdasarkan etnik juga akan dapat
memberikan gambaran tentang sistem kontrak kerja yang akan
dijalankan oleh perusahaan tambang. Dari etnik dan sistem
kontrak itu pembagian kerja juga dapat dibedakan.65 Mereka
adalah penduduk pribumi Minangkabau dan buruh pribumi
yang didatangkan dari luar.
Buruh terbanyak yang bekerja pada perusahaan tambang
adalah yang berasal dari Jawa. Buruh yang didatangkan dari

64
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van de
Ombilin–Kolenvelden over 1897. (Batavia: Landsdrukkerij, 1893), hlm. 21—24.
65
Lihat tabel IX, X, dan XI.

160
etnik Jawa secara umum bersifat buruh kontrak. Selain itu
terdapat buruh pribumi yang berasal dari suku bangsa lain,
seperti dari Aceh, Makasar, Madura dan Bali.66
Klasifikasi buruh yang kedua dapat dilihat berdasarkan
bentuk sistem kontrak dengan perusahaan tambang. Kelompok
ini dapat dibagi atas tiga, yaitu buruh bebas, buruh kontrak
dan buruh paksa. Pembahasan ini akan dicoba difokuskan pada
sistem kontraknya untuk melihat klasifikasi buruh tambang.

C.1 Buruh Paksa


Pengerahan orang-orang hukuman sebagai buruh telah
dimulai sejak tahun 1860-an. Pada tempat-tempat yang jarang
penduduknya, pemerintah menggunakan mereka sebagai buruh
paksa, seperti untuk pembuatan jalan biasa dan jalur kereta api.
Demikian juga pengerahan buruh paksa di tambang batu bara
Ombilin. Dilihat dari proses awal pengerahan buruh paksa,
sesungguhnya mereka tidaklah membuat suatu perjanjian dengan
pihak pertambangan. Pengerahan mereka pada prinsipnya
disebabkan karena kekurangan tenaga kerja untuk proyek-
proyek pemerintah di Minangkabau, seperti pembuatan jalan
kereta api dan buruh tambang.67 Untuk mengantisipasi persoalan
itu, pihak perusahaan mencari alternatif lain, yaitu mengerahkan
tenaga tahanan dari penjara-penjara.
Setelah proyek pembuatan jalan kereta api antara
Sawahlunto dan Padang selesai, tenaga paksa itu pun dialihkan
untuk bekerja sebagai buruh tambang batu bara Ombilin.
Dengan demikian, pengerahan pertama buruh paksa untuk
bekerja pada perusahaan tambang batu bara bukanlah

66
G. Nypels, op. cit., hlm. 340—345.
67
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van de
Ombilin–Kolenvelden over 1893. (Batavia: Landsdrukkerij, 1894), hlm. 14—16.

161
didatangkan langsung dari penjara-penjara, tetapi diambil dari
buruh paksa yang membuat jalan kereta api tersebut.68

Kehidupan buruh paksa dapat dikatakan sebagai buruh


yang paling menderita. Mereka mendapat tekanan dan
perlakuan yang buruk dari perusahaan tambang. Kehidupan
keseharian buruh paksa lebih jelek dari buruh kontrak. Mereka
terlihat jelek dalam berpakaian, mereka bukan orang bebas,
mereka tahanan dan tak dapat diingkari bahwa kehidupan yang
mereka jalani amat berat.69 Sementara itu, dalam segi upah
mereka tidak menerima hasil yang sesuai dengan kerja.
Kesenjangan itu menimbulkan ketidaksenangan di kalangan
68
Sebagaimana yang telah diceritakan pada subbab transportasi bahwa sejalan
dengan proyek tambang batu bara, masalah transportasi menjadi persoalan
yang sangat penting, terutama untuk mengangkut batu bara dari Sawahlunto
ke Pelabuhan Emmahaven di Padang. Bahkan, dalam konsesi – konsesi tentang
batu bara, di dalamnya juga termasuk pembuatan jalan kereta api. Pada
gilirannya, kereta api lebih dahulu beroperasi dari tambang sehingga buruh-
buruh yang bekerja membuat jalan kereta api ini kemudian dipaksa bekerja
sebagai buruh tambang batu bara Ombilin. Mereka umumnya adalah tenaga
kerja paksa. Lihat Jaarboek van Mijnwezen in Nederlandsch Indie 1892. (Batavia:
Landsdrukkerij, 1893), hlm. 59.
69
“De Ombilin–Mijnen in 1909”, dalam De Indische Gids 32 II. (Amsterdam: J.H.
de Bussy, 1910), hlm. 1285—1386.

162
buruh paksa. Sebagai contoh, ketika terjadi pemberontakan
Silungkang, buruh paksalah yang banyak ikut dalam
pemberontakan itu. Keterlibatan buruh disebabkan oleh
perlakuan tidak manusiawi yang mereka terima dari orang-or-
ang Belanda ketika bekerja pada tambang batu bara Ombilin.
Perlakuan buruk itu mendapat sorotan dari surat kabar.
Surat kabar Soera Tambang melaporkan, “Boekan sadja orang
kontrakan yang moesti bekerdja berat, tapi ada oerang
hoekoeman yang nasibnja lebih djelek dibandingkan hewan”.70
Pada pokoknya, yang bekerja keras tidak hanya buruh paksa,
buruh kontrak pun mengalami hal yang tidak jauh berbeda.
Keuntungan buruh kontrak adalah perlakuan yang mereka
terima lebih baik dibandingkan dengan buruh paksa. Buruh
kontrak lebih leluasa bekerja dan kehidupan mereka lebih baik.
Buruh paksa tidak leluasa dalam bekerja karena kaki mereka
selalu dirantai dan diawasi ketat oleh polisi tambang.71

C.2 Buruh Kontrak


Sejak awal berdirinya, perusahaan tambang telah
mendatangkan buruh dari luar. Buruh yang didatangkan dari
luar umumnya barsifat buruh kontrak. Buruh kontrak
didatangkan dari Jawa dan ada juga sebagian buruh Cina yang
didatangkan dari Singapura dan Penang. Namun, buruh
kontrak yang paling banyak bekerja pada tambang batu bara
Ombilin adalah buruh yang didatangkan dari Jawa. Buruh
kontrak dari Cina hanya sekali didatangkan pada tahun 1893
dan setelah itu tidak ada lagi. Hal ini disebabkan mereka yang
telah bekerja tidak bersedia memperpanjang kontraknya. Hal
itu membuat keengganan pihak perusahaan untuk merekrut
70
“Satoe Mei di Kalangan Kaoem Boeroeh”, dalam surat kabar Soeara Tambang, 30
April 1925, hlm. 1.
71
ibid.

163
buruh Cina yang baru. Persoalan dana juga menjadi
perhitungan untuk mendatangkan buruh Cina karena untuk
mendatangkan buruh membutuhkan dana besar, seperti biaya
transportasi dan jasa agen tenaga kerja.
Buruh kontrak dari Jawa pada tahap awalnya diikat dalam
bentuk kontrak selama antara dua sampai tiga tahun. Setelah
habis masa kontrak, para buruh dapat memperpanjangnya. Akan
tetapi, dalam praktiknya mereka bekerja sampai bertahun-tahun
dan bahkan ada yang menjadi buruh sampai ke anak–cucu
mereka. Beckhoven dalam laporan perjalanannya ke Sawahlunto
menuliskan bahwa sewaktu dia berada di Sawahlunto terdapat
sekitar empat sampai lima ribu buruh yang bekerja di sana.
Sekitar sepertiganya adalah pekerja paksa dan orang tahanan,
sepertiga kuli kontrak, dan sepertiganya lagi adalah pekerja bebas.
Orang tahanan yang seharusnya dipenjarakan itu di sana
memperoleh “kebebasan” yang cukup besar, mendapat
makanan, pakaian, dan gaji 7 sen sehari, tetapi kaki mereka tetap
dirantai. Kuli kontrak umumnya adalah orang Jawa yang terikat
kontrak selama tiga tahun. Setelah kontrak habis, mereka bebas
kembali ke kampung halaman mereka.

164
Mereka bebas menikmati gaji, yakni sebesar 35 sen per
hari. Sebenarnya mereka memperoleh penghasilan yang
cukup baik. Buruh bekerja siang malam mengambil batu bara
dan dibawa dengan kereta besi ke luar.72 Dari kutipan itu
terlihat upaya Beckhoven untuk memberikan gambaran
tentang kehidupan keseharian buruh kontrak pada tambang
batu bara Ombilin. Pada umumnya, buruh kontrak memang
mendapatkan perhatian yang baik dari pihak perusahaan
dibandingkan dengan buruh paksa. Persoalannya adalah
buruh paksa adalah orang hukuman sehingga dapat
diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Perhatian pihak perusahaan menjadi mutlak karena beban
kerja amat berat yang dilakukan buruh. Jika masalah kesehatan
diabaikan oleh perusahaan, hal itu dapat merugikan
perusahaan. Buruh yang sakit dengan sendirinya meminta cuti,
sedangkan yang sehat sulit untuk mendapatkannya.73 Dalam
kebijakan yang dibuat untuk mengontrol kesehatan buruh,
pihak perusahaan sangat memperhatikannya. Dalam sistem
produksi tambang, tenaga manusia merupakan faktor penting
karena jika banyak buruh yang sakit, produksi batu bara akan
berkurang. Dengan demikian, kesehatan dan gizi buruh
haruslah dijaga secara baik. Jika tidak, kerugian bagi perusahaan
semakin besar untuk pengeluaran biaya pengobatan. Dalam
realitasnya, dari waktu ke waktu jumlah buruh tambang batu
bara yang mengalami sakit relatif kecil.74

72
J. van Beckhoven, op. cit., hlm. 62—65.
73
Pada tambang batu bara ada sebuah rumah sakit. Rumah sakit itu disediakan
untuk semua karyawan dan buruh tambang. Rumah sakit itu memiliki kelas –
kelas sesuai dengan tingkatannya dalam bekerja. Lihat foto II.
74
Lihat tabel XIII.

165
C.3 Buruh Bebas
Buruh bebas adalah mereka yang bekerja pada perusahaan
tambang batu bara tanpa memiliki ikatan kontrak. Mereka
bekerja sebagai tenaga lapangan yang dapat dilakukan sewaktu
– waktu saja. Artinya, mereka dapat saja masuk dan keluar
bekerja pada tambang sesuai dengan keinginan mereka.75 Hal ini
dilakukan kerena bekerja pada tambang hanyalah sebagai
alternatif untuk menambah penghasilan bagi mereka di samping
pekerjaan pokok sebagai petani dan peladang. Dengan demikian,
kontinuitas bekerja buruh bebas itu tidaklah tetap sesuai dengan
kebutuhan perusahaan.
Hal ini sangat memungkinkan sebab kelompok ini pada
umumnya adalah penduduk asli yang berasal dari daerah
Minangkabau. Pihak perusahaan tambang juga tidak dirugikan
dengan sistem perekrutan buruh bebas itu. Dalam perekrutan
buruh bebas, keuntungan yang diperoleh perusahaan adalah
mereka tidak mengeluarkan dana yang besar dan dengan cepat
bisa pula didapatkan. Hal itu berbeda jika dibandingkan dengan
mendatangkan buruh dari Pulau Jawa.76 Bagi setiap buruh yang
didatangkan dari tempat lainnya terutama dari pulau Jawa,
pihak perusahaan mengeluarkan biaya dan memakan waktu
yang lama.77

75
Tidak ada ikatan yang jelas dan tegas pada buruh bebas. Mereka bisa bekerja
secara harian, mingguan, ataupun bulanan. J. Beckhoven, op. cit., hlm. 65.
76
Dalam mendatangkan buruh kontrak dari Jawa, sejak awal pihak tambang
telah mengeluarkan dana yang besar. Pengeluaran dana itu, seperti untuk agen-
agen perekrutan buruh, biaya transportasi dan akomodasi. Walaupun dana itu
akhirnya ditanggung buruh melalui pemotongan gajinya, namun mekanisme
perekrutan buruh membutuhkan dana yang besar dan memakan waktu yang
lama.
77
Biaya ini pada akhirnya dibebankan juga pada buruh kontrak melalui pemotongan
gaji dalam setiap bulannya.

166
Buruh bebas bekerja jauh lebih manusiawi
Walaupun penduduk di sekitar areal tambang telah ada
yang bekerja pada tambang, namun jumlah tenaga yang
dibutuhkan tidaklah mencukupi. Hal itu disebabkan luasnya
areal penambangan. Di samping itu, dan yang lebih penting
adalah upaya meningkatkan produksi batu bara. Tenaga buruh
dari luar sangat diperlukan. Hal itu terlihat ketika setiap
tahunnya pihak perusahaan tambang secara rutin
mendatangkan buruh dari luar melalui sistem kontrak maupun
perekrutan buruh paksa.
Secara keseluruhan, gambaran dari struktur buruh tambang
batu bara Ombilin adalah berbentuk piramida. Diagram
berikut memperlihatkan struktur buruh tambang batu bara
Ombilin berdasarkan etnik.

167
Diagram III
Struktur Buruh Tambang Batu Bara Ombilin

Belanda

Indo

Pribumi

Buruh Bebas Buruh Kontrak Buruh Paksa


Dari sana terlihat secara jelas bahwa pimpinan tertinggi
tambang dipegang oleh orang-orang Belanda, bagian tengah diisi
oleh golongan indo, sedangkan buruh pribumi yang bekerja
pada lubang-lubang penggalian berada pada lapisan paling
bawah. Sementara itu, ditinjau dari jumlahnya, orang Belanda
jauh lebih kecil daripada yang lain. Dalam sebuah laporan
dikatakan bahwa orang Belanda yang bekerja pada tambang
batu bara Ombilin berjumlah 96 orang, sedangkan buruh
pribumi adalah 6000 orang.78

D. Kebijakan Yang Menyengsarakan


Secara umum, pembagian buruh tambang batu bara
Ombilin dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu golongan C,
B, dan A. 79 Golongan pertama adalah golongan C yang
Golongan yang disebut juga dengan golongan karyawan ini
terdiri dari orang–orang Belanda. Golongan kedua adalah

78
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van de
Ombilin – Kolenvelden over 1915. (Batavia: Landsdrukkerij, 1913), hlm. 17—19.
79
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsc–Oost Indie, Sumatra‘s Westkust.
(Batavia: Landsdrukkerij, 1910), hlm. 346—348. Lihat juga misalnya Verslag der
Exploitatie van der Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van de Ombilin–
Kolenvelden over 1915. (Batavia: Landsdrukkerij, 1916), hlm. 12—13.

168
golongan B. Golongan B berasal dari peranakan Belanda.
Golongan ketiga adalah golongan A. Golongan A terbagi dua,
yaitu A 18 yang berasal dari peranakan dan orang Belanda,
sedangkan golongan A berasal dari penduduk pribumi.
Penduduk pribumi golongan A bekerja sebagai buruh bebas,
buruh kontrak, dan buruh paksa.

169
Ditinjau dari gaji, kelompok yang menerima gaji terbesar
adalah kelompok C. Dengan kedudukan yang paling tinggi
dalam perusahaan, golongan ini mendapatkan berbagai
fasilitas dan gaji yang tinggi dari pemerintah. Bahkan, dalam
penentuan tingkatan gaji buruh tambang, mereka mempunyai
kekuatan untuk menekan ataupun menaikkan gaji buruh.
Hal itu menjadi lazim karena merekalah yang ditunjuk oleh
pemerintah untuk menjadi pimpinan dengan tugas mengawasi
semua mekanisme yang terdapat pada perusahaan tambang
batu bara itu.80
Kelompok peranakan yang bekerja pada perusahaan
tambang juga mempunyai kedudukan yang lebih baik
dibandingkan dengan buruh pribumi. Pada bidang pekerjaan
yang sama mereka lakukan, buruh peranakan memperoleh hak-
hak yang tidak diperoleh buruh pribumi, seperti fasilitas rumah
sakit yang lebih baik, tempat tinggal, dan gaji yang lebih tinggi.81
Dengan darah Eropa yang mengalir dalam tubuh mereka,
diskriminasi itu sangat terasa. Diskriminasi menjadi hal yang lazim
dalam perusahaan tambang itu. Walaupun buruh peranakan
memiliki tingkatan dan menerima perlakuan serta gaji yang
berbeda dengan buruh pribumi, dalam bidang pekerjaan buruh
peranakan memiliki pekerjaan yang sama dengan buruh pribumi.
Bidang-bidang pekerjaan yang termasuk dalam kategori
administrasi dikerjakan oleh peranakan dan juga dapat dimasuki
oleh penduduk pribumi adalah juru tulis dan mandor.82

80
Pimpinan tertinggi dalam perusahaan tambang batu bara Ombilin ditunjuk oleh
seorang kepala atau chef der exploitatie. Kepala exploitasi haruslah seorang sarjana
dan berkebangsaan Belanda. Adeng Sunardi, op. cit., hlm. 39—40. Lihat juga
lampiran IX.
81
“De Ombilinmijnen” dalam De Mijningenieur, January 1909, No. 1, hlm. 6.
82
ibid., hlm. 7.

170
Dengan posisi yang dimiliki, mereka dapat berbuat secara
bebas di perusahaan. Bahkan, lebih jauh lagi. Pegawai
berkebangsaan Belandalah yang sesunguhnya berkuasa penuh
di perusahaan yang memungkinkan mereka dapat menentukan
jalan perusahaan sesuai dengan kebijakan yang diinginkannya.83
Golongan yang paling besar menerima gaji dari
perusahaan adalah golongan C. Golongan B menerima gaji
lebih kecil dibandingkan dengan golongan C, sedangkan
golongan A merupakan kelompok buruh yang mendapatkan
gaji yang paling kecil dari semua lapisan buruh pada tambang
batu bara Ombilin.84
Golongan A juga memiliki gaji yang berbeda, terutama
antara golongan A dengan A 18. Golongan A 18 pada
umumnya adalah peranakan. Pada golongan A 18 juga
terdapat penduduk pribumi. Penduduk pribumi yang dapat
mencapai golongan ini haruslah seorang yang memegang di-
ploma.85 Dalam tingkatan dan bidang pekerjaan yang sama,
golongan peranakan menerima gaji lebih tinggi dibandingkan
dengan buruh pribumi.

83
Dalam praktiknya, kondisi sosial yang tercipta adalah sebuah masyarakat baru.
Pada masyarakat ini, kepala tambang menjadi penguasa tertinggi. Berbagai aturan
yang ia ciptakan menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh semua anggota
masyarakat didalamnya. Dalam perusahaan lain, pola seperti ini akan dikemukakan
pada perkebunan – perkebunan besar. Pada perkebunan di Sumatra Timur misalnya,
pimpinan perkebunan berlaku sebagai seorang “raja kecil” yang berkuasa penuh
terhadap semua buruh yang terdapat di perkebunan itu. Muhammad Said, op. cit.,
hlm. 20—30.
84
Tentang gaji para buruh tambang batu bara Ombilin, lihat tabel XII dan XIII.
85
Penduduk pribumi yang menjadi pegawai pemerintah adalah mereka yang
memperoleh pendidikan soal pertambangan maupun bidang lainnya, seperti dokter,
mekanis, dan juru tulis. Lihat Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg ter
Sumatra‘s Westkust en van den Ombilin–Kolenvelden over 1900. (Batavia:
Landsdrukkerij, 1901), hlm. 7—8.

171
Penurunan atau peningkatan gaji buruh juga seringkali
terjadi. Perubahan itu biasanya berdasarkan prestasi kerja.
Satu kebijakan menarik yang dibuat pada tahun 1914 adalah
penurunan golongan buruh peranakan dari golongan B
menjadi golongan A 18. Penurunan golongan itu berdasarkan
bidang kerja baru yang dimasuki oleh buruh peranakan, yaitu
menjadi tenaga lapangan. Sungguhpun terjadi penurunan
tingkatan dalam golongan, namun dalam masalah upah tidak
terjadi penurunan. Buruh peranakan tetap menerima gaji
sesuai dengan golongan semula, yaitu gaji golongan B.86
Tidaklah mengherankan, diskriminasi yang tajam dan
biasa terjadi itu seringkali menimbulkan kecemburuan di
kalangan buruh, terutama bagi buruh paksa. Persoalan
diskriminasi nantinya menimbulkan berbagai gejolak
kerusuhan di kalangan buruh tambang,87 atau dengan kata
lain, sumber gejolak terbesar dari buruh terutama berasal dari
buruh paksa yang disebabkan oleh kebijakan yang dibuat
oleh pihak perusahaan tambang banyak merugikan
kepentingan dan hak-hak buruh paksa.

86
Lihat Staatsblaad No. 345, 1910.
87
Masalah tingkat kerusuhan dapat diamati melalui konsep yang dikemukakan
oleh Robert Guur. Melalui bukunya Why Men Rebel ia melihat tingkat dari
kerusuhan, seperti turmoil, konspirasi, dan internalwar. Dalam sejarah tambang
batu bara Ombilin, tingkat kekerasan yang terjadi adalah turmoil dan konspirasi.
Tingkat turmoil misalnya kerusuhan kecil-kecilan. Terbunuhnya satu atau dua
orang menjadi hal yang wajar pada tambang batu bara Ombilin. Jika buruh
pribumi yang mati, terutama buruh paksa, pihak perusahaan tambang akan
membiarkannya. Bahkan, sudah menjadi pemandangan yang lazim buruh
pribumi meninggal seringkali dikubur begitu saja dalam tumpukan-tumpukan
batu bara. Akan tetapi, jika buruh Eropa yang terancam jiwanya, ia akan
dilindungi oleh polisi tambang. Contoh tingkat konspirasi adalah pemberontakan
PKI tahun 1927. Wawancara dengan Abdul Muin. Lihat juga Robert Gurr,
Why Men Rebel? Princeton: Princeton University Press, 1971, hlm. 11.

172
Buruh paksa yang bekerja di tambang tidak mempunyai
batasan kerja yang jelas. Seorang buruh paksa yang telah habis
masa hukumannya dapat menjadi buruh kontrak pada
tambang batu bara.88 Kebijakan itu dibuat sebagai upaya
untuk mengatasi kesulitan dalam pengerahan buruh. Pada
tahun 1913, 413 buruh paksa yang habis masa hukumannya
kemudian bekerja sebagai buruh kontrak. Buruh paksa yang
naik status itu umumnya berasal dari Jawa, sedangkan bekas
buruh paksa yang berasal dari Bugis tidak dibolehkan menjadi
buruh kontrak disebabkan mereka dikenal memiliki tingkah
laku dan sikap yang jelek.89
Bagi buruh paksa yang tidak mampu bekerja lagi,
perusahaan mengembalikan mereka ke dalam penjara.
Namun, jika mereka sudah bebas dari penjara, perusahaan
pun biasanya memecat mereka. Pada tahun 1913 terjadi
pemecatan terhadap 65 orang buruh paksa karena tidak
disiplin dan membuat keributan di dalam lubang tambang.
Keributan berawal dari perkelahian antara buruh kontrak
dengan buruh paksa. Pihak perusahaan lebih berpihak kepada
buruh kontrak. Akibatnya adalah buruh paksa itu
dikembalikan ke penjara.90
Selain pada golongan buruh, perubahan golongan dapat juga
terjadi dalam kehidupan pegawai perusahaan. Peningkatan
golongan diikuti oleh perubahan penyediaan berbagai fasilitas,
seperti gaji, jaminan kesehatan, kelas pengobatan dan status sosial.
Namun, penurunan gaji juga terjadi, terutama disebabkan faktor
prestasi kerja dan loyalitas terhadap perusahaan.

88
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s Westkust en van
den Ombilin–Kolenvelden over 1913. (Batavia: Landsdrukkerij, 1914), hlm.
10—11.
89
ibid., hlm. 14.
90
ibid., hlm. 15.

173
Golongan A bisa meningkat menjadi golongan B, ataupun
sebaliknya golongan B bisa turun menjadi golongan A. Untuk
buruh pribumi yang bekerja sebagai buruh lapangan,
peningkatan tertinggi hanya bisa dicapai menjadi mandor
untuk kemudian masuk ke dalam kategori B. Namun, bagi
orang Belanda peningkatan dari golongan B ke golongan C
sudah menjadi hal yang biasa. Contoh yang menarik dalam
penurunan jabatan adalah seperti yang dialami oleh Kasan
Widjojo. Kasan Widjojo adalah contoh tokoh buruh tambang
yang mengalami penurunan jabatan dan upah dari pihak
perusahaan. Kedudukannya sebagai mandor dicopot oleh
perusahaan karena aktivitasnya sebagai tokoh buruh
tambang.91 Dasar pertimbangan yang diambil oleh pihak
perusahaan adalah Kasan Widjojo seringkali menggerakan
buruh untuk melawan berbagai kebijakan perusahaan.

91
Surat kabar Soeara Tambang, 1 Mei 1926, hlm. 1.

174
BAB V

MENUNGGU
MELEDAKNYA BOM
WAKTU
BURUH TAMBANG
BARU BARA OMBILIN
SAWAHLUNTO

Beratoes-ratoes banjaknja orang hoekoeman


jang berpoeloeh tahoen,
beriboe djoemlahnja koeli contrak,
sekalian mereka itoe sama mendapat hadiah poekoelan,
anoegerah tendangan,
karena me‘loemlah pembatja,
bahwa tambang ini kepoenjaan pemerintah.
Maki–makian soedah ditjoba,
kerdja berat telah ditanggoeng
berat dan ringan soedah dirasai
ta‘ dapat mengatakan sakit,
ta‘ boleh mengatakan berat kerdja.
(Surat kabar Soeara Tambang April 1925)
A. Sumber-sumber Keresahaan
Sumber keresahaan yang melanda buruh tambang batu bara
Ombilin bertitik tolak dari masalah kesejahteraan buruh.
Kurangnya perhatian itu menyangkut berbagai masalah ke-
sejahteraan yang diberikan oleh pihak perusahaan terhadap
buruh yang mengakibatkan munculnya keresahan. Yang dipan-
dang sebagai sumber keresahan itu dapat dibagi dua, yaitu ma-
salah internal dan eksternal. Masalah internal itu menyangkut
berbagai masalah yang dihadapi buruh sehari–hari, seperti
masalah upah, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan masalah
kemanusian1. Sedangkan masalah eksternal meliputi pengaruh
yang datang dari luar, seperti PKI dan Sarikat Rakjat.2
Keresahan itu sesungguhnya tidak dihadapi oleh semua
kalangan buruh. Para pegawai yang berada pada golongan C, B,
dan A yang berasal dari orang–orang Eropa, peranakan (indo),
serta pribumi yang terpelajar tidaklah menghadapi masalah
kesejahteraan. Bahkan sebaliknya, kelompok pegawai itu dapat
hidup secara makmur dari gaji dan mereka memperoleh berbagai
tunjangan dari perusahaan tambang batu bara Ombilin ini.
Buruh yang menghadapi persoalan yang menyangkut
kesejahteraan adalah buruh dari golongan A 18. Buruh
golongan ini berasal dari buruh pribumi. Mereka juga mem-

1
Persoalan-persoalan inilah yang seringkali dijadikan sorotan tajam yang ditujukan
terhadap pihak perusahaan tambang, baik dari kalangan buruh sendiri maupun
oleh organisasi buruh, seperti Persatoean Kaoem Boeroeh tambang melalui surat
kabar buruh. Surat kabar Soera Tambang, 5 Mei 1925, hlm. 1.
2
Gejala–gejala dari pengaruh Komunis di kalangan buruh tambang telah
diingatkan oleh Sandcik pada tahun 1923. Sandcik menyatakan bahwa
Komunitas merupakan ancaman masa depan bagi kelancaran tambang batu
bara ombilin. Propaganda Komunis terhadap buruh bahkan sudah berjalan sejak
tahun 1925 yang ditandai mulai masuknya tokoh komunis ke Sawahlunto. R.A.
van Sandcik, “Het Laatste Hoodstuk van de Ombilin Questie, dalam De Indische
Gids. (Amsterdam: J.H. de Bussy, 1923), hlm. 786—790.

176
punyai tingkat persoalan yang berbeda–beda. Buruh pribumi
yang mempunyai ikatan dengan perusahaan sebagai buruh
kontrak mendapatkan upah, jaminan sosial, jaminan ke-
sehatan, dan perlakuan yang lebih manusiawi dibandingkan
dengan perlakuan yang diterima oleh buruh paksa.3
Perbandingan gaji antara buruh paksa dengan buruh
bebas dan buruh kontrak memang kentara sekali. Buruh
bebas dan buruh kontrak mendapatkan upah dan jaminan
sosial yang lebih baik dibandingkan dengan buruh paksa. Pada
tahun 1903 misalnya, buruh kontrak mendapatkan upah f
33,9 sen dengan tambahan makan, pakaian kerja, perumahan,
dan perawatan kesehatan. Buruh bebas mendapatkan upah
66 sen (tanpa mendapatkan makan, perumahan, pakaian, dan
biaya pengobatan), sedangkan buruh paksa hanya menerima
upah sebanyak 17 sen dalam satu bulan dengan tambahan
pakaian, makanan, dan perumahan.4 Besarnya upah buruh
bebas dibandingkan dengan buruh kontrak disebabkan upah
buruh kontrak diharuskan mengeluarkan beberapa
potongan, seperti biaya perekrutan, biaya transportasi,
potongan panjar, potongan biaya hidup, biaya penginapan,
dan pajak pendapatan.
Mengikuti pola hidup buruh tambang, tingkat pendapatan
yang diterima buruh bebas dan buruh kontrak tidak dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup mereka secara keseluruhan.
Artinya, walaupun mereka telah menerima berbagai fasilitas,
seperti tempat tinggal, makan atau gizi yang cukup, dan jaminan
kesehatan, namun sebenarnya mereka belum mendapatkan
tingkat upah yang layak sesuai dengan kerja yang mereka

3
Verslaq der Exploitatie van den staatsspoorweq ter Sumatera westkust en van de
Ombilin Kolenvelden over 1903. (Batavia: Landsdrukkerij, 1904), hlm. 14—16.
4
ibid., hlm. 17.

177
lakukan untuk perusahaan. Dari tahun ke tahun, perusahaan
mengeluarkan upah yang lebih kecil dibandingkan dengan
keuntungan yang diperoleh perusahaan.5

Bagi buruh sendiri, upah tidaklah menjadi masalah utama.


Akan tetapi, pandangan dari kelompok luarlah yang
menjadikan hal itu sebagai masalah besar yang harus dibantu
penyelesaiannya. Sebagai contoh adalah pandangan yang
dilontarkan oleh Partai Komunis tentang masalah upah.
Kecaman partai itu tidak terlepas dari agitasi politiknya untuk
mempengaruhi buruh. Sorotan tajam seringkali dilontarkan
terhadap perusahaan tambang menyangkut rendahnya upah.
Jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan perlakuan yang tidak
manusiawi yang diterima buruh merupakan bentuk agitasi
yang dilontarkan oleh tokoh–tokoh komunis.6

5
Surat kabar Soera Tambang, 10 Juni 1925, hlm. 2.
6
Lihat surat kabar Soera Tambang, 21 Juni 1925, hlm. 1.

178
Masalah seperti itulah yang seringkali menjadi keresahan
buruh tambang batu bara Ombilin. Untuk lebih jelasnya akan
dicoba disoroti aspek internal dan aspek eskternal dari sumber
keresahaan tersebut satu persatu. Masalah intern bersumber
dari kalangan buruh dan pengaruh PKBT, sedangkan aspek
eksternal bersumber dari pengaruh partai politik, seperti PKI,
Sarikat Rakyat. Kajian pada bagian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran akar keresahan yang melanda buruh
tambang batu bara Ombilin.

A.1 Masalah Upah Buruh dan Kondisi Ketergantungan


Jumlah upah yang diterima setiap individu pada tambang
batu bara Ombilin sangat tergantung pada tingkatannya.
Seorang pegawai Eropa akan mendapatkan fasilitas yang jauh
lebih baik dibandingkan dengan seorang buruh pribumi. Posisi
yang ditempati pegawai Belanda sebagai direktur tambang dan
jabatan strategis lainnya ditunjang karena keahliannya7 dan
dengan sendirinya merekalah yang menentukan kebijakan
yang menyangkut produksi maupun penentuan tingkat upah
buruh tambang. Pada awalnya, masalah upah buruh tidaklah
menjadi persoalan yang mendasar bagi buruh tambang batu
bara Ombilin. Setiap buruh mendapatkan upah sesuai dengan
bidang pekerjaan yang dimasuki. Sebagai contoh adalah upah
buruh tambang di Sungai Durian, buruh mendapatkan upah
yang dapat memenuhi kebutuhan pokok. Tabel berikut ini
dapat memperlihatkan perbandingan tingkat upah buruh
antara yang di Sungai Durian dan Parambahan.

7
Lihat lampiran IX, struktur pegawai perusahaan tambang batu bara Ombilin.

179
Tabel XII
Tingkat Upah Buruh
di Sungai Durian dan Parambahan
Tahun 1917
Bidang Pekerjaan Sungai Durian Parambahan
Buruh Kontrak 30 sen 33 sen
Buruh Bebas 50 sen 40 sen
Penebang Kayu 40 sen 40 sen
Tukang Kayu 50 sen 50 sen
Tukang Logam f 1 f 1

Sumber: Verslag van den Staatsspoorweg Sumatra‘s Westkust


en van de Ombilin Mijnen over 1917. (Batavia:
Landsdrukkerij, 1918), hal. 370.
Dari sana terlihat bahwa upah yang diterima buruh dalam
setiap harinya mampu menghidupi satu keluarga. Buruh
kontrak mendapatkan upah sebanyak 30 sen dalam setiap
hari. Walaupun lebih rendah dari upah buruh bebas dan
tukang kayu, buruh kontrak mendapatkan fasilitas lainnya,
seperti makanan, tempat tinggal, pakaian kerja, dan biaya
perawatan. Kondisi upah yang diterima buruh cukup baik
sehingga banyak dari kalangan buruh kontrak yang membawa
keluarga mereka ke Sawahlunto.8
Persoalan mendasarnya terletak pada kondisi kerja buruh
tambang, terutama bagi buruh yang bekerja pada tambang
dalam yang dirasakan berat. Kondisi bekerja seperti itu dapat

8
Tahun-tahun 1920-an, jumlah buruh yang membawa keluarganya ke Sawahlunto
semakin banyak. Menurut Paiman, ia dan ibunya diajak oleh ayahnya ke Sawah
Lunto tahun 1920. Dalam rombongannya terdapat 30 kepala keluarga yang
membawa anak dan istrinya ke Sawahlunto. Wawancara dengan Paiman. Lihat
juga misalnya, Verslag van den Staatssporweg Sumatra’s weskust en van de
Ombilin mijnen over 1923. (Batavia: landsrukkerij, 1924), hlm. 371.

180
menimbulkan keresahan–keresahan di kalangan buruh.
Keresahan menjadi hal yang wajar disebabkan mereka telah
bekerja keras untuk kemajuan dan keuntungan tambang,
namun tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan upaya yang
mereka lakukan selama bekerja sebagai buruh tambang. Dalam
kondisi itu, pihak luar sering menggunakan ketimpangan–
ketimpangan yang terjadi dalam perusahaan tambang sebagai
isu sentral dari berbagai aksi yang dilakukannya.
Jika diperhatikan secara seksama, produksi batu bara
Ombilin dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang
cukup baik.9 Sejalan dengan itu, peningkatan produksi batu
bara juga diikuti dengan peningkatan keuntungan yang
diperoleh perusahaan.10 Dalam konteks inilah akan dicoba di-
bahas korelasi antara upah, produksi, dan laba.
Persoalan yang dihadapi buruh adalah sejauh manakah
buruh mendapatkan bagian atas prestasi kerja mereka
sehingga dapat meningkatan taraf hidup. Pada tambang batu
bara Ombilin, pola pembagian laba tidak berlaku yang
terbukti dari tingkat upah yang diterima oleh buruh tambang
batu bara Ombilin. 11 Jika dalam perimbangan antara
peningkatan produksi dan perolehan keuntungan terdapat
sebuah hubungan timbul balik, setiap perolehan keuntungan
yang dihasilkan perusahaan juga akan didapatkan buruh.
Namun, bilamana hubungan ini tidak ada, sebesar apapun
keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan tidak
meningkatkan taraf kehidupan buruh. Dalam konteks inilah
hal itu akan menarik untuk ditinjau dari teori Marx, terutama

9
Tentang produksi batu bara Ombilin, lihat tabel IV.
10
Tentang laba tambang batu bara Ombilin, lihat pada Tabel V.
11
Bandingkan misalnya antara kenaikan keuntungan yang diperoleh perusahaan
dengan kenaikan upah buruh. Untuk lebih jelasnya dapat dibandingkan pada
tabel keuntungan perusahaan pada tabel v dengan upah buruh pada tabel XII.

181
dalam melihat perbedaan kelas antara buruh dengan majikan
pada tambang batu bara Ombilin Sawahlunto.12
Dalam praktiknya, pemikiran seperti ini ditemukan di
lapangan. Pembuktiannya adalah berbagai aksi yang dilakukan
oleh buruh tambang batu bara Ombilin Sawahlunto.
Pemberontakan PKI yang melibatkan buruh tambang pada
tahun 1927 di Silungkang merupakan bentuk gerakan buruh
yang dimotori oleh aliran komunis tersebut.13
Kebijakan terhadap buruh tambang batu bara Ombilin
yang dijalankan perusahaan tambang adalah tidak adanya
hubungan antara peningkatan produksi dengan upah. Artinya,
tingkat upah, jaminan sosial, jaminan kesehatan dan perlakuan
terhadap tidaklah sejalan dengan peningkatan produksi batu
bara. Hal yang terjadi di lapangan adalah pemerasan oleh pihak
perusahaan terhadap buruh sudah menjadi suatu hukum yang
tidak tertulis. Mereka tetap saja menerima upah yang rendah
dibandingkan dengan yang mereka kerjakan. Mengikuti
pendapat yang dikemukakan oleh Van Sandick tentang gaji
buruh tambang, ia mengemukakan bahwa gaji kuli kontrak

12
Karl Marx melihat perbedaan ini sebagai perbedaan kelas. Kerangka dasar dari
teori Karl Marx adalah perbedaan antara kelas buruh dengan kelas pengusaha.
Hal utama dari perbedaan itu adalah kesewenang–wenangan perlakuan
pengusaha terhadap buruh yang oleh Marx disoroti sebagai suatu perbedaan
kelas. Perbedaan kelas antara kelas pengusaha dengan kelas buruh seperti inilah
kemudian sebagai kerangka pemikiran yang dijadikan sebagai senjata untuk
melakukan revolusi melawan kelas pengusaha. Lebih jauh lagi, Karl Marx
menempatkan yang berperan sebagai motor penggerak revolusi adalah
pertentangan kelas antara buruh dengan majikan dan sasaran akhirnya adalah
mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Lebih jauh lihat misalnya, F.R. Ankersmit,
Refleksi Tentang Sejarah, Pendapat–pendapatModern tentang Filsafat Sejarah.
Jakarta: PT Gramedia, 1987), hlm. 17.
13
H.J Benda and R.T. Mcvey, “Communist Uprisinghs, 1926-1927 dalam, Chr.
L.M. Penders (ed.), Indonesia Selected Dokuments on Colonialism and
Nationalisme 1830—1942. (Brisbane: University of Queensland Press, 1977),
hlm. 284—287.

182
begitu rendah sehingga mereka tidak dapat membiayai isteri
mereka. Sepintas lalu terlihat bahwa para kuli telah menikah
itu memperoleh makan tiga kali sehari. Laki–laki menerima
gaji 54 % (dari gaji pokoknya) per hari sebagai gaji awal bagi
yang bekerja pada permulaan tahun dan 65 % dari gaji pokok
bagi buruh yang bekerja di tambang bawah tanah. Kemudian
buruh yang sudah bekerja selama 13 tahun akan menerima
gaji 80 % bagi buruh yang di permukaan tanah dan 90 % dari
gaji pokok bagi buruh yang bekerja di bawah tanah.14 Dari
gambaran itu tampak kehidupan keseharian buruh tambang
batu bara Ombilin dengan menjalani hidup untuk bekerja demi
kepentingan perusahaan. Mereka bekerja keras untuk
meningkatkan produksi, sebaliknya dari kerja keras itu mereka
tidak mendapatkan imbalan semestinya.15
Kondisi yang lebih menyedihkan adalah kehidupan yang
dialami oleh buruh paksa. Buruh paksa bekerja pada malam hari.
Saat bekerja, mereka dirantai satu sama lainnya. Walaupun sudah
bekerja dengan keras, upah yang lebih rendah dibandingkan
dengan buruh bebas dan buruh kontrak itu menimbulkan
kecemburuan.16 Upah buruh pribumi memiliki tingkatan–
tingkatan yang berbeda. Upah buruh bebas lebih tinggi dari buruh
kontrak, sedangkan upah buruh kontrak lebih tinggi dari buruh
paksa. Perbedaan upah itu juga merupakan sumber konflik yang
tidak dapat dielakkan antarburuh pribumi pada tambang batu
bara Ombilin. Konflik antara buruh paksa dengan buruh

14
Setiap buruh tidak menerima upahnya secara penuh karena terjadi pemotongan
gaji seperti biaya pengobatan, makanan, dan perumahan. R.A. van Sandick, op.
cit., hlm. 779.
15
Persoalan seperti ini merupakan selalu dijadikan tema sentral dari gerakan
komunis. Lihat S. Syahrir, Sosialisme dan Komunisme. (Djakarta: Djambatan,
1967), hlm. 47—60.
16
Surat kabar Soera Tambang, 31 Mei 1926, hlm. 2.

183
kontrak biasanya berbentuk perkelahian. Dalam perkelahian
itu, ada juga buruh yang meninggal. Buruh yang menyebabkan
buruh lain meninggal dalam perkelahian tidak akan diusut,
kecuali diberi hukumam berupa hukuman cambuk.17
Kelompok buruh yang sering berkelahi adalah buruh
kontrak dan buruh bebas pada satu pihak dengan buruh paksa
pada pihak lainnya. Akan tetapi, biasanya perkelahian
dibiarkan begitu saja oleh pihak tambang. Bahkan pihak
tambang cenderung melindungi buruh kontrak dari tekanan–
tekanan yang berasal dari buruh paksa. Contoh yang menarik
adalah perkelahian massal tanggal 12 Oktober 1912.
Peristiwa perkelahian 12 Oktober 1912 cukup meng-
hebohkan tambang batu bara Ombilin. Perkelahian massal itu
mengakibatkan terbunuhnya empat orang buruh paksa dan
delapan orang buruh kontrak. Dalam penyelesaian perkelahian
itu pihak tambang hanya memberikan hukuman terhadap
buruh paksa yang terlibat dalam perkelahian,18 sedangkan
buruh kontrak mendapat pembebasan dari hukuman.
Perbedaan perlakuan dan pilih kasih dari pihak tambang
merupakan salah satu sumber keresahan yang melanda di
kalangan buruh tambang.
Menyangkut upah yang diterima, sesungguhnya terjadi
perbedaan upah yang tajam di antara sesama buruh pribumi.
Beragam faktor yang menyebabkan perbedaan upah adalah
seperti buruh kontrak yang didatangkan itu menyebabkan
pengeluaran biaya rekruitmen. Biaya itu dibedakan pada upah

17
ibid.
18
Hukuman yang lazim berlaku dalam setiap pelanggaran adalah hukuman
cambuk. Setiap pelanggaran memperoleh cambukan 27 kali. Hukuman cambuk
itu lebih ditujukan pada buruh paksa. Verslaq der Exploitatie van den
staatsspoorweq ter Sumatra Westkust en van de Ombilin Kolenvelden Over
1912. (Batavia: Lansdrukkerij, 1913), hlm. 19—20.

184
yang diterima. Buruh bebas tidak mendapatkan makan dan
tempat tinggal, sedangkan buruh kontrak dan buruh paksa
memperoleh makanan dan tempat tinggal.
Tabel XIII
Tingkat Upah Buruh Tambang Batu Bara Ombilin
dari tahun 1905 sampai tahun 1930
(dalam sen)
Tahun Buruh Paksa Buruh Kontrak Buruh Bebas
1905 18 32 62
1910 20 30 63
1915 22 34 60
1920 21 40 62
1925 17 32 54
1930 25 50 70

Sumber: Diolah dari berbagai sumber seperti Verslag der


Explotatie van den Staatsspoorweg ter Sumatra
Westkust en van de Ombilin Kolenvelden dan Jaarboek
van het Mijnwezen in Nederlandsch- indie.
Dalam tabel itu terlihat bahwa buruh bebas mendapatkan
gaji hampir dua kali lebih besar daripada buruh kontrak,
sedangkan buruh kontrak mendapatkan dua kali lebih banyak
dibandingkan dengan buruh paksa. Buruh bebas mendapatkan
upah antara 60 sampai 70 sen, buruh kontrak memperoleh
upah 30 sampai 50 sen, sedangkan buruh paksa mendapat upah
18 sampai 25 sen. Dengan upah yang diterima itulah buruh
menghidupi anak dan istri mereka sehari dalam bulan ke bulan.
Secara keseluruhan, dari tabel tadi, tingkat kenaikan upah
yang tertinggi ada pada buruh kontrak. Buruh paksa
memperoleh kenaikan sekitar 7 sen, buruh bebas 12 sen,
sedangkan buruh kontrak 18 sen. Kenaikan upah buruh

185
kontrak disebabkan mereka merupakan tenaga yang
diandalkan karena kemampuan dan kepatuhan dalam bekerja.
Dalam perkembangan selanjutnya, upah yang diterima buruh
tidaklah mengalami peningkatan terus menerus. Upah buruh
dari waktu ke waktu mengalami pasang surut. Pasang surutnya
upah tidak terlepas dari persoalan turun naiknya harga batu
bara di pasar internasional.19 Sebagai contoh adalah pada tahun
1915, buruh kontrak mendapat upah sebanyak 34 sen. Upah
itu naik menjadi 40 sen pada tahun 1920. Namun, pada tahun
1925 upah buruh turun menjadi 32 sen. Penurunan upah
buruh yang tajam berkaitan dengan penurunan produksi
tambang yang cukup drastis, yaitu dari 606.423 ton pada tahun
1924 menjadi 53.328 pada tahun 1925.20 Persoalan bermula dari
pembelian mesin pertambangan yang baru. Dana pembelian
mesin itu dibebankan pada biaya produksi, sedangkan mesin
itu belum mampu berproduksi sehingga terjadi penurunan
produksi batu bara.21
Dengan perolehan gaji dalam jumlah itu, sesungguhnya
buruh dapat menyisihkan sebagian dari upah yang diterima
untuk ditabung.22 Berbagai kebutuhan buruh telah disediakan
oleh perusahaan tambang, seperti makanan, perumahan, dan
19
Verslaq der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter Sumatra’s Westkust en van
de Ombilin Kolenvelden Over 1925. (Batavia: Lansdrukkerij, 1926), hlm. 6.
20
Lihat tabel produksi tambang batu bara Ombilin IV.
21
Verslaq der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter Sumatra’s Westkust en de
Ombilin mijnen over 1925. (Batavia: Lansdrukkerij, 1926), hlm. 20—25.
22
Sebagai alat ukur dapat diambil perbandingan dengan harga beras. Pada tahun
1921, harga beras f 4,4 per pikul, sedangkan upah yang diterima buruh kintrak 40
sen per hari. Jika disejajarkan dengan harga beras, upah 21 sen itu dapat membeli
beras sebanyak 87,59 kg/bulan. Pada umumnya tingkat kesejahteraan dengan
standar cukup bagi penduduk berkisar pada penghasilan sekitar 280–360 kg per
orang setiap tahun. Dengan demikian upah buruh itu setara dengan 1.051 kg
beras setiap tahun sehingga termasuk kategori lebih dari cukup. Lihat Erwiza
Erman, “Produksi Beras dan Kontrol Pemerintahan Belanda”, dalam Jambatan
Tijsschrft voor de Geschiedenis van Indonesie, Nummer 3, 1969, hlm. 124.

186
jaminan kesehatan. Namun, dalam kenyataannya hal itu tidak
berjalan. Bahkan sebaliknya, pada umumnya buruh dari hari
ke hari berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Apalagi
hal itu diperparah oleh gaya hidup buruh yang diciptakan
sedemikian rupa.
Buruh tambang hidup dalam sebuah siklus yang relatif tetap.
Setelah masa gajian datang, mereka pun menghabiskan upah
yang diterima itu dalam kehidupan malam. Pada setiap musim
gajian, di Sawahlunto pun berlangsung pasar malam.23 Berbagai
acara diadakan pada pasar malam itu, seperti pertunjukan
sandiwara, tonil, wayang, ketoprak, dan perjudian. Banyak juga
pedagang dari penduduk Minangkabau yang berdagang pada
pasar malam itu. Di sana buruh menghabiskan uang untuk
berbagai keperluan atau bahkan habis melalui meja perjudian.24
Pola kehidupan pasar malam memang merupakan rekayasa
yang direncanakan oleh pihak perusahaan. Pemikiran dasarnya
adalah setelah buruh menghabiskan upah yang mereka terima
di pasar malam, untuk biaya hidup selanjutnya buruh pun
meminjam uang kepada pihak perusahaan tambang. Pada
akhirnya buruh terikat dengan jeratan itu dan memperpanjang
kontrak kerjanya pada tambang batu bara Ombilin.
Perpanjangan kontrak itu berkaitan dengan pinjaman yang
diterimanya dari perusahaan tambang.25 Mengikuti pola

23
Pasar malam memang berlangsung pada malam hari. Bahkan, pada tempat–
tempat tertentu, seperti arena perjudian bisa berlangsung sampai pagi hari.
Wawancara dengan bapak Abdul Muin. Lebih jauh lihat juga R.A. Sandick,
op.cit., hlm. 794.
24
Pola kehidupan pasar malam tidak berbeda dengan yang terdapat di perkebunan–
perkebunan di Sumatra Timur. Pihak pertambangan dengan sengaja
menyelenggarakan kegiatan ini. Biasanya buruh menghabiskan uangnya dalam
satu malam dengan membelanjakan atau pun lewat arena perjudian. Muhammad
Said, op. cit., hlm. 23—38.
25
Pola seperti ini berlaku secara umum di berbagai tambang ataupun perkebunan
di Indonesia. ibid.

187
kehidupan seperti itu, buruh hanya bisa bertahan untuk hidup
dari hari ke hari. Dari upah yang diterimanya, untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari–hari saja buruh telah mengalami
kesulitan. Dalam perkembangannya, pola tersebut melanda
hampir seluruh kehidupan buruh pribumi, terutama buruh
kontrak dan buruh bebas, sedangkan buruh paksa tidak dapat
secara bebas keluar-masuk untuk mengikuti berbagai kegiatan
di pasar malam. Untuk membatasi geraknya, buruh paksa lebih
banyak disekap di balik tembok penjara tempat tinggal mereka.26
Walaupun mereka tidak membelanjakan upah secara
bebas di pasar malam, namun demikian, di dalam tembok
penjara pun perjudian secara subur tetap berkembang di
antara sesama buruh paksa. Dapat dikatakan bahwa perjudian
merupakan satu–satunya hiburan bagi buruh paksa, sehingga
tidaklah mengherankan upah yang diterima habis dalam arena
perjudian dalam tembok penjara.
Tujuan diciptakannya pola kehidupan buruh yang
sedemikian rupa itu adalah untuk mengikat mereka tetap bekerja
pada tambang karena sulit dan besarnya biaya pengerahan buruh
baru. Strategi itu adalah dengan menciptakan arena keramaian
dengan berbagai hiburan, perjudian, dan perdagangan yang dapat
menghabiskan upah yang diterima buruh. Secara berkala, untuk
keperluan hiburan buruh pihak perusahaan membuat beberapa
kebijakan seperti berikut.27
1. Gaji diberikan 2 kali dalam satu bulan. Gaji pertama
pada awal bulan dan gaji kedua pertengahan bulan.
2. Pada malam gajian itu dibuatlah pasar malam.

26
Pola ini berlaku secara umum pada masa kolonial Belanda di berbagai perusahaan
milik pemerintah maupun milik swasta. Di Sumatra Timur misalnya, pihak
perkebunan juga membuat siklus kehidupan buruh seperti ini, yaitu setelah gaji
dibayarkan, dihidupkanlah pasar malam yang dapat menghabiskan gaji buruh itu.
27
“Mijbrand in de Ombilinmijnen”, dalam De Inqenieur, Januari 1929, hlm. 4—5.

188
3. Pihak perusahaan juga mendatangkan hiburan lainnya,
seperti ronggeng.
4. Di kalangan buruh, juga dibentuk grup–grup sandiwara.
Pemain dari seluruh grup sandiwara berasal dari
kalangan buruh.
5. Pada pasar malam, berbagai bentuk perjudian
dibolehkan oleh pihak perusahaan.
Pada pasar malam banyak buruh yang menghabiskan gaji.
Arena perjudian yang paling banyak menyita buruh, terutama
buruh kontrak, adalah judi sabung ayam. Perjudian itu juga
melibatkan buruh bebas28 Sudah menjadi hal yang biasa jika pada
pasar malam itu buruh kehabisan uang di sana. Setelah uang
habis, pihak tambangpun kemudian meminjamkan uang kepada
buruh. Mau tidak mau sang buruh harus memperpanjang
kontrak kerja. Cara itu memang efektif untuk mempertahankan
mereka tetap bekerja pada tambang batu bara Ombilin.29
Mengikuti masalah yang dihadapi buruh tambang secara
seksama, dapat dikatakan bahwa kehidupan buruh telah
direkayasa oleh pihak tambang. Pihak tambang berusaha
supaya buruh tetap berada dalam genggamannya. Disadari
atau tidak buruh pun telah masuk ke dalam perangkap
kemiskinan yang telah dibuat secara sistematis oleh pihak
perusahaan tambang. Chambers melihat bahwa pola seperti
ini merupakan perangkap kemiskinan yang disiapkan secara
terencana. Hal itu diperparah oleh ketidakberdayaan buruh
melawan pihak majikan. Buruh tidak memiliki kemampuan

28
Verslaq Van den Staatsspoorweq Sumatra’s Westkust en van de Ombilin mijnen
over 1909. (Batavia: Lansdrukkerij, 1910), hlm. 15—16.
29
G.H. Wally, “De Ombilin Steenkolenmijnen, dalam De Inqenieur in
Nederlandsch-Indie. Oktober 1919, hlm. 7.

189
melawan majikan dan akhirnya buruh terperangkap dalam
kemiskinan yang telah dipersiapkan secara terencana oleh
pihak perusahaan tambang.30
Melihat proses kemiskinan yang terjadi pada buruh
tambang batu bara Ombilin, perangkap kemiskinan yang
berlangsung itu termasuk dalam bentuk perangkap
kemiskinan yang bertipe ketidakberdayaan. Inti dari
perangkap kemiskinan atas ketidakberdayaan adalah
pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Orang yang tidak
berdaya sering kali terbatas atau tidak mempunyai akses
terhadap bantuan, atau terhalang untuk menuntut upah yang
layak sehingga menempatkan dirinya sebagai pihak yang
dirugikan.31 Buruh tidak dapat menuntut karena posisinya
sangat lemah. Hal itu didukung pula oleh faktor terisolirnya
buruh dari lingkungan luar yang semakin membenamkan
mereka dalam perangkap itu.32

A.2 Jaminan Kesehatan


Di perusahaan tambang batu bara Ombilin buruh
dianggap sebagai alat penting dalam sektor produksi.
Kehadiran buruh tambang amat menentukan kelancaran
proses produksi. Dalam konteks ini sesungguhnya buruh
memiliki peranan yang penting dalam proses produksi
tambang batu bara. Bertitik tolak dari pemikiran ini, masalah

30
Robert Chambers, Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. (Jakarta: LP3ES,
1987), hlm. 145.
31
ibid., hlm. 147.
32
Secara geografis, areal pertambangan batu bara Ombilin terletak jauh di
pedalaman Sumatra. Setelah proses penggalian tambang batu bara berjalan, areal
itu merupakan suatu permukiman baru yang terisolir dari dunia luar, Rusli
Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang. (Jakarta: PT Sinar Harapan, 1981),
hlm. 313 – 319.

190
kesehatan buruh pun mendapat perhatian utama dari pihak
perusahaan tambang.33
Untuk tempat tinggal, pihak perusahaan menyediakan
barak– barak yang dihuni oleh 20 orang sampai 30 orang.
Buruh yang tinggal di barak–barak adalah buruh paksa dan
buruh kontrak, sedangkan buruh bebas tidak memperoleh
tempat tinggal. Pada awal pembukaan tambang, barak–barak
yang dihuni oleh buruh beratapkan daun rumbia, berdinding
bambu, dan berlantai tanah. 34 Dalam perkembangan
selanjutnya, buruh kontrak bahkan mampu mengontrak
rumah-rumah penduduk di sekitar areal tambang. Rumah
yang dikontrak itu dihuni bersama keluarga.35
Untuk sarana perawatan kesehatan bagi karyawan dan
buruh perusahaan, pihak pertambangan menyediakan sebuah
rumah sakit di Sawahlunto.36 Biaya pelayanan buruh paksa
dan buruh kontrak yang berobat di rumah sakit itu
diambilkan dari potongan langsung dari upah yang mereka
terima, sedangkan buruh bebas diharuskan untuk membayar
penuh dari biaya pengobatan itu.37 Di rumah sakit disediakan
kelas yang disesuaikan dengan golongan yang dimiliki oleh
setiap buruh tambang. Dalam segi pengobatan mereka
mendapatkan obat yang layak dan sesuai dengan penyakit
yang mereka derita. Dalam persoalan ini akan terlihat

33
Verslaq der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter Sumatra Westkust en van de
Ombilin Kolenvelden over 1910. (Batavia: Lansdrukkerij, 1911), hlm. 12 – 13.
34
Verslaq van den Staatsspoorweq Sumatra’s Westkust en van de Ombilin mijnen
over 1894. (Batavia: Lansdrukkerij, 1895, hlm. 46—48).
35
Kehadiran buruh kontrak yang membawa keluarganya membawa pendapatan
tambahan bagi penduduk setempat. Mereka menyewakan rumah f 4 sampai f 5
per bulan. Verslaq van den Staatsspoorweq Sumatra’s Westkust en van de
Ombilin mijnen over 1913. (Batavia: Lansdrukkerij, 1914), hlm. 38.
36
Lihat foto II.
37
G.H. Wally, op. cit., hlm. 10.

191
perhatian yang lebih baik diberikan oleh pihak tambang
terhadap buruh. 38 Pertimbangannya adalah bahwa
perusahaan membutuhkan tenaga yang kuat dari buruh
yang mengharuskan mereka selalu dalam kondisi yang
sehat. Hal itu menjadi keharusan karena beban kerja yang
harus ditunaikan buruh dalam lubang–lubang penggalian
membutuhkan kondisi yang prima.

Menyangkut masalah kesehatan buruh, pihak tambang


tidak membedakan buruh, terutama pada kalangan buruh
pribumi. Artinya, secara keseluruhan buruh pribumi mendapat
perhatian kesehatan yang layak dari pihak tambang. Jika dari
segi upah, jaminan sosial dan hak asasi manusia buruh paksa
dapat ditekan oleh pihak perusahaan tambang, maka dalam

38
Verslaq der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter Sumatra Westkust en van de
Ombilin Kolenvelden over 1915. (Batavia: Lansdrukkerij, 1916), hlm. 20—25.

192
hal jaminan kesehatan buruh paksa mendapat perhatian yang
semestinya. Hal itu dapat dibuktikan dari penyakit yang
melanda buruh tambang batu bara Ombilin. Buruh yang
menderita penyakit relatif kecil. Penyakit yang yang berjangkit
secara umum di kalangan buruh tambang batu bara Ombilin
adalah bisul dan gatal–gatal.39
Faktor kesehatan sesungguhnya tidak menjadi sumber
pokok penyebab keresahan buruh. Perhatian yang besar
dalam bidang kesehatan dari pihak tambang terhadap buruh
membawa dampak positif terhadap kesehatan buruh. Hal itu
terlihat dengan sedikitnya jumlah buruh yang sakit dan
meninggal karena penyakit. Melalui tabel berikut ini terlihat
perkembangan kesehatan buruh tambang batu bara Ombilin.
Tabel XIV
Jumlah Buruh yang Menderita Penyakit
dari tahun 1900 sampai tahun 1925
Penyakit Jumlah
1900 1905 1910 1915 1925 1930
Paru-paru 230 210 319 514 439 284
Gatal-gatal 3451 4562 3218 2873 2779 3187
Cacingan 2258 3259 2258 2474 2763 2176
Malaria 232 120 341 153 261 417
Disentri 119 205 163 218 194 384

Sumber: Diolah dari berbagai sumber seperti Verslag der


Ekploitatie van den Staatsspoorweg ter Sumatra‘s
Westkust en van de Ombilin Kolenvelden, dan Jaarboek
van het Mijnwezen in Nederlandsc-Indie.

39
G.H. Wally, op.cit., hlm. 9.

193
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa jumlah buruh
yang menderita penyakit dalam setiap tahunnya tidaklah
begitu tinggi. Bahkan, hanya beberapa penyakit tertentu saja
yang diderita buruh dalam jumlah yang cukup tinggi, seperti
cacingan dan gatal–gatal. 40 Penyakit yang cukup kronis
diderita buruh adalah penyakit paru–paru. Penyakit ini bukan
disebabkan oleh tempat tinggal yang tidak layak, tetapi lebih
disebabkan oleh faktor kelembaban udara di lubang–lubang
penggalian. Penyakit lain pada umumnya merupakan
penyakit yang berkembang secara umum menyerang buruh
tambang batu bara Ombilin.41
Jaminan kesehatan yang cukup baik akan terlihat juga dari
angka kematian buruh tambang. Dari tahun ke tahun, kematian
yang melanda buruh tambang relatif kecil. Angka kematian
buruh yang cukup tinggi adalah karena serangan gas beracun
yang terjadi pada tahun 1896. Serangan gas beracun yang
melanda buruh paksa dan mandor yang sedang menggali batu
bara mengakibatkan buruh yang meninggal dunia mencapai
139 orang. 42 Setelah kecelakaan besar menimpa buruh
tambang itu, alat pendeteksi gas beracun pun semakin
diperbaiki. Perbaikan teknologi pendeteksi gas beracun
membawa hasil lebih baik sehingga angka kematian karena
gas beracun dapat ditekan. Penyebab kematian buruh yang
umum adalah karena akibat penyakit tertentu saja, seperti
paru–paru dan kecelakaan kerja. 43 Untuk lebih jelasnya
angka kematian buruh tambang batu bara Ombilin akibat
berbagai penyakit dapat diamati melalui tabel ini.
40
Lihat tabel XIV.
41
Lihat tabel penyakit buruh, pada tabel XIV.
42
Verslaq der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter Sumatra’s Westkust en van de
Ombilin Kolenvelden over 1896. (Batavia: Lansdrukkerij, 1897), hlm. 12—13.
43
Ada juga sebab kematian lain di kalangan buruh, seperti akibat perkelahian
sesama mereka. Hanya saja, jumlahnya relatif kecil dan tidak terjadi setiap tahun.

194
Tabel XV
Jumlah Buruh yang Meninggal
tahun 1900—1925
Tahun 1900 1905 1910 1915 1920 1925
Kecelakaan 19 14 13 16 21 6
Sakit 14 16 18 15 13 14

Sumber: Diolah dari berbagai sumber seperti Verslag der


Exploitatie van den Staatsspoorweq ter Sumatra‘s
Westkust en van de Ombilin Kolenvelden, dan Jaarboek
van het Mijnwezen in NederlandsIndie.
Pada tahun 1914, buruh yang meninggal akibat penyakit
paru-paru sebanyak 6 orang, dan tahun 1915 naik menjadi 7
orang.44 Penyakit yang merata dirasakan buruh lapangan adalah
proses penuaan kulit dan keriput. Namun, penyakit yang
berkembang di kalangan buruh itu bukanlah sakit yang
langsung terlihat dan terasakan dalam waktu yang cepat, tetapi
berjangkit secara lambat. Penyakit itu disebabkan kondisi kerja
dalam lubang penggalian. Kondisi bekerja di bawah permukaan
tanah, uara yang lembab, kurangnya terkena cahaya matahari
dan kerja keras setiap hari mengakibatkan kulit buruh menjadi
keriput. Setelah kulit menjadi keriput, kemudian diikuti oleh
wajah tua dari usia yang sesungguhnya. Penyakit “pe-
ngeriputan” dan proses penuaan yang cepat itu secara merata
melanda buruh tambang batu bara yang bekerja dalam lubang-
lubang penggalian batu bara atau pada tambang dalam.45

44
Verslaq dr Exploitatie van den Staatsspoorweq ter Sumatra’s Westkust en van de
Ombilin Kolenvelden Over 1914. (Batavia: Lansdrukkerij, 1915), hlm. 10—11.
45
Wawancara dengan Bapak Abdul Muin, lihat juga R.A. van Sandick, op. cit.,
hlm. 792—793.

195
Penyakit seperti ini berjalan secara perlahan, setelah
bekerja 10 sampai 15 tahun barulah buruh merasakannya.46
Penyakit itu kemudian juga menjadi sumber keresahan di
kalangan buruh. Persoalan penyakit itu dikaitan sebagai akibat
bekerja keras dalam lubang–lubang penggalian untuk
peningkatan produksi batu bara. Kondisi bekerja seperti
itulah yang dijadikan sebagai persoalan pokok dalam gerakan
yang dilakukan oleh tokoh–tokoh buruh tambang.47

A.3 Masalah Hak Asasi Buruh


Kedudukan pegawai Belanda sangat menentukan di
perusahaan tambang batu bara Ombilin. Berbagai kebijakan
yang menyangkut masalah buruh langsung ditangai oleh
pimpinan tambang. Mereka memutuskan berbagai persoalan,
pelanggaran, dan ketidakdisiplinan buruh yang berlangsung
pada tambang. 48 Dapat dikatakan bahwa para kepala
tambang dan pegawai Belanda berlaku sebagai “raja kecil”
dengan berbagai simbol yang mereka miliki.
Seperti seorang raja yang berkuasa, setiap perkataan dan
perintahnya harus dipatuhi dan dijalankan oleh buruh. Perintah
yang dikeluarkan pimpinan itu layaknya perintah seorang raja
yang sesungguhnya.49 Berbeda dengan pegawai Belanda yang
mendapatkan berbagai fasilitas yang baik, sebaliknya buruh
pribumi yang bekerja di lapangan sebagai tenaga kasar atau
penggali batu bara menghadapi berbagai persoalan yang

46
Wawancara dengan Abdul Muin, Paiman, dan Surajin.
47
Kelompok yang mempersoalkan hal ini bukanlah berasal dari kalangan buruh
tambang sendiri, tetapi dari organisasi buruh, seperti PKBT. Persoalan seperti
ini seringkali dijadikan sebagai tema dari gerakan–gerakan organisasi buruh
tambang. Lihat surat kabar Soera Tambang, 2 Mei 1925, hlm. 1.
48
J. van Beckhoven, op. cit., hlm. 25.
49
“Waspadailah Kaoem Boeroeh Tamabng”, surat kabar Soera Tambang, 30 April
1926, hlm. 1.

196
mendasar, seperti masalah kemanusiaan, terutama perlakuan
jelek yang diterima buruh. Persoalan kemanusiaan itulah yang
seringkali menjadi sumber keresahan yang melanda buruh
tambang batu bara Ombilin. Sementara itu dari hasil kerja
keras, mereka hanya mendapatkan makan, tempat tinggal di
barak–barak, dan upah yang kecil. Kesengsaraan itu banyak
dialami oleh buruh paksa. Walaupun kehidupan buruh
menyedihkan, ada juga sedikit perhatian terhadap nasib mereka.
Sebagai contoh adalah saat sakit atau sedang cuti, buruh tetap
menerima gaji tanpa dipotong.50
Buruh paksa tinggal dalam kompleks penjara. Di dalam
penjara, mereka tidur pada barak–barak yang telah disediakan.
Dalam tulisan Sandick, ia secara terperinci menceritakan ke-
hidupan buruh tambang, yaitu buruh paksa yang bekerja pada
malam hari. Dalam bekerja, mereka dijaga ketat. Mereka juga
dipekerjakan di tambang bawah tanah, tetapi di bawah tanah
penjara terdapat lebih dari seratus jalan keluar. Dan apabila satu
kali buruh tersebut keluar dari tempat bekerja, mereka akan
mudah melarikan diri karena mereka akan bertindak seolah–
olah bukan orang hukuman, tetapi sebagai pekerja bebas. Ada
sejumlah besar perkumpulan yang paling buruk dalam kalangan
buruh. Tidaklah mengherankan jika di Sawahlunto sering terjadi
percobaan pembunuhan.51 Biasanya percobaan pembunuhan
dilakukan oleh buruh paksa terhadap mandor.
Dari hal itu terlihat gambaran kehidupan buruh tambang
batu bara Ombilin. Hal itu menarik sekali dikaji, sebab sikap
pemerintah Belanda terhadap buruh memicu protes, bahkan

50
Bahkan sejak tahun 1934, pihak perusahaan menyediakan dana pensiun untuk
buruh sebesar 1 % per tahun kerja yang dihitung berdasarkan gaji rata–rata per
hari selama 2 tahun terakhir kerjanya. “De Ombilinmijnen” dalam De Inqenieur,
Desember 1934., hlm. 150.
51
R.A. van Sandick, op. cit., hlm. 794.

197
sampai pemberontakan di kalangan buruh terhadap pemerintah
Belanda. Buruh tambang tertentu, seperti buruh paksa
menjalani kehidupannya sehari–hari yang jauh lebih
menyedihkan. Mereka bekerja secara paksa pada malam hari
tanpa mengenal istirahat dan di bawah pengawasan polisi
tambang yang bersenjata.52 Latar belakang kehidupan mereka
sebagai pembunuh, pemberontak, dan perampok membuat
mereka diawasi secara ketat. Walaupun sudah diawasi secara
ketat, tetap saja ada buruh yang melarikan diri. Dalam tabel
yang berikut dapat dilihat jumlah buruh yang melarikan diri.
Tabel XVI
Rata-rata Buruh yang Melarikan Diri
dari tahun 1910 sampai tahun 1916
Tahun Melarikan diri Tertangkap
1910 9 3
1911 12 2
1912 7 5
1913 15 –
1914 26 1
1915 16 1
1916 26 3
Sumber: Diolah dari berbagai sumber seperti Verslag der
Exploitatie van den Staatsspoorweq ter Sumatra‘s
Westkust en van de Ombilin Kolenvelden, dan Jaarboek
van het Mijnwezwn in Nederlandsc- Oost Indie dan
Kolial Verslag.

52
V.J.H. Houben, “Profit versus Ethics Goverment Erterprises in the Late Colonial
State”, dalam Robert Cribb, The Late Colonial State in Indonesia: Political and
Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942. (Leiden: KITLV,
1994), hlm. 201.

198
Buruh yang melarikan diri umumnya adalah buruh paksa.
Mereka melarikan diri ke hutan–hutan. Setelah dua atau tiga
bulan, barulah mereka memasuki perkampungan penduduk
yang menyebabkan mereka sulit untuk ditangkap kembali. Dari
tabel tadi terlihat jumlah buruh yang melarikan diri hanya
sedikit yang dapat ditangkap kembali. Untuk mencegah
terjadinya pelarian, buruh paksa ditempatkan di penjara
Sawahlunto. Penjara itu dikelilingi oleh tembok dengan
ketinggian tiga meter. Pada areal penjara itu dibuat lubang-
lubang menuju lokasi penggalian batu bara. Lubang–lubang
dibuat terputus dengan lubang lainnya yang bisa
menghubungkan ke dunia luar. Lubang bagi buruh paksa itu
hanya dapat dimasuki dari penjara dan keluar dari penjara lain.
Di penjara Sawahunto terdapat lima buah lubang penggalian
batu bara, empat dari lima lubang itu terdapat di lokasi penjara.53
Penjara Sawahlunto mulai dibangun tahun 1923 dan
selesai tahun 1925.54 Dengan berdirinya penjara itu,55 upaya
buruh untuk melarikan diri dapat diatasi. Bagi buruh yang
melarikan diri, hukumannya adalah dicambuk dengan rotan
sebanyak 27 kali. Setelah hukuman itu, buruh tersebut akan
dipenjara lagi dan dijatuhi hukuman sesuai dengan
pengaruhnya di kalangan buruh. Hukuman itu dapat berupa
isolasi, dimasukkan ke sel, ataupun dikeluarkan bekerja dan
dikirim kembali ke dalam penjara.56 Hukuman seperti itu
cukup berat dirasakan oleh buruh sehingga setelah tembok

53
Lihat foto VII.
54
Lihat juga Verslaq der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter Sumatra Westkust
en van de Ombilin Kolenvelden Over 1926. (Batavia: Lansdrukkerij, 1927),
hlm. 9. Lihat juga G.H. Wally, op. cit., hlm. 15.
55
Masyarakat setempat menamakan penjara itu dengan tangsi. Sampai sekarang
lokasi penjara itu tetap dinamakan nama tangsi yaitu kampung tangsi.
56
Verslaq der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter Sumatra Westkust en van de
Ombilin Kolenvelden Over 1919. (Batavia: Lansdrukkerij, 1920), hlm. 6.

199
penjara selesai dibangun pada tahun 1925, buruh paksa yang
melarikan diri sudah tidak ada lagi. Buruh dapat dikontrol
secara penuh oleh pihak polisi tambang.
Tema sentral dari berbagai persoalan buruh selalu saja
mengarah kepada masalah kesejahteraan buruh. Masalah
kesejahteraan menyangkut perlakuan yang diterima buruh
terutama oleh buruh paksa. Posisi buruh paksa sebagai or-
ang hukuman yang dipekerjakan membuat mereka menjadi
lemah sehingga mereka menerima perlakuan yang tidak baik
dari pihak perusahaan. Dalam konteks inilah akan menarik
untuk mengkaji masalah kebijakan yang dibuat oleh pihak
pertambangan batu bara Ombilin yang menyangkut masalah
hak asasi buruh tambang.
Apalagi golongan buruh yang berada pada tingkatan pal-
ing bawah dari buruh tambang batu bara Ombilin, buruh paksa
pada prinsipnya tidak mempunyai pilihan lain, kecuali bekerja
secara terpaksa sebagai buruh tambang. Perjanjian antara Pihak
Departemen Kehakiman dengan pihak pemerintah yang
diwakili oleh pihak tambang, maka mereka dipekerjakan para
tahanan sebagai buruh paksa pada tambang batu bara Ombilin.
Para buruh paksa ini umumnya berasal dari berbagai latar
belakang, seperti pemberontak, maling, perampok, dan
pembunuh. Berdasarkan status kriminal itu mereka dipenjara
dan kemudian ditarik menjadi tenaga kerja paksa. Dalam laporan
perjalanannya, secara lebih rinci Bochkoven menuliskan:
Polisi itu memberitahukan kepada saya bahwa di tempat itu
ribuan orang Melayu, Jawa, dan Cina. Polisi itu tidak
memperlihatkan tanda–tanda kemewahan. Sesuatu yang
membuat saya merasa pasti adalah bahwa di Sawahlunto telah
dipekerjakan lebih kurang 1.500 orang bajingan (orang rantai).
Banyak di antara mereka yang berusaha melarikan diri di kala
ada kesempatan. Belum lama berselang, dalam satu minggu

200
terjadi empat kali pembunuhan disebabkan masalah sepele,
seperti tidak mengembalikan uang yang dipinjam. Namun,
keadaan tersebut jauh lebih baik karena ada usaha perbaikan
kesejahteraan.57
Mereka diberlakukan secara sewenang–wenang dengan
kewajiban kerja paksa, tetapi tidak mendapatkan imbalan
yang semestinya. Dengan kaki dirantai dan dikawal oleh
pasukan bersenjata, mereka digiring untuk menggali batu bara
di lubang penggalian. Buruh seperti itu biasanya dinamakan
sebagai urang lubang. Penamaan itu disebabkan mereka lebih
banyak menghabiskan waktu di siang hari dalam lubang–
lubang penggalian batu bara.58
Sebagai urang lubang, setiap waktu mereka menghadapi
risiko besar. Risiko yang utama adalah ancaman serangan
mendadak yang berasal dari gas beracun dalam lubang–lubang
penggalian. Dengan peralatan pendeteksi gas yang sederhana
dan tanpa mempunyai alat pengaman, seperti masker,
keamanan buruh tidak terjamin. Di kala gas beracun muncul
secara tiba–tiba, mereka tidak punya pilihan lain kecuali
menghadapi kematian melawan gas beracun. Dalam
praktiknya, urang lubang banyak yang mati dalam lubang–
lubang penggalian batu bara yang mereka gali sendiri.59

57
J. van Beckhoven, op.cit., hlm. 21—22.
58
Wawancara denagn Soejono. Orang tua Soejono merupakan buruh paksa yang
bekerja pada lubang-lubang penggalian batu bara. Ia sendiri menjadi buruh
tambang batu bara Ombilin.
59
Kematian buruh paksa sebanyak 139 orang tahun 1896, seperti telah disebut
pada bagian terdahulu, merupakan kematian yang disebabkan oleh serangan gas
beracun. Mereka tidak dikubur layaknya seorang manusia, tetapi dibiarkan
begitu saja dalam lubang itu. Pintu masuk ke dalam lubang itu ditutup dan
penggalian diberhentikan. Verslaq der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter
Sumatra Westkust en van de Ombilin Kolenvelden Over 1896. (Batavia:
Lansdrukkerij, 1897), hlm. 8.

201
Walaupun buruh paksa mengalami penderitaan pada
waktu bekerja mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali
mengikuti perintah pimpinan tambang saja. Posisi mereka
yang lemah sebagai tenaga kerja paksa tidak ditopang dengan
organisasi buruh yang memperjuangkan nasib mereka.60
Mereka dianggap oleh pemerintah sebagai orang buangan yang
suka membuat keributan yang sisi–sisi kemanusiaan mereka
tidak perlu diperhatikan. Pemikiran itu muncul karena pada
umumnya buruh paksa berasal dari para pembunuh,
perampok, dan pemberontak yang banyak merugikan
kepentingan Belanda. Bagi pemerintah, membicarakan hak
asasi buruh hanyalah suatu hal yang bersifat utopia belaka.
Tidaklah mengherankan bahwa kehadiran organisasi buruh,
seperti PKBT pada tahun 1925 disambut dengan antusias oleh
buruh tambang. Tujuan organisasi itu adalah seperti yang
terdapat pada Artikel 2 Anggaran Dasar yang berbunyi,
“Perserikatan ini mempersatoekan sekalian kaoem boeroeh
tambang di Indonesia, jang mana dengan persatoean itu akan
memperhatikan keperloean jang bersangkoetan dengan peri
penghidoepan dan menoentoet naiknja boedi atau deradjatnja
kaoem boeroeh tambang.”61 Dengan tujuannya, kehadiran PKBT
mendapat sambutan yang baik dari buruh tambang.
Pemerasan terhadap buruh merupakan inti ketidak-
nyamanan mereka. Buruh tidak mendapatkan upah yang layak
dari hasil bekerjanya. Mereka berusaha menekan upah buruh
dengan harapan akan meningkatkan keuntungan bagi pe-
rusahaan.62 Pola itu sudah menjadi hal yang sangat lazim

60
Organisasi buruh baru ada setelah terbentuknya PKBT tahun 1925. Lihat
lampiran XI.
61
Lihat lampiran X.
62
Lihat tabel upah, pada tabel XII dan XIII.

202
dijalankan oleh perusahaan–perusahaan Belanda sebagaimana
yang mereka jalankan pada tambang batu bara Ombilin.

Buruh paksa dibawah pengawasan mandor


Secara kuantitas, jumlah pegawai Belanda jauh lebih kecil
dibandingkan dengan buruh pribumi pada tambang batu bara
Ombilin. Boeckhoven memperkirakan bahwa jumlah orang
Eropa, khususnya Belanda yang tinggal di Sawahlunto
berkisar 250 orang yang separuhnya beragama Katolik.63
Walaupun jumlah pegawai Belanda sedikit, merekalah yang
menentukan kebijakan tambang dan menentukan ritme
kehidupan buruh tambang batu bara itu.
Satu pertanyaan yang hendak dikemukakan adalah dengan
latar belakang apakah orang Belanda memperlakukan buruh
paksa secara sewenang–wenang tanpa memperhatikan masalah
hak–hak asasi buruh sebagai manusia?64 Kemudian yang
63
J.van Beckhoven op. cit., hlm. 23.
64
Perlu ditegaskan di sini bahwa persoalan ini lebih merupakan sorotan pihak
luar. Dalam hal ini, organisasi buruh merupakan tulang punggung dalam revolusi,
sehingga PKI mempolitisir buruh untuk memberontak. Harry J. Benda, Mc
vey, op. cit., hlm. 286.

203
disoroti lebih dalam lagi, apakah sama perlakuan majikan
terhadap buruh sebagaimana yang terjadi di Eropa di kala
berlangsungnya Revolusi Industri, seperti yang dijadikan
sebagai kerangka dasar dari pemikiran Karl Marx.65
Sorotan terhadap ajaran Marx sebagai ideologi buruh dan
ideologi organisasi buruh tambang adalah penting untuk dikaji.
Arti pentingnya ditinjau dari keterlibatan ajaran komunis dan
organisasinya dalam memobilisasi massa buruh tambang batu
bara Ombilin. Hal itu terlihat setelah terjadinya pem-
berontakan kominis di Silungkang yang menghebohkan.
Pemberontakan berdarah yang melibatkan buruh tambang
Ombilin itu dimotori oleh PKBT dengan organisasi buruh
tambang batu bara Ombilin dan Serikat Rakjat, organisasi
yang mendapat pengaruh dari PKI.66

B. Gejolak Politik tahun 1920-an


Keterbukaan budaya dan tradisi konflik yang telah berakar
dalam kebudayaan Minangkabau merupakan salah satu faktor
penting dalam menumbuhkan kesadaran berpolitik dalam
masyarakat. Jika kesadaran berpolitik diartikan sebagai suatu
keinginan untuk memperjuangkan nasib secara bersama-sama
melalui organisasi, hal itu pun ditandai dengan bermunculannya
berbagai organisasi sosial politik. 67 Dalam masyarakat
Minangkabau, organisasi yang dimasuki oleh masyarakat akan
sesuai dengan kepentingannya, seperti buruh yang lebih
cenderung memilih PKI, sedangkan masyarakat perdesaan atau

65
F.R. Ankersmit, op. cit., hlm. 7. Lihat juga Syahrir, op. cit., hlm. 25—43.
66
Taufik Abduah, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra
(1927-1933). (New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1971), hlm. 43—46.
67
J. de Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, Peranan Kelompok
Sjahrir. (Jakarta: Grafiti Press, 1993), hlm. 1—10.

204
petani lebih cenderung memilih Serikat Islam. Hal itu wajar,
sebab melalui organisasi mereka ingin memperbaiki kehidupan.
Hal yang terpenting dari kehadiran organisasi itu adalah
upaya untuk memberikan kesadaran kepada anggotanya
mengenai hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara
ataupun anggota partai. Kesadaran itu kemudian ditingkatkan
oleh kelompok elite menjadi kesadaran untuk memperjuangkan
hak–hak yang diketahuinya itu. Di saat menyadari bahwa mereka
memiliki kewajiban untuk memperjuangkan nasib, hal itu dapat
terlihat melalui melalui aktifitas politik mereka. Aktifitas politik
itu kemudian menimbulkan berbagai gejolak politik yang
berkembang dalam masyarakat, seperti yang terjadi di
Minangkabau.68 Kesadaran berpolitik diwujudkan dengan
keikutsertaan masyarakat dalam berbagai organisasi sosial politik
yang terdapat dalam masyarakat.69
Setiap organisasi itu berusaha mencari massa pengikut
dalam masyarakat. Tiga organisasi yang memiliki pengaruh
kuat terhadap buruh tambang batu bara Ombilin adalah
Serikat Islam, Serikat Rakjat, dan Partai Komunis Indonesia.70
Kehadiran organisasi sosial politik itu menggeser pola
organisasi lama yang bersifat tradisional menjadi organisasi

68
Taufik Abdullah menuliskan bahwa sejak awal abad ke 20, suhu politik semakin
panas di Minangkabau. Bahkan dalam laporan-laporan dari residen, laporan
mengenai aktifitas politiklah yang mendominasi. Taufik Abdullah, Minangkabau
1900-1927 : Premeliminary Studies in Social Development. A Thesis Presented
to the Faculty of the Graduate School of Cornell University for the Degree of
Master of Arts. (New York: Cornell University, 1967), hlm. 137—150.
69
ibid.
70
Ketiga organisasi ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam merekrut buruh
tambang batu bara. Hanya saja, PKI lebih mempunyai pengaruh yang kuat
karena semboyan-semboyan yang dilontarkannya bersifat revolusioner yang
lebih sesuai dengan kondisi buruh tambang. Abdul Muluk Nasution,
Pemberontakan Rakyat Silungkang Sumatra barat 1926-1927. (Jakarta: Penerbit
Mutiara, 1981), hlm. 30—60.

205
modern. Dalam melihat proses pengeseran organisasi dari
bentuk tradisional ke bentuk modern, adalah menarik untuk
mengemukakan pemikiran dari Sartono Kartodirdjo dalam
melihat proses perubahan dan pengenalan organisasi.71
Hal yang penting dalam setiap perubahan organisasi ini adalah
proses perubahan dari struktur–struktur politik tradisional
menjadi stuktur–struktur politik yang modern, yang mencontoh
struktur–struktur politik di dunia barat. Proses transformasi
seperti ini melibatkan suatu pengeseran pola-pola intitusianal,
dari pola kekuasaan tradisional ke arah penerimaan dan
pelembangan seperangkat norma dan sasaran politik, terutama
diilhami oleh barat.
Kutipan itu memberikan gambaran tentang pola
pergeseran organisasi dalam masyarakat dari organisasi yang
bersifat tradisional menjadi organisasi modern. Hal yang
terpenting untuk digarisbawahi adalah proses pengenalan
membawa masyarakat untuk mengetahui cara yang lebih baik
untuk memperjuangkan nasib mereka, yaitu bergabung
dengan sebuah kelompok atau menjadi anggota sebuah
organisasi. Hal yang penting adalah buruh mendapat propa-
ganda dari tokoh–tokoh politik. Dalam tahap selanjutnya,
buruh juga bersentuhan pula dengan pola–pola organisasi
yang modern,72 seperti pengenalan struktur politik, pembagian
kerja, tujuan organisasi, dan pengerahan anggota.
Proses perubahan itu banyak diilhami oleh pola–pola
organisasi modern yang berasal dari dunia barat. Bentuk
organisasi tersebut kemudian dikembangkan di berbagai tempat,
71
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1984), hlm.107.
72
Lihat misalnya Marvin E. Olsen, The Process of Social Organization. (New
Delhi: Oxford & IBH Publishing Co.), 1968. Terutama bab IV “The Creation
of Social Organization Social Order” yang membicarakan Social Interaction,
Social Relationships, Social Order, dan Social Structure, hlm. 30—51.

206
seperti di Minangkabau.73 Perubahan itu sendiri tidak terlepas
dari pengaruh faktor pendidikan, terutama sejak dibukanya
kesempatan pendidikan bagi penduduk pribumi.74 Dunia
pendidikan tidak hanya sekadar membuka mata masyarakat
terhadap ilmu–ilmu yang berasal dari dunia barat, lebih jauh
lagi terhadap hak–hak dan kewajiban mereka sebagai bangsa
yang terjajah.75
Perkembangan organisasi modern itu membawa
perubahan dalam perilaku berorganisasi masyarakat.
Pengaruh itu juga merambat pada buruh tambang batu bara
Ombilin. Sebelum bersentuhan dengan organisasi–organisasi
modern, seperti PKI, Serikat Islam, dan Serikat Rakjat, buruh
tambang batu bara Ombilin tidak memiliki wadah untuk
memperjuangkan nasib dari tekanan orang Belanda. Kehadiran
PKI di tengah–tengah buruh tambang batu bara Ombilin
menjadikan buruh memiliki tempat untuk mengadukan
berbagai tekanan yang dihadapi.
Keresahan yang melanda buruh tambang batu bara
Ombilin kemudian dipertajam lagi oleh kondisi politik yang
berkembang di Minangkabau sehingga bermunculanlah
organisasi sosial politik yang seperti cendawan di musim

73
Hal yang menarik dari perkembangan organisasi modern pada buruh tambang
adalah terdapatnya media komunikasi, seperti surat kabar. Surat kabar menjadi
persyaratan organisasi modern dalam menyampaikan pikiran–pikirannya.
Adapun surat kabar yang memperjuangkan nasib buruh tambang batu bara
Ombilin adalah Soera Tambang, Panas, dan Pertimbangan.
74
Poeze melihat hal ini sebagai dampak dari perkembangan politik pendidikan di
Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Belanda membuka kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan barat penduduk pribumi. Sejalan dengan itu, penduduk
pribumi mengerti akan kedudukannya sebagai bangsa terjajah sehingga melalui
organisasi–organisasi mereka mencoba memperjuangkan nasibnya. Harry A.
Peoze, “Political Inteligence in the Nederlands Indies”, dalam Robert Crib (ed.),
The Late Colonial State in Indonesia. Political and Economic Foundation of
Nederlands Indies 1880-1942. (Leiden: KITLY Press, 1994), hlm. 229—242.
75
ibid.

207
hujan.76 Organisasi yang secara kontinu menjadikan buruh
tambang batu bara Ombilin sebagai garapan untuk dijadikan
anggota adalah PKI. Hal itu dapat dipahami karena ajaran
komunis lahir sebagai dampak penindasan yang dilakukan
pihak pemilik modal terhadap buruh.
Perkembangan ideologi komunis bertepatan dengan
gejolak politik yang telah berkembang sejak awal abad XX di
Minangkabau. Dalam gejolak politik pada masyarakat itu,
komunis dengan segala cara berusaha mendapatkan pengaruh
di Minangkabau. Usaha–usaha yang dilakukan oleh kaum
komunis cukup berhasil yang ditandai dengan berkembangnya
ajaran itu di berbagai kalangan, seperti buruh, petani, dan kaum
terpelajar.77
Menyimak kehadiran PKI di Minangkabau, pola organisasi
modern itu dipraktikkan dalam berbagai aktifitasnya.
Praktiknya akan terlihat secara jelas ketika komunis merekrut
buruh tambang batu bara Ombilin untuk menjadi pengikut
PKI yang melontarkan penindasan yang dilakukan oleh
pemilik tambang terhadap buruh. 78

76
Taufik Abdullah, (1971), op. cit., hlm. 23—50.
77
Kalau yang menjadi tema komunis adalah perbedaan kelas, namun gerakannya
yang revolusioner dan menarik berbagai kalangan untuk ikut di dalamnya. Di
Sumatra Thawalib sebagai pusat gerakan Islam misalnya, ajaran komunis juga menjadi
topik yang dibicarakan di kalangan terpelajar. Mereka menggunakan metode–
metode gerakan komunis yang revolusioner sebagai acuan, namun dalam akidah
mereka tetap berpegang Islam. Agaknya hal ini tidak berbeda dengan Haji Misbach,
seorang haji, namun juga seorang komunis. Taufik Abdullah, op. cit., 37—39.
78
Tema yang dilontarkan komunis dalam merekrut anggota di perusahaan
tambang batu bara Ombilin adalah perbedaan kelas antara buruh dengan pemilik
modal dan antara kaum tertindas dengan kaum penindas. Hal ini amat tepat
sekali dijadikan tema pada tambang batu bara, terutama melihat perlakuan yang
diterima buruh, khususnya buruh paksa oleh pihak tambang. Konsep seperti ini
merupakan pola baku dari gerakan komunis secara internasional untuk merekrut
massa. Regis Debray, Strategy for Revolution. (New York: Month Review Prees,
1970), hlm. 9—12.

208
Kehadiran PKI dan Serikat Rakyat di tengah–tengah kaum
buruh membawa harapan bagi buruh tambang bahwa partai–
partai itulah yang akan mengubah nasib mereka. Harapan
buruh itu beralasan karena selama bekerja sebagai buruh
(terutama yang berasal dari buruh paksa), mereka tidak
memiliki kekuatan yang dapat memperjuangkan nasib dari
pihak perusahaan atau pemilik modal. Kondisi buruh yang
demikian dimanfaatkan dengan baik oleh tokoh–tokoh dari
kalangan partai politik untuk menarik buruh tambang menjadi
anggota. Dalam propagandanya, tokoh buruh mencoba
untuk menarik perhatian buruh dan kelompok masyarakat
lainnya untuk bersama–sama berjuang melawan penindasan
yang mereka terima dari pihak tambang. Usaha itu
memperlihatkan hasil dengan banyaknya buruh tambang
yang menjadi anggota organisasi tersebut.79
Dalam merekrut anggota, setiap organisasi biasanya
mencoba menjadikan berbagai persoalan yang dihadapi
masyarakat sebagai garis pokok perjuangannya.
Penyimpangan berbagai ajaran Islam dijadikan sebagai tema
sentral dari gerakan pembaharuan Islam.80 Datuk Maharajo
Diradjo, seorang tokoh adat, berupaya menjadikan nilai-nilai
adat sebagai topik yang diperjuangkannya.81 Datuk Batuah,
seorang penghulu adat dan tokoh komunis menjadikan
dominasi kekuasaan Belanda sebagai sasaran perjuangannya
yang harus dilawan. Dengan menggunakan perbedaan antara
buruh majikan, ia berusaha melakukan propaganda melawan
kekuasaan Belanda di Minangkabau.82

79
Lihat Surat kabar bulanan Panas, November 1925.
80
Hamka, Ayahku. (Djakarta: Penerbit Widjaya), 1958.
81
Taufik Abdullah, (1967), op. cit. hlm., 72—81.
82
ibid.

209
C. Organisasi Buruh Tambang Batu Bara Ombilin
Dalam pembahasan tentang gerakan buruh tambang batu
bara Ombilin, ada beberapa persoalan pokok yang perlu
diperhatikan, yaitu buruh tambang, organisasi buruh
tambang, ideologi organisasi, dan tokoh–tokoh gerakan
buruh. Setiap kelompok memiliki peranan dalam setiap
gerakan buruh sehingga mereka menjadi saling bergantung
antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya.
Saling ketergantungan antara satu kelompok dengan
kelompok lain akan terlihat jika salah satu kekuatan tidak ada.
Dan kemudain gerakan buruh itu akan menjadi terhambat.
Buruh dengan jumlah yang cukup besar merupakan kekuatan
utama dalam setiap gerakan. Organisasi berfungsi sebagai me-
dia untuk menyatukan seluruh kekuatan buruh. Ideologi
organisasi menjadi penting, terutama upaya untuk
membangkitkan semangat kaum buruh melawan kekuatan
pihak majikan yang menindasnya. Tokoh buruh merupakan
kekuatan yang mampu untuk menggerakkan, menyusun
strategi dan taktik gerakan, mengorganisasi, memobilisasi, dan
menyampaikan ideologi kepada buruh-buruh tambang.83
Jika semua kekuatan yang ada dapat disatukan, hal itu
merupakan senjata yang kuat untuk melawan politik modal
atau pun terhadap penguasa. Dalam konteks gerakan buruh

83
Pada pokoknya, pola pemikiran ini merupakan pola gerakan dari komunis.
Dalam ideologi komunis, hal yang penting adalah bersatunya kaum buruh untuk
menentang pihak pemegang kekuasaan dan kekuatan baik berupa majikan
maupun pemilik modal. Penyatuan kekuatan buruh sebagai kekuatan utama
untuk melakukan revolusi didukung oleh motor gerakan pertentangan kelas
dengan sasaran akhir terbentuknya masyarakat tanpa kelas yang merupakan
cita-cita komunisme. Hal seperti itu juga dijalankan dalam gerakan-gerakan
komunisme pada buruh tambang batu bara Ombilin. David, V. J. Bell, Resistence
and Revolution. (Boston: Houghton Mifflin Company, 1973), hlm. 28—30.

210
tambang batu bara Ombilin, pengaruh yang kuat dari ideologi
komunis menempatkan kekuatan buruh sebagai kekuatan
untuk melawan pemilik modal. Kekuatan–kekuatan untuk
melawan majikan muncul sebagai dampak perbedaan kelas,
yaitu antara pemilik modal dengan kelas buruh.84
Dapat dengan mudah dipahami bahwa dalam setiap
gerakan yang dimotori oleh kaum komunis, ideologi itu selalu
menggunakan setiap potensi dari kelompok buruh untuk
melawan kekuasaan yang berlaku atau pun terhadap pemilik
modal. Menurut Marx, pemerasan yang dilakukan oleh majikan
terhadap buruh adalah pemicunya. Pemerasan dapat dilakukan
karena pola hubungan kerja yang tidak menguntungkan posisi
buruh.85 Bagi komunis, kekuatan utama untuk melawan
pemilik modal adalah dengan mengandalkan kekuatan buruh.
Buruhlah yang dijadikan sebagai kekuatan utama untuk
melancarkan pemberontakan atau revolusi terhadap pemilik
modal atau pun majikan.86 Untuk dapat lebih memahami semua
kekuatan perserikatan buruh pada tambang baut bara Ombilin
kita akan mencoba membahas satu per satu kekuatan tersebut
pada bagian berikut ini.

84
Marx lebih menitikberatkan hubungan antara produksi dan struktur kelas.
Perbedaan ini dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk melawan pemilik modal.
Menurut Marx, kelas akan timbul apabila hubungan–hubungan produksi
melibatkan suatu pembagian tenaga kerja yang beraneka ragam yang
memungkinkan terjadinya penumpukan surplus produksi sehingga merupakan
pola hubungan yang bersifat memeras para tenaga kerja. Anthony Giddens,
Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis Karya-karya Marx,
Durkheim, dan Marx Weber. (Jakarta: UIP, 1986), hlm. 48.
85
ibid., hlm. 49.
86
Sasaran akhir dari setiap gerakan Komunis adalah melakukan revolusi terhadap
pemegang kekuasaan. Revolusi ini merupakan strategi untuk merebut kekuasaan
terhadap kelompok pemegang kekuasaan dan kemudian membentuk masyarakat
tanpa kelas. ibid., hal. 44-47.

211
C.1 Organisasi Buruh
Hal yang terpenting dalam membahas gerakan buruh
tambang batu bara Ombilin adalah organisasi buruh yang
berada di belakang setiap gerakan itu. Organisas–organisasi yang
bermain di belakang layarlah yang memainkan peranan penting
dalam setiap gerakan buruh tambang. Persoalannya adalah
gerakan buruh tambang pada prinsipnya bukanlah murni
berasal dari kalangan buruh tambang itu sendiri, tetapi
merupakan pengaruh yang datang dari luar.
Sejak dibukanya tambang batu bara tahun 1892 sampai
tanun 1925, tidak ditemukan gerakan–gerakan buruh yang
teroganisir dan terencana. Persoalan yang dihadapi perusahaan
tambang dengan buruh hanya keributan–keributan dalam skala
kecil. Keributan itu sangat mudah diatasi dan tidak berpengaruh
terhadap jalannya produksi dan tidak mengganggu ketentraman
pegawai Belanda yang berada di pertambangan.
Keributan yang dibuat oleh buruh hanya bersifat
perkelahian sesama buruh, pelarian, ataupun melawan
mandor. Persoalan itu biasanya hanya bersifat individual atau
melibatkan kelompok–kelompok kecil. Bentuk perlawanan
terhadap pihak perusahaan yang terorganisasi dan melibatkan
buruh dalam jumlah yang banyak tidak pernah dilakukan
buruh tambang batu bara Ombilin.87 Dengan demikian,
persoalan yang ditimbulkan tidaklah terencana, tetapi hanya
berbentuk letupan–letupan kecil saja.
Kasus perkelahian antarburuh dan buruh yang melarikan
diri dengan mudah diatasi oleh perusahaan tambang. Dengan

87
Dalam berbagai laporan tentang buruh tambang batu bara, sering disebutkan
buruh yang mati karena perkelahian antarburuh. Sebagai contoh dalam laporan
tahun 1906, terjadi 6 kali perkelahian dan meninggal dunia sebanyak 5 orang.
Buruh yang berkelahi itu tidak diperiksa atau diadili, tetapi hanya dijatuhi
hukuman cambuk. J. Van Beckhoven, op. cit., hlm. 26.

212
menurunkan 5 sampai 10 orang polisi tambang, persoalan
itu pun sudah dapat diatasi. Bagi buruh yang membuat
keributan, biasanya pihak pimpinan tambang menghukum
mereka dalam bentuk hukuman cambuk sebanyak 27 kali.88
Hukuman cambuk itu sudah menjadi pemandangan yang
rutin dalam kehidupan sehari-hari buruh tambang.
Sebelun pengaruh organisasi masuk dari luar, di tambang
batu bara Ombilin tidak terdapat organisasi buruh. Dapat
dikatakan bahwa pada masa sebelumnya, buruh tambang
tidak memiliki organisasi yang dapat menyalurkan keluhan
mereka. Setelah berdirinya PKBT di lingkungan buruh
tambang batu bara Ombilin pada tahun 1925, barulah buruh
memiliki wadah untuk memperjuangkan nasibnya. Kehadiran
PKBT mempunyai dampak pada gerakan buruh tambang.89
Gerakan buruh tambang yang terencana dan terkoordinir
baru berjalan setelah masuknya berbagai pengaruh organisasi
dan tokoh–tokoh dari luar kalangan buruh. Beberapa
organisasi yang terpenting mengembangkan sayapnya pada
tambang batu bara Ombilin adalah Persatoen Kaoem
Boeroeh Tambang (PKBT), Serikat Rakjat, Serikat Islam,
Partai Komunis Indonesia (PKI). Secara umum organisasi itu
mempunyai massa pengikut yang kuat pada buruh tambang
dan saling berebut pengaruh.90

88
Hukuman yang lazim yang diterima buruh dalam berbagai kesalahan adalah
hukuman cambuk. Walaupun hukuman cambuk tidak sampai membunuh,
namun pemulihan rasa sakitnya memakan waktu berhari–hari. Sering kali juga
buruh yang kena hukuman cambuk ini harus dirawat di rumah sakit. Bentuk
hukuman itu menjadi undang-undang tidak tertulis dan berlaku terhadap berbagai
kesalahan yang dibuat buruh. Surat kabar Panas, No. 2 tahun 1925.
89
Pemberontakan Silungkang tahun 1927 misalnya, merupakan contoh dari
puncak ketidakpuasan buruh tambang terhadap orang Belanda. Lihat Abdul
Muluk Nasution, op. cit., hlm. 64. Tentang PKBT, lihat lampiran 10.
90
ibid., hlm. 59—64.

213
Organisasi buruh muncul untuk pertama kalinya di
tambang batu bara Ombilin pada tahun 1922. Perserikatan
buruh itu bernama Vereeninging Boemipoetra Staatsspoor,
Traamwegen, Ombilinmijnen en Landsaut- omobieldiensten op
Sumatra (VBSTOL). VBSTOL ini didirikan oleh pegawai
pribumi yang bekerja pada tambang tahun 1922.91
Perserikatan yang menggunakan nama Bumi Putra ini
terbatas pada buruh pribumi yang termasuk ke dalam pegawai
negeri, yaitu buruh kelas A, sedangkan buruh–buruh pribumi
lainnya yang termasuk ke dalam kelas A 18 sebagai buruh kasar,
tidak memiliki perserikatan yang dapat memperjuangkan nasib
mereka dari tekanan–tekanan pihak perusahaan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa perserikatan yang mem-
perjuangkan nasib buruh kasar tidak ada sama sekali pada
tambang batu bara Ombilin.
Propaganda untuk mendirikan organisasi buruh di bawah
naungan bendera PKI telah muncul sejak tahun 1920. Hal
itu terlihat dari kegiatan tokoh buruh. Tokoh komunis telah
mulai mengadakan kampanye di Sawahlunto. Sasaran utama
propaganda dari para tokoh komunis adalah buruh kontrak,
buruh bebas, dan buruh paksa pada tambang batu bara
Ombilin.92 Dalam pidato mereka, keberhasilan Revolusi Rusia
merebut kekuasaan dari tangan raja yang sedang berkuasa
dijadikan sebagai isu propaganda. Propaganda yang dilakukan
oleh tokoh komunis di Sawahlunto terlihat dalam sebuah

91
Lihat surat kabar Pertimbangan, No.1/th. V/15 November 1929, hlm. 1.
92
Ruth T. Mc. Vey, “Pesona Revolusi: Sejarah dan Aksi dalam Sebuah Naskah
Komunis Indonesia” dalam Anthony Reid dan David Marr (eds.), Dari Raja Ali
Haji Hingga Hamka, Indonesia dan Masa Lalunya. (Jakarta: Grafiti Pers, 1983),
hlm. 164. Vey sendiri mengambil kutipan dari pembicara dalam suatu pertemuan
komunis di Sawahlunto, sebagaimana diutarakan dalam laporan tanpa judul oleh
Residen Pantai Barat Sumatra, diajukan oleh Jaksa Agung Hindia Belanda kepada
Gubernur Jenderal tanggal 10 Juni 1921, No. 39/AP. No. 1227, hlm. 3—7.

214
laporan Residen Pantai Barat Sumatra kepada Jaksa Agung
Hindia Belanda, seperti yang dituliskan Ruth T. Mc. Vey.93
Kaum komunis telah merebut kemerdekaan di Rusia. Negeri itu
adalah tempat kelahiran partai komunis, dengan Lenin sebagai
pemimpinnya. Ia mempunyai seorang kakak laki–laki yang
dihukum Raja Rusia dengan cara begini: Raja menyuruh
mengikat kakinya pada dua ekor kuda dan memerintahkan agar
memacu kuda–kuda itu lari ke arah berlawanan, sehingga
tubuhnya robek menjadi dua bagian dan ia pun mati. Ketika
waktu pembalasan tiba dan Lenin bersama kaum komunis
merebut kekuasaan, Raja pun ditangkap dan kemudian dibunuh.
Tokoh–tokoh komunis sejak awal sesungguhnya telah
mengincar buruh tambang batu bara untuk dijadikan basis
kekuatan organisasinya. Melalui propaganda yang dibuat oleh
para tokoh komunis. Mereka mencoba menyampaikan
berbagai hal yang menimpa nasib buruh. Untuk mencapai
tujuan itu, tokoh buruh membutuhkan wadah untuk
menyatukan semua kekuatan buruh dengan membentuk
organisasi buruh tambang. Keinginan tokoh buruh untuk
membentuk sebuah organisasi itu dapat terwujud pada tahun
1925 dengan berdirinya perserikatan buruh pada tambang
batu bara Ombilin. Organisasi buruh tambang itu bernama
Persatoean Kaoem Boeroeh Tambang (PKBT).
PKBT didirikan oleh tokoh buruh pada bulan April 1925.
Tokoh buruh yang berperan penting dalam pendirian buruh
adalah Nawawi Arief, Kasan Widjojo, Datuak Batuah, dan
S.M. Salim.94 Peresmian PKBT disahkan pada tanggal 12
April 1925 melalui Algemene Vergadering.95

93
ibid.
94
Berdirinya PKBT diumumkan dalam surat kabar Soera Tambang, 30 April
10925, hlm. 4.
95
ibid.

215
Pembentukan organisasi buruh tidak terlepas dari
keinginan tokoh politik. Tujuan mereka adalah untuk
memobilisasi buruh tambang batu bara Ombilin menjadi
anggota organisasinya. Pembentukan perserikatan itu
merupakan bukti adanya saling ketergantungan antara tokoh
politik dengan buruh. Untuk menyalurkan aspirasi ideologi
dan politiknya, berbagai organisasi politik, terutama Serikat
Rakjat dan PKI, membentuk perserikatan di Sawahlunto.
Kehadiran perserikatan itu bagi buruh menjadi angin
segar untuk perbaikan nasib mereka. Dalam tingkat yang
lebih besar, kehadiran perserikatan itu dapat dijadikan
kekuatan untuk melawan majikan atas kesewenang–
wenangan yang mereka dapatkan selama ini. Jika dipahami
secara seksama tujuan berdirinya PKBT, sasaran utamanya
adalah memperjuangkan nasib buruh tambang. Pemikiran itu
amat tepat sebab selama ini belum ada organisasi menangani
berbagai persoalan buruh. Keinginan perbaikan nasib buruh
memang secara tegas dicantumkan dalan anggaran dasar
PKBT. Hal itu terlihat secara jelas dalam anggaran dasar PKBT
dalam Artikel 2 dikatakan maksud PKBT.96
Maksoednja perserikatan ini mempersatoekan sekalian kaoem
boeroeh tambang Indonesia, jang mana dengan persatoean itoe
akan memperlihatkan keperloean jang bersangkoetan dengan
peri penghidoepan dan menoentoet naikja boedi atau deradjat
kaoem boeroeh tambang.

96
Lihat lampiran X, Statuten PKBT.

216
Tujuan perserikatan seperti ini menarik minat buruh untuk
menjadi anggota PKBT. Sementara itu, persyaratan untuk
menjadi anggota perserikatan juga tidak terlalu membebankan
buruh.97 Untuk melancarkan roda organisasi, setiap buruh
tambang diwajibkan membayar sumbangan sebesar 0,25 sen
bagi buruh yang memperoleh gaji di bawah 25 sen per bulan
dan 1 sen bagi buruh yang memperoleh gaji di atas 25 sen per
bulan.98 Kesadaran buruh untuk membayar sumbangan ini
cukup berjalan lancar. Pada tahun 1925, jumlah iyuran dari
anggota yang berhasil dikumpulkan itu adalah f 200.99 Dari
uang yang berhasil dikumpulkan itu, PKBT lebih banyak
menggunakannya untuk biaya propaganda organisasi.100

97
Dalam artikel – artikel anggaran dasar, setiap buruh tmbang berhak menjadi
anggota. Lihat lampiran X.
98
“Hak dan Kewajiban Seorang Anggota PKBT’ dalam surat kabar Soera Tambang
No. 1 Th I / 5 Mei 1925, hlm. 1.
99
Surat Kabar Soera Tambang, 5 Januari 1926, hlm. 4.
100
ibid.

217
Sumber: Surat Kabar Soeara Tambang, Mei 1926.

218
Jika kewajiban buruh adalah membayar iyuran anggota
kepada PKBT, perserikatan itu berkewajiban pula untuk
memperjuangkan perbaikan nasib buruh tambang. Keinginan
perserikatan untuk meningkatkan taraf hidup dan derajat
kehidupan buruh tambang dipertegas PKBT melalui usaha–
usaha yang diinginkannya. Hal ini secara nyata terlihat pada
artikel 3 dari anggaran dasar PKBT.101
Boeat mentjapai maksoednja, maka perserikatan ini berichtiar
sebagai berikoet :
a. Mengoempoekal boekti–boekti jang berhoeboeng dengan
pekerdjaan diperoesahaan tambang, soepaja dengan djalan
sematjam ini bisa diminta dengan adil kepada pembesar–
pembesar (madjikan) semoea perbaikan peratoeran
pekerdjaan.
b. Memberi pertolongan dengan moral (fikiran) atau oeang
pada lid–lidnja, pertolongan mana akan ditentoekan dalam
Huishoudelijk Reglement.
c. Mengeloerkan orgaan (soerat kabar) jang memoeat segala
karang–karangan, keadaan dalam pekerdjaan jang bergoena
bagi lid–lidnja.
d. Mengadakan vergadering.
e. Melakoekan segala ichtiar yang bergoena bagi kemadjoeannya
perserikatan.
Dari kutipan tadi terlihat bahwa organisasi memiliki
beberapa kegiatan pokok, terutama bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan buruh tambang. Pada bagian lain
dalam tujuan secara jelas terlihat bahwa perserikatan
memperjuangkan peraturan–peraturan tentang kehidupan
buruh supaya tercipta keadilan yang mana selama ini mereka
mendapatkan ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak
perusahaan. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah dalam

101
ibid.

219
usaha itu tidak satu pun disebutkan perlawanan terhadap
pihak majikan ataupun perusahaan tambang. Namun, dalam
praktiknya berbagai usaha yang dilakukan PKBT adalah
upaya untuk melawan ketidakadilan yang dilakukan pihak
perusahaan terhadap buruh tambang batu bara Ombilin.102
Dari perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh
pihak perusahaan kemudian berkembang upaya untuk
menumbangkan kekuasaan terhadap orang–orang Belanda
pada tambang batu bara Ombilin.103
Yang menarik adalah apakah PKBT murni dari gerakan
buruh tambang ataukah merupakan perpanjangan tangan dari
luar. Dalam memahami kehadiran PKBT di tengah–tengah
buruh tambang tergambar bahwa PKBT sesungguhnya
bukanlah produk murni dari buruh, tetapi merupakan
perpanjangan tangan dari organisasi yang lebih besar lagi,
seperti PKI, Serikat Rakjat, dan Serikat Islam. Hal itu dapat
dilihat dari inisiatif pendirian PKBT yang bukan dari kalangan
buruh tambang sendiri, tetapi merupakan keinginan yang
berasal dari tokoh–tokoh organisasi itu. Tokoh utama pendiri
organisasi buruh tambang ialah Nawawi Arief, Datuak
Batuah, Idrus, dan Haji Bahaudin.104

102
Setelah satu bulan berdiri, para tokoh PKBT telah melakukan mogok kerja.
Mogok kerja pertama berhasil dijalankan pada unit rumah sakit pada tanggal 19
Mei 1925. Soeara Tambang, No. 5 Th. I, 21 Mei 1925.
103
Pola ini merupakan pola dasar setiap gerakan komunis. Pada tahap awal mereka
masih bersikap kompromis. Namun, setelah kekuatan mereka kuat, mereka
pun mulai melancarkan gerakan yang sesungguhnya, yaitu menumbangkan
kekuatan yang ada dan membentuk masyarakat komunis, masyarakat tanpa
kelas. Anthony Giddens, op. cit., hlm. 57—79.
104
Abdul Muluk Nasution, op. cit., hlm. 59—61.

220
221
Sejak terbentuknya PKBT ada semacam kekhawatiran di
kalangan orang–orang Belanda yang bekerja pada tambang batu
bara Ombilin. Kekhawatiran itu terutama adalah kemungkinan
tindakan buruh yang sewaktu–waktu bisa melakukan
pemberontakan terhadap perusahaan. Kekhawatiran itu
beralasan, sebab berbagai aktivitas buruh dan perserikatan
memperlihatkan gejala pertentangan dengan pihak perusahaan.
Buruh yang selama ini patuh dan takut, sejak berdirinya
perserikatan buruh, mereka semakin berani melakukan
berbagai provokasi ataupun tindakan yang melawan pihak
perusahaan, seperti mogok bekerja dan melawan mandor.105
Gejala menarik lainnya yang terjadi pada tambang batu
bara Ombilin adalah semangat yang diperlihatkan buruh
untuk menerima kehadiran PKBT. Rasa kekecewaan yang
dalam terhadap pihak perusahaan tampaknya telah
dimanfaatkan dengan baik oleh tokoh–tokoh PKBT. Di
kalangan buruh sendiri ada semacam harapan bahwa
kehadiran PKBT akan dapat mengubah nasib dan mereka
bersedia untuk menjadi anggota PKBT.106
Penerimaan anggota buruh tambang dilakukan secara
besar–besaran. Tidaklah mengherankan dalam perkembangan
selanjutnya, buruh tambang yang menjadi anggoata PKBT
semakin lama semakin banyak. Sebagai contoh adalah pada
bulan Januari 1926 surat kabar Soeara Tambang melaporkan
bahwa buruh tambang batu bara Ombilin yang menjadi
anggota PKBT adalah sekitar empat ribu orang, sedangkan
Abdul Muluk Nasution memperkirakan jumlah anggota
PKBT sekitar 3000 orang.107

105
Lihat surat kabar Soeara Tambang, No. 4/th/. I, 31 Juli 1925
106
ibid.
107
Lihat Soeara Tambang 30 Januari 1926, hlm. 1, kolom. 3. Lihat juga Abdul
Muluk Nasution, op. cit., hlm. 61.

222
Kehadiran perserikatan buruh pada tambang batu bara
Ombilin tidak lagi sekadar memperjuangkan nasib buruh, tetapi
juga telah mengancam kelanjutan tambang batu bara ketika
buruh telah berani mengadakan mogok kerja dan terancamnya
keselamatan orang–orang Belanda di pertambangan.108 Tokoh–
tokoh buruh yang revolusioner menghendaki dilakukannya
pemberontakan untuk menumbangkan kekuasaan Belanda di
pertambangan. Keinginan itu semakin hari semakin kuat dengan
puncaknya pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda pada
tahun 1927 di Silungkang.109

C.2 Ideologi Organisasi Buruh


Mengkaji ideologi organisasi buruh tambang batu bara
Ombilin tidak dapat dilepaskan dari perkembangan komunis di
Minangkabau. Pada tahap awal ideologi itu tidak murni diikuti
oleh pengikutnya, tetapi sempat terjadi akulturasi dengan ideologi
lain. Ideologi yang kuat mempengaruhi komunis di Minangkabau
adalah Islam. Pada tahap awal, tokoh–tokoh komunis tidak
memperlihatkan gerakan yang sebenarnya, tetapi menyusup
sebagai seorang pengikut ajaran Islam. Mereka baru
memperlihatkan sosok komunis yang sebenarnya setelah mereka
menguasai kelompok yang dimasuki itu.
Pada satu sisi, antara Islam dengan komunis terdapat
perbedaan yang sangat tajam, terutama menyangkut persoalan
Tuhan. Namun, di sisi lain, mereka mencoba mencari
sintesisnya sehingga kedua kekuatan itu dapat bekerja sama.
Mrazek dengan baik sekali mengemukakannya.110
108
ibid.
109
Pemberontakan tersebut sesungguhnya bukanlah murni pemberontakan buruh
tambang, tetapi juga melibatkan kekuatan lainnya, seperti Serikat Rakyat dan
PKI. Harry J. Benda dan Ruth McVey, op. cit., hlm. 287
110
Rudolf Mrazek, SemestaTan Malaka. (Yogyakarta: Biograf Publishing, 1994),
hlm. 65.

223
Gerakan komunis di Sumatra Barat dalam tingkat tertentu,
dipengaruhi oleh simbol Islam yang menyatukan. Cabang–
cabang partai komunis yang masih muda dan belum
berpengalaman sepanjang tahun 1920-an memegang teguh
orientasi keagamaan. Kecenderungan ini dilukiskan dengan
bagus sekali oleh pengikut Tan Malaka paling dekat,
Djamalludin Tamin. Tamin memulai karir sebagai guru sekolah
Thawalib, mengajarkan modernisasi Islam. Menurut sumber
terbaru di Belanda, Tamin “berhasil” menggabungkan
pengetahuan tentang pengaturan masyarakat bagi kepentingan
rakyat yang sengsara dan miskin dengan kehendak dan tuntutan
Islam yang sesungguhnya.
Dari sana tergambar suatu upaya untuk memadukan
ajaran Islam dan komunisme di Minangkabau. Perpaduan itu
dilihat Mrazek dari tokoh–tokoh komunis, seperti Tan
Malaka dan orang-orang yang berada dalam lingkarannya,
terutama muridnya, yaitu Djamalludin Tamin. Menyangkut
persoalan untuk memperjuangkan nasib buruh, tokoh–tokoh
komunis lebih radikal dibandingkan dengan tokoh dari
golongan nasionalis dan tokoh–tokoh Islam. Menyangkut
masalah tekanan dari pihak pemerintah kolonial Belanda, di
antara tokoh buruh tambang batu bara Ombilin yang pernah
dipenjara oleh pemerintah Belanda adalah Nawawi Arief,
Abdul Muluk Nasution dan Datuak Batuah.111
Mengaitkan Islam dan komunis pada organisasi buruh
tambang merupakan pergumulan antarideologi di dalamnya.
Dalam perkembangan organisasi buruh tambang itu, setidak–
etidaknya terdapat tiga ideologi yang berpengaruh, yaitu Is-

111
Pada umumnya tokoh buruh tambang, seperti Abdul Muluk Nasution, Nawawi
Arief, dan Gazali berkenalan dengan penjara. Mereka dituduh melakukan makar
terhadap kekuasaan Belanda sehingga dipenjarakan di berbagai tempat. Abdul
Muluk Nasution, op. cit., hlm. 139—140.

224
lam, nasionalis dan komunis.112 Ketiga ideologi itulah yang
digunakan untuk membangkitkan gerakan menentang
kekuasaan kolonial Belanda. Pergumulan Ideologi dalam
PKBT semakin jelas terlihat dengan adanya upaya Serikat
Rakjat untuk memisahkan diri dari PKI. PKI berusaha
menyusup ke dalam PKBT, sebaliknya tokoh nasionalis dan
Islam berusaha melepaskan diri dari pengaruh komunis itu.
Benda dan Vey melukiskan tarik menarik antara komunis
dengan nasionalis dan agama sebagai berikut.113
Taktik perjuangan kita antara lain ialah harus menarik kaum
Nasionalis dan kaum agama supaya masuk ke dalam Sarikat Rakjat.
Tidaklah menjadi kesalahan, karena kita harus membina dan
meletakkan suatu dasar perjuangan Nasional yang ditingkatkan
dan memberikan harapan kepada kaum tani dan buruh. Sarikat
Rakjat secara perlahan–lahan harus dipisahkan dari PKI.
Dari ketiga organisasi itu, yang paling kuat mempengaruhi
buruh tambang adalah komunis. Hal itu dapat dilihat dari
banyaknya buruh tambang batu bara Ombilin yang menjadi
anggota komunis dan tingginya aktivitas Partai Komunis di
Sawahlunto. Banyaknya buruh tambang yang menjadi anggota
komunis sesungguhnya dapat dipahami. Penindasan yang
dilakukan oleh pihak perusahaan tambang terhadap buruh
tambang, terutama terhadap buruh paksa,114 mengakibatkan

112
Ketiga organisasi itu bergumul dalam satu wadah, yaitu Serikat Rakjat. Serikat
Rakjatlah yang langsung mengkoordinir berbagai aktivitas politik buruh.
Bahkan, dalan pemberontakan PKI yang berpusat di Silungkang 1927, Serikat
Rakjatlah yang mendalanginya. Ruth. T. McVey, op. cit., hlm. 7.
113
Harry, J. Benda dan Ruth. T. McVey, op. cit., hlm. 139
114
Posisi buruh paksa sebagai orang hukuman yang diperkerjakan membuat pihak
tambang melakukan tindakan yang sewenang–wenang terhadap mereka. Dari
awal pembukaan tambang sampai pada tahun 1925, tidak ada satu pun kelompok
yang memperjuangkan nasib mereka. Oleh karena itu, kehadiran PKBT disambut
dengan baik oleh buruh paksa. Walaupun ada larangan untuk berorganisasi,
mereka secara diam–diam banyak yang mendukung kehadiran PKBT.

225
mereka merasa sakit hati dan dendam terhadap perusahaan.
Selama itu buruh tidak mempunyai wadah yang mampu
memperjuangkan nasib mereka ketika tokoh–tokoh komunis
berusaha untuk menyebarkan ajarannya, buruh tambang pun
memberikan respon yang baik atas kehadiran ajaran itu.115
Respons itu terlihat dari banyaknya buruh yang menjadi
anggota PKBT.
Sementara itu, ditinjau dari segi ajarannya, ajaran yang
dikembangkan oleh partai komunis lebih menekankan
perjuangan buruh agar bebas dari tekanan pemilik modal. Hal
itu menjadi inti propaganda partai komunis.116 Melalui pro-
paganda, mereka menganjurkan perlunya suatu perlawanan
total melalui sebuah revolusi terhadap pemegang kekuasaan
negara ataupun pemilik modal. Propaganda itu terlihat dari
isi pidato tokoh–tokoh komunis dalam sebuah pertemuan
umum pada bulan Juni 1921 di Sawahlunto.117
Kini Rusia sudah bebas: setiap orang di sana semuanya sama,
bebas dari segala penekanan pemerintah. Komunisme telah
berkembang di seluruh dunia, karena Lenin tidak puas hanya
dengan membebaskan negerinya sendiri. Sekarang kita, di
tempat ini, adalah orang–orang terakhir yang mendengar
tentang hal–hal ini. Tidak lama lagi Lenin akan datang, dan
siapakah yang bisa bertahan bila tidak ikut bersama partai
revolusi? Sebab itu, marilah ikut serta sebelum tiba hari
perhitungan yang akhir di seluruh dunia!

115
Soeara Tambang, I, 15 Maret 1925, hlm. 1.
116
Pemikiran ini merupakan konsep dasar setiap gerakan komunisme. Komunisme
selalu mepertentangkan kelas majikan dengan kelas buruh dan pertentangan
itu kemudian diarahkan untuk melawan majikan melalui revolusi. Sjahrir,
Sosialisme dan Marxisme. (Djakarta: Djambatan 1967), hlm. 18—24.
117
Ruth. T. McVey, op. cit., hlm. 164.

226
Orientasi PKI adalah keberhasilan komunis di bawah
pimpinan Lenin di Rusia yang menumbangkan kekuasaan
raja. Melalui revolusi Bolshevik yang klasik itu,118 tokoh–
tokoh komunis di Minangkabau berusaha untuk memobilisasi
massa yang pada saatnya juga melakukan revolusi terhadap
kekuasaan yang berlaku.

C.3 Tokoh-tokoh Gerakan Buruh


Kehadiran tokoh–tokoh politik memiliki arti penting dalam
gerakan buruh tambang. Melalui mereka, gerakan buruh dapat
dikoordinasi. Tokoh buruh dengan pengetahuan dan
kemampuan yang dimilikinya mampu menentang berbagai
ketidakadilan yang dilakukan pihak perusahaan tambang
terhadap buruh. Pada umumnya tokoh utama dari PKBT
bukankah berasal dari kalangan buruh tambang, tetapi berasal
dari luar. Di antara keduanya terdapat hubungan timbul balik
yang erat sekali. Pada satu sisi, tokoh–tokoh politik menjadikan
buruh tambang sebagai alat untuk tujuan politiknya, yaitu
mengumpulkan massa melawan pihak Belanda. Pada sisi yang
lain kehadiran mereka juga sangat diharapkan oleh para buruh
tambang untuk memperjuangkan nasib.
Pembuktian pemikiran ini dapat dilihat dari tokoh–tokoh
utama yang terjun di PKBT. Beberapa tokoh utama, seperti
Nawawi Arief, Datuak Batuah, Idrus, Salim Sutan
Malenggang, Haji Mahmud, Haji Bahaudin merupakan tokoh
terkemuka dari berbagai organisasi politik di Minangkabau.119

118
Debray mengemukakan bahwa Revolusi Bolshevik merupakan bentuk revolusi
yang klasik dalam sejarah komunis. Banyak pengikut komunis yang menjadikan
revolusi itu sebagai contoh revolusi yang terbaik dalam sejarah komunis. Lihat
Regis Debray, op. cit., hlm. 38.
119
Taufik Abdullah, (1971), op. cit., hlm. 40—44.

227
Mereka berasal dari berbagai latar belakang ideologi yang
berbeda–beda. Idrus, Nawawi Arief, dan Kasan Widjojo
merupakan tokoh yang berideologi Nasionalis, Datuak
Batuah dan Salim Sutan Malenggang merupakan tokoh PKI,
sedangkan Gazali, Haji Mahmud, dan Haji Bahaudin
merupakan tokoh Serikat Islam.120
Sementara itu, tokoh yang berasal dari kalangan buruh
tambang sendiri relatif sedikit. Tokoh yang cukup menonjol
hanyalah Kasan Widjojo, seorang buruh kontrak yang berasal
dari Pati, Jawa Tengah. Kasan menduduki jabatan sebagai
salah seorang komisaris pada PKBT.121 Kehadiran tokoh–
tokoh buruh politik di kalangan mereka disambut dengan
antusias oleh buruh tambang. Di kalangan buruh tambang
terdapat semacam harapan bahwa merekalah yang akan dapat
menyelamatkan mereka dari tekanan pihak tambang. Gejala
yang terdapat di kalangan buruh kontrak dan buruh paksa
adalah bahwa merekalah yang menjalani pekerjaan yang
berat dan sebaliknya tidak terdapat imbalan dan fasilitas yang
memadai dari pihak perusahaan.122
Setelah bertahun–tahun bekerja, mereka merasa sulit
untuk memperbaiki nasib sehingga dibutuhkan kekuatan dari
luar mereka untuk melawan kekuatan yang menekan mereka
selama ini. Pada tahap ini, kedatangan penyelamat berkembang
dalam pikiran buruh tambang batu bara Ombilin.123

120
ibid.
121
Abdul Muluk Nasution, op. cit., hlm. 64.
122
Tentang derita buruh paksa, lihat misalnya Beckhoven, op. cit., hlm. 60.
123
Secara tidak langsung buruh sesungguhnya telah mengharapkan datangnya
seorang Ratu Adil, seorang yang mampu menyelamatkan dan meningkatkan
derajat hidup mereka. Kasan Sadijo, seorang tokoh buruh yang berasal dari
lingkungan buruh sendiri, meniupkan ungkapan yang demikian. Lihat Soeara
Tambang, 15 Mei 1925, hlm. 1. Tentang Ratu Adil, lihat misalnya Sartono
Kartodirjo, Ratu Adil. (Jakarta: PT Sinar Harapan, 1984), hlm. 9—13.

228
Sementara itu, pikiran tersebut dimanfaatkan secara baik
oleh PKBT, terutama melalui semboyan politik yang mereka
lontarkan. Semboyan politik itu bertujuan untuk menanamkan
bibit anti-Belanda. Semboyan itu biasa dilontarkan melalui pro-
paganda politik, pidato, ataupun melalui surat kabar.
Surat kabar dijadikan wadah propaganda yang penting
dalam gerakan buruh. Propaganda yang dibuat tokoh buruh
seakan–akan dapat menyelamatkan kehidupan buruh.
Sebuah contoh adalah surat kabar Soeara Tambang124 yang
merupakan media informasi di kalangan buruh tambang batu
bara Ombilin. Dalam salah satu judul tulisannya, yaitu
“Pembeslangan Loear Biasa, Pemerintah itoe Siapa? dan Apa
Maksoednja? Ra`jat Awaslah!!!”125 Dari judul itu dapat dilihat
sikap keras dari media buruh terhadap pihak pemerintah dan
sekaligus harapan yang dijanjikan.
Pada sisi lain, Kasan Widjojo, seorang tokoh buruh
berkomentar bahwa harus ada yang mampu mengatasi
tekanan yang dihadapi buruh. Secara eksplisit Kasan Widjojo
menyebutkan tentang diperlukannya sebuah kekuatan
penyelamat untuk memperbaiki nasib buruh tambang.126
Dalam berbagai kesempatan dikatakan bahwa kekuatan
penyelamat yang dapat memperbaiki kehidupan buruh
tambang adalah PKBT sebagai perserikatan buruh tambang.127
Potensi tersebut, yaitu dari berbagai idelogi, seperti
Nasionalis, Islam, dan Komunis merupakan pendorong
dilakukannya gerakan–gerakan menentang kekuasaan Belanda
di Minangkabau. Puncak keresahan buruh adalah keterlibatan

124
Lihat lampiran XI
125
Lihat Soeara Tambang, No. 4/TH. I 31 Juli 1925.
126
Tentang kehadiran seorang Ratu Adil, lihat misalnya Sartono Kartodirjo, op.
cit., hlm. 19—27.
127
Soeara Tambang, 15 Juli 1925, hlm. 1.

229
buruh dalam pemberontakan PKI pada bulan Januari 1927 di
Silungkang. Dalam pemberontakan itu, buruh memiliki peran
tersendiri, terutama dengan jumlah mereka yang terlibat dalam
pemberontakan berdarah itu sampai tertembaknya salah
seorang tokoh PKBT, yaitu Kasan Widjojo.

D. Keterlibatan Buruh dalam Pemberontakan


Komunis 1927
Pembahasan pada bagian ini akan mencoba melihat
keterlibatan buruh tambang batu bara Ombilin dalam
pemberontakan komunis di Silungkang pada tahun 1927.
Pemberontakan berdarah yang dimotori oleh berbagai
organisasi politik, seperti PKI dan Serikat Rakjat memakan
korban di kalangan rakyat dan buruh tambang. Banyak yang
ditangkap dan terbunuh dalam pemberontakan yang tak
terencana secara matang itu. Untuk membahas keterlibatan
buruh tambang dalam pemberontakan itu, akan dibahas dua
masalah pokok, yaitu kondisi buruh tambang prapem-
berontakan dan keterlibatan buruh tambang dalam
pemberontakan itu. Dalam kondisi sebelum pemberontakan
di kalangan buruh terlihat perlakuan–perlakuan yang diterima
buruh dari pihak perusahaan tambang dan reaksi dan kecaman
yang diberikan oleh perserikatan buruh terhadap perusahaan
tambang. Reaksi–reaksi itu kemudian dipupuk secara terus
menerus dalam rangka sebuah pemberontakan yang lebih
besar. Tokoh-tokoh PKBT merencanakan persiapan sampai
meletusnya pemberontakan bulan Januari 1927.

D.1 Kondisi Prapemberontakan


Pada hakikatnya, buruh paksalah yang menghadapi
persoalan–persoalan berat, terutama yang menyangkut masalah
hak–hak asasi, jaminan sosial, dan upah buruh. Dapat
230
dikatakan bahwa buruh paksalah yang mengalami beban yang
paling berat sebagai buruh tambang dibandingkan dengan
buruh bebas ataupun buruh kontrak. Selain bekerja keras
untuk menggali batu bara pada lubang-lubang penggalian,
mereka juga mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi.
Dapat dipahami jika kehadiran PKBT sebagai perserikatan
buruh mendapat tanggapan yang baik dari buruh paksa.
Dalam perkembangannya, keresahan–keresahan yang
pada awalnya hanya melanda buruh paksa itu menjalar pula
di kalangan buruh kontrak dan buruh bebas. Buruh bebas
dan buruh kontrak yang selama ini tidak merasakan tekanan
yang sangat berat dibandingkan dengan buruh paksa ikut pula
menambah keresahan di kalangan tambang. Suasana
kehidupan buruh tambang semakin lama semakin panas
karena laporan–laporan yang ditulis dalam surat kabar buruh.
Tulisan dalam surat kabar Soeara Tambang berikut ini
memperlihatkan perlakuan yang diterima buruh oleh pihak
perusahaan tambang. 128
Beratoes-ratoes banjakja orang hoekoeman jang berpoeloeh
tahoen, beriboe djoemlahnja koeli contrak, sekalian mereka itoe
sama mendapat hadiah poekoelan, anoegerah tendangan, karena
me‘loemlah pembatja, bahwa tambang ini kepoenjaan
pemerintah. Maki-makian soedah ditjoba, kerdja berat telah
ditanggoeng berat dan ringan soedah dirasai ta‘ dapat
mengatakan sakit, ta‘ boleh mengatakan berat kerdja.

128
Dalam pertikaian antara buruh paksa dan buruh kontrak, pihak perusahaan
lebih banyak membela buruh kontrak. Di tambang batu bara Ombilin, buruh
paksa sepertinya tidak mempunyai hak apa pun juga, kecuali berkewajiban untuk
bekerja menggali batu bara dalam lubang tambang. Lebih jauh lihat, misalnya,
Surat Kabar Soeara Tambang, 14 April 1925, hlm. 1.

231
Begitulah laporan yang ditulis dalam surat kabar buruh
tentang keadaan buruh tambang. Hal yang patut juga
diperhatikan adalah laporan surat kabar itu didramatisir
sedemikian rupa dengan sasaran akhir adalah mengadakan
pemberontakan terhadap pemerintah. Dengan strategi yang
demikian itu, surat kabar yang memperjuangkan nasib buruh
mencoba untuk membentuk opini buruh sehingga berpengaruh
pada gerakan buruh tambang secara keseluruhan.129
Usaha untuk mendramatisir suasana yang menimpa
kehidupan buruh terlihat dari persoalan buruh yang ditimpa
penyakit. Pihak tambang menyediakan rumah sakit untuk
buruh yang sakit. Melihat perawatan yang kurang memadai,
ditulislah seoalah–olah pihak tambang meremehkan
penderitaan buruh. Dari kutipan di bawah ini terlihat secara
jelas propaganda PKBT.130
Kalau seorang koeli mendapat sakit lantaran digiling lori, ia
lantas dibawa keroemah sakit soepaja diobati dan si sakit itoe
beloem sempoerna senang badannja dan toelang beloem koeat
bekerdja, tetapi madjikan lantas menjoeroehnja kerdja kepada
si sakit tadi. Inilah penanggoengan dan pesakitan kaoem boeroeh
Sawah Loento jang mentjari sesoeap nasi, tempo–tempo
membawa korban djiwa.
Perkembangan ini tidak terlepas dari propaganda yang
dilakukan oleh tokoh–tokoh PKBT. Strategi yang digunakan
untuk menyebarkan komunisme di kalangan buruh adalah
menarik orang–orang berpengaruh di kalangan buruh untuk

129
Satu hal yang harus dipahami adalah tulisan yang muncul dari surat kabar
Soeara Tambang yang lebih bersifat propaganda. Sebagai propaganda, tulisan–
tulisan yang muncul itu lebih mendramatisir persoalan dengan sasaran
menumbuhkan antipati terhadap orang Belanda yang menjadi majikan mereka
di perusahaan tambang itu.
130
Surat kabar Soeara Tambang, Januari 1926, hlm. 1.

232
menjadi agen propagandanya. Jadi, yang langsung mem-
propagandakan paham komunis di kalangan buruh adalah
rekan–rekan sesama buruh.131 Dari sini terlihat bahwa yang
berperan dalam menyebarkan secara langsung pengaruh
PKBT di kalangan buruh biasanya ialah orang yang memiliki
pengaruh di antara sesama buruh. 132
Strategi seperti itu lebih efektif karena sulitnya pihak luar
memasuki kehidupan buruh tambang. Kesulitan seperti itu
terutama disebabkan pengawasan yang sangat ketat dilakukan
oleh polisi tambang terhadap tokoh maupun yang bukan
buruh untuk berinteraksi dengan buruh tambang.133 Salah
seorang tokoh penting dalam propaganda yang berasal dari
kalangan buruh adalah Martowijoso, seorang buruh kontrak
yang berasal dari Jawa.
Martowijoso merupakan buruh kontrak yang menjadi salah
seorang pengurus PKBT. Kegiatan–kegiatan yang dilakukan oleh
Martowijoso mendapat sorotan khusus dari pihak perusahaan.
Kegiatan pokok yang ditugaskan kepada Martowijoso adalah
menjadi agen propaganda di kalangan buruh tambang. Propa-
ganda–propaganda yang disampaikan Martowijoso men-
cemaskan pihak perusahaan. Untuk menekannya, pihak

131
ibid.
132
Sudah menjadi prosedur standar dalam gerakan Komunisme Internasional
bahwa sebelum kekuatan belum kuat, mereka membonceng dengan kekuatan
lain terlebih dahulu. Di kala kekuatan mereka telah cukup, barulah gerakan
komunis memperlihatkan wujud aslinya. Begitulah yang dijalankan komunis di
Sawahlunto. Mereka memboncengi Serikat Rakjat, perserikatan yang berideologi
nasionalis. Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani (Yogyakarta: Bentang Intervisi
Utama, 1994), hlm. 5—7.
133
Seperti telah disebutkan pada bagian subbab C bahwa para tokoh PKBT
umumnya adalah yang bukan bekerja sebagai buruh tambang, tetapi tokoh
politik yang bergerak secara bebas. Karena berasal dari luar buruh, mereka
dihalang–halangi oleh pihak tambang untuk bergerak di kalangan buruh
tambang. Lihat Abdul Muluk Nasution, op. cit., hlm. 59—65.

233
tambang menuduhnya dengan berbagai kesalahan ataupun
bahkan sebagai seorang komunis. Pada akhirnya, pihak
perusahaan memecat Martotiwijoso sebagai buruh tambang.134
Perlakuan yang sewenang–wenang yang dilakukan oleh
pihak perusahaan tambang terhadap Martowijoso mendapat
reaksi keras dari pengurus PKBT.135 Surat kabar Soeara
Tambang, mencoba membela Martowijoso.136
Martowijoso, jang ditoedoehnja sebagai pengembang bibit
komunisme di kalangan boeroeh kontrak, teroes dioesirnya poela
dari Sawah Loento, meskipoen kontraknja beloem habis
didjalaninja. Persangkaannja Komunise itoe tergantoeng kepada
satoe doea tangan, dan itoelah sebabnja kejakinannja, bila
kepalanja soedah dioesir, komunisme akan habis.
Untuk menahan laju gerakan buruh, pihak perusahaan
memasang perangkap–perangkap. Berbagai bentuk perangkap
diciptakan, seperti bagi yang bersalah mendapat hukuman
cambuk, tuduhan komunis, pemberontak, ataupun
pemecatan sebagai buruh tambang tanpa mendapatkan
pesangon.137 Martowijoso merupakan buruh yang kena
perangkap dengan tuduhan sebagai komunis.
Buruh yang mendapat hukuman cambuk dan hukuman
kurungan dalam sel–sel mencapai ribuan orang. Banyaknya
buruh yang mendapat hukuman cambuk dan dipenjarakan
pada tahun itu disebabkan buruh mulai terlibat dalam
berbagai aktivitas politik yang dilakukan oleh Sarikat Rakjat

134
Surat kabar Soeara Tambang, 30 Juli 1925, hlm. 1.
135
Martowijoso merupakan propagandais PKBT. Ia telah dikader oleh tokoh
komunis untuk memobilisasi buruh tambang batu bara Ombilin. B.H.F. van
Hauven, Memorie van Overgave Onderafdeling 1927-1930. (Batavia:
Landsdrukerij, 1931), hlm. 103.
136
Surat kabar Soeara Tambang, 2 Agustus 1925.
137
ibid.

234
dan PKI. Tahun 1925, 1926, dan 1927 merupakan tahun–
tahun hukuman cambuk yang diterima buruh mencapai
jumlah tertinggi. Buruh yang dikenai hukuman dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel XVII
Buruh Tambang yang Dikenai Hukuman
Cambuk, Penjara, dan Dipecat
dari tahun 1925 sampai tahun 1927
Tahun Cambuk Penjara Dipecat
1925 3800 3210 156
1926 6100 3410 540
1927 7300 6100 986

Sumber: Diolah dari De Ingenieur in Nederlandsch Indie 1926,


1927, dan 1928.
Bedasarkan tabel itu, antara tahun 1925 sampai tahun
1927 terlihat frekuensi yang tinggi dari suhu politik di
Sawahlunto. Buruh yang menerima hukuman cambuk
disebabkan karena mereka melanggar larangan masuk ke
dalam organisasi politik. Bahkan, hukuman yang terjadi tahun
1927 umumnya disebabkan oleh keterlibatan buruh tambang
dalam usaha pemberontakan terhadap Belanda. 138
Deraan hukuman cambuk yang diterima buruh itu
beragam jumlahnya. Hukuman itu berkisar antara 15 sampai
27 kali cambuk, sedangkan hukuman penjara atau diselkan
sekitar satu minggu sampai tiga bulan.139 Ada kalanya, setelah

138
Verslag van de Sumatra–staatspoorweg en van de Ombilin Mijnen over 1927.
(Batavia: Landsdrukerij, 1928), hlm. 21—23. Lihat juga misalnya Abdul Muluk
Nasution, op. cit., hlm. 80—85.
139
B.H.F. van Hauven op. cit., hlm. 102.

235
buruh itu keluar dari penjara, ia langsung dipecat. Pemecatan
itu terjadi terhadap 30 orang buruh pada tahun 1926.140 Buruh
yang dipecat biasanya adalah mereka yang mempunyai
pengaruh kuat ataupun secara giat menjalankan propaganda
di kalangan buruh. Nasib seperti itu dialami oleh Martowijoso.
Sebelum Martowijoso dipecat, ia telah berhasil mem-
pengaruhi buruh. Jika dibutuhkan, ia memiliki kemampuan dan
kesempatan untuk memobilisasi buruh. Hal itu dapat dilihat
ketika ia dipecat sebagai buruh, ternyata banyak pula buruh
lain yang berhenti bekerja. Soeara Tambang menuliskan:141
Di dalam beberapa hari jang laloe riboetlah orang
memperbintjangkan di Sawah Loento, atas pengoesiran koeli
kontrak jang berpoeloeh poeloeh itoe. Tetapi orang beloem
mengetahoei, lebih–lebih kaoem boeroeh tambang, bahwa
penjakit crisis itoe moelai tjaoel. Kaoem boeroeh disini (Sawah
Loento), beloem djoega sadar akan keboeroekan nasibnya.
Manakala kaoem boeroeh tambang Sawah Loento masih berotok
dingin, tentoe madjikan akan berleloeasa menendang kaoem
boeroehnja, karena penjakit crisis itoe ta‘ bisa hilang, melainkan
bertambah bernjala.
Perlakuan–perlakuan yang keras dari pihak perusahaan
terhadap buruh disoroti secara tajam oleh PKBT. Kondisi
seperti itulah yang dijadikan sebagai tema dasar perjuangan
PKBT untuk merekrut buruh sebagai anggotanya, dengan
jalan membela buruh dari perlakuan yang sewenang–wenang
itu. PKBT biasanya mempublikasikan tindakan perusahaan
sehingga cara itu akan membuat buruh semakin tidak suka
dan merupakan bibit-bibit untuk melawan pihak perusahaan.

140
Verslag van de Sumatra–Staatspoorweg en van de Ombilin Mijnen over 1927.
(Batavia: Landsdrukerij, 1928), hlm. 30—32.
141
Surat kabar Soeara Tambang, 5 Agustus 1925, hlm. 1.

236
Surat kabar Soeara Tambang menuliskan suasana keseharian
kehidupan buruh tambang batu bara Ombilin.142
Bila kita lihat dan memperhatikan akan keadan kaoem boeroeh
di Sawah Loento, bagaimana berat dan soesahnja pekerdjaan,
apa poela tendangan dan makian dari madjikan ataoe sinjo–
sinjo sampai kepada mandoor, maka kita lantas mengambil
perhatian, bahwa madjikan itoe terlaloe.
Dalam suasana yang mulai panas itu, peristiwa matinya
buruh tambang dalam lubang tambang menjadikan sikap anti-
Belanda semakin tajam. Kejadian itu dimanfaatkan tokoh–
tokoh PKBT untuk menghasut buruh. Melalui surat kabar
Soeara Tambang, tokoh buruh mengecam pihak perusahaan
dengan nada yang keras.143
Kaoem boeroeh itoe bekerdja masoek lobang kalam, terkadang
kadang lobang tempat keloear itoe tertoetoep lantaran arang
batoe itoe jatoeh menimpa tempat keloear itoe. Koeli–koeli jang
tidak dapat keloear itoe mereka matilah didalam loebang,
karena lapar dan panas, tetapi madjikan tidak ambil poesing.
Maka orang–orang jang mati itoe tiadalah ditimbang djiwanja
oleh madjikan. Soenggoehpoen kesoesahan itoe soedah dirasai
oleh kaoem boeroeh tambang, teroetama orang–orang
Contrackan, tetapi mereka masih mengalah dan menerima
djoega akan nasib jang lebih dari tjilaka itoe.
Keterlibatan buruh tambang dalam pemberontakan
komunis tidak terlepas dari berbagai keresahaan yang dialami
buruh selama ini. Keresahaan yang dialami buruh tambang
itu dijadikan sebagai tema sentral dari propaganda komunis
sehingga terdapat suatu kaitan yang erat antara persoalan yang
dihadapi buruh dengan perjuangan tokoh–tokoh komunis.

142
Surat kabar Soeara Tambang, 1 September 1926, hlm. 1.
143
Surat kabar Soeara Tambang, 5 Agustus 1925, hlm. 1.

237
Berbagai kejadian di kalangan buruh dijadikan alasan untuk
mogok. Salah satu contohnya adalah masuknya kodok ke
dalam makanan. Pada bulan April 1926, hampir terjadi
pemogokan di kalangan buruh. Persoalan berawal ketika
ditemukan seekor kodok dalam menu makanan siang. Persoalan
itu dijadikan isu oleh buruh dan terjadilah mogok makan besar–
besaran di kalangan buruh. Untuk mengatasinya, pihak
perusahaan terpaksa meminta bantuan sepasukan polisi untuk
mengantisipasi pemogokan itu. Kemudian pihak perusahaan
mengajak tokoh buruh berunding, yaitu Salim Sutan
Malenggang.144 Ia akhirnya dapat menenangkan suasana dan
pemogokan yang lebih besar pun dapat dihindari.145
Hal yang ingin disampaikan adalah bahwa berbagai
persoalan di kalangan buruh dapat dijadikan alasan untuk
melakukan pemogokan terhadap perusahaan tambang. Dalam
konteks ini, tokoh–tokoh buruh dapat pula berperan sebagai
mediator untuk menenangkan suasana ataupun sebaliknya
memanaskan suasana. Dalam konteks seperti inilah tokoh–
tokoh buruh beperan sebagai elite yang memperjuangkan
nasib buruh tambang batu bara Ombilin.
Pesona propaganda yang disampaikan oleh tokoh–tokoh
komunis untuk memperjuangkan nasib buruh mengakibatkan
banyak buruh tambang yang terpengaruh kuat untuk memasuki
organisasi itu. Dalam propaganda–propaganda yang disampaikan
tokoh komunis, ia menekankan arti penting organisasi buruh

144
Salim Sultan Malenggang adalah seorang penghulu adat di Nagari Kubang. Ia
dan kaumnya tidak menerima ganti rugi atas tanah yang digunakan oleh pihak
perusahaan. Ia bergabung dengan Serikat Rakjat dan melakukan berbagai
propaganda untuk menentang kehadiran Belanda di Kubang. Dalam peristiwa
Silungkang, Salim Sultan Malenggang dan seluruh kaum ikut terlibat dalam
pemberontakan itu. B.H.F. van Hauven op. cit., hlm. 97.
145
Abdul Muluk Nasution, op. cit., hlm. 59—60.

238
dan perjuangan yang dilakukannya. Hal itu terlihat dari propa-
ganda tentang PKBT yang dimuat surat kabar Soeara Tambang.146
Rakjat dan kaoem boeroeh perhatikanlah !!!
Perserikatan rakjat dan kaoem boeroeh seperti PKI, SR, VSTP,
SPPI, PKBT, SBT dan lainnja maksoednja tidak lain dari hendak
mentjari keselamatan seloeroeh rakjat dan kaoem boeroeh.
Tetapi wakil pemerintah dimana–mana kelihatannja semendjak
perkoempoelan itoe moelai berdiri tak henti–hentinja
menghalang–halangi kemadjoeannja pergerakan jang amat sutji
itoe. Ada memboeang pemimpinnja dengan djalan tidak sah
seperti saoedara–saoedara Tan Malaka, Semaoen, Datoek
Batoeah, Moehamad Misbach, Natar Zainoedin dan lain-lain.
Dengan propaganda–propaganda seperti itulah tokoh–
tokoh komunis berusaha untuk merekrut buruh. Tekanan dari
propaganda yang dilontarkan adalah kehadiran organisasi
bertujuan memperjuangkan nasib buruh. Inti pokok dari
gerakan komunis adalah membawa nilai–nilai kemerdekaan
kaum tertindas dan ini dirasakan oleh buruh sebagai persoalan
yang tak mampu mereka atasi selama ini.147 Dalam konteks
inilah terdapat arti penting dari dari propaganda komunis, yaitu
upaya untuk memobilisasi massa melawan kekuatan pemilik
modal yang selama ini menekan dan menindas buruh tambang.
Sebenarnya propaganda tokoh–tokoh komunis itu
tidaklah dipahami oleh buruh tambang. Artinya, ungkapan–
ungkapan Marxisme–Leninisme itu masih asing di mata buruh
walaupun alasan–alasan yang dikemukakan itu terasa amat
asing dalam pikiran buruh, tetapi yang patut diperhatikan
adalah semua itu dimanfaatkan untuk membawa nilai–nilai
inti dari kemerdekaan kaum tertindas, kesamaan sosial, dan
pembaharuan kehidupan buruh.148 Walaupun buruh tidak
146
Surat kabar Soeara Tambang, 31 Juli 1925, hlm. 1.
147
ibid.
148
Ruth. T. McVey, op. cit., hlm. 164.

239
mengerti berbagai ungkapan Marxisme dan Leninisme, hal
itu menjadi titik penting dari kekuatan di luar dirinya untuk
melawan penindasnya.

D.2 Keterlibatan Buruh Tambang dalam Pemberontakan


1927
Mengikuti gerakan PKI di Minangkabau, pemberontakan
yang pertama kali dilakukan terhadap penguasa Belanda
adalah Pemberontakan Silungkang pada tahun 1927.
Pemberontakan PKI yang terjadi di Silungkang tahun 1927
pada awalnya merupakan rencana pemberontakan secara
menyeluruh di Indonesia. Dalam sebuah pertemuan rahasia
di Prambanan, pimpinan partai komunis merencanakan
untuk mengadakan revolusi di Jawa dan Sumatra.149
Di Minangkabau, beberapa kota besar, seperti Padang,
Padang Panjang, Bukittinggi, Batu Sangkar, dan Sawahlunto
yang memiliki cabang–cabang Partai Komunis diharapkan
mengadakan pemberontakan terhadap kekuasan kolonial
Belanda setelah meletusnya pemberontakan awal. Dalam
pelaksanaannya, pemberontakan yang menyeluruh itu tidak
terjadi dan pemberontakan hanya berlangsung di sebuah
nagari, yaitu Silungkang.150
Pemberontakan PKI di Silungkang itu terjadi terlalu dini.
Pemberontakan pada tahun 1927 itu dilakukan tanpa sebuah

149
Dalam skala nasional, pemberontakan direncanakan dilakukan secara serentak
di Jawa dan Sumatra. Dalam pertemuan partai di Prambanan pada bulan
Desember 1925, partai memutuskan menyiapkan revolusi di Sumatra dan Jawa
meskipun banyak pimpinan partai yang tidak setuju, persiapan tetap dijalankan.
Said Ali yang mewakili cabang Minangkabau menginstruksikan pengikutnya
untuk mulai mengumpulkan pasukan dan menggambarkan strategi revolusioner.
Taufik Abdullah (1971), op. cit., hlm. 42.
150
B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies: Selected Writing of B. Scherieke.
(Bandung: The Hague and Bandung, 1955), hlm. 95—159.

240
perencanaan yang matang. Hal itu dapat dilihat bahwa
pemberontakan yang dalam rencananya dimulai dari Padang
dan kota tambang batu bara Sawahlunto dan kemudian diikuti
oleh kota–kota lainnya hanya meletus di Silungkang yang
membunuh beberapa orang, termasuk seorang pegawai
Belanda. 151 Dalam melihat pemberontakan komunis di
Silungkang itu, menurut Tan Malaka, sebagaimana dikutip
oleh Mrazek, bahwa pemberontakan PKI tahun 1927 di
Silungkang itu sesungguhnya merupakan pemberontakan
yang tak terencana sehingga mengalami kegagalan.152
Pemberontakan di Silungkang itu sesungguhnya bukanlah
murni pemberontakan PKI saja. Pemberontakan yang terjadi
pada malam tahun baru itu juga melibatkan organisasi lainnya,
terutama Serikat Rakjat dan PKBT. Keterlibatan Serikat Rakjat
dan PKBT dalam pemberontakan di Silungkang merupakan
strategi perjuangan untuk melepaskan diri dari penindasan
Belanda. Hal itu terlebih–lebih bagi buruh tambang, orang
yang merasakan langsung tekanan dari pihak Belanda,
sehingga dengan bergabungnya PKBT Serikat Rakjat dan PKI
akan membuat kekuatan semakin kokoh.153
Secara organisatoris, antara PKI, Serikat Rakjat, dan PKBT
tidak memiliki ikatan. PKBT sebagai organisasi buruh
tambang pada prinsipnya merupakan sebuah organisasi yang
bersifat independen.154 Hanya saja banyak tokoh komunis
151
Taufik Abdullah, op. cit., hlm. 42.
152
Rudolf F. Mrazek, op. cit., hlm. 28.
153
Abdul Muluk Nasution menceritakan bahwa dalam berbagai rapat untuk
melakukan pemberontakan terhadap Belanda, ketiga tokoh organisasi itu selalu
hadir untuk memberontak terhadap Belanda. Lihat Abdul Muluk Nasution, op.
cit., hlm. 91—97.
154
Dalam Anggaran Dasar PKBT tidak disebutkan bahwa PKBT berafiliasi pada
partai politik. Hanya saja ada tokoh PKBT yang berasal dari Serikat Rakjat dan
PKI. Kasan Widjojo sebagai pimpinan PKBT adalah tokoh politik yang berasal
dari Serikat Rakjat.

241
yang menyusup ke dalam PKBT sehingga mereka mampu
mempengaruhi perserikatan itu untuk melakukan
pemberontakan terhadap dominasi kekuasaan Belanda pada
tambang batu bara Ombilin. Selain itu, semuanya juga
memiliki ikatan sebagai teman seperjuangan, terutama dengan
Serikat Rakjat, instruksi dari pimpinan Serikat Rakjat dalam
melakukan pemberontakan pun menjadi amat penting. Arti
pentingnya terletak pada strategi pemberontakan secara to-
tal dari seluruh kekuatan yang ada.
Perserikatan yang memiliki pengaruh kuat di Silungkang
adalah Serikat Rakjat. Melalui Serikat Rakjat mobilisasi
penduduk dilakukan untuk mengadakan pemberontakan.
Tokoh Serikat Rakjat yang memainkan peranan penting
dalam pemberontakan itu adalah Sulaiman Labai. Tokoh
Serikat Rakjat Silungkang lainnya yang terlibat dalam
pemberontakan itu adalah Jusuf Rajo Kecil, Talaha Gelar Rajo
Sampono, dan Toyib Ongah.155
Selain Serikat Rakjat, PKI juga memiliki peranan tersendiri
dalam peristiwa Silungkang itu. Di samping sebagai anggota
PKI, banyak juga tokoh PKI yang menyusup ke dalam tubuh
Serikat Rakjat. Dalam konteks ini PKI kadangkala tidak
memperlihatkan sosok yang sebenarnya, namun mereka
mampu menyusup ke dalam tubuh Serikat Rakjat. Tokoh–
tokoh komunis yang berperan dalam Serikat Rakjat itulah
yang turut mengatur pemberontakan.156

155
Di samping sebagai pemimpin Serikat Rakjat, Sulaiman Labai juga merupakan
tokoh penting Serikat Islam di Silungkang. Ia pernah menjabat sebagai pemimpin
Serikat Islam tahun 1918 dan Serikat Rakjat Silungkang tahun 1924. Abdul
Muluk Nasution, op. cit., hlm. 78.
156
Strategi PKI untuk menyusup ke dalam tubuh Serikat Rakjat merupakan
langkah dasar dengan sasaran utamanya adalah mengadakan revolusi terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Melalui pemberontakan itu, strategi PKI turut
menumbangkan penguasa yang ada. Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 27—29.

242
Keterlibatan buruh tambang batu bara Ombilin dalam
pemberontakan Silungkang merupakan bagian dari rencana
pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda secara keseluruhan
di Minangkabau. Rencana–rencana pemberontakan itu telah
dirancang dalam berbagai pertemuan antara tokoh–tokoh buruh.
Dalam rancangan pemberontakan, sasaran utama mereka adalah
menyerang Belanda di kota–kota besar, seperti Padang,
Bukittinggi, Batu Sangkar, dan Sawahlunto.157
Pemberontakan Silungkang pada prinsipnya bukanlah
murni pemberontakan rakyat Silungkang atau pemberontakan
PKI. Pemberontakan itu melibatkan banyak kekuatan dari luar,
seperti rakyat sekitar nagari Silungkang dan buruh tambang
batu bara Ombilin.
Dalam beberapa literatur yang membahasnya, peristiwa
pemberontakan di Silungkang disebutkan sebagai pem-
berontakan rakyat Silungkang. Buku yang ditulis oleh Abdul
Muluk Nasution158 dan juga tulisan dari Harry J. Benda dan
Ruth. T. McVey159 menuliskannya sebagai pemberontakan
yang dilakukan oleh komunis. Dalam kenyataan yang
sebenarnya, pemberontakan itu bukan saja melibatkan PKI
dan Rakjat Silungkang, tetapi melibatkan banyak orang dari
berbagai nagari seperti dari Padang Sibusuk, Muara Kalaban,
Kubang, dan Sikalang, serta buruh tambang batu bara Ombilin.
Contoh yang menarik adalah keterlibatan Nagari Kubang
dan Sikalang. Kedua nagari itu memiliki alasan yang sama terlibat
dalam pemberontakan itu, yaitu masalah tanah antara kedua
nagari itu dengan perusahaan tambang. Salim Sutan Malenggang
sebagai penghulu adat Kubang dan Salim Datuk Bandaro Sutan

157
Abdul Muluk Nasution, op. cit., hlm. 79.
158
ibid.
159
Harry J. Benda dan Ruth T. McVey, op. cit., hlm.

243
sebagai penghulu adat Sikalang tidak menerima ganti rugi dari
pihak tambang atas tanah kaumnya yang digarap untuk
tambang batu bara. Ketidakpuasan itu mereka perlihatkan
dengan keikutsertaan dalam pemberontakan Silungkang.160
Persoalan lainnya adalah pengambilan kayu untuk
keperluan tambang, Nagari Padang Sibusuk dan Parambahan
tidak mau menerima pembayaran atas kayu–kayu di hutan
kedua nagari. 161 Dari uraian tersebut terlihat bahwa
keterlibatan berbagai kalangan dalam pemberontakan
Silungkang itu memiliki alasan masing–masing, sebagaimana
alasan dari buruh tambang, yaitu tekanan yang diterima
selama bekerja sebagai buruh tambang.
Andil yang diberikan buruh tambang dalam rencana
pemberontakan cukup besar. Hal itu terlihat dari keterlibatan
tokoh buruh dan buruh tambang dalam pemberontakan itu,
yaitu Kasan Widjojo, seorang buruh kontrak dan komisaris dari
PKBT. Kasan Widjojo merupakan pimpinan utama PKBT yang
secara langsung memimpin buruh melawan pasukan Belanda.
Pada saat pemberontakan, ia berperan dalam rencana merebut
Kota Sawahlunto sebagai kota kedua (setelah Kota Padang) dari
sasaran utama kota–kota yang harus dikuasai.162
Pemberontakan itu direncanakan pecah pada pukul 12
pada malam tahun baru atau tepatnya tanggal 1 Januari 1927.
Barisan inti di Sawahlunto di bawah pimpinan Kasan Widjojo
dan Radjo Budjang mendapat dua tugas pokok, yaitu:163
Pertama di bawah pimpinan Kasan Widjojo dan Radjo Budjang,
buruh tambang batu bara mendapat tugas untuk menguasai
Kota Sawahlunto. Tepat pukul 12 tengah malam memulai

160
B.H.F. van Hauven op. cit., hlm. 103
161
ibid., hlm. 100.
162
Taufik Abdullah, op. cit., hlm. 34.
163
Abdul Muluk Nasution, op. cit., hlm. 99.

244
gerakan yaitu menyerang sociteit, di mana pembesar–pembesar
pemerintah dan tambang batu bara Ombilin yang orang
Belanda sedang berdansa. Penyerangan serentak juga dilakukan
terhadap kantor dan asrama polisi.
Kedua adalah bersamaan dengan itu juga, Sersan Pontoh dan
kawan–kawan merebut kekuasaan Garnizun Sawahlunto dan
penjara; melepaskan tawanan politik dan memenjarakan
pembesar–pembesar Belanda.
Perencanaan pemberontakan itu tidaklah berjalan sesuai
dengan terget semula. Gerakan yang juga didukung oleh 27
orang anggota garnizun (garnizun pribumi yang menyeberang
ke pihak pemberantak) di bawah pimpinan Sersan Mayor
Pontoh dan Sersan Rumuat dengan mudah dapat dipatahkan.
Strategi yang tidak matang membuat polisi secara cepat
menahan laju pemberontakan itu. Di kala berbagai kelompok
menuju ke Sawahlunto sebagai sasaran utama yang harus
direbut, mereka dicegat di tengah jalan sekitar 2 km menjelang
memasuki Kota Sawahlunto.
Salah satu pertempuran yang seru terjadi di Pamuatan.
Dalam pertempuran itu, Kasan Widjojo, sebagai salah satu
tokoh utama buruh, memimpin penyerangan itu. Ia terlibat
kontak senjata dengan pasukan Belanda dan kemudian
terbunuh dalam baku tembak pada malam tahun 1927 di
Pamuatan. Dari kalangan buruh tambang batu bara Ombilin,
pemberontakan itu menelan banyak korban, baik yang
tertangkap maupun yang terbunuh.
Banyak di antara pemimpin pemberontakan tersebut mati
di tiang gantungan. Mereka yang mendapat hukuman gantung
adalah Kamaruddin, Sampono Kayo, dan Ibrahim. Anggota
garnizun yang terlibat pemberontakan juga mendapat
hukuman, yaitu 10 tahun untuk Sersan Pontoh, 6 tahun untuk
Sersan Rumuat, Sersan Wenas dan Kopral Takuru. Secara

245
umum, hukuman dilakukan secara kolektif, yaitu kepala barisan
mendapat 8 tahun dan anggota barisan 2 hingga 4 tahun.164
Pemberontakan yang prematur itu dengan cepat
dipadamkan oleh pasukan morsose Belanda. Satu minggu
setelah peristiwa di Silungkang, keadaan dapat dikendalikan
dan mereka yang terlibat dalam pemberontakan dipenjarakan
untuk menunggu proses pengadilan. Mereka dipenjarakan di
berbagai tempat, seperti di Solok, Sawahlunto, Padang, Padang
Panjang, Lubuk Aluang, dan Bukittinggi.
Walaupun berakhir dengan kegagalan, namun
pemberontakan itu membawa dampak terhadap kehidupan
buruh selanjutnya. Secara samar terlihat adanya suatu
kesadaran baru dari buruh tambang yang selama ini terkotak–
kotak antara buruh paksa, buruh kontrak dan buruh bebas.
Kesadaran akan senasib menumbuhkan kesadaran untuk
bersatu melawan Belanda, seperti dalam pemberontakan pada
malam tahun baru 1927 itu.
Memahami sejak awal dari persoalan ini, ada satu benang
yang menghubungkan setiap kelompok yang memiliki
gerakan, yaitu kesamaan nasib di bawah tekanan penguasa
Belanda. Fachri Ali melihat hal itu dalam konteks Indonesia
yang lebih luas. Beberapa konsep “Indonesia”, sebagai sebuah
alternatif “negara bangsa”, telah tertanam begitu kuat pada
awal tahun 1920-an di kalangan rakyat bawah yang mungkin
dianggap tidak penting dan tidak diperhitungkan.165

164
Abdul Muluk Nasution memperkirakan bahwa ada sekitar 4000 orang yang
diadili dari pemberontakan di Silungkang yang gagal itu. ibid., hlm. 118—137.
165
Fachri Ali, “Misteri Indonesia”, dalam Tempo, 21 Agustus 1993, hlm. 104.

246
Dari sana akan terlihat bahwa suatu persentuhan di
tingkat paling bawah telah berjalan, yaitu antara buruh
kontrak dan buruh paksa yang berasal dari luar Minangkabau
dengan buruh bebas yang berasal dari penduduk
Minangkabau. Persentuhan itu diperkuat oleh rasa senasib
sebagai orang upahan pada perusahaan tambang. Kehadiran
PKBT sebagai organisasi buruh menjadikan persentuhan itu
semakin kuat, sehingga secara serentak buruh tambang itu
melakukan pemberontakan terhadap dominasi kekuasaan
Belanda pada tambang batu bara Ombilin.

247
BAB VI

EPILOG
dan, SATU ABAD
KEMUDIAN
Walau tuan sudah silih berganti datang,
namun selamanya mereka tetap menjadi warga
kelas empat atau lima yang dipinggirkan,
ditindas dan tertindas
Hidup memang tidak pernah adil
dan Keadilan itu milik Tuhan,
tapi itu pun hanya ada di surga.
Di bumi yang ada hanya
pertempuran nan tak kunjung usai.

D
alam usianya mencapai 70 tahun, Safarudin, seorang
penduduk Sungai Durian Sawahlunto menyatakan
bahwa sejauh ingatannya, ia telah melihat dan
menginjak batu bara di jalanan di sekitar rumahnya..
Ungkapan popular di tengah masyarakat adalah sejak mereka
belajar berjalan di atas batu bara yang tersebar di sekitar
kediamannya, namun karena ia bukan bekerja di tambang
batu bara Ombilin, ia tidak pernah merasakan “manisnya
uang” yang berasal dari tanah leluhurnya itu. Uang legam yang
sangat banyak terkandung di sekitar tempat tinggalnya hanya
dapat ia lihat–lihat saja.
Besarnya jumlah kandungan batu bara di sekitar
Sawahlunto memang tak terkira. R.D.M. Verbeek, seorang
geolog Belanda, ia memperkirakan persediaan batu bara yang
terdapat di berbagai tempat di Sawahlunto lebih kurang 200
juta ton. 1 Walaupun batu bara melimpah ruah, namun
Sarifudin tidak merasakan “nikmatnya uang” dari batu bara
itu. Penguasa tunggal dari hasil alam itu adalah rezim yang
berkuasa. Sarifudin bukanlah satu–satunya orang yang tidak
merasakan batu bara di sana, hal yang sama juga dialami oleh
beribu–ribu penduduk Sawahlunto lainnya.
Hingga kemudian, ketika Republik ini digonjang–ganjing
oleh gerakan mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya
dengan koor Reformasi, keadaan pun berubah 180 derajat.
Batu bara selama satu abad delapan tahun itu hanya dinikmati
oleh sekelompok orang yang bernaung di lingkaran Tambang
Batu bara Ombilin (yang kemudian disebut PT TBO).
Namun kemudian terjadi perubahan besar. Siapa pun dan di
mana pun di Sawahlunto, orang dapat menggali batu bara di
tempat yang mereka sukai. Aturan baku yang berlaku
sebelumnya adalah adanya penguasaan tunggal dalam
eksploitasi batu bara dan itu hanya boleh ditambang oleh PT
TBO. Akan tetapi, aturan itu kemudian berubah secara
drastis. Aturan itu kemudian porak–poranda dengan
datangnya gelombang kebebasan yang disebut Reformasi.

1
R.D.M. Verbeek, “Over de Ouderdom der Steenkolen van het Ombilin-Kolenveld
in de Padansche Bovenlanden en van de Sedimentaire Vormingen van Sumatra in
het Elgemen”, dalam Jaarboek van het Mijwezen in Nederlandsc Oost Indie. Batavia:
Landsdrukkerji-Wetervreden, 1875, No. 4, Bg. I , hlm. 135-143.

249
Masyarakat yang selama ini hanya menonton penambangan
batu bara di kampung halaman sendiri ataupun di tanah
warisan nenek moyang mereka itu kemudian secara langsung
juga terlibat dalam bisnis tambang ini. Masyarakat setempat
menyebut bidang pekerjaan mereka sebagai tambang rakyat.2
Safarudin yang merupakan salah seorang pelaku usaha
tambang rakyat itu baru dapat merasakan manisnya uang batu
bara setelah ia berusia 70 tahun, sebab selama ini ia tidak dapat
terjun karena ketatnya dominasi pemerintah dalam menguasai
kekayaan alam tersebut.3
Perjalanan panjang selama lebih satu abad penguasaan batu
bara Ombilin (baik di bawah penguasaan pemerintah kolonial
Belanda maupun oleh pemerintah Indonesia) kemudian
menjadi sirna. Jika sejak zaman Belanda sampai Orde Baru

2
Penyebutan istilah ini juga beragam karena ada istilah lainnya, seperti “tambang
liar”, “penambang tanpa izin”, dan “tambang rakyat”. Hal itu sangat tergantung
pada sudut pandang yang digunakan, misalnya pihak TBO Bukit Asam (nama
TBO setelah digabungkan menjadi PT BO Bukit Asam Palembang)
menyebutkan bahwa mereka yang menambang di lahan konsesi mereka (PT
BO Bukit Asam) adalah sebagai “penambang liar”. Sementara itu rakyat menyebut
diri mereka sebagai tambang rakyat, sedangkan pemerintah menyebut mereka
sebagai “Penambang Tanpa Izin” (PETI). Salah satu bentuk kasus penambangan
liar adalah dari PT Minang Malindo yang merupakan contoh yang tepat. PT
Minang Malindo merupakan tambang ilegal yang dilegalkan oleh pemerintah
Provinsi Sumatra Barat, terutama melalui KP yang dibuat oleh Zainal Bakar
untuk anak dan koleganya, yaitu melalui Afrizal, seorang anggota DPRD Tk. I
Sumatra Barat. Hal itu menyangkut permainan dari elite Sumbar yang mencoba
bermain dengan batu bara. Zaiyardam Zubir, Tambang Rakyat atau Tambang
Liar: Studi tentang Tambang Batu Bara Rakyat di Sawahlunto. Padang, 2002.
3
Wawancara dengan Sarifudin. Kasus di tempat lain justru lebih gawat lagi. Di
Bangka misalnya, orang yang membawa timah dihukum sama beratanya dengan
hukuman orang yang membawa ganja. Namun sejak reformasi, tambang rakyat
yang lebih popular dengan sebutan tambang inkonvensional (TI) timah di Bangka
justru berkembang jauh lebih subur. Jumlah TI di Bangka mencapai 12 unit.
Wawancara dengan Sugono, pegawai Dinas Pertambangan dan Energi Sungai
Liat Bangka, 30 Juni 2004.

250
pengelolaan batu bara hanya berada dalam satu tangan, yaitu
perusahaan TBO, maka sekarang diambil oleh banyak pihak,
baik penduduk asli maupun pendatang.4 Setiap orang yang mau
terlibat dalam bisnis itu dapat saja menanamkan modalnya. Pada
gilirannya bermunculanlah ribuan tambang rakyat di berbagai
tempat di sekitar Kota Sawahlunto. Dominasi TBO pun
tumbang. Salah satu buktinya adalah jika pada masa sebelumnya
kereta api sebagai pengangkut batu bara TBO masih beroperasi,
maka penambang rakyat pun menggunakan truk untuk
mengangkutnya ke tempat pembeli pengumpul.
Puncaknya adalah ketika TBO harus mengalah dan
dikalahkan yang kemudian ditandai dengan berakhirnya
angkutan kereta api batu bara5 sebagai alat transportasi utama
batu bara ke Padang. Ungkapan “tak ada lagi kereta api ke
Padang” untuk membawa batu bara dari Sawahlunto ke kota
tersebut setidaknya adalah bukti nyata bangkrutnya
perusahaan tambang yang begitu megah dan jaya sejak zaman
kolonial Belanda itu.6 Sejak tahun 2002, simbol kejayaan batu

4
Sebenarnya, penduduk asli Sawahlunto sekitarnya juga kebanyakan hanya menjadi
pekerja saja, sedangkan pemilik modal tetap saja dari luar. Beberapa kasus seperti
PT Minang Malindo yang terlibat dalam bisnis batu bara memperlihatkan bukti
nyata dari persoalan itu.
5
Sejak berdirinya TBO, ada tiga komponen penting dan saling memiliki
ketergantungan, yaitu TBO, kereta api, dan pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur).
Bahkan, dalam Verslag, kereta api dan tambang batu bara sejalan ditulis seperti
Verslag van den Staatsspoorweg Sumatra‘s Westkust en van de Ombilin Mijnen
over 1917. Rusli Amran menamakannya Tiga Serangkai, yaitu tambang batu bara
Ombilin, kereta api, dan pelabuhan Emmahaven. Rusli Amran, Sumatra Barat
Plakat Panjang. Jakarta: PT Sinar Harapan, 1981, hlm. 303—315.
6
Sejak Juni 2002, kereta api yang membawa batu bara dari Sawahlunto ke Pelabuhan
Telukbayur Padang berhenti beroperasi secara total. Semua angkutan batubara
dialihkan dengan menggunakan truk. Surat kabar Mimbar Minang, Juni 2002.

251
bara dan sekaligus penjajahan Belanda di Sumatra Barat tersebut
kemudian berubah menjadi monumen sejarah belaka.7
Pada gilirannya, dalam satu abad lebih kehadiran TBO di
Sawahlunto, perbaikan ekonomi yang dapat diberikan oleh
TBO kepada buruh khususnya dan masyarakat Sawahlunto
umumnya tidaklah terlihat secara jelas. Realitas historis
memperlihatkan bahwa dari tiga periode rezim yang pernah
berkuasa, sejarah buruh tambang batu bara Ombilin adalah
sejarah kaum tertindas, sejarah tentang perjuangan rakyat kecil
untuk berusaha bertahan hidup. Siapa pun yang menjadi tuan
mereka, mereka tetap saja menderita, baik karena kecilnya gaji
ataupun menderita karena sistem kerja yang diciptakan.
Penderitaan itu berakhir ketika “gulung tikarnya” TBO
setelah reformasi 1998 digelar. Berbagai alasan dapat saja
dikemukakan, seperti lahan TBO yang diambil alih oleh
berbagai perusahaan swasta, baik legal maupun tidak dan
tambang rakyat yang menjamur di banyak tempat. Babak
baru pun muncul dari proses penambangan yang selama ini
dikuasai oleh sekelompok orang di bawah bendera TBO, yaitu
bahwa sekarang ini munculnya tambang–tambang rakyat
yang mencoba mencari peruntungan nasib pada batu bara.
Namun, sejarah pun terulang kembali. Jika dahulu buruh
TBO menderita karena ditekan oleh Belanda dan Jepang, kini
malah oleh bangsa sendiri terhadap tambang rakyat yang
muncul untuk sekadar bertahan hidup itu. Kini kelompok
yang mendapatkan keuntungan besar justru adalah para
pemilik modal yang kebanyakan datang dari luar Sawahlunto.
Entah hukuman, entah dosa, keterlibatan kelas bawah seperti

7
Studi yang mendalam tentang batu bara Ombilin ini telah dilakukan oleh Erwiza
Herman melalui disertasinya yang berjudul Miners, Managers, and the State: A
Socio-poitical History of the Ombilin Coalmines, West Sumatra. Ph.D.
dissertation. Amsterdam: University of Amsterdam, 1999.

252
tambang rakyat yang menggarap batu bara ternyata juga tidak
menyejahterakan mereka.8
Di zaman apa pun dan rezim mana pun juga, apakah
tambang itu telah mengalami nasionalisasi atau bukan, bagi
buruh tambang batubara Ombilin bedanya tipis– ipis saja.
Artinya, jika dahulu yang menjadi tuan mereka adalah orang
Belanda dan kemudian dilanjutkan oleh orang Jepang, namun
sejak masa kemerdekaan tuan mereka adalah orang sebangsa
sendiri. Nasib mereka tetap saja menderita. Meminjam
ungkapan dari Tawne, sebagai mana dikutip oleh Scott ia
menyatakan bahwa ada daerah di mana posisi penduduk
perdesaan adalah ibarat orang yang selamanya berdiri
terendam dalam air sampai ke leher sehingga ombak yang kecil
sekali pun sudah cukup menenggelamkannya.9 Baik di zaman
kolonial Belanda, Jepang, masa kemerdekaan maupun dalam
masa pertambangan rakyat sekarang ini, nasib buruh tambang
batu bara ombilin pun tidak lebih baik.
Bagi buruh tambang batu bara, perjuangan hidup ternyata
tidaklah berhenti. Ternyata, dalam kehidupan mereka,
persoalan–persoalan dasar memang tidak pernah selesai.
Untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar saja mereka harus
bekerja keras, membanting tulang dan selalu saja dalam
lobang–lobang penggalian mereka mempertaruhkan nyawa
dalam rawannya bahaya longsor ataupun gas, gas yang
membawa kematian. Memang hidup mereka adalah
Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai, pertempuran melawan
tiga musuh abadi kaum buruh, yaitu pengusaha yang buas,
penguasa yang zalim, dan kebodohan mereka sendiri.

8
Zaiyardam Zubir, Sekadar Bertahan Hidup: Studi tentang Tambang Batu Bara
Rakyat di Sawahlunto. Padang: PSH Unand, 2002.
9
James R. Scott, Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES, 1985.

253
DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber-sumber Resmi Dicetak


Algemen Verslag van het Onderwijs in Nederlansch Oost-
Indie over 1923 en 1924. Batavia: Landsdrukkerij
Weltervreden, 1926.
“Gouvernement’s Steenkolen ontginning Nabij Sawah
Lunto”, dalam Jaarboek van Mijnwezen in
Nederlandsch Oost-Indie, Sumatra Westkust. No.
42 th. 1913/1914.
“Gouvernement’s Steenkolen ontginning Nabij Sawah
Lunto”, dalam Jaarboek van Mijnwezen in
Nederlandsch Oost-Indie, Sumatra Westkust. No.
43 th. 1913/1914.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 1. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1875-1930.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 3. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1875.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 4. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1875.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 1. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1876.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 3. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1879.

254
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 2. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1886.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 6. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1891.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 4. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1892.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 1. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1893.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 3. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1896.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 2. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1897.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra’s-Westkust, Verlaq No. 1. Amsterdam :
C.F. Stemler, 1898.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra Westkust 1903. Batavia : Landsdrukerij-
Weltevreden, 1904.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra Westkust 1910. Batavia : Landsdrukerij-
Weltevreden, 1911.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra Westkust 1911. Batavia : Landsdrukerij-
Weltevreden, 1912.

255
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra Westkust 1914. Batavia : Landsdrukerij-
Weltevreden, 1915.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra Westkust 1916. Batavia : Landsdrukerij-
Weltevreden, 1917.
Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oosti-Indie,
Sumatra Westkust 1920. Batavia : Landsdrukerij-
Weltevreden, 1921.
“Jaarverslag van’s Land Steenkolenmijnen over het jaar 1926",
dalam Koloniale Studien II. Batavia : Kolff & Co.
Weltevreden, 1927.
Rapport eener Inspectiereis naar de Ombilin-Kolenmijnen
in 1904.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie. No.2. Batavia :
Landsdrukkerij, 1892.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie. No.214. Batavia :
Landsdrukkerij, 1899.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie. No. 61. Batavia :
Landsdrukkerij, 1901.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie. No. 348. Batavia :
Landsdrukkerij, 1892.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter
Sumatra’s Westkust en van de Ombilin-kolenvelden
over 1893. Batavia : Landsdrukkerij, 1894.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter
Sumatra’s Westkust en van de Ombilin-kolenvelden
over 1894. Batavia : Landsdrukkerij, 1895
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter
Sumatra’s Westkust en van de Ombilin-kolenvelden
over 1895. Batavia : Landsdrukkerij, 1896.

256
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter
Sumatra’s Westkust en van de Ombilin-kolenvelden
over 1896. Batavia : Landsdrukkerij, 1897.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter
Sumatra’s Westkust en van de Ombilin-kolenvelden
over 1897. Batavia : Landsdrukkerij, 1898.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter
Sumatra’s Westkust en van de Ombilin-kolenvelden
over 1898. Batavia : Landsdrukkerij, 1899.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq ter
Sumatra’s Westkust en van de Ombilin-kolenvelden
over 1899. Batavia : Landsdrukkerij, 1900.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1902. Batavia :
Landsdrukkerij, 1903.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1903. Batavia :
Landsdrukkerij, 1904.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1905. Batavia :
Landsdrukkerij, 1906.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1906. Batavia :
Landsdrukkerij, 1907.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1909. Batavia :
Landsdrukkerij, 1910.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1912. Batavia :
Landsdrukkerij, 1913.

257
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1912. Batavia :
Landsdrukkerij, 1913.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1914. Batavia :
Landsdrukkerij, 1915.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1915. Batavia :
Landsdrukkerij, 1916.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1916. Batavia :
Landsdrukkerij, 1917.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1918. Batavia :
Landsdrukkerij, 1919.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1919. Batavia :
Landsdrukkerij, 1920.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1920. Batavia :
Landsdrukkerij, 1921.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1921. Batavia :
Landsdrukkerij, 1922.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1922. Batavia :
Landsdrukkerij, 1923.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1923. Batavia :
Landsdrukkerij, 1924.

258
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1924. tavia :
Landsdrukkerij, 1925.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1925. Batavia :
Landsdrukkerij, 1926.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1926. Batavia :
Landsdrukkerij, 1927.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1927. Batavia :
Landsdrukkerij, 1928.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1928. Batavia :
Landsdrukkerij, 1929.
Verslag der Exploitatie van den Staatsspoorweq van van
de Ombilin-mijnen over 1929. Batavia :
Landsdrukkerij, 1930.
Verslag van Gasontploffing in de mijn Loento I ( Ombilin-
kolenveld ter Sumatra’s Westkust ). Batavia :
Landsdrukkerij, 1897.

B. Majalah dan Surat Kabar


Majalah De Ingenieur
Surat Kabar Panas
Surat Kabar Pertimbangan
Majalah Prisma
Surat Kabar Soeara Tambang
Majalah Tempo

259
C. Artikel-artikel
A.A Navis, “Tingkah Laku Gerakan Politik di Sumatera
Barat”, makalah Seminar. Bukit Tinggi : Tanpa
Penerbit, 1980.
Bemmelen, R.W. van, “DE Betekenis van den
Nederlandscindischen Mijnbouw”, dalam Koloniale
Studien, 25, 1941.
Benda, Harry, J., “The Structure of South-East Asian His-
tory”, dalam jurnal South East Asian History. Vol.
II No. 1 March, 1962.
Bree, L. De, “steenkolen”, dalam Nederlandsch-Indie in de
Twintigste eeuw., 1916.
Burger, D.H., “Over Economic Structuure van Indonesia”,
dalam Indonesie. N.V. Uitgeverij W. van Hoeve -S-
gravenhage, 1954.
Damste, “Als Jong Controleur in Sijunjung”, dalam , Haagsc
Maandblad, Maret 1928
De Eerste Oktober 1892 in Emmahaven en te Padang, dalam,
Tijdschrift Binnenlandsch Bestuur. Batavia : S-
Gravevhage G. Kolff & Co., 1893
De Exploitatie van de Ombilien-steenkolenvelden, dalam, De
Indische Gids I. Amsterdam : J.H. de Bussy, 1884.
De Exploitatie der Ombilinkolen, dalam, De Indische Gids-
29, II. Amsterdam : J.H. de Bussy, 1907.
“De Handel in Ombilin kolen”, dalam De Indische Gids-29,
II. Amsterdam : J.H. de Bussy, 1907.
“De Ombilin-Mijnen in 1909”, dalam De Indische Gids II.
Amsterdam : J.H. de Bussy, 1910.
“De Ombilien-steenkolen”, De Indische Gids-28, II.
Amsterdam : J.H. de Bussy, 1906.
“De Regeringover de Rottanstraf”, dalam De Indische Gids
I. Amsterdam : J.H. de Bussy, 1926.
260
“De Spoorwegplanen dawns door Sumatra”, dalam De
Indische Gids . Amsterdam : J.H. de Bussy, 1922.
“De Sumatra-staatspoorweg en de ombilinmijnen in 1908”,
dalam De Indische Gids I. Amsterdam : J.H. de
Bussy, 1910.
“De Sumatra-staatspoorweg en de ombilinmijnen in 1910”,
dalam De Indische Gids II. Amsterdam : J.H. de
Bussy, 1911.
“De Sumatra-staatspoorweg en de ombilinmijnen in 1911”,
dalam De Indische Gids II. Amsterdam : J.H. de
Bussy, 1913.
Duvyendak, J. Ph., “Vierdeling in Minangkabau”, dalam
Inleiding Ethnologie van de Indische Archipel. Batavia
: Bij. Jb. Wolters Uitgevers-Matschappij N.V., 1940.
Easton, N.W. Mijnbrand in de Ombilimijnen, dalam, De
Mijneingenieur, Bandung, No. 1, Januari 1929
Erwiza Erman, “Produksi Beras dan Kontrol Pemerintah
Kolonial Belanda di Sumatera Barat”, dalam Jambatan
Tijdschrift voor de geshidenis van Indonesia. No. 7.
1989.
Exploitatie der Ombilien-steenkolen, dalam, De Indische
Gids, II, 25. Amsterdam : J.H. de Bussy, 1903.
Exploitatie en Afvoer ven Ombilinkolen, dalam, De Indische
Gilds I. Amsterdam : J. H. de Bussy, 1906.
Frijling, W., “Bestuurs-Controle op de Inlandsche Rijstcultuur
ter Sumatra’s Weskust”, dalam TBB, 1912.
Greve, van W.H. Het Ombilin Kolenveld in Padangsche
Bovenlanden en het Transport systeem ter Sumatra
Westkust. Leiden : Martinus Nijhoff, 1871.
Ham, A. van der, “Cokesoven – installatie voor de
Ombilinmijnen te Sawah – Lunto”, dalam Ingeniur.
No. 8, 24 Februari 1920.

261
Harjono Djojodiharjo, “Pengembangan Teknologi
Pemanfaatan Batu Bara di Indonesia : Status, Peluang
dan Tantangan”, Makalah Seminar, Yogyakarta :
Tanpa Penerbit, 1993.
Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden
en het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust.
Batavia Landsdrukkerij, 1907.
Holle, K.F. Bahwa itu Soeatoe Menjatakan Hak Bertanam
Padi. Batavia : 1910.
Hovig, P. ,De “ Rentabiliteit van Ombilin-mijnen”, dalam,
De Ingeniur, 12 Maret ,1928
Hollemen, W., “Beschrijving van de Afbouwmethode voor
Ontginning der 8 Meter Dikke C-Laag der Ombilin
steenkolenmijen”, dalam De Mijningenier, Bandung,
1931.
Ijzerman, “Verslag Betrefende Midden Sumatra”, dalam
Tijdschirft Aardrijskunding Genootschap. Leiden :
E.J. Brill, 1892.
Kelling, M. A. J., “ Het Stenkolenvragstuk voor Nederlansch
–Indie” , dalam, Koloniale Studien, III, 1918.
Kesteren, C.E. van, “ Emigratie van Koeli’s te Penang en
Emigratie van daar naar Sumatra Enz “, dalam, De
Indische Gids, 1889.
Kielstra, E.B., “De Toekomst Sumatra’s Weskust”, dalam De
Indische Gids I. Amsterdam : J.H. de Bussy, 1884.
Kinandam-Sumatra Mijnbouw Maatschapijj, dalam Verslag
der Directie en van den Raad van Commissaries over
het Veetiende Boekjaar 1924. Amsterdam : J.H. de
Bussy, 1925.
Kloes, J. van der, “De Productie en de Afvoer der Ombilin-
Mijnen”, dalam De Mijningenieur, No. 4, Bandung,
1928.

262
Lever, H., “ De Houtvoorziening der Ombilinmijnen te
Sawah Lunto”, dalam, Tectona, 14, 1921.
Lier, R.J. van, De Ombilin-mijnen, dalam, De Ingenierur,
No. 51, 1927.
Mayier, de Je, “De Goud en Zilvermijn in Salida teer Sumatra’s
Westkust”, dalam De Ingeniur in Nederlandsch
Indie, 1911.
Nypels, G.H., “Dwangerbeiders of Contractkoelies als
Wekvolk in de Ombilinmijnen”, dalam De Indische
Gids . Amsterdam : J.H. de Bussy, 1925.
Pakvis, A., “Senierung bij de Gouvernements Kolenmijen”,
dalam Koloniale Studien, 13, I, 1929.
Rinaldy D., “Kesiapan Batu Bara Sebagai Sumber Energi
Alternatif”, Makalah Seminar Yogyakarta : Tanpa
Penerbit, 1993.
Sandick, R.A., van, “Het Leatste Hoodstuk van de Ombilien-
questie”, dalam, De Indische Gids. Amsterdam : J.H.
Bussy, 1892.
Schnepper, W., “Betekenis van het Bosch in de
Menangkabausche Samenleving”, dalam Tectona.
Buitenzorg, dell XV, 1922.
Schrieke, B., “Het Problem der Bestuurorganitatie ter
Sumatra’s Westkust”, dalam Koloniale Studien,
G. Kolff & Co. Weltevreden, 1927.
Snoek, J.A., “De Ombilien stenkolen voor de Oorlogmarine
in Indie”, dalam Indische Gids, I, 1894.
Sprenger, E.Y.K., “De Eerste Spoorweg op Sumatra
Westkust”, dalam TNI. Batavia : Groningen, 1887.
“Steenkolen Handel te Singapura”, dalam De Indische Gids
II. Leiden : E.J. Brill, 1892.

263
Stibbe, D.G., “Het Soekoe-bestuur in de Padangsche
Bovenladen”, dalam Tijdschrift Nederlandsch
Indie. Zalt Bommel bij Jon Noman en Zoon, 1869.
__________, “De Strafplaatsaanwijzing van Veroodeelden tot
Dwanger-arbeid, Afkomsting uit Sumatra’s
Westkust”, dalam Koloniaal Tijdschrift, 1914.
Toorn, J.L. van der, “Proeve van Studie over het
Menangkabausch”, dalam De Indische Gids II.
Amsterdam : J.H. de Bussy, 1882.
Tromp, H. van Hettinga, “Bezitten de Ombilinmijnen een
Ourdere Koollag daan de C-laag?” dalam De
Mijningenieur, Bandung No. 1 Januari 1931.
Verbeek R.D.M., “Over de beste Ontginningswijze van een
Gedeelte van het Ombilien-kolenveld”, dalam
Jaarboek van Mijwezen Nederland oost Indie.
Batavia : Landsdrukerij-Weltervreden, II, 1875.
Veth, D.D., “De Zwevende Kabelspoorweg en zijn toepassing
de Ontgining der Ombilinkolen”, dalam Tijdschrift
voor Nederlandsch Indie. Batavia : Groningen, No.
3 bg. I th. 1881.
Veth, P.J., “Aanmerkingen ope het Werk : Het Nederlandsch
Oost_Indie leger ter Westkust van Sumatra (1819-
1845)”, dalam Nederlandsch Indie, 1853.
Wally, G.J., De Oembilin Steenkolenmijnen, dalam De
Ingenieur in Nederlandsch-Indie. Nomor 10,
Oktober, 1939.
Westenenk, L.C., “Opstellen over Minangkabau”, dalam
Tijdschrift voor Indische Taal, Land-en
Volkenkunde. Batavia : Martinus Nijhoff, 1913.
____________, “De Inlandsche Bestuur hoofden ter Sumatra’s
Westkust”, dalam Koloniaal Tijdschrift, 1913.

264
D. Buku-buku
Abdul Muluk Nasition, Pemberontakan Rakyat Silungkang
Sumatera Barat 1926-1927. Jakarta : Mutiara, 1981.
A.A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta : PT
Grafiti press,1986
______________, Dialektika Minangkabau. Padang : PT
Genta Singgalang Press, 1984.
Abdul Aziz Saleh (ed.), Menelusuri Perjanjian Bukit
Marapalam dan Adat Basandi Syarat, Syarat
Basandi Kitabullah. Padang : Pusat Penelitian
Unand, 1990.
Adeng Sunardi, 100 tahun Tambang Baru Bara Ombilin.
Sawah Lunto : Tanpa Penerbit, 1991.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta :
Gunung Agung, 1984.
Amura, Bahder Djohan : Pengabdi Kemanusiaan. Jakarta
: Gunung Agung, 1980.
Ankersmit, F.R., Refleksi tentang Sejarah : Pendapat-
pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta
“ Gramedia, 1987.
Bahar Datuak Nagari Basa, Tambo dan Silsilah Adat Alam
Minangkabau. Pajakumbuh : Eleonora, 1966.
Beckhoven, J. van, Een Reisje van Padang Naar de Ombilien-
Kolenvelden. Den Haag : Martinus Nijhoff, 1906.
Bell, David V.J., Resistence and Revolution. Boston :
Hounghton Mifflin Company, 1973.
Berkhofer, Jr., Robert F., A behavioral Approach to His-
torical Analysis. New York : The Free Press, 1971.
Blink, H., Opkomst en Ontwikkeling van Sumatra als
Economisch Geografisch Gebied. Leiden : S-
Gravenhage_Mouton & Co., 1926.
265
Boeke, J.H., Pra Kapitalisme di Asia. Jakarta : PT Sinar
Harapan, 1983.
Booth, Anne (eds), Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta :
LP3ES, 1988
Burke, Peter, History and social Theory. Cambridge, Polity
Press, 1992.
Chambers, Robert, Pembangunan Desa : Mulai dari
Belakang. Jakarta : LP3ES, 1987.
Cluysenaar, J.L., Rapport Over de aanleg van een
Spoorweqen Verbinding van den Ombiin
Kolenvelden op Sumatra met de Ind. Zee. Batavia
: S-Gravehage G. Kolff & C0., 1876.
______________, Ontginning de Ombilien-Kolenvelden en
Spoorweqen Sumatra Westkust. Verslag Indische
Genooschap. Batavia : S-Gravehage G. Kolff & C0.,
1884.
Cribb, Robert, The Late Colonial State in Indonesia : Po-
litical and Economic Foundations of the Nether-
lands Indies 1880-1942. Leiden : KITLV Press, 1994.
Damste, Henry T., De Kolenrijkdom der Padangsche
Bovenlanden en de Mogelijkheid van Voordelige
Ontginning. Amsterdam : C.F. Stemler, 1871.
Datuak Batuah Sango, Tambo Adat dan Alam Minangkabau.
Pajakumbuh : Pertcetakan Limbago, 1954.
Datuak Toeah, Tambo Alam Minangkabau. Bukit Tinggi :
CV Pustaka Indonesia, 1976.
Datuak Sanggono Diradjo, Mustaka Adat Alam
Minangkabau. Djakarta : Balai Pustaka, 1955.
Debray, Regis, Strategy for Revolution. New York and
London : Monthly Review Press, 1969.
Deliar Noer, Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta :
LP3ES, 1990.

266
Delpart, Gouvernment’s Ombilin Steenkool-Ontginning
of Sumatra. Amsterdam : J.H. de Bussy, 1894.
Diest, P.H., Nota Over den Stand der Concessieaanvrege
tot Ontginning van Kolen uit het Ombilinveld
en Aanleg van een Spoorweg van daar naar Padang.
Den Haag, September 1872.
______________, De Kolenrijkdom der Padangsche
Bovenlanden en de Mogelijkheid van Voordeelige
Ontginning. Amsterdam : C.F. Stemler, 1871.
Dobbin, Christine, Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi
Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah
1784-1847. Jakarta : INIS, 1992.
Firman Hasan, (ed.), Dinamika Masyarakat dan Adat
Minangkabau. Padang : Pusat Penelitian Unand,
1988.
Garraghan, S.J. and Gilbert J., A Guide to Historical
Method. New York : Fordham University Press,
1957.
Gidden, Anthony, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern :
Suatu Analisis Karya-karya Marx, Durkheim dan
Max Weber. Jakarta : UIP, 1986.
Gilbert, Felix (eds), Historical Studies Today. New York
W.W. Norton, 1972.
Goobe E. dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck
Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada
Pemerintahan Hindia Belanda 1889-1936. Jakarta :
INIS, 1991.
Graff S. de en Stibe D.G., Encyclopedia van Nederlandsch-
Indie. Leiden : S-Gravehage Martius Nijhoff, 1918.
Graves, Elizabeth, The Minangkabau Response to Dutch
Colonial Rule ini Nineteeth Century. New York :
Cornell University Press, 1980.

267
______________, The Ever Victorius Bufaallo : How the
Minangkabau of Indonesia solve their Colonial
Question. Wisconsin : Disertasi PHD pada Wiscon-
sin University, 1971.
Greve, W.H. van Het Ombilin Kolenveld in Padangsche
Bovenlanden en het Transport Systeem ter
Sumatra Westkust. Leiden : Martinus Nijhoff, 1871.
Gurr, Robert, Why Men Rebel. Princeton : Princeton Uni-
versity Press, 1971.
Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi.
Djakarta : Firma Tekad, 1963.
______________, Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta :
Pustaka Panjimas, 1985.
______________, Ayahku. Jakarta : Widjaja, 1958.
Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en
het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust.
Batavia : Landsdrukerij, 1907.
Heuven B.H.F. van, Memorie van Overgave
Onderafdeeling Sawah Lunto. Batavia :
Landsdrukkrin, 1931.
Holt, Claire, Culture and Politics in Indonesia. New York:
Cornell University Press, 1981.
Ibrahim, Zahrah, Tradisi Johor-Riau. Kuala Lumpur :
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran
Malaisya, 1987.
Jong, E. de Josellin, Minangkabau and Negeri Sembilan :
Social-political Structure in Indonesia. Den Haag:
Martinus Nijhoff, 1952.
Kahn, Joel S., Constituting the Minangkabua, Peasant,
Culture and Modernity in Coloniaal Indonesia.
London : University College London, 1988.

268
Katheleen New Land dan Kemala Candrakirana Soedjatmoko,
Menjelajah Cakrawala : Kumpulan Karya Visioner
Soedjatmoko. Jakarta : Gramedia, 1994.
Kato, Tsuyoshi, Social Change in A Centrafugal Society :
The Minangkabau of West Sumatra. New York :
Cornell University, 1977.
______________, Matriliny and Migration : Evolving
Minangkabau Traditions in Indonesia. New York
: Cornell University Press, 1982.
Keller, Suzanne, Penguasa dan Kelompok Elite : Peranan
Elite dalam Masyarakat Modern. Jakarta : PT
Rajawali, 1984.
Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani. Yogyakarta : Bentang
Intervisi Utama, 1994.
Legge, J. De, kaum Intelektual dan Perjuangan
Kemerdekaan : Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta
: Grafiti Press, 1993.
Mahmud Yunus, Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta : Al-
Hidayah, 1974.
Marsden W., The History of Sumatera. Kuala Lumpir :
Oxford University Press, 1966.
M.D. Mansur, Sejarah Minangkabau. Djakarta : Bharata, 1970.
Mestika Zed, “Melayu Kopi Daun : Eksploitatie Kolonial
dalam Sistem Tanam Paksa di Minangkabau
Sumatera Barat 1847-1908”. Tesis pada Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta, 1983.
Mochtar Naim, Merantau : Pola Migrasi Suku
Minangkabau. Yogyakarta : Gadjah Mada
UniversityPress, 1984.
______________, (ed.), Menggali Hukum Tanah dan Hukum
Waris Minangkabau. Padang Center of
Minangkabau Study, 1968.

269
Mollema, J.C., De Ontwikkeling van het Eiland Billiton
en van de Billiton Matschappij. Amsterdam : S-
Gravehage Martius Nijhoff, 1922.
Mrazek, Rudolf, Semesta Tan Malaka. Yogyakarta : Biograph
Publishing, 1994.
Muhammad Radjab, Sistem Kekerabatan Minangkabau.
Padang : Center Minangkabau Study Press, 1969.
______________, Perang Paderi di Sumatera Barat 1803-
1838. Djakarta : Balai Pustaka, 1954.
Muhammad Said, Koeli Kontrak Tempoe Doeloe : Dengan
Derita dan Kemarahannya. Medan : Waspada, 1977.
Nazagumi, Akira, (ed.), Indonesia dalam Kajian Sarjana
Jepang. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1986.
Oki, Akira, Social Change in West Sumatra Village 1900-1945.
Canberra : Australian National University, 1977.
Olsen, Marvin, E., The Proces of Social Organitation. New
Delhi : Oxford & IBH Publishing Co., 1986.
Pelzer, Karl, J., Toean Keboen dan Petani : Plitik Kolonial
dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur1863-
1947. Jakarta : Sinar Harapan, 1985.
Penders, Chr. L.M., (ed.), Indonesia Selected Document on
Colonialism and Nationalism 1830-1942. Brisbane
: Universityof Queensland Press, 1977.
Rapport Eener Inspeectieries naar de Ombilin-Koplenmijnen
in 1934. Batavia : Landsdrukkrij, 1935.
Redclife, A.R. Brown, Structure and Function in Primitive
Society. New York : The Free Press, 1952.
Reid Anthony, Dari Raja Ali Haji hingga Hamka. Jakarta :
Grafiti Press, 1983.
Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta
: PT Sinar Harapan, 1981.

270
______________, Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta :
PT Sinar Harapan, 1985.
Sjahrir, Sosialisme dan Komunisme. Djakarta : Djambatan,
1967.
Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1988.
Jakarta : Pustaka Jaya, 1984.
______________, Pemikiran dan Perkembangan
Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta
: PT Gramedia, 1992.
______________, Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia, 1992.
______________, Ratu Adil. Jakarta : PT Sinar Harapan, 1987.
______________, Elite dalam Perspektif Sejarah. Jakarta :
LP3ES, 1984.
______________ dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di
Indonesia. Yogyakarta : Aditya Media, 1991.
Schrieke, B., Indonesian Sociological Studies : Selected
Writing of B. Schrieke Part I. Bandung : The
Hague, 1957.
Schrieke, B.J.O., Pergolakan Agama di Sumatera Barat.
Jakarta : Bharata, 1973.
Scott, James, Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan
Subsistensinya di Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES,
1983.
Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria Indo-
nesia. Yogyakarta : Liberty, 1987.

Sumatera Barat dalam Angka 1973.


Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat. Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1987.

271
_____________, (ed.), Sejarah dan Masyarakat : Lintasan
Historis Islam di Indonesoa. Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1987.
, (ed.) Manusia dalam Kemelut Sejarah.
Jakarta : LP3ES, 1983.
, Minangkabau 1900-1927 : Preliminary
Studies Social Development. New York : Cornell
University Press, 1967.
, (ed.) Agama, Ethos Kerja dan
Pengembangan Ekonomi. Jakarta : LP3ES, 1982.
, (ed.) Sejarah dan Masyarakat. Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1987.
, (ed.) Sejarah Lokal di Indonesia.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1985.
, Islam dan Masyarakat : Pantulan Sejarah
Islam Indonesia. Jakarta : LP3ES, 1987.
, Schools and Politics : The Kaum Muda
Movement in Minangkabau 1927-1933. new York
: Cornell Modern Indonesia Project, 1971.
, “Ke arah Perencanaan Penelitian Kelompok
Sejarah Lisan “, dalam Lembaran Berita. Jakarta :
Proyek Sejarah Lisan Arsip Nasional RI. No. 6 1977.
Wafi, Ali Abdul Wahab, Ibnu Khaldun : Riwayat dan
Karyanya. Jakarta : PT Grafiti Pers, 1985.
Weber, Max, The Ptotestant Ethnic and Spirit of Capital-
ism. New York : Charles Schbner’s son, 1958.
Westenenk, L.C., Het Soekoe-wezen. Leiden : S-Gravehage
Martius Nijhoff, 1918.
Wiltens, H.W.A., aanleg van Spoorwegen en Kolenmijn
Ontginning ter Sumatra’s Westkust. Batavia : G.
Kolff & C0., 1884.

272
Widjojo Nitisastro, Population Trends in Indonesia. New
York : Ithaca Cornell University Press, 1970.
Wolf, Eric, R., Petani, Suatu Tinjauan Antropologis.
Jakarta : PT Rajawali Press, 1983.

273
GLOSARIUM

Alam Minangkabau : Dunia orang Minangkabau, yang secara


geografis terdiri dari Luhak nan Tigo, pesisir dan rantau.
Balahan : Hubungan kekeluargaan antar satu suku pada dua
negeri yang berbeda
Batang : Istilah untuk sungai seperti Batang Kuantan, Batang
Sinamar, Batang Ombilin dan Batang Antokan
Bodi – Caniago : Salah satu sistem politik yang terdapat dalam
masyarakat Minangkabau. Sistem politik ini bercorak
demokrasi.
Buruh bebas : Buruh tambang batu bara yang berasal dari
penduduk sekitar areal pertambangan seperti
penduduk Talawi, Padang Sibusuk, Muaro Kalaban
dan Padang Ganting. Sistem kontrak buruh bebas
ini berdasarkan mingguan atau bulanan
Buruh kontrak : Buruh yang dikontrak selama dua atau tiga
tahun. dalam realitasnya, kontrak ini berjalan lebih
lm lagi. Pada awal pembukaan tambang, buruh
tambang adalah orang Cina.
Buruh paksa :Buruh yang berasal dari orang hukuman dan dalam
bekerja kakinya dirantai. Buruh yang diambil dari
penjara – penjara di Padang, Jawa, Madura dan Makasar.
Cadiak Pandai: Elite yang terdapat dalam masyarakat
Minangkabau. Elite ini lahir berdasarkan
kemampuan intelektual di setiap nagari. Elite ini juga
terbentuk berdasarkan pengalaman merantau,
semakin lama dan semakin jauh rantaunya, maka
semakin diakui keintelektualannya.

274
Darek : Wilayah pedalaman Minangkabau, yang juga
merupakan Luhak nan Tigo.
Harato Pusako : Harta yang didapatkan secara warisan yang
diterima secara turun temurun dalam suatu kaum.
Harta warisan ini biasanya diperjual – belikan. Secara
hukum adat Minangkabau, harta warisan ini hanya
boleh digadaikan.
Hari Kuning : Upacara kebesaran kerajaan Belanda. Pada hari
itu buruh diwajibkan untuk memakai pakaian kuning.
Indo : Seseorang yang berasal dari hasil dari perkawinan
campuran antar dua suku bangsa. Turunan ini mendapat
kedudukan yang lebih baik dari buruh pribumi.
Kaba : Cerita rakyat Minangkabau seperti kaba Sabai Nan
Aluih, kaba Cinduo Mato dan kaba Magek Madandin.
Kitabullah : Istilah lain untuk menyebut Al Qur’an, dan dijadikan
sebagai sandi atau dasar dari adat Minangkabau.
Konflik : Perbedaan – perbedaan pendapat yang berkembang
dalam masyarakat dan perbedaan itu diakui sebagai
sistem nilai yang harus dikembangkan
Koto : Pemukiman yang terletak di pinggiran nagari.
Koto – Piliang : Salah satu sistem politik yang terdapat dalam
masyarakat Minangkabau. Sistem ini bercorak
feodalisme.
Lang : Lapisan – lapisan yang terdapat pada batu bara seperti
lapisan A, B dan C.
Luhak : Bagian dari geografis tradisional Minangkabau, yang
terdapat dalam wilayah darek.
Luhak nan Tigo : Daerah inti Minangkabau yaitu Luhak Tanah
Datar, Luhak Agam, Luhak Loma Puluh Koto.
Mamak : Kepala rumah tangga yang berasal dari saudara laki-
laki dari ibu.
Mandor : Pengawas buruh dalam bekerja.

275
Matrilineal : Sistem kekeluargaan yang mengikuti garis keibuan.
Dari garis ini terbentuk pola mamak-ibu-anak.
Merantau : Tradisi untuk meninggalkan kampung halaman
pergi ke tempat lain mencari nafkah dan pendidikan.
Nagari : Unit kesatuan suatu wilayah, sosial dan politik dalam
masyarakat pedesaan Minangkabau.
Patrilineal : Sistem kekeluargaan yang berasal dari garis
kebapakan. Dari garis ini terbentuk pola ayah-ibu-anak.
Patron – Client : Pola hubungan antara atasan dengan bawahan.
Pola ini bersifat atasan melindungi bawahan.
Penghulu : Elite tradisional yang berdasarkan keturunan.
Penghulu merupakan seorang kepala adat dalam
sukunya.
Penghulu Pucuak : Penghulu yang tertinggi dalam suatu
nagari. Penghulu pucuak diambil dari suku Piliang
Pesisir : Wilayah pantai Minangkabau yang meliputi pantai
barat Sumatera bagian tengah.
Pusako Randah : Harta dari hasil pencarian yang diperoleh
seseorang berdasarkan usahanya sendiri.
Rumah Gadang : Rumah yang didiami oleh satu keluarga besar
dalam suatu kaum. Bentuk rumah ini ditandai dengan
atap bergonjong.
Syarak : Hukum yang mengacu pada ajaran agama Islam.
Sumando : Sebutan untuk seorang suami oleh orang dalam kaum
istrinya.
Tanah Ulayat : Tanah suatu kaum yang terdapat di setiap nagari.
Tambang Dalam : Pertambangan batu bara yang terdapat di
bawah permukaan tanah.
Tambo : Kisah yang menceritakan proses terbentuknya adat
dan Alam Minangkabau.
Ulama : Elite dalam masyarakat yang berdasarkan kemampuan
dan penguasaan dalam bidang agama Islam.

276
Urang Bawaan : Buruh yang dibawa sebagai pekerja pada
tambang batu bara Ombilin. Urang bawaan ini
mengacu pada orang yang dibawa oleh Belanda dan
Jepang. Mereka umumnya adalah buruh kontrak.
Urang Lubang : Buruh kasar yang bekerja dalam lubang
penggalian batu bara.
Urang Rantai : Buruh paksa yang berasal dari tawanan. Dalam
bekerja, buruh ini kakinya dirantai.

277
BIODATA SINGKAT PENULIS

Zaiyardam Zubir dilahirkan di Sumanik, Tanah Datar, 10


Juni 1962. Menamatkan S1 di Fakultas Sastra jurusan Sejarah
UGM Yogyakarta, 1988 dan S 2 di Fakultas Pascasarjana
UGM Yogyakarta, 1995 dengan fokus studi Gerakan Sosial.
Sejak tahun 1988 mengajar di Fakultas Sastra Jurusan Sejarah
Universitas Andalas Padang. Pernah menjadi wartawan di
beberapa tabloid, seperti Limbago (1992-1997), Lentera Indo-
nesia (1997 – 2001), dan Gelora Reformasi (2001- 2003).
Bersama beberapa teman ia mendirikan Pusat Studi
Humaniora (PSH) Unand Padang tahun 2003. Selain aktif di
kampus, juga bekerja sebagai peneliti dan valontir pada
beberapa LSM di Padang seperti Totalitas, LP2M, MMI,
KPMM, The Green Foundation, dan PUSAKA. Publikasi
ilmiah dalam 5 tahun terakhir antara lain :
1. “Orang Rantai, Orang Tambang, dan Orang Lobang:
Studi Tentang Eksploitasi Buruh Tambang Batu Bara
Ombilin, dalam Edy S. Ekawati dan Susanto Zuchri
(Eds), Arung Samudra: Persembahan Memperingati
Sembilan Windu A.B. Lapian. Jakarta : Pusat Penelitian
dan Pengembangan Budaya UI Jakarta, 2001.
2. Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Pinggiran:
Studi Tentang Issue, Strategi, & Dampak Gerakan.
Yogyakarta: Insist Press, Desember 2002.

278
3. Lani Fitrianti, Lusi Herlina, dan Dwi Bertha, Zaiyardam
Zubir, Partisipasi Politik Perempuan di
Minangkabau. Padang: LP2M dan Kerjasama dengan
The Asian Foundation, 2003.
4. Eka F. Putra, dan Harry Effendi, dan Zaiyardam Zubir
Gerakan Mahasiswa dan Otoriterisme Negara: Sketsa
Gerakan Mahasiswa Sumatra Barat 1958-1999.
Jakarta: CPI, 2003.
5. Zaiyardam Zubir dan Lindayanti, Dari Ahong Sampai
Ahmad, Studi tentang Politik Kekerasan dan Jebakan
Kemiskinan pada Level Akar Rumput. Yogyakarta:
Insist Press, 2004.
6. Herwandi, Zaiyardam Zubir, Liza Mutia & Restu
Pramona, Rakena : Mande Rubiah: Penerus Kebesaran
Bundo Kanduang dan dalam Penggerogotan Tradisi.
Padang : PSH Unand, 2004.
7. Andi Asoka, Wanofri Samri, Zaiyardam Zubir, dan
Zulqayyim, Sawahlunto, Kemaren, Kini, dan Esok:
Menyongsong Kota Wisata Tambang Berbudaya.
Padang: PSH Unand, 2005.
8. Zaiyardam Zubir dan Herwandi (Eds.), Menggugat
Minangkabau. Padang : Andalas University Peress,
2006.
9. Zaiyardam Zubir, Kecelakaan Intelektual di Sumatera
Barat. Padang : Diagonal Institute, 2006.
10. Zaiyardam Zubir (ed) 7 Abad Penindasan Perempuan
Minangkabau. (Dalam Proses Percetakan)
11. Zaiyardam Zubir (dkk), Belajar Berdemokrasi Dari
Pariaman. (Dalam Proses Percetakan)

279

Anda mungkin juga menyukai