Anda di halaman 1dari 21

Judul Buku 

    : Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

Penulis         : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit         : Lentera, 1995

Penulis sinopsis: Sabhan Abdillah Rasyid (F 1012181018)

Bagian I

Permenungan Dan Pengapungan

 Didalam buku ini kita kenal Pramoedya Ananta toer adalah seorang penulis
sastrawan berkat tulisannya kita mengenal beliau sampai saat ini, nyanyi sunyi
seorang bisu menceritakan tentang kisah perjalanan Pramoedya Ananta Toer yang
hidupnya di penjarakan oleh rezim kekuasaan selama 14 tahun lamanya. Dari RTC
( Rumah Tahanan Chusus ) Salemba, ke Pulau Nusa Kambangan, Tapol Pulau Buruh,
Magelang/Banyumanik. Dan dari Nusakambangan meninggalkan Sodong dan
Wijayapura menuju ke Pulau Buruh di Maluku sebuah pulau besar dengan perjalanan
10 hari berlayar beliau banyak sekali mendapatkan tekanan-tekanan keras oleh
penguasa pada masanya. Semasa itu Pramoedya Ananta Toer hidup dalam
permenungan dan pengapungan nyaris 4 tahun lama di tahan memasuki tahun kelima
justru berangkat ke pembuangan tanpa tahu duduk perkara langsung masuk penjara,
perjalanan yang penuh haru telah di lalui oleh Pramoedya Ananta Toer, banyak
diantara mereka berasal dari penjara selama bertahun hanya memberi jatah makan 3
kali sekaleng semir sepatu demi melangsungkan hidup sebagian dari mereka
memakan tikus kakus, cicak, dan lain sebagainya. Selama beliau di RTC Salemba
Pramoedya Ananta Toer mengingat perkataan Peltu Marzuki ; “ kalian tak punya hak
apa-apa selain bernafas ( dan ternyata hak untuk bernafas pun dirampas ) serta di
pengapungan tersebut untuk melihat langitpun seakan tidak ada hak karena di kurung
di bawah kapal ADRI XV dalam ruangan dengan pintu besar dibawah dek. Berbicara
menahan lapar saya termotivasi oleh perkataan beliau “ lapar perlu diterima sebagai
sahabat yang tidak menyenangkan, dan karena hidup memang indah bagi mereka
yang tau menggunakannya. Pramoedya Ananta Toer menuliskan surat untuk sang
putri tercinta sebagai hadiah pernikahannya yang mana beliau tidak yakin surat yang
di tulisnya sampai di tangan putrinya di karenakan Pramoedya Ananta Toer sangat
kesulitan untuk menulis sebab alat tulis disita oleh pasukan tentara. Surat tersebut
berisi seperti ini.

Tentu saja kau tau, ada keberatan padaku kau memilih seorang suami untuk dirimu
sendiri. Juga aku percaya, kau akan tetap ingat pesanku pada calon suamimu sebelum
kau menikah di depanku: Anak ini anakku yang pertama, anak yang aku sayangi.
Dahulu neneknya berharap ia jadi dokter, ternyata ia akan menjabat jadi istrimu. Jadi,
setelah nanti sebentar kalian menikah, jangan sekali-sekali anakku di larang atau
dihalangi kalau dia mau meneruskan pelajarannya. Kedua, tidak aku ijinkan anakku
dipukul atau disakiti. Ketiga, anak ini kau pinta padaku untuk diperistri secara baik-
baik, kalau karena sesuatu hal nkau tidak menyukainya lagi, kembalikan pula dia
secara baik-baik padaku.

1969 kau tinggalkan RTC Salemba, pamit untuk memulai hidup sebagai seorang istri.
Beberap kali kau masih melihat ke belakang sebelum pintu raksasa itu kau lepas ke
jalan raya. Orang yang setalah pernikahan itu menjadi suamimu beberapa kali masih
membungkuk memberi hormat. Dan pintu raksasa itu kembali tetutup habislah sudah
basa-basi itu.

Dulu, di penjara Bukitduri, pernah aku belajar menyayi lagu yang di buka dengan
kalimat There’s a happy land somewhere – lambang hari depan untuk setiap orang
Somewhere, anakku. Dan where to? Kau, negeri bahagia, di mana kau sesungguhnya?
Orang dididik untuk percaya, negeri tujuan memang kebahagian itu. Dan kepercayaan
yang diperoleh secara mudah bisa juga hilang dengan mudah.

Untuk dapat naik ke kapal dari tiga ribu lima rautus ton bobot-mati ini kami harus
datang ke pelabuhan Sodong di Nusa Kambangan, di tentang pelabuhan Cilacap,
Wijayapura.

Tiada kan kututup mata kepalaku, juga tidak mata batinku. Kapal ini akan membawa
kami bersama masa depan dalam impian, dalam kepercayaan itu. Pulau Buruh bukan
the happy land somewhere. Dia hanya stasiun perantara. Juga untuk itu di butuhkan
kepercayaan.

Kami sedang berlayar, seperti nenk-moyang dulu di zaman migrasi untuk


menemukan daratan dan kehidupan baru.

Ajaran klasik ternyata bisa bermuka dua. Bukan hanya laut, juga seluruh isinya.
Seluruh bumi dan isinya, juga langit, garis lurus sampai akhir tatasurya kita. Antara
kenyataan dengan janji sudah tak ada status quo.

Diantara delapan ratus teman sekapan dalam kapal ini, sebagaimana biasa, aku tetap
merasa seorang pribadi.

Terlalu banyak di antara kami belum pernah beranjak dari desanya, tak pernah
melihat laut.

Betapa mahal memang yang harus dibayar untuk boleh menyebut diri warganegara
Indonesia.

Kau belum pernah melihat bagaimana abnormal tingkah dan pikiran tubuh yang
kurang dari lima puluh persen berat badan minim yang seharusnya. Dan matanya
kelihatan besar melotot, terlalu besar, tapi tak semua yang di lihatnya nampak jelas,
kulitnya kering, dan perbukuan-perbukuannya seperti tinju kingkong, menolehnya
tidak menentu dan lamban, sedang pandangan matanya tertebar ke mana-manauntuk
kami.

Kapal kami terus terengah-engah, berderak-derak, tiga ribu lima ratus ton bobot-mati.
Meluncur cepat, secepat bersepeda santai keliling kota. Sekiranya kapal kami
tenggelam – kami akan mati bersama, delapan ratus orang ini – dalam sekapan
dengan semua pintu terkunci dari luar. Ah-ya, apa salahnya mati? Setidak-tidaknya
kami masih bisa memberikan sesuatu pada dunia: cerita sensasi dan bagaimana
pertanggunganjawab akan kembali jadi bola volley.

Berapa saja sudah jumlah dan jenis mahluk telah punah dari muka bumi? Dan tak ada
yang meributkan? Berapa saja semut telah mati terinjak-injak setiap detik? Berapa
pula serangga lain tumpas kena semprotan insektisida? Siapa meributkan? Juga hati
ini tak perlu ribut.

Tapi empat tahun bukan waktu pendek dalam hidup manusia. Umur kadal pun tak
sampai sepanjang itu.

Di selku di penjara di Tangerang, lalat yang berhasil kutangkap kukurung dalam


plastik. Ia mati tua dalam tiga setengah hari. Empat tahun tanpa tahu duduk perkara
sungguh suatu kemewahan tersendiri, seperti lapisan tebal bedak pada muka buruk
seorang nenek tua-renta.

Seribu tahun yang lalu pun nenek moyang telah menjelajahi perairan ini – pasti cerita
para guru sekolah itu bukan omong kosong – dengan perahu-perahu buatan tangan
sendiri, dan pasti lebih bersih dari ADRI XV.
Aku menuju ke happy land somewhere. Sepuluh jam sebelum mancal baru kami
ketahui, happy land somewhere itu konon Pulau Buruh di Maluku. Besok 17 Agustus
keberangkatan kami: Hadiah ulang tahun Kemerdekaan RI.

Ada yang berdoa memang, ada yang mengharap, kapal ini tenggelam di hantam angin
timur, dan kami mampus di makan hiu.

Pada punggung masing-masing tergendong kantong, takkan pernah lepas seumur


hidup, penuh-sesak dengan lambang-lambang pengalaman indrawi dan batini,
kristalisasi energi yang tak bakal ikut mampus, lebih abadi dari daging dan tulang
bahkan dari gading yang tak kenal retak pun.

Dan waktu Perang Dunia II usai, fasisme Jerman dan Italia dan Jepang digulung,
fasisme Spanyol tetap berdiri, bahkan hidup berdampingan secara damai dengan para
pemenang PD II, malah ikut dalam persekutuan militer dalam rangka perang dingin.

Begitu PD II selesai tak ada yang mengingat hukuman yang di jatuhkan, malah
berangkulan. Itu yang nampak dipermukaan. Yang tidak nampak? Adegan-adegan
penjara di Spanyol dimulai dengan cerita Koestler. Bila malam hari tiba dan giring-
giring berbunyi mengunjungi sel, seorang pejuang anti-fasis dengan antaran seorang
padri, sampailah dia pada ajal di tangan jagalnya.

Dan yang tidak aneh: jatah makan tepat diatur menurut pola Nusa Kambangan. Pada
hari-hari pertama mendingan. Beberapa hari kemudian susut dan lauknya pun pada
menyingkir ke alam arwah. Juga di kapal ini.

Dan untuk sisa pelayaran selanjutnya: makan dua kali dengan air cabe. Tak ada yang
memprotes. Sudah sejak permulaan kami dicoba dibikin kecil dengan ketakutan.

Wah ! Dalam kapal yang mengherankan karena tak juga tengelam ini, masih sempat
juga aku bersyukur karena terbebas dari Nusa Kambangan.
Kebahagiaan sekecil-kecilnya perlu juga di pelajari bagaimana menuikmatinya.
Biarpun kemana mata memandang memang hanya maut yang nampak: laut, kapal
kakus, yang tak henti-hentinya berderak dan terengah, peluyru, bayonet, perintah,
appel, tanda-pangkat, pestol, bedil, pisau komando.

Orang bilang, bagaimana pun dan kemana pun kau bergerak, kuburan juga tujuannya.
Siapa pernah lahir, bersama dengan kelahirannya dia dijatuhi hukuman mati.

Apa boleh buat, dalam kerangkeng, di atas kapal semacam ini, memang setiap kami
merenungkan mati. Dan keroncong yang cengeng maliuk-liuk makin mendorong diri
pada renungan itu. Keroncong  sebelum kemerdekaan masih punya gairah, masih
mengandung vitalitas-vitalitas bangsa yang belum merdeka. Keroncong sehabis dan
selama revolusi justru tinggal jadi semacam narcisme, rangkaian kata kosong,
masturbasiisme. Sejajar dengan pidatoisme dan wayangisme.

Sekali lagi maafkan ayahmu karena hadiah-kawin yang semacam ini.

Hadiah kawin untukmu hanya Permenungan dan Pengapungan ini. Itipun belum
tentu akan sampai kepadamu. Tak ada harganya memang dipandang dari nilai uang
yang membikin banyak orang matanya jadi hijau, Nilainya terletak pada kesaksian
dan pembuktian sekaligus betapa jelata jadi warganegara Indonesia angkatan
pertama. Boleh jadi untuk jadi warganegara Amerika atau Brazilia tidak akan sesulit
ini. Sedang kewarganegaraanmu kau peroleh cuma-cuma. Mungkin kau juga tidak
peduli apa kewarganegaraanmu.

Nyaris empat tahun di tahan, memasuki tahun kelima justru berangkat ke


pembuangan, tanpa tahu duduk perkara.
Mungkin sudah terjadi kekeliruan? Tidak, karena lebih seribu tahun lamanya wayang
mengajarkan: bahkan para dewa pun bisa salah, bisa keliru, tidak kalis dari ketololan,
dan korup.

Betapa lambat melintasi Laut Banda, gudang cakalang alias tongkol ini. Ikan dengan
gumpalan daging perkasa itu terus-menerus berenantg dengan kecepatan paling tidak
20 mil/jam. Dia pilih mati daripada berhenti.

Seorang di antara kami, memberi jaminan: Ikan Maluku cukup bodoh dan tidak
berpengalaman, kau umpani dengan batupun akan kena. Dia sungguh seorang
penghibur baik bagi mahluk kekurangan protein hewani.

Sekarang rombongan “ tentara berbaju drill kuning”, kami, tapol, datang, tidak untuk
memetik buah jerih-payah penduduk Buru. Waktu angin darat meniup terasa betapa
lembabnya udara, menyesakkan nafas.

Nampak Namlea, sebuah pelabuhan alami di teluk di hiasi rumah-rumah kecil seperti
kardus.suling kapal menjerit-jerit tapi tak juga mencari dermaga untuk bersandar,
kapal ini terlalu besar. Dua buah LC ( landing craft ) datang menjemput.

Mereka mendarat di Namlea yang sedang di kalahkan garuda. Satu regu prajurit divisi
Pattimura menyambut mereka dengan gagang senapan dan tinju.

Nah, pengantin baru, anakku, kau boleh ucapkan padaku: selamat untukmu, papa,
tapol RI yang memasuki masa pembuangan, sebagai balasan atas hadiah-kawin
semacam ini. Selamat untukmu, anakku, selamat untuk suamimu, yang aku tak ingat
namanya.

Sekarang giliran ayahmu menuruni kapal, naik ke LC untuk mendarat, setidak-


tidaknya bukan di somewhere.
Bagian II

Kalau Dewa-Dewa Turun Ke Bumi

Diteruskan dengan penderitaan yang cukup pedih yang dirasakan oleh Pramodya
Ananta Toer bersama rekan-rekan senasib seperjuangan. Dimana diperintahkan
berangkat ke unit IV Savanajaya. Membawa pakaian, perlengkapan tidur, dan
perbekalan untuk selama tiga hari. Harus menempuh jarak yang sangat jauh dengan
enam orang yang terpanggil ikut serta, satu diantaranya baru beberapa hari keluar dari
opname dirumah sakit, menempuh perjalanan 20 kilometer lebih, berjalan kaki, dan
membawa beban. Memasuki hutan Wai babi ke unit XVI Indrakarya pemandangan
antara Wanakarta dengan Wanareja dengan bocah-bocahnya yang setengah telanjang
atau seperti batang kayu merah, tba di Indrapura tinggal Prof. Buyung Saleh
Paradisastra. Setelah makan siang  kembali meneruskan perjalanan yang berat setelah
tenaga dipergunakan mencangkul diladang jagung. Serta bawaan yang memberati
langkah dan tak ada seorang pun diantara kami punya persediaan minum sedang
matahari membakar dengan puncak teriknya biar begitu masih ringan daripada
meraka yang bersepatu bo,. Kami berjalan dengan cakar ayam. Tatkala sampai
ditujuan timbulah dialog Pram dengan gabungan universitas Indonesia Gajah Mada
( UGM ) dan Universitas Inndonesia untuk wawancara sebelumnya Pram mengira
bahwa itu adalah Letkol Sutarto ternyata tak lain dari Prof. Dr, faud Hassan dari
Fakultas Psykologi Universitas Indonesia terjadilah dialog antara Pram dengan Faud
Hassan, dan anggota team juga menganggap Pram seorang Marxis. Kemudian, FH
bertanya “ Adakah Rechtvaardiging, Justificition beradanya saudara disini?”  Lalu,
Pram menjawab; Saya diperlakukan tidak menurut hukum. Beluh pernah saya dijatuhi
hukuman oleh sesuatu pengadilan saya adalah seorang pengarang. Saya menulis
dengan nama jelas sekira ada kesalahan atau kekeliruan dalam tulisan saya, setiap
orang berhak dan menyalahkan apalagi pemerintah yang notabe   mempunyai
kementrian penerangan. Maka, mengapa saya ada disini? Sekiranya saya bersalah
saya akan rela menerima hukuman. Anggota team juga menuding Pram sebagai
pergerakan G. 30. S dan pembunuhan terhadap Jendral-jendral masih banyak yang
bertanya kepada Pram Yaitu;

1. Brigjen Wing Wirjawan


2. Mochtar Lubis
3. Rosihan Anwar
4. Team Universitas
5. Majen Kharir Suhud
6. PANGKOPKAMTIB Jendral TNI Sumitro

( Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban )Sebuah lembaga


kemiliteran khusus yang dibentuk diluar konstitusi.

 Setelah kembali beberapa hari di Wanayasa Pram dan Syarifuddin SH dipanggil ke


Wanapura untuk menjawab enam pertanyaan secara tertulis:

1. Sebutkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Pangkopkamtib kepada


saudara-saudara.
2. Sebutkan jawaban saudara atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
3. Bagaimana tanggapan saudara mengenai persoalan tersebut?
4. Kesan-kesan apa yang saudara peroleh?
5. Bagaimana dan apa kesimpulan yang saudara dapatkan?
6. Apakah saran dan anjuran saudara bagi teman-teman saudara di Tefaat Buruh
ini?

Tefaat (singkatan), Tempat Pemanfaatan


Setelah pulang kembali ke Wanayasa rasa-rasanya kehidupan sebai tapol akan pulih
sebagaimana biasa, Ternyata tidak. Ditempat Komandan Unit III Wanayasa Panglima
menyampaikan kepada kami:

Saudara-saudara, setiap saya dipanggil ke Jakarta oleh Bapak Presiden, mesti saya
ditanya: “Bagaimana kabar dan keadaan saudara-saudara kita yang ada di Pulau
Buruh?” Saya selaalu menjawab, keadaan saudara-saudara baik-baik. Karena itu saya
suka kecewa kalau ada kejadian tidak baik, seperti baru-baru ini kejadian “bunuh
diri”. Ini menyebabkan jadi keruwetan dalam pikiran saya. Saya juga membawa
membawa oleh-oleh berupa alat-alat yang saudara-saudara perlukan. Alat-alat ini
dibeli dengan harga maahal, oelh karena dipergunakan sebaik-baiknya. Juga kepada
Pak Pram dikirimkan beberapa buku yang diperlukan. (Catatan: Aku tak pernah
menerimanya). Di samping itu saya membawa surat presiden Suharto, yang ditujukan
kepada suadara-saudara. Walaupun ditujukan kepada perseorangan tetapi
dimaksudkan untuk saudara semuanya di Buruh. Setelah saudara-saudara baca dan
pahami maksudnya, cobalah saudara-saudara nanti membalasnya dan jangan diulangi
kesalahan yang telah dikatakan oleh Bapak Jendral Sumitro. Sebelum pesan itu
ditutup Kolonel Said menambahkan: “ Bersama dengan hadiah Bapak Presiden ada
disertakan paket untuk Pak Pram dari Ibu Pram”.

Keesokan harinya pada tanggal 14 November 1973 sebagain terbesar dari para
penerima surat: Prof. Dr. Suprapto SH, Gultom, S. Mardjo, Suprijanto, Supeno,
Endang Sukarna, Untung Mardadi, Permadi, Suroso, dan Aku, pada jam 14.00
meninggalkan Unit III Wanayasa, menuju ke Unit I Wanapura, dan tidak
diperkenankan kembali ke Unit masing-masing. Surat dari Presiden berbunyi:

Kepada: Sdr. Pramudya Ananta Tur

di Tefaat Pulau Buruh


Saya telah menerima laporan dari PANGKOPKAMTIB Jendral TNI Soemitro
tentang keadaan saudara-saudara.Kekhilafan bagi seorang manusia adalah wajar,
namun kewajaran itu harus pula ada kelanjutannya yang wajar. Yakni:

“Kejujuran, keberanian, dan kemampuan untuk menemukan kembali jalan yang benar
dan dibenarkan”.Semoga Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kasih memberi
perlindungan dan bimbingan di dalam Saudara menemukan kembaali jalan
tersebut.Amin.Berusaha dan bermohonlah kepada-Nya.

Presiden Republik
Indonesia
Bagian III

Terakhir Kali Nonton Wayang

 Musim panen dan pentingnya pelajaran telah sekolah pun ruap. Panggung wayang
dibangun di mana-mana meningkahi pesta lahir, dewasa dan kawin. Dan bila gamelan
telah ditabuh, dan dalang telah duduk tepat di titik pusat pesona dibawah blencong
(lampu panggung)  dihadapan layar, gunungan  telah diangkat dan disingkirkan ke
pingggir, maka para dewa, Brahmana dan Satria pun pada berdatangan merasuk
kedalam anak-anak wayang dari kulit atau kayu atau boneka tiga dimensi, berkisah
diri tentang kehidupan dari negeri entah berantah. Juga para raksasa berdatangan
dengan gegap-gempita. Dari populasi wayang yang tak kurang dari 600 tokoh,
tepatnya 40 tokoh dalam setiap lakon itu…. Ah, kalian, kasta sudra, mengapa jumlah
mu begitu tipis? punakawan  dan emban melulu? Kalian, sudra, penduduk asli,
bangsa gua? Bahhkan dipanggung pun kau tak kebagian tempat?

Dan para dewa di tengah-tengah pesta para petani itu hanya punya urusan dengan
sesama dewa, brahmana dan satria saja. Dewa, brahmana dan satria sama sekali tak
punya urusan dengan petani. Tapi para petani menganggap diri punya urusan kepada
mereka, mencintai mereka seperti mencintai nenek-moyang sendiri yang sudah sangat
lama mati,sudah tak dapat diingat dan sudah tak dapat dikenalinya lagi. Betapa
mengibakan cinta petani yang sepihak, bertepuk sebelah tangan.

Kurang hebat bagaimana Gatot Kaca diudara? Sampai-sampai dipanggung wayang


orang pun dengan sayap terbalik masih bisa terbang. Jangan lah seperti wayang
berharap akan dimainkan oleh dalang sesuai dengan keinginan skenario Ki Dalang.

Dalam menonton terakhir ini sabetan ki dalang masih tetap mempesona, seperti masa
bocahku dulu. Bagaimana biti-biti perwara masuk ke penghadapan balairungsara,
betapa raksasa atletis bernama Cakil bermain seratus jurus dalam usaha membuat
provokasi. Dan tokoh tergambar jelas ssdalam perspektif, merupakan bayang-bayang
dewa dan manusia dalam tanggapan. Jalan ceritanya juga sama seperti yang lain-lain:
laporan dimana semua berupaya menyenangkan hati sang raja, sumber hukum itu.
Ada terjadi penyelewengan. Satu missi satria dikirimkan. Perjalanannya memasuki
hutan (dalam cerita wayang, begitu satria turun dari istana kontan masuk hutan),
diganggu(menganggu?) raksasa-raksasa, menang atasnya, ssamppai ke tujuan,
penyelewengan dilempangkan, dan hadiah untuk sang satri. Dalam missinya para
dewa ikut campur, masing-masing dengan jagonya.

Paduan suara dari hanya beberapa baris kata dan lagu, berulang kali dikumandangkan
seperti zikir, betul menganyun dan mematikan kesadaran. dan nyanyian pesinden itu
berkelik-kelik seperti memanggil leluhur dan para dewa dari kahyangan untuk jadi
saksi suka dan duka manusia tapol RI. Semua memukau, memesonakan, mensihir,
mematikan kesadaran, mematikan akal, membebalkan.

Dan kenyataan lain: wayang tadi juga, yang sudah tancep kayon. Telah membikin
orang Jawa yang terinjak dan terhimpit merasa sebagian sekawan Pandawa dalam
pembuangan, sikap jiwa yang korup yang membikin mereka berabad lamanya bisa
survive. Pada waktu yang sama sejumlah bangsa sudah tumpas dari muka bumi, fisik
dan kultural, apalagi politik. Survive! Ya, survive untuk meneruskan dan membedah
injakan dan himpitan. Dan bila sebagai Pandawa sudah mengalahkan Kaurawa,
injakan dan himpitan juga terpaksa diteruskan. Untuk itu wayang juga survive.

 
Bagian IV

Kembali ke Wanayasa

 Mengapa surat jalan diberikan kepadaku, sedang aku sendiri tidak memintanya? Ya,
karena tamu dari jawa akan datang. Tamu agung. Dia tak perlu melihat tampangku.
Kampung Wai Lonangan sekarang jauh lebih besar daripada pertama kali kukunjungi
lima setengah tahun yang lalu. Dulunya terdiri dari tujuh rumah atau delapan rumah,
sekarang dua kali lipat. Penduduknya masih tetap kurus kering dan berwarna
lumpur.pada waktu  itu kami sedang membuat jalan sepanjang di pedalaman Buruh
Utara.

Aku pun masih dapat mengingat rumah papan satu-satunya, bergeledak tinggi.
Rumah Manahale, seorang pemburu, yang konon kabarnya seorang penembaak mahir
bekas serdadu R.M.S *  ( singkatan ) Republik Maluku Selatan, dari kampung ini ke
tepi Wai Apu hanya terpaut barang seratus dua puluh meter. Di tengah-tengah
belokan kali deras sana dahulu berdiri kemah bambu kami. Menyeberangi Wai Apu
dengan perahu tambang selalu menyenangkan. Perahu ini menyeberangi bolak-balik
dengan kekuatan arus kali sendiri, dibuat dari dua buah sampan panjang yang diikat
dengan geledak. Gerobak dan dokar dan sepeda motor dapat terangkut olehnya. Dan
memasuki wilayah Wanayasa dengan rawa-rawanya yyang banyak, dengan bekas-
bekas kedudukan rumah yang kini dicangkuli, aku rasai suatu kesunyiaan mencekam
di dalam dada. Rumah-rumah beratap alang-alang yang waktu ku tinggalkan dua
tahun yang lalu masih kelihatan bagus dan indah sekarang nampak buruk seperti
kandang sapi,  termasuk “gedung kesenian” besar, beratap alang-alang, dan rumah-
sakit yang juga beratap alang-alang. Siang hari di Wanayasa itu keadaan sunyi.
Hanya beberapa orang saja nampak dan kutemui. Sebagian besar kerja atau mencari
ikan. Wai Apu sendiri tidak lebar. Arusnya deras. Tepiannya dirimbuni pepohonan
yang tumbuh liar bersambut-sambutan dengan semak, glagah dan rumput tinggi. Wai
Apu sendiri berliku-liku liar, membentuk maender-sungai dengan kelok-kelok tajam-
yang tak putus-putusnya.

Di sekolah dulu tak pernah diajarkan tentang alam buruh. Alam yang terpampang di
hadapanku sekaraang  ini seperti buku pelajaran tanpa ada isi, maka pelayaran
memudik ini memang mengesankan. Begitu mendarat kami sampai di tepi kiri, pada
pos Transkop           *( singkatan ) Transmigrasi-Koperasi, yang berdiri diatas tiang-
tiang bercabang dan beratap tenda, di tengah-tengah hutan kecil. Meninggalkan pos
Transkop jalan setapak itu langsung memasuki semak-semak  bamban dan cobrang
sedang pepohonan semakin jarang.

Lembah dataran rendah Wai Apu tak lain daripada savanah-sebuah padang rumput
dengan selingan hutan-hutan kecil dan sangat mudah. Dan padang rumput tinggi ini
menguap. Entah mengapa aku langsung teringat pada cerita-cerita tentang savanah di
Amerika Serikaat, dan pada tulisan Schultz My life as an Indianan,  pada otobiografi
Bufallo Bill, dan Film-film western. Kami adalah rombongan dari gelombang
pertama, ditempat yang terjauh. Rombongan kami tidur didalam barak-barak yang
belum mencukupi, bersesak dan berjejal.

Pada waktu itu juga aku menjadi semakin ragu pada pidato dari tape yang diputar di
atas kapal pada malam 17 Agustus 1969, yang mengucapkan “selamat jalan” dan
“menuju kehidupan baru”. Jelas ini bukn hidup baru. Ini sudah terlalu kuno, bagi
seorang yang sedikit banyak membacai buku-buku sejarah. Dan bukankah
rombongan pertama kami yang mendarat di Namlea disambut dengan pukulan dan
hinaan? Empat tahun ketegangan melihat dan menjalani hukuman yang tak jelas,
barangkali kami sedang mengulangi babak Babad Tanah Jawi, barang sseratus
limapuluh tahun belakangan ini dan tigaratus tahun lebih ke belakang lagi. Sarapan
pagi itu memang sanggat menggembirakan sebagian terbesar kami.   Mendapat jatah
makan  600 graam sehari adalah suatu lompatan kwantitatif. Kondisi  tubuhkku,
seperti halnya dengan rombongan kami dari R.T.C  Salemba, boleh dikatakan baik,
karena mendapat kiriman dari keluarga tiga kali dalam seminggu.

Enam hari pencabutan rumput dilakukan. Tangan bukan saja berdarah-darah juga
bengkak. Peraturan baru datang: bukan lagi 600 gram beras, tapi 500. Ya seratus
untuk tabungan! Ditambah dengan cuaca dan musim yang belum dikenal, alat-alat
yang belum memadai, dan lalu-lintas dengan pelabuhaan yang tidak mudah. Dan
lembah Wai Apu ini seluruhnya hijau, sekalipun hanya rumput dan hutan-hutan kecil
dan muda.

Pada waktu ini aku lebih memilih dinas pembukaan jalan daripada pertanian.
Keadaan makanan dengan cepat semakin memburuk, baik dalam kualitas maupun
kuantitas. Pada mulanya supply diantarkan oleh landing saampai ke Unit III. Tetapi
dengan merosotnya permukaan air, pengantaran hanya sampai di pos Transkop,
diseberang unit-II. Jarak berat melalui jalan setapak yang 3 ½ km, menjadi lebih berat
dengan pengangkutan ssupply. Sedangkan pengangkutan pertama dari dermaga Unit-
III sampai ke gudangnya sendiri sudah terasa berat. Membuka jalan ke Unit
III/Wanayasa Air Mandidih. Bagaimanapun kerja menembusi padang alang-alang,
dearah sotan, tersasar dalam hutan kayu putih dengan lapisan santing-santing diatas
air,tanpa sepatu, telah selesai dengan berhasil. Waktu air mendidih nampak dari
puncak pohon kelapanya hati bersorak: Kami juga berhasil melakukan apa yang
pernah dilakukan oleh nenek-moyang ribuan tahun yang lalu.

Sampai di tepi Wai Apu kami melihat sebuah kampung diseberang sana dengan
wanita-wanita pada mencuci atau mengangkati air dengan lodong bambu. Kami
bersepakat untuk menanyakan kepada penduduk, barangkali ada jalan darat menuju
Air Mandidih. Sumargo B.A. dan Karsono menyeberangi dengan kole-kole yang
tertambat ditepian. Mereka belum pernah menaiki sampan yang labil, namu berhasil
juga menyeberangi tepian tidak dapat mengendalikan saat hendak mendarat,
tersangkut-sangkkut pada cabang pepohonan, terbaliik, naik lagi, mengayuh lagi dan
karena sulitnya mereka tambatkan kole-kole itu dan turun ke air. Penduduk bugis
bergembira mendengar akan dibuka jalan darat ke Pedalaman. Di perjalanan hutan
waktu itu kami belum tahu rahasia memasak daging binatang-binatang aneh, maka
bau busukny tak dapat hilang, tapi kelaparang mengharuskan orang makan apa saja.
Pram mendapatkan kesulitan untuk bertahan hidup karena krisis makanan yang
moneter.

Pada bulan ini juga aku dan Prof.Dr. Suprapto SH dan Drs. Slamet Mulyono
dipanggil ke-Unit I berwawancara – menurut istilah dan Tefaat – denga Jaksa Agung
Jendral Sugiharto dan rombongan yang akan datang dari dari Jakarta. Di malam hari
dan Tefaat mengambil kami dari tempat penginapan di dalam barak yang
dipergunakan sebagai rumah sakit dan dibawa ke tempat penginapan Jaksa Agung. Ia
menerangkan tentang maksud-maksud pemerintah serta rencananya terhadap kami di
Pulau Buruh. Tanya jawab diadakan. Pada kami dipinta saran-saran. Apa yang
menjadi rencana Pemerintah bukanlah urusan tahanan.  Keesokan harinya para
wartawan berkeliaran dan diantaranya mengunjungi barak penginapan kami dengan
pasien-pasien tbc. Diantaranya Cindy Adams, yang menjanjikan obat-obatan pada
pasien. Sebelum rombongan pulang dan Dan Tefaat mengantarkan ke Ambon telah
dimintanya kami bertiga menyususun pokok-pokok dalam wawancara untuk
diumumkan ke semua ini. Setelah kepergian mereka Dan Tonwal * ( singkatan )
Komandan Pelaton Pengawal. Unit-I, yang mewakili Dan Unitnya yang sedang cuti
ke Jawa memanggil aku, dan memberikan padaku  oleh-oleh dari Bur Rusuanto,
yakni sebuah novelnya sendiri, barang limabelas nomor edisi mingguan Indonesia
Raya dan sebuah buku-tulis tebal dengan tulisan mengharap agar  aku menulis lagii,
karena bagaimanapun “ aku adalah pengarang nasional, penngarang Indonesia”. 
Novel itu sendiri belum aku baca karena akan dibaca oleh Dan Tonwal lebih dahulu,
dan tak pernah dikembalikan.
Sementara itu atas permintaan Dan Unit Masiga, Unit-III aku namai Wanayasa –
nama pertama-tama yang diberikan antara Unit-Unit yang ada, dan sejak itu bernama
demikian. Wanayasa adalah sebuah tempat kecil di selatan Purwakarta.

Menullis praktis satu-satunya kegiatan-sosialku sejak 19950, juga satu-satuunya


sumber penghidupan keuargaku, juga satu-satunya pekerjaan yang aku anggap dapt
melakukannya. Sejak 1965,  empat tahun, tak mungkin lagi menulis kecuali
tandatangan pada kertas-kertas resmi. Pertanyaan yang kemudian timbul: Adakah aku
masih punya sisa kekuatan untuk memulihkan kemampuan lama, atau akan selesai
sampai disini saja riwayat hidupku sebagai pengarang, yang selama dianggap
berforum nasional? Sudah selesaikah fungsil soisal dan fungsi nasionalku sebagai
pengarng?

Kuallitas dan kuantitas makan kami semakin buruk. Maki sulit usaha pemulihan.
Pikiran semakin tak mampu memusat. Untuk mengingat nama salah saeorang
diantara  anak-anakku   kadng dibutuhkan waktu samapi seminggu.

Bagian tubuhkku yang terlemah, perut, mulai terserang. Setiap sehabis makan harus
segara lari ke kakus. Setiap selesai jongkok dan hendak bangkit berdiri, kaki sudah
tak mampu mengangkat badan, tangan harus membantu menarik. Boleh jadi berat
badanku telah hilang lebih dari sepuluh kilogram. Kekurusanku melebihi dimasa
pendudukan Jepang, yang waktu itu sudah aku anggap sebagai titik terdalam.

Selama itu aku pun bangga menjadi seorang, manusia dan warganera Indonesia. Dan
aku sadar betul telah ikut bersumbang untuk hak atas kebanggaan itu. Kemana pun
aku pergi tak ada yang menghina aku karena kau orang, manusia dan warganegara
Indonesia. Sebagian orang malah menghormati kebanggaanku. Juga menghargai.

Menjelang tidur aku usahakan mengingat kembali cerita-cerita dunia yang pernah aku
baca. Yang sering muncul dengan  sukarela adalah Arthur Koestler tentang Spayol
dan Israel dan cerpen SienkiewicxDe teron wachter. Tapi yang tidak kuharapkan juga
sering muncul: seorang kurus, bangkok,bertelanjang dada, yang jongkok merenungi
bumi di Block Luar dipenjara  Cipinang, Jakarta, 1961. Ia telah ditahan 11 tahun
sejak tahun 1950, namun tak juga bebas, karena tak ada instansi yang berkepentingan
dengan orang yang bukan urusanya. “Waktu mula pertama ditahan, pak”, katanya
padaku, “Aku masih muda, berumur mendekati dua puluh. Sekarang aku sudah rusak
begini”. Memang ia sudah bangkok. Percakapan itu terjadi pada suatu pagi setelah
semalam ia gagal melakukan bunuh diri.

Kapten Daeng Masiga datang dari cutinya. Ia memerintahkan padaku untuk


menghimpun para tahanan yang dianggap dapat mewakili seluruh tahanan. Ia
menghendaki adanya badan musyawarah yang akan menentukan pola pembangunan
Unit-III. Aku tak punya pengalaman dalam berorganisasi. Bahkan cara memimpin
rapat pun tak tahu, karena memang tak suka menghadiri. Sedikit dari pengalaman
hanaya sebagai pemimpin regu kelompok waktu kepanduan  tahun tigapuluhan.

Kemudian Letnan Eddy Tuswara ditempatkan juga di Unit-III sebagai wadan.

Kedatangan Panglima Pattimura dan Brigjen Wing Warjawan tidak menguabah


ketentuan ini. Aku mempunyai perasaan takut pada dasar-dasar yang tak dikenal,
apalagi kalau dasar    itu berlumpur. Memang aku tahu sumbernya: sejak  kecil aku
takut pada ular.

Pada tahun 1949 aku pernah menulis tentang seorang pengungsi yang berusaha
mempertahankan hidup anak-anaknya dengan memberikan daging kucing. Ternyata
aku sendiri juga harus melakukannya.  Keadaan makin mengenlisahkan, penghinaan,
pemukulan dan pemerasan. Pencacahan tanah dengan telapak kaki untuk dilumpurkan
pernah mendatngkan pukulan karena dianggap main-main oleh Tonwal yang tak
pernah melihat petan menggarap sawah.Kemudan satu razia telah menyebabkan
semua bukuku, cetakan dan tulisan, diambil, termasuk buku tulis dari Bur Rusuanto.
Beberapa hari setelah itu dikembalikan lagi. Juga yang tertulis tangan.

Bulan Juli 1971, Komandan  Dan Unit-III, Kapen Samingun  telah memanggil aku,
Mbah Soedijono, orang tertua di Unit kami, Prof. Dr. Suprappto SH, Drs. Slamet
Muljono, Muhji, R.P.R. Situmeang, Eddy Mertalegawa, Hasjim Rachman, Irvan
Abdurrachman, Anwar Kadir, Suprijadi, Madiana Minhart, Hanafi Sarkawi, Karel
Supit, dan memberikan perintah meninggalkan barak masing-masing, ditunjuk untuk
tinggal di gereja Maranatha. Gereja Maranatha itu sudah terlallu rusak. Kami
diperintahkan mendirikan rumah sendiri disampingnya.

Kembali ke Unit-III,, didepan Apple, Komandan kami menanyakan:

“Sudah ditulisi apa saja sbuku itu?”

“Habis untuk merokok, Jawabku.

“Juga Ballpoint?”

“Juga Ballpoint”

Sehabis apple semua tulisanku kubakar. Dan aku tidak menyesal. Ini bukan pertama
kali naskahku binasa.Pada 5 Maret 1976 surat-jalanku yang berlaku hanya untuk
seminggu sudah sampai pada hari akhirnya. Kapten I.M. Sudiraka, Dan Unit-III
mengizinkan aku kembali ke Mako Pada keesokan harinya. Ia adalah  Dan Unit satu-
satunya yang dapat menerbitkan hormatku padanya.

Sekali lagii aku tinggalkan Wanayasa, melalui jalan ke Jurusan Air Mandidih.
Menengok kesebelah kanan, tak nampak lagi dua gereja yang didirikan dalam
semalam atas perintah Kapten Sudjoso Hadisiswojo dulu. Semua sudah sujud ke
bumi. Sebagian telah menjadi kandang ayam dan kayu bakar, dan bangunan lain.
Pogoda dan Mesjid yang juga berdiri atas perintahnya, memang belum roboh, dan tak
dipergunakan lagi karena terlalu rusak.Yang tetap hijau adalah tanaman tahanan. Dan
mereka memasuki sebelas tahunn hidup tanpa kebebasan.

Anda mungkin juga menyukai