Anda di halaman 1dari 135

Kumpulan Tulisan :

Logika, Rasa dan Kenyataan

1
2
“Kehidupan itu seperti Bumi,
Matahari dan Bulan. Bumi adalah
Kenyataan yang setiap hari diselingi
siang dan malam. Logika adalah
Matahari yang mampu menyingkap
kegelapan menjadi nyala siang, sedang
Bulan adalah Rasa yang mampu hadir
agar tidak terlalu kelam ketika datang
gelap malam.”

3
Logika :
Bagian I
Saya, Tunas Muda dan Bangsa

“ Saya masih terlalu liar untuk menjadi


pancang, terlalu riak untuk menjadi tenang,
terlalu lantang untuk menjadi bisu, terlalu
senang untuk menjadi sedih, terlalu hidup
untuk menjadi mati, terlalu ingat untuk
menjadi lupa, terlalu ranum untuk menjadi
busuk, terlalu jaga untuk menjadi tidur dan
saya terlalu dini untuk menjadi tua.
Itu semua karena saya orang muda.”

4
Tersenyumlah Ibu Pertiwiku Sayang,
Meski Hanya Sejenak

Si cantik ibu pertiwi tampak sangat bahagia, tersenyum


kasmaran sebagaimana seorang gadis muda yang jatuh
cinta pada seorang pemuda yang gagah, bersuara indah
dan memainkan gitar didepan rumahnya. Bagaimana
tidak, karena ketika pertengahan agustus tiba, ribuan
nada dan tulisan tampak begitu menyanjungnya. Ada
yang menunjukkan kemolekannya, dan banyak yang
meluapkan rasa cintanya pada si ibu muda yang indah
nan rupawan ini. Meski sudah 66 tahun, ibu ini masih
tergolong muda, jika dibandingkan ibu-ibu pertiwi lain
di belahan dunia yang jauh dari sini, dari nusantara.

Ah, janganlah kau tanya indahnya sanjungan puisi para


musisi di televisi, ketika pertengahan agustus tiba. Di
atas panggung yang megah ribuan nada indah akan
dilantunkan dihiasi hiasan merah putih cantik
sebagaimana warna kesukaan si ibu pertiwi. Ah, jangan
pula kau tanya ramainya suasana di bulan ini, dari anak-
anak kecil hingga veteran-veteran tua pun bergembira.
Ada yang tertawa berlumuran oli sembari memanjat
pohon pinang, dan ada pula anak-anak kecil yang lucu
berlarian sembari sendok dan kelerang diapit oleh
bibirnya. Ah, sungguh meriah dan indahnya saat-saat ini,

5
menjadi kenangan indah bagi siapa saja, bagi semua
anak ibu pertiwi.

Ketika pertengahan agustus pun perlahan berlalu, aku tak


tega memandang wajah ibu pertiwiku ini. Tawa dan
senyum indah kasmaran itu pun perlahan berlalu, lenyap,
digantikan raut murung sedih dan terkadang marah.
Lantas seperti tidak peduli, anak-anaknya hanya pergi
lalu saja, meninggalkannya di depan jendela dengan
perasaannya campur aduk, kalut dan penuh rasa kecewa.
Lantas mengapa kau menangis ibuku tersayang?
Tanyaku sesaat kala kulihat dia di jendela televisi di pagi
hari, sembari sepotong roti ini kulahap untuk mengisi
perut yang sejengkal ini.

Kudengar dengan teliti setiap curahan hatinya, tentang


kecemburuannya, tentang kesedihannya dan tentang
kemarahannya. Dia menangisi anak-anaknya yang
menipunya dan membuatnya terbakar cemburu, ketika
mengingat pertengahan agustus, banyak mereka
menyanjungnya dan memujinya bahkan ribuan kata cinta
dan pengorbanan diluapkan. Tapi apa daya, mereka yang
bernyanyi dan berpuisi itu lebih memilih pada hasil
karya ibu lain, bangga akan produk luar negeri seakan
mengacuhkan halusnya batik dan kain ulos hasil tenunan
sang ibu sendiri. Kain-kain indah yang dia tenun dengan
air mata kepedihan melihat anak-anak pedalaman yang
tak mengenyam pendidikan. Ibu mana pula yang tidak
cemburu jika anaknya lebih menghargai orang lain

6
daripada dirinya, tak bersyukurkah dia memiliki ibu
seindah ini? Hingga lebih memilih menikmati liburan
diluar negeri daripada beningnya Danau Toba atau
coraknya warna Kelimutu.

Belum lagi anak-anaknya yang berkelompok yang


mengaku soleh beragama namun hanya menimbulkan
perpecahan diantara sesama keluarganya, keluarga satu
ibu, ibu pertiwi. Mereka memperagakan kekerasan,
menimbulkan kebencian dan yang paling menyedihkan
menodai persatuan dan kesatuan yang indah dalam
keberagaman. Tahukah dia berapa nyawa yang melayang
mengusir belanda dan jepang dari tanah ini? Lalu, tak
dirasanyakah rasa sakit para jiwa-jiwa pejuang melihat
kemerdekaan yang indah ini diisi dengan kebencian
demi kebencian, kekerasan yang melukai kemanusiaan?

Janganlah kau terus menangis oh ibuku sayang, jangan


kau tangisi semua kepedihan ini. Aku tahu sudah cukup
hancur hatimu yang suci itu, melihat sandiwara anak-
anakmu di televisi. Dalam berbagai kata manis mereka
membagikan janji-janji kejayaan ketika pesta demokrasi
tiba, tapi kini satu tanah air pun hanya menuai maraknya
drama korupsi. Begitu maraknya dan menegangkannya
drama-drama itu, membuat penasaran, memacu
andrenalin dan menciptakan polemik seperti membaca
novel atau menonton film laga. Tak ada yang berubah,
betapa banyakpun janji yang para petinggi itu ucapkan,
hanya menambah satu demi satu drama yang mulai

7
terungkap dan disajikan meriah di televisi, tiap jam
berita-berita itu menambah susahnya hidup para
penghuni pinggiran jalan.

Ya sudahlah ibu, kini pertengahan agustus pun akan


segera tiba lagi. Usapkanlah air matamu sejenak, dan
mulailah dengar dan lihat kata-kata cinta dan kejayaan
yang akan disajikan indah lagi ditelevisi. Lupakanlah
sejenak semua kesusahan itu. Sejenak, ya meskipun
sejenak, setidaknya tak sepanjang tahun air mata itu
mengalir.

8
Mahasiswa Etalase
Kampus ini kumpulan orang hebat, para alumninya tidak
sedikit jadi pejabat dan banyak pula yang jadi
konglomerat. Persaingan disini berat, dan semua orang
pun seakan-akan punya pangkat yang berperingkat. Jika
kau tak punya jaket berseragam atau simbol-simbol
himpunan mahasiswa, maka sulitlah keberadaanmu
untuk kami anggap. Kami tidak peduli betapa kau punya
banyak gagasan yang hebat, selama kau tidak menjabat,
maka jangan salahkan jikakau kami sebut “bacotan”.
Entahlah karena kami memang malas berpikir, tapi
memang lebih keren tampaknya jika punya banyak
sertifikat dibandingkan banyak baca buku-buku berat.

Jangan macam-macam dengan kami kalau kami sudah


berkumpul dengan jaket berseragam. Tak peduli kau
siapa, kau harus berikan kami jalan,apalagi kalau sudah
tiba saatnya wisudaan. Asal-asal kau bisa kami hantam,
dan wajahmu nanti kami buat remuk redam. Entahlah
mungkin karena kami tak tahu lagi cara menunjukkan
militansi pada organisasi, tapi memang mudah kalau
cuma hanya adu jotos dan tendangan kaki.

Kami aktif disana dan disini, soal esensi hampir pasti


kami tak peduli, karena memang begitulah orang bisa
dipandang di kampus ini. “Eksis”adalah kata yang sering
kami pakai untuk melabeli setiap mahasiswa dan
mahasiswi. Kau akan diukur hanya dengan lembaran

9
kertas bernama CV, tak perlu panjang lebar berbagi
gagasan, karena kami tak peduli. Terlalu berat dan
menghabiskan waktu membaca buku Pramoedya atau
Tan Malaka, terlalu rumit untuk mengikuti kisah Soe
Hok Gie. Cukuplah daftar kepanitiaan, kumpul rapat,
lalu pulang pukul sepuluh tepat. Maka, sekelilingmu
akan meneriakkan “Lo hebat!”.

Jaman telah banyak berubah kawan, disini sudah banyak


mahasiswa dengan mobil buatan Jerman. Sesekali kami
meneriakkan anti kemiskinan namun tetap saja yang
kami kenakan harganya ratusan ribuan. Kami membeli
barang-barang asli buatan luar negri, tandanya kami
punya selera tinggi. Peduli setanlah dengan cinta produk
dalam negeri, karena kalau pakai barang palsu meskipun
buatan dalam negeri nanti kami kena caci maki. “Lo kok
mau sih pakai barang KW-an, mau jadi bahan
ketawaan?”.

Kami bisa mengundang band-band terkenal untuk tampil


diacara kepanitiaan, itupun acaranya surplus belasan
jutaan. Proposal-proposal kami mudah untuk diterima
perusahaan, karena satu dua orang diantaranya pasti ada
keluarganya yang punya jabatan. Peduli amatlah
dampaknya apa ke masyarakat, yang penting publikasi
gila-gilaan, dananya besar dan ditutup dengan artiskelas
berat. Semua organisasi saling adu gengsi, kalau bisa
iklan acaranya sampai ke televisi. Pokoknya kabar-kabar

10
acaranya harus santer, jadi pokok bahasan laris di
facebook dan twitter.

Kami adalah mahasiswa etalase, yang menganggap


dialektika itu hanya sesuatu yang klise. “Vini, vidi, vici”,
kami datang, kami menang, kami pulang. Jabatan
lengkap, nilai mengkilap, punya pacar dan nanti
keperusahaan besar untuk melamar. Masa kuliah hanya
mempercantik CV, agar dijajakan pada saat interview
nanti. Kamimahasiswa etalase, yang menjual diri kami
nanti ke depan para korporat yang terhormat. Tapi
sebelum tiba saatnya untuk itu semua, mari sejenak kita
teriakan“Demi Tuhan, bangsa dan almamater !”.

Sekian.

11
Monolog Pagi Hari - Sebuah Kutukan
Sebuah Kutukan

Pagi ini, aku melihat berita di televisi, katanya Indonesia


juara dua Olimpiade sains internasional. Pembawa berita
memulai beritanya dengan segaris tanggung senyum
bangga yang tak mampu disembunyikannya, atau
mungkin sengaja dibuatnya hingga tidak utuh terlihat.
Betapa hebatnya anak-anak itu, mampu menang
melawan anak-anak negara maju dengan sistem
pemerintahan yang lebih bersih dan adil. Di Eropa sana,
mungkin tidak ada tilang yang bisa dilobi, bahkan di
Jerman kudengar sekolah itu gratis dan tidak bayar.
Tidak seperti disini, bahkan contekan ujian nasional,
guru yang memberi, tidak lagi sembunyi-sembunyi.

Aku bayangkan negara Amerika Serikat, yang punya


badan antariksa NASA. Mereka bahkan mencari ilmu
bukan sampai ke negeri cina, tapi sampai ke sudut jagat
raya yang jaraknya jutaan tahun cahaya. Atau coba
kualihkan pikirku ke Eropa, yang membuat laboratorium
antar negara untuk memecah elektron dan proton, intisari
semua benda. Hebat luar biasa artinya Indonesia, dengan
caruk maruknya mental pemimpinnya, mampu
menghasilkan generasi muda terbaik dunia.

Jaman dahulu para pengembara dunia datang ke


Nusantara, ada yang dari Arab, Cina dan Eropa. Mereka

12
hebatnya menjadi kaya raya di tanah yang bukan
negerinya, bahkan sebuah bangsa bernama Belanda
mendirikan pemerintahan ala mereka. Tidak tanggung-
tanggung pula, tiga ratus tahun lamanya, memerintah
dengan seenak udel mereka. Oleh mereka, penduduk asli
nusantara di labeli pribumi, diperlakukan berbeda
seakan-akan terlahir dengan harkat martabat dibawah
kaki. Mengambil hasil bumi nusantara, menikmatinya
dan mengatur penduduknya pula.

Kalau kita coba mundurkan sedikit lagi ke belakang,


sebenarnya keadaan pun tidak jauh berbeda. Tidak
dengan serta-merta nusantara kaya ini seperti surga,
penduduknya memakan nasi hasil sawahnya dengan ikan
segar dari lautnya sembari bernyanyi sukacita, bebas
merdeka. Paduka Raja adalah segalanya, atas nama
sucinya darahnya, semua wanita dapat dimilikinya dan
seluruh kota dan desa bertebar tanah miliknya. Raja
membangun istana khusus wanita rampasannya dari
kerajaan-kerajaan kecil tetangganya, sekali dua kali
entah itu rakyatnya atau bukan akan dia penggal
kepalanya jika berani berpikir melawannya. Ya, itulah
manusia yang tak pernah lepas dahaganya akan kuasa.
Jika ditambah rakyatnya yang lugu (kalau tak mau
dibilang dungu), bermental babu dan tidak banyak tahu.
Maka, tirani tangan besi sudah siap tersaji, ditambah
awet pula antar generasi.

13
Lalu, kurang apa coba Indonesia ini? Bukankah
rakyatnya kini tidak lagi bodoh dan lugu, apalagi di
jaman informasi seperti ini. Bahkan Olimpiade tingkat
dunia Indonesia meraih banyak mendali. Atau mungkin
masih bermental babu? Ah, jelas sekali tidak! Mana ada
babu yang membuang sampah di kalinya sendiri, dan
menunggu orang lain yang nanti membersihkannya
untuk dirinya. Justru semuanya bermental raja, bahkan
anak-anak SMA saja kini sudah sesuka hatinya
memukuli para pencari berita dan diumumkan pula di
dunia maya. Seperti kalau raja sesudah memenggal
seorang kacung, kepalanya segera digantung agar dilihat
orang ramai matanya dicongkel dan dimakan burung.

Lalu, dari keluarga terkutuk mana pula lahir para


pesakitan negeri ini? Para pelaku korupsi yang ongkang-
ongkang kaki, mafia keadilan, pengusaha-pengusaha
penghancur lingkungan dan manusia-manusia terkutuk
lainnya yang berbuat semena-mena namun masih bisa
menari berlenggang leha-leha. Kalau dulu tirani dan
penjajahan datang dari rakyat bodoh, bermental babu dan
hanya bisa berdiam diri. Lalu, apa yang terjadi kini?
Siapa pula yang melahirkan kondisi buruk hancur seperti
ini? Terkutuk betul-lah semua pejabat brengsek negeri
ini, serta yang daripadanya-lah mereka semua menjadi
seperti ini.

Oalah, segala ampun bagi-Mu ya Gusti. Hamba-Mu


yang satu ini tidak dengan cepat untuk segera sadar diri.

14
Sudah dari tadi, hamba-Mu ini tak berhenti mengutuki,
namun baru mengerti itu semua tertuju kembali pada diri
ini. Betapa lebih buruk dari masa penjajahan dan
kerajaan, rakyat yang ada sekarang ini. Tidak bodoh dan
tidaklah pula bermental babu, namun lebih hina, yakni
bermental pencuri, mau menang sendiri dan tak lagi
punya kehormatan diri. Bagaimana pula bermimpi
pejabat tidak korupsi, kalau hanya membuat SIM saja
maunya tidak perlu repot antri. Tinggal kasih tunai,
semua perkara selesai tanpa perlu ikut tes beramai-ramai.
Ada pula yang palsukan dokumen sana-sini, agar
terhitung sebagai penerima subsidi. Sudahlah, semakin
disebut maka semakin malu pula diri ini, sudah sok
jagoan mengutuki.

Jelaslah sudah dari mana lahirnya para pesakitan negeri


ini, kalau bukan karena rakyatnya sendiri yang bermental
pencuri. Seenak udelnya tunjuk jari sana-sini padahal
akar masalahnya ada dibalik cermin kamar mandi.
Tidaklah kurang hina para pejabat korupsi, namun kalau
cuma dicaci maki tak ada sejengkal keadaan pun yang
akan berganti. Kalau benar mau melawan, bukanlah hal
yang sulit untuk dilakukan. Masing-masing kita mulai
jujur pada keadaan dan mengubah diri secara perlahan,
dengan restu Ilahi bukan tak mungkin semua keburukan
ini diakhiri.

***

15
Kepalang tanggung juga, kutuk sudah keluar dari tadi,
sekalian saja kuluapkan lagi. Terkutuklah para rakyat
bermental pencuri (mungkin seperti aku ini), agar
menjadi “seperti babi”, biar pun makan dari lumpur
tanah, asal tidak memangsa kawanan sendiri. Agar
menjadi “seperti cacing kuburan”, meski tinggal dengan
bangkai orang mati, namun karenanya tumbuh subur
ditanahnya indah mekar melati.

16
Lika-Liku Para Maskulin

Kami memang tidak begitu rapi, terkadang beberapa


pakaian kotor terletak diatas meja kerja bergabung
bersama makan malam. Tapi itu semua, karena kami
tidak terfokus pada hal-hal kecil melainkan pada suatu
hal besar yang kami kerjakan pada meja tersebut.

Kami memang tidak begitu bersih, terkadang debu jok


sepeda motor itu cukup tebal untuk membekas pada
celana jika diduduki. Itu karena kami lebih terpaku
mendengar suara mesinnya dibandingkan
memperhatikan celana kami yang mendudukinya. Kami
merawat kendaraan bukan dengan lap dan kemoceng,
melainkan dengan kunci dan minyak oli, agar lajunya
tetap secepat hasrat kami dalam menjalani hidup ini.

Beberapa dari kami memang punya kebiasaan buruk,


yakni menghisap asap hasil bakaran daun tembakau yang
kering. Hal tersebut tidak baik untuk kesehatan, meski
media sekarang sudah menggambarkan produk hasil
alam itu dengan berlebihan. Itu karena kami lebih
mengutamakan bagaimana hidup tersebut dinikmati
bukan pada panjangnya waktu yang dijalani.

Kami menyukai berdiskusi, karena itulah kelebihan


kami. Kami mampu bertukar pendapat tanpa perlu
banyak dipengaruhi perasaan. Diskusi kami lebih banyak
merupakan aliran logika yang lancar namun tenang,

17
bukan seperti derasnya emosi perasaan yang sekejap,
lalu hilang.

Kami tidak suka berkomentar dan menyibukkan tentang


hal-hal kecil didalam rumah, tentang jumlah gelas
ataupun letak televisi. Kami lebih memilih membaca
buku diteras rumah sembari segelas kopi menemani.
Bukan karena kami tidak peduli, karena bagi kami sisa
waktu yang ada akan terasa sia-sia jika hanya untuk hal-
hal kecil dan mempersingkat waktu yang seharusnya
bisa kami nikmati.

Itulah kami dan dunia kami yang sebenarnya tidak


terlalu sulit dimengerti, dan tak seburuk yang teramati.
Karena apa jadinya dunia tanpa kami?

Jika semua orang memperhatikan letak kain kotor di


meja kerja, maka siapa yang memperhatikan apa yang
dikerjakan di meja kerjanya?

Jika kendaraan-kendaraan itu tampil bersih mengkilap


namun tidak bisa dijalankan, lalu apa lagi gunanya?

Dan ini semua bukan tentang laki-laki, hanya sepenggal


cerita atas apa yang biasa disebut maskulin. Mungkin
banyak laki-laki yang demikian, namun tidak sedikit
pula yang sebaliknya.Sekilas lalu akan tempak seperti
pembenaran, tapi ini hanya sebuah cerita.Cerita yang
mungkin tak semua tahu, bahwa dibalik keburukan-
keburukan itu terletak sebuah kebijaksanaan yang
sederhana, yang tanpanya keadaan tidak akan sebaik
yang dipikirkan.

18
Dirimu dan Dunia dalam Berita

Aku mengutuki kepengecutanku, karena tak berani


mengungkapkan bahwa aku sungguh peduli padamu.
Sama seperti anak TKI di dusun kumuh, yang mengutuk
pemerintah membiarkan wajah ibunya disulut cerutu.

Kita sudah lama saling mengenal, wahai perempuan


cantik berhati keras. Sudah selama
lumpur sidoarjo yang mengental, lalu dibiarkan, tak
berkutik dan berakhir naas.

Aku membenci malam sendu yang tak terhindarkan,


yang telah melayangkan paras manismu diatas kamar.
Seperti membenci para guru yang harusnya mengajar
kebenaran, malah dengan jelas mengajari menipu tanpa
samar.

Harusnya aku sudah mengajakmu jalan, bukan


termenung diam tanpa harapan. Sebagaimana
harusnya rakyat desa memberi perlawanan, melihat
hutannya diraung-raung pengusaha sialan

Aku terlalu terbuai dengan lagu-lagu melankolis dan


sebuah gitar ini. Seperti anak
muda terlena kemewahan palsu, disajikan manis indah di
televisi.

Sayangku, aku geram dengan semua pemendamanku


padamu akan sebuah cinta. Begitu pula

19
aku tetap diam menyimpan amarahku ketika melihat
acara berita

Lalu aku bisa apa?


Kau dan berita ini sama saja..

Membuatku diam terpaku, meski tahu harus melakukan


sesuatu.

20
Maaf Ibu, Anakmu pulang terlambat
waktu

Ibu, sabarlah dahulu karena kini bukan waktuku

Aku pulang terlambat waktu, tapi yakinlah ku tak sedang


lilu

Hanya tersandung satu dua batu dijalan lurus itu

Masih ada yang harus aku kejar, Ibu

Janganlah kau takut, aku pasti akan pulang kepadamu

Semusim lagi aku berjanji pada langit dan bumi

Ku kan sampai diujung jalan mesti harus dengan berlari

Sekali-kali mungkin ku akan berhenti

Tapi hanya untuk mengenang ujung jalan yang menanti

Disana senyum tawa kan ku luapkan dari dasar hati

21
Anakmu tidak sedang terlambat, hanya butuh waktu
yang tepat

Jalanku mungkin sedikit lebih panjang, itu semua bukan


tanpa alasan

Karena nanti ketika aku datang, gemakanlah pada


seluruh daratan

"Anakku telah datang menginjak bumi, cendikiawan


muda bangsa pilihan

Yang tidak bermimpi hanya jadi pekerja, dirantai dan


diikat lehernya

Tapi ditangannya ada seberkas asa, agar keadaan ini tak


lagi sama"

22
Logika :
Bagian II
Nalar, Agama, Budaya dan Petuah
Bijaksana

“Tuhan itu ada di semua masa dan di


semua ruang. Dia juga ada dalam setiap
pikiran, hati dan jiwa manusia yang
mengabdikan dirinya pada kedamaian
sesama dan lingkungannya”

23
Penyesalan Seorang Kristen Muda
“Aku seorang pengecut yang memuji-Mu ya Tuhan dan
seorang manja yang terus mengeluh padamu, oh Ibu
Pertiwi.”

Aku adalah seorang mahasiswa, seorang muda yang


sedang belajar untuk mempersiapkan diri agar kelak
dapat berguna bagi semua orang di sekitarku, dan
bangsaku Indonesia. Jika ada yang bertanya, aku
menjawab aku adalah seseorang berkeyakinan pada
Kristus, karena aku tidak terlalu suka disebut beragama
kristen, mungkin karena di negeriku ini agama telah
dipakai dengan salah oleh manusia-manusia yang tidak
memanusiakan dirinya. Meski kerap kali orang lain
berkata bahwa manusia-lah yang salah bukan agamanya,
tapi tetap saja aku tidak nyaman jika disebut beragama.
Anggap saja aku terlalu verbalis, tapi yah mau
bagaimana lagi.

Aku lebih nyaman dikatakan berkeyakinan pada kristus


daripada disebut pengikut Kristus, sebagaimana arti
harafiah kata "kristen". Karena, aku masih mengutuki
diriku sendiri, yang sama sekali tidak menunjukkan
mengikuti perilaku kristus. Karena bagiku bukan dengan
melantunkan pujian dengan mulut dan doa-doa panjang
sembari hati bergetar hebat saja yang menunjukkan
perilaku Yesus. Aku tahu persis, Yesus adalah pembebas
dan dia datang untuk membebaskan, dimana aku
menemukan diriku seringkali hanya berhenti sampai titik

24
mendoakan dan bernyanyi dibanding membebaskan.
Yesus mendatangi orang lumpuh dan kusta yang
ditinggalkan, menginap di rumah pemungut cukai yang
korup dan bukan menginap di bait suci sembari
bernyanyi dan memuji.

Jika hanya berdoa, ada baiknya aku menyebut diriku


sebagai pengikut farisi dibandingkan dengan disebut
pengikut Kristus. Jika hanya bernyanyi ada baiknya aku
menyebut diriku biduan.

Aku juga tidak nyaman disebut negarawan atau pemuda


bangsa, sebut saja aku seorang muda warga negara
Indonesia. Karena yang kutahu hanya memakan subsidi
dengan kuliah berbiaya rendah serta bantuan dari negara
yang lain. Cuma bensin motorlah aku memilih tak
disubsidi tapi kalau kepepetpun aku beli premium juga.
Tapi hinanya, aku ini sukanya hanya mengeluh, yang
tentang sistem yang koruplah, hukum yang gak
ditegakkanlah dan kekerasan berkedok agamalah.

Jika hanya mengeluh ada baiknya aku menyebut diriku,


seorang muda warga negara Indonesia yang kekanak-
kanakan. Jika hanya menerima subsidi ada baiknya aku
menyebut diriku si miskin yang ditanggung negara, ya
karena memang aku ini miskin karya pada negara.

Aku hanya mengumbar kejelekan bangsaku sendiri dan


takut untuk terjun kedalamnya dan mengubahnya.
Padahal bagaimana mungkin sesuatu berubah jika hanya
dibicarakan dari luar, sedang para pemimpin kita yang
korup itu tertawa bergelimang uang? Padahal pula aku

25
tahu persis bahwa Yesus turun ke dunia dan menebus
dosa adalah sebuah perubahan dari dalam, bukan hanya
dengan menunggu manusia yang berdosa mati dan
meninggalkan dunia untuk dia lempar kedalam
kebinasaan.

Aku ini juga adalah seorang muda yang tua bangka,


hidup hanya dalam kisah-kisah kuno para nabi dan
pendiri bangsa. Ketika SD aku membaca kisah hebat
seperti daud, samuel, yosua dan banyak tokoh lain yang
mengubah nasib bangsanya Israel. Ketika SMP, aku
membaca habis buku tentang kehidupan Muhammad
Hatta, seorang pendiri bangsa yang kukagumi karena
ilmu yang dipelajarinya dia baktikan untuk bangsa. Tapi,
sudah satu dekade sejak buku itu kubaca tak juga aku
mengikutinya sebagaimana aku tak juga pernah
mengikut Kristus dan kisah para nabi dalam Alkitab.

Semoga ini hanya diriku saja, karena jika tidak betapa


malangnya bangsa ini, betapa terancamnya kekristenan.

Semoga juga aku bisa beranjak dari mengutuki diri ke


tahap mengubah diri dan tak lagi malu pada apa yang
seharusnya aku katakan ke orang lain tentang siapa
diriku sebenarnya. Bahwa aku bukanlah seorang
pengecut yang memuji Tuhan dan seorang manja yang
mengeluh pada Ibu Pertiwi.

26
Berkenalan dengan Setan

Dahulu, aku pernah mendengar sebuah cerita tentang


setan disebuah persekutuan. Konon, bahwasanya setan
itu sangatlah picik dan cerdik, bersembunyi dalam kode-
kode rahasia dan dalam simbol-simbol yang ada di
kehidupan manusia. Bacalah Alkitab lalu kau akan tahu
wujud setan seperti apa, dia adalah seekor ular naga yang
besar dan dia pula manusia yang bertanduk seperti
seekor kambing jantan. Setan ini mengelabui manusia,
menjelma dalam wujud berhala-berhala yang disembah
manusia, menjadi patung-patung yang ada diberbagai
kebudayaan dan tempat. Bahkan, salah seorang pernah
berkata bahwa dia mengenal seseorang teman yang
diurapi roh kudus sehingga mampu melihat roh-roh jahat
itu udara. Dia melihat roh-roh itu berkumpul di patung-
patung besar, bergerombol dalam berbagai wujud. Sebut
saja roh kesombongan, dia memiliki tanduk yang besar,
lalu disana terdapat pula roh percabulan yang berkeliaran
tanpa busana dan menghingapi manusia disekitarnya.

Kau harus menjauhkan segala wujud benda berhala agar


tidak ada dalam rumahmu, dalam kamarmu, agar
hendaknya roh-roh itu tidak berada disekitarmu. Guci-
guci bergambar naga, patung-patung berbentuk kambing
jantan, dan legenda-legenda lainnya yang merupakan
buah karya iblis yang berusaha menjauhkan manusia dari
Tuhan Allah semesta alam.

27
Dua paragraf diatas adalah sebuah kilasan mengenai
suatu pengertian tentang setan, lucifer, bintang timur,
atau apapun nama-nama dibalik sosok yang kita kenal
sebagai bapa segala dosa tersebut. Pengertian tersebut
tampak alkitabiah sekali, tampak begitu mistis sehingga
tak sulit bagi kita untuk terciut hati dan takut.

Tapi tak semua hal tersebut benar, bahkan telah


berkembang menjadi suatu ketakutan yang dangkal yang
memberangus kebudayaan. Maka apa jadinya jika semua
guci-guci kebudayaan cina yang bergambar naga akan
dimusnahkan? Lalu apa jadinya jika ornamen gorga
batak bernama singa-singa yang bergambar kerbau
dengan dua tanduk besar dibakar dalam api-api besar
yang dinyalakan atas nama "tuhan"? Akan tiba suatu
saat, dimana kebudayaan-kebudayaan yang indah itu
hanya akan menjadi ingatan yang hilang seiring generasi
yang berlalu.

Pernahkah anda mendengar legenda skotlandia, tentang


sebuah mahluk bernama faun yang berbadan manusia
dengan kaki rusa dan tanduk serta telinga kambing
jantan? Tampak menyeramkan bukan? Namun, dalam
legenda diceritakan bahwa faun adalah perwujudan roh
hutan dan alam yang akan membantu manusia jika
mereka mampu menjaga hutan dan alam disekitarnya.
Bagiku, faun justru tampak seperti malaikat, ketika
melihat manusia yang justru dengan rupa yang sangat
tampan menebangi hutan, membunuh hewan-hewan liar,
lalu mendirikan mal-mal besar dan yang mungkin
didalamnya didirikan gereja (hanya kiasan).

28
Kini, terciptalah suatu ajaran yang simbolis, yang tanpa
pernah mencoba menggali sesuatu lebih dalam dengan
gampangnya menunjukkan jari kearah ini dan itu sebagai
perwujudan dari sosok setan. Suatu keyakinan yang
imajinatif dan tidak logis, yang berusaha mewujudkan
sosok-sosok setan dalam wujud fisik dibandingkan
melihat tingkah laku manusia yang justru lebih
menyerupai setan dibandingkan kayu-kayu ukiran dan
lukisan-lukisan peninggalan leluhur yang justru
sebenarnya memiliki arti yang luhur.

Manusia memiliki berbagai ragam kebudayaan sebelum


agama datang menyentuh mereka. Kebudayaan itu
tercipta dari hasil olah pikir mereka dan dilukiskan
dalam wujud-wujud imajinasi mereka. Dalam mitologi
cina, naga adalah wujud daripada roh-roh orang suci
sebelum beranjak ke surga. Namun, dalam mitologi
batak yang dipengaruhi hindu, naga padoha adalah sosok
kejahatan yang dikisahkan selalu berseteru dengan batara
guru seorang dewa yang melambangkan kebaikan.
Dalam Alkitab, naga digambarkan sebagai perwujudan
setan saat dihukum dan dijatuhkan ke bumi.

Gambar-gambar itu (dalam kebudayaan-kebudayaan)


hanyalah sebuah kiasan, yang akan berbeda-beda pada
masing-masing kebudayaan. Namun, hal yang sejatinya
luhur tidak lagi dapat dilihat dikarenakan huruf-huruf
dalam kitab suci yang ditelan bulat-bulat, dan keindaha
budaya yang tidak lagi didalami. faun hanyalah sebuah
kiasan orang-orang skotlandia agar generasi dibawahnya

29
menjaga hutan dan alamnya karena hal tersebut akan
membantu mereka dalam kehidupannya dan akan
merugikan mereka ketika hutan gundul dan bencana
longsor melenyapkan rumah-rumah mereka. Mereka
menggambarkannya dengan kaki rusa, telinga dan
tanduk kambing merujuk pada hewan-hewan yang ada di
hutan-hutan mereka. Penyembahan pada sosok-sosok
tersebutlah yang menjadikannya berhala bukan pada
wujud fisiknya.

Jadi kelak, biarkanlah legenda-legenda itu tetap ada


menjadi imajinasi-imajinasi yang mewarnai masa kecil
anak-anak kita , sembari mereka menangkap pesan luhur
dibaliknya. Biarkanlah guci-guci dan ukiran-ukiran
indah itu menghiasi rumah kita dan mengingatkan kita
betapa eksotisnya kebudayaan itu.

Lalu ketika ditanya, seperti apakah wujud setan itu oleh


anak kita kepada kita kelak. Maka jawablah, wujudnya
seperti traktor-traktor besar yang menghabisi hutan tanpa
ampun, seperti pejabat-pejabat berjas yang mencuri
uang-uang rakyat dan seperti apa yang kau lihat dicermin
"nak", ketika kau mulai jauh dari firman Tuhan dan
membiarkan kesombongan, keserakahan,
ketidakpedulian akan sesama dan hal-hal keji lainnya
menjadi satu dalam dirimu.

30
Satu Gema Dalam Pelestarian Budaya

Manusia dalam perkembangannya menciptakan suatu


kebudayaan yang corak dan unik di seluruh belahan
dunia, menjadi salah satu kekayaan dunia yang indah
ditengah-tengah kemerosotannya yang tak lagi mampu
dipungkiri. Manusia tidaklah mampu hidup selamanya,
setiap generasi akan gugur dalam waktu yang tiada
mungkin dihentikan dan bertunas pulalah generasi baru.
Setiap zaman punya keunikannya sendiri, sehingga
kebudayaan pun akan semakin berkembang, mungkin
semakin kaya atau mungkin semakin bergeser dan
kehilangan makna luhurnya.

Budaya adalah seluruh total pikiran, karya dan hasil


karya manusia yang tidak berakal kepada nalurinya dan
yang hanya dicetuskan oleh manusia sesudah proses
belajar, begitulah Koentjaraningrat berusaha
merumuskannya. Sebagaimana ilmu, budaya adalah hasil
proses belajar manusia yang sudah terjadi sejak manusia
ada, mungkin ratusan atau bahkan ribuan tahun yang
lalu. Sebagaimana itu pula, proses belajar itu dilakukan
oleh manusia sejatinya untuk mensejahterakan dirinya
dan orang lain atau masyarakatnya sesuai dengan
pemahaman dan kearifan di jamannya.

Satu gema yang dapat kita tangkap adalah bahwasanya


budaya ada untuk mesejahterakan manusia baik untuk
dirinya maupun masyarakatnya serta lingkungan

31
tinggalnya. Satu gema ini akan mampu kita tangkap
dalam setiap kebudayaan dan dalam setiap karyanya baik
itu dalam seni, ilmu maupun bentuk kearifan lokal
lainnya di seluruh belahan dunia.

Gema ini yang tentunya kita tangkap menjadi suatu tugas


bagi generasi muda untuk melestarikan budaya
leluhurnya, melestarikan hasil pemikiran para
pendahulunya dari pengalaman mereka, meskipun
kadang dengan perkembangan pemahaman saat ini,
mampu membantu kita untuk dengan teliti memilah
budaya-budaya mana yang layaknya perlu kita lestarikan
dan mana pula yang tidak.

Maka sampailah kita pada sebuah pemahaman sederhana


dalam makna pelestarian budaya, bahwasanya
pelestarian budaya akanlah kehilangan maknanya
sebagaimana yang telah bergema di seluruh belahan
bumi, bilamana pelestarian itu tidak lagi memberikan
manfaat serta mensejahterakan manusia. Oleh karenanya,
akan tidak banyak berguna segala upaya pelestarian
budaya jikalau hal tersebut tidak memberikan manfaat
dan mesejahterakan "orang lain", yang dalam konteks
kekinian yang biasa kita sebut dengan masyarakat.

32
Berpikir Adil Meski Meyakini
Sesuatu yang Dogmatis
"Agama ataupun aliran kepercayaan tentang Tuhan,
tentang semesta, kehidupan setelah mati dan lain
sebagainya, meskipun diyakini dengan hati dan tanpa
bukti-bukti ilmiah sebagaimana ilmu pengetahuan,
harusnya tidak mematikan nalar dan membunuh
keadilan dalam berpikir" - Arion Batara -

Suatu ketika, saya berbicara dengan seseorang


berkeyakinan tertentu, jika diidentikkan dengan agama,
merupakan salah satu agama besar di dunia. Meski saya
tidak merasa bahwa keyakinan sama dengan agama, tapi
setidaknya itulah yang dijadikan identitas atau klasifikasi
kasar atas sebuah keyakinan seseorang.

Dalam perbincangan kami, maka tersebutlah suatu


kutipan yang berisi sebagai berikut : "Dari
pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik
pula".

Maka, aku pun bertanya padanya "Lalu apakah dari


pohon yang buruk tak bisa berbuah buah yang baik", dari
percakapannya dia menjawab tidak, meski dengan kata-
kata yang berbelit-belit seakan takut nanti akan menjadi
bumerang atas apa yang dia yakini secara dogmatis akan
mungkin runtuh dengan penalaran sederhana.

33
Pertanyaan ini timbul tentang perdebatan kami akan
sikap yang baik atas suatu gagasan. Dimana aku dengan
tegas berkata bahwa suatu gagasan yang benar akan tetap
benar selama hal tersebut berlandaskan kasih dan
kemanusiaan, tidak peduli siapa yang melontarkannya.

Gagasan yang menyatakan perlawanan terhadap


kekerasan akan tetap sebuah gagasan mulia, meski
diucapkan seorang gypsy, sambil menghisap sebatang
ganja yang dia linting sembari setengah menutup
mata.Setidaknya begitulah yang aku sampaikan.

Lalu, aku berkata bahwasanya benar dari seseorang yang


baik akan lahir sebuah gagasan baik, namun tidak berarti
sebuah gagasan baik tidak bisa keluar dari siapa saja.
Karena jika sebuah gagasan dinilai berdasarkan tingkah
laku maupun hidup pemikir maupun pelontarnya dan
bukan pada gagasan itu sendiri, maka kita akan terjebak
dalam perbedaan norma-norma, budaya, maupun
keyakinan yang membuat kita menjadi tidak adil dalam
menilai.

Maka ketika aku bertanya siapakah pohon yang baik itu,


dia menjawab mereka-mereka yang hidup dengan
keyakinan sesuai dengan keyakinan dia, yang imannya
sesuai dengan keimanannya. "Lalu bagaimana dengan
mereka yang tidak sesuai dengan keimananmu?"
tanyaku. "Tak mungkinkah gagasan yang baik keluar
daripadanya?"

34
Dalam kekalutannya, "fundamentalis" ini, begitulah
dalam hati aku menyebutnya mulai meracau tak menentu
arah hingga sampai pada suatu kisah tentang seseorang
bernama Mahatma Gandhi.

"Lalu apakah Mahatma Gandhi yang dengan jelas


berkeimanan berbeda denganmu, mengutarakan hal yang
tidak baik?" tanyaku. "Padahal dia mengajarkan tentang
perlawanan tanpa pedang, perjuangan tanpa dtumpahan
darah?" lanjutku. "Dan bukankah yang beliau ajarkan
sesuai dengan dasar keyakinanmu sendiri, yang kubaca
dari kitab sucimu itu, yakni kasih!" tekanku padanya.

Aku tak tahu ada hantu apa dalam pikirannya, atau


mungkin nalarnya sudah mati, entahlah, namun dia
menjawab : "Siapa tahu mahatma gandhi meyakini hal
yang sama denganku! Siapa tahu!".

Lalu tanyaku, "Apakah keyakinanmu juga meyakini Tri-


murti sebagaimana Mahatma Gandhi yakini?", sebelum
dia menjawab, aku langsung menekankan lagi, "Jelas
tidak bukan?".

Cerita diatas tidak bermaksud menciderai keyakinan


tertentu,ataupun menolak sebuah frase indah nan hebat

35
"Dari pohon yang baik maka keluar buah yang baik
pula",

sebagaimana yang diartikan bahwasanya dari mereka


yang menghidupi kebaikan akan mengeluarkan gagasan
kebaikan pula.

Cerita diatas bermaksud untuk menceritakan


bahwasanya mengkultuskan sesuatu keyakinan secara
membabibuta dan mempersempit sebuah nilai, maka
justru menciptakan pola pikir yang tidak sehat dan gagal.

Mengapa sulit mengakui bahwa seseorang mungkin


memiliki gagasan benar meski dalam kehidupannya dia
melakukan hal-hal yang tidak sesuai keyakinan kita?

Bukankah sejarah mengatakan, ada banyak darah yang


tertumpah yang justru diakibatkan para pemuka-pemuka
semua keyakinan didunia, tidak luput dari keyakinan kita
sendiri pula. Bahwasanya bukan tentang siapa atau apa
keyakinannya, tapi apa gagasan yang dibawakannya.

Janganlah menghubung-hubungkan sesuatu kebenaran


seakan-akan harus berasal dari aliran kita. Ataupun
sebaliknya, membenar-benarkan sesuatu yang keluar dari
seseorang yang se-aliran dengan kita meskipun belum
terbukti demikian.

Seperti meracau tentang seorang yang mengutarakan


gagasan benar seakan-akan dia memang mengambilnya

36
dari keyakinan kita, atau membenarkan gagasan
seseorang hanya karena dia memiliki keyakinan yang
sama dengan kita meskipun gagasannya belum tentu
sesuai dengan keyakinan kita tersebut.

Jadilah adil dalam berpikir dan menilai, apalagi dalam


perbuatan.

37
Pesan untuk Umat Manusia

Seorang buta menyebut Nama

Nama yang dia percaya penuh kuasa

Nama yang menjadi awal alam semesta

Seorang Tuli membayangkan sesosok Wajah

Wajah yang dia yakini bercahaya

Yang selalu disebut dengan kata Maha

Seorang miskin melantunkan nada

Nada bagi Sang pencipta Surga

Dimana setelah mati dia akan kesana

Meninggalkan semua siksa yang kini dia rasa

Seorang Pemuda bertanya-tanya

Adakah pesan yang ditinggalkan untuknya

Adakah tugas yang harus dilakukannya

38
Untuk semua keindahan dalam dunianya

Untuk kekayaan yang dimilikinya

Untuk kuat tubuh dan tampan wajahnya

Untuk jelitanya pujaan hatinya

Adakah yang mampu memberitahunya

Bahwasanya pesan itu benar adanya

Pesan bagi seluruh umat manusia

Adakah yang mampu menyampaikan padanya

Bahwasanya ada mereka yang tuli, miskin dan buta

Untuk menjadi tempat luapan syukurnya pada Dia

Dia yang menjadi pencipta semua dunia

Agar meski yang buta tak rasakan cahaya

Meski yang tuli tak juga menangkap suara

39
Yang miskin tak pernah merasakan kaya

Mereka dapat merasakan Sang Pencipta

Merasakan deras aliran kasih-Nya

Melalui sang pemuda kaya dan perbuatannya

Beritahu dia apalah gunanya semua agama

Jika hanya menjadi alasan untuk saling angkat sejata

Atau hanya jadi pedoman segala ritual manusia

Tanpa dirasakan oleh sesamanya

Ciptaan terindah Sang Maha Kuasa

40
Kebaikan Itu Bukan Seperti
Menanam Jagung, Amang.

Suatu hari ibuku pernah berkata begini : "Kebaikan itu


bukan seperti menanam jagung amang, dang isi
tanomonmu, isi muse suanon mu, alai ingot ma
hatakkon, ikkon suanonmu do akka na denggan i baen ho
tu jolma".

Artinya kurang lebih bahwa kebaikan itu bukan seperti


menanam jagung, dimana kau tanam maka disitu pulalah
akan kau tuai. Tapi percayalah pada kata-kataku oh
anakku, bahwa kau pasti akan memperoleh akan apapun
kebaikan yang kau berikan ke orang lain.

Ayahku adalah seorang polisi dengan sebuah mobil L-


300 tua yang dulu dipakainya (kini sudah ganti tapi
dengan mobil tua lainnya). Mobil ini dulunya ambulans
puskesmas keliling yang sudah sangat tua, kalau gak
salah keluaran tahun 80 atau 82, dan dilelang. Ibuku
yang sudah lama jadi pegawai pun diberikan kesempatan
membelinya dengan harga murah. Eh, tapi yang
namanya mobil, mungkin juga ya seperti manusia. Mobil
ini mungkin dulu kerjanya membawa jenazah, orang
sakit dan lain-lain, dan ternyata setelah dicat merah sama
bapak tetap aja kerjanya membawa orang yang sedang
bermasalah.

41
Suatu hari aku mau naik mobil L-300 ini, dan aku
melihat banyak pecahan kaca di joknya yang butut itu
dan sedikit bercak darah. Aku tanya ke bapakku "Pak, ini
kok kotor gini? kenapa pak?". Lalu jawabnya "tadi aku
angkut orang yang kecelakaan di jalan, kutaroh langsung
dibelakang, eh ternyata gak sempat, sudah meninggal
duluan". Aku yang saat itu kelas 6 SD lalu beberapa hari
sempat "ogah" mau masuk ke mobil itu.

Suatu pagi aku terbangun di kamar ku, aku kaget


setengah mati. Di hari libur (aku lupa libur apa), pagi
hari itu, aku melihat ada seorang anak tidur di kasur di
sebelah tempat tidurku. Aku loncat dari tempat tidur
langsung ku cari mamak-ku, dan aku tanya itu siapa.
Mamak ku pun bilang kalau itu anak yang dibawa bapak
tadi malam, setelah dia jaga malam, dia lihat ada anak
jalanan yang mau dipukuli kawan-kawannya, lalu
diangkutnya ke rumah. Mamak-ku menyuruhku
membangunkannya dan memberikannya pakaianku. Aku
pun langsung mencari pakaianku yang terjelek buat
kukasih dia pakai. Pikirku, butuh satu hari natal setiap
tahunnya untuk menambah sepasang pakaian di lemari
pakaianku. Aku gak akan memberikan yang terbaik
tentunya.

Setelah anak ini makan dan kenyang, lalu aku


mengajaknya main kelereng bersama tetanggaku. Dia
bercerita bahwa dia memanggil bapakku dengan kata
bapak, dan dibelakang mobil L-300 itu ada sepasang

42
sepatu roda yang dibelikan bapakku buat dia. Aku kesal
setengah mati lalu aku bongkar mobil butut itu, dan aku
gak menemukan apa-apa. Si anak itu berdalih, bahwa
sepatu roda itu udah disimpan. Akhirnya, aku sadar
bahwa anak itu hanya berbohong dan membual, mungkin
karena hidupnya begitu susah. Sudah hampir sore hari,
Mamak-ku memanggil kami masuk kedalam. Si anak
bengal ini langsung masuk ke dalam dan memanggil
mamak-ku dengan kata mamak, seakan-akan dia udah
diangkat anak.

Mamak-ku mengajaknya bicara, berkata bahwa kalau dia


mau hidup susah, dia boleh tinggal bersama kami dan
akan disekolahkan. Si anak itu menolak dan ingin
dipulangkan kemana dia berasal, mendengar itu mamak-
ku pun masuk ke kamar memberikannya sejumlah uang
dan menyuruhnya pergi dan berkata kapan saja dia
berubah pikiran dia bisa kembali.

Aku mengantarkan si anak ini sampai ke depan jalan,


sambil kesal melihat dia harus mengenakan pakaianku
dan memegang plastik yang berisi pakaiannya yang
lama. Dia lalu memanggil taksi, tapi taksinya gak mau
berhenti, "sial kali!" katanya. Dia pun menghentikan
angkot dan naik lalu pergi. Aku pun melihat kepergian
sepasang pakaianku pergi entah kemana, "yang jelek aja
kok", pikirku menghibur diri.

43
Lagi-lagi di suatu pagi aku kembali kaget setengah mati,
aku terbangun dan di bawah di samping tempat tidurku
aku melihat seorang gadis muda tertidur. Aku bangun
lalu kembali menanyakan hal yang sama, ku pikir
mungkin dia saudara atau apalah. Ternyata, mamak-ku
bilang bahwa gadis itu adalah gadis yang ditemukan
bapak-ku dipinggir jalan sedang kebingungan mencari
jalan ke rumah saudaranya di tengah malam, dan dia
tidak punya uang untuk taksi. Melihat bapakku yang
sedang berpakaian dinas polisi, dia pun lalu
menghampiri dan meminta tolong. Pagi itu, saat aku
hendak ke sekolah, si gadis itu pun diantarkan ke rumah
saudaranya oleh mamak, bapakku.

Aku dulu sangat sulit mengerti bagaimana mamak dan


bapakku begitu mudahnya membantu orang yang mereka
tidak kenal. Sampai suatu saat, aku pun merasakannya,
betapa kadang kita bisa saja membutuhkan bantuan
orang lain yang kita tidak kenal sama sekali.

Pada saat itu, aku dan kakak ku berencana pergi ke


siantar untuk bertemu saudara yang datang dari jauh.
Saudaraku itu berencana mau jalan-jalan keliling
samosir, parapat dan sipolha. Aku merengek-rengek
ingin ikut liburan bersama mereka, dan kakakku pun rela
membawaku dan menemaniku untuk bertemu saudara
kami itu di siantar. Kakakku pada saat itu bekerja sampai
sore sehingga kami baru bisa berangkat ke siantar
mencari bis keberangkatan malam. Namun, karena pada

44
saat itu jalanan macet dan bis yang kami naiki pun
adalah bis ekonomi yang memang tidak pernah
menjamin ketepatan waktu, lalu kami tiba di terminal
siantar larut malam.

Kakak perempuanku itu berusaha mencari angkutan kota


ke tiga balata, karena dari sana kami harus naik ojek lagi
agar sampai ke rumah oppung untuk bertemu saudara
kami itu. Tapi, uang yang ada semuanya serba pas-pasan
untuk naik angkot lalu menyambung naik ojek. Tapi
tidak ada lagi angkot saat itu, yang ada hanya becak
mesin, dan aku masih ingat mereka hanya mau
mengantar ke tiga balata dengan ongkos 11.000 rupiah.
Kakakku berkata kami tidak punya uang sebanyak itu
saat itu lalu becak mesin itu pun perlahan menghilang
seiring air mataku pun yang perlahan datang.

Tapi aku tak sampai menangis karena aku tahu betul


bahwa disampingku ada kakak perempuanku yang
nyalinya lebih besar dari sekumpulan anak-anak muda
sekitar rumah, yang pernah dia datangi sendiri, dia
bentak hanya karena pernah menggodanya (bahasa
bataknya di "pistak") sekali.

Kakakku berbicara dengan penjual rokok di warung


kecil sekitar terminal dan "Bim salabim abra kadabra",
ternyata penjual rokok itu ternyata "boru Purba", sama
dengan marga kami "Purba". Setelah mendengar cerita
kami, si penjual rokok itu mengajak kami menginap ke

45
rumahnya yang hanya berjalan kaki (cukup jauh sih) dari
warung dimana dia berjualan. Kami diberikan tikar di
ruang tamu dan selimut serta bantal dan kakak ku
disuruh membuatkan teh manis panas buat kami
nikmatin bersama dengan sedikit bercerita lalu tidur.

Keesokan paginya (cukup pagi), aku terbangun sambil


melihat kakakku yang sedang membangunkan aku
sambil membawa sebuah ceret berisi teh manis panas
buat dibagikan kesemua isi rumah itu. Aku bangun lalu
mandi dan bersiap, kami diberikan sarapan lalu
mengucapkan pamit pulang kepada semua isi rumah.
Aku masih mendengar bisikan anak si empunya rumah
yang seumuran denganku, katanya "Ai ise dei danak-
danaki, i halung-halung tas na balga?". Kurang lebih
artinya dia menanyakan siapa aku, anak-anak yang
membawa tas yang cukup besar.

Sejenak, aku melihat diriku yang bertanya sama


mamakku siapa orang yang ada disamping tempat
tidurku. Sesaat itu pula aku sadar bahwa ternyata aku
bisa saja membutuhkan bantuan orang lain yang tidak
aku kenal sama sekali. Lalu, aku dan kakakku buru-buru
pulang karena harus bertemu saudaraku sebelum siang,
karena mereka akan pergi jalan-jalan siang itu juga.

46
Lelaki Paruh Baya dan Sebuah Pesta
Natal

Seorang lelaki paruh baya berjalan masuk dalam sebuah


ruangan yang penuh hiasan dan kelap-kelip lampu.
Disana, dilihatnya ada banyak anak-anak muda,
perempuan dan laki-laki didalam ruangan itu. Mereka
tampak tampan, gagah, cantik dan berpakaian sangat
rapi, ada yang berpakaian merah, hijau dan juga biru.
Para pemuda itu tampak sangat bahagia, bertepukan
tangan dan bernyanyi. Alunan-alunan lagu yang gembira
mengalir ceria ibarat dalam sebuah pesta. Lelaki paruh
baya itu dalam hatinya bertanya, apa yang sedang
dirayakan mereka?

Lalu sejenak hening, lampu-lampu menjadi padam, lilin-


lilin pun dinyalakan membuat suasana menjadi temaram.
Di dengar lelaki itu sebuah lagu, sebuah lagu yang sudah
ratusan tahun ini dia dengar dialunkan merdu. Lagu
tentang sebuah malam yang syahdu, akan lahirnya
seorang Pembawa Keselamatan dalam kandang domba
yang sarat akan makna kesederhanaan. Diingatnya lah
hangat palungan itu, dan silau bintang yang hadir dalam
gelap langit malam yang biru. Lalu lelaki paruh baya itu
pun akhirnya tahu tentang apa semua hiasan-hiasan dan
kelap kelip lampu di ruangan itu.

47
Seorang pria yang masih muda dengan jas hitam yang
sangat bagus, berdiri didepan kumpulan anak-anak muda
itu. Dia tampak berkhotbah, dengan semangat yang
begitu besar ibarat air bah, ia mulai berkata-kata. Ia
katakan pada semua anak muda disana, bahwa ada
kelimpahan materi yang dijanjikan Tuhan pada mereka,
ada kesembuhan dan pula curahan berkat. Semua anak
muda itu tampak gembira mendengarnya, dan
menyambutnya dengan melambai-lambaikan tangan
mereka ke udara, seakan sedang menangkap berkat-
berkat Tuhan yang sedang dicurahkan atas mereka.

Bertanyalah pria berjas hitam pada semua hadirin yang


datang, "Siapa diantara kalian yang mau berkelimpahan?
Menghasilkan banyak uang untuk kalian berikan
perpuluhan, perduapululahan atau mungkin
persembilanpuluhan kepada Tuhan? Siapa diantara
kalian yang mau hidup dalam kesembuhan? Memiliki
tubuh sehat dan dijauhkan dari segala penyakit dan
kelemahan? Maka, seluruh orang disana serentak berkata
"Amin" dengan suara yang lantang dan meyakinkan. Pria
berjas hitam lalu mulai meneriakkan "Datang kepada
Tuhan, angkat tangan kalian dan ikutlah ke belakang
ruangan".

Lelaki itu mengernyitkan keningnya, tak pernah lah


dirasanya janji-janji itu sedemikian adanya.
Diingatnyalah seorang pria berjubah kusut yang mencari
belalang untuk dimakan dalam panasnya padang yang

48
menghanguskan rambut. Di padang gurun pria berjubah
kusut berkhotbah tentang datangnya titisan kerajaan
sorga, yang dimana karena kemuliaan-Nya dia merasa
tak layak hanya untuk sekedar membuka tali kasut-Nya.
Disusun kembali oleh lelaki paruh baya itu, gambar
wajah si pria berjubah kusut dalam ingatannya.Tidaklah
ada kekayaan dunia pada diri si pria berjubah kusut dan
matinya ia pun berakhir dengan hanya kepala terletak
diatas sebuah piringan. Tak ada kekayaan dan tak ada
pula umur panjang, hanya sebuah pelayanan yang
dilakukan dengan tulus kepada Tuhan.

Wajah lelaki paruh baya itu pun semakin murung, betapa


kini jaman sudah berubah. Jikalau hanya untuk kekayaan
dunia, ataupun tubuh sehat yang prima, sia-sia lah
pengorbanan seorang Anak Manusia di bukit golgota.
Anak Manusia yang lahir dalam hinanya kandang
domba, berjalan bersama orang kusta dan pemungut
cukai yang berdosa hingga akhirnya mati disamping para
pembunuh dan pemerkosa. Lelaki itu lalu keluar dari
ruangan itu, ditinggalkannya segala kemewahan hingar
bingar pesta. Masih berbekas baginya senyum tulus si
penderita kusta yang mengangkat kasurnya atau tangisan
haru gadis Samaria meski sudah berlalu ribuan tahun
lamanya. Direnungnya dalam hatinya, mungkin saat ini
yang seperti mereka ada di luar sana sedang tak ada yang
menghiraukannya.

49
Dalam langkahnya keluar ruangan, dibisikkannya kata
yang sama yang dahulu sempat diucapkannya,
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga." Lalu
berlalulah ia, menghilang dalam kerumunan dan bunyi
gendang yang ditabuh dalam suasana pesta yang
bergemuruh.

Untuk semua yang tertidur oleh khotbah yang meski


menghibur namun sebenarnya hanya membuat
kabur.

-abps- Bandung - 16 Desember 2011

50
Rasa :
Bagian I
Kumpulan Surat Cinta & Puisi

“Kau mengajarkanku tentang sebuah cinta


sederhana, kala kau cium lembut pipiku
tanpa sebab dan alasan, di suatu petang
sehabis hujan.
Aku ingin bertanya, namun senyum yang
kau berikan seakan telah menjawab
segalanya. Aku balas dengan menggenggam
jemarimu, namun aku tahu aku tak mampu
menandinginya.
Kau begitu kaya akan rasa, dan logika
milikku pun luluh lantak dibuatnya.”

51
Surat Cinta Untuk Kekasih Hati

Terima kasih, sayang, untuk mengatakan iya ketika


dengan gugup dan terbata-bata ku sampaikan padamu
bahwa sejatinya ada rasa cinta dariku untukmu. Aku
ingin kau menjadi kekasih hatiku, dan kau pun
mengangguk sembari tertunduk malu. Terima kasih
untuk ada disampingku bukan hanya untuk mengisi masa
muda kita yang berapi-api, namun juga menjadi
penyeimbang dalam hidupku yang begitu cepat dan
menggebu-gebu. Aku terlalu riak tanpamu, dan kau
mampu untuk menenangkanku agar tidak terlalu deras
aku melaju.

Aku sering kali tenggelam dalam duniaku, tentang


gagasan-gagasan yang aku dapat dari buku-buku. Aku
tahu kau tak begitu banyak tahu, namun kau nikmati
setiap ceritaku tentang apapun itu. Aku acap kali
memikirkan hal-hal besar dan kau pun hadir untuk
memikirkan hal-hal kecil bagiku. Seperti ketika ku
tunjukkan padamu artikel tentang tokoh-tokoh bangsa di
laptopku, kau justru mengeluarkan selembar tisu dan
mulai mengelap layar laptopku yang penuh debu. Setelah
selesai, kau memintaku melanjutkan, tapi kekagumanku
pada tokoh-tokoh itu pun sontak berpindah pada dirimu.
Aku hanya tersenyum, dan tak mungkin rasanya jika
kukatakan padamu, aku mengagumimu lebih daripada

52
Hatta dan Tan Malaka. Gombalan macam apa pula itu,
pasti jawabmu, maka kusimpan saja dalam kalbu.

Terima kasih untuk belaian lembutmu di rambutku, yang


mampu membuatku terlelap ketika kutemui satu dua
buah batu kerikil dalam jalan hidupku. "Terlalu banyak
hal yang kau pikirkan dalam hidupmu, sisakanlah sedikit
untukku", bisikmu lembut kala itu ketika aku sudah
mulai menutup kelopak mataku. Aku tetap berpura-pura
telah tidur dan tak mendengarnya sebagaimana yang kau
kira. Dalam suaramu aku tahu kau cemburu, bukan pada
gadis lain yang mungkin lebih centil dan kemayu, namun
pada gagasan-gagasan yang memenuhi pikiran dan
sanubariku. Ingin rasanya kujawab padamu, bahwa
diantara begitu banyak hal itu, dirimu lah yang
mengambil ruang paling besar dalam kepalaku. Tapi,
kau pasti malu begitu ku tahu kau cemburu, maka
kusimpan saja dalam kalbu.

Sebenarnya sayang, justru aku lah yang paling banyak


belajar darimu, dan itu tidaklah mungkin kuterima dari
buku-buku. Sekalipun aku mampu mengumpulkan
semua jenis buku dan artikel menjadi satu, namun tetap
tidaklah mampu mengajarkan apa yang telah ku peroleh
darimu. Kau mengajarkanku tentang sebuah cinta
sederhana, kala kau cium lembut pipiku tanpa sebab dan
alasan, di suatu petang sehabis hujan. Aku ingin
bertanya, namun senyum yang kau berikan seakan telah
menjawab segalanya. Aku balas dengan menggenggam

53
jemarimu, namun aku tahu aku tak mampu
menandinginya. Kau begitu kaya akan rasa, dan logika
milikku pun luluh lantak dibuatnya.

Kau memutarbalikkan duniaku, dan aku terlalu malu


mengungkapkannya padamu. Dahulu, aku memutuskan
untuk mencari pasangan yang pula seperti aku, haus
akan wawasan dan gagasan, agar kelak mampu sepadan.
Aku pun mulai membangun berbagai kriteria, dengan
jalinan ribuan rantai logika. Kau pun hadir seketika, dan
tanpa perlu berdialektika, kau mampu menjadi seperti
badai yang merobohkan pondasi pemikiranku,
meluluhlantakkanku dengan kesaktian yang hingga kini
masih menjadi misteri. Aku yang saat ini hanya mampu
berkata padamu, bahwa tak perlulah kau tahu semua
tentang Cokroaminoto dan Tan Malaka, karena nanti
bukan mereka lah yang nantinya akan kau tunggu di
meja makan, ketika malam tiba. Hanya ada satu yang
kau perlu tahu, yakni : diriku.Dan kini, kau sudah
mengetahuinya bahkan melebihi aku sendiri.

Terima kasih sayang, untuk menyadarkanku makna


sejati tentang cinta, dan untuk menyampaikannya padaku
meski tanpa perlu berkata-kata. Dan jikalaulah Tuhan
berkehendak, kiranya aku ingin membangun sebuah
rumah untukku kelak menghabiskan sisa hidup sampai
ajal datang menjemput. Bukanlah perpustakaan, kolam
ikan ataupun hiasan dinding dari berbagai daerah yang
harus ada disana nantinya, tapi dirimu dan anak-anak

54
kita, yang pekikan tawa mereka menjadi alunan musik
penenang jiwa.

55
Surat Cinta Kepada Istri

Terimakasih sayang, karena kau tak langsung menyela


dan menceramahiku, ketika sepulang kerja aku mungkin
mengumpat beberapa rekan kerja. Kau mendengar dan
sesekali ikut mengumpat dengan sangat halus sambil
membuatku tertawa, lalu setelah segelas teh hangat itu
kita habiskan, kau sadarkan bahwa kita tak seharusnya
seperti itu. Kau ajak aku melihat pula dimana
kesalahanku. Terimakasih sayang, untuk menjadi
bijaksana tanpa berusaha terlihat demikian.

Aku mungkin tidak bisa memperbaiki pipa air dirumah


kita, tidak seperti suami teman baikmu yang bahkan bisa
membuat sendiri kandang anjingnya. Tapi, kau tetap
sabar menungguku dibawah wastafel, hingga aku
menyerah dan kau mulai menekan nomor telepon tukang
pipa, sambil tersenyum setelah menyiapkan segelas jus
dingin. Terima kasih sayang, untuk mengerti
kekuranganku tanpa berusaha menjatuhkanku.

Kita mungkin berdebat tentang dimana kita akan


memilih rumah atau dimana kita akan menyekolahkan
anak kita. Tapi, kita tidak sampai berteriak dan kau tetap
menyiapkan sarapan seenak pagi-pagi sebelumnya.
Terimakasih sayang untuk mampu menjadi rekan hidup

56
dan berbagi pikiran, bukan hanya mengangguk dan
menurut saja.

Suatu kali aku pernah pulang ke rumah, menyesali


bahwa uang yang harusnya menjadi uang renovasi
rumah, habis terpakai karena aku gagal bermain saham.
Kau hanya menyentuh pundakku dan berkata bahwa sisa
uangnya masih bisa kita belikan cat, dan hari minggu ini
kita bisa melipur lara dengan melihat dinding rumah kita
berwarna lebih cerah. Terimakasih sayang, kau mampu
menerima kesalahanku tanpa berusaha menjadikannya
lebih buruk.

Namun, diatas itu semua, yang paling membuatku


merasa sangat bersyukur memiliki istri sepertimu adalah
ketika kau tidak lagi merasa perlu harus berlibur ke
Rusia sebagaimana tetangga sebelah kita, setelah lama
kita mendiskusikannya. Kau ikut tersenyum tulus
bahagia, saat aku justru mengajakmu ke panti-panti dan
ke desa-desa daerah asal kita serta makan bersama anak-
anak atau orang tua yang hidupnya tidak seberuntung
kita.

Jika aku mati hari ini sayang, tak perlu lah kau bersedih
hati. Aku sudah memberikanmu harta yang kupendam
selama ini, yakni hati penuh syukur dan berserah pada
Tuhan. Jika pula aku bertemu Tuhan hari ini, aku akan
berlari dan menjabat tangan-Nya dan berkata “Jikalau
benar jodoh ada di tangan-Mu Tuan, maka biarkanlah

57
aku menjabat tangan yang telah memberikanku
keberkahan paling kusyukuri dalam hidup”.

58
Surat Cinta Ayah untuk Putrinya

Putriku, aku masih ingat ketika kau dilahirkan di hari


minggu itu. Wajahku tampak menunggu khawatir
dengan mengapit keras rokok kretek itu dengan jariku,
menghisapnya mampu membantu menghilangkan semua
kekhawatiran itu. Akhirnya, melihat wajah mungilmu
membuat semua beban yang tadinya ada seakan pecah
menguap bersama udara. Terima kasih manisku, kau
menjadi penyemangat terbesar dalam hari-hariku.

Putriku, tak seperti kebanyakan mereka yang menjadi


ayah, aku tak pernah sekalipun merasa memilikimu
ataupun menjadikanmu wadah bagi semua ambisi-
ambisiku, entah itu dari masa mudaku ataupun dari hal-
hal yang menjadi pembicaraan kumpulan keluarga,
teman kantor maupun tetangga. Kau adalah manusia
merdeka dalam kemerdekaan yang mensejahterakan
sekelilingmu, jagoanku.

Bagiku, kau bukanlah piala yang akan kubanggakan jika


kau mampu menjadi apa yang dipikirkan oleh tetangga
sebagai sesuatu yang hebat. Jikalaupun aku mengajarimu
setiap malam sebelum kau tidur, bukanlah agar nilai-
nilai di rapormu bagus sehingga para guru memujimu,
memujiku dan kita menjadi pasangan ayah-putri yang
hebat.

59
Tapi agar kau mampu menjadi manusia yang kaya akan
ilmu, menjadi haus akan belajar dan sebagai tambahan
aku ingin menghabiskan waktu bersamamu lebih
banyak, bukan hanya mendorong ayunanmu dipohon
belakang rumah tapi juga ada di meja belajar kamarmu,
cintaku.

Sebenarnya sayang, aku harus melatih memasang muka


tidak puas ketika gurumu mencelotehkan kekesalannya
karena tak semua tugas kau kumpulkan tepat waktu.
Padahal aku tahu, aku memilih mengajakmu ke
komunitas pengerajin kayu dan tanah liat dibandingkan
mengerjakan tugas kerajinan yang ada dibuku. Itu aku
lakukan sayang, karena kau cerita bahwa pada akhirnya
tugas-tugas itu dikerjakan orangtua teman-temanmu atau
pembantunya dan dikumpulkan keesokan harinya
dengan sangat cantik untuk sebuah coretan huruf A di
rapor mereka.

Aku katakan padamu, “Mengapa kita harus terburu-


buru? Sabtu ini kau akan kuajak melihat beberapa
kerajinan, dan jika kau menemukan sesuatu yang kau
suka maka kita akan mencoba membuat yang seperti itu
namun tidak boleh sama. Nanti, jawab saja pada gurumu
bahwa karyamu belum selesai, dan ayah yang akan
menjelaskan sisanya nanti.”

60
Sebenarnya aku ingin tertawa, ketika dalam pembicaraan
sepulang gereja, para handai taulan itu benar-benar
berbinar berkata bahwa dengan segenap usaha dia akan
membawa putra-putrinya pada Tuhan, bukan pada dunia
ini. Mereka membelikan putra-putrinya buku-buku cerita
kitab suci, dan mengharuskan mereka berdoa sesudah
bangun, sebelum makan, sebelum berangkat dan
berbagai hal lainnya yang bagiku sungguh merepotkan.
Kau pasti ingat bahwasanya aku hanya mengajarkan
padamu untuk berdoa kapan saja kau merasa perlu, dan
hendaknya kau menghidupinya. Putriku, aku meyakini
bahwa keyakinanku pada Tuhan adalah sebuah anjuran
bagimu. Jalanilah hidupmu dan temukan sendiri Tuhan
dalam miskin dan kumuhnya kota, dalam pengetahuan
dan dalam perjuangan kemanusiaan. Datanglah pada
Tuhan sayang, tapi bukan sampai disitu saja. Datanglah
pada Tuhan agar Dia menjadikanmu terang dalam dunia
dan segala kecemarannya ini.

Aku masih ingat di sore hari itu, ketika kau berdebat


keras dengan ibumu tentang jurusan pilihanmu. Ibumu
benar-benar menginginkan kau masuk di jurusan yang
lapangan pekerjaannya lebih luas, dan kau sebagaimana
sifat ayahmu ini, menolaknya dengan keras. Aku masuk
dalam kamarmu dan membisikkan padamu bahwasanya
itu semua terjadi karena betapa cintanya ibumu padamu,
yang tidak menginginkan anaknya nanti harus susah
payah mencari pekerjaan. Aku katakan padamu bahwa

61
nanti ayah saja yang akan bicara padanya, karena ayah
sangat mengenalnya, wanita kecintaan ayah. Aku
menepuk bahumu bangga, betapa putrinya ini mampu
dengan tegas mengikuti lentera jiwanya. Dan ibumu
hanya belum mengerti saja, bahwa putrinya ini tahan
terhadap segala cuaca. Namun, sayang sekali kau tak
melihatnya, senyum ibumu ketika melihat putrinya maju
keatas mimbar dengan toga sarjana yang sangat cocok
kau kenakan.

Aku pun tak banyak meminta tentang lelaki seperti apa


yang menjadi pendampingmu nanti. Dan ketika di
malam itu kau menelpon ayah untuk bercerita betapa kau
sudah yakin padanya, aku hanya meminta pria itu untuk
menghabiskan waktunya dengan ayah seharian. Kau
merengek dan menangis minta di beritahu apa saja yang
ayah katakan padanya, tapi maaf sayang kau tak boleh
tahu. Kau tak boleh tahu betapa ayah bersumpah akan
membunuhnya jika dia berani memadamkan pijar api
kehidupanmu yang selama ini cemerlang dan
menghangatkan. Tapi biarlah saat ini kau tahu, karena
jika bukan sekarang maka kapan lagi.

Sayang, lengkap sudah rasanya tugasku sebagai seorang


ayah dari putri sehebat engkau. Semua yang kau capai
adalah karena kau hebat sayang, dan bukanlah sesuatu
yang layak untuk kubanggakan pada orang lain, meski
dalam hati ini rasa bangga itu sulit untuk di bendung.
Meski tak dapat kutahan air mataku ketika melepasmu di

62
cerahnya pagi hari pernikahanmu, namun bahagiaku tak
mampu tergambar melihat tawamu lepas dalam pelukan
pria pujaan hatimu. Jikalau saja sayang, Tuhan hari ini
datang menjumpaiku mungkin aku akan merasa senang
dan sedikit penasaran. Aku akan bertanya padanya,
“Mengapa Kau memberikan tugas yang sangat mudah ya
Tuan? Menjadi orang tua dengan putri sehebat ini ?”

63
Kami Berbeda, Lantas Kenapa ?

“Janganlah kau dekati dia, nak” kata ibu

Baranglah tentu ibu tak setuju

Dia itu dari suku seberang

Orang bilang mereka suka menusuk dari belakang

Ibu tahu satu orang yang seperti itu

Tetangga dari saudara kenalannya ibu

Berontakku pun tertahan diam dalam kalbu

Bagaimana mungkin ibu tahu dia seperti itu

Bukankah yang lebih mengenalnya adalah aku

Peduli setan omongan orang ini dan itu

Ayah sarankan kau untuk tidak bersamanya

Untuk mengertinya kau masih terlalu muda

Adat mereka berbeda dengan kita, nak

64
Bila nanti kau menjalaninya kuranglah elok bila
ditampak

Sudah sejak moyangmu kita seperti ini

Permintaan ayah kiranya mau engkau turuti

Kata-kataku pun tertahan dalam kelunya lidah

Meski muda, aku ini sudah tahu banyak, Ayah!

Bukannya tak kugubris semua adat nenek moyang

Namun, hati dan jiwa bukan perkara gampang

Apalah lagi yang mampu untukku bilang

Jika yang tepat bagiku hanyalah dia memang

Sudahlah kawan, akhiri saja semua cerita

Sulit jika tentang Tuhan saja kalian berbeda

Tekanan besar pun datang dari lingkungan dan keluarga

Bahkan izin orang tua pun sulit kalian terima

Aku seakan sedang melawan seisi dunia

65
Yang ribuan tahun sudah bermasalah dengan agama

Lantas kenapa jika tentang Tuhan kami berbeda

Apakah memang ke surga itu sebuah perjalanan bersama

Bukankah Tuhan itu kita sebut Maha Cinta

Lantas dimana salahnya mengasihi manusia

Kita dan mereka hanya belum cukup mengenal

Yang akhirnya membuat rasa curiga semakin kental

Selama kita dan mereka punya rasa kemanusiaan

Maka tidaklah ada alasan membeda-bedakan

Kita semua berbeda, aku,kau, kita dan mereka

Namun, kita juga semua sama, manusia, mahluk mulia

Bukan hanya karena akalnya, juga karena rasa cinta


dalam hatinya

66
Yogyakarta

Aku hidupkan mesin motor tua itu

Kurapihkan rambutku di depan spion

Sampailah aku di rumah kosmu

Kubawa kau keluar lewat gerbang

"Kita mau kemana?" tanyamu

"Kemana saja asal kita bisa makan bersila"

Jawabku dengan tawa

Kurasa tanganmu melingkar aku

Kita tidak sedang menuju sesuatu

Melewati stasiun tugu

Melingkari alun-alun kidul

Kita berhenti sejenak di depan benteng Fredenburg

Berbicara tentang lucunya anjing ibu kosmu

67
Dan riuhnya tawa si mbah tetangga rumah sewaanku

Aku ajak kau duduk bersila di lesehan

Melihat lampu di pinggir jalan gejayan

Ku pesankan pecal lele dan es teh manisnya

Kau merapikan jaketku dari atas meja

Kuantarkan kau kedepan gerbang

Sebuah kecup dariku mengakhiri malam

Kau berjalan mundur menuju pintu

Memandangiku tanpa kehilangan senyum

68
Tentang Cinta Sederhana

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sapardi Djoko Damono

Selalu aku rindu akan akhir tahun, ibu. Akan jernihnya


matamu menatapi aku bercerita tentang ini dan itu. Tentang
kepulanganku yang kau sambut dengan sebuah pelukan
lembut dan usapan pelan di rambut. Bertanya padaku tentang
lika-liku hidup yang aku jalani, tentang mimpi dan resah hati
dan tentang gadis yang kurenungi dalam rinai gerimis. Aku
tahu persis tak semua perkataanku dapat kau cerna, tentang
buku-buku langka yang berhasil selesai kubaca. Atau pula
tentang para tokoh hebat yang kukagumi pemikirannya. Kau
tampak tak peduli betapa rumit apa yang akan aku utarakan,

69
tatapanmu selalu menunjukkan keinginan besar untuk
mendengarkan. Mendengarkan apa yang anak laki-laki mu ini
akan ceritakan, tentang pencariannya dalam perantauan,
tentang hal-hal baru yang ia temukan. Usanglah semua rumit
dan sulitnya kisah anakmu dinegeri orang, dengan cinta
sederhana yang kau simpan dalam tatapan matamu yang ia
pandang.

-------------------------------------------
----------------

Aku sadar betul sayang, betapa hal yang kau inginkan dariku
hanyalah waktu yang sedikit saja lebih panjang. Betapa kau
inginkan aku membelai rambutmu hingga kau tertidur lelap,
atau megenggam tanganmu ketika harus melewati jalan
panjang yang gelap. Dan itu pula yang membuatku tak pernah
sekalipun lupa, pada senyum manismu yang melambai padaku
dari balik jendela. Pada binar matamu yang menghantarkan
aku memalingkan wajah dan kembali berjalan berbalik arah.
Dari matamu, aku sadar bahwa kau mengerti, tak banyak
waktu yang kita miliki. Satu hal yang kau harus tahu dengan
pasti, bahwa nafasku yang terengah di depan pintu rumah,
adalah karena aku berlari ketika tahu aku punya sedikit waktu
untuk kubagi. Saat kau tertawa membuka pintu, dengan
balutan sederhana baju tidurmu, maka saat itu pula aku tahu,
bahwa takkan pernah kehabisan alasan untuk aku kembali
padamu.

70
Dongeng Bidadari Bumi

Aku selalu teringat tentang sebuah dongeng akan


keberadaan seorang bidadari bumi. Ya, dialah seorang
bidadari namun bukan di sorga, nirwana ataupun istana
para dewa yang berada di atas kumpulan awan atau
diantara gugusan bintang andromeda.

Kecantikannya bukan hanya pada lengkung indah


senyumnya yang mampu mengalahkan cerahnya warna
bunga di kala sinar mentari pagi menerpa, atau pada
dalamnya sorot matanya yang mampu menghanyutkan
jiwasebagaimana derasnya ombak di pantai selatan Jawa.
Dia adalah bidadariseutuh-utuhnya manusia yang hidup
dan kakinya terinjak pada bumi, yang keberadaanya
membuat manusia merasa tak lagi perlu ke sorga,
nirwana ataupun istana para dewa. Mengapa harus
kesana, jika di bumi yang meski tak ada habisnya
bergejolak oleh kefanaan manusia, aku dapat meraba
wujud bidadari yang mampu melepaskan segala penat
terkutuk yang menjadi sahabat akrab manusia.

Kekuasaanya akan hati para pria bukan oleh paras


wajahnya, namun pada luas dan tajamnya paradigma
yang ada dalam pikirannya. Kadang aku bertanya,
bagaimana mungkin dibalik halusnya rambut hitam
lembut mengkilap itu, tersimpan begitu luas cakrawala

71
pemahaman yang tidak sama dengan berjuta-juta wanita
diluar sana. Ya, diluar sana, para wanita ada yang sibuk
mengurusi bentuk rambutnya ataupun warna bibirnya,
namun tetap saja tidak merdeka dalam berpikir dan tidak
adil dalam berkata. Atau pula, yang hanya sibuk bekerja
dan bekerja untuk meraih kegelimangan harta agar ia
dapat puas menikmatinya, seakan-akan menjadi naik
harkat martabatnya oleh tumpukan uang, ataupun
tambahan gelar demi gelar dibelakang namanya.

Atau yang lebih menyedihkan lagi, ada saja wanita yang


meski jaman sudah berganti masih merasa terlahir
sebagai mahluk yang harus berada dibawah laki-laki
yang entah karena dipaksa atau kemauan sendiri, kini
menjadi apa yang orang sebut suami. Sedang yang lain,
sibuk akan ritual-ritual penyembahan, entah kepada
sosok manusia suci atau pada Pencipta semesta ini,
sebagai pemuas hati seakan-akan lupa dirinya masih
berada di bumi.

Hah, entahlah dengan para wanita-wanita lain diluar


sana, apakah karena memang mereka hanya manusia
biasa? Atau itu semua karena manusia-manusia yang
sudah ada sebelum nenek dari kakeknya nenek ayahku
dilahirkan, memang sudah salah sebelumnya
mengkonsepkan sosok wanita. Yah,sepertinya memang
karena mereka hanya manusia biasa, tak seperti sang
bidadari bumi yang memang lahir dari rahim dewa Ra
dan dirawat baik oleh Ganesha, Sang dewa yang kerap

72
minum dari mangkuk pengetahuan tanpa pernah merasa
kehilangan dahaga.

Bidadari ini dilahirkan dimasa depan, namun sudah


dewasa sejak sekarang. Oleh karenanya pemikirannya
jauh lepas meninggalkan kekangan-kekangan jaman
yang usang. Jika ada sebutan yang lebih futuristik dari
kata “modern”, maka kata itu harusnya bermakna sama
dengan jauhnya pemikiran sang bidadari bumi, yang
melintasi jaman-jaman batu menuju jauh pada jaman-
jaman dimana telepati bukanlah lagi hal gaib ketika
udara diisi gelombang-gelombang informasi oleh
manusia. Dia adalah bidadari bumi yang bersayap bukan
pada punggungnya, namun pada pikirannya yang mampu
terbang lebih cepat dari waktu untuk tiba di masa depan.

Namun dia bukan hanya sekedar sang bidadari,yang


indah dinikmati baik oleh panca indera tubuh maupun
dengan diselami melalui hati. Dia juga adalah sang calon
ibu dari anak-anak seorang pria yang aku harap itu aku.
Dia adalah saudara kembar dari ibu terhebat di alam ini,
ya siapa lagi kalau bukan Sang Bumi. Sang Bumi, si ibu
dari begitu banyaknya mahluk di semesta ini, yang sudah
berapa juta tahun merawat baik anak-
anaknya,menghidupinya dengan suburnya tanahnya,
merawatnya dengan teduhnya awan-awannya dan
mendidiknya dengan tegasnya badai-badainya.

73
Ah, mungkin aku sudah gila jika hanya terus
memikirkannya. Benar-benar kau bukan manusia, oh
sang bidadari bumi. Bahkan hanya dengan dongenganmu
saja, telah membuat aku menjadi susah bingung dan
merana. Aku menjadi terus mencoba mencari-cari
kekasih hati yang sedikit saja mampu seperti dirimu, oh
tokoh dalam dongeng kesukaanku. Aku menjadi seperti
pelaut-pelaut yang mengarungi bulatan bumi dalam
hantaman ombak samudera, untuk sebuah cerita tentang
peninggalan harta karun yang entah ada dimana. Benar-
benar sialan dongeng yang menceritakanmu itu dan
alangkah baiknya untuk aku segera menutup buku.

Aku akan datang padamu hai gadis-gadis cantik yang


sedang memasang gincu dibibirnya, aku tak akan peduli
akan kata-kata yang keluar daripada mulut indah merah
merona itu, selama aku mampu mencumbuinya. Aku
akan merebutmu gadis-gadis bermahkotakan rambut
lembut hitam mengkilap, aku tak peduli akan pikiran
yang ada didalamnya, entah itu hanya memikirkan
tentang dirimu sendiri, atau hanya tentang indahnya
pantulan wajahmu yang kau tatapi dibalik cermin.
Selama jari-jemari ini masih bisa membelainya, ya
peduli setan dengan itu semua. Dan nanti tepat di hari
aku mati, aku akan mengakhiri penantianku, karena
disitulah aku akan mulai pencarianku akan sosok
bidadari, yang karena memang mustahil ada di dunia ini.
Rohku akan melayang terbang mencarimu di sorga,

74
nirwana dan istana para dewa diantara kumpulan awan
dan gugusan bintang adromeda.

75
Rasa :
Bagian II
Cerita Cinta

“Cerita Cinta Itu Tak Selamanya Berakhir


Indah, Namun Ceritanya Akan Selalu
Indah, Karena Dia Bercerita Tentang
Cinta”

76
Bunga yang Tepat (Bagian Pertama)

Alkisah terdapat seorang pemuda di suatu desa yang


alamnya indah dan kaya akan berbagai jenis bunga.
Pemuda ini tinggal bersama seorang kakeknya, dimana
seluruh keluarga yang lain sudah tiada akibat bencana
letusan gunung berapi yang berada di desa mereka dua
puluh tahun yang lalu. Di suatu sore, datanglah pemuda
ini ke hadapan kakeknya yang sedang sekarat di tempat
tidur mereka, lalu kata si kakek kepadanya, “Cucuku
yang terkasih, sudah waktunya untuk aku menyusul
semua keluarga kita di sana, di negeri para dewa diatas
gunung berapi itu. Kiranya, kau dapat hidup seorang diri
sendiri disini. Meskipun demikian, aku akan
meninggalkanmu sebuah pot tua peninggalan leluhur
kita.”

Lanjut si kakek kepadanya, “pot ajaib ini memilki


kemampuan untuk menceriakan suasana hati seisi rumah
jika ditanami sebuah jenis bunga yang sesuai dengan
keinginan si empunya rumah. Letakkanlah pot ini di
dalam rumah, lalu carilah diseluruh padang disekitar
desa dan hutan-hutan di kaki gunung ataupun di
pedagang-pedagang bunga didaerahini, sebuah jenis
bunga yang sesuai dengan hatimu. Carilah bunga dengan
warna yang kau sukai, namun kau harus ingat bahwa
bunga tersebut harus dapat tumbuh di pot dengan ukuran

77
seperti itu serta harus mampu hidup dalam pot tersebut”.
Seketika itu pula, si kakek menghembuskan nafas
terakhirnya di tengah tiupan angin kesunyian yang
menerpa deras di hati sang pemuda.

Seminggu sesudah si kakek tiada, pemuda tersebut


termangu dengan masih mengingat jelas pesan sikakek.
Setelah menatapi pot ajaib di depannya, lalu dia berkata
pada dirinyasendiri, “Aku akan pergi ke hutan, aku
pernah melihat sebuah bunga merah dengan daun
kecoklatan yang sangat indah. Aku akan mengambil
sebuah saja karena aku sangat menyukai warna merah
dan coklatnya yang akan menghiasi rumahku ini”,
katanya dalam hati.

Lalu, pergilah pemuda ini ke hutan di bawah kaki


gunung berapi yang dua puluh tahun lalu, dengan
muntahannya telah membakar habis ayah,ibu dan adik-
adiknya. Sesampainya disana, pemuda ini terkejut, dia
melihat seorang gadis berkacamata tampak juga sedang
mengamati kumpulan bunga merah berdaun coklat itu.
Jubah putihnya menutupi tubuhnya yang kuning langsat
dengan rambut yang diikat ekor kuda. Pemuda ini
terpana, lalu dia bertanya pada sanggadis tersebut
mengenai tujuan keberadaannya disana. Setelah sebuah
perbincangan hangat dan diselingi tawa, pemuda ini tahu
bahwa gadis tersebut adalah seorang peneliti yang
sedang meneliti jenis tanaman yang sama dengan bunga
yang sedang dia cari tersebut.

78
Peneliti ini pun lalu bercerita padanya bahwa dia harus
melakukan penelitian dalam jangka waktu yang tidak
sebentar terhadap tanaman tersebut dan kemah yang
dibangunnya tampak tidak cukup kuat untuk menahan
jika hujan tropis besar datang sebagaimana biasanya.
Sedangkan disisi lain, penginapan di kota berjarak cukup
jauh dimana akan sangat menyulitkannya untuk meneliti
kondisi bunga tersebut di saat malam dan subuh. Bak
gayung bersambut, sang pemuda lalu menawarkan
rumahnya untuk menjadi tempat tinggal sementara bagi
sang gadispeneliti tersebut. Kegembiraannya
membuatnya lupa untuk mencari tahu lebih jauh apakah
ukuran maupun lokasi tempat bunga yang akan dia bawa
pulang sudah cocok untuk ditanam di pot kecilnya
tersebut.

Sang pemuda tersebut merasa sangat beruntung, karena


bukan hanya bunga yang dia bawa pulang ke rumah
kecilnya tersebut. Tapi juga seorang wanita cantik yang
juga cerdas yang akan menghapuskan kesunyiannya
sepeninggalan kakeknya. Pemuda ini pun lalu menanam
bunga yang baru saja dipetiknya tersebut dan lalu
mempersiapkan kamar bekas kakeknya untuk dapat
dipakai oleh si gadis.Gadis tersebut pun kini sudah
mengambil sebagian besar perhatiannya, lebih daripada
bunga dan pot ajaib peninggalan kakeknya.

Hari-hari berikutnya sudah bagaikan mimpi yang bahkan


sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh si pemuda.

79
Setiap hari sebelum ia pergi ke ladang atau hutan untuk
berburu, dia mengantarkan sang gadis cantik idamannya
tersebut sambil bercerita dan tertawa satu sama lain.
Seminggu sudah berlalu, dan perjalanan menuju lokasi
bunga tersebut kini mereka jalani dengan tangan yang
saling menggenggam dengan mesra dan hangat. Tak
terasa sudah sebulan berlalu, si pemuda tersebut kini bisa
memandangi bulan di malam hari dengan bercerita
tentang kehidupan bersama seorang gadis yang
bersandar dipundaknya. Dia melirik sejenak ke arah pot
kecilnya, sembari pundaknya menjadi sandaran kepala
dan untaian rambut si gadis peneliti tersebut. Lalu,
katanya dalam hati, “Ternyata pot kecil ini benar-benar
ajaib, kek!”.

Sore itu senja tampak sangat indah keemasan, ketika si


pemuda berjalan pulang ke rumahnya setelah pulang dari
berburu. Langkahnya begitu cepat seakan ingin segera
sampai di rumah dan menyiapkan makan malam yang
indah seindah biasanya dengan seorang gadis cantik
idamannya. Ketika meletakkan hasil buruannya diatas
meja, dia menemukan selembar kertas dengan tulisan
tangan diatasnya. Lalu, dibacanya tulisan di kertas
tersebut,

Sayang, maafkan aku karena harus pergi darimu


tanpa pamit sebelumnya

80
Aku tahu akan lebih berat dan sulit bagiku jika
harus memandang wajahmu

Wajah dengan garis-garis keras namun dengan


sepasang tatapan lembut itu

Yang menatapku dengan penuh cinta dan


keinginan besar untuk melindungi

Maafkan aku karena telah menjadi lancang


meninggalkanmu yang kuyakini pasti kan terluka

Namun, bukan hanya dirimu saja sayang, aku


pun sampai tak sanggup memegang pena

Dan memulai menuliskan kata-kata yang aku


kutuki ini

Aku harus pergisayang, karena sebenarnya


penelitianku sudah selesai sejak sebulan lalu

Namun, aku belum sanggup jika harus dengan


segera meninggalkanmu

Aku harus kembali ke kota yang jauh dari sini,


memulai lagi kehidupanku sebelumnya

81
Dan yang paling menyakitkan adalah aku tahu
persis kita tiada mungkin terus bersama

Ayahku tak akan mungkin mengijinkan kau


menikahiku, seorang pemuda desa di kaki
gunung

Kita berasal dari dunia yang tak sama sayang,


meski cinta diantara kita tak lagi perlu
dipertanyakan

Terimakasihku sebesar-besarnya kusampaikan


kepadamu

Dan sebuah permohonan maaf yang ku tahu


tiada mungkin kau beri

Aku mencintaimu Romeoku

Salam Cinta - Julietmu

Pemuda tersebut pun terjatuh dari kaki-kakinya yang


tegap kokoh berdiri, tertunduk lesu seakan tak
mempercayai apa yang terjadi. Angin topan yang dibawa
hujan badai yang datang di bulan Januari pun tak akan
bisa merobohkan kuda-kudanya yang kuat, namun itu
semua seakan roboh ketika sebuah perasaan sakit samar-
samar terasa didadanya. Rasa sakit yang tampak tidak

82
nyata, namun seperti membawa tubuhnya untuk segera
menyentuh lantai.

Di tengah kekecewaan itu, tak sengaja dia melirik


kepada bunga di pot kecilnya yang sudah tampak layu
sejak kemarin, dan tepat di hari ini sudah terkulai mati.
Sekilas dia melihat bayangan dirinya sendiri sedang
makan bersama gadis itu di meja makan, sembari sang
gadis berkata padanya, “Sayang,bunga merah kecoklatan
yang kuteliti itu tak akan mampu hidup di pot kecilmu
itu. Bunga itu harus hidup di hutan bebas sehingga
kebutuhan nutrisinya terpenuhi. Lihatlah, bulan depan
bunga itu tak akan mampu bertahan”. Kenangan itu
seakan datang kembali tanpa diundang, dan dia
menyesali tak pernah mendengarkan dengan serius cerita
si gadis tentang sebuah bunga di pot kecilnya. Dia
terdiam, tidak tahu apakah harus mengutuki pot kecilnya
atau malah bersyukur yang karena keajaibannya telah
memberikannya masa-masa indah bersama seorang gadis
impian dari negeri yang jauh.

Bersambung (Belum Selesai)

83
Malin Kundang

Sudah sebelas tahun berlalu sejak malam itu, hampir


tidak ada hari yang terlewat tanpa cacian bapak dan
tetesan air mata ibu yang menetes meski hanya satu dua
butiran kecil. Malam dimana si anak yang dahulu kami
sebut anak kesayangan itu, menghilang dari rumah dan
hanya meninggalkan seberkas surat. Anak kesayangan
yang juga adik bungsuku itu, menghancurkan impian
bapak untuk memiliki seorang anak pegawai departemen
ternama pemerintah, dengan kabur hilang tak
berbekas.Bagiku bukanlah hal tersebut yang membuatku
sangat membenci si anak yang kini kami sebut si
malinkundang itu.Melainkan, bagaimana dia tega
menghancurkan hati ibu yang sudah merawatnya sejak
kecil, membiarkan ibunya menangis didepan teras setiap
sore tiba dan berharap dia menunjukkan batang
hidungnya.

Dia memang pandai dan itu sudah terlihat ketika dia


masih berumur bocah, dimana hampir setiap tahun gelar
juara umum diraihnya. Sejak pengumuman diterimanya
dia di Sekolah Tinggi Negara yang lulusannya nanti akan
jadi pegawai di departemen pemerintah, ibu dan bapak
sudah menyiapkan rencana yang sangat bagus untuk
kehidupannya. Sebegitu bagusnya rencana bapak dan
ibu, sehingga tak pelak kami kakak-kakaknya berharap

84
ketika muda dulu, kami bernasib sama dengan dia.
Bapak menjual sepetak sawahnya dan membelikannya
sebuah sepeda motor merah keluaran terbaru untuk dapat
dipakainya kuliah, yang karena memang kampus sekolah
tinggi itu tak jauh dari rumah. Selain itu, bapak dan ibu
juga sudah menjodohkannya dengan Tiur, anak gadisnya
Camat setempat yang menjadi primadona di daerah
kami.

Semua rencana indah itu buyar tak bersisa tanpa ada


pertanda apapun yang diberikan olehnya sebelumnya.
Dia tidak pernah sama sekali menolak ketika disuruh
mendaftar Sekolah Tinggi Negara itu, dan begitu pula
ketika dia dibawa bapak dan ibu berkunjung ke rumah
Camat untuk berkenalan dengan Tiur, anak gadisnya.
Namun, suatu malam ketika bapak membuka paksa pintu
kamarnya yang diengsel dari dalam, kami hanya
menemukan sebuah surat.

Kepada Ibuku tercinta dan kakak-


kakakku tersayang juga buat Bapak.

Aku ingin menyampaikan rasa


terimakasihku yang pasti tidak akan cukup
untuk menggambarkan betapa aku sangat
mensyukuri memiliki keluarga seperti kalian

85
dan betapa besar apa yang sudah kalian
perjuangkan untukku. Aku mencintai kalian
dan selamanya akan tetap mencintai kalian.
Oleh karenanya, aku tidak akan sanggup jika
harus melihat kalian terluka dengan
keputusan yang aku ambil.

Aku harus pergi, ibu, kakak! Aku memiliki


hidup untuk aku hidupi sendiri dan hasrat
untuk aku jalani. Aku tak akan mampu
melakukannya jika harus terus bersama
kalian. Jika harus menjalani hidup
sebagaimana yang bapak dan ibu rencanakan,
aku tak akanmampu berdamai dengan hati
dan pikiranku yang berkata lain.

Tak perlulah kalian cari aku, dan aku janji


akan tetap menyampaikan kabar sebisa
mungkin. Suatu hari nanti aku pasti
pulang.Aku mencintai kalian.

Si Bungsu

86
Tapi, disamping kebencian kami, ibu menyimpan
kerinduan yang sangat dalam padanya. Ibu, adalah orang
yang paling yakin suatu saat nanti dia akan pulang,
karena memang tampaknya dia tak pernah ketinggalan
kabar tentang kami. Kami tidak tahu, namun tampaknya
dia pun selalu memperhatikan kami. Tiga tahun yang
lalu, ketika bayi laki-laki saudari kami lahir, sebuah
paket berisi boneka diantar kerumah saudari kami itu
dengan tanpa alamat pengirim dan hanya sebuah nama
pengirim bertuliskan “Paman”.Belum lagi, seringkali ibu
merasa heran dengan uang di rekeningnya yang tiba-tiba
bertambah tanpa tahu siapa pengirimnya.Tanpa perlu
berdiskusi panjang lebar, kami semua tahu pasti bahwa
si bungsu malinkundang itu ada di dibalik semuanya.

Sore ini, aku datang berkunjung ke rumah ibu dan bapak,


karena memang tak jauh dari rumah yang kubangun
sendiri.Dalam sayup-sayup cacian bapak yang tak ada
habisnya kepada anak bungsunya itu, aku melihat ibu
termenung di teras rumah. Sore ini tampak tak biasa, air
matanya tampak mengalir sangat deras namun tanpa
sedikit pun ia mengeluarkan suara. Tiba-tiba bapak
tampak berbicara padanya dengan suara keras,
“Sudahlah Bu! Janganlah kau buang sia-sia air matamu
itu, hanya untuk si anak durhaka itu!”. Aku mengamini
betul kata-kata bapak, dan ingin segera menenangkan
mereka berdua sampai aku dengar ibu berkata,
“Mungkin, kita yang salah pak.Mungkin kita, pak”.Aku

87
lihat bapak tampak kesal dan memilih masuk kedalam
rumah.Aku segera mengambil tempat untuk duduk di
samping ibu.

Ibu masih berusaha mengusap air matanya, ketika


pandangan kami tertuju pada dua orang anak kecil yang
masuk ke pekarangan kami dan berusaha mengutip buah
mangga yang terjatuh dari pohonnya.Lalu, tampak
seorang wanita memanggil kedua anak itu lalu
merangkulnya sambil mengucapkan permohonan maaf
pada kami. Pakaian ibu dan kedua anak itu tampak bagus
dan sepertinya keduanya berasal dari kota. Lalu, wanita
itu bertanya dimana kediaman ibu Uli, yang merupakan
nama dari ibuku sendiri. Setelah ibu menjawab bahwa
dialah ibu Uli, wanita itu lalu menangis dan menyeka air
matanya.Kami tertegun sampai mendengar suaranya
yang terisak, “Kenalkan ibu, mereka ini cucu-cucumu!”

Ibuku langsung menangis dan memeluk kedua anak tadi


dengan serta merta menciumi pipi mereka. “Dimana
bapaknya?”, tanya ibu pada wanita itu, “Dimana
bungsuku itu?” Sejenak, wanita itu mengambil waktu
untuk menenangkan diri.Aku lalu mengajak dia dan
kedua anak kecil, yang merupakan keponakanku itu
untuk masuk ke dalam rumah.Ku suruh Lisma, sanak
dari kampung yang menumpang tinggal sambil merawat
ibu dan bapak di rumah, untuk membuatkan teh.Segala
kebencianku seakan lenyap ditelan angin, saat dengan
seksama kudengar cerita dari adik iparku itu.Wanita

88
yang berparas cantik, tampak tegar dengan sorot
matanya yang menunjukkan bahwa dia secerdasadikku.

*****

Adikku itu kini adalah seorang dosen di perguruan tinggi


ternama di ibu kota, sembari mendirikan lembaga
konsultan dan sebuah sekolah gratis miliknya sendiri.
Tepat setahun yang lalu, dia berhasil memperoleh hak
paten dari sebuah program komputer yang kini dipakai di
sebuah perusahaan multinasional.Dia memperoleh
royalti yang cukup besar setiap bulan sehingga mampu
membiayai sekolah milikinya yang diperuntukkan untuk
anak tidak mampu.Dia juga menabung sejumlah uang
untuk diberikan kepada bapak, ibu dan kepada anak-anak
kami, keponakannya.

Wanita yang duduk dihadapanku itu adalah seorang


peneliti dan aktivis lingkungan hidup yang telah
menikahi adikku selama empat tahun.Dia berasal dari
suku seberang yang selalu diperingatkan bapak dan ibu
untuk tidak kami jadikan pasangan hidup, karena perang
saudara yang pecah empat puluh tahun lalu.Mungkin,
itulah alasannya si bungsu itu tidak mengundang dan
memberitahukan kami semua perihal pernikahannya
itu.Mereka membangun rumah tangga di ibu kota dengan

89
mandiri tanpa ada bantuan biaya dari keluarga sama
sekali.

Satu tahun yang lalu, tepat sepuluh tahun semenjak


kepergiannya dari rumah, adikkuberserta anak dan
istrinya datang kerumah.Namun, ketika berada didepan
rumah, dia mendengar cacian bapak dan aku tentang
betapa durhakanya dia sebagai seorang anak.Kala itu,
ketika aku bertanya siapa dia dan sedang mencari siapa,
dia berpura-pura salah alamat dan memilih untuk
kembali ke ibukota. Pada saat itu, aku dan bapak sama
sekali tidak mengenalinya.

Dua bulan yang lalu, ketika berada di sekolah gratis


miliknya, seorang orang tua dari salah satu anak jalanan
yang ada disana mendatanginya. Dia dan orangtua itu
terlibat adu mulut karena dia tidak mau menyerahkan
anak tersebut kembali pada orangtuanya yang berusaha
memberhentikan anak tersebut dari sekolah agar kembali
bekerja di jalanan sebagai pengantar ganja dan sabu.
Orangtua anak tersebut pun menancapkan sebuah belati
berukuran 30 centimeter tepat di dada kirinya.Adikku
itu, si malinkundang itu pun harus mengakhiri hidupnya
di usia yang belum genap 30 tahun.

Ibuku menangis sambil memeluk erat menantunya itu,


bapak yang dari tadi ternyata di balik tirai mencuri
dengar semua pembicaraan kami, terjatuh pada kedua
lututnya sembari menangis tiada henti.Aku hanya bisa

90
menahan rasa sakit yang sangat dalam di dada,
menyadari bahwa setahun yang lalu aku membuatnya
pergi lagi dari rumah. Dan yang paling buruk, membuat
dia tak bertemu lagi dengan ibu, yang selalu
menunggunya pulang setiap sore didepan teras,
sebagaimana dulu ketika ibu menunggu dia pulang
bermain saat masih anak-anak, dan menyuruhnya mandi
setelahnya. Dalam isakan tangisnya, kudengar bapak
berkata, “Bapak, yang durhaka nak, bapaklah yang
durhaka. Kalau kau mendengar bapak, kutuklah bapak
nak! Kutuklah bapak! Kutuklahbapak menjadi batu!”

Selesai.

91
Kisah hamba pada Tuannya

Alkisah, ada seorang Tuan yang mahakuasa, mahaindah,


mahaterpuji dan segala kebaikan bersumber daripada-
Nya. Namun demikian, yang terbesar dari kesemuanNya
itu adalah kemahacintaanNya terhadap suatu desa kecil
yang berdiri diatas tanah milikNya, diantara udara
kepunyaanNya dan dibawah langit kekuasaanNya. Desa
ini sangatlah kumuh, kotor dan juga miskin. Kejahatan,
kelaparan, penyakit dan segala hal yang jahat ada
diantaranya, menjadi satu dengan desa
tersebut.Penduduknya adalah sekumpulan orang yang
tinggal menetap secara liar, tak mengakui keberadaan si
Tuan tersebut, berbuat sesukanya dan oleh karenanya
desa tersebut menjadi hina pula nista.

Suatu kali dua orang diantara penduduk desa datang


dengan rendah hati menghadap pada si Tuan, meminta
untuk merka dapat tinggal dalam rumahNya, lalu Tuan
tersebut pun mengharuskan keduanya menjadi
hambaNya dan melayaniNya hingga nanti mereka
dipersilahkan masuk.

Hamba yang pertama berpikir dalam hati "Betapa


indahnya rumah Tuanku ini, bersih, megah, mewah serta

92
semua kebaikan ada didalamnya. Lalu betapa kuasanya
pula Tuanku ini hingga tak mungkin dengan mulutku
mampu menggambarkanNya". Hamba yang pertama pun
mengingat pesan Tuannya untuk dia melayani, lalu
ditinggalkannyalah desanya, dia berjalan menuju depan
rumah si Tuan, katanya "Tuan ku yang maha agung pula
mulia, kubawakan pada-Mu alat-alat musik terindah dari
seluruh negeri hendaknya pula Kau dengar aku
menyanyikan segala kebaikan yang ada padamu oh Tuan
ku yang mahamulia".

Keesokan harinya, dicarinya pula kanvas terindah dari


seluruh negeri dan kuas terhalus serta warna-warni
tercerah dari semua penjuru. Katanya didepan rumah si
Tuan, "Tuanku yang mahamulia, hari ini aku
merayakanMu atas kemahakuasaanMu , hendaknya
dengan lukisan-lukisan terbaik yang dapat ku beri dapat
sedikit tergambar betapa bersyukurnya aku menjadi
HambaMu".

Tak pelak hari demi hari berlalu, dan segala yang terbaik
dari seluruh negeri pun sudah menumpuk didepan rumah
megah milik si Tuan, dibawakan oleh hambaNya yang
pertama. Lalu tibalah saat dimana si Tuan tersebut ingin
melihat hasil kerja kedua hambaNya dan memutuskan
pakah mereka akan diterima dalam rumahNya atau tidak.
Tuan itu pun perlahan turun menuju pintu rumahNya,
dibukaNya lalu dilihat olehnya hanya berdiri satu orang

93
hambaNya, namun belum sempat Dia berbicara tampak
dari jauh seseorang berjalan.

Terlihat seorang yang sederhana, hanya pakaian


seadanya namun tetap terlihat rapi. Wajahnya tampak
lelah dan tubuhnya sedikit kotor. Lalu seseorang itu pun
berkata padaNya "Wahai Tuanku yang mahamulia,
maafkan aku yang datang kemari dengan tampilan tak
layak di hadapanMu. Tuanku, aku tahu betul bahwa kau
mahamulia, dan segala kemuliaan itu tidaklah mungkin
bertambah lagi dan apalah artinya aku bagiMu". Lalu
lanjutnya, "Segala kebaikan padaMu tak akan mampu
lagi kutambahkan meski dengan apapun. Tuan, yang aku
tahu hanyalah bahwa Kau begitu mencintai desa dimana
aku tinggal dan menetap. Tuanku yang mahakaya, disana
kemiskinan ada dimana-mana beserta pula kehinaan dan
kenisataan lainnya.Tapi mereka semua begitu tidak
memperdulikanMu, oleh karenanya tak ada pelayanan
lain yang bisa kulakukan selain berusaha membuat
desaku itu menjadi lebih baik. Dan, aku pun gagal,
Tuanku. Aku hanya mampu bekerja dan menghindari
sebuah keluarga dari kelaparan, dan setelahnya aku
hanya mampu membantu seseorang sehingga dia keluar
dari lingkaran kriminal serta terakhir aku bahkan tidak
mampu menyembuhkan penyakit seorang nenek, tapi
mampu memepertemukannya kembali dengan anaknya
sebelum dia meninggal."

94
Lalu Tuan itu bertanya, "ketika kau membantu orang-
orang tadi, dan mereka menanyakan alasannya, apa yang
kau jawab wahai hambaKu?"

Lalu jawab si hamba kedua itu, "Aku hanya menjawab


ya Tuanku, aku melakukanya karena aku adalah hamba
dari seorang Tuan yang mencintai desa ini."

95
Kenyataan :
Kenangan dan Perjalanan

“Kenyataan Akan Tetap Menjadi


Kenyataan, Kita Lah Yang Menciptakannya
Menjadi Sebuah Keindahan Yang Akan
Kita Nyanyikan Kelak Dalam Alunan Lagu
Kenangan”

96
Kisah tentang Abang dan Kakak

Tidaklah banyak kemewahan yang dapat kutemukan


dalam masa kecilku yang penuh dengan kesederhanaan,
jikalau kemewahan diartikan dengan barang-barang
mahal yang dibeli di hingar-bingarnya perkotaan. Pohon
nangka yang tinggi menjulang itu serasa bianglala di
taman impian. Sungai berarus deras pun sudah seperti
kolam pribadi, dimana setiap sore aku dan kedua
abangku pergi kesana dengan sebuah motor merah yang
meskipun bukan yang terbaru tapi masih sangar jika
berlari kencang. Kami bertiga, tanpa helm dan aku hanya
mampu melihat ke bawah dimana kilauan pasir jalanan
tampak sangat cepat berlewatan. Sepeda motor itu pula
tanpa spion, hanya abangku yang paling belakang yang
sesekali melihat kebelakang dan akan berteriak, “ada
mobil bang, hati-hati!”. Jikalau saja motor tua gila itu
sedikit saja lalai menjalankan tugasnya, maka ibuku akan
menangisi tiga putranya sekaligus.

Aku hanya anak lelaki kecil pada saat itu, yang tak bisa
memungkiri bahwasanya hingar-bingarnya kemewahan
ala kota yang disajikan menarik di televisi milik kedai
kopi di simpang jalan sangatlah menarik perhatian.
Tentang permainan elektronik yang disebut game board,
tentang makanan yang bernama hamburger dan restoran
cepat saji yang menyediakan mainan anak-anak untuk

97
dijual. Meskipun hanya setiap sore dahulu hal tersebut
kusaksikan, ketika menumpang menonton serial satria
baja hitam di kedai kopi simpang jalan, yang akan segera
terhentikan jika teriakan usiran si pemilik kedai
terdengar.

Seringkali saat ini ku tertawai sendiri keinginan-


keinginan konyol milikku saat itu. Meskipun demikian,
ada banyak hal yang harus kusyukuri karenanya. Karena
keinginan-keinginan itu, aku dapat kembali mengingat
betapa indahnya dilahirkan disebuah keluarga dengan
kakak-kakak yang sangat membanggakan. Bukan
tentang bagaimana akhirnya keinginan-keinginan itu
terwujud, tetapi tentang bagaimana satu dan beberapa
orang kakak yang menunjukkan arti kasih sayang
sebenarnya pada seorang adik.

Suatu siang, ketika aku sudah pulang dari sekolah,


seperti biasanya aku akan menunggu kakak-kakakku
untuk kembali dari sekolah mereka. Saat itu untuk
sampai dirumah adalah sebuah kelegaan yang besar
bagiku, karena untuk menyeberang jalan besar antar kota
di simpang jalan aku harus mampu menahan kaki-kaki
kecilku yang bergetar kuat. Siang itu bukanlah sebuah
siang yang biasa, kakak laki-lakiku yang duduk di
bangku SMP pulang membawakan sesuatu. Sesuatu itu
adalah sebuah makanan yang tadinya hanya bisa kulihat
di televisi.

98
Ya, sebuah hamburger daging sapi ditunjukkan abangku
dihadapanku dengan keadaan masih hangat dan
terbungkus. Suara kertasnya yang dibuka, seperti suara
gemertak robohnya pintu-pintu impian yang kokoh dan
besar yang tadinya tertutup rapat dan terlihat tak
mungkin terbuka. Oleh kakakku, dibaginya hamburger
itu untuk kami nikmati bersama. Kuperlahan
kunyahanku dan membiarkan lidah ini lebih lama
menikmati arti sebuah kemewahan, makanan impian
seperti yang ada di televisi. Meski hamburger yang
kulahap ini hanya sebuah hamburger seharga satu atau
dua ribu rupiah yang dijual oleh penjaja kaki lima di
sekolah abangku, tapi tetap saja ini hamburger, makanan
anak para raja pikirku.

Tahun pun berganti, dan bulan kesayanganku pun segera


tiba. Bulan Januari, sebuah bulan dimana hari
kelahiranku akan kembali dirayakan. Tahun lalu, hari
kelahiranku dirayakan besar-besaran dengan
mengundang tetangga dan memotong sebuah bolu yang
dimasak sendiri oleh ibu. Tahun lalu pula, kakak-
kakakku mengumpulkan uangnya untuk sebuah
kacamata satria baja hitam yang dapat dilipat. Kali ini
aku tak meminta banyak pada ibu, hanya sebuah
kesempatan untuk makan di sebuah restoran cepat saji
seperti di televisi.

Lalu, bersama kakak perempuanku, aku pergi kesana dan


merayakan hari yang hanya setahun sekali itu. Tadinya

99
aku meminta paket makanan berhadiah botol minuman
bergambar batman, namun ketika kakakku mengatakan
tak cukup uang yang ada, maka paket ayam nasi dan
soda pun sudah cukup bagiku. Bukanlah enaknya ayam
goreng itu yang memuaskan aku, tapi sejenak saja aku
merasa bahwa aku dan kakakku sama seperti anak-anak
dan keluarga yang cukup kaya yang ada di restoran itu.
Sejenak aku merasa sudah sangat kaya dan sudah
menjadi anak kandung dari hingar-bingarnya perkotaan
yang disajikan manis di televisi di kedai kopi simpang
jalan.

Bukan cuma makanan saja yang menjadi impian anak-


anak di jamanku, permainan-permainan seperti game
board dan mainan-mainan lain sudah menjadi sebuah
kebanggaan besar bagi mereka yang memilikinya.
Sebuah game board yang dahulu dipakai bergilir oleh
kami sekeluarga kecuali ibu, sudah teronggok tak
bernyawa karena sudah mencapai titik batasnya. Namun,
itu semua seakan mudah terlupakan ketika abangku
datang dengan game board yang lebih canggih dengan
permainan tembak-menembak pesawat dengan dua jenis
warna. Meskipun itu hanya pinjaman dan sebentar saja,
tapi bagiku saat itu, hal tersebut sudah merupakan
kebanggaan yang tak ada habisnya kuceritakan di
sekolah.

Ketika game board pinjaman itu dikembalikan, abangku


memintaku bekerja sama dengannya untuk membeli

100
sebuah mainan yang bisa menggantikannya. Dia
meminta uang lima ratus milikku untuk membeli sebuah
kotak pensil dengan bola besi kecil didepannya dan
lubang-lubang berterakan angka yang bisa dimasukkan
kedalamnya, semakin sulit lubangnya semakin besar
angkanya. Siang hari ketika paginya kuserahkan uang
itu, kutunggui abangku di simpang jalan. Dari kejauhan,
tampak dia sudah membuka tasnya dan melambai-
lambaikan padaku sebuah kotak pensil. Aku kecil segera
berlari dan menggapai kotak pensil dengan mainan bola-
bola kecil didepannya. Meskipun itu hanya sebuah kotak
pensil dengan logo sebuah merk susu anak-anak, namun
kebahagiaannya tak mampu terlupakan hingga kini.

Memiliki kakak-kakak seperti mereka bukanlah hanya


tentang masa-masa kecil yang haru dalam kesederhanaan
dan rasa saling berbagi. Tapi tentang bagaimana
memiliki saudara yang selalu ada ketika hidup dan
segala kesusahannya menghadang rintang dan
menciutkan hati. Bukan hanya di masa kecil, kami
menghajar siapa saja yang membuat air mata kakak
perempuan kami terjatuh entah karena diejek atau
didorong jatuh saat bermain. Di masa kini, dan esok
nanti pun kakak-kakak hebat seperti mereka akan selalu
ada dan saling menjaga meski di kota yang tak lagi
sama.

Dalam perjalanan hidup, banyak teman dan sahabat


bahkan ada pula sosok-sosok yang berusaha menjadi

101
kakak, namun tetap tak mampu mengisi tempat yang
sama dengan sisi yang mereka isi. Bahkan tak jarang
dalam berbagai komunitas ada banyak sosok yang
dihadirkan sebagai kakak spiritual atau kakak rohani,
atau apapun sebutannya. Mereka yang dalam tradisi
komunitas berusaha menjadi kakak yang padanyalah
semua masalah dan keluh kesah hidup dapat kita luapkan
dan berbagi beban. Tak ada maksud untuk tidak
mengindahkannya, hanya saja memiliki kakak-kakak
yang sudah kepalang panjang kisahnya untuk menjadi
sahabat bagi jiwa, dan tak ada masalah yang terasa besar
ketika dibagi dengan mereka. Rasanya tidaklah angkuh
dan jumawa jika berkata pada diri sendiri bahwasanya
sudah cukuplah mereka yang dianugerahkan Tuhan ini
kepadaku menjadi kakak yang kepada merekalah semua
ombak kehidupan ini kuluapkan, menjadi karang yang
menghantam dan memecahkannya menjadi butir-butir
air yang berpelangi kala sinar mentari menerpanya.

Terimakasih Tuhan karena mengizinkan mereka lahir


dengan rahim yang sama denganku, menjalani semua
pahit manisnya kehidupan dan saling menguatkan.

Untuk kakak-kakakku yang menjadi alasan syukurku yang


tiada henti pada Tuhan.

102
Rumah Itu Selalu Punya Ruang

“Keluarga”, sepasang suami istri yang kupanggil


“mamak” dan “bapak” serta ke-empat saudaraku yang
lain, itulah yang selalu terbayang ketika kata itu
terdengar. Saya seorang mahasiswa, lahir dan tumbuh di
pinggiran kota Medan, Sumatera Utara. Lahir dari lima
bersaudara sebagai anak yang paling muda dari seorang
ayah polisi biasa dan ibu pegawai negeri di sebuah
puskesmas kecil. Saya jauh lebih muda, lahir delapan
tahun setelah ke-empat saudara saya lahir. Keluarga
kami memulai sejarahnya dari sebuah perumahan polisi
yang kini sudah digusur, lalu berpindah menuju
perumahan kecil pegawai puskesmas, tepat setahun
setelah saya lahir.

Saya menghabiskan masa kecil di rumah kecil tiga


kamar itu, sedangkan kakak dan abang saya yang lain
menghabiskan masa remaja mereka. Rumah itu begitu
kecil, ditambah kerabat yang merupakan dua orang
pemuda dan satu orang gadis baru tamat SMA yang
berasal dari kampung, yang sedang melanjutkan sekolah
di kota Medan. Mereka berbagi tempat dengan kakak
dan abangku sedang aku berbagi tempat dengan bapak
dan mamak.

103
Hari-hari kami lalui dengan sangat gembira dan hangat,
ketika pemuda dari kampung memanjat pohon kelapa di
depan rumah, saya pun mengambil sebuah baskom besar
untuk kami pun menikmati es kelapa bersama, tanpa
pernah sekalipun merasa bahwa kecilnya rumah itu dapat
menciutkan rasa syukur kami dan kehangatan yang ada.
Halaman rumput hijau puskesmas menjadi tempat kami
selalu bersenda gurau ketika petang. Kadang ketika masa
ujian tiba, kamar suntik di puskesmas, yang kuncinya
dipercayakan kepada ibu, dipakai buat belajar dan tidur
oleh kakak dan abang saya, karena kamar di rumah tidak
cukup untuk orang sebanyak itu.

Begitulah rumah kami yang sebenarnya bukan milik


kami, selalu penuh, bukan hanya dengan orang, tapi juga
dengan canda tawa, kehangatan, dan kesederhanaan. Tak
terasa, kini sudah sepuluh tahun sejak saya merasakan
ketika rumah kecil itu penuh dengan orang, hingga dapur
kami ubah menjadi kamar dan dengan kayu dan seng
seadanya, lalu kami pun mengubah halaman belakang
menjadi dapur yang selalu basah ketika hujan deras tiba.
Tahun demi tahun, perlahan jumlah orang di rumah kami
pun mulai berkurang, kakak dan abang saya mulai
merantau dan menempuh pendidikan di pulau jawa, serta
pemuda dari kampung selesai menempuh pendidikannya
dan memilih mencari hunian sendiri.

Ketika saya beranjak kelas tiga SLTP, kami pun


meninggalkan rumah itu, karena ibuku dengan segala

104
jerih payahnya berhasil membangun rumah, yang
memiliki tiga kamar namun lebih luas dibanding rumah
kecil di samping puskesmas itu. Kakek dan nenek di
bawa oleh ayah ke rumah dan menempati satu kamar,
satu kamar lagi buat ayah dan ibuku dan satu kamar
sisanya buatku. Kini, waktu pun telah berjalan cukup
jauh, meninggalkan kenangan-kenangan indah itu yang
tak lekang di ingatanku.

Delapan tahun sudah berlalu, dan keluargaku sudah


berubah begitu banyak, kakek nenek kini sudah tiada
meninggalkan bapak dan ibuku berdua. Kakak laki-
lakiku yang paling tua kini bekerja di Sibolga sekitar 10
jam dari rumah, setiap minggu dia pulang ke rumah
miliknya tepat sekitar 30an meter dari rumah bapak ibu
kami tersebut. Istrinya bekerja di medan, kurang lebih
200 meter dari rumah dan cukup hanya berjalan kaki
sebagai seorang perawat di Rumah Sakit Umum Pusat.
Kakak kedua berkeluarga di Ambon, Kakak ketiga
berkeluarga di Tangerang dan keempat masih belum
menikah dan bekerja di Jakarta. Tapi, aku salah, ternyata
kehangatan yang dahulu itu bukanlah sekedar kenangan.

Rumah kami sepertinya tak akan pernah sepi, meskipun


dihuni oleh dua orang yang kini bahkan sudah menjadi
kakek dan nenek atau dalam bahasa bataknya oppung.

105
Tanpa direncanakan, rumah itu kini diisi oleh satu orang
pemuda dari desa, satu orang pemudi dari jakarta, dan
dua orang pemudi dari Siantar, sebuah kota dekat dengan
desa kami. Semuanya itu adalah keuarga, dan latarnya
berbeda-beda, dua dintaranya dipercayakan ke rumah
kami karena tadinya bertingkah cukup nakal, satu
diantaranya karena tidak mampu mebiayai biaya sekolah
dan terakhir karena adik ibuku yang adalah orang tuanya
lebih mempercayakan untuk dia tinggal di rumah kami.

Belum cukup sampai disitu, ternyata rumah abang laki-


lakiku pun demikian pula. Disana terdapat dua orang
adik istrinya yang mengambil kuliah kedokteran dan satu
orang anak dari kakak ibu kami yang berkuliah di
perguruan tinggi negeri yang sama namun jurusannya
berbeda. Situasi itu cukup menggambarkan kehangatan
yang aku rasakan dulu. Para pemuda-pemudi itu begitu
riuhnya bercanda dan tak pelak selalu membuat ibuku
tersenyum dan bapakku tertawa. Kehangatan mereka
mampu meredakan sikap nakal beberapa pemuda yang
tadinya tidak demikian dan menciptakan kenangan yang
sama sebagaimana delapan tahun yang lalu.

Begitulah rumah ibu dan bapakku yang ternyata tak


pernah kenal tempat dan waktu. Rumah mereka selalu
penuh akan keluarga dan handai taulan, dan yang
terindah selalu penuh akan tawa. Aku menggagumi
mereka, bahwasanya ketika hidup berada di kala susah
maupun ketika kini semua jauh membaik, kehangatan

106
mereka selalu memanggil banyak orang untuk tinggal
bersama. Bahwasanya rumah mereka yang meskipun
kecil namun tak akan dan tak akan pernah kehabisan
ruang untuk tawa-tawa baru dan senyum-senyum baru.

107
Kisah Seorang Pemuda dan Ular
Sawah

Sebelumnya, ini bukanlah sebuah cerita yang punya


banyak makna, bukan cerita yang indah buat diceritakan.
Tapi entah kenapa begitu sulit untuk aku lupakan. Setiap
kali hujan berhenti di sore hari, aku selalu ingat rumah
kecil ku yang dulu, di sebuah kompleks puskesmas di
pinggiran kota Medan, kecil dan sederhana. Setiap sore
punya banyak cerita, baik itu indah maupun sedih, tangis
maupun tawa. Tapi sore hari yang satu ini, selalu
teringat, entah kenapa.

Ibuku hanyalah seorang asisten apoteker, lulusan setara


SMA. Namun, dia banyak belajar, hingga akhirnya dia
bisa menyuntik, dia tahu obat apa saja untuk beberapa
penyakit. Puskesmas, hanya buka sampai pukul 3 sore,
dimana masyarakat seharusnya masih berladang atau
bekerja. Aneh memang, tapi begitulah puskesmas.
Sehingga, sering kali jika ada yang datang pada saat
puskesmas sudah tutup, ibu saya memberikan sedikit
obat yang dia tahu, lalu menyuruhnya datang lagi ketika
puskesmas sudah buka.

Suatu hari, suatu sore. Kompleks puskesmas kami, yang


hanya terdiri dari 3 buah rumah yang masing-masing
ditempati karyawannya, menjadi sangat riuh dan sibuk.

108
Keriuhan ini dikarenakan seorang pria yang datang,
dengan tangan yang terluka besar. Pergelangan
tangannya terbuka lebar seperti baru saja tersayat pisau
besar atau mesin. Darah mengalir deras, dan sebuah kain
mengikat otot lengan atasnya dengan kuat sehingga
terlihat biru. Lelaki itu ternyata digigit oleh sebuah ular
sawah yang besar, di sebuah kandang ayam yang
sederhana. Kain itu mengikat tangannya agar darah yang
mungkin sudah terinfeksi banyak kuman tak bercampur
dengan darah diseluruh tubuhnya.

Pria ini hanya seorang pemuda dari kampung, yang


bekerja di rumah saudaranya untuk mengurus sebuah
peternakan ayam kecil. Pemuda ini bersama seorang
temannya, hanya mereka berdua, datang ke rumah kami
dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Ibuku
segera memanggil kakak-ku, yang masih sekolah
keperawatan setingkat SMA untuk membantunya.
Tetangga kami disebelah rumah adalah seorang
karyawan puskesmas juga, yang sudah kami anggap
seperti keluarga. Pemuda ini dibawa ke rumah tetangga
kami yang memang lebih luas daripada rumah kami,
agar lebih mudah mengobatinya. Mereka bertiga segera
menampung darah pemuda ini dalam sebuah baskom
yang dalam waktu singkat sudah hampir setengahnya
penuh.

Saat itu, mereka segera mengambil perban, suntikan,


benang jahitan luka, dan semua perlengkapan untuk

109
menjahit luka. Pergelangan itu terbuka lebar, dan jika tak
hati-hati, si pemuda bisa saja tak selamat. Aku melihat
kakak perempuanku seperti keringat dingin, dia yang
masih sekolah harus dihadapkan pada keadaan yang
tidak mudah. Ibuku pun demikian, dia hanya seorang
asisten apoteker. Setelah beberapa waktu yang cukup
lama, tangan si pemuda ini sudah selesai dijahit dengan
rapi oleh mereka bertiga. Lalu, akhirnya si pemuda ini
bersama temannya pulang,namun sebelum pulang ibu ku
mengharuskan dia untuk segera ke rumah sakit umum
yang berada beberapa ratus meter dari rumah kami, agar
kondisinya bisa ditangani oleh yang lebih ahli. Lalu,
darah si laki-laki ini yang sudah tertampung dalam
sebuah baskom yang cukup besar dibuang, sambil
kakak-ku menyampaikan betapa beratnya pekerjaan yang
tadi dia lakukan.

Beberapa hari kemudian, si pemuda itu tidak lagi tampak


di daerah kami, hingga akhirnya kami mendapat kabar
bahwa dia pulang ke kampung nya untuk menjalani
pengobatan kampung katanya. Kami cukup kesal
mendengar hal itu, mengingat bahwa luka yang baru saja
dialami adalah sebuah luka besar yang cukup berbahaya.
Ibuku berkata bahwa jahitan sebesar itu harus selalu
dikontrol hingga akhirnya kering dan sembuh, belum
lagi mengingat betapa bahayanya taring-taring si ular
dapat menginfeksi dia. Pada saat kejadian itu, dia sudah
tampak lemas dan pucat akibat kehilangan banyak sekali

110
darah. Setelah luka luarnya dijahit pun, seharusnya dia
mendapatkan pengobatan, karena mungkin kain yang
mengikat lengannya itu tak mampu menjaga agar darah
kotornya tak bercampur. Belum lagi betapa banyak
darah-nya yang keluar pada saat itu. Tapi, mungkin si
pemuda itu tak punya pilihan, rumah sakit mungkin
berarti uang, sedang dia hanyalah pemuda yang bahkan
harus bekerja di sebuah peternakan ayam kecil milik
saudaranya.Beberapa minggu berlalu, kami mendengar
kabar bahwa si pemuda ini akhirnya meninggal dunia di
kampungnya. Pengobatan kampung memang sepertinya
tak bisa menggantikan perawatan modern, obat, serta
suntikan anti infeksi dan tetanus yang harusnya
diberikan.

Begitulah cerita si ular sawah dan seorang pemuda. Ular


sawah yang terjepit ketika tempat tinggalnya kini
berubah menjadi peternakan, dan rumah warga. Dia tak
lagi dapat mencari ayam-ayam yang bebas berkeliaran ,
sehingga peternakan mungkin satu-satunya pilihan. Si
pemuda pun tak punya pilihan, dia harus mengecek
semua ayam-ayam yang dititipkan padanya, dan ketika
ada ayam yang mati, dialah yang harus bertanggung
jawab. Begitulah cerita tentang bagaimana si pemuda
dan si ular sawah yang sama-sama tak punya pilihan,
harus mengakhiri hidupnya. Si ular sawah mungkin
cukup beruntung, dia mengakhirinya lebih cepat di ujung
kayu dan pisau milik si pemuda dan temannya. Si

111
pemuda kurang beruntung, karena dia harus menderita
dan menyadari bahwa ternyata dia tidak punya cukup
uang untuk menyelamatkan hidupnya.

112
Pelajaran dari Perjalanan 10 jam
(Bagian Pertama )

Juli 2008, saat itu aku sedang dalam perjalanan menuju


Medan dari Sibolga dengan sebuah mini bus, perjalanan
kurang lebih 9 jam itu aku lalui dengan memetik
pelajaran berharga. Seorang lelaki tua tionghoa duduk
disebelahku saat itu, aku menyapanya dengan “Koko” (
panggilan untuk lelaki yang lebih tua oleh orang
tionghoa ). Koko ini terlihat sangat senang, dia
membawa sebuah sangkar berisi seekor burung, yang dia
bilang tadi pagi ditemukannya jatuh dari atas pohon, dan
dia memutuskan akan merawatnya dan membawanya ke
medan. Kupikir, “lucu juga kakek satu ini, seperti anak
kecil saja”. Seketika juga aku merasa baru saja bertemu
orang yang sangat bijaksana.

Ternyata Koko ini masihlah seorang ayah,dengan anak


yang paling kecil seorang lelaki yang masih duduk di
bangku SLTP di medan. Lelaki setua dia, jika memiliki
cucu yang duduk di bangku SLTP saja, orang pasti
percaya. Dia bercerita bahwa anaknya yang paling tua
adalah wanita berumur kurang lebih 20tahunan, namun
tingkat intelektualnya sepertinya dibawah rata-rata (
mungkin semacam Retardasi Mental ). Aku langsung
tersentak, baru sadar bahwa ke-sahaja-an dan kemurahan

113
senyum Koko terhadap orang yang baru dia kenal
ternyata tidak menggambarkan kesusahan hidupnya.

Handphone Koko berdering, anak laki-laki nya


menelepon dia, menanyakan sudah sampai dimana,
sepertinya sudah tak sabar ingin bertemu sang ayah.
Setelah Koko selesai berbicara dengan anaknya, ia
bercerita bahwa sudah 5 tahun dia berada di Sibolga, ia
bekerja sebagai teknisi ( tukang bengkel besi ) di salah
satu proyek temannya. Dia bercerita bahwa tubuhnya
sudah terlalu tua untuk bergelut dengan besi-besi tua.
Dia memutuskan untuk kembali ke Medan, mencoba
memulai usaha yang kiranya masih layak buat tubuh
tuanya. Dia bercerita bahwa sebelumnya dia tinggal di
Medan, didaerah percut, pinggiran kota Medan. Dia
dahulu berbisnis tambak undang dan sukses, namun
masyarakat setempat mencuri hasil tambaknya tiap kali
masa panen, dan dia pun tidak berani melawan
masyarakat setempat. Seketika itu juga dia memutuskan
pindah rumah, dan bingung harus mencari nafkah lewat
cara apa. Dia bercerita bahwa sahabatnyalah yang
menolongnya. Memberikan dia pekerjaannya sekarang.

Satu pelajaran berharga dari Koko,

“Sahabat itu sangat berharga, kalau bagiku bahkan lebih


dari saudara” kata si Koko.

Sudah sampai Tarutung, daerah Tapanuli Utara, dan


anak laki-laki Koko sudah lebih dari 4 kali

114
meneleponnya untuk menanyakan sudah sampai dimana.
Padahal masih 5 - 8 jam mungkin sampai di Medan.

Koko melanjutkan ceritanya, dia mengajarkan padaku

“Hidup ini adalah rencana yang diatas, ada 5 yang sudah


diaturkan Tuhan buat kita, yakni : Kelahiran, jodoh,
pertemuan, perpisahan dan kematian. Kita hanya tinggal
menjalaninya sebaik-baiknya.”

Lalu si Koko bercerita bahwa, dia adalah tionghoa


Sibolga yang lahir dari orang tua kaya, mereka 3 orang
bersaudara. Ketika ia remaja, orangtuanya meninggal,
warisan orangtuanya dimiliki oleh kakaknya
sepenuhnya. Adiknya, pergi ke hongkong, dan
belakangan pernah menemuinya dan mengaku bahwa dia
sudah menjadi anggota mafia hongkong. Sementara dia,
melewati banyak pahitnya hidup untuk bisa hidup
mapan. Bahkan Kakak perempuannya yang kini hidup
serba berkecukupan berkat modal orang tuanya, enggan
membantunya. Awalnya dia sangat kecewa, namun
perlahan dia mulai melupakannya.

115
Pelajaran dari Perjalanan 10 jam
(Bagian Kedua)

Lima hal, itulah yang selalu diyakini koko sebagai


“kehendak langit”; kelahiran, kematian, jodoh,
pertemuan dan perpisahan. Bagi saya, yang mungkin
tidak sekuat Koko, semua yang terjadi di hidup adalah
Kehendak Tuhan, sama saja dengan prinsip yang
dipegang Koko ditengah keraguan hatinya saat itu. Aku
yakin dia pasti bimbang saat itu, berusaha memulai
bisnis yang baru lagi, tidak ada jaminan akan sukses atau
tidak.

Tapi setidaknya dia percaya, apapun itu yang akan


terjadi, dia sudah berusaha yang terbaik.

Koko mulai bercerita, “dahulu aku ketika muda, pernah


jadi buruh di pedalaman hutan Kalimantan. Aku melihat
banyak sekali wanita yang telinganya panjang karena
anting-antingnya besar.” Koko bercerita sangat detil dan
semangat seakan-akan aku belum pernah melihatnya di
TV dan internet. Maklumlah pikirku, Koko mengkin
merasa aku belum pernah melihatnya, hanya karena aku
belum pernah ke Kalimantan.

“Kematian”, itulah yang berusaha ditampilkan Koko


dalam ceritanya, bahwa kematian itu murni “kehendak
langit”. Dia bercerita ketika Mandor-nya meninggal
hanya karena kepalanya tertimpa kayu tua yang sudah

116
lapuk, yang terjatuh dari sebuah pohon tepat dimana
dibawahnya sang mandor berdiri. Begitu pula dengan
kematian orang tuanya, semuanya murni adalah
“kehendak langit”.

--------------------------------------------------------------------

Seorang ibu muda, duduk didepan Koko, bercerita


panjang lebar dengan seseorang disebelahnya. Aku pikir
yang disebelahnya itu adiknya atau pembantunya. Si ibu
bercerita mengenai suaminya yang seorang perwira
polisi di kota Medan dan hal-hal lainnya yang terkesan
sangat sempurna. Aku berpikir, “Si ibu muda ini
terdengar seperti menyombongkan diri, agar semua
penumpang saat itu dan si supir mendengarkan
kesempurnaan hidupnya”. Tapi aku juga berusaha
meyakinkan diriku bahwa aku terlalu mencurigai isi hati
si ibu muda itu. Medan dan Sumatera Utara begitu
mengagung-agungkan arti kata “perwira”. Budaya
masyarakat Medan memberi penghargaan lebih untuk
pekerjaan aparat pemerintah terutama yang bergelar
perwira, sehingga si ibu begitu bangga menceritakan hal
itu.

“cik.. cik.. cik..” bunyi burung yang berada dalam


sangkar. Seketika Koko menunduk dan mengambil
makanan dalam sangkar dengan lidi, ujung lidi yang
sudah melekat makanan di arahkan ke paruh burung itu,
dan burung itu pun memakannya. Anak berumur 5 tahun,
yang merupakan anak si ibu muda itu langsung melihat
ke belakang. “Wah, ada burung”, katanya.

117
“Burung si Koko inilah, bunyi terus… Ko, hati-hati
burungnya Ko.. Koko ini sudah tua tapi burungnya
masih aktif aja” canda si Ibu muda dengan tawa. Burung
bisa bermakna ganda di medan, dan semua penumpang
merasa bahwa si ibu muda sedang memainkan makna
kiasannya, yang sangat tidak sopan jika diartikan
harafiah. Sontak seisi bus tertawa, si Koko juga, bahkan
koko juga ikut dalam canda gurau yang sedikit nakal itu.
Koko ini orang yang bersahaja kupikir, aku yakin dia
merasa di tertawakan tapi tetap saja dia ikut tertawa.
Tapi tetap bagiku si ibu muda tak seharusnya bercanda
mengenai hal itu, si koko sudah terlalu tua untuk
candaan seperti itu, mengingat ibu itu juga sedang
membawa anak berumur 5 tahunan. Mungkin si ibu
muda sedikit mendengar cerita hidup si Koko yang
diceritakan kepadaku, sehingga terlihat kurang
menghormati. Mungkin beda jika si Koko berkata bahwa
dia punya sebuah mall di medan, pasti si ibu tak berani
bercanda seperti itu. Sekali lagi, aku berusaha berpikir
bahwa akulah yang sudah terlalu curiga pada si ibu muda
ini.

--------------------------------------------------------------------

Kami sudah sampai di siantar, masih 3-4 jam lagi


menuju Medan. Mini bus berhenti disebuah rumah
makan, karena memang sudah waktunya makan malam.
Mini bus melanjutkan perjalanan.

Satu pelajaran lagi dari si Koko, kali ini sedikit asumsi si


koko akan kehidupan, dia berkata:

118
“Dalam hidup, akan ada 3 keuntungan besar yang akan
datang, dan jika kita tidak siap dan jeli dalam
memanfaatkannya bisa jadi kesusahanlah yang akan
datang.”

Setidaknya itulah yang dirasakan si koko dalam


kehidupannya. Aku sih berpikir bahwa mungkin bukan
hanya 3, mungkin 2 atau mungkin 5, tapi yang paling
penting “memanfaatkannya”, setiap anugerah Tuhan
harus disyukuri dan kita harus jeli untuk terkadang
menambil resiko. Tapi si koko juga mengingatkan untuk
harus jeli melihat situasi.

Diapun bercerita, bahwa si adik yang anggota mafia


hongkong, pernah menemuinya setahun lalu,
menawarkan pilihan berat buatnya untuk pindah ke Cina
bersama keluarga dan menjalani bisnis dengan si adik.
Koko ini bingung, dia pun menawarkan sebuah tawaran
agar si adik membawanya ke Cina untuk sementara dia
melihat kemungkinan dia pindah kesana. Si adik
membawanya ke Cina, selama sebulan disana, si koko
memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Dia berkata
cuaca salju disana tak akan mampu diterjang tubuh
tuanya yang terbiasa di cuaca tropis. Belum lagi
ketidakmampuan dia dan keluarga berbahasa Mandarin
standar dan tulisannya, dia dan keluarga hanya bisa
berbicara Hokkien. Belum lagi latar belakang si adik
yang seorang mafia, dia mengutamakan keselamatan
keluarganya.

Saya sentak menggagumi tawaran Koko untuk mencoba


tinggal disana dan kejeliannya menganilisis kondisi,

119
terutama konsennya pada keluarga,seorang ayah yang
hebat .

HP Koko berdering lagi, sepertinya hampir setiap 15


menit si anak meneleponnya, menanyakan posisinya
sekarang. Saat itu sedang macet di daerah “pasar
bengkel” kurang lebih 1-2 jam menuju Medan. Seisi bus
seakan sudah bisa merasakan seberapa rindunya si anak
dengan ayahnya yang satu ini.

120
Pelajaran dari Perjalanan 10 jam
(Bagian Ketiga)

Kemudian, si koko bertanya padaku, “aku mau membeli


apa itu namanya, komputer yang bisa di bawa-bawa? “.
“Laptop ko?” tanyaku sambil ingin memberi tahu. Jujur
aku sangat terkejut, mendengar cerita koko mengenai
ketidakpastian finansial keluarganya, dia malah ingin
membeli laptop. Apa yang sedang dipikirkan lelaki tua
ini, tanyaku dalam hati. “iya laptop”, kata si koko,
“anakku laki-laki satu-satunya itu minta dibelikan
laptop, karena dia malu, hanya dia yang tidak bisa
menggunakan komputer di sekolahnya”. Langsung saja
aku ingatkan bahwa anaknya itu masih SMP, dan
kebutuhan akan laptop sudah pasti bukanlah jawaban
untuk dia mempelajari komputer.

Aku berkata kepadanya lebih baik untuk membelikan


anak laki-lakinya itu buku mengenai word, excel dan
sebagainya. “Sebaiknya koko ajak saja dia ke gramedia,
biarkan dia memilih buku yang disukainya, biar dia
mempelajarinya di komputer sekolah saja”, jawabku.
Jujur saja aku menjawabnya sambil memikirkan betapa
berartinya uang untuk membeli laptop, untuk koko pakai
buat bisnis barunya. “Tapi memang, jika koko
membelikannya komputer, akan lebih baik untuk dia

121
belajar ko, tapi bukan laptop ko, itu terlalu mahal”,
jawabku lagi. Aku tersentuh setelah mendengar jawaban
koko setelah itu.

“Aku cuma memiliki dua anak, yang paling tua, yang


perempuan itu, aku tak bisa berharap lebih darinya.
Mungkin Tuhan sudah berkehendak akan kekurangannya
itu, aku hanya bisa merawatnya sampai nyawaku habis”,
jawab koko, dari nada suaranya aku mendengar rasa
sakit dan kepasrahan secara bersamaan. “Anak laki-laki
ku satu-satunya ini, hanya dia yang bisa kuharapkan, aku
hanya ingin agar dia bisa jadi orang yang berhasil dan
mapan. Tapi, umurku yang sudah tua ini, bahkan
membuatku tak lagi bermimpi untuk bisa melihatnya
menikah, menggendong anak, dan membina keluarga”.
“Sisa hidupku akan kuberikan yang terbaik buat dia,
supaya kalaupun nanti, kapanpun aku harus pergi
setidaknya aku sudah berikan yang terbaik buat dia”,
jawab si koko. Aku merasakan keinginan yang kuat pada
diri koko buat dia dapat melihat anak laki-lakinya ini
berhasil dan menggendongkan cucu buatnya, tapi
kepasrahannya kepada kehidupan membuat dia tidak
berani berharap lebih, dia tahu dia tak mampu melawan
waktu. Pembicaraan kami terhentikan oleh suara sesuatu.

Tiba-tiba HP koko berdering lagi, nada suara HP nya itu


adalah lagu batak berjudul “anak medan”. “Anak medan
yang satu inilah”, kata koko kepadaku sambil tersenyum
menandakan bahwa anak laki-lakinya itulah yang berada

122
di ujung telepon. Aku menguping pembicaraan mereka,
aku penasaran akan betapa haru-nya hubungan anak dan
ayah ini. “Pi… bagi pulsa pi…”, suara si anak laki-laki
terdengar dari loudspeaker HP si koko ( Papi adalah
panggilan si anak buat ayahnya ini ). “ahh.. taik mu
lah… lu gak tidur-tidur jam segini, minta pulsa pula”,
jawab si koko yang langsung dibalas oleh tawa kecil si
anak. Tapi tetap si anak tidak tidur buat menunggu
pahlawannya satu ini. Ya, koko ini seorang pahlawan,
bahkan akupun mengakuinya.

Inilah lima tahun penantian si anak, lima tahun


pahlawannya ini pulang dari pertarungannya melawan
besi-besi tua. Pahlawan yang menjalani setiap detik
dengan peluh keringat buat “anak laki-laki harapannya”.
Demi si anak gadisnya yang dengan semua
kekurangannya tapi tetap dengan sepenuh hati
dicintainya ini, dan buat wanita setengah baya yang
dipanggilnya anak-anaknya ibu, yang dicintainya meski
harus berjuang keras melawan usia. Pernikahan yang
dimulai koko di usia yang terlambat dan segala kondisi
jatuh bangun keluarga, tampaknya begitu tenang
diterima si koko yang sudah dididik kehidupan sejak
ditinggal orangtuanya sejak remaja. Kepasrahan koko
akan kehidupan, akan “kehendak langit”, menjadikan dia
kuat tapi tetap penuh kasih dan dedikasi pada keluarga.

“Papi cepatlah datang ya”, kata si anak. “Macet ini, lu


mau gua terbang apa”, jawab si koko. Pembicaraan di

123
HP itu selesai, si koko menatapku tanpa kata, seakan
berkata “inilah anak laki-laki harapanku”. Aku tahu
betapa akan emosionalnya pertemuan hari itu, si anak
menunggu pahlawannya, si ayah ingin segera menjumpai
“harapan”nya. Sejuta kemungkinan akan mereka hadapi,
untuk memulai semua dari awal lagi, mencoba
peruntungan dengan pasrah terhadap “kehendak langit”.
Si ayah bukan hanya akan berjuang melawan
peruntungan tapi juga usia dan tubuhnya yang tua. Tak
terasa sudah tiba di medan, mini bus “Bulungan Indah”
berhenti di terminalnya, saat itu pukul 02.30 pagi dini
hari WIB. Aku turun bersama abangku yang juga dalam
perjalanan itu. Aku masih melihat si koko yang
sepertinya ingin sesegera mungkin menjumpai
harapannya itu. Aku melihatnya, sambil aku berdoa agar
kiranya Tuhan selalu bersama dia dan keluarganya.
Perlahan becak mesin tumpanganku mebawaku semakin
jauh, dan tak bisa lagi melihat si koko yang sedang
mencari tumpangannya ke rumah.

--------------------------------------------------------------------

Kisah ini adalah sebuah perjalanan 10 jam dengan


sebuah pelajaran kehidupan, sebuah kisah singkat akan
kepasrahan dan perjuangan. Sebuah kisah pilu dibalik
sebuah senyum ramah lelaki tua. Ya, bagiku inilah
sebuah perjalanan, ini pula sebuah pelajaran.

Selesai

124
Hati Emas di Sebuah Gereja Kecil

Saya bukan hendak membanggakan gereja saya, oleh


karena itu saya tidak akan menyebutkan nama gerejanya.
Gereja ini adalah gereja kecil, dimana saya sejak kecil
sering beribadah minggu kesana. Gereja ini memiliki
jemaat yang jumlahnya tidak begitu besar, bahkan
tergolong kecil. Jika saya bisa mengambil asumsi
sederhana dari apa yang saya lihat, saya bisa katakan
keluarga jemaat gereja ini memiliki tingkat ekonomi
menengah kebawah dengan mayoritas suku Batak Toba
dan Karo. Hanya beberapa yang membawa mobil,
parkiran yang masih lahan hijau yang dipenuhi rumput
itu pun tidak pernah anda lihat penuh, sebagaimana
biasanya gereja di kota-kota besar.Anda mungkin akan
melihat banyak kesederhanaan dalam gereja ini, yang
hingga saat ini masih menjadi semacam ciri khas yang
bagi saya tak tergantikan.

Maklumlah, jika saat anda bernyanyi di gereja ini, suara


atau nada keyboard ( satu-satunya alat musik yang
dipakai ) kadang sedikit tidak sesuai, itu karena hanya
ada seorang keyboardis, yang memang tidak pernah
kursus khusus. Lelaki tua ini pun mengajarkan anaknya
bermain keyboard, lalu jadilah ada dua keyboardis di

125
gereja ini. Sesederhana itu, tanpa ada tim musik khusus
atau semacam pelatihan oleh profesional yang dilakukan
secara rutin setiap minggunya.

Tetaplah maklum, jika paduan suara perukumpulan para


suami hanya punya satu lagu andalan yang berulang kali
ditampilkan, judulnya “pir ma tondim”. Janganlah
mengeluh, jika anda melihat tempat duduk yang sedikit
kurang nyaman anda duduki, penuh dengan coretan
anak-anak sekolah minggu. Bahkan, di salah satu bangku
ada akan menemukan nama saya “ARION” tergores di
bangku kayu-nya yang sudah cukup tua. Saya selalu
tertawa, tindakan bodoh saya ketika masih anak-anak
masih dapat dilihat orang hingga kini.

Tapi cobalah lirik ke bangku di bagian sedikit agak ke


belakang, anda akan melihat seorang ibu tua dengan
seorang wanita yang tampaknya jauh lebih tua dari dia
duduk disampingnya. Ibu ini berpakaian rapi, sedikit
gemuk, khas sebagaimana ibu-ibu berusia 50 tahunan.
Ibu tua ini sangat anggun meski tidak dipenuhi berbagai
perhiasan, hanya seadanya.Wanita disebelahnya tampak
kurus dengan kulit agak kecoklatan dan ukuran tubuh
yang kecil, wanita ini memiliki gigi yang hampir habis,
ditambah tubuh yang sangat kurus. Jangan heran, jika
ketika semua jemaat berdiri, wanita ini tidak berdiri dan
hanya duduk di tempat .

126
Wanita itu adalah sepupu ibu itu, anak dari saudara
perempuan ayahnya. Anak dari “namboru-nya”, itulah
orang batak menyebutnya. Ibu itu selalu membawa
sepupunya itu ke gereja setiap minggunya. Dia
merawatnya di rumahnya meski dengan segala
kekurangan sepupunya itu. Wanita itu memiliki banyak
kekurangan semacam retradasi mental. Si ibu itu
merawatnya, memakaikannya pakaian yang sederhana
namun sangat rapi dilihat, setiap hari minggu, agar
sepupunya itu mengikuti ibadah hari minggu
bersamanya. Setiap minggu,wanita itu dituntun si ibu
dan selalu duduk disamping si ibu. Hanya itu yang saya
tahu dari “inang” ( panggilan ibu dalam bahasa batak )
itu, selain kenyataan bahwa suaminya lah yang biasanya
berkhotbah di mimbar setiap minggunya. Bagi saya itu
semua cukup untuk meneladani hati emas-nya,
kesediaannya membantu saudaranya. Semoga “anak
Tuhan” yang satu ini dapat memberikan teladan bagi
kita.

127
Keajaiban Kaisarea (Bagian Pertama)

Ini adalah sebuah kisah haru penuh akan rangkaian


campur tangan Tuhan dalam hidup seorang manusia,
dalam sebuah sekolah tempat dimana anak-anak dan
kepolosannya mulai diasah menuju sebuah kedekatan
akan Tuhan dan pemikiran yang bertanggung jawab. Ini
kisah akan sikap penuh kasih senantiasa membawa
keajaiban, sikap penuh rasa syukur senantiasa membawa
campur tangan Tuhan dalam “kemustahilan” yang telah
diciptakan manusia dengan semua keterbatasan
kemampuannya untuk memahami dunia ini.

***

Aku bersekolah di sebuah sekolah dasar Kristen bernama


yayasan Kaisarea, sekolah ini adalah sebuah sekolah
yang masih sangat baru ketika aku masuk dan bersekolah
disana. Aku dan teman-temanku adalah angkatan
pertama di sekolah ini. Kami lah sekumpulan murid
pertama yang oleh sekolah ini berhasil mendapatkan
Ijasah, yang oleh seorang kepala sekolah galak namun
penuh kasih bernama Miss Yusni Sagala, kami
memanggilnya Miss Yus, kami terbentuk lebih matang
dalam menyelesaikan masa kanak-kanak. Sosok ini dan
sekolah ini memberiku sebuah pelajaran akan betapa
rencana Tuhan itu bagaikan rantai yang sambung

128
menyambung untuk mereka yang senantiasa berserah
padaNya.

Sebelas Juli dua ribu sembilan, Aku mengumpulkan


beberapa teman yang dahulu satu kelas di SD untuk
melakukan sebuah reuni kecil-kecilan, “unwell
organized” tapi memberi makna bagi kami. Aku terkejut
dan sangat senang, saat masuk dan menemukan Miss
Yusni Sagala, yang terakhir kabarnya saya dengar
mengalami sakit yang hebat dan bahkan diisukan sudah
meninggal dunia oleh salah satu temanku, sedang berada
di ruang kepala sekolah dengan begitu sehat dan penuh
semangat. Sejenak, aku berpikir aku bermimpi, saat
sedang menunggu kedatangan teman-teman yang lain,
aku melihat sosok miss yus, mungkin hanya mirip
pikirku lagi.

Aku langkahkan kakiku, yang kini dua kali lebih panjang


dari langkah kecil seorang arion empat belas tahun lalu,
yang oleh mamakku aku dibawa ke sekolaha ini untuk
menyelesaikan sekolah dasar dan menghabiskan masa
kecilku bersama teman-teman dan miss Yus. Aku
masuki gerbang yang sejak aku tinggal delapan tahun
lalu belum pernah dicat ulang, kulewati pos kecil tempat
besi tua yang dipukul menandakan waktu pulang atau
istirahat. Besinya sama, dindingnya sama, lubang
didindingnya sama hanya lebih besar kali ini, semua
sama, yang berbeda hanya lapangan tanah kini sudah
dipasangi blok merah menetupi semuanya.

129
Aku masuki ruangan kepala sekolah, aku tanpa berkata
apa-apa langsung menyalam ibu tua sedikit gemuk
berkacamata itu, aku langsung berkata “Miss Yus, masih
ingat aku? Aku arion”, belum sempat aku melanjutkan
dia langsung menegaskan kalau aku arion purba siboro,
dilihatnya jumper-ku yang bertuliskan asal kampusku
dengan ucapan kagum, disalam dan dirangkulnya aku.
“Ini bukan kebetulan” itulah hal yang paling dia
tegaskan kepada kami mengenai kedatangan kami, yang
diantaranya tidak semuanya beruntung sedang menjalani
kuliah. “Ibu baru seminggu lalu menjabat kepala sekolah
lagi disini, mari kukenalkan ke guru-guru yang sudah
sejak lama berganti-ganti”, kalimatnya itu membuatku
bingung, kabar mengenai dia dan penyakit kanker
rahimnya dan isu-isu lainnya saling beradu dalam
pikiranku. Dan kini aku menemukannya di ruangan yang
sama dengan delapan tahun lalu, meski dia mengidap
kanker stadium empat?

130
Keajaiban Kaisarea (Bagian Kedua)

Ada sebuah pelajaran berharga yang kudapat saat


kembali menemui miss yus sejak delapan tahun yang
lalu, kali ini bukan pelajaran untuk tidak cakap kotor,
yang dahulu dilakukannya dengan memukul dan
menjewer kami, tapi sebuah pelajaran mengenai
kehidupan.

Kami, anak murid miss Yus delapan tahun lalu, kini


berkumpul dan bercerita di sebuah ruangan. Miss Yus
membelikan sekotak air mineral dan meninggalkan kami
dalam ruangan. Tanpa sepengetahuan kami, ia sedang
menangis di dalam ruangan kantornya sembari berdoa.
Setelah itu, dia masuk dan menceritakan kami
kehidupannya dan sekolah ini sekarang.

Pelajaran pertama mulai dari kepasrahan akan Tuhan.


Kanker rahim telah merenggut kesempatannya memiliki
keturunan, tapi bagiku itu tak merenggut kesempatannya
memiliki anak dan menjadi seorang ibu, bahkan ibu dari
tiga puluh dua orang anak di setiap kelasnya. Ya, sikap
keibuannya begitu terasa kala suaranya bergetar
memarahi dan menyemangati anak-anak didiknya.
Tahun 1994, ia divonis sebagai pengidap kanker rahim,

131
dan dokter pun sudah memprediksi tahun 1994 tak akan
bisa dilewati lagi olehnya. Dia menyimpan berita itu
hanya untuk dia dan Tuhan, dan ternyata kepasrahannya
membuatnya mampu menjalani hidup dengan penuh
energi, bahkan sejak tahun 1995 sampai 2001 dia telah
menemani 32 anak angkatan pertamanya hingga lulus
dan salah satunya menggaguminya dan menuangkannya
menjadi tulisan ini. Tapi Tuhan menunjukkan jalan lain
di kehidupannya, tahun 2003 ia tak mampu lagi
bergerak, ia pingsan di tempat kerjanya dan tak mampu
lagi menjalani profesi sebagai kepala sekolah.
Kepasrahan akan Tuhan hanya itulah yang dia pegang
saat itu, meski perutnya telah membesar dan kulitnya
menghitam akibat kanker stadium empat sudah hampir
pasti merenggut nyawanya.

Pelajaran kedua adalah pertolongan Tuhan itu nyata dan


sikap penuh kasih akan selalu membawa keajaiban.
Keadaanya yang terus memburuk ternyata tak
membuatnya lupa akan Tuhan, dan seketika itu juga
Tuhan menunjukkan bahwasanya kuasa-Nya terlalu
besar untuk analisis seorang dokter yang sudah
memprediksi nyawa Miss Yus tinggal beberapa minggu
dan hari lagi. Ternyata semua orang yang dahulu
mengenal Miss Yus dan sikapnya yang penuh kasih
dengan Kuasa Tuhan menempatkan mereka sehingga
dapat menolong Miss Yus. Mulai dari mantan guru SD
yang mengajar kami hanya dua tahun yang kini sudah

132
bekerja sebagai protokoler presiden, membantu
mendanai pengobatan miss yus, hingga salah seorang
mantan muridnya ketika ia masih mengajar di salah satu
perguruan swasta lain.

Mantan muridnya yang adalah seorang keturunan


tionghoa membawanya ke Taiwan dan Cina untuk
menjalani pengobatan metode baru yang masih
dikembangkan. Semuanya murni dibiayayai oleh mantan
muridnya itu, dan dia pun pasrah pada Tuhan, meski
secara jujur sang mantan murid mengatakan bahwa dia
adalah kelinci percobaan untuk metode pengobatan baru
itu. Kuasa Tuhan pun dengan nyata menjamah miss Yus,
perlahan kankernya mulai pulih hingga akhirnya dia
melakukan pengangkatan kankernya yang tinggal seberat
tiga kilogram di salah satu rumah sakit di medan, yang
bahkan dokter dan perawat yang menanganinya adalah
mantan orang tua murid yang namanya masih dengan
jelas dihapalnya. Kini, dia sudah kembali semangat
menjalani masa-masa penyembuhan setelah tujuh tahun
berjuang mengalahkan kanker. Hingga akhirnya dia
membuat sebuah pilihan untuk menjabat kembali sebagai
kepala sekolah yang sudah tujuh tahun ia tinggalkan.

Namun masih ada sebuah cerita mengapa ia sampai


menangis melihat kedatangan kami saat seminggu tepat
setelah ia kembali menjabat kepala sekolah.

Cerita ini tidak dilanjutkan, karena hingga saat ini

133
penulis belum menemui kembali tokoh dalam cerita
untuk membuat tulisan yang lebih lengkap. Mohon Maaf

134
Kumpulan tulisan ini adalah hasil tulisan saya yang
dapat anda baca juga di www.arionbatara.webs.com

Arion Batara Purba Siboro

135

Anda mungkin juga menyukai