Anda di halaman 1dari 124

Seri Puisi Esai Indonesia

Provinsi Bali

Serat Sekar Tunjung


Penulis

I Gede Joni Suhartawan


I Ketut Sandiyasa
I Nyoman Agus Sudipta
Ni Luh Putu Sukma Awantari
Ni Made Dwi Ari Jayanthi

Pengantar
Nyoman Tusthi Eddy

SERI PUISI ESAI INDONESIA


HAK PENERBITAN
Denny J.A.
rights@cerahbudayaindonesia

TIM EDITOR
Nia Samsihono (Ketua)
Anwar Putra Bayu (Anggota)
Dhenok Kristianti (Anggota)
F.X. Purnomo (Anggota)
Gunoto Saparie (Anggota)
Handry T.M. (Anggota)
Isbedy Stiawan Z.S. (Anggota)

KOORDINATOR WILAYAH
Fatin Hamama (Wilayah Indonesia Barat)
Nia Samsihono (Wilayah Indonesia Tengah)
Sastri Sunarti (Wilayah Indonesia Timur)

FINALISASI DAN PUBLIKASI


Agus R. Sarjono
Jamal D. Rachman
Monica Anggi JR

DESAIN GRAFIS
Dani Fadryana

Cetakan Pertama Agustus 2018

ISBN
978-602-0812-19-9

PENERBIT
Cerah Budaya Indonesia

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip dan memperbanyak


sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Serat Sekar Tunjung


v

Daftar Isi

Pengantar
Nyoman Tusthi Eddy
MENGUNGKAI BALI DALAM PUISI ESAI.............. vi

I Gede Joni Suhartawan


Serat Gunung Agung................................................ 1

I Ketut Sandiyasa
Tenun Asmara Beda Iman di Kaki Lempuyang 25

I Nyoman Agus Sudipta


Kasta antara Derajat dan Cinta......................... 42

Ni Luh Putu Sukma Awantari


Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali..... 57

Ni Made Dwi Ari Jayanthi


BLANJONG
: masa lalu........................................................................ 87

Daftar Isi
vi

Pengantar
MENGUNGKAI BALI DALAM PUISI ESAI

(I)

Pada bulan Maret 2013, saya diberi sebuah buku antologi puisi
oleh kawan saya. Buku itu berjudul Kutunggu Kamu di Cisadane
karya Ahmad Gaus. Di bawah judulnya terdapat keterangan
Antologi Puisi Esai. Baru pada saat itulah saya mendengar istilah
puisi esai. Tapi saya tidak terkejut karena jauh sebelumnya saya
sudah mengenal bermacam-macam predikat puisi, misalnya puisi
lagu (puisi mbeling, puisi underground), puisi visual (puisi konkret),
atau puisi prosais.

Setelah saya mengamati dan membaca puisi tersebut


ternyata puisi itu adalah puisi epik yang melukiskan sesuatu atau
menceritakan seorang tokoh. Bedanya dengan puisi epik lain
yang selama ini saya kenal, puisi ini memakai catatan kaki seperti
pada artikel dan esai. Yang diberi catatan kaki adalah istilah, nama
tempat, nama peristiwa, atau tokoh. Dari hal ini saya mengerti
mengapa puisi itu dinamai puisi esai. Satu ciri lagi adalah teknik
narasinya runut dan teratur, sehingga menyerupai paparan sebuah
esai.

Dalam khazanah puisi Indonesia modern, puisi seperti ini baru


pertama kali muncul. Memang, di Inggris pernah dipublikasikan
sebuah puisi epik berjudul Beowulf dengan panjang baris
mencapai ratusan dan memakai catatan kaki. Teknik kisahannya
pun runut dan teratur dengan subjudul. Meskipun demikian ada
perbedaan mendasar yang menyebabkan puisi Beowulf tidak bisa
dikategorikan sebagai puisi esai, yaitu terletak pada kefiktifan karya.

Serat Sekar Tunjung


vii

Dalam puisi epik Beowulf, tokoh-tokohnya merupakan fantasi (daya


khayal) yang tidak pernah ada dalam kehidupan nyata, misalnya
raksasa, naga emas, dan lain-lain. Pada puisi esai, meskipun
penyair bebas berimajinasi, namun tokoh-tokoh dan peristiwanya
merupakan cerminan masyarakat, sehingga watak para tokoh dan
perilakunya—meskipun fiksi—tetap mempresentasikan sesuatu
yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan.

Sedangkan R.A. Nicholson ketika menerjemahkan puisi


mistiknya Jalaluddin Rumi yang dihimpun dalam bukunya yang
berjudul Rumi Poet and Mystic, ia menggunakan catatan kaki dalam
puisi terjemahannya itu. Namun, puisi ini tidak bisa dinamai puisi
esai sebab genrenya bukan puisi epik yang naratif, melainkan puisi
lirik. Catatan kakinya dipakai untuk memahami berbagai istilah
khas dalam puisi aslinya yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris.

(II)

Dari buku pembanding yang sudah saya baca itu, lima puisi
karya lima penyair dalam antologi ini termasuk genre puisi esai.
Dalam khazanah puisi Indonesia karya penyair Bali, puisi esai
adalah yang pertama kali muncul, baik secara historis maupun
proses penciptaannya. Kreativitas penciptaan mereka dapat dilihat
melalui puisinya.

Dalam puisi “Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali” karya
Awantari, sarana puisinya hampir dilucuti, sehingga tampak
sebagai wacana biografi. Satu-satunya penanda puisi yang masih
tampak adalah tipografinya. Unsur narasinya sebagai puisi epik
sangat menonjol. Unsur ini memang harus hadir dalam puisi esai.

Puisi Awantari memakai larik selingan (dicetak miring). Larik


ini dalam beberapa tempat tampak terlalu lugas dan tendensius.
Salah satu, misalnya tampak pada kutipan ini.

Pengantar
viii

Jangan berlari dari tradisi


Jangan melanggar budaya
Selalulah menjunjung etika

Meskipun catatan kaki mutlak bagi puisi esai, catatan


kaki yang dibuat Awantari dan ada juga beberapa pada penyair
lainnya, terlalu panjang untuk mengiringi sebuah puisi esai.
Puisi esai adalah puisi, bukan karya ilmiah yang datanya harus
dipertanggungjawabkan.

Puisi “Blanjong” karya Ni Made Dwi Ari Jayanthi adalah puisi


epik yang diksinya bernuansa lirik. Meski demikian unsur narasinya
jelas. Pada beberapa bagian diksi lirisnya sangat jelas.

Bila Geg Anom mendengarku


aku ucapkan terima kasih
untuk paru-paru yang kaupinjamkan
untuk kecantikan yang kausematkan
di hari-hari haru
di hari huru-hara

Permainan bunyi aliterasi dan asonansi pada dua baris


terakhir adalah tanda sang penyair masih kental dengan selera
lirik. Dengan gaya ini tidak berarti puisi Ari bukan puisi esai. Justru
saya menyebut Ari Jayanthi berhasil mengawinkan epik dan lirik;
lalu mengesaikan puisi dan memuisikan esai.

Puisi “Kasta antara Derajat dan Cinta” karya Agus Sudipta,


kaya dengan metafora dan majas. Ungkapan narasinya jelas.
Sarana puisi yang paling menonjol dalam puisi Agus adalah rima
akhir yang ditata dengan apik dan wajar (tidak ada kecenderungan
dipaksakan). Permainan metafora dan rima akhir misalnya tampak
pada larik berikut.

Benang-benang keruwetan telah ditenun


menjadi kain kebangsawanan nan anggun
Serat Sekar Tunjung
ix

Dalam puisinya yang berjudul “Tenun Asmara Beda Iman di


Kaki Lempuyang” Sandiyasa memakai diksi gaya bertutur. Diksinya
prosais. Hal ini memudahkan puisi Sandiyasa untuk diapresiasi.
Membaca puisinya si pembaca seperti mendengarkan orang
bertutur.

Di sana-sini ia memakai majas dan metafora ciptaan sendiri;


tetapi tak sampai menyebabkan pembaca tidak paham. Mulai
bagian ke-/5/puisi Sandiyasa cenderung ke lirik, tetapi ia tetap
mempertahankan unsur narasinya, sehingga tetap berada dalam
genre esai. Gaya seperti ini saya jumpai pada puisi “Song of
Hiawatha” karya H.W. Longfelow. Sifat lirisnya terutama tampak
pada saat ia mengungkapkan latar.

Rinai gerimis menutup sore


Saat matahari mengusik halimun senja
Saat bulan purnama kelima berhias
Ingin Nyoman Jaya menjemput impian
Melompat terbang meski tak punya sayap

Dalam kutipan itu ada anafora, ada personifikasi yang
bermuatan rasa, sebagai ciri khas puisi lirik.

Diksi pada puisi “Serat Gunung Agung” karya Joni Suhartawan,


cenderung prosais. Tanda kepuisiannya terletak pada komposisi
dan adanya gaya repetisi di sana-sini. Gaya ini tampak pada bagian
pembuka puisi esai “Serat Pertama: Gelisah”, yang merepetisi kata
‘segala’ dan kata ‘sebagai’ seperti tampak kutipan berikut.

Aku, Gunung Agung,


selamanya menyediakan diri sebagai wakil segala yang suci,
segala yang di atas, yang engkau percayai berabad-abad
Sejak Rsi Markandeya1datang menerabas sebagian hutanku,
1 Masa sejarah Bali dapat dilihat kembali berawal dari abad ke-8 Masehi, saat Rsi Markandeya
menginjakkan kakinya di Pulau Bali. Rsi Markandeya adalah seorang pendeta Hindu Siwa
Tattwa. Beliau bersama pengikutnya mengadakan upacara pertama kali di Gunung Agung.
Sumber: Bhujangga, 201.

Pengantar
x

kauteguhkan aku sebagai pusat persemayaman para leluhur,


sebagai istana para jiwa suci bernama Pura Besakih

Tidak ada sarana puisi lain bisa menguatkan penampilannya


sebagai puisi. Hal ini mungkin disebabkan oleh kuatnya ide penyair
untuk mencipta puisi esai.

(III)

Apa kata kelima penyair puisi esai ini tentang Bali? Seperti
halnya para penyair Bali yang mendahuluinya, mereka berbicara
berbagai warna tentang Bali. Banyak di antara mereka kecewa
dengan Bali, tetapi ada juga yang masih optimis dan punya
harapan pada Bali. Mereka waswas dengan keberadaan Bali,
terutama kaitannya dengan industri pariwisata yang mencengkam
tanah Bali. Dari sinilah timbul wacana: “Bali telah dijual habis”, “Bali
terpenggal-penggal”, “Bali tak lagi Bali”, dan sebagainya, yang
semuanya berasal dari keluhan orang kecewa. Dari keadaan ini
timbullah gagasan Ajeg Bali.

Awantari dalam puisinya “Wanita Bali Antara Nafkah dan Ajeg


Bali” mengangkat idealisme menempatkan manusia Bali dalam
menyiapkan gelombang industri pariwisata. Ia tidak menampik
pariwisata dengan segala efeknya, tetapi menyodorkan cara-cara/
ide-ide untuk mengantisipasi agar sosio-budaya Bali tetap tegak
dan eksotis. Ia tidak merisaukan efek pariwisata karena hal itu
adalah keniscayaan Bali saat ini. Ia menempatkan manusia Bali
untuk menikmati industri pariwisata sambil menjaga budaya Bali.
Ajeg Bali sebagai filternya.

Ari Jayanthi dalam puisinya “Blanjong” membandingkan


masa lalu Blanjong dengan Blanjong masa kini. Ia merasakan
kehilangan secara budaya akibat gerusan zaman global. Ari tidak
melontarkan gugatan, sebaliknya ia cuma mengekspresikan
perasaannya. Terkadang ia mengekspresikannya antara realitas
dan angan-angannya.
Serat Sekar Tunjung
xi

Agus Sudipta mempersoalkan masalah kasta (wangsa) di Bali,


terutama adalah konteks hubungan cinta asmara. Agus bertanya
mengapa beda kasta menjadi penghalang hubungan cinta. Secara
tersirat Agus mengatakan cinta adalah mutiara hati nurani yang
dibawa sejak lahir, sedangkan kasta adalah bikinan dunia.

Gugatan Agus Sudipta terhadap sistem kasta hanya wacana


keprihatinan, bukan gugatan opensif. Walaupun demikian, Agus
Sudipta mengungkap tuntas keberadaan kasta di Bali dengan
segala efeknya, seperti fanatisme, arogansi, eksklusif, dan
feodalisme yang masih membekas hingga kini.

Sandiyasa dalam puisinya “Tenun Asmara Beda Iman di Kaki


Lempuyang”, memotret sejarah hubungan Hindu—Islam di Bali,
khususnya di Kabupaten Karangasem. Dulu di zaman raja-raja
umat Hindu di Bali menyebut umat Islam Nyama Selam (saudara
yang beragama Islam). Sebutan ini bukan sekadar wacana, tetapi
menjadi realitas dalam kehidupan sosial sehari-hari. Pada masa
itulah sesungguhnya kerukunan antarumat beragama (Hindu-
Islam) menjadi kenyataan hidup.

Sandiyasa mengungkap sejarah masa lalu yang kini justru


menjadi masalah aktual, saat kita membangun kerukunan
antarumat beragama dan semangat kebinekaan. Sandiyasa ingin
membangun kembali semangat menyama antarumat beragama,
yang kini dirasakan meredup.

Salah satu akibat dari hal itu adalah terkendalanya—mungkin


terjegalnya—hubungan cinta antara sepasang manusia yang
berbeda agama (Hindu—Islam), seperti tokoh puisinya, Nyoman
Jaya dan Siti Juleha. Lewat Siti Juleha Sandiyasa menggugat
mengapa agama menjadi penjegal cinta saat ini.

Gede Joni Suhartawan dalam puisinya “Serat Gunung Agung”


mengungkapkan dua hal (peristiwa), yaitu kisah meletusnya

Pengantar
xii

Gunung Agung tahun 1963 rakyat lebih banyak menyikapi


peristiwa itu atas dasar kepercayaan agama (Hindu). Gunung
Agung adalah gunung suci. Meletusnya Gunung Agung adalah
kehendak Dewata. Mereka yang memiliki keyakinan kuat tak
mau beranjak untuk mengungsi. Malahan, ketika lahar turun dari
gunung mereka beramai-ramai menyongsongnya dengan alasan
ngiring betara (mengikuti perjalanan Dewata).

Kini tahun 2017, keyakinan seperti itu telah surut. Banyak


orang yang panik lari untuk mengungsi sebelum Gunung Agung
benar-benar erupsi. Pemerintah pun gencar menangani pengungsi.
Adakah hal ini sebagai akibat dari pengetahuan masyarakat
mengenai vulkanologi telah mantap atau justru sebagai akibat
rakyat masih buta tentang vulkanologi, sehingga mereka cepat
panik, atau mereka telanjur percaya kepada informasi keliru karena
banyaknya silang-siur media massa?

(IV)

Tradisi puisi Indonesia adalah tradisi Puisi Lirik. Dari zaman


pantun lalu masuk pengaruh asing dalam bentuk soneta. Puisi lirik
Indonesia mencapai puncak perkembangannya pada tahun 1930-
an, pada zaman Pujangga Baru.

Gebrakan terhadap perpuisian Indonesia pertama kali


dilakukan oleh Chairil Anwar tahun 1940-an. Toh, nuansa lirik
masih membekas pada sebagian puisi Chairil Anwar. Puisi epik
dalam bentuk balada pendek baru muncul tahun 1970-an ditulis
oleh W.S. Rendra disusul oleh Mansur Samin. Sejak itu satu warna
genre telah muncul memperkaya khazanah perpuisian Indonesia
modern. Tradisi puisi epik telah mulai.

Tahun 1980-an terbitlah kumpulan puisi Linus Suryadi


A.G. berjudul Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita
Jawa (1981). Penyairnya menyebut karyanya ini prosa lirik yang

Serat Sekar Tunjung


xiii

sebenarnya adalah puisi epik dengan diksi bernuansa lirik. Puisi ini
tidak memakai catatan kaki, tetapi memuat semacam glosarium
kosakata Jawa-Indonesia di halaman belakang, lihat lampiran 1
(hlm. 184—226). Dengan buku ini tradisi puisi epik Indonesia maju
selangkah lebih tegas dan jelas.

Timbulnya puisi esai tahun 2000-an lebih menegaskan lagi


keberadaan puisi epik dalam khazanah puisi Indonesia modern.
Hal ini merupakan perbendaharaan yang memperkaya genre
perpuisian Indonesia.

Dalam jajaran penyair Bali (putra Bali dan penyair yang


berdomisili di Bali), kelima penyair ini adalah perintis puisi esai,
yang ikut mengukuhkan tonggak tradisi puisi epik Indonesia.

NYOMAN TUSTHI EDDY


(Penyair, penulis esai, tinggal di Bali)

Pengantar
I Gede Joni Suhartawan
Serat Gunung Agung
2

PRAWACANA

“Serat Gunung Agung” berisi kesaksian-kesaksian atau


catatan-catatan tentang perilaku masyarakat Bali terhadap dua
hal. Pertama, kesaksian-kesaksian tentang perilaku orang Bali sejak
Pemeritah Hindia Belanda membuka Bali sebagai daerah tujuan
wisata (1924), hingga kini menjadi pusat industri pariwisata. Kedua,
catatan-catatan tentang perilaku orang Bali terhadap fenomena
alam gunung meletus yang secara umum sering dikatakan sebagai
bencana alam. Kedua catatan besar tersebut terlihat tidak saling
terkait, namun sesungguhnya terjalin secara mencengangkan. Puisi
esai “Serat Gunung Agung” menempatkan baik pariwisata maupun
letusan gunung sebagai sebuah ‘letusan’ yang menjadikan perilaku
orang Bali sepertinya mendua dalam menghadapinya.

Sikap perilaku orang Bali menghadapi letusan Gunung Agung


sesungguhnya merupakan cerminan dari bagaimana mereka
menghadapi letusan yang bertubi-tubi dari “gunung” lain bernama
pariwisata! Dan orang Bali sesungguhnya juga cukup berpengalaman
menyikapi kedua letusan tersebut, mengingat kedua hal itu pernah
mereka alami. Kedua letusan itu adalah anugerah yang membencana
sekaligus bencana yang memberi anugerah. Kesaksian dan catatan
seperti itulah yang dipaparkan dalam puisi esai ini; dengan sudut
pandang Gunung Agung sendiri sebagai tokoh Aku yang bersaksi.
Pada puisi esai “Serat Gunung Agung”, konflik yang dikemukakan
lebih pada konflik batin sang tokoh, si Gunung Agung, yang dirunut
dan dikemas menjadi perikop-perikop 5G : Gelisah, Gagap, Gerah,
Gundah, dan Gaduh.

Serat Sekar Tunjung


3

I GedeJoni Suhartawan
SERAT GUNUNG AGUNG

PROLOG
MENDAK BETHARA TEDUN1

1963
Gunung Agung tempat semayam para dewata dan leluhur
mengepulkan asap, memuntahkan kerikil dan debu
bersiap meletus!
Hujan kerikil batu dan pasir menimpa
Tudung persegi empat dari anyaman bambu menggigil
tawakal menerima
Bunyinya berisik, mengusik setiap hati, setegar apa pun ia

Namun sesosok perempuan bertudung anyaman bambu


sedikit pun tak gemetar
Mantap ia melangkah di antara getar bumi,
di antara gempa yang digelorakan sang gunung
Gemuruh kerikil berjatuhan dan batu berguling-guling
Dia, Ida Pedanda Istri Mas, perempuan dari Budakeling
Tetap ia jalankan kewajiban sebagai pendeta
Ia buat berbagai rupa sesaji
agar umat tetap berhikmat menghadap sang pencipta jagat

1 Mendak Bethara Tedun: menyongsong dan mengiringi Dewa/Leluhur/Penguasa spiritual


wilayah, yang turun melawat umat-Nya. Prolog ini berdasarkan penuturan langsung Ida
Pedanda Istri Mas kepada penulis sewaktu Beliau masih hidup dan turut dalam persiapan
upacara Eka Dasa Rudra tahun 1963, saat Gunung Agung meletus. Saat itu beliau bertugas
sebagai pembuat sesaji.

Serat Gunung Agung


4

Upacara harus berlangsung


meski gunung meletus saat upacara Eka Dasa Rudra2
Suatu hitungan masa pembersihan jagat kembali baru

Upacara harus tetap berlangsung!


Ida Pedanda Istri Mas melangkah
sementara dari Gunung Agung lahar tumpah
Di antara suara letupan-letupan yang mendegupkan jantung
Ida Pedanda Istri Mas naik dan naik ke pinggang gunung
Ia titi tangga demi tangga ke Pura Besakih
istana dewata dan leluhur Pulau Bali
Di sini candi sesaji mesti dibuat
dari sini seisi jagat mesti diruwat!
Sementara nun di bawah Gunung Agung
ratusan warga desa bertahan tak mengungsi
Mereka mengencangkan selendang di pinggang
mengencangkan ikat kepala
mengenakan kain adat upacara
Upacara Eka Dasa Rudra harus berlangsung!

Saat itu, alat vulkanologi tak secanggih kini


Badan penanggulangan bencana tak setrengginas zaman baru
Hanya ketetapan hati mereka punya:
Para dewa sedang turun dengan kereta-kereta
Bersama segenap bala surga, surai kuda menyala-nyala
Dewa hendak memberi berkat, hendak memberi ruwat

Umat menyongsong!
Riuh rendah mengucap selamat datang
dengan tari-tarian dan gamelan penyemangat
Bunyi kentongan bertalu-talu, tari selamat datang
tembang, kidung, dan sorak-sorai penyambutan!
2 Eka Dasa Rudra: upacara 100 tahun sekali bertujuan untuk menyucikan sebelas penjuru mata
angin. Rangkaian upacaranya berpusat di Pura Besakih, lereng Gunung Agung. Dewa Rudra
disebutkan dalam beberapa kitab Weda memiliki sifat rwa bhineda: kejam sekaligus lembut,
menyakiti dan menyembuhkan, marah tetapi juga tenang. Sumber: Ida Bagus Wirahaji, Blog
Geriya Agung, Oktober 2012.

Serat Sekar Tunjung


5

Tapi berkat dan ruwat datang berupa lidah-lidah api


berupa lahar, dan bubur lava panas!

Maka tercatatlah kemudian di jawatan-jawatan negeri:


Ratusan ribu penduduk menolak mengungsi
ratusan ribu penduduk tewas mengadang lahar panas
Itulah bencana Gunung Agung 1963
yang menjadi ajang debat para pemimpin dan cendekia
Mereka berkutat bersilang kata
“Ini bencana atau anugerah?”

Eloknya Ida Pedanda Istri Mas selamat


Sisa hidup ia abdikan bagi Tanah Dewata dan umat
Ia wafat di tahun 2012, dalam usia 111
Umat Bali mengenangnya sebagai putri pemberani
pembuat sesaji pada upacara nan suci

Inilah berkah lain letusan Gunung Agung:


Warisan alam dari Hyang Widhi tercurah
Sejauh mata memandang, hektaran pasir terhampar luas
Dan lihatlah di sepanjang kaki-kaki gunung
anak cucu menambang pasir
menjadi pengusaha tambang galian

Juga karena letusan Gunung Agung


kini sepotong Bali terhampar permai di Lampung
Di sana berdiam anak cucu para pengungsi
Di sana tinggal para korban bencana3 erupsi

Dan nun di ketinggian langit biru...


Barangkali Ida Pedanda Istri Mas tersenyum
3 Dalam catatan sejarah warga Lampung asal Bali merupakan yang terbesar dibandingkan
provinsi lain di Indonesia. Setelah gelombang pertama tahun 1952, gelombang kedua
transmigran asal Bali datang ke Provinsi Lampung tahun 1963-1964, pasca letusan Gunung
Agung di Bali. Gelombang kedua transmigran asal Bali tahun 1963 ini mendiami wilayah
Lampung Selatan. Sumber: Lampungpro.com 2017 dan wawancara langsung dengan sahabat-
sahabat Bali Lampung dalam berbagai kesempatan.

Serat Gunung Agung


6

Juga umat penyambut lahar di tahun 1963


mereka jiwa-jiwa mulia, pengabdi alam jagat raya!


SERAT PERTAMA
GELISAH

(1)
Aku, Gunung Agung
selamanya menyediakan diri sebagai wakil segala yang suci
segala yang di atas, yang engkau percayai berabad-abad
Sejak Rsi Markandeya4datang menerabas sebagian hutanku
kauteguhkan aku menjadi pusat persemayaman para leluhur
sebagai istana para jiwa suci bernama Pura Besakih

(2)
Aku bahagia!
Berduyun engkau datang setiap hari suci
Aneka sesaji dan hati yang menyembah kauhaturkan
Dari singgasana Pura Besakih
sedemikian takjub kupandangi kamu sekalian:
laki perempuan, tua muda, kanak-kanak
menapaki anak tangga hingga puncak pelataran kahyangan
Wajah-wajah tulusmu, senyum sapamu, membuncahkan haru
Tiada jerih letih
Tiada keluh lelah
Tiada sungut kesah
Segenap hati bergelora, segenap jiwa menari
Inilah perayaan jumpa leluhur dan Sang Pencipta

4 Masa sejarah Bali dapat dilihat kembali berawal dari abad ke-8 Masehi, saat Rsi Markandeya
menginjakkan kakinya di Pulau Bali. Rsi Markandeya adalah seorang pendeta Hindu Siwa
Tattwa. Beliau bersama pengikutnya mengadakan upacara pertama kali di Gunung Agung.
Sumber: Bhujangga, 201.

Serat Sekar Tunjung


7

(3)
Itu dulu!
Kini pemandangan berbeda mengeruhkan mata tuaku:
Engkau saling saing bermegah diri unjuk keperkasaan leluhur
Kaupoles puramu simbol kemakmuran anak cucu
Cungkup-cungkupnya berhiaskan kecongkakan
Ukuran keagungan leluhur sebatas syahwat mata
Taksu leluhur kaurelakan sirna

Makin mentereng puramu makin naik dagumu


Langkah kakimu menapaki tangga demi tangga
berdesak-desakan melupakan kesantunan purba
Engkau tak lagi saling sapa
Hatimu kesepian di tengah keriuhan
Perempuan tua tak lagi mendapat hormat
kanak-kanak tak lagi kauberi tempat
Ah, tidak kutemukan lagi semilir senyum di antaramu
Peziarah bertambah, tapi jurang kebekuan menganga
Aku, Gunung Agung, termangu dalam bisu

Tentu, tak hendak kubawa engkau ke masa lalu


saat para pelancong Belanda berdatangan5
saat kapal laut mereka melempar sauh
Alangkah takjub mereka pada barisan nyiur
pada teras-teras sawahmu
pada gamelan dan tarianmu
pada sesajen di atas kepalamu

5 Pada 1924 wisatawan secara khusus datang ke Bali setelah dibuka pelayaran mingguan
yang melintasi Singapura, Batavia, Semarang, Surabaya, Buleleng (Pelabuhan Singaraja), dan
kemudian ke Makassar. Pemrakarsanya adalah KPM (maskapai pelayaran kerajaan) Belanda
yang bersedia menerima penumpang di atas kapal-kapal. Dalam data-data yang dikeluarkan
Official Tourist Bureau pada 1924 tercatat 213 pelancong telah datang ke Bali. Jumlah wisatawan
terus meningkat secara teratur. Pada 1926 menurut Majalah Tourism in Netherlands East Indies
edisi 8 Februari 1927, sebanyak 480 wisatawan mengunjungi Bali. Selama Januari 1927 terdapat
32 wisatawan yang sudah mengunjungi Bali untuk ke-18 kalinya pada periode yang sama.
Sumber: Sejarahbali.com.

Serat Gunung Agung


8

Mereka kagum!
Kagum...
lantas menjualmu beserta seisi pulaumu
Tiba saat bagimu menentukan sikap
Mau jadi museum hidup atau hidupmu dimuseumkan
Lantas kauputuskan soal pelik ini tanpa bertimbang
Kaupikir ini bagian dari anugerah Dewata?
Ya, ya, anugerah, itu tentu
Tapi bagaimana caramu menerima anugerah?
Sungguh, bahkan dewata berpaling muka
tak sanggup melihat pilihanmu yang sarat nafsu

(4)
Babak baru kautabuh bergenderang
Kaumabuk kepayang pada dolar
pada puja-puji turis seberang
Kaubuat tiruan tari-tari sakral
kaucomot dari tradisi dan upacara
Memang tampak masuk akal:
Yang tiruan untuk turis, yang asli untuk dewata
Maka tari Barong mesolah6 di hotel-hotel
Tari Pendet menjemput turis
menebar bunga selamat datang
Apa salahnya? katamu
Bukankah hanya barong-barongan?
Bukankah hanya pendet-pendetan?
Ini sekadar tiruan!

Maka tak soal bagimu


dinaikkan ke truk menuju hotel-hotel berbintang
Di sana kau menari di hadapan turis-turis
Mereka membeli paket dinner, sambil menonton kalian
Tari tiruan untuk turis, tari asli untuk para dewa dan leluhur
Apa salahnya? katamu berulang

6 mesolah (bhs. Bali) artinya menari

Serat Sekar Tunjung


9

Keduanya melimpahkan berkat


Yang tiruan menelurkan dolar, yang asli terjaga
Ya, ada dolar untuk ongkos pelestarian
Aku, Gunung Agung, senyumku terasa getir
Cerdik sekali engkau mewarisi tradisi!
Para leluhur dan para Dewa pun tak berkutik
Toh upacara semakin meriah mengagumkan
Para leluhur menatapku minta pendapat
Aku bergeming
Aku hanya gunung

(5)
Senyumku kian pahit
Kulihat dari ketinggian
manisnya dolar mengubahmu menjadi sosok asing
Saudara-saudaraku sesama gunung kauratakan
Beko dan mahluk besi bekerja siang malam
Dalam sekejap vila, hotel, dan resort bermunculan
menjalar ke pinggang-pinggang bukit
merambah sampai ke lembah-lembah!
Kejumawaan peradaban ilmu arsitek mendongak anggun
Ramah, namun angkuh

Air murni disedot langsung dari sumber bawah tanah


Siapa kencang sedotannya dia mendapat
Anak cucuku yang menggali sumur pakai linggis
sampai berpuluh meter melesak bumi
hanya tertampung air cucuran keringat si tukang gali!

SERAT KEDUA
GAGAP

(1)
Sungguh, senyumku sirna dalam beku
Atas nama komoditas paling trendy dan cepat laku
Serat Gunung Agung
10

kaulibas pepohonan perbukitan berganti kebun bunga


Bunga untuk upacara? Bukan!
Ini bunga impor industri pariwisata
Lily Belanda bisa tumbuh di Bali,
kenapa tak ditanam saja di sini?
Chrysant dan sederet bunga mahal pendatang dolar
bisa tumbuh di lereng-lereng gunung
kenapa tak ditanam sendiri di Bali ini?

Ah, cepat sekali engkau belajar soal dolar!


Memang benar bukit-bukit jadi sedap dipandang
tapi mampukah akar-akar bunga menghujam ke bumi?
Dapatkah akar-akar ringkih mencengkeram tanah?
Dapatkah ia menjaga gerusan air?

Penebangan berlanjut
Dalam sekejap tumbang pohon-pohon keras
Akarnya yang tercerabut kaugulung
kaulempar ke tungku api
Aku cemas, tapi kau tampak bahagia!

(2)
Aku Gunung Agung
Dituakan Gunung Batur, Batukaru, Gunung Abang
dan deretan bukit tulang punggung Pulau Bali
Kami, gunung dan bukit gundah gelisah
Dalam keheningan, protes kami kirimkan
Tak tahukah engkau: danau, sungai, dan lautan
ialah sumber air bagi pulau sepetakmu ini?
Betapa mendua lakumu!
Kaupercikkan air ke setiap ruang, ke sesaji, ke ubun-ubun
tapi kaukotori mata air, danau, sungai-sungai, dan pantai
Kini setelah sumber-sumber air sucimu kubangan sampah
kaubeli air botol kemasan hasil galian perusahaan raksasa

Serat Sekar Tunjung


11

Tri Hita Karana,7 kaugembar-gemborkan


tiga prinsip keseimbangan hidup warisan leluhur:
Hormati Pencipta, hormati sesama, hormati alam
Tapi seheboh engkau gembar-gembor
lenyap senyap sawah-sawah ladang berganti beton-beton
Tri Hita Karana, bagimu sekadar upacara

Aku, Gunung Agung


melihat sorot kengerian penduduk mencemaskan aku
Gunung pusat kahyangan para Dewata
akankah mengalami nasib serupa?
Dulu aku mendehem percaya diri
Adakah yang berani mengusak-asik pinggang-pinggangku
kaki-kakiku?
Mana ada? kataku saat itu

Kini, percaya diriku berada di ujung tanduk


Aku, gunung yang engkau sucikan ini
menyaksikan saling seteru
Kalian berdebat tentang bagaimana mengelola diriku
Atas nama pariwisata, adat, dan agama
kalian saling sikut, berebut menjualku
Pura Besakih, objek wisata premium, menjadi rebutan
Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Desa Adat8

Aduh, aku hanya seonggok gunung


Suci konon, agung syahdan
7 Tri Hita Karana: konsep Hindu Bali dalam relasi dengan 3 entitas yang harus harmonis jika
ingin mencapai kebahagiaan hidup, yaitu (1) Pahyangan: harmonis dengan entitas yang suci,
Tuhan, Dewa/Bathara, Leluhur; (2) Pawongan: harmonis dengan entitas sesama manusia; (3)
Palemahan: harmonis dengan alam. Sumber: Upadeca (Tuntunan Praktis Agama Hindu Bali,
1975).
8 Dimasukkannya Pura Besakih di Kabupaten Karangasem, Bali dalam pengembangan Kawasan
Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) memunculkan kontroversi. Beberapa kelompok ormas
menolak dimasukkannya Pura Besakih ke KSPN karena dinilai menjual pura suci demi
keuntungan pariwisata semata. Gede Pitana, Direktur Pengembangan Sumber Daya Pariwisata
dan Kebudayaan menjelaskan, secara nasional 88 kawasan wisata sudah ditetapkan menjadi
KSPN dan 11 lokasi di antaranya berada di Bali, salah satunya adalah kawasan Besakih. Gubernur
Bali Mangku Pastika membantah tudingan bahwa KSPN adalah usul Pemprov Bali.

Serat Gunung Agung


12

Bisa apa aku dalam kekacauan ini?


Saat kalian silang tengkar reklamasi Teluk Benoa,9
kalian yang pro dan yang kontra naik kepadaku
Kalian berganti silih memohon aku jadi saksi:
“Kami benar! Mereka salah!”

Aduh!
Di pelataran kahyangan yang engkau sucikan
aku dipaksa jadi saksi dua seteru saling menyumpah
Kalian memaksaku menjatuhkan laknat
pada musuh yang kalian anggap khianat
Aduh!
Kalian tempatkan aku pada posisi harus beroposisi
Aku seonggok gunung membisu
Mengertilah, kalian anak-anakku, putra-putri Bali
semua kukasihi dengan timbangan kasih yang adil
Haruskah ada yang kurangkul dan ada yang kubuang?
Aku tak sanggup membenci anak-anak sendiri

Demikianlah pertengkaran demi pertengkaran


berduyun-duyun kalian bawa ke pelataranku
Sesajimu menyanderaku dengan sumpah dan janji-janji
Kalian haturkan ini haturkan itu dengan rumus jual beli
“Kami beri sesaji ini maka kabulkanlah kami!”
“Jika terkabul niat kami, maka sesaji kami beri!”

(3)
Kalau begitu, baik!
Aku, si Gunung Agung, tak usah kauagung-agungkan lagi

9 Rencana reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektare terletak di sisi tenggara Pulau Bali, tepatnya
di Pulau Pudut. Reklamasi dengan pembangunan berbagai objek wisata di atasnya ini dikelola
oleh PT TWBI dengan izin pengelolaan selama 30 tahun. Ribuan anak muda yang tergabung
dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi berkali-kali berunjuk rasa, menolak keras proyek
bernilai Rp 30 triliun di kawasan yang dianggap suci. Belakangan, kelompok proreklamasi juga
turun ke jalan, meminta reklamasi segera direalisasikan. Mereka melibatkan 200 pemangku
(pemimpin persembahyangan Hindu) untuk menggelar persembahyangan di Pura. Kehadiran
ratusan pemangku ini untuk mendoakan agar reklamasi Teluk Benoa dapat segera terwujud.

Serat Sekar Tunjung


13

Sehebat apa pun sepintar apa pun engkau


tak lagi kulihat ketulusan di tengah-tengahmu
Berhadapan dengan generasi macam apa aku, si gunung purba ini?
Di manakah aku harus berdiri, si gunung tua ini?
Sunyi sepi pelataran hatiku di tengah kemeriahan upacara
Untuk siapa tari, kidung, dan kemegahan sesaji aneka rupa?
Senyap gagap sendiri
di tengah para petani, di sawah villa yang tak lagi miliknya
Mereka para petani, jadi tukang kebun kini!

SERAT KETIGA
GERAH

(1)
Gerah aku menyaksikan lakumu dari ketinggian
Kulihat kauusik saudara-saudara utamaku:
Gunung Batur, Gunung Batukaru, Gunung Andakasa
Kauusik sepupu-sepupuku:
Gunung Abang, Lempuyang, Pucak Penulisan, Pucak Mangu
Kauusik sahabatku para penjaga pesisir Bali:
Pulaki, Rambut Siwi, Peti Tenget, Uluwatu, Tanah Lot
Tanjung Benoa, Pecatu, Sanur, Nusa Penida
Dan di utara:
Julah, Pegonjongan, Kubu Tambahan, Gambur Anglayang
Mereka bersepakat gelar perkara berhadap-hadapan denganku
si Gunung yang dituakan!

(2)
Dalam acara penghadapan
tersampaikan pengaduan-pengaduan
Tingkahmu sudah di batas ambang tabah diamku
Para gunung dan bukit mengemban tugas karena cinta
Mereka menyangga sumber air tanah dewata
demi kelangsungan hidup jiwa ragamu

Serat Gunung Agung


14

Tapi lihatlah hasil perbuatanmu:


Tiap jengkal bumi botak di sana-sini
Pulau Dewata tak lagi berseri

Maka tersampaikan raungan demi raungan:


Kantong-kantong air terkikis!
Pulau surga sepotong ini krisis air bersih!10
Para sahabatku pesisir
mengalami ruda paksa dan mutilasi syahwat raksasa
Pantai jadi pampasan hotel, resort, dan vila-vila perkasa
Sepanjang bibir laut tanah dikapling-kapling
dipotong-potong
dijarah bak perempuan pampasan perang!
Juga desa atas nama adat berebut paksa-memaksa
Demi sejahtera dalam ukuran dollar dan rupiah
pantai sobatku tak lagi memiliki dirinya sendiri
Ia dipunyai sesiapa yang lebih cerdik pandai!
Ia bukan lagi saksi, namun korban yang merugi

(3)
Menerima pengaduan saudara sesama gunung
dan raung sahabat para pantai di pesisir
aku, si tua Gunung Agung, mendadak gagu
Aku gunung yang cuma patung
“Beri aku waktu bersendiri,” kataku menutup gelar perkara
Kutatap saudara, sepupu, keponakan, dan sahabat pesisirku
Tiba-tiba aku ngeri

10 Laporan Program Penyelamatan Air Bali (BWP) yang terdiri dari Politeknik Negeri Bali (PNB)
dan Yayasan IDEP Selaras Alam, menengarai cadangan air tanah di Bali berada di bawah 20%.
Pulau ini akan mengalami krisis ekologi pada tahun 2020 jika tak ada tindakan mitigasi dan
pencegahan. Walhi Bali juga melaporkan hasil kajian Kementerian Lingkungan Hidup RI, bahwa
sejak tahun 1995 defisit air di Bali adalah 1,5 miliar meter kubik/tahun. Salah satu penyebab
utama krisis air adalah kebijakan yang memprioritaskan industri pariwisata yang mengonsumsi
air secara berat sebelah; contoh: 1300-3000 m3/hari disedot oleh hotel-hotel besar kawasan
Nusa Dua, berbanding terbalik dengan konsumsi rumah tangga yang hanya 1 m3/hari. Artinya
konsumsi air kawasan hotel Nusa Dua setara dengan konsumsi 1300 KK. Faktor lain adalah
konversi lahan pertanian produktif dan perambahan hutan di seputar hulu. Sumber: IDEP
Foundation, Walhi, dan media massa.

Serat Sekar Tunjung


15

Mereka diam mematung, mendahuluiku menyendiri


Diam yang berbahaya!
Bara terpendam di kedalaman mata mereka!
Bara itu nyalang menatapku
hingga aku tertunduk lesu

(4)
Peristiwa letusanku di tahun 1963 kembali berkelebat
Bergetar hati terbayang wajah Ida Peranda Istri Mas
Dengan polos menghaturkan sesaji ke Besakih
demi pembersihan jagat menuju baru
demi selamat kehidupan si anak cucu
Terbayang ribuan paras pias para kerabat
Wajah benderang menyambut lahar menerjang
seketika berubah penuh kengerian:
Sawah dan kebun porak poranda
Ternak berhamburan mencari perlindungan
Jeritan, teriakan, dan erangan
menggaung dahsyat di seantero penjuru mata angin

(5)
Adikku Gunung Batur mendehem; buyar lamunanku
Adikku ini letih benar menghadapi segala persoalan
Di antara saudara-saudaraku sesama gunung
ia paling sibuk karena paling kenes
Ia punya Kintamani, ikon pariwisata Bali
Kintamani yang eksotis dengan kabut dinginnya
punya kebun jeruk dan kopi
Ia sanggup menjadikan anak cucunya sarjana
Sanggup pula menjadikan mereka pengusaha

Ya, Kintamani, bahkan anjingnya lebih unggul


Tak hanya dibanding anjing lokal
bahkan mengalahkan anjing ras dari seberang!
Adikku Kintamani punya Danau Batur

Serat Gunung Agung


16

pusat penampungan air bagi seluruh jagat dewata


Sumber utama air tanah Pulau Bali
membuncah ruah di wilayah Kintamani

Kawasan nirmala para dewata purba


pusat Bali mula berkiblat, juga milik adikku:
Pucak Penulisan, Ulun Danu, Pura Balingkang
Di sana tugu dibangun:
Monumen perkawinan Jayapangus, Raja Bali kuno
Baginda menikahi putri Vietnam, Kang Cing Wie
maka berkembang pemukiman keturunan sang putri
Ada Desa Song-an, Desa Ting-an, Desa Ping-an
Kantong-kantong pemukiman Indo China itu
merebak di Kintamani

Adikku Batur juga punya tambang pasir
punya obyek wisata Penelokan, Trunyan
air panas, dan Toya Bungkah
Matahari terbit di puncak Batur dan pohon cinta di Sukawana
Bahkan pujangga Sutan Takdir Alisyahbana
juga profesor antropologi Koentjaraningrat
tetirah susastra dan ilmu pengetahuan kemanusiaan di sana
Dibanding aku kakaknya, Batur lebih mempesona

Tetapi lihatlah dia sekarang!


Adikku yang paling kenes, kini seonggok gunung telanjang
Ia jadi ajang hiruk-pikuk berebut kapling objek wisata
“Cukuplah aku terjaga sesaat, Kanda,” kata Batur lelah
“Aku mau tidur panjang sekarang!”
Lalu ia bungkam
Bungkam untuk tak membiarkan aku diam!

Serat Sekar Tunjung


17

SERAT KEEMPAT
GUNDAH

(1)
Aku Gunung Agung, dituakan para gunung
dipersahabatkan para sungai dan pantai
dipermuliakan manusia
Namun kini aku dipersendirikan!
Sendiri mengunyah risau yang disandang saudara
Sendiri mencecap duka yang membebat sahabat
Sendiri menelan kekacauan yang merundung manusia

Gunung Agung aku. Ya, aku. Ada lagi yang harus ku-daku?
Dalam halimun kusibak kerumun bunga sesaji di pelataran pura
Pura Besakih si buah hati, tempat sumpah dan janji manusia
Bersumpah berbuncah-buncah
berjanji bertingkah benar berlaku setia
Tapi kudapat bukti, selain harta benda hanya rupa raksasa
Manusia terjerembab dalam ukuran materi dan angka-angka

Gunung Agung aku. Ya, aku. Ada lagi harus ku-daku?


Dalam halimun kuhirup wangi dupa dan kembang
Ratusan pura berjejer di Besakih, taman hatiku
Kuserap tembang dan denting genta dari setiap pura
Tembang puja-puji denting hening mawas diri
Namun yang kudapat hiruk-pikuk tepuk dada sendiri
Hidup manusia habis dalam jebak keangkuhan:
Makmur rupa tuna rasa!

(2)
Aku tak tahu
Inikah yang menggelegakkan magma dalam kandunganku?
Menendang-nendang kepundan di bukit-bukitku

Serat Gunung Agung


18

Siap tumpah menerjang sesiapa dan apa pun


Menerjang manusia yang gentar, juga yang sok jagoan
Menggulung kawasan yang disucikan, pun yang berjelaga

Aku, Gunung Agung, mual perut


tapi tak hendak aku menurut
Kuharap bertemu wajah-wajah cerlang di antara para garang
Masih ada rindu pada polah bocah menyembah tanpa resah
Setega apa aku meledakkan amarah?

Para Dewata di haribaanku datang bersoal


tentang permohonan selamat sebagian umat
agar tak ada yang terlumat
Bagiku tiadalah penting permohonan
yang utama, ada apa di balik niat?
Jika keangkuhan setinggi gunung yang dituju
biar segera kutumpahkan laknat
Jika niat hanya siasat menyombongkan diri
biar kuterjang tanpa peduli
Hanya jika niat bersatu sepakat untuk selamat
setega apa aku hendak melumat?
Bukankah pernah kusemburkan amarah
tapi terjangan laharku berkelok-kelok ke kiri ke kanan
memberi tempat bagi umat Desa Jasi
Mereka sedang bersepakat niat bergeming di tengah?11
Bukankah tiada hasratku melumat
saat ada yang memilih bersedekap
dan berdiam di hadapan Ida Bethara?

Sungguh, tiadalah aku kukuh pada angkuhku


sepanjang si rendah hati dapat kurengkuh
11 Peristiwa ini turun-temurun jadi cerita berdasarkan kesaksian hidup beberapa warga di
Galiran, Desa Jasi, Karangasem, saat Gunung Agung 1963 meletus dan lahar panas menerjang
desa-desa di bawahnya. Pada saat itu warga desa tetap khusuk menjalankan upacara
persembahyangan di Pura mereka (Pura Batu Merapit), dan keajaiban terjadi, aliran lahar panas
tidak menerjang desa mereka, tetapi terbelah dua, berbelok ke kiri dan ke kanan, sehingga desa
tidak mengalami kerusakan ataupun menimbulkan korban.

Serat Sekar Tunjung


19

Mari berangkulan!
Gunung Agung namaku, bukan Gunung Angkuh
Seagung apa engkau bila hendak bersepakat denganku?
Angkuhmu melampaui langit
bersikukuh menyuruh-nyuruh aku menuruti maumu!

SERAT KELIMA
GADUH

(1)
Astaga!
Ini leleh lava karena waktunya harus menetes
Ini erangan bangun tidur karena waktunya harus terjaga
Belum sempat kita perkarakan gundahku
engkau sudah gaduh12
Menuduh aku bawakan bencana antarkan petaka
Semburat engkau mengungsi ke berbagai tempat
Radius aman keluaran jawatan setempat
peduli pun engkau tak sempat

Aduh, astaga!
Belum sempat kita perkarakan gundahku
engkau sudah gaduh
Pemerintah saling perintah
Relawan saling umbar aksi bantu pengungsi

12 Salah satu berita hoax beredar di media sosial Whatsapp bahwa Gunung Agung akan meletus
malam ini. Dan arah angin ke barat ke arah Surabaya. Yang di Surabaya dan sekitarnya bisa
siapkan masker karena debu vulkanik akan sampai Surabaya. Merujuk letusan tahun‘63, debu
akan sangat tebal, bahkan saat siang matahari tidak tampak. Selanjutnya berita hoax tersebut
menginformasikan bahwa beberapa negara sudah mengeluarkan travel advisory. Gubernur
Pastika berencana akan mengundang seluruh konsulatnya untuk mendapatkan penjelasan
secara utuh. Data BNPB yang mencatat ada lebih dari 134 ribu pengungsi Gunung Agung,
belum akurat. Data itu disebut dua kali lipat lebih banyak dari data yang dia catat. Sebanyak
253 warga Bali dari berbagai desa nekat mendaki Gunung Agung sejak pukul 02.00 WITA,
Kamis 2 November 2017. Mereka tiba di kawah Gunung Agung sekira pukul 05.30 WITA. Mereka
membawa banyak sesaji, di antaranya lembu putih dan hitam, kera, angsa, kijang, dan kambing.
Mereka dari berbagai desa di Karangasem, seperti Desa Padang Bai, Desa Selat, Desa Peringsari.
Bahkan ada yang datang dari Renon, Denpasar.

Serat Gunung Agung


20

Pengungsi bingung harus jual sapi atau cari kandang sapi


Di media sosial engkau saling rusuh adu pengaruh
Hei, tak bisakah kausetenang masa letusku di tahun 1963?
Apakah canggih teknologi tak menambah akal budi?

Astagaaa!
Gaduhmu jangan harap membuat luruh gundahku
Aku Gunung Agung
Jangan jadikan ajang ramal-meramal
ramalan statistik apalagi mistik
Aku ini Gunung Agung!
Jangan jadikan ajang adu sakti ilmu teknik apalagi klenik
Jangan pula jadikan aku ruang debat untung rugi

Bahwa segala sesuatu harus diperhitungkan


baiklah!
Bali bakal ambruk sebab delapan ribu kamar hotel tak laku
baiklah!
Paket wisata batal jual karena larangan bertandang
baiklah!
Bali sarang kelam pelaku bejat maka saatnya tenggelam
Itu pun baiklah!
Baiklah!
Tetapi mengertikah engkau?
Aku si Gunung Agung tidak ada urusan!

(2)
Ini urusan gelegak magma di perut
Memang, baru saja kumuntahkan 54 tahun lalu
kini menyembul lagi tak tertahankan
Memang, mual ini bersamaan dengan gundahku
Betapa pedih menyaksi lakumu
tapi cintaku padamu utuh selamanya

Serat Sekar Tunjung


21

Urusanku bukan hukum-menghukum


Ini soal hitungan masa menyuburkan kembali bumi pertiwi
Dari subur tanah segala benih kelak kaupanen beranak-pinak
Urusanku bukan menimpakan prahara
Demi waris anak cucumu
ingin kusediakan simpanan pasir sehampar mata memandang
Urusanku adalah gelegak magma di perut
Panasnya kian mendesak, berpacu dengan kecepatan rakusmu
menelan apa dan siapa saja

Ingat, aku ini hanya gunung


Tetapi karena kautetapkan aku sebagai Gunung Agung
aku tuntut juga keagunganmu!
pikir agung
tutur agung
tindak agung
Hayo kita berperkara perihal ini, dewatamu saksi!

(3)
Aduh!
siapa ini bertandang tenang haturkan gaduh lain bentuk
Bersuakakan dewata dan para datu
magmaku jadi beku
Beruntunglah kiranya dewa batara yang umatnya berhikmat
Jangankan aku, bahkan seluruh jagat kan menaruh hormat
Waktu dan saat jadi perkara mufakat

Aku Gunung Agung bukan gunung angkuh murka belaka


Bersyukur aku dalam sedih, bersedih aku dalam syukur:
selalu ada tersisa orang benar, walau sedikit saja
selalu sedikit saja dalam bilangan sisa orang benar
selalu tersisa si tulus hati, dan sedikit saja itu pasti
selalu sedikit dalam bilangan sisa si tulus hati

Serat Gunung Agung


22

Berpeluh mereka tanpa keluh, memanjatkan permohonan


Bersenyap dalam doa luluh hati, haturkan nyeri tragedi
Meraung dari ruang-ruang sunyi menerabas jalan-jalan sepi
Mereka mintakan selamat bagi segenap anak negeri
tak hirau diri sendiri

Ah, baiklah!
Gunung Agung aku, bukan gunung angkuh belaka murka
Gunung di antara sekian banyak duta Hyang Kuasa
Kubawa perkara ini muka hadap muka
Kalau memang waktu dan saat tinggal mufakat
apa susahnya bersepakat?

Semoga engkau tak menjelma sebagai si tinggi hati


Semoga engkau tak menjelma sebagai si tegar tengkuk
bahwa aku Gunung Agung, telah tunduk lutut bertekuk

EPILOG
MENDAK BETHARA MEWALI13

2017
Maka tatap bertemu tatap
berbinar dalam pantulan genang air mata
Tangan bersentuh tangan dalam jabat erat saling mencinta
Asap dupa membubung, mengalun puja-puji tembang
Senyum para dewata dan warga para pengungsi
menjelma senyum kanak-kanak
Riang gembira kembali pulang

13 Mendak Bethara Mewali (bahasa Bali) artinya mengiring betara/leluhur/dewa kembali pulang
dari bepergian melawat umat-Nya, ke istana-Nya (pura). Warga mengantarkan kembali
sesuhunan mereka dalam suatu prosesi keagamaan, berjalan beriringan membentuk barisan
panjang menuju pura. Sebelumnya prediksi Gunung Agung meletus menurut perhitungan
ahli vulkanologi yang dikoordinasi oleh Menko Maritim, adalah 23 September 2017 atau sehari
setelah dinyatakan status awas (22 September 2017). Sumber: dari berbagai pihak terkait, a.l.
berita Jawapos.com.

Serat Sekar Tunjung


23

merayakan Hari Raya Galungan14


Mereka yakin membawa berkat dari Gunung Agung
“Dia tidak jadi meletus!”

Gunung Agung kembali bergeming hening


Menikmati buaian genta berdenting bening
Menelan semua gaduh gundah dalam cerna magma
Siaga memuntahkannya lagi kapan saja masa
sambil tetap menimbang berapa tersisa asa
sambil tetap awas apa asa masih tersisa!

Denpasar, September 2017

14 Hari Raya Galungan adalah hari raya keagamaan Hindu Bali, merayakan kemenangan dharma
(kebaikan) atas adharma (ketidakbaikan). Dilaksanakan setahun 2 kali atau enam bulan sekali
hitungan kalender Masehi. Perayaan kedua tahun 2017 jatuh pada 4 November, tepat 3 hari
setelah BMKG mengumumkan secara resmi status erupsi Gunung Agung diturunkan dari level
awas ke level siaga.

Serat Gunung Agung


24

I GEDE JONI SUHARTAWAN,


telah lama menggeluti dunia tulis-
menulis, khususnya penulisan
naskah drama dan skenario film,
esai, serta script untuk siaran radio
dan televisi. Cerpennya berjudul
Surat dari Langit terpilih sebagai
salah satu dari 10 cerpen unggulan
majalah Horison, sedang naskah
drama karyanya Wayan Baca Koran
mendapat penghargaan dari PWI.
Beberapa cerpen dan esainya
pernah diterbitkan di majalah
Kartini dan Jawa Pos. Ia mengawali
kariernya di RRI Nusantara II Yogyakarta tahun 1983, kemudian
bekerja di SCTV sebagai Head of Production Creative Development.
Pada tahun 2005 ia bergabung dengan Trans7 dengan jabatan
yang sama. Setelah mengakhiri tugasnya di Trans7, ia kembali ke
tanah kelahirannya di Bali dan melanjutkan kariernya di bidang
pertelevisian. Ia pernah menjadi Direktur Operasional Dewata TV
dan Alam TV Denpasar, kemudian memimpin HJ Production Film &
Television Bali, hingga sekarang.

Beberapa kegiatan yang berkaitan dengan kemampuannya di


bidang seni pernah dilakoninya, antara lain:
1. Juri Lomba Penulisan Skenario Film Cerita Rakyat, PWI Pusat
dan BIN, 2007.
2. Menulis skenario dokumentasi Pasar Rakyat Modern,
Kementerian Perdagangan RI, Jakarta, 2012.
3. Sebagai script writer seri Animasi “Kaka & Kiki”, Timeline Studio,
Denpasar, 2013.
4. Manager Nabeshima Creative Space Denpasar, 2010–2013.
5. Direktur Pelaksana International Puppetry Festival and Seminar,
Rumah Topeng dan Wayang Setiadarma, Ubud, Bali, 2013.

Serat Sekar Tunjung


I Ketut Sandiyasa
Tenun Asmara Beda Iman di
Kaki Lempuyang
26

PRAWACANA

Puisi esai ini mengangkat sebuah potret sosial di salah satu


wilayah Kabupaten Karangasem, tepatnya di kaki Gunung Lempuyang
Kampung Anyar dan Desa Bukit. Potret sosial tersebut sebuah tenun
kekerabatan dan kebinekaan antara pemeluk agama Islam dan
Hindu; contohnya menjelang upacara pada purnama kelima, anak-
anak Datuk Bayan–pemeluk Islam–mendapat tugas membersihkan
Pura Bukit dan membunyikan bende, sebuah gamelan kuno.

Kekerabatan antara Islam dan Hindu di Kampung Anyar


hanyalah satu contoh yang terpotret dalam puisi ini. Di Karangasem
banyak terdapat tenun kebinekaan beda iman antara Hindu dan
Islam. Kekerabatan antara Islam dan Hindu sebuah gambaran
bahwa sebenarnya para tetua di Bali, khususnya di Karangasem
sudah memiliki konsep dalam membina hubungan kekerabatan yang
harmonis. Toleransi bukan hal baru dalam masyarakat Bali. Kata
‘nyama selam’ dan ‘braya’ adalah wujud pengakuan persaudaraan
walapun berbeda keyakinan.

Sayang sekali, tak ada yang abadi dalam kehidupan


bermasyarakat, termasuk dalam sistem kekerabatan antara Islam
dan Hindu di Karangasem. Potret sosial antara pemeluk Hindu dan
Islam yang diungkap dalam puisi esai “Tenun Asmara Beda Iman
di Kaki Lempuyang” dengan tokoh Siti Juleha dan Nyoman Jaya ini
menggelitik untuk kita baca dan renungkan.

Serat Sekar Tunjung


27

I Ketut Sandiyasa
TENUN ASMARA BEDA IMAN DI KAKI
LEMPUYANG

/1/
Halimun senja selalu mengusik Bukit Lempuyang1
Bukit persemayaman para dewa
Bukit penuh aroma dupa lantunan mantra
Di tanah ini juga tinggal para saudara beda iman
Anak-pinak Datuk Bayan dari Selaparang2
Di Kampung Anyar sebelah timur Pura Bukit3
Kumandangkan lantunkan kebesaran Allah
Masjid pun berdiri kokoh4

Tanah ini jadi saksi


Tentang tenun iman berbeda
Tenun kebinekaan Islam dan Hindu
Di kaki Bukit Lempuyang bersandar sebuah pura
Pura Bukit tempat Dewa Alit Sakti dipuja
Namun menjelang purnama kelima
Di sana tenun Islam Hindu dirajut
Kekerabatan hangat pun terwujud
Saat tangan erat berjabat
Tercipta harmoni masyarakat

1 Bukit Lempuyang merupakan salah satu bukit yang terdapat di Kabupaten Karangasem. Di
sana terdapat Pura Lempuyang sebagai pura sad kahyangan di Bali.
2 Datuk Bayan merupakan salah satu raja dari kerajaan di Lombok. Setelah Kerajaan Selaparang
ditundukkan oleh Kerajaan Karangasem, 11 keluarga suku Sasak, keluarga Datuk Bayan, dibawa
ke Kampung Anyar sebelah timur Pura Bukit (Ketut, Anak Agung, 1990:83).
3 Pura Bukit yang terdapat di kaki Bukit Lempuyang, menjadi pusat kekuatan niskala Kerajaan
Karangasem. Di sana pada setiap purnama sasih kelima selalu diadakan upacara. Di pura ini
bersemayam Dewa Alit Sakti.
4 Di kampung Anyar berdiri masjid cukup besar untuk penduduk yang beragama Islam.

Tenun Asmara Beda Iman di Kaki Lempuyang


28

Banyak kisah tentang ini


Tenun indah menjelang purnama kelima
Nyama selam5membersihkan Pura Bukit
Nyama selam memikul dan memukul bende6
Suaranya bertalu-talu menembus langit biru
Entah bagaimana nasib kekerabatan ini suatu waktu
Jika kata braya7dan nyama selam jarang terucap
Memuncak pertanyaan:
Apakah tenun kebinekaan beda iman tetap mengakar?
Atau pudar atau samar-samar?
Atau lenyap bagai catatan tua digerogoti jutaan rayap?
Banyak cerita lahir dari tenun ini
Termasuk tenun asmara beda iman
Dua lelana Siti Juleha dan Nyoman Jaya

/2/
SITI JULEHA

Siti Juleha namanya


Turunan Datuk Bayan
Kembang Desa Kampung Anyar
Ia pujaan para pemuda seiman
Taat beribadah, salat tidak ketinggalan
Wajahnya elok menawan
Pribadinya teduh menyejukkan
Ia tebarkan aroma cinta
Banyak pinangan ditolaknya
Pilihan hati Juleha terdampar pada Nyoman Jaya

5 Nyama selam (bahasa Bali) artinya saudara Islam. Penggunaan kata nyama selam menunjukkan
pengakuan masyarakat Hindu di Karangasem terhadap penduduk pemeluk Islam yang berasal
dari Sasak. Mereka bertugas membersihkan Pura Bukit dan memikul bende saat upacara sasih
kelima. Pengakuan ini sebagai wujud toleransi beragama (Agung, 1990:83).
6 Bende adalah gamelan kuno yang digunakan sebagai genderang perang di Kerajaan
Selaparang, Lombok. Bende ini dibawa ke Kerajaan Karangasem sebagai tanda kemenangan.
Pada upacara besar di Pura Bukit, keturunan Datuk Bayan di Kampung Anyar diberi tugas
memikul dan membunyikan Bende ini (Agung, 1990:82).
7 Braya bahasa Sasak yang artinya saudara. Kata braya bermakna persaudaran antara penduduk
pemeluk Islam yang datang dari Sasak dengan masyarakat Hindu di Karangasem.

Serat Sekar Tunjung


29

Pemuda Hindu dari Desa Bukit


Tergagah di antara para pemuda
Dadanya bidang ototnya menyembul
Mempesona saat ia tersenyum simpul

/3/
NYOMAN JAYA

Nyoman Jaya anak keempat dalam keluarga


Ia pemuda Bali dari Desa Bukit
Bersuara merdu pandai menembang
Tegap badannya
Cakap orangnya
Gadis-gadis desa mengharap cintanya
Tapi apa hendak dikata
Cinta Nyoman Jaya semata untuk Juleha
Ia lagukan cinta di hati sang dara
Maka sepasang lelana muda terbius cinta
Maka gadis-gadis cemburu buta
Berupaya merintangi tenun asmara mereka

Tenun asmara dan kegelisahan dua lelana


Nyoman Jaya dan Siti Juleha
Berbeda iman berkelana hati bersentuh jiwa
Tak gampang pelayaran cinta mereka
Amuk badai dan gelombang pasang mendera
Akankah mereka tiba di gerbang bahagia?

/4/
KEGELISAHAN LELANA MUDA

Nyoman Jaya gelisah


Bertubi pertanyaan menghimpit batin
Pertanyaan ayah yang menentukan tenun cintanya

Tenun Asmara Beda Iman di Kaki Lempuyang


30

Apa gadis-gadis saudaramu tak ada yang jelita?


Banyak puja dan doa kulantunkan, kata ayahnya
Agar kau tak terjerat tali asmara
Dengan gadis beda agama
Bukankah kau laki-laki Bali?
Kauperlu istri yang pandai membuat sesaji
Tentu Siti Juleha tidak mengerti

Apa sanggup kaulanjutkan tenun cintamu?


Apa Siti Juleha bersedia menjadi Hindu?
Ia muslim yang taat
Tenun cinta berbeda iman sangat berat
Bisakah kausatukan utara selatan?
Bisakah kausatukan perbedaan?

Pertanyaan yang memukul hatinya


Begitupun dijawabnya juga
Apa yang tak bisa dipelajari ayah?
Apa yang tidak bisa diperjuangkan?
Bukankah ayah selalu katakan
Semua bisa dipelajari
Semua bisa diperjuangkan

Baik, kutunggu perjuanganmu, kata ayah


Bagaimana hendak kaupinang Siti Juleha?
Seberapa kuat kauyakinkan ia untuk melepas imannya?
Kata-kata ayahnya menantang
Sinis merendahkan cinta Nyoman Jaya dan Siti Juleha
Ayah lihat dan tunggu saja, ucapnya getir

Nyoman Jaya tak habis pikir


Kegelisahannya tanpa ujung tanpa tepi
Ia merenung mempertanyakan ajaran suci
Bukankah dalam kitab Wedha ada Tat Twam Asi8?

8 Tat Twam Asi ajaran dalam agama Hindu bahwa sesungguhnya semua manusia berasal dari
sumber yang sama. Tat Twam Asi berasal dari kata Tat yang berari itu, Twam berarti engkau/
kamu dan Asi berarti adalah, sehingga tatwam asi berarti itu adalah engkau/kamu.

Serat Sekar Tunjung


31

Bukankah ada wasudewa kutumbhakam9?


Bukankah darahku dan darah Siti Juleha sama merah?
Mengapa cinta kami harus dipertentangkan?
Hendak kubuktikan murninya cinta
Perasaanku terpenjara sebelum menikahi Siti Juleha

Tak hanya Nyoman Jaya, Siti Juleha juga merana


Ia mengintip dari balik jendela
Bukit Lempuyang seusai hujan menutup senja
Indah larik pelangi tergantung di angkasa
Namun gelisah wajah Siti Juleha
Selesai magrib, gugatan dan vonis terucap
Bibir ayahnya bergetar dalam amarah
Apa kaurela meninggalkan imanmu?
Apa cintamu pada lelaki mengalahkan imanmu?

Aku akan tetap jalani imanku, Ayah, jawabnya


Insyaallah aku perempuan muslim selamanya

Ayah Juleha berat bernapas, berang menjawab:


Bisakah kaubayangkan sulitnya bahtera beda iman?
Apa modal cinta saja cukup?
Bisakah kautolak jika ia mengajakmu beribadah?
Di depan dewa-dewa kauunjukkan sembah
Sesajen kauaturkan untuk ‘makhluk bawah’
Ini bukan soal toleransi, tetapi akidah!
Siti Juleha menggugat:
Ayah, mereka braya kita, umat Hindu itu
Bukankah tanah wakaf10 ini pemberian raja?
Kita umat muslim ikut membersihkan pura
Menjelang upacara purnama kelima
Di Pura Bukit saudara-saudara kita memukul bende
Itu bukti dalam beda kita bisa bersaudara

9 Wasudewa Kutumbhakam ajaran Hindu bahwa sesungguhnya kita bersaudara. Ajaran tersebut
mengandung prinsip universal kemanusiaan dalam agama Hindu.
10 Tanah wakaf merupakan tanah pemberian raja Karangasem kepada penduduk Islam yang
datang dari Lombok setelah Kerajaan Lombok ditundukkan oleh Kerajaan Karangasem.

Tenun Asmara Beda Iman di Kaki Lempuyang


32

Atau semua itu cuma laku tradisi dan balas budi?


Pantaskah cinta sejati terhalangi?

Siti Juleha tersedan-sedan


Baru kali ini kata orang tua ia bantah

Pungkas ayahnya:
Biarlah braya tetap ada, itu baik bagi kerukunan
Biarlah tradisi tetap membumi,
itu sejarah yang harus lestari
Namun tenun cintamu, Juleha, harus kauakhiri!

Dalam isak Siti Juleha berucap:


Ini tak adil, Ayah!
Ingatlah Jero Saroja11
Perempuan Islam istri Gusti Ketut Jelantik
Aku dan Jero Saroja, apa bedanya?
Apa karena ia dipersunting raja?

Ayah tahu banyak saudara Sasak kita terpencar


Di Seraya, Bungaya, Sidemen, Kecicang, Saren12
Di sana tenun kekerabatan terjalin erat
Umat muslim terlibat upacara adat
Bahkan di Saren nama I Ketut, I Gede dipakai
Tenun kekerabatan Hindu-Islam sungguh mulia
Apa Ayah ingin menghancurkan keindahannya?
Adakah dendam masa lalu: Lombok kalah perang?
Itu sejarah masa lalu, Ayah

11 Jero Saroja adalah perempuan Islam dari Kampung Dangin Sema yang disunting oleh Raja
Ketut Jelantik. Pada zaman itu toleransi antara umat Islam dan Hindu berjalan dengan baik.
Hampir semua masjid dibangun oleh Raja Karangasem. Raja juga membiayai beberapa orang
yang naik haji ke Mekah (Sudirga, 2005: 54).
12 Kampung muslim banyak tersebar di Karangasem, seperti di Desa Seraya, Bungaya, Sidemen,
Kecicang, Saren. Di kampung-kampung tersebut kekerabatan antarumat terjalin sangat baik.
Di Desa Bungaya, misalnya, komunitas muslim Blalungan ikut membantu pelaksanaan upacara
Ngusabha Dangsil. Di Desa Saren penduduk muslim memakai nama seperti orang Bali I Ketut, I
Made, dan sebagainya.

Serat Sekar Tunjung


33

Dengan menikahi Nyoman Jaya, kekerabatan kian erat


Lagian sangat jarang pemuda-pemudi kita terjalin kekerabatan
Hanya saat menjelang upacara saja bertemu
Aku akan datang membersihkan pura di kaki bukit itu, Ayah
Aku akan bertemu Nyoman Jaya di pura Itu

terdiam ayah Siti Juleha


Tak satu kata meluncur dari mulutnya
Juleha paham gulana hati sang ayah
Tak ada restu jika imannya berubah

/5/
HITAM PUTIH CINTA NYOMAN JAYA

Entah di sudut bumi mana Siti Juleha


Lama tak menyapa Nyoman Jaya
Rindu terbelenggu dalam dada
Berkali ia mondar-mandir di depan rumah Juleha
Hanya ia dapati pintu rapat tertutup
Pernah sekali ayah Juleha duduk di teras
Tatapan benci ia tebarkan
Hingga Nyoman Jaya merasa tak nyaman

Suatu hari ia melihat kelebat Siti Juleha


Berkain panjang, jilbab menutup kepalanya
Betapa berbuncah hati Nyoman Jaya!
Dadanya berdegup, dikejarnya kekasih hati
Tapi tunggu!
Seorang pemuda di samping Juleha!
Siapa dia?
Nyoman Jaya surut langkah
Tak mungkin mendekati Juleha
Yang berjalan pelan di sisi seorang pria

Di jalan berundak di Pura Bukit


Di kaki pohon purba pohon kepel

Tenun Asmara Beda Iman di Kaki Lempuyang


34

Bergumam Nyoman Jaya, sang lelana muda:


Hitam putih cintaku kian jelas
Barangkali akan pupus cinta Siti Juleha padaku
Barangkali tak bersua cinta di tengah beda agama
Siti Juleha yang rambutnya berurai
Kini rapi bersembunyi di balik hijab
Seperti banyak wanita di kampung Anyar13
Apakah ini tanda padaku ia tak lagi cinta?

Siang malam Nyoman Jaya gelisah


Ia takut kehilangan Siti Juleha
Janganlah kautumbang, pohon kepel,14 ujarnya
Ingin kulihat daun-daunmu menjelma kupu-kupu
Tak usah menyeberang Selat Lombok
Tak usah menjelma balatentara
Tak ada lagi yang mesti diperangi
Tugasmu cuma membawa Juleha kemari

Nyoman Jaya memeluk pohon itu


Ditelannya air mata
Katanya sedih: Jangan tumbang pohon kepel
Tak ada saksi nanti bagi kisah asmaraku
Ingin aku bersua Siti Juleha
Lalu berdua membersihkan pura dan bende

/6/
RINAI GERIMIS DI PURA BUKIT

Rinai gerimis menutup sore


Saat matahari mengusik halimun senja
Saat bulan purnama kelima berhias
13 Dulu perempuan muslim di Kampung Anyar jarang yang memakai hijab. Dalam perkembangan
selanjutnya hampir perempuan beragama Islam di Kampung Anyar memakai hijab.
14 Pohon kepel yang tumbuh di Pura Bukit, usianya sudah ratusan tahun. Konon, daun pohon kepel
tersebut pernah berubah menjadi kupu-kupu kuning, terbang melewati Selat Lombok dan
berubah menjadi bala pasukan yang membantu Kerajaan Karangasem menaklukkan Kerajaan
Pejanggi, Parwa, dan Selaparang (Agung, 1990:91).

Serat Sekar Tunjung


35

Ingin Nyoman Jaya menjemput impian


Melompat terbang meski tak punya sayap
Ah, bagaimana aku akan terbang? kata hatinya
Sayapku patah
Rinduku terpenjara

Dikenangnya dulu bertemu Siti Juleha masa remaja


Di puncak tangga Pura Bukit
Saat angin mendesau mengusir pekat halimun
Sebelum matahari meniggalkan senja
Juleha hampir jatuh karena licin anak tangga
Sigap Nyoman Jaya menangkap tangan si gadis jelita
Juleha tertolong, giliran hatinya yang ‘jatuh’
Bersambut senyum dan binar mata Juleha
Benih cinta tertabur di hati keduanya

Masih terdengar burung penunggu bukit


Senandungnya menyibak hati
Rindu menggelembung di dada Nyoman Jaya
Ingin ia mengajak duduk Siti Juleha
Ingin ia berkata dalam bahasa cinta:
Lihatlah di sana Siti Juleha
Burung-burung terbang mesra bersama
Bulu-bulu mereka memang berbeda warna
Tapi itulah keindahan tiada tara
Rasakan tanah ini ribuan kali dipijak
Umat Hindu dan Islam bekerja sama
Saling bantu menyiapkan upacara

Nyoman Jaya mengunjukkan doa:


Oh, Hyang Widhi, jangan kurung cinta Siti Juleha
Oh, Dewa aku mengemis pada-Mu
Berilah terang-Mu pada langkahku
Jangan putuskan cinta kami sebab beda agama

Tenun Asmara Beda Iman di Kaki Lempuyang


36

/7/
DALAM BIMBANG

Hari yang ditunggu kian mendekat


Tiga hari menjelang purnama kelima
Saat upacara pujawali di Pura Bukit
Tenun kekerabatan beda iman terjalin
Terasa lama putaran waktu bagi Nyoman Jaya
Tak sabar membebaskan rindu yang lama terkurung
Ia setia menunggu
Ingin benar mendengar dari bibir Siti Juleha
Barangkali orang tuanya menggugat
Atau hatinya benar telah berpaling
Pada pemuda yang dilihatnya tempo hari
Pemuda seiman yang membuatnya kecil hati

Nyoman Jaya menunggu Siti Juleha


Rindu bersua raga bersentuh jiwa
Siti Juleha, bisiknya dalam hati
Aku di sini setia menanti
Akan datangkah kau membersihkan pura?
Masihkah nyama selam mengikat rasa?

Aku khawatir, Siti Juleha, desis Nyoman Jaya


Suatu saat ikatan persaudaraan jadi dangkal
Atas nama perbedaan, orang memutuskan ikatan
Tradisi indah ini, semoga tak jadi usang

Kembali Nyoman Jaya bergumam


Tak kurela budaya nyama selam dan braya sirna
Tenun kebinekaan tak semestinya pupus putus
Terbayangkah sunyinya hidup, Siti Juleha?
Jika tak ada lagi nyama selam di tangga pura
Tak lagi saling kunjung
Tak lagi canda saat membersihkan pura
Siapa menabuh bende?

Serat Sekar Tunjung


37

Upacara purnama kelima bakal sedemikian kelam


Sekalipun keemasan warna bulan
Jika tradisi kuno tergerus tak ada yang terwaris
Tentang berbeda agama, namun harmonis

Katakan Siti Juleha, apakah takutku berlebihan?


Bagaimana nyama selam anak pinak Datuk Bayan?
Relakah mereka jika tenun persaudaraan terputus?
Ataukah justru ingin memutus?
Apalagi zaman kerajaan sudah terhapus15

/8/
BERSUA RAGA BERSENTUH JIWA

Akhirnya terunjuk syukur


Siti Juleha datang!
Bersamanya para nyama selam Kampung Anyar
Sambil berdendang Pura Bukit dibersihkan

Nyoman Jaya mencuri waktu mendekati Siti Juleha


Maka bersua mereka dalam rindu tertahan
Dengan berdebar Nyoman Jaya mulai percakapan:
Ke mana kita labuhkan cinta, Siti Juleha?
Apakah orang tuamu menggugat jalinan kita?

Bibir mungil Siti Juleha terkatup


Bola matanya berkaca-kaca
Lama membisu, akhirnya berkata juga:
Bli16 Nyoman Jaya, tentu cintaku tergugat
Rinduku masih terpenjara sekat-sekat
Sampai saat ini aku masih menaruh hati
Entah yang akan datang nanti

15 Setelah berlalu zaman kerajaan, keberlangsungan tradisi kekerabatan beda iman di Kaki Bukit
Lempuyang sangat tergantung pada perintah Anak Agung dari Puri Karangasem.
16 Bli (bahasa Bali) adalah sebutan untuk laki-laki yang lebih tua, artinya kakak atau abang.

Tenun Asmara Beda Iman di Kaki Lempuyang


38

Jawaban Siti Juleha membuat Nyoman Jaya bahagia


Bahagia dan haru berbaur jadi satu
Kita perjuangkan cinta kita, Siti Juleha, katanya
Meski tak gampang membina tenun cinta ini
Tapi, bolehkah aku bertanya?
Siapa pemuda yang pernah berjalan denganmu itu?
Aku melihatnya dan remuklah rasa hatiku

Siti Juleha menjawab:


Dia pilihan ayahku, Bli, tapi jangan bersusah hati
Tak usah cemburu sebab cintaku utuh untukmu
Tunggu purnama kelima yang akan datang nanti
Kita pastikan arah tenun asmara beda iman ini

Sua itu ditutup mendung di Kaki Lempuyang


Mendung langit, mendung hati Nyoman Jaya
Senja itu di Pura Bukit berwarna
Direguknya pesona senja bersemburat jingga
Pupuh Dangdang Gula ia alunkan ke udara

/9/
TENUN MENGAKAR ATAU KIAN PUDAR

Puncak wali segera datang purnama kelima


Persembahan pada Dewa Alit Sakti di Pura Bukit Soka
Tenun kebinekaan masih terlihat ada
Menjelang pelaksanaan puncak upacara
Datang anak-pinak Datuk Bayan dari Kampung Anyar
Mereka segera membersihkan Pura Bukit
Terdengar senda gurau meski tak sesering masa lalu
Bahasa Bali dan Sasak terucap di selang-seling cakapan
Namun ada yang berubah
Kerabat Siti Juleha tak memakai kamben dan destar17

17 Pada upacara purnama kelima tahun 2017 terlihat perubahan pakaian penduduk Islam
keturunan Datuk Bayan. Mereka tak lagi menggunakan pakaian seperti umat Hindu Bali,
namun memakai peci dan hijab.

Serat Sekar Tunjung


39

Nyama selam berpakaian muslim ke pura


Hijab bagi wanita
Sarung dan peci bagi pria

Upacara Melasti18 segera dimulai


Para dewa siap diarak masyarakat setempat
Itu cara umat menjalankan bakti
Para braya selam memikul dan memukul bende
Bertalu suaranya mengangkasa ke udara

Alangkah istimewa arak-arakan ini


Para braya dengan pakaian muslim elok dipandang
Indahnya perbedaan!
Keyakinan boleh beda, saling benci jangan
Biar berbeda, beriring berjalan

Siti Juleha tak terlihat


Nyoman Jaya kembali gundah
Ucapnya dalam hati:
Ajaran tattwamasi dan wasudewa kutumbakam
Semoga dipahami Siti Juleha dan keluarga
Atau cintaku kandas?
Nyoman Jaya tak henti bercakap dengan diri:
Apakah tenun cinta kami sungguh mengakar?
Semoga nyama selam suku Sasak di kampung Anyar
Menjalin tenun persaudaraan tulus dari hati
Hal nasib cintaku dengan Siti Juleha masih samar
Tenun asmara beda iman ini perlu banyak ketabahan
Baiklah kunantikan Siti Juleha memberi kabar
Kutunggu hingga purnama kelima mendatang
kujaga harap hingga tiba waktu

18 Melasti adalah upacara untuk memohon anugerah Sang Pencipta dan penyucian alam semesta.
Upacara ini dalam Agama Hindu Bali biasanya dilakukan di pantai atau mata air. Dalam upacara
di Pura Bukit, melasti dilakukan di Pantai Ujung. Pada saat melasti para penduduk muslim
bertugas memukul bende.

Tenun Asmara Beda Iman di Kaki Lempuyang


40

Dari kejauhan suara bende masih terdengar


Nyama selam ikut mengiring dewa ke Pantai Ujung19
Islam dan Hindu bahu-membahu, bantu-membantu
Semoga abadi terjalin meski keyakinan berbeda
Tempat ibadah berbeda asal jabat tangan saling rela
Harmoni kekerabatan cuma perlu keikhlasan
Bukan sekadar balas budi buat sang raja
Terlebih menyelamatkan indahnya budaya

Kata Alvin Tofler20 ikatan ini dangkal


Kekerabatan akan menjadi barang langka
Ah, tidak! Semoga tradisi ini mengatasi zaman
Semoga suara Anak Agung tiada putus
Untuk melestarikan tradisi, bahkan mengembangkan kekerabatan
Bukan cuma saat membersihkan pura
Kekerabatan bukan cuma saat memukul bende

Perlahan suara bende semakin sayup


Sebentar lagi arak-arakan tiba di Pantai Ujung
Hati Nyoman Jaya kembali merintih:
Oh, Dewa Alit Sakti, beri restu tenun ini
Jika tenun asmara beda iman mesti terjalin
Biar kuhitung hari hingga purnama kelima
Kusediakan ketabahan tanpa banyak bicara
Aku tunggu kamu, Siti Juleha
Jika mungkin, mari kita arak bende bersama
Dengan segenap cinta dan ketulusan
Demi tenun persaudaraan lestari
Tradisi nan mulia putra-putri Bali!

Karangasem, November 2017

19 Pantai Ujung merupakan salah satu pantai di Kabupaten Karangasem. Pantai ini digunakan
umat Hindu untuk melakukan upacara melasti, salah satu upacara purnama kelima di Pura
Bukit.
20 Alvin Tofler seorang antropolog yang terkenal. Dalam bukunya berjudul Future Shock, 1970, ia
meramalkan bahwa ikatan persaudaraan antarmanusia akan semakin dangkal.

Serat Sekar Tunjung


41

I KETUT SANDIYASA,
lahir tanggal 29 Mei 1983 di Desa
Ngis, Kecamatan Manggis, Kabupaten
Karangasem. Ia bekerja sebagai guru
sekolah dasar di SD Negeri 4 Subagan,
Bali. Membaca dan menulis merupakan
hobi dari kecil yang ditekuni sampai
sekarang. Beberapa tulisan opini, esai
budaya, dan cerita pendek karyanya
telah terbit di beberapa media lokal.
Persahabatan di Gelanggang Perang
Pandan merupakan bukunya yang
kedua, setelah sebelumnya antologi
cerita pendeknya yang berjudul
Menunggu Hujan diterbitkan.

Tenun Asmara Beda Iman di Kaki Lempuyang


I Nyoman Agus Sudipta
Kasta antara Derajat dan
Cinta
43

PRAWACANA

Puisi esai ini mengisahkan tokoh Aku yang hidup dalam


sistem pelapisan sosial masyarakat Bali yang menimbulkan konflik
berkepanjangan. Mereka yang merasa sebagai keturunan Tri Wangsa
(brahmana, ksatria, dan waisya) masih ingin mendominasi segala
hal dan selalu ingin dihormati. Bahkan, ada kasta yang masih
mempertahankan benang-benang kusut untuk memurnikan darah
keturunan. Kesalahan berabad-abad di masa lalu dalam wujud kasta
sesungguhnya seperti bom waktu. Seorang wanita dari kasta tinggi
tak boleh menyatukan cinta dalam rumah tangga dengan laki-laki
pujaan yang berkasta lebih rendah.

Apabila seorang perempuan bangsawan ‘nekat’ menikah


dengan laki-laki kalangan bawah, sebutan nyerod (tergelincir)
akan melekat serta menghilangkan semua hak-haknya. Ia menjadi
anak yang terbuang dari lingkungan keluarga. Bila pernikahan ini
dipaksakan maka disebut dengan istilah ‘asupundung’. Laki-laki
berkasta lebih rendah diibaratkan anjing (asu) yang digendong
(pundung) oleh wanita dari kasta lebih tinggi. Muncul juga sebutan
‘anglangkahi karang hulu’ (melangkahi tempat tinggi) yang berarti
seorang laki-laki dari kasta lebih rendah tidak tahu diri dan melanggar
etika berani melangkahi tempat yang lebih tinggi, yaitu berani
menikahi wanita dari kasta yang lebih tinggi. Ada pula sebutan bagi
anak yang ayahnya berasal dari kasta tertinggi (brahmana) menikahi
wanita dari kasta yang lebih rendah serta tidak diiringi upacara utama
(widiwidana). Karena tidak direstui, maka berdampak terhadap gelar
nama keluarga yang tidak tersemat pada nama anak tersebut dan
posisinya hampir sama dengan kasta sudra. Ia tidak mendapatkan
pengakuan dari keluarga dan semua hak-haknya hilang. Oleh
karena itu, puisi yang disajikan ini merupakan suara panjang untuk
meluruskan kasta dengan pemahaman ‘warna’.

Kasta antara Derajat dan Cinta


44

I Nyoman Agus Sudipta


KASTA ANTARA DERAJAT DAN CINTA

/1/
Aku berontak
Batinku berteriak
Sungguh ada jarak terkotak-kotak
di antara kehidupan masyarakat yang sulit dielak
Aku ingin menggugat
mengapa manusia membangun sekat?
Jurang pemisah di antara sesama yang disebut derajat
ini kodrat atau gila hormat?

Benang-benang keruwetan telah ditenun


menjadi kain kebangsawanan nan anggun
Hanya satu keturunan tertinggi boleh memiliki
yang lain jangan berani menyamai
Ini sebuah kehormatan dalam wujud martabat
Warisan leluhur yang harus dipegang erat
Tentang kelas lapisan sosial yang disebut kasta1
menempel dalam nama keluarga, selalu terbawa
membungkus derajat yang dibalutkan pada nama

1 Pada masa Bali kuno, pelapisan sosial dalam masyarakat Bali menggunakan sistem Warna
(tepatnya Catur Warna). Hal ini terbukti dalam prasasti “Bila”, tahun 995 Saka (1075M). Warna
dalam agama Hindu bukanlah hak turun-temurun, tetapi hanya sebagai tanda pengelompokan
tugas di masyarakat. Keadaan ini berlangsung sampai pemerintahan raja Bali kuno terakhir (Sri
Astasura Ratna Bhumi Banten) dikalahkan oleh Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1343 M, yang
kemudian mengangkat seorang keturunan Brahmana, yaitu Mpu Kresna Kepakisan dari Kediri
menjadi raja di Bali tahun 1350. Semenjak itulah sistem warna berubah menjadi sistem wangsa/
kasta. Mpu Kresna Kepakisan yang keturunan Brahmana segera mengubah kedudukannya
menjadi Ksatria dan namanya diganti dari Mpu menjadi Sri. Sri Kresna Kepakisan dan para Arya
Majapahit inilah yang mulai menciptakan wangsa-wangsa yang kemudian dikelompokkan
sebagai Brahmana, Ksatria, Wasya, dan Sudra dengan tingkatan-tingkatan yang memberi hak-
hak istimewa kepada kasta tinggi, sehingga terjadi ketidakadilan (Wiana dan Raka Santeri,
1993:97-99 dalam buku berjudul Kasta dalam agama Hindu Kesalahan Berabad-abad).

Serat Sekar Tunjung


45

Warisan feodalisme terus mengakar


mencengkeram batang otak menjalar hingga dasar
Kesadaran hilang sebagai sesama ciptaan
Membeda-bedakan atas dasar kemurnian darah
menjadi racun egoisme gila

Ibarat kepala selalu merasa di atas tangan


di atas perut di atas kaki
ia tak boleh ada yang menyamai
Semua beda dan memang sungguh berbeda
Kepala ya kepala, tempatnya di atas
Tapi, apa jadinya kepala tanpa bagian tubuh lainnya?

Gila, sungguh gila!


Ya, gila hormat membutakan nurani
tega tak mengakui anak sendiri
demi derajat pengagungan diri
Memelihara keturunan tinggi berdarah murni
benarkah ini?
Atau hanya cerita nina bobok
agar anak-anak cepat dibuai mimpi?
Atau takut kehilangan pengakuan di muka bumi?

Jangan katakan kasta bersumber dari ajaran agama


Kasta mencipta sekat, warisan bangsa feodal yang bejat
Jangan tanamkan kekeliruan berabad-abad
Berikan cahaya penerang laksana sang surya
bukan kegelapan yang melahirkan derita dan duka
Padamkan api keakuan diri
Jangan merasa hebat sebagai keturunan tertinggi
Ingatlah ke-dwijati2-an tak ditentukan oleh wangsa3
2 Dwijati berasal dari bahasa Sansekerta. Pengertiannya orang yang lahir kedua kalinya
(reinkarnasi) dan sudah melalui proses penyucian. Pengertian tersebut berdasarkan kata Dwi
yang berarti dua dan Jati yang artinya lahir.
3 Wangsa adalah keturunan atau garis silsilah (Fred Eiseman, 1988, Wiana dan Raka Santeri,
1993:100). Dalam konteks sosial di Bali, wangsa lebih mengacu pada kelompok kasta
(Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra).

Kasta antara Derajat dan Cinta


46

Kasta hanya jurang pemisah tak berwajah


menelusup relung strata sosial dari atas ke bawah
menjadi benang kusut tak berpangkal tak berujung
merasa paling terhormat, penuh martabat, dan harus disanjung
Kapan bisa diluruskan bila kasta selalu dijunjung?

Kasta melahirkan benih keakuan membabi buta


Tri wangsa merasa berkuasa dari para jaba4
Yang berkasta rendah tutur kata harus beretika
sopan dan penuh tata susila
mengiba dan menghamba menjadi parekan5 setia
harus mencakupkan tangan dan menundukkan kepala
Tri wangsa menari-nari dalam singgasana kasta
yang paling utama adalah kasta brahmana6
Kasta ksatria7 terhormat dan berwibawa
Penggerak ekonomi negara adalah kasta wasya8
Kasta sudra9 melayani tri wangsa, mengabdi sepenuh jiwa
Mengapa soal keturunan berbelit dalam benang kusut kasta?
Jika darah kemampuan dan keterampilan tidak sama
mestikah kasta berbicara menunjukkan nama dan wibawa?
Mengapa tidak seperti bunga?
Harum dan warna menunjukkan kualitas dan keluhuran nama

Kasta ciptakan manusia istimewa:10


Manusia-manusia yang merasa berada di Swahloka11
4 Jaba artinya luar, sehingga jaba diartikan sebagai golongan atau individu yang berada di luar
Tri Wangsa.
5 Parekan (bahasa Bali) dari kata paek yang berarti dekat. Parekan adalah orang yang berada
dekat untuk melayani golongan Tri Wangsa.
6 Kasta brahmana adalah keturunan pendeta. Kasta ini dianggap yang paling tinggi.
7 Kasta ksatria adalah keturunan pemimpin atau penguasa (raja).
8 Kasta wasya adalah keturunan petani dan pedagang atau penggerak perekonomian negara.
9 Kasta sudra adalah golongan pelayan yang melayani ketiga golongan yang ada (tri wangsa).
10 Mereka yang berkasta lebih tinggi mendapat perlakuan istimewa di masyarakat. Dalam acara-
acara adat, orang-orang yang berkasta tinggi dipersilakan duduk di tempat yang lebih utama
dari mereka yang berkasta lebih rendah. Makanan untuk mereka pun disajikan terpisah dari
yang berkasta lebih rendah. Tutur bahasa orang yang berkasta rendah kepada orang yang
berkasta tinggi harus selalu sopan dan halus, sebaliknya orang yang berkasta tinggi boleh kasar
kepada yang berkasta lebih rendah (Wiana dan Raka Santeri, 1993:108).
11 Swahloka adalah alamat yang dipercaya sebagai alam para dewa.

Serat Sekar Tunjung


47

Manusia lain rendah tak berguna


Berani melawan nanti kena tulah
cukup diam dan manggut-manggut tanda tinut
Tetapi jangan lupa, itu adalah bom waktu
memendam dendam dan pertentangan masa lalu

Kasta membentuk kelas dalam masyarakat


Kelas dalam ruang vertikal yang tertutup rapat
Tiang penyangganya ego dan keangkuhan
Ingat, tiang itu bakal remuk dimakan waktu
Serat-serat sekat berwujud derajat semakin luntur
darah yang murni kian hari terus tercampur
Benang-benang kusut masa lalu akan kembali dirajut
menjadi kain-kain baru, membungkus tubuh manusia
berdasarkan tat twam asi12

Kasta hanyalah salah kaprah


ditunggangi politik kapitalis penjajah
Tidak pernah ada sejarah kasta dalam Hindu
Ini kesalahan berabad-abad di masa lalu
Kasta mesti diluruskan biar tidak bias, tidak ambigu
Kasta mesti ditinggalkan untuk melangkah maju
merajut mimpi-mimpi hidup harmonis tanpa perbedaan
Derajat bukan sekat yang menghalangi segala rasa bermuara
menjadi cinta yang menyatukan segalanya
saling berbagi saling melengkapi
sebab feodalisme tak sejalan dengan hak asasi

Zaman harus melahirkan perubahan


metamorfosis dari kepompong kesadaran
Harus ditumbuhkan tunas-tunas baru
membawa kedamaian menuju peradaban maju

12 Tat Twam Asi berasal dari kata Tat berarti ‘itu’, Twam berarti ‘engkau/kamu’ dan Asi berarti ‘adalah’,
sehingga Tat Wam Asi berarti itu adalah engkau/kamu yang mengajarkan pemahaman bahwa
kita semua sama/sejajar.

Kasta antara Derajat dan Cinta


48

menenggelamkan kekeliruan dan egoisme masa lalu


Kasta adalah wajah lama yang pasti digilas waktu

/2/
Kefanatikan dan ketidakadilan kasta mulai kurasakan
ketika benih cinta tertanam dalam rahim ibu
Lelaki berkasta lebih tinggi menanamnya dengan cinta
Kasta berbeda!
Tiada prosesi agung dalam upacara pernikahan
Kasta berbeda!
Upacara pernikahan yang utama13tak pantas dilakukan
Aku tiada berdaya menanggung semua
Kurasakan perbedaan nyata dengan saudara serumah garba
Tiada gelar penunjuk derajat tersemat pada namaku
Namaku sama seperti kasta kaum sudra
Semua hak tertelanjangi hingga perlakuan keluarga berbeda
Aku dibedakan dari semua saudara

Aku sebagai kakak tertua menanggung semua aib


Laku cinta ayah-ibuku penyebab sengsara
dibawa dari hirupan udara pertama
Hingga udara berhenti mengalir dalam raga
gelar itu tetap tak pernah tersemat pada namaku

Perlakuan berbeda terasa di keluarga besar


Mulutku harus berkata halus bagai sutra
Tata bahasa kepada saudara lain penuh etika
Meski aku yang tertua, tetapi derajat sangat berbeda
Di bidang upacara menjadi pelengkap saja
Tidak boleh menghaturkan sesajen di merajan14

13 Biasanya bila seorang laki-laki berkasta tinggi menikahi wanita berkasta lebih rendah, maka
proses pernikahan agung/yang utama (widiwidana) tidak dilaksanakan, sehingga anak yang
dilahirkan tidak mendapatkan hak-hak dalam keluarga besar dan disebut anak astra.
14 Merajan adalah tempat beribadah atau kompleks pura bagi umat Hindu yang terletak di
pekarangan rumah. Merajan menjadi tempat pemujaan di lingkungan keluarga saja.

Serat Sekar Tunjung


49

agar leluhur dan para dewa tidak murka


hingga semua tak mendapat pahala

Hak waris hilang bersama gelar yang tidak tersemat


Di sinilah terlihat pentingnya derajat
Gelar yang mengalir sebagai keturunan terhormat
tak mampu kugenggam sebagai warisan keramat
Semua musnah bersama lunturnya martabat
Stigma aib telanjur melekat sebagai anak babinjat15
Ayahku berkasta Brahmana mencintai wanita beda kasta
sehingga aku terlahir dan disebut astra16
Di lorong pintu geria, puri, dan jeroan17 tiada jawaban
Waktu bungkam saat terdengar teriakan menuntut keadilan
Telinga tuli bahkan mata dan hati nurani buta
mati rasa karena takut kehilangan gelar
menutupi aib dan ingin menjaga kemurnian darah
Aku temukan juga sebutan Ngurah18
senasib denganku yang lahir dari kasta ksatria
karena ayahnya ksatria dan ibunya seorang sudra
Inilah nama pembeda di antara saudara
perlakuan dan hak juga tidak sama

Seperti sinar mentari dan sinar bulan


sungguh berbeda walau sama bercahaya
Aku dan saudaraku sama bangsawan tapi beda takaran
Mereka beribu Gusti, ibuku berkasta sudra
Kejamnya keadilan yang diperkosa kasta!
15 Anak babinjat dapat diartikan sebagai anak haram yang lahir di luar pernikahan.
16 Astra adalah sebutan untuk anak yang lahir dari ibu berkasta rendah dari ayah yang berkasta
Brahmana, namun tidak dinikahi atau dinikahi setelah hamil. Bila tanpa dilakukan prosesi
upacara widiwidana (upacara utama dalam pernikahan) maka seluruh anaknya disebut astra
dan tidak mendapat gelar Ida Bagus atau Ida Ayu, sehingga derajatnya dipersamakan dengan
orang yang berkasta sudra. Apabila dilakukan upacara widiwidana, maka anak yang pertama
saja disebut astra, tetapi anak berikutnya mendapatkan gelar kasta Brahmana. (Gde Aryantha
Soethama, 2008:140-141 dalam buku berjudul Bali is Bali).
17 Geria adalah rumah tempat tinggal dari kasta Brahmana. Puri, dan Jeroan adalah rumah tempat
tinggal yang berkasta Ksatria.
18 Ngurah adalah sebutan untuk anak yang lahir dari ayah berkasta Ksatria dengan ibu seorang
jaba.

Kasta antara Derajat dan Cinta


50

Salah siapa?
Aku atau kedua orang tuaku yang menabur benih cinta
Apakah kasta mengenal cinta?
Yang kutahu kasta hanya mengenal derajat
sekat dan tembok pemisah yang berdiri kokoh
Mungkinkah cinta mampu merobohkannya?

Perih ini mendesir dalam darahku yang tak murni


Darah campur mungkin warnanya tak lagi merah membara
Darahku dianggap telah ternoda
Luntur sudah darah biru menjadi ungu yang sendu
Hilang pula posisi dan kedudukanku dalam keluarga
dirampas keangkuhan kasta yang tak mengenal cinta
dicampakkan tanpa rasa iba

Hujatan melukaiku bagai duri tajam yang terus menghunjam


Orang-orang di luar sana menjadikanku buah bibir
tidak pernah berhenti dan waktu terus mengukir
Nama yang tidak sama dengan seluruh keluarga
seperti bebek yang ditetaskan ayam
Sepintas terlihat sama, namun sejatinya berbeda

Oh Hyang Parama Kawi apa dosaku?


Aku tidak pernah meminta menjalani punarbhawa19
terlahir dalam keluarga yang berkasta
Kehinaan ini merajamku semakin dalam
luka-luka tak terlihat, tapi terus menganga
Tiada obat pelipur lara mampu membuatnya mengering
Bahkan air mata telah tandus bagai padang pasir gersang
tak berujung hingga aku terima semua apa adanya

/3/
Aku melihat kembali ketidakadilan
ketika kasta menghempas cinta

19 Purnabhawa (bahasa Sansekerta) artinya reinkarnasi atau lahir kembali.

Serat Sekar Tunjung


51

Kasta tak peduli pada cinta


yang merasuk ke relung-relung terdalam hati manusia
Kasta menghakimi wanita
tak boleh sembarangan jatuh cinta

Dan ia seorang wanita berkasta tinggi


Jauh lebih tinggi dari laki-laki yang ia cintai
Dengan polos ia biarkan dirinya dimabuk cinta
ingin hidup bersama lelaki yang dipuja
lelaki jaba yang selalu dipandang hina
Kasta mencipta jurang di antara mereka

Betulkah cinta mampu menyatukan perbedaan?


Meluluhkan hati dalam penerimaan tanpa syarat
menumbuhkan kesadaran untuk saling melengkapi
atau semua itu hanya teori
senandung roman picisan penyayat hati?!

Bagaimana bila cinta tidak direstui?


Kambing paling hitam adalah perbedaan derajat
Jika kasta wanita lebih tinggi dari laki-laki
harus digelar upacara patiwangi20
Jika wanita memilih cinta meninggalkan kasta
banyak risiko dan perlakuan di luar nalar
Ia dikucilkan dan ditinggalkan keluarga
Di merajan tidak boleh mengaturkan sesajen dan puja
gelar Tri Wangsa hilang, derajat luntur

Cinta beda kasta menorehkan aib bagi kehormatan keluarga


Orang-orang menyebut sang wanita nyerod21
Ia wanita berkasta yang hanya mengagungkan cinta
20 Patiwangi adalah upacara untuk menanggalkan nama waktu gadis yang dibawa sejak lahir.
Upacara ini untuk perubahan status wanita berkasta tinggi, turun kasta sesuai dengan kasta
suaminya. (Putra, 2005:111).
21 Nyerod berasal dari bahasa Bali yang berarti tergelincir ke bawah. Wanita berkasta tinggi, jika
menikah dengan laki-laki yang berkasta lebih rendah dianggap tergelincir, sehingga disebut
nyerod.

Kasta antara Derajat dan Cinta


52

mengikuti kata hati mengikrarkan janji setia


membangun bahtera grhasta asrama22
Pernikahan seperti ini disebut asu pundung23
dan anglakahi karang hulu24

Mencintai laki-laki berkasta lebih rendah


menjadi gunjingan keluarga besar
Celoteh hina hingga harga diri tercela
Ketakutan muncul dalam keluarga wanita
Orang tua dianggap lemah
tak berdaya mendidik anak wanita
Menjaga dan mempertahankan kasta
adalah tugas yang mesti diemban
kata pembela sistem kasta
Jangan demi mengejar cinta dan mimpi bahagia
kasta terabaikan
Tanyaku bertalu-talu:
Salahkah bila cinta hadir di antara insan berbeda kasta?
Sepasang ‘merpati’ atas nama cinta ingin menyatukan rasa

Kemunafikan telah menggurita


Kasta mampu memutuskan ikatan keluarga:
Anak dan orang tua tak lagi bertegur sapa
dendam dan pertentangan ditanam di ladang kekakuan
tumbuh subur dengan pupuk-pupuk keegoisan
22 Grhasta asrama berasal dari kata grha yang berarti rumah dan stha yang berarti membina atau
tangga, sehingga grhasta asrama berarti membina rumah tangga yang dimulai sejak menikah.
23 Asu pundung berasal dari kata asu (anjing) dan kata pundung (gendong). Secara harfiah asu
pundung artinya menggendong anjing. Anjing di sini adalah kiasan untuk menyamakan laki-
laki dari kasta Ksatria, Waisya, dan Sudra yang dianggap lancang menikahi perempuan dari
kasta Brahmana yang derajatnya lebih tinggi, sehingga perkawinan beda kasta ini digambarkan
seperti perempuan yang berjalan sambil mengendong anjing.
24 Alangkahi karang hulu artinya melangkahi kepala orang yang derajatnya lebih tinggi. Istilah
ini dipergunakan jika seorang wanita dari kasta Ksatria diperistri oleh lelaki dari kasta yang
lebih rendah. Pada tahun 1910 raja-raja di Bali mengeluarkan keputusan yang menetapkan
jenis-jenis pelanggaran adat beserta sanksinya yang kemudian di perkuat oleh Beslit Residen
Bali dan Lombok tertanggal 11 April 1927, yang menetapkan jenis pelanggaran asu pundung
dan anglangkahi karang hulu. Pengadilan adat menjatuhkan hukuman sangat berat terhadap
pelanggaran-pelanggaran semacam itu, seperti di-selong (hukuman pembuangan ke tengah
hutan) atau di-lebok (ditenggelamkan di tengah samudra sampai mati).

Serat Sekar Tunjung


53

Masihkah gulma-gulma ini perlu dipelihara?


Mengapa tidak dicabut hingga ke akar-akarnya
Jangan biarkan bibit kehancuran tumbuh
Sistem kasta seperti mesin waktu
memecah belah dan siap membunuh!
Kasta menyuburkan keangkuhan manusia
Hilang budi dan susila, ajaran agama pun lumpuh
Sendi-sendi kehidupan rapuh lalu terjatuh

Hidup bukan untuk menguasai


Bukan pula menjadi priyayi
Hidup adalah belajar berbagi dan mencintai
menebar kasih semesta dengan fondasi cinta
Mengapa terus memuja dan mengagungkan kasta?
Kasta hanya anak tangga menuju nestapa
menjadikan jiwa-jiwa terpenjara dalam kubangan derita
Waktu akan menjawab semua
ketika orang jaba berani melawan kasta25
bahkan tri wangsa ikut berbicara26
hingga tidak ada lagi jelaga menutup cahaya

/4/
Aku menulis ini demi meluruskan kembali:
Adat luhur jangan dibengkokkan politik keagamaan
Demi mempertahankan derajat

25 Kaum jaba diimbau tidak usah mencari/berharap gelar Ida, Dewa, Gusti; tetapi lebih
mengutamakan budi dan sekuat-kuat mengejar gelar akademi Dr., Ir., atau Prof. Karena budi
dan kepandaian dapat meningkatkan martabat kaum jaba (Surya Kanta, 4 April 1926:60-63
dalam I Nyoman Darma Putra, 2011:40).
26 Sistem kasta bukan ajaran Hindu, namun justru menodai agama Hindu karena seolah
membiarkan umat berbeda martabat dan harkat. Karena itu DPRD Bali menghapus hukum
pelanggaran adat asu pundung dan anglangkahi karang hulu lewat keputusan tertanggal 12 Juli
1951 No. 11/DPRD. Menjadi menarik karena Kepala Daerah dan Ketua DPRD Bali ketika itu dari
kasta Ksatria, yaitu I Gusti Bagus Suteja dan I Gusti Putu Merta. Terjadinya perubahan keputusan
tersebut dengan berpedoman pada kesadaran satu bangsa, satu bahasa, dan satu negara.
Disebutkan pula dalam adat perkawinan Catur Wangsa atau Catur Kasta jika masih ada aturan-
aturan yang tidak sesuai dengan keadaan zaman jangan diikuti, supaya tak ada golongan yang
mendapat perlakuan tidak adil (Hal ini di ulas oleh Ketut Wiana di harian Bali Post tanggal 27
Mei 1989).

Kasta antara Derajat dan Cinta


54

agama dijadikan alat pembenaran


Kebangsawanan dipelihara dalam darah keturunan
Itu kesalahan dan kekeliruan warisan kemunafikan

Akar-akar feodalisme mesti dicabut


Jangan biarkan mencengkeram semakin kencang
Jangan biarkan menusuk semakin dalam
Jika feodalisme dibiarkan merajalela
ia kan membelit kaum teraniaya
Bisa jadi kemarahan terpendam menjadi dendam
melahirkan perpecahan lalu karam persaudaraan
Soal gunung es bernama kasta
tampak kecil dipermukaan, namun akarnya luas menjalar
Samudra agama harus melelehkannya
memberikan pemahaman yang benar kepada semesta:
Tak ada kasta dalam sastra agama
yang ada hanyalah pembagian warna27

Sistem warna wajah harmonisasi


Menampilkan manusia berdasarkan fungsi
bermuara pada setiap profesi yang digeluti
bersama-sama saling mengisi saling melengkapi
teranyam indah berupa serat-serat toleransi

Warna memberi nuansa berbeda


Manusia dinilai dari guna dan karma28
Bukan keturunan karena genealogi
tapi bakat dan keterampilan diri
menunjukkan kualitas, fungsi, dan profesi
27 Warna (aslinya Varna) berasal dari bahasa Sanksekerta dari kata Vri yang berarti memilih
lapangan pekerjaan. Dalam konsep Catur Warna masyarakat dikelompokkan menjadi empat
profesi secara paralel horizontal yang didasari sifat, bakat, dan pembawaan dalam bentuk
keterampilan, yaitu warna Brahmana sebagai rohaniawan (pendeta), warna Ksatria sebagai
pemimpin, warna Waisya sebagai petani dan pedagang yang bergerak dalam bidang ekonomi,
dan warna Sudra sebagai pengabdi pada ketiga warna yang ada karena kompetensi yang
dimiliki hanya mengandalkan tenaga fisik (Wiana dan Raka Santeri, 1993:12).
28 Guna dan karma dalam konsep warna, kata guna berarti sifat, bakat, dan pembawaan
sedangkan kata karma berarti perbuatan dan pekerjaan.

Serat Sekar Tunjung


55

Benang-benang kusut masa lalu


jangan biarkan membelit diri
Menjerat manusia dalam bayang keangkuhan semu
Mata dan pikiran mesti dibuka
Pendidikan, cinta, harkat tak hanya milik tri wangsa
bahkan keturunan sudra bisa berubah warna29
jika kompetensi ditempa dalam tungku pendidikan

Belajar mengerti dan memahami


tidak ada lagi sekat pembatas sebagai insani
Jika madu sudah ditemukan dalam setiap serbuk sari
di sanalah ajaran agama mengilhami
Kita semua sama di mata Tuhan
Semua punya fungsi di setiap kehidupan
Seperti anggota tubuh, manusia saling melengkapi
saling membutuhkan dalam memaknai kehidupan

Mari belajar memaknai manusia


Tanpa kelas-kelas, tanpa dengki, tanpa duka prasangka
kesalahpahaman berabad-abad, saatnya diluruskan
Sejatinya manusia adalah keluhuran budi dan kepandaian

Karangasem, Bali, November 2017

29 Menurut Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, konsep Catur Warna secara filosofi ada dalam setiap
orang. Dalam bercita-cita hendaknya setiap orang menjadikan dirinya brahmana, dalam
mengembangkan cita-cita hendaknya ia menjadi seorang ksatria, dalam hal memelihara
kemakmuran hendaknya menjadi seorang waisya dan melayani semua itu hendaknya menjadi
sudra. Keempat warna atau profesi itu unsur-unsur dasarnya ada pada diri setiap orang. Bahkan
satu orang dalam warna bisa memiliki banyak profesi sesuai dengan bakat dan keterampilan
yang dimiliki.

Kasta antara Derajat dan Cinta


56

I NYOMAN AGUS SUDIPTA,


berprofesi sebagai guru di SMK
Negeri 1 Abang Karangasem, Bali.
Kegelisahannya terhadap kondisi
masyarakat mendorongnya untuk
menyampaikan gagasan dalam
bentuk tulisan. Beberapa karyanya
berupa esai, opini, puisi, dan
cerpen, baik berbahasa Indonesia
maupun berbahasa Bali. Tulisan-
tulisannya dimuat di koran Bali Post
dan Pos Bali. Artikel yang khusus
membahas ajaran agama Hindu
dimuat dalam majalah Raditya,
jurnal Dharmasmrti (UNHI), dan jurnal Mawiguna (Kementerian
Agama Karangasem). Beberapa artikel juga dimuat di majalah Nuansa
Bali. Guru yang lahir di Karangasem ini juga telah menerbitkan buku
berjudul Ngantiang Ujan (kumpulan cerpen), Melihat Bali dari Berbagai
Sisi, dan Belajar Sama-Sama.

Serat Sekar Tunjung


Ni Luh Putu Sukma Awantari
Wanita Bali antara Nafkah
dan Ajeg Bali
58

PRAWACANA

Puisi esai ini bercerita tentang sistem kemasyarakatan di Bali


yang mewajibkan seseorang yang berumah tangga dan bertempat
tinggal dalam suatu wilayah desa adat untuk menjadi krama banjar
tanpa kecuali. Seorang wanita di rumah tangga selain memenuhi
kewajiban sebagai ibu rumah tangga, banyak pula kewajiban adat
yang harus dilakukan. Dua kewajiban ini sangat menyita waktu,
sehingga sulit bagi seorang wanita Bali menduduki posisi tinggi
dalam pekerjaannya sebagai pegawai. Namun, bagaimana ketika
istri memiliki kesempatan menduduki posisi lebih tinggi dan memiliki
pendapatan lebih besar dibandingkan suami? Apakah istri mesti
mundur?

Ajeg Bali memiliki pengertian lestari dengan sifat yang


dinamis, yaitu Bali yang bersifat lentur terhadap perubahan, tetapi
tetap kukuh. Ajeg Bali berarti Bali tetap memiliki ciri khas Bali, baik
menyangkut bentuk, fungsi, maupun nilai-nilai yang dimilikinya.
Hal-hal yang mendukung ajeg Bali di antaranya adanya SDM yang
andal dan keadaan masyarakat yang berjiwa saling asah, asih, asuh.
Masyarakat yang demikian adalah masyarakat sejahtera lahir dan
batin, mampu mempertahankan jiwa gotong-royong, yang pada
gilirannya membuat Bali memiliki ekonomi yang kuat.

Serat Sekar Tunjung


59

Ni Luh Putu Sukma Awantari


WANITA BALI ANTARA NAFKAH DAN
AJEG BALI

#
Putu menikahi Made 17 tahun lalu
Menghuni rumah tua nan resik
Tiga anak lelaki remaja dan kedua mertua
tetangga yang ramah bertegur sapa
mereka bantu-membantu bersuka cita

Menikmati guliran hari di antara asri perbukitan


Bergurau riang dengan tugas harian
Suami bersemangat mencari nafkah
Istri setia sebagai pengurus rumah
Anak-anak belajar
Mertua menikmati hari tua

Suaminya bekerja di sebuah rumah tinggal


Milik tamu1 dari Eropa
Jauh hari sebelum mereka menikah
saat memadu kasih mengucap janji
‘Tamu’ itu demikian tergantung pada suaminya
Berbagai bentuk terima kasih telah mereka dapatkan
Oleh-oleh sepulang dari Eropa
dana pernikahan dan liburan bulan madu

1 Orang Bali sering menyebut orang asing dengan istilan ‘tamu’. Istilah tersebut tidak akan
berubah walaupun tamu yang bersangkutan memiliki rumah tinggal di Bali. Ini ditujukan
khususnya pada orang-orang Barat (non-Asia); sedangkan orang-orang Asia yang sudah lama
bertempat tinggal di Bali, tidak disebut sebagai tamu lagi. Lihat dalam I Nyoman Darma Putra,
A literary mirror, Balinese Reflection on Modernity and Identity in the Twentieth Century(Leiden,
KITLV, 2011), hal. 139.

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


60

Keluarga itu pun sangat bergantung pada sang ‘tamu’


Mereka mengelu-ngelukan bak raja diraja
Bahkan jika pekerjaan cukup banyak
Putu membantu tanpa menagih bayaran tambahan

Namun dua belas tahun lalu


Putu ingin menjadi orang kantoran
Maka ia taruh harapan di sebuah hotel
Dengan bangga menjadi tukang sapu
Naik jabatan membersihkan kamar
Melaju lagi ke bagian penerima tamu
Hingga posisi supervisor ia sambar

Setiap hari datang ke kantor


Bekerja sesuai jadwal dan kegiatan tamu
Seminggu sekali menikmati libur

Bahagia hatinya selalu punya waktu


Bergabung dengan anggota masyarakat desa
Mejejaitan dan metanding2 kegiatan upacara

#
Ketika matahari malu-malu di balik bukit
Putu keluar meten3 menuju dapur di ujung halaman
Suara pintu terbuka
berderit memecah segores sunyi pagi

Tangannya mencengkeram baju rajutan di tubuhnya


mencoba berlari dari dingin mencekam
Suaminya masih berlindung lelap di balik selimut
Anak-anaknya berlomba melawan malas, pergi ke sekolah

2 Mejejaitan yaitu menjahit janur dirangkai dengan berbagai bunga dan dedaunan. Salah satu
hasilnya adalah canang. Canang dan berbagai hasil mejejaitan dipersatukan, ditata (istilah di
Bali metanding) menjadi banten.
3 Meten (bahasa Bali) artinya kamar tidur. Rumah Bali memiliki tata ruang berbeda. Meten
biasanya terletak berseberangan dengan paon atau dapur. Lihat dalam I Nyoman Gelebet, I
Wayan Meganada, I Made Yasa Negara, dan I Made Suwirya, Arsitektur Tradisional Daerah Bali
(Denpasar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hal. 68

Serat Sekar Tunjung


61

Samar suara langkah mertua ke dapur


Mulut mertua bagaikan terkunci; selalu
Sekali bicara adalah aturan yang tak elok dilanggar
Putu paham itu

Cepat dinyalakan kompor; memanaskan air


Setiap pagi tugasnya menyiapkan segalanya
Agar rumah bersih dan rapi
Sarapan tersedia sebelum semua terbangun

Bergejolak batin Putu ingin punya anak perempuan


Tapi umurnya tak menyanggupi
Maka diajarkan pada anak-anak
Selalu hormat pada orang tua
Seperti yang dia lakukan

Junjung tinggi budaya dan jaga orang tua


Mengikuti ajaran leluhur
Selalu memulai hari dengan bersyukur
Berusaha dan memasrahkan hasil pada Yang Kuasa

#
Dia menikah dengan orang yang dipuja
Dipatrinya sebuah janji setia sehidup semati
Mementingkan pujaannya di atas segala

Sebelum menikah Putu memahami


Nilai-nilai warisan adiluhung nenek moyang
Menampilkan keelokan tiada tara
bak roh tua yang memiliki pikat gaib
Itulah budaya yang wajib dipelihara

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


62

Sering didengarnya istilah ajeg Bali4


Tapi tak dipahami dengan jelas maknanya
Mungkin berarti menjaga budaya
Terdengar suara sangat lembut dari hatinya
“Ketika nyanyian nirwana terdengar merdu
Menghadirkan kedamaian semesta
Itulah ajeg Bali!”

Kebahagiaan itu
ketika semua orang saling menolong
Itu dilakukannya saat di rumah
juga saat bekerja di hotel
Uang hasil keringat dalam genggaman
akan bermakna membantu liyan5
Samar-samar didengarnya suara gamelan dari kejauhan
Meliuk-liuk, angin sepoi beriringan
Bagaikan tanpa bentuk sebuah pertunjukan
Mengundang lirik pesona penghuni jagat raya

Tiba-tiba dia rindu orangtuanya


Seketika itu ditariknya Made
mengantar ke ujung jalan
pergi ke rumah saat dia gadis

#
Suatu pagi mentari merekah genit di cakrawala
Putu bersenandung menuju tempat kerja
Melangkah beriringan dengan rekan sesama
Seharian bakal melayani para tamu bersuka
4 Ajeg Bali mengandung pengertian lestari dengan sifat yang dinamis; maksudnya Bali memiliki
sifat lentur terhadap perubahan, tetapi tetap kukuh. Ajeg Bali berarti Bali tetap memiliki ciri
khas Bali, baik menyangkut bentuk, fungsi, dan nilai-nilai yang dimilikinya. Ajeg Bali bisa
dipertahankan karena jiwa masyarakat yang saling asah, asih, dan asuh. Agar ajeg Bali lestari ada
beberapa hal yang harus dipenuhi, antara lain, (1) Memiliki SDM yang andal, (2) Masyarakatnya
mempertahankan jiwa gotong-royong, (3) Bali tetap bernaung dalam NKRI yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, (4) Ekonomi Bali kuat, (5) Bali mempertahankan cirinya yang khas, dan
(6) keadaan Bali tetap damai. Wujud ajeg Bali adalah kesejahteraan rakyat lahir dan batin.
(Lihat I Wayan Bawa, Apa yang Dimaksud dengan Ajeg Bali, Garitan Budaya Nusantara dalam
Perspektif Kebinekaan (Kuta, Larasan, 2004), hal. 251, 257, 258).
5 Liyan = orang lain

Serat Sekar Tunjung


63

Diulangnya kata orang-orang pandai bestari


Pariwisata Bali adalah budaya masa kini
Orang Bali adalah budaya itu sendiri
menjunjung tinggi tradisi
menghormati warisan leluhur bumi
Turis berbondong-bondong ke Bali
memesan penginapan lewat biro-biro perjalanan
Sampai akhirnya menikmati Bali
menginap di hotel paling murah atau paling mahal

Pengusaha berlomba meraup untung


Berteman serakah dan loba
Mendewakan kapital
merayakan kemenangan
Itu penyebab ajeg Bali terkikis
Karyawan ibarat mesin
Ia hanya menjalankan perintah6 atasan
Dicekoki kebahagiaan semu tiap awal bulan
Ketika gaji dan uang jasa pelayanan7 dibayarkan
yang segera lenyap, pelunas utang dan biaya makan

Di hatinya Putu bertekad berubah haluan


Selalu penuh keriangan dan keikhlasan
Layani para turis dengan baik dan sopan
Menyamankan mereka agar senang dan aman

Namun tak disangka


Semakin ramai, semakin sulit mendapat libur raga
Kapan kami bisa menjalankan tradisi dan budaya?

6 Dalam dunia industri yang mendewakan kapital, karyawan acapkali dianggap robot untuk
menjalankan perintah. Di Bali tekanan seperti itu barangkali sulit ditemukan secara kasat mata,
bahkan hampir tidak pernah terjadi. Akan tetapi secara psikologis kondisi itu tentu ada. Contoh
bagaimana karyawan yang bekerja pada sebuah industri pariwisata sangat sulit mendapatkan
izin untuk melakukan kegiatan adat. (Lihat I Nengah Desi Astawa, Implementasi THK dalam
Industri (Realitas, Harapan, dan Rekomentasi Kebijakan), Bali is Bali Forever, Ajeg dalam Bingkai Tri
Hita Karana (Denpasar, Bali Travel News, 2008).
7 Uang jasa pelayanan besarnya 10% dari total pendapatan hotel. Uang ini dibagikan ke seluruh
karyawan dengan berbagai macam metode. Ada yang dibagi rata, ada yang berdasarkan
posisi/tinggi rendahnya jabatan, atau pun berdasarkan kinerja.

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


64

Ya, ya, semua bisa direncanakan


Semua bisa diatur sesuai keperluan
Kami menaruh otak di kepala
bukan di dengkul, Tuan

Tapi jika kami bekerja kelelahan?


Ketika kami wajib berhari-hari melakukan ayahan8
Jika berebut hari libur dengan teman
Jika pandangan kami berbeda dengan atasan:
Apakah turis lebih penting dari adat budaya?

Para pimpinan dengan nanap menekankan:


Perusahaan bukan yayasan sosial
Ini bisnis mencari keuntungan!

Tak jarang kami harus menolak naik jabatan


Semata untuk lebih erat memeluk tradisi
Semua demi keajegan budaya Bali
Pariwisata budaya harus mengakar dalam kehidupan

#
Hari ini 12 November
Langit cerah, tapi guntur menggelegar
Kepala bagian Front Office mengundurkan diri!
Ia memilih pulang ke kampung halaman
Bekerja sambil menjaga orang tuanya
yang sakit cukup lama

Berseliweren pemikiran di kepala Putu


Siapa menggantikan kepala bagian itu

8 Setiap warga desa yang telah berkeluarga, wajib melakukan ayahan, yaitu melakukan
pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dibebankan oleh desa dalam hubungannya dengan adat
dan upacara-upacara keagamaan di desa tersebut. Apabila orang yang bersangkutan tidak
melakukan kewajibannya, ada sanksi sosial yang harus ia tanggung, antara lain dikucilkan, tidak
diajak bergaul, tidak dibantu dalam keadaan bahaya/berduka cita, sulit mendapat kuburan bila
anggota keluarga mereka meninggal dunia dan sebagainya. (Lihat I Wayan Surpha, S.H. Seputar
Desa Pakraman dan Adat Bali , Bali Post, 2002, hal. 49, 79).

Serat Sekar Tunjung


65

Dia adalah atasannya sejak dulu


Tiba-tiba ketakutan menghantui kalbu

Suatu hari pimpinan teratas memanggilnya


Hari terakhir ia bekerja
Setelah itu Putu harus menggantikannya
Terkejutlah ia
Menjadi kepala bagian tak terbayangkan
Dia merasa tak mampu melaksanakan
Hatinya ragu, jantungnya berdegup kencang

Bergetar suaranya penuh pinta


Agar atasannya mencari pengganti lain saja
Tapi permohonan Putu tak bersambut
Atasannya telanjur percaya padanya
Kepedulian Putu pada tradisi dan budaya
merupakan nilai tambah yang prima
Menjadi kepala bagian pasti bisa

Konon karena Putu gesit dan suka kerja


Ia pandai membuat paket-paket wisata
Hasilnya menambah laba
juga mendongkrak perolehan uang jasa

Kata atasannya Putu bisa belajar banyak hal


Akan dibiayai mengikuti kursus tambahan
Menjadikan Putu karyawan berprestasi
Menjadikan Putu pimpinan yang disegani

#
Pulang ke rumah dengan hati gundah
Made terheran melihat kekasih tak riang
tapi maklum setelah tahu muasal keraguan:
naik jabatan sebagai kepala bagian

Made, suaminya terdiam


Terbayang istrinya tak lagi punya waktu

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


66

setelah menduduki jabatan baru


“Kamu nanti lupa rumah!” sergahnya pada Putu
Sesungguhnya, ego kelelakiannya mengharu-biru
Ia tinggalkan istrinya sendirian
Tak dimengerti kenapa mesti marah
ketika istri punya kesempatan emas
meraih rezeki berlimpah-limpah

Putu berusaha melupakan kegalauan


Dikerjakannya tugas-tugas rumah
Dengan sepenuh hati tanpa keluhan
Diam-diam dia bertekad
membuang kesempatan punya jabatan
Aku akan bekerja seperti biasa saja, gumamnya
Bukan layaknya seorang atasan

Tapi keinginan adalah impian


Esoknya, pimpinan memanggilnya lagi
Dia harus belajar ini dan itu
Mengasah kemampuan kepemimpinannya

Entah kenapa lidah Putu terasa kelu


Tak sanggup menolak perintah
Di rumah, berkali ia mengeluh
Merasa tak mampu menjalankan tugas baru

Selalu suaminya berkata:


Jangan dikerjakan kalau tak mau
Menekan, menegaskan, mengintimidasi
Membuat Putu tertegun lemas
Tak mampu berlindung pada kata-kata suaminya
Hati kecil Putu pun tak senada
Diam-diam dia lakukan tugas-tugas barunya
Baginya, bekerja adalah kewajiban dan tanggung jawab

Namun diulangnya keluhan itu di rumah


Setiap hari, setiap saat

Serat Sekar Tunjung


67

Suaminya semakin terganggu


Jangan mau kalau tidak bisa, cetusnya garang
Memorakporandakan harapan mendapat empati

Putu sekarang bangun harus lebih pagi


Mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan rapi
Memastikan tidak ada yang terlupa lagi
Barulah berangkat kerja
Di kantor pun harus menyiapkan segalanya
Tugas-tugas untuk teman-temannya
Bukan hanya untuk hari itu saja
Tetapi beberapa hari ke depan juga

Selalu siap sedia


Mendengarkan setiap cerita
Menjadi tempat pengaduan
Memecahkan setiap masalah

Tak disangka secepat itu perubahan hidupnya


Menanggung bongkahan tugas
Hadir dalam satu pertemuan ke pertemuan lainnya
Setiap pagi, setiap saat
Bertemu tamu-tamu penting
Bekerja dan melayani secara tulus ikhlas

Pulang kerja ditunggu pekerjaan rumah


Yang paling penting menyiapkan makan malam
Dikejar kepekatan malam dan tubuh lunglai
Tak sanggup dia melakukan
Putu sadar dia adalah ibu rumah tangga sejati
Maka dalam perjalanan pulang makanan dibeli
“Apakah aku menyesatkan tradisi?
Menyusur jalan lain di sini
Memilih diam dan menutup telinga dan hati
Berkelana mencari alasan sendiri
Mengutuk setiap karang penghalang diri

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


68

Jika pada akhirnya jalanku salah


Siapa bertanggung jawab nanti?”

Putu terduduk di pojok kamar


Matanya menatap tajam anaknya yang giat belajar
Dia tersadar
sudah lama tak bercakap mesra benar

Dielusnya Nyoman, penuh kasih


Anaknya terkecil, ditatapnya dengan hati merintih
Dengan kelu dia bertanya sedikit basi
“Bagaimana pelajaranmu?”
Anaknya tak peduli tetap sibuk membaca
Tubuhnya dibiarkan terpaku di situ
sampai sang anak menguap, menutup buku, dan berlalu

Rasa badan sangat remuk-redam


Ia lirik ponsel untuk melihat pesan
Diejeknya diri sendiri
Belum berani memikul beban kepala bagian

Atasan menunggu hati Putu terketuk


mencoba meyakinkan berkali
Disodorkan pekerjaan semakin banyak
dirayunya dengan sedikit uang tambahan
Menemani Putu mengembara
dalam belukar hutan belantara

Terbata Putu melahap hari-harinya


Suaminya mengingatkan: jangan mau kalau tak mampu
Hingga suatu saat nada suara Made bagai halilintar
“Hentikan mengerjakan pekerjaan kepala bagian!”

Hatinya runtuh dan menciut kisut


Terpojok dan merasa bersalah
Tapi ada sisi kemenangan ekonomi di sana
Dari suguhan tambahan uang jabatan

Serat Sekar Tunjung


69

Tak berani dia bercerita


Takut menyalakan api ketersinggungan suaminya

#
Putu berada pada dua pilihan
Mengikuti kata suami atau mencari uang lebih banyak
Dia yakin, Tuhan telah memberi kesempatan ini
Disadarinya: anak-anak semakin besar
Berderetlah kebutuhan mereka

Pikirannya bertamasya ke masa lalu


Akan rayuan suaminya yang menggoda

“Kamu adalah ibu rumah tangga


Penuh pesona sebagai pendamping
Terima kasih telah menikah denganku
Berbagi kebahagiaan di rumah ini
Terimalah segala kekuranganku
Nikmatilah semua yang ada
Tak perlu kaupergi bekerja
Rumah dan tradisi adalah bagianmu.”

“Budaya seharusnya membuat bahagia


Mengangkat harkat martabat Made
sebagai suami kebanggaan Putu
Seharusnya disadari dan diikhlaskan
Rezeki datang melalui seorang istri
tak selamanya dalam genggaman lelaki
Ketika keajegan berarti dinamis
agar Bali penuh warna

Tapi telinganya terasa pekak


Dicecar perintah tak bermakna
Jangan mengerjakan pekerjaan tambahan
Kamu sekarang bangun terlalu pagi
pulang terlalu malam
Kamu lelah; tak punya waktu untuk keluarga

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


70

Minta atasanmu mencari pengganti;


jangan mau diperbudak seperti ini.”

Ketika seorang suami mengorek dan mengungkit


setiap cela yang dibuat istri
Bagaikan ujung pisau menoreh kulit
darah mengalir semakin deras
Sakit dan perih

Berdarah-darah Putu menaklukkan setiap pekerjaan


Sederet pekerjaan kantor kadang dibawanya pulang
Dikerjakannya bagai menggalang lomba
antara rumah dan kantor
Hingga keduanya tuntas terselesaikan

Akhirnya diputuskan membagi jam kerjanya


Terkadang pulang pergi beberapa kali
dari rumah ke kantor, kantor ke rumah
Pagi hari kerja
Siang hari pulang
Malam hari pergi bekerja lagi

Atasannya bersorak gembira


Sekarang Putu lebih mudah mengatur diri
Beradaptasi sesuai kebutuhan pekerjaan
Putu dinilai memiliki tujuan dan hasil

Dia berjuang demi keselarasan


Artinya bisa menyelesaikan pekerjaan rumah
Artinya punya waktu ngaturang ayahan
Artinya bisa mengurus anak-anak
Artinya bisa mengurus suami dan mertuanya

Pulang siang dilihatnya suaminya di rumah


sekali dua kali baginya biasa
Tetapi ternyata berkali-kali terakhir ini

Serat Sekar Tunjung


71

ditemui suaminya tidur atau duduk bengong di bale


Menyedot rokok kuat-kuat
menghembuskan ke angkasa luas
menantang semesta

Kenapa Made tidak pergi bekerja?


Putu menyelidik
‘Tamu’ pulang ke Eropa, kata Made
Putu tak bereaksi

Suaminya balik menyelidik


“Untuk apa selalu malam kembali bekerja?
Harusnya pulang, ya pulang!” sergah suaminya

Kembalilah Putu bertanya


Sampai kapan ‘tamu’ di Eropa?
Suaminya tak menjawab; balik memerintah
“Kamu hentikan bekerja terlalu keras
Kamu pikir aku tidak bisa membiayai keluarga?”

Putu sangat mencintai suaminya


Dielus dadanya dengan duka
Terasa sesak di sana
Tak mampu membalas kata-kata keras itu
Perusahaan membutuhkannya
Anak-anak memerlukan hasil kerjanya

Putu gelisah
Suaminya menjadi pendiam
Sampai kapan ‘tamumu’ di Eropa? ulangnya
Suaminya masih tak bisa menjawab
Sibuk menatap masa depan yang tak tampak

#
Rumah ‘tamu’ dari Eropa tak terlalu jauh
dari tempat kerja Putu

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


72

Pagi ini sengaja dilewatinya


Keingintahuannya mencuat
Apa yang telah terjadi?

Rumah itu sunyi


Tampak tak terawat
Ilalang meninggi
Daun kering berserakan; menguning
Sepertinya ‘tamu’ tak akan kembali lagi

Suaminya semakin uring-uringan


Mungkin terkaan Putu benar
Made tak punya pekerjaan lagi
Namun ditutupi dari istrinya
Malu dia
menadahkan tangan pada istri

Putu ingin menanyakan


Keberaniannya tercecer tak mau menyatu
Dibayangkan ketersinggungan suaminya
Ketika harus menghadapi kenyataan
Bahwa Made bukanlah tulang punggung keluarga

#
Hari-hari berbabak berlalu
Suami istri sibuk sendiri-sendiri
Ada ganjalan di antara mereka
Tak satu pun berani mulai membuka suara
Menghentikan bola masalah
yang menggelinding deras

Batin Putu meregang


kelelahan terpancar di matanya
Dihempaskan tubuhnya di atas dipan
melingkar memeluk guling, lelap tertidur
Lupa ia menyiapkan makan malam

Serat Sekar Tunjung


73

Anaknya membangunkan dengan gugup


Putu terkesiap bagai tersengat listrik
Jam makan telah tiba
Cepat dimintanya anak tertua membantu di dapur

Dengan terpaksa dan rikuh


Anak kedua dan ketiga dimintanya merapikan rumah
Mertuanya melihat Putu dengan pandang tak suka
Menantu wanita melalaikan kewajiban
Putu ingin menangis, tapi tak bisa
Perlahan dipejamkannya matanya
Mencoba menata rasa pusing di kepala

Kelelahan menerpa
Hari-hari terakhir hotelnya ramai
Melahirkan pekerjaan demi pekerjaan
Menguras energi karyawan
yang gembira melayani wisatawan
demi mimpi pendapatan tambahan
saat menerima gaji bulanan

Suaminya menghampiri
Dilontarkannya kembali kata-kata itu
“Kalau sudah tak mampu, katakan tak mampu
Jangan dipaksakan; aku bisa membiayai keluarga!”

Putu meronta menahan emosi yang terbakar


Rasa cintanya mendadak hilang
Terhapus oleh puncak kemarahan
Tetapi bumi terasa berputar
Dadanya bergemuruh menahan emosi
Dia muntah-muntah tak mampu menahan diri

“Sudah berapa kali tak hadir ngaturang ayahan?


Kaujatuhkan martabat keluarga
Kita keluarga terhormat, walau tak berada

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


74

Kaubiarkan mereka membicarakanmu


Kenapa?
Apa yang kaucari?
Aku ini kepala keluarga
Aku harus kauikuti
Aku sanggup membiayai keluarga ini!”

Putu meregang jiwa


Sanggup seperti apa?
Perut merengek minta diisi
Apakah kami harus terus menanti?
Sampai kapan?
Sampai semua anak-anak putus sekolah?

Tapi Putu hanya bisa terdiam


Menatap hampa halaman rumah
Suaminya mengancam mendatangi hotel
mengembalikan istrinya pada pekerjan semula

Ingin Putu segera menaklukkan pekerjaannya


Dia tahu para tetangga membicarakannya
Ketidakhadirannya di beberapa acara desa
Digunjingkan dengan banyak prasangka

Ada satu hal yang selalu memburunya


Jika semakin banyak orang seperti aku
Siapa lagi mempertahankan budaya Bali?
Jika semua berpikir untuk pekerjaan dan uang
budaya adiluhung bisa hilang

Putu ingin kembali pada dirinya yang lama


tetapi belum tahu caranya
karena keluarganya membutuhkan biaya
Ragu pula dia menegaskan pada atasan
Akan kesiapan dirinya pada posisi pimpinan
Ketika badannya terasa agak enak
berjingkat Putu menuju pojok kamar

Serat Sekar Tunjung


75

Diambilnya buku catatan


Matanya menari-nari membaca materi kursus
Bergemuruh tekadnya

#
Made menatap halaman rumah tanpa harap
Pikirannya melayang jauh
Dicumbunya rasa kecewa tanpa pekerjaan
Orang tuanya tercenung sedih:
Anak lelaki yang dibanggakannya
menjadi tumpul di mata masyarakat
Tak mampu menjadi tempat bernaung
untuk istri dan anak-anaknya

Diselipkannya beberapa lembar uang


hasil kebun beberapa tahun lalu
Demi anaknya, Made tercinta
dari seorang ibu yang merana
“Untuk biaya sekolah anak-anak.”

Ibu tak ingin anaknya tanpa wibawa


di hadapan istrinya
Ibu membungkam mulutnya
Ketika tahu lelaki jagoannya tanpa daya

Rasa bosan menerpa Made


Tak tahu harus bagaimana
Ingin ia berteriak
melihat perlakuan semesta yang tak adil

Tiga remaja anak-anak mereka


sibuk dengan sekolah dan kegiatan
Tapi melihat ibunya kelelahan
mulai sering mereka membantu kerja
Kakek neneknya tak suka
Bagi tradisi Bali itu pekerjaan menantu wanita

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


76

#
12 Februari
Atasannya bersorak gembira
Ketika Putu dengan gugup
menyampaikan kesiapan jadi kepala bagian
Disalaminya dengan senyum lebar
Cepat-cepat diumumkan
kabar gembira ke pelosok hotel

“Seorang anak desa


menjadi kepala bagian di hotel ini
Kita patut bangga
Anak negeri mengharumkan nama Bali
melalui pengabdiannya di hotel ini
Kita berbangga
Kitalah pengusaha pariwisata
yang menjunjung tinggi ajeg Bali.”

Di rumah, suami tetap memaksa


Putu mengatakan tak mampu pada pimpinan
Putu tak peduli: dia semakin giat bekerja
Putu bertekad mencari jalan keluar
mengatur semua tugasnya

Dia tak kenal menyerah


Dipaksakan dirinya menuju hotel
ketika sakit menerpa dan kepala pening
Tetap dikembangkan senyuman terindah
dengan mata berbinar setiap saat
Diikhlaskannya semuanya
agar anak-anaknya tak putus sekolah

Dituntutnya dirinya
Semakin taat pada Sang Pencipta
Semakin sering bersyukur
agar semuanya terasa ringan

Serat Sekar Tunjung


77

Dirindukannya kehidupan sederhana


penuh keharmonisan
Bercengkerama dengan teman-teman sekampung
ketika ngaturang ayahan, mejejaitan, dan metanding
Menelusuri jalan-jalan desa; menyapa setiap orang
Ke pasar sambil bercerita riang
Tentang anak-anak, keluarga, dan kebahagiaan
Dia bertekad mendapatkan kebahagiaannya kembali
Meletup keinginan untuk membicarakan dengan suaminya
juga dengan mertuanya
tapi tak tahu caranya

Membaca berbagai macam buku


Mencari setiap cara untuk kenyamanan hati
Walau mata terasa penat
ditariknya napas berkali-kali
untuk mengubah sesuatu di rumah ini
Tuhan pasti akan memberikan jalan
itu yang ia percaya

Putu menyadari arti sebagai manusia Bali


Berjuang mendapatkan kembali
waktu-waktu bermakna dalam tradisi dan budaya

Ketika kebutuhan mendera


Kapitalisme telah membuatnya berpaling
demi cinta yang besar pada suaminya
demi anak-anak
demi mertuanya

Dia membayangkan
berlari pulang ke rumah masa gadisnya
Menangis di pelukan ibu
melepas beban yang memberat

Tapi cinta tak terhingga pada sang suami


telah mengganjal langkahnya

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


78

Walaupun tak seorang pun peduli


Tak seorang pun mau mendengarkan
Bahwa diperlukan alih bentuk
dalam tatanan kewajiban
Membuat semua orang tersenyum
berubah sesuai jiwa budaya Bali
Pantang menyerah
Jujur pada keadaan
Bekerja keras

Sering orang terpenjara pengertian salah


Akan budaya
Akan tradisi
Akan ajeg Bali

Jangan berlari dari tradisi


Jangan melanggar budaya
Selalulah menjunjung etika

Putu tersenyum samar, hatinya merintih

#
Bekerja bagaikan babu di rumah suami sendiri
Tak boleh mengubah apa pun sebab ini rumah mertua

Mertua Putu semakin terpojok


Anak lelaki semata wayang didera frustrasi
Semakin hari semakin merana
di samping istrinya yang semakin tersiksa

Sesungguhnya Putu menyadari


Banyak pekerjaan diselesaikan ibu mertua
ketika dia di kantor

Tetap saja
Suaminya tak mau mengerti

Serat Sekar Tunjung


79

Baginya kesalahan besar


Sang ibu membantu menantu

Adakah aturan itu dalam tradisi?


Siapa mengerjakan apa
“Manusiakanlah aku.”
Tetapi Made telah mendoktrin dari awal
Semua adalah tugas menantu wanita

Made anak kedua, laki-laki semata wayang


Masa depan rumah tua menjadi tanggung jawabnya
Dua saudara perempuannya menikah keluar desa
tinggal di Denpasar bersama keluarga mereka

Keluarga yang dulu penuh keriangan


Warnanya semakin kelabu
Menunggu seseorang memimpin
Menunjukkan haluan
menuju kejayaan

#
Di sanggah9 Putu bersembahyang
Tangannya tercakup rapat di atas ubun-ubun
Aliran jernih dan tenang mengalir menembus kepala
Menjalar hening ke seluruh tubuh
Meresap
Dia harus berjuang
mendapatkan cinta dan kebahagiaan suaminya
Seperti dulu
Harapannya hanya pada Yang Kuasa
Segala yang tak mungkin akan menjadi mungkin
Manusia berpasrah pada semua rencana-Nya

9 Di Bali, salah satu tempat untuk bersembahyang disebut sanggah pemerajanan. Kata sanggah
berarti sanggar (tempat suci) dan pemerajan dari kata praja (keluarga). Jadi sanggah pemerajaan
artinya tempat suci bagi keluarga. Namun secara umum disebut secara singkat sanggah atau
merajan. Kadang sering disalahartikan bahwa istilah sanggah hanya unuk orang biasa dan
merajan untuk kasta yang lebih tinggi

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


80

Ajaran Tat Twam Asi10 dipegangnya erat


Kalau saja aku bisa melihat masalah ini
dari sudut pandang suamiku
atau dari sudut pandang mertuaku,
atau masyarakat desa
Mungkin aku tahu harapan mereka yang sesungguhnya

Ditimang-timangnya waktu terbaik


Bercakap dengan suaminya
Jika dikatakan, “Aku tahu kau tanpa pekerjaan sekarang.”
Mungkin suaminya terkejut
Apakah suaminya masih akan mengukuhi
istri mengerjakan semua tugas rumah
hadir pada acara perhelatan desa

Masihkan dia memintanya tak usah kerja,


jika menyadari enam mulut menganga minta diisi?
Atau berteriak menepuk dada:
“Aku mampu menghidupi keluarga.”
Lantas anjing-anjing kudis menertawakan
serta-merta menggonggong
mengatakan Made pahlawan bodong

Tidak, Putu tidak ingin melecehkan suaminya


Dia sangat, sangat, sangat mengasihinya
Apa pun akan dilakukan
Bahkan ia pertahankan cintanya meski hatinya lelah
Tat twam asi
Aku adalah kamu dan kamu adalah aku
Kita berasal dari sumber yang sama

Mulailah Putu berbicara dari hati


bertanya kapan ‘tamu’ Eropa itu kembali

10 Tat twam asi: kepercayaan Hindu bahwa semua mahluk berasal dari sumber yang sama.
Aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Menyakiti orang lain, artinya menyakiti diri sendiri.
Demikian juga ketika membuat orang lain bahagia, artinya membahagiakan diri sendiri.

Serat Sekar Tunjung


81

Suaminya terkesiap
Ditatapnya istrinya dalam
Tidak, jangan bohong, erang Putu dalam hati
Dengan bergumam tak jelas suaminya menjawab
“Aku akan mencari kerja lagi,” tegas suaminya
Jadi, ‘tamu’ Eropa itu tidak kembali?

“Bli,11
Putu merintih memanggil suaminya
“Rezeki keluarga tidak mesti melalui seorang suami
kadang bisa lewat istri.”

Suaminya menatap tajam


Egonya menuduh istrinya berkata, “Kau tak mampu.”
Putu memegang tangan suaminya erat
Dihempaskan kasar tangan istrinya
Putu menatap sedih, “Kau adalah pahlawanku,” rintihnya
“Kau mengajarkanku menghormati tradisi
memberitahuku orang tua harus dihargai
Kauperintahkan aku ngaturang ayahan
Siapa lagi kalau bukan kita yang menjunjung
warisan nenek moyang yang ada?
Tetapi sekarang terjadi penyimpangan
ketika istri menjadi tulang punggung keluarga
Adakah sesuatu yang harus kita ubah
tanpa kehilangan rasa hormat akan peninggalan leluhur?”

Putu bersimpuh
Memohon dengan sangat
jawaban suaminya
agar batinnya damai

11 Beli, kadang disingkat menjadi Bli adalah panggilan terhadap suami atau pun kepada kakak
lelaki. Kata bli juga digunakan dalam pergaulan sehari-hari untuk memanggil seorang laki-laki
yang dihormati dan atau yang diperkirakan lebih tua.

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


82

#
Pesangon yang diterima suaminya
hanya cukup untuk tiga bulan kalender
Menyusut drastis tanpa tahu ke mana
padahal sepeser pun tak diterima Putu

Tetapi Made tetap kukuh, sombong merasa diri tinggi


Setiap hari Made berputar-putar desa
Ngobrol sana-sini
bak orang kaya penuh warisan

Sebagai meme12 yang bijak


Dipanggilnya putranya
Ingin mendengarkan sang buah hati
setelah tak bekerja selama ini

Sesenggukan putranya menangis


Betapa berat beban dirinya
mendapati istri bekerja membanting tulang
tapi dia tak bekerja
Kadang masyarakat desa menyinggung-nyinggung
Berkali-kali istrinya tak hadir ngayah
karena tuntutan pekerjaan kantor
Tak mampulah dia membela istrinya

Putu mendengar percakapan itu


Kesedihan menusuk jantungnya
Ini waktuku memimpin rumah tangga
Tapi suami tetap kepala keluarga

#
Bintang temaram di langit
Di ujung timur Pulau Dewata
Suara angin riang berhembus
Putu menuruni tangga rumah

12 Meme adalah panggilan untuk ibu dalam bahasa Bali. Biasanya digunakan untuk kalangan
orang biasa.

Serat Sekar Tunjung


83

Kain endek13 membalut tubuhnya


Menggunakan baju kebaya berwarna putih
siap pergi ngaturang ayah
diliriknya Made yang sedang duduk di ujung bale

“Bli…,” panggil Putu


Suaminya tersenyum Putu merasa bahagia
Lama tak dilihatnya senyum itu

Mereka pun duduk berdampingan


bagai sepasang sejoli remaja
Kenangan menunjukkan wujudnya
menampilkan masa-masa indah dulu
mencumbu Made dan Putu di petang itu

Ketika mereka bertemu di pematang sawah


Di suatu hari yang cerah
Setelah Putu selesai mebanten
Made melirik dengan penuh pesona
Putu pun terpincut
Jalinan pertemanan semakin lekat
membuat dua insan semakin terikat
Entah Dewa mana yang membuat mereka bertekad
Menuju pelaminan dengan bahagia

Putu tersadar
ditariknya napas panjang
Sekarangkah waktunya menyampaikan isi hati?
tapi keinginannya hanya sampai di tenggorokkan
Lainlah yang keluar di mulutnya

13 Kain endek merupakan kain tenun ikat khas Bali. Jenis kain ini memiliki beberapa keunikan,
yaitu berbagai motif unik dari yang sakral hingga yang mencerminkan nuansa alam. Motif patra
dan encak saji merupakan motif sakral yang hanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan di pura
atau kegiatan agama lainnya. Juga ada motif kain endek yang hanya boleh digunakan oleh para
orang tua dan kalangan bangsawan; sedangkan motif yang bernuansa alam digunakan untuk
kegiatan sosial.

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


84

“Bli…
Saya akan berangkat ngayah
menjadi warga desa yang baik
Pekerjaan rumah sudah selesai
tadi dibantu anak-anak.”

Suaminya menatap senyap


Mengangguk dan bangkit dari duduk
Diikutinya istrinya
Berjalan beriringan berdua
ke rumah tetangga yang besok menikahkan anak

Tiba-tiba Made menggenggam erat tangan Putu

“Putu....”
terdengar suaminya berkata lirih
“Aku akan membantu pekerjaanmu di rumah
Tidak pantas aku menyiksamu.”

Putu terkesiap dan gembira


Tak bisa dia berkata-kata
mengungkapkan keriangannya
Ia hanya berkata,
“Pekerjaan rumah tanggung jawab saya, Bli.”

Made menghentikan langkahnya


“Aku membantumu menyelesaikan tanggung jawab itu
Aku tulang punggung keluarga
kamu membantuku mencari nafkah.”

Sudah waktunya kita bahu-membahu


Menyelaraskan semuanya
Mengokohkan hubungan dengan sang Pencipta
Menghormati sesama
menjalankan semua kewajiban terhadap alam

Serat Sekar Tunjung


85

“Keajegan Bali harus kita jaga


seperti harapan para leluhur:
Menjadikan Bali dinamis
bersaing di dunia bisnis
Janganlah terpenjara
pada pengertian yang sempit
Marilah kita sempurnakan
Kelestarian Bali.”

Putu tertegun
Akan kata-kata bijak suaminya
Dipanjatkannya puji syukur pada Tuhan
Kedamaian memenuhi relung hatinya

Malam itu demikian indah


Semua bintang di langit berlomba turun
Menerangi jalan sepasang kekasih
yang bergenggaman tangan erat menembus malam

Denpasar, 19 November 2017

Wanita Bali antara Nafkah dan Ajeg Bali


86

NI LUH PUTU SUKMA AWANTARI,


telah lama menggeluti bidang pariwisata
di Bali. Meskipun demikian, ia tetap
menulis sebagai hobi yang mencerahkan
diri sendiri dan para pembaca. Sekitar
tahun 1981–1984, tulisannya kerap
diterbitkan di Bali Post dan Majalah
Bobo. Tahun 2017, ia menulis novel Cinta
di Sebuah Hotel, diterbitkan oleh AWC
Publishing.

Serat Sekar Tunjung


Ni Made Dwi Ari Jayanthi

BLANJONG
: masa lalu
88

PRAWACANA

Puisi esai “Blanjong: Masa Lalu” ini mengisahkan manusia Bali.


Bagi masyarakat Bali, karma dan kelahiran tidak bisa dipisahkan
dalam kehidupan manusia. Dasar kehidupan manusia Bali selain
percaya pada keberadaan Tuhan, juga sangat meyakini adanya
karma. Puisi esai ini mencoba menghadirkan keadaan psikologis
manusia Bali yang berkaitan dengan kepercayaan adanya karma
melalui tokoh Ratri. Pergolakan perasaan Ratri meliputi situasi
batinnya, keadaan sekitar, dan penolakan-penolakan terhadap
keyakinannya. Peristiwa semacam ini sering dijumpai di Bali, tetapi
sayangnya sering diabaikan.

Blanjong merupakan sebuah daerah di Sanur Bali. Berdasarkan


sejarahnya, Blanjong adalah pelabuhan kapal Cina di masa lalu.
Berlatar kehidupan Bali tahun 1920-an, puisi esai “Blanjong”
mengisahkan perjalanan seorang perempuan yang lahir di masa
sekarang, namun memiliki ikatan masa lalu di Blanjong. Tokoh Ratri
mengalami kebimbangan dalam hidupnya. Bayangan-bayangan
aneh, termasuk perempuan-perempuan asing kerap datang ke
mimpinya. Siapa mereka? Ratri sangat kebingungan, hingga pada
akhirnya dia memutuskan menelusuri jejak dalam mimpinya itu
sampai kemudian ia menemukan masa lalunya di Blanjong.

Serat Sekar Tunjung


89

Ni Made Dwi Ari Jayanthi


BLANJONG
: Masa Lalu

/1/
Ada rasa tak mau pergi dari hatiku
Aku ingat ini mimpi ketiga kalinya
tentang hidupku
Pada mulanya dulu, di sini
di Blanjong

Rumah-rumah tua dengan atap ilalang


dapur purba bertungku tiga
daun kelapa kering
anak ayam mematuk beras
Begitulah
Bale Gede1 ukiran karang
Bale Bandung2 tembok bata
pohon kamboja berbunga lebat
lelaki-lelaki dari Semawang3 hingga Sanur
datang menawarkan cinta
berbekal janji
berbekal warisan

Ah, siapa pula perempuan itu?


Berambut panjang ikal mengurai
Wangi cempaka kuning dan minyak cendana
menggoda

1 Bale Gede adalah bangunan Bali dengan sisi depan dan kanan yang terbuka.
2 Bale Bandung adalah bangunan Bali yang letaknya di utara halaman rumah, dengan komposisi
bagian depan yang terbuka.
3 Semawang adalah nama wilayah di sekitar Blanjong dan Desa Sanur, Denpasar Bali.

BLANJONG: Masa Lalu


90

Siapa pula perempuan itu?


Selendang ungu membungkus dadanya
berjalan sembunyi-sembunyi
menuju sisi Pantai Mertasari4
mencari cintanya
seorang lelaki bermata sipit
anak saudagar candu

Geg Anom5, ya Geg Anom!


Perempuan itu bernama Geg Anom

Aku ingat, ingat sekarang….


Dia sering datang ke mimpiku
berkali-kali
meminta tolong
dipertemukan segera
dengan lelaki itu

Celaka
Aku tak tahu nama lelaki itu
Dia tak pernah menyebut dalam mimpi
Lalu bagaimana aku mencarinya?
Siapa pula Geg Anom?

Blanjong telah berbeda


Tak ada lagi balai purba
Tak ada bangunan beratap ilalang
Pula tak ada saudagar candu
Bagaimana aku membuktikan mimpiku?

Senja menjelang saat aku tiba di Blanjong


duduk di atas pasir sambil sesekali memotret
Entah mengapa, samar aku lihat Geg Anom
4 Pantai Mertasari adalah nama lain dari Pantai Blanjong.
5 Geg Anom adalah nama seorang perempuan. Kata Gek adalah panggilan khusus untuk
perempuan.

Serat Sekar Tunjung


91

bermain ombak dengan lelaki itu


Geg Anom semakin dekat
Ia mendekatiku
dekat sekali

Aku tertegun
berteriak keras, “Tidak!”
Seorang lelaki meraih tanganku

“Kau tak apa?”


Aku menggeleng

Kagetku bangkit lagi


Matanya sipit, kulitnya kuning
mirip lelaki itu

Tetiba ia ulurkan tangan


“Lian Gauttama.”
“Putu Ratrining Apsari.”

Lian tersenyum
Aku pun tersenyum
Senja tenggelam, malam menjelang
Kami pun bertingkah seperti Geg Anom
Salah?

/2/
: pada Anom Satyaning Gumi

Geg Anom
bukan inginku bertemu dirimu
Geg Anom
kau harus tahu
Aku hanya perempuan biasa

BLANJONG: Masa Lalu


92

gairahku biasa
uang nyaris tak ada
hidupku bahkan tanpa rasa

Mengapa kau datang dalam mimpiku?


Tubuhku nista hina
Darahku tidak biru seperti darahmu
Kelahiranku pun jauh
dari Blanjong

Aku juga bukan abdi di Dalem Pangembak6


Mengapa Geg Anom mencariku?
Geg Anom tahu?
Aku panjatkan doa sederhanaku
Aku mohon, kembalilah
Jangan pernah datang lagi
Tubuhku tak layak kausinggahi
Tubuhku bukan alat
Tubuhku punya jiwa
Jiwa bernama aku
bukan jiwamu
Aku sadar
sesadar-sadarnya
kau adalah jiwa yang sengsara
Kau meninggalkannya menikah
dulu
kau membuatnya mencarimu
di sisa waktu

Kini di sisa-sisa siksaanmu


kau masih saja mencarinya
kau meminjam tubuhku

6 Dalem Pangembak adalah nama sebuah kawasan suci di sekitar Pantai Mertasari Sanur, yang
dulu merupakan jejak perjalanan Danghyang Nirartha (seorang pendeta suci yang konon
datang dari Blambangan Jawa Timur). Beliau menyebarkan ajaran Nusantara, berkeyakinan
pada kekuatan semesta, beragama kemanusiaan.

Serat Sekar Tunjung


93

untuk mencarinya
Terus
terus
dan terus

Kaulupa
Kau hanya bayangan tak tampak
Kau menapak dalam ragaku
Sayang sekali

Kau berhasil
Kau seperti menemukannya
Benarkah Lian Gauttama?
Hai, Geg Anom
Lian milikku
Lian bukan dia
Lian adalah tubuh dan jiwaku

Aku menang, Geg Anom


Aku punya keduanya
Sementara kau
hanya punya jiwa

Berikan Lian padaku


maka kupertemukan kau dengan lelakimu
Setuju?

/3/
Geg Anom
Lian bisa saja menjadi dia
jika kau menyetujuinya
Kita akan pergi bersama
setelah bersepakat
Setahuku Lian bukanlah pengecut

BLANJONG: Masa Lalu


94

Setiap tutur katanya adalah sihir


menyihir hidupku
Dia bukan pecinta kelamin
Dia mencintaiku karena cinta
Cinta yang cinta
bukan yang lain

Tapi Geg Anom


Tinimbang7 mencarinya
dalam jejak Lian
lebih baik kau kembali
ke duniamu
Di sini hanya tempat manusia papa
Di sini hanya tempat manusia klesa8

Bila Geg Anom mendengarku


aku ucapkan terima kasih
untuk paru-paru yang kaupinjamkan
untuk kecantikan yang kausematkan
di hari-hari haru
di hari huru-hara

Geg Anom tak berjodoh dengannya


aku pun sama
Lian pergi

Aku bukanlah kau


Lian bukanlah dia
sebab kau hanya jejakku
sebelum hari ini datang
sebelum aku lahir kembali
Benar?

7 Tinimbang (bahasa Jawa) = daripada


8 Klesa (istilah dalam bahasa Bali) artinya kotor

Serat Sekar Tunjung


95

/4/
Matahari menunduk
seperti sedang mengadili perkara
Rumah atap ilalang
adalah milik turis Inggris
tetapi
di sana
di teba9
aku lihat seorang perempuan tua
Adakah dia anakmu?
adakah dia cucumu?

aku cepatkan langkah


gila
ini gila
aku mendekat
perempuan tua itu duduk termenung
sirih pinang di mulutnya
kunyahan renyah antargusi
sesekali dia berludah
:merah

Aku duduk di sampingnya


Entahlah, seperti pernah ada di sini
Kain-kain kuno bermotif pasir
letak bangunan
payuk10 hitam

Bayangan masa lalu


Lelaki dari Semawang hingga Sanur
Kain yang sering dipakai ke Dalem Pengembak
9 Teba (bahasa Bali) berarti halaman di belakang rumah. Tatanan tiga bagian perumahan, yaitu
bagian depan (biasanya pintu masuk); tengah rumah utama (rumah utama dibagi menjadi
tiga: bagian dapur, rumah tempat tinggal, dan tempat suci); yang terakhir adalah teba. Teba
berfungsi sebagai paru-paru rumah, biasanya ditanami tanaman penyumbang oksigen (hasil
wawancara Prof. Dr. Ngurah Sudiana, Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia-Bali, yang juga
merupakan Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar pada tanggal 8 November 2017).
10 Payuk adalah panci yang terbuat dari tanah liat.

BLANJONG: Masa Lalu


96

Siapa perempuan tua ini?


Siapa aku ini?
Jawablah Geg Anom
Apa benar kau adalah aku?
Ya?

Mulai gelap
pelan-pelan aku lihat bayanganmu
di tubuhku sendiri!
Geg Anom, apa benar aku adalah kau?

/5/
: bayang bayangan-bayangan

Geg Anom, aku kehilangan


jejak warih-mu11
hanya perempuan tua itu
yang buta
yang tuli

dia tak mendengarku


dia tak melihatku

Aku kini datang ke Dalem Pangembak


mencoba mencari kisahmu
Berharap orang-orang di sini tahu
Sayang
tak ada orang di sana
meski hari sedang purnama

Langkahku mulai berat


udara terasa pampat
Aku mulai lagi melihat

11 Warih merupakan istilah untuk keturunan di Bali.

Serat Sekar Tunjung


97

Kau Geg Anom


Kau
sedang mencakupkan tangan
berdua dengan lelaki itu

Kau Geg Anom


Kau
tak lagi cantik
tua dan keriput
Kau Geg Anom
Kau
seperti tubuhku
Persis

Kau hilang
perempuan tua hilang
Hanya ada aku
dan bayang dari bayangan-bayangan

/6/
Hati yang hampa
mata tanpa sinar
bibir yang keriput
Benar-benar tak bisa kumungkiri
kecamuk dalam diriku
Yang aku tahu
pantai ini tempat pertemuan kami

Tidakkah ingat pada janji kelahiran


pernikahan

Membuatku terlahir kembali di sini


Ingatkah Geg Anom?

BLANJONG: Masa Lalu


98

/7/
: pada yang hilang

Mati begitu saja


memang jalan mati

Yang mati tak mati


hanya tubuh yang mati

Yang hidup tak hidup


hanya tubuh yang hidup

Yang mati dan hidup


hanya pusara waktu
pertemuan karma
pertemuan janji

Yang hidup menanggung sisa


yang mati membakar rasa

Sebab yang hilang


akan tumbuh kembali
dalam tubuh lain
dengan jiwa sama
Percaya?

/8/
Lelaki itu
mencari tubuh Lian
Geg Anom memilih tubuhku
Kami bertemu
seperti dulu
Kami bercumbu
seperti kala itu

Serat Sekar Tunjung


99

Kami adalah rindu


yang dimakan api derita

/9/
: sunya

Bhuwana alit adalah aku


Bhuwana agung adalah Kau
Kau mengambilku
Kau mengembalikanku ke asalku
Lima rupa dalam tubuhku
api
air
tanah
tulang
darah12

Sabda-Mu mengalir di tubuh nistaku


Aku terlahir menjadi Geg Anom
sebagai janjinya
sebagai mimpinya
sebagai permintaannya

Jalan yang tak lepas jalan yang tandus


jalan berliku, agar aku ingat padanya
Malam-malam sepi rindu-rindu menyayat
Bayang-bayang datang
Dia hadir aku menyerah
aku kalah atas tubuhku sendiri
12 Satu bait ini merupakan jalan manusia Bali menuju penyatuan kepada Pencipta. Mikrokosmos
bentuk analog dari makrokosmos, segala yang ada dalam makrokosmos itu pun terdapat dalam
mikrokosmos. Tubuh adalah mikrokosmos, sedangkan semesta adalah makrokosmosnya.
Segala yang ada dalam tubuh jika sudah tidak berfungsi akan dipulangkan pada semesta.
Proses pengembalian zat aktif pembentuk tubuh ke dalam bentuk-bentuknya di alam,
sekaligus proses penyeimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos itu. Penyatuan antara
tubuh (aku), semesta, dan Pencipta adalah proses melepas, membebaskan diri, memenuhi
pikiran dengan kesadaran dan keikhlasan (Zoetmulder, 1991:3) dalam buku Manunggaling
Kawula Gusti.
BLANJONG: Masa Lalu
100

Dia memberiku arah ke mana aku melangkah


melewati rimba kehidupan menahan perih cacian
hingga akhirnya kakiku menjejak Blanjong
Seketika pelangi pudar warnanya
Hanya putih
dan dia di sana menari bersama bayangnya
Ke mana jalan sunyi yang ditempuhnya
Yoga Sastra?13
Karma Yoga?14
Atau memilih mati raga dengan jiwa melayang-layang
mencariku
Percaya?

/10/
Geg Anom
di kehidupanku sekarang
aku melewati yang baru
Meski dengan gelisah yang sama
musim kini berubah

Gerimis sepanjang senja


Angin semilir berhembus
Kilat di ujung langit barat daya
Pohon-pohon menghijau
Daun-daun tua berguguran

13 Yang dimaksud jalan yoga adalah pengabdian untuk mencapai pembebasan. Setiap langkah
yoga adalah proses pencarian diri. Semesta akan selalu setia dengan segala macam bentuk
ujiannya kepada penekun yoga (yogin), sehingga sekolah sesungguhnya adalah dalam alam
kehidupan (Saraswati, 2005:4—5).
14 Karma Yoga adalah bagian dari ajaran catur marga (empat jalan) memuja kekuasaan Pencipta.
Ajaran Karma Yoga dipahami sebagai memuja kebesaran Beliau dengan cara bekerja, bekerja,
dan bekerja. Mereka yang menempuh jalan ini memakai ‘tubuh’ atau dirinya sebagai sarana
pemujaan (Soebadio, 1985:48).

Serat Sekar Tunjung


101

Bunga-bunga bermekaran15
Kumbang-kumbang datang
Suaranya serupa mantra16
yang panjang dan dalam

Musim apakah ini?


Ada janji yang menjadi hutang
saat musim ini tiba
Di tepi manakah kau menungguku?

/11/
: pada ombak, karang, dan cerita burung kedasih

Geg Anom, adakah kau mendengar sekarang


aku menangisi ombak dan karang yang membuatku mati
Mungkin memang janjiku untuk pergi sekarang
menyatu dengan kosong
mencari kesunyian
di atas ombak dan karang

Geg Anom apakah kau melihatku


Aku bersepakat dengan waktu
membiarkan semua berlalu
yang tertulis di prasasti-prasasti
tentang pertemuan waktu
tentang reinkarnasi
tak pernah usai

15 Gambaran musim semi ala Bali yang biasa disebut Sasih Kapat yang datangnya antara bulan
September hingga Oktober. Pada permulaan bulan kapat awan-awan mulai tampak. Hujan
pertama membangunkan pohon-pohon dari tidurnya dan mereka mulai mengeluarkan
ranting-ranting baru (Zoetmulder, 1994:245).
16 Suara kumbang yang sedang mengisap sari atau kelopak bunga dalam Kakawin Dharma
Putus dianalogikan seperti suara Om yang panjang dan bergetar, sehingga timbullah suara,
menggeram. Om merupakan aksara suci Tuhan pusat dari segala yang menjadi ada di dunia.
Kumbang dan padma begitulah metafora yang dipakai melambangkan padma asta dala
dengan delapan sifat kemahakuasaan-Nya (Palguna, 1999:246).

BLANJONG: Masa Lalu


102

serupa lingkaran
ia terus berputar

Geg Anom
hingga tak ada kata
pun sesajen untukmu
semua akan kembali
dengan karmanya

Aku tetap menjadi aku


Kau tetap menjadi dirimu

Kita, saat putaran usai


akan bertemu menjadi sembilan rupa17
bahagia
tak lagi menangisi diri

/12/
: yang telah jatuh

Tahukah di ladang dekat pantai


ada sebuah pohon mangga
buahnya banyak
dimakan tupai
Rasanya manis
jika matang ia akan jatuh

Geg Anom
di ladang dekat pantai
ada cerita tentang I Bendega
seorang nelayan yang hidup dari laut

17 Tentang reinkarnasi, orang Bali memercayai ada sembilan putaran reinkarnasi, dari menjadi
mikroba hingga menjadi manusia, sehingga paham semua makhluk adalah sama lahir di sini,
semua memiliki nyawa, karena semua ciptaan Tuhan.

Serat Sekar Tunjung


103

Setiap pagi tangannya serupa dupa


menyulam jaring karma
menciptakan hidupnya sendiri
dari cintanya pada Baruna18
Ia nikahkan dirinya pada laut
pada ombak
pada pasir
pada badai
pada pancing
pada kompas
pada perahu kecil
pada semua tentang laut
Hidupnya adalah laut biru
Matinya juga laut biru

Saat dia haus


dia mengambil mangga itu
dimakannya dengan lahap
Kulit mangga dikupas gigi kuatnya
Dia bersahabat pula dengan tupai

Katanya begini
Kau tahu, hidup itu sesungguhnya jalan sunyi
dia menitipkan kesunyian sedari kita lahir
Tidakkah kaubayangkan dirimu?
Karena sunyi itu kau berjalan
hingga kau tak tahu mengapa harus berjalan

Aku diam Geg Anom


matanya seperti pedang terhunus ke dadaku

“Hai, lelaki pemakan mangga


aku tahu jalanku
Meski sunyi katamu
aku tetap tahu tujuanku
18 Dewa Laut

BLANJONG: Masa Lalu


104

Aku mencari diriku


Aku akan menemukannya kembali
Aku tak perlu jawaban
sebab langit Blanjong akan menjawabnya.”
Ia tertawa, buah mangga hanya tinggal bijinya
dilemparnya kemudian jauh ke tengah ladang

“Biji itu akan tumbuh


kelak, ada orang yang akan menikmati buahnya.”

Dia melaut
membawa hati yang lapang
membawa kebahagiaan di senyumnya
Tangan kokohnya mendorong perahu kecil
Layar digelar, perahu terombang-ambing

Dia menantang hidup


atau sedang berbahagia
hendak menemui kekasihnya
di tengah laut

Senja yang sendu


Di ladang dekat pantai
orang-orang ramai berkumpul
mencari mangga?

I Bendega hilang19
tak satu pun tahu ke mana
tenggelamkah ia?
ataukah mencari kekasihnya?
Orang-orang ramai berkumpul
19 Berita tentang hilangnya seorang lelaki saat melaut, ini merupakan mitos di Desa Kelating,
Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan Bali yang menceritakan jika seorang pelaut berani
menantang maut, itu artinya mereka memiliki kekasih yang tidak terlihat di tengah laut sana.
Biasanya pelaut-pelaut seperti ini lahir di hari-hari dan bulan-bulan tertentu, seperti misalnya
lahir hari Kamis Kliwon pada Sasih Kedasa (sekitar bulan Maret atau April perhitungan kalender
Masehi).

Serat Sekar Tunjung


105

satu di antara orang itu aku kenal


Lian!

/13/
Kumohon jangan bertanya
sebab aku tak punya jawaban
di hatiku hanya ada gempa
semua berjatuhan

Matamu sepasang aliran sungai


berjalan di riwayat pohon hidupku

Senyummu mengurai luka


penantian tak pernah usai
Aku kekasih
yang kau tak tahu
Aku kekasih
bahkan kau tak bersamaku

Hari ini seperti hari baru


Sebuah gelisah yang sama
Adakah kau akan pergi lagi
Aku menunggumu lama
Lama sekali

Adakah kaurindu padaku


serupa mimpiku
Tentang kau dan lelaki itu
tentang aku dan Geg Anom

Aku selalu menyebutmu dalam embusan napasku


Aku selalu bayangkan wajahmu

BLANJONG: Masa Lalu


106

Semesta menyimpannya
saat orang-orang mencari I Bendega

Kau di sana
tersenyum padaku
“Ratri, kaukah itu?”

/14/
Sebab hidup adalah kutukan yang romantis
maka tunggulah
Ada jembatan pelangi
Ada akar akar pohon canging20
membentuk cahaya
terpendar di antara
ombak dan karang

Mencari dan menanti


kau kucari
kau kunanti

Tidakkah dengan bertemu


jalan mati lebih cepat?

Mencarimu
Menemukanmu
seperti menemukan pintu
menuju langit tinggi di atas duka

“Ratri, mari kita pergi.”


“Tidak, aku bukan Ratri.”
“Kau adalah Ratri.”
Aku mulai gelisah kembali

20 Sejenis pepohonan yang batangnya berduri, namun jika dia tumbuh lebat, dia seperti jembatan
yang melengkung dari pohon satu ke pohon lainnya.

Serat Sekar Tunjung


107

/15/
Tunggulah sebentar
Hujan segera reda
aku akan menjemputmu

Tunggulah sebentar
Kita akan pergi bersama
ke langit yang kaumau
ke semesta yang kaucari

Tunggulah sebentar
Semuanya terlihat indah
Kunang-kunang sepanjang jalan
bulan bersinar terang

Tunggulah sebentar
Sakitnya akan hilang
saat kita bersama

Tunggulah sebentar
kita lupakan
Blanjong
Semawang
Sanur
Dalem Pangembak
Kelating
Geg Anom
Lian
Lelaki itu

Tunggulah sebentar
sampai kaututup matamu pelan
tanpa ada yang tahu
kau adalah siapa

Denpasar, 2017
BLANJONG: Masa Lalu
108

NI MADE ARI DWIJAYANTHI,


telah menulis sejak duduk di bangku
Sekolah Dasar, bahkan pada waktu
itu Ari kecil terpilih menjadi penulis
terbaik tingkat SD Kabupaten
Tabanan. Hobinya menulis tak
pernah pudar. Banyak karya telah
lahir dari tangannya, baik dalam
bentuk puisi, esai, prosa lirik, dan
kini puisi esai. Kecuali aktif menulis,
seringkali ia dipercaya menjadi juri
lomba baca puisi maupun pidato.
Kegiatan lainnya yang mengesankan adalah berbagi pengalaman
sastra dengan anak-anak di Desa Kelating, termasuk berbagi
pengetahuan dan keterampilan menabuh gamelan, menari,
dan menulis. Beberapa kali ia juga menjadi pemateri jurnalistik
dalam seminar-seminar. Sejak tahun 2007, ia dipercaya sebagai
pengasuh rubrik berbahasa Bali di beberapa media, seperti Bali
Orti, Bali Post, Mediaswari, dan Pos Bali. Karya-karyanya antara lain
Tradisional–Antologi Puisi Denpasar lan Don Pasar (kumpulan puisi
berbahasa Bali tahun 2012), Blanjong (kumpulan prosa liris tahun
2014), kumpulan cerpen Kekerasan besutan Persma Akademika
Universitas Udayana taun 2009 dengan judul Biarkan Aku Menari.

Serat Sekar Tunjung


Seri Puisi Esai Indonesia

Ambon Manise Kisah Sang Penantang


Baduy Dan Tanah Luruh Benteng Lentera Pasundan
Bahana Bumi Antasari Luka Zamrud Khatulistiwa
Balada Ibu Kota Mantra Laut Mandar
Di Balik Lipatan Waktu Menggugat Alam, Mengejar Sunyi
Di Gerbang Stasiun Penghabisan  Merisik Jalan Ke Percut 
Gaung Moluku Kie Raha Nyayian Perimping
Gema Hati Mongondow Palu
Gemuruh Laut Timur Penyelam Dari Padang Hitam 
Genderang Bumi Rafflesia Raja Alam Barajo
Ironi Tanah Pungkat Di Lambung Langit Renjana Khatulistiwa
Jejak Jerit Di Tambun Bungai Serambi Madinah
Jiwa-Jiwa Yang Resah Serat Sekar Tanjung
Kepak Cendrawasih Sergam
Kesaksian Bumi Anoa Sisa Amuk
Kidung Kelam Suara-Suara Yang Terbungkam 
Kidung Tambura Surat Cinta Untuk Negeri Seribu Labirin

“Penyair generasi ini akan dikenang karena ikhtiar bersama memotret batin
dan kearifan lokal Indonesia di 34 provinsi, dalam karya kolosal 34 buku. Ini
sepenuhnya gerakan masyarakat, tanpa dana sepersenpun dari pemerintah,
atau bantuan luar negeri, atau konglomerat. Gerakan ini melibatkan lebih
dari 170 penyair lokal, dengan cara penulisan baru puisi esai, puisi panjang
bercatatan kaki, mengawinkan fakta dan fiksi”

-Denny JA, inisiator Puisi Esai


111

BLANJONG: Masa Lalu

Anda mungkin juga menyukai