Anda di halaman 1dari 297

(

SOROH PANDE
DI BALI
7

SOROH
DI B
PEMBENTUKAN "KASI

Jean Francois (

Diterjemahkan dari Les Pande de Bt


Undang-Undang Republik Indonesi, No-o, 19 T"hrri002 T".-Lng Hak Cipta lo Voleur Titre by Jean Francois Gur
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
D'extreme-Or
1 Hak
atau mengumumkan
rnen dilahirkan tmpa

Ketentuan Pidana
,1"

- Bar emamerkan, mengedark


._..u hak cipta atau hak terb
_
.,i,.rru.uuu.ru (rima ratus juta rupiah).
ama 5 (lima) tahun dan
dan r o - ---r --- --r UDAYANA L\T\
Irrl
SOROI-I PANDE
DI BALI
PEMBENTUKAN "KASTA' DAN NILAI GELAR

Jean Francois GuerrnonPrez

Diterjemahkan dari Les Ponde de Boli La Formation d'une "Caste" et


lo Voleur Titre by Jean Francois Guermonprez (Paris: Ecole Francaise
D'extreme-Orient, 1987.

UDAYANA UNIVERSITY PRESS


2072
SAMBUTAI
UNIVERSITA

SOROH PANDE
DI BALI
D"ji syukur ke hadarr'
PEMBENTUKAN "KASTA" DAN NILAI GETAR
I berkatrahmat-Nr-at'ui<r
.'Krcta" danNilai Gelar,
Penulis: Yang dtter
Jean Francois Guermonprez Guermonprez berjudul Les Patai
et la Valeur Titre (Bahasa Perar
Penerjemah:
SyamsulAlam Paturusi men,elang Puncak Perayaan Dies
Widiastuti Penerbitan buku ini agak terla-u''r
Editor: Udayana UniversitY Press telah
JiwaAtmaja penerbitan buku ini seiak setah
kendala Pene{emahan, antara
Cover & Ilustrasi:
Repro: http://peeepl.com/people I a-P andeI pene4emah Yang bersedia mt
beberapa Penerjemah Yang drtx-
Design & Lay Out:
. I Putu Mertadana
alasan adanYa tingkat kerumiu
kompleks sesuai dengan ga)-a Fn€
Diterbitkan oleh: ketika buku ini berhasil diterfenn
Udayana University Press
Kampus Universitas Udayana Denpasar tingkat kesulitan lain akan tir
]1. P.B. Sudirmary Denpasar - Bali, Telp. 036t 9L73067, ZSS!28 editingnya, Yakni bagaimana n''
Fax. 0361 255728
sedekat mungkin dan gamPan
Email: unudpress@yahoo.com http://penerbit.unud.ac.id
lebuh luas. Karena itu, keterlam'o
Cetakan Pertama: meruPakan berkah. Dikatakan b
20L2, xli + 396 hlm, 15 x 23 cm
ini mengarah kePada momenttll
15.794.72
978-502-9042-94-8 50Universitas UdaYana.
BagaimanaPun dan deni
Hak Cipla pada Penulis.
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang : momentum Dies Natalis ke-50 L
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit waktu yang tePat bagi kita untuk

SOROH PANOE DI B
SAMBUTAN REKTOR
UNIVERSITAS UDAYANA

D"ji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena


I berkat rahmat-Nya buku berjudul Soroh P nndd: P embentukan
"Kqsta" don Nikri Gelar, yang diterjemahkan dari karya Jean Francois
Guermonprez berjudul Les Pandi de Bali la Formation d'une "caste"
et la Valeur Titre (Bahasa Perancis), dapat diterbitkan pada saat
menjelang puncak perayaan Dies Natalis ke-50 Universitas Uayana.
Penerbitan buku ini agak terlambat dari rencana, karena direktur
Udayana University Press telah merancanakan penerjemahan dan
penerbitan buku ini sejak setahun yang lalu, akan tetapi karena
kendala penerjemahan, antara lain tidak mudah mendapatkan
penerjemah yang bersedia menjalankan pekerjaan idealis ini,
beberapa penerjemah yang ditunjuk mengundurkan diri dengan
alasan adanya tingkat kerumitan struktur bahasa Perancis yang
kompleks sesuai dengan gaya penulisannya yang khas. Sudah pasti
ketika buku ini berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
tingkat kesulitan lain akan timbul sehubungan dengan proses
editingnya, yakni bagaimana menghaluskan bahasa terjemah agar
sedekat mungkin dan gampang dibaca kalangan pembaca yang
lebuh luas. Karena itu, keterlambatan ini dapat dimaklumi dan justru
merupakan berkah. Dikatakan berkah, karena justru keterlambatan
ini mengarah kepada momentum yang tepat, yakni Dies Natalis ke-
50 Universitas Udayana.
Bagaimanapun dan dengan cara apa pun kita memaknai
momentum Dies Natalis ke-50 Unud ini, kami berharap sekaranglah
waktu yang tepat bagi kita untuk bekerja secara serius dan melakukan

SOROH PANDE DI BALI I PEMBENTUKAN "KASTA" DAN NILAI GELAR I V


JEAN FRANCOIS GUERMONPREZ

hal-hal yang lebih kontemplatif. Dalam rangka ih1 buku ini hadir PRAKA
pada saat yang tepat untuk berintrospeksi diri dengan membaca
buku ini sambil membayangkanbagaimana ketekunary keuletan dan
kesungguhan penulis buku ini mengumpulkan data, teks-teks lokal
yang tersimpan jauh di tengah pedesaan, kemudian menfafsirkan
data dan teks itu, agar menjadi sebuah laporan penelitian yang
mendalam, komprehensif dan objektif; suatu hal yang mungkin
belum dapat kita lakukan sekarang. Dalam rangka semua itu, pilihan
untuk menerjemahkan dan menerbitkan buku ini adalah sangat
tepat dan patut diberi apresiasi. Karena itu, ucapan terima kasih
patut disampaikan kepada direktur Udayana University Press dan
staf, yang telah bekerja keras untuk mewujudkan buku ini. Ucapan terirne't
C. uY' mengucaPkan memr=-
terima kasih juga disampaikan kepada sdr. Syamsul Alam Paturusi u/mendorong atau
dan Widyastuti, yang telah bersedia menerjemahkan buku ini. buku ini. SaYa berterima kasih ke:;
Semoga buku ini mengispirasi kita untuk melakukan riset CeDRASEMI dan seluruh anggLlttr
secara lebih serius dan memikirkan bahwa sebagian dari riset itu meringankan dan bermurah hati :

dapat dipublikasikan agar dapat diakses oleh kalangan yang lebih tahun di Indonesia, dartbulan Juli "
luas. juga berterimakasih kePada Rae
Vickers karena telah memberi sar';
University of SYdneY dan beberaP
kolonial Belanda. Saya berhutang b
ber 2012 Michel Picard atas dukun$?rl merer
7L'l
atau di temPat lain. Atas kehanga:a
kasih.
SaYa berterima kasih keP:'
terutama ke Lembaga Ilmu Penge:r
"'"-lH'6F.rbr.'dr.
I Made Bakta, Sp.pD. (KHOM) Antropologi Universitas Udar ana
NIP. 1 948062 81.97 9031007 Gusti Ngurah Bagus Yang telah nrt
Bali. Kepada seluruh masYarakat E
belajar yang kadang-kadang rner'
mereka dalam berbagai bentuk' Te
I Nyoman Witana dan Ketut R
tidak ada habis-habisnYa, Yang kei
Terimakasih iuga kePada Anak -r
Santika dan orangtua mereka dar'
saya sePanjang waktu dalarn i

vi 1 sonox peruoE or BALI I zEMBENTUKAN "KAsrA. DAN NtLAt GELAR soRoH PnltoE ot aau
u ini hadir
membaca
PRAKATA
uletan dan
-teks lokal
nfafsirkan
itian yang
mungkin
tu. pilihan
ah sangat
ima kasih
Press dan
i Ucapan aya mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang
t Paturusi mendorong atau membantu saya dalam mewujudkan
rini- buku ini. Saya berterima kasih kepada Mr. Condominas Direktur
rkan riset CeDRASEMI dan seluruh anggota lembaga tersebut yang telah
i itu
ri-set meringankan dan bermurah hati membiayai untuk tinggal dua
urg lebih tahun di Indonesia, dari bulan Juli 1980 sampai Agustus 1982. Saya
juga berterimakasih kepada Raechelle Rubinstein dan Adrian
Vickers karena telah memberi saya beberapa manuskrip Bali dari
University of Sydney dan beberapa dokumen dari pemerintahan
kolonial Belanda. Saya berhutang budi kepada Deborah Dunn dan
Michel Picard atas dukungan mereka yang sangat berharga di Bali
atau di tempat lain. Atas kehangatannya saya mengucapkan terima
kasih.
Saya berterima kasih kepada lembaga bahasa indonesia,
terutama ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Departemen
Antropologi Universitas Udayana yang dipimpin oleh Profesor I
Gusti Ngurah Bagus yang telah memfasilitasi dua tahun bekerja di
Bali. Kepada seluruh masyarakat Bali yang membantu saya dalam
belajar yang kadang-kadang mengecewakannya, kepada budaya
mereka dalam berbagai bentuk. Terima kasih saya terutama untuk
I Nyoman Witana dan Ketut Rinda, sumber informasi yang
tidak ada habis-habisnya, yang kehilangannya adalah penderitaan.
Terimakasih juga kepada Anak Agung Gede Raka dan I Wayan
Santika dan orangtua mereka dan teman-teman, yang menyambut
saya sepanjang waktu dalam keseharian hidup mereka, kaya

soRox paruoE Dr BALI zEMBENTUKAN "KAsrA" DAN NtLAt GELAR


I lvl
."h
vr

JEAN FRANCOIS GUERMONPREZ

pembelajaran bagi orang asing yang di Bali dipanggil "turis" dan


DAFTAF
menerima pelajaran kerendahan hati yang sudah sepantasny4 jika
kebetulan ia melupakan bahwa ini adalah satu.
Penerbitan buku ini tidak akan mungkin terjadi tanpa budi
baik Mr Cros, Direktur Ecole Francqise d'Extreme Orient, dan tanpa
bantuan Pierre-Yves Manguin,saya berterima kasih atas persabatan
abadinya.

SAMBUTAN REKTOR UNTVERSN


PRAKATA
DAFTAR SINGKATAN...................--

PENDAHULUAN

BAGIAN PERTAMA
MEMPOSISIKAN KEDUDUKA}{

BAB I PELACAKAN KELOMPOK


1.1 Para Pengerajin dan KelomPoi
pada MasYarakat Lama
1.1.1 Informasi dari Berbagai
7.1..2 Prasasti Kuno Raia Bali
1.1.3 Sumber-sumber lnforrt
1..I.4 Sumber-sumber intorm
7.2 Bidang Pekerjaary Kekerabata
pada MasYarakat KontemPon
1..2.7 KelomPok Pengraiin da
Kekerabatan
1.2.2 Perbedaan dan Persarru
1.2.3 KelomPok Pande dari I

viii 1 sonox panoE ot BALI I IEMBENTUKAN "KAsrA. DAN Ntut GELAR sOnon PnloE Dl BAIJ r
dan
DAFTAR ISI
. jrka

:.udi
,f I]Pa
--:tan

SAMBUTANREKTORUNIVERSITAS UDAYANA...........". v
PRAKATA VII
DAFTAR SINGK4IAN................. xrl

PENDAHULUAN

BAGIAN PERTAMA
MEMPOSISIKAN KEDUDUKAN PANDE

BAB I PELACAKAN KELOMPOK PAND6 ....,............ 18


1.1 Para Pengerajin dan Kelompok Pand6
pada Masyarakat Lama 20
1.1.1 Informasi dari Berbagai Sumber 20
1..1..2 Prasasti Kuno Raja Bali............. 24
1.1.3 Sumber-sumber Informasi dari |awa........". 29
1.7.4 Sumber-sumber informasi dari Belanda 3B

7.2 Bidang Pekerjaan, Kekerabatan dan Gelar Pand6


pada Masyarakat Kontemporer ................
7.2.1, Kelompok Pengrajin dan Kelompok
Kekerabatan ................. 50
7.2.2 Perbedaan dan Persamaan Kelompok Pand6..."... 78
1.2.3 Kelompok Pand6 dari Bali A9"............ B5

soRos pnruoE Dt BALI I qEMBENTUKAN "KAsrA" DAN NtLAt GETAR I lx


JEAN FRANCOIS GUERMONPREZ DA-!'i

BAB II KERANGKA IDENTITAS KELOMPOK PANDE...... 97 BAGIAN KETIGA


2.7 Kelompok Lokal atau T'erlokalisasi dan Translokal........ 99 IDEOLOGI PANDE BESI DAN D!
2.7.7 Latar Belakang Konteks Kekerabatan .................... 99
2.7.2 Satuan Tempat Tinggal, Sanggah, Sanggah Gede BAB V GERAKAN PANDE DA.\ 1

danDadia 103 5.1 Pemyataan Perbedaan Pwi*


2.7.3 Unit Translokal: Kekerabatan dan Hierarki .......... 112 5.1.1 Tanda-tanda Statu-' Kd
2.2. Pembentukan dan Pergeseran Kelompok Kekerabatan. 725 5.1.2 Penolakan Air Suci Bra
2.2.7 Fusi dan Pemisahan 125 5.2 Dorongan untuk Bersatu -.-----
2.2.2 Lokalisasi dan Delokalisasi........... 729 5.3 Kepatuhan dan OPosisi Pada
5.3.1. Daya Tarik Status Satri
BAGIAN KEDUA 5.3.2 Implikasi Pembangka-r
KASUS PANDE BARATAN
BAB VI DUA TRADISI TULIS 5C
BAB III PEMBENTUKAN SUATU KELOMPOK 6.7 Penyajian Naskah Yang DiFe
BERGELAR 138 6.7.1 Naskah yang Tidak Te
3.1 Kelompok Terlokalisasi dan Pura-puranya..... 739 6.1.2 Naskah-naskah Tradis
3.1.1 Dadia dan kelompok di Bali Utara dan Selatan... 1,39 6.2 Sejarah Ksatria Majapahit ----
3.1,.2 Perbedaan Penafsiran pada Pura-pura................... 744 6.2.LFakta dan Cerita Tentan
3.2 Tradisi Asli dan Asli Tradisi 1,48 6.2.2 Kep atuhan Pada Model
3.2.7 Kelompok Pnndi Bratan di Bali Selatan....... 748 6.3 "Pengungkapan Harta Karu-r
3.2.2 Masyarakat Bratan dan Desa Lama Bratan 754 6.3.1Aji Besi Pand6 Besi Uta:
' 3.2.3 Perubahan Sosial dan Pergeseran Identitas........... 1,64 6.3.2 Awal, Keunggulan dan
6.1 Penerimaan dan Perlarvanan
BAB IV PENEMPATAN PENULISAN NASKAH
ASAL-USUL 1,69 VII KESIMPULAN
4.1 Versi Desa Jati 771
4.1.7 Mpu Bumi Sakti, Leluhur Madura 772 DAFTAR PUSTAKA
4.1.2 Perjalanan ke Bali 174 Apendiks A
4.7.3 Keadaan Keberangkatan dari Madura...... 176 Apendiks B
4.1.4 Hukuman Brahma dan Penyebaran Kerabat........ 779 Apendiks C
4.7.5 Perbedaan versi Mengwi............... 1,87
4.1.6 Referensi unfuk Kawasan Sastra ]awa ................... 188
4.2 Pinjaman Kronik Kerajaan GeIgel......... 790
4.3 Sebutan untuk Tradisi Pandi Tusan 194
4.4 Distorsi Lain dan Penyesuaian................. 198

X I soRoH paruoE oI BALI I PEMBENTUKAN.KA;TA. DAN NILAI GELAR sonog peloE ot EeU
DAFTAR I5I

)E 97 BAGIAN KETIGA
QO
IDEOLOGI TENON BESI DAN DASARNYA
.. oo
t )

BAB V GERAT(AN PANDE DAN KONTEKS SOSIATNYA 208


103 5.1 Pernyataan Perbedaan Pandi 209
. 772 5.1.1 Tanda-tanda Status Kebangsawanan 249
, .- 725 5.1.2 Penolakan Air Suci Brahmana 218
725 5.2 Dorongan untuk Bersatu 230
729 5.3 Kepatuhan dan Oposisi pada Nilai N{asyarakat Kasta... 247
5.3.1 Dava Tarik Status Satria............ 241
5.3.2 Implikasi Pembangkangan Religius ....................... 245

BAB VI DUA TRADISI TULIS SOROIIP,{A/DE BESI 255


6.7 Penyajian Naskah yang Dipelajari.............. 255
138 6.7.7 Naskah yang Tidak Terpilih 2SS
139 6.7.2 Naskah-naskahTradisi PandiBesi............. 267
139 6.2 Sejarah Ksatria Majapahit 265
114 6.2.1 Fakta dan Cerita Tentang Leluhur Jawa .................. 265
118 6.2.2Kepatuhan pada Model Triwangsa.. 2ZZ
ilB OJ "Pengungkapan Harta Karun"....... 2g2
i54 6.3.7 Aji Besi Pandd Besi Utama 292
t61 6.3.2 Awal, Keunggulan dan Pemisahan pandd Besi........ 2gg
64 Penerimaan dan Perlawanan Hierarki Kasta 296

169 VII KESIMPULAN


171
172 DAFTAR PUSTAKA 328
i71 Apendiks A 346
tl6 Apendiks B 357
.,9 Apendiks C 38s
S7
iR
-)L)

;-{
',i

sonou pnruoE Dt BALI zEMBENTUKAN "KAsrA"


I DAN Nttqt ortnn I xi
r

DAFTAR SINGKATAN PENDAHULU,

B.E.F.E.O. Bulletin de l'Ecole Francaise d'Extreme Orient. banyak hal, Bali meneml
B.K.I. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. JJalam
Ltl keberagaman kepulauan Indor
Ind. Indonesien. perbatasan zona etnogeografis wilayah ti:
K.B.N. W. Kawi-Balineesch-Nerderlandsch Woordenboek. pulau-pulau Sunda Kecil dengan iklim ag
Kr Gedong Kirtya (Singaraja). dengan penduduk dari berbagai kelomp
K.S. Koloniale Studien. pinggiran suatu wilayah yang terkena hasi
K.T. Koloniaal Tijdschrift. datang dari India, kemungkinan lebih an'i
L.B.N. Lembaga Bahasa Nasional (Singaraja). menyajikan dirinya sebagai produk sosia
LOR Leiden Oriental Department. untaian masyarakat "tradisional" di Ind
M.K. Mededeelingen van de Kirtya Liefrinck-Van der pulau besar tetangga di sebelah barat di ma
Tuuk. "Negara negara Hindia" Asia Tenggari
sk. Sanskrit. indianisasi dan indo-jawanisasi, meski d
T.B.B. Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur. tetap secara mendasar sebagai bangsa In
T.B.G. Tijidschrift voor Indische Taal-, Land- en tidak cukup dalam hal tradisi ebrologi yan
Volkenkunde. suka mengusik pelapisan konfigurasi bud
T.N.I. Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie. kurang penting dalam sejarah. Keengg;
V.B.G. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap lapangan tentang masyarakat Bali diseb
van Kunsten en Wetenschappen. menelitinya sudah sejak awal Bali disai
skala kecil dari Jawa klasik, sebagai "Jawa
dan filologi, terkesan "kesansekertaan" d
untuk memetik bunga suatu budaya v;
memahami Islam yang kini memintasi BaI
paling tidak keberadaannya sudah di baE
bahwa Bali tidak mengenal titik-titik pe4
tingkat intensitasnya, sebagaimana di h

xii ; sonon peruoE or BALI I IEMBENTUKAN "KAsrA. DAN Ntur GELAR


soRox pnnoE Dt BAU I zEMBEHt
PENDAHULUAN

)rient. alam banyak hal, Bali menempati ruang tunggal dalam


nkunde. keberagaman kepulauan Indonesia. Berlokasi di wilayah
perbatasan zona etnogeografis wilayah timur di mana serangkaian
nboek. pulau-pulau Sunda Kecil dengan iklim agak dipengaruhi Australia
dengan penduduk dari berbagai kelompok etnik. Bali terletak di
pinggiran suatu wilayah yang terkena hasil interaksi pengaruh yang
datang dari India, kemungkinan lebih awal masa Kristen. Bali iuga
menyajikan dirinya sebagai produk sosial dan budaya asli, antara
untaian masyarakat "tradisional" di Indonesia Timur dan ]awa,
=\-an der pulau besar tetangga di sebelahbarat di mana membentang kejayaan
"Negara negara Hindia" Asia Tenggara. |uga menjadi kancah
indianisasi dan indo-jawanisasi, meski demikian masyarakat Bali
trr. tetap secara mendasar sebagai bangsa Indonesia, tetapi mungkin
Dl- en tidak cukup dalam hal tradisi etnologi yang tampaknya sering lebih
suka mengusik pelapisan konfigurasi budaya Bali yang tampaknya
kurang penting dalam sejarah. Keengganan mengadakan studi
lapangan tentang masyarakat Bali disebabkan orang yang akan
menelitinya sudah sejak awal Bali disajikan sebagai pelengkap,
skala kecil dari |awa klasik, sebagai "Jawa Minor" dalam arkeologi
dan filologi, terkesan "kesansekettaart" dan men-Jawa, dikunjungi
untuk memetik bunga suatu budaya yarrg juga kurang suraiae
memahami Islam yang kini memintasi Bali, jikapun tanpa disentuh,
paling tidak keberadaannya sudah di batas pesisir. Sangat benar
bahwa Bali tidak mengenal titik-titik perpecahan dengan berbagai
tingkat intensitasnya, sebagaimana di beberapa wilayah lain di

soRoH pANDE Dr BAu I zEMBENTUKAN "KAsrA'DAN Ntut GELAR | 1


F
rarrla----1
JEAN FRANCOIS GUERMONPREZ

Nusantara yang kerap terlihat sisa-sisa jejak yang ditinggalkan oleh r.e:ar-Lalan akut dari keberadaa:r ==:
:1
Islamisasi, kemudian dampak lain akibat penjajahan Belanda yang :::ai berharaP iauh dan itu' -la,:
cukup membekas, sebagaimana terjadi di |awa. :a:at mengidentifikasi' \Iungkir' :

:;ak pemah secara lelas dalarn


:a-
Secara parsial Bali ditaklukkan pada pertengahan abad ke-19,
dan secara prinsip dengan alasan takut akan dikuasai oleh Inggeris, rnassii Pada orang asinq'' --:
=,.ara
Bali menjadi bunga budaya tercantik kerajaan Hindia Belanda, .::a ini r-ang terekam dalam L'aha--
sebagai jendela brilian penguasa kolonial terlambat mencerahkan :J"asa BaIi tinggr, bahasa Bali
rencr
'. ::-i t'ersambungan' melarutka;'=-
dan menjaga integritas adat budaya asli. Usai penguasaan, pada
pergantian abad ini, dapat dikatakan ada suatu visi keinginan &rrsaskan untuk
untuk pelestarian akibat dampak modernisasi yangmencerminkan ::.ertangkaP arti Po
citra Bali, organisasi masyarakat aolontier menyebut Bali sebagai -,-ang memiliki dua
daPat menri:
"museum hidup". Pencitraan secara definitif, bukan palsu, karena --nantik mereka Yang
Bali telah memilikinya, dan menimbulkan banyak fantasi lainnya vang gagal kemudian dibua:
=:::.btrl
dan fatamorgana.Masyarakat Bali memiliki karakter akumulatif ierinakna, ditangani secara ru:='
dan museum imajiner yang membingungkan, membiarkannya ::.al,u.
menggosok benda dari segala usia, dalam kesemrawutan nyata. Harus memiliki Pengetahur'
Citra museum tersebu! juga harus menambahkan kehidupan, artinya menjaring budava inte
-:hati-hati
adanya gerakan dan temuan, kinetika yang berlimpah bentuk dan pemah men\-l:
simbol yang terus-menerus mempesona dan membutakan pengamat rsi. Untuk n:"t

Barat. Bali adalah oase unTk di mana orang asing berdatangan kitan ulang dar'
selama lebih dari seabad, dipotong-potong sesuai motivasi tujuan \taha Kuasa, dalam diskursus as'
pribadi mereka, seiris mimpi atau kajian yang berakumulasi dalam tentatif terbaru da: :

-ndekatan
pembuatan kaleidioskop "roman antropologi" pulau Bali (Boon BaIi menjadi monotheistik' Ktf,Ir-
1e77). ;.i-barkan melalui media bro>ur
Kesulitan untuk menangkap "realitas" masyarakat Bali bukan Lriuan Pembelaiaran sekolah
se-
illusi dan kesulitan tersebut bukan hanya hasil dari keberadaan :ersebut. Konsekuensint'a' sctr:a
suatu kesemrawutan citra dan klise,terutama pada masyarakat era
pariwisata dan datang kembali untuk menginformasikan wacana
tertentu tentang masyarakat Bali (Picard 1984), tidak ada perubahan
kontemporer yang dihasilkan dari konstribusi Bali dalam kesatuan
sosial politik Indonesia. Lapisan tersebut masih sangat baru, tidak !'\rangtua sepuh sebagai intorrr'
r'
diragukan lagi, strata budaya menjadi hal utama yang membentuk n"mberi Penielasan dalam L'a'-'a'
n'r-i:'
lapisan pada masyarakat yang telah menerima banyak dan email bahasa Indonesia' tidak
tidak pernah takut untuk bercampur, sehingga lanskap budaya nama dewa dewa' Sava sen;rg
c
masyarakat Bali hadir sebagai teka-teki geologi. Tidak mungkin lagi desa- desa adat saat ada o'l'iJ':':
delva Yang dihormati Pada
terLl'
memikirkan pendekatan kekuasaan budaya tersebut tanpa memiliki

2 ; sonox paruoE ot BAL: I zEMBENTUKAN .KASTA" DAN soRou PenoE ot ell-


NtLAt GEUR
PENDAHULUAN

kesadaran akut dari keberadaan strata-strata


ini, jika tidak, tidak
rsgalkan oleh
memisahkan atau bahkan
Belanda yang dapat berharap jauh dari itu, selalu dapat
tersebut terasa hanya
dapat mengidentifikasi' Mungkin belitan
yang tergantung
n abad ke-19, tidak pernah secara jelas dalam tarian kata-kata
belajar' Kata-
oleh Inggeris, ,".u.u *urrif pada o,uttg asing, selalu dalam situasi
bahasa |awa kuno'
rdia Belanda, kata ini yang terekam dalam bahasa Sansekerta'
Indonesia' ke penutur
rnencerahkan bahasa Bali iinggi, bahasa Bali rendah bahasa
besar batas batas yang
[a-.aar1, pada yang bersambungan, melarutkan sebagian
l-.i kernginan ilt lurUn untuk diarsipkary harus belajar untukatau membedah'
ekspressi
tencerminkan *".r"u.rgkup arti polisemi mereka (red' Polysemy:kata
yang berbeda) dan derivatif
Bali sebagai yang memiliki dua atau lebih pengertian
ke pengetahuan symbol-
pa.-iu, karena semantik mereka yang dapat mengarahkan
yang baik' berarti dan
ntasi lainnya simbol yang gagalt"L"ilu" dibuat formula
atau rasa
r axumulatif bermakna, ditangani secara rutin oleh ketidakpastian
m.b,rarkannya malu.
teman bicara dan
I:i:an nyata. Harus memiliki pengetahuan "mengenali"
berhati-hati menjaring-b'Juy' internal'
justru karena mengetahui
kr-, artinya
banyak mencatat
h l.:rtuk dan resikonya, jangan per,tah menyimpang' lebik
hal-hal yang distorsi. Untuk membatasi diri
pada satu contoh
m-:cngamat
Hyang Widhi' Tuhan yang
,he::atangan sederhana, kebangkitan ulang d'ari Sang
adalah suatu
p"".:;r tujuan Maha Kuasa, dalam diskursus agama kontemporer
agama masyarakat
pendekatan tentatif terbaru dari rasionalisasi
secata formal'
E,:-: (Boon Bali menjadi monotheistik' Konsep baru tersebut'
Indonesia dengan
disebarkan melalui media brosur dalam bahasa
dal-a1 bahasa
E.=--rukan lujuan pembelajaran sekolah, sepenuhnya diberikan
tiga puluh tahun'
:,.:adaan tersebut. Konsekuensinya, '"o'u"g Bali usia
berpendidikan, memilih bahasa Indonesia untuk
menjelaskan
:-\at efa
kepada orang asing bagaimana masyarakat
Bali hanya mengenali
,\ lCana
:-:ahan frirn yang MahaTsu,"So'g Hyang Widhi' di mana Brahmn' Wisnu
t,.;:: fUan clan Siwaadalah perwujudan dari Tuhan
yang satu' Sebaliknya' para

- -rdak orangtua sepuh sebagai informan' yang tetap tinggal di desa mereka'
-dalam
:--,::-fuk *erriberi penjelasan bahasa Bali' kadang-kadang mengirim
ide untuk mengutip
lan emailbahasa Indonesia, tidak mungkin memiliki
berbagai tempat' di
r -:ava nama dewa dewa. Saya sering mengun1ungi
- .agl desa-desaadatsaatadaodnlnndipura,ketikamenanyakandewa-
mereka' mereka
rki dewa yang dihormati pada tempat suci komunitas

DAN NILAI GELAR |3


soRou pnnoE Dl BALI I PEMBENTUKAN'KAsrA"

*il *t
JEAN FRANCOIS GUERMONPREZ PENDAH U LUT\

menjawab BataraDesa;jawaban yang masuk akal, meski mereka tidak Eali tidak menjadi jauh lebih untuk dilier
belajar tentang teologi, tidak belajar banyak tentang sifat dewa- mana vang kita bicarakan? Apakah va-l.l
dewa, karena secara mendasar, pemahaman teologi atau dogma di adat Yang mayoritas di dataran atau 'l
Bali tidak sepenuhnya hanya dalam akal saja. mereka yang membuat sesajen atau mer
Jika orang asing dan merasa asing, maka ada kecenderungan tertulis?
menanyakan sesuatu kepada pihak yang dianggap lebih tahu, ke Diskursus kePercaYaan tradi-sio
pendeta brahmana (padanda). Ia mengindikasikan bahwa Tuhan yang Jimonopoli oleh pendeta brahnnna' 3t
Maha Kuasa adalah Batara Siwa, yang diundang setiap hari pada
-tu paket simbol mengambang
teks- teks
)-ang
esotel
kesempatan persembahyangan pagi hari yang disiapkan dengan air kisaran
suci. Ada kemungkinan dari padanda yang sama akan menjelaskan an bahasa sansekerta d
bahwa tiga pura yang dijumpai di setiap desa, berkaitan dengan jawa-Bali' Setelah mele
B r ahm a, Wisnu dan S iw a, yang b agaimanapun,
tidak adap elin g gi y ang nr-ata, kesulitan bahasa, kegelapan makr
tidak didedikasikan, jika tidak padmasann, "singgasasana lotus,, dari
-perti yang ditunjukkan
hi
l ang sebagian besar
S iw a y ang dijumpai dalam banyak p ur a termasttk d,alampur akeluarga
(sanggah). Hal lain, kita akan menyimak referensi konsep
karmapara ::rengenai teks-teks hindu
(skt. Karmaphala), dimana reinkarnasi diri yang >raPa yang dapat benar-benar berarti se
tergantung dari amal
perbuatan selama hidup dan kehidupan masa lalu. Di saat yang -Jrusan pendeta brahmana' Hanya satu
sama padanda tidak mengenyampingkan bahwa yang benar- benar sentuk praktik agama sepenuhnr-a dia
penting ketika menjadi orang Bali, adalah reinkarnasi diri dalam efektif, apakah dari ucapan atau dari sil
kelompok kekerabatannya dan reinkarnasi keluar, apakah lebih pembacaan mantra dalam bah
=relalui
rendah atau lebih tinggi. Apa harapan sesungguhnya Jari padanda, menghaturkan sesajen dengan motil r-al
di puncak bangunan kasta? Kebebasan totar (moksa) atau reinkarnasi hesar.
dalam selubung jasmani dari salah safu cicitny a yarrg akan datang. Masaiah uPacara tidak kalah r
Apakah rumusan tersebut berasal dari India atau konsep rama teriadi penggandaan dimensi secara
masyarakat Bali? Pertanyaan yang mungkin mendapatkan jawaban 'L\-arna), polimorpik (berbagai bentuk
yang benar dan tidak khawatir atas kemungkinan tertarik untuk dan banyaknya peristiwa mikro var
menerima kedua konsep tersebu! sembari menyebutkan hanya tampilannya. Konsekuensinya, upac;
yang pertama, di mana ada satu rumusan yang telah disepakati henti menyebar di seantero Bali tetap
yang merupakan bagian dari bagasi para ilmuwan. \amun, objek klasik kajian etnolog
Contoh-contoh ini, bahkan dalam kesederhanaan mereka, kekerabatan juga menolak penvelidij
cukup memberikan gambaran resiko permanen yang dihadapi oleh f

siswa dari masyarakat tersebut dan menunjukkan jumlah naiikuasi-


kebenarary kadang-kadang kesalahan kotor yang mengintai dari a

berbagai literature yang melimpah yang membahas tentang Bali. berkembang sama sekali, sedangkan b
Dengan demikian, yang disebut masyarakat Bali apakah merek,
yur.,g ahii linguistik lebih favorit ke sejarat
bergantian digambarkan sebagai Hindu dan animis tanpa agama akan lebih mudah menemukan seiar;

4 ; sonot pnruoE ot BAL: I IEMBENTIJKAN "KAsrA. DAN NILAI GEUR sonot PltrtoE ot anu a5i
PEN DAH U LUAN

. --.t tidak Bali tidak menjadi jauh lebih untuk dikenal. Memang, kepercavaan
. dewa- rrana yang kita l.icarakan? Apakah yang brahmana?Atau di clesa
gma di rclat yang mayoritas di dataran atau Bnli Aga yang kuuo? Atau
rnereka yang membuat sesajen atau mereka yang dengan kata-kaia
:ertulis?
Diskursus kepercayaan tradisional adalah iebih kurang
Jimonopoli oleh pendeta hrnlttnann. Sulit diikuti dan membawa
:atu paket simbol mengambang yang tidak sistematis, di tran'ah
regangan suatu kisaran teks- teks esoterik yang berhadap-hadapan
Jengan rumusan bahasa sansekerta dan pengembangan paham
jarva kuno dan ]awa-Bali. Setelah melewati rintangan yang sangat
nYata, kesulitan bahasa, kegelapan makna yang jtlga belum tersimak,
:eperti yang ditunjukkan peneletian mengagumkan C. Hooykaas
r ang sebagian besar l'ridupnya diabadikan untuk penelitian
:lengenai teks-teks hindu Rali, tidak berisiko untuk menjelaskan
.rapa yang dapat benar-benar berarti secara objektif, atau itu adalah
Llrlrsan pendeta braltmonn. Hanya satu kepastian bahwa perbedaan
r.entuk praktik agama sepenuhnya diarahkan untuk umum secara
efektif, apakah dari ucapan atau dari sikap, itulah yang dilaksanakan
rnelalui pembacaan ntontra dalam bahasa Sansekerta atau dengan
r-nenghaturkan sesajen dengan motif yang berbeda dan kompleksitas
':. e sa r.
Masalah upacara tidak kalah membingungkannl'a. Di sini
.eljadi penggandaan dimensi secara simultan, polikrom (banvak
rr-arna), polhnorpik (berbagai bentuk), polifonik (beragam nada),
Jan banyaknya peristiwa mikro yang mengabulkan layar dan
lampilannya. Konsekuensinya, upacara "sukn tlukn" 1'ang tiada
irenti menyebar di seantero Bali tetap sebagian besar belum diakuj.
\amun, objek klasik kajian etnotrogi ini misalnYa, desa atau
.-:reka, rt'kerabatan juga menolak penyelidikan langka antropologi yang
-'r oleh :nengambil kasus Bali. Demikian halnya kajian bahasa, sebagai
rLldSl- r.angkaian kesatuan ilmu Linguistik, bahasa Bali rendah memiliki
,, - dari I jalek bahasa Jawa kuno, yaitu bahasa kntoi Bali, kajian ini tidak
- Bali. L.erkembang sama sekaii, sedangkan bahan yang ditawarkan kepada
. \'ang al-Lli linguistik lebih favorit ke sejarawan yang banyak perninatnya,
,: iclma akan lebih mudah menemukan sejarawan daripada membuka bab

sonon pnruoE Dt BALI I PEMBENTUKAN "KA;TA" DAN NILAI GELAR 5


JEAN FRANCOIS GUERMONPREZ
P EN--): -

daerah, namun demikian sejarah mentalitas bahasa Indonesia tetap


riorrr :-::=:.<a-n sima oleh geiomb-.:
substansial.
mrc:r-,,:; Sah. Tanda ungkaPann[a 3:
Kajian masyarakat Bali berada dalam situasi paradoksal
T,i.{-; :,.:t:<iukan" -lan-a pada tahr-u'' -i
dalam ribuan halaman, secara prinsip konstribusi penelitian zaman
1j-!r.i :=:ler.al Tarr-a -\agnrakerf,rl--;":-; )'1'
penjajahanBelanda, bagaimanapun tetap menjadi perintis. Keyakinan
r'[iEr- --=:=--.-.i] latar belakang seiarah ;a;
bahwa masyarakat ini dikenal, yarrg akan memasukkan daftar 'nnrr--:=: :aca 1343, namun orang den::-
semua jenis klise, yang tidak berhenti mengacaukan pendekatannya. :'.
Ir.,:r::-,",-r tersebut dengan penjelasar-
Bidang kajian Bali sebaliknya kurang dikembangkan dibandingkan
fT"dr1 :::-.lai India.
dengan bidang lain yang kadangkala kurang dikaji. Melihat hasil
-\'i'.,:.it is rruttnndis (red.ungkap-
lima puluh tahun upaya yang dilakukary kadangkala mendapat , .i-- ,- :-:eriukan telah dibuat"), rr-acara B
pujian, harus menghadapi kenyataan: akumulasi pengetahuan kelomPok Bnli Agase L'a:a:
tidak mengarah ke pemahaman. Memastikan hal ini sudah tidak =E:E:=rkan
:q:- :'r "suku "di India. Tentu saja. k'::
t:i-,:..:ersebut, karena prinsipnYa S€iT: jl
asing dengan fakta bahwa tampilan tentang Bali masih sangat baru,
datang dari tempat lain dan tangensial. Tidak pernah dianggap
Bali apa adanya. orang bisa melihat terus-menerus refleksi suatu
:':- ':ahasa, perbedaannya sangat =c
Bali lainnya. Meskipurt :
realitas lain. Hingga perang dunia kedua, etnografi Bali dan ==.-.:rakat
::=:.ia]<ui tatanan kasta dan menolak -:
kajian "orientalis" budaya menunjukkan berbagi bias yang sama.
Masyarakat hanya menganggap hal itu sebagai suatu koleksi olahan
:=:a pendeta brahmana sebagai P€me
-r,:erLa pembagian keempat kasta dike:
budaya. Tampaknya itu tidak dicurigai bahwa ia dapat menjadi
sesuatu yang lain dan dapat membentuk suatu kesatuan sejarah =-;;ah iadi, di mana tangan-tangan ]ar-:
::.enasukkannya saja ke wilayah BaXi :'
dan sosiologis.
::-kuti pendapat bahwa Bali Agt tidak b:
Kelompok cendekiawan tinggal bertumpu pada upaya
3a-i" dan mereka mestinya adalah qu;
identifikasi dan pengkelasan cirri-ciri budaya yang kaya dan
beragam. Dibuat kategori yang perlu dilaporkan apayangdiyakini -penuhnya benar, karena sulit untuk r
:in memang Hindu sebelum abad ke-14
untuk dicermati, seperti pengertian dan terminologi ,,pra-Hindu,,,
Jan pengelolaannya telah dianggap de>
"Hindu-Bali" dan "Jawa-Bali", semua ini dilakukan untuk membuat
Jengan prasasti kerajaan yang meresL:
karakter dari berbagai perbedaan aspek suatu budaya, mengacu
ringga akhir abad ke-14. Namun den-"ii
pada substrat dan berbagai pengaruhnya, serta juga sambutan
terus menunjuk ke Pada subkategon
yang baik dari Bali untuk menerimanya. Kesalahan memberikan
tindih demi penyebabnya, yaitu kates
kategori ini suatu realitas substansial. para atropolog menemukan
diperlukary sebaliknya terpisah den:'
suatu kelompok masyarakat yang disebutnya Bati Aga yang "Jawa-Bal1", karena di sana masuk par
ditengarai berpindah-pindah dari pra-Hindu ke Hidu-Bali, suatu
mana masyarakat ini dikucilkan sebasa:
keraguan yang signifikan dari pengembaraan perjalanan. Kajian
Bnli Aga membentuk kelomPok
lain mengenai hukum adat untuk pelayanan administrasi kolonial,
pegunungan. Masyarakat Bali dan -ia:
membuat etnologi kurang langsung diapliksikan sesuatu yang
difokuskan di area seluas kurang lebr
tidak diketahuinya bahwa itu menjadi tujuan penemuan arkaisme
dengan ukuran persegi panjang 1t-t r

6 1 sonou pnruoE or BALI IEMBENTUKAN,KASTA.


I DAN Nt.z.t GELAR pnruoE Dl BALI
sonou | ,oFi.'a
PENDAH U LUAN

- .. tetap

,.-,rrksal
-l c1,1TIOI1

.-.1-tnan belakang rlrang lingkLrp Peristiwa


ialtar 3, namun segera memlllat anaiogi
' -'.I]nl/4. t dengan ahnYa bangsa ArYa Pada
. rgkan ':1. clsvol'?k&t Inciia.
' , hasil Nhrratis nu.ttnndis (red ungkapan bahasa latin: "perubahan
-J.rpat
- .:'hLLlOI]
. - iiclak
., - t-.aru,
' j:-.qgap
' ' il',atU
,.dan
_ >ama.
- .rl-ian
-':i-ijadi
-.- jarah

,iLraya
,: dan
- .rkini
. :.:',dt1",
r-.bLlat
:- gacu
-'',1tan
- ikan
'-rkan
. .lng
h :,li1tU
Dl, tlan

dengan ukuran persegi panjang 50 x 60 km' secata horisontal

DAN NILAI GELAF' 1


SOROH PANDE DI BALI I PEMBENTUKAN,KASTA"
F
PENDAHULUA\
JEAN FRANCOIS GUERMONPREZ

terhalang oleh pegunungan, yang tenfunya menghambat, namun :ehngan beberapa pemikiran kultural
wilayahnya tetap berhubungan secara geografis di seluruh pulau. puluhan, tidak sampai akhir tahun lima
Meskipun ada bukti yang menunjukkan, tetapi tidak rayak untuk i.-qu-isu nyata pertama dari antropologi
menggambarkannya dalam pendahuluan ini, tidak ada isolasi atau belajar, benar-benar vionir, dalam org
tidak ada kesenjangan besar di dalam masyarakat Bari. Hanya ada kekerabatan di Bali. Apa yang mereka
perbedaan internal dalam kontinum sosial dan budaya pembentuk iringga akhir 1975 mengenai kekerabal
keseluruhan. Penilaian kajian ilmiah filologis, memunculkan Hdak menghadirkan diri sebagai unit
kekhawatiran untuk menemukan archaisme lainnya, yaifu mereka baik. Dia menerobos ke beberapa "rencal
yang cenderung unfuk menerangi keadaan lama Hindu tampaknya tidak mudah untuk didetini'
Jawa atau
India. singkatnya, dari perspektif ini, masyarakat Bati yang tidak pandang dominasi segmentaris Afrika'
memiliki eksistensi dalam hal kelangsungan hidup di zaman Neolitik keganjilan "perkawinan Arab" di Bali, p'
dan pengaruh luar yang menjadi cincin sihir yang disediakan oleh dari kasus Bali, menimbulkan tanda ta-r
sejarah, untuk mengubah peradaban di keputauan Indonesia dan sampai saat ini, satu-satunya buku tent;
masyarakat hindu. Dari sini dapat disimpulkan bahwa di Bali apakah suatu sistem kekerabatan? "(H'
beberapa pengecualian dibuat dari arkeologi dan etimologi yang Catatan karYa awal antroPologi sc
hampir tidak pernah dilihat dari sudut sejarah atau antropoitgi. buku buku yang ada disepanjang tahu
"Sistem kasta" atas namaB rahmana, Satria, Wesia, Sudrn adalah Tames Boon dan Mark Hobart berjanii u
contoh lain. Pada pembagian menurut varna - istilah literer yang pertanyaan yang telah dilansir di atas'
" Anthropological Romance of Bali" , t'ang
lebih sering digunakan menggantik an wangsa -- kami pikir istilah
ini merujuk ke India, klasifikasinya adalah aarna d.anpembagiannya ,lalam perspektif kompleksitas Bali' B
jati. Namun istilah jati kadangkala digunakan sebagri ,sahu 7977 tercebut menjadi Pengenalan P
untuk menemukan mereka, seterah dicari tidak ditemukan di Bali, antropologi Bali. Sampai saat hi, bu'k
bagaimanapun, sebuah fakta yang menunjukkan perbedaan besar penyemPurnaan isi dengan mengedit
antara pulau kecil Indonesia dengan anak benua India. Literatur (1937) yang menjadi etnolog besar, arl'
tentang kasta di masyarakat Bali sangat menarik untuk mengungkap Tulisan kedua yang dirujuk dibuat ta
gema sebuah kerancuan yang melintasi studi India tentang " asar,, hampir tuiuh ratus halaman, masih
kasta. Keinginan untuk mencocokkan empat kelompok nyata ini seperti "monografi desa adat" sa
keempat warna atau wangsa, leblh didasarkan pada pemikiran memperluas informasi dan pemikiran
sebagai pengertian suatu wacana tentang hierarki, macet secara aspek d.ari masyarakat Bali' Kontribusi
permanen dan sampai hari ini kesempatan untuk memahami apa telah bermunculan, atau sedang digo
ifu "kasta", istilah yang hanya satu penggunaary tetapi memerlukan Hobart memberikan angin segar dar
seratus resume. Kajian tentang Bali kaya dengan koleksi, tetapi antropologis Bali.
miskin pemahamary baru mulai masuk kembali dan menjadi sadar Informasi Yang lebihbaik diPero
bahwa telah terjadi distorsi. Namun, pertanyaanya adalah apakah tahun 1930, namun tetaP saia bah
benar antropologi, bukan historiogra fi yanglambat terbentuki adalah tidak begitu sederhana' Hal :

Pengecualian bagi Jane Belo, yang memilki irisan kiprah daram yang dapat diambil dari etnologi r-;

8 ; sonon paruoE soRox PnruoE Dl BALI I P5',


or BALI I IEMBENT;KAN,,KA;TA, DAN NtLAt GELAR
JEAN FRANCOIS GUERMONPREZ ra tt- - -

intisari masyarakat yang diteliti. Tidak ada mitos, dalam pengertian


idar-,i-- :rtkel r-ang kemudian 'l:
umum atau "struktur dasar" kekerabatan, jugu tidak ada putaran
ll-1{i-:-i Goris r 1960d) melaporkar'
:

perubahan dalam bentuk manfaat dan kontra manfaat. Tampaknya


rL ', r--: ::-.enolak air suci Yang d'li
tidak ada yang menonjol dari apayarrg diamati, jika tidak kekayaan r .:r >uitl dimengerti, dengan r
menakjubkan dari bahasa lisan atau tertulis, dan kegembiraan mengabaikan
upacara yang didramatisasi yang terus menghidupi banyak pura -nr..:: :amPaknYa
:";L;:- -br.rah artikel Yang beriud"
di Bali. Saya berpikir bahwa harus mengundurkan diri untuk ;rrr--;--;::..:.'.i en op di Bali"
(Tentan* [
melihat masyarakat Bali dari sudut pandang empirik, hanya dengan -:", - .nl1c. 1922). De Kat Angelini
kepastian itu akan lebih berguna untuk memulai mempelajari
ier-::alisir dalam suatu Persenka
masyarakat daripada mencoba untuk memahami terlalu cepat yang
r,. : ::',-Rrk keturunan (dadia)' t an;
berangkat dari pertanyaan tradisi etnologis yang tampaknya secara kekerabatar'
, .:x.L.asi kelomPok
umum tidak sesuai untuk memulai dialog dengan rasa ingin tahu
{",E.j:lnan' dengan prinsip umur'
sosiologis Indonesia. Pandangan ke depan mungkin akan lebih
:r:r2l\-irtan eksogami (kan'in
kel-'
memungkinkan untuk melanjutkan yang lain, tetapi saya akan itu sendiri)'Sebuia
u';---rnPok
memimpin sebuah missi yang berbeda yang pada akhirnya mungkin menuniu
akan tidak seperti meyakinkan diri saya sendiri.
: =sa ,ligunakan untuk
Pembelajaran penting lainnya dari Bali dan akuisisi minimal
:-::ang tindih hubungan saru
:,:-<an *auru kebetulan menimbu'
pengetahuan. tampaknya perlu untuk membuka pendekatan
erjaan. Hal ini meruiuk r
metodologis Bali. Saya ingin bekerja baik dengan penelitian r-;
ada sebuah masYarakat
lapangan maupun melalui teks, dua pendekatan yang selalu
as memiliki catatan Pada
1

dianggap terpisah.Tampaknya juga diperlukan untuk mendukung


:enurutnya kelomPok Pande tri
inovasi pada skala objek studi. Dengan memilih dimensi pulau,
-..asta, tidak memiliki tradisi tr:
ada kemungkinan untuk menangkap sesuatu dari studi globalitas
Yang disebut -I'
yang difraksinasi lokal. Ini akan, paling tidak, menjadi kesempatan -ndeta agung" iru d'i
Peneiitian emPiris
untuk keluar dari selatan Bali, wilayah tertutup bagi penelitian
antropologi kontemporer. Akhirnya dengan tidak adanya fakta- -bagai berikut:
i i Bagaimana situasi kelomtn
fakta penting yang muncul dari kabut fenomenolo gi; sayapunya ide
lokal mereka dan dalarr
untuk melihat situasi secara terbatas, sering menunjukkan pusat-
keseluruhan?
pusat yang mereka lihat dan yang tidak selalu mudah atau langsung
diamati. Kasus yang ideal, dari sudut pandang saya, disajikan untuk
l) APa karakteristik sosit-rltr

tamPaknYa ungkaPkan?
mengupas masalah "klan" Pandi, kelompok ini kadang-kadang
3) APa signifikansi dari Pe:
disebut dalam literatur yang berhubungan dengan Bali.
dengan masYarakat dan -
Sebutan Pandd, menggambarkan sekelompok masyarakat
Bali yang secara numerik penting, tampaknya sebanding dengan
Dalam uPaya men]ar''ai
kelompok masyarakat Bali lainnya dari kasta Brahmana. Mereka
tampaknYa harus mengumF"
tersebar di berbagai penjuru pulau Bali. Menjelang tahun 1929 dalam
signifikan, Yaitu studi sumi

10 ; sonox pnruoE ot anl I prusffiiuKAN.KAsrA. DAN NtLAt GELAR


SOROH PANDE DI BA
P EN DAH U LUAN

.. :'t-lCeIti;11-i
- .t Lr Lt [aral1
sebr,rah artikel yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
inggris, Goris (1960d) melaporkan penyirnPangan keyakinan Pandi
I.,paknya
-.rkavaan rni yang menolak air suci yang disiapkan oleh Pendeta Brnhtnattn,
\gak sulit dimengelti, dengan menggunakan istilah "serikat",
- : rlr bit'a art
' tk pttr.t a Goris tampaknva mengabaikan hal mendasar yang diungkaP
' :. Ltntllk .-la1am sebuah artikel yang berjuduT "O'oer de Andere Snredett t'crttqc
,rnbachtslieden op di Bnli" (Tentang Pandai Besi dan Pengrajin Lain di
Je;tgan
'-.elajari Bali)(1921c, 1922). De Kat Angelino menegaskan bahwa Pondi tidak
--:t r.'ang terorganisir dalam suatu perserikatan, tetapi lebih cenderung pada
:CC?rCl
kelompok keturunan (dadia), yang harus ditentukan posisi dalam
organisasi kelompok kekerabatan adalah sebanding dengan garis
_ I t..Lhit
keturunan, dengan prinsip ul-num potrilineaL tetapi mempraktikkan
lebih
' perkawinan eksogami (kawin keluar) dan endogami (kawin dalam
rkan
kelompok itu sendiri). Sebutan Prudi adalah gelar yang juga
'' rkin
biasa digunakan untuk menunjuk pengraiin logam (Pnndi'S tanpa
-Intai tumpang tindih l-rubungan satu dengan lainnya. Homonirr,i ini
bukan secara kebetulan menimbulkan masalah hubungan antara Ias
. .,tan
dan pekerjaan. Hal ini merujuk pertanyaan dari revolusi pengrajin
:r an
logam pada sebuah masyarakat yang nyata dalam seiarah. selain itu,
-- r.l]u
Hooykaas memiliki catatan pada bermukim di Bali pada tahun 1959,
-rlrg
menurutnya kelompok Padi ini termasuk Sudra c1alam pembagiarr
-
kasta, trdak memiliki tradisi tulis, dan meleka memiliki sendiri
ct1-1,

tc-l S
"pencleta agung" yang disebu t Mpt't (1964a 186, 79 64b: 272)'
cll-l
Penelitian empiris ini dipandu oleh tiga rulnusan masalah
I

taln
'.i,4-
sebagai berikut:

it,
r) Bagaimana situasi kelompok-kelompok Pqndi dalam konteks
--'.i-
lokal rnereka dan dalam hubungan dengan social secala
keseluruhan?
2) Apa karakteristik sosiologis dari perbedaan yang mereka
tampaknya r-rngkapkan?
3) Apa signifikansi dari perbedaan tersebut dalam kaitannya
dengan masyarakat dan sejarahnYa?

Dalam uPaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut'


tampaknya harus mengumpuikan tiga kelompok data yang
signifikan, yaitu studi sumber-sumber eksternal, observasi

soRoH eANDE Dt BALI I PEMBENTUKAN'KAsrA'DAN NILAI GELAR | L1


P ii'l r'
JEAN FRANCOIS GUERMONPREZ

c
Sistematika Pembaha-san
lapangan dan manuskrip dari tradisi Pand6. Bab-bab berikutnya
akan membahas hasil dari penelitian. bagian utama, mas
Haruskah saya menetapkan bahwa bekerja dengan manuskrip oergerakan suatu
bertahaP ru
menjadi jauh lebih penting dan dari waktu yang saya bayangkan? -cara
Memang, saya tidak memiliki model untuk mempelajari jenis untuk memunculkan Persamaa-r

teks yang tidak dipublikasikan. Namun, awalnya, saya memiliki


bayangan bahwa akan ada kemungkinan untuk memiliki terjemahan
bahasa Indonesia atau Bali, pembelajaran bahasa yang saya ikuti
sepenuhnya selama tiga bulan pertama saya tinggal di Bali. Namun,
hanya minoritas kecil masyarakat Bali yang menguasai semua ini' Kerr':
register bahasa yang digunakarU bahasa Indonesia dalam bentuk :rasr-arakat Pandi hari
nenguji seiauhmana Penr-ebar;
Jawa lama ("menengah" darr "kuno"). Bahkary tidak seorang Pun
yang memiliki sekaligus rasa, waktu, kekuatan, kompetensi atau iontemPorer, Para Pengraltr'
melit'at bagaimana beir'
ketekunan untuk melakukan pekerjaan sebesar ini. Kondisi tersebut =iun
.;-.Ji,r) secara ritual terlokaL-a
ada baiknya, katena saya menyadari kemudian bahwa ternyata int r'
naskah Pandi tidak berisi apa apa "fakta objektif" yang mudah :.enemukan bahwa dadia
lerih besar dari kelomPok
bt:
diterjemahkan, mereka memberikan akses ke tekstur mental dan
budaya yang perlu disentuh langsung, Perasaan tidak menentu l.;,tje BesilTusan, Pandi Bri:;'
kes
melihat buramnya atau bahkan menghilang dalam terjemahan yang ).1i"'rtglBesakih' IdealnYa'
selalu diutak-atik dan utamanya tergerus ketika bahasa Indonesia ...-utlrr. maksimum zlntr5s'; F
Turunan agnatik menrla(
dijadikan sebagai titik masuk. Jadi saya dipaksa untuk belajar
akan mengenali lebih ilt
untuk kebutuhan saya yang standar jika dibandingkan dengan Perlu
lari kelomPok kekerabata:r
yang ahli, cukup dari Kawi, tempat interaksi pergerakan sastra
unit sentries ruans
Bali dan Jawa kuno. Belajar dari beberapa naskah adalah sangat -rurutan
:angga hingga unit kelomPr-ni
instruktif pada teks praktis, bermukim dan menikmati daripada l
dikonsepsualisasikan, yang meruPakan karakteristik dari hubungan Dari sana, rencana kelomPok
nrerarki dan dengan segera
e
dengan dunia dan transmisi pengetahuary dari seni tarian hingga c
komentar karya-karya klasik sastra Jawa. Dari perspektif studi sastra t-ermakna dalam kaitannva
ilmiah, tradisi penulisan dalam kelompok Pnndi sangat minim pada gilirannYa akan men-e
menjadi eksPonen utama'
sekali, sebagai konsekuensinya, dibiarkan vakum. Kami ingin
Pada bagian kedua aka
menunjukkan secara acak bahwa teks-teks ini tidak menunjukkan
'rer gelarP nn di Br 0t an "\kax
arah untuk pengetahuan tentang literatur klasik Hindu-jawa yang
berguna untuk memahami cara-cara berpikir dan nilai-nilai suatu herbeda, kajian ini mer'rP
masyarakat. Dengan latarbelakang tersebut eksplorasi tentang F,mdi Yang kaji dari dua a
sisi, daPat mens
kelompok Pandi dalam buku ini adalah lebih banyak ruang dari Pembaca
adalah Pembentukan kelorr'
yang tidak diproleh dalam studi antropologi.

SOROH PA}IDE I

12 | sonox pltrtoE ot BALI I PEMBENTUKAN "KAsrA" DAN NtLAt GELAR


iiPREZ
PENDAHULUAN

>antli. Bab-bab
berikutnya Sistematika pembahasan dalam buku ini dibagi dalam tiga
bagian utama, masing masing terdiri atas dua bab, mencerminkan
bekerja dengan manuskrip pergerakan suatu proses eksplorasi yang mengarahkan seleksi
kt, )'-g saya bayangkan? secara bertahap ruang lingkup penelitian. Setiap bagian berusaha
untuk mempelajari jenis untuk memunculkan persamaan dan perbedaan yang ditawarkan
I alralnya, saya memiliki oleh data yang diambil dari observasi lapangan dan srimber lainnya.
rrfi:J< memiliki terjemahan Bagian pertama berfokus pada wacana tentang Pand6, pertama-tama
n bahasa yang saya ikuti dengan menggunakan saringan ganda, diakronik dan sinkronik
ya 5:rggal di Bali. Namury (Bab I). Berangkat dari sumber yang ada, kami mencoba untuk
E:q rnslguasai semua menemukan benang merah yang melahirkan pengrajin logam kuno
I fridtrnesia dalam bentuk masyarakat Pandi hari ini. Kemudian pada bagian berikutnya, kami
. tidak seorang pun menguji sejauhmana penyebaran kelompok ini dalam masyarakat
=.n. kompetensi atau kontemporer, para pengrajin pekerja logam dan Pandi. Kita
: ::r.r. Kondisi tersebut akan melihat bagaimana bentuk terakhir dari kelompok turunan
:;-a-n bahwa ternyata (dadia) secara ritual terlokalisasi pada pura dadin. Selain itu, kami
oi-ektif" yang mudah menemukan bahwa dadia ini merupakan bagian dari unit-unit yang
&e :ekstur mental dan lebih besar dari kelompok bergelar yarlg jumlahnya empat, yaitu:
a;r tidak menentu Pandi BesilTusan, Pandi Bratan, Pandi MaslKamasan, Pandi Bnngke
i::. tegemahan yang MaonglBesakih. Idealnya, keseluruhan ini bersama-sama dalam
bahasa Indonesia kesafuan maksimum wangsa Pandi atau "kasta" Pandi.
F,l-*..-,a untuk belajar Turunan agnatik menjadi prinsip kelompok Pand6, untuk itu
b.;--:ingkan dengan akan perlu mengenali lebih dekat ruang yang tidak dapat dibentuk
:"=rqerakan SaStra dari kelompok kekerabatan yang dapat menyambung secara
=:'. adalah sangat berurutan unit sentries ruang asal mereka, mulai dari unit rumah
mr-_.urati daripada tangga hingga unit kelompok bergelar dan ll)angsa Pnndd (Bab II).
- lanhubungan Dari sana, rencana kelompok kekerabatan akan di-cros s-check dengan
,r:_ :arian hingga hierarki dan dengan segera akan tampak bahwa gelar Pandi hanya
cer.:r sfudi sastra bermakna dalam kaitannya dengan ideologi pembagian kasta, yang
i ..angat minim pada gilirannya akan mengungkap fakta Pandd secara bertahap
r Kami ingin menjadi eksponen utama.
=.enunjukkan Pada bagian kedua akan dibahas secara mendalam kelompok
'*Ij].t'r,,::-Iarva yang bergelarPandi Bratan. Akan dibahas dari sudut pandang yang
'r"lL,::-rilai suatu
berbeda, kajian ini merupakan subbagian dari keluarga besar
r:s: tentang Pandi yang kaji dari dua arah yang saling melengkapi. Di satu
:--lang dari sisi, pembaca dapat mengikuti evolusi terbaru yang luarannva
adalah pembentukan kelompok bergelar Pandd Bratan, dengan latar

soRoH pANDE Dt BAu I IEMBENTUKAN "KASTA" DAN Ntul GEUR I t3


JEAN FRANCOIS GUERMONPREZ

belakang konteks Bali Aga yang merupakan kelompok yang hidup


di utara Bali (Bab IIi). Tampak bahwa evolusi ini juga untuk merujuk
kepada gerakan dan ideologi yang pusat gerakannya berada di pandd
Besi, yaitu mereka yang mengklaim diri sebagai keturunan ahli
pembuat senjata pada masa kerajaan Jawa Majapahit atau lebih tua
sebelumnya. Dengan fokus seperti ini, kita dapat memiliki waktu
luang untuk bertumpu pada karya sastra dan mitos modus berpikir
untuk menulis menggunakan "kisah nyata" dari kelompok bergelar
yang belum eksis setengah abad yang lalu (Bab IV).
Bagian ketiga memfokuskan perhatian pada inti Pandi Besi
dan ideologi penggerak gerakan kontemporer, mengambil bentuk
perbedaan pendapat keagamaan dan tantangan utama dalam
urutan kasta, karena pendeta Pandd artinya juga sudrn, lebih efisien
dengan cara yang pendeta brahmana lakukan (Bab V). Akhirnya,
kita akan menyentuh lebih dekat dengan bentuk-bentuk budaya
dan isi dari ideologi ini dengan mempelajari teks-teks pendiri pandd
Besi (Bab VI). Ini berisi dua sumber dasar, yaitu: "sejarah prajurit
Majapahit", dan "Mengungkap Harta Karun". Kedua sumber ini
mengembangkan wacana ganda asimilasi dan kontestasi nilai-nilai
masyarakat dari kasta.
Dalam perjalanan empiris, fakta bahwa Pandi adalah dalih
dan cara, diarahkan pada akhirnya melalui cara berliku yang pasti
sulit untuk mengenali sepenuhnya dari "hierarki". Bukan hanya itu
yang ditimbulkan oleh kasta, tetapi hierarki sebagai ,,urutan yang
dihasilkan dari peran pertaruhan nilai" (Dumont 1983: 263). Ini
belum jelas bagi penulis setelah penulisan buku ini selesai. Mungkin,
sebelum mempublikasikannya, apakah buku ini telah begitu
diharapkan untuk merevisi urutan keseluruhan untuk memberi
koherensi yang lebih setelah "penemuan" di Bali dari hirarki
dalam pengertian Louis Dumont. Saya tidak akan melakukannya,
karena itu mungkin juga berguna untuk mengungkapkan keragu-
raguan dari studi penelitian yang sempurna, langsung ke titik
yang ditetapkan sebelumnya. Sebaliknya, sepenuhnya diambil alih
kesimpulan, untuk memasukkan kritik terhadap kiprah saya dan
untuk mengekstrak pelajaran penting dari sebuah penelitian yang
seharusnya dapat memberikan kontribusi terhadap pengetahuan

soRor F.1tl
14 sonon pnuoE Dt BALI I IEMBENTUKAN ,,KAsrA" DAN NtLAt GELAR
PENDAHU LUAN

kelompok yang hidup


Hal ini menyebabkan
qtiphenomenon etnografi: kelompok Pnndi.
ini juga untuk merujuk perubahan dalam kelangsungan irama dalam buku ini, tetapi
kannr.a bera da diPandd
menurut saya perlu ditekankankan secara tegas, begitu jelas di Bali,
tetapi tak terlihat, hierarki sebagai prinsip sosial mendasar (Dumont
*ragai keturunan ahli
aiapahit atau lebih tua D66:7$.ll
dapat memiliki waktu
Lmitos modus berpikir
lari kelompok bergelar
ab I\').
r pada inti Pandi Besi
er, mengambil bentuk
hngun utama dalam
tga sudra,lebih efisien
n tBab V). Akhirnya,
entuk-bentuk budaya
eks-teks pendiri Pandd
aitu: "Sejarah Prajurit
r". Kedua sumber ini
n kontestasi nilai-nilai

a Pardi adalah dalih


ra berliku yang pasti
rki". Bukan hanya itu
sebagai "urutan yang
mont 1983: 263). Ini
u ini selesai. Mungkir;
ku ini telah begitu
fian untuk memberi
di Bali dari hirarki
akan melakukannya,
6ungkapkan keragu-
n, langsung ke titik
enuhnya diambil alih
dap kiprah saya dan
buah penelitian yang
rhadap pengetahuan

soRox pnruoE Dt BALI I IEMBENTUKAN "KAsrA" DAN NtLAt GELAR I t5


} 6E!-AR
BAG IAN PERTAMA

MEMPOSISIKAN
KEDUDUKAN PANDE
lngin sekali mendengar sejarah yang
ditemukan secara terus-menerus (di
Bali) yang menunjukkan bahwa itu
benar-benar asli Majapahit (R.van
Eck, 1879)

Di mana mana dalam sejarah Ball


memiliki akar yang dalam, meskipun
jarang meningga lkan jejak yang jelas.
Penulisan sejarah faktual sangat
asing bagi masyarakat Bali dan ada
kecenderungan memitologikan
sejarah penting perorangan dan
peristiwa (C.J. Grader, 1949).
BAGIAN PERTAMA

MEMPOSISIKAN KEDUDUKAN
PANDE
Ingin sekali mendengar sejarah yang ditemukan secara
terus-menerus (di Bali) yang menunjukkan bahwa itu
benar-benar asli Majapahit (R.van Eck, 1879)

Dimana mana dalam sejarah Bali memiliki akar yang


dalam, meskipun jarang meninggalkan jejak yang
jelas. Penulisan sejarah faktual sangat asing bagi
masyarakat Bali dan ada kecenderungan
memitologikan sejarah penting perorangan dan
peristiwa (C.J. Grader, 1949).

BAB I

PELACAKAN KELOMPOK PANDE


Penggunaan huruf besar dalam penulisan kata Pandé, adalah untuk menunjukkan beberapa kelompok
yang diusulkan utuk dikaji, adalah suatu konvensi grafis yang tidak terdaftar dalam sistem penulisan
bali yang dalam hal tertentu menimbulkan pertanyaan hubungan antara satu kategori pengrajin
dengan kelompok Pande. Memang, rekaman bahasa lisan tidak sama dengan bahasa tulisan, misalnya
tidak terbedakan antara pandé dengan Pandé, artinya pengertian jenerik menggambarkan beberapa
profesi kerajinan disebutkan penggunaanya sebagai satu gelar oleh kelompok bersangkutan dan
secara independen dari aktifitas professional anggota mereka. Pengertian pande atau panday, dahulu
dinyatakan sebagai bahasa jawa kuno, namun juga dalam bahasa bali kuno dimana kata ini selalu
diikuti dengan nama logam - misalnya besi, emas, tembaga atau campurannya- dan juga untuk
menunjukkan tukang besi, tukang emas dan tukang perunggu (Goris 1954: 283). Beberapa
pendekatan yang berkaitan dengan kata pande, panday, kata ini adalah kata jawa kuno pandya yang
berarti orang berpengetahuan, orang suci, orang bijak, yang secara etimologi berkaitan dengan bahasa
Prakrit (bahasa Indo-Arya Tengah) pandia dan bahasa Sansekerta pandita yang artinya orang yang
berpengetahuan (Gonda 1973: 171). Namun, kata ini juga mungkin atribut ke pandé, suatu kata asli
Indonesia menutut Goris dan van der Tuuk (KBNW IV: 20).
Pengertian pande adalah milik kosa kata dari sejumlah bahasa lisan di Indonesia dan ditemui juga
dalam beberapa bahasa Filipina. Dalam bahasa ini, kata ini menunjukkan pengrajin khusus sebagai
opposisi bentuk pekerjaan biasa, kadangkala lebih khusus ke pengrajin pekerjaan logam (Gonda 1973:
170-171). Pengertian yang bisa diambil, sebagaimana kasus bahasa Indonesia adalah: mampu, mahir,
pintar, kerekayasaan dan cerdas, namun bila di coba dipadankan dengan bahasa inggeris clever yang
lebih menggambarkan suatu pengetahuan dari pada keterampilan dan mengespresikan murni
kecerdasan. Pada masyarakat bali moderen, tidak ditemukan pengertian yang terakhir ini yang
diberikan oleh kalimat dueg-due ngomong, dapat berbicara – atau dengan kata wikan dalam bahasa
bali tinggi. Pande menunjukkan satu kategori kerajinan diantaranya pande kayu (tukang kayu), yang
hampir mirip dengan kata undagi yang sudah lama dikenal. Namun, kata pande pertama, menujukkan
kerajinan pekerjaan logam (pande besi, pande mas, pande tembaga, pande perungu, pande kuningan)
dan utamanya adalah tukang besi. Terakhir, pengertian yang kedua adalah jika membaca kamus
terbaru bahasa Bali – Indonesia (1978: 412) disana dijelaskan “nama salah satu golongan dalam
masyarakat Bali”. Itulah yang digunakan untuk membedakan pengertian yang kedua yang
menunjukan “satu kelompok” yang digunakan dalam ejaan Pande.

Sebagai awal, ada baiknya memberi pemahaman sosiologi pada istilah Pande dan menunjukkan
bahwa kajian Pande bukan kajian kerajinan logam atau pengrajinnya, karena dalam masyarakat
moderen pertama tama tidak membiarkan diri mereka untuk menurunkan diri menjadi kedua atau
sebaliknya. Namun, tidak ada keraguan bahwa keselarasan harmoni antara kelompok yang disebut
Pande dengan pengrajin pekerjaan logam, juga antara gelar dengan kategori professional, tidak secara
kebetulan dan masuk akal untuk melihat jejak suatu situasi yang sudah sangat lama dimana tidak ada,
setidaknya tingkat yang sama, dipisahkan antara identitas kelompok dengan profesi. Juga perbedaan
tesebut semuanya secara jelas ditandai tidak secara absolut karena beberapa kelompok Pande
merupakan minoritas, juga adalah pande. Namun keadaan kelompok Pande tidak pernah
membenarkan diri dari keadaan pande dan opposisi Mereka/Kami yang tidak didasarkan pada profesi
yang secara umum bukan suatu kriteria yang relevan di Bali untuk membedakan atau membuat
jenjang perbedaan kelompok sosial.

Tidak akan membenarkan, bahkan dalam satu perspektif yang secara ketat deskriptif dan etnografi
yang bukan milik kami, pelibatan pengrajin dan kerajinan logam dalam satu kajian sinkronik kelompok
Pande yang membentuk satu kesatuan individu menjelaskan perbedaan mereka dan memperkenalkan
diri gelar Pande, dan profesi mereka. Namun secara jelasnya, jika dicari pemahaman akan perbedaan
tersebut, tidak terhindarkan dorongan pertanyaan akan keaslian nama dan relasinya dengan posisi
pengrajin dalam masyarakat pra-moderen. Para pengrajin mengelimnasi pendekatan sinkronik dan
diperkenalkan kembali dalam suatu perspektif diakronik yang mengarahkan ntuk mencoba
menyajikannya melalui relasinya di masa lalu.

Obyek kajian bab pertama adalah bertujuan menunjukkan berbagai kemungkinan dan batas batas
pendekatan tersebut engan menyajikan data yang dapat diekstrak dari sumber sumber lama juga
dengan melacak peta sosiologi kelompok Pande dalam masyarakat kontemporer.

1. Para Pengrajin dan Kelompok Pande pada Masyarakat Lama


1.1. Informasi dari berbagai sumber

Pendapat yang sifatnya masih kontrafersi menyatakan bahwa teknik rekayasa perunggu telah dikenal
di Thailand jauh sebelum masyarakat Cina yang dikenal selama ini telah mengenal teknik ini ribuan
tahun yang lalu. Sumber lain, dalam era yang sama dengan Cina, kesenian perunggu telah berkembang
dengan baik di Dong Song, Vietnam Utara. Seni pengolahan perunggu ini juga ditemukan di beberapa
tempat lain di semanjung Indochina juga dibeberapa tempat di Indonesia. Kebudayaan Donsong telah
memberi kontribusi pada kemampuan pengolahan perunggu seperti gendang perunggu (nekara) yang
ditemui tersebar dibeberapa tempat di Cina Selatan hingga pulau Bali. Di Bali, temuan nekara yang
mengagumkan hingga saat ini masih diperdebatkan asal muasalnya, namun temuan lain seperti
fragmen cetakan Manuaba membuktikan bahwa nekara tersebut hasil karya pengrajin Bali (Bernet-
Kempers 1978:38), selain itu informasi ini merupakan inskripsi tertua yang menjelaskan tentang
kerajianan lain selain logam.

Inskripsi yang ditemukan pada makam raja-raja yang tercetak di atas plat perunggu menggunakan
bahasa bali kuno dan jawa kuno yang diperkirakan berasal dari masa abad kelima, inskripsi pertama
bertahun 882 masehi (tahun saka 804), inskripsi terakhir bertahun 1398 M (Goris 1954). Prasasti
prasasti ini menjelaskan tentang situasi, nama nama pengrajin dan juga informasi tentang kelompok
kelompok yang ada pada masayarakat bali kuno pada saat itu. Meski demikian isi prasasti prasasti ini
tidak semuanya dapat terungkap dengan baik dengan adanya kendala kemampuan filologi dalam
memahami bahasa kuno. Peneliti perintis seperti Goris telah mencoba menerjemahkan prasasti
prasasti yang berbahasa bali kuno ini, namun sayang sekali buku buku tersebut tidak dilengkapi
catatan yang memungkinkan untuk penyelusuran lebih lanjut untuk mengambarkan konteks situasi
lingkungan pada masa itu. Dibandngkan dengan penelitian mengenai bahasa jawa kuno yang agak
lebih maju, sehingga informasi mengenai prasasti yang bertuliskan bali kuno masih sangat terbatas
dan hanya berisi informasi garis besar.

Akhir abad 14 hingga 19 tidak ada informasi yang cukup, baik dari prasasti raja raja atau dokumen
lainnya, yang ada pada masa itu adalah catatan sejarah yang menjelaskan tentang dinasti jawa-bali
yang menancapkan kekuasaannya di Bali setelah penaklukan disekitar tahun 1343 (Berg, 1927).
Sangat sedikit sekali catatan yang dapat diungkap pada masa itu yang berkaitan dengan situasi nyata
tentang masyarakat pengrajin. Sebaliknya yang ada adalah informasi yang bersumber dari cerita
cerita yang sifatnya spekulatif tentang kesaktian dan asal usul tentang jawa. Teks-teks ini, yang
melegitimasi dimata kelompok Pande suatu status yang membuat mereka tidak diakui, akan dipelajari
selanjutnya karena fokusnya saat ini adalah tidak untuk merebut representasi yang diberikan oleh
Pande dan masa lalu mereka, tetapi menganalisis data pada pengrajin untuk mengidentifikasi sebuah
afiliasi yang mungkin terjadi antara satu dengan lainnya.1

Dalam sumber kesusasteraan, karya asli jawa yang ditransmisikan atau diintegralkan dengan
kesusasteraan bali. Teks sastera ini tentu saja merupakan hasil dan pencerminan masyarakat jawa
dan secara metodologis sangat rawan untuk dijadikan sebagai acuan bagi masyarakat bali kuno, dan
sama bahayanya dengan menggunakan data-data atau informasi etnograpi yang dikumpulkan di bali
untuk mengenal sejarah etnogafi jawa. Meski demikian, jika mengindahkan adanya perbedaan antara
bali dan jawa dengan pertimbangan bahwa kedua pulau tersebut sangat berdekatan dalam
kesejarahannya.

Sebagai bahasa awal dalam inskripsi bali adalah bahasa bali kuno, kemudian sansekerta, hal ini muncul
diakhir abad ke 10 atas nama Gunapriyadharmapatni, seorang ratu asli jawa yang kemudian
diperisterikan oleh Dharmodayana Warmadewa yang berasal dari Bali, dimana masyarakat jawa kuno
digunakan untuk pertamakalinya sebagai kompetitor bagi masyarakat bali kuno. Salah seorang anak
pasangan tersebut adalah Airlangga, yang kemudian menjadi raja jawa (1037-1049), sementara
anaknya yang lain, Anak Wungsu, yang lebih muda menjadi raja di Bali. Pada periode selanjutnya raja
raja di Bali semuanya berasal dari jawa kuno, dan mulai tahun 1069, masyarakat bali kuno kehilangan
bahasa tulisnya. Nampaknya hubungan kedua dinasti ini membawa dampak pada tercampaknya
masayarakat bali kuno, bukan hanya dari segi keyakinan tapi juga dalam organisasi kenegaraan.

Pada abad abad berikutnya, Bali menjaga kedaulatannya hingga ekspedisi kemenangan pada tahun
1343. Ada dua bukti prasasti tentang phase pertama sejarah Bali yaitu tahun 1384 dan 1398, kedua
prasasti tersebut menyebutkan tentang Pangeran Wengker, Wijaya Rajasa, yang merupakan paman
penguasa Majapahit, Hayam Wuruk ((Goris 1954 I:45-46). Sifat autoritas, baik secara nominal atau
kenyataan, posisi Pangeran Wengker di Bali tidak menentu (Coedes 1964:431), sementara masyarakat
Bali dalam kondisi kronis dan rendah diri hingga menjelang abad 17 ditandai dengan jatuhnya
Semprangan yang berada di Bali Selatan ketangan kerajaan jawa, yang kemudian digantikan Kerajaan
Gelgel sebagai pusat kekuasaan hingga pertengahan abad 17 (Berg 1927:121- 156) . Hingga akhir abad
tersebut, kerajaan Gelgel ditinggalkan setelah suatu periode dimana terjadi masalah atas “Raja di raja”
Dewa Agung yang membangun keratonnya di Klungkung sementara pusat kekuasaan wilayah benar
benar menjadi autonomi, semuanya atas sepengetahuan Dewa Agung.

Setidaknya sejak abad 11 hingga akhir abad 14, model pemerintahan kerajaan jawa belum mampu
untuk diadaptasikan, baik secara politik maupun ekonomi pada “alam bali”. Utamanya, pada abad 14,
informasi yang ada- meskipun tidak dikonfirmasi secara jelas- oleh pengarang Negarakertagama,
bahwa Bali sangat setia dalam menjunjung budaya jawa, namun tidak dipungkiri adanya persaingan
yang terjadi secara diam diam utamanya di Bali Selatan yang merupakan turunan Majapahit. Dalam
pandangan informasi tentang Bali masa lalu, bahwa Majapahit yang merupakan cikal bakal budaya
mereka, sekaligus juga menyebabkan terjadinya chaos selama 5 abad dalam sejarah “masyarakat
hindu”. Dari berbagai uraian yang telah dijelaskan di atas, maka kedekatan sekaligus persaingan yang

1
Untuk melihat secara keseluruhan teks-teks ini, lihat bagian kedua dari Bab V. Nampak bahwa teks teks ini termasuk genus
Babad atau prasasti yang ditulis sebelum abad ketujuh belas dan banyak diantara teks teks ini jauh kemudian (Hinzler 1976:
49). Babad atau prasasti merupakan tradisi Pande atau tidak mungkin ada perkecualian. Isinya, seperti studi Babad lainnya
yang masih harus dilakukan, adalah lebih banyak fakta mengungkapkan mentalitas dari fakta sejarah itu sendiri.
terjadi antara budaya jawa dan bali dapat menjadi pintu masuk untuk menjelaskan posisi pengrajin
pada masyarakat pada masa itu.

Sumber sumber lain yang dapat dijadikan dasar informasi disekitar abad 19 hingga awal abad 20
adalah hasil hasil observasi pihak luar misalnya pihak administrator belanda. Temuan utama, yang
diperoleh adalah dari Controleur de Kat Angelino dalam publikasinya “Over de smeden en eenige
andere ambachtslieden op Bali” (“Tentang Pandai Besi dan Pengrajin Lain di Bali”)(1921-1922), yang
menuliskan secara jelas dan mendasar perbedaan antara pengrajin pande dengan kelompok
masyarakat Pande.

1.2. Prasasti Kuno Raja Bali

Prasasti prasasti ini memberi gambaran karakteristik utama pada desa-desa tertentu, dokumen
administratif dan kepercayaan masyarakat misalnya kedudukan pura sebagai suatu tempat pertapaan,
pengertian tentang batas batas`suatu desa, iuran kontribusi dan pajak yang berkaitan dengan upacara
agama. Beberapa prasasti ini berisikan jawaban atau respon administrasi kerajaan terhadap
masyarakat pada desa tertentu, misalnya perubahan situasi administratif dan perubahan iuran.

Beberapa inskripsi lainnya (Bebetin A I) dari sudut pandang kronologis bertahun 896, membahas
tentang suatu desa, banua bharu, yang kira kira letaknya disepanjang pantai, diserang dan
dihancurkan. Selain itu inskripsi ini memuat ketentuan terhadap pemindahan barang dan jasad orang
yang meninggal dan membawa orang –orang yang ditangkap keperbatasan desa 2. Juga ditemukan
daftar berbagai profesi, antara lain pengrajin dan seniman yang dibebaskan dari pajak. Kelompok
profesi yang pertama adalah kelompok pencelup (mangnila, mamangkudu), tukang tenun pakaian
(mangiket), kemudian pembagian 3 bidang keprofesian undagi. Pembagian profesi tersebut sangat
kontras dengan masyarakat Bali yang lebih maju, yang hanya mengenal kata tukang kayu, contoh
undagi batu yang setara dengan tukang batu. Kelompok profesi terakhir terdiri dari 10 profesi yaitu:
pande mas, pande bsi, pande tambaga, yang kemudian diikuti 7 profesi lain seperti seniman musik,
penyanyi dan penari.3

Perlu dicatat pula bahwa pande dan undagi dimasukkan dalam kelas profesi pekerjaan, sementara
kelompok lainnnya dimasukkan dalam profesi khusus, dan dari sudut pandang linguistik, bentuk
profesi ada yang didasarkan pada penggunaan warna yang digunakannya seperti (nila, wangkudu),
berdasarkan teknik yang digunakan (iket), untuk seniman musik didasarkan pada peralatan musik yang
digunakan misalnya pa-padaha, pemain gong. Tambahan informasi yang menarik dari teks ini adalah
yang berkaitan dengan pengrajin, selalu ditemukan bahwa pande selalu berkaitan dengan logam,
sedangkan pande kayu yang dikenal dalam masyarakat bali modern tidak dinyatakan secara jelas.
Dengan demikian, dasar atau asal muasal pande dalam masyakat bali kuno ditujukan bagi pengrajin

2
Identifikasi inskripsi ini berdasarkan nama desa dimana inskripsi ini ditemukan mengikuti suatu kode, ini yang dilakukan
oleh Goris dalam Frasasti Bali, yang akan diacu kemudian.
3
Diantara terminology yang menunjukkan tentang logam, kecuali mas dan besi adalah asli bahasa Indonesia. Sedangkan
nama tembaga dan campurannya (tambaga, tambra, gangsa) dipinjam dari bahasa Sansekerta atau prakrit (lihat lampiran
yang dibuat oleh Goris dalam buku Prasasti Bali II).
yang berkaitan dengan logam yang kemudian dbagi lagi menurut jenis logam yang dikerjakannya,
seperti: emas, besi, tembaga dan/atau campuran tembaga. 4

Dari sumber tertulis lainnya (Trunyan A I, Pengotan A I, Batur Pura Abang A, Batuan), kata pande
adalah sama dengan nama, tanpa ada perbedaan utama, diantara daftar pengrajin dan seniman yang
dikenai wajib pajak tertentu. Tidak ada suatu indikasi, tentang rencana pajak, suatu perlakuan khusus
bagi pande dengan alasan bentuk bidang pekerjaan mereka. Nampaknya bagi masyarakat, profesi
tersebut adalah bersifat khusus yang mesti dibedakan dengan masyakat yang mayoritas`sebagai
petani. Teks pertama, bagi masyarakat bali kuno, mengartikan bahwa pajak harus dibayar pada
petugas yang berbeda , seperti ketua kelompok pengrajin, sementaraa teks paling belakangan, yang
bersumber dari jawa kuno, hanya menyebutkan nayaka, petugas penerima pajak sebagai profesi yang
berbeda.5 Nampak bahwa, pajak yang dibayarkan ke nayaka adalah representasi setengah dari
keuntungan dari pengrajin, dan pada prasasti Batuan menyebutkan secara jelas bahwa dwiya haji,
pande mas dan pande besi harus membayar konstribusi tersebut.6 Pernyataan tersebut menunjukan
sekitar “milik raja”, dan ditemukan dalam bentuk modern seperti drew atau druwe dalem, adalah
tanah yang berada didalam kedaulatan kerajaan sebagai lawan kata tanah jaba, yaitu tanah diluar
domain raja.7 Sedangkan dwya haji mungkin menyiratkan situasi pertalian erat dengan beberapa
pengrajin- misalnya pengrajin besi, tukang emas yang ditunjuk sebagai penghormatan raja.

Prasasti prasasti yang telah dipaparkan ini hanya menunjukkan pandangan yang sangat parsial tentang
organisasi sosial dan politik masyarakat bali kuno, serta besarnya pengaruh dan pengawasan Negara.
Juga menunjukkan desa-desa disekitar danau Batur yang telah behubungan dengan administrasi
kerajaan, serta desa desa di timur yang kini dikenal dengan Singaraja. 8 Hal ini menarik untuk disimak
bahwa desa-desa disekitar utara Bali adalah suatu wilayah permukiman kuno dan bahwa sejarah
wilayah tersebut tidak diawali dan tidak berdasarkan perkembangan kerajaan Buleleng sekitar abad
17, sebagaimana yang kita perkirakan selama ini. Dengan demikian, ketika pada abad 11, dalam suatu
teks disebutkan tahun 1200, Manasa menerima kunjungan pedagang asing, menunjukkan bahwa
permukiman belakang (hinterland) disekitar pantai utara juga mencakup wilayah danau Batur, dengan
demikian wilayah –wilayah tersebut setidaknya tidak terisolasi, sebagaimana kesan permukiman Bali
Aga, yang dimaknai sebagai permukiman yang berada diluar kekuasaan kerajaan Gelgel. 9

4
Pekerjaan perak tidak ada penjelasan secara eksplisit. Dengan alasan tidak adanya dalam berbagai bahasa, perbedaan
yang jelas adalah antara tembaga dan campurannya. Belum secara pasti apakah dengan perbedaan tersebut juga
mmembuat pemisahan dua jenis pekerjaan. Sebagai contoh lihat terminology yang dikemukakan oleh P.Y. Manguin 1976:
250-253).
5
Juga ditemukan prasasti yang lebih tua, nayaka dengan halu/hulu, ruha dan juru utamanya dalam ekspressi juru pande.
Perlu juga diperhatikan istilah ruhan gusali, lebih kuno atau pimpinan pengrajin, dalam konteks mereka yang tidak
mengumpulkan pajak (Sembiran A II dan III).
6
Drwya berasal dari bahasa Sansekerta drvya yang berarti pemilikan, harta, kekayaan. Juga ditemukan dalam ekspressi
mangilala drwya haji, sebagai ciri beberapa teks jawa kuno, namun tidak ada hubungannya dengan pengrajin.
7
Lihat Adatrechtbundel XV 1918: 141-156, 195, 197, 201, 255, 327, 330.
8
Beberapa prasasti kuno ini menamakan desa desa di tepi danau Batur dan kadang kadang desa desa ini disebut dalam
ekspressi wingkang ranu, bentuk yang tidak asli lagi adalah bintang danu. Desa desa ini tetap masih eksis, beberapa
diantaranya berada di sisi utara, di sebelah timur Singaraja misalnya desa Bondalem, Julah yang namanya tidak berubah
seperti apa yang ada dalam teks yang telah ditulis oleh Goris, 1954.
9
Diantara sejumlah distorsi, bukan hanya yang digunakan oleh wisatawan, yang berpengaruh besar terhadap Bali, ditemukan
pendapat bahwa Utara adalah wilayah dengan penduduk yang relatif baru dan/atau ada yang mengatakan wilayah sisa bali.
Salah seorang peneliti Belanda yang bernama Boon agak “keUtaraan” tidak luput dari bias “ke Selatanan” (1977: 35).
Pertanyaan tentang Bali Aga utamanya kurang diperhatikan. Status fosil hidup layak menjadi perhatian khusus, satu buku
Fokus permukiman, sebagaimana yang telah dituliskan dalam berbagai prasasti kerajaan, muncul
bukan sebagai suatu kutub “peradaban” kuno dengan pura puranya, tempat pertapaaanya,
keragaman ekonomi, dan pertaniannya, tapi juga ditemui kegiatan komersial dan kerajinan, termasuk
pengrajin emas dimana pada masa itu termasuk suatu yang sangat langka. Untuk kepentingan wilayah
ini yang perlu dilakukan atau diperbaiki secara ethnographie adalah bahwa, tidak menutup diri,
wilayah ini memberi peluang faktor faktor kurang terlihat atau menghilang seperti di bagian selatan
Pulau Bali. Dalam arti, tidak dapat dikatakan bahwa penduduk pegunungan atau desa-desa tertentu
di utara pulau bali lebih konservatis. Adanya kenyataan perbedaan praktek penguburan antara di
utara dan selatan, juga tidak dapat dikatakan bahwa penduduk di Bali selatan lebih barbar.10

Menjadi catatan kecil disini, bahwa wilayah utara menujukkan hal utama yaitu keberadaan pande di
masa itu lebih mudah dikenali, ditelusuri dan juga lebih hidup dibandingkan dengan di wilayah selatan
yang menjadi arah perkembangan penduduk, cengkraman kekuasaan aristokrasi dan ideologinya pada
desa-desanya, juga adanya perang yang terjadi hingga akhir abad 19 sangat berkontribusi terhadap
perkembangan wilayah tersebut. Suatu hal yang pasti bahwa buku buku yang membahas dan
mengungkap wilayah ini sangat terbatas dalam karya ilmiah, dalam tradisi bertutur atau dalam praktek
upacara, mengacu pada unsur unsur mitologi pande dimana kedudukan utama pandai besi sebagai
suatu karakterk yang mudah ditemui disejumlah masyarakat lain. Meski demikian dalam wilayah ini-
sebagaimana yang ditunjukkan suatu yang hampir dilupakan adalah adanya Dewa Ayu Subandar, yang
kemudian namanya dipinjam untuk menunjukkan pelabuhan (bahasa Indonesia: syahbandar). Hal ini
untuk mengingatkan bidang pekerjaan maritime yang kemudian diabadikan pada pura tertentu dan
selalu dikaitkan dengan bekas raja bali sebagaimana dalam cerita tutur.11

Tidak ditemukan potensi dan kelangsungan hidup pada wilayah pegunungan di barat Singaraja,
utamanya pada desa desa kuno Gobleg dimana terakhir ditemukan adanya pasasti bertahun 1398
(Gobleg, Pura Batu C). Teks ini dipublikasikan oleh van Stein Callenfels dimana menyebutkan “kang
apande wsi ring tambelingan” (pandai besi dari Tamblingan).12

terbaru yang mengusung teori “dorpsrepubliek” (republik desa) terjemahan yang agak mundur dalam pendekatan
masyarakat Bali (Geertz 1980: 46-47).
Untuk menarik pedagang asing (banyaga sakeng sabrang) mengunjungi Manasa, lihat teks asli yang dipublikasikan leh
Brandes ( 1889: 51), berkaitan dengan Sembiran A IV dalam a Goris. Naskah bertahun Saka 987 mengulas secara khusus
desa Julah. Untuk melihat informasi ini lebih jauh lihat Soekarto K. Atmodjo 1976: 27. Eksistensi hubungan dagang antara
sisi Utara dengan wilayah danau Bratan , dinyatakan dalam Kintamani D, bertahun saka 1122. Naskah tesebut tidak
dipublikasikan, namun Goris menunjukkan tentang Julah: wong ring wintang ranu adagang mare Les. Paminggir
Buhundalm,Julah (1954: 254), artinya: penduduk tepi danau Batur berdagang ke Les. Paminggir Bondalem dan Julah.
10
Mempertontonkan mayat hanya dijumpai di Trunyan, penguburan mayat juga dijumpai di wilayah yang sama. Sementara
pembakaran mayat yang cukup menarik peminat untuk melihatnya, merupakan praktik yang cukup kuno yang hingga kini
belum diteliti. Ada dialek bahasa yang sama yang menjadi ciri yang cukup menonjol, beberapa suku kata terbuka dan
pengucapan sebagaimana dijumpai dalam bahasa Indonesia, misalnya kata ganti orang untuk orang pertama aku, dijumpai
di desa desa Padawa, Sidatapa, Tigawasa, disebelah barat Singaraja hingga Tenganan yang berlokasi di selatan Bali.
11
Ingatan kolektif, dilakukan secara sadar dan dilisankan, namun cukup rentan di Bali. Sebaliknya ada suatu bentuk ingatan
praktis, sering tidak dilakukan secara sadar, misalnya yang sering dilakukan pada upacara di pura atau di pelinggih dimana
nama dapat ditransmisikan sementara kehilangan makna eksplisit mereka. Ingatan praktis tersebut dilakukan secara selektif.
Contoh, kegiatan pelabuhan dan seluruh aktfitasnya masih menyimpan dalam ingatan mereka suatu symbol yang diabadikan
di pelinggih yaitu Dewa Ayu Subandar, ditemui di beberapa tempat di Utara disekitar danau Batur. Saya mengharapkan
penguasa dikemudian hari untuk mempublikasikan yang saya kumpulkan tentang keilahian, terkait dengan wilayah danau
Batur yaitu di Dalem B(a)lingkang yang merupakan istri dari seorang cina atau budha.
12
Bukan tempatnya disini untuk mendengar sendiri akumulasi tanda tanda yang dapat ditemui pada pura di beberapa desa.
Meski demikian, cara “membaca” pura-pura yang telah sedikit dieksploitasi. Gunung Raung adalah suatu referensi kuno di
suatu pegunungan Jawa Timur yang menjadi tempat datangnya orang Jawa pertama, Mpu Markandeya, menerabas hutan
di desa Taro, sebelum jaman Majapahit. Gana, adalah bentukan masyarakat Bali untuk Ganesa, adalah suatu strata kuno,
Sebagai simpulan, manuskrip tersebut menunjukkan wilayah wilayah tetap yang jauh dari turbolensi,
dimana kaum pande melakukan bidang pekerjaan mereka, namun tidak satupun informasi yang bisa
diselusuri dalam representasi dan praktek tentang tempat khusus bagi kaum pande dalam masyarakat
masa lalu atau suatu mithologie yang berkaitan dengan jenis kerajinan seperti itu. Dalam teks teks
yang sama hanya berisikan referensi tentang pande sebagai subyek pajak sebagaimana profesi
lainnya. Bidang cakupan informasi yang ada pada prasasti agak terbatas dan terjemahan yang ada
hanya ditujukan pada tingkat kepentingan tertentu yang tidak memungkinkan untuk mengungkap
lebih jauh tentang bagaimana kehidupan dan penghidupan suatu masyarakat pada masa lalu. Dalam
keterbatasan ini mungkin yang bisa dicatat bahwa jika kaum pande dibedakan sedemikian rupa, tidak
ada yang tersisa dari keadaan masa lalu, atau mengharapkan untuk menerima suatu informasi yang
kurang akurat. Untuk melanjutkan penelitian tentang kedudukan pengrajin, hanya bisa berharap dari
informasi sumber-sumber dari jawa dan berusaha untuk mengekstrak suatu nformasi yang lebih
lengkap.

1.3. Sumber sumber informasi dari jawa

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditegaskan disini bahwa penelitian tentang kerajinan pada
masyarakat jawa kuno tidak termasuk dalam lingkup penelitian ini. Informasi yang dihimpun hanya
dibatasi pada informasi informasi yang diperkirakan dapat memperjelas atau berkaitan dengan
penelitian utama tentang Bali. Referensi utama yang digunakan disini adalah merujuk pada karya
Th.Pigeaud tentang Jawa abad 14 yang merupakan suatu kajian mendalam dari Nagarakertagama dan
tambahan teks teks lainnya. Kedudukan pengrajin pada masyarakat jawa kuno tidak secara jelas
diungkap dalam teks teks ini, hanya digambarkan sebagai pelengkap saja. Dalam masyarakat jawa
kuno, pengkelasan kategori besar masyarakat hanya ada kelas masyarakat agamawan, ningrat dan
petani, masyarakat yang tergantung pada seorang majikan, dan raja dan bangswan lokal. Dalam
prasasti raja raja masa pra majapahit. Kelompok pengrajin demikian halnya dengan pedagang dan
seniman adalah dicap sebagai orang asing dan budak, artinya kedudukan mereka ini sangat rendah.
Kaum pengrajin dan seniman adalah merupakan bagian yang berkaitan dengan institusi sangat khusus
dari mangilala drwya haji, suatu kelompok yang eksis karena kehendak raja. Para pengrajin, tidak
menerima upah langsung dari majikan mereka, tetapi berasal dari keuntungan pajak yang dipungut
dari masyarakat kampung.13 Kita hanya bisa terkejut menemukan bahwa diantara para penagih pajak
tersebut adalah para gelandangan (Pigeaud 1962: 422-23). Di Bali, beberapa prasasti berisi ekpressi
yang sama, tetapi tidak pernah diikuti dengan suatu daftar orang orang, dan identitas pengumpulnya
tidak jelas (Goris 1954 II: 239). Meski demikian, dikedua masyarakat tersebut, teks teks yang
berkaitan dengan pengertian pengertian di atas nampaknya melihat pengrajin secara sempit untuk
menghormati pusat-pusat kekuasaan.

sangat jarang ditemui kedewaannya. Blambangan adalah salah satu lokasi di Jawa Timur dimana Bali pernah berhubungan
secara intens di abad 16 hingga abad 18. Solo (Batara Dalem Solo) menunjukkan nama lain dari Surakarta, mengacu pada
kehadiran akhir masyarakat Bali di Blambangan dan partisipasi mereka pada peperangan dimana kerajaan Jawa Tengah
teribat secara langsung.
13
Stutterheim, menyatakan sebuah prasasti jawa bertahun saka 851 dan termasuk ekspressi mangilala drwya haji mengikuti
suatu daftra istilah, membuat hipotesis bahwa istilah istilah ini mengacu pada suatu profesi kuno yang dianggap sebagai
magis yang berbahaya (1925: 244, catatan 70). Lebih memandang pengumpul pajak kerajaan, pengarang yang sama
menunjukkan bahwa kelompok kelompok ini mungkin dibedakan dengan alasan ketergantungan mereka baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap yang berdaulat yang mengalokasikan penghasilan mereka (1925:245). Juga
interpretasi dari Robson menyatakan pembaca kidung (1971:17).
Pada abad 14, sistem mangilala drwiya haji, nampaknya tidak digunakan, namun prasasti Biluluk
mengungkap dalam bentuk kiasan tentang hak pemberian pendapat bagi kepala kelompok pengrajin-
pedagang (Pigeaud 1962: 422). Nampaknya , para pengrajin memperoleh keuntungan atas kebajikan
pangeran atau raja, dan bahwa mereka dianggap lebih terhormat. Fakta ini semua lebih luar biasa,
bahwa mereka melakukan pekerjaan yang dianggap kasar dan rendah, seperti tukang daging, pewarna
dan pembuat gula merah. Padahal , dalam kepustakaan jawa dan bali pengertian candala, berkaitan
dengan suatu daftar pekerjaan yang dilakukan oleh penduduk Biluluk.14 Tantu Panggelaran, suatu
istilah yang dikenal di Bali, yang pada intinya menyebutkan ada lima pekerjaan yang harus dihindari,
dimana salah satunya adalah pekerjaan logam.15 Pertanyaan yang patut diajukan di Bali, sebagai
rujukan referensi bagi candela, apakah ada kelompok masyarakat yang hina, bahkan “tak tersentuh”,
dengan alasan praktis karena pekerjaannya kasar dan rendah. Pandangan negatif dari Kern (1932:
168) yang didukung oleh data yang berasal dari jawa, maka sebaliknya menurut Pigeud, para pengrajin
Majapahit adalah kelompok masyarakat yang dihormati (1962: 496), sebagai contoh misalnya di
Biluluk tidak ada pengecualian sekasar apapun pekerjaan tersebut. Menyikapi ini, perlu dicermati
lebih jauh istilah candala yang merupakan salah satu aspek indianisasi yang berdasarkan peraturan
hukum masyarakat India, yang kemudian dijalarkan selama berabad abad kepada masyarakat Jawa
dan Bali. Sama halnya dengan adanya pembagian hirarki 4 kasta dalam masyarakat, tidak dapat
dipungkiri berasal dari India (Pigeaud 1962:259).

Berdasarkan pandangan sosiologi, kelompok pengrajin tetap merupakan bagian parsial, kalaupun
diulas hanya sekilas dalam negarakertagama (Kidung 63) dan kelompok kelompok keluarga dalam
permukiman khusus seperti halnya di Biluluk, tidak diketahui adanya kelompok spesialis pengrajin
yang hanya mengerjakan peralatan upacara agama, yang ada adalah pengrajin yang mengerjakan
peralatan untuk keperluan pertanian. Sebagai contoh misalnya pengrajin besi yang mengerjakan
pekerjaan atau memperbaiki alat alat pertanian atau peralatan yang digunakan untuk
memotong/menebang kayu. Model model pekerjaan sederhana inilah yang dikerjakan oleh para
pande, menurut suatu lagenda tradisi kuno dalam Tantu Panggelaran (Pigeaud 1924:58-59) yang telah
menerima wahyu dari Brahma atas pekerjaan mereka. Nampaknya, jelas mereka tidak punya alasan
untuk berada dalam ketergantungan dengan pendeta atau bangsawan, sebagaimana halnya di daerah
perdesan. Juga, dari dokumen ethnografi yang melimpah yang terkumpul dari berbagai kelompok
masyarakat, yang mendalami suatu lokasi, yang didominasi oleh penduduk yang bekerja sebagai
pandai besi misalnya di beberapa wilayah di Afrika dimana kedudukannya dihormati, demikian halnya
dengan kedudukan yang dihormati pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia pada fungsi
fungsi yang berkaitan dengan fungsi keagamaan.

Lebih mengejutkan kenyataan bahwa dalam Nagarakertagama, bukan hanya membicarakan tentang
tukang pembuat senjata, utamanya keris, yang dibuat dengan kekuatan magis. Pentingnya keris bagi
masyarakat Jawa yang sarat dengan simbolisme telah banyak dibahas oleh berbagai pakar terutama
oleh Rassers (1959: 217-297). Sebaliknya, mungkin sesuaikah untuk mengeluarkan beberapa syarat
tentang status nyata bagi pembuat peralatan senjata, tanpa mengakui secara apriori nilai yang

14
Penjual arak (adol sajong), pencuci pakaian (amalenten), tukang jagal (ajagal), tukang tembikar (angdyun) dan pande
(apande). Lihat Pigeaud 1924: 296.
15
Lihat Mircea Eliade (1977) atau Forbes (1964) untuk suatu pendekatan global dan perbandingan. Untuk keseluruhan
Indonesia, lihat Encyclopedie van Nederlandsch Indie kemudian msuk ke metaalbewarking dan smeedkurst. Tentang posisi
tukang besi di Batak,lihat van Ossenbruggen 1905: 368-369. Untuk Toraja di Sulawesi Selatan, lihat artikel dari Kruijt “ Het
ijzer in Midden Celebes” dan artikel terbaru dari Zerner (1981).
terkandung pada keris yang menunjukkan kelas sosial seseorang. Memang, benar bahwa nilai sesuatu
obyek tidak dapat menunjukkan secara otomatis bagi pembuatnya. Di Bali, pengrajin yang membuat
topeng barong tidak terlalu berperan untuk memberikan “kekuatan dan menghidupkan” barong
tersebut, tetapi itu adalah tugas para pendeta yang akan mengpasupati dengan cara upacara tertentu.
Juga perlu diperhatikan bahwa penggunaan keris tidak dapat digeneralisasi dengan islamisasi di Jawa
dan bahwa acuan dalam kepustakaan tentang pembuat senjata diberi kehormatan sebagai Mpu yang
jauh lebih berkembang seiring dengan perkembangan budaya pesisir.16 Diffusi antara pengrajin
senjata dan tukang tempa senjata berawal di abad 16, sementara pengembangan narasi lagendaris
semuanya murni berasal dari tradisi jawa, yang mencerminkan perbaikan kondisi dalam sosial dan
ekonomi, dan juga sebagai tempat cadangan senjata dalam dunia Islam.

Pada abad 14, ketika terjadi kelangkaan bahan besi maka produk pengrajin hanya diproritaskan untuk
pembuatan keris yang terbatas hanya pada golongan bangsawan, sehingga keris ini dianggap memiliki
keterkaitan kepercayaan magis. (Pigeaud 1962: 508-509). Dengan latar belakang tersebut, tradisi jawa
dapat ditelusuri dengan keberadaan keris pada masa Majapahit, karena tidak dimiliki sumber
informasi mengenai obyek tersebut sebelum periode tersebut, sementara teknik menempa cukup
dielaborasi dan spesifik untuk diterapkan pada masa itu (Solyom 1978:12). Keris secara tradisi,
berkaitan dengan kekuatan supranatural dari sipembuat senjata, dalam hal ini Mpu, yang memiliki
kapasitas membuat keris dengan tangan sebagaimana narasi lagendaris dari Bali hingga Malaysia (Hill
1962:13).

Ada dua contoh yang keduanya diambil dari abad 15, lebih tepatnya mengenai keberadaan keris pada
zaman Majapahit. Dekat dari Solo, di lereng barat Gunung Lawu, pada satu candi yaitu Candi Sukuh,
di bagian bawah candi terdapat suatu relief yang menunjukkan pengrajin senjata sedang bekerja. Di
tengah relief ada seseorang dengan kepala gajah, kemungkinan adalah Ganesa, didekatnya
tergambarkan seseorang yang ditangannya semacam alat tiup piston ganda, yang selalu digunakan di
Bali, juga terlihat dalam relief tersebut sorang pandai besi sedang bekerja dimana disekitarnya terlihat
beberapa keris. Pelajaran apa yang secara signifikan bisa ditarik dari illustrasi pada relief tersebut ?
Menurut O’Connor (1975: 183) dari relief tersebut mengungkapkan gambar tukang tempa, pandai
besi dan tentara pada abad 15 yang sarat dengan makna agama dan mistik. Di zaman modern, suatu
lagenda yang masih tetap terjaga yang mengingatkan tentang teknik menempa yang berlokasi di
Gunung Lawu yang terkait sebagai daerah kedaulatan Majapahit (Adam 1938: 100).

Dalam kepustakaan Pararaton (Kitab Raja Raja) yang menceriterakan tentang asal asul dari dinasti
Singasari-Majaphit, disebutkan suatu episode pembunuhan seorang pembuat senjata Mpu Gandring
yang dilakukan oleh Ken Arok, sebelum mempersiapakan diri menempati suatu kedudukan
dipemerintahan Tumapel (Brandes 1920: 15-16;59-60). Ia disarankan untuk menemui Mpu Gandring
dari Desa Lulumbang yang tersohor kepiawiannya dalam pembuatan keris sakti (yoni olih agawè keris),
kekuatan dahsyat yang mematikan. Lalu Ken Arok berangkat menemui Mpu Gandring di desa
Lulumbang yang berlokasi dekat dari Tumapel, kepada Mpu Gandring dimintai mengerjakannya paling
lama lima bulan, waktu yang sangat singkat bagi Mpu Gandring untuk menyelesaikan orderan

16
Lihat Pigeaud (1967:278), tentang perkembangan budaya di sisi utara Jawa dan peningkatan narasi lagenda tentang ahli
pembuatan senjata. Utamanya, dalam narasi sejenis Serat Kanda, Mpu Supa atau Rembang menduduki arti penting dalam
masyarakat. Pigeaud memberi salah satu resume narasi tersebut yaitu Serat Kanda ning Ringit Purwa (1968: 356-363).
Kedudukan para tukang senjata dalam narasi seperti ini tidak ada samanya di Bali, Meski demikian dengan perkembangan
Islam, Bali tidak menerima lagi pengaruh besar dari Jawa dan meneruskan evolusinya selain perubahan yang mempengaruhi
pulau Bali. Dalam rangka kajian ini, akan dilakukan pengamatan lebih tajam terhadap narasi narasi tersebut.
tersebut. Ketika saatnya tiba, Ken Arok kembali menemui Mpu Gandring untuk mengambil
pesanannya, namun alangkah kecewanya, ternyata keris itu belum juga selesai, ia marah dan memukul
hingga mati Mpu Gandring. Sebelum meninggal, ia mengutuk penguasa Tumapel berikutnya akan
mati dengan keris yang sama, juga kepada tujuh turunan raja. Kemudian Ken Arok membawa keris
yang tidak jadi tersebut dan tanpa pengawasan yang baik akhirnya keris tersebut membunuhnya.

Dari episode tersebut terlihat bahwa ada ketakutan yang menyeliputi para pengrajin keris pada zaman
Majapahit (Pigeaud 1962: 530), namun pada satu kisah ditemui cerita lain. Ketika Ken Arok berhasil
meraih tampuk kepemimpinan di Tumapel ia membayar utangnya kepada beberapa pandai besi dan
menyediakan turunannya suatu pajak bagi yang bekerja di bidang pertanian (Brandes 1920: 39, 62).
Utamanya, istilah arik purih yaitu suatu bentuk pajak kerajaan yang dipungut pada zaman Majapahit
untuk masyarakat perdesaan, seperti yang banyak disebutkan di berbagai teks dari abad 14,
diantaranya prasasti kedua Biluluk yang bertahun 1391 (Pigeaud 1962: 421-22). Ketidak luputan dari
pajak ini berarti bahwa pandai besi senjata, untuk sementara mempengaruhi gelar kehormatan Mpu,
dengan demikian diperoleh kontribusi pajak yang sama dari masyarakat umum. Hal ini mendorong
adanya pembedaan istilah yang digunakan sebagai acuan, sebagai tanda penghormatan dan sebagai
tanda yang membedakan suatu karya seni esotoris, dalam kondisi nyata dari bidang pekerjaan
pembuat senjata pada sejarah masyarakat Jawa. 17

Dalam Korawasrama, suatu kompilasi dari fragmen mitologi dan unsur unsur lagenda, salah satunya
membahas tentang seorang pandai besi yang bernama Sang Empu Pande. Referensi ini hanya sebagai
upaya untuk menghubungkan antara presentasi logam (emas, perak, tembaga, perunggu, timah dan
besi) dan yang terkait dengan pewarnaan (Swellengrebel 1936: 50-51). Dalam salah satu text dalam
referensi (1936: 138-139) disebutkan bahwa Wisnu dan Sri berlindung pada suatu rumah tukang emas
yang ditunjukkan dengan istilah istilah sebagai berikut : Mpu Galuh ( bahasa sansekerta, galu adalah
semacam batu permata) dan Mpu Nandithama (Sansekerta, nadimdhama, tukang emas), namun
dalam referensi kedua ini tidak diperoleh informasi yang banyak tentang pengrajin logam, kecuali satu
nama tukang emas, Mpu Galuh yang ditemui dalam tradisi Bali.

Sebagai akhir dari penyelusuran naskah dari Jawa ini, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa
diantara sekian bayak spekulasi tentang tema makro dan mikrokosmos, hubungan antara tukang besi
dengan kosmos. Dalam Tantu Panggelaran, pada bagian utama yang ketiga, menyajikan karakteristik
sejarah zaman Majapahit, di awal text disajikan unsur unsur yang relatif bersifat lagenda yang menjadi
dasar kerajaan Medang Kamulan. Setelah itu membahas tentang Brahma dan Wisnu telah diciptakan
sebagai pasangan primordial, Bhatara Guru, dewa tertinggi, yang kemudian diundang oleh beberapa
dewa untuk datang ke Jawa untuk mengajarkan kepada manusia dasar dasar peradaban antara lain
seni pertukangan besi, membangun rumah, seni pidato dan berlaku adil, pertukangan emas dan
melukis (Pigeaud 1962: 58-59).

17
Diluar perbedaan tersebut, kita patut mempertanyakan gelar Mpu tidak hanya memiliki register sastra. Kenyataannya,
sebuah konsultan Registre Onomastique de l’Ephigraphie Javanaise oleh L.C. Damais (1970) kedua kata: pande (pande,
pandai, panday) juga (em)pu, tidak ditemukan jejaknya dalam penggunaan gelar untuk menunjukkan pengrajin. Tentang
karakter yang kemungkinan magis dan berbahaya pada beberapa kelompok profesi, diantaranya termasuk kategori
pekerjaan logam. Harus hati hati mengikuti saran Stutterheim yang mengingatkan bahwa tidak satupun bukti yang
menunjukkan bahwa konsep ini adalah kontemporer pada saat penyusunan inskripsi tersebut (1925:279).
Brahma menerima missi untuk mengajarkan manusia dalam pembuatan senjata dan berbagai
peralatan. Bhatara Guru memerintahkan Brahma dalam penggunaan istilah istilah pande wesi, mpu,
membuat referensi ke Mpu Sujiwana, kemungkinan deformasi dari sujihwa (api), sebagaimana yang
disarankan oleh Pigeaud yang mengatakan bahwa Brahma sangat sering juga disebutkan sebagai
Dewa Api dalam berbagai text (1924: 130). Dalam pengembangan suatu obyek yang tidak ada
persamaannya baik untuk seni dan maupun teknik lain seperti yang disebutkan, Brahma
menggunakan untuk mencapai tujuannya berdasarkan lima unsur dasar (panca mahabhuta): tanah,
air, udara dan eter. Unsur unsur ini kemudian diassosiasikan dengan peralatan tukang besi, seperti
yang tertera dibawah ini:

Prthiwi Tanah Parwan Landasan


Apah Air Capit Tang
Teja Cahaya/Api Apuy Api
Bayu Udara Hububan Peniup
Akasa Ether Palu Palu

Informasi semacam ini banyak ditemukan dalam teks teks bali sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Hanya untuk mengingatkan kembali bahwa informasi yang bersifat spekulatif ini-
termasuk budaya jawa- untuk diperhatikan bahwa pemetaan ini juga berangkat dari kosakata
sansekerta asli dan terminologi murni bahasa Indonesia. Beberapa hal dari informasi yang didapat
dari berbagai sumber ini secara tidak sengaja dicoba untuk dibedakan dan diklasifikasikan misalnya
hubungan antara ether dan bumi, antara palu dengan landasannya, hal ini mengingatkan kembali pada
suatu faham dualisme kuno seperti atas – bawah, laki-perempuan, langit –bumi.

Diakhir pembahasan diatas sumber sumber informasi yang digunakan lebih banyak dari sumber
berdasar bahasa Indonesia. Tertulis misalnya bahwa gunung merapi di Jawa Timur hingga hari ini
menyandang nama Brahma (Bromo) menyiratkan bahwa Brahma dahulu yang memasang dan
menempa gunung tersebut. Dalam episode Tantu, diceriterakan bahwa Brahma adalah wujud
pencipta manusia pertama yang lokasi tempat tinggalnya berada di suatu gunung dan dia juga adalah
tukang besi. Kemudian muncul kembali tema lama yang tidak berkaitan apapun dengan faham hindu
dengan menentukan pencipta bidang pekerjaan pandai besi, sementara bengkel adalah tempat
mencipta.18 Perlu digarisbawahi disini, termasuk bagi pengarang/peneliti buku ini, bahwa penyajian
informasi ini relatif cukup lawas dan bercampur dengan fragmen yang sarat dengan mitos kemudian
di transmisikan selama berabad abad, mungkin tidak mencerminkan masa lalu secara tepat.

Sebagai simpulan, kita dapat mengatakan bahwa pada zaman Majapahit (Abad 13 – Abad 15), para
pengrajin adalah kelompok yang dibedakan sebagai kelompok masyarakat yang tidak bergerak
dibidang pertanian sebagaimana pada umumnya masyarakat pada masa itu, bahwa pengrajin telah
memberi informasi tentang hasil karya mereka. Nampaknya posisi sosial mereka telah meningkat,
seperti sebelumnya, dalam berbagai teks mereka diperlakukan dan dipertahankan sebagai kelompok
marjinal atau dalam berbagai hal diberi toleransi oleh para penguasa, pemberlakuan seperti ini juga
dialami bagi kelompok kelompok masyarakat lainnya seperti untuk seniman musik dan penari, contoh

18
Kajian yang dilakukan di Toraja oleh Zerner menyatakan bahwa Tuhan pencipta juga dikenal dengan sebutan nama to
menampa yaitu tukang besi, sedangkan leluhur utama Datu Laukku adalah tukang besi ( 1981: 94). Di Kalimantan, mitos
penciptaan yang ditemui di beberapa suku Dayak mengenal Selam-pandai, yang berkaitan dengan logam. Dusun di Sabah
juga ditemukan tradisi serupa (O’Connor 1975: 189.
pada pasukan keliling di jawa yang hingga kini masih ada, sebagai sebuah kontinuitas diakronis
tertentu. Manuskript yang berasal dari Majapahit pada umumnya memberikan informasi bahwa
kelompok pengrajin berintegrasi dengan baik dengan kelompok atau strata sosial yang lebih tinggi dan
dihormati, karena kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya. Namun tidak dipungkiri bahwa ada
sebagian kelompok pengrajin ini yang masuk ke pelosok desa dan kemudian menjadi petani paruh
waktu. Pandai besi dari segi jumlah sangat terbatas dengan berbagai alasan misalnya terbatasnya
bahan baku besi pada saat itu dan penggunaan material bambu dan kayu untuk berbagai
keperluan,misalnya berbagai keperluan barang tajam dan runcing yang dapat dibuat dari bamboo
(ngad) di Bali yang biasanya digunakan untuk memotong jabang bayi yang baru lahir. Dalam
masyarakat yang banyak begelut dengan dunia pertanian, fungsi pandai besi kadang kala bisa menjadi
dukun yang berkaitan dunia magis.19

Di Jawa, pengrajin benar benar dibedakan dengan kelompok masayakat pada umumnya, setidaknya
dalam penyebutan kelompok ini (mpu). Di lain sisi, keahlian yang berkaitan dengan besi ini lebih jauh
memiliki nilai, makna atau simbol simbol tertentu yang berkaitan dengan kosmologi, misalnya gelar
Mpu bagi pembuat keris.

1.4. Sumber sumber informasi dari Belanda

Informasi tentang “Tata karma dan Kebiasaan” masyarakat Bali dipublikasikan oleh Assistent Resident
Buleleng sepuluh tahun setelah Belanda menaklukkan Bali Utara (1849), menyatakan bahwa jumlah
tukang besi sangat sedikit. Juga disebutkan bahwa seorang tukang emas juga sekaligus bekerja
sebagai tukang besi dan tembaga. Setidaknya ini gambaran di Bali Utara saat itu, tidak ada pembagian
pekerjaan logam secara nyata bagi pande (van Bloemen Waanders 1859: 244).

Beberapa dekade kemudian, seorang administrateur Belanda lainnya, menunjukkan hal yang sama,
utamanya di desa Jagaraga, pekerja besi lebih fleksibel bekerja (Liefrinck 1882 – 1889: 192). Dalam
beberapa monografi pendek tentang desa desa di Utara bali, seperti Tejakula yang berada
diperbatasan Kerajaan tua Buleleng, adalah merupakan pusat kerajinan, tempat produksi garam,
berbagai macam bidang pekerjaan: pewarna, tukang kayu, pelukis, tukang sepuh, tukang besi
khususnya emas (Liefrinck 1882 – 1889: 11-15). Di desa tersebut ditemukan suatu rumah yang
penampilannya cukup bagus yang mempekerjakan setidaknya 31 pengrajin emas.

Untuk mengingatkan kembali, bahwa para bangsawan di Bali memiliki tukang emas yang tidak digaji
secara langsung tetapi diperoleh dari hasil pajak (belasting) dan jasa lainnya (heerendiensten). Para
pengrajin ini juga diizinkan untuk bekerja pada bangsawan lainnya, dengan diberi pondokan dan
makan, mereka mendapat upah misalnya berupa pemberian kuda atau wanita. Ada satu ceritera

19
Batas bahaya dalam pendekatan komparasi yang mengabaikan kompleksitas setiap budaya an singularitasnya, di ekstrak
dari unit unit semantik untuk menggabungkan secara cepat tema tema yang dianggap universal digambarkan leh Mircea
Eliade dan Joseph Campbell. Pembukaan pertama dari Bab bukunya mengulas tentang “Dewa dewa tukang besi dan
pahlawan peradaban”. Mengacu pada tulisan Forbes, sumber sekunder tentang Jawa dan Bali yang menyimpulkan bahwa
"mudah menghilangkan pengaruh terakhir Hindu (mantra, Brahma, Caka), untuk mengidentifikasi kompleksitas asli pandai
besi Indonesia: mitos keturunan dewa dan transmisi tradisional atau tertulis tentang silsilah (semacam puisi epik), kesakralan
suatu benda dan ritus inisiasi, persaudaraan mistis dengan penguasa dan posisi sosial istimewa. (1177: 72-73).
anekdot, seorang raja di Bangli memanggil seorang tukang emas yang sangat termasyhur di Tejakula
untuk membuatkan gagang emas kerisnya. Pengrajin tersebut menolak dengan alasan bahwa ia tidak
akan meninggalkan rumahnya sebelum selesai dibangun. Mendengar ini, raja memerintahkan dua
ratus orang untuk membawakan berbagai bahan bangunan untuk menyelesaikan rumah pande mas
Tejakula ini. Mendapat kenyataan hadiah seperti ini, si pande hanya datang ke Bangli untuk menemui
raja dan menerima pesanannya (Liefrinck 1882-1889: 13 – 14).

Di Selatan Bali, disekitar Klungkung ditemukan suatu lokasi konsentrasi pengrajin, tepatnya di Budaga,
dengan kerajinan utama perunggu yang dikerjakan dengan teknik cetakan lilin. Di Tojan dan
Jelantik,hingga saat ini, jalan dari arah Klungkung ke Gelgel masih ditemukan pengrajin tombak
(tumbak), keris dan senjata sumbu, sedangkan senjata modern biasanya diimpor (Jacobs 1883: 94).
Tradisi pembuatan senjata dan dan kerajinan emas setidaknya telah ditemukan di Kamasan menurut
Kat Angelino, seorang penulis (1921) 13 tahun setelah jatuhnya kerajaan Klungkung, akibat sistem
politik dan penghapusan berbagai bentuk hubungan ketergantungan (1921: 248 – 253).

Memang, pengrajin bekerja untuk kalangan Kraton – perbedaan kategori antara pande dengan
sangging yaitu pelukis, pencelup dan pendekorasi – ditempatkan dalam keadaan saling
kebergantungan. Perubahan hak dalam penggunaan dan pemanfaatan sawah (sawah ayahan),
membuat para pengrajin merasa puas dan senang bekerja pada bangsawan karena tidak khawatir
akan kelaparan. Para pengrajin ini mendapat pelayanan yang baik dilingkungan kraton. Ketika masa
perang, mereka ditugaskan untuk tetap tinggal di lingkungan puri dan menjaganya, sementara nasib
para petani pada umumnya dijadikan sebagai tentara cadangan kraton. Meski demikian, diluar waktu
kerjanya, mereka dibebaskan untuk bekerja dari pihak pemesan. (de Kadt Angelino 1921a: 235, 260;
1922: 376,391).

Untuk mengeahui lebih jauh hubungan antara pengrajin dengan para bangsawan. Ada baiknya
menyimak arti “tanah ayahan” . Kata ayahan kemungkinan terjemahan dari pelayanan atau pekerjaan
tanpa atau pekerjaan yang sifatnya kolektif. Kata kerja ngayah, bersumber dari kata yang sama, yang
berkaitan dengan menawarkan suatu pelayanan atau suatu pekerjaan tanpa imbalan materi. Istilah
yang sama untuk suatu hal yang sifatnya pengabdian misalnya pada desa adat atau pekerjaan subak
(Adatrechtbundel 1918: 58-60).

Dari tiga kasus tesebut, nampak bahwa ketiganya bukan pekerjaan utama atau regular, tetapi bekerja
atas permintaan yang sifatnya sementara dan sesaat. Hubungan antara pemberi dan penerima
pekerjaan diketiga kasus tersebut belum dapat secara jelas terbedakan, disatu sisi pekerjaan itu
diterima sebagai suatu kewajiban karena kepemilikan kolektif dimana mempunyai hak yang sama, di
sisi lain, pekerjaan ini diterima sebagai konsekwensi hubungan antara penggarap dengan pemilik
lahan. Sistem kepemilkan lahan di Bali sangat variatif dan kompleks. 20 Misalnya masa keberhakan
lahan melalui cara penyewaan lahan, ada yang berdasarkan atas kinerja atau banyaknya konstribusi
hasil yang di dapatkan. Pengertian umum mengenai berbagai macam penyewa lahan ini adalah
pengayah. Diantara mereka yang termasuk kelompok kedua terbesar yang memperoleh hasil dari
lahan, dapat dibedakan pertama kelompok yang tidak khusus menyediakan tenaganya untuk bekerja

20
Dalam hal ini, sumber yang paling penting adalah dari Liefrinc (1927j, Adatrechtbundel XV dan XXXVII, Korn (1932), de Kat
Angelino (1921b, c) dan Hunger (1933). Untuk presentasi yang komprehensif dari sistem kepemilikan lahan lihat Geertz
1980: 63-68, 168-180.
rutin atau ragam produksi dan bahan baku; dan kelompok kedua antara lain pengrajin, seniman musik,
pekerja pembuat mesiu, juru bedil.21

Konsekuensinya adalah, kondisi para pande yang bekerja dan melayani rumah rumah para bangsawan
masuk dalam kategori pengayah sebagaimana kelompok lainnya, pande besi yang merupakan jumlah
terbesar adalah pande besi dibidang senjata, karena permintaan puri dalam penggunaan peralatan
besi tidak terbatas. Di pihak lain, seluruh pengrajin yang tinggal disekitar puri tidak semuanya
berstatus pengayah dalem yang merupakan “orang” dari raja. Demikian halnya dengan tukang tempa
tembaga di Budaga, sebelah barat Klungkung, hanya ada 6 pengrajin yang bekerja untuk puri diantara
40an pengrajin yang ada, pekejaannya sangat beragam namun sebagian besar adalah peralatan untuk
kebutuhan upacara oleh pendeta. Demikian halnya di Kamasan yang berada di selatan Klungkung,
lima belas diantara tiga puluh lima bekerja untuk kebutuhan puri pada sawah ayahan (de Kadt
Angelino 1921a: 254, 261;1922:370, 376). Kelompok lainnya bekerja secara bebas atau bekerja pada
bangsawan bangsawan kecil.

Jika berbicara hubungannya dengan masalah ketergantungan, dengan segera dapat terlihat bahwa
seluruh “pegawai” aparat politik mendapatkan lahan kompenssi pelayanan dari raja. Bentuk
hubungan ini dimediasi melalui suatu hak penggunan lahan, yang kadangkala diartikan sebagai
hubungan klientalisme, artinya, para pengrajin dipandang sebagai tangga terakhir dari suatu piramida
dalam suatu hubungan yang berkelanjutan. Kondisi pengrajin menjadi “terangkat”, tidak sebanding
dengan ketergantungan kelompok masyarakat lainnya seperti petani penggarap atau hamba sahaya
lainnya. Sebaliknya, para pengrajin meskipun telah memperoleh posisi yang layak akibat
kedekatannya dengan kekuasaan, bukan berarti bahwa ditingkat jenjang masyarakat pada umumnya
posisinya lebih tinggi dari pada pengayah.

Berkaitan dengan kedudukan para pengrajin ini, de Kadt sangat sedikit memperoleh informasi.
Sebagian besar para pengrajin ini adalah kaum Sudra. Saat ini misalnya Pande besi, termasuk kasta
Sudra, dengan demikian menyiratkan bahwa mereka mungkin tidak selalu posisinya begitu. Yang
menarik adalah pertanyaan tentang keanggotaan/penggolongan kasta bagi pande besi –sejauh
pemahaman peneliti- sebagai suatu jawaban pengertian “Zij behooren tot de pande-Tusan” atau
mereka adalah bagian dari “pande-Tusan” (1921a:227). Kembali untuk mengingatkan bahwa secara
prinsip kelompok pande ditandai sebagai suatu kawitan di Tusan, suatu desa yang terletak antara
Klungkung dan Gianyar. Ada pertanyan yang sering diucapkan atau didengar pada masyarakat Bali:
Tiang nunas antuk linggih? Sesungguhnya jawabannya bukan untuk menjawab kedudukan (linggih)
dari suatu kasta (warna, wangsa), tetapi lebih pada kelompok kekerabatan, nama tempat asal muasal
moyang mereka.

Penggunaan gelar Pande atau gelar yang sepadan dengan pande besi, de Kadt tidak memberikan
penjelasan lebih jauh, hanya memberikan jawaban anekdot yang mengatakan bahwa gelar pande
tidak digunakan dalam rujukan atau alamat (1921a: 249). Gurun Sudarma, adalah adalah seorang
pandai besi yang berasal dari Kusamba, salah satu pelabuhan di Klungkung yang sangat terkenal
sebagai pusat pembuatan senjata. Gurun Sudarma, tidak dapat melupakan suatu kenangan sejarah
yang lebih kurang juga dirasakan Jenderal Michiels, “salah satu kemuliaan terbaik militer” yang juga

21
Lihat Kat Angelino 1921b: 228. Kelompok pangayah diwakili oleh Klian, seorang perbekel tergantung diri sendiri
ditempatkan di bawah perintah seorang punggawa yang langsung berhubungan dengan raja. Piramida hirarki bukan
berbasis teritorial.
wafat di Kusamba dalam bulan Mei 1849, dalam salah satu perang yang terekam dalam Le précis des
expeditions de l’armee nerlandaise des indes Oreientales contre le Prince de Bali (ekspedisi pasukan
Hindia Belanda melawan raja bali)(Booms 1850: 88). Sudarma adalah ahli pembuat senjata yang
sangat dihormati oleh Dewa Agung Klungkung. Terakhir ia membeli beberapa keris dari Kusamba yang
dibuat dengan menempa pisau yang sangat sesuai dengan pegangan gagangya. Pandai besi hanya
melihat sesaat obyek tesebut kemudian lalu bekerja tanpa memperhatikan hal lainnya. Ketika pisau
tempa selesai, Dewa Agung sangat puas melihat hasilnya. Sebagai tanda penghargaan atas kepiawian
kerja, raja memberi julukan atu gelar I Tingal.

Julukan ini jauh dari mereka yang bergelar Mpu, dan mesti dicermati bahwa tidak ada kata Pande di
depan Tingal atau Sudarma. Istilah atau panggilan Guru yang juga berarti ayah, adalah menunjukkan
perbedaan dan perhatian atau kedudukan, pada desa desa tertentu dilakukan perbedaan antara
penduduk biasa dengan penduduk yang memiliki hak hak tertentu misalnya guru desa (Korn 1932:
199). Guru adalah perbedaan yang nilainya terbatas pada masyarakat desa adat, yang sangat bebeda
pengertiannya dengan guru pada masyarakat yang lebuh luas. Guru adalah dalam beberpa hal
tertentu pengertiannya hampir sama dengan Jero, sebutan penghargaan atau sopan santun yang
digunakan bagi pemangku desa atau pada dalang. Simpulannya adalah tidak ada indikasi yang
menunjukan bahwa ahli pembuat senjata dan guru statusnya terangkat, dalam konteks tersebut,
mereka tetap sebagai Sudra dalam lingkup tataran perdesaan.

Kehidupan pande tetap dalam kesenjangan, bahkan dalam kegelapan. Informasi kontemporer tentang
kelompok pande, nyaris tidak satupun buku yang dapat dijadikan sebagai acuan informasi. Dari
keterbatasan informasi ini salah satunya dari suatu buku yang dinilai cukup memadai ditemukan di
Gianyar bagian Selatan tepatnya di desa Serongga, dimana pada beberapa bagian teksnya telah
dikutip pada pembahasan sebelumnya (Appendiks B). Tulisan tersebut ditulis kurang lebih dua puluh
lima tahun yang lalu (red.:ketika laporan penelitian ini dibuat tahun 1987) yang menjelaskan tentang
sejarah asal muasal suatu kelompok turunan yang ditengarai sebagai keturunan pandai besi yang
hidup sekitar awal abad 19. Leluhur tersebut datang kesana untuk memenuhi panggilan seorang
kepala desa yang memiliki ambisi memperluas kekuasaan yang lowong di utara Gianyar, dan
menyanggupi untuk menyerahkan suatu desa tetangga untuk ditinggali. Singkat kata, ambisi kepala
desa tersebut terwujud akibat majunya produksi pandai besi didesa tersebut.

Fenomena integrasi antara pandai besi dengan penduduk desa menarik untuk dicermati. Mereka
mendapat perlakuan yang baik dari penduduk desa, misalnya hak hak penuh sebagaimana penduduk
desa, diizinkannya untuk mengawini perempuan di desa tesebut dan hak pakai hasil sawah penduduk.
Kemudian selanjutnya adalah para pengrajin tersebut menjadi “pegawai desa” sebagai anggota
paruman desa bahkan posisi yang lebih tinggi lagi. Perkembangan selanjutnya memegang kendali
kekuasaan ketika berhasil menguasai desa desa disekitar desanya. Meski demikian keberhasilan
leluhur para pande ini tidak serta merta mengangkat posisinya dalam masyarakat baik dalam hak
maupun posisi derajat dalam masyarakat. Dalam berbagai diskursus, terminologi sebutan “jero
pande” yang secara struktur identik dengan ekspressi dalam sebutan “jero mangku” atau “jero
dalang” sebagai sebutan yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni, dan hampir semuanya dari
kaum Sudra.

Untuk melengkapi informasi tentang desa desa pada umumnya ada baiknya menyimak Desa Tenganan
suatu desa konservasi dimana keberadaan pandai besi telah beberapa generasi yang menurut catatan
sejarahnya berasal dari suatu keluarga Tunggak.22 Pande besi di Tenganan ini memiliki hak
penggunaan lahan sebagai salah satu kompensasinya, namun tidak memiliki hak sebagai anggota
paruman desa, kondisi seperti ini lebih mirip kedudukannya sebagai pengayah dalem, kecuali bahwa
yang menguasai lahan adalah sebuah desa dan bukan raja. Di desa tersebut ada lima pembagian
starata masyarakat (pancawangsa), terbentu dari kelompok kekerabatan dan berkaitan dengan
hirarki fungsi di desa. Kelompok keempat adalah kelompok pande yang terdiri dari setengah “kanan”
dan setengah “kiri” yaitu pande mas dan pande wesi (Korn 1960a: 330). Penelitian yang dilakukan
oleh Korn pada tahun 1926 menyatakan bahwa pembagian kelas seperti ini tidak ada, hal ini
didasarkan pada satu teks yang kebetulan hancur terbakar tahu 1876. Saat itu, menurut sejarah
bahwa kelompok pande telah ada di desa tesebut, namun tidak seorangpun dari mereka yang bekerja
sebagai pandai besi. Dengan demikian Tenganan dapat dijadikan sebagai suatu contoh bahwa sebutan
gelar diturunkan secara turun temurun, bukan pada profesi pekerjaan. Pande mas, tidak ada lagi sejak
lama, menurut catatan kelompok ini meninggalkan Tenganan dan berpindah ke Desa Bratan di utara
Bali (Korn 1960a: 332). Desa Tenganan adalah sebagai representasi desa volontir peninggalan neolitik
di Bali, yang tidak tersentuh jawanisasi, meski pendapat yang terakhir ini masih diragukan. Sebagai
contoh, keberadaan teks dan penggunaannya, misalnya ekspressi pancawangsa yang sama sekali
tidak berakar pada Bali kuno, jangan jangan ini adalah reinterpretasi simbol simbol jawa misalnya
penyebutan angka lima, dimana dalam tradisi dan budaya jawa angka ini sangat penting. Hal lain
misalnya, tentang pande di Tenganan apakah sama dengan Pande yang dikenal pada daerah lainnya,
dimana saat ini hanya ada pande besi dimana dalam kondisi ketergantungan dan tidak “dianggap’
sebagai orang Tenganan.

Apa yang menarik yang berkaitan dengan pekerjaan logam menurut pengamatan sekilas dalam
sepuluh abad? Yang pertama adalah mengenai citra kedudukan para pengrajin dan pembuat senjata
di Jawa dan di Bali, secara implisit merupakan gabungan dari kompleks budaya yang sama. Bila dilihat
dari sisi budaya Jawa maka menurut Rasser: “ Kedudukan sosial pandai besi jauh lebih terangkat di
masa lalu; dibawah pemeritahan para bangsawan mereka bekerja, memiliki keistimewaan” (1959:
224). Tambahan lagi dalam beberapa bagian lembaran kuno di Jawa menyebutkan bahwa peranan
para bangsawan dan pengrajin ditemukan setidaknya hampir sama. Bukankah para pengrajin juga
bangsawan secara silsilah berujung ke dewa? kita melihat bahwa ada penegasan posisi pandai besi
terikat secara definitip melalui satu sindiran untuk representasi yang seharusnya memang harus
seperti itu, jika kita mengikuti penulis, hal itu mencermnkan realitas sosial masyarakat jawa kuno, ini
suatu sejarah kuno tanpa presisi lebih lanjut.

Disisi budaya Bali, artikel yang sering dikutip dari Goris, meskipun menyajikan suatu refleksi yang
sangat menarik, namun interpretasi yang dibuatnya nampaknya mengejutkan. Dengan mengacu pada
“dokumen autentik” tentang periode awal sejarah jawa, dimana ia tidak menentukan lebih lanjut
esensinya. Goris mendukung suatu thesis yang menyatakan bahwa sebelum hinduisasi, seluruh
“kekuasaan tradisional asli” adalah di Jawa dan di Bali, yang ditanamkan dalam “autoritas” desa.
Assimilasi lain dari Bali ke Jawa, mencengangkan bahwa dalam teks teks, menurut difinisi
“penghinduan”, dapat menjadi kata kunci organisasi politik jawa atau Bali sebelum datangnya
pengaruh barat. Lainnya adalah, diantara autoritas desa ditemukan kenyataan bahwa para pengrajin
yang bekerja berbagai macam logam, paling tidak mereka disebut empu (Goris 1960c:291-292).
Hipotesis ini mestinya didiskusikan sebelum dijadikan sebagai sumber yang dapat dipegang

22
Korn telah menyebutkan hal ini pada tahun 30 (1960a: 313)
kebenarannya. Demikian halnya, pengertian empu atau mpu sama sekali tidak berkaitan dengan
pande sebagaimana yang ada dalam prasasti kuno di Bali, yang tidak dapat diabaikan oleh Goris yang
menerbitkan teks-teks ini sendiri. Adapun penggunaan istilah ini sebelum teks-teks awal, mekipun
jelas namun tidak mempunyai kemampuan untuk menjelaskan lebih lanjut.

Berikutnya, suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa bahan logam di Indonesia dipandang sebagai
sesuatu yang berbahaya, Goris mengulas hal ini dengan menyatakan bahwa siapa yang menggeluti
bidang pengolah logam ini biasanya bersentuhan dengan kekuatan magis, makanya kelompok
pengrajin logam biasanya dianggap “kelompok turunan yang terpisah”, dimana teknik pekerjaan besi
sangat dijaga kerahasiannya dan beberapa praktek praktek magis dipelihara dengan baik (1960c: 292).
Mengenai hal ini, agak rikuh untuk menanggapi tentang penggunaan magis api dan logam, suatu
asumsi tentang karakteristik masyakat kuno Indonesia, untuk menyimpulkan kedudukan pengrajin
besi dalam sejarah masyarakat bali dan masyarakat kontemporer. 23 Untuk itu, dimulai data data
etnografi suku batak di Sumatera, suku Toraja di Sulawesi dan beberap suku di Kalimantan yang dapat
dianggap mewakili cerminan masyarakat Indonesia, sebelum terjadinya perubahan besar besaran
dalam ruang sosial yang lebih besar. Keberadaan mitos tentang pandai besi-pencipta serta kedudukan
pandai besi dalam suku suku tersebut di atas mungkin karena keberadaan biji besi di tempat tersebut
dan menjadi tradisi lokal dalam pengolahan logam.

Mengingat terbatasnya deposito besi yang dapat dieksploitasi secara tradisional, tidak semua wilayah
Indonesia seperti itu, dalam masyarakat pertanian, pandai besi, tukang bengkel memainkan peranan
yang sangat penting. Di Bali misalnya pandai besi bukanlah orang yang lagendaris baik dalam konteks
oral maupun tulisan. Di dalam masayarakat dimana kepercayaan mistis dipercaya atau tidak secara
kaku, fragmen satu satunya adalah dari narasi penciptaan yang sama sekali tidak memenuhi
kompleksitas budaya indo-jawa mendorong penciptaan barang barang dari tanah liat (tanah legit)
misalnya dalam pembuatan keramik. Tema lainnya yang masuk dalam akar budaya lama adalah
pemanfaatan sisa pohon yang ditebang (tued).24 Ringkasnya apa yang telah diuraikan diatas semuanya
berkaitan dengan tanah atau kayu bukan logam.

Pemberian sesaji pada benda benda yang bersifat logam bukanlah sesuatu yang spesifik, karena
hampir seluruh kegiatan yang dilakukan, misalnya pedagang di pasar atau para sopir angkot semuanya
menggunakan sesaji. Banyak teks ditemukan yang membahas mengenai hubungan antara mantra
dengan pekerjaan tukang besi, namun buku tersebut berkaitan dengan esoteric yang harus dibedakan
antara praktek nyata dan siapa yang menimbulkan masalah keasliannya.25 Dewasa ini besi merupakan

23
Argumen magis melekat pada logam tampaknya meminjam van Ossenbruggen (1903, 1915), dimana Goris membuat
secara eksplisit referensi dan meneliti sekitar "mentalitas primitif" di Indonesia.
24
Unsur-unsur ini dilaporkan dari Covarrubias (1972: 120-121). Suatu sumber bertulisan Bali yang dibentuk dari manuskrip
yang berjudul Catur Bumii (Kr 30, 186). Dalam contoh kedua, kita membaca: Darah Hiang Guru rnagawe Manusa catur
sranania Natar legit, ika Karika maternahan Manusa lanang (Sang Hiang Guru membentuk empat manusia dengan tanah
liat, yang terbentuk menjadi laki-laki). Sejarah strain nangka ini terutama dikembangkan dalam versi Babad Kayu Selem yang
diterbitkan oleh Budiastra. Siwa memberikan pertama bentuk untuk strain yang menjadi taulan karena itu merupakan
bentuk benda mati, kemudian membuat manusia (manusa) laki-laki untuk memuaskan hasrat seorang wanita tanpa
pasangan (1979: 22-24) .
25
Saya tidak pernah bertemu dengan seorang pandai besi yang aktif yang tahu atau berpura-pura tahu literatur esoteric
tersebut, terutama dalam mantra yang ditemukan dalam prasasti atau Babad Pande. Beberapa naskah mungkin telah
terbaca, tapi selalu merasa bahwa unsur-unsur ini jauh di atas pemahaman mereka, dengan pengecualian pendeta bernama
Mpu yang dapat diberikan manfaat dari keraguan. De Kat Angelino tidak mengacu ke hal hal modern Mpu Pande yang
mengatakan tentang pembuatan senjata dilakukan orang suci, sebaiknya padanda, harus menuliskan suku kata suci HANG
di ujung senjata. Di sisi lain, manuskrit yang telah dikonsultasikan bukan milik Pande tetapi dari padanda Klungkung (1921A:
suatu bahan biasa yang mudah didapatkan atau kemungkinan diimport sejak lama. Padahal, besi
tidak sama dengan kayu dimana sebagian atau seluruh kayu bila memiliki suatu ukuran yang baik,
biasanya digunakan di merajan. Sebaliknya, pohon pohon yang ditemui di beberapa pura “fungsional”
dianggap memiliki kekuatan. Menurut hemat kami utamanya pada pura dalem ada kaitannya dengan
Durga (dewi kematian). Pada pohon pohon yang ada di pura jika orang mengambilnya dilakukan
dengan upacara besar, selain itu kayu digunakan untuk pembuatan topeng kayu. 26 Contoh contoh
lain, misalnya dalam pembangunan rumah tradisional hingga pemangkasan akar tunjang pada pohon
beringin, semuanya ini dimaksudkan untuk memberikan penggambaran perkawinan nabati dalam
alam mental dan praktek upacara masyarakat Bali.

Semua ini menunjukkan bahwa argument “magis logam” tidak cukup kuat dan sangat berisiko, jika
hanya mengandalkan fenomena Pande yang ada di Bali. Karena seandainya fenomena Pande itu
benar, maka tidak ada bukti yang kuat misalnya bagi tukang kayu atau pematung memiliki “magis
kayu”. Oleh karena itu, sejak awal penelitian tentang Pande ini dilakukan, telah dilakukan upaya
memasang jarak dari berbagai sisi dengan melakukan penelitian secara volontir dan dalam cara
berpikir masyarakat eropa dalam memahami sesuatu demikian pula dengan menjaga netralitas
dengan pemikiran pemikiran barat yang selalu melihat fenomea pandai besi selalu berkaitan dengan
magis.

Sebaliknya, bila dilihat dari sisi lain, seandainya tidak ditemukan suatu informasi yang cukup valid
tentang praktek magik masyarakat desa, maka tidak akan masuk akal menarik mereka secara apriori
seluruh yang mereka miliki dalam domain ini, hanya karena alasan tidak adanya sumber informasi
baik tertulis maupun yang bersifat oral. Perlu dicatat disini bahwa petunjuk satu satunya yang dapat
dikumpulkan disini tentang peran sebelumnya yang diemban oleh pande besi dalam suatu
kesempatan upacara tertentu adalah di Desa Tenganan. Memang, keberadaan kelompok pande di
desa`tersebut menjadi suatu keharusan setelah meninggalnya seorang cacad fisik yang dipercayai
akan berinkarnasi kemudian tanpa berpengaruh pada kehidupannya sebelum mati. Catatan cerita ini
bersifat cerita tradisi yang bersifat oral, sedangkan sumber sumber tertulis hilang semua, yang tersisa
hanya berupa ingatan tentang suatu peristiwa.

Berdasarkan saksi saksi yang secara tidak langsung berkaitan dengan teks teks lama dan yang tercatat
dalam ingatan orang orang yang masih hidup di awal abad 20 menyatakan bahwa kelompok pande
adalah kelompok yang kena pajak atau pengayah yang tidak perlu bekerja keras karena dibutuhkan
oleh puri. Menjadi catatan juga bahwa di Bali tidak ditemukan dalam babad kerajaan, kiasan tentang
pande atau mpu pembuat keris sebagaimana dalam kasus dalam Pararaton. Satu satunya babad yang
ditemukan adalah di Buleleng, yang menceriterakan tentang seorang tukang pembuat senjata yang
sangat hebat dengan kekuatan supranaturalnya, namanya Padanda Sakti Ngurah, ia adalah purohita

238-239). Umumnya penggunaan mantra dan formula lainnya adalah prettes caractete magis Ie dibuat, pertama-tama dan
terutama pamangku padanda, dan tidak ada yang bisa menjadi tanpa perlindungan minimum yang menganugerahkan
mawinten ritus kata. Seseorang tidak dapat membayangkan bahwa setiap tukang pandai besi menggunakan mantra dan
sangat mungkin hanya menghabiskan padanda senjata (Friederich 1959: 37). Kami juga mencatat cemberut bahwa hari
Tumpek Landep, saat dimana senjata diberi penghormatan keberadaan Pande / Pande tidak diperlukan.
26
Sebagai contoh di desa Singapadu, pembuat topeng dapat membangkitkan kekuatan supranatural (tenget) pohon tertentu
(kayu), yang memiliki roh (matonja), terutama ketika mereka memiliki lebih dari lima pangked cabang. Sebuah cabang besar
yang bercabang dua biasanya sangat tenget. Jika sebuah pohon menampilkan semua karakteristik tersebut di disebuah pura,
maka pura itulah yang memberi kekuatan magis, penebangan pohon akan mengakibatkan bahaya yang serius. Pengujian
dapat dilakukan dengan cara menancapkan paku ke pohon. Jika setelah tiga hari, paku tidak hilang, mulai diberi sesajen
(banten) dan melanjutkan pemotongan pohon.
dari Panji Sakti, pendiri kerajaan Buleleng (Worsley 1972: 152 -155). Informasi lainnya tidak
ditemukan dalam patung patung atau ikonografi pada pura pura yang menggambarkan wujud
pembuat atau pengrajin besi sebagaimana yang ada di Candi Sukuh.

Meski demikian, pada beberapa pura milik keluarga kerajaan seperti Pura Desa Gelgel atau beberapa
pura penting lainnya seperti di Batur atau Besakih, ditemukan merajan yang dipersembahkan kepada
Batara atau Ratu Pande. Disamping itu juga ditemukan persembahan kepada leluhur bersama
kelompok pasek yang merupakan kelompok lain dari Sudra yang memiliki kemampuan administratif.
Juga dalam pura tersebut dijumpai merajan dewi Subandar untuk penghormatan pada perdagangan
maritime27, ini adalah kelompok orang asing yang masuk dalam masyarakat bali kuno. Kerumitan
untuk mendapatkan informasi lebih jauh nampaknya belum akan berakhir, dengan memotong secara
acak sumber yang berkaitan dengan sejarah atau hal hal yang tidak dapat dipastikan mengenai realitas
sosial, belum dapat mengungkap gambaran tentang pengrajin besi dan kedudukan nyata para
pengrajin. Atau sebaliknya mengikuti cara yang lebih lambat untuk kembali membatasi fenomena
Pande. Kita tinggalkan sumber sumber dan representasi mereka untuk mengkaji tentang Pande ini
dengan melihat dan melokalisir teritorialnya.

2. Bidang pekerjaan, kekerabatan dan gelar pande pada masyarakat kontemporer

2.1.Kelompok Pengrajin dan kelompok kekerabatan

Hasil observasi menunjukkan bahwa harus dibedakan secara jelas dan pasti kelompok pengrajin
Pande, fungsi pertalian kekerabatanya. Untuk Itu akan diambil beberap sampel yang terbatas pada
desa desa Blahbatuh, Gianyar; desa Kamasan dan Tihingan di Klungkung. Sampel ini diambil sebagai
persentasi: Pande besi, Pande Mas dan Pande Bratan.

Blahbatuh adalah salah satu desa cukup maju di Selatan Bali, termasuk pusat kedua dalam hiararki
pusat pertumbuhan untuk tingkat Kabupaten dan menjadi “ibu kota” lama raja raja Bali. Desa
Blahbatuh yang dicirikan dengan butik dan pasar besarnya (Gambar 3), merupakan salah satu pusat
jaringan perdagangan regional dimana lahan wilayah ini dikuasai oleh keluarga Jelantik, yang terkait
dengan sejarah Kerajaan Gelgel (sebagai salah satu pusat kekuasan dan Kerajaan Bali tempo dulu).
Dengan pertimbangan tersebut di atas, kita bisa memperkirakan/membuat hipotesis bahwa para
pengrajin ini melakukan kegiatannya atas budi baik dari raja setempat. Dewasa ini, para pengrajin
logam berada dalam keterpinggiran (marginal), terbagi dalam empat kelompok kekerabatan yang
berbeda dengan memakai gelar Pande pada namanya dan hidup pada banjar yang berbeda.28

Sebagaimana pada masyarakat Bali pada umumnya, pada pempatan agung pada proses upacara
pradaksina (gerakan memutar pada pempatan agung), pertama ditemui di Timur pada kelompok
Banjar Tengah tepatnya di pura kelompok tersebut Pura Pande Batur (Gambar 4), di lokasi ini dihuni
oleh kurang lebih dua puluh keluarga sekerabat dan sekitar tiga belas keluarga lainnya adalah
pindahan dari Banjar Pande dan Laud. Para anggota kelompok ini ditengarai sebagai Pande Mas,
bukan karena alasan bidang pekerjaannya atau karena tukang emas, tetapi itu diperoleh dari turunan

27
Seperti di tempat lain di Indonesia, penguasa pelabuhan biasanya adalah orang Cina. Di pantai utara, subandar yang masih
beroperasi di abad kesembilan belas semuanya orang Cina (van Bloemen Waanders 1859: 183).
28
Desa dinas Blahbatuh terdiri dari lima desa adat, khusus Blahbatuh mencakup sepuluh banjar adat. Masalah organisasi
desa ini sangat kompleks, khususnya di Bali, dapat merujuk ke C. Geertz (1959), H. &. C. Geertz (1975), Boon (1977) dan
bebagai usaha untuk melihat dari berbagai perspektif tentang masalah ini (1980).
leluhur asli mereka yang berasal dari Kamasan. Mereka tidak mendapat kentungan dari sejarah
mereka atau dalam prasasti yang tersimpan dalam pura pura mereka, bahkan diantara mereka ada
yang tidak tahu semua ini,dengan alasan mereka tidak “berani” (bani) untuk menurunkan (turun)
prasasti yang ada untuk dibaca dan ditelaah. 29 Desa Kamasan aslinya adalah sebagai pusat pengrajin
emas tradisional di Selatan Bali. Kelompok masyarakat ini secara periodik mengunjungi Kamasan
untuk maturan ke Pura Bale Batur, pura yang disungsung oleh para Pande Mas dan juga beberapa
kelompok masyarakat lainnya. Keterkaitan upacara dengan tempat kawitan mereka dan keberadaan
istilah Batur pada nama kedua pura, suatu teks pendek yang bernama Prasasti Pande Capung, bukan
tanpa hiperbolik dengan penggunaan istilah prasasti, secara singkat menyebutkan Dé Késah, yaitu
nama yang diberikan mobilitas yang berasal dari Kamasan, yang bekerja dengan segala bakat dan
keterampilannya sebagai tukang mas pada Gusti Ngurah Jelantik, Raja Blahbatuh.30

Sementara itu sekitar selusinan keluarga membentuk kelompok kedua yang menyunsung suatu pura
desa, indikator tersebut adalah bukti konkrit kekerabatan mereka. Pura tersebut secara formal
disebut Pura Natar Pande (Gambar 5), berada dalam permukiman anggota banjar Pande. Nama
tersebut mengindikasikan bahwa dahulu telah bermukim penduduk yang mayoritas pande yang
kemudian memberi nama permukiman tersebut. Perlu dicatat bahwa Banjar Pande meliputi bagian
paling selatan (kelod) dari Blahbatuh, dimana secara simbolis orientasi ruang ada hubungannya
dengan hirarki, artinya lokasi sebelah selatan tersebut dialokasikan dan diperuntukkan bagi orang
orang atau kelompok yang mengabdi pada puri atau kelompok umum lainnya. Kelompok masyarakat
kontemporer tidak tahu persis sejarah mereka, mana yang bersifat norma dan mana yang bersifat
pengecualian, namun mereka berkeyakinan bahwa leluhur mereka adalah tukang besi yang berasal
dari Gelgel. Kelompok Pande Besi ini ikut serta kegiatan di desa leluhurnya misalnya pada upacara
odalan di Pura Dalem Ganda Mayu yang berlokasi di desa tersebut dan merupakan pusat upacara
agama bagi Pande Besi di wilayah Klungkung.

Di sebelah timur, tepatnya di Banjar Pokas, ada lima keluarga yang menyungsung satu pura yang
terpisah dengan kelompok masyarakat lainnya, bukan merupakan sanggah, tetapi berupa pura yang
dipromosikan menjadi sanggah gede (gambar 6), tempat melinggihnya leluhur atau leluhur lokal yang
aslinya bertempat tinggal di Blahbatu. Kelompok pande ini menyatu dalam satu kekerabatan yang
mereka namakan Pande Bratan dengan alasan bahwa asal usual mereka berasal dari tepi danau
Bratan, kelompok ini mayoritas tersebar di utara dan di timur pulau Bali. Kelompok Pande Bratan dari
Blahbatuh ini, sebagaimana kelompok lainnya, tidak bekerja dibidang logam, namun mereka

29
Lontar yang diwariskan oleh nenek moyang dianggap sakti, sebuah konsep yang implikasinya selalu bahaya. Lontar lontar
tersebut disimpan di tempat yang tinggi, suatu ekspresi turunan dari prasasti. Sering kali ada keengganan untuk memperoleh
sebuah naskah yang masih belum diketahui bagi mereka yang menyimpannya. Untuk melakukan ini, pertama tama memilih
hari baik (dewasa) dan menghaturkan persembahan. Meskipun kegiatan persyaratan ini telah dilakukan, ketua Pande Mas
mengatakan upaya membaca lontar dipotong pendek karena dihinggapi rasa tidak nyaman sedangkan aksara yang dipanggil
untuk acara itu mulai membaca prasasti tersebut. Beberapa catatan bisa diambil dari sebuah buku tulis yang bergabung
dengan prasasti dikembalikan dengan segera ke tempatnya. Dia sering tidak mengingat arti kalimat pertama dan tidak bisa
memutuskan untuk melakukan pembacaan baru. Mayoritas orang Bali tidak mau mengambil risiko (sing bani) dengan
supranatural, karena tidak merasa siap menghadapi. Pekerjaan itu adalah pekerjaan khusus, pendeta dan aksara yang
dilindungi dari kemungkinan efek semangat dan aksara ditularkan oleh para leluhur. Apalagi bila lontar akhirnya turun
setelah beberapa kali persiapan panjang dan banyak keraguan, isinya tidak selalu apa yang diharapkan. Demikian halnya, di
desa Pujung Kelod, prasasti satu keluarga Pande dalam kenyataannya isinya semacam teks usada dan karenanya
diperlakukan obat tradisional. Ada kesan bahwa pengetahuan aksara menjadi semakin langka, aksara lontar disimpan oleh
keluarga buta huruf yang sama sekali tidak termasuk dalam dunia leluhur dan secara sistematis menjadi tertutup dan rahasia
(kapingit). Semua ini memiliki konsekuensi kecil yang tidak memfasilitasi pekerjaan penelitian.
30
Yaitu manuscript Kr 1170.
mengakui sebagai turunan tukang emas namun berbeda dengan Kamasan. Berdasarkan hasil
wawancara berkaitan dengan masa lalu mereka mengatakan bahwa belum begitu lama mereka
menolak asal usulnya, setelah berkonsultasi dengan balian katakson, yaitu orang yang bisa
berkomunikasi dengan alam gaib.

Sebagai pamungkas dari sampel lapangan ini, dilakukan agak ke utara dimana sekitar dua puluh tujuh
keluarga di Banjar Babakan dimana dua keluarga lainnya juga tinggal namun berbeda banjar. Pura
mereka adalah Pura Penataran Pande (Gambar 7) yang kondisi bangunannya terlihat apik dan
proporsional yang menandakan bahwa kelompok ini sangat menjaga identitasnya. Kesan pertama
yang langsung menyita perhatian adalah ketika kita meninggalkan kelompok Banjar Pande untuk
mengunjungi kelompok lainnya pada Pande Besi. Pura untuk kelompok ini berdekatan dengan rumah
seorang pamangku. Putra pamangku ini yang diperkirakan akan mewarisi ayahnya ini memilki
pengetahuan yang jarang dimiliki kaum pande lainnya, baik secara langsung dan tidak langsung
berbagai teks yang sangat mendasar misalnya tentang ideologi Pande dikuasai dengan baik.

Ia mampu menjelaskan berbagai kelompok Pande di Blahbatu bukan berdasarkan leluhur mereka
tetapi asal nenek moyang mereka dari jawa yang diperkirakan menurunkan keahlian Pande ini.
Selanjutnya, Ia menyatakan bahwa sebagai konsekwensi penjelasan sebelumnya, ada perbedaan
antara Pande mas, Pande Kamasan, Pande Bratan dan Pande Besi berdasarkan perbedaan asal usul
keturunan mereka. Bila dilihat pada posisi keterwakilannya, kelompok yang Banjer Pande termasuk
kategori kelompok besar yang sama dengan Pande Besi yang merupakan turunan leluhur Mpu Siwa
Saguna, yang bermukim di Tusan setelah kedatangannya di Bali. Meski keduanya memiliki leluhur
yang sama namun dalam praktek kesehariannya tidak memiliki persamaan dan mereka memilih untuk
berjalan masing masing. Demikian halnya dengan Pande Bratan di Banjar Pokas dengan Pande Mas
dari Banjar Tengah yang sampai saat ini belum terungkap dan mereka tidak tertarik pada tradisi
tertulis. Meski demikian, menurut putra pamangku tersebut selanjutnya menolak spekulasi bahwa
asal usulnya lebih dekat dengan kelompok ini atau kelompok lainnya yang ada Blahbatu.

Di Kamasan (Gambar 8) kelompok pengrajin keberadaannya masih tetap berlangsung seperti yang
telah diungkap oleh peneliti Kat Angelino berdasarkan hasil observasinya. Sekitar tahun 1920, seorang
administratur belanda menggambarkan bahwa saat itu ada sekitar tiga puluh lima pengrajin emas,
selanjutnya ia menjelaskan bahwa hanya sepuluh yang membentuk kekerabatan Pande Mas. Kriteria
yang menunjukan hal tersebut ditunjukkan dengan keberadaan pura dadia (1922: 371). Dia tidak
merinci identitas pengrajin emas lainnya, juga dalam laporan tersebut disebutkan bahwa tidak semua
Sudra melakukan praktek pekerjaan tersebut, buktinya ada kelompok Triwangsa lainnya seperti
Brahmana melakukan pekerjaan ini (1922: 370). Lainnya adalah adanya pura yang disungsung oleh
kelompok pengrajin ini sebagai satu kesatuan kekerabatan, yang menurut mereka leluhurnya berasal
dari Jawa yang bernama Mpu Galuh.

Dari aspek pengrajin, situasi kontemporer saat ini ditandai dengan adanya kerjasama antara pengrajin
emas dengan pelukis tradisional, dan itu hanya ada di Kamasan. Kedua jenis kerajinan tersebut
utamanya ditemui di Banjar Pande Mas dan Banjar Sangging yang kedua nama tersebut dibiarkan
berbeda, bukan diartikan adanya pemisahan territorial dari kedua jenis pekerjaan kerajinan tersebut.
Kemudian, satu dengan lainnya dalam banjar banjar tersebut, para anggota dari pekarangan yang
sama , dapat melibatkan dengan baik kedua profesi tersebut, baik secara penuh maupun paruh waktu,
tergantung dari kebutuhan dan permintaan. Dengan alasan permintan wisatawan pada obyek lukisan,
maka pasar ini berkembang secara pesat dibandingkan dengan kerajinan emas, disamping adanya
kecenderungan semakin mahalnya bahan baku pembuatan emas. Dinamika ekonomi yang lebih
melihat prospek ekonomi kerajinan lukis ini, sebagai contoh tahun 1977 , perkembangan jumlah
pekarangan yang menekuni pekerjaan lukis ini berkembang dengan pesat sekali (Forge 1978: 8).

Dari aspek sosiologi, kedua banjar ini, secara administrative berbeda namun secara territorial
merupakan keberlanjutan yang membentuk kesatuan sosial dalam tatanan desa di Kamasan.
Demikian halnya dengan nuansa dan suasana kampung pengrajin yang sangat menyeruak dan
dukungan kebersamaan dari Pura Bale Batur, suatu pura dikualifikasikan secara lokal setingkat
pamaksan, dianugrahkan bagi anggota banjar yang berstatus kerabat dekat.31 Meski mereka
termasuk kelompok yang sama dengan kelompok turunan lainnya yang bergelar Pulasari, Pasek,
Pradewa dan Pande Mas, namun tidak dipandang sebagai kerabat dekat. Hal ini menunjukkan sebagai
informasi bahwa mereka yang berasal dari Pura Bale Batur adalah secara pasti pemillik Pande Mas
yang kemudian kelompok kekerabatan lainnya saling berhubungan, dengan alasan bahwa dalam
praktek yang terjadi pada umumnya pada pekerja tukang mas dimana Pande Mas tidak lagi satu
satunya yang mengurusi pura tersebut. Apa yang terjadi selanjutnya, kelompok Pande Mas
membentuk juga kelompok kekerabatan lain, yang bersifat bebas untuk mengurusi kerabat dekat
kelompok kekerabatan lainnya.

Mereka tidak memilik satu pura khusus, namun dua pura, suatu situasi mendasar bagi satu kelompok
kekerabatan lokal yang akan berhasil dengan baik dalam membagi kelompok pada suatu momen
sejarah untuk mendekatkan dua kelompok asal yang berbeda. Mereka sepakat untuk membentuk
satu kekerabatan tunggal. Persatuan tersebut ditegaskan sebagai tanpa pamrih dan kesepekatan
“patuh kulitne” (kami dari kulit yang sama). Penyatuan dua kelompok tersebut lebih jauh berlanjut
pada hubungan timbal balik saling sumbang pada acara kematian (saling sumbah). Kedua pura,
memiliki halaman yang satu dan ukuran yang sederhana, mereka menyebutnya paibon istilah yang
penggunaannya sama dan setara dengan pura dadia. Pura lainnya, dipisahkan posisi letaknya oleh
tembok Pura Bale Batur (Gambar9), disungsung sekitar 12 keluarga masyarakat setempat ditambah
beberapa anggota kerabat keluarga lainnya yang tinggal di berbagai lokasi di Bali, kelompok yang
dimaksudkan adalah yang berada di Banjar Tengah Blahbatuh sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya. Sekitar lusinan keluarga dari Pande Mas yang menyungsung pura lainnya juga belokasi
di wilayah yang sama yaitu di Banjar Sangging, namun berbeda dengan yang pertama, sangat sedikit
anggota kekerabatan diluar Kamasan yang ikut. Yang terakhir, kelompok Pande Mas yang pernah
dijelaskan sebelumnya bahwa leluhur tukang emasnya adalah Mpu Galuh dan disebutkan memiliki
prasasti, namun anehnya diantara mereka tidak ada yang tahu.

Masih pembahasan tentang Kamasan, ada sekitar enam puluhan Pande Besi yang tinggal pada banjar
ketiga, yaitu Banjar Pande. Pekerjaan menempa mengalami penurunan sejak dari pegamatan Kat

31
Pura pamaksan diberikan oleh Korn sebagai sinonim dengan pura Dadia (1932: 118). Pada kondisi ini Pamaksan
menunjukkan kelompok turunan juga dinamakan dadia. Makna inilah yang umumnya didapatkan (lihat Hobart 1979: 112 ,
346). Padahal Korn, kolektor data yang tersebar tersebut tidak memiliki pedoman, juga menunjukkan bahwa pura pamaksan
juga dapat mendukung pura oleh anggota banjar yang sama. Dia menambahkan bahwa pura ini dapat dianggap sebagai
awal dari sebuah Pura Puseh, pura asli yang didedikasikan kepada leluhur pendiri dari desa adat (1932: 85). Hal ini terlihat
bahwa pamaksan, pada kondisi ini dapat menunjukkan hubungan kekerabatan dengan hubungan tempat tinggal. Ekspressi
nyama banjar, kerabat banjar umum lainnya. Ini mengarah pada masalah hubungan antara kekerabatan dan tempat tinggal
yang sepengetahuan saya, belum dibahas dalam beberapa penelitian yang berkaitan dengan kekerabatan. Itulah alasan
ambiguitas tersebut yang saya gunakan sebagai ekspressi kuasi-kekerabatan untuk menunjukkan hubungan karakteristik
anggota Pura Bale Batur.
Angelino, yang berbanding terbalik dari wilayah lainnya, sedangkan kelompok Pande di Klungkung
masih tetap menggeluti pekerjaan menempa. Saat ini mereka bekerja dengan beragam bahan
termasuk pekerjaan emas. Tidak ada suatu ambigu dan perubahan menyangkut jati diri Pande Besi,
baik dari pertimbangan kelahiran maupun dari fungsi pekerjaannya, sebagiamana dicatat dengan baik
oleh Kat Anglino. Mungkin yang sedikit mengalami perubahan adalah barang produksinya. Pura dadia
bagi kelompok Pande Besi yang ada di Gelgel, Kamasan dan Tojan, berlokasi di desa terakhir di jalan
poros Klungkung, tepatnya sekitar Klungkung. Saat ini pura tersebut dikenal sebagai Pura Kori Batu,
suatu wilayah desa yang dikuasai oleh Jelantik, berdekatan dengan desa Tojan agak keselatan. Pura
tersebut bila dilihat dari denah tapak dan kegiatan yang ada nampaknya merupakan satu satunya pura
Pande yang berada di batas pinggir Desa Tojan dan Jelantik yang dibangun sekitar akhir abad 19 oleh
mayoritas tukang besi dan tukang senjata (Jacobs 1883: 94). Saat ini hanya sekitar tiga keluarga Pande
dan seorang pemangku yang tinggal dekat pura, jelas ini sesuatu yang baru dalam fungsinya dan
menolak nama nama yang ada pada sanggah, demikian disebutkan oleh Kat Angelino (1921: 230-234).
Disamping itu, hanya setengah dari Pande Besi Kamasan yang menyungsung pura tersebut dan
kelompok lainnya berafiliasi pada pura kedua yaitu Pura Penataran Pande yang berlokasi di wilayah
Banjar Pande Kamasan (Gambar 12).

Pada banjar ini ada dua kelompok dadia Pande Besi bertempat dilokasi orsinal mereka pada dua desa
yang berbeda, ditandai dengan pura dadia mereka masing masing. Ada kemungkinan lain, sebagian
Pande Besi dari Banjar Pande adalah turunan tukang besi dari Tojan-Jelantik, tahun lima puluhan
akhir putus hubungan dengan Pura Kori Batu yang kemudian membangun suatu pura baru ditempat
mereka berada. Perlu dicatat bahwa pura Jelantik, tidak secara istemewa, dinamai hanya untuk
mengingatkan bahwa mereka adalah anggota kelompok Pande. Kori Batu artinya, pintu gerbang yang
terbuat dari batu, dulunya dihiasi ornamen petunjuk waktu, saat ini sudah hilang diperkirakan tahun
1800. Tahun tersebut berdekatan dengan prasasti yang tersimpan pada pura tersebut, saat dimana
Kat Angelino mengumpulkan informasi untuk angketnya, prasasti tersebut disusun di kopi ulang tahun
1795 (1921a: 231). Dalam teks yang sama berkaitan dengan datangnya leluhur dari Jawa ke Bali, juga
masih tersimpan pada pura yang sama dan teks tersebut dibacakan didepan ummat pada acara
panyungsung.32 Keberadaan teks prasasti di pura tersebut juga merupakan kebanggaan bagi
kelompok yang menyungsung pura terebut, meskipun Pura Kori Batu tidak lagi menjadi tempat tinggal
bagi kelompok Pande yang berada disekitar Klungkung.

Pura lainnya, Pura Dalam Ganda Mayu, pura ini meskipun bangunannya relatif baru terlihat dari bahan
bangunan yang digunakannya, tempat ini nampaknya tempat ibadah yang cukup tua meskipun tidak
terekam dalam tulisan Kat Angelino, ini cukup mengejutkan. Pura ini tidak seorangpun yang tahu asal
usulnya, lokasinya di selatan Gelgel, disebuah bidang lava yang merusak pura tua. Tempat suci
tersebut ciri utamanya adalah adanya dua bagian ruang, yang pertama diperuntukkan bagi kelompok
Brahmana dan Pande Besi lainnya yang tinggal disekitar Klungkung- Gelgel, bagian ruang yang kedua
diperuntukkan bagi leluhur aslinya yang tinggal disana, misalnya kelompok Banjar Pande Blahbatu.
Hubungan kelompok Pande dengan pura tersebut agak kabur, sebagaima umumnya yang sering

32
Kondisi yang terbaik adalah naskah yang ditulis pada lembar lontar (Borassus flabelliformis) yang mungkin tidak dapat
disimpan lebih dari 100 atau 150 tahun. Lontar yang dibaca hanya sekali dalam generasi atau bahkan banyak pendeta sering
nampaknya tidak jarang di lingkungan Pande, tidak memiliki kesempatan untuk menghindarkan diri, dalam jangka menengah
serangan serangga. Tidak satupun yang menunjukkan bahwa lontar yang sama dengan yang telah dibicarakan oleh Kat
Angelino. Namun isinya, berdasrkan laporan yang diberikan kepada saya, adalah sama atau mirip dengan salinan yang dikenal
di referensi Kr 1061 dan Kr 1033.
terjadi di Bali dimana hubungan upacara tetap bertahan dengan baik, namun secara makna memudar.
Kita hanya dapat menggaris bawahi bahwa kekhususan ini hanya bagi kelompok Pande Besi yang asli
dari Klungkung-Gelgel, pengecualian bagi mereka yang tinggal namun menempatkan asal usul mereka
ditempat lain, misalnya kelompok Pande yang di Galiran yang ditengarai turunan migran pada masa
yang tidak dapat ditentukan dengan pasti dari desa Kusamba.

Seperti diketahui di Kamasan peta kelompok kelompok yang ada agak sulit diurai, meskipun
identifikasi data pura dadia atau pura paibon dapat dijadikan sebagai salah satu kriteria yang
mmudahkan untuk membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya, misalnya kelompok
kekerabatan yang bermukim disana dengan kelompok pengrajin, bukan tanpa ambigu seperti
misalnya pada kelompok Pande Mas. Kelompok Pande Besi misalnya secara territorial terpisah
dengan kelompok yang disebutkan terakhir, menampilkan suatu tipe kompleksitas yang lain dengan
alasan penempatannya dalam banjar yang sama dari dua kelompok yang memiliki asal usul yang
berbeda dimana perbedaan ini tetap dipertahankan masing masing dengan pura dadia yang terpisah,
beberapa hal tertentu tidak dibagikan hak pada kelompok Pande Mas.

Kelompok terakhir Pande yang dijadikan sebagai sampel adalah yang berada di desa Tihingan yang
berlokasi di timur laut Klungkung dimana menurut Kat Angelino ditunjukkan dengan keberadaan dadia
dari Pande Besi, mereka membuat alat musik dari bahan perunggu. Di desa itulah dua antroplog
Amerika pernah bermukim sekitar tahun 1958, peneliti satu satunya mengenai kekerabatan di Bali.
Menurut catatan mereka ada sekitar 108 keluarga yang terlibat dalam kerajinan tembaga dan mereka
termasuk kelompok elit di bidang ekonomi di Tihingan saat itu. Para pengrajin ini, bila mengacu pada
bidang pekerjaan mereka adalah pande gong, menurut kekerabatan mereka dibagi atas empat dadia
sesuai dengan nama nama berikut: Pande, Kebun Tubuh, Pasek Kayu Selem dan Pulasari (H. dan C.
Geertz 1975: 35,99)

Perlu diketahui bahwa tidak semua pande pande diatas adalah Pande, karena panggilan ini hanya
untuk menunjukkan unit besar kekerabatan dari dadia Tihingan secara lokal. Indikator dadia untuk
Pande adalah pura dadia (Gambar 13). Jika Pande ini dipandang sebagai pembentuk kelompok khusus
dengan alasan pekerjaan mereka dibidang logam. Ini tidak berarti apa apa, karena mereka saling
behubungan dengan keluarga besar Pande Besi, serta rekan rekan mereka di Desa Sawan di utara Bali
atau penempa perunggu di desa Budaga. Oleh karena itu tidak ada Pande Tembaga atau Pande
Kuningan bila kita merujuk pada pekerjaan tadisional mencampur tembaga, tetapi Pande Besi, Pande
Mas dan Pande Bratan, seperti observasi yang telah dilakukan dapat diidentifikasi sebagai bentuk
kelompok kelompok keturunan yang secara ritual berpusat pada suatu pura kolektif.

Itulah beberapa uraian dari tiga kelompok yang menjadi fokus penelitian ini, mengabaikan hubungan
pande secara ketat dalam suatu penelitian tentang pengrajin logam, secara nyata, tidak dapat kami
lakukan. Sebagaimana diketahui bahwa kita dapat membedakan pengrajin Pande berdasarkan
hubungan kekerabatan yang ditunjukkan dengan keberadaan pura sanggah gede, pura dadia atau
paibon. Untuk membedakannya perlu diteliti secara detail tentang organisasi Pande sebagai
kelompok kekerabatan, kami akan mempertahankan sebagai bagian dari identifikasi awal bahwa ini
adalah satu dimensi penting fenomena Pande dan yang disebut Pande adalah garis patrilinear, sesuai
dengan prinsip keturunan yang berlaku pada masyarakat Bali. Oleh karena itu untuk sementara kita
tinggalkan aspek ini untuk melanjutkan lebih jauh obyek yang diteliti, kita akan melihat tiga kelompok
besar yang semuanya Pande, namun tidak membentuk suatu kesatuan yang homogen.
2.2. Perbedaan dan persamaan kelompok Pande

Fungsi teknik dan ekonomi tidak diambil sebagai kriteria untuk menentukan karakter kelompok
Pande. Akan dilihat secara empirik sebagai kelompok kekerabatan dimana karakteristik yang paling
jelas adalah: membentuk himpunan kepercayaan, berpusat pada pura mereka dan juga memperingati
leluhur mereka. Namun karena beberapa puluh dadia Pande tidak bisa dibedakan dari ribuan
kelompok kekerabatan lokal yang ada pada masyarakat Bali, baik Triwangsa maupun Sudra.33
Konsekwensinya adalah, jika organisasi kelompok kekerabatan adalah suatu kriteria yang digunakan
dan penting untuk membedakan antara kelompok Pande sebagai pengrajin yang bekerja dibidang
logam, dimana tidak cukup untuk mendefinisikannya secara sosiologi, demikian halnya dengan
seluruh masyarakat Bali dianggap Sudra yang tidak membentuk secara sistemetik dadia.

Jika tidak, variasi pura pura Pande tidak dapat mencerminkan perbedaan langgam regional dan tentu
sangat sulit mengunjungi salah satu pura yang diidentifikasi memiliki perbedaan. 34 Demikian halnya
dengan nama nama sanggah, stana para dewa-dewa, jika tidak kadangkala sanggah ini diperuntukkan
bagi leluhur yang disebut Batara/Ratu Pande. Namun demikian di sebagian besar pura, sanggah-
sanggah ini disebutkan sebagai kawitan, kamulan, ibu atau paibon, menunjukkan seluruh kolektifitas
para leluhur anonim yang telah disucikan dengan lengkap. Selain itu, seringkali nama nama sanggah
tidak dikenal oleh pendeta pura itu sendiri, artinya ini tidak hanya bagi kaum Pande saja atau ini
semacam bentuk “degenerasi”, sebagai akibat suatu kondisi untuk menghindari penggunaan nama
nama personal, baik yang hidup, para dewa maupun yang telah mati. Identifikasi praktis suatu
kelompok adalah sepenuhnya tergantung dari kesadaran anggota Pande dan tetangga rumahnya. Juga
harus jelas bahwa identifikasi tersebut, jika ditujukan pada seseorang yang bukan Pande, untuk
menghindari adanya kesalahan pengertian, karena akan ada kebingunan antara tulisan Pande dan
tulisan pande, tidak mencatat dengan segera jika orang berbicara turunan atau kekerabatan (dadia,
soroh, bangsa), ini kesempatan baik untuk melihat keadaan para pengrajin pande di pedesaan.

Kekhususan kelompok Pande adalah mereka satu satunya masyarakat Bali yang diidentifikasikan
dengan nama yang juga sekaligus fungsinya.35 Juga satu satunya kelompok diantara kaum Sudra, yang
menunjukkan perbedaanya, bukan hanya yang berkaitan dengan memanggil roh leluhur mereka yang
terkenal, namun juga dengan mengacu pada fungsi dan kedudukan moyang mereka yang terdahulu
sebagai pekerja logam. Nama leluhur mereka hanya dikenal dalam minoritas kelompok Pande yaitu
yang dipandang sebagai orang berpengetahuan dan memiliki kompetensi “pengetahuan Pande”.
Dengan demikian , kelompok Pande Besi mencurahkan jiwa raganya kepada leluhur tukang besi Mpu
Siwa Saguna dan Mpu Brahmawisesa; sedangkan bagi kelompok Pande Bratan kepada leluhur Mpu
Bumi Sakti; dan bagi Pande Mas kepada leluhur tukang emas lainnya. Mengenai Mpu Galuh, tidak ada

33
Sensus nasional tidak menekankan pada jenis penyelidikan. Sebuah sensus sederhana untuk kelompok Pande akan
membutuhkan kotak yang cukup tajam dari wilayah Bali untuk memperoleh hasil yang akurat . Kesan saya adalah kelompok
Pande jika dihitung ada beberapa ratus dadia, terdiri dari sepuluh hingga ratusan lebih keluarga.
34
Dengan pengecualian beberapa pura keluarga atau pura Dadia Pande Tihingan, misalnya, atau ditemukan sebuah menara
bercat merah dan menunjukkan sebagai pelinggih Brahma. Kita akan melihat bahwa ini adalah "penyimpangan" dari aslinya
.
35
Seperti biasa di Bali, mengandung berbagai nuansa. Di Bangli, sebuah dadia, telah diindakasikan oleh Kat Angelino dan
pemegang sebuah prasasti, untuk nama Sangging menunjukkan pelukis dan iluminator (1922: 390). Hal tersebut adalah
fenomena yang sangat melokalisasi, bertentangan dengan fakta bahwa Pande adalah, dapat kita katakan, pan-Bali. Sebutan
Pasek yang disandang oleh beberapa kelompok lingkup Sudra tidak mengingat secara eksplisit suatu fungsi. Sebaliknya,
nama beberapa sub-kelompok seperti Pasek Ngukuhin atau Pasek Gaduh merujuk pada sebuah fungsi administratif atau
mungkin agama.
hubungan yang jelas. Seluruh leluhur ini berasal dari Jawa, atau Madura bagi kelompok Pande Bratan,
hal ini terkait dengan lokasi tempatnya. Desa Tusan di Candi Kuning sekitar danau Bratan dan
Kamasan, adalah desa desa pertama yang ditempati oleh para leluhur mereka di awal kedatangannya
ke Bali.

Ekspressi perbedaan kelompok Pande yang berkaitan dengan kelompok kelompok lainnya pada masa
yang sama. Perbedaan ini dapat dilhat dari aspek internal pada kelompok Pande itu sendiri. Para
leluhur yang berbeda dan tempat asal muasalnya menjadi faktor utama perbedaan ini, sehingga ada
pembeda kami/mereka. Sentimen masa lalu juga tak terhidarkan meski sudah agak mencair. Perlu
dicatat bahwa upaya penyatuan genekologi antara ketiga kelompok Pande tersebut tetap tak tercapai
dalam representasi kekerabatan, kecuali jika Brahma, sebagai pencipta dan penguasa api, mungkin
dapat diposisikan sebagai titik konvergen diantara ketiga garis geneokologis secara parallel.

Kelompok Pande adalah diantara kelompok kelompok langka dari Sudra yang melegitimasikan
perbedaan mereka melalui teks teks, prasasti, yang sangat sedikit dibaca dan diketahui, namun
demikian menjadi obyek nyata yang prinsip kepercayannya diwariskan dari nenek moyang yang
dihormati,oleh karena itu informasi ini lebih dari isi teks dan prasasti mereka. Dari fakta menunjukkan
bahwa teks teks tersebut banyak sekali dan diantaranya ada yang khusus berisikan tentang Pande.
Dalam penelitian ini dicoba dibedakan dalam hal tradasi antara kelompok Pande Mas dengan dua
kelompok Pande lainnya. Dari beberapa teks transkripsi yang berhalaman sekitar puluhan, teks satu
satunya yang diketahui berkaitan dengan Pande Mas, terdiri dari dua halaman yang ditulis dalam
bahasa Bali bukan bahasa kawi, dari segi langgam bahasa tergolong sangat baik. Yang dimaksud
adalah Prasasti Pande Capung, telah disebutkan sebelumnya, isinya jelas tidak sama jenisnya dengan
teks pendiri dua kelompok lainnya.36 Teks tersebut tidak berkaitan dengan kedatangan leluhur
mereka ke Bali dan juga tidak bersikan mengenai turunannya. Teks Ini tidak lebih berisi catatan
mengenai unsur-unsur upacara upacara pembakaran mayat yang begitu karaktrestik pada teks teks
lainnya. Beberapa baris teks hanya menyinggung Mpu Galuh yang sebagai panutan dan ajarannya
tidak harus diikuti oleh para tukang emas, ia juga sebagai leluhur asli dan sebagai kerabat dalam garis
keturunan laki laki (pandia mas, kang tunggal kawitan kandane saking purusa). Fragmen tulisan ini
dimasukkan antara dua bagian yang tidak berhubungan secara langsung. Yang pertama termasuk jenis
cerita (satua) berupa sketsa hidup sorang tukang emas yang bekerja untuk seorang Dalem, tanpa
nama, dan seekor capung yang berlakon sebagai pencuri dan memberi namanya sendiri sebagai pande
capung, sang pengrajin. Bagian kedua, berisi cerita singkat tentang riwayat tukang emas Dé Késah,
yang tinggal di Blahbatuh yang kemudian dipanggil kembali ke Kamasan.

Tradisi oral tidak dapat disebut memiliki keunggulan namun tidak bisa dipungkiri hal tersebut
merupakan unsur penting dalam tradisi Pande Mas, yang tidak bisa diklaim sebagai prasasti asal usul.
Keberadaan yang pasti tentang Prasasti Pande Mas tidak dapat ditentukan, untuk mengukur
kebenaran teks teks yang belum memiliki kekuatan dan masih misteri, kita bisa memahami hal ini
karena ini berkaitan dengan masalah status kedudukan. Mengherankan bahwa Pande Mas tidak
memiliki teks pendirinya, hal ini bisa dimaklumi terutama karena kondisi pembuatan teks semacam

36 Kat Angelino menyinggung teks ini, sekitar Kamasan, Ia menambahkan bahwa teks tersebut sangat tidak lengkap, karena
tidak sedikitpun berisi detail leluhur Mpu Galuh (1922: 371). Dua salinan tersedia (Kr 1170, LOR 13967). Dalam katalog
Pigeaud, kita membaca bahwa teks ini adalah kisah legendaris asal usul tukang emas Bratan, dekat Singaraja (1968: 586).
Tidak ada yang lain, hanya desa Bratan tempat dimana ditemukannya lontar pertama, 17 Novernbre 1933 dan terdaftar di
Gedong Kirtya. Tradisi Bratan, akan kita lihat, cukup unk dan sama sekali berbeda dari yang ada dalam teks, meperhatikan
secara eksplisit Kamasan dan leluhur Mpu Galuh.
itu hanya didasarkan sebagai bagian tambahan pada keberadaan suatu kebenaran memori sejarah
dan akan membawa keuntungan ideologi suatu kelompok, tentang momen sejarahnya, juga dapat
mengungkap tentang spesifikasi dan perbedaannya dengan kelompok lainnya. Inilah kejutan
kelompok Pande Mas memiliki nama leluhur, sebagai titik awal penting untuk merekonstruksi suatu
genealogi dimana di Bali tidak perlu dimunculkan secara nyata atau bahkan mungkin untuk mengisi
fungsi dan kedudukannya secara simbolis antara masa kini dan masa lalu. Apakah Mpu Galuh itu benar
benar merupakan nenek moyang atau hanya sekedar referensi sederhana bagi tukang emas dimasa
lalu?. Prasasti Pande Capung tidak menjelaskan secara jelas tentang hubungan turunan antara Pande
Mas dengan Mpu Galuh. Kata Galuh berasal dari bahasa sansekerta galu, semacam batu permata,
makna jawa kuno yang dapat ditekankan disini adalah permata. Orang dapat melihat dalam referensi
ini bahwa Mpu Galuh berhubungan dengan tukang emas sebagaimana dalam pustaka jawa. Namun
pengarang dalam halaman yang singkat, terjebak di antara dua lampiran narasi yang tidak jelas
memiliki tujuan untuk memberikan demonstrasi atau suatu kesaksaian masa lalu dan kualitas garis
keturunan dari Pande Mas. Hal ini menjadi sinyal- diantara yang lainnya- kelemahan identifikasi dan
ideologi Pande Mas.

Sebagaimana dijelaskan oleh Kat Angelino yang mengabaikan kelompok Pande Bratan, membedakan
antara kelompok Pande Besi dengan kelompok Pande lainnya, hal ini di dasarkan pada fakta bahwa
mereka ditengarai sebagai anggota dari suatu garis keturunan tukang besi di masa lalu. Selanjutnya
Kat Angelino menambahkan bahwa mereka membentuk suatu bangsa Pande, dilihat dari ungkapan
kelompok Pande kontemporer, hanya, meski Kat Angelino tidak memahami dengan baik, karena ia
juga memberikan status bangsa kepada Pande Mas yang dari Kamasan dengan alasan organisasi
mereka berupa kelompok kekerabatan. Padahal, bangsa tidak diragukan lagi sebagai rasa
kekerabatan, ini suatu pengertian ideologi. Ia menerjemahkan representasi hubungan antara satu
kesatuan dadia yang tersebar diseluruh wilayah Bali, yang hanya membentuk satu kesatuan sebagai
oposisi ke kelompok lainnya. Dadia adalah suatu kelompok nyata, yang bersifat lokal, bergulir ke
dalam dan kepusat praktek keagamaan. Satu kesatuan dadia tidak membentuk suatu bangsa yang
berhubungan dengan bangsa lainnya, yaitu sebagai satu kesatuan masayarakat.

Ekspressi bangsa Pande terungkap dalam urutan diskursus persepsi dari suatu kesatuan translokal,
yang nanti akan dilihat batas prakteknya. Itu adalah petunjuk bahasa dari suatu gerakan atau
dinamisasi kelompok Pande yang akan menyatakan status tunggal sebagai suatu bentuk pemisahan
diri keagamaan. Kelompok Pande memperkirakan, bahwa diantara anggota anggota kelompoknya
ada tiga pendeta yang disebut Mpu yang akan memimpin satu bagian komunitas Pande yang akan
menggantikan fungsi upacara yang selama ini ditangani oleh pendeta brahmana diseluruh
masyarakat.37 Padahal, dalam kelompok Pande Mas telah ada kesenjangan dalam gerakan tersebut
dan tetap seperti di masa lalu adanya ketergantungan keagamaan kepada padanda. Pernyataan
kesatuan (bangsa Pande) dan kemandirian keagamaan (masiwa raga)- yaitu semacam penolakan
ketergantungan ibadah sehubungan dengan bangsa lain, dalam hal ini Brahmana - diperkenalkan
sebagai pemotongan dan pemisahan ideologi kelompok Pande Mas, Pande Bratan dan Pande Besi.

Sampai pada pembahasan ini, dapat diidentifikasi tiga kelompok sosial yang bernama Pande dan
organisasi kelompok kekerabatan lokal yang jumlah paling besar adalah pada kelompok Pande Besi.

37
Pendeta keempat yang memimpin upacara di Bali Barat (Jembrana) telah meninggal tahun 1982. Saat keberangkatan saya
ada tiga Mpu Pande yang diaktifkan.
Karakteristik kedua dari fenomena Pande, menyampaikan kekhususan dia sebenarnya, tidak mengacu
pada aturan ekonomi tetapi pada aturan ideologi. Berkaitan dengan gagasan yang kompleks ini dan
representasinya tidak pernah secara eksplisit dilakukan, untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan
munculnya dua faktor utama yaitu: teks teks pendiri dan pemisahan diri dalam agama. Ini adalah inti
utama ideologi, kelompok Pande Mas secara praktis dikecualikan atau katakanlah mereka berdiri
dipinggiran gerakan, sedang yang akan dijadikan sebagai pusat gerakan adalah Pande Besi dan Pande
Bratan. Diharapkan untuk mempertahankan pendeta pendeta Pande untuk dua diantara mereka
yaitu Pande Besi dan pendeta ketiga adalah Pande Bratan, sedangkan dorongan untuk persatuan
Pande diberikan kepada Pande Bratan dan beberapa “pimpinan” dari Pande Besi.

Dengan skema sperti di atas akan ada peluang untuk mengajukan upaya pembedaan antara
“panggilan/sebutan” dengan “gelar” yang membutuhkan cara yang berbeda, yaitu mereka yang
berdasarkan kelompok kekerabatan dengan kelompok bangsa. Pande adalah nama yang lebih
sederhana sebagai gelar yang digunakan untuk menunjukkan dan mengidentifikasi kelompok Pande
Mas. Hal ini memang berkaitan dengan nama dari beberapa dadia yang ditemui dalam beberapa desa,
dan ini juga untuk membedakan dengan dadia lokal lainnya. Nama dapat mengidentifikasi dan
membedakan, meski tidak berimplikasi secara nyata sebagai referensi dalam tatanan sosial
menyeluruh. Seorang individu dapat saja dikualifikasikan sebagai Pande Mas sepanjang itu
memungkinkan, misalnya perilakunya diidentifikasi layaknya pande mas. Acuannya adalah
kekerabatan atau bidang pekerjaan, semuanya sudah dibedakan namun tidak menimbulkan secara
langsung kepada aturan sosial dan hirarkinya.

Sama halnya dengan dadia lokal Pande Besi atau Pande Bratan dan pengikut pengikutnya. Meski
identitas lokal tersebut ditumpangkan, dalam kasus dua kelompok tersebut, perbedaan sosial
ditegaskan oleh kelompok Pande dan dirasakan oleh orang di sekitar mereka dengan berbagai
intensitas sesuai dengan konteks lokal. Pande memiliki kecenderungan menjadi nama suatu bangsa,
dalam arti, nama kelompok gelar atau kasta, sebagaimana ekspressi bangsa/wangsa Brahmana,
Satria atau Wesia yang menunjukkan secara tradisi pembagian besar hiraki masyarakat Bali. Salah
satu indikasi keanggotaan pada bangsa ini adalah penggunaan gelar berlanjut dalam hal nama, alamat
dan acuan. Dan ketika seseorang memakai Pande, misalnya I Pande Made Bawa nama yang tidak
sesederhana I Made Bawa, sebagaimana yang digunakan oleh kaum Sudra pada umumnya. Istilah
Pande kemudian seolah olah berubah menjadi nama gelar, yang merupakan hak khusus bagi kelompok
Triwangsa.38 Namun jangan seolah dipertentangkan secara gebyah uyah antara Pande Besi, Pande
Bratan dan Pande Mas, karena kondisi ini tidak muncul disemua pengikut dikedua kelompok yang
pertama tadi dan kemungkinan akan lebih baik untuk menambahkan kepada mereka yang tidak terlalu
memperhatikan hal ini seperti pada kelompok Pande Mas, semata-mata untuk menunjukkan bahwa
sikap dan laku tidak statis namun berkembang.

Meski demikian, dari fakta fakta yang ada, masyarakat saling mengakomodasi, dimana untuk saat ini
cukup jauh untuk mengidentifikasi dan menempatkan Pande sebagai batas/margin kajian ini, untuk
lebih fokus pada Pande Bratan dan Pande Besi yang juga dinamai Pande Tusan merujuk pada asal
desa. Namun, untuk menyelesaikan masalah batas territorial kelompok Pande, harus memperhatikan

38
Perlu dicatat bahwa bangsa bangsawan, gelarnya tidak menggunakan bangsa: Ida untuk Brahmana, Anak Agung atau
Dewa untuk Satria dan Gusti untuk Wesia.
beberapa faktor yang tersisa, jika perbedaan mereka tetap tidak diketahui dari beberapa penulis yang
tertarik dengan masalah Pande.

2.3. Kelompok Pande dari Bali Aga

Setelah beberapa bulan secara frekuentfif di lingkungan Pande, sempat mendengar ungkapan
penyebutan Pande Bangke Maong, yang tidak ditemukan jejaknya dalam tradisi tulisan bali atau
Pande yang hanya dikenal secara terbatas di masyarakat bali, kaum Pande atau bukan Pande.
Ungkapan ini menarik ketika diketahui bahwa bangke maong berarti bangkai kotor atau tidak
karukaruan dan ini tidak mengejutkan jika istilah ini ternyata ditujukan pada kelompok tertentu, dalam
hal ini kelompo Pande. Sebagaimana diketahui bahwa orang mati diberi perhatian namun juga
menakutkan, bahwa orang mati mencemari dengan demikian upaya pertama yang dilakukan adalah
dengan membakar dengan tujuan menghilangkan pencemaran dan memisahkan si mati dengan dunia
kehidupan. Kegiatan memanggil roh dari mayat yang cemar/kotor adalah sarat makna.

Mencari lokasi kelompok Pande Bangke Maong bukanlah pekerjaan mudah, karena mereka terisolasi
satu dengan lainnya dan hanya dikenal secara terbatas. Dengan demikian harus dilakukan perjalanan
di berbagai wilayah di Bali dengan mencoba mengikuti jaringan pemberi informasi dari kelompok
Pande Bratan atau Pande Tusan yang pengetahuannya tidak terbatas secara sempit di desanya. Ia
menyebutkan bahwa kelompok ini ada beberapa puluh orang, ini adalah perkiraan, anggapan atau
kemungkinan, mereka yang dinamai Pande Besakih adalah Pande Bangke Maong. Hampir sebagian
besar kelompok Pande ini tinggal dalam suatu wilayah pegunungan di Karangasem, di sebelah selatan
Gunun Agung, mulai dari desa Selat ke barat hingga ke Desa Selalang di kaki Gunung Seraya. Meski
demikian kami hanya dapat mengidentifikasi dua kelompok, yaitu kelompok Sumita di utara Gianyar
dan kelompok Sudaji yang tidak jauh dari desa Sawan dan desa Bebetin, desa desa dataran yang
tertinggal.

Kelompok ini membentuk dadia yang puranya tidak seperti pura pada umumnya. Misalnya pura
kelompok Sumita, pada pura ini tidak dijumpai padmasana di kaja kangin. Padmasana ini adalah
persembahan kepada Siwa/Surya yang bukan suatu yang konstan, sebagaimana dalam literature
kajian tentang Bali. Hal lain yang dicermati adalah tidak adanya pembuatan bangunan/sanggah baru,
dan menyimpulkan bahwa bukan faham Hindu tidak meninggalkan jejak kecuali faham Shiva, difahami
sebagai agama pedanda, artinya disana belum tersentuh pengaruh apapun. Meski demikian, disana
hanya ditemui informasi global, tidak sistematis, pada starata sosial dan budaya tertentu yang kurang
dikenal dan dikategorikan sebagai kelompok Bali Aga.

Untuk mengkualifikasi kelompok ini digunakan dua indikator strata yang sama, pertama masyarakat
bali yang menilai fakta yang ditimbulkan oleh Bali Aga atau Bali Mula, kedua mereka yang tidak
memiliki lapisan ini, perilaku primitif dalam makna ganda yaitu perilaku kuno dan kurang beradab.
Kelompok Bali Aga ini sangat beragam, komunitas ini tidak meminta pelayanan padanda dan tidak
melakukan pembakaran mayat. Oleh karena itu, mereka dikenal menyimpang, mereka tidak khawatir
tentang penyucian jiwa-jiwa orang mati. Semuanya berubah, bahwa contoh contoh yang telah di
kemukakan di atas tidak berhasil merusak, bahkan nampaknya mulai memudar dengan cepat berkat
“manfaat” modernisasi dan himbauan dari birokrat pemerintah. Hasil angket yang dilakukan pada
masyarakat Bali Aga sering menemui kegagalan, sebagai contoh, sangat sulit untuk mengetahui
dengan pasti apakah suatu kelompok belum terlalu lama mengadopsi upacara kremasi atau bahwa
jika mereka belum melakukan sesuatu dengan berpura-pura telah melakukannya. Masalah yang
hangat diperbincangkan adalah masalah tahap kedua dalam upacara ngaben, dengan fasilitas upacara
yang tidak terlalu ruwet, dan tidak memungkinkan kelompok dibagi antara “konservatif” dan
“modern” dalam hal mengadopsi masalah kremasi.

Angket yang dilakukan pada kelompok Pande Mangke Maong juga tidak kalah sulitnya dan
penyebutan nama ini membuat resah, jika orang mengomentari suatu kesalahan dengan cara cepat
atau terlalu langsung. Sebagai contoh kasus di Sukawana yang berada di dekat selatan desa Selat,
disana ditemui ada sekitar empat puluhan keluarga dengan puranya Pura Batur, yang dibangun pada
tapak yang tinggi dari perkampungan. Tetangga mereka menamainya Pande Bangke Maong, namun
mereka menyebut dirinya Pande Besakih, yang mengacu pada nama suatu tempat suci dan juga asal
leluhur (kawitan) kelompok. Rasionalisasi ini dapat diterima dalam arti, di pura besar Besakih ada
bangunan ibadah bagi kaum Pande yang cenderung menjadi bangunan upacara bersama bagi mereka
yang menyandang nama Pande. Besakih adalah tempat suci paling tua dan menjadi simbol persatuan
dalam keberagaman. Rasionalisasi lainnya, adalah dalam praktek pemakaman pada beberapa
kelompok masyarakat di wilayah Besakih sebagai wujud perhatian kepada dewa dewa di Gunung
Agung yang tidak boleh dikenai asap dari pembakaran mayat.

Di Sukawana , para padanda nyaris tanpa pengaruh, namun para Pande Besakih yang baru, tidak bisa
lepas dari geliat dinamika kekinian. Salah satu diantara mereka yang tidak tinggal di Sukawana,
posisinya meningkat secara signifikan dalam hubungannya dalam melayani kelompok Pande. Ia
terlalu menekankan pada keaslian nama Pande Besakih dan keaslian kepemilikan sebutan/panggilan
– menurutnya ini adalah fitnah dari pendeta brahmana- tidak menjadi penyebab tergelincirnya nama
yang mempengaruhi kelompok kekerabatanya. Meski demikian, pembakaran mayat belum
terintegrasi pada upacara pemakaman. Pada tahap kedua dari upacara tersebut, pada umumnya
membutuhkan waktu yang lama setelah kematian, menyiratkan (menurut sumber informasi),
kerangka mayat diarak dengan gerakan memutar dengan cara menghadapkan wajah mayat ke
tanah.39 Praktek tersebut juga dilakukan pada kelompok lainnya yang dikenal sebagai Pande Bangke
Maong di wilayah Karangasem.

Ketika peneliti singgah disatu warung, untuk memperoleh informasi tambahan tentang bentuk narasi
yang berkaitan dengan “pola pembentukan” Pande Bangke Maong. Informasi ceritanya adalah
sebagai berikut: Suatu hari, seorang Pande/pande (besi), telah kematian anggota keluarganya, lalu dia
ke gria yang terdekat untuk meminta tirta untuk penyucian awal. Namun ia tidak menjumpai sang
padanda di rumahnya, menurut informasi ia ada di sawah, lalu ia kesana untuk menemuinya. Sang
padanda tidak masuk kerumahnya untuk mengambil air namun langsung diambilnya dari air sawah.
Si Pande terkejut melihat hal tersebut, tanpa banyak kata ia kembali ke rumah. Dalam perjalanan, ia
tidak yakin dengan air yang dibawanya tersebut, lalu dengan seketika ia membuangnya di jalan. Tak
dinyana, ia ke tempat dimana beberapa waktu yang lalu menemukan bangkai anjing, saat membuang
air tersebut, bangkai anjing tersebut kecipratan air dan langsung hidup. Penasaran akan hal tersebut,
si Pande kembali menemui padanda untuk meminta kembali air suci. Namun apa yang terjadi, si

39
Sepengetahuan saya, ritual pembakaran mayat, pelaksanaannya sangat beragam dalam detail pelaksanaannya. Dengan
demikian harus dimengerti makna yang terkandung dalam ritual tersebut yang harus dikaji oleh beberapa kelompok sebelum
diperoleh prinsip prinsip umumnya.
padanda menerimanya dengan marah dan mengutuk karena keyakinan si Pande dianggap lemah, lalu
diberi nama Pande Bangke Maong.

Ceritera tersebut sangat menarik,ini merupakan salah satu dari sedikit jejak yang menjelaskan adanya
resistensi secara passif dari sekelompok masyarakat terhadap pengaruh pendeta brahma, bahkan juga
berkaitan dengan masalah kasta. Hingga saat ini kemampuan untuk mengidentifikasi karakteristik
terbatas pada kelompok Pande Bangke Maong, karena terbatasnya sumber refrensi. Namun secara
umum dapat dikatakan bahwa ada penghindaran padanda dari kelompok Bali Aga. Lemahnya cerita
ini karena hanya melihat kelompok Pande Bangke Maong diantara kelompok kelompok yang
dipandang sebagai kelompok yang menyimpang dan memang tak dapat dipungkiri bahwa ada
beberapa Pande/pande yang menantang secara langsung kekuasaan padanda. Penjelasan lain yang
dapat diberikan bahwa nama tersebut telah diberikan kepada satu kelompok yang salah satu anggota
kelompok tersebut telah menerima nama tersebut saat tinggalnya di rumah Raja tanpa mengingat
bahwa suatu saat akan ada kematian, hal ini jelas sebagai konsekwensi mengekspos Dalem sebagai
pencemar.40

Di luar keengganan mereka, kelompok Pande Bangke Maong tidak tahu sama sekali bahwa ia
dibiarkan dicurigai dalam narasi narasi ini.41 Kembali untuk mengingatkan tentang leluhur tukang besi
dimana beberapa diantara mereka masih bekerja dalam pekerjaan besi. Mengenai hal tersebut, dari
kamus karangan van der Tuuk diperoleh informasi yang sangat berharga. Dalam kolom kata “bangke”
dalam kamus tersebut ada penjelasan mengenai bangke maong yaitu tukang besi yang tidak sejalan
dengan pendeta brahmana dan juga tidak memperaktekkan upacara kremasi, mereka tinggal di
Sukawana (KBNW IV:1067). Mengacu pada kamus, kata “tusan” ditemui penjelasan bahwa Pande
Tusan adalah tukang besi yang digambarkan sebagai turunan yang kematiannya dikremasi dan
diupcarai oleh padanda (KNBW 11: 669). Dapat dilihat bahwa pembelahan kelompok Bali Aga/Wong
Majapahit, adalah merupakan hasil ideologi yang didominasi dan diterjemahkan secara salah dalam
diskursus timur oleh kaum opposisi Jawa/kurang lebih jawa, demikian halnya dengan pembagian
kelompok Pande Besi dalam dua kelompok.

Penelitian jejak masa lalu di wilayah danau Batur menemui kendala karena tidak adanya buku kecuali
prasasti tua yang mengindikasikan keberadaan pengrajin dan tradisi Bali Aga masih bisa terlihat. Jejak
jejak ini muncul kembali di wilayah pegunungan Karangasem dimana dapat diidentifikasi turunan
tukang besi dari Bali Aga, tanpa memasukkan suatu tradisi atau suatu ideologi atau suatu praktek
spesifik dari Pande Bali Aga. Dalam pengertian ini, nampak tidak disinggungnya Pande Bangke Maong,
tapi cukup Pande, satu tradisi asli atau suatu refrensi bagi leluhur semu sebagaimana pada kasus
kelompok Pande Mas. Kita mendapat kesan bahwa kelompok ini hidup, masih baru, akrab di tempat
tinggal mereka, dan rasa memiliki yang lebih luas hanya muncul, sama dengan panggilan/sebutan
Pande Besakih.

Indikasi lain tentang keberadaan tukang besi radisional Bali Aga dapat ditemui dalam satu teks, ditulis
dalam bahasa kawi dengan judul Babad Pande, isinya tidak mengulas secara persis tentang tradisi

40 Nama keris tersebut adalah Santa Bangki Maong, dekat dengan kelompok Pande (KBNW IV: 35). Saat ini tidak ada catatan
hubungan antara jenis keris dengan Pande Bangke Maong. Pada akhirnya harus menunjukkan interpretasi fantastis dengan
menurunkan kata maong dari maongkara yang memiliki suku kata OM /ONG.
41
Selanjutnya di Sukawana ada kelompok Pande Besakih/Bangke Maong di Bedandem (Banjar Tihingan, Linggasana, Abian
Tung); di Selalang dekat Gunung Seraya; di wilayah Abang , di Merita, Kalang Sari, Abang Kelodan, Kemuda, Sadimara,
Tumpek, Abianjero, Kuum, Telaga Betang; di Cemah Tebel dekat Budakling; di Manggis dan Bujaga dekat Rendang.
Pande dan judulnya dapat diusulkan kemudian.42 Dibawah ini disarikan beberapa hal yang dianggap
relevan:

Rengen ta mwah ana carita wanéh I nguni duk ing asitkala, tabe pwangkulan , ida paduka batara brahma ayoga angaji
manusa déning tanah legit, atemahan andadi manusa laki istri, arisaya mahabang rupané manusa apan kasenwam déning
kasidianira batara brahma, marmané mahabang rupaning manusa. Ri wekasan ya ta inaranan sira aapandé bang bali
ngarania tinemuaken mangké. Apa duméhnian apungkusan mangkana, apan sira kinarugrahan angamét gagaduhan amalu
malu wesi, angawé sarwa lalandep makanguni praboting manusa, ya étunian apungkusan sira apandé bang bali….

Mwa dudu pande bang ika pande tusanpratisantananira mpu siwa saguna, jatine sira pande tanah legit…neher pwa ta ya
apangkusan sira pande bang bali tinemuaken mangke , etuning tan kawenang sepratisan tananira ri kala kapejahania
matirta lawan tirtan brahmana . Apa ta dumehnian, apan makumel tingkahnia makanguni wangkenia tan kawenang
mamendem ringpratiwi. Yan tinanemaken tan wun kang taneman maletuh apan kummel genah ing wangke ika, nga
kayogiane wenang ring akahing taru sumandengakena wangkenia rinasikan 43 dening sarwa sekar mrik makalarapan sira
mulihing sunia taya.

Terjemahan bebasnya:

Dengarkanlah sebuah cerita lama, maafkan hambamu, Batara Brahma, menggunakan pengetahuannya dan penguasaan
spiupacara untuk menciptakan laki dan perempuan yang berasal dari tanah liat. Sungguh merah warnanya, karena pemerian
mereka sebagai pancaran radiasi Batara Brahma. Itulah sebabnya mengapa warnanya merah. Kemudian mereka mendapat
nama Pande Bang Bali, dan nama itu tetap digunakan hingga hari ini. Jika mereka disebut demikian, adalah bahwa mereka
menerima palu besi untuk membuat aneka senjata dan perlatan manusia. Itulah sebabnya mereka disebut Pande Bang
Bali…….dan Pande Bang berbeda dengan Pande Tusan, turunan Mpu Siwa Saguna, karena kelahiran mereka adalah dari
pande tanah legit…….

Selanjutnya nama Pande Bang Bali ditemui hingga hari ini, turunan mereka tidak dapat menggunakan air suci yang dibuat
oleh Brahmana. Mengapa?. Karena adat istiadatnya kotor dan juga mereka tidak harus menguburkan mayat di tanah.
Jikapun mereka mengubur, tanaman pasti akan tercemar, karena tempat atau lokasi mayat kotor. Cara penguburan yang
cocok untuk mereka adalah dengan mendukung mayat dengan akar pohon dan ditaburi dengan berbagai jenis bangu
sebagai pengharum agar ia dapat kembali kosong.

Kelompok satu satunya, sepanjang pengetahuan kami, yang menyandang nama Pande Bang dan pura
mereka adalah berlokasi di Sukawati, di pinggir jalan utama ke arah Denpasar. Kelompok ini terkait
dengan kelompok lainnya yang menyandang nama berbeda dan tidak mengerti arti Pande. Dalam
Babad Pande Bang, juga pada teks teks lain yang serupa, berusaha untuk mengungkap dadia ini
dengan menelusuri asal usul mereka dari dua anak Airlangga, Pande Bang dan Pande Ireng. Teks teks
ini mengutip dari berbagai sumber, tanpa mengambil sedikitpun unsur unsur tradisi tertulis dari
Pande. Halaman teks berisikan data ekstrak yang bertujuan membedakan kelompok kelompok ini,
yang leluhurnya bukan tukang besi adalah Pande Bang Bali yang dicirikan dengan mapasah, dimana
saat ini sudah tidak bisa dijumpai lagi. Nama Pande Bang Bali tidak dikenal dalam lingkungan Pande
kontemporer dan ada kemungkinan itu adalah sebutan lama dari suatu kelompok yang sangat lokal
sekali. Kelompok yang memiliki teks-teks seperti Pande Bang juga dimiliki mereka yang berstrata Bali
Aga, meskipun jauh “lebih terkelola”, hal ini menunjukkan bahwa mereka awalnya berasal dari daerah
pegunungan di Bangli.44 Mungkin ada baiknya diamati acuan seperti Pande Bang Bali, bisa dianggap
suatu kebangkitan cara menyampaikan informasi dari cara mengingat ke cara oral, tidak seperti teks

42
Bagian tulisan ini dikutip dari naskah Kr 1230: kami akan kembali merujuk isi naskah ini pada Bab V
43
Ejaan ini salah. Mungkin ada baiknya dieja sebagai rinasukana yang berasal dari kata rasuk yang berarti pakaian,tutup
kepala. Dua versi lainnya yang diidentifikasi tahun terakhir (LOR 14849, Bundel 66 no. 11, Sydney), mengejanya sebagai
rinubungana yang berimlikasi pasa suatu akumulasi (bunga dalam konteks kekinian).
44
Setelah jatuhnya Jawa, leluhur bermukim di Karang Suung di wilayah Bangli.
yang tersisa, yang tidak ada keharusan dalam tradisi indo-jawa dan kepanjangannya di masyarakat
bali.

Pembahasan akhir berkaitan dengan sebutan Pande Surya atau Pande Anom, juga apa yang telah
dibahas sebelumnya tentang Pande Bangke Maong nampaknya adalah suatu strata yang berbeda
dengan Pande Tusan dan leluhur mereka yang datang dari Jawa ke Bali dengan suatu ekspedisi
kekuasaan pada abad i4, jika kita meyakini tradisi Pande Besi ini. Ungkapan kata Pande Surya juga
Pande Anom atau Pande Bangke Maong, dalam pengetahuan saya hanya masuk sebagai catatan lisan.
Cerita lisan tersebut menuturkan tentang kemampuan tukang besi masa lalu menempa logam yang
panas membara hanya dengan paparan sinar matahari (surya). Sebaliknya, Pande Anom dianggap
paling tidak sinonim dengan Pande Surya, tidak ada hal yang bisa dikaitkan dengan nama tersebut.
Kata Anom berarti muda dalam masyarakat Bali strata tinggi dan tidak ada penjelasan penggunaannya
berkaitan dengan pertukang besian.

Istilah istilah ini tidak menunjukkan suatu kelompok yang nyata, atau paling tidak hubungan mereka
dengan Pande Bangke Maong. Indikasi ini sifatnya informasi yang mengambang, sugestif dari masa
lalu yang bukan dari Gelgel atau Majapahit. Secara eksplisit hal ini ditujukan pada Pande Besi dari
Pejeng, ketika menyebutkan asal mereka. Kelompok tersebut memiliki sebuah pura dadia di Banjar
Pande di Pejeng dimana saat ini tersisa tiga keluarga. Keluarga lainnya tersebar di berbagai wilayah
ketika masa peperangan dengan berbagai issu yang kurang kondisif bagi penduduk Pejeng sehingga
memilih untuk melarikan diri. Kelompok Pande ini tidak merujuk lagi pada asal mereka yang pertama
di Pejeng, tetapi ke Gunung Penulisan, titik tertinggi di daerah kaldera Batur yang ditandai dengan
sebuah pura tua yaitu Pura Tegeh Koripan. Konon disana, hidup tiga orang bersaudara, yang kemudian
meninggalkan kampungnya ke berbagai arah yang berbeda dan kemudian masing masing menurunkan
turunan. Pande (Bangke) Maong pergi ke Besakih, Pande Surya Anom bermukim di Pejeng dan
saudaranya yang ketiga tinggal dekat dari danau Bratan, yang kemudian merupakan nenek moyang
dari Pande Bratan. Dalam versi yang lain disebutkan bahwa hanya ada dua cabang kelompok yaitu
Pejeng dan Tenganan.

Skema ini adalah karakteristik yang berkaitan dengan sejumlah tempat dan kelompok di suatu lokasi
asal, tempat leluhur (kawitan). Demikian halnya dengan etimologi popular yang akan salah untuk
mengabaikan dalih yang tidak akademis. Tujuan dari skema ini adalah untuk mengungkapkan suatu
hubungan antara lokasi lokasi yang cukup tua/kuno dengan kelompok kelompok seperti kelompok
Pande Bangke Maong yang hidup di Tenganan, termasuk lapisan kelurga Bali Aga, yaitu masyarkat
Bali yang tidak terlalu mengangap penting masalah asal usul, termasuk leluhur mereka di Gelgel
Klungkung atau di Jawa. Pernyataan bahwa kelompok Pande Bratan masuk di dalam keluarga Pande
Bali Aga mungkin akan megejutkan, namun kami nyatakan bahwa hal ini tidak akan menyinggung
siapapun, meskipun ada Prasasti Pande Bratan, menjejaki asalnya- dalam arti kaum majaphit secara
ideologi dominan- Kelompok Pande Pejeng terkait dengan Pande Surya, dimana mereka tidak
mengklaim secara mutlak masalah nama, dan menganggap bahwa kelompok ini berasal dari Bali Aga
itu mungkin, meskipun tidak dianggap seperti itu.

Asal usul lokasi yang terletak di Gunung Penulisan sangat sesuai, dalam arti merupakn tempat suci
yang penting bagi penduduk disekitar yang dikenal sebagai Bali Aga, tanpa kemungkinan bahwa
mereka tidak pernah berhubungan dengan kebudayaan indo- jawa. bahkan jika hanya karena Gunung
Penulisan adalah tempat sakral bagi raja raja lama/kuno di Bali dan juga tempat tinggal utama harus
dalam wilayah Pejeng –Bedulu, hal ini diperkuat dengan banyaknya temuan arkeologi dalam wilayah
tersebut. Pura Tegeh Koripan dimana ditemukan sejumlah patung dengan tulisan yang bertahun
mulai dari abad ke 11 hingga abad 14, adalah didedikasikan untuk upacara para leluhur raja raja yang
melibatkan desa desa terdekat. (Bernet kempers 1978: 172-174; Goris 1969b: 98-99). Hubungan
Pejeng-Penulisan adalah hubungan yang telah terjalin sangat lama dan tua, masa dimana ideologi
majapahit belum bermakna apa apa. Itu adalah kenyataan bahwa kelompok Pande Besi Pejeng
mengklaim asal usulnya, bukan hanya dalam register yang selalu tidak ada kepastian dalam
representasi, mereka mengunjungi secara teratur Pura Tegeh Koripan dengan suatu kegiatan upacara
“kembali pada sumber”dimana saya cenderung melihat secara umum, dengan nuansa dan berbagai
persyaratan, bentuk istimewa memori popular, bukan verbal dan praktek. 45

Apa yang didapatkan disini, bahwa kelompok Pande Pejeng tidak menyatakan perakaran perwujudan
asal usul utama mereka dalam sejarah lokal masyarakat Bali, visi masa lalu yang sama yang
didengungkan oleh Pande Tusan atau Pande Bratan yang merupakan butir referensinya adalah pada
Mpu jawa di era majaphit. Sebagai implikasi terkait dengan tradisi Bali Aga direpresentasi secara jelas
di era kontemporer oleh Pande Bangke Maong. Mereka termasuk suatu dimensi lain fenomena Pande
yang tidak dapat dikarakteristikkan oleh suatu wujud yang dielaborasi dengan tulisan d masa lalu,
baik dalam diskursus tentang kekhususannya mapun dalam keunikan kelompok Pande.

Kita akhiri perjalanan di wilayah Pande, dengan referensi kelompok ini, kita dapat mendengar suatu
gema samar dan sayup sayup dari suatu realitas lain, penyimpangan suara paling keras yang diusung
oleh arus utama (mainstream) yang direpresentasikan oleh Pande Tusan dan Pande Bratan. Dapat
kita cermati bahwa wilayah tersebut cukup luas, kompleks dan sebagian besar tenggelam. Untuk
melanjutkan eksplorasi ini kita harus kembali ke jalur yang mudah dicapai dengan mecoba mengkaji
lebih jauh. Pertanyaannya adalah “Apa makna Pande dalam masyarakat kontemporer?” ,tidak
terlepas dari pertanyaan berikutnya “Dari mana mereka?”. Masyarakat Bali sejak lama berada dalam
waktu tanpa memberikan masyarakat sesuatu yang sangat bersejarah, karena memori kolektif,
utamanya dalam tulisan, tidak menjaga ingatan suatu peristiwa masa lalu dan hanya ditemui buku
yang kurang lengkap, hampir seperti itu, petunjuk tentang organisasi soial, politik dan ekonomi.
Pendekatan masalah Pande hanya menggambarkan kesulitan utama kajian masayarakat Bali,
sebagaimana diketahui bahwa sangat jarang tempat mengadopsi konvensi sejarah masayarakat
katakanlah tradisi yang merupakan kekuatan dan kelemahan ethnologi klasik, sementara yang paling
sering terjadi adalah masa lalu sering tinggal tak terbaca.

Sebagai Simpulan, kelompok Pande adalah satu satunya kelompok yang secara turun temurun
menyandang nama pengrajin yang bekerja dibidang logam. Eksaminasi pada sumber sumber
masyarakat lama belum dapat mengkonfirmasi hipotesis klasik bahwa Pande, setidaknya adalah
tukang besi yang pernah menikmati suatu posisi yang cukup prestesius. Argumentasi tentang
kekuatan utama yang disandang oleh kelompok Pande dalam masyarakat pre-india masih tersisa,
meskipun tersamar, hipotesis dalam kasus Bali. Keadaan yang paling dalampun tentang Indonesia
dapat terlihat dimana mana, namun tidak ditemukan informasi suatu jejak secara spesifik tentang
pekerjaan tukang besi atau magik tentang besi. Ada beberapa teks yang berisi mantra dan catatan

45
Dalam hal ini kita harus mengingat contoh dari batu Manukaya yang dibawa setiap tahunnya untuk untuk upacara di Tirta
Mpul ritual mandi dihari bulan purnama di bulan keempat. Stutterheim, mengamati angka yang tertulis pada batu tersebut,
menemukan bahwa ini adalah prasasti dasar Tirta Mpul, hari bulan purnama di bulan keempat tahun 962 (Stutterheim 1935:
29).
catatan yang bersifat spekulatif yang tidak dapat ditafsirkan tanpa kehatian hatian sebagaimana hasil
transposisi dalam kode Indo-Jawa kuno dalam keyakinan Bali. Hipotesis dari kontribusi yang murni
Jawa adalah setidaknya lebih mungkin dan sejumlah teks teks religious dan spekulatif tidak bisa
dibuktikan setara dalam masyarakat kuno. Meskipun ada transposisi secara parsial, “mantan”
penguasa atas api dan besi tersebut tidak cukup untuk menjelaskan ideologi Pande, justru karena tidak
mencirikan bagi Pande Besi dari tradisi Bali Aga yang tidak memiliki kemampuan memanipulasi dua
elemen tersebut (api dan besi). Oleh karena itu lebih baik membiarkan spekulasi spekulasi diakronik
tersebut dan merekamnya untuk fakta baru, sebagaimana diketahui bahwa Pande Besi tidak
membentuk suatu blok homogen, tetapi terdiri dari Pande Tusan dan kelompok kelompoknya Pande
Bali Aga sebagai representasi kontemporernya disebut Pande Bangke Maong. Perlu juga
diperhatikan bahwa, jika kelompok terakhir ini turunan baik dari leluhur tukang besi, nama mereka
jauh lebih prestisius dan transmisinya dari waktu ke waktu mungkin sudah lebih berpengalaman dipilih
secara bebas.
BAB II
KERANGKA IDENTITAS KELOMPOK PANDÉ
Sebagai kelompok Pandé, apapun bentuknya, muncul dalam observasi sebagai bentuk kelompok
turun temurun, nampaknya penting untuk di kaji lebih seksama dalam kerangka kekerabatan. Ini lebih
utama, karena khusus bali tidak memungkinkan rujukan sederhana untuk memetakan wilayah
kekerabatan, seperti yang telah ditetapkan oleh tradisi etnologi klasik. Karakteristik ini sendiri bahkan
lebih buruk dibatasi, sejak kajian kekerabatan belum mengambil bentuk nyata dari publikasi Kinship
in Bali tahun 1975, diikuti oleh segelintir penelitian yang lebih baik dan merupakan langkah awal dari
suatu masalah yang lebih kompleks.46

Model model yang diusulkan oleh antropologi kekerabatan, nampaknya tidak cukup untuk
menerjemahkan keadaan masyarakat bali sesungguhnya, hal tersebut tidak muncul mungkin untuk
mengurangi kompleksitas fakta-fakta ini menjadi sebuah prinsip sederhana, utamanya jika orang tidak
hanya merekam aturan aturan, persyaratan dan hasil observasi praktek kekerabatan. 47 Dengan
demikian prinsip keturunan adalah patrilineal, namun dalam prakteknya para orang tua memobilisasi
juga bentuk kategori lain dalam kekerabatan seperti garis keturunan keluarga pihak laki, termasuk
dalam keikutsertaan dalam upacara keagamaan sebagai bentuk pemuliaan pada garis turunan laki laki
(Hobart 1979: 341-343). Di sisi lain, kita tidak dapat menahan diri dari kebingungan menghadapi
sesuatu yang belum pasti tentang dadia, karena sepertinya tidak mungkin untuk terbentuk secara
sistematik (H. dan C. Geertz 1975: 5). Dengan demikian untuk memahami esensi sesungguhnya,
endogamie (ikatan pernikahan antara anggota/kelompok masyarakat dalam suatu dadia ) yang tidak
dikecualikan pada kerabat terdekat, misalnya anak perempuan dari saudara ayah, Bali terdaftar dalam
blind spot kajian kekerabatan dimana spirit pertukaran mitra nampaknya tidak fungsional.

Kompleksitas inilah yang akan dielaborasi ke depan, Pada awal Bab diawali dengan pemahaman
tentang kekerabatan dan batas batasnya, kajian ini bukan dimaksudkan untuk membahas mengenai
kekerabatan itu sendiri, tetapi sebagai kerangka dimana kelompok Pandé ada di dalamnya. Kemudian
bahasan mengenai beberapa komponen yang dicerminkan dari hasil observasi kelompok ini dan
secara umum dengan mengkaji berbagai data dari masyarakat bali. Sebagai bagian awal pembahasan
ini didahului dengan memberikan pengertian tentang perbedan tingkat organisasi kekerabatan antara
kelompok yang terlokalisasi secara nyata dengan kelompok kelompok yang sifatnya translokal yang
agak abstrak.

1. Kelompok Lokal atau Terlokalisasi dan Translokal

46
Periode akhir penjajahan, studi tentang kekerabatan agak kurang, salah satunya artikel oleh Jane Belo yang berjudul “ A
Study of Balinese Family”, diterbitkan dalam American Antropologist di tahun 1936. Untuk pertama kalinya ditemukan suatu
refleksi tentang perkawinan antara sepupu patrilateral. Kemudian harus menunggu selama bertahun-tahun 1957-1958 untuk
penyelidikan lebih sistematis dari dua ahli anthropologi Amerika lainnya. Diterbitkan hanya pada tahun 1975, buku H. & C.
Geertz merupakan perintis utama yang berkonsentrasi dalampeneltian tentang dadia versi jelata dan bangsawan. Pada
tahun 1977 Boon dengan bukunya, meskipun tanpa membuat data yang benar-benar baru, namun menawarkan interpretasi
dari tiga bentuk perkawinan (lihat bab yang berjudul "The Meaning of Marriage and Descent"). Kemudian Hobart, dalam
tesisnya yang meneliti sebuah desa di selatan Bali, membuat kemajuan dari pertanyaan yang berkaitan dengan praktek
kekerabatan dan bukan hanya wacana bahwa Bali menghasilkan kekerabatan (Bab ”VII: “Problems in Kinship and Marriage”
dalam A Balinese Vilage and Its Field of Social Relation, 1979). Terakhir adalah Ingela Gerdin dalam sebuah artikel pada tahun
1981 yang berfokus pada praktek-praktek simbolik yang tidak dikenal (Sidikara) tentunya bagian pertama yang sangat
penting untuk memahami hubungan kekerabatan.
47 Lihat Hobart (1979) tentang masalah ini. Seperti biasa, harus tiba untuk membedakan hal hal utama dari yang bersifat

umum, varian dari elemen umum, dan kemampuan membuat fokus terhadap keseluruhan data yang dikumpulkan di
lingkungan Sudra, Triwangsa juga Bali Aga.
1.1. Latar belakang Konteks Kekerabatan

Organisasi kekerabatan didasarkan pada suatu prinsip pengklasifikasian yang mempengaruhi individu
individu pada kelompok kelompok. Prinsip ini adalah mereka yang secara turunan bisa tidak dikenal
sebagai suatu garis tunggal, paternal atau maternel, atau kedua duanya. Secara umum prinsip ini
memberi bentuk dalam masyarakat tradisonal yang dikaji melaui etnologi kelompok kekerabatan yang
menjadi dasar organisasi social, sebagai posisi agen dalam jaringan kekerabatan, nampaknya juga
harus didefinisikan posisi mereka dalam sisitem politik dan ekonomi. Di Bali, meskipun 3 aturan
hubungan dapat diinterpretasikan, nampaknya hubungan kekerabatan tidak dapat dipandang sebagai
suatu matriks universal yang menginformasikan untuk lainnya.

Untuk melengkapi informasi kekerabatan ini, juga merujuk pada prinsip kedua yaitu aliansi atau
kepentingan perubahan bagi kaum wanita, jika mengutip pendapat C. Levi-Strauss, sisi positif dari
larangan inses dan mengarahkan untuk mengambil isteri dari luar kelompok kekerabatan. Aturan
eksogami (mengambil isteri dari luar) diartikulasikan secara berbeda oleh setiap kelompok menurut
logika pertukaran mitra dan mengarahkan untuk membedakan hubungan turunan dari aliansi.
Padahal, logika tersebut bukan sifat universal meskipun dijumpai di bebagai kasus yang ditemui di Bali
yang menunjukkan bahwa kaum laki laki tidak mesti melepaskan perempuan dikelompoknya dan
bahwa hal itu adalah salah satu syarat perkawinan yang dimungkinkan.48

Dalam masyarakat Bali, dikenal tiga bentuk perkawinan yaitu: perkawinan endogamy (perkawinan
yang dilakukan di dalam kelompok itu sendiri); perkawinan eksogami (kawin luar) dan perkawinan
untuk menghindari konfrontasi langsung status kelompok akibat perkawinan eksogamie dan
hypergamie (perkawinan seseorang dengan status social/ekonomi/kasta yang lebih tinggi). 49
Memang, gradasi status ditentukan arah pergerakan wanita, dari bawah ke atas atau sebaliknya dari
makanan tersebut, yang tidak pernah bisa menerima sama sekali kedudukan yang lebih rendah. Selain
itu, meskipun ada referensi yang secara eksplisit mengungkap jenjang status/kedudukan, namun ada
juga preferensi negatif yang mengarahkan untuk tidak menglihkan kearah yang berlawanan arah
pergerakan wanita tanpa disebutkan perbedaan antara “pemberi” dan “ penerima”sebagaimana
masyarakat di Indonesia timur. Meski kurang baik jika dua pria mempertukarkan saudara perempuan
mereka atau anak perempuan mereka untuk anak laki mereka, demikian juga tidak layak seorang anak
perempuan kawin dalam rumah tangga asli ibunya, menghindari untuk memperisterikan sepupu lintas
patrilateral.50

Perlu dicatat bahwa prinsip turunan agnatic (keturunan yang melalui pihak laki laki saja) sudah hilang,
ketika dijodohkan sebagaimana praktek perkawinan endogamie di Bali, sebagian kekuasaannya
didiferensiasi. Memungkinkan untuk mendefinisikan secara tepat batas kelompok, namun perkawinan
endogami cenderung menghapus perbedaan internal dan menjalin hubungan hanya dapat
mendorong untuk pertimbangan seluruh orang tua seperti perbedaan mendasar tentang sex, usia dan
generasi. Catatan genealogi belum memperlihatkan secara umum lebih dari tiga atau empat generasi
dan terminology kekerabatan yang belum membedakan antara orang tua matrilateral dengan orang
tua patrilateral dan tidak mendukung presisi lebih lanjut dalam mendefinisikan tipe tipe orang tua.

48 Lihat Bourdieu dalam Sens Pratique (1980), untuk pembahasan terbaru tentang perkawinan endogami dan implikasi
strategis ikatan perkawinan.
49
Perkawinan dengan “melarikan” tidak dapat direduksi menjadi penjelasan sederhana dan hanya dapat dimengerti dengan
memeriksa konteks tertentu di mana itu terjadi. Lihat Boon (1977: 121-130) tentang tiga jenis perkawinan dan Hobart (1979:
348-386) untuk pengakuan kompleksitas pernikahan di Bali.
50
Jika dua orang laki laki bertukar saudara perempuan mereka, mereka dikatakan makedengan ngad, artinya metafora
dalam situasi dua orang menarik di setiap ujung dari pisau bambu, yang konsekuensinya akan melukai keduanya. Kembalinya
seorang putri pakarangan ibunya dikaitkan dengan ekspresi kebo ngulihin kandang. Artinya adalah agak misterius, namun
asosiasi perilaku hewan jelas merendahkan. Seperti dilansir informan, tampaknya kita selalu dapat mengakomodasi
persyaratan negatif dan menghilangkan potensi bahaya perkawinanan tersebut dengan menghaturkan sesajen.
Permainan yang bertentangan memungkinkan membentuk suatu system yang cenderung
melemahkan manfaat dari perbedaan utama antara kelompok kekerabatan interior dan eksterior,
antara orang tua dan bukan orang tua, antara satu dengan lainnya.

Dengan demikian harus diperhatikan istilah soroh yang penggunaannya bukan wilayah/territorial atau
berlaku sempit hanya untuk kelompok tertentu. Morfologinya ( ditemukan variasi sorot di wilayah
utara bali) menunjukkan keanggotaannya berdasar pada bali kuno atau lebih makro pada Indonesia,
karena juga ditemukan pada masyarakat jawa kuno yang memiliki rasa kekelompokan, divisi atau
bagian dari kelompok (Zoetmulder 1982: 1807). Soroh menggambarkan hal yang paling inklusif dalam
masyarakat bali yang berkaitan dengan garis keturunan dari pihak laki laki dan dari soroh berpotongan
dengan bidang semantik dari peran ganda bangsa/wangsa yang sebaliknya dipinjam dari bahasa
sansekerta. Meski demikian,soroh secara strikt dalam bahasa Indonesia sama dengan “jenis”, yaitu
individu individu secara bersama memiliki jenis yang sama atau spesies yang sama. Bahasa
nampaknya juga mengindikasikan bahwa orang tua memiliki sifat atau karaktek umum yang membuat
mereka mirip, misalnya buah manga membentuk suatu soroh yang berbeda dengan buah papaya.
Istilah ini berfokus pada kesamaan anggota dari kelompok kekerabatan dalam hubungannya dengan
anggota lain dari anggota kelopok keturunan lainnya.51

Disisi lain, perluasan konsep kekerabatan diillsutrasikan dengan penggunaan istilah nyama. Istilah ini
sama dengan “orang tua” dan menggambarkan secara umum hubungan antara anggota dari soroh
yang sama. Namun juga diaplikasikan pada anggota dari banjar yang sama yang berbeda kekerabatan
atau juga digunakan secara lebih luas misalnya masyarakat bali hubungannya dengan wisatawan
misalnya pada kata nyama turis. Perlu dicatat bahwa dari yang sama memiliki konsekuensi kesamaan,
penggunaan ini nampaknya mengindikasikan bahwa kontradiksi persepsi dari suatu kedekatan atau
kesamaan morphologi ada kecenderungan diinterpretasikan dengan bantuan paradigma turunan atau
tepatnya asal usul yang sama. 52

Bali memberikan impressi sebagai suatu masyarakat yang menegaskan prinsip turunan agnatic
(berdasarkan garis turunan laki-laki), tidak menggunakan sama sekali kekuatan struktural yang
potensial. Hal ini mungkin karena pendekatan kekerabatan tidak memberikan informasi data “kunci”
organisasi sosial dan ekonomi. Disamping itu, data data etnografi secara relatif pada masyarakat yang
berbeda mendorong perbedaan pernyataan prinsip turunan dan apliksinya dalam merekrut kerabat.
Nampaknya dalam beberapa kasus wilayah dan turunan ada terjadi secara bersamaan dalam aturan
kelompok. Interferensi antara laporan lapangan dengan hubungan kekerabatan adalah suatu
perbesaran di beberapa etnik di Papua dimana orang bisa mengusulkan untuk mempertanyakan
definisi kekerabatan dalalam arti murni genealogik.53

51 Pemahaman saya tentang apa itu soroh mirip dengan Hobart (1779:314,333-334). Saya tidak setuju, bukan analisis
menurut yang seharusnya, dalam beberapa hal, berlawanan dengan pengertian soroh pada kawitan yang berisi prinsip
diferensiasi internal dari kelompok kekerabatan. Anggota dari soroh yang sama adalah serupa karena hubungan simetri
mereka memiliki asal mula yang sama. Dalam kelompok kekerabatan para bangsawan, perbedaan dibuat antara garis
keturunan pusat, sangat dekat dengan kawitan dengan garis kerabat seketurunan yang dianggap sebagai perifer dan
peringkat yang lebih rendah. Tidak seperti kelompok biasa, peran afiliasi membedakan kekerabatan, tapi kawitan tetap
dibedakan dimana hal ini yang tidak tertulis, dalam pandangan saya ini adalah penjenjangan dari garis keturunan.
52
Menarik untuk diamati, seperti yang diusulkan oleh Hobart, nyama istilah dalam bentuk prefixie sama, yang berarti sama,
identik. Dengan demikian, suatu bentuk atau lisan yang akan menjadi tetap dan akan digunakan sebagai kata benda. Hal ini
menjadi masalah bahasa yang nampaknya sulit untuk diputuskan, mengingat kondisi pengetahuan bahasa Bali dan
evolusinya. Interpretasi ini akan berarti bahwa nyama juga bukan hal mendasar masyarakat Bali, sedangkan sama dipinjam
dari bahasa Sansekerta, dan setara dengan bahasa Bali patuh, tidak akan dipertahankan untuk membentuk induk arti kata.
53 Lihat, berkaitan dengan di New Guinea, artikel oleh A. Strathern dalam Goody (1973), dan dalam volume yang sama ada

tulisan dari J. La Fontaine. Dalam esainya yang ditujukan untuk gagasan ruang sosial, G. Condominas menyoroti gangguan
antara hubungan bertetangga dengan hubungan kekerabatan (1980:47). Kontribusi dari hasil siminar yang diadakan baru-
baru di Amsterdam (Januari 1983) tentang bentuk cognatic pada organisasi sosial di Asia Tenggara, dimana ditemui juga
kesulitan yang berarti tentang definisi yang terlalu sempit silsilah kekerabatan. Kasus masyarakat Melayu di Pahang yang
disajikan oleh B. Wilder menawarkan kesamaan dengan situasi Bali, dan untuk tingkat yang lebih rendah bisa merujuk pada
Di Bali tidak cukup merenungkan tema tersebut hanya dengan mengkaitkannya dengan ruang,
eksaminasi istilah tunggal tentang kawitan menarik untuk dikaji sebagai contoh. Kawitan adalah suatu
konsep dasar yang menjelaskan hubungan ke asal usul leluhur. Bukan mengaktualkan dengan melalui
panjang silsilah, tetapi melalui pura yang menandai asal usul nyata atau diasumsikan leluhur. Jadi,
leluhur atau inti leluhur yang terbaik selalu terlokalisasi. Kawitan menggambarkan sekaligus inti
leluhur dan suatu pura, artinya ruang sakral tersebut menandai asal usul suatu kelompok. Tema
tempat asal, akan ditemui secara ajeg di berbagai level, dari angket penelitian lapangan hingga kajian
pustaka. Dengan demikian ruang adalah wujud representasi dari kawitan “berasal” – kawitan juga
diciptakan sebagai suatu sumber- kelompok turunan. Dalam domain kekerabatan masih kabur dan
kurang diketahui, contoh contoh terbatas pada Pandé akan dikaji lebih jauh dalam dua aspek yaitu:
perbedaan itu sendiri dengan lainnya dan hubungan dengan ruang.

1.2. Satuan tempat tinggal, sanggah,sanggah gede dan dadia.

Unit kekerabatan paling elementer dalam satu keluarga batih adalah kuren yang ditandai dengan
penggunaan dapur yang sama (paon). Kurenan juga berarti isteri atau juga sama dengan sudah kawin
(kata kerja makurenan). Unit tempat tinggal adalah pekarangan,yaitu bagian lahan yang yang
berbentuk segi empat yang dekat dari tembok, dimana diatasnya orang membangun bangunan
dengan berbagai macam fungsi, hal yang palingprinsip dalam pembagian pekarangan ini adalah
orientasi ruang.54 Didalam satu pekarangan pada umumnya ada beberapa kuren, atau beberapa
kepala rumah tangga dari garis keturunan laki laki, anak anak mereka dan isteri isteri mereka tinggal
setelah kawin. Konfigurasi seperti ini menjadi dasar yang dicangkokkan secara opsional ke orang tua
lainnya, misalnya saudara perempuan yang tidak kawin atau bercerai kembali tinggal pada
pekarangan asalnya. Pada prinsipnya unit tempat tinggal atau rumah tangga tersebut tidak
membentuk unit ekonomi dan misalnya unit ini dulu dua bersaudara bisa tergantung dari dua dewa
yang berbeda. Kelompok adalah pembantu penanggungjawab pengelolaan dan pengaktifan upacara
di pura keluarga atau sanggah yang terletak di kaja kangin pakarangan.55 Persyaratan minimum
untuk berfungsinya tempat sakral tersebut, harus terpisah dari bangunan, memiliki taksu, merupakan
intermediasi antara Tuhan dan manusia, ada kamulan, yaitu sanggah yang dipersembahkan kepada
leluhur dan memungkinkan bagi pemilik rumah atau yang bisa berhubungan, setiap kali ia perlukan.
Perlu dicamkan bahwa nama sanggah tersebut dibentuk berdasarkan mula tanda awal asal usul.
Persembahan suatu sanggah atau persembahan suatu sanggah yang sudah ada, jika pekarangan
sudah ada, selalu menyertai tinggalnya suatu keluarga dalam rumah baru. Pelayanan pura umum juga
merupakan keikutsertaan pada upacara keluarga lain yang merupakan upacara berkumpulnya seluruh
keluarga dari pekarangan yang sama.

komunitas desa di Thailand yang dikaji oleh H. Kemp. Penting untuk dipikirkan bahwa kenyataan Bali adalah masyarakat
patrilineal, nampaknya dekat dengan titik pandang “memfungsikan” kekerabatan masyarakat keturunan cognatic.
54 Lihat masalah arsitektur dan orientasi ruang permukiman oleh Tan (1967), Hobart (1978) dan Howe (1983), mereka

menekankan bahwa desa-desa Bali Aga menawarkan perbedaan pola konfigurasi ruang dan sampai hari ini belum dikaji,
dengan pengecualian beberapa elemen ruang yang berhubungan dengan permukiman di Trunyan (Danandjaja 1980) dan di
Tenganan (Breguet 1980). Di desa Sidatapa misalnya, merupakan permukiman dari satu bangunan yang dibagi menjadi tiga
bagian dan bangunan yang setara fungsinya dengan sanggah terletak di bagian paling dalam, antara dua beranda yang
berfungsi sebagai tempat tidur keluarga.
55
Konfigurasi ini hanya dominasi, karena di bagian utara Bali bangunan sanggah dapat menempati setiap bagian dari kaja
pakarangan, dan juga perbedaan Bali Aga dari organisasi ruang.
Ada pakarangan yang tidak berkait pada kelompok kekerabatan yang lebih besar, keadaan seperti itu
nampaknya tidak normal, hal itu mngkin terjadi sebagai suatu tahap sementara antara potongan masa
lalu dengan jaringan masa depan. Unit yang lebih besar tidak memiliki nama , namun kumpulan dari
beberapa kelompok pekarangan sekitar dimana salah satu diantara mereka memiliki suatu sanggah
yang disebut sanggah gede. Perbedaan satu satunya adalah perkembangan jumlah sanggah yang
semakin membesar, dan beberapa diantaranya, berkaitan dengan jaringan hubungan kepada
peramal. Sanggah gede ditandai dengan pekarangan dimana hidup leluhur atau leluhur leluhur yang
menurunkan turunan keluarga laki laki (agnats) yang meliputi pekarangan yang berbeda dari suatu
kelompok. Inilah yang membedakan upacara , tempat asal usul yang berkaitan dengan leluhur lokal
yang menjadi terpisah dari satu bagian turunan akibat perkembangan penduduk. Turunan tersebut,
dapat membentuk satu garis lokal yang dihubungkan dengan kewajiban upacara. Utamanya, ketika
odalan di pura sanggah gede, kelompok yang harus mengatur peralatan/perangkat persembahan
(maturan), dimana “sisanya” (lungsuran) biasanya secara kolektif dimanfaatkan bersama dan
doa/sembahyang (mabakti) kepada leluhur umum sebagai manifestasi persembahan diri dengan cara
sumbah, yaitu tangan disetangkupkan bersama di kepala. Diantara tanda tanda lainnya, adalah
penggunaan obyek bahan makanan persembahan ke pada leluhur yang dapat dikenal dlingkaran
terdekat dari orang tua, karena tidak ada yang bisa mengkonsumsi makanan sesajen yang
berhubungan dengan leluhur yang bukan miliknya.56

Di desa Serongga, dekat Gianyar, bermukim sekelompok lokal Pandé Besi, jumlahnya kira kira 130
orang yang terbagi dalam ukuran pekarangan yang berbeda. Kelompok Pandé ini dibagi dalam empat
baris masing masing terdiri dari empat, tujuh, dan seperempat pekarangan. Tradisi menyebutkan
bahwa kelompok itu adalah keturunan dari empat bersaudara yang mendirikan desa tersebut, yang
merupakan migrasi yang meninggalkan desa asalnya di tahun 1840-1850 (Lihat Appendix B). Empat
pekarangan asli tersebut, kini menjadi sanggah gede mereka, bangunan upacara lokal terdiri empat
baris. Pura khusus pekarangan adalah pada baris ketiga dan disebut sanggah gede, meskipun tidak
ada halaman lain dari hunian sekunder yang melekat pada orangnya. Hal ini mungkin untuk tidak lebih
menekankan kesulitan bagi kelompok baris ini untuk mempertahankan kelangsungan organisasinya
seperti misalnya kasus nyentana, yaitu tidak adanya laki laki dalam suatu keluaga sebagai pelanjut

56
Lihat Gerdin (1981) tentang pengertian yang sangat penting dari kata Sidikara, dieksplorasi untuk pertama kalinya dalam
artikel ini. Di Bali, istilah ini jarang digunakan dan tampaknya dibutuhkan untuk dapat menentukan area geografis
penggunaannya. Kata ini tidak hanya dikenal di Lombok dan di Bali timur, seperti yang tersirat oleh Gerdin (Catatan 1 p. 33.),
Tapi juga dibuktikan di Bali Selatan. Kata ini disebutkan dalam kamus Bali-Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1978, dan
juga oleh J.Kersten, tidak diterbitkan. Istilah ini menarik perhatian morfologinya, yang segera dikenali sebagai bahasa
Sansekerta. Memang ditemukan istilah tersebut yaitu siddhikara, yang juga dalam bahasa Jawa Kuno, dalam bentuk verbal,
kesepakatan dengan nuansa bahasa Sansekerta. dimasukkan ke dalam kegiatan praktis yang berarti keuatan magis
(Zoetmulder 1982: 1759). Hubungan dengan Sidikara Bali tidak langsung memiliki makna yang sama. Korn mencatat, sambil
lalu. bentuk sidakara dan konteksnya dapat ditetapkan sebagai varians Sidikara (1932: 471). Sidi (Siddhi) yang juga dapat
berarti sida (siddha), mungkin Sidikara lebih menekankan pada penempatan, penyelesaian dari suatu tindakan dengan cara
magis. Dengan demikian pendekatan konsep Bali dari ritual dalam bentuk kegiatan kerja (gae, karya) yang akan dicapai,
membawa dan telah selesai diambil, seperti yang ditunjukkan oleh ekspresi Sidakarya. Sidikara tampak sangat sesuai sebagai
masidikara, kata kerja dimana masyarakat Bali menunjukkan hubungan antara mereka ke kelompok kerabat. Sebagai
ditunjukkan Gerdin, hubungan ini dinyatakan terutama melalui berbagi sesaji kepada leluhur dan penghormatan (sumbah)
melayat (hal. 25-27). Secara umum, hubungan Sidikara melibatkan partisipasi timbal balik dalam semua bentuk ritual hidup
dan mati (Suka Duka). Gerdin mengatakan kelompok Sidikara Lombok mungkin termasuk, dalam keadaan tertentu, kerabat
matrilateral. Itu akan menjadi “penyimpangan cognatic " serius pada prinsip keturunan patrilineal. Perlu memperbanyak
pengamatan di Bali. Karena masyarakat Bali di Lombok mungkin mengalami pengaruh eksternal mempromosikan secara
bilateral praktek kekerabatan. Pertanyaan penting adalah bagaimana kelompok Sidikara mendefinisikan dirinya melaui
hubungan kelompok berbagi sanggah gede dan dadia.
turunan, sehingga mendatangkan laki laki lain dari luar kelompok yang dipandang sebagai perempuan
(mawak luh) sedangkan sang perempuan dianggap laki laki (mawak muani).

Keempat garis keturunan ini tidak berpartisipasi secara kolektif pada kegiatan upacara yang bersifat
umum sebagai symbol kesatuan kelompok turunan. Ini adalah suatu kemungkinan mengapa
kelompok ini tidak membentuk suatu pura dadia. Sebaliknya keempat baris tetap terhubung, namun
tetap bebas satu dengan lainnya, tempat asal dimana datangnya empat moyang lokal dan pura yang
bersuai. Pura tersebut, memiliki pengecualian yaitu bukan suatu pura yang diperuntukkan bagi satu
kelompok kekerabatan Pandé, dengan demikian pura dadia bagi kelompok Pandé Serongga termasuk
orang tua jauh mereka yang hubungan silsilahnya tidak diketahui atau dapat direkonstruksi kurang
lebih sama dengan kelompoknya. 57

Unit kekerabatan inklusif dan supra lokal adalah dadia, yaitu terdiri dari suatu himpunan garis garis
turunan lokal yang berpusat pada sanggah gede mereka, dan juga pekarangan yang terisolasi dari
hubungan kawitan umum tanpa diagram silsilah, nyata atau fiktif, ada atau dapat disusun kembali
untuk pembuktian atau berbuat seperti jika seseorang bisa membuktikan.

Konfigurasi diatas adalah ciri kelompok Pandé, namun tidak ada alasan itu adalah kekhususan mereka.
Satu dadia secara umum bukan suatu kelompok lokal, meskipun hal itu bisa terjadi, namun lebih
cenderug suatu kelompok terlokalisasi sejauh dimana permukiman mayoritas orang tua berada
disekitar pura dadia.58 Orang dapat mengekspresikan sesuatu yang berbeda dengan menggunakan
ide barycenter (pusat inersi suatu sistem material). Jika kita memandang suatu permukiman dimana
rumah rumah yang ada membentuk suatu pola sebaran mengumpul pada titik titik tertentu, itulah
gambaran rumah rumah yang menjadi anggota dari suatu dadia. Secara umum dalam kasus dadia
Pandé, titik titik pusat imaginer tadi sebagai lokasi pura. Maka jamak kita lihat pada daerah inti –
tempat lokasi pura dadia- kepadatan bangunan lebih padat dibanding dengan sekitarnya. Pura dadia
yang berlokasi Banjar Babakan, Blahbatu, bertempat tinggal dua puluh Sembilan keluarga, tiga puluh
enam keluarga lainnya tersebar di sembilan desa disekitar yang berbeda. Pada kasus pura dadia di
Pliatan –dekat Ubud- sebaran penduduknya lebih besar, ada enam puluh enam keluarga yang
bermukim di Pliatan, sedangkan delapan puluh dua keluarga sebagai panyungsung berdiam di lebih
rang dua puluh tempat (Gambar 14).

Data diatas belum bisa digeneralisasi bahkan kalau bisa dikatakan terlalu cepat, dadia untuk orang
biasa pada umumnya dipisahkan pada banjar tersendiri (H.C. Geertz 1975: 60). Contoh kelompok
Pandé pada tahun 1980-1982- menujukkan adanya nuansa memperbesar jarak temuan studi yang
telah dilakukan di Tihingan oleh Geertz di tahun 1958. Prinsip prinsip dadia di suatu desa juga
membentuk unit unit produksi, dimana hal ini diluar dari pada kebiasaan. Unit unit produksi ini berada
dalam situasi kompetetif antara satu unit produksi dengan unit lainnya, karena secara ekonomi
mereka memiliki pasar yang sama, yaitu produksi pembuatan peralatan musik (misalnya pembuatan
gong). Gambaran situasi ini terutama dicirikan pada dadia Tihingan. Intensitas kemelut antara dadia
dan gemanya diseantero desa adat. Di sisi lain, kemelut tersebut terjadi sebagai akibat tidak angsung

57
Nampaknya pengecualian, kelompok Pande ini melekat ke pura pamaksan, pura Pujung dalam versi tertulis dari tradisi
disebut Pura Pande dan terkait ke kawitan Pande Serongga. Saat ini, penduduk di dekatnya banyak berafiliasi dengan pura
ini dan pamangku secara tradisional adalah seorang Pande dari Pujung.
58
Dari perspektif ini, jarak antara Serongga dan Pujung tampaknya abnormal tinggi. Dengan tidak adanya data yang tepat
pada sebagian besar dadia, jelas tidak memungkinkan untuk menentukan profil statistik distribusi tempat tinggal di sekitar
pura dadia.
situasi politik di Indonesia saat itu. Esensinya adalah secara politik, dadia tidak termasuk dalam faksi
faksi politik,juga tidak terlalu menganggu dalam aktivitas`keagamann dan banjar.59 Harus dibedakan
institusi kekerabatan sebagai fungsi sekunder dalam kaitannya dengan fungsi fungsi dadia yang bisa
terkait dengan kekuatan kekutan ekonomi dan politik baik secara lokal, regional dan nasional. Dalam
masyarakat tradisional, sangat jelas bahwa dadia adalah kelompok yang bisa mejadi mesin politik dan
asses kekuasaan. Sebaliknya, pelaksanaan kekuasaan mempengaruhi secara tidak langsung struktur
inernal organisasi dadia, sebagaimana studi yang dilakukan oleh Geertz (1975: 117- 152).

Bila dadia ditempatkan diluar kekuatan kekuatan yang ada, setidaknya untuk jumlah terbesar
kelompok Pandé, hanya satu ciri umum yang dapat dilihat yaitu keberadaan pura dadia pada ruang
publik banjar. Demikian pula, seharusnya kita tidak terlalu melebihkan arti penting dari fakta ini,
karena beberapa pura hanya memiliki satu pekarangan, atau menyelempit antara dua pakarangan,
hampir tidak dapat dianggap sebagai tanda-tanda prestise atau menunjukkan klaim secara terbuka
status suatu kelompok. Dengan kata lain, tidak ada solusi penting kontinuitas antara hal hal yang
berkatan dengan sanggah gede dengan pura dadia.60 Dan nampaknya kita tidak dapat mengikuti
generalisasi dari dua peneliti terdahulu “Kinship in Bali” yang mengatakan bahwa dadia dibedakan dari
kelompok pusat dari sanggah gede adalah kenyataan bahwa pembentukan awal suatu kelompok
kekerabatan secara total bersifat “ terintegrasi” (fully corporate kin group)(1975: 60). Pengertian
“corporate” tidak ditemukan secara tepat padanannya dalam bahasa perancis, untuk itu kata tersebut
dicoba diartikan menurut definisi yang dikemukakan oleh Meyer Fortes, yaitu: kriteria hak bersama
atas suatu properti, benda atau non benda. Untuk kasus ini, suatu pura umum yang dibangun di atas
lahan dimana dadia hanya secara umum memiliki hak menggunakan, sawah bukti dimana produksinya
hanya digunakan untuk keberlangsungan kegiatan pura. Dadia bukanlah persis sebagai suatu hukum
perdata (?) (single legal personality), dalam arti tidak bisa dikatakan bahwa anggota dadia adalah
berhadap hadapan secara hukum sama dan sebagai representasi dadia dalam pelaksanaan dalam
berbagai hak dan kewajiban mereka dalam kerangka organisasi sosial yang lebih besar. Terakhir
adalah struktur autoritas direduksi ke minimum: seorang klian adalah koordinator, dan bendahara
yang mengelola konstribusi sumbangan dari anggota kelompok; dan pemangku berperan sebagai
pendeta di pura. Sebaliknya, tidak ada keraguan bahwa dadia mempertahankan hilangnya
keanggotaaan kelompok sepanjang usianya dan dengan demikian sebuah kelompok bersifat
permanen, kecuali bila terjadi kondisi tertentu. 61 Penerapan kriteria tersebut adalah dadia Pandé
jarang terbentuk, sepanjang observasi yang dilakukan, kelompok kelompok yang terbentuk
sepenuhnya “dalam tubuh”, alternative bentuk lainnya adalah bersatu dalam unit sosial di banjar
sebagaimana terjadi pada dadia di Pliatan.

Perbedaan kualitatif antara dadia dengan kelompok kekerabatan lokal dimana sanggah gede sebagai
ekspressinya, sama sekali tidak ditemukan lagi dadia yang memiliki ambiguitas mencolok tidak sebesar
seperti yang disarankan oleh Geertz. Pada bab yang berjudul “Masyarakat Bali, apakah suatu sistem
kekrabatan ? Geertz mengajukan pertanyaan untuk mengetahui apakah dadia sebagai satu garis
keturunan, suatu kasta, suatu kultus atau satu faksi (1975: 157). Kondisi terbaru adalah pertanyaan

59
Apa yang diamati di Tihingan tidak bisa dianggap sebagai standar, dan ungkapan berikut ini menyiratkannya: "Dadia
formation is, in the very nature of the case, a threat to the moral, religious, and legal primacy of the hamlet ..." (H. et C.
Geertz 1975: 167).
60
Sebagai contoh, kebersahajaan pura dadia kelompok kedua dari Pande (Pande Tusan) yang tinggal di Serongga atau yang
dari Pande Besi dari Banjar Pande Blahbatuh atau bahkan paibon Pande Mas dari Kamasan.
61
Definisi dari Fortes ini dikutip oleh J. La Fontaine dalam Goody (1973: 35-36).
tadi bersifat semi retorika, karena dadia dapat berfungsi ketiganya secara bersamaan (Boon 1977:
145).

Dadia sebagai suatu faksi kemungkinan terjadi akibat resultante antara kondisi sosial dengan kondsi
politik. Garis keturunan dadia hanya menimbulkan masalah terminologi. Tradisi etnologi, contoh yang
masih terjaga pada masyarakat Afrika, untuk menentukan garis keturunan didasarkan pada leluhur
yang terkenal, dengan demikian dapat ditentukan hubungan geneakologi antara satu dengan lainnya.
Juga ada cara lain sebagaimana yang diusulkan oleh Meyer Fortes tentang kelompok “dalam tubuh”,
demikian halnya dengan exogamie (perkaengan gawinan di luar kelompok). Meskipun hal ini tidak
termasuk “garis keturunan” sesuai dengan pengertian dadia pada masyarakat bali sebagaimana yang
terjadi secara global. Meski demikian apa yang terjadi disini adalah leluhur yang dikenal dan memori
silsilah, afiliasi ke pura dari status berbeda menurut perbedaan level dalam organisasi kekerabatan:
rumah tangga dan sanggahnya, garis keturunan lokal dan sanggah gedenya, garis keturunan dengan
pura dadianya. Dengan demikian kekhususan dadia pada masyarakat Bali yang membedakan dengan
masyarakat di afrika adalah pada hubungan garis keturunan kaitannya dengan pura.

Setiap 210 hari sekali kelompok dadia mengadakan upacara keagamaan dmana pura dadia dijadikan
sebagai pusat kegiatan. Seandainya dadia mempunyai acara lain, upacara tadi yang harus
didahulukan. Itulah ajaran seorang ayah bagi anaknya, bukan inskripsi silsilah garis keturunan, tetapi
yang terpenting adalah afiliasi hubungan ke pura dadia. Ketiadaan memori silsilah dalam bentuk
tertulis, setidaknya tergantikan dengan afiliasi hubungan turunan dengan pura dalam bentuk
mnemonique (membantu menghafal).Bukan gambar batang pokok dan cabang cabang dadia yang
membentuk balok silsilah turunan yang tidak komplit, diperpanjang, kemudian memusat membentuk
titik asal yang disebut dengan kawitan yang kemudian diwujudkan melalui pura dadia. Hubungan
kekerabatan didasarkan pada suatu prinsip turunan, secara praktis dimediasi melalui hubungan
spasial ke kawitan, dan secara ekspressi nyata melalui bentuk keterhubungan dengan pura dadia.

Semua berjalan dengan baik jika seseorang anggota kelompok dari dadia yang sama memiliki modal
umum leluhur yang tidak berwujud yang diberikan kepada kelompok sebagai pengikat dalam rangka
pemeliharaan pura dan kegiataan periodik upacara untuk memperingati asal usul Dadia juga berkaitan
dengan lingkaran para orang tua dalam memobilisasi acara atau peringatan penting, dibawah
pengelolaan inti aktif inilah dadia diorganisir dalam hubungan ekonomi dan politik, baik di tingkat
lokal, regional maupun pada masyarakat bali secara keseluruhan. Absennya kegiatan tersebut akan
berdampak pada melemahnya keterikatan dalam dadia. Karena keuntungan resultan simbolik
keterhubungan dengan suatu dadia tidak selamanya cukup sebagai upaya sistematis mengimbangi
kecenderunagn gaya sentrifugal dalam dinamika social, utamanya ketika para anggota kelompok
bergantung pada suatu institusi ekonomi dan politik seperti: subak, permukiman dan puri. Dengan
demikian dapat dibuat suatu hipotesis bahwa orang biasa pada dadia adalah unit yang sangat bisa di
deformasi, sebagai subyek kekuatan yang dapat melewati bagian demi bagian yang dapat diabaikan
dengan tepat dari kelompok kekerabatan. Hal ini menggiring kita pada suatu tema tentang
pergerakan kelompok kekerabatan yang akan dikembangkan lebih jauh pada kasus Pandé.

Pembahasan akhir adalah tentang dadia sebagai suatu kasta, disadari bahwa ini adalah bahasan yang
sangat krusial. Sebagaimana uraian dalam berbagai literature soisiologi Anglo-saxone yang
menggunakan istilah kasta adalah luas dan sangat tidak adil, karena beberapa kelompok social di
amerika utara kadangkala diklasifikasikan sebagai kasta. Untuk kasus di Bali misalnya tidak ada dasar
yang kuat, pengklasan kasta (Brahmana, satria, Wesia dan Sudra) diartikan sebagai pembagian empat
bagian masyarakat, sering juga disebutkan sebagai caturwarna atau caturwangsa. Penggunaan istilah
tersebut agak berbeda dengan istilah yang ditemui di India dimana istilah kasta disana biasanya
digunakan kata jati bukan varna (Dumont 1966). Mengenai pertanyaan kasta di bali, kebingungan
muncul karena orang mencoba menghubungkan kelompok nyata di masyarakat dengan suatu
ekspressi yang didasarkan pada suatu teori hirarki sosial, yaitu representasi tatanan sosial yang
dikristalisasi setelah abad ke 14. Apa yang sering disebut dengan kasta sebenarnya adalah pengklasan
hirarki ideal, sementara dadia adalah unit kekerabatan yang nyata dimana prinsip formasinya tidak
ada kaitannya dengan ideologi pembagian kasta. Dadia adalah menyerupai suatu institusi kuno
masyarakat bali dimana keberdaannya juga ditemui pada masyarakat Bali Aga yang notabene tidak
mengenal adanya hirarki ini. Pengertian warna atau wangsa dan dadia tidak memiliki kesamaan level
sosiolologi dan sejarah masyarakat bali. Tanpa mencoba menggali lebih jauh pertanyaan tentang
kasta, yang nampaknya masih sangat rawan dan rentan pada kondisi nyata pengetahuan yang ada.

1.3. Unit Translokal: kekerabatan dan hirarki

Unit unit terbentuk dari jumlah lebih atau kurang penting dari suatu dadia yang entitasnya abstrak,
karena unit tersebut tidak membentuk suatu kelompok yang dapat diobservasi di lapangan. Meski
demikian Unit tersebut eksis, baik dalam kesadaran sebagai media dan tanda tanda yang terkait,
maupun sikap dan perilaku yang eksplisit semuanya dapat teridentifikasi. Unit unit ini dapat
mengespressikan perbedaan dan persamaan manusia di luar dadia. Konsepsi masyarakat bali adalah
berlipat ganda dan kepastian satu satunya adalah bahwa mereka tidak akan pernah mau merubah
kompleksitas tersebut menjadi sesuatu yang lebih sederhana atau bersikap berlawanan, sebagaimana
yang terjadi di India dengan adanya gerakan pemurnian menurut Louis Dumont. Dalam pertanyaan
pengklasifikasian dimana berbaur ideology kekerabatan dan hirarki social, kepastian lainnya adalah
bahwa idea dan nilai nilai adalah suatu otonomi besar dan memberi kerangka interpretasi realitas
social, dimana kadangkala dianggap tertinggal jika dihubungkan dengan realitas atau kadangkala
terjadi kontradiksi internal akibat perbedaan paradigma.

Nampaknya perlu dibedakan antara suatu kutub-sederhana, yaitu konsep asal usul, dengan kutub-
kompleks yang bersifat global dan amalgamant dalam pengertian hirarki, kemurnian dan kekuasaan. 62
Kita akan melihat dalam pengertian soroh dan wangsa, suatu ekspressi bahasa untuk melihat kedua
kutub tersebut. Soroh termasuk hal yang mendasar di Indonesia dan menunjukkan seperangkat hal
yang sangat inklusif berkaitan dengan orang tua yang diciptakan sebagai sesuatu yang mirip dengan
keterkaitan mereka dengan kawitan umum. Pengertian ini mirip digunakan dalam pengklasan tumbuh
tumbuhan dan hewan yang dikenal dengan species yang tentunya berbeda dengan pengertian soroh
ini. Soroh adalah suatu representasi dari suatu seri inti leluhur dan kelompok kekerabatan yang
disandingkan dalam mbidang horizontal yang sama.

Sebalikya, Wangsa atau dalam bentuk jamak bangsa , dipinjam dari bahasa sansekerta vamsa yang
berarti silsilah, garis keturunan, suku,keluarga yang berkonotasi kemuliaan. Kata ini ditemukan
diberbagai bahasa di Indonesia. Pada masyarakat jawa kuno, pengertian wangsa sama dengan
pengertian dalam bahasa sansekerta. Sedang dalam masyarakat jawa modern, seperti bahasa
Indonesia bangsa berarti masyarakat, suku dan bangsa. Kata ini juga ditemui dalam bahasa sunda,

62
Diskusi tentang pengertian kemurnian dan kekuasan di Bali, merupakan hasil konsultasi dengan Hobar (1979).
bugis dan lainnya yang pengertiannya mirip dengan bahasa Indonesia. Sebagian besar dari bahasa
bahasa tersebut juga berkonotasi dengan arti kelahiran yang mulia (Gonda 1973:149). Pada bahasa
bali dan jawa-bali, kata wangsa biasanya diterjemahkan sebagai “kasta” dan kata sinonim yang jarang
digunakan adalah warna. Ekspressi kata Triwangsa merujuk pada tiga kasta utama, termasuk dalam
bahasa lisan, sedang kata Triwarna penggunaanya lebih banyak pada langgam tulis.

Meski, masyarakat bali meminjam pengertian yang menunjukkan keaslian kelompok kekerabatan
(yang mulia) untuk memenuhi pembagian hiararki masyarakat, utamanya dalam membelah ideology
antara Triwangsa dengan Sudra. Faktanya, keempat kasta dapat dilihat sebagai selubung teori yang
seolah olah mengelompokkan kembali unit unit kekerabatan keempat kategori besar hirarki. Untuk
melewati dari soroh ke wangsa, bidang kelompok kelompok kekerabatan bergerak keposisi vertical.
Meski demikian, jika diabstraksikan hubungan susunan sosial yang meliputi, maka kasta brahmana
diidentifikasikan sebagai suatu soroh, karena seluruh Brahmana didukung oleh suatu turunan yang
khas yaitu Dang Hyang/Mpu Nirartha. Namun, tidak tercakup dalam pengertian soroh, perbedaan
lima sub kelompok dari hasil beberapa perkawinan leluhur dimana kedua isteri utama hanya
Brahmana. Secara prinsip, rentang isteri mempengaruhi perbedaan rentang turunan, dan eksistensi
dari suatu hirarki internal ke kasta utamanya adalah dijelaskan seperti itu. Banyak sekali kaum Wesia
juga turunan Satria yang beristerikan wanita Sudra, dan secara umum hubungan ketidaksetaraan
menghasilkan perkembangan gelar dan kelompok gelar yang secara hirarki hanya perkiraan dan
mengarah pada pertentangan. 63 Meski ada perbedaan prestise antara lima sub kelompok Brahmana,
mereka tidak membentuk lima kelompok hirarki gelar, mereka hanya menggunakan satu gelar yaitu
Ida. Kasta Brahmana adalah soroh sekaligus gelar. Secara prinsip gelar ini adalah yang tertinggi
dibanding dengan kasta lainnya. Dalam perbedaan pada Brahmana ini, dapat dilihat keberlanjutan
transplantasi India yang beropposisi dengan “suci dan tidak suci” yang menjadi instrument perbedaan
antara status dan kekuasaan. 64 Kenyataan bahwa opposisi suci/tidak suci ditemui di Bali namun
Opposisi secara mendasar tidak seperti yang terjadi di India. Untuk mengingatkan kembali bahwa
kasta secara strik, yaitu kata jati di India tidak ada di bali dan tidak ada obsesi untuk memisahkan
kelompok baik dalam bidang pekerjaan maupun ketergantungan yang di hasilkannya. Yang ada
seperti di India adalah prinsip hirarki yaitu sebagai suatu realitas utama, meskipun nampaknya tidak
bisa dikurangi menjadi lebih sederhana.

Mengenai kasta Satria agak lebih samar dan garis keturunan yang memisahkannya dengan kasta
Wesia juga agak mengambang. Berbagai interpretasi yang berkaitan dengan turunnya peringkat gelar
Satria dan Wesia yang disebabkan oleh: peringkat isterinya, fungsi yang ditempatinya dan peranannya
dalam konteks puri. Ada perbedaan mendasar turunan pendiri dinasti Gelgel yang menurunkan
seluruh bangsawan denga bangsawan lainnya yang merupakan turunan raja raja jawa yang pernah
datang ke bali dan kemudian menguasainya. Berdasakan teori, kedua kasta (Satria dan Wesia)
keberadaannya erat kaitannya dengan masalah politik dan pertahanan, yang kemudian membentuk
pola historis-genealogik dalam garis keturunan kerajaan yang membedakan dengan garis keturnan
lainnya. Beberapa sumber lainnya tidak setuju bahwa peringkat Satria adalah turunan raja (Satria
Dalem), sementara ada yang setuju yang mengatakan bahwa itu adalah turunan raja namun

63
Lihat Boon (1977:145-164) untuk presentasi yang jelas dari kerancuan karakteristik masalah kasta di Bali.
64
Lihat Louis Dumont (1966), utamanya dalam Bab II. Jika posisi Brahmana dalam masyarakat Bali mungkin efek dari
Indianisasi, faktanya masih ada oposisi antara murni dengan tidak murni, juga perbedaan antara status dengan kekuasaan,
bukan berarti bahwa semuanya adalah akibat pengaruh eksternal.
peringkatnya lebih rendah (Satria Jawa), sebagai konsekwensinya, peringkat yang terkahir inilah yang
termasuk Wesia.65

Sebagaiman diketahui bahwa ada kata yang erat kaitannya dengan raja yaitu kata Dalem. Kata ini
tidak persis dengan istilah eksterior/interior (jero/jaba dalam bahasa sehari hari). Salah satu prinsip
utama pengkalsifikasian mungkin ada hubungannya dengan konsep agama di masa lalu. Sebagai
contoh, bagian yang paling dalam dari suatu pura disebut jeroan, sebaliknya bagian luarnya disebut
dengan jaba. Dalam perwujudannya, yang berkuasa membedakan antara perajurit/administrator
yang merupakan pengejewantahan kekuasaan dalam esensi magis-religius. Sebagai ilustrasi dapat
dilihat pada Babad Buleleng, yang menggambarkan pendiri Buleleng sebagai orang luar biasa, pada
kelahirannya dari batok kepalanya keluar nyala api, dimana menurut penulis memperlihatkan bahwa
beliau sangat sakti, kekuatan magis-relijius dijumpai secara tradisional dalam wujud api dan panas
(Worsley 1972: 130-131, 216-218). Kualitas kesaktian biasanya ditunjukkan oleh para Dalem, dengan
demikian secara klasifikasi golongan satria tidak beropposisi secara radikal dengan kelompok
Brahmana yang juga berfungsi menjaga masalah kekuatan magis-religius.

Contoh lain adalah absennya penggalan antara Brahmana dan Dalem, antara pendeta dengan
penguasa, dalam fakta bahwa Krisna Kepakisan, raja pertama pada dinasti jawa-bali, beliau adalah
cucu dari seorang Brahmana Mpu Kepakisan, seorang pendeta yang sangat dihormati diera Majapahit
(Berg 1927: 104). Demikian halnya dengan Dalem pertama adalah satria untuk memenuhi nominal
kasta yang berbeda fungsinya, dalam waktu yang sama dia juga berperan dalam masalah agama
sebagai konsekwensi turunan brahmana, mendapat julukan sebagai keturunan langit karena ibunya
adalah seorang apsari. Gelar juga disandang oleh turunan orang yang berkuasa seperti istilah Dewa
Agung, demikian halnya yang membedakan raja Klungung dengan raja raja lainnya yang sebagian
besar adalah dari kaum Wesia yang dianggap lebih rendah dari Dewa Agung yang meskipun secara
politik memiliki kekuasaan yang sama.

Nampak bahwa pembagian ideal dari kasta, secara teoritis memilik aturan yang bersifat universal dan
abadi, dilihat sebagai suatu konsep lama masyarakai Indonesia yang tidak membedakan secara tegas
antara politik- agama, juga pandangan diakronik yang menjelaskan pengertian turunan dari berbagai
kelompok kasta yang terbentuk. Ciri ideal pembagian tersebut memberi pembenaran hak istimewa
sebenarnya dengan baik, demikian halnya hubungan antara Triwangsa dan Sudra.

Kelompok Sudra yang lebih umum dikenal sebagai kaula, yang mudah disimpulkan sebagai pelayan
Triwangsa. Jika dianggap bahwa yang “dilayani” lebih suci dari pada yang “melayani”, adalah sebagai
perwujudan atribut awal yang merujuk bahwa yang dilayani adalah sekualitas jawa dan yang melayani
adalah Bali. Sudra adalah mereka yang tidak dapat mengkalaim dengan kemungkinan minimal,
mereka adalah turunan dari leluhur jawa. Perbedaan antara wong majapahit dengan wong jaba
adalah sangat berbeda makna dengan perbedaan Triwangsa/Sudra, meskipun dewasa ini sebagian
besar masyarakat bali dianggap berasal dari majapahit. Perpotongan itu adalah pada perbedaan nilai
kawitan Majapahit disatu sisi, dimana issu wong dalem dan Bali, disisi lainnya, issue orang luar (wong
jaba). Sering disebutkan bahwa leluhur dari jawa sebagai yang menurunkan mereka yang datang ke
Bali. Dari berbagai teks menjebutkan bahwa Majapahit bukan lagi sebagai suatu kerajaan mistik-

65
Lihat Korn (1932: 137-140) dan Boon (1977: 151).
historik, tetapi sebagai suatu gunung di Jawa. 66 Majapahit dan Bali juga adalah “tinggi” dan “rendah”
sebagaimana istilah kaja/kelod, hulu/teben.

Bagian utama yang terputus dari India adalah antara kelahiran kedua (dwijati) dan lainnya (ekajati)
mungkin diinterpretasikan dalam pengertian murni bali pada dualism lama yang berlawanan seperti
interior/eksterior, hulu/teben, sakral/profane, alam gaib/manusia. Aplikasi dalam ideology
kekerabatan, dualism yang berlawanan seperti kawitan jawa dan kawitan bali, sebagaimana dualisme
lainnya, dalam suatu daftar yang bergeser ke bawah seperti beradab ke liar. Opposisi dua kutub, asal
dan inti leluhur jawa dan bali adalah berakar dari ideologi dominan dimana ideologi kasta dicoba
diletakka secara bersama antara ide dan nilai nilai relative yang ditransmisikan dalam suatu kualitas
leluhur mulai dari suatu titik asal kemudian kembali ke pada suatu konsepsi hirarki dunia atau
kasucian dan kasaktian , sebagai tempat utama adalah atribut ke ilahian.

Secara keseluruhan hal ini memberi suatu koherensi murni nominal melalui penggunaan klasifikasi
warna atau wangsa. Dalam hal ini dapat dilihat pada ekspressi kata Caturwangsa, artinya Sudra
termasuk didalamnya. Tidak pernah kita dengar istilah Ekawangsa untuk menunjukkan opposisi
Triwangsa, biasanya untuk memberi pengertian seperti ini paling hanya menggunakan kata kaula
(pelayan). Jika menurut pandangan kaum Triwangsa, wanita Sudra tidak akan turun peringkatnya
(susud bangsa) hanya karena perkawinan, juga karena kelas terakahir adalah wangsa-semu (pseudo-
wangsa), suatu bentuk sederhana dari suatu klasifikasi yang tidak pernah dikenal, jika tidak,
penjajaran soroh dicirikan melalui kawitan secara samar samar . Pada kelompok masayarakat tertentu
khususnya kelompok Pandé dianggap sebagai bentuk “sebenarnya” dari wangsa yang secara signifikan
dengan referensi yang dilustraikan sebagai kawitan, artinya Majapahit dan Mpu mengivestasikan
suatu kemurnian dan suatu kekuatan semi-ilahi.

Pengertian soroh dari sudut bangsa, dipandang sebagai suatu aksen yang menggeser persepsi atas
perbedaan resultan dari kemanunggalan berbagai asal leluhur ke suatu bentuk hirarki kelompok
melalui pengembangan difrerensiasi dari kawitan. Hirarki ini merupakan bentuk aksi ke dalam dari
pembagian empat wangsa untuk mengantisipasi penggandaan sub kasta atau kelompok gelar
karakteristik Satria-Wesia. Secara jelasnya, kelompok kelompok bergelar adalah keseluruhan dadia
yang membentuk secara ideal suatu jaringan yang ditandai dengan pura dengan titik senral adalah
Gelgel, projeksi yang berasal dari majapahit tersebut di salurkan melalui tat ruang masyarakat bali.
Pura Dasar Gelgel utamanya berfungsi sebagai titik yang menggalang bagi siapa saja klaim yang terkait
secara langsung atau tidak langsung ke kelompok imajiner para penakluk dari jawa.

Struktur jaringan yang digabung menjadi satu dalam kawitan tersebut, mulai dari kawitan ideal dan
inklusif dari Gelgel hingga kawitan lokal yang ditandai oleh pura dadia, yang kontras dengan konsep”
pusat dan dekat” yang ditunjukkan pada desa desa Bali Aga, sebagai titik stasioner yang ditutup pada
masyarakat desa dan titik refrensi mutlak identital social. 67 Dengan demikian dapat dibuat suatu
hipotesis bahwa massa Sudra berosilsi antara “model Bali Aga” yang dicirikan dalam bentuk idealnya

66
Sebagai contoh, dalam manuskript tanpa judul Bancangah Pande (LBN 015) tertulis: ….Kasusup ikang gunung maspahit
antuk bhatara wisnu, kasuluhan dening bhatara brahma agni.
67
Bierr memberi informasi yang berhubungan dengan Bali Aga yang terkenal namun tidak populer, terutama karena hanya
satu satunya studi yang khusus untuk mereka sejak akhir zaman Belanda, karakter "introvert" dari desa dan pandangan dunia
mereka yang berhubungan adalah kutub kedua dari realitas Bali, sangat kontras dengan karakter "ekstrovert" dari sebagian
besar desa-desa di Bali. Hanya melalui integrasi dari dua kutub akan menghasilkan kemajuan dalam pengetahuan
masyarakat Bali sebagai suatu totalitas.
secara kebetulan dari kawitan, dari soroh dan ruang desa, dengan model yang terkait dengan
pengertian bangsa , yang dicirikan melalui atomisasi kelompok kelompok bergelar masyakat pan-bali
dalam dadia terlokalisasi dalam hubungannya dengan gelar dalam hirarki social yang berkulminasi
dalam pembagian kasta. Pada kasus Pandé, Pandé Bangke Maong agak lebih dekat ke model
pertama; sedangkan Pandé Bratan dan Pandé Tusan lebih condong pada model kedua; sementara
Pandé Mas berada di posisi antara kedua model tersebut. Kesadaran akan makna dan peran turunan,
demikian halnya kesadaran bentuk suatu unit translokal dan penggnaan gelar sangat ditentukan oleh
tiga ciri yang tak terpisahkan dari kelompok kelompok sesuai dengan model tipe bangsa.

Dapat dikatakan bahwa bangsa Pandé adalah secara prinsip terdiri dari dua kelompok gelar yaitu
Pandé Bratan dan Pandé Tusan, dengan mengabaikan situasi yang agak samar dari Pandé Mas, juga
dengan mengabaikan tranformasi mutasi yang secara progressif dilakukan oleh Pandé Bangke Maong
dan Pandé Besakih. Secara resmi dan formal tidak ada perbedaan peringkat antara dua kelompok
yang dibedakan tersebut (Pandé Bratan dan Pandé Tusan) baik dari toponim (sejarah nama tempat-
tempat) maupun nama kawitan translokal mereka. Kelompok Pandé menolak pembedaan hirarki
internal, yang secara normal terkait dengan perbedaan gelar. Unit Pandé Bratan misalnya disimbokan
melalui rangkaian pelinggih yang ditempatkan di dalam pura di Candi Kuning, dan dipelihara secara
kolektif oleh berbagai kelompok yang berbeda dimana anggotanya bermukim di lima puluh desa yang
berbeda. Jika dicoba direduksi berdasarkan kelompok lokal kawitan mereka, maka ditemui ada lima
dadia yang terbagi antara kelompok yang berdiam di barat laut dan di tenggara pulau bali yang
kemudian membentuk dua garis keturunan lokal (sanggah gede) dan satu keluarga khusus yang
bermukim di Gianyar. Unit kekerabatan tersebut mengungkapkan hubungannya pada asal usul umum
dan mengangkat dilokasi tersebut seorang pemangku untuk mengurusi upacara setiap 210 hari yaitu
upacara Tumpek Landep, odalan pada pelinggih sebagai penghormatan pada leluhur.

Dibawah prinsip umum, setiap bagian dapat mempresentasikan diri, hanya sedikit jumlahnya yang
bergeser dari berbagai dadia dan kelompok berbeda. Di Candi Kuning misalnya tentu tidak sama persis
dengan Pandé Bratan, namun pada jumlah anggota keluarga tertentu dapat bekumpul pada waktu
dan lokasi yang sama disuatu pura membawa sesajen dan ikut serta dalam upacara yang bersifat rutin.
Keikutsertaan dalam suatu upacara tidak cukup untuk menjaga hubungan horizontal antara para
orang tua yang secara geografis berjauhan tempatnya. Dapat dicermat bahwa dadia bukan hal
penting yang mencirikan kekohesian kelompok. Lebih lebih lagi, kelompok bergelar adalah suatu unit
kesatuan yang agak longgar, keberadaannya tidak wajib, gelar lainnya yang dijaga secara vertical oleh
setiap kelompok kawitan translokal.

Dapat diamati pada kelompok Pandé Besi, demikian halnya dengan Pandé Bangke Maong, yang
disebut sebagai Pandé Tusan, sebagaimana yang dikemukakan oleh van der Tuuk diakhir abad 19 dan
oleh de Kadt tahun 1920. Pada tradisi tulis, leluhur dari Jawa, Mpu Siwa Saguna mengunjungi Gelgel
saat kedatangannya ke bali, dan kemudian bermukim di Tusan.68 Tusan demikian halnya dengan
Bratan bagi Pandé Bratan , menjadi semacam titik pusat yang diduga menjadi rujukan bagi Pandé Besi
dan sebagai pusat penyebaran turunan leluhur pendiri. Turunan ersebut mencakup jumlah besar
dadia, diperkirakan sekitar ratusan. Ada suatu lokasi yang mengacu pada Tusan yang wujudnya murni,

68
Lihat sebagai contoh manuskript Kr 1061 dimana kita menemukan kutipan berikut: sapraptane ring panagara Bangsul,
sira Mpu Siwa Saguna asana pwa Maring pradesa Tusan (Setibanya di Bali, Mpu Siwa Saguna tinggal di Desa Tusan).
Beberapa baris sebelumnya, dapat dibaca bahwa Mpu Siwa Saguna pertamatama tinggal di Gelgel. Desa Tusan ini juga
disebutkan dalam narasi dari Usana Jawa, tanpa rincian lebih lanjut (Kr 360/LOR 11143, ARL 3858, 3978: Berg 1927: 133).
karena puranya saat ini yang berada di desa Tusan hanya sebagai pura dadia, artinya suatu pura yang
menandai asal suatu kelompok terlokalisir dan bukan asal pan-bali sebagai kelompok gelar.
Kesenjangan antara pengetahuan kawitan secara umum dengan absenya suatu praktek upacara
keagamaan yang mengaktualisasi konsep tersebut sebagai suatutu masalah. Dalam budaya tersebut
membawa suatu massa yang dipandang sebagai unsur simbolik, harus hati hati membedakan wujud
mengambang yang rentan kegiatan, dan wujud aktifitas tersebut berlabuh dalam praktek upacara
keagamaan.

Sebagaimana telah dibahas pada bagian pertama penelitian ini bahwa kelompok Pandé berlokasi asal
di wilayah Klungkung –Gelgel, semuanya berkualifikasi Pandé Tusan, mereka tidak ikut serta dalam
odalan di pura Pandé Tusan, tetapi secara ritual lebih berkait dengan Pura Dalem Ganda Mayu yang
harus berbagi dengan kelompok Brahmana dengan alasan yang kurang jelas. Meski demikian , pura
tersebut berfungsi sama sebagai suatu tempat ibadah yang menandai suatu wilayah asal, namun
bukan pan-bali, karena afiliasi pura tersebut terbatas pada sejumlah dadia saja. Perlu dicatat bahwa
dalam lingkaran lingkungan Pandé, ungkapan Pandé Tusan secara umum digunakan dalam konteks
tertentu, hubungannya dengan sejarah asal Pandé Besi dan oleh Pandé yang memiliki akses ke teks
dimana diinformasikan dari tradisi tulisan. Pada prakteknya, istilah Tusan tidak digunakan untuk
menunjukkan kelompok konkrit dadia. Sebagai contoh Pandé Blahbatuh, kelompok Pandé dari
Blahbatuh dan bukan Pandé Tusan (di) Blahbatuh, Pandé Tusan dari Blahbatuh. Sama halnya dengan
Pandé Tusan disini dalam arti sempit adalah dadia dari Tusan, tidak satupun manfaat kemahsyuran
dalam lingkaran Pandé. Desa desa dimana berkaitan dengan dadia dan selalu disebut ketika
membicarakan kejadian masa lalu namun bukan sebagai desa asal pertama, ada tiga desa yang masuk
dalam kategori ini yaitu desa Tonja di Denpasar, desa Taman Bali di selatan bangle dan desa Gelgel.
Dengan demikian kita berbicara tentang Pandé Tonja, Pandé Taman Bali dan Pandé Gelgel, ketiga desa
tersebut berfungsi dalam diskursus sebagai tiga kawitan yang menjadi perhatian dalam dispersi Pandé
di wilayah Bali. Istilah lainnya, jika meminta seorang informan Pandé dari dadia X pada kawitan
translokalnya, selalu ada peluang uantuk mengutip ke tiga desa tersebut di atas. Hal tersebut hanya
menggambarkan lebih lanjut tentang rangkaian kawitan dimana orang mengumpulkan nama Tusan.

Pada Gambar 15 adalah rekaman dari sorang informan dari Banjar Babakan di Blahbatuh. Dadia dari
banjar tersebut berkait ke Gelgel, dengan tidak adanya tradisi penulisan, tidak dapat disangkal banyak
orang dengan alasan gengsi yang melekat pada nama tertentu, namanya ditempatkan pada posisi
silsilah dalam cabang utama. Ketekaitan antara Blahbatuh dan Gelgel secara umum adalah
keterkaitan tradisi sejarah, ini misalnya ditunjukkan dengan kronik puri Blahbatuh (Babad Blahbatuh).
Meski demikian, garis turunan yang membagi antara mereka yang mengambil dari penafsiran secara
retrospektif dengan mereka yang mengambil dari tradisi oral secara patuh denga aturan umum yang
tidak mungkin dibatasi. Diantara dadia lain, yang menurut skema ini akan dikembangkan sekitar
kawitan tersier, informan ini, meski sangat memahami tradisi Pandé dengan baik namun tidak dapat
menentukan dengan pasti penggabungan kelompok satu satunya dari Beng di utara Gianyar.

Sangat menarik membandingkan skema tersebut dengan mereka yang mengusulkan pemimpin baru
Pandé Besakih Sukawana (Gambar 16). Besakih ditempatkan dalam posisi kawitan pan-bali sementara
Tusan diturunkan peringkatnya di level kawitan tersier. Perlu diingat bahwa Besakih adalah sumber
yang merekomendasi kelompok ex Pandé Bangke Maong untuk mencari suatu identitas baru.
Berlokasi di Besakih di puncak suatu bangunan, kelompok yang dipandang sebagai kelompok tertua
dan terdekat dari asal utama. Namun, interpretasi tersebut juga koheren dengan praktek kekinian,
karena tempat ibadah yang disediakan ntuk Pandé di Pura Besar Besakih adalah symbol penyatuan
mereka. Perasaan memiliki suatu bangsa dijabarkan melalui suatu kegiatan upacara Pura Pandé
Besakih pada saat purnama penuh di bulan kesepuluh, saat Batara turun kabeh. Pura Batur, adalah
tempat ibadah lain kelompok Pandé, juga sekaligus sebagai tempat ziarah bagi bangsa Pandé
sebagaimana masyarakat Bali lainnya, sebagai penghormatan suatu fenomena kedekatan dua unsur
alam yaitu danau besar dan gunung tertinggi di Bali. Batur dianggap menduduki tempat dalam silsilah
asal usul dan dadia Taman Bali sebagai ikutannya, mungkin dengan alasan keterkaitan geografis,
karena kedua tempat tersebut berlokasi dalam Kecamatan Bangli yang terkait dengan kawasan
dibawah pengawasan kerajaan tua dengan nama yang sama.

Kedua skema tersebut menjelaskan suatu visi masa lalu yang mempersatukan kawitan utama, diikuti
suatu dispersi mulai dari asal sekunder hingga tertier, diantaranya adalah Tonja, Gelgel dan Taman
Bali adalah elemen umum. Yang pertama memberi satu versi orthodox yang menempatkan Tusan di
puncak sesuai dengan tradisi tertulis, sementara yang kedua lebih memperhatikan praktek simbolik
kekinian dan memandang Besakih sebagai fungsi kawitan utama untuk bangsa Pandé. Tinggal
kelompok bergelar lainnya yang berkaitan dengan nama Pandé Tusan dan pengelompokan secara
teoritis dari mayoritas individu yang menyandang gelar Pandé yang tidak dikenal secara ritual dengan
kawitan Tusan secara umum. Secara umum dadia yang mengurusi posisi terakhir ini dalam skema
dispersi ternyata sama sekali tidak ada hubungan ritual dengan kawitan sekunder atau tertier.
Sebagai contoh, Pandé dari Banjar Babakan di Blahbatuh tidak mengacu ke Gelgel, demikian juga
dengan Pandé dari Beng tidak terkait dengan Taman Bali.

Oleh karena itu mengenali praktik ritual, pada kenyataannya, asal lokal ditandai oleh pura dadia dan
Besakih, dimana Batur sebagai yang kedua, difungsikan sebagai satu kawitan utama dalam tradisi
Pandé Tusan. Secara kontras Pandé Bangke Maong yang menyebut dirinya Pandé Besakih,
menempatkan diri mereka serempak melaksanakan upacara, sementara Pandé Tusan nampaknya
dicirikan oleh inkonsistensi akibat kesenjangan antara perwujudan dan praktek. Keberadaan Pandé
Tusan sebagai kesatuan kekerabatan mengambil suatu model asal yang tidak mengenyampingkan
jejak dalam praktek upacara dan nampaknya kurang nyata dalam kesatuan inklusif bangsa, yang
disimbolkan melalui Pura Pandé Besakih dimana akan bertemu pada saat odalan kelompok kelompok
Pandé Bratan, Pandé Tusan dan Pandé Besakih yang datang dari berbagai tempat seantero bali.
Kelompok Pandé Tusan merupakan dadia terisolasi satu dengan lainnya, tidak ada upaya dan rasa
persatuan mereka, sehingga mereka sangat inklusif. Karakter murni ideologi hubungan kekerabatan
didasarkan pada representasi sederhana dari asal umum yang berlokasi di Tusan dan hanya
teraktualisasi melalui afiliasi Pura Pandé Besakih sebagai tanda ke anggotaan bangsa Pandé. Dapat
dilihat bahwa kelompok bergelar ini hanya membedakan kelompok Pandé lain melalui referensi suatu
asal dan leluhur dari jawa khususnya dan berseberangan dengan kelompok bergelar lainnya yang
terhitung sebagai masyarakat bali sebagai unsur konstitutif dan mayoritas`sangat besar dari bangsa
Pandé. Dapat ditunjukkan bahwa pengertian bangsa tersebut membawa susunan hirarki global dan
ideologi kasta. Kita mencapai batas kerangka kerja kekerabatan ini seperti yang telah diusulkan
dengan kontur yang tepat. Pertanyaannya adalah apakah Pandé mengklaim dalam hirarki sosial
membuka lembaran baru? Apakah harus kembali ke masa yang lalu dalam kerangka kekerabatan
untuk menguji dari sisi yang berbeda, dan menunjukkan bahwa ini adalah pembentukan dan
deformasi dadia.

2. Pembentukan dan Pergeseran kelompok Kekerabatan


2.1. Fusi dan Pemisahan
Kelebihan utama model pembentukan dadia orang biasa yang dikemukakan oleh H. dan C. Geertz
(1975: 67-70) adalah dengan meletakkannya pada dimensi waktu, faktor ini selalu ada dimana para
etnolog tidak tahu pendekatan apa yang harus dilakukan sehingga dapat melakukan seperti seorang
sejarawan. Tentu tidak dapat mengharapkan menemukan dokumen yang mencatat pasang surutnya
dadia dan observasi langsung yang dilakukan juga tidak kalah kesulitan yang dialami. Diduga
pergerakan dan perubahan dalam aturan kelompok kekerabatan adalah bersifat alamiah dan
pertimbangan masyarakat lain yang datang. Dugaan tersebut diperkuat oleh kenyataan organisasi
kekerabatan sangat rentan ikatannya bagi individu dan juga faktor mobilitas geografis memegang
peranan penting dalam pembentukan masyarakat bali, fenomena ini setidaknya terjadi di wilayah
selatan dimana mayoritas penduduk menumpuk, mulai dari masyarakat yang bernuansa Gelgel
hingga decade terakhir. Frekuensi ceritera yang menggambarkan pengembaraan leluhur sudah mula
jarang, beberapa diinterpretasikan sesuai relevansinya, yang secara radikal terpisah dari situasi
sejarah yang nyata.69

Dari hasil pengamatan antara lain fenomena fusi atau pemisahan atau perubahan afiliasi banyak
terjadi, ditemukan beberapa jejak paling tidak informasi dari informan mengenai ha ini. Literatur
yang membahas tentang Bali pada umumnya berlainan jawabannya menyangkut masalah masalah ini,
seperti misalnya, tidak ditemukannya perhatian yang mendalam mengenai hal ini di masa penjajahan
Belanda. Dalam kajian terakhir, salah satu hal yang menarik untuk disimak adalah salah satu laporan
tentang kelompok kekerabatan yang direbut pura dadianya melalui media wahyu, yang muncul kira
kira lima belas tahun sebelumnya (Hobart 1979: 607-608). Di desa Trunyan, sebuah desa Bali Aga di
tepi danau Batur di lereng pegunungan, penduduknya terbagi sekitar sepuluan dadia yang meliputi 12
hingga 250 penduduk. Dua dadia merupakan penggabungan (fusi) dari beberapa dadia di masa lalu
yang terpisah. Sebaliknya beberapa keluarga mengikatkan diri dadianya akibat konflik ke dadia
lainnya (Danandjaja 1980: 116 -117).

Bagi kelompok Pandé , fenomena fusi dan pemisahan terjadi melalui jarak geografis. Sebagai contoh
Pandé dari Beng di utara Gianyar, ketenarannya sebagai produsen tekstil dan keikutsertaannya
“sebagai” Pandé. Padahal dadia Beng tidak homogen dari sudut pandang asal leluhur yang secara
tradisional lokal dari Taman Bali dan Gelgel. Pertanyaan mengenai asal usul mereka yang berasal dari
Pandé Besi tidak dihindarinya, namun mereka juga berargumentasi bahwa desa mereka Beng juga
adalah dibawah dinasti Dewa Manggis, raja Gianyar. Masalah asal usul ini relatif agak kabur, garis
keturunan ini juga berkaitan dengan kekuasaan dari beberapa generasi, dan peluang itu datang, salah
seorang dinasti Dewa Manggis melembagakan keberhasilannya dengan meninggalkan desa kecil Beng
untuk dijadikan puri, lokasi tersebut dinamakan Geria Anyar peristiwa tersebut terjadi di akhir abad
18 hingga awal abad 19, yang selanjutnya menjadi pusat baru kerajaaan.70 Ia tergoda untuk
mendekati asal dadia Pandé yang meningkat dengan pesat dari garis keturunan Beng-Gianyar.
Memang kalau dilihat kebutuhan akan pengrajin besi pada saat itu sangat terbatas, tetapi bukan itu
yang dilihat, ada kebutuhan yang berkaitan dengan stategi pertahanan, yaitu kebutuhan untuk
pembuatan peralatan senjata. Sangat mungkin bahwa tradisi menyebutkan benar dengan

69
Contoh tipe tersebut adalah naskah yang diberikan oleh Boon yang mengulas tentang kelompok Pasek di Tabanan (1977:
72-73)
70
Tentang tradisi sejarah Kerajaan Gianyar, lihat Schwarz (1900), Mahaudiana (1968), dan H&C. Geertz 1975: 119-123.
membangkitkan migrasi para leluhur. Pada lokasi Gelgel-Klungkung dan Taman Bali dapat dilihat
sebagai pusat pusat pembuatan alat senjata di akhir abad 19, dimasa yang sama, seorang peneliti
barat menyatakan bahwa di Taman Bali dikenal sebagai pusat pengrajin yang sangat terkenal dengan
kualitas produk yang sangat baik (Liefrinck 1877: 190). Hal ini menunjukka bahwa kelompok Pandé
dari Beng adalah hasil agregasi komponen heterogen yang membentuk secara lokal satu dadia, dan
secara ritual berpisat pada suatu pura umum dan diurus oleh kelompok kekerabatan dimana para
leluhur pendiri secara asal saling berkait.

Di Blahbatuh, ada dadia dari banjar Babakan yang terdiri dari satu inti lokal dari tiga puluhan keluarga
dan yang lain adalah dari orang tua yang berbeda yang tinngal disekitarnya. Putra pamangku
membedakan dua asal untuk anggota dadia yang berafiliasi dari pura yang sama. Mayoritas Pandé ini
leluhur pengrajin besi yang datang dari Gelgel dengan seorang bangsawan yang bernama Pamayun
Jambe asli dari wilayah tersebut. 71 Namun cabang dari desa Bona, tidak jauh dari Blahbatuh terdiri
dari 16 keluarga yang aslinya bersal dari Taman Bali, ditujunjukkan disana bahwa dadia juga hasil dari
penyatuan “orang tua” yang secara silsilah tidak berhubungan. Sebaliknya, ada 15 keluarga yang
berafiliasi hingga tahun 1971 di pura dadia Banjar Babakan berpisah, membangun satu pura dadia di
permukiman mereka di Patemon, melakukan upacara secara mandiri kaitannya ke kelompok
kekerabatan dimana mereka adalah merupakan bagian.

Pada kasus Pandé dari Serongga, ditemui adanya pengecualian dalam manuscript yang berdasarkan
pendekatan silsilah dari empat garis keturunan, saat ini dipusatkan pada sanggah gede masing masing
(Lihat appendix B). Diperempat abad 19, leluhur pendiri meninggalkan desa kelahirannya di Srokadan,
tidak jauh dari Taman Bali, untuk bekerja sebagai tukang besi di Tlepud, kemudian sebagian besar
keluarga kemudian menetap di desa ini. Empat dari sembilan anak tetap menjaga tradisi mereka
menyusul kepindahan akibat perang yang berkecamuk masa itu disuatu desa baru yang bernama
Serongga dibawah kekuasaan puri Gianyar. Berangkat dari empat keluarga tersebut kemudian
berkembang turunan meraka secara pesat, saat ini menjelang generasi kesepuluh, perkawinan
endogam, yang diperkirakan antara sepupu dari garis keturunan laki. 72 Kelompok Pandé ini kemudian
mengadakan pemisahan diri dari leluhur Srokadan, tidak secara formal, tetapi yang diharapkan adalah
suatu dadia yang bersifat otonom. Mereka tetap terkait dengan kawitan Pujung dimana ditemukan
satu pura dalam text disebut sebagai Pura Pandé. Mereka tidak terkait dengan tempat tinggal
tetangga mereka, sebuah kelompok Pandé dengan wujud yang sangat tua di Serongga yang
membantuk satu dadia. Perkembangan terakhir, kelompok ini dipandang sebagai kelompok peringkat
atas sebagai pendatang baru dan menolak hubungan apapun. Di Serongga juga ditemukan dua
kelompok terpisah dari Pandé Besi, dibedakan menurut sebutan mereka sebaga Pandé Tusan dan
Pandé Pujung sesuai dengan asal usul yang diyakini mereka. Beberapa perkawinan yang diadakan
antara kelompok dengan tipe “pemindahan” (malaib) dan kelompok tanpa hubungan, hanya dengan
pertimbangan individu. Kelompok lokal Pandé Pujung dari Serongga memberikan contoh suatu
konfigurasi alternative, yaitu sebuah kelompok kekerabatan dimana hubungannya didasarkan pada

71
Mungkin yang dimaksud adalah Madhe Jambe yang disebut dalam Babad Blahbatuh (Berg 1932: XXXV).
72
Berdasarkan informasi yang ada dalam manuskript dan informasi yang dikumpulkan dari Pande Serongga, mungkin dapat
merekonstruksi hubungan keturunan dari tujuh generasi. Keempat bersaudara itu memiliki tiga putra dan lima putri. Tiga
dari lima anak perempuan menikahi dua sepupu patrilateral mereka, salah satu gadis tetap membujang dan yang lainnya
memilih pernikahan exogami. Dari 42 perempuan menikah yang diidentifikasi selama tujuh generasi, 26 pria menikah dalam
kelompok kekerabatan lokal mereka, lima orang diperistri Pande lain dan sebelas menikah di luar dua kelompok. Hanya tiga
wanita telah menikah di luar desa Serongga.
silsilah dan bentuk lainnnya adalah bukan dari hasil pengurangan atau penambahan sepajang
perjalanan 130 tahun yang lalu sejak sejak kedatangan empat bersaudara ke desa Serongga.

Untu melengkapi contoh contoh selanjutnya, diambil kasus Taman Bali yang berlokasi di selatan Bali
dipandang sebagai pusat disperse kelompok Pandé. Kejayaan masa lalu tukang besi didesa tersebut
tercermin pada pura Pandé dengan ukuran skala bangunan yang cukup besar. Halaman natah yang
cukup besar memungkinkan untuk menampung anggota kelompok dadia dalam jumlah besar,
sebagian besar dari mereka bertempat tinggal jauh dari Taman Bali. Pandé Taman Bali adalah
fenomena kesejarahan masa kini, menjadi terkenal d bagian tengah selatan pulau bali. Kenyataan
bahwa Taman Bali dipandang sebagai sejumlah kelompok di wilayah tersebut sebagai kawitan mereka
adalah lebih dekat dengan kemungkinan penyebab disperse yang dapat memperkuat imigrasi alamiah
pengrajin besi mulai dari pusat ini.

Dari kronik beberapa puri yang mengalami konflik, diperkirakan terjadi sekitar pertengahan abad 12
hingga 19 yaitu perlawanan penguasa Taman Bali pada raja Bangli. Dukungan Dewa Manggis dari
Gianyar tidak memungkinkan menghindari konflik dengan raja Bangli yang memusnahkan Taman Bali
dan membunuh pengikut yang membangkan. 73 Jatuhnya Taman Bali memberi dampak pada tercerai
berainya penduduk, utamanya beberapa tukang besi yang terpaksa mencari penghidupan baru
dibawah penguasa lain. Diantara para turunan tukang besi Taman Bali ini, ada beberapa yang tetap
menjaga hubungan ritual dengan dengan pura kawitan mereka, sedang lainnya seperti dadia Pliatan
memilih kembali ke ruang ritual mereka sendiri dengan membangun pura baru di lokasi yang dianggap
lokasi asal mereka.

2.2. Lokalisasi dan Delokalisasi

Indikasi ini juga baik secara lagsung maupun parsial berkaitan dengan kenyatan bahwa beberapa
Pandé tukang senjata dan emas, ditemui dalam suatu gerakan dari pusat pusat kekuasaan lokal dan
regional. Korelasi antara pusat lokalisasi dadia Pandé (tepatnya pura dadia) di dataran selatan pulau
bali dan jaringan pusat pusat kekuasaan seperti yang dapat dilihat pada daerah daerah yang dikuasai
adalah cukup jelas. Selain itu, jaringan ini bila dipandang dalam perspektif diakronik bukan bersifat
beku, tetapi akan menjadi permanen. Emergensi spektakuler dinamika kekuasaan, seperti
pembantaian pada masa kerajaan kuat masa lalu Mengwi dan pembentukan kerajan Gianyar,
seharusnya tidak menutupi pergerakan amplitudo yang lebih rendah. Diantara para leluhur Pandé saat
ini, beberapa diantaranya masuk dalam kancah menciptakan kekuatan disana sisni baik dengan cara
penyatuan maupun pemisahan. 74 Bukan hanya rumah rumah para bangsawan menjadi pusat atraksi
bagi pengrajin yang berkualiatas yang lahir dan bergantung pada penguasa atau mereka yang datang
sebagai volontir dan meminta pelayanan mereka, namun redistribsi peta kekuasaan telah
termodifikasi dalam berbagai hal, peta pusat pusat atraksi. Gerakan ini merupakan resultante
kekuasaan, hubungan kekerabatan yang berlangsung dengan cepat dan mengalami deformasi menuju

73
Konflik tersebut tercatat dalam Babad Taman Bali (Kr 1026), Pariagem Taman Bali (Kr 1158) dan Babad Bangli Nyalian (Kr
2195).
74
Membaca babad meninggalkan kesan turbulensi yang terus menerus dalam jaringan keluarga bangsawan. Sayangnya
orang yang terlibat dalam gerakan-gerakan ini hampir tidak pernah disebutkan. Disini dikutipkan dari Babad Sukawati,
contoh Dewa Agung Anom yang meninggalkan Klungkung ke Sukawati, bersamanya ikut 200 "hamba" dari berbagai
kelompok yang berbeda: Pulasari, bangbang, Pasek, Pande, Sangging, dll ... (Lansing 1977: 228).
ke pemisahan, pembelahan atau penyatuan (fusi) sebagaimana telah dijelaskan sebelumya, juga dapat
berupa hasil persilangan sederhana demografi dan pilhan strategis.75

Kondisi politik, ekonomi dan demografi memicu perpindahan keluarga,kelompok keluarga dengan
mudah dimana para pengrajin tidak bergantung pada lahan dari sisa penduduk. Mulai dari komponen-
koponen yang berkaitan degan satu dadia membentuk suatu kelompok kekerabatan lokal, melalui
persilangan alamiah sebagaimana yang terjad di Serongga juga dapat dalam wujud agregasi seperti
yang tejadi pada masyarakat Beg dan Blahbatuh. Interfrensi antara pengertian kemiripan dengan
pengertian yang difasilitasi kekerabatan selalu memfasilitasi agregasi tersebut dengan dasar materi
(Pandé) atau gelar (Pandé), ketika keluarga asal terpecah kemdian menyatu dalam kesatuan
permukiman yang sama. Memoar silsilah atau secara lebih umum sejarah, secara lemah aktif, tida
ada rintangan untuk bergabung membentuk suatu dadia baru, meski tetap menjadi memori yang tidak
jelas dan berbeda dengan asalnya. Kembali pada dadia baru, terbentuk secara lokal, berhdapan
dengan usia dan pentingnya daya sentrifugal untuk mengendalikan jarak dari beberapa orang tua
yang berjauhan dan mendorong mereka untuk pecah, menjelang saat dimana secara periodic
dilakukan ziarah ke pura dadia berhenti menjadi praktis. Seluruh keluarga yang berjauhan, selalu
memungkinkan untuk meninggalkan kewajibannya pada leluhur dadia dan menghormati mereka dari
kejauhan (nyawang) melalui pelinggih yang bbersifat permanen atau semetara, mengangkatnya
dalam sanggah gede atau sanggah. Praktek ini tentunya tidak cukup untuk menjaga keberlangsungan
generasi kawitan, cara lain sesajen diletakkan didepan pelinggih yang tidak dikenal nama atau lupa.
Juga dadia secara orsinal dibatasi pada unit unit permukiman seperti pada banjar Pandé yang
berlokasi dekat puri yang penting, menyaksikan anggota mereka pergi untuk membentuk kelompok
yang baru disekitar titik pusat, itulah nuansa permukiman periperik yang dapat menjadi kemungkinan
titik pemisahan.

Kenyataan bahwa Pandé dari segi populasi bertambah dengan pesat, permintan akan pengrajin Pandé
bukan yang terakhir. Meski demikian, celah kesempatan itu meningkat sejak awal abad dengan
pemisahan produksi senjata dan secara umum akibat regressi pengrajin tadisional, sebagai
konsekwensi dan persilangan dari diversifikasi kegiatan professional Pandé dan juga dorongan dari
banjar Pandé untuk tidak selamanya mengacu pada keluarga puri.76 Peta permukiman Pandé hari ini
seperti dimasa lalu, mengalami evolusi permanen dan konsekwensinya adalah afiliasi ke pura pura
dadia,kutub kutub ini secara reltif bersifat tetap dalam jaringan kekerabatan namun kali ini dalam
skala besar, yang belum rapid an dibuat lagi adalah ritme pemisahan dan penyatuan.

Dalam gerakan kekerabatan, harus dilihat kecenderugan membentuk atau mengikat ke dadia
berdasarkan kedekatan tempat tinggal. Tugas dadia adalah menjadi jangkar ruang suatu kelompok
yang muncul seperti membentuk kelompok kekerabatan dengan alasan afiliasi ke suatu pura yang
menandai asal usul yang mirip dengan kawitan. Pengertian lainnya, yang membawa pada gambaran
kecenderungan melokalisasi kawitan dengan mentransfer tempat dimana dekat dari tempat tinggal.
Ini menunjukka bahwa ideologi kekerabatan tidak mungkin tidak dikaitkan dengan suatu “ideologi

75
Eksaminasi konstitusi dari empat keutamaan dadia Tihingan tahun 1958, menunjukkan perubahan personal yang tidak
berhutang apapun kepada dinamika kekuasaan tradisional yang diusulkan di sini (H. & C. Gecr-tz 1975: 80-81)
76
Pada kelompok Pande Serongga, saat ini hanya ada satu pandai besi yang aktif. Putra sulungnya, kini tiga tukang emas dan
seorang guru bahasa Inggris bekerja di Jawa. Dari generasi kedua dari empat bersaudara dari Pujung, pekerjaan bengkel
hanya bertahan di garis kedua keturunan yang lebih tua. Generasi ketiga, keturunan laki-laki tidak ditularkan keterampilan
ini dan anak keempat adalah petani sawah.
lokal” yang memungkinkan memperhatikan fokus dadia terhadap asal usul okal, pusat kegiatan ritual
dari suatu lingkaran bentuk ideal penyatuan kekerabatan endogame untuk kelompok itu sendiri. Asal
usul lokal, seperti tempat tinggal, memungkinkan identifikasi dan keluar dapat mendefinisikan
identitas. Namun hal ini bukan hanya spesifik di Bali, pertanyaan pertama yang diajukan oleh orang
asing untuk mengetahui tempat tinggal (dija ngoyong, dija meneng ?), sebelum menanyakan nama,
keadaan keluarga dst. Perlu dicatat juga bahwa baik masyarakat bali bawah maupun masyarakat bali
atas nyaris tidak bergerak, tapi bukan berarti diam. Tempat tinggal, adalah apa yang ditetapkan dan
yang tetap, lebih kurang, suatu konotasi bahwa bahasa tetap dijaga. Dengan demikian, tempat tinggal
definitif adalah pada seluruh kasus desa desa Bali Aga, kawitan tidak bergerak (immobile), pusat
kegiatan praktis ritual bersifat memusat dan adanya kesatuan endogami.

Dalam praktek kelompok Pandé Besi yang kawitan utamanya adalah Tusan, diidentifikasi, dan
dibedakan dari nama asal usul lokal mereka: Taman Bali, Beng, Pliatan, Pujung , Tonja dst. Meski
secara indvidu anggota kelompok dapat bergerak dari satu kelompok ke keompok lainnya akibat
berpindah empat tinggal, perbedaan antara kelompok masih jelas dapat ditandai dan itulah
keuntungan di masa lalu ketika perpindahan antar wilayah hanya mempermudah kegiatan tersebut
saat ini. Suatu catatan tanpa komentar berdasarkan informasi dari seorang informan dan juga suatu
publikasi belanda pada tahun 1929, menunjukkan bahwa d Bali ada 7 kelompok Pandé . Dua yang
pertama adalah Pandé Surya dan Pandé Bangke Maong, sebagaimana kita ketahui dalam tradisi Bali
Aga, dan lima kelompok lainnya menyandang nama desa desa berikut: Bon (Beng ?), Tusan, Tonja,
Taman Bali, Sengkehet (Sangket di Singaraja).77 Informasi tersebut diterima buka sebagai nilai
objektifnya, namun sebagai cara untuk menggambarkan kelompok kelompok yang terpisah, tanpa
implikasi terhadap kesatuan Pandé yang berkaitan denga Tusan. Juga dampak mobilitas dari
kelompok Pandé di waktu yang sama, dan beberapa masalah secara paradox, mengjukan model
distribusi Pandé dalam dadia terpisah satu dengan lainnya dan kembali ke interior lingkaran
kekerabatan lokal dimana lokalisasi terdefinisikan, beroposisi sebagai antipoda dari model bangsa.

Sebagai kesimpulan eksaminasi dalam rangka mengidentifikasi kelompok Pandé, dapat digaris bawahi,
pertama tempat pusat berdasarkan pengertian kawitan. Pengertian ini berisi prinsip ganda, silsilah
dan ruang, dimana semua kelompok kekerabatan mengadakan hubungan dengan leluhur dan tempat
intermediasi suatu pura. Indikator konkrit dan ekspressi yang mensakralkan kawitan. Aplikasi dari
prinsip tersebut adalah dapat diobservasi pada semua tingkat kekerabatan, mulai dari rumah tangga
hingga kelompok bergelar atau bahkan bangsa melalui dadia. Dalam kisaran kelompok kekerabatan,
definisi silsilah terhapus secara progressif, dari sudut pandang pengobservasi, untuk membobol suatu
definisi ideologi yang berdasarkan suatu konsep hirarki sosial. Dadia, masuk dalam garis turunan lokal
dan kelompok bergelar sebagai titik transisi. Pengembangan sederhana dari kelompok lokal atau
kesatuan terlokalisirdari kelompok bergelar. Dadia tidak dapat menerima suatu definisi secara strik
silsilah. Secara umum tidak mungkin mengetahui apakah afiliasi menurut kongregasi agama dadia
dapat menghasilkan hubungan kekerabatan atau jika terafiliasi ditentukan berdasarkan kriteria lain,
menciptakan hubungan kekerabatan. Di luar dadia, prinsip keturunan agnatic, yang seharusnya
memperhatikan aturan kelompok, secara umum hanya sebagai karakter ideologi.

Dengan mempertimbangkan gerakan kelompok kekerabatan mengarah untuk membedakan


kecenderungan membentuk dan membentuk ulang dadia terbuka untuk merekrut pihak luar, namun

77
Lihat catatan 3 halaman 39 dari Mededeelingen de Kirtya Liefrinck – Van der Tuuk, Aflevering 1, 1929, Singaraja.
secara ritual tertutup untuk mereka sendiri, suatu karakteristik yang tanpa mengingatkan model yang
digambarkan pada desa desa Bali Aga. Juga ada semacam suatu ketegangan atau kontradisksi antara
kecenderungan setiap dadia menutup pusat leluhur lokalnya, puranya, wanita wanitanya, mengawini
dari laki laki sekelompoknya,dengan suatu representasi kesatuan tumpangan melalui gelar Pandé atau
melalui nama Tusan bagi mayoritas dadia Pandé, yang berdampak pada pengabaian pengutamaan
ratusan dadia untuk meleburkan diri dalam “suatu keluarga besar” bangsa Pandé. Karakter terakhir
ini mendekatkan kelompok Pandé dari tiga kelompok utama kasta dan ideology tersebut berakar
dalam visi suatu migrasi penaklukan. Dengan demikian tidak dapat difahami fenomena Pandé tanpa
melihat secara menyeluruh gejala sosial. Untuk itu telah diusulkan suatu hipotesis,eksistensi dua
model secara konsepsual dan organisasi yang dioperasikan dan inter-reaksi dalam msyarakat bali:
mereka yang kista yang secara idealnya dikarakteristikkkan pada Bali Aga dan mereka yang jaringan
penyatuan dikarakteristikkan lebih kurang pada Triwangsa. Organisasi jaringan muncul tidak
tersosialisas dalam suatu ideology kekuasaan dan hanya mendukung bentuk akhirnya melalui latihan
kekuasaan.78 Pada kasus Pandé yang tidak digunakan lagi saat ini dibanding dengan masa lalu, adalah
kekuasaan, diusulkan untuk melihat satu konfigurasi hybrid dan evolutif dimana ditemukan
kecenderungan semacam kista kelompok kekerabatan lokal dan representasi penyatuan suatu
jaringan orang tua yang terpisah.

Dalam perspektif tersebut, setelah ditentukan refrensi identitas, memperdalam kajian ideology Pandé
dan mencoba menentukan isi dan batasan batsan yang ada. Salah satu aspek dari ideology tersebut
adalah keberlanjutan penyebutan Pandé saat sementara ditinggalkannya pengrajin logam dan
transmisi turun temurunya. Transmisi tersebut hanya terjadi secara kuat dan parsial pada kelompok
Pandé Mas karena, jika tidak begitu, saat ini masih ditemui dalam jumlah yang banyak kelompok ini.
Padahal, kelompok ini hanya ditemui bebrapa dadia( Kamasan, Tejakula, Budakling, Blahbatuh, Bangli
dan Mengwi) dan jumlah yang banyak diijumpai di Celuk sebagai pusat pengrajin emas saat ini,
fenomena ini memberi contoh suatu kerancuan total dari sudut pandang identitas keluarga yang
memperaktekkan kerajinan tersebut. Di Kuta, salah satu pusat wisatawan terbesar di selatan Bali,
satu Banjar Pandé Mas telah dibuat pada tahun akhir akhir ini, pengelompokan beberapa keluarga ini
didasarkan pada jenis pekerjaan yang digeluti bukan berdasarkan kekerabatan. Hal ini menunjukkan
lemahnya ideology Pandé Mas yang berada pada posisi laten terbaik, juga paling terburuk tidak
ditemukan.

Sebaliknya, namun juga tidak mengejutkan apa yang disinyalir oleh de Kadt bahwa jarangnya dadia
Pandé Besi di utara Bali dan situasi masa lalu telah hilang atau tidak pernah ada (1921a: 211).
Ditemukan dadia Pandé Besi di Bulian, Jagaraga, Sawan, Sukasada dan Busung Biu, juga dadia Pandé
Bangke Maong dari Sudaji yang terisolasi, tidak terdengar tradisi Pandé Tusan demikian juga tidak ada
“geliat” Pandé Besakih. Sangat sedikit pilihan dan lemahnya secara kuantitatif dan kualitatif, karena
ideology Pandé tidak terdengar sebagaimana gaung yang ada di selatan Bali. Seluruh kelompok ini
dianggap berasal dari dari Tusan atau Gelgel. Jikapun masih ada, turunan tukang besi kontemporer di
desa desa tua di utara Bali sangat sulit dijejajaki keberadaannya. Bukan hanya karena tidak adanya
tradisi Pandé yang spesifik di utara, namun kesadran tentang asl usul mereka tidak sebaik dengan
mereka yang tinggal di Selatan Bali, namun kita tidak bisa berbicara tentang fenomena Pandé di
wilayah tersebut, karena kelompok Pandé adalah hanya diabaikan sebagai kelompok yang terpisah
atau kurang dikenal diantara mukan kelompok kelompok kekerabatan lainnya, tanpa menyiapkan

78
Lihat Bab IV buku Kinship in Bali (Kinship in the Public Domain, the Gentry Dadia), H&C. Geertz (1975).
suatu karakter yang benar benar sangat utama. Satu satunya pengrajin emas dari Bratan yang
bereputasi akan dielaborasi pada Bab berikutnya. Setelah mengadakan observasi beberapa bulan di
Bratan, disimpulkan bahwa penduduk disana mengabaikan keberadaan dadia Sukasada persisnya
Banjar Bantang Banua, desa tersebut dengan segera merujuk ke selatan Bratan. Sukasada disisi lain
adalah tempat dimana istana dinasti Buleleng. Jadi orang akan berharap untuk menemukan hal yang
sama di Sukasada sebagaimana ibu kota kerajan lama di selatan bali memiliki satu Banjar Pandé.
Namun kenyataannya tidak ditemukan satupun Banjar Pandé di Sukasada atau secara umum dalam
wilayah administrative Singaraja. Jejak satu satunya adalah keberadaan tukang besi yang melayani
raja Buleleng adalah dadia yang dibuat oleh dua puluhan keluarga yang agak berbeda dengan yang
ada di Sukasada, meskipun kelompok ini juga nyaris tidak muncul dipermukaan.

Perbedaan kualitatif dan kuantitatif antara utara dan selatan Bali adalah sangat penting,karena dapat
terajukan pertanyaan asal usul kelompok yang ada di selatan, ideology Pandé dan tentu saja secara
umum fenomena Pandé itu sendiri. Meski dapat diduga bahwa identitas Pandé sangat lemah di utara,
di selatan gak lebih spesifik, karena bukan hanya ideologi Pandé tidak hamper mati namun seluruhnya
memilik keyakinan bahwa mereka memperkuat diri sejak awal abad ini. Ideologi terebut dapat
bertemu dengan seluruh kekuatan di wilayah selatan dan diantara beberapa lingkaran aktif adalah
Pandé Besi yang disebut Tusan, demikian halnya diantara Pandé Bratan. Kelompok kecil bergelar
tersebut, hadir secara bersama di utara dan selatan Bali, tampaknya menjadi sebuah anomali. Kita
akan melihat bahwa hal ini terjadi dan diharapkan itu menjadi penyakit terakhir di tubuh Pandé,
tepatnya suatu produk ideologi Pandé yang membatasi episentrum.
BAGIAN KEDUA

KASUS PANDÉ BARATAN

Belum terlalu lama orang mengira bahwa Bali Aga adalah


orang orang kannibal; padahal mereka adalah penduduk –
yang bekerja sebagai tukang emas dan tukang besi- dari desa
Bratan, Buleleng. Mereka memiliki kompetensi dibidang
tersebut ( J. Jacobs, 1883)

Meski demikian, tidak satupun bagian wilayah (Buleleng) yang


saya temui memiliki dadia Pande, ini menunjukkan bahwa
situasi masa lalu telah punah atau memang tidak pernah ada
di wilayah tersebut………Kelompok penting pengrajin emas,
bermukim di Banjar Bratan di Singaraja dan masih dianggap
sebagai Bali Aga, tidak satupun informasi dalam literature (P.
de Kadt Angelino, 1921).

BAB III
PEMBENTUKAN SUATU KELOMPOK
BERGELAR
S ebagaimana diketahui bahwa kelompok Pande Bratan mengumpulkan semua karakteristik suatu

kelompok bergelar yaitu: suatu nama yang berbeda, suatu asal usul translokal secara ritual yang diakui
dan bahkan teks teks melegitimasi sejarah kelompok tersebut. Salah satu teks yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan telah disebarkan dalam bentuk pamphlet fotokopian
ukuran kecil yang berjudul Prasasti Pande (Sugriwa 1958). Dalam pembukaan tulisan tersebut secara
jelas disebutkan bahwa terjemahan tersebut berasal dari manuskrip asli yang berbahasa kawi, tujuan
penyebarannya ke publik adalah untuk mengetahui riwayat leluhur, utamanya memfasilitasi asses
informasi bagi generasi muda. Buku tersebut, satu satunya terjemahan teks yang berkaitan dengan
tradisi Pande, sejak lama tidak ditemukan dirak rak perpustakaan di Bali. Namun buku tersebut tentu
tidak lepas dari kemasyhuran kelompok tersebut. Dalam katalog manuskrip jawa dan jawa-bali yang
dipublikasikan oleh Pigeaud, teks asli adalah berupa referensi (LOR 11457/Kr 2404) dan dapat dibaca
sebagai “sejarah mistis dan lagenda keluarga tukang besi di Bali…….menyebutkan Madura, Mpu
Pandya Bumi Sakti dan putranya Mpu Gandring Sakti yang merupakan leluhur dari Pande Bratan dari
Gelgel, Bali”.79 Riwayat Pande Bratan yang menjadi referensi tradisi pengrajin emas dibandingkan
dengan pekerja bengkel, ini juga seperti diberkahi dengan keberadaan resmi diantara buku buku
literature jawa-bali.80

Namun, kami telah menyarankan beberapa kali bahwa kelompok ini mempresentasikan beberapa
keganjilan dari sudut pandang sejarah dan situasi pembentukannya, yang terakhir adalah sebagai
Pande Bratan belum eksist sebagai kelompok bergelar, masa dimana de Kadt Angelino melakukan
penelitian tentang Pande Bali. Kasus Pande Bratan adalah sangat menarik dalam upaya dimana ia
dapat menangkap kristalisasi sebuah kelompok bergelar mulai dari tradisi yang belum sebenarnya
Pande hingga menghasilkan teks, prasasti atau babad, termasuk satu tradisi baru dalam penulisan.
Kelompok Pande Bratan terintegrasi secara bersama dalam bangsa Pande, yang secara realitas satu
bagian laporan terkini dalam bangunan Pande, juga bangunan tersebut selalu memperlihatkan
konstruksi alamiah dalam penentuan sejarah lama fenomena Pande, Inilah yang akan dikaji secara
mendalam pada bab ini, dimulai dengan penyajian kelompok lokal sebelum dilakukan penelitian
langsung pada kelompok tersebut.

3.1 Kelompok Terlokalisir dan pura-puranya

3.1.1 Dadia dan Keluarga di Utara dan Selatan Bali

Meski kelompok Pandé Bratan tinggal di enampuluhan lokasi yang berbeda, namun dapat dijumpai
hampir di seluruh wilayah, dari barat suatu garis ke utara-selatan melewati Sanur. Di sebelah timur
garis tersebut tidak ditemukan kecuali beberapa keluarga terbagi diantara desa desa Blahbatuh,
Sukawati dan Celuk. Pandé Bratan berada dikedua sisi garis pegunungan yang melintasi pulau bali
dari timur ke barat. Juga dapat dibedakan dua zona utama permukiman di utara dan diselatan pulau
bali,dengan posisi menengah kawitan kelompok yang tinggal di tepi danau Bratan ( Gambar 17).
Untuk memperjelas morfologi kelompok tesebut tanpa detail yang lebih rinci, dapat direduksi kawitan

79
Lihat Pigeaud 1970: 119. Jika kita mengikuti teks ini, leluhur Pande Bratan menerima kelahirannya dengan karunia ganda,
pertama sebagai seniman pandai besi dan kedua sebagai tukang emas, seperti yang ditunjukkan oleh kata-kata Brahma: iki
hana panganugrahangkwi ri kita pinakopajiwa akirti ayu, iki hana karya dwilaba ngaran, lwirnya angandring, amande galuh
(Ini adalah hadiah saya untuk menyediakan kebutuhan hidup dengan kondisi terbaik, dengan pekerjaan rangkap sebagai
pekerjaan menempa dan emas). Kami akan melihat apa yang ada dalam "keluarga pandai besi Bali" dan tradisi mereka, dalam
kenyataannya, tidak menggunakan pencitraan sebagai orang Gelgel.
80
Ada MSS lain selain Kr 2404 yang menceritakan kisah yang sama dengan beberapa perbedaan termasuk bahasa yang
memanfaatkan bahasa Bali dari pada Kawi (lihat Kr 2582 LOR L242-1: 4540 Kr, Kr 4610). Sebaliknya dengan dua teks lainnya
keduanya asli dari Desa Jadi, berisikan berbagai versi sejarah Pande Bratan (LOR 11871 dan 13864).
lokal, tiga lokasi lainnya yang telah disebutkan sebelumnya, sehingga kini menjadi lima yaitu: Bratan,
Patemon, Marga , Gadungan dan Kapal-Mengwi.

Di utara dijumpai kelompok desa adat Bratan, masuk dalam lapisan kota (urban fabric) Singaraja.
Dalam kasus utama, kelompok kekerabatan berimpitan dengan kesatuan sosial desa, yang juga suatu
komunitas `keagamaan otonomi yang berpusat pada pura desa,disini disebut Pura Agung bukan Pura
Desa sebagaimana umumnya dan Pura Dalem.81 Pura Agung dalam waktu yang sama adalah pura
masyarakat desa dan pura dadia. Seperti yang tercantum dalam peraturan lama tentang desa yang
dibuat tahun 1862 (Sima Desa Bratan, Kr 770), penduduk Bratan dipatuhi oleh aturan adat yang
mengatur aspek sekuler dan agama. Saat ini aturan adat tersebut sebagaian besar tidak digunakan
lagi, namun desa tidak dapat tanpa kemampuan juridis , sebagai contoh: lahan penduduk selalu
dimiliki secara kolektif dan allokasinya berbunyi hak penggunaan individu dan harus disetujui oleh
paruman desa adat.82 Kelompok kekerabatan terdiri dari sekitar 120 keluarga, diantaranya
seperempat tinggal di Denpasar dengan alasan kegiatan professional yang berkaitan dengan
pariwisata. Di Bratan bidang pekerjaan yang ditekuni sangat beragam, namun pekerjaan logam
dilakukan dengan teknik natah dengan hasil yang sangat baik, bidang pekerjaan lainnya adalah
pekerjaan pembuatan perhiasan. 83 Penduduk Bratan tidak bekerja di sawah, bukan karena alasan
kurang pentingnya bertani di utara, ini adalah konsekwensi larangan lama yang mengatakan, akan
melanda leluhur sebagai hasil pekerjaan kurang baik yang mengenai “tumbuhan dewa”.

Desa Patemon, terletak di barat Singaraja di daerah perbukitan, ada rumah kedua tempat tinggal
orang yang disebut Pandé Bratan. Posisinya agak lebih rendah dari mereka yang tinggal di Bratan,
kelompok kekerabatan ini kurang lebih sama dengan satu unit sosial, Banjar Bratan termasuk dalam
desa Patemon, kelompok unit permukiman ini yang sesuai dengan namanya (pa-temu-an) yang
menunujukkan sebuah pertemuan komponen komponen yang heterogen. Dadia ini bukan suatu
otonomi keagamaan atau totalitas adat sebagaimana pada kelompok Bratan dengan alasan inklusinya
berada dalam satu unit yang lebih besar. Sebagai contoh, anggota kelompok menggunakan Pura
Dalem umum untuk penduduk Patemon dan ikut serta pada upacara agama kolektif di pura desa.
Meski demikian, ritual pribadi kelompok kekerabatan dirayakan dalam kaitannya dengan pura yang
dimiliki dadia yang mempresentasikan beberapa keunikan yang tidak ditemukan dalam Pura Agung
Bratan. Ketika terjadi gempa bumi tahun 1976, Banjar Bratan nampaknya sangat menderita atas
bencana tersebut termasuk hancurnya pura satu satunya, untuk merekonstruksi ulang tentu
dibutuhkan uang yang banyak, perasaan tidak aman menyelimuti warga desa. Pengrajin emas juga
ditemui keberadaannya di Banjar Bratan, sama dengan di Bratan, kaum perempuan mengurusi secara
parsial tradisi menenun songket. Ada sekitar tigapuluhan keluarga yang terkait secara geografis,
namun bukan secara ritual adalah kelompok Patemon. Mereka tinggal di erbukitan barat laut di desa
desa yang bertetangga dengan Negara, Jembrana. Keluarga ini tinggal pada banjar yang berbeda,
mereka berkumpul mengikuti suatu konfigurasi biasa bercampur dengan kelompok kekerabatan lain,
membentuk garis keturunan lokal yang berpusat pada sanggah gede. Penduduk tersebut bukan

81
Pura Agung adalah singkatan dari Pura Bale Agung, yaitu pura utara Bali yang setara dengan Pura Desa dan Pura Puseh
Selatan. Kelompok pura yang dikenal adalah Kayangan Tiga yang tidak berciri umum, seperti yang sering kita baca dalam
studi di Bali. Satu desa memiliki setidaknya dua pura umum dan mungkin memiliki tiga atau lebih. Masalah terjemahan bagi
Pura Dalem sebagai pura kematian agak janggal, karena dalem tidak berarti kematian. Ini adalah gelar penguasa Durga yang
menguasai orang mati. Karakter keagamaan masyarakat desa, lihat artikel klasik Goris (1960a).
82 Kepemilikan kolektif beberapa bidang atau seluruh tanah di desa adalah ciri yang sudah kuno, yang telah digantikan oleh

kepemilikan pribadi.
83
Selain Bratan dan Patemon, perhatikan bahwa teknik ini hanya dipraktekkan di Tejakula di Utara dan Kamasan di Selatan.
berkumpul menurut suatu memori kelompok, belum terlalu lama atau diperkirakan abad terakhir atau
awal abad ini.

Di bukit sebelah selatan, dadia Pandé Bratan menampilkan wujud klasik sebagai kongregasi sederhana
keagamaan,dimana anggotanya lebih kurang terbagi menurut wilayah desa atau ditemui pura dadia
disekitar kawitan lokal. Di desa Marga, tidak terlalu jauhdari jalan yang menuju ke danau Bratan,
mayoritas dari dua puluh delapan kepala keluarga tinggal di Banjar Lebah, meski pura dadia, Pura
Pandé berada agak jauh di banjar lain, Banjar Tembau. Disekitar titik pusat grafitasi prmukiman
permukiman ini berdia sekitar enampuluhan keluarga yang terbagi atas dua belasan desa yang
terpisah dengan suatu prinsip keaslian Marga demikian halnyadenga Banjar Lebah yang dipandang
sebagai tempat tinggal asli leluhur lokal. Sebagian besar anggota dadia bekerja di lahan, hanya
kadangkala mengerjakan pekerjaan logam mulia, saat ini tidak ada lagi Pandé mas dalam kelompok
ini.

Dadia lain memiliki anggota yang terpusat, utamanya di desa Gadungan yang terletak disebelah barat
Marga. Sekitar empat puluhan keluarga menyungsung dua pura yang berhubungan yaitu Pura Sindu
Dajanan dan Pura Sindu Delodan. Satunya “agak ke utara” sedang lainnya “agak ke Selatan” yang
ditegaskan sesuai sebutannya. 84 Ada konfigurasi yang tidak umum adalah satu warisan masa lalu yang
saat ini tidak dapat dijelaskan. Kelompok Pandé Bratan dari desa Gadungan mayoritas penduduknya
bekerja sebaga petani sawah, namun pekerjaan logam diwujudkan melalui tiga tukang besi yang aktif.
Sebaliknya, tukang emas tidak lagi membangkitkan kenangan praktek masa lalu,kegiatan ini hanya
dilakukan oleh segelintir anggota kelompok. Pura dadia ketiga dari Pandé Bratan di wilayah ini
berlokasi agak dekat di Mengwi, di Kapal hanya tersisa tiga keluarga kelompok ini. Pusat utamanya
adalah di Mengwi dan di Banjar Pandé ini ada sekitar tiga puluhan keluarga bercampur dengan
permukiman Pandé Besi. Di lingkungan Mengwi,satu persemaian orang tua yang berafiiasi ke pura
dadia dua kali ukuran kelompok kekerabatan.

Bergerak ke arah timur, diwilayah bekas kerajaan lama Gianyar, ditemukan tiga kluster Pandé Bratan
yang tidak terlalu dikenal dengan alasan kejauhan mereka dari tempat tinggal sebelumnya dimana
mereka tidak berkait, meskipun mereka belum membentuk dadia. Di Blahbatuh, ada sekitar lima
keluarga Pandé Bratan yang pusat ritualnya di sanggah gede. Leluhur paling belakang yang paling
diinagt oleh kelompok ini lahir diawal abad ini, dia adalah tukang kayu yang bekerja pada seorang
penguasa di Blahbatuh. Turunannya bekerja sebagai petani sawah, menyangkut kedalaman silsilah
ini, tidak seorangpun yang mengingat bahwa mereka bekerja sebagai pengajin logam. Di Celuk,
dimana tahun 1915 hanya ada empat pengrajin yangkemudian jumlahnya berlipat ganda karena desa
tersebut saat ini hidup secara langsung atau tidak langsung dari pekerjaan emas, kelompok Pandé
Bratan ini membentuk suatu kelompok lokal yang lebih menonjol dibanding dengan mereka yang di
Blahbatuh. Perbedaanya adalah bahwa garis turunan terdiri dari pengrajin emas sejak tiga generasi. 85
Di Sukawati, dijumpai sebuah keluarga Pandé Bratan yang terisolasi , bekerja sebagai kepala sekolah,
dia tidak mengikuti jejak ayah atau kakeknya yang bekerja sebagai Pandé mas. Pada sanggah keluarga
tersebut dipelihara dan dijaga dua patung perunggu yang mereka sebut sebagai wujud leluhur
kelompok bergelar Mpu Bumi Sakti dan isterinya. Patung tersebut berada pada keluarga tersebut

84
Sindu (Bahasa Sansekerta: Sindhu) aslinya adalah sungai sakral di India. Sebagai contoh, memperingati Sindhu dan sungai
sungai lain dalam upacara dengan menyiapkan air suci dari pamangku atau padanda (Hooykaas 1977:53).
85
Desa Celuk menjadi pusat terbesar dari prnik pernik peperhiasan . Dahulu sekitar tahun 1915, desa ini hanya memiliki
empat pengrajin tukang emas (Gde Rake Sukawati 1941: 31).
sejak terpisahnya dari kelompok dari unit geografisnya, setelah meninggalkan wilayah danau Bratan.
Di Blahbatuh dan Celuk,para keluarga mengatakan memiliki satu prasasti yang berkaitan dengan
riwayat leluhurnya, menurut referensi oral prasasti tersebut adalah benar sebagai Prasasti Pandé (Kr
2404) sebagaiamana yang telah diuraikan sebelumnya.

Distribusi geografis dari kelompok bergelar diperkirakan hasil dari dispersi dari satu sel asli yaitu dari
danau Bratan. Tradisi tersebut mungkin dapat diamati dari peta implementasi terkini dari Pandé
Bratan, pengecualian kelompok Gianyar yang nampaknya keluar dari skenario. 86 Pandé Bratan adalah
pengelompokan dua kutub utama, utara dan selatan, berhubungan pada saat yang sama antara
wilayah pegunungan dengan wilayah dalam. Di wilayah selatan dimana tradisi pekerjaan emas lebih
kurang direkam dengan baik, sementara Pandé Bratan pada umumnya adalah sebagai petani sawah.
Di wilayah utara , para pengrajin emas relatif lebih banyak dan petani sawah adalah kegiatan yang
dilarang. Perbedaan lainnya tercantum pada pura pura yang kadang kadang terekam, dan lebih
kurang setia menjejaki masa lalu.

3.1.2 Perbedaan Penafsiran pada Pura-Pura

Seluruh pura pada masyarakat bali, dari yang paling umum sanggah hingga pura besar, mencerminkan
konsep dasar yang sama yaitu: satu ruang segiempat yang terbuka, berorientasi menurut aksis kaja-
kelod dan tertutup tembok, dibagian dalam pura tertata ruang yang terdiri dari satu atau dua bagian
terpisah atau dua atau tiga ruang berturut turut. Biasanya orang masuk ke pura dari kelod ke kaja
atau dari jaba ke jeroan. Di bagian dalam pura atau di halam belakang, dijumpai jejeran pertama
pelinggih sepanjang sisi kaja dan paling sering, prakteknya selalu di Selatan, jejeran kedua di sepanjang
sisi Timur. Persilangan antara kedua garis,pada sudut kaja-kangin, agak ditinggikan namun tidak
selamanya satu kolom yang mendukung semacam tempat duduk dari batu (Gambar 18 dan 19).
Pelinggih ini disebut padmasana (sansekerta: padmasana) yang berarti tempat duduk lotus.87
Singgasana yan paling tinggi adalah untuk dewa Siwa diidentifikasi sebagai Surya (matahari). Perlu
diingat bahwa Siwa adalah satu satunya dewa asli India yang dipresentasikan di pura pura di Bali, dan
dapat dilihat pada padmasana adanya tanda kemenangan dari aliran shivaite yang akhirnya menang
atas kecenderungan lainnya, utamanya terhadap kepercayaan Budha yang menurutnya kelangsugan
hidup tidak lebih dari kemanfaatan.

Absennya padmasana adalah konsekwensi pertanda yang sangat penting, meski hal ini sangat sulit
untuk diinterpretasikan secara tepat. Ia berimplikasi pada standar minimum suatu hal yang tidak
dapat dikonfirmasikan,juga tidak melalui doktrin yang terencana namun ia adalah symbol praktis yang
tampaknya tidak ingin mengakui keunggulan dari Siwa. 88 Dari sudut pandang tersebut, bangunan pura
bagi kelompok Pandé Bratan di selatan biasanya mengikuti tradisi dominan apa yang dilakukan

86
Danau Bratan terletak di salah satu sumbu utama penghubung antara utara dan selatan Bali, sedangkan jalan penghubung
ke barat atau timur sangat terbatas dan sulit. Karena itu tidak mungkin dispersi berawal dari Danau Bratan yang dilakukan
melalui sumbu utara-selatan.
87
Lihat yang berkaitan dengan padmasana pada Bab III dari Agama Tirtha (Hooykaas 1964).
88
Agama, bahkan Brahmana dasarnya merupakan suatu praktek dan masyarakat Bali tampaknya tidak pernah merasa perlu
untuk menyusun ritual dan menguraikan dogma dalam pandangan dunia karena sangat implisit. Dalam teks tersebut
Kusuma Dewa berpendapat bahwa urusan upacara odalan, organisasi internal pura adalah dilakukan sebagai salah satu
ajaran Mpu Kuturan, membudayakan pahlawan Jawa: Malih kacarita panugrahanira Empu kuturon, tingkahe angwangun
kahyangan ring bali (KR 1804). Dalam konteks yang sama, bukan Siwa. tetapi Gana dan "orang bijak dari langit" yang terkait
dengan sudut kaja timur adalah pura, (semalih tidak madulu kaja kangin wering sanggar ggung palinggih ida bhatara rsi
langit, bhatara gana luhur ing akasa).
kebanyakan pura, meskipun pura mereka di utara tidak ditemukan padmasana di sudut kaja-kangin.
Di lokasi yang biasanya ditemukan pelinggi tersebut, misalnya pada Pura Agung Bratan (Gambar 20 -
21) dijumpai semacam “kolam” yang mereka sebut beji, nama yang biasanya diberikan pada tempat
dimana dewa dimohonkan untuk mandi disana (Gambar 22). Singgasana batu yang menjulang
tersebut tidak absen di pura tersebut namun posisinya berada ditengah jejeran pelinggih sepanjang
tembok kaja, itu adalah tempat Batara Luhur ing Akasa, sementara pelinggih yang didedikasikan pada
Siwa adalah dalam bentuk bangunan yang lebih rendah diantara bangunan pelinggih lainnya (Gambar
24).

Keabsenan lain pada sanggah penduduk di Bratan adalah, disepanjang sisi kaja sederatan pelinggih
unik ditata beralaskan pasangan bata atau semen, pelinggih ini berkaitan dengan ekspressi magunung
rata (Gambar 25). Keluarbiasan lainnya adalah pada perbedaan konsep kamulan, seperti yang
digambarkan ada sanggah kelompok di Utara dan Selatan. Di selatan, pelinggih leluhur secara klasik
terdiri dari tiga kotak kayu yang disandingkan, posisinya ditinggikan dengan bantuan kolom kayu
diatas dasar pasangan bata. Berdasarkan wawancara yang diperoleh oleh responden ketiga pelinggih
tersebut merupakan perwujudan Brahma, Wisnu dan Siwa. Hubungannya dengan faham Trimurti
India pada penyembahan leluhur adalah satu aspek sinkritisme masyarakat bali yang tidak
menginginkan adanya kontradiksi dalam rekonsiliasi. Meski demikian, kamulan difungsikan dengan
baik emalui suatu pelinggih yang memungkinkan berhubungan dengan leluhur dan struktur triparti
berkaitan juga dengan adanya perbedaan antara leluhur feminin dengan leluhur maskulin, dimana hal
ini menjadi tambahan unsur ketiga, Siwa/Surya, menduduki tempat sentral. 89 Di Bratan, pelinggih
leluhur dibagi atas dua kotak yang terpisah, disebut kamulan dan kamulan sakti, tanpa referensi pada
unsur ketiga atau kepada dewa panteon india.90

Pada pura dadia Patemon dan Bratan, diamati adanya prinsip dualistis yang ditemukan sedikit contoh
pada pura pura di Selatan dan yang tidak ada utamanya pada pura pura Pandé Bratan di wilayah
tersebut. Sebagai tandingan pelinggih Batara Luhur ing Akasa , ditemukan di “hilir” di puncak
singgasana bata suatu konstruksi yang didedikasikan pada Batara Sor ing Akasa, dewa yang secara
eksplisit disebut Pertiwi (Sansekerta: prthivi) menunjuk pada Bumi dan alam bawah bumi (Gambar
26). Secara umum, pura kelompok kekerabatan di Utara khususnya di Bratan, memperlihatkan suatu
kekayaan simbolik yang tidak ditemukan di selatan. Pada desa terakhir ini, Pura Agung tidak kurang
ada lima puluhan pelinggih, sesuatu yang luar biasa. Ditemukan bukan hanya disepanjang sisi kaja
dan di jeroan, tetapi juga disepanjang sisi barat bahkan pada bagian tengah halaman dalam. Halaman
pertama terdiri dari beberapa pelinggih, yaitu Dewa Tanah Sabang ( Gambar 27), dewa bawah laut
berada agak ke hilir kearah laut. Nama pelinggih pelinggih ini tidak lagi memiliki makna penting, ini
merupakan jejak masa lalu yang dipraktekkan dan merupakan konsep kepercayaan yang sangat sulit
dikualifikasi, atau paling tidak in menunjukkan adanya sinkritisme kepercayaan dominan, dimana
unsur unsur aslinya bukan berasal dari faham shivaite.91 Sangat jelas bahwa tidak satupun unsur unsur

89
Mengenai pentingnya kamulan lihat Grader (1960b, 1969a)
90
Konfigurasi ini cukup unik. Kami tidak menemukannya di tempat lain dalam sanggah masyarakat Bratan dari Patemon atau
kamulan menampilkan diri sebagai pelinggih tunggal dengan dua kotak. Masalah lainnya adalah kerancuan antara dualisme
dengan pembagian kedalam tiga bagian dalam reprensantasi masyarakat Bali, perhatian tertarik pada ekspresi kamulan
sakti yang merujuk pada leluhur perempuan. Sakti (Sansekerta: Sakti) mengingatkan pada suatu makna bahwa ini tidak
umum ditemukan di Bali, tetapi juga dibuktikan dalam tradisi India, yaitu seorang perempuan aktif. Grader sudah
menyatakan hal ini, (1969a: 229, catatan 18).
91
Pada Shaivism ini, lebih baik menuliskannya sebagai siwaisme untuk menghindari kebingungan dengan yang di India, saya
akan cenderung menetapkan dari pengamatan simbolisme pura, suatu devaluasi dualisme elemen feminin / chthonic yang
simbolik yang diwujudkan ada pada pura dadia di selatan yang menggunakan tipe “standar”, dan
sebagai konsekwensinya tidak satupun buku khusus untuk itu.

Penyelusuran terhadap pura-pura menunjukkan bahwa kelompok Pandé Bratan di selatan memiliki
tempat suci yang sepenuhnya menjadi semacam standar atau norma di Selatan, sementara di Utara,
mencerminkan perbedaan khusus untuk wilayah ini, juga mengungkapkan keganjilan yang tidak
terungkap sebagai varian sederhana wilayah tersebut. Dengan pertimbangan karakter mereka yang
minoritas, keganjilan keganjilan ini dapat dipandang sebagai suatu sikap konservatif. Dapat dilihat
sebagai contoh, begitu meninggalkan wilayah selatan padmasana baru berdiri pada pura-pura yang
secara tradisional tidak ada. Kepatuhan ini bukan sebagai doktrin, tetapi sebagai sesuatu yang bersifat
umum, akhirnya kondisi seperti ini diturunkan dari generasi ke generasi. Pada kasus Pandé Bratan,
penyelusuran pura menunjukkan bahwa “situasi/keadaan” tidak ditransmisikan, berangkat dari
hipotesis yang menyebutkan bahwa pusat dispersi danau Bratan, yaitu kelompok utara, yang
kemudian menghilang di selatan dibawah tekanan konfromi social, diperkuat melalui kanyataan
bahwa unit kekerabatan hanya membentuk pulau pulau yang tenggelam dalam populasi banjar
dimana mereka temui.

Hal ini juga terjadi karena Pandé Bratan tidak memiliki secara nyata suatu komunitas asli. Hingga
dipembahasan ini, kesaksian suatu sumber belanda bertahun 1868 sangat bermanfaat, karena secara
jelas meneyebutkan bahwa kelompok kekerabatan terdiri dari dua puluh keluarga di Singaraja, lima
belas di Patemon, dua puluh lima di Marga dan dua di Mengwi (van Bloemen Wanders 1868: 375).
Saat ini, penduduk Banjar Bratan dan desa Bratan, tidak termasuk diantara “orangtua soroh” (nyama
soroh) dibanding dengan dadia Marga, yaitu kelompok Selatan dimana mereka selalu memelihara
hubungan utamanya dalam hubungan perkawinan. Perlu dicatat bahwa kelompok ini selama masa
penjajahan Belanda mereka disebut “Orang Bratan” bukan Pandé Bratan. Untuk mendalami lebih
jauh tentang pembagian utara/selatan; orang Bratan/Pandé Bratan, tinggal meresume setiap
kelompok melalui penelusuran sejarah rekam jejak kedokteran (anamnesis) yang akan memberi kita
informasi berharga dalam banyak sisi gelap suatu konteks yang lebih umum.

3.2 Tradisi Asli dan Asli Tradisi


3.2.1 Kelompok Pandé Bratan Baru di Selatan

Orientasi percakapan masa lalu, diperoleh informasi bahwa semua kelompok Pandé Bratan di Selatan
adalah pengecualian dibandingkan dengan yang ada di Marga, yang menemukan kembali asal usul
mereka sepanjang sepuluh tahun terakhir ini. Juga luar biasa bagaimana “riwayat keluarga” yang
mendapatkan penderitaan dalam penyebarannya di Bali, meski dalam waktu yang 65ocial6565
singkat. Benar bahwa rasa ingin tahu masyarakat bali sehingga jarang melihat kebelakang ke masa
lalu, banyak anak anak mengindahkan peristiwa yang penting dalam masa hidup orang tuanya. Tidak
jarang kita mendengar seorang yang berusia tigapuluhan mengatakan bahwa terlalu muda usia untuk
mengetahui hal hal masa lalu atau yang berkaitan dengan agama. Juga benar bahwa tidak pada
tempatnya untuk mencari tahu pada orang yang lebih tua dan banyak masyarakat bali yang lebih
menekankan efek jera untuk menjawab dan menanggapi masalah generasi muda. Dengan berbagai
65ocial65 tersebut dan sikap umum yang berorientasi pada praktek kekinian dan menolak hal hal yang

lama mendukung unsur jantan / Uranian dimana padmasana merupakan ilustrasinya. Studi tentang masalah ini, dengan
tidak mengurangi Bali selatan dataran seperti yang hampir selalu dilakukan mungkin akan sangat membantu.
dianggap tidak signifikan di masa lalu, namun kondisi masa lalu, rekonstruksi peristiwa, bahkan kurang
lama, hanya secara umum kemungkinan membantu sebagai saksi langsung, dimana mereka sendiri
tidak mengingat masa lalu yang agak samar. Kondisi ini menjadi tantangan untuk merekonstruksi
peristiwa masa lalu. Pada kasus kekinian, hanya seseorang yang telah lebih enam puluh tahun dapat
menginformaskan meskipun secara parsial peristiwa antara tahun 1930- 1950 an, suatu periode
dimana kelompok itu teridentifikasi sebagai kelompok Pandé Bratan. Informasi tersebut mengerecut
pada peran penting yang dilakukan oleh Pan Sumpang, asli Mengwi dan bekerja sebagai tukang emas.
Kami mengandakan kontak dengan kelompok kelompok 66ocia baik di utara maupun selatan. Orang
tersebut sangat penting, namun kesaksianya menjadi terbatas karena kematiannya, keluarganya tidak
dapat mengatasi kekurangan ini karena mereka telah mengenyampingkan dan melupakan kegiatan
masa lalu.

Penelitian yang dilakukan di Gianyar, dengan seorang informan yan telah berusia lanjut dan satu
satunya saksi hidup. Dia menceriterakan bahwa Pan Sumpang pernah berkunjung ke sana sekitar
tahun empat puluhan pada seorang keluarga tunggal untuk memverifikasi tentang dua patung yang
disimpan pada suatu sanggah. Ia berani mengambil alih tanggung jawab “turunan” dan semua orang
dapat melihat bahwa patung tersebut adalah representasi seorang laki dan perempuan. Pan Sumpang
mengkonfirmasikan bahwa mereka adalah Pandé Bratan, dimana sebelumnya pemilik patung
tersebut tidak mengakuinya. Penentuan temuan tersebut masih diselimuti kekaburan, namun, Pan
Sumpang ditemani oleh seorang teman dari Marga dan lainnya seorang guru yang bertugas di
Sukawati namun asli Bratan juga mengakui keberadaan patung tersebut. Sebagaimana diketahui
bahwa Pan Sumpang memiliki hubungan dengan orang orang di Bratan.

Di Blahbatuh, penolakan yang sama terhadap asal usul juga banyak dibicarakan, sepuluh tahun
kemudian, sebagai hasil dari suatu pendekatan yang biasanya melalui satu keluarga atau kelompok
yang mengalami kesulitan yang serius dan berulang, seperti sakit, kematian atau bentuk duka lainnya.
Melalui konsultasi seorang medium (maluasang) mengungkapkan bahwa keluarga bersangkutan yang
kena musibah adalah akibat karena melupakan kawitannya. Balian tersebut juga menyebutkan bahwa
mereka adalah Pandé Bratan. Di Celuk, 66ocial6666 yang sama dilakukan, namun kali ini
menggunakan seorang balian yang tinggal di Kapal, desa dimana terdapat pura dadia dari Pandé
Bratan dari Mengwi dimana Pan Sumpang, adalah anggota yang sangat aktif.

Di Blahbatuh, orang lebih banyak belajar lagi setelah mereka menemukan asal usulnya, keluarga
Pandé Bratan meminta surat 66ocia yang sangat terkenal di desa tersebut untuk dilakukan penelitian
tentang sejarah kelompok kekerabatannya. Di awal tahun lima puluhan satu manuskrip yang saat itu
tidak dapat dibaca karena ditulis dalam aksara kawi, namun ia tetap dipelihara sebagai garansi
memiliki kehidupan yang harmoni. Pandé Bratan dari Blahbatuh mengatakan bahwa sumber
penyusunan lontar tersebut ditemukan pada sorang penguasa di Blahbatuh. Pengarang manuskrip
tersebut saat itu sudah sangat sepuh, 92 seingatnya manuskrip tersebut disusun berdasarkan suatu
sumber dari yang ia pinjam seorang yang tinggal di Tabanan-Mengwi, dan kemungkinan Pan Sumpang
masih mengingatnya. Dengan melakukan konsultasi di Gedong Kirtya Singaraja, diperoleh bahwa
manuskrip tersebut adalah Kr 2404 merupakan koleksi institusi tersebut sejak tahun 1952 dan itu
merupakan kopian dari sumber asli yang dipegang oleh Pan Sumpang. Transkripsi dalam bentuk
tulisan latin mengenai riwayat Pandé Bratan tersebut dibuat oleh Wayan Mendra, pegawai di Gedong

92
Sementara penulisan berlangsung, I Ketut Rida meninggal dunia.
Kirtya. Ia adalah seorang dalang terkenal dan tinggal di Bratan dimana ia diangkat sebagai pemangku
di Pura Dalem di desa tersebut. Putranya yang menggantikan fungsinya mengatakan bahwa ayahnya
telah menerima beberapa kali kunjungan seorang dari Mengwi yang bernama Pan Sumpang.

Meskipun keadaan keluarga kelompok bergelar Pandé Bratan di Gianyar mengalami 67ocial6767
kekaburan, ingatan terungkap melalui keberadaan suatu jaringan personal, dimana anak anak
berangkat dari Buleleng ke Gianyar melewati Mengwi. Di pusat jaringan ini ditemukan dengan jelas
Pan Sumpang yang sangat memegang peranan penting secara tidak langsung, namun sangat
menentukan, dalam pembuatan Prasasti Pandé yang terdiri dari surat Blahbatuh antara tahu 1950 dan
1952. Ia memiliki inisiatif dalam gerakan penemuan asal usul yang dilakukan di Mengwi di lingkungan
keluarga Pandé yang mengorbitkan Pan Sumpang.

Di Mengwi, anak anak terpecah belah dengan 67ocial67 amnesi Pandé Bratan dari dadia tersebut,
Meski demikian, pemangku tua yang mengurusi pelinggih tetap mengacu pada kawitan danau Bratan
yang ditemukan sebagai orang asli Mengwi dan kesaksiannya memungkinkan adanya pergatian secara
parsial sepeninggal Pan Sumpang. Ia masih mengingat bahwa Pandé Bratan dari Mengwi menemukan
kembali asal usulnya dimasa lalu masih 67ocial6767 baru. Informasi tersebut dikemukakan oleh dua
orang informan yang tinggal di Gadungan dan Sibang dimana ditemukan sebuah keluarga Pandé
Bratan yang memiliki dadia Marga. Dapat disimpulkan narasi yang mengerucut dari tiga sumber oral
yang ditemukan sekitar tahun 1930 dan sangat mungkin pada akhir 67ocial sebelumnya. Karena
kejadiannya berkaitan dengan masa (kira kira atau 67ocial) “peristiwa Pandé” di Mengwi.

Peristiwa tersebut meninggalkan jejak dalam ingatan dan dapat menjadi pembelajaran yang berguna
dari suatu peristiwa di masa lalu. Pada saat itu, kelompok Pandé Besi di Mengwi berniat untuk
mengadakan upacara pengabenan dari seorang warganya dengan menggunakan bade yang
bertumpang banyak, bade seperti ini biasanya hanya digunakan pada orang orang yang berkasta.
Pihak Triwangsa memprotes akan rencana ini dan mengancam akan membongkar bade tersebut
karena mereka menganggap bahwa kelompok Pandé ini tidak tahu diri akan kedudukannya.
Keteganganpun terjadi, karena pihak Pandé mengundang kerabatnya untuk bergabung untuk
mepertahankan diri dan tetap melaksanakan upacara ini. Petugas keamanan akhirnya turun tangan
untuk melerai pertikaian ini dan upacara tetap dilaksanakan tanpa menimbulkan insiden. Padahal
situasi pada tahun 1927 tersebut masih dalam masa penjajahan Belanda. 93

Disamping itu, ada versi kedua tentang narasi asal usul Pandé Bratan, direpresentasikan dari dua
manuskrip yang identic, ditemukan baru saja di desa Jadi dekat Tabanan. Keduanya menyebutkan
kelompok Mengwi-Kapal, namun bukan keluarga Gianyar yang secara kontras pada teks yang lebih
baru yangtelah disebutkan sebelumnya. Kedua manuskrip tersebut disususn setelah dadia
menemukan identitasnya. Salah satu dari keduanya bertahun 1930 mengkonfirmasi bahwa
munculnya Pandé Bratan ini dapat terjadi setelah tahun 1930. 94 Versi ini sangat mungkin terinspirasi

93
Lihat tulisan Korn yang berjudul "Gerakan Pande" (pandebeweging) tahun 1928-1929 (1932:176), serta di bagian
Pendahuluan, tidak kurang sindiran dari Goris dalam artikelnya "Posisi pandai besi” yang ditulis tahun 1929, perkumpulan
baru pandai besi Bali, Pande besi, telah dilakukan lagi, berbicara tentang dia. (artikel ini diterjemahkan dari versi bahasa
Inggris, Goris 1960: 291). Namun dalam surat "untuk saran" yang dikirim oleh Resident ke Asisten-Residen Bali selatan,
November 1928, kami membaca bahwa pada tahun 1927 ada masalah oleh Pande, terutama di daerah Mengwi: " Het jar
1927 tracht beroering di het Mengwische der onderafdeeling Badoeng ... (File Korn, No 213, Leiden).
94
MS ARL 11871 bertahun 1930. Manuskript kedua, ARL 13864, tidak berisi tanggal.
oleh surat Blahbatuh untuk menulis teks dimana Pan Sumpang memiliki sebuah salinan bertahun 1952
yang diekstrak lebih kurang dikenal diantara kelompok Pandé Bratan.

Investigasi yang dilakukan di Gadungan dimana Kak Luh Gede, generasi nenek moyang imigran, agak
mirip dengan Pan Sumpang. Ia menginagtkan bahwa kakeknya mengundang dewa untuk 68ocial
(ngrauhang) mengungkapkan dalam sanggah keluarga suatu jalan untuk diikuti untuk menempatkan
istilah untuk siksaan yang menimpa keluarga. Mereka mempelajari bahwa leluhur pendiri dadia
adalah Pandé Bratan dan sebagai konsekwensi asal usul tersebut harus diakui dan dihormati. Sisa
dadia Marga yang satu satunya kelompok Selatan yang dicirikan oleh keberadaan hubungan lama
kekerabatan dengan masyarakat Bratan di utara. 95 Namun di Marga, ingatan masa lalu benar benar
terhapus seiring hilangnya generasi selama tujuh puluh tahun. Kemungkinan asal usul menurut versi
pertama riwayat Pandé Bratan adalah pencarian disisi dadia Marga, hanya dengan 68ocial68
kedekatan desa dan desa Jadi dimana ditemukan dua salinan versi tersebut. Namun kelompok Marga
juga satu satunya yang 68oci mentransmisikan suatu tradisi kekinian yang nampaknya dilupakan,
karena kelompok Pandé Bratan lainnya di Selatan tidak mengetahui sama sekali masa lalunya sebelum
adanya serangkaian petunjuk wangsit. Kondisi redaksi naskah yang berkaitan dengan manuskrip dari
desa Jadi nampaknya tetap tidak dikenal, karena naskah tersebut tidak menyinggung konteks dimana
naskah tersebut dibuat.96

Dapat dilihat bahwa upaya mengingat kenangan (anamnesis) hanya memberikan sedikit informasi
tentang kondisi yang 68oci dikendalikan oleh seluruh unit kekerabatan, kecuali yang di Marga, untuk
menemukan sendiri identitas Pandé Bratan. Jalan yang ditempuh, selain cacat dalam memori, juga
tersembunyi oleh penggunaan medium trens yang mengungkapkan vonis Tuhan yang ia bahkan tidak
seharusnya dapat mengingat kecuali dalam keadaan sadar. Dapat diduga bahwa rata-rata orang yang
kesurupan memungkinkan dapat memecahkan banyak masalah Bali yang tidak dapat didiskusikan dan
mereka dapat berfungsi sebagai pengambil keputusan yang tidak terbantahkan, merekrut
keanggotaan paling 68ocial68 yang tidak akan berani melawan kehendak Dewa.97 Wangsit yang
berkaitan dengan identitas ini berlaku sangat ketat pada praktek individu individu yang melibatkan
seluruh keluarga masyarakat bali yang berusaha menemukan 68ocial68 kesulitan yang diderita. Di
saat yang sama, tidak mungkin melihat sesuatu secara acak sederhana dalam rangkaian wangsit.
Mestinya semuanya harus seperti ini, pada saat itu, gelar Pandé Bratan sudah ada dan telah digunakan
dengan arti tertentu. Dalam konteks 68ocial mikro, tidak ada yang tersisa kecuali naskah naskah yang
akan terlihat berada dalam ruang referensi yang berbeda. Tidak ada sama sekali, kecuali mungkin
peristiwa Mengwi yang masih teringat sebagai prestasi besar kelompok Pandé, seiring dengan
muculnya “babad” pertama Pandé Bratan. Narasi ini adalah ungkapan suatu identitas kelompok
yang berisikan pernyataan dari leluhur yang sama dari kesatuan kekerabatan di utara dan selatan Bali,
narasi ini memungkinkan untuk melihat munculnya identitas sebagai akibat kedua yang diinduksikan
melalui suatu gerakan Pandé Besi yang membuat suatu peristiwa dramatis di Mengwi pada tahun
1927. Dapat dibayangkan bahwa para tukang emas dari Banjar Pandé Mengwi, dimana bermukim

95 Kita melihat bahwa, menurut van Bloemen Waanders (1868), ada juga dua keluarga dari Bratan di Mengwi. Hal ini
menunjukkan bahwa keluarga akan punah atau telah kehilangan tradisi mereka sendiri.
96
Sebuah naskah yang tidak mungkin saya bisa melihatnya, disimpan oleh seorang anggota Dadia Marga yang tidak memiliki
pengetahuan tentang isi dari teks tersebut, sehingga tidak mungkin untuk mengetahui apakah ini sesuai dengan teks naskah
desa Jadi atau dari Blahbatuh atau versi ketiga.
97 Hobart menceritakan contoh ketegangan antara warga desa yang menemukan ekspresi mereka melalui perantaraan

medium kesurupan (1979: 604-613).


juga Pandé Besi, sangat peka dengan nilai gelar dan kedudukan yang disandangnya sebagai “Pandé”
dan ingin mengikuti keteladanan kelompok Pandé Besi dengan mengklaim juga suatu posisi utama
dalam masyarakat berkasta, sebagai bentuk otonomi agama sebagaimana secara jelas tercantum
dalam naskah desa Jadi yang antara lain menyebutkan larangan menerima air suci dari kelompok
Brahmana. Padahal, mereka tidak dapat menemukan penyebab atau dukungan dari Pandé Mas
Kamasan, karena mereka selalu taat pada padanda. Pusat lain pengrajin emas yang bereputasi adalah
mereka yang di Bratan dapat memberikan argument penyebab tersebut, karena salah seorang
pimpinan desa mengumumkan pada khalayak umum tentang penentangannya terhadap jenjang kasta
di tahun dua puluhan. Dengan pengertian lain, nampaknya pendekatan yang lebih berlegitimasi
munculnya Pandé Bratan di wilayah Tabanan-Mengwi sekaligus gerakan Pandé Besi di Selatan dan
gerakan lainnya yang terjadi pada era yang sama dengan desa Bratan yang penduduknya meskipun
bukan golongan Pandé, sebagaiamana yang telah diuraikan.

3.2.2 Masyarakat Bratan dan Desa Lama Bratan

Masyarakat Bratan yang dimaksudkan adalah penduduk yang tinggal di Bratan, Singaraja dan yang
tinngal di Banjar Bratan di Patemon juga para kerabat yang berafiliasi di pura-pura di kedua komunitas
tersebut dan di tempat tempat lainnya. Dadia Marga, secara prinsip, berkaitan dengan soroh tersebut
dan sangat jelas mereka berasal dari leluhur yang sama. Meski demikian, anggota dadia tersebut
secara budaya adalah Pandé Bratan dalam arti mereka sama sekali tidak dianggap memiliki ciri utama
kelompok Bratan, baik secara tradisi dan praktek upacara. Inilah nuansanya, karena masyarakat
Bratan semakin lama semakin berkurang, utamanya karena modernisasi, tanpa itu orang bisa
dianggap sebagai Pandé Bratan. Secara jelas itulah perbedaan dan nuansa yang akan disajikan untuk
mendukung beberapa komponen tradisi masyarakat Bratan, lebih khusus di Bratan atau sekitar
Bratan.

Hasil investigasi pertama mencakup fragmen lagenda yang menetapkan masyarakat Bratan sebagai
Bali Aga. Juga suatu lagenda yang berkaitan dengan kondisi dasar desa Tenganan yang melaporkan
bahwa penduduk Bratan dan Tenganan berasal dari wilayah Pejeng-Bedulu, juga data data arkeologi
dan epigraphik, yang menunjukan sebagai rumah kerajaan yang dikalahkan oleh ekspedisi jawa pada
abad 14. Disebutkan di Tenganan bahwa penguasa kerajaan dikirim untuk mencari kuda
kesayangannya yang tersesat. Sebuah kelompok pandé mas berangkat kearah barat laut. Mereka
tidak kembali dan membuat suatu desa, karena mereka gagal dalam pencaraiannya. Itulah leluhur
masyarakat Bratan. Sebaliknya, kelompok Pandé besi, yang berangkat ke arah timur, mereka
menemukan mayat si kurir dan menggunakan tipu daya yang dibuat sebagai hadiah sebidang tanah
yang luas sehingga desa Tenganan memilikinya lagi. Di tahun tiga puluhan, nampak bahwa Tenganan
mengadakan pembicaraan dengan Bratan namun apa isinya tidak jelas oleh pengarang yang
melaporkan kejadian tersebut (Korn 1960: 307, 366). Saat ini, lagenda tersebut tidak lagi dikenal di
Tenganan dan hal itu tidak membangkitkan ingatan apapun tentang Bratan. Namun demikian
beberapa masyarakat Bratan menyinggung tentang hubungan lama mereka dengan Tenganan yang
diberikan otorisasi memperisterikan wanita desa tersebut. Aturan tersebut tidak dikenal oleh
penduduk Tenganan yang secara tegas menganut endogami. Tetap harus diingat hubungan antara
Bratan dan Tenganan, sebagai acuan ke suatu asal pre-majapahit yang sangat luar biasa dalam konteks
budaya bali.
Informasi lainnya, laporan oleh peneliti awal bangsa belanda setelah merebut bagian utara pulau Bali,
juga menekankan asal usul penduduk lama Bratan yang berada sepelemparan batu dari kursi
kekuasaan penjajah, muncul dengan kecepatan luar biasa, namun tidak pernah menjadi objek kajian
khusus. Menurut van Bloemen Waanders, masyarakat Bratan bukan asal majapahit dan meskipun
mirip dengan masyarakat bali lainnya mereka tetap mengawini perempuan dalam kelompoknya.
Mereka mengaku sebagai subyek raja Mayadanawa yang menyajikan makanan untuk orang jompo
dan penjahat, dalam bentuk makanan yang dibakar atau direbus untuk merawat mereka (1868:374-
375). Ditemukan hubungan masyarakat Bratan dengan praktek antropologi dan beberapa kesaksian
pada masa itu (Jacobs 1883:53), dan masyarakat Bratan pada usia tertentu masih mengingat dengan
baik reputasi tersebut yang belum terhapus hingga kini. Peneliti van der Tuuk, yang pernah tinggal di
Bratan, membuat rumor yang menghebokan bahwa atas tuntutan adat, penduduk Bratan memakan
orang tua mereka yang sudah uzur. Pembelajaran yang dapat ditarik dari hal tersebut adalah adanya
dimensi imajiner masyarakat bali yang menolak sifat barbar pada lapisan masyarakat Bali Aga yang
hidup dalam kesenjangan dibandingkan dengan para pendatang dari jawa. Selain itu, van der Tuuk
menggambarkan masyarakat Bratan dari Bali Aga. Selanjutnya ia mengatakan bahwa nama mereka
diberi oleh Mayadanawa yang menurut salah satu versi tradisi masyarakat bali adalah raja terakhir
Pejeng-Bedulu, juga disebutkan bahwa masyarakat Bratan tidak membakar mayat tetapi dengan
menguburkannya.98

Adat lain tentang penguburan mayat yang dikaitkan dengan masyarakat Bratan atau Tenganan. Pada
hari pemakaman, para kerabat almarhum membuat jaja uli yang diberi bentuk manusia. Ketika masuk
ke kuburan, para kerabat dekat menyantap patung yang telah disiapkan dengan menggunakan beras
yang sudah dimasak dalam air yang digunakan untuk membersihkan mayat. 99 Di Bratan, adat tersebut
dikenal, namun hal itu ditujukan bagi orang Tenganan, sebaliknya orang Tenganan mngatakan bahwa
adat itu dilaksanakan di Bratan. Cara nyata atau dugaan memproses orang mati dan kematian adalah
kriteria yang mengemuka perbedaan di mata masyarakat Bali. Garis pemisah perbedaan ditandai
antara mereka yang dikuburkan dengan mereka yang dikremasi. Diantara yang terakhir ini, secara
keseluruhan rincian caranya berbeda antara kelompok kelompok yang ada, karena kematian adalah
menunjukkan keunggulan status dan disana ada ketidaksetaraan. 100 Oleh karena itu tidak
mengherankan bila masyarakat Bratan menolak upacara kremasi yang dipandang sebagai “sangat
membedakan”, sehingga warga belanda tidak bisa mengabaikan keganjilan ini. Itu adalah fakta yang
menjadi ciri milik masyarakat Bratan rezim lama, sama halnya dengan larangan kawin keluar (exogami)
atau penerapan hukum adat yang terlalu mengikat atau pelaksanaan suatu upacara desa yang menyita
waktu lama. Semua hal itu berganti sekitar tahun dua puluhan, namun, aturan lama desa adat
menunjukkan bahwa dewa dewa di pura pura diperingati sepanjang tahun dan bukan sekali dalam
210 hari sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas`masyarakat bali hari ini dan kini mulai merambah

98 Lihat KBNW IV: 886, begitu masuk di Bratan. Van Eck juga melaporkan bahwa "Masyarakat Bratan" adalah Bali Aga, artinya

orang Bali "asli" (oorspronkelijk). Dia menambahkan bahwa menurut laporan mereka sendiri, masyarakat Bratan memandang
Mayadanawa sebagai raja pertama mereka (1878: 286).
99
Adat ini telah dilaporkan kepada saya untuk pertama kalinya oleh I Gusti Ngurah Ketut Sangka, Pimpinan Proyek Hooykaas
di Bali (Proyek Tik). Ia mengatakan bahwa informasi tersebut daperoleh dari ayahnya bahwa praktek tersebut dilakukan oleh
masyarakat Bratan. Hal ini juga dinyatakan oleh van Eck tentang masyarakat Tenganan (1878:51) yang kemudian dikutip
oleh Jacobs (1883: 53).
100
Lihat artikel terkait D. Lombard. "Kematian di Hindia" yang menghargai apa yang dilakukan oleh Islam, konsep kematian
tidak impersonal dan lebih egaliter. Di Bali "revolusi" seperti ini tidak terjadi, sebagaimana penulis tunjukkan, hirarki strata
sosial sangat tercermin dalam ritual pemakaman.
desa desa di sekitar Tenganan.101 Pendekatan yang dibangun berdasarkan legenda mencari kuda
kerajaan mungkin tidak disengaja. Hipotesis kepemilikan dua kelompok pada suatu lapisan sosial dan
budaya lama masyarakat diperkuat oleh larangan melakukan bertani sawah yang dicirikan oleh Bratan,
Tenganan dan Sembiran, suatu desa yang dikenal sebagai Bali Aga yang kini mulai memodernisasi diri
(Korn 1960: 311, catatan 9).

Temuan kedua tentang informasi yang mencirikan masyarakat Bratan adalah relatif pada kegiatan
mereka dan suatu pembagian internal lama yang tidak diabaikan sebagai jejak simbolis. Tradisi oral,
yang dilengkapi dengan kesaksian pihak luar, menyebutkan bahwa penduduk Bratan tidak bekerja
hanya pada logam mulia, tetapi juga pekerjaan besi dan tembaga (van Bloemen Waanders 1868:375;
KBNW IV: 866). Masyarakat Bratan adalah Pandé yang memiliki kompetensi teknik dalam pekerjaan
logam yang berbeda. Mereka terkenal sebagai pengrajin namun tidak memiliki peran apapun dalam
tradisi mereka baik dalam narasi legenda maupun dalam praktek upacara. Tidak satupun pelinggih,
baik di pura masyarakat Patemon atau Bratan maupun dalam sanggah sanggah, mereka hanya
mengingat satu dewa Pandé. Gelar Pandé tidak memiliki keuntungan penggunaan dan masyarakat
Bratan menandakan diri dengan suatu ungkapan anak Bratan.102

Tekanan penurunan atau lebih tepatnya lunturnya identitas, mereka menjawab bahwa nama soroh
mereka adalah Samiaji.103 Ungkapan tersebut, berarti “sama harga”. Mereka menyimpulkan suatu
sikap kesamaan yang menurutnya seluruh manusia memiliki nilai yang sama. Harus diingat
interpretasi kontemporer tersebut, karena mereka pada posisi “anti kasta”. Dari sudut pandang ilmu

101
Lihat Goris (1960d) tentang dua kalender yang digunakan. Goris membagi secara tegas antara Hindu-Bali dengan Bali-
Jawa dalam hal siklus dua belas bulan dan 210 hari yang sistemnya sama sekali berbeda dalam perhitungan waktu. Di Bratan
, saat ini, odalan di Pura Agung digunakan untuk Tumpek Landep. Hal ini mencerminkan keselarasan dengan tradisi Pande
Besi dimana hari itu pura dadia yang "aktif", secara umum dikhususkan untuk memberkati senjata dan benda-benda besi.
Sima Desa Bratan (Kr 7701) berisi catatan serangkaian upacara, yang kini sudah ditinggalkan, saat ini digunakan sepanjang
tahun adalah irama dua belas bulan. Bulan kedua digunakan untuk memperingati I Ratu Pakan di Tubung; bulan ketiga
pelaksanaan Usaba asuci untuk menghormati Ratu di Dalem Sagening; bulan keempat dibebani dengan karya dangsil,
sehubungan dengan Ratu di Kelapa dan Karya Sambah upacara yang menggunakan ayunan (Ayunan Jantra, Ayunan
gantung.) yang selalu dapat dlihat di Tenganan; bulan keenam Odalan Ratu di Sakti; bulan kedelapan untuk I Ratu di Taman;
bulan kesembilan untuk I Ratu Pakan di Tegal; dan akhirnya bulan yang kesepuluh, masyarakat Bratan merayakan upacara I
Ratu di Gunung Agung dan I Ratu Tegeh di Bukit.
102
Dari sudut pandang Pande Bratan di Selatan, masyarakat Bratan memiliki kelompok bergelar yaitu Pande Bratan. Di
Singaraja, tetangga dari Bratan kadang-kadang menunjukkan diri sebagai "Pande Bratan" tetapi mereka membuat referensi
ke pengrajin pande. Dengan demikian bisa dipahami ekspressi tersebut sebagai perhiasan dari Bratan, bukan kelompok
bergelar yang namanya Pande Bratan. Kenyataan bahwa nama Pande tidak terkait dengan masyarakat Bratan sebagaimana
dalam bahasa lisan, berasal dari utara Bali suatu versi yang ditetapkan dalam tulisan yang berjudul. "Para pedagang bawang
Bratan " (1707 Kr). Kisah ini tidak dikenal lagi saat ini, baik di Bratan maupun di Patemon. Mengkisahkan dua orang Bratan
yang pergi ke menjual bawang ke Jembrana. Dalam pejalanan, mereka menemukan hal misterius dan diundang oleh seorang
wanita tua untuk beristirahat di rumahnya. Di sana, mereka faham bahwa wanita dan suaminya tersebut adalah mayat
hidup. Mereka menampilkan diri sebagai leluhur imigran mereka dan mengatakan mereka telah bergabung sebagai wong
samar. Dialog terjadi dimana lawan bicara mengungkapkan identitas mereka masing-masing dimulai dengan mengajukan
pertanyaan dengan "kakek" salah satu dari dua orang Bratan tersebut : "Anakku, siapa engkau sebenarnya?" dan “Dimana
desamu?” Orang Bratan itupun menjawab: “Saya berasal dari kelompok Pasek Bali Mula dari Bratan; nama saya Pasek. (Ne
cening, nyen makajatine, dija desan cening? Masaud I Pasek: Icang Sorot Pasek bali mula uli di Bratan, madan I Pasek).
Orang Bratan ini juga memperkenalkan dirinya, tempat tinggalnya dan anggota dari suatu kelompok yang lebih besar, mereka
adalah Pasek asli dari Bali Aga. Penggunaan istilah Pasek, dalam konteks ini menimbulkan pertanyaan tentang penggunaan
nama tersebut adalah dari sebuah "kelompok bergelar" sebagai kekuatan pemersatu. Namun demikian, untuk membatasi
diri berdasakan tujuan, istilah yang digunakan tersebut mengacu pada pedagang Bratan dan bukan dari Pande.
103
Van der Tuuk memberikan same aji (KBNW IV: 886). Dalam peraturan desa lama (Kr 770), kita menemukan ejaan
samayaji. Teks dimulai: "Tidak ada rintangan, juga tidak ada hambatan. Ini adalah adat Hiang Samayaji yang harus dihormati
oleh orang-orang Samayaji yang dulunya dibuat oleh dua Surya Dalem, dijaga dan disimpan oleh orang orang Samayaji (A
wignam astu, tan kasangkala. Iki semanire hiang samayaji, maka panung¬ sungnira wong ing samayaji. panugrahanira surya
dalem kalih nguni, ginadah olih kaulanira samayaji).
bahasa, itu bisa dipertanyakan. Aji berarti harga, dalam bahasa bali rendah, namun kata sami adalah
bahasa bali tinggi. Lagi pula, pengertian sami adalah “seluruh” dan jika diperluas dalam bidang
semantik pengertian tersebut dalam bahasa Indonesia bisa juga berarti sama. Seandainya argument
diatas ditolak, masih banyak kemungkinan interpretasi mengenai kata aji ini, misalnya ada
kemungkinan bersal dari kata samya atau samaya untuk mencari secara ponetik kata samiaji.104 Dapat
saja diambil berbagai kemungkinan interpretasi yang berbeda dari mereka yang bukan bersal dari
komunitas Pandé untuk menjaga kenetralannya.

Kemungkinan lain adalah, dahulu kala masyarakat Bratan terbagi atas empat kelas hirarki, yang
kemudian menghilang seiring dengan semakin menurunnya populasi kelompok ini (van Bloemen
Waanders 1868: 374). Kelas tersebut adalah: Pasek, Putih Dahi, Kamasan dan keempat yang belum
diberi nama oleh pengarang, penduduk Bratan atau Patemon tidak dapat menjelaskan apapun
mengenai hal ini. Saat ini Pasek adalah gelar yang disandang oleh pendeta Pura Agung Bratan.
Sedang Kamasan mengingatkan kita pada pekerjaan emas yang kemudian nama ini diadopsi sebagai
nama sebuah desa di Selatan bali dimana pekerjaan emas masih dilakukan. Sementara Putih dahi
adalah panggilan yang membingungkan (enigmatic), mengenai hal ini van der Tuuk mencatat bahwa
itu menunjukkan kedaulatan dimana masyarakat Bratan sebagai subjek. 105 Interpretasi yang centang
prenang mengenai tradisi ini yang telah berlangsung lebih seabad tidak berkaitan lagi dengan realitas
social. Sebagaimana yang sering terjadi di bali adalah mengambil resiko rumor untuk suatu tradisi
oral spesifik. Harapan untuk menghapus ketidakpastian adalah dengan menimbang nilai dari kata kata
dengan meneliti pura pura, untuk mengumpulkan nama nama pelinggih yang kadang-kadang
merekam keganjilan tertentu milik kelompok atau tempat. Juga ditemukan, melalui penelusuran
secara sistematis sanggah sanggah keluarga masyarakat Bratan dan Patemon, dimana Kamasan dan
Putih Dahi benar benar terkait dengan beberapa perbedaan dalam kelompok kekerabatan. Di Bratan,
sisa dua perempuan lanjut usia yang masih mengetahui nama Putih Dahi yang diabadikan pada
pelinggih keluarga mereka yang dianggapnya sebagai leluhur mereka (Gambar 25). Di Banjar Bratan

104
Aji memiliki makna pengajaran, tulisan suci, tetapi juga dapat berarti ayah atau yang berdaulat (haji). Samya aji kemudian
dapat menggambarkan mereka yang berbagi pengetahuan agama yang sama atau pengetahuan berdaulat yang sama, atau
memiliki ayah yang sama. Samaya aji memotong makna pertama yang mungkin Samya aji. Apapun bentuk awalnya yang
benar (Sami aji, Samya aji, samaya aji), artinya tidak jelas dan karakter sastra dari ungkapan ini adalah mengejutkan bagi
seorang perancang kelompok asli Bali Aga.
105
Lihat KBNW IV: 189. van der Tuuk menunjukkan bahwa Pasek Putih Dai adalah keluarga (geslacht) Bratan (KBNW 385).
Van Eck melaporkan bahwa masyarakat Bratan mengatakan leluhur mereka adalah tukang emas yang bernama Putih Dahi
(1878:286). Kami menemukan nama yang tertulis dalam tradisi perunggu Budaga, dekat KJungkung. Teks ini komposisinya
sangat mungkin baru dan memiliki gaya yang tidak dimiliki teks dasarnya, sehingga Kat Angelino mengatakan bahwa ini bukan
teks otentik (1921A: 254). Membiarkankan penulis bertanggung jawab terhadap pengertian keaslian, yang tersisa adalah
“babad” tersebut meminjam banyak tradisi Pande Tusan. Namun, suatu unsur spesifik adalah leluhur Pande bepergian ke
Bali, pada saat yang sama kedaulatan berada pada Ida Ratu Dalem Sakti yang jumlahnya tiga : I Tusan, I Tatasan dan yang
termuda I Putih Dai. Yang terakhir ini diharapkan menjadi raja, karena dia sibuk makan sawahnya. Pengabaian ini
membuatnya dikutuk (Kasapa) dalam bentuk larangan untuk bertani sawah. Larangan inilah yang mencirikan masyarakat
Bratan seperti yang kita lihat, namun hanya berlaku untuk Putih Dai dan turunannya, seperti Pande Grondong Budaga yang
membuat cetakan perunggu. Pande ini karena penampilan dirinya bersahaja sebagai bagian cabang yang lebih muda dari
Pande Besi dan datang belakangan ke Bali yang kemudian nama leluhur Putih Dai diabadikan sebagai salah satu nama yang
sering disebut dalam tradisi oral masyarakat Bratan. Ada kecenderungan membalikkan interpretasi teks dan melihat Putih
Dahi sebagai satu unsur masyarakat Bali yang sangat tua daripada representasi tradisi Pande Tusan. Putih, dikaitkan dengan
kemurnian dan kesakralan. Penggunaannya tidak umum digunakan sebagai nama leluhur. Dai/Dahi mungkin berarti dahi,
namun arti tersebut tidak membangkitkan sesuatu yang istimewa tentang Bali. Asosiasi istilah ini adalah kelompok pekerja
logam sehingga secara hipotetis kata ini lebih dekat dengan padahi yang diterjemahkan drum, meskipun kata ini juga bisa
menunjuk arti sebagai gong besar (Worsley 1972: 225). Hilangnya suku kata awal yang sering dijumpai dalam bahasa Bali,
transformasi kata padahi menjadi dahi bukan hambatan untuk penafsiran Putih Dahi yang lebih jauh yang mengacu ke tradisi
lama (awalnya kepercayaan?) pembuatan gong.
dan Patemon, nama Kamasan dan Putih Dahi agak lebih dikenal dan hal itu terkait dengan dua
keluarga yang secara tradisional adalah pemimpin setempat. 106 Dapat dilihat, bahwa apapun bisa
terjadi dan itulah bentuk perbedaan internal, pengertian yang digunakan tidak menggunakan nama
“Pandé” dan kata satu satunya kamasan mengingatkan akan pekerjaan logam.

Kini tinggal mencari tradisi asal usul, utamanya perwujudan representasi dari penyebaran unit yang
lebih besar mulai dari tempat pertama permukiman yang berlokasi di tepi danau Bratan. Kepastian
pertama adalah kelompok masyarakat Bratan tinggal di Singaraja sekitar tahun 1815. Karena pada
tahun tersebut, desa Bratan hancur oleh tanah longsor.107 Mereka yang selamat pada akhirnya pindah
tempat agak ke timur, saat ini orang orang Bratan masih dapat menunjukkan lokasi desa mereka yang
lama, dimana mereka kini bersawah, dengan bantuan ungkapan dauh pangkung yang artinya
“disebelah barat anak sungai” menandai batas barat desa yang ditinggali saat ini.

Kesulitan metodologis utamanya terkendala dari tradisi tertulis yang berisiko untuk kembali ke tradisi
oral. Karena naskah yang dimiliki asli Blahbatuh telah diterjemahkan oleh masyarakat Bratan dan
salinannya telah disimpan oleh beberapa keluarga. Kenyataan bahwa orang Bratan tidak dapat
membaca bahasa kawi sehingga tidak ada jaminan kebenarannya, karena isi manuskrip bisa saja
disampaikan secara oral mulai dari komentar Wayan Mendra, pegawai Gedong Kirtya dalam tahun
lima puluh. Resikonya adalah kehomoniman, mungkin aslinya tidak disengaja, antara nama kelompok
dengan mereka yang tinggal di tepi danau yang menyebabkan pindah tempat, dengan metode
assosiasi diperkirakan asal usul pertama Pandé Bratan berada disekitar danau, pada saat penyusunan
teks di selatan pulau Bali sementara lokasi kawitan tidak selalu dimiliki tradisi oral masyarakat Bratan.

Piagam/prasasti Pandé Bratan dan tradisi masyarakat sepakat untuk menjelaskan penyebaran
kelompok asli melalui kehancuran desa ditepi danau Bratan, berturut turut serangan dari pihak luar.
Meski demikian, kedua sumber menyajikan versi sedikit berbeda dengan kejadian. Dalam dokumen
MS Kr 2404 menggambarkan kehancuran desa sebagai konsekwensi dendam para pedagang di
wilayah danau Batur, karena beberapa orang diantara mereka diduga dibunuh oleh orang Bratan pada
suatu kunjungan.108 Sebaliknya dalam tradisi oral tidak menyinggung tentang dendam berdarah
tersebut. Namun ia bersikeras tentang taktik pedagang yang datang beniaga di Bratan. Mereka
memasuki desa dengan kuda mereka dan tidak ada yang membangkitkan kecurigaan masyarakat
Bratan..Meski demikian, dua orang bersembunyi didalam keranjang besar disetiap tunggangan
pedagang, ketika jumlah mereka dianngap cukup, lalu menyerang secara tiba tiba desa tanpa sempat
memebrikan perlawanan. Temuan yang berbeda tersebut dan karakter spesifiknya mengarah ke
asumsi otonomi dari tradisi oral.

106
Di Negara, dalam Banjar Baler Bale Agung dimana bermukim masyarakat Bratan asli Patemon, nama Putih Dahi juga
dikenal, serta mereka yang di Kamasan, terkait pada satu keluarga yang tinggal di banjar lain, Banjar Tengah. Di Jembrana
pada sanggah Pan Nanis, pelinggih didedikasikan untuk Batara Gede Pasek Kamasan.
107
Lihat Babad Buleleng yang telah diedit oleh P. Worsley, catatan panjang yang mencakup seratus bencana alam, Java
Government Gazette tanggal 22 Nopember 1815.
108 Dalam Kr MS 2404 diceriterakan sebagai berikut: Antianta runtikira ki pasek batur rumenge wreta mangkana, mahyun ta

sira angrudaha ring desa bratan, neher anabuh punang gendongan… Teher sor ririh prangira pande dening kakehan lawan
akweh rowangira mati, sesaning mati larut sahanak rabi mwang amundut sadrewianira angungsi desa pradesa…. Artinya:
Tanpa bisa diatasi kemarahan Pasek Batur mendengar berita (pembunuhan orang tua mereka oleh penduduk Bratan).
Mereka memutuskan untuk membawa pasukan ke desa Bratan dan secara diam diam ... para Pande (Bratan) yang kewalahan
dengan jumlah musuh mereka, banyak yang meninggal, yang selamat melarikan diri ke arah desa yang berbeda, membawa
anak-anak, istri dan harta mereka yang bisa dibawa ".
Keraguan akan keotentikan kawitan danau Bratan, secara definitif muncul akibat kesaksian tidak kenal
lelah van Bloemen Waanders (1870: 418-419) yang mengeksplorasi geografi pulau bali untuk melihat
apa yang tersisa dari desa lama Bratan. Narasi yang membuatnya demikian adalah jauh lebih
mendalam dari pada gaung yang dikumpulkan dari masyarakat Bratan kontemporer. Berangkat bulan
Juni 1856 dari Singaraja ke arah danau Bratan, kordinator lapangan tiba disuatu tempat yang
dinamakan Lalang Linggah, dekat dari danau. 109 Di sana dilaporkan ditemukan “republik” Bratan yang
sudah berusia 150 tahun, didukung oleh ribuan orang. Diperkaya dengan kegiatan komersial yang
memproduksi kerajinan logam, komunitas masyarakat Bratan menarik hasrat kerajaan kerajaan
tetangganya seperti Mengwi, Tabanan dan Buleleng. Mereka memutuskan untuk mengirim “negara
kecil tetapi tangguh” tersebut dengan serangan berkali kali yang dipukuli kembali setiap serangan
tersebut. Gencatan senjata dilakukan dengan maksud supaya pedagang kembali berdatangan untuk
berdagang dlam jumlah yang lebih besar ke Bratan. Suatu hari, para pedagang datang lebih banyak
dari pada biasanya, mereka menginap empat sampai lima orang per rumah. Ketika tengah malam,
para tamu tersebut mengambil senjata yang sudah disiapkan; mereka membunuhi penduduk desa
dan yang tersisa dijadikan sebagai budak, setelah harta mereka dijarah dan desa dibakar. Pengarang,
bernostalgia, melengkapi kisahnya dan menuliskan bahwa disana ditemukan dulu kembang “negeri”,
hari ini dilokasi tersebut hanya dapat dilihat rumpun bambu. ia melihat juga sisa-sisa parit melingkar
juga bongkahan batu yang berserakan di tanah.110

Kesaksian ini adalah representasi dari disperse dalam realitas suatu masa sejarah sekitar abad 18. 111
Apa alasan nyata hancurnya desa lama Bratan, sebaran geografis masyarakat Bratan, seperti yang
muncul pada abad 19 (Marga, Mengwi dan Singaraja-Patemon) adalah selaras dengan suatu deportasi
penduduk yang dilakukan kea rah tiga pusat kekuasaan yang paling dekat dari danau Bratan (Buleleng,
Tabanan, Mengwi) dan peluang penggunaan jasa pengrajin yang berkompeten. Identitas masyarakat
Bratan dan utamanya Bali Aga tetap bertahan di utara bali sementara yang kurang berada di Selatan
dimana setelah beberapa generasi, tinggal nama Bratan yang mungkin tersisa dan terukir dalam
memori. Nama tersebut ditemukan “reaktif” dalam konteks utamanya yang mengarah ke gelar Pandé.
Gelar ini, sebagaimana diketahui bahwa tradisi masyarakat Bratan tidak mengungkapkan arti dan asal
usul. Pertemuan strata Bali Aga tersebut, telah diwujudkan melalui Pandé Bangke Maong, hanya
memperlihatkan sekilas bahwa pengrajin telah dilucuti representasi mistisnya atau legenda yang akan
rentan menjelaskannya, sebagai contoh terakhir, untuk peningkatan nama Pandé. Tinggal mencoba

109
Nama ini menunjuk pada hamparan alang-alang, tapi ingatan terhadap desa kuno Bratan telah kabur. Van der Tuuk juga
menunjukkan bahwa penduduk Bratan sebelumnya tinggal di suatu dataran yang disebut Lalang Linggah (KBNW IV: 886)
dan Van Eck menuliskan bahwa tempat ini akan menjadi sebuah desa besar, mereka yang datang begitu menjengkelkan bagi
pedagang di sekitar lalu mereka bersekongkol untuk menghancurkannya (1878 286.).
110
Penduduk Bratan tidak memiliki ingatan tentang lokasi desa lama mereka saat saya mulai mensurvei mereka. Saya
diberitahukan bahwa informasi tersebut tidak ada yang menarik bagi mereka, meskipun mereka tidak terintegrasi ke dalam
tradisi lisan desa adat.
111
Mungkin tidak harus mengambil secara harfiah indikasi yang diberikan oleh van Bloemen Waanders, yang mengatakan
bahwa desa telah dihancurkan 150 tahun sebelum kunjungannya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana orang Bali dapat
memberikan informasi setepat itu. Sangat mungkin bahwa informannya ingin berkata bahwa peristiwa itu terjadi "lama"
(makelo Kelo), artinya pada masa lalu yang tidak bisa bisa ditentukan dimulai dengan dengan generasi belakang kakek-nenek
yang paling tua dari suatu komunitas. Peristiwa tersebut sendiri tetap dapat diproduksi setelah akhir abad kedelapan belas.
Lokasi sebuah desa dekat danau-Bratan, wilayah yang sepi pada saat kedatangan Belanda, nampaknya mengejutkan. Danau
Bratan memiliki arti ritual untuk seluruh wilayah Mengwi dan Tabanan. Ini menunjukkan air dicadangkan untuk irigasi, dan
sumber kehidupan manusia. Di Bratan, dapat membangkitkan ingatan tentang kerbau yang terbenam dalam danau. Ia
menambahkan bahwa kehadiran anggota desa Bratan diperlukan untuk pemendaman dapat berhasil. Mungkin wilayah
tersebut, termasuk lingkungan danau tetangga sekitarnya yaitu danau Buyan dan Tamblingan, yang sebelumnya telah dihuni.
Itu pendapat Goris (1936: 10).
memahami dengan baik antarmuka masyarakat Bratan- Pandé Bratan dengan mengikuti perubahan
yang mempengaruhi masyarakat Bratan dalam perjalanan di akhir dasawarsa ini.

3.3.Perubahan Sosial dan Pergeseran Identitas


Kita hanya bisa terpukau oleh konservatisme penduduk Bratan yang antara istana baru gubernur
belanda dengan tempat tinggal lama raja Buleleng, yang mampu mempertahankan sedemikian lama
penggunaannya, dengan jelas ditolak atau diturunkan oleh lingkungan masyarakat dengan segera.
Sebagai contoh, kremasi pertama tidak terjadi sebelum akhir masa kolonial. Tidak bisa dijelaskan
konservatisme yang saat ini hancur disegala bidang tanpa referensi ke “mentalitas Bali Aga”
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dan yang terkait dengan representasi sentripetal
ruang sosial yang membentuk mikrokosmos desa, diorganisir menurut aturan intangibel yang
diwariskan oleh leluhur. Padahal, pandangan dunia tersebut, apakah ini tekanan yang mungkin telah
mulai beralih dalam kasus Bratan ke awal abad ini.

Siklus panjang ritual yang merupakan ciri desa desa “bali tua” telah ditinggalkan pada awal tahun dua
puluhan, hal ini dapat dilihat pada perubahan revolusi sejati dan sumber kegelisahan bagi masyarakat
Bratan yang jika melakukan hal tersebut, mereka sudah tahu resiko yang bertentangan dengan dewa
dewa yang menjaga desa. Nampaknya bahwa kesulitan ekonomi sebagai pemicu utama
ditinggalkannya berbagai acara ritual, mahal saat ekonomi berorientasi pada uang. 112 Saat itu
muncul seorang figure penting pada komunitas desa adat Bratan yang bernama I Nengah Metra,
dimana salah satu penggal jalan menuju desa mengabadikan namanya. Dia mendapatkan pendidikan
dan ijazah Hollandsch-Indlandsche School (HIS), beristerikan putri seorang Brahma dan mendirikan
koran Surya Kanta yang edisi pertamanya 1 Oktober 1925 di Singaraja. Para redaktur korannya
seluruhnya berkasta sudra sebagai bentuk opposisinya dengan koran Bali Adnyana dari Triwangsa
yang menyuarakan keistimewaan kastanya. 113 Sekilas perjalanan Nengah Metra, pada saat yang sama
antara jebolan sekolah belanda dengan pewaris tradisi desa adat tidak pernah menerima agama dan
aturan yang dibuat oleh kelompok Brahmana, keberlanjutan sikap ini, dalam waktu yang sama,
perubahan radikal ditingkat referensi, karena Surya Kanta beroposisi dengan Bali Adnyana atas nama
suatu ideologi modernisasi yang berorientasi universal. Persaingan nilai dominasi tersebut memiliki
keterbatasan, dalam kenyataannya Nengah Metra dibunuh oleh patroli belanda menjelang hari
kemerdekaan, dia dikremasi oleh masyarakat Bratan dengan sebuah penghargaan sebagai Satrya.
Dalam perjalanan perubahan yang hidup di desa Bratan, terbuka dan bersaing degan ideologi luar,
ritual kremasi diadopsi sebagai ungkapan kesetaraaan dengan Triwangsa sekaligus menunjukkan
status kelompok, juga menjadi contoh patriotisme dan komitmen dalam perlawanan melawan
kolonial. Disaat yang sama muncul gerakan oposisi , mereka menganggap praktek kremasi sebagai

112
Orang-orang Bratan memicu kemunduran kerajinan yang akan tercipta saat itu. Mungkin periode ini juga melihat
bubarnya hubungan ketergantungan yang mengikat seluruh rumah tangga (rowang) keluarga Bratan. Kenangan lain dari
penduduk Bratan, adalah keberadaan sebuah pura kecil, Pura Cening, dicadangkan bagi penduduk di luar Bratan,
membuktikan kehadiran masa lalu terhadap tanggungan penduduk yang masih tersisa di desa.
113
Salinan dari publikasi ini dapat dibaca di Gedong Kirtya Singaraja. Lihat juga Bagus (1975) dan Agung Putra (1974).
wujud asimilasi dan kemenangan “efek majapahit” yang berjalan melalui sejarah, ruang masyarakat
bali dari gerakan yang tiada henti hingga sat ini.

Masa perubahan juga adalah masa ketidakpastian keagamaan. Masyarakat Bratan mempertanyakan
tentang keaslian adat mereka dan ritual mereka yang jelas berbeda dengan desa tetangga mereka.
Sebagai refleksinya, dapat dilihat dalam beberapa interogasi tentang kesadaran singularitas yang tidak
cukup lagi untuk dirinya sendiri, sehingga mereka mencari di luar suatu legitimasi yang diberikan
melalui pengulangan praktek ritual warisan masa lalu. Pertanyan pertanyaan ini bisa sangat sulit
ditemukan jawabannya, bukan hanya karena alasan absennya titik tengara doktrinal. Posisinya tetap
divergen, tak terjelaskan tetapi nyata, dengan faham siwa ala bali dimana pendeta Brahmana
melontarkan pendapat yang diwariskan dari suatu tradisi agama Budha yang masih dipelihara di bali,
hal ini mungkin secara essensial melalui keberlanjutan pengertian boda, mengosongkan seluruh isi.114
Dugaan ini, sama sekali tidak keluar secara konkrit, jika tidak mereka merupakan latar belakang yang
memungkinkan menjelaskan tentang seorang lelaki dari Bratan, ketika usia tiga puluh tahun,
memutuska untuk belajar doktrin budha, yang secara umum dilakukan atraksi di beberapa lingkungan
di utara, menjelang hari kemerekaan. Untuk melakukan ini,Ia beranagkat ke Semarang tahun 1957
dan pulang ke bali pada tahun yang sama dengan seorang Bali yang lain dengan mendirikan institusi
budha Theravada yang mewakili pura Banjar Tegeh, barat Singaraja. Kembai ke Bratan, ia
menyandang nama Sri Pandita Buda Raksika dan mencoba memperkenalkan perubahan dalam
praktek keagamaan masyarakat Bratan. Sesuai dengan pepatah tentang renungan nabi di desa, Sri,
seperti itu orang memanggilnya, menemukan dirinya terisolasi di Bratan dan praktis dijauhkan dari
kehidupan religius. Jalan memutar ini nampaknya hanya menjauhi kelompok Pandé, karena Sri adalah
juga salah satu dari tiga Mpu Pandé yang menunjukkan kehebatan pembangkangan agama kelompok

114Hal ini berlaku sepanjang tidak ada di Bali umat Buddha sebagaimana di masa lalu. Masih ada selusin padanda boda
diantara semua pendeta Brahmana. Orang Bali-memilih tidak membedakan satu dengan yang lain pendeta untuk
memastikan efektivitas upacara keluarga dan tidak peduli dengan perbedaan yang dikemukakan C. Hooykaas khususnya dari
studi teks tanpa judul Punyaka Weda Buddha (1973). Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang benar-benar milik
agama Buddha dalam ritual padanda boda dan menunjukkan bahwa "agama Buddha" mungkin memberikan data tertua
pada aspek tertentu agama di Indonesia (1973: 8). Harus diakui bahwa dalam menggambarkan Bali masyarakat yang
dihindukan atau diIndianisasi, digunakan rumus yang mudah untuk mengingatkan adanya pengaruh luar, tetapi sebagian
besar berongga sejauh yang hanya menyembunyikan ketidaktahuan kita tentang proses sosial dan budaya mereka yang
dapat diarahkan. Pertanyaan yang sama yang dapat diajukan tentang arti perbedaan klasik antara "Bali yang diHindukan”
dan "Bali yang kurang diHindukan", mengenyampingkan pengertian “Bali asli”. Contoh praktek kremasi sebagai indeks
keunggulan hinduisasi yang mencerminkan kepastian konsep Bali, tetapi tidak membuat orang Bali lebih "Hindu” daripada
ketergantungan mereka terhadap para pendeta Brahmana yang membangkitkan dewa dewa dari India dalam keriuhan
perayaan pura yang pelinggihnya diberi nama Bali. Penduduk Bratan tidak bisa dianggap sebagai kurang Hindu. Praktek
pemakaman mengungkapkan singkapan dari strata lama yang ritus umum kremasi tidak menyembunyikan dan juga tidak
mungkin sebaik yang dipikirkan, dan penolakan “Shaivism” dominan berarti "hinduisasi” mereka, bukan sarana utama untuk
padanda siwa. Ini akan memakan waktu terlalu lama untuk mengembangkan hipotesis, juga masih rapuhnya pengaruh
Bhujangga atau Sengguhu, pendeta ini sangat dikenal dikalangan Sudra dan membawa jejak faham Wisnu, akan lebih
bermakna di bagian barat Bali (Utara dan Selatan) dan di seluruh Bali atau telah bertahan lebih baik di wilayah ini. Para
pendeta tersebut memiliki hubungan yang tidak dapat ditentukan dengan pasti, dengan Pasek. Untuk kembali ke penduduk
Bratan, mereka kesulitan untuk menemukan dalam salah satu teks dari tradisi Bhujangga penyebutan Pasek Putih Dahi (MS
Widhi Sasana, LOR 11867 dan LOR 14932). Dalam teks lain, Ida Resi Gede Madhura, salah satu leluhur Bhujangga, setibanya
di Bali bermukim di Pulaki di sisi barat pantai utara, kemudian pindah ke Bratan (MS Palalintih Bhujangga LOR 14898).
Padahal Pulaki adalah tempat ziarah yang sangat khusus, berperan dalam tradisi masyarakat Bratan yang merawat pura dan
pulau Madura, asal nama Bhujangga yang dikaitkan dengan Pulaki, saya berpendapat lain bahwa ini mungkin sebuah
pelabuhan kuno, ditinggalkan untuk alasan yang tidak diketahui sebelumnya di abad kesembilan belas. Oleh karena itu
hipotetisnya adalah penduduk Bratan telah terkena "Faham Wisnu" dari Bhujangga. Pada Pura Agung Bratan, salah satu
pelinggihnya disebut Karang Wisynu, tanpa hubungan dengan Wisnu.
tersebut dengan mengerahkan fungsi parallel sebagaimana yang dilakukan padanda. Pengikutnya
(sisia) adalah dasarnya merupakan Pandé Bratan di Selatan Bali.

Hal yang sama diakhir tahun lima puluhan, diaktifkannya kembali kawitan danau Bratan yang
nampaknya tidak dikunjungi lagi oleh masyarakat Bratan. 115 Beberapa tahun sebelumnya, seorang
masyarakat Bratan yang memiliki pengaruh yaitu Nyoman Oka seorang Kepala Sekolah di Tabanan,
berusaha untuk mempererat hubungan yang boleh dikatan sangat longgar antara dadia Pandé Bratan
dengan masyarakat Bratan. Pelantikan kawitan Candi Kuning tahun 1958 atau 1959 adalah
pentasbihan upaya ini atas kerjasama dengan Sri. Di sana, diambil juga sebagai lahirnya secara
simbolik kelompok bergelar Pandé Bratan, sudah dilengkapi dengan prasasti yang terjemahan bahasa
Indonesianya baru saja di publikasikan. Bangunan stupa yang dapat dilihat di pura Candi Kuning
menjadi saksi tahun tahun perubahan perjalanan masyarakat Bratan, kegagalan untuk menjadi Budha,
hampir menjadi Pandé Bratan, jika dilihat dari sudut pandang formal dan external atau diskursus
Pandé yang Nyoman Oka, penduduk Bratan sekaligus Pandé Bratan adalah juru bicara aktif.

Sebagai simpulan, nampak bahwa pembentukan kelompok bergelar Pandé Bratan menghasilkan
konvergensi dari dua seri yang parallel yaitu: penemuan kembali oleh beberapa kelompok
kekerabatan yang asal usul mereka dibangun dari suatu dinamika Pandé Besi yang mencakup wilayah
hingga ke Mengwi pada akhir tahun dua puluhan, dan evolusi suatu desa pengrajin asli Bali Aga yang
mengarah ke apa yang disebut krisis identitas dalam konteks kota Singaraja, bekerja dengan baik
mendahului Selatan Bali oleh kekuatan perubahan. Perlu dicatat bahwa konvergensi yang terjadi
berjalan lambat, kurang berhasil, sangat rentan dan seolah olah tergantung pada beberapa orang
berpemikiran pemersatu dan melayani hubungan antara beragam kelompok terkucil. Hal yang patut
juga dicermati bahwa keleompok kelompok di Selatan, pencarian suatu jati diri yang hilang atau
memang tidak pernah ada, menemukan suatu jawaban melalui cara tradisional yaitu medium dan
mengumpulkan suatu identitas Pandé Bratan yang hanya masuk akal dengan alasan keberadaan
identitas Pandé Besi yang kemudian bisa berfungsi sebagai satu model katalisator. Penggunaan nama
Bratan dalam waktu yang sama dimungkinkan oleh “militanisme anti kasta” masyarakat Bratan
dimana Pan Sumpang, penemu Pandé Bratan, telah dilakukan hubungan seperti yang telah dibahas.
Namun, masyarakat Bratan bukan pemasok ideologi Pandé yang ditemukan tidak memiliki jejak masa
lalu mereka. Bukti yang diberikan secara tidak langsung oleh fakta bahwa selama periode ini terjadi
bencana alam dari tahun 1920 hingga kemerdekaan, mereka tidak memproklamirkan diri kapanpun
sebagai anggota Pandé. Kajian Pandé Bratan memberi konfirmasi yang meramaikan kesunyian Pandé
Bangke Maong dan absennya tradisi Pandé dalam wilayah yang dianggap Bali Aga, yang dulunya
berpenduduk banyak dan adanya kesenjangan pertumbuhan dengan wilayah Selatan. Juga, ideologi
Pandé tidak meninggalkan keterkaitan secara langsung ke suatu strata lama, karena di sana ia dapat
muncul dipermukaan di saat yang sama dimana ingatan atau ideologi praktek pekerjaan logam
tersebut tidak konsisten.

Yang kini tersisa, sebelum mengenyampingkan kelompok Pandé Bratan untuk memeriksa tradisi tulis
mereka yang telah dielaborasi sepanjang lima puluh tahun terakhir. Dalam penelitian tersebut
kelompok Pandé yang pada hal tertentu, hanya sebagai dalih untuk mengobservasi sudut tertentu

115
Sulit untuk mengetahui apa itu sebenarnya. Suatu kepastian bahwa pamangku sebelumnya yang mengawasi pelinggih di
Candi Kuning, sebagai tanda kawitan Pande Bratan adalah seorang Pasek.
tentang tekstur kekayaan budaya, suatu kesempatan langka yang ditawarkan untuk mendekonstruksi
sutu kesatuan naskah untuk memberikan suatu bacaan tekstual bahkan meta tekstual.
BAB IV
PENEMPATAN PENULISAN NASKAH ASAL USUL
Tulisan asli bali, dalam bahasa bali atau bahasa kawi, jumlahnya banyak dan menjadi kontribusi
substantif bagi keseluruhan literatur Negara maritim Indonesia. Dikumpulkan dan didokumentasikan
sepanjang 100 tahun yang lalu, teks pernah sedikit dipelajari, terutama untuk teks yang sedikit
mengangkat aliran babad. Kita tahu bahwa babad insulidian sering salah dipahami dan diartikan pada
awalnya, dan penelitiannya telah menghasilkan kontroversi pada nilai karakter historis dokumen ini.
Tentu saja, teks yang akan kita bahas sangat jauh dari kronik keluarga kerajaan Negara Malaysia dan
Indonesia. Di saat yang bersamaan, teks ini walaupun memiliki komposisi kekinian bukan berarti tak
ada hubungannya dengan literatur klasik yang terlihat di baris teks-teks lama dan ditemukan pada
keseluruhan penulisan yang merupakan ekspresi kontekstual matriks budaya umum. Pandé

Di Bali, kemungkinan teks ini membentuk contoh evolusi ekstrim aliran histori-literatur, modelnya
sudah pernah dikembangkan seperti yang lainnya. Itulah mengapa tradisi tertulis Pandé Bratan tidak
berbicara apapun atau hampir tidak mengenai kebenaran masa lalu dengan pandangan timpang atau
terkadang parsial bagi mereka yang tertarik dengan « kebenaran pasti », tradisi tertulis terungkap
kurang berguna dibandingkan dengan tradisi oral yang kepingannya sudah dikumpulan dan berhasil
dipertahankan agar tak terlupakan. Kemudian ini sesuai untuk mengingat lagi “bukan hanya
‘kebenaran’ yang mempunyai cerita, tapi juga kriteria benar atau salah itu sendiri..., untuk mengenal
masa lampau satu masa cukup untuk menemukannya; ini bukanlah pemalsuan; kemudian kebenaran
yang sudah diketahui perlu untuk diperbanyak”. Refleksi yang terinspirasi oleh P.Veyne (1983) melalui
kajian Yunani dan mitosnya mampu menjadi pencerah jika kita mau mengapresiasi secara penuh
makna historis Pandé Bratan dan harus ditegaskan bahwa berikut sama sekali bukan suatu
penyimpangan dalam narasi asal-usul Bali.

Adalah mungkin untuk mengumpulkan seri ptunjuk-petunjuk mengenai keadaan pembentukan


kelompok yang diberi nama Pandé Bratan, berdasarkan konteks yang berakibat menimbulkan
perluasan tradisi tulis dalam kelompok ini (lihat Bab III). Referensi ekstra tekstuel ini memberikan
perhatian penting pada misteri kode untuk “menemukan” cerita Pandé Bratan, maksudnya untuk
menghasilkan kebenaran yang salah bagaimanapun mempunyai nilai kebenaran di luar sistem berpikir
dan nilai dari ekspresi tunggal. Karena tradisi tertulis Pandé Bratan membawa kesaksian penting
mengenai fungsi cara berpikir dimana jejak mengindikasikan semua catatan produksi literatur bali.
Pemeriksaan dari tradisi ini di sela-sela “tradisi besar”, kita berharap mengambil pembelajaran
berharga untuk bahan bacaan teks lain, terutama untuk teks yang berasal dari tradisi Pandé Bratan
yang akan kita akan kita bahas di Bab VI.

Gambar 28: Tiga versi cerita asal-usul Pandé Bratan dan manuskrit terkait.

Identifikasi Asal Judul


Versi A LOR 11871 Gria Jadi, Jadi Babad Pandé
LOR 13864 Ni K.Menuh, Jadi Brahma Pandya Tatwa
Versi B LOR 11457 Pan Sumpang, Mengwi
(Kr 2404)
Versi C LOR 12924 Gria Menara, Sidemen Babad Pandé Bratan
(Kr 2582) Gria Duda, Selat Babad Pandé Bratan
Kr 4610

Sebelumnya kita telah melihat bahwa pembuatan cerita asal-usul Pandé Bratan diproduksi dalam dua
masa. Versi yang pertama (versi A) ditulis tahun 1930, tidak lama sebelumnya berhubungan dengan
dua manuskrit yang mirip yang keduanya ditemukan di Jadi (Tabanan), dimana salah satunya (LOR
11871) pada tanggal 1930. Versi dari Jadi ini diikuti dengan versi yang sudah diperiksa (versi B) dimana
penulisannya bisa memberikan atribusi pada kesusateraan Blahbatuh. Penulisan ini diberi kode MS
LOR 11475/Kr 2404, ditemukan oleh Pan Sumpang pada tahun 1952 di Mengwi. Terakhir, versi ke tiga
(Versi C), digambarkan oleh dua teks asli dari Karangasem. Dari versi B yang ditulis kembali, disingkat
dan disederhanakan membentuk generasi tertulis ketiga dari keadaan sebelumnya yang tidak
mungkin untuk dibentuk kembali. Versi yang terakhir ini tidak menawarkan elemen baru dan kita akan
mengaitkan yang di atas ini untuk mempresentasikan versi Jadi dan untuk mengelaborasi subsekuen
versi Mengwi yang telah menjadi referensi pertama kelompok Pandé Bratan.

4.1 Versi desa Jadi

Teks mengandung mantra, Om awighnam astu nama siddhi, dan dimulai dengan “Iti Brahma pandya
tatwa”, penyebar ajaran yang dibawakan Brahma.116 Kerangka waktu narasi tidak dapat ditentukan
dengan alasan tidak adanya tanda kronologis dan kemurnian bentuk verbal yang, dengan menghindari
bentuk waktu bahasa indo-eropa, menangguhkan narasi dalam bentuk tata bahasa masa kini (present)
dan lampau (past) tidak terdefinisi. Namun, sejarah Pandé Bratan ditempatkan pada masa seri episode
mulai dari kreasi leluhur pertama oleh Brahma ke penyebaran cicit-cicit nya di Bali. Episode yang
beragam ini tampil dengan sket terpisah, dihadap hadapkan satu dengan lainnya. Dalam suksesi
adegan-adegan dengan cara penampilan gambar wayang kulit, memunculkan waktu dan tempat yang

116
Referensi versi desa Jadi sesuai MS LOR 13864
jauh, kita telah mengatur untuk mengakomodir presentasi empat paragraf, empat pemotongan yang
tidak secara eksplisit terdaftar dalam badan teks. Dalam presentasi yang bukan merupakan
terjemahan ini, bagaimanapun kita mencoba untuk mengembalikan gaya dan makna naskah. Lalu,
diusahakan menggunakan bentuk waktu bahasa masa kini (present) indikatif sesering mungkin dan
meminimalisir paling tidak kata penghubung dan bentuk artikulasi untuk memfasilitasi bahasa prancis
(red : bahasa yang digunakan dalam buku ini) dan cara berfikir yang direfleksikan, tanpa
menambahkan makna linearitas dan kausalitas asing dalam bahasa Bali secara keseluruhan.

4.1.1 Mpu Bumi Sakti, leluhur Madura

Brahma menjalankan praktik asketisme dan meditasi (mayoga smadi) ke puncak gunung
Silasayana.117 Maksudnya adalah untuk menghasilkan dua anak : satu anak laki-laki pandai membuat
hiasan berharga untuk para dewa (busana sarwa mas manik) dan satu gadis untuk menjalankan
perayaan untuk menyenangkan Dewa (aci sailen ilen ing bhatara). Brahma menjalankan kegiatan
spiupacaranya (japa mantra, catur bhuja) sampai api (agni) muncul dari paha kanannya, menuangkan
pijar dalam danau dengan bunga merah yang menghasilkan air paling jernih (tirtha ening).118 Brahma
memperpanjang meditasinya dan anak laki-laki pun datang ke dunia. Dengan berpasrah, ia bertanya
kepada Dewa: siapa yang memunculkan saya ? siapa nama saya ? apa tradisi (agama) dan pekerjaan
(karya) saya ? dimana saya tinggal ? dimana kasta (wangsa) saya ? Brahma menjawab bahwa ia
bapaknya dan memberinya nama Bhagawan Pandya Mpu Bumi Sakti.119 Karyanya adalah tradisi Pandé
(agama Pandé), maksudnya adalah pembuatan ornamen dan perhiasan untuk Dewa dan manusia
dalam kasta tinggi (manusa utama). Dia akan menjadi pendeta (wenang sira ngawikuin). Ia akan
tinggal di Madura, karena kerajaan tersebut makmur dan orang kaya menghamburkannya. Disana, dia
akan menemukan istrinya dan memberikannya anak pendeta dengan kekuatan supranatural (pira
saktinia) berkat seorang pendeta budha ini (Ida Boda) yang tinggal di pemakaman dan memakan

117
Silasayana mengingatkan akan batu datar yang bisa dipanjangkan. Tempat meditasi Brahma tidak dijelaskan lebih lanjut
dalam versi ini. Versi-versi B dan C mengidentifikasi gunung Hyang di Jawa Timur.
118
Brahma merealisasikan campuran mistik air dan api, elemen penting dari spekulasi relijius hindu-jawa dan hindu-bali
119
Kita akan mencatat akumulasi tiga judul : Bhagawan, Pandya, Mpu Bhagawan, dimana asalnya adalah sanskrit
(bhagawan), terdahulu, dalam literatur jawa kuno, , raja-raja saling menarik agamawan atau orang yang kastanya lebih tinggi
untuk menjadi orang bijak atau pendeta (Zoetmulder 1982 :18). Jawa kuno Pandya, berasal dari Prakrit pandia, orang pintar,
terhubung dengan bentuk paling kuno dari Sanskrit pandita, orang pintar, penguasa. Pandé, panday dan pandya disadari
relevan dengan etimologi yang digunakan oleh Juynboll dan lainnya berdasarkan kenyataan bahwa dalam banyak komunitas
pandai besi dan juga suatu jenis kebijakan. Van der Tuuk, kebalikannya, melihat Pandé, panday, berdasarkan bahasa asli
Indonesia, merefleksikan ide kerja, pabrik (Gonda 1973:170-171). Literatur Pandé mengungkapkan kedekatan antara Pandé
dengan pandaya, tidak mengejutkan karena leluhur Pandé Bratan yang pada saat itu tukang emas dan wiku dipengaruhi
oleh gelar Pandya. Pada akhirnya, Mpu, “penguasa”, “tuan”, yang asalnya dari Indonesia selalu diartikan di Bali sebagai
nama-nama pewaris orang jawa yang menetapkan prinsip kelompok gelar bangsawan.
mayat.120 Dengan begitu, ia akan menguasai kemampuan gaib esoterik (sakti lewih ing pradnyan) dan
akan mencapai kesempurnaan dari karyanya (wruh salwir ing saraja kary). Kastanya adalah Satria
(mawangsa sira Satryawangsa) dan, bagaimana kematian datang kepada Satria dari kelas tinggi
(agama ning Satrya lewih) itulah yang sesuai untuk diikuti. Pada akhirnya, Brahma mengungkapkan
kepadanya pengetahuan mistis pengrajin logam: hidungnya akan berfungsi sebagai peniup, tangannya
akan menjadi palu dan pahanya akan menjadi landasan pukulan palu. Bhagawan Pandya Mpu Bumi
Sakti minta izin pada Brahma dengan membungkuk hormat (anembah raris amwit) untuk pergi ke
Madura.

Ia datang ke pemakaman, sementara pendeta budha sedang meditasi (mayoga). Hal luar biasa ia
temui, tasbih yang terdiri dari gigi dan bunga yang dibawa adalah hati manusia. Setelah pemujaannya,
Ida Boda bertanya perihal kedatangannya, nama, asal, dan tujuan kedatangannya. Mpu Bumi Sakti
menjawab bahwa ayahnya, Brahma, mengarahkannya meninggalkan gunung Silsayana dan melayani
(mamarekan) pendeta budha. Pendeta memerintahkannya membuat jubah. Dengan dugaan anak
Brahma seharusnya tidak sensitif terhadap api. Mpu Bumi Sakti mengumpulkan emas dan perak lalu
mengkonsentrasikan pikirannya dan mengumpulkan semua pengetahuannya (ngregep japa mantra,
nyaturbhuja, matriwinaya). Api keluar dari mata kanannya, menyelubungi logam mulia dengan
kepalan tangannya di atas paha. Segera setelah ornamen selesai, dengan keheranan besar pendeta
menyuruh putrinya untuk membuat persembahan (canang) dan untuk mempersiapkan makanan
untuk tamunya. Sambil makan, Ida Boda menawarkan Mpu Bumi mengambil putrinya sebagai istri.
Kemudian, dua anak datang ke dunia: yang tertua bernama Mpu Gandring dan bungsu bernama Mpu
Galuh.

4.1.2 Perjalanan ke Bali

Saat dewasa, Mpu Bumi Sakti memberikan cincin berhiaskan batu berharga untuk anak-anak nya,
merah untuk Mpu Gandring dan putih untuk Mpu Galuh. Kemudian Mpu Gandring menginginkan
cincin kakaknya dan memaksa untuk memberikannya. Pada saat sang kakak menolak, dia memukul
adiknya dengan sikap marah. Saat matahari terbenam, ia melarikan diri ke arah gunung Rangga
Kusuma.121 Dewa Mahadewa yang berada di tempat ini melihat sang gadis muda menangis dan
meminta identitas dan maksud kedatangannya.122 Dia berkata datang dari Madura dan bernama Sang

120 Praktik mengerikan ini memunculkan penganut-penganut penyembah tantrik. bherawa paksa dari nama bherawal
bhairawa (Skt.bhairawa) disebutkan dalam teks jawa dan bali (lihat Goris 193: Gonda 1975). Nama ini lalu diperkenalkan
dalam episode di versi B dan C.
121
Gunung ini digambarkan dengan nama bunga yang tidak lain berasal dari Gunung Agung di Bali.
122
Mahadewa yang merupakan nama Siwa dikaitkan sebagai yang terkait ke arah barat, dan dalam teks Bali adalah nama
dewa yang tinggal di Gunung Agung.
Kul Putih.123 Karena kasihan, Mahadewa menawarkannya datang tinggal di lereng Gunung Agung
(Besakih) dan menyerahkan dirinya untuk melayani Dewa. Sang Kul Putih setuju dan terbang dengan
daun beringin menuju Gunung besar, sementara mahadewa mendadak ikut ke puncak gunung yang
sama.

Mpu Bumi Sakti yang kawatir akan ketiadaan anak perempuannya memerintahkan anak laki-lakinya
berangkat mencari dan tidak boleh pulang sebelum menemukannya. Mpu Gandring pun langsung
berangkat. Dia sampai pada sebuah hutan dan bersantai dibawah pohon beringin. Tiba-tiba seorang
raksasa wanita menakutkan dengan gigi yang tajam berdiri di depannya dan bertanya akan
kedatangannya ke hutan tua (alas wayah) dan menakutkan ini (kalintang angker), yang dihantui oleh
roh-roh jahat (danawa). Tidak tahu kah dia bahwa sudah banyak orang lewat yang menjelajah ke
perairan ini dilahap hidup-hidup? Mpu Gandring menjelaskan bahwa perjalanan mencari saudaranya
yang membawanya sampai hutan ini. Dengan kasih sayang, raksasa ini menunjukkan keinginannya
menjadi istrinya, jika ia setuju. Mpu Gandring menerima, dengan catatan bahwa si raksasa harus
berubah bentuk menjadi manusia. Kemudian raksasa menjadi seorang perempuan cantik seperti Sang
Hyang Ratih,124 karena tertarik dengan penampilan barunya, dia mengikutinya gubuk di yang sudah
disiapkan makanan enak oleh seorang wanita yang tadinya raksasa dan sekarang sudah berubah nama
menjadi Dewa Ayu Gitisewaka. Kemudian ia melahirkan anak bernama Ida Wala. Setelah ulang tahun
kedua sang anak, Mpu Gandring memberitahukan keinginannya kepada istrinya untuk balik ke
Madura. Seorang laki-laki harus tinggal di dunia laki-laki (nagara) dan bukan di dalam hutan tempat
raksasa. Ia pamit dan membawa anaknya pergi ke Madura.

Ia datang cepat ke tempat tinggal ayahnya dimana ayahnya terduduk mengerjakan banyak pesanan
emas dan perak. Ia menyapa ayahnya dengan hormat dan memintanya untuk mau memaafkannya
karena ia pulang tanpa menemukan saudara perempuannya. Keinginannya adalah mengulang kembali
pencariannya, namun sebelumnya ia ingin agar Mpu Bumi Sakti untuk menjaga anaknya, Ida Wala.
Mpu Gandring menjauh dari Madura dan memasuki hutan Indrakila. Ia berhenti pada sebuah pohon
mati dimana Brahma dalam perjalanan mencari cucunya datang ke tempat ini untuk menanyakan

123 Kita bisa ketahui bahwa pikiran penulis melampaui ceritanya, karena Mpu Galuh bisa dipanggil secara sulit Sang Kul Putih
sebelum menjadi pelayan dewa di Gunung Agung. Nama ini dalam Usana Bali digambarkan sebagai pendeta kuil pertama
Besakih: sira sang kul putih wit ing majapahit, mara ring bali, mara ring basukih, sira hanjeneng mamangku (Friedrich
1847:267). Dan kita bisa menemukan penyebutan nama pemilik kepribadian misterius ini di setidaknya dalam selusin teks,
termasuk sebuah prasasti pada tembaga (lihat Goris 1937). Kul Putih bisa jadi adalah singkatan dari kakul putih yang juga
mempunyai arti kulit kerang berwarna putih di Bali, sebuah instrumen yang diasosiasikan dengan Wisnu dan digunakan oleh
Sengguhul Bhujangga. Berg menunjukkan Bahwa Sang Kul Putih adalah nama lain dari Mpu Kuturan, pengikut Budha yang
bijaksana yang juga dihubungkan dengan fondasi sakral Besakih dalam teks legendaris (J.H. Hooykaas 1959: 185, 187, 189).
Sang Kul Putih secara umum disadari oleh para orang Bali sebagai leluhur para pamangku dan beberapa manuskrit yang
berkaitan dengan upacara pendeta macam ini membawa nama leluhur ini.
124
Istri Karna dan dewi cinta
keberadaan cucunya. Dewa menunjukkan bahwa saudara perempuan Mpu Gandring berada di kaki
Gunung Agung dimana ia mengabdi pada Mahadewa dan menjadi seorang pamangku. Mpu Gandring
pamit ke Brahma dan berjalan menuju ke titik cakrawala kaja kangin sampai mendengar suara lonceng
yang merdu (bajra). Dengan langkah menuju musik surgawi, ia mendekati pertemuan dengan adiknya
dengan menawarkan persembahan harum kepada dewa. Sehabis prosesi relijius, saudara
perempuannya duduk di dekat Mpu Gandring dan meminta maaf telah meninggalkan rumah ayahnya.
Situasinya sebagai seorang pelayan Dewa tidak memungkinkan baginya pulang ke rumah di Madura
tanpa mendapatkan kemarahan sang Dewa. Sehingga Mpu Gandring nantinya harus menjelaskan
keadaannya kepada si Ayah. setelah makan bersama-sama, dua bersaudara ini saling mengucapkan
selamat tinggal dan Mpu Gandring pun balik ke rumah.

Saat pulang, Mpu Gandring meyakinkan ayahnya akan pertemuannya dengan adiknya. Karena berita
ini, Mpu Bumi Sakti ingin melihat anak perempuan nya dan mengajak Mpu Gandring menemaninya ke
Gunung Agung di Bali, sementara Ida Wala akan ditempatkan menjadi pelayan raja Madura.
Secepatnya mereka berangkat ke gunung itu. Sang ayah menjumpai anaknya dengan senang hati dan
menyampaikan permintaan maafnya sambil memintanya untuk balik ke Madura. Ia menolaknya
karena takut akan murka Mahadewa, namun ia menawarkan ayahnya untuk tinggal dengannya jika ia
mau. Mpu Bumi Sakti setuju untuk melayani dewa Gunung Agung dan setelah makan, Mpu Gandring
balik sendirian ke Madura.

Di Madura, ia diterima oleh raja yang memintanya untuk duduk di sebelahnya menceritakan
perjalanannya. Mpu Gandring membagi kebahagiaannya mengetahui saudara nya menjadi pelayan
Mahadewa dan kesedihannya berpisah dengan ayahnya. Sang raja memberikan santunan berupa
tanah untuk membangun tempat tinggal di hulu (baler) istana dan sawah di hilir (delod) kuburan.

4.1.3. Keadaan keberangkatan dari Madura

Tahun-tahun berlalu dan anak Mpu Gandring telah menjadi tukang emas handal, mahir dalam
membuat permintaan yang lebih bervariasi. Ia dihormati di istana dimana ia bekerja dari subuh sampai
malam. Karyanya adalah apa yang dinamakan Sangging Bangkara.125 Suatu hari, ketika ia pergi
memburu burung dalam hutan Madura, angin kencang naik dan mendorongnya ke dasar sumur yang
berisi seekor harimau, monyet, dan ular. Kemudian seorang Brahmana, Ida Siwa Dharmaswami, pergi
ke hutan untuk mengabdikan dirinya untuk latihan pengabdian dan asketisme. Saat melihat hal itu, ia
meminta pelayannya untuk melihat sumur lebih dalam. Lalu ia mengembalikan manusia dan hewan

125
Nama ini mengangkat interferensi antara pekerjaan tukang mas (Pandé mas) dan lukisan dekorasi (sangging). Bangkara
adalah singkatan dari prabangkara, digambarkan dengan seorang seniman lukis jawa kuno.
ke tepian kemudian pendeta menghidupkan kembali sambil mengucapkan mantra (puja weda sandi).
Mereka pun berterimakasih pada penyelamatnya dan kembali ke pekerjaannya masing-masing.

Kemudian, anak raja Madura pergi berburu ke hutan. Disana, ia diserang dan dibunuh oleh harimau
yang telah berhutang nyawa (utang urip) dan harimau tersebut datang membawa riasan pangeran ke
Brahmana. Brahmana pergi ke rumah tukang emas dengan emas dan perak dan memintanya
membuat perhiasan relijius. Mengingat perhiasan pangeran, Pandia126 segera pergi ke istana. Sang
raja yang percaya pembunuh anaknya adalah Brahmana yang mengubah sosoknya menjadi harimau,
mengirimkan pasukannya untuk menemukan sang pendeta dan menyuruh menyiksanya. Mengetahui
berita ini, tiga binatang memutuskan untuk mengatasi bencana hidupnya dan dengan cara ini mereka
ingin membayar utang nyawa. Si ular bersembunyi dekat pintu istana dan menunggu kedatangan sang
raja untuk menyengatnya. Orang bijak di kerajaan itu sia-sia berusaha mengembalikan hidupnya.
Kemudian, seperti yang sudah diperkirakan oleh binatang ini, orang-orang meminta ampunan kepada
sang ilahi (nunas ica) di kuil istana (pamrajan) dimana monyet bersembunyi. Ia meniru suara para
dewa dan dia menyatakan bahwa ketidakadilan terjadi pada Brahmana. Dia harus dibebaskan
secepatnya jika tidak raja akan mati begitu juga ketururunannya. Sesudah pendeta bebas, raja
mengambil hikmah dan membuat kebijakan. Ia mengumpulkan tukang emas dan pemburu kerajaan
Madura. Sebagai Brahmana, ia berkata kepada Pandia: “Ketahuilah bahwa saya dan keturunan saya,
mulai saat ini menolak petugas upacara kelahiran dan kematian (suka duka) yang berhubungan
dengan kalian. Siapapun diantara para Brahmana keturunan saya yang melanggar keputusan ini akan
dikutuk dengan mantra magis (puja mantra) yang bila disebutkan tak akan pernah cukup”. Dengan
kata-kata ini, tukang emas menolak melihat upacara keluarga “diselenggarakan” oleh pendeta brahma
(kapuputang ring padanda) karena alasan degradasi (kapatita) dan pencemaran (letuh).127 Pandia
meninggalkan Madura dengan banyak

126
Kerangka acuan ini (Cf.supra note 4) digunakan, tanpa penjelasan lain, dalam episode ini tidak diketahui apakah ini
mengacu Mpu Gandring atau anaknya Ida Wala, yang sudah disebutkan bahwa ia adalah tukang emas yang mahir.
127
Dalam transkripsi MS LOR 13864, bagian penting: “Ngandika ida padanda ring sira pandia, uduh sira pandia, bapa tusing
enyak pacing mragatang ri tatkalan sira pandia masuka duka, kaping kalih sapratisantanan bapa. Enyen ja sapratisantanan
sang brahmana enyak pacing mamuputang ri kalane masuka duka, wastu apang kena prasoda lewih, tan mandi puja
mantrane. Sampunika pangandikan ida padanda. Sira pandia masawur inggih padanda, titian taler sampunika, tan wenten
enyak kapuputang ring padanda, sawireh padanda sampun kapatita, karaabin sarwa letuh” (22b). Bagian ini menutup
episode yang ditujukan untuk memperlihatkan secara orisinil bahwa binatang mampu membuktikan kecerdasannya
sedangkan manusia, seorang tukang mas, kebalikannya menanggung hukuman dari Brahmana yang telah menyelamatkan
nyawanya. Kita mengenal istilah tersebut dari salah satu cerita Tantri Kamandaka yang mana teks jawa kuno nya sudah
dipublikasikan oleh C.Hooykaas (1931) dan yang berasal dari sebuah karya Sanskrit. (Pancatantra) yang bisa kita ikuti
penyebarannya dari India, mulai dari Eropa ke Asia Tenggara melewati Timur Tengah dan “Cerita Seribu Satu Malam” nya
yang terkenal (Lihat juga Hooykaas 1929). Disini, maksudnya adalah adaptasi bali dari salah satu cerita Tantri, karya terkenal
di Bali. Moralitas dibajak, jika tidak digulingkan, karena “polusi” dan “degradasi” Brahmana, dinyatakan oleh Pandé dalam
tambahan akhir, menganggap bahwa Brahmana benar-benar terlibat dalam kegiatan rendah ilmu hitam (ngleyak) dengan
merubah diri menjadi macan. Disisipkan dalam cerita asal-usul Pandé Bratan, narasi Tantri ditumbangkan atau paling tidak
menjadi ambigu.
cucunya dan pergi ke Batu Mejan.128

4.1.4. Hukuman Brahma dan penyebaran kerabat

Ia memakai nama Pandia Ulung129 dan lama tinggal di sebuah tempat yang menjadi desa (sampun
manadi gumi). Ida Wala punya delapan anak. Yang paling tua bernama Ida Danu; yang kedua Ida Rsi,
adalah seorang tukang emas; yang ketiga diberi nama Ida Tusta; yang keempat Ida Tonjok, seorang
tukang besi. Anak perempuan paling tua, Dewa Ayu Putu Sara yang menikah dengan I Gusti Lanang
Dauh dari Gelgel dan mempunyai satu anak laki-laki, I Gusti Pandé. Yang kedua adalah Dewa Ayu Made
Sari bersuami I Gusti Panji dari Buleleng, sedangkan yang ketiga dijaga (kapingit) oleh Dewa yang
tinggal di puncak gunung Batu Kawu. Anak yang paling bungsu bernama Ida Wana dan berprofesi
sebagai tukang kayu.130

Sesudah kematian Pandia Ulung, anak nya Ida Wala dalam kesakitan dan kehancuran karena ia tidak
mengetahui cara untuk pergi ke dunia lain (tingkah ing ka pralaya). Sesudah puasa selama empat
puluh dua hari, Brahma muncul dan memerintahkan untuk membangun sebuah candi (paibuan) untuk
menghormati leluhurnya, juga agar upacara (wali karma ning odalan) dirayakan setiap Saniscara
Kliwon di minggu Kuningan.131 Dalam diagram berikut ini,

128
Batu Mejan satu tempat yang terletak di utara danau Bratan, di jalan naik dimana kita bisa melihat danau Buyan. Nama
tempat ini hanya terkenal oleh orang lokal atau penduduk daerah itu. Kita tidak menemukannya lagi di versi B dan C yang
digantikan oleh Candi Kuning yang lebih terkenal, namun sekarang digambarkan desa dan kuil ini terletak di pinggir danau
Bratan. Batu Mejan disinyalir oleh Van Bloemen Wanders sebagai tempat dimana ia memulai keturunan kuat yang
membawanya ke dataran luas, diantara danau Buyan dan danau Bratan, dimana ia tinggal selanjutnya di desa Bratan di
sebuah tempat yang ia namakan Lalang Linggah (1870:417-419).
129
Konteks ini menunjukkan arti nama baru Mpu Gandring. Ulung dari kata familiar artinya jatuh. Mpu Gandring lalu
mengambil nama « Pandia yang telah jatuh ». Namun kita bisa lihat dalam ulung atau lebih tepatnya dalam hulung ada
sebuah variasi dari bahasa jawa kuno wulung (hitam, biru-hitam), dengan transformasi yang sering muncul dari w ke h
(Cf.,sebagai contoh, hulat dan wulat). Ini adalah pilihan yang dibuat oleh penulis lain dari versi B dimana muncul wulung yang
untuk tidak menggambarkan Mpu Gandring, tapi cucu laki-lakinya (Arya Pandé Bratan atau Mpu Wulung) yang kemudian
diikuti dengan kebingungan. Versi B memperkenalkan modifikasi lain, diambil dalam versi C dan diarahkan untuk merubah
Wala, nama anak laki-laki Mpu Gandring, menjadi Dwala. Namun dalam versi A, nama ini adalah apa yang Dewa Ayu
Girisewaka berikan ke suaminya yang ingin pulang ke Madura, anak laki-lakinya ia katakan sebagai tanda dan janji (wala) dari
kesetiaannya (LOR 13864 : 10b). justifikasi dari nama Ida Wala ini muncul dari versi-versi lain dan transformasi ke Dwala
tidak lagi menggugah keputihan yang sempurna (Cf.dhwala, dalam jawa kuno).
130
Tiga anak-anak perempuan Ida Wala tidak lagi disebutkan dalam versi B dan versi C, yang hanya mengambil nama-nama
dari lima anak laki-laki yang mempunyai pekerjaan beragam. Anak-anak perempuan menetapkan persekutuan penting
dengan menikahi seorang bangsawan dari kasta tinggi Gelgel dan dengan seorang pangeran, yang tidak lain adalah raja
Buleleng. Nasibnya mengingatkan akan nasib Mpu Galuh, karena ia diambil oleh dewa Batu Kawu (Batu Kau), sebuah gunung
dimana kekuatan simbolisnya dapat dibandingkan dengan Gunung Agung untuk penduduk di daerah Mengwi dan Tabanan.
131
Kita tahu bahwa siklus tahunan terkenal di Bali terdiri dari 210 hari. Dalam siklus yang panjang ini, berjalan secara
stimultan sepuluh siklus didalamnya yang terdiri dari satu sampai sepuliuh hari yang bisa kita bandingkan dengan minggu-
minggu. Siklus dalam tujuh dan lima hari adalah yang paling penting. Yang pertama dihasilkan 30 kali dalam tahun 210 hari
dan setiap periode tujuh hari (wuku) mempunyai satu nama yang berbeda. Kuningan berhubungan dengan wuku ke dua
belas dalam setahun. Jadi upacara harus dikenal di hari terakhir (saniscara) dari wuku yang dinamakan kuningan, yang berada
bertepatan dengan hari terakhir (kliwon) di lima hari dalam seminggu, hari ini berasal dari odalan kuil dadia di Marga dan
Kapal, sehingga Pandé Bratan dari Gadungan dan orang-orang Bratan mengikuti tanggal lainnya. Petunjuk yang terakhir ini
koheren dengan apa yang kita ketahui dari asal versi A mungkin dari sebuah desa sangat dekat dari Marga yang tercatat
dalam dua manuskrit Jadi.
BRAHMA

Mpu Bumi Sakti = Ida Ayu Amrtatma

Mpu Gandring/ = Dewa Ayu Girisewaka Mpu Galuh/


Pandia Ulung Sang Kul Putih

Ida Wala

Ida Danu Ida Resi Ida Tusta Ida Tonjok Dewa Ayu Putu Sara Dewa Ayu Santun
(pande mas) (pande besi) Dewa Ayu Made Sari Ida Wana
(sangging)

Geneologis leluhur Pandé Bratan


(Versi A : MSS LOR 11871 dan LOR 13864)

nama Pustaka Abang selayaknya diperingati pada hari Saraswati. 132 Jika perintah-perintah (pamidi)
datang untuk dilupakan, pasti akan menderita kemalangan terbesar (wastu sira ta amanggih sangkala
agung). Sekarang ia memakai nama Pandé Bratan, karena Pustaka Abang mengindikasikan jalan
ketaatan agama.133

Lama setelah jiwa Pandia Ulung disucikan (puput kaprateka), perintah-perintah Brahma diabaikan.
Keadaan ini memunculkan kemarahan dewa dan mengakibatkan kutukan (pastu) dan akibatnya
adalah apa yang dikonsumsi kakek-nenek dan buyut sebagai suatu kesialan.134 Brahma yang
menguasai manusia (masusupan ring manusa), mulai kehilangan Pandé Bratan. Oleh karena itu,
pedagang asong yang datang dari daerah Batur dimakan (katadah) setelah dicincang (kaebat). Melalui
pemberitaan ini, orang-orang Batur memutuskan merusak desa Bratan (jagat Bratane). Banyak yang
mati dan yang selamat melarikan diri dengan membawa Pustaka Abang. Mereka berhenti di Taman
dan selanjutnya berpisah untuk berangkat mencari pekerjaan. Mereka pergi ke Kapal, Mengwi,

132
Saraswati, dewi pengetahuan dan literatur, dirayakan setiap tahun, hari terakhir dari siklus 210 hari (saniscara manis,
wuku watu gunung). Ini adalah hari di mana persembahan ditempatkan dekat dari lontar, khususnya manuskrit (pustaka)
yang diwariskan oleh para leluhur. Piagam yang diserahkan oleh Brahma kepada Ida Wala dinamakan “Buku Merah” untuk
mengingat kembali, bisa kita asumsikan warna yang diasosiasikan kepada dewa dalam tradisi Pandé, Dewa Api.
133
Teks ini diperoleh dari nama Pandé Bratan dari brata yang menunjukkan ketaatan agama, praktek relijius… (pustaka iki
maka olih sira anangun tanpa brata. Ika karania maharani Pandé bratan. LOR 13864:24b).
134
Teks mengatakan: Kapastu raris ring ida bhatara brahma, upang bisa mangan kewitan, kai kumpinia mwang manemu
sangkala agung. Konsekuensi dari kutukan yang tidak biasa ini hanya bisa dipahami jika kita ingat bahwa orang-orang Bratan
dituduh memiliki leluhur kanibal.
Tabanan, Buleleng, Klungkung, Tusan, Badung, Jimbaran. 135 Kualifikasi mereka adalah pekerjaan
pengrajin pandé (wisayane sami mamande).

Kata-kata ini mengakhiri cerita Pandé Bratan, yang mencakup sekitar 70% dari volume teks. Bagian ke
dua memunculkan Pustaka Abang, hukum yang diberikan oleh Brahma kepada para Pandé Bratan.
Sebenarnya, bagian terakhir ini mengandung catatan dalam upacara kremasi dan persiapan air suci
yang akan digunakan dalam perjalanan di alam sana (tirtha pangentas). Semuanya, tidak ada yang
spesifik pada Pandé Bratan atau bahkan secara umum pada Pandé, jika tidak torehan relijius magis
seperti yang para kajang tunjukkan untuk menghias kain kafan dan untuk menjaga jiwa terhadap
bahaya perjalanan terakhir. Dewa Brahma tidak mempunyai peran penting dan mantra yang
digunakan sepertinya dipinjam langsung dari catatan pendeta brahma.

Dalam pengenalan elemen upacara pemakaman disebutkan dua poin pada narasi. Pertama-tama hak
menggunakan bade kremasi bertumpang lima atau tujuh dan sebuah sarkofagus dengan bentuk
sebuah banteng. Ini adalah pernyataan keadaan Satria, pada saat kematian, setidaknya hak yang sama
untuk hak-hak istimewa yang sama dari dua satria ini. Poin kedua adalah mengingatkan kembali
episode yang secara eksplisit berbicara praktek kanibal. Sebenarnya, upacara pembebasan jiwa para
mendiang menyebutkan pembayaran persembahan untuk penebusan (panebasan) senilai 16.000 koin
(kepeng) untuk menghapus kesalahan (doa, prasangga) atas konsumsi leluhur dan orangtua (sawireh
sira amangan kawitania, meme bapa kaki kurhpi).
A. Mpu Bumi Sakti, leluhur dari Madura
1) Brahma menciptakan Mpu Bumi Sakti di puncak gunung Silasayana. Tempat tinggal tukang emas
dan pendeta, berada di Madura. Kastanya Satria.
2) Di Madura, ia meminang istri pendeta budha dan pernikahan ini menghasilkan dua anak : Mpu
Gandring dan Mpu Galuh.

B. Perjalanan ke Bali
1) Sebagai akibat dari perselisihan dengan saudaranya, Mpu Galuh meninggalkan Madura. Sampai di
Bali, ia menjadi pendeta untuk Mahadewa, dewa Gunung Agung.
2) Mpu Gandring berangkat dalam pencarian saudara perempuannya. Di dalam hutan, ia bertemu
dengan raksasa wanita yang bermetamorfosa menjadi wanita dan kemudian menjadi istrinya,
Dewa Ayu Girisewaka.
3) Meninggalkan istrinya di dalam hutan, ia balik ke Madura dengan Ida Wala, anak laki-laki mereka.
Kemudian ia berangkat kembali ke Bali berkat bantuan Brahma dan akhirnya menemukan saudara
bungsunya di lereng Gunung Agung.
4) Ia kemudian kembali sendirian ke Madura dan meyakinkan ayahnya tentang perjalanannya. Dua
laki-laki ini pergi menuju Bali untuk mencari Mpu Galuh, sementara Ida Wala ditempatkan untuk
melayani raja Madura. Mpu Bumi Sakti tinggal dengan anak perempuannya dan Mpu Gandring
kembali sendiri ke Madura.

135
Survey lapangan tidak dijalankan demi menjadikan empat tempat terakhir ini seperti rumah kedua, setelah penghancuran
rumah pertama di danau Bratan.
C. Keadaan keberangkatan dari Madura
1) Mpu Gandring dan Mpu Wala, tukang emas terhormat tinggal sejahtera di Madura.
2) Episode sumur, tentang Brahmana dan tiga binatang (Cf. Tantri Kamandhaka) berakibat pada
pembuangan Mpu Gandring dan keluarganya. Mereka dan keturunannya dilarang menggunakan
akses upacara brahma, dan balasannya Brahma dinyatakan najis.

D. Hukuman dari Brahma dan penyebaran Kerabat


1) Mereka pergi ke Bali dan tinggal di Batu Mejan, dekat danau Bratan. Ida Wala mempunyai lima
anak laki-laki dan tiga anak perempuan.
2) Mpu Gandring/Pandia Ulung meninggal, meninggalkan Ida Wala dalam kekacauan. Brahma
muncul kepadanya dan memberitahukan “hukum” Pandé Bratan.
3) Ajaran Brahma datang untuk diabaikan dan dalam kemarahan, dewa kehilangan Pandé Bratan.
Mereka bersalah akan kekanibalan, dan kematian pedagang Batur menyebabkan penyerangan
dan penghancuran desa Bratan.
4) Yang selamat kabur dan tinggal di desa berbeda dimana mereka menjadi pengrajin.

Kita lihat bahwa kurangnya data yang dihasilkan oleh survey angket tertutup dalam studi teks, akan
sulit untuk memutuskan mana yang benar dan salah dan kemiripan yang sama dalam
ketidakmampuan membedakan makna kiasan di satu peristiwa nyata yang benar terjadi secara sosial
dan ideologis yang bisa membedakan cerita tertentu dari kelompok bergelar Pandé Bratan.
Sebenarnya, rekonstruksi masa lampau ini menghapus hampir semua yang kita bisa lihat sekilas dari
masa lalu orang-orang terdahulu penduduk Bratan dan masa lalu Pandé Bratan. Yang tersisa adalah
kehancuran desa asli pinggir danau Bratan yang berakibat pada penyebaran penduduk. Namun bagi
seorang peminat tradisi oral Bratan, leluhur tidak lagi hadir sebagai korban trik perang. Kebalikannya,
mereka merasa bersalah dari rasa sangat tidak menghargai. Tindakan kanibal yang melibatkan mereka
didalamnya menutup nasib mereka. Dengan tuduhan tindakan kanibal ini, teks membiarkan rumor
yang masih beredar hingga saat yang menimpa penduduk Bratan, yang juga dikenal dengan Bali Aga.
Ini cukup untuk membuktikan bahwa orang-orang Bratan tidak berasal dari narasi ini dan menganggap
bahwa Pandé Bratan dari daerah Mengwi-Tabanan sekitar tahun 1930 menerima kesalahan
interpretasi cerita ini. Kita akan lihat versi-versi di luar secara praktis mengevakuasi interpretasi isi
narasi ini.

Masih tersisa tradisi pekerjaan logam yang dapat dibuktikan di Bratan, tidak secara eksklusif seperti
tukang emas dan namun tidak memegang tempat tertentu dalam adat Bratan. Melewati saringan
reinterpretasi, Brahma Pandya Tatwa diceritakan sebagai cerita asal-usul kelompok tukang emas, dan
diketahui macam-macam pekerjaan muncul dalam waktu yang sama sehingga anggota kelompok
terpaksa membubarkan diri. Skema pembubaran ini, yang secara nyata terjadi mulai dari desa lama di
danau Bratan termasuk dadia-dadia utama kontemporer Pandé Bratan dari Selatan, hanya
menyebutkan secara kiasan orang Bratan dan hanya mensinyalir keberadaan anggota kelompok di
Buleleng. Termasuk pengecualian penting pembubaran dari Gadungan. Namun ditambahkan empat
tempat tinggal fiktif, bisa karena alasan karakter mereka menunjukkan asal pusat dalam representasi
bali secara umum (Klungkung) atau dalam tradisi tertentu dalam Pandé Besi (Tusan), bisa juga untuk
memperpanjang daftar kawitan sekunder hingga sembilan karena nilai simbolis yang dikaitkan dengan
angka ini.

Klaim status Satria dan posisi perbedaan pendapat dengan pendeta brahmana yang mencirikan
banyak ideologi kontemporer Pandé Bratan membuktikan bahwa itu adalah untuk memiliki sebuah
panduan bagi orang-orang Bratan dan untuk gerakan eksplisit Pandé Besi, di Mengwi, 1930. Referensi
alusi terhadap bidang realitas ini dipegang sepanjang masa imajiner dalam teropongan, sesuai dengan
model umum yang berasal pertama kali dari luar Bali dan berbagai titik asal geografi Bali, seorang
leluhur yang dekat para dewa dan serangkaian kelompok kekerabatan tersebar di wilayah Bali.
Timpang tindih yang mengarahkan dari « selain itu » dari asal primordial ke dunia Bali diperkenalkan
berkat kontekstual berbeda dari hikayat Tantri Kamandaka (Cf. note 12). Hasil ini mungkin
mengejutkan, tapi bahkan ini bukan berarti membuka topeng pemalsu dalam masyarakat dimana
penglihatan masa lalu adalah dengan sastra dan dimana sastra mengungkap masa lalu. Sepertinya
hikayat yang berasal dari India ini dikirimkan ke Bali lewat penghubung yang berkaitan dengan jawa,
dengan dilakoni seorang tukang emas dan seorang Brahmana dengan tujuan untuk menunjukkan
bahwa para Brahmana selalu harus bertobat dari pendekatannya pada masyarakat status rendah,
terutama tukang emas. Di Bali, fokusnya adalah kisah tentang konflik padanda dan Pandé mas. Jadi
masuk akal jika harus dipahami dalam teks ini bahwa ekspresi identitas kelompok yang menentang
pendeta brahmana adalah dimensi utama.

Selain itu, kisah Tantra dalam versi jawa kuno "sumber resmi" milik orang Bali, menjadi kerangka
geografis untuk Madhura Kling (Hooykaas 1931:134). Yaitu nama sebuah kerajaan yang terletak di
India. Ejaan yang mengambang dan homofon antara Madura dengan Madhura mengkondisikan
kerancuan ditambah dengan pengabaian geografi India, pemindahan mengarah ke tempat asal leluhur
di pulau terdekat Madura. Pergeseran semantik juga tidak mengecualikan kemungkinan referensi
yang lebih konkret untuk pulau Madura, dikenal semua orang Bali dan khususnya penduduk pantai
utara. Kita akan melihat bahwa versi B, yang dengan cara menghapus beberapa fitur asli versi A,
mempertahankan asal Madura Pandé Bratan, sekaligus mengurangi Tantra ke satu referensi eksternal
sederhana dan dengan demikian mencabut perannya sebagai engsel dalam narasi.
Brahma Pandya Tatwa menjalin kerancuan lain dalam hal pola hubungan berbagai tempat dan waktu.
Kenyataan bahwa Mpu Bumi Sakti ditetapkan oleh Brahma bukan hanya sebagai tukang emas, tetapi
juga secara eksplisit berfungsi sebagai pendeta cukup mencengangkan. Pastinya semua leluhur-jauh
dari kelompok yang mempunyai perbedaan memenuhi syarat sebagai Mpu, sebuah panggilan
berasimilasi dengan gelar brahmana. Tapi dalam teks ini, kependetaan mengutamakan tukang emas
untuk menggambarkan keunggulan asal-usul Pandé Bratan. Juga sesuatu yang luar biasa bahwa Mpu
Bumi Sakti berangkat memperdalam pengetahuannya tentang pendeta Buddha yang putrinya
dinikahi, sementara alusi satu-satunya ke seorang padanda siwa (Ida Siwa Dharmaswarni) membawa
konflik menambah yakin posisi perbedaan pendapat agama. 136 Pada generasi berikutnya, dua fungsi
tampaknya terpecah. Mpu Gandring memulai garis keturunan leluhur yang pada mulanya tukang
emas dan pengrajin. Kebalikannya, Mpu Galuh diidentifikasi dalam gambar ini pola dasar pendeta
bukan Brahmana, Sang Kul Putih, secara tradisional dianggap sebagai pamangku pertama Pura
Besakih (Cf.note 8). oleh karena itu, dan oleh penghubung silsilah perempuan yang tidak biasa ini,
tempat suci Gunung Agung merupakan tempat utama dalam cerita dengan mengorbankan kawitan
Danau Bratan.137

Peran Brahma sepanjang sejarah Pandé Bratan muncul menjadi perhatian yang luar biasa untuk
singularitas ini mulai dari membaca kalimat pertama judul untuk teks ini. Brahma, adalah dewa yang
tinggi dibandingkan dengan Siwa, sering diceritakan sebagai pencipta dalam narasi asli. Tapi dewa nun
jauh, ia mundur untuk akhirnya meninggalkan ruang bagi kekuatan lain untuk leluhur dewa,
dimaksudkan agar lebih membumi dalam dunia manusia. Tapi Brahma, pencipta leluhur kelompok,
juga merupakan panduan untuk Mpu Gandring, pembicara hukum yang mendukung Ida Wala dan
penghukum keturunan mereka untuk kelalaian ringan mereka. Brahma punya semua perilaku yang
dikaitkan dengan leluhur dewa dan dewa Hindu, termasuk adaptasi tentang Bali, dia hanya cukup
mempertahankan namanya. Dari semua teks dari tradisi Pandé, Pandya Tatwa Brahma adalah satu-
satunya yang mengakui Brahma sebagai pusat, tapi ini hanya mungkin dengan asimilasi implisit dewa
dari agama brahmana untuk leluhur, kutub agama yang memenuhi syarat untuk kenyamanan
bersama. Dalam cerita lain dari tradisi Pandé, terutama dalam versi sejarah selanjutnya Pandé Bratan,
Brahma secara tradisional fungsinya terbatas sebagai pencipta dan pasti harus dikaitkan dengan
beratnya ide-ide dan nilai-nilai melarang ketidakmungkinan mengembangkan protes sampai ke titik
penyimpangan yang akan menjadi promosi teologis yang baik, dengan menggantikan Siwa, di bagian
atas hirarki dewa langit, Brahma, dewa api.

136
Ingat bahwa orang-orang mengalami semacam "krisis identitas" di mana mereka bertanya-tanya bahwa mereka bukan
"Buddha", kemungkinan yang sepertinya cocok dengan penolakan mereka untuk mengakui supremasi pendeta Brahmana di
Buleleng yang umumnya berasal dari cabang Kamenuh. Kita juga bisa bertanya-tanya apakah beberapa Pandé Bratan dari
Selatan tidak menjaga hubungan dengan padanda boda dari Jadi, karena di tempat mereka telah ditemukan salah satu dari
manuskrit (LOR 11871).
137
Ini terkait dengan fakta bahwa kawitan Danau Bratan tampaknya benar-benar telah reaktif setelah rilis versi A, pada
awal tahun lima puluhan.
4,1,5 Perbedaan versi Mengwi

Versi Mengwi (Kr 2404) secara keseluruhan mengikuti pola yang sama dengan Brahma Pandya Tatwa,
namun memperkenalkan sejumlah perubahan yang akan kita garisbawahi di halaman berikut.
Pertama, ditinggalkannya masyarakat Bali-atas, dengan sedikit elemen jawa, untuk bentuk kawi yang
bukan Jawa Kuno maupun cara Jawa, tetapi mencerminkan sebuah evolusi struktur yang tepat ala Bali
dan ditambahkan struktur dan kosa kata dari bahasa-bahasa kuno ini.138 Dalam klasifikasi tripartit
dimana kadang-kadang merujuk literatur Bali, perubahan ini menggambarkan bagian dari pada tingkat
bawah dalam catatan bahasa ditulis yang disebut "bahasa Babad" , itu sendiri terletak di sisi kualitas
tak terlukiskan dikaitkan dengan bahasa-bahasa kuno dan karya yang diwariskan oleh "leluhur" Jawa,
yang dibaca dan dibahas pada pertemuan sastra (babasan) atau dinyanyikan pada kesempatan
upacara tertentu. Ini adalah pertama kalinya penataan kembali ke arah kesesuaian dengan bentuk
klasisisme yang mempengaruhi nilai kode dan makna dalam dirinya sendiri.

Perbedaan kedua dengan segera memperlihatkan sebuah hasil yang luar biasa dari sulaman referensi
siklus besar sastra Jawa dengan tradisi kerajaan Gelgel. Di sana, dalam manuskript Mengwi, sebuah
referensi ruang terbuka yang tidak datang hanya dalam peran hiasan sastra. Singkatnya, "sastra
indah" dan "bahasa indah" memberikan kesenangan dari teks dan mungkin bahkan lebih dari suara
ritme dan keahlian, tetapi mereka juga menyediakan sarana untuk membangkitkan dan untuk
mengadakan tempat asal-usul mitos kerajaan Majapahit dan replika masyarakat Bali di Gelgel.
Penulisan ulang sejarah Pandé Bratan juga diperkaya dengan pinjaman dari tradisi Pandé Tusan dan
bahkan yang dari kelompok Pasek yang bukan Pandé. Hal ini juga termasuk tambahan pada akhir
penyebaran narasi, penyebutan keluarga di wilayah Gianyar, detail yang membantu menempatkan
komposisi teks pada awal tahun lima puluhan.

4.1.6 Referensi untuk kawasan sastra Jawa

Banyaknya referensi ini menyulitkan untuk mereproduksi daftar sistematis ini. Dengan bantuan
beberapa contoh, akan cukup untuk menggambarkan sebuah cara, gaya, dan pengetahuan. Selain

138Kawi Bali ini tidak pernah, sepengetahuan saya, benar-benar mempelajari sudut pandang linguistik. Hasil pertemuan
bahasa dan sastra Bali dan Jawa kuno, akan lebih mudah untuk orang mengkualifikasi Bali-Jawa dengan melihat tulisan
Pigeaud, tetapi bahasa dari beberapa teks tampaknya meminjam lebih catatan dari Jawa daripada Bali, begitu juga kita bisa
berbicara tentang Bali-Jawa. Tampaknya kawi ini tidak membentuk sebuah catatan linguistik pada perbatasan yang
terdefinisi, tetapi ini lebih ditulis di sebuah lanjutan ekstrim dimana kita bisa menempatkan sastra Bali dan sastra Jawa Kuno.
memilih tingkat bahasa, karya sastra ditandai dengan menggunakan variasi kosakata dan penyebaran
dalam kurung atau penguatan narasi kiasan terhadap kisah-kisah dari zaman kuno, terutama dari
Mahabharata dan Ramayana.

Diawal cerita ketika Brahma, dinamakan juga Prajapati dan Pitamaha,139 merealisasikan pembauran
mistis udara dan api, sesuai dengan acuan pada lima sungai suci, Gangga, Sindu, Saraswati, Yamuna,
Narmada,140 pada saat anak yang lahir dengan metamorfosa dibandingkan dengan dewa Kumara. 141
Lebih lanjut, biksu buddha, yang cukup dipanggil dengan Ida Boda dalam versi A, diketahui mempunyai
istilah Aksobia, Amogasidi, Bajradnyana, Bairawa,142 yang memiliki kosa kata khusus agama Buddha
sinkretisme asal Jawa, dimana terus bertahan di Bali berkat teks terkenal akan sastra seperti
Sutasoma.143 Dalam versi ini, Biksu Buddha menjustifikasi keinginannya untuk melihat putrinya
menikah dengan Mpu Bumi Sakti dengan mengingat siksaan yang diderita oleh sang bijak Warabrata
setelah kematiannya, karena anaknya Jaratkaru, tidak memiliki keturunan.144 Kiasan pada bagian
Adiparwa memberikan nilai eksplisit alasan usulan pernikahan yang hanya disebutkan dalam versi A.
Allusi kepada mereka yang berbagi referensi yang sama, segera menjadi masuk akal dan pada saat
yang sama konfirmasi nilai-nilai dapat diterima, karena tidak ada masyarakat Bali yang hanya
mengabaikan tidak adanya keturunan adalah kemalangan berat.

Lebih jauh lagi, sengketa antara Mpu Gandring dengan adiknya perihal cincin yang diberikan oleh ayah
mereka sangat eksplisit diceritakan juga dalam episode Ramayana dimana Subali dan Sugriwa
menginginkan perhiasan diberikan kepada Anjani, saudara perempuan mereka. Dalam bagian lain,
ketika Mpu Gandring bertemu raksasa wanita di hutan yang kemudian menjadi istrinya, tema sastra
dan budaya kuno masih hidup di Bali, ini mengingatkan tentang kekuatan rohani untuk menetralisir
kebiadaban makhluk ini, dan akibatnya, ini menjadi inspirasi hasrat percintaan dengan yang dirasakan
oleh adik raksasi Kala Surpranaka (saudara perempuan muda Rawana) untuk Sang Ragustua,
maksudnya Rama dan Laksmana, dan baris berikutnya Ramayana dan Mahabharata, penulis

139
Prajapati (Skt. Prajapati), "penguasa makhluk” 'salah satu nama umum dari Brahma, meskipun juga dapat menunjuk Siwa
dan Wisnu. Pitamaha (Skt.pitamaha), "kakek" merupakan nama umum dari Brahma, dalam catatan sastra dan agama.
140
Sungai-sungai di India, misalnya, diandalkan oleh padanda dalam penyajian harian air suci (Hooykaas 1964: 26).
141
Di Bali, dewa pelindung bayi yang baru lahir.
142
Aksobia (Aksibhya) dan Amogasidi (Amoghasidhi) adalah dua dari lima nama yang merujuk kepada Sang Buddha,
terutama dalam tantra budhisme. Bajrajnyana (Bajrajnyana) adalah dewa Budha yang disebutkan, contohnya, dalam
Sutasoma (Zoetmulder 1974: 174). Bairawa mengingatkan praktek-praktek mengerikan terkait dengan Bali dengan bentuk
Buddhisme tertentu (Cf.note 5).
143
Sutasoma adalah kakawin inspirasi pengikut Buddha ditulis oleh Mpu Tantular dibawah pemerintahan Raja Hayam
Wuruk Majapahit (1974 Zoetmulder :329-349).
144
Warabrata, seperti yang dinyatakan dalam teks, digantung terbalik dengan kaki terikat di bambu, sampai tikus
menggerogoti ikatannya dan lalu jatuh ke dalam jurang.
membandingkan kebersamaan Mpu Gandring dan raksasa wanita dengan Hidimba dan Wrekodara,
mengacu pada episode di mana Bima, setelah membunuh raksasa Hidimba menikahi adiknya, Hidimbi.
Kemudian, dalam versi ini yang diperkaya oleh sejarah Pandé Bratan, raksasa wanita berubah menjadi
seorang wanita secantik Warapsari turun dari Gunung Meru, itu benar-benar terjadi karena, setelah
kembalinya Mpu Gandring ke Madura, raksasa pergi ke langit, akhirnya terbebas dari kutukan yang
telah mengurangi tubuh raksasa.

Kita melihat bahwa peranan referensi memiliki fungsi untuk membangun keterkaitan antara cerita
tertentu, dalam hal ini cerita Pandé Bratan dengan tradisi sastra yang mempunyai mitos dan
menempati tempat di komunitas lain. Dengan menunjukkan pengulangan analogis situasi diasumsikan
diproduksi secara mistis di masa lalu yang paling terisolir. Penulis menyerap narasi yang ia buat dengan
otoritas didaktik dan kebenaran budaya yang melekat pada masa lalu sebelum masa itu.

4.2 Pinjaman kronik Kerajaan Gelgel.

Walaupun referensi dasar sastra jawa adalah seperti yanga ada pada perjalanan narasi, pada tradisi
historis Gelgel bukanlah pinjaman yang sama yang ada dan melebur dalam alur cerita itu sendiri.
Tradisi ini memelihara visi akan datang pada masa itu, yang dapat digambarkan sebagai mitos-epik,
dan dari reinterpretasi fakta historis menghasilkan penaklukan jawa dan konsekuensinya. Efek dari
pinjaman ini adalah untuk mengarahkan dan mengidentifikasi leluhur Pandé Bratan ke karakter yang
disebutkan dalam kronik kerajaan Gelgel dan dengan demikian menentukan "alur cerita sejarah" pada
narasi, yang ditinggalkan dalam ketidakpastian dalam versi A.

Penambahan pertama dimasukkan antara waktu kelahiran Mpu Bumi Sakti dan waktu kedatangannya
di pertapaan Buddha. Leluhur melakukan asketisme (manganaken tapa) di gunung Hyang, sebelah
barat Madura, Jawa Timur. Ditemukan bahwa Patih Madu dari Madura sedang mempersiapkan
perayaan upacara untuk menyucikan jiwa para leluhur (pitrayadnya), atas permintaan Sri Aji
Wilwatikta yang bernama Hayam Wuruk, yaitu Raja Majapahit.145 Dengan mengetahui bahwa orang
146
bijak (wiku sakti) mempunyai kekuatan yang sama dengan Mpu Logawe yang tinggal di gunung
Hyang, Patih Madu pergi ke pertapaannya untuk memintanya datang ke Madura dengan tugas untuk
menebus leluhurnya. Mpu Bumi Sakti tiba di Madura di mana sudah hadir para tamu mulia dari
Blambangan, Pasuruan, Sumbawa, Sunda, Palembang, dan seluruh wilayah Jawa Timur, dan juga hadir

145
Ingat bahwa pemerintahan (1350-1389) dari Hayam Wuruk (Rajasanagara), selain realitas sejarahnya, menandai puncak
dari kerajaan Jawa di Majapahit (Coedes 1964: 430).
146
Brahmana Logawe adalah karakter yang disebutkan dalam Pararaton. Datang dari India, ia mengadopsi Ken Angrok dan
sepertinya menjadikannya purohita ketika ia mencapai tahta (Brandes 1920: 262).
Raja Bali, Dalem Ketut Ngulesir yang memiliki nama pemerintahan Dalem Smara Kapakisan.147 Pada
akhir upacara, Mpu Bumi Sakti meminta Patih Madu untuk mau memastikan keberhasilan dari
upacara dengan menginterogasi tentang apa yang terlihat di hadapannya. Oleh karena itu para
persembahan, batu, pohon menjawab bergiliran bahwa upacara telah mencapai tujuannya (sida
karya) dan bahwa leluhur Patih Madu menemukan jalannya ke langit (swasta amanggih swarga ikang
kawitan). Semua tamu yang hadir mengetahui kebajikan dan keunggulannya. Kemudian Mpu Bumi
Sakti pergi ke pendeta Buddha: ia menikah dengan putrinya dan pindah tempat tinggal di Kayu Manis,
toponim yang disebut di seluruh episode, di sebuah bagian dari Pamancangah Kidung (Berg 1929)
yang akan membantu kita pada referensi teks.

Sebenarnya, menurut sumber ini, raja pertama dari Bali Gelgel meniggalkan Bali dua kali selama masa
pemerintahannya, pertama untuk pergi ke Majapahit menemui Raja Hayam Wuruk, kedua untuk
menghadiri upacara pemakaman di Madura. 148 Namun , penulis teks mengendapkan dua peristiwa
yang berbeda dalam Pamcangah Kidung. Tentu saja, Bupati Madura menyelenggarakan upacara
pertama dipimpin oleh pendeta Buddha dan pengikut Siwa dan di hadapan tokoh senior yang datang
dengan ketergantungan berbeda di Majapahit. Tapi upacara itu gagal dan cepat setelah itu, setelah
tamu mendapatkan tempat tinggal masing-masing, seorang pendeta dari Kayu Manis (Janggan ing
Kayu Manis) memastikan keberhasilan upacara yang dibuktikan dengan berbagai elemen diinterogasi
untuk tujuan ini.149

Tambahan yang ke dua ditempatkan di bawah raja yang sama dari Gelgel, langsung setelah pernikahan
Mpu Bumi Sakti. Ia menerima kunjungan utusan dari Sri Smara Kapakisan lalu masuk ke dalam
pendetaannya di Kayu Manis dan mengundangnya untuk datang ke Linggarsapura (Gelgel) untuk
mendukung upacara pensucian raja (mahyun ta Sang Nata masudasridanta). Dalam perjalanan ke
Gelgel, Mpu Bumi Sakti berhenti di gunung Tohlangkir (Gunung Agung) dan disana, dewa Mahadewa
memanggilnya dan memintanya untuk membaca apa yang tertulis di tangan kanannya. Jika mampu,
maka ia akan diizinkan untuk melakukan tugasnya Raja di Bali. Mpu Bumi Sakti mengetahui tanda-
tanda pancabrahma,150 tapi sebelum menghilang, dewa menanyakan pertanyaan lain: di mana itu
harus jatuh, di bahu atau di dada? (ndi wenang tibakena, ring bahu ring dada). Mpu Bumi Sakti

147
Adalah pendiri kerajaan Gelgel itu sendiri, setelah ia didiskreditkan kakak tertuanya, dimana pengadilan nya ada di
Samplangan, (Berg 19 327 :123-124) menurut Pamancangah.
148
Lihat Berg (1927 :127-128) untuk ringkasan laporan Pamancangah mengenai pemerintahan ini dan Berg (1929 :19-23)
untuk apa yang dikatakan teks, khususnya halaman 24-30 berkenaan dengan perjalanan dari Bali ke Bubat dan masa tinggal
di Majapahit, dan juga halaman 30-31 tentang perjalanan ke Madura.
149
Pamancangah Kidung, III, 8-14 (Berg 1929: 31)

150
Berikut adalah lima suku kata, SA, BA, TA, A, I, mengingat lima nama Siwa, sesuai dengan lima aspek kedewaan
dilarang meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab. Sesampainya di istana, ia bertemu raja dan
menemukan kemiripan dengan dewa Gunung Agung. Dengan rasa takut, ia melupakan tujuan
kedatangannya, dengan alasan panjang contoh konflik antara seorang Brahmana Ramaparasu dan
muridnya Bhisma, seorang Ksatria.151

Bagian ini mengingatkan laporan Pamancangah tentang kematian misterius raja pertama Gelgel.
Namun, pendeta yang masuk ke istana, setelah kunjungan percobaan ke Gunung Agung dan
munculnya Mahadewa, jelas bukan Mpu Bumi Sakti tapi seorang pendeta yang dengan sederhana
dikatakan ia adalah seorang Brahmana terkenal dari Kling, bisa berasal dari India atau Jawa. Dikejutkan
oleh kemiripan raja dengan dewa, ia memahami bahwa ia hanya memiliki empat puluh dua hari untuk
hidup dan dia mempersiapkan upacara untuk ke dunia berikutnya. 152

Penulis manuskript Mengwi dengan demikian mengacu pada tradisi sejarah yang tidak ditetapkan oleh
otoritas dari satu-satunya versi tertulis, tetapi diproduksi dan direproduksi dalam berbagai bentuk
tertulis atau diceritakan dengan baik atau masih dimainkan, dan pastinya lebih berinteraksi timbal
balik antara mode-mode ekspresi dari yang dikatakan sebelumnya. Pinjaman ini menyebabkan
terlihatnya gambaran kualitas pendeta Mpu Bumi Sakti yang dikatakan versi A secara sederhana tanpa
ilustrasi. Dengan cara seorang dalang, penulis berimprovisasi dan mengembangkan tema yang
diberikan, dengan mengaitkan asosiasi dengan logika. Dengan demikian, sejak saat mengetahui kalau
leluhur Pandé Bratan adalah seorang Mpu berasal dari Madura, representasi pertama ini secara alami
memanggil satu kesatuan elemen yang disediakan oleh tradisi historis. Sebenarnya kita
memikirkannya, sebuah rantai yang menghubungkan secara sintaksis berhubungan dengan elemen
berikut: pulau Madura, pendeta di Kayu Manis, raja pertama Gelgel, seorang Brahmana dari Kling.
Identifikasi Mpu Bumi Sakti ke para pendeta yang namanya dipilih oleh kronik Gelgel hanya karena
penjelasan makna yang disarankan oleh kualitas dan kediaman yang diberikan untuk leluhur Pandé
Bratan.

151
Akhir dari episode ini berbeda dalam versi C, karena Mpu Bumi Sakti melakukan upacara penyucian (biseka) raja. Oleh
karena itu tidak perlu, seperti dalam versi B, referensi panjang alasan bagian Adiparwa dimana Ramaparasu dan Bhisma
menjadi musuh karena memperebutkan Putri Amba, karena Bhisma telah memenangi kompetisi (swayambara), tetapi
menolak untuk menikah karena melakukan sumpah bujang.
152
Pamancangah Kidung, III, 22-34 (Berg 1929: 32-33).
4,3 Sebutan untuk tradisi Pandé Tusan

Keseluruhan ketiga referensi yang membawa kisah Pandé Bratan dari tradisi tertulis Pandé Tusan
menunjukkan adanya kekerabatan yang sama sekali bukan kiasan dalam versi A. 153 Pada awal cerita,
versi Mengwi mengklaim penggandaan warisan dari pekerjaan menempa dan tukang emas dengan
berkata ke Brahma yang telah memberikan kehidupan kepada anak Mpu Bumi Sakti:
"Iki hana panganugrahangkwi ri kita, pinakopajiwa akirti hayu. Iki hana karya dwilaba ngaran. Iwirnia angandring, amande
galuh. Angandring ngaran akarya sarwa lalandep, amande galuh ngaran akarya sampiran pinaka busana ning wiku mwang
ksatriya abiseka ratu” (Kr 2404:3).

Ini persembahan yang saya buat bagimu untuk memastikan mata pencaharianmu dan membangun reputasi serta
kemakmuranmu, ini adalah dua profesi yang disebut angandring dan amande galuh. Angandring berarti membuat
semua senjata tajam; amande galuh berarti untuk membuat ornamen yang menghiasi pendeta dan ksatria pangkat kerajaan.

Selain itu Brahma memerintahkan kepada anaknya untuk mengingat tugas (darmakriya) yang melekat
pada pelaksanaan seninya, mengingatkannya bahwa Mpu Lalumbang tewas di tangan Ken Arok (Ken
Angrok) karena kelalaiannya. Interpretasi dari episode terkenal Pararaton di mana Mpu Gandring dari
Lalumbang dibunuh oleh raja akan datang Tumapel, dengan menekankan kondisi sosial leluhur Pandé
Bratan, pandai besi juga sama baiknya dengan tukang emas. Untuk lebih menggambarkan kondisi
sosial leluhur, penulis menambahkan sebuah bagian pendek cerita dimana Mpu Bumi Sakti
memperbaiki alat bajak dan seorang anak muda secara tidak sengaja mendorong nya ke batu:
"Ri puput ing yoga, mijil tang agni sakeng netre tengen, tumiba ri arep nira. Irung kiwa pinaka pangembusanira, irung
tengen paniupan ing bayu manjing ring angga sang biksuka. Tangan tengen pinaka palu nira, pupu kiwa pinaka landesanira,
jariji tangan pinaka supit nira, sweda ning muka pinaka banyu ning palunganira. Samangkana de nira anglekasaken darma
kapandian" (Kr 2404:5).

Setelah dia bermeditasi. Api keluar dari mata kanannya dan tersebar di hadapannya. Lubang hidung sebelah kiri
digunakan sebagai peniup, lubang hidung kanan menarik udara ke dalam tubuh orang suci ini. Tangan kanannya digunakan
sebagai landasan tempa, palu paha kirinya, jari-jarinya sebagai tang dan keringat dari wajahnya sebagai air pendingin.
Demikian dipraktekkan (olehnya) seni mistis pekerja besi. 154

Penulis di sisi lain sangat mengetahui keberadaan tradisi Pandé Besi sehingga pada saat Mpu Gandring
yang merupakan putra Mpu Bumi Sakti memasuki adegan cerita, ia menetapkan bahwa itu adalah
karakter yang berbeda dari homonim Jawa kemudian ia beri nama Mpu Gandring Lalumbang. Tapi
yang ditemukan di sepanjang bacaan adalah bahwa hubungan terbangun antara garis keturunan
Pandé Bratan dan penguasa pembuatan senjata di Jawa merupakan leluhur jauh Mpu Bumi Sakti, dan
Mpu Bumi Sakti adalah juga ciptaan Brahma dan karenanya menjadi garis pertama keturunannya.155

153
Dalam versi A, hanya nama Mpu Gandring membangkitkan langsung tradisi Pandé Besi untuk menunjukkan seorang
leluhur orang Jawa tinggal di Jawa, sementara kakaknya, Mpu Siwa Saguna datang tinggal di Bali tepatnya di Tusan.
154
Bagian ini tidak muncul dalam versi C.

155
Memang, Mpu Bumi Sakti mengatakan kepada utusan Raja Bali yang ia undang untuk mengunjungi Gelgel bahwa Mpu
Ketek yang merupakan leluhur Pasek adalah orangtua dari leluhurnya sendiri, Mpu Gandring yang ditikam oleh Ken Arok,
Raja Tumapel (sira mpu ketek awangsanak ring kawitan i sira nghulun sira mpu gandring, kang sinuduk nguni de ken arok).
Korelasi kekerabatan antara Pandé Bratan dan Pandé Besi ditegaskan kembali ketika cucu dari Mpu
Bumi Sakti, tidak seperti versi A, menerima hukum kelompoknya yang tidak dikirimkan oleh Brahma
tetapi oleh Mpu Saguna Siwa, satu karakter yang disebutkan dalam teks menjadi orangtua jaminan
Mpu Bumi Sakti. Dalam bab berikutnya kita akan melihat bahwa, menurut tradisi teks Pandé Besi
(Cf.Prajurit Wilwatikta), Mpu Siwa Saguna, saudara dari Mpu Gandring, meninggalkan Jawa
(Lalumbang) dimana salah satu pamannya adalah Raja Majapahit untuk datang dan tinggal di Tusan,
dekat Gelgel. Di sini, tampaknya untuk mengungkapkan tatwa batur kamulan atau "pengetahuan
tentang asal-usul," sebaiknya mengetahui dengan baik pekerjaan menempa dan tukang emas, jika
tidak orang akan mengabaikannya dan terkena kutukan Brahma:

"Yan kita maharep anggaduh swarajakarya darma kapandian, nihan wulati tatwa batur kamulan, yan mahyun
tumirua kawitanta sira mpu bumi sakti. Eweh tang wang akarya mas pirak mwang angwangun sarwa lalandep, yan tan
wruh ri tatwa batur kamulan, sinapa de sang hyang Prajapati" (Kr 2404: 18).

Wahyu ini dimulai dari penyebutan pancabayu (lima "napas" spekulasi Hindu-Jawa) yang berkorelasi
dengan beberapa bagian tubuh pandai besi beserta alat-alat nya.156 terkait dengan daftar delapan
bentuk dosa (astacandala), terkait dengan praktek kegiatan tertentu (amahat, amalanting, anjagal,
amande lemah, anyulendang, anapis) dan memakan serangga (larwa larwa), ikan (pingulan) dan buah
(timbul).157 Kemudian menurut versi A, datang larangan menggunakan air suci yang disiapkan oleh
para pendeta brahmana. Larangan dinyatakan dalam relasi kematian Mpu Gandring yang akan datang,
dan kemudian apa yang disebut dalam salinan sebuah kisah dari zaman kuno (nguni) yang tidak lain
adalah kisah Tantra Kamandaka:
"Yan sampun pejah ramanta sira mpu gandring sakti, hajwa amratista muwah hajwa angawehana tirta brahmana
sudasridanta apan sira sampun puput anggaduh darma kapandian ... Nihan muwah rengen tatwa ning kamandakacarita
... Mangkana bisama nira resi darmaswarni, nimitaning hajwa ramanta Mpu Gandring ri panilemanira hajwa aminta
anugraha ning Brahmana "(2404 Kr: 18, 20).

Dengan demikian, larangan penting diperkenalkan dengan perantara Mpu Siwa Saguna, seorang
leluhur Pandé Besi yang dalam tradisi yang terakhir ini memegang peran dan tujuan lain, kecuali pada
masalah makanan haram.

156
Kelima "peniup" dinamai dalam teks sebagai prana, apana, samana, udana, biana, menurut ajaran dari karya-karya klasik
sastra Jawa kuno (prana, apana, udana, wyana, samana) yang tetap dipertahankan di Bali (Goris 1926 :61-62). Hubungan
mereka dengan peniup dari pandai besi, tangki air, api, garam dan besi landasan merupakan penjabaran asli dari penulis
versi B.
157
Lihat catatan 14 Bab I pada istilah astacandala, mereferensikan delapan pekerjaan kotor. Dimaksudkan untuk
menunjukkan sembilan larangan! Penulis memberikan parafrase atau sinonim dalam bahasa sehari-hari untuk enam
pertama: amahat atau matuakan, membuat tuak: anyulendang atau anenggap upah nebak, digunakan untuk menumbuk
padi demi penghasilan; anapis atau angidih bahisa, untuk mengkonsumsinya, meminta kepada orang asing persembahan
yang sudah ditawarkan. Ditambahkan tiga larangan makanan, yang dua pertama pada semut terbang larwa larwa (lalaron)
dan ikan pingulan dibuktikan dalam tradisi tertulis Pandé Besi (Lihat Catatan 26 Bab VI dan bagian berkenaan dengan teks).
Kebalikannya, larangan lainnya, terutama konsumsi: buah sukun (timbul), tidak termasuk dalam tradisi ini.
Pinjaman salah satu teks pendiri tradisi Pandé Besi, yang dimasukkan antara akhir cerita dan awal
catatan pada upacara pemakaman, adalah jelas. Inilah kata-kata dari praktik upacara (prayoga ning
kapandian) yang dilakukan tiga kali, siang dan malam untuk mempersiapkan menempa senjata
(pratingkahe akarya lalandep), juga mantra yang berhubungan dengan api, garam dan alat pandai
besi. Kemudian kalimat iki kaputusan sakeng wilatika marga ning mantuk ring batur kamulan, - ini
adalah wangsit yang datang dari Majapahit, cara kembali pada fondasi asal-usul - memperkenalkan
pengembangan spekulatif yang termasuk dimiliki teks Pandé Besi.158

Kita melihat bahwa tanda dari penulis versi ini, "diformalkan" oleh sebuah terjemahan dalam bahasa
Indonesia (Sugriwa 1958), hasil dari tenunan jaringan referensi dengan dimasukkannya sejarah Pandé
Bratan dalam kesatuan tekstual dan kita temukan dalam hal ini, ada karakter yang menonjol dari
praktik kesusastraan, yang mengindikasikan zaman dahulu atau zaman modern. Dengan demikian,
penulis agak mengubah beberapa kerangka versi desa Jadi. Lebih masuk akal dengan membawanya
lebih ke sastra klasik, cermin dibuat dan diwariskan dari masa lalu, tetapi memiskinkan logikanya
sendiri dengan memotong keaslian cerita atau spontanitas orisinil sebuah cerita asli lahir tidak hanya
di luar lingkaran sastra tapi mungkin di pinggiran, di mana untuk mulai menilai bahasa Bali umum dan
sastra lisan (satua) yang disebut populer.159

4.4 Distorsi lain dan penyesuaian

Dengan memperkenalkan leluhur Pandé Tusan sebagai pembicara hukum Pandé Bratan, kelompok
diperkenalkan sebagai cabang dari keluarga besar Pandé ditetapkan dengan ideologi kontemporer
Pandé menekankan tentang kesatuan asli yang harus disadari, di luar itu perbedaan diperkenalkan
oleh perjalanan waktu. Versi Mengwi adalah cara yang lebih "modern" dibanding versi Jadi yang tidak
membuat kiasan untuk Pandé Besi. Pada saat yang sama, kerangka genealogis versi pertama tidak
terlalu dimodifikasi, dan kita berfikir pada saat yang sama Pandé Bratan berasal langsung dari Brahma
dan mereka adalah keturunan dari garis kolateral keturunan tertua Pandé Besi/Tusan.
Selain itu, dalam Versi A Brahma berganti peran yang tidak lagi menjadi aktor penentu nasib para
Pandé Bratan dan akhirnya menyebabkan hilangnya mereka. Kehancuran terakhir desa Bratan, secara

158
Lihat Gambar 37, Bab VI.
159
Versi A menyebut, khususnya, dalam catatan bahasa umum (bali bawah) ketika posisi protagonis dibutuhkan dalam
percakapan: praktik nyata dimana tingkat bahasa yang dipilih oleh pembicara tercermin pada sebuah kode rumit dan kadang-
kadang sangat halus memperlihatkan perbedaan status. Penyebutan berulang makan bersama atau cara kedatangan Mpu
Bumi Sakti di Madura, di tengah "dunia hitam" (ri tatkala sedeng bek pasare ring Madura), memberikan narasi sebuah
tekanan dan citra rasa, yang menghilang dalam versi B dalam kegunaan giliran permainan referensi sastra.
artifisial diperkenalkan dan didukung oleh satu referensi allusif, disebabkan hukuman ditimbulkan
oleh Widi, pencipta tertinggi, dan oleh leluhur Bumi Sakti.

"Tucapa mangke ki gusti Pandé bratan saking panendan ing widi mwang kawitanira sira bagawan pandia bumi sakti
wetu medanira, wulangun sira tan lingen ring lokastiti cinidra rinames kang pangalu ring wengi. Mangkana ulahira
satata amati mati wang pangalu "(Kr 2404: 23).

Dilaporan bahwa akibat dari hukuman yang ditimbulkan oleh Widi dan leluhur mereka Bagawan Pandia Bumi Sakti,
bangsawan Pandé Bratan, menjadi hilang akal. Tenggelam dalam kebingungan, mereka lupa tatanan dunia dan, di malam
hari, mengejutkan pedagang asong dan menghancurkan mereka. Demikianlah perilaku mereka dan mereka membunuh
pedagang sampai tak tersisa.

Kita dapat mencatat lebih lanjut bahwa tuduhan kanibalisme telah menghilang dari bagian ini di mana
Pandé Bratan hanya membunuh pedagang Batur. Lebih lanjut ketika Ida Wala muncul kepada
keturunannya dari Marga untuk melengkapi ajaran Mpu Siwa Saguna, sebuah episode yang tidak
termasuk ke versi A. Dimulai dengan berbicara tentang kemalangan yang menyerang kelompok
sebagai akibat dari hukuman dewa yang membawa mereka untuk makan daging manusia
(naramangsa), sebuah data yang benar-benar tidak bisa dimengerti untuk dibaca adalah hanya naskah
dari Mengwi:

"…apan kita amangan sanak tus nikang pasek batur, tunggal kawitanta lawan sira pasek apan sira juga tus ning
brahmawangsa ning, sira mpu ketek rakanira mpu brahmaraja kapandian" (Kr.2404: 24).

... karena anda telah memakan orang tua anda, yaitu yang dari garis keturunan Pasek dari Batur. Mereka memiliki keturunan
yang sama dengan anda dan mereka juga keturunan Brahmana, karena Mpu Ketek adalah kakak dari Mpu Brahmaraja
Kapandian (Mpu Bumi Sakti).

Pada pemunculan kembali ini ini telah diperkenalkan sebuah hubungan tambahan bukan milik versi
A, yang hanya mengidentifikasi korban Pandé Bratan seperti pedagang Batur. Di sisi lain, diketahui
pada bagian dari tradisi perdagangan kelompok, para Pasek Kayu Selem, sangat aktif dalam
menjajakan berbagai barang. Penulis "melengkapi" versi Jadi, menyatakan Pasek-pasek inilah yang
melakukan perjalanan ke Bratan (Ki Pasek Kayu Selem sakeng Batur Lunga pwa angalu lintang ring
desa Bratan). Selain itu, hubungan kekerabatan yang dibangun antara kedua kelompok diarahkan
untuk nantinya mendramatisir kesalahan Pandé Bratan terlihat seperti sebenarnya terjadi, karena
Pandé dan Pasek sering dihubungkan dengan tempat khusus yang dikaitkan dengan tradisi kedua
kelompok ini dari Sudra "atas". Dengan menunjukkan seluruh perjalanan cerita, seseorang akan
memahami lebih baik alusi pertama hubungan kekerabatan macam ini dan terutama sebelum episode
kelahiran Mpu Bumi Sakti, dari daftar Mpu jawa yang Pasek sadari sebagai leluhur mereka dan yang
berakhir dengan nama Mpu Ketek , diambil dalam kutipan di atas.160 Dengan demikian sejarah Pandé

160
Penulis, bagaimanapun, mengambil kebebasan tertentu dengan tradisi Pasek, setidaknya dari Pasek Sanak Pitu, karena
Pasek Sanak Pitu mengecualikan Pasek Kayu Selem dari kelompok kekerabatan mereka luas (Babad Pasek, Kr 963; Sugriwa
1957 : 111).
Bratan memperkaya penyebutan jaringan perluasan kerabat, Pasek dan Pandé Besi yang kehilangan
sebagian koherensi narasi, karena alasan penghancuran Bratan dan dengan demikian penyebaran
kelompok tidak lagi muncul secara eksplisit. Demikian pula evakuasi Kamandaka Tantra dalam
kerangka cerita tidak dijelaskan migrasi akhir dari Madura ke Bali dan melemahkan argumen
pertentangan para Brahmana yang tidak dikutip lagi di sejarah kelompok itu, tapi berakibat menjadi
konflik yang menentang seorang Brahmana dan seorang tukang emas di masa lalu yang ditunjukkan
oleh literatur Jawa.161

Pada akhirnya, perubahan penting terakhir yang diperkenalkan oleh versi Mengwi adalah
pengembangan episode dari penyebaran dirancang untuk menjelaskan kehadiran Pandé Bratan
wilayah Gianyar yang telah menemukan kembali asal mereka antara 1940 dan 1950. Kita ingat bahwa
keluarga Sukawati adalah yang pertama yang menemukan identitasnya, rupanya berkat adanya dua
patung yang mewakili Mpu Bumi Sakti dan istrinya yang tetap ada di keluarga ini setelah
penghancuran desa Bratan. Kemudian keluarga Camenggaon dan Blahbatuh juga bergabung dengan
kelompok gelar dan itu atas permintaan Pandé Bratan dari Blahbatuh bahwa sebuah sastra harus
ditulis di versi Mengwi.

Penulis mempengaruhi tiga keluarga dari asal sekunder yang sama, desa Bangli yang tidak disebut
dalam versi A. Penulis harus melaporkan kedatangan keluarga-keluarga ini di wilayah Gianyar. Untuk
melakukan ini, ia menggunakan pengetahuannya tentang kronik (babad) yang berkaitan dengan
keluarga mantan penguasa di wilayah Bangli (Bangli, Taman Bali, Nyalian) dan menjelaskan kepergian
leluhur Pandé Bratan dari wilayah Gianyar karena perang yang berakibat kekalahan Bangli. 162 Ada dua
bersaudara yang melarikan diri, salah satunya Pandé Likub yang membawa dua patung di Sukawati
(Timbul) di mana ia datang untuk tinggal (Tucapa palayu nira Pandé likub sakeng bangli saha amundut
linggarca kawitanira kalih sadampati, angungsi desa timbul). Tapi masih harus dijelaskan asal-usul
patung-patung tersebut yang benar-benar dijaga oleh keluarga Sukawati sebagai objek sakral (arca)
diwariskan oleh para leluhur. Mengacu pada titik ini dalam cerita di mana Mpu (D) Wala tinggal sendiri
setelah kematian Mpu Bumi Sakti, kita membaca bahwa ia mencari dengan sia-sia seorang ahli
spriritual (nabe). Ia kemudian menyiapkan dua patung dan penulis menjelaskan dengan sebuah
referensi Mahabrata bahwa, dalam melakukannya, itu tidak berbeda dengan Ekalawia yang

161
Secara khusus, episode kehilangan kekuatannya karena tidak adanya deklarasi akhir dari tukang emas, yang dalam versi
A, melemparkan kata-kata kepada Brahmana "noda" (letuh) dan "degradasi" (kapatita), yang maknanya dalam konteks ini,
menimbulkan kekerasan pada konsep status hirarki.

162
Untuk contoh, lihat Babad Ksatrya Taman Bali (1026 Kr), Babad Bangli Nyalian (KR 2195), Pariagem Taman Bali (KR 1158).
membangun patung Drona, ahli senjata Pandawa dan Korawa untuk memanfaatkan ilmu yang ahli
tolak untuk mengirimkannya karena alasan kondisi sosialnya dari Sudra (Kr 2404: 20).

Dengan demikian, sejarah asal-usul Pandé Bratan direkomendasi mendekati kenyataan dari
keseluruhan teks, tradisi lisan dan tradisi tertulis secara tradisional dalam studi Bali yang disimpan
terpisah oleh batas-batas disiplin ilmu. Manfaatnya adalah bahwa, jika memungkinkan, harus diikuti
dalam satu makna dan kemudian penghubung lain bergabung dengan data dari survei komposisi ini
supaya teks jelas. Dalam kasus khusus yang cakupannya lebih luas, kita melihat bahwa penempatan
tulisan yang menyembunyikan satu konteks dengan membuat teks-teks didalamnya agak bisa
dimengerti, dan lebih-lebih lagi ada pula satu tahap yang komposisi-transposisinya lebih lengkap,
seperti yang ditunjukkan dengan baik oleh versi Mengwi. Bukan karena teks-teks ini tidak bermakna,
tapi makna tidak juga menghasilkan koherensi internal yang diberikan oleh data cerita, tidak juga
mampu menggambarkan kurang lebih sebuah realitas sosial atau historis sehingga pengembangan
cerita tampaknya muncul dengan tidak disengaja.

Sebaliknya, makna yang menghasilkan dari pengaktifan bidang referensi dikoding untuk mengarahkan
pada penyesuaian kepentingan sosial dan peristiwa pada skema yang ditetapkan sebelumnya dalam
dirinya sendiri. Yang bisa membentuk materi tunggal objek sebuah narasi, bisa jadi apa yang ingatan
oral pertahankan dari “kebenaran” cerita Pandé Bratan, dibubarkan oleh pengaruh cara komposisi
berkat hubungan objek dengan proses para-mythique dan konstruksi jaringan referensi simbolik
lainnya, diproses dengan objek berlubang pada konten spesifinyak. Tapi ini juga mengapa studi teks
tak tergantikan, karena tidak menyampaikan fakta dan peristiwa itu ia mempunyai akses istimewa ke
"program kebenaran" yang berlaku di masyarakat, dengan "istana bayangan "di mana dibangun
kebenaran dari suatu era dan budaya.163 Oleh karena itu perlu mengkaji lebih detail yang
menunjukkan tempat referensi karya-karya Jawa, sejarah kerajaan Gelgel atau tradisi Pandé Besi,
banyak misteri yang dituju, dalam naskah Mengwi, mencakup sebagian besar cerita Pandé Bratan dan
tanggung jawab dan kewenangan seorang Pustaka / Pustaka Pandé,164 sebuah teks dari zaman kuno
dan inti asli kuno.

Sebelum menutup bab ini, masih kembali lebih eksplisit pada prinsip pengorganisasian dari cerita-
cerita asal. Menelusuri sumbu diakronik, menjalankan seluruh narasi, struktur silsilah. Sungguh suatu
peta dalam arti geografi, terutama karena serangkaian nama yang berhubungan antara yang hidup

163
Saya meminjam kata-kata antara tanda kutip oleh P.Veyne bahwa dalam sebuah buku kecil, apakah orang Yunani percaya
pada mitos-mitos mereka? Berkaitan dengan akurasi dan kecerdikan pertanyaan, lama dan selalu ada, kepercayaan wacana
kebenaran
164
Saya bermain, seperti halnya orang Bali, hampir homonim pustaka (naskah) dan Pusaka (objek warisan leluhur) karena
pustaka adalah senjata pusaka yang terbaik.
dan yang mati, antara masa sekarang sosial dan masa lalu mitos. Dalam hal ini, teks mencerminkan
ruang tropisme apa adanya dari sebuah komunitas dengan menjaga ingatan tempat leluhur. Nyata
dan fiktif, sementara nama-nama leluhur, yang sebenarnya lebih memberikan fakta petunjuk
klasifikatif daripada nama sendiri, cepat terlupakan. Pada pola spasial mencerminkan penyebaran
geografis di Bali, umumnya berhubungan dengan pusat utama ruang-waktu majapahit, pada pola tiga
tingkat yang mendasar itulah ditambahkan daftar leluhur. Adalah silsilah anthroponymique sekunder
yang terlihat pada fakta bahwa tiga versi kisah Pandé Bratan berbeda semuanya ketika nama leluhur
dan hubungan turunan dibangun diantara leluhur-leluhur.165 Memang, silsilah ini adalah jembatan
simbolis yang dilemparkan antara waktu dan ruang yang berbeda, dan huruf dari nama leluhur adalah
hanya kepentingan sekunder. Yang penting untuk dipertahankan adalah angka ganjil "langkah-
langkah" dari silsilah, yang dapat dibandingkan dengan meru yang atapnya menjulang dari bumi ke
surga, selalu dalam jumlah yang ganjil.166

Jika tidak pada teks mungkin dalam pembicaraan umum, generasi berikutnya mengatakan dibentuk
dari langkah langkah (undag), bukan lebih dekat pada citra tertulis dalam bahasa menurut yang leluhur
tidak datang tapi secara harfiah ke bawah (turun) dari Maspahit / Maospahit / Majapahit, tempat
mistis kadang secara eksplisit berada di ketinggian pegunungan? Representasi laten generasi "
keturunan" ini, masih dapat didekati dengan analogi seperti sungai turun dari gunung untuk dibagi
bagi membentuk jaringan irigasi lahan pertanian. Dalam gerakan yang sama air dari pegunungan
(kaja) menuju ke laut (kelod), air yang begitu penting kehilangan kualitas dari asalnya dan menjadi
tidak suci lagi. Dengan demikian, suksesi generasi juga turun dalam arti degradasi. Bahkan garis
keturunan paling mulia dalam waktu singkat hilang sebagian disebabkan kualitas leluhur mereka:
sebagian besar raja Bali memakai gelar Wesia (Gusti), sedangkan leluhur mereka dari Gelgel adalah
Satria dan bahkan dulu leluhur mereka yang dari Jawa adalah Brahmana dengan gelar Mpu.

165
Untuk versi A dan B, lihat Gambar 29 dan 31. Versi C Pandé beratribut pada kekerabatan Pandé Tonjok dan Pandé Wana
untuk Arya Pandé Ulung, Arya Danu dan Arya Suradnya untuk Mpu Sadaka.
166
Kita tidak memunculkan di silsilah gambar 3, generasi ketujuh dari Brahma, bahwa dari penyebaran, yang mengurangi
ke penjajaran nama yang tidak disebut dalam versi A, tidak menunjukkan sebagai lima "langkah" generasi.
BRAHMA

Mpu Bumi Sakti = Diah Amrtatma

Mpu Gandring = Diah Girisewaka Mpu Galuh

(Mpu) Brahmana Dwala

Arya Pandé Bratan/ Arya Pandé Sadaka167


Mpu Wulung

Arya Danu Arya Pandé Suradnyana / Pandé Tusta Pandé Tonjok Ida Wana
Pandé Resi (Pandé Besi) (sangging)

Gambar 31: Table genealogis leluhur Pandé Bratan (Versi B: MS LOR 11457 Kr2404)

Tapi jika waktu menurunkan seseorang dari jenjang status, kualitas leluhur tertentu bagaimanapun
tersebar kepada banyak orang dan untuk tetap mempertahankan fungsi dari pemegang status, kurang
lebih akan mempunyai konsekuensi. Harus bisa mempertahankan hubungan keturunan terkenal
bangsawan dari Gelgel atau Majapahit, itulah kenapa Pandé Bratan, yang tujuannya adalah untuk
menegaskan posisi status mereka dalam masyarakat pada akhir era kolonial, "menunjukkan" dengan
bantuan teks-teks menuju hulu asal yang mereka yakini terkenal. Mereka menyiapkan tahapan
generasi, yang terlihat jelas di versi Mengwi, yang ditunjukkan oleh serangkaian gelar dengan nilai
bertingkat, dari Pandé ke Arya Pandé, kemudian ke Brahmana dan Mpu, dan tingkatan paling atas ini
akhirnya dimahkotai oleh Brahma dengan gelar Batara. Konstruksi genealogi adalah dukungan
eksplisit permintaan status, dijelaskan dengan bantuan gelar yang merupakan indikator dari
keanggotaan kasta. Teks-teks tersebut kemudian adalah pertahanan dan ilustrasi, menurut sebuah
program kebenaran yang diakui, dari kepemilikan Pandé Bratan ke kasta Pandé-Satria (atau Pandé

167
Naskah ini menyebutkan pertama kalinya Brahmana Dwala mempunyai dua anak laki-laki, Arya Pandé Bratan dan Arya
Pandé Sasaka. Selanjutnya, hanya dibuat lagi referensi satu orang yang diasosiasikan bernama Arya Pandé Wulung, Mpu
Sadaka dan Mpu Wulung. Ketidakpastian ini berasal dari penambahan generasi yang tidak muncul dalam versi yang lebih
lama dari Brahma Tatwa Pandya. Tampaknya dalam versi terbaru ini, perubahan nama Mpu Gandring dalam Pansi Ulung
sangat tidak dijelaskan dengan baik menyebabkan kebingungan pada versi berikutnya.
Wesia), berisi penolakan kontradiksi pengakuan supremasi Brahmana yang merupakan karakteristik
tegas ideologi Pandé masa kini. Sementara kita tahu bahwa ideologi kontemporer Pandé ini tidak
punya akar di masa lalu, baik dari masyarakat Bratan maupun Pandé Bratan dari Selatan yang baru
saja menemukan kembali asal-usul mereka (Cf.Chapitre III). Kami telah menunjukkan bahwa klaim
identitas Pandé Bratan dan gelar Pandé hanya memberikan makna berkat sebuah gerakan dan banyak
ideologi yang harus dikaitkan dengan inisiatif Pandé Besi. Dalam pencarian Pandé, kami mengakui
keseluruhan bangsa idealnya inklusif dan berkualitas, selain gerakan Pandé Bangke Maong, termasuk
juga Pandé Mas, Pandé Bratan dan Pandé Besi / Tusan. Pertama-tama muncul namun dengan cepat
terpinggirkan karena kurangnya keterlibatan mereka dalam ekspresi identitas dan persatuan Pandé.
Sebagaimana Pandé Bangke Maong, Pandé Mas merupakan komponen pasif gerakan Pandé (Cf, Bab
I). Sebaliknya Pandé Bratan, dilengkapi dengan teks yang mendasari dan muncul di tengah-tengah
Pandé kontemporer yang dinamis, karena pada merekalah kita temukan salah satu pendeta Pandé (Sri
/ Mpu Bratan) dan salah satu penggiat paling aktif, Nyoman Oka, juga berasal dari Bratan. Pada studi,
Pandé Bratan bukan dari " sejarah Pandé " dan sejarah pembentukan kelompok bergelar mereka
mengungkapkan jejak dari para Pandé Besi yang jauh sebelum Pandé Bratan, mengacu pada tradisi
tertulis mereka dan leluhur mereka dari Tusan seperti pada sastra kaum bangsawan. Pada gerakan
Pandé Besi dan teks-teks dari tradisi mereka inilah yang masih menjadi pusat perhatian kita untuk
melanjutkan pengembangan lebih lanjut dalam memahami fenomena Pandé.
BAGIAN KETIGA

IDEOLOGI PANDE BESI


DAN DASARNYA
Masyarakat Bali, seperti yang kita kenal saat ini adalah
masyarakat jawa pada masa Hindu. Seperti masa itu,
masyarakat Bali masih statis, sehingga tidak mengherankan bila
mereka terbagi dalam kasta, mengikuti prinsip brahma.

(F. Du Bois, 1891)

Tidak ada grup asli di Bali yang memiliki tempat pemujaan bagi
leluhur yang didewakan yang begitu menonjol di tempat yang
paling suci yaitu Pura Besakih di Gunung Agung seperti
kelompok pande ini. Tidak ada juga kelompok yang memiliki
jumlah tulisan tentang mereka sendiri dan percabangannya
sebagai pande besi yang beredar luas. Hanya Pasek, merekalah
satu-satunya yang merekam bagian hidup mereka dalam bentuk
buku, sebagaimana saya menemukan selama kunjungan
terakhir saya di Bali pada tahun 1959.

(C. Hooykaas, 1964b)


BAB V GERAKAN PANDE DAN KONTEKS SOSIALNYA

Perjalanan mengenal wilayah pada awal penelitian ini mengantarkan pada akhirnya ke arah observasi
tentang Pande Besi, terpusat pada sebuah gerakan dan ideologi dimana pelajaran dari Pande Bratan
memungkinkan secara tidak langsung untuk memilih pengaruh pelatihan. Tidak harus memahami
“gerakan” dalam pengertian modern dan politik, implikasi eksistensi sebuah ideologi eksplisit dan
struktur organisasi umum sebagai sebuah strategi. Terdapat sebuah gerakan dalam makna ini dimana
keseluruhan dari Pande adalah tempat sebuah aktivitas ideologi yang mengantar pada penekanan
beberapa kekhususan. Gerakan ini diekpresikan melalui praktek simbolis yang tidak secara ekplisit
didukung oleh perdebatan tentang posisi Pande dalam kesatuan sosial. Tidak ada pembicaraan yang
jelas mengenai pernyataan, organisasi atau militanisme Pande. Gerakan Pande bermain pada aturan
tradisional dalam perdebatan religius dan tuntutan status, cara mengekspresikan yang tidak
dibenarkan secara legal sejak orang Bali berintegrasi dalam kesatuan politik administratif indonesia.

Kekhususan yang paling menonjol, yang akan kita lihat, tidak merupakan karakteristik dari seluruh
Pande Besi, adalah pembangkangan di mata pendeta Brahma. Posisi ini tidak dibenarkan oleh mereka
yang mengikuti interprestasi terbangun yang menjamin perilaku-perilaku yang dianggap menyimpang.
Terakhir, adalah diproklamirkannya naskah pendirian Pande Besi, padahal ini bukanlah “Doktor
Hukum” dan tidak ada sebuah tradisi pembelajaran dan komentar untuk naskah ini. Hal ini tidaklah
mengherankan karena pendeta brahma tidak pernah membuktikan kebutuhan untuk penjelaskan
sebuah dogma dan mendorong sebuah pengajaran diantara massa yang mempraktekkan sebuah ‘
agama populer”, dengan mana kadarnya diletakkan paling atas dari ritual mereka. Naskah ini
disediakan untuk bagian akhir. Kita harus mempresentasikan dan menjelaskan perwujudan sebuah
klaim status dan bantahan dari otoritas brahma, yang merupakan 2 bagian issu utama pergerakan asal
lingkungan Pande Besi.168

1. Pernyataan Perbedaan Pande


1.1 Tanda-tanda status kebangsawanan
Kita telah melihat lebih dahuli insident yang terjadi di Mengwi pada 1927 dan membandingkan Pande
Besi dengan Triwangsa, mengenai kremasi satu dan lainnya. Perbedaannya adalah penggunaan
menara kremasi (bade) bertingkat. Bade yang membawa mayat sampai pada tempat pembakaran,
adalah sekaligus simbol kosmis dan mengindikasikan peringkat sosial melalui jumlah atap bade, yang
mengingatkan bentuk meru 169. Diantara para bangsawan, pertentangan yang tidak jarang adalah

168
Menurut pendeta brahma, tulis Hooykaas:”pendeta ini yang memainkan peran pada semua upacara yang
rumit, perayaan, dan pertunjukan, tetapi menjaga diri sendiri dari jauh, dan yang, setelah satu jam berdoa dan
bergerak, selama waktu berkonsentrasi secara ekslusif pada diri sendiri, melempar bunga dan beras,
membunyikan lonceng, dan menggerakkan tangan, dan mengendalikan seluruh objek budaya di atas lampu
pendeta dan menyalakan kemenyan, memercikkan air dari tempat kecil dan memercikkannya dalam bentuk
tetesan, kemudian kembali ke rumah lagi, dihormati, dicari sebagai orang yang mempersiapkan air suci, tetapi
tidak dipandang sebagai pemimpin, tidak diikuti tidak pula didengar sebagai pengkotbah; sebagai sesorang
yang diabaikan dan tidak dimengerti” (1966,10).
169
Dapat ditemukan dalam Covarrubias sebuah ilustrasi bade sembilan tumpang, juga deskripsi elemen prinsip
dan maknanya (1972:369, 371-372)
mengenai jumlah tumpang yang diijinkan, dari tiga hingga sebelas tingkat tergantung pada tingkat
kasta, yang pada daerah tengah, dapat meminjam perbedaan. Pada prinsipnya dapat didengar bahwa
setiap orang harus meninggal pada tempatnya, dan orang sudra tidak memiliki hak kecuali bade satu
tingkat170.

Ketika hirarkhi disetujui, kemungkinan tanda peringkat tidak dibuat sesuai dengan aturan yang rigid
dan pada beberapa variasi regional, peran toleransi dan keistimewaan terkait dengan raja dapat
dimodifikasi, dengan beberapa batasan, secara teori hak untuk itu ada 171. Juga, contohnya, tradisi yang
dibawa satu kelompok Pasek, sekaligus pelayan pada Puri Tabanan, memiliki keistimewaan terkait
dengan raja tentang penggunaan bade beberapa tingkat. Namun lebih disukai kejelasan status mereka
dengan cara yang lebih sederhana sambil meningkatkan bade mereka dengan Garuda yang dihiasi
dengan benang emas (Boon, 1977:75).

Melalui komponen keistimewaan peringkat yang ditunjukkan dalam bade ini, menimbulkan
pertanyaan lebih umum tentang eksistensi dari kelompok sudra yang memperoleh status khusus.
Nampaknya kelompok atau individu tersebut dibedakan dari massa sudra, sehingga mengingatkan
penggunaan istilah prabali atau kulawisuda yang ditujukan untuk kelompok ini172.

Sebaliknya, alasan dari perbedaan ini tetap kabur. Dari kelompok-kelompok ini, yang terkait dengan
indek onomastik: Gusi, Si, Putu, Gede, Jero, Nengah, dibawa ketika memperoleh penghargaan
kerajaan dimana keturunan dari satria atau dari wesia yang jatuh (kehilangan kedudukannya) atau
ketika ia merupakan keturunan dari arsitokrat bali kuna, atai ia dibedakan dengan alasan fungsi
(profesi) khusus yang dikerjakan ketika memiliki hubungan dengan pangeran saat ini (Korn, 1932:149-
151). Nama Pasek, Kabayan, Bandesa, Patinggi, yang ditujukan pada pegawai pemerintah dan religius
desa, adalah setara dengan katagori prabali atau kulawisuda. Konr dalam kompalsasi hukum adat
sayangnya tidak memberikan indikasi apapun untuk dapat melihat posisi nyata dari kelompok ini
dalam skala status yang harus diekspresikan secara publik dan visual saat upacara kremasi.

Sebaliknya dengan Pasek, Pande tidak mengenal pemeringkatan pada jumlah kelompok sudra ini yang
ditandai oleh pengamat asing pertama tentang masyarakat bali (Friederich, Liefrinck, van Eck). Korn
tetap tertarik pada tempat para Pande dibandingkan pada kelompok ini dan sambil membedakan
keseluruhan sudra, tampaknya mereka tidak sama dengan prabali. Pada saat yang sama, ia bergabung
secara eksplisit dengan Pasek dan Sengguhu, pendeta Sudra ini “sehalus Waisnawa” seperti
dikualifikasikan oleh Hooykaas. Tiga kelompok ini, menurut Korn, terbebas dari perbedaan pekerjaan

170
Tata cara memperlakukan mayat memiliki klasifikasi makna tercantum dalam beberapa naskah. Contohnya
dalam sebuah naskah diperhitungkan pada caranya kemenangan dari Islam dan kejatuhan Majapahit,
dimaknakan sembilan katagori praktek religius (Agama Sambu, Agama Brahma, Agama Indra.....) yang mana
terkait baik pada cara meletakkan mayat (MS Kr 2815). Dalam Mss Catur Bumi (Kr 30:136) disebutkan
perbedaan antara kelompok dalam penggunaan kayu untuk Bale Balean pada bade dan dalam menggunakan
bambu, mana yang boleh menggunakan warna, mana yang tidak, dan sebagainya
171
Nilai gelar nampaknya memiliki variasi antara satu daerah dengan lainnya. Harus dilihat bahwa gelar dan
tanda lainnya dari status seperti kita melihat bahasa dimana aktor dapat bermain dan jika tidak, rentan pada
variasi dialek.
172
Dalam bahasa jawa kuno, kulawisuddha berarti “keluarga murni” dan demikian juga makna bahasa sanskrit.
Van der Tuuk, saat datang ke Bali, mengindikasikan bahwa prabali atau perbali ditujukan pada kelas individu
yang termasuk dalam kasta ketiga dan keempat, dimana mereka adalah keturunan keluarga bali yang
merupakan imigran dari Jawa yang terikat karena perkawinan. Pigeaud menyimpulkan sebuah pendekatan
dengan wali dari jawa pada masa majapahit yang tercantum pada “officer or higher gentry” (1962:260).
yang dilakukan sudra yang lain dan ditambahkan selentingan mengenai Pande dan Pasek, “mereka
diperkirakan memiliki hak untuk menggunakan bade yang sama tinggi dengan Triwangsa yang lain”
(1932: 163-164).

Kapankan mereka menggunakan bade tersebut? Apakah Pande memperoleh keistimewaan atau
toleransi yang diberikan pada beberapa kelompok dan tidak untuk yang lain? Saksi dari masyarakat
pada akhir abad 19 dan penduduk Bali utara, van Der Tuuk tampaknya membangkitkan pengalaman
ketika ia menulis “Pande Tusan” yang ditempa ketika menjadi pelayan pada seorang pendeta brahma
dan menggunakan ‘bade tumpang pitu” pada upacara kematiannya (KBNW II:669). Lama setelah itu,
de Kat Angelino menyebutkan secara cepat pada salah satu catatan artikelnya terkait dengan Pande
dimana Pande Besi memiliki keistimewaan menggunakan bade tujuh tingkat, tanpa memastikan
apakah dia mengamati praktek seperti itu (1921:214). Pada tahun 1932, kontroler Gianyar hadir pada
upaca Ngaben seorang Pande di desa Pujung Kaja dimana menggunakan bade lima tingkat. Ia
menambahkan bahwa pada kabupaten Gianyar Pande memiliki hak untuk menggunakan bade tujuh
tingkat (ADR 1934:374). Pada bentuk ini, mungkin posisi kontroler mencerminkan pemerintah kolonial
yang pada sudut ini di atas yang lain, dapat memengaruhi penggunaan tersebut yang cenderung untuk
menggeneralisir hak dan kewajiban sekalipun situasi adat berbeda-beda sebagai hasil dari peran
hubungan khusus yang terjadi antar kelompok dan individu.

Kita mengetahui bahwa penyimpangan mengenai “urusan Pande” pertama ini dikenali oleh
pemerintah kolonial dan hal itu berimplikasi ke Pande Besi dari Beng. Pada tahun 1912, dalam satu
surat mengenai hal itu yang mengantar kita lebih detail, Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan
di Singaraja, menganjurkan asisten residen Bali selatan untuk mengijinkan seluruh Pande Besi
menggunakan bade tujuh tingkat. Ia membenarkan posisinya dengan memberikan referensinya
menurut pedanda dari pengadilan adat (Raad Kerta) Buleleng, dimana menurut pengadilan tersebut
penggunaan bade seperti itu tidaklah menjadi skandal di Bali Utara, yang berada di bawah kontrol
belanda sejak pertengahan abad 19 173. Masih pada tahun 1912, hanya 4 tahun setelah penjajahan di
Bali selatan, yang tidak menunjukkan diri secara nyata bagi penguasa tradisional dari wilayah tengah
karena Residen Bali ingin mengumumkan permasalahan tersebut.

Padahal, pelajaran dari berkas permasalahan Beng menunjukkan bahwa para pedanda dari pengadilan
memandang Pande sebagai sudra, seluruhnya diperkenalkan asal-usulnya yang diilustrasikan melalui
Pande Tusan dalam bentuk gambar pada naskah pendirian mereka dimana pedanda dapat mengenali
dengan nyata174. Jadi jelas bahwa pendeta-hakim, penjaga wilaya “Bali-Hindu”, pengunaan bade tidak
harus selalu menandakan katagori Triwangsa. Kita dapat menduga hal tersebut sebagai pertanda
adanya perbedaan yang sayangnya tidak merubah posisi kasta dari yang berkepentingan dan
mangacaukan aturan yang ditunjukkan melalui pertahanan yang tertutup. Kalaupun bisa, khususnya
untuk Pande Tusan yang saat ini membentuk kelompok bergelar pada permukaan yang agak kabur,
keistimewaan dipastikan menonjol, sebab bade tujuh tingkat berkaitan dengan posisi ketiga pada
skala lima, dan bade tingkat sembilan atau sebelas tidak dapat digunakan kecuali oleh para bangsawan
pada rangking lebih tinggi atau raja. Masuk akal bahwa keistimewaan itu telah disetujui pada pasukan
tertentu, pada zaman tertentu, dan hal itu cenderung diwariskan atau diklaim sebagi hak waris oleh

173
Lihat Apendik C surat dari Residen, beralamat Singaraja ke Asisten Residen Bali Selatan dan bertanggal 16
April 1912 (Berkas Korn, No. 213, Leiden)
174
Lihat dokumen Apendik C, ditandatangani nama pendeta dari Raad Kerta Buleleng: Sang Gde Poetoe Griya,
Sang Gde Poetoe Ngurah, Sang Gde Ketut Bagoes (Berkas Kprn, No. 213, Leiden).
keturunan mereka. Sebaliknya secara mudah dapat dibayangkan alasan yang dapat mengapa
keistimewaan tersebut diberikan pada semua pengrajin dan keturunannya. Karena pada masyarakat
kontemporer semua Pande Besi dan juga Pande Bratan, memperkirakan memiliki hak perbedaan
tersebut, adalah benar tampaknya bahwa bade menjadi simbol gerakan pande ini yang mengantar
secara progresive jumlah kelompok untuk menyesuaikan diri sebagai keturunan bangsawan terikat
dalam nama Pande Tusan, juga bahwa menandakan terkenalnya posisi sebuah status yang mungkin
dapat lebih berharga dari status yang sebenarnya. Apapun itu, peristiwa Mengwi tampaknya
mengindikasikan bahwa mati dengan cara kasta tertinggi bukanlah sebuah keistimewaan yang perlu
bagi semua pande. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Pande Besi adalah yang paling
menentukan untuk tidak perlu takut menghadapi oposisi Triwangsa di tempat tinggalnya, dengan
mengambil resiko pembatasan kehadiran penguasa kolonial yang meletakkan istilah pada aspek yang
paling ektrim dalam hukum tradisional.

Diantara Pande Besi Blahbatuh, secara tradisi oral terjaga kenangan sebuah konflik perlawanan
masyarakat Pande atas penguasa lokal. Peristiwa ini, terjadi antara tahun 1910 dan 1930, dimana
terjadi pemaksaan sebuah pekerjaan utama yang ditolak karena terdapat dispensasi yang mereka
miliki sebelumnya, sama dengan leluhurnya. Ini adalah contoh sebuah usaha kembali menjadi sebuah
kebebasan, yang telah kita lihat, terkait satu-satunya pengrajin yang melayani sebuah rumah
bangsawan. Tetapi sangan mungkin pada saat terjadinya konflik, Puri Blahbatuh tidak memerlukan
lagi pelayan pengrajin dari Banjar Babakan yang dengan alasan pergantian ekonomi dan politik kurang
lebih telah merubah aktifitas profesionalnya. Mungkin tujuan penguasa lokal adalah melanjutkan,
pada kondisi ini, manfaat sawah ayahan yang dahulu telah diakui oleh pengrajin pelayan istana dan
yang berlanjut dimanfaatkan oleh keluarga terkait, sedangkan istilah pertukaran telah dimodofikasi
dengan berjalannya waktu. Hal ini menunjukkan penjelasan Pande Besi ini, saat ini, membangkitkan
lagi sebuah kepahitan penyitaan sawah dimana mereka memperkirakan memiliki hak waris dan
mereka kehilangan dengan menolak kompensasi pekerjaan utama (ayahan tegenan), yang membuat
mereka menjadi petani biasa. Peristiwa Blahbatuh tidak diragukan lagi mewakili sebuah konteks yang
lebih umum. Tentu saja kondisi dari para pande besi, khususnya kaum pedagang, berpengaruh secara
langsung melalui evolusi yang menghentikan pembuatan senjata tradisional.

Apakah pande besi dapat terus memperoleh citra dan prestise khusus dalam sejarah kemasyarakatan
yang dibawa oleh pemegang kepercayaan lama, adalah sangat memungkinkan. Tetapi hal tersebut
tidak memadai untuk dijelaskan, pada masyarakat sebelum masa kolonial, pengakuan atau perbedaan
para Pande Besi oleh bangsawan pemegang kekuasaan. Lebih tepat lagi, untuk menghindari ambigu,
bahwa pengakuan tersebut tidak berlawanan dengan kondisi dari kewajiban relatif yang merupakan
karakter dari pengrajin di layanan kursus dan yang telah kita jelaskan sebelumnya. Pengakuan ini harus
dipahami seperti memahami konsepsi aktifitas sosial atau proses teknis yang penting bagi hidup
manusia yang berkait dengan kekuatan paranatural yang diakui dengan pasti secara ritual, yang
menciptakan keteraturan dunia, yaitu produksi dan kekuasaan, selain menjalani ketidakseimbangan
serius sebagai konsekuensinya. Atau pande besi memiliki manfaat sosial yang dikenal dengan dua cara.
Mereka membuat alat-alat dari besi yang merupakan keperluan pertanian dan utamanya, dalam
pandangan bangsawan penguasa, mereka membuat senjata yang memiliki nilai simbolik dan berperan
penting.
Itulah sebabnya kita dapat memahami lebih baik dari referensi tetang magis pada awal jaman besi,
melalui keberadaan “sanggah pande” pada pura kerajaan 175. Pada Pura Dasar Gelgel, dari kelompok
pemujaan bangsawan yang berasal dari gelgel, diantara tempat pemujaan leluhur dari garis
bangsawan dan dewa, dijumpai sanggah Ratu Pande. Hal yang sama pada Pura Besakih dimana tempat
pemujaan besar dikumpulkan direpresentasikan ritual aturan kosmis dan budaya leluhur dari garis
bangsawan Gelgel (Goris, 1969a). Atau contoh lain adalah Pura Samuan Tiga di Pejeng dimana struktur
bertingkat dan ritual khusus menunjukkan strata yang jelas lebih tua dari Gelgel. Pada ruang pertama,
di sebelah kanan pintu masuk utama, sebuah merajan yang terdiri dari 3 bangunan yang berkaitan
dengan penghormatan pada para Pande, Pasek, dan Sedahan Agung, istilah terakhir ditujukan pada
pengelolan sistem irigasi. Pada semua merajan tersebut terdapat fungsi lain yang dikenal sebagai
“alat” pemerintah kerajaan seperti: Pasek, pacek, dan juga orang-orang cina penguasa gerbang
diwakili di Besakih oleh Ratu Ayu Subandar (Gambar 32-34)176.

Kita lihat bahwa harus diinterpretasikan juga keberadaan satu pelinggih Pande dihubungkan dengan
keberadaan pelinggih lainnya dalam pura tersebut. Untuk menghindari kesalahan berfikir bahwa raja
Gelgel adalah pemilik utama tangan para pande besi karena, dalam hal ini, mereka dapat pula
memberi penghormatan leluhur cina dari subandar yang melayani mereka, sebuah kebetulan yang
absurd. Cara yang sama juga dalam bidang ekonomi, perkiraan yang terlalu tinggi oleh penganut
kepercayaan pada magis seni kerajinan besi tempa, karena fungsi pemerintah yang diperoleh para
Pasek atau pedagang maritim ditempatkan diantara tangan subandar tidak menemukan tempat
mereka pada pura ini dengan alasan kepercayaan atau karakter magis dari dua aktifitas ini. Perbedaan
fungsi ini ditampakkan dalam tempat ini karena mereka berkait dekat pada konsepsi harmoni kosmis,
ditunjukkan pada dunia ini melalui tanda-tanda kemakmuran materi yang hanya dapat diperoleh
secara berlanjut melalui praktek ritual yang ditujukan ke pemegang kekuatan terkait, tanpa bantuan
mereka aktifitas manusia akan tetap steril dan chaos. Harus dibedakan juga fungsi-fungsi ini -dan
representasi simboliknya pada tempat-tempat ibadah- dan agen yang mengisi dan semua yang dapat
menerima dukungan dan keistimewaan utama, menurut ortodoksi sosial religius hanya kaum sudra
atau bahkan orang asing.

175
Kita akan memahami lebih jauh bahwa interpretasi ini berkaitan dengan representasi yang diberikan oleh
MSS Kundalini dan Tutur Lambang Kawi, juga dokumen yang berkaitan secara spesifik dengan tradisi Pande
Besi.
176
Dalam Pura Dasar Gelgel, ketika kita berhadapan dengan dua meru sembilan tumpang (Batara Kentel Bumi)
dan sebelas Tumpang (Batara Dalem Dasar), kita lihat di sebelah kannya satu meru kecil tumpang tiga, pelinggih
dari Ratu Pande. Secara langsung di sebelah kiri terletak pelinggih bidang semantik yang terkait dengan Cina,
Boda, dan Sakenan, nama dari Pura di Pulau Serangan yang dapat dilihat pada masa lampau sebuah rumah
Budha dan sebuah jaringan perdagangan maritim lokal. Sebelah kiri dari pelinggih tersebut terletak pelinggih
Batara Maspait (Majapahit). Terakhir, di sebelah kanan pintu pura, sambil keluar, kita dapat melihat pelinggih
Ratu Pasek. Dalam Pura Samuan Tiga, pelinggih lain di tiga bangunan memiliki arti dalam dokumen berikut, harus
ditandai bahwa dalam ruang pertama keberadaan dari satu pelinggih terkait pada Sedahan Babah. Satu
panggilan yang tidak biasa dan malah mengherankan, tetapi ditujukan dengan jelas pada keberadaan cina dan
tentu saja perdagangan. Untuk Pura Besakih, ditunjukkan lebih tepat tempat tiga dewa pada diagram 32-34
pemegang Pande Besi, Pasek, dan pedagang dari laut dan darat. Dapat pula dibaca pada Hooykaas (1964) dan
Stuart Fox (1982) informasi secara lengkap mengenai pura ini. Dari tema ini telah kita lihat fungsi “alat” yang
dipresentasikan pada pura kerajaan penting, dapat ditambahkan bahwa dalam MS Kusuma Dewa (Kr 1804), para
Pasek, dan perlengkapan Pande Tusan, dipresentasikan sebagai pendukung dan tetap dekat dengan Ratu, dan
juga contohnya: Semangkana tingkah ing manyeneg ratu, yapwan munggawa, merbekel, nora wenang dohang
ki pasek, bandesa, pande tusan, ngukuhin, dangka, kabayan, salahin.
Data-data yang baru saja kita uraikan mendukung kemiripan satu tingkatan dari kekuatan kerajaan
dan ketuhanan dari pembuat senjata namun, dapat dikatakan, melalui fungsi dimana nilai diturunkan
ke kondisi dan aktifitas nyata seniman ini. Atau, fungsi ini dipandang pentingnya berkurang dengan
pentingnya senjata api yang setidaknya pada abad 19, tidak semua dibuat di Bali177. Dengan pendirian
“perdamaian kolonial” profesi pembuat senjata hilang sama sekali dalam beberapa tahun. Bersamaan
dengan itu, nilai yang terkait dengan fungsi dalam kekuasaan bangsawan terhapus secara cepat, tidak
meninggalkan jejak bagi para saksi kecuali pelinggih peringatan yang ditemukan dalam pura-pura
regional atau lokal yang penting. Yang tertinggal pada pande besi, keluarganya dan turunannya adalah
menerima kehilangan tersebut, dengan keistimewaan relatif, sebuah singularitas dan sebuah identitas
sosial terbentuk pada masa yang panjang. Pada konteks ini akhir sebuah tradisi yang tidak dapat
diragukan lagi, pada tempat tertentu, diantara kelompok tertentu, memperkenalkan pengembangan
ideologi pande, yang pengaruhnya diperluas secara progressif sampai mencapai kelompok ini pada
Bali Aga yaitu Pande Bangke Maong dan termasuk Pande Bratan dimana ditunjukkan asal usul khusus.
Perubahan sosial yang datang digambarkan tidak hanya bermain secara mekanik, sebab evolusi
tersebut secara nyata sedikit mempengaruhi pada lingkungan pande besi di bali utara, dimana
lingkungan Klungkung bagaimanapun dicirikan dengan sebuah pusat pande besi. Phenomena ini
menjadi rumit dan, jika tidak dapat mengurangi menjadi bagian yang lebih sederhana, tidak akan
diperoleh manfaat menyeluruh pada analisis sosial-historis menjadi informasi penting yang terbuang.
Gerakan Pande tidak menemukan maknanya kecuali mengandalkan pada keberadaan dokumen
pendiri pande besi yang ada sebelumnya yang menjadi saksi.

Konteks ini cenderung menghilangkan spesifikasi tertentu yang dikenal sebelumnya di lingkungan
pengrajin senjata ditambah dengan tekanan dari pemerintah kolonial yang baru yang bertujuan
melanjutkan untuk memanfaatkannya dan mensistematiskan pergantian kepemilikan dan kewajiban
layanan melalui pusat kekuasaan lama. Pemerintah kolonial, mengabaikan adat-isti adat setempat,
mengambil ideologi kasta dan pembagian warna pada kop surat dan menganggap, sebagai
konsekuensnya, semua orang yang termasuk sudra, kira-kira 90% dari jumlah penduduk, adalah
sederajat dalam hal pajak dan pekerjaan. Konsepsi ini melahirkan seluruh keistimewaan yang
dihasilkan dari aturan tradisional dan sebuah perbedaan yang dibuat antara para sudra. Reaksinya,
kadangkala hidup, diwujudkan dalam perlawanan terhadap tingkatan fiskal ini yang berimplikasi pada
negosiasi atas perbedaan status. Juga, sekitar tahun 1910, para Pasek dan Bandesa di Karangasem,
juga Pande Besi dari Beng, menolak untuk membayar beberapa urunan kolektif, dan urusan ini
berakhir melalui pengasingan para “pemimpin pertahanan” (Korn,1932:175).

Peristiwa Beng mengungkapkan sebagian kecil dari reaksi permasalahan fiskal. Pelanggaran tertentu
pada akhirnya dipertahankan melawan Pande Besi tertentu pada desa ini yang membangkitkan
“penolakan kewajiban pada otoritas atas”, diantaranya adalah raja Gianyar yang diantara para
penguasa di Bali selatan hanya dai yang mempertahankan posisi dan kekuasaan relatifnya, dengan
alasan keputusan yang baik dimata Belanda. Penolakan membayar pajak yang diangkat Puri Gianyar
dan juga bekerja pada pembangunan jalan diterima oleh enam pande yang dihukum pada tahun 1913
sampai hukuman pembuangan yang bervariasi. Tetapi beberapa pemimpin tampak pada pengadilan
yang dikontrol penuh oleh pemerintah kolonial, tetap berdasar pada hukum bali dimana ahlinya
adalah para Pedanda. Hal itu membuat para Pande Besi tidak mau menggunakan air suci yang

177
Jacobs menunjukkan bahwa fusil, model lama dari batu, diimpor seperti juga carabin, dan dia menambahkan
bahwa meskipun demikian senjata sumbu dibuat di tempat (1883:94).
disiapkan oleh pendeta brahma dan menganggap tidak terdapat kasta sudra. Perbuatan ini dipastikan
memperburuk kasus demontrasi jika penguasa tradisional Gianyar memiliki kekuasaan penuh dalam
pengadilan terdakwa. Peristiwa Beng memiliki beberapa aspek dan utamanya pengangkatan sikap
religius dimana administrasi belanda ingin memastikan posisinya, sambil menghasilkan dokumen
tertulis yang memberikan dengan jelas tentang harapan sebuah penolakan pada kekuasaan brahma
pada awal abad 20 ini.

1. Pura Pangubengan
2. Pura Tirta
3. Pura Paninjoan
4. Pura Batu Madeg
5. Pura Gelap
6. Pura Ratu Pande
7. Pura Ratu Penyarikan
8. Pura Kidul ing Kreteg
9. Pura Penataran Agung
10. Pura Padharman
11. Pura Ratu Pasek
12. Pura Dukuh Sagening
13. Suci
14. Bancingan
15. Pura Basukian
16. Pura Jenggala
17. Pura Merajan Kanginan
18. Pura Banua Kawan
19. Pura Merajan Selonding
20. Pura Ulun Kulkul
21. Pura Goa
22. Pura Bun Sakti
23. Pura Manik Mas
24. Pura Dalem Puri
Gambar 32. Pura Besakih

(Sumber: D.J. Stuart-Fox: 1982:14)


1. Candi Bentar 29. Gedong, I Gusti Teges

2. Bale Pegat 30. Gedong, I Gusti H. Angangtiga

3 &4 Bale Kulkul 31 & 32 Panggungan

5. Bale Palegongan 33. Bale Papelik

6. Bale Pagambuhan 34. Meru, Ratu Maspahit

7 & 8 Bale Ongkara 35. Kehen

9. Kori Agung 36. Meru, Bhatara Geng ou Saraswati

10. Bale Gong 37. Bale Papelik

11. Bale Kembang Sirang 38. Gedong, Pasek Brejo

12. Padma Capah 39. Bale Papelik

13. Bale Paruman Alit 40. Bale Papelik

14. Meru, Sang Hyang Kubakal 41. Gedong, Pasek Kayu Selem

15. Ratu Manik Maketel 42. Gedong, Ratu Ayu Subandar

16. Bale Pasamuhan Agung 43. Gedong, Ratu Ulang Alu

17. Bale Papelik, Ratu Sang Hyang Siyem 44. Bale, Sang H. Surya Candra

18. Bale Tegeh 45. Meru Ratu Sunar Ing Jagat

19. Padma Tiga 46. s/d 48. Bale Tegeh Widadara

20. Bale Papelik 49. Bale Papelik

21. Bale Agung, Sang Hyang Iswara 50. Bale Papelik, Ratu Ngelesung

22. Bale Kawas 52. Meru, Ratu Ayu Mas Magelung

23. Panggungan 53. Meru, Sang H. Wisesa

24. Bale Pawedan 54. & 55 Bale Papelik


Gambar 33: Nama bangunan di Pura Penataran Agung (dan Gambar 34)
25. Meru, I Gusti Dauh 56. Gedong, Ratu Bukit Kiwa
(Sumber: D.J. Stuart Fox, 1982:20-21)
26. Meru, Bhatara Tulus Dewa 57. Gedong, Ratu Bukit Tengen

27. Meru, Bhatara Panataran

28. Meru, Bhatara Suka Luwih


1.2 Penolakan air suci Brahma

Saat itu adalah mei 1911 dimana diputuskan oleh Pengadilan (Raad Kerta) Gianyar bahwa Pande Beng
harus menggunakan air suci dari brahma (thirta brahmana) dan mengumumkan adanya kasta sudra.
Keputusan yang dikirim melalui surat ditujukan ke dan reaksi dari permintaan Residen Bali, dimana
mereka mengadili perilaku dan menginterogasi, dengan seluruh kerendahan hati yang disampaikan
secara formal, atas alasan keputusan pengadilan Gianyar. Pertahanan mereka meimbulkan
keberadaan praktik budaya khusus pada “bangsa Pande Besi” dimana mereka tidak dapat pergi tanpa
meninggalkan kemalangan besar. Praktek ini dilegitimasi melalui isi prasasti yang mereka miliki, yang
mengarahkan mereka secara formal untuk tidak menggunakan air suci brahma dalam upacara ritual
mereka. Selain itu “weda” atau mantra ritual formal, khusus pada Pande, harus dibacakan oleh
pendeta khusus, “Empu” yang telah diupacarai penyucian “mewinten”, mirip pendeta brahma
menurut penandatangan surat tersebut. Ditambahkan ketika kebajikan pada naskah yang sama
mereka diijinkan untuk menggunakan bade tinggi seperti “bangsa satrya”. Jadi mereka meminta
kepada Residen (Sri Paduka Kanjeng Tuan Besar Residen) kekuasaan menmpertahankan budaya dan
hak leluhur mereka, dan mereka tidak dipaksa menjadi “bangsa sudra” padahal mereka adalah milik
“bangsa Pande Besi”.178

Surat permintaan tersebut mengharuskan Residen mengambil keputusan, yang dibuat pada april 1912
setelah berkonsultasi dengan begbagi pihak, tertama menurut pendeta brahma dari Raad Kerta dari
singaraja. Diputuskan bahwa harus dibiarkan para para pande de Beng menggunakan air suci sendiri
seperti yang mereka mohon, termasuk menurut “empu” mereka, karena empu ini menerima ijin untuk
mengisi fungsi yang sam dengan pedanda. Residen juga memberikan nasehat untuk membiarkan
mereka menggunakan wadah 7 tingkat, namun sebaliknya menolak keinginan mereka untuk
menganggap diri mereka sebagai pemilik kasta yang lebih tinggi dari sudra179. Untuk hal itu, residen
nampaknya mengikuti penasehat brahmanya yang menunjukkan perilaku yang lebih toleran dari pada
sejawatnya di selatan. Meskipun demikian, sangat jelas bahwa pendeta para pande besi hanya para
sudra, dan mereka sepakat untuk melihat keistimewaan brahmana dalam kemampuan
mempersiapkan air suci dengan cara tertentu dan pada keberadaan sebuah ikatan kekerabatan yang
luas. Sebaliknya, keistimewaan ini dapat dipeluas oleh pendeta brahma ke pendeta non brahma yang
telah menerima pembelajaran yang bebas oleh mereka. Tanpa autorisasi ini, perebutan kekuasaan
atas hak istimewa brahma, menurut kitab hukum bali, adalah kriminal yang disebut Samuka dan dapat
dihukum mati. Berkat pengembangan kasus ini kita dapat belajar bahwa pada awal abad ini sebuah
kelompok pande besi mengumumkan sebuah naskah pembentukan dan menerima air suci yang lebih
efektif dari pendeta non brahma, yang tinggal di Srokadan dekat Bangli dan memiliki penguasanya
yaitu Pedadnda Siwa dari Gria Abuan (Bangli).180

Selain itu sangat menarik untuk dicatat bahwa pendeta brahma ini berfikir bahwa dapat dibedakan
dua macam pande besi berdasarkan dua tradisi tertulis diman para pendeta secara nyata mengenal

178
Lihat pada appendix C surat permohonan ditulis dalam bahasa melayu, tertanggal 20 Mei 1922 dan
ditandatangani oleh 21 pande dari Desa Beng (Dokumen Korn, No, 213, Leiden).
179
Lihat surat Residen Bali pada 16 April 1912 (Appendix C).
180
Kepastian ini diberikan dalam sebuah dokumen pasca peristiwa Beng, surat Asisten Residen Bali Selatan
(Nopember 1928) mewakili residen dalam garis besar hukum urusan pande sejak peristiwa Beng (Dokumen
Korn, No. 213, Leiden).
dan yang tertulis dalam naskah yang akan kita pelajari pada bagian berikut181. Mereka mengakui juga
bahwa ada pande “berasal dari Majapahit”, Pande Tusan, yang menggunakan air suci dari pendeta
brahma, dan lainnya pande besi “asli bali”, atau Bali Aga, turunan dari “Haji Wesi” dan mengangkat
sebuah tradisi yang melarang menggunakan bahkan pada air yang sama. Lagi pada keturunan yang
sama yang menyebut pande dari Beng dalam proses verbal sebuah penyelidikan pengadilan dimana
mereka mengatakan juga menganggap dirinya sebagai Satria. 182

Melalui posisi mereka yang kontradiktif Pande dari Beng membakar skema yang ada. Sebagai turunan
“Haji Wesi” dan bukan pengguna air suci brahma, mereka adalah Bali Aga, artinya bahwa
keistimewaan mereka diinterpretasikan dalam hal perbedaan asal dan rasial yang disndang oleh
beberapa kelompok terkenal, tinggal dalam beberapa desa yang membatasi atau menganggap sebagai
pemelihara praktek budaya Bali asli. Berdasarkan keyakinan ini pada sebuah autochotonie yang satu-
satunya memiliki karakter Bali Aga, dimana hal ini tidak dianggap sebagai pembangkang yang mampu
menumbangkan nilai-nilai masyarakat berkasta183. Jika mereka mengabaikan pembagian kasta dan
kekuasaan religiuns para brahma, mereka mengakui bahwa itu adalah alasan ciri kuno dan sebuah
kesetiaan pada budaya leluhur mereka. Representasi tersebutlah yang menggerakkan pada fiksi
sebuah dualisme masyarakat bali menilai pada Bali Aga untuk mentolerir dan menemukan tempat
mereka dalam masyarakat kasta dengan cara etnik primitif. Atau Bali Aga pada pandangan tertentu
ataupun asal usul Bali Aga, para Pande dari Beng tidak masuk menurut kriteria lainnya. Mereka tidak
tinggal pada sebuah desa Bali Aga, utamanya mereka membakar mayat mereka dan cenderung
menggunakan cara para ksatria. Mereka juga melanggar katagori yang ditetapkan tentang “Bali Asala”
dan “ Bali dari Majapahit”, dan lebih-lebih lagi mereka menantang pembagian antara sudra dan
Triwangsa. Pada pandangan ini, perilaku dan klaim status mereka nampaknya subversif atau
sekurangnya tidak dapat dipahami bagi mayoritas masyarakat bali “ortodok”.

Penolakan para pemimpin atas tuduhan tersebut, masalah perilaku religius beberapa Pande Besi
tampaknya diatur sampai tahun 1927-1928 dimana “gangguan” terjadi pada beberapa desa di wilayah
Gianyar dan Mengwi. Kali ini para Pande ditahan dengan penguasa desa dimana mereka tergantung,
dan tidak lagi secara langsung dengan penguasa tradisional tertinggi. Konflik yang tidak dapat
diselesaikan dalam kerangka desa, dibawa ke wilayah administrasi kolonial. Dalam sebuah surat pada
bulan nopember 1928, Asisten Residen Bali Utara memaparkan kejadian secara keseluruhan
“permasalahan Pande Wesi”, termasuk mengingatkan kejadian sebelumnya tentang masalah Beng 184.
Ia memastikan bahwa konflik melawan “masyarakat hindu-Bali” (de Hinode-Balische bevolking)
memiliki sejenis “sekte keturunan” (kettersche secte), yang terbentuk tidak satu kesatuan. Kelemahan
Pande Besi, tambahnya, adalah hasil dari jumlah mereka yang kecil dan pertikaian internal. Satu
bagian dari mereka mengikuti “ritus lama” dan tidak dikhawatirkan oleh masyarakat desa. Sebaliknya,

181
Referensi memiliki tradisi tertulis terdapat pada laporan yang ditetapkan oleh tiga pendeta di pengadilan
Buleleng:” Maka hamba telah melihat dimana babad (asal oesoelnya) pande besi....” (Appendix C).
182
Lihat (Appendix C) proses verbal penyelidikan pada 15 Maret 1912, dengan kehadiran Kontroller Gianyar,
Anak Agung Dewa Manggis, pendeta dari pengadilan Gianyar dan Klungkung. Khususnya, pada pertenyaan “ Apa
sebabnya kamoe tidak maoe pake air tirtanya Pedanda?” Para pande dari Beng menjawab:” Oleh karena dari
doeloe doeloe kami tidak pernah pakai air tirtanya dari Pedanda; sebab kami toeroennya Pande Hadji Wesi, dan
ada kami poenya pamantjangah (prasasti), disitoelah terseboet kami orang tidak boleh pakai air tirta dari
Pedanda”. Pada pertanyaan lain mengenai kastanya, mereka menjawab: ‘Kalau kami mengakoe bangsa
Brahmana tidak, kalau mengakoe bangsa Satria betoel”
183
Korn, khususnya, menggemakan konsepsi ini (1932: 158-159)
184
Berkas Korn, No 213, Leiden
mereka yang menolak menggunakan air suci brahma dilarang masuk ke pura-pura desa, kuburan dan
sumber, karena kehadiran mereka ditempat tersebut dianggap sebagai faktor yang mencemari.

Penyebab utama dari kekacauan tersebut adalah bahwa beberapa Pande memaksa untuk membakar
mayat mereka di kuburan desa, tetapi tetap menolak keberadaan pendeta brahma untuk memimpin
upacara kremasi. Pada banyak kasus, dua pihak tetap pada posisi mereka, yang mengharuskan
memilih ke pengadilan wilayah. Para hakim yang dikumpulan oleh Pengadilan Gianyar mengikuti
sebuah perkecualian, yang digariskan dalam urusan Pande Beng. Mereka menetapkan bahwa Krama
Desa tidak dapat memaksa para pande untukmemanggil pendeta brahma. Tetap bila pilihan mereka
adalah menyediakan air suci dari pendeta Empu atau Mpu, mereka harus menerima bahwa mereka
ditolak dalam pura desa dan mereka harus menyediakan kuburan terpisah. Penyelidikan yang
dilaporkan ke Asisten Residen menunjukkan bahwa disposisi ini telah diambil oleh beberapa desa,
tanpa membutuhkan ikut dalam arbitrese dari administrasi kolonial. tekanan dapat juga
menyesuaikan menurut beberapa pengandaian, dan hal ini jelas bahwa tidak semua pande
memutuskan ketentuan yang sama, sebab beberapa kembali ke “ritus lama” menurut istilah
administrasi belanda.

Istilah tersebut membawa kebingungan. Akibatnya, para pande menolak sebagai bukan pembuat ritus
baru, dan cenderung mengkualifikasikan ritus lama sebagai praktik para Bali Aga yang tidak membakar
mayat mereka dan tetap pada pengawasan pedanda. Atau para pande yang membuat skandal adalah
mereka yang penganut ritus kremasi tetapi menolak keterlibatan pendeta brahma. Objek penolakan
tidak terletak pada bentuk atau makna ritual, tetapi lebih pada legitimasi mereka yang memimpin
upacara mereka. Pada umumnya diakui bahwa hanya pendeta brahma yang memiliki kapasitas
memimpin sgala sesuatu yang berkaitan dengan proses ritual kompleks ditujukan sebagai pemandu
arwah yang meninggal dalam perjalanan sulit. Arwah yang salah panduan dapat kesasar, yang
memberikan hi, bila asil buruk bagi orang tua almarhum. Lebih lagi bila imam tidak memiliki
kompetensi yang memadai, arwah tidak dapat disucikan secara tepat dan penduduk desa yang
bertanggung jawab atas ritual yang diatur dalam wilayah mereka akan menerima akibat yang
berbahaya. Pande dan penduduk berbeda pendapat untuk alasan fundamental yang sama: bahaya
yang mengikuti setelah kegagalan ritual yang sangat kritis untuk menciptakan harmoni antara Tuhan
dan leluhur. Dengan demikian kualitas pemimpin ritual utama adalah penyebab: bagi satu pihak
adalah Mpu, dan untuk yang lain adalah Pedanda. Indikasi penolakan yang paling kelihatan pada
Pande Besi tertentu adalah menggantikan secara definif pedanda dengan pendeta non brahma,
setelah menerima peran tersebut dari pemimpin utama dalam parum desa melalui ucapan ritual dari
bantuan kekuatan pengetahuan yang lebih tinggi efisiensinya.

Apa yang kita ketahui dari figur sentral pada penolakan pande, apakan sebuah penolakan pada
kekuasaan pedanda atau penolakan pada cara dari ritual brahma? Harus dicatat bahwa berkas yang
dibuat oleh Korn tinggal pada bayangan Mpu pertama pada jaman kolonial yaitu sekitar tahun 1910,
tinggal di Desa Srokadan. Kita melihat bahwa bagaimanapun dia adalah murid seorang pendeta
brahma. Tampaknya gurunya tersebut memberikan otoritas untuk berlatih sebuah bentuk
kependetaan yang bukan pemangku, karena otoritas pemangku tersebut tidak berjalan atau tidak
memiliki rekomendasi langsung dari pendeta brahma. Dengan alasan hubungan tersebut, harus diakui
bahwa Mpu Srokadan, juga yang kita lihat sekarang, telah melalui beberapa aspek dari ritual brahma
dan bahwa ia telah berlatih menjadi pendeta tertinggi, sejenis tingkatan antara pemangku dan
pedanda. Mengingat bahwa sebuah penularan sebagian pengetahuan brahma pada anggota sebuah
kasta lain adalah hal yang biasa dikenal, namun kapasitas dari pendeta ini, bukan pemangku bukan
pula pedanda, adalah tergantung pada batasan tertentu seperti mereka tidak dapat memimpin kecuali
kelompok keturunannya atau pada beberapa ritual tertentu. Mengingat pula bahwa pendeta-pendeta
ini pada umumnya adalah sudra, para Sengguhu, yang secara tradisional terbebani aspek-aspek
chtonic pada upacara penyucian tertentu dan memimpin upacara dengan pedanda dimana mereka
melayani aspek mantra pada upacara yang sama. Mpu Srokadan adalah seorang pendeta yang
memiliki kapasitas terbatas, yang tampaknya tidak diijinkan melayani selain masyarakat di “ras” nya.
Jadi keberadaan seorang Mpu merupakan gerakan penolakan ketika kesetiaan kepada guru brahman
rusak dan ketika kondisi terbatas dari pendeta tidak lagi dihargai. Situasi tersebut tidak dialami oleh
pendeta dari Srokadan, yang tidak meunujukkan kekhawatiran saat kejadian Beng sedangkan dia
memberikan tirta kepada pande yang dituduh membangkang. Tinggal memilih orang yang memiliki
hubungan yang nyata dari proses penyebaran pengetahuan brahman terkemuka pada Mpu Pande
kontemporer tersebut yang tidak menerima lagi persyaratan para pedanda, namun tetap melakukan
praktek ritual.

Suasana stabil ini, mengakibatkan bahwa, dari sudut pandang hukum bali dan ideologi yang terbagi
secara luas, hubungan Pande Besi tertentu dengan seorang Mpu tidak nampak murtad, dan tentunya
menjadi sumber konflik, mulai saat dimana tidak terdapat bukti kebebasan simbolik dari pendeta ini
di mata pedanda. Tampaknya hal ini terjadi sekitar tahun 30-an, saat terjadi ketegangan pada
beberapa desa di Gianyar, jika tidak bisa dijelaskan. Agar memungkinkan untuk diwujudkan, pada saat
itulah dibuat jelas perilaku penolakan telah ditunjukkan di tempat Pande Beng tahun 1910, dengan
mengembangkan logika bahwa administrasi kolonial telah memfasilitasi toleransi religius. Berdasrkan
penolakan inilah, dijumpai sesungguhnya konsepsi kekhususan Pande Besi atas penolakan tirta
brahma. Konsepsi ini, yang tidak ditemukan Pande Beng dan yang dilegitimasi oleh Prasasti, secara
implisit adalah subvesif dalam masyarakat berkasta dimata para pendeta brahma sebagai ekspresi
nilai tertinggi mereka. Namun konsepsi ini diterima melalui bias dari dua hal: di bawah ckupan
pengelompokan Bali Aga sehingga ditempatkan “di luar sistem” dari kekhususan terkait, dan dalam
pribadi pendeta yang disebut Mpu yang melalui keterkaitan mereka dengan pendeta brahma, juga
dikremasi dalam tingkatan fungsi pemimpin upacara.

Dalam konflik tahun 1927 dan 1928, kita diperlihatkan tempat sebuah perubahan yang mengantar
sejumlah peningkatan dari Pande Besi untuk memisahkan secara nyata nilai dari masyarakat kasta.
Pertunjukkanlah yang lebih nyata dari perubahan ini adalah pelajaran ilegal dari sebuah bentuk
tertinggi dari pemimpin upacara, baik kejahatan samuka atau sambuka yang sangat ditekan dalam
masyarakat pre kolonial. Kejadian ini terungkap tahun 1926 dalam sebuah dokumen yang menarik
dari Pengadilan Denpasar185. Disini diputuskan bahwa seorang Mpu dihukum penjara satu tahun
karena telah memimpin kremasi seorang pande. Tampaknya bahwa kemudian pengadilan menarik
kembali berikut penolakan Mpu, karena telah kita ketahui bahwa pengedilan yang lebih tinggi telah
mengatur masalah ijin masuk ke pura dan kuburan. Mungkin pendeta yang dimaksud adalah Mpu Poh
Manis yang mengingat dengan bingung beberapa informan tua dan tinggal di Pinatih, Badung 186.

185
Lihat “pandangan” tertulis anggota pengadilan Denpasar, tertanggal 12 oktober 1926, mengenai kejadian ini
“...Pan Direp dan Sira Empoe, jang dijatoehkan hoekoeman masing-masing kesalahannja dengan penjara
setahoen lamanja, lantaran mereka itoe telah melakoekan pekerjaan mengaben, jang mana terseboet kesalahan
“asisia-sisia” (Semboeka)” (Dokumen Korn, No. 213, Leiden)
186
Nama Poh Manis menggambarkan, hubungan dengan seorang Mpu Pande, dalam sebuah dokumen naskah
Korn (No. 213), yang hampir tidak dapat dibaca.
Sebelum perang dunia kedua, ada lagi dua orang Mpu, satu di Beng dan lainnya di Taman Bali, tetapi
tradisi oral atau mungkin elaborasi terkini disini tidak dapat diverifikasi. Ditambahkan juga bahwa
keturunan spiritual pendeta Srokadan kadang-kadang bergabung awal abad ini dengan Mpu Pande
saat ini adalah tidak pasti, dengan alasan perbedaan skema yang didirikan oleh para informan. Namun,
tidak ada alasan untuk meragukan sebuah suksesi yang terganggu dari Mpu tentang periode
mendekati satu abad ini dan pada bagian tengah bali selatan.

Penolakan Pande meluas kemungkinan setelah kemerdekaan, sementara itu menjadi jelas bahwa
hukum tradisional bali tidak berlaku lagi dalam republik baru Indonesia. Pada tahun 1950-1960 tiga
pendeta mulai aktif, diindikasikan melalui eksistensi seorang klien yang cukup penting dan
meragamkan para pande dalam penolakan. Dua pendeta, berasal dari ligkungan Pande Besi, tinggal di
perbatasan Denpasar: Mpu Tonja dan Mpu Tatasan, keduanya, kata orang, adalah murid Mpu Beng
yang kebenarannya tidak pasti. Lainnya, Mpu Bratan atau Sri, yang telah kita uraikan berasal dari
Bratan dan perjalannya menjadi pendeta dimulai dengan latihan menjadi pemimpin upacara pada
periode ini187. Mpu Tonja meninggal awal tahun 70-an tanpa meninggalkan murid maupun tampaknya
kenangan seorang pribadi yang terkenal, sebaliknya dengan Mpu Tatasan yang hidup sampai tahun
1978. Istrinya, Mpu Istri Tatasan, mengambil alih fungsinya, dengan dibantu puteranya, menurut
semua penampilannya, akan mengambil suksesinya pada waktunya. Mpu Tatasan memiliki murid,
Mpu Kali Akah, yang memeimpin upacara di bagian barat pulau bali sampai meninggalnya pada tahun
1982. Setelah melengkapi semua daftar kontemporer, harus juga dicatat Mpu Kediri yang tinggal di
Kediri dekat Tabanan. Ia menjadi pendeta sekitar tahun 60-an, tanpa rekomendasi dari sebuah
keturunan dengan Mpu yang lain, hidup ataupun mati188.

Fungsi dari Mpu, seperti yang kita ketahui, secara umum tidak diturunkan di lingkungan internal
kelompok keluarga atau kelompok desa. Hanya keluarga Tatasan yang memberi contoh keberlanjutan
tertentu, tetapi ditunjukkan juga bagaimana kesediaan bahwa tidak ada sesuatu yang tidak bisa
dipelajari. Namun, menurut beberapa saksi, Mpu Tatasan benar-benar luar biasa, khususnya melalui
innovasi yang ia tulis. Karena ia adalah wakil, katakanlah, memakai songkok, yaitu pakaian muslim,
arab atau keturunan arab, dari kota Denpasar dan Singaraja. Kita ketahui juga bahwa ia mengambil
referensi pada tempat suci, Mekah, nama yang saat ini masih tidak membangkitkan secara penting
spirit Islam bali dan kota nabi189. Ia memasukkan dengan segera ke dalam pura keluarganya dua
modifikasi luarbiasa, karena tidak relevan dengan varian yang biasa dijumpai di Bali. Pengganti dimana

187
Mereka mungkin adalah pendeta yang dibicarakan oleh Hooykaas pada tahun 1959, tanpa pernah bertemu.
188
Dapat ditambahkan bahwa ada kandidat Mpu diantara para Pande dari Beng, tapi nampaknya telah mundur
dari pendeta pada saat keberangkatan saya pada tahun 1982. Ada juga di Desa Mas seorang Pande sastra, dan
kolektor naskah yang mungkin wakil para pande yang tinggal di luar bali, tanpa dikenal sebagai Mpu bagi
masyarakat pande di Bali.
189
Mencari untuk diferivikasi jika referensi ke Mekah ini benar ditujukan ke Mpu Tatasan, sya perge ke
Pemengku para Pande Besi di Tihingan yang ikut dalam gerakannya. Jawaban adalah positif dan dipublikasikan
pada kehadiran penulis lain dan beberapa anak yang ada disana. Saya meminta kepada anak-anak apakah
mereka tahun dimana terletak Gunung Mekah. Setelah beberapa saat dalam keraguan mereka menjawab
Mesir (timur Tengah, Egypt), yang kemudian dijawab denganoleh lainnya bahwa gunung ini ada di India. Jadi
kita lihat tradisi menulis para Pande Besi/Tusan (Kr 1033, 1961), referensi pada satu keturunan atau satu
kebijakan mengenai Gunung Mekah (katuturan sang Yayah panuhalpanwa ring Gunung Mekah). Dalam
Rajapurna Pura Ulun Batur, itu adalah dewa yang bernama I Ratu Gede Mekah. Sedangkan Pura besar di Batur
adalah tempat yang paling tinggi dalam “hinduisme” bali (Cf p.117 transkrip dari naskah ini dapat kita rujuk ke
Perpustakaan di Museum Denpasar).
seharusnya terdapat sebuah Padmasana terdapat sebuah tower semen yang dicat merah,
mengingatkan warna terkait dengan Brahma, berlawanan dengan penggunaan di Bali, pada sanggah
ini dibuat sebuah stile yang sama sekali baru. Sepanjang sisi kaja pura, dapat dilihat sebuah vas terisi
air, di tengah dimana terletaksebuah patung kecil dari batu merepresentasikan Twalen, sedangkan
patung lima Pandawa mengelilin190g

Sebagian besar Pande Besi penolak tidak dapat mengikuti Mpu Tatasan dalam inovasi ini yang
nampaknya terlalu “asing” bagi pengguna. Para Pande dari Beng menjelaskan juga bahwa mereka juga
berakhir dengan memutuskan hubungan dengan pendeta ini. Alasan lain, kurang lebih sama
pentingnya, adalah bahwa perilaku Mpu Tantasan tidaklah sejalan dengan pergerakan untuk kesatuan
persaudaraan dimana para Pande ada dan selalu merupakan pendukung aktif. Pendeta Tatasan tidak
bergaul dengan koleganya dari Tonja. Para Pande Besi dari desa ini tidak menyembunyikan untuk
menandai bahwa Mpu Tatasan ingin berbuat lebih besar dari mereka, dan tidak ada apapun yang
dapat menentukan untuk menggunakan air suci yang disiapkan oleh jandanya, dimana tempat
tinggalnya terletak di tetangga mereka. Kita lihat bahwa ketrikatan di lingkungan Pande Besi penolak
sangat relatif dan bahwa pendeta bukanlah katalisator pada pergerakan untuk persatuan dan
kesatuan, sekalipun ia terkenal dengan sebuah penyimpangan religius yang sedang maju dan secara
original membatasi pada kelompok tertentu dari Pande besai.

1.2 Dorongan untuk Bersatu


Inisiatif kembali ke Nyoman Oka, berasal dari Beratan, dimana dapat ditandai peran tahun 50-
an. Pada tahun 1960, ia meninggalkan posisi ini dan “naik” ke Denpasar untuk membentuk agen
perjalanan yang dikenal sukses, yang memungkinkan anggota lain dari keluarga dekatnya dan orang
Beratan lainnya bergabung dalam aktifitas ini terkait dengan pariwisata yang terkenal
perkembangannya dengan cepat sejak awal tahun 70-an. Itu adalah medernitas yang meyakinkan,
realis namun tidak efisien dalam menyiapkan ide dan juga mempublikasikan artikel kritik luar biasanya
di koran Bali Post dan mengurus berbagai tema aktual. Pada akhir tahun 60-an terjadi pertemuan
sejumlah Pande yang kapasitas utamanya telah melewati sudut pandang sempit untuk menerima ide
penyatuan Pande, menurut beberapa hal yang sedang didefinisikan. Kelompok telah dibentuk, yang
lebih penting tiga pendeta dan orang yang paling berpengaruh dalam kelompok Pande Besi dari Beng
yang telah berhasil dalam satu dasawarsa terakhir menunjukkan banyak pabrik tekstil kecil di Gianyar.
Pertemuan itu menghasilkan kegagalan, dengan alasan dari ketidaksepakatan pendeta Tatasan dan
Tonja yang tampaknya tidak menyerah untuk mempertahankan posisi otoritasnya, bahkan ketika
dibatasi oleh lingkaran Pande yang cukup sempit. Singkatnya “kepicikan” dua pendeta tersebut
membersihkan inisiatif dimana motivasi menjadi agak tidak pasti, jika kita mempercayai Nyoman Oka.

Namun, kemudian beberapa saat setelah pertemuan tersebut sebuah asosiasi didirikan oleh
Nyoman Oka dan para pande dari Beng, dan dinamakan Maha Semaya Pande, “Keluarga Besar
Pande”191. Kejadian tersebut bukanlah sekedar kebetulan jika, pada saat itu, seorang pendeta Pande

190
Twalen adalah satu dari empat parekan dalam wayang kulit bali yang bila dibandingkan dengan punakawan
di Jawa adalah sama dengan semar. Pandawa adalah lima bersaudara, pahlawan Mahabharata, diciptakan
untuk satu perjuangan melawan sepupu mereka, Korawa.
191
Nama ini mengambil istilah kawi, mahasamaya, dan di sanskrit, samaya berarti persetujuan, janji, atau bisa
juga pertemuan, persatuan.
baru, Mpu Kediri, masuk ke dalam tugasnya dan nampak baik pada kesatuan Pande yang kemudian
adalah lebih sebagai sebuah formula dari pada sebuah realitas. Formula ini tetap, dalam ukuran besar,
untuk beberapa alasan yang mendukung absennya proyek dari para pemimpin, kurangnya organisasi,
dan cara membiayai asosiasi, dengan keadaan mental dan keberagaman kondisi sosio-ekonomi para
Pande. Dalam kondisi ini, pergerakan menuju persatuan nampaknya secara prinsip adalah
pembesaran secara progresif kesadaran akan penyebaran hubungan, cenderung menyatukan
keberagaman Pande di kelilingi representasi terbagi dari asal keturunan yang spesifik dan penegasan
perbedaan yang diekspresikan melalui praktek simbolik tertentu. Sebenarnya, fondasi dari assosiasi
terdapat dalam daftar simbolik ini. Assosiasi ini bukanlah benar-benar sebuah organisasi. Itu adalah
sebuah formula, Maha Semaya Pande, diluncurkan dalam satu masyarakat dimana kata-kata tidak
ditujukan pada transparansi ataupun keterikatan, tetapi memiliki kepadatan atas semua dan efisiensi
mereka sendiri. Nama ini, perlu dicatat, tidak diambil dari bahasa Indonesia tetapi lebih tepat pada
buku induk bahasa dari formula lengkap pada kekuasaan yang menyatukan merujuk mereka yang
merasa Pande, dan juga memberi semangat untuk mengekspresikan identitas mereka. Pada nama ini
terkait gambaran sekaligus pada kejauhan dan keberadaan I Nyoman Oka, “pemimpin” ini menanam
kekuasaan diperkirakan, oleh hal yang sama, ia punya tanpa memiliki yang sebenarnya. Di lain pihak,
asosiasi memperhitungkan “wakil” wilayah yang bukan merupakan militan sebuah organisasi, tetapi
orang lokal, bebas, mendukung dan menyampaikan pada kehendak dan irama mereka tentang
“gagasan Pande”, seperti informan dari wilayah Karangasem setelah melakukan pembaharuan
identitas Pande Bangke Maong.

Yang paling aktif dari penanggung jawab wilayah tak terbantahkan adalah Pande dari Beng,
yang memperoleh kesejahteraannya dari industri kecil tekstil di Gianyar dan yang memimpin
komunitas mereka. Khususnya, mem beri semangat secara sistematis kelompok pande melalui sebuah
prasasti untuk memperkenalkan dan, untuk itu, mengorganisir sesi membaca dengan mengusulkan
layanan baca dan menterjemahkan, sebab jarang orang desa yang dapat membaca aksara dan
mengerti idiom sastra. Naskah ini, yang secara umum lebih disebut prasasti dari pada
babadmemegang perana penting dalam memberikan rasa percaya diri pada kelompok Pande yang
ragu untuk menegaskan identitas mereka. Tidak diragukan lagi bahwa maksud dalam sebuah prasasti,
, tidak semua selalu seperti itu, larangan meminta air suci ke pedanda adalah dorongan kuat untuk
menghentikan keterkaitan dengan pendeta brahma yang dapat mengikat kelompok in, karena
larangan ini tampaknya seperti diktat para leluhur.

Yang tampaknya kembalinya buku tidak benar-benar kembalinya baca tulis. Isi dari naskah ini,
seringkali samar dan dibaca cukup cepat sehingga pemahaman seringkali lemah, dari penonton, hanya
menerima beberapa aspek biasa seprti nama leluhur atau larang yang telah disebut di atas. Prasati,
pertama, adalah “sesuatu” yang datang dari masa lalu dan memuat kekuasaan. Ia adalah bigian dari
lingkungan kawitan dimana diuraikan representasi dari hubungan keluarga dan identitas kelompok.
Kekuasaan yang terikat pada objek naskah menemukan sebuah ilustrasi yang jelas dimana pendeta
dari Kediri mengatakan telah menanam kekuasaan mengurus bukan oleh guru (nabe), tetapi oleh
pemberkatan dari “tapak” sebuah prasasti: katapak pustaka menurut istilah mereka sendiri192. Ia
mencatat bahwa prasasti ini juga menjadi objek beberapa keraguan, termasuk beberapa pande secara

192
Dalam upacara pentasbihan seorang pendeta brahma, guru meletakkan kaki (napak) diatas air muridnya. Itu
adalah istilah yang sama (tapak) yang diambil, mengindikasikan bahwa prasasti telah menemukan tempatnya
yang kembali normal pada nabe.
langsung berimplikasi pada promosi persatuan Pande dan tidak mengabaikan tata cara baca-tulis
Prasasti Pande masa kini. Fakta bahwa Mpu Kediri telah mengambil jalan lain pada bentuk
pentasbihan ini menunjukkan kesenangan bahwa efisiensi ditujukan pada sebuah naskah yang
diwariskan oleh leluhur masih utuh, walaupun eksistensi batas keraguan ditunjukkan dalam semua
masyarakat, bahkan pada yang paling tradisional.

Harus dipahami juga bahwa nilai objek prasasti tidak terkait langsung dengan kekunoan dalam
hal material pendukungnya yang tidak sama dengan lontar. Contoh dalam perbaikan, tahun 1981,
prasasti Pande Besi dari Banjar Dadakan, Blahbatuh, menghasilkan protes. Lontar menjadi kuno dan
bacaan sulit, dikatakan pada penulis bukan Pande yang membuat naskah di atas daun lontar baru.
Objek pada tahap ini, hanya sebuah objek, hanya satu copy profan. Maka harus dikatakan pada Mpu
Kediri yang melaksanakan upacara Mlaspas193 dimana objek harus dibersihkan dari kekuatan kotor
dan menanamkan satu kekuatan, yang oleh pendeta adalah “leluhur” dalam naskah. Ini merubah juga
sifat dan bentuk sebuah prasasti. Esoknya, dalam Pura Dadia dan kehadiran anggota, ia memberikan
pelajaran tentang prasasti yang telah diperbaiki, dilengkapi dengan terjemahan dalam bahasa bali
halus. Undangan dihormati sebagai saksi peristiwa dimana Sri, pendeta dari Bratan, Nyoman Oka dan
dua wakil dari kelompok Beng.

Tambahan, restorasi ini adalah juga sebagai kesempatan untuk mengaktifkan identitas Pande,
prasasti baru ditulis atas permintaan kelompok yang tidak memilikinya, dari sudut pandang ini,
contohnya oleh Pande Bratan dari Blahbatuh yang tidak istimewa. Sepengetahuan saya, tiga orang,
semua tinggal di Selatan Tengah, menulis naskah ini tidak selalu setia mengcopy pada naskah yang
ada. Penelitian aktif mengenai asal-usul, yang tidak mengkarateristikkan hanya para Pande,
menyimpilkan idealnya “penemuan” sebuah tradisi tulis, representasi sebuah janji dari keaslian untuk
kelompok dikerjakan atas ketidakpastian leluhur mereka. Contohnya, sebuah dadia di Desa Bulian,
Bali Utara, tidak mempertahankan masa lalu mereka kecuali hanya Pande. Setelah mempelajari surat
dari Blahbatuh oleh orang yang relatif dekat yang mengenal dengan baik tradisi Pande dan memiliki
Lontar, mereka menyewa sebuah minibus dan pergi ke selatan, ke tempat tinggal penulis yang dikenal
dengan nama Prasasti Pande Bratan tiga puluh tahun sebelum MS Kr 2404. Mereka mendengarkan
pelajaran dan komentar bahwa surat adalah naskah dari tradisi Pande Besi, kemudian saling
mengajukan beberapa pertanyaan. Tinggal dalam ketidakpastian, karena naskah tersebut tidak
memuat Bulian dan mungkin lebih mendasar sebab ia tidak tahu banyak apa yang harus dikatakan dan
diperbuat tentang naskah tersebut, mereka pulang ke tempat mereka tanpa meminta copy dari
naskah dimana akan dikirim secara sukarela dan ditambahkan, jika dibutuhkan, menyebut nama
Bulian, sebab hal itu tidak mungkin melengkapi sebuah tradisi yang tidak memperhitungkan luasnya
penyebaran kelompok Pande. 194

193
Mlaspas adalah istilah umum yang ditujukan pada upacara penyucian bangunan baru. Isi naskah sama pada
bagian pertama dari MS KR 1061 atau pada bagian kedua dari MS Kr 1033 sesuai dengan cerita tentang “leluhur”
keturunan Majapahit di Bali.
194
Jenis keadaan inilah yang mengantar ke produksi versi baru dari sejarah Pande Bratan. Diringkas dengan baik
dibandingkan dengan versi lain, naskah disusun pada 1982 termasuk dalam bagian akhir disebutkan keberadaan
Pande Bratan di wilayah Karangasem, Nusa Penida, Dan bahkan Lombok. Pemohon, yang mencari Kawitannya,
berasal dari Nusa Penida. Dengan memiliki sebuah copy versi potongan pada Pande Bratan Bbaru, transkripsi
ditemukan menyatu dalam Proyek Hooykaas, saya memilih kesempatan untuk memastikan asal lontar ini,
terdaftar atas nama saya dan mencantumkan tempat tinggal saya di Jero Kawan, Ubud. Baris kedua pada lembar
pertama lontar ini dimulai dengan panamaskaran ingulun ring pada batara hyang mami....
Fakta lain ilustrasi karakter hidup dari naskah dan hubungannya dengan naskah, contoh
berbeda ini menunjukkan pentingnya makna prasasti dalam pergerakan Pande ini dimana sebagai
akibatnya mungkin persilangan naskah hilang dalam sirkulasi. Kaitannya dengan prasasti, harus
ditandai keberadaan komposisi silsilah yang pasti merupakan elaborasi baru. Kita ingat, pada hal ini,
karakter jembatan simbolik silsilah bertujuan untuk menjembatani kurang lebih secara ringkas jarak
antara dulu dan sekarang, kelompok nyata dan leluhur jawa. Pohon silsilah ini bukanlah objek sakral
seperti prasasti, dimana mengambil nama dari leluhur tertentu. Mereka digambarkan di atas lembar
terlepas dari buku pelajaran sekolah yang mengkonservasi siapapun yang memegang pengetahuan
tradisi Pande, lebih sering dalah pendeta, pamangku, dan Mpu. Ditunjukkan dua contoh yang diingat
dengan baik komposisinya, sehingga bisa dibaca hasilnya dari kombinasi pengaturan dan mengatur
kembali satu seri dari antroponim yang terkait dengan tradisi Pande, juga tradisi bali dalam arti luas.
(Gambar 35, 36). Dia antara Brahma, Sang Pencipta, dan leluhur para Pande dimasukkan satu daftar
panjang dari Mpu Jawa dimana nama digambarkan juga dalam silsilah para Brahma. Dua contoh ini
dipakai bukti kecenderungan untuk bersatu elemen-elemen berantakan tradisi Pande untuk
mengenalkan kesatuan silsilah yang tidak ada di pelajaran prasasti lain.

Juga, pada contoh pertama, dapat dilihat bahwa leluhur Mpu Brahmawisesa, sebenarnya
dalam tradisi Pande Tusan, melahirkan dua garis terpisah dari Pande Tusan dan Pande Bratan, melalui
penengah dari Mpu (Siwa) Saguna dan Mpu Galuh195. Mpu Gandring, yang dalam naskah Pande Bratan
adalah leluhur yang sebenarnya dari garis tersebut, dan disini leluhur jawa yang tidak memiliki
keturunan di Bali, sesuai dengan versi tertulis sejarah Pande Tusan. Elemen berikut menjauh secara
parsial dari tradisi tertulis, melalui kelalaian atau penambahan, seperti tertulis di Taman Bali yang tidak
memiliki daftar tertulis. Dalam contoh kedua, tangga (undag) silsilah terdiri sembilan tingkat dan tidak
lagi lima. Jika tidak, peranan paduan menghubungkan lemen-elemen berbeda, dengan mengabaikan
para Pande Bratan masuk dalam skema ini. Bergantung pada dunia jawa dan bali, kesatuan semantik,
Saguna, Gandring, dan Lalumbang, fakta sebuah toponyme telah dimasukkan dalam Pararaton
memberikan tempat pada sebuah kombinasi yang menghasilkan tiga leluhur berbeda. Tambahan,
terdapat modifikasi hubungan kekeluargaan antara Mpu Saguna dan Mpu Gandring, yang terakhir
juga menjadi leluhur langsung Pade Besi di Bali. Sebaliknya Mpu Lalumbung menjadi leluhur asah gigi
(Sangging) dengan nama sastra, Prabangkara, diberikan kepada keturunannya, sedangkan Mpu Galuh
adalah leluhur para pengrajin emas dalam tradisi Kamasan yang disebut secara akrab dengan Pande
Capung. Dapat kita lihat juga dalam silsilah ini mencerminkan situasi Kamasan yang mewakili tiga
kelompok tersebut, dimana kedekatan geografi diterjemahkan dalam hal kekeluargaan. Cabang
pengrajin menjadi beragam berikut dengan memberikan tempat untuk pengjarin perak, khususnya
dari Budaga (Pande Grondong) dan leluhur mereka Putih Dahi, sedangkan muncul garis lain yang
diprakarsai oleh Pande Padang Galah yang artinya masih kabur. Calon cabang berasal dari Pande
Anom, sebuah nama yang kita kenal sangat terkait dengan sebuah lapisan Bali Aga sedangkan ia terkait
dengan garis Pnde Tusan seperti yang diindikasikan nama-nama keturunannya, Pande Tusan, Pande
Tatasan, dan Pande Tonja.

195
Tercatat bahwa Mpu Brahmawisesa adalah saudara dari Mpu Gagaking dan MPU Bubuksah, yang tidak
disebut dalam tradisi tulis Pande Besi. Mereka terdapat dalam silsilah ini masing-masing terkait pada Islam dan
Budha. Bubuksah dan, lebih tepat lagi, Gagang Aking, adalah seorang dalam cerita, yang berasal dari lingkungan
Budha di Jawa Kuno, dan yang dikenal cukup luas di Bali. Cerita menggambarkan perbedaan antara praktek
pertapa siwa (Gagang Aking) dengan Budha (Bubuksah).
Mpu Dwijendra

Mpu Brahmawisesa (Siwa)

Mpu Gagaking (Islam) Mpu Bubuksah (Budha)

Mpu Galuh
Mpu Saguna
Mpu Gandring

Mpu Ulung Mpu Kepandean

(Bratan) (Tusan)

Mpu Prabangkara Mpu Sangging Mpu Pande Kayu Lurah Kepandean


Mpu Pande Wesi
(Bratan) (Buleleng) (Besakih) (Tonja)
(Taman Bali)
Gambar 35 Contoh satu komposisi silsilah yang menyatukan Pande Tusan dan Pande Bratan
BRAHMA

Mpu Brahmawirya

Mpu Koleng

Mpu Suntiwana

Mpu Saguna

Mpu Lalumbang Mpu Galuh


Mpu Gandring
(Sangging) (Pande Mas)
(Pande Besi)
Pande Prabangkara ARya Kapandean Pande Capung

Gusti Pde Padang Galah


Gusti Pde Putih Dahi
Gusti Pde Anom/ Pande Surya
Gusti Wayahan Pande

Gusti Pde Jenar

Gusti Pde Gusti Pde Gusti Pde Gusti Pde Gusti Pde Gusti Pde
Gusti Pde Maranggi
Gusti Pde Grondong Wirya Tusan Tatasan Tonja Bogbog Bangke Maong

Gambar 36 Contoh lain komposisi silsilah sinkretik yang menyatukan Pande Tusan, Pande Grondong (Budaga), Pande Mas, dan
Pande Bangke Maong
Namun komposisi Bali Aga memunculkan sesuatu yang baru dengan generasi terakhir yang bernama
Pande Bangke Maong, di sampaing Pande Bogbog (atau Bugbug?) dan seperti berlawanan dengan
sulung dengan nama prestisius Pande Wirya196. Terakhir, kita catat bahwa dalam silsilah kedua
tempaknya gelar disusun Gusti Pande, mengindikasikan sebuah peningkatan pada kasta wesia, tetapi
juga sebuah degradasi dibanding pada gelar generasi pertama.

Harus digarisbawahi bahwa sebuah sinkretisme, tanpa berhenti membangkitkan studi tentang
Bali dan sering kali sulit dipahami dalam prosesnya, memberikan pelajaran bebas dalam kompisisinya,
lebih terungkap dalam sudut pandang ini dari pada elaborasi yang memberikan batasan yang
merugikan kemungkinan mengkombinasi. Dapat dicatat juga bahwa makna dari dokumen tersebut,
termasuk dalam produksi ini “populer” atau “lokal” jika mengabaikan di Bali, tidak hanya
menampakkan secara benar selain issu dari semua pekerjaan pada persiapan kecil ethno-arkeologi.
Dilihat juga bahwa kemajuan ide persatuan dibiarkan terlokalisir atas bantuan silsilah yang masih
diekperimenkan lagi, namun, dari sudut pandang pengarang mereka. Pertemuan para Pande Tusan
dan Pande Bratan mengangkat pandangan kembali ke barat, sebab pengarang tinggal di antara Ginyar
dan Klungkung mengabaikan pengrajin perak dari Budaga dan para Pande Bange Maong dari
Karangasem. Sebaliknya dua penyusun, penduduk dari wilayah Gelgel, menggabungkan elemen-
elemen mereka dari Klungkung dan timur, tetapi mengabaikan bagian Bratan. Terakhir, berlawanan
dengan praktek pribadi dan sederhana pembangun silsilah, harus disebut sebuah sikap percaya diri
menterjemahkan sebagai sebuah pengumuman publik akan eksistensi dari Pande dalam masyarakat
Bali kontemporer.

Ini adalah kehadiran seorang Mpu Pande dari Kediri pada upacara besar terakhir Eka Dasa
Ludra, diijinkan memimpin untuk para Pande yang pada kesempatan tersebut mengunjungi Besakih
bersamaan dengan orang Bali lain. Eka Dasa Ludra merupakan upacara puncak masyarakat Bali dan
itu terjadi, katakanlah dan tulislah, satu kali dalam satu abad. Hanya dengan alasan inilah pelajarannya
menyulitkan dan terbatas pada penyaji seperti sesuai dengan sebuah operasi restorasi keseimbangan
mendasar yang luas, dimana waktu dan kesalahan manusia pasti berkompromi. Tempatnya adalah
“pura Mere” di Besakih dan wilayah upacara adalah keseluruhan pulau dan tidak akan lama lagi, Pusat
Dunia. Partisipasi para raja dari dinasti Gelgel Klungkung, tampaknya sebuah aspek penting dari
upacara ini dan juga upacara kerajaan, dan dalam masyarakat modern penghormatan gubernur Bali
melalui kehadirannya pada peristiwa religius besar ini 197. Eka Dasa Rudra pertama pada abad ini
dilakukan pada 1963 dalam kondisi tekanan sosial dan politik yang membawa pada peristiwa 1965,

196
Dua nama terakhir tidak termasuk lagi pada tradisi tulis atau oral dan mungkin harus diperhitungkan sebagai
perhiasan. Hal itu pastinya adalah Pande Jenar, mengingatkan warna perak karena jenar berarti kuning dalam
bahasa kawi. Sebaliknya Pande Marangi atau Maranggi adalah mendekati sebuah dadia Pande dari desa Tusan
yang memakai nama ini tanpa mengenal asalnya. Tampaknya bahwa istilah ini sama dengan mranggi, dalam
bahasa jawa, ditujukan pada seniman pembuat sarung keris dengan memberikan berbagai asessori dan dekorasi
(Cf. Solyom, 1978:29). Silsilah ini ditujukan untuk memuaskan peneliti para Pande tentang asal mereka, tetapi
hampir diyakini bahwa penulis bukanlah seorang Pande dan, khususnya, bukan Pande Besi.
197
Presiden Soeharto di Bali datang pada kesempatan ini, mengindikasikan juga luar biasa pentingnya upacara
ini dimana berbagai acara diselenggarakan dalam beberapa bulan. Foto-foto yang ditunjukkan oleh D. Stuart-
Fox (1982) mengilustrasikan kebesaran Eka Dasa Ludra ini yang mungkin tidak akan terjadi lagi. Ketika para Dewa
dari Besakih pergi dari gunung ke laut, tandu Batara Ratu Pande mendahului prosesi, diikuti Batara Ratu Pasek,
Batara Ratu Panyarikan, dan Batara Ratu Segening, membentuk semacam kehormatan untuk Dewa Utama yang
turun ke Pura Besakih (pp.60-61). Pada kesempatan upacara lain, dilaksanakan di pura yang sama, prosesi yang
dilakukan tiga kali sekeliling Pura Penataran Agung dipimpin oleh seorang Pande membawa pedang suci.
sangat keras di Bali. Upacara tidak berlangsung normal dan harus ditunda dengan sebuah alasan
mendadak dari turunnya lahar Gunung Agung dan merusak sebagian pura. Kejadiian ini tidak
menghilangkan kesan kemudian sebagai tanda isyarat dari pengoyakan yang harus diikuti, dan
pelaksanaan kembalai Eka Dasa Ludra tahun 1979, dengan kehadiran Gubernur Bali, memberi banyak
makna. Dalam konteks inilah Nyoman Oka mengirm surat ke komite organisasi upacara agar
menyertakan secara resmi para Pande dengan pendeta mereka sendiri pada uppacara. Kita tidak tahu
jika, dalam hipotesis ketidakmungkinan sebuah penolakan dari pihak penguasa, para Pande tidak akan
pergi ke Besakih dan akan dimobilisasi karena sebab tersebut, itu yang juga kita dengan saat ini. Sikap
ini diinterpretasikan sebagai pernyataan dan penolakan pande muncul sebagai pendirian kesempatan
di upacara ini dimana diundang “ Komunitas para Pengikut Agama Hindu di Bali”, sebuah gagasan baru
yang hanya diekpresikan dalam bahasa indonesia sebagai Umat Hindu Bali.

2. Kepatuhan dan Oposisi pada nilai masyarakat kasta

Rangkaian yang telah dibuat sebelumnya mengungkapkan sebuah evolusi pada perwujudan
kontemporer yang kita sebut sebagai pergerakan Pande. Rangkaian tersebut menghasilkan dua
elemen utama: klaim sebuah status bangsawan atau mendekati bangsawan dan posisi penolakan
religius, komponen dinamis yang sayangnya berlawanan dengan kehadiran kesatuan Pande yang,
pada sudut pandang ini, tidak dilakukan. Tinggallah menuju dua aspek dengan mengambil jarak agar
dapat menempatkannya dalam konteks global masyarakat kasta, dibanding dengan nilai mereka yang
bertahan hidup dalam keruntuhan pada aturan politiknya. Dapat digarisbawahi khususnya berapa
klaim sebuah status lebih tinggi dikonfirmasi oleh wakil masyarakat kasta, sedangkan penyimpangan
religius di lain pihak, pada saat yang sama lebih tua dan lebih mendalam.

2.1 Daya Tarik Status Satria

Pembahasan mengenai kejadian Beng (1977) menunjukkan bahwa pada masa itu, para Pande
Besi menunjukkan keyakinan mereka sebagai bukan sudra. Mereka tidak menyangkal prinsip
klasifikasi logika batasan dipandang sebagai Triwangsa, karena tidak ada istilah antara dua posisi
tersebut. Lalu bagaimana klasifikasi mereka di dalam dalam katagori Triwangsa? Ketika interogasi
berlangsung mereka memastikan posisinya, mereka mengatakan dengan jelas bukan Brahma, tetapi
sebalikanya mereka menegaskan adalah termasuk bangsa Satria198. Sebutan kelas Wesia tidak ada,
sebab secara implisit kelas tersebut tidak boleh mengklaim hak untuk menggunakan bade 7 tingkat.
Berdasarkan isu Pande ini, dulu seperti juga saat ini, tidak dapat dihindari mengaku sebagai Satria.
Dengan itu, logika tanda dan klasifikasi dalam kasta memaksa sebuah posisi daftar yang ambivalen.
Hasilnya adalah, dapat dikatakan, sebuah tekanan antara pernyataan status bangsawan dan
keturunan tunggal.

Dalam seluruh kesaksian dulu, seperti juga saat ini, keanggotaan sebuah bangsa Pande Besi
secara eksplisit diketahui dan ia menunjukkan kesadaran akan adanya sebuah perbedaan yang rumit,

198
Lihat catatan 15 di atas
mengakar dalam sebuah tradisi leluhur dan disyahkan dalam naskah pendirinya 199. Kontradiksi dua
keanggotaan ini, satu nilai untuk status dan lainnya untuk “ras”, tidak ditemukan solusinya dimana
keculai bila para Pande Besi membentuk sebuah bangsa yang terlepas dari satria sepanjang sejarah.
Itulah yang diungkapkan oleh pendiri silsilah yang termuat dalam naskah, yang dijelaskan pada bagian
sebelumnya mengenai Pande Bratan. Catatlah bahwa ide ini sebuah penyimpangan dalam bangsa
terpisah mulai dari leluhur ini yang sama disetujui oleh wakil-wakil hirarkhi dalam masyarakat kasta.
Paling tidak konsepsi ini membawa berfikir bahwa orang Bali, semua kasta kebingungan kecuali orang
Bali Aga, yang memiliki asal yang sama, Majapahit sebagai leluhur inti pertama dan ruang asal.
Kemudian waktu akan menentukan dalam arti sebuah penurunan berbeda, sehingga kesatuan
primordial akan mengeluarkan keberagaman bertingkat para bangsa. Doa oleh para sudra sebuah
keturunan bangsawan tidak orisinal tidak pula sebuah objek yang benar benar terbantahkan dalam
masyarakat berkasta. Dan ini hanya muncul dalam kasus Bali Aga.

Juga, pendeta brahma mencatat tanpa komentar dalam laporan mereka ke otoritas belanda
bahwa para Pande Tusan berasal dari Majapahit. Mereka menyebut “secara kronologis” leluhur
kelompok ini termasuk posisi mereka berturut-turut dalam hirarkhi kasta adalah: Satria, kemudian
Wesia, terakhir Sudra200. Para pendeta tidak mencatat asal-usul kebangsawanan para Pande Tusan,
tetapi mereka mencatat sebuah evolusi yang terjadi pada Sudra. Ditambahkan juga bahwa ide
penurunan hanya nampak pada philosophi sejarah Bali. Itu juga adalah sebuah pengalaman, karena
praktek perkawinan yang tidak sederajat berulang yang memberikan konsekuensi penurunan secara
progresif tingkat para lelaki dalam satu garis. Dengan memperhitungkan kecilnya jumlah Triwangsa
dibanding Sudra, kemungkinan utnuk menjaga posisi Satria atau Wesia sangat lemah dan tergantung
kemungkinan yang terbatas untuk pernikahan kedalam. Konsekuensinya, ketidak setujuan hanya
diambil untuk derajat penurunan status sehingga Bangsa Pande menderita sejak lepasnya sebuah
batang komunitas satria. Dengan kata lain, bisa kita lihat bahwa penolakan mengkristal secara prinsip
pada hak untuk mengelola penguburan pada tingkat bangsawan. Para Pande, dulu seperti juga
sekarang, hanya benar-benar prihatin untuk mengingat kembali status leluhur mereka yang diduga
satria pada saat ada kematian dan apa yang diperoleh saat kematian mereka. Tampaknya bahwa pada
dasarnya para pendeta tidak memusuhi pengakuan atas keistimewaan ini dan bahwa hanya mereka
sendiri yang tidak mengakui interpretasi agar Pande Besi sederajat dengan Satria atau Wesia. Kerasnya
pendirian prinsip atas perbedaan antara Sudra dan Triwangsa tidak termasuk penerimaan praktek,
seperti pengakuan atas keistimewaan yang pada umumnya diberikan kepada para Satria.

Para saksi dari Pande Besi desa Beng membuktikan bahwa, mulai awal abad ini, semua elemen
dasar dari ideologi pande kontemporer telah ada dan bahwa itu tidak dibuat oleh regim kolonial. Ide
kuat tersebut adalah sebuah bangsa dengan sebuah identitas sendiri, sekalipun terdapat beberapa
ambigu. Implikasinya adalah keberadaan kelompok Pande Besi, dengan berbagai bentuk karena alasan
asal usul leluhur yang dikenal umum yang mereka lanjutkan dan memiliki gelar dari kualitas statusnya.
Ide yang sama itulah yang kemudian disebarkan ke kelompok pande yang lebih luas. Perubahan
penting yang dapat ditambahkan pada sejarah adalah penyebaran dan gema dari konsepsi yang sudah
ada sebelumnya. Jika tidak, bukan nilai masyarakat berkasta yang akan hilang pada periode ini, namun

199
Dalam surat permohonan yang diajukan oleh para terdakwa dari Beng, dan juga dalam proses verbal dari
interogasi mereka, dapat kita catat bahwa referensi pada “prasasti asal—usul” adalah sebuah tempat yang
mendasar (Appendix C)
200
Lihat, khususnya, bagian yang menjelaskan pendeta dari Buleleng berjudul “Pande Besi dari Majapahit”
(Appendix C)
hanya alat politik, hukum, dan religi yang mengontrol kebenaran. Sebuah tanda yang mengangkat
sekaligus perubahan dan konservatisme perilaku cenderung saat ini digeneralisasi untuk dialihkan
menjadi peningkatan status yang lebih tinggi. Hal yang penting adalah sejumlah Sudra mencari cara
untuk meningkatkan diri dengan membentuk Pasek 201. Diantara para Triwangsa sendiri, garis yang
dianggap keturunan langsung seorang raja Gelgel tampaknya meningkat. Lebih spesifik lagi adalah
kecenderungan untuk membatalkan penurunan status dengan memelihara gelar ayah apapun
tingkatan ibunya. Peningkatan sebuah status yang lebih tinggi ditunjukkan dengan jelas secara umum
sehingga pengawasan resmi tidak lagi menghalangi sejak akhir masa kolonial. Berdasarkan hal itu
pergerakan Pande tidak menunjukkan gejala anomali, tetapi ia sangat menonjol dalam pengertian
bahwa mereka memiliki karakter kolektif dan melanjutkan untuk menegaskan kekhususan Pande
tanpa menampakkan pada identifikasi murni dan simple pada kasta Satria.

Apakah memungkinkan pembahasan lebih lanjut pada interpretasi asal usul ideologi Pande ini
yang tampaknya terbentuk pada pergantian abad ini? Kemungkinan bahwa pada masa lalu lebih jauh
tema tentang asal usul diilustrasikan, jaman majapahit, dimiliki secara ekslusif oleh kelompokPande
Besi yang disebut Pande Tusan yang tinggal di wilayah Klungkung. Sebagian pengrajin senjata yang
melayani pembelajaran datang dari turunannya dan masuk akal bahwa situasi ini merupakan karakter
kerajaan Gelgel yang hilang pada akhir abad 17. Biarpun seluruh pengrajin secara resmi dianggap
Sudra, semua berfikir bahwa masih terdapat perbedaan penting dalam praktek status antara
kelompok keturunan yang berbeda yang terkait dengan pengrajin besi. Juga, prestise terkait dengan
nama Pande Tusan adalah tandingan melawan penghinaan yang mengangkat Pande Bangke Maong,
sebuah kelompok tetangga yang terutama terkonsentrasi di Karangasem. Secara logis, issu ini
disebarkan mulai dari Pande Tusan yang dekan dengan lingkungan raja. Sejarahnya, diabaikannya
seluruh perjalanan melalui geografi para dadia dan pertemuan rutinnya dengan kelompok lain yang
lebih tua. Penolakan status berbeda tidak menjadi fakta yang dapat diobservasi secara langsung selain
mulai awal abad ini. Hal ini muncul di sekitar Pande Besi dari Beng yang tidak disarankan, pada masa
itu, dengan nama Tusan. Ia lebih sesuai dengan tema kedua dimana kepentingan menjadi sentral
dalam pergerakan Pande: penolakan air suci brahma.

Konsep Bangsa cenderung dikaburkan oleh perbedaan religius internal yang berlanjut untuk
memisahkan Pande Besi, dan secara umum, para Pande, dalam “ortodoks” dan “tidak sepakat”.
Padahal, perbedaan internal ini mengangkat sebuah dimensi lain dari ideologi Pande. Ia tidak sesuai
dengan nilai masyarakat berkasta dan tidak dapat dijelaskan dalam issu sebuah proses penyebaran,
jika tidak dengan nyata, dari model kasta merupakan kesatuan dari masyarakat Bali. Sebaliknya, harus
dipikirkan juga bahwa model kasta ini perwujudan ketahanan berdasarkan nilai lain pada proses
penyebaran-asimilasi mulai dari ajaran dan kekayaan kerajaan.

201
Boon adalah orang pertama yang tertarik pada mobilitas gelar dan pada fakta bahwa kemungkinan masih ada
beberapa mobilitas tertentu di internal pada tiga kasta terakhir dan bahwa hal itu tidak mengenai kelompok
tertutup, seperti yang dipikirkan para administratur belanda yang, memproyeksikan India atas Bali, tidak
diperkenalkan lagi secara kaku yang tidak ada kaitanya dengan masyarakat tradisional. Boon menetapkan
sebuah keterkaitan antara “kebangkitan atas perhatian pada kasta” dan “kekososngan ideologi” yang mengikuti
terlipatnya partai politik pada tahun 1965 (1977, Bab.8 dan hal.180 khususnya). Itu adalah faktor yang mungkin
dan benar, tetapi harus dapat menunjukkan lebih tepat. Ada juga faktor lain yang terdapat pada waktu lama,
seperti juga yang ditunjukkan pada contoh para Pande.
2.2 Implikasi pembangkangan religius

Indikasi yang paling menonjol dari penyimpangan religius adalah keberadaan pendeta Pande
yang memimpin Bangsa Pande, seperti halnya pendeta rahma bagi orang Bali lainnya kecuali minoritas
Bali Aga. Dasar-dasar penyimpangan tersebut tidak ditemukan dalam perubahan sejarah terbaru.
Sejarah hanya mengupas pengembangan ini secara sepotong keterkaitan menyampaikan sebuah ciri
legal yang dipelajari dari bentuk pemimpin tertinggi dalam masyarakat kasta tradisional ini. Pendeta
Pande berhenti meminta setoran dari pendeta brahma dan pengawasan seorang Mpu kontemporer
menunjukkan bahwa ritual mereka, atau variasi terdekatnya, yaitu Pedanda dan yang mengurus daftar
ritual yang sama. Transfer menyeluruh tanda status dan otoritas religius pendeta dari kasta brahma
tidak diakui pada masa per kolonial bahkan pada masa kolonial, namun semua dibiarkan berfikir
bahwa hal itu dalam konteks sejarah dari ide Pande.

Isu mendalam apakah yang diangkat dari pengambilan otoritas religius yang mengkalim
seluruh referensi otoritas brahma? Tentu saja sesuai dengan hirarkhi fungsi imam, dan melalui
keseluruhan nilai dari masyarakat kasta. Peristiwa Beng menunjukkan secara jelas aturan perilaku
brahma. Mereka mengakui tanpa kesulitan bahwa tradisi pada Pande tertentu boleh melarang
menerima air suci dari tangan seorang brahma. Mereka hanya melihatnya dalam fakta tanda
keanggotaan Bali Aga, artinya kekhususan yang mengingkari asal usul penduduk asli dari kelompok
tertentu. Sebaliknya mereka memaksa berdasarkan fakta bahwa semua pendeta non brahma yang
mana dapat ditujukan seorang Pande harus memiliki otorisasi satu diantara mereka. Posisinya
mencerminkan ciri formal hak yang mereka jaga. Mereka mempertahankan prinsip aturan hirarkhi
yang dihormati begitu lama yang secara resmi mereka masih menguasai pengetahuan gaib dan
transmisinya. Masyarakat kasta tidak perduli dengan perjuangan ide dan perilaku yang, secara
mendasar, dapat seperti sesat. Mereka hanya menyerah pada kekhususan hirarkhinya. Tidak
dihukum, dan tentu saja jika diinginkan sebuah penyimpangan, penolakan dinyatakan dalam artikulasi
hirarkhi.

Pengungkapan dalam konteks hukum peristiwa Pande, permasalahan hirarkhi dan


kependetaan ini menjadi objek pembicaraan, baik oral maupun tertulis, yang menggambarkan banyak
variasi dengan tema yang sama. Ditunjukkan versi yang diterima dalam dua naskah berjudul Kundalini
dan Tutur Lambang Kawi 202. Naskah ini, tidak ditandatangani dan tidak bertanggal, menjelaskan
perbedaan antara tipe-tipe pendeta, untuk para brahmana diwakili oleh padanda Siwa dan padanda
Boda dan untuk non brahmana diwakili oleh Sengguhu dan Pande. Darimanapun asalnya, mereka
menggambarkan peredebatan yang tidak diharapkan pada jaman kolonial untuk diformulasikan.

Tema, yang cukup terkenal luas di lingkungan Pande dan non Pande, adalah hukuman mati
bagi para pengrajin senjata kerajaan atas nasehat tiga pendeta pengadilan, setelah perang mematikan
dimana para pengrajin tersebut harus bertanggungjawab karena memproduksi senjata. Kemudian,
ketika raja ingin membuat sebuah upacara religius besar, persiapan terganggu karena peralatan tajam.
Raja menyuruh pendeta mencari pengrajin senjata, dengan mengancam akan mengambil nyawanya

202
Itu bercerita dengan hormat tentang MSS Kr 229 dan Kr 1339 dari Gedong Kitya di Singaraja. Dapat ditemukan
sebuah varian dari sejarah yang sama dalam MSS berjudul Sengguhu Asu Asa, dimana Hooykaas telah
menggunakan untuk menulis artikelnya tentang “The Balinese Sengguhu Priest” (1964b). Ditemukan
penggabungan dalam prasasti Pande dari Budaga (Kr 1443), juga dalam Babad Pande Bang (Kr 1230).
Sepengetahuan saya, tema ini disebut pertama kali oleh Van Eck (1875:392).
bila gagal mencapai misinya. Mereka menemukan seorang pengrajin yang hidup, kurus, dan
ketakutan. Mereka meyakinkan tidak akan membawanya ke pengadilan dan ingin membuat peralatan
penting yang akan digunakan untuk upacara kerajaan. Kemudian tiga pendeta dikirim untuk menjalani
penyucian di gunung. Sekembalinya, mereka tahu bahwa pengrajin akan dihukum mati oleh raja
karena, saat mereka tidak ada, ia berbuat sebagi seorang pendeta dari kasta tertinggi (angwikonin).
Mereka mendapat rahmatnya dari raja, dan pedanda Siwa memberikan peringatan kepada pengrajin
tersebut:

“Uduh sang pande Wesi, lempas tinular sang trini, ika jagi katelasang urip sang pande wesi
antuk ida dalem, yaya angarnitang urip sang pande wesi, mangke kalugraha sang pande angempu
raga, aywa cawuh ring sang trini apan sang trini angurip sang jagi telas, wenang sang trini napak sang
pande” 203

Dalam perjalanan ini dua bentuk verbal sangat signifikan, selain hal tersebut sangat sulit
diterjemahkan, juga kutipan yang berlawanan antara “kerjakan untuk anda sendiri” dan “meletakkan
kaki”. Kalimat pertama terbangun berdasarkan (e)mpu dengan raga dalam fungsinya sebagai kata
ganti refleksi. Makna literal adalah “ bertugas sebagai Mpu untuk diri sendiri”. Sebelumnya dalam
cerita, ide yang sama dinyatakan secara berbeda: angempu sikian mwah kadangnia, artinya “bertugas
sebagai Mpu untuk diri sendiri dan orang tuanya”. Dipastikan juga bahwa pengrajin dapat mempelajari
bentuk pendeta tertinggi ini hanya untuk kelompok keluarganya. Kalimat kedua adalah napak:
berjalan di atas, meletakkan kaki di atas, meletakkan tapaknya di atas. Padahal satu tahap krusial
dalam upacara pentasbihan seorang pendeta brahma disebut napak, guru brahma meletakkan
kakinya di atas kepala muridnya, maknanya juga, gilirannya menjadi pedanda, meskipun demikian ia
harus tetap tunduk (Korn 1960b:146). Dua perintah ini sesuai dengan yang kita ketahui, dengan
demikian menegaskan pentingnya ketundukan pendeta Pande pada guru brahma.

Pada bagian lain, cerita memperkenalkan tiga pendeta pengadilan seperti solider dan
membentuk keseluruhan kecuali Pande. Mereka menujukan secara kolektif melalui ekspresi Sang Trini
dan mereka mengatakan bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama (yayah ibu tunggal).
Namun fungsi ritual terpisah sesuai denga penugasan oleh anggota unit dan hubungan hirarkis internal
dipastikan: Sengguhu adalah “bungsu”, pedanda Siwa adalah “sulung”, sedangkan pedanda boda
menempati posisi tengah204. Itu adalah sebuah pelajaran baik dari hirarkhi yang diberikan dalam
cerita, dengan menggunakan bahasa keluarga untuk menggambarkan maksudnya. Ia adalah hasil dari
toleransi persetujuan ke Pande, ditempatkan di posisi”asing” atau “bungsu absolut” dibanding dengan
kelompok pendeta resmi dimana solidaritas dinyatakan dinyatakan lagi.

203
Kita mengikuti naskah Kr 229 yang sedikit berbeda dengan Kr 1339, dimana penulisannya sedikit lebih”jawa”
(anguripaken dan bukan angurip; anapak dan bukan napak). Harus dipahami anular dan bukan tinular, karena
bentuk pasif nampaknya tidak jelas. Harus dibaca Yayah (Ayah, tapi disini adalah saya/kami) dan bukan yaya
yang memiliki arti lain (Kr 1339 ulun menggantikan yayah). Dalam angamitang, ditemukan berdasarkan wwit
(minta ijin) dalam bahasa jawa kuno yang dalam bahasa bali halus pamit yang berfungsi sebagai dasar. Jadi dalam
bahasa bali sekarang kita harus memiliki mamitang. Amwitang adalah pembalian yang mungkin dari bahasa jawa
amwitake, tetapi angamitang mengungkapkan akumulasi awalan yang mengungkapkan tata cara menulis agak
kuno atau agar tampak seperti itu.
204
Lainnya, cerita gabungan sebuah variasi dari tema yang terkenal di Bali dan Jawa, Bubuksah dan Gagang
Aking, dimana peran utama, disini, diberikan pada pedanda Boda dan Pedanda Siwa (Cf, juga pada footnote no
28 di atas)
Lagi, contoh tersebut menunjukkan bahwa isu pendeta Pande bukanlah urusan dogma atau
teologi. Perdebatan mengusung tidak pada ide atau praktek ritual, dimana kita mengenal
kelemahannya, tetapi pada implikasi hirarkis termasuk ketentuan ideologi masyarakat kasta.
Diinformasikan agak bagus pada cara pendeta mempertahankan nilai yang pada cara tertentu mereka
titiskan, tinggal memahami dengan baik konsepsi yang mengungkapkan penyimpangan religius para
Pande. Hal itu tidak menghasilkan teori praktek yang mereka ungkapkan tentang Pande. Sebagian
besar, ketika kita tergesa-gesa memberikan sebuah penjelasan, hanya mengacu pada isi dari prasasti
yang pada umumnya tidak kita baca. Lainnya sekalian masuk memberikan pembenaran perilaku
mereka sambil memberikan catatan bahwa para Pande eksis sebelum Brahmana dan dan bahwa yang
terakhir ini bukanlah sulung mereka. Jadi hubungan hirarkis melawan ide perbedaan antara sulung
dan bungsu. Ditambahkan juga bahwa air suci adalah cairan vitale yang penting, bersirkulasi dari
pemberi ke penerima, menggambarkan hubungan homolog seperti hubungan orang tua dengan
anaknya, paradigm mendasar lain dari hubungan hirarkis. Penolakan air suci brahma adalah juga
koheren dengan penyangkalan dari posisi “sulung” atau “tinggi” para Brahmana, sebab masing-masing
mengatakan bahwa makanan tidak beredar dari bungsu lewat sulung dan bahwa air tidak naik lewat
atas. Jadi isu yang diungkapkan kependetaan Pande adalah sebuah artikulasi hirarkis yang melibatkan
seluruh bangunan ideology dari masyarakat kasta.

Tetapi otoritas dimana merujuk pada contoh terakhir para pande adalah naskah para pendiri.
Naskah ini untuk mereka adalah hukum kuat sebagai ekspresi sacral dari keinginan leluhur mereka.
Menginagt bahwa salah satu pendeta Pande, Mpu Kediri, telah berinisyatif seperti seorang pendeta
melalui sebuah upacara dimana ia menerima “tapa” sebuah prasasti. Ekpressi yang digunakan,
katapak pustaka, menunjukkan sebuah naskah menginvestasikan nilai leluhur yang mengambil
tempat yang harus kembali pada guru brahma menempatkan tapak di atas kepala muridnya. Nilai
hakiki itulah kekhususan leluhur mendasari penolakan ketundukan hirarkis pada pendeta brahma dan
lebih umum adalah pada aturan masyarakan kasta. Jadi harus memberikan perhatian khusus pada
upacara kematian yang mengkristal pada situasi yang lebih menimbulkan konflik, pada titik dimana
para Pande dikeluarkan dari kehidupan religius masyarakat desa dimana mereka menjadi anggotanya.
Perlu juga diperhatikan bahwa transformasi orang mati menjadi leluhur merupakan isu nilai terakhir
dari masyarakat yang berlaku bagi seluruh orang Bali205. Apakah tidak signifikan bila dalam hal aplikasi
diistimewakan pada otoritas brahma saja pada praktek religius desa yaitu lebih tepatnya upacara
kematian dan lebih luar biasa pada kremasi? Mereka yang tidak memperoleh hak mendapatkan
kebaikan dari superposisi upacara brahma tersebut ditempatkan diluar masyarakat kasta, dan dilihat
secara definitif sebagai orang bodoh atau orang primitif.

Juga pada masyarakat Bali Aga, sebagai ras asli, memiliki kesenjangan dengan universitalitas
brahma atas nama leluhur yang bagi mereka seperti juga bagi para Pande penolak, merupakan
“universalitas khusus”. Perilaku relative seperti pengelolaan ritual penting tertentu mengungkapkan
sebuah tekanan antara konsepsi universal yang berakar pada kekhususan ras dan tempat, yang
memicu munculnya makna soroh, dan konsepsi lain dari universalitas yang tergambar pada aturan
kasta yang tidak mencari penyangkalan pertama, tetapi mencakup keseluruhan pada tingkat bawah.

205
Hal yang krusial dari transformasi orang mati menjadi leluhur jelas tidaklah unik milik orang Bali, meskipun
hal ini tidak muncul pada studi tentang Bali, dinyatakan dalam gemerlap keindahan yang ditunjukkan dalam
upacara kremasi kepada wisatawan asing. Lihat, pada hal ini, sebuah artikel penting, berjudul “Des relation et
des morts” (Hubungan dan kematian) dan mengulas empat masyarakat dalam pandangan perubahan (Barraud
dan teman-teman, 1984)
Desa-desa Bali Aga adalah saksi bukan pada kekunoan masyarakat, tetapi kegagalan atau surutnya
sebuah operasi sejarah dari integrasi hirarkhi dimana para pendeta sebagai isu kasta brahma
ditunjukkan lebih nyata.

Untuk menggambarkan lebih baik “mentalitas” Bali Aga tersebut, kita ambil contoh sebuah
situasi dimana terdapat konfrontasi di Desa Trunyan tahun 1959. Setelah kebakaran, orang-orang
Trunyan mempersiapkan pesta upacara pembersihan kolektif, dan bupati setempat menawarkan
kepada mereka menggunakan layanan seorang pedanda pada kesempatan itu. Sekalipun tradisi
mereka melarang dengan tegas untuk menggunakan pedanda brahma dalam pura desa, mereka tidak
berani menolak upaya standar oleh wakil dari pemerintah Indonesia. Tiga bulan kemudian, ditemukan
kotoran binatang yang menutupi satu dari bangunan yang paling disucikan dalam pura desa, dimana
hal itu tampaknya tidak pernah terjadi. Kita melihat interpretasi apa yang diberikan oleh orang
Trunyan atas pencemaran hanya jika kepala kecamatan tidak memaksa mereka untuk melanggar adat
mereka. Dalam keadaan ini, mereka melihat tanda kemarahan para Tuhan, yang timbul dari kehadiran
seorang pedanda dalam pura mereka. Setelah menenangkan mereka, mereka menggelar upacara
kedua memenuhi dengan apa yang mereka tidak bisa penuhi pada beberapa bulan yang lalu, dan
untuk harga dari usaha yang berat akibat kemiskinan desa ini. Di lain pihak, mereka memperkirakan
bahwa pedanda tidak lama lagi meninggal, dihukum oleh Tuhan. Dan ketika mereka mengetahui
bahwa Pedanda dalam keadaan sehat, mereka menyimpulkan bahwa ia pasti orang sakti atau bahwa
Dewa dari Trunyan telah memberikan maaf kepadanya (Danandjaya, 1980: 74-75).

Pada pandangan tersebut, kita lihat bahwa para Pande adalah juga orang Bali Aga. Mereka
tidak menciptakan dasar-dasar konsepsual dari kekhususan yang muncul dari struktur yang mendalam
dari masyarakat Bali. Melalui aspek lain, mereka menambahkan nilai dari masyarakat kasta. Juga
apakah penolakan sebuah status satria, adalah tanda kontradiktif sebuah akulturasi pada nilai-nilai
tersebut. Akibatnya, hirarkhi kasta membentuk semua, logika yang diinginkan adalah kita tidak dapat
menjadi satria tanpa menerima keberadaan para Brahmana. Berdasarkan pola tersebut orang Pande
berbeda dengan orang Bali Aga, tanpa menolak nilai budaya asli atau Indo-Jawa, yang sayangnya
menolak referensi dasar masyarakat kasta yang menjunjung para Dewa wilayah dan leluhur mereka
sebagai satu-satunya nilai tertinggi. Kita menggolongkannya ke dalam nilai kuno. Nilai tersebut
mengandung nilai universal pada setiap saat khusus, dimana pendeta Brahma dilarang masuk,
sekalipun mereka dalam masyarakat kasta, mediator penting antara manusia dan Siwa, sumber air
suci yang paling agung dan kedewataan termasuk dalam kesatuan dari manifestasi ketuhanan.
Sedangkan desa-desa Bali Aga menunjukkan batas nilai dari masyarakat kasta, penolakan Pande
memunculkan interaksi dari nilai-nilai ini dengan nilai kuno.

Dari isu pada bab ini sebuah orientasi telah diambil dalam interpretasi kasus Pande. Sampai
sekarang perhatian kita secara prinsip diambil pada pembahasan data ethnografi, sejarah, dan tulisan,
digunakan sebagai penelitian yang perlu menurut perspectif dari objek studi. Dengan data ini
memungkinkan kita, sedapat mungkin, menempatkan kelompok Pande dalam konteks sosial dan
dalam lingkungan ideologi mereka. Kemudian, kita menguatkan observasi ke inti Pande Besi.
Permulaan ini mengantar pada kepastian bahwa makna mendalam dari gerakan Pande ada dalam
hubungan idée dan nilai masyarakat kasta. Gerakan Pande tidak dapat dijelaskan baik dalam kerangka
sejarah pendek maupun dalam istilah sosiologi modernitas dan perubahan. Realitasnya terkini adalah
pertama dalam urutan sebuah” diskursus” –naskah, ucapan, upacara- dimana objek adalah hirarkhi,
tempat yang diperuntukkan bagi peran dari nilai masyarakat.
Kohesi dari gerakan Pande, tanpa melihat tujuan ekonomi dan politik, adalah pada pandangan
ilusi ini. Deklarasinya, jika dipandang secara politik, bahwa mereka tergabung dalam kesatuan dan
manifeste Eka Dasa Ludra di Besakih termasuk kotoran yang dangkal dimana sejarah dapat membuat
Nampak atau hilang. Ia juga adalah ide lain yang melandas gerakan Pande dan dasar sebuah diskursus
dimana nilai-nilai masyarakat kasta merupakan referensi konstan. Debat yang menarik perhatian para
Pande langsung atau tidak langsung pada empat terminologi adalah indikasi linguistik pengembang
nilai-nilai berikut:

1. Wangsa (bangsa): kasta atau kelompok bergelar, artinya wakil dari kesatuan kekerabatan
maksimal termasuk dalam semua hirarkhi yang didefinisikan dalam urutan empat kasta
2. Majapahit: nama satu kerajaan bersejarah Jawa Timur didirikan dari asal usul mistis, dimana
kebudayaannnya dilanjutkan, artinya, secara khusus, aturan masyarakat kastanya.
3. Tirtha: air suci penting yang melengkapi semua upacara ritual, dimana variasi yang paling efisien
adalah yang dipersiapkan oleh pendeta brahma (pedanda)
4. Siwa: Dewa tertinggi dan mencakup semua bentuk lain yang lebih rendah dari kedewaan, dimana
ilmu keagamaan pada prinsipnya adalah monopoli dari pedanda.
Para Pande menambahkan pada nilai-nilai masyarakat kasta dengan menyebut bagian dari sebuah
bangsa bangsawan, dimana leluhur mereka adalah orang Jawa dari Majapahit, dan dengan mengambil
perhitungan ritual brahma. Tetapi, dengan menolak air suci yang dipersiapkan olehnya, mereka
menolak hirarkhi kasta, melalui itu, mereka tampaknya mirip dengan orang Bali Aga, diperhitungkan
di luar masyarakat kasta. Penolakan ini berdasar pada contoh terakhir atas pernyataan kekhususan
dari ras dan leluhur mereka, yang hanya melihat dari territorial agar memenuhi nilai-nilai kekunoan
yang lazim pada Bali Aga. Dengan alsan ambivalen tersebut pada pandangan nilai-nilai masyarakat
kasta, posisi para Pande adalah ungkapan dari dialek kekhususan dan keuniversalan yang dialami oleh
seluruh masyarakat Bali, sebagai pembentuka sejarah dan struktur social. Dialek ini, dalam tema yang
lebih antropologis, yaitu “klan” yang para Pande dan orang Bali Aga menunjukkan dengan cara
mereka, dan “Negara”, yang didefinisikan profil ideology terakhir dari pembagian kasta dan tokoh
pendeta Siwa.

Kejadian Pande menegmbalikan isu historis, yang membentuk masyarakat kasta, pada satu periode
tertentu dari sejarah Bali. Kejadian tersebut menunjukkan satu jejak nyata dalam masyarakat
kontemporer, sementara mereka kalah dalam politik dan hokum, tetapi tidak pada nilai-nilai yang
mereka dukung. Satu varian dari debat sejarah ini adalah hubungan antara Tuhan dan leluhur. Objek
ini implicit, namun sentral, sebuah reevaluasi langsung yang tidak pernah tercapai, juga menunjukkan
eksistensi kelompok Bali Aga. Isu di dalamnya adalah integrasi hirarkhis nilai-nilai kekunoan dalam
aturan keseluruhan tentang kasta, yang merupakan representasi persatuan dan kesatuan masyarakat,
sebuah bentuk ideologi Negara.

Analisa dari naskah pembentuk tradisi Pande Besi, saksi utama yang digunakan dalam studi ini,
menunjukkan lebih pasti dalam tema mana dan dengan menggunakan apa budaya konvensi
mengekspresikan ambivalensi kesesuaian dan bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat kasta.
Selanjutnya adalah ketunggalan Pande membangun kotak diskursusnya secara kuat dalam
keseluruhan tanda indo-jawa menginformasikan representasi masyarakat kasta. Penggunaan kode
budaya ini, meskipun demikian, menghasilkan dua tradisi tulis yang berbeda, satu sesuai dan lain
bertentangan, dengan aturan kasta.
BAB VI DUA TRADISI TULIS KELOMPOK PANDÉ BESI

Pengetahuan tentang Pandé dapat benar-benar ditekankan melalui usaha penafsiran naskah-naskah
pendiriannya yang mempresentasikan perwujudan wacana yang lebih kaya dari sebuah ideologi yang
tidaklah fasih. Pada saat yang sama, pengalaman yang diterima dengan mendengar sejarah asal-usul
Pandé Bratan mendorong untuk lebih berhati-hati dalam menginterpretasikan naskah, tentu yang
tertua, tetapi berpartisipasi dalam cara pikir yang sama, yang tak terpisahkan untuk mengikat elemen-
elemen yang datang dari sebuah sumber lama dari referensi tertulis, dan bagian-bagian dari realitas.
Berikut akan kita lanjutkan dengan cara memahami tradisi tulis kelompok Pandé Besi yang tidak
homogen dan kita akan temukan melalui Prajurit Wilwatikta dan Sundari Bungkah, dua naskah yang
sekaligus fundamental dan berbeda dalam isinya. Sebelum itu, ada batasan atau lebih tepatnya dari
tradisi tulis para Pande Besi ini dengan menyortir dalam satu kesatuan naskah.

1. Penyajian naskah yang dipelajari


1.1 Naskah yang tidak Terpilih

Untuk membatasi pembahasan tradisi tulis kelompok Pandé, salah satunya adalah naskah Pandé
Bratan, dengan mana tidak ada tempat untuk kembali, untuk memulai melalui penyimpangan cerita
yang benar-benar minor yang berjudul Prasasti Pandé Capung (Kr 1170) dan Mpu Gandring (Kr 1693).
Namun sebaliknya kita temukan beberapa naskah yang berjudul Prasasti atau Babad Pandé Bang,
tanpa mengangkat tradisi ini206.

Ketiga dadia yang memiliki hubungan dengan naskah tersebut merupakan pertimBangan bahwa
mereka adalah keturunan dari satu leluhur. Kelompok-kelompok ini memiliki Pura Dadia di Kulu,
Abianbase dan Cemanggaon. Mereka tidak dikenal sebagai Pandé dan hanya satu naskah, termasuk
Kulu, yang memungkinkan menandainya. Hanya kelompok Cemanggeon menggunakan nama Pandé
Bang, sedangkan dari Kulu dan Abianbase memiliki panggilan kehormatan Mawang dan Suung atau
Panyuung. Ritual pembakaran mereka memiliki beberapa detail khusus dan mereka tidak pernah
memanggil pendeta brahma untuk memperoleh air suci, yang dipersiapkan oleh pendeta mereka yang
disebut pamangku atau lebih istimewa lagi dukuh seperti di Abianbase. Di Pura mereka tidak terdapat
padmasana, dan pelinggih yang paling dihormati memilki nama sangat istimewa Gedong Sinapa.
Tradisi oral nampaknya kabur dan kelompok ini tidak mengetahui masa lalu mereka kecuali yang
disebutkan dalam naskah, sehingga mereka harus mengambil cum grano salis, dengan alasan dari
elaborasi kembali perwujudan yang mereka berikan contoh. Jadi dadia ini tidak terikat pada leluhur
pengrajin Besi atau seniman lain yang bekerja dengan logam, dan mereka tidak memiliki hubungan
dengan lingkungan Pandé dimana mereka mengabaikan semua. Nama Bali Aga diberikan kepada

206
Yaitu MSS Kr 1230/LOR 9693/LOR 11872, LOR 14849 dan MS 11 dari bundel 66 menurut klasifikasi Universitas Sydney
mereka, setidaknya di Camenggeon dan di Abianbase, menunjukkan kebetulan lebih dari satukali
bahwa orang Bali yang berbeda ini ditemukan juga dalam permukiman yang dekat dengan perumahan
kerajaan, termasuk di Selatan 207.

Prasasti Pandé Bang memastikan, dalam berbagai versi berbeda yang tersedia, harus dibedakan
kelompok Pandé Jawa yang leluhurnya adalah para Brahmana Mpu Siwa Saguna, Pandé Bang yang
merupakan keturunan dari Mpu Sandang Suungan dan dari Mpu Buhung Buhungan, dan kelompok
Pandé Bali Tanah Legit, pengrajin logam Bali Aga ini tidak tercantum kecuali dalam naskah ini:

“...kang sinangguh Pandé jawa, to sing brahmana pwa sira Mpu Siwa Saguna, tegese dudu Pandé to
sing mpu sandang suwungah miwah mpu buhung buhungan, mwah dudu Pandé bali tanah legit”

“…Perbedaan sudah dinyatakan dengan jelas, tanpa ada penjelasan apa alasan Pandé Bang tidak
termasuk pada pengrajin Besi, darimanapun asalnya apakah dari jawa maupun dari Bali...

Kenyataannya, naskah yang cukup panjang ini mengakumulasikan sebuah seri cerita berbeda 208 dan
memasukkan dengan baik nama-nama leluhur, termasuk Pandé Gading, Pandé Cemeng, diantara
lainnya yang tidak bergelar Pandé. Referensi pseudo-historis pada umumnya diluncurkan pada jaman
Gelgel, yaitu raja Bali Mayadanawa dan raja Jawa Airlangga. Sangat relatif bahwa Raja Airlangga
memiliki dua anak lelaki, dimana salah satunya mengambil suksesinya. Raja diletakkan dalam
keputusan Tuhan dan mengundang anak-anak lelakinya untuk pergi ke gunung untuk bertapa dan
menunggu tanda-tanda langit. Si Bungsu, Pandé Ireng, adalah yang tertuju, si sulung membunuhnya
dan meninggalkan mayatnya. Karena pembunuhan tersebut diketahui, Pandé Bang melarikan diri dan
pergi ke Bali dan ia membentuk sebuah padukuhan. Di kemudian hari, sebuah desa yang disebut
Karang Suung dibentuk dekat dengan lokasi tersebut. Padahal, dua nama tersebut menujukkan dua
tempat di Bangli, yang juga dipastikan dalam cerita. Tampaknya bahwa itulah asal sejarah kelompok
ini. Bagaimanapun, kita tidak temukan apapun dalam cerita atau kesatuan naskah yang mengingatkan
tradisi Pandé Besi, dinyatakan pada kiasan yang baru saja disajikan dan pengambilan kembali sejarah
Sengguhu dan pengrajin Besi dalam sebuah variasi khusus. Perjalanan terkait dengan upacara
pengabenan, khususnya, membedakan perjalanan terkait dengan naskah Pandé. Indikasi ini adalah
cukup untuk meligitimasi naskah yang distudi tentang tradisi Pandé Besi ini, dikatakan sesungguhnya,
sekalipun nama Pandé Bang masih diragukan.

Tinggal beberapa naskah yang jauh dari mendekati tradisi Pandé Besi untuk mendefinisikan sebuah
tradisi yang membesar, yang kita sebut tradisi KePandéan. Berkenaan dengan hal itu, dikenal tiga
unsur yang berbeda: cerita atau fragmen cerita yang membangkitkan Pandé Besi Bali, elemen dari
upacara pengabenan terkait dengan kelompok ini, catatan tentang pekerjaan dari pengrajin Besi dan
logam, yang tidak pernah teknis, tetapi selalu berupa karakter spekulatif dan mistis. Dua tema

207 Disebutkan dalam Adatrechtbundel XXXVII keberadaan di Camenggaon sebuah kelompok Bali Aga, disebut
“panjoewoengan” dan terlihat pada kelompok lain yang tinggal di Abianbase (1934:361)
208 MS LOR 14849, 54a, baris 10-12 dan MS 11 Bundel 66,36, baris 37-40
pertama menunjukkan tradisi Pandé, sebenarnya, dalam ukuran dimana isi naskah, mungkin memiliki
hubungan dengan kelompok yang dipandang sebagai keturunan mereka dan mereka mengenal tradisi
leluhur mereka. Hal ini tidak berarti satu kekhususan nyata dari isi naskah. Khususnya, elemen upacara
pengabenan nampaknya termasuk meminjam dasar masyarakat Bali dan pada ritual brahma, dan
tidak tercatat sebuah elaborasi yang benar-benar asli yang dapat berupa, misalnya, pemberian sebuah
peran utama pada Brahma/ Agni, dewa api.209

Tema ketiga, sebaliknya, sangat sulit untuk dipertimbangkan sebagai relevan dengan tradisi Pandé
Besi dalam makna yang ketat. Elaborasi atas simbolisme Besi dan peralatan Pandé Besi, hubungan
mereka dengan tubuh manusia dan elemen dasar dari alam semesta, baik simbolisme terkait dengan
logam, sampai sebuah kerumitan representasi yang ditemui dalam buku jawa tertentu, memiliki
pengaturan terklasifikasi dari elemen mitis atau legendaries. Di Bali para konservator literatur esoterik
tersebut adalah para pendeta brahma dan, sebagaimana pendeta-pendeta ini mempersembahkan
senjata, mereka sangat mungkin berasal dari penyebaran ke arah lingkungan Pandé dari elemen-
elemen spekulatif tersebut, juga bahwa mantra terkait dengan pekerjaan pengrajin logam210. Surat-
surat, selain para pendeta, juga nampaknya memainkan peran instrumental dalam proses penyebaran
tersebut, dan tentu saja, surat-surat kelompok Pandé Besi. Daftar tersebut melalui sejumlah batasan
engilustrasikan naskah diantara ribuan naskah Bali yang mungkin diterima 211. Naskah-naskah tersebut
tidak mengajari apapun tentang Pandé Besi untuk mengatakan yang sebenarnya. Banyaknya
kelompok Pandé yang sempat saya temui tidak satupun yang membuat referensi tersebut dan,
sepengetahuan saya, pada umumnya lontar disimpan kelompok Pandé sebagai pusaka dan
menyebutnya prasasti menunjukkan secara prinsip dua tema pertama tersebut. Jadi kita hanya akan
melanjutkan pada yang ditandai pada naskah-naskah tersebut, tanpa mengharapkan keuntungan,
sebab studi mereka mungkin tidak terkait dengan Pandé Besi dan tradisinya.

Naskah yang paling penting adalah yang berjudul Kanda Wesi (Kr 874) dan Darma KaPandéan (Kr 163,
Kr 1473). Dua naskah terakhir yang memiliki judul yang sama ini memiliki kekuatan berbeda, karena
yang pertama terdiri dari setara sepuluh halaman daktilografi dan yang kedua hanya tiga halaman.

209 Dalam Sundari Bungkah salah satu naskah dari tradisi Pande dimana Goris memberikan komentar singkat yang akan
disajikan lebih rinci nanti, Brahma diidentifikasi dengan Agni, dewa api. Meskipun tidak termasuk dalam Hindu kuno, seperti
yang ditunjukkan di Goris (1960d: 296, 298), bagaimanapun, ini bukan elaborasi Pande Besi Bali. Ini ditemukan, misalnya,
dalam Tantu Panggelaran (Pigeaud 1924: 131, catatan kaki 1). Dalam komentarnya, Goris menunjukkan bahwa Brahma
adalah satu-satunya dewa dalam naskah-naskah penting. Ia adalah dewa pencipta, tetapi Wisnu juga terlibat dalam karya
penciptaan dan Indra memainkan peran penting dalam sekuel dari cerita. Selain itu, dalam bagian naskah yang berurusan
dengan ritual pemakaman, Brahma tidak memiliki tempat penting. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Brahma adalah dewa
tertinggi atau satu-satunya dewa bagi kelompok Pande dan tidak ada satupun teologi yang benar-benar milik kelompok
Pande untuk dibahas.
210 Ingat juga bahwa fakta Babad negara Buleleng pendeta Brahma terampil dalam menempa senjata (Worsley 1972: 155).

Kita terpukau karakter yang tidak teratur, tidak lengkap dan kadang-kadang membingungkan oleh elemens spekulatif ini.
Juga, dalam naskah yang sama bayu (napas) yang berturut-turut cocok dengan tangki air (palungan) dan merek (tutulik api)
yang juga dekat dengan Teja, api atau cahaya (Kr 163). Tampaknya sejumlah elemen-elemen ini telah diambil tanpa benar-
benar dipahami.
211 Sampai setelah perang dunia kedua, naskah-naskah itu disalin ke Gedong Kirtya Singaraja dan terjemahannya disediakan

untuk pembaca. Koleksi kuno mencakup sekitar 3003 naskah. Sejak satu dekade, lontar oleh ditemukan penanggung jawab
Proyek Hooykaas diterjemahkan langsung dari aslinya dan salinan dikirim ke Leiden dan universitas lain. Pendanaan baru ini,
yang melingkupi semua kata-kata, tidak sama besar dengan yang pertama, tapi di katalog itu sebagian tidak diterbitkan dalam
volume terbaru Literature of Java (Pigeaud 1980).
Naskah pertama lebih menarik dengan kualitas bahasa yang lebih baik. Ia menjelaskan jalur untuk
diikuti saat pembuatan senjata (prayoga ning anggawe lalandep) termasuk doa kepada tuhan yang
berbeda, makna mantra dan rajah, sekaligus tanda dan kata-kata magis, dan nasehat untuk mencapai
kondisi konsentrasi agar diperoleh hubungan mistis antara Besi, badan pengrajin Besi, dan
makrokosmos. Contoh berikut adalah intisari spekulatif dari sebuah terjemahan:

“…Kunang waja waspenek mijil a'inira sang hyang rudra, patinya mwang uripnya tunggaL kadi nguni,
waja malela mijil saking sang hyang paramasiwa, patinya mwang uripnva kadi nguni tunggal, wesi
purasani mijil saking sang hyang sadasiwa, ala ayunya tunggal kadi nguni, wesine kuning mijil saking sang
hyang mahadewa, tunggal pan uripaya, mangkana sirapang wruhakena kunang pamulihan ing
parabot, palu palu mulih ring pupusuh, supit mulih ring idep, tuntlik api mulih ring bayu, paparon mulih
ring wit ing usus gung,? ring patumpukan ing ati, palungan panyepuh mulih ring prana bayu kabeh, api
mulih ring ati, yeh mulih ring ampru, uyah ulihakena ring rasa, pamutpuran mulih ring lepitan ing
ineban, iti mantranva, ma, OM AM MAM, AM UM MAM, MAM AM UM OM, samalih I A TA BA
SA, SI WA MA NA YA. 212

“…Sekarang waspenek baja muncul dari Sang Hyang Rudra, ada yang hidup dan mati seperti
sebelumnya; baja Malela muncul dari Sang Hyang Paramasiwa, ada yang hidup dan mati seperti
sebelumnya; Besi purasani muncul dari Sang Hyang Sadasiwa memiliki, ada yang baik dan buruk
seperti sebelumnya; Kuning Besi muncul dari Sang Hyang Mahadewa, ada yang hidup dan mati. Berikut
adalah apa yang harus tahu untuk menempatkan alat: palu adalah di hati, klip masuk ke dalam pikiran,
poker adalah dalam napas, landasan adalah dalam dasar perut? masuk ke dalam massa jantung, tangki
memiliki air masuk ke semua penjuru angin, api yang ada dalam hati, air masuk ke dalam empedu,
garam ditempatkan dalam rasa. Nafas masuk ke luBang hidung (? ), ini adalah mantra, OM AM MAM,
AM UM AM, MAM AM UM OM, dan lagi I A TA BA SA, SI WA MA NA YA. "

Selain itu, tercatat adanya naskah (Kr 1418, Kr 1890.) yang judulnya adalah Ukur Keris ing Keris. Tapi
naskah ini tidak menggambarkan teknis atau ritual yang terkait dengan pembuatan keris. Mereka
berurusan dengan proses ramalan, dan keris dianggap objek ramah yang dapat membawa
kebahagiaan atau ketidakbahagiaan kepada pemiliknya, dalam karakteristik fungsi tertentu (panjang,
pola dari pamor). Naskah tentang keris bukanlah tradisi milik Pandé, atau juga tradisi KaPandéan. Ia

212Bagian ini berasal dari MS 163 Kr. Ini adalah contoh terinspirasi oleh perkembangan secara langsung karakteristik dari
shivaismes dari Bali dan Jawa. Keempat Dewa disebutkan sebagai Siwa dengan nama yang berbeda, sesuai dengan
perbedaan peristiwa. Empat jenis besi dan baja terkait membuktikan empat acara: Waja waspenek, Waja Malela, Wesi
purasani, Wesi Kuning. Istilah yang terakhir, yang berarti besi kuning, tradisional milik daftar spekulasi pada logam, mereka
adalah Jawa atau Bali. Ini adalah sama untuk purasani, sebuah istilah yang berasal dari khorosani Persia dan menunjuk
semacam impor besi atau baja yang diharapkan oleh pedagang dari provinsi Khorasan (Zoetmulder 1982: 1452). Mantra yang
dibuat oleh penataan tertentu suku kata suci yang penting adalah fundamental dalam Hindu Jawa kuno dan Bali itu (lihat
Goris 1926). Kita tahu bahwa OM disusun dalam A + U + M, atau MA, UM, MAM, yang disebut triaksara dan terkait, masing-
masing, Brahma, Siwa dan Wisnu. Suku kata BA SA TA AI mengingat lima aspek Siwa (Sadyojáta, Bamadewa. Tatpurusa,
Aghora, Isana) dan disebut pancabrahma. Keseluruhan NA MA SI WA YA adalah pancatirtha dan dapat dianggap sebagai
keunggulan mantra Siwa, karena itu berarti penghargaan untuk Siwa (nama (h) Siwa ya). Pancabrahma dan pancaartha
terkait untuk membentuk dasaksara, sepuluh suku kata dengan makna mistik arti berkaitan dengan pemurnian pembakaran
dan mendapatkan air suci. Akhirnya, semua empat belas suku kata tersebut, sebagaimana mestinya, disebut caturdasaksara.
Tentang suku kata Hooykaas mengingatkan bahwa aKsara dalam bahasa Sansekerta berarti :langgeng dan bahwa kita
memasuki domain sihir (1964:37). Dalam semua ini, tidak ada tradisi yang benar-benar milik Pande dan bagian ini, diantara
yang lain, mengangkat kesejagadan rituel pendeta Brahman.
juga bukanlah tradisi dari Tutur Gong Besi (Kr III) yang, seperti judulnya tidak mengindikasikan hal
tersebut, mengacu kepada referensi penciptaan dunia dan pada banyak dewa.

1.2 Naskah-Naskah Tradisi Pandé Besi

Kita telah sampai, sebagai hasil dari eliminasi berturut-turut, naskah yang terkait dengan Pandé Besi,
kadang-kadang karena alasan isi dan juga karena mereka dipertimbangkan oleh kelompok Pandé Besi
sebagai mewakili tradisi mereka. Pertama-tama kita harus ingat bahwa benda-naskah membentuk
kesatuan yang bergerak dan beredar. Hal ini mencerminkan perbedaan, pengurangan, penambahan
dan penghapusan, tetapi juga bahwa komposisi lontar tidak memiliki ketetapan dibandingkan buku.
Berikutnya akan dibandingkan “klasifikasi” yang memungkinkan variasi pengaturan susunan bagian-
bagian yang dikandungnya, serta pengelompokan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan atau selera
pengguna. Dari sudut pandang ini, naskah yang tersedia memiliki kandungan yang relatif homogen,
karena tidak ada, pengecualian setidaknya, unsur asing pada tradisi Pandé213. Sebaliknya,
kelangsungan tulisan berkait berdasar aturan yang dapat memvariasikan dalam urutan blok terpisah
dan tanpa hubungan langsung dengan satu dengan lain. Dengan demikian, analisis dari delapan
naskah telah mengantar untuk mengidentifikasi lima blok yang telah desain dalam sebuah fragmen
kalimat yang diberitahukan dalam bacaan (Gbr. 37). Naskah tersebut terdiri dari lima bab, yang isinya
sangat mirip dalam naskah yang berbeda 214. Diantara lima bab tersebut, secara khusus terdapat dua
elemen sentral yang ditemukan sejajar atau tidak berkaitan dalam lontar berbeda. Pada dasarnya, ada
dua naskah cerita, Prajurit Wilwatikta dan Sundari Bungkah (Gambar 37: a, d) ditambah dengan
catatan tentang upacara kematian (Gambar 37: c, e) dan sebuah bagian pendek menyebutkan mantra
yang berkait dengan alat-alat dari bengkel tempa dan merujuk pada "masa Mekah” (duk ing Mekah)
(Gbr. 37: b). Dalam naskah-naskah yang isinya lengkap (Gambar 37: MSS: 1. 2, 8), kedua cerita
mewakili sekitar 25% dan 40% dari total dan mengandung substansi tradisi tulis Pandé Besi. Jadi ini
adalah dua cerita yang sangat berbeda, karena naskah pertama ditempatkan pada jaman kedatangan
para penakluk Jawa di Bali dan yang lainnya di awal dunia, akan diteliti lebih detail.

Harus ditambahkan juga pada bahwa tradisi Pandé Besi ini memiliki dua naskah yang
direpresentasikan oleh dua naskah terisolasi, kontras dengan semua naskah lainnya yang dibuat dalam
beberapa salinan. Terdapat usaha yang dilakukan secara sistematis untuk mengumpulkan lontar Bali,
yang berarti bahwa naskah-naskah ini mungkin memberikan tempat yang sangat terbatas untuk
disalin. Dapat disimpulkan bahwa naskah ini adalah nomor dua dalam konnaskah untuk
menggambarkan tradisi Pandé Besi. Memang, tidak ada referensi dalam lingkungan Pandé.
Ketertarikan mereka dalam studi tentang tradisi ini menghasilkan apa yang mereka presentasikan dari
variasi atas tema yang dihormati dari Prajurit Wilwatikta dan dari Sundari Bungkah.

213 Pengecualian ini adalah MS NBA 015 dimana salah satu bagian yang disebut Sundari Terus tidak ada hubungannya dengan
tradisi Pande.
214 Variasi pada konten itu kadarnya kecil dan beberapa naskah yang berbeda menampilkan kesatuan yang cukup luar biasa.

Namun, penulisan dan kualitas bahasa sering meninggalkan hal-hal yang diinginkan dan dalam pandangan ini terdapat
perbedaan diantara naskah yang berbeda
Gambar 37: Komposisi delapan naskah yang digunakan untuk studi tentang tradisi tulis Pandé Besi .

1 2 3 4 5 6 7 8
a Prajurit Wilwatikta + x + + - - - +
b Kaprayogan ing kaPandéan duk ing Mekah x x x x x - - x
c Kaputusan saking Wilwatikta: x x x x x - - x
Tingkah ing ngawe banyu ring wong mati x x x x x - - x
d Sundari Bungkah x + - - x x - x
e Pujan sira Bhatara Pasupati; x x - - x x - x
Tingkah ing anggawe toya ning wong mati x x - - x x - x
(Sundari Terus) - - - - - - x -
Identifikasi Naskah:

MS 1 : Kr 1061 1 LOR 9605

MS 2 : Kr 1033 / LOR 9605

MS 3 : Terjemahan sebuah lontar, tahun 1787, dalam prosesi pedanda Gria Kekeran,
Blahbatuh (Koleksi pribadi).

MS 4 : Terjemahan sebuah lontar dalam prosesi pemangku Pura Panataran Pandé Banjar
Babakan, Blahbatuh (Koleksi pribadi).

MS 5 : Kr 1133/ LOR 11 209

MS 6 : Kr 1034/ LOR 11 201

MS 7 : LBN 015, Lembaga Bahasa Nasional, Singaraja.

M S 8 : N o 2 3 , B u n d e l I I I , Universitas Sydney (Milik I Wayan Pucuk, Bantang Banwa,


Kecamatan Sukasada).

Tanda (+) menunjukkan bagian yang ditemukan pada awal naskah. Bagian kedua dari MS 7
ditempatkan antara tanda kurung, karena Sundari Terus bukan milik tradisi Pandé.

MS Kr 1443 diletakkan, seperti Prajurit Wilwatikta, dalam model parahistoris dari migrasi leluhur Jawa
yang datang ke Bali. Ketika naskah ini ditemukan, ia diberi judul sangat menyedihkan yaitu Babad
Tusan yang dikualifikasikan lebih baik dari Prajurit Wilwatikta. Memang, ia menceritakan tentang
sejarah Pandé Grondong (Iki kanda ning Pandé grondong) yang bertempat tinggal di Budaga dan
secara traditional adalah pendiri pengecoran perunggu. Judul Babad Budaga atau Babad Pandé
Grondong lebih tepat untuk mengidentifikasi naskah ini, menyajikan pengrajin perunggu sebagai
keturunan dari anak bungsu seorang leluhur pandai Besi yang juga leluhur pandai Besi di Bali. Naskah
kedua, MS Kr 1171, berjudul Prasasti Pandé dan berasal dari desa Bratan. Naskah ini tidak
berhubungan dengan tradisi Bratan atau Pandé Bratan saat ini215. Naskah ini tidak berkait dengan

215 Seperti kebanyakan


naskah tradisi kelompok Pande milik yayasan lama Gedong Kirtya, MS Kr 1171 ditemukan pada tahun
1933 dan dalam katalog dipastikann bahwa aslinya adalah milik desa Bratan. Sekarang, di Bratan, kita dapat melihat kondisi
tradisi Pandé Bratan atau juga bukan menceritakan tentang asal-usul dari jenis babad, melainkan
serangkaian catatan yang sering berulang dan sebanding oleh karakter spekulatifnya di Sundari
Bungkah, namun yang berbeda dengan surat itu. Kita lihat berikut ini dua naskah kecil yang secara
lengkap dianalisis dari dua elemen utama dari tradisi tulis Pandé Besi, yang dimunculkan bila
diperlukan. Kita batasi, apalagi, dalam analisis ini memperlihatkan poin penting, tanpa menghadirkan
secara rinci isi dari naskah, seperti yang kita lakukan untuk tradisi dari Pandé Bratan. 216

2. Sejarah Ksatria Majapahit

2.1 Fakta dan cerita tentang leluhur Jawa

Secara signifikan, kisah ini dimulai dengan mengingat kembali urutan kasta yang berhubungan dengan
kedatangan prajurit dari Wilwatikta (Majapahit) ke Bali:

“….Iti pratatan ikang linggan ikang prajurit sane turun ka bali, rnara éng wilwatiktha, duk sawiji
maternahan akwéh. Kawit mayoga sira sang hyang kasuhun kidul, umetu ikang caturjanma. Apa ta lwirnia
brahmana metu ring wang, ksatrya metu ring ong, wésiya metu ring ang, sudra metu ring mang. Yatika
prasama putranira bathara sang hyang kasuhun kidul. Kunang mwah sang ksatriya, atemahan andadi ratu
cakrawartti ng sarat. Kunang sang brahrnana, sira maka surya ning sarat. Makanguni sira wesya,
atemahan pwa sira pepatih, amangkwa nagara ring wilwatiktha. Tekwan sira sudra, sira pwa maka
kawula ing ratu, rnangka kapradathanya ring kuna”.

“…Ini adalah urutan primordial prajurit yang turun dari Majapahit di Bali, satu kemudian menjadi
banyak. Pada awalnya, merenungkan tuhan yang dihormati di Selatan. Ia mengambil empat orang.
Dengan demikian, Brahmana lahir dari WANG. Ksatriya lahir dari ONG, Wesiya lahir dari ANG, Sudra
itu lahir dari MANG. Ini adalah semua anak laki-laki dari tuhan yang dihormati di Selatan. Yang menjadi
lebih adalah, Ksatriya menjadi Raja, yang bertahta secara berdaulat di dunia dan menjadi Brahmana
sebagai matahari dunia. Lalu, para Wésya menjadi patih untuk
menjadi tangan kanannya yang mengarahkan kerajaan Majapahit. Adapun Sudra, ia menjadi
rakyatnya Raja. Itulah kisah sejarah zaman kuno.217

Perlu dicatat bahwa menurut urutan kelahiran Brahmana disebut pertama, sedangkan dalam fungsi
Satriya-memiliki hak prerogatif. Sementara Brahmana bertempat tinggal di Katépéng Régés, Raja
bertempat tinggal di Majapahit dan memperistri Gagani218. Ia memiliki sembilan anak laki-laki, yang

eksitensi lontar dimana tidak seorangpun tahu apa isinya dan dirahasiakan di rumah tetua desa. Ia, mengunci diri dari dunia
luar, tidak lagi berkomunikasi dengan yang hidup dan upaya keluarganya, serta dirinya, tetap sia-sia.

216 Selain itu, kami dapat minta pada Kat Angelino (1921A: 216-2261 untuk parafrase dari Prajurit Wilwatikta dan Goris
(1960d: 295 -299) untuk sebuah komentar singkat pada naskah yang disebut Sira Prasasti Empu Pande dan yang
tampaknya versi Sundari Bungkah
217 MS 23 Bundel III (Sydney). lb baris 2-10. Versi klasik melahirkan wakil dari empat kasta dari berbagai bagian tubuh

Brahma (kepala, dada, perut, lutut). WANG, ONG, ANG, MANG-adalah bentuk nasal dari empat suku kata suci WA, MO, A,
MA (lihat supra, catatan 7).
218 Reges Katepeng, tampaknya terletak di Jawa Timur, juga disebutkan di Usana Jawa sebagai tempat tinggal dari

Brahman. Gagani mungkin makhluk surgawi (lihat gagarta bermakna langit dalam bahasa Jawa Kuno).
sulung merupakan inkarnasi dari Brahma. Dia menolak untuk menjadi raja dan pindah ke Lulumbang.
Kekuatannya istimewa dan luar biasa (atisaya Sakti sira mawang wisesa). Ia naik gunung untuk
memberikan latihan spiritual dan menempa senjata menggunakan tangannya sebagai palu, pahanya
sebagai sebuah landasan, sementara api naik dari kedua telapak tangannya. Putra kedua, karena itu,
menjadi raja, dan ketiga, Arya Kenceng, menjadi Perdana Menterinya. Anak lainnya diberi nama Arya
Bléténg, Arya Sentong, Arya Binculuk, Arya Kapakisan, Arya Kuta Waringin, Arya Blog Arya Watang219.
Arya Kenceng meninggalkan Majapahit untuk tinggal di Bali dan saudara-saudara bungsunya
menemaninya. Mereka menerima, sebelum keberangkatannya, senjata, tombak dan keris, yang telah
ditempa oleh kakak sulung mereka Mpu Brahmawisesa. Mpu Brahmawisesa memiliki seorang anak
laki-laki, Mpu Siwa Saguna, yang juga pergi ke Bali, sementara adiknya, Mpu Gandring, tetap tinggal
di Lulumbang.

Setelah tujuh tahun bertahta, baik raja Bali maupun Arya kenceng tidak punya anak, karena mereka
telah dimakan oleh Ki Buta Wawangsilan. Mereka meninggalkan Gelgel, dan Mpu Siwa Saguna yang
tinggal di Tusan, untuk pergi ke Majapahit dan mengambil istri. Raja dan Arya kenceng menikah dua
dari tiga anak perempuan seorang Brahmana dari Katépéng Régés sedangkan Mpu Siwa Saguna
menikahi sepupunya, putri Raja Majapahit yang merupakan adik bungsu dari Raja Bali. Ia kembali ke
Bangsul (Bali) dan memiliki anak yang kuat.

Pendahuluan ini adalah fundamental, karena memuat semua tanda-tanda keunggulan Pandé Besi.
Leluhur bergelar Mpu, membangkitkan para Brahmana di Bali dahulu, tetapi ia adalah Satria
berdasarkan keturunan ayahnya, artinya ia termasuk dalam ras raja. Lebih lagi, ia adalah anak tertua.
Penolakannya untuk bertakhta tampaknya menyiratkan bahwa ia ditempatkan di atas martabat
kerajaan, karena juga merupakan inkarnasi Brahma. Keunggulan rohani-Nya jelas dan
memungkinkannya untuk menempa senjata di atas gunung, dengan hanya sumber daya dari pikiran
dan badannya. Nenek moyangnya, Mpu Brahmawisesa, dan memenuhi juga sifat-sifat Brahman,
kebangsawanan Satria, dan kekuasaan mitis para pandai Besi. Pada generasi berikutnya, hubungan
dengan garis keturunan kerajaan Majapahit ditarik melalui perkawinan Mpu Siwa Saguna dengan putri
raja Majapahit, sepupu pertamanya (misan). Perkawinan ini mengungkapkan, dalam cerita, identitas
gelap raja Bali. Ia adalah anak laki-laki Raja Majapahit dan oleh karena itu sepupu Mpu Siwa Saguna.
Hubungan keturunan dengan demikian menjadi jelas dan sekarang melengkapi dengan menambahkan
keturunan Mpu Siwa Saguna, seperti tercantum pada gambar di bawah ini (Gambar 38). Dapat dicatat
juga bahwa Raja Bali dan pamannya, Arya kenceng, memperistri anak-anak dari seorang Brahmana,
bertentangan dengan aturan hypergamy, yang menyiratkan bahwa Brahmana tidaklah selalu
merupakan tingkat yang lebih tinggi dari Satria. Selain itu, nama nenek moyang Pandé Besi adalah
ortodoksi brahmani yang baik, dan bahkan shiwais, karena Siwa Saguna berarti “memiliki semua
kekuatan Siwa”.

219Sementara naskah mengumumkan sembilan anak, kami mencatat bahwa mereka sebenarnya sepuluh. Para Arya
disebutkan, kecuali yang terakhir, mereka yang: juga disebutkan dalam Usana Jawa (Kr 363). Namun. dalam tradisi sejarah,
Arya Kenceng awalnya menggunakan nama Arya Damar
Perlu dicatat pada titik ini persamaan yang jelas antara pendahuluan dan suatu bagian dari Usana
Jawa, naskah ini menggambarkan penaklukan Bali oleh orang Jawa, kemudian distribusi tanah
diserahkan untuk dilestarikan pada Arya. Ia menambahkan bahwa kemudian raja menikah dan dia
memiliki seorang anak laki-laki, tetapi empat puluh dua hari setelah kelahirannya, dimakan oleh Ki
Butha Wawangsil. Ia kemudian pergi ke Katépéng Régés, "juga ketergantungan pada Majapahit. (Taler
jajahan Wilwatikta), Raja, Arya Kenceng dan Arya Sentong yang telah menerima perkebunan dari
Pacung. Ia menikah dengan tiga anak perempuan Brahmana dari Katépéng Régés dan kembali ke Bali.
Masing-masing diantara mereka memiliki seorang anak laki-laki dan mendapat penjagaan yang baik.
Suatu hari Ki Buta Lawéyan membawa anak laki-laki raja di punggungnya dan dua anak lainnya di
dadanya. Dia membawa mereka ke Brahma yang memberi nama anak raja Ratu Anom (raja muda,
lumba-lumba) dan memberinya gelang kecil (pinggel rupet).220

Episode terakhir ini juga menuliskan, dengan sedikit detail, cerita tentang tradisi Pandé Besi. Kita
melihat bahwa leluhur Pandé, Mpu Siwa Saguna, mengambil tempat karakter orang ketiga, Arya
Sentong, tetapi ia menikahi putri Raja Majapahit dan bukan putri paling kecil dari Brahmana Katépéng
Régés, seperti cerita singkat Usana Jawa. Sekalipun demikian naskah yang terakhir adalah jelas,
karena, contohnya, penulis Prajurit Wilwatikta menulis adanya tiga anak perempuan dari Brahmana,
sementara angka ini tidak memenuhi kebutuhan cerita, dalam hal ini termasuk perbedaan, dalam hal
ini, tampaknya dimaksudkan untuk menandai tingkat kekhususan perkawinan dari Mpu Siwa Saguna
dan statusnya. Selain itu makna dari toponyme Tusan adalah sama untuk kedua cerita tersebut. Dalam
Usana JAwa, ditemukan dua kejadian rekot dimana nama Tusan ditujukan pada tempat dari kamp
sementara, sebagai tempat dimana Arya kenceng membangun sebuah meru sembilan tingkat, juga
sebuah lumbung beras. Kejadian ketiga mengingatkan bahwa, di bawah nyeri gangguan serius, raja
tidak boleh lupa merayakan ritual (aci-aci) di Pura Kentel Gumi di Tusan (kahyangan ring kentel gumi
Tusan). Pura Kentel Gumi, yang sejarahnya tampak hilang, sampai saat ini masih terletak di wilayah
desa Tusan221. Ia sangat terkait dengan Dinasti Gelgel dan gaya Bangunannya sangat mirip dengan
Pura Dasar Gelgel. Pura ini tidak lagi menjadi tempat pengabdian penting bagi Pandé Besi, tapi
mungkin berbeda di masa lalu ketika pandai Besi dikaitkan dengan ritual kerajaan, mungkin dengan
cara yang sama dimana kelompok Pandé terkait secara langsung dengan Eka Dasa Rudra terakhir.
Hanya dalam Usana Jawa sama sekali tidak berisi kiasan tentang pandai Besi, baik secara umum
ataupun mengenai Tusan.

Episode kedua dikisahkan pada era yang lain, yaitu pada masa kekacauan (Kali Sangara):
ketidakteraturan terjadi di dunia (runtah tekang bhuwana), perselisihan antara orang tua-orang tua
dekat (acengilan lawan Amisan sanak), aturan tidak lagi diikuti (tan katutur tekang sasana), para Patih
dan bahkan raja tidak lagi ditaati, kasta hierarkis tidak lagi dihormati (tan katindih ikang caturjadma).
Dalam konnaskah inilah Mpu Rajabrahma, ditemani Mpu Siwa Saguna menurut salah satu variasi,

220 Usana Jawa (MS Kr 360: 14a, 14b).

221
Usana Jawa (Ms Kr 360, 11b, 15b. 28b). Pura Kentel Gumi dapat diterjemahkan sebagai "Kuil koalesensi Dunia". Ini pasti
adalah, pada satu waktu, salah satu kuil terpenting di Bali (Ct% Goa 1960b: 109).
memperkenalkan diri di depan raja222. Mereka menjamin, mengacu pada ajaran leluhur besar di
gunung Mekkah, telah mengembalikan kerukunan antara kerabat dekat, sehingga ia bisa mengakhiri
penderitaan, ketidakbahagiaan dan degradasi internal. Hal ini juga mengingatkan bahwa ia harus ingat
asal-usul Majapahit (ilingakena uga ring wetbetan sira saking Wilwatiktha), jika tidak mengikuti
aturan maka tidak menyebabkan kejatuhan keturunannya (tan wun lungsur kadadiyan kita, maka pala
tan lingen ing sasana) Akhirnya, ia mengundang raja untuk menulis nasihat agar dikenal di semua
wilayah. Raja menyerah dengan kehendak Mpu Rajabrahma dan menyelenggarakan panitera
pengadilan, Kuda Ki Pangasih. Kemudian raja menulis untuk menyajikan ini Mpu Siwa Saguna sebagai
jaminan keunggulan negaranya (surat Maka tateken kaprawiran) dan diyakini dipahami, naskah harus
dikomunikasikan kepada kekuatan Arya berolahraga dalam minyak berbagai daerah mereka
regulatory tanah. tampaknya daerah ini pemimpin tanah ace yang membahas undangan ingat
keturunan Arya Mpu Saguna, Arya Kapandean dan Lurah Kapandean. Lalu, tanpa transisi, cerita itu
merujuk ke diskusi yang dilakukan penguasa, di masa lalu (Nguni), pada Lurah Kapandéan yang
diperkenalkan sebagai cucu dari Mpu Siwa Saguna:

222 Istilah
rajabrahma ini digunakan cukup sering dalam literatur untuk menunjuk Purohita, pendeta melekat pada raja. Inilah
nama lain yang diberikan kepada Mpu Brahmawisesa, nenek moyang Jawa dan ayah dari Mpu Siwa Saguna.
Brahma

Satri I
Gagani
Raja dari Witana Majapajir

Mpu Brahmawisesa

Lalumbang, Majapahit

Patih Kenceng
Mpu Gandring Raja Bali Arya Bleteng
Mpu Siwa Saguna
A.Sentong
(Tusan, Bali) (Lalumbang) (Gelgel)
A.Binculuk
A.Kapakisan
Arya Kapandean A.Kuta Waringin
A.Belog
A.Watang
Lurah Kapandean
Gambar 38. Tabel silsilah nenek moyang Pandé Tusan menurut ceritaPrajurit Wilwatikta
“…Kaki anak ingsun lurah kapandheyan, rengwakena pawarah kami ring kita.
Mangke katekeng wekas, wenang kita amretingkah wong, angamet panatak bahan,
mwang pangapih, mwang papincatan, lawan tutuwangan, wenang sapratingkah
sara, mwah elingakena uga sapanganggon ing kesatriyan, sahulat hulat ing ksatriyan
putus ing sanyah nyah ira kabeh, katekeng wekas. Aja harok kita, elingakena
kadadenta kasatriyan, aja adoha akadang kadang, wenang kinumpulaken, apan
mulaniya sthiti sawiji andadi akweh, sadoh doh akadang, muliha andadi ming ro, aja
angangken asanak aming tiga, wenang amisan aming rwa. Kunang yan hana
pratisantanta angangken aming tiga, yadyapin sadoh dohniya wong amurug angagu
ngaraniya, kena sodan ingsun, bwat ing upadrawa, wastu, wastu, wastu, pariwastu,
kena sodan ira bathara sinuhun...” 223

“…Lurah Kapandheyan, anakku yang terhormat, dengarkan apa yang akan saya
katakan. Pada saat ini maupun di masa depan, adalah tepat untukmu
memerintahkan orang-orang, bahwa engkau mengambil panatak Bahan, pangabih,
babinjat, dan tatunggon di bawah petunjukmu,224 itu termasuk semua kekuasaan.
Ingat juga, semua kelengkapan Satria, semua keunggulan dari kondisi satria, benar-
benar terikat pada keseluruhan jumlah keturunanmu, di masa depan. Bahwa tidak
ada keraguan, jangan lupa darah Satriamu, bahwa orang tua tetap dekat, mereka
harus mempererat (hubungan mereka), karena pada awalnya terdapat kestabilan
dalam kesatuan yang lahir dari jumlah tersebut. Yang orang tuanya jauh, kita
tempatkan sebagai sepupu pada tingkat kedua. Bahwa kita tidak menganggap
sebagai sepupu ketiga, tapi sepupu pertama, sepupu pada tingkat kedua. Sekarang,
jika (beberapa dari) keturunan mempertimBangkan (orang tua mereka) sebagai
sepupu dalam tingkat ketiga, terlepas dari jarak, mereka gegabah dan salah, mereka
akan menerima kutukan saya, tidak beruntung; biarkan saja, benar-benar biarkan:
mereka akan menerima kutukan dari Bathara Sinuhun…”

223 " MS 23 Bundel III. 5b, baris 21 -25, dan 6a, baris 1-7.

224Panatak bahan dan pangabih (pangapih) atau pangabin adalah nama-nama kuno yang menunjuk
"pejabat" tertentu penduduk desa (Korn 1932: 350, 185). Babinjat (papincat) secara tradisional
mengacu pada anak yang lahir di luar nikah. Kat Angelino memasukkan mereka dalam daftar Roban
sapangan, yang disebut "budak itu sendiri" (dari eigelijke Slaven) berlawanan dengan, contohnya,
Roban tatunggon yang lahir bebas dan selalu dapat membayar denda mereka senilai situasi mereka
dari ketergantungan (192k: 591-594)
Bagian ini menggambarkan konsepsi umum menurut perjalanan waktu yang
menyebabkan degradasi harmoni asli yang menghasilkan, khususnya, kendurnya
hierarkis sosial dan kehilangan kelompok pertama dari garis kekerabatan.
Perjalanan waktu menjadi berat karena ancaman dari pengabaian asal-usul, yang
berarti menurunkan status dan mengakibatkan, cepat atau lambat, kemarahan
nenek moyang diabaikan. Perintah kepada Lurah Kapandéan ini menekankan dua
poin: mengingatkan akan tingkat Satria dan perlunya untuk menganggap semua
orang tua sebagai kerabat dekat. Tradisi tulis para pengrajin perunggu di Budaga,
yang terinspirasi oleh naskah ini dan mengulangi tema terakhir, bahkan lebih
eksplisit. Pada garis keturunan yang berbeda harus melanjutkan pertukaran
penghormatan kepada orang mati dan anggota mereka harus terus saling menikah
diantara mereka (aja pegat sembah ring pratisantanan kita sadaya muwah juang
kajuang). Presisi ini menerangi makna dari ayat yang dikutip sebelumnya,
mengundang untuk menganggap semua orang tua sebagai saudara sepupu pertama
atau sepupu pada tingkat kedua, yaitu orang tua dengan siapa ikatan senantiasa
ditegaskan kembali melalui praktek ritual umum dan pertukaran perkawinan. 225

Episode kedua ini yang berlanjut dengan penyebutan hak istimewa tertentu yang
dinikmati Lurah Kapandéan dan keturunannya. Pada kasus kematian tanpa laki-laki
pewaris, hak untuk penyitaan (panjing) oleh penguasa properti dan keluarga
almarhum tidak dapat diterapkan. Dalam hal kesalahan, hukuman tidak dapat
diambil pertama kalinya, tetapi jika kambuh pelakunya mungkin dilarang dari ke
desa selama satu tahun dan dapat denda sekitar 8000 kepeng. Namun, barang
tersebut tidak dapat disita dan, setelah setahun di pengasingan, ia akan
mendapatkan kembali tempatnya di desa seperti sebelumnya. Jika ketentuan ini
tidak dipenuhi, maka raja akan diberhentikan menjadi raja, patih kehilangan
otoritasnya, Satria diberhentikan menjadi Satria, Brahmana itu akan berhenti
menjadi Brahman, kekacauan, kematian yang buruk, dan perselisihan antara Orang
tua akan menguasai dunia. Naskah ini menetapkan bahwa keturunan Lurah
Kapandéan memiliki perkecualian dari layanan umum untuk kebersatuan
masyarakat misalnya, pada berbagai upacara keagamaan. Hak istimewa ini
dibenarkan oleh ketegasan bahwa garis keturunan dari Lurah Kapandéan berasal
dari Satria Majapahit (wetbet ing Ksatria wit Majapahit). Akhirnya, tampak bahwa

225Kepastian ini penting untuk pemahaman tentang makna hubungan orang tua dalam masyarakat
Bali. Kita melihat bahwa seolah-olah semua orang tua milik lingkungan kecil, induk dengan mana kita
berada dalam hubungan Sidikara
satu-satunya kewajiban dari anggota garis keturunan ini adalah untuk memastikan
pembuatan senjata atas nama kedaulatan:

“Kayogya déné ngélingakena angayah karryan ingsun, akaryya sarwwa lalandhep, salwir
ing sanjata, tumbak mwang keris, akaryya sapisan ngasasih... Lyan ring mangkana
sarajakaryyan ingsun, sami padha luput”

“…Ini tidak boleh gagal untuk layanan kerajaan, manufaktur semua yang tajam,
senjata, tombak dan keris, sekali setiap bulan .... keikhlasan memberikan (pekerjaan
lain untuk istana).226

Perubahan daftar dari naskah di bagian kedua ini sangat luar biasa karena, setelah
keBangkitan dari nenek moyang Jawa dan dari kerajaan Gelgel, keprihatinan terjadi
lebih konkret dan bahkan secara yuridis. Pertama, harus menjaga kenangan asal-
usul dan memelihara kohesi dari kelompok kekerabatan. Dapat ditemukan disini
sebuah kepedulian, atau sebuah obsesi, kelompok Bangsawan Bali bersikeras
bahwa unit, meskipun, adalah kenyataan dan konsekuensi yang tak terhindarkan
dari kesuburan garis keturunandan penyebaran geografi yang tak terelakkan yang
dalam kenyataannya, telah menyebabkan penggelembungan hubungan
kekerabatan yang hanya masyarakat berkasta dapat mengingatnya kembali.

Juga jelas bahwa keturunan Lurah Kapandean dianggap dalam fungsinya sebagai
pandai Besi senjata yang melayani istana. Hal ini tersirat bahwa pandai Besi bekerja
untuk penguasa, tetapi mereka juga termasuk dalam ruang desa, bahkan jika hanya
karena penggunaan tempat tinggal yang biasanya disertai dengan kewajiban bagi
masyarakat desa. Naskah ini memberikan ilustrasi tentang gangguan dari hukum
feodal membatasi hak biasanya dipenuhi melalui desa pada anggotanya atau orang-
orang yang telah mendirikan tempat tinggal mereka. Masing-masing memiliki agen
di luar desa sehingga sebagian yurisdiksi yang, harus itu menentukan, tanpa
berpengaruh pada penduduk triwangsa. Ia pergi dari tanah bahwa mereka adalah
kelas utama pria, karena keturunan Jawa dan seharusnya lebih tepat majapahit.
"Tinggi" bisa sama sekali tidak akan mencampur "bawah" dan fortiori yang
diserahkan kepadanya atau mematuhi hukum yang sama. Ini diikuti, misalnya,
hukum pidana bahwa master diferensial baru Belanda bergegas Perpanjangan untuk
mengurangi ketidaksetaraan yang mereka dianggap sangat memalukan. Perhatikan
bahwa hak-hak istimewa yang dinikmati oleh senjata pandai Besi tidak dibenarkan

226 MS 23 Bundel III, 7a, baris 9 -12


oleh fungsi khusus mereka, tetapi oleh asal mereka yang mulia. Namun, harus
dicatat bahwa properti, bertentangan dengan triwangsa, pengecualian ini dan hak
istimewa tampaknya tidak cukup jelas seperti yang diperlukan naskah untuk
memperjelas dan memberi mereka kekuatan hukum.

Dengan demikian, asal-usul bangsawan tanpa akhir selalu menimbulkan sakit karena
fakta bahwa keadaan Satria tidak diterima, karena secara nyata pembuat senjata
tergantung pada tanggungan kekuasaan kerajaan dan mereka membutuhkan
perlindungannya agar tidak bercampur dengan orang umum, Sudra atau kaula.
Posisi ambigu ini tampaknya dibenarkan oleh awal timbulnya Kali Sangara, waktu
kekacauan dan kebingungan hubungan sosial. Dibutuhkan tanggung jawab dari
semua leluhur dari Jawa, Mpu Brahmawisesa, dan penguasa Bali agar mengikuti
aturan. Dengan demikian, naskah hanya menekankan pada kesenjangan status yang
melebar antara keluarga besar keturunan orang Jawa dan keturunannya, yaitu
pandai Besi senjata Bali.

Bagian kedua ini berakhir dengan penyebutan desa, yang tampaknya terletak di
selatan pulau dan yang terkait dengan distribusi sawah pada yang berhak yang juga
belum teridentifikasi jelas. Hal ini mengisyaratkan bahwa keturunan Arya Kenceng
telah tinggal di Jeruk, mungkin terletak di wilayah Badung seperti identifikasi dalam
isi. Arya Pandé mengikuti mereka yang ditunjukkan sebagai penguasa (Sang Prabhu
apuri ring Jeruk… jumeneng Ratu ring Jeruk), dan menerima sawah di
Batubulan227.Raja selanjutnya menempatkan kediamannya dan kemudian Arya
Pandé datang untuk tinggal di Tonjaha. 228Karena alasan kedudukannya yang luar
biasa (atisaya ring Prawira), raja memberinya rakyat (kawula) dan tanah di tiga
tempat229 yang berbeda. Identitas dari penguasa dan Pandé Arya ini masih tidak
jelas, tetapi yang terakhir ini dikenal sebagai bangsawan yang melayani kerajaan,

227 Batubulan adalah sebuah desa besar yang terletak di timur laut Denpasar
228 Rumah baru raja disebut dengan Tegal Ambengan dalam dua naskah (Ms 23 Bundel III, Kr 1061) dan
dihormati juga sebutan berikut: Nambanga, Tegal Nambangan, Tegal Tambangan dalam tiga versi
lainnya dari Prajurit Wilwatikta (Kr 1033, MS Gria Kekeran, MS Banjar Babakan). De Kat Angelino
mencatat Tegal Nambangan (1921a:224), yang nampaknya merupakan bentuk nyata dari toponime
lama di wilayah Badung, tercatat dalam beberapa sebutan dalam Usana Jawa seperti dalam baris
ringkas Arya Kenceng. Tonja atau Tonjaha terletak timur laut Denpasar dan saat ini disana dapat
ditemukan satu inti Pande Besi dengan Pura Dadianya.
229 Tempat tersebut adalah Praupan, Tonja, Padang Lwah, Kayu Putih, dan Krobokan, diantaranya dua

petama dan tampaknya yang terakhir adalah desa dekat Denpasar.


serta seperti gelarnya Arya dan pemilikan lahan pertanian yang terikat dengan
masyarakat. Juga kontinuitas naskah pada bagian ini tidak dapat diteliti dalam
pengembangan sebuah cerita linear dan mendalam seperti dalam penegasan
kembali status khusus pandai Besi senjata yang diuraikan dalam naskah, dalam cara
yang kurang lebih meyakinkan, sebagai Satria karena asal-usul mereka yang telah
diuraikan, dan tanpa membuat keris, menjadi jelas secara khusus.

Bagian ketiga dari Prajurit Wilwatikta berisi sebuah gambaran lepas yang bertujuan
membenarkan larangan makanan tertentu yang kelompok Pandé diharapkan
mengamati dan memastikan hubungan darah tertentu, semua dengan mengingat
kualitas status kelompok Pandé Besi. Awal dari cerita, mengingatkan bahwa Mpu
Siwa Saguna meninggalkan Jawa dan datang ke Bali bersama Arya Kenceng dan
saudara-saudara lelakinya. Dalam episode kedua ayahnya, Mpu Brahmawisesa atau
Mpu Rajabrahma, datang untuk menasehati raja Bali dan mengajak untuk
memperbaiki aturan sosial. Disini, Mpu Siwa Saguna masuk cerita lagi, sendirian, ia
siap bergabung Bali. Ia menyeberangi selat yang memisahkan Jawa dan Bali dengan
menumpang seekor ikan (iwak pingul) dan tiba di Jembrana di sisi barat Bali. Tidak
menjumpai baik jalan maupun desa, ia melalui gunung berhutan (wana ukir) dan
mengembara sepanjang tujuh hari tujuh malam, diterpa hujan lebat di bulan ke
tujuh. Dalam perjalannya ia berjumpa dengan semut bersayap (lalaron) yang keluar
dari sarangnya dan mulai terBang. Ia mengikutinya dan tiba di sebuah jalan besar
menuju kearah tenggara. Sedangkan lalaron tertubruk sebuah pohon tinggi, Mpu
Siwa Saguna melihat seperti seorang lelaki yang sederhana yang mengajak, dengan
penuh hormat, untuk datang dan beristirahat di pondoknya. Kemudian ia menuju
Tusan dan disana ia menetapkan tempat tinggalnya.

Pembukaan ini diikuti sebuah deklarasi tanpa transisi (basama) dari Mpu Siwa
Saguna yang ditujukan untuk keturunannya:

“Yan ring besuk sira kaki aja uga amangan iwak pinggul ketekeng lalaron, kena soda
ingsun, mangkana kengatakena…” 230

230 MS 23 Bundel III, 10a, baris 4-5


“Di masa yang akan datang, kalian tidak boleh memakan ikan pingul dan lalaron231,
akan menerima kutukan saya, itulah yang harus kalian ingat…”

Ditambahkan dalam naskah ini bahwa, kemudian, Mpu Siwa Saguna menujukan
kembali kepada keturunannya. Unsur-unsur yang mengikuti adalah silsilah
membingungkan, namun penulis jelas berusaha untuk membedakan diantara
keturunan KaPandéan beberapa caBang terkait dengan tempat tinggal yang
berbeda. CaBang tertua terletak di Tonjaha, juga ditulis Tonja, sedangkan ia
memastikan bahwa Arya KaPandéan tinggal di Jeruk. Ada juga keturunannya yang
tinggal di Tusan, Bungaya, Jeruk dan di desa-desa lainnya. Akhirnya, kediaman Mpu
Saguna sekali lagi disebutkan, tetapi Gelgel menggantikan Tusan. Sangat mungkin
bahwa alamat kedua dari Mpu Siwa Saguna ditambahkan, yang mungkin
dipersembahkan untuk Pandé Besi di Tonja, desa ini sekarang dimasukkan di kota
Denpasar.232 Cerita berakhir dengan pengingat akan asal-usul majapahit dan
menetapkan bahwa bade kremasi untuk Pantie Besi maksimum Sembilan tingkat.
Angka ini nampaknya sudah tampak tinggi, karena akan mengindikasikan
keBangsawanan yang tidak di bawah Raja dan Bangsawan besar kerajaan. Para
pengrajin perunggu di Budaga hanya mengklaim bade tujuh tingkat (1443 Kr) dan
angka itu juga yang dikutip oleh Kat Angelino, dan sebelum dia van der Tuuk
menyebutkannya juga untuk Pandé Tusan. Bagian ini mungkin memperkaya tentang
hak untuk menggunakan tanda-tanda keBangsawanan yang adalah van der Tuuk
pertama menandainya di akhir abad kesembilan belas.

2.2 Kepatuhan pada model Triwangsa


Harus dicatat bahwa cerita ini tidak mencerminkan perhatian untuk menyajikan
sejarah asal-usul secara cermat dan hati-hati terdiri dan mengartikulasikan secara
kronologis sebuah seri dari episode-episode, dengan cara narasi sejarah tertentu

231 Pingul berarti putih dalam bahasa jawa kuno dan pingulan menggambarkan sejenis ikan
(Zoetmulder, 1982:1364). Ikan menjadi satu objek larangan bagi kelompok Pande yang disebut deleg
dalam bahasa Bali. Itu adalah sejenis ikan air tawar yang termasuk dalam famili Esocidae. Telah
diuraikan dengan penuh penghargaan dalam dua naskah tertanggal 994 (Bwahan A) dan 1011 (Batur
Pura Abang A). Laron atau Lalaron, disebut secara umum dedalu dalam bahasa Bali, ditujukan pada
semut putih lelaki yang terbang (istilah fatalis, istilah gilvus)
232 Alamat kedua tidak disebutkan oleh Kat Ancelino. sementara kami melaporkan umumnya mengikuti

cukup erat naskah-naskah yang kita miliki. Pada bagian yang terakhir dari Pande Besi Tonja, Prajurit
Wilwatikta dibedakan sebagai "cucu selangkangan" Siwa Mpu Saguna (Darah asasana ring tonjaha
Putún Ingsun pinih Wayah) dan menyebutkan keutamaan kelompok Pande Tonja menyediakan indeks
tentang asal-usul yang mungkin dari ayat ini pasti akan kemudian ditambahkan ke naskah dasar oleh
penyalin atau melayani Tonja Tonja Pande.
terhadap karakter historis, yang berkait dengan sejarah Gelgel, Pamancangah
menjadi sebuah contoh. Tentang naskah ini adalah sebuah ke pastian tentang isi
keseluruhan dalam dua kata kunci dari kalimat pengantar: Prajurit dan Wilwatikta.
PerkemBangan berikutnya hanya mengulangi dan mencabut asal-usul Jawa
(Wilwatikta, Majapahit) dan keBangsawanan (prajurit, Satria, Arya) dari nenek
moyang Pandé Besi Bali. Dari mengikuti makna sebuah tingkat dan sebuah tempat
dalam masyarakat kasta, apapun yang diselipkan sesuai perjalanan waktu, tidak
akan menimbulkan kebingungan antara Pandé dari Besi dengan Sudra. Dari posisi
Mpu Siwa Saguna, nenek moyang pertama yang datang menetap di Bali, ia tidak
menceriterakan apapun, sebaliknya dengan Babad garis keturunan Bangsawan,
remumeration daftara keturunannya telah diuraikan dengan penuh. Nampaknya
menjadi alasan pada pendahuluan sebuah ucapan teguran berhadapan dengan
pencegahan proses pembubaran kohesi kelompok keturunan dan degradasi status
mereka. Aspek terakhir ini adalah khusus untuk ini tradisi Pandé yang tidak
memberikan indikasi sifat atau sebab-sebab dari proses ini, jika tidak pada acuan
konvensional atau Kali Sangara, penurunan yang tak terelakkan ini dari harmoni
kosmis. Kita tidak mengangkat petunjuk dari indikasi yang bisa menjelaskan
kepribadian dari penulis atau beberapa penulis, waktu dan situasi dari tulisan atau
sifat pembaca yang mana naskah ini ditujukan.233

Komposisi dan penulisan naskah, sekalipun jika kita mengabaikan ketidakjelasan dan
pemotongan yang mungkin masuk melalui penggandaan salinan, tidak
mempermudah, bahkan untuk sastra terlatih, pemahamannya. Dengan alasan, yang
lebih kuat cerita ini lebih merusak dan menyindir daripada deskriptif, hampir tidak
bisa ditujukan untuk mengajar membaca bagi pembaca dan untuk menghafal
sejarah para leluhur. Selain itu, huruf yang memiliki akses ke naskah ini tidak dapat
mereproduksi isi secara lisan, dan dapat dihafalkan selain beberapa detail dari
cerita. Kemungkinan besar, dulu seperti sekarang, penggunaan naskah dan lontar
yang mendukung harus dibatasi pada pembacaan ritual sesekali yang secara prinsip
tidak difokuskan pada pemahaman makna, tetapi memperingati secara efektif pada

233 Satu-satunya naskah yang bertanggal adalah Naskah Kekeran dari Gria Blahbatuh (lihat Gbr. 37).
Kurangnya petunjuk yang bisa mengungkapkan kepribadian penulis atau penulis tidak mengherankan
jika salah satu pandangan Wilwatikta Prajurit sebuah karya dalam pengertian Barat. Davantag masih
dalam sastra klasik Jawa atau Bali, penulis menghilang di balik budaya kode! dan menempatkan
"keluar" dari representasi kolektif yang, menurut definisi. sangat anonim, dan sampai batas tertentu.
abadi. Fakta tetap bahwa naskah apapun. sebagai anonim dan abadi muncul di sana. berfungsi untuk
memberikan karakter sejarah
nenek moyang melalui perilaku membaca dan pengucapan kata-kata kuno, beban
kekuasaan masa lampau.

Dalam pengertian ini, sebuah naskah menjadi efektif tidak harus jelas atau bahkan
benar-benar dimengerti. Hanya menangani beberapa gambar dan simbol tertentu
yang, pada batas tertentu, bermakna karena mereka tidak termasuk dalam daftar
umum atau dapat dimengerti. Memang kasus sejumlah besar gerak tubuh dan kata-
kata ritual, dan terutama ritual para pendeta brahmana dan kata-kata berasal dari
Sanskerta. Juga tidak diharapkan bahwa komposisi sebuah prasasti memberikan
banyak ruang kepada tradisi populer atau dengan keadaan sebenarnya dari masa
lalu, bahkan ketika mereka masih menampilkan kenangan atau momen pada saat
penyusunan. Fakta menunjukkan bahwa naskah ini tetap diperiksa sebagai warisan
leluhur dan sakral, adalah perwujudan dari kehendak kelompok Pandé Selain dari
tradisi Tusan agar diberikan tempat yang terhormat dalam masyarakat kasta yang
pendirinya terkait dengan perpindahan para penakluk Jawa era Majapahit.
Akhirnya, perhatikan bahwa penekanan naskah ini adalah pada penghormatan
terhadap hierarki dan dia sama sekali tidak membuat sindiran pada hirarkhi yang
lebih rendah atau pada yang lebih tinggi atas para Brahmana.

Naskah Pandé Budaga, yang merupakan sebuah komposisi yang dipastikan ditulis
dalam terakhir dalam bahasa Bali tinggi dan tidak dalam bahasa Kawi,
mencerminkan kekhawatiran yang sama tentang kisah prajurit Majapahit.
Ringkasan silsilah terkai Pandé ini pada leluhur Jawa bergelar Mpu, di antaranya
adalah Mpu Suguna Mpu dan LalumBang, masing-masing varian dari Mpu Saguna
dan Mpu LalumBang (Gambar 39). Yang terakhir adalah kakak sulung dari Prabu
Langgia, di mana nama tersebut tidak diragukan lagi adalah perubahan nama dari
Airlangga, dimana dalam cerita ini kerajaannya tidak terletak di Jawa, tetapi di
Madura. Mpu LalumBang diasingkan ke Katepeng Reges karena ia dianggap
bertanggung jawab atas bentrokan senjata yang telah menyerang kerajaan.
Mengikuti episode yang telah disebutkan beberapa kali, kesimpulannya adalah
kembalinya para pembuat senjata di istana Madura, sebagai konsekuensi untuk
mengembalikan harmoni. Lalu Raja dan Mpu LalumBang mengambil istri dalam
kondisi yang mengingatkan keadaan seperti yang diceritakan dalam tradisi Pandé
Tusan. Pandai Besi memiliki tiga anak, I Tusan, I Tatasan dan I Putih Dai, yang
semuanya tinggal Madura. Lama kemudian, penguasa yang tidak lagi disebut Prabu
Langgia tetapi Ida Dalem Ratu Sakti, pergi ke Bali disertai tiga bersaudara tersebut.
Yang sulung tinggal Tonja dan yang termuda, Putih Dai, yang datang terlambat, tetap
Budaga. Beberapa baris menunjukkan keistimewaan yang diterima oleh keturunan
Mpu LalumBang dalam istilah-istilah yang dekat dengan naskah sebelumnya. Ada
juga kisah penyeberangan Selat Bali oleh nenek moyang, yang ada di sini Mpu
LalumBang. Ikan dan semut terBang membimbing perjalannya sampai ke Tonja yang
dijumpai juga digantikan di Tusan. Dinilah leluhur mengucapkan larangan ganda
tentang makanan dan meminta kelompok Pandé untuk mempererat hubungan
dekat kekerabatan. Sebelum kembali ke Jawa, ia melengkapi nasihatnya tersebut
dengan menambahkan unsur-unsur tertentu yang berkaitan ritual kremasi, diikuti
dengan mengacu pada fragmen spekulatif dengan merujuk pada dasaksara,
triaksara, dan rwa bineda234. Kebetulan, naskah menunjukkan bahwa kelompok
Pandé dari Budaga memperoleh air suci yang diperlukan pada perlintasan orang
mati (Tirta pangentas) dari pendeta Brahman. Bahkan harga sudah ditentukan,
berdasarkan bila ritual adalah yang pertama, untuk katagori kedua atau ketiga.,
harga yang harus dibayar adalah tetap menjadi 16.000, 8.000 atau 4.000 kepeng.

Naskah ini dapat digambarkan sebagai populer karena bahasa yang digunakan dan
dari campuran berbagai referensi yang tanpa mengharuskan persiapan kuliner
dengan improvisasi spontannya yang dapat tampak aneh, sedangkan secara
struktural hal itu hanya mengikuti pola yang telah ditetapkan. Jauh dari register
linguistik dan mungkin dari zaman penyusunannya, yang ditulis tradisi menulis
Pandé Budaga dan Pandé Tusan menawarkan dua ekspresi, mulai dari sebagian
unsur umum dan sebagian yang berbeda, sekalipun pada cara kombinasi yang
diakhiri secara identik. Pada awal periode sejarah, nenek moyang Pandé sejajar
dengan raja-raja dan Brahmana. Pada tingkat ke dua dalam kronologi yang ada di
Bali, kelompok Pandé menerima hak istimewa tertentu seperti yang dinikmati oleh
Satria. Status mereka lebih tinggi dari para Sudra dimana asal-usulnya tidak jelas,
dan perbedaan ini muncul terutama saat upacara penyucian mayat.

Gambar 39. Tabel silsilah nenek moyang Pandé Budaga menurut MS LOR 9791/ Kr
1443 (Babad Tusan)

234Untuk keseluruhan suku kata yang disebut triaksara dan dasaksara, lihat catatan 7 dalam bab ini,
AM dan AH adalah dua suku kata yang memainkan peran kunci dalam elaborasi spekulatif dari
Hinduisme Jawa dan Bali, dan sebelum itu di India sehubungan dengan spekulasi pada nafas. Kedua
suku kata, rwa bineda dengan OM, dasaksara dan triaksara, membentuk satu keseluruhan dari enam
belas suku kata suci dan magis (lihat Goris 1926:59-61, 122-124)
Brahma

Mpu Suntiwana

Mpu Brahmawirya

Mpu Kaleng

Mpu Suguna

Mpu Lalumbang

Madura

I Gusti Ngurah Kapandean


Prabu Langgia
(Madura)
Raja Madura

I Tusan I Tatasan I Putih Dol

(Tonja) (Tonja) (Budaga)

Representasi ini, yang bisa kita ukur efeknya gelapnya mengenai Pandé Bratan, yang
menurunkan kelompok keturunan dengan aturan status dan cenderung untuk
menyesuaikan dengan model yang membenarkan superioritas Triwangsa. Sebuah
masa lalu lebih umum, lebih khusus Bali dan melalui itu kurang monoton, naskah
Budaga hanya memunculkan nama Putih Dai dan larangan bekerja di sawah,
sehingga kembali ke tradisi Pandé Bratan yang merupakan Pandé tanpa menjadi
Pandé. Kisah tentang "prajurit Majapahit” (Prajurit Wilwatikta) tampaknya sangat
konsisten dengan model asul-usul ideal, menginformasikan ideologi dominan dan
visi dari masa lalu. Tidak ada yang dianggap hanya nenek moyang pandai Besi, dari
mereka sebutan Pandé dan mempertahankan nama Tusan telah mampu mengikuti
jalan yang berbeda dari yang membawa mereka dari Majapahit ke Bali. Apa pun
asal-usul sebenarnya pandai Besi yang mungkin sebenarnya adalah Jawa untuk
beberapa diantara mereka, sebab migrasi dari Jawa ke Bali adalah realitas sejarah,
perjalanan berimplikasi melalui tradisi ini adalah bahwa akulturasi untuk nilai-nilai
dan konsepsi dari kelas penguasa yang berhasil memajukan sejarah dari sebuah
ekspedisi militer dalam mitos absolut dan memaksakan hirarki pada hampir semua
masyarakat Bali yang diasumsikan mengalir secara alami.

Dalam tandingan, Sundari Bungkah, cerita kedua ini - atau mungkin harus ditulis
setengah cerita untuk menyoroti kurangnya linearitas dalam susunannya- dari
tradisi Pandé Besi yang disajikan sebagai sebuah disonansi. Dibuat dari lapisan
simbolis yang sangat konvensional seperti dalam Prajurit Wilwatikta, dan melalui itu
semuanya sangat sedikit memberi perhatian pada realisme, Sundari Bungkah
mengungkapkan antara kaitan ketidakjelasan suatu visi alternatif tentang masa lalu
yang dapat ditafsirkan sebagai kembalinya sesuatu yang dilenyapkan di Prajurit
Wilwatikta.

3. “Pengungkapan Harta Karun”

3.1 Aji Besi, pandai Besi utama

Naskah kedua, kita ditawarkan memiliki enam naskah (Gambar 37,) diperkenalkan
oleh kalimat yang memastikan bahwa itu adalah milik Pandé dari Majapahit. Jadi itu
adalah Mpu Pradah, sebuah karakter dari tradisi Bali yang belum diceritakan, dan
seorang Brahma. Ia menyebut dirinya Sundari Bungkah, dan mengatakan asal-usul
beberapa dunia: dunia atas, dunia antara, dan dunia bawah (Iti aksarane kagaduh
olih sira pandé, wijil sira saking majapahit, saking pasungira sang Mpu Pradah,
saking batara brahma… Iki ngaran Sundari Bungkah, iki wit bwanané kabéh, ulu,
madia, suku...) (Kr I061). Istilah Sundari dapat diasosiasikan satu kesatuan naskah
yang berbeda yang berkaitan dengan agama dan ketuhanan (Pigeaud 1967: 282-
283; Hooykaas 1974: 6). Sundari tampaknya berasal dari bahasa Jawa Kuno
wasundhari, yang berarti bumi, dan dalam bahasa Sansekerta vasumdhara, wadah
kekayaan (Gonda 1973: 422; Zoetmulder 1982: 1852). Bungkah memiliki arti dasar
di Jawa Kuna, tetapi dalam bahasa Bali setara dengan Bahasa Indonesia dari
bongkar: buka, buang, mengungkapkan. Makna terakhir ini yang terbaik untuk
menjelaskan kemungkinan makna dari Sundari Bungkah yang berarti pengungkapan
harta yang terkandung dalam bumi. Perlu dipastikan bahwa untuk sebagian
minoritas Pandé yang mengetahui naskah ini, Sundari Bungkah hanya merupakan
nama yang diberikan untuk desainer dan ahli pengetahuan kuno.

Ini tidak akan nyaman untuk menyajikan semua detail dari Sundari Bungkah, sebuah
naskah yang mengumpulkan berbagai asosiasi dan membuat formulasi, tanpa selalu
memunculkan aturan atau pedoman yang mendasari. Penggunaan tulisan yang
kadang-kadang berulang mengecoh, karena memberi impresi untuk memaksa pada
curahan yang spontan dan anarkis, dari kenangan tanpa nama dan usia, yang
mengikat metafora dan metonymies enchainerait dalam sebuah kekacauan
nyata235. Sama seperti dalam ritual Bali, akhir atau arti secara keseluruhan masih
jelas, sedangkan tanda-tanda superakumulasi sering menenggelamkan arti kata dan
frase. Juga arti yang diinginkan adalah jelas. Keunggulan dan kekunoan Pandé Besi
ditegaskan disini pada fragmen cerita dimana dewa dan Aji Wesi, yaitu Master Besi,
adalah karakter utama.

Pada awal naskah ini diperkenalkan unsur kosmogoni. Bagian berikut adalah
karakteristik dari sebuah simbolisme dimana air dan api, elemen antagonis dan
pelengkap, masing-masing terkait pada Wisnu dan Brahma, memainkan peran
penting. Mereka juga, tentu saja, unsur-unsur dasar yang terlibat dalam seluruh
ritual pembersihan.

“…tumuli ana bumi lawan langit manunggalan mareka, umijul branma saking gumi
akasa, tan sipi murub ikang agni. Kukus basara brahma kumreb ikang bumi langit,
ambubu lawan awun-awun, awor lawan ikang agni. Kukus matemahan dadi mega,
mega matemahan dadi toya, ngaran tirta kamandalu, metu sira riris matemahan
dadi sabeh. Irika anna brahma lawan wisnu…” (Kr 1061: 16b-17a)

“.. kemudian ada bumi dan langit, dalam kesatuan bentuk mereka. Brahma
mengeluarkan bumi dan langit adalah pembakaran api. Uap Brahma menutupi langit
dan bumi. Air dan awan bersatu dengan api. Uap menjadi awan, awan menjadi air,
dalam tirta kamandalu236. Hujan lembut nampak dan menjadi hujan lebat. Disana,
ada Brahma dan Wisnu…”

Pernah ada matahari, bulan dan bintang, dan Brahma menciptakan Mpu Pradah dan
Mpu Galuh, Mpu Bahula dan Mpu Siwa Gandu:

235Tulisan disajikan …..naskah tak terbaca…


236Tirta kamandalu di sini harus dipahami sebagai air suci, air murni dan bersih untuk penggunaan
Ritual. Kamandalu dalam arti asli dari bahasa Sansekerta dilanjutkan di Jawa Kuno, ditujukan pada Air
yang digunakan oleh pertapa dan orang-orang agama
“... angadakaken sira empu agaran sira empu pradah, matunggalan sira empu
galuh. Murub sira batara brahma matemahan sira empu pradah, empu pradah lanang,
sira empu galuh wadon. Kukusira batara brahma matemahan sira empu bawtda,
bencah ikang kukus matemahan sira sabeh, sabch matemahan sira empu siwa
gandu.(Kr 1133: 2).

“…dia (Brahma) menciptakan Mpu Pradah, membentuk satu persaudaraan dengan


Mpu Galuh. Cahaya Brahma berubah menjadi Mpu Pradah, seorang pria, Mpu
Galuh, seorang wanita. Uap Brahma berubah menjadi Mpu Bahula. Uap ini pecah
dan menjadi hujan, hujan berubah menjadi Mpu Siwa Gandu.

Dengan demikian, metamorfosis Brahma memberikan bentuk memiliki tiga orang


bijak, yang pertama memiliki karakter ganda, feminin dan maskulin. Namun, Mpu
Galuh, yang namanya dalam naskah-naskah lain yang terkait dengan para tukang
emas, lenyap di seluruh cerita terakhir Mpu Pradah. Sama dengan Wisnu, pada
prinsipnya adalah pembantu pencipta dunia (pada pakaryan Batara Karo) dan
penguasa dari air, menghilang di belakang Brahma, penguasa api surgawi. Namun,
ekspresi Batara Karo, dua dewa tetapi juga menyoroti dewa ganda, kesatuan
Brahma dan Wisnu, mereka bersatu dengan Siwa dan mengingatkan salah satu
kalimat pertama dari naskah (eka Brahma Wisnu Iswara). Peran metamorfosis
menetapkan kontinuitas dari air ke api, melalui perantara uap menjadikan kedua
unsur. Lagi Besi yang merupakan milik Brahma, atau Mpu Pradah juga disebut Mpu
Wesi (Mpu Pradah ingaran Mpu Wesi), dapat larut berubah menjadi air dan menjadi
air suci (Wesi enyug dadi Banyu, Banyu matemahan Tirta).

Penciptaan berlanjut dengan munculnya kehidupan: manusia, kemudian tanaman,


pohon, serangga, ikan dan hewan. Akhirnya muncul empat jenis beras, termasuk
empat warna yang berhubungan dengan empat arah mata angin: putih di Timur,
merah di selatan, kuning di Barat, dan hitam di utara. Ini adalah makanan manusia,
yang diidentifikasi dalam naskah untuk dewi padi yang disebut Batara Batari Sri
Caturboga, "Tuhan Dewi Sri dari Empat Makanan".237 Masuklah kemudian Mpu
Bahula mengundang semua orang yang berutang kelangsungan hidup mereka pada
tanaman sorga untuk membuat upacara perdamaian yang diperlukan (ngupacara
ning pari kang nini dirgaluh) kalau tidak mereka akan selalu mendapatkan kutukan
dari semua dewa langit, dari Batari Sri / Nini dan Mpu Bahula sendiri. Episode
penciptaan dunia ini diakhiri dengan doa para dewa yang ditempatkan di delapan

237Kesejajaran Batara Batari, yaitu Tuhan-Dewi cukup mengejutkan, karena sebagai dewa beras
biasanya jelas feminin. Kualifikasi caturboga adalah pengingat dari empat jenis beras
arah mata angin dan termasuk senjata masing-masing, sementara Siwa ditempatkan
di pusat.

Urutan dengan hasil cerita dipastikan oleh pengulangan metamorfosis (pamurti)


Brahma, yang melahirkan Mpu Pradah, Mpu Bahula dan Mpu Siwa Gandu. Ketiga
nama tersebut adalah milik daftar tradisi dan sastra Bali yang tampaknya berada
dalam perpanjangan langsung dari tradisi Hindu-Jawa. Mereka disebutkan dalam
sejumlah silsilah, terutama yang dari Brahmana.238 Jadi dalam Bangunan silsilah
tersebut, Mpu Pradah memiliki seorang putra yaitu Mpu Bahula dan juga kadang-
kadang Mpu Siwa Gandu. Selain itu, dalam cerita yang terkenal di Bali dan masih
digunakan untuk tujuan pengusiran setan. Mpu Pradah (Bradah, Baradah) adalah
bijaksana sehingga dipanggil oleh raja Airlangga untuk membersihkan negara dari
pengaruh-pengaruh jahat dari Calon Arang, janda Girah. Ini juga merupakan
karakter, yang pada saat pembagian kerajaan Airlangga, pergi ke Bali untuk
melakukan pembicaraan dengan saudaranya, Mpu Kuturan, tentang suksesi tahta di
Bali. Melalui ketenaran yang lebih rendah, Mpu Bahula dan Mpu Siwu Gandu adalah
nama yang ditemukan dalam naskah tentang pengusiran dan perwujudan setan
(leyak). Tidak satupun dari naskah-naskah ini, tiga orang bijak muncul juga secara
langsung terkait dengan Brahma dan tidak terlalu terkait secara khusus dengan Besi
atau pekerjaan Besi. Tempat mereka dibuat dalam Sundari Bungkah berasal dari
elaborasi asli, milik tradisi tertulis dari Pandé Besi.

Bagian kedua dari Sundari Bungkah merupakan kelanjutan serangkaian


metamorfosis, dimulai dengan Mpu Pradah. Ia menjadi manusia yang diberkahi
dengan kekuatan supranatural (manusa sakti), seorang pandai Besi bernama Aji
Wesi Pandé:

“…sira mpu pradah matemahan sira Pandé ning apah teja bayu sabda idep,
matemahan sira manusa sakti sira Pandé ingaran sira Pandé aji wesi239

Melalui permintaan Brahma, Mpu Bahula mengambil bentuk ular, Naga Basukih,
kemudian bertransformasi menjadi Rajadewata (dewa-raja?) yang turun ke dunia
nyata (mracapada) dan muncul dalam patung yang ditujukan pada pengkultusan

238Lihat misalnya, Babad Carur Brahmana (Kr 273: 5b) dan Babad Pasek (Kr 963:15 a).
239Bagian ini, diambil dari MS Kr 1133 (hal. 5), berisi frase misterius matemahan sira Pande ning apah
Teja bayu sabda idep. melibatkan perantara dalam proses transformasi dalam Mpu Pradah Manusa
Sakti, di Pande Wesi Aji. Satu mengakui dalam apah, Teja, bayu, tiga dari lima elemen dasar
(mahabuta) alam semesta, yaitu air, api, angin. Pada saat yang sama dalam kombinasi dengan bayu
sabda idep dan membentuk tiga serangkai pikiran-meniup suara, yang disebut trisakri. Ini adalah
sebuah adaptasi dari triad prana- Sabda-manas India kuno (Goris, 1926: 58-59).
(sira maraga arca). Adalah Dalem Purwaka, penguasa tertinggi, yang dihormati
banyak orang (kasiwi dening wong akweh). Kemudian Brahma menampilkan
Rajawesia, pamangku dari Dalem Purwaka, dan Rajasatria, pamongmong dari
Dalem Purwaka, Raja Majapahit.240 Jadi, dari Mpu Bahula yang bersifat ambivalen,
seperti ditunjukkan melalui proses kelahirannya dari uap Brahma dan
metamorfosisnya menjadi seekor ular, adalah isu dari Raja yang melalui karakter ke-
dewaan-Nya berpartisipasi di dua kondisi. Sebagai penguasa yang berdaulat yang
baik dalam dunia dan di luar dunia adalah pelayan para Wesia dan Satria, dalam
presentasi yang tidak lazim dari tatanan sosial dan asal-usul kasta. Metamorfosis
ketiga, yaitu Mpu Siwa Gandu, melahirkan Rajabrahmana, mewakili kategori
pendeta. Bahwa Brahmana, yang pada prinsipnya keluar dari ubun-ubun Brahma,
disebut disini dalam ilustrasi terakhir sebagai penyimpangan dibandingkan dengan
representasi dominan. Mpu Siwa Gandu sendiri, lahir dari hujan, tampil lebih terkait
dengan dunia manusia dari pada dunia langit, lebih pada Wisnu daripada Brahma.
Padahal, Brahmanisme di Bali, seperti yang digambarkan dalam naskah-naskah
dalam milik para padanda, seluruhnya berubah menjadi Siwa, penguasa langit yang
paling unggul. Upacara penyucian yang merupakan kepentingan dunia manusia,
khususnya pretiwi, berada pada kekuasaan Bhujangga/Sengguhu, yang
menggunakan instrument tertentu dari upacara tradisional yang terkait dengan
Wisnu. Sundari Bungkah yang jelas-jelas tidak mewakili pandangan Brahman,
bagaimanapun, tidak memberikan presisi yang benar atas tempat dan fungsi
pendeta.

3.2 Awal, keunggulan dan pemisahan Pandé Besi

Sebaliknya, masing-masing dari tiga metamorfosis adalah alasan untuk


pengemBangan dimana tema yang mendasari adalah spesifikasi Aji Wesi, pemilik
pengetahuan yang harus tetap menjadi dirinya. Menjadi Pandé adalah menjadi

240Nama ular, Basukih, memainkan mantra pada saat yang sama membangkitkan ular mistis Basuki
dalam tradisi India, dan Besakih, candi utama didirikan dekat pulau Gunung Agung, atau berumur
sekali ular Basuki menurut legenda Bali. Syarat dan rajawesia rajasatria tidak biasa dan hampir tidak
masuk akal. Mereka mungkin dibentuk oleh imitasi rajadewata. Pamangku biasanya nama yang
diberikan kepada pendeta-pendeta yang melekat pada candi. Di sini kita harus kembali ke arti
etimologis dari bawah .. -: pangku orang Jawa kuno mengambil pangkuannya, membawa dalam
pelukannya. Bentuk kata kerja yang digunakan dan tertutup umangku, amangkwaken secra klasik
digunakan untuk menggambarkan raja, penanggung jawab kerajaan. Penyebutan istilah dalam
kaitannya pamangku rajawesia tidak biasa, serta bahwa dari pamongmong "pengikut” raja Dalem
terkait rajasatria. Sementara bagian ini tampaknya bermain lebih banyak pada kata-kata daripada
makna.
bagian, jauh dan dipisahkan dari kategori sosial lainnya, dari Brahmana dan dari Ratu
(raja). Pengrajin, mengenal juga ilmu kedokteran (usada), tata tulis dan tata bahasa
yang tepat (aksara paribasa), jalan agama (agama), seni terapi sihir (tenung wong
gring), pengetahuan pengukuran waktu (rika wariga) dan pengetahuan pengukran
lainnya (sipat siku siku pameneh). Dialah yang memberitahu Brahmana,
Rajabrahmana, jalan untuk menjadi pendeta (padiksa). Jika Brahmana melupakan
posisinya (linggih) dan berperilaku buruk (duratcara kopa dursila), ia akan dikutuk
oleh Aji Wesi, melalui Dewa Indra yang akan merubahnya menjadi monyet,
sementara istrinya akan mendapat kutukan dari Wisnu. Aji Wesi juga adalah inisiator
dari Brahman. Pahlawan peradaban, pengetahuan memungkinkan dia untuk
membuat Besi menjadi hidup (urip Wesi). Seni menempa adalah fungsi spesifiknya
(kapandéan), sedangkan fungsi Brahmana adalah simbolisasi dari swamba, kapal
yang berisi air suci dan bahwa Satria yang berada di peringkat yang lebih tinggi
(Satria Utama) adalah pelayan rakyat (Kahula). Anehnya, tiga kategori yang
ditetapkan tersebut digunakan untuk menjelaskan istilah Satria yang mungkin perlu
dipahami disini sebagai makna dari “Bangsawan tertinggi”. Sundari Bungkah
mengungkapkan konsepsi asli dari hierarki sosial, dengan membedakan tiga kelas
dari Satria dan atribut mereka:

Satria Urip Wesi Kapandéan (Pengrajin)

Satria Brahmana Swamba (Air Suci)

Satria Utama Kahula (Rakyat)

Adalah Aji Wesi yang membuat senjata bagi para pria yang disebutkan bahwa
mereka melayani dalam pengawasan para dewa Gunung Meru Majapahit (ana ...
kadga, ngaran keris miwah sanjata, patunggu ning Batara ring gunung Meru ring
maspahit), dan alat yang diperlukan untuk berbagai tugas dan memungkinkan untuk
bertahan hidup tanpa dilarang untuk memakan daun-daun pohon. Dalam kehadiran
pangeran (rajaputra) dan pamongmong, Aji Wesi mengucapkan kata-kata ajaib
(Reh) untuk mengendalikan metamorfosis. Dalam nyala yang kuat, memancar
"Brahma Api-Wisnu, dari matanya, hidungnya. dari telinganya, dari mulutnya: Besi
dan baja menyatu dan menjadi pedang, keris, dan senjata. 241Lalu besi dibagi dan

241Mangke sira pande angagem ikang reh, ana sira sajegku, gumlarakena sangka ning
murub makatar kataran, metu sira brahmagni wisnu saking soca, irung, karna,
cangkem, metu sira wesi, waja, awor ikang waja wesi, matemahan ana kadga, ana
ikang kris. sanjata, patunggu rung batrara ring. gunung agung, meru maspahit. (Kr 1033:
melahirkan semua alat yang diperlukan untuk orang banyak, yang digunakan untuk
membangunan tempat penampungan, kandang, dan rumah.

Sehubungan dengan karunia ganda senjata dan alat yang ditafsirkan pada kalimat
sira Pandé maka saktine sang Prabu, maka urip Manusa mengindikasikan bahwa
penguasa mendapatkan kekuatannya (sakti) dari pandai besi dan bahwa rakyat
memberika mereka kehidupan. Kesimpulannya adalah perlu menghormati pandai
besi dan memberikan mereka tempat khusus, jika tidak keselarasan dunia akan
terganggu dan kesengsaraan akan memukul pelanggarnya. Beberapa petunjuk
dibuat di berbagai tempat dari naskah dan ia memberikan perhatian khususnya raja
dan para Brahmana. Juga, Indra mengeluarkan peringatan berkait dengan raja.:

“…Ajwa ngwah, ajwa ngimpasin titi swaran ingsun, awig awig gagaduhan sira Pandé. Yan
sang ratu angamet gagaduhane sira pandi mwang angira kira anggawe gawe maka alane
sira Pandé, anggawe ginggange Iowan patinia, kenaha sang prabu sapan ingsun batara
indra, wastu tiga, tan pariwastu, surud ing pamuktian, teka punggel teka ning kakuwubane
sang prabu susud, sapanadinia teka susud, …panas ngaran sanak sira Pandé wadon,
yadiapin ingamet dening wong waneh, ila estu, teka ning susud ikang Pandé mwang
sang angamet, apan ki Pandé sinangguh anceng ikang bwana, sor liwat ing sor, luhur
liwat ing luhur. Karane ana sira Pandé, pangawak sira batara indra, pangadeg sira
batara guru, ngaran sang mpu pradah. Sakadang wargane sira Pandé luput, yadiapin nora
bisa anambut gawe Besi, yan sampun treh ki Pandé, pada luput. Kunang mwah yan ana
santanania, treh ki Pandé mula, norania ngabakti ring pajenengan Pandéne, ya kena
brahmatia wastu tiga, tan pariwastu, norana laria mawak tan pegat kagringan. amanggih
sakali kali, sugih gawe kurang pangan, amentik mentik punggel, apan ia dudu pratisantanan
Pandé. Kang mahulah mangkana, wong tan wruhing kajaten makadi wong ingon ingon
ngarania..."242

“…Bahwa harus menahan diri dari mengubah atau menyimpang dari aturan saya,
(berkait) aturan adat yang dijaga oleh pandai Besi. Jika raja menghapus yang

10a). Perhatikan bahwa dalam proses penempaan penting ini air tidak mengintervensi secara
eksplisit. Brahma Agni tak lepas dari Wisnu, pelengkap ganda, seperti yang ditunjukkan dalam
ekspresi brahmagni Wisnu, dibenarkan untuk menulis brahmagniwisnu

242 Ekstrak dari MS, Kr 1061 31a-31b. Perbandingan dengan manuskrip lain menunjukkan bahwa
seseorang harus membaca pangawak sira Batara Indra dan tidak pangatag sira Batara Indra, Sira
pangadeg Batara Guru dan tidak pangandeg sira Batara Guru. Putusnya antara Panas dan susud
menunjukkan kelalaian, karena kita membaca setelah susud sasor ing akasa pada tan kawenang. MSS
lain: sasor ing akasa pada kena upadrawan sira batara indra (semua di bawah langit, semua (akan)
terkena kutukan dewa (Indra) Mereka berbeda dari MS 1061 Kr lebih menurut bentuk atau makna.
Tidak disebutkan disini bahwa perempuan Pande berbahaya (panas), tetapi raja dilarang untuk
menikahi wanita Pande
dimilikinya pandai Besi dan memelihara proyek yang diusulkan utnuk kemalangan
dan kehilangan mereka, ia akan dikutuk oleh Dewa Indra tiga kali kutukan, secara
devinitif. Itu akan menjadi akhir dari harmoni; datang sampai akhir kerajaan, yaitu
saat jatuhnya raja dan keturunannya;… Pandé adalah perempuan berbahaya, jika
lelaki lain (selain Pandé) memperistrinya; masalah akan terus terjadi; ini (wanita)
Pandé akan jatuh, dan juga yang memperistrinya, karena pandai Besi adalah bagai
pilar dunia, ke bawah melalui bagian (?) bawah, ke atas melalui bagian (?) atas.
Alasannya adalah pandai Besi merupakan wujud dari Dewa Indra dan dia didukung
oleh Batara Guru, yaitu Mpu Pradah. Semua orang tua dari kelompok pandai Besi
adalah bebas, meskipun mereka tidak mengerti pekerjaan Besi cukup bahwa mereka
adalah keturunan pandai besi untuk menjadi Pandé. Yang lebih adalah jika
keturunan pandai Besi asli tidak merayakan kultus yang tepat untuk Pandé, mereka
akan mendapatkan murka (dari Brahma?); yang terjadi tiga kali, benar-benar, tubuh
mereka tidak dapat beristirahat, bahwa: penyakit tidak akan pernah meninggalkan
mereka, mereka diserang berbagai kejahatan, bahwa mereka kerja terus namun
mereka tidak memiliki makanan, bahwa semua yang terjadi akan berbalik membuat
mereka jadi merana, karena adalah anggota nakal dari keluarga Pandé. Mereka yang
tidak berperilaku spertti itu tidak tahu asal-usul mereka yang sebenarnya dan
sebanding dengan binatang…”

Bagian ini sangat penting karena memberikan beberapa kepastian penting pada
komposisi dari ideologis Pandé Besi yang merupakan salah satu perbedaan dari yang
ditunjukkan di Prajurit Wilwatikta. Kelompok Pandé dipresentasikan sebagai
anugerah yang diberikan dari kondisi tertentu. Mereka mematuhi hukum yang
mereka pertanggung jawabkan hanya kepada para dewa. Jika mereka
membutuhkan kelahiran Brahma dan pengetahuan tentang seni api. Adalah luar
biasa bahwa dewa asal-usul ini memberi jalan untuk Indra pada bagian kedua dari
Sundari Bungkah yang memperlakukan, dengan caranya, hubungan sosial. Ini adalah
Indra, raja para dewa tapi tetap dewa yang kecil kekuatannya dalam Shiwaisme Bali,
yang melindungi para pandai besi di dunia dan menjamin keberlanjutan posisi sosial
mereka. Dianggap sebagai pilar (aceng) dunia, dibandingkan dengan yang stupa
(pangawak, pangadeg) dari Indra, dewa perang, dan Batara Guru, dewa tertinggi -
mahatahu, mereka dikurangi dari pengadilan kerajaan atau raka dan dibebaskan
(luput) dari kewajiban yang biasanya mengikat Mereka membentuk sebuah
kelompok tertutup. Perempuan tidak diizinkan untuk menikah dengan yang bukan
Pandé, sekalipun itu adalah raja serta jenis yang dimaksud, yang tidak disebutkan di
atas.243

Pernikahan seperti itu adalah berbahaya (panas) dan tidak akan "berubah”bagi
mereka yang berani menentang larangan tersebut. Mereka akan kehilangan
peringkat kasta mereka, tanda-tanda lahir akan dihilangkan, mereka akan
dilepaskan dari leluhur dan orangtua mereka. Inilah sebabnya mengapa konotasi
istilah susud umumnya digunakan untuk menunjuk kehilangan posisi dari kasta
(susud wangsa). Dengan demikian, Pandé dapat mengambil perempuan di luar
kelompok, tetapi tidak tepat jika mereka memberi, dan bila situasi itu terjadi mereka
sebanding dengan para Brahmana. Persyaratan ini tidak hanya milik daftar tradisi
tulis, dan sekalipun pernikahan exogamous yang tidak biasa, kepercayaan mereka
akan karakter berbahaya tidak lagi milik masa lalu. Terakhir, naskah memastikan
secara eksplisit bahwa menjadi Pandé adalah karena ikatan darah dan bukan karena
lahir dari pekerjaan sebagai pandai besi. Jadi tugas mutlak adalah untuk
memperingati leluhur, kajaten ini (Skt. jati), yang berarti sekaligus kelahiran, negara,
tingkat, yang melupakan kerusakan manusia pada tahap kebinatangan.

Kita melihat bahwa Sundari Bungkah menghadirkan sebuah lapisan masyarakat


yang terinspirasi dari model teori warna atau Wangsa, tanpa menghormati tatanan
hirarkis yang mendasarinya dan menempatkan Brahmana di bagian puncak
bangunan. Model ini di sini ditarik sedikit lebih untuk menempatkan fungsi kelima
dan bagi kategori kelima, yaitu pandai besi. Pada saat yang sama fungsi memudar
sebelum kelahiran, karena hubungan leluhur yang mendefinisikan kategori sosial
kelompok Pandé yang bukan Pandé jika mereka bukan pandai besi. Pada kelompok
ini isu dari substansi leluhur yang sama berhubungan dengan aturan yang
membatasi masuknya dalam jaringan hubungan social yang tidak berubah. Idealnya
Pandé adalah donor senjata dan peralatan, sumber kekuatan dan kehidupan, tetapi
mereka membuat kesenjangan dalam hubungan partisipasi, dari syarat memiliki
tanah dgn dukungan tentara atau ketergantungan dan mengurangi wanita dari
kelompok mereka karena pertukaran.

Karakteristik ini mengingatkan pada posisi Brahmana yang, dalam representasi,


diidentifikasi dengan padanda sama yang Pandé Besi identifikasikan dengan
pengrajin besi. Pendeta, sebagai pandai besi, adalah para penyedia sebuah produk,

243Tang wenang sang prabu angalap sanak sira pande (Kr 1033: 14b): tan wenang sang prabu angalap
sanake sira pande (Kr 1133), tan kawenang sang prabu angalap treh sira pande (MS 23 Bundel III: 31 b);
tan wenang sang prabu angalap sanakira pande (Kr 1034).
material, dan simbolis, khusus: air yang diperlukan bagi semua penyucian. Pemasok
yang paling murni dan berdiri melindungi kemurniannya, pendeta Brahma
mendukung, pada prinsipnya, kesenjangan transaksi yang umumnya hanya dapat
merusaknya. Ideologi Brahmana mempertahankan konsepsi tenang suci dan tidak
suci dimana asalnya tidak diragukan lagi adalah India dan yang disandingkan dengan
model khusus Bali yaitu kawitan, yang membenarkan teoriti hirarki dan hubungan
antara kelompok. Tetapi kesetaraan antara Pandé dan Brahmana berhenti tepat
pada makna kemurnian (Suci). Akibatnya yaitu Bungkah Sundan tidak lebih dari
kiasan tentang kemurnian Pandé. Hal penting adalah perkawinan exogamous tidak
termasuk merusak, tapi berbahaya244. Tampaknya harus ditafsirkan sebagai aliansi
melawan alam antara jenis yang berbeda, dan menyebabkan pelemahan
karakteristik masing-masing yang dihormati. Inilah ketakutan dari pencairan dari
kelompok substansi leluhur diwariskan dan dimiliki kelompok, yang tampaknya
membenarkan endogami. Mempertahankan kemurnian garis keturunan tampaknya
merupakan keharusan mutlak, tanpa perlu merujuk pentingnya bagian lain dari
keseluruhan sosial.

Referensi ini tidak seluruhnya absen, karena Sundari Bungkah tetap menunjuk
Pandé sebagai bentuk kelompok tertua. Aji Besi, "pengrajin", adalah sulung dalam
rantai metamorfosis-kelahiran. Buah dari seni adalah sumber kekuatan “Raja” yang
seharusnya memerintah atas orang-orang pemakan daun. Ia juga adalah penggagas
"Brahman", yang secara simbolis membentuk hubungan orangtua-anak. Oposisi
yang diperkenalkan secara implisit oleh urutan hirarkis tidaklah murni/tidak murni,
tapi kakak/adik atau ayah/anak, dua perbedaan yang tidak memiliki efek apapun
terhadap indianisasi. Maka dapat dimengerti bahwa naskah tidak memberikan
alasan jelas, bahwa Pandé Besi tidak dapat menerima air suci dari tangan Brahmana,
terutama untuk menemani orang mati melewati jalan ke dunia langit.

Perempuan, makanan, persembahan, air suci, adalah tanda-tanda yang sangat


sensitif terhadap kode yang mengekspresikan dan memperkuat hirarki ketika
mereka menyeberangi batas-batas dari kelompok kekerabatan atau kelas usia
dalam kelompok. Namun implikasi hirarkis dari setiap pertukaran tidak cukup dapat

244 Di sini termasuk Louis Dumont menulis untuk memperjelas beberapa perbedaan yang membedakan

masyarakat India "lebih sederhana": "... tapi perlu diingat lebih dahulu bahwa, sekalipun keadaan
kepemimpinan dan juga negara berkait dengan apa yang termasuk tidak murni dalam sistem kasta
adalah berbahaya bagi mereka sendiri, mereka tidak berbahaya, tetapi hanya merendahkan kasta
secara sosial. (1966:. 100, catatan 32 h).
menjelaskan kecenderungan sangat Bali untuk menjejaki perbatasan di sekitar
kelompok, lingkungan ekonomis sebuah nilai tertutup dari dalam, ruang yang
digunakan antara orang tua atau barang simbolis penting dan dimana diuraikan daur
ulang penting dari substansi leluhur. Oposisi yang dipastikan kuno antara dalam
(jero) dan luar (jaba) menimbulkan perbedaan mendasar di mana istilah pertama
memiliki nilai lebih besar. Akibatnya setiap pertukaran dengan luar, apriori
merugikan atau berbahaya, harus dihindari atau kontrol dengan sangat hati-hati.
Konsepsi lama ini, bercampur dengan representasi yang lebih baru dari pemisahan
dalam warna, yang dikembangkan Sundari Bungkah. Dialah yang menjelaskan
melampaui gradasi hirarkis bahwa para Brahmana, "orang dari luar" tidak campur
tangan dalam ritual Pandé, khususnya pada saat kematian yang berimplikasi pada
perjalanan melewati perbatasan berbahaya dan harus tetap menjadi masalah
"orang dalam".

Dalam dua bagian terpisah namun saling melengkapi, dipastikan bahwa Brahmana
seharusnya tidak berusaha untuk campur tangan dalam upacara pemakaman Pandé
dan bahwa mereka tidak harus meminta bantuan nasehatnya. Pandé menemukan
pengetahuan yang memungkinkan untuk menemani jiwa-jiwa orang mati dalam
perjalanan mereka (jan teka ning pejah, keto kadange sira ande suba wruh ring
pangentas entas ... suda malane atmane sira Pandé). Selain itu para Brahmana tidak
tahu menghidupkan besi dan perunggu. Bahkan ketika dia tahu dengan baik, hal itu
yang tidak memungkinkan mereka untuk menyucikan orang mati. Pelanggaran akan
mengakibatkan kejatuhan mereka (surud) dan juga Prabu (Raja):

“…yan sang brahmana wruh wesi, tan kayun sang brahmana masungklit, mangentas
wangken sira Pandé, surud ikang sang brahmana teka ning sang prabu teka surud
ikang pamuktian, katekan lides. (Kr 1033: 9a).

Dan juga:

“…wenang sira Pandé makangentase sakadang sira Pandé, lewih wong baneh
wenang…, ajwa nunas tirta ring brahmana, surud dadi Pandé. (Yan) brahmana
nirtanin ikang Pandé, genjong panagaran sang prabu, sapanira batara indra- (Kr
1033: 12b).

Bagian kedua Ini menetapkan bahwa anggota kelompok Pandé dapat memimpin
ritual pemakaman semua orang tua mereka, tetapi juga orang lainnya (wong baneh).
Sebaliknya, yang akan dipanggil menjadi Brahmana berhenti dari Pandé dan
mengguncang stabilitas kerajaan, menyebabkan kutukan Indra.
Sebelum mengakhiri pendekatan ini melalui naskah ideologie Pandé Besi, perlu
menyebutkan satu naskah akhir (KR 1171), yang menyajikan, pada dasarnya,
kesamaan dengan Sundari Bungkah tanpa bisa menganggapnya sebagai varian
sederhana dari naskah ini. Hal ini, tak diragukan lagi, komposisi asli mungkin karya
seorang warga Bratan, karena naskah itu ditemukan di desa ini pada tahun 1933,
tetapi tidak satupun ekspresi "sebuah visi orang bratan" di dunia dan pada tempat
Pandé dalam masyarakat. Sebaliknya pada Sundari Bungkah, pekerjaan tukang emas
terkait dengan pekerjaan pengrajin Besi dan dengan demikian dikaitkan dengan
fungsi ganda Pandé. Keterkaitan dari dua kerajinan masuk dalam makna asal bratan
atau lebih umum asal dari utara dalam naskah ini, karena pemisahan dua caBang
dari tradisi pekerjaan logam tidak begitu sistematis di Utara dibandingkan di Selatan.
Naskah ini tidak memberikan kepastian apapun tentang munculnya leluhur, Mpu
Garndring atau Mpu Lulumbang dan Mpu Galuh, yang bagaimanapun memiliki
hubungan dengan Majapahit/Maospahit. Selain nama dari Gandring dan
Lulumbang, unsur lain mengingatkan Prajurit Wilwatikta, seperti nama Tusan (ika
atine ring Tusan majapait tumurune ring Tusan bali), penyebutan aturan larangan
makanan tertentu, pembebasan pekerjaan pengangkutan.

Empat karakter yang dipertimbangkan adalah kelompok Pandé ditujukan pada


istilah dari referensi Sang Mpu, raja (Sang Prabu), dan dua pendeta Brahmana, Sang
Siwa dan Sang Boda. Brahma, dewa api, tetapi juga biasanya pencipta, tidak secara
khusus ditujukan sebagai nenek moyang utama. Sebaliknya, naskah memastikan
bahwa, pada awalnya, hanya Pandé itu saja memerintah atas dunia:

“…sang mpu amreta ning bumi, apan sang mpu amawa bumi dumun, duking tan
ana boda muang siwa muang dalem, ana bumi, ana sang mpu tumurunne ring
majapait ana ikang wang akabeh. Ika sang mpu angretanin nagara ika…, enak
ikang gum, wang nagara kabeh. Ewehe sang mpu angurip, angretanin, anyalah
beneh i patut ing manusa ika…” (Kr 1171: 13b).

“…Sang Mpu memberikan hidup kepada dunia. karena dialah yang membawa dunia
sebelumnya. Ketika tidak ada pendeta, tidak ada Boda dan Siwa, atau raja. Disana
ada dunia, ada Sang Mpu yang telah turun di Majapahit, ada rakyat. Ini adalah Sang
Mpu yang mempertahankan harmoni kerajaan ini,…., kemakmuran adalah dunia
dan semua subyek kerajaan. Berat beban Sang Mpu yang membawa hidup,
kemakmuran dan keadilan bagi manusia ...”

Selanjutnya, muncul raja dan para pendeta yang bersedia secara terhormat untuk
membimbing manusia (Raja Dalem Maka Patut Manusa) dan membersihkan
kotoran mereka (Boda Siwa Maka telah Manusa), sedangkan Pandé tetap pemberi
kehidupan (Mpu Maka urip ing Wang). Hirarki didefinisikan dengan mengacu pada
urutan kelahiran yang cocok dengan beberapa klasifikasi nama pertama, di sini
Made, Nyoman. Ketut, dipengaruhi masing Padanda Boda, atau Padanda Siwa, atau
pada Dalem, sementara Sang Mpu dianggap sebagai sulung dalam keluarga (paling
Luur). Hasilnya dari hierarki ini adalah memang benar bahwa raja dan pendeta tidak
diizinkan untuk memperistri kerabat dari Sang Mpu dan bahwa ia tidak harus
melakukan sumbah, salam hormat dan tanda penyerahan. Faktur tak terbantahkan
jelas jauh lebih populer daripada Sundari Bungkah, naskah ini adalah semacam
bunga rampai, tetapi menyelaraskan posisi keunggulan kuno kelompok Pandé dan
keliyanan mendalam mereka dibandingkan dengan kelompok lain.

4. Penerimaan dan perlawanan hirarki kasta

Kajian dari tradisi tulis dari Pandé Besi, memperlihatkan bahwa tidak satu, tapi dua
konsepsi posisi Besi Pandé dalam masyarakat Bali, yaitu Prajurit Wilwatikta dan
Sundari Bungkah. Naskah pertama adalah asimilasi pada urutan dominan,
sedangkan yang kedua menimbulkan perbedaan absolut dari Pandé Besi bahkan
dalam menantang urutan tersebut. Sehubungan dengan tradisi ganda ini terdapat
pembelahan kelompok Pandé di "ortodoks" dan "pembangkang". Studi tentang
naskah menjelaskan bukan asal usul utama, tetapi dasar-dasar ideologi
kontemporer dan gelombang gerakan "separatis". Kita telah melihat bahwa
kecenderungan separatis ditandai dengan kontradiksi, karena ia disandingkan
dengan klaim status Satria dan penolakan supremasi pendeta brahmana,
menggabungkan juga pengakuan hirarki kasta pada tantangan untuk hirarki itu. Hal
ini sama dengan campuran yang diungkapkan naskah-naskah Pandé Bratan dimana
kita memasukkan ke dalam komposisi terakhir. Padahal, referensi naskah-naskah
Pandé Besi menunjukkan bahwa itu adalah merger, sinkretisme, yang
menghidupkan dua aliran yang berbeda.

Dari mana datangnya dua arus dan dua naskah fundamental ini yang telah menjadi
ekspresi pada jaman tertentu? Meskipun waktu munculnya naskah tidak menandai
akte kelahiran konsepsi yang mereka bawa, asal mereka memberikan indikasi cukup
berharga. Penyebutan tanggal di salah satu naskah Prajurit Wilwatikta (MS-3,
Gambar. 37) menunjukkan bahwa kisah ini beredar di akhir abad kedelapan belas.
Namun demikian, itu adalah sebuah indikasi terisolasi dan lemah yang idealnya
harus diperkuat oleh sebuah studi dialek sastra terpakai, awal yang tidak mungkin
dalam kondisi pengetahuan aktual. Mungkin, banyak pengurangan dalam naskah
yang disajikan dalam naskah terpotong oleh produksi salinan berturut-turut oleh
ahli-ahli kitab dengan kemampuan terbatas, dan itu akan menjadi argumen untuk
kekunoan relatif mereka. Semua yang tampaknya mungkin dikatakan adalah bahwa
naskah-naskah dasar, yang telah diturunkan dari salinan berturut-turut, mungkin
belum ditulis jauh sebelum abad ketujuh belas atau setelah akhir abad kesembilan
belas. Seperti kebanyakan karya-karya asal Bali, kita tidak dapat menetapkan baik
tempat maupun tanggal yang tepat. Kita akan cenderung berdasarkan isinya dan
referensi pada Tusan yang menetapkan Prajurit Wilwatikta sebagai pembuat senjata
di wilayah Gelgel-Klungkung resisten yang keturunannya adalah bertahan untuk
pelatihan pergerakan penolakan. Melalui perbedaan yang ditunjukkan, asal Sundari
Bungkah akan dicari di lingkungan Pandé Besi di bagian perbatasan wilayah ini.

Jadi tradisi tertulis dari Pandé Besi menjadi jelas-jika hanya melalui referensi
karasteristik Majapahit- sebuah produk pada masa gelgel yang membentang sampai
sekarang, terutama dalam daftar budaya, ideologis dan linguistik245. Tapi juga jelas
bahwa tradisi ini membawa elemen yang jauh lebih tua, seperti gambaran tentang
pengarajin Besi, anak dan saudara Raja, menarik diri ke pegunungan untuk menjadi
ahli dari seninya. Namun tradisi ini bukan merupakan kompilasi dari elemen berbeda
yang bertujuan untuk menghasilkan berbagai karya sastra atau didaktik. Ini juga
bukan sebuah kompilasi anthroponim dan toponim, dengan cara Babad dari
kelompok dominan atau bahkan dari Pasek, yang terbentuk dengan tenang, jika
tidak persis, yang mengarah ke hubungan asal mereka yang sangat berharga.
Kekhasan naskah Pandé, itu adalah sifat advokasi mereka, hampir keras dan kadang-
kadang menyedihkan, jika ingin memahami kekakuan yang dikenakan oleh kode
yang melingkupi pikiran dan emosi untuk membawa mereka ke dalam situasi yang
sesuai (Patut ). Pandé tidak mengambil pena, atau lebih tepatnya balpoint, untuk
merekam nama-nama nenek moyang mereka, nyata atau fiksi, dan itu adalah
Brahmana atau Satria tingkat tertinggi. Aturan dari jenis dan konsepsi terbagi yang
tentu membatasi, tapi Prajurit Wilwatikta, sangat dipengaruhi oleh ideologi Satria,
gagal untuk menghasilkan sebuah genealogi dari nada yang baik dan menggandakan
inkonsistensi, kronologis atau topografis. Adapun Sundari Bungkah, dia bahkan tidak

245 Goris (1960d: 295) mencatat, sebuah naskah tentang Prasasti Sira Empu Pande, bahwa " The
pande
wesi codified their codification in the Gelgel period, thus after 1400” ". Tinjauan dari semua
tradisi tulis hanya dapat mengkonfirmasikan pandangan ini, menambahkan bahwa sangat mungkin itu
terbentuk dengan baik setelah 1400.
mencoba untuk menggabungkan saat ini ke masa lalu dan hanya membangkitkan
waktu primoridial dimana Aji Besi memerintah dunia.

Terlalu besar keinginan untuk membuktikan bukti kekhususan dari Pandé Besi,
naskah hanya dapat dipahami sebagai ekspresi, menurut dua modalitas, sebuah
reaksi terhadap suatu situasi yang sosiohistoris yang membawa Pandé untuk
menghasilkan wacana tentang hirarki dan asal kelompok utama atau Bangsa. Dua
jawaban, satu dari Prajurit Wilwatikta dan satu dari Sundari Bungkah, berbicara
tentang konfrontasi dengan model dan praktek kasta, yang distribusinya tampaknya
tidak terlepas dari perluasan dari cara pelaksanaan kekuasaan yang ditetapkan oleh
para dinasti Jawa-Bali, yang setelah penaklukan, tinggal di istananya di Gelgel dan
menyapu bersih masa lalu246. Ini mungkin terjadi selama lima abad terakhir sejarah
Bali dimana dataran selatan, menjadi pionir, secara sistematis menetapkan nilai di
bawah tekanan dari kaum tani yang dibingkai oleh aristokrasi yang tinggal di "istana”
(puri) di pusat-pusat desa. Model kasta, praktek kremasi, ritual Brahmana, diambil
dari bangunan penjajahan interior dan ditunjukkan di mata banyak orang, bahkan
tempat tinggal mereka dan tidak lagi hanya di bagian dalam ruang terbatas dimana
terletak representasi kekuatan kerajaan.

Seperti kelompok lain isu dari masyarakat kuno, pengrajin logam, mereka telah
melakukan kontak langsung atau sebagai orang Bratan, tidak terhindarkan berakhir
melalui konfrontasi sebuah visi kuno, terdesak singularitas masyarakat desa dan
identitas kelompok kekerabatan untuk membentuk katagori unik dari subjek status
internal. Pengrajin Besi dan orang tua mereka Pandé, karena alasan khas sejarah dari
kelompok-kelompok tertentu dan karena alas an keterampilan yang memberikan

246 Penegasan Goris, bahwa semua yang bukan berasal dari Jawa dibentuk sekitar 1350 kategori Sudra,
tidak diragukan lagi cepat, karena tidak ada bukti langsung (1960d: 293-294). Setidaknya harus
memanfaat ruang dan waktu antara waktu penaklukan (1343), konsolidasi Dinasti baru (mungkin tidak
sebelum 1400) dan abad-abad setelah penaklukan internal, ekspansi demografis dan pemisahan
kekuasaan antara beberapa istana (Puri) untuk mempertimbangkan perkembangan dari ideologi
Wangsa (atau Warna). Indikasi paling jelas dari perubahan yang diperkenalkan oleh penakluk Jawa
adalah konstitusi Jawa-Majapahit dalam mitos asal-usul, sumber dari segala yang penting di bidang
budaya, status dan kekuasaan, sehingga menutupi hampir seluruh periode historis sebelumnya. Jadi
naskah-naskah sebelumnya pada penaklukan keluar dengan tidak memberikan indikasi tentang
sebagian dari masyarakat dalam Triwangsa dan Sudra. Tapi ketika Bali dibuka untuk orang asing di awal
abad kesembilan belas, mereka gagal untuk menunjukkan pentingnya skema klasifikasi warna.
Penggunaan Warna sebagai ideologi dari didominasi para penakluk tentu saja secara historis tidak
mapan, tapi sebuah hipotesis rentan untuk mempertimbangkan pembangunan yang dicatat
selanjutnya. Studi tentang Pande menegaskan hipotesis ini, karena tradisi kelompok-kelompok ini
dapat dipahami sebagai reaksi terhadap ideologi pembagian kasta.
nilai mereka untuk juga mengisi fungsi pamangku atau balian yang mungkin cukup
sering, telah meninggalkan jejak lebih eksplisit dari konfrontasi tersebut dengan
menyusun sejarah asal-usul mereka dari berbagai elemen, tapi hampir semua yang
dipinjam dari daftar referensi Indo-Jawa.

Prajurit Wilwatikta sejalan dengan visi asalnya yang adalah Satria, Arya dan
menampilkan nenek moyang Pandé Besi, juga fakta Usana Jawa untuk garis utama
keturunan bangsawan, seperti teman perjalanan raja Jawa yang datang untuk
membawa budaya di Bali. Memperhatikan penyebaran dari "keluarga" di wilayah,
di Karangasem sampai Tabanan, naskah mengingatkan unit pertama dan hak
istimewa kuno. Hak istimewa ini adalah Satria (atau Wesia), yang praktek
pertukarannya adalah terbuka dan berbagai arah. Akibatnya, mereka menerima
berkat dari Brahmana kepada siapa mereka menjamin posisi unggulan mereka.
Antar mereka bertukar perempuan, tetapi mengambil juga perempuan Sudra,
dimana mereka menerima buah yang menjadikan mereka hidup dan siapa mereka
mempercayakan pekerjaan tanah mereka menurut hak turun-temurun.

Sebaliknya di Sundari Bungkah, tidak ada usaha yang dibuat untuk mengasimilasi
Pandé Besi dengan salah satu katagori pra-ditetapkan dalam tatanan sosial dan
menetapkan posisi terkemuka dalam peran hubungan kekuasaan dan artikulasi
hirarkis yang berorientasi pada pergerakan perempuan dan dari hasil tanah itu.
Tidak ada kiasan yang dibuat tentang wilayah Bali, migrasi dari nenek moyang
dimana didistribusikan sawah dan jaringan hubungan di mana mereka dimasukkan.
Dalam pengertian ini, Sundari Bungkah menyimpang sama sekali dari model Babad
dan tetap pada model yang lebih lama, yaitu model asal usul kelompok utama, tanpa
melihat kondisi waktu yang lebih dekat dan kondisi sosial yang lebih konkret. Berlalu
tanpa solusi dari keberlanjutan dari penciptaan dunia sampai penampilan
masyarakat manusia, hal ini tampak terutama diwakili oleh "Raja" dan "Pendeta
Brahmana, pasangan ini saling melengkapi yang melanjutkan semua kekuasaan
sekuler dan agama. Namun "pengrajin", penjelmaa pertama para dewa, tetap
berjarak dengan lingkup kekuasaan. Posisi eksklusif dan otonomi ini diganggu gugat,
karena itu hasil dari kehendak para dewa tergantung, dalam hal terakhir,
keharmonisan dunia dan masyarakat. Ancaman kutukan dewa terlacak sekitar
Pandé Besi dalam sebuah lingkaran pelindung melawan campur tangan kekuatan
sekuler dan kekuasaan agama, masing-masing cenderung mengambil perempuan
dalam kelompok dan memimpin upacara kematian mereka.

Hal ini penting bahwa dua tanggapan ini sangat berbeda dalam isu dari kelompok
pada asal-usul sangat Bali kuno dan dibandingkan dengan saat tertentu dalam
sejarah khusus mereka pada ideologi kasta yang disajikan dalam kode sama yang
terbagi, produk dari Indo-Jawa. Bahasa Java-Bali dan referensi Hinduisme umum,
bagaimanapun, digunakan untuk menyatakan dua konsepsi bertentangan, yaitu
yang menerima dan yang menolak hirarki kasta. Kesaksian dari naskah-naskah
Pandé menunjukkan karakter buatan dan keterbatasan sebuah interpretasi
kulturalis yang menyebabkan penentangan dari orang Bali "asli" atau sedikit "di-
jawa-kan" pada mayoritas orang Bali yang "di-jawa-kan". Prajurit Wilwatikta dan
Sundari Bungkah, diperpanjang dengan catatan yang berkaitan dengan ritual
kremasi, yang jelas mengandung kode budaya yang merupakan produk dari
pengaruh Jawa. Tetapi harus juga dibaca sebagai naskah yang mengekspresikan
konsepsi Bali murni, dan itu sudah cukup misalnya untuk meneliti elemen yang
berhubungan dengan penyembahan leluhur dan asal (kawitan). Kita terlalu banyak
berlatih pada sebuah bacaan ganda kebudayaan masyarakat Bali dan memutuskan,
dengan mengisolasi secara artifisial, ciri-ciri tertentu, sebuah pemotongan yang
sangat sewenang-wenang. Terdapat juga oposisi atas penyembahan nenek moyang
dalam ritual Brahmana, para pendeta desa dengan padanda, kremasi dengan
pemakaman, dualisme penduduk asli dengan pluralisme Indo-Jawa, hirarki kasta
dengan stratifikasi desa, untuk melacak dalam kenyataan potongan sosiologis yang
memisahkan " orang Bali pegunungan " atau Bali Aga dengan “Bali dataran" atau
“Wong Majapahit” dan memperhitungkan serangkaian pengaruh budaya yang
dating membuka dasar-dasar Bali lama kecuali kantong tertentu dari archaisme.
Dengan demikian, orang Bali yang berdiri di luar lingkaran pengaruh dari para
Brahmana dan yang tidak mempraktekkan kremasi akan menjadi saksi kontemporer
sebuah penolakan bersejarah dari hinduisasi atau lebih jauh Jawanisasi, tidak
diragukan lagi atas nama konservatisme budaya , tidak rasional dan keras kepala,
atau sebuah "patriotisme", sebelum sastra menghadapi "penjajah asing" yang
adalah orang Jawa dari kerajaan Majapahit. 247

Dicurigai, bahwa proses interaksi budaya dan yang dibuat hasilnya adalah jauh lebih
kompleks dan bervariasi dari apa yang disarankan oleh teori gelombang satu arah

247Tersebut. Bali-Covarrubias, buku ini baik-buruk oleh penduduk dari geuerre kue sus awal, tidak
memberikan kontribusi yang sedikit untuk meredakan, antara lain, “The pure descendants of
these people (diri mereka "murni-Indonesia seperti yang kita baca di atas), calling themselves
Bali Aga or Bali Mula. the “original Balinese still li ve, iso lat ed and ind ep end ent , i n
the mou nta ins wh ere t hey fo und r ef ug e f rom imp eria list ic st ra ng ers” . "Dan lagi, “The
Bali Aga, who were never subjected to the political and reli gious influence of the
Javanese lords, build great auster e t emp les ... (lihat halaman 17 dan halaman 108 dari
penerbitan ulang 1972 ).
dan bipolaritas masyarakat Bali. Tanpa masuk lebih jauh ke dalam perdebatan yang
mengatakan bahwa tradisi Pandé memberikan contoh konkrit dari asimilasi budaya
yang tidak dapat direduksi menjadi dikotomi antara Jawa Bali, "Animisme" ke
"Hindu", dan leluhur panteon India. Tradisi ini dibagi menjadi dua bagian yang salah
satunya juga berasal dari peleburan akan Jawanisasi dengan menolak aspek penting:
skema hierarki sosial. Bagian kedua berisi, penggunaan simbolis Indo-jawa dari
masyarakat kasta, mengintegrasikan ritual kremasi dan berbagai formula yang
dipinjam dari pendeta Brahmana, tetapi tidak menerima visi hirarkis inklusif.
PerkemBangan akhir dari penolakan ini dapat diamati dalam masyarakat
kontemporer dalam pribadi Mpu Pandé yang pendeta Brahmana yang bukan
brahmana. Terhadap interpretasi kulturalis asimilasi total atau resistensi mutlak,
contoh Pandé memperkenalkan Jawanisasi bentuk-bentuk budaya yang digunakan
untuk mengkodekan pandangan dunia, pada saat yang sama hal itu berarti kutub
struktural perlawanan terhadap klasifikasi yang awalnya dari India.

Dengan demikian, pengamatan gerakan Pandé pada masyarakat kontemporer dan


analisis naskah yang disajikan dalam bab ini telah membuat kemajuan dalam
pemahaman tentang fenomena munculnya pemisahan agama, dimana Korn
menggemakan pertama kalinya dalam laporan penyimpangan tertentu Pandé
"Hindu" (1932: 158-159). Ditambahkan bahwa Pandé Bali Aga memiliki desain
kepercayaan mereka sendiri dan tidak dianggap sebagai penyimpangan oleh para
Brahmana karena mereka tidak termasuk dalam "komunitas Hindu", Korn
menafsirkan pemikiran padanda dengan menempatkan konflik di ranah agama
dipahami dalam arti sempit. Padahal produk Bali Aga dalam kategori terpisah,
mencakup semua kelompok "luar kasta" atau disebut non Hindu, adalah fiksi dari
ideologi dominan yang mengakomodasi perbedaan. Perbedaan antara "Hindu"
dengan “bukan Hindu", diantaranya yang pertama adalah antara ortodoks dan
ajaran sesat, adalah rasionalisasi menyesatkan yang melibatkan konflik tataran
teologis "Hindu" yang dipertaruhkan. Perdebatan ide, perhatian untuk keteraturan
dan guncangan yang dapat menghasilkan dampak, bukan fakta dari sebuah
masyarakat yang menjadi tuan rumah masa lalu dalam kecenderungan agama yang
berbeda, dan bahkan hari ini, tidak terlihat adanya ketidaknyamanan atau
kontradiksi para pendeta "Buddha" dan pendeta "Shiwa", mereka menjadi wasit
yang berdampingan. Jelas, Indo-Jawanisasi tidak bisa membawa visi sektarian dan
monolitik dunia yang tidak berciri Jawa ataupun India.248

248
Lebih umum, tidak ada yang tampak lebih asing dengan gagasan bahwa agama-agama politeistik
konversi, sedangkan, apalagi, konsep kekuatan dan kekuasaan adalah pusat untuk agama. Refleksi
Sebaliknya ia membawa sebuah model hirarkis, yaitu kasta-kasta , ia berlaku penuh
setelah abad keempat belas dan merupakan bagian dari ideologi kekuasaan yang
diaktifkan bersama pembentukan kerajaan Gelgel. Meskipun akan sulit untuk
menemukan jejak konflik khusus keagamaan yang telah membagi masyarakat Bali,
seluruh pengamat masyarakat ini telah terpukul oleh munculnya masalah peringkat
dan status, keparahan hukum mempertimbangkan kelemahan hirarki sebagai
kejahatan yang akan dihukum mati. Kontras dengan kurangnya elaborasi yang benar
benar filosofis dan doktrin keagamaan, keberadaan teori hirarki sosial yang
bertumpu pada model kasta, yang berfungsi sebagai mitos asal parahistorik yang
berbasis legitimasi kekuasaan aristokrat. Bahasa agama, baik yang tercatat sebagai
"Hindu" maupun sebagai "agama leluhur", digunakan untuk merujuk pada hirarki,
"prinsip sosial mendasar" dan "kenyataan utama" pada mayoritas masyarakat Bali -
meskipun agak berbeda dengan India sebagaimana yang dikatakan oleh Louis
Dumont- memaksa kita untuk mengenali. Perbedaan antara "Hindu" dengan bukan
"Hindu", antara Wong Majapahit dengan Bali Aga, dan pengertian tentang
penyimpangan agama utamanya merujuk pada teori hirarki sosial. Dari perspektif
sebuah ortodoksi keagamaan, juga ideologi kekuasaan, yang disebut dengan
"Hindu" dan "orang-orang Majapahit" adalah mereka yang menerima otoritas para
pendeta brahmana, menerima air suci dengan tangan mereka dan membakar mayat
sesuai dengan ciri yang menandakan posisi dalam hirarki status.

Hal ini dilakukan terutama pada perbedaan dalam artikulasi ide-ide dan praktik yang
berakar gerakan hirarkis Pandé kontemporer. Gerakan ini, harus terkait secara lebih
luas ke seluruh Bali Aga yang selalu kami catat dalam penelitian ini. Hampir di depan
mata kita Pandé Bratan muncul dengan latar belakang masyarakat bratan, kemarin
secara resmi Bali Aga, dan Pandé Bangke Maong menjadi Pandé Besakih untuk
bergabung dengan komunitas Pandé menemukan simbol persatuan dalam pura
besar gunung Gunung Agung. Tidak ada dalam masyarakat di Bali yang memisahkan
antara wajah asli dan wajah Indo-Jawa, juga tidak ada yang tetap terisolasi yang
berada di luar aliran sejarah. Bali Aga dan orang orang Majapahit berbicara secara
mendasar bahasa yang sama, terutama ketika mereka berbeda pada evaluasi yang
berkaitan dengan hirarki . Mereka termasuk ke dalam totalitas sosio-historis yang
sama, bukan interaksi, mungkin kadang-kadang bertentangan, dan hubungan
dialektis yang telah membentuk masyarakat Bali. Sundari Bungkah adalah suatu
jejak luar biasa dari konfrontasi sebagai komposisi sastra sepenuhnya Indo-jawa,

Banyak yang telah mengilhami Afrika politeisme Mr Auge dalam “La Genie du Paganisme” (1982)
berlaku untuk Bali.
dalam pelayanan perlawanan terhadap operasi integrasi hirarkis yang mencirikan
masyarakat kasta sebagai tingkat yang mencakup partikularisme ras dan tanah.
KESIMPULAN
Dalam pendahuluan studi ini, saya mencatat revisi sajian kesimpulan, agar
diperhatikan baik-baik, adalah sebuah pendahuluan dari penelitian yang lain. Tulisan
tersebut merupakan hasil penulisan selama lebih dari satu tahun setelah
menghasilkan satu naskah, dalam kesatuan, yang telah dipublikasikan tanpa
perbaikan besar. Sebaliknya bagian final ini harus benar-benar ditulis ulang karena
seperti hasil koreksi dimana saya tidak cukup jernih belajar tentang Pandé.
Khususnya, saya tidak pernah memperhitungkan jarak saya berhadapan dengan
pandangan genetik yang mendorog saya untuk berusaha menemukan hubungan
yang menyatukan pengrajin logam dari masyarakat kuno sampai Pandé sekarang.
Saya melihat bahwa dengan berjalannya waktu saya sampai pada menemukan
elemen-elemen pemahaman fundamental. Idealnya, saya ingin dapat mengikuti
kelompok Pandé pada jejak sejarah khusus mereka dan memepertimbangkan
tahapan-tahapan pembentukannya. Tidak memadai, kualitatif dan kuantitatif,
sumber-sumber hanya memberikan dalam dimensi yang terbatas sebuah penjelasan
tidak langusng pada proyek ini

Ketidaklengkapan ini mungkin menjadi definitif jika saya tidak tersesat dalam
kebigungan sebuah mikro-sejarah asal usul atau perubahan, yang dapat menutupi
bahwa fakta Pandé sangat penting. Pada saat ini, tampaknya bagi saya untuk tidak
menyimpulkan paham dari mana tepatnya datangnya para Pandé dan memilih
hubungan sejarah antara tingkat tersebut atau dari masyarakat kasta. Saya
memastikan lebih jauh dari itu, dan saya menganggap buruk tulisan versi awal dari
kesimpulan ini.

Juga, saya menggunakan istilah ruang sosial untuk memperhitungkan perbedaan


Bali Aga dalam masyarakat Bali. Lebih tepatnya, saya mengambil jalan lain pada
makna ruang sosial terbatas untuk membedakan lingkungan Bali Aga ini dalam
hubungannya dengan masyarakat kasta, yang membentuk ruang sosial yang lebih
luas (Condominas, 1980:53). Namun formulasi ini tidak memuaskan saya, tidak
akan, karena saya mengetahui bahwa posisi para Bali Aga ini sama sekali tidak bias
dibandingkan dengan minoritas di benua asia tenggara. Kelompok ini tidak
membentuk sebuah masyarakat terpisah di dalam masyarakat Bali. Secara sosiologi,
mereka adalah bagian dari keseluruhan masyarakat Bali, dimana situasinya tidak
dapat benar-benar dipahami dalam makna ruang sosial. Bahwa yang terakhir harus
termasuk jaringan hubungan atau seperti sistem dari relasi, disini adalah yang
sekunder249. Antara penerimaan satu dengan lainnya saling berkaitan, menurut
saya, dalam konsepsi bahwa kesatuan dari karakteristik hubungan sebuah
masyarakat membentuk sebuah ruang multidimensi tanpa tingkatan. Artinya bahwa
pengamatan pada susunan dari sumua tipe hubungan membawa pada fakta di
bawah perkiraan dimana masyarakat adalah juga sebuah tingkatan atau aturan.
Padahal, prinsip tersebut mendasar untuk memahami peran dalam masyarakat bali
dan yang berkontribusi untuk meletakkan dengan benar fakta Pandé dan Bali Aga.

Contoh dari Pura menawarkan jalan pintas untuk membantu memastikan berkait
dengan apa. Sudah lama Marcel Mauss menggaris bawahi kandungan dari fakta
tertentu yang menunjukkan khususnya peran hubungan yang berbeda yang
menyusun lapisan sebuah masyarakat. Di Bali “fakta sosial total” penting dengan
keunggulan membawa bentuk Pura, sehingga terdapat ribuan contoh.
Keluarbiasaan sebaran ini bukanlah kebetulan sejarah yang sederhana, dan juga
bukan hanya karena “konsepsi dunia……adalah satu dari pembentuk ruang sosial”
bali (Condominas, 1980:16). Adalah “Konsepsi dunia” merupakan, di Bali, sebuah
ruang yang menonjol dalam pengaturan hubungan. Untuk memahami pentingnya
pura, harus mengenal bahwa nilai religius berkait dalam seluruh hubungan dan
kemana hubungan tersebut ditujukan, konsekuensinya, sebuah tingkat dan sebuah
aturan tidak dapat diturunkan pada dimensi sebuah komponen, diantaranya, dari
sistem sosial. Agar refleksi dalam konteks ruang sosial dapat disebarkan dalam
perspektif yang memungkinkan memberikan pemahaman lebih baik pada data-data
observasi, harus ada konsep hirarkhi “sebagai aturan hasil peran dari nilai” (Dumont,
1983:263).

Praktek lapangan di Bali membuat saya kemudian yakin akan pentingnya tesis yang
diambil dalam Homo Hierarchiscus (1966) untuk maju dalam memahami Bali. Tetapi
terlalu eksklusif pada bacaan tentang India tersebut dan tentang sebuah oposisi
antara suci dan tidak suci yang tidak lagi mengganggu dimana tidak absen di Bali
dalam konsteks tertentu, saya kehilangan untuk memilih secara penuh hal tentang
“prinsip hirarki” melalui mana belum mengantar pada akhir empiris dari studi saksi
tersebut.

Hal tersebut dapat dikatakan, saya tidak kembali dalam kesimpulan awal dengan
pendekatan ethnografi ini dan analisis tekstual yang merupakan alur bab-bab
sebelumnya dan menarik, pertama, mereka yang bekerja secara langsung tentang

249 Lihat pendapat dari Ch. Taillard (1977:179-182) dan dari CH Perlas (1977:183-185), tentang dua cara
untuk memahami makna ruang spasial ini.
Bali. Saya menginginkan agak menekankan pada pengamatan lebih general,
mengangkat sebuah skema yang masih belum sempurna ditujukan pada sebuah
orientasi mengikuti kelanjutan para pande, objek yang a priori marginal dan relative
tidak penting. Namun pada akhirnya, membawa pada pengenalan pada daftar “ide”
nilai-nila yang member akses pada pemahaman global masyarakat (Barraud et al,
1984:505). Itu mungkin pengamatan yang paling penting, dalam makna bahwa
terdapat cakupan yang heuristis dan bahwa melalui itu dapat disumbangkan
pendekatan baru di masyarakat Bali dan untuk membuka sebuah pulau yang masih
“selalu memiliki kecantikan melawan dirinya”, “tampaknya mengapung di atas
ekspressi estetik”, dalam “ kesilauan pertunjukan” yang memiliki “institusi
mendasar agak tersembunyi di mata kita” (Geertz, 1983:7-8). Lebih jelas, seorang
antropolog juga memperingatkan bahwa Cliffort Geertz meminta dengan sungguh-
sungguh jika antropologi Bali tidak akan pernah selesai memulainya dan itulah
terletak permasalahannya.

Agar sedikit maju, tidak di luar dari siklus kesilauan dan dari ekspresi estetik,
diusulkan untuk mempertimbangkan bahwa hubungan pada dewa dan leluhur
adalah sangat sentral untuk memahami Bali, yang mana poros sekitar diatur dari
nilai masyarakat dan tingkat yang mereka persembahkan. Pada ide dewa-leluhur
terkait nilai yang berperan untuk menghasilkan sebuah aturan, sebuah hirarkhi,
tingkatan. Pada ide nilai dewa-leluhur adalah juga peran sejarah, dan di dalamnya
tingkat masyarakat kasta pasti dapat dijelaskan. Dengan demikian, para dewa dan
leluhur mengangkat “sejarah” sama dengan “struktur”. Diusulkan untuk
memberikan hal berikut bberapa kepastikan terkait dengan hal tersbut, pada bentuk
sketsa dimana kita mengenal batasannya, tetapi kita ingin mempertimbangkan
bahwa semua diperlakukan tidak normal dalam bidang studi bali, sekalipun ia
tampaknya familier dari sudut pandang domain yang lebih maju.

Pada kesempatan mempelajari tentang Pandé, telah dinyatakan secara progresif


keyakinan bahwa fakta yang telah diperiksa tidaklah dapat dijelaskan pertama kali
oleh kebijakan ekonomi kepentingan yang diketahui, hanya, belajar realitas utama
dari masyarakat dan menyentuh semua prinsip logika sosial. Bahwa kita bertahan
pada sebuah model mekanik atau statistik dari “kenyataan” sosial tersebut,
kepentingan dan strategi tidak dapat dipahami tanpa referensi pada sebuah
tingkatan tinggi, yaitu nilai utama masyarakat. Juga, masyarakat Bali, sementara
tegang karena kepentingan kotradiktif seperti kasus pembunuhan masal tahun
1965, sayangnya tidak dirancang, bahwa kelompok kekerabatannya, desanya,
asosiasi subaknya, dan lainnya, tuhannya dan kerajaannya dapat eksis di luar sebuah
aturan tinggi yang, dalam semua konteks, diobjektifkan melalui pura. Itu adalah
fakta yang benar ini yang diyakini membawa semua ukuran. Sistem pura tidaklah
merefleksikan sebuah riligiusitas barok atau meriah, seperti yang masih bisa kita
baca dimana-mana. Dua puluh ribuan pura menghiasi pula menandakan lebih dulu
sebuah aturan dan menunjukkan keutamaan hubungan dengan tuhan dan leluhur.
Ditambahkan juga bahwa sekalipun hanya satu aturan yang ditunjukkan, dalam satu
masyarakat yang tidak menawarkan pandangan etnolog garis besar pengaturan
tersebut yang, juga, dapat diamati secara langsung dan mengambil bentuk dari baik-
buruk dan penggantian wanita oleh pria. Dapat ditebak melalui cara ideal etnografi
Bali, sebagian, jika dilakukan kembali, dengan menggunakan pura untuk
membangun kembali seluruh hubungan dimana akarnya tampak. Itu adalah juga
masyarakat Bali dapat mengambil tubuh sebagai objek pengetahuan antropologi.
Dijamin dalam studi empirik sebuah perangkat objek, awal yang diikuti , lainnya,
tetapi telah membawa kita, diharapkan, melalui sebuah pusat yang meyakinkan
untuk pemeriksaan jauh lebih awal.

Fakta Pandé menunjukkan secara langsung dua model pandangan dari pengamatan
principal: sebuah organisasi kelompok dari kekerabatan yang dilokalisir (dadia) dan
ideologi yang ditunjukkan dalam daftar berbeda terkait dengan ucapan, naskah, dan
praktek keagamaan. Tampilan, bolak-balik, dari dua model pengamatan membawa
ke temuan sebuah dialectik dari partikuler dan universal, antara yang kita sebut
tingkat masyarakat asli dan masyarakat kasta. Tingkatan ini tidak memiliki fakta
substansial dan satu tidak berperan dibanding yang lain pada peran sebuah
infrastruktur. Ia hanya eksis dalam sabuah hubungan dialektik dan sebagai hasil dari
hirarkhi akibat aturan nilai tuhan-leluhur. Dapat dikatakan bahwa tingkatan ini juga
adalah daftar atau konteks dimana ide-nilai mendasari pengaturan.

Aturan leluhur ditempatkan pada tingkat masyarakat asli yang menyumbang untuk
ditemukan. Istilah kawitan atau kamulan ada pada tingkatan ini merupakan indikasi
linguistic dari ide-nilai tuhan-leluhur, dengan sebuah penekanan pada elemn kedua,
sehingga dinyatakan disini dalam aspek “leluhur yang didewakan”. Sambil
mengamati kelompok Pandé, dicatat bahwa dadia adalah penting dalan satu garis,
utamanya garis patrilinieal, tetapi ia endogami maupun juga exogami. Ia termasuk
dalam garis lokal dibentuk oleh kesatuan perumahan yang dianggap isu dari rumah
asal yang sama, ditandai oleh sebuah “pura besar perumahan” (Sanggah Gede).
Contoh-contoh yang sudah dipelajari menunjukkan, sekalipun sudah digaris bawahi
oleh Hobart (1980), bahwa untuk tidak kebingungan dengan sebuah ideologi
paternalistik, melihat pada studi terdahulu tentang eksistensi dadia, dan praktek
pengaturan pada pembentukannya. Lagi, pengrajin logam ini, yang juga, bersatu
dalam kelompok permukiman dan profesi untuk mendekati kemegahan bangsawan,
adalah isu dari kelompok kekerabatan dan desa berbeda. Waktu yang membantu,
keterkaitan pada asal leluhur dan desa membesar. Kelompok profesi yang datang
untuk mengambil bentuk dari kelompok kekerabatan, sepatutnya ditandai oleh garis
pura tersebut (Pura Dadia) yang masih dapat kita lihat sampai saat ini. Disini,
pekerjaan dan tinggal bersama adala dasar konkret dengan mana kelompok
kekerabatan baru diperkuat.

Namun, yang paling penting adalah memperhatikan dalam praktek adalah


pembangunan sebuah pura yang mensyahkan pertemuan inti keluarga laki-laki
berbeda dalam satu garis, dimana eksistensi dan asal leluhur baru (kawitan)
ditegaskan dan dirayakan secara ritual. Pengumuman pengesahan aturan tersebut
tidak mengambil bentuk konstruksi keturunan, tetapi pada aturan religious yaitu
Pura. Pergerakan sejarah, yaitu Pandé juga seluruh orang Bali, kenyataannya,
terlepas dan memperbarui garis pada ritme dari denyut jaringan ekonomi dan
politik. Tinggallah aturan praktek pura sebagai objek ide-nilai ruang “asal-inti
leluhur”. Pada prakteknya, juga hubungan ritual pada ruang Pura dan afiliasi dengan
umat riligius, dimana ia adalah pusat ibadah, yang “membuat” kelompok
kekerabatan, apapun variabel proporsi, dan pada umumnya tidak bisa dibuktikan
kebenarannya, kerabat lelaki yang benar.

Fakta ini tidak ada tanpa mengingat hal-hal yang mengkarakteristikkan masyarakat
yang menggunakan system kekerabatan berdasar keturunan leluhur atau berbeda,
sesuai dengan CL. Levi-Strauss yang mengatakan arti “rumah” dan “masyarakat
perumahan”250. Terdapat kelanjutan bahwa permainan kata menunjukkan bahwa
rumah masyarakat Indonesia juga adalah “pura” dan bahwa pura bali adalah sebuah
bentuk institusi rumah. Tetapi pura di Bali, yang harus pasti bentuk spesifiknya
sesuai sejarahnya, tidaklah nampak sebagai tanda tekanan yang timbul dari
panasnya sejarah atau tampilan sebuah pembentukan sosial secara langsung
dibandingkan dengan penjajahan eropa. Ia adalah perwujudan, dalam bentuk
khusus, hubungan dengan tuhan dan leluhur. Ia mengungkap fakta dari struktur
yang masuk pada seluruh hubungan sosial dan melintasi semua sejarah dari
masyarakat Bali. Itu lebih dari “model organisasi sosial” (Geertz, 1983:15) atau

250 Lihat pada permasalahan “rumah” Paroles Donnes (1984: 189-241) dan “Histoire et ethnologie” (1983:
1217-1231)
bahkan “sebuah organisasi dari organisasi” (Boon,1977:62) yang pembentukannya
telah lebih baik karena tempat dari pura dan sebuah model tertinggi dari yang lain.

Lagi hubungan dengan Tuhan dan leluhur yang memungkinkan memulai untuk
memahami desa bali ini yang “ aneh, rumit, dan berbeda luar biasa” (Geertz, 1983:
13). Disana sama saja, sejarah masuk pada pergerakan, jika kita mau,
ketidakteraturan tertentu, tetapi titik berat aturan dari ide-nilai tuhan-leluhur tidak
dapat menyembunyikan untuk tampil. Perkecualian untuk minoritas Bali Aga, desa
tidak tampak seperti unit terintegrasi kesatuan antara fungsi sosial, ekonomi, politik,
dan religi. Fungsi ekonomi dari sawah padi irigasi, khususnya, dikelola oleh unit yang
benar-benar berbeda yaitu Subak. Pemisahan ini mengacaukan perspektif sebuah
sosiologi klasik yang, tidak ditemukan sebuah unit multi-fungsional terintegrasi,
tidak tahu lagi bagaimana mendefinisikan desa, jika tidak melalui jalan lain pada
“model organisasi sosial”: pura, kampung, asosiasi air, kelompok hokum, kelompok
kekerabatan, asosiasi relawan, administrasi Indonesia (Geertz, 1983:13-30).
Generalisasi ini membawa pura pada dimensi umat, padahal ia mendasari desa
sebagai unit sosial.

Pada jaman penjajahan, Goris (1935/1960a) menekankan, untuk membenarkan


judul, pada “karakter religious” desa bali. Para ethnograf belanda tidak kehilangan
untuk menandai bahwa pembentukan sebuah desa, apakah itu melalui
penggabungan ataupun pemisahan, berimplikasi pada munculnya pura tertentu,
tanpa kesejajaran dengan unit permukiman dan bukan keseluruhan, religius dan
pemujaan, seperti yang seharusnya. Dalam konteks ini pura adalah sebanding
dengan yang lainnya sebuah aturan politik, kontrak berdasarkan dengan mana para
pria bersatu untuk membentuk sebuah kelompok, atas nama sebuah kesatuan dari
nilai masyarakat. Kelompok desa mengatur mulai hubungan dengan tuhan dan
leluhur, dimana pementasan diritualkan untuk theater pura.

Kita tidak kehilangan untuk meneliti, pada tahap ini, pada hasil antara kelompok
kekerabatan dan desa, juga hubungan antara Dewa yang dipuja dalam tempat suci
satu dengan lainnya. Masalah ini sangat penting, ketika kita temui “dualisme antara
“ras” dan “tanah”, memerlukan studi yang lebih spesifik251. Diusulkan, lebih
sederhana, membatasi untuk digarisbawahi tempat yang dipilih dari hubungan pada
tuhan dan leluhur dalam organisasi kekerabatan sama dengan yang di desa.
Ditambahkan bahwa, dalam kasus beberapa desa Bali Aga tertentu, kesatuan

251 Ditemui juga dualism antara “ras” dan “tanah” ini, yang sepanjang tahun sebelumnya, muncul tipe
masyarakat “rumah”, dan dimana institusi kerajaan Indonesia (Bali) dan afrika dicontohkan (Levi -Strauss,
1984:225)
populasi terdistribusi dalam dadia di wilayah desa. Itu, contohnya, kasus di
Tenganan. Unit maksimal kekerabatan, soroh, tepat dengan unit desa. Lainnya,
konfigurasi sama dengan yang ditunjukkan oleh para Pandé. Terdapat satu bagian
perumahan dalam desa, berimplikasi, pada prinsipnya, penggabungan pura
penduduk dan, bagian lain, keterkaitan antara pura dengan dadia, terletak atau
tidak pada tempat perumahan, dengan kesadaran kurang lebih disetujui sebagai
milik sebuah soroh, dimana dadia lain, kuranga atau lebih terkenal, tersebar di
teritorial pulau. Terdapat duplikasi kepemilikan pada ras atau territorial dibanding
pada konfigurasi sebelumnya, tetapi, dalam dua daftar tersebut, pura beroperasi
sebagai mediator penting, terlepas bahwa hubungan sosial “tidak menginginkan”.

Studi dari dua pura ini, dalam satu dan daftar lainnya, menunjukkan bahwa
penggunaan ekspresi global “tuhan dan leluhur” atau “tuhan-leluhur” adalah
dibenarkan. Akibatnya, identifikasi pelinggih selalu terungkap, dimana-mana,
referensi ganda pada inti leluhur pendiri dan pada yang kita dapat sebut sebagai
tuhan alam semesta, dengan memastikan bahwa ketuhanan alam semesta ini
termasuk bagian yang kabur dalam geografi pulau, khususnya danaunya dan
gunungnya. Pelepasan ini menandakan bahwa tidak ada solusi dari keberlanjutan
antara tuhan dan leluhur dari yang hidup. Satu tidak akan ada tanpa yang lain, dan,
pada tingkat global atau kita tempatkan, mereka membentuk semua. Sekalipun
pada tingkatan lain dan konteks tertentu ia tepat membedakannya.

Yang ditunjukkan pada aturan “religius” yang tunduk pada desa dan kekerabatan
mencirikan yang saya sebut tingkat kekunoan, agar mengingatkan akar kelompok
sosial dalam ruang pulau, melalui perantara pura. Model gugahan, pada tingkat ini,
adalah unit sosial sejajar dengan cara unit dari Leibniz252. Seluruh tingkat tertinggi
dimana mereka terikat secara implisit adalah tuhan-leluhur, secara harfiah skenario
oleh tiap unit pada kesempatan upacara ritual dipertunjukkan dengan luar biasa
dalam “perayaan pura” (odalan). Dalam persepsi pelaku, hal itu merupakan
pemujaan khusus, milik setiap kelompok terkait. Juga, tiap desa pemuja dewa
memberkahi tujuan spesifik. Penyebutan global umum, “tuhan desa” (batara desa),
mengungkapkan batasan urusan ketuhanan dari desa biasa dan mengindikasikan
bahwa dewata yang dipuja adalah bukanlah milik perorangan, yang membedakan
tujuan dari desa lainnya. Hal yang sama, setiap garis secara ritual dipusatkan pada
pura yang terkait dengan leluhurnya, yang bagaimanapun, benar-benar anonim dan
berlaku dimanapun pada istilah kawitan, inti leluhur. Kesadaran akan keistimewaan

252 Saya meminjam pada Louis Dumont (1978:90) referensi sistem monadic dari Leibniz, untuk
diilustrasikan hal-hal yang berkaitan dengan tingkat kekunoan.
tiap unit agak sesuai dalam variasi gaya dari upacara ritual mendasar masyarakat
yang sama: odalan, ruang-waktu dari turunnya tuhan-leluhur pada pura, yang, jika
tidak, adalah sebuah tempat ……. Ledakan bakat menarik suatu masyarakat dalam
limpahan ritual kunjungan, puisi dari puluhan dimainkan secara simultan
menghapuskan keinginan untuk memahami dasar sebuah deskripsi lengkap,
ditunjukkan terlepas dari gerbang pengamat yang paling mahir.

Juga, pada upacara ritual periodik dan rutin ini, betapa seperti unit sebelumnya,
setiap orang untuk dirinya sendiri, pada dunia mereka yang khusus. Mistis, yang
mungkin dapat diperjelas dari komentar mereka tentang figur tuhan dan leluhur,
kekurangan, ingin kita katakan mitis seperti kita temui dalam masyarakat indonesia
lainnya kurang “rumit”. Hal itu mengungkapkan teori keuniversalan dimana
kebesaran tuhan kosmis dan leluhur pertama adalah pencipta. Meskipun demikian
ada midtis, tanda ikatan sejarah. Kecenderungan, khususnya, teori pembagian kasta
yang dielobarasi definitive adalah sangat terlambat, hanya sebuah alasan tempat
dikaitkan pada referensi Majapahit. Ia adalah pelopor ideoligi yag menjelaskan
cakupan dari tingkat kekunoan oleh masyarakat kasta. Tanda-tanda menunjukkan
kontribusi asal india atau jawa. Dua diantaranya adalah saling mengikat untuk
menandai, secara nyata, operasi integrasi hirarkhi dimana tingkat kekunoan adalah
objek. Yang dimaksud adalah Majapahit dan Siwa, indikasi aturan tertinggi
masyarakat Bali, hasil dari pendefinisian, satu dari tingkatan lainnya, nilai tuhan-
leluhur. Disini, ide-nilai berdasar tampaknya ganda dalam satu titik leluhur yang
paling dapat dijelaskan, Majapahit, dan satu titik ketuhanan yang paling dapat
dijelaskan, Siwa.

Studi tetang Pandé mengembalikan secara akrab referensi pada Majapahit. Ia


menawarkan eksistensi sebuah asala leluhur (kawitan) termasuk yang terdapat di
luar Bali, dimana disimpulkan para Wangsa/bangsa yang dirancang seperti kesatuan
mencakup kelompok kekerabatan konkrit. Majapahit adalah penguasa simbol
dimana menyentuh sebuah teori total dari masyarakat, seperti tubuh sosial
disatukan dimana anggotanya secara hirarkis terartikulasi dalam empat kasta atau
Wangsa. Model sebelumnya dari unit atau kelompok seperti memudar sendiri
sementara pada tingkatan ini, yang tersirat pada seluruh masyarakat dimana ekpresi
linguistiknya adalah caturwangsa. Artinya itu adalah elemen dari model hirarkhi,
atau keseluruhan, dari masyarakat.

Sangat mungkin untuk melihat artikulasi antara aturan kasta dan aturan
kekerabatan. Antara dadia dan kasta, terdapat kelompok bergelar yang sama
ditujukan dengan istilah bangsa. Gelar diberikan secara eksplisit pada derajat antara
ini, dengan kode perbedaan hirarkis intern setiap kasta. Kelompok bergelar sesuai
dengan unit maksimal dari kekerabatan, sejenis klan, tetapi disini dianggap pada
awalnya dalam hubungannya dengan seluruh badan sosial. Dalam aturan
kekerabatan “murni”, klan ditujukan melalui istilah soroh yang termasuk dalam
dasar bahasa Indonesia. Ia diterjemahkan melalui ras atau spesies. Ia diaplikasikan
pada laki-laki sama dengan tanaman atau binatang. Soroh berujung pada puncak
sebuah susunan kekerabatan dimana unit dasar adala rumah terpusat pada pura
keluarganya (sanggah). Contoh pada Bali Aga menunjukkan bahwa soroh tidak
mengenal di atas aturan kecuali aturan kosmis, dimana dilanjutkan secara langsung
dan melalui mana ia mengangkat puranya seperti gerbang pulang. Ideologi kasta
dicangkokkan pada ideologi kekerabatan pada dasar ini dan tandan dari sinyal
hirarkhi melalui penambahan nilai gelar. Dari soroh ke bangsa menuju unit maksimal
yang sama dari kekerabatan, kita lewati tingkat kekunoan ke tingkat masyarakat
kasta, dari ras sendiri ke ras yang disediakan sebuah gelar dalam kesatuan hirarkhis.
Pemindahan tanda-tanda liguistik menandakan operasi menyeluruh pada tingkat
kekunoan.

Tiga nama soroh yang memiliki reputasi di Bali Aga membiarkan pandangan sekilas
perubahan nilai ide ras, dari tingkat kuno ke masyarakat kasta. Pulasari, Katewel,
dan Kayu Selem ditujukan, yang pertama, sebuah tanaman dan berikutnya, pohon.
Selanjutnya sebuah legenda menunjukkan bahwa leluhur dari dua kelompok
terakhir adalah sebuah pohon, yang kepadanya seorang Dewa memberi hidup.
Dewa tersebut menggunaan nama hindu, tetapi legenda mengembalikan secara
jelas pada lapisan bawah mitis dari asal kuno, dimana ia mengangkat juga potongan
tersisa. Pada pandangan ini, ia mengacaukan istilah imbuhan kawitan-ruang asal
dan inti leluhur-jadi turunan dari wit, artinya pohon. Haruskah melihat elemen lain
dari konsistensi fakta bahwa dari praktek pembakaran mayat lama, selalu ditujukan
ke Trunyan dan, sedikit, di Sambiran, berimplikasi pada penempatan mayat dekat
sebuah pohon atau bahkan disandarkan disana? Diperkirakan bahwa ide ras dan asal
didukung beberapa pemindahan, tampaknya diantarkan dari “alam” ke “budaya”,
dari asal berakar dalam tanah Bali berasal dari Majapahit, dari mitis soroh kuno ke
masyarakat kasta, dari kelompok sendiri ke kelompok gelar. Saat ini, kita dapat
mencatat bahwa anggota dari tiga kelompok ini berkonotasi Bali Aga berdampingan
pada nama soroh itu sendiri dengan istilah Pasek, yaitu sebuah gelar yang
mengindikasikan sebuah posisi di atas katagori Sudra. Ia sesuai, lebih general, pada
sebuah wangsa (wangsa Pasek), dimana selubung menggerakkan bersama jumlah
lebih banyak dari kelompok yang tidak dibuat wangsa Pandé.
Mengenai “ras” terakhir ini, kita ditunjukkan pada detil dimana ia mengaku sebagai
tunggal absolut, karakteristik dari ideologi unit, namun tanpa mencapai penentuan
secara bebas nilai masyarakat kasta. Persetujuan dari perbedaan adalah ganda dari
referensi ke leluhur Brahmana dan Satria, asal Majapahit, atas nama dari mana
disetujui hak untuk sebuah status bangsawan atau hampir bangsawan. Posisi Pandé,
dalam pembicaraan maupun praktek, adalah ekspresi suatu usaha ideologis yang
terjadi pada perkawinan antara masyarakat Bali Aga dan masyarakat kasta. Ia
adalah pengungkap penting dari perselisihan antara model soroh sebagai diri sendiri
dengan wangsa sebagai elemen yang hanya dirancang dalam hubungannya pada hal
yang mencakup semua. Kita lihat bahwa titik tekan dari perselisihan ini adalah ide-
nilai tuhan-leluhur. Semua terjadi seperti jika ide-nilai terangkat dimana menyentuh
kesadaran para Pandé, hingga melewati kontradikis hasil dari konrontasi dua model
ini.Nilai keleluhuran digunakan untuk menetapkan kelompok sebagai bagian dari
masyarakat kasta, tetapi ia digunakan juga untuk menjadikan semua bebas.
Khususnya, adalah atas nama leluhur yang menolak air suci brahma, elemen
mendasar dalam pelaksanaan integrasi hirarkhi.

Adalah polemik air suci yang menarik perhatian pada dimensi kosmis perselisihan
antara soroh dan bangsa, antara kedewataan dan masyarakat sebagai keseluruhan.
Peran konkret dari air suci adalah akses, langsung atau tidak langsung pada seluruh
alam. Ia adalah sebab posisi dari pendeta brahma sebagai madiator antara ras
manusia dan Siwa. Pendeta ini, dalam masyarakat kasta, adalah perwujudan
keteraturan keseluruhan tertinggi dari ide-nilai tuhan-leluhur. Jika integrasi dari inti
leluhur, mulai dari rumahtangga, berpuncak pada nama Majapahit, sedangkan Siwa
adalah kedewataan yang menyatukan seluruh tuhan-leluhur dimana bertemu
pemujaan lokal dalam ribuan pura di Bali.

Di antara banyaknya tempat suci tersebut, tidak satupun yang ditujukan secara
khusus kepada ketuhanan yang paling tinggi, jugatidak satupun ketuhanan yang lain
yang terdaftar dalam religi bali (Brahma, Wisnu, Baruna,….). Sebaliknya dalam
banyak Pura, terdapat sebuah singgasana tertinggi dari batu, kosong, altar Siwa,
diidentikkan pada Surya, matahari. Singgasana tersebut disebut padmasana. Tentu
saja, dalam etimologi sanskerta, selalu, adalah penting. Tatapi tempat dari
“singgasana lotus” dalam pura menunjukkan lebih jelas bahwa etimologi kata dan
maknanya dalam konteks india atau jawa 253. Terletak di sudut “gunung timur”

253 Hooykaas memperlakukan “Padmasana Singgasana Tuhan” dalam sebuah studi, yang selalu dikagumi
dalam keilmuan tetapi menjaga jarak dari masyarakat sekarang dan praktek mereka yang diamati (1964a:
93-140)
adalah yang tersuci (jeroan), disana dimana bersilangan dua sumbu altar: yang
berada di arah gunung yaitu “kepala ke arah gunung” (madulu kaja), dan yang ke
arah timur dimana altar adalah “kepala ke arah matahari terbenam” (madulu
kangin). Pada sudut strategis tersebut pada titik pemusatan antara tuhan dan
leluhur pura, terdapat padmasana Siwa/Surya, sebagai sebuah sumbu kosmis
terpusat, ditunjukkan dengan pembagian struktur alam semesta dalam tiga hirarkhi.
Itu juga adalah tujuan, dalam mayoritas pura, seluruh alam semesta dirancang
dalam tingkatan masyarakat kasta.

Adalah sangat wajar bahwa “normalisasi” pura tuhan-leluhur diikuti sampai hari in,
melalui penambahan altar dewa Siwa disana atau tidak. Hal itu, kalau diinginkan,
salah satu dari aspek “konversi” pada Siwaisme di Bali, menunjukkan proses
multisekuler secara jelas. Ketidakhadirannya, khususnya dalam desa Bali Aga,
adalah penting, sama pentingnya dengan penolakan air suci brahma. Tidak pada
objek padmasana atau referensi tentang Siwa tidak pernah muncul pada pura di
desa-desa ini, tetapi bukan itu yang penting yang ditunggu. Juga, di Bratan
(Singaraja), sebuah altar batu mendominasi, di tengah sumbu gunung merajan,
tetapi ia dipersembahkan bagi “Tuhan langit tertinggi” (Batara Luhur ing Akasa),
sedangkan altar dewa Siwa adalah bangunan kecil, mirip dengan bangunan lain pada
pura masyarakat desa.

Haruskah dipastikan bahwa permasalahan Bali Aga atau Pandé, pada dasarnya,
bukan sebuah “animisme” lokal yang menolak menjadi “hindu” yang datang dari
tempat lain, atau memperkuat diri dengan menggunakannya untuk membentuk
masyarakat kasta “baru”dimana ia menjadi motor?254 Politeisme bali menerima
semua tuhan. Untuk meyakinkannya, cukup mengamati bahwa tuhan yang dikenal
oleh orang asing dan Islam (nyelam) memiliki tempat dalam pura “hindu” di Bali.
Apakah perhatian orang Bali dari kacamata mereka tidak sampai pada kegagalan
memasukkan daging babi pada banten yang mereka tujukan? Teori gelombang
peradaban dan penyebaran ciri budaya, dimana muncul kelompok bertahan,
turunan “asli indonesia”, tidak memperhitungkan bahwa pada pandangan romantik
dan sosio-sentrik, tidak benar-benar menghilangkan studi tentang Bali 255. Semua

254 Itu, contohnya, konsepsi yang mendasari sebuah artikel dengan mana Goris menguraikan permasalahan
Bali Aga dan Pandé. Dapat dibaca, setelah penaklukan tahun 1343, “esmua kelompok yang tidak
menginginkan menjadi bagian dalam proses hindu-jawa keluar dari masyarakat baru dan mereka masih
hidup dalam desa terpisah. Unit Bali Aga adalah murni negative, mereka adalah orang hindu -Bali bukan
jawa” (1960d: 294-297). Dan lagi:’ jika pengrajin besi mengatakan “ kami adalah pra Hindu, mereka akan
diboikot untuk menjaga posisi special mereka dalam masyarakat” (1960d:197)
255 Covarrubias menulis tahun 1937:’ Pada jaman tertentu, pulau dipenuhi orang -orang Indonesia
asli……Orang-orang asli turunan dari orang-orang ini, menyebut diri mereka Bali Aga atau Bali Mula, orang
orang Bali adalah “animistis” atau “hinduistis” seperti yang mereka inginkan.
Perdebatan internal di masyarakat Bali-yaitu mereka yang membicarakan secara
terbuka fakta Bali Aga dan Pandé—tidak muncul dalam istilah ini. Ia digunakan pada
tingkat hirarkhi sebagai hasil dari peran tuhan-leluhur yang, jika diinginkan, tidak
pernah disembunyikan sebagai pusat agama dengan mana orang Bali selalu
mengakuinya. Itulah sebabnya para Pandé, menunjukkan juga sebagai orang Hindu
seperti semua orang Bali sebab mengakui supremasi Siwa dan bahwa pendeta
mereka yang melakukan juga ritual brahma, bukan keturunan dalam makna umum.
Jika kita mendukung untuk menjaga istilah, harus dikatakan bahwa seharusnya
mereka adalah keturunan dalam makna hirarkhis. Dengan mengatakan hak dan
kapasitas untuk mengakses mereka, tanpa mediasi pendeta brahma, secara umum,
mereka menempatkan pada model pertama nilai dari tingkat keaslian dimana Bali
Aga tidak pernah tampak menyembunyikan untuk menganggap sebagai utama,
apapun derajat ke-india-an atau ke-indonesia-an mereka diukur dari cerminan fakta
budaya. Fakta tersebut, mereka tidak menemukan sebuah agama baru, mereka
tidak membentuk sekte baru. Mereka menunda laporan hirarkhi penting, penting
pada pelaksanaan menyeluruh dari tingkat kekunoan.

Sebagai Brahmana, padanda ada pada puncak dari aturan kasta. Ia adalah
keturunan yang paling suci atau yang paling langsung dari inti leluhur Majapahit
tertinggi, yang disembah, dalam banyak pura, altar Batara Maspait atau Maospait,
tuhan dari Majapahit. Sebagai pendeta Siwa, ia mencapai tingkatan tertinggi dari
nilai masyarakat kasta. Lebih nyata, lebih umum kita sebut Siwa, digarisbawahi juga
pendekatannya dengan ketuhanan tertinggi. Dalam konteks ini, istilah tersebut tak
terpisahkan dengan lainnya: sisia. Istilah ini berasal dari bahasa sanskrit ditujukan,
di Bali, negara yang tergantung pada agama yang memberi air suci menurut pendeta
Brahma. Tiap pendeta memiliki juga klien sisia, siapapun, kelompok kekerabatan

Bali asli, tinggal, selalu terisolasi dan merdeka, di gunung dan di pengungsian, menjaga jarak dari orang
asing penjajah” (1972:17). Tentang Bali Aga diatur dengan cara lebih halus oleh C. Geertz yang, d ia,
meminggirkan secara sosiologis dan historis :” Menurut saya, bukanlah desa di jantung pulau, dimana
nampaknya menerima secar virtual seluruh penduduk beberapa abad, yang tidak khas, hasil yang aneh, dari
keadaan special, mereka adalah penduduk yang paling dijauhi, tersebar di pinggiran daerah pusat”
(1980:47). Dari sana, akibatnya adalah Bali Aga tidak dipertimbangkan dalam studi tentang Bali, khususnya
dalam studi tentang organisasi desa. Tidak pasti bahwa kita dapat memutuskan secara cepat tentang ya ng
khas dan tidak khas. Lainnya, pendekatan melalui “tidak khas” dapat menjelaskan secara tunggal ”khas”,
juga saya pikir membuktikan, jika dibutuhkan, sambil mempelajari Pandé. Jika tidak, tidak seorangpun tahu
atau menerima, secara nyata atau pasti, keseluruhan populasi Bali berabad-abad. Kita tahu, sebaliknya,
bahwa desa-desa “eksentrik” tertentu tidak pindah mulai mendekati satu millennium dan mereka tentunya
tetap di tempat mulai satu jaman, mulai jaman yang tidak tentu, dimana penduduk dataran mungkin aga
lemah dan mereka yang di gunung, tidak diabaikan secara proporsional, setidaknya dari pandangan raja -
raja Bali tua, yang mulai abad 9 sampai 14, yang tertarik secara eksplisit pada manajemen keeksentikkan
ini.
atau desa, kepada siapa ia memberikan air suci dengan imbalan penghargaan, yang
pada saat ini, mengambil bentuk uang. Penerimaan air suci adalah ekspresi yang
menonjol yang ditunjukkan mayoritas penduduk dari hubungannya dengan alam
semesta pendeta brahma Bali. Siapapun yang absen, Bali Aga dan Pandé, disebut
masiwa raga, arti secara leksikal “memiliki Siwa untuk mereka sendiri”, maksudnya
adalah memiliki otonomi dalam menyiapkan air yang paling tinggi kualitasnya,
penting untuk mengkelola ritual yang paling penting, khususnya ritual ngaben.

Yang terkini, orang Bali kadang-kadang menyebut agamanya Agama Tirtha, “ Agama
Air Suci”256. Tampaknya bahwa kita memilih semua implikasi dari ekpressi tersebut,
yang sekarang diganti dengan “Agama Hindu Bali”, yang tidak kurang menarik dari
yang diungkap evolusi kontemporer dan penemuan dari India. Ekspresi lama yang
tidak menyembunyikan peran penting hubungan dengan Tuhan dan Leluhur adalah
produksi air suci, yang merupakan karakter penting digarisbawahi melalui istilah
amerta, dengan mana dikenal dengan mudah makna yang menggantikan kata
berasal dari bahasa sanskrit. Yang dimohonkan kepada tuhan dan leluhur, adalah
mendasar untuk dipenuhi, melalui mediasi dari ritual tertentu, air penting dari
efisiensi yang berkontribusi dalam konteks yang berbeda.

Secara prinsip terdapat dua tempat dimana dijelaskan air ini: pura dan tubuh
pendeta brahma. Dua bentuk tersebut, dan air suci sebagai hasil, tidaklah sama
tingkatannya. Kedua, disiapkan oleh Siwa, adalah lebih tinggi dari pertama,
diperoleh dalam persentuhan dari tuhan-leluhur dari pura terkait. Dalam istilah lain,
tirtha brahma memiliki sebuah nilai universal yang tidak dimiliki oleh tirtha yang
dibuat dalam pura dimana seorang padanda tidak ada. Tidak terdapat
ketidaksesuaian antara dua katagori air tersebut. Keduanya berhimpitan, sama
dengan ritual pendeta brahma dapat berhimpitan dengan ritual yang dipimpin oleh
pendeta sebuah pura, pamangku, yang pada umumnya sudra. Pada ritual
kunjungan, yang terakhir mengundang, dengan bantuan dari mantra dan gerakan
agak sederhana, tuhan-leluhur akan turun dan duduk (malinggih) di atas tempat
tertentu yang disediakan, dalam beberapa bentuk, menetapkan mereka dalam
ruang pura257. Kedatangan sementara para dewa ini adalah kesempatan kontak
antara dunia manusia dan dunia dewa. Kontak ini mengambil bentuk sebuah
tindakan penting, dimana setiap pengikut pura “melakukan bakti” (mabakti).
Konteksnya sangat berbeda dengan hubungan kesetiaan yang ditujukan di India

256 Agama Tirta adalah sebuatan yang diberikan C.Hooykaas pada salah satu studi tekstualnya tentang
agama bali (1964a)
257 Pekerjaan yang luar biasa dari Jane Bello dengan prinsip etnografi untuk pengenalan, masih kurang
dari ritual rumit ini (1953)
melalui istilah yang sama. Disini, pengikut memberikan penghormatan kepada Dewa
(nyumbah), telapak tangan disetangkupkan dan diletakkan di atas kepala, kemudian
pamangku, atau asistennya, meletakkan beberapa butir beras di atas dahi dan
memercikkan air suci di atas kepala, dan di dalam tangannya dan membawa ke
bibirnya sebelum meminum air yang suci tersebut. Juga mengakhiri kegiatan bakti,
kesetiaan pada tuhan-leluhur dari pura namun lebih tepatnya kegiatan komunikasi
atau gizi. Ritual odalan memiliki aspek lain, tetapi ia adalah tempat dari kontak yang
lebih personal dan intim para pengikut sebuah pura dengan para dewa mereka, yang
ditunjukkan dalam air suci bercampur dengan kehadiran mereka yang anonim.

Akhir dari ritual brahma disebut Suryasewana, dalam bentuk sangat berbeda,
adalah sama: pembuatan air suci. Untuk melakukannya, seluruh kerumitan mantra
dan mudra dikerjakan oleh Padanda, setiap pagi di rumahnya dan khususnya dalam
undangan dari pura, menunjukkan hal-hal yang lebih india di Bali258. Pendeta, yang
berkantor di rumahnya atau pada ketinggian di atas platform yang mendominasi
kegiatan di pura, mengundang, sendiri dalam isolasi konsentrasinya, para dewa
tertinggi turun kepadanya. Seperti di India, ia bertransformasi ke Siwa, sehingga air
suci disiapkan oleh Tuhan melalui isu dari metamorfosa tersebut. Perbedaanya,
mungkin esensial, adalah bahwa ritual ini nampaknya variasi yang terpotong dari
yang di India. Akibatnya, kehadiran Tuhan tidak tampak sebagai objek lain selain
cairannya, jika boleh saya katakan, dalam air suci259. Studi sulit dari naskah peneliti,
dalam bahasa jawa kuno yang disanskritkan dan dalam bahasa sanskrit jawa, tidak
seharusnya demikian, paling tidak pada titik tersebut, menggabungkan
permasalahan antropologi, agar memastikan perbedaan tersebut dengan mana
dapat ditetapkan perbedaan antara Siva, Tuhan di India, dan Siwa, Tuhan di Bali dan
mungkin lebih umum di Indonesia?

Singkatnya, pada tingkat masyarakat berkasta, Siwa tampak sebagai figur integral
dari totalitas Tuhan-Leluhur. Dari sana, hasil dunia dan air vital yang paling tinggi
kualitasnya, benar-benar merupakan cairan mengisi. Dalam derajat bawah, yang
juga merupakan tingkatan kedua dalam sejarah, sepertinya, menurut saya, orang
Bali merancangnya, terletak inti leluhur dipuja dari Majapahit. Mereka terdiri dari
orang-orang setengah dewa, para Mpu jawa, yang menghasilkan perbedaan “orang
Majapahit” (wong Majapahit) dibagi dalam tingkatan wangsa, kasta dan kelompok

258 Naskah Bali yang menjelaskan tentang ritual bra hma menjadi objek sebuah penelitian fundamental,
yang hasilnya adalah bahwa ia berasal dari India Selatan (Hooykaas, 1996)
259 Helene Brunner (1967:417) mulai dari pengenalannya pada ritual siwa India Selatan, menekankan pada
perbedaan ini dalam sebuah komentar tentang ritual bali, seperti yang dipresentasikan oleh Hooykaas
(1966)
bangsawan, dan dimana hasilnya, khususnya, potongan antara Triwangsa dan
Sudra, buah dari kerusakan yang dibawa oleh waktu. Ide-nilai Majapahit
menemukan dan mengatur, secara menyeluruh ras manusia dalam seluruh
tingkatan tertinggi dari masyarakat kasta. Yang sama, ide-nilai Siwa menemukan
dan mengatur secara keseluruhan masyarakat kasta dalam tingkatan utama dari
alam semesta. Dari Majapahit ke Siwa, idenya tetap: yaitu titik asal usul atau inti
leluhur. Hanya, tingkatan berubah. Itu adalah lompatan nilai tuhan-leluhur yang
memungkinkan perbedaan dalam seluruh masyarakat Bali dari tingkatan (atau
daftar atau konteks) yang makin inklusif. Ide tuhan-leluhur (atau inti asal) menjejaki
sebuah sumbu yang melewati semua masyarakat, mulai pura keluarga
mengesahkan perumahan sampai bangunan yang tertinggi dimana dijumpai Siwa.
Peran nilai memotong di atas sumbu ini rangkaian tingkatan yang mengaturnya.
Diusulkan juga untuk membedakan tiga tingakatan utama: masyarakat asli,
masyarakat kasta, dan seluruh alam semesta atau kosmos.

Kembali pada Pandé yang memberikan studi ini substansinya, dicatat bahwa praktek
dan diskusi mereka memainkan tiga daftar tersebut dan mereka mengaburkan peta
hirarkhi dengan usaha memperpendek sirkuit tingkatan intermedier dari
masyarakat kasta. Dari sudut pandang ini, pergerakan Pandé mengungkap sebuah
keruntuhan pada tingkatan ini dimana sayangnya, pembangunan tidak pernah
tercapai, juga bahwa saksi fakta Bali Aga. Ia menarik perhatian pada sebuah proses,
sedang berlangsung, penyamarataan atau pedistribusian kembali tingkatan. Juga,
dengan bergabung dengan Bangsa Pandé, beberapa kelompok Bali Aga, Bratan dari
Buleleng dan Pandé Bangke Maong dari Karangasem, masuk lebih awal dalam
masyarakat kasta yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebaliknya, dengan
bergabung dengan pendeta Pandé semua Pandé Tusan yang sebelumnya adalah
pengikut pendeta brahma menjauh. Yang pertama diterima dengan gelar sesuai
dengan leluhur majapahit; yang masuk kedua termasuk dalam masiwa raga,
swasembada air suci, karateristik dari kesesuaian nilai bali asli.

Kebetulan pengamatan dari proses ini dapat, mungkin, berkontribusi untuk


memastikan istilah sebuah penelitian atas evolusi dari masyarakat bali. Perdebatan,
membuka awal dekade abad ini , oposisi antara nabi dari penyebaran budaya yang
sangat kaya dan yang membawa pertahanan tak terbatas dari masyarakat dalam
perubahan. Yang tertinggal adalah ketergantungan sebuah sensibilitas romantik dari
asli yang baik dan sebuah masyarakat “spontan” dari modernitas yang tidak selalu
ada. Juga apakah studi ini yang cenderung membuktikan bahwa dolar pariwisata
memperkuat, hanya melalui ilmu kimia, budaya Bali. Apa yang telah di sebutkan di
atas, jelas bahwa evolusi posisi pendeta brahma adalah satu indikator perubahan.
Jika dalam tahun-tahun mendatang penyimpangan religius membesar di lingkungan
pande dan meluas di kelompok lain, tidak harus dipahami bahwa sesuatu yang
penting sedang terjadi, bahwa dialektika kekhususan dan keuniversalan sedang aktif
dilakukan kembali dengan integrasi hirarkhis yang memerlukan waktu berabad-
abad untuk merealisasinya dan bahwa mendistribusi nilai secara berbeda. Pasti,
apapun yang terjadi, pepatah yang tak kenal lelah mengatakan bahwa kita memukul
seorang penulis, diterjemahkan dalam bahasa perancis terkini, yang artinya “semua
berubah kecuali yang mati” (Geertz, 1983:10). Namun, kita berfikir bahwa
kembalinya melalui ide dan nilai dapat membantu memformulasikan lebih tepat
“pertanyaan ini jika kekhawatiran untuk semua yang, pada suatu waktu atau pada
orang yang lain, diambil oleh gemerlapnya pulau: Apakah Bali masih selalu Bali? “
dan memberikan permulaan pada isi sosiologi untuk merespon yang diajukan: Tentu
saja-dapatkah-ia menjadi yang lain?” (Geertz:1983:10).

Jadi, jika dalam keadaan pengetahuan aktual, adalah sangat prematur untuk maju
ke prediksi yang lemah atas masa depan masyarakat Bali, ia, sebaliknya, bukanlan
petualang yang berusaha menarik perhatian pada elemen yang tetap dari ide tuhan-
leluhur. Para ahli sejarah mengatakan bahwa hal itu terjadi dalam waktu yang
panjang. Dipaksakan untuk menunjukkan, dengan cara parsial tertentu dan tidak
sempurna, bahwa sebuah aturan berhimpitan dengan tingkat yang berbeda, dan
bahwa ia menghasilkan peran nilai terkait dengan ide tersebut. Padahal, sumbu jejak
melalui ide melintasi masyarakat Bali sebagai totalitas sinkronik dan diakronik.
Sangan sulit mengabaikan bahwa terjadinya intergrasi hirarkhi, dimana Majapahit
dan Siwa adalah penguasa-simbol adalah juga pembuat sejarah, atau mungkin lebih
tepat pertemuan anatara “sejarah” dan “Struktur”. Tertanam oleh bias, arkeologis
dan etimologis, yang sesat secara berkelanjutan studi-studi tentang Bali, kejelasan
tentang isi hubungan antara tuhan dan leluhur dapat membawa pembaharuan
debat lainnya yang berhenti pada batas yang tak ditemukan yaitu: modalitas yang
tergantung keadaan dan nyata tentang indianisasi dan jawanisasi, dalam
pembentukan “kerajaan yang dihindukan”, pada penjajahan jawa pada tahun 1343,
dst….

Dokumen seperti apa adanya, lebih “ideologis” daripada “faktual”, penelitian


sejarah menjelaskan, cepat atau lambat, batas bahwa, sebaliknya, kita jauh untuk
dapat memastikan, dengan absennya eksplorasi yang benar pada domain ini.
Mungkin bahwa berjalannya waktu, sekurangnya parsial, cara kerja ekonomi dan
politik memungkinkan untuk periode berjalan pada abad 17 atau 19. Sekalipun
dalam dekade tersebut, peta kerajaan lama dibawa, kondisi ketika dimulai membuat
bacaan sosiologis, sebuah kejelasan penting tentang beberapa aspek fondamental
masyarakat Bali pada abad 9 sampai 14. Antara dua jarak waktu tersebut, muncul
wilayah bayangan yang paling kabur pada penelitian historiografi klasik. Padahal,
seperti diperhitungkan, itulah yang membentuk kerajaan Gelgel, atas puing-puing
kerajaan lama yang dihindukan, dan yang diaktifkan teori pembagian dalam kasta,
yang mana saya usulkan untuk melihat, perubahan yang penting telah dilakukan,
gambaran sebuah feodalisme gaya Bali (Guermonprez, 1985). Adalah pada momen
tersebutlah dijelaskan transisi antara masyarakat lama, yang sudah diindiakan sejak
beberapa abad dan masyarakat serupa dan berbeda yang diamati lama sampai
sekarang. Sangat meragukan bahwa kita kita tidak pernah menyentuh, dengan
sebuah presisi yang dapat diterima, kesatuan sejarah abad 9 sampai 19, dimana
institusi kerajaan menjadi mesin politik dan perang. Sebaliknya, “penemuan”
superioritas dari ide-nilai tuhan-leluhur mengundang untuk dipertimbangkan, jika
diperlukan, bahwa kerajaan adalah juga sebuah mesin untuk mengatur alam
semesta. Peran yang diusulkan ide –nilai tersebut adalah sentral untuk memahami
representasi kerajaan dan sebaliknya, saya garis bawahi di bagian lain, menunjukkan
bahwa paradigma “raja tuhan yang dihindukan” tidaklah diberlakukan di mana-
mana dan selalu. Jika, mulai dari peran konkrit dari air suci, adalah mungkin untuk
meletakkan perspektif tentang figur pendeta brahma dan Siwa, jelas bahwa pendeta
dan kedewaan berasal, dengan cara yang akan lebih dipastikan, dari sebuah
konfigurasi rasional dengan mana mengambil figur unggul lain :yaitu raja. Pada
pandangan ini, evolusi kerajaan bali, yang muncul secara terlambat relatif sekuler
dibandingkan dengan kerajaan yang nampaknya lebih lama, tidak dapat dipahami
secara independen dari sebuah orientasi religius yang mengkristal, setelah abad 19,
dalam bentuk Siwaisme ala bali terinkarnasi sampai sekarang melalui pendeta
brahma. Untuk menutup tanda kurung terbuka tersebut pada sebuah sejarah yang
akan dibuka, disarankan bahwa pintu heuristik dari deskripsi mulai hubungan
dengan tuhan dan leluhur hasil dari yang diinformasikan disini pandangan bahwa
orang Bali memiliki masa lalunya dan bahwa konsekuensinya masa lalu tersebut
mengarahkan pada penulisan tentang historiogarfi mereka. Itu adalah sebuah
pelajaran yang diberlakukan berikutnya pada studi naskah Pandé, dalam pandangan
ini, jauh lebih “klasik” dari yang hanya kita harapkan pendekatan melalui “pekerjaan
besar” dari kebudayaan. Naskah adalah sebuah medan dengan mana harus bertemu
secara ideal sejarah dan antropologi, cukup mencapai pada “mentalitas” melalui
satu-satunya mutiara budaya indo-jawa yang beresiko membuat gagal.
Dalam konklusi tersebut, saya tidak memaksakan atas perolehan sebuah studi
khusus, tetapi pada elemen intelligibilitas suatu masyarakat yang ia mungkin bebas,
tidak tanpa penyederhanaan, mulai dari usaha pemahaman fakta Pandé. Saya
mengusulkan bahwa, dalam berbagai arah, dengan mempertimbangkan ide dan
nilai menawarkan sebuah jalan keluar yang memungkinkan untuk membuka diri Bali
dari posisinya pada keingintahuan sosiologis, dimana dikunci pandangan relativisme
budaya absolu dan pahatan yang sewenang-wenang dari disiplin terinstitusi. Aturan
yang diberlakukan nilai adalah sebuah garis miring bahwa studi-studi tentang Bali
dapat dimulai untuk diikuti, jika ia tunduk pada aturan juga bahwa indikasi terkini
menunjukkannya. Komentar pendahuluan tersebut, dalam bentuk kesimpulan,
hanya sebuah sketsa bukan sebagai pretensi lain yang dirancang orang-orang kulit
putih diperhitungkan yang harus diperbaiki agar masyarakat Bali mengambil tubuh
sebagai objek pemahaman sosiologis da historis. Diharapkan hanya memiliki
keyakinan bahwa masyarakat ini tampaknya sekilas tidak dapat ditemukan,
termasuk oleh mereka yang tidak tertarik secara langsung.

Peran juga adalah memperkenalkan Bali pada dialog komparatif dimana ia


dikecualikan, jika tidak melalui bias sterilisasi yang kita telah laporkan. Ia akan,
tentang hal ini, terlalu sederhana untuk berfikir bahwa terkena bias ini menunjukkan
titik henti dari pendekatan antara India dan Bali. Paradok untuk mengekplorasi,
untuk ke depan mungkin jauh, apakah yang saya sebut tingkat keaslian dapat
membuka sebuah sudut perbandingan dengan India, apriori lebih bermanfaat
daripada masyarakat kasta260. Lainnya, diharapkan bahwa elemen-elemen kejelasan
diusulkan disini tidak lagi asing bagi mereka yang melakukan studi tentang
masyarakat Lautan Pasifik261. Lebih segera, diyakinkan untuk memindahkan Bali dari

260
Banyak pernyataan lainnya yang memperkaya dengan reaksi pada sebuah ekspose penyajian pada
seminarnya 28 Mei 1985, saya berhutang budi pada Jean -Claude Galey untuk pembukaan itu atas semua
kemungkinan bidang perbandingan lainnya antara Bali dan India.
261 J.Boon, untuk pertama kali dalam studi tentang Bali, menyarankan untuk melihat melalui Pasifik
(1977:111). Untuk menambahkan satu kesadaran ekstra dari intuisi ini, saya membuat sebuah referensi
pada sebuah pembicaraan dengan satu penulis bukutentang Kale donia Baru, pada awal saya tinggal di Bali.
Saya sangat terkejut dengan fakta bahwa pentingnya referensi spasial dalam domain kekerabatan
nampaknya mendekati dua masyarakat, yang sangat berbeda. Kesamaan muncul lagi lebih penting pada
bacaan buku ini, dimana kita memiliki ringkasan beberapa garis penting: : garis -garis kekerabatan agnatic
terakhir tidak membuat sejajar tetapi melalui garis leluhur konvergen dari satu titik yang sama. Titik ini
bukanlah leluhur melainkan sebuah lokalitas: satu ruang domestik……pembauran pada sebuah bukit………
Bukit berfungsi sebagai leluhur dimana turunan terakhir digambarkan melalui bukit asal, pondasi dari
pwomwaiu…. Identitas pwomwaiu terbangun melalui peran dari referensi yang sama antara genealogi dan
spasial… Penulis sebuah referensi spasial, lama atau diciptakan dari semua lapisan (bukit), dapat sewaktu -
waktu membentuk sebuah pwomwaiu (Bensa dan Rivierre, 1982: 55,57). Cukup dengan mengganti bukit
dengan pura dan pwomwaiu dengan dadia untuk melewati Kaledonia Baru ke Bali. Dipertimbangkan dengan
pandangan khusus dari masyarakat garis keturunan afrika, dua masyarakat ini menunjukkan ujung yang
sama.
ruang ketergantungan pada kepulauan Indonesia. Satu titik pelabuhan tematik dari
kiprah komparatif, melewati batas sistem kekerabatan yang ditujukan oleh etnologi
klasik, dapat menjadi pertanyaan pada “manajemen arus kehidupan” 262. Itulah,
seperti yang saya persepsikan, urusan besar masyarakat pada masyarakat di
Indonesia Timur dan pada masyarakat Bali. Di Timur, kewenangan pengaturan yang
paling cepat adalah kekerabatan dan persekutuan. Di Bali, semua mengindikasikan
bahwa itu adalah institusi Pura. Dalam kasus pertama, pergantian menunjukkan
ikatan langsung antara hidup dalam “horisontalitas” dari hubungan antara tuhan
dan leluhur. Dalam kasus kedua, penekannya adalah, awalnya terletak pada
“vertikalitas” dari hubungan antara tuhan dan leluhur yang ditujukan pada Pura,
tanpa mana hubungan antara yang hidup tak terfikirkan. Padahal, semua meyakini
bahwa “vertikalitas” tersebut berlaku melalui kekerabatan dalam masyarakat Timur.
Setidaknya untuk satu diantaranya, adalah jelas bahwa “hubungan ikatan
fundamental terletak pada dua katagori, yang pertama membuat dari yang hidup,
lainnya membentuk sekaligus dari yang hidup dan dari “tuhan dan yang mati”
(Barraud et al, 1984:511). Apakah diperlukan untuk menyimpulkan dengan
mencatat bahwa kalaidoskop sebuah perbandingan tertentu memungkinkan
pemahaman lebih baik bahwa Bali, adalah masyarakat yang ter-indianisasi, tapi,
sayangnya, sangat indonesia?

262 The flow of Life adalah judul sebuah buku saksi sebuah kemajuan tentang pemahaman masyarakat
Timur Indonesia (Fox, 1980). Khususnya, le”cunnubium assymetrique” tidak lagi di pusat eksklusif dari
semua pertanyaan yang diajukan masyarakat. Itu adalah kasus, contohnya, kontribusi E. Traube pada
pemahaman tentang “manajemen arus kehidupan” tentang “ritual Mambai dari hitam dan da ri putih”
DAFTAR PUSTAKA
I.MANUSKRIPT BALI

Babad Arya Tabanan Kr 1792


Babad Badung Kr 2832
Babad Bandesa Mas Manik Kr 2102
Babad Bangli Nyalian Kr 2195
Babad Brahmana Cute Kr 1604
Babad Catur Brahmana Kr 273
Babad Gumi Kr 808
Babad Gusti Celuk Kr 1315
Babad Karangasem Sasak Kr 963
Babad Ksatriya Kr 692
Babad Ksatriya Taman Bali Kr 1026
Babad Mengwi Kr 1340.
Babad Pande Kr 1034
Babad Pande LOR 11871
Babad Pande Bang Kr 1230
Babad Fande Wesi Kr 3514 (Bundle III, 23, Sydney)
Babad Pande Wesi Kr 1961
Babad Pasek Kr 963
Babad Pasek Gelgel Kr 256
Babad Pinatih Kr 1134
Babad Rusak Gusti Pande Kr 925
Babad Sengguhu Asu Asa Kr 1063
Babad Sukahet Kr 1921
Babad Tusan Kr 1443
Bancangah Pande L.B.N. 015
Brahma Pandya Tatwa LOR 13864
Catur Bumi Kr 30
Catur Bumi Kr 186
Darma Kapandean Kr 163
Darma Kapandeyan Kr 1473
Darma Sangging Kr 369
Kanda Wesi Kr 874
Kawitan Pasek Gelgel Kr 1078
Kerta Bujangga Kr 1486
Kundalini Kr 229
Kusuma Dewa Kr 1804
Mpu Gandring Kr 1693
Mpu Pradah Kr 2217
Pabalik Gusti Batan Jeruk Kr 1010
Pamancangah Maospait Kr 130
Pamancangah Pedel Kr 960
Pariagem Taman Bali Kr 1158
Prakerti Sasana Kr 2405
Prasasti Pande Kr 1171
Prasasti Pande Bang Kr 2628
Prasasti Pande Bang LOR 14849
Prasasti Pande Bang Bundle LXVI, 11, Sydney
Prasasti Pande Besi Kr 1133
Prasasti Pande Bratan Kr 2582
Prasasti Pande Bratan Kr 4610
Prasasti Pande Capung Kr 1170
Prasasti Pande Tonja Kr 1033
Prasasti Sangging Kr 1040
Rajapurana Kr 1028
Rajapurana Kr 1531
Rajapurana Pura Besakih Kr 1341
Sang Kulpinge Kr 1298
Sangging Lobangkara Kr 2091
Sejarah Majapahit Kr 2815
Sima Desa Bratan Kr 770
Siwatatwa Purana Kr 2214
Sudagar Bawang saking Beratan Kr 1707
Tutur Asu Asa Kr 1110
Tutur Gedong Besi Kr 2869
Tutur Gong Besi Kr 111
Tutur Indraloka Kr 1337
Tutur Lembangkawi Kr 1339
Ukur ing Keris Kr 1418
Ukur ing Keris Kr 1890
Usana Bali (Tenganan) L.B.N. D.B.K./002b
Usana Bali L.B.N. D.B.K./002a
Usana Jawa Kr 360

II. BUKU

ADAM, L.1938.”Geschiedkundige aanteekeningen omtrent de residentie Madioen


Bergheiligdommen op Lawoe en Wilis», Djawa 17.

ADATRECHTBUNDEL. 1918 . XV: Bali en Lombok. Martinus Nijhoff. 's Gravenhage.


1924 . XXIII: Java en Bali. Martinus Nijhoff. ‘s Gravenhage.
1934 . XXXVII: Bali en Lombok. Martinus Nijhoff. 's Gravenhage.
AUGE, M.1982 .Genie du paganisme. Gallimard: Paris.

BAAL, J. VAN, ed.1960. Bali, Studies in Life, Thought, and Ritual. W. van Hoeve. The
Hague.
1969 .Bali, Further Studies in Life, Thought, and Ritual. W . van Hoeve. The
Hague.

BAGUS, I G.N.1975.“Surya Kanta, a Kewangsan Movement of the Jaba Caste in


Bali», Masyarakat Indonesia, 2.

BARNES, R.H.1974. Kedang. A Study of the Collective Thought of an Eastern


Indonesian People.
Clarendon Press: Oxford.

BARRAUD, C. & DE COPPET, D. & ITEANU, A. & JAMOUS, R.1984. “Des relations et
des morts. Quatre societes vues sous l'angle des echanges”,in Differences,
Valeurs, Hierarchie, J.C. Galey ed. (pp. 421-520).

BATESON, G.1937 - «An Old Temple and a New Myth», in Traditional Balinese
Culture, J. Belo ed. (pp. 111-36).
1949 . “Bali: The Value System of a Steady State” in Traditional Balinese Culture,
J.Belo ed. (pp. 384 401).

BATESON, G. & M. MEAD. 1942. Balinese Character, a Photographic Analysis. New


York Academy of Sciences. New York.

BELO, J.1949. Bali: Rangda and Barong. University of Washington Press. Seattle.
1953. Bali: Temple Festival. University of Washington Press. Seattle.
1960. Trance in Bali. Columbia University Press. New York.

BELO, J., ed.1970. Traditional Balinese Culture. Columbia University Press. New
York.

BENSA, A. & RIvIERRE, J.C.1982. Les chemins de l'alliance. L'organisation sociale et


ses representations en Nouvelle Caledonie. SELAF. Paris.

BERG, C.C.1927 De Middel javaansche historische traditie. C.A. Mees. Santpoort.


1929. Kidung Pamancangah. C.A. Mees. Santpoort.
1932 . Babad Bla-Batuh. C.A. Mees. Santpoort.

BERNET KEMPERS, A .J.1978 . Monumental Bali. Van Goor Zonen. Den Haag.
BLOEMEN WAANDERS, P.L. van. 1859.” Aanteekeninzen omtrent de zeden en
gebruiken der Balinezen. Inzonderheid die van Boeleleng”., T B.G., VIII: 105-
279.
1868. “Bijdragen tot de kennis van het eiland Bali», T.N.I., II: 365-410,
1870 .«Dagverhaal eener reis over Bali in Juni en Juli 1856”. T. N. I., IV: 415-
441.

BOEKIAN, I D.1936. “Kajoebii, een Oud-Balische bergdesa., T. B.G., LXXVI: 127-176.

BONNEF, M. 1974. Bali. A. Barret. Paris.

BOOMS, P.G. 1850.Précis des Expeditions de l'Armee Neerlandaise des lndes


Orientates contre les Princes de Bali de 18-46 a 1849. Van Gulick &
Hermans. Breda.

BOON,J.A. 1973. Dynastic Dynamics: Caste and Kinship in Bali now. Disertasi.
University of Chicago.
1977. The Anthropological Romance of Bali. Cambridge University Press.
Cambridge.
1979. «Balinese Temple Politics and the Religious Revitalization of Caste
Ideal., in The Imagination of Reality: Essays in Southeast Asian Coherence
Systems, A.L. Becker & A.A. Yengoyan eds., N.J. Ablex. Norwood (pp. 271-
91).

BOURDIEU, P. 1980. Le Sens pratique. Editions de Minuit. Paris.

BRANDES, J.L.A. 1889. «De koperen platen van Sembiran (Boeleleng, Bali),
Oorkonden in het
Oud-Javaansch en het Oud-Balineesch., T. B.C., 16-56.
1920 - Pararaton (Ken Arok) of Her Boek der Koningen van Turzapel en van
Majapahit. Martinus Nijhoff. 's Gravenhage.

BREGUET, G. 1980. Roles et interactions de facteurs biologiques et socialogiques


dans a diminution
de la population d'une communaute Balinaise isolee, le desa adat tenganan
pageringsingan. Memoire pour le certificat de specialisation en ecologie
humaine. Universite de Geneve.

BRUNNER, H.1967. «A propos d'un rituel balinais”: Journal Asiatique, 3: 409-422.


BUDIASTRA, P.1979. Babad Pasek Kayu Selem. Museum Bali. Denpasar.

CASPARIS, C. de. 1981. «Pour une histoire sociale de l'ancienne Java,


particulieremen au Xeme
Siècle. Archipel, 21: 125-151.

CHARNVIT KASET-SIRI. 1969. «The statement of Chinkak on Bali”. Indonesia, VII:


83-122.

CLEMENT, P. 1948. Le forgeron en Afrique, quelques attitudes du groupe a son


egard”. La Revue
de Geographie Humaine et d'Ethnologie, 2: 35-58.

COEDES, G.1964. Les Etats hindouises d'Indochine et d'Indonesie. E. de Boccard.


Paris.

CONDOMINAS, G. 1957. Nous avons mange la foret de la pierre-genie Goo.


Mercure de France.Paris.
1980 . L'espace social a propos de l'Asie du Sud-Est. Flammarion. Paris.

CONNOR, L.,1979. “Corpse Abuse and Trance” in Bali: The Cultural Mediation of
Aggression. Mankind, 12: 10-1-118.

COVARRUBIAS,M. 1972 (3). The Island of Bali. Oxford University Press. Selangor.

COWAN,C.D.& Wolters, 0.W., eds. 1976. Southeast Asian History and


Historiography, Essays presented to D.G.E. Hall. Cornell University Press.
Ithaca.

CRUCO,K.C. 1928. Bijdrage tot de kennis van het Bausch dooden-ritueel. Disertasi.
Universite de Leiden.

CUISINIER,J. 1965. “Le rituel familial a Bali», B. E. F. E.0.., LII, 2: 415-428.

DAMAIS, L.C., 1963. “A propos de “Bedulu”, B. E. F. E.O., LI, I: 125-131.


1970. Repertoire onomastique de l'epigraphie javanaise. Ecole Francaise
d'Extreme Orient. Paris.

DANANDJAJA,J. 1980. Kebudayaan Petani Desa Trunyan. Pustaka Jaya. Jakarta.

DU BOIS,F. 1891. «Huit jours dans L’ile de Bali», Revue des deux mondes, 105: 571-
601.
DUMONT,L. 1966. Homo Hierarchicus, essai sur le systeme des castes. Gallimard.
Paris.
1978. La communaute anthropologique et ideologie». L'Homme, XVIII (3-
4): 83-110.
1983. Essais sur Une perspective anthropologique sur l'ideologie moderne.
Editions du Seuil. Paris.

DUNN,D.G. 1983. Topeng Pajegan. The Mask Dance of Bali. Disertasi. Union
Graduate School.

Eck, R.van. 1878. “Schetsen van het eiland Bali», T.N.I VII. 2: 85-130, 165-213, 325-
356, 405,-430.
1879. Idem, T.N.I., VIII, 1: 36-60,104-134,286-305,365-387.
1880. idem, T.N.I., LX, 1: 1-39, 102-132, 195-221,401-429; 2: 1-18,81-96.

ELIADE,M. 1977. Forgerons et alchimistes. Flammarion. Paris.

Encyclopaedie. 1917- 38. Encyclopaedie van Nederlandsch-lndie. Leiden (2eme


edition. 8 volumes).

FORBES,R.J. 1964. Studies in Ancient Technology (Vol. VIII). E.J. Brill. Leiden.

FORGE,A. 1978. Balinese Traditional Paintings. Australian Museum. Sydney.


1980. Balinese Religion, an Indonesian Identity., in Indonesia: Australian
Perspectives, J.J. Fox, R.G. Gamant, P.T. Mc Cawley & J.A.C. Mackie eds.,
Research School of Pacific Studies. The Australian National University.
Canberra. pp. (221-33).

FOX,J.J. ed.1980. The Flow of Life. Harvard University Press. Harvard.

FRIEDERICH, R.1847. «De Oesana Bali” III: 245-373.


1959. The Civilization and Culture of Bali. Susil Gupta. Calcutta.

GALEY, J.C. , ed. 1984. Differences, Valeurs, Hierarchie. Textes offerts a Louis
Dumont. Editions de
l'Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales. Paris.

GEDE PUTRA AGUNG, A.A. 1974 . Perobahan Sosial dan Pertentangan Kasta di Bali
Utara 1924-1928. M.A.Thesis. Universitas Udayana.
GEERTZ, C. 1959.«Form and Variation in Balinese Village Structure», American
Anthropologist, 61: 99-1012.
1961 . “Review of Bali, Studies in Life, Thought, and Ritual». B.K.f.,117:
498-502.
1963b. Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in
Two Indonesian Towns. University of Chicago Press. Chicago.
1964a. «Tihingan: A Balinese Village», B. K.I.. 120: 1-33.
1964b - «Internal Conversion in Contemporary Bali", in Malayan and
Indonesian Studies presented to Sir Richard Winsted, J. Bastin & R. Roolvink
eds., Oxford University Press. Oxford (pp. 282-302).
1966a - «Religion as a Cultural System», in Anthropological Approaches to
the Study of Religion, M. Banton ed.. Tavistock Publications. London (pp. 1-
46).
1966b. Person, Time and Conduct in Bali: An Essay in Cultural Analysis. Yale
Southeast Asia Program. Cultural Series, 14.
1972a - The Wet and the Dry: Traditional Irrigation in Bali and Morocco.,
Human Ecology, 1: 34-49.
1972b - "Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight», Daedalus, 101: 1-37
1973. The Interpretation of Cultures. Basic Books. New York.
1980. Negara, The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton
University Press. Princeton
1983. Bali. Interpretation d’une Culture. Gallimard. Paris.

GEERTZ,H. 1959. "The Balinese Village”. in Local. Ethnic and National Loyalties in
Village Indonesia, G.W. Skinner ed. Yale University Southeast Asia Studies.
New Haven (pp. 24-33).

GEERTZ, H & GEERTZ, C.1968. «Teknonymy in Bali: Parenthood. Age-Grading and


Genealogical Amnesia", in Marriage, Family and Residence. P. Bohannan &
Middleton eds.. Natural History Press. New York (pp. 355-76).
1975. Kinship in Bali. University of Chicago Press. Chicago.

GERDIN, I. 1981. “The Balinese Sidikara: Ancestors. Kinship and Rank”, B K l.. 137:
17-34.

GINARSA,I.K. 1970 . Hari lahirnya kota Singaradja. Singaraja.

GONDA,J. 1973. Sanskrit in Indonesia. International Academy of Indian Culture.


New Delhi.
1975. «The Indian Religions in Pre-Islamic Indonesia and their Survival in
Bali., in Handbuch der Orientalistik. E.J. Brill. Leiden (pp. 1-54).
GOODY,J. 1977. The Domestication of the Savage Mind. Cambridge University
Press. Cambridge. (Traduction: La raison graphique. Edition de Minuit.
Paris, 1979

GOODY,J. 1973. Ed. The Character of Kinship. Cambridge University Press.


Cambridge.

GORIS,R. 1926. Bijdrage tot de kennis der Oud-Javaansche en Balineesche


theologie. A. Vros. Leiden.
1929. «De positie der pande wesi: Korte analyse van een lontar, door de
pande wesi gebezigd., M. K., 1: 41-52. (Traduction: 1960d).
1929. De positie der pande wesi: Korte analyse van een lontar, door de
pande wesi gebezigcl., M. K., 1: 41-52. (Traduction: 1960d).
1931. “Secten op Bali”,M.K. 3: 37-53
1936. «Enkele mededeelingen nopens de oorkonden gesteld in het Oud-
Balisch., Djawa, 16: 88-101.
1937. «Overzicht over de belangrijkste litteratuur betreffende de cultuur
van Bali over het tijdvak 1920-1935», M. K., 5: 15-43.
1953. Bali. Atlas Kebudayaan. Pemerintah Republik Indonesia. Djakarta.
1954. Prasasti Bali: Inscripties voor Anak Wungcu. Masa Baru. Bandung (2
volumes).
1960a. (1935).The Religious Character of the Village Community., in Bali,
Studies in Life, Thought, and Ritual, J. van Baal ed. (pp. 79-100).
1960b (1938). The Temple System., in Bali, Studies in Life, Thought, and
Ritual (pp. 103-11).
1960c (1933). Holidays and Holy Days», in Bali, Studies in Life, Thought,
and Ritual (pp. 115-29).
1960d. (1929). The Position of the Blacksmith., in Bali, Studies in Life,
Thought, and Ritual (pp. 291-99).
1965. Ancient History of Bali. Universitas Udayana. Denpasar.
1969a (1940) .Pura Besakih, Bali's State Temple., in Bali, Further Studies in
Life, Thought, and Ritual, J. van Baal ed. (pp. 75-88).
1969b.Pura Besakih through the Centuries., in Bali, Further Studies in Life,
Thought and Ritual (pp. 89-104).

GOUDRIAAN T. & HOOYKAAs, C. 1971. Stun and Stava. Koninklijk Akademie van
Wetenschappen. Amsterdam.

GRAAF,H.J.de. 1949. Geschiedenis van lndonesie. Den Haag. 's Gravenhage.


GRADER,C.J.1937a . “Tweedeeling in het Oud-Balische dorp”., M. K. , 5: 45-71.
1937b . “Madenan (desa-monographie)». M. K . , 5: 73-122.
1960a (1939)«Irrigation System in the Region of Jembrana», in Bali,
Studies in Life,Thought and Ritual, J. van Baal ed. (pp. 267-288).
1960b (1949) «The State temples of Mengwi», in Bali, Studies in Life.
Thought and Ritual,(pp. 155-186).
1960c - (1939)«Pemayun Temple of the Banjar of Tegal», in Bali, Studies in
Life. Thought and Ritual, (pp. 187-232).
1969a - (1940)«Pura Meduwe Karang at Kubutambahan», in Bali, Further
Studies in Life, Thought and Ritual, J. van Baal ed. (pp. 131-174).
1969b - (1939)«Balang Tamak», in Bali. Further Studies in Life, Thought and
Ritual,(pp. 175-188).

GUERMONPREZ, J.F.1980. «L'organisation villageoise a Bali», in Cheminemerus,


Ecrits offerts a Georges Condominas, ASEMI. XI, 1-4: 37-54.
1985. «Rois divins et rois guerriers. Images de la royaute a Bali., L’Homme.
XXV (3): 39-70.

HALL, D.G.E.1964. A History of South-east Asia. Macmillan. London.

HANNA, W.A.1976. Bali Profile. People, Events. Circumstances. 1011-1976.


American Universities
Field Staff. New York.

HELMS, L.V. 1882. Pioneering in the Far East. London.

HILL, A.H. 1962. The Malay Keris and Other Weapons. National Museum.
Singapore.

HINZLER, H.I.R. 1975. Wajang op Bali. Nederlandse Vereniging voor het


poppenspel. Den Haag.
1976. «The Balinese Babad», in Profiles of Malay Culture. S. Kartodirjo. ed.
Dep.P & K. Yogyakarta (pp. 39-52).
1981. Bima Swarga in Balinese Wayang. Martinus Nijhoff. The Hague.

HOBART, A. 1979 . The Craftmanship, Iconography and Background of the Balinese


Shadow Play. Disertasi. SOAS. University of London.
1983a .Between Things: the Place of the Pandasar in Bali", Archipel. 25:
159-70.
1983b. The Kakayonan: the Cosmic Tree or World Mountain". Indonesia
Circle, 30: 13-16.
HOBART, M. 1975. «Orators and Patrons: Two Types of Political Leaders in Balinese
Village Society», in Political Language and Orator in Traditional Society, M.
Bloch ed., Academic Press. London (pp. 65-92).
1978. The Path of the Soul: The Legitimacy of Nature in Balinese
Conceptions of Space», in Natural Symbols in South East Asia. G.B. Milner
ed.. SOAS. London
1980a. The Search for Sustenance: The Peasant Economy of a Balinese
Village and Its Cultural Implications. UNUD. Denpasar.
1980b. Ideas of Identity: The Interpretation of Kinship in Bali. UNUD.
Denpasar.
1983. “The Art of Measuring Mirages, or is there Kinship in Bali?».
Communication presentee au Seminaire «sur les formes cognatiques de
l'organisation sociale en Asie du Sud-Est, Universite d’Amsterdam, 6-8
Janvier 1981.

HOOYKAAS, C.A. 1929. Tantri, de Middel-Javaansche Pancatantra-Bewerking. A


Vros. Leiden.
1931. Tantri Kamandaka. A.C. Nix & Co. Bandoeng.
1948. Balische verhalen van den Halve. W. van Hoeve. 's Gravenhage.
1958. The Lay of Jaya Prana, The Balinese Uriah. Luzac. London.
1964a. Agama Tirtha, Five Studies in Hindu-Balinese Religion. North-
Holland Publishing Company. Amsterdam.
1964b - «The Balinese Sengguhu Priest, A Shaman, but not a Sufi, a Saiva
and Vaisnava», in Malayan and Indonesian Studies, Essays presented to Sir
Richard Winsted, J. Bastin & R. Roolvink eds., Clarendon Press. Oxford (pp.
267-82)
1966. Surya-Sevana, The Way to God of a Balinese Siva Priest. North-
Holland Publishing Company. Amsterdam.
1973a. Kama and Kala, Materials for the Study of Shadow Theatre in Bali.
North-Holland Publishing Company. Amsterdam.
1973b .Balinese Bauddha Brahmans. North-Holland Publishing
Company.Amsterdam.
1973c. Religion in Bali. E.J. Brill. Leiden.
1974. Cosmogony and Creation in Balinese Tradition. Martinus Nijhoff. The
Hague.
1976.«The Dukuh as a Balinese Priest, a Sociological Problem». The South
East Asian Review, I. 1: 1-15.
1977. A Balinese Temple Festival. Martinus Nijhoff. The Hague.
1978. The Balinese Poem Basur, an Introduction to Magic. Martinus
Nijhoff. The Hague.
1979a. Tjalon Arang, Volkverhalen en legenden van Bali. Neulenhoff.
Amsterdam.
1979b. “Introduction a la litterature balinaise”. Archipel. Paris.
1979c - «Preservation and Cataloguing of Manuscripts in Bali». B. K. I...
135: 347-53.
1980. Drawings of Balinese Sorcery. E.J. Brill. Leiden.

HOOYKAAS-VAN LEEUWEN BOOMKAMP, J.H . 1955. «A Journey into the Realm of


Death”., B K. I . , 111,3: 236-273. 1970
1956a .Sprookjes en Verhalen van Bali. W. van Hoeve. 's Gravenhage.
1956b. «The Balinese Realm of Death», B. K. I. , 112, I: 74-87.
1956c . «The Rainbow in Ancient Indonesian Religion», 8.K.I., 112,3: 291-
322.
1957a . «The Mouse in Indonesian Folklore», B. K.113,2: 179-190.
1957b . «Upon a White Stone under a Nagasari-Tree», B.K.I., 113,4: 324-
340.
1961a . «The Myth of the Young Cowherd and the Little Girl», B.K.I., 117.

1961b. «A Balinese Folktale on the Origin of Mice», B.K.I., 117,2: 279-281.

1961c . Ritual Purification of a Balinese Temple. North-Holland Publishing.


Company Amsterdam.

HOWE, L.E.A.1980. Pujung, an Investigation into the Foundation of Balinese


Culture. Disertasi. Edinburgh University.
1981. «The Social Determination ,af Knowledge: Maurice Bloch and
Balinese Time., Man, XVI, 22: 220-34.
1983. «An Introduction to the Cultural Study of Traditional Balinese
Architecture., Archipel, 25: 137-58.

HUNGER. F.W.F. 1932. «Adat desa's en gouvernementdesas in Zuid-Bali”, K.S.,60a--


616.
1936 - «Sociaal-economische en ceremonieele geschenken op Bali”, K. r.,
XXV: 420-423.
1937. «Adatuitgaven in Zuid-Bali”, K.S., XXI: 610-640.

JACOBS, J. 1883. Eeningen did onder de Baliers, eene reisbeschrijving met ante
ekeningen
betreffende Hygiene, Land- en Volkenkunde van de cilanden Bali er
Lombok. G. Kolff & Co. Batavia.

JOSSELIN DE JONG, P.E.DE. 1977 . Structural Anthropology in The Netherlands. A


Reader. Martinus Nijhoff. The Hague.

KAMUS 1978. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I


Bali. Denpasar.
KAT ANGELINO, P. DE 1921a - «Over de smeden en eenige andere ambachtslieden
op Bail»,T.B.G.LX:
207-265.
1921b. «De ambtsvelden en de petjatoe-pengajah in Gianyar”, K. T., X:
225-265.
1921c. «De robans en parekans op Bali», K. T. , X: 590-608.
1922. «Over de smeden en eenige andere ambachtslieden op Bali”, T.B.G.
LXI: 370-425

KEMP, J.H.1983 - «Processes of Kinship and Community in north-central Thailand”,


Communication presentee au Seminaire «sur les formes cognatiques de
l'organisation sociale en Asie du Sud-Est, University d'Amsterdam 6-8
Janvier 1983.

KERSTEN, J.1970 - Tata Bahasa Bali. Arnoldus. Ende.


1978. Kamus Kecil Bahasa Bali. Singaraja (tidak dipublikasikan).

KOENTJARANINGRAT. 1975. Anthropology in Indonesia. Martinus Nijhoff. 's


Gravenhage.

KOP.N, V.E.1932. Het adatrecht van Bali. G. Naeff. 's Gravenhage.


1933. De dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan. Kirtya Liefrinck-Van der
Tuuk.Santpoort.
1960a. «The village Republic of Tenganan Pageringsingan”. in Bali, Studies
in Life, Thought and Ritual, J. van Baal ed. (pp. 301-368). Traduction partielle de
1933.
1960b - «The Consecration of a Priest», in Bali. Studies in Life. Thought and
Ritual, (pp. 131-154).

KRAAN, A. VAN DER. 1980. Lombok: Conquest, Colonization and Under


Development, 1870-1940. Heinemann Educational Books Ltd. Singapore.
1973. Descent in New Guinea: an Africanist View, in The Character of
Kinship, J.Goody ed. (pp. 35-51).

LANSING, J.S. 1974 - Evil in the Morning of the World. University of Michigan. Ann
Arbor.
1977 - Rama's Kingdoms: Social Supportive Mechanisms for the Arts in Bali.
University of Michigan. Ann Arbor.
1979. «The Formation of the Court-Village Axis in the Balinese Arts», in Art
Ritual and Society in Indonesia, E.J. Bruner & J.O. Becker ed., Ohio
University. Athens (pp. 10-29).
LEKKERKERKER, C. 1920 - Bali en Lombok, overzicht der litteratuur omtrent deze
eilanden tot einde 1919. Blankwaardt & Schoonhoven. Rijswijk.
1923 - «Het voorspel der vestiging van de Nederiandsche macht op Bali en
Lombok». B. K. L , 76: 198-322.
1926.«De kaastenmaatschappij in Britisch-Indie en op Bali», Mensche en
Maatschappij, H: 175-213,300-334.

LEVI-STRAUSS, C. 1967. Les structures elementaires de la parente. Mouton. Paris


1983. «Histoire et ethnologie», Annales, 38 (6): 1217-1231.
1984. Paroles donnees. Pion. Paris

LEFRiNCK, F.A. 1877. «Nota betreffende den economischen toestand van het rijk
Bangli, eiland
Bali», T. B.G. , XXOV: 180-200.
1882-89. «Noord- Balische desa-monographieen». in Adatrechtbundel XX
XVII (pp.1-345).
1927. Bali en Lombok: Geschriften. J.H. de Bussy.. Amsterdam.

LOMBARD, D. 1982. «La mort en Insulinde», in La mort, les morts dans les societes
anciennes, G.
Gnoli & J.P. Vernant. Cambridge University Press. Cambridge (pp.
483¬505).

MANGUIN, P.Y. 1976«L'artillerie Legere nousantarienne. A propos de six canons


conserves dans les
collections portugaises», Arts Asiatiques XXXII: 233-254.

MAHAUDIANA. 1968 - Babad Manggis Gianyar. Gianyar.

MERSHON. K.E.1970. Five great elementals. Pancha Maha Buta», in Traditional


Balinese Culture.
J. Belo ed. (pp. 57-66).
1971. Seven plus Seven mysterious life rituals in Bali. Vantage Press New
York.

NORDUYN, J.1978. “Majapahit in the fifteenth century», B. K.I, 134: 207-274.

O' CONNOR, S.J.1975, “Iron working as spiritual inquiry in the Indonesian


Archipelago», History of
Religions, 14, 3: 173-190.

OSSENBRUGGEN, F.G.E. 1905. “Over het primitief begrip van grondeigendom.


getoest aan de hieromtrent heerschende begrippen bij de Chineezen.
Inlanders en eenigt andere volken en volkstammen», De Indische Gids,
XXVII: 161-192,360-392.
1915 - “Het primitieve denken, zooals dit zich uit voornamelijk in
pekkengebruiken op Java en elders: Bijdrage tot de prae-animistische
theorie” , B. K.I., LXX: 1-370.

PELRAS, C. 1977 - “L'espace social: reseaux de relations. Note sur les contributions
de Georges Condominas et Christian Taillard», ASEMI, VIII (2): 183-185.

PICARD. M. 1984. «Tourisme Culturel et Culture Touristique”. Rite et Divertisement


a Bali.
Disertasi de 3eme cycle. Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales.

PIGEAUD, T.G.T.1921. De Tantu Panggelaran, een Oud-Javaansch prozageschriJ


uitgegeven,
vertaald en toegelicht. H.L. Smits. 's Gravenhage.
1960a. Java in the 14th Century. The Negara-Kertagatna by Rakaw
Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. Javanese Texts in Transcription.
Martinus Nijhoff. The Hague.
1960b - Java in the 14th Century ... .Notes on the Texts and Translations.
Martinus Nijhoff. The Hague.
1960c . Java in the 14th Century ... Translations. Martinus Nijhoff. The
Hague.
1962. Java in the 14th Century ... Commentaries and Recapitulation.
Matinus Nijhoff. The Hague.
1963. Java in the 14th Century ... Glossary, General index. Martinus
Nijhoff. The Hague..
1967. Literature of Java. Synopsis of Javanese Literature 900-I900 A.D.
Martinus
Nijhoff. The Hague.
1968. Literature of Java. Descriptive List of Javanese Manuscripts.
Martinus Nijhoff. The Hague.
1970. Literature of Java. Illustrations and Facsimiles of Manuscripts, Maps,
Addenda
and a General Index of Names and Subjects. Martinus Nijhoff. The Hague.
1980. Literature of Java. Supplement. Leiden University Press. Leiden.

POERBATJARAKA, R.Ng.1926. “ De Calon Arang”, B.K.I.. 82: 110-180.

RAMSEYER, U. 1977. The Art and Culture of Bali. Oxford University Press. London.
REID, A. & MARR, D.1979. Perception of the Past in Southeast Asia. Heinemann.
Singapore.

RASSERS. W.H.1960. Panji, the culture Hero: a structural study of religion in Java.
Martinus Nijhoff. The Hague.

ROBSON, S.O. 1971.Wangbang Wideya, a Javanese Panji Romance. Martinus


Nijhoff. The Hague.
1972. “The Kawi Classics in Bali”. B.K.I., 128: 308-329.

SARKAR, H.B.1934. Indian Influences on the Literature of Java and Bali. Greater
India Society.
Calcutta.

SCHWARTZ, H.J.E.F.1900. “Anteekeningen omtrent het landschap Gianjar”, T. B. B.,


XIX: 166-189.

SOEDIATMOKO & ALI, M., RESINK.G.J.,MCT. KAHIN, G., ED.1965. An Introduction


to Indonesian Historiography. Cornell University Press. Ithaca

SOEKARTO K. ATMODJO, M.M.1972. “The Charter of Kapal”, B.K.I., 128: 257-80.


1975. Some Aspects of Social and Governmental Structure during the
Reign of
King Anak Wungçu in Bali", Pengkajian Budaya, I: 24-39.

SOLYOM, G. & SOLYOM, B. 1978.The Worid of the Javanese Keris. East West
Center. Honolulu.

STEIN CALLENFELS, P.V. VAN. 1926, “ Epigraphica Balica I”. V. B.G.. LXVI: 1-70.
1948. “De rechten der vorsten op Bali”. Indonesie, 1: 193-208.

STUART FOX, D.J.1979. Bibliography of Balinese Culture and Religion. KITLV/LIPI.


Jakarta.
1982. Once a century. Pura Besokih and the Eka Dasa Rudra Festival. Sinar
Harapan
& Citra Indonesia. Jakarta.

STRATHERN, A. 1973. «Kinship. Descent and Locality: Some New Guinea


Examples»,in The Character of Kinship, J. Goody ed. (pp. 21-33).

STUTTERHEIM, W. 1925 . “Een oorkonde op koper uit het Sineasarische», T. B.G. ,


LXV: 208-281.
1935. Indian Influences in Old-Balinese Art. The India Society. Lorjon.
SUGRIWA, I.G.B. 1957. Babad Pesek. Bali Mas. Denpasar. (Traduction en
indonesien du MS Kr 963).
1958. Pracasti Pande Bali Mas. Denpasar. (Terjemahan bahasa Indonesia
dari MS Kr 963)
1959. Sutasoma Bali Mas. Denpasar. (22 Buklet, Teks dan terjemahan
bahasa Bali dan
bahasa Indonesia).

SUKAWATI, COKORDA G.R.1941 - “Nijverheid en kunstnijverheid op Bali”, Djawa, 1:


1- 40.

SWELLENGREBEL, J.L. 1936. Korawasrama, een Dud-Javaansche proza geschrift.


C.A. Mees. Santpoort.
1947. Een vorstenwijding op Bali. E.J. Brill. Leiden.
1948 - Kerk en Tempel op Bali. W. van Hoeve. 's Cravenhage.
1960. «Introduction., in Bali, Studies in Life, Thought and Ritual. J. van Baal
ed.(pp. 3-76).

TAILLARD, C.1977. «L'espace social: systeme de relations”. Note sur la contribution


de Georges
Condominas, ASEMI, VIII (2): 179-182.

TAN, R. Y.D.1967. “The Domestic Architecture of South Bali”. B. K. I. , 123: 442-


475.

TRAUBE, E. 1980. “Mambai Rituals of Black and White”, in The Flow of Life. J J. Fox
ed.. (pp.290-314).

TUUK, H.N. VAN DER. 1897-1912 .Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenboek.


Landsdrukkerij. Batavia (4 volumes).

TUUK, H.N. VAN DER & BRANDES, J.L.A. 1885.”Transcriptie van vier Oud-
Javaansche oorkonden op koper. gevonden op het eiland Bali», T. B.C. ,
XXX: 603-624.

VEYNE, P.1983. Les Grecs ont-ils cru a leurs mythes? Editions du Seuil. Paris.

WALLIS, R.H. 1979a. “Balinese Theater: Coping with Old and New. in What is
modern Indonesian Culture» G. Davis ed. Ohio University. Southeast Asia
Program. Athen (pp. 37-47).
1979b - The Voice as a Mode of Cultural Expression in Bali. Disertasi
University of Michigan.

WARD, J.H.1973.Phonology, Morphophonemics and the Dimensions of Varition in


Spoken Balinese. Disertasi. Cornell University.

VICKERS, A. 1982. “When is a Text not a Text?: The Malat and Philology”.
Communication
presentee pour la 4eme conference de l'Association pour le Arts de l'Asie
du Sud-Est. Australie.

WILDER, B. “Kinship, Community and the Structure of Pahang Malay Kindreds».


Communication presentee au Seminaire “sur les formes cognatiques de
l'organisation sociale en Asie du Sud-Est.. Universite d'Amsterdam 6—8
Janvier 1983.

WIRZ, P. 1928. Der Totenkult auf Bali. Stuttgart.

WORSLEY, P.J. 1972 .Babad Buleleng. A Balinese Dynastic Genealogy. Martinus


Nijhoff. The Hague

WOODEN, F.1968. (1935).Types of Social Structure in Eastern Indonesia. Martinus


Nijhoff. TheHague.

YOUNG, E.1982.«The Tale of Erlangga: Text Translation of a Village Performance in


Bali”, B. K. L ,138: 470-491.

ZERNER, C.1981. «Signs of the Spirits, Signature of the Smith: Iron Forging in Tana
Toraja”, Indonesia, 31: 89-112.

ZOETE, B. de & SPIES. W. 1038. Dance and Drama in Bali. Faber & Faber. London

ZOETMULDER,P.J. 1968 «La religion a Bali., in Les Religions d'Indonesie. Payot.


Paris. (pp. 346-374)
1974. Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature. Martinus Nijhoff.
1982. Old Javanese-English Dictionary. Martinus Nijhoff. The Hague (2
volumes).

ZURBUCHEN, M.S.1981.The Shadow Theater of Bali: Explorations in Language and


Text. Disertasi. University of Michigan.
APENDIKS A

NASKAH BALI SEJARAH ASAL USUL PANDE SERONGGA263

Naskah asli dipresentasikan dalam bentuk sebuah lontar ditulis dalam aksara bali. Naskah tersebut
adalah milik Pande Besi yang tinggal di Serongga Kelod dan dipinjamkan ke saya pada Pebruari 1981
oleh I Pande Nyoman Surawan, yang saya tujukan seluruh terimakasih saya secara khusus. Naskah ini
diedit dua kali sebab ia bukanlah milik dari koleksi yang merupakan naskah Bali, yang hampir
seluruhnya, belum diedit. Dalam arti lain, ini adalah naskah asli karena merupakan satu jenis yang
tampaknya jarang. Setengah popular setengah sastra, naskah ini “melekat” manfaat pada sebuah
realitas budaya Bali dan pada sebuah sejarah peristiwa yang karena “alasan grafis” menjadi kabur, juga
bahwa kita dapat melihat dalam kasus naskah pendirian kelompok yang bergelar Pande. Untuk
transkripsinya, digunakan, pada kasus ini, pertemuan dari Kamus Bali-Indonesia (1978).

PAKAWIT PANDE TEGAL SUCINE MAGENAH RING DESA SERONGGA

Puniki paingetan kayang wekas saking pakardin ipun I Dugdug muah I Gera malih wénten
kaponakan ipun mawasta I Marga. Ipun sareng nakénang ring pangodah ipuné buat indik
Yang-Yang kaluuran ipuné ring nguni.

Ananging geng ing ampun ring Yang-Yang kaluuran sami, ulun anambat nama ning
kaluuran, tan kena ulun ring ila-ila tulah sarik, luput ing upadarwa Sang tabéya nama Siwaya,
swastiastu awignamastu nama sidiam. Moga Sang kaluuran awéh nugraha, dirga yusa paripurna,
mangkana pamintasih Sang ngulun ri Sang kaluuran.

Sapuniki critané nguni duk jerih tepi siring Baline kangin krana jerih nakutin suaran
bebendé ring prau, katah desané sapunika rarud pacalagcag, kadadosan rauh ring désa Tlepud
wengkuan Tegalalang sareng roras kuren. Wénten saking Sukadana muah Bugbug, Métra.

263
Naskah ini dipresentasikan disini untuk pertama kali, sedangkan terjemahannya
(Cj. Apendiks B) telah dipublikasikan dalam Archipel 25 (1983).
Sareng roras kuren punika pinaka prajuru, tan lén I Nengah Bedil saking Sukadana pecak.
Sampun kasuén irika wenten manah I Nengah Bedil pacang ngwangun pura pasimpangan Betara
ring Gunung Basukih, anut sami, sampun puput pura punika, kéwanten turus idup tekéng
panyengker, puput rauh ing makekelud.

Dados mawetu manah keweh sareng sami réh tan wénten prabot pamacul muah
sikepang mayuda. Raris I Nengah Bedil manunas ica ring Pura Tengah punika, budi déna
ening tur mawida widana. Yan mungguing pinunas I Nengah Bedil mangdé wénten
pandé rauh. Critanan ring désa Srokadan wengkon ing jagat Bangli, wénten pande pradnya
ring gaé. Wiréh panitah ing Hyang, jeg kadi kaselir manah ipun, raris mapiorah ring mémé
bapa muah ring nyama sami, jumah apang becik, tiang ngalih karya ka gunung. Masaur
meme bapa tekeng nyama sami, nanging yan saking jati muah nora wenang tali ring
tingkah, paweh ipun bapa. Yén mungguing i pandé punika sampun pisan adung lanang
isteri, malih mapangantén wau-wau. Jeg mamargi das rahina lanang isteri, mamakta
prabot pandé rangkep tekéng pangububan. Critanan I Nengah Bedil samput puput
rahina panunas icané, taler tan wentén ciri yan pangidep ipun I Nengah Bedil, malih
ngawit manunas ica saking rahina tutug ing wengi, sewusan mapeningan malih
ngredana, taler ring Pura Tengah raris mangredana teher suécan Ida Sang Hyang Widi.
Sawétara dauh tiga rauh i pandé lanang isteri sregep bebaktané, katah anak mamanggihin,
tan wénten matakén wiréh déwék tuara bisa ngraos. Gelis rauh ring jaban Pura Tengah
punika, raris i pandé mararian. Katah rencang dane I Nengah Bedil nyambatin dane
mangde wusan mangredana, puniki wenten pande rauh tur mamakta prabot pande
magenep. Irika I Nengah Bedil tumuli wasan, gelis dane ka jaba angenurasa ka la wan
sira pande: inggih Jero Pande, pidaging tiang nawegang pisan, puniki Jerone saking
dija, tnalih palungane pacang kija? Masaur i pande punika: inggih, tiang wit saking desa
Srokadan, yan mungguing pangungsin tiange wantah ka desaTlepud. Raris rnasaur 1
Nengah Bedil: aduh sadian tiange, wit tiang saking nunas ica ring pura iriki, mapinunas
rnangde wenten pande rauh, kapinanggen oinunas tiange; inggih Jero Pande,
sampunang panjang raosan. Masaur i pande punika: inggih tiang taler nunasang
puniki krone sapa sira, yan sudra kalawan mabangsa singgih, malih sami-samine?
Mcngucap I Nengah Bedil: Yen iriki sami tan wenten mabangsa singgih, tiang iriki nitah
krama desane driki, mungguing tiang mawasta 1 Nengah Bedil. inggih Jero Nengah,
tiang nora rulak ring raos Jero Nengahe. (ring Jero Pande mantukan; wih tc cai pada
aba prabot danene Jero Pande mulihan jumah genahang, sampun telas kabakta. Jero
Nengah raris budal sareng Jero Pande lanang isteri. Sampan ngwehang pasaguh, raris
mangucap I Nengah Bedil ring bekelane: ne nyanan petenge apang teka ajaka ngraos.
Masinggih bekelane.

Risampune was manamiu I Pande, pada teka bekelane. Mangucap I Nengah


Bedil ring i pande: inggih Jero Pande, sapunapi antuk mapikayun mangkin mangde
nyidayang prabot akeh. Manimbal i pande: yen kapatur arur flange, besi muah waja
malih kikir rumbas, besi waja apang katah. Irika I Nengah Bedil ngengkenang luas
ngetak jaran kekalih, sampun nzamargi. Wenten nyujukang prapen ring jaban pura
punika, gelLs puput. Sesampune tigang diva rauh besi waja punika, raris nunas ica ring
pura sareng sami, rauhing i pande ngba-Icti mangda karayuan pakaryane, raris makarya,
mungguing pangayah katah. Sami pada kapitenzes makaryane maendahan besine; wenten
ripis cangker; tigang diva puput serampang limolas. Pangucap I Nengah Bedil ring i
pande: Jero Pande, ane berijang ngiring ngwangunang pajenengan. Masaur i pande:
inggih Jero Nengah, napi pajenengone kadadosan antuk tiang ,ignzarginin muah
ngmanahin tiang nora tulak. Mangucap I Nengah Bedil: pacang ngwangun bedil
pajenengan. inggih tiang ngiring. Sampun dinane benjang, raris makarya upakara terep
sami, dadi kasaraswatenan tingkahe makarya. Tigang dina puput (?) alit asiki, sampan
pinasupari ring pura saha widi widana. Kadadosan wenten manah pangabih -
pangabih I Nengah Bedil punika pacang negarang pajenengane, wenten kanten kedis
cangak ring kayune ageng, rarisdagingin obat tur kapatitis paksini punika. Wau masuara
wiakti makerug suaran pajenengane, jeg rauh paksi cangak punika ngbetbet, keni kadakep.
Yan pangidep I Nengah Bedile muah pangabih sami, tuah nyiriang kasiden pinunage.
Sampun mandel pisan sareng sami.

Kadadosan katenger saking desa Timbul muah Kedisan. adung pikayun desa
punika pacang mamaling bedil punika, sampun keni kamaling. Dadianya tan purun
mangraksa, asing genahin geseng. Malih wenten anak saking Timbul kahyangan apang
aturang pajenengan Tlepude ka Pura Tengah. Yan tusing nyak ngaturang dinane jani, duka
Ida Betara ring Pura Tengah apan Ida Betara ring Gunung Basukih rumaga Betara ring Pura
Tengah. Tan urung basmi denira. Dados kaancuk olih paangan nyuh sudamala madaging
api latu, nora karasa kebus Sang katapak punika; dados tneweh pangrasane ring Timbul
muah Kedisan, nyanan nglingsirang Man aturang.

Critanan ring desa Tlepud sami sedih mamangenang reh pajenengane kat, kocapan
ring Kedisan dadi masaur i Pantie: inggih Jero Nengah, yan sampun sareng-sareng mapaksa,
tiang ngiring. Masaur I Nengah Bedil: mangkin durnun van manah tiang, van gumanti
waneh Ida Betara Sesuhunan mamanjakang tiang sareng sami, banggiang. Tan surud tiang
ngmanahin. Risampun lingsir tandua rauh anak saking Timbul muah Kedisan mamakto
pajenengane tur kalinggihang ring Pura Tengah. Dadi katah manelokin minakadi I Nengah
Bedil muah Para pangabih. Serauhe ring pura mangucap Ki Prajuru Timbul Kedisan: inggih
Jero Nengah, pidaging ampura ugi tiang, kadadosan purun prasangga ring Widi malih ring
krone sareng sami, sapunapi nggih ledang tan ledang? Masaur I Nengah Bedil alus
pangucape reh marasa kaisisan: inggih Jero Wayan Timbul muah Kedisan, wireh tiang
ngandel Sesuhunan tiang, punika awinan tiang wenten purun ring Widi. Yan mungguing
manah tiang saking hang, makanti ring Jero Wayan. Manimbal I Prajuru Timbul muah
Kedisan: yan mungguing ane kawidi, tiang sampun manunas ica pisan, tiang durung puput
pinunas ican tiange. ane benjang tiang malih mriki maturan paneduhan. Saure I Nengah
Bedil: inggih, tiang saking hang pisan. Raris Prajuru Timbul Kedisan amit budal. Critanan
dinane benjang risampune lingsir rauh banten saking Timbul muah Kedisan, luire banten
paneduhan seduluran, majauman solas wadah. Katah Prajuru Tlepude irika minakadi I
Nengah Bedil. Pataken I Prajuru Kedisan: inggih Jero Nengah, sapa sira patut sumengun
Ida Betara iriki? Masaur I Nengah Bedil: iniggih tiang puniki Jero Nengah saksiang
aturan tiange. luire banten paneduhan malih jauman makaduluran ngantukang Ida
Betara ka palinggihe mula. Inggih kiwanten sareng sampun sami nengga, raris
mangredana, sarwi manyaksiang banten punika. Risampune puput kaatur, dados wenten
raos I Prajuru Timbul muah Kedisan mangajakin Prajurune ring Tlepud pada manyaksiang
raga, nora dadi mamusuh-musuhan, mangde puput makanti. Mangda Ida Betara iriki
nodya. Pupal pada suka. Mangucap I Nengah Bedil: inggih Jero puniki bantene
sampun prasida puput kaatur, mrika bakta budal. Masaur Prajuru Timbul muah Kedisan:
sapuniki Jero Nengah, yan mungguing aturan tiange, wantah kapatut budal, puniki tiang
gumanti ngaturang ring Jero Nengah mangde wenten runase ring pan jake iriki; amunika
puput tiang pamit. Risarapune budal Timbul muah Kedisan, kari lungsuran jauman lelima.
Wadah ring suci asiki. Raris mangucap I Nengah: wih, orahin timpale makejang nunas
lungsuran ka Pura. Sami rauh, sami polih lungsuran. Irika I Nengah Bedil ngraos ring krama
desane: ne bin mani ngayah ka pura lakar makarya pakeludan di Pura. Munggiing krama
desane nora tulak, dadi sami mawetu manah liang. Ri sampun dinane benjang, tedun krama
desane makarya banten pakekeludan, gelis puput raris kapuja untuk I Pamongmong
seantuk ane kaicalan pajenengan: sampun rauh malik.

Ring sampune puput karya pakekeludan punika, wenten raosdane I Nengali


Bedil ring krama desane: kenken baan jani marep ring dane Jero Pande. Sareng sami
misarayang raos dane I Prajuru: nah, lamun keto. Maucap I Nengah Bedil ring i Pande
punika: inggih Jero Pande, awinan tiang maumang desane, seamukan Jerone sueca
kalangkung-langkung, gumanti Jerone ngicen mreta. Jero Pande maka dadi ramarena
desane iriki, ne mangkin wenten ganjaran tiang ring Jero Pande, carik asikut magenah
dauh Tlepud punika, jinah limang ringgit, maweweh anak luh asiki. Kadadosan masaur
i pande: inggih Jero Nengah, awinan Jerone ngicen carik mwak j inah dening bang
sampun puput nyaturateng ring Jero Nengah yan malih tiang nunas carik momo
kalintang tiang. Manimbal I Nengah Bedil :Jero Pande sampunang asapunika yen
punika maw ganjaran desa sakewanten tiang ngraosang, nora wenang tulakang
ganjaran punika malih carik ganjaran-punika tan wenang ucah-acih, sakewanten kari
Jerone magenah ring wengkon ing Tegalalang, Jerone nguasa carik punika sinema-
sinemu. Raris kasaksiang ring Ida Betara di Pura Tengah, krama desane sa ring
ngiringang.

Wenten malih raos I Prajuru ring i pande: ne benjang pacang ngwitin makarya besi
tumbak, inggih. Sampun dinane benjang raris makarya, tigang dina puput besi tumbake
limolas; malih makarya arit caluk, tigang dina puput caluke limolas dening
pangayahe katah, wenten mangebugin, wenten mangikir. Malih wenten raos I Prajuru
ring i pande: nggih Jero Pande, ane tigang dina punika kocap dewasa becik anggara
paing nuju tanggal ping kutus, ayu mangae keris. Nggih ri sampun anggara punika epot
dane I Prajuru katah makarya banten panunas icaan pacang nunasin Ida Betara
Pajenengan, puput bebantenan punika raris madabdab makarya keris; dadi i pande
kasaraswatenan pisan, kalih dina puput keris punika raris pinasupati. Duk punika wenten
tambulilingan matinggah ring pucuk keris punika, enyag manados minyak tambulilingan
punika, sing ngantenang pada ngawok, wantah maciri pisan pajenengane.

Ri sampun kasuen I Nengah Bedil mawetu budi momo tur ngarah


bekelannyane apang sregep magegawan lakar nguug Pujung Anyare; sampun
pajenengane kali kaagemang kari ring palinggihan. Raris kauug Pujung muah Kebon
Jaka tan purun mapaksa, kaon sepisan. Sampun kagenahang pacek pakukuh ring Pujung.
Dadi ta wenten manah i pande dados pacek pakukuh ring Pujung; ledang I Prajuru tur
dane ngarah desane ring Tlepud ngembus prapene di jaban purane tur jujukang di
Pujung. Critanan gelis puput mungguing kubu muah bale paturon sampun magenep
saking patulung dane Jero Nengah muah saking Pujung katah matulung. Sampun ipun
i pande jenek ring Pujung sekurenan, dados wenten manah Prajurune ring Pujung i pande
punika kawehin anak luh. sampun sami adung. Sampun kasuen magenah ring Pujung,
kurenan i pandene makatetiga sampun pada ngelah pianak. Kurenane mula ngelah
pianak paling kelih, I Bongkok, I Bolbol, I Bugbug, I Tarak, I Rarud, I Lulu, I Metu.
Kurenane saking Tlepud ngelah pianak I Temelung. Kurenane saking Pujung ngelah pianak
I Srengga.

Kocapan ring Tlepud ne mangkin, tan len dane I Nengah Bedil wireh jagate
empet sami keweh pacang ngaturin pasesiwan, dadi ta dane I Nengah Bedil ngenkenang
luas nades ka Gunung Agung mapinunas pasesiwan; sampun segenep ing upakara,
critanan mamargi sareng kalih. Serauhe irika raris maturan banten panunas icaan,
dadi labda karyane wenten panugraan Hyang, kaicen wayang lelima luir wayang
punika, Darmawangsa tembaga, Bima besi, Arjuna emas, Nakula Sahadewa selaka. Yen
mungguing panugraane. ene suba anggon pasesiwan, kewala niasedana banten suci
genep yeh asibuh, wayange ento wasuh wajikin,puput panugraan manirane. Raris matur
bakti mapamit, kadadosan tan pangitung pamargine, kamben sabuk nganti setset serauhe
ring Pura Tengah, raris kapendak. Dadi mapikayun bale palinggih barak sampun kaadyanin.
lrika I Nengah Bedil pacang nyaratang ngaryanin pura. Raris dane ngonkon bekalan
danine karaos ring i pande punika, serauhe drika tumuli mapajar: nggih Jero Pande,
wanten raos dane Jero Nengah ngaturin Jero Pande, ne benjang pacang makarya patuk
apang katah, nggih sapunika. Sampun dinane benjang lunga dane Jero Nengah tur mairingan
pangayah pande, raris makarya. Wenten raos demi I Nengah Bedil: puniki Jero Pande,
tiang nunasin jerone patuk selae. Yan kari besine Jero ngambil, malih wenten atur tiang
mangde jerone srek nabdabang pura pasembahan. Tiang ngluputin Jerone ngayah ring
krama pura limolas dina. Masaur i pande: bas momo tiang, Jero Nengah, uahin malih wireh
desane pacang magetek makarya. Adasa dina Jero Pande polih luput saking makaryane
ring Pangawit. Nggih, raris budal dane Jero Nengah. Crita makarya patuke tigang dina,
puput patuk selae; besine kari masisa akidik, pajar Sang ngayahin makaryane, puniki
Jerone ngambil tiang nguningang ring Jero Nengah; sampun kauningang. Raris i pande
punika wireh pianake sampun pada kelih, raris makarya patuk, benjangane raris ngandik
paras sareng tiga, I Bongkok, I Temilung muah I Srengga, dados tan polih paras telas elung.
Raris katunasang ring kahyangane, wenten baos inan parase penekang malu. Wireh tan
uningin punika malih ngandik paras sareng tiga. Dadi to I Srengga mamanggihin paras
ngempulukan kaki topo tur madaging besi, raris babakta parase punika ka pura, tur
kacongcong ngrereh besine punika; keni basin tumbak canggah lima, punika kawastanin
bajra mangge pangawin. Sesukat punika ngempug paras nora elung-elung, akeh wenten
paras. Wenten nembok ring panyengkere, wenten ngrereh paras. Gelis puput
panyengkere, pajenengpajenengan raris kawangunang katah patulunge, sesampune
puput palinggih-palinggih sami.

Critanan mangkin I Bangkok nyuang anak luh ka Jasan, kaluuran I Krupuk. I


Bolbol nyuang anak luh ka Bon Jaka, odah I Genyem. I Bugbug nyuang anak luh ka Pujung,
sorah I Geban. I Tatak nyuang anak luh ka Belong, odah I Mangku Belong. I Rarud nyuang
anak luh ka Tegal Suci, soroh I Bakat. I Lulu nyuang anak luh ka Sapat. I Metu nyuang anak
luh di Pujung, soroh I Jangkreng. Malik nyama len mime, I Temelung, nyuang wick luh Pande
ka Srokadan. Malik len mime I Srengga nyuang di Pujung Kelodan. Sampun pada ngelah
pianak, I Bongkok manak I Jering, Ni Badeng. I Bolbol manak - Ni Muklu. I Bugbug
ngumbang ka Mawang, katah pianak. I Tatak manak I Grundung. I Rarud manak luh-luh, Ni
Gemplek, Ni Rembun, Ni Rompiok. I Lulu manak I Muring. I Metu tan manak, ngidih Ni
Bangkig ngelah pianak I Klepus. Len mime, I remelting manak I Urip. Saneh mime. I
Srengga manak I Eaeng, I Glolok, I Gonong, I Piret.

Critanan Ida Cokorda Anom malinggih ring Tegal Suci pintal baktine ka Gianyar.
Dadi Cokorda nyepih-nyepih panjak ring kuuban Sebatu muah Tara - mangda wenten
pakandelan satak. Risampune puput raris kauug antuk Gianyar. Ida. Cokorda tan purun
pamaksa dadi kaon sepisan. Panjake keh kairid pacang kagenahang ring Tohpati. Wau
rauh ring Gianyar dados Ida Anak Agung ring Srongga nunas i pande punika kalugra ring
Gianyar. Mungguing i pande punika I Bongkok, I Tatak, I Rarud malih lian meme I
Temelung, punika pecak magenah ring Tegal Suci, inggih titiang seiring magenah ring
Srongga Kelod sareng pianak somah. Ri sampune mategtegan I Bongkok muah I
Temelung nyapnyap ring manah reh pasungsungane sampun mangadeg. Dadi
masangketa pajalane ka Pujung apang enu peteng. Risampune mamargi sampun rauh
ring Tegalalang tanggu balerne, sampun endag surya. Dados wenten kapanggih
tapel tetiga malih keris mawurangka malih pratima emas gampel magelut, makebat
kasa anyar, makekereb wastra poleng ring benangan jaban pamerajane. Raris
kasambut kapundut sarwi mamargi. Dados wenten pangandeg anak saking Tegalalang: .
Jero, sampunang mamargi, becik jantos dumun. Gelis anake punika nguningang ka puri. Buat
pawecanane ring puri ,jalan tunasang pedekang ditu, upakara uli puri. Crita gelis
puput dedukun rauh raris mamedek. Baos ring papedekan tuah tusing ada kapaica dini,
tuah kapaica ring sinyambut. Yaning ento tapel Anomane makatetelu apang aturang ka
Pura Tengah. Yen kerise muah emase gampel magelut kapaica di puran pandene
wenang dadi panyungsungan pande, puput amunika.

Raris i pande sareng kalih mamargi mangungsi ring Pura Sesuhunan ipune.
Serauhe drika akeh panyamaan ipune ka pura, sami pada matakon apa ene kapundut.
Masaur I Bongkok., muah I Temilung: ene nyama makejang, kenken baan jani ene tiang
polih nyambut keris muah pratima emas gampel magelut; yen kabaos di pasembuan di
Tegalalang tuah Ida mapikayun apang dadi pasembahan i pande. Yaning tapele ane
apang aturang ring Pura Tengah. Keto raose di papedekan. Nah, yening beneh munyin
tiange melah tunasang dini di pura. Tiang nganginang jani ka Tlepud mamundut
tapel Anoman muah Mredah, Twalen, makekereb wastra pol eng rar - is mangojog
ka Pura Tengah. Serauhe ring Pura Tengah, katah pada manelokin makadi dane Jero
Nengah.Angucap dane Jero Nengah: nggih Jero Pande, dija keni puniki? Masaur I
pande sareng kalih: nggih Jero Nengah, puniki tapel keni sambut tiang ring jaban
merajane tanggun Tegalalange kalerne, kapasembuang ring pamerajan punika
wantah kapaica ring Pura Tengah, pidaging jerone mongkin. Yan kapatut atur tiange
becik tunasang ring pura iriki. I Nengah. Bedil mamatutang pisan gelis dane
ngenkenang makarya banten pamendak muah banten pamedek. Sampun puput banten
punika raris nunasang, raose ring papedekan wantah Ida Betara ring Gunung Agung
mapaica tapel wayang wong, nah ene sambungin apang genep. Inggih, titiang ngiring.
Wusan mamedek wenten paica panamiu i pande. I pande nunas sarwi, maparnit;
kaucap I Nengah Bedil: nggih mamargi Jero Pande pang becik.

Serauhe ring Pujung napetang sampun mamedek ring pura, pateh baosi tuah
Ida Betara ring luur mapica pratima apang ada sungsung di kahyangane pandene, puput
amunika. Dadi mangucap i pande lingsir: nah cai-cai makejang sedeng dabdabang awak
caine, I Bongkok tunasang pawintenan, buine yan tuah nyidayang ngaturan sesapuh
muah ngenteg linggihan, nanging budi astiti anggoang. Dadi ada raos di Pujung: nah,
beli kema mulih ka Srongga itungang jumah, yen nyidayang, celeng aukud maji nem
tali, boas pada limolas patan; pipise ento beliang bibek aji telung tali, beliang taluh aji
siu. Katari sami. nah nyidayang amontone. Critayang ring Pujung buat panugraane di
Pura Tengah ring purnamaning sasih kapate ayu amuja Dewa, mungguing dina punika
malih limolas dina, prareman nyamane jalan saratang buat pangambilan karyane,
malik sumpah, .mlaspasih, malih masesapuh, ngenteg linggih. Malih pitung dina
karya, wenten paneteg saking Pujung ka Srongga: kenken beli-beli pada nyidayang buka
reraosane jumah kaja? Nyidayang amonto, lamun keto apang kema ngajanang bin
pitung dina ngalingsirang luh muani ajak makejang pasuane aba makejang; beli bakal
kalahin tiang. Sampun dinane karepang mamargi luh muani saha bebaktane;
sampun ring dina pacaruane muah mlaspasin, rauh ring karya masesapuhane muah
pangenteg linggihan, mungguing bantene ka luur amadya, buat panglusure asedengan.
Dening manahe sareng sami astiti bakri, dadi maweni manah liang. Risampune wus
manyimpen raris mangepah lungsuran, wenten suaran I Prajuru , buat makemite abulan
pitung dina depang nyamane dini. Puput punika.

Yan i pande ane ka Tlepud ring nguni kapernah ka pekak antuk I Krewag, I
Rekon, I Dabdab. I Krewag manak I Geger, I Pageh. I Rekon manak I Genjot, I Gejir. I
Dabdab manak Ni Rupet. Ring Pujung I Bolbol manak luh. I Dyangi anak muani ka Kebon
manak . Panak punika I Minyeng, I Mikleng, I Kunyuk, I Puji. I Minyeng manak I Slebsek t I
Madel. I Milkleng manak I Alon, I Dabdab. I… manak I Alon, I Dabdab…. manak I Lauh,
Ni Lusih, I Lali, I Puji ngidih Ni Lusih. I Lulu manak I Muring. I Muring manak I Glimbeng,
I Gliwir. I Glimbeng, I Gliwir kesah ka Pirian. I Glimbeng manak I Wirya. I Gliwir manak I
Krebet. I Metu ngidih kabanih ngelah pianak I Klepus. I Srengga manak I Edeng, I Glolok, I
Gonong, I Piret. Ne ka Srongga I Bongkok manak I jering, Ni Badeng. I Jering manak Ni
Kowat, I Kanta, I Mutran. Ni Kowat kabanih dadi men Rangkus. I Kanta manak I Redut, I
Redat, I Pageh, len meme I Pineh, I Silur, I Glebag. I Mutran manak Ni Itep. I Ruma. I Tatak
manak I Grandung, Ni Lantas kabaneh dadi dadong Giret. I Grundung manak i Monggol. I
Monggol manak I Mintar, Ni Molog kabaneh dadi men Londos, muah Ni Remi kabanih
dadi men Ingihan, malih I Taku. Malih I Monggol nyuang anak luh adin I Linggar,
manak Ni Wesni, I Tambun. I Rarud manak luh-luh Ni Gemplek, Ni Rembun, Ni
Rompiok. Ni Gemplek dadi men Kowat, Kanta, Mutran. I Grundung nyuang anak luh
dedua Ni Badeng muah Ni Rembun. Ni Badeng manak Ni Mongkrog, Ni Sasar, Ni Walih, I
Tindih. Ni Rembun manak Ni Trebes kajuang baan I Rena dadi bapan Krempiang. Ni
Trebes maadi I Mongol manak I Mintar. Ni Rompiok kabanih dadi dadong Ni Minti.
Ni Mongkrog dadi men Lanting. Ni Sasar dadi men Goyo. Ni Walih kabanih dadi men
Tempeg ring Pujung. I Tindih manak I Dabdab. I Temilung nyuang ka Srokadan, manak I
Urip. I Urip manak I Purna manyama ring I Tana muah I Rena, I Sirna. I Puma manak
Ni Lanting. I Tana manak I Debrod, I Lesit, I Lengkid, I Klaci, I Punduh. I Rena manak Ni
Krempiang, I Budag. l Sirna manak Ni Kebek, I Padit, I Lembod. Crita sematine I
Grundung luhnyane mamadan Ni Rembun kajuang baneh manak I Krewed, Ni Croring,
Ni Nyangkih. Malih balu Ni Rembun malih kajuang banih manak Ni Ganti, Ni Konong ring
banjar Sangging. Puput amunika.

Nggih walinin critane malih, duk pintel bakti Ida Anaki Agung ring Srongga ka
Gianyar. Dados nyepih-nyepih panjak mangda tebel ring Srongga Kaja. I Pande Tegal Suci
kasepih sareng kalih I Tatak muah I Rarud nutug pianak somah ipun. Winten baos ida
Anake Agung ring Srongga mugbug pangkunge dangin puri, malih makarya titi ring jaban
Pura Ulun Suine. Gelisan katenger ring Gianyar kadadosan kagebug Srongga punika antuk
Gianyar. Dados wenten pikayun Ida Anake Agung ring Srongga Ida I Dewa Kapandean,
lunga ka Badung sareng putra. I Tatak muah I Rarud jenek ring Srongga Kaja. Sapunika
tuturane nguni.
APPENDIK B
TERJEMAHAN NASKAH DAN KOMENTAR
PENDAHULUAN

PENDAHULUAN PADA NASKAH DAN ISI

Pengarang dan Kelompoknya, Kelompok Pande dari Serongga

Desa (desa adat) Serongga terdiri dari, khususnya, dua banjar adat yaitu Serongga
Kaja dan Serongga Kelod yang meliputi dua unit perumahan, berdekatan namun
berbeda, keduanya terletak kurang dari 3 kilometer selatan kediaman mantan raja
Gianyar. Di antara kelompok keturunan yang berbeda yang dimiliki kedua banjar
tersebut terdapat tiga sub-kelompok Pande Besi yang berbeda satu sama lain dari
tempat dengan mana mereka menganggap diri mereka berasal: Tusan, Bersela, dan
Pujung. Sub kelompok yang terakhir, yang terbesar dan menarik secara khusus di
sini, pada tahun 1981 terdiri dari 136 orang pria, wanita dan anak-anak tinggal
dalam enam belas pakarangan, tiga belas pakarangan yang masuk Serongga Kelod
dan tiga pakarangan masuk di Serongga Kaja.

Semua orang menganggap diri mereka sebagai orang tua dalam garis laki-laki,
semua dari empat leluhur yang adalah saudara. Wanita Pande yang belum menikah
menjadi anak perempuan Pande yang telah menikah dalam kelompok ini baik masih
istri, Pande menjadi istri orang di luar kelompok. Pande Serongga yang berasal dari
Pujung dibagi menjadi empat bagian sesuai dengan empat garis patrilineal yang
dibentuk oleh empat leluhur. Identifikasi dari keempat garis keturunan tersebut
bukan hasil dari penelitian atas memori silsilah yang tepat. Namun keberadaan
empat Sanggah Gede yang menjadi tanda dalam rumah tinggal di pekarangan dari
empat leluhur asli. Dari empat pakarangan asli tersebut, dua belas baru pakarangan
dibuat dalam beberapa waktu, jika satu anak lelaki meninggalkan ayahnya untuk
hidup mandiri, atau dua bersaudara terpecah setelah tinggal bersama dalam
periode tertentu. Saat ini semua dari enam belas pakarangan: demikian dibagi
menjadi empat subset, yang mendefinisikan lingkaran kekerabatan yang
menganggap dirinya berada di garis langsung dari moyang yang sama dan
berpartisipasi dalam ritual yang terjadi di setiap Sanggah Gede di setiap 210 hari.
Selain itu, hubungan lokal ini dimasukkan dalam kehidupan ruang tinggal, kelompok
mempertahankan hubungan ritual dengan Pujung, desa asal dari empat leluhur.
Akibatnya, setiap 210 hari, saat Tumpek Landep, orang-orang Pande Serongga pergi
ke Pura Pande di Pujung, pura asli dari empat leluhur tetapi juga kerabat Pande
lainnya yang tidak tinggal di Serongga. Di sana, mereka berpartisipasi dalam upacara
(Odalan) yang tema pentingnya adalah menerima dewa dan leluhur yang didewakan
pada kesempatan kunjungan mereka ke pura.

Keterikatan dan hubungan pura yang telah kita jelaskan secara singkat terdiri dari
konfigurasi klasik, yang memberikan pengamat sedikit hati-hati. Tapi pada
umumnya, dengan pengecualian kelompok yang "membuat sejarah", kita tahu tidak
lebih dari apa yang diperlihatkan dari pura-pura ini. Identitas para leluhur, alasan
migrasi mereka, dan hubungan leluhur yang tepat antara anggota kelompok,
dilupakan secara total. Maka tidak biasa untuk menanyakan kisah sebuah kelompok
kecil, terutama karena Pande Serongga adalah hanya pengrajin sederhana atau
petani padi yang bekerja pada lahan kecil.
Kami berutang redaksi dari cerita I Glebag, cucu dari anak tertua dari empat
bersaudara yang menetap di Serongga. Kakak sulungnya, I Pineh, adalah, menurut
tradisi, juru tulis dan penyalin lontar dari padanda di Serongga. Agaknya saudara ini
mengajarinya seni menulis dan sekaligus menjadi pamangku, I Glebag menemukan
bahwa fungsinya meyakinkannya akan adanya perlindungan yang memadai untuk
menerima risiko karena nama dan sejarah leluhurnya. Dia menulis naskah pada
tahun 1958, katakanlah, tak lama sebelum kematiannya pada tahun 1964. Cerita itu
sendiri harus dianggap sebagai karya kolektif, tradisi lisan yang tertulis tetapi
tampaknya sangat mungkin dibentuk dan direinterpretasi pada saat penyusunan.
Akhirnya, agar naskah dapat diterjemahkan dalam bahasa Perancis yang dapat
diikuti, harus ada salinan yang tersedia dan dari jenis yang agak sekuler, karena
lontar kedua, mungkin yang asli, disimpan dengan sangat hati-hati di Sanggah Gede
dari kelompok keluarga tertua dan hanya dibaca sangat jarang pada saat upacara.

Cerita dari I Glebag tercapai berkat penyebutan tentang usaha perampasan tahta
Gianyar, dimana menurut Babad Ubud, terjadi pada tahun 1848. Ini dimulai dengan
kedatangan ayah dari empat bersaudara di wilayah Pujung. Penanggalan dari
migrasi leluhur, yang disebutkan asli dari Srokadan di sebelah barat daya Bangli,
masih belum jelas. Menurut perkiraan kami, tampaknya sedikit kemungkinan terjadi
sebelum tahun 1800 atau setelah 1825. Pada awalnya leluhurnya tinggal di Tlepud,
kira-kira satu kilometer di sebelah timur Pujung. Dengan keterampilannya dalam
menempa senjata dan alat-alat, ia mulai melayani satu kelompok, ia sendiri
menetap di Tlepud. Disana leluhur Pande besi digabungkan dalam sejarah dari
kelompok ini yang merupakan penumpukan kekuatan mikro-lokal. Namun di balik
semua cerita, tidak begitu banyak fakta yang memiliki karakter sejarah disbanding
dengan akumulasi referensi keagamaan yang menyandikan secara konstan
menceritakan sejarah. Pada dasarnya cerita ini berbicara tentang pura-pura dan
hubungannya antara dewa dan manusia. Secara bersamaan, pada kesempatan
dalam tanda kutip, penulis menyelipkan nama-nama leluhur dan hubungan kerabat
mereka dalam lima generasi.

Penumpukan kekuatan mikro-lokal

Ketika leluhur Pande dari Serongga tiba di Tlepud, dua belas keluarga pendatang
dari barat daya Karangasem dan dipimpin oleh seorang kepala yang tampaknya
energik, mungkin telah memperkuat kontrol bahan dan lingkungan sosial. Cerita
menunjukkan bagaimana leluhur pandai besi akan memenuhi ambisi kepala ini akan
kekurangannya dalam persenjataan. Prestise leluhur untuk mengukur keunggulan
dalam seni tempa senjata yang, seperti kita tahu, bermain di sebuah daftar ganda:
senjata yang berisi kekuatan supranatural yang menguntungkan pemiliknya dan
dengan perluasan kelompok seluruh wilayah, dan senjata yang sekurang-kurangnya
efektif dalam memerangi musuh. Dengan demikian, berkat senjata yang baru
ditempa, desa-desa tetangga Kebon Jaka dan Pujung akan menyerah dan pandai
besi akan menerima kompensasi dalam bentuk penghargaan untuk kebaikannya dan
pelayanannya yang setia, akan dipercayakan dengan posisi otoritas di Pujung dan
akan menjadi tempat tinggal barunya. Munculnya kekuatan di Tlepud ditemukan
brutal, namun dikompromikan oleh konflik antara penguasa lokal untuk raja Gianyar
yang pada paruh pertama abad kesembilan belas selalu memperluas lingkungan
pengaruhnya. Konflik ini akan mengakibatkan deportasi dari sebagian masyarakat
termasuk empat putra pandai besi yang di bawah tekanan pergi dari Tlepud dan
tinggal di Serongga dalam empat pakarangan yang sekarang diidentifikasi oleh
Sanggah Gede mereka.

Aspek cerita tersebut, meskipun singkat, menarik karena menunjukkan bahwa


kekuatan desa masih bisa dibangun pada waktu yang relatif baru, di luar lingkup
nuansa pengaruh triwangsa dan mungkin tepatnya di bawah bayangan kekuatan ini.
Akibatnya, Pujung menempati sebuah posisi menengah antara zona pengaruh lama
dari perumahan para bangsawan dari wilayah Gianyar dengan wilayah gunung, atau
dapat disebut paling utara, yang telah benar-benar lolos dari pengaruh ini. Posisi
estafet dipertahankan sekarang dan yang mungkin menjelaskan kemakmuran
Pujung, pusat ekonomi yang makmur, titik tarik bagi desa-desa sekitarnya dan
menjadi pesaing bagi Tegallalang, mantan tempat kediaman para keluarga
bangsawan milik Kerajaan Gianyar.

Sejarah Pura

Namun, kepentingan naskah bukan pada aturan sejarah atau bahkan sastra. Kita
tidak menemukan satupun penjelasan yang tepat mengenai orang, tempat dan
benda-benda yang tampaknya aktor utama dalam cerita. Direduksi menjadi
komponen-komponen faktualnya yang ketat, kisah tersebut mungkin tampak
sepele. Bahwa fakta itu tidak mengikat diri mereka sendiri. Ia hanya melakukan dan
membawa makna yang terintegrasi pada dunia representasi dan praktik agama
benar-benar berbicara tentang apa dan apa yang dibicarakan dalam naskah ini.

Ambil, misalnya, di awal naskah. Sekelompok migran melarikan diri dari ancaman
perang dan tinggal di Tlepud, di balik benteng pegunungan, mungkin karena
ketersediaan lahan dan bahwa daerah muncul tersebut cukup jauh dari kekacauan
dari perang di daratan. Kelompok harus menata ruang baru, membangun
pekarangan dengan pura keluarga di sudut timur laut, membersihkan dan tentunya
bekerja keras untuk mencari nafkah dari tanah tersebut. Tidak ada yang mengatakan
itu. Urusan besar yang dibicarakan dalam naskah adalah pembangunan Pura
Tengah, pura yang disebut sebagai tempat kunjungan para Dewa di Besakih
(pasimpangan Batara ring Basukih). Pura ini dengan demikian disajikan sebagai
penghubung ruang-ruang baru yang diambil oleh kelompok ini dengan Besakih, pura
yang paling penting di Bali, pura yang memasukkan dan menggabungkan semua
dewa dan leluhur yang didewakan, tempat suci pilihan. Apa yang begitu istimewa
dalam cerita, adalah jangkar simbolis dari kelompok di ruang baru. Pura ini
memberikan perlindungan dan identitas kepada mereka. Pura ini, yang awalnya,
adalah memerlukan pembangunan yang agak kuat, tidak dipungkiri lagi adalah
tempat yang digunakan sebagai tempat penghubung antara manusia dan dewa.
Sehingga diminta oleh pandai besi kepada dewa agar mereka dikirim ke Tlepud.
Kemudian pembangunan fisik dan simbolis pura selesai. Pagar sederhana dari
pepohonan akan digantikan oleh dinding batu dan pura harus dihiasi dengan patung
untuk menyenangkan para dewa, tetapi juga untuk menandakan kepada publik
status kelompok. Naskah ini bagaimanapun hanya tertarik pada pencapaian simbolis
pura, dalam ruang sebagai obyek petanda, terutama karunia Dewa memberikan
kekuasaan, yang akan disimpan sebagai benda berharga di dalam interior pura.

Obyek pertama yang dikirim dari Tlepud dibawa pergi menjemput dewa dari Gunung
Agung yang digolongkan dalam pasesiwan. Istilah ini dikaitkan dengan memperoleh
air suci, elemen yang sangat penting sehungga agama Bali disebut agama air (Agama
Tirta). Disana dimana Para padanda tampil sebagai penguasa agama pertama,
artinya hampir di semua tempat di Bali, salah satu fungsi utama mereka adalah
penyucian air, unsur dasar dari semua ritual. Di sini, pasesiwan adalah anugerah
dewa dalam bentuk lima patung wayang logam. Air yang dikumpulkan dari bekas
memandikan secara ritual patung-patung tersebut adalah air suci berkualitas tinggi,
dan sampai hari ini air di pura Tlepud dianggap memiliki kekuatan tertentu.
Anugerah ini memberikan ke kelompok ini sebuah otonomi dalam urusan air suci
dan kebetulan membantu menjelaskan bahwa orang Tlepud dan Pujung, dulu
seperti juga saat ini, tidak menggunakan jasa padanda.

Karunia Dewa kedua mencakup beberapa benda-benda suci yang dibagi antara dua
pura yang disebutkan dalam cerita: Pura Tengah de Tlepud yang telah dibahas
sejauh ini, dan Pura Pujung Pande. Narasi ini hampir tidak disinggung pembangunan
pura kedua, setelah pandai besi telah meninggalkan Tlepud dan telah tinggal di
Pujung. Namun fakta bahwa pura ini dibangun berarti bahwa, meskipun sempitnya
hubungan dengan kelompok di Tlepud, keluarga pandai besi tertulis secara simbolis
asal usul mereka dalam ruang Pujung, menunjukkan keanggotaan dari kelompok
keturunan terpisah. Hal ini konsisten dengan fakta bahwa pandai besi, sebagai
pemegang gelar Pande, termasuk dalam "spesies" yang berbeda untuk mencoba
membuat istilah harfiah Soroh, menghindari konotasi istilah berat seperti
keturunan, klan atau kasta yang cenderung melihat Bali dari sisi Afrika atau India.
Rasa memiliki pada sebuah "spesies" dan pentingnya keterikatan pada asal usul
(kawitan) menjelaskan bahwa keturunan pandai besi Pande, berimigrasi ke
Serongga telah selama lebih dari seabad, bagaimanapun, telah mempertahankan
hubungan dengan Pura Pande Pujung, pura aslinya. Pentingnya karunia dewa kedua
ini diukur pada panjang dari episode yang berkait dengan penemuan benda-benda,
identifikasi dari penerima manfaat, dan mencerminkan upaya berkesinambungan
untuk menafsirkan dengan benar kehendak Dewa. Naskah ini menegaskan lebih
khusus pada benda-benda suci ditujukan untuk Pande. Objek-objek ini, disimpan di
pura, biasanya diidentifikasikan oleh fungsi mereka: panyungsungan Pande,
sungsung di kahyangan Pandene, pasembahan I Pande. Ekspresi ini dibuat dengan
dasar sungsung dan sembah yang di sini berarti "yang menjadikan objek kultus".
Karena itu pemberian Dewa dalam narasi mengambil bentuk objek yang harus
dihormati oleh Pande di pura mereka: Naskah itu sendiri tidak menambahkan
apapun selain arti dan fungsi dari benda tersebut. Kita tahu bahwa objek yang
disimpan di pura biasanya disebut pratima atau arca dan mereka merupakan bahan
dasar dari kehadiran Dewa ketika para dewa turun untuk mengunjungi pura. Para
Pande dari Serongga yang berkonsultasi mengenai masalah yang sedikit dikenal ini
menganggap bahwa benda-benda mewakili isi, substansi (Daging) dari pura mereka.
Mereka membawa bukti kesaksian (bukti). Akhirnya dalam doa (mabakti), mereka
mempersembahkan titik fokus dalam konsentrasi sebagai subjek pengabdian. Jadi
seperti yang kita simpulkan dari yang diharapkan oleh naskah pada pembaca
bersangkutan langsung tentang Bali, tampaknya bahwa benda-benda mewakili
sebab penampakan dewa, adalah bukti penerimaan mereka dari ruang pura sebagai
tempat kontak dengan manusia menganugerahkan juga efisiensinya yang penuh
pada pura pada saat yang sama kredibilitas yang penuh sebagai tempat ibadah. Oleh
karena itu objek penting memiliki "pencapaian" sebuah pura.

Hubungan dengan Tuhan

Tidak hanya naskah yang memungkinkan kita untuk lebih memahami apa yang
direpresentasikan dari pura untuk sebuah komunitas baru yang berakar, bahkan
lebih banyak, dalam sembilan kali sebutan, yang mengatur penggunaan pura
sebagai tempat kontak dengan para dewa. Koneksi ini muncul dalam naskah
menurut tiga modalitas: saksi para dewa, anugerah Dewa, permintaan untuk
menginterpretasi kehendak Dewa.

Dalam dua kali, Dewa dari Pura Tengah menjadi saksi untuk memastikan keabsahan
kontrak lisan yang terjadi antara dua kelompok atau antara satu kelompok dan satu
orang. Pertama adalah pakta non-agresi antara kelompok Tlepud dan desa-desa
tetangga dari Kedisan dan Timbul. Kali kedua, adalah kooptasi dari pandai besi
sebagai anggota penuh dari desa Tlepud, dan pada kesempatan ini menjadi saksi
dewa yang disajikan dengan sangat eksplisit dalam naskah (raris kasaksiang ring Ida
Batara Pura di Tengah) . Dewa datang ke sini sebagai pengamat bisu, menengahi
hubungan antara para pihak. Ini adalah urutan referensi dan otoritas.

Modalitas kedua, atas permintaan dari karunia Dewa, terjadi ketika Tengah Pura
dibangun dan ketika I Nengah Bedil, kepala Tlepud, meminta sumbangan pandai
besi, dan sekali lagi ketika ia mengirimkan dua orang Besakih untuk meminta sebuah
pasesiwan. Dalam jenis tindakan ini, manusia membuat permintaannya dan dewa-
dewa mengirim (atau tidak mengirim) tanda ke dunia.

Modalitas ketiga yang terjadi lima kali dalam naskah menunjukkan dialog sejati
antara dewa dan manusia melalui media yang dalam keadaan kesurupan. Hal ini
terjadi pertama kalinya setelah senjata dicuri yang menimbulkan keributan pada
orang Kedisan dan Timbul yang melakukan kejahatan. Hal ini menimbulkan
kebingunan karena agak tidak biasa dan secara supranatural mereka meminta Dewa
untuk mengetahui kehendak Dewa. Kemudian dalam cerita, setelah penemuan dari
benda-benda suci di depan pura, harus menanyakan secara berturut-turut kepada
dewa pura ini, Dewa dari Pura Pande Pujung dan Dewa dari Pura Tengah di Tlepud,
untuk memperoleh kepastian agar tidak membuat kesalahan dan menafsirkan
dengan benar tanda-tanda kedewataan. Akhirnya, ketika anak pandai besi gagal
dalam urusan ukuran blok batu mereka, alasan kegagalan ini diminta di Pura Tengah

Cerita demikian jelas menunjukkan bahwa sebuah pura di Bali bukan hanya tempat
yang mendukung upacara Odalan, tempat dimana praktek keagamaan mengambil
dimensi pertunjukan. Terlalu banyak fokus pada Odalan menjadikan selain dari
kesempatan ini, pura tempat yang mati dan tidak penting karena para dewa tidak
tinggal permanen di dalamnya. Padahal, tampak bahwa pura adalah tempat
polysemik dan multifungsi yang dapat diaktifkan dalam banyak keadaan. Ini adalah
simbol asal, penanda spatio-templisan hubungan masyarakat atau hubungan
kekerabatan, nyata atau fiktif, dari kelompok keturunan. Ini adalah tempat untuk
menghubungkan manusia dengan para dewa, atau ruang pura dengan pura lain dan
Dewa lain dilakukan. Ini adalah sebuah "kondensasi" kekuatan yang merupakan
benang merah alam orang Bali.

Lisan atau tertulis, “tradisi kecil” Serongga dan “tradisi besar” Pande

Terjemahan naskah yang berikut adalah versi jelas ditulis dari cerita lisan yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Di Serongga sekalipun, tulisan itu pasti
digantikannya tradisi lisan, karena orang jarang yang tertarik dengan sejarah leluhur
mereka yang semuanya ditanamkan dalam versi tulis. Sebaliknya, di Tlepud dan di
Pujung, terdapat varian lisan, dan bahkan kami berhasil diceritakan oleh dua orang
yang berbeda, cukup dengan cara yang informal, atas nada cerita sejarah yang
diceritakan setelah makan malam.

Dua hal yang tampaknya luar biasa. Pertama, cerita terpotong dan jika kita tidak
mengenal versi tulis kita tidak mampu untuk menghidupkan kembali narasi, setelah
beberapa saat hening, kami telah mengumpulkan riwayat terpotong. Semua terjadi
seolah-olah cerita itu tidak membentuk rantai terus menerus, tetapi adalah
serangkaian sketsa yang bisa dilakukan secara mandiri tanpa selalu mengarah ke
cerita berikutnya. Kemudian jika akhirnya cerita diperoleh konsistensinya dengan
garis besar dari naskah, mereka umumnya kurang kaya detail dan lebih miskin dalam
simbol. Secara khusus, satu bagian dari apa yang kita dapat dari naskah tentang
pura, hilang dalam versi lisan. Kesan kami adalah bahwa sejarah leluhur tampaknya
hanya sesuatu yang biasa dan terisolasi. Penempatan secara tertulis cerita tidak
hanya konsisten untuk dicatat melalui dikte sebuah cerita yang sudah tersusun
dengan baik dalam bentuk lisan. Hal ini tidak lebih sebagai hasil dari awal aktif dari
penyusunan, dari koherensi formal dalam transisi untuk menulis, keputusan untuk
menulis itu sendiri di bawah kehendak untuk memproduksi makna. Fakta bahwa
penulis adalah pamangku jelas merupakan elemen penting untuk mencerminkan
komposisi naskah, pilihan interpretasi, dan tempat sesuai dengan pura dan dewa.
Oleh karena itu jelas bahwa bagian yang akan ditulis harus melibatkan proses
reinterpretasi yang kompleks, membuat penambahan dan penarikan, dan
memanfaatkan bantuan gambar dan simbol yang merupakan bagian dari
representasi keagamaan bali.

Dari sudut pandang Bali, transisi dari lisan ke tertulis merupakan tanda perubahan
alam: yang memisahkan cerita rakyat (satua) dari karakter yang lebih atau kurang
legendaris dari dokumen terhormat dan dapat dipercaya, warisan leluhur. Di
Serongga, kita telah melihat transformasi dari tradisi lisan dalam pustaka yang
terutama sebuah lontar, sebuah objek, sebelum menjadi naskah. Objek ini adalah
bagian dari esensi leluhur sejauh ia bertutur, memberikan kekuatan intrinsik sebagai
objek dan memberikan tempatnya dalam pura keluarga. Setelah di Serongga, tidak
ada yang memiliki gagasan tentang periode di mana letak dalam cerita tersebut.
Dalam beberapa tahun tak seorang pun akan tahu bahwa I Glebag adalah penulis
naskah. Sejarah leluhur Pujung telah bergabung dengan waktu bergerak dari Babad,
ini naskah pseudo-sejarah, anonim dan umumnya tidak bertanggal, membuat
referensi peristiwa nyata dalam mistik pada abad keempat belas, kelima belas dan
keenam belas, dan yang dalam semua kemungkinan ditulis jauh kemudian.
Karena fungsinya dalam kelompok keturunan, sejarah Pande Serongga tidak
berbeda dari babad, karena ditujukan, seperti itu, untuk dibaca sesekali pada
upacara yang dirancang untuk mengaktifkan kembali hubungan antara yang hidup
dan para leluhur. Jadi lontar tidak dibaca isinya secara akurat tetapi karena
kekuatannya untuk menghidupkan kembali zaman leluhur. Secara struktural, cerita
itu tidak berbeda secara signifikan dari Babad, dan di sini lebih tepat lagi merujuk
ke Babad atau prasasri dari Pande. Disini disebutkan juga leluhur dan tempat yang
mendefinisikan asal (kawitan) kelompok, silsilah dan potongan cerita dalam episode
terputus yang menggambarkan perbuatan dari leluhur, tetapi juga telah
memperhitungkan penyebaran kelompok dari titik asal masyarakat dalam waktu
dan ruang. Namun, cerita di sini disajikan berbeda secara fundamental dari Babad
dengan daftar yang dibandingkan. Sesungguhnya Prasasti Pande adalah dalam
ruang mitos asal. Para leluhur pendiri tidak hanya pandai besi desa, tetapi pandai
besi setengah-dewa yang lahir dari meditasi Brahma di puncak gunung suci. Waktu
dalam cerita adalah raja Majapahit atau raja pertama Gelgel. Leluhur dan
keturunannya tidak terkait pada kekuasaan desa, tetapi terlibata dalam sifat
kekuasaan Brahman atau kekuasaan kerajaan.

Sebagai pelengkap dan tandingan dari naskah-naskah penting pendiri, sejarah


Pande Serongga, khususnya di beberapa halaman dari dokumen, membawa seluruh
nilainya karena jika secara fungsional dan struktural itu milik jenis Babad, cerita itu
menyimpang sepanjang merupakan penjiplakan populer, jauh lebih konkret dan
lebih mendalam. Narasi mengingatkan tempat, satu waktu, kelompok dan individu-
individu nyata. Alam referensinya adalah semua yang merepresentasikan
masyarakat Bali, adalah mereka sehari-hari mengoperasikan dan berkaitan dengan,
misalnya, pura dan leluhur. Di satu sisi, perbedaan antara sejarah lokal dari Pande
Serongga dan prasasti Pande, ditandai oleh perbedaan dari register bahasa. Sejarah
leluhur Pujung diceritakan dalam bahasa Bali, bahasa komunikasi masyarakat
manusia. Sebaliknya Babad disusun dalam bahasa Kawi, bahasa leluhurnya orang
Jawa, yang tidak lagi hanya sebagai bahasa manusia karena hanya para dewa yang
mengerti dan juga yang memprakarsai yang dapat memastikan fungsi yang
berkaitan dengan waktu asal usul, yaitu dewa dan leluhur agung yang didewakan.

Terjemahan sejarah asal-usul Kelompok Pande Serongga

“Berikut adalah kenangan yang ditujukan untuk generasi mendatang dan


dikumpulkan oleh I Dugdug, I Gera dan adik sepupu mereka264, I Marga. Mereka
mempertanyakan orang tua mereka tentang leluhur mereka, yang pernah hidup
masa lalu.

Semoga leluhur mengampuni kita, untuk kita yang mengingat nama mereka.
Semoga kita terhindar Kutukan mereka. Penghormatan Kepada Siwa. Tidak ada
hambatan atau ancaman. Kehormatan dan keberhasilan. Semoga leluhur
memberikan kita anugerah nikmat hidup yang panjang dan penuh, ini adalah doa
kami kepada mereka.

264
I Gera adalah putra dari I Glebag, penulis naskah. Para kakek dari pihak ayah I Gera dan I
Dugdug adalah saudara I Marga, masih hidup, adalah kelompok generasi muda, keluarga
besar-ayahnya adalah kakek dari I Gera. Kaponakan referensi adalah istilah yang menunjuk
anak-anak dari saudara dan saudari dari ego, dan anak-anak sepupu dan ego matrilateral
patrilateral, tetapi juga menunjukkan, dengan ekstensi kelompok induk generasi muda milik
cabang keluarga lebih atau kurang dekat.
Berikut adalah kisah zaman kuno. Pada hari-hari ketika gong perang terdengar di
kapal, ketakutan tersebar dipantai timur Bali, dan banyak penduduk desa melarikan
diri dalam kekacauan. Di antara mereka adalah dua belas keluarga yang menetap di
Tlepud sebuah desa terletak di wilayah Tegalalang. Keluarga-keluarga ini berasal
dari Sukadana, Jati Tuhu, Bugbug dan Metra 265. Pemimpin mereka dipanggil I
Nengah Bedil dan berasal dari Sukadana. Beberapa waktu kemudian, I Nengah Bedil
diusulkan untuk mendirikan sebuah pura agar Dewa Gunung Basukih bisa datang
dalam kunjungan266. Semua setuju. Pura ini dibangun dan hanya ditutup oleh
deretan kayu hidup267, dan kemudian mereka melanjutkan untuk upacara
penyucian.268

265
Untuk semua nama tempat yang disebutkan mengacu pada peta terlampir. Sukadana, Jati
Tuhu, dan Mara yang tidak berada pada peta adalah desa yang terletak di barat daya
Karangasem
266
Gunung Basukih ditujukan pada Gunung Agung, gunung berapi tertinggi di Bali, juga
dididentifikasi pada Gunung Meru. Di kai gunung tersebut terletak Pura Besakih, ibu semua
pura di Bali. Basukih adalah Naga yang mengikat ekor Bedawang Nala, pendukung bumi.
Naga ini terkait pada Besakih melalui sebuah legenda yang sangat terkenal di Bali.
267
Turus idup berarti kayu hidup, dan ditujukan pada pohon dimana cabangnya adalah milik
dari pengembangan akar ketika kita menanam di dalam tanah. Pada kasus ini, contohnya
waru (Hibiscus tilaceus L.) dan dadap (Erythina euodiphylla Hassk) yang digunakan dalam
banyak upacara.
268
Upacara ini ditujukan melalui makekelud yang merupakan sebuah upacara pengusiran
setan. Kategori ritual ini (pacaruan) mencakup serangkaian ritus, dibedakan menurut
kepentingan mereka, karena banten sehari-hari terdiri dari beberapa butir beras diletakkan
di atas selembar daun pisang (jootan, segehan) sampai ritual yang disebut Eka Dasa Rudra,
secara teoritis diselenggarakan sekali seabad untuk seluruh pulau. Ritual dimaksudkan untuk
menetralisir kekuatan negatif yang terkait dengan Buta Kala. Artinya sangat eksplisit,
menjelang Nyepi, malam bahkan setelah upacara itu dilaksanakan, masyarakat berburu Buta
Kala dengan membuat suara sebanyak mungkin dengan bantuan instrumen yang berbeda.
Hal ini dilakukan juga dalam ritual kategori ini untuk membersihkan pencemaran. Salah satu
contoh adalah karakteristik kelahiran kembar berbeda jenis kelamin yang dianggap
mengotori seluruh desa. Ritual eksorsisme kemudian dilakukan di persimpangan jalan utama
desa di depan setiap pakarangan dan pura. Dalam naskah makekelud adalah fase pertama
dari ritual penyucian pura. Ritual eksorsisme ini hanya ditujukan pada tanah yang secara
alami dianggap tercemar.
Gambar 40. Peta Bali bagian timur dan tengah

Kedua, kurangnya alat untuk pertanian dan senjata untuk perang menjadi
269
keprihatinannya, dan I Nengah Bedil pergi ke Pura Tengah untuk memohon
dukungan Dewa. Setelah disucikan, ia meminta agar dikirimkan utusan seorang
pandai besi ke Tlepud. Telah diceritakan bahwa di Srokadan, desa di wilayah Bangli,
ada seseorang yang terampil dalam seni logam. Ia menerima perintah Dewa, juga
merasa ditunjuk, dia mengumumkan kepada orang tuanya dan keluarganya bahwa

269
Pura yang akan dibangun juga disebut Pura Tengah. Secara aktual itu adalah nama pura
tersebut, sebab sekarang pura tersebut terletak di dalam Pura Puseh yang dibangun
sesudahnya. Jadi penggunaan istilah Pura Tengah dalam cerita adalah sebuah anakronisme.
ia akan meninggalkan untuk mencari pekerjaan di sisi pegunungan. Mereka tidak
berkeberatan, tetapi ayahnya mengingatkannya bahwa ia tidak boleh lupa tugas-
tugasnya. Ia menikah dan suatu hari, saat fajar, ia pergi bersama istrinya, membawa
peralatan yang diperlukan untuk pekerjaan besi, termasuk alat tiup. Selama itu, I
Nengah Bedil berdoa agar semua berhasil tanpa kekurangan dari tanda-tanda yang
muncul. Ia tetap terus memohon bantuan Sang Hyang Widi270, dan dari pagi sampai
sore, tidak pernah berhenti berdoa dan menyucikan diri di Tengah Pura. Dua hari
kemudian, sekitar jam ketiga siang 271, penduduk dari Tlepud melihat seorang pandai
besi dan istrinya dengan membawa berbagai alat. Ia tidak menyapa mereka karena
mereka tidak mengetahui bahasa yang tepat. 272 Tiba di depan Tengah Pura, pandai
besi berhenti. Diumumkan kepada I Nengah Bedil agar ia berhenti berdoa karena
seorang pandai besi telah tiba dengan peralatannya secara lengkap. I Nengah Bedil
keluar dari pura dan berbicara dengan pandai besi dengan menggunakan kata
273
berikut: Mohon untuk memaafkan saya, Jero Pande, tapi bolehkan saya
mengetahui asal Anda dan kemana Anda anda akan pergi?. Pandai besi itu
menjawab bahwa ia berasal dari Srokadan dan Tlepud tujuan perjalanannya. I
Nengah Bedil secara singkat menyatakan puas karena katanya kedatangan pandai
besi adalah tanda bahwa doanya dikabulkan. Pandai besi kemudian mendapat
informasi mengenai posisi dari pembicara dan orang di sekitarnya: apakah mereka
adalah orang-orang kasta tinggi atau Sudra? I Nengah Bedil menjawab bahwa tidak
ada orang dari kasta tinggi di Tlepud, dia adalah kepala desa, dan dia memberikan

270
Sang Hyang Widi adalah bentuk yang paling abstrak dan yang paling dibedakan dari
ketuhanan di Bali, ditampilkan dalam interpretasi modern sebagai Tuhan yang Esa.
271
Dauh Tigang ditujukan pada sebuah pembagian hari kuno dalam delapan bagian antara
terbitnya dan tenggelamnya matahari. Jadi itu adalah bagian ketiga, yaitu sekitar jam 9
sampai jam 10.30 pagi.
272
Naskah menyatakan pada huruf: I dewek sing tuara bisa ngraos. Penulis ingin mengatakan
bahwa mereka tidak mengetahui bahasa Bali halus, tingkat bahasa yang menandakan
sekaligus jarak dan penghormatan, dan kita harus secara khusus menggunakannya dengan
orang asing.
273
Pande adalah gelar untuk pande besi, dan Jero adalah istilah yang ditujukan untuk
penghormatan.
namanya. Pandai besi menerima dengan puas kata-kata I Nengah Bedil. I Nengah
Bedil memerintahkan mengurus pekerjaan pandai besi dan ia mengundang ke
rumahnya. Disana pandai besi dan istrinya diperlakukan seperti tamu, dan Nengah
Bedil berkata kepada orang-orang penting274 bahwa nanti di malam hari, akan
mengadakan pertemuan di rumahnya.

Setelah makan, orang-orang penting saling memperkenalkan diri di rumah I Nengah


Bedil yang berbicara untuk bertanya kepada pandai besi apakah ia akan
berkonsentrasi membuat banyak alat. Yang terakhir menjawab bahwa, kecuali ada
yang salah darinya, akan penting untuk memperoleh besi, baja dan batu kapur
dalam jumlah cukup. I Nengah Bedil kemudian mencari dua ekor kuda dan segera
pergi, dan memerintahkan untuk membangun bengkel di depan pura. Tiga hari
kemudian, besi dan baja telah mencapai tujuan mereka. Semua pergi ke pura untuk
memohon bantuan Dewa dan pandai besi berdoa agar karyanya itu ditempatkan di
bawah naungan menguntungkan. Kemudian dia mulai bekerja, dengan
menggunakan banyak pembantu. Semua, sesungguhnya, berpartisipasi dalam
pembuatan berbagai alat dan pisau tipis dan kaku. Dalam tiga hari, 15 cangkul
diselesaikan. I Nengah Bedil kemudian mengumumkan pada pandai besi, hari
berikutnya, akan baik untuk mulai membuat senjata. Pandai besi yang menjawab
bahwa ia bersedia untuk membuat senjata apapun, I Nengah Bedil kemudian
ditugaskannya membuat senapan. Keesokan harinya, setelah penyajian
persembahan, ia mulai bekerja dengan mengikuti bisikan Saraswati 275. Tiga hari

274
Kita terjemahkan bekelan dengan orang penting yang mendekati. Bekel berarti
penyediaan, stok, surplus, disini bekelan mungkin ditujukan pada katagori penduduk yang
memiliki akses langsung dengan sumber-sumber pertanian dan yang secara umum termasuk
inti dari anggota desa yang penuh (karma desa) sebagai lawan kata dari mereka yang hanya
memiliki hak untuk tinggal.
275
Saraswati adalah Dewi Ilmu Pengetahuan dan sastra, istri dari Brahmana
kemudian, senjata itu selesai dan disembahyangi menurut rital Pasupati.276.
Kemudian pembantu menawarkan untuk mencoba senjata pada bangau yang
terlihat bertengger di pohon yang tinggi. Pistol itu diisi, burung dibidik. Suara senjata
itu pecah seperti petir dan burung jatuh menggelepar. I Nengah Bedil dan saksi dari
adegan ini dipenuhi dengan rasa puas, karena itu adalah tanda keberhasilan bisnis
mereka.

Berita itu sampai di desa tetangga yaitu Kedisan dan Timbul yang memutuskan
untuk mencuri senjata, yang mereka lakukan. Tapi mereka tidak bisa membawa
pistol karena semua yang menyentuhnya terbakar.277 Itu terjadi ketika orang Timbul
terinspirasi dan mengungkapkan bahwa senjata itu harus diangkut ke Tlepud, di
Pura Tengah. Jika pistol tidak diterima bahkan hari ini, mereka akan menderita
murka Dewa dari Pura Tengah yang merupakan manifestasi Dewa Gunung Basukih.
Baru kemudian api tidak menyerang lagi. Salah satu cabang kelapa sudamala278 yang
terbakar digunakan untuk menguji orang yang kesurupan. Saat ia tidak memberikan
reaksi orang-orang Timbul dan Kedisan menjadi benar-benar khawatir dan mereka
memutuskan untuk pergi ke Tlepud, ketika matahari mulai tenggelam.

276
Pasupati secara umum mengidentifikasikan pada Siwa/ Surya. Upacara ini berfungsi untuk
memberi hidup dan kekuatan pada senjata yang dibuat baru.
277
Menurut salah satu varian yang diterima oleh Pamangku Pura Pande di Pujung, senjata
membakar beberapa gudang beras , yang tentu saja merupakan hukuman yang sangat
parah.
278
Sudamala (Skr. Suddha mala) berarti mencuci yang kotor. Istilah ini digunakan dalam
konnaskah yang berbeda, secara umum terkait dengan ritual eksorsisme. Terdapat juga
wayang sudamala pada fungsi eksorsisme da sebuah kakawin sudamala yang berkait dengan
sebuah sejarah eksorsisme. Kelapa sudamara digunakan dalam uoacara eksorsisme
(pacaruan). Diantara berbagai sesajian yang dipersembahkan bagi kekuatan infernal, di atas
tanah, terdapat lima jenis kelapa: nyuh bulan (putih) di timur, nyuh udang (merah) di selatan,
nyuh gading (kuning) di barat, nyuh mulung (hitam) di utara, dan terakhir nyuh sudamala di
tengah. Dalam konnaskah sekarang, itu berkait dengan kepastian melalui tes ini bahwa
kesurupan bukan merupakan simulasi.
Di Tlepud pencurian pistol merusak pesta. Mereka membahas kasus dan pengrajin
menyatakan bahwa dia akan menyetujui penggunaan kekerasan jika semua orang
setuju. Jero Nengah mengusulkan untuk menunggu, karena menurutnya perlu
terlebih dahulu untuk memastikan bahwa Dewa yang adalah pencipta mereka dan
penguasa kebenaran benar-benar meninggalkan mereka. Ia menambahkan bahwa
ia terus berpikir. Pada siang hari, orang-orang Timbul dan Kedisan datang dan
menempatkan pistol di Pura Tengah279. I Nengah Bedil, dikelilingi oleh banyak
penduduk desa, pergi ke pura untuk mendengarkan kata-kata Kepala desa Timbul
dan Kedisan:” Jero Nengah terimalah permintaan maaf kami yang paling rendah
hati, karena kami berani untuk menunjukkan rasa tidak hormat kepada Dewa dan
kepada Anda semua. Pihak kami, jika Anda tidak keberatan, pada ketentuan Anda.
Jero Nengah menjawab dengan penuh ketenangan dan dengan penuh kesopanan
bahwa dia paling percaya pada Tuhan dan bahwa dia menunjukkan rasa sangat
hormat kepadaNYA. Dia menambahkan bahwa dia siap untuk berdamai. Kepala desa
Timbul dan Kedisan kemudian meminta dengan penuh hormat untuk dapat kembali
keesokan harinya untuk menyajikan persembahan pengampunan. 280 I Nengah Bedil
menerima dan kepala desa Timbul dan Kedisan meminta izin untuk pulang.
Keesokan harinya, di awal siang hari, sesaji telah dibawa. Terdapat berbagai macam
persembahan pengampunan dan sebelas nampan dari jauman 281. Orang-orang
penting dari Tlepud dalam jumlah besar menghadiri dan di antara mereka adalah I
Nengah Bedil. Kepala desa Kedisan kemudian bertanya siapa petugas yang
memberikan persembahan kepada Dewa Pura. I Nengah Bedil menjawab bahwa ia

279
Menurut varian yang sama, pencuri tidak berani mengumpulkan secara langsung ke
Tlepud. Ia kemudian meletakkannya di suatu tempat yang disebut Tegal Suci dimana anak-
anak yang mati muda dikuburkan. Tetapi kera-kera yang terdapat disana mencegahnya dan
mengusirnya juga pistol tersebut. Jadi mereka harus kembali menandatangani kesepakatan
dengan penduduk Tlepud.
280
Ekspresi banten peneduhan adalah berasal dari teduh, memohon ampun pada Tuhan.
281
Jauman adalah sejenis sesaji yang berisi berbagai macam (beras, kacang, ayam, kue dari
beras) diletakkan di atas nampan dari janur yang dikepang.
adalah petugasnya dan mempersembahkan sesaji pengampunan, dan jauman,
sehingga Dewa bisa mendapatkan kembali tempat yang ia diduduki sebelumnya.282
Bersama-sama mereka berdoa dan menghadiri persembahan sesaji. Kepala desa
Timbul dan Kedisan kemudian mengusulkan pada orang penting di Tlepud untuk
menetapkan perdamaian dengan bersumpah di hadapan Dewa. Hal ini dilakukan
untuk kepuasan bersama. Lalu I Nengah Bedil bertanya kepada kepala desa Timbul
dan Kedisan untuk membawa kembali persembahan.283 " Yang terakhir menjawab
dalam kata-kata: “Jero Nengah, memang benar bahwa sesaji ini adalah milik kita dan
oleh karena itu tepat bagi kami untuk membawanya. Namun, kami mengusulkan
agar sesaji ini dibagikan juga kepada orang di sini. Dengan ini, kami meminta izin
untuk kembali”. Setelah keberangkatan mereka, ada lima nampan sesaji jauman dan
satu nampan sesaji Suci284, warga membawanya sesuai dengan perintah-perintah I
Nengah Bedil.285 " Kemudian ia meminta kepada mereka untuk mempersiapkan
untuk seaji berikutnya yang diperlukan untuk penyucian pura.286 Semua menerima

282
Pencuri pistol diarahkan untuk keberangkatan dari Dewa atau kekuatan yang terkait
dengan pistol. Jadi upacara bertujuan juga untuk mengembalikan Dewa atau kekuatan
tersebut.

283
Dewa hanya mengkonsumsi isi (sari) dari sesaji. Yang disisakan oleh Dewa (lungsuran,
surudan, paridan) kemudian dikonsumsi oleh manusia.
284
Banten Suci adalah sejenis sesaji yang terdiri dari kelapa , pisang dan berbagai kue dari
beras, disajikan dalam piring bulat (tamas) yang dibuat dari janur yang dikepang.
285
Bagian berbagi persembahan ini sangat penting dari sudut pandang makna hubungan
antara kedua kelompok. Sesaji dibagikan terbalik untuk wanita, dari atas ke bawah dalam
hirarki sosial. Pihak yang menerima persembahan dari kelompok lain, menempatkan diri
dalam posisi inferior dalam hal status dan bahkan, tampaknya, mengenali posisi
ketergantungan terhadap kelompok pemberi. Pertukaran timbal balik (masidikara)
persembahan berarti, sebaliknya, memiliki kesetaraan yang ketat dan juga hubungan erat
dalam hal kekerabatan. Dalam naskah, berbagi persembahan menyiratkan bahwa kedua
kelompok menganggap diri mereka sejajar dan secara simbolis sebagai orang tua.
286
Upacara penyucian ditujukan dalam istilah pakeludan berasal dari kelud (lihat catatan 5)
dengan bersemangat dan pada hari berikutnya, sesaji dibuat untuk menghapus
noda akibat pencurian pistol287.

Setelah upacara penyucian pura, I Nengah Bedil mengusulkan kepada dewan desa
untuk memberikan penghargaan untuk pandai besi, dan semua menyetujui usulan
ini. I Nengah Bedil kemudian mencari pandai besi dan berkata: "Sebenarnya, Jero
Pande, layanan Anda yang sangat dihargai dan karena Anda, keamanan kami
terjamin. 288 Jadi dewan telah memutuskan untuk membuat anda menjadi anggota
penuh dari desa289. Anda akan menerima sawah yang berada di sebelah timur
Tlepud dan seluas satu sikut290, dan uang sejumlah lima ringgit291. Selain itu, kami
berikan juga seorang wanita”292. Pandai besi itu menjawab bahwa ia sudah
berhutang budi untuk kehidupannya pada Jero Nengah dan bahwa hal itu ditambah
lagi dengan sawah dan uang, ia takut untuk menunjukkan nafsu yang tak
terpuaskan. I Nengah Bedil menjawab bahwa ia tidak boleh menganggapnya seperti

287
Naskah mengetakan sampun rauh malik. Istilah penting adalah malik yang berarti
kembali, membalik. Dimaksud penundaan secara ritual kotor akibat pencurian pistol dan
kembali pada situasi sebelumnya
288
.Kami menterjemahkan keselamatan ekspresi ngicen mreta melalui memastikan
keselamatan. Mreta adalah pemotongan dari bahasa Sansekerta amrta, cairan dari
keabadian. Kata ini, dalam bahasa umum, datang dari: kehidupan, hidup. Gagasan bahwa
pandai besi diperlukan untuk kelangsungan hidup masyarakat luas di pedesaan Pande
karena mereka membuat alat yang diperlukan untuk pembangunan rumah dan candi, alat
ibadah dan senjata

289
Ramanera dalam naskah ini dimaksudkan pandai besi dan istrinya. Pande besi menerima
status karma desa. Anggota penuh dari desa. Ia tidak lagi hanya berhak untuk tinggal dan
melakukan aktivitas di atas territorial desa, seperti sering ditujukan pada istilah Pangempian.
290
Sikut adalah satu unit luasan yang bervariasi, sekitar 3-4 are dalam wilayah Gianyar
291
Ringgit adalah satu lembar uang. Menurut van Bloemen Waanders yang berada di Bali
sekitar jaman yang diceritakan, ditemukan juga gulden perak, dollar meksiko dan juga uang
emas Inggris dan belanda. Namun uang yang digunakan untuk perdagangan internal adalah
kepeng. 200 kepeng setara dengan ½ gulden (van Bloemen Waanders, 1859:200-201)
292
Hal ini adalah satu cara untuk mengatakan bahwa pandai besi diundang untuk mengambil
seorang istri dari Tlepud. Tetapi juga mungkin benar-benar memberikannya seorang wanita
karean telah mancapai tahap akhir dari ketergantungannya (tahanan, hutang,…).
itu, itu seperti yang telah dikatakan adalah hadiah dari desa, dan tidak pantas untuk
menolak tawaran ini. Dia menambahkan bahwa sawah tidak dapat diterlantarkan,
dan ia diberikan hak turun-temurun menggunakannya sehingga selama ia tinggal di
wilayah Tegalalang.293 Keputusan ini diformalkan dengan mengambil saksi Dewa di
Pura dan di hadapan semua anggota desa.

Dia kemudian meminta pandai besi untuk membuat ujung tombak. Hari berikutnya,
ia mulai bekerja dan tiga hari kemudian, 15 ujung tombak telah dibuat. Kemudian
mulai pembuatan 15 arit caluk 294 yang diselesaikan dalam tiga hari, dengan bantuan
dari banyak pembantu menyelesaikan palu dan kapur. Dikatakan bahwa kemudian I
Nengah Bedil mengatakan kepada pandai besi bahwa ini adalah hari baik untuk
memulai penempaan keris dalam tiga hari atau 8 hari setelah bulan tenggelam,
bersamaan hari kedua dalam minggu 5 hari295. Hari itu datang, dimohon kemurahan
Dewa dengan menyajikan persembahan kepada Dewa senjata, kemudian pandai
besi mulai bekerja dengan mengikuti ritual Saraswati.296 Dua hari kemudian keris

293
Kami menyadari aspek yang sangat umum, tampaknya, hukum tua Jawa dan Bali
membentuk suatu bukti properti yang tepat secara teoritis yang dilakukan oleh para dewa
atau raja hak untuk penyelidikan komunitarian dengan proses dari dewan desa, dan hak
penggunaan individu telah diberikan kategori tertentu dari penduduk desa. Larangan
keterlantaran (di sini disebut Ucah ucih) dan karakter turun-temurun yaitu hak untuk
menggunakan (sinema sinemu dalam naskah) merupakan karakteristik

294
Arit caluk adalah sejenis sabit (arit). Alat ini terdiri dari pisau kaku sedikit melengkung dan
memiliki ketajamannya, terpasang pada pegangan cukup panjang untuk digunakan dengan
kedua tangan, seperti kapak.
295
Penulis naskah ini mungkin tidak menyadari semua seni menempa sebilah keris yang
berkembang sangat cepat setelah penaklukan Belanda pada 1906-1908 (Kat Angeline j.921a:
2_4, 0252). Kombinasi Anggara Paing dengan mana referensi dirujuk dalam naskah untuk
menunjuk hari baik, terjadi setiap 35 hari. Bulan (Sasih) atau minggu (wuku) tidak ditentukan.
Selain itu, menguntungkan beberapa tanggal penetu pada berbagai tahap manufaktur. Di
antara tiga hari yang menguntungkan bagi penempaan pisau, kita menemukan hubungannya
Anggara Paing pada bulan kesembilan (Kat Angelino 1921A: 239).
296
Lihat catatan 12
selesai dan diupacarai menurut ritual Pasupati.297. Pada saat itu seekor lebah
mendarat di puncak keris. Dia segera hancur dan berubah menjadi cairan
berminyak, membuat heran mereka yang menyaksikan hilangnya lebah. Ini adalah
tanda pertama penting tentang kekuatan senjata.

Beberapa waktu kemudian, I Nengah Bedil lebih ambisius dan mengumumkan


bahwa waktunya telah tiba untuk mengangkat senjata dan mengalahkan desa
Pujung Anyar298. Senjata tempur dibawa ke mana mereka ditempatkan. Pujung
dikalahkan dan Kebon Jaka hanya menentang tidak melawan. Seorang pemimpin299
yang tak lain adalah pandai besi ditunjuk untuk menjaga ketertiban di Pujung. Atas
permintaannya, bengkel yang berdiri di depan Pura dibangun kembali di Pujung,
sebuah rumah juga telah dibangun berkat bantuan Jero Nengah dan penduduk
Pujung. Jadi Pandai besi tinggal di Pujung dengan istri-istrinya. Para orang penting
di Pujung berfikir akan menjadi baik jika ia juga mengambil wanita Pujung. Setelah
beberapa saat dia tinggal di Pujung, masing-masing dari tiga istri telah memberinya
anak-anak. Dari istri pertamanya dia memiliki tujuh anak: I Bongkok, I Bulbul, I
Bugbug, I Tatak, I Rarud, I Lulu, I Meru. Istri keduanya, berasal dari Tlepud,
melahirkan baginya seorang putra: I Temelung. Akhirnya, istri yang diambilnya di
Pujung juga memberinya seorang putra: I Serengga.

297
Untuk pisau, ritual ini dijadwalkan Tumpek Landep pada saat Odalan atau hari purnama
bulan kelima. Ritual ini melibatkan penyajian persembahan, percikan air suci dan pembacaan
empat jenis Weda (Angelino Kat 1921A: 241
298
Dimaksud adalah Desa Pujung. Anyar berabti baru, menunjukkan melalui itu bahwa jaman
dari cerita secara umum dianggap sebagai saat ini, Sekarang Pujung terdiri dari dua
kelompok penduduk, Pujung Kaja terkait dengan Pujung dalam naskah, dan Pujung Kelod,
lebih di selatan dan secara fisik lebih baru.
299
Pemimpin ini dimaksud dalam ekpresi pacek pakukuh. Gambarannya adalah penguat bagi
pergelangan kaki atau sebuah sumbu yang ditanam untuk memastikan stabilitas (cf. paku
dalam bahasa jawa)
Itu terjadi bahwa dunia ditutup di Tlepud300. I Nengah dalam kecemasan karena
menjadi sulit untuk mendapatkan air suci, dan ia merasa perlu untuk pergi ke Agung
Gunung. Banten disajikan dan kedua orang pergi menuju Gunung301. Disana mereka
memohon dukungan Dewa dengan mempersembahkan sesaji, dan permintaan
mereka didengar karena mereka menerima karunia Dewa dalam bentuk wayang
lima logam, Darmawangsa dari tembaga, Bima dalam besi, Arjuna dalam emas,
Nakula dan Sahadiwa dalam perak302. Tanpa terlambat, mereka menyucikannya
dalam air303, dengan memandikan wayang-wayang tersebut sambil
mempersembahkan sesajen Suci304. Kemudian mereka membuat persembahyangan
untuk memberitahukan keberangkatan. Tidak diketahui berapa lama perjalanan
305
berlangsung tetapi ketika mereka tiba di Pura Tengah, kamben dan Sabuk306
mereka compang-camping. Saat ini diputuskan untuk membangun sebuah altar
yang disebut Bale Barak307. I Nengah Bedil memberikan prioritas untuk mewujudkan

300
Jagate empet sami, secara leksikal seluruh dunia menjadi tertutup. Gambaran penting
bahwa desa didisolasi dengan alasan kekacauan perang.
301
Naskah tidak menggunakan istilah air suci (Tirta) tapi pasesiwan yang umumnya
menyatakan secara umum seorang padanda dalam fungsinya sebagai penyedia air suci. Ini
bisa menjadi sebuah referensi terhadap padanda dengan penduduk Tlepud bagaimana
biasanya menyediakan air suci. Dalam semua kemungkinan hipotetis ini padanda harus
berada di Tegalalang, desa yang tidak dapat diakses oleh perang, atau dari cara lain untuk
untuk memperoleh kebutuhan air suci. Tetapi juga mungkin, dan kami percaya
kemungkinan, bahwa penduduk Tlepud tidak pernah menggunakan layanan dari seorang
padanda, jadi cerita itu tidak memiliki tujuan lain selain untuk membenarkan situasi ini. Saat
ini penduduk Pujung dan Tlepud memproduksi sendiri (masiwa raga) air suci mereka, sudah
dilaporkan oleh Jacobs Ie Controller dalam tahun 1932, selama perjalanan melakukan
pemeriksaan (Adatrechtbundel 1934 XXXVII: 374).

302
Mereka adalah lima Pandawa, tokoh dalam Mahabarata
303
Naskah telah baik memastikan isi dan jumlah air yang digunakan; esibuh menunjuk is
sebuah kelapa kecil dikosongkan
304
Lihat catatan 21
305
Sepotong kain persegi panjang, penutup, meliputi tubuh dari pinggang hingga mata kaki
306
Kain sabuk yang menjaga kamben
307
Naskah di sini adalah tidak bulat dalam perumusan, tetapi telah jelas bahwa Bale Barak
(Bale merah) adalah sebuah altar yang ditakdirkan untuk menampung lima wayang. Saat ini
pekerjaan dalam Pura. Ia memberi instruksi kepada para tetua dan kepada pandai
besi bahwa keesokan harinya ia harus mulai membuat banyak gunting batu.
Keesokan harinya I Nengah Bedil disertai dengan pembantu pandai besi datang
untuk menentukan bahwa diperlukan 25 gunting batu dan ia menaruh persediaan
besi yang tersisa pada pandai besi. Agar ia bisa mencurahkan dirinya sepenuhnya
untuk pekerjaan ini, ia menawarinya untuk memberikan layanan lain di Pura selama
15 hari. Pandai besi itu menjawab bahwa seperti bantuan yang begitu lama akan
menjadi tidak proporsional mengingat ukuran capaian yang harus dilakukan, dan
pembebasan tersebut sesuai ditetapkan 10 hari, Jero Nengah kemudian pulang. 25
gunting batu, selesai dalam tiga hari. Karean tersisa sedikit besi, pembantu pandai
besi pergi untuk memberitahu Jero Nengah dan bebrapa gunting batu kemudian
ditempa Hari berikutnya, anak pandai besi yang telah dewasa, yaitu I Bongkok, I
Temelung dan I Serengga pergi untuk mengukur paras308. Karena mereka hanya
berhasil telah mengikis batu, mereka pergi untuk bertanya di Pura dan mereka
mendapatkan jawaban bahwa mereka sebelumnya harus mengangkat paras.

orang Tlepud menyebut PuraTengah dalam naskah juga biasa disebut Pura Bale Barak. di
Tlepud varian lisan telah dikumpulkan saat ini, membuat kejelasan keberadaan Bale Barak
berbeda. Tiba di Gunung Agung, utusan yag dikirim I Nengah Bedil tidak menerima karunia
Dewa, tetapi dikatakan bahwa dalam perjalanan pulang, mereka bertemu, di tepi sungai,
batu besar yang di atasnya ditempatkan sepotong kayu yang harus mereka bawa.
Menyeberangi sungai Pakrisan, mereka melihat sepotong kayu, membawanya dan
menyimpannya di Pura Tengah. Namun, permasalahan tentang air suci tidak dipecahkan, I
Nengah Bedil memutuskan untuk mengirim seseorang kembali ke Gunung Agung. Utusan
bersiap-siap untuk menyeberangi sungai Pakrisan, yang banjir dan penuh air berlumpur
ketika ia melihat padanda di sisi lain. Yang terakhir mengatakan kepadanya jika dia mencari
air suci, cukup dengan mengambil air dari sungai dan bahwa ia, di sungai lainnya, air tetap
akan disucikan. Utusan membawa air dikhususkan untuk Pura Tengah. Tak seorang pun,
percaya bahwa air berlumpur juga dapat digunakan untuk rital pemakaman yang akan
dimulai, karena seorang pria telah meninggal baru-baru ini. Air itu hanya dibuang di tanah,
tapi, dengan banyak keheranan, air berubah menjadi api pada saat menyentuh tanah.
Mereka mengirim seseorang untuk bertemu dengan padanda yang kali ini mengatakan
kepadanya untuk mematahkan sepotong kayu yang mereka temukan di atas batu di samping
sungai Pakrisan. Di Tengah Pura, potongan kayu diputuskan dan ditemukan lima patung-
patung wayang di dalamnya. Jadi orang Tlepud membangun Bale Barak di tempat air
berubah menjadi api, dan telah menempatkan patung-patung di dalamnya.
308
Paras adalah bebatuan yang sangat lembut berasal dari gunung berapi
Mereka tidak mengerti jawaban ini dan karena itu berangkat lagi untuk mencoba
untuk memotong blok paras. I Serengga kemudian melihat sepotong paras yang
tampak seperti guci dan mereka membawanya ke Pura blok yang tampaknya
mengandung logam. Mereka menggali untuk mengekstrak logam dan menemukan
besi dengan lima cabang yang disebut Bajra309 dan yang digunakan sebagai senjata
upacara310. berikutnya, mereka tidak lagi menemui kesulitan-kesulitan untuk
memotong blok paras dalam jumlah besar. Dinding batu dapat diselesaikan dengan
cepat dan senjata dibawa ke dalam setelah itu semua orang berpartisipasi dalam
pembangunan Pura.

Dikatakan bahwa berikutnya Ida Cokorda Anom311 dari Tegal Suci mencoba untuk
menentang Gianyar dan menempatkan 200 rakyatnya di wilayah Sebatu dan Taro.
Dia tidak bisa menahan namun Gianyar benar-benar dikalahkan. Banyak dari
rakyatnya dibawa ke Tohpati. Tak lama setelah kedatangan mereka di wilayah
Gianyar, Anak Agung312 dari Serongga meminta izin untuk mengambil pandai besi
untuk melayaninya. Demikian mereka yang sebelumnya tinggal di wilayah Tegal
Suci, I Bongkok, I Tatak, I Rarud, dan I Temelung, anak dari ibu lain, datang untuk
tinggal di Serongga Kelod dengan keluarga mereka. Setelah mereka tinggal di
Serongga, I Bongkok dan I Temelung khawatir tentang keadaan Pura mereka313.

309
Bajra (Skt. Vajra) dimaksud berasal dari senjata Dewa Indra. Istilah tersebut ditujukan juga
lonceng padanda yang ujungnya terdiri dari lima bagian
310
Pangawin dimaksud adalah tombak tegak ditujukan dalam pura pada saat upacara yang
berlangsung disana
311
Cokorda adalahgelar yang lebih dari Satriya. Menurut tradisi lisan saat ini, dulu di Tegal
Suci, ada Satriya asli Sukawati yang telah tinggal di Tegal Suci tanpa memiliki kekuasaan.
Babad Gianyar tidak menyinggung konflik yang disebutkan dalam naskah.
312
Gelar Satriya yang lebih rendah dari Cokorda
313
Kalimat itu masih belum jelas tetapi konnaskahnya menunjukkan bahwa ini adalah purai
asli Pande Pujung bahwa naskah tidak menyebutkan sampai bagian ini. Ungkapan
pasungsungane sampun Mangadeg dapat diartikan bahwa pura ini sebenarnya dibangun
Ketika malam tiba, mereka mengambil jalan untuk diam-diam pergi ke Pujung.
Matahari mulai terbit ketika mereka mencapai di ujung utara Tegalalang dan disana
di depan pura Puri314 mereka menemukan tiga topeng, sebuah keris dan sarungnya
dalam pratima emas 315. Semua diletakkan di kain putih dan ditutupi dengan kain
bermotif Poleng316. Sementara mereka bersiap-siap untuk mengambil barang
mereka yang berharga, seorang pria dari Tegalalang memperkenalkan dirinya dan
mengatakan akan lebih baik menunggu dan memberitahukan ke Puri kejadian
tersebut. Jawabannya adalah bahwa mereka harus meminta para Dewa dan
mempersembahkan sesaji dalam Puri. Dedukun317 memperkenalkan diri dan terlibat
dalam dialog dengan Dewa Pura. Dikatakan bahwa karunia Dewa bukan milik
tempat ini, tapi itu adalah milik mereka yang telah membawanya. Tiga topeng itu
harus dipersembahkan di Pura Tengah. Adapun keris dan pratima emas, mereka
dimaksudkan menjadi obyek persembahyangan318 di Pura para Pande.

Dua Pande tersebut mengambil rute menuju Pura mereka, dan sekali tiba, banyak
dari orang tua mereka mengajukan pertanyaan. Apa yang bisa mereka bawa?
Sebuah keris dan pratima, mereka menjawab, objek ibadah untuk Pande menurut
kehendak Dewa yang berbicara di Tegalalang. Sedangkan untuk topeng, mereka

atau mereka pikir itu dibangun. Sisa dari naskah menjelaskan bahwa ketika mereka tiba di
sana, Pujung memiliki sebuah pura asal Pande.

314
Puri adalah tempat tinggal Satriya ata Wesya
315
Pratima berarti semua objek suci, disimpan dalam pura dan ditunjukkan setiap kali
Odalan. Naskah ini tidak menentukan sifat Ia obyek ini, tetapi kualifikasi Gampel magelut
berarti dua objek yang berbeda, erat menempel (Gampel) dan berpelukan (magelut).
316
Poleng dimaksud sebuah motif kotak-kotak, terkait pada umumnya pada mereka yang
memiliki kekuasaan.
317
Istilah yang digunakan adalah pedekang, berasal dari pedek, dalam bahasa bali halus
berarti hadir di depan dewa atau raja. Dimaksud disini adalah memohon pendapat dari Dewa
melalui mediasi dari sebuah medium yang kesurupan (dedukun)
318
Panyungsungan dapat menunjuk sebuah pura serta benda-benda suci yang disimpan.
Secara harfiah, istilah ini berarti yang dihormati, yang merupakan subyek dari kultus.
Selanjutnya, ditemukan makna yang sama dengan sungsung dan pasembahan
harus memberikan ke Tengah Pura. Begitulah tatanan Dewa. Diperkirakan terbaik
untuk memulai dengan mempertanyakan Dewa Pura Pande dan selama waktu itu
topeng Anoman,319 dan Mredah dan Twalen320, dibungkus dalam kain dengan motif
Poleng, akan dibawa ke Tlepud. Kedua Pande tiba di Pura Tengah dan dikelilingi oleh
khalayak yang besar, diantaranya adalah Jero Nengah yang menanyakan apa yang
mereka bawa. Mereka mengatakan telah menemukan topeng, pada saat keluar
Tegalalang depan pura keluarga, dan bahwa dalam Pura ini, terungkap bahwa
berhasil karunia Dewa ini dimaksudkan untuk Pura Tengah. Jero Nengah menjawab,
menurut dia, lebih baik bertanya pada Dewa Pura Tengah dan dia meminta agar
mempersiapkan persembahan yang cocok untuk upacara dan pertemuan Dewa321.
Setelah itu, dialog itu dilakukan dan hasilnya adalah bahwa topeng wayang wong322

319
Anuman adalah karakter dari Ramayana dikenal karena keberanian dan kualitas moral
yang ditetapkan. Monyet putih, yang diberi satu tanda berbeda, memakai kamben Poleng,
kain kotak-kotak yang disebutkan dalam naskah. Anuman yang juga ada dalam Mahabharata
adalah sebagai saudara tirinya Bima, anak dari Bayu dewa. Ia adalah karakter yang sangat
sakti dimana keberadaannya dalam masyarakat Bali jauh melampaui dari sekedar sastra.

320
Twalen dan Mredah adalah tokoh mitologis yang memainkan peran yang sangat penting
(terutama Twalen) dalam budaya Bali, khususnya di wayang kulit. Mereka adalah bagian dari
kelompok empat karakter Parekan, yang dibagi dalam karakter kanan dan kiri, karakter kiri
adalah Dilem dan Sangut. Dalam wayang Jawa, mereka setara dengan Punakawan. Dengan
perbedaan ini, mereka menerjemahkan dan menafsirkan dalam situasi Bali yang disajikan
dalam bahasa yang kabur (Kawi) untuk sebagian besar masyarakat Bali. Twalen dan Mredah
juga memakai kamben Poleng.
321
Sesaji di sini tidak ditunjukkan oleh nama-nama khusus mereka, tetapi ekspresi dari
Banten pamendak dan Banten pamedek merujuk pada fungsi mereka. Pamendak, berasal
dari pendak, mengekspresikan ide menerima sebuah tamu kehormatan. Istilah ditujukan
pada tema penting dari Odalan yang merupakan penerimaan para dewa (Belo, 1953:11,39,
40). Untuk arti pamedek, lihat catatan 54.

322
Wayang wong adalah bentuk dari teater topeng kuno, awalnya ia harus terintegrasi erat
dengan berbagai ritual. Tradisi ini tampaknya akan sulit untuk mempertahankan. Namun
demikian, ada ritual resmi di kelompok wayang wong. Salah satunya adalah kelompok Tlepud
dan Pujung yang memberikan representasi di Perancis pada tahun 1975. Pada saat itu kepala
rombongan itu adalah keturunan langsung dari I Nengah Bedil. Topeng yang digunakan tidak
adalah hadiah dari Gunung Agung. Dengan demikian hubungan telah selesai323.
Setelah wahyu, kedua Pande diperlakukan sebagai tamu, dan kemudian mereka
meminta izin untuk pulang, dan I Nengah Bedil berharap mereka baik di jalan.

Setibanya mereka di Pujung, mereka mengetahui bahwa pertemuan dengan Dewa


Pura mereka menunjukkan bahwa keris dan pratima adalah hadiah dari dewa
leluhur324. Kemudian pandai besi tua325 meminta perhatian bantuan untuk

untuk dijual, bagaimanapun, karena topeng yang dibahas dalam naskah yang dianggap
“berisi” (Sakti) yang akan digunakan dalam kondisi ini.

323
Gagasan hubungan, sangat mendasar di Bali. Di sini muncul secara eksplisit. Kita ingat
bahwa pada awal cerita, Jero Nengah memutuskan untuk mendirikan sebuah altar
(pasimpangan) sehingga dewa Gunung Agung bisa datang dalam kunjungan. Itu adalah
langkah awal yang menghubungkan dua ruang, komunitas manusia dan dewa. Kemudian,
Pura Tengah mendapat keuntungan besar dan Bale Barak dibangun untuk menerima lima
wayang, hadiah dari dewa Gunung Agung. Dengan karunia Dewa topeng wayang wong,
menjadi penghubung tercapai lengkap (nah ene sambungin Apang genep).

324
Ayat ini mengatakan Batara ring Luhur. Luhur bermakna tinggi, terjemahan harfiah akan
menjadi dewa dari atas. Namun Luhur juga bentuk singkat dari Ieluhur yang berarti nenek
moyang. oposisi antara Luhur / sor atau duur / Beten: Bali turun dikaitkan dengan oposisi
suci / tidak suci, kekuatan kekuatan langit / bumi. Dewa dan nenek moyang milik dunia di
atas. Akhirnya, karena dalam naskah sebuah pura asli dari kelompok keturunan,
diterjemahkan sebagai nenek moyang dewa, dengan pengertian bahwa komunitas
kelompok leluhur dan bukan individu yang terpisah

325
Bagian ini mengatakan I Pande lingsir, artinya, Pande tua, yaitu ayah I Bongkok. dan I
Temelung, yang ditunjuk dalam naskah aslinya oleh I Pande sejak awal episode tentang
penemuan benda-benda suci, dan diterjemahkan oleh kedua Pande. Seperti awal cerita,
ayah mereka terutama dipandang dalam perannya sebagai pandai besi, kami terus
menerjemahkan, dalam hal ini, Pande dalam pandai besi, meskipun hanya dalam konnaskah
sekarang, lebih menguntungkan merujuk pada gelar daripada matapencaharian.
pentahbisan326 I Bongkok dan upacara327 yang harus dipertimbangankan untuk
mengatur penyucian Pura328. Diputuskan di Pujung untuk bila sekali lagi kembali ke
Serongga, kedua Pande harus berkonsultasi dengan orang tua mereka agar
mengetahui apakah akan ada kemungkinan untuk memberikan untuk upacara
seekor babi329 senilai 6000 koin330, 15 ukuran beras331 per orang, dan uang itu untuk
membeli bebek seharga 3000 koin tembaga dan telur untuk nilai 1.000 koin. Mereka
berdiskusi dengan orang tua mereka, mereka melihat apakah ada cara yang
memungkinkan mereka untuk memenuhi sumbangan tersebut. Di Pujung,
kemudian ditanyakan hari baik untuk upacara. Permintaan itu dirumuskan dalam
Pura Tengah di hari bulan purnama pada bulan keempat332, dan tanggal dasar adalah
15 hari setelah tanggal tersebut. Dibahas juga modalitas untuk upacara penyucian333

326
Upacara Pawintenan disini menunjuk pada penyucian yang dialami oleh orang yang akan
menjadi pamangku. Tampaknya, naskah ingin mengatakan bahwa I Bongkok secara resmi
menjadi pamangku utama, yang spesialis, jika diinginkan, ritual keluarga bagi masyarakat
Pande dari Serongga.
327
Naskah menjelaskan lebih jauh dan dengan cara lebih eksplisit tentang hal-hal yang
berkaitan dengan upacara ini. Lihat catatan 70.
328
Mengikuti kalimat, nanging budi astiti bakrine anggowang, merujuk ke keadaan
penyucian, yang diperoleh melalui doa dan bahwa pasrah pada terjemahan, gagal untuk
menemukan formulasi yang masuk akal baik di Perancis dan dimasukkan dengan benar ke
dalam cerita
329
Kami menerjemahkan dengan “babi”, karena untuk sekali sebut dalam bahasa Perancis
membuat cukup tepat tingkat bahasa, naskah menggunakan Celeng (bahasa Bali kasar) dan
tidak Bawi (bahasa Bali halus).
330
Naskah seperti ini biasa tidak akurat dalam hal unit moneter. Unit ini adalah, koin kepeng
Cina berlubang, yang kita terjemahkan sapeque. Pada pertengahan abad ini X1X kepeng
diimpor dalam jumlah besar oleh pedagang-petualang Denmark, Mads Lange, yang memiliki
pabrik di Kuta. Ia membelinya 1200 - 1400 per dolar, dan menggunakan sebagai pembayaran
di Bali pada tingkat 703 per dolar (Helms 1882:40). Saat ini koin-koin ini masih memiliki fungsi
ritual
331
Yang dimaksud adalah padi yang sudah dikuliti, baas. Satu ukuran, apatan, adalah isi
satu setengah buah kelapa.
332
Salah satu cara untuk menghitung waktu adalah tahun kalender matahari dari 355/354
hari, dibagi dalam 12 bulan (sasih) dalam 29/30 hari, dibagi dalam 2 periode, tanggal dan
panglong, berkait dengan bulam purnama dan bulan mati.
333
Naskah dikutip dalam urutan, malik sumpah, malaspasin, masesapuh, Ngenteg Linggih.
Malik sumpah secara harfiah berarti membalikkan atau kembali kutukan. Ada lontar yang
berjudul Pamalik sumpah yang merupakan fitur dari melawan sihir (Hooykaas 1964:85).
Istilah ini berarti juga, seperti dalam kasus ini, suatu ritus pemurnian dan eksorsisme
Pura. Tujuh hari sebelum upacara, seorang utusan dari Pujung mengunjingi
Serongga untuk melihat apakah sumbangan diatur, selama diskusi dalam rumah334,
bisa dipenuhi. Karena hal itu memungkinkan, bahwa dalam tujuh hari, di awal
tengah hari, pria dan wanita berjalan ke dalam dan membawa semua sumbangan
mereka335. Kemudian utusan tersebut pergi, bukan tanpa mengumumkan
keberangkatannya. Pada hari itu, pria dan wanita berjalan membawa barang

(pacaruan, lih. Catatan 5). Tahap pertama penyucian pura, adalah menetralkan Buta Kala
dan menghilangkan polusi tanah. Malaspasin berarti ritus pemurnian khusus bangunan yang
baru dibangun dan memiliki fungsi, menyingkirkan terutama penumpukan kotoran selama
konstruksi. Masesapuh dari sapuh berarti sapu adalah suatu ritus pemurnian dalam makna
agak umum dan secara regional bervariasi. Di Bali Utara, contoh penggunaan istilah ini
adalah untuk merujuk ritus dimaksudkan, sebelum pernikahan, untuk memurnikan calon
istri yang ber agama lain. Dalam naskah, tanah dan bangunan yang telah dimurnikan, dapat
dilakukan pemurnian tambahan sebagai tindakan pencegahan. Ngenteg Linggih secara
harfiah berarti mengkonsolidasikan atau kedudukan para dewa: Ngenteg setara dengan
bahasa Indonesia adalah menetapkan, meneguhkan, menguatkan. Ritual ini dimaksudkan
untuk mengubah secara definitive sifat dari tempat agar tempat kunjungan dapat diterima
oleh para dewa. Ritual dalam empat fase yang dimuncukan dalam naskah tidak membagi
satupun norma, makna dalam klasifikasi rendah di Bali. Tidak hanya terdapat variasi regional
tetapi di desa yang sama, ritual setelah pembangunan atau perbaikan dua pura di dekatnya
akan memiliki kesempatan untuk berbeda. Semangat dan tujuan sama tapi jumlah fase,
masing-masing ritus besarnya mungkin bervariasi, apalagi detil sesaji, mantra ...

334
Itu adalah cara untuk menggambarkan Pujung. Oposisi Keja Kelod dapat menghasilkan
pendekatan pertama Utara/Selatan, setidaknya untuk daerah selatan Bali. Lebih ketat,
oposisi umumnya dibuat oleh menuju pegunungan / arah laut. Sangat sering dalam literatur
yang ditujukan ke Bali itu juga ditulis kaja itu adalah arah Gunung Agung. Tapi Pande
Serongga menunjuk Pujung yang berada di barat laut Serongga dengan ekspresi Jumah kaja,
kaja rumah, sementara Gunung Agung adalah Serongga timur laut. Hal ini menunjukkan
bahwa kaja tidak selalu tepat menunjuk ke Gunung Agung atau lainnya, tapi, penekanannya
juga dapat menunjuk lebih umum di arah dalam pulau. Untuk diskusi kedalaman terminologi
Bali relatif terhadap orientasi dalam ruang oleh SC Damais, Studi Bali VI, Tentang Bedulu
(1963).

335
Pesuan (asal dari pesu, keluar), menggambarkan sumbangan wajib dibedakan dari sesaji
fakultatif (aturan)
mereka. Upacara berlangsung dengan cara yang ditentukan336 dan banten337
disajikan kepada Mereka yang di Atas. Makanan dalam jumlah yang cukup juga
disediakan bagi manusia. Kemudian semua merasakan kepuasan yang mendalam
karena mereka merasa disucikan. Setelah penutupan persembahan upacara dan
berbagi sesaji, dimulai berjaga Pura338, yang berlangsung 42 hari sesuai dengan
instruksi yang diarahkan.

Kembali cerita ke zaman Anak Agung dari Serongga mencoba untuk menentang
Gianyar, dengan memaksa rakyatnya di Serongga Kaja. Juga I Tatak dan I Rarud
dipaksa untuk menetap dengan keluarga mereka, di Serongga Kaja339. Diceritakan
juga bahwa Anak Agung dari Serongga lakukan menguruk parit di timur Puri dan ia
membangun sebuah jembatan di depat Pura Ulun Sui340. Gianyar mendapat angin
dari persiapan dan Serongga dikalahkan. Anak Agung dari Serongga, I Dewa

336
Seperti sebelumnya upacara ditujukan melalui empat istilah (Cf. catatan 70). Namun
tahap pertama disini disebut pacaru dan bukan malik sumpah, menunjukkan bahwa penulis,
seroang pamangku, dua ekspresi ini adalah sinonim.
337
Naskah memastikan amadya, yaitu sesaji tingkat menengah. Hal ini merujuk pada
klasifikasi ritual dalam tiga katagori: Utama (tinggi), madya (menengah), dan nista (rendah)
338
Mekemit menggambarkan aktifitas menjaga atau malam di sebuah pura yang mengikuti
kebiasaan lonceng sebuah upacara dan dimana lamanya bervariasi.
339
Mengingatkan bahwa Serongga terdiri dari dua banjar berbeda, Serongga Kaja di utara
dan Serongga Kelod di selatan
340
Pura Ulun Sui adalah Pura yang terkait dengan kelompok agrikultur (subak) yang masih
ada secara efektif.
Kapandean341, Badung melarikan diri dengan anaknya. I Tatak dan I Rarud tinggal di
Serongga Kaja. Dengan demikian sejarah zaman kuno berakhir342.

341
Penyebutan nama Anak Agung dari Serongga I Dewa Kapandean, memungkinkan,
setidaknya untuk menentukan era narasi. Memang, Babad Gianyar (Mahaudiana, 1968:39)
menyebutkan nama Dewa Gde Kapandean Serongga yang menduduki Puri Gianyar pada
akhir tahun 1848 sebelum dikalahkan oleh Made Pasek Cedok yang menguasai situasi dan
memaksa para perampas melarikan diri ke Badung. Peristiwa ini diikuti, menurut Babad,
kematian raja Gianyar yang kremasinya berlangsung pada Desember 1847. Sumber Belanda
menyebut juga kematian pada tahun 1847 (Schwartz 1900; van Bloemen Waanders
1868:378). Namun, Schwartz menjelaskan keadaan Dewa Manggis yang memerintah dari
1847 - 1856 sedangkan raja tidak disebutkan dalam Babad yang dirantai sejarah Gianyar
aksesi terhadap tahta Dewa Manggis disebut Disarrya, yang menurut Schwartz memerintah
dari 1856 ke 1885. Oleh karena itu dapat dianggap akuisisi saat kematian seorang raja
Gianyar, ada kejadian suksesi dan perebutan kekuasaan. Tapi sumber-sumber yang berbeda
membuat keraguan pada identitas raja dan tahun kematiannya. Namun, kita dapat mengakui
bahwa naskah kita berakhir dengan sebuah referensi terhadap peristiwa yang terjadi baik di
1847-1848 atau 1856-1857, setelah kematian seorang raja Gianyar. Sebuah perhitungan
dengan mempertimbangkan anak sulung dari cabang tertua dari kelompok Pande Serongga
menurut dua hipotesis mengenai usia ayah pada saat kelahiran anak pertama, 20 tahun dan
25 tahun, yang dipimpin ke tempat kelahiran I Bongkok, anak pertama dari istri pertama dari
nenek moyang pandai besi, antara 1805 dan 1825. Di sisi lain, menurut ceritera, anak pandai
besi sudah menikah ketika mereka meninggalkan Tlepud. Jika diakui bahwa para migran
muda, I Rarud, baru saja menikah sesaat sebelum keberangkatannya, lalu si sulung, I
Bongkok, berusia setidaknya 30 tahun, dengan selang waktu kelahiran tiga tahun. Jika I
Bangkok pada usia 30 tahun telah datang ke Serongga sebelumnya ketika pemberontakan I
Dewa Kapandean terjadi pada 1847-1848 atau 1856-1857, sementara kelahirannya hampir
tidak bisa lebih dari 1825. Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa kedatangan pandai
besi Tlepud, yang secara kasar dari kelahiran I Bongkok, terjadi sekitar1825, dan mungkin
paling lambat tanggal tersebut

342
Dalam terjemahan di sini disajikan silsilah hubungan yang menurun di bagian terakhir
dari naskah.
APPENDIKS C:
EMPAT DOKUMEN MENGENAI KASUS BENG (1911-1912)

V.E. Korn yang telah membuat beberapa makalah selama studinya


Adatrecht. Salah satunya adalah menggabungkan dokumen-dokumen
tentang Pande dari tahun 1910 sampai tahun 1928 (No. 213, Leiden).
Berikut adalah empat bagian yang berkaitan dengan masalah Beng:

1) Surat permintaan tanggal 20 Mei 1911 dari tertuduh Pande dari desa
Beng. Ditulis dalam bahasa Melayu, ditujukan kepada Residen Bali dan
Lombok, yang berkantor di Singaraja di Bali Utara.

2) Salinan berita acara dari interogasi 15 Maret 1912, dimana tertuduh


diserahkan, dan dihadiri oleh Controller dari wilayah Gianyar, "raja" dari
Gianyar dan pendeta-hakim pengadilan Gianyar dan Klungkung.

3) Laporan yang diberikan untuk pemerintah Belanda oleh tiga pendeta-


hakim pengadilan Buleleng, atas tiga pertanyaan tentang asal-usul Pande
Besi, sikap agama mereka, dan posisi kasta mereka.

4) Surat dari Residen Bali dan Lombok 16 April 1912 di mana ia


didefinisikan, petunjuk mengikuti kasus Beng, ditujukan ke Asisten-
Residen Bali Selatan.

I. Copy surat permintaan yang dikirim oleh Pande Besi dari desa Beng ke
Residen Bali dan Lombok. 20 Mei 1911.

Dipersembahkan Kehadapan Sri


Padoeka Kangdjeng Toean Besar
Resident atas keresidenan Bali
dan Lombok, jang bersemajam
dengan kehormatannja di kota
Singaradja.

Dengan segala hormat,


Hamba rajat Bali Hindoe bernama I Tomblos dengan koela warga
hamba bangsa Pande Besi tinggal di Beng (Gianjar) mohon
diampoenkan olih Sri Padoeka Kangdjeng Toean Besar Resident,
sebab ambil keberanian hati mengatoerkan soerat rekes ini akan
mengoendjoekkan bertahoe seperti jang akan hamba njatakan di
bawah ini:

Adapoen hamba ini bangsa Pande Besi terseboet dalam prasasti


soerat asal oesoel hamba bahwa tiada sekali sekali hamba boleh memakai
air tirta bikinannja Padanda pada waktoe hamba bekerdja selamatan apa
djogea, melainkan memakai air tirta di poera hamba di Beng; dan sebab ada
terseboet weda, jang boleh dipakai olih bangsa hamba Pande Besi, mendjadi
dengan hal itoe dari doeloe doeloe kala bangsa Pande Besi mendirikan
Empoe jaitoe mawintenan seperti perdjalanan Padanda (Brahmana) jang
sekarang ini masih ada Empoe di desa Slokadan (Bangli); djoega pada Empoe
itoelah hamba berminta air tirta boeat hamba Pande Besi. Lagi di loear dari
seboetan asal oesoel itoe, memang dari zaman doeloe kala hamba poenja
bangsa Pande Besi tiada pernah memakai air tirta bikinannja Padanda, sebab
menoeroet boenjinja soerat asal oesoel itoe kalau melanggar tentoe
hamba akan mendapat tjelaka marabahaja dan lagi adat biasa
menoeroet tersebut dalam soerat babad hamba, kalau moesim
hamba mengaben (membakar majit dengan selamatan) wadah
itoe bolehlah poetjaknja pakai toe mpang di ba wah toempang
sebelas jaitoe menoeroe t tja ra bangsa Satrija.

Sjadan pada zaman ini Sri Gobernor memerintahkan negeri


Gianjar bersama sama Dewa Manggis, kebetoelan dengan asik
rajat Gianjar mengerjakan djalan djalan, maka hamba bangsa
Panda Besi olih Dewa Manggis perintahkan soepaja hamba djoega
mengajah bekerdja djalan seperti kaoela jang kebanjakan, tetapi
sebab hal itoe dibenarkan ditimbang patoet olih Padoeka
Kangdjeng Toean Controleur di Gianjar, mendjadi dengan toeloes
hati hamba soedah bekerdja mengajah bikin jalan menoeroet
seperti kaoela jang lain lain, tiada sekali ada keberatan atas
bangsa hamba sekalian.

Tjoema pada tanggal 24 boelan Mei 1911, kebetoelan


perkoempoelan Padoeka Kangdjeng Toean Controleur di Gianjar
bersama sama Dewa Manggis diiring olih Padanda Kerta, maka
pada ketika itoe Padoeka Kangdjen g Toean Controleur bersabda
kepada hamba bahwa menoeroet timbangannnja Dewa Manggis
dan Padanda Kerta jang hamba bangsa Panda Besi dipaksa
diwadjibkan minta atau pakai air tirta bikinannja Padanda pada
waktoe hamba bekerdja selamatan apa apa, tiada boleh
memakai air tirta bikinan bangsa Pand e Besi sendiri, kedoeanja
soepaja hamba mengakoe berbangsa Soedra. Djikalau hamba
tiada menoeroet begitoe, tentoe hamba dioesir di selan g
seoemoer hidoep hamba. Maka sahoet hamba menerangkan
seperti terseboet dalam asal oesoel hamba sebagai terseboet di
atas, Kangdjeng Toean Controleur bilang asal oesoel itoe
Padanda tiada maoe pakai iagi, sebab itoe laloe hamba matoer
pendek djikalau Kangdjeng Toean Controleur soedah menimba ng
patoet, baiklah hamba mengiring akan tetapi hamba mohon izin
lebih doeloe akan mempersembahkan soerat atoer beritahoe
kehadapan Sri Padoeka Kangdjeng Toean Besar Resident di
Boeleleng. Padoeka Kangdjeng Toean Controleur lantas
kaboelkan, sebab itoelah mendjadikan hamba berani atoerkan
soerat rekest ini kehadapan Sri Padoeka Kangdjeng Toean Besar
Resident.

Maka dengan sepenoeh -penoeh pe rmohonan ha mba, soedilah


kiranja Sri Padoeka Kangdjeng Toean Besar Resident
mengoeroeskan perihal ichwal hamba ini, soep aja tetaplah adat
hamba seperti terseboet dalam asal oesoel hamba tiada
memakai air tirta bikinan Pa d an da , ke d o ea so ep a ja te tap l ah
a to e r a n ha mb a men ga b en se p erti ja n g so ed a h didadjalankan
biasa dari doeloe kala dan hamba moho n djanganlah hamba
dipaksa mengakoe bangsa Soedra biarlah hamba tetap dikasih
mengakoe bangsa Pand e Besi, walaupoen bahasa hamba sama
rata dengan kaoela djaba jang kebanjakan, mohonlah soepaja
ditetapkan djoega sebab memang dari ingat hamba soedah sama
rata sadja peribahasa itoe antara hamba bangsa Pande Besi.

Dan lagi hamba ada heran sedikit apakah sebab Dewa Manggis dan Kerta di
Gianjar tekan dengan paksa bangsa hamba Pande Besi di Beng sahadja
diwadjikan berobah adat soepaja zaman ini memakai air tirta bikinan
Padanda, sedang orang orang bandjar Pedel (Abijan Base), bandjar
Sampiang, bangsa Sangging, bangsa Pande Besi di Tegallalang, orang orang
desa Taro, Apoeh, Ked, itoelah hamba atoerkan dan zaman doeloe doeloe
tiada indahkan air tirta Brahmana, tiadalah Dewa Manggis dan Kerta paksa
soepaja mereka itoe memakai air tirta Brahmana, apakah sebab bangsa
hamba Pande Besi di Beng sadja dipaksa keras; dan lagi apakah salah dan
celanja hamba memakai air tirta bikinan Empoe sendiri, jang soedah
diadatkan dari berpoeloeh poeloeh tahoen doeloe.

Hal jang demikian itoelah hamba mohon siang antara malam akan belas
karoenia Sri Padoeka Kangdjeng Toean Besar Resident menetapkan adat
hamba jang soedah biasa ketjoeali jang melanggar dalam atoeran Sri
Goeberment adanja.

Gianjar, Beng 20 Mei 1911

Hamba jang amat rendah

I Tomblos, I Kotong, I Rawos, I Keboengan,

I Djoewing, I Gogot, I Poendoeh, I Gijet,

I Didit, I Keroeg, I Rat, I Ngania, I Kenting

I Sempir, I Berit, I Nteg, I Doemera, I Koempoel,

I Goedoet, I Doera, I Tjabong.

II. Salinan berita acara interogasi terhadap Pande Besi Beng, dilaksanakan
15 Maret 1912 dan diadili 16 Maret 1912

Jang menaroeh tanda tangan di bawah ini kami orang bertiga, 1) Sang
Gde Poetoe Grija, 2) Sang Gde Poetoe Ngurah, 3) Sang Gde Ktoet Bagoes,
Pedanda Pedanda dan Raad Kerta dari Singaradja afdeeling Boeleleng,
telah mengirim perintahnja Sri Padoeka Kangdjeng Toewan Besar
residentie Bali dan Lombok boewat pigi ka Gianjar.

Maka pada hari Djoemat tanggal 15 Maart 1912, kami orang mengiring
Padoeka Kangdjeng Toewan Controleur di Gianjar dan bersama Anak
A2oene Manggis serta Pedanda Pcdanda Raad Kerta di Gianjar dan lagi 1
Padanda Raad Kerta di Kloengkoeng, telah periksa atoerannja orang
orang bangsa Pande Wesi dari desa Beng, jang telah mengatoerkan soerat
reqest di hadapan Sri Padoeka Kangdjeng Toewan Besar di Singaradja maka
kami tanja dia bilang atoerannja sebagai terseboet di bawah ini.
Apa betoel kamoe tidak maoe pakai air tirta Betoel
bikinannja Pedanda?

Apa sebabnja kamoe tidak maoe pakai air Oleh karena dari doeloe doeloe kala kami
tir tan ja d ari Ped and a ? tidak pern ah pak ai ai r tir ta nj a d ari
Ped and a; seb ab ka mi toeroenannja Pande
Hadji Wesi, dan ada kami poenja pamantjanga
(pretasti) disitoelah terseboet kami orang tidak
boleh pakai air tirta dari Pedanda.

Kalau kamoe mati dimanakah kamoe Kami orang minta pada Empoe di desa
ambil air tirta? Sloekandan (Bangli).

Apa betoel kamoe waktoe akan Kalau k ami m eng ako e b angsa Br ahm a n
ditoeroenkan ngajah heerendienst oleh tida k. kalau mengakoe bangsa "Satria"
Padoeka Kangdjeng Toewan Controleur betoel.
d i Gi an j ar l an tas k am oe m eng a ko e
bangsa Brahmana?

Apa sebab kamoe berani mengakoe Dari sebab terseboet di (atas) kami poenj
bangsa Satria? pamantjangah (pretasti) kami toeroenan
bangsa "Satria".

Apa ada orang jang panggil pada kamoe Tidak! tjoema orang o rang pad a kami
pakai bahasa I Dewa. Pengakan, Bagoes memakai bahasa Djro Pande sadja d an
dan Sang? lagi djikalau kami ngaben, maka itoe
wadah (tempat majit) diidzin pakai
to empa ng to ed joe ol eh I De wa M ang gi
Dari itoelah sebab berani kami mengako
bangsa "Satria".

Maka kami tanja pada I Dewa Manggis. Tidak.


Apa betoel I Dewa Manggis kasih idzin
pada itoe orang orang Pande Wesi,
djikalau ija mengaben tempat majitnja
pakai toempang toedjoe?

Apa I Dewa Manggis taoe sebetoelnja Kalau saja poenja pengetahoewan itoe
bangsa apa itoe orang orang? orang orang bangsa kaoela (Soedra).
Maka pada hari Sabtoe tanggal 16 Maart 1912, kami Pedanda
Pedanda mengiring Padoeka Kangdjeng Toewan Controleur di
Gianjar dan bersama sama I Dewa Manggis serta Padanda
Pedanda Raad Ke rta d i Gi an jar d an l a gi 1 Pedanda Ra ad Kerta
di Klo en gko en g telah doedoek di moeka keadilan: maka
timbangan kami orang sekalijan, itoe orang orang Pande Wesi
terseboet boleh djoega tidak memakai air tirtanja Pedanda,
dimana mana sadja dija maoe ambil air tirta bola: akan tetapi
djikalau ada orang kaoela djadi Empoe (pendita or ang kaoela)
kalau dia tidak hoendjoek bertaoe pada radja dan tidak minta
panoegrahan (idzin) pada pendita Brahmana, maka itoe Empoe
tidak sekali boleh kasih air toja pada orang jang mati;maka
menoeroet boenjinja tjeritera Indraloka, djikalau Brahmana,
Satria, Westa dan Soedra, djadi Pendita (Empoe) lantas dia tidak
hoendjoek bertaoe lebih doeloe pada radja, atau tidak minta
panoegrahan (idzin) pada Pendita Brahmana, maka itoe Pendita
(Empoe) tidak boleh mengasi air tirta pada orang jang mati, sebab
membikin panas negeri. wadjib dihoekoem boenoeh, maka jang
minta tirta tidak ada kesalahannja. Begitoelah timbangan kami di
moeka keadilan.

Maka sesoedahnja lantas Padoeka Kangdjeng Toewan


Controleur di Gianjar soeroeh pada hamba, boewat kasih ingat
pada itoe orang orang Pande Wesi sekalijan soepaja tidak
kedjadian dia poenja ingatan dia minta titel “Satria” sebab
soedah terang dija bang sa kaoela.

Lantas hamba bilang djanganlah kamoe berani minta titel Satria,


sebab soedah terang kamoe bangsa kaoela, tidak wadjiblah
begitoe! Lantas dija djawab tidak sekali sekali maoe djadi bangsa
kaoela, soepaja dija dapat djoega titel “Satria” dan dija bilang akan
menghadap djoega di hadapan Sri Padoeka Kangdjeng Toewan Besar di
Singaradja.

Lantas Padoeka Kangdjeng Toewan Controleur Gianjar tanja lagi pada


hamba, dan itoe orang orang sekaljan dapat mengakoe bangsa
Brahmana, Satria, apa dija orang ada kesalahannja. Hamba jawab ada,
wadjib dihoekoem denda 40 pekoe masing masing orang. 'Begitoelah
keadaanja.

Hamba Pedanda Pedanda Raad Kerta di Singaradja


III. Salinan laporan dari tiga Padanda dari pengadilan Singaradja tentang
asal Pande Besi dan posisi kasta mereka

Hamba Pedanda Pedanda Raad van Kerta di Singaradja, afdeeling


Boeleleng, telah menimbang dan permoehoenannja orang dari desa
Beng, afdeeling Gianjar.

Maka hamba melihat di wet asal oesoelnja orang nama Pande Besi,
jaitoe ada 2 matjam seperti gambaran jang tersanding ini:

Toeroenannja Empoe Soemegoena jaitoe toeroenannja dia poenja


pekerdjaan Pande Besi, jaitoe bole pake tirtanja Pedanda.

Djika toeroenannja Hadji Wesi dan Pande Kawi, betoel tida pake ajer
tirtanja Pedanda menoeroet jang terseboet di wet asal oesoelnja.

Djika hamba poenja timbangan itoe toeroenannja Hadji Wesi dan


Pande Kawi dinamai orang Bali Aga atau Soedra dan bole tida pake
tirtanja Pedanda.

Tetapi tersilah Padoeka Kangjeng Toewan ampoenja kwasa adanja.

Hamba Pedanda Pedanda Raad


Kerta di Singaradja

Sang Gde Poetoe Grija

Sang Gde Poetoe Ngoerah

Sange Gde Ktoet Bagoes

Gezien

De Controleur van Boeleleng

Lublink Weddik

Pande besi dari Madjapahit


Hamba Pedanda Pedanda Raad Kerta di Singaradja, afdeeling
Boeleleng, telah menimbang permoehoenannja orang dari desa Beng
(Gianjar). Maka hamba telah melihat dimana babad (asal oesoelnja)
pande Besi jaitoe toeroenan Empoe Soemegoena jang pake tirtanja
Pedanda, dan dia poenja bangsa kesamen (kaoela) seperti jang
tergambar di bawah ini

Toeroenan Pande Toesan (naam van een desa di Kloengkoeng)

Mpu Brahmanawisesa

(Ksatria)

Mpu Gandring Mpu Soem

(Ksat

Hadji K

(K

Gde Segora Gde Roemadia Gde Roepana

Soedah djadi Kesamen atau kaoela Kesamen atau kaoela Kesamen atau kaoela
Staan voor sami-gelijk, geen Triwangsa

Dari Pedanda
Pedanda Raad Kerta
di Singaradja

Sang Gde Poetoe Grija

Sange Gde Poetoe


Ngoerah

Sang Gde Ktoet Bagoes

Pande besi dari Bali Moela atau Bali Aea (eigenlijke inheemsche
bevolking van Bali)

Ini ada asal oesoelnja Pande Besi, moela moela Betara Indra
dari Swaregan soeroehan orang nama Hadji Wesi jaitoe seperti
terseboet di gambaran di bawah ini:
Hadji Wesi

I Pande Kawi

Maka jang terseboet dimana Babad itoe toeroenannja I Pande Kawi sekali
sekali pada Betara Indra memakai tirtanja Pedanda, soepaja dia bikin toja
sendiri; dia poenja bangsa kaoela atau kesamen.

Dari Pedanda Pedanda Raad Kerta


di Singaradja
Sang Gde Poe toe Grija

Sange Gde Poetoe


Ngoerah

Sang Gde Ktoet Bagoes

IV. Salinan surat dari Residen Bali dan Lombok Ditulis pada 16 Aril 1912
hingga perhatian para Asisten-Residen Bali Selatan

Singaradja, 16 April 1912

Referte Uwe missive van den 2en dezer No 622.

In het mij daarbij toegezonden afschrift schrijven van den Controleur


van Gianjar van den 18en Maart No 306, wordt als resultaat van de
besprekingen, gehouden op den 15den te voren door de drie
Boelelengsche en de drie Gianjarsche Pedanda's, waaraan ook
werd deelgenomen door den Kloengkoengschen Pedanda Ida
Wajan Pidada, den Stedehouder en den Onderafdeelingschef
medegedeeld, dat aan het ordeel der genoemde Pedanda's de vraag
werd voorgelegd, of personen die rich van wijwater voorzien bij
niet Pedanda's strafbaar zijn, en dat daarop het antwoord is
gegeven dat alleen zij, die zich onrechtmatig met het vervaardigen
van wijwater onledig hidden, strafbaar zijn en met zij die rich
daarvan bij zoodanige personen komen voorzien.

Ter verduidelijking hiervan vermeent de Controleur in zijn


schrijven nog te moeten releveren, dat het vervaardigen van
wijwater dus een preroeatief is van Brahmanen. mecr speciaal van
Pedanda's, en concludeert dan dat personen, die rich dus
onrechtmatig daarmee bezig vonden, zich gedragen alsof zij
Pedanda's waren, weshalve zij schuldig zijn aan "Samoeka",
terwijIhij daarop in de volgende alinea laat volgen. dat de Pande's
van Beng en de Senggoehoe's van Blah-Batoe dus niet strafbaar
zijn.

De vraag van de al of niet strafschuldigheid van hen, die


daartoe onbevoegd wijwater maken, had geheel achterwege
kunnen zijn gelaten, want de kwestie waar't voor liep was of. de
smeden, die bewezen van de I Pande Kawi a lias Hadji Wesi of te
stammen, gedwongen kunnen worden heilig water van den
Brahmaanschen Pedanda te ontvangen. en hierop deelt de
Controleur het aritwoord niet mee.

Ik had-van dien bestuursambtenaar verwacht dat bij een volledig


verslag van de gehouden besprekingen en de ter zake genomen
beslissing zou hebben gegeven, want de beslissing thans in deze
belangrijke kwestie genomen moet voor den vervolge steeds tot
richtsnoer in analoge gevallen dienen. ,

De mededeeling alzoo van den Controleur Savers


aanvallende, naar hetgeen de Boelelengsche Pedanda's mij
hebben verklaard, wordt het volgende opgemerkt.

Op meergenoemde bijeenkomst is beslist, dat de -Pande's Wesi


naar verkiezing wijwater mogen halen van de plaats, die zij
daartoe verkiezen. alzoo zoowel uit hun poera als van de rivier,
of waar vandaan dan ook, doch niet van een hunner gelijken
(empoc = pendita ) die daartoc niet vooraf de vergunning van
den Vorst cn van een Brahmaansche Priester.

Een daartoe strekkend verzoek mag door hen niet worden


afgewezen.

Die Empoe-Pande is dus wel gerechtigd wijwater te


vervaardigen en te verstrekken, al is hij Been Brahmaansche
Pedanda.

De Controleur laat na nader aan te toonen, wie hij met die


personen bedoelt die eene schriftelijke machtiging van een
Pedanda kunnen verkrijgen bm wijwater te maken.

Enige Pande's van Beng vroegen mij voorts ook een beslissing te
willen nemen. ten aanzien van de soort van de door hen te
bezigen wada bij lijkverbrandingen n. I. te bepaten uit •
hoeveel afdeelingen (toempang) boven elkaar die mag bestaan,
wiji de Stedehouder Dewa Man eels. die eerst zou hebben
toege staan de wada toempangtoe djoeh» te bezigen. dit aa n
ta I later weer tot vijf had teruggebracht.
Op grond van de overweging, dat de Pande's van Patemon der
afdeeling Boeleteng wada's bezigen bestaande uit zeven
afdeelingen boven elkaar geplaatst en niemand —volgens de
Boelelengsche Pedanda's van den Raad ven Kerta —daaraan
ooit eenigen aanstoot heeft gevonden, en zij mij ook
overeenkomstig de Poerwa Dresta, d.i. handelingen die van
vroeger tijden dateeren, adviseerden toe te staan dat alle
Pande's de wada met zeven afdeelingen boven elkaar zouden
mogen aanwenden, is door mij daarin toegestemd en aldus
beslist.

Hun verzoek echter nu tot de Ksatria kaste te worden gerekend is


door mij niet inge•illigd. moetende zij als Kesarnen of Soedra's
worden beschouwd. .

Verder moet onder oSeng,goehoe» worden verstaan Brahmanen,


die van hunne kaste zijn vervallen verklaard, en die eertijds
van den Vorst de bevoegheid hebben gekregen om wi jwa ter
a an hun ne fa mi li el ed en te verstrekke n . De ve rstre kker h ee t
d an Pand ita Senggoehoe.

Ik verzoek U een afschrift van dit schrijven niet alleen te willen


zenden aan den Controleur van Gianjar, doch ook aan de andere
onderafdeelingschefs, ten einde zich voor de vervolge aan de
genomen beslissing te houden.

De Resident van Bali en Lombok

Voor eensluidend afschrift


rsBN l?a-hoa-3D'{L5q-8

,llflltjtl|!|ltilt|[[]illl

Anda mungkin juga menyukai