Anda di halaman 1dari 80

1

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH


JILID 11

OLEH

PanemBahan Mandaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Ki Adi Suta

Tahun 2018
Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

2
Cerita ini ditulis
Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa
Yang telah menggali cerita
Dari bumi yang tercinta
Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna
Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga
Hanyalah kecintaan akan sebuah karya
Untuk dilestarikan sepanjang masa

Sekar keluwih, Juli 2018

Terima kasih atas dukungan:


Istri dan anak-anak tercinta
Serta handai taulan semua

3
Melihat raut wajah ayahnya menjadi sedemikian tegang, Ratri
segera menceritakan kejadian di halaman belakang tadi pagi,
tanpa dikurangi maupun ditambahi.
“Kakang Gatra Bumi lah yang telah berhasil melumpuhkan Ki
Jagabaya,” berkata Ratri mengakhiri ceritanya, “Aku mengatas
namakan ayah telah mengucapkan terima kasih atas bantuan
kakang Gatra Bumi sehingga usaha penculikan itu dapat
digagalkan.”
Ki Gede Matesih menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
menghela nafas panjang mendengar cerita anak perempuan satu-
satunya itu. Untunglah Yang Maha Agung masih melindungi
keluarganya melalui lantaran cantrik Gatra Bumi. Jika saja
rencana Ki Jagabaya itu bisa terujud, tentu perlawanan pasukan
pengawal Matesih di gunung Tidar pagi tadi dengan mudahnya
akan dapat dilumpuhkan.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat, jika Ki Jagabaya
kemudian membawa Ratri ke gunung Tidar sebagai sandera,”
berkata Ki Gede kemudian dalam hati, “Aku benar-benar akan
dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit.”
“Ki Ajar,” berkata Ki Gede kemudian setelah sejenak mereka
terdiam, “Entah sudah keberapa kalinya aku harus mengucapkan
terima kasih atas bantuan Ki Ajar dan cantrik Gatra Bumi. Aku
atas nama seluruh kawula Perdikan Matesih merasa berhutang
budi kepada Ki Ajar berdua. Jika Ki Ajar berkenan, tinggallah di
Perdikan Matesih. Akan kita bangunkan sebuah padepokan untuk
Ki Ajar berdua. Sehingga ke depan, Ki Ajar dapat menjadikan
padepokan itu sebagai sarana untuk menggulawentah para murid-
murid Ki Ajar utamanya para pemuda yang berasal dari Perdikan
Matesih.”
“Ah,” desah Ki Ajar sambil beringsut setapak ke belakang, “Itu aku
kira terlalu berlebihan Ki Gede. Apa yang kami lakukan adalah
sebagai kewajiban kepada sesama untuk saling membantu.
Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Kanjeng Sunan.”

4
“Ayah,” tiba-tiba Ratri menyela, “Kejadian tadi pagi telah
memberikan aku sebuah pengalaman. Aku tidak boleh bergantung
kepada pertolongan seseorang walaupun semua pertolongan itu
sumbernya dari Yang Maha Agung semata, namun manusia
diwajibkan untuk berusaha.”
Ki Gede mengerutkan keningnya mendengar ucapan putrinya itu.
Sambil berpaling ke arah putrinya, ditatapnya tajam-tajam
sepasang mata anak perempuan kesayangannya itu. Sementara Ki
Ajar yang sudah dapat menduga arah pembicaraan Ratri telah
menarik nafas dalam-dalam.
“Apa maksudmu Ratri?” bertanya Ki Gede kemudian dengan suara
sedikit ragu-ragu.
“Ayah,” berkata Ratri selanjutnya sambil menggeser duduknya
merapat mendekati Ki Gede, “Aku telah memutuskan untuk keluar
dari kelemahan seorang perempuan. Aku telah memutuskan
untuk mempelajari olah kanuragan sebagaimana kebanyakan laki-
laki melakukannya.”
“He?” seru Ki Gede tertahan. Kerut merut di dahinya pun semakin
dalam.
“Apa salahnya ayah?” sergah Ratri sebelum ayahnya menanggapi
ucapannya, “Aku sudah dewasa dan aku sudah berhak
menentukan jalan hidupku. Namun aku tetap mohon doa restu
dari ayah agar apa yang aku cita-citakan ini terwujud dan benar-
benar akan bermanfaat bagi diriku sendiri dan bagi bebrayan
agung.”
Untuk beberapa saat Ki Gede justru diam membeku. Berbagai
pertimbangan sedang hilir mudik dalam benaknya.
Namun akhirnya Ki Gede menyadari, bahwa putri satu-satunya itu
mempunyai watak yang sangat keras. Jika sudah mempunyai
keinginan, akan sulit bagi siapapun untuk mencegahnya.
“Baiklah Ratri,” berkata Ki Gede kemudian, “Aku akan
meluangkan waktuku untuk mengajarimu selangkah dua langkah
ilmu olah kanuragan ini. Namun engkau harus menyadari, ilmu
5
olah kanurgan ini memang pada awalnya diciptakan untuk kaum
laki-laki saja. Namun dalam perkembangannya ternyata ada
beberapa perempuan yang telah mempelajarinya. Tentu saja
semua itu harus mengalami penyesuaian dengan kodrat
perempuan yang memang berbeda dengan kaum laki-laki.”
Sejenak Ratri memandang kearah Ki Ajar untuk meminta
pertimbangan. Namun agaknya guru cantrik Gatra Bumi itu telah
menyerahkan persoalan itu sepenuhnya kepada gadis yang keras
hati itu.
“Ayah,” akhirnya Ratri mengambil sebuah keputusan, “Jika ayah
memang akan mengajari aku ilmu olah kanuragan, aku tidak
yakin jika ayah akan dapat meluangkan waktu untuk itu. Ayah
terlalu sibuk untuk mengurusi tanah Perdikan ini,” Ratri berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian, “Disamping itu, sebagaimana yang
telah ayah sampaikan tadi bahwa pada dasarnya ilmu olah
kanuragan itu diciptakan untuk kaum laki-laki. Tentu ayah akan
mengalami sedikit kendala jika mengajari aku secara langsung.
Bukankah ayah belum mempunyai pengalaman untuk
mengajarkan ilmu olah kanuragan kepada perempuan?”
Ki Gede tidak menjawab hanya menarik nafas dalam-dalam
sambil menganggukkan kepalanya.
“Nah, ayah,” berkata Ratri selanjutnya, “Aku mendengar ada
beberapa perempuan yang tinggal di Menoreh mempunyai
kemampuan ilmu olah kanuragan yang mumpuni, salah satunya
adalah Nyi Sekar Mirah istri Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Istri Ki Rangga Agung Sedayu?” ulang Ki Gede terheran-heran,
“Aku tidak mengira jika istri Ki Rangga ternyata juga mempelajari
ilmu olah kanuragan.”
“Ya, Ki Gede,” sahut Ki Ajar dengan serta merta, “Nyi Sekar Mirah,
istri Ki Rangga itu adalah murid Ki Sumangkar, saudara
seperguruan Ki Patih Mantahun dari Jipang Panolan.”
“He?!” kali ini Ki Gede benar-benar terkejut. Nama Patih
Mantahun sangat disegani pada masa kerajaan Demak lama.

6
“Jadi, Nyi Sekar Mirah itu salah satu murid dari jalur perguruan
Kedung Jati yang terkenal itu?” bertanya Ki Gede selanjutnya.
“Ya, Ki Gede,” jawab Ki Ajar, “Bahkan pertanda khusus perguruan
Kedung Jati pun telah diwariskan kepadanya, sebuah tongkat baja
putih yang berkepala tengkorak berwarna kekuning-kuningan.
Sebuah senjata yang mengerikan.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya. Ternyata perguruan-perguruan yang
terkenal di masa lalu itu sampai kini masih ada penerusnya.
Sementara Ratri yang belum mengetahui seluk beluk tentang nyi
Sekar Mirah menjadi semakin bersemangat untuk menjadi
muridnya.
Berkata Ratri kemudian, “Ayah, jika ayah berkenan aku ingin
berguru kepada Nyi Sekar Mirah.”
Untuk beberapa saat Ki Gede termenung. Berbagai pertimbangan
bergolak dalam dadanya. Ki Gede sendiri adalah anak murid dari
jalur Gunung Kidul, Ki Demang Sarayuda. Namun sepeninggal Ki
Demang Sarayuda, perkembangan perguruan Gunung Kidul yang
merupakan cabang dari perguruan Pandan Alas itu telah
menyusut dengan sedemikian pesatnya.
“Ratri,” berkata Ki Gede kemudian dengan sareh, “Memang
menjadi idaman untuk menuntut ilmu kepada Nyi Sekar Mirah.
Namun aku tidak yakin jika Nyi Sekar Mirah akan bersedia tinggal
di Matesih ini hanya khusus untuk mengajarimu.”
“Bukan begitu ayah,” sela Ratri cepat.
Kembali kerut merut tampak di wajah Ki Gede. Bertanya Ki Gede
kemudian, “Jadi apa rencanamu, Ratri?”
“Aku yang akan pergi ke Menoreh, ayah,” jawab Ratri dengan
suara yang tegas dan lugas.
Jika saja ada petir yang menyambar sejengkal di atas kepala Ki
Gede, Ki Gede tentu tidak akan seterkejut itu. Tidak pernah
terbayangkan olehnya jika anak perempuan satu-satunya itu
benar-benar akan pergi meninggalkan Matesih.
7
“Benarkah engkau akan pergi, nduk?” bertanya Ki Gede kemudian
dengan suara yang hampir tak terdengar. Terlihat betapa wajah
itu memendam kesedihan yang dalam.
Untuk beberapa saat Ratri justru bagaikan membeku mendapat
pertanyaan ayahnya. Tanpa terasa di kedua belah sudut matanya
yang indah itu telah menyembul setitik air yang bening.
Namun gadis Matesih itu segera mampu menguasai hatinya dan
menyingkirkan segenap keragu-raguan yang sempat menyelinap
di sudut hatinya. Maka jawabnya kemudian sambil sibuk menyeka
air mata yang belum sempat terjatuh di kedua pipinya yang ranum
merona itu, “Ayah, aku pergi ke Menoreh bukan untuk selamanya.
Aku hanya pergi untuk menggapai cita-citaku. Jika ayah rindu
kepadaku, ayah dapat mengunjungiku di Menoreh,” gadis itu
berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bukankah ayah belum
sempat mengucapkan terima kasih atas pertolongan Ki Rangga
dan kawan-kawannya? Nah, aku kira sudah sepantasnya jika
sesekali ayah berkunjung ke Menoreh.”
Kata-kata putri satu-satunya itu bagaikan banyu sewindu yang
mengguyur sepetak tanah gersang di sudut hatinya. Tampak
wajah Ki Gede menjadi cerah lagi, secerah harapan Perdikan
Matesih yang telah terbebas dari pengaruh orang-orang yang
mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen.
“Baiklah Ratri,” berkata Ki Gede kemudian setelah orang tua itu
terlebih dahulu memenuhi rongga dadanya dengan udara malam
yang mulai dingin, “Aku mengijinkan engkau untuk pergi
menuntut ilmu ke Menoreh. Namun satu pesanku, jagalah dirimu,
baik tata krama, trapsila dan unggah ungguh sebagai perempuan.
Terlebih engkau masih harus memohon kepada Nyi Sekar Mirah
untuk berkenan menurunkan ilmu kepadamu. Selebihnya, jika
karena suatu alasan tertentu sehingga Nyi Sekar Mirah
berkeberatan menerimamu sebagi murid, engkau harus
menyadari semuanya itu dan menerimanya dengan lapang dada.”
Sejenak kerut merut tampak di dahi gadis cantik yang beranjak
dewasa itu. Sepasang alis bak wulan tumanggal itu pun hampir
terpaut menjadi satu. Sementara sepasang mata yang biasanya
8
berbinar penuh sinar kehidupan itu tampak sedikit meredup
seiring dengan bibirnya yang memerah delima itu terkatup rapat-
rapat.
Melihat perubahan raut wajah puteri Matesih itu, Ki Ajar
Mintaraga yang duduk di hadapannya segera bergumam perlahan.
Ketika ayah dan anak itu kemudian berpaling ke arahnya, dengan
segera Ki Ajar berkata, “Maaf Ki Gede, memang semua keputusan
itu kembali berpulang kepada Nyi Sekar Mirah. Ada beberapa
pertimbangan sebelum seorang guru memutuskan untuk
mengambil seorang murid. Tanggung jawab seorang guru
sangatlah berat. Jadi, jika seseorang telah mengambil keputusan
untuk mengangkat seorang murid, dia harus bertanggung jawab
sepenuhnya atas tingkah laku muridnya itu kelak di kemudian
hari. Jika terjadi penyimpangan, tidak segan segan gurunya akan
memperingatkan, bahkan kadang harus melenyapkan sekalipun
jika dipandang keberadaan muridnya dengan ilmu yang
dikuasainya itu membahayakan bebrayan agung.”
Hampir bersamaan ayah dan anak itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Ki Gede yang merupakan murid perguruan
Pandan Alas dari jalur Gunung Kidul itu pun maklum, hubungan
seorang guru dan muridnya bagaikan orang tua dan anaknya,
bahkan bisa lebih dari itu karena ada pertautan ilmu yang turun
temurun.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing telah tenggelam
dalam lamunan yang hilir mudik dalam benak mereka.
“Jadi, bagaimana jika aku sudah jauh-jauh berjalan ke Menoreh
tetapi ternyata Nyi Sekar Mirah berkeberatan untuk
mengangkatku sebagai murid?” tiba tiba keheningan itu telah
dipecahkan oleh suara bening Ratri.
Segera saja Ki Gede berpaling ke arah Ki Ajar.
Melihat sinar mata Ki Gede yang penuh dengan tanda tanya itu, Ki
Ajar pun segera maklum akan maksud Kepala Perdikan Matesih
itu. Maka katanya kemudian, “Ki Gede, aku akan berusaha
meyakinkan Nyi Sekar Mirah akan niat baik dari nimas Ratri ini.
9
Jika memang Nyi Sekar Mirah masih menyimpan keraguan untuk
mengangkat nimas Ratri sebagai murid, aku akan meminta
pertolongan kepada Kanjeng Sunan agar bersedia membantu
membujuk Nyi Sekar Mirah.”
“Ah,” desah Ki Gede sambil menggeser duduknya setapak
kesamping. Katanya kemudian, “Aku tidak pernah berpikir jika
permasalahan Ratri ini akan sampai di hadapan Kanjeng Sunan.
Biarlah aku sendiri yang akan mengantar Ratri ke Menoreh
sekaligus sebagai tanda ungkapan terima kasih mewakili seluruh
kawula Matesih atas bantuan Ki Rangga dan kawan kawannya
selama ini.”
Mendengar ucapan ayahnya itu, seketika Ratri terlonjak gembira.
Sambil memeluk lengan ayahnya, gadis cantik yang beranjak
dewasa itu tak henti-hentinya menguncang-guncang lengan
ayahnya sambil berseru, “Terima kasih, ayah! Terima kasih,
ayah..!”
Ki Ajar yang melihat tingkah gadis itu menjadi tersenyum. Dalam
hati Ki Ajar pun maklum, jika Ki Gede sendiri yang mengantar
Ratri ke Menoreh, tentu tanggapan Nyi Sekar Mirah akan lain.
Setidaknya kehadiran kepala tanah Perdikan Matesih itu akan
menjadi petimbangan tersendiri bagi keluarga Ki Rangga Agung
Sedayu.
“Sudahlah Ratri,” berkata ayahnya kemudian sambil melepaskan
lengannya dari pelukan anak perempuan satu-satunya itu, “Hari
sudah cukup malam dan agaknya kita telah sepakat untuk pergi ke
Menoreh. Namun perjalanan ke Menoreh cukup jauh dan
memerlukan perhitungan yang cukup agar kita tidak mengalami
suatu hal apapun dalam perjalanan nanti.”
“Maksud ayah?” sela Ratri dengan serta merta.
Sejenak Ki Gede menarik nafas panjang. Jawabnya kemudian,
“Kita perlu mempersiapkan rencana perjalanan itu dengan sebaik-
baiknya. Aku tidak bisa dengan serta merta meninggalkan tanah
Perdikan yang baru saja mengalami goncangan ini. Diperlukan

10
beberapa hari sebelum kita benar-benar siap untuk melakukan
sebuah perjalanan jauh.”
Bagaikan sebuah dlupak yang kehabisan minyak, tiba-tiba saja
raut wajah cantik Ratri tampak meredup seiring dengan sinar
matanya yang mengandung seribu tanya ke arah ayahnya.
Kembali Ki Gede menarik nafas panjang. Katanya kemudian
dengan suara sesareh mungkin, “Nduk, ayahmu ini memikul
tanggung jawab yang tidak ringan. Seluruh kawula di Matesih
bergantung harapan kepada ayahmu. Selepas cengkeraman
pengaruh orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu, aku
harus menata kembali tata kehidupan di Matesih. Tidak sedikit
para kawula dan perangkat tanah Perdikan yang terpengaruh
dengan janji-janji kosong mereka. Semua itu memerlukan waktu
yang tidak sebentar. Namun aku berjanji, secepatnya aku akan
memulihkan keadaan Perdikan ini sehingga dapat mengantarmu
ke Menoreh dengan tenang.”
Sejenak kepala Ratri tampak menunduk dalam-dalam. Kedua jari
jemari tangannya yang lentik tampak memainkan ujung bajunya.
Sementara kerut merut di keningnya semakin dalam.
Ki Ajar yang melihat gadis itu tidak menjawab dan hanya
tertunduk dalam-dalam segera menyahut, “Nimas Ratri,
menuntut sebuah ilmu diperlukan sebuah kesabaran, dan
kesabaran itu sudah dimulai sejak Sekarang.”
“Ki Ajar benar,” sahut Ki Gede dengan serta merta, “Engkau harus
belajar bersabar mulai sekarang, Ratri. Aku sebagai ayahmu sudah
memberi ijin dan bahkan telah berjanji untuk mengantarmu
sendiri ke Menoreh. Jadikanlah semua itu sebagai pegangan
untuk mengapai cita-citamu. Jangan nggege mongso dan
mengharap yang lebih. Apa yang sudah tergenggan di tanganmu
sekarang ini pun jika Yang Maha Agung tidak mengijinkan, akan
terlepas juga.”
Tampak kepala Ratri terangguk-angguk. Memang masih tersisa
sebuah kekecewaan terhadap ayahnya. Dia berharap
keberangkatan ke Menoreh itu dapat terlaksana secepat mungkin,
11
bahkan kalau perlu besuk pagi-pagi sekali mereka sudah
berangkat ke Menoreh.
“Aku tidak boleh terlalu memaksakan kehendakku kepada ayah,”
berkata Ratri kemudian dalam hati sambil tetap menundukkan
kepalanya, “Aku sudah mendapat ijin dan bahkan ayah telah
berjanji untuk mengantarkan aku sendiri ke Menoreh. Itu sudah
lebih dari cukup. Aku harus memberi kesempatan ayah untuk
membenahi tanah Perdikan ini terlebuih dahulu.”
Berpikir demikian, Ratri pun kemudian menengadahkan
wajahnya sambi tersenyum kecil dan berkata, “Maafkan aku ayah.
Terdorong semangat yang membara dalam hatiku untuk
menuntut ilmu, aku telah membuat ayah menjadi resah.”
“Sudahlah Ratri,” sahut Ki Gede cepat sambil tangan kirinya
menyentuh dagu anaknya, “Kita sudah sepakat. Sesegera mungkin
ayah akan membenahi tanah Perdikan ini. Dalam dua tiga hari
aku harap kita sudah siap untuk berangkat ke Menoreh.”
Mendengar janji ayahnya, wajah Ratri pun menjadi berbinar-binar
kembali. Dua tiga hari tidak akan lama walaupun pekerjaan
menunggu itu akan sangat membosankan. Namun dia yakin, hari-
hari yang tunggu itu akan segera tiba.
“Ada satu hal lagi yang perlu engkau perhatikan Ratri,” lanjut Ki
Gede kemudian.
“Apakah itu, ayah?”
“Perjalanan ke Menoreh cukup jauh, kita akan berkuda.”
“Maksud ayah?”
Ki Gede menarik nafas dalam terlebih dahulu. Jawabnya
kemudian, “Terakhir aku melihat engkau belajar naik kuda ketika
ibumu masih ada.”
Sejenak Ratri menundukkan kepalanya dalam-dalam. Teringat
akan ibunya, hati Ratri pun bagaikan teriris sembilu.
“Bagaimana, Ratri?” desak ayahnya, “Apakah engkau masih berani
naik kuda?”
12
Ratri tersenyum sambi mengangguk. Jawabnya kemudian,
“Sebelum berangkat ke Menoreh, aku akan berlatih berkuda lagi
ayah. Sekedar menyesuaikan diri setelah lama tidak berkuda.”
“Dan sebaiknya nimas Ratri berpakaian sebagaimana laki-laki,” Ki
Ajar pun ikut memberikan pendapatnya, “Dengan demikian nimas
Ratri akan lebih leluasa mengendalikan kudanya dan sekaligus
mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diingankan
sepanjang perjalanan.”
Hampir bersamaan ayah beranak itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Segala sesuatunya bisa saja terjadi dan lebih baik
mereka berusaha menghilangkan kemungkinan-kemungkinan
buruk itu sekecil apapun.
“Nah,” berkata Ki Gede kemudian, “Aku kira sudah cukup
permbicaraan kita malam ini. Malam sudah cukup larut,
sebaiknya kita beristirahat untuk mempersiapkan kerja esok hari
yang masih banyak menunggu.”
“Baik Ki Gede,” sahut Ki Ajar kemudian, “Pada kesempatan ini,
aku juga ingin mohon pamit. Dalam waktu dekat, aku dan
muridku akan segera kembali ke gunung Muria untuk menghadap
Kanjeng Sunan.”
Terkejut ayah beranak itu. Untuk sejenak Ki Gede dan Ratri
justru telah terdiam. Mereka berdua tidak menyangka jika Ki Ajar
dan muridnya akan secepat itu meninggalkan Matesih.
“Mengapa?” tiba tiba saja sebuah pertanyaan meluncur begitu saja
dari bibir indah putri Matesih itu.
Ki Gede terkejut mendengar pertanyaan serta merta dari putrinya
itu. Tanpa sadar dia segera menggamit lengan putrinya.
Ratri yang segera menyadari dirinya itu segera menundukkan
wajahnya yang memerah jambu. Ada sedikit penyesalan telah
melontarkan sebuah pertanyaan yang dapat menimbulkan
berbagai tafsiran atas isi hatinya yang sebenarnya.
“Maaf Ki Ajar,” berkata Ki Gede kemudian masih dalam keadaan
tidak percaya, “Bukankah kita dapat melakukan perjalanan
13
bersama ke Menoreh? Akan sangat menyenangkan mempunyai
kawan seperjalan dengan Ki Ajar dan cantrik Gatra Bumi.”
Ki Ajar yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu
telah tersenyum sambil menggeleng lemah, “Terima kasih atas
tawaran Ki Gede itu. Namun aku mendapat pesan dari Kanjeng
Sunan untuk segera kembali ke gunung Muria selepas tugasku
telah selesai di Matesih ini. Jika Yang Maha Agung mengijinkan,
kita akan bertemu kembali nanti di Menoreh.”
Kata-kata terakhir Ki Ajar itu terdengar di telinga Ratri bagaikan
sebuah kidung indah asmarandana. Entah mengapa, ketika tadi
dia mendengar Ki Ajar dan muridnya akan meninggalkan Matesih,
hatinya terasa pedih bagaikan teriris sembilu. Namun kata-kata
terakhir Ki Ajar itu telah menumbuhkan harapan baru disudut
hatinya.
“Apa peduliku!” tiba tiba sudut hatinya yang lain menyeluthuk,
“Aku tidak ada sangkut pautnya dengan cantrik itu. Mau pergi ke
mana, mau berbuat apa, tidak ada sangkut pautnya denganku.”
Namun di sudut hatinya yang paling dalam telah membuat sebuah
pengakuan yang tak terelakkan, “Alangkah senangnya melakukan
perjalanan bersama kakang Gatra Bumi. Anak muda yang aneh,
pendiam namun mempunyai kemampuan ilmu olah kanuragan
yang tinggi. Terbukti Ki Jagabaya saja dapat dilumpuhkan.”
“Ah,” tiba-tiba kedua pipinya merona merah. Gadis yang beranjak
dewasa itu menjadi malu sendiri dengan pengakuan jujur di dalam
lubuk hatinya.
“Baiklah Ki Ajar” berkata Ki Gede kemudian, “Jika memang Ki
Ajar mempunyai tugas yang tidak dapat ditunda lagi, kami seisi
tanah Perdikan Matesih hanya dapat mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga teriring doa semoga Ki Ajar berdua sampai di
gunung Muria dengan selamat.”
“Terima kasih Ki Gede,” jawab Ki Ajar sambil mengangguk dalam-
dalam dan bangkit dari duduknya. Ki Gede dan Ratri pun
kemudian ikut berdiri.

14
Kemudian sambil melangkah bertelekan pada tongkatnya, Ki Ajar
pun kemudian berkata, “Jika Ki Gede memerlukan kawan
seperjalanan ke Menoreh, aku kira ketiga orang tua yang kini
sedang berada di banjar padukuhan induk itu akan dapat menjadi
kawan seperjalanan yang sangat menyenangkan.”
Mendengar kata-kata Ki Ajar itu, Ki Gede segera teringat kepada
ketiga orang-orang tua yang sekarang sedang bermalam di banjar
padukuhan induk.
“Dalam dua tiga hari ini aku yakin mereka sudah sehat kembali
dan siap kembali ke Menoreh,” berkata Ki Ajar selanjutnya sambil
terus berjalan ke arah pintu ruang dalam yang menghubungkan
dengan ruang pringgitan, “Mereka tentu akan sangat senang
mempunyai kawan seperjalanan dengan Ki Gede dan nimas
Ratri.”
“Semoga demikian Ki Ajar,” sahut Ki Gede sambil mengiringi
langkah Ki Ajar. Sedang Ratri berjalan dengan kepala tunduk
selangkah di belakang ayahnya.
“Besuk pagi pagi sekali, aku akan mengirim utusan ke banjar
padukuhan induk,” berkata Ki Gede kemudian ketika mereka telah
berdiri di dekat pintu pringgitan, “Biarlah orang-orang tua itu
dapat beristirahat dengan tenang disini. Aku akan menyuruh
perempuan-perempuan yang berada di dapur untuk memasakkan
klangenan mereka, nasi putih dengan sayur keluwih dan lauk
dendeng sapi serta sambal tomat yang pedas.”
“Ah,” Ki Ajar tertawa pendek. Katanya kemudian, “Semoga saja
mereka semakin cepat menemukan kekuatannya kembali dengan
obat khusus dari Ki Gede itu.”
Ki Gede ikut tertawa. Sahutnya kemudian, “Mereka sendirilah
yang mengatakan obat khusus itu. Aku hanya berusaha
menyediakan saja.”
“Nah,” berkata Ki Gede kemudian sambil membukakan pintu
pringgitan, “Kapan rencana Ki Ajar berdua akan kembali ke
gunung Muria?”

15
“Nanti pada saat wayah pasar temawon,” sahut Ki Ajar cepat
sambil memegangi daun pintu yang dibukakan oleh Ki Gede, ”Aku
berharap masih dapat berjumpa dengan ketiga orang tua itu
sebelum meninggalkan Matesih.”
“Sekalian ikut mencicipi obat khusus yang mungkin dapat
membuat Ki Ajar semakit bugar,” sela Ki Gede sambil tersenyum.
“Ah,” desah Ki Ajar sambil tertawa. Kemudian setelah menyalami
Ki Gede dan menganggukkan kepala dalam-dalam ke arah Ratri,
Ki Ajar pun kemudian berpamitan, “Aku mohon diri. Semoga apa
yang telah kita sepakati bersama tadi segera dapat terujud.”
“Semoga Ki,” jawab Ki Gede. Sedangkan Ratri hanya tersenyum
simpul sambil membalas anggukan kepala Ki Ajar.
Demikianlah akhirnya Ki Ajar segera meninggalkan rumah induk
Ki Gede dan berjalan tertatih-tatih bertelekan pada tongkatnya
menuju ke gandhok kiri.
Sepeningal Ki Ajar, Ki Gede segera meangkah lebar menuju ke
ruang dalam sambil berkata, “Ratri, beristirahatlah. Engkau sudah
cukup lelah hari ini, demikian juga aku. Masuklah ke bilikmu
untuk beristirahat.”
Sejenak Ratri tertegun memandangi langkah ayahnya yang tergesa
gesa menuju ke ruang dalam. Berbagai dugaan timbul dalam
benaknya.
“Ayah akan pergi ke mana lagi?” tanpa sadar sebuah pertanyaan
meluncur begitu saja dari bibirnya.
Ki Gede yang sudah membuka pintu ruang dalam itu hanya sekilas
berpaling sambil menjawab, “Aku akan menengok bilikku
sebentar. Setelah itu aku masih ada perlu sedikit dengan Ki
Kamituwa. Beristirahatlah, nduk. Masih banyak permasalahan
yang harus aku selesaikan di sisa malam ini.”
Ratri tertegun. Segera saja dia teringat Ki Kamituwa yang
menunggu di luar pendapa. Namun ketika Ratri kemudian
mencoba mengintip dari sela-sela pintu pringgitan, pendapa itu
tampak kosong.
16
“Mungkin Ki Kamituwa pergi ke gardu depan sekedar mencari
kawan berbincang,” berkata Ratri dalam hati kemudian sambil
melangkah, “Apapun yang akan dikerjakan ayah dan Ki
Kamituwa, bukan urusanku. Yang penting ayah sudah
mengijinkan aku pergi ke Menoreh.”
Berpikir sampai disitu, tampak bibir memerah delima itu
tersenyum puas. Sejenak kemudian Ratri pun segera
melangkahkan kaki menuju ke biliknya sendiri.
“Di mana mbok Pariyem?” tiba-tiba sebuah pertanyaan
menyelinap dalam benaknya ketika dia sudah berada di dalam
biliknya.
“Ah, sudahlah,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Mbok
Pariyem pasti sudah terlampau lelah dan sekarang sedang
beristirahat di dalam biliknya. Besuk pagi saja aku akan
menemuinya untuk memberi tahu kabar gembira ini.”
Segera saja dibaringkan tubuhnya yang terasa penat. Beberapa
saat tadi dia harus bersembunyi di dalam geledek bambu di bilik
Ki Ajar. Sekarang dia baru menyadari betapa seluruh
persendiannya terasa kaku dan nyeri.
Demikianlah, setelah puas berangan-angan tentang masa depan
yang akan diraihnya, Ratri pun kemudian segera terbuai dalam
alam mimpi yang indah.
Dalam pada itu, Ki Gede yang telah memasuki biliknya, ternyata
telah keluar kembali dengan membawa sebuah bungkusan kain
kecil yang di sangkutkan pada ikat pinggangnya. Setelah berpaling
sekilas ke arah bilik Ratri yang tertutup rapat, Ki Gede pun dengan
tegesa-gesa segera mengayunkan langkahnya.
Ketika Ki Gede kemudian sudah membuka pintu pringgitan, dia
tidak melihat bayangan Ki Kamituwa di pendapa. Dengan
melangkahkan kakinya satu-satu, Ki Gede pun kemudian turun ke
pendapa. Diedarkan pandangan matanya ke sekeliling, barangkali
dia dapat menemukan keberadaan Ki Kamituwa.

17
Agaknya suara derit pintu pringgitan itu telah menarik perhatian
orang-orang yang sedang berada di regol depan. Ki Kamituwa
yang memang sedang mencari kawan berbincang itu pun segera
melihat Ki Gede yang berjalan perlahan turun ke pendapa.
Dengan tergesa-gesa Ki Kamituwa pun segera menyongsong Ki
Gede.
“Ki Gede,” sapa Ki Kamituwa kemudian ketika dia telah berada di
ujung tlundak pendapa. Sementara Ki Gede yang sedang berdiri di
tengah-tengah pendapa itu tampak termangu-mangu.
“O,” gumam Ki Gede perlahan sambil tersenyum dan melangkah
mendekat, “Aku sudah menduga jika Ki Kamituwa pasti sedang
mencari kawan berbincang di gardu depan.”
“Benar Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa sambil menaiki tlundak
pendapa, “Apakah ada sesuatu yang dapat aku bantu, Ki Gede?”
“Kita kembali ke rumah Ki Kamituwa,” jawab Ki Gede singkat
sambil menuruni pendapa dan kemudian berjalan menuju ke
tempat kuda-kuda mereka tertambat.
Berdesir dada Ki Kamituwa. Namun perangkat Perdikan Matesih
yang sudah banyak mengeyam pahit manisnya kehidupan itu pun
segera maklum. Agaknya Ki Gede masih ingin menikmati
kebersamaannya dengan Nyi Selasih. Maklumlah, walaupun
mereka berdua sudah melaksanakan perkawinan setahun yang
lalu, namun untuk sekedar menengok keberadaan istri barunya
itu, Ki Gede benar-benar harus mengatur waktu dan sekaligus
menjaga jangan sampai menyinggung hati anak perempuan satu-
satunya, Ratri.
Ketika Ki Gede ternyata sudah melepas tali pengikat kudanya dan
kemudian meloncat ke atas punggung kudanya, barulah dengan
bergegas Ki Kamituwa segera menyusulnya.
Beberapa saat kemudian kedua orang itu telah memacu kuda-
kuda mereka di jalan-jalan berbatu-batu yang menjelujur dalam
keremangan malam. Angin yng dingin terasa mengusap tubuh-
tubuh yang lelah itu sehingga menjadi sedikit segar.
18
“Alangkah segarnya malam ini,” desis Ki Gede sambil memacu
kudanya tidak begitu kencang, “Rasa-rasanya aku sudah lama
tidak ikut nganglang di malam hari sejak pengaruh orang yang
mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu mencengkeram tanah
Perdikan ini.”
“Ya Ki Gede,” sahut Ki Kamituwa yang berkuda di sebelahnya,
“Terakhir Ki Gede memimpin sendiri nganglang di siang hari
ketika justru berpapasan dengan Raden Surengpati, adik orang
yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu.”
Berdesir dada Ki Gede ketika mendengar Ki Kamituwa menyebut
peristiwa yang telah terjadi beberapa hari yang lalu. Peristiwa
yang telah mengubah pandangan seluruh kawula Matesih dan juga
Raden Surengpati terhadap sikap diamnya selama ini.
“Untunglah aku menyempatkan diri untuk menilai kemampuanku
sebelum mengambil sikap untuk membenturkan diri dengan adik
orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu,” berkata Ki Gede
dalam hati sambil pandangannya menatap jauh ke gelapan yang
terhampar di hadapannya, “Orang berkerudung yang menolongku
itu benar-benar telah membantuku mengurai simpul-simpul saraf
dalam tubuhku yang selama itu menggangu penyaluran tenaga
cadanganku. Seandainya saja aku dapat bertemu kembali dengan
orang itu, tentu aku akan meminta petunjuk-petunjuknya untuk
menyempurnakan puncak ilmuku.”
Tiba-tiba terlintas dalam benaknya sesuatu yang belum pernah
terpikirkan selama ini.
“Apakah orang aneh itu adalah salah satu murid dari perguruan
Pandan Alas?” pertanyaan itu tiba-tiba saja telah memenuhi
benaknya.
“Ah, tidak mungkin,” sudut hatinya yang lain membantah, “Jika
memang orang itu masih satu jalur perguruan denganku, tidak
mungkin dia menggunakan cara yang aneh itu untuk
membantuku. Orang itu pasti akan menunjukkan jati dirinya
dalam hubungannya dengan perguruan Pandan Alas.”

19
…………Namun ketika Ki Gede kemudian melemparkan pandangannya
ke depan lagi, jantung pemimpin tanah Perdikan Matesih itu berdesir
tajam ……..

20
Berpikir sampai disitu Ki Gede justru menjadi bingung. Karena
menurut pengamatannya selama ini, jalur perguruan Pandan Alas
telah terpecah menjadi dua cabang, cabang Gunung Kidul di
bawah kepemimpinan Ki Demang Surayudha yang sekaligus
menjadi gurunya, dan satunya adalah cucu Ki Ageng Pandan Alas
itu sendiri yang telah dipersunting oleh salah seorang perwira
Demak pada masa itu.
“Apakah cucu Ki Ageng Pandan Alas itu sempat menurunkan
ilmunya dari cabang Pandan Alas kepada putranya?” bertanya Ki
Gede dalam hati kemudian, “Atau aliran dari perguruan Pengging
yang gemilang itu yang justru kemudian mengalir dalam diri anak
itu?”
Tiba-tiba jantung Ki Gede berdesir tajam. Dia dapat
membayangkan jika ternyata putra satu-satunya dari Rara Wilis
dan Mahesa Jenar itu justru telah mewarisi dua jalur perguruan
sekaligus, perguruan Pandan Alas dan perguruan Pengging.
“Alangkah dahsyatnya,” desis Ki Gede dalam hati sambil tanpa
sadar menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali, “Jika dia
benar-benar mampu menguasai dan menyempurnakan kedua
jalur ilmunya itu, dia akan menjadi orang yang pilih tanding di
seluruh tlatah tanah ini.”
Tiba-tiba jantung Ki Gede kembali berdesir tajam. Tidak menutup
kemungkinan orang berkerudung yang membantu meningkatkan
ilmunya itu adalah cicit dari Ki Ageng Pandan Alas sendiri.
“Kemungkinan itu memang ada,” kembali Ki Gede berangan-
angan, “Usiaku baru menginjak belasan tahun ketika aku mulai
berguru kepada Ki Demang Sarayudha. Saat itu beliau sudah
sangat sepuh dan pemerintahan Demak sudah bergeser ke
Pajang.”
Dalam pada itu, Ki Kamituwa yang berkuda di sebelah Ki Gede
tidak berani mengganggu angan-angan pemimpin tanah Perdikan
Matesih itu. Hanya sesekali dia mencuri pandang dan melihat
betapa Ki Gede tampak beberapa kali menggeleng gelengkan
kepalanya.
21
“Mungkin peristiwa putrinya itu masih menyisakan persoalan di
hati Ki Gede,” membatin Ki Kamituwa sambil terus berkuda
menjajari pemimpinnya, “Berita hilangnya Ratri dan kemudian
tiba-tiba saja Ratri dengan diantar oleh Ki Ajar ingin menghadap
Ki Gede, benar benar telah memusingkan kepalaku.”
Namun walaupun sebenarnya ada seribu pertanyaan yang
bergelayut di dalam benaknya, Ki Kamituwa tidak berani
bertanya.
“Nanti pada saatnya Ki Gede pasti akan memberitahu aku apa
sebenarnya yang telah terjadi,” berkata Ki Kamituwa dalam hati
kemudian, “Mungkin waktunya belum tepat. Tetapi setidaknya
berita hilangnya Ratri dari rumah itu tidak benar dan semoga
keluarga Ki Gede segera mendapat ketenangan.”
“Ki Kamituwa,” tiba-tiba Ki Gede berbisik perlahan namun cukup
mengangetkan Ki Kamituwa yang sedang tenggelam dalam
lamunannya, “Engkau melihat orang yang berjongkok di atas
tanggul sebelah kanan membelakangi bulak di depan kita itu?”
Berdesir dada Ki Kamituwa mendapat pertanyaan Ki Gede.
Dengan cepat dilemparkan pandangan matanya jauh ke depan.
Benar saja, dalam keremangan malam dia melihat bayangan
samar-samar di atas tanggul sebelah kanan. Namun jarak itu
masih cukup jauh sehingga Ki Kamituwa masih merasa sedikit
kesulitan untuk mengenali ujud sebenarnya dari seonggok
bayangan hitam di atas tanggul itu. Bagi orang kebanyakan tentu
tidak mudah untuk melihatnya, namun ternyata pandangan Ki
Kamituwa yang cukup tajam telah mampu mengenalinya.
“Aku memang melihatnya, Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa tidak
kalah lirihnya, “Namun aku belum yakin jika bayangan hitam itu
adalah orang yang sedang berjongkok. Mungkin seonggok batu
atau bahkan sebuah gerumbul perdu yang tumbuh di atas
tanggul.”
Ki Gede tersenyum mendengar jawaban Ki Kamituwa. Ki Gede
segera maklum, tentu kemampuan Ki Kamituwa berbeda dengan

22
kemampuannya dalam melihat jarak yang cukup jauh, apalagi
dalam keremangan malam.
Ketika jarak mereka berdua dengan bayangan itu semakin dekat,
barulah Ki Kamituwa mampu mengenalinya.
“Mungkin seorang petani yang sedang menunggui aliran air di
sawahnya, Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa mencoba menduga-duga,
“Sudah menjadi kebiasaan para petani untuk menunggui sawah
mereka jika mendapat giliran pembagian air di malam hari.”
Ki Gede tidak menjawab hanya tampak kepalanya yang terangguk-
angguk. Namun ketika Ki Gede kemudian melemparkan
pandangannya ke depan lagi, jantung pemimpin tanah Perdikan
Matesih itu berdesir tajam. Dalam keremangan malam, orang
yang berjongkok membelakangi bulak panjang itu kini telah
berdiri dan justru telah memutar tubuhnya menghadap jalan
dengan kedua tangan di pinggang. Benar-benar sebuah sikap yang
mendebarkan.
“Kita harus berhati-hati Ki Kamituwa,” bisik Ki Gede kembali
sambil tanpa sadar tangan kanannya menggeser kedudukkan keris
pusakanya yang semula terselip di punggung menjadi ke lambung.
“Ya Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa dengan suara sedikit tergetar.
Entah mengapa, jantungnya seakan-akan berdetak semakin
kencang. Orang yang berdiri bertolak pinggang di atas tanggul itu
terlihat sangat meyakinkan dan sepertinya memang dengan
sengaja sedang menunggu kehadiran mereka berdua.
Ketika langkah-langkah kaki-kaki kuda mereka semakin dekat, Ki
Gede segera memberi isyarat untuk memperlambat laju kuda
mereka.
Demikianlah akhirnya kuda-kuda itu berjalan semakin lambat dan
akhirnya berhenti beberapa langkah saja dari tempat orang yang
bediri di atas tanggul itu.
Untuk sejenak Ki Gede dan Ki Kamituwa mencoba mengenali
wajah orang berdiri di atas tanggul itu. Namun kedua orang itu
segera mempunyai kesimpulan yang sama bahwa orang itu
23
agaknya dengan sengaja telah menyembunyikan jati dirinya
dengan memakai kerudung hitam yang hampir menutup seluruh
bagian kepalanya. Sementara sehelai ikat kepala telah digunakan
untuk menutupi sebagian wajahnya.
“Selamat malam Ki Sanak,” akhirnya Ki Gede membuka suara
tanpa turun dari kudanya, “Maafkan aku sebelumnya. Jika aku
boleh tahu, apakah Ki Sanak Sedang menunggu seseorang?”
“Apa pedulimu!” sahut orang di atas tanggul itu dengan serta
merta. Suaranya terdengar berat dan dalam, mirip dengan
geraman seekor beruang yang sedang lapar.
Berdesir dada kedua orang tua itu. Namun Ki Gede akhirnya
memutuskan untuk menghindar dari tempat itu. Berkata Ki Gede
kemudian sambil menggerakkan tali kendali kudanya, “Baiklah
kalau begitu. Aku mohon maaf jika telah mengganggu waktumu.
Kami berdua akan segera meneruskan perjalanan.”
“Tunggu!” tiba-tiba terdengar orang itu membentak keras.
Suaranya menggelegar memecah keheningan udara malam.
Ki Gede dan Ki Kamituwa menjadi bingung sejenak. Kedua tangan
mereka yang sudah menggerakkan kendali kuda segera
diurungkan.
“Ada apa Ki Sanak?” Ki Gede lah yang kembali bertanya, “Aku tadi
sudah bertanya baik-baik dan ternyata Ki Sanak tidak ada sangkut
pautnya dengan kami berdua. Sekarang kami akan melanjutkan
perjalanan kami. Mengapa Ki Sanak justru mencegah kami?”
“Kalian tidak boleh meneruskan perjalanan sebelum menjawab
pertanyaanku!” geram orang itu sambil meloncat turun dari atas
tanggul dan kemudian berdiri beberapa langkah saja dari kedua
orang tua itu.
Gerakannya sama sekali tidak bersuara. Ki Gede dan Ki Kamituwa
seakan-akan hanya melihat sebuah bayangan yang melayang dan
kemudian berdiri di hadapan mereka berdua. Tanpa suara sama
sekali.

24
Kembali dada kedua orang tua itu berdesir tajam. Mereka maklum
bahwa yang sedang mereka hadapi tentu orang yang berilmu
sangat tinggi.
“Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?” pertanyaan itu
berputar-putar dalam benak Ki Kamituwa. Ki Kamituwa yang
kemampuannya merasa di bawah Ki Gede menjadi sangat gelisah..
“Apakah orang ini yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda
Lepen?” tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan dalam benak Ki
Kamituwa yang justru telah membuat tubuhnya semakin
menggigil. Namun melihat pemimpinnya masih bersikap tenang,
hati Ki Kamituwa yang tinggal semenir itupun perlahan
mengembang kembali.
Agaknya Ki Gede mempunyai anggapan yang sama dengan Ki
Kamituwa. Orang yang sekarang berdiri di hadapannya sambil
bertolak pinggang itu tentu salah satu pengikut Trah Sekar Seda
Lepen atau justru orang itu sendiri. Namun Ki Gede yang telah
mengalami lonjakan tingkatan ilmu puncaknya itu sama sekali
tidak merasa gentar.
Akhirnya kesabaran Ki Gede pun telah sampai ke batas.
Betapapun juga, Ki Gede merasa wajib untuk melindungi tanah
Perdikan Matesih dari gangguan orang-orang semacam ini. Maka
berkata Ki Gede kemudian dengan suara sedikit membentak,
“Tidak usah membuat pengeram-eram yang hanya dapat
menakuti anak-anak kemarin sore. Jangan berbelit dan mencari
alasan yang aneh-aneh. Katakan saja siapa sebenarnya Ki Sanak
dan apa kepentingan Ki Sanak menghentikan kami!?”
Sejenak orang itu terdiam. Namun tiba-tiba terdengar suara
tawanya yang melengking tinggi menyakitkan telinga memenuhi
udara malam di bulak panjang itu.
“Ki Sanak berdua,” berkata orang itu setelah tawanya reda, “Aku
tahu kalian berdua adalah Ki Gede Matesih dan Ki Kamituwa yang
pagi tadi telah memimpin pasukan pengawal Matesih segelar
sepapan menghancurkan Padepokan Sapta Dhahana,” orang itu
berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, sekarang kalian
25
harus menjawab pertanyaanku, kemana perginya Ki Rangga
Agung Sedayu? Kalian jangan mencoba menipu aku. Aku dapat
berbuat apa saja yang dapat menjadikan kalian mengaku secara
sukarela atau pun terpaksa.”
Tersirap darah kedua perangkat Perdikan Matesih itu. Segera saja
keduanya maklum, bahwa kemungkinan besar orang yang
menyembunyikan wajahnya itu adalah pengikut Trah Sekar Seda
Lepen yang menaruh dendam kepada Ki Rangga Agung Sedayu.
Maka jawab Ki Gede kemudian sambil meloncat turun dari
kudanya terlebih dahulu, “Maaf Ki Sanak. Ki Sanak tidak
mempunyai hak sama sekali untuk memaksa kami menjawab
pertanyaan itu. Sedikit banyak kami sudah dapat meraba, di
pihak manakah Ki Sanak berdiri dan kami akan bertindak tegas
terhadap orang-orang yang mencoba mengacau di tanah Perdikan
ini.”
“Tutup mulutmu!” geram orang berkerudung itu menggelegar,
“Kalian tikus-tikus celurut tidak berharga sama sekali di
hadapanku! Lebih baik segera katakan kemana perginya Ki
Rangga Agung Sedayu atau kalian akan merasakan akibat dari
kemarahanku!”
Namun sekarang justru Ki Gede lah yang tertawa pendek sambil
memberi isyarat Ki Kamituwa yang membeku di atas punggung
kudanya untuk ikut turun. Berkata Ki Gede kemudian setelah Ki
Kamituwa berdiri di sebelah kuda tunggangannya, “Ki Sanak. Ki
Sanak harus menyadari bahwa kami adalah berdua, sedangkan Ki
Sanak hanya sendirian. Belum terhitung para peronda yang
sedang nganglang di padukuahn induk maupun padukuhan-
padukuhan lainnya. Dengan sebuah isyarat, mereka akan segera
berkumpul di tempat ini dan kemudian beramai-ramai
menangkap Ki Sanak.”
“Pengecut!” sergah orang itu dengan serta merta, “Kalian orang-
orang Matesih memang pengecut, hanya berani main keroyokan,
tidak berani beradu dada!”

26
“He ? Apa salahnya?” seru Ki Gede dengan wajah yang keheranan,
“Kami berada di rumah kami sendiri dan merasa terganggu
dengan kehadiran Ki Sanak. Tentu tidak dapat dipersalahkan jika
kami kemudian menangkap Ki Sanak untuk dimintai pertanggung
jawaban atas keonaran yang Ki Sanak perbuat.”
“Gila! Gila! Gila!” bentak orang berkerudung itu berkali-kali
dengan suara yang tidak terlalu keras, namun getarannya mampu
mengguncang udara sekitarnya sehingga membuat dada kedua
orang tua itu bagaikan dihimpit berbongkah-bongkah batu padas.
Sementara kedua kuda itu pun telah terlonjak kaget sambil
meringkik keras. Untunglah kedua kuda itu tidak sampai
melonjak-lonjak tak terkendali.
Ki Gede yang pada dasarnya telah memiliki tingkat ilmu olah
kanuragan yang tinggi, awalnya memang sedikit terpengaruh.
Namun seiring dengan perlawanan yang muncul dengan
sendirinya dari dalam tubuhnya, pengaruh serangan getaran ilmu
orang berkerudung itu dengan cepat dapat dihilangkannya.
“Sejenis ilmu gelap ngampar atau senggoro macan,” berkata Ki
Gede dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk
menghilangkan sisa-sisa pengaruh getaran di dadanya. Sementara
Ki Kamituwa tampak tubuhnya sedikit terbungkuk sambil kedua
tangannya memegangi dadanya menahan sakit yang tiada taranya.
Namun Ki Kamituwa yang sedikit banyak telah mempelajari olah
kanuragan itu segera mengerahkan ketahanan tubuhnya untuk
mengurangi rasa sakit di dalam dadanya, dan agaknya lambat laun
dia mulai berhasil.
“Gila!” geram Ki Kamituwa dalam hati sambil menarik nafas
dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya dan kemudian
menegakkan tubuhnya kembali, “Suara tertawanya saja hampir
merontokkan dadaku. Bagaimana jika dia menggunakan ilmunya
untuk menyerangku?”
Namun ketika Ki Kamituwa dengan sudut matanya melihat Ki
Gede terlihat sama sekali tidak terpengaruh, semangat Ki
Kamituwa yang hampir padam pun menyala kembali.
27
“Sudahlah Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian setelah melihat
Ki Kamituwa berdiri tegak kembali, “Sebaiknya Ki Sanak berterus
terang. Di pihak manakah Ki Sanak berdiri dan ada maksud
apakah Ki Sanak menanyakan keberadaan Ki Rangga?”
“Itu bukan urusan kalian!” kembali terdengar orang itu
membentak, “Memang tidak ada jalan lain kecuali membuat
kalian mengaku dengan caraku. Jangan salahkan aku jika
keterlanjuranku nanti justru akan membuat kalian akan
menderita cacat seumur hidup!”
Untuk kesekian kalinya desir tajam menggores jantung kedua
perangkat Perdikan Matesih itu. Namun mereka justru telah
menjadi semakin yakin bahwa orang berkerudung yang berdiri di
hadapan mereka itu mempunyai maksud yang kurang baik
terhadap Ki Rangga Agung Sedayu.
“Sudahlah Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian sambil
melepaskan tali kendali kuda tunggangannya dan mundur dua
langkah, “Menyerah sajalah! Ikut kami ke banjar padukuhan
induk! Di sana Ki Sanak akan kami perlakukan sebagaimana
paugeran yang berlaku di Perdikan ini. Kami terpaksa melakukan
ini demi keamanan dan ketertiban di Perdikan Matesih.”
“Omong kosong!” sergah orang berkerudung itu sambil bergeser
setapak ke samping, “Mengapa orang-orang selalu berlindung di
balik sebuah paugeran untuk bertindak sewenang-wenang? Aku
belum terbukti melakukan sebuah kesalahan, mengapa aku harus
kalian tangkap?”
“Bukan begitu maksudku Ki Sanak,” sela Ki Gede cepat, “Aku
hanya mengajak Ki Sanak untuk bersama sama dengan kami ke
banjar padukuhan induk. Di sana Ki Sanak dapat menjelaskan
secara gamblang, ada keperluan apa Ki Sanak mencari keberadaan
Ki Rangga.”
“Tutup mulutmu!” kembali orang itu membentak keras, “Itu
hanya salah satu cara kalian untuk menjebakku. Aku tidak akan
terjebak oleh akal licik kalian. Jika aku ikut kalian ke banjar,
kesempatanku akan semakin sempit bahkan mungkin tertutup
28
sama sekali. Walaupun aku mampu menghadapi seluruh pengawal
Perdikan Matesih ini, namun korban akan terlalu banyak
berjatuhan, dan aku masih mempertimbangan jika hal itu yang
terjadi.”
“Sombong!” tiba-tiba Ki Kamituwa yang sedari tadi hanya berdiam
diri dan menjadi pendengar yang baik telah terusik kesabarannya,
“Ki Sanak tidak usah banyak alasan. Menyerah sajalah atau kami
terpaksa menggunakan cara kami untuk membawa Ki Sanak ke
banjar padukuhan induk.”
“O”, tiba-tiba saja orang berkerudung itu berpaling ke arah Ki
Kamituwa sambil jari telunjuk tangan kanannya di arahkan ke
hidung Ki Kamituwa, “Ternyata Ki Kamituwa tidak kalah garang
dari Ki Gede. Baiklah, kita akan bertempur. Jika kalian berdua
kalah, kalian harus memberikan keterangan yang jujur kepadaku,
kemana perginya Ki Rangga Agung Sedayu.”
Sejenak kedua orang tua itu saling berpandangan. Agaknya sudah
tidak ada jalan lain selain mengadu liatnya kulit dan kerasnya
tulang. Maka dengan sebuah isyarat ke arah Ki Kamituwa, Ki Gede
segera bergeser selangkah lagi ke belakang dan berdiri tepat di
samping kudanya.
Agaknya Ki Kamituwa maklum dengan apa yang dipikirkan oleh
pemimpinnya itu. Segera saja dia melangkah dan menempatkan
dirinya di samping kudanya. Ketika Ki Gede kemudian
menjentikkan ibu jari dengan jari tengah tangan kanannya,
serentak kedua orang itu segera mengerahkan tenaga dan
menghentak keras punggung kuda masing masing dengan
menggunakan telapak tangan mereka yang terbuka.
Akibatnya adalah sangat mengejutkan bagi orang berkerudung itu.
Diawali dengan ringkikan yang keras, kedua kuda itu pun telah
melonjak ke depan dan kemudian berlari sekencang-kencangnya
bagaikan di kejar segerombolan serigala lapar.
Orang berkerudung yang berdiri sekitar enam langkah dari kedua
orang tua itupun menjadi terkejut bukan alang kepalang. Dia
sama sekali tidak menduga jika kuda-kuda itu dengan gerakan
29
yang sangat cepat menerjang ke depan. Namun dengan gerak
naluriah, orang berkerudung itu mampu menghindari terjangan
kedua kuda yang bagaikan liar itu dengan cara meloncat ke
samping.
“Setan! Iblis! Gendruwo! Tetekan!” umpat orang berkerudung itu
dengan nafas memburu menahan kemarahan yang menghentak
dada, “Kalian benar-benar orang-orang yang licik. Aku berubah
pikiran. Aku akan membuat kalian cacat seumur hidup agar
peristiwa ini menjadi pengingat bagi kalian sehingga kalian akan
selalu menyesalinya setiap saat.”
Namun Ki Gede dan Ki Kamituwa sudah tidak peduli dengan
segala ucapan orang berkerudung itu. Kedua orang tua yang telah
kenyang makan asam garamnya kehidupan itu segera bergeser
berpencar ke arah yang berbeda.
“Bagus!” geram orang berkerudung itu, “Kalian menyangka aku
akan kerepotan mendapat serangan dari arah yang berbeda
sekaligus? Kalian salah. Justru kalianlah yang akan menyesal telah
bertempur dengan terpisah, tidak bertempur berpasangan.”
Sejenak Ki Gede mengerutkan keningnya. Apa yang dikatakan
orang berkerudung itu memang ada benarnya. Jika lawan yang
dihadapi memang mempunyai kelebihan dari mereka berdua,
sebaiknya mereka bertempur berpasangan untuk dapat saling
membantu dan mengisi serangan.
“Aku belum tahu kekuatan yang sebenarnya dari orang ini,”
berkata Ki Gede dalam hati sambil mempersiapkan diri sebaik-
baiknya, “Yang jelas orang ini memiliki kekuatan yang dahsyat.
Namun dengan serangan silih berganti dari dua arah yang
berbeda, aku harap dia akan mengalami kesulitan.”
Berpikir sampai di situ, Ki Gede segera memberi isyarat kepada Ki
Kamituwa untuk segera memulai serangan.
Sejenak kemudian, dengan diiringi sebuah teriakan keras, Ki
Kamituwa bergerak cepat ke depan sambil menjulurkan kaki
kanannya mengarah lambung.

30
Namun ternyata orang berkerudung itu tidak berusaha bergeser
dari tempatnya untuk menghindari tumit lawan yang mengarah ke
lambung. Dia justru sedikit merendahkan lututnya untuk
memperkokoh kuda-kudanya sambil siku tangan kirinya siap
menghantam kaki Ki Kamituwa yng terjulur lurus.
Melihat lawannya tidak berusaha menghindar bahkan siap
menyambut serangannya dengan siku tangan kirinya, Ki
Kamituwa menjadi terkejut. Namun sebelum dia memutuskan
untuk menarik kakinya, terdengar Ki Gede membentak sambil
meloncat kedepan. Tangan kanan Ki Gede dengan telapak tangan
terbuka meluncur deras menghantam dada.
Menurut perhitungan kedua perangkat Perdikan Matesih itu,
tentu lawan akan meloncat mundur untuk menjauhkan diri dari
kedua serangan tersebut. Namun yang terjadi benar benar telah
membuat jantung kedua orang itu itu tergetar. Dengan tenangnya
sambil siku tangan kirinya menyambut serangan Ki Kamituwa,
tangan kanan orang berkerudung itu di silangkan di depan dada
untuk menangkis serangan Ki Gede.
Benturan keras pun tak terelakkan lagi. Ki Kamituwa terdorong
beberapa langkah surut. Betapa tulang keringnya bagaikan
dipukul sebuah doran cangkul yang terbuat dari kayu mlandingan
tua. Sementara tangan Ki Gede bagaikan menghantam sebongkah
batu padas di gerojokan.
Dengan cepat kedua orang tua itu meloncat menjauh. Sambil
sedikit terpincang Ki Kamituwa segera memperbaiki
kedudukannya. Sedangkan Ki Gede mencoba menarik nafas
dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang terasa sedikit
pepat akibat benturan tadi.
Dalam pada itu, orang berkerubung itu ternyata masih berdiri
tegak di tempatnya dengan tak kurang suatu apa pun. Terdengar
suara tertawa tertahan-tahan yang sangat memuakkan dari balik
kain yang menutupi wajahnya.
“Nah,” berkata orang itu kemudian demikian suara tawanya reda,
“Sekarang akulah yang akan menangkap kalian dan kemudian
31
menyiksa kalian dengan caraku agar kalian mengaku, di mana
sekarang ini Ki Rangga Agung Sedayu bersembunyi.”
Ki Gede dan Ki Kamituwa tidak menjawab. Benturan pertama tadi
memang bukan menjadi ukuran karena kedua orang tua itu
memang belum mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Namun kedua orang tua itu mempunyai penilaian yang sama,
kekuatan orang berkerudung itu memang ngedab-edabi.
“Sepertinya melawan orang ini harus menggunakan tenaga
gubungan,” berpikir Ki Gede dalam hati sambil menggeser
kedudukannya mendekati Ki Kamituwa, “Dengan gabungan
kekuatan kami berdua, mungkin kekuatan orang ini akan dapat
diatasi.”
Dalam pada itu Ki Kamituwa yang melihat pemimpinnya bergesr
mendekat ke arahnya segera tanggap. Tanpa membuang waktu
lagi, dia segera meloncat ke samping dan kemudian berdiri hanya
selangkah saja di sebelah Ki Gede.
“Bagus!” seru orang berkerudung itu kemudian, “Kalian ternyata
mengikuti saranku. Namun ketahuilah, gabungan tenaga kalian
berdua tetap tidak akan mampu menandingi kedahsyatan ilmuku.
Mungkin kalian hanya mampu menunda kekalahan beberapa saat,
dan itu tidak akan banyak berarti bagiku.”
“Sudahlah Ki Sanak!” potong Ki Gede sambil mempersiapkan
serangan berikutnya, “Aku sudah muak mendengar sesorahmu.
Sekarang hadapilah kami berdua. Jika memang kemampuan kami
masih selapis di bawah kemampuan Ki Sanak, kami akan
berusaha untuk bertahan sampai para peronda yang sedang
nganglang melewati tempat ini. Di saat itulah Ki Sanak baru
menyadari, bahwa tidak ada seorang pun yang boleh meremehkan
kewaspadaan dan kesiap-siagaan para pengawal Perdikan
Matesih.”
Untuk sejenak orang itu tertegun. Namun kembali terdengar suara
tertawanya yang memuakkan memecah udara malam di atas bulak
panjang itu.

32
Berkata orang itu kemudian, “Silahkan saja untuk membuat
perhitungan-perhitungan menurut anggapan kalian sendiri. Aku
juga mempunyai sebuah perhitungan. Jika aku mau, dengan
mengungkapkan puncak ilmuku, aku jamin dengan hanya sekali
sentuhan, tubuh kalian akan terkapar tak berdaya.”
Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Kamituwa menggeram.
Mereka berdua benar-benar merasa tersinggung dan direndahkan.
Hampir bersamaan kedua orang tua itu segera meloncat sambil
melancarkan serangan yang cukup berbahaya.
Namun ternyata lawannya tidak menjadi gugup. Dia hanya
begeser setapak demi setapak menghadapi kedua serangan yang
datang bagaikan ombak bergulung-gulung tak henti-hentinya
menerjang batu karang di pantai.
Dalam pada itu, kuda-kuda tanpa penunggang itu telah berlari-
larian sepanjang bulak dan mengejutkan beberapa penghuni
rumah yang berada di ujung bulak.
“Kuda-kuda siapakah itu?” bertanya seorang laki-laki parobaya
penghuni rumah di ujung bulak yang kebetulan belum tidur.
Tanpa sadar dia telah bangkit dari pembaringannya dan meraih
sebuah golok yang terselip di dinding biliknya.
“Kakang mau kemana?” bertanya istrinya dengan serta merta
begitu melihat suaminya meraih senjatanya.
“Aku akan keluar sebentar,” jawab suaminya sambil menbenahi
kain panjangnya dan kemudian menyelipkan senjata di ikat
pinggang yang telah melingkar di lambungnya, “Suara derap
kuda-kuda itu sangat mencurigakan. Seolah-olah kuda-kuda itu
asal berlari saja, tidak ada yang mengendalikannya. Aku akan
menengoknya sebentar.”
“Jangan terlalu lama kakang,” desah perempuan muda itu sambil
menggeliat dan bangkit dari tidurnya. Kemudian sambil duduk
berselonjor di pembaringan dia melanjutkan kata-katanya,
“Bukankah ada para peronda yang nganglang setiap malam?
Sudah menjadi kewajiban mereka untuk bertindak jika terjadi hal-
hal yang mengganggu keamanan Perdikan ini.”
33
“Engkau salah, Nyi,” sahut suaminya, “Keamanan tanah Perdikan
ini tidak tergantung kepada segelintir orang saja. Setiap penghuni
Perdikan ini wajib membantu para pengawal jika memang
diperlukan.”
Istrinya yang masih cukup muda itu sejenak mengerutkan
keningnya. Sambil membetulkan dan kemudian menyanggul
rambutnya dia turun dari amben. Tanyanya kemudian dengan
suara perlahan, “Bukankah jika memang para pengawal
membutuhkan bantuan, pasti mereka akan membunyikan isyarat?
Entah itu panah sendaren atau memukul kentongan yang ada di
banjar.”
“Ah sudahlah Nyi,” potong suaminya dengan suara sedikit kesal,
“Kembalilah tidur. Aku hanya keluar sebentar untuk mengamati
keadaan. Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku hanya akan
pergi ke regol depan dan melihat suasana jalan di depan rumah
kita. Barangkali aku menemukan sesuatu yang dapat menjawab
suara derap kuda-kuda yang beberapa saat tadi melintas di depan
rumah kita.”
Selesai berkata demikian, tanpa memperdulikan istrinya lagi, laki-
laki itu segera melangkah keluar bilik. Sementara istrinya hanya
dapat memandangi langkahnya saja sambil duduk di bibir
pembaringan.
Demikianlah laki-laki parobaya itu segera melangkah ke ruang
depan dan dengan perlahan mengangkat selarak pintu rumahnya.
Namun alangkah terkejutnya laki-laki parobaya itu begitu dia
membuka pintu rumahnya sejengkal, dalam keremangan malam
tampak bayangan dua orang sedang berdiri di halaman rumahnya
yang tidak seberapa luas.
Hampir saja dia menutup kembali pintu rumahnya jika saja dia
tidak melihat salah seorang dari kedua orang itu terlihat berpaling
ke arahnya sambil berdesis perlahan, namun sangat jelas
terdengar di telinganya, “Maaf Ki Sanak. Kami memasuki halaman
rumahmu tanpa ijin. Kemarilah! Percayalah, kami berdua
bermaksud baik.”

34
“Eyang Guru,” berkata Raden Wirasena kemudian, “Aku yakin
Panembahan Hanyakrawati itu pasti telah menemui ajalnya. Ternyata
rencana kita dapat berjalan dengan lancar dan mudah.”

35
Untuk beberapa saat laki-laki parobaya itu tidak tahu harus
berbuat apa. Kedua lututnya terasa lemas serta jantungnya
berdegup kencang sehingga suara gemuruh jantungnya dapat
didengarnya sendiri dengan jelas.
“Jangan takut Ki Sanak,” sekarang salah satu dari kedua orang itu
justru telah melangkah mendekat, “Kami memerlukan sesuatu
untuk kami pinjam,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Apakah Ki Sanak mempunyai sebuah cemethi atau
pun cambuk yang biasa Ki Sanak gunakan untuk menggembala
kambing? Jika Ki Sanak tidak berkeberatan kami ingin
meminjamnya barang sebentar.”
Laki-laki penghuni rumah itu masih berdiri di tempatnya dengan
lutut gemetar. Entah mengapa, sebuah kengerian yang sangat
telah mencengkam jantungnya. Dia belum mengenal kedua tamu
tak diundang itu. Walaupun terdengar suara salah seorang dari
mereka sangat ramah, namun hati laki-laki penghuni rumah itu
benar-benar telah dilanda kecemasan.
“He? Mengapa Ki Sanak diam saja?” tiba-tiba orang yang satunya
ikut melangkah mendekat, “Lihatlah! Kami berdua adalah orang-
orang biasa seperti dirimu dan benar-benar hanya ingin
meminjam cemeti atau mungkin cambuk yang aku yakin Ki Sanak
pasti menyimpannya.”
Mendengar ucapan orang kedua itu, hampir saja laki-laki
penghuni rumah itu membuka mulutnya untuk bertanya, namun
kawan orang itu telah menyahut terlebih dahulu, “Ya, Ki Sanak.
Kami yakin engkau pasti mempunyai sebuah cambuk atau
mungkin tidak hanya satu. Kami memasuki halaman rumahmu ini
karena kami melihat ada sebuah kandang kambing di belakang
rumahmu. Percayalah, kami hanya ingin meminjam cambuk,
bukan mengambil kambing-kambingmu.”
“Walaupun sebenarnya sangatlah nikmat malam-malam yang
dingin ini makan daging kambing panggang muda,” sahut orang
yang satunya dengan serta merta.

36
“Ah,” orang yang pertama itu tertawa pendek. Tanyanya kemudian
sambil berpaling ke arah kawannya, “Apa memang benar daging
kambing muda itu lebih lezat dari yang tua? Jika memang
demikian, bagaimana dengan kambing yang tua-tua? Siapa yang
akan membutuhkannya?”
“Aku tidak menolak jika memang aku diberi yang tua sekali pun,”
jawab orang kedua itu sambil tersenyum lebar.
“Ah,” kembali orang pertama itu tertawa pendek. Kemudian
sambil berpaling ke arah laki-laki penghuni rumah yang masih
gemetaran di sela-sela pintu, dia bertanya, “Bagaimana Ki Sanak?
Maksudku cambuk itu? Bukan kambing yang muda maupun yang
tua.”
“Ah,” sekarang orang yang kedua itu yang tertawa. Sedangkan
laki-laki penghuni rumah itu pun tak urung ikut tersenyum
mendengar gurauan mereka.
Kini laki-laki penghuni rumah itu hatinya menjadi sedikit agak
tenang. Entah mengapa, mendengar kedua orang itu berkelakar
tanpa ujung pangkal, hatinya menjadi sedikit tenang. Sambil
membuka pintu lebar-lebar dia segera berkata, “Silahkan Ki Sanak
berdua masuk. Tetapi rumah kami sangat sempit. Jika Ki Sanak
berkenan, biarlah istriku memasak air untuk minum barang
seteguk dua teguk.”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun hampir
bersamaan keduanya telah menggeleng. Jawab dari salah satu
mereka kemudian, “Terima kasih, Ki Sanak. Kami sangat tergesa-
gesa. Biarlah kami tetap di halaman ini. Kami menunggu dua helai
cambuk yang mungkin dapat kami pinjam.”
Laki-laki penghuni rumah itu menarik nafas dalam. Katanya
kemudian, “Baiklah Ki Sanak. Tunggulah sebentar, akan aku
ambilkan barang yang kalian maksudkan itu.”
Selesai berkata demikian laki-laki penghuni rumah itu segera
kembali masuk ke dalam rumahnya. Sesampainya dia di depan
pintu biliknya yang terbuka lebar, tampak istrinya sedang berdiri
termangu-mangu di sisi amben.
37
“Tidak ada apa-apa,” bisik suaminya, “Hanya ada dua orang aneh
yang ingin meminjam cambuk?”
Istrinya yang tidak dapat mendengar dengan jelas percakapan
mereka di luar tadi tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Bertanya perempuan muda itu kemudian dengan nada sedikit
ragu-ragu,”Malam-malam begini?”
“Entahlah, aku tidak tahu,” jawab suaminya sambil melangkah ke
dapur, “Aku akan ambilkan cambuk itu dan biarlah mereka segera
pergi dari tempat ini.”
“Jika cambuk itu kemudian tidak dikembalikan?” bertanya
istrinya kemudian sambil melangkah keluar bilik.
“Ah, aku dapat membuatnya lagi, sebanyak yang kita butuhkan,”
jawab suaminya sambil berlalu dan kemudian membuka pintu
dapur.
Sejenak kemudian laki-laki penghuni rumah itu sudah kembali ke
hadapan istrinya dengan menjinjing dua helai cambuk yang
berjuntai cukup panjang.
Istrinya tidak menanggapi lagi ketika suaminya kemudian
melanjutkan langkahnya ke ruang depan.
Sesampainya di pintu depan, laki-laki penghuni rumah itu segera
mendapatkan kedua orang tamunya tampak sedang duduk-duduk
di bawah sebatang pohon yang tumbuh di halaman samping.
Setelah menutup pintu terlebih dahulu, dengan langkah sedikit
begegas laki-laki penghuni rumah itu pun segera turun ke
halaman.
Begitu melihat laki-laki penghuni rumah itu berjalan ke arah
mereka, kedua orang itu pun dengan bergegas segera bangkit
berdiri dan menyongsongnya.
“Terima kasih, terima kasih,” hampir bersamaan kedua orang itu
berkata sambil menerima masing-masing sehelai cambuk yang
berjuntai cukup panjang.

38
“Kalian dapat menyimpannya,” berkata laki-laki penghuni rumah
itu kemudian, “Kalian tidak usah mengembalikannya karena aku
masih ada beberapa cambuk yang dapat aku gunakan untuk
menggembela besuk pagi.”
“O, ternyata kami telah merepotkan Ki Sanak,” berkata salah satu
dari mereka kemudian, “Jika memang demikian, sekali lagi kami
ucapkan terima kasih dan selanjutnya kami mohon diri.”
“Silahkan Ki Sanak,” jawab laki-laki penghuni rumah itu sambil
berpaling ke belakang karena mendengar suara derit pintu.
Ternyata istrinya sedang berdiri di tengah tengah pintu.
Ketika laki-laki penghuni rumah itu kemudian kembali
memandang ke depan, tiba-tiba jantungnya bagaikan terlepas dari
tangkainya. Kedua orang yang sedang berdiri di hadapananya itu
sudah tidak berada di halaman rumahnya lagi. Bayangan kedua
orang itu seolah-olah telah lenyap tak berbekas bagaikan asap
yang tertiup angin.
“Gendruwo..!?” seru laki-laki itu tanpa sadar dengan suara
bergetar sehingga istrinya telah melangkah mendekat.
“Ada apa kakang?” bertanya istrinya kemudian sambil memegangi
lengan suaminya.
Laki-laki itu sejenak mencoba mengatur nafasnya yang tiba-tiba
saja memburu. Ditariknya nafas beberapa kali untuk meredakan
jantungnya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak.
“Apakah engkau melihat kedua orang tamu kita tadi?” bertanya
laki-laki itu kemudian kepada istrinya setelah gemuruh dalam
dadanya sedikit mereda.
Istrinya menggeleng sambil menjawab, “Tidak kakang, aku tidak
melihat apapun ketika aku membuka pintu selain kakang yang
berdiri sendirian. Aku tadi memang sempat mendengar
percakapan kakang dengan seseorang dari balik pintu. Namun
ketika aku membuka pintu, aku hanya melihat kakang yang
berdiri seorang diri di halaman.”

39
Berdesir jantung laki-laki penghuni rumah itu. Dengan tergesa-
gesa segera ditariknya tangan istrinya dan diajak masuk ke dalam
rumah.
“Sudahlah,” berkata laki-laki itu kemudian setelah dia menyelarak
pintu, “Mari kita kembali tidur. Anggap saja apa yang baru saja
terjadi itu adalah sebuah mimpi.”
Istrinya tidak berani bertanya lagi begitu melihat raut wajah
suaminya tampak pucat pasi di bawah sinar temaram lampu
dlupak.
Dalam pada itu, pertempuran di tengah bulak itu tampak sangat
berat sebelah. Betapa Ki Gede dan Ki Kamituwa harus berjuang
mati-matian untuk menahan gempuran lawan. Kecepatan gerak
serta tenaga lawan benar-benar diluar jangkauan nalar kedua
perangkat tanah Perdikan Matesih itu.
“Menyerahlah,” berkata orang berkerudung itu sambil terus
melancarkan serangannya yang bertubi-tubi, “Lebih baik kalian
berterus terang saja. Semuanya akan menjadi lebih mudah dari
pada aku harus mematahkan tangan dan kaki kalian hanya untuk
sekedar mendapatkan keterangan tentang Ki Rangga Agung
Sedayu.”
Diam-diam Ki Kamituwa bergidik tengkuknya. Dia tidak dapat
membayangkan jika kedua kaki dan tangannya berpatahan.
Namun agaknya Ki Gede berpikir lain. Perlahan tapi pasti Ki Gede
mulai merambah pada puncak ilmunya. Memang Ki Gede belum
mengetrapkan aji pamungkas perguruannya yang diberi nama aji
cunda manik. Namun tata gerak dan tenaga dari setiap serangan
Ki Gede telah dilambari oleh ilmu puncak dari perguruan Pandan
Alas.
Agaknya lawannya mulai merasakan bobot serangan Ki Gede
melalui sambaran angin yang menyertai serangan Ki Gede.
Bahkan beberapa kali dia harus berloncatan mengindar ketika Ki
Gede melancarkan serangan beruntun.

40
Ketika Ki Gede mulai meningkatkan serangannya, orang
berkerudung itu pun ternyata juga telah meningkatkan ilmunya
selapis.
“Silahkan menguras ilmumu sampai habis, Ki Gede!” berkata
orang berkerudung itu sambil ganti menyerang Ki Gede dengan
serangan yang semakin cepat dan keras, “Aku yakin sampai ilmu
Ki Gede kering terkuras, aku masih punya sisa ilmu yang cukup
untuk menghentikan Ki Gede.”
Merah padam wajah Ki Gede mendengar ejekan lawannya.
Sementara Ki Kamituwa sudah tidak mampu lagi mengikuti
kecepatan gerak Ki Gede maupun lawannya dan hanya berdiri di
pinggir arena dengan kebingungan.
Agaknya lawan Ki Gede mulai membuktikan ucapannya. Beberapa
kali sentuhan telah menyengat di bagian tubuh Ki Gede, walaupun
belum membahayakan. Namun sentuhan-sentuhan itu telah
membakar jantung Ki Gede.
“Ki Gede harus melihat kenyataan,” berkata orang berkerudung
itu selanjutnya sambil tangan kanannya terjulur lurus
menghantam pundak. Ki Gede masih sempat memiringkan
tubuhnya untuk menghindar. Namun serangan selanjutnya tidak
mampu dihindarinya lagi. Tumit lawan telah menyentuh
lambungnya.
Terdengar keluhan tertahan dari mulut Ki Gede. Tubuh Ki Gede
pun terdorong selangkah ke samping. Ketika Ki Gede belum
sempat memperbaiki kedudukannya, tangan kiri lawannya telah
menghantam dadanya.
Kali ini Ki Gede telah terlempar ke belakang beberapa langkah
surut. Terasa dadanya bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah
batu padas yang berguguran dari atas bukit. Namun dengan cepat
Ki Gede segera meloncat beberapa langkah ke belakang untuk
mengambil jarak sekaligus menghindari serangan susulan
lawannya.
Namun ternyata orang berkerudung itu tidak mengejarnya dan
hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa berkepanjangan.
41
Bertanya orang itu kemudian, “Nah, apakah Ki Gede masih ada
sisa ilmu untuk dipamerkan di hadapanku?”
Gemetar sekujur tubuh Ki Gede menahan kemarahan yang tiada
taranya. Penghinaan lawannya itu benar-benar sudah keterlaluan.
Tidak ada jalan lain bagi Ki Gede selain mengungkapkan puncak
ilmunya.
Dengan menggeram marah Ki Gede segera meloncat beberapa
langkah ke depan. Ketika jarak dengan lawannya tinggal empat
langkah, Ki Gede segera memusatkan segenap nalar dan budinya
untuk mengungkapkan puncak ilmu andalannya. Sebuah ilmu
yang bersumber dari perguruan Pandan Alas dari cabang Gunung
Kidul.
Sejenak kemudian, wajahnya terangkat dan matanya menjadi
redup setengah terpejam. Disalurkan segala tenaganya yang
dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan
satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan lainnya menjulur
ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk melepaskan
ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik dari
Perguruan Pandan Alas.
Orang berkerudung itu terkejut. Dengan cepat dia surut
selangkah. Dengan sedikit merendahkan kedua lututnya, kedua
tangannya kemudian disilangkan di depan dada. Siap menahan
gempuran aji cunda manik.
Sejenak kemudian terdengar teriakan menggelegar dari Ki Gede.
Tubuhnya melesat bagaikan tatit yang meloncat di udara. Tangan
kanan yang terjulur lurus itu dengan kekuatan penuh
menghantam dada orang berkerudung yang telah menyilangkan
kedua tangannya di depan dada.
Akibatnya sangat dahsyat. Aji cunda manik yang telah mengalami
peningkatan cukup pesat itu bagaikan membentur dinding baja
setebal satu jengkal. Sebagian kekuatan yang tersalur pada telapak
tangan kanan Ki Gede membalik membentur dadanya sendiri
sehingga tubuhnya terpental ke belakang beberapa langkah

42
namun tidak sampai membuat pemimpin perdikan Matesih itu
terjatuh.
Sedangkan orang yang berkerudung itu ternyata telah tergetar dan
mundur dua langkah. Walaupun kekuatan aji Cunda Manik itu
tidak mampu menjatuhkannya, namun untuk beberapa saat
dadanya bagaikan terhimpit sebongkah batu padas sehingga telah
mempengaruhi jalan pernafasanya.
Dalam pada itu, Ki Kamituwa yang melihat pemimpinnya
telempar dan kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang menjadi terkejut. Dengan bergegas dia segera berlari
mendekat.
“Ki Gede?” bertanya Ki Kamituwa dengan nada cemas
sesampainya dia di samping Ki Gede yang tampak sedang
mengatur pernafasannya.
“Aku baik-baik saja Ki Kamituwa,” desis Ki Gede sambil menarik
nafas panjang beberapa kali. Ketika Ki Gede kemudian mencoba
mengamati keadaan lawan, tampak orang berkerudung itu sudah
kembali berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh.
“Luar biasa!” tiba tiba terdengar suara pujian dari balik kain yang
menutupi wajah orang itu, “Aku yakin, Ki Gede masih mampu
meningkatkan tataran aji cunda manik ini selapis atau dua lapis
lagi. Namun ketahuilah, aku sama sekali tidak gentar dengan aji
cunda manikmu yang masih mentah ini. Jika yang berdiri di
hadapanku sekarang ini adalah Ki Ageng Pandan Alas sendiri,
tentu aku akan berpikir seribu kali untuk mencoba menahannya.”
Berdesir jantung Ki Gede mendengar ucapan orang berkerudung
itu. Dia tidak pernah menduga sama sekali jika orang berkerudung
itu mengenali aji cunda manik dari perguruan Pandan Alas. Ki
Gede pun segera teringat kepada orang bertopeng yang pernah
mencegatnya di dukuh Klangon beberapa saat yang lalu.
Namun belum sempat Ki Gede berpikir jauh, tiba-tiba terdengar
suara tawa dan tepuk tangan yang meriah dari arah belakangnya.

43
Terkejut Ki Gede dan Ki Kamituwa bagaikan disengat
kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa. Begitu kedua
orang tua itu berpaling ke belakang, tampak dua sosok bayangan
sedang berdiri di atas tanggul sambil bertepuk tangan. Ketika
kedua perangkat perdikan Matesih itu mencoba mengamati kedua
bayangan itu, jantung kedua orang tua itu pun berdentang keras.
Sebagaimana orang berkerudung yang telah bertempur dengan
mereka berdua, kedua orang yang berdiri di atas tanggul itu pun
juga menutupi sebagian wajah mereka dengan secarik kain.
“Permainan apa lagi ini,” desis Ki Gede dan Ki Kamituwa hampir
bersamaan.
Dalam pada itu, orang berkerudung yang telah bertempur
beberapa saat dengan Ki Gede dan Ki Kamituwa itu sama sekali
tidak mengacuhkan kedatangan dua orang berikutnya itu. Bahkan
tiba-tiba saja dia kemudian melangkahkan kakinya dan berusaha
berlalu dari tempat itu.
“He! Tunggu Ki Sanak!” teriak kedua orang di atas tanggul itu
hampir bersamaan sambil melayang turun. Dengan sekali
loncatan keduanya telah berdiri menghadang orang berkerudung
itu.
Untuk sejenak orang berkerudung itu menghentikan langkahnya
dan hanya berdiri diam termangu-mangu. Namun kemudian
dengan suara berat dan dalam dia bertanya, “Apa urusan kalian
menghentikan langkahku?”
Dua orang yang datang kemudian itu sejenak saling pandang.
Namun akhirnya salah satu menjawab, “Kami berdua adalah
kawula Matesih yang merasa ikut bertanggung jawab atas
keamanan dan keselamatan pemimpin kami. Kami berdua akan
membantu Ki Gede untuk menangkap Ki Sanak.”
Kembali orang berkerudung itu termenung, namun hanya sekejab.
Selanjutnya terdengar orang berkerudung itu mendengus keras
sambil membentak, “Omong kosong! Jika kalian memang kawula
Matesih, mengapa kalian harus menyembunyikan wajah kalian

44
“Ki Rangga,” berkata Mas Santri kemudian setibanya dia di
pinggir amben, “Kanjeng Rama ingin berbicara barang sebentar
dengan Ki Rangga.”

45
dari Ki Gede? Atau kalian memang punya cacat bawaan di wajah
kalian sehingga kalian menjadi malu?”
“O, tidak tidak,” jawab salah seorang yang berperawakan sedang
dengan serta merta, “Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kami
sering membaca kisah-kisah kepahlawanan dari babat-babat
jaman dahulu. Kami ingin menjadi pahlawan sebagaimana jaman
Kerajaan Singosari berdiri. Ada orang yang dijuluki Ksatria putih,
seseorang yang selalu berpakaian putih, menutupi sebagian
wajahnya dengan secarik kain putih dan menunggang seekor kuda
berbulu putih. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu kawula alit
untuk memperjuangkan dan memperbaiki nasib mereka. Untuk
itulah kami telah meniru Ksatria putih dengan menyembunyikan
wajah kami.”
“Namun kami tidak punya baju berwarna putih. Apalagi seekor
kuda berbulu putih yang tegar,” sahut orang yang di sebelahnya.
“Omong kosong!” sergah orang berkerudung itu cepat, “Aku tidak
mempunyai waktu untuk melayani bualan kalian. Aku akan pergi
dan tak seorang pun akan mampu menghalangiku.”
“O, jadi Ki Sanak benar-benar tidak memandang sebelah mata
pun kepada kami berdua?” sahut orang satunya yang
berperawakan tinggi besar, “Aku akan membuktikan ucapan Ki
Sanak itu. Akulah orang pertama kali yang akan menghalangi
langkah Ki Sanak.”
Dalam pada itu, Ki Gede yang sedari tadi memperhatikan
percakapan yang sedang terjadi diam-diam merasa heran. Rasa-
rasanya dia mengenal suara itu, terutama suara orang yang
berperawakan sedang. Tampaknya kedua orang yang datang
kemudian itu tidak berusaha menyamarkan suara mereka,
berbeda dengan orang berkerudung yang pertama.
“Rasa-rasanya aku mengenal suara itu,” berkata Ki Gede dalam
hati, “Caranya bergurau mengingatkan aku pada seseorang.”
Ketika Ki Gede sedang berusaha keras untuk mengumpulkan
ingatannya, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sangat
memekakkan telinga. Ketika Ki Gede kemudian memandang ke
46
depan, tampak di tangan orang yang berperawakan sedang itu
telah tergenggam sebuah cambuk yang berjuntai panjang.
Agaknya dia baru saja meledakkan cambuk di tangannya itu.
“Nah Ki Sanak, kita akan bertempur,” berkata orang yang
berperawakan sedang itu kemudian, “Senjata kami berdua
memang bukan senjata yang sewajarnya. Kami berdua adalah
murid-murid perguruan orang bercambuk yang terkenal itu.”
“Omong kosong!” tiba-tiba dengan serta merta orang berkerudung
itu membentak keras. Namun segera saja dia tampak terdiam
seolah menyadari keterlanjurannya.
“He?” orang yang tinggi besar itu terlihat terlonjak kaget, “Ki
Sanak menuduh kami berdua berbohong? Apakah Ki Sanak
mengenal perguruan orang bercambuk atau pun mempunyai
sangkut paut dengan perguruan itu? Apakah Ki Sanak mengenal
ciri-cirinya? Lihatlah, aku pun mampu menghentakkan cambukku
sebagaimana yang menjadi ciri khas perguruan orang
bercambuk.”
Selesai berkata demikian, orang tinggi besar itu segera meloloskan
sebuah cambuk yang terlilit di pinggangnya. Dengan sigap dia
segera memutar cambuknya di atas kepala dan kemudian
menghentakkannya dengan gerakan sendal pancing. Segera saja
suara ledakan mengguntur kembali memenuhi udara malam di
bulak itu.
“Bagaimana Ki Sanak?” bertanya orang tinggi besar itu kemudian,
“Apakah aku pantas disebut sebagai murid orang bercambuk?”
Tubuh orang berkerudung itu tampak menggigil keras menahan
kemarahan yang tiada taranya. Namun agaknya orang
berkerudung itu masih mempunyai nalar yang bening sehingga
tidak terpancing lagi. Maka katanya kemudian sambil tertawa
memuakkan, “O, silahkan saja kalian menjadi murid perguruam
mana saja, itu tidak ada artinya sama sekali bagiku,” dia berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, aku benar-benar sudah tidak
mempunyai urusan lagi dengan kalian. Jika kalian bersikeras akan

47
tetap menghadang langkahku, rawe-rawe rantas malang-malang
putung!”
Selesai berkata demikian, orang berkerudung itu mulai
menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu. Namun baru
saja dia bergeser selangkah, terdengar Ki Gede berseru, “Tunggu
Ki Sanak!”
Orang berkerudung itu kembali menghentikan langkahnya dan
kemudian memutar tubuhnya menghadap Ki Gede. Berkata orang
berkerudung itu kemudian, “Urusan di antara kita aku anggap
selesai sampai disini saja, Ki Gede. Bersyukurlah! Aku masih
berbaik hati tidak sampai mencederai kalian!”
“Bukan itu maksudku Ki Sanak,” sahut Ki Gede sambil melangkah
mendekat, “Bagaimana dengan keterangan yang Ki Sanak
inginkan? Tentang keberadaan Ki Rangga agung Sedayu?”
Sejenak orang berkerudung itu bagaikan membeku di tempatnya.
Kedatangan kedua orang yang juga menutupi sebagian wajahnya
dengan secarik kain itu ternyata telah melupakan tujuannya
mencegat Ki Gede dan Ki Kamituwa. Untuk beberapa saat dia
seolah-olah menjadi ragu-ragu untuk menentukan sikap.
“Sebenarnya bukan masalah keberadaan Ki Rangga itu yang perlu
mendapat perhatian, “ terdengar orang yang berperawakan sedang
kembali berbicara, “Namun, apakah tujuan sebenarnya dari Ki
Sanak ingin mengetahui keberadaan Ki Rangga?”
Terdengar orang berkerudung itu menggeram bagaikan suara
geraman seekor singa. Katanya kemudian dengan suara yang
datar dan dalam, “Akan aku tantang agul-agulnya Mataram itu
untuk berperang tanding. Aku sudah terlalu muak mendengar
setiap orang dari ujung ke ujung tanah ini selalu membicarakan
kesaktiannya yang tanpa tanding.”
“He? Apa urusan Ki Sanak dengan nama besar Ki Rangga?” serta
merta orang yang berperawakan sedang itu menyela.
“Tidak ada urusan pribadi memang. Namun nama besarnya yang
aku perlukan!”
48
“Maksud Ki Sanak?”
“Dengan mengalahkan dan bahkan mungkin sekalian
membunuhnya dalam perang tanding yang jujur dan disaksikan
banyak orang, nama besar Ki Rangga akan berpindah kepadaku.
Akulah yang kemudian akan menjadi orang tanpa tanding di
seluruh tanah ini!”
“Apakah engkau yakin Ki Sanak?” sela orang yang tinggi besar itu.
“Mengapa tidak?” jawab orang itu cepat, “Berbagai aliran ilmu
telah tertimbun dalam diriku. Aku yakin tidak ada seorang pun
yang akan mampu melawanku di seluruh tlatah Mataram ini, Ki
Rangga pun tidak. Apalagi Patih Mandaraka yang sudah tua itu.”
“Apakah Ki Sanak sudah pernah bertemu atau mengenal Ki
Rangga sebelumnya?” tiba-tiba pertanyaan dari orang
berperawakan sedang itu telah mengejutkan orang berkerudung
itu.
Namun tampaknya orang berkerudung itu mampu menguasai
dirinya dengan cepat dan segera membentak keras, “Apa peduliku
dengan Ki Rangga? Mengenal maupun tidak mengenal, aku akan
tetap membunuhnya!”
“Ki Sanak tidak akan berhasil,” orang yang berperawakan tinggi
besar itulah yang kemudian menyahut, “Ki Rangga adalah orang
yang rendah hati dan tidak mudah terpancing. Ki Sanak akan
kesulitan memancingnya untuk berperang tanding.”
“Aku tidak peduli!” geram orang itu kembali, “Melawan ataupun
tidak melawan, aku tetap akan membunuhnya.”
“Omong kosong!” sekarang orang yang berperawakan sedang itu
lah yang membentak keras, “Aku yakin, Ki Sanak belum pernah
bertemu bahkan mengenal pribadi Ki Rangga Agung Sedayu. Jika
Ki Sanak ingin bertemu Ki Rangga saat ini, aku lah Ki Rangga
yang Ki Sanak cari itu.”
“Omong kosong!” sergah orang berkerudung itu cepat, “Kalian
berdua adalah pembual-pembual yang tak berujung pangkal!”

49
“He?!” seru kedua orang yang datang kemudian itu hampir
bersamaan. Tanpa sadar kedua orang itu saling pandang sejenak.
Sebuah kesimpulan pun segera memenuhi benak mereka.
“Bagaimana Ki Sanak mengetahui kalau aku bukan Ki Rangga?”
bertanya orang berperawakan sedang itu selanjutnya.
Gemetar sekujur tubuh orang berkerudung itu menahan
kemarahannya yang telah mencapai ubun-ubun. Agaknya dia
merasa terpancing dan dipermainkan oleh kedua orang itu.
“Persetan semuanya!” geram orang berkerudung itu pada
akhirnya, “Aku tidak peduli siapa kalian berdua. Yang jelas kalian
pasti bukan Ki Rangga. Kalian yang merasa mengetahui
keberadaan Ki Rangga, sampaikan tantangan perang tanding ini
kepadanya. Bulan depan pada saat bulan..”
“Tunggu.!” seru orang berperawakan sedang memotong ucapan
orang yang berkerudung itu, “Ki Rangga tidak mungkin melayani
tantangan Ki Sanak dalam waktu dekat ini. Jika Ki Sanak jantan,
tunggu sampai saatnya Ki Rangga sembuh dari cederanya yang
cukup parah.”
“He?!” bagaikan di sambar petir di siang bolong, orang
berkerudung itu terkejut bukan alang kepalang. Untuk beberapa
saat orang berkerudung itu justru telah membeku di tempatnya.
Ternyata segala gerak gerik orang berkerudung itu tidak luput dari
pengamatan kedua orang yang datang kemudian itu. Maka kata
orang berperawakan sedang itu kemudian, “Sudahlah Ki Sanak,
kita ini sudah tua dan tidak perlu lagi bermain hantu-hantuan
ataupun petak umpet. Marikah kita berterus terang siapa jati diri
kita masing-masing.”
Selesai berkata demikian dia segera merenggut secarik kain yang
menutupi wajahnya diikuti oleh kawannya yang tinggi besar.
“Ki Waskita! Ki Bango Lamatan!” hampir bersamaan Ki Gede dan
Ki Kamituwa telah berseru keras.
Namun orang berkerudung itu justru tertawa masam. Katanya
kemudian di sela-sela tawanya, “Aneh, apakah dengan
50
menunjukkan wajah kalian yang sebenarnya kemudian aku akan
terpancing membuka kerudungku? Sebuah tipuan kanak-kanak.
Walaupun aku membuka penutup wajahku, aku yakin kalian juga
tidak akan mengenaliku. Demikian juga dengan wajah-wajah
kalian, sama sekali tidak menarik perhatianku.”
Untuk beberapa saat kedua orang yang ternyata Ki Waskita dan Ki
Bango Lamatan itu saling pandang. Ternyata permainan mereka
untuk memancing jati diri orang berkerudung itu telah gagal.
Berkata Ki Waskita pada akhirnya, “Baiklah Ki Sanak, kami
berdua terpaksa menggunakan cara kami untuk memaksa Ki
Sanak menunjukkan jati diri Ki Sanak. Ki Gede dan Ki Kamituwa
akan menjadi saksi bahwa apa yang akan kami lakukan ini adalah
demi keamanan dan ketentraman perdika Matesih.”
“Omong kosong!” untuk kesekian kalinya orang berkerudung itu
membentak dengan suara menggelegar, “Jangan menggunakan
dalih omong kosong itu lagi. Katakan saja kalian berdua memang
telah berniat menghalangi jalanku, apapun alasannya!”
“Baiklah Ki Sanak, kita akan bertempur,” berkata Ki Waskita
kemudian sambil bergeser ke samping beberapa langkah dan
memberi isyarat Ki Bango Lamatan untuk mempersiapkan diri,
“Hati-hatilah Ki Sanak. Kami akan menyerang Ki Sanak langsung
pada tataran tinggi ilmu kami. Jangan sampai Ki Sanak terpedaya
hanya pada serangan kami yang pertama.”
“Persetan!” geram orang berkerudung itu, “Aku sama sekali tidak
berniat melayani orang-orang tua yang bodoh dan lemah seperti
kalian. Aku akan pergi dan tidak akan peduli lagi apapun sikap
yang akan kalian ambil!”
Selesai berkata demikian, tanpa menunggu kedua lawannya
bergerak, orang berkerudung itu bagaikan terbang telah melenting
tinggi dan mendarat di atas tanggul. Hanya dalam sekejap mata,
bayangannya segera hilang di balik tanggul.
Ketika Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan menyadari apa yang
telah dilakukan oleh orang berkedung itu, dengan cepat keduanya
segera melenting tinggi dan kemudian mendarat di atas tanggul.
51
Tanpa membuang waktu, kedua orang linuwih itu pun segera
mengejar bayangan orang berkerudung yang telah menghilang
beberapa saat yang lalu.
Sepeninggal Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan, tampak kedua
perangkat perdikan Matesih itu hanya berdiri diam dalam
kebingungan. Mereka tidak mungkin dapat menyusul kawan-
kawan Ki Rangga itu. Apalagi menyusul orang berkerudung yang
ternyata ilmunya sangat ngedab-edabi.
“Ki Gede,” bertanya Ki Kamituwa sejurus kemudian, “Apa
sebaiknya yang kita lakukan?”
Ki Gede yang sedang tertegun melihat kecepatan gerak yang
dipertunjukkan ketiga orang beberapa saat tadi seolah tersadar
oleh pertanyaan Ki Kamituwa. Maka jawabnya kemudian, “Lebih
baik kita menunggu di sini, Ki Kamituwa. Jika ternyata sampai
sepenginang sirih tidak ada seorang pun yang kembali ke tempat
ini, kita kembali dengan berjalan kaki.”
Sejenak wajah Ki Kamituwa tampak ragu-ragu. Namun dengan
memberanikan diri, akhirnya Ki Kamituwa pun bertanya,
“Maksud Ki Gede, kita meneruskan perjalanan kembali ke
rumahku dengan berjalan kaki?”
Ki Gede tersenyum tipis mendengar pertanyaan Ki Kamituwa. Ki
Gede pun kemudian hanya menganggukkan kepalanya tanpa
sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
Dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan telah
mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengejar orang
berkerudung itu. Walaupun keduanya telah tertinggal beberapa
saat, namun kemampuan Ki Waskita dalam membaca isyarat serta
melacak keberadaan barang barang yang hilang kali ini telah
banyak membantunya.
“Kita belok ke kiri,” desis Ki Waskita sambil terus mengerahkan
kemampuannya berlari. Ki Bango Lamatan yang berlari di
sebelahnya tidak menyahut, hanya mengikuti saja ke arah mana
Ki Waskita berlari.

52
Diam-diam Ki Bango Lamatan teringat ketika harus berkejar-
kejaran dengan orang yang tak dikenal beberapa saat yang lalu
bersama Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Sepertinya orang
berkerudung itu orang yang sama seperti yang telah terjadi
beberapa saat yang lalu.
“Kelihatannya orang ini adalah orang yang sama,” berkata Ki
Bango Lamatan dalam hati sambil terus berlari, “Ada maksud
apakah orang ini dengan segala permainannya selama ini?”
Ketika kedua orang itu kemudian mencapai sebuah padang perdu
yang luas, hampir bersamaan keduanya telah memperlambat lari
mereka dan kemudian berhenti sama sekali.
“Getarannya hilang di tempat ini,” desis Ki Waskita kemudian
sambil menyilangkan kedua tangannya dan menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Ki Bango Lamatan pun segera berbuat
serupa.
Sejenak suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara
binatang-binatang malam yang bersahut-sahutan dalam irama
ajeg. Di ujung padang perdu, terdengar suara burung kedasih di
dahan rendah sebatang pohon randu alas yang tumbuh
menjulang. Suaranya ngelangut membuat berdiri bulu roma
orang-orang yang berhati kerdil.
“Gila!’ geram Ki Waskita kemudian sambil mengurai kedua
tangannya dan menegakkan kepalanya kembali, “Isyarat
keberadaan orang itu benar-benar lenyap bagaikan ditelan bumi.’
“Ki Waskita benar,” jawab Ki Bango Lamatan yang telah terlebih
dahulu melepaskan pengamatan batinnya, “Jika Ki Waskita saja
dapat dikelabuhinya, apalagi aku.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya. Sebagai orang yang menekuni sejenis ilmu
untuk menemukan barang atau pun orang yang hilang melalui
isyarat-isyarat getaran yang ditangkap mata batinnya, Ki Waskita
merasa penasaran dengan keberadaan orang berkerudung itu.

53
“Ki Waskita,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian, “Orang
berkerudung ini sepertinya sama dengan orang yang pernah kami
kejar di dukuh Klangon beberapa waktu yang lalu.”
Sejenak Ki Waskita mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian,
“Mungkin saja, Ki. Aku ingat cerita kalian bertiga. Mengejar-kejar
seorang linuwih yang tidak mau mengungkapkan jati dirinya.
Namun saat itu kita justru dapat menarik kesimpulan bahwa
orang aneh itu sengaja membawa Ki Bango Lamatan bertiga untuk
melihat sendiri kesiapan murid-murid padepokan Sapta Dhahana
yang akan mengepung banjar padukuhan Klangon.”
“Ki Waskita benar,” sahut Ki Bango Lamatan dengan serta merta,
“Karena pertolongan orang itulah kita bisa lolos dari bajar
padukuhan Klangon.”
Untuk beberapa saat suasana menjadi sepi. Kedua orang tua itu
tampak berusaha mengetrapkan aji Sapta pandulu untuk
mempertajam penglihatan mereka.
“Tidak ada yang mencurigakan,” desis Ki Waskita perlahan mirip
desah seseorang yang putus asa.
“Ya, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan sambil memenuhi rongga
dadanya dengan udara malam yang sejuk, “Sebaiknya kita
kembali. Kasihan Ki Gede dan Ki Kamituwa yang mungkin
menunggu kita kembali.”
“Baiklah,” sahut Ki Waskita kemudian, “Marilah kita kembali.”
Namun baru saja langkah kedua orang tua itu terayun,
pendengaran mereka yang sangat tajam telah mendengar suara
gemerisik beberapa langkah tepat di belakang mereka.
Bagaikan telah berjanji sebelumnya, kedua orang tua itu pun
secepat kilat segera membalikkan tubuh mereka. Sekejap mereka
telah dalam keadaan siap menghadapi segala kemungkinan.
Ketika kedua orang tua itu kemudian mengamati keadaan di
depan mereka, hanya berjarak sekitar enam langkah di hadapan
kedua orang tua itu, tampak sesosok bayangan hitam berdiri di
atas kedua kakinya yang renggang. Orang yang selama ini mereka
54
cari, berkerudung hitam dengan secarik kain menutupi sebagian
wajahnya.
Sejenak tidak ada seorang pun yang mendahului bergerak.
Semuanya saling menunggu apa yang akan terjadi kemudian.
Namun tiba-tiba terdengar suara yang berat dan dalam dari orang
berkerudung itu, “Salah satu dari kalain, ikutlah aku!”
Selesai berkata demikian tangan kanan orang berkerudung itu
menunjuk ke arah Ki Waskita.
Berdesir dada kedua orang tua itu. Tanpa sadar keduanya saling
berpandangan sejenak. Agaknya kedua orang tua itu memang
terlihat ragu-ragu untuk memenuhi ajakan orang berkerudung itu.
“Aku tunggu di bawah pohon Sadeng itu,” berkata orang
berkerudung itu kemudian sambil berjalan menjauh.
Untuk sejenak Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan benar-benar
tidak tahu harus berbuat apa atas tawaran orang berkerudung itu.
Namun jika kedua orang tua itu melewatkan kesempatan itu, teki-
teki yang selama ini menyelimuti jati diri orang berkerudung itu
akan tetap gelap.
“Biarlah aku turuti permintaannya,” berkata Ki Waskita pada
akhirnya, “Aku minta Ki Bango Lamatan ikut mengawasi dari
kejauhan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.’
“Baiklah Ki,” jawab Ki Bango Lamatan sambil memandang Ki
Waskita yang melangkah pergi. Sebenarnya dalam hati Ki Bango
Lamatan ingin mengikuti Ki Waskita secara diam-diam, namun
niat itu segera diurungkannya. Ki Bango Lamatan sadar, orang
berkerudung itu pasti akan mengetahuinya.
“Semoga saja orang berkerudung itu bermaksud baik,” desis Ki
Bango Lamatan kepada dirinya sendiri sepeninggal Ki Waskita,
“Ki Waskita juga bukan anak kemarin sore yang akan dengan
mudahnya diperdayai. Jika orang itu bermaksud buruk, Ki
Waskita dapat berteriak memanggilku.”

55
Berpikir sampai disini Ki Bango Lamatan hatinya menjadi sedikit
tenang. Ketika dilihatnya seonggok batu padas yang terletak tidak
jauh dari tempatnya, Ki Bango Lamatan segera melangkah dan
kemudian duduk di atasnya menunggu apa yang akan terjadi.
Dalam pada itu, Ki Gede dan Ki Kamituwa sedang gelisah
menunggu kedatangan kembali Ki Waskita dan Ki Bango
Lamatan. Mereka berdua telah memanjat tanggul di sisi bulak
yang cukup tinggi itu. Ketika mereka berdua kemudian telah
berdiri di atas tanggul, sejauh mata memandang hanya tampak
tanah pesawahan yang luas. Jauh di ujung tanah pesawahan itu
tampak hutan yang membujur bagaikan seekor ular raksasa yang
sedang tidur.
“Hem,” terdengar Ki Gede berdesah perlahan, “Belum terlihat
tanda-tanda kedua orang itu akan kembali.”
Ki Kamituwa yang berdiri di sebelahnya mencoba mengamati
keadaan di sekitarnya, namun yang terlihat hanya keremangan
malam yang sepi.
“Apakah tidak sebaiknya kita lanjutkan saja perjalanan kita, Ki
Gede?” bertanya Ki Kamituwa kemudian.
Sejenak Ki Gede ragu-ragu. Namun sebelum Ki Gede
memutuskan, pandangan mata tajam Ki Gede yang melebihi
orang kebanyakan telah melihat titik-titik hitam yang bergerak-
gerak di atas pematang jauh di depan mereka.
“Agaknya mereka telah kembali,” desis Ki Gede dengan serta
merta.
Ki Kamituwa terkejut mendengar kata-kata Ki Gede. Dengan
segera Ki Kamituwa berusaha mempertajam penglihatannya.
Namun karena kemampuan Ki Kamituwa memang beberapa
lapis di bawah Ki Gede, Ki Kamituwa belum mampu melihat titik-
titik hitam yang tampak berjalan di atas pematang itu.
Barulah beberapa saat kemudian ketika jarak itu semakin dekat,
Ki Kamituwa melihat dua bayangan yang berjalan berurutan di

56
atas salah satu pematang menuju ke tempat mereka berdiri
menunggu.
“Ya, mereka telah kembali,” desis Ki Kamituwa pada akhirnya
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah kita mendekat,” berkata Ki Gede kemudian sambil
melangkahkan kakinya menyusuri pematang diikuti oleh Ki
Kamituwa.
Ketika jarak kedua perangkat perdikan itu telah semakin dekat,
mereka segera menghentikan langkah dan menunggu.
Dalam pada itu Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan yang sedari tadi
sudah melihat kedua orang itu segera melangkah menghampiri.
“Ki Gede berdua masih di sini?” bertanya Ki Waskita sasampainya
dia beberapa langkah di hadapan Ki Gede.
“Ya Ki Waskita,” jawab Ki Gede, “Kami berdua sangat gelisah dan
tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya kami memutuskan untuk
menunggu saja.”
Untuk beberapa saat kedua orang tua itu justru telah termangu-
mangu mendengar keterangan Ki Gede. Mereka merasa kasihan
kepada kedua perangkat perdikan Matesih itu yang harus
menunggu dalam kegelisahan dan ketakutan.
“Apa sebenarnya yang telah terjadi, Ki Waskita?” bertanya Ki Gede
kemudian begitu melihat kedua orang itu hanya berdiri termangu-
mangu.
Sambil menggelengkan kepalanya Ki Waskita menjawab, “Dia
telah pergi dan kami telah gagal untuk mengungkap jati diri orang
itu.”
“Siapakah sebenarnya orang berkerudung itu, Ki? Setidaknya Ki
Waskita dapat menduga-duga?” Ki Kamituwa pun ikut
mengajukan sebuah pertanyaan.
“Sudahlah,” jawab Ki Waskita sambil melangkah, “Kami juga
masih menduga-duga, namun belum pasti. Sebaiknya kita kembali
ke banjar padukuhan induk.”
57
Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Kamituwa menarik nafas
dalam-dalam. Sedangkan Ki Bango Lamatan hanya tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengikuti langkah Ki
Waskita.
Demikianlah akhirnya keempat orang tua itu segera turun dari
tanggul dan kembali menyusuri jalan menuju ke banjar
padukuhan induk. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya Ki
Gede dan Ki Kamituwa mengajukan berbagai pertanyaan.
“Pada awalnya kami bertiga mendengar para pengawal
menyiapkan beberapa ekor kuda di halaman banjar. Kelihatannya
mereka akan nganglang di awal malam. Maka kami pun tidak
begitu menaruh perhatian,” Ki Waskita memulai ceritanya.
“Apakah Ki Waskita dan kawan-kawan juga mendengar derap
kaki-kaki kuda kami melintasi banjar?” bertanya Ki Gede menyela
cerita Ki Waskita.
“Tentu saja Ki Gede,” Ki Bango Lamatanlah yang menjawab,
“Namun sebelum Ki Gede dan Ki Kamituwa lewat, kami bertiga
mendengar sebuah desir yang sangat halus mirip desir binatang
merayap yang mendekati dinding bilik kami, bahkan desir itu
lebih lembut lagi sehingga kami bertiga menjadi curiga.”
“Tentu seorang yang linuwih sedang mendekati bilik kalian,”
sahut Ki Kamituwa menduga-duga.
“Ki Kamituwa benar,” jawab Ki Waskita, “Kami memang menduga
demikian. Namun kami tetap berpura-pura tidak mendengarnya.”
“Apakah orang itu kemudian melakukan sesuatu?” bertanya Ki
Gede selanjutnya dengan nada sedikit tidak sabar.
“Itulah yang kami herankan,” jawab Ki Waskita sambil
menggeleng lemah, “Ternyata orang itu telah berhasil menyerap
segala bunyi yang ditimbulkannya akibat gesekanya dengan alam
sekitar, sehingga untuk beberapa saat kami telah kehilangan
jejak.”
“He?!” hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Kamituwa terperanjat.
Bertanya Ki Kamituwa kemudian, “Bagaimana mungkin?”
58
“Itu bisa saja terjadi, Ki,” sahut Ki Bango Lamatan dengan serta
merta, “Dalam keadaan diam, seseorang akan mampu
meningkatkan pemusatan nalar dan budinya dengan lebih baik
untuk mempertajam ilmunya. Berbeda jika dia dalam keadaan
bergerak.”
Tampak kepala Ki Gede dan Ki Kamituwa terangguk-angguk.
Untuk beberapa saat mereka terdiam. Hanya desir langkah-
langkah mereka dalam irama ajeg yang terdengar memecah
keheningan malam itu.
“Nah,” berkata Ki Waskita kemudian memecahkan kesepian, “Di
saat kami kehilangan jejak akan keberadaan orang itu, tiba-tiba
kami mendengar lamat-lamat derap dua ekor kuda menyusuri
jalan mendekati banjar padukuhan induk.”
“Itu mungkin kami berdua,” sahut Ki Gede cepat.
“Sebelumnya kami tidak menduga semua itu, Ki Gede,” berkata Ki
Waskita menanggapi ucapan Ki Gede, “Kami mengetahui hal itu
dari para pengawal regol banjar padukuhan induk ketika kami
turun ke halaman dan menanyakan perihal orang-orang berkuda
yang baru saja lewat.”
“Di saat kuda-kuda itu sedang melewati jalan di depan banjar,
agaknya orang yang sedang kami pantau keberadaannya itu
sedikit lengah sehingga kami mengetahui keberadaannya
kembali,” berkata Ki Waskita selanjutnya, “Dan yang sangat
mengejutkan, menurut pantauan kami, orang itu telah
meninggalkan banjar dan bergerak searah dengan kepergian
orang-orang berkuda itu.”
“Sebenarnya kami tidak begitu menaruh perhatian,” Ki Bango
Lamatan lah yang melanjutkan, “Namun panggraita Ki Waskita
memaksa kami turun ke halaman dan menanyakan kepada para
penjaga regol banjar padukuhan induk tentang orang-orang
berkuda yang baru saja leawat.”
“Ki Bango Lamatan benar,” sahut Ki Waskita, “Aku mendapat
firasat yang mendebarkan begitu mengetahui bahwa yang baru
saja lewat adalah Ki Gede berdua. Untuk itu aku dan Ki Bango
59
Lamatan memutuskan untuk mengikuti arah kepergian Ki Gede
berdua sekaligus ingin mengetahui jati diri orang yang telah
mendekati banjar padukuhan induk dengan sesideman itu.”
Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Kamituwa menarik nafas
panjang. Sebenarnyalah Ki Gede masih ingin bertanya, namun
tiba-tiba Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan telah menghentikan
langkah mereka.
“Ada beberapa orang berkuda sedang berpacu menuju ke tempat
ini, Ki Gede,” berkata Ki Waskita perlahan namun cukup
mengejutkan Ki Gede dan Ki Kamituwa. Kedua orang itu berusaha
mengangkat kepala mereka untuk mempertajam pendengaran
mereka, namun jarak itu memang masih cukup jauh.
Baru beberapa saat kemudian, lamat-lamat pendengaran Ki Gede
kemudian disusul Ki Kamituwa dapat menangkap hentakan kaki-
kaki kuda yang sedang di pacu di jalan berbatu-batu.
“Kita berhenti di sini saja,” berkata Ki Waskita kemudian ketika
suara gemuruh itu semakin mendekat. Dengan sengaja keempat
orang tua itu pun kemudian menepi dan berdiri di pinggir jalan di
bawah sebatang pohon Apak yang sulur-sulurnya bergelantungan
dan sebagian justru telah bersatu dengan batangnya.
Sejenak kemudian dalam keremangan malam tampak enam ekor
kuda melaju di jalan berbatu-batu. Dari keenam kuda itu, hanya
empat yang berpenunggang. Sedangkan dua ekor kuda yang lain
tanpa penunggang yang kendalinya disangkutkan dipelana kuda-
kuda yang lain.
Ketika rombongan berkuda itu telah semakin dekat, Ki Gede
segera melangkah ke tengah jalan sambil mengangkat tangan
kanannya tinggi-tinggi.
Agak orang yang berpacu di paling depan segera melihat
seseorang yang berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangan
kanannya tinggi-tinggi. Maka orang itu pun segera berseru,
“Kurangi laju kuda kalian! Ada orang di depan!”

60
Sejenak kemudian laju kuda-kuda itu pun segera berkurang dan
akhirnya berhenti beberapa langkah di hadapan Ki Gede.
“Ki Gede!” hampir bersamaan para penunggang kuda itu berseru
sambil dengan tergesa-gesa meloncat turun. Tanpa
memperdulikan kuda tunggangan mereka, keempat orang itu
segera berlari mendapatkan Ki Gede.
Ki Gede tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Di
dalam hati terbesit sebuah kebanggan akan kesiap siagaan para
penggawal Perdikan Matesih.
“Terima kasih,” berkata Ki Gede kemudian setibanya keempat
pengawal itu di hadapannya. Kemudian sambil berpaling ke arah
pinggir jalan dia melanjutkan kata-katanya, “Malam ini aku
ditemani Ki Kamituwa, Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan.”
“He!” keempat penungang kuda yang ternyata adalah para
pengawal Matesih itu terperanjat. Sepengetahuan mereka, Ki
Waskita dan Ki Bango Lamatan beberapa saat tadi masih di banjar
padukuhan.
“Kami berdua memang sengaja menyusul Ki Gede dan Ki
Kamituwa,” sahut Ki Waskita sambil tertawa pendek dan
melangkah mendekat, “Alangkah segarnya berjalan-jalan di
malam hari. Walaupun sebenarnya angin malam kurang baik bagi
kesehatan orang yang sudah tua seperti kita ini.”
“Sesekali tidak mengapa Ki Waskita,” Ki Bango Lamatan yang
berjalan di belakangnya menyahut. Sementara Ki Kamituwa hanya
tersenyum-senyum sambil mengikuti langkah kedua orang tua itu.
“Nah kalian ternyata telah membawa kuda-kuda kami,” berkata Ki
Gede kemudian sambil menunjuk kearah dua ekor kuda yang di
tambatkan di pelana kuda-kuda yang lain.
“Kami memutuskan untuk membawa kuda-kuda itu, Ki Gede,”
berkata salah satu pengawal kemudian, “Kami mendengar kuda-
kuda itu berlari-larian sepanjang jalan di depan banjar. Setelah
kami berhasil menangkap mereka, ternyata kami mengenali
sebagai kuda Ki Kamituwa.”
61
“Untuk itulah kami segera memutuskan menyusul Ki Gede dan Ki
Kamituwa,” pengawal yang lain menimpali.
“Baiklah,” berkata Ki Gede akhirnya, “Kita segera kembali ke
banjar dengan berkuda. Berikan dua kuda kalian kepada Ki
Waskita dan Ki Bango Lamatan. Sementara kalian berempat dapat
menggunakan dua ekor kuda. Kuda-kuda itu cukup tegar sehingga
kalian dapat menungganginya seekor berdua.”
“Jangan memacunya terlalu cepat,” sela Ki Kamituwa, “Kalian
dapat mematahkan punggungnya. Aku lihat salah satu dari kalian
terlalu gemuk.”
“Ya, Ki Kamituwa,” jawab pengawal yang berdiri dipaling depan.
Sambil berpaling ke belakang dia melanjutkan, “Kawan kami yang
satu itu memang terlalu gemuk. Dulu sewaktu belum menikah, dia
sangat kurus dan terkesan kurang terurus. Namun setelah kawin,
dengan cepat badannya menjadi gemuk dan terlihat cukup rapi.”
Orang-orang yang mendengar kata-kata pengawal itu telah
tertawa. Sedangkan pengawal yang bertubuh gemuk itu hanya
dapat tertunduk malu-malu.
“Nah kita berangkat,” berkata Ki Gede kemudian.
Demikianlah akhirnya, Ki Gede dan Ki Kamituwa mengendarai
kuda masing-masing, sedangkan Ki Waskita dan Ki Bango
Lamatan mendapat pinjaman dua ekor kuda dari para pengawal.
Sementara ke empat orang pengawal itu harus menggunakan
masing-masing seekor kuda untuk dua orang.
Dalam pada itu, di sebuah padukuhan kecil yang sama sekali tidak
menarik perhatian, sebuah padukuhan miskin di sebelah selatan
hutan Krapyak, tampak Eyang Guru dan Raden Wirasena serta
Kiai Dandang Mangore sedang bercakap-cakap di sebuah rumah
reyot yang lebih pantas jika disebut sebuah gubuk.
Rumah reyot itu tampak gelap, tidak ada sebuah dlupak pun yang
menyala di teritisan maupun di dalam rumah. Tidak ada pendapa
sama sekali, hanya sebuah teritisan yang agak luas. Disitulah

62
ketiga orang itu berkumpul dan terlihat sedang membahas sebuah
permasalahan dengan sungguh-sungguh.
“Eyang Guru,” berkata Raden Wirasena kemudian, “Aku yakin
Panembahan Hanyakrawati itu pasti telah menemui ajalnya.
Ternyata rencana kita dapat berjalan dengan lancar dan mudah.”
“Benar Raden,” sahut Eyang Guru cepat. Namun tampak
wajahnya diliputi oleh kekecewaaan, “Aku yakin Mas Jolang telah
mati, namun sasaran kita selanjutnya justru telah terlepas.”
“Orang Sela dan Mas Rangsang, maksudmu?” bertanya Kiai
Dandang Mangore yang duduk di sebelah Eyang Guru.
“Ya,” jawab Eyang Guru cepat, “Terutama orang dari Sela itu.
Selama orang itu masih hidup, akan sangat sulit untuk
menghancurkan Mataram.”
“Bukankah kita dapat menggerakkan padepokan Sapta
Dhahana?,” sela Raden Wirasena.
Hampir bersamaan kedua orang tua itu menggeleng. Eyang
Gurulah yang menjawab, “Kekuatan kita belum cukup memadai
Raden. Untuk itulah mengapa aku menyarankan untuk
menjadikan Matesih sebagai pancadan perjuangan kita,” Eyang
Guru berhenti sejenak untuk sekedar memenuhi rongga dadanya
dengan udara malam yang sejuk. Lanjutnya kemudian,
“Seandainya saja ketiga orang penting Mataram itu dapat kita
lenyapkan semua.”
“Engkau benar Ghanduru,” sahut Kiai Dandang Mangore,
“Dengan kematian ketiga orang penting Mataram itu, Mataram
pasti akan menjadi lemah. Tidak ada calon kuat di antara
keturunan Panembahan Senapati yang dipandang pantas menjadi
Raja. Perebutan kekuasaan akan terjadi di antara mereka sendiri.
Sementara itu kita dapat memperkuat Matesih dan menyatakan
Matesih lepas dari pemerintahan Mataram dan menjadi sebuah
Kerajaan baru.”
Uraian panjang lebar pemimpin perguruan Setra Gandamayit itu
telah membuat Raden Wirasena termenung. Perjuangannya
63
menggapai tahta ternyata masih sangat panjang dan berliku.
Mataram masih terlalu kuat untuk dihancurkan karena Mataram
masih mempunyai Putra Mahkota dan yang sangat berpengaruh
adalah peran Ki Patih Mandaraka.
Dalam pada itu pendengaran Eyang Guru dan Kiai Dandang
Mangore yang sangat tajam ternyata telah menangkap gemerisik
langkah beberapa orang mendekati tempat mereka. Sedangkan
Raden Wirasena belum mampu mendengarnya.
Ketika Raden Wirasena kemudian mengangkat wajahnya pertanda
bahwa dia telah mendengar suara langkah-langkah itu, Eyang
Guru pun kemudian berkata perlahan, “Agaknya Ki Lurah
Wirabakti dan kawan-kawannya sedang menuju ke tempat ini.”
Kiai Dandang Mangore mengangguk-anggukkan kepalanya
sementara Raden Wirasena telah menarik nafas dalam-dalam
untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja menjadi sedikit
pepat.
Demikianlah sejenak kemudian dalam keremangan malam, ketiga
orang itu melihat beberapa orang berjalan dengan tergesa-gesa
memasuki halaman rumah yang tidak seberapa luas itu.
“Masuklah kalian semua ke dalam rumah untuk sekedar
beristirahat,” berkata Raden Wirasena kemudian tanpa berdiri
dari duduknya ketika orang-orang itu sudah mendekati teritisan,
“Kecuali Ki Lurah Wirabakti. Silahkan Ki Lurah bergabung dengan
kami di sini.”
“Terima kasih Raden,” hampir bersamaan mereka menyahut
sambil melanjutkan langkah mereka memasuki rumah.
Sedangkan Ki Lurah Wirabakti yang merasa namanya disebut
segera mengambil tempat duduk di teririsan itu setelah
menganggukkan kepalanya dalam dalam ke arah ketiga orang
yang telah terlebih dahulu berada di tempat itu.
Setelah Ki Lurah Wirabakti duduk di antara mereka, barulah
Raden Wirasena membuka suara, “Ki Lurah, aku tidak melihat Ki
Brengos di antara kalian tadi.”

64
“Hamba Raden,” jawab Ki Lurah sambil membungkukkan
badannya dalam-dalam, “Ki Brengos dan beberapa murid
perguruan Setra Gandamayit masih tinggal di hutan Krapyak
untuk mengawasi keadaan. Hamba beserta beberapa kawan tadi
sengaja menyusul ke tempat ini untuk menanyakan hasil rencana
kita dan siap menerima perintah lebih lanjut.”
Untuk beberapa saat ketiga orang itu justru telah termangu-
mangu dan tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kepada Ki
Lurah Wirabakti. Namun akhirnya Raden Wirasena pun
membuka suara, “Ki Lurah, ketahuilah bahwa rencana kita untuk
menyingkirkan Raja Mataram itu telah berhasil.”
Sebuah senyum pun segera mengembang di bibir Ki Lurah
Wirabakti. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dia pun
menyahut, “Syukurlah. Hamba ikut merasa gembira bahwa
rencana yang telah disusun sedemikian rumitnya itu akhirnya
membuahkan hasil yang gemilang.”
“Namun rencana kita tidak seluruhnya dapat dikatakan berhasil
Ki Lurah,” sahut Eyang Guru dengan serta merta begitu melihat
keceriaan di wajah Lurah prajurit itu.
Ki Lurah segera berpaling ke arah Eyang Guru dengan kerut merut
di wajahnya. Tanyanya kemudian, “Mohon sudilah kiranya Eyang
Guru menjelaskan semua itu?”
Eyang Guru sejenak menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya
kemudian, “Ki Lurah, memang kita telah berhasil melenyapkan
Raja Mataram itu. Namun harapan kita, setelah Raja Mataram itu
memasuki perangkap, pada gilirannya Raden Mas Rangsang dan
Patih tua itu yang akan memasuki perangkap kita juga,” Eyang
Guru berhenti sejenak untuk sekedar mengambil nafas. Lanjutnya
kemudian, “Namun ternyata panggraita Patih tua itu masih sangat
tajam. Agaknya dia mampu mengendus bahaya yang
menunggunya di kelokan jalan itu.”
Ki Lurah mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil termangu-
mangu. Agaknya Eyang Guru dapat membaca apa yang sedang
berkecamuk dalam dada Lurah Prajurit itu. Maka berkata Eyang
65
Guru selanjutnya, “Sebenarnya kami bertiga mampu
menghancurkan Mas Rangsang dan Patih tua bangka itu. Namun
suara gemuruh pasukan berkuda yang datang kemudian telah
membuat kami berpikir ulang untuk menyergap kedua orang itu.”
“Gandhuru benar,” sahut Kiai Dandang Mangore cepat,
“Melenyapkan Mas Rangsang dan Juru Mertani memerlukan
waktu yang tidak sedikit. Selain keduanya memang pilih tanding,
keduanya sudah bercuriga sejak awal dan dalam keadaan kesiap
siagaan yang tinggi sehingga kami telah mengurungkan niat
kami.”
Sekarang tampak raut wajah Ki Lurah Wirabakti menjadi lesu.
Harapannya yang melambung tinggi jika Raden Wirasena dapat
merebut tahta menjadi sirna bagaikan asap yang tertiup badai.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing sedang dibuai
oleh angan-angan tentang peristiwa yang baru saja terjadi.
Ketika di kejauhan lamat-lamat terdengar suara kenthongan
ditabuh dengan nada dara muluk, tanpa sadar Ki Lurah Wirabakti
pun berdesis perlahan, “Sudah tengah malam.”
Raden Wirasena tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian sambil berpaling ke arah Eyang Guru dia bertanya,
“Eyang Guru, apakah sebaiknya rencana kita selanjutnya?”
Eyang Guru yang mendapat pertanyaan itu segera tanggap. Sambil
menegakkan punggungnya dia menjawab, “Raden, kita kembali ke
padepokan Sapta Dhahana untuk menyusun rencana berikutnya,”
dia berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Kiai
Dandang Mangore dia melanjutnya, “Aku sarankan sebaiknya Kiai
Dandang Mangore ikut kami ke gunung Tidar. Semua orang kita
tarik dan berkumpul di gunung Tidar.”
“Aku setuju,” sahut Kiai Dandang Mangore cepat, “Namun aku
tidak akan langsung ke gunung Tidar. Aku akan pulang dulu dan
mengumpulkan seluruh anak murid Setra Gandamayit untuk
bergabung dengan Sapta Dhahana.”

66
“Bagus!” seru Raden Wirasena dengan bersemangat, “Setelah
kekuatan kita terkumpul, aku kira tidak ada alasan bagi Ki Gede
Matesih untuk tidak tunduk kepada perintah kita. Seperti rencana
semula, kita jadikan Perdikan Matesih sebagai pancadan
perjuangan kita.”
Hampir bersamaan orang-orang yang hadir di tempat itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Ampun Raden,” tiba-tiba Ki Lurah Wirabakti menyelutuk,
“Apakah hamba harus kembali ke hutan Krapyak untuk
memberitahu kawan-kawan kita yang ada di sana tentang perintah
Raden yang terakhir ini.”
“Benar Ki Lurah,” jawab Raden Wirasena dengan serta merta,
“Beritahu kawan-kawan kita untuk kembali ke padepokan Sapta
Dhahana malam ini juga. Usahakan gerakan kalian tidak menarik
perhatian. Hindari jalan-jalan dan tempat-tempat umum. Jangan
bergerak dalam rombongan yang besar. Kalian dapat berjalan
berpencar-pencar namun tetap dalam satu kesatuan yang dapat
saling berhubungan.”
“Sendika Raden,” jawab Ki Lurah Wirabakti kemudian, “Hamba
akan kembali ke hutan Krapyak sekarang juga.”
“Kembalilah,” perintah Raden Wirasena kemudian, “Bawalah satu
atau dua orang saja. Biarlah yang lainnya berangkat dari rumah
ini menjelang ayam berkokok untuk terakhir kalinya. Sedangkan
kami bertiga akan berangkat sekarang juga.”
“Sendika Raden,” jawab Ki Lurah Wirabakti sambil beringsut
turun dari teritisan. Setelah terlebih dahulu membungkukkan
badannya dalam-dalam, Ki Lurah Wirabakti pun kemudian
memasuki rumah dari arah pintu samping.
Demikianlah sejenak kemudian, orang-orang yang berada dalam
rumah itu telah berpencaran menunaikan tugas masing-masing
yang telah disepakati sebelumnya. Ki Lurah Wirabakti bersama
dua orang kembali ke hutan Krapyak. Sedangkan Raden Wirasena
bersama kedua orang tua itu telah berangkat dengan berjalan kaki
kembali ke gunung Tidar. Sementara yang lainnya tetap tinggal di
67
Masih terbayang jelas dalam ingatan Ki Rangga ketika dia mendapat
perintah menghadap Pangeran Pati di ndalem Kapangeranan malam
itu juga.

68
rumah itu menunggu saatnya untuk berangkat menyusul ke
gunung Tidar.
“Kita akan mencari kuda,” berkata Raden Wirasena kepada kedua
orang itu ketika mereka sudah berjalan agak jauh.
“Ya Raden, itu lebih baik,” jawab Eyang Guru, “Kuda-kuda kita
telah kita tinggalkan di tengah hutan. Semoga Ki Lurah dan
lainnya dapat menggunakannya agar bisa cepat sampai ke gunung
Tidar.”
“Aku tidak perlu kuda,” sela Kiai Dandang Mangore, “Aku akan
mengambil jalan pintas walaupun harus menembus hutan yang
masih lebat dan liar. Namun perjalananku akan semakin cepat.”
“Silahkan Balebang,” jawab Eyang Guru sambil tersenyum,
“Ternyata kebiasaanmu untuk bermain petak umpet sewaktu
masih muda belum hilang.”
“Ah,” Kiai Dandang Mangore tertawa masam, “Sekarang ini aku
memang sedang berusaha menghilangkan jejak. Siapa tahu
keterlibatan kita dalam kejadian sore tadi sudah tercium oleh para
petugas sandi Mataram.”
“Ah, tentu tidak,” sahut Raden Wirasena dengan serta merta,
“Rencana kita sangat rapi dan tidak mungkin tercium oleh petugas
sandi Mataram. Namun semua kemungkinan itu tetap ada jika di
antara kita dengan sengaja ada yang berkianat.”
Kata-kata terakhir Raden Wirasena itu ternyata telah
mengejutkan kedua orang tua itu. Sebuah desir tajam tiba-tiba
telah menggores jantung mereka.
“Siapa yang akan berkhianat?” hampir bersamaan kedua orang
tua itu telah melontarkan sebuah pertanyaan yang mengejutkan.
Tanpa sadar Raden Wirasena telah menghentikan langkahnya.
Dengan sedikit ragu-ragu dia mengajukan sebuah pertanyaan,
“Mungkinkah di antara kita ada yang berkhianat?”
Sejenak kedua orang tua itu saling pandang. Betapapun juga
kemungkinan itu pasti ada. Apalagi rencana mereka tidak

69
sepenuhnya berhasil. Ada kemungkina di antara mereka akan
mencari keuntungan dengan dalih apapun untuk memberi
keterangan kepada pihak Mataram.
“Gila!” tiba-tiba Eyang Guru mengumpat keras. Tanyanya
kemudian, “Raden, bagaimana menurut penndapat Raden tentang
Lurah Prajurit itu?”
“Maksud Eyang Guru, Ki Lurah Wirabakti?” Raden Wirasena balik
bertanya dengan kerut merut di dahi.
“Ya Raden,” jawab Eyang Guru dengan suara meyakinkan,
“Apakah tidak menutup kemungkinan dia akan berbalik memihak
Mataram begitu menyadari rencana kita tidak berhasil
seluruhnya?”
“Ya Raden,” Kiai Dandang Mangore ikut menimpali,
“Kemungkinan itu ada. Menilik raut wajahnya yang sedikit ragu-
ragu ketika menerima perintah dari Raden.”
“Aku tidak sempat memperhatikannya,” berkata Raden Wirasena
kemudian sambil mengayunkan langkahnya kembali diikuti oleh
kedua orang tua itu, “Aku masih berharap akan kesetiaannya
untuk mendukung perjuangan kita.”
“Tetapi aku mempunyai keyakinan bahwa Ki Lurah tidak akan
ikut ke gunung Tidar,” berkata Eyang Guru kemudian sambil tetap
melangkah mengikuti Raden Wirasena, “Bukankah selama ini dia
tidak pernah meninggalkan tugas-tugasnya sebagai prajurit? Dia
bekerja sama dengan kita dari dalam lingkungan keprajuritan
Mataram. Jadi yang pasti dia hanya akan menyampaikan perintah
Raden kepada orang-orang kita untuk kembali ke gunung Tidar.
Sedangkan dia sendiri akan kembali ke kesatuannya.”
“Dan itu tidak menutup kemungkinan bagi dia untuk berkhianat,”
sahut Kiai Dandang Mangore cepat.
Raden Wirasena sejenak termenung sambil tetap mengayunkan
langkahnya. Berbagai dugaan dan petimbangan hilir mudik dalam
benaknya.

70
“Raden,” berkata Eyang Guru kemudian membuyarkan lamunan
Raden Wirasena, “Lebih baik kita bertindak cepat. Jika arah angin
berubah dan Ki Lurah berbalik arah, jalur itu harus segera di
putus sebelum mempersulit keadaan kita.”
“Aku setuju dengan pikiranmu, Gandhuru,” justru Kiai Dandang
Mangore lah yang menyahut, “Sekarang juga aku bersedia
memutus jalur itu jika Raden menghendaki. Sebelum semuanya
terlambat.”
Agaknya pendapat kedua orang tua itu telah mempengaruhi
penalaran Raden Wirasena. Maka katanya kemudian, “Baiklah.
Aku minta tolong Kiai Dandang Mangore untuk mengurus Lurah
Wirabakti. Aku dan Eyang Guru akan tetap melanjutkan
perjalanan menuju gunung Tidar.”
“Sedika Raden,” jawab Kiai Dandang Mangore sambil
menghentikan langkahnya, “Aku mohon diri untuk kermbali ke
hutan Krapyak.”
“Silahkan Kiai,” jawab Raden Wirasena sambil ikut berhenti.
Eyang Guru pun kemudian ikut berhenti.
“Namun aku berpesan jangan sampai apa yang akan Kiai lakukan
itu diketahui oleh kawan-kawan kita,” berkata Raden Wirasena
selanjutnya.
“O, tentu tidak, Raden,” jawab Kiai Dandang Mangore sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku tidak akan melakukan di
hadapan orang-orang kita. Aku akan melakukannya dalam
perjalanan dia kembali ke Mataram.”
“Bagus!” hampir bersamaan Raden Wirasena dan Eyang Guru
menyahut.
“Nah, aku mohon diri Raden,” berkata Kiai Dandang Mangore
kemudian.
“Silahkan Kiai, “ jawab Raden Wirasena, “Sampai bertemu di
gunung Tidar.”

71
Demikianlah akhirnya, Kiai Dandang Mangore segera
memisahkan diri dan berjalan kembali menuju hutan Krapyak.
Sementara Eyang Guru dan Raden Wirasena melanjutkan
perjalanan mereka.
Dalam pada itu, malam telah melewati puncaknya. Di pesantren
gunung Muria, Glagah Putih dengan setia masih menunggui kakak
sepupunya yang terbaring lemah di atas amben.
Sore tadi sepeninggal Mas Santri, Glagah Putih segera bercerita
tentang pertempuran yang telah terjadi di Sapta Dhahana pagi
tadi.
“Aku mendengar suara benturan dahsyat dari balik dinding,”
berkata Glagah Putih kemudian sambil menggeser dingklik kayu
itu mendekat, “Tidak ada pilihan lain bagiku selain mengakhiri
perlawanan Raden Surengpati. Aku belum tahu bagaimana nasib
adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu.”
Ki Rangga yang terbaring lemah itu mengerutkan keningnya.
Tanyanya kemudian, “Glagah Putih mengapa engkau
meninggalkan Sapta Dhahana? Bagaimana dengan kawan-kawan
kita? Dan terlebih lagi saat itu Matahari hampir terbit. Pengaruh
sirep akan hilang dan para cantrik yang tersadar dari pengaruh
sirep akan beramai-ramai mengeroyok orang-orang tua itu
sebagaimana anjing-anjing pemburu mengeroyok mangsanya.”
“O, tidak kakang,” sela Glagah Putih cepat, “Aku masih
mendengar pasukan pengawal Matesih yang berusaha
menggempur pintu gerbang. Agaknya pasukan pengawal Matesih
telah menyerbu padepokan Sapta Dhahana tepat saat Matahari
terbit.”
“Syukurlah,” desis Ki Rangga sambil menyeringai menahan sakit
di dadanya ketika dia mencoba bergeser. Benturan itu memang
begitu dahsyatnya sehingga tubuh bagian dalam Ki Rangga telah
terluka berat.
Melihat kakak sepupunya menyeringai menahan sakit, Glagah
Putih segera menggeser tempat duduknya semakin dekat.
Tanyanya kemudian, “Apakah kakang memerlukan bantuan?”
72
Ki Rangga tersenyum sambil menggeleng lemah. Jawabnya
kemudian, “Tidak Glagah Putih, aku tidak apa-apa, hanya perlu
istirahat yang cukup. Sebiknya engkau juga beristirahat. Malam
sudah cukup larut.”
“Kakang juga belum beristirahat,” sergah Glagah Putih cepat.
Ki Rangga tersenyum. Namun baru saja dia akan membuka mulut,
terdengar kethukan perlahan di pintu bilik.
Ketika kedua orang itu kemudian berpaling ke arah pintu, tampak
kepala Mas Santri tersembul di antara daun pintu bilik yang
terbuka beberapa jengkal.
“Masuklah Mas Santri,” berkata Glagah Putih sambil bangkit
berdiri dari tempat duduknya.
Dengan langkah satu-satu Mas Santri pun kemudian melangkah
mendekat setelah sebelumnya menutup pintu bilik terlebih
dahulu.
“Ki Rangga,” berkata Mas Santri kemudian setibanya dia di
pinggir amben, “Kanjeng Rama ingin berbicara barang sebentar
dengan Ki Rangga.”
Glagah Putih yang kini duduk di ujung pembaringan Ki Rangga
terkejut. Dipandanginya wajah kakak sepupunya yang pucat pasi.
Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Kakang,
apakah kakang sudah cukup kuat untuk menghadap Kanjeng
Sunan sekarang ini?”
Namun ternyata Mas Santri yang berdiri di belakang Glagah Putih
yang menjawab, “Kakang Glagah Putih, bukan Ki Rangga yang
harus menghadap Kanjeng Sunan, namun aku diperintah oleh
Kanjeng Sunan untuk memberitahu Ki Rangga bahwa Kanjeng
Rama akan menjenguk Ki Rangga dan sekailgus ada hal penting
yang ingin disampaikannya.”
“O,” desis Glagah Putih sambil tersenyum dan kemudian berdiri,
“Sebaiknya aku keluar bilik terlebih dahulu sebelum Kanjeng
Sunan hadir di tempat ini.”

73
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Mas Santri tersenyum.
Demikianlah akhirnya Glagah Putih dan Mas Santri mohon diri
meninggalkan Ki Rangga sendirian di dalam bilik.
Dalam pada itu sepeninggal Glagah Putih dan Mas Santri, Ki
Rangga menjadi gelisah. Berbagai dugaan hilir mudik dalam
benaknya. Kira-kira hal penting apakah yang akan disampaikan
Kanjeng Sunan kepada dirinya?
Pertanyaan itu berputar-putar dalam benaknya, namun Ki Rangga
tidak mampu menjawabnya.
Di saat kegelisahannya memuncak itulah tiba-tiba terasa ada
sebuah getaran yang memasuki alam bawah sadar Ki Rangga.
Sudah sering Ki Rangga mengalami hal itu. Bahkan Ki Rangga
sudah pernah menyampaikan permasalahannya itu kepada Ki
Waskita, orang yang dianggap sebagai gurunya yang kedua setelah
Kiai Gringsing.
“Ada apakah ini?” desis Ki Rangga sangat perlahan, “Isyarat-
isyarat ini muncul tanpa dapat aku kendalikan. Jika dengan
sengaja aku memusatkan nalar dan budiku untuk meraba isyarat
itu, justru isyarat itu akan menghilang.”
Menyadari hal seperti itu, Ki Rangga membiarkan saja
kesadarannya yang perlahan-lahan menurun. Pendengaran Ki
Rangga pun mulai mendengar suara aneh, seperti sebuah siulan
yang bernada tinggi dan tak putus-putusnya. Namun lambat laun
suara siulan itu melemah dan akhirnya menghilang seiring dengan
masuknya kesadaran Ki Rangga ke dalam alam sonyaruri.
Tiba-tiba dalam mata batin Ki Rangga, terhampar sebuah
pemandangan yang mengejutkan. Tampak dirinya sedang berdiri
tegak di antara kabut tebal yang bergulung-gulung
mengelilinginya. Ketika kabut tebal itu perlahan-lahan
menghilang, muncullah seraut wajah yang sangat dikenalnya,
bahkan yang akhir-akhir ini selalu menghantui mimpi-mimpinya,
Rara Anjani.

74
“Anjani,” desah Ki Rangga dalam alam bawah sadarnya. Namun
sekejap bayangan seraut wajah cantik itu menghilang seiring
dengan datangnya serombongan orang berkuda yang berpacu
dengan kencang di tengah padang.
Kuda-kuda itu berpacu sedemikian cepatnya bagaikan anak-anak
panah yang terlepas dari busurnya menuju ke arah dirinya. Belum
sempat Ki Rangga berbuat sesuatu, kuda-kuda itu dengan garang
telah menerjangnya.
Begitu terkejutnya Ki Rangga sehingga telah membuatnya terjaga
dari alam bawah sadarnya.
“Ah,” desah Ki Rangga kemudian perlahan sambil mengerjap-
kerjapkan kedua kelopak matanya. Peluh telah membasahi
sekujur tubuhnya.
“Isyarat apa lagi yang aku terima ini?” berkata Ki Rangga
kemudian dalam hati, “Seandainya ada Ki Waskita, aku dapat
meminta pertimbangannya tentang makna isyarat ini.”
Namun tiba-tiba terlintas dalam benaknya seseorang yang
mungkin dapat dijadikannya tempat bertanya, Kanjeng Sunan.
“Aku dapat meminta petunjuk Kanjeng Sunan,” gumam Ki Rangga
perlahan dengan nada penuh harapan.
Berpikir sampai disitu hati Ki Rangga menjadi sedikit tenang,
walaupun tidak sepenuhnya. Dicobanya untuk menarik nafas
dalam-dalam untuk menenangkan debar jantungnya. Namun
semakin dalam dia menarik nafas, terasa rasa nyeri semakin
menghujam dadanya.
Di saat Ki Rangga Sedang terbaring dengan gelisah itu, tiba-tiba
terdengar desir langkah menuju ke biliknya. Sejenak kemudian
terdengar kethukan perlahan dan derit pintu bilik yang terbuka.
Ketika Ki Rangga kemudian berpaling, Kanjeng Sunan sedang
berdiri di tengah-tengah pintu bilik yang terbuka lebar.
“Kanjeng Sunan,” desis Ki Rangga perlahan sambil berusaha
bangkit.

75
“Berbaring sajalah Ki Rangga,” terdengar Kanjeng Sunan
mencegah Ki Rangga. Setelah menutup pintu bilik, Kanjeng Sunan
pun kemudian melangkah mendekat ke pembaringan.
“Mohon ampun Kanjeng Sunan, hamba masih belum mampu
untuk duduk,” berkata Ki Rangga kemudian dengan tetap
berbaring, “Tulang-tulang sekujur tubuh hamba rasanya
berpatahan serta sendi-sendi bagaikan terlepas dari tempatnya.”
Kanjeng Sunan yang sudah mengambil dingklik kayu dan
kemudian duduk di samping amben bambu itu tersenyum.
Berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Aku maklum Ki Rangga.
Benturan ilmu yang terjadi antara Ki Rangga dengan pemimpin
perguruan Sapta Dhahana itu memang sudah diluar batas
kewajaran. Agaknya Kiai Damar Sasangka benar-benar sudah
tidak mampu mengekang diri lagi. Puncak ilmunya yang
bersumber dari alam kegelapan itu memang ngedab-edabi.”
Diam-diam Ki Rangga bersyukur dalam hati. Jika bukan karena
kemurahan dan perlindungan Yang Maha Agung, tentu tubuhnya
sudah lumat menjadi abu.
“Ampun Kanjeng Sunan,” berkata Ki Rangga kemudian, “Jika
hamba diperkenankan mengetahui, siapakah yang telah
membangunkan samadi hamba di saat yang genting itu?”
Kanjeng Sunan tersenyum sareh. Jawabnya kemudian, “Akulah
yang membangunkan samadimu, Ki Rangga. Aku tidak rela
melihat engkau lumat menjadi abu. Namun aku sama sekali tidak
membantumu mengatasi gempuran lawanmu saat itu. Engkau
sendirilah yang telah berusaha mengatasi serangan lawanmu itu,
dan selebihnya, tentu saja pertolongan Yang Maha Agung lah yang
telah menyelamatkanmu dari kehancuran.”
Untuk beberapa saat Ki Rangga tampak masih bimbang menerima
keterangan Kanjeng Sunan itu. Pandangan matanya yang kosong
tampak menerawang ke langit-langit bilik.
“Engkau tidak percaya , Ki Rangga?” bertanya Kanjeng Sunan
kemudian begitu melihat sinar mata Ki Rangga yang penuh

76
keraguan, “Apa yang membuat engkau menjadi ragu-ragu Ki
Rangga?”
Sejenak Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam untuk
melonggarkan dadanya yang sesak. Namun Ki Rangga justru
merasakan dadanya bertambah sakit.
Melihat keadaan Ki Rangga, Kanjeng Sunan tersenyum. Bertanya
Kanjeng Sunan kemudian, “Ki Rangga, apakah Ki Rangga sudah
meminum obat yang aku titipkan kepada Mas Santri?”
“Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga hampir tak terdengar.
Kanjeng Sunan kembali tersenyum. Bertanya Kanjeng Sunan
selanjutnya, “Apakah ada perubahan dalam tubuhmu setelah
meminum air yang aku titipkan Mas Santri itu?”
Sejenak Ki Rangga ragu-ragu. Namun dia akhirnya menjawab,
“Hamba Kanjeng Sunan. Namun perubahan itu hampir tidak
tampak. Sekujur tubuh hamba masih terasa sakit tiada taranya.”
Kanjeng Sunan kali ini tertawa pendek sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya. Bertanya kembali Kanjeng Sunan, “Apa
pendapatmu tentang obat yang aku berikan lewat Mas Santri itu?”
Kembali terlihat Ki Rangga ragu-ragu untuk menjawab. Namun
akhirnya dia berkata juga, “Mohon ampun Kanjeng Sunan, obat
yang dibawa Mas Santri itu hanya semangkuk air putih, tidak
lebih dan tidak kurang.”
Kali ini Kanjeng Sunan benar-benar tidak mampu menahan
tawanya. Berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Aku menyadari
keraguanmu mengenai obat yang aku berikan itu. Tentu yang
terbayang dalam benakmu adalah obat sebagaimana kebanyakan
ramuan obat yang engkau kenal selama ini. Aku tahu gurumu
adalah salah seorang ahli pengobatan yang mumpuni. Kiai
Gringsing adalah orang yang ahli dalam pengobatan selain ilmu
olah kauragan dari jalur perguruan Windujati yang diwarisinya.
Aku maklum, sebagai muridnya, Ki Rangga pasti sedikit banyak
telah mempelajari ilmu pengobatan.”

77
“Hamba, Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga, “Dulu semasa guru
masih hidup, hamba sering diajak mencari bahan obat-obatan
yang berupa daun-daunan, kulit kayu dan batang pohon-pohon
perdu serta berjenis-jenis empon-empon. Bahkan tak jarang guru
juga menyadap sejenis getah pohon yang beracun. Semua itu
diramu dalam sebuah takaran tertentu untuk jenis luka luar
maupun dalam, dan juga jenis penyakit tertentu.”
Tampak Kanjeng Sunan mengangguk-anggukkan kepalanya
mendengar uraian Ki Rangga. Berkata Kanjeng Sunan kemudian,
“Ki Rangga, aku tidak mempelajari ilmu pengobatan seperti
gurumu. Aku tahu itu adalah sebuah ilmu yang cukup rumit dan
perlu pengalaman serta ketelitian dalam menentukan obat sesuai
sakitnya. Yang aku pelajari selama ini memang berbeda.”
Sejenak Ki Rangga memandang ke arah Kanjeng Sunan dengan
sinar mata penuh pertanyaan. Namun ketika Kanjeng Sunan balas
memandangnya, dengan cepat Ki Rangga segera melemparkan
pandangan matanya ke langit-langit bilik.
“Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan selanjutnya, “Sesuai apa yang
aku pelajari selama ini, apa yang gumelar di seluruh jagad raya ini,
apa yang telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi adalah
kuasa penuh dari Yang Maha Agung. Sekecil apapun cita-cita yang
ingin kita raih, kita wajib melakukan usaha, doa dan berpasrah
diri kepadaNya. Ketiga hal tersebut; usaha, doa, dan berpasrah
diri dalam kenyataannya seringkali tak berjalan beriringan.
Padahal, jika ketiganya digabungkan, akan menjadi kekuatan
yang luar biasa dalam meraih ridhaNya.”
Untuk beberapa saat Ki Rangga termangu-mangu. Berbagai
permasalahan hilir mudik dalam benaknya. Namun akhirnya Ki
Rangga pun mngungkapkan apa yang masih mengganjal dalam
hatinya.
Berkata Ki Rangga kemudian, “Ampun Kanjeng Sunan, mohon
kiranya Kanjeng Sunan berkenan menjelaskan kepada hamba
tentang usaha, doa dan berpasrah diri itu.”

78
Kanjeng Sunan menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu
sebelum menjawab pertanyaan Ki Rangga. Sejenak kemudian
Kanjeng Sunan pun berkata, “Usaha adalah jalan agar Yang Maha
Agung melihat seberapa gigih kita megharapkan yang terbaik dari-
Nya, maka dari itu saat kita mengharapkan sesuatu dalam
kehidupan, senjata yang paling ampuh selain doa adalah usaha,
karena melalui usaha tersebut Yang Maha Agung akan mengubah
takdir kita,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Sebab, takdir seseorang tidak akan berubah menjadi
lebih baik kecuali jika berusaha dengan segenap jiwa raganya
untuk sungguh-sungguh mengubahnya. Tujuan dalam hidup
takkan pernah tercapai dengan sempurna jika usaha kita tak
pernah meyakinkan Yang Maha Agung. Oleh karena itu, jangan
pernah merasa letih untuk berusaha, apalagi sampai berputus
asa.”
Sejenak suasana di dalam bilik itu menjadi sunyi. Ki Rangga
dengan sungguh-sungguh mencoba mendalami dan mencerna apa
yang telah disampaikan oleh Kanjeng Sunan.
“Teruslah berusaha,” berkata Kanjeng Sunan selanjutnya, “Sebab
kita tak pernah tahu akan kehendak dari Yang Maha Agung dalam
meridhoi usaha kita. Tetap berusaha dengan segigih mungkin,
karena takkan pernah ada usaha yang berakhir sia-sia. Karena jika
usahanya itu benar-benar dilandasi dengan niat mengharap
ridhoNya, usahanya akan dicatat sebagai amal ibadah.”
Sampai disini Ki Rangga teringat akan dirinya ketika masih muda.
Betapa usaha yang sungguh-sungguh telah dilaksanakannya
dalam usaha meningkatkan ilmunya. Pada dasarnya dia dan adik
seperguruannya bersama-sama menimba ilmu kepada Kiai
Gringsing. Ilmu yang disadapnya pun sama. Guru mereka tidak
pernah membedakan, tidak pernah emban cindhe emban silatan.
Namun kesungguhannya dalam menekuni apa yang telah
dipelajarinya ternyata telah membuahkan hasil.
“Ketahuilah Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan selanjutnya
membangunkan Ki Rangga dari lamunannya, “Jika usaha kita
membuahkan hasil, maka kita setidaknya akan mendapat dua
79
keuntungan. Pertama, kita akan memperoleh pahala dari Yang
Maha Agung. Kedua, kita akan mendapat keberhasilan atau
manfaat dari apa yang telah kita usahakan. Tetapi jika usaha kita
itu belum berhasil karena memang Yang Maha Agung belum
meridhoinya atau memang kita sedang dalam ujianNya, maka
setidaknya kita akan mendapat pahala dariNya karena usaha kita
itu. Bahkan jika kita sabar dalam keadaan apapun yang menimpa
kita, maka kita akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.”
Kembali suasana di dalam bilik itu menjadi sunyi. Tampaknya Ki
Rangga sedang mencerna dan meresapi apa yang telah
disampaikan oleh Kanjeng Sunan.
“Berdoa adalah merupakan sebuah pertanda bahwa seorang
hamba membutuhkan Tuhan-Nya,” Kanjeng Sunan melanjutkan
penjelasannya setelah sejenak mereka terdiam, “Bahkan, doa
disebut sebagai senjata orang yang beriman, karena memang
hanya doa yang tak pernah ditolak oleh Yang Maha Agung. Setiap
doa yang kita panjatkan kepada-Nya akan selalu diterima, hanya
saja terkadang Yang Maha Agung menunda permohonan itu atau
bahkan menggantinya dengan yang lebih baik. Karena Yang Maha
Pemberi lebih mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Boleh saja
kita memohon segala sesuatu menurut kebutuhan yang ada dalam
dada kita, namun percayalah, Yang Maha Mengetahui akan
memberikan yang terbaik bagi kita.”
Ki Rangga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Tanpa sadar dia
memandang ke arah Kanjeng Sunan. Dalam sorot matanya
tampak mengandung sebuah pertanyaan.
‘Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian dengan sebuah
senyum di bibir, “Apakah Ki Rangga masih meragukan akan
kemurahan dari Yang Maha Pemberi?”
-----------------0O0-----------------
Bersambung ke jilid 12

80

Anda mungkin juga menyukai