Anda di halaman 1dari 86

SHUGYOSA

(Samurai Pengembara)
Buku Kedua
oleh Salandra

Cover oleh Tony G.


Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994

Buku Kedua
MENJADIKAN ALAM SEBAGAI
SEKUTU

PENGEPUNGAN semakin ketat. Kaki-kaki pasukan No-


bunaga terus berderap ke arah gubuk persembunyian
Saburo Mishima. Angin membuat bendera-bendera ber-
kibar. Rumput serta dedaunan berdesir tertiup angin.
Senjata-senjata sudah dihunus dari sarungnya, bilah-
bilah pedang berpendar seperti lempengan kaca.
Kojiro berlari menuruni lembah, mengikuti jalan se-
tapak menuju ke arah sungai kecil yang mengalir di
bawah bukit itu. Beberapa kali ia terpaksa berhenti
untuk mengikat pakaiannya. Kimono yang kini dikena-
kan sebenarnya amat merepotkan. Selain penuh de-
ngan hiasan, kimono itu berlapis-lapis sehingga me-
ngurangi keleluasaannya untuk bergerak.
Aku bisa mati hanya karena kimono ini, Kojiro ber-
kata dalam hati. Kalau itu sampai terjadi, aku akan me-
ngutuk Natane Yoshioka.
“Lihaat! Dia di sana!” tiba-tiba terdengar salah seo-
rang pengintai berteriak. “Dia ada di sana!”
Kojiro berhenti. Untuk beberapa saat ia terpaku
menatap ratusan pasukan Nobunaga yang sudah me-
ngetahui tempatnya. Suasana jadi hiruk pikuk. Para
samurai itu berdesakan maju untuk meyakinkan pan-
dangan mereka. Seorang laki-laki berpakaian serba bi-
ru menyeruak ke depan.
“Siapa yang kalian lihat?” ia bertanya.
Pengintai tadi menjawab, “Yoshioka. Natane Yoshi-
oka!”
“Mana dia?”
“Lihat dia berada di sana! Dekat pohon sakura!”
Pimpinan pasukan itu mendongak. Ia melihat Kojiro
berdiri di samping sebatang pohon sakura kering.
“Natane Yoshioka,” kata lelaki tersebut menggeram.
Matanya berbinar-binar melihat Pedang Muramasa di
tangan Kojiro.
Kojiro sendiri termangu. Seperti seekor kelinci di de-
pan sekumpulan serigala, untuk beberapa saat ia tak
mengerti harus berbuat apa. Jantungnya berdetak ken-
cang. Secara manusiawi rasa takut menggeliat dalam
dirinya.
Para samurai itu kira-kira tiga ratus meter di bawah
Kojiro. Meskipun pohon-pohon azaela tumbuh subur di
tempat itu, namun ratusan samurai akan dengan mu-
dah menangkap Kojiro.
Tak ada jalan untuk lari.
Beberapa saat suasana pagi itu dicekam kesunyian,
sampai akhirnya pemimpin pasukan itu berteriak nya-
ring, “Apa yang kalian tunggu, tangkap anak itu hidup-
hidup!”
Sedetik berikutnya kesunyian berubah menjadi hu-
ru-hara. Para samurai itu bergerak serentak mengejar
Kojiro. Dengan teriakan membahana mereka berlari
menerobos hutan azaela. Derap kaki mereka mengge-
tarkan tanah, mirip suara ribuan kerbau gila. Sinar
mata mereka memancarkan kebuasan dan nafsu mem-
bunuh yang sangat mengerikan.
Kojiro tersadar, kemudian berlari kembali mendaki
bukit. Tiga ratus meter di belakangnya, ratusan samu-
rai mengejarnya dengan buas.
Suasana pagi tiba-tiba berubah mirip medan pe-
rang. Dengan napas terengah-engah Kojiro lari. Bebe-
rapa kali ia jatuh bangun. Namun dengan sekuat tena-
ga ia berusaha menjauhi musuh-musuhnya. Rasa ta-
kut mulai menguasai dirinya, sehingga keringat dingin
mulai membasahi sekujur tubuhnya. Lebih-lebih ki-
mono yang dikenakannya berlapis-lapis, sehingga
membuatnya seperti diperam di atas sekam.
Sambil berlari, Kojiro menoleh, ia melihat para pe-
ngejarnya semakin dekat.
“Hei, berhenti kamu anak manis!” seorang penge-
jarnya berteriak. “Biarkan kami memenggal kepalamu!”
“Benar, berhenti kamu, Anak Bengal!”
Kojiro terus berlari tanpa menghiraukan teriakan-
teriakan itu. Ia berlari menerobos hutan azaela, mendaki
bukit, terus masuk ke dalam hutan pinus. Pohon-pohon
di hutan itu sudah berusia ratusan tahun, sehingga ke-
cuali menjulang seperti kaki raksasa, hutan itu sangat
lebat. Dengan penuh tekad, Kojiro mencabut Pedang Mu-
ramasa, kemudian mulai membabat pohon-pohon perdu
di depannya. Inilah saat pertama kali Kojiro mengguna-
kan pedang sungguhan, ia demikian terpesona dengan
kehebatan dirinya. Setiap kali ia menebas, perdu-perdu
di depannya terpangkas habis dan meninggalkan tong-
gak-tonggak runcing. Kenyataan itu memberikan ide di
kepalanya. Ia sekarang berlari sambil menebaskan pe-
dangnya ke kanan ke kiri. Tonggak-tonggak yang diting-
galkan, untuk sementara, merepotkan para pengejarnya.
Bahkan seorang samurai yang terpeleset jatuh dengan
tubuh menghunjam di atas tonggak-tonggak runcing itu.
Samurai itu menjerit sekarat.
Kojiro menoleh, bibirnya menyunggingkan senyum
puas.
Sambil mencoba menolong temannya, seorang sa-
murai berteriak, “Hei, berhenti kau, Bangsat!”
Samurai lain menatap temannya, kemudian berkata
geram, “Akan kupenggal kepala anak jahanam itu!”
Sekali lagi Kojiro menoleh, pada saat itu kakinya te-
rantuk batu, tubuhnya kehilangan keseimbangan, lalu
jatuh terperosok ke semak belukar. Saat ia bangun, di
depannya telah berdiri lima orang samurai yang terse-
nyum lebar. Mereka menyeringai dengan penuh keme-
nangan.
“Mau lari ke mana lagi, Yoshioka-san!” kata salah
seorang samurai sambil tersenyum lebar.
“Lebih baik kau menyerah,” kata yang lainnya.
“Kami akan membawamu kepada Shogun Nobuna-
ga.”
Suara hiruk-pikuk terdengar di belakang mereka.
Teriakan-teriakan kejam mirip lengkingan setan. Kojiro
kini telah terpojok, tak mungkin menghindar. Pilihan
satu-satunya hanya menyerah untuk dipenggal kepa-
lanya, atau melawan dengan resiko menyongsong ke-
matiannya. Tanpa berpikir panjang, Kojiro mengayun-
kan pedang menyerang kelima samurai di depannya.
Sabetan pertama hanya mengenai angin, tetapi mem-
buat terkejut para samurai itu. Mereka tak menduga
anak kecil di depannya memiliki keberanian untuk me-
lawan.
“Lebih baik saya mati!” kata Kojiro menggeram. Se-
kali lagi ia menebaskan pedang, tetapi sekali lagi teba-
san itu hanya mengenai angin.
Kelima samurai itu tertawa. Salah seorang di anta-
ranya kemudian mulai memasang kuda-kuda untuk
menyerang.
“Maafkan saya, Yoshioka-san,” kata samurai itu
sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Ia akan
menebas dengan jurus ‘Jubah Pendeta’.
Kojiro mundur, seluruh tubuhnya tiba-tiba gemetar.
Ia dapat membayangkan betapa hebatnya tebasan itu
sehingga tubuhnya pasti akan terbelah menjadi dua. Ra-
sa ngeri itu membuat Kojiro mundur. Tetapi gerakan ini
justru membuat dirinya tersudut di salah satu pohon be-
sar di tempat itu. Sementara samurai yang akan mem-
bunuhnya terus mendekat. Kedua kakinya bergerak zig-
zag dalam posisi siap mengayunkan pedangnya.
“Kau akan membunuhnya?” tanya salah seorang sa-
murai di dekatnya. “Panglima Konishiwa memerintah-
kan kita menangkapnya hidup-hidup.”
“Akan kukatakan dia melawan kita.”
“Sebaiknya kita menunggu Panglima Konishiwa....”
“Aku tidak....”
Dengan kecepatan sepersepuluh detik, tiba-tiba Ko-
jiro maju ke depan sambil menebaskan pedang. Samu-
rai itu menjerit ketika merasakan perutnya robek. Ia
menjerit, kedua tangannya mendekap perutnya, ma-
tanya membara karena marah.
“Bangsaat!” rutuk samurai yang terluka itu geram.
Keempat temannya meloncat mundur ketika Kojiro
mulai menyerang. Mereka tak menduga sama sekali
Kojiro akan berani melawan meski sudah dalam kea-
daan terjepit. Sekarang dengan membabi buta, anak
itu menebaskan pedangnya ke kanan ke kiri.
“Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuh-
mu!” desis samurai yang terluka, kemudian dengan
penuh dendam ia mengangkat pedang, lalu mulai me-
nyerbu untuk memenggal tubuh Kojiro.
Di saat kritis itu, tiba-tiba samurai tersebut menje-
rit, tubuhnya terdorong ke depan beberapa langkah,
lalu terhempas ke tanah dengan punggung tertancap
ranting azaela. Belum habis rasa terkejutnya, keempat
samurai itu menjerit sekarat ketika leher mereka ter-
tembus ranting azaela. Jeritan mereka menyayat hati,
kemudian tubuh mereka terguling tanpa nyawa.
Kojiro masih tertegun menyaksikan pemandangan
itu, ketika tiba-tiba ia melihat seberkas bayangan ku-
ning turun merosot dari ketinggian pohon pinus. Kojiro
belum dapat melihat dengan jelas sosok bayangan itu
ketika ia merasakan tubuhnya dicengkeram, lalu di-
bawa terbang.
Setengah menit berikutnya, ratusan samurai tiba di
tempat itu, namun mereka hanya menemukan kelima
mayat temannya terbujur tanpa nyawa.
***
Di salah satu sudut bukit itu, Saburo Mishima dan Na-
tane sedang berdiri di atas tebing curam. Di depan me-
reka menghampar jurang sedalam dua ratus meter.
Jurang tersebut mengapit sungai yang mengalir deras
ke arah Kamakura. Air sungai itu tampak kebiruan.
Jurang itu dibentuk oleh dinding batu karang yang
terjal. Tidak ada akar atau tempat yang dapat dipakai
sebagai panjatan bila mereka ingin menuruninya. Sa-
buro menatap sungai di bawah dengan dahi berkerut.
Tubuh siapa pun akan remuk bila jatuh di atas batu-
batu karang yang bertonjolan di sungai di bawahnya.
Tampaknya tidak ada jalan untuk mundur.
Saburo menoleh ke kanan ke kiri, mencoba mencari
jalan untuk meloloskan diri, namun gerakan kaum sa-
murai dan pasukan Nobunaga telah membentuk taktik
jepit udang, sehingga Saburo dan Yoshioka terkepung
dari segala penjuru. Saburo memeras otak untuk ke-
luar dari kepungan itu, namun sampai dahinya ber-
kerut, tak satu jalan keluar pun ia dapatkan.
Yoshioka tiba-tiba berkata, “Tidak ada jalan untuk
meloloskan diri. Kita sebaiknya melawan mereka.”
“Tidak ada gunanya,” jawab Saburo sambil menatap
ke bawah. Dari ketinggian ia dapat melihat gerakan
maju pasukan musuh. Bendera-bendera yang dibawa
di punggung para pembawa obor tampak seperti ta-
ngan raksasa melambai-lambai. “Kekuatan kita tidak
sebanding. Perlawanan kita tidak ada gunanya.”
“Apakah kita akan menyerah, Sensei?”
“Tidak. Kita sebaiknya mempersiapkan diri untuk
mati.”
“Maukah Sensei mati tanpa mengadakan perlawa-
nan?”
“Tak ada jalan lain. Kita harus melawan mereka.”
“Saya sudah siap mati,” kata Yoshioka tegar. “Mu-
dah-mudahan ayahku memaafkan kegagalan ini.”
Saburo mendekati sebuah batu di atas tebing itu,
tampak di bawahnya, kita-kira seratus meter, ratusan
samurai bergerak mendekatinya dengan pedang telan-
jang. Tampaknya musuh sudah mengetahui di mana
posisi Saburo, sehingga mereka bergerak mendekat
dengan hati-hati. Betapapun tidak seorang pun ingin
mati konyol. Saburo terkenal sebagai panglima Ashika-
ga, bukan mustahil ia telah membangun jebakan-
jebakan untuk melindungi diri. Tetapi ketika tidak satu
jebakan pun mereka hadapi, kaum samurai itu mulai
melangkah bergegas, tetap dalam formasi pengepu-
ngan yang teramat rapat.
“Berikan pedang padaku,” kata Yoshioka dengan
suara tenang. “Aku akan melawan mereka.”
Saburo menoleh. “Bukankah sudah kukatakan eng-
kau belum saatnya memegang pedang....”
“Apa bedanya, kalau sebentar lagi kita akan mati.”
“Tetap ada bedanya. Kalau saat ini engkau mati, ji-
wamu masih suci. Belum terkotori nafsu membunuh
seorang samurai.”
“Aku lebih suka bila diberi pedang dan mati sebagai
seorang samurai.”
Saburo diam. Suara gemerincing pedang mulai ter-
dengar. Musuh semakin dekat. Siapa pun mengetahui,
dalam perbandingan seperti itu, tak akan ada perta-
rungan apa pun. Ratusan pasukan Nobunaga akan
dengan mudah membantai Saburo dan Yoshioka.
Matahari mulai terbit. Cahayanya yang bening me-
nembusi perdu dan hutan di bukit itu. Capung dan
burung mulai tampak beterbangan. Sementara kabut
mengambang seperti bulan transparan.
“Kurasa sebaiknya kita melawan mereka,” kata Yo-
shioka sambil mendekati Saburo.
“Diam dulu. Saya sedang berpikir,” Saburo menja-
wab dengan nada marah.
“Tidak ada yang harus dipikirkan. Sebentar lagi kita
akan mati.”
“Belum tentu. Kalau kita dapat mencari jalan ke-
luar.”
“Jalan keluar macam apa?”
Saburo terdiam. Ya, jalan keluar macam apa?
Dari balik dedaunan dan kabut, sosok-sosok pasu-
kan Nobunaga mulai tampak. Mereka seakan muncul
dari balik awan. Wajah mereka membeku, memancar-
kan nafsu membunuh.
Melihat musuh-musuhnya sudah tampak di depan
mata, seluruh tubuh Yoshioka bergetar hebat. Jiwa ke-
satriaannya bangkit.
“Berikan pedang padaku,” kata Yoshioka tak sabar.
Saburo menoleh cepat, “Ulurkan tanganmu pada-
ku,” katanya penuh tekanan.
“Saya butuh pedang untuk melawan mereka.”
“Saya butuh tanganmu untuk melawan mereka....”
“Apa maksud....”
“Cepat! Ulurkan tanganmu!”
Natane Yoshioka dengan ragu-ragu mengulurkan
tangannya. Pada saat itu pasukan Nobunaga menjerit
untuk menyerang. Bagai tiupan angin puyuh, ratusan
samurai itu mulai menyerbu. Langkah kaki mereka ba-
gai hempasan gempa yang mengerikan. Dalam waktu
bersamaan, Saburo Mishima meraih tangan Yoshioka,
kemudian menariknya menuju ke jurang. Dalam sekali
hentakan, kedua tubuh itu melayang ke jurang.
***
BAPA LAO

POHON seperti berlari ke belakang. Angin terasa tajam


menyayat-nyayat kulit Kojiro. Seluruh keadaan di se-
kelilingnya seakan diputar dengan cepat, sehingga
membuat kepalanya berkunang-kunang. Namun sosok
berpakaian serba kuning itu tak menghiraukan kea-
daan Kojiro. Ia terus melesat seperti angin menerobos
hutan pinus, hutan azaela, dan terus menuruni bukit
tersebut. Kecepatan larinya sangat tidak masuk akal.
Karena cepatnya, kedua kaki sosok itu seakan tidak
menjejak tanah. Ia bagai terbang di atas pucuk-pucuk
rumput dan perdu.
Sesekali Kojiro terpaksa memejamkan mata, sebab
pohon-pohon di depannya seakan bergerak hendak
membentur kepalanya. Juga batu-batu karang dan ba-
tang pohon kering. Semua melesat ke arahnya dengan
kecepatan bagai mata taufan.
Aku tidak tahu siapa sosok misterius ini. Tetapi yang
pasti ia sudah menyelamatkan diriku. Entah apa pun
maksud dia menolongku, jelas dia di pihak Shogun
Ashikaga. Lebih dari itu, sosok ini pasti berilmu tinggi.
Gerakannya benar-benar seperti angin. Bahkan mataku
tak dapat menangkap wujudnya.
Kojiro tidak tahu lagi, berapa lama ia dibawa lari
sosok berpakaian kuning itu, sampai akhirnya mereka
berhenti, persis di depan sebuah kuil Budha.
“Engkau sekarang sudah aman,” kata sosok kuning
itu sambil menurunkan Kojiro dari pundaknya. “Kita
bisa beristirahat di sini.”
Mata Kojiro berkunang-kunang. Kakinya goyah ke-
tika ia mencoba berdiri. Untuk beberapa saat ia ter-
huyung-huyung. Kojiro berusaha bertahan agar tidak
jatuh. Ia akan malu sekali kalau ketahuan dirinya me-
rasa pusing.
“Cobalah berdiri tegak seperti laki-laki,” terdengar
sosok berpakaian kuning itu datar. “Jangan berdiri ter-
huyung-huyung seperti orang mabuk.”
Kojiro mengedip-ngedipkan matanya. Ia kini dapat
menatap jelas sosok berpakaian kuning itu. Kojiro me-
lihat seorang laki-laki berkepala gundul dengan se-
buah kalung buah kenari di lehernya. Tubuhnya hanya
ditutup kain kuning yang membelit dari bahu hingga
ke mata kaki. Matanya besar serasi dengan kedua pi-
pinya yang gembul. Kain kuning yang membelit tubuh
lelaki tersebut terjurai hingga mata kaki, sementara di
bagian pinggang, diikat kain warna merah dari sutera.
Kedua kakinya memakai zori (sandal yang terbuat dari
jerami). Di pergelangan tangannya terdapat dua gelang
perak yang cukup besar. Dari pakaiannya, Kojiro me-
ngetahui lelaki tersebut adalah seorang pendeta.
“Benarkah engkau seorang pendeta?” Kojiro berta-
nya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Bagaimana engkau tahu?”
“Pakaianmu.”
Pendeta itu tersenyum tipis, lalu menjawab, “Pa-
kaian seringkali menipu. Tak dapat dipercaya. Demi-
kian banyak perampok dan pembunuh yang berpa-
kaian tidak seperti yang engkau kira.”
“Tetapi kalau engkau bukan pendeta, kenapa ka-
lung buah kenari serta pakaianmu seperti itu?”
“Aku menyukainya. Bau buah kenari sangat harum.
Selain itu tak seorang pun dapat melarangku mema-
kainya, bukan?”
“Apakah engkau tinggal di hutan itu?”
“Aku tinggal di mana saja. Di bawah langit, di atas
bumi. Bebas seperti binatang. Tidak seorang pun dapat
melarangku mengembara.”
“Bolehkah aku tahu namamu?”
Laki-laki tua itu menatap Kojiro dengan pandangan
menyelidik, namun dengan tulus ia menjawab, “Saya
Lao Tze. Orang memanggilku Bapa Lao.”
“Aku mengucapkan terima kasih, engkau telah me-
nyelamatkan diriku.”
“Seharusnya engkau mengatakan hal itu sebelum
kau menanyakan berbagai hal tadi.”
“Maaf. Tadi aku terlanjur ingin mengetahui siapa di-
rimu.”
Bapa Lao menghela napas panjang. Matanya mena-
tap jauh ke pemandangan di sekelilingnya. Gunung
Fuji tampak menjulang di kejauhan dengan salju abadi
menutupi puncaknya. Awan tampak mengambang di
sekitarnya. Sinar matahari yang mulai menerangi hu-
tan serta lembah, menampakkan panorama yang sa-
ngat indah. Hutan azaela serta pinus di kejauhan, ter-
lihat samar-samar.
Kojiro yang ikut-ikutan menatap pemandangan itu,
terkenang kejadian mengerikan yang baru saja ia ala-
mi. Bagaimana ratusan samurai siap membantainya.
Bila tidak muncul lelaki misterius yang kini berdiri di
depannya, ia pasti sudah mati. Paling tidak, saat ini ia
sedang diseret ke Kamakura untuk dihadapkan pada
Shogun Nobunaga. Kemudian esok atau lusa, seorang
algojo akan memenggal kepalanya..
Bagaimana dengan Yoshioka dan ayahnya?
Kojiro menoleh pada lelaki tua di sebelahnya, lalu
bertanya, “Apakah engkau juga mengetahui seorang
laki-laki dan seorang anak yang juga sedang dikejar-
kejar pasukan Nobunaga di hutan itu?”
Bapa Lao menoleh, matanya menatap Kojiro, “Siapa?”
“Panglima Saburo Mishima dan... Ko-ji-ro.”
“Mereka juga terkepung?”
“Ya.”
“Mudah-mudahan ada mukjizat yang dapat menye-
lamatkan mereka.”
“Jadi kau tidak melihat mereka?”
“Tidak.”
Kojiro terdiam. Tampak kekecewaan di wajahnya.
Bapa Lao menatap Kojiro. Lelaki itu seperti turut
merasakan kepedihan hatinya. Lalu ia bertanya, “Ke-
napa kalian dikejar-kejar pasukan Nobunaga?”
“Tampaknya Shogun Nobunaga ingin memusnah-
kan seluruh keluarga Ashikaga.”
“Siapa engkau sebenarnya sehingga mereka begitu
bernafsu untuk membunuhmu?”
“Aku...,” Kojiro ragu-ragu menjawab. Ingatannya
melayang pada ayahnya. Ia menatap Bapa Lao, tetapi
lelaki itu menampakkan ketulusan, sehingga akhirnya
Kojiro melanjutkan, “Aku... Natane Yoshioka.”
“Yoshioka, nama yang bagus.”
Pada awalnya Kojiro menganggap lelaki tersebut
akan kaget mendengar namanya, ternyata dugaannya
keliru, Bapa Lao seperti tak terpengaruh oleh nama
yang ia sebutkan. Karena itu ia melanjutkan, “Aku pu-
tra Shogun Ashikaga.”
Dugaan Kojiro kali ini pun meleset. Lelaki itu tetap
diam. Tidak bereaksi. Wajahnya tidak menyiratkan
emosi apa pun.
“Apakah engkau tidak terkejut setelah mengetahui
aku putra Shogun Ashikaga?” Kojiro bertanya penasa-
ran melihat Bapa Lao tidak memberikan reaksi seperti
yang ia harapkan.
Bapa Lao menjawab datar, “Tidak.”
“Apakah engkau juga musuh ayahku?”
“Tidak juga.”
“Jadi kenapa engkau seakan tidak menghormati
ayahku?”
Bapa Lao menoleh pada Kojiro, lalu berkata dengan
nada datar, “Lihatlah,” katanya sambil menunjuk pe-
mandangan di sekelilingnya. “Alam ini diciptakan begi-
tu indah oleh Tuhan. Gunung, bukit, lembah, sungai,
dan hutan, serta segala isi panorama itu demikian
elok. Segalanya seakan hidup di dalam harmoni. Bila
kita menatap semua itu dengan jiwa jernih, kita dapat
merasakan betapa indahnya kehidupan. Tetapi karena
keserakahan manusia, ambisi kekuasaan, kehidupan
menjadi rusak. Manusia membunuh sesama. Seakan
hanya dengan pembunuhan hidup ini menjadi sem-
purna. Padahal tidak. Semua terjadi justru sebaliknya.
Tanpa kekuasaan, manusia sesungguhnya dapat hi-
dup tenang dan damai menikmati keindahan kehidu-
pan.” Bapa Lao diam sejurus. Ia menoleh pada Kojiro,
seakan ingin mengetahui apakah anak tersebut dapat
mencerna ucapannya. Ketika Kojiro tetap diam, ia me-
neruskan, “Kau tahu maksudku?”
Kojiro menatap Bapa Lao, lalu mengangguk.
“Manusia tidak berarti karena nama serta keturu-
nannya, tetapi karena perbuatannya sendiri. Akhlak-
nya. Itu sebabnya aku tidak merasa terkejut apakah
engkau keturunan Shogun Ashikaga atau Shogun No-
bunaga sekalipun. Engkau tidak berarti apa-apa ka-
rena keturunan seorang bangsawan atau petani. Arti
dirimu ditentukan oleh dirimu sendiri.”
Kojiro diam. Sebenarnya ia merasa kecewa mengha-
dapi reaksi dingin Bapa Lao, namun ucapan lelaki itu
berhasil menghilangkan kekecewaannya.
“Tampaknya engkau sangat bangga sebagai putra
Ashikaga,” kata Bapa Lao lagi.
Kojiro menjawab, “Aku memang bangga.”
“Apa arti kebanggaanmu saat ini setelah kepala a-
yahmu dipenggal?”
Kojiro sekali lagi terdiam. Ingin rasanya ia menca-
but Pedang Muramasa kemudian menebas tubuh lelaki
di hadapannya. Namun entah kenapa, pengaruh keha-
diran lelaki itu membuat dirinya tak berdaya. Ia hanya
dapat berdiri, menatap lelaki tersebut dengan membi-
su.
“Sesudah orang mati, ia tak akan dapat lagi mela-
kukan sesuatu pun untuk keluarganya. Termasuk me-
nyelamatkan dirimu dari kejaran pasukan Nobunaga.
Orang mati hanya meninggalkan kenangan. Bisa bu-
ruk atau baik.”
“Saya capek, saya ingin istirahat,” potong Kojiro. Ia
tak ingin mendengarkan omongan lelaki tersebut lebih
lama lagi. “Kalau ada, saya ingin makan.”
“Belajarlah menahan lapar. Kelaparan akan mem-
buatmu dapat lebih menghargai kemiskinan. Kalau
orang hanya menomorsatukan perut, dia akan kehi-
langan ketabahan.”
“Apakah aku kurang tabah....”
“Engkau sudah tabah,” tukas Bapa Lao cepat. Ke-
mudian dilanjutkan dengan suara lemah, “Tapi masih
perlu ditingkatkan lagi.”
“Aku yakin engkau seorang pendeta.”
“Bukankah sudah kukatakan, pakaian dapat meni-
pu dirimu?”
“Aku yakin bukan karena pakaianmu.”
“Karena apa?”
“Kata-katamu.”
Bapa Lao menghela napas panjang, lalu berkata
tanpa menoleh, tanpa tekanan, “Jangan terlalu yakin
dengan ucapan seseorang. Kata-katanya sering tidak
menggambarkan isi hatinya.”
Kojiro kembali terdiam. Ia tidak tahu lagi harus me-
ngatakan apa. Ucapan Bapa Lao membuat Kojiro malu,
bingung, dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Ak-
hirnya ia hanya diam.
Bapa Lao pun diam. Seakan menunggu Kojiro bica-
ra. Laki-laki itu memain-mainkan kalung buah kenari
di dadanya. Pandangannya tetap lurus ke arah Gu-
nung Fuji di kejauhan. Matahari yang mulai merayap
ke langit membuat panorama di bawah bukit itu sema-
kin mempesona. Kabut mulai menghilang digantikan
warna hijau pepohonan dan warna kuning daun padi.
Ketika Kojiro tetap diam, akhirnya Bapa Lao ber-
tanya, “Engkau lapar, bukan?”
“Ya,” jawab Kojiro terus terang.
“Kalau begitu, mari kita makan.”
***

KEMARAHAN KONISHIWA

BYURR! Saburo Mishima dan Natane Yoshioka terce-


bur ke dalam sungai yang berarus deras. Untuk bebe-
rapa saat mereka tenggelam. Pada saat bersamaan pa-
sukan Nobunaga melempari mereka dengan tombak,
beberapa di antaranya melepaskan anak panah. Pulu-
han anak panah dan tombak menembusi sungai hing-
ga ke dasar, namun tak satu pun berhasil mengenai
Saburo maupun Yoshioka.
Yoshioka merasakan dadanya akan meledak, ka-
rena itu ia berniat naik ke permukaan, tetapi dengan
keras Saburo menarik kakinya kembali sehingga tubuh
anak itu tetap di dalam air. Tangan serta kakinya
menggapai-gapai, berusaha mencari jalan untuk naik,
namun Saburo tetap menggenggam erat. Yoshioka megap-
megap.
Di atas tebing, Konishiwa tampak marah. Wajahnya
merah padam.
“Hujani mereka dengan panah!” teriaknya geram.
“Rejam tubuhnya dengan tombak.”
Pasukan panah segera merentang busur, lalu meng-
hujani Saburo dan Yoshioka dengan panah.
“Kalian semua ceroboh!” kata Konishiwa marah. “Se-
harusnya dua bangsat itu dapat kita tangkap!”
“Mereka beruntung jatuh di air,” kata seorang sa-
murai dengan polos.
“Tolol!” bentak Konishiwa uring-uringan. “Kalau bu-
kan karena ketololan kalian tak mungkin mereka lolos!”
“Apa yang sekarang sebaiknya kita lakukan, Koni-
shiwa-san?”
“Goblok! Cari jalan lain agar kita dapat membekuk
dua bangsat itu!”
Konishiwa berbalik, lalu berjalan bergegas ke arah
kudanya.
Cukup lama Saburo menahan Yoshioka di dalam air
sambil membiarkan tubuh mereka terseret arus deras
sungai itu. Dengan mata terbuka, Saburo melihat pu-
luhan anak panah menembus air, juga tombak dan ba-
tu. Baru setelah agak jauh dari tempat mereka jatuh,
Saburo menarik Yoshioka ke permukaan. Kepalanya
muncul dengan mulut terbuka, sambil melepaskan
hempasan napas panjang. Matanya menatap ke seke-
liling dengan waspada. Ia lega sesudah mengetahui
tempatnya sekarang jauh dari musuh-musuhnya.
“Mudah-mudahan mereka tidak mengejar kita,” ka-
ta Saburo sambil menatap bukit tempat ratusan pa-
sukan Nobunaga berdiri sambil berteriak-teriak marah.
“Kita selamat.”
Saburo menoleh dan ia melihat kepala Yoshioka
terkulai. Anak itu ternyata pingsan. Dengan cepat Sa-
buro berenang ke tepi sungai, dengan susah payah ia
menyeret tubuh Yoshioka ke atas tanah rumput. De-
ngan tenang ia beri bantuan pernapasan sehingga Yo-
shioka tersedak dan memuntahkan kembali air yang
telah ditelannya. Beberapa kali anak itu mengeluarkan
air dari mulutnya.
“Syukurlah kau siuman,” kata Saburo tersenyum.
“Kita selamat.”
Yoshioka berkata marah, “Engkau hampir membu-
nuhku, Sensei.”
Saburo menjawab tenang, “Kenyataannya tidak.
Aku justru menyelamatkan dirimu.”
“Untung paru-paruku tidak pecah.”
“Mereka menghujani kita dengan tombak dan pa-
nah, karena itu kutahan dirimu agar tetap di dalam
air.”
Yoshioka menggeliat. Lalu duduk. Wajahnya masih
tampak pucat. “Di mana kita?”
“Tidak tahu. Tetapi yang jelas berada di tepi sungai
yang menuju ke Kamakura. Kita masih berada di tem-
pat yang berbahaya dan penuh ancaman.”
“Apakah mereka masih mengejar kita?”
“Kurasa pengejaran akan terus mereka lakukan.
Bagaimanapun mereka harus menaati perintah Nobu-
naga. Karena itu sebaiknya kita tidak lama-lama du-
duk di sini. Satu jam lagi mereka pasti sudah menge-
pung tepi sungai ini. Kita sebaiknya segera pergi.”
“Aku lelah sekali.”
“Terserah padamu. Membiarkan tubuh kita istirahat
tetapi kemudian dipenggal kepalanya, atau memaksa
tubuh kita yang letih untuk terus berjalan. Kalau mu-
suh sampai di sini, kita harus sudah jauh dari tempat
ini.”
Saburo berdiri, kemudian berjalan menuju ke tepi
sungai. Dia berdiri di sana untuk memeriksa keadaan
sekeliling mereka. Ternyata sekarang mereka berada di
tepi sebuah hutan yang memiliki pohon-pohon tinggi
menjulang. Tidak ada jalan di dekat tempat itu, jadi
kalau mau pergi hanya ada dua pilihan. Pertama me-
nyusuri tepi sungai atau membuat jalan sendiri ke da-
lam hutan. Saburo diam beberapa saat, memikirkan
jalan terbaik yang harus mereka ambil.
“Apa yang sedang engkau pikirkan, Sensei?” tiba-
tiba Natane Yoshioka bertanya sambil berjalan men-
dekati Saburo. “Kau memikirkan Kojiro?”
“Tidak,” jawab Saburo spontan. “Saya sedang men-
cari jalan keluar untuk menyelamatkan diri. Kita harus
mampu menerobos kepungan mereka apabila mau se-
lamat.”
“Sensei tidak memikirkan Kojiro?”
“Tidak. Kojiro telah memilih jalan samurai. Dia ha-
rus menjalani takdirnya sebagai seorang samurai. Te-
was dalam pertarungan atau berjuang untuk menda-
patkan keselamatan.”
“Tidakkah terpikir oleh Sensei bahwa dia kini sudah
tewas dibantai tentara Nobunaga?”
“Mungkin.”
“Bagaimana kalau dia memang benar-benar sudah
tewas....”
“Saya akan bangga kalau Kojiro memang tewas da-
lam pertarungan. Itu akan membuktikan bahwa dia
memang seorang samurai sejati.”
“Sensei tidak menyesal telah mengirim Kojiro me-
nyongsong kematiannya?”
“Itu adalah jalan hidupnya. Takdirnya.”
“Bukankah Kojiro anakmu satu-satunya?”
“Apa pun yang terjadi dengan Kojiro, aku merasa
puas, karena dia berani mengambil resiko untuk kese-
lamatan putra Ashikaga. Arwahnya akan tenang di
alam baka.”
Yoshioka menghela napas panjang. Terbayang di pe-
lupuk matanya ketika ia berlatih kendo dengan Kojiro.
Siapa pun tahu, Kojiro memiliki bakat besar sebagai
seorang samurai. Permainan kendonya amat lincah
dan kuat. Bahkan berkali-kali Kojiro mengalahkan diri-
nya. Juga ketika di bukit persembunyian, sewaktu Sa-
buro mulai melatih mereka bermain pedang, Kojiro
memperlihatkan kemahirannya memainkan pedang.
Tetapi Bagaimanapun hebatnya anak itu, tak mungkin
ia melawan ratusan samurai seorang diri. Tak mung-
kin!
Di kepala Yoshioka muncul saat-saat yang mengeri-
kan ketika tentara Nobunaga merencah tubuh Kojiro.
Bayangan itu membuat Yoshioka menoleh pada Sabu-
ro, “Mudah-mudahan dia dapat meloloskan diri. Saya
berdoa mudah-mudahan dia selamat.”
“Baik sekali engkau berkata begitu,” kata Saburo
sambil menepuk bahu Yoshioka.
“Dia satu-satunya temanku,” kata Yoshioka mu-
rung. “Kecuali itu, Kojiro telah mempertaruhkan nya-
wanya semata-mata untuk menyelamatkan diriku. Aku
sangat menghargai pengorbanannya.”
Saburo menarik napas panjang. Tiba-tiba ia diter-
kam kesedihan. Rasa pedih seorang ayah yang kehi-
langan anak satu-satunya. Mata Saburo berkaca-kaca.
Sesudah istrinya, kini anaknya, keduanya tewas dalam
membela kehormatan Shogun Ashikaga. Sebagai seo-
rang samurai, Saburo tahu, kesedihan dapat mempe-
ngaruhi kejernihan pikirannya. Ia tak ingin merasakan
sedih secara berlarut-larut. Karena itu ia berkata, “Mari
kita pergi, jangan sampai pasukan Nobunaga sempat
mengejar kita.”
Natane Yoshioka bertanya kritis, “Kita akan ke mana?”
“Tidak tahu. Ke mana saja.”
Natane Yoshioka menatap Saburo. Tetapi ia lihat si-
nar mata lelaki tersebut memancarkan kesungguhan.
“Apakah kita akan menyusuri sungai?”
“Tidak. Kita akan memasuki hutan.”
Berkata begitu Saburo Mishima kemudian mulai
berjalan masuk ke dalam hutan.
***
Ketika sampai di bawah, Konishiwa hanya menjumpai
tempat kosong. Ia memerintahkan pasukannya men-
dirikan tenda untuk beristirahat, lalu menyuruh pasu-
kannya yang lain untuk melakukan pengejaran di hu-
tan. Hampir dua ratus samurai bergerak menyisir hu-
tan di tepi sungai itu, terus masuk sejauh sepuluh ki-
lometer. Namun mereka tak menemukan Saburo mau-
pun Yoshioka. Hutan itu sepi, hanya sejumlah bina-
tang bercericit ketakutan ketika menyaksikan ratusan
orang mengobrak-abrik hutan.
Berkali-kali Konishiwa mengepal-ngepalkan tangan-
nya. Ia tampak sangat marah dan terpukul. Betapa ti-
dak, hanya tinggal selangkah dia dapat memenggal ke-
pala Saburo dan Yoshioka, sesudah itu semua akan
beres. Shogun Nobunaga telah menjanjikan gelar da-
imyo untuknya. Ia akan diberi puri yang indah di Edo,
wilayah kekuasaan yang besar, dan kehidupan mewah
yang telah lama ia idam-idamkan. Satu hal lagi, ia be-
bas memiliki gundik berapa banyak ia mau, karena dia
seorang daimyo.
Kenyataan menyenangkan itu gagal karena ketolo-
lan samurai yang mendukungnya.
“Dasar bodoh!” rutuknya geram. “Hanya tinggal se-
lompatan kepala bangsat itu dapat kupenggal, nyata-
nya gagal. Awas! Kalau berhasil kutangkap, akan ku-
sayat-sayat wajahnya sebelum kupenggal. Biar dia me-
rasakan kesakitan luar biasa sebelum mati. Akan ku-
kencingi mulutnya agar dia tahu arti penghinaan.”
Tetapi apa pun yang terjadi, Konishiwa tak mungkin
kembali ke istana dengan tangan kosong. Kehormatan
dirinya terlalu mahal untuk sebuah kegagalan sema-
cam itu. Karena itu dia berpikir keras untuk menyela-
matkan mukanya di depan Nobunaga.
Harus ada yang dikorbankan untuk kehormatanku.
Kegagalan ini dapat mencoreng wajahku. Aku tak ingin
mengalami nasib seperti Ishida Mitsunari yang tolol itu.
Sesudah berpikir sejurus, akhirnya ia mempunyai
gagasan yang dirasa sangat brilian. Konishiwa me-
manggil seorang pengawal andalannya yang bernama
Seichi Okawa.
“Okawa-san!”
“Ya, Tuan.”
“Di mana pandai besi yang memberikan informasi
tempat persembunyian Saburo dan Yoshioka?”
“Dia ada di belakang, sedang menanak nasi untuk
Anda.”
“Sekarang seret kemari, penggal kepalanya untuk
kupersembahkan pada Tuanku Nobunaga!”
Takezo kaget ketika tiga orang samurai mencengke-
ram lengannya kemudian menyeretnya ke depan Koni-
shiwa.
“Engkau yang memberikan informasi tentang per-
sembunyian Saburo Mishima?”
“Benar, Tuan.”
“Rumah yang digunakan mereka bersembunyi juga
milikmu?”
“Benar, Tuan. Mereka telah tinggal di sana selama
sebulan tanpa saya ketahui.”
“Kau tahu, sekarang aku gagal menangkapnya.”
“Ya, Tuan. Mudah-mudahan mereka akan kembali
lagi sehingga saya dapat memberitahu Tuan.”
“Kau tahu, aku tidak mungkin menghadap ke istana
dengan tangan hampa. Kehormatanku sebagai pang-
lima perang akan tercemar. Karena itu kuminta kau
berkorban untuk menyelamatkan nama baikku. Biar-
kan aku memenggal kepalamu untuk kupersembahkan
pada Tuanku Nobunaga.”
“Tuan....”
Hanya sepatah ucapan itu yang keluar dari mulut
Takezo, sesudah itu seperti anjing terluka, ia melolong
panjang minta diampuni. Tetapi keputusan sudah di-
ambil. Konishiwa segera memerintahkan Seichi Okawa
memenggal kepala Takezo.
***

TEKAD SEORANG GEISHA

KONISHIWA menghadap Shogun Nobunaga, ia membe-


rikan laporan tentang kegagalan penyergapan itu. Ke-
mudian dengan panjang lebar, ia menceritakan bahwa
kegagalan tersebut disebabkan pengkhianatan Takezo,
seorang pandai besi yang selama ini menyembunyikan
Saburo dan Yoshioka. Sesudah bersujud, Konishiwa
segera memberikan nampan yang ditutup kain sutera
merah ke hadapan Nobunaga.
“Demi kewibawaan Tuanku Nobunaga, saya persem-
bahkan kepala pandai besi itu untuk Anda. Hal ini
agar menjadi pelajaran siapa pun yang mencoba me-
lindungi Saburo dan Yoshioka.”
Shogun Nobunaga menyuruh samurai pengawalnya
membuka kain itu. Tampak di atas nampan itu, kepala
Takezo yang mulai kering.
“Baiklah,” kata Nobunaga sambil memberi isyarat
agar kepala Takezo dibawa pergi. “Letakkan kepala itu
di tengah Kamakura, sehingga semua orang mengeta-
hui apa resikonya bila melindungi Saburo dan Yoshi-
oka.”
“Baik, Tuanku.”
“Untuk sementara istirahatkan pasukanmu, namun
jangan sampai mereka kehilangan kewaspadaan.”
“Baik.”
“Saat ini aku telah memerintahkan Hosokawa-san
untuk menjumpai Yagyu. Kuharap Yagyu bersedia me-
ngirimkan murid terbaik perguruan itu untuk mem-
bantu kita mengejar Saburo dan Yoshioka. Mudah-mu-
dahan harapanku dapat dikabulkan guru besar pergu-
ruan Yagyu.”
Konishiwa sekali lagi membungkukkan badan un-
tuk menyatakan persetujuannya.
“Biarkan pasukanmu bersenang-senang,” kata No-
bunaga lagi. “Kita akan membuat pesta dengan me-
manggil rombongan kabuki untuk menghibur para sa-
murai. Mudah-mudahan mereka gembira.”
***
Istana Kamakura tampak gemerlapan. Cahaya lampion
warna-warni menghiasi setiap sudut halaman istana.
Angin yang bertiup lemah membuat api di dalam lam-
pion bergoyang ke kanan ke kiri. Di tengah halaman is-
tana, ratusan samurai duduk sambil menikmati maka-
nan. Berbagai makanan khas yang sangat lezat dihi-
dangkan oleh lima puluh pelayan wanita yang menge-
nakan kimono warna-warni. Cara mereka melangkah
menimbulkan pesona tersendiri.
Shogun Nobunaga duduk di atas zabuton sambil
memeluk Naoko. Tiga orang pelayan mengipasi kedua
orang itu dengan kipas akar wangi. Aroma harum ki-
pas itu menguap ke segenap ruangan.
Di depan Nobunaga tampak sebuah panggung besar
tempat drama kabuki. Atas permintaan Naoko, sebuah
kelompok kabuki dari Horasawa, sebuah dusun kecil
dua puluh kilometer di selatan Kamakura, didatang-
kan untuk merayakan musim panen.
Di sekeliling panggung itu, ratusan samurai bersu-
ka-ria dengan para geisha yang sengaja didatangkan
ke Kamakura.
Tambur ditabuh ketika pertunjukan kabuki dimu-
lai. Seorang laki-laki berwajah putih muncul mengena-
kan kimono warna merah bergambar harimau. Ia me-
lenggang ke tengah panggung sambil memainkan
payung kertas di tangannya. Cara berjalannya yang
mirip perempuan membuat penonton tertawa terping-
kal-pingkal. Rambutnya dicukur hingga cuma menyi-
sakan kuncir di atas kepalanya.
“Selamat malam,” kata lelaki tersebut sambil mem-
bungkuk ke arah Nobunaga. “Malam ini, kita akan
bersuka-ria. Kami akan menyuguhkan sebuah kisah
cinta yang sangat indah—Pangeran Genji.”
Saat lelaki tersebut membungkukkan badannya ke
lantai, bermunculan enam gadis penari dari kanan kiri
panggung. Di tubuh mereka terdapat sayap dari kertas
yang dapat digerak-gerakkan dengan tangan. Mereka
menari melingkar-lingkar sebagai kupu-kupu beter-
bangan. Pakaian warna-warni yang dikenakan mem-
buat para penonton terpesona.
Shogun Nobunaga tersenyum menyaksikan awal
pertunjukan itu. Sejak dulu, semasa ia kecil, pertunju-
kan Pangeran Genji amat disukainya. Legenda tersebut
tetap menjadi pertunjukan kegemarannya hingga kini.
Untuk mengisi jam-jam yang membosankan pada
sela-sela upacara istana, seorang dayang maharani Je-
pang pada abad kesebelas mulai menulis kisah cinta.
Ia menulis dengan huruf kanji sebanyak kira-kira
630.000 kata di atas kertas tentang Hikayat Genji. Ce-
rita petualangan Pangeran Genji dan keturunannya ini
ternyata mampu menggambarkan kebesaran istana
Jepang pada zaman Heian.
Bangsawan Heian selalu asyik mengejar kenikmatan
dan pesona cinta. Namun percintaan itu kadang mem-
buahkan tragedi. Kisah ini dihiasi lukisan-lukisan di
atas kertas yang sangat indah.
Pangeran Genji merupakan model khas bangsawan
zaman Heian. Walaupun putra seorang kaisar, ia me-
nawan hati semua orang berkat bakat alam untuk
menggubah puisi—suatu bakat yang sangat dihormati
di istana. Di dalam istana setiap ucapan selalu dibum-
bui dengan syair.
Pangeran Genji memiliki beberapa istri. Namun ia
memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya.
Tetapi pada suatu hari, sewaktu Genji sedang tidak
di istana, seorang warga istananya yang dimabuk as-
mara memperkosa istri termuda pangeran itu, yakni
Nyosan, putri bekas kaisar Jepang. Wanita itu me-
ngandung. Dengan hati hancur karena perasaan ber-
salah, Nyosan menyimpan diri di kamar serta menya-
takan diri akan menjadi bikuni. Ayahnya mencoba me-
nyadarkan agar Nyosan membatalkan niatnya. Meski-
pun ayahnya seorang biksu yang telah mengucapkan
kaul biara, namun ia tak rela anaknya menanggung-
kan penderitaan sebagai seorang pendeta. Karena de-
ngan menjadi bikuni, berarti Nyosan untuk selamanya
melepaskan kesenangan istana, lomba puisi, pesta
anggur, dan beraneka upacara yang penuh suka-ria.
Untuk menghindari aib, Genji mengakui Kaoru, anak
haram istrinya, sebagai anaknya sendiri. Dengan me-
nekan perasaan, ia menjalani segala macam upacara
yang biasa dilaksanakan sesudah kelahiran seorang
putra bangsawan. Ia mengenakan pakaian berlapis-
lapis yang sangat mewah.
Meskipun keadaan sekelilingnya penuh suasana ba-
hagia, Genji selalu menunduk karena kepedihannya.
Pangeran tersebut merasakan ironi pahit dalam pelak-
sanaan upacara itu, karena sesungguhnya, Genji telah
menghasilkan seorang anak haram dengan salah seo-
rang gundik ayahnya! Suatu dosa yang terus menerus
menghantui hatinya.
Sesudah Kaoru tumbuh dewasa, ia diterima sebagai
putra Genji sendiri tanpa ada yang mempertanyakan-
nya. Ternyata Kaoru sangat cakap. Ia dapat memain-
kan seruling seperti seorang yang ahli, juga samishen,
dan pintar menggubah puisi haiku (puisi pendek yang
sangat indah). Karena kulit tubuhnya cemerlang dan
berbau harum, ia memperoleh julukan sebagai “Pa-
ngeran yang harum”.
Meskipun memiliki daya tarik bagi kaum wanita,
Kaoru tidak menunjukkan minat pada soal cinta. Si-
kap menjauhi wanita dalam diri Kaoru, sesungguhnya
berasal dari dasar sikapnya yang pendiam, bahkan
melankolis. Hal ini diakibatkan suasana aneh yang
melingkungi kehidupannya. Sering ia bertanya, “Kena-
pa Ibu tiba-tiba menjadi bikuni setelah melahirkan di-
riku?”
Ayahnya menjawab, “Tidak ada yang memaksanya.
Namun panggilan hatinya memang demikian. Ia mera-
sa bahagia sebagai bikuni.”
Tetapi pada suatu malam, ketika Kaoru mengun-
jungi rumah sahabatnya, ia mendengar alunan musik
yang menembus kabut malam. Ia berpikir, mungkin-
kah putri sahabatnya? Ia kemudian mengintai dari su-
dut kebun melalui pagar bambu, dan ia melihat seo-
rang gadis cantik jelita sedang memainkan biwa (keca-
pi Jepang) ditemani dua orang dayang. Seketika pijar-
pijar cinta meletup dalam dirinya. Pertama kali ia me-
rasa jatuh cinta pada Origami.
Namun cinta ternyata hanya membawa kedukaan
bagi Kaoru. Origami ternyata menolak cintanya. Mes-
kipun demikian, Kaoru tidak mudah menyerah. Ia te-
rus mencoba mendekati Origami. Namun gadis ter-
sebut tetap pada pendiriannya. Bahkan ketika ayahnya
meninggal, gadis tersebut melakukan seppuku.
Di atas panggung istana Kamakura, seorang lelaki
muda yang memainkan peran Kaoru, membungkuk
pedih. Ia meratap karena kematian Origami. Sampai
akhirnya seorang kaisar di Jepang menawarkan pu-
trinya untuk dinikahi Kaoru.
Tawaran kaisar itu diberikan dengan cara paling ha-
lus, ia mengajak Kaoru bermain Go (suatu permainan
tradisional Jepang mirip catur).
“Jika Anda menang,” kata pemeran kaisar sambil
membelai kumisnya. “Anda akan mendapat hadiah is-
timewa.”
“Apakah hadiah itu kalau saya boleh tahu?”
“Gadis cantik jelita.”
“Siapa?”
“Putriku.”
Mereka berhadapan di atas tatami, kemudian me-
mainkan go dengan penuh minat. Kaisar sendiri ber-
main santai sehingga akhirnya ia kalah.
“Anda memang luar biasa,” kata kaisar diplomatis.
“Rasanya saya tidak menyesal menyerahkan putriku
pada Anda.”
Pemeran Kaoru segera berdiri, lalu mencabut bunga
krisan di tepi panggung. Dengan hormat, bunga itu di-
berikan pada kaisar sambil membawakan syair secara
spontan, “Andaikan bunga ini tumbuh di pagar biasa,
maka akan aku pandangi setiap hari sepuas-puasnya.”
Putri kaisar muncul, kemudian bergenggaman ta-
ngan dengan Kaoru. Mereka resmi menjadi suami istri.
Dan itulah awal Kaoru menjadi kaisar yang sangat ter-
masyhur semasa dinasti Heian.
Pertunjukan usai. Semua penonton bertepuk ta-
ngan riuh rendah.
Nobunaga tersenyum puas. Ia menganggukkan ke-
pala ketika seluruh pemain membungkukkan badan ke
arahnya.
“Luar biasa, aku menyukainya,” kata Nobunaga
sambil bertepuk tangan. “Permainan mereka benar-
benar mempesona. Kurasa mereka pemain kabuki ter-
baik di negeri ini.”
“Engkau menyukai pertunjukan itu atau para pe-
mainnya yang cantik-cantik?” Naoko bertanya genit
penuh muslihat.
Nobunaga menoleh cepat, lalu tertawa.
“Engkau cemburu?”
“Saya merasa cemburu.”
“Tidak usah engkau cemburu, tidak seorang pun
yang mampu mengalahkan kecantikanmu.”
“Tetapi engkau sangat terpikat dengan permainan
mereka.”
“Hanya permainan mereka,” kata Nobunaga sambil
menjentik dagu Naoko dengan mesra. “Hanya permai-
nan mereka. Tidak lebih. Percayalah.”
Naoko tersenyum, lalu berdiri sambil menarik ta-
ngan Nobunaga. “Kalau begitu saya ingin tahu bagai-
mana penilaianmu pada permainanku.”
Nobunaga membelalakkan mata dengan senang, la-
lu seperti memendam sesuatu yang ingin ia lam-
piaskan, lelaki tersebut berdiri kemudian bergegas
mengikuti Naoko.
Para samurai masih bersuka-ria di halaman istana
ketika Nobunaga dan Naoko menghilang di balik soji
(pintu kertas) istana itu.
***
Naoko menciumi Nobunaga. Napasnya terengah-engah,
sesekali mulutnya mendesah, merasakan kenikmatan
menyeruak-nyeruak ke dalam tubuhnya. Sesekali tubuh
mereka berguling di atas tatami. Gairah telah memba-
kar mereka menjadi satu.
Nobunaga berbaring menikmati permainan Naoko.
Tangannya mengusap-usap tubuh perempuan itu de-
ngan rasa penuh kekaguman. Belum pernah ia melihat
tubuh perempuan seindah milik Naoko. Putih dan mu-
lus, sehingga memberikan pesona yang abadi.
“Luar biasa!” desis Nobunaga sambil menahan na-
pas.
Naoko memang luar biasa. Wanita itu seorang ahli
dalam bermain cinta. Bagi Nobunaga, wanita adalah
deret ukur panjang dalam kehidupannya. Sebagai seo-
rang bangsawan, ia pernah memiliki wanita simpanan
lebih dari seratus orang. Gadis-gadis itu diambil dari
seluruh desa di wilayahnya, rata-rata berusia belasan
tahun. Bahkan pernah ada yang masih berusia tiga be-
las tahun. Mereka semua hidup di istananya, khusus
untuk melayani kebutuhan seks Nobunaga. Dengan
seratus perempuan itu, hampir setiap hari Nobunaga
melampiaskan kebutuhan seksnya. Setiap hari! Seks
buatnya seperti layaknya orang makan: tiga kali sehari
pada pagi, siang, dan malam. Namun kebiasaan itu
berhenti sesudah ia menemukan Naoko. Berbeda de-
ngan wanita-wanita lain yang bercinta dengan sikap
melayani, Naoko bersikap agresif dan penuh imajinasi.
Bila wanita-wanita lain diibaratkan cahaya lampu mi-
nyak yang berkedip-kedip, Naoko adalah halilintar
yang meledak dan berpijar. Sejak bertemu gadis itu,
shogun tersebut selalu mengalami permainan cinta
yang berubah-ubah, sangat imajinatif. Permainan itu
kadang-kadang tidak masuk akal, tetapi sangat me-
nyenangkan.
“Oh..., rasanya aku akan meledak,” desis Nobunaga
dengan mata terpejam. “Kau benar-benar hebat!”
Naoko tersenyum manis.
“Fantastis!” ujarnya pula. “Kau benar-benar mem-
buatku merasa sangat puas.”
Naoko menjawab sambil memeluk tubuh Nobunaga,
“Aku memang dilahirkan untukmu, Yang Mulia.”
“Aku merasa sangat beruntung.”
“Setelah bertemu denganmu, aku tidak pernah lagi
memikirkan lelaki lain. Dalam pikiranku, aku merasa-
kan telah menemukan takdirku sendiri. Muncul kesa-
daran bahwa diriku memang dilahirkan untuk mela-
yanimu.”
“Kedengarannya sangat menyenangkan.”
“Mudah-mudahan engkau tidak kecewa.”
“Tidak. Aku merasa sangat puas. Aku merasa sudah
sepantasnya memberikan hadiah untukmu.”
“Engkau sudah memberikan hadiah yang tidak ter-
kira banyaknya padaku, aku saat ini benar-benar me-
rasa telah menjadi kaya raya. Tidak ada lagi geisha
yang dapat menandingi kekayaanku.”
“Tetapi semua itu belum cukup sebagai imbalan apa
yang telah kauberikan padaku. Aku merasa engkau
berhak mendapatkan hadiah yang lebih banyak lagi.
Katakanlah, engkau menginginkan apa?”
“Istana Kamakura ini sudah lebih dari cukup.”
“Apalagi yang kauinginkan?”
Naoko menghela napas panjang. Ia bermain-main
dengan bulu dada Nobunaga. Ia merasa sudah saatnya
memberitahukan keinginannya. Karena itu ia berkata,
“Sesungguhnya saya tidak menginginkan apa-apa lagi,
semua yang telah saya terima sudah cukup. Istana
Kamakura ini telah membuat saya menjadi perempuan
paling kaya di Jepang. Tetapi terus terang, secara jujur
saya katakan, masih ada yang menjadi ganjalan dalam
kebahagiaan saya....”
“Katakan saja.”
“Kemusnahan Ashikaga.”
“Apa maksudmu?”
“Kepala Natane Yoshioka.”
“Hanya itu?”
“Ya. Saya akan merasa puas sekali apabila dapat
menggenggam kepala putra Ashikaga itu.”
Nobunaga diam sejurus. Lalu berkata dengan se-
nyum lembut, “Jangan khawatir. Cepat atau lambat ki-
ta pasti dapat memenggal kepala anak itu.”
“Apa pun alasannya, anak tersebut akan selalu
menjadi duri bagi kekuasaanmu. Karena itu kupikir,
sebaiknya kita menebas musnah kemungkinan pemba-
lasan dendam Yoshioka. Jangan pernah menyisakan
satu pun musuh kita. Musuh (betapa pun) tetap musuh.”
***

LIMA AHLI PEDANG YAGYU

HUJAN deras mengguyur Kamakura. Sesekali halilin-


tar meledak di langit membuat pijaran cahaya gemer-
lap. Angin kencang bertiup dari arah utara, membuat
bendera-bendera di sepanjang benteng istana Kamaku-
ra berkibaran. Meski bendera kain itu basah kuyup,
namun karena angin bertiup kencang, bendera terse-
but tetap berkibar. Dua ekor anjing berlari menyusuri
jalan sambil melipat ekornya. Sesekali kedua binatang
itu berhenti, lalu mengibaskan tubuh untuk menghi-
langkan air di tubuhnya.
Diawali suara derap kaki kuda, dari arah selatan,
terlihat sejumlah tentara berkuda memasuki Kota Ka-
makura. Derap binatang serta suara gemerincing bi-
lah-bilah besi di pakaian mereka, menyebabkan bebe-
rapa orang terjaga. Mereka bergegas ke tepi jendela, la-
lu mengintai keluar.
Hosokawa terlihat duduk di atas pelana memimpin
pasukan itu. Topi baja serta pakaiannya berkilauan
karena memantulkan cahaya lampu yang berderet di
tepi jalan. Seluruh pakaian dan wajahnya basah
kuyup, namun lelaki tersebut tidak mempedulikannya.
Kedua pedangnya tampak seperti tanduk, mencuat ke
belakang, membuat lelaki tersebut tampak gagah per-
kasa.
Di belakangnya, terlihat lima samurai berpakaian
serba merah. Mereka memacu kuda mengikuti Hoso-
kawa. Derap kaki binatang itu sudah terdengar dari
lima ratus meter, karena itu pengintai di atas menara
segera memperingatkan penjaga gerbang akan keda-
tangan mereka.
“Hosokawa-san!” teriak pengintai lantang. Ia men-
coba melawan suara hujan serta desau angin. “Mereka
telah pulang. Cepat buka pintu!”
Dua orang samurai segera membuka pintu gerbang.
Daun pintu yang berat itu terbuka dengan suara men-
derit. Pada saat bersamaan pasukan berkuda itu me-
nerobos masuk. Sesampainya di halaman istana, Ho-
sokawa turun, lalu bergegas menuju ruang pertemuan.
Mereka menyusuri lorong istana berlantaikan batu
granit.
Ketika melihat rombongan tersebut, seorang samu-
rai berlari menuju ke kamar Shogun Nobunaga.
“Yang Mulia Nobunaga,” kata samurai tersebut sam-
bil berjongkok di depan pintu soji. “Hosokawa-san te-
lah datang.”
Di dalam kamar itu, Nobunaga sedang memeluk tu-
buh Naoko. Kulit halus perempuan itu benar-benar
membuat ia tergila-gila.
Ketika mendengar seruan dari luar, Nobunaga men-
dengus marah karena keasyikannya terganggu. Seba-
liknya, Naoko yang tengah menikmati ciuman lembut
pada lehernya, mendesah kecewa.
“Hosokawa datang,” kata Nobunaga sambil meng-
angkat wajahnya dari leher mulus Naoko. “Aku telah
memerintahkan dia mencari pendekar-pendekar dari
selatan untuk memburu Saburo.”
“Aku hanya menyesal kenapa dia datang sekarang.”
Nobunaga tersenyum, “Nanti dapat kita lanjutkan.”
“Aku akan menunggumu di sini. Aku belum puas.”
“Kau benar-benar kuda binal yang menyenangkan.”
Nobunaga membetulkan letak kimononya. Ia meng-
ambil kipas, lalu berjalan menuju ruang pertemuan.
Dua orang dayang segera membuka soji sambil mem-
bungkukkan badan. Bersamaan dengan pintu terbuka,
di langit halilintar menggelegar, cahayanya berkerjap
membuat tirai hujan berkilauan seperti kaca.
Nobunaga berjalan diikuti dua pengawal yang mem-
bawakan pedang miliknya.
Di ruang pertemuan itu, di atas lantai tanpa tatami,
kelima samurai yang berasal dari Hayugara bersimpuh
sambil menundukkan kepala. Wajah mereka dingin,
tanpa ekspresi, khas seorang samurai yang menyem-
bunyikan kekejaman di dalam dirinya.
Nobunaga berjalan melintasi tatami merah menuju
tempat duduk berupa zabuton di ujung ruangan itu.
“Apa yang ingin kaulaporkan padaku, Hosokawa-
san?” Nobunaga bertanya dengan suara berat. Masih
terbayang-bayang di benaknya tubuh Naoko yang mu-
lus dan menggairahkan.
“Seperti yang Tuanku perintahkan, hari ini saya da-
tang bersama kelima murid Yagyu. Pada mulanya
Yagyu tidak memperkenankan mereka berangkat ka-
rena daerah selatan kini sering mengalami kerusuhan
akibat perampokan para ronin. Tetapi sudah saya je-
laskan, seperti apa yang Tuanku perintahkan, akhir-
nya Yagyu bisa memahami betapa penting bantuannya
untuk Tuanku. Karena itu ia mengizinkan kelima mu-
rid terbaiknya berangkat kemari. Mereka sekarang su-
dah berada di sini.”
“Apakah sudah kaujelaskan pada mereka untuk apa
kita meminta bantuan pada Yagyu?”
“Sudah saya jelaskan semuanya.”
“Yagyu tentu tidak akan mengirimkan murid pergu-
ruan yang tidak dapat menandingi Saburo.”
“Mereka adalah pemain pedang terbaik dari selatan.
Mengenai hal ini, Yagyu berpesan agar saya menyam-
paikan pada Tuanku, tentang kehebatan mereka. Yag-
yu mengatakan, Tuanku tidak perlu khawatir dengan
kemampuan kelima pendekar ini.”
“Aku tidak meragukan kemampuan mereka. Sama
sekali tidak. Aku hanya ingin menegaskan, bahwa ke-
wajiban mereka cukup berat. Lawan yang akan mereka
hadapi adalah bekas panglima perang Ashikaga.”
“Kalau begitu perkenankan saya memperkenalkan
mereka satu per satu.”
Hosokawa kemudian memperkenalkan kelima pen-
dekar itu. Dengan penuh hormat, kelima samurai ter-
sebut membungkukkan badan ketika diperkenalkan
namanya. Dari sorot matanya, Nobunaga mengetahui
kelima orang tersebut pastilah pemain pedang yang
hebat. Namun untuk meyakinkan diri, ia berkata,
“Baiklah, Hosokawa-san. Aku menerima mereka dengan
senang hati. Namun demikian, besok pagi, ketika fajar
menyingsing, aku ingin melihat apa yang dapat mereka
lakukan.”
***
Para pemain pedang di Istana Kamakura berkumpul di
halaman yang menghadap panggung pertunjukan ka-
buki. Hampir dua ratus samurai duduk melingkar di
lantai dengan tatapan lurus ke tengah arena.
Nobunaga mengenakan kimono warna merah me-
nyala, lengkap dengan pedang di pinggangnya. Naoko
duduk di sampingnya sambil memainkan kipas kertas.
Mata perempuan itu berbinar-binar melihat ke depan.
Entah kenapa, setiap kali melihat orang-orang yang
akan mengejar Natane Yoshioka, Naoko menjadi demi-
kian bergairah. Bahkan gairah itu mampu menggelora-
kan nafsu seksnya. Kewanitaannya berdenyut-denyut
seakan menuntut dipuaskan.
Nobunaga bertepuk tangan dua kali, kemudian
membiarkan Hosokawa memperkenalkan kelima samu-
rai Yagyu itu.
Takashi, seorang lelaki muda berusia 23 tahun. Wa-
jahnya lancip, mirip buah pepaya. Ia melangkah ke
tengah arena dengan tenang diikuti keempat samurai
Yagyu. Di pinggangnya terselip dua pedang panjang
dan satu pedang pendek. Matanya sipit, namun tidak
mengurangi ketajaman pandangannya yang terasa ta-
jam menikam. Rambutnya dikuncir ke belakang, diikat
tali warna merah.
Sampai di tengah arena, Takashi berdiri dengan po-
sisi siap bertarung. Tangan kirinya memegangi sarung
pedang di pinggangnya, sementara tangan kanannya
menempel di gagang pedang itu. Suasana menjadi te-
gang ketika keempat samurai Yagyu mengeluarkan
buah apel. Masing-masing membawa tiga buah. Keem-
pat samurai tersebut berdiri dalam jarak hampir sepu-
luh meter. Mereka memegang masing-masing dua buah
apel di tangan, dan satu buah apel diletakkan di atas
kepala.
Suasana sangat menegangkan. Tidak seorang pun
membuka suara. Para samurai di sekitar tempat itu
mengetahui, ini merupakan jurus pedang yang sangat
berbahaya untuk diperagakan. Bila tebasan Takashi
meleset barang satu inci saja, maka tangan atau kepa-
la keempat samurai itu dapat terpenggal. Orang-orang
diam, peragaan jurus ‘Pedang Membelah Bumi’ itu
membuat jantung mereka berdetak lebih kencang.
Tiba-tiba, dalam gerak yang sukar dipercaya oleh
mata, Takashi melompat sambil menyabetkan pedang-
nya ke arah apel-apel tersebut. Gerakannya demikian
cepat, tebasannya mendesis seperti angin puyuh. Da-
lam waktu kurang dari setengah menit, ia telah berada
dalam posisi awal dengan pedang telah tersimpan da-
lam sarungnya. Kedua belas apel telah menjadi serpi-
han-serpihan kecil, dan keempat samurai Yagyu tak
kurang suatu apa.
Semua orang demikian terpesona menyaksikan de-
monstrasi itu, sehingga mereka hanya dapat ternga-
nga. Baru setelah Takashi membungkuk ke arah No-
bunaga, mereka tersadar bahwa permainan pedang itu
telah usai. Nobunaga sendiri terpana dengan kecepa-
tan Takashi, sehingga ia seakan membeku. Baru sete-
lah melihat samurai muda itu memberi hormat, ia ber-
tepuk tangan yang kemudian diikuti seluruh samurai
di tempat itu.
“Permainan yang luar biasa,” puji Nobunaga. “Per-
mainan pedangnya seperti angin puyuh. Aku bahkan
dapat merasakan tebasannya dari sini.”
“Tampaknya dia seorang samurai yang hebat,” sa-
hut Naoko puas. “Aku dapat membayangkan kepala
Yoshioka terbelah oleh sabetan pedangnya.”
“Itu tidak perlu diragukan.”
Nobunaga memberi isyarat agar Hosokawa melan-
jutkan demonstrasi.
Nagasi, melangkah ke tengah arena. Berbeda de-
ngan Takashi, Nagasi adalah seorang laki-laki gemuk
dengan kepala gundul. Mata sebelah kirinya ditutup
kulit karena buta. Kebutaan itu diperolehnya ketika ia
bertarung di Hayugara. Sabetan pedang musuhnya te-
lah meninggalkan bekas luka yang membuat wajahnya
buruk. Kekalahan itu telah membuat Nagasi menyim-
pan dendam kesumat terhadap cacat yang dideritanya.
Hal ini membentuk gumpalan kekejaman di dalam di-
rinya. Karena itu, Nagasi sangat kejam dan tanpa am-
pun. Di setiap pertarungan, ia tak pernah memiliki iba
kasihan terhadap musuh-musuhnya. Namun justru
karena kekejamannya itulah, ia menjadi seorang sa-
murai yang hebat.
Senjata Nagasi berupa kusarigama, senjata berupa
rantai dengan ujung pisau berbentuk ganco, ujung lain
diberi bola besi mirip buah durian. Dengan senjata ter-
sebut, murid ketiga di Perguruan Yagyu ini telah mem-
bunuh lebih empat puluh musuhnya dalam suatu per-
tarungan mematikan yang sangat kejam.
Kini Nagasi berdiri tenang sambil mengeluarkan ku-
sarigama. Keempat samurai Yagyu yang lain mengelu-
arkan pedang kayu sambil mengepung. Sedetik beri-
kutnya mereka mulai menyerang, dengan teriakan se-
rentak keempat samurai tersebut menebas Nagasi. Te-
tapi dengan kecepatan yang sukar dipercaya, Nagasi
berputar sambil memainkan senjatanya. Hanya dalam
waktu sepersepuluh menit, pedang-pedang kayu itu te-
lah terpenggal menjadi dua, dan keempat samurai ter-
sebut terlempar ke belakang akibat tendangan Nagasi.
Nobunaga menghela napas panjang, ia pun merasa
puas. Lelaki tersebut dapat membayangkan kepala
musuh demikian mudah terpenggal senjata maut ku-
sarigama.
“Hebat! Hebat!” puji Nobunaga dengan rasa puas.
Sebagai seorang samurai sejati, Nobunaga telah dapat
mengukur ilmu Nagasi hanya dengan sekali peragaan
jurus andalannya. Karena itu saat ia melihat cara Na-
gasi memainkan kusarigama, Nobunaga tahu ia berha-
dapan dengan seorang samurai yang hebat.
Giliran berikutnya adalah Hiroshi, seorang pemain
tombak yang tiada duanya. Tubuhnya tinggi, kurus,
kakinya sedikit pincang. Namun semua penonton ber-
decak kagum ketika ia memainkan tombaknya. Enam
samurai Nobunaga masuk ke arena sebagai lawan Hi-
roshi. Mereka menyerbu dengan ganas, tetapi Hiroshi
menepis semua serangan dengan permainan tombak
yang memukau. Ia berkelit dan menyerang seperti se-
dang menari dengan alat peraga sebuah tombak se-
panjang dua meter. Irama gerakannya seperti ular, se-
sekali berkelok, lalu mematuk dengan tajam. Akhirnya
keenam samurai itu terjungkal dalam suatu sapuan
tombak yang mendesis ganas.
Hiroshi membungkukkan badan ke arah Nobunaga,
seketika itu tepuk tangan terdengar gemuruh menyam-
but kehebatannya.
“Aku belum pernah melihat permainan tombak se-
hebat itu,” kata Nobunaga pada Naoko. “Permainannya
sangat indah.”
Samurai keempat bernama Yotomo, laki-laki berusia
33 tahun yang wajahnya bopeng karena cacar. Untuk
menutupi bekas luka itu, Yotomo memelihara kumis
dan cambang yang lebat. Senjatanya berupa dua buah
naginata (pedang panjang). Ia masuk ke arena, kemu-
dian memperagakan ilmu pedangnya yang membuat
semua orang terpana. Dua naginata tersebut di tangan
Yotomo, tiba-tiba berubah menjadi kincir yang berpu-
tar kencang berbau maut. Jurus ‘Kincir Para Dewa’ itu
mendesis dan menderu dengan hebat, sehingga men-
jadi semacam selimut yang menutupi seluruh tubuh
Yotomo.
Dua puluh lima orang anggota pasukan panah No-
bunaga diminta menghujani panah pada Yotomo.
Hampir seperempat jam puluhan anak panah mencoba
menembus tirai pedang Hiroshi, namun tak satu pun
berhasil menyentuh samurai tersebut.
Ketika akhirnya pasukan panah itu berhenti menye-
rang karena anak panah mereka telah habis, Yotomo
berdiri di tengah ratusan potongan anak panah yang
berserakan di kakinya. Tepuk tangan terdengar lebih
meriah menyambut kehebatan samurai itu.
Samurai kelima adalah Mikoto, seorang laki-laki
bertubuh kekar dengan wajah mengerikan. Dari dahi
hingga dagunya terlihat bekas luka memanjang. Akibat
luka tersebut, bibir Mikoto menampakkan guratan be-
kas luka. Wajahnya dingin, mirip mayat beku. Salah
satu matanya melotot keluar, sehingga memperkuat
kesan mengerikan lelaki tersebut. Namun demikian,
tak seorang pun menyangkal, Mikoto adalah murid
Perguruan Yagyu nomor dua. Dia telah mewarisi ham-
pir seluruh jurus Yagyu, sehingga ilmu pedangnya tak
seorang pun meragukannya.
Senjatanya berupa tombak berujung ganco yang
sangat mengerikan. Tetapi bukan hanya itu yang mem-
buat Mikoto istimewa. Putaran tombak tersebut dapat
menimbulkan deru angin kencang, sehingga semua
penonton menutup mata akibat debu beterbangan. Se-
puluh samurai yang diminta menghadapinya, tumbang
satu per satu oleh sentakan tombaknya. Hanya dalam
waktu tak lebih setengah menit, sepuluh samurai mu-
suhnya telah terkapar kesakitan.
Nobunaga sangat terpesona oleh ilmu Mikoto. Ia
bertepuk tangan keras dan lama.
“Sangat luar biasa!” pujinya terus terang ketika Mi-
koto membungkukkan badan ke arahnya. “Benar-
benar luar biasa!”
“Kuharap dengan mereka, akan mudah menangkap
Saburo dan Yoshioka,” kata Naoko puas.
“Kau sudah menyaksikan kehebatan mereka, jadi
tak perlu meragukan akan hal itu.”
“Melihat mereka, aku jadi bergairah,” bisik Naoko ke
telinga Nobunaga. “Aku menjadi terangsang untuk ber-
main cinta.”
“Tunggu sebentar. Aku pun ingin menikmati siang
yang panas ini di kamarmu.”
Naoko tersenyum. Lalu, “Kalau begitu bubarkan
mereka.”
Nobunaga menatap orang-orang di sekelilingnya, la-
lu berkata lantang, “Hosokawa, aku merasa puas meli-
hat kehebatan mereka. Karena itu sebaiknya kau sege-
ra menemui Yagyu untuk menyampaikan ucapan teri-
ma kasihku padanya. Kelima murid Yagyu yang dia ki-
rimkan sangat memuaskan hatiku. Dengan mereka,
kurasa tidak sulit kita menangkap Saburo maupun
Yoshioka. Aku sudah tidak sabar lagi untuk melihat
kepala Yoshioka di atas nampan.”
“Kapankah saya harus berangkat ke selatan?”
“Besok, ketika fajar mulai menyingsing, berangkat-
lah kau menjumpai Yagyu. Bawa sejumlah hadiah dari-
ku untuk ikatan persaudaraan Istana Kamakura de-
ngan Perguruan Yagyu.”
“Baik, Tuanku.”
“Aku akan menulis puisi untuk Yagyu.”
“Baik.”
“Sekarang biarkan para samurai itu beristirahat,
berikan pelayanan sebaik-baiknya. Apabila perlu, cari-
lah geisha dari Yoshiwara untuk menemani mereka.
Kurasa mereka perlu istirahat sesudah selama dua ha-
ri melakukan perjalanan. Satu atau dua geisha yang
cantik akan membuat mereka kembali segar dan sehat,
bukankah begitu, Naoko-san?”
Naoko menjawab datar, “Benar.”
Hosokawa bertanya, “Sebelum saya berangkat me-
nemui Yagyu, apa yang harus saya perintahkan pada
para samurai itu, Tuanku?”
“Suruh mereka menikmati jamuanku di istana, se-
belum berangkat melakukan pengejaran Saburo dan
Yoshioka. Sebelum musim gugur yang akan datang,
kuharap mereka sudah dapat membawa kepala Yoshi-
oka untukku.”
***
Hosokawa menerobos masuk rumah Ishida Mitsunari.
Sejumlah wanita yang berada di tempat itu menjerit
kaget. Mereka kemudian berlarian menghindar. Hoso-
kawa menuju ke kamar Mitsunari. Dengan kasar ia
membuka pintu kamar itu. Di dalam tampak istri Mit-
sunari tengah menyisir rambut. Perempuan itu kaget
kemudian menoleh ke belakang.
Hosokawa terpana, sejak dulu ia mengagumi istri
Mitsunari. Kecantikannya benar-benar luar biasa. Ram-
but hitam wanita itu panjang terurai, serasi sekali de-
ngan bentuk wajahnya yang lonjong dan indah. Kedua
matanya berbinar-binar, khas wanita berdarah aristo-
krat.
Setelah Mitsunari terusir dari Kamakura, Hosokawa
sering memikirkan perempuan itu. Bahkan tanpa diin-
ginkan, wajah elok wanita itu acap terbayang dalam
mimpinya. Kini, ketika ia kembali dari perjalanan jauh
menemui Yagyu, hasratnya tak tertahankan lagi. Ia in-
gin tidur dengan wanita itu.
“Ada apa, Hosokawa-san?” tanya istri Mitsunari sam-
bil membungkuk hormat. “Kenapa Anda kemari?”
“Tahukah engkau, aku memperoleh perintah Tuan-
ku Nobunaga untuk memburu suamimu?”
“Saya telah mendengar mengenai hal itu.”
“Jadi kau tahu tak mungkin mengharapkan dia
kembali?”
“Itulah yang selalu saya pikirkan.”
“Itulah sebabnya saya kemari,” kata Hosokawa sam-
bil mendekati wanita tersebut. “Biarlah kita lupakan
suamimu, sekarang sebaiknya engkau melayaniku.”
“Melayani Anda? Apa maksud Anda, Hosokawa-
san?”
“Aku ingin tidur denganmu.”
Tangan wanita itu melayang seketika menampar
wajah Hosokawa. Laki-laki tersebut kaget. Ia meraba
pipinya yang terasa panas. Amarah di dalam dirinya
seketika menggeliat.
“Meskipun suamiku menjadi buronan, ia tetap su-
amiku. Apa pun yang terjadi saya tetap akan menanti.
Betapapun sebagai seorang samurai ia telah berkorban
untuk Tuanku Nobunaga. Bahkan dia telah bersedia
menebus kegagalannya dengan seppuku. Saya kira le-
laki seperti itu tetap memiliki kehormatan sebagaima-
na layaknya seorang suami. Saya akan tetap menung-
gunya.”
“Bagaimana kalau kukatakan, aku mencintaimu?”
“Tidak sepantasnya Anda mengungkapkan hal itu.
Ishida Mitsunari adalah teman Anda.”
“Tetapi aku tak dapat mengingkari perasaanku.”
“Lupakan saja. Maafkan, saya tak dapat menerima
niat baik Anda.”
Hosokawa mendekat, istri Mitsunari melangkah mun-
dur, namun baru tiga langkah, ia telah membentur
ranjang. Ketika menyadari dirinya terpojok, wanita itu
mencoba mengelak ke sebelah kanan, namun dengan
cepat Hosokawa mencekal tangannya, kemudian me-
nariknya ke dalam dekapannya. Dengan kasar lelaki
tersebut berusaha menciumnya. Karena istri Mitsunari
meronta-ronta, mereka akhirnya terjatuh di ranjang.
Dengan beringas Hosokawa mendorong wanita itu ke
ranjang sambil terus menciumi lehernya.
“Jangan, Hosokawa-san! Jangan!” jerit wanita itu
sambil terus berusaha melepaskan diri.
Hosokawa semakin beringas. Ia terus menggumuli
wanita itu, menciumi tubuhnya, sambil terus mele-
paskan kimono yang dikenakannya. Ketika tubuh wa-
nita tersebut akhirnya terbuka, Hosokawa kemudian
memperkosanya.
Setengah jam sesudah perkosaan itu, Hosokawa
kembali mengenakan kimononya. Sementara istri Mit-
sunari menutupi tubuhnya yang polos sambil mena-
ngis terisak-isak.
“Kau tahu, puri ini kini telah menjadi milikku,” kata
Hosokawa penuh kemenangan. “Tuanku Nobunaga te-
lah menghibahkan puri ini dengan segala isinya un-
tukku. Aku berhak atas semua yang ada di dalamnya.
Termasuk perempuan-perempuan yang tinggal di sini.
Tak terkecuali dirimu.”
“Tidak,” jawab istri Mitsunari sambil terisak-isak.
“Anda tak akan pernah mendapatkan pelayanan saya.
Di mata saya, Anda tak lebih penyamun dan tukang
perkosa. Dan bukan laki-laki terhormat yang pantas
dicintai. Terus terang, Hosokawa-san, sesudah yang
Anda lakukan terhadap saya, lebih baik saya menjadi
pelacur daripada melayani Anda.”
Hosokawa menoleh dengan marah. Sinar matanya
tampak berapi-api.
“Kalau itu pilihanmu, baiklah, kau benar-benar akan
kujadikan seorang pelacur,” kata Hosokawa penuh te-
kanan. “Kau akan menjadi milik orang banyak. Aku
akan menjualmu ke rumah pelacuran. Dan aku akan
membayarmu setiap kali aku datang.”
***
API DENDAM BERKOBAR

PADANG tandus menghampar di depan Ishida Mitsu-


nari, Padang Sekigahara yang memisahkan Kyoto dan
Osaka. Tempat itu dibentengi sejumlah bukit kecil ser-
ta hutan pinus, suatu keadaan yang sangat baik untuk
medan pertempuran. Dahulu, ketika ia masih menjadi
panglima perang Ashikaga, Mitsunari beberapa kali
memimpin latihan perang di tempat itu. Sambil duduk
di atas pelana kuda, ia memimpin lebih dari seribu
samurai yang berlatih dengan penuh semangat. Pada
saat itu ia memiliki karier yang cemerlang. Sebagai
seorang bangsawan ia mempunyai sebuah puri dan is-
tri yang cantik. Kehidupannya benar-benar menye-
nangkan.
Semua berubah ketika Konishiwa menghasutnya
untuk berpihak pada Nobunaga. Seluruh karier serta
impiannya lenyap seketika, dan dirinya terusir dari Ka-
makura. Ia menanggungkan kenistaan yang mengeri-
kan!
Bagaimana dengan nasib isteriku?
Satu tahun sebelum peristiwa naas tersebut terjadi,
Mitsunari baru saja mengawini Ashami, seorang gadis
rupawan dari Kyoto. Mereka belum dikaruniai anak,
namun kecantikan istrinya telah membuat Mitsunari
bahagia. Ia merasa sangat beruntung memiliki istri
yang memberikan kesetiaan serta hidupnya bagi sua-
mi. Ashami benar-benar seorang istri yang luar biasa.
Bukan hanya cantik, tetapi juga pintar memasak, dan
memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi Mitsunari.
Selama berbulan-bulan bersembunyi di kuil, kerin-
duan terhadap istrinya sering menyeruak dalam ha-
tinya. Mitsunari ingin kembali ke Kamakura, menemui
Ashami, lalu (seperti dulu) bercinta sepanjang hari di
dalam kolam air hangat. Ingin sekali ia mengulang ma-
sa-masa indah itu. Karena itu, ketika kerinduan terse-
but tak tertahankan lagi, Mitsunari meninggalkan kuil
untuk kembali ke Kamakura. Selama tiga bulan, ia
membiarkan kumis serta cambangnya tumbuh lebat.
Dengan cara itu ia berharap tak ada orang yang men-
genalinya.
Dengan menempelak bayangan getir itu, Ishida Mit-
sunari berjalan menyusuri tepi hutan pinus. Matanya
tertunduk, kakinya seperti tenggelam dalam rumput
kering. Seekor burung kecil yang terbang di langit
tampak berputar-putar seakan penari yang tengah
memperlihatkan kepandaiannya.
Dengan langkah tertatih-tatih, Mitsunari memper-
cepat langkahnya. Tiba-tiba seorang perempuan tua
muncul di atas dataran rumput dengan wajah terkejut.
Entah apa yang sedang dilakukan perempuan itu hing-
ga ia berada di situ. Wajahnya yang bundar dengan
kulit berkeriput sejenak menatap Mitsunari, lalu be-
ringsut mundur ketakutan. Kimononya yang berwarna
hijau muda terlihat samar-samar di tengah hamparan
rumput di sekitarnya.
Mitsunari juga kaget karena pertemuan mendadak
itu. Ia menatap tajam perempuan di depannya, lalu
mencoba bersikap ramah dengan bertanya, “Apa yang
sedang engkau lakukan?”
“Siapa engkau?” perempuan itu justru balik berta-
nya.
Hampir saja Mitsunari marah, sebagai seorang bang-
sawan, belum pernah ia menghadapi peristiwa seperti
itu. Tak seorang rakyat pun akan berani bersikap de-
mikian terhadapnya. Namun kini, ia mencoba mene-
kan perasaannya, lalu menjawab, “Saya seorang pe-
ngembara.”
“Engkau samurai pengembara?”
“Benar.”
“Pernahkah engkau tinggal di Kamakura?”
“Belum. Belum pernah. Kenapa?”
“Oh, tidak. Barangkali mataku saja yang salah me-
lihat. Wajahmu seperti seseorang yang pernah kuken-
al, tetapi entah siapa.”
“Barangkali orang yang mirip denganku.”
“Oh, ya, kukira begitu.”
Mitsunari menahan napas panjang. Ia mencoba
menunggu apakah perempuan itu mengenalinya. Ter-
nyata tidak. Karena itu ia berkata, “Saya heran melihat
rumput dan perdu di sini sudah tumbuh. Padahal mu-
sim semi baru akan mulai.”
“Sekarang musim tidak dapat dipegang. Tahun lalu,
musim semi bahkan berlangsung seperti musim kema-
rau. Matahari panas seperti tembaga di atas tungku.”
“Saya juga merasakannya.”
Perempuan itu mengambil keranjangnya yang pe-
nuh berisi sledri, lobak, dan daun kering. Ia meletak-
kan keranjang itu ke pinggulnya, lalu mulai berjalan
meninggalkan tempat tersebut. Mitsunari melangkah
mengikuti, lalu bertanya, “Apakah engkau mempunyai
segelas air untukku?”
Perempuan tersebut berhenti. Ia menoleh, “Aku se-
dang menemani anakku melukis. Kalau engkau mau,
datanglah ke tempat kami, di sana ada segelas sake
yang menyegarkan.”
“Terima kasih kalau begitu.”
Mereka berjalan beriringan menuju ke tepi hutan
pinus kira-kira lima ratus meter dari tempat mereka
bertemu. Setelah berjalan kira-kira lima menit, Mitsu-
nari melihat hamparan tatami di dekat pohon ek, pada
lereng yang landai. Di situ terdapat juga macam-ma-
cam alat yang biasa dipergunakan untuk melakukan
upacara minum teh. Termasuk ketel besi di atas api
tungku, dan cerek air dari tanah liat.
Laki-laki yang dilihat Mitsunari, mengingatkan
orang pada boneka porselen besar yang mengingatkan
dirinya pada seorang pangeran di Kyoto karena kulit-
nya yang putih halus mirip marmer. Garis wajahnya
yang berbentuk oval, menampilkan pancaran kekuatan
pribadi yang mempesona. Meskipun perutnya besar,
namun tidak mengurangi ketampanannya.
“Yukio,” perempuan tua tersebut menyebut nama
lelaki itu. “Seorang samurai mengharapkan kita dapat
memberinya segelas air, karena itu aku menawarkan
segelas sake.”
Mitsunari membungkukkan badan ketika lelaki itu
menoleh padanya. Nama Yukio, mengingatkan Mitsu-
nari pada orang yang sangat terkenal di Osaka. Seba-
gai seorang bangsawan, Yukio memiliki hubungan de-
kat dengan para shogun. Bahkan para prajurit di Osa-
ka, akan segera turun dari kuda apabila lewat di depan
puri milik Yukio agar tak memberi kesan meren-
dahkannya.
Nama Yukio sangat dikenal di kalangan istana kare-
na usahanya membuat berbagai perhiasan emas men-
jadi langganan orang-orang istana. Sejak Ashikaga, No-
bunaga, Miyotomi, hingga Mitsuhiro sangat menyukai
perhiasan buatan Yukio. Kemasyhuran Yukio, tidak
saja karena ia seorang pedagang emas kaya, tetapi ju-
ga bakat seninya yang luar biasa. Yukio juga seorang
pelukis, penggubah syair, dan pelukis kaligrafi yang
hebat. Ia mengikuti aliran Sammyakuin dari timur
yang sangat populer dewasa ini. Yukio tampak tengah
melukis di atas lembaran kertas yang diletakkan di ta-
nah. Dengan hati-hati ia membuat sketsa hutan pinus
yang membentang di hadapannya. Sejumlah lukisan
lain tampak berserakan di sekitar tempat itu. Mitsuna-
ri beberapa kali melihat karya Yukio di Istana Kama-
kura, namun tak pernah ia bayangkan suatu hari bak-
al bertemu dengan pelukisnya.
“Apakah Anda mau minum teh bersama kami?” Yu-
kio bertanya ramah pada Mitsunari.
“Terima kasih. Kalau Anda tidak keberatan....”
“Silakan, kami memang tengah menyeduh teh un-
tuk menghadapi makan siang. Kalau Anda mau, kami
pun tidak keberatan bila Anda mau menemani kami.
Udara di sini segar, sehingga cocok untuk beristirahat.
Bukankah Anda telah melakukan perjalanan yang
jauh?”
“Ya, terima kasih,” kata Mitsunari. Ia berjalan men-
dekat, lalu duduk di atas kursi kecil yang ada di depan
Yukio.
“Kalau saya dapat memperoleh sedikit lagi sayuran,”
sambung wanita tua itu, “saya dapat membuat bubur
yang enak. Mungkin sangat cocok untuk perut kita
yang lapar.”
Mitsunari berkata hormat, “Saya tidak tahu bagai-
mana harus mengucapkan terima kasih pada Anda
berdua.”
Di tengah suasana penuh persahabatan itu, Mitsu-
nari merasa damai. Ia menekan api kebencian di dalam
dirinya, seperti seekor harimau menyembunyikan ca-
karnya. Pertama kali dalam hidupnya, ia merasa me-
miliki sahabat yang membuatnya lebih tenang. Lebih-
lebih keadaan kakinya yang buntung, seakan tidak
menjadi persoalan bagi Yukio maupun ibunya. Mereka
menerima Mitsunari tanpa penghinaan.
“Kelihatannya Anda baru saja mengadakan perja-
lanan jauh,” kata Yukio tanpa tekanan. “Kalau boleh
saya tahu, apakah Anda berasal dari Kyoto?”
“Tidak,” jawab Mitsunari. “Saya dari Edo.”
“Edo. Kota yang menyenangkan. Saya pernah ting-
gal di sana untuk suatu keperluan dagang. Tidak ber-
lebihan bila saya katakan, Edo merupakan kota yang
mempesona.”
Sesudah mengajukan beberapa pertanyaan, Mitsu-
nari tahu kedua orang itu memang sering melakukan
perjalanan untuk melukis. Wanita itu ternyata ibu Yu-
kio, seorang perempuan yang sangat memperhatikan
bakat anaknya.
Sambil membawa ketel teh, wanita itu menuang ke
cangkir Mitsunari sambil berkata, “Teh dari Kamakura
terasa pahit, namun sangat membantu pencernaan
makanan. Karena itu baik sekali diminum menjelang
makan.”
Wanita tersebut meletakkan cangkir di depan Mit-
sunari, lalu mengajak minum teh bersama. Cara bicara
perempuan itu lembut, seperti bicara dengan cucunya.
Ini menyebabkan Mitsunari tersentuh. Akhirnya ia bi-
cara dengan cara biasa, berusaha membuat suasana
tidak kaku. Sementara mereka berbincang-bincang,
matahari sudah merangkak ke langit. Cahayanya me-
nyebar menerangi hamparan rumput di sekitarnya.
“Kenapa Anda datang ke Kamakura?” tiba-tiba Yu-
kio bertanya sambil terus melukis. “Apakah Anda me-
miliki saudara di sana?”
“Tidak,” jawab Mitsunari tanpa tekanan. “Saya ha-
nya ingin singgah sebentar sebelum meneruskan perja-
lanan ke Edo.”
“Oh, saya pikir Anda ingin berkunjung dalam waktu
lama.”
“Tidak.”
“Biasanya, pada musim seperti ini, saya berada di
Kamakura,” lanjut Yukio lembut. “Tetapi sekarang kea-
daan tidak memungkinkan. Suasana perang masih te-
rasa di sana. Lebih-lebih tekad Shogun Nobunaga un-
tuk menangkap Saburo dan Yoshioka begitu besar se-
hingga dia mendatangkan sejumlah samurai dari luar
kota untuk mengejar mereka. Kedatangan para samu-
rai yang haus darah membuat kota Kamakura tidak
nyaman untuk beristirahat.”
Ishida Mitsunari berusaha tak memperlihatkan pe-
rasaan tertariknya. Ia diam saja sambil melihat bagai-
mana cara Yukio memainkan kuas di atas kertas. Di
sela-sela waktu berpikir untuk menuangkan ide, lelaki
tersebut mengangkat cangkir, lalu menikmati sake di
cangkirnya. Caranya minum sangat lembut dan penuh
keanggunan. Sesuatu yang khas dilakukan keluarga
bangsawan.
Wanita tua itu meninggalkan api dan meletakkan
cangkir teh di depan mereka. Tidak perlu disangsikan
lagi, ia betul-betul ahli dalam upacara teh. Gerak-gerik-
nya anggun, namun alamiah, sedang tangannya yang
lembut itu lemah gemulai. Meskipun umurnya sudah
lebih dari enam puluh tahun, ia tampak pantas dijadi-
kan teladan bagi wanita dalam menyelenggarakan upa-
cara minum teh.
Mitsunari merasa kagum pada wanita itu. Lebih-
lebih kue kismin yang disebut manju, terasa enak se-
kali. Kue itu diletakkan di atas daun hijau yang jenis-
nya tak terdapat di sekitar tempat itu. Semua sangat
teratur dan rapi, seakan memenuhi segala aturan da-
lam suatu upacara yang sakral.
Sesudah semua terhidang dengan sempurna, me-
reka makan bersama-sama. Mitsunari mengambil nasi
dan lauk-pauk, nafsu makannya begitu besar karena
sudah lama ia tidak menikmati makanan seperti yang
saat ini terhidang di depannya. Ia makan dengan la-
hap.
“Apakah Anda memiliki saudara di Kamakura?” ti-
ba-tiba Yukio bertanya.
Mitsunari diam sejurus, lalu menjawab, “Tidak.”
“Syukurlah. Kalau ada sebaiknya Anda sarankan
untuk segera meninggalkan kota itu. Shogun Nobuna-
ga telah mengubah kota itu menjadi kota pelacuran
kedua setelah Yoshiwara. Untuk menjamu para pen-
dekar yang bersedia bertempur di pihaknya, ia menda-
tangkan sejumlah geisha ke Kamakura. Para samurai
yang biasanya haus darah, kini setiap hari berpesta
pora, sambil menunggu perintah untuk berperang.”
Mitsunari terpancing bertanya, “Seperti itukah kea-
daan Kamakura saat ini?”
“Ya. Keadaannya sangat buruk untuk diceritakan.”
“Pernahkah Anda berdua ke Kamakura dalam wak-
tu dekat ini?”
“Dua hari lalu kami berada di sana. Tetapi kami ha-
nya menginap semalam. Buat kami, tidak ada lagi yang
menarik untuk kami lihat di sana.”
Sesungguhnya Mitsunari ingin langsung bertanya
mengenai keadaan istrinya, siapa tahu kedua orang
tersebut mengetahui, namun ia ragu-ragu, khawatir
pertanyaan itu justru membuka penyamarannya. Ka-
rena itu Mitsunari diam. Ia berpikir keras untuk mem-
peroleh jalan keluar.
“Tahukah Anda desas-desus terakhir di kota itu?”
tiba-tiba Yukio bertanya.
“Sudah saya katakan, lama saya tidak mengunjungi
Kamakura.”
“Setidaknya, Anda mendengar berita dari sana?”
“Tidak juga. Desas-desus apa maksud Anda?”
“Saat ini Shogun Nobunaga tengah mengumpulkan
lebih dari dua ribu samurai di istananya, karena dia
ingin memerangi Shogun Miyotomi. Rupanya dia ingin
meluaskan kekuasaannya hingga Kyoto dan Edo. Me-
nurut desas-desus, semua itu dilakukan atas hasutan
geisha simpanannya, Naoko-san.”
“Perempuan laknat itu?”
Yukio mengangkat kepala. “Apakah Anda menge-
nalnya?”
Mitsunari menyadari telah kelepasan bicara, karena
itu ia berusaha menutupinya, “Eh, hanya pernah lewat
dan mendengar tentang sepak terjang perempuan itu.”
“Saya tidak tahu kenapa seorang shogun begitu mu-
dah takluk di kaki seorang geisha.”
Perempuan tua di sebelah Yukio menyambung, “Me-
reka tidak pernah menyadari, perang sesungguhnya
hanya menciptakan kepedihan. Tragedi.”
“Benar,” sahut Yukio. “Hanya tragedi. Contoh yang
paling baru adalah keluarga Ishida Mitsunari.”
Mitsunari mencoba tenang, tetap menikmati sake di
cangkirnya. Ia tak menduga bakal mendengar berita
mengenai istrinya tanpa harus bertanya. Karena itu ia
diam. Menunggu.
“Setelah Ishida Mitsunari diusir dari Kamakura, ia
kini menjadi buronan ratusan samurai yang mengha-
rapkan hadiah. Istrinya yang cantik kini mengalami
penderitaan yang belum pernah ia bayangkan. Shogun
telah menjadikan istri Mitsunari sebagai pelacur yang
harus melayani kebutuhan seksual para samurai pili-
hannya.”
Berita itu sangat tidak terduga, dan sangat menge-
jutkan bagi Mitsunari sendiri. Hampir saja cangkir di
tangannya lepas kalau ia tidak segera menyadari situ-
asinya. Tangannya bergetar karena menahan api ke-
marahan yang memberontak di dadanya. Ia segera me-
letakkan cangkir, kemudian kedua tangannya diletak-
kan di atas lutut agar tak gemetar.
“Perang hanya melahirkan penderitaan,” kata pe-
rempuan tua di samping Yukio. “Tidak hanya bagi laki-
laki, tetapi terlebih bagi wanita. Kaum laki-laki sangat
bodoh kalau mengatakan perang merupakan urusan
mereka. Tidak. Kenyataannya, justru banyak kaum
wanita yang menjadi korban peperangan. Tidak dengan
nyawanya, tetapi dengan kehormatannya.”
Mitsunari berusaha sekuat hati untuk bertanya te-
nang, “Di mana sekarang istri Mitsunari tinggal?”
Tanpa prasangka Yukio menjawab, “Di rumah pela-
curan geta. Di sana setiap hari dia harus melayani pa-
ra samurai yang ingin mengumbar nafsunya.”
Pertahanan Mitsunari jebol juga akhirnya, “Terima
kasih. Sekarang saya harus pergi.”
Mitsunari berdiri dengan susah payah.
“Kenapa...,” tiba-tiba pertama kali Yukio menyadari
kaki lelaki di depannya hanya satu. “Apakah Anda
Ishida Mitsunari?”
Mendengar namanya disebut, Mitsunari berhenti.
“Benar,” jawabnya dingin. Lalu dengan kecepatan
tak terduga ia telah mencabut pedang dan menebas
kedua orang di depannya.
***

ILMU KESEIMBANGAN

KAJIMA, sebuah bukit berhutan pinus, seratus mil di


sebelah tenggara Kamakura. Di tengah hutan tersebut
terdapat Kuil Yajima yang menghadap ke arah barat
laut dan terletak hampir di puncak bukit itu.
Dengan mendaki kedua ratus buah anak tangga ba-
tu menuju kuil itu dan memandang ke belakang dari
tempat sebuah torii yang dijaga sepasang anjing dari
batu, Kojiro dapat menyaksikan betapa indah peman-
dangan di sekitarnya. Gunung Fuji samar-samar men-
julang di balik awan. Semua menampakkan panorama
indah yang tidak berubah sepanjang abad. Di puncak
bukit tumbuh dua batang pohon pina, yang dahan-
dahannya terpilin dan terangkai membentuk sebuah
torii (tiang gerbang kuil) melengkapi pemandangan me-
nakjubkan di sekitarnya. Pucuk-pucuk pohon pina itu
setelah musim dingin tampak hijau tua.
Kuil Yajima dibuat untuk Watatsumi-Mikoto, dewa
laut. Kuil ini memiliki enam puluh buah cermin pe-
runggu. Satu di antaranya berbentuk anggur, berasal
dari abad kedelapan. Lainnya merupakan tiruan dari
sebuah cermin Cina berasal dari zaman Enam Dinasti,
yang jumlahnya di seluruh Jepang hanya ada delapan
atau sembilan buah saja; rusa-rusa dan tupai yang di-
lukiskan pada bagian belakang cermin itu tentulah be-
rasal dari rimba Persia beberapa abad silam dan telah
menjelajah setengah belahan bumi, mengarungi benua
yang luas dan lautan tanpa tepi, sampai akhirnya me-
netap di puncak bukit Kajima.
Pemandangan terindah lainnya di bukit itu ialah air
terjun Kajima di sebelah selatan. Air terjun setinggi
dua ratus meter itu tampak seperti selendang sutera
putih yang membelah bukit karang di sekitarnya. Pada
kaki bukit itu arus air gemuruh tiada hentinya. Kein-
dahan itu semakin mempesona pada pagi hari, ketika
matahari merambat seperti siput ke atas awan, semen-
tara angin barat bertiup dengan kencang membawa
bau semerbak buah kenari dari hutan yang mengham-
par di bawah air terjun Kajima.
Hampir sebulan Kojiro tinggal di kuil Yajima bersa-
ma Bapa Lao. Selama sebulan pula ia ditempa kehi-
dupan yang dulu tak pernah dialami. Setiap pagi, Koji-
ro disuruh memikul air dari air terjun Kajima, dibawa
naik ke kuil untuk persediaan mandi dan memasak.
Setiap pagi, dalam udara dingin yang mencekam, ia
memikul ember kayu dan menaiki jalan setapak yang
hampir dua ratus meter tingginya! Ini benar-benar pe-
kerjaan melelahkan. Tetapi Bapa Lao tidak peduli. Ia
tetap memaksa Kojiro melakukan pekerjaan itu tanpa
bertanya.
Kojiro ingat ketika ia berkata pada Bapa Lao, sesu-
dah pengejaran pasukan Nobunaga yang melelahkan
itu. “Maukah engkau mengajariku berlari secepat a-
ngin seperti yang kaulakukan untuk menyelamatkan
diriku?”
Bapa Lao hanya membelai cambangnya.
“Aku ingin menjadi muridmu,” lanjut Kojiro.
“Apa kaupikir aku seorang guru?”
“Ya. Mulai sekarang aku akan menganggapmu seba-
gai seorang guru.”
“Begitukah caramu menjadikan diriku seorang guru?”
Kojiro terdiam. Lagi-lagi ia bingung menghadapi per-
tanyaan Bapa Lao. Akhirnya ia bertanya, “Harus bagai-
manakah aku mengatakannya?”
Bapa Lao tersenyum. Tangannya terus memutar-
mutar kalung buah kenari di tangannya. Lelaki terse-
but membiarkan saja Kojiro kebingungan. Setelah me-
nunggu beberapa saat, akhirnya lelaki tua tersebut
berkata, “Seorang murid harus menjunjung tinggi gu-
runya. Jadi sebelum diangkat sebagai murid, dia harus
bersujud dulu untuk membuktikan kesediaannya men-
jadi seorang murid.”
Kojiro mencoba menggertak, “Aku putra Shogun Ashi-
kaga....”
“Aku tidak peduli,” jawab Bapa Lao dingin. “Aku ti-
dak membutuhkan murid dan aku juga tidak memin-
tamu menjadi muridku.”
“Kalau ayahku masih hidup engkau pasti....”
“Ayahmu sudah mati. Aku tidak peduli.”
“Aku pewaris tunggal Ashikaga.”
“Aku pun tidak peduli.”
Kojiro diam beberapa saat. Matanya berkaca-kaca.
Ingin rasanya mencabut Pedang Muramasa kemudian
menebas kepala lelaki menyebalkan di hadapannya.
Belum pernah rasanya ia memperoleh perlakuan men-
jengkelkan seperti itu. Bahkan tak seorang Jepang pun
berani bersikap angkuh terhadap kaum samurai, le-
bih-lebih keluarga shogun. Bila saat ini Kojiro me-
menggal kepala Bapa Lao, tak seorang pun akan me-
nyalahkannya. Memenggal kepala orang yang bersikap
tak hormat, merupakan salah satu hak seorang samu-
rai.
“Kalau engkau ingin memenggal kepalaku, silakan,”
kata Bapa Lao ringan, sepertinya ia mengetahui isi hati
Kojiro. “Tetapi itu tak ada artinya. Bahkan akan men-
jadi lebih buruk untukmu, karena aku akan menjadi
hantu gentayangan dan setiap malam akan datang
mengganggumu.”
Kojiro tersentak. Rasa takut menyergap jiwanya. Di-
am-diam ia merasa ngeri membayangkan setiap malam
didatangi hantu. Akhirnya dengan menahan air mata,
Kojiro meletakkan kedua tangannya di tanah dan ber-
sujud.
“Jadilah engkau guruku,” kata Kojiro dengan suara
bergetar. “Aku ingin menjadi muridmu.”
Bapa Lao tersenyum, lalu berkata, “Benarkah eng-
kau ingin menjadi muridku?”
“Benar, Bapa.”
“Tahukah engkau syarat untuk menjadi muridku
sangat berat?”
“Aku tidak tahu.”
“Baru saja aku memberitahu.”
“Apakah syarat itu?”
“Pertama, kau wajib patuh pada perintahku.”
“Aku bersumpah akan patuh.”
“Kedua, kau tidak boleh mempertanyakan apa pun
yang kuperintahkan.”
“Aku bersumpah menjalankannya.”
“Baiklah, engkau sekarang menjadi muridku.”
Kojiro kembali bersujud hingga kepalanya menyen-
tuh tanah, “Terima kasih, Bapa. Terima kasih.”
Sejak hari itu setiap pagi Kojiro diperintahkan meng-
ambil air di air terjun Kajima. Pada hari pertama ham-
pir saja Kojiro menangis dan putus asa. Memikul dua
ember sambil menaiki bukit setinggi dua ratus meter,
sungguh bukan pekerjaan ringan. Lebih-lebih kimono
yang dikenakannya sangat menyulitkan langkahnya.
Pakaian keshogunan itu membuat Kojiro hampir me-
nangis. Lima puluh kali ia berhenti istirahat. Dan keti-
ka sampai di atas, Bapa Lao justru menertawakannya.
Laki-laki tersebut tertawa terpingkal-pingkal ketika
melihat air itu tinggal seperempat ember. Kojiro ber-
sandar di batang pohon pina dengan napas tersengal-
sengal.
Bapa Lao mengambil air di ember itu, kemudian me-
minumnya, lalu berkata santai, “Terpaksa kau harus
turun kembali untuk sekali lagi memikul air.”
Kojiro terkejut, “Apa?”
Bapa Lao tenang menjawab, “Kau harus kembali ke
bawah untuk mengambil air.”
“Bukankah....”
“Air di embermu tinggal seperempat, tentu saja ti-
dak cukup untuk mandi dan memasak.”
“Kenapa....”
“Eii, bukankah sudah kukatakan engkau tidak bo-
leh mempertanyakan perintahku?”
“Tetapi saya lelah sekali. Belum pernah saya mela-
kukan pekerjaan seperti ini.”
“Aku tidak peduli,” jawab Bapa Lao tanpa tekanan.
“Kalau kau masih ingin menjadi muridku, jalankan pe-
rintahku. Jangan banyak tanya.”
Kojiro terduduk sambil menangis. Ia tak kuat me-
nahan kepedihan hatinya. Seluruh tubuhnya dirasa-
kan sakit semua, tetapi tanpa iba kasihan, Bapa Lao
menyuruhnya kembali ke bawah untuk sekali lagi
mengangkut air. Seketika ingatannya melayang ke ma-
sa lalu, ketika ia tinggal di Istana Kamakura. Tak per-
nah ia mengerjakan pekerjaan kasar seperti itu. Se-
panjang hari belajar kendo di dojo bersama Yoshioka,
lalu belajar menulis dan melukis. Semua pekerjaan di-
lakukan dalam suasana yang bersih serta me-
nyenangkan. Tapi kini....
“Yoshioka,” tiba-tiba terdengar Bapa Lao memanggil
namanya. Ketika Kojiro menoleh, lelaki tersebut berka-
ta, “Sebaiknya kau lepas kimono itu, pakaian itu tam-
paknya hanya merepotkan saja. Pakailah celana biasa,
agar kau lebih leluasa bergerak.”
Kojiro ingin berterus terang bahwa ia sangat lelah,
“Bapa....”
Bapa Lao menukas, “Dan jangan lama-lama istira-
hat. Air di kamar mandi sudah habis, padahal aku in-
gin cepat mandi agar tubuh menjadi segar.”
Kojiro terdiam. Lalu diam-diam menangis menggu-
guk.
Itulah hari-hari yang dilalui Kojiro. Ia harus bekerja
keras menjalankan perintah Bapa Lao. Pada pagi hari
ia harus mengangkut air, siang hari memasak, me-
nanak nasi, membuat sayur, memancing ikan, dan
mencari kayu bakar. Malamnya, memijat Bapa Lao
sampai lelaki itu tertidur pulas. Pekerjaan itu dilaku-
kan terus menerus, hingga menjadi bagian rutin kehi-
dupan Kojiro. Lama kelamaan ia merasa bosan, hingga
suatu pagi ia hanya duduk di bawah pohon pina, tidak
mengambil air lagi.
Bapa Lao mendekatinya.
“Kenapa engkau hanya duduk di situ?”
“Aku bosan setiap hari menjadi tukang pikul air,”
jawab Kojiro tanpa tekanan.
“Tetapi itu perintahku. Kau mau melanggar sum-
pahmu?”
“Bapa,” kata Kojiro sambil berdiri. “Aku bersumpah
untuk menjadi muridmu. Aku ingin belajar ilmu bela
diri, bukan belajar jadi tukang pikul air. Kapan Bapa
akan mengajariku ilmu....”
“Suatu saat,” jawab Bapa Lao tenang. “Kalau kau
masih menjadi muridku. Tetapi kalau kau melanggar
sumpahmu, berarti kuanggap kau mengundurkan diri,
sehingga aku tak punya kewajiban mengajarimu lagi.
Itu tentu sangat mengasyikkan.”
“Aku akan turun mengambil air asal Bapa mau me-
ngatakan kapan akan....”
“Turun ambil air, atau tidak sama sekali,” tukas
Bapa Lao tegas berwibawa. “Jangan banyak bertanya.”
Kojiro hampir menangis, “Bapa....”
“Cepat ambil air. Tubuhku rasanya gerah bila ter-
lambat mandi.”
Kojiro termangu. Mulutnya bergetaran antara mau
marah dan mau menangis. Ketika ia menoleh, Bapa
Lao sudah tidak tampak. Akhirnya dengan menggeram,
Kojiro mengambil ember dan pikulannya, lalu berlari
menuruni bukit.
Tak terasa, sebulan telah lewat Kojiro tinggal ber-
sama Bapa Lao. Namun tetap belum ada tanda-tanda
lelaki tersebut akan mengajarinya ilmu bela diri. Bah-
kan, membicarakan pun tidak pernah. Setiap hari lela-
ki itu hanya bekerja untuk dirinya sendiri. Setiap pagi
Bapa Lao menyapu halaman kuil dengan penuh keteli-
tian. Ia menyapu hingga kuil tersebut benar-benar ber-
sih. Ia tidak akan membiarkan satu helai daun pun
tersisa. Lalu pada siang hari, dia akan menyimpan diri
di kuil untuk membaca kitab atau menulis syair. Pada
sore hari, ketika matahari mulai terbenam, Bapa Lao
biasanya duduk di anak tangga kuil, dekat torii, me-
nikmati pemandangan indah yang menghampar di de-
pannya. Dan malamnya, dengan santai ia meminta Ko-
jiro memijati tubuhnya hingga ia tertidur pulas. Dari
hari ke hari Bapa Lao menjalani kehidupan seperti itu.
Tak pernah muncul tanda-tanda kapan dia akan mulai
mengajar Kojiro. Bahkan terucap pun tidak!
Lama kelamaan Kojiro pun menjadi terbiasa dengan
kehidupan seperti itu. Jiwanya yang dahulu mudah
terbakar, kini mulai reda. Hasratnya yang menggebu-
gebu untuk belajar ilmu bela diri, kian hari kian te-
nang. Lebih-lebih kesadaran bahwa saat ini hanya Ba-
pa Lao yang menjadi orang terdekatnya. Ia tidak tahu
bagaimana nasib ayahnya maupun Yoshioka. Selama
sebulan tak pernah sedikit pun ia mendengar tentang
mereka.
Pada malam hari, setelah selesai memijat Bapa Lao,
Kojiro biasanya berbaring di samping lelaki itu. Ka-
dangkala muncul kerinduan yang mengoyak jiwanya.
Kerinduan terhadap ayahnya. Juga kerinduan pada
kehidupan masa lalu yang menyenangkan. Bila hal itu
terjadi, biasanya Kojiro baru dapat memejamkan mata
menjelang dini hari. Dan esoknya, ketika matanya ma-
sih mengantuk, Bapa Lao sudah membangunkannya
untuk segera mengambil air. Kojiro tersuruk-suruk
meninggalkan kuil menuju air terjun Kajima sambil
melawan rasa kantuknya. Keadaan seperti itu mem-
buat dirinya lebih tersiksa, karena itu setiap kali ke-
rinduan muncul, ia mencoba melenyapkannya dari I-
ngatan. Akhirnya rasa lelah karena seharian bekerja,
justru membantu Kojiro melupakan ayahnya.
Kojiro baru saja sampai di atas ketika ia melihat
Bapa Lao berjalan menghampirinya. Lelaki itu melihat
air di dalam ember itu.
“Tampaknya kau semakin pintar,” kata Bapa Lao
memuji. “Sekarang semakin sedikit air yang tumpah
selama kau bawa kemari.”
“Aku tak ingin berulang-ulang mengambil air ke ba-
wah, Bapa.”
“Bagus sekali. Rupanya selama sebulan di sini, eng-
kau bertambah cerdik.”
“Terima kasih, Bapa. Selain sedikit air yang tum-
pah, apakah Bapa memperhatikan bahwa saya seka-
rang jauh lebih cepat dibanding dulu mendaki bukit
ini?”
“Tampaknya begitu. Tahukah kau bahwa tanpa
kausadari engkau sudah banyak belajar dari ember
dan pikulan yang setiap pagi kau pergunakan?”
“Maksud Bapa?”
“Kau sudah belajar tentang keseimbangan. Hanya
dengan keseimbangan yang baik kau dapat membawa
dua ember tanpa banyak air yang tumpah mendaki
bukit ini. Itu merupakan pelajaranku yang pertama.
Setiap pendekar membutuhkan kemahiran menjaga
keseimbangan, karena hanya dengan keseimbangan
seseorang dapat menjaga keselarasan di dalam menye-
rang dan bertahan. Siapa yang mampu menyerang se-
baik dia bertahan, dia memiliki peluang untuk meme-
nangkan pertarungan.”
Kojiro terpana. Ia tak menduga lelaki itu akan meng-
ungkapkan hal itu. Ternyata tanpa disadari, selama ini
Bapa Lao menanamkan pelajaran yang begitu berhar-
ga. Karena kegembiraan Kojiro meluap, ia meletakkan
pikulan, lalu bersujud.
“Terima kasih, Bapa. Besok saya akan berusaha su-
paya air di dalam ember tidak tumpah sedikit pun.”
“Tidak perlu,” jawab Bapa Lao tenang. “Mulai besok
aku ingin mandi langsung di air terjun.”
“Jadi aku sudah tidak perlu mengambil air?”
“Benar.”
Kojiro tersenyum senang. Lalu sekali lagi ia bersu-
jud. “Terima kasih, Bapa. Terima kasih.”
“Karena aku mau mandi di air terjun, kau tidak per-
lu mengambil air. Sebagai gantinya, engkau harus
menggendongku menaiki bukit.”
Kojiro ternganga.
***

ILMU PEDANG KEDELAPAN

MATAHARI yang berkabut terhalang di belakang awan


jauh di cakrawala. Dua atau tiga ekor burung kormo-
ran terbang rendah, lehernya yang panjang mencuat
ke langit.
Di tengah hamparan tirai kabut tipis, terlihat Sabu-
ro Mishima tengah berhadapan dengan Natane Yoshi-
oka. Mereka menggenggam pedang kayu dengan kedua
tangan, berdiri dalam posisi saling menyerang. Dimulai
dengan gerakan lamban, Saburo mulai menyerang Yo-
shioka dengan tebasan-tebasan pedang ke arah kepala
dan perut anak itu. Yoshioka menangkis, kemudian
sesekali ganti menyerang. Sabetan itu dimulai agak
lamban, lalu meningkat lebih cepat. Tebasan Saburo
kian lama kian kuat, sehingga Yoshioka harus selalu
meningkatkan kewaspadaannya.
Seluruh tubuh mereka berkeringat, namun tidak
mereka pedulikan. Saburo terus mengayun pedang
mencoba menyerang bagian-bagian terlemah Yoshioka.
“Buat pertahananmu sempurna tanpa peluang,” ka-
ta Saburo memperingatkan. “Bila bagian tubuhmu ma-
sih memberi peluang, musuh masih memiliki kebera-
nian menyerangmu.”
“Aku harus bagaimana, Sensei?”
“Tutup seluruh peluangnya, sehingga ia merasa bim-
bang untuk menyerang. Keraguan musuh adalah awal
kemenanganmu.”
“Baiklah. Akan kucoba.”
Saburo kembali menyerang. Tebasan pedangnya
mendesis ke arah Yoshioka, namun dengan penuh ke-
beranian, anak itu menangkis lalu membalas menye-
rang. Diam-diam Saburo memuji bakat Yoshioka. Anak
itu memiliki bakat sebagai pemain pedang yang hebat.
Naluri di dalam dirinya seakan terasah secara alamiah.
Serangan maupun tangkisan pedangnya, memperli-
hatkan dasar yang kuat sebagai samurai sejati. De-
ngan disiplin yang ketat serta pengarahan yang tepat,
Saburo yakin, sepuluh tahun mendatang, Natane Yo-
shioka dapat menjadi pemain pedang yang disegani.
Ketika matahari tepat di kulminasi, mereka beristi-
rahat. Sambil duduk di atas batu, mereka menanak
nasi dan membakar ikan.
Semenjak lepas dari kejaran pasukan Nobunaga,
Saburo dan Yoshioka telah berjalan ke arah utara me-
nembus hutan azaela, lalu naik ke arah gunung Kinu-
gasa. Dahulu ketika masih menjadi panglima Ashika-
ga, Saburo sering menemani Shogun Ashikaga berburu
babi liar di hutan-hutan sepanjang lereng Kinugasa.
Salah satu tempat yang pernah ia singgahi ialah tem-
pat yang sekarang mereka tempati. Di tengah hutan
itu, mereka membangun sebuah rumah dari papan.
Tidak ada perabot mahal di tempat itu. Seluruh rua-
ngan yang dibiarkan terbuka, hanya diisi tikar untuk
alas tidur, dan alat menanak nasi yang mereka temu-
kan di hutan itu, mungkin milik para pemburu yang
tidak mau membawanya lagi.
Pada saat berdiri di tempat itu, Saburo berkata, “Ki-
ta sekarang akan membangun tempat tinggal di sini.
Tentu saja tidak untuk selamanya. Suatu saat kita
akan pergi karena keinginan kita sendiri, atau terpak-
sa pergi karena pasukan Nobunaga berhasil menemu-
kan tempat ini. Kita tidak perlu merisaukan kapan ha-
rus meninggalkan tempat ini, karena sesungguhnya ki-
ta tidak membutuhkannya, kecuali untuk bertahan
sementara. Tetapi sebelum pasukan Nobunaga datang
kemari, kita harus menggunakan waktu sebaik-
baiknya untuk meningkatkan ilmu pedang yang kita
miliki. Kelak bila musuh datang, kita dapat me-
nyambut mereka dengan sepantasnya.”
Itulah kata-kata Saburo terpanjang yang pernah di-
dengar Natane Yoshioka, sesudah itu samurai tersebut
lebih banyak diam. Lebih-lebih di saat latihan. Ia ja-
rang berbicara. Seluruh daya hidupnya seakan dicu-
rahkan ke dalam pedangnya.
“Sekali engkau memilih jalan pedang untuk hidup-
mu,” kata Saburo pada Yoshioka, “curahkan sepenuh-
nya hidupmu di sana. Karena sedikit saja engkau le-
ngah, nyawamu taruhannya.”
“Baik, Sensei.”
“Kalau begitu mulailah berlatih. Ketajaman pedang
tidak pada bilah pedangmu, tetapi pada ketajaman pi-
kiranmu. Hanya dengan ketajaman pikiran, engkau
dapat mengalahkan musuh-musuhmu.”
Natane Yoshioka sangat menghormati Saburo. Ia
tahu lelaki itu dirundung kesedihan, namun tidak per-
nah sekali pun ia menampakkan kesedihannya di de-
pan Yoshioka. Bahkan Saburo tidak pernah berbicara
tentang Kojiro, seakan keberadaan anaknya telah ia
lupakan. Bagi Saburo, Kojiro telah memilih jalan sa-
murai dengan menanggungkan segala resikonya. Jadi
apa pun yang dialami anak itu, tak perlu lagi diper-
soalkan. Kematian, bagi seorang samurai, adalah pene-
busan kesucian hidupnya.
Kini, satu-satunya kewajiban yang harus dilaksa-
nakan adalah melindungi Yoshioka. Dan Saburo tak
ingin mengingkari sumpahnya sendiri. Kalau perlu ia
akan menebus keselamatan Yoshioka dengan nyawa-
nya.
Pada malam hari, seperti dulu ketika mereka berada
di gubuk persembunyian, Saburo mengajarkan teori
enam belas ilmu pedang. Dengan gambar sederhana
Yoshioka mempelajari tentang kami tatewari (ilmu pe-
dang ‘Membelah Tegak’, suatu tebasan menyilang yang
memangkas dari arah kepala hingga pangkal lengan).
“Tebasan ini tidak mudah dilakukan,” kata Saburo
memberi penjelasan “Karena ilmu pedang ini hanya co-
cok digunakan apabila lawan lebih pendek tubuhnya.
Atau dia berada dalam posisi yang rendah, misalnya
berada di tempat rendah sehingga ayunan ini dapat di-
lakukan. Sebaliknya, kau harus berhati-hati bila ber-
hadapan dengan musuh yang lebih tinggi, atau berada
dalam posisi lebih rendah. Tebasan pedang ‘kami tate-
wari’ sangat sulit ditangkis. Bila engkau menghadapi
serangan seperti ini, sebaiknya berusaha menghindar.”
Yoshioka mendengarkan dengan serius. Dan pagi-
nya, ia berlatih melakukan tebasan itu.
Di depan rumah mereka, Saburo meletakkan batang
kayu pina setinggi Yoshioka. Bila tidak berlatih berdua,
ia menyuruh batang pohon tersebut sebagai pengganti
tubuh musuh. Saburo memberikan perintah agar Yo-
shioka menerapkan ilmu pedang yang telah ia ajarkan.
Apabila ayunan pedang Yoshioka keliru, Saburo mem-
berikan petunjuk sampai anak tersebut melakukannya
secara benar.
“Wakige merupakan tebasan mendatar pada ketiak
lawan,” kata Saburo memberikan pelajaran ilmu pe-
dang ketujuh. “Tebasan ini cukup sulit dilakukan, ka-
rena sekali lagi kau harus melihat tubuh lawanmu. Bi-
la ia lebih pendek atau sejajar denganmu, kau dapat
menyerang dengan wakige. Karena sifatnya yang mu-
dah ditangkis, biasanya ilmu pedang ini digunakan un-
tuk memberikan daya kejut pada lawan. Sekadar mus-
lihat untuk mengacaukan konsentrasi musuh.”
Dengan pedang kayu, Saburo mempraktekkan teba-
san wakige. Yoshioka menangkis. Secara bergantian
mereka menyerang dan menangkis. Semakin lama ge-
rakan mereka semakin cepat dan bertenaga. Dari sabe-
tan pedang yang dilakukan Yoshioka, Saburo dapat
merasakan getaran enerji anak itu. Tidak diragukan
lagi, putra Ashikaga itu telah menyatu dengan senja-
tanya.
“Bermain pedang adalah bermain dengan hati nu-
rani,” kata Saburo di sela-sela waktu latihan. “Engkau
harus yakin terlebih dulu dengan kata hatimu. Seperti
itu pula kau menggunakan pedangmu. Tanpa keyaki-
nan seperti itu, seorang samurai hanya mampu meng-
gunakan pedang namun tidak menjiwai ayunan mau-
pun tebasannya.”
“Apa maksudnya dengan menjiwai ayunan maupun
tebasan pedang, Sensei?”
“Kau pernah memakai zori, bukan?”
“Ya.”
“Ketika sudah mengenakan sandal tersebut, engkau
kemudian bermain di halaman. Berjalan atau berlari,
masihkah kau merasakan bahwa dirimu memakai alas
kaki tersebut?”
Yoshioka berpikir sejurus, lalu menjawab, “Tidak.”
“Nah, itulah yang kumaksud dengan menjiwai ayu-
nan atau tebasan pedang.”
Saburo melihat anak di depannya masih belum da-
pat sepenuhnya mencerna pelajaran yang ia berikan.
“Di istana engkau belajar menulis, bukan?”
“Tentu.”
“Engkau menggunakan kuas, bukan?”
“Ya.”
“Ketika kau mulai menulis, seluruh jiwamu tercu-
rah pada sesuatu yang kaupikirkan, bukan?”
“Benar.”
“Karena seluruh pikiranmu tercurah pada hasrat
hati yang tengah kautuliskan, kuas menyatu dengan
tanganmu, sehingga ia mengikuti apa pun yang kau
maui. Tidak ada jarak antara dirimu dengan kuas ter-
sebut. Kuas itu benar-benar menjadi pikiranmu.”
Sedikit demi sedikit Yoshioka mengetahui apa yang
dimaksudkan Saburo.
“Itu pula yang harus kaulakukan dengan pedang-
mu. Jadikan pedangmu jiwa serta pikiranmu. Jangan
sampai ada jarak antara dirimu dengan pedangmu.
Penyatuan ini akan membuatmu berkuasa atas apa
yang ingin kaulakukan dengan pedangmu.”
“Saya mengerti.”
Pelajaran kedelapan adalah kurumasaki, ayunan
yang juga disebut jurus ‘Ujung Roda’. Tebasan menda-
tar persis di pusar musuh. Sabetan ini akan merobek
perut dan memburaikan usus.
“Tebasan ini tampaknya mudah, namun kenyata-
annya tidak demikian. Kurumasaki merupakan teba-
san mematikan yang tak mudah dilakukan, karena
engkau harus berada dalam jarak tebas yang pendek
baru dapat melakukannya. Padahal musuhmu tentu
tak akan membiarkan engkau membelah perutnya. Ia
akan menangkis, atau bahkan mencoba mendahului-
mu dengan kami tatewari. Sedetik saja kau didahului
lawan, bukan dia yang tewas, tetapi tubuhmu yang
terbelah. Karena itu hati-hati menerapkan ilmu pedang
ini.”
Sesudah menguasai delapan ilmu yang menjadi da-
sar permainan pedang, suatu pagi Saburo mengajak
Yoshioka menuruni bukit. Mereka menuju hutan yang
banyak ditumbuhi pohon pisang. Ketika sampai di
tempat itu, Saburo berhenti.
“Aku ingin engkau menerapkan ilmu pedang yang
telah kaupelajari,” kata Saburo. “Anggaplah pohon pi-
sang di sekitarmu sebagai musuh. Terapkan ayunan
atau tebasan yang kuteriakkan.”
Yoshioka mengambil pedang kayunya.
“Kali ini engkau kuperbolehkan menggunakan pe-
dangku,” kata Saburo sambil memberikan pedangnya.
Mata Yoshioka seketika berbinar-binar. Ia tampak
bahagia sekali ketika menggenggam naginata yang bi-
lahnya berkilauan. Ia segera memasang kuda-kuda,
kemudian menjalankan perintah Saburo. Yoshioka
bergerak dengan lincah, menebas ke kanan dan ke kiri
dengan kelincahan dan enerji yang meluap dalam diri-
nya. Berulang-ulang ia lakukan, hingga tempat itu pe-
nuh dengan serpihan batang pisang. Saburo merasa
puas, ia melihat Yoshioka berhasil menguasai dasar-
dasar ilmu pedang dengan baik. Nyaris sempurna.
***

MITSUNARI MENGAMUK

SUASANA malam terasa hangat karena cahaya bulan


purnama. Kota Kamakura seperti seorang gadis muda
tengah bersolek. Wajahnya berbedak dan bergincu de-
ngan dandanan yang mencolok. Ratusan samurai yang
dikumpulkan Shogun Nobunaga, menjadikan Kamaku-
ra menjadi hidup. Sejumlah rumah pelacuran yang
tumbuh seperti jamur, masih ramai meski malam telah
larut. Bau sake dan makanan malam, menguap hingga
ke jalan-jalan. Lampion yang digantung di depan ru-
mah, menimbulkan nuansa keremangan yang roman-
tis.
Dari sebuah rumah pelacuran yang paling ramai,
terdengar senandung dari Dongeng tentang Heike yang
sangat terkenal. Nyanyian itu didendangkan seorang
geisha, diiringi petikan kecapi yang menyayat, mirip
rintihan burung kedasih.
Kaisar yang menyendiri itu pun memutuskan
Pada musim semi tahun kedua
Melihat puri luar Kota Kenreimon’in
Di pegunungan dekat Ohara
Tetapi selama bulan kedua dan ketiga
Angin bertiup kencang, dan udara dingin mengapung
Salju putih di puncak gunung pun mencair
Saat dua kekasih melakukan seppuku
Karena cinta yang tak direstui
Nyanyian itu seketika terhenti, ketika pintu soji di-
dobrak dari luar. Seorang laki-laki berkaki satu mene-
robos masuk dengan luapan amarah yang mengerikan.
Sejumlah pelacur yang tengah duduk di ruang tengah
menjerit sambil berlarian ke belakang, sementara se-
jumlah samurai segera mengambil pedang untuk ber-
jaga-jaga. Mereka semua bersikap waspada.
“Aku Ishida Mitsunari, di mana istriku?” tanya laki-
laki tersebut menggeram seperti macan lapar. Wajah-
nya yang berkumis dan bercambang menjadikannya
bertambah seram. “Siapa yang punya rumah pelacuran
ini?”
Seorang laki-laki setengah baya, berlari di depan
Mitsunari sambil bersujud.
“Maafkan saya, Ishida-san, maafkan saya. Semua
adalah keinginan Shogun Nobunaga.”
“Siapa kamu?”
“Saya Keiji.”
“Kamu pemilik rumah ini?”
“Benar, Ishida-san.”
Mitsunari hampir saja menebas leher lelaki di de-
pannya, tetapi sesuatu yang lebih baik melintas di ke-
palanya. Ia mengurungkan niatnya.
Mitsunari bertanya, “Di mana istriku sekarang?”
“Tuanku akan mengampuni saya?”
“Tunjukkan tempatnya. Aku ingin bertemu dengan-
nya.”
Sekali lagi pemilik rumah itu bersujud, kemudian
berjalan bergegas ke belakang. Mitsunari mengikuti
dari belakang dengan pedang terhunus. Kakinya yang
pincang membuat setiap langkahnya bersuara.
Rumah pelacuran itu ternyata cukup luas. Dengan
melewati lorong selebar dua meter, mereka sampai di
tengah halaman yang dikelilingi kamar berderet-deret
berbentuk tapal kuda. Kecuali bonsai dan air mancur,
ada taman yang diatur rapi mengikuti kaidah-kaidah
Zen. Tetapi sekarang tidak ada waktu lagi buat Mitsu-
nari untuk menikmati keindahan taman buatan terse-
but. Ia berjalan ke arah kamar yang paling luas dan
paling indah di dekat pohon pina.
“Nagoka-san!” terdengar lelaki pemilik rumah pela-
curan itu. Ia berdiri di dekat soji sambil membungkuk-
bungkuk. “Nagoka-san!”
Mitsunari tidak sabar, dengan keras ia menendang
pantat lelaki tersebut hingga tubuh lelaki itu terdorong
begitu kuat menerobos dinding kamar. Dari dalam ter-
dengar jeritan kaget. Saat itu Ishida Mitsunari melihat
istrinya telentang, polos, di bawah himpitan seorang
laki-laki gendut yang juga polos. Karena merasa ter-
ganggu, lelaki tersebut meloncat sambil menggeram
marah.
“Bangsat! Apa yang kalian lakukan?”
Keiji merayap bangun. “Maafkan saya....”
Laki-laki gendut itu menoleh pada Mitsunari, dan
tepat pada saat itu Mitsunari mengayunkan pedangnya
dari kepala ke selangkangan lelaki itu. Ayunan pedang
itu begitu kuat sehingga tubuh lelaki tersebut hampir
terbelah dua. Ia ambruk ke lantai dengan darah mem-
banjiri tatami. Istri Mitsunari menjerit ngeri menyaksi-
kan tubuh langganannya ambruk. Ia segera menarik
selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos, namun
saat itu sebuah tebasan pedang Mitsunari telah me-
menggal kepalanya. Darah muncrat ke kelambu, mem-
buat kain berwarna putih itu berubah menjadi merah.
Keiji terpaku menyaksikan kejadian itu. Seluruh tu-
buhnya gemetar ketakutan. Bahkan ia terkencing-ken-
cing. Namun itu hanya sesaat, semua berubah menjadi
gelap ketika Mitsunari kembali menebaskan pedang ke
arah leher lelaki itu. Ia pun tumbang. Kepalanya meng-
gelinding seperti buah pepaya yang jatuh dari batang-
nya.
Pembantaian telah berakhir. Ishida Mitsunari berdi-
ri di tengah kamar itu dengan kemarahan meluap-
luap. Ia merasakan seluruh hidupnya hancur beranta-
kan. Sebagai seorang bangsawan, peristiwa yang baru
saja ia lihat, merupakan penistaan yang paling buruk
terhadap kehormatannya. Dengan hati hancur ia pan-
dangi tubuh polos istrinya yang berlumur darah. Ku-
litnya yang halus itu kini melengkung telentang ber-
simbah darah. Dengan tertatih-tatih, Mitsunari mende-
kati tubuh istrinya, kemudian mengambil selimut, lalu
menutupi tubuh itu.
“Maafkan aku terpaksa membunuhmu,” katanya ber-
getar karena pedih dan marah. “Hanya dengan cara ini
aku mengakhiri penderitaanmu. Namun aku bersum-
pah untuk membalas penghinaan yang ditimpakan kepa-
damu dengan pedang. Mereka akan memperoleh pem-
balasan yang setimpal.”
Ishida Mitsunari berbalik, dan dia melihat di taman
itu telah berdiri menghadang delapan orang samurai
dengan pedang terhunus. Rupanya kegaduhan di tem-
pat itu telah menyebar, sehingga sejumlah samurai yang
memiliki keberanian berniat menangkap Mitsunari.
“Ishida Mitsunari,” kata salah seorang samurai de-
ngan suara menggeram. “Sebaiknya engkau menyerah.
Kami telah mengepungmu. Kalau engkau menyerah,
kami bersumpah untuk memberikan penguburan yang
sepantasnya untuk mayatmu.”
Mitsunari berjalan menuruni anak tangga yang
menghubungkan kamar dengan taman.
“Menyerahlah! Biarkan kami memenggal kepalamu!”
“Kuragukan kalian dapat menangkapku,” kata Mit-
sunari tanpa tekanan. “Kalian adalah samurai kemarin
sore yang tidak mengerti bagaimana cara mengguna-
kan pedang.”
“Kamu samurai rendah!” bentak salah seorang sa-
murai sambil mengambil posisi di samping kanan Mit-
sunari. “Kau telah membiarkan isterimu menjadi pela-
cur, dan....”
Belum selesai kata-kata itu diucapkan, dengan ke-
cepatan tak terduga, Mitsunari telah berbalik dan meng-
ayunkan pedangnya. Ayunan itu sangat tidak terduga,
sehingga samurai tersebut hanya bisa merasakan cai-
ran hangat meleleh dari lehernya. Bersamaan dengan
ambruknya samurai itu, Mitsunari telah merangsak ke
depan dengan ‘Tebasan Halilintar’. Suara pedangnya
mendesis dengan cepat dan membuat dua samurai ter-
sungkur dengan luka menganga. Serangan tersebut
sangat mengejutkan, sehingga pengepungan itu beran-
takan, dan Mitsunari menggunakan celah-celah di da-
lamnya untuk membabat musuh-musuhnya. Sesaat
kemudian, ketika Mitsunari kembali tegak berdiri, ke-
lima samurai yang tersisa hampir bersamaan ambruk
ke tanah.
“Sudah kukatakan, kalian tidak tahu bagaimana
cara menggunakan pedang,” kata Mitsunari sambil me-
ninggalkan tempat itu.
Saat Mitsunari berjalan di lorong rumah tersebut,
dua orang samurai menghadang dengan pedang telan-
jang. Mereka masih sangat muda. Barangkali umurnya
belum genap delapan belas tahun. Melihat cara mereka
menggenggam pedang. Mitsunari tahu keduanya bu-
kan lawan yang berarti. Bahkan dalam keadaan biasa,
Mitsunari lebih suka menghindari pertarungan itu. Me-
reka bukan tandingannya.
Tapi saat ini, benak Mitsunari dipenuhi dendam
dan kemarahan. Karena itu tanpa membuang waktu ia
menerjang kedua samurai tersebut. Dalam sekejap,
kedua tubuh samurai itu melengkung menahankan ra-
sa sakit, lalu ambruk ke lantai. Perut mereka robek
mengerikan.
“Hayo, siapa lagi yang ingin mampus?” tantang Mit-
sunari sambil terus melangkah keluar. Pedangnya ma-
sih meneteskan darah, seakan bilah pedang itu memi-
liki urat nadi yang terluka. “Bila di antara kalian masih
ada yang menginginkan hadiah dari Nobunaga, seka-
rang saatnya melawanku!”
Lima orang samurai yang berpakaian kumal dengan
kuncir rambut acak-acakan, melompati pagar untuk
menghadang. Sikap mereka beringasan, mirip seekor
anjing yang tak yakin bakal menang bergumul dengan
kucing.
“Kalian ronin tak berharga,” kata Mitsunari tajam.
“Samurai pengemis yang hanya membutuhkan uang
untuk makan. Manusia-manusia rendah tanpa kehor-
matan. Kemari kalian biar kuberi sedikit pelajaran ten-
tang harga kehormatan.”
Seorang samurai melompat untuk menebas kaki
Mitsunari, namun dengan mudah serangan itu ditang-
kis Mitsunari memakai penyangga tubuhnya. Dengan
bernafsu samurai itu kembali menerjang, namun de-
ngan mudah serangan tersebut dielakkan, dan sebe-
lum samurai itu berdiri tegak, Mitsunari telah mene-
robos pertahanannya sambil menikam. Pedang itu me-
nembus jantung samurai tersebut. Ia tak sempat men-
jerit saat nyawanya melayang. Sambil menarik pedang-
nya, kembali Mitsunari mengobrak-abrik pertahanan
lawan. Ia berputar dengan bertumpu pada penyangga
kakinya, sekaligus menebaskan pedang ke arah mu-
suh-musuhnya. Satu per satu samurai itu tumbang
dengan luka menganga.
Melihat kehebatan Mitsunari, dua puluh samurai
yang berada di tempat itu rupanya menjadi jeri. Mere-
ka mundur meskipun tetap dalam posisi mengepung.
“Kalian bukan lawanku,” kata Mitsunari sambil me-
mungut lampion yang tergeletak di tanah. Ia melempar
lampion itu ke atap rumah, sehingga apinya cepat
membakar. Rumah tersebut beratapkan jerami, karena
itu api dengan cepat menyebar.
Seperti tak melakukan kekejian apa pun, Mitsunari
melangkah menyusuri jalan, “Aku akan dengan mudah
membunuh kalian satu per satu,” katanya pada samu-
rai yang masih mengepungnya. “Kalau kalian tetap ke-
ras kepala, aku tak punya keberatan apa-apa untuk
memenggal kepalamu. Pedangku sudah lama tak meng-
hirup darah. Kecuali itu, aku ingin menguji ilmu pe-
dang yang baru kutemukan. Jangan ragu-ragu, seren-
taklah menyerang, agar lebih cepat aku membunuh
kalian semua!”
Para samurai itu melangkah mundur. Mereka ber-
ingsut dengan perasaan gentar. Semua sudah melihat
kehebatan ilmu pedang Mitsunari. Hanya dalam waktu
singkat, ia telah membunuh lima belas samurai tanpa
perlawanan yang berarti. Kemampuan membunuh se-
perti itu hanya dimiliki samurai kawakan.
Mitsunari terus berjalan, sementara tempat itu se-
ketika menjadi hiruk pikuk. Kebakaran telah meluas,
merambat dari satu rumah ke rumah lainnya. Api yang
berkobar membuat para pelacur ketakutan, sehingga
mereka berlari ketakutan sambil menjerit-jerit. Ada se-
jumlah pelacur yang terpaksa berlari polos karena keti-
ka api membakar kamarnya, ia belum selesai melayani
tamunya. Sejumlah orang yang tengah bermain cinta,
terpaksa berhenti. Mereka lari keluar dengan pakaian
seadanya sambil memaki-maki.
Suasana hiruk pikuk membuat orang-orang meng-
alihkan perhatian pada kebakaran itu. Mereka melupa-
kan Mitsunari. Kedua puluh samurai yang tadi menge-
pung, secara diam-diam menyingkir, kemudian mem-
baurkan diri dengan orang-orang desa yang tengah
mencoba memadamkan api. Mereka merasa beruntung
telah menghindari pertarungan tanpa kehilangan muka.
Api terus berkobar. Semakin lama semakin membe-
sar, sehingga kota Kamakura jadi terang benderang.
Mitsunari sendiri, tersuruk-suruk, berjalan mening-
galkan jalan raya, membelok masuk ke dalam hutan.
***
Nobunaga tengah bercumbu dengan geisha kesayang-
annya. Mereka bercinta di dalam kamar. Naoko meme-
luk Nobunaga sambil menciumi lelaki tersebut. Sedang
asyik keduanya memadu asmara, tiba-tiba terdengar
derap kaki mendekati kamarnya.
Dari luar terdengar langkah kaki itu berhenti, lalu
disusul suara Hosokawa, “Maafkan kami, Tuanku Sho-
gun Nobunaga, kota Kamakura kebakaran!”
Nobunaga mendengus, sementara Naoko cemberut
karena kenikmatannya terganggu. “Sebentar, aku ha-
rus menemui mereka,” kata Nobunaga sambil melepas-
kan diri dari dekapan Naoko.
“Kita belum selesai.”
“Aku hanya sebentar. Nanti kita lanjutkan.”
Dengan terburu-buru Nobunaga mengenakan haka-
ma, kemudian berjalan untuk membuka soji. Ketika
pintu kertas itu terbuka, Hosokawa dan pengawalnya
langsung bersujud hingga kepala mereka menyentuh
lantai.
“Kebakaran telah terjadi di Jalan Hagura,” kata Ho-
sokawa.
Nobunaga menatap ke kejauhan, tampak api berko-
bar dengan hebat. Api itu memang tidak mungkin men-
jalar ke istana, tetapi tetap saja berbahaya.
“Kenapa bisa terjadi kebakaran?” Nobunaga berta-
nya.
“Ishida Mitsunari yang membakarnya.”
Nobunaga kaget bukan kepalang. “Mitsunari?”
“Benar, Tuanku.”
“Dia berani muncul di dalam kota untuk membuat
huru-hara?” ia masih tidak percaya.
“Demikianlah, Tuanku. Ishida telah membunuh is-
trinya dan pemilik rumah pelacuran itu sebelum mem-
bakar kota.”
“Apa tidak ada seorang samurai pun di sana sehing-
ga bedebah itu berbuat kurang ajar?”
“Dia telah membunuh lima belas samurai yang men-
coba menangkapnya.”
“Lima belas samurai?”
“Benar, Tuanku.”
“Bangsat!”
Hosokawa kembali bersujud di depan kaki Nobuna-
ga dengan perasaan menyesal karena tak mampu men-
jaga keamanan wilayahnya.
Sambil menatap api yang menjilat-jilat di kejauhan,
Nobunaga bertanya, “Di mana kelima samurai Yagyu?”
“Mereka telah siap di gerbang istana untuk me-
nunggu kedatangan Mitsunari.”
“Goblok! Siapa bilang Mitsunari akan menerobos ke
istana? Kerahkan mereka untuk mengejar samurai ja-
hanam itu. Kurasa dia belum jauh meninggalkan Ka-
makura.”
“Baik, Tuanku.”
“Bawa kemari kepala Mitsunari biar aku dapat me-
ludahinya.”
“Baik.”
Hosokawa bersujud, kemudian melangkah mundur,
baru setelah kira-kira lima meter dari Nobunaga, ia
berdiri dan bergegas pergi.
Mitsunari benar-benar jahanam! Dia telah berani da-
tang ke kota ini dan membuat huru-hara. Ini adalah
penghinaan yang tak terampuni. Sesudah ia melawan
perintahku, kini lebih buruk lagi. Dia berani menantang-
ku. Dasar jahanam!
Dengan terseok-seok, Nobunaga berjalan kembali ke
dalam kamar. Di sana ia melihat tubuh mulus Naoko
yang masih polos. Gadis itu telentang. Tubuhnya ha-
nya ditutupi rambutnya yang terurai panjang. Segala
ingatan tentang Mitsunari seketika hilang. Sambil ter-
senyum lebar, Nobunaga naik ke ranjang.
“Ada apa?” Naoko bertanya.
“Terjadi kebakaran di kota.”
“Kenapa?”
“Ishida Mitsunari telah membunuh istrinya, lalu
membakar rumah pelacuran di mana istrinya tinggal.”
“Sudah ditangkap?”
“Belum.”
“Kenapa?”
“Dia bahkan telah membunuh lima belas samurai
yang mencoba menangkapnya.”
Naoko seketika duduk tegak. Ia menatap Nobunaga
dengan tatapan tajam, lalu berkata penuh tekanan,
“Ini sangat keterlaluan. Dia telah meludahi wajahmu.
Bila persoalan ini tak segera diselesaikan, akan sangat
buruk akibatnya. Bukan persoalan nyawa, tetapi kewi-
bawaanmu akan hilang. Sebaiknya, sekarang kerah-
kan samurai sebanyak-banyaknya untuk menangkap-
nya.”
“Aku telah memerintahkan Hosokawa untuk menge-
jarnya.”
“Hosokawa terlalu tolol untuk menangkap Mitsuna-
ri.”
“Dia didampingi kelima samurai Yagyu.”
“Masih kurang. Sebaiknya kerahkan seluruh samu-
rai di Kamakura untuk mengejarnya.”
“Baik. Besok akan kuperintahkan....”
“Bukan besok,” tukas Naoko tajam. “Harus seka-
rang.”
“Sekarang?”
“Ya, perintahkan sekarang juga para samurai me-
ngejar Mitsunari, sebelum dia sempat menghilang ke
dalam hutan.”
“Tetapi ini sudah terlalu larut malam.”
“Sekarang atau kita akan dikalahkannya.”
Nobunaga menatap Naoko dengan ternganga. Tidak
pernah ia membayangkan perempuan lembut dan meng-
gemaskan itu dapat memerintahnya dengan cara yang
sangat mengejutkan.
Ketika Nobunaga masih diam, Naoko berkata, “Se-
karang perintahkan mereka mengejar Mitsunari, sesu-
dah itu cepat kemari untuk meneruskan permainan ki-
ta tadi yang belum selesai.”
Nobunaga menyeringai, “Itulah yang kuinginkan,”
katanya sambil melangkah terburu-buru untuk mem-
berikan perintah.
***

TERJEBAK

DENGAN sekuat tenaga Natane Yoshioka mengayun-


kan pedang dengan jurus kedelapan. Tebasan itu sa-
ngat kuat sehingga batang pisang yang dijadikan sasa-
ran terbelah menjadi dua. Yoshioka tersenyum puas
karena berhasil melaksanakan perintah Saburo de-
ngan tepat.
“Coba sekarang lakukan secara serentak,” perintah
Saburo. “Kekuatanmu sudah cukup, namun kecepa-
tannya belum tepat. Padahal kekuatan dan kecepatan
merupakan keseimbangan yang harus menyatu dalam
permainan pedang.”
“Aku akan melakukannya, Sensei.”
“Ingat, setiap gerakan harus tepat iramanya sehing-
ga ayunan maupun tebasanmu sukar ditangkis.”
“Aku akan mencoba.”
Yoshioka mulai memasang kuda-kuda, kemudian
dengan kecepatan yang menakjubkan, ia mulai mene-
bas ke kanan ke kiri, dengan kekuatan yang sangat ter-
ukur. Satu per satu batang pisang di delapan sasaran
terbelah dan tumbang akibat tebasannya. Pada saat
Yoshioka telah menyarungkan kembali pedangnya, dua
batang pisang baru jatuh ke tanah.
“Kecepatanmu masih kurang sempurna,” kata Sa-
buro sambil mendekati Yoshioka. “Bila kecepatanmu
sempurna, saat kau memasukkan kembali pedangmu,
saat itulah batang pisang menyusul jatuh.”
“Maksud, Sensei?”
“Akan kuperlihatkan caranya.”
Saburo berdiri memasang kuda-kuda, matanya me-
natap tajam pada delapan pohon pisang di sekeliling-
nya. Napasnya tampak tertahan, sepertinya ia tengah
mengukur jarak dan peluang tebasannya. Ketika jarak
sudah diperhitungkan, dengan gerak yang sukar diiku-
ti mata, Saburo mulai menebas ke kanan dan ke kiri
sesuai delapan jurus ilmu pedang. Hanya sepersekian
menit peristiwa itu terjadi. Ketika pedang Saburo telah
disarungkan, batang-batang pisang yang ditebas jatuh
satu per satu. Natane Yoshioka menatap takjub pada
kehebatan gurunya.
“Luar biasa,” kata Yoshioka tak menyembunyikan
kekagumannya. “Aku berjanji akan berlatih lebih ke-
ras.”
“Kau harus lebih rajin dan disiplin. Disiplin meru-
pakan rahasia ilmu pedang yang paling utama. Tanpa
disiplin, seorang samurai hanya akan menjadi ronin,
bukan pendekar.”
Natane Yoshioka akan bicara, ketika secara tiba-
tiba Saburo melompat dan menutup mulutnya. “Sssst,
jangan bersuara,” katanya memperingatkan.
Yoshioka kaget atas tindakan Saburo, ia ingin ber-
tanya, namun lelaki tersebut memberikan isyarat agar
dia diam. Sambil pelan-pelan melepaskan tangan dari
mulut Yoshioka, Saburo mengajak anak itu mengen-
dap-endap ke arah semak belukar. Dari sana ia meli-
hat lebih dari dua puluh lima penunggang kuda men-
daki bukit. Dua orang prajurit membawa tombak yang
dilengkapi bendera warna merah.
“Prajurit Shogun Nobunaga,” bisik Saburo pada Yo-
shioka.
“Mereka sedang melakukan patroli.”
“Aneh, tidak biasanya mereka melakukan patroli
sampai tempat ini.”
“Mungkinkah ada orang yang melihat kita di sini ke-
mudian melaporkan pada Nobunaga?”
“Rasanya tidak. Selama kita berlatih tak pernah
bertemu seorang pun. Selain itu, hutan ini jauh dari
pemukiman penduduk.”
“Lalu kenapa mereka ada di sini?”
“Itu yang kuherankan. Kenapa mereka berada di si-
ni?”
Para penunggang kuda itu berhenti di tepi hutan,
kemudian salah seorang yang rupanya menjadi pencari
jejak melompat turun. Dengan cermat dia mengamati
jejak kaki samar-samar di jalan setapak itu. Dahinya
berkerut, seakan ia tengah memikirkan kemungkinan
yang paling masuk akal.
“Apakah dia lewat di sini?” tanya komandan pasu-
kan itu dari atas kudanya.
Pencari jejak itu menggelengkan kepala. “Sudah ku-
katakan, tidak mungkin dia lewat di sini. Jalan seta-
pak ini akan menyulitkan langkahnya. Saya pastikan
dia memilih jalan besar ke Edo.”
“Kau melihat jejak di sini?”
“Kurasa jejak petani dan anaknya.”
“Dua orang?”
“Ya, orang dewasa dan seorang anak kira-kira ber-
usia sebelas tahun.”
“Baiklah, kalau begitu sebaiknya kita cepat berpu-
tar ke arah Edo.”
Komandan pasukan itu menarik tali kekang kuda,
kemudian kembali menuruni bukit itu. Derap kaki kuda
gemuruh menuruni lereng bukit itu, meninggalkan de-
bu tipis berkepul. Pakaian mereka yang sebagian besar
berwarna merah, tampak berkibar ditiup angin.
Saburo tetap diam, menunggu sampai para penung-
gang kuda itu tak kelihatan.
“Mereka sedang mencari seseorang,” kata Saburo
seperti bicara pada diri sendiri. “Tetapi bukan kita.”
“Siapa kira-kira?”
“Entahlah, mungkin seorang samurai yang melawan
Nobunaga. Dari cara komandan itu bicara, tampaknya
buronan mereka termasuk berbahaya. Kalau tidak,
mana mungkin Nobunaga mengerahkan dua puluh li-
ma samurai untuk menangkapnya.”
“Bila banyak samurai memberontak, semakin cepat
keruntuhan Nobunaga akan terjadi.”
Saburo diam. Kemudian bergegas mengajak Yoshi-
oka pulang. Tiba-tiba nalurinya mengisyaratkan ada-
nya bahaya. Bila pengejaran tersebut terus dilakukan,
bukan mustahil pasukan itu akan sampai di tempat
tinggalnya. Bila hal itu terjadi, Saburo dapat mem-
bayangkan suatu pengepungan besar-besaran seperti
yang pernah ia alami. Dan itu sangat berbahaya. Bela-
jar dari kegagalan pengepungan yang pertama, Saburo
tentu tak mau mengulangi kegagalannya. Ketika dulu
pengepungan dilakukan, sesungguhnya Saburo dan
Yoshioka diselamatkan oleh Tuhan. Semata-mata ke-
beruntungan! Bila saja mereka jatuh di batu karang,
tubuh mereka pastilah remuk. Dan keberuntungan,
tak dapat diharapkan terjadi dua kali.
“Kita harus cepat pergi. Cepat atau lambat mereka
akan sampai di sini.”
“Mereka hanya akan menemukan batang pisang itu.”
“Dengan melihat batang pisang itu, mereka akan
tahu kita berlatih. Seorang samurai akan mengetahui
gaya permainan pedang dari luka atau ayunan yang di-
lakukan seseorang. Mereka pasti tahu bahwa aku me-
latihmu di sana.”
“Kedengarannya sangat aneh.”
“Itulah misteri permainan pedang yang harus juga
kau pelajari. Setiap orang memiliki gaya sendiri. Tiap
tebasan memantulkan watak orang yang melakukan-
nya.”
Beberapa kali Saburo menoleh ke belakang, pera-
saannya mengatakan, seseorang sedang mengikutinya.
Tetapi setiap kali ia menoleh, tak seorang pun keliha-
tan. Ia hanya melihat kerimbunan hutan pinus di be-
lakangnya. Beberapa ekor burung kormoran terbang
berputar-putar di langit. Bulunya yang hijau gemerla-
pan tampak sangat indah.
Mereka terus berjalan, lebih bergegas dari biasanya.
Napas Yoshioka sampai terengah-engah mengikuti ke-
cepatan melangkah Saburo.
Karena lelah, Yoshioka bertanya penasaran, “Kena-
pa tergesa-gesa, Sensei?”
“Kita harus cepat berkemas dan meninggalkan ru-
mah itu.”
“Ke mana?”
“Aku belum memastikan. Entah ke mana. Tetapi
harus pergi bila tak ingin mengalami pengepungan se-
perti dulu.”
“Apakah engkau yakin mereka akan mengetahui
persembunyian kita?”
“Mereka akan tahu.”
“Bagaimana mungkin?”
“Seorang samurai harus melatih indra keenamnya,”
kata Saburo menjelaskan. “Dan sekarang, indra ke-
enamku mengatakan bahaya tengah mengintai kita.
Bila kita tak segera menghindar, kita akan menghadapi
bahaya itu.”
Natane Yoshioka terpaksa setengah berlari agar da-
pat mengimbangi kecepatan melangkah Saburo. Se-
sungguhnya ia ingin tidak cepat-cepat pergi, sehingga
kalau benar terjadi pengepungan, dia dapat memprak-
tekkan ilmu yang telah ia pelajari selama ini. Sungguh
tak ada gunanya belajar ilmu pedang bila tidak meng-
gunakannya. Seperti belajar menulis tetapi tak memi-
liki kertas dan pena.
Setelah berjalan kira-kira setengah jam, rumah me-
reka kelihatan di balik kerimbunan pohon. Atapnya
yang terbuat dari jerami, kelihatan kuning keperakan
tertimpa sinar matahari. Rumah itu tampak sepi. Tidak
ada kehidupan yang tampak dari dalamnya.
Saburo merasa lega, perasaan was-was yang meng-
endap di dadanya tidak menjadi kenyataan. Tadi ia di-
bayang-bayangi kenyataan pasukan Nobunaga telah
mengepung rumahnya. Ternyata itu hanya bayangan
khayal.
“Apakah engkau pikir kita masih berada dalam ba-
haya, Sensei?” Yoshioka bertanya menggoda. “Menu-
rutku tidak.”
“Tetapi kita harus tetap pergi.”
“Kenapa?”
“Suatu saat bahaya itu pasti datang.”
“Baiklah kalau begitu, aku akan mengemasi barang
dan mengambil pedang kayuku.” Berkata begitu, Yo-
shioka berlari menuju ke rumah. Pada saat itu Saburo
melihat sebuah tongkat sepanjang enam kaki di pagar,
di atasnya terdapat sebuah topi pandan yang biasa di-
pakai para ronin. Seketika kesadaran Saburo akan ba-
haya menggeliat, ia berteriak memanggil Yoshioka.
“Kojirooo!”
Terlambat. Natane Yoshioka telah menerobos masuk
ke dalam rumah, dan pada saat bersamaan terdengar
ia menjerit kesakitan.

(Bersambung ke buku ketiga.)

Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel

Anda mungkin juga menyukai