Anda di halaman 1dari 76

SHUGYOSA

(Samurai Pengembara)

Buku Kesepuluh
oleh Salandra

Cover oleh Tony G.


Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994

https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978

Buku Kesepuluh
PENYELAMATAN NINJA
SABURO menerjang dengan jeritan nyaring, ia mene-
bas musuh seperti banteng mengamuk. Darah anyir
telah membasahi pakaiannya. Genggaman tangannya
lengket dan berbau amis. Ia terus bergerak, menerjang
lawan. Satu persatu musuh tumbang terkena sabetan
pedangnya. Darah memancar di udara. Tangan dan
kaki beterbangan diiringi jeritan kesakitan.
Tetapi kepungan para ninja itu tidak surut. Tewas
tiga orang muncul kembali enam orang. Mereka seakan
mengalir seperti air jeram. Terus mendesak Saburo
dengan segala cara. Salah seorang ninja mencoba men-
jerat Saburo menggunakan jala, namun dengan sekali
sabetan, jala itu terkoyak bersamaan dengan kepala
ninja itu yang retak. Ninja lain muncul dengan rantai
berbandul bola berduri. Ia mencoba menjerat kaki Sa-
buro, tetapi dengan kekuatan tak terduga, Saburo me-
narik ninja itu dan menyambutnya dengan tebasan
menyilang pada lehernya. Darah meruap seperti ca-
haya kembang api dari lehernya.
Salah seorang ninja berhasil menjerat tangan Sabu-
ro, tetapi panglima Ashikaga itu menarik tubuhnya
dan menikam dadanya hingga tembus ke punggung.
Saburo mengamuk bagai seekor banteng luka. Ia meng-
ayun pedang dalam irama paling mengerikan. Satu per
satu ninja itu ambruk ke tanah, sebentar sekarat, lalu
meninggal.
“Hayo, maju!” teriak Saburo melengking. “Biar kute-
bas leher kalian!”
Para ninja tiba-tiba mengubah formasi. Mereka me-
ngurung Saburo dalam bentuk lingkaran. Masing-
masing mengeluarkan jala untuk menjaring tubuh Sa-
buro. Dan dalam suatu jeritan panjang, jaring itu tiba-
tiba bertebaran seperti kembang mawar merekah dan
menjerat Saburo.
Dengan seluruh kekuatan, Saburo mencoba mele-
paskan diri, namun jaring-jaring itu mengikat kaki,
tangan, dan tubuhnya demikian kuat. Para ninja meng-
hadapi Saburo seperti menghadapi seekor ikan dalam
jaring. Mereka mendekati satu per satu sambil menarik
kencang tali jala itu.
Saburo berusaha menggerakkan tangan serta ka-
kinya, namun tak berhasil. Jerat itu demikian kuat.
Para ninja terus mendekati untuk segera menghabisi
nyawanya.
Tiba-tiba dalam suatu lengkingan memanjang, mun-
cul ninja hitam dari berbagai sudut istana. Dengan se-
buah loncatan yang indah, tiga orang ninja berdiri
mengelilingi Saburo, dan secara serentak mereka me-
nebas jala-jala yang terentang mengikat Saburo. Teba-
san itu demikian kuat sehingga Saburo langsung ter-
lepas.
Ninja merah sangat terkejut menghadapi keadaan
itu, ia terhenyak, dan saat itu sejumlah ninja hitam
langsung menebas tubuh mereka. Terdengar pekik
kematian di malam panjang itu.
“Takeshi!” terdengar suara Saburo menyapa ninja di
dekatnya.
“Awas, pegang tangan kami!”
Saburo memegang tangan Takeshi dan Mayumi,
dan dengan sekali hentakan, kedua ninja itu berputar-
putar sambil membawa tubuh Saburo. Mereka men-
jauhi tempat pengepungan itu.
Para ninja merah mencoba mengejar, namun niat
mereka dihalangi sejumlah ninja hitam yang siap meng-
hadang. Pertarungan terjadi lebih seru.
Beberapa di antara para ninja melepas senjata ra-
hasia.
Creeet! Creeet!
Mayumi dengan cepat menangkis. Terdengar suara
berdenting. Senjata rahasia berbentuk bintang itu me-
lenting dan langsung mengenai pemiliknya.
Dalam suatu loncatan yang sulit diikuti dengan ma-
ta, Takeshi dan Mayumi melompati pagar dan me-
nyelinap ke kegelapan malam.
Bertepatan dengan lenyapnya Mayumi, para ninja
hitam membanting petasan, muncul asap putih me-
ngelilingi mereka. Ketika asap itu lenyap, para ninja itu
telah lenyap.
Mereka terus berlari menembusi hutan. Tak seorang
pun mengeluarkan suara. Ketika lari mereka telah
jauh, Takeshi dan Mayumi berhenti. Saburo Mishima
yang sejak tadi berlari mengikuti kedua sahabatnya
duduk di tanah terengah-engah.
Mayumi membuka sapu tangannya, langsung mem-
bersihkan darah bercampur keringat di wajah Saburo.
“Kalian datang tepat pada waktunya,” kata Saburo
dengan napas terengah-engah.
“Kami tahu kapan kami dibutuhkan,” jawab Ma-
yumi datar.
“Apakah engkau melihatku dalam penglihatanmu?”
“Ya.”
“Untuk kesekian kali engkau dapat menyelamatkan
diriku.”
Mayumi hanya tersenyum tipis.
Tiba-tiba Saburo teringat pada Koyama, “Apakah
engkau melihat Koyama?”
Konishita yang kini dipanggil Takeshi dan Mayumi
saling berpandangan. “Tidak.”
Saburo langsung berdiri, “Celaka kalau para ninja
itu membongkar penyamarannya. Dia bisa celaka!”
Takeshi memegang tangan Saburo.
“Sabar. Kita jangan tergesa-gesa. Kita masih punya
waktu untuk menyelamatkannya.”
“Bagaimana kalau Naoko langsung menghukum-
nya?”
“Kalau demikian pasti tak ada yang dapat kita laku-
kan untuknya.”
“Bangsat!” raung Saburo sambil melawan pegangan
Takeshi. “Dia anakku!”
Mayumi dan Takeshi terperanjat. Mereka langsung
melepaskan tangan Saburo.
Saburo berkata dingin, “Aku harus kembali ke Ka-
makura. Aku tak mau membiarkan mereka membantai
anakku.”
“Tetapi, Saburo....”
“Kalian jangan mencegahku. Aku tahu apa yang ha-
rus kulakukan.”
“Beberapa saat yang lalu engkau hampir tewas di
tangan para ninja merah.”
“Aku tahu kalian telah menyelamatkan diriku,” po-
tong Saburo dengan suara serak. “Tetapi aku tak akan
membiarkan anakku mati konyol di tangan mereka.”
“Kita semua belum tahu apakah Naoko tahu penya-
marannya atau tidak?”
“Memang kita tidak tahu. Tetapi anak itu berada di
sana, di tengah musuh yang setiap saat dapat mem-
bunuhnya.”
“Jangan lupa, Saburo, Koyama sudah berada di sa-
na jauh hari sebelum kau menemuinya. Jadi tak ada
alasan untuk mencemaskan penyamarannya.”
***
Di Istana Kamakura. Di kamar Naoko. Otami sedang
berdiri tegak di depan cermin membiarkan Naoko me-
makaikan kimono sutera di tubuhnya. Wanita itu me-
natap dada Otami yang penuh bulu, lalu membelainya
dengan mesra. Kemudian dengan penuh kasih sayang,
wanita itu mencium dada lelaki tersebut.
Ketika selesai mengikat tali kimono Otami, Naoko
berteriak memanggil pelayannya, “Koyama!”
Koyama masih termangu-mangu di dekat pintu. Ia
menatap lurus tempat ayahnya bertarung menghadapi
para ninja. Terbayang di benaknya bagaimana ayahnya
menebas satu per satu musuhnya. Dan di saat kritis,
tiba-tiba muncul ninja hitam menyelamatkannya. Diam-
diam, dalam hati, ia bertanya tentang ninja hitam itu.
“Koyama!” terdengar suara Naoko dari dalam.
Koyama tersadar, lalu menjawab, “Ya, Tuan Putri.”
Dengan tergopoh-gopoh karena merasa bersalah,
Koyama masuk ke dalam.
“Ambilkan sandal untuk Otami.”
“Baik, Tuan Putri.”
“Cepat!”
“Baik, Tuan Putri. Hamba segera laksanakan.”
Koyama meninggalkan kamar itu. Selintas Otami me-
natap Koyama dengan sudut pandangnya. Tiba-tiba
terlintas di benaknya tentang mata-mata Ashikaga
yang berada di istana. Beberapa hari lalu, Takeshi dan
Mayumi pernah membicarakan tentang adanya seo-
rang mata-mata yang masih bocah di Istana Kamaku-
ra.
Mungkinkah Koyama?
Tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk membukti-
kan dugaan itu.
***

YOSHIOKA BERTEMU MITSUNARI


UDARA mendung. Angin dari arah utara berhembus
kencang. Siang masih menyisakan genangan-genangan
air hujan yang sepanjang pagi mengguyur Owari. Di
tanah, selain genangan air yang seperti kaca, tampak
bekas kaki ayam hutan dan babi.
Yoshioka duduk di tepi hutan sambil memperhati-
kan jalanan di depannya. Jalanan itu tampak seperti
ikat pinggang warna coklat, berkelok-kelok mengikuti
lereng dan bukit di sekitarnya. Biasanya, jalanan ter-
sebut ramai dengan pedagang dan orang-orang yang
bergegas menuju Suruga atau sebaliknya, orang-orang
yang menuju Owari.
Sesudah tidak berhasil menemukan Saburo, Yoshi-
oka sering duduk di tepi hutan itu untuk mengikuti
perkembangan yang terjadi di Owari maupun Suruga.
Sesudah keberangkatan Oda Nobunaga ke Suruga, ki-
ni jalan tersebut terasa lengang. Rupanya penguasa
Owari tersebut telah mengerahkan seluruh pasukan-
nya untuk menggempur Suruga.
Bila jalan pikirannya benar, berarti pertahanan di
Kamakura saat ini lemah. Sesungguhnya saat inilah
yang tepat untuk merebut kembali Kamakura dari No-
bunaga.
Tetapi di mana Paman Saburo Mishima? Dapatkah
dia menyelamatkan diri? Atau sudah tewas?
Dada Yoshioka berdebar-debar. Dalam saat seperti
sekarang, sesungguhnya ia sangat membutuhkan Sa-
buro Mishima. Tetapi orang yang diharapkan justru ti-
dak ada. Sejak Saburo tenggelam di sungai, mereka
tak pernah lagi bertemu. Yoshioka tak mengerti apa-
kah Saburo sudah tewas atau masih hidup.
Yoshioka masih melamun sambil menatap jalanan
di depannya, ketika seorang laki-laki mendekatinya.
“Sejak tadi aku memperhatikan dirimu,” kata laki-
laki tersebut. “Engkau sepertinya melamunkan sesu-
atu.”
Yoshioka mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang
laki-laki tegap, bercambang lebat, sebagian wajahnya
tertutup caping, dan berkaki satu.
“Masih kecil jangan suka melamun. Engkau bisa gi-
la.”
“Saya tidak melamun,” jawab Yoshioka tenang.
“Lalu sedang apa duduk sepanjang hari di sini?”
“Saya tengah memperkirakan perkembangan yang
akan terjadi di Owari.”
“Perkembangan? Perkembangan apa?”
“Perkembangan perang yang bakal terjadi.”
Laki-laki pincang itu tertawa berderai. Ia tak men-
duga bakal mendengar jawaban seperti itu. Meskipun
jawaban tersebut tidak ia anggap serius, namun ia men-
jadi tertarik pada anak di depannya.
“Kenapa kau mengikuti perkembangan keadaan di
negeri ini?”
“Saya harus tahu,” jawab Yoshioka tegas. “Bukan-
kah itu yang harus dilakukan seorang penguasa?”
“Penguasa apa?”
“Penguasa propinsi.”
“Apakah kau ingin menjadi penguasa propinsi?”
“Ya, seperti Oda Nobunaga.”
Laki-laki itu kembali memperdengarkan tawanya
yang memanjang. Tetapi rasa tertariknya jadi lebih be-
sar.
“Engkau berasal dari mana?”
“Kamakura.”
“Tetapi beberapa hari ini kulihat engkau berada di
sini sepanjang hari.”
“Saya menunggu seseorang.”
“Siapa?”
“Paman.”
“Diakah yang membesarkan dirimu?”
“Ya.”
“Di mana orangtuamu?”
“Sudah meninggal.”
“Jadi engkau sudah yatim piatu?”
“Ya.”
“Kenapa engkau tidak ikut aku saja?”
“Sudah saya katakan, saya sedang menunggu pa-
man saya.”
“Di mana dia sekarang?”
“Saya tidak tahu. Mungkin di Suruga, mungkin di
Mikawa, atau bahkan mungkin di Owari. Saya tidak
tahu.”
“Bagaimana mungkin kau menunggu seseorang te-
tapi tidak mengetahui kapan dia akan datang.”
“Biarlah. Tetapi memang itulah yang harus saya la-
kukan.”
Dari arah Suruga tiba-tiba tampak empat penung-
gang kuda berderap menuju Kamakura. Keempat pe-
nunggang kuda tersebut pada awalnya tampak seperti
titik kecil diikuti tebaran debu tipis di belakangnya.
Lama-kelamaan terlihat bahwa mereka adalah pengi-
kut Oda Nobunaga.
Salah seorang membawa bendera dengan lambang
Nobunaga. Mereka kelihatan membawa misi khusus
karena tampak terburu-buru.
Sambil memandang keempat penunggang kuda yang
tengah mendaki bukit menuju ke arahnya, lelaki terse-
but berkata, “Apa yang dapat kausimpulkan sehubu-
ngan dengan penunggang kuda itu?”
“Sesuatu yang penting sedang terjadi.”
“Sesuatu yang penting apa?”
“Oda Nobunaga mengalami kebimbangan terhadap
kekuatan pasukannya di Kamakura. Karena itu dia
akan memastikan hal itu dengan mengirim utusan.”
“Bagaimana kau dapat menyimpulkan hal itu?”
“Kalau tidak, dia pasti akan mengirimkan sepuluh
prajurit. Tetapi hanya dengan empat orang dia mem-
bayangkan utusan itu akan lebih efektif.”
“Kalau begitu mari kita buktikan.”
Laki-laki tersebut berjalan terpincang-pincang ke
tengah jalan. Ia melambai-lambaikan tangan ketika pa-
ra penunggang kuda itu sampai di tempat itu.
“Ada apa engkau menghalangi jalan kami?” tanya
pimpinan rombongan itu.
“Kalian terpaksa harus memutar,” kata laki-laki pin-
cang itu penuh tekanan.
“Ada apa?”
“Jembatan di depan roboh akibat hujan lebat sema-
lam. Tak bisa dilalui sama sekali.”
“Kami harus memutar lewat mana?”
“Lewat Desa Katijima, dari sana ada jalan lurus me-
nuju Istana Kamakura. Bukankah kalian akan ke Ka-
makura?”
“Benar.”
“Tampaknya membawa misi penting.”
“Ya, sangat penting.”
“Apakah peperangan segera akan dimulai?”
“Begitulah. Karena itu kami diperintahkan segera
menyampaikan berita ini ke Kamakura.”
“Sayang sekali, kalian harus lewat jalan memutar.”
Tanpa berpikir panjang, keempat penunggang kuda
itu menggebrak kuda. Mereka memutar balik dan me-
macu kuda ke lereng bukit.
Laki-laki pincang itu tersenyum pada Yoshioka. Di-
am-diam ia mengagumi kecerdasan anak itu. Ia berja-
lan ke arah Yoshioka dengan senyum lebar.
“Kesimpulanmu benar,” kata lelaki itu. “Mereka
membawa berita penting untuk Putri Naoko.”
Baru beberapa saat lelaki itu sampai di dekat Yo-
shioka, tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan melengking.
Kedua penunggang kuda terlempar dari kudanya de-
ngan tiga anak panah menancap di punggungnya. Dari
semak-belukar di dekatnya berloncatan ninja merah
langsung menyerang kedua penunggang kuda yang
masih hidup. Dari jauh terlihat kedua penunggang ku-
da itu mengadakan perlawanan, namun delapan ninja
yang menyergap bukan tandingan mereka. Satu persa-
tu penunggang kuda itu jatuh ke tanah. Tewas.
“Siapa mereka?” laki-laki pincang itu bertanya.
“Pengikut Naoko,” jawab Yoshioka datar.
Laki-laki pincang itu terperanjat, “Pengikut Naoko-
san?”
“Ya.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Naoko sekarang sudah menguasai Istana Kama-
kura. Dia tak ingin diusik. Satu-satunya cara adalah
melenyapkan semua utusan Nobunaga. Dengan cara
itu kalau Oda Nobunaga berhasil memenangkan pe-
rang, dan kembali ke Kamakura, Naoko dapat menga-
takan bahwa tak seorang utusan pun pernah sampai
di Kamakura.”
“Kesimpulanmu hebat.”
“Lebih hebat lagi, kalau engkau tahu para ninja itu
sebentar lagi akan sampai di sini untuk membunuh ki-
ta.”
“Membunuh kita? Kenapa?”
“Karena kita telah menjadi saksi mata atas pembu-
nuhan yang mereka lakukan.”
“Kau benar-benar hebat....”
Belum laki-laki itu selesai bicara, lima anak panah
mendesis ke arah mereka.
“Awaaas!” Yoshioka berteriak.
Laki-laki itu langsung mencopot capingnya, lalu
menjadikannya sebagai perisai. Kelima anak panah itu
menancap di caping lelaki itu. Baru saja mereka sela-
mat dari serangan itu, delapan ninja merah telah me-
ngepung mereka. Tanpa bicara sepatah kata pun, para
ninja langsung menerjang. Tetapi kali ini mereka keliru
kalau menganggap berhadapan dengan musuh yang
mudah dikalahkan. Laki-laki pincang itu dalam kece-
patan yang sukar dipercaya, telah berbalik dan mene-
bas keempat ninja terdekat dengan pedangnya. Empat
ninja tersebut tak sempat menjerit ketika merasakan
pedang musuh menebas tubuh mereka.
“Hayoo, kemari, aku Ishida Mitsunari pengikut Sho-
gun Ashikaga akan melawan kalian!”
Salah seorang ninja menyerang dengan rantai ber-
ujung pisau. Mitsunari membiarkan rantai itu melilit
pedangnya, lalu dengan kekuatan penuh ia menarik
rantai itu, kemudian menyongsong tubuh ninja terse-
but dengan kaki besinya. Terdengar suara menjerit ke-
tika ninja tersebut merasakan perutnya robek. Ketiga
yang lain langsung menerjang, namun dengan gesit
Mitsunari mengelak. Pedang mereka beradu di udara.
Salah seorang ninja melempar senjata rahasia berupa
bintang berpaku, namun dengan lincah Mitsunari me-
nebas senjata rahasia itu hingga kembali ke pemilik-
nya. Terdengar jeritan kematian ketika senjata tersebut
menghunjam ke leher pemiliknya.
“Siapa kalian?” tanya Mitsunari sambil menghadapi
kedua ninja yang tersisa. “Aku Ishida Mitsunari, peng-
ikut Ashikaga, akan memenggal kepala kalian!”
“Kami pengikut penguasa Kamakura.”
“Kalian pengikut Oda Nobunaga?”
“Tidak! Kami pengikut Putri Naoko.”
“Kalau begitu bersiaplah, kalian akan kukirim ke
neraka!”
Seusai berkata begitu, Mitsunari langsung mener-
jang. Tebasan pedangnya meleset, namun dengan ce-
pat ia menebas musuh dengan pedang pendek yang
berada di penyangga kakinya. Terdengar jeritan pen-
dek, salah seorang ninja ambruk ke tanah dengan leh-
er hampir putus. Ninja yang seorang lagi menerjang
dengan ganas, namun Mitsunari menyambutnya de-
ngan ayunan pedang yang membuat tubuhnya lang-
sung terbelah. Darah memancar ke tanah.
Ishida Mitsunari berdiri tegak, ia membiarkan darah
di pedangnya mengalir ke tanah. Sesudah selesai
membantai musuh-musuhnya, ia mengibaskan pe-
dangnya, lalu memasukkan ke dalam sarungnya.
“Bukan salahku kalau mereka tewas,” kata Mitsu-
nari sambil menoleh. Ia terperanjat ketika menyadari
anak kecil tadi sudah tidak berada di tempatnya.
***

AWAL PENYERBUAN
DI ATAS bukit yang menghampar di perbatasan Suru-
ga, delapan ribu prajurit Nobunaga telah berbaris. Siap
melakukan penyerbuan. Pasukan panah berada di de-
pan, lalu dilapis pasukan tombak, dan pasukan pe-
dang.
Oda Nobunaga sedang berdiri tegak di tendanya.
Dua orang pengawalnya tengah mengenakan pakaian
perang pada tubuh lelaki itu. Semua dipakai berdasar-
kan urut-urutan yang benar. Pakaian itu sangat rumit.
Semua ada tiga puluh dua tahap yang terdiri lapisan
sutera dan bilah-bilah besi.
Hosokawa duduk di depan Nobunaga seperti seo-
rang murid di hadapan gurunya.
“Hosokawa-san.”
“Ya, Yang Mulia.”
“Berapa lama perjalanan kita untuk sampai di Su-
ruga?”
“Setengah hari, Yang Mulia.”
“Tidak bisa lebih cepat?”
“Tidak mungkin, Yang Mulia, sebab kita harus me-
nyebrangi beberapa sungai kecil yang agak mengham-
bat.”
“Baiklah, kalau begitu persiapkan semua.”
“Baik, Yang Mulia.”
“Kau memimpin pasukan panah dan tombak untuk
maju lurus menikam pertahanan Mayeda Toyotomi.
Jangan lewatkan satu orang pun di belakangmu. Aku
ingin memasuki Suruga dengan penaklukan yang he-
bat.”
Sebelum Hosokawa pergi, seorang pengawal Nobu-
naga datang sambil berlari.
“Seorang mata-mata telah datang dari Kamakura,
Yang Mulia.”
“Suruh dia kemari.”
“Baik, Yang Mulia.”
Mata-mata itu seorang lelaki tua yang selama ini
menyamar sebagai pedagang ayam. Dia baru datang
dari Kamakura. Nobunaga adalah orang yang sering
tak sabar mendengarkan laporan, karena itu dia lang-
sung mengajukan pertanyaan.
“Apa yang kaudapatkan?”
“Pembelotan, Yang Mulia.”
“Pembelotan macam apa?”
“Putri Naoko melakukan perlawanan terhadap Yang
Mulia.”
“Apa maksudmu?”
“Hingga saat ini belum ada satu utusan pun yang
kembali kemari, karena semua dibunuh atas suruhan
Naoko-san.”
“Dibunuh? Apa maksudmu?”
“Saat ini Naoko-san telah membangun pertahanan
di Istana Kamakura dengan pasukan ninja. Merekalah
sekarang yang menguasai tempat itu. Hamba tahu ba-
ru beberapa hari ini, semua utusan Yang Mulia telah
mereka bunuh.”
“Kenapa?”
“Mereka tak ingin Yang Mulia mengetahui keadaan
di Kamakura.”
“Kurang ajar! Apa lagi?”
“Saya mendengar panglima Ashikaga telah mema-
suki Kamakura untuk merebut kembali wilayah itu.
Bahkan menurut beberapa sumber, saat ini putra Ashi-
kaga pun sudah berada di sana.”
“Panggil kemari Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo.”
Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo datang. Mereka ber-
simpuh di depan Oda Nobunaga.
“Aku baru saja mendengar bahwa Naoko-san tengah
melakukan perlawanan terhadapku,” kata Nobunaga
dengan suara lantang. “Kecuali itu panglima Ashikaga
dan putra Ashikaga juga sudah memasuki Kamakura.
Karena itu kuperintahkan pada kalian bertiga untuk
hari ini juga berangkat ke Kamakura untuk menghu-
kum Naoko-san, mengamankan istana, dan menang-
kap Saburo maupun putra Ashikaga hidup atau mati.”
“Bagaimana dengan rencana penyerangan kita?”
“Biar aku sendiri yang memimpin penyerbuan di si-
ni. Kurasa kita tidak akan menghadapi perlawanan
yang berarti di sini.”
“Baiklah, Yang Mulia.”
“Berangkatlah.”
Hiroshi maju ke depan, “Yang Mulia, apa yang ha-
rus kami lakukan terhadap Putri Naoko apabila kami
berhasil menangkapnya?”
“Penjarakan saja. Aku ingin mendengar dan melihat
dengan mata kepalaku sendiri tentang desas-desus
yang selama ini kita dengar. Bila semua memang ter-
bukti, aku ingin mengerat sendiri wajahnya.”
“Baik, yang Mulia.”
Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo segera meninggalkan
tenda itu. Saat itu Nobunaga hampir selesai memakai
pakaian perangnya. Seorang pengawal tengah menye-
lipkan sebilah pedang ke pinggang Nobunaga.
“Hosokawa-san!”
“Ya, Yang Mulia.”
“Aku ingin kita menaklukkan Suruga dalam waktu
cepat. Jangan biarkan aku kehilangan kesabaran.”
“Baik, Yang Mulia.”
“Dengan menggempur dari segala sisi, kurasa kita
dapat menghancurkan Mayeda dalam waktu kurang
dari dua hari.”
“Benar, yang Mulia.”
“Kalau begitu, mari kita berangkat.”
***
Mayeda Toyotomi sedang duduk di tengah para pang-
limanya. Tiba-tiba salah seorang pengawalnya datang.
“Seorang mata-mata telah datang, Tuanku.”
“Bawa kemari.”
Mata-mata itu datang. Seorang laki-laki bertubuh
kurus yang menyamar sebagai pencari rumput. Ma-
yeda mengenal lelaki tersebut.
“Apa laporanmu?”
“Saat ini pasukan Oda Nobunaga mulai bergerak.”
“Bergerak bagaimana?”
“Mereka mulai meninggalkan bukit untuk memulai
penyerbuan kemari. Meskipun saya tidak mengetahui
maksudnya, tetapi saya lihat sekitar seribu orang telah
meninggalkan pasukan induk menuju ke Owari.”
“Ke Owari? Apa maksudmu?”
“Saya sendiri tidak dapat menyimpulkannya. Tetapi
saya lihat seribu orang telah menyimpang menuju ke
Kamakura.”
“Bagus kalau begitu, apa pun maksud kepergian se-
ribu pasukan, untuk kita berarti berkurangnya kekua-
tan musuh.”
“Saya juga mendengar dari beberapa prajurit, ka-
tanya terjadi keadaan gawat di Kamakura. Selain Putri
Naoko melakukan perlawanan, terdengar panglima A-
shikaga mulai menghimpun kekuatan di Kamakura.”
“Itu akan memecah belah kekuatan Oda Nobunaga.”
“Hanya itu yang dapat saya laporkan, Tuanku.”
“Terima kasih. Sekarang engkau istirahatlah.”
Mata-mata itu bersujud kemudian pergi.
Mayeda berkata pada para panglimanya, “Kalian te-
lah mendengar sendiri. Saat ini kekuatan Oda Nobu-
naga mulai terpecah. Ini adalah kesempatan kita un-
tuk menghancurkannya. Karena itu siapkan seluruh
pasukan, sebentar lagi kita akan menyambut kedata-
ngan pasukan musuh.”
Para panglima perang segera bersujud, lalu mening-
galkan tempat itu. Mereka bergegas ke anak pasukan
masing-masing. Terompet telah ditiup, suaranya meng-
gaung di tengah bukit tempat perkemahan itu.
Mayeda segera memanggil pengawalnya untuk mem-
bantu mengenakan pakaian perangnya. Dengan cepat
kedua pengawal itu memakaikan satu persatu pakaian
Mayeda.
Satu jam kemudian, Mayeda Toyotomi sudah duduk
di atas punggung kudanya. Ia menatap lurus ke arah
pasukannya yang berbaris di lereng bukit itu. Bendera-
bendera, lambang Toyotomi masih berkibar. Namun ti-
dak sendirian. Kini bendera itu berdekatan dengan ben-
dera warna merah, lambang Imagawa.
Mayeda menoleh pada panglima perangnya lalu ber-
tanya, “Di mana persisnya mereka sekarang berada?”
“Mereka sekarang tengah menyisir di perbatasan,”
jawab panglimanya. “Rupanya mereka akan bergerak
serentak setelah melewati perbatasan.”
“Di dekat Sungai Ishi itu?”
“Benar.”
“Baiklah, kalau begitu bawa pasukan panahmu un-
tuk menyambut kedatangan pasukan pertama mereka.
Kita akan mengepung dari kanan dan kiri agar mereka
tak dapat melarikan diri.”
“Baiklah.”
“Aku akan membawa pasukanku langsung ke jan-
tung pertahanan lawan untuk menghadapi Oda Nobu-
naga.”
“Baiklah. Mari kita berangkat.”
Panglima perang itu memacu kudanya menuju ke
pasukan panah. Kemudian diiringi suara genderang
perang, ribuan prajurit mulai menuruni bukit. Mereka
adalah pasukan pertama yang akan berhadapan lang-
sung dengan tentara Nobunaga. Meskipun telah me-
nunggu cukup lama, namun semangat pasukan Ma-
yeda sangat tinggi. Mereka melangkah dengan penuh
semangat, seakan kematian di medan perang merupa-
kan kebanggaan.
Sesudah pasukan panahnya bergerak menuruni le-
reng bukit, Mayeda mulai menarik tali kekang ku-
danya. Dalam cahaya matahari senja, pakaiannya me-
mantulkan sinar keperakan. Mayeda tampak gagah.
Sirip-sirip emas pada pakaiannya memperdengarkan
suara gemerincing.
“Kita akan berperang sampai mati!” teriak Mayeda
lantang. “Jangan ada yang mundur. Kita harus menda-
patkan kemenangan!”
Kemudian seperti air bah, pasukan Mayeda mulai
menuruni lereng bukit.
***
Di Istana Suruga, Imagawa sedang membersihkan daun-
daun kering pada bonsai kesayangannya. Dengan hati-
hati ia menggunakan pisau untuk memotong ranting-
ranting kering.
Ketika itu muncul pengawalnya dengan seorang ma-
ta-mata garis depan.
“Hamba ingin melapor, Yang Mulia.”
“Katakanlah.”
“Saat ini seluruh pasukan Mayeda Toyotomi sudah
bergerak menyongsong pasukan Nobunaga. Kedua be-
lah pihak sama-sama berangkat menuju arah Sungai
Ishi. Meskipun sekarang ada seribu pasukan Nobuna-
ga memisahkan diri menuju Kamakura, namun jum-
lahnya tetap jauh lebih besar dibanding pasukan Ma-
yeda. Tetapi seperti sekumpulan binatang kalap, tenta-
ra Mayeda terus maju menuju titik peperangan.”
“Apakah Mayeda akan bunuh diri?”
“Hamba tidak tahu.”
“Tadi engkau mengatakan ada seribu pasukan No-
bunaga menuju Kamakura?”
“Benar, Yang Mulia.”
“Kenapa menurut pendapatmu?”
“Oda Nobunaga sudah mendengar desas-desus me-
ngenai perlawanan Putri Naoko. Selain itu mereka juga
mendengar kedatangan Saburo Mishima.”
“Terima kasih kalau begitu. Engkau boleh pergi.”
Sesudah mata-mata itu pergi, Imagawa langsung
bergegas menuju ke balai panglima sambil melepas
kimononya. Ia tampak tergesa-gesa. Sambil memberi-
kan kimono pada pengawalnya, ia berkata, “Kumpul-
kan semua panglima di balai pertemuan.”
“Baik, Yang Mulia.”
Satu jam kemudian, Imagawa telah berdiri di depan
panglimanya.
“Saat ini Nobunaga akan bertarung dengan Maye-
da,” kata Imagawa dengan suara berat. Berbeda de-
ngan biasanya, kali ini tak ada kelembutan terpancar
dari raut wajahnya. Matanya bersinar-sinar meman-
carkan keteguhan sikap untuk menuju medan perang.
“Dengan kekuatan yang tak seimbang, Mayeda pasti
akan terpukul menghadapi Nobunaga. Karena itu, kita
pun harus berangkat sekarang, untuk memberikan du-
kungan. Mudah-mudahan Nobunaga tidak memperhi-
tungkan kehadiran kita, sehingga kekuatan yang ber-
hasil kita himpun dapat langsung menghancurkannya.
Jangan lupa, pasukan kita benar-benar masih segar
dan penuh semangat. Mereka selama ini tidak harus
menunggu di medan perang.”
“Seberapa besar yang harus kita kerahkan, Yang
Mulia?”
“Berapa besar yang kita miliki?”
“Delapan ribu prajurit.”
“Kita kerahkan semua.”
“Kita harus mengumpulkannya?”
“Jangan khawatir. Kita akan berangkat sambil me-
ngumpulkan kekuatan.”
Setengah jam berikutnya, Imagawa mulai mening-
galkan istana. Di depan terdapat pasukan genderang
yang menabuh genderang sepanjang perjalanan. Dari
rumah-rumah mulai bermunculan orang-orang yang
menggabungkan diri dengan pasukan Imagawa. Para
petani, pedagang, penggembala, dan tukang-tukang
batu segera mengeluarkan pedang dan bergabung de-
ngan iring-iringan Imagawa.
Sedikit demi sedikit pasukan Imagawa terbentuk,
dari ratusan orang ketika meninggalkan istana, kini
mulai berlipat ganda. Kesetiaan terhadap Imagawa ru-
panya masih ampuh untuk memobilisasi pasukan.
Jumlah tersebut semakin lama semakin besar. Tak ter-
hitung jumlahnya.
“Oda Nobunaga sekarang sedang menyerang Suru-
ga,” kata Imagawa lantang di depan pasukannya. “Pa-
sukan Mayeda Toyotomi yang telah menyatakan setia
padaku, kini tengah menghadang mereka. Tetapi kare-
na kekuatannya kurang memadai, Mayeda pasti akan
kalah, karena itu sudah sepantasnya kita mendu-
kungnya. Kekalahan Mayeda akan berarti kekalahan
kita. Bila Nobunaga menang, dia akan menghancurkan
Suruga, membakar rumah kalian, merampas istri dan
anak kalian, serta memperlakukan anak perempuan
kalian sebagai pemuas nafsu. Karena itu tak ada ala-
san untuk berpangku tangan, kita harus menyatukan
tekad untuk melawan mereka. Jangan ragu-ragu, ma-
rilah berperang bersamaku!”
Iring-iringan itu terus bergerak, kini sudah tak ter-
hitung jumlahnya. Tetapi semua orang dengan mudah
memperkirakan, sekitar delapan ribu samurai telah
bergabung dengan Imagawa.
Imagawa duduk di atas punggung kudanya dengan
tersenyum. Ia sudah memperkirakan kemenangan ba-
kal berada di pihaknya. Betapapun, ia akan menggu-
nakan pasukan Mayeda untuk melemahkan lawan, se-
sudah itu baru pasukannya akan menumpas tentara
Nobunaga.
Mereka benar-benar bodoh!
***

MUSUH DALAM SELIMUT


UDARA malam membawa hawa dingin yang menikam.
Rembulan seperti berlayar di lautan tinta. Langit hitam
pekat. Di tengah kegelapan itu tampak bayangan war-
na kuning menyelinap di antara bangunan-bangunan
istana. Dia berjalan mendekati tempat tidur Koyama.
“Koyama!” ia memanggil.
Koyama tampak pulas.
“Koyama! Bangun!”
Koyama tak bergeming. Pendeta itu kemudian meng-
ambil kerikil dan melempar ke arah tubuh Koyama.
Anak itu tersentak bangun.
“Koyama!”
Koyama menoleh lalu melangkah mengendap-endap
menuju tempat persembunyian Bapa Lao.
“Ada apa?”
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Penting?”
“Sangat penting.”
“Tentang apa?”
“Tentang ayahmu dan rencana penyerbuan kemari.”
Koyama membeliakkan mata, lalu mendekatkan diri
pada pendeta itu.
***
Di kamar, Naoko tengah menciumi tubuh Otami. Me-
reka bercinta secara menggebu-gebu. Naoko menyusu-
ri setiap lekuk liku tubuh Otami, sinar matanya yang
penuh gairah membuat wanita itu tampak dibakar naf-
su. Seluruh tubuh mereka berkeringat, tetapi tidak se-
dikit pun memancarkan kelelahan. Ciuman demi ci-
uman, belaian demi belaian, semua membuat gairah
semakin menyala-nyala.
Otami mendesah, ia merasakan tubuhnya diceng-
keram kehangatan yang sensasional. Sambil berbaring
ia mengamati tubuh Naoko; payudaranya yang padat
dan kenyal, pinggulnya yang indah, dan gelora asma-
ranya yang tak pernah padam. Selain itu ia kaya raya.
Otami tak pernah lagi memikirkan teman-teman-
nya. Ia merasa heran ketika diminta menari di kamar
Naoko. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, itulah
awal kehidupannya. Naoko tampak tergila-gila pada-
nya. Suatu saat Naoko mengungkapkan, betapa ia tak
pernah mengalami kepuasan bila bercumbu dengan
Nobunaga. Selama bertahun-tahun ia hanya menjadi
pelayan seks bagi penguasa Owari itu. Berbeda sekali
dengan Otami, Naoko merasa menjadi ratu. Apa pun
yang ia inginkan, Otami akan melayani dengan penuh
hasrat.
Mereka dapat bercinta dengan berbagai cara, ka-
rena cara bercinta pemuda itu sangat sensasional.
Dalam kesempatan-kesempatan tertentu Naoko
mengikat kedua tangan Otami, lalu mencumbuinya se-
puas hati. Ketika menyaksikan tubuh Otami yang
menggeliat-geliat itulah, wanita tersebut merasakan
puncak kepuasannya.
Permainan mereka berlangsung hampir empat jam.
Keduanya merasa letih. Karena itu mereka berbaring
sambil berpelukan.
Naoko berbaring telentang, matanya menatap lurus
pada langit-langit kamar.
“Kukira ada mata-mata di istana ini,” tiba-tiba Nao-
ko berkata tanpa tekanan. “Semua rahasia yang kubi-
carakan, selalu sampai di luar. Entah siapa, tetapi aku
yakin ada mata-mata yang bekerja di sini.”
Antara sadar dan tidak, Otami berkata, “Koyama.”
Naoko menoleh, “Koyama?”
“Ya.”
“Bagaimana kau dapat menuduh begitu?”
“Beberapa waktu lalu, entah siapa mengatakan pa-
daku tentang seorang anak yang menjadi mata-mata.
Aku tidak pasti, tetapi memang bukan mustahil dia se-
orang mata-mata. Bukankah dia orang yang selama ini
paling dekat denganmu?”
Naoko menghela napas panjang.
“Dia anak asuh seorang pendeta Budha,” kata Na-
oko datar.
“Benar. Dia kau ambil ketika terjadi kerbau meng-
amuk, bukan?”
“Ya.”
“Siapa yang melumpuhkan kerbau itu?”
“Pendeta Budha tersebut.”
“Nah, bukankah tidak mungkin mereka memang
mengatur semua itu untuk memasukkan Koyama ke
istana?”
“Ya, mungkin saja.”
“Coba saja kau tangkap. Kalau keliru, kau tidak
akan merasa dirugikan, tetapi kalau dugaanku benar,
kau berarti sudah menyelamatkan istana dari incaran
mata-mata.”
Naoko langsung turun dari ranjang. Ia bergegas
mengenakan kimono suteranya. Lalu dengan cepat ia
memanggil pengawalnya.
“Di mana Koyama?”
“Dia tidur di luar.”
“Tangkap dia sekarang juga!”
“Baik, Tuan Putri.”
Pengawal tersebut langsung pergi diikuti lima orang
ninja merah. Mereka segera menuju ke tempat Koyama
biasa tidur. Tetapi tempat itu kosong.
Di persembunyian, Bapa Lao dan Koyama memper-
hatikan para ninja itu.
“Cari anak itu sampai ketemu!” perintah pengawal
Naoko. “Dia harus ditangkap sekarang juga!”
Salah seorang ninja bertanya, “Kenapa?”
“Dia mata-mata musuh.”
Koyama menoleh pada Bapa Lao.
Pendeta itu berkata, “Seseorang telah membuka ke-
dokmu.”
Koyama mengangguk, “Rasanya aku tahu.”
Bapa Lao memberi isyarat agar Koyama diam, ka-
rena ia melihat enam orang ninja berlari melewati per-
sembunyian mereka. Saat mereka telah pergi, pendeta
itu memberi isyarat agar Koyama mengikutinya.
***
PENGHIMPUNAN KEKUATAN
KEMBALI ke kuil persembunyian Bapa Lao, Koyama ter-
peranjat karena di tempat itu sudah berkumpul orang-
orang yang telah dikenalnya. Kecuali ayahnya, terda-
pat enam orang berpakaian serba hitam. Yang menge-
jutkan adalah kehadiran Ishida Mitsunari. Lelaki ber-
kaki satu itu diam di sudut ruangan tanpa membuka
suara.
Setelah sampai di kuil, Bapa Lao segera mengeluar-
kan pakaian Yoshioka, lalu menyuruh Koyama menge-
nakannya.
“Untuk apa?” Koyama memprotes.
“Pakai saja,” jawab Saburo singkat.
Koyama mengenakan pakaian itu. Semua orang ter-
pana menyaksikan pemandangan di depannya. Tak se-
orang pun akan menyangkal bahwa anak itu adalah
Yoshioka.
Ketika semua sudah selesai, Bapa Lao memberikan
Pedang Muramasa pada Saburo.
Pedang Muramasa itu oleh Saburo kemudian dibe-
rikan pada Koyama.
“Mulai hari ini engkau kembali menjadi Yoshioka,
putra Ashikaga,” kata Saburo tegas. “Apa pun yang ter-
jadi, engkau harus mempertahankan namamu.”
Koyama mengangguk.
“Hilangkan dalam ingatanmu bahwa engkau adalah
Kojiro maupun Koyama.”
“Baiklah.”
“Sebagai seorang pewaris keshogunan Ashikaga,
engkau jangan banyak bicara.”
“Kenapa?”
“Karena akan tampak kebodohanmu.”
Koyama cemberut karena merasa diremehkan.
Saburo tidak peduli. “Mari sekarang kita berang-
kat.”
Di tengah udara dingin yang membekukan kulit,
rombongan Saburo Mishima meninggalkan kuil. Me-
reka berjalan menuju ke Kamakura.
“Kali ini kita berangkat hanya dengan sepuluh
orang,” kata Saburo sambil memeluk Kojiro. “Tetapi
kalau kelak kembali, percayalah lebih dari seribu
orang pasti berada di belakang kita.”
Sesampai di pusat kota Kamakura, rombongan Sa-
buro berhenti untuk mengumumkan kehadiran Yoshi-
oka. Orang-orang yang tengah minum sake di kedai,
segera berdatangan ke tempat itu. Mereka ingin meli-
hat putra Ashikaga.
Kojiro berdiri di tengah, sementara Bapa Lao, Sabu-
ro, Mayumi, Takeshi, dan Ishida Mitsunari serta bebe-
rapa pengikut Mayumi mengelilingi Kojiro untuk me-
lindunginya.
“Hari ini kami membawa putra Ashikaga kembali ke
Kamakura,” kata Saburo lantang. “Dia akan mengam-
bil kembali haknya. Karena itu bagi siapa pun yang in-
gin bergabung dengannya, segera merapatkan barisan
di belakang kami. Kita akan menebus kebenaran den-
gan pertumpahan darah. Bagi yang tak mau menerima
kehadiran Yoshioka, putra Ashikaga, segera me-
nyingkir sebelum kami, dia menghukummu!”
Seperti sudah diduga, sejumlah samurai segera
menggabungkan diri dengan rombongan Saburo. Me-
reka melangkah maju, lalu berjongkok hormat.
“Kami memberikan kesetiaan pada Yang Mulia Yo-
shioka!”
Kojiro menjawab, “Terima kasih. Sekarang berga-
bunglah di belakang.”
Dari puluhan, akhirnya menjadi ratusan. Saburo
mengajak Yoshioka berkeliling Kamakura. Di setiap
tempat berkumpul para samurai, Saburo menceritakan
tentang Yoshioka. Seketika orang-orang tersentak oleh
kenangan lama ketika Shogun Ashikaga masih ber-
kuasa. Mereka akhirnya satu persatu bergabung ke
dalam barisan pasukan Saburo Mishima.
Yoshioka meluap kegembiraannya ketika menyaksi-
kan pengikutnya bertambah terus.
“Kita berhasil!” katanya pada Saburo.
“Jangan gembira dulu, kita harus terus menghim-
pun kekuatan.”
“Kita pasti berhasil!”
***
Naoko bangkit dari tidur ketika salah seorang mata-
matanya memberikan laporan tentang kedatangan Yo-
shioka itu.
“Kirim pasukan untuk menghukumnya!”
Pada awalnya dua puluh lima ninja merah mengha-
dang rombongan Saburo Mishima. Mereka mencoba
menghalangi rombongan itu, tetapi mereka telah ter-
lambat. Dua puluh lima orang itu tidak berarti apa-apa
dibanding Saburo dan Mitsunari. Kedua samurai itu
dibantu Mayumi dan Takeshi segera membuat mereka
kocar-kacir. Pertarungan tidak berlangsung lama, de-
ngan sekali terjang para ninja itu sudah bergelimpang-
an bermandikan darah.
Para samurai yang baru bergabung sesungguhnya
juga terbakar semangatnya, namun Saburo Mishima
mencegah mereka bertempur. Dia ingin memperli-
hatkan keperkasaan pengawal Yoshioka dalam me-
numpas musuh. Pameran kekuatan itu terbukti sangat
berpengaruh pada semangat para pengikut baru, me-
reka menjadi lebih bulat tekadnya untuk bergabung
dengan Yoshioka.
Sepanjang malam mereka berkeliling kota, menye-
barkan berita tentang kepulangan putra Ashikaga. Ak-
hirnya ketika Saburo meninggalkan kota kembali ke
hutan, sudah ada seribu lima ratus samurai yang ber-
gabung dengan mereka.
“Seribu lima ratus?” tanya Yoshioka. “Benar-benar
luar biasa!”
“Kita harus berjuang lebih keras lagi,” kata Saburo.
“Seribu lima ratus belum apa-apa dibanding pasukan
Nobunaga.”
“Tetapi untuk menaklukkan Kamakura....”
“Kita kembali tidak untuk menaklukkan Kamakura,
tetapi merebut kekuasaan seluruh propinsi Owari.”
Takeshi bertanya, “Bagaimana langkah kita selan-
jutnya?”
“Kita akan mulai keliling ke desa-desa di seluruh
Owari.”
“Owari ini memiliki delapan ratus desa....”
“Kita akan mengelilinginya.”
“Gila!”
“Kita akan menghimpun seluruh kekuatan yang
ada.”
“Apakah kita tidak akan kehilangan waktu?”
“Tidak. Percayalah padaku.”
Maka hari-hari selanjutnya Saburo memimpin rom-
bongan keliling ke desa-desa di Owari. Dan terbukti
menjadi kenyataan, para ronin dan samurai di desa-
desa itu berbondong-bondong untuk bergabung de-
ngannya.
***
Putri Naoko terperanjat ketika salah seorang mata-ma-
tanya datang padanya.
“Hamba mohon maaf, setelah hamba selidiki secara
teliti, ternyata kekuatan ninja hitam yang selalu me-
nyelamatkan Saburo, terbukti adalah rombongan pe-
nari Izu.”
“Apa? Penari Izu?”
“Benar, Tuan Putri. Kami telah membongkar tempat
tinggal mereka dan kami menemukan sejumlah perala-
tan milik ninja. Bahkan kemarin kami menemukan pa-
kaian lengkap seorang ninja yang tertinggal dalam al-
mari.”
“Coba bawa kemari?”
Mata-mata itu menyerahkan seperangkat pakaian
milik ninja. Naoko mengamati dengan teliti. Ia tersen-
tak ketika membaca tulisan kecil di belakang pakaian
itu berbunyi: Otami.
“Kurang ajar,” desisnya marah. “Rupanya kita sela-
ma ini menyimpan musuh dalam selimut. Bawa kemari
laki-laki jahanam itu!”
Otami saat itu sedang berbaring santai di ranjang
Naoko. Tiba-tiba tiga orang ninja datang kemudian me-
nyeret dirinya.
“Hei, ada apa ini?”
Ketiga ninja itu seperti biasa, tetap membisu. Me-
reka mengikat tangan dan kaki Otami, kemudian de-
ngan kasar menyeretnya ke hadapan Naoko.
Di ruang depan itu, kini sudah berkumpul para nin-
ja. Mereka duduk membeku. Tak seorang pun membu-
ka suara.
Otami dipaksa bersimpuh di depan Naoko.
“Otami-san!”
“Ya, Tuan Putri.”
“Engkau seorang mata-mata?”
“Mata-mata, apa maksudmu?”
“Kau adalah anggota ninja hitam.”
“Bagaimana kau bisa menuduhku demikian?”
Naoko mengeluarkan pakaian hitam, dan menen-
dang ke depan Otami.
“Itu pakaianmu!”
Otami terdiam. Ia tak dapat menyangkal tuduhan
itu. Namun hasratnya untuk tetap hidup membuat ia
bicara.
“Naoko-san,” katanya sambil gemetar. “Dulu aku
memang ninja ketika datang kemari. Seluruh rombo-
ngan penari Izu sesungguhnya ninja yang ingin mem-
balas kematian akibat keluarganya ditumpas oleh Yang
Mulia Oda Nobunaga. Tetapi sesudah bertemu dengan-
mu, aku sudah berjanji untuk setia padamu. Aku ber-
sumpah.”
“Kesetiaanmu tidak berarti apa-apa untukku,” kata
Naoko tegas.
“Ampunilah aku, Naoko-san.”
Naoko berjalan menjauh, ia kemudian meminta pi-
sau pendek milik salah seorang pengawalnya.
“Kalau engkau ingin membuktikan kesetiaanmu,”
kata Naoko penuh tekanan. “Buktikan sekarang juga.
Aku ingin kau melakukan seppuku.”
Otami menangis mengguguk. Rasanya ia tak mem-
peroleh kesempatan lagi untuk hidup. Seluruh angan-
angannya lenyap. Padahal baru beberapa jam yang lalu
ia bercinta dengan Naoko. Memuaskan wanita itu hing-
ga ia menjerit-jerit karena permainannya. Tiba-tiba se-
karang Naoko memintanya melakukan seppuku. Tak
ada rasa iba atau penyesalan sedikit pun ketika wanita
itu menyuruhnya seppuku. Sinar matanya tetap se-
perti biasa, bahkan terasa lebih kejam.
Salah seorang ninja membuka ikatan tangan Otami,
kemudian memberikan pisau kecil berkilat ke tangan-
nya.
Dengan gemetar Otami menerima pisau itu. Ga-
gangnya terasa dingin di tangan.
Ini benar-benar terkutuk! Bahkan aku tidak diberi
kesempatan melakukan upacara sebagaimana seharus-
nya seppuku dilakukan. Perempuan jahanam itu sea-
kan hanya ingin menyaksikan kematianku! Benar-benar
bedebah!
“Naoko-san....” Otami masih mencoba memperpan-
jang umurnya.
Naoko tetap menatapnya tenang.
“Penuhilah sumpahmu,” kata Naoko dingin. “Aku
ingin melihat kesetiaanmu.”
“Engkau benar-benar perempuan jahanam!”
Seusai berkata begitu, secara tak terduga tiba-tiba
Otami melenting ke atas menuju ke arah Naoko. Ek-
spresi wajahnya memancarkan amarah dan ingin me-
nikam Naoko.
Kedua pengawal Naoko segera bertindak. Sebelum
tubuh Otami sampai di tanah, kedua pengawal itu te-
lah menyambutnya dengan tebasan pedang menyilang.
Otami langsung ambruk ke lantai dengan darah me-
nyembur dari urat leher dan dadanya. Sebelum ia me-
rasakan kesakitan akibat tebasan itu, salah seorang
pengawal Naoko langsung memenggal kepalanya.
Naoko menatap kepala Otami menggelinding ke
arah kakinya, lalu pelan-pelan ia pergi meninggalkan
tempat itu.
***

PERMAINAN NAOKO
FAJAR. Udara jernih. Langit seperti telaga. Biru meng-
hampar di atas awan. Mega-mega putih yang melayang
rendah, dari jauh terlihat mirip gumpalan kapas tipis.
Seorang penjaga perbatasan memacu kudanya me-
nuju ke Istana Kamakura. Sebelum binatang itu ber-
henti, lelaki itu telah melompat dari pelana.
“Di mana Tuan Putri Naoko?” ia bertanya.
Salah seorang pengawal menjawab, “Di taman.”
Lelaki itu berlari menuju ke taman dengan napas
terengah-engah. Wajahnya berkeringat karena baru sa-
ja melakukan perjalanan jauh.
Naoko sedang memberi makan ikan di kolam. Ia
tampak gembira menyaksikan ikan-ikan berwarna me-
rah berlarian di dalam kolam. Airnya yang jernih mem-
buat ikan itu tampak dari atas. Salah seorang penga-
walnya telah memberitahukan tentang kehadiran pen-
jaga perbatasan itu.
“Biarkan dia kemari,” kata Naoko datar.
Penjaga perbatasan itu bersujud di depannya.
“Gawat, Tuan Putri. Gawat!” kata penjaga perbata-
san itu terengah-engah.
“Apanya yang gawat?”
“Yang Mulia Nobunaga mengirim seribu pasukan
kemari. Tampaknya mereka membawa maksud yang
kurang baik. Bila tidak demikian, tidak mungkin se-
ribu pasukan dikirim kemari.”
“Sampai di mana mereka sekarang?”
“Saya terburu-buru, karena ketika saya bangun,
saya lihat mereka telah memasuki perbatasan. Pasu-
kan itu dipimpin oleh murid-murid Perguruan Yagyu.”
“Kira-kira berapa lama lagi mereka akan sampai di
sini?”
“Mungkin menjelang tengah hari.”
“Baiklah kalau begitu, biarlah aku menyambut me-
reka. Sekarang kau kembali ke posmu agar tetap bisa
mengirim laporan.”
“Baik, Tuan Putri.”
Sesudah mata-mata itu pergi, Naoko memutar otak
dengan keras, mencoba mencari jalan keluar dari ke-
sulitan yang mungkin akan dia hadapi. Akhirnya dia
memanggil pengawalnya.
“Beritahukan pada para ninja untuk melepas pa-
kaian mereka, dan kenakan pakaian seperti umumnya
pengawal istana,” perintah Naoko tegas. “Jangan ada
seorang pun yang tidak menjalankan perintah ini.”
“Baik, Tuan Putri.”
“Menjelang tengah hari nanti, pasukan Oda Nobu-
naga akan memasuki Kamakura. Biarkan mereka ma-
suk dan harus kita terima dengan baik. Jangan sampai
terjadi pertikaian walaupun sekecil apa pun.”
“Baik, Tuan Putri.”
“Pancangkan kepala Otami di depan gerbang istana
agar seluruh pasukan Nobunaga dapat melihatnya.”
“Baik.”
“Laksanakan segera, setelah itu kau temui aku lagi.”
Pengawal itu segera pergi.
***
Pasukan di bawah pimpinan Hiroshi mulai memasuki
Kamakura. Pada awalnya sikap mereka tampak was-
pada. Mereka seakan berada di tengah kemungkinan
adanya sergapan musuh. Tetapi setelah mereka masuk
ke arah istana, dan ternyata tidak sesuatu pun terjadi,
pasukan itu menjadi tenang. Mereka berjalan sambil
bersenda-gurau.
Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo duduk di atas pung-
gung kuda dengan gagah. Pandangan mereka menatap
lurus ke arah gerbang istana. Pintu gerbang itu telah
dibuka.
“Rasanya tidak ada yang mencurigakan,” kata Mi-
koto pada Hiroshi. “Mereka sangat ramah menyambut
kedatangan kita.”
“Kita harus tetap waspada.”
“Kalau mereka bermain-main dengan kita, aku akan
melumatkan seluruh istana ini.”
Pandangan mereka sekarang tertuju pada kepala
Otami yang dipancangkan di ujung tombak. Kepala itu
berlumur darah, sementara mata dan mulutnya mulai
dikelilingi lalat hijau. Sepintas pemandangan itu jadi
sangat mengerikan.
“Kepala siapa itu?” Hiroshi bertanya.
“Nanti kita tanyakan pada Naoko-san.”
Ruang pertemuan istana menjadi hangat. Naoko te-
lah memerintah agar pasukan Hiroshi disambut sela-
yaknya prajurit yang baru saja menang perang. Selain
sake dan makanan yang lezat-lezat, Naoko telah men-
datangkan penari-penari terbaik Kamakura untuk meng-
hibur orang-orang itu. Akhirnya sepanjang sore dan
malam hari itu mereka menghabiskan waktu untuk
bersuka ria.
Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo sendiri baru sekali itu
merasakan pesta, sesudah beberapa lama mengalami
ketegangan di medan perang, karena itu mereka me-
nikmati sambutan Naoko dengan penuh kegembiraan.
Mereka melupakan sejenak tugas yang diberikan oleh
Oda Nobunaga.
Di tengah pesta itu, Naoko bertanya, “Apa sebenar-
nya perintah Yang Mulia Nobunaga sehingga dia harus
mengirimkan seribu orang kemari?”
Sambil menikmati sake, Hiroshi berkata pada Nao-
ko, “Yang Mulia banyak mendengar hal-hal buruk ten-
tang Kamakura. Ada berita yang mengatakan bahwa
Tuan Putri sekarang memperkuat pasukan untuk me-
rebut kekuasaan Yang Mulia Nobunaga.”
“Itu fitnah!” sahut Naoko cepat. “Mana mungkin aku
mengkhianatinya. Tak pernah terpikir sedikit pun me-
ngenai hal itu.”
“Rupanya ada orang yang ingin memecah belah ki-
ta.”
“Benar. Kurasa musuh mulai menggunakan taktik
memecah belah.”
Yotomo bertanya, “Lalu siapa yang mencegat utusan
Yang Mulia sehingga tidak sampai di sini?”
Naoko menukas, “Apakah engkau belum mendengar
tentang sepak terjang Saburo Mishima?”
“Saburo?”
“Ya. Sejak beberapa bulan ini panglima Ashikaga itu
telah menghimpun kekuatan dari para ronin dan shu-
gyosa di Owari. Dia menggunakan putra Ashikaga un-
tuk memperoleh dukungan. Dialah yang melakukan
pencegatan utusan Yang Mulia Nobunaga di hutan.”
“Dia berani memasuki Kamakura?”
“Itulah yang terjadi. Kudengar dia tengah memper-
siapkan pasukan untuk merebut istana. Karena itu ka-
lau aku menambah jumlah pengawal istana, bukan
maksudku untuk merebut kekuasaan Yang Mulia, te-
tapi semata-mata untuk mempertahankan diri apabila
Saburo menyerang.”
“Lantas siapa laki-laki yang dipenggal kepalanya
itu?”
“Mata-mata Saburo Mishima.”
“Kalau begitu seberapa jauh bahaya Saburo untuk
Tuan Putri?”
“Sangat berbahaya. Kalau saja kalian bersedia me-
numpas pasukan Saburo, aku akan berterima kasih
sekali. Kelak bila Yang Mulia datang, jasa kalian akan
kusampaikan agar kalian memperoleh hadiah yang se-
pantasnya.”
“Kewajiban kami untuk melindungi Istana Kama-
kura.”
“Kalau begitu biarlah aku menulis surat untuk Yang
Mulia sehubungan dengan penumpasan pasukan Sa-
buro Mishima.”
“Kedengarannya menyenangkan. Tetapi biarlah ka-
mi menikmati pesta ini lebih dulu.”
***
Pagi hari, ketika matahari mulai merayap ke ujung
daun, seluruh pasukan Hiroshi telah berbaris di ger-
bang istana. Meskipun tampak masih letih akibat pes-
ta sepanjang malam, namun mereka mencoba mela-
wan kantuk.
Hiroshi berjalan gontai menuju kudanya.
“Kita akan berperang,” kata Hiroshi dari atas ku-
danya. “Saburo Mishima kini tengah menghimpun ke-
kuatan di dalam hutan. Mereka sedang merencanakan
menyerbu kemari. Karena itu, kita akan bergerak lebih
dulu. Tugas kita adalah menumpas seluruh kekuatan-
nya. Jangan sampai ada yang tersisa.”
Didahului suara genderang, pasukan Hiroshi mulai
meninggalkan gerbang istana. Mereka bergerak me-
nuju hutan di tepi Kamakura.
Sesaat setelah Hiroshi meninggalkan gerbang, Nao-
ko berkata pada pengawalnya, “Biarkan mereka ber-
tempur untuk kita. Mari kita sekarang mengatur siasat
untuk meraih kemenangan.”
***

YOSHIOKA TERBELALAK
HUJAN gerimis mengguyur hutan di perbatasan Owari.
Orang-orang berjalan bergegas. Mereka memakai daun
pisang sebagai payung. Sejak kemarin gerimis memang
menebar di sekitar hutan. Mendung hitam seakan se-
ngaja tak menjatuhkan hujan lebat. Gerimis yang se-
perti sisir kaca terlihat berkilauan terkena sinar mata-
hari.
Dari sebuah jalan setapak, tampak Yoshioka berja-
lan menuju kedai minum di desa Imaji. Pada sore hari,
biasanya dia ke sana untuk mencari sesuap nasi. Ini
pun harus ia lakukan secara hati-hati. Pengalaman
yang lalu, ketika ia berjumpa Ishida Mitsunari, masih
membayangi pikirannya.
Benarkah Mitsunari kini berpihak pada Saburo? Atau
itu dikemukakan hanya untuk memerangkapku?
Yoshioka merasa beruntung ketika itu dia dapat se-
gera menghilang ke dalam hutan. Tak dapat dibayang-
kan kalau saat itu Mitsunari mengetahui siapa dirinya.
Kalau dia tahu, mungkin sekarang kepalaku sudah
menggelinding di tanah.
Yoshioka menjadi terbeliak ketika menyaksikan ri-
buan prajurit Nobunaga berada di tanah lapang dekat
kedai itu. Pada mulanya ia ragu, tetapi setelah melihat
para prajurit itu tengah duduk-duduk istirahat, Yoshi-
oka memberanikan diri terus berjalan ke arah kedai
itu.
Dengan hati-hati Yoshioka menyelinap di antara tu-
buh para prajurit, kemudian ia berdiri di dekat kedai.
Pada saat itu ia melihat beberapa prajurit sedang mem-
bersihkan pedang. Seketika muncul pikiran di benak-
nya.
Yoshioka mendekati salah seorang prajurit.
“Saya bisa membersihkan pedang Bapak kalau Ba-
pak mau,” kata Yoshioka sambil tersenyum.
Prajurit itu memandangnya.
“Kau bisa membersihkannya?”
“Ya. Ayah saya seorang samurai jadi saya sering
membersihkan pedangnya.
“Aku tidak bisa membayarmu.”
“Cukup satu bungkus nasi dan Bapak akan menda-
patkan pedang Bapak seperti baru kembali.”
“Untuk sebungkus nasi. Baiklah.”
Yoshioka segera mengeluarkan kain dari kantung-
nya, kemudian mulai menggosok sarung pedang milik
prajurit itu. Dengan teliti ia bersihkan debu-debu serta
karat di sarung pedang tersebut. Cara kerjanya yang
teliti rupanya menarik perhatian para samurai lain.
Beberapa di antara mereka segera memberikan pe-
dangnya untuk dibersihkan.
Tanpa mengeluh Yoshioka membersihkan semua
pedang itu.
Ketika keadaannya sudah tepat, Yoshioka bertanya,
“Bapak-bapak mau ke mana?”
“Mau menumpas gerombolan penjahat,” jawab pra-
jurit yang pertama memberikan pekerjaan pada Yoshi-
oka.
“Menumpas penjahat? Di mana?”
“Di hutan. Gerombolan Saburo Mishima.”
Yoshioka terperanjat.
“Apakah dia berada di hutan?”
“Ya. Mereka tengah menghimpun kekuatan untuk
merebut Istana Kamakura, karena itu kami mendapat
perintah untuk menumpasnya.”
“Kenapa mesti dengan begini banyak orang? Apakah
Saburo memiliki kekuatan yang besar?”
“Ya. Orang mengatakan prajuritnya tak kurang dari
dua ribu orang.”
“Dua ribu?”
“Benar.”
Yoshioka terus berpikir. Bagaimana pun prajurit
yang kini berada di hadapannya dapat dimanfaatkan
untuk menjumpai Saburo Mishima.
“Bolehkah saya ikut Bapak?”
“Ikut? Ke mana?”
“Ke mana saja, saya ingin menyaksikan prajurit ini
menumpas gerombolan penjahat.”
“Kami sendiri belum tahu di mana Saburo ber-
sembunyi. Kami harus terus melakukan pengejaran
tanpa mengetahui di mana dia berada.”
“Biarlah saya ikut Bapak. Paling tidak saya dapat
membersihkan senjata Bapak, atau bahkan bisa men-
jadi pembawa sandal Bapak.”
“Pembawa sandal?”
“Ya, kenapa tidak?”
Prajurit itu tertawa berderai-derai. Ia memeluk Yo-
shioka dengan wajah gembira. Hanya samurai ber-
pangkat yang dapat membayar pembawa sandal atau
pembersih pedang. Mereka biasanya mampu memba-
yar karena memperoleh bayaran tinggi dari majikan-
nya. Sekarang samurai itu merasa beruntung karena
ada anak yang menawarkan tenaganya tanpa bayaran.
“Siapa namamu?”
“Kojiro.”
“Kojiro, baiklah. Engkau ikut denganku. Tapi ja-
ngan rewel.”
“Terima kasih. Nama Bapak siapa?”
“Genza. Panggil aku Genza.”
“Baik.”
Sejak sore itu Yoshioka ikut rombongan prajurit ter-
sebut. Dia selalu berjalan di samping Genza sambil
membawa sandal dan peralatan perangnya. Meskipun
bawaan Genza tidak banyak, tetapi karena perjalanan
yang mereka lakukan cukup jauh, Yoshioka merasa-
kan beban itu kian lama kian berat.
Genza sesekali melirik Yoshioka, tetapi kemudian
dia pura-pura tak melihatnya. Laki-laki itu membiar-
kan Yoshioka menggendong semua miliknya.
Mereka berjalan menyusuri hutan, naik turun le-
reng bukit, tetapi tak seorang pun mengetahui tujuan
perjalanan itu. Mata-mata yang selalu muncul pada
sore hari, tak pernah memberikan tujuan yang jelas.
Gerombolan Saburo seakan merupakan siluman yang
dapat menghilang begitu saja. Karena terus menerus
berjalan tanpa tujuan, akhirnya sebagian prajurit di-
jangkiti kebosanan. Yoshioka dapat merasakan hal itu.
Ia pun dijangkiti rasa putus asa. Yoshioka menganggap
ikut pasukan Hiroshi sesungguhnya konyol, namun ia
tak melihat pilihan lain.
Mereka menembusi hutan dan desa-desa di wilayah
Owari, namun tak pernah ditemukan gerombolan Sa-
buro. Mereka hanya bertemu petani-petani, peladang,
dan penduduk kampung yang bersikap memusuhi.
Orang-orang itu jarang yang mau membicarakan ten-
tang Saburo Mishima.
“Kenapa mereka sepertinya memusuhi kita?” suatu
hari Yoshioka bertanya pada Genza saat mereka istira-
hat.
“Karena mereka berpihak pada Saburo.”
“Kenapa mereka berpihak pada Saburo?”
“Menurut pikiran mereka, Saburo lebih memberikan
jaminan ketentraman dibanding Oda Nobunaga.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena menurut pikiran mereka, bila putra Ashi-
kaga kembali berkuasa, ketentraman dapat diwujud-
kan seperti dulu semasa Yang Mulia Ashikaga berkua-
sa.”
“Apakah memang lebih baik?”
“Ya,” jawab Genza sambil menoleh ke kanan ke kiri.
“Kalau saja Yang Mulia Ashikaga tidak jatuh, aku tidak
akan pernah jadi ronin. Dulu aku seorang prajurit
Ashikaga.”
“Kenapa sekarang melawannya?”
“Demi sesuap nasi. Oda Nobunaga menjadikan se-
mua orang jatuh miskin sehingga terpaksa harus ber-
gabung dengannya. Bila aku tidak menjadi prajuritnya,
aku tak bisa mencari makan. Semua ronin telah dila-
rang tinggal di wilayah Owari.”
“Lalu kenapa Bapak tidak bergabung dengan Sabu-
ro?”
“Aku akan melihat keadaan. Kalau keadaan me-
mungkinkan, aku tidak keberatan bergabung dengan-
nya.”
“Keadaan pasti memungkinkan,” kata Yoshioka da-
tar. Lalu dia pura-pura pergi mencari air minum.
***

PERTEMPURAN
SEPERTI air bah serbuan pasukan Mayeda Toyotomi
tiba-tiba muncul dari bukit Higura. Ribuan anak pa-
nah melesat ke langit, kemudian turun bagai hujan de-
ras. Pasukan Oda Nobunaga yang tidak menduga ser-
gapan itu bergelimpangan bermandikan darah.
“Kita diseraang!” Hosokawa berteriak nyaring.
Tetapi teriakannya telah tertutup jerit serta rintih
pasukannya yang tewas atau terluka. Lengking kema-
tian belum lenyap, dari balik bukit muncul pasukan
pedang dan tombak yang berteriak gegap gempita. Me-
reka bagai sekawanan serigala menyerbu ke arah pa-
sukan Hosokawa. Pertempuran pun terjadi dengan he-
bat. Masing-masing pihak ingin memenangkan perta-
rungan. Suara gemerincing pedang serta tikaman tom-
bak terjadi dengan seru. Tangan dan kaki beterbangan
di udara disertai ceceran darah di tanah.
Hosokawa mencoba memberi komando dari ku-
danya, “Awaas! Sebelah kanan! Tutup bagian kiri!”
Hosokawa memacu kudanya ke arah kanan, tangan
kirinya memegang kendali, sementara tangan kanan-
nya menggenggam pedang. Ia menebas ke kanan ke ki-
ri, berusaha membunuh sebanyak mungkin musuh.
“Jangan biarkan mereka menerobos pertahanan ki-
ta!”
Dengan bengis Hosokawa memenggal kepala musuh
yang menghadang di depannya. Ia kemudian memacu
kudanya menerjang prajurit Mayeda yang berlari me-
nuruni bukit.
Debu-debu berkepul. Udara siang hari menjadi de-
mikian terik. Panas matahari seakan membakar nafsu
membunuh menjadi kekejaman tiada tara.
Pakaian Hosokawa kini telah memerah oleh darah
dari musuh, namun ia tak peduli. Dengan ganas, pang-
lima Oda Nobunaga itu menerjang musuh-musuhnya.
Lima orang samurai menghadangnya. Hosokawa se-
gera memperkuat genggaman pedangnya, lalu memacu
untuk menerjang. Seorang samurai bertombak lang-
sung ditebas lehernya, darah menyembur ke tanah.
Sebelum tubuh pertama roboh, Hosokawa telah meng-
ayunkan pedangnya, membelah tubuh samurai kedua.
Samurai ketiga maju dengan gagah berani, namun
dengan memiringkan tubuh, Hosokawa menebas ke
perut lawan. Terdengar jeritan melengking ketika isi
perut samurai tersebut berurai keluar. Kemudian de-
ngan memutar kudanya, Hosokawa membelah pung-
gung kedua samurai yang lain.
Pertarungan terjadi dengan hebat. Ribuan samurai
bertarung untuk mempertahankan hidup. Kilatan pe-
dang serta suara gemerincing pedang membuat kea-
daan menjadi riuh rendah. Hampir setiap detik terde-
ngar jerit kematian. Namun seperti air jeram, para sa-
murai terus mengalir tanpa henti. Mereka bertempur
seperti kesetanan. Tak lagi memikirkan rasa takut
maupun rasa iba. Kekejaman dan kebengisan berbaur
menjadi satu, membuahkan kepala-kepala terpenggal,
perut terbelah, dan kaki tangan terpangkas. Kematian
seakan menjadi sesuatu yang biasa. Tak ada kengerian
sedikit pun menghadapi el maut.
Hosokawa memacu ke lereng bukit, “Di mana Ma-
yeda Toyotomi?”
“Belum kelihatan.”
“Apa dia seorang pengecut?”
“Itu dia di sana!”
“Mana?”
“Sebelah kanan!”
Hosokawa menoleh, ia melihat seorang samurai de-
ngan pakaian perisai besi memacu kuda ke arahnya.
Dengan sigap, Hosokawa memutar pedangnya, kemu-
dian seperti meteor ia menerjang ke arah Mayeda.
Melihat musuhnya menerjang, Mayeda segera men-
cabut pedangnya dan menyongsong kedatangan Hoso-
kawa. Matanya memancarkan api membunuh, semen-
tara bilah-bilah besi pada pakaiannya memantulkan
sinar matahari.
Hosokawa berteriak, “Mayeda, terimalah kematian-
mu!”
Mayeda menjawab, “Hosokawa, ini hari terakhirmu!”
Dalam sebuah ayunan serentak, terdengar geme-
rincing pedang. Hosokawa maupun Mayeda segera me-
mutar kudanya, kemudian menggebrak untuk kembali
melancarkan serangan. Dengan kebengisan yang me-
ngerikan, Hosokawa menikam, Mayeda berhasil me-
nangkis, lalu menebas leher musuhnya. Hosokawa me-
nundukkan kepala sehingga desis pedang Mayeda ha-
nya seinci di belakang kepalanya. Hosokawa segera
berbalik, lalu menerjang. Terjadi pertarungan jarak de-
kat dari kuda masing-masing. Keduanya berusaha ke-
ras untuk menaklukkan lawan.
Sabetan dan ayunan pedang Hosokawa maupun
Mayeda, mengeluarkan angin mendesis yang mengeri-
kan. Mereka adalah kedua panglima perang yang he-
bat. Masing-masing membawa beban untuk memper-
sembahkan kepala musuh untuk junjungan masing-
masing, karena itu tak mengherankan bila mereka ber-
usaha menjatuhkan lawan secepat mungkin.
Sebuah sabetan pedang Mayeda membuat bahu Ho-
sokawa robek. Panglima perang Nobunaga itu meringis
kesakitan, namun dengan gagah berani ia kembali me-
nyerang Mayeda. Terdengar suara berdenting ketika
Mayeda menangkis, namun tanpa diduga, Hosokawa
mengeluarkan pisau dan menikam paha Mayeda. Pang-
lima Suruga itu menjerit, darah mengucur deras dari
lukanya.
“Kau akan kalah, Mayeda!”
“Jangan takabur! Siapa tahu kepalamu yang akan
menggelinding ke tanah!”
“Aku tidak sabar untuk memenggal kepalamu!”
Keduanya kembali terlibat dalam pertarungan seru.
Pedang mereka bergerak seperti kipas. Setiap tebasan
terjadi dengan kekuatan dahsyat, sehingga kalau tak
tertangkis atau terhindarkan, dapat dipastikan kepala
lawan akan terpenggal. Sinar mata keduanya sama-
sama memerah, syarafnya mengejang karena dialiri naf-
su membunuh yang meluap-luap.
Di sekitar mereka para prajurit terus bertarung. Su-
dah tak terhitung berapa banyak mayat bergelimpa-
ngan. Ratusan samurai merintih di tanah dalam ku-
bangan darahnya sendiri. Ada yang terpenggal lengan-
nya, kakinya, bahunya, atau tercungkil matanya ka-
rena tikaman tombak. Mereka menjerit-jerit. Dan bagi
yang tak sanggup menahankan penderitaan, mereka
memilih merobek perutnya sendiri.
Oda Nobunaga masih duduk di atas pelana di depan
pasukannya. Dia melihat dengan seksama jalannya
pertarungan.
“Tampaknya Hosokawa-san mulai terdesak,” kata
Nobunaga pada panglima perangnya. “Kalau kita biar-
kan, setengah hari lagi kita akan kehilangan prajurit
terbaik kita.”
“Apakah sebaiknya pasukan kita gerakkan?”
“Ya. Sebentar lagi.”
Sebuah tikaman tak dapat dihindarkan oleh Hoso-
kawa. Ia menjerit sambil mendekap perutnya. Darah
membanjir dari luka itu. Tiba-tiba ia merasakan kepa-
lanya berkunang-kunang. Tubuhnya dirasakan akan
jatuh.
Melihat keadaan lawannya, Mayeda segera mener-
jang untuk memenggal kepalanya. Tetapi sebelum mak-
sudnya kesampaian, sebatang anak panah menghun-
jam ke bahunya. Mayeda mengurungkan serangannya,
dan ia melihat ribuan pasukan Oda Nobunaga me-
nyerbu ke arahnya.
Mayeda berteriak, “Awas di belakang kita!”
“Awaaas!”
Hosokawa menggunakan kesempatan untuk menye-
rang. Tebasannya mengenai bahu Mayeda. Terdengar
suara jeritan kesakitan. Mayeda jatuh dari kudanya.
Kemudian dengan penuh nafsu, Hosokawa memacu
kudanya untuk menerjang, ia bergerak sambil men-
gayun-ayunkan pedangnya. Dalam detik kritis itu, Ma-
yeda mencungkil tombak dengan kakinya, dan dengan
kecepatan tak terduga, ia melemparkan tombak itu ke
arah Hosokawa.
Terdengar suara “crass” ketika tombak tersebut me-
nembus dada Hosokawa. Laki-laki tersebut mendelik,
dadanya sesak, lalu tubuhnya melayang ke tanah. Ma-
yeda segera meloncat, menjambak rambutnya, kemu-
dian menebas kepalanya sehingga terpenggal.
Mayeda mengangkat kepala Hosokawa tinggi-tinggi,
“Kita menang!”
Teriakan itu tertutup oleh gemuruh ribuan tentara
Nobunaga yang mulai menyerang.
***

SUNGAI DARAH
HUTAN itu berada di lereng bukit. Di dasarnya meng-
alir Sungai Okada yang mengalir deras, meskipun ti-
dak begitu dalam. Air sungai itu sangat jernih, sehing-
ga ikan-ikan di dalamnya tampak bertemperasan. Keti-
ka sampai di lereng bukit, para prajurit Hiroshi ber-
desakan ke depan untuk minum atau mandi. Tetapi
mereka tak berani langsung melakukannya sebelum
ada perintah Hiroshi.
“Saya tidak menyukai tempat ini,” kata Hiroshi pada
Mikoto. “Tetapi tampaknya para prajurit ingin melepas-
kan lelah.”
“Sebaiknya kita suruh mereka istirahat,” kata Mi-
koto. “Dengan mandi dan berenang kurasa semangat
mereka akan pulih.”
“Sungai jernih seperti ini bisa membuat kita kehi-
langan kewaspadaan.”
“Kita dapat menempatkan penjaga di tepi sungai.”
“Kalau begitu aturlah penjagaan di setiap sisi su-
ngai, aku tak ingin mengambil resiko.”
“Baiklah.”
Mikoto memacu kudanya ke arah pasukan berkuda,
kemudian dia mulai menempatkan dua puluh lima pa-
sukan berkuda untuk mengawasi keadaan di tempat
itu.
“Kita beristirahat di sini,” kata Hiroshi pada pasu-
kannya. “Kalian boleh minum dan mandi. Nanti menje-
lang matahari terbenam kita berangkat menuju Sasa-
ki.”
Sorak-sorai terdengar riuh. Para prajurit menyam-
but pengumuman itu dengan suka cita. Hampir se-
minggu mereka telah berjalan, tanpa sempat mandi.
Pakaian mereka telah bau dan keringat membuat pa-
kaian lengket. Kesempatan untuk mandi bagi mereka
seakan karunia dari langit. Tanpa membuka pakaian
mereka langsung terjun ke sungai, lalu berenang dan
bermain-main dengan air.
Hiroshi menatap prajuritnya dengan tersenyum. Pa-
ra samurai itu kini tampak seperti anak-anak yang
menemukan mainan baru.
Sambil turun dari kudanya, Hiroshi berkata, “Kalau
lusa persembunyian gerombolan itu belum kita temu-
kan, sebaiknya kita kembali ke Kamakura. Dari sana
kita berangkat ke Suruga.”
“Bagaimana dengan Naoko-san?”
“Kita simpan rapat-rapat dengan penjagaan ketat.”
“Apakah engkau mempercayai kata-katanya?”
“Sebagian.”
“Aku tidak mempercayai semuanya. Perempuan itu
memiliki akal bulus yang berbahaya. Aku dengan se-
nang hati kalau diperintahkan memenggal kepalanya.”
“Kita harus menunggu perintah Yang Mulia Nobu-
naga.”
Yotomo diam. Ia menyibakkan rambutnya yang pan-
jang kemudian pelan-pelan turun dari kudanya.
Hiroshi dan Yotomo berjalan menuruni lereng me-
nuju sungai. Ia menatap anak pasukannya yang ber-
gembira ria dalam sungai. Hiroshi membungkukkan
badan untuk mencuci muka, saat itulah terdengar de-
singan ratusan anak panah dari balik hutan. Dalam
sekejap terdengar jeritan kematian pasukan Hiroshi.
Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba
rumput di tepi sungai tersibak dan ratusan samurai
menyerbu dengan ganas.
“Awas serangan!” Hiroshi berteriak.
Tapi ratusan anak panah berikutnya telah menghu-
jani prajuritnya. Mereka bergelimpangan sekarat. Da-
rah mereka memerah mewarnai sungai itu. Dalam sua-
sana panik dan tercerai berai, muncul Saburo Mishima
memimpin penyerbuan.
Dalam sekejap terjadilah pertempuran yang hebat.
Pasukan Saburo yang rupanya telah menunggu di tepi
sungai, bagai banjir menerjang prajurit Hiroshi yang
dalam keadaan telanjang dan tak bersenjata. Karuan
saja prajurit Hiroshi menjadi sasaran empuk kebuasan
pedang musuh. Mereka mencoba naik ke tepi sungai,
namun sebelum mereka mencapai tepi, pedang dan
tombak musuh telah menebas punggung dan perut
mereka. Darah mengucur meronai air sungai.
“Kejar mereka! Jangan biarkan lolos!”
Pasukan Saburo menerjang bagai banteng, mereka
menikam dan menebas dengan ganas.
Hiroshi telah mencabut pedang ketika Saburo sam-
pai di dekatnya.
“Aku Saburo Mishima, pengikut Yang Mulia Ashika-
ga!”
“Aku Hiroshi, pengikut Oda Nobunaga!”
Tanpa menunggu lagi mereka saling menerjang. Sa-
buro menggunakan seluruh kekuatan untuk meng-
gempur Hiroshi. Tetapi rupanya murid Yagyu itu bu-
kan lawan yang ringan. Ia berkelit lalu membalas me-
nyerang dengan ganas. Suara gemerincing pedang ke-
dua pendekar itu memercikkan api dari bilah pedang
masing-masing.
Tubuh kurus Hiroshi, meskipun kurus, tetapi te-
rasa gesit. Ia mengembangkan permainan pedang yang
menakjubkan. Serangan maupun tangkisannya sukar
diikuti dengan mata.
Di tengah keriuhan pertarungan para anak pasukan
yang dahsyat, Saburo dan Hiroshi mengeluarkan se-
genap kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa
mereka. Lereng bukit itu menjadi arena pertarungan
yang berbahaya. Sesekali Hiroshi berlari mendaki, Sa-
buro mengejarnya dengan ayunan pedang, namun se-
belum sampai puncak, tiba-tiba Hiroshi telah melun-
cur turun menerjang Saburo, terjadi benturan pedang
dengan hebat, sebelum mereka bergulingan untuk sa-
ling menjauhi lawan.
Yotomo melihat Hiroshi, ia segera memacu kuda un-
tuk membantunya. Tetapi baru beberapa langkah, tiba-
tiba kudanya ambruk karena kedua kaki depannya ter-
jerat rantai. Yotomo bangkit sambil menarik pedang-
nya.
“Aku Ishida Mitsunari, pengikut Ashikaga. Sebut-
kan namamu agar aku tidak penasaran!”
“Ingatlah. Aku Yotomo, murid Yagyu, pengikut Oda
Nobunaga!”
Pada saat itu Ishida Mitsunari sudah menerjangnya.
Di sini pertarungan kembali terjadi dengan hebat. Yo-
tomo dengan bernafsu melancarkan serangan, semen-
tara Mitsunari meladeni dengan jurus-jurus simpa-
nannya.
Dalam kecepatan gerak yang sukar dipercaya, ke-
dua musuh ini seperti segumpal bayangan yang saling
menerjang. Debu dan kerikil beterbangan oleh gerakan
kaki mereka.
Mikoto menebas ke kanan ke kiri, entah sudah be-
rapa prajurit Saburo terbantai olehnya. Murid kedua
perguruan Yagyu itu seperti baling-baling berputar,
dan dari setiap putarannya bergelimpangan tubuh di
dekatnya.
Tiba-tiba pedangnya ditangkis, tangan Mikoto sam-
pai bergetar menandakan lawannya bukan samurai bi-
asa. Di depannya ia melihat Takeshi memainkan tom-
bak ke arahnya. Tanpa menunggu lebih lama, Mikoto
segera menerjang musuh di depannya. Suara tombak
dan pedang silih beradu.
Saat pertempuran terus berkecamuk, Yoshioka ber-
sembunyi di balik dinding batu bersama Genza. Me-
reka menatap pertarungan dengan perasaan gugup.
Diam-diam Yoshioka mencari Saburo Mishima. Ia ber-
pikir bila menemukan Saburo, seusai pertempuran ini
segalanya akan menjadi beres. Ia akan segera dapat
bergabung dengan Saburo.
“Mungkin itu Saburo Mishima!” kata Genza sambil
menunjuk ke lereng bukit.
“Sebelah mana?”
“Sebelah kanan dekat pohon prem. Orang yang se-
dang bertarung dengan Hiroshi.”
Yoshioka menoleh. Benar! Ia melihat Saburo berta-
rung habis-habisan dengan Hiroshi. Dari jauh tampak
mereka saling menerjang dan menangkis. Saburo, se-
perti biasa, seperti seekor banteng luka siap menerjang
lawan. Tapi Hiroshi melawannya dengan hebat. Laki-
laki itu memberikan pelayanan yang setimpal.
“Mari kita mendekat,” kata Yoshioka pada Genza.
“Untuk apa?”
“Agar bisa melihat dengan jelas pertarungan me-
reka.”
“Gila! Kita bisa mati konyol!”
Yoshioka menatap Genza, ia tahu Genza hanya seo-
rang ronin biasa. Dia membawa pedang semata-mata
untuk mencari makan. Karena itu jiwanya tetap saja
pengecut.
Yotomo menebas leher Mitsunari. Dengan sigap Mit-
sunari menangkis serangan itu, dan tanpa diduga oleh
lawan, Mitsunari menikam perut Yotomo dengan pe-
nyangga kakinya. Terdengar suara merintih ketika Yo-
tomo menyadari perutnya robek. Bersamaan dengan
tarikan kakinya, Mitsunari menebaskan pedangnya ke
dada lawan. Yotomo berputar lalu terguling di tanah.
“Yotomo tewas!” Genza berkata sambil menunjuk
tempat pertarungannya.
Yoshioka menoleh, ia seketika terbeliak ketika meli-
hat pembunuh Yotomo adalah Ishida Mitsunari.
“Ishida Mitsunari....”
“Hei, kau mengenalnya?”
“Ya, saya tahu namanya.”
“Dia tampak sangat ganas!”
Pandangan Yoshioka kini terpaku pada Mikoto yang
tengah menerjang Takeshi. Murid Yagyu itu tampak-
nya di atas angin. Beberapa kali Takeshi menjerit ke-
tika pedang Mikoto melukai tubuhnya. Tapi seperti tak
kenal takut, Takeshi terus menyerang.
Tiba-tiba tanpa diduga, Mikoto meloncat tinggi, lalu
mendarat sambil mengayunkan pedangnya. Takeshi
yang tidak menduga adanya serangan itu, ia menjerit
ketika punggungnya terasa ditebas pedang. Baru saja
ia berbalik, Mikoto telah menerjang.
Pada saat kritis itulah, tiba-tiba muncul Mayumi
yang menerjang Mikoto. Pertarungan jadi kian seru.
Meskipun sudah terluka, Takeshi masih tetap mener-
jang. Dalam satu kesempatan yang sukar dibayang-
kan, tiba-tiba Mikoto menerjang Mayumi, lalu dengan
loncatan yang kuat ia menerjang Takeshi. Saat itu Ta-
keshi terdengar menjerit ketika menyadari lengan ki-
rinya terpenggal. Tubuhnya terhuyung-huyung, ma-
tanya terbeliak ketika menyadari Mikoto telah siap
kembali menyerang. Namun dalam saat kritis itu,
Mayumi telah melemparkan keping-keping perak dari
tangannya. Mikoto ganti yang menjerit ketika senjata
itu menancap di kedua matanya. Rasa pedih dan buta
membuat Mikoto menyerang dengan membabi buta.
Takeshi merintih sambil mendekap lengannya.
Mayumi dengan sekali terjang berhasil menebas dada
Mikoto. Tubuh murid Yagyu itu berputar, lalu ambruk
di tanah.
Pada detik bersamaan, Saburo berhasil menyudahi
pertarungannya dengan Hiroshi. Ia mengayunkan pe-
dang dengan ganas. Hiroshi menangkis, namun pe-
dangnya patah dan pedang Saburo membelah tubuh-
nya.
Tanpa membuang waktu Saburo segera memenggal
kepala Hiroshi dan menancapkan di ujung tombak. Ia
lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Kita menaaang! Hiroshi telah terbunuuh!”
Teriakan Saburo ternyata mengubah keadaan men-
jadi kacau balau. Anggota pasukan Hiroshi seketika
angkat kaki untuk melarikan diri.
Yoshioka baru akan berdiri, ketika merasakan Gen-
za membopongnya, lalu berlari mengikuti anak pa-
sukan yang lain. Laki-laki itu dengan wajah gugup dan
ketakutan terus berlari menjauhi tempat pertempuran
berlangsung.
Yoshioka kaget. Ia mencoba melepaskan diri.
“Lepaskan aku! Lepaskan!”
Genza tidak peduli. Ia terus berlari secepat-cepat-
nya untuk menjauhi tempat pertarungan itu.
***

PERBINCANGAN DI MALAM HARI


KETIKA Yoshioka berhasil menghentikan Genza, tem-
pat mereka telah jauh dari tempat pertempuran ber-
langsung. Laki-laki itu duduk terengah-engah di ba-
wah pohon. Wajahnya pucat.
“Kenapa engkau lari?” Yoshioka bertanya.
“Kau tidak melihat apa yang dipancangkan di tom-
bak Saburo?”
“Kepala Hiroshi.”
“Nah, itu sebabnya.”
“Kenapa?”
“Kalau kita tidak lari, kita akan dibantai oleh pasu-
kan Saburo. Bukankah lebih baik menyelamatkan diri
dibanding mati konyol?”
“Tetapi belum tentu mereka akan membunuh kita?”
“Kita ini apa? Tak ada artinya bagi mereka. Sebagai
ronin aku sudah bertahun-tahun merantau, kuketahui
ilmu perang terbaik adalah menyelamatkan diri.”
“Tapi belum tentu mereka akan membinasakan kita.”
“Sudah pasti. Jangan percaya pada kebaikan hati
manusia.”
Yoshioka diam.
“Bagaimana kalau mereka tak berniat membunuh
kita?”
“Bagaimana kalau sebaliknya?”
“Entahlah.”
Genza menghapus keringat yang membasahi badan-
nya. Ia mulai tampak tenang.
Yoshioka bertanya, “Bukankah Saburo saat ini se-
dang menghimpun kekuatan untuk merebut Kama-
kura?”
“Ya.”
“Jadi dia membutuhkan anggota pasukan yang ga-
gah berani. Bukankah pasukan Hiroshi dapat menjadi
anggota pasukannya?”
“Mungkin.”
“Kau pernah bercerita, saat ini Saburo melakukan
perjalanan keliling Owari untuk mencari prajurit?”
“Betul.”
“Jadi, kalau dia pintar, dia pasti tidak akan mem-
bunuh seluruh pasukan Hiroshi. Dia akan menjadikan
mereka sekutu. Untuk apa membunuh kalau tak ada
gunanya.”
Genza diam, ia merenungkan ucapan Yoshioka.
“Kalau saja engkau tidak ketakutan, mungkin kita
dapat bergabung dengannya,” kata Yoshioka. “Kurasa
Saburo akan membutuhkan banyak sekali samurai
prajurit.”
“Apakah mungkin dia menerimaku?”
“Mungkin saja. Kenapa tidak? Kau adalah anggota
pasukan Hiroshi, dan sekarang kau masih memiliki pe-
dang yang bagus. Kalau kau datang padanya, kurasa
dia tak mungkin menolak keinginanmu. Percayalah
padaku.”
“Hei, siapa kamu sebenarnya?”
“Aku pembersih pedang dan pembawa sandalmu.”
“Tapi otakmu lebih pintar dariku.”
“Saya hanya memikirkan apa yang terbaik untuk-
mu. Bukankah kalau engkau dapat hidup baik, aku
pun akan ikut menikmati keberuntunganmu?”
Genza tertawa terbahak-bahak. Lalu ia berdiri,
menggandeng tangan Yoshioka, dan berkata, “Mari kita
cari Saburo Mishima. Untuk menitipkan hidup kita.”
Yoshioka tersenyum. Genza sekali lagi tertawa.
***

KEKALAHAN MAYEDA
KEKUATAN Oda Nobunaga ternyata tak dapat diper-
kirakan. Sesaat sesudah Mayeda berhasil mengalah-
kan Hosokawa, ribuan prajurit Nobunaga muncul ba-
gai pasukan siluman. Dengan jeritan dan pekik me-
ngerikan, mereka menerjang pertahanan Mayeda yang
tidak memperkirakan kedatangan mereka sebelumnya.
Akibatnya, ribuan prajurit Nobunaga itu dengan cepat
mengobrak-abrik pertahanan orang Suruga.
“Jangan lengah! Pertahankan posisi kalian masing-
masing!” teriak Mayeda mencoba memberi semangat
pasukannya.
Tetapi semangat saja tidak cukup. Prajurit Nobu-
naga telah mengamuk, menebaskan pedang bagai iblis.
Mereka tidak peduli lawannya orang tua atau muda,
seperti orang kalap, prajurit Owari membantai lawan
mereka.
Ratusan prajurit Suruga tumbang dengan tubuh
terpenggal-penggal. Jeritan kematian terdengar di ma-
na-mana. Kedua belah pihak akhirnya terlibat dalam
suatu pertempuran paling primitif yang mendirikan
bulu roma. Tangan dan kepala beterbangan terkena te-
basan pedang. Darah mengucur membasahi tanah.
Mayeda menghadapi sepuluh orang samurai. Me-
reka mengepung dengan sinar mata penuh nafsu
membunuh.
“Aku panglima Suruga, Mayeda Toyotomi, kalian
maju bila telah bosan hidup!”
“Kebetulan, kami memang mencarimu!”
“Bersiaplah untuk mati!”
Kesepuluh samurai itu serentak menerjang, tetapi
dengan hebat Mayeda berhasil menangkis semua se-
rangan, lalu membalas dengan tebasan mengerikan.
Dua orang samurai yang berada di dekatnya langsung
terjungkal terkena sabetan pedangnya.
Selesai menebas, Mayeda kembali mengatur sera-
ngan. Kedua tangannya menggenggam gagang pedang
dengan erat, lalu mulai menerjang ke kanan ke kiri.
Dua samurai yang tak sanggup menahan serangan itu
terlempar ke belakang dengan dada menyemburkan
darah. Sisanya segera mengepung, namun mereka
tampak mulai keder. Terjangan Mayeda membuat me-
reka menjerit sebelum akhirnya tumbang tanpa nyawa.
Sepuluh orang tewas, kini datang dua puluh samu-
rai mengepung Mayeda. Mereka sama ganasnya. Sama
kalapnya. Pertempuran pun berlangsung dengan dah-
syat.
“Bukankah itu panglima Suruga?” Oda Nobunaga
bertanya.
“Benar, Yang Mulia.”
“Kelihatannya dia memang hebat.”
“Dia telah berhasil mengalahkan Hosokawa-san.”
“Ya, sayang sekali. Hosokawa sesungguhnya dapat
menghindarinya sebelum celaka.”
“Apakah Yang Mulia akan menghadapi Mayeda?”
“Tidak. Kerahkan empat puluh samurai paling baik
untuk memenggal kepalanya.”
Dua puluh samurai tambahan segera mengepung
Mayeda. Tampaknya sulit ia memikirkan jalan untuk
meloloskan diri. Pengepungan ini demikian rapat. Ja-
rak terjangan pun menjadi demikian sempit. Setiap
kali Mayeda menerjang ke kanan, para pengepung se-
gera mengikuti gerakannya ke kanan. Ketika kembali
Mayeda menerjang ke kiri, para penyerang pun segera
mundur ke kiri. Satu dua samurai berhasil ia tebas,
namun seperti gelombang yang tak berhenti, para sa-
murai lain terus mengepung dengan ketat. Ibarat bina-
tang, Mayeda kian terpojok.
Tidak ada cara lain. Pengepungan ini harus dibuka,
kemudian secepatnya meloloskan diri!
Mayeda menunggu kesempatan. Ketika salah satu
sudut pengepungan terbuka, Mayeda segera menebas
samurai di tempat itu kemudian berlari keluar dari ke-
pungan. Ia berhasil mencapai anggota pasukannya,
sehingga pengepungan itu tidak lagi tertuju padanya.
Sejumlah prajuritnya segera menerjang untuk mengo-
brak-abrik kepungan terhadap pimpinan mereka.
“Kita akan kalah!” teriak Mayeda sambil terus mene-
baskan pedangnya. “Lari ke dalam hutan! Cepat lariii!”
Secara serentak, pasukan Mayeda mundur ke bela-
kang. Semua berlarian ke hutan untuk meloloskan di-
ri. Tetapi seperti sudah kesetanan, prajurit Nobunaga
terus mengejar mereka. Beberapa prajurit yang tidak
dapat berlari cepat, segera terjungkal dengan luka
yang dalam.
Mayeda terus berlari ke belakang, sambil sesekali
berbalik menerjang lawan. Luka-luka yang dideritanya
tak dirasakan. Ia merasakan kedua kakinya mulai lum-
puh. Tadi mata tombak musuh berhasil melukai pa-
hanya. Namun Mayeda menyadari bila ia berhenti, bu-
kan hanya pahanya yang akan terpenggal, namun juga
kepalanya.
“Jangan biarkan mereka lari!” teriak Nobunaga ga-
rang. “Kejar terus orang-orang Suruga itu, tebas habis
kepalanya!”
Sorak-sorai terdengar membahana. Kaki-kaki para
samurai menderap berkejaran dengan maut. Pertem-
puran kali ini benar-benar buas. Ribuan samurai sal-
ing berkejaran, dan semua diakhiri dengan ayunan pe-
dang yang membuat kepala terpenggal. Semua terjadi
seakan kehidupan tidak berharga dipertahankan.
Orang luka-luka dan mayat bertebaran di lereng bukit,
bendera dan sayatan pakaian berkibar-kibar tertiup
angin.
Pasukan Mayeda akhirnya terhadang sungai yang
berarus deras, namun mereka tak peduli. Satu persatu
mencebur ke sungai, lalu berusaha berenang ke ping-
gir. Air sungai seketika menjadi merah karena luka-
luka para prajurit itu. Mayeda juga mencebur ke su-
ngai, berusaha menyeberang. Tiga orang prajurit Nobu-
naga mencoba menghadang, namun dengan ayunan
pedangnya, Mayeda berhasil mengirim ketiga musuh-
nya ke neraka.
“Terus lari, capai hutan di seberang sungai itu!”
Mayeda terus memompa semangat anak pasukannya.
“Kita akan dapat bertahan di sana!”
Kejar-kejaran itu terus berlangsung sampai menje-
lang malam hari. Pasukan Mayeda merasa beruntung,
ketika pasukannya berhasil menyeberangi sungai, tiba-
tiba turun hujan lebat. Suara petir menyambar-nyam-
bar. Akhirnya pasukan Nobunaga menghentikan pe-
ngejaran, lalu kembali ke pusat perkemahan mereka.
***
Pada malam hari, Oda Nobunaga memimpin upacara
penguburan massal. Dia memerintahkan prajuritnya
membuat liang besar di tengah hutan untuk mengubur-
kan ribuan mayat akibat peperangan itu. Mayat-mayat
itu—tak peduli pasukan Nobunaga atau pasukan
Mayeda—dikumpulkan menjadi satu, kemudian kepala
mereka dipenggal untuk dimakamkan. Pemenggalan
kepala itu mengandung penghormatan akan keksatria-
an mereka.
Nobunaga menimang-nimang kepala Hosokawa
yang telah dibungkus dengan kain putih.
“Seharusnya engkau tidak mati,” kata Oda No-
bunaga dengan suara berat. “Masih banyak yang dapat
kita lakukan. Tetapi Mayeda telah mengirimmu ke alam
baka. Dengan perasaan pedih, kukuburkan dirimu
bersama ribuan ksatria lain untuk menandai pepera-
ngan ini. Kuharap kau bisa tenang di surga.”
Nobunaga meletakkan kepala Hosokawa. Kemudian
penimbunan liang itu pun dimulai.
Sambil berjalan menuju ke tendanya, Nobunaga
bertanya pada salah seorang panglima perangnya.
“Berapa musuh kehilangan pasukannya?”
“Seribu delapan ratus.”
“Berapa orang kita yang tewas?”
“Dua ribu orang.”
“Berarti sebelum kita datang, mereka memang ber-
hasil memukul Hosokawa.”
“Begitulah, Yang Mulia.”
“Tidak apa-apa, tiga hari lagi kita hantam lagi me-
reka dengan kekuatan penuh. Sekarang aku mau isti-
rahat.”
***
PERTEMUAN DENGAN IMAGAWA
HUTAN di tepi sungai itu terasa sunyi. Tak ada suara
binatang atau gemerisik dedaunan. Mayeda Toyotomi
telah memerintahkan semua anggota pasukannya un-
tuk tidak bicara keras-keras. Dia juga melarang mem-
buat api unggun.
Kekalahan yang dialaminya membuat Mayeda ber-
sikap hati-hati. Api unggun hanya akan mendatangkan
musuh. Demikian pula suara-suara prajurit. Mayeda
membiarkan pasukannya beristirahat, namun tidak
seorang pun diizinkan berkeliaran. Akibatnya tepi hu-
tan itu menjadi demikian sepi. Kesunyian yang menye-
ramkan.
Mayeda sendiri tinggal di tenda, namun tanpa nyala
api. Ia membiarkan dirinya berada dalam kegelapan,
digigiti nyamuk, dan udara lembab. Sambil bersimpuh,
Mayeda mencoba melakukan meditasi. Ia ingin memu-
lihkan kembali pikirannya yang jernih. Mencoba memi-
kirkan kesalahan strategi atau taktik dalam pertempu-
ran kemarin sehingga mereka mengalami kekalahan.
Pemusatan pikiran itu menyebabkan ia tak bersentu-
han dengan alam sekelilingnya.
Di luar terdengar suara gemerisik pohon diinjak ka-
ki. Beberapa orang yang mendengar suara itu segera
terbangun, mereka menatap ke arah hutan. Tetapi se-
mua tetap diselimuti kegelapan. Tak tampak apa pun.
Namun selang sesaat, terdengar lagi langkah kaki men-
dekat. Kali ini jumlahnya ada ribuan.
“Hei, siapa kalian?” salah seorang penjaga berteriak.
Ia tak dapat lagi menahan rasa takutnya. “Siapa di si-
tu?”
Tak ada lagi suara. Hanya suara angin berdesir. Te-
tapi sesaat berikutnya kembali terdengar langkah kaki
mendekat. Gemerisik dedaunan dan ranting patah ka-
rena terinjak kali ini tak dapat disembunyikan.
Salah seorang pengawal berlari ke tenda Mayeda
Toyotomi.
“Tuanku,” katanya terengah-engah. “Ada yang da-
tang kemari.”
Mayeda terganggu konsentrasinya. Ia membuka ma-
ta, lalu keluar dari tenda. Pengawal tadi masih bersu-
jud di depan tendanya.
“Ada apa?”
“Ada yang datang, Tuanku.”
“Mana?”
“Hamba sendiri heran. Tetapi hamba dapat mera-
sakan kedatangan mereka, namun hingga saat ini me-
reka belum tampak.”
“Bagaimana kau dapat menyimpulkan begitu?”
“Hamba mendengar ranting-ranting diinjak, dan de-
daunan bergeser. Hamba yakin ada ribuan orang se-
dang mendekati tempat ini.”
Mayeda Toyotomi berdiri di depan tenda, ia menco-
ba memusatkan pikiran ke arah kegelapan di depan-
nya. Meskipun ia sudah mempertajam pandangannya,
tetapi tak sesuatu pun ia lihat. Kegelapan di hadapan-
nya tetap menjadi kegelapan dan kesunyian sekaligus.
“Tidak ada apa-apa,” kata Mayeda datar. “Sebaiknya
engkau kembali ke tempatmu.”
“Baiklah, Tuanku.”
Penjaga itu berlari mengendap-endap ke tempatnya
bertugas.
Baru saja penjaga itu lenyap, tiba-tiba di tepi hutan
itu muncul nyala api yang sangat menakjubkan. Ratu-
san obor menyala menerangi tempat itu. Hutan yang
semula gelap gulita, seketika menjadi terang bende-
rang.
Mayeda tersentak menyaksikan pemandangan itu.
“Awas penyergapan!” teriak Mayeda sambil menca-
but pedangnya. “Kalian semua bersiaga!”
Hutan tersebut seakan terbakar. Di hadapan me-
reka terlihat ribuan prajurit yang masing-masing me-
megang obor. Mereka hanya berdiri, seakan menunggu
perintah menyerbu. Tetapi apa yang mereka khawatir-
kan tidak terjadi. Pasukan yang berjajar di tepi hutan
itu tetap tak bergerak.
“Siapa mereka?” Mayeda bertanya pada pengawal-
nya.
“Kelihatannya bukan pasukan Nobunaga.”
“Lalu siapa?”
Tiba-tiba dari kegelapan, muncul empat orang ber-
kuda. Keempatnya mengenakan pakaian besi. Seluruh
wajah penunggang kuda itu tersembunyi di balik to-
peng besi. Mereka menarik kekang kuda sehingga bi-
natang itu mendekati tenda Mayeda. Sikap mereka te-
nang, seakan tidak bermusuhan. Mayeda berusaha
bersikap wajar, namun genggaman tangannya kian
erat di gagang pedangnya.
“Siapa kalian?” Mayeda berseru lebih dulu.
“Mayeda, kaukah itu?” tiba-tiba terdengar suara ra-
mah dari penunggang kuda yang paling depan.
Mayeda mencoba mengingat pemilik suara itu.
Pelan-pelan penunggang kuda itu membuka topeng-
nya, dan tampak wajah Imagawa tersenyum dalam ke-
remangan cahaya obor.
Mayeda langsung bersujud, “Yang Mulia Imagawa.”
Secara serempak ribuan prajurit Mayeda bersujud
mengikuti pimpinannya. Mereka benar-benar merasa
terkejut, namun sekaligus lega.
“Rupanya engkau benar-benar menepati janjimu
untuk bertempur di pihakku.”
“Hamba telah bersumpah.”
“Tampaknya engkau baru saja mengalami keka-
lahan?”
“Benar, Yang Mulia. Namun hamba di sini sedang
merancang perang besar-besaran untuk melawan No-
bunaga.”
“Berapa sisa pasukanmu?”
“Tiga ribu orang, Yang Mulia.”
“Termasuk yang luka dan sekarat?”
“Demikianlah.”
“Berapa kekuatan Nobunaga saat ini?”
“Kurang lebih enam ribu orang.”
“Termasuk yang terluka dan sekarat?”
“Demikianlah.”
“Kalau begitu kita pasti dapat mengalahkannya.”
“Maksud Yang Mulia?”
“Saat ini Nobunaga tentu sedang merayakan keme-
nangannya. Dia akan pesta bermabuk-mabukan. Pesta
akan membuat ia lengah. Bila kita menyatukan kekua-
tan, kemudian menyerang mendadak, pasti dia tak
akan sempat melakukan perlawanan. Tidak ada ke-
sempatan Nobunaga untuk mempersiapkan diri.”
“Maksud Yang Mulia?”
“Persiapkan pasukanmu. Kita gempur Nobunaga se-
karang juga.”
***

ISTANA TERBAKAR
TIGA ribu prajurit di bawah pimpinan Saburo Mishima
pada pagi, menjelang fajar, telah memasuki Kamakura.
Tak seorang pun membayangkan bakal datang ser-
buan ini. Tanpa suatu tanda-tanda, prajurit Saburo ti-
ba-tiba muncul menguasai setiap sudut kota. Mereka
terus bergerak menuju ke Istana Kamakura.
Saburo berjalan paling depan, ia menuntun seekor
kuda warna putih yang dinaiki Koyama. Kali ini Koya-
ma mengenakan pakaian kebesaran dengan lambang
keshogunan Ashikaga. Koyama juga menggenggam Pe-
dang Muramasa, sehingga tampak gagah dan penuh
wibawa. Bapa Lao berjalan di samping kiri Koyama, ta-
tapannya tetap tenang dan penuh kedamaian.
Di belakang mereka berbaris pasukan panah yang
terdiri dari para ninja. Meskipun berpakaian serba hi-
tam, namun para ninja itu tidak menutup wajah me-
reka. Ini menandakan mereka telah memilih menjadi
prajurit dibanding sebagai pembunuh.
Di belakang para ninja itu, berbaris ribuan ronin
dan bekas prajurit Hiroshi. Mereka adalah prajurit
yang ganas, namun berkat pengarahan Saburo, kini
mereka menjadi prajurit yang sangat disiplin.
Gerakan mereka demikian cepat, sehingga tak ada
perlawanan sama sekali dari pengawal istana.
Ketika melihat kedatangan pasukan Saburo itu, se-
orang pengawal segera lari ke kamar Naoko. Ia segera
melaporkan suasana di luar benteng.
Naoko diam. Api kemarahan seakan membakar wa-
jahnya. Apa yang dipikirkan kini benar-benar terjadi,
Saburo berhasil menghimpun kekuatan untuk mere-
but istana.
“Kerahkan seluruh pasukan,” kata Naoko tegas.
“Hadang mereka dalam perang habis-habisan. Aku tak
ingin meninggalkan istana ini dengan kekalahan.”
“Baik, Tuan Putri.”
Gerbang istana kini sudah terkepung. Semua praju-
rit Saburo telah siap menyerbu. Bahkan pasukan pa-
nah telah merentang busur dengan mata panah berapi.
Mereka tinggal menunggu perintah untuk menembus
pertahanan pengawal istana.
“Kami datang bersama putra Ashikaga,” kata Sabu-
ro lantang. “Yang Mulia Yoshioka akan mengambil alih
kembali Istana Kamakura. Karena itu jangan halang-
halangi kami!”
Salah seorang pemimpin pasukan Naoko maju ke
depan, “Jangan coba-coba menerobos, kami telah mem-
persiapkan pasukan untuk menghadang kedatangan
kalian!”
“Kalian lihat, kekuatan kami tiga ribu orang.”
“Kami tidak pernah gentar. Kami telah bersumpah
untuk mempertahankan istana ini.”
Bertepatan dengan akhir ucapannya, pemimpin pa-
sukan itu memberi isyarat penyerangan. Sebuah anak
panah melesat cepat ke arah leher Koyama, tetapi de-
ngan kecepatan yang tak terduga pula, Bapa Lao telah
memegang anak panah itu.
Saburo segera mencabut pedang dan memberi ko-
mando penyerbuan. Dalam sekejap ratusan anak pa-
nah berapi melayang ke istana. Kemudian seperti ser-
buan badai, pasukan Saburo berteriak mengobarkan
peperangan. Seratus pengawal gerbang langsung tewas
dalam pertarungan yang singkat.
Dua puluh prajurit maju dengan sebatang pohon
kelapa untuk menggempur pintu gerbang. Dalam seke-
jap pintu itu bobol. Dan ribuan prajurit menerobos ke
dalam untuk bertarung. Panah api telah membakar
atap istana, api terus menjalar dengan hebat. Lebih-
lebih angin bertiup kencang, sehingga amukan api itu
tak mudah dipadamkan. Sejumlah pengawal istana
mencoba memadamkan api, namun usaha mereka ter-
henti ketika para samurai menebas tubuh mereka.
Hiruk-pikuk terjadi. Para dayang-dayang menjerit-
jerit sambil berlari-larian. Mereka seperti anak ayam
kehilangan induk, tak tahu harus melakukan apa. Pa-
ra ninja yang berjuang mempertahankan istana, tak
berarti apa-apa di hadapan tiga ribu samurai yang ka-
lap. Kemarahan karena selama ini merasa di-
manipulasi oleh Nobunaga dan Naoko, membuat para
samurai gelap mata. Mereka mengamuk tanpa iba ka-
sihan. Jeritan kematian terdengar di mana-mana. Da-
rah muncrat ke dinding dan tiang-tiang istana.
Naoko mencoba menyelamatkan diri. Ia dikelilingi
sepuluh ninja yang mencoba melindunginya. Saat me-
reka akan meninggalkan kamar, pintu telah didobrak
dari luar. Saburo dengan sejumlah samurai menerobos
masuk. Koyama melangkah masuk dengan gagah.
“Koyama!” jerit Naoko histeris. “Kaukah putra Ashi-
kaga?”
Koyama menjawab pendek, “Ya.”
“Tidakkah kau mau memaafkan diriku?”
“Ya.”
“Kalau begitu selamatkan diriku.”
Koyama diam menatap Naoko dan para ninja di se-
kelilingnya. “Istana ini milikku,” kata Koyama penuh
tekanan. “Kau harus pergi dari sini....”
Belum selesai Koyama bicara, Naoko telah me-
lempar pisau kecil ke arah leher Koyama, untung Sa-
buro sudah memperhitungkan hal itu. Ia segera me-
nangkis dengan tebasan pedangnya.
Naoko berseru, “Bunuh mereka!”
Kesepuluh ninja itu langsung berloncatan me-
nyerbu. Dua prajurit Saburo langsung menjerit terkena
ayunan ganco para ninja. Pertarungan menjadi seru.
Sesaat saja mereka lengah, nyawa pasti melayang. Sa-
buro menghadapi tiga ninja sambil melindungi Koya-
ma. Ia menerjang dengan tetap membentengi anaknya.
Dua ninja meloncat sambil mengayunkan tombak. Se-
belum mereka menjejak lantai, Saburo telah meloncat
menebas tubuh mereka. Darah menyembur ke lantai,
sementara kedua ninja itu sekarat.
Delapan ninja lain rupanya memberikan perlawanan
yang hebat. Mereka seperti bayangan merah menerjang
kian kemari dengan ninjato. Dua orang prajurit Saburo
menjerit ketika lehernya robek. Saburo langsung mener-
jang. Tiga ninja yang berada di dekatnya langsung ter-
jungkal terkena sabetan pedangnya. Dua yang lain juga
terjungkal terkena tebasan Mayumi. Tiga ninja lainnya
segera menerjang, namun para prajurit Saburo telah
menghentikan perlawanan mereka.
Saburo, Mayumi, dan Koyama segera bergegas me-
ngejar Naoko. Mereka berlari menyusuri lorong istana
menuju ke kamar Oda Nobunaga. Atap kamar itu telah
terbakar. Asap hitam bergulung-gulung ke angkasa.
Dengan mengerahkan tenaga, Saburo menendang
pintu kamar itu. Mereka seketika terpaku menyaksi-
kan Naoko duduk di atas tatami menunggu kedata-
ngan mereka.
Saat mereka mendekat, Naoko mengangkat pisau di
tangannya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Aku ka-
lah. Tetapi aku tidak menyerah.”
Selesai mengucapkan kata-katanya, Naoko secepat
kilat menancapkan pisau di tangannya ke urat leher-
nya.
***

PERANG TERAKHIR
PESTA pora masih berlangsung di pusat perkemahan
Oda Nobunaga. Api unggun dan tari-tarian diadakan di
mana-mana. Para prajurit minum-minum sambil mem-
bicarakan tentang kemenangan mereka. Beberapa di
antaranya mendendangkan lagu tradisional untuk
menghibur bagi prajurit yang terluka.
Bagian logistik telah bekerja keras untuk me-
muaskan para prajurit yang baru kembali dari medan
perang. Mereka mengeluarkan semua minuman yang
lezat serta buah-buahan segar. Pada saat seperti itu,
tampak mereka tak ingat lagi pada kekalahan Hosoka-
wa.
Nobunaga juga ikut mabuk-mabukan. Dia tertawa
terus tanpa henti sambil memegangi perutnya yang
buncit. Bersama sejumlah panglima perangnya, Nobu-
naga menikmati semua makanan yang dihidangkan.
Dengan bangga ia mengisahkan kemenangan-keme-
nangan sebelumnya. Para panglimanya sambil minum
sake mendengarkan dengan penuh kekaguman.
Malam gelap gulita. Bulan telah lenyap di balik
awan. Lereng bukit yang mereka jadikan pusat per-
kemahan dikeliling hutan dan sungai Imaji. Nobunaga
sengaja memilih tempat itu untuk menciptakan perta-
hanan. Pikirnya, sungai itu akan menjadi penghalang
musuh untuk menyerang. Demikian pula hutan prem
yang lebat di belakang mereka.
“Apakah kira-kira yang sekarang dipikirkan oleh
Mayeda Toyotomi?” Nobunaga bertanya. Ketika tak se-
orang pun menjawab ia melanjutkan, “Main perem-
puan, karena kalau kepalanya sudah dipenggal dia tak
mungkin bisa melakukannya.”
Seketika orang-orang tertawa bergelak. Mereka se-
kali lagi meneguk sake dari cawan.
Seorang panglimanya bertanya, “Bagaimana Yang
Mulia dapat menaklukkan Mayeda dengan sekali pukul
padahal dia baru saja mengalahkan Hosokawa?”
“Harus ada yang berani berkorban,” jawab Nobu-
naga tenang. “Tidak ada kemenangan tanpa pengor-
banan.”
“Maksud Yang Mulia?”
“Maksudku harus ada orang yang seperti Hoso-
kawa.”
“Apakah itu berarti Yang Mulia mengorbankannya?”
“Itu hanya taktik untuk memperoleh kemenangan.”
Kata-kata itu diucapkan dengan tenang, bahkan
agak mabuk, namun pengaruhnya sangat hebat bagi
para panglimanya. Mereka semua sukar memahami ja-
lan pikiran Nobunaga, namun bila menyangkut taktik,
bukan mustahil suatu saat mereka akan menghadapi
sesuatu yang mengerikan. Nobunaga sering me-
nunjukkan sikap suka mempermainkan kehidupan se-
seorang. Baginya kematian adalah bukti kesetiaan ter-
tinggi pengikutnya.
Sambil menikmati sake, mereka bersenda-gurau.
Sesekali Nobunaga tertawa tergelak-gelak mendengar-
kan leluconnya sendiri.
Pada saat yang sama, dari dalam hutan, ribuan pa-
sukan Imagawa mulai bergerak mendekati pusat per-
kemahan itu. Cuaca yang gelap gulita membuat keda-
tangan mereka tersembunyi. Dengan hati-hati pasukan
Imagawa terus bergerak.
Di sisi lain, Mayeda Toyotomi memimpin hampir tiga
ribu pasukan menyeberangi sungai. Suara arus air
yang deras membuat gerak mereka tak terdengar. De-
ngan hati-hati Mayeda menyebar pasukannya untuk
mengepung perkemahan itu.
“Dekati mereka sedekat mungkin,” kata Mayeda pa-
da prajuritnya. “Kita akan berikan kejutan bagi Nobu-
naga.”
“Benar dugaan Yang Mulia Imagawa, mereka sedang
berpesta pora.”
“Ya.”
“Pelajaran untuk kita, jangan suka mabuk keme-
nangan dan lengah dalam peperangan.”
Angin malam bertiup sepoi-sepoi. Udara dingin
menggigit tulang. Dalam cuaca seperti itu, tak seorang
pun pasukan Nobunaga ingin meninggal tenda atau
api unggun. Satu persatu mulai terlelap. Tak peduli
nyamuk mendenging di sekitarnya. Keletihan dari me-
dan perang dan pesta sake membuat kelopak mata me-
reka serasa lengket. Akhirnya mereka tidur pulas.
Nobunaga berjalan menuju tendanya terhuyung-
huyung. Terlalu banyak sake membuat lelaki itu kehi-
langan kesadaran. Sesampainya di tenda, ia langsung
menggelimpang seperti sapi siap disembelih. Sebentar
kemudian mulai terdengar dengkurnya yang panjang
dan pendek.
Pada saat itulah Imagawa memberikan perintah pe-
nyerbuan. Kesunyian seketika meledak bagai prahara.
Panah api yang ribuan jumlahnya menghujani kemah-
kemah pasukan Nobunaga, membakar tenda, mem-
buat panik semuanya.
Seseorang berteriak, “Kita diserang!”
“Ya, kita diseraaang!”
“Lindungi Yang Mulia Nobunaga!”
“Ya, cepat selamatkan jiwa junjungan kita!”
Teriakan-teriakan terdengar, ditingkah pekik sera-
ngan dari musuh. Ribuan samurai yang sedari tadi su-
dah siap menyergap, kini bagai derap kaki binatang ga-
nas mengobrak-abrik benteng pertahanan Nobunaga.
Prajurit yang masih sadar mencoba melawan, namun
musuh terlampau kuat. Hanya beberapa saat terjadi
adu senjata, dan berakhir dengan kematian pasukan
Nobunaga.
Karena merasa tak sanggup melawan, ribuan praju-
rit mencoba melarikan diri dengan menyeberangi su-
ngai. Tetapi di sana tiga ribu pasukan Mayeda telah
menunggu. Dengan kekejaman yang dilandasi hasrat
membalas dendam, orang-orang Mayeda mengamuk
tanpa belas kasihan. Mereka menerjang dan memban-
tai pasukan Nobunaga dengan kekejaman yang tak ter-
lukiskan.
Sungai itu seketika dipenuhi pekik kematian. Darah
mengucur mewarnai air yang jernih. Mayat-mayat ter-
apung, mirip sampah yang terbawa arus sungai. Kege-
lapan malam itu seketika berubah menjadi medan pe-
rang yang sangat mengerikan. Tubuh-tubuh terpeng-
gal, kepala lepas dari lehernya, dan isi perut terburai
keluar. Suatu penjagalan terjadi secara besar-besaran.
Mayeda telah sampai di tepi sungai bersama lima
belas pasukannya.
“Kita cari Nobunaga!” kata Mayeda dalam nada pe-
rintah. “Aku tak ingin dia lolos!”
Mereka segera berjalan sambil menghadapi lawan
yang masih punya keberanian menerjang. Namun te-
kad serta hasrat pembalasan dendam Mayeda telah
menjadi kekuatan yang mengerikan. Ia menebas mu-
suh bagai menebas pohon pisang. Tak ada belas kasi-
han atau pengampunan. Setiap musuh yang muncul,
langsung ditebas pedang.
Nobunaga terbangun ketika pengawalnya memba-
ngunkannya.
“Yang Mulia, kita diserang!”
“Diserang?”
“Benar. Pasukan Imagawa telah mengepung kita.”
Sambil terhuyung-huyung Nobunaga berdiri. Ia me-
ngerjap-ngerjapkan matanya. Namun pengaruh sake
membuat ia tak cepat menyadari keadaan.
“Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia?”
“Seberangi sungai.”
“Pasukan Mayeda telah menyeberangi sungai untuk
mengepung kita.”
“Sungai dipenuhi pasukan Mayeda?”
“Benar, Yang Mulia.”
“Mati aku!”
Baru saja Nobunaga selesai bicara, enam pengawal-
nya datang.
“Cepat selamatkan Yang Mulia Nobunaga, bawa
mundur ke arah lereng bukit!”
Dengan susah payah para pengawalnya menarik
Nobunaga menuju ke lereng bukit. Tetapi di luar tenda
pertempuran sudah terjadi dengan hebat. Kekacauan
terjadi di mana-mana. Suara pedang dan perisai geme-
rincing diikuti jeritan orang sekarat. Mayat-mayat telah
menggunung.
Nobunaga diseret menuju ke arah lereng bukit, te-
tapi baru seratus langkah meninggalkan tenda, Ma-
yeda telah berhasil menyusul.
“Berhenti kalian!” teriak Mayeda menghentikan lang-
kah mereka. “Serahkan Nobunaga pada kami!”
Tanpa membuka percakapan, para pengawal Nobu-
naga menerjang dengan pedang mereka. Serangan ini
disambut dengan terjangan pasukan Mayeda. Terjadi
pertempuran seru satu lawan satu. Para pengawal
yang sebagian tidak ikut pesta sake rupanya dapat
memberikan perlawanan yang hebat. Mereka adalah
pendekar-pendekar pedang pilihan.
Mayeda menerjang dengan ganas, ia menebas de-
ngan penuh kemarahan. Salah seorang pengawal No-
bunaga menjerit ketika kedua tangannya terpenggal,
dan sebelum jeritannya berhenti, Mayeda telah mene-
bas punggungnya. Kematian lawannya membuat Ma-
yeda punya kesempatan mengejar Nobunaga.
Dengan terhuyung-huyung Nobunaga merangkak,
lalu mencoba berlari ke arah lereng bukit, tetapi pe-
ngaruh sake membuat dirinya kehilangan kekuatan.
Napasnya terengah-engah, dahinya berkeringat. Sebe-
narnya ia malu melarikan diri seperti itu, tetapi kea-
daan dirinya tidak memungkinkan untuk melawan.
Nobunaga berjalan terhuyung-huyung, tiba-tiba ia
merasakan seseorang menjambak rambutnya, kemu-
dian menyeretnya kembali ke arah medan perang. No-
bunaga merasa pening, ia merasakan akar rambutnya
serasa mau lepas dari kulit kepala. Dengan sekuat te-
naga Nobunaga mencoba melepaskan diri, namun
cengkeraman itu demikian kuat.
“Lepaskan aku!” jerit Nobunaga dengan tangan
menggapai-gapai. “Kau tidak pantas memperlakukan
diriku seperti ini!”
“Aku Mayeda Toyotomi bersumpah akan melepas-
kan kepalamu!”
Nobunaga masih terengah-engah, belum menyadari
sepenuhnya apa yang ia hadapi ketika Mayeda men-
gayunkan pedang memenggal kepalanya.
***

PENOBATAN
MALAM hari. Di salah satu ruang ruangan di istana
Suruga, berkumpul Saburo Mishima, Bapa Lao, Ishida
Mitsunari, Mayumi, dan Takeshi. Mereka tengah mem-
bicarakan rencana penobatan Yoshioka sebagai sho-
gun penguasa wilayah Owari. Semua orang terdiam ke-
tika Saburo membuka rahasia yang selama ini ia sim-
pan, bahwa Koyama sesungguhnya bukan Yoshioka,
tetapi anaknya—Kojiro. Ia menceritakan kisah penge-
pungan Konishiwa sesaat ia berhasil menyelamatkan
diri dari pembantaian yang dilakukan Nobunaga.
“Bagaimanapun kita harus menobatkannya sebagai
penerus Ashikaga,” kata Mitsunari. “Bila kita tidak me-
lakukan upacara penobatan, rakyat akan risau dan
curiga. Mereka dapat menuduh kita tak lebih penya-
mun biasa yang berjuang di balik kedok putra Ashika-
ga.”
“Tetapi bagaimana kalau akhirnya mereka menge-
tahuinya?”
“Kita harus berusaha mereka tidak mengetahuinya.”
“Caranya?”
“Selama ini mereka tidak mengetahui, jadi kita ha-
rus mempertahankan keadaan itu. Jangan sampai rak-
yat tahu bahwa Kojiro yang kita nobatkan menjadi
shogun.”
“Kalau Yoshioka kembali?”
“Banyak cara untuk melenyapkannya.”
“Maksudmu?”
“Ya, kita singkirkan dia.”
Bapa Lao berkata, “Kita jangan terburu-buru, ba-
nyak cara yang dapat kita pikirkan untuk mengatasi
keadaan ini. Sesuatu yang diawali dengan pembu-
nuhan, tidak akan pernah membawa berkah. Kita ha-
rus memikirkan suatu jalan keluar yang bijaksana.”
Mitsunari menukas, “Bapa Lao, saat ini semua telah
menganggap Kojiro sebagai Yoshioka. Dan Yoshioka
sendiri tidak ada yang mengetahui dia di mana. Ja-
ngan-jangan dia sudah meninggal. Karena itu jalan sa-
tu-satunya adalah menobatkannya sebagaimana di-
pikirkan orang. Selain itu, dia toh sudah berjuang ke-
ras untuk mempertahankan penyamarannya. Dia....”
Tiba-tiba seorang pengawal masuk.
“Tuanku Saburo, ada dua orang memaksa mene-
robos masuk, katanya dia adalah putra Ashikaga.”
Semua orang terperanjat. Sesudah saling berpan-
dangan, akhirnya Saburo berkata, “Bawa dia masuk.”
Sesaat kemudian Yoshioka muncul bersama Genza.
***
Upacara penobatan itu berlangsung pagi harinya. Bapa
Lao memimpin jalannya upacara. Seribu samurai meng-
ikuti urut-urutan upacara sakral tersebut dengan rasa
haru dan hormat. Suatu masa baru telah datang, me-
lewati masa penuh dendam dan peperangan.
Yoshioka memasuki ruangan untuk menjalani upa-
cara penobatan sebagai shogun. Bapa Lao mencukur
rambutnya sebagai tanda bahwa ia resmi menjadi sho-
gun Yoshioka Ashikaga.
Dekrit yang pertama dikeluarkan oleh Yoshioka Ashi-
kaga:
Ishida Mitsunari diangkat menjadi panglima perang
tertinggi.
Takeshi menjadi panglima perang.
Mayumi diberi kekuasaan atas benteng Imaji.
Bapa Lao diangkat sebagai pemimpin pendeta ista-
na.
Saburo Mishima dan Kojiro anaknya dikabulkan
permohonannya untuk meninggalkan istana sebagai
samurai pengembara.
Genza diangkat menjadi pembersih pedang dan
pembawa sandal Yoshioka.
***

SHUGYOSA
MATAHARI terbit memancarkan sinarnya yang lembut.
Jalan Akasuka tampak masih lengang. Hanya bebe-
rapa petani mulai meninggalkan rumah menuju sa-
wah.
Kojiro berlari-lari kecil mengejar capung. Beberapa
kali ia hampir berhasil, namun capung itu selalu ter-
bang menjauh. Karena jengkel, Kojiro mengeluarkan
pedang, lalu menebas capung yang sedang terbang.
Capung itu tertebas menjadi dua bagian.
Saburo yang melihat kejadian itu hanya tersenyum
masam.
“Ayah,” kata Kojiro sambil mendekati ayahnya. “Ke-
napa ayah menolak untuk menjadi panglima perang?
Bukankah dengan menjadi panglima hidup kita tercu-
kupi?”
“Dalam hidup, ternyata ada yang lebih penting dari
sekadar jabatan.”
“Maksud Ayah?”
“Misalnya kearifan untuk menerima kekalahan. Pe-
ngalamanku yang lalu, selalu menyadarkan diriku pa-
da kekalahan. Karena apa, sebagai panglima perang
aku tak dapat menghindari peperangan. Dan setiap pe-
perangan akan selalu meninggalkan bekas kekalahan.
Karena itu daripada aku selalu dihadapkan pada pepe-
rangan, lebih baik hal itu kuhindarkan.”
“Itu sebabnya Ayah memilih menjadi shugyosa?”
“Ya. Dengan menjadi shugyosa kita menjadi bebas.
Ke mana pun pergi tak ada yang menghalangi. Kita be-
nar-benar merdeka. Tidak seorang pun bisa mengikat
kita.”
“Seperti capung....”
“Ya, bisa juga seperti capung. Tapi kita harus hati-
hati agar tak ada anak yang menebas tubuh kita.”
Kojiro menatap ayahnya. Lalu tersenyum.
“Dengan menjadi shugyosa, kita akan memiliki ba-
nyak pengalaman, menempa ilmu pedang, dan menja-
lani kehidupan tanpa rasa terikat pada apa pun.”

SELESAI

Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel

https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978

Anda mungkin juga menyukai