Anda di halaman 1dari 168

1

Kolektor E-Book

Awie Dermawan

Foto Sumber oleh Awie Dermawan

Editing oleh D.A.S

2
Kolektor E-Book

Tarian Maut Di
Lembah Gunung
Karya KAMIKAZE

3
“KARATE
tidak boleh dipergunakan untuk menyerang!” pesan
gurunya Yoko. Akan tetapi kini...
Duapuluh ujung pedang samurai yang berkilau-kilauan
mengitari dirinya Yoko. Ia harus cepat mengambil
keputusan.
Terdengar teriakan Yoko bagaikan guntur! Duapuluh
penyerangnya lantas mundur beberapa langkah.
Wajah Yoko berubah tegang! Tangan kirinya melurus
lempang ke muka, sedangkan tangan kanannya yang
terkepal mengeras bagaikan batu perlahan-lahan
menaik ke atas melewati kepalanya. Seluruh tubuhnya
bergemetar menahan kekuatan dalam yang maha
dahsyat.
Setindak demi setindak duapuluh penyerang itu
melangkah maju pula.
Tiba-tiba terdengar seruan: “SERANG!”

***

4
Yoko ditugaskan oleh gurunya untuk membasmi
kejahatan yang merajalela di pulau Kyushu. Seorang
diri Yoko mendatangi sarangnya penyebar maut.
Ketika menghadapi musuhnya, Yoko terpesona…
Karena musuh-besar itu adalah seorang wanita yang
cantik luar biasa!

5
Percetakan “SUNRISE” Order No. 11-3000 bk.

6
Kamikaze:

Tarian
Maut
di
Lembah
Gunung

Penerbit “SUNRISE” Jakarta

7
Dewi Uzume-no-Mikoto menggerakkan kipasnya
dengan penuh gaya. Para gadis itu tak ada yang
bersuara, mereka terpengaruh oleh suara yang
bagaikan mempunyai kekuatan dahsyat. Dengan
kipasnya dewi Uzume memberi tanda kearah gadis-
gadis yang memegang tambur. Serentak terdengar
pula suara seruling, diseling dengan suara tetabuhan.
Sang dewi melemaskan tubuhnya. Ia mulai menari
dengan kipas ditangan. Gayanya sangat menarik dan
halus. Perlahan-lahan menuruti irama yang mengalun
ia menggerakkan tangannya ke atas ke bawah.
Matanya melirik tajam ketika kepalanya bergetar ke
samping. Kipasnya bergerak pula dengan gaya yang
mempesonakan. Lemas sekali tubuhnya!
Suara tetabuhan keras nadanya. Tariannya si cantik
makin indah, makin menggairahkan. Makin tajam
lirikan matanya.
Yoko terperanjat. Dibelakang gerakan tarian yang
lemah-lunglai kelihatan itu tersembunyi suatu
kekuatan yang maha dahsyat!
Yoko mengenalinya! Itulah gerakan Karate!! Kekuatan
yang amat berbahaya bagi kemanusiaan jika
dipergunakan salah oleh orang yang tak bertanggung
jawab! Ia yakin wanita cantik itu tinggi sekali ilmunya.

8
Siapakah gerangan si jelita itu, pikir Yoko dengan
cemas. Peluh dingin keluar membasahi seluruh
tubuhnya.
Sekonyong-konyong pikiran jernih menguasai pula
dirinya. Alangkah kagetnya Yoko, ketika ia insaf bahwa
ia kini berada dalam sarangnya dewi Uzume-no-
Mikoto! Dan tarian itu adalah tarian maut di lembah
pegunungan Asosan! Cara bagaimanakah ia bisa
berada ditempat ini? Yoko tidak sempat
memikirkannya, karena kedua matanya kini melihat
pandangan yang lebih hebat lagi. Suara seruling dan

9
Illustrasi : SIAUW

Hak cipta diperlindungkan Undang-undang

10
TARIAN MAUT di LEMBAH GUNUNG
Diceritakan oleh: KAMIKAZE

Y0K0 berdiri terpesona. Ia berdiri tegak di atas batu-


batu karang. Matanya menatap kemuka, memandang
penuh kagum ke arah laut bebas. Laut bergelombang
dengan dahsyatnya gemuruh suaranya membisingkan
telinga. Ombak datang bergulung-gulung dan buyar
memukul tepi pantai Michiman di kepulauan Kyushu.
Di kejauhan terlihat samar-samar pulau Aoshima,
tertutup rapat oleh kabut tebal yang serupa tirai putih.
Yoko menghirup udara pagi. Hawa sejuk masuk ke
dalam tubuhnya, nyaman dan menyegarkan.
Matahari mulai menampakkan dirinya di sebelah
timur, ufuk kini memerah bagaikan terbakar.
Perlahan-lahan Yoko turun dari atas bukit batu karang.
Ia berjalan mengikuti jalanan kecil nan berliku-liku.
Sebuah pedang samurai yang besar hitam terikat pada
pinggangnya dan sebentar-bentar beradu membentur
kantong kulit yang tergantung pada punggungnya.

11
Tiba-tiba Yoko berhenti. Matanya melihat sebuah
telaga yang dikelilingi pohon-pohon besar dan
tumbuh-tumbuhan yang lebat. Yoko menjerit
kegirangan.
Kini ia dapat membersihkan tubuhnya dalam air telaga
yang jernih itu. Ia bermaksud akan mengganti
pakaiannya yang sudah kotor penuh debu.
Ia berlari seraya bersiul-siul ke tepi telaga. Diatas
rumput nan hijau ia lemparkan pedang samurainya. Ia
menjangkau kantong kulit yang tergantung pada
punggungnya. Kantong itu berat sekali. Ia membuka
tali pengikatnya dan membalikkan kantong itu.
Pakaian keluar berserakkan dan akhirnya jatuhlah
ribuan uang yen diatas rumput. Sebuah golok pendek
pun terdapat di dalam kantong itu, namun Yoko tidak
mengeluarkannya.
Yoko menjumput sebuah yen dan tertawa. Dengan
mempunyai uang itu ia tidak akan khawatir akan
penghidupannya disebuah desa atau di mana saja. Ia
dapat membeli makanan dan lain-lain keperluannya.
Ia akan mendapat penghargaan dan kehormatan
dalam perjalanannya. Bahkan lebih daripada itu: dia
akan dapatkan kecintaan, mungkin cintanya... seorang
gadis cantik!

12
Ketika pikirannya melayang-layang sampai di situ,
Yoko bercermin diatas permukaan air telaga nan
jernih. Melihat wajahnya di permukaan air, ia
tersenyum. Memang tidak sukar baginya akan
mencari kekasih. Mukanya cakap dan tubuhnya tinggi-
besar, tidak seperti lain-lain pemuda Jepang. Gadis
manakah yang tidak terpesona melihat pemuda
gagah-perkasa seperti Yoko?
Segera ia menanggalkan pakaiannya dan terjun
kedalam air.
Memang Yoko adalah seorang pemuda tampan dan
menarik, hampir tak ada tandingannya. Seringkah dia
mengangkat kepalanya ke atas mengucapkan terima
kasihnya kepada para Dewata yang telah
menganugerahkan dirinya kecantikan dan kesaktian
yang luar biasa.
Air telaga sangat nyaman. Yoko puas sekali ber-
kecimpungan. Sejenak kemudian ia melompat naik ke
tepi dan mengeringkan tubuhnya di bawah sinar
matahari. Segera ia memakai pakaiannya yang bersih.
Hari sudah mulai siang.
Yoko mengikat pula pedang samurai pada pinggang-
nya, menggantungkan kantong kulitnya, lalu berjalan

13
perlahan-lahan di hutan itu akan mendapatkan
sebuah desa.
Ia sedang asyik menaiki sebuah bukit, ketika
sekonyong-konyong dia mendengar suara orang
bicara. Cepat-cepat Yoko melihat ke bawah. Nampak
dua pemuda desa sedang bercakap-cakap. Wajah
kedua pemuda itu berkerut-kerut, Rupanya mereka
sedang memperbincangkan sesuatu hal penting,
namun Yoko tidak mendengar tegas kata-kata kedua
pemuda itu.
Yoko tersenjum. Ia segera bersembunyi di semak
belukar, sambil tetap memperhatikan kedua pemuda
itu.
Mereka ini tidak mengetahui bahwa mereka sedang
diintai oleh Yoko, namun mereka berbicara dengan
berbisik-bisik.
Tiba-tiba Yoko meloncat keluar.
Serentak kedua pemuda itu menoleh. Wajah mereka
tegang dan cemas.
“Ohayo gozaimas — Selamat pagi.” seru
seorang di antaranya seraya membungkukkan badan-
nya. “Apakah kau datang membawa perdamaian atau
permusuhan?!”

14
Yoko membalas ucapan selamat itu seraya
membungkukkan juga badannya.
“Aku datang dengan maksud baik,” sahut Yoko
“Aku mengharapkan persobatan yang hangat dari
kalian. Janganlah khawatir yang aku ada membawa
pedang samurai.”
Yoko maju ke muka. Dipegangnya bahu pemuda yang
bertanya tadi dengan tangan kanannya.
“Namaku Yoko! Aku datang dari sebuah desa di-
pulau Okinawa Aku datang ke pulau ini atas perintah
sensei 1. Guruku menugaskan aku untuk melakukan
sesuatu pekerjaan. Aku tidak mempunyai sahabat di
pulau Kyushu ini, maka sangat kuharapkan
pertolongan kalian memberikan petunjuk-petunjuk
yang berharga.”
Yoko bersenyum seraya menatap wajah pemuda yang
masih remaja itu. Pemuda itu mengalihkan
pandangannya, tundukkan kepalanya dan menatap
bayangan tubuh Yoko di atas tanah di bawah kedua
kakinya.
Dengan kemalu-maluan pemuda itu berkata:

1
Guru

15
“Aku adalah Sakuni dan dia itu Kanemon.
Ayahnya Kanemon menjadi kepala desa. Ibunya
adalah kakaknya ibuku, jadi kami berdua masih
bersanak.”
Yoko menganggukkan kepalanya kearah Kanemon.
“Apakah kalian sudah mendapat berkahnya
dewi Uzume-no-Mikoto?” tanya Yoko lalu bersenyum.
Mendengar pertanyaan itu, Sakuni dan Kanemon
memandang wajah Yoko dengan mata penuh
kecemasan. Terlihat perasaan takut yang tak ter-
hingga pada kedua wajah pemuda itu.
“Yoko,” tegur Sakuni, “janganlah kau
sembarang berbicara tentang dewi Uzume. Mungkin
kau tidak tahu karena kau masih asing di kepulauan
ini. Dewi Uzume sangat berkuasa. Bila dia murka, pasti
kau akan lenyap dari muka bumi ini.”
“Ha-ha-ha!” tawa Yoko. “Aku datang ke pulau
ini justru untuk mencari dewi yang kau takuti itu.”
“Yoko! Sekali lagi kuperingatkan. Aku bukan
bicara main-main!” hardik Sakuni dengan sungguh-
sungguh.
Yoko tersenyum.

16
“Baiklah, buat sementara aku akan menurut
nasehatmu, sobat. Tapi sekarang aku hanya butuhkan
pertolonganmu akan mendapatkan tempat mondok
untukku.”
“Marilah ikut aku,” ujar Kanemon yang dari
setadi diam saja. “Aku akan memperkenalkan dikau
pada ayahku.”
Seraya bersiul-siul Yoko mengikuti Kanemon dan
Sakuni pergi ke rumah bapak kepala desa itu.
Matahari asyik pencarkan sinarnya yang panas. Yoko
menyusut peluh yang mengalir membasahi dahinya.
Tidak lama berjalan, tibalah mereka di sebuah tanah
datar, di mana nampak banyak rumah-rumah desa.
Desa itu sangat sunyi. Penghuni-penghuninya sedang
sibuk melakukan pekerjaannya masing-masing. Ada
yang membajak di sawah, ada yang berdiam di hutan.
Yang tinggal di rumah hanya kanak-kanak dan orang-
orang tua saja.
Melihat Kanemon dan Sakuni membawa seorang
pemuda asing yang gagah-perkasa, mereka menjadi
keheran-heranan, namun mereka diam saja.
Sejenak tibalah ketiga pemuda itu di muka sebuah
rumah yang besar. Kanemon melangkah masuk ke-

17
dalam mencari ayahnya. Tapi dari serambi berjalan
keluar seorang gadis remaja.
“Teruko!” teriak Kanemon, “dimanakah ayah?”
Teruko memandang keluar pintu. Anak dara itu
merasa heran melihat kakaknya membawa seorang
pemuda tak dikenal.
“Ayah sedang keluar, Kanemon,” sahut Teruko
dengan suara merdu.
Kanemon mempersilahkan Yoko masuk kedalam.
“Yoko, inilah adikku, Teruko,” ujar Kanemon,
memperkenalkan sang tamu pada adik perempuan
nya.
Yoko menganggukkan kepalanya, dibalas dengan
senyuman oleh Teruko yang lalu mengundurkan diri
dan masuk kedalam pula.
“Duhai, alangkah cantik adiknya Kanemon!”
kata Yoko dalam hati.
Kanemon mempersilahkan tamunya dan Sakuni
berduduk. Tidak lama Teruko keluar pula dengan
membawa senampan penuh cawan-cawan dan
sebuah teko teh. Teruko telah salin2 pakaiannya, kini

2
ganti

18
ia mengenakan kimono hijau-tua bertaburan bunga-
bunga kecil. Ikat pinggangnya berwarna hitam. Cantik
menarik nampaknya.

Perlahan-lahan dia menuangkan teh kedalam cawan-


cawan yang diletakkan diatas sebuah meja pendek.

19
Setelah selesai ia masuk pula ke dalam, diawasi oleh
Yoko dan Sakuni dengan hati berdebar debar.
Ketiga pemuda itu segera asyik bercakap cakap.
Tiba-tiba di ambang pintu berdiri seorang laki-laki tua.
Ia tidak memakai baju, maka otot-otot pada dada dan
bahunya terlihat nyata sekali. Ia memakai celana
hitam yang kotor penuh lumpur.
Melihat ayahnya pulang, Kanemon lekas-lekas bangkit
berdiri.
Bapak Hiragai, meski usianya sudah lanjut, masih
terlihat gagah. Ia menatap Yoko dengan penuh
perhatian. Sinar matanya tajam sekali.
Kanemon memperkenalkan Yoko pada ayahnya.
Yoko membungkukkan badannya memberi hormat.
Begitupun Sakuni. Bapak itu menganggukkan kepala-
nya. Kedua matanya terus memperhatikan Yoko
dengan penuh curiga.
“Anak muda, kau datang dari mana? Apakah
maksudmu datang ke desa sepi ini dengan membawa
senjata?”
“Bapak, namaku Yoko. Aku datang dari pulau
Okinawa. Aku datang kesini akan mencari keterangan

20
dan mendapatkan tempat pondokan untuk
sementara. Aku sedang menjalankan tugas yang diberi
kan oleh guruku.”
Bapak Hiragai merasa simpatik pada Yoko yang
berbicara dengan sopan-santun.
“Tentang tempat menginap kau tak usah cari
kemana-mana. Kau boleh tinggal di sini, bila
kedatanganmu ini bermaksud baik. Kebetulan aku
mempunyai sebuah kamar kosong. Namun tugas
apakah yang kau harus lakukan?”
“Sensei perintahkan aku akan mencari itu
penari maut yang menamakan dirinya dewi Uzume-
no-Mikoto,” sahut Yoko.
Kedua mata bapak Hiragai terbelalak.
“Apa katamu? Kau hendak mencari dewi
Uzume?!” seru bapak Hiragai dengan terperanjat.
“Betul, bapak. Aku hendak mencari dewi Uzume
yang telah menyebarkan maut dan malapetaka di
kalangan rakyat jelata.”
Bapak Hiragai menggeleng-gelengkan kepalanya.
Matanya bersinar suram.

21
“Lebih baik kau kembali saja ke Okinawa, anak-
muda. Sebab mencari dewi Uzume berarti mencari
mati! Apapula kalau kau hendak melawan dia!”
Yoko tersenyum. Ia merasa sangat heran mengapa
para penduduk desa takut benar pada dewi Uzume.
Bapak Hiragai masuk kedalam akan memakai baju dan
menukar celananya yang kotor dengan lumpur itu.
Sakuni memohon diri.
Ketika bapak Hiragai keluar pula, sang putera masuk,
meninggalkan tamunya. Teruko keluar membawa
cawan teh untuk ayahnya, yang diletakkan di
hadapannya. Perlahan lahan dia isikan pula cawan
Yoko. Teruko mencuri pandang kearah pemuda yang
tampan itu. Tersiraplah darahnya ketika lirikannya
bertumbukan dengan pandangan Yoko yang tengah
menatap dirinya dengan kagum. Dengan wajah merah
padam Teruko tersipu-sipu masuk kedalam.
“Mencari dewi Uzume adalah tugas yang
diperintahkan oleh guruku.” menerangkan Yoko. “Aku
tidak boleh kembali sebelum selesai menjalankan-
nya.”
“Itulah suatu tugas yang sangat berbahaya!
Pahlawan-pahlawan Shogun juga tidak berani mencari
dewi itu, meskipun mereka tahu dewi itu mengganggu

22
rakyat,” kata bapak Hiragai, “Masakan gurumu tidak
mengetahui hal itu? Apakah ia kira dengan mengirim
kau seorang diri saja, dia akan berhasil menumbang-
kan kekuasaan dewi Uzume yang sangat sakti itu?”
Yoko menghela napas panjang. Ia tundukkan kepala
nya. Ia belum pernah melihat wajahnya dewi Uzume.
Ia belum mengetahui sampai dimanakah kesaktian
wanita penyebar maut itu. Namun tugas tetap
merupakan tugas! Bagaimana berbahayapun harus
dijalankannya juga. Masih bergemalah di telinganya
perintah gurunya yang diucapkan pada suatu pagi:
“Yoko, muridku! Kau harus melakukan suatu
tugas yang sangat berbahaya, namun aku yakin kau
dapat menjalankannya. Berlakulah selalu ramah
tamah dalam perjalananmu. Jangan pamerkan
Karatemu! Karate bukan untuk menyerang. Karate
hanya untuk membela diri! Jagalah dirimu agar jangan
sampai membikin heboh dan ditangkap oleh
pahlawan-pahlawan Shogun. Pergilah ke pulau Kyushu
dan binasakan itu wanita penyebar maut yang
menamakan dirinya dewi Uzume-no-Mikoto! Itu
wanita jahat yang berani memakai nama dewi yang
sangat agung. Hancurkanlah semua kekuasaan dan
pengaruhnya! Terimalah ini pedang Samurai, pedang
sakti dari perguruan kita. Jagalah baik-baik senjata

23
pusaka ini. Waspadalah dalam tugasmu! Kembalilah
ke Okinawa dengan membawa kemenangan!”
Yoko tersedar dari lamunannya ketika bapak Hiragai
berkata:
“Dewi Uzume bertahta di lembah pegunungan
Asosan yang sangat curam. Letaknya di sebelah utara
dari desa ini. Aku sendiri tidak tahu tempatnya yang
benar, karena aku tidak berani pergi ke pegunungan
itu. Tiada seorangpun yang mempunyai nyali akan
mencari dewi itu.”
“Bapak yang berbudi, apakah aku boleh tinggal
untuk beberapa hari di rumah bapak sebelum pergi
mendaki pegunungan itu? Aku ingin menyelidiki lebih
lanjut tentang kekuasaan dewi maut itu,” memohon
Yoko.
Maksud Yoko sebenarnya bukanlah untuk menyelidiki
tentang dewi Uzume, karena keterangan apakah yang
ia harus cari lagi? Letak tempatnya dewi itu sudah
diberitahukan oleh bapak Hiragai. Bahaya-bahayanya
pun sudah dibentangkan. Namun sesungguhnya Yoko
hendak tinggal beberapa hari dirumah itu, karena
tertarik oleh kecantikannya Teruko. Sinar mata gadis
yang redup-redup alang itu telah menggoncangkan
hatinya.

24
Menurut keterangan gurunya, dewi Uzume luar biasa
cantiknya. Apakah kecantikan sang dewi itu melebihi
kecantikannya Teruko? Entahlah! Yoko ingin sekali
menanyakan soal itu pada bapak Hiragai, namun ia
tidak berani. Lagipula bukankah bapak tua itu telah
mengatakan yang ia belum pernah melihat dewi
Uzume?
Bapak Hiragai tertawa, seakan-akan mengetahui
rahasia hati Yoko.
“Kau boleh tinggal di rumahku sesuka hatimu,
Yoko. Tetapi kau harus maklum, bahwa sebagai orang
desa aku tidak dapat melayani kau dengan sepantas-
nya.”
“Soal itu janganlah bapak pikirkan. Aku sudah
merasa girang bukan kepalang yang bapak sudi
perkenankan aku bernaung di sini,” sahut Yoko.

***

Hawa udara semakin siang semakin panas. Matahari


pencarkan sinarnya bagaikan membakar. Tiba-tiba
angin menghembus sangat kerasnya. Daun-daun dan
ranting-ranting pohon bergerak-gerak bagaikan

25
hendak patah. Debu di jalanan naik mengepul
berputar-putaran. Awan hitam menutupi sang surya.
Cuaca mulai gelap.
Ibu Kanemon berlari-lari masuk kedalam rumahnya.
Tercenganglah dia ketika melihat suaminya asyik
bercakap-cakap dengan seorang pemuda yang tak
dikenal.
Baru saja nyonya Hiragai melangkah masuk kedalam,
Yoko bangkit berdiri dan menghaturkan hormatnya.
“Bu, inilah tamu Yoko yang akan menginap
beberapa hari dirumah kita. Ia datang dari Okinawa,”
memperkenalkan Hiragai.
Nyonya tua itu membalas hormatnya Yoko seraya
bersenyum. Ia tidak berkata-kata. Sambil persilahkan
Yoko duduk pula, nyonya tua itu masuk kedalam
mencari puterinya.
Angin keras tidak lama disusul oleh turunnya hujan
yang amat lebatnya. Gemuruhlah suara itu.
Hiragai bangkit berdiri.
“Yoko, untuk sementara kau boleh pakai
kamarnya Kanemon. Kau tidur saja berdua dengan
Kanemon pada malam ini. Esok pagi akan kusuruh

26
Kanemon bersihkan kamar belakang untuk kau pakai
sendiri.”
“Janganlah bapak terlalu merepotkan diri untukku.”
Kanemon keluar pula dan mengajak Yoko ke
kamarnya.
“Kau perlu beristirahat, Yoko. Jangan berlaku
sungkan-sungkan,” ujar Kanemon. Tangannya
menjangkau kantong kulitnya Yoko untuk dibawa
masuk. Namun Yoko telah mendahuluinya
menyambar buntalan itu.
Bapak Hiragai masuk ke ruang dalam, diikuti oleh Yoko
dan Kanemon.
Hujan turun makin lebat. Suara guntur menggelegar-
gelegar. Sebentar-bentar terlibat cahaya kilat yang
menyilaukan bagaikan hendak membelah bumi.

27
II

KENTRONGAN RONDA terdengar dua kali dipalu.


Hujan tidak turun lagi, namun udara malam itu masih
gelap-gulita. Yoko tidak dapat tidur. Ia bulak-balik saja
diatas sebuah balai-balai. Di lain sudut dari kamar itu
terdapat sebuah balai-balai pula yang ditidurkan oleh
Kanemon. Rupanya Kanemon juga tak dapat pulas,
karena hawa udara dingin sekali.
Di atas sebuah meja pendek nampak lampu pelita
yang berkelak-kelik. Tak terdengar suara sedikitpun
jua.
Yoko rebah tertelentang. Ia memandang ke atas atap
rumah, namun dalam pikirannya sedang berkecamuk
berbagai-bagai persoalan. Apakah sang guru tidak
mengetahui yang dewi Uzume sangat saktinya?
Apakah sang guru yakin, bahwa dia seorang diri saja
dapat menghancurkan kekuasaannya penari maut itu?
Gurunya tentu tidak akan mengirimkan dia, jika beliau
tidak tahu pasti muridnya akan dapat binasakan
wanita iblis itu! Rupanya kepercayaan Yoko pada
gurunya menjadi makin tebal, karena tiba-tiba ia
mengkretakkan giginya dan berkata seorang diri:

28
“Aku akan binasakan wanita iblis itu! Percuma
aku mempelajari ilmu bertahun-tahun, kalau aku tak
dapat lawan seorang wanita, biarpun dia sakti luar
biasa. Percuma aku menjadi muridnya sensei yang
tersohor dan disegani di kepulauan Okinawa!”
Diluar rumah keadaan sunyi sepi. Angin malam
berdesir-desir menyeramkan.
Pikiran Yoko beralih pada Teruko. Ia tersenyum.
“Sungguh aku beruntung, baru saja
menjejakkan telapak kakiku di pulau ini, aku sudah
bertemu seorang gadis cantik rupawan. Namanya pun
sangat merdu terdengarnya: Teruko. Teruko! Apakah
dewi Kannon yang sudah jumpakan kita berdua?”
Terbayanglah senyuman Teruko yang menggiurkan.
Lirikan mata Teruko yang redup-redup alang
mendebar-debarkan jantungnya Yoko. Apakah kini
Teruko sedang tidur dan mimpikan dirinya? Yoko
melamun.
“Tolong! Toloong!! Tolooong!!!”
Terdengar tiba-tiba suara orang wanita berteriak.
Yoko cepat-cepat lompat dari pembaringannya. Ia
menyambar pedang samurainya, hendak berlari

29
keluar. Namun Kanemon telah bangkit dan
menghadang di tengah-tengah pintu kamar.
“Yoko, jangan keluar!” seru Kanemon cemas.
“Tunggu dulu! Kita menantikan ayah dulu!”
“Nanti terlambat, Kanemon! Orang itu perlu
segera ditolong. Kita tak dapat membiarkan dia
diancam bahaya!” hardik Yoko tak sabar.
“Kau tidak tahu keadaan di desa ini, Yoko!
Mungkin mereka itu adalah orang-orangnya dewi
Uzume yang hendak menculik wanita itu! Kalau benar
dugaanku, kau akan menghantarkan jiwamu pada
malam ini Yoko!”
“Dewi Uzume?!” teriak “Yoko. “Kebetulan
sekali! Memang aku hendak berjumpa padanya!
Minggir Kanemon! Jangan menahan aku!”
“Toloong!! Tolooong!!” terdengar pula suara
jeritan di malam buta. Keras, penuh nada ketakutan.
Tak sabar Yoko mendorong Kanemon kesamping.
Segera ia membuka pintu dan berlari-lari keluar. Di
serambi muka Yoko bertemu bapak Hiragai. Ia ini
sedang berdiri. Wajahnya tegang dan matanya
menatap amat suram.

30
Yoko membuka pintu muka. Bapak Hiragai berseru
keras melarang dia, namun Yoko tak menghirau
kannya. Segera ia lompat keluar dan berlari pesat ke
arah suara d jeritan.
“Tolong Toloong!!”
Jeritan itu kini lemah suaranya. Tapi lebih
menyeramkan dan menyayatkan hati.
Bagaikan terbang Yoko melesat ke muka. Ia tiba di
jalanan yang becek dengan air hujan. Cuaca sangat
gelapnya. Berdebar-debarlah hati Yoko. Ia percepat
larinya!
Tiba-tiba ia melihat seorang gadis sedang menjerit-
jerit di hadapan dua orang laki-laki berpakaian hitam.
Rupanya kedua penjahat ini hendak menculik gadis-
remaja itu. Kini yang berbadan lebih kurus memeluk
mangsanya, yang segera meronta-ronta kecemasan.
Sedangkan satunya lagi yang berkumis segera
menghunus pedangnya! Kedua matanya bersinar
memandang kesana kemari bagaikan serigala, siap
sedia akan bertempur. Pedang samurai berkilau-
kilauan di tangannya.
Perlahan-lahan Yoko bergerak mendekati. Matanya
berkilat-kilat digelap. Tiba-tiba ia tertawa dengan
kerasnya! Kedua penjahat itu terperanjat.

31
“Hai, kawan-kawan! Kenapa kau hendak
melarikan gadis itu?!” bentak Yoko lantang.
Si Kumis berdiri cepat dengan mata berapi-api.
Si Kurus lekas-lekas melepaskan pelukannya dan
segera menghunus pula pedangnya. Tegang wajah
mereka! Yoko melirik ke arah gadis itu yang
bergemetar ketakutan.
“Hm! Sungguh manis korbanmu itu!” mengejek
Yoko. “Namun apakah kalian tidak dapat berbuat lebih
sopan terhadapnya?”
“Jangan banyak cakap!” hardik si Kumis dengan
gusar. “Siapakah kau, bocah cilik?! Jangan campur
urusan kami, kalau kau masih mau hidup terus!”
“Ha-ha-ha!” tawa ejek Yoko. “Kau masih
tanyakan siapa aku ini? Bukankah kau sudah sebut
namaku: Bocah-cilik? Sekarang lepaskan wanita itu!”
Si Kumis tidak berkata-kata lagi. Ia menikam dengan
hebatnya. Pedang bergerak menyambar ke arah tubuh
Yoko! Cepat bagaikan kilat Yoko mengelakkan diri.
“Tahan dulu!” seru Yoko. “Beritahukan dulu
apakah kalian orang-orangnya dewi Uzume, itu wanita
iblis penyebar maut?”

32
Kedua penjahat merasa sangat heran yang Yoko tidak
pandang mata pada dewi sakti itu. Untuk menakutkan
Yoko, si Kumis berkata: “Betul, kami pahlawan-
pahlawan dewi Uzume no-Mikoto. Enyahlah dari sini,
kalau kau tidak mau binasa di tangan pahlawan-
pahlawannya dewi yang mulia Uzume!”
“Ha-ha-ha! Ha-ha-ha!” tawa Yoko pula. “Sangat
kebetulan sekali pertemuan kita ini. Maukah kawan-
kawan hantarkan aku menjumpai dewimu?”
Si Kumis dan si Kurus tertegun. Suara tawa Yoko
menggetarkan hati mereka.
Tiba-tiba si Kurus teriakkan si Kumis: “Sudah, jangan
pedulikan dia! Lekas kita berlalu dari tempat ini!”
Kini si Kurus menghampiri pula gadis remaja itu yang
sudah compang-camping pakaiannya. Anak dara itu
sudah lelah tak berdaya. Kedua matanya yang basah
dengan airmata menatap mengharukan pada Yoko
memohon pertolongan.
“Hai! Tahan dulu! Mengapa kalian hendak pergi
lekas-lekas?” tegur Yoko seraya bergerak mendekati.
Si Kurus tak menghiraukan seruan Yoko. Ia masukkan
pedangnya dan membungkuk mendukung mangsa-
nya.

33
“Ha-ha-ha! Apakah dewi Uzume lebih cantik
daripada gadis itu?” mengejek Yoko.
Si Kumis mengerutkan keningnya. Ia yakin Yoko sudah
hilang ingatannya. Masakan dia begitu berani
mengejek-ejek dewi sakti Uzume, kalau dia bukan
seorang gila? Ia sendiri yang sudah bertahun-tahun
malang-melintang di dunia langlang buana, gentar
kepada dewi Uzume. Jangan kata mengejek dan
berniat berjumpa, mendengar namanya saja bulu
romanya sudah berdiri.
Kini si Kurus dan si Kumis membalikkan tubuhnya.
Mereka melangkah hendak meninggalkan Yoko.
Sekonyong-konyong Yoko loncat tinggi keatas!
Bagaikan terbang dia lewati kepala-kepalanya kedua
penjahat itu.
“Hai! Berhenti!” seru Yoko seraya turun meng
injak bumi.
“Minggir!” bentak si Kumis terperanjat.
Berbareng si Kurus meletakkan mangsanya dan
mencabut samurainya pula.
Dengan serentak mereka menerjang. Ganas bagaikan
banteng terluka. Sambaran pedang-pedang samurai
bertubi-tubi mengancam jiwa Yoko. Menderu-deru

34
suaranya. Mendadak si Kumis berteriak keras dan
memperhebat serangannya. Samurainya bergerak
dengan tikaman yang membinasakan.
Yoko tersenyum. Bagaikan naga mengamuk di lautan
dia loncat kesana-kemari mengelakkan diri. Ia
perlihatkan kegesitan tubuhnya yang cekatan luar
biasa.
Sebentar ia melesat tinggi keatas, sebentar ia lompat
dengan lincahnya ke samping.
Melihat Yoko memandang rendah pada mereka,
kedua penjahat itu berteriak keras dengan gusarnya.
Kini mereka keluarkan segala ilmu dan tipu yang
membahayakan lawannya.
Di dalam gelap pertempuran makin seru. Cahaya
pedang berputar-putaran, menikam-nikam kesana-
sini dengan dahsyatnya. Kedua penjahat itu tinggi juga
ilmunya. Mereka sebentar-bentar berteriak-teriak
mengerahkan seluruh tenaganya.
Yoko tertawa makin keras. Sekonyong-konyong
dengan sigapnya ia menendang! Tendangan tepat
menghantam lambung si Kumis. Seraya berteriak dia
roboh terpental. Tapi pada saat itu juga pedang si
Kurus turun menyambar ke arah kepala Yoko! Tak
sempatlah Yoko mengelah pula. Cepat laksana kilat,

35
tangannya naik keatas. Ia keluarkan tenaga dalamnya
dan menghantam samping pedang samurai dengan
bagian bawah dari telapak tangan kanannya.
Pedang si Kurus terpental patah, melayang jauh ke
atas. Serentak Yoko melontarkan pukulan! Si Kurus
jatuh sambil keluarkan suara mengerikan.
Yoko berdiri tegak. Mendadak matanya menatap
tajam ke muka, jauh kearah gelap.
Bapak Hiragai dan Kanemon serta beberapa penduduk
desa nampak berjalan mendatang. Kanemon
membawa obor.
Yoko menunggu dengan tersenyum.
“Bapak Hiragai, dua penjahat ini adalah
pahlawan-pahlawannya dewi Uzume. Kini mereka
sudah tak berdaya lagi. Apakah bapak ingin
menghukum mereka?”
Wajah bapak Hiragai berubah pucat. Tidaklah berani
dia menghukum anak buahnya dewi Uzume. Ia kuatir
akan pembalasan kejam dari sang dewi.
“Lepaskan saja,” sahut bapak Hiragai.

36
“Apa?” seru Yoko dengan herannya. “Lepaskan
mereka tanpa diberi hukuman? Bapak sungguh
bijaksana!”
Bapak Hiragai tidak berkata-kata lagi. Puteranya pun
tak bersuara.
Melihat bapak dan anak itu tak bersemangat, Yoko lalu
ambil keputusan: “Bila mereka memberitahukan
padaku tempatnya dewi Uzume, barulah aku merdeka
kan mereka. Bila tidak, niscaya akan kubacok lengan-
lengan mereka!”
Yoko menoleh kearah si Kumis yang bergemetar
karena ketakutan.
“Hai! Kau orang boleh pilih! Menghantarkan
aku kehadapan dewi Uzume atau tinggalkan disini
lengan-lenganmu!” ujar Yoko sambil mencabut
samurainya.
Si Kumis lekas-lekas berlutut di hadapan Yoko. Dengan
suara gemetar ia berkata: “Aku bukan orang-orangnya
dewi Uzume. Tadi aku sudah mendusta. Aku belum
pernah bertemu muka dengan dewi sakti itu. Namun
aku mendengar bahwa dewi Uzume sering menari di-
lembah gunung Asoaan.”

37
“Bedebah!” teriak Yoko. “Kau berani
mendustakan aku! Baik, aku ampunkan kau. Tetapi
kau harus hantarkan aku ke lembah itu.”
Para penduduk desa kini diam-diam pada bubar.
Mereka takut mendengar Yoko menyebut-nyebut
nama dewi Uzume.
“Kasihanilah selembar jiwaku, pendekar muda,”
meratap si Kumis. “Aku tidak berani pergi ke
tempatnya dewi Uzume. Lebih baik kau bunuh saja
diriku daripada aku harus menghantarkan kau ke
lembah maut itu. Aku takut menghadapi hukumannya
dewi Uzume!”
“Aduh! Aduh!” meratap si Kurus yang masih
menggeletak di tanah karena ia luka parah.
“Dasar kau bernyali tikus! Dengan seorang
wanita saja kau begitu takut!” bentak Yoko dengan
gusar.
Bapak Hiragai melangkah maju. Kini kepala desa itu
berbesar hati mendengar kedua penjahat itu bukan
nya pahlawan-pahlawan dewi Uzume.
“Bagaimana, Yoko? Apa kita hukum saja kedua
penjahat ini?”

38
Yoko tertawa melihat kelakuan bapak Hiragai yang
mendadak sontak jadi bersemangat dan berani.
“Tidak, bapak Hiragai. Aku sudah janjikan
kemerdekaan pada mereka, kalau mereka memberi-
tahukan tempat kediaman dewi Uzume.'“
“Tetapi mereka tidak mau menghantarkan kau
ke tempatnya sang dewi,” ujar bapak Hiragai pula.
Yoko tersenyum.
“Sudahlah, biar aku pergi seorang sendiri saja
akan menjumpai dewi Uzume. Aku ingin lihat
tampangnya sang dewi yang begitu ditakuti bagaikan
iblis.”
“Dia lebih kejam daripada iblis,” bisik si Kumis.
“Sudah! Jangan banyak cakap lagi,” bentak Yoko
“Enyahlah dari kampung ini! Bila kau orang berani lagi
mengganggu keamanan desa ini, pastilah aku binasa
kan kalian!”
Seraya menundukkan kepalanya, si Kumis mendukung
si Kurus. Lalu dengan terhuyung-huyung ia meng-
hilang di malam gelap.

39
Yoko memandang ke sekitar tempat itu. Ia mencari
gadis yang tadi hendak diculik. Rupanya gadis itu telah
lari pulang ke rumahnya ditengah Yoko bertempur.

40
III

SANG SURYA baru saja mengintip dari sela-sela


pegunungan. Kabut tebal menutupi bumi. Hawa udara
dingin sekali.
Nampak seorang gadis cantik berpakaian kimono
putih dengan ikat pinggang warna hijau asyik berjalan
seorang diri. Geta — bakiak yang melekat pada kedua
kakinya yang kecil mungil tak henti-hentinya
memperdengarkan suara berirama di pagi hari itu.
Suasana tenang. Angin pagi menghembus sepoi-sepoi
basah.
Gadis itu berjalan ke sebuah kuil yang menjulang tinggi
keangkasa dilembah pegunungan, yang kini tertutup
kabut putih. Si cantik masuk kedalam kuil yang megah-
indah itu, melewati ruang yang sangat luasnya. Kini
nampak dia berlari-lari kearah patung dewi Kannon
ditengah ruang. Di hadapan patung besar yang terbuat
daripada batu putih itu ia berlutut dengan hikmatnya.
Kedua belah bibirnya yang merah delima berkemak-
kemik mengucapkan doa.
Tidak beberapa lama ia bangkit berdiri, keluar lagi
kesamping kuil. Ia berjalan terus tanpa menoleh,

41
melewati jalanan yang sangat bersih. Jalanan
membiluk kekiri, lalu melurus curam dari atas bukit.
Keadaan tetap sunyi-sepi. Tidak kelihatan seorang
manusiapun, tidak terdengar suara lain kecuali
kicauan ungas dan bunyinya geta yang menginjak
batu-batu kecil.
Si gadis berjalan terus, masuk kedalam semak-semak
belukar, lalu menghilang di sisi batu-batu gunung yang
sempit. Kini dihadapannya nampak sebuah istana
yang sangat indahnya. Istana itu tidak besar, dikelilingi
pepohonan dan tanaman-tanaman yang terawat
sangat baik. Pohon-pohon bunga tumbuh sekelompok
demi sekelompok dengan lebatnya. Bunganya bagus-
bagus beraneka warna menyiarkan bau harum
semerbak.
Si gadis berjalan menghampiri istana itu. Perlahan-
lahan dia dorong pintu rumah. Ia melangkah masuk
dan tanggalkan geta-nya. Di dalam ruang muka
nampak sebuah meja pendek di atas permadani yang
sangat indah. Sebuah pigura melukiskan pemandang-
an alam tergantung pada dinding. Selain daripada itu
tidak terdapat lain lain barang.
Si gadis bergerak masuk kelain ruangan. Ia masuk
kedalam sebuah taman yang sungguh indah luar biasa.

42
Ditengah-tengah taman terdapat kolam renang yang
airnya jernih kebiru-biruan. Pancuran yang mengalir-
kan air memperdengarkan suara berkerosokan,
menimpa batu-batu pualam yang teratur rapi.
Ditaman itu terlihat pohon-pohon bunga berbaris-
baris. Gadis cantik itu berjalan terus sambil menatap
ke muka bagaikan tak menghiraukan taman yang
seindah taman surga itu. Ia melewati jalanan yang
berlantaikan ubin merah tua yang berkilat-kilat. Si
jelita membeluk ke kanan.
Di muka sebuah pintu sorong ia berhenti. Perlahan-
lahan ia mengetuk. Wajahnya agak tegang selagi
menantikan suara dari dalam. Sejenak terdengar suara
nan halus merdu: “...Masuk”
Si jelita mendorong pintu itu. Ia melangkah masuk dan
menutup pintu pula. Perlahan-lahan ia melangkah
kesebuah undak-undak, dimana tergantung sebuah
tirai sutera berwarna merah. Dengan hati berdebar-
debar ia menyingkap tirai itu. Terlihatlah seorang
wanita muda sedang berduduk diatas pembaringan
senya menatap tajam kemuka. Ia bergaun kimono
halus nan putih metah. Wanita itu sangat cantik,
menggairahkan. Kulitnya halus putih bagaikan salju
gunung Fuji. Kedua matanya nan indah bersinar

43
mempersonakan di atas mana berpeta sepasang alis
hitam yang melengkung bagaikan pelangi. Sungguh
luar biasa kecantikannya wanita itu!
“Ada apakah, Muzume? Pagi-pagi benar kau
menjumpai aku,” terdengar suara wanita cantik itu.
Si gadis membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
“Selamat pagi, bi-jieng,” sahut si gadis dengan
suara agak gemetar. “Aku datang membawa berita
untuk dewi.”
Wanita cantik itu tersenyum, “Berita penting apakah
sampaikan engkau begitu tergesa-gesa datang
jumpakan aku? Ceritakanlah, Hana.”
Hana, si bunga jelita, menghampiri lebih dekat.
“Kemarin pagi di bawah kaki gunung telah
datang dua orang laki laki. Rupanya mereka adalah
kawanan perampok. yang satu berkumis dan
menamakan dirinya Uwahige, sementara yang tinggi
kurus bernama Sitaki. Mereka menceritakan pada
penduduk desa, bahwa seorang pemuda gagah
perkasa sedang mencari dewi Uzume-no-Mikoto.
Pemuda itu katanya sangat sombong, ia berani
mengejek-ejek bi-jieng. Kini ia berada di desa sebelah
selatan kota Miyazaki. Katanya ia datang di pulau

44
Kyushu untuk membasmi dan menghancurkan
kekuasaan dewi Uzume.”
“Apa?!” teriak sang dewi dengan gusar tak
terhingga. “Siapakah bedebah itu? Darimana datang
nya?”
Hana agak gemetar tatkala berkata.
“Kedua perampok sudah menyelidiki tentang
pemuda itu. Namanya Yoko, berasal dari pulau
Okinawa dan kini bernaung untuk sementara di
rumahnya kepala desa Hiragai.”
Dewi Uzume kerutkan keningnya. Matanya bersinar
garang memandang kemuka. Wajahnya nan indah
mempersonakan kini berubah menakutkan. Kedua
halisnya bergerak naik keatas. Namun kecantikannya
tetap nampak, tak hilang sedikilpun. Heran, malah kini
tampaknya sang dewi lebih cantik! Lebih gairah dan
merangsang!
“Hm! Rupanya si perampok-peramok itu sudah
dipecundangi oleh si pemuda sombong! Maka ia telah
menyelidiki asal-usulnya dan sengaja menyebarkan
cerita dikalangan penduduk agar supaja kabar itu
sampai ke telingaku.” Dewi Uzume diam sejenak. Lalu
ia berbisik seraya mengulum senyumannya.

45
“Yoko?! Apakah ia berparas cakap?”
Hana menundukkan kepalanya dengan wajah ber-
semu merah. “Itu tak diterangkan oleh mereka.”
“Apa lagi yang diceritakan perampok-perampok
dungu itu, Muzume?”
“Katanya psmuda itu ingin menyaksikan tarian dewi!”
Sang dewi tertawa. Dengan gaya manja ia
menggeliatkan tubuhnya yang lemah-gemulai, lalu
berkata : “Baik, Hana! Kau boleh mengundurkan diri.
Aku akan mencari jalan untuk mengajar adat pada
pemuda itu. Bila dia buruk dan dungu, dia harus
binasa! Tetapi bila dia tampan, gagah-perkasa serta
pintar… dia harus berhamba padaku!”

***

Yoko menghentikan Inngkahnya.


“Bapak, jalan manakah yang menuju ke gunung
Asosan?” tanya Yoko pada seorang petani tua yang
membajak sawah dengan asyiknya.

46
Petani itu menghentikan pekerjaannya dan
memandang Yoko dengan heran.
“Apakah kau hendak mendaki gunung Asosan?”
balas tanya petani itu.
“Betul, bapak. Kata orang, puncak gunung
Asosan amat indahnya, maka aku ingin sekali melihat-
nya.”
“Bila kau ingin dengar nasehatku, lebih baik
janganlah kau teruskan maksudmu itu, anak-muda,”
ujar bapak tani dengan sungguh-sungguh. “Dilembah
gunung tidaklah aman, sangat berbahaya. Tak ada
seorang-pun di desa ini yang berani mendakinya.”
Yoko pura-pura tidak mengetahui akan bahaya itu.
“Apakah banyak binatang buas?”
Bapak tani keluar dari sawatmja dan menghampiri
Yoko lebih dekat. Dengan suara sangat perlahan dia
rbfirbisik: “Kau seorang asing tentu tidaklah tahu
bahwa di pegunungan Asosan ada bertachta dewi
Uzume-no-Mikoto. Kita tidak berani mendaki gunung
itu karena kuatir akan menggusarkan dewi Uzume.
Kalau sang dewi murka, itulah berarti bencana!”
“Apakah sang dewi itu cantik?” menanya Yoko
sambil tersenyum.

47
“Konon kabarnya dewi Uzume cantik luar biasa.
Kecantikannya bagaikan sang Ratu Malam. Aku
pernah mendaki gunung Asosan ketika diperintahkan
oleh dewi untuk membetulkan kuil Kannon yang
terletak dilembah gunung itu. Aku telah bertemu
dengan para muridnya dewi yang semuanya cantik-
jelita. Kalau murid-muridnya begitu elok parasnya,
apapula sang dewi sendiri. Mungkin benar-benar dewi
Rembulan sudah menjelma kedalam dunia, dan kini
sedang bertaehta diatas gunung Asosan.”
Wajah Yoko berkilat-kilat karena hasrat petualangan
nya kini merangsang-rangsang.
“Bapak, aku ingin sekali berjumpa pada dewi
Uzume. Tunjukkanlah aku jalannya” mohon Yoko.
“Tidak mungkin kau menemukan sang dewi. Bila
kau memaksa hendak mendaki gunung Asosan, berarti
kau mencari mati” ujar bapak tani dengan sungguh-
sungguh. “Hai! Apakah kau bukan itu anak-muda yang
bernama Yoko?!” serunya tiba-tiba.
Yoko terperanjat. Ia tidak duga, bapak tani itu
mengetahui namanya.
“Betul, bapak. Darimanakah kau tahu namaku?!”

48
“Hm! Lekaslah kau pergi dari sini! Kau sudah
bercakap-cakap dengan daku. Kalau salah satu murid-
nya dewi mendapat tahu, pasti aku mendapat susah!”
hardik bapak tani yang berubah menjadi kasar. Ia
membalikkan tubuhnya hendak melangkah ketengah
sawah akan meneruskan pekerjaannya.
“Tunggu dulu. Bapak! Aku mau bertanya
sebentar. Kalau kau sudah menjawabnya, segera aku
akan pergi dan tidak mengganggu lagi.”
Bapak tani menoleh. Pikirnya lebih baik ia menjawab
saja pertanyaan Yoko, supaya bebas dari gangguan
pemuda asing yang bersorenkan pedang samurai di
pinggangnya.
“Bapak, dari manakah kau dapat tahu namaku Yoko?”
Petani itu melihat dulu kesekitarnya. Kemudian ia
menyahuti
“Beberapa hari yang lalu telah datang dua orang
laki-laki kedesa ini. Mereka menceritakan penduduk
desa, bahwa di sebelah selatan kota Miyazaki ada
seorang pemuda bernama Yoko yang mengejek-ejek
dewi Uzume dan hendak menumbangkan kekuasaan-
nya. Yoko ingin menyaksikan tarian sang dewi, ia akan
membunuh dewi sakti itu dengan pedang samurainya.

49
Ia hendak membakar dan menghancur-leburkan
istana sang dewi.”
Yoko tertawa terbahak-bahak.
“Apakah mereka itu perampok-perampok yang
berkumis dan yang berbadan tinggi-kurus?”
“Bahwa mereka ada perampok, itu aku tidak
tahu. Yang aku tahu ialah si Kumis bernama Uwahige
dan si kurus bernama Sitaki. Pada tubuh si kurus itu,
yang mungkin berasal dari Korea, kelihatan bekas-
bekas luka parah.”
“Terima-kasih, bapak. Kini aku sudah mendapat
keterangan cukup dari bapak. Aku tak mengganggu
lagi padamu.”
Yoko sangat mendongkol kepada perampok-
perampok itu. Tentu mereka bermaksud agar supaya
dewi Uzume mendapat tahu akan kedatangannya dan
mencelakakan dirinya. Kini sang dewi tentu sudah
murka dan sedang menantikan kedatangannya, pikir
Yoko.
Ketika Yoko hendak berlalu, ia berseru pada si bapak
tani yang sudah berada ditengah sawah: “Bapak,
tunjukkanlah jalannya kemana aku harus menuju!”

50
Tapi bapak tani tak menghiraukan seruan Yoko. Ia
membajak terus tanpa menoleh. Yoko tak memaksa.
Ia melangkah kearah utara dengan penuh semangat.
Belum lama berjalan, tibalah dia disebuah
perkampungan. Para penduduk memandang Yoko
dengan penuh perhatian, namun mereka berdiam diri
saja. Yoko mananyakan jalan menuju lembah gunung
Asosan, tapi tidak seorangpun yang berani
memberikan keterangan. Mereka semuanya
menggeleng-gelengkan kepala menyatakan tidak
tahu. Rupanya penduduk kampung tahu, bahwa
mereka berhadapan dengan Yoko, itu pemuda
sombong yang menangtang dewi Uzume.
Terpaksa Yoko berjalan terus Ia pergi kearah timur,
membelok ke utara lalu mengikuti jalanan kecil yang
melingkar-lingkar. Sebentar-bentar ia tiba di suatu
jalanan buntu, namun ia tidak lekas putus asa. Ia balik
lagi dengan hati penasaran. Lama juga Yoko berputar-
putar, masuk keluar semak-semak dan melewati
selokan-selokan, tapi akhirnya ia tiba disebuah jalanan
yang menanjak. Kegirangan dia melari-lari mendaki
jalanan itu yang betul saja menuju keatas bukit di
lamping pegunungan Asosan.

51
Hawa udara sejuk nyaman. Matahari bersinar di-balik
kabut-kabut putih. Karena ingin lekas sampai di-
puncak, Yoko telah berjalan amat cepatnya. Berkat
ilmunya yang tinggi ia tidak menjadi lelah. Ia kerahkan
seluruh tenaga dalamnya, hingga makin cepat ia
bergerak. Akhirnya ia berlari bagaikan terbang.
Kini tibalah Yoko di simpang jalan. Ia berhenti
sebentar. Dikejauhan nampak sebuah kuil yang men-
julang tinggi keawan yang kelu-u-biruan Nah, itulah
rupanya kuil yang dimaksudkan oleh bapak tani h Hati
Yoko girang bukan kepalang, ternyata ia tidak kesasar.
Kini ia tiba ditempat dewi Uzume! Ia ringankan
tubuhnya, lalu melesat cepat kekuil itu.
Dimuka kuil yang sangat indah-agung, Yoko berdiam
sejenak. Keadaan disekitarnya sunyi-aenjap, Tiada
seorang manusia yang luuncul. Tiada sesuatu yang
mencurigakan. Hanya terdengar suara angin meniup
bersilir-silir diantara daun-daun pepohonan yang
tumbuh sangat lebatnya. Ungasungas berkicauan
sangat riangnya, berterbangan dan melompat lompat
dengan berisiknya dari satu kelain dahan. Bunga-
bunga sedang berkembang dan menjiarkan bau
harum semerbak.

52
Hati Yoko berdebar- debar. Agak menyeramkan
suasana dalam kuil itu, terlampau sepi. Kemudian ia
mengitari kuil itu Dibelakang kuil ia melihat sebuah
taman yang sangat indah dan mengesankan, dengan
bungc-bunga yang beraneka warna.
Sayang, Yoko tidak dapat melihat jalanan kecil yang
tertutup rapat dengan pepohonan disudut taman.
Itulah jalanan yang menembus kelamping gunung,
ialah jalanan rahasia keistananya dewi Uzume!
Perlahan-lahan Yoko membalikkan tubuhnya.Ia
berjalan pula kedepan. Keadaan masih sunyi sepi.
Sejenak Yoko berdiri tegak dimuka pintu. Bayangan
nya terlukis nyata di tanah. Tubuh yang tegap teguh
dan pedang samurai yang seolah-olah bersatu dengan
dirinya.
Kini Yoko melangkah masuk. Berindap-indap ia
bergerak seperti jalannya seekor serigala. Matanya
menatap tajam kedepan, berkilat-kilat penuh hasrat
pertempuran. Ia sudah siap-sedia akan menghadapi
segala kemungkinan. Selangkah demi selangkah ia
maju ke sebuah ruang yang luas. Sekonyong-konyong
matanya bersinar keheranan! Ia melihat sebuah
patung dewi Kannon yang besar. Matanya

53
memandang ke sekitar ruang itu, namun ia tidak
melihat manusia atau sesuatu yang mencurigakaunya.
Yoko bergerak menghampiri patung itu. Ia men-
jatuhkan dirinya dihadapan dewi pengasih dan
penyayang itu. Berulang-ulang penuh hikmat ia
menciumi kaki patung. Sejenak Yoko mendongakkan
kepalanya memandang wajah dewi Kannon yang
seolah-olah sedang bersenyum kepadanya.
Dengan sujud Yoko menundukkan kepalanya pula.
Mulutnya berkemak-kemik:
“Oh, Dewi cinta, pengasih dan penyayang. Dewi
nan kupuja dan kusanjung, terimalah hormat
hambamu, Yoko. Aku datang dari pulau Okinawa Kini
kebetulan aku menjumpai patung Dewi pujaanku, aku
mohon keberkahan. Semoga Dewi suka melindungi
diriku dalam menunaikan tugasku...”
Seolah-olah ada kekuatan gaib yang menitahkannya,
Yoko mengulurkan tangan kanannya akan memegang
kaki patung itu. Terkejutlah Yoko! Cepat laksana kilat
Yoko menarik tangannya kembali. Kaki patung itu yang
tadi ia rasakan dingin dan keras, kini terasa hangat dan
empuk. Apakah patung itu berjiwa?! Ketika ia hendak
memegang pula, kaki yang putih itu bergeser sedikit.
Yoko terperanjat!

54
Yoko hendak bangkit, namun dia rasakan kedua
kakinya bagaikan terpaku diatas lantai. Dengan hati
berdebar-debar keras ia mendongakkan kepalanya.
Yoko menjerit! Patung batu putih itu benar-benar
berjiwa. Dihadapannya berdiri hidup bernyawa... dewi
Kannon!! Dewi cantik itu tersenyum.
Yoko tertegun. Ia hendak berbicara namun senyuman
itu membikin dia menjadi bisu. Perlahan-lahan tangan
dewi cantik itu bergerak menurun. Jari-jari yang lentik-
halus mendekati mukanya. Tangan yang berbau
harum semerbak mengusap kelopak matanya. Ketika
jari-jari itu menyentuh kelopak matanya, tubuh Yoko
bergemetar. Rasa kantuk tak terhingga menyerang
dirinya. Kedua matanya menutup rapat. Ia paksakan
akan membukanya pula, namun dia tak bertenaga lagi.
Akhirnya Yoko tertidur nyenyak di bawah kaki patung
dewi Kannon...

***

“Muzutne Hana — gadis Hana!” terdengar


suara halus merdu memanggil.

55
Hana berlari-lari memasuki ruang dewi Uzume.
Setibanya didekat undak-undakan dia menanggalkan
sandalnya dan menjingkap tirai merah tua itu.
Dewi Uzume sedang berduduk diatas tatami —
permadani yang berwarna biru-tua.
“Pemuda Yoko kini sedang tidur njenjak
dibawah kaki patung dewi Kannon. Sungguh gagah
dan tampan rupanya! Kau akan tertawa terbahak-
bahak bila mendengar ia berteriak karena ketakutan,
ketika aku menggantikan tempatnya dewi Kannon.
Waktu ia sedang menundukkan kepalanya, aku sudah
menghilangkan patung Kannon dari pandangannya.
Kemudian aku berdiri dimuka patung itu. Ia kaget
bukan kepalang ketika meraba kakiku. Hi-hi-hi! Yoko,
Yoko! Kau hendak binasakan daku? Tetapi aku tidak
marah. Kau harus menjadi hambaku. Aku sangat
butuhkan pemuda-pemuda yang cakap gagah-perkasa
untuk mencapai tujuanku.”
Dewi Uzume tertawa. Ia membetulkan jubah putih
yang melekat pada tubuhnya, jubah yang ia telah
pakai ketika menidurkan Yoko.
“Hana menantikan perintah lebih jauh dari bi-
jieng,” menegur Hana.

56
Tanpa menoleh dewi Uzume menyahuti, “Sebentar
malam aku hendak lakukan upacara tarian.
Beritahukanlah saudara-saudaramu akan menyiapkan
segala keperluan. Yoko akan menjyaksikan tarian kita,
tapi ia tidak boleh bergerak! Matanya boleh melihat
dan pikirannya boleh sadar, namun semua anggota
tubuhnya harus lemas tak berdaya.”
“Hai, bi-jieng.'“ seru Hana.
“Bila sudah tiba waktunya, bersama-sama Bara
kau angkat pemuda itu. Letakkan dia sedikit jauh dari
tempat upacara, namun Yoko harus dapat melihat
tarian dengan tegas! Kini berikan ia Mizu Tsuki-hosji —
Air Rembulan-Bintang untuk melemahkan tubuhnya.”
“Hana akan menjalankan perintah bi-jieng”
sahut si gadis, murid yang paling dipercaya oleh dewi
Uzume.
Ketika Hana berlalu mengundurkan diri, dewi Uzume
mengguman seorang diri. “Sungguh sayang kalau aku
terpaksa membinasakan dikau, Yoko. Kau sangat,
gagah dan cakap. Mungkin kau pun pintar. Sudah lama
kucari-cari seorang pemuda idam-idamanku. Baru hari
ini aku ketemukan hasrat hatiku. Dia adalah dikau
Yoko! Kau tidak akan binasa seperti itu kerbau-kerbau

57
dungu yang berani mencoba-coba kekuasaanku. Kau
akan kujadikan... hambaku yang istimewa!”

58
IV

LAPAT-LAPAT terdengar suara seruling dibawa angin


malam, mengalun tinggi disusul suara tambur yang
ditabuh sangat kerasnya.
Yoko tersedar dan terperanjat. Ia melekkan kedua
matanya. Ia mendapatkan dirinya duduk diatas
sebuah batu besar dalam taman. Ia hendak bangkit
berdiri tapi tak kuat akan menggerakkan anggota
badannya pula.
Di manakah kini ia berada, pikirnya dengan hati
cemas.
Di kejauhan nampak berkobar-kobar api ungun
menerangi tempat itu. Di sekitarnya berdiri belasan
gadis, berpakaian kimono putih dengan ikat pinggang
berwarna kuning.
“Apakah kini aku berada disurga,” pikir Yoko.
“Bukankah gadis gadis itu sebenarnya bidadari-
bidadari yang sedang bermain-main di taman
nirwana?”
Sejenak terdengar pula suara seruling, mengalun-alun
seperti gelombang pasang. Tiupan yang menyeram-
kan!

59
Serentak gadis-gadis cantik-jelita itu menjatuhkan
dirinya berlutut diatas tanah. Suara tabuhan
terdengar semakin gencar dan keras hingga
membisingkan. Tiupan seruling kemudian berubah
nadanya. Iramanya menjadi lebih hidup dan kuat.
Sekonyong-konyong dari kegelapan keluarlah seorang
wanita. Berpakaian kimono putih dan di dadanya
melekat sebuah peniti bermata batu mirah yang
berkilau-kilauan bagaikan bara. Dengan agungnya dia
melangkah mendekati api ungun. Tangannya
memegang sebuah kipas bundar yang digerak-
gerakkan mengipasi badannya. Sungguh cantik wanita
itu!
Hati Yoko berdebar-debar. Dengan mata terbelalak ia
memandang wanita cantik itu, seakan-akan ia hendak
menelannya.
Yoko tidak mengenali, bahwa wanita itulah yang telah
menidurkan dirinya, ketika ia berlutut di bawah kaki
patung dewi Kannon.
“Hai, alangkah cantik wanita itu!” kata Yoko
seorang diri. “Belum pernah aku melihat seorang
wanita demikian eloknya! Mungkin dia wanita
tercantik di dunia ini. Atau aku kini berada disurga?

60
Masakan di dalam dunia ada seorang wanita yang
demikian cantiknya?”
Ketika wanita itu berada dekat api ungun, gadis-gadis
yang sedang berlutut dengan serentak berseru:
“Bi-jieng! Bi-jieng!”
Yoko mengerutkan keningnya. Bi-jieng? pikir Yoko. Bi-
jieng berarti wanita cantik. Jika gadis itu memanggil
dia wanita cantik, tentu si jelita itu bukannya dewi.
Melainkan seorang manusia biasa saja!
Yoko ingin menggigit jarinya akan mengetahui apakah
ia sedang bermimpi atau tidak, tetapi ia tak dapat
menggerakkan tangannya.
Kini suara seruling dan tabuhan berhenti. Wanita
cantik itu naik keatas sebuah batu besar.
“Bangkitlah, muzune-muzune — gadis-gadis!
Duduklah di tempatmu masing-masing. Aku sangat
gembira melihat wajah kalian yang cantik jelita. Aku
sangat bahagia memandang sinar mata kalian yang
suci dan setia!”
Dewi Uzume-no-Mikoto menggerakkan kipasnya
dengan penuh gaya. Para gadis itu tak ada yang
bersuara, mereka terpengaruh oleh suara yang
bagaikan mempunyai kekuatan dahsyat. Dengan

61
kipasnya dewi Uzume memberi tanda kearah gadis-
gadis yang memegang tambur. Serentak terdengar
pula suara seruling, diseling dengan suara tetabuhan.
Sang dewi melemaskan tubuhnya. Ia mulai menari
dengan kipas di tangan. Gayanya sangat menarik dan
halus. Perlahan lahan menuruti irama yang mengalun
ia menggerakkan tangannya ke atas ke bawah.
Matanya melirik tajam ketika kepalanya bergetar ke
samping. Kipasnya bergerak pula dengan gaya yang
mempesonakan. Lemas sekali tubuhnya!
Suara tetabuhan keras nadanya. Tariannya si cantik
makin indah, makin menggairahkan. Makin tajam
lirikan matanya.
Yoko terperanjat. Dibelakang gerakan tarian yang
lemah lunglai kelihatan itu tersembunyi suatu
kekuatan yang maha dahsyat!
Yoko mengenalinya! Itulah gerakan Karate!! Kekuatan
yang amat berbahaya bagi kemanusiaan jika
dipergunakan salah oleh orang yang tak bertanggung
jawab! Ia yakin wanita cantik itu tinggi sekali ilmunya.
Siapakah gerangan si jelita itu, pikir Yoko dengan
cemas. Peluh dingin keluar membasahi seluruh
tubuhnya.

62
Sekonyong-konyong pikiran jernih menguasai pula
dirinya. Alangkah kagetnya Yoko, ketika ia insaf bahwa
ia kini berada dalam sarangnya dewi Uzume-no-
Mikoto! Dan tarian itu adalah tarian maut di lembah
pegunungan Asosan! Cara bagaimanakah ia bisa
berada ditempat ini? Yoko tidak sempat memikirkan-
nya, karena kedua matanya kini melihat pandangan
yang lebih hebat lagi. Suara seruling dan tambur makin
keras, makin gemuruh. Sang dewi menari makin cepat.
Gerakan tangan dan tendangan kakinya kini keras dan
penuh tenaga! Benarlah dugaan Yoko bahwa tarian itu
memang bukanlah tarian biasa, melainkan pukulan-
pukulan dan tendangan-tendangan Karate yang
membinasakan!
Dan puluhan gadis gadis cantik yang tadinya
menonton saja kini ikut menari! Berputar-putaran
seperti naga berkecimpungan dalam samudera. Lincah
bagaikan kera, namun dahsyat tak terkira. Gerakan
tangan mereka keras sekali, berkesiur bagaikan angin.
Gerakan kaki penuh tenaga namun tetap bergaya.
Yoko bergidik. Jika puluhan gadis-gadis itu terus
berlatih hingga dapat menandingi ilmunya dewi
Uzume, niscaya dengan mudah mereka dapat
menguasai seluruh negara! Tak ada kekuatan yang
dapat melawan dan menumpas mereka!

63
Yoko ingin menerjang. Ia ingin menghunus pedang
samurainya akan membabat binasakan dewi Uzume
beserta pengikut-pengikutnya, tetapi ia tak dapat
gerakkan kaki tangannya. Ia berteriak, namun
suaranya bagaikan hilang di lehernya. Ia cemas tak
kepalang. Ia tak dapat berbuat apa-apa selainnya
menonton saja pertunjukan tarian maut itu.
Tiba-tiba dewi Uzume hentikan tariannya. Suara
tetabuhan serentak berhenti. Puluhan gadis itu pun
berhenti menari. Sang dewi memandang kearah
mereka dengan puas. Tiba-tiba ia berseru dengan
lantang:
“Dunia dewasa ini sudah penuh dengan
kebodohan dan keburukan! Sifat bodoh dan buruk itu
mempengaruhi pikiran manusia. Kaum pria telah gagal
menciptakan dunia yang bebas dari keburukan dan
kebodohan. Mereka berperang, bertarung mati-
matian namun mereka tak dapat menjernihkan dunia!
Sifat kebodohan dan keburukan itu bukan saja
meracuni alam pikiran manusia, malahan juga me-
racuni udara yang kita hirup! Maka kini adalah
kewajiban kaum wanita untuk membebaskan dunia
dari sifat-sifat itu! Inilah kewajiban kalian, wahai gadis-
gadis jelita di hadapanku!”

64
“Bi-jieng...” teriak gadis-gadis itu serentak
dengan gemuruhnya.
Dewi Uzume memandang tajam dengan matanya yang
redup alang-alang.
“Kecantikan bila dipergunakan dengan tepat
berarti kekuatan! Kecantikan harus menggantikan
keburukan. Senjata kita berdasarkan kecantikan, maka
wanita mempunyai kekuatan-kekuatan rahasia yang
dahsyat? Senjata yang paling ampuh dan tertua dalam
sejarah manusia. Dengan senjata ini kita dapat
mempengaruhi segala bidang kesenian ilmiah dan
sebagainya. Karena kaum pria bagaimanapun cerdas
otaknya, bagaimana kuatnya pun jua, namun mereka
harus menjadi budak dari kecantikan! Kita telah
berjalan jauh. Namun kita harus berjalan terus maju
kemuka sampaikan tercapai cita-cita kita yang maha-
suci. Yaitu melenyapkan keburukan dan kebodohan
dari dunia ini! Bertahun-tahun kaum wanita sudah
gagal melakukan tugasnya, namun kini kita tidak mau
dan tidak akan gagal pula! Kini kitalah yang akan
menyerang terlebih dahulu!!”
Tepuk tangan dan seruan yang sangat merdu
terdengar gegap-gempita.

65
“Wanita dipandang oleh kaum pria seperti
sebuah perahu yang dapat dikendalikan semau-
maunya. Namun kaum laki-laki tidak insyaf bahwa
sebetulnya wanita adalah sumber daripada
mengalirnya kecantikan dan... kekuatan! Itu lambang
yang melekat pada dadamu ialah seekor ular di
tengah-tengah bunga Sakura berarti kebanggaan kita.
Bila wanita berbergerak, pengaruhnya tak kelihatan.
Bila wanita menyerang, serangannya pasti
membinasakan!”
“Bi-jieng!! Bi-jieng!!”
Yoko terperanjat! Dari setadi ia diam saja
mendengarkan kata-kata dewi Uzume. Kini ia
mengetahui maksud dan tujuan dewi Uzume, yang
ingin membasmi keburukan dan kebodohan dengan
jalan kekerasan. Maksudnya dewi Uzume yang
tersembunyi pun diketahui oleh Yoko yang cerdik itu.
Ia telah tarik kesimpulan, bahwa wanita itu berhasrat
menghilangkan keburukan dan kebodohan dari dalam
dunia ini. Inilah berarti: wanita itu serta para
pengikutnya berhasrat membinasakan semua orang
yang berwajah buruk atau bercacat. Ia mengumpulkan
wanita-wanita cantik untuk dipergunakan akan
mendapatkan keturunan-keturunan yang cantik pula.
Bila dugaan Yoko tidak keliru, pasti dewi Uzume-no-

66
Mikoto akan mengumpulkan juga pria yang gagah-
gagah serta cakap!
Dewi Uzume-no-Mikoto bersenyum. Dengan gaya nan
ayu dia gerakkan kipas bundar kearah para
pengikutnya.
“Kita berkumpul pada malam ini akan
menggembleng semangat. Lagipula aku mempunyai
suatu usul yang hendak kukemukakan. Aku ingin
mengambil pula seorang muzume untuk memper-
banyak barisan kita. Gadis itu dari keluarga baik-baik.
Ia sangat pintar-cerdik dan cantik-jelita. Gadis itu
bernama Teruko, puteri tunggal dari keluarga Hiragai.
Apakah kalian setuju?”
Suara teriakan setuju serempak terdengar.
Yoko menjadi pucat! Dengan tegas ia mendengar
bahwa dewi Uzume ingin mengambil Teruko. Gadis
cantik yang telah mengisi hatinya. Teruko akan
menjadi mangsa dewi Uzume! Teruko akan diculik dan
dibawa kesarangnya dewi maut itu! Tidak!!
Dengan paksakan tenaganya, Yoko gerakkan kaki
tangannya. Tetapi bagaimanapun dia mencoba,
tidaklah dapat ia gerakkannya, walaupun sedikit saja.
Tubuhnya seperti patung batu yang tak berjiwa. Hanya
kedua matanya dapat memandang, dan pikiran-nya

67
dapat berpikir dengan sadar. Ia meronta-ronta terus.
Sejenak angin halus bersilir pada mukanya. Yoko
rasakan dua jari nan halus menyentuh kelopak
matanya, namun ia tak dapat melihat orangnya. Ia
tidak sempat membuka pula matanya, karena begitu
jari-jari itu mengusap, segera kelopak matanya
menutup rapat. Yoko merasa kantuk sekali. Ia
tertidur...

***

Dalam tidurnya Yoko merasa badannya terangkat naik


ke atas udara. Tubuhnya mengapung tinggi di udara
bebas, tak tentu arahnya. Ngeri sekali. Ia tidak tahu
berapa lama ia berada diatas udara. Ketika ia
memandang kebawah, terlihatlah seutas tali sutera
mengikat dirinya. Tali sutera itu turun kebawah.
Perlahan-lahan tali sutera itu menarik badannya. Kini
ia melayang turun Ia turun keatas sebuah kuil.
Badannya tertarik masuk melalui atap-atap kuil.
Yoko terperanjat! Matanya menatap ke bawah
keheran-heranan. Ia melihat dibawah kaki patung
Kannon ditengah ruang kuil, dirinya sedang berlutut
seraya menundukkan kepalanya. Sungguh aneh! Ada

68
dua Yoko?! yang satu sedang berlutut dan yang satu
lagi sedang melayang mendekati patung Kannon itu.
Manakah sebenarnya Yoko yang asli? Sungguh gaib!
“Apakah aku sedang bermimpi?” tanya Yoko,
seorang diri.
Ketika ia memperhatikan tali sutera yang mengikat
tubuhnya, ujung satunya lagi mengikat Yoko yang
sedang berlutut.
Perlahan-lahan Yoko bergerak turun dari atas udara,
mengikuti tarikan tali sutera itu, bergerak mendekati
Yoko yang sedang berlutut. Tali sutera makin pendek
dan makin pendek! Ia rasakan kepalanya pusing sekali.
Mendadak Yoko yang turun dari udara dengan cepat
masuk kedalam tubuh Yoko yang sedang berlutut!
Perlahan-lahan Yoko tersadar. Ia membuka kedua
matanya. Ia sangat heran. Apakah barusan dia
bermimpi, pikirnya. Mustahil dalam dunia ini bisa ada
kejadian demikian gaibnya! Ia coba gerakkan kaki-
tangannya. Ia dapat bergerak! Yoko cepat-cepat
bangkit berdiri. Di luar kuil terlihat cahaya matahari.
Dengan girang Yoko berlari keluar. Ia hirup hawa
udara pagi yang sejuk.
Sekonyong-konyong teringatlah Yoko akan
pengalamannya semalam. Terkilas dalam pikirannya

69
kata-kata dewi Uzume yang hendak mengambil
Teruko! Yoko berlari ke sisi kuil. Ia mencari itu tempat
di mana semalam telah diadakan tarian maut. Ia
berlari masuk kedalam taman yang berada dibelakang
kuil, namun tidak terlihat bekas-bekasnya.
Yoko sangat penasaran. Mendadak ia berteriak-teriak
memanggil orang, namun tiada seorang manu-siapun
yang menyahuti dia. Hanya terdengar kumandang
suaranya sendiri yang berbalik dari lamping gunung.
Seekor binatangpun tidak tertampak disekitar tempat
itu. Keadaan sangat sunyi. Terlampau sunyinya.
Yoko jatuhkan dirinya diatas rumput. Ia harus berpikir.
Cara bagaimanakah ia harus menolong Teruko dari
culikan wanita iblis itu? Bila kini ia bertemu dewi
Uzume, sudah pasti ia akan serang dan binasakan dia!
Namun jangankan dewi Uzume, para muridnya pun
tidak kelihatan batang hidungnya.
Yoko berpikir keras. Apakah mungkin semalam
bukannya dewi Uzume dan para muridnya yang dia
lihat, hanya iblis iblis penjaga kuil keramat itu?
Mungkin juga kuil itu sarangnya iblis-iblis atau setan-
setan, pikir Yoko. Bulu romanya Yoko pada bangun. Ia
merasa takut juga berada sendirian ditaman sepi yang
menyeramkan itu.

70
Sekonyong-konyong ia meraba pedang samurainya!
Senjata pusaka itu masih tetap bergelantungan pada
pinggangnya.
“Apakah semalam benar-benar aku telah
bermimpi? Pikiranku terlalu ditujukan kepada dewi
Uzume. Mungkin ketika aku sedang berlutut di
hadapan patung Kannon, aku telah ketiduran dan
mimpikan seorang wanita cantik mengusap-usap
kelopak mataku. Ha! Kini kuingat! Wanita cantik itu
serupa benar dengan dewi Uzume! Sudahlah pasti
dewi Uzume yang telah menidurkan diriku! Tidak,
tidak, aku tidak bermimpi! Mungkin kini ia
bersembunyi di dalam patung Kannon,” pikir Yoko.
Dengan hati berdebar-debar Yoko berlari masuk ke
dalam kuil. Ketika sampai di hadapan patung Kannon
yang terbuat daripada batu putih, ia memandang
dengan seksama.
“Bila dewi Uzume bersembunyi dalam patung,
darimanakah dia masuk?” pikir Yoko. Patung itu padat
sekali dan tidak ada bagian-bagian yang mencurigakan
akan dapat dipakai sebagai lubang masuk.
Tangan Yoko menekan-nekan seluruh patung besar
itu, memeriksanya dengan teliti. Tiba-tiba ia jadi
beringas.

71
“Aku tak boleh berdiam lebih lama lagi disini.
Aku harus menolong Teruko!” teriak Yoko
mengguntur. “Bila dewi Uzume sudah menculik
Teruko, pasti aku tak dapat menolongnya lagi. Aku tak
tahu di mana sarangnya dewi penyebar maut itu. Aku
harus kembali!! Aku harus lekas kembali kerumah
bapak Hiragai!!”
Yoko melangkah keluar dari dalam kuil. Dengan
pergunakan ilmu meringankan tubuh dia berlari
bagaikan terbang diatas jalanan yang menurun.
Yoko hentikan langkahnya. Ditengah-tengah jalan
kecil sempit di lamping pegunungan nampak seorang
nenek yang rambutnya sudah putih. Nenek itu duduk
menghadang ditengah jalan. Ia memegang sebuah
tongkat dari batang pohon. Bajunya sudah compang
camping dan dahinya terikat dengan sehelai kain putih
yang sudah kotor. Wajah dan lengan nenek itu sudah
keriput, menyatakan usianya sudah lanjut benar.
“Nenek, aku numpang lewat.” mohon Yoko
seraya berjalan mendekati.
Si nenek tetap berdiam diri. Ta tidak kisarkan
tubuhnya sedikitpun jua. Kedua matanya memandang
penuh kegusaran pada Yoko.

72
Karena tidak mendapat jawaban, Yoko menduga
bahwa orang-tua itu tentu sudah lemah pendengaran-
nya. Maka ia berseru pula dengan keras, mengulangi
permohonannya.
Mendengar teriakan Yoko si nenek menjadi murka
sekali. Ia angkat tongkatnya dan menuding-nuding
dengan Bengitnya.
“Kurang ajar! Apa kau kira aku tuli?! Apa kau
kira aku budakmu yang dapat dibentak-bentak?!”
Yoko terperanjat. Nyata nenek itu masih terang
pendengarannya. Mengapakah tadi dia berdiam saja
ketika ia memohon lewat?
Karena Yoko mendapat didikan baik dari gurunya,
maka ia tidak balas mencaci. Ia membungkukkan
badannya memberi hormat dan membujuk dengan
suara lemah-Iembut:
“Aku menghaturkan maaf bila perkataanku tadi
tidak sopan. Sudilah kiranya nenek memberi aku
tempat lewat? Aku hendak pulang cepat-cepat. Aku
ada urusan penting.”
Wajah si nenek tidak berubah. Ia tetap tidak mau
minggir, malahan ia pentang kedua kakinya,
menghadang jalanan sempit itu.

73
“Maaf?!”mengejek si nenek. “Hm, sudah
berlaku kurang ajar terhadap orang-tua, lalu kau
meminta maaf? Aku belum senang kalau belum
menghajar kau dengan tongkatku!”
Yoko hendak tertawa. Apakah nenek itu mengira dia
seorang bocah cilik, hendak dihajar sembarangan?
Yoko sudah hendak gerakkan kakinya akan
meloncatkan Si Nenek itu. namun dia urungkan niat-
nya. Ia kuatir nenek itu makin murka dan ia akan
berdosa bila nenek itu karena amarahnya menjadi
terluka.
Yoko memohon lagi, namun si nenek tak meng-
hiraukannya. Bila Yoko tidak mempunyai kepentingan
yang mendesak, pastilah ia akan menanti sampaikan si
nenek berubah pikirannya dan minggir ketepi. Namun
kini ia sedang mengudak waktu, ia harus secepat
mungkin sampai dirumahnya bapak Hiragai. Yoko
tidak sabar lagi.
“Nenek” ujar Yoko, “bila kau tidak mau
memberi aku lewat, terpaksa aku harus geser
tubuhmu.”
Si nenek berteriak bahna gusarnya. Wajahnya menjadi
beringas.

74
“Bedebah! Kalau tanganmu herani menyentuh
tubuhku, aku akan mampuskan dikau!”
Habislah kesabaran Yoko. Ia menghampiri si nenek.
Tangannya menjangkau. Sekonyong-konyong bagai
kan kilat, tongkat Si Nenek menyambar tangan Yoko.
Dengan terperanjat Yoko cepat-cepat menarik
kembali tangannya yang terasa sakit sekali. Sungguh
keras pukulan si nenek itu, menyatakan bahwa Si
Nenek bukan sembarang orang. Bila bukannya Yoko
yang dipentung, sudah pasti orang itu akan berteriak-
teriak bahna kesakitan.
Seraya bangkit berdiri, Si Nenek menghantam pula
dengan tongkatnya. Dengan cepat Yoko loncat
mundur kebelakang. Pukulan itu sangat dahsyatnja!
Bila pukulan itu mengenakan sasarannya, pastilah
kepala Yoko hancur remuk. Kini Yoko tidak boleh
lengah, la harus berhati-hati terhadap nenek yang
ganas itu.
Bagaikan harimau betina Si Nenek menyerang pula.
Tongkatnya bergerak membinasakan! Angin berkesiur
karena cepatnya hantaman itu. Tapi kali ini Yoko
sudah siap-sedia. Ia hendak jijal kekuatan tangannya
yang sudah terlatih bertahun-tahun lamanya.

75
Ia kerahkan seluruh tenaga dalam ke arah lengang.
Cepat laksana kilat, tangannya bergerak keatas,
menghantam tongkat yang menurun. Terdengarlah
suara bentrokan yang dahsyat! Tongkat Si Nenek
seolah-olah memukul batu. Yoko tak merasa apa-apa,
sebaliknya nenek itu terhujung mundur beberapa
langkah dengan wajah pucat.

76
“Sudahlah, nenek. Aku menyerah kalah,”
merendah Yoko. “Aku tidak bermusuhan kepada
nenek.”
“Bila kepalamu sudah kupukul hancur, barulah
aku puas!” teriak si nenek bagaikan gila. Wajahnya kini
berubah menyeramkan sekali. Rambutnya yang putih
jatuh terurai-urai diatas bahunya.
Tanpa ayal si nenek bergerak lagi. Kini serangannya
bertubi-tubi, bagaikan taufan melanda. Yoko tetap
waspada. Nyata lawannya tidak boleh dipandang
enteng. Tubuhnya sangat lemas, tapi gesit sekali. Si
nenek meloncat kian-kernsri seraya menghantam
keras dengan tongkatnya. Tenaga si nenek sungguh-
sungguh dahsyat sekali!
Karena Yoko hendak cepat cepat mengakhiri
pertempuran itu, maka Yoko kini balas menyerang.
Tongkat si nenek berputar-putar memukul tubuh
Yoko, tapi tidak ada satu pukulan pun yang mengenai
sasarannya, karena Yoko terus mengelak.
Tiba-tiba Yoko berseru dengan keras. Ia mendekatkan
si nenek. Tongkat menyambar turun ke samping Yoko.
Secepat kilat Yoko menaikkan tangan kirinya ke
samping, menahan tongkat yang selang menurun.
Mendadak dengan kecepatan luar biasa, tangan

77
kanannya memukul kebawah. Melihat tong-katnya
hendak dipatahkan, Si Nenek lekas-lekas menarik
Terlambat! Tongkatnya patah terbelah dua!
Si nenek berteriak bahna kagetnya. Cepat-cepat ia
bergerak mundur seraya memagang tongkat itu yang
tinggal separuh. Kemudian dengan sengitnya ia
lontarkan separuh tongkatnya itu kearah Yoko yang
sedang tersenyum.
Yoko tertawa, mengelakkan diri. Batang pohon itu
melesat disamping kepalanya, jatuh kedalam jurang.
Sekonyong-konyong si nenek meloncat tinggi ke
lamping gunung. Ia berlari pergi. Dalam sekejap ia
menghilang di belakang batu-batu gunung.
Yoko menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tinggi juga ilmunya si nenek,” gumannya
seorang diri “tapi mengapakah ia begitu bermusuhan
terhadapku?”
Yoko berlari melanjutkan perjalanannya.

***

78
“Hana! Hana!” seru dewi Uzume berulang-
ulang.
“Hai, bi-jieng!” sahut Hana sambi! berlari lari ke
pinggir kolam renang.
Dewi Uzume tengah herkecimpungan dalam air yang
jernih kebiru-biruan. Sejenak sang dewi naik ke tepi
kolam. Hana tersipu-sipu mengambil sebuah handuk
dan menyusuti tubuhnya sang dewi yang putih
bagaikan salju gunung Fuji.
“Apakah Himawari sudah kembali?”
“Belum, dewiku” sahut Hana sambil tertawa cekikikan.
“Mengapa kau tertawa?”
“Sungguh lucu, dewi! Ketika aku melihat
Himawari keluar dari kamarnya, ia sudah berubah
menjadi seorang nenek. Pandai benar ia menyaru
sampaikan aku tak mengenalinya. Hi-hi-hi! Kepalanya
terikat secarik kain dan ia membawa batang pohon
untuk tongkatnya.”
Sang dewi tersenyum.
“Itulah berkat ramuan daun-daun dan akar-akar
pohon yang kujadikan serupa obat untuk membikin
kulit menjadi keriput.”

79
“Sungguh bi-jieng sangat pandai,” memuji
Hana. “Kalau dewi tidak berikan obat punahnya
supaya kulit mukanya yang sudah keriput itu menjadi
halus pula seperti sediakala, pastilah Himawari akan
menggantung diri. Gadis manakah yang tidak menjadi
putus asa, bila kulit mukanya nan putih halus menjadi
keriput?”
Sejenak dari jalanan kecil yang menuju kekolam
renang itu terdengar suara langkah kaki mendatang.
Seorang gadis cantik-jelita berpakaian kimono putih
dengan ikat pinggang warna kuning berjalan
menghampiri. Matanya yang indah bersinar halus ke
muka.
Hana menoleh.
“Himawari sudah kembali, bi-jieng” serunya
kegirangan.
Sang dewi gerakkan tubuhnya yang langsing, dan
berpaling ke arah si pendatang. Air kolam masih turun
menetes notes dari kepalanya, membasahi bajunya
yang putih bagaikan butir-butir mutiara bertaburan di
atas gumpalan kapas.
“Bagaimana, Himawari — bunga matahariku?
Apakah kau berhasil menghadang Yoko?”

80
“Ampun, bi-jieng.” sahut Himawari seraya
memberi hormat dan menundukkan kepalanya.
“Pemuda itu sakti luar biasa. Aku tak dapat
melukainya. Serangan-seranganku yang berbahaya
dengan mudah saja dapat dielakkannya. Pukulan-
pukulanku yang dahsyat tak dapat menyentuh
tubuhnya. Akhirnya ia dapat patahkan tongkatku. Aku
terpaksa melarikan diri. Aku kuatir ia melukai diriku.”
Dewi Uzume tersenyum.
“Aku tidak bermaksud membinasakan dia,
Himawari. Aku hanya ingin agar ia datang terlambat di
rumahnya keluarga Teruko. Memang aku sudah duga
Yoko gagah perkasa dan tinggi ilmunya. Sudahlah, kau
telah melakukan tugasmu dengan baik. Kau boleh
mengundurkan diri saja kalau enggan turut berenang
dalam kolam ini.”
“Terima-kasih, bi-jieng,” sahut Himawari. Ia
segera berlalu.
Sekonyong-konyong Hana berkata:
“Dewi, mengapakah kau tidak menyuruh aku
yang menghadang Yoko?”
Dewi Uzume tersenyum. Senyuman yang sangat
menggiurkan dan manis bagaikan madu.

81
“Kalau aku mengirimkan dikau, aku kuatir kau
jatuh cinta pada pemuda itu.”
Muka Hana bersemu kemerah-merahan. Darahnya
tersirap naik. Ia sangat malu, maka ia lekas-lekas
tundukkan kepalanya tanpa berkata-kata pula.
Dewi Uzume tertawa.
Penuh gaya yang menggairahkan ia bangkit, berdiri.
Handuk yang menutupi tubuhnya perlahan-lahan
jatuh ke bawah. Dengan sekali enjot, tubuhnya jatuh
melesat ke dalam air. Air kolam muncrat membasahi
muka Hana yang sedang berduduk menundukkan
kepalanya.

82
V

“TOLONG! Tolooong!!”
Yoko segera hentikan larinya.
“Tolong! Ada harimau! Tolooong!'
Tanpa pikir lagi Yoko ayun tubuhnya meloncat ke
lamping gunung. Ia masuk kedalam semak belukar
darimana suara itu datang.
Tiba-tiba Yoko melihat seorang gadis desa sedang
menangis tersedu sedu seraya menutupi mukanya.
Yoko memandang ke sekitarnya dengan hati
berdebar-debar. Namun ia tidak melihat binatang
buas yang ditakuti gadis desa itu.
Mendengar Yoko datang, si gadis melepaskan tangan
dari mukanya. Tampaklah mukanya yang cantik, basah
penuh air-mata. Seluruh tubuhnya bergemetar karena
ketakutan.
Yoko tertegun.
“Duhai, alangkah cantiknya gadis desa ini,”
gumannya penuh kagum.
“Mana harimaunya, dik?” tanya Yoko.

83
Si gadis tidak menjawab. Hanya kedua matanya yang
bergerak, menatap kearah semak belukar. Jarinya
yang lentik menunjuk ke tempat yang lebat dengan
pepohonan.
Berindap-indap Yoko mendekati tempat itu. Namun
jangankan binatangnya, sedang bekas-bekasnya pun
tak tampak.
“Mungkin kau salah lihat,” kata Yoko. “Disini
tidak ada apa-apa.”
Kini si gadis sudah dapat menenangkan dirinya.
Dengan suara merdu ia menyahut :
“Tidak! Aku tidak salah lihat… Aku melihat
kepalanya yang amat menakutkan. Mulutnya terbuka
lebar bingga terlihat gigi-giginya yang tajam. Mungkin
binatang itu sudah kabur ketika kau datang.”
“Nah, kalau harimau itu sudah pergi, akupun
akan meneruskan perjalanan.”
“Jangan pergi dulu!” mohon si gadis. “Aku
takut! Tolonglah antarkan daku turun dari bukit ini.
Mungkin harimau itu akan datang lagi dan menerkam
aku!”
Yoko tak tega hatinya meninggalkan gadis jelita itu
seorang diri.

84
“Baik, aku hantarkan kau. Tapi terpaksa aku
harus mendukung dikau, karena waktuku sedikit.
Kalau turun dari bukit melalui jalanan biasa, tentu
makan banyak waktu.”
Si gadis desa emoh3 digendong Yoko. Ia menggeleng-
gelengkan kepalanya.
“Aku menyesal sudah mengganggu kau. Melihat
pedang tergantung pada pinggangmu, tentu kau ini
seorang pendekar. Memang seorang pendekar selalu
tidak mempunyai banyak waktu karena harus
melakukan tugas-tugas yang berbahaya.”
Gadis itu melangkah mendekati Yoko. Matanya
menatap mesra melemaskan sendi-tulang pemuda
dihadapannya Dengan suara lemah-lembut ia berkata:
“Kasihanilah diriku. Jangan gendong aku. Aku
kuatir terlihat orang. Penduduk desa akan heboh dan
mencaci habis-habisan. Ayahku akan marah dan
memukul tubuhku. Apakah kau tidak kasihan pada
aku, pendekar muda?”
Yoko menjadi bingung. Ditinggalkan saja gadis cantik
itu diatas bukit, ia tak sampai hati. Bila ia mengawal
gadis itu turun melalui jalanan kecil yang berliku liku.

3
Tidak mau

85
tentu memerlukan waktu lama. Sedangkan dia harus
lekas-lekas kembali ke rumahnya bapak Hiragai yang
letaknya jauh sekali, Bila terlambat datangnya
mungkin Teruko tidak dapat ditolong lagi!
Rupanya gadis desa itu dapat menerka pikiran Yoko
yang sedang beraangsi.
“Aku tahu kau seorang budiman. Marilah kita
jalan, pendekar muda,” ujarnya seraya menarik
tangan Yoko.
Terpaksa Yoko mengikut. Mereka berjalan di jalanan
kecil dilamping pegunungan, si gadis desa berjalan di
sisinya. Sebentar-bentar tubuh gadis remaja itu
menyentuh tubuhnya Yoko. Entah disengaja atau
tidak.
Yoko melangkah cepai. Namun segera gadis itu
memekik:
“Jangan cepat-cepat! Aku tak dapat mengikuti dikau.”
Terpaksa Yoko perlambat langkahnya.
“Kau hendak mencari apa naik ke atas gunung
seorang diri saja?” tanya Yoko yang sudah mulai kesal.
“Aku disuruh ibu mencari kayu bakar. Karena
pemandangan alam sangat indahnya, tanpa terasa aku

86
terus jalan mendaki gunung. Aku belum pernah
ketempat ini, maka aku tak tahu yang disini ada
banyak binatang buas,” sahut si gadis seraya
mengulum senyumnya. Yoko cepat-cepat mengalih-
kan pandangannya.
Sepasang muda mudi itu menurun terus. Sebentar-
bentar mereka harus menerobos semak-semak
belukar karena jalanan kecil itu sudah tak diurus lagi.
Bila mendekati tempat yang lebat, si gadis segera
memegang erat-erat lengannya Yoko. Berdebar-
debarlah hati Yoko. Tak biasalah dia disentuh kaum
Hawa.
Karena Yoko berdiam diri saja, maka gadis remaja itu
mulai bicara pula.
“Namaku Bara. Berarti bunga Mawar. Ayahku
namakan aku Bara karena waktu aku dilahirkan,
pohon mawar yang tumbuh di muka rumah kami
sedang semarak berkembang. Menurut penduduk
desa, aku mempunyai kecantikan serupa bunga
mawar. Bagaimana pendapatmu, apakah betul-betul
parasku cantik bagaikan bunga mawar?”
Yoko menggeleng-gelengkan kepalanya. Tadi waktu
ketakutan Bara sangat alim. Hendak digendong Bara

87
kuatir akan menjadi buah tutur penduduk desa, tetapi
kini mendadak sontak dia berubah menjadi genit.
“Aku tak tahu! Aku tak suka akan bunga
mawar,” sahut Yoko dengan singkat.
Si gadis desa roonjonakan mulutnya nan kecil mungil.
Namun matanya memandang tajam pada Yoko.
“Mengapa kau tidak suka akan bunga mawar?”
tanya si gadis penasaran.
“Karena ia berduri!”
“Tetapi aku tidak berduri,” menggoda si gadis.
“Aku tidak maksudkan kau. Aku maksudkan
bunga mawar.”
“Sayang aku tidak punya duri. Aku akan tusuk
hatimu supaya terluka!” seru Bara pura-pura marah.
Dengan aleman4 dia letakkan sebelah tangannya atas
pundak Yoko. Lekas-lekas Yoko kibaskan tangan itu.
“Jangan main-main, Bara! Lekas jalan!”
hardiknya dengan mendongkol. “Aku mempunyai
tugas penting!”

4
Tanpa risih

88
“Tugas apa sih?” bisik si gadis seraya melirik
dengan genitnya. “Aku telah beritahukan namaku dan
kini aku ingin sekali mengetahui namamu.”
“Namaku Yoko,” sahut si pemuda.
Matahari sudah mendoyong ke sebelah barat. Hari
hampir petang. Yoko memandang kemuka dengan
kesalnya. Jalanan yang harus ditempuh akan sampai
dibawah kaki gunung masihlah jauh.
Sejenak Yoko teringat akan Teruko yang sedang
terancam mara-bahaya. Sekonyong-konyong Yoko
menyambar pingangnya gadis desa itu. Ia taruh Bara
dibelakang tubuhnya. Dengan mendukung Bara, Yoko
melompat kebawah menuruni lamping-lamping
unung. Bara tidak meronta-ronta dalam pondongan
Yoko, malahan dia memeluk erat-erat tubuhnya Yoko.
Ketika tiba diatas jalanan dibawah kaki gunung, Yoko
turunkan Bara, yang seakan-akan ogah melepaskan
pelukannya.
“Nah, kini kau bisa pulang sendiri,” kata Yoko.
“Kau tak perlu ku kawal lagi.”

89
“Apakah kau tidak mau singgah dulu di
rumahku, Yoko? Ayah tentu sudah pulang dari sawah,”
mengundang Bara dengan manjanya.
“Terima-kasih. Lain kali saja kalau aku kebetulan
lewat ditempat ini.”
“Kalau kau tidak mau mampir kerumahku, aku
akan kembali kebutan mencari kayu. Kau tidak tahu
sih. Yoko, yang ibuku akan mencomel bila aku kembali
tidak membawa kayu,” sahut si gadis, yang lantas
berjalan pula keatas gunung.
Melihat kelakuan gadis itu, Yoko mau tak mau
tertawa. Betul-betul sukar dimengerti jiwa kaum
wanita! Namun kini ia tak menghiraukan lagi gadis
desa itu. Waktu sudah mendesak Segera ia balikkan
tubuhnya dan cepat bagaikan sang bayu ia berlari pula
menuju desanya bapak Hiragai.
Baru saja Yoko berlalu si gadis enjot tubuhnya.
melesat naik keatas bukit. Bagaikan seekor kera betina
ia loncat dari satu kelain dahan, bergerak gesit kearah
puncak gunung Asosan.
Bara adalah salah-satu muridnya dewi Uzume. Sang
dewi telah perintahkan dia untuk menghadang Yoko
agar terlambat datangnya di rumahnya bapak Hiragai.

90
Nyata sang murid yang cantik jelita itu telah menjalan
kan tugasnya dengan sempurna.

91
VI

AYAM berkokok dengan riuhnya di senja pagi ketika


Yoko tiba di desanya bapak Hiragai. Ia telah berlari
sangat cepat. Ia telah pergunakan ilmu meringankan
tubuh dan berlari mengikuti tiupan sang bayu
semalam suntuk. Tubuhnya kini letih sekali.
Yoko mengetuk pintu rumahnya bapak Hiragai. Bapak
kepala desa keluar membuka pintu. Wajahnya
nampak tegang dan sedih.
Tanpa memberi hormat lagi. Yoko berseru:
“Teruko! Mana Teruko?!”
Sejenak Yoko malu sendiri. Bapak Hiragai tidak lantas
menyahut. Keningnya berkerut. Akhirnya ia berkata
dengan suara parau:
“Kau terlambat, Yoko. Puteriku semalam telah...
diculik!”
Mendadak Yoko rasakan kepalanya pusing. Wajahnya
berubah pucat. Tubuhnya menjadi lemas tak
bertenaga. Sia-sia saja usahanya.

92
“Marilah masuk, Yoko,” mempersilahkan bapak
Hiragai. “Bersihkanlah tubuhmu. Teruko tidak dapat
ditolong lagi, ia telah diculik oleh dewi Uzume.”
Yoko masuk ke ruang belakang dengan pikiran kalut.
Ibunya Teruko sedang menangis tersedu-sedu Di
dekatnya berduduk Kanemon seraya tundukkan
kepalanya.
Kanemon segera bangkit berdiri dan memberi,
hormat. Yoko membalas hormat itu lalu menghampiri
nyonya rumah yang lagi dirundung malang.
“Yoko, mengapakah kau tinggalkan kami? Kalau
kau ada disini, pastilah Teruko dapat ditolong,” kata
nyonya Hiragai terisak-isak.
“Sudahlah, ibu. Jangan menangis. Aku akan
bebaskan kembali Teruko.”
Yoko masuk kedalam kamar dimana ia taruh kantong
kulitnya. Ia mengambil seperangkat pakaian yang
bersih, lalu pergi kebelakang rumah akan membersih
kan tubuhnya dibawah air pancuran.
Selesai menyalin pakaiannya, Yoko menemukan bapak
Hiragai di ruang muka. Bapak Hiragai sedang berduduk
termenung menghadapi meja, di mana terletak
sebuah cawan teh.

93
“Bapak, cobalah ceritakan bagaimanakah
sampai Teruko dapat diculik?” menanya Yoko sambil
duduk bersila dihadapan orang tua itu.
Bapak Hiragai menghela napas panjang.
“Memang sudah lama kuduga bahwa satu
waktu Teruko akan menjadi mangsanya dewi Uzume,
karena puteriku parasnya cantik. Teruko tersohor di
desa ini.”
Kanemon datang membawa teh untuk Yoko.
“Semalam turun hujan rincik-rincik waktu ibu
dan Teruko masuk tidur. Kanemon pun telah masuk
kedalam kamarnya. Aku masih duduk disini sampai
jauh malam. Pada tengah malam aku baru masuk
kedalam kamar. Waktu itu masih belum terjadi apa-
apa Aku lantas pulas karena hawanya dingin sekali.
Sekonyong-konyong aku bangun dengan terperanjat.
Aku mendengar jeritan yang mengerikan! Darahku
tersirap naik. Jeritan itu suara Teruko! Dengan hati
berdebar-debar aku lompat keluar dan berlari kearah
kamar Teruko, seraya berteriak-teriak memanggil
namanya. Dengan kalap aku terjang pintu kamarnya.
Terkejutlah aku bagaikan disambar petir.
Pembaringan puteriku kosong! Seprai dan
selimut terhampar kalang-kabulan. Aku menjerit-jerit

94
bagaikan orang gila. Ibu dan Kanemonpun segera ber-
liiiddari masuk ke kamar Teruko. Tiba-tiba mataku
melihat seljarik sutera putih melekat pada dinding.
Aku mundur beberapa langkah bahna kagetnya. Pada
secarik sutera itu terlukis nyata: seekor ular kecil
sedang melingkar pada setangkai bunga Sakura! Itulah
lambang dewi Uzume-no-Mikoto!”
Dengan tangan gemetar bapak Hiragai merogoh saku
bajunya. Sehelai kain sutera putih diangsurkan hati-
hati kepada Yoko.
Yoko mengambil kain sutera itu dan memandang
penuh perhatian lukisan lambang sang dewi. Indah
dan artistik. Ularnya berwarna hitam dengan mata
merah-darah. Angkar dan menakutkan seolah-olah
ular hidup!
“Berikanlah padaku kain sutera ini”
Bapak Hiragai menganggukan kepalanya.
“Aku menyesal sudah datang terlambat.
Akupun mengetahui puterimu akan diculik. Aku telah
melihat dewi itu menari di lembah gunung Asosan dan
mendengar ia memerintahkan para muridnya akan
menculik Teruko.”

95
“Apa?! Kau sudah lihat dewi Uzume menari?!”
seru bapak Hiragai terperanjat “Jika demikian kau
sudah masuk ke dalam sarangnya dewi maut itu!”
“Betul, bapak. Aku telah menyaksikan tarian
maut itu secara gaib,” Yoko menuturkan pengalaman-
nya diatas gunung Asosan pada bapak Hiragai, yang
mendengarkan dengan mata terbelalak.
Bapak Hiragai menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sungguh sakti dewi Uzume. Ia bermaksud akan
merobah dunia, namun mengapakah ia membunuh
banyak manusia dan menculik gadis-gadis cantik?
Betul-betul aku tidak mengerti.”
“Aku tidak pedulikan maksud atau cita-citanya
dewi itu. Yang penting adalah aku harus bebaskan
Teruko dan kemudian menjalankan tugas yang
diperintahkan oleh guruku.” Yoko menghirup teh dari
cawannya.
“Cara bagaimana kau hendak menolong puteri-
ku?” tanya bapak Hiragai yang sudah putus asa.
“Aku akan pergunakan segala jalan, bapak
Hiragai. Bila perlu dengan kekerasan!” sahut Yoko
penuh semangat.
“Kau akan pergi seorang diri saja?”

96
“Ya! Aku akan pergi seorang diri dengan
ditemani... pedang samuraiku!”

***

Dua gadis bersorenkan pedang masuk ke dalam ruang


istana dewi Uzume. Salah seorang gadis itu
menjingkap tirai yang berwarna merah tua.
Dewi Uzume yang sedang berbaring, segera bangkit
berduduk.
“Bagaimana? Apakah kalian berhasil?” tanya
dewi Uzume dengan lantang.
Kedua gadis itu berlutut dihadapan sang dewi.
“Teruko sudah kubawa ke tempat yang ditunjuk
kan oleh bi-jieng,” sahut salah seorang dari gadis itu.
“Apakah Yoko belum tiba, ketika kau menculik
Teruko?”
“Belum, bi-jieng. Ketika itu mungkin dia masih
berada dalam perjalanan.”
“Bagus, muzume! Aku sangat girang. Kalian
sudah lakukan tugasmu dengan baik.”

97
“Tetapi... Yoko tentu akan datang menyatroni
kita,” ujar sang murid dengan kuatir.
Dewi Uzume tersenyum. Matanya bersinar dengan
redupnya.
“Aku memang menantikan kedatangannya.”

98
VII

YOKO berdiri tegak dimuka kuil diatas gunung Asosan.


Ia melangkah masuk dengan bati berdebar-debar.
Dalam kuil keadaan sunyi seperti biasa. Tiba-tiba Yoko
terperanjat. Patung dewi Kannon kini tak tampak lagi.
Lantai kuil disapu bersih sekali.
“Sarangnya wanita iblis itu pasti berada
disekitar tempat ini,” kata Yoko seorang diri. Lebih
baik aku bersembunyi dalam kuil ini. Aku tunggu
sampai salah satu muridnya dewi Uzumo muncul.”
berkata Yoko dalam hatinya,
Yoko duduk di pojok ruang. Perlahan-lahan matahari
mulai menghilang di balik gunung. Belum terlihat juga
gerak-gerik yang mencurigakan. Dengan sabar ia
menunggu. Matanya terus ditujukan ke luar kuil.
Cuaca sudah gelap. Jutaan bintang berkelak-kelik di
angkasa. Sang puteri malam mengintip di balik awan.
Sinarnya yang emas-keemasan menyinari bumi sekitar
pegunungan itu dengan amat indahnya. Angin malam
tersilir halus. Udara dingin sekali.
Yoko bangkit berdiri. Mengendap-endap ia keluar dari
dalam kuil. Ia melangkah ketempat gelap dibawah

99
pohon. Dikejauhan terdengar pekikan burung hantu,
mendengking menjeramkan. Keadaan disekitar kuil itu
seperti kuburan. Tak terdengar suara apapun jua.
“Malam ini ku tak boleh memejamkan mata,”
guman Yoko. “Bila aku tertidur, pastilah dewi Uzume
akan pergunakan ilmu setannya membikin aku tak
berdaya pula.”
Yoko duduk bertopang dagu. Pikirannya melayang
balik ketika ia menyaksikan tarian dewi Uzume.
Sungguh cantik! Aku belum pernah melihat seorang
wanita yang demikian carmanya. Sayang, ia
mempunyai maksud jahat. Katanya hendak memurni-
kan dunia, tapi apakah dunia harus diperbaiki dengan
mengambil korban-korban manusia dan mengadakan
pertumpahan darah? Betapa banyak jiwa manusia
yang sudah melayang ditangannya!”
Yoko hendak alihkan pikirannya, namun wajah dewi
Uzume yang bagaikan bidadari melekat terus pada
bulu matanya.
“Ah. aku bisa jatuh cinta pada si iblis nan cantik
itu! Heran, semakin diingat semakin tak asing lagi
potongan paras muka wanita itu! Dimanakah aku
pernah melihat wajah serupa itu?”

100
Sejenak ia teringat akan Teruko. Senyuman si gadis
manis kini berpeta menggoda. Yoko tersenyum
seorang diri. Ia mengingat waktu Teruko membawa-
kan dia cawan teh, matanya nan indah itu melirik
kearahnya.
Sekonyong-konyong Yoko memukul pahanya dan
tertawa.
“Sungguh heran! Mengapa aku jadi memperhati
kan wajah-wajah cantik? Di rumah sensei di Okinawa
pikiranku belum pernah melayang-layang ke gadis-
gadis... yang kurenungkan dulu hanyalah pukulan-
pukulan dan tikaman-tikaman pedang saja “
Ketika mengingat gurunya Yoko teringat juga akan
pesan gurunya, yang diulangkan tak jemu-jemunya
setiap kali ia berlatih: “Karate adalah ilmu untuk
kemanusiaan. Karate tidak boleh dipergunakan untuk
menyerang. Hanya pada saat yang sangat berbahaya
barulah kau boleh keluarkan Karate.”
Yoko rasakan pinggangnya pegal, karena terlalu lama
berduduk. Ia menggeliatkan tubuhnya dan menyender
di batang pohon itu.
Tapi kemudian mendadak Yoko lompat berdiri.
Telinganya mendengar suara berkresekan. Ia sudah
siap-sedia menantikan segala kemungkinan.

101
“Yoko! Yoko!” terdengar suara merdu
memanggil dari balik pepohonan. Yoko melangkah
menghampiri.
Keluarlah seorang gadis dari gelap dan bergerak ke
arah Yroko. Ketika gadis itu berjalan, sinar rembulan
jatuh menyinari dirinya. Hampir tak percayalah Yoko
pada mata sendiri, melihat seorang gadis yang sangat
cantik-jelita. Bergaun kimono hijau dengan ikat
pinggang hitam. Sungguh sangat rapinya. Gadis itu
tersenyum.
“Yoko, apakah kau tidak mengenali aku?” tanya
si gadis sambil tertawa.
“Siapa kau!” bentak Yoko.
“Hi-hi-hi,” tawa si gadis. “Apakah kau lupa
pernah gendong aku turun dari atas bukit?”
Kini Yoko terbelalak matanya.
“Apakah kau yang ketakutan harimau?''
“Betul, tidak salah! Akulah Bara yang kau sudah
pondong.” Bara melangkah mendekati Yoko dengan
gaya lemah gemulai.
“Mana aku dapat mengenali kau, Bara! Dalam
beberapa waktu saja kau sudah berubah banyak.

102
Ketika itu kau berpakaian sederhana dan mukamu
agak kotor, tetapi kini…”
“Apakah kini aku cantik, Yoko? Tapi janganlah
kuatir, si Mawar kini juga belum berduri.”
Bara tertawa dengan riangnya.
Yoko bercekat hatinya.
“Mengapa sampai begini malam kau masih
berada ditempat sejauh ini?! Jangan mendustai aku
bahwa kau sedang mencari kayu pula pada malam
buta ini.”
Bara mengerlingkan matanya.
“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku
hendak bertanya dulu. Siapakah yang kau nantikan
ditempat gelap dibawah pohon itu?”
“Itu ada urusanku! Kau tidak perlu tahu!”
bentak Yoko mendongkol.
“Kalau begitu, mengapa aku berada ditempat
ini, pun adalah urusanku, yang kau tak perlu tahu.”
membalas Bara.
Yoko naik darah. Dengan kasar ia menyentak lengan
Hara.

103
“Sudah, jangan banyak cakap! Jangan dustakan
aku lagi! Lekas hantarkan aku pada dewi Uzume!”
“Yoko, Yoko! Kalau begitu kau sedang menanti-
kan dewi Uzume? Kau sudah jatuh cinta pada sang
dewi? Dimanakah kau pernah menjumpai dia? Apakah
kini kau tidak sedang mimpi? Apakah diatas gunung ini
ada dewi gunung? Cantikkah dewimu itu? Hi-hi-hi,”
Bara tertawa terpingkal-pingkal.
“Inilah dewimu, Yoko!” seru Bara kemudian
seraya menunjuk diri. “Namun aku bukan dewi
Uzume, aku adalah dewi Bara, si Bunga Mawar.”
Yoko tak tahu apa yang harus diperbuat.
“Bara, kalau kau tidak jawab pertanianku tadi.
kau tidak boleh berlalu dari tempat ini.”
Bara tersenyum menawan.
“Aha, itu bagus! Aku tidak akan menjawab
pertanyaanmu, Yoko. Karena aku hendak menemani
kau di bawah pohon yang rindang itu, menikmati sinar
rembulan semalam suntuk. Akupun ingin melihat itu
dewi yang kau rindukan.”
Bara menarik lengannya Yoko. Yoko kewalahan.
Terpaksa ia duduk di sisi gadis cantik itu. Bara dengan

104
manja merebahkan kepalanya yang harum semerbak
pada pundak Yoko.
“Bara, aku mohon padamu akan kau mencerita-
kan mengapa kau berada ditempat sunyi sepi ini.
Apakah yang kau hendak kerjakan... apakah yang kau
sedang cari? Apakah orang tuamu tahu yang kau pergi
ke sini?” tanya Yoko.
Gadis itu tertawa riang. Ia sangat senang yang Yoko
memperlakukan dirinya dengin sopan santun.
“Nah. begitu dong! Jangan selalu membentak-
bentak saja,” ujar Bara seraya meraih lengan pemuda
itu. “Sebenarnya aku malu menerangkannya padamu,
Yoko. Tapi karena kau mendesak, dan untuk
menghilangkan rasa curigamu, maka terpaksalah aku
akan ceritakan juga.”
Bara menatap Yoko dengan matanya yang bersinar
saju namun menantang.
Sang puteri malam mengumpat dibalik awan. Keadaan
di sekitar tempat itu menjadi gelap. Angin
menghembus sepoi-sepoi.
“Yoko,” bisik si gadis cantik dengan wajah
bersemu malu. “Seorang gadis yang sudah dewasa
harus menikah. Ayahku sudah memperkenalkan

105
padaku beberapa pemuda sebagai calon suamiku,
namun tidak seorang pun yang aku setuju. Mereka
semuanya pemuda-pemuda desa yang dungu. Aku
inginkan seorang pria yang gagah perkasa dan tampan
wajahnya seperti... engkau. Hari berganti hari dan aku
masih belum bertemu juga, pemuda idam-idamanku
itu. Sebulan yang lalu aku bertemu seorang nenek-tua
yang baik hati. Ia beritahukan padaku: bila aku ingin
mendapat jodoh, muka aku harus memohon pada
Dewi Kannon. Ia terangkan juga bahwa diatas gunung
Asosan ada sebuah kuil dimana terdapat patungnya
dewi pengasih itu. Sudah beberapa kali aku datang
berdoa seorang diri dikuil ini, dan membawa buah-
buah anggur untuk disajikan kepada Dewi Kannon.”
Sekilas Yoko teringat akan nenek tua yang
menghadang dia, ketika dia turun dari atas gunung,
“Teruskanlah ceritamu,” ujar Yoko.
“Beberapa hati yang lalu, tatkala aku hendak
mencari kayu, aku bertemu seorang pemuda yang
gagah dan tampan. Aku merasa dengan pasti pemuda
itulah yang dikirimkan oleh sang Dewi sebagai jodoh
ku”
“Dimanakah sekarang pemuda itu?”

106
“Nanti dulu. Dengarkan dulu ceritaku sampai
habis. Kalau aku sudah dapatkan pemuda itu, buat apa
aku datang lagi ke tempat ini?”
Bara membasahkan bibirnya dengan ujung lidah, lalu
meneruskan ceritanya:
“Begitu aku melihat pemuda itu, darahku
tersirap. Dialah laki laki yang kuidam-idamkan, yang
setiap malam kumimpi kau. Pemuda itu sedang
berada di jalan jauh lebih bawah dari tempat
berdiriku. Aku bingung tak kepalang. Cara
bagaimanakah aku dapat menarik perhatiannya?
Untunglah dalam kebingunganku ini masih dapat aku
mencari akal... Aku cepat-cepat berteriak-teriak
meminta tolong.”
“Apa?!”
Bara mengerlingkan matanya seraja tersenyum madu.
“Pemuda itu adalah engkau, Yoko,” bisik si gadis
dengan manja. “Maaf, dulu terpaksa aku berdusta.
Hatiku berdebar-debar, ketika kau berjalan disisiku,
dan kegiranganku tiba di puncaknya, ketika kau
memondong aku. Namun kegirangan itu sayang hanya
sebentar saja. Karena sejenak kemudian kau sudah
meninggalkan daku pula. Ketika kau menghilang dari
pandanganku, aku jatuh duduk dan menangis sangat

107
sedihnya. Lama sekali aku menangis, akhirnya aku
menghiburkan hatiku sendiri, bahwa bukan kaulah
yang diutus oleh Dewi Kannon. Mungkin akan ku
ketemukan lagi seorang pemuda lain secakap engkau.
Maka aku pulang kerumahku dengan harapan baru.”
“Aku harus jewer kupingmu, Bara. Kau sudah
menggagalkan usahaku. Bila kau tidak nakal, pasti aku
tidak terlambat datang menolong...” Yoko tidak
meneruskan kata-katanya. Bara pun tidak menanya
kan siapa yang Yoko hendak tolong, namun dia
lanjutkan ceritanya:
“Malam terang bulan ini aku datang lagi kesini
akan berdoa lagi pada dewi Kannon. Tetapi ketika aku
melangkah ke dalam kuil, aku tidak ketemukan patung
sang Dewi. Hilang lenyap tak berbekas. Mungkin ada
yang memindahkannya. Maka aku mencari-cari di
sekeliling kuil. Ketika itulah aku melihat kau sedang
duduk melamun dibawah pohon ini...”
Bara terdiam sejenak. Ia mengangkat kepalanya
keangkasa tinggi, melihat rembulan yang bercahja
keemas emasan, dikelilingi bintang-bintang yang ber-
kelak-kelik bagaikan butir-butir intan.
“Yoko, seperti rembulan dan bintang-bintang
diciptakan untuk menerangi bumi di waktu malam,

108
begitupun engkau dan aku diciptakan dalam dunia ini
untuk hidup bersama. Kau adalah jodohku, Yoko,”
berbisik si gadis tanpa mengalihkan pandangannya
dari sang Ratu Malam.
Yoko bangkit berdiri. Ia tertawa...
“Sungguh pandai kau bersajak. Namun kini kau
harus pulang, Bara. Karena aku hendak bertempur!”
Bara cemberutkan mulutnya.
“Kau dustakan aku, Yoko! Tadi kau katakan
sedang menantikan dewimu! Kini kau katakan sedang
menantikan musuh besarmu. Apakah dewi itu yang
menjadi musuhmu?”
“Kau menebak dengan jitu sekali, Bara. Musuh
besarku itu adalah dewi Uzume!” seru Yoko dengan
bernapsu.
“Bohong! Dusta! Tidak boleh jadi! Tidak masuk
akal! Bilang saja terus terang, bahwa kau menyuruh
aku pergi, karena kau sedang menantikan kecintaan-
mu!” teriak Bara dengan gusar.
Yoko mengkerutkan keningnya. Penuh curiga dia
bertanya: “Bara, mengapa tadi tidak kulihat kau,
ketika kau masuk kedalam kuil? Darimana kau
masuk?”

109
“Sudah tentu kau tidak melihat aku. Kau sedang
melamun memikirkan kecintaanmu, hingga tidak
mendengar langkah kakiku. Lagipula aku masuk ke
dalam kuil dari belakang taman.”
“Apakah ada jalanan lain menuju ketempat ini?”
tanya Yoko keheran heranan.
“Ada, dari lamping gunung disebelah barat.”
“Apakah di jalanan itu ada banyak rumah-rumah?”
“Tolol! Siapakah yang mau tinggal di tempat
yang berbahaya itu? Disitu hanya terdapat batu-batu
gunung dan jurang-jurang yang dalam.”
“Kau sudah seringkah datang k.esini. Apakah
kau pernah bertemu manusia?”
“Tidak, selainnya engkau”
“Habis siapakah yang memindahkan patung
dewi Kannon dari dalam kuil itu?!”
“Mana aku tahu!”
”Yoko terdiam sejenak. “Bara, kini kau harus
pergi. Aku berbicara sunggu-sungguh! Kau harus
kembali! Jangan banyak cakap lagi!”

110
Hari sudah jauh malam. Hawa dingin sekali. Beberapa
helai daun jatuh berterbangan didekat muda-mudi itu.
“Boleh! Asalkan kau menghantarkan aku pulang.”
“Tidak bisa! Kau datang seorang diri ketempat
ini, dan seorang diri pula kau harus kembali ke rumah
mu. Aku hendak bertempur! Mungkin akan terjadi
pertumpahan darah!”
“Bohong! Aku tidak percaya omonganmu!”
“Habis, apakah perlunya aku berada ditempat
ini pada waktu malam buta?”
“Jawablah sendiri!” kata Bara. “Aku tak perlu
tahu urusan orang lain.”
Yoko benar-benar kewalahan berbicara dengan gadis
kenes itu. Seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. ia
bangkit dan pergi kekuil. Bara berlari-lari mengintil
dibelakangnya.
Bahna jengkelnya terhadap gadis itu, Yoko jatuhkan
dirinya di lantai ruang kuil, dimana dulunya berdiri
patung Dewi Kannon.
“Yoko, jangan duduk! Kau harus berdiri tegak
kalau hendak menggantikan patung yang hilang itu,”
Bara tertawa. “Kau akan menjadi patung yang berjiwa

111
dan aku akan berlutut dibawah kakimu menyajikan
engkau buah anggur.”
Bara mengambil sebuah bungkusan dari saku baju-
nya. Ia membuka bungkusan kecil itu dan
mengangsurkan pada Yoko. Lima buah anggur yang
ranum terhampar diatas kain pembungkus itu.
“Mengapa hanya lima buah?” tanya Yoko acuh
tak acuh.
“Ini ada artinya, Yoko. Aku sajikan lima buah
anggur pada Dewi Cinta maha Pengasih dan
penyayang dengan maksud tertentu. Menurut kata
nenek tua itu, setiap permohonan haruslah disertakan
sebuah anggur. Aku mempunyai lima permohonan,
maka aku menyajikan lima buah anggur. Aku inginkan
mendapat seorang suami yang memenuhi panca-
harapanku: Cakap, Gagah perkasa, Jujur, Pintar dan...
yang mencinta diriku! Maka tadi sudah kukatakan:
kaulah yang menjadi harapanku, Yoko.”
“Aku tidak cinta padamu!” bentak Yoko.
“Itu mudah saja. Aku akan berdaya sekuat
tenagaku supaya kau jatuh cinta padaku. Bukankah
empat sifat lainnya sudah lengkap dalam dirimu?”
sahut si gadis tanpa malu-malu.

112
“Sudah! Jangan banyak rewel! Lekas kau pergi!
Enyahlah dari sini!” bentak Yoko dengan sengit seraya
mendorong-dorong Bara yang duduk di sampingnya.
Bara tinggalkan bungkusannya itu di hadapan Yoko. Ia
bangkit berdiri dan dengan bersunggut-sunggut
melangkah keluar. Sejenak ia menoleh dan berseru:
“Aku juga tak sudi menemani kau pula! Aku
benci orang yang selalu marah-marah saja! Biar kau
kesepian seorang diri!”
Bara keluar dari kuil. Tapi ia tidak berjalan jauh, hanya
mengumpat dibelakang semak belukar. Diam-diam ia
mengintai Yoko. Terlihat dia sedang duduk bertopang-
dagu.
Ketika itu Yoko menghela napas panjang. Ia meng-
geleng-gelengkan kepalanya.
“Gadis genit tak punya malu!” gumannya
seorang diri. Ia menggeliatkan tubuhnya, menghilang
kan rasa pegal pada sendi-sendi tulangnya. Acuh tak
acuh ia menjumput buah anggur yang terhampar di
hadapannya dan masukkan satu per satu ke dalam
mulutnya. Rasanya manis dan enak sekali. Tapi heran!
Yoko merasa kantuk sekali. Ia menguap berulang-
ulang. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas dan
letih. Ia paksakan diri akan bangkit berdiri dan

113
melekkan kedua matanya yang sudah mulai agak
suram. Tapi tak kuatlah dia mempertahankannya lagi.
Akhirnya Yoko jatuh rebah dan tertidur pulas...

***

Bara mengintip dari semak belukar dan tertawa. Ia


keluar dari tempat bembunyinya dan berlari-lari ke sisi
kuil. masuk kedalam taman. Di sudut taman Bara
menyelinap ke lamping gunung, melalui jalanan
sempit yang tertutup pohon-pohon lebat.
Murid dewi Uzume itu pergi menuju ke sebuah rumah.
Rumah yang terpencil sendiri itu indah sekali, karena
disekitarnya banyak pohon bunga beraneka warna.
Segera Bara melangkah masuk, mendorong pintunya.
Setelah meninggalkan sandalnya, ia berlari ke ruang
dalam, di mana tergantung tirai berwarna merah tua.
Ketika Bara menjingkap tirai itu, nampaklah dewi
Uzume berdiri dengan agungnya. Kimono-nya
berwarna putih dan rambutnya disanggul rapih.
Memang sang dewi sedang menantikan kedatangan
muridnya itu.

114
“Bagaimana, muzume? Apakah dia sudah
tidur?” tanya sang dewi.
“Hai, bi-jieng” sahut Bara seraya membungkuk
kan badannya memberi hormat. “Lama sekali baru
kudapat hilangkan rasa curiganya. Akhirnya ia makan
juga delima buah anggur yang dewi telah rendam
dalam ramuan. Kini ia sedang tidur pulas.”
Dewi Uzume menganggukkan kepalanya.
“Beritahukan Hana, bahwa kini sudah tiba
saatnya akan mengumpulkan semua kawan-kawan.
Mereka harus bersenjata pedang samurai dan
berkumpul disisi kuil. Kau sendiri tidak boleh turut,
karena Yoko akan mengenali engkau. Selama aku dan
kawan-kawanmu pergi, kau harus berdiam di sini
menantikan perintahku lebih lanjut.”
Baru saja Bara mengundurkan diri, dewi Uzume berlari
keluar dari istananya. Sebuah samurai tergantung
pada pinggangnya. Bagaikan kilat ia melompat tinggi
ke atas tebing, lalu melayang turun dalam taman. Ia
tidak mengambil jalan seperti Bara.
Ketika sang dewi melangkah masuk kedalam kuil, Yoko
masih rebah terlentang. Dewi membungkuk. Dari
dalam saku bajunya ia mengeluarkan sebuah cupu
kecil. Perlahan lahan dia teteskan air yang berwarna

115
kuning-kekuningan bagaikan madu kemulut Yoko.
Setelah selesai ia menutup pula cupu itu dan
masukkannya pula kedalam saku bajunya. Lalu ia
bangkit dan kini berdiri dengan sangat agungnya di
tengah ruang kuil itu, menggantikan patung Dewi
Kannon.

116
VIII

PERLAHAN-LAHAN Yoko mulai siuman. Ia menguap


berulang-ulang, matanya melek pula. Kagetlah Yoko
bagaikan disambar petir ketika melihat seorang
wanita bagaikan dewi dari kayangan berdiri ditengah-
tengah ruang itu! Cepat-cepat Yoko bangkit berdiri
dan mundur beberapa langkah. Tangannya meraba
pinggangnya sendiri. Dewi Uzume tetap berdiri tegak.
Ia tak bergerak sedikitpun jua.
Ketika Yoko memandang dengan tegas, segera ia
mengenali musuh besarnya itu.
“Hai, wanita iblis! Kembalikan Teruko padaku!”
teriak Yoko tanpa pakai aturan lagi seraya melangkah
mendekatinya dengan wajah penuh kegusaran.
Sang dewi tersenyum, namun tetap tidak
menggerakkan suatu anggota badannya. Ia tetap
berdiri tegak, mengangkat kepala dengar, sangat
agungnya.
“Kau kurang ajar, Yoko! Apakah kau tidak bisa
bicara lebih sopan terhadap seorang wanita?”
“Apakah aku harus bersopan-santun terhadap
wanita iblis?” ejek Yoko dengan berani.

117
“Baiklah, kalau kau tidak menaruh hormat
padaku, kau boleh menjaci terus. Tapi apakah
perlunya kau mencampuri urusanku? Apakah Teruko
sanak-keluargamu? Atau dia... kekasihmu!”
“Kedua-duanya bukan! Aku berkewajiban
menolong Teruko dari cengkeramanmu. Bukan saja
Teruko, juga semua gadis-gadis yang akan menjadi
korban-korbanmu! Lekas keluarkan Teruko jika kau
tidak mau binasa!”
Dewi Uzume tertawa.
“Kau sangat ksatrya, Yoko,” puji dewi Uzume
tersenyum. “Apakah kau tidak akan binasakan daku,
jika Teruko kukembalikan pada orang tuanya?”
Yoko menjadi bingung. Bagaimanakah ia harus men-
jawab pertanyaan dewi Uzume itu? Biarpun dewi
Uzume mengembalikan Teruko, namun dia harus
bunuh juga dewi penyebar malapetaka itu, karena
itulah perintah gurunya. Yoko terdiam dalam
keraguannya.
“Kau tak dapat mengambil keputusan? Kalau
kau akan bunuh aku juga, apa faedahnya aku
kembalikan Teruko?”

118
“Bebaskan dulu Teruko! Nanti kita bicara lagi!”
seru Yoko masih tetap bersangsi.
“Teruko tidak ada disini.”
“Dusta!”
“Apakah aku harus bersumpah, bahwa Teruko
tidak ada ditempat ini?”
Yoko tertawa mengejek.
“Mana aku percaya sumpahnya seorang wanita iblis!”
Mendadak dewi Uzume menepuk tangannya dua kali.
Serentak diluar terdengar suara langkah orang
bergerak. Satu per satu para muridnya yang ber-
sorenkan samurai masuk kedalam kuil dan berdiri
berbaris menghadapi sang dewi.
Yoko mundur dengan terperanjat. Bagaikan kilat
tangannya menjangkau pedang samurainya.
“Hi-hi-hi!” tawa dewi Uzume. “Sungguh kau
seorang pendekar yang ksatria, Yoko! Apakah kau
perlu pergunakan senjata terhadap kami, gadis-gadis
yang cantik lemah-gemulai?”
Sembilan belas gadis cantik-jelita membungkukkan
tubuhnya, memberi hormat kepada dewi Uzume-no-
Mikoto.

119
Sang dewi menoleh kearah Yoko.
“Cobalah periksa apakah diantara mereka ada
Teruko.”
Yoko memandang dengan cermatnya wajah-wajah
yang geulis carma itu, namun dia tidak mendapatkan
gadis yang dicarinya itu.
“Kau sembunyikan Teruko!”
Dewi Uzume tertawa pula.
“Kau boleh cari sekitar tempat ini. Kalau kau
ketemukan Teruko, aku akan serahkan batang leherku
untuk kau tabas.”
“Jangan banyak pidato!” teriak Yoko
mengancam. “Kau mau serahkan Teruko atau tidak?!”
“Jika aku menjawab tidak?!”
“Aku akan pergunakan kekerasan!”
Dewi Uzume menepuk pula tangannya. Serentak
sembilan belas gadis itu keluar dari dalam kuil,
menghilang ditempat gelap.
Sang Ratu Malam mulai condong kesebelah barat.
Sinarnya yang keemas-emasan masuk kedalam kuil,
menjinari dewi Uzume yang berdiri bagaikan patung.

120
Alangkah indahnya sang dewi! Bagaikan sedang
mandikan diri dalam cahaya sang Ratu Malam!
Sejenak Yoko terpesona. Lekas-lekas ia kuatkan
hatinya agar tidak terpengaruh oleh kecantikan nan
luar biasa dari sang dewi itu.
Tiba-tiba dewi Uzume berseru:
“Tidak! Apa yang sudah berada ditanganku, aku
tak sudi lepas lagi! Aku tidak dapat serahkan gadis
Teruko pada pemuda Yoko!”
Perlahan-lahan Yoko melintangkan pedang samurai
didepan mukanya, menjalankan salam pembuka
pertempuran. Pedang pusaka berkilau-kilauan
ditangannya, megah dan menantang.
“Tahan dulu, Yoko!” seru dewi Uzume dengan
gusarnya. “Apakah benar-benar kau mau ber-
tempur?!”
Cepat seperti kilat dewi Uzume menghunus pedang
samurai yang tergantung dipinggangnya. Gemerlapan
dibawah sinar rembulan, penuh gaja dan kekuatan!
Seraya berteriak keras, bagaikan banteng ketaton
Yoko menyerang. Samurainya menyambar kian-
kemari, membabat dari atas kebawah. Sabatan-

121
sabatan yang dahsyat mengeluarkan suara menderu-
deru.
Dewi Uzume tersenyum. Tubuhnya bergerak lincah
selagi mengelakkan serangan Yoko. Serentak pedang
samurainya berputar-putar menutupi seluruh
tubuhnya nan jelita.
Berturut-turut Yoko mengirimkan delapan belas
serangan yang paling diandalkannya. Akan tetapi tiap-
tiap serangan dapatlah dewi Uzume musnahkan
dengan tenang, lalu balas menikam dengan tipu-tipu
yang aneh.
Sekonyong-konyong terlihat gerakan yang sangat
indah: dewi Uzume meloncat tinggi keatas. Ketika
menurun dari udara, sang dewi menyambar bagaikan
burung elang.
Lekas-lekas Yoko jatuhkan dirinya bergulingan diatas
tanah. Sungguh dahsyat serangan dewi Uzume itu!
Matanya Yoko menyala-nyala. Ia lompat sambil
menerjang dengan gigihnya. Kini ia tak sungkan-
sungkan lagi akan keluarkan segala ilmu-ilmu
perguruannya yang paling liehay.
Pedang pusaka berkelebat menahas dengan ganas-
nya. Dewi Uzume terperanjat. Mendadak ia meloncat
kesamping, pedangnya Yoko lewat berkesiur

122
disamping tubuhnya. Cepat-cepat ia [membalikkan
tubuhnya dan melompat keluar kuil. Yoko menjusul
dengan penuh semangat. Ia sudah bertekad akan
membunuh wanita penyebar malapetaka itu.
Pada lain saat Yoko terbelalak matanya. Dihalaman
kuil nampak para murid dewi Uzume. Masing-masing
menghunus sebilah pedang samurai yang berkilat-
kilat, amat tajamnya! Sedangkan dewi Uzume terlihat
berdiri tenang-tenang saja ditengah barisan maut itu,
menantikan serangan Yoko.
Nampak Yoko berdiri jejak. Hatinya berdebar-debar
bahna tegangnya suasana. Penuh waspada ia melihat
musulwnusuhnya nan cantik-jelita, perlahan-lahan
bergerak mengurung dirinya.
Mendadak Yoko berteriak keras bagaikan guntur.
Pedang samurainya berkelebat diudara menyambar
seperti kilat. Yoko pergunakan segala ilmu yang ada
padanya, ia bertempur mati matian!
Debu dan batu-batu krikil berhamburan keatas bahna
dahsyatnya pertempuran. Sinar pedang-pedang
samurainya dewi Uzume dan murid-muridnya ber-
goyang-goyang, garis pertahanan mereka terpukul
pecah! Maka lekas-lekas dewi Uzume merobah cara

123
pertarungannya. Kini sebentar sebentar ia melesat
seraya menikam dari segala arah.
Pertempuran makin lama makin mengerikan. Dibawah
sinar bulan purnama nampaklah Yoko bertempur
bagaikan naga mengamuk disamudera. Tak malu lah
dia menjadi murid sensei yang cemerlang namanya di
pulau Okinawa. Tikaman dan sabetan pedangnya
dahsyat tak terkira, saling susul menyusul hingga
menderu-deru anginnya.
Dilain pihak dewi Uzume meloncat kian kemari
seakan-akan sedang menari-nari dengan pedangnya,
yang menyambar-nyambar di tengah udara. Seraya
melesatkan tubuhnya kian-kemari seperti kupu-kupu
berterbangan diantara bunga-bunga, gadis-gadis ber-
kimono itu menyerang bertubi-tubi bagaikan
detangnya hujan dan angin.
Yoko tertawa dingin. Pedang pusaka ia putarkan
seperti titiran. Badannya lantas terkurung oleh sinar
putih yang berkilau-kilauan. Pertahanan Yoko sangat
rapat, sukar ditembuskannya. Yoko dapat melindungi
tubuhnya, karena liehaynya senjata tajam ditangan-
nya itu pusaka samurai yang menikam-nikam dalam
gerakan-gerakan kilat. Mereka bertempur terus di
malam buta. Yoko memang sakti luar biasa tapi lawan-

124
lawan-lawannya tinggi ilmunya. Lagipula jumlah
mereka jauh lebih banyak, hingga jika ada yang
terancam jiwanya, yang lain segera menolongnya.
Yoko menjadi kewalahan juga. Peluh mengucur
membasahi sekujur tubuhnya. Tiba-tiba pedang dewi
Uzume bagaikan kilat menyambar pundaknya,
sedangkan beberapa pedang lainnya pada saat
bersamaan digerakkan menusuk dari empat penjuru.
Sungguh berbahaya keadaan Yoko kini!
Pada detik itulah Yoko keluarkan tipunya yang paling
istimewa. Dengan satu getaran, pedangnya keluarkan
tiga serangan yang lantas berubah menjadi serangan-
serangan berantai.
Dewi Uzume kagum bukan kepalang, segera ia
bergebrak pula dengan bacokan-bacokan yang saling
susul menyusul.
Tiba-tiba duapuluh ujung pedang samurai serentak
bergerak dalam satu lingkaran yang hebat tak terkira.
Yoko sudah terkurung rapat. Jiwanya terancam!
Sejenak keadaan sunyi senyap. Terkilas dalam otak
Yoko akan ilmu karatenya! Akan tetapi... ditelinganya
mendengung-dengung pesan gurunya: “Karate tidak
boleh dipergunakan untuk menyerang! — Karate tidak
boleh dipergunakan untuk menyerang!”

125
Berkecamuk dalam pikirannya “boleh atau tidak” dia
pergunakan ilmu sakti itu, selagi lingkaran ujung-ujung
pedang makin merapat. Keadaan sudah mendesak
benar baginya. Yoko harus segera mengambil
keputusan. Perlahan-lahan dia memasukkan pedang
samurai kedalam sarungnya.

126
Tiba-tiba Yoko berteriak dengan keras. Mengguntur
suaranya diangkasa malam, bergema amat dahsyat-
nya.
Sembilanbelas murid dewi Uzume mundur beberapa
langkah.
Wajah Yoko berubah tegang! Tangan kirinya melurus
lempang kemuka, sedangkan tangan kanannya yang
terkepal mengeras bagaikan batu, perlahan-lahan
menaik keatas melewati kepalanya. Seluruh tubuhnya
gemetar menahan kekuatan dalam yang maha
dahsyatnya! Setindak demi setindak gadis-gadis jelita
itu melangkah maju pula. Angin malam menghembus
amat kerasnya.
Sekonyong-konyong dewi Uzume berseru: “Serang!”
Serentak senjata-senjata tajam itu digerakkan pula.
Kini siasat pertempuran berubah pula. Seluruh tenaga
dalam mereka dipusatkan seluruhnya keujung
pedang. Mereka meloncat maju-mundur. Dalam
sekejap mata mereka sudah merupakan bayang-
bayang saja yang bergerak-gerak di malam buta.
Mereka insyaf bahwa Yoko kini amat berbahaya sekali.
Sekali tubuh mereka terpukul, berarti binasa!
Yoko sudah tak sabar pula. Ia segera mengangsak,
menerjang dengan pukulan-pukulan maut. Sebentar-

127
bentar ia melompat menerjang dengan seluruh
tenaga-dalamnya. Pertempuran makin mengerikan.
Yoko menghantam dengan tangan kanannya, tepat
mengenakan sasarannya. Korbannya roboh sambil
menjerit! Lalu Yoko menendang bertubi-tubi kearah
penyerang-penyerang yang terdekat. Terdengarlah
jeritan-jeritan yang menyayatkan hati. Dua murid
dewi Uzume jatuh terpental!
Seluruh tubuh Yoko gemetar menahan kekuatan
karate yang maha dahsyat! Setindak demi setindak
gadis-gadis jelita itu melangkah maju.
Tiba-tiba dewi Uzume berseru : “Serang!”
Dewi Uzume terperanjat. Ia gemetar seluruh
tubuhnya bahna sedih dan gusarnya. Tiga muridnya
nan cantik-jelita telah binasa! Rasa menyesal yang tak
terhingga menekan jiwanya. Bila pertempuran
berjalan terus, pastilah akan habis binasa semua
murid-murid yang disayanginya.
Sang dewi tidak pergunakan ilmu karatenya, karena ia
tahu pasti bahwa salah satu atau mungkin kedua belah
pihak akan binasa dalam medan pertempuran. Ia tidak
ingin binasakan Yoko, sebaliknya iapun tidak ingin
Yoko membinasakan dirinya dan mungkin men-

128
celakakan semua muridnya. Tiba-tiba ia berseru:
“Tahan!! Tahan dulu, Yoko! Aku minta damai!!”
Dewi Uzume memberi isyarat kepada para muridnya
yang sedang menyerang bagaikan gila. Serentak gadis-
gadis berkimono itu melompat mundur dengan wajah
tegang.
Yoko tak menyerang pula. Perlahan-lahan tangan
kanannya yang naik ke atas bergerak turun. Peluh
mengucur sangat derasnya. Lambat-lambat ia
mengatur jalan napasnya akan buyarkan tenaga
raksasa yang menjalar dalam tubuhnya. Kedua
matanya yang bersinar ganas, mulai suram. Akhirnya
hilanglah kekuatan karatenya. Dengan tenang Yoko
menatap ke arah dewi Uzume.
“Yoko! Aku minta damai!” mengulangi dewi
Uzume. “Persoalan kita dapat diselesaikan dengan
bermusyawarah.”
Yoko tidak sahuti. Ia tetap berdiri siap-siaga, kuatir
kalau-kalau dewi Uzume mempergunakan tipu-
muslihat.
“Yoko, marilah kita bicara di dalam kuil,” meng-
ajak dewi Uzume seraya masukkan pedangnya ke
dalam sarungnya pula.

129
Tanpa berkata kata Yoko mengikuti dewi Uzume yang
melangkah masuk kedalam kuil. Murid-murid dewi
Uzume sibuk menggotong mayat-mayat rekan mereka
yang telah gugur. Airmata berlinang-linang
membasahi muka mereka yang pucat-pasi. Namun
mereka diam tak bersuara pula.

***

Dewi Uzume duduk ditengah-tengah ruang kuil.


Dengan wajah suram dia persilahkan Yoko duduk
didekatnya.
Yoko duduk sedikit jauh dari dewi itu.
“Senjata telah berbicara, Yoko. Tapi bentrokan
tadi tidak membawa hasil yang memuaskan. Maka
baiklah kita bermusjawarah saja dengan otak dingin.
Kita akan mencari jalan supaja kedua belah pihak
sama-sama puas dan... tidak bermusuhan lagi.”
“Kembalikan dulu Teruko! Barulah aku mau
berunding!”
“Sungguh sayang kau tidak berada di pihakku,
Yoko. Cita-citaku sangat luhur. Ku tak perlu

130
mengulanginya lagi satu per satu. Bukankah kau sudah
mendengarnya waktu kau menyaksikan tarianku?
Memang segala cita-cita akan merubah dunia
meminta pengorbanan. Tiga muridku telah gugur
dalam medan pertempuran tadi. Gugur sebagai
ksatria-ksatria!” ujar dewi Uzume seakan-akan sedang
bercakap-cakap pada dirinya sendiri.
“Apakah kau lupa pada itu orang-orang yang tak
bersalah yang sudah menjadi korban-korban dari
keganasanmu?” ejek Yoko, tak dapat mengendalikan
hatinya pula.
“Tidak, aku tidak lupa peristiwa itu. Bukankah
aku sudah mengatakan, bahwa cita-citaku harus
meminta korban. Dan aku tidak dapat pastikan berapa
banyak lagi korban yang akan jatuh...”
Yoko naik darah.
“Tidak akan ada korban lagi! Karena aku... akan
bunuh kau!”
“Yoko, kalau engkau tetap bersitegang, pasti
musyawarah ini tak akan mencapai hasil yang
diharapkan.”
Nampaklah dewi Uzume tersenyum lemah. Dengan
terharu ia mengeluh:

131
“Apakah darah yang mengalir dalam tubuhmu
kini sudah membeku? Apakah hatimu dingin, sudah
menjadi sedingin salju? Kedua matamu seolah-olah
buta akan melihat kecantikan, carmanya kaum Hawa!
Pandanglah aku, Yoko! Apakah aku kurang cantik?
Apakah gadis-gadis lain yang pernah kau jumpakan,
dapat menandingi keindahan diriku?”
Yoko tidak mau memandang dewi Uzume pula. Ia
kuatir kedua matanya sang dewi dapat menidurkan
dirinya pula. Yoko bangkit berdiri dan melangkah ke
pojok ruang. Ia senderkan badannya pada dinding kuil,
menghindarkan pandangannya dewi Uzume.
Dewi Uzume bangkit pula dengan gaya nan lemas.
“Yoko, kau letih — kau sudah lelah! Kau ingin
mengasoh—kau perlu beristirahat — kau perlu tidur
dahulu sebelum kita lanjutkan perundingan pula!”
Yoko bercekat hatinya. Sang dewi hendak mem-
pengaruhi jalan pikirannya. Dewi Uzume ingin
menguasai kesadaran Yoko. Cepat-cepat Yoko
mengalihkan pikirannya ke lain hal. Dengan demikian
dewi Uzume tidak dapat mempengaruhi dia. Tidak
mampulah dia membikin Yoko tertidur pula.
Dewi Uzume menghela napas panjang. Ilmu Penidur
nya punah terhadap Yoko. Sang dewi ingin

132
mempergunakan lain ilmu-ilmu sakti untuk membuat
Yoko tak berdaya. Namun hatinya bergoncang keras.
Hati dewi penyebar maut itu terluka oleh panah
asmara! Pikirannya sang dewi kini menjadi kacau.
Tubuhnya bergemetar. Wajahnya bersemu kemerah-
merahan bahna jengahnya Sang dewi jatuh cinta pada
musuhnya! Api cinta yang sudah lama terpendam
dalam kalbunya, kini mulai merangsang-rangsang
membakar jiwanya.
“Sayang, kau tidak mengenali aku pula,”
mengeluh dewi Uzume dengan suara gemetar dan
sedih. “Kau sudah lupakah padaku, Yoko?”
“Kau ngaco! Aku tidak kenal kau!” bentak Yoko.
“Dimana kita pernah berjumpa?”
“Dimanakah kini ayah dan ibumu berada?”
tanya dewi Uzume dengan wajah sungguh-sungguh.
“Aneh sekali perempuan ini,” kata Yoko dalam
hatinya. “Apakah perlunya dia menanyakan orang-
tuaku?”
Namun Yoko tidak menjawab pertanyaan dewi
Uzume. Sejenak pikirannya melayang balik kemasa
lampau, masa kanak-kanak. Terharulah hati Yoko.

133
Masih terbayang-bayang dalam ingatannya... ketika
ayahnya pergi dan tak kembali lagi. Ibunya mengata-
kan bahwa ayahnya sedang pergi jauh, jauh sekali.
Waktu itu ia baru berusia enam tahun...
Dewi Uzume menepuk tangannya. Hana segera
muncul dari belakang kuil dan melangkah
menghampiri sang dewi dengan tindakan lesu.
Sang dewi bangkit berdiri dan membisiki sesuatu pada
muridnya. Wajah Hana yang basah dengan air mata,
mendadak berubah pucat. Kemudian Hana keluar pula
tergesa-gesa.
Tiba-tiba Yoko bangkit berdiri dengan sikap meng-
ancam. Ia tidak dapat menahan kesabarannya pula.
“Lekas kembalikan Teruko!” bentaknya.
“Baik, aku akan kembalikan Teruko tetapi bukan
pada Yoko. Aku akan kembalikan dia kepada orang
tuanya ia dengan syarat kau harus berjanji akan bantu
aku mewujudkan cita citaku,” sahut dewi Uzume
dengan tegas.
“Jangan banyak cakap! Aku minta kau
kembalikan Teruko tanpa syarat!”

134
Dewi Uzume tidak menjawab. Ia berjalan mundar-
mandir diruang itu seraya berpikir keras, mencari
rumusan yang kiranya dapat diterima oleh kedua
belah pihak.
Yoko mendekati musuhnya. Rasa lelahnya sudah
hilang. Tenaga dan semangatnya telah pulih kembali
seperti sediakala.
“Menyesal, aku tak dapat penuhkan
harapanmu!” seru dewi Uzume.
“Dengan lain perkataan, kau tidak mau
serahkan Teruko?!”
“Betul, Yoko! Aku tak akan bebaskan Teruko.
kalau kau tidak mau berpihak padaku!” sahut dewi
Uzume dengan tetap tegas.
Kini dewi Uzume berdiri tegak dengan agungnya.
Rasanya dia sudah cukup mengalah dan cukup sabar.
Maka kini sang dewi siap-sedia menantikan segala
kemungkinan!
“Tidak! Sekali lagi tidak!” seru Yoko. “Lebih baik
senjata berbicara pula, dewi Uzume-no-Mikoto!”
Bagaikan kilat dewi Uzume lompat keluar kuil. Cepat-
cepat Yoko mengejar seraya menghunus pedang
samurainya. Ketika mereka berhadapan, dewi Uzume

135
pun sudah mencabut pedangnya. Yoko menyerang
dengan ganasnya. Ia sudah mengambil keputusan,
ialah pada saat itu juga ia akan membinasakan wanita
penyebar maut itu.
Serangan Yoko dielakkan sang dewi dengan ke-
cepatan luar biasa. Berbareng pedangnya pun me-
nyambar-nyambar bagaikan taufan kearah Yoko.
Biarpun pertempuran itu sangat dahsyatnya, namun
dewi Uzume tetap mengendalikan dirinya. Ia sangat
waspada menjaga pedangnya agar tidak sampai
membinasakan lawannya. Dewi Uzume hanya hendak
melukai si Yoko. Karena dengan kekuatan lidah ia
sudah tidak berhasil membujuk Yoko supaja berada
dipihaknya, maka kini ia bertekad akan menalukkan
Yoko dengan senjata.
Pertempuran sudah berjalan beberapa jurus, ilmu-
ilmu lihay semuanya dikerahkan, namun belum juga
ada yang menang atau kalah. Mereka sama kuat dan
sama saktinya.
Ketika itu hari sudah hampir senya. Udara masih gelap
penuh kabut. Angin menghembus dingin sekali.
Tiba-tiba Yoko menerjang dengan satu serangan yang
berantai. Dewi Uzume terperanjat. Ia harus
memusatkan seluruh perhatiannya kepada ujung

136
pedang Yoko yang bergerak amat cepatnya. Serangan
pertama dapat dielakkan oleh dewi Uzume, namun
mendadak satu serangan yang tak terduga arahnya
menyambar pundaknya. Sang dewi cepat-cepat
menangkis! Tapi ujung pedangnya Yoko masih dapat
menabas lengan baju kimononya dewi Uzume! Secarik
kain jatuh kebawah, hingga nampak pundaknya dewi
nan putih halus. Mata Yoko sejenak tertuju kesitu.
Dalam lengahnya Yoko, sang dewi melarikan diri. Yoko
lekas mengejar, namun dewi Uzume sudah kabur ke
belakang kuil masuk ketaman. Yoko terus mengejar.
Kini disekitar tempat itu tidak nampak lagi muridnya
dewi Uzume, rupanya mereka sudah kembali ke istana
pula.
Dewi Uzume kabur meninggalkan kuil, bergerak ke
jurusan semak belukar. Mendadak ia ayun tubuhnya.
Dengan ilmu meringankan tubuh ia melesat naik ke
atas lamping gunung. Yoko juga lompat menyusul.
Baru saja kaki Yoko hendak menginjak tepi lamping,
segera dewi Uzume sudah menyerangnya. Yoko
terkejut bukan kepalang Pedang dewi Uzume sudah
menurun mendekati mukanya! Namun pada detik
terakhir dengan gerakan yang luar biasa Yoko
menendang dengan kedua kakinya. Tubuhnya

137
terputar balik di atas udara untuk kemudian hinggap
diatas batu cadas.
Dewi Uzume berlari dengan wajah pucat pasi. Hampir
saja dadanya remuk kena tendangan Yoko, jika ia tidak
cepat meloncat mundur.
Dengan sangat bernapsu Yoko mengejar musuhnya.
Karena tempat itu penuh tumbuh-tumbuhan yang
tidak terawat, maka dewi Uzume tidak dapat berlari
dengan leluasa. Ia harus mencari jalan di antara
tumbuh-tumbuhan yang banyak durinya.
Tiba-tiba Yoko berada dekat dibelakang dewi Uzume.
Sang dewi berhenti, la balikkan tubuhnya berbareng
menyerang. Yoko menahan serangan mendadak itu.
Kedua pedang samurai beradu keras sekali. Terlihatlah
percikan api karena bentrokan kedua senjata itu.
Dengan mata menyala-nyala Yoko membabatkan
pedangnya ke tubuh dewi Uzume. Serangan-seranga
dahsyat itu satu per satu dapat dielakkan dengan
gesitnya.
Yoko menjaksikan pula itu tarian maut, namun kini
tarian itu merupakan serangan-serangan yang hebat
tak terkira dan membinasakan!

138
Dewi Uzume mengeluarkan segala macam tipu.
namun tidak ada suatu serangan yang dapat melukai
tubuh Yoko. Sang dewi kagum bukan kepalang.
Sekonyong-konyong dewi Uzume melompat mundur
dan berlari meninggalkan medan pertempuran. Dia
berlari masuk kebutan. Yoko mengubar dari belakang.
Hutan itu sangat lebat, penuh semak belukar. Dewi
Uzume berlari terus makin lama makin jauh. Rupanya
ia sudah tidak mau bertempur lagi dengan Yoko.
Mereka menerjang semak-semak belukar, meloncati
lamping-lamping gunung, dimana terdapat banyak
sekali batu-batu besar dan pohon-pohon.
Tiba-tiba Yoko berteriak:
“Hai, wanita iblis! Percuma saja kau kabur!
Lekas berlutut dihadapanku dan bebaskan Teruko!”
Dewi Uzume tidak menjawab. Entah ia mendengar
atau tidak seruhan Yoko itu. Sang dewi berlari terus
bagaikan sang bayu. Makin lama jarak dkintara dewi
Uzume dan Yoko semakin jauh.

139
IX

“JANGAN LARI!” teriak Yoko. “Kemana juga


aku...” Yoko tidak dapat teruskan teriakannya karena
sekonyong-konyong dari atas pohon lompat kebawah
sesosok tubuh manusia yang lantas mencekik lehernya
dari belakang. Amarahnya Yoko meluap, ia gerakkan
tubuhnya dengan keras. Pegangan pada lehernya
segera terlepas. Tubuh penyerang itu terhuyung jatuh
ketanah.
Ketika Yoko melihat wajahnya penyerang gelap itu,
lantas ia kenalkan: si Kumis! Uwahige yang pernah
bertempur dengan dia di desanya bapak Hiragai ketika
perampok itu hendak menculik seorang anak dara.
Yoko hendak tinggalkan perampok itu, namun dari
atas pohon loncat turun berturut-turut delapan
kawan-kawannya. Diantaranya terdapat Sitaki, si
Kurus.
Sambil berteriak Sitaki menghunus pedangnya dan
mereka menyerang beramai ramai. Yoko terkurung
rapat! Delapan bilah pedang samurai berklebat
menyerang bertubi-tubi! Yoko sengit bukan kepalang.
“Tahan!” teriak Yoko. “Kalau kalian memang
mau bertempur, aku senantiasa siap-sedia! Tapi

140
sekarang aku sedang mengejar dewi Uzume! Sebentar
aku pasti kembali akan melayani kalian!”
“Ha-ha-ha! Ha-ha-ha!” tertawa perampok-
perampok itu.
“Kau hendak menipu kita orang?!” teriak Sitaki.
“Siapa sih yang kau kejar?! Kami sudah lama
menunggu ditempat ini, menantikan korban, tapi
tidak ada seorangpun yang lewat.”
“Dewi Uzume baru saja lewat disini!” teriak
Yoko mendongkol.
“Ha-ha-ha!” tawa Uwahige yang sudah bangkit
pula. “Rupanya dia sedang mimpikan dewi yang agung
itu dan ketika sadar dia melihat bayangan yang di-
sangkanya sang dewi.”
“Aku tidak dusta! Aku sedang mengejar wanita
iblis itu!” teriak Yoko penasaran.
“Wah, kini kau menghina dewi yang mulia!” si
Kumis membentak.
“Uwahige, lebih baik suruh dia berlutut saja
akan minta ampun!” sela seorang perampok.
“Sudah, jangan banyak cakap, serang saja!”
tukas perampok lainnya.

141
Yoko insyaf bahwa ia tidak boleh lama-lama
bersitegang dengan mereka. Ia harus segera
menghantam kawanan rimba-hijau itu, jika ia tak ingin
kehilangan jejak-langkahnya dewi Uzume.
Bagaikan kilat ia menyerang keempat penjuru.
Pedangnya bergerak dengan ganasnya. Ternyata
perampok-perampok itu bukan tandingannya Yoko.
Sekali bergerak, dua orang diantaranya sudah jatuh
roboh ketanah. Melihat kawan-kawannya terluka,
tujuh perampok itu segera menyerang dengan mati-
matian.
Tiba-tiba pedang Yoko menahan sambaran pedang
Uwahige. Dengan mengeluarkan suara keras, pedang
itu jatuh terpental. Kepala perampok itu rasakan
tangannya sakit sekali. Bagaikan halilintar kaki kanan
Yoko menendang tepat mengenai lambungnya
Uwahige. Ia jatuh terhampar seraya menjerit
kesakitan.
Yoko terus mempertunjukkan kelihayannya. Samurai-
nya berputar-putaran menyambar bagaikan tiupan
angin puyuh. Musuh-musuhnya tidak dapat elakkan
serangan-serangan hebat itu. Tidak lama seorang
memekik pula karena pundaknya putus kena bacokan
Yoko. Ia ini menerjang pula. Segera jeritan-jeritan dan

142
jatuhnya tubuh-tubuh manusia terdengar silih-
berganti.
Kini lawannya hanya tinggal dua orang saja. Lekas-
lekas Yoko balikkan tubuhnya dan berlari pergi. Ia
kuatir kehilangan dewi Uzumo.
Sejenak Yoko sudah berada jauh. Namun dia menjaci
kalang kabutan, karena betul saja dia kehilangan jejak-
langkah musuh besarnya itu.
Yoko masuk kedalam semak-semak, namun sia-sia
saja. Segera ia lompat keatas tebing yang paling tinggi
dan memandang keaekitarnya. Tidak nampaklah dewi
Uzume lagi. Dikejauhan hanya terlihat desa dibawah
kaki gunung Asosan. Dengan hati mendongkol Yoko
membersihkan pedang samurainya yang kena darah,
di-bersihkannya pada daun-daun pohon. Kemudian
dia masukkannya pula kedalam sarungnya.
“Lebih baik aku pergi kedesa. Mungkin wanita
laknat itu bersembunyi disana. Atau... ia sudah
kembali pula ke sarangnya di dekat kuil,” guman Yoko
seorang diri.
Segera ia enjot tubuhnya dan meloncat turun.
Kemudian dia berlari dengan pesatnya.

143
Setibanya di desa ia menanyakan penduduk, apakah
mereka kiranya melihat seorang wanita berkimono
putih bersorenkan pedang samurai. Namun mereka
hanya menggeleng-gelengkan kepala mereka saja.
“Tak salah lagi dugaanku,” pikir Yoko. “Ia sudah
kembali ke sarangnya!”

144
X

SEORANG nenek tua duduk acuh tak acuh ditengah


jalan. Yoko segera menghampiri dia. Ternyata nenek
itu bukan Si Nenek yang pernah menghadang, ketika
ia hendak kembali ke rumahnya bapak Hiragai.
Yoko tersenyum. “Kini aku mempunyai banyak tempo
akan meladeni nenek itu, kalau iapun berangasan
seperti Si Nenek yang pernah kujumpai,” kata Yoko
dalam hatinya. “Mungkin si tua dapat memberikan
keterangan-keterangan yang berharga bagiku.”
Mata Si Nenek bersinar curiga, ketika melihat Yoko
datang menghampiri. Dahinya yang sudah keriput
tambah berkerut. Si Nenek pegang tongkatnya erat-
erat. Tongkat Si Nenek ini lebih besar dan lebih kokoh
daripada tongkat Si Nenek dulu yang telah dipatahkan
oleh Yoko.
Sambil membungkukkan tubuhnya, Yoko bermohon:
“Selamat pagi, nenek. Maafkanlah kalau aku
mengganggu padamu, aku mohon lewat sebentar
saja.”

145
Tanpa berkata-kata, namun kedua matanya terus
menatap kearah Yoko, Si Nenek gerakkan tubuhnya
dan mengeser sedikit.
“Nenek ini ternyata lebih baik daripada nenek
yang mengajak aku bertempur sebelum aku dapat
lewat di jalanan yang sempit itu,” pikir Yoko.
Sambil menundukkan kepalanya, dengan laku sangat
hormat, Yoko melangkah lewat dihadapan orang-tua
itu. Si Nenek putar tubuhnya aupaja, ia dapat hadapi
terus pada Yoko.
Yoko tidak berjalan pergi, tapi duduk sedikit jauh dari
Si Nenek.
“Perlu apakah kau duduk disitu? Aku tidak perlu
pengawal.”
“Aku ingin beristirahat sebentar, nenek. Aku
letih sekali. Kalau kau berkeberatan, aku akan lantas
pergi.”
Si Nenek mengkerutkan keningnya:
“Kau boleh duduk sesukanya, asalkan saja kau
tidak mengganggu padaku.”
Kini Yoko menatap tajam kearah Si Nenek itu.

146
“Nenek, apakah kau melihat seorang wanita
muda yang bersorenkan pedang samurai lewat
dijalanan ini? Wanita itu berpakaian kimono putih.”
“Siapakah wanita itu yang kau maksudkan?”
Yoko terdiam sejenak. Akhirnya ia menyahut:
“Aku sedang mengejar wanita itu, dialah yang
menamakan dirinya... dewi Uzume-no-Mikoto!”
Mendadak wajah si nenek berubah pucat.
“Tidak, aku tidak melihat seorang wanita lewat
disini.” Ia terdiam sesaat, lalu berkata lagi: “Perlu
apakah kau mengejar dia?”
“Aku hendak bunuh wanita itu! Apakah nenek
pernah mendengar tentang dia?” mendesak Yoko
dengan bernapsu.
“Mendengar?! Bukan saja mendengar, tapi aku
tahu siapa wanita itu! Akupun sedang mencari dia
akan membalas sakit hatiku! Dia telah menljulik cucu
perempuanku!” Seluruh tubuh Si Nenek bergemetar
bahna gusarnya. Mukanya makin tegang menyeram-
kan.
“Kalau begitu kita dapat bekerja sama!” teriak
Yoko kegirangan. “Akupun hendak membebaskan

147
Teruko, puterinya bapak Hiragai. Ia telah diculik pada
beberapa hari yang lalu oleh wanita itu.”
“Siapa itu Teruko? Apakah ia ada sanakmu?”
Yoko tak menyahut Mukanya beraemu merah.
Perubahan airmuka Yoko dapat dilihat oleh Si Nenek.
Pada bibirnya tersungging suatu senyuman.
Si Nenek merogohh saku bajunya. Perlahan-lahan dia
keluarkan sehelai sutera putih di mana tersulam
lukisan lambangnya dewi Uzume-no-Mikoto. Ia
perlihatkan kain sutera itu pada Yoko.
“Ketika cucuku diculik, wanita jahanam itu
meninggalkan secarik kain ini.”
Kain sutera itu sama saja dengan kain sutera yang
berada disaku baju Yoko. Lambangnya dewi Uzume
yang ia telah minta dari bapnk Hiragai.
“Aku sudah pernah lihat lukisan itu,” sahut
Yoko. “Wanita iblis itu sudah meninggalkan juga
lambangnya di rumah bapak Hiragai.”
Yoko tidak keluarkan lambang itu dari sakunya, karena
ia masih bercuriga. Apakah Si Nenek itu bukannya
pesuruh dewi Uzume yang bertugas menghadang dia?
Entah dengan suatu tipu muslihat ia akan menjerumus
kan dirinya!

148
Dengan hati berdebar-debar Yoko bertanya:
“Nenek, apakah kau tahu dimana sarangnya
dewi Uzume?”
“Cis! Wanita laknat itu tidak berharga untuk
disebut dewi! Siapakah namamu, anak-muda? Aku
tahu di mana sarangnya iblis itu. Marilah kita bersama-
sama menyatroninya!”
“Namaku Yoko. Aku sangat girang kalau nenek
mau menghantarkan aku. Pedang samuraiku akan
membalas sakit hatimu,” sahut Yoko penuh curiga.
Lalu berpikir: apakah Si Nenek hendak jebluskan dia ke
dalam perangkap?
Orang tua itu bangkit berdiri.
“Aku yang akan tempur iblis itu! Kau hanya
boleh membantu bila aku terdesak!”
“Aku menurut saja bagaimana baiknya,” sahut
Yoko mendongkol, makin bercuriga. Mengapa Si
Nenek tidak lantas satroni dewi Uzume, bila ia tidak
membutuhkan pembantu? Namun Yoko tidak
menanyakan soal itu kepada Si Nenek.
Mereka berjalan kearah kuil. Si Nenek tidak
pergunakan tongkatnya. Ternyata orang tua itu dapat

149
berjalan dengan pesat sekali. Yoko mengikuti dari
belakang.
“Mustahil situa bangka ini ada pesuruhnya dewi
Uzume,” pikir Yoko seraya mengerutkan keningnya.
“Setahuku para murid sang dewi terdiri dari gadis-
gadis remaja cantik-jelita.”
Si Nenek berjalan terus. Ta tidak berpaling, tidak
berkata-kata.
Sejenak timbullah dalam pikiran Yoko maksud akan
menggoda. “Nenek, apakah cucumu itu cantik?”
Tanpa menghentikan langkahnya, Si Nenek menyahut:
“Jika kecantikan cucnku berada di sebelah bawah
tunanganmu si Teruko, kau boleh potong leherku!”
“Ha, ha, ha! Jangan gusar, nenek! Bukankah aku
belum pernah melihat wajah cucumu? Namun,
apakah kecantikan cucumu itu dapat menandingi
kecantikannya dewi, eh... wanita iblis itu?”
Si Nenek tidak menyahut. Tetapi ia memaki.
“Eh, tak kusangka kau juga laki-laki hidung-
belang yang bengal! Cis, sudah punya tunangan, masih
saja suka incar wanita-wanita lain! Kalau aku bertemu
Teruko, pasti aku beritahukan bahwa tunangannya
ada bangsa kalong!”

150
“Ha, ha, ha! Sungguh kau keterlaluan, nenek!
Masakan kau samakan diriku dengan kalong!”
“Sudah, diam! Nanti kutampar mulutmu!”
Tidak lama tibalah mereka ditempat tujuannya.
Keadaan disekitar kuil itu sunyi-sepi. Sekejap dalam
ingatan Yoko terkilas wajahnya Bara, si Bunga Mawar.
“Nenek, apakah kau kenal seorang gadis
bernama Bara? Katanya dia telah bertemu seorang
nenek yang anjurkan dia akan datang ke kuil ini untuk
berdoa.”
“Lagi-lagi seorang gadis yang kau tanyakan!
Berapa banyaknya sih gadis gadis yang kau kenal?
Dasar buaya gadungan! Aku tidak kenal gadis yang kau
sebutkan itu. Apakah dalam dunia ini hanya aku
seorang saja yang sudah lanjut usianya?!” hardik si
nenek.
Kini Yoko terdiam. Ia kuatir nenek itu akan berbicara
keras-keras pada saat yang sungauh genting ini.
Si Nenek dan Yoko melangkah kesamping kuil, terus
berjalan melewati taman dibelakang kuil. lalu mem-
belok kekiri. Dengan berindap-indap dan memegang
tongkatnya erat-erat, nenek itu masuk kedalam
semak-seraak belukar. Yoko terus mengikuti dia.

151
Hatinya berdebar-debar sangat kerasnya. Kemudian Si
Nenek menghilang dilamping gunung.
Dibelakang lamping gunung itu terdapat sebuah
jalanan yang melurus kemuka. Tiba-tiba kedua mata
Yoko terbuka lebar. Ia terbelalak melihat diatas tanah
datar sebuah istana yang indah-permai. dikelilingi
pepohonan bunga yang beraneka warna.
“Itulah sarangnya si iblis!” bisik Si Nenek.
Jarinya menunjuk kearah istana itu.
Hilanglah kecurigaan Yoko pada orang tua itu. Kini ia
yakin bahwa Si Nenek telah bicara jujur padanya.
“Kau masuklah terlebih dahulu kedalam istana
itu. Aku akan menjaga-jaga disini. Bila tiba saatnya,
aku segera menerjang masuk,” perintah si Nenek.
Yoko menganggukkan kepalanya.
“Baiklah.”
Tiba tiba Si Nenek memperingatkan.
“Jangan kau bunuh iblis itu sebelum dia beri
tahukan dimana dia sembunyikan cucuku, ya!”
“Jangan kuatir, nenek. Aku pun hendak mencari
tahu, dimana ia umpetkan Teruko.”

152
Bagaikan kera Yoko loncat naik keatas sebuah pohon
yang tumbuh didekat dinding istana. Dari atas pohon
itu Yoko mengintai kedalam istana. Yoko tidak melihat
apa-apa yang mencurigakan. Dengan gerakan ringan
dia loncat turun, lalu berindap-indap menghampiri
pintu istana. Pintu itu tidak terkunci. Perlahan lahan
dia dorong pintu itu hingga terbuka lebar. Tanpa
bersuara ia masuk ke-ruang muka. Ia lewati ruang itu,
masuk terus kedalam. Kini ia berdiri dimuka sebuah
kamar yang tertutup rapat. Perlahan lahan dia dorong
pintu itu. Kamar inipun tak kalah indahnya. Sebuah
tirai berwarna merah tua tergantung ditengah-tengah
kamar itu.
“Apakah dibelakang tirai itu berada dewi
Uzume?” pikirnya.
Segera Yoko menghunus pedang samurainya. Dengan
hati berdebar-debar ia menghampiri tirai itu dan
bagaikan kilat ia menyingkapnya. Tapi tak terlihat
dewi Uzume! Sebuah permadani yang indah terletak
diatas lantai. Diaatu sudut terdapat sebuah
pembaringan kayu. Tidak ada tanda bekas orang
menidurkan pembaringan itu.

153
Yoko cepat melangkah masuk dan memeriksa dinding
itu. Tangannya mengusut dan mengetuk-ngetuk
mencari pintu rahasia.
Keadaan tetap sunyi sepi. Sejenak telinganya
mendengar suara berkerosoknya air. Yoko lekas-lekas
keluar dan berlari-lari kebelakang istana, darimana
suara itu terdengar.
Sebuah kolam renang terbentang dihadapannya.
Airnya jernih biru-kebiruan. Sebuah pancuran
berlimpah-limpah menumpahkan air dengan
berisiknya. Suara jatuhnya airlah yang terdengar oleh
Yoko tadi di kamarnya dewi Uzume.
Sungguh heran, ditempat itu pun tidak terlihat apa-
apa yang mencurigakannya. Seorang manusiapun
tidak diketemukan.
Yoko mengelilingi kolam renang itu, memeriksa
dengan teliti keadaan disekitarnya. Mendadak Yoko
berlari masuk lagi kedalam istana karena ia dapat lihat
sebuah pintu pula. Tak gentar sedikitpun Yoko
menghampiri pintu yang tertutup itu. Perlahan-lahan
ia membukanya. Sebuah serambi dengan kamar-
kamar berderet-deret terbentang dihadapannya.
Yoko membuka pintu dari sebuah kamar dan masuk
kedalam. Kamar itu kosong, tak ada penghuninya.

154
Hanya nampak dua pembaringan kayu dan sebuah
meja pendek. Yoko keluar pula dan masuk kekamar
sebeluhnya. Juga disini sama saja. Satu per satu
kamar-kamar itu dimasuki Yoko, tapi usahanya sia-sia
belaka. Jangan kata dewi Uzume, seorang murid-
njapun tidak terlihat mata-hidungnya!
“Rupanya mereka sudah meninggalkan istana
ini.” guman Yoko mendongkol. “Aku yakin mereka
sudah kabur, karena sepotong kimono pun tidak
kutemukan dalam kamar-kamar para muridnya itu.”
Nampak Yoko membuka kamar yang terakhir. Ter-
cenganglah dia! Patung Dewi Kannon berdiri tegak
dengan agungnya didalam kamar itu. Patung batu
yang tadinya berada di ruang muka kuil itu.
“Hm! Disinilah dewi Uzume menyembunyikan
patung dewi Kannon.”
Kemudian dengan hati-hati Yoko keluar pula. Pedang
nya masih terus terhunus ditangannya. Sekilas diluar
istana.
“Ah, lebih baik kupanggil saja si tua bangka itu,”
kata Yoko dalam hatinya.
Ketika lewat dikamar dewi Uzume, kagetlah Yoko.
Terdengar suara dari dalam. Suara yang mencurigakan

155
terdengar samar-samar dari pintu yang tertutup rapat
itu. Berdebar-debarlah hati Yoko. Dengan tak
bersuara, tangan Yoko menjangkau pintu. Ia hendak
membukanya perlahan-lahan, namun pintu itu ter-
kunci dari dalam. Yoko kuatir yang musuhnya akan
menghilang pula, maka tanpa ayal Yoko menendang
pintu kamar yang tertutup itu. Berbareng dengan
terbukanya daun pintu Yoko menerjang masuk seraya
melintangkan pedang samurainya.
Tapi bukan dewi Uzume atau salah-satu muridnya
yang ia lihat, melainkan... Si Nenek! Yoko masih
sempat melihat nenek itu memeriksa bantal
pembaringan, karena tirai di tengah-tengah kamar itu
tersingkap.
Dengan terkejut Si Nenek membalikkan tubuhnya.
“Eh, kau sudah gila?!” teriaknya dengan cemas.
“Apa-apaan kau menendang pintu itu?!”
Dengan malu Yoko masukkan pedangnya kedalam
sarung yang tergantung pada pinggangnya.
“Maaf, nenek. Aku kira...eh, apakah yang kau
cari?” ujar Yoko amat heran.
“Jangan campur urusanku! Apakah kau sudah
ketemukan wanita iblis itu?” balas tanya Si Nenek

156
seraya terus memeriksa seluruh pembaringan dewi
Uzume dengan sangat telitinya.
“Burung-burung itu sudah, terbang! Mereka
telah meninggalkan sarangnya!”
“Terlambat! Hm, rupanya belum tiba saatnya
untuk aku membalas sakit hatiku,” guman Si Nenek
seraya tak henti-hentinya mengusap dan mengetuk
dinding. Segala sesuatu dalam kamar itu dibongkar
nya. Kedua tangannya meraba-raba kesana-kesini.
Laci-laci lemari di periksanya dengan teliti. Wajah
orang tua itu makin lama makin pucat. Nampaklah
kegusaran dan ke-cemasan yang tak terhingga. Si
Nenek kini bagaikan gila!
“Apakah yang dia cari begitu cemasnya?” pikir
Yoko keheran-heranan. Yoko amat kasihan pada Si
Nenek. Ia ingin bantu mencarikan. Tapi ia kuatir Si
Nenek gusar bila ia tanyakan melit-melit, maka ia
berdiri saja, menanti dengan sabarnya.
Si Nenek berdiri dengan napas terengah-engah. Kedua
matanya seperti waswas memandang barang-barang
dewi Uzume sekeliling kamar itu. Tapi akhirnya ia
tenang pula. Dengan wajah suram dia geleng-geleng
kan kepalanya.

157
“Bagaimana pendapat nenek, kalau kita bakar
saja sarang iblis ini?”
“Jangan dulu!” sahut Si Nenek seraya
melangkah keluar menuju kekolam renang.
Heran! Si Nenek seolah-olah tak asing dengan keadaan
istana itu. Di dekat kolam dia duduk disebuah bangku,
dibawah pohon yang rindang.
Yoko duduk ditepi kolam seraya mainkan air dengan
tangaunya. Si Nenek duduk bertopang dagu tanpa
bersuara.
“Nenek, kemana kita harus mencari wanita iblis
itu?” tanya Yoko memecahkan kesunyian.
“Akupun sedang memikirkan soal itu,” sahut Si Nenek.
“Mengapa kau tidak kasih aku bakar sarang iblis ini?”
“Kalau kita bumi hanguskan sarangnya, pasti
burung-burung itu tidak akan datang kembali. Lebih
baik biarkan dulu, sebab satu waktu mungkin mereka
akan kembali. Disinilah kita akan dapat mampuskan
dia, atau sebelumnya kita tak dapat membinasakan
nya!”

158
Hari menjelang siang. Matahari bersinar amat
teriknya. Cahayanya yang emas-keemasan berlimpah-
limpah menembus air kolam yang jernih itu.
“Bagaimana kalau malam ini kita bernaung
disini?” tanya Yoko tiba-tiba.
“Baik, namun kita harus tetap waspada,” sahut
Si Nenek.
Lama sekali kedua orang itu duduk tanpa berkata-
kata. Mereka sedang terbenam dalam pikirannya
masing-masing.
Akhirnya Si Nenek bangkit berdiri.
“Kini aku akan turun gunung akan mencari
makanan. Kau menantikan saja disini,” ujar ainenek.
“Lebih baik aku saja yang pergi, nenek,” sahut
Yoko yang merasa malu bila seorang tua mencari
pangan untuk dirinya.
“Kau seorang asing ditempat ini. Lebih baik aku
saja yang pergi. Semua penduduk desa adalah
sahabatku,” menahan Si Nenek.
Yoko rogo sakunya, hendak mengeluarkan uang.

159
“Simpan saja uangmu,” ujar Si Nenek ketika
melihat Yoko mengeluarkan beberapa puluh uang
yen. “Aku juga mempunyai uang.” .
Nenek itu melangkah pergi meninggalkan Yoko, yang
menatapnya dengan penuh perhatian.
Ketika Si Nenek sudah menghilang dari pandangan,
Yoko menanggalkan pakaiannya. Segera ia terjun
kedalam kolam itu, berenang berkecirapungan
seriang-riangnya. Terdengar ramai suara berdebur-
deburnya air. Yoko senang sekali bermain dalam air. Ia
rasakan badannya sangat segar.
Lama kelamaan Yoko merasa kedinginan juga. Ia
berenang naik keatas tepi kolam, lalu duduk men-
jemur diri dibawah sinar matahari. Sang surya kini
sudah naik tinggi.
Akhirnya Yoko mengenakan pakaiannya pula,
menggantungkan pula pedang pusaka pada pinggang
nya.
“Alangkah senangnya dewi Uzume bertahta di-
istana ini,” kata Yoko seorang diri. “Aku juga betah
tinggal disini.”
Acuh tak acuh Yoko bergerak menuju ruang tengah
istana. Ia membuka pintu kamar sang dewi dan masuk

160
kedalam. Ia menjingkap tirai merah itu, lalu jatuhkan
dirinya diatas pembaringan yang empuk dan harum
baunya.
Sambil melamun Yoko berbaring terlentang. Angin
menghembus sepoi-sepoi melalui jendela. Yoko
merasa kesepian.
“Teruko! Teruko! Dimanakah kau berada?” bisik
nya seorang diri. “Sabarlah, manis. Aku pasti datang
membebaskan dirimu.”
Sekilas dalam pikiran Yoko terbajang wajah Bara, si
Bunga Mawar. Ia tersenyum.
“Aaah, bila kini ia berada disisiku, pastilah aku
takkan kesepian. Gadis manis itu pandai bercakap-
cakap dan... genit sekali.”
Kini wajah dewi Uzume terpeta dipelupuk mata Yoko.
Silih-berganti wajah-wajah nan cantik jelita terbayang-
bayang dalam lamunannya. Berkali-kali Yoko menguap
bahna kantuknya. Akhirnya ia tertidur, ia tidur sangat
nyenyaknya.
Matahari sudah menurun ke ufuk barat.

***

161
“Enak betul kau tidur diatas pembaringan
orang!” hardik Si Nenek dengan suara keras.
Yoko terjaga dengan kagetnya. Si Nenek berdiri tegak
di hadapan Yoko seraya menolak pinggangnya. Yoko
lompat turun.
“Maaf, nenek. Aku sangat capai,” sahut Yoko
kemalumaluan. “Apakah kau sudah makan?”
“Sudah! Aku sudah makan dirumah salah-satu
penduduk desa. Akn membawa makanan untuk kau
mengisi perutmu. Lekaslah makan, mungkin hidangan
itu sudah dingin.”
“Terima-kasih, nenek. Budimu tak nanti aku
lupakan,” sahut Yoko.
Kemudian Si Nenek meninggalkan kamar itu. Selesai
bersantap Yoko mencari Si Nenek pula. Orang tua itu
sedang rebah diatas pembaringan di dalam kamarnya
seorang murid dari dewi Uzume. Ketika Yoko
melangkah masuk, lekas-lekas nenek itu bangkit
berduduk.
“Nenek yang budiman, apakah kau mempunyai
sanak keluarga? Di manakah tempat tinggalmu?”
tanya Yoko seraya menyender pada dinding.
Si Nenek berdiam sejenak, lalu berkata:

162
“Kini aku hidup seorang diri saja, Yoko.
Rumahku letaknya disebuah desa sebelah utara dari
gunung Kasatori-yama di pulau Shikoku. Tadinya aku
tinggal berdua cucu perempuanku. Ketika cucuku itu
diculik si wanita iblis, aku meninggalkan rumahku. Aku
minta seorang kenalanku akan menjaga rumahku.
Kemudian aku merantau mencari cucuku yang sangat
aku cintai itu.”
“Apakah kau tidak mempunyai anak?
Kemanakah orang-tuanya cucumu itu?”
“Aku hanya mempunyai seorang putera, ialah
ayahnya cucuku. Dasar cucuku bernasib malang,
ketika dia baru berumur lima tahun, ayahnya wafat.
Setahun kemudian menantuku menyusul suaminya ke
alam baka.”
Terharulah hati Yoko. Kasihan! Kini Si Nenek hidup
sebatang kara dalam usia selanjut itu.
Tiba-tiba Si Nenek menatap wajah Yoko, namun ia tak
berkata-kata.
“Dilihat dari tampang nenek, usiamu sudah
lanjut. Tetapi gerak gerakanmu seperti kelakuannya
seorang yang masih muda belia saja,” kata Yoko,
hendak menggembirakan Si Nenek.

163
Akan tetapi orang yang ingin disenangkan hatinya jadi
terperanjat. Sejenak wajahnya menjadi pucat. Ia
memandang Yoko dengan tajam karena curiganya.
Yoko tidak melihat perubahan wajah Si Nenek itu,
karena pada saat itu ia sedang membungkukkan
badannya akan menggaruk kakinya yang dirasakan
gatal.
“Oh... itulah berkat kerajinanku bersenam
setiap pagi. Lagipula aku banyak makan buah-buahan
dan sayur mayur serta menjaga makanan yang ku
santap sehari-hari,” sahut Si Nenek, dapat
mengendalikan perasaannya pula.
Yoko melangkah, hendak duduk di lain pembaringan.
Diluar kamar terlihat cuaca mulai gelap. Angin men-
deru-deru meniup sangat santernya.
“Yoko, aku merasa sangat letih. Aku ingin tidur,”
ujar Si Nenek.
“Baiklah, aku tidak akan menggangu kau pula.
Aku akan tidur di kamar dalam,” Yoko melangkah
keluar meninggalkan Si Nenek. Dia tidak pergi ke-
kamarnya dewi Uzume, tetapi berjalan terus melewati
ruang muka istana. Kemudian dia keluar dari pintu
istana, jalan meronda sekitar tempat itu.

164
Yoko kuatir dewi Uzume akan datang kembali, maka ia
duduk berjaga dibawah sebuah pohon. Keadaan tetap
sunyi senyap. Tidak terdengar suara apapun juga.
Kupanya betul-betul dewi Uzume dengan para
muridnya telah meninggalkan tempat itu.
Menjelang pagi Yoko baru masuk kedalam istana,
kekamar sang dewi. Dalam kegelapan dia jatuhkan
dirinya diatas pembaringan yang empuk dan harum
baunya itu. Tidak lama ia sudah tertidur.
Ketika matahari sudah bersinar dari jendela, Y'oko
baru terjaga dari tidurnya. Ia melompat bangun.
Sambil mengucak-ngucak matanya, Yoko melangkah
keluar.
Segera ia tujukan langkahnya ke serambi istana akan
mencari Si Nenek. Tapi, alangkah kagetnya!
Kamar dimana kemarin Si Nenek tidur... sudah
kosong! Tergesa gesa Yoko membuka semua kamar
yang berderet-deret itu, namun Si Nenek tidak
kelihatan mata-hidungnya!
Yoko berteriak-teriak memanggil Si Nenek. Namun
tidak terdengar suara jawaban. Hanya suara Yoko
sendiri yang bergema dalam istana.

165
“Sungguh aneh orang tua itu,” kata Yoko dalam
hatinya. “Mengapa ia tidak beritahukan dulu padaku
jarg ia hendak pergi? Kemanakah perginya?”
Yoko sangat cemas. Tak yakin, bahwa dengan
bantuannya Si Nenek, ia akan lebih mudah mencari
jejak langkahnya dewi Uzume-no-Mikoto.
“Apakah gerangan sebenarnya yang dicari oleh
Si Nenek dalam kamar sang dewi itu? Tentu sesuatu
yang penting bagi dirinya. Karena ketika yang
dicarinya tidak terdapat, nampaklah wajah Si Nenek
berubah cemas dan tegang,” kata Yoko dalam hatinya
“Sayang, sungguh sayang! Orang tua itu sudah keburu
pergi sebelum aku mendapat keterangan-keterangan
lebih jauh tentang dewi Uzume. Si Nenek pasti
mengetahui banyak tentang wanita cantik jahat itu.”
Yoko melangkah keluar dari serambi istana , menuju
ruang dalam.
“Aku harus menemukan pula Si Nenek yang
misterius itu!”
Perlahan-lahan Yoko melangkah ke muka. Ia terus
keluar dari istana, menghilang disela-sela lamping
gunung.

166
“Lebih baik aku kembali dulu ke rumahnya
bapak Hiragai. Aku harus memberitahukan keluarga
itu, bahwa aku belum berhasil menemukan Teruko.
Kemudian barulah aku cari Si Nenek! Mungkin dia
sudah pulang ke rumahnya di desa pegunungan
Kasatori-yama di kepulauan Shikoku.”
Yoko berjalan terus melewat kuil. Sejenak ia menoleh
ke belakang memandang kuil yang menjulang tinggi di
angkasa. Kemudian bagaikan terbang Yoko berlari
turun di pegunungan Asosan...

TAMAT

167
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku-
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file JPEG menjadi teks
yang kemudian di kompilasi menjadi file PDF.
Credit untuk :
 Awie Dermawan.
 Ozan
 Kolektor E-Books

168

Anda mungkin juga menyukai