Dahulu, di sebuah desa diadakan pesta adat yang sangat meriah. Selain
warga di desa itu, mereka juga mengundang warga desa lain untuk turut
berpartisipasi.
Di antara para tamu, hadir seorang nenek bersama cucu perempuannya,
Isosi, dan seekor anjing peliharaan mereka. Saat pesta berlangsung, seorang
penari menginjak buntut anjing milik si nenek. Lalu, anjing kecil itu
menggonggong dengan keras. Nenek ini sangat marah melihat anjingnya
kesakitan.
"Aku Sampan, Si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku,
matahari hampir menyingsing," katanya memohon.
"Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik," pinta
Mananamakrdi.
"Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis
yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu,
kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan
menjadi istrimu," kata Sampan. Mananamakrdi kemudian melepaskan
Sampan.
Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia
merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu
kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung
berulang-ulang. hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.
“Eye! Eye! Eye! Ap Huluan! Ap Huluanl” teriak mereka. Eye artinya minta
tolong untuk menyelamatkan diri, sedangkan Ap Huluan maksudnya orang
berkulit putih. Lalu, gadis-gadis itu lari ketakutan ke hutan. Hanya ada satu
orang gadis yang berani dan tetap tinggal di sana. Gadis ini berani
menghadapi Ap Huluan.
“Tu Wamena,” kata gadis itu. Wamena dalam bahasa Baliem berarti anak
babi.
“Istriku, bagaimana kalau kita berhenti sebentar di tepi sungai ini. Aku
merasa sangat haus dan penat.”
“Aku setuju sebab aku juga merasa sangat lelah. Air sungai itu pasti akan
terasa sangat segar.” jawab istrinya. Mereka berdua lalu duduk di tepi
sungai, meminum airnya dan melepaskan lelah.
Tak lama kemudian, dilihatnya bahwa benda putih tersebut adalah telur.
Bukan sembarang telur, sebab ukurannya besar sekali. Jumlahnya ada enam
butir. Sang suami pun memanggil-manggil istrinya.
“Istriku, kemarilah. Lihat apa yang aku temukan di sini.”
Istrinya mendekat dan terheran-heran melihat ukuran telur yang tak biasa
itu.
Jangan takut, kami adalah anak-anakmu.” kata salah seorang dari mereka.
“Apa maksud kalian?”
“Doa kalian dijawab yang Maha Kuasa. Kami dikirim untuk menjadi anak
anakmu, maka peliharalah kami.”
kisah rakyat Papua Barat tentang Legenda Towjatuwa dan Buaya Sakti
Ketika sedang sibuk mencari batu tajam tersebut, ia mendengar suara-suara
aneh di belakangnya. Alangkah terkejutnya Towjatuwa ketika ia melihat
seekor buaya besar di depannya. Ia sangat ketakutan dan hampir pingsan.
Buaya besar itu pelan-pelan bergerak ke arah Towjatuwa. gak seperti buaya
lainnya, binatang ini memiliki bulu-bulu dari burung Kaswari di
punggungnya. Sehingga ketika buaya itu bergerak, binatang itu tampak
sangat menakutkan.
Namun saat Towjatuwa hendak melarikan diri, buaya itu menyapanya
dengan ramah dan bertanya apa nan sedang ia lakukan. Towjatuwapun
menceritakan keadaan isterinya. Buaya ajaib inipun berkata: “gak usah
khawatir, saya akan datang ke rumahmu nanti malam. Saya akan menolong
isterimu melahirkan.” Towjatuwa pulang menemui isterinya. Dengan sangat
berbahagia, iapun menceritakan perihal pertemuannya dengan seekor buaya
ajaib.
Malam itu, seperti nan dijanjikan, buaya ajaib itupun memasuki rumah
Towjatuwa. Dengan kekuatan ajaibnya, buaya nan bernama Watuwe itu
menolong proses kelahiran seorang bayi laki-laki dengan selamat. Ia diberi
nama Narrowra. Watuwe meramalkan bahwa kelak bayi tersebut akan
tumbuh menjadi pemburu nan handal. Watuwe lalu mengingatkan agar
Towjatuwa dan keturunannya gak membunuh dan memakan daging buaya.
Apabila larangan itu dilanggar maka Towjatuwa dan keturunannya akan
mati. Sejak saat itu, Towjatuwa dan anak keturunannya berjanji untuk
melindungi binatang nan berada disekitar sungai Tami dari para pemburu.