Anda di halaman 1dari 12

Asal Muasal Telaga Wekaburi

Dahulu, di sebuah desa diadakan pesta adat yang sangat meriah. Selain
warga di desa itu, mereka juga mengundang warga desa lain untuk turut
berpartisipasi.
Di antara para tamu, hadir seorang nenek bersama cucu perempuannya,
Isosi, dan seekor anjing peliharaan mereka. Saat pesta berlangsung, seorang
penari menginjak buntut anjing milik si nenek. Lalu, anjing kecil itu
menggonggong dengan keras. Nenek ini sangat marah melihat anjingnya
kesakitan.

Dongeng Dari Papua Barat Asal Usul Telaga Wekaburi


Kemudian, ia membawa anjingnya ke dalam rumah dan memakaikan cadar
di tubuh anjing itu. Menurut adat, perbuatannya ini akan menimbulkan
bencana alam. Namun, nenek ini ingin memberi pelajaran kepada orang
yang menginjak anjingnya.
Setelah itu, mereka pergi meninggalkan tempat tersebut menuju Gunung
Ainusmuwasa. Selain Isosi dan anjingnya, turut juga kekasih Isosi bernama
Asya. Tak lama kemudian, hujan turun sangat deras disertai kilat dan petir
menyambar. Hujan yang besar membuat banjir besar melanda daerah itu.
Banjir besar ini menenggelamkan semua penduduk dan para undangan yang
menghadiri pesta tersebut. Desa tersebut kemudian menjadi sebuah telaga
yang kemudian dinamakan Telaga Wekaburi.
Setelah bencana banjir reda, nenek tersebut turun dari gunung. Ia
menikahkah Isosi dan Asya dan menempati Desa Wekaburi yang saat itu
sudah tidak berpenghuni. Kemudian, Isosi dan Asya membangun sebuah
rumah panjang yang dinamakan aniobaroi. Mereka mempunyai banyak
keturunan dan tinggal di rumah tersebut
Semakin banyak keturunan mereka, rumah yang mereka tempati pun tidak
lagi mencukupi. Oleh karena itu, mereka menambah panjang lagi rumah
tersebut dan sambungan rumah itu diberi nama manupapami.
Kemudian, keturunan Isosi dan Asya semakin banyak dan berkembang.
Rumah tinggal mereka pun ditambah dengan rumah-rumah yang mereka
namai yobari, sonesyari, dan ketarana.
Pada perkembangannya, banyak anggota keluarga yang akhirnya keluar dari
rumah untuk membangun kehidupan sendiri. Mereka yang keluar dari
rumah manupapami kemudian menjadi Suku Wettebosi. Anggota keluarga
yang keluar dari rumah yobari menjadi Suku Wekaburi. Sementara itu,
mereka yang keluar dari rumah sonesayari dan ketarana membangun
permukiman di atas perairan yang kemudian disebut dengan Kambung
Weraburi.
Asal Mula Nama Irian

Dahulu kala, di kampung Sopen, Biak Barat, tinggallah sebuah


keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut
bernama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena
seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan
baunya. Makanya saudara-saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur
di luar rumah. Jika Mananamakrdi melawan, tak segan-segan saudara-
saudaranya menendangnya ke luar hingga ia merasa kesakitan.

Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau


kudisnya. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai,
Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu
perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah
daratan yang tak lain adalah Pulau Oakbudi di Biak Timur. Ia membuat
gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk
mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari
bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang
dapat disadapnya.

Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya.


Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya,
ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Pada suatu siang, ia
amat terkejut saat mendapati nira di dalam tabungnya telah habis tak tersisa.
Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa
untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum
datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar
sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi.
Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari,
Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.
"Siapa kamu?" tanya Mananamakrdi.

"Aku Sampan, Si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku,
matahari hampir menyingsing," katanya memohon.

"Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik," pinta
Mananamakrdi.

"Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis
yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu,
kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan
menjadi istrimu," kata Sampan. Mananamakrdi kemudian melepaskan
Sampan.

Sejak saat itu, setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon


bitanggur memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya
seorang gadis cantik mandi seorang diri.Gadis itu tak lain adalah Insoraki,
Putri kepala suku dari kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon
bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang
kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya ke laut.

Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia
merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu
kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung
berulang-ulang. hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.

Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai


diceritakan kepada orang tuanya. Tentu saja orang tuanya tak percaya.
Beberapa bulan kemudian, Insoraki melahirkan bayi laki-laki. Saat lahir,
bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian,
diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori.
Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba
Konori berlari dan menggelendot di kaki Mananamakrdi. "Ayaaaahh.....,"
teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian kemudian terhenti.

Akhirnya, Insoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan


penduduk kampung merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun
meninggalkan kampung dengan membawa semua ternak dan tanamannya.
Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki dan Konori yang
tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering kemudian
membakarnya. Insoraki dan Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-
tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, Insoraki dan Konori
menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api
itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak
dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya
Masren Koreri. Beberapa lama kemudian Mananamakrdi mengheningkan
cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri
dan anaknya berlayar sampai di Manado dekat Manokwari.

Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-


bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak
pegunungan yang amat cantik. Tak lama kemudian matahari bersinar terang,
udara menjadi panas dan kabut pun lenyap.

"Ayah....Irian. Iriaaannn," teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti


panas.
"Hai, anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu, kata
Mananamakrdi.
"Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi,
pemandangan di sini indah sekali," kata Konori.
Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut
yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau dan
burung cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.
Asal Muasal Wamena
Dahulu, ada sebuah daerah bernama Ahumpua. Saat itu, warga
Ahumpua belum mengenal ilmu pengetahuan. Mereka tidak mengenal
Tuhan. Kepercayaan mereka tertuju pada benda-benda gaib.

Setiap hari, anak-anak gadis di Ahumpua mempunyai kewajiban


menjaga anak babi dari pagi sampai siang di pinggir Kali Baliem. Setelah
itu, mereka akan mandi di sana.

Suatu hari ketika sedang mandi, mereka melihat seseorang berkulit


putih melintas di pinggir kali. Gadis-gadis kecil itu pun berteriak.

“Eye! Eye! Eye! Ap Huluan! Ap Huluanl” teriak mereka. Eye artinya minta
tolong untuk menyelamatkan diri, sedangkan Ap Huluan maksudnya orang
berkulit putih. Lalu, gadis-gadis itu lari ketakutan ke hutan. Hanya ada satu
orang gadis yang berani dan tetap tinggal di sana. Gadis ini berani
menghadapi Ap Huluan.

Mengetahui gadis-gadis itu takut kepadanya, Ap Haluan berdiri agak


jauh dan memberikan salam dengan bahasa ‘isyarat dari kejauhan. Ia
bermaksud mengatakan agar jangan khawatir dan jangan takut. Sayangnya,
gadis tersebut tidak mengerti.

Akhirnya, Ap Haluan mendekati gadis itu dan mengajaknya berjabat


Langan.
“Apakah nama tempat ini?” kata Ap Haluan.
Tiba-tba saja, muncul seekor anak babi. Gadis tersebut mengira Ap Haluan
menanyakan anak babi.

“Tu Wamena,” kata gadis itu. Wamena dalam bahasa Baliem berarti anak
babi.

Ap Haluan menganggukkan kepalanya dan mencatat nama daerah


tersebut sebagai Wamena. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah
salah pengertian.

Kemudian, mereka berjalan berpisah arah. Gadis tersebut lari


menemui orangtuanya dan menceritakan apa yang terjadi. Para orangtua
bermaksud mengejar Ap Haluan, tetapi mereka tidak dapat menemukan
orang berkulit putih itu.

Suatu saat, tentara Belanda datang dan menguasai Ahumpua. Orang-


orang tersebut menetap disana dan membangun rumah-rumah menjadi
sebuah perkampungan. Nama daerah yang sebelumnya Ahumpua, kemudian
diganti menjadi Wamena yang berarti anak babi.
Kisah Empat Raja
Tersebutlah sebuah desa yang berada tepat di Teluk Kabui. Desa
tersebut bernama desa Wawiyai. Di sana hidup sepasang suami istri. Mereka
sudah lama menikah namun belum juga dikaruniai buah hati. Untungnya,
suami istri tersebut tak pernah putus asa, mereka senantiasa berdoa
memohon kepada yang Maha Kuasa agar suatu hari diberikan seorang anak.
Suatu hari, sang suami mengajak istrinya mencari kayu bakar di
hutan. Persediaan kayu bakar mereka memang hampir habis, dan musim
hujan akan tiba tak lama lagi. Jika tak segera mencari kayu bakar, maka
mereka tidak bisa memasak selama musim hujan. Kayu-kayu di hutan akan
menjadi basah dan tidak bisa dinyalakan untuk memanaskan tungku.
“Kita harus segera mencari kayu bakar sebanyak-banyaknya, istriku.
Bisakah kau membantuku masuk hutan hari ini?”

“Tentu saja, aku akan membantumu mengumpulkan kayu bakar.”

Keduanya segera bersiap-siap berangkat. Ketika matahari masih di


ufuk Timur, mereka pun berjalan ke tengah hutan. Entah mengapa, hari itu
tidak ada banyak kayu yang bisa dikumpulkan. Sampai dengan tengah hari,
belum ada cukup kayu untuk dibawa pulang. Setelah beristirahat sejenak,
mereka pun melanjutkan pekerjaannya dan berjalan semakin jauh hingga
sampai ke tepi Sungai Waikeo.

“Istriku, bagaimana kalau kita berhenti sebentar di tepi sungai ini. Aku
merasa sangat haus dan penat.”

“Aku setuju sebab aku juga merasa sangat lelah. Air sungai itu pasti akan
terasa sangat segar.” jawab istrinya. Mereka berdua lalu duduk di tepi
sungai, meminum airnya dan melepaskan lelah.

Saat sedang menikmati pemandangan tepi sungai itu, mata sang


suami tertumbuk pada sebuah lubang besar. Lubang itu tertutup dedaunan,
dan dari kejauhan sang suami melihat sesuatu berwarna putih. Ia pun
penasaran dan berjalan mendekati lubang tersebut. Dipangkasnya dedauan
yang menutupi mulut lubang agar Ia bisa melihat lebih jelas apa yang
berada di dalamnya.

Tak lama kemudian, dilihatnya bahwa benda putih tersebut adalah telur.
Bukan sembarang telur, sebab ukurannya besar sekali. Jumlahnya ada enam
butir. Sang suami pun memanggil-manggil istrinya.
“Istriku, kemarilah. Lihat apa yang aku temukan di sini.”
Istrinya mendekat dan terheran-heran melihat ukuran telur yang tak biasa
itu.

“Telur apakah itu?”

“Entahlah, mungkin itu telur burung elang. Bagaimana kalau kita


membawanya pulang? Pasti enak jika dimakan.”

Istrinya mengangguk setuju. Mereka pun membawa keenam telur


tersebut pulang ke rumah, tanpa mengetahui bahwa sebenarnya itu adalah
telur naga. Karena hari sudah malam, mereka memutuskan untuk memasak
telur-telur itu keesokan pagi. Keenam butir telur tersebut disimpan di dalam
kamar.

Keesokan paginya, alangkah terkejutnya kedua suami istri itu karena


lima dari enam telur sudah menetas. Dari dalamnya keluar sosok manusia.
Empat laki-laki dan satu perempuan. Suami istri itu tampak bingung dengan
kehadiran mereka.

Jangan takut, kami adalah anak-anakmu.” kata salah seorang dari mereka.
“Apa maksud kalian?”

“Doa kalian dijawab yang Maha Kuasa. Kami dikirim untuk menjadi anak
anakmu, maka peliharalah kami.”

Betapa senangnya suami istri tersebut. Mereka pun menamai


keempat anak laki-laki itu. Yang pertama bernama War, kedua Betani,
ketiga Dohar, dan Mohammad. Sedangkan untuk anak perempuan diberi
nama Pintolee.

Seiring berjalannya waktu, kelima anak ini tumbuh dewasa dan


menjadi anak-anak yang baik. Mereka senantiasa membantu kedua
orangtuanya sehingga mereka tak perlu lagi susah payah bekerja. Mereka
sekeluarga hidup sangat sejahtera, dan lahan pertanian yang mereka garap
berkembang luas hingga empat pulau besar di sekitar Teluk Kabul.

Sayangnya, sebuah kejadian membuat keluarga tersebut malu.


Pintolee, satu-satunya anak perempuan, yang berparas cantik jelita terpikat
pada seorang pemdua dari desa lain. Orangtua dan keempat kakak Pintolee
tak menyukai pemuda tersebut, namun Pintolee yang sedang jatuh cinta
bersikeras ingin menikah dengannya. Karena tak mendapat restu, Pintolee
pun nekat kabur dari rumah dengan pemuda tersebut. Mereka menaiki kulit
kerang besar dan berlayar hingga di Pulau Numfor dan menikah di sana.

Tinggalah keempat kakak laki-laki Pintolee yang masih tinggal dengan


ornagtua mereka. Tahun berganti, dan ayah mereka semakin tua.
Sebelum ajalnya tiba, sang ayah membagi warisan. Setiap anak
lelakinya mendapatkan satu buah pulau. War diberi pulai Waigeo, Betani
diberi pulau Salawati, Dohar diberi pulau Lilinta, dan Mohamad
mendapatkan pulau Waiga.

Sang ayah berpesan agar keempat anaknya menjaga warisannya


tersebut. Setelah ayahnya meninggal, keempat anak lelaki itu mematuhi
perintah tersebut. Mereka menjaga pulau masing-masing dan mengelolanya
dengan baik hingga akhirnya mereka menjadi raja dari setiap pulau. Dari
sinilah sebutan Raja Ampat, yang berarti empat orang raja, mulai dikenal.
Sedangkan, satu butir telur naga yang tidak menetas hingga saat ini masih
disimpan dan mendapat penghormatan khusus dari masyarakat setempat.
Legenda Towjatuwa dan Buaya Sakti
Pada jaman dahulu, hiduplah seorang lelaki bernama Towjatuwa di tepian
sungai Tami daerah Irian Jaya. Lelaki itu sedang gundah, oleh karena
isterinya nan hamil tua mengalami kesulitan dalam melahirkan bayinya.
Untuk membantu kelahiran anaknya itu, ia membutuhkan operasi nan
menggunakan batu tajam dari sungai Tami.

kisah rakyat Papua Barat tentang Legenda Towjatuwa dan Buaya Sakti
Ketika sedang sibuk mencari batu tajam tersebut, ia mendengar suara-suara
aneh di belakangnya. Alangkah terkejutnya Towjatuwa ketika ia melihat
seekor buaya besar di depannya. Ia sangat ketakutan dan hampir pingsan.
Buaya besar itu pelan-pelan bergerak ke arah Towjatuwa. gak seperti buaya
lainnya, binatang ini memiliki bulu-bulu dari burung Kaswari di
punggungnya. Sehingga ketika buaya itu bergerak, binatang itu tampak
sangat menakutkan.
Namun saat Towjatuwa hendak melarikan diri, buaya itu menyapanya
dengan ramah dan bertanya apa nan sedang ia lakukan. Towjatuwapun
menceritakan keadaan isterinya. Buaya ajaib inipun berkata: “gak usah
khawatir, saya akan datang ke rumahmu nanti malam. Saya akan menolong
isterimu melahirkan.” Towjatuwa pulang menemui isterinya. Dengan sangat
berbahagia, iapun menceritakan perihal pertemuannya dengan seekor buaya
ajaib.
Malam itu, seperti nan dijanjikan, buaya ajaib itupun memasuki rumah
Towjatuwa. Dengan kekuatan ajaibnya, buaya nan bernama Watuwe itu
menolong proses kelahiran seorang bayi laki-laki dengan selamat. Ia diberi
nama Narrowra. Watuwe meramalkan bahwa kelak bayi tersebut akan
tumbuh menjadi pemburu nan handal. Watuwe lalu mengingatkan agar
Towjatuwa dan keturunannya gak membunuh dan memakan daging buaya.
Apabila larangan itu dilanggar maka Towjatuwa dan keturunannya akan
mati. Sejak saat itu, Towjatuwa dan anak keturunannya berjanji untuk
melindungi binatang nan berada disekitar sungai Tami dari para pemburu.

Anda mungkin juga menyukai