Anda di halaman 1dari 11

Contoh Cerita Legenda : Asal Mula Pulau Irian

Kisah Pria Berkudis Cerita Rakyat Papua Barat

Contoh Cerita Legenda dari Irian


Mananamakrdi, begitulah ia biasa dipanggil, adalah anak bungsu sebuah keluarga di Kampung
Sopen, Biak Barat. Mananamakrdi bernasib sangat tidak beruntung, tubuhnya penuh kudis dan
berbau tak sedap.
Kondisi itu membuat saudara-saudara Mananamakrdi sangat membencinya. Mereka
menyuruhnya tidur di luar. Meski sedih, Mananamakrdi tak berdaya. Orangtuanya pun tak
mampu membelanya.
Hingga suatu hari, Mananamakrdi diusir oleh saudara-saudaranya karena bau kudisnya sudah tak
tertahankan lagi. Ia melangkah ke arah timur. Tanpa sadar ia telah berada di pantai. Di sana ia
bertemu dengan seorang nelayan yang memberinya tumpangan ke Pulau Miokbudi di Biak
Timur. Di pulau itu, Mananamakrdi mendirikan gubuk kecil sebagai tempat tinggalnya.
Mananamakrdi menanam sagu dan membuat tuak sebagai bahan makannya sehari-hari. Tuak ia
peroleh dari pohon kelapa yang tumbuh subur di sekeliling tempat tinggalnya. Setiap hari
Mananamakrdi menyadap air niranya untuk dijadikan tuak.
Hidupnya berjalan dengan lancar. Tapi suatu ketika ia menemui masalah. Air nira yang
disadapnya selalu habis tak berbekas. "Pasti ada pencuri," pikirnya.

Ia pun memutuskan untuk mengintai dan menangkap pencuri itu. Namun hingga malam tiba,
pencuri itu tak kunjung menampakkan diri. Ia tak putus asa dan melanjutkan pengintaiannya
hingga subuh. Ternyata benar, makhluk yang menghabiskan air nira miliknya akhirnya muncul
juga. Mananamakrdi sangat geram. Dengan cepat ia keluar dari persembunyiannya dan
menangkap makhluk itu.
"Siapa kau? Kenapa kau mencuri air niraku?" teriaknya.
Makhluk itu meronta-ronta, berusaha melepaskan diri. "Lepaskan aku. Aku adalah si Bintang
Pagi. Aku biasa dipanggil Sampan. Lepaskan aku," jerit makhluk itu.
"Enak saja. Kalau kautak mau kutangkap, kau harus membantuku. Sembuhkan kudisku dan
berikan aku istri yang cantik," pinta Mananamakrdi.
"Pergilah ke pantai. Di sana ada pohon bitanggur. Jika kau melihat seorang gadis sedang mandi,
lemparlah ia dengan sebiji bitanggur. Gadis itu pasti akan menjadi istrimu," kata Sampan.
Sejak itu setiap sore, Mananamakrdi memanjat pohon bitanggur dan memandang ke pantai.
Suatu sore, ia melihat seorang gadis yang cantik sedang mandi seorang diri.

Contoh Cerita Legenda Asal Mula Nama Irian


Gadis itu bernama Insoraki, anak kepala suku dari kampung Meokbundi. Tak mau menyia-siakan
kesempatan, Mananamakrdi langsung melemparkan sebiji bitanggur ke gadis itu. Arus laut
menyeret bji itu dan mengenai tubuh Insoraki. Insoraki yang merasa terganggu dengan biji

tersebut, melemparkannya ke tengah pantai. Namun aneh, setiap kali dilempar, biji itu selalu
mental ke tubuhnya. Karena kesal, akhirnya gadis itu mengabaikannya.
Kemudian, tersiar kabar kalau Insoraki sedang mengandung. Kampung Meokbundi pun gempar.
Meski didesak untuk mengatakan siapa ayah bayinya, Insoraki tak juga mengaku. Ia memang tak
tahu. Beberapa bulan berikutnya ia melahirkan seorang anak yang dinamai Konori. Saat upacara
peresmian nama, Mananamakrdi hadir. Tiba-tiba, Konori menunjuk ke arah Mananamakrdi dan
memanggilnya, "Ayah... Ayah...." Sekarang terungkaplah siapa ayah bayi itu. Mananamakrdi dan
Insoraki pun dinikahkan.
Meski telah menikahi Insoraki, penduduk kampung Meokbundi tetap jijik pada Mananamakrdi.
Mereka meninggalkan tempat itu, jadi tinggallah mereka bertiga saja. Mananamakrdi merasa
kasihan dengan istri dan anaknya yang sering dihina karena kondisi tubuhnya. Suatu saat
Mananamakrdi pergi mengumpulkan kayu bakar. Ia menyulutnya dan membakar dirinya sendiri.
"Suamiku, apa yang kau lakukan?" teriak Insoraki sambil menangis. Namun keajaiban terjadi.
Dari balik api yang menjilat-jilat, muncullah seorang pria tampan berbadan mulus. Ia adalah
Mananamakrdi!
Insoraki senang sekali melihat perubahan wujud suaminya. Mananamakrdi menamai dirinya
Masren Koreri yang berarti "pria yang suci". Setelah itu, ia mengajak anak dan istrinya berlayar
meninggalkan kampung Meokbundi menuju Mandori, dekat Manokwari.
Di satu pagi yang berkabut, Konori dan ibunya pergi ke pantai. Ketika Matahari semakin tinggi,
kabut itu pun lenyap. Nampak oleh Konori dan ibunya pemandangan yang sangat indah. Tanah
berbukit-bukit nan hijau dengan latar langit yang biru.
Konori berteriakdengan lantang, "Irian... Irian...." Irian berarti panas.
Mananamakrdi yang mendengar teriakan itu bingung lalu bertanya, "Apa maksudmu anakku? Ini
adalah tanah nenek moyangmu."
Insoraki menjawab, "Maksud Konori adalah panas Matahari pagi telah membuka mata kita pada
tanah yang indah." Mananamakrdi tersenyum dan mengusap-usap rambut anaknya.
Sejak itu, wilayah tersebut dinamai Irian. Pemandangan di Irian memang indah. Pantai berpasir
dan bukit-bukit nan hijau membentang sejauh mata memandang. Hal ini merupakan kelebihan
dan ri kepualauan Irian yang harus kita jaga.
Pesan moral dari Contoh Cerita Legenda : Asal Mula Nama Irian untukmu adalah Janganlah
melupakan asal-usulmu. Meskipun suatu saat engkau sukses di negeri orang, ingatlah, Indonesia
adalah tanah kelahiranmu. Selain dari itu jangan karena kekurangan orang lain kita menyakiti
orang tersebut, bayangkan jika kondisi itu terjadi pada diri kita.
baca artikel me

Dongeng Rakyat Dari Papua Barat : Kisah Meraksamana


Tersebutlah dua kakak beradik di tanah Papua pada masa lampau. Sang kakak bernama
Meraksamana dan sang adik Siraiman namanya.
Pada suatu malam Meraksamana bermimpi melihat sepuluh bidadari yang tengah mandi di telaga
di dekat tempat tinggalnya. Meraksamana terpesona melihat kecantikan sepuluh bidadari itu.
Seketika terbangun dari tidurnya, Meraksamana lantas menuju telaga. Ia terkejut ketika
mendapati sepuluh bidadari tengah mandi di telaga, persis seperti yang diimpikannya.
Meraksamana kemudian bersembunyi di batik pohon seraya terus mengintip sepuluh bidadari itu.
Ketika Meraksamana tengah mengintip, tiba-tiba muncul seorang perempuan tua yang entah dari
mana asalnya. Perempuan tua itu menunjukkan tempat sepuluh bidadari itu menyimpan pakaian
mereka. Meraksamana lantas mengambil sehelai pakaian milik bidadari dan
menyembunyikannya.

Dongeng Rakyat Dari Papua Barat Kisah Meraksamana


Malam telah berlalu, pagi pun menjelang datang. Sepuluh bidadari itu menyelesaikan mandi
mereka dan bergegas menuju tempat mereka menyimpan pakaian. Salah seorang bidadari tidak
menemukan pakaiannya. Amat kebingungan ia setelah tidak menemukannya meski telah
berusaha mencari. Sembilan bidadari lainnya terpaksa meninggalkannya untuk pulang kembali
ke Kahyangan setelah pakaian yang hilang itu tidak juga ditemukan. Mereka harus segera pulang
ke Kahyangan sebelum pagi benar-benar datang. Bidadari yang tertinggal sangat sedih dan
ketakutan. Ia hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang malang.

Meraksamana datang dan menghibur bidadari yang tertinggal itu. Diajaknya bidadari itu untuk
pulang ke rumahnya. Tak berapa lama kemudian Meraksamana meminang si bidadari. Keduanya
lantas menikah setelah si bidadari menyatakan persetujuannya.
Pada suatu hari Meraksamana mengajak Siraiman untuk memancing ikan di sungai. Sebelum
berangkat memancing, Meraksamana berpesan kepada istrinya agar berhati-hati di rumah.
Sepeninggal Meraksamana dan Siraiman, Koranobini yang telah bersembunyi lantas menculik
istri Meraksamana. Koranobini adalah seorang raja yang senang mengganggu perempuan. Ia
tidak peduli meski perempuan yang diganggunya itu telah bersuami. Setelah menculik istri
Meraksamana, Koranobini lantas membawanya ke istana kerajaannya yang terletak di seberang
laut.
Ketika Meraksamana dan Siraiman pulang pada sore harinya, mereka tidak menemukan istri
Meraksamana di rumah. Setelah berusaha mencari di sekitar rumah dan tidak menemukannya,
Meraksamana mengajak Siraiman untuk mencari istrinya. Di tengah perjalanan mereka bertemu
dengan Mandinuma. Mandinuma adalah seorang rakyat Koranobini yang tengah menjalani
hukuman gantung tangan dan tubuh karena terlalu banyak makan hingga merugikan orang-orang
lainnya.
Mandinuma menjelaskan, istri Meraksamana itu diculik dan dibawa Koranobini ke istananya di
seberang laut. Kata Mandinuma, "Jika kalian melepaskan aku dari hukuman yang sedang
kujalani ini, aku akan membantu kalian mencarinya."
Meraksamana dan Siraiman melepaskan Mandinuma dari ikatan tangan dan tubuhnya. Ketiganya
menuju pinggir laut. Mandinuma lantas menghirup air laut hingga kering. Ia kemudian berjalan
menuju istana kerajaan Koranobini. Setibanya di istana kerajaan, Mandinuma mendapati
Koranobini tengah tertidur pulas. Ia lantas mencari istri Meraksamana. Didapatinya istri
Meraksamana itu tengah menangis di dalam kamar empat ia disekap. Mandinuma membebaskan
istri Meraksamana. Keduanya bergegas meninggalkan istana dan melewati laut hingga tiba di
seberang laut. Setibanya di seberang laut, Mandinuma memuntahkan kembali air laut yang
dihirupnya. Terputuslah jalan menuju istana Koranobini.
Meraksamana berbahagia dapat kembali bertemu dengan istrinya dalam keadaan selamat.
Meraksamana berterima kasih pada Mandinuma yang tetah membantunya.
Meraksamana dan istrinya kembali bersatu datam keluarga. Sayang, keluarga itu senantiasa
diganggu orang-orang lain. Mereka setatu mengejek istri Meraksamana dengan menyebutnya
sebagai perempuan yang tidak jelas asal-usulnya.
Istri Meraksamana sangat sedih mendapati ejekan dan sebutan yang sangat menyakitkan hatinya
itu. Ia menjadi tidak betah lagi tinggal di bumi. Ia sangat ingin kembati ke Kahyangan. la kerap
menangis. Wajahnya sering murung seperti telah menghilangkan keceriaannya. Kepada
suaminya, ia menceritakan masalah yang dihadapinya itu dan juga keinginannya untuk kembati
ke Kahyangan.

Meraksamana senantiasa menyabarkan istrinya. Ia berusaha mencegah keinginan istrinya untuk


kembati ke Kahyangan karena ia sangat mencintai istrinya. Namun, karena istrinya terus
memaksa dan kesedihannya terlihat kian menjadi jadi, Meraksamana akhirnya merelakan istrinya
kembali ke Kahyangan. Ia memberikan pakaian istrinya yang masih disembunyikannya.
Istri Meraksamana pun kembali ke Kahyangan. Meraksamana hanya bisa memandang
kepulangan istrinya itu dengan perasaan sedih.
Pesan moral dari dongeng rakyat dari papua barat : kisah meraksamana adalah hendaklah kita
rersikap jujur. Jangan berrohong karena kebohongan akan terbuka di kemudian hari.

Cerita Rakyat Papua - Topeng dan Pest Roh

Diceritakan kembali oleh Samsuni


Topeng merupakan media atau alat utama yang digunakan oleh orang-orang Suku Asmat di Papua
dalam upacara yang disebut Pesta Roh atau Pesta Topeng. Dalam istilah orang Asmat, pesta ini
disebut dengan mamar atau bunmar pokbui. Pesta Roh ini bertujuan untuk memperingati roh keluarga
dekat yang telah meninggal dunia. Menurut cerita, upacara mamar bermula dari sebuah peristiwa
yang dialami oleh seorang anak yatim piatu. Peristiwa apakah yang dialami oleh anak itu sehingga
upacara Pesta Roh menjadi tradisi dalam Suku Asmat? Ikuti kisahnya dalam cerita Topeng dan Pesta
Roh berikut ini.
***
Alkisah, di sebuah kampung di hulu Sungai Sirets di pedalaman Merauke, Papua, hiduplah seorang
anak yatim piatu atau yang biasa panggil si Yatim. Anak itu menjadi sebatang kara karena dusunnya

diserang oleh kampung lain sehingga menyebabkan seluruh keluarganya meninggal dunia. Kini, si
Yatim hidup sendiri di sebuah rumah yang sudah hampir roboh. Hidupnya sungguh memprihatinkan.
Setiap hari ia selalu menyendiri karena tidak disenangi oleh warga tanpa alasan yang jelas. Walaupun
penduduk di kampung itu hidup makmur, namun tak seorang pun dari mereka yang mau membantu si
Yatim.
Nasib si Yatim semakin parah ketika suatu hari ia dituduh mencuri makanan dan barang-barang milik
penduduk

kampung

menghukumnya.

tanpa

Karena

disertai

merasa

dengan

tidak

bukti.

bersalah,

Saat
si

ia

Yatim

mengelak,
pun

warga

melarikan

diri

justru

hendak

meninggalkan

kampungnya. Melihat si Yatim melarikan diri, seorang warga langsung berteriak.


Ayo, kejar anak itu!
Orang-orang segera mengejar si Yatim beramai-ramai untuk menangkapnya. Sedangkan si Yatim terus
berlari ketakutan masuk ke dalam hutan. Saat tiba di tengah hutan, ia beristirahat sejenak di bawah
sebuah beringin yang rindang. Di situlah ia berpikir bahwa kalau ia terus berlari maka dirinya pasti
akan tertangkap. Akhirnya, si Yatim memutuskan untuk bersembunyi di atas pohon beringin tersebut.
Ah, sebaiknya aku bersembunyi di atas pohon ini. Aku yakin, mereka tidak akan melihatku,
gumamnya seraya memanjat pohon beringin itu.
Setelah berada di atas pohon, si Yatim kemudian bersembunyi di balik rerimbunan daun dan jumbaian
akar-akar beringin. Tak lama kemudian, orang-orang yang mengejarnya tiba dan berhenti sejenak di
bawah pohon beringin itu karena kehilangan jejak.
Hai, lari ke mana anak itu? celetuk salah seorang dari mereka, kebingungan.
Penduduk yang lain pun sama bingungnya. Sementara itu, si Yatim yang bersembunyi di atas pohon
beringin merasa ketakutan kalau-kalau keberadaannya diketahui oleh orang-orang yang mengejarnya.
Untung para penduduk segera meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan pengejaran sampai ke
dalam hutan. Setelah aman, si Yatim pun keluar dari persembunyiannya dengan perasaan lega. Ia
kemudian duduk di salah satu cabang pohon beringin itu untuk melepaskan lelah.
Hari sudah gelap. Anak sebatang kara itu masih saja duduk melamun di atas pohon. Tampaknya si
Yatim sedang bingung memikirkan bagaimana cara membuat penduduk kampung tidak lagi
mengejarnya. Akhirnya, si Yatim menemukan sebuah ide, yaitu ia ingin menakut-nakuti para
penduduk dengan mengenakan topeng yang menyeramkan. Ketika hendak turun dari pohon itu untuk
mencari akar-akar kayu yang akan dibuat topeng, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok makhluk
menyeramkan yang berdiri di cabang pohon beringin yang lain. Rupanya, makhluk itu adalah roh
penunggu pohon beringin itu.
Hai, anak manusia! Kamu siapa dan kenapa kamu berada di atas pohon ini? tanya makhluk itu.
Sa... saya si Yatim, jawab si Yatim piatu dengan gugup karena ketakutan.
Bocah itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di atas pohon
beringin itu. Makhluk penunggu pohon beringin itu pun merasa iba terhadap nasib yang dialami si
Yaitm. Meskipun wajahnya tampak menakutkan, makhluk itu ternyata baik hati. Ia kemudian
memberikan makanan dan minuman kepada si Yatim. Akhirnya, mereka pun bersahabat.

Setelah itu, si Yatim turun dari atas pohon untuk mencari akar-akar pohon yang akan dianyam
menjadi sebuah topeng yang menyerupai roh penunggu pohon beringin itu. Membuat topeng seperti
itu

tidaklah

mudah

bagi

si

Yatim.

Ia

membutuhkan

waktu

sekitar

lima

hari

baru

bisa

menyelesaikannya. Setelah selesai, topeng itu ia pakai dan kemudian bercermin di air. Betapa
senangnya hati si Yatim karena topeng hasil buatannya benar-benar menyerupai wajah roh penunggu
pohon beringin itu.
Aku yakin, para penduduk pasti akan ketakutan melihatku, gumamnya.
Ketika hari mulai gelap, si Yatim pergi ke perkampungan dengan mengenakan topeng dan menyelinap
masuk ke salah satu rumah penduduk. Penghuni rumah itu pun langsung lari terbirit-birit karena
ketakutan.
Tolong...! Tolong...! Ada setaaaan...! teriak penduduk yang ketakutan itu.
Mendengar teriakan tersebut, penduduk kampung lainnya segera berhamburan keluar rumah dan
mengerumuni warga yang berteriak itu.
Hai, apa yang terjadi denganmu? tanya kepala kampung.
Ada setan di dalam rumahku. Sungguh, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Wajahnya
sangat menyeramkan jelas warga itu.
Mendengar keterangan tersebut, kepala kampung segera memerintahkan seluruh warganya agar
mengumpulkan sagu untuk dipersembahkan kepada makhluk itu dengan harapan makhluk itu
meninggalkan kampung mereka. Para warga pun segera pulang ke rumah mereka masing-masing
untuk mengambil sagu. Namun, setelah mereka kembali menemui kepala kampung, tak seorang pun
yang membawa sagu. Ternyata, persediaan sagu di desa tersebut telah habis.
Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali kalian pergi ke hutan untuk memangkur sagu, ujar kepala
kampung.
Pada keesokan harinya, semua orang di kampung itu beramai-ramai berangkat ke hutan. Sementara
itu, si Yatim pun segera menyusun siasat. Ia akan menakut-nakuti orang-orang yang memangkur
sagu di dekat pohon beringin tempat ia bersembunyi. Ketika hari mulai gelap, si Yatim menutupi jalan
setapak di dekat pohon beringin itu dengan dahan-dahan pohon. Jalan itu nantinya akan dilewati oleh
para pemangkur sagu saat hendak pulang ke perkampungan. Selesai menutupi jalan, si Yatim segera
memakai topengnya lalu bersembunyi di balik semak belukar yang ada di bawah pohon beringin.
Tak lama kemudian, tampak serombongan wanita yang membawa sagu hendak melintasi jalan
setapak itu. Melihat jalan terhalang oleh dahan-dahan pohon beringin, rombongan wanita itu terpaksa
berhenti dan meletakkan sagu mereka di tanah. Pada saat mereka sibuk membersihkan dahan-dahan
yang menghalangi jalan, si Yatim membuat suara menakutkan lalu muncul dari semak belukar dengan
memakai topeng. Tak ayal, rombongan wanita pembawa sagu itu langsung berteriak ketakutan.
Ada setaaan...! Ada setaaan...! teriak rombongan wanita itu saat melihat topeng yang amat
menyeramkan.
Rombongan wanita itu pun lari terbirit-birit dan meninggalkan sagu-sagu mereka. Melihat rombongan
wanita itu telah pergi, si Yatim segera membuka topengnya lalu mengambil sagu-sagu tersebut untuk

dibawa ke tempat persembunyiannya. Ia kemudian membakar sagu itu dan memakannya sampai
kenyang.
Sejak itu, si Yatim selalu menakut-nakuti setiap warga yang melintasi jalan itu dan mengambil sagusagu mereka. Hal itu ia lakukan untuk membuat orang-orang kampung yang dulu menganiaya dirinya
semakin

jera.

Sementara

itu,

penduduk

kampung

menjadi

resah

dengan

kejadian-kejadian

menyeramkan yang sering mereka alami.


Sebenarnya makhluk apa yang suka menakut-nakuti kita itu? tanya seorang warga.
Tak seorang pun warga mengetahuinya. Karena penasaran, mereka bersepakat untuk menjebak
makhluk itu. Suatu hari, serombongan wanita diperintahkan untuk pergi memangkur sagu ke dalam
hutan. Sementara itu, sejumlah kaum laki-laki yang kuat dan pemberani diperintahkan untuk
mengintai makhluk itu saat melakukan aksinya. Ketika para wanita pulang dan menemukan dahandahan yang menghalangi jalan, makhluk yang tidak lain adalah si Yatim bertopeng itu segera
menakut-nakuti mereka. Setelah rombongan pemangkur itu lari meninggalkan sagu mereka, anak
yatim piatu itu segera membuka topengnya. Ia tak sadar jika ada sejumlah orang yang mengintainya.
Hai, lihat! seru seorang warga saat melihat wajah di balik topeng itu, Oh, rupanya makhluk itu
ternyata si anak yatim piatu yang selama ini kita kejar.
Ketika si Yatim hendak mengambil sagu-sagu yang tergeletak di tanah, penduduk kampung keluar
dari tempat persembunyian mereka dan segera mengepung bocah itu.
Mau lari ke mana kamu, hai anak yatim?! hardik seorang warga.
Si Yatim akhirnya tertangkap basah oleh penduduk dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ia pun digiring
ke perkampungan untuk diadili secara adat. Namun, sebelum memasuki perkampungan, si Yatim tibatiba hilang secara gaib. Orang-orang kampung yang menggiringnya hanya terperangah menyaksikan
peristiwa itu.
Sejak si Yatim menghilang, para penduduk merasa sudah aman karena tak ada lagi orang yang
menakut-nakuti mereka. Namun, setiap kali melintas di dekat pohon beringin itu mereka masih saja
sering diganggu oleh roh si Yatim. Untuk menghalau roh itu, mereka pun membuat topeng yang
menyerupai topeng si Yatim. Sejak itu, topeng seperti itu digunakan dalam sebuah ritual yang dikenal
dengan Pesta roh atau Pesta Topeng yang oleh masyarakat setempat disebut dengan mamar atau
bunmar pokbui.
Kini, ritual Pesta Roh sudah menjadi tradisi masyarakat Suku Asmat untuk memperingati roh keluarga
dekat mereka yang telah meninggal dunia. Jenis topeng yang mereka gunakan pun bervariasi. Tidak
saja terbuat dari akar-akar kayu, tetapi juga dari belahan-belahan rotan atau kulit kayu fum (genemo
hutan). Jenis topeng yang terbuat dari rotan disebut manimar, sedangkan topeng yang terbuat dari
kulit kayu fum disebut ndat jamu.
***
Demikian cerita Topeng dan Pesta Roh dari daerah Papua. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita
di atas adalah orang yang menganiaya anak yatim piatu seperti halnya penduduk kampung dalam
cerita di atas akan mendapat balasan yang setimpal atas perbuatan mereka. Oleh karena telah
mengganggu si Yatim, para penduduk kampung selalu mendapat gangguan dari roh si Yatim.

Agats, AMA Sekarang ini banyak orang salah menyebutnya Pesta Setan mungkin karena
topeng-topeng yang digunakan kelihatan menakutkan dari topeng-topeng Ndat Jumu dan
Manimar dalam upacara Pesta Roh.Padahal sebenarnya tujuan Pesta Roh bukan untuk
menghadirkan setan atau roh jahat tetapi justru roh para saudara. Roh yang dekat dengan
keluarga yang masih hidup inilah yang mau diperingati. Pesta Roh merupakan pesta yang cukup
umum di setiap kolompok Suku Asmat. Misalnya Orang Keenok/Unir Sirau (Komor, Jipawer,
Sawa, Erma, Mbu-Agani dll) menyebutnya Pokman, orang Joerat (Yamasj-Yeni, Yufri-Yaun, AsAtat, Ao-Kapi dll) menyebutnya Jipay, sedangkan kelompok Safan (Basim, Ocenep, Pirien,
Bayun, Pirimpaun dll) menyebutnya Yipai Pambi.
Menurut orang Asmat dari kelompok Joerat, Pesta Roh bermula dari kisah dua orang yatim piatu
yang hidup di hulu sungai Sirets bersama orang kampung lain. Ringkasan ceritanya sebagai
berikut: Kedua yatim piatu tersebut hidup susah. Rumah mereka juga sudah mau roboh. Dusun
mereka juga sudah dirampas oleh orang lain. Semua orang kampung hidup makmur tapi mereka
tidak pernah memberikam makanan kepada kedua adik-kakak yatim piatu tersebut. Suatu hari
kedua anak itu membuat rencana. Mereka lalu menganyam dua topeng. Yang satu dari belahanbelahan rotan sedang topeng yang satu lagi dibuat dari kulit kayu Fum (Genemo hutan). Topeng
dari rotan mereka sebut Manimar sedangkan yang dari kulit Genemo hutan disebut Ndat Jumu.
Mereka pergi ke hutan. Lalu remaja yatim piatu itu mulai memakai topeng-topeng tersebut,
kelihatan seram sekali. Lalu mereka mulai mengatur strategi.
Ketika orang kampung pulang memangkur sagu, kedua yatim piatu tersebut sudah menunggu.
mereka mematahkan dahan-dahan pohon beringin untuk menutup jalan. Kedua yatim piatu itu
mengintip, tampak bapak, ibu dan anak membawa banyak sagu. Si bapak, istrinya dan anak
mereka meletakan sagu di atas tanah dan mulai mengeluarkan dahan-dahan beringin yang
menghalangi jalan. Saat itu kedua yatim piatu membuat suara menakutkan dan keluar dari tempat
persembunyian. Ketika keluarga itu melihat kedua topeng, mereka berteriak, Setaaaaann
sambil lari terbirit-birit meninggalkan sagu mereka menuju perahu dan mendayung pulang ke
kampung. Kedua adik-kakak itu segera melepaskan topeng dan mengambil sagu yang
ditinggalkan keluarga itu. mereka kemudian membakar sagu tersebut dan makan sampai
kenyang. beberapa hari berikutnya, kedua adik-kakak itu kembali beraksi dan selalu berhasil.
Orang kampung mulai merasa tidak aman dan mulai bertanya-tanya tentang kedua topeng itu.
Sebenarnya makluk apa yang menakuti kita ini? Tanya seorang kepada yang lain. Orang
kampung lalu membuat jebakan untuk menangkap kedua adik-kakak yatim piatu itu. Seperti
biasa, sebuah keluarga pergi memangkur sagu dan pulang menemukan lagi ada halangan di
jalanan yang mereka lewati. Sementara itu beberapa orang kampung telah siap di pinggir jalan
itu. Kedua yatim piatu kembali beraksi. Mereka memakai topeng Ndat Jumu dan Manimar.
Setelah keluarga itu lari meninggalkan tumang sagu mereka, kedua yatim piatu mengambilnya
dan mulai lari. Saat itu pria-pria dari kampung mengintip, ternyata kedua yatim itu mulai
melepaskan topeng itu. saat itulah orang kampung mengenal orang topeng itu sebagai kedua

anak yatim piatu di kampung. Orang kampung segera keluar mau mengepung mereka tapi adikkakak itu berhasil melarikan diri. Hei, jangan panah mereka, pasti mereka akan kembali ke
kampung! Benarlah yang diduga orang kampung. Menjelang malam, kedua remaja yatim piatu
itu kembali ke kampung. Keesokan harinya, tua-tua adat memanggil semua orang berkumpul di
Jew, kedua anak itu juga dihadirkan. Lalu Tanya tua-tua adat kepada kedua remaja itu, Mengapa
kamu menakuti orang dan merampas sagu orang? lalu remaja yatim piatu itu berkata, Kami
berdua lapar, tidak ada orang yang Bantu kami, dusun kami sudah dirampas sehingga kami
anyam topeng dan menakuti orang iuntuk bisa mengambil sagu dan makan. Lalu siapa yang
mengajar kalian membuat topeng? Tanya tua adat. Kata remaja yatim piatu, Ato-Ipit yang
mengajarkannya kepada kami. Lalu mereka mulai menceritakan kepada tua-tua adat bagaimana
caranya mereka menganyam topeng Ndat Jumu dan Manimar. Mendengar alas an kedua remaja
yatim piatu itu, semua orang kampung menyadari bahwa mereka tidak pernah menolong kedua
anak itu lalu mereka memaafkan kesalahan kedua remaja itu. Mulai saat itu semua orang
kampung memperhatikan dan menjamin kehidupan kedua remaja itu. Kedua remaja itu pun
bertumbuh menjadi dewasa, kawin dan hidup bersama dengan damai. Sebagai peringatan akan
kisah Kedua anak yatim piatu itu, secara turun-temurun Suku Asmat membuat Pesta Roh.
***John Ohowirin

Mbipokumbu (upacara topeng)

Anda mungkin juga menyukai