Anda di halaman 1dari 22

24 Cerita Rakyat Indonesia

1. Danau Toba dari Sumatera Utara

Cerita rakyat terkenal asal Sumatera Utara berikut dikutip dari buku Dongeng Nusantara, penerbit
Bestari (2009).

Pada zaman dahulu, di sebuah desa di Sumatera Utara hiduplah seorang petani bernama Toba. Ia
bekerja sebagai petani dan menangkap ikan. Setiap sorea selesai menggarap ladang, ia menuju sungai
dekat rumahnya. Namun hari itu amal sial, seharian ia duduk di tepi sungai, tak seekor pun ikan mau
menyantap umpan kailnya.

Toba sangat kesal dan mulai putus asa. Akhirnya ia memutuskan pulang. Anehnya, baru saja akan
bangkit, tiba-tiba kailnya ditarik ke dasar sungai. Karena tarikannya terasa berat, ia yakin akan
menangkap ikan besar. Benar saja, setelah ia angkat, seekor ikan mas sebesar paha manusia
menggelepar-gelepar di hadapannya. Betapa senangnya Toba. Segera dibawanya ikan tersebut pulang.

Sesampainya di rumah, sebuah keajaiban terjadi. Ketika ia hendak memotong ikan itu, tiba-tiba ikan
tersebut dapat berbicara. “Tolong jangan bunuh aku. Nanti aku akan membantu kehidupanmu.”

Toba terheran-heran. “Tapi aku lapar. Aku butuh lauk untuk makan hari ini.” Kata Toba.

“Nanti akan ku sediakan makanan untukmu. Lepaskanlah aku.” Jawab ikan itu mengiba. Toba yang
kasihan padanya akhirnya melepaskan kembali ikan tersebut ke sungai.

Ajiab. Setibanya di rumah, terhidang makanan lengkap di meja. Bahkan di dapur ada seorang wanita
cantik jelita yang sedang memasak.

“Terima kasih kau telah menolongku. Aku adalah wanita jelmaan ikan itu. Sekarang aku mengabdi
kepadamu.” Ujarnya. Wanita tersebut ternyata merupakan seorang putri yang dikutuk menjadi ikan.

Beberapa waktu kemudian, Toba ingin sekali menikahi wanita cantik itu. Wanita itu setuju namun ia
mengajukan sebuah syarat.

“Jangan sekali-sekali kau mengatakan asal-usulku dari mana, sekalipun kepada anak kita nanti. Bila kau
langgar maka akan terjadi sebuah bencana.” Toba menyanggupi hal tersebut.

Tidak lama, mereka kemudian dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Samosir. Mereka
hidup bahagia. Tetapi karena Samosir hidup dimanja, ia tumbuh menjadi anak yang malas. Bahkan
tingkahnya cenderung nakal.

Suatu hari, ibunya menyuruh Samosir untuk mengantarkan nasi untuk ayahnya. Karena dipaksa, kali
ini Samosir mau melaksanakannya. Namun di tengah jalan, ia merasa lapar dan memakan makanan
tersebut.

Di sisi lain, Toba yang merasa lapar tak sabar menanti-nanti. Berkali-kali ia menengok ke ujung jalan,
dan ketika Samosir datang ia hanya menyerahkan nasi sisa. Betapa marahnya Toba, “Anak kurang ajar.
Berani benar kau memberi ayahmu nasi sisa! Dasar anak keturunan ikan!”

Lalu dipukulnya Samosir hingga ia menangis. Samosir kemudian segera pulang dan menemui ibunya
dan mengadukan apa yang terjadi.

Ibunya terperanjat. Tiba-tiba petir menyambar langit. Seketika angkasa menggelap. Cepat-cepat
wanita itu menyuruh Samosir naik ke bukit paling tinggi.
“Cepatlah Nak! Selamatkan dirimu!” teriaknya. Samosir segera berlari menuju bukit. Lalu turunlah
hujan amat lebatnya. Wanita itu segera terjun ke dalam sungai dan kembali berubah menjadi ikan.

Sungai mendadak bergolak. Toba ketakutan, dan teringatlah ia pada janjinya yang sudah ia langgar.
Tapi sudah terlambat, air sungai terus meluap dan menenggelamkan seluruh desa. Lama-kelamaan
genangan air itu membentuk sebuah danau bernama Danau Toba. Sedangkan pulau di tengah-
tengahnya dinamakan Pulau Samosir.

2. Dongeng Malin Kundang dari Sumatera Barat

Dongeng rakyat nusantara yang terkenal berjudul Malin Kundang berikut dikutip dari buku Cerita
Rakyat Nusantara 34 Provinsi oleh Penerbit Ruang Kata Imprint Kawan Pustaka (2017).

Alkisah di wilayah pesisir pantai wilayah Sumatera, hiduplah Ibu Rubayah dan anaknya bernama Malin
Kundang. Suami Ibu Rubayah sudah lama meninggalkan mereka dan tak pernah kembali sejak itu.

Malin Kundang dan ibunya hidup sederhana berbekal berjualan kue di pasar untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.

“Kelak jika sudah besar aku ingin merantau. Aku harus mengubah nasib!” kata Malin Kundang suatu
hari.

Ketika menginjak remaja, sebuah kapal besar merapat di pantai. Malin terkagum-kagum
memandangnya. Hari itu juga ia pamit pada ibunya untuk ikut dalam kapal itu.

Ibu Rubayah semula melarangnya. “Ini kesempatan baik bagi saya, Ibu!” ujar Malin Kundang. “Belum
tentu setahun sekali ada kapal besar singgah di sini.” Lanjutnya.

Akhirnya dengan berat hati, Ibu Rubayah mengizinkannya. Air matanya berlinang saat mengantarkan
Malin Kundang menaiki kapal itu. Tak lupa ia membekali tiga bungkus nasi untuk bekal di perjalanan.

Ketika kapal berangkat, Ibu Rubayah hanya bisa melambaikan tangannya sambil menangis hingga kapal
itu menghilang di kejauhan.

Bertahun-tahun berlalu dengan cepatnya. Setiap hari Ibu Rubayah memandang ke laut berharap
anaknya pulang. Tapi tak ada kapal besar merapat ke pantai.

Kabar Malin Kundang pun tak jelas, Ibu Rubayah pun semakin tua.

Tapi dengan setia, ia tetap datang ke pantai setiap hari menantikan anaknya pulang.

Hingga suatu hari tersiar kabar dari seorang nakhoda kapal bahwa Malin Kundang telah kaya raya dan
menikah dengan gadis cantik putri seorang bangsawan. Betapa bahagianya hati Ibu Rubayah
mendengar hal tersebut.

Kemudian tak lama setelah itu, sebuah kapal besar dan mewah merapat di pantai. Orang-orang ramai
menyambut, itulah kapal Malin Kundang.

Di anjungan kapal, Malin Kundang menggandeng tangan wanita cantik berpakaian gemerlapan.

Ibu Rubayah menguak keramaian dan berusaha menemui anaknya. “Malin, anakku!” serunya.

Namun Malin Kundang tak menggubrisnya, istrinya bahkan meludah melihat Ibu Rubayah. “Cuih!
Perempuan buruk inikah ibumu? Mengapa kau bohong padaku? Bukankah kau dulu berkata bahwa
ibumu bangsawan sederajat dengan kami?”
Betapa malunya Malin Kundang mendengar perkataan istrinya itu. Apalagi setelah melihat pakaian Ibu
Rubayah yang dekil dan compang-camping.

Untuk menutupi rasa malunya, ia berkata “Bukan, dia bukan ibukku!” lalu diusirnya Ibu Rubayah
dengan kasar.

“Hei, perempuan dekil! Enyah kau dariku! Ibuku tidak melarat sepertimu!” bahkan Malin Kundang
sampai menendang ibunya.

Setelah itu, Malin Kundang memerintahkan anak buahnya agar kembali berlayar. Betapa sedih hati Ibu
Rubayah. Ia menangis sambil meratap, “Ya tuhan, kalau dia memang anakku, aku mohon keadilan-
Mu!”

Tak lama kemudian, tiba-tiba turunlah hujan badai amat dahsyatnya. Kapal Malin Kundang disambar
petir dan pecah dihantam gelombang besar.

Pecahan kapalnya menyebar ke tepi. Setelah terang, tampak sebongkah batu menyerupai manusia
terdampar di pinggir pantai. Itulah tubuh Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu.

3. Sangkuriang dari Jawa Barat

Cerita Rakyat asal Jawa Barat berikut berjudul Sangkuriang dikutip dari Sangkuriang Seri Cerita
Rakyat Nusantara, penerbit JP Books (2012).

Setelah tinggal di istana bertahun-tahun, Dayang Sumbi memutuskan hidup menjadi pertapa di tengah
hutan. Ia ditemani anjing bernama Tumang.

Tumang adalah pangeran dari Kayangan yang dikutuk menjadi anjing. Untuk mengisi waktu luang, Putri
Kerajaan Parahyangan berwajah cantik itu menenun kain. Ketika sedang asyik menenun, tiba-tiba alat
pintal benangnya terjatuh. Karena malas mengambil, Dayang Sumbi berkata, “Siapa yang mau
mengambilkan alat pintalku, jika ia perempuan akan kujadikan adikku. Jika ia laki-laki, kujadikan
suamiku!”

Si Tumang mendengar perkataan Dayang Sumbi. Segera diambilkannya alat pintal itu. Betapa
terkejutnya Dayang Sumbi setelah mengetahui yang menyerahkan alat itu adalah anjingnya. Tapi ia
tidak dapat mengelak dari janjinya hingga mau tidak mau menikah dengan Si Tumang.

Setelah mendapat tawaran untuk menikah, Tumang dapat berubah wujud menjadi manusia. Beberapa
tahun kemudian mereka dikaruniai anak lelaki berwajah tampan dan diberi nama Sangkuriang.

Suatu hari Dayang Sumbi ingin sekali makan hati rusa. Disuruhnya Sangkuriang mencarikannya.
Ditemani Si Tumang, Sangkuriang berburu ke hutan. Seharian ia berjalan, tak juga menemukan rusa.
Karena putus asa dipanahnya Si Tumang dan diambilnya hatinya.

Ia tidak tahu kalau anjing itu ayahnya. Sampai di rumah diserahkannya hati itu pada ibunya. Dayang
Sumbi langsung memasak dan memakannya. Setelah itu ia bertanya, di mana Tumang? Sangkuriang
menjelaskan bahwa yang dimakan ibunya itu adalah hati Si Tumang. Betapa marahnya Dayang Sumbi.
Ia memukul kepala Sangkuriang hingga terluka.

Dengan perasaan sedih Sangkuriang pergi meninggalkan ibunya. Bertahun-tahun ia mengembara


berusaha melupakan kemarahan ibunya dengan menimba berbagai ilmu kesaktian.

Hingga suatu hari bertemulah ia dengan wanita cantik di tepi telaga. Wanita itu tidak lain ibunya sendiri
yang oleh dewa dikaruniai wajah awet muda. Mereka sama-sama jatuh cinta dan ingin menikah.
Tapi ketika memeriksa kepala Sangkuriang, betapa terkejutnya Dayang Sumbi. Ia mengenali bekas luka
itu. “Kau adalah anakku, dan aku ibumu. Tak mungkin kita menikah.” Kata Dayang Sumbi. Sangkuriang
tak percaya. Ia tetap ingin mengawini wanita itu karena terlanjut jatuh cinta.

Untuk membatalkan niat Sangkuriang, Dayang Sumbi meminta syarat. Ia mau dinikahi asal Sangkuriang
mampu membuatkan telaga besar dan perahu di atas bukit dalam waktu semalam.

Lewat kesaktiannya dan dibantu ribuan jin, Sangkuriang memenuhi permintaan itu. Dayang Sumbi pun
semalaman berdoa kepada dewa agar membatalkan niat Sangkuriang.

Doanya dikabulkan, matahari terbit lebih cepat dari biasanya hingga menggagalkan pekerjaan
Sangkuriang. Karena tidak berhasil menikahi Dayang Sumbi, dengan kesal Sangkuriang menendang
perahu buatannya. Perahu itu terbalik dan menutup telaga yang belum selesai lalu berubah menjadi
gunung besar yang kini dikenal sebagai Tangkuban Perahu.

4. Keong Mas dari Jawa Timur

Cerita rakyat pendek berjudul Keong Mas berikut dikutip dari buku Dongeng Mini Nusantara Keong
Mas, penerbit Bhuana Ilmu Populer (2013).

Dahulu kala di Kerajaan Daha, ada dua putri bernama Galuh Ajeng dan Candra Kirana. Galuh Ajeng iri
pada Candra Kirana yang bertunangan dengan Pangeran Inu Kertapati.

Disuruhnya nenek sihir jahat untuk mengutuk saudaranya menjadi keong mas.

Suatu hari, seorang nenek tua mencari ikan di sungai. Bukannya ikan yang ditangkap, justru seekor
keong mas yang didapat. Keong mas itu lantas dibawa pulang dan dipelihara dengan aman.

Esok harinya si nenek mencari ikan lagi. Nasib baik belum datang, si nenek pulang ke rumah dalam
keadaan lapar. Namun alangkah terkejutnya ia, ketika melihat banyak makanan telah terjadi di meja
makan.

Berkali-kali keajaiban ini terjadi. Hingga suatu si nenek berpura-pura pergi, lalu ia kembali dan
mengintip. Ternyata, keong mas yang didapatkan itu berubah wujud menjadi seorang putri yang cantik.

Di sisi lain, Pangeran Inu Kertapati bingung karena tunangannya telah hilang. Ia lantas menyamar
menjadi seorang rakyat jelat untuk mencari Putri Candra Kirana. Kakek Sakti kemudian memberitahu
sang pangeran bahwa sang putri berada di Desa Dadapan.

Pangeran Inu Kertapati akhirnya berhasil menemukan sang pujaan hati. Begitu mereka bertemu,
kekuatan sihir pun hilang. Pangeran lantas memboyong Putri Candra Kirani ke istana dan mereka hidup
bahagia selamanya.

5. Lutung Kasarung dari Jawa Barat

Cerita rakyat menarik berjudul Lutung Kasarung berikut dikutip dari buku Seri Cerita Rakyat Balai
Pustaka: Lutung Kasarung, penerbit Balai Pustaka (2011).

Purbararang dan Purbasari adalah putri kerajaan di Jawa Barat. Meski bersaudara, sifat mereka
berbeda. Purbararang sombong dan pemalas. Sebaliknya, Purbasari amat ramah dan rajin.

Purbasari tak pernah menganggap dirinya putri raja. Dia bergaul dengan siapa saja, sekalipun dengan
rakyat jelata. Tak heran, rakyat mencintainya. Prabu Tapa, ayahnya pun tahu hal itu.
Saat Prabu Tapa semakin tua, beliau menyerahkan tahta pada Purbasari. Tentu saja, hal itu membuat
Purbararang berang. “Seharusnya aku, Ayah. Aku kan anak sulung.”

Prabu Tapa lalu menjelaskan dengan penuh kasih sayang, “Bukan masalah sulung atau bungsu. Ayah
memilih Purbasari karena melihat rakyat begitu mencintainya.”

Purbasari memerintah dengan bijaksana. Dia mewarisi segala kelembutan dan kebaikan hati ayahnya.
Purbararang amat jengkel. Dia masih tak terima. “Seharusnya, aku yang jadi ratu!” tekadnya.

Purbararang lalu merencanakan siasat jahat untuk Purbasari agar tahta kerajaan jatuh ke tangannya.

Suatu hari terdengar teriakan dari kamar Purbasari. Prabu Tapa dan Purbararang tergopoh-gopoh
mendatangi Purbasari. “Ya ampun, apa yang terjadi padamu?” tanya Prabu Tapa pilu.

Kulit tubuh Purbasari berbintik-bintik hitam. Sebagian di antaranya mengeluarkan nanah yang bau.

“Huhuhu, kenapa jadi begini?” Purbasari menangis tak mengerti. Melihat adiknya menangis,
Purbararang tak kasihan. Dia malah membujuk ayahnya untuk mengasingkan Purbasari.

“Ayah, jangan-jangan ini penyakit menular. Dia harus diasingkan! Ayah tak mau kan seluruh negeri
terserang penyakit mengerikan ini?”

Mendengar perkataan kakaknya, Purbasari semakin menangis. “Jangan asingkan aku, Ayah…” Prabu
Tapa bimbang. Apalagi tabib istana juga tak mengerti apa yang terjadi pada Purbasari.

“Purbararang benar. Jika ini penyakit menular, seluruh rakyat bisa terserang. Maafkan Ayah, Nak. Ini
untuk kebaikan semua orang.” Kata Prabu Tapa.

Akhirnya Purbasari diasingkan ke hutan. Di sana, patih istana membuatkannya sebuah rumah
sederhana. Hati Purbasari amat sedih. Namun, demi rakyatnya, ia akhirnya ikhlas.

Purbasari mulai menjalani hari-harinya di hutan. Walau tak ada yang bisa diajak berbicara, dia bisa
bercanda dengan burung, semut, dan kupu-kupu. Purbasari berusaha tetap ikhlas.

Suatu pagi, Purbasari sedang memetik bunga. Tiba-tiba dari atas pohon, ada hewan berayun-ayun. “Oh
ada lutung!” teriak Purbasari.

Lutung itu turun, lalu menyodorkan sebiji mangga pada Purbasari.

Purbasari amat senang. Kini ia punya teman. Meski tak bisa bicara, lutung itu amat mengerti Purbasari.
Dia membantu Purbasari mencari makanan.

Dia juga mendengarkan segala keluh kesah Purbasari. Purbasari memanggil lutung itu dengan sebutan
“Lutung Kasarung” yang berarti lutung yang tersesat.

Sudah berbulan-bulan Purbasari tinggal di hutan. Namun penyakitnya tak sembuh juga. Ia bercermin,
memandang wajahnya yang tampak mengerikan. “Duhai Tuhanku, kapan penyakitku akan sembuh?”
tanyanya pilu.

Mendengar ratapan Purbasari, Lutung Kasarung lalu memetik banyak bunga dan memberikannya pada
Purbasari. “Kamu ingin aku membasuh diri dengan bunga-bunga ini?” tanya Purbasari.

Lutung Kasarung mengangguk, “Percuma. Bau tubuhku terlalu busuk…” Purbasari menolak.
Namun Lutung Kasarung terus memaksa. Ia membawa Purbasari masuk ke dalam hutan. Di sana
ternyata ada danau luas yang airnya bening dan harum. Purbasari lalu membasuh diri dengan air danau
dicampur bunga-bunga yang dipetik Lutung Kasarung.

Ajaib! Penyakit kulit Purbasari hilang! Kulitnya kini kembali bersih, tak berbintik.

“Terima kasih Tuhan!” Purbasari tak henti-hetinya mengucap syukur. Ia lalu berencana untuk kembali
ke istana.

Ketika hendak bersiap, tiba-tiba datang sebuah kereta kencana yang akan mengantar mereka ke
istana. Sesampainya di Istana, Purbasari turun dari kereta tersebut bersama dengan lutung kasarung.

Melihat Purbasari, Purbararang menjadi penasaran. “Bagaimana kamu bisa sembuh?”

Purbasari pun menceritakan semuanya. Mendengar hal tersebut, Purbararang lalu memutar otak agar
Purbasari tidak kembali ke istana.

“Adikku sayang, kamu boleh kembali ke istana dan menjadi ratu dengan satu syarat, yaitu kamu harus
mengalahkanku.” Purbararang mengurai rambutnya.

“Jika rambutmu lebih panjang daripadaku, kamu boleh kembali ke istana.” Purbasari pun mengurai
rambutnya.

Ternyata rambutnya lebih panjang! Hidup di hutan berbulan-bulan membuatnya tak pernah
memotong rambut.

Masih tak mau kalah, Purbararang lantas memberikan satu syarat lagi.

“Ini Indrajaya, suamiku. Dia tampan sekali. Jika kamu memiliki calon suami yang lebih tampan dari dia,
maka kukembalikan tahta ratu padamu.” Kata Purbararang.

Purbasari terdiam, ia tak memiliki calon suami. Saat hendak membuka mulut, mengakui kekalahannya,
tiba-tiba Lutung Kasarung menarik jari Purbasari dan menunjuk dirinya sendiri.

“Oh kamu mau jadi suamiku? Tapi kamu kan…” Purbasari berbisik bingung. Lutung Kasarung
mengangguk-angguk sambil terus menunjuk dirinya.

“Calon suamiku adalah dia.” Purbasari menunjuk Lutung Kasarung.

Sontak pecahlah tawa Purbararang dan Indrajaya.

“Lutung? Calon suamimu lutung? Mana mungkin dia mengalahkan ketampanan Indrajaya!”
Purbararang dan Indrajaya membalikkan tubuhnya, bersiap kembali naik ke kereta kencana.

Sebelum Purbararang melangkahkan kaki, terdengar suara aneh.

Ajaib! Tubuh Lutung Kasarung tiba-tiba berubah menjadi pria yang jauh lebih tampan dari Indrajaya.

“Si-siapa kamu?” Purbararang ketakutan. Ia menelisik pria itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Aku Lutung Kasarung, calon suami Purbasari.”

Purbasari terkejut lalu Lutung Kasarung menceritakan asal-usulnya yang ternyata merupakan
pangeran. Saat masih bayi, ia dikutuk oleh musuh ayahnya. Kutukan tersebut akan hilang jika ada
perempuan baik hati yang mengakuinya sebagai calon suami.
Purbararang lantas mengaku kalah. Ia mengajak Purbasari pulang ke istana dan kembali menjadi ratu.
Tak berapa lama, Lutung Kasarung datang melamar Purbasari. Mereka menikah dan hidup bahagia
selama-lamanya.

Cerita Nusantara Timun Mas/ Foto: HaiBunda/ Mia Kurnia Sari

6. Timun Mas dari Jawa Tengah

Dongeng terkenal Timun Mas berikut dikutip dari buku dari buku Dongeng Nusantara, penerbit Bestari
(2019).

Hiduplah seorang wanita tua bernama Mbok Rondo yang tinggal di sebuah desa di wilayah Jawa. Sudah
sejak lama ia menginginkan anak. “Betapa bahagainya bila di hari tuaku ada anak yang membantu
meringankan pekerjaanku,” pikirnya.

Ketika sedang melamun di ladang, tiba-tiba bumi bergetar hebat. Mbok Rondo terkejut karena muncul
raksasa yang menakutkan di hadapannya.

Raksasa itu tertawa terbahak-bahak. “Mbok Rondo aku sanggup memberimu anak. Tapi dengan syarat,
saat ia berumur 6 tahun kau harus menyerahkan kepadaku untuk kusantap!”

Mbok Rondo tidak tahu asal-usul raksasa itu. Tapi karena ia benar-benar menginginkan anak, maka ia
menyanggupinya.

Raksasa itu kemudian memberinya biji mentimun. “Tanamlah. Kelak di dalam salah satu buah
mentimun akan kau temukan seorang anak” kata raksasa itu.

Mbok Rondo kemudian segera menanam biji mentimun itu. Salah satunya menghasilkan timun besar
berwarna kuning keemasan.

Ketika memetik dan membelahnya, nampak di dalamnya bayi mungil nan lucu. Betapa gembiranya hati
Mbok Rondo, bayi itu ia beri nama Timun Mas. Ia tumbuh menjadi gadis cantik jelita. Mbok Rondo
amat menyayanginya.

Suatu hari datanglah raksasa menagih janji. “Aku tahu, kedatanganmu untuk mengambil Timun Mas.
Berilah aku waktu dua tahun lagi. Kalau ia kuberikan sekarang, tentu kurang lezat untuk disantap.
Tubuhnya masih kecil.” Kata Mbok Rondo.

“Benar juga. Baiklah, dua tahun lagi aku kemari. Kalau bohong, kau yang kusantap!” ancam raksasa itu.
Timun Mas yang bersembunyi di kolong tempat tidur, ketakutan setengah mati mendengar percakapan
itu.

Kemudian Mbok Rondo mencari akal bagaimana caranya menyelamatkan Timun Mas. Datanglah ia ke
seorang pertapa yang memberinya empat bungkusan kecil sebagai penangkal kejahatan raksasa. Isinya
adalah biji mentimun, jarum, garam, dan terasi.

Dua tahun kemudian raksasa itu datang lagi dan menagih janji. Mbok Rondo cepat-cepat menyuruh
Timun Mas lari menyelamatkan diri lewat pintu belakang sambil menyerahkan bungkusan itu.

“Ho… ho… ho… walau lari ke ujung dunia sekalipun, kau pasti dapat kutangkap!” kata raksasa sambil
mengejar Timun Mas. Karena terus belari, Timun Mas kelelahan. Dalam keadaan terdesak ia menyebar
bungkusan pertama berisi biji mentimun. Biji itu tumbuh menjadi tanaman mentimun yang lebat
dengan buahnya yang besar-besar. Dengan rakusnya raksasa memakan buah itu, lalu kembali mengejar
Timun Mas.
Timun mas segera membuka bungkusan kedua dan menaburkan jarum ke tanah. Jarum berubah jadi
hutan bambu lebat. Raksasa dapat menerobosnya meskipun kakinya berdarah-darah tertusuk bambu.

Raksasa kembali mengejarnya. Timun Mas melempar bungkusan ketiga berupa garam menjadilah
lautan. Raksasa itu ternyata mampu melewatinya.

“Bocah kurang ajar! Awas kalau kutangkap, kutelan kau bulat-bulat!” raksasa itu semakin marah.
Timun Mas segera melempar bungkusan terakhir berisi terasi ke tubuh raksasa.

Tiba-tiba terasi berubah menjadi lautan lumpur mendidih. Raksasa itu kepanasan dan mati tenggelam.
Timun Mas selamat. Akhirnya ia hidup bahagia bersama Mbok Rondo.

7. Batu Menangis dari Kalimantan Barat

Dongeng rakyat terkenal dari Kalimantan Barat berjudul Legenda Batu Menangis berikut dikutip dari
buku Riri, Cerita Anak Interaktif penerbit Tim Educa Studio.

Di sebuah desa di daerah pedalaman Kalimantan, hiduplah seorang gadis cantik bersama ibunya yang
sudah tua. Mereka hidup serba kekurangan. Akan tetapi gadis itu justru manja dan ingin tampil serba
mewah tanpa mau bekerja keras sedikit pun.

Ia malas membantu ibunya. Pekerjaannya setiap hari hanya bersolek di depan cermin untuk
mengagumi kecantikannya. Bahkan gadis itu berani memerintah orang tuanya. Bila kemauannya tidak
dituruti ia lekas sekali marah.

Terpaksa ibunya banting tulang memenuhi segala keinginannya.

Suatu hari ia diajak ibunya berbelanja ke pasar. Letak pasar cukup jauh. Gadis itu segera berdandan
secantik mungkin dan mengenakan pakaiannya yang terindah.

Sebaliknya, ibunya memakai baju lusuh. Lalu berjalanlah keduanya. Tapi gadis itu merasa malu
beriringan dengan ibunya. Ia selalu berjalan di depan, sementara ibunya yang membawa keranjang
sengaja ia suruh mengikutinya di belakang.

Tidak seorang pun menyangka bahwa mereka berdua adalah ibu dan anak. Setiap orang yang
berpapasan, terkagum-kagum memandang kecantikan gadis itu. Sebaliknya mereka dibuat bertanya-
tanya, siapakah wanita kurus di belakangnya itu?

Di tengah jalan banyak pemuda yang berusaha berkenalan dengan gadis itu.

“Hai gadis cantik, dari mana asalmu? Boleh kita kenalan?” demikian kata mereka.

Gadis itu amat senang dikagumi banyak pemuda. Ia semakin bangga dan sadar bahwa dirinya memang
benar-benar cantik. Tapi ketika mereka menanyakan siapa wanita tua kurus yang berjalan di
belakangnya itu, ia menjawab ketus “Oh, dia pembantuku!”

Pada mulanya ibunya dapat menahan diri mendengar jawaban putrinya. Ia berharap anaknya hanya
berolok-olok. Lalu tibalah mereka di pasar.

Orang-orang semakin banyak yang memandang ke arahnya mengagumi kecantikannya. Sebaliknya


ibunya sibuk mengisi keranjang dengan berbagai barang belanjaan.

Tapi gadis itu sama sekali tak mau membantu ibunya. Bahkan ia justru memperlakukan ibunya itu
benar-benar seperti pembantu. Ketika ada orang menegurnya, mengapa ia tak mau membantu
membawakan belanjaan ibunya, ia menjawab “Oh dia bukan ibuku. Dia budakku. Sudah selayaknya ia
bekerja keras!” mendengar jawaban anaknya itu, betapa sakit hati sang ibu.

Demikian pula ketika pulang, gadis itu malah berleha-leha. Sedangkan ibunya susah payah membawa
barang belanjaan di belakangnya.

Setiap kali ada orang bertanya, siapa wanita tua itu, ia selalu menjawab “Dia budakku!” sakit hati
ibunya kini tak tertahankan lagi.

Ia berdoa kepada Tuhan agar mengutuk anaknya yang durhaka itu. Seketika petir menyambar di langit
disusul turun hujan lebat.

Gadis itu terperanjat dan tiba-tiba berubah menjadi batu. Mula-mula kakinya lalu merambat ke
perutnya, kemudian ke dadanya. Ia berteriak-teriak minta tolong sambil menangis. “Ampun Ibu,
ampuni saya Ibuu!!!” tapi terlambat.

Akhirnya seluruh tubuhnya berubah jadi batu dengan tetesan air mata di pipinya.

8. Jaka Tarub dari Jawa Tengah

Kisah mengenai Jaka Tarub berikut dikutip dari buku Jaka Tarub; Pencuri Selendang Bidadari oleh
penerbit Lontar Mediatama (2019).

Di sebuah desa di daerah Jawa, tinggallah seorang janda tua bersama anak angkatnya yang diberi nama
Jaka Tarub. Ia diasuh sejak kecil oleh seorang seorang diri oleh sang ibu hingga menjadi pemuda
tampan.

Jaka Tarub senang berburu ke hutan. Ia menangkap ikan, burung, dan menjangan. Namun hari itu
seharian ia berjalan tak menjumpai seekor hewan pun. Ketika istirahat, tiba-tiba terdengar sayup-
sayup suara wanita bercanda di tengah hutan.

Jaka Tarub mencari sumber suara itu. Ia terkejut melihat tujuh gadis cantik sedang mandi di telaga.
Mereka ternyata bidadari yang turun ke bumi. Jaka Tarub juga menemukan setumpuk pakaian di tepi
telaga itu. Kemudian disembunyikannya salah satu pakaian tersebut.

Menjelang sore, bidadari-bidadari itu mengenakan pakaiannya kembali. Namun ada satu bidadari yang
kebingungan karena pakaiannya hilang. Ia mencari ke sana kemari sambil menangis.

“Maafkan kami, Nawang Wulan. Kami tak dapat menolongmu, sebentar lagi matahari tenggelam, kami
harus-harus cepat-cepat pulang ke kayangan,” kata bidadari lainnya.

Bidadari bernama Nawang Wulan itu sedih sekali melihat teman-temannya terbang meninggalkannya.
Jaka Tarub segera keluar dari persembunyiannya untuk menolong bidadari itu dan mengajaknya
pulang.

Akhirnya Jaka Tarub menikahinya. Mereka hidup bahagia. Setahun kemudian mereka dikaruniai bayi
perempuan yang diberi nama Nawangsih.

Suatu hari Nawang Wulan berpesan kepada Jaka Tarub “Kakang, aku akan mencuci pakaian di sungai.
Tolong tunggu tanakan nasiku. Jangan sekali-kali kau buka kukusannya!” Jaka Tarub merasa penasaran
terhadap pesan istrinya itu.

Dibukanya kususan tersebut. Ia terkejut tatkala menemukan setangkai padi. “Oh rupanya inilah ilmu
yang dibawa Nawang Wulan dari kayangan. Menanak nasi hanya dengan setangkai padi cukup dimakan
satu keluarga. Pantas selama ini padi di lumbung tak pernah berkurang” demikian pikir Jaka Tarub.
Perbuatan Jaka Tarub itu diketahui Nawang Wulan. Ia marah melihat kelancangan suaminya. Sejak itu
Nawang Wulan tak dapat lagi menanak nasi dengan setangkai padi. Terpaksa ia menyuruh Jaka Tarub
membuatkan peralatan penumbuk padi.

“Sekarang kita harus bekerja keras untuk memperoleh beras.” Kata Nawang Wulan. Karena setiap hari
ditumbuk, padi di lumbung cepat sekali menyusut.

Jaka Tarub menyesali perbuatannya. Suatu hari ketika sedang mengambil padi, Nawang Wulan
menemukan pakaian di bawah lumbung.

Alangkah terkejutnya ia ternyata itu pakaiannya yang hilang ketika mandi di telaga beberapa tahun
yang lalu. Tahulah ia ternyata yang menyembunyikannya selama ini adalah Jaka Tarub.

Nawang Wulan segera mengenakan pakaian itu, Jaka Tarub terkejut melihat istrinya kembali menjadi
bidadari. “Kakang selama ini kau telah membohongiku. Ternyata kaulah yang mencuri pakaianku. Kini
sudah waktunya aku meninggalkan mayapada. Asuhlah anak kita hingga dewasa.” Kata Nawang Wulan
berpamitan.

Jaka Tarub berusaha mencegah kepergian istrinya, namun Nawang Wulan menggeleng. “Kodratku
adalah bidadari, dan aku harus kembali ke kayangan.”

Alangkah sedihnya Jaka Tarub kehilangan istrinya. Sambil menggendong anaknya ia melihat kepergian
bidadari itu. Hatinya teriris saat Nawang Wulan melambaikan tangan hingga hilang di balik awan.

9. Joko Kendil dari Jawa Tengah

Alkisah di suatu desa di daerah Jawa Tengah, ada seorang wanita tua yang dikenal dengan nama Mbok
Rondho. Ia tinggal bersama anak laki-lakinya yang berbadan kecil dan jelek. Oleh karena itu, ia sering
dipanggil dengan nama Joko Kendil. Kendil merupakan semacam periuk yang digunakan untuk
memasak nasi.

Sebenarnya, Joko Kendil bukanlah anak kandung dari Mbok Rondho. Dia adalah putra dari Raja
Asmawikana.

Raja Asmawikana memiliki satu permaisuri dan seorang selir. Namun selirnya memiliki sifat dengki. Ia
tidak rela jika kerajaan itu nantinya diwariskan kepada anak permaisuri. Maka dari itu, setiap kali
permaisuri hamil, ia akan mencampurkan racun ke makanannya hingga permaisuri keguguran.

Hal itu akhirnya menimbulkan kecurigaan dari sang raja. Saat permaisuri kembali hamil, Raja
Asmawikana menjaganya dengan sangat ketat. Kondisi tersebut membuat si selir semakin gelap mata.
Ia lantas menemui seorang penyihir dan meminta agar bayi di dalam kandungan permaisuri dikutuk.

Walhasil, ketika sang permaisuri melahirkan, bayi yang ia lahirkan berwajah jelek dan kepalanya mirip
kendil. Meski begitu, permaisuri tetap merawat bayinya dengan sepenuh hati.

Menurut seorang peramal, untuk melepaskan sihir tersebut, sang bayi harus dirawat oleh seorang
janda yang tinggal di pinggir sungai di perbatasan kerajaan. Akhirnya, Joko kencil dirawat oleh Mbok
Rondho.

Ketika Joko Kendil menginjak dewasa, desanya dikunjungi oleh raja dari negeri seberang yang
membawa serta ketiga putrinya. Joko Kendil lantas jatuh cinta kepada salah satu dari ketiga putri
tersebut dan meminta Mbok Rondho untuk meminangnya.
Mbok Rondho lantas menemui Raja Asmawikana dan meminta izin untuk pergi ke negeri seberang
untuk meminang salah satu putri tersebut. Raja pun setuju dan dan memerintahkan pengawal untuk
menemani Mbok Rondho.

Bersamaan dengan itu, raja di negeri seberang bermimpi bahwa ia mendapatkan kendi yang kemudian
berubah menjadi seorang ksatria tampan setelah diserahkan ke putri bungsunya.

Singkat cerita, kedatangan Mbok Rondho dan Joko Kendil disambut dengan baik oleh raja di negeri
seberang. Pinangan tersebut akhirnya diterima, Joko Kendil resmi menjadi suami dari putri bungsu
sang raja. Di tengah perhelatan pesta pernikahan, Joko Kendil tiba-tiba berubah menjadi sesosok pria
yang sangat tampan. Akhirnya Joko Kendil terbebas dari sihir.

10. Joko Bodo dari Jawa Tengah

Cerita rakyat panjang berikut bercerita tentang Joko Bodo yang dikutip dari buku Cerita Rakyat dari
Jawa Tengah, penerbit Rasindo (1992).

Di sebuah desa tinggallah seorang janda bersama dengan anak laki-laki tunggalnya. Anak itu amat
bodoh. Oleh sebab itu, ia terkenal dengan nama Joko Bodo. Walaupun begitu, si ibu amat sayang
padanya.

Pada suatu hari, Joko Bodo pergi ke hutan mencari kayu. Di dalam hutan di bawah sebatang kayu yang
besar, ia menemukan seorang wanita cantik yang sedang tertidur nyenyak.

Joko Bodo kagum melihat kecantikan wanita tersebut. Tanpa berpikir panjang, Joko Bodo
menggendong wanita itu dan membawanya pulang ke rumah. Setibanya di rumah, wanita itu
dibaringkan di atas tempat tidur di kamar ibunya. Kemudian Joko Bodo menemui ibunya dan berkata
“Ibu, saya menemukan seorang gadis yang amat manis rupanya. Saya ingin mengawininya, Ibu.”

“Di mana gadis yang engkau katakan cantik itu sekarang, anakku?” tanya ibunya girang.

“Sekarang ia sedang tidur nyenyak di kamar Ibu. Mungkin karena ia terlalu lelah menempuh perjalanan
yang jauh dari hutan.”

Siang telah berganti malam. Di luar, alam telah menjadi gelap. Namun si gadis belum juga bangun dari
tidurnya.

Karena cemas akan kesehatan gadis tersebut, si ibu berkata kepada Joko Bodo. “Joko Bodo, bangunkan
gadis itu agar ia makan dulu. Kasihan nanti dial apar.”

“Bu, malam ini biarkan saja dia tidak usah makan. Tidak apa-apa, besok pagi saja kita bangunkan dia.”

Esok paginya ketika orang-orang sudah bersiap untuk makan pagi, si gadis tak muncul juga dari
kamarnya.

Melihat peristiwa ini, ibu Joko Bodo menjadi curiga. Mana ada orang yang mampu tidur hingga satu
setengah hari? Tanpa diketahui Joko Bodo, si ibu menengok ke dalam kamar. Kemudian ia memeriksa
keadaan gadis yang tidak bangun dari tidurnya dengan teliti.

“Astaga…” teriak si ibu sambil mengelus dadanya setelah yakin bahwa gadis yang dianggapnya sedang
tidur itu sebenarnya sudah meninggal.

Si ibu cepat-cepat menemui anaknya dan berkata, “Anakku, gadis yang engkau maksudkan itu sudah
meninggal.”
“Saya tidak percaya, Ibu. Ia tidak meninggal. Gadis itu sedang tidur nyenyak dan sebentar lagi akan
bangun.”

Beberapa hari kemudian tercium bau busuk. Ketika Joko Bodo mencium bau busuk itu, ia menanyakan
sebabnya pada ibunya.

Ibunya menjawab, “Anakku, bau itu berasal dari tubuh si gadis yang sudah mulai membusuk. Itulah
tandanya bahwa gadis itu sesungguhnya sudah mati. Orang yang mati akan mengeluarkan bau busuk.”

Sekarang mengertilah Joko Bodo bahwa setiap mayat akan berbau busuk. Segera diangkatnya tubuh
gadis itu dan dibuangkan ke dalam sungai.

Pada suatu hari, ketika ibunya sedang memasak, tiba-tiba ibunya kentut yang bau sekali.

Waktu Joko Bodo mencium bau yang sangat menusuk hidup itu, ia tanpa pikir panjang langsung
menggendong ibunya sambil menangis dengan sedih sekali. Sebab disangkanya bahwa ibunya telah
meninggal.

Si ibu terus meronta-ronta ingin melepaskan diri. “Joko Bodo, aku belum mati. Aku masih hidup.
Lepaskan aku, ayoo… aku belum mati, anakku.”

“Ya, tapi tubuh ibu sudah bau. Itu artinya ibu sudah mati.” Jawab Joko Bodo.

“Bau itu karena aku kentut.” Jawab si ibu sambil terus meronta.

“Tidak, ibu sudah mati.” Kata Joko Bodo sambil terus membawa ibunya ke tepi sungai.

Ibu yang malang itu terus dilemparkannya ke dalam sungai. Ia terbawa arus dan meninggal dunia.

Sore harinya, tatkala Joko Bodo sedang duduk sendiri sambil merenungkan nasibnya yang buruk, tiba-
tiba ia pun kentut. Mencium bau kentutnya sendiri yang busuk, Joko Bodo menjadi sangat terkejut.

“Kalau begitu aku juga sudah mati. Tubuhku berbau busuk.” Pikir Joko Bodo.

Tanpa pikir panjang lagi ia segera berlari dan menceburkan dirinya ke dalam sungai. Ia terbawa arus
dan meninggal oleh kebodohannya sendiri.

11. Rakyat Ayam dan Ikan Tongkol dari Kepulauan Riau

Cerita rakyat berjudul Ayam dan Ikan Tongkol berikut dikutip dari buku Cerita Rakyat Nusantara
Terpopuler Sepanjang Masa, penerbit Cikal Aksara (2016).

Dahulu kala di Kepulauan Riau, ikan tongkol dan ayam bersahabat erat. Mereka saling membantu satu
sama lain. Sampai suatu hari, Raja Ayam memberitahukan kepada Raja Tongkol bahwa ada keluarga
nelayan yang akan menikahkan anaknya dan mengadakan pesta besar-besaran.

“Jangan lupa sahabatku Raja Tongkol, kau harus datang bersama rakyatmu ke pesta besok malam.
Kalian pasti akan sangat menikmatinya.” Ujar Raja Ayam.

“Baiklah, aku dan rakyatku akan dengan senang hati melihat pesta itu. Tetapi aku butuh bantuanmu,
Raja Ayam sahabatku.” Jawab Raja Tongkol.

“Bantuan apa itu? Dengan senang hati aku akan membantumu.”

“Kami akan datang nanti malam saat air laut pasang. Namun kami harus kembali sebelum terbit
matahari, sebelum air laut surut. Jadi kalian jangan lupa untuk berkokok untuk memberi tanda waktu
bagi kami,” Raja Tongkol menjelaskan permintaannya.
“Tentu saja kami akan melakukannya.” Raja Ayam menyanggupi.

Keesokan harinya, pesta itu mulai digelar. Bulan purnama bersinar sangat terang. Air laut pun naik.
Saat itulah rombongan rakyat tongkol datang. Mereka bersembunyi di karang-karang, tak jauh dari
panggung utama.

Semua larut dalam acara yang indah ini diiringi dengan suara rebana yang bertalu-talu. Rakyat tongkol
pun sangat menikmati. Malam semakin larut, rakyat tongkol pun enggan beranjak dari pesta.
Masalahnya, warga pantai dan para tongkol yang tertidur, Raja Ayam dan rakyatnya juga ikut pulas.

Celaka! Air laut mulai surut, tapi tidak ada satupun ayam yang berkokok! Saat matahari sudah terbit,
satu per satu ikan mulai bangun. Betapa kagetnya mereka melihat pantai mulai mongering.

“Oh tidak! Air laut sudah surut! Kemana ayam jantan yang bertugas berkokok membantu rakyat
tongkol?” para tongkol pun mulai panik. Mereka terjebak di karang-karang yang sudah kering. Sebagian
tongkol melompat-lompat, berusaha kembali ke pantai yang berair. Namun hanya sedikit yang berhasil,
salah satunya Raja Tongkol.

Ketika hangatnya sinar matahari mulai menusuk kulit, Raja Ayam baru terbangun. Diikuti oleh ayam-
ayam yang lain. “Ya ampun! Ternyata hari sudah pagi. Bagaimana dengan nasib rakyat tongkol?” pikir
Raja Ayam kebingungan dan panik.

Tak lama warga yang tinggal di pinggiran pantai pun mulai terbangun. Mereka sangat terkejut melihat
banyak sekali ikan tongkol menggelepar-gelepar di karang-karang sepanjang pantai. Mereka lalu
beramai-ramai menangkap ikan-ikan itu dan menampungnya di ember untuk dibawa pulang.

Melihat rakyatnya ditangkapi oleh orang-orang, Raja Tongkol sangat marah. Ia pun mengucapkan
sumpah untuk Raja Ayam dan rakyatnya “Persahabatan kita sudah selesai, Raja Ayam! Mulai sekarang
kami rakyat tongkol akan memakan semua rakyat ayam, terutama kalian, ayam jantan!” Raja Tongkol
berseru.

Sejak saat itu, ikan tongkol dan ayam menjadi musuh abadi. Mulai saat itu, para nelayan di sekitar
pantai wilayah Riau kerap menggunakan umpan bulu ayam untuk memancing ikan tongkol.

12. Parekeet dari Nanggroe Aceh D.

Dongeng berjudul Rakyat Parekeet berikut dikutip dari buku Cerita Rakyat Nusantara Terpopuler
Sepanjang Masa, penerbit Cikal Aksara (2016).

Di sebuah hutan lebat di kawasan Aceh, hiduplah seekor burung parkit yang merupakan raja bagi
burung-burung lain penghuni hutan itu. Raja burung itu bergelar Raja Parakeet. Raja Parakeet
merupakan raja yang bijaksana dan sangat dicintai rakyatnya. Mereka hidup damai dan tenteram.

Pada suatu ketika, ketenangan di dalam hutan terganggu oleh kedatangan Pemburu. Singkat cerita,
Pemburu tersebut berhasil menaruh perekat di sekitar tempat burung tersebut hingga akhirnya para
burung terjebak oleh perekat tersebut.

Mereka berusaha melepaskan sayap dan badan dari perekat tersebut. Namun upaya tersebut gagal.
Hampir semuanya panik, kecuali sang raja. Ia berkata “Kalian tenanglah. Nanti saat si Pemburu datang,
kalian harus berpura-pura mati. Si Pemburu menginginkan menangkap kita hidup-hidup. Jika si
Pemburu melihat kita mati, ia tidak akan senang dan akan melepaskan kita. Nah pada hitungan sepuluh
setelah burung terakhir dilepaskan, saat itulah kita terbang bersama-sama sekencang-kencangnya!”
Tak lama si Pemburu datang. Burung-burung pun segera berpura-pura mati hingga Pemburu pun
merasa kecewa. Akhirnya Pemburu melepaskan hampir semua burung tangkapannya. Sayang, saat
giliran Raja Parakeet dilepaskan, si pemburu jatuh terpeleset. Suara jatuh si Pemburu membuat para
burung lain kaget dan terbang.

Pemburu sangat kesal karena merasa telah tertipu, lalu ia memegang erat Raja Parakeet. Raja Parakeet
meminta pada pemburu itu untuk tidak dibunuh. Sebagai imbalannya, ia akan selalu menghibur si
Pemburu. Hampir setiap hari ia bernyanyi untuk Pemburu.

Suaranya sangat indah dan merdu. Keindahan suara Raja Parakeet terdengar sampai kerajaan. Sang
Raja pun tertarik ingin memiliki Raja Parakeet. Raja mengutus pengawalnya pergi ke rumah si Pemburu
untuk membeli Raja Parakeet dengan harga yang sangat mahal. Tawaran menggiurkan itu langsung
diterima oleh Pemburu.

Raja Parakeet pun kemudian dibawa ke kerajaan. Ia diberi makanan dan minuman yang enak, serta
tinggal di sangkar yang terbuat dari emas. Namun tak satupun kebaikan Raja itu yang membuatnya
bahagia. Raja Parakeet sangat ingin kembali ke hutan, hiduplah bersama rakyat dan keluarga yang
dicintainya.

“Aku rindu sekali keluarga dan rakyatku.”

Suatu hari, Raja Parakeet terlihat sangat sedih karena kerinduannya yang tak tertahankan. Ia pun
mencari akal agar bisa kembali ke hutan. Keesokan harinya, Raja Parakeet menemukan cara dengan
berpura-pura mati.

Sang Raja sangat sedih saat melihat burung kesayangannya mati. Ia memerintahkan penguburannya
dengan upacara pemakaman secara besar-besaran selayaknya anggota kerajaan yang meninggal
dunia.

Raja Parakeet pun dikeluarkan dari sangkarnya, di arak di dalam sebuah tandu kebesaran. Saat tandu
sedang berjalan, Raja Parakeet mengintip keadaan di luar. Melihat keadaan aman, Raja Parakeet pun
segera menyelinap keluar dan terbang tinggi. Ia terbang menuju hutan kediamannya dan hidup
bahagia bersama rakyatnya.

13. Ular Gaib dan Si Bungsu dari Bengkulu

Dongeng rakyat asal Bengkulu berikut berjudul Ular Gaib dan Si Bungsu dari buku 120 Cerita
Nusantara, penerbit Gramedia (2019).

Alkisah di kaki gunung di Bengkulu, hidup seorang ibu tua dengan tiga orang putrinya. Suatu ketika, ibu
tua itu sakit keras. “Ibumu hanya bisa sembuh dengan ramuan dedaunan hutan yang dimasak bara api
gaib dari puncak gunung,” ujar dukun penyembuh di desa.

“Sayangnya, bara itu dijaga ular gaib yang ganas.” Katanya lagi.

“Aku tidak berani mengambilnya,” ujar si Sulung.

“Aku juga takut,” kata si Tengah.

Hanya si Bungsu yang berani. Esoknya, ia berangkat ke puncak gunung. Bumi bergetar hebat pertanda
ular gaib mencium bau manusia di dekatnya. Si Bungsu sangat ketakutan dan ingin lari, tapi ia teringat
ibu yang sangat dicintainya.
“Ular yang baik, bolehkah aku meminta sebutir bara apa untuk mengobati ibuku?” pinta si Bungsu
mendekati si Ular gaib dengan hati-hati.

“Akan kuberikan asal kau berjanji mau menjadi istriku.” Jawab si Ular gaib tak terduga. Demi
kesembuhan ibunya, si Bungsu menyanggupinya.

Setelah sang Ibu berangsur-angsur sembuh, si Bungsu segera kembali ke sarang ular gaib untuk
menempati janjinya. Betapa terkejutnya si Bungsu karena pada malam hari, si Ular gaib menjelma
menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan.

Si Sulung dan si Tengah tak sengaja mengetahui hal ini dan sangat iri. Suatu malam mereka mencuri
kulit ular gaib dan membakarnya. Mereka berharap si Ular gaib marah, lalu menyakiti si Bungsu.

Tapi ternyata kulit yang dibakar, justru membuat pemuda itu tak bisa lagi berubah menjadi ular.

Dari sanalah semua menjadi tahu bahwa si Pemuda sebenarnya adalah pangeran kerajaan yang
terkena kutukan. Sang Pangeran segera membawa si Bungsu dan ibunya ke kerajaan. Sementara si
Tengah dan si Sulung menolak karena malu dengan perbuatan mereka sendiri.

14. Onak Berduri Sungsang dari Bengkulu

Dongeng rakyat berikut berjudul Onak Berduri Sungsang dari buku 120 Cerita Nusantara, penerbit
Gramedia (2019).

Zaman dahulu hiduplah dua orang hulubalang bernama Serunting Sakti dan Rio Tabing. Masing-masing
memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, namun keduanya tidak dapat hidup rukun.

Mereka sering bertempur hebat. Awalnya mereka mengerahkan pasukan dan rakyat. Namun sampai
banyak korban berjatuhan, pertempuran itu belum juga menampakkan tanda akan berakhir.

“Sebaiknya kita bertempur satu lawan satu.” Tantang Serunting Sakti.

“Siapa takut?!” jawab Rio Tabing sengit.

Keduanya mempersiapkan diri, memohon kesaktian kepada Dewa Tenaga dan pikiran dipusatkan.
Ledakan terjadi di udara bersamaan dengan kesaktian keduanya bertemu di satu titik di angkasa.

“Dewa, aku mohon tambahkan kesakitan kepadaku!” seru Rio Tabing. Dewa pun memberikan
kesaktian kepadanya. Akibatnya tenaganya bisa mengubah tanah datar menjadi berbukit-bukit.

Apa pun yang dilewatinya menjadi rusak binasa, duri dan onak menjadi sungsang atau terbalik. Rio
Tabing pun membuat batas kekuasaannya.

“Inilah batas kekuasaanku. Semua keturunan Serunting Sakti akan binasa jika melewatinya!” seru Rio
Tabing. Selesai Rio Tabing mengucapkan hal itu, alam berubah menjadi tenang.

Pertempuran Serunting Sakti dan Rio Tabing terhenti. Perkelahian usai. Tidak ada yang kalah maupun
menang. Mereka bersama-sama menanggung kerugian besar karena kedua wilayah mereka sama-
sama hancur.

Batas wilayah kekuasaan yang dibuat Rio Tabing itu kini disebut sebagai daerah Onak Berduri
Sungsang.

15. Usul Danau Maninjau dari Sumatera Barat


Cerita rakyat Indonesia berikut berjudul Asal Usul Danau Maninjau dari buku Rangkuman 100 Cerita
Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, penerbit AnakKita (2013).

Di sebuah perkampungan di kaki Gunung Tinjau, ada sepuluh orang bersaudara yang biasa disebut
Bujang Sembilan. Si sulung bernama Kukuban dan si bungsu bernama Sani. Mereka mempunyai
seorang paman bernama Datuk Limbatang. Datuk Limbatang mempunyai seorang putra bernama
Giran. Suatu hari, Datuk Limbatang berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Saat itu lah Sani dan Giran
menyadari bahwa mereka saling menaruh hati.

Ketika musim panen, di kampung tersebut diadakan adu silat. Para pemuda kampung termasuk
Kukuban dan Giran ikut mendaftarkan diri. Di acara tersebut Kukuban berhadapan dengan Giran.
Keduanya sama kuat hingga pada suatu kesempatan Giran berhasil menangkis serangan dari Kukuban,
hingga Kukuban berguling di tanah dan dinyatakan kalah. Hal itu ternyata membuat Kukuban merasa
kesal dan dendam terhadap Giran.

Beberapa hani setelah acara tersebut, Datuk Limbatang datang untuk meminang Sani. Namun, karena
dendam, Kukuban menolak pinangan tersebut. Selain itu, Kukuban juga memperlihatkan bekas kakinya
yang patah karena Giran. Datuk Limbatang dengan bijak menjelaskan bahwa hal itu adalah wajar dalam
sebuah pertandingan. Namun, Kukuban tetap bersikukuh.

Sani dan Giran pun sedih. Mereka sepakat untuk bertemu di ladang untuk mencari jalan keluar. Saat
sedang berbicara, sepotong ranting berduri terangkut pada sarung Sani dan membuat pahanya
terluka. Giran pun segera mengobatinya dengan daun obat yang telah ia ramu. Tiba-tiba puluhan orang
muncul dan menuduh mereka telah melakukan perbuatan terlarang, sehingga harus dihukum. Mereka
berusaha membela diri tetapi sia-sia dan langsung diarak menuju puncak Gunung Tinjau. Sebelum
dihukum, Giran berdoa jika memang mereka bersalah, ia rela tubuhnya hancur di dalam air kawah
gunung. Namun, jika tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilang menjadi ikan.
Setelah itu Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Beberapa saat berselang, gunung itu
meletus yang sangat keras dan menghancurkan semua yang berada di sekitarnya. Bujang sembilan pun
menjelma menjadi ikan. Letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah luas yang berubah menjadi
danau, yang akhirnya diberi nama Danau Maninjau.

16. Alue Naga dan Sultan Meurah dari Aceh

Legenda Alue Naga merupakan salah satu cerita rakyat yang termuat dalam buku “Kumpulan Cerita
Nusantara 2” yang ditulis oleh Rifqi Aji (2019).

Di tanah Aceh, hiduplah seorang sultan bernama Meurah, yang terkenal baik dan bijaksana. Dia sering
berkeliling ke desa-desa untuk mendengar keluh kesah rakyat yang jauh dari jangkauannya.

Pada suatu hari, Sultan Meurah berkunjung ke desa di Aceh dan mendengar keluhan rakyat tentang
hilangnya hewan ternak dan seringnya merasakan gempa di daerah tersebut. Salah seorang warga
mengeluh, “Sultan, sapi saya hilang tadi dini hari. Kemarin juga 2 kambing tetangga saya hilang entah
kemana.”

Sultan Meurah prihatin dengan masalah ini dan memerintahkan sahabatnya, Renggali, untuk
menyelidiki kejadian tersebut. Renggali pun bergegas menuju bukit yang menjadi sumber gempa. Di
sana, ia menemukan genangan air yang luas dan mendengar suara menggelegar dari dalamnya.

Renggali mencari asal suara dan terkejut melihat seekor naga besar yang tertutup semak belukar.
“Tolong, maafkan aku!” seru suara itu, diikuti oleh gempa yang terjadi.
Sang naga mengaku sebagai sahabat dari ayah Sultan Meurah yang telah meninggal. Naga tersebut
merindukan ayahnya dan meminta Renggali untuk memanggil Sultan Alam.

Namun, Sultan Alam sudah tiada, dan saat Sultan Meurah mendengar permintaan sang naga, ia
bertanya, “Apa yang sebenarnya membuatmu lumpuh?”

Naga itu mengungkapkan dengan terisak bahwa dulu ia diperintah oleh Sultan Alam untuk mengantar
pedang ke sahabatnya, Tuan Tapa, dan Raja Linge. Sebagai ganti atas kerjanya, Tuan Tapa memberi 6
ekor kerbau.

Namun, saat perjalanan, godaan untuk memakan 2 ekor kerbau membuatnya memfitnah salah satu
anak buah Raja Linge, yang akhirnya dibunuh oleh Raja Linge. Karena perbuatannya yang jahat, naga
itu lumpuh oleh pedang Raja Linge.

Sultan Meurah dan Renggali merasa iba mendengar cerita sang naga dan mencabut pedang yang
menyebabkan lumpuhnya naga tersebut. Setelah pedang lepas, sang naga diminta untuk kembali ke
tempatnya berasal yaitu di laut.

Sambil menangis, naga itu pun menggeser tubuhnya menuju laut dan membentuk sungai kecil
bernama Sungai Alue Naga.

17. Danau Lipan dari Kalimantan Timur

Cerita rakyat Asal Usul Danau Lipan juga terdapat dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara yang
ditulis oleh Sumbi Sambangsari dan diterbitkan oleh Wahyumedia pada tahun 2008

Pada zaman dahulu kala, daerah Muara Kaman adalah laut yang ramai dengan kerajaan kuno yang
berkuasa. Kerajaan ini memanfaatkan laut untuk membangun pelabuhan dan melakukan perdagangan
dengan kapal-kapal dari dalam dan luar negeri.

Di samping dikenal sebagai pusat perdagangan, kerajaan ini juga terkenal dengan kecantikan Putri Aji
Berdarah Putih, yang diberi julukan “Darah Putih” karena kulitnya yang sangat putih sehingga jika
minum air sirih, warna merahnya terlihat turun ke tenggorokannya.

Mendengar tentang kecantikan Putri Aji, raja dari Negeri Tiongkok pun memutuskan untuk
melamarnya. Ia mengumpulkan pasukannya di kapal-kapal besar dan berlayar menuju Muara Kaman,
dengan maksud memberikan kesan yang baik. Ketika kabar kedatangan Raja Tiongkok sampai kepada
Putri Aji, ia pun bersiap-siap menyelenggarakan pesta penyambutan meriah.

Sang Raja disambut dengan perayaan yang besar, dilengkapi dengan beragam hidangan lezat,
minuman, dan tarian. Putri Aji, sebagaimana yang dikhawatirkannya, menyambut Raja Tiongkok
dengan ramah dan hangat.

Namun, terkejut dan jijik ia melihat perilaku sang Raja yang tidak sopan. Raja Tiongkok dengan
rakusnya menyantap makanan langsung dari mangkoknya tanpa menggunakan tangan.

“Huh! Raja Tiongkok berperilaku seperti binatang! Sungguh disayangkan, saya telah menyambutnya
dengan baik,” ucap Putri Aji dalam hati.

Setelah jamuan makan, Raja Tiongkok mengajukan lamarannya kepada Putri Aji.

Namun, karena jijik dengan perilaku sang Raja, Putri Aji menolak dengan tegas, “Saya tidak mau
menjadi permaisuri dari raja yang kotor dan tidak tahu sopan santun.”
Jawaban Putri Aji membuat Raja Tiongkok marah dan pulang dengan penuh amarah ke negerinya.
Tidak puas dengan penolakannya, sang Raja berencana untuk membalas dendam.

Ia mengumpulkan pasukan besar-besaran dan berencana untuk menyerang kerajaan Putri Aji dengan
maksud merebut takhta secara paksa.

Putri Aji pun menyadari bahwa pasukannya dalam keadaan kalah jumlah jika pertempuran terus
berlanjut. Oleh karena itu, dengan kebijaksanaan dan kesaktiannya, ia memutuskan untuk
menggunakan kekuatannya untuk mengalahkan Raja Tiongkok.

Ia mengambil sirih dari wadah dan mengunyahnya sambil mengucapkan mantra, “Jika kekuatan yang
diwariskan oleh nenek moyang saya ini benar, maka ubahlah sirih ini menjadi lipan ganas yang akan
menyerang pasukan Tiongkok.”

Putri Aji pun memuntahkan sirih itu ke seluruh daerah. Potongan-potongan sirih yang ia semburkan
berubah menjadi lipan ganas yang menyerang tentara Tiongkok. Jumlah lipan terus meningkat dan
mencapai jutaan.

Raja Tiongkok dan pasukannya ketakutan dan lari ke kapal mereka untuk menyelamatkan diri. Namun,
para lipan tak henti-hentinya menyerang. Mereka melompat ke kapal sang Raja dan menyebabkan
kapal itu tenggelam bersama seluruh pasukan. Tempat penenggelaman kapal tersebut berubah
menjadi ladang yang subur, berlimpah dengan tanaman. Sisa air di daerah tersebut pun diberi nama
“Danau Lipan” sebagai kenangan akan peristiwa itu.

18. Sabeni Jawara dari Tanah Abang dari DKI Jakarta

Cerita rakyat Sabeni Jawara dari Tanah Abang merupakan salah satu kisah menarik yang ditulis oleh
Lustantini Septiningsih pada tahun 2016.

Berasal dari DKI Jakarta. Cerita ini menceritakan tentang dua bersaudara, Rojali dan Somad, yang
bekerja dengan tekun dan jujur sebagai kuli panggul di Pasar Tanah Abang.

Mereka tertarik pada Salamah, putri Pak Sabeni, seorang jawara Tanah Abang dengan ilmu bela diri
yang hebat. Untuk mendapatkan Salamah, seseorang harus berhadapan dengan Pak Sabeni dalam adu
ketangkasan, dan banyak pemuda dan preman yang gagal melakukannya.

Ketekunan dan kejujuran Rojali dan Somad menarik perhatian Pak Sabeni, sehingga mereka diizinkan
bekerja di sawah miliknya. Rojali, yang juga disukai Salamah sejak awal, diizinkan menjadi menantu
Pak Sabeni tanpa adu ketangkasan, karena Pak Sabeni menghargai kejujuran dan kebaikan Rojali,
bukan status sosialnya.

Kisah ini mengandung pesan bahwa hidup tidak boleh membedakan status sosial. Keahlian dan
kemampuan bela diri seharusnya digunakan untuk kebaikan, bukan untuk kepentingan pribadi yang
merugikan orang lain.

19. Putri Hijau dari Sumatera Utara

Berdasarkan buku Koleksi Terbaik Cerita Rakyat Nusantara, Cerdas Interaktif karya Putri Khumairah
(2017) berikut dongeng rakyat Sumatera Utara:

Zaman dahulu di Kesultanan Timur Besar, kira-kira 10 km dari Kampung Medan, ada seorang putri yang
sangat cantik bernama Putri Hijau. Kecantikan putri ini tersohor mulai dari Aceh sampai ke ujung utara
Pulau Jawa. Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri Hijau dan ingin melamarnya untuk dijadikan permaisuri.
Namun, lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh kedua saudara laki-laki Putri Hijau sehingga membuat
Sultan Aceh sangat marah. Penolakan itu dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Kemudian
Kesultanan Aceh pun memerangi Kesultanan Deli yang waktu itu dipimpin oleh saudara tua Putri,
bernama Mambang Yazid.

Dengan menggunakan kekuatan gaib, Mambang Yazid menjelma menjadi seekor ular naga dan
Mambang Hayali berubah menjadi sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembak tentara
Aceh hingga akhir hayatnya.

Kesultanan Deli mengalami kekalahan. Akibat kecewa karena kalah, Putra Mahkota yang menjelma
menjadi meriam itu meledak sebagian. Bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian
depannya ke Dataran Tinggi Karo.

Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk
seterusnya dibawa ke Aceh melalui Selat Malaka. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau
memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Permintaannya ialah
harus menyerahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur. Permintaan Putri dikabulkan dan
upacara pun dilaksanakan.

Akan tetapi, baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat dan
disusul gelombang laut yang sangat tinggi. Dari dalam laut, muncullah abangnya yang telah menjelma
menjadi ular naga. Dengan menggunakan rahangnya yang besar diambilnya peti tempat adiknya
dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.

20. Usul Burung Ruai dari Kalimantan Barat

Cerita Asal Usul Burung Ruai merupakan salah satu kisah menarik yang diterbitkan oleh warisan
budaya kemdikbud pada tahun 2011.

Cerita rakyat tentang asal usul Burung Ruai sangat terkenal di kalangan masyarakat Melayu yang ada
di Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Dongeng ini telah menjadi
bagian dari budaya daerah tersebut dan diabadikan melalui lagu-lagu rakyat yang berkembang di
wilayah tersebut.

Kisah ini dimulai dengan sosok seorang raja yang bijaksana dan memiliki tujuh orang puteri yang cantik.
Di antara ketujuh puteri, Si Bungsu adalah yang paling cantik dan memiliki budi pekerti yang baik serta
taat pada orang tua. Keenam kakak Si Bungsu memiliki budi pekerti yang buruk, sering iri hati,
membantah orang tua, dan malas bekerja.

Karena kebaikan dan kejujuran Si Bungsu, sang ayah sangat menyayangi dan mengasihi puteri bungsu
tersebut, sementara keenam kakaknya merasa iri dan marah. Suatu hari, sang raja harus meninggalkan
kerajaan dan menyerahkan kekuasaan kepada Si Bungsu. Hal ini memicu rencana jahat keenam
kakaknya untuk mencelakai Si Bungsu dengan meninggalkannya di dalam gua batu.

Terperangkap dalam gua selama tujuh hari tujuh malam, Si Bungsu menangis dan meratapi nasibnya.
Namun, bantuan tiba dalam bentuk seorang kakek tua yang sakti. Si Kakek memberi pertolongan
kepada Si Bungsu dan mengubahnya menjadi burung yang indah dengan bulu-bulu yang menakjubkan.
Si Bungsu kemudian diubah menjadi seekor burung yang diberi nama Burung Ruai.

Si Kakek memberikan tugas pada Burung Ruai untuk mengerami telur-telur yang dihasilkan dari air
mata Si Bungsu. Telur-telur tersebut kemudian menetas menjadi burung-burung baru, dan Burung Ruai
menjadi teman bagi mereka. Keberadaan burung-burung Ruai kemudian beterbangan hingga ke istana
kerajaan.
Setelah peristiwa itu, gua tempat Si Bungsu diubah menjadi burung dinamakan Gunung Ruai. Cerita
ini mengandung pesan tentang kebaikan hati, kejujuran, dan akibat buruk dari iri hati dan kejahatan.
Burung Ruai menjadi simbol keindahan, kebaikan, dan harapan di kalangan masyarakat setempat.

21. Rawa Pening dari Jawa Tengah

Cerita rakyat Legenda Rawa Pening asal Jawa tengah merupakan salah satu kisah menarik dari buku
Legenda Rawa Pening Cerita Rakyat dari Jawa Tengah yang ditulis oleh Tri Wahyuni pada tahun 2016.

Kisah ini mengisahkan tentang Baro Klinting, seorang naga yang merupakan anak dari Endang Sawitri,
putri Kepala Desa Ngasem. Endang Sawitri harus mengandung dan melahirkan seorang anak berwujud
naga karena sebuah kutukan yang menimpanya.

Baro Klinting kemudian pergi ke Gunung Telomoyo untuk bertapa dan mencari cara agar dapat
melepaskan diri dari kutukan tersebut dan berubah menjadi anak manusia.

Dalam proses pertapaannya, Baro Klinting mengikat tubuh naganya hingga ke puncak Gunung
Telomoyo. Namun, saat sedang bertapa, sekelompok warga Desa Pathok yang sedang berburu tidak
melihat wujud keseluruhan Baro Klinting. Mereka hanya melihat ekor Baro Klinting dan tanpa sadar
memotong-motong daging ekor naga itu untuk dibawa pulang ke desa mereka.

Setelah berhasil dalam pertapaannya dan berubah menjadi seorang anak manusia, Baro Klinting
mendatangi warga Desa Pathok. Namun, warga menolaknya karena kondisi tubuhnya yang lusuh dan
penuh luka akibat pemotongan ekornya.

Baro Klinting kemudian menantang warga untuk mencabut sebuah lidi yang tertancap di tanah.
Ternyata, tak seorang pun dari warga yang mampu mencabutnya, bahkan orang dewasa yang kuat
sekalipun. Hanya Baro Klinting yang berhasil mencabut lidi tersebut.

Cerita ini mengandung pesan moral tentang ketekunan dan keteguhan hati, serta pentingnya untuk
tidak menyerah meskipun dihadapkan dengan banyak halangan dalam kehidupan.

22. Pertarungan Sultan Maulana Hasanudin dari Banten

Cerita yang berjudul Pertarungan Sultan Maulana Hasanudin ditulis oleh Nur Seha pada tahun 2016
dan berasal dari daerah Banten. Mengutip dari buku Cerita Rakyat dari Banten: Pertarungan Sultan
Maulana Hasanudin dan Prabu Pucuk Umun, kisah ini mengisahkan tentang kehidupan Sultan Maulana
Hasanuddin, yang menjadi sultan pertama di Banten.

Di dalam cerita, Sultan Maulana Hasanuddin memiliki kakek bernama Prabu Surawosan dan paman
bernama Prabu Pucuk Umun.

Suatu hari, Prabu Surawosan jatuh sakit dan sebelum meninggal, dia memberikan amanat pada
keluarganya untuk selalu memegang teguh ajaran Sunda Wiwitan dan mempertemukan Hasanuddin
dengan ayahnya, Sultan Syarif Hidayatullah. Kemudian, cerita bercerita tentang perseteruan antara
Hasanuddin dengan Prabu Pucuk Umun. Untuk menyelesaikan masalah mereka, mereka mengadakan
pertarungan adu ayam. Akhirnya, Prabu Pucuk Umun mengalami kekalahan dan menyerahkan
takhtanya kepada Sultan Maulana Hasanuddin.

Cerita ini memberikan pesan moral tentang pentingnya bersikap jujur dan menerima kekalahan
dengan lapang dada. Hal ini mengajarkan nilai-nilai kesopanan, rasa menghormati, dan keteguhan hati
dalam menghadapi konflik dan tantangan kehidupan.

23. Tiga Ksatria dari Dagho, Jawa Barat


Cerita yang ditulis oleh M. Abdul Khak pada tahun 2016 ini berasal dari Jawa Barat dan mengisahkan
tentang tiga bersaudara yang memiliki kekuatan luar biasa. Angsualika, Wangkoang, dan Wahede
memiliki kekuatan unik masing-masing, yang membuat mereka mampu mengusir para perampok dari
Pulau Mindanau.

Angsualika adalah raksasa dengan kekuatan fisik yang luar biasa dan senjata Bara. Wangkoang adalah
kesatria berani yang mahir dalam menggunakan senjata baik bara maupun panah. Sementara itu, si
bungsu, Wahede, sangat ahli dalam merencanakan strategi perang.

Meskipun mereka memiliki kekuatan yang hebat, ketiga bersaudara ini berambisi untuk menjadi raja
wilayah tersebut. Keinginan ini memicu perang saudara yang sengit di antara mereka. Meskipun
pertempuran berlangsung dengan sengit dan tanpa pemenang yang jelas, akhirnya mereka menyadari
bahwa kekuatan dan kekerasan tidak dapat menyelesaikan masalah.

Dari pengalaman itu, ketiga bersaudara menyadari pentingnya kerjasama dan saling menghormati.
Mereka sepakat untuk tidak lagi saling berperang dan bersatu untuk membangun wilayah tersebut
secara bersama-sama.

Kisah ini memberikan pesan tentang pentingnya mengatasi konflik dengan cara-cara damai,
bekerjasama, dan menghargai perbedaan.

24. Sang Piatu Menjadi Raja dari Bengkulu

Cerita legenda dari Bengkulu: Sang Piatu Menjadi Raja merupakan salah satu kisah menarik yang
diterbitkan pada buku kumpulan Dongen Nusantara Favorite yang ditulis oleh Astri Damayanti pada
tahun 2011.

Dongeng yang berjudul “Sang Piatu dan Sang Raja” berasal dari Bengkulu. Cerita ini mengisahkan
tentang seorang nenek tua dan cucunya yang bernama Sang Piatu. Mereka tinggal di tepi sungai dan
hidup dengan sangat sederhana di sebuah gubuk bambu. Setiap harinya, mereka mencari makanan
dan kayu bakar di dalam hutan.

Sang Piatu ingin belajar mengaji di kampung seberang yang dipimpin oleh Sang Raja, namun neneknya
merasa khawatir karena Sang Piatu hanya memiliki pakaian yang lusuh. Namun, Sang Piatu tetap gigih
dan akhirnya diberi izin untuk mengikuti pelajaran dari luar surau.

Sesampainya di surau, Sang Piatu terkejut karena Sang Raja tidak mengizinkannya masuk karena
pakaian lusuhnya. Sang Piatu memohon untuk mengikuti pengajian dari luar surau, dan Sang Raja
memberi izin dengan syarat agar tidak mengganggu murid-murid yang lain.

Meski duduk di luar surau, Sang Piatu tetap bersemangat mengikuti pelajaran mengaji dengan cara
mengintip dari jendela setiap hari. Dia selalu mengatakan pada neneknya bahwa dia diterima dengan
baik oleh Sang Raja.

Suatu hari, Sang Raja meminta semua muridnya membawa makanan untuk acara syukuran. Sang Piatu
bersama neneknya pergi ke hutan untuk mencari buah-buahan dan menemukan nangka kecil yang
matang. Meski Sang Piatu yakin bahwa nangka itu ada sepuluh biji, ternyata saat dihitung hanya ada
sembilan biji. Meski merasa heran, Sang Raja menghibur Sang Piatu dengan memberikan kajian
khusus.

Sang Piatu menerima kajian itu dengan senang hati dan mengucapkannya selama perjalanan pulang
ke rumah. Tidak sengaja, kata-kata ajaib yang terakhir membuat sebuah batu berubah menjadi emas.
Sang Piatu berhasil menjual emas tersebut dan menjadi kaya.
Beberapa hari kemudian, Sang Piatu kembali ke desa untuk menjemput neneknya dan mengajaknya
tinggal bersama di kota. Dongeng ini memberikan pesan tentang ketekunan dan kebaikan hati yang
mendapat hadiah dari Tuhan. Kisah tentang Sang Piatu dan Sang Raja mengajarkan kita untuk tetap
berjuang dan berusaha, meskipun dalam keterbatasan, serta memiliki hati yang tulus dan baik, karena
itulah yang akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan di masa depan.

Demikian referensi cerita singkat rakyat indonesia yang terbaik dan penuh pesan yang bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai