Anda di halaman 1dari 13

SANGKURIANG SAKTI

Pada zaman dahulu, ada seorang putri cantik jelita bernama Dayang Sumbi. Pada
suatu hari, ketika ia sedang menenun kain, pintalan benangnya terjatuh, sedangkan ia
berada di atas ketinggian. Ia merasa malas untuk mengambil pintalan benang itu.

Iseng-iseng, ia berkata, "Siapa yang bisa mengambilkan benangku jika perempuan


kujadikan saudara, jika lelaki kujadikan suamiku.”

Tak disangka, Tumang si anjing istana mengambilkan benang itu dan membawanya ke
hadapan Dayang Sumbi, lantas dia sangat kaget sekali. Teringat akan ucapannya
sendiri, jika tidak ditepati tentu para dewata pasti marah dan akan menghukumnya.
Maka, ia menikah dengan Tumang si anjing penjaga istana.

Tumang ternyata adalah titisan dewa yang dikutuk menjadi seekor anjing dan dibuang
ke bumi karena melakukan pelanggaran/kesalahan fatal. Dayang Sumbi akhirnya
mengandung dan melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sayangnya,
Sangkuriang tidak mengetahui bahwa si Tumang adalah ayahnya.

Pada suatu hari, Sangkuriang berburu ke hutan, tapi ia tak mendapat hewan. Karena
marah, ia membunuh si Tumang dan dagingnya dibawa pulang ke rumah. Setelah
mengetahui hal itu, seketika ibunya marah, kepala Sangkuriang dipukul dengan
centong hingga terluka membekas dan berdarah. Sangkuriang melarikan diri dan
mengembara tak tentu arah.

Konon, ia sering berguru kepada orang-orang berilmu tinggi sehingga ketika dewasa
Sangkuriang menjadi orang yang sangat sakti. Demikian saktinya ia, sehingga jin dan
makhluk halus lainnya dapat ia kuasai. Kemudian ia mengembara lagi ke daerah
manapun antah-berantah.

Sementara sepeninggal Sangkuriang, Dayang Sumbi bertapa di tempat yang sunyi,


sehingga Dewa memberinya anugerah kecantikan abadi, wajahnya dan tubuhnya tetap
ayu dan awet muda.

Dalam pengembaraannya, di pinggir sebuah hutan ia bertemu dengan seorang gadis


cantik. Keduanya berkenalan dan sama-sama jatuh cinta. Pada suatu hari, ketika
mereka sedang bercengkrama, si gadis mencari kutu di kepala Sangkuriang. Tiba-tiba,
si gadis terkejut melihat bekas luka di kepala kekasihnya tersebut.

Ia menanyakan sebab-sebab terjadinya luka itu, Sangkuriang menceritakan kejadian


masa lalu yang menimpa semasa kecilnya.

"Kalau begitu kau adalah Sangkuriang anakku sendiri !" pekik gadis itu yang tak lain
adalah Dayang Sumbi. "Tidak mungkin aku menikah dengan anakku sendiri." kata
Dayang Sumbi dengan kaget.

Sangkuriang tak percaya dan terus mendesak agar Dayang Sumbi mau menjadi
istrinya. Dayang Sumbi meminta dibuatkan telaga dan perahu di puncak gunung
dengan syarat harus selesai dalam waktu semalam.

Sangkuriang menyanggupi syarat berat itu. Dibantu para jin dan makhlus halusnya, ia
segera cepat-cepat membuat telaga dan perahu besar di puncak gunung. Namun,
Dayang Sumbi membuat tipu muslihat untuk mengelabui mereka semua, pada tengah
malam ia membunyikan lesung hingga ayam serentak berkokok saling bersahutan.

Para penduduk desa sekitar ikut terbangun dan segera menumbuk padi di lesung
mereka masing-masing. Para jin dan makhlus halus yang membantu Sangkuriang
mengira waktunya sudah hampir pagi dan menjelang matahari terbit.

Mereka langsung menghentikan pekerjaannya membuat telaga yang belum selesai itu
sebelumnya sinar matahari itu membuat mereka terbakar hangus. Sangkuriang merasa
marah dan lantas saja menendang perahu besar yang telah dibuatnya, ketika jatuh
telungkup ke tanah bumi tiba-tiba perahu besar itu berubah menjadi sebuah gunung
raksasa.

Sesudah itu, ia mendekati Dayang Sumbi dan memaksanya untuk tetap menikahi
dirinya sebagai istri pujaan hatinya,
"Aku tak peduli, apapun yang terjadi kau harus menjadi istriku !”

"Sangkuriang sadarlah, kau adalah anakku sendiri.” teriak Dayang Sumbi sembari
berlari menjauh.

Sangkuriang datang mengejar Dayang Sumbi tanpa peduli bahwa dia itu ibunya
sendiri. Tiba-tiba, terdengar ledakan langit yang dahsyat menggelegar dan menyambar
tubuh Dayang Sumbi. Tubuh Dayang Sumbi lenyap tanpa bekas apapun, Sangkuriang
berteriak-teriak seperti orang gila.

Konon, Nyi Dayang Sumbi diselamatkan oleh para dewa, karena bagaimana pun
alasan dan keadaannya, para dewa tidak bisa mengijinkan seorang anak mengawini
ibunya sendiri. Sementara itu, perahu yang ditendang Sangkuriang lama-lama berubah
menjadi gunung yang besar. Gunung itu hingga sekarang dinamakan Gunung
Tangkuban Perahu.
BATU MENANGIS
Pada zaman dahulu kala, di atas sebuah bukit kecil yang jauh dari pemukiman
penduduk, di daerah Kalimantan Barat hiduplah seorang janda yang sangat miskin
bersama seorang anak gadisnya.
 Anak gadis nya sangat cantik, bentuk tubuhnya sangat indah, rambutnya terurai
mengikal sampai ke mata kaki. Poni rambutnya tersisir rapi dan keningnya sehalus
batu cendana. Namun sayang nya ia memiliki sifat yang buruk.
 Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
 Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus
dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa
memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang
mencari sesuap nasi.
 Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak
pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup
melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus
dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi
kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang
dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun
mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.
 Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka
begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang
tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang
berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang
bertanya-tanya.
 Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada
gadis itu, “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?”
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
“Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !”
 Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh,
mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
“Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?” “Bukan, bukan,” jawab
gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang
menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai
pembantu atau budaknya.

Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu
masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya
sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat
menahan diri. Si ibu berdoa.
 “Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya
memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini !
Hukumlah dia….”
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu
berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah
mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
 ” Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu…Ibu…
ampunilah anakmu..” Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada
ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya
berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa
kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu,
batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut ” Batu
Menangis “.
Asal Mula Danau Toba

Alkisah pada jaman dahulu kala hiduplan seorang pemuda bernama Toba. Ia adalah
seorang yatim piatu. Sehari-hari ia bekerja di ladang. Sesekali dia mencari ikan di
sungai yang berada tak jauh dari gubugnya. Ikan hasil tangkapannya biasanya
dijadikan sebagai lauk dan sisanya dijual ke pasar.

Pada suatu hari Toba memancing sepulang dari Ladang. Ia sangat berharap
mendapatkan ikan yang besar yang bisa segera dimasaknya untuk dijadikan lauk.
Terpenuhilah harapannya itu. Tak berapa lama ia melemparkan pancingnya ke sungai,
mata kailnya telah disambar ikan. Betapa gembiranya ia ketika menarik tali pancingnya
dan mendapati seekor ikan besar tersangkut di mata pancingnya.

Sejenak toba memperhatikan ikan besar yang berhasil dipancingnya itu.” Ikan yang
aneh.” Gumannya. Seumur hidupnya belum pernah dilihatnya ikan seperti itu. Warna
ikan itu kekuningan dan sisik-sisiknya kuning keemasan. Terlihat berkilauan sisik-sisik
itu ketika terkena sinar matahari. Ketika Toba melepaskan mata kailnya dari mulut ikan
tangkapannya, mendadak terjadi sebuah keajaiban. Ikan aneh bersisik kuning
keemasan itu menjelma menjadi seorang perempuan yang cantik jelita wajahnya.

Toba terheran-heran mendapati keajaiban yang berlangsung di depan matanya itu. Ia


hanya berdiri dengan bola mata membulat dan mulut melongo.

“Tuan.” Kata perempuan jelmaan ikan indah itu.”Aku adalah kutukan Dewa karena
telah melanggar larangan besarnya. Telah ditakdirkan kepadaku, bahwa aku akan
berubah bentuk menyerupai makhluk apa saja yang memegang atau menyentuhku.
Karena tuan telah memegangku, maka akupun berubah menjadi manusia seperti Tuan
ini.”

Toba memperkenalkan namanya. Begitu pula dengan perempuan berwajah jelita itu.”
Namaku, putri, tuan.”

Toba lantas menjelaskan pula keinginannya untuk memperistri Putri karena dia
terpesona kecantuikan si perempuan jelmaan ikan itu.” Bersediakah engkau menikah
dengan ku?” tanyanya setelah pembicaraan beberapa saat.

“Baiklak, aku bersedia, tuan, Selama tuan bersedia pula memenuhi satu syarat yang
kuajukan.” Jawab Putri

“Syarat apa yang engkau kehendaki? Sebutkan. Niscaya aku akan memenuhinya.”

“Permintaanku hanya satu, hendaklah tuan menutup rapat-rapat rahasiaku. Jangan


sekali-kali tuan menyebutkan jika aku berasal dari ikan. Jika tuan menyatakan kesedian
tuan untuk menjaga rahasia ini, aku bersedia menjadi istri Tuan.”

“Baiklah.” Kata Toba.” Aku akan menutup rapat-rapat rahasimu ini. Rahasia ini hanya
kita ketahui berdua saja.”

Toba dan Putri pun menikah. Keduanya hidup rukun dan berbahagia meski dalam
kesederhanaan. Kebahagian mereka serasa kian lengkap dengan kelahiran anak
mereka. Seorang anak laki-laki. Samosir namanya.
Samosir tumbuh mejadi anak yang sehat. Tubuhnya kuat. Sayang dia agak nakal serta
pemalas. Keinginannya hanya tidur-tiduran saja. Ia seperti tidak peduli atau ingin
membantu kerepotan ayahnya yang sibuk bekerja di ladang. Bahkan, untuk sekedar
mengantar makanan dan minuman untuk ayahnyapun, Samosir kerap menolak jika
diminta. Seandainya mau, dia akan melakukannya dengan malas-malasan, dengan
wajah bersungut-sungut. Bertambah-tambah malas kelakuannya akibat ibunya terus
memanjakannya. Apapun yang dimintanya akan diusahakan ibunya untuk dipenuhi.

Samosir sangat kuat nafsu makannya. Jatah makanan sehari untuk sekeluarganya bisa
dihabiskannya dalam sekali makan. Toba merasa harus bekerja lebih keras lagi untuk
dapat memenuhi keinginan makan anak laki-lakinya yangb luar biasa itu.

Pada suatu hari Samosir diminta ibunya untuk mengantarkan makanan dan minuman
untuk ayahnya. Samosir yang tengah bermalas-malasan semula enggan untuk
menjalankan perintah ibunya itu. Namun, setelah ibunya terus memaksa akhirnya dia
bersedia melakukannya meski dengan wajah yang bersungut-sungut.

Samosir membawa makanan dan minuman itu menuju ke ladang. Ditengah perjalanan,
Samosir measa lapar. Dihentikannya langkah menuju kebun. Ia lantas memakan
makanan yang seharusnya diperuntukan bagi ayahnya itu. Tidak dihabiskannya semua
makanan itu melainkan disisakan sedikit. Dengan makanan dan minuman yang tersisa
sedikit itu Samosir melanjutkan perjalanan menuju ladang. Setibanya di ladang,
samosir memberikan makanan dan minuman itu untuk ayahnya.

Toba telah sangat merasa lapar karena bekerja keras sejak pagi langsung membuka
bekal untuk memakannya. Terperanjat dia saat melihat makanan untuk nya tinggal
sedikit.” Mengapa jatah makanan dan minumanku tinggal sedikit?” tanyanya dengat
raut wajah kesal.

Dengan wajah polos seolah tidak melakukan kesalahan, Samosir menjawab.” Tadi di
jalan aku sangat lapar, Ayah. Oleh karenanya, jatah makanan dan minuman ayah itu
telah kumakan sebagian. Tapi, tidak semua kuhabiskan, bukan? Masih tersedia sedikit
makanan dan minuman untuk Ayah.”

“anak tidak tahu diuntung.” Maki toba kepada anaknya. Kemarahan seketika meninggi.
Serasa tidak bisa lagi dia menahan dan bersabar, umpatannyapun seketika itu
meluncur.” Dasar anak keturunan ikan engkau ini.”

Samosir sangat terkejut mendengat umpatan ayahnya. Dia langsung berlari ke rumah.
Pada saat bertemu ibunya, samosir langsung menceritakan umpatan dan cacian
ayahnya yang menyebutkan dirinya adalah keturunan ikan.

Mendengar pengaduan anaknya, ibu Samosir menjadi sangat bersedih. Tidak disangka
jika suaminya melanggar sumpah untuk tidak menyebutkannya berasal dari ikan.

Samosir dan ibunya saling berpoegangan. Dalam hitungan sekejap, keduanya


menghilang. Keajaiban pun terjadi. Dibekas pijakan kaki Samosir dan ibunya
menyembur air yang sangat deras. Dari dalam tanah, air laksana disemburkan keluar
seolah tiada henti. Semakin lama tidak semkin berkuran semburan air itu melainkan
semakin besar adanya. Dalam waktu cepat permukaan tanah itu pun tergenang.
Permukaan air terus meninggi dan tek berapa lama kemudian lembah tempat tinggal
Toba telah tergenang air. Terbentuklah kemudian sebuah danau yang sangat luas di
tempat itu.

Penduduk kemudian menamakan danau itu Danau Toba. Adapun pulau kecil yang
berada ditengah-tengah danau toba itu disebut Pulau Samosir untuk mengingatkan
kepada pada anak lelaki Toba.
Bawang Merah Bawang Putih
Bawang merah bawang putih merupakan cerita rakyat yang berasal dari provinsi Riau.
berkisah tentang dua orang gadis kakak beradik yang memiliki sifat yang bertolak
belakang, serta ibu tiri dari Bawang Putih yang pilih kasih.
Alkisah, hiduplah seorang gadis bernama Bawang Putih yang tinggal bersama ibu dan
kakak tirinya yang bernama Bawang Merah. Ibu dan kakak tiri Bawang Putih memiliki
sifat yang jahat. Mereka kerap berbuat buruk pada Bawang Putih, seperti menyuruh
mengerjakan semua pekerjaan rumah layaknya seorang pembantu.
Sebelumnya, kehidupan Bawang Putih amatlah bahagia. Ayahnya seorang pedagang
yang sering bepergian dan ibu kandungnya yang sangat sayang kepadanya. Namun,
semua itu berubah ketika keduanya meninggal.
Praktis, ibu dan kakak tirinya, Bawang Merah bersikap semakin jahat kepada Bawang
Putih. Setiap hari dia harus melayani semua kebutuhan Bawang Merah dan ibu tirinya.
Hingga pada suatu ketika Bawang Putih sedang mencuci di pinggir sungai, tanpa
disadari salah satu selendang kesayangan Bawang Merah hanyut.
Ketika sampai di rumah, Bawang Merah memarahi Bawang Putih karena selendangnya
tidak ditemukan.
"Dasar ceroboh!" bentak Bawang Merah. "Pokoknya kamu harus mencari selendang
itu, dan jangan berani pulang ke rumah kalau kamu belum menemukannya!"
Akhirnya, Bawang Putih menyusuri sungai untuk mencari selendang tersebut. Hingga
larut malam, selendang itu belum kunjung ditemukan.
Ketika tengah menyusuri sungai, Bawang Putih melihat sebuah gubuk. Bawang putih
segera menghampiri gubuk tersebut dan mengetuknya. "Permisi!" kata Bawang putih.
Selang berapa lama, seorang perempuan tua membuka pintu. "Siapa kamu, nak?"
tanya nenek itu.
Gubuk tersebut ternyata dihuni seorang nenek yang hidup sebatang kara. Bawang
Putih pun akhirnya meminta izin untuk menginap semalam.
"Saya Bawang Putih, nek. Tadi saya sedang mencari baju yang hanyut. Dan sekarang
kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?" tanya Bawang putih.
Nenek itu cukup baik hati, dia mempersilakan Bawang Putih untuk menginap di
gubuknya.
"Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?" tanya nenek.
Ternyata, selendang yang dicari Bawang Putih ditemukan oleh si nenek. Dan nenek itu
mau menyerahkan selendang itu dengan syarat Bawang Putih harus menemaninya
selama seminggu.
"Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu di sini selama
seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?" pinta
nenek.
Bawang Putih dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Waktu seminggu pun
berlalu, dan sudah waktunya Bawang Putih untuk beranjak pulang. Karena selama
tinggal di sana, Bawang Putih sangat rajin, nenek itu memberikan selendang yang dulu
dia temukan dan memberi hadiah kepada Bawang Putih.
"Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Aku turut senang karena kau sangat rajin.
Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa selendangmu pulang. Dan satu lagi, kau
boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!" kata nenek.
Dia disuruh memilih dua buah labu untuk dibawa pulang. Awalnya Bawang Putih ingin
menolak, namun karena ingin menghormati pemberian si nenek, Bawang Putih
akhirnya memilih labu yang lebih kecil dengan alasan takut tak kuat membawanya. Dan
nenek itu hanya tersenyum mendengar alasan tersebut.
Bawang Putih pun segera pulang dan menyerahkan selendang tersebut kepada
Bawang Merah. Setelah itu, dia segera ke dapur untuk membelah labu dan
memasaknya. Namun betapa terkejutnya dia, karena ketika labu itu dibelah, ternyata
berisi emas permata yang sangat banyak. Ibu tiri Bawang Putih yang tidak sengaja
melihatnya, langsung merampas semua emas permata tersebut. Dia juga memaksa
Bawang Putih untuk menceritakan dari mana mendapatkan labu ajaib itu.
Bawang Putih menceritakan dengan sejujurnya. Mendengar cerita tersebut, muncul niat
jahat di benak ibu tiri yang serakah itu. Besoknya, dia menyuruh Bawang Merah untuk
melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Bawang Putih, dia berharap akan
bisa membawa pulang labu yang lebih besar sehingga isinya lebih banyak.
Singkat cerita, Bawang Merah tiba di gubuk nenek, dan dia pun tinggal di sana selama
seminggu. Tidak seperti Bawang Putih yang rajin, selama seminggu itu, Bawang Merah
hanya bermalas-malasan dan tidak membantu pekerjaan si nenek.
Seminggu berlalu, nenek itu membolehkan Bawang Merah untuk pulang. Dengan
perasaan heran, Bawang Merah pun kemudian bertanya kepada si nenek.
"Bukankah seharusnya nenek memberikan labu sebagai hadiah karena menemanimu
selama seminggu?" tanya bawang merah.
Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang
ditawarkan. Tanpa pikir panjang, dia langsung mengambil labu yang besar dan segera
berlari pulang tanpa mengucapkan terima kasih.
Sesampainya di rumah, ibunya sangat senang melihat anaknya membawa labu yang
besar. Dia berpikir pasti emas di dalamnya cukup banyak. Karena tak ingin diketahui
oleh Bawang Putih, mereka menyuruh Bawang Putih untuk mencuci pakaian di sungai.
Setelah itu, mereka masuk ke dalam kamar dan menguncinya dengan rapat.
Dengan tak sabar, mereka segera membelah labu itu. Di luar dugaan, bukan emas
permata yang ada di dalamnya, melainkan berisi ular, kalajengking, dan hewan berbisa
lainnya. Dengan cepat hewan-hewan itu keluar dan menggigit Bawang Merah dan
ibunya yang serakah.
Klenteng Ancol
Cerita rakyat Betawi
Dahulu kala, ada sebuah kapal berlayar dari Negeri China menuju ke pelabuhan Sunda
Kelapa, kapal itu milik Sampo Toalang. Di dalam kapal itu ada seorang juru masak
yang bernama Ming. Suatu hari, pada saat dalam perjalanan, tiba-tiba kapal itu
diterjang ombak yang sangat besar. Semua orang panik dibuatnya. Mereka tidak
menyangka akan adanya ombak besar karena cuaca hari itu sangat bagus. Tiba-tiba di
depan kapal mereka, muncul seekor naga yang amat besar. Dengan menjulurkan
lidahnya, naga itu menghadang laju kapal itu. Rupanya naga itulah yang membuat
ombak besar sehingga kapal terombang ambing. Seketika Sampo Toalang
mengeluarkan pedangnya, kemudian dia melompat ke arah sang naga dan
pertarunganpun tak terhindarkan. Pertarungan itu seru sekali. Setelah lama bertarung,
akhirnya naga itu berhasil dibunuh oleh Sampo Toalang. Melihat hal itu, anak buah
kapal bersorak gembira karena semua bisa selamat. Kapal Sampo Toalang kembali
melanjutkan perjalanan dengan aman. Singkat cerita, akhirnya kapal itu sudah
mendekati daerah sunda kepala. Namun tiba-tiba Sampo Toalang berkata ”Saudara-
saudara, kita akan berlabuh di Ancol, karena Sunda kelapa sedang banjir” ” sekarang
kalian turunlah ke darat. Can belilah oabat-obatan dan kamu, Ming, belilah makanan
dan minuman” Akhirnya, semua anak buah Sampo Toalang turun di ancol. Mereka
semua menjalankan tugas masing-masing. Ming sang juru masak pergi ke pasar untuk
membeli makanan dan minuman yang akan digunakan sebagai bahan persediaan di
kapal. Di sela-sela belanja, Ming melihat seorang gadis cantik. ”siapa gadis cantik itu,
aku ingin tahu namanya” kata Ming dalam hati. Tanpa sungkan-sungkan akhirnya Ming
mendatangi gadis itu ”Salam, namaku Ming, bolehkah aku berkenalan denganmu?”
tanya Ming. ”Namaku Siti. Lengkapnya Siti Wati” kata gadis cantik itu. Melihat
kecantikan siti, Ming langsung menyukainya. Ming lupa akan tugasnya sebagai juru
masak di kapal dan malah akhirnya dia memutuskan untuk tinggal di Ancol demi si Siti.
Asmara mereka berdua berlanjut dan beberapa bulan kemudian Ming dan Siti Wati
menikah. Ming sangat disukai oleh penduduk Ancol. Dia mengajarkan penduduk Ancol
memasak sesuai keahliannya sebagai juru masak. Telah bertahun-tahun Ming tinggal
di Ancol. Suatu hari Ming dan istrinya sakit keras, entah apa penyakitnya, lama sakit
mereka tak sembuh-sembuh dan akhirnya Ming dan Siti Wati meninggal dunia. Untuk
mengenang Ming dan Siti Wati, penduduk Ancol membangun sebuah kelenteng.
Kelenteng itu dinamai kelenteng Ancol.
Asal Kota Cianjur
Konon, di suatu daerah di Jawa Barat, sekitar daerah Cianjur, hiduplah seorang lelaki
yang kaya raya. Kekayaannya meliputi seluruh sawah dan ladang yang ada di
desanya. Penduduk hanya menjadi buruh tani yang menggarap sawah dan ladang
lelaki kaya tersebut. Sayang, dengan kekayaannya, lelaki tersebut menjadi orang yang
sangat susah menolong, tidak mau memberi barang sedikitpun, sehingga warga
sekelilingnya memanggilnya dengan sebutan Pak Kikir. Sedemikian kikirnya, bahkan
terhadap anak lelakinya sekalipun.
Di luar sepengetahuan ayahnya, anak Pak Kikir yang berperangai baik hati sering
menolong orang yang membutuhkan pertolongannya.
Salah satu kebiasaan di daerah tersebut adalah mengadakan pesta syukuran, dengan
harapan bahwa panen di musim berikutnya akan menjadi lebih baik dari panen
sebelumnya. Karena ketakutan semata, Pak Kikir mengadakan pesta dengan
mengundang para tetangganya. Tetangga Pak Kikir yang diundang berharap akan
mendapat jamuan makan dan minum yang menyenangkan. Akan tetapi mereka hanya
bisa mengelus dada manakala jamuan yang disediakan Pak Kikir hanya ala kadarnya
saja, dengan jumlah yang tidak mencukupi sehingga banyak undangan yang tidak
dapat menikmati jamuan. Diantara mereka ada yang mengeluh,”Mengundang tamu
datang ke pesta, tapi jamuannya tidak mencukupi! sungguh kikir orang itu”. Bahkan ada
yang mendoakan yang tidak baik kepada Pak Kikir karena kekikirannya tersebut.
Di tengah-tengah pesta, datanglah seorang nenek tua renta, yang langsung meminta
sedekah kepada Pak Kikir. “Tuan, berilah saya sedekah dari harta tuan yang berlimpah
ini”, kata sang nenek dengan terbata-bata. Bukannya memberi, Pak Kikir malah
menghardik nenek tersebut dengan ucapan yang menyakitkan hati, bahkan
mengusirnya.
Dengan menahan sakit hati yang sangat mendalam, nenek tersebut akhirnya
meninggalkan tempat pesta yang diadakan Pak Kikir. Sementara itu, karena tidak tega
menyaksikan kelakuan ayahnya, anak Pak Kikir mengambil makanan dan
membungkusnya. Kemudian dengan sembunyi-sembunyi dia mengikuti si nenek
tersebut hingga di ujung desa. Makanan tersebut diserahkannya kepada sang nenek.
Mendapatkan makanan yang sedemikian diharapkannya, sang nenekpun memakannya
dengan lahap. Selesai makan, dia mengucapkan terima kasih dan mendoakan anak
Pak Kikir agar menjadi orang yang hidup dengan kemuliaan. Kemudian dia melanjutkan
perjalanannya hingga tibalah di salahsatu bukit yang dekat dengan desa tersebut.
Dari atas bukit, dia menyaksikan satu-satunya rumah yang paling besar dan megah
adalah rumah Pak Kikir. Mengingat apa yang dialaminya sebelumnya, maka
kemarahan sang nenek kembali muncul, sekali lagi dia mengucapkan doa agar Pak
Kikir yang serakah dan kikir itu mendapat balasan yang setimpal. Kemudian dia
menancapkan tongkat yang sejak tadi dibawanya, ke tanah tempat dia berdiri,
kemudian dicabutnya lagi tongkat tersebut. Aneh bin ajaib, dari tempat ditancapkannya
tongkat tersbut kemudian mencarlah air yang semakin lama semakin besar dan
banyak, dan mengalir tepat ke arah desa Pak Kikir.
Menyaksikan datangnya air yang seperti air bah, beberapa warga desa yang kebetulan
berada dekat dengan bukitpun berteriak saling bersahutan mengingatkan warga desa,
“banjir!!!”
Penduduk desa kemudian menjadi panik, dan saling berserabutan ke sana ke mari.
Ada yang segera mengambil harta yang dimilikinya, ada yang segera mencari dan
mengajak sanak keluarganya untuk mengamankan diri. Melihat kepanikan tersebut,
anak Pak Kikir segera menganjurkan para penduduk untuk segera meninggalkan
rumah mereka. “Cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman” katanya
memerintahkan. Dia menyuruh warga untuk meninggalkan segala harta sawah dan
ternak mereka untuk lebih mengutamakan keselamatan jiwa masing-masing.
Sementara itu, Pak Kikir yang sangat menyayangi hartanya tidak mau begitu saja pergi
ke bukit sebagaimana anjuran anaknya. Di berpikir bahwa apa yang dimilikinya bisa
menyelematkannya. Dia tidak mau diajak pergi, walau air semakin naik dan
menenggelamkan segala apa yang ada di desa tersebut. Ajakan anaknya untuk segera
pergi dibalas dengan bentakan dan makian yang sungguh tidak enak didengar.
Akhirnya anak Pak Kikir meninggalkan ayahnya yang sudah tidak bisa dibujuk lagi.
Warga yang selamat sungguh bersedih meliaht desanya yang hilang bak ditelan air
banjir. Tetapi mereka bersyukur karena masih selamat. Kemudian bersama-sama
mereka mencari tempat tinggal baru yang aman. Atas jasa-jasanya, anak Pak Kikirpun
diangkat menjadi pemimpin mereka yang baru.
Dengan dipimpin pemimpin barunya, warga bersepakat untuk membagi tanah di
daerah baru tersebut untuk digarap masing-masing. Anak Pak Kikirpun mengajarkan
mereka menanam padi dan bagaimana caranya menggarap sawah yang kemudian
dijadikan sawah tersebut. Warga selalu menuruti anjuran pemimpin mereka, sehingga
daerah ini kemudian dinamakan Desa Anjuran.

Anda mungkin juga menyukai