Anda di halaman 1dari 49

SI LANCANG

Pada zaman dahulu, di daerah Kampar, hiduplah Si Lancang dengan ibunya. Mereka
sehari-hari hidup prihatin mengandalkan penghasilan yang minim sebagai buruh tani.
Keadaan ini membuat Si Lancang berpikir untuk memperbaiki nasib dengan pergi
merantau.
Pada suatu hari, Si Lancang berangkat ke negeri orang. Diceritakan, Si Lancang
bekerja keras bertahun-tahun lamanya. Segala perjuangannya tidak sia-sia, ia berhasil
menggapai cita-citanya menjadi orang kaya. Ia menjadi saudagar yang memiliki
berpuluh-puluh kapal dagang. Akan tetapi, ia lupa pada ibunya dan segala janji
manisnya dahulu.
Pada suatu hari, Si Lancang singgah di Kampar. Berita kedatangan Si Lancang
terdengar oleh ibunya. Ia mengira bahwa Si Lancang pulang untuk dirinya. Dengan
memberanikan diri, ia naik ke geladak kapal mewah Si Lancang. Si ibu langsung
menghampiri Si Lancang dan ketujuh istrinya. Betapa terkejutnya Si Lancang ketika
menyaksikan bahwa perempuan berpakaian compang camping itu adalah ibunya. Akan
tetapi, harapan ibu Si Lancang hanya tinggal harapan. Rasa malu dan marah pun tak
dapat ia tahan. Ibunya segera menghampirinya.Advertising
“Engkau Lancang, Anakku! Oh… betapa rindunya hati emak padamu.” Mendengar
sapaan itu, si Lancang begitu tega menepis pengakuan ibunya sambil berteriak.
“Mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir
perempuan gila ini!”
Dengan perasaan hancur, ibunya pergi meninggalkan semua angan-angan tentang
anaknya. Luka hati seperti disayat sembilu. Setibanya di rumah, hilang sudah akal
sehatnya dan kasih sayangnya karena perlakuan buruk yang diterimanya. Ia
mengambil pusaka yang dimilikinya berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru.
Diputarnya lesung itu dan dikibas-kibaskan nyiru itu sambil berkata, “Ya Tuhanku…
hukumlah si anak durhaka itu.”
Tidak perlu waktu lama, Tuhan mengabulkan permintaan ibu tua renta itu. Dalam
sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut meluluh lantakkan kapal-kapal dagang
milik Si Lancang dan harta benda miliknya. Menurut cerita rakyat setempat, kain
sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar
Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Ogong. Tembikarnya
melayang menjadi Pasubilah, sedangkan tiang bendera kapal si Lancang terlempar
hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang. Hingga
sekarang, nama nama tempat itu masih ada dan dapat kita disaksikan.
KEONG MAS
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kerajaan yang makmur dan sentosa,  hiduplah dua
orang putri raja yang sangat cantik jelita. Mereka bernama Candra Kirana dan Dewi
Galuh. Kedua putri Raja tersebut hidup sangat bahagia dan serba kecukupan.
Hingga pada suatu hari berkunjunglah seorang pangeran yang amat tampan lagi
rupawan dari Kerajaan Kahuripan ke Kerajaan Daha.
Pangeran tersebut bernama Raden Inu Kertapati. Kedatangannya bermaksud untuk
melamar Candra Kirana. Kunjungan Raden Inu Kertapati sangat disambut baik oleh
Raja Kertamarta, dan akhirnya Candra Kirana ditunangkan dengan Raden Inu
Kertapati.
Namun pertunangan itu ternyata membuat Dewi Galuh merasa dengki. Karena dia
merasa kalau Raden Inu Kertapati lebih cocok untuk dirinya. Lupa daratan Dewi Galuh
lalu pergi ke rumah Nenek Sihir. Dia meminta agar nenek sihir itu mengutuk Candra
Kirana menjadi sesuatu yang menjijikkan dan dijauhkan dari Raden Inu. Nenek Sihir
pun menuruti permintaan Dewi Galuh, dan mengutuk Candra Kirana menjadi Keong
Emas, lalu membuangnya ke sungai.
Suatu hari seorang nenek yang baik hati sedang mencari ikan dengan jala, dan keong
emas terangkut dalam jalanya tersebut. Keong Emas itu kemudian dibawanya pulang
dan diletakkan di atas tempayan. Keesokan hari nya nenek itu mencari ikan lagi di
sungai, tetapi tak mendapat ikan seekorpun. Lalu Nenek tersebut memutuskan untuk
pulang saja, namun sesampainya di rumah ia sangat kaget sekali, karena di meja
sudah tersedia masakan yang sangat enak-enak. Si nenek bertanya-tanya pada dirinya
sendiri, siapakah yang mengirim masakan itu.
Kejadian itu berulang setiap harinya, karena penasaran keesokan paginya nenek ingin
mengintip apa yang terjadi pada saat dia pergi mencari ikan. Nenek itu lalu berpura-
pura pergi ke sungai untuk mencari ikan seperti biasanya, lalu pergi ke belakang rumah
untuk mengintipnya.
Setelah beberapa saat, si nenek sangat terkejut. Karena keong emas yang ada
ditempayan berubah wujud menjadi gadis cantik. Gadis tersebut lalu memasak dan
menyiapkan masakan tersebut di meja. Karena merasa penasaran, lalu nenek tersebut
memberanikan diri untuk menegur putri nan cantik itu.
Siapakah kamu ini putri cantik, dan dari mana asalmu?, tanya si nenek. Aku adalah
putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh nenek sihir utusan
saudaraku karena merasa iri kepadaku, kata keong emas.
Setelah menjawab pertanyaan dari nenek, Candra Kirana berubah lagi menjadi Keong
Emas, dan nenek sangat terheran-heran.
Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana
menghilang. Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek
sihirpun akhirnya tahu dan mengubah dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan
Raden Inu Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget sekali melihat burung gagak yang bisa
berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia menganggap burung gagak itu sakti dan
menurutinya padahal raden Inu diberikan arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu
bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan.
Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung
gagak itu.
Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu menjadi asap.
Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya raden itu
pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan Ia
menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta seteguk air karena
perbekalannya sudah habis.
Di gubuk itu ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia melihat Candra Kirana
sedang memasak. Akhirnya kutukan dari nenek sihir pun hilang karena perjumpaan itu.
Lalu Raden Inu memboyong tunangannya beserta nenek yang baik hati tersebut ke
istana, dan Candra Kirana menceritakan perbuatan Dewi Galuh pada Baginda
Kertamarta.
Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Dewi Galuh lalu mendapat
hukuman yang setimpal. Karena Dewi Galuh merasa takut, maka dia melarikan diri ke
hutan. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapati pun berlangsung,
dan pesta tersebut sangat meriah. Akhirnya mereka hidup bahagia.
KEBO IWA DAN PATIH GAJAH MADA
Alkisah, Di sebuah desa di Bali, tinggallah suami istri yang rukun dan kaya raya.
Namun kebahagiaan mereka belum sempurna karena setelah lama menikah, mereka
belum juga dikaruniai anak.
Oleh karena itu, pergilah mereka ke pura untuk sembahyang dan memohon kepada
Yang Maha Kuasa agar dikaruniai seorang anak. Mereka melalukan sembahyang
setiap hari tanpa hentinya.
Setelah sekian lama waktu berlalu, si istri mulai mengandung. Suami istri itu pun
merasa bahagia dan tak lupa mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa. Akhirnya,
setelah sembilan bulan lamanya mengandung, lahirlah seorang bayi laki-laki.
Waktu pun berlalu. Sang istri mulai mengandung. Betapa bahagianya mereka.
Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki. Ternyata yang lahir bukanlah
bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa makan makanan orang dewasa. Setiap
hari anak itu makan makin banyak dan makin banyak
Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil
dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau. Kebo Iwa makan dan makan
terus dengan rakus. Lama-lama habislah harta orang tuanya untuk memenuhi selera
makannya. Mereka pun tak lagi sanggup memberi makan anaknya.
Dengan berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala kebutuhan
makan Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian membangun rumah yang
sangat besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak
untuknya. Tapi lama-lama penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan
makanan. Kemudian mereka meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma
menyediakan bahan mentahnya.
Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat
bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan
telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.
Karena kehebatannya, Kebo Iwa dapat menahan serbuan pasukan Majapahit yang
hendak menaklukkan Bali. Maha Patih Majapahit, Gajah Mada pun mengatur siasat. Ia
mengundang Kebo Iwa ke Majapahit. Ia kemudian meminta Kebo Iwa membuatkan
beberapa sumur, karena kerajaan itu kekuarangan air minum.
Kebo Iwa menyanggupi tanpa curiga. Setibanya di Majapahit, ia menggali banyak
sumur. Sungguh pekerjaan yang berat, karena ia harus menggali dalam sekali. Ketika
Kebo Iwa sedang bekerja di dasar sumur, Sang Patih memerintahkan pasukannya
menimbuni Kebo Iwa dengan kapur. Kebo Iwa sesak napasnya. Kemudian ia pun
meninggal di dasar sumur.
Dengan meninggalnya Kebo Iwa, Bali pun dapat ditaklukkan Majapahit. Berakhirlah
riwayat orang besar yang berjasa pada Pulau Bali
ASAL USUL KAWAH SIKIDANG DIENG
Kawah Sikidang Dieng  terkenal dengan fenomena kolam kawahnya yang bisa
berpindah atau melompat dalam satu kawasan yang luas. Itulah sebabnya Kawah
Sikidang menjadi salah satu dari banyak kawah di kawasan wisata Dataran Tinggi
Dieng yang paling diminati. Berikut Legenda Asal usul Kawah Sikidang Dieng.
AIkisah, ada seorang putri cantik bernama Shinto Dewi. la tinggal di sebuah istana
megah di Dataran Tinggi Dieng. Kecantikan sang putri terkenal ke mana-mana.
Namun, tidak ada satu pun laki-laki yang berhasil melamarnya, karena Shinto Dewi
selalu mensyaratkan mas kawin yang jumlahnya tak terkira.
Seorang pangeran bernama Kidang Garungan tertarik melamar Shinto Dewi. la yakin
kekayaan yang dimilikinya dapat memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Shinto
Dewi. Kemudian, ia mengirimkan utusannya ke Dataran Tinggi Dieng untuk melamar.
“Kedatangan kami ke sini adalah untuk menyampaikan pinangan Pangeran Kidang
Garungan. Pangeran menyanggupi berapa pun besarnya mas kawin yang Putri
ajukan,”” kata utusan Pangeran Kidang Garungan.
Putri Shinto Dewi berpikir sejenak. Pangeran kaya raya yang sedang meminangnya ini
pastilah seorang yang tampan dan berwibawa. Jika tidak, pasti pangeran tersebut tidak
akan melamarnya.
Pinangan Pangeran Kidang Garungan pun diterima oleh Shinto Dewi. Pangeran
Garungan sangat senang ketika mendengar Iamarannya diterima. la segera
mempersiapkan pesta pernikahan.
Saat hari pernikahan tiba, Pangeran Kidang Garungan dan rombongannya datang ke
kediaman Shinta Dewi. Ketika bertemu dengan Sang Pangeran, Shinto Dewi sangat
terkejut, karena ternyata Pangeran Kidang Garungan adalah manusia berkepala kidang
(kijang) atau rusa.
Kemudian, Putri Shinto Dewi berpikir keras bagaimana cara membatalkan pernikahan
tersebut. Oleh karena itu, ia mengajukan sebuah persyaratan yang sulit kepada calon
suaminya itu.
“Kanda, ada satu syarat lagi yang harus Kanda penuhi jika ingin menikahiku. Daerah ini
kekurangan air bersih, Dinda ingin Kanda membuatkan sebuah sumur dalam waktu
semalam. Sumur tersebut harus dikerjakan oleh Kanda sendiri,”” ujar Putri Shinta Dewi.
“Baiklah, Dinda. Kanda akan memenuhi syarat tersebut,” jawab sang pangeran.
Pangeran Kidang Garungan mulai membuat sumur di lokasi yang ditunjuk oleh Putri
Shinto Dewi. Dengan kesaktiannya, ia menggali sumur hanya dengan menggunakan
tangan dan tanduknya. Ketika hari menjelang pagi, sumur yang sedang dibuat hampir
jadi. Hal tersebut membuat Putri Shinto Dewi panik.
Karena tak ingin menikah dengan pangeran berkepala kijang itu, Putri Shinto Dewi
mengerahkan pengawalnya untuk menimbun tanah yang sedang digali Pangeran
Kidang Garungan. Pangeran itu panik ketika tiba-tiba saja tanah mulai Iongsor dan
menimbunnya. Dengan mengerahkan kesaktiannya, timbullah ledakan dan Pangeran
Kidang Garungan berusaha keluar dari celah pada timbunan tanah tersebut.
Ketika terlihat Pangeran Kidang Garungan sudah hampir keluar dari dalam sumur yang
tertimbun tanah itu, pasukan Putri Shinto Dewi kembali menimbunnya.
Ketika itu, Pangeran Kidang Garungan sempat mengucapkan sumpahnya kepada
Shinto Dewi, “Kelak seluruh keturunan Putri Shinta Dewi akan mempunyai rambut
gembel (gimbal).”
Laiu, Pangeran Kidang Garungan tewas dalam timbunan tanah.
Sumur yang meledak itu lama-kelamaan menjadi sebuah kawah yang kemudian
dinamakan Sikidang. Sampai sekarang di Dataran Tinggi Dieng banyak orang yang
mempunyai rambut gimbal seperti kutukan Pangeran Kidang Garungan.
LEGENDA DANAU TONDANO
Alkisah, beribu-ribu tahun yang lalu, terdapat gunung yang tinggi. Di sekitarnya
terdapat dua daerah, selatan dan utara. Masing-masing dipimpin oleh seorang Tonaas.
Tonaas yang berkuasa atas wilayah utara hanya memiliki seorang anak. Anak mereka
seorang perempuan. Dia bernama Marimbow. Dia terkenal sangat cantik. Di samping
itu, dia pun sangat patuh pada kedua orang tuanya. Bahkan, dia bersumpah tidak akan
menikah selama orang tuanya masih hidup.
Tonaas yang berkuasa di wilayah selatan mempunyai seorang anak laki-laki. Dia
bernama Maharimbow. Dia tampan, rajin bekerja, dan patuh kepada orang tua.
Maharimbow juga bersumpah tidak akan menikah selagi orang tuanya masih hidup.
Kedua Tonaas memikirkan masa depan daerahnya. Toonas utara memikirkan siapa
yang akan menggantikan dia. Dia risau karena anaknya seorang perempuan.
Sementara itu, Tonaas wilayah selatan berpikir, siapakah yang akan mendampingi
anaknya kelak.
Suatu saat, Marimbow berunding dengan ayahnya. Keduanya sepakat bahwa mulai
saat itu Marimbow akan berperilaku sebagai laki-laki.
Pada suatu haru, Marimbow melihat seorang pemuda tidur di bawah pohon di
wilayahnya. Marimbow pun ingin mengusirnya. Pemuda yang diusir itu ternyata
Maharimbow. Ia curiga apakah orang itu benar-benar seorang pria. Maharimbow pun
ingin membuktikannya.
Pada pertemuan berikutnya, kedua pemuda itu saling berselisih. Dengan suatu
pertarungan, terbukalah rahasia Marimbow. Maharimbow mengetahui bahwa
Marimbow ternyata seorang perempuan. Kedua orang tersebut akhirnya saling jatuh
cinta. Keduanya pun menyatakan ikrar menjadi suami istri. Akhirnya, terjadilah
malapetaka akibat sumpah keduanya yang dilanggar. Gempa yang dahsyat menimpa
daerah itu. Selanjutnya, gunung api di wilayah itu meletus. Semuanya musnah. Akibat
letusan itu, terjadilah danau yang sekarang disebut Danau Tondano.
ASAL MULA BATU RADEN

Batu Raden merupakan cerita rakyat dari Jawa Tengah yang cukup populer. Salah satu
dari kekayaan seni Indonesia adalah cerita rakyat Indonesia yang begitu beragam dari
tiap daerah. Berikut adalah kisah Batu Raden, salah satu cerita rakyat dari Jawa
Tengah.

Pada zaman sebelum kerjaaan Majapahit berdiri, hiduplah seorang pemuda bernama
Suta, Ia adalah seorang abdi kadipaten yang baik hati. Pekerjaannya sebagai abdi
adalah mengerjakan pekerjaan kasar di kadipaten. Selain itu Suta juga bertugas
menjaga keamanan wilayah kadipaten dari orang-orang jahat.

Pada suatu hari Suta sedang berjalan-jalan memeriksa sudut-sudut wilayah kadipaten,
kemudian dia mendengar suara perempuan sedang menjerit-jerit ketakutan. Suta
segera bergegas berlari ke arah sumber suara. Setelah mencari sumber suara tersebut
Suta berhenti di sebuah pohon yang besar. Di salah satu dahan pohon ternyata ada
seekor ular besar dan didekatnya ada putri adipati yang ketakutan melihat ular
tersebut.

Sebenarnya Suta juga merasa takut melihat ular sebesar itu. Namun karena
kesetiaannya mengabdikan diri pada adipati Suta berusaha menyingkirkan rasa
takutnya. Suta berusaha menolong putri adipati. Kemudian Suta mengambil sebatang
kayu besar dan di pukulkan kearah ulat besar itu.

Setelah di pukul beberapa kali akhirnya ular itu roboh ke tanah dan tidak bergerak lagi.
Ular itu mati di tangan Suta. Melihat kejadian itu putri adipati merasa senang dan
mengucapkan banyak terima kasih pada Suta yang telah menolongnya. Keberanian
Suta membuat putri adipati menjadi kagum dan menyukainya.

 Setelah kejadian itu mereka menjadi akrab dan sering bertemu. Dari seringnya mereka
bertemu telah menumbuhkan bibit cinta di antar keduanya. Mereka saling mencintai
walaupun perbedaan derajat kala itu tidak membolehkan seorang abdi mencintai putri.
Kanjeng adipati yang mendengar berita bahwa putrinya menyukai Suta menjadi murka.
Adipati merasa malu jika putri yang di sayanginya menikah dengan seorang abdi
kadipaten yang miskin. Adipati lalu memerintahkan putrinya untuk menjauhi Suta dan
tidak boleh ada hubungan di antar keduanya.

 Putri adipati menjadi sedih karena dilarang bertemu dengan Suta. Setelah itu tersiar
kabar yang lebih memprihatinkan. Dari seorang abdi kepercayaan putri mendengar
bahwa Suta di masukkan dalam penjara bawah tanah oleh kanjeng adipati. Tidak
hanya itu, selama di penjara Suta tidak di beri makan dan minum. Penjara itu sendiri di
genangi air sehingga membuat Suat demam tinggi karena dinginnya genangan air
tersebut. Mendengar berita itu putri adipati tidak tahan lagi. Dia berusaha untuk
menolong Suta karena bukan hanya karena putri mencintainya namun ketika dulu putri
pernah berhutang nyawa pada Suta saat dirinya di selamatkan Suta dari ular besar.

 Putri Adipati lalu menemui abdi kepercayaan dan memaksanya untuk mengeluarkan
Suta dari dalam penjara bawah tanah. Abdi kepercayaan itu lalu menyusup ke dalam
penjara dan bertemu Suta yang sedang terserang demam tinggi. Lalu abdi
kepercayaan membawa Suta keluar dari penjara tersebut secara diam-diam. Dia
mengatakan bahwa putri adipati yang telah menolongnya dan saat ini putri sedang
menunggu di halaman kadipaten. Setelah berhasil keluar dari penjara, putri dan Suta
melarikan diri keluar kadipaten.

Mereka lalu menikah dan tinggal di sebuah desa kecil. Kini desa itu disebut desa
Baturaden asal kata dari Batur yang artinya abdi dan keturunan raden yang
menunjukkan keturunan adipati.
PENAKLUK RAJAWALI
Dahulu, ada seorang raja di Sulawesi Selatan yang memiliki tujuh orang putri. Konon,
jika memiliki 7 orang anak, salah satunya harus dipersembahkan kepada seekor
Rajawali Raksasa agar keluarga istana terhindar dari mala petaka.
Hal tersebut membuat sang raja sedih dan memutuskan untuk membuka sayembara.
Siapa saja yang berhasil menaklukan Rajawali, jika ia laki-laki maka akan dinikahkan
dengan salah satu putrinya. Apabila ia perempuan, maka akan diangkat menjadi
anggota keluarga.
Oleh karena itu, banyak warga yang berbondong-bondong untuk menyelamatkan putri
kerajaan. Namun, tidak ada satupun yang mampu mengalahkan Rajawali.
Saat Rajawali Raksasa mendekat dan hendak memakan sang putri, datanglah seorang
pemuda yang menyelamatkannya dengan seutas tali dan badik. Ia
pun sukses menikam dan membunuh Rajawali. Sang putri pun akhirnya selamat dan
bisa kembali ke kerajaan dengan perasaan lega dan tenang.
Sayangnya, pemuda itu lantas pergi dan tidak datang untuk meminta upahnya. Oleh
karenanya, raja pun membuka kembali sayembara untuk menemukan penakluk
rajawali tersebut.
Oleh sebab itu, banyak sekali warga yang mengaku-ngaku telah menyelamatkan sang
putri. Untungnya, sang putri masih mengenali wajah laki-laki yang telah
menyelamatkannya.
“Ayah! Itulah pemuda yang telah mengalahkan rajawali raksasa! seru sang Putri sambil
menunjuk ke arah pemuda yang berada di tengah arena lomba.”
Sang Raja pun tersentak kaget, seakan-akan tidak percaya apa yang sedang
disaksikannya.  Ternyata, selain sakti, pemuda itu juga sangat mahir bermain sepak
raga. Sang Raja sangat kagum kepada pemuda itu. Setelah pemuda itu keluar dari
arena lomba, sang Raja pun memanggil pemuda itu.
Raja pun bertanya, “kenapa kamu tidak datang ke kerajaan, untuk menagih janji atas
keberhasilanmu menyelematkan anakku?” Anak laki-laki itu pun menjawab, “aku
menyelematkan sang putri bukan karena hadiahnya, tapi hamba tulus. Kalaupun
baginda raja ingin menikahkan kami, hamba ingin semua itu berdasarkan permintaan
sang putri.”
Sang putri pun mengatakan jika ia telah menyukai laki-laki tersebut sejak awal bertemu.
Pada akhirnya, mereka hidup bersama dan bahagia selamanya.
ASAL USUL TELAGA WARNA
Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama Kutatanggeuhan.
Kutatanggeuhan merupakan kerajaan yang makmur dan damai. Rakyatnya hidup
tenang dan sejahtera karena dipimpin oleh raja yang bijaksana. Raja Kutatanggeuhan
bernama Prabu Suwartalaya dan permaisurinya bernama Ratu Purbamanah. Raja dan
ratu sangant bijaksana sehingga kerjaan yang dipimpin makmur dan tenteram.
Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu
membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar
mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. “Buat kami, anak
kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat,” sahut mereka.
Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya. Lalu Prabu
pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus berdoa, agar dikaruniai anak.
Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh
rakyat di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.
Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri yang diberinama Gilang
Rukmini . Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu
tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja
yang cantik.
Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang
dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya
tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar. Walaupun
begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.
Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam
beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke
istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan
hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana.
Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan rakyat.
Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan.
“Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku,” kata Prabu. “Dengan
senang hati, Yang Mulia,” sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin,
dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena
ia sangat menyayangi Putri.
Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika
Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat
makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang.
Semua orang mengagumi kecantikannya.
Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. “Putriku
tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari
penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini,
karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak,” kata
Prabu.
Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. “Aku tak mau
memakainya. Kalung ini jelek!” seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung
yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.
Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu.
Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba meledaklah tangis Ratu
Purbamanah. Dia sangat sedih melihat kelakuan putrinya.Akhirnya semua pun
meneteskan air mata, hingga istana pun basah oleh air mata mereka. Mereka terus
menangis hingga air mata mereka membanjiri istana, dan tiba-tiba saja dari dalam
tanah pun keluar air yang deras, makin lama makin banyak. Hingga akhirnya kerajaan
Kutatanggeuhan tenggelam dan terciptalah sebuah danau yang sangat indah.
Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan
mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan
langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung
Putri yang tersebar di dasar telaga.
GARUDA WISNU KENCANA

Konon disebuah negeri di Pulau Bali, hiduplah seorang Resi yang arif dan bijaksana.
Resi itu bernama Resi Kasyapa. Beliau memiliki dua orang istri yakni Kadru dan
Winata. Resi kasyapa bersikap adil kepada kedua istrinya, namun salah satu istrinya
yaitu Kadru selalu menyimpan rasa iri dan dengki kepada Winata.

Alkisah Kedua istri Resi Kasyapa masing-masing dikaruniai anak.  Kadru dikaruniai
para Naga, sedangkan Winata dikaruniai seekor Burung Garuda. Kadru yang tetap
memiliki rasa iri dan dengki terhadap Winata selalu melancarkan niat jahat agar Winata
dapat keluar dari lingkaran keluarga Resi Kasyapa.

Suatu ketika, Para Dewa mengaduk-aduk samudra untuk mendapatkan Tirtha


Amartha. Tirtha(air) yang diebut-sebut dapat memberikan keabadian kepada siapapun
yang dapat meminumnya walaupun hanya setetes. Bersamaan dengan kejadian itu,
muncullah kuda terbang bernama Ucaihswara. Oleh karena Kadru yang selalu
menaruh rasa dengki terhadapa Winata, Kadru kemudian menantang Winata untuk
menebak warna Kuda Ucaihswara yang belum terlihat oleh mereka.

Winata kemudian menyanggupi tantangan dari Kadru dengan perjanjian, jika siapapun
yang kalah harus bersedia menjadi budak dan selalu mentaati seluruh perintah dari
yang menang. Kemudian Kadru menebak warna kuda itu berwarna hitam, dan Winata
menebak warna kuda itu berwarna putih. Sebelum kuda itu muncul, secara diam-diam
Kadru menerima informasi dari anaknya(naga) bahwa kuda itu sebenarnya berwarna
putih.

Mengetahui bahwa dirinya akan kalah, maka Kadru berbuat licik dengan menyuruh
anaknya untuk menyembur dengan racun tubuh kuda itu sehingga terlihat kehitaman.

Benar saja kuda yang dulunya putih kemudian menjadi hitam setelah muncul dan
dilihat oleh Kadru dan Winata. Karena Winata merasa dirinya telah kalah, maka ia
bersedia menjadi budak Kadru selama hidupnya.

Garuda wisnu kencana  menyadari kelicikan Kadru, anak Winata yakni sang Garuda
tidak tinggal diam. Dia kemudian bertarung dengan anak-anak Kadru yakni para Naga
yang berlangsung tanpa henti siang dan malam. Keduanya berhasil menahan imbang
disetiap pertarungan sampai akhirnya para Nagapun memberikan persyaratan bahwa
dia akan membebaskan Winata dengan syarat sang Garuda dapat membawakan Tirtha
Amartha kepada para Naga.

Sang Garuda menyanggupinya, dia bersedia mencari Tirtha Amertha yang tidak dia
ketahui tempatnya agar dia dapat menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Di tengah
petualangannya, sang Garuda bertemu dengan Dewa Wisnu yang membawa Tirtha
Amertha. Garuda kemudian meminta Tirtha Amertha itu, Dewa Wisnu menyerahkannya
dengan syarat agar Garuda mau menjadi tunggangan Dewa Wisnu yang kemudian
dikenal dengan nama Garuda Wisnu Kencana.

Garuda kemudian mendapat tirtha amertha dengan berwadahkan kamendalu dengan


tali rumput ilalang. Ia memberikan tirtha tersebut kepada para naga, namun sebelum
para naga sempat meminumnya tirtha itu terlebih dahulu diambil oleh dewa indra yang
kebetulan lewat. Namun tetesan tirtha amertha itu masih tertinggal di tali rumput
ilalangnya. Naga kemudian menjilat rumput ilalang tersebut yang ternyata sangat tajam
dan lebih tajam dari pisau. Oleh karena itu lidah naga menjadi terbelah menjadi 2 ujung
yang kemudian disetiap keturunan naga itu juga memiliki lidah yang terbelah.
Kemudian ibu Winata berhasil dibebaskan dari jeratan perbudakan.

Begitulah akhir cerita dari Sejarah Cerita Garuda Wisnu Kencana. Lalu apa hubungan
Garuda anak Winata dengan Garuda Lambang Negara Indonesia? Karena melihat
filosofi diatas para petinggi yang membangun Negara Indonesia kemudian memilih
Burung Garuda sebagai lambang Negara Indonesia karena melihat kegigihan Burung
Garuda dalam berbakti kepada ibunya agar ibunya dapat lolos dari perbudakan.
Garuda tersebut melambangkan kegigihan masyarakat pribumi (masyarakat indonesia)
dalam memperjuangkan tanah Ibu pertiwi agar lolos dari perbudakan para penjajah
kala itu.
SI JAMPANG DARI BETAWI

Jampang adalah lelaki Betawi yang hidup pada masa Indonesia masih dijajah Belanda.
Ia dikenal tinggi ilmu silatnya. Piawai pula memainkan golok untuk senjata. Sejak masih
muda usianya, Si Jampang suka merampok. Hingga kemudian ia menikah, tetap juga
kebiasaannya merampok itu dilakukannya. Bahkan ketika istrinya meninggal dunia dan
anaknya telah beranjak remaja.

Meski dikenal sebagai perampok, Si Jampang tidak ingin anaknya itu mengikuti
jejaknya. Ia menghendaki anaknya menjadi ahli agama. Maka, hendak dimasukkannya
anaknya itu ke pesantren. Anak Si Jampang bersedia masuk pesantren dengan syarat
ayahnya itu menghentikan tindakan buruknya. “Masak anaknya mengaji di pesantren
tapi babehnya kerjaannya merampok? Apa kata orang nanti, Be?”

Si Jampang hanya tertawa mendengar ucapan anaknya. Pada suatu hari Si Jampang
mengunjungi Sarba, sahabat Iamanya. Ia telah lama tidak berkunjung. Sama sekali
tidak disangkanya jika sahabatnya itu telah meninggal dunia.

Ia ditemui Mayangsari, istri mendiang Sarba. Mayangsari bercerita, ia dan suaminya itu
dahulu berziarah ke Gunung Kepuh Batu. Mereka berdoa di tempat itu dan memohon
agar dikaruniai anak. Sarba berjanji,jika doanya dikabulkan, ia akan menyumbang dua
ekor kerbau. Doa mereka akhirnya dikabulkan Tuhan. Mayangsari hamil dan akhirnya
melahirkan seorang anak lelaki yang mereka beri nama Abdih. Ketika Abdih beranjak
remaja, Sarba meninggal dunia. “Kata orang, suami aye’ itu meninggal karena lupa
pada janjinya yang akan menyumbang dua ekor kerbau.”

Mendapati Mayangsari telah menjanda sementara dirinya juga telah menduda, Si


Jampang lantas melamar Mayangsari. Namun, Mayangsari menolak dengan kasar
pinangan Si Jampang. Si Jampang yang sakit hati lalu mencari dukun untuk
mengguna-gunai Mayangsari. Dengan bantuan keponakannya yang bernama Sarpin,
didapatkannya dukun itu. Pak Dul namanya, seorang dukun dari kampung Gabus. Si
Jampang lantas mengguna-gunai Mayangsari dengan guna-guna dari Pak Dul.

Mayangsari jadi gila setelah terkena guna-guna. Ia sering berbicara dan tertawa
sendiri. Abdih yang sangat prihatin pun berusaha mencari cara untuk menyembuhkan
kegilaan yang dialami ibunya. Abdih lantas mencari dukun. Kebetulan dukun yang
ditemuinya adalah Pak Dul dari kampung Gabus hingga Pak Dul dapat dengan mudah
melepaskan gunaguna yang mengena pada diri Mayangsari.

Si Jampang lantas menemui Abdih dan menyatakan minatnya untuk memperistri ibu
Abdih itu.
“Aye tidak menolak pinangan Mang’ Jampang untuk ibu aye, tapi aye minta syarat,
Mang,” jawab Abdih.

“Syarat apa yang kamu minta?”

“Aye minta sepasang kerbau untuk mas kawinnya, Mang,”

Si Jampang menyanggupi, meski sepasang kerbau bukan perkara yang gampang


untuk didapatkan Si Jampang. Si Jampang berusaha memikirkan cara untuk
mendapatkan sepasang kerbau. Teringatlah ia pada Haji Saud yang tinggal di Tambuh.
Haji Saud sangat kaya, namun sangat kikir. Si Jampang lantas menghubungi Sarpin
dan mengajak keponakannya itu merampok rumah Haji Saud.

Rupanya, rencana perampokan itu telah diketahui Haji Saud. Haji Saud telah
menghubungi polisi. Para polisi segera bersiaga di sekitar rumah Haji Saud. Maka,
ketika Si Jampang dan Sarpin yang mengenakan baju hitam-hitam itu datang hendak
merampok, para polisi segera mengepungnya. Si Jampang ditangkap dan
dipenjarakan. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati.

Kematian Si Jampang disambut gembira para tauke dan tuan tanah karena merasa
terbebas dari keonaran yang dilakukan Si Jampang. Namun, kematian Si Jampang
ditangisi rakyat miskin. Meski dikenal selaku perampok, namun Si Jampang banyak
memberikan bantuannya kepada mereka. Kebanyakan Si Jampang membagi-bagikan
hasil rampokannya itu kepada mereka yang membutuhkan. Bagi rakyat miskin, Si
Jampang adalah sosok pahlawan.
ASAL USUL DANAU LIPAN

Danau Lipan adalah nama sebuah daerah di Kalimantan Timur. Tepatnya berada di
Kecamatan Muara Kaman, yang letaknya sekitar 120km di hulu Tenggarong,
Kabupaten Kutai Kertanegara. Sebutan “danau” di depan nama Lipan bukanlah
mengandung arti danau yang sebenarnya. Karena tempat itu merupakan daerah yang
ditumbuhi pang semak yang luas.

Konon, di suatu waktu, Muara Kaman merupakan lautan. Di sana berdirilah sebuah
kerajaan dengan Bandar di tepi laut yang ramai. Tersebutlah seorang puteri cantik
bernama Puteri Aji Berdarah Putih. Kata yang empunya cerita, disebut demikian karena
jika sang Puteri memakan sirih, maka air sepah berwarna merah yang ditelannya akan
terlihat saat mengalir. Kecantikan itu tersebar ke seantero negeri dan kerajaan di
luarnya.

Alkisah, ketenaran sang Puteri sampai juga ke telinga seorang Raja Cina dari negeri
seberang. Maka sang Raja Cina segera membaw abala tentara mengarungi lautan
dengan sebuah jung besar untuk melamar Puteri Aji Berdarah Putih.

Kehadiran sang Raja Cina disambut dengan meriah. Puteri nan jelita menyambut sang
tamu dengan pesta makan yang meriah. Tarian-tarian dan nyanyian disajikan juga
untuk menambah meriahnya pesta. Alangkah gembiranya sang Raja menerima
sambutan yang demikian meriah itu. Sang Puteri jelita memang tahu bahwa kehadiran
Raja Cina itu tak lain adalah untuk mempersuntingnya. Akan tetapi begitu melihat
gerak-gerik dan cara melahap makanan, Sang Puteri sontak menjadi jijik tak terkira.
Alangkah tidak lazimnya cara makan Raja Cina itu yang tidak bedanya dengan cara
anjing menyantap makanan.

Bukan saja saja sang Puteri merasakan jijik, bahkan ketika lamaran diajukan, sang
Puteri juga merasa terhina. Tentu saja tidak sepantasnya raja terhormat punya tabiat
seperti b inatang. Lamaran itu bagaikan tamparan bagi sang Puteri.

Namun, penolakan disertai murka itu juga ditanggapi amarah pula oleh Raja Cina. Ia
sakit hati. Darah mengalir ke ubun-ubun saat menghadapi rasa malu yang luar biasa
itu. Tangannya menggenggam seolah ingin dihantamkan pada apa saja yang ada di
hadapannya.

Sepulang dari sana, ia memerintahkan panglima perangnya untuk menyerang kerajaan


Puteri Aji Berdarah Putih. Pertempuran pun tak dapat dielakkan. Beribu-ribu prajurit
Raja Cina merangsek bagaikan gelombang laut yang ganas.

Menghadapi serangan itu, prajurit sang Puteri jelita tak mau kalah. Gempuran dahsyat
itu ditandinginya dengan kegagahberanian yang luar biasa. Makin lama sang Puteri
cemas melihat gelombang serangan prajurit Raja Cina yang tak bisa ditandingi tentara
perangnya yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Puteri takut tak lama lagi tentaranya akan
tumpas.

Maka, sebagai titisan raja sakti ia pun mulai bangkit di saat tindasan makin berat. Ia
mengambil kinang dari wadahnya. Kemudian ia mengunyah sirih sambil mengucapkan
mantera-mantera sakti. Mulutnya berkomat-kamit dan matanya yang indah terpejam.
Tak lama kemudian sang Puteri menyemburkan sepah-sepah sirih ke segala penjuru
arah.

Ajaib! Sepah-sepah itu tiba-tiba menjelma jutaan lipan ganas yang menyerang barisan
besar prajurit Raja Cina. Lipan-lipan itu kini menjadi barisan tentara yang mengambil
alih barisan para tentara Puteri Aji yang mulai terdesak. Dalam waktu sekejap tentanra
Raja Cina lumpuh oleh keganasan lipan-lipan itu. Sebagian yang tersisa lari tunggang
langgang meninggalkan daerah itu. Namun serang lipan-lipan itu memburu hingga
sampai ke laut, tempat prajurit menyelamatkan diri di jungnya. Perahu mereka pun
tenggelam. Seluruh laskar Raja Cina tumpas.

Tempat yang menenggelamkan jung Raja Cina itu menjadi padang luas yang menyatu
dengan laut. Syahdan, tempat itu hingga kini disebut Danau Lipan
ASAL MULA KOTA SALATIGA
Kisah Asal Mula nama Kota Salatiga, Jawa Tengah, berhubungan erat dengan Ki
Ageng Pandanaran yang merupakan Bupati ke-2 Kota Semarang, Pangeran
Mangkubumi dengan gelar Sunan Bayat atau Sunan Tembayat. Saat zaman
Kesultanan Demak masih berkuasa penuh di Jawa Tengah, Kabupaten Semarang
termasuk dalam wilayah kesultanan.
Kabupaten Semarang dipimpin oleh Ki Ageng Pandanaran. Ki Ageng Pandanaran
merupakan seorang pedagang yang kaya raya. Namun seiring berjalannya waktu, Ki
Ageng Pandanaran malah sibuk memperkaya dirinya sendiri, sampai melupakan
kesejahteraan dan keamanan rakyatnya.
Menurut kabar, Sunan Kalijaga yang pada saat itu merupakan penasehat Sultan
Demak. Ia berniat untuk mengingatkan Ki Ageng Pandanaran dengan cara menyamar
menjadi seorang penjual rumput. Suatu hari, Sunan Kalijaga mendatangi Ki Ageng
Pandanaran. Ia berpura-pura menawarkan rumput. Ki Ageng setuju membeli rumput
tersebut tapi dengan harga murah. Sunan Kalijaga menolaknya dengan alasan
harganya terlalu murah.
Ki Ageng Pandanaran tidak terima. Ia merasa tersinggung dengan penolakan Sunan
Kalijaga. Ia sangat marah kemudian mengusir Sunan Kalijaga. Sebelum pergi, Sunan
Kalijaga berkata pada Ki Ageng Pandanaran bahwa ada cara lebih baik untuk mencari
kekayaan daripada menimbun harta yang seharusnya menjadi hak rakyat.
“Wahai Pak Bupati terhormat, daripada menimbun harta milik rakyat, ada cara lain lebih
terhormat untuk mencari harta kekayaan.” kata Sunan Kalijaga.
“Memangnya siapakah kamu? Sampai berani menceramahiku?” kata Bupati
Semarang.
“Pinjami saya cangkul untuk menunjukkan cara mencari harta.” jawab Sunan Kalijaga.
Ki Ageng Pandanaran kemudian memberikan cangkul pada Sunan Kalijaga. Segera
Sunan Kalijaga mencangkul tanah di depannya. “Prak.” terdengar suara cangkul
mengenai sebuah benda keras. Setelah benda itu diambil, ternyata itu adalah
bongkahan emas. Ki Ageng Pandanaran merasa kaget menyaksikan kejadian tersebut.
Ia kemudian melihat baik-baik wajah si penjual rumput. Ia berusaha menebak-nebak
siapa sebenarnya si penjual rumput. Setelah mengamati agak lama, Ki Ageng
tersentak kaget ketika menyadari bahwa si penjual rumput adalah Sunan Kalijaga.
Segera ia bersimpuh meminta maaf pada Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga dengan
bijaksana memaafkannya. Ia meminta beliau agar kembali memimpin Kabupaten
Semarang dengan benar. Sunan Kalijaga kemudian meninggalkan Ki Ageng
Pandanaran.
Sepeninggal kejadian tersebut, Ki Ageng menjadi merasa bersalah. Ia sangat malu
telah menumpuk kekayaan dengan jalan tidak benar. Ia kemudian memutuskan
melepaskan jabatannya sebagai Bupati Semarang. Untuk menebus kesalahannya, Ia
akan mengikuti jejak Sunan Kalijaga menjadi seorang penyiar agama dengan
mendirikan sebuah pondok pesantren di Gunung Jabaikat.
Nyai Ageng yang mengetahui rencana suaminya, menyatakan akan mengikuti jejak Ki
Ageng. Ki Ageng Pandanaran menyetujui keinginan Nyai Ageng dengan syarat tidak
boleh membawa harta benda.
Tibalah saat keberangkatan Ki Ageng dan Nyai Ageng ke Gunung Jabaikat untuk
membangun pondok pesantren. Sebelum berangkat, Nyai Ageng sibuk mengumpulkan
perhiasan untuk ia bawa. Ia menyimpannya ke dalam tongkat bambu. Karena
menunggu lama, akhirnya Ki Ageng Pandanaran berangkat terlebih dahulu ke Gunung
Jabaikat.
Tidak lama kemudian, setelah selesai mengumpulkan perhiasan untuk dibawa ke
Gunung Jabaikat, Nyai Ageng segera berangkat menyusul Ki Ageng Pandanaran. Tapi
sial, di tengah perjalanan muncul tiga orang perampok memaksanya untuk
menyerahkan semua perhiasan dalam tongkat bambu yang dibawa oleh Nyai Ageng.
Karena tidak mempunyai pilihan lain, Nyai Ageng pun menyerahkan semua perhiasan
yang ia bawa kepada paraperampok. Ia segera bergegas pergi menyusul suaminya di
Gunung Jabaikat.
Sesampainya di Gunung Jabaikat, Nyai Ageng segera menceritakan perampokan yang
dialaminya. Ki Ageng Pandanaran kemudian menasehati istrinya agar jangan terlalu
serakah dengan harta. Ia meminta istrinya menjadikan kejadian ini sebagai pelajaran.
Ki Ageng kemudian mengatakan bahwa di tempat istrinya dihadang oleh ketiga
perampok tersebut kelak akan bernama Salatiga, yang berarti tiga orang bersalah.
ASAL MULA KOTA BALIKPAPAN.
Dahulu, di Tanah Pasir, Kalimantan Timur, terdapat sebuah kerajaan besar yang
dipimpin oleh Raja Aji Muhammad yang terkenal adil dan bijaksana. Berkat
kepemimpinan Sang Raja, negeri itu senantiasa aman, makmur, dan sentosa.
Penduduknya hidup dari hasil laut dan pertanian yang melimpah. Negeri itu memiliki
wilayah yang cukup luas, salah satunya adalah sebuah teluk dengan pemandangan
yang amat indah.
Raja Aji Muhammad memiliki seorang putri bernama Aji Tatin. Dialah calon tunggal
pewaris tahta kerajaan. Itulah sebabnya, semua kasih sayang ayah dan ibunya
tercurah kepada Aji Tatin. Puluhan dayang-dayang istana selalu mendampingi Aji Tatin
untuk menjaga, merawat, melindunginya dan memastikan segala keperluan Aji Tatin
terpenuhi.
Setelah beranjak dewasa, Putri Aji Tatin dinikahkan dengan seorang putra bangsawan
dari Kutai. Sebagai putri tunggal, pesta pernikahan Aji Tatin dilangsungkan sangat
meriah. Puluhan sapi dan kerbau disembelih untuk dihindangkan kepada para tamu
undangan dari berbagai penjuru negeri. Tidak hanya para pembesar dari kerajaan
tetangga, tetapi juga seluruh rakyat negeri itu turut berpesta. Hari itu merupakan hari
indah dan bahagia bagi kedua mempelai.
Saat pesta sedang berlangsung, Raja Aji Muhammad bangkit dari singgasananya
untuk memberikan hadiah kepada putri tercitanya.
“Putriku, Aji Tatin, di hari yang penuh bahagia ini Ayah memberikan wilayah teluk yang
indah dan mempesona itu sebagai hadiah pernikahanmu,” kata sang Raja di hadapan
putri dan disaksikan oleh seluruh undangan, “Kini, teluk itu telah menjadi wilayah
kekuasaanmu. Engkau pun boleh memungut upeti dari rakyatmu.”
“Terima kasih, Ayahanda. Semoga Ananda bisa menjaga amanat ini,” ucap Putri
Aji Tatin dengan perasaan bahagia.
Sejak itulah, Putri Aji Tatin menjadi raja di teluk tersebut. Untuk memungut upeti dari
rakyat, ia dibantu oleh suaminya dan seorang abdi setia bernama Panglima Sendong.
Ketika itu, upeti yang dipungut dari rakyatnya berupa hasil bumi, terutama kayu yang
sudah berbentuk papan. Papan tersebut akan digunakan untuk membangun istana.
Suatu hari, orang-orang kepercayaan Putri Aji Tatin yang dipimpin oleh Panglima
Sendong sedang memungut upeti dari rakyat. Upeti berupa papan tersebut diangkut
melalui laut dengan menggunakan perahu. Namun, ketika mereka telah hampir sampai
di teluk, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang. Selang beberapa saat kemudian,
gelombang laut yang amat dahsyat menerjang perahu yang mereka tumpangi. Seluruh
penumpang perahu menjadi sangat panik.
“Ayo, cepat dayung perahunya ke teluk!” teriak Panglima Sendong.
Mendengar seruan itu, para pendayung pun segera mengayuh perahu mereka dengan
cepat. Namun, semuanya sudah terlambat. Sebelum perahu itu mencapai teluk,
gelombang laut yang semakin besar menabrak bagian lambung perahu. Air laut pun
masuk dan memenuhi seluruh bagian perahu. Tak ayal, perahu yang dipenuhi papan
kayu itu pun terbalik.
Perahu yang sudah hampir tenggelam itu kemudian terbawa gelombang laut dan
akhirnya terhempas ke sebuah karang di sekitar teluk sehingga pecah
berantakan. Tokong (galah) para pendayung pun patah. Papan kayu yang memenuhi
perahu itu sebagian hanyut ke laut dan sebagian yang lain terdampar di tepi teluk.
Sementara itu, tak seorangpun dari penumpang perahu selamat, termasuk Panglima
Sendong.
Putri Aji Tatin dan suaminya amat bersedih atas musibah yang menimpa panglima dan
orang-orang kepercayaannya. Untuk mengenang peristiwa tersebut, maka wilayah
teluk tempat perahu itu terbalik dinamakan Balikpapan, yaitu dari kata balik dan papan.
Sementara itu, karang tempat terhempasnya perahu itu semakin lama semakin besar
sehingga menjadi sebuah pulau. Hingga kini, pulau itu disebut Pulau Tukung yang
berasal dari kata tokong, yaitu tokong para awak perahu yang patah akibat terhempas
di karang.
LEGENDA DANAU KEMBAR SUMATERA BARAT
Danau Kembar ini berada di Kawasan Danau Kembar yang letaknya ada di Kecamatan
Lembang Jaya dan Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera
Barat. Jaraknya sekitar 60 kilometer dari pusat kota Padang atau sekitar 50 kilometer
dari pusat kota Solok.
Ada sebuah cerita yang turun temurun di sampaikan mengenai Legenda terbentuknya
Danau Kembar ini, berikut dibawah ini ceritanya.
Di zaman dahulu kala ada seorang niniak (Orang yang Sudah Tua) yang bernama
Niniak Gadang Bahan yang kerjanya adalah Maarik kayu (membuat papan/tonggak).
Niniak ini sangat unik, badannya besar tinggi dan bahannya sebesar Nyiru. Bahan yang
dimaksud di sini adalah beliungnya/kampak (alat untuk menebang kayu dan membuat
papan). Nyiru adalah tempat menempis beras yang lebarnya kira-kira 50cmx80cm.
Setiap berangkat ke hutan niniak ini tidak lupa membawa beliungnya.
Niniak ini makannya hanya sekali seminggu, tapi sekali makan 1 gantang. Untuk
mendapatkan kayu/papan yang bagus dia harus naik gunung/hutan. Setelah beberapa
hari dalam hutan dia akan pulang dengan membawa beberapa helai papan/tonggak
yang telah jadi dan membawa ke pasar untuk di jual. Dari hasil penjualan
papan/tonggak inilah dia menghidupkan keluarganya.
Pada suatu hari ketika niniak ini berangkat ke hutan, di tengah hutan tempat dia bisa
lewat tertutup. Niniak ini kaget, kenapa ada makhluk yang menghambat jalannya.
Makhluk ini sangat besar sehingga menutup pemandangannya. Niniak berusaha untuk
mengusirnya tapi makhluk ini tidak bergeming, malah balik menyerang. Ternyata
makhluk ini adalah seekor ular naga yang besar. Tidak bisa disangkal lagi darah pituah
niniak moyang langsung mengalir ke seluruh tubuh niniak, katanya: “Lawan tidak di
cari, kalau bertemu pantang mengelak”.
Terjadilah perkelahian antara naga dan niniak gadang bahan. Naga melakukan
penyerangan, Niniak Gadang Bahan tidak tinggal diam. Seluruh kemampuan yang
dimiliki oleh niniak gadang Bahan di keluarkan. Beliung yang berada di tangan Niniak
gadang Bahan bereaksi, dan memang Niniak Gadang Bahan sangat ahli
memainkannya, tentu jurus-jurus silat yang sudah mendarah mendaging oleh Niniak
Gadang Bahan tak lupa dikeluarkan.
Akhirnya Naga betekuk lutut dan menyerah. Naga kehabisan darah karena sabetan
beliaung Niniak Gadang Bahan. Kepala Naga Nyaris putus, darah mengalir dengan
deras. Angku Niniak Gadang Bahan menarik naga itu dan melempar dengan sekuat
tenaga dan sampai ke sebuah lembah.
Setelah berlangsung beberapa lama Angku Niniak Gadang Bahan mendatangi lembah
tempat naga dilemparkan. Ternyata Niniak Gadang Bahan kaget, naga tersebut
ternyata tidak mati, dia malah melambangkan badannya dengan posisi membentuk
angka delapan, darah dari kepala ular tetap mengalir sehingga memerahkan daerah
tersebut.
Sehingga daerah ini menjadi tempat kunjungan yang manarik bagi Angku, dan juga
orang-orang yang ada di sekitar itu. Tapi apa yang terjadi, lama-lama badan ular ini
mulai tertimbun oleh tanah, dan diantara dua lingkaran ular itu tergenanglah air yang
membentuk dua danau kecil. Lama kelamaan danau ini terus semakin besar, sehingga
terbentuklah dua bawah Danau yang besar dan indah.
Menurut cerita yang diterima itupulalah terbentuk dua nama daerah. Pertama adalah
Lembah Gumanti, yang berasal dari kata “lembah nago nan mati” yaitu sekarang
menjadi nama Kecamatan dari tempat kedua Danau ini. Kemudian ada juga yang
mengartikan “Lembah Nago nan Sakti”. Yang kedua adalah sebuah daerah yang
bernama “Aia Sirah” (Air Merah). Di daerah ini terkenal dengan airnya yang merah.
Konon ceritanya penyebab dari air di daerah itu merah adalah darah yang terus keluar
dari kepala naga, karena sampai sekarang Naga tersebut masih hidup dan masih
mengeluarkan darah.
LEGENDA AWANG SUKMA DAN TELAGA BIDADARI
Di pinggir hutan yang lebat, di pematang dirindungi pepohonan yang lebat dan rindang,
terdapat sebuah telaga kecil yang tak seberapa dalam. Air nya jernih dan bening,
meskipun musim kemarau tak pernah kering sekalipun.
Di dekat telaga itu tinggallah seorang lelaki muda nan rupawan, Awang Sukma
namanya. la hidup seorang diri dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang
penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia
juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang
mendengarkannya.
Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama
bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.
 Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.
 “Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
 Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling
itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
 Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.
 Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka
bersembur-semburan air.
 “Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.
 Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.
 Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain
sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah
seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung
(tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam
kindai (lumbung tempat menyimpan padi).
 Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.
 Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat
itu, Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
 “Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”
 Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.
 Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan,
dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi
nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.
 Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja.
Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor
ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan
lumbung sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.
 Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di
bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu
isinya. Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.
 “Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.
 Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.
 “Aku harus kembali,” katanya dalam hati.
 Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong
putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-
puasnya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu
membuat Awang Sukma terjaga.
 Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.
 “Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia
merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas,
bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
 Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.
 Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai
Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.
 Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
KISAH AWAN GARANG PANGLIMA BERMATA SATU
Alkisah, beberapa abad yang lalu, di sebuah daerah di pesisir Riau, hiduplah seorang
pemuda miskin yang bernama Awang Garang. Kegiatan sehari-harinya menangkap
ikan di karang pantai. Sejak kecil, ia bercita-cita ingin menguasai laut. Untuk meraih
cita-citanya itu, ia rela menjadi tukang masak pada sebuah kapal layar, meskipun tidak
dibayar, agar dapat ikut berlayar mengarungi selat dan lautan di sekitar Kepulauan
Segantang Lada. Sifatnya yang rajin, membuat para Datuk dan Batin sayang kepada
Awang Garang. Ia bahkan dipercaya menjadi pembantu tukang kapal.
Suatu hari, Sultan Riau memerintahkan para Datuk dan Batin untuk
membuat penjajap.Pembuatan penjajap itu Sultan mempercayakannya kepada tujuh
Datuk dan Batin di Temiang, Moro Sulit, Sugi, Bulang, Pekaka, Sekanan, dan Mepar.
Tidak ketinggalan pula Awang Garang dalam kegiatan itu. Tempat pembuatannya
disepakati bersama di sebuah pulau antara Bulang Rempang dan Bintan.
Sudah tiga bulan pembuatan kapal itu berlangsung, namun tidak ada tanda-tanda kapal
itu akan berbentuk. Bahan kayu sudah berkali-kali diganti, dari kayu medang tanduk
berganti kayu medang tembaga, namun tetap juga tidak menampakkan hasil. Para
Datuk dan Batin mulai cemas. Mereka khawatir Sultan akan murka mendengar
kegagalan tersebut.
Di tengah rasa cemas itu, tiba-tiba Awang Garang angkat bicara. “Maaf, Tuan-tuan!
Sepengetahuan saya, pembuatan kapal perang itu harus memakai tiga jenis kayu
untuk satu kapal,” ucapan Awang Garang mengejutkan semua Datuk dan Batin. “Hai
Awang, janganlah asal bicara! Apakah kata-katamu itu dapat dipertanggungjawabkan?”
tanya seorang Datuk. “Apabila kata-katamu tidak terbukti, maka hukuman berat akan
kamu terima,” sambung seorang Batin dengan nada mengancam. “Baiklah, Tuan-tuan.
Akan saya buktikan bahwa perkataan saya benar,” kata Awang Garang dengan penuh
keyakinan.
Keesokan harinya, para tukang sibuk mempersiapkan tiga jenis kayu seperti yang
diusulkan oleh Awang Garang. Papan kapal mereka buat dari kayu medang sirai.
Kerangka dalam perahu yang berbentuk seperti gading, mereka buat dari kayu penaga.
Sementara lunas kapal itu mereka buat dari kayu keledang. Setelah tiga bulan,
pembuatan kapal itu tampak mendekati selesai. Sultan yang menerima kabar itu sangat
senang dan melipatgandakan pembayarannya. Tukang-tukang pun semakin giat
bekerja.
Pada suatu hari, ketika Awang Garang sedang mengawasi tukang yang sedang
memotong kayu, tiba-tiba tatal kayu terlempar dan mengenai mata kanannya. “Ya,
Allah, pecah bola mataku,” jerit Awang Gerang menahan sakit. Tanpa disadari, tiba-tiba
ia berkata dengan nada kesal, “Dasar kapal sial, kusumpah kapal ini tidak bisa
diturunkan ke laut!”
Mata kanannya yang buta itu ia tutupi dengan penutup mata berwarna hitam. Awang
Garang pun pergi meninggalkan pekerjaannya sebagai pembantu tukang penjajap. Ia
kembali ke desanya menjalani kehidupannya seperti semula yaitu menangkap ikan di
karang pantai.
Dua bulan setelah ditinggalkan Awang Garang, pembuatan penjajap itu pun selesai.
Akhirnya tibalah saatnya untuk diturunkan ke laut. Seluruh tukang telah dikerahkan
untuk menurunkannya ke laut, namun penjajap itu tidak bergeser sedikit pun.
Jangankan penjajap itu bergeser, bergerak pun tidak. Sementera Sultan telah bertitah
agar penjajap itu harus segera melaut untuk menumpas para lanun yang semakin
merajalela di perairan Riau. Para Datuk dan Batin mulai gelisah. Mereka khawatir
mendapat murka dari Sultan.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba seorang Batin berbicara, “Sebaiknya kita harus
memanggil Awang Garang. Ia pernah menyumpahi kapal itu sebelum meninggalkan
pulau ini beberapa bulan yang lalu. Barangkali ia memiliki cara lain untuk menurunkan
kapal itu ke laut.” Usulan Batin itu diterima oleh para Datuk dan Batin yang lainnya.
Maka, diutuslah salah seorang Datuk untuk mencari Awang Garang dan memintanya
datang ke pulau itu.
Sesampainya di rumah Awang Garang, Datuk itu mendapati Awang Garang sedang
duduk di depan pintu rumahnya. “Hai, Awang Garang! Bukankah telah engkau sumpahi
kapal itu agar tidak bisa melaut?” tanya Datuk kepada Awang Garang. “Kamu harus
menurunkan kapal itu. Kalau tidak, hukuman berat akan kamu terima!” tambah Datuk
mengancam.
 “Baiklah, Datuk! Saya bersedia menurunkan kapal itu, asalkan Datuk memenuhi
persyaratannya,” jawab Awang Garang tenang. “Ya, kami bersedia memenuhi apapun
persyaratan yang kamu minta,” kata Datuk dengan mantap tanpa bertanya terlebih
dahulu mengenai persyaratan yang akan diajukan Awang Garang.
Mendengar persetujuan dari Datuk, Awang Garang pun segera mengajukan
persyaratannya. “Dengar, Datuk! Saya mempunyai tiga persyaratan yaitu pertama,
berikan tiga puluh tujuh pemuda pembantu, lengkap dengan perkakasnya. Kedua,
semua Datuk dan Batin harus menyaksikan penurunan kapal itu dengan kedua mata
tertutup. Ketiga, siapkan tujuh wanita yang sedang mengandung anak sulung, dan
berpakaian tujuh warna. Tujuh wanita itu harus anak atau kerabat dari Datuk dan Batin
sendiri.”
Setelah mengetahui persyaratan yang diajukan Awang Garang, Datuk itu pun segera
melaporkannya kepada Datuk dan Batin lainnya. Oleh karena terdesak waktu dan takut
mendapat murka dari Sultan, para Datuk dan Batin pun bersedia menerima syarat-
syarat tersebut, meskipun mereka rasa sangat janggal dan berat.
Setelah persyaratan dilengkapi, maka pada saat purnama, ketika air laut pasang,
semua hadirin telah datang dan ditutup kedua mata mereka dengan kain. Kemudian
Awang Garang membisiki tiga puluh tujuh pemuda tersebut untuk melakukan sesuatu
yang tidak diketahui oleh para Datuk dan Batin. Menjelang malam tiba, terdengar bunyi
peralatan berlepuk-lepuk diiringi jerit dan raung tujuh wanita yang mengandung sulung
tersebut. “Tolooong… ! Jangan lindas perut kami! Tolooong…!” tangis para wanita itu.
Para Datuk dan Batin yang tertutup matanya menjadi cemas, ngeri dan gelisah
mendengar suara tangis tersebut.
Di tengah suasana gaduh itu, tiba-tiba Awang Garang berteriak lantang, “Semua pergi
ke lambung kapal… Siaaap! Dorooong!” pekik Awang Garang. “Rrr… Rrr…,” suara
lunas kapal bergeser. “Kwaaak…! Kwaaak…! Kwaaak!” terdengar tangis bayi.
“Byuuur…,” terdengar suara kapal tercebur ke laut.
Para Datuk dan Batin yang masih tertutup matanya merasa penasaran ingin
menyaksikan apa sebenarnya yang terjadi. Maka dibukanya tutup mata mereka. “Oh,
rupanya Awang Garang memakai pohon yang dikupas kulitnya. Pakai galang kayu licin.
Rupanya harus pakai galang,” kata para Datuk dan Batin bergantian.
Sementara ketujuh wanita yang mengandung sulung tersebut melahirkan anak-anak
mereka dengan selamat. Mereka tidak digilas kapal seperti perkiraan para Datuk dan
Batin, melainkan hanya dibaringkan di dalam lubang yang digali di bawah kapal.
Konon, delapan belas tahun kemudian, ketujuh bayi tersebut menjadi panglima
penumpas lanun yang berkeliaran di perairan Riau. Mereka diberi gelar sesuai dengan
warna pakaian ibu mereka pada saat melahirkan, yaitu Panglima Awang Merah,
Panglima Awang Jingga, Panglima Awang Kuning, Panglima Awang Ungu, Panglima
Awang Hijau, Panglima Awang Biru, dan Panglima Awang Nila.
Di bawah pimpinan Awang Garang yang bergelar Panglima Hitam Elang di Laut
Bermata Satu, ketujuh panglima tersebut menjadi satu kekuatan dalam menumpas
para lanun. Sejak saat itu, tidak ada lagi lanun yang berani berkeliaran di perairan Riau.
LEGENDA TERBENTUKNYA DANAU SINGKARAK
Danau Singkarak dengan luas 107,8 m2 merupakan danau terluas kedua setelah
Danau Toba di Pulau Sumatra, Indonesia. Danau yang berada di ketinggian 36,5 meter
dari permukaan laut ini terletak di dua kabupaten di Provinsi Sumatra Barat, yaitu
Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar.  Jika para wisatawan yang ingin
menikmati keindahan panorama Danau ini, ada beberapa titik yang perlu di singgahi
yakni di Daerah Kenagarian Kacang, Paninggahan, Malalo dan Pitalah.
Menurut penduduk setempat ada sebuah cerita yang turun temurun di”kaba” kan
tentang asal mula terbentuk nya Danau Singkarak. Bagaimana terbentuk nya Danau
Singkarak? Kita simak dibawah ini mengenai Legenda Terbentuknya Danau Singkarak
Pada zaham dahulu kala, di sebuah taratak kecil di nagari Minangkabau, menetaplah
keluarga Pak Buyung. Pak Buyung tinggal di sebuah gubuk kecil di pinggir sawah
bersama istri dan seorang putra. Putra pak Buyung masih kecil , Ia bernama Indra.
Sehari-harinya, Pak Buyung bersama istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan
menangkap ikan.
Indra sering membantu kedua orang tuanya ke hutan maupun ke laut. Hal ini membuat
bangga kedua orang tuanya. Namun, ada hal yang membuat mereka risau. Dalam
sekali makan, Indra dapat menghabiskan setengah bakul nasi dengan lauk beberapa
piring.
Suatu ketika, musim paceklik datang. Keluarga Pak Buyung pun harus berhemat. Jika
tidak ada nasi, mereka makan ubi atau yang lain. Kesulitan mendapatkan makanan
membuat mereka hampir berputus asa.
“Ayah, aku sangat lapar,” keluh Indra.
“Kalau lapar, carilah makanan ke hutan atau ke laut!” seru sang Ayah. “Kamu memang
masih anak-anak, tapi makanmu banyak.”
Sang Ibu pun membujuk Indra agar berangkat ke Bukit Junjung Sirih untuk mencari
hasil hutan di Bukit. Indra menurut. Sebelum berangkat, ia memberi makan ayam
piaraannya yang bernama Taduang. Taduang adalah seekor ayam yang pandai. Setiap
Indra pulang, Taduang selalu berkokok menyambut kedatangan tuannya.
Menjelang siang, Indra pulang tanpa membawa hasil. Setelah beristirahat, ia pergi ke
laut untuk mencari ikan. Tak lama setelah itu, sang Ibu juga berangkat ke sebuah
Tanjung, agak jauh dari tempat India mencari ikan.
Sore hari, sang Ibu pulang membawa banyak kerang. Kemudian, kerang itu diolah
menjadi makanan.
“Wah, harum sekali aromanya,” puji sang Ayah. “Bu, apakah kerang ini cukup untuk
kita makan bertiga? Indra kan makannya banyak.”
“Apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya sang Ibu.
“Bagaimana kalau kita makan diam-diam?” saran sang Ayah. Sang Ibu pun
mengangguk. Lalu, keduanya menyantap kerang itu dengan lahapnya.
Menjelang malam, Indra pulang. Indra sangat kelaparan. Begitu masuk, ia menuju
dapur. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kedua orang tuanya tertidur pulas di ruang
dapur. Di sekeliling mereka berserakan piring makan, bakul nasi, dan kulit kerang.
Alangkah sedihnya hati Indra menyaksikan semua itu. Ia pun berjalan keluar dari
gubuknya sambil menangis. Melihat kesedihan Indra, Taduang pun berkokok berkali-
kali, lalu mengepak-ngepakkan sayapnya. Beberapa saat kemudian, Taduang terbang
ke udara. Indra segera berpegangan pada kaki Taduang. Saat tubuh India terangkat,
batu ternpat Indra duduk ikut terangkat dan membesar. Kemudian, batu itu melesat dan
menghantam salah satu bukit di sekitar laut. Hantaman itu membentuk lubang
memanjang. Dengan cepat, air laut mengisi lubang itu sehingga membentuk aliran
sungai.
Konon, itulah yang menjadi asal mula Sungai Batang Ombilin. Semakin lama, air laut
semakin menyusut dan berubah menjadi Danau Singkarak.
Legenda Asal Mula Desa Trunyan, Kedisan dan Abang Dukung

Alkisah, Raja Solo yang bertahta di Keraton Surakarta mempunyai empat orang anak,
tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang paling bungsu. Suatu hari, tiba-
tiba mereka mencium bau harum yang sangat menyengat.
“Hai, bau harum apa itu?” tanya Pangeran Sulung, “Apakah kalian menciumnya juga?
“Iya, Kanda. Bau harum itu amat menyengat,” jawab ketiga adiknya serentak.
Keempat bersaudara itu pun mencari sumber bau harum yang menyengat tersebut.
“Sepertinya bau harum itu berasal dari arah timur, Kanda,” ujar si Putri Bungsu.
“Iya, kamu benar, Adikku,” Kakak sulungnya mengiyakan.
Keempat bersaudara itu amat penasaran dan tertarik pada bau harum itu. Akhirnya,
mereka pun bersepakat untuk mencari sumbernya. Setelah menyiapkan segala
keperluan dan mendapat izin dari sang Ayah, mereka pun mengadakan perjalanan
menuju ke arah timur. Semakin jauh mereka ke timur, bau harum itu kian menyengat.
Setelah berbulan-bulan berjalan dengan menyusuri hutan lebat, menyeberangi sungai,
dan Selat Bali, akhirnya mereka tiba di Pulau Bali. Kemudian mereka melanjutkan
perjalanan hingga ke perbatasan Pulau Bali di sebelah timur, yaitu perbatasan antara
Desa Ciluk Karangasem dan Tepi yang terletak di dekat Buleleng. Setiba di kaki
Gunung Batur sebelah selatan, si Putri Bungsu tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Ada, adinda? Mengapa berhenti?” tanya Pangeran Sulung.
“Adinda tertarik pada tempat ini, Kanda. Jika diperkenankan, izinkanlah Adinda tinggal
di tempat ini,” pinta si Putri Bungsu.
Permintaan Putri Bungsu pun disetejui oleh ketiga kakaknya. Sejak itulah, Putri Bungsu
dari Kerajaan Surakarta itu berdiam di tempat tersebut. Namun, ia kemudian pindah ke
lereng Gunung Batur sebelah timur, tempat Pura Batur berdiri. Selanjutnya, sang Putri
diberi gelar Ratu Ayu Mas Maketeg.
Sementara itu, ketiga kakak Putri Bungsu kembali melanjutkan perjalanan. Saat tiba di
suatu dataran bernama Kedisan yang terletak di sebelah barat daya Danau Batur,
mereka mendengar suara burung yang amat merdu. Saking senangnya, Pangeran
Ketiga berteriak kegirangan. Namun, Pangeran Sulung tidak senang mendengar
kelakuan adiknya itu.
“Hai, Adikku! Jika kamu senang dengan tempat ini, maka tinggallah kamu di sini,” seru
Pangeran Sulung.
“Tidak, Kanda. Adik mau ikut kalian,” tolak sang Adik.
Akan tetapi, Pangeran Sulung sudah terlanjur murka. Maka, ia pun menendang adiknya
hingga terjatuh dalam keadaan posisi duduk bersila dan berubah menjadi patung.
Hingga saat ini, patung batu Bathara (Dewa) itu itu masih dapat kita temukan di
Kedisan dengan posisi duduk bersila. Patung Bathara yang merupakan penjelmaan
Pangeran Ketiga Raja Solo itu diberi gelar Ratu Sakti Sang Hyang Jero dan kini sedang
bersemayam (melinggih) di Meru Tumpang Pitu atau bangunan suci dalam pura yang
beratap tujuh tingkat di Pura Dalam Pingit, di Desa Kedisan.
Tinggal dua orang pangeran yang tersisa dalam perjalanan itu, yaitu Pangeran Sulung
dan Pangeran Kedua. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan menyusuri
tepi Danau Batur sebelah timur. Ketika sampai di sebuah dataran, mereka bertemu dua
gadis cantik. Oleh karena tertarik pada gadis-gadis itu, Pangeran Kedua pun menyapa
mereka. Namun, Pangeran Sulung tidak menyukai tindakan adiknya itu.
“Hai, Adikku! Jika kamu senang pada gadis itu, tinggallah kamu di sini!” seru Pangeran
Sulung.
“Tidak, Kanda. Dinda ingin bersama Kanda,” jawab Pangeran Kedua.
Sekal lagi, Pangeran Sulung sudah terlanjur naik pitam kepada adiknya. Pangeran
Sulung kemudian menyepak adiknya hingga jatuh dalam keadaan tertelungkup. Konon,
Pangeran Kedua itu kemudian menjadi kepala desa dan desa itu dinamakan Desa
Abang Dukuh. Disebut Abang karena tempat itu merupakan bagian dari Desa Abang,
dan dinamakan dukuh karena berasal dari kata telungkup yang dalam bahasa
setempat disebut dengan istilah dukuh.
Pangeran Sulung melanjutkan perjalanan seorang diri untuk mencari sumber bau
harum itu. Ia kembali menyusuri pinggir Danau Batur yang curam di sebelah timur.
Setiba di sebuah dataran, ia mendapati seorang dewi yang cantik jelita sedang duduk
sendirian di bawah pohon Taru Menyan. Pangeran Sulung rupanya amat terpesona
pada kecantikan sang Dewi dan berniat untuk melamarnya. Ketika ia menghampiri dewi
itu, bau harum yang berasal dari pohon Taru Menyan itu semakin menusuk hidungnya.
“Oh, rupanya pohon inilah sumber bau harum itu,” gumam Pangeran Sulung.
Pangeran Sulung pun semakin mantap untuk melamar dewi itu. Lamaran itu ia
sampaikan kepada kakak sang Dewi.
“Baiklah. Engkau boleh menjadi suami adikku, tapi dengan satu syarat,” kata kakak
sang Dewi.
“Apakah syarat itu?” tanya Pangeran Sulung ingin tahu.
“Engkau harus menjadi pancer jagat (pasak dunia) atau pemimpin desa, ” kata kakak si
Dewi.
“Baiklah, syarat itu saya terima,” kata Pangeran Sulung.
Akhirnya, pesta perkawinan Pangeran Sulung dan sang Dewi dilangsungkan dengan
meriah. Setelah itu, Pangeran Sulung dinobatkan sebagai pemimpin desa yang dikenal
dengan nama Desa Trunyan. Nama desa itu diambil dari nama pohon Taru
Menyan. Taru berarti pohon danmenyan berarti harum.
Kemudian, setelah menjadi suami sang Dewi, Pangeran Sulung diberi gelar Ratu Sakti
Pancering Jagat, sedangkan istrinya bergelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Ratu Sakti
Pancering Jagat kemudian menjadi dewa tertinggi orang Trunyan, sedangkan istrinya
menjadi Dewi Danau Batur yang hingga kini dipercaya sebagai penguasa danau
tersebut.
Sejak itulah, Ratu Sakti Pancering Jagat dibantu sang istri memimpin Desa Trunyan
dengan arif dan bijaksana. Lama-kelamaan, desa itu pun berkembang menjadi
kerajaan kecil. Sebagai raja yang arif dan bijaksana, Ratu Sakti Pancering Jagat
menginginkan negeri dan seluruh rakyatnya hidup aman dan tenteram serta terhindar
dari serangan luar. Oleh karena itulah, ia pun memerintahkan seluruh rakyat untuk
menghilangkan bau semerbak itu.
“Wahai, seluruh rakyatku! Aku perintahkan kalian agar jenazah-jenazah orang Trunyan
tidak lagi dikuburkan, tetapi biarkan saja membusuk di bawah pohon Taru
Menyan sehingga bau harum itu tidak akan lagi mengundang kedatangan orang luar ke
negeri ini!” titah Ratu Sakti Pencering Jagat.
Sejak itulah, setiap ada penduduk Trunyan yang meninggal, jenazah mereka hanya
dibiarkan membusuk di atas tanah. Karena bau busuk itulah, Desa Trunyan tidak lagi
mengeluarkan bau harum. Demikian pulah sebaliknya, jenazah-jenazah penduduk
Trunyan itu juga tidak mengeluarkan bau busuk. Bau harum dan bau busuk tersebut
telah saling menetralisir.
LEGENDA ASAL USUL GUNUNG MERAPI
Gunung Merapi berada di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dan di beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah seperti Kabupaten Magelang,
Boyolali, dan Klaten. Menurut cerita masyarakat setempat, dahulu daerah yang kini
ditempati oleh Gunung Merapi masih berupa tanah datar. Oleh karena suatu keadaan
yang sangat mendesak, para dewa di Kahyangan bersepakat untuk memindahkan
Gunung Jamurdipa yang ada di Laut Selatan ke daerah tersebut. Namun setelah
dipindahkan, Gunung Jamurdipa yang semula hanya berupa gunung biasa (tidak aktif)
berubah menjadi gunung berapi. Apa yang menyebabkan Gunung Jamurdipa berubah
menjadi gunung berapi setelah dipindahkan ke daerah tersebut? Ikuti kisahnya dalam
cerita Asal Mula Gunung Merapi berikut ini!
Alkisah, Pulau Jawa adalah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia. Konon, pulau ini
pada masa lampau letaknya tidak rata atau miring. Oleh karena itu, para dewa di
Kahyangan bermaksud untuk membuat pulau tersebut tidak miring. Dalam sebuah
pertemuan, mereka kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah gunung yang
besar dan tinggi di tengah-tengah Pulau Jawa sebagai penyeimbang. Maka
disepakatilah untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang berada di Laut Selatan ke
sebuah daerah tanah datar yang terletak di perbatasan Kabupaten Sleman Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Boyolali, serta Klaten Provinsi
Jawa Tengah.
Sementara itu, di daerah di mana Gunung Jamurdipa akan ditempatkan terdapat dua
orang empu yang sedang membuat keris sakti. Mereka adalah Empu Rama dan Empu
Pamadi yang memiliki kesaktian yang tinggi. Oleh karena itu, para dewa terlebih dahulu
akan menasehati kedua empu tersebut agar segera pindah ke tempat lain sehingga
tidak tertindih oleh gunung yang akan ditempatkan di daerah itu. Raja para dewa,
Batara Guru pun segera mengutus Batara Narada dan Dewa Penyarikan beserta
sejumlah pengawal dari istana Kahyangan untuk membujuk kedua empu tersebut.
Setiba di tempat itu, utusan para dewa langsung menghampiri kedua empu tersebut
yang sedang sibuk menempa sebatang besi yang dicampur dengan bermacam-macam
logam. Betapa terkejutnya Batara Narada dan Dewa Penyarikan saat menyaksikan
cara Empu Rama dan Empu Pamadi membuat keris. Kedua Empu tersebut menempa
batangan besi membara tanpa menggunakan palu dan landasan logam, tetapi dengan
tangan dan paha mereka. Kepalan tangan mereka bagaikan palu baja yang sangat
keras. Setiap kali kepalan tangan mereka pukulkan pada batangan besi membara itu
terlihat percikan cahaya yang memancar.
“Maaf, Empu! Kami utusan para dewa ingin berbicara dengan Empu berdua,” sapa
Dewa Penyarikan.
Kedua empu tersebut segera menghentikan pekerjaannya dan kemudian
mempersilakan kedua utusan para dewa itu untuk duduk.
“Ada apa gerangan, Pukulun?[1] Ada yang dapat hamba bantu?” tanya Empu Rama.
“Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan permintaan para dewa kepada Empu,”
jawab Batara Narada.
“Apakah permintaan itu?” tanya Empu Pamadi penasaran, ”Semoga permintaan itu
dapat kami penuhi.”
Batara Narada pun menjelaskan permintaan para dewa kepada kedua empu tersebut.
Setelah mendengar penjelasan itu, keduanya hanya tertegun. Mereka merasa
permintaan para dewa itu sangatlah berat.
“Maafkan hamba, Pukulun! Hamba bukannya bermaksud untuk menolak permintaan
para dewa. Tapi, perlu Pukulun ketahui bahwa membuat keris sakti tidak boleh
dilakukan sembarangan, termasuk berpindah-pindah tempat,” jelas Empu Rama.
“Tapi Empu, keadaan ini sudah sangat mendesak. Jika Empu berdua tidak segera
pindah dari sini Pulau Jawa ini semakin lama akan bertambah miring,” kata Dewa
Penyarikan.
“Benar kata Dewa Penyarikan, Empu. Kami pun bersedia mencarikan tempat yang
lebih baik untuk Empu berdua,” bujuk Empu Narada.
Meskipun telah dijanjikan tempat yang lebih baik, kedua empu tersebut tetap tidak mau
pindah dari tempat itu.
“Maaf, Pukulun! Kami belum dapat memenuhi permintaan itu. Kalau kami berpindah
tempat, sementara pekerjaan ini belum selesai, maka keris yang sedang kami buat ini
tidak sebagus yang diharapkan. Lagi pula, masih banyak tanah datar yang lebih bagus
untuk menempatkan Gunung Jamurdipa itu,” kata Empu Pamadi.
Melihat keteguhan hati kedua empu tersebut, Empu Narada dan Dewa Penyaringan
mulai kehilangan kesabaran. Oleh karena mengemban amanat Batara Guru, mereka
terpaksa mengancam kedua empu tersebut agar segera pindah dari tempat itu.
“Wahai, Empu Rama dan Empu Pamadi! Jangan memaksa kami untuk mengusir kalian
dari tempat ini,” ujar Batara Narada.
Kedua empu tersebut tidak takut dengan acaman itu karena mereka merasa juga
sedang mengemban tugas yang harus diselesaikan. Oleh karena kedua belah pihak
tetap teguh pada pendirian masing-masing, akhirnya terjadilah perselisihan di antara
mereka. Kedua empu tersebut tetap tidak gentar meskipun yang mereka hadapi adalah
utusan para dewa. Dengan kesaktian yang dimiliki, mereka siap bertarung demi
mempertahankan tempat itu. Tak ayal, pertarungan sengit pun tak terhindarkan.
Meskipun dikeroyok oleh dua dewa beserta balatentaranya, kedua empu tersebut
berhasil memenangkan pertarungan itu.
Batara Narada dan Dewa Penyarikan yang kalah dalam pertarungan itu segera terbang
ke Kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru.
“Ampun, Batara Guru! Kami gagal membujuk kedua empu itu. Mereka sangat sakti
mandraguna,” lapor Batara Narada.
Mendengar laporan itu Batara Guru menjadi murka.
“Dasar memang keras kepala kedua empu itu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar
Batara Guru.
“Dewa Bayu, segeralah kamu tiup Gunung Jamurdipa itu!” seru Batara Guru.
Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu segera meniup gunung itu. Tiupan Dewa Bayu yang
bagaikan angin topan berhasil menerbangkan Jamurdipa hingga melayang-layang di
angkasa dan kemudian jatuh tepat di perapian kedua empu tersebut. Kedua empu
yang berada di tempat itu pun ikut tertindih oleh Gunung Jamurdipa hingga tewas
seketika. Menurut cerita, roh kedua empu tersebut kemudian menjadi penunggu
gunung itu. Sementara itu, perapian tempat keduanya membuat keris sakti berubah
menjadi kawah. Oleh karena kawah itu pada mulanya adalah sebuah perapian, maka
para dewa mengganti nama gunung itu menjadi Gunung Merapi.
Kisah Pengorbanan Putri Kemarau
Putri Jelitani adalah seorang putri raja di sebuah kerajaan di daerah Sumatra Selatan.
Suatu ketika, negeri sang Putri dilanda kemarau yang amat panjang. Keadaan yang
sulit itu baru akan pulih jika ada seorang gadis yang mau berkorban dengan mencebur
ke laut. Oleh karena tak seorang pun yang mau berkorban, maka dengan ikhlas sang
Putri rela melakukannya demi keselamatan rakyatnya dari bahaya kelaparan.
Bagaimana nasib Putri Kemarau selanjutnya? Simak kisahnya dalam
cerita Pengorbanan Putri Kemarau berikut ini!
***
Dahulu, di Sumatra Selatan ada seorang putri raja bernama Putri Jelitani. Namun, ia
akrab dipanggil Putri Kemarau karena dilahirkan pada musim kemarau. Ia merupakan
putri semata wayang sang Raja. Ibunda sang Putri baru saja wafat. Sebagai putri
tunggal, ia pun amat disayangi oleh ayahnya. Sementara itu, ayahnya adalah seorang
pemimpin yang arif dan bijaksana. Negeri dan rakyatnya pun hidup makmur dan
tenteram.
Suatu ketika, negeri itu dilanda kemarau yang sangat panjang. Sungai-sungai
kekeringan dan air danau pun menjadi surut. Padang rumput sudah hangus terbakar
terik matahari. Ternak-ternak warga banyak yang mati. Tanah menjadi kering dan
pecah-pecah sehingga hasil panen pun gagal. Warga banyak yang terserang penyakit
dan dilanda kelaparan. Melihat keadaan tersebut, sang Raja yang arif dan bijaksana itu
pun segera bertindak. Ia segera mencari peramal untuk mencari jalan keluar dari
kesulitan tersebut. Sudah banyak peramal yang ditemui, namun belum seorang pun
yang mampu memberinya jalan keluar.
Suatu hari, sang Raja mendengar kabar bahwa di suatu desa yang terpencil ada
seorang peramal yang terkenal sakti. Ia pun mendatangi peramal itu.
“Wahai, tukang ramal. Negeriku sedang dalam kesulitan. Tolong katakan bagaimana
caranya mengatasi masalah ini,” pinta sang Raja.
“Baginda, petunjuk mengenai jalan keluar dari kesulitan akan melalui mimpi putri
Baginda,” jawab peramal itu.
“Baiklah, kalau begitu. Hal ini akan kutanyakan langsung kepada putriku,” kata sang
Raja yang segera kembali ke istana.
Setiba di istana, sang Raja mendapati putrinya sedang duduk termenung seorang diri
di taman.
“Ayahanda baru saja menemui seorang juru ramal yang sakti,” kata sang Raja kepada
putrinya.
Mendengar itu, Putri Kemarau sontak menatap wajah ayahandanya.
“Apa kata juru ramal itu Ayahanda?” tanya Putri Kemarau.
“Menurut juru ramal itu bahwa petunjuk mengenai jalan keluar dari kesulitan ini akan
datang melalui mimpi Andanda. Apakah Ananda sudah bermimpi tentang hal itu?” sang
Raja balik bertanya.
“Belum, Ayahanda,” jawab Putri Kemarau, “Tapi, alangkah baiknya jika semua masalah
ini kita serahkan kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” lanjut sang Putri.
Alangkah terkejutnya sang Raja mendengar perkataan putrinya. Ia tidak pernah
mengira sebelumnya jika putri kesayangannya itu memiliki pemikiran yang cerdas. Ia
pun menyadari kekeliruannya selama ini.
“Benar juga katamu, Putriku. Perkataanmu itu membuat Ayanda sadar. Maafkan Ayah,
Putriku!” ucap raja yang bijaksana itu.
Putri Kemarau kemudian menyarankan kepada Ayandanya agar seluruh rakyat negeri
itu melakukan upacara berdoa bersama kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Maka, berkat
doa bersama tersebut, Putri Kemarau pun mendapat petunjuk melalui mimpinya.
Dalam mimpi itu, sang Putri didatangi oleh ibundanya.
“Wahai, Putriku. Kesulitan yang dialami negeri akan berubah jika ada seorang gadis
yang mau berkorban dengan menceburkan diri ke laut,” ujar ibu Putri Kemarau.
Begitu terjaga, sang Putri pun menceritakan perihal mimpi itu kepada ayahandanya.
Ternyata, sang Raja pun telah bermimpi mendapat bisikan gaib yang menyampaikan
pesan yang sama. Maka, pada esok harinya, sang Raja segera mengumpulkan seluruh
rakyatnya untuk menyampaikan pesan itu.
“Wahai, seluruh rakyatku. Ketahuilah bahwa negeri ini akan kembali makmur jika ada
seorang gadis yang dengan ikhlas mengorbankan dirinya mencebur ke dalam laut.
Siapakah di antara kalian yang ingin melakukannya demi kebaikan kita semua?” tanya
sang Raja di depan rakyatnya.
Tapi, tak seorang pun gadis yang berani mengajukan diri. Di tengah keheningan, tiba-
tiba Putri Kemarau yang duduk di samping ayahandanya bangkit dari tempat duduknya
lalu berkata.
“Ananda rela mengorbankan jiwa hamba dengan ikhlas demi kemakmuran rakyat
negeri ini,” kata Putri Kemarau dengan suara lantang.
Seketika seluruh yang hadir tersentak kaget, terutama sang Raja. Ia tidak ingin anak
semata wayangnya itu yang menjadi korbannya.
“Jangan, Putriku. Engkaulah satu-satunya milik Ayahanda. Engkaulah yang akan
meneruskan tahta kerajaan ini. Jangan lakukan itu, Putriku!” cegah sang Raja.
Namun, Putri Kemarau tetap pada pendiriannya. Keinginan sang Putri sudah tidak
dapat dibendung lagi.
“Lebih baik Ananda saja yang menjadi korban daripada seluruh rakyat negeri ini,” tegas
sang Putri, “Barangkali ini sudah menjadi takdir Ananda.”
Sang Raja pun tak kuasa menahan keinginan putrinya. Maka, pada malam harinya,
sang Putri dengan diantar oleh ayahanda dan seluruh rakyat pergi ke ujung tebing laut.
Sebelum terjun ke laut, ia berpesan kepada ayahanda dan rakyatnya.
“Ikhlaskan kepergian Ananda, maafkan semua kesalahan Ananda,” pinta sang Putri.
Sang Raja tak kuasa menahan rasa haru. Air matanya menetes membasahi kedua
pipinya. Namun, apa hendak dibuat, tak seorang pun yang sanggup menahan
keinginan putrinya. Putri Kemarau pun terjun ke laut. Bersamaan dengan terceburnya
tubuh sang Putri ke dalam air laut, langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar
dan hujan pun turun dengan lebatnya. Dalam waktu singkat, seluruh wilayah negeri itu
pun digenangi air. Tentu saja hal itu menjadi pertanda bahwa tumbuh-tumbuhan akan
kembali menghijau dan tanah menjadi subur.
Seluruh rakyat negeri itu dirundung rasa suka cita, terutama sang Raja. Di satu sisi,
negerinya akan kembali makmur, namu di sisi lain ia telah kehilangan putri yang amat
disayanginya. Demikian pula yang dirasakan oleh seluruh rakyatnya.
Hujan semakin deras. Sang Raja dan rakyatnya pun segera meninggalkan tebing laut
itu. Setiba di istana, raja itu langsung tertidur karena kelelahan. Betapa terkejutnya ia
karena tiba-tiba mendengar suara bisikan yang menyuruhnya kembali ke tebing laut.
“Segeralah kembali ke tebing laut. Temuilah putrimu di sana!” demikian pesan suara
itu.
Begitu terbangun, sang Raja bersama rakyatnya pun bergegas kembali ke tebing itu.
Sesampainya di sana, mereka mendapati Putri Kemarau berdiri di atas sebuah karang
di tengah laut dengan membawa penerangan dan harapan baru. Rupanya, sang Putri
diselamatkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa karena keikhlasannya berkorban demi
kepentingan orang banyak. Namun ajaibnya, semula tidak ada batu karang di tengah
laut itu.
“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah menyelamatkan putriku,” ucap sang Raja.
Usai berucap syukur, raja itu segera memerintahkan pengawalnya untuk menjemput
sang Putri dan membawanya kembali ke istana. Beberapa tahun kemudian, sang Raja
akhirnya menyerahkan kekuasaannya kepada putrinya. Sejak itulah, Putri Kemarau
menjadi ratu di negeri tersebut. Ia memerintah dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya
pun hidup makmur dan sejahtera.
ASAL MULA ANAK SUNGAI MAHAKAM
Dahulu, di sekitar hulu Sungai Mahakam, terdapat sebuah pondok besar yang dihuni
oleh tiga orang bersaudara. Saudara tertua seorang gadis bernama Siluq, saudara
kedua bernama Ayus, serta yang paling bungsu bernama Ongo. Mereka memiliki tabiat
dan keahlian yang berbeda-beda, kecuali si bungsu yang masih kecil. Siluq adalah
gadis yang gemar melakukan bebelian (ritual adat) dan bedewa (memuja dewa) untuk
mencari kesaktian. Hampir setiap hari dan malam hari gadis itu bersemedi sehingga
terkadang lupa makan dan minum.

Sementara itu, Ayus adalah seorang remaja lelaki yang ceroboh dan suka mencampuri
urusan kakaknya. Ayus memiliki badan yang besar dan kuat. Pohon besar dapat
dengan mudah dicabutnya. Langkah kakinya juga sangat panjang sehingga ia dapat
berlari secepat angin. Sedangkan si Bungsu yang masih berumur belasan tahun tidak
memiliki keahlian apa-apa kecuali makan dan tidur.

Suatu malam, Ayus dan Ongo tidak dapat tidur karena tilam (kasur) dan bantal mereka
basah. Malam itu, hujan lebat turun semalam suntuk sehingga menyebabkan atap
rumah mereka bocor, air hujan pun menerobos masuk ke dalam pondok mereka. Siluq
tidak merasakan datangnya hujan karena sedang khusyuk bebelian dan bedewa.

Pagi harinya, Ayus dan Ongo bermaksud ke hutan untuk mencari daun serdang untuk
mengganti atap rumah mereka yang rusak. Saat itu, Siluq tampak
masih bebelian dan bedewa. Sebenarnya, Ayus merasa kesal melihat kelakukan
kakaknya yang seolah-olah tidak menghiraukan keadaan rumah mereka.

“Kak Siluq, hari sudah siang!” seru Ayus, “Aku dan Ongo hendak ke hutan mencari
daun serdang. Setelah selesai bebelian, kakak yang nanti memasak untuk makan
siang!”

Mendengar suara adiknya, Siluq pun terkejut dan tersadar dari semedinya. Ia merasa
amat kecewa karena semedinya belum selesai tapi sudah dibangunkan oleh adiknya.

“Baiklah, aku nanti yang memasak,” jawab Siluq yang kemudian berpesan kepada
kedua adiknya, “Sepulang dari hutan, jangan sekali-kali kalian membuka tutup periuk.
Cukup kalian tambahkan kayu bakar jika memang apinya mulai kecil.”

“Baik, Kak,” jawab Ayus dan Ongo serempak.

Ketika Ayus dan Ongo berangkat ke hutan, Siluq segera mengambil beberapa lembar
daun padi untuk dimasak. Setelah dibersihkan, daun padi itu ia masukkan ke dalam
periuk yang sudah diisi air. Setelah itu, ia kembali melanjutkan semedinya dan berdoa
kepada dewa agar daun padi yang dimasak itu berubah menjadi nasi.

Menjelang siang, Ayus dan Ongo sudah kembali dari hutan dengan membawa daun
serdang. Mereka terlihat sangat lelah dan lapar. Ayus pun langsung masuk ke dapur.
Alangkah kecewanya ia saat melihat periuk nasi masih terjerang di atas tungku.

“Kenapa pancinya masih di atas tungku? Jangan-jangan nasinya belum matang,”


gumam Ayus.

Ayus penasaran ingin mengetahui isi panci itu. Maka, ia pun segera membuka penutup
panci tersebut. Betapa terkejutnya ia tatkala melihat panci itu yang di dalamnya hanya
terdapat beberapa lembar daun padi dan sebagian lainnya berupa nasi. Takut
ketahuan oleh kakaknya, ia cepat-cepat menutup kembali panci itu.
Sementara itu, Siluq baru saja selesai bebelian. Ia kemudian menuju ke dapur untuk
memastikan apakah nasinya sudah tanak atau belum. Begitu ia membuka penutup
panci itu, dilihatnya masih ada beberapa lembar daun padi yang tersisa.

“Hai, bukankah seharusnya nasi ini sudah matang semua? Tapi, kenapa masih ada
beberapa lembar daun padi yang tersisa?” gumam Siluq dengan heran, “Ini pasti
perbuatan Ayus. Anak itu telah melanggar pesanku.”

Siluq terlihat sangat marah. Karena perilaku adiknya itu, kini kesaktiannya memasak
daun padi menjadi nasi telah hilang. Dengan kesal, ia segera menghampiri Ayus yang
sedang duduk beristirahat di samping pondok mereka.

“Hai, Ayus. Kamu telah melanggar pesanku. Tidak ada lagi gunanya kita tinggal
bersama. Lebih baik aku pergi dari sini. Aku akan tinggal di dekat pusat air. Di sana aku
dapat bebas bebelian dan bedewa tanpa ada yang mengganggu,” kata Siluq.

Usai berkata demikian, Siluq segera mengemas pakaiannya. Sebelum pergi, ia


membawa ayam jantan sakti kesayangannya. Siluq kemudian menyusuri sungai
menuju hilir dengan menggunakan rakit. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada adik-
adiknya.

“Aku harus pergi sekarang. Jagalah diri kalian baik-baik,” ujar Siluq.

Ayus terdiam. Ia merasa amat menyesal atas perilakunya sendiri yang menyebabkan
kakaknya pergi. Ketika melihat rakit yang ditumpangi Siluq melaju di atas aliran sungai
yang deras, cepat-cepatlah ia berlari hendak menghalangi kakaknya. Dengan
kecepatan lari yang luar biasa, ia dapat mendahului kakaknya jauh di depan. Ayus
kemudian mengambil batu-batu besar dan melemparkannya ke tengah Sungai
Mahakam sehingga terbentuklah bendungan. Rakit yang ditumpangi Siluq pun mulai
melambat. Ketika Siluq tiba di dekat bendungan itu, ia memberintahkan jantan saktinya
berkokok.

“Berkoteklah, ayamku!” seru Siluq.

Ayam jantan itu pun berkokok. Suara kokok ayam sakti itu pun seketika
menghancurkan bendungan yang dibuat Ayus. Suliq dengan rakitnya pun kembali
melaju menuju ke hilir. Ayus tidak mau kalah, ia berlari kencang mendahului kakaknya
dan membuat bendungan lagi. Ketika ayam jantan milik kakaknya berkokok,
bendungan itu kembali hancur berkeping-keping. Demikian hal tersebut terjadi
berulang-ulang sehingga Siluq dengan rakitnya tetap mampu menghilir karena
kesaktian suara kokok ayamnya. Menurut cerita, bekas-bekas bendungan tersebut kini
menjadi keham atau jeram di hulu Sungai Mahakam.

Sementara itu, rakit yang tumpangi Siluq terus melaju hingga akhirnya tiba di muara
Sungai Mahakam. Ayus tidak mampu lagi membuat bendungan karena tidak ada lagi
batu-batu besar di daerah itu. Dengan kekuatannya, ia menambak kuala sungai
dengan mengambil lumpurnya dan mencabut nipah-nipah yang tumbuh di pinggir
sungai. Nipah-nipah tersebut kemudian ditanam pada tambak buatannya sehingga
terbentuklah hutan nipah. Setelah itu, Ayus menunggu rakit Siluq melewati tempat itu.

Tak berapa Ayus menunggu, dari kejauhan tampaklah rakit Siluq sedang melaju ke
hilir. Ketika rakit itu hendak melewati hutan nipah buatan Ayus, ayam jantan Siluq
berkokok. Tak ayal, hutan nipah itu pun hancur sehingga terbentuklah aliran-aliran
sungai yang kini bernama Kuala Bayur, Kuala Berau, dan sejumlah delta di Kuala
Mahakam.

Sebelum melanjutkan perjalanan menuju ke laut lepas, Siluq berpesan kepada Ayus.
“Ayus, tolong jangan lagi kau halang-halangi jalanku. Biarkanlah aku mendekatkan diri
kepada Sang Hyang Dewata di pusat air,” pinta Siluq, “Aku
akan bebelian dan bedewa untuk menenteramkan jiwa. Dari sana, aku akan menjaga
kamu dan Ongo.”

Usai berpesan, Suliq dan rakitnya tiba-tiba menghilang dan muncul kembali di pusat
air. Alangkah terkejutnya Ayus saat menyaksikan peristiwa itu. Ia benar-benar tak
kuasa menahan kepergian kakaknya. Ia pun merasa menyesal karena telah melanggar
janjinya.
KISAH RARA MENDUT
Dahulu, di pesisir pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di daerah Pati, Jawa Tengah, tersebutlah
sebuah desa nelayan bernama Teluk Cikal. Desa itu termasuk ke dalam wilayah Kadipaten Pati
yang diperintah oleh Adipati Pragolo II. Kadipaten Pati sendiri merupakan salah satu wilayah
taklukan dari Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung.
Di Teluk Cikal, hidup seorang gadis anak nelayan bernama Rara Mendut. Ia seorang gadis
yang cantik dan rupawan. Rara Mendut juga dikenal sebagai seorang gadis yang teguh
pendirian. Ia tidak sungkan-sungkan menolak para lelaki yang datang melamarnya sebab ia
sudah memiliki calon suami, yakni seorang pemuda desa yang tampan bernama Pranacitra,
putra Nyai Singabarong, seorang saudagar kaya-raya.
Suatu hari, berita tentang kecantikan dan kemolekan Rara Mendut terdengar oleh Adipati
Pragolo II. Penguasa Kadipaten Pati itu pun bermaksud menjadikannya sebagai selir. Sudah
berkali-kali ia membujuknya, namun Rara Mendut tetap menolak. Merasa dikecewakan, Adipati
Pragolo II mengutus beberapa pengawalnya untuk menculik Rara Mendut.
Hari itu, ketika Rara Mendut sedang asyik menjemur ikan di pantai seorang diri, datanglah
utusan Adipati Progolo.
“Ayo gadis cantik, ikut kami ke keraton!” seru para pengawal itu sambil menarik kedua tangan
Rara Mendut dengan kasar.
“Lepaskan, aku!” teriak Rara Mendut sambil meronta-ronta, “Aku tidak mau menjadi selir
Adipati Pragolo. Aku sudah punya kekasih!”
Para pengawal itu tidak peduli dengan rengekan Rara Mendut. Mereka terus menyeret gadis itu
naik ke kuda lalu membawanya ke keraton. Sebagai calon selir, Rara Mendut dipingit di dalam
Puri Kadipaten Pati di bawah asuhan seorang dayang bernama Ni Semangka dengan dibantu
oleh seorang dayang yang lebih muda bernama Genduk Duku.
Sementara Rara Mendut dalam masa pingitan, di Kadipaten Pati sedang terjadi gejolak. Sultan
Agung menuding Adipati Pragolo II sebagai pemberontak karena tidak mau membayar upeti
kepada Kesultanan Mataram. Sultan Agung pun memimpin langsung penyerangan ke
Kadipaten Pati.
Menurut cerita, Sultan Agung tidak mampu melukai Adipati Pragolo II karena penguasa Pati itu
memakai kere waja (baju zirah) yang tidak mempan senjata apapun. Melihat hal itu, abdi
pemegang payung sang Sultan yang bernama Ki Nayadarma pun berkata,
“Ampun, Gusti Prabu. Perkenankanlah hamba yang menghadapi Adipati Pragolo!” pinta Ki
Nayadarma seraya memberi sembah.
“Baiklah, Abdiku. Gunakanlah tombak Baru Klinting ini!” ujar sang Sultan.
Berbekal tombak pusaka Baru Klinting, Ki Nayadarma langsung menyerang Adipati Pragolo II.
Namun, serangannya masih mampu ditepis oleh Adipati Pragolo II. Saat Adipati itu lengah, Ki
Nayadarma dengan cepat menikamkan pusaka Baru Klinting ke bagian tubuh sang Adipati
yang tidak terlindungi oleh baju zirah. Adipati Pragolo II pun tewas seketika.
Sementara itu, para prajurit yang dikomandani panglima perang Mataram, Tumenggung
Wiraguna, segera merampas harta kekayaan Kadipaten Pati, termasuk Rara Mendut.
Tumenggung Wiraguna langsung terpesona saat melihat kecantikan Rara Mendut. Ia pun
memboyong Rara Mendut ke Mataram untuk dijadikan selirnya.
Tumenggung Wiraguna berkali-kali membujuk Rara Mendut untuk dijadikan selir, namun selalu
ditolak. Bahkan, di hadapan panglima itu, ia berani terang-terangan menyatakan bahwa dirinya
telah memiliki kekasih bernama Pranacitra. Sikap Rara Mendut yang keras kepala itu membuat
Tumenggung Wiraguna murka.
“Baiklah, Rara Mendut. Jika kamu tidak ingin menjadi selirku, maka sebagai gantinya kamu
harus membayar pajak kepada Mataram!” ancam Tumenggung Wiraguna.
Rara Mendut tidak gentar mendengar ancaman itu. Ia lebih memilih membayar pajak daripada
harus menjadi selir Tumenggung Wiraguna. Oleh karena masih dalam pengawasan prajurit
Mataram, Rara Mendut kemudian meminta izin untuk berdagang rokok di pasar. Tumenggung
Wiraguna pun menyetujuinya. Ternyata, dagangan rokoknya laku keras, bahkan, orang juga
beramai-ramai membeli puntung rokok bekas isapan Rara Mendut.
Suatu hari, ketika sedang berjualan di pasar, Rara Mendut bertemu dengan Pranacitra yang
sengaja datang mencari kekasihnya itu. Pranacitra berusaha mencari jalan untuk bisa
melarikan Rara Mendut dari Mataram.
Setiba di istana, Rara Mendut menceritakan perihal pertemuannya dengan Pranacitra kepada
Putri Arumardi, salah seorang selir Wiraguna, dengan harapan dapat membantunya keluar dari
istana. Rara Mendut tahu persis bahwa Putri Arumardi tidak setuju jika Wiraguna menambah
selir lagi.
Putri Arumardi dan selir Wiraguna lainnya yang bernama Nyai Ajeng menyusun siasat untuk
mengeluarkan Rara Mendut ke luar dari istana. Bersama dengan Pranacitra, Rara Mendut
berusaha untuk kembali ke kampung halamannya di Kadipaten Pati.
Namun sungguh disayangkan, pelarian Rara Mendut dan Pranacitra diketahui oleh Wiraguna.
Pasangan ini akhirnya berhasil ditemukan oleh para prajurit Wiraguna. Rara Mendut pun
dibawa kembali ke Mataram, sedangkan secara diam-diam, Wiraguna memerintahkan abdi
kepercayaannya untuk menghabisi nyawa Pranacitra. Alhasil, kekasih Rara Mendut itu tewas
dan dikuburkan di sebuah hutan terpencil di Ceporan, Desa Gandhu, terletak kurang lebih 9
kilometer sebelah timur Kota Yogyakarta.
Sepeninggal Pranacitra, Tumenggung Wiraguna kembali membujuk Rara Mendut agar mau
menjadi selirnya. Namun, usahanya tetap sia-sia, gadis cantik itu tetap menolak. Sang
Panglima pun tidak kehabisan akal. Ia kemudian menceritakan perihal kematian Pranacitra
kepada Rara Mendut.
“Sudahlah, Rara Mendut. Percuma saja kamu menikah dengan Pranacitra,” ujar Tumenggung
Wiraguna.
“Apa maksud, Tuan?” tanya Rara Mendut mulai cemas.
“Pemuda yang kamu kasihi itu sudah tidak ada lagi,” jawab Tumenggung Wiraguna.
“Kanda Pranacitra sudah tidak ada? Ah, itu tidak mungkin terjadi. Aku baru saja bertemu
dengannya kemarin,” kata Rara Mendut tidak percaya.
“Jika kamu tidak percaya, ikutlah bersamaku, akan kutunjukkan kuburnya,” ujar Tumenggung
Wiraguna.
Rara Mendut pun menurut untuk membuktikan perkataan Tumenggung Wiraguna. Betapa
terkejutnya Rara Mendut begitu sampai di tempat Pranacitra dikuburkan. Ia berteriak histeris di
hadapan makam kekasihnya.
“Kanda, jangan tinggalkan Dinda!” tangis Rara Mendut.
“Sudahlah, Mendut! Tak ada lagi gunanya meratapi orang yang sudah mati,” ujar Wiraguna,
“Ayo, kita tinggalkan tempat ini!”
Rara Mendut pun bangkit lalu mengikuti Tumenggung Wiraguna sambil terus menangis. Belum
jauh mereka meninggalkan tempat pemakaman itu, Rara Mendut pun murka dan mengancam
akan melaporkan perbuatan Wiraguna kepada Raja Mataram, Sultan Agung.
“Tuan jahat sekali. Perbuatan Tuan akan kulaporkan kepada Raja Mataram agar mendapat
hukuman yang setimpal!” ancam Rara Mendut.
Seketika, Tumenggung Wiraguna menjadi sangat marah. Ia kemudian menarik tangan Rara
Mendut untuk dibawa pulang ke rumahnya. Namun, gadis itu menolak dan meronta-ronta untuk
melepaskan diri. Begitu tangannya terlepas, ia menarik keris milik Tumenggung Wiraguna yang
terselip di pinggangnya. Rara Mendut kemudian berlari menuju makam kekasihnya. Panglima
itu pun berusaha mengejarnya.
“Berhenti, Mendut!” teriaknya.
Setiba di makam Pranacitra, Rara Mendut bermaksud untuk bunuh diri.
“Jangan, Mendut! Jangan lakukan itu!” teriak Tumenggung Wiraguna yang baru saja sampai.
Namun, semuanya sudah terlambat. Rara Mendut telah menikam perutnya dengan keris yang
dibawanya. Tubuhnya pun langsung roboh dan tewas di samping makam kekasihnya. Melihat
peristiwa itu, Tumenggung Wiraguna merasa amat menyesal atas perbuatannya.
“Oh, Tuhan. Sekiranya aku tidak memaksanya menjadi selirku, tentu Rara Mendut tidak akan
nekad bunuh diri,” sesal Tumenggung Wiraguna.
Penyesalan itu tak ada gunanya karena semuanya sudah terjadi. Untuk menebus
kesalahannya, Tumenggung Wiraguna menguburkan Rara Mendut satu liang dengan
Pranacitra. Begitulah kisah perjuangan Rara Mendut dalam mempertahankan harga diri dan
kesetiaannya.
LEGENDA PUTRI PUKES DAN DANAU LAUT TAWAR
Alkisah di dataran tanah gayo, terdapat seorang putri cantik anak seorang raja yang
bernama Putri Pukes. Putri cantik ini menyukai seorang pangeran yang berasal dari
kerajaan lain. Awalnya, kedua orang tua putri pukes tidak merestuinya, disebabkan
asal pangeran ini yang bertempat tinggal jauh dari kediaman sang putri. Namun, berkat
kegigihan si putri pukes dan sang pangeran, akhirnya orang tua si putri pukes ini
merestui hubungan keduanya hingga pada akhirnya mereka berdua dinikahkan oleh
sang raja.
Setelah menikah, maka tibalah saatnya sang putri menyusul suaminya. Putri Pukes
pun pamit kepada kedua orang tuanya untuk pergi ke kerajaan suaminya. Tentunya
kedua orang tua sang putri pun dihinggapi rasa sedih, namun mereka harus melepas
anaknya itu pergi.
“Pergilah, Nak, bersama para pengawal. Namun, satu hal yang harus kau jaga, begitu
melangkahkan kaki keluar dari kerajaan ini, jangan sekalipun kamu menoleh lagi ke
belakang”, pesan orang tuanya.
Putri Pukes pun berangkat bersama para pengawalnya. Di tengah jalan, ia selalu
teringat akan orang tuanya dan sangat merindukan mereka. Karena ia terlalu bersedih,
tanpa sengaja ia menoleh ke belakang.
Tiba-tiba, datanglah petir menyambar dan hujan yang sangat lebat. Putri Pukes beserta
rombongannya berteduh di dalam sebuah goa. Di dalam gua, Putri Pukes berdiri di
sudut goa untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan. Perlahan, sang putri
merasa tubuhnya mengeras. Putri Pukes sangat terkejut dan menangis. Ternyata
tubuhnya menjadi batu. Ia pun menyesal karena tidak mengindahkan pesan orang
tuanya. Seharusnya, ia tidak menoleh ke belakang selama perjalanan sebagaimana
yang dipesankan oleh orang tuanya.
Setelah merasa cukup lama beristirahat dan hujan mulai reda, mereka berniat
melanjutkan perjalanan. Para pengawalnya pun memanggil Sang Putri. “Tuan Putri !
Hujan telah reda, mari kita melanjutkan perjalanan !” panggil para pengawalnya.
Berkali-kali mereka memanggil, tetapi tetap tidak terdengar jawaban.
Para pengawal sang putri pun pergi menghampiri tempat Putri Pukes berdiri. Mereka
terus memanggil, tetapi Sang Putri diam saja. Saat melihat dengan jelas, para
pengawal sangat terkejut karena tubuh putri pukes telah mengeras dan menjadi batu.
Sampai sekarang, batu Putri Pukes masih bisa dilihat. Bentuknya membesar di bagian
bawah, tetapi bentuk sanggul dan kepala Sang Putri masih dapat dikenali. Menurut
kepercayaan penduduk setempat, batu tersebut membesar dibawah karena Putri
Pukes terus menangis yang menyebabkan air matanya menumpuk di bawah.
Sementara itu, karena hujan yang sangat lebat, terbentuklah danau di kawasan itu.
Penduduk sekitar menyebut danau tersebut dengan nama “Danau Laut Tawar“.
KISAH RARA JONGGRANG DAN CANDI PRAMBANAN
Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan.
Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian?
Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman
Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan
pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan
dipimpin oleh Bandung Bondowoso.

Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang
tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso
pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti
dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka
mengamati gerak-gerik Roro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita.
“Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.

Esok harinya, Bondowoso mendekati Roro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah
kau
menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Roro Jonggrang.
Rara Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang
sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar
Roro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”. Roro Jonggrang menjadi
kebingungan. Pikirannya berputar-putar.

Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan
keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin,
karena Rara Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana, Rara Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Roro Jonggrang
mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya.
“Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu,
tuanku, kata Roro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu
buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu
semalam.” Bandung Bondowoso menatap Rara Jonggrang, bibirnya bergetar menahan
amarah.

Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi.
Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi
tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan
peralatan yang kubutuhkan!” Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso
berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin,
Bantulah aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit
menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah
mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya
pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso.

Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam
waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu
buah. Sementara itu, diam-diam Roro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas,
mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Rara
Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul
dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Rara
Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…
dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk,
sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin.
“Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,”
sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu.
Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin. Paginya, Bandung
Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau minta sudah
berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya
hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah
gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut mengetahui
kekurangan itu.

Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”,


kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja
yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang.
Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-
candi tersebut masih ada dan terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut
Candi Loro Jonggrang.
LEGENDA DAN SEJARAH ASAL MULA NAMA PALEMBANG
Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi berupa
hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari
Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau mengalir di
wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Batanghari Sembilan. Sungai besar
yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai
Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai Musi. Ada dua
Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang
melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di sebelah utara.
Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah Jambi,
Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak
mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang digenangi
air laut saat pasang. Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut
sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi
nama Bukit Seguntang Mahameru.
Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini didasarkan pada prasasti
Kedukan Bukit (683 M) yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota
Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai
kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi
(tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan
hari lahir Kota Palembang.
Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau
kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang
dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia
bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba
raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan
Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk bercengkerama
dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.
 Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para pelayar
mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki
pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah komunikasi
antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk setempat.
Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat dengan
pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan mencari
tempat lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk membuat
rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang berawa,
maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.
Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena tanahnya
yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat Bukit
Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.
Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama penduduk kota
Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang
kemudian berubah menjadi pen*duduk Melayu.
Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang banyak
digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran tinggi yang
hendak ke Palembang sering me*ngatakan akan ke Lembang. Begitu juga para
pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke Lembang.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang
Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan.
Tiga orang kakak beradik itu ada*lah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat
dari kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.
Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain, Sang
Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah
dengan keluarga putri itu.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba
dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian
berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang semakin terkenal.
Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang.
Kata pa dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Pertumbuhan
ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur
per*dagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang pun berubah
menjadi Palembang

Anda mungkin juga menyukai