Anda di halaman 1dari 5

Legenda Bukit Tangkiling

Pada zaman dahulu, di sebuah kampung hiduplah seorang ibu yang tinggal bersama anak
laki-lakinya. Pada suatu hari, setelah seharian bermain anaknya merasa lapar dan ia pun pulang
ke rumah untuk makan. Saat itu ibunya sedang memasak. Karena tidak sabar, anaknya terus
merengek minta makan. Mendengar rengekan anaknya yang semakin menjadi-jadi, akhirnya
habislah kesabaran ibunya, dan tanpa sadar saking jengkelnya ibunya memukul kepala anaknya
menggunakan "suduk" (sejenis sendok untuk menggoreng) hingga kepalanya berdarah.
Mendapat perlakuan "kejam", sang anak pun menangis sedih dan berlari keluar rumah, dia
merasa ibunya sudah tidak menyayanginya lagi. Ibunya pun menyesal dan berusaha mengejar
anaknya, tetapi anaknya tetap berlari hingga ke sebuah dermaga. Di dermaga tersebut ada sebuah
kapal dari negeri Cina yang sedang singgah untuk menjual keramik di kampung itu. Anak itu pun
lalu berlari memasuki kapal dan bersembunyi di bawah geladak kapal tersebut. Sedangkan
ibunya terus mencari anaknya hingga ke penjuru kampung, namun tetap tidak menemukannya.
Sementara di atas kapal, setelah bongkar muat di dermaga selesai, maka kapal pun menaikkan
sauh dan kembali berlayar ke negeri Cina. Di tengah perjalanan, si anak tadi ditemukan oleh
kapten kapal yang juga saudagar kaya, kemudian ditanyai mengapa bisa berada di situ. Dengan
polosnya si anak bercerita bahwa ibunya memukul kepalanya dan menganggap sudah tidak
sayang lagi terhadap dirinya. Karena mareasa iba, saudagar itu mengajaknya naik ke atas lalu
merawat lukanya hingga sembuh. Karena saudagar tadi tidak memiliki keturunan, maka anak itu
pun diangkat menjadi anaknya dan diberi nama "Tan Kin Lin". Sejak kepergian anaknya, sang
ibu yang sudah tidak bersuami ini kembali masuk "Kuwu" atau "Bakuwu" (menjalani proses
pingitan). Karena itulah maka dalam berbagai versi legenda Bukit Tangkiling terkadang
menyebut si ibu tadi dengan sebutan Bawi Kuwu (Perempuan Pingitan). Tak terasa tahun demi
tahun telah berlalu, anak kecil dari pedalaman suku Dayak Ngaju yang mendapat marga Tan dari
ayah angkatnya seorang saudagar Cina, akhirnya tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah
dan tampan. Sekian lama bekerja di negeri Cina dan ia menjadi kepercayaan sang saudagar, Tan
Kin Lin pun mengajukan diri untuk berlayar dan berdagang dari pulau ke pulau mengarungi
lautan dan samudra, hingga suatu ketika tanpa disadari Tan Kin Lin pun singgah di kampung
tempatnya berasal. Saat mereka singgah ke kampung tersebut, datanglah seorang wanita cantik
yang oleh orang-orang kampung dipanggil dengan sebutan Bawi Kuwu, membawa barang-
barang untuk dibarter dengan barang-barang dagangan Tan Kin Lin dari negeri Cina. Tan Kin
Lin terpesona melihat kecantikan wanita tadi, ia pun langsung jatuh cinta pada wanita itu dan
dengan segera ia pun melamarnya, wanita itu pun menerima lamarannya namun ia mengakui
bahwa ia bukan gadis dan ia pernah menikah sebelumnya. Bagi Tan Kin Lin hal ini bukanlah
masalah maka ia tetap pada pendiriannya untuk menikahi wanita yang bergelar Bawi Kuwu
tersebut.
Singkat cerita, sesudah melangsungkan pesta pernikahan besar-besaran, Tan Kin Lin
tidak segera berangkat berlayar namun memutuskan untuk berbulan madu dahulu di atas
banamanya yang berlabuh di pelabuhan kampung. Saat sedang bermesraan di atas banama, Tan
Kin Lin yang berambut panjang meminta isterinya mencari kutu di kepalanya. Saat rambut Tan
Kin Lin terurai tersingkaplah bekas luka di kepalanya, Bawi Kuwu pun terkejut melihat bekas
luka itu lalu menanyakan asal-usul bekas luka tersebut. Tan Kin Lin pun menceritakan
bagaimana ia menadapat bekas luka itu dan kisah perjalanan hidupnya hingga menjadi anak
angkat saudagar Cina. Maka terkejutlah Bawi Kuwu, lalu pingsan setelah berkata bahwa Tan Kin
Lin adalah anak kandungnya. Setelah peristiwa itu, Tan Kin Lin lari masuk hutan, sementara
Bawi Kuwu yang ternyata ibu kandungnya sendiri tidak berani turun dari banama karena malu
kepada warga kampung. Untuk menebus secara adat pelanggaran pali (tabu) yang telah
dilakukan, Tan Kin Lin masuk ke hutan untuk berburu babi hutan dan kijang yang akan dijadikan
hewan kurban untuk penebusan kesalahannya. Setelah berhasil membawa pulang buruan, Tan
Kin Lin mengumpulkan seluruh warga kampung menghadiri pesta penebusan dosa tabunya.
Tiba-tiba, di saat pesta sedang berlangsung Raja Pali (Dewa Kilat) atas perintah Raja Tuntung
Matanandau (Dewa tertinggi) mengirimkan kilat/petir untuk menghukum Tan Kin Lin atas
pelanggaran pali. Tan Kin Lin bersama keenam pengawalnya basaluh (berubah) menjadi batu.
Begitu pula banama yang berlabuh di pelabuhan kampung berubah menjadi batu sementara Bawi
Kuwu terkurung hidup-hidup di dalam batu yang kemudian dikenal dengan nama Batu Banama.
Oleh masyarakat sekitar bukit tempat dimana Batu Banama itu berada disebut Bukit Tangkiling
(pengaruh dialek masyarakat setempat dalam membunyikan kata tan kin lin berubah menjadi
tangkiling)
Nyai Balau Panglima Dayak wanita

Kalimantan Tengah mempunyai pahlawan-pahlawan wanita yang membuat kita bangga


dan bahwa perempuan juga bisa berjuang bersama pahlawan laki-laki. Pahlawan wanita dari
Tewah yang bernama Nyai Balau. Ia di panggil dengan dengan sebutan Nyai Balau dikarenakan
memiliki rambut (balau) panjang.

Nyai Balau seorang yang baik, sopan dalam bertutur kata serta santun perilakunya. Ia
juga penurut serta taat kepada orang tuanya. Dia mempuyai seorang anak yang paling dia
sayanginya yang sudah di kayau (dipenggal kepalanya) oleh Antang dari Juking Sopang.

Setelah tujuh hari tujuh malam lamanya ia bertapa untuk memohon petunjuk kepada Tuhan
Penguasa Alam. Nyai Balau bertemu seorang nenek yang bilang kalau anaknya sudah meninggal
dunia. Nenek itu kemudian menurunkan kesaktian Kepada Nyai Balau serta memberikan sebuah
selendang sakti sebagai senjata pamungkas. Setelah sampai di rumah ia mengajak suami serta
semua keluarga dan sejumlah prajuritnya menuju Juking Sopang untuk menuntut balas atas
kematian putranya. Setibanya di Juking Sopang, Nyai Balau meminta Antang mengakui
kesalahannya serta meminta maaf.

Antang seorang yang angkuh itu tidak mau mengakui kesalahannya. Bahkan malah
menyerang Nyai Balau. Seranggannya bisa dihindari dengan mudah oleh Nyai Balau. Begitu
Antang lengah Nyai Balau yang sakti itu segera melemparkan selendangnya kearah dada Antang,
seketika itu antang yang sombong jatuh tersungkur ke tanah. Setelah merobohkan Antang, Nyai
Balau lalu mengajak mereka untuk untuk berdamai dan membahas ketentuan adat yang berlaku
atas kejahatan pembunuhan. Ia menolak untuk membayar denda adat tersebut. Dengan sebagian
sisa tenaga yang dimiliki, ia berupa bangkit kemudian kembali menyerang Nyai Balau.
Pertarungan sengit kembali berlangsung. Nyai Balau yang telah muak menyaksikan
kesombongan pemuda itu segera menyerang dengan selendang saktinya. Antang pun tewas di
tangan Nyai Balau. Lalu Nyai Balau bersama suami serta  rombongannya pulang dengan
perasaan lega. Sejak kejadian itu Nyai Balau dikenal sebagai wanita sakti yang tidak sombong
dan baik hati.
BAWI KUWU

Bawi Kuwu merupakan anak dari pembekal desa yang tinggal di tepi sungai Rungan,
Kelurahan Mungku Baru yang sekarang bernama Ratu Kumala. Menurut sejarah, Bawi Kuwu
meninggal karena dimakan oleh buaya dan tulangnya disemayamkan di sandung ini. Tiang
sandung yang terletak di Kelurahan Mungku Baru ini merupakan salah satu indikasi adanya
permukiman pada masa lalu di tepi sungai Rungan. Konon sekitar abad ke-18, di sebuah
kampung sekitar pertengahan aliran Sungai Rungan tepatnya di Kelurahan Mungku Baru,
Kecamatan Rakumpit, Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Diceritakan bahwa
tinggallah Bawi Kuwu dan kedua orang tuannya. Ketika beranjak dewasa wanita cantik itu
dilarang orang tuannya untuk keluar rumah dan lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam
kamar dengan dikawal dayang-dayang yang setia mengawal dan menjaga hingga bertahun-tahun
lamanya. Pada suatu ketika, kedua orangtua Bawi Kuwu ingin pergi keladang lalu berpesan
kepada dayang-dayang untuk menjaga anak kesanyangan mereka itu di dalam rumah. Tidak lama
setelah kedua orangtuannya itu pergi, tiba-tiba Bawi Kuwu merasakan kepanasan dan ingin madi
di Sungai Rungan yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka, tentu para dayang yang
mengawal Bawi Kuwu melarangnya untuk keluar rumah, apalagi untuk pergi sendiri ke sungai.
Lalu dayang-dayang itu mengambilkan air kesuangai Rungan untuk memandikan Bawi Kuwu di
dalam rumah, tetapi keinginan dari para dayang itu ditolaknya dan tetap bersikeras untuk pergi
sendiri kesuangai itu. Suasana hampir tidak terkendali tetapi akhirnya para dayang berhasil
mencegah keinginan Bawi Kuwu tersebut. Selang beberapa lama kemudian, rupanya perlakuan
dari para dayang itu malah membuat Bawi Kuwu merasa penasaran. Setelah melihat situasi aman
dan lepas dari pengawalan, Bawi Kuwu pergi ke Sungai Rungan dengan diam-diam tanpa ada
yang tahu.Sesampainya di tepi sungai, tepatnya diatas Lanting (rakit dari kayu dalam bahasa
suku dayak) kejadian naas menimpa gadis cantik itu. Tiba-tiba buaya besar muncul ke
permukaan air dan menyambar Bawi Kuwu yang belum sempat mandi di sungai itu, lalu
membawannya ke sarangnya di dalam sungai. Sementara itu situasi di dalam rumah geger setelah
para dayang menyadari bahwa Bawi Kuwu tidak ada didalam kamar.

Kemarahan besar muncul dari kedua orangtua Bawi Kuwu kepada dayang-dayang,
karena telah lalai sehingga mereka tidak mengetahui kemana perginya anak kesayangan mereka
itu. Lalu hari itu juga mereka memanggil para tokoh adat dan orang-orang yang memiliki
kesaktian dari suku dayak. Tiga hari tiga malam lamanya, mereka mengadakan ritual dalam suku
dayak untuk mencari Bawi kuwu, dan pada suatu malam, saudara laki-laki dari Bawi Kuwu
bermimpi bertemu dengan Patahu (orang gaib suku dayak) dan memberikan petunjuk bahwa
Bawi Kuwu masih hidup dan sekarang berada didalam perut buaya yang telah membawannya
itu. Orang gaib itu juga berpesa apabila buaya itu muncul, jangan sekali-kali membunuhnya.
Lalu saudarnya itu terbangun dari tidur dan menceritakan tentang mimpinya itu.

Ketika itu juga mereka mencari Pangareran (Pawang buaya dalam bahasa suku dayak),
dan tepat pada hari ketiga dalam ritual itu, buaya yang membawa Bawi Kuwu muncul dari
Sungai Rungan lalu bergerak menuju daratan. Setelah melihat buaya besar itu datang, tiba-tiba
rasa sedih bercampur amarah muncul dari saudara laki-laki Bawi Kuwu. Mungkin karena begitu
menyayangi adiknya membuatnya kalap dan lupa akan pesan orang gaib yang menjumpainya
didalam mimpi, lalu ia menombak buaya itu sehingga akhirnya mati. Setelah melihat kejadian
itu, mereka langsung membelah perut buaya dengan peralatan seadanya dan mendapati Bawi
Kuwu yang juga sudah tidak bernyawa lagi, mati bersama-sama dengan buaya itu. Akhirnya
suasana duka menyelimuti seluruh kerabat dan semua yang menyaksikan peristiwa itu. Kini
Sandung tersebut ditempatkan diatas tiang dengan ukuran panjang 3 meret dan berdiameter 0,58
meret. Tiang yang terlihat saat ini bukanlah tiang yang asli, melainkan tiang baru yang dibangun
untuk menutupi tiang asli berbahan kayu ulin. Pada tiang terdapat ukiran relief berbentuk buaya
dan pada bagian atas tiang ditempatkan sebuah sandung berbentuk miniatur rumah kecil untuk
persemayaman orang yang telah meninggal. Tiang sandung atau disebutnya juga dengan tiang
pantar dimaksudkan sebagai lambang pohon kehidupan atau batang garing sebagai tangga jalan
arwah menuju ke Negeri Lewu Liau.

Anda mungkin juga menyukai