Anda di halaman 1dari 11

Cerita Rakyat Danau Toba

Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja. Ia hidup sendiri
sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap lading dan mencari ikan dengan tidak mengenal lelah.
Hal ini dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat tinggalnya, ia bermaksud
mencari ikan untuk lauknya hari ini. Dengan hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia
pun langsung menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut langsung melemparkan
kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, petani tersebut berdoa,Ya Alloh, semoga aku dapat
ikan banyak hari ini. Beberapa saat setelah berdoa, kail yang dilemparkannya tadi nampak bergoyang-
goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani tersebut sangat senang sekali, karena ikan yang
didapatkannya sangat besar dan cantik sekali.

Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu sangat terkejut. Ternyata
ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara. Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku hidup,
teriak ikan itu. Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke dalam air lagi.
Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut
berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.

Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu, kata si ikan. Siapakah kamu ini?
Bukankah kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. Aku adalah seorang putri yang dikutuk, karena
melanggar aturan kerajaan, jawab wanita itu. Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari
kutukan itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri, kata wanita itu. Petani itupun
setuju. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu
mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka
akan terjadi petaka dahsyat.

Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan istrinya bertambah,
karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sangat
tampan dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut selalu merasa
lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah makanan dilahapnya tanpa sisa.

Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk mengantarkan
makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya.
Semua makanan yang seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di sebuah
gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Karena tidak tahan
menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan pulang, pak tani melihat
anaknya sedang tidur di gubug. Petani tersebut langsung membangunkannya. Hey, bangun!, teriak
petani itu.

Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya. Mana makanan buat
ayah?, Tanya petani. Sudah habis kumakan, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung
memarahi anaknya. "Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!," umpat si Petani tanpa
sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.

Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang
lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat
deras. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk
sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba.
Cerita Dongeng Putri Raja Banggai dan Keberanian Tanduk Alam
Legenda Tanduk Alam Cerita Rakyat Sulawesi Tengah

Tanduk Alam adalah seorang penyebar agama yang berasal dari Palembang. Dia dikenal orang
yang bijaksana dan berwawasan luas. Untuk menyebarkan ajaran agama, ia berlayar sampai ke Negeri
Banggai, Sulawesi Tengah.

Di tempat tinggalnya yang baru ini, ia bekerja sebagai ahli emas. Ia membuat bermacam-
macam perhiasan emas dan salah satu pelanggannya adalah Adi Cokro, raja Banggai. Selain membuat
perhiasan, Tanduk Alam juga mengajarkan agama dan memberikan nasihat kepada rakyat Banggai. Hal
itulah yang membuat Baginda Adi Cokro menyukai Tanduk Alam. Menurutnya, Tanduk Alam
membuat kehidupan rakyatnya menjadi Iebih baik.

Suatu hari, Baginda Adi Cokro kebingungan. Putri kesayangannya hilang. Ia segera
mengerahkan empat orang basalo atau pembantunya untuk mencari sang putri. Setelah melakukan
pencarian selama beberapa hari, para basalo itu melaporkan bahwa putri telah diculik oleh orang-orang
Tobelo. Menurut kabar, putri disembunyikan di Pulau Sagu.

Orang-orang Tobelo melakukan itu atas perintah Raja Ternate karena ingin menguasai kerajaan
Banggai.

"Pergilah ke Pulau Sagu. Selamatkan putriku," perintah Baginda Adi Cokro kepada keempat
basalonya.

Dengan membawa pasukan, keempat basalo itu berlayar ke Pulau Sagu. Terjadi pertempuran
hebat antara pasukan Kerajaan Banggai yang dipimpin empat orang Basalo dengan pasukan dari
Kerajaan Ternate. Walaupun pasukan Kerajaan Banggai bertempur dengan gagah berani, namun pada
akhir pertempuran mereka gagal membebaskan sang Putri.

Pasukan musuh yang ada di Pulau Sagu sangat besar jumlahnya. Keempat basalo dan
pasukannya yang masih tersisa kembali ke negeri Banggai untuk menghadap Baginda Adi Cokro.

"Maafkan kami Baginda, jumlah mereka jauh lebih banyak," kata salah seorang basalo. Baginda
Adi Cokro duduk termenung dengan wajah sedih, ia sungguh mencemaskan keselamatan putrinya.

Tiba-tiba basalo lain bernama Tano Bonunungan berkata, "Bagaimana jika kita minta pendapat
Tanduk Alam? Ia adalah orang yang bijaksana dan cerdas, hamba yakin ia pasti dapat membantu kita."

"Hmm, kau benar juga. Selama ini ia selalu membantu kita memecahkan masalah. Cepat kau
panggil dia untuk menghadapku," perintah Baginda Adi Cokro.

Tano Bonunungan segera bergegas menuju kediaman Tanduk Alam.

"Ampun Baginda, hamba siap menerima perintah dari Baginda," kata Tanduk Alam saat
menghadap Baginda Adi Cokro.

"Tolong temukan putriku, aku sangat mencemaskannya," keluh Baginda Adi Cokro. "Baiklah
Baginda, hamba akan berusaha membantu. Namun sebaiknya hamba tak usah membawa pasukan,
karena semakin banyak pasukan akan semakin banyak pula korban yang berjatuhan," jawab Tanduk
Alam.
"Jika begitu, kami semua akan menemanimu," sahutTano Bonunungan. Baginda Adi Cokro dan
Tanduk Alam setuju.

Keesokan harinya, Tanduk Alam dan keempat basalo berangkat menuju Pulau Sagu. Mereka
sudah memutuskan, bahwa hanya Tanduk Alam yang akan memasuki Pulau Sagu. Keempat basalo
akan berjaga-jaga di perahu jika seandainya orang-orang Tobelo memergoki Tanduk Alam. Tak terasa,
perahu mereka telah tiba di pinggir Pulau Sagu.

"Tanduk Alam, apakah tidak berbahaya jika kau pergi sendiri?" tanya salah seorang basalo.
"Bila Tuhan mengizinkan, aku pasti bisa menyelamatkan tuan putri," jawab Tanduk Alam.

Setelah berkata demikian, Tanduk Alam memanjatkan doa. Tiba-tiba, keajaiban terjadi. Tubuh
Tanduk Alam menghilang dari perahu. Rupanya Tanduk Alam memiliki kesaktian untuk menghilang.
Dengan mudahnya ia melewati orang-orang Tobelo yang menjaga rumah tempat persembunyian putri.

Tanduk Alam memasuki satu kamar. Dilihatnya, Putri sedang tidur. Dengan berbisik, ia
membangunkan Putri.

"Putri, bangunlah. Aku diutus oleh Baginda untuk menyelamatkanmu."

Putri mengucek matanya tak percaya, "Bagaimana kau bisa masuk ke sini? Dan bagaimana kita
bisa keluar tanpa ketahuan?" bisik sang Putri.

"Percaya saja padaku. Sekarang pejamkan mata dan peganglah tanganku," jawab Tanduk Alam.

Putri menurut saja. Ia memejamkan matanya, sambil menggenggam kedua tangan sang Putri,
Tanduk Alam melayangkan doa. Sesaat kemudian, keduanya menghilang dari ruangan itu. Saat Putri
membuka mata, mereka sudah berada di atas perahu. Keempat basalo itu terkejut bukan kepalang saat
melihat Tanduk Alam dan Putri muncul secara tiba-tiba di samping mereka.

"Ayo Basalo, kita harus segera meninggalkan pulau ini," perintah Tanduk Alam. Keempat
basalo itu dengan sigap menuruti perintah Tanduk Alam, mereka segera berlayar kembali ke Negeri
Banggai.

Baginda Adi Cokro menyambut kedatangan putrinya dengan suka-cita. Sebagai ucapan terima
kasih, ia menawarkan hadiah pada Tanduk Alam.

"Sebutkan saja apa yang kau mau, aku akan mengabulkannya," kata Raja.

"Hamba tidak memiliki keinginan muluk-muluk. Jika Baginda berkenan, hamba membutuhkan
sebidang tanah untuk ditanami buah-buahan," jawab Tanduk Alam.

Baginda Adi Cokro terkesan dengan permintaan Tanduk Alam yang sederhana itu. Ia segera
memerintahkan prajuritnya untuk membuka lahan yang akan diberikan pada Tanduk Alam.

Beberapa tahun kemudian, lahan pemberian Baginda Adi Cokro telah berubah menjadi kebun
buah-buahan yang subur.

Kebun itu tidak hanya membawa manfaat bagi Tanduk Alam sendiri, tapi juga pada orang-
orang di sekitarnya. Mereka yang bekerja membantu Tanduk Alam mendapat upah atas jerih payah
mereka.
Tanduk Alam juga tak pelit berbagi ilmu berkebun, banyak penduduk yang kemudian sukses
menanam di kebun mereka sendiri. Sambil berkebun, Tanduk Alam tetap menyebarkan agama pada
penduduk di sekitarnya. Tanduk Alam hidup di negeri Banggai hingga akhir hayatnya.

Pesan moral dari Cerita Dongeng Putri Raja Banggai dan Tanduk Alam untukmu Sebaiknya kita tidak
mengharapkan balasan saat melakukan kebaikan. Jika kita ikhlas melakukannya, niscaya kita akan
mendapatkan balasan dari Tuhan berupa kemudahan dalam hidup.
Batu Menangis (Cerita Rakyat Kalimantan)

Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan
seorang anak gadisnya.

Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat
buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Kerjanya hanya bersolek setiap hari.

Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti.
Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya
yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.

Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa
itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan
melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya
nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa
keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun
mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.

Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu
terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya
memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh
kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.

Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu,
Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu? Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
Bukan, katanya dengan angkuh. Ia adalah pembantuku ! Kedua ibu dan anak itu kemudian
meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak
gadis itu.

Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu? Bukan, bukan, jawab gadis itu dengan
mendongakkan kepalanya. Ia adalah budakk! Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang
disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan
sebagai pembantu atau budaknya.

Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat
menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan
hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.

Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya
memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini !

Hukumlah dia. Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka
itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai
setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.

Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini.


IbuIbuampunilah anakmu.. Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya.
Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu.
Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata,
seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya
itu disebut Batu Menangis .

Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa
kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah
melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan
Yang Maha Kuasa.
Sangkuriang (Cerita Rakyat Jawa Barat)

Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia
mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di
dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama
Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi
Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.

Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah
sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang
bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat
mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si
Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada
Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya
lagi.

Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu


mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan
ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang
memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan
meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang
Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda
selamanya.

Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke


kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya
sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu
dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena
terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya
lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat. Pada
suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia
meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya
Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka.
Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang
penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya
tersebut adalah anaknya sendiri.

Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya
sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang,
supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut
tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.

Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah
terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua
buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka
Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan.
Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah,
meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua
syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan
menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu
mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut.
Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena
Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.
Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna
merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau
hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat
memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.

Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya
sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air.
Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh
tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
CRakyat Tana Toraja, Sulawesi Selatan (bagian 1)
Landorundun, Cerita Rakyat Tana Toraja, Sulawesi
Selatan
mungkin teman - teman sudah mengenal Tana Toraja (TaTor). Daerah Toraja terkenal sebagai
daerah tujuan pariwisata di Sulawesi Selatan. Banyak wisatawan dari mancanegara datang ke Tana Toraja
untuk menikmati keindahan alam dan keunikan budayanya. Salah satu unsur budaya yang paling penting dalam
suatu masyarakat adalah karya sastra. Landorundun adalah salah satu cerita rakyat dari daerah Tana Toraja.
Berikut cerita selengkapnya.

Landorundun adalah seorang gadis cantik, molek, dan panjang rambutnya. Ayahnya bernama Solokang
dari Rongkong dan ibunya bernama Lambe' Susu Sesean. Pada suatu hari, Landorundun pergi mandi ke sungai.
Sehabis mandi ia lalu bersisir dan rambutnya tercabut sehelai. Rambut itu lalu digulungnya pada sebuah sisir
yang terbuat dari emas. Gulungan rambut ini diletakkan di atas batu. Tiba-tiba angin puting beliung datang
meniupnya dan jatuh ke air lalu hanyut ke muara sungai dan sampai ke tengah laut. Ketika benda itu berada di
tengah laut kelihatan berkilau-kilauan karena terkena cahaya matahari. Benda itu dilihat oleh Bendurana, lalu
ia menyuruh anak buahnya pergi mengambilnya. Orang yang disuruh mengambil benda itu tidak ada satu pun
yang berhasil karena selalu kembali dalam keadaan cacat. Orang pertama pergi mengambilnya dan kembali
dalam keadaan lumpuh. Orang kedua hilang kakinya sebelah. Orang ketiga kembali dalam keadaan bungkuk.
Orang yang keempat hilang telinganya dan yang terakhir kembali dalam keadaan buta. Ketika Bendurana
menyaksikan kejadian ini, ia sendiri yang langsung pergi mengambil benda itu di tengah laut, dan ia berhasil
mengambilnya. Kaki dan kukunya pun tak basah kena air. Benda itu ternyata sisir emas yang dibebat dengan
rambut yang sangat panjang. Bendurana sangat heran melihat kejadian itu dan berkatalah dalam hatinya.

"Dari mana gerangan asalnya rambut ini." Ia memikirkan kejadian ini sambil menengadah ke langit. Tiba-tiba
datanglah serombongan burung terbang di udara dan seekor di antaranya berkata:

Saya melihat dengan pasti

Di sana ada hulu sungai

Sumber asalnya air

Gumpalan timbunan busa air

Setelah burung layang-layang berkata demikian, kawanan burung itu terbang terus mengikuti aliran
sungai mulai dari muara sampai Tana Toraja dan tiba di daerah Malangngo', kecamatan Rantepao. Kemana
arah burung layang-layang itu terbang, selalu diikuti pula oleh Bendurana. Ketika tiba di daerah Malangngo'
Bendurana belok ke persimpangan (pertemuan sungai) arah ke sungai Bulo (kecamatan Rantepao) karena
tersesat, burung mengetahui kejadian itu lalu berkata:

Sesat, sudah sesatlah perahuku

Salah jalan salah arahlah dia

Mundur, mundurlah kembali


Benarkanlah arah dan tujuannya

Di sana di hulu sungai

Asal mulanya busa air

Di atas di sumur batu

Bendurana mendengar seruan burung layang-layang di udara itu, lalu ia mengubah arah perahunya
menuju utara yaitu Minanga (Kecamatan Tikala) lalu membuang sauh di dekat batu yang bernama Batu
Sangkinan Lembang artinya batu tempat menambat perahu. Batu ini sampai sekarang tetap terkenal dan
bersejarah.

Bendurana turun dari perahunya dan menanam pohon mangga. Pohon mangga ini rupanya agak lain
sebab cepat tumbuh dan cepat pula berbuah (dan sampai sekarang pohon ini masih ada). Ketika selesai
menanam pohon mangga, Bendurana meneruskan perjalanannya ke utara dan sampai di tempat yang bernama
bubun batu di desa Pangala' (Kecamatan Rindingngallo). Di tempat itu Bendurana langsung bertemu dengan
Landorundun. Landorundun bertanya dalam bentuk londe (pantun), katanya:

Apa tujuan apa maksudmu

Apa yang engkau cari hingga ke sini

Berjalan jauh tak memperhitungkan lelah

Adakah engkau memberi piutang

Dan engkau datang menagihnya

Di negeri yang terpencil ini

Bendurana menjawab Landorundun dalam bentuk pantun juga:

Saya tidak berpiutang

Menagih utang yang lama pun tidak

Aku datang hanya melihat sesuatu

Penggulung rambut dari emas

Di negeri yang punya arti bagiku

Aku akan mendampingi engkau

Landorundun segera menjawab Bendurana:

Tiada artinya engkau mendekat

Ibu belum sempat mengizinkan

Bersama seluruh keluarga

Berpisah pergi ke Bone


Setelah mendengar jawaban Landorundun tersebut, Bendurana kecewa lalu pergi menanam pohon
mangga dekat tempat Landorundun turun ke sungai mencuci rambutnya. Pohon mangga itu rupanya lain dari
pohon mangga biasa, sebab cepat sekali tumbuh dan berbuah. Ketika buah mangga itu sudah mulai masak,
pergilah Bendurana ke puncak gunung, bersembunyi, dan mengintip dari atas. Secara kebetulan pada waktu itu
Landorundun turun ke sungai dan mencuci rambutnya. Pada saat itu, ia melihat mangga yang sudah masak
tidak jauh dari tempat itu. Landorundun pergi menjolok sebuah, kemudian memakannya sambil berjemur diri
dan bersisir. Bendurana melihat peristiwa yang telah lama dinanti-nantikan dari puncak gunung. Ia segera
turun dari puncak gunung lalu pura-pura menghitung buah mangga itu. Setelah itu, ia menyindir Landorundun,
katanya: "Siapakah mengambil buah kesayanganku, menjolok, dan memakan mangga manisku."

Landorandun merasa tersinggung mendengar sindiran Bendurana, lalu ia berkata:

Siapa yang mengambil buahmu

Siapa yang memakan manggamu

Beri tahu si anak gembala

Bersama anak penjaga kerbau

Dialah yang menjaga manggamu

Memakan buah kesayanganmu

Bersama semua tanam-tanamanmu.

Setelah Bendurana mendengar jawaban Landorundun, maka ia memanggil semua anak gembala yang
ada di sekitar tempat itu, dan menanya satu per satu. Anak-anak gembala itu menjawab, "Kami tidak pernah
mengambil apalagi memakan mangga Bendurana." Ada seorang di antara mereka berkata:

Landorundun mengambilnya

Memakan buah mangga itu

Bersama tanam-tanaman

Mendengar kata-kata anak gembala itu, Landorundun lalu mengaku dan berkata, "Akulah sebenarnya
yang mengambil buah manggamu dan terserah kepadamu, hukuman apa yang harus kujalani." Pada saat itu
Bendurana memutuskan untuk menikah dengan Landorundun, dan keputusan itu diterima oleh Landorundun.

Ketika Bendurana bersiap untuk berangkat membawa Landorandun, ia mencari akal supaya mertuanya
(Lambe' Susu) tidak ikut berangkat bersama mereka. la menyuruh mertuanya pergi mengambil air di tebing
gunung dan memberikan perian yang sudah dilubangi pantatnya untuk tempat air itu. Karena pantat perian itu
bocor, air yang dimasukkan tidak kunjung penuh. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Bendurana membawa
Landorundun turun ke perahu lalu berangkat. Ketika Lambe'Susu merasa bahwa perahu Bendurana sudah
berangkat, ia pergi ke suatu tempat yang bernama Mata Bongi, untuk meiihat keberangkatan anaknya. Akan
tetapi dari tempat itu Lambe' Susu tidak dapat melihatnya karena suasana gelap menutupi daerah
sekelilingnya. Tempat Lambe' Susu memandang keberangkatan anaknya itu, sampai saat ini masih ada
bekasnya, berupa tempat duduk dari batu.
Bendurana dan Landorundun meneruskan perjalanannya menuju Bone. Ketika mereka sudah tiba di
Bone, dilangsungkanlah upacara pernikahan dengan menampilkan semua jenis pesta adat. Selama pesta
berlangsung, Landorundun tidak pernah tertawa bahkan tersenyum pun tidak. Pada suatu ketika orang sengaja
membawa burung gagak yang sudah dipotong kakinya sebelah ke halaman rumah. Burung gagak itu melompat
terpincang-pincang dan kelihatan lucu. Pada saat itulah Landorandun tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan
burung gagak itu. Mulai saat itu hiduplah Bendurana bersama Landorundun dalam suasana bahagia, rukun, dan
damai.

Anda mungkin juga menyukai