Anda di halaman 1dari 66

DANAU TOBA

Cerita Rakyat Sumatera Utara

Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja. Ia hidup sendiri

sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap lading dan mencari ikan dengan tidak

mengenal lelah. Hal ini dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat tinggalnya, ia bermaksud

mencari ikan untuk lauknya hari ini. Dengan hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat

ikan, ia pun langsung menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut

langsung melemparkan kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, petani tersebut

berdoa,“Ya Alloh, semoga aku dapat ikan banyak hari ini”. Beberapa saat setelah berdoa, kail
yang dilemparkannya tadi nampak bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani

tersebut sangat senang sekali, karena ikan yang didapatkannya sangat besar dan cantik sekali.

Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu sangat terkejut.

Ternyata ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara. “Tolong aku jangan dimakan Pak!!

Biarkan aku hidup”, teriak ikan itu. Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung

dikembalikan ke dalam air lagi. Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu

bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang

sangat cantik.

“Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu”, kata si ikan. “Siapakah kamu ini?

Bukankah kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. “Aku adalah seorang putri yang dikutuk,

karena melanggar aturan kerajaan”, jawab wanita itu. “Terimakasih engkau sudah

membebaskan aku dari kutukan itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri”,

kata wanita itu. Petani itupun setuju. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada

satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul

Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.

Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan istrinya

bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak mereka tumbuh

menjadi anak yang sangat tampan dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua

orang. Anak tersebut selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah

makanan dilahapnya tanpa sisa.


Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk mengantarkan

makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi tugasnya tidak

dipenuhinya. Semua makanan yang seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu

dia tertidur di sebuah gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus

dan lapar. Karena tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah

perjalanan pulang, pak tani melihat anaknya sedang tidur di gubug. Petani tersebut langsung

membangunkannya. “Hey, bangun!, teriak petani itu.

Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya. “Mana makanan

buat ayah?”, Tanya petani. “Sudah habis kumakan”, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani

itu langsung memarahi anaknya. "Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!,"

umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.

Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang

lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang

sangat deras. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan

akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba.
MALIN KUNDANG
Cerita Rakyat Sumatera Barat

Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu

mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka

sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.

Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang

banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan

lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin

Kundang dan ibunya.

Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang

dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang

yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda

kapal dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.

Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak

buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada

teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal

perkapalan.
Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba

kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para

pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal

dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat

beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi,

Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya

terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke

desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh

masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya.

Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan

kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya.

Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang.

Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi

istrinya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang

besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang

yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke

pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau

yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya

melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia
dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama

tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang

segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri,

sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin

Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan

mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang.

"Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar

mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan

diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak

menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin

menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi

dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai

dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang

perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH
Cerita Rakyat Riau, Sumatera

Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan
seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang
bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan
damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia.
Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.

Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah.
Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah
Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan
rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang
putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah,
supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.

Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu
bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang
putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi
bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi
berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang
merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak
mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.

Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu
Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih.
Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh,
untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia
harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih
harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun
Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat
ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.

Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di
sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa
dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor
yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwasalah satu
baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu
tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih
mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan
putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.

“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari
baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”

Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai
tempatnya mencuci tadi. Mataharisudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga
menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran
akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh
melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang
penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai
paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya
harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu
mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.

“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri.
Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba,
dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di
tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang
kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.

“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,”
kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini
selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta
nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun
merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak
bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.

Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih
membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga
akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan
berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau
boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya
Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,”
katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.

Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara
dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih
ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia
berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang
merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa
bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang
putih pun menceritakan dengan sejujurnya.

Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal
yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya
bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih,
bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang
putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada
yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-
asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi.
“Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama
seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah
satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar
dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.

Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira
memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian,
mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka
membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut,
melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-
binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan
bagi orang yang serakah.
KEONG MAS
Cerita Rakyat Tanah Jawa

Alkisah pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda bernama Galoran. Ia termasuk
orang yang disegani karena kekayaan dan pangkat orangtuanya. Namun Galoran sangatlah
malas dan boros. Sehari-hari kerjanya hanya menghambur-hamburkan harta orangtuanya,
bahkan pada waktu orang tuanya meninggal dunia ia semakin sering berfoya-foya. Karena itu
lama kelamaan habislah harta orangtuanya. Walaupun demikian tidak membuat Galoran
sadar juga, bahkan waktu dihabiskannya dengan hanya bermalas-malasan dan berjalan-jalan.
Iba warga kampung melihatnya. Namun setiap kali ada yang menawarkan pekerjaan
kepadanya, Galoran hanya makan dan tidur saja tanpa mau melakukan pekerjaan tersebut.
Namun akhirnya galoran dipungut oleh seorang janda berkecukupan untuk dijadikan teman
hidupnya. Hal ini membuat Galoran sangat senang ; "Pucuk dicinta ulam pun tiba", demikian
pikir Galoran.

Janda tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang sangat rajin dan pandai menenun,
namanya Jambean. Begitu bagusnya tenunan Jambean sampai dikenal diseluruh dusun
tersebut. Namun Galoran sangat membenci anak tirinya itu, karena seringkali Jambean
menegurnya karena selalu bermalas-malasan.

Rasa benci Galoran sedemikian dalamnya, sampai tega merencanakan pembunuhan anak
tirinya sendiri. Dengan tajam dia berkata pada istrinya : " Hai, Nyai, sungguh beraninya
Jambean kepadaku. Beraninya ia menasehati orangtua! Patutkah itu ?" "Sabar, Kak. Jambean
tidak bermaksud buruk terhadap kakak" bujuk istrinya itu. "Tahu aku mengapa ia berbuat
kasar padaku, agar aku pergi meninggalkan rumah ini !" seru nya lagi sambil melototkan
matanya. "Jangan begitu kak, Jambean hanya sekedar mengingatkan agar kakak mau bekerja"
demikian usaha sang istri meredakan amarahnya. "Ah .. omong kosong. Pendeknya sekarang
engkau harus memilih .. aku atau anakmu !" demikian Galoran mengancam.

Sedih hati ibu Jambean. Sang ibu menangis siang-malam karena bingung hatinya. Ratapnya :
" Sampai hati bapakmu menyiksaku jambean. Jambean anakku, mari kemari nak" serunya
lirih. "Sebentar mak, tinggal sedikit tenunanku" jawab Jambean. "Nah selesai sudah" serunya
lagi. Langsung Jambean mendapatkan ibunya yang tengah bersedih. "Mengapa emak
bersedih saja" tanyanya dengan iba. Maka diceritakanlah rencana bapak Jambean yang
merencanakan akan membunuh Jambean. Dengan sedih Jambean pun berkata : " Sudahlah
mak jangan bersedih, biarlah aku memenuhi keinginan bapak. Yang benar akhirnya akan
bahagia mak". "Namun hanya satu pesanku mak, apabila aku sudah dibunuh ayah janganlah
mayatku ditanam tapi buang saja ke bendungan" jawabnya lagi. Dengan sangat sedih sang
ibu pun mengangguk-angguk. Akhirnya Jambean pun dibunuh oleh ayah tirinya, dan sesuai
permintaan Jambean sang ibu membuang mayatnya di bendungan. Dengan ajaib batang tubuh
dan kepala Jambean berubah menjadi udang dan siput, atau disebut juga dengan keong dalam
bahasa Jawanya.

Tersebutlah di Desa Dadapan dua orang janda bersaudara bernama Mbok Rondo Sambega
dan Mbok Rondo Sembadil. Kedua janda itu hidup dengan sangat melarat dan bermata
pencaharian mengumpulkan kayu dan daun talas. Suatu hari kedua bersaudara tersebut pergi
ke dekat bendungan untuk mencari daun talas. Sangat terpana mereka melihat udang dan
siput yang berwarna kuning keemasan. "Alangkah indahnya udang dan siput ini" seru Mbok
Rondo Sambega "Lihatlah betapa indahnya warna kulitnya, kuning keemasan. Ingin aku bisa
memeliharanya" serunya lagi. "Yah sangat indah, kita bawa saja udang dan keong ini pulang"
sahut Mbok Rondo Sembadil. Maka dipungutnya udang dan siput tersebut untuk dibawa
pulang. Kemudian udang dan siput tersebut mereka taruh di dalam tempayan tanah liat di
dapur. Sejak mereka memelihara udang dan siput emas tersebut kehidupan merekapun
berubah. Terutama setiap sehabis pulang bekerja, didapur telah tersedia lauk pauk dan rumah
menjadi sangat rapih dan bersih. Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil juga
merasa keheranan dengan adanya hal tersebut. Sampai pada suatu hari mereka berencana
untuk mencari tahu siapakah gerangan yang melakukan hal tersebut.
Suatu hari mereka seperti biasanya pergi untuk mencari kayu dan daun talas, mereka berpura-
pura pergi dan kemudian setelah berjalan agak jauh mereka segera kembali menyelinap ke
dapur. Dari dapur terdengar suara gemerisik, kedua bersaudara itu segera mengintip dan
melihat seorang gadis cantik keluar dari tempayan tanah liat yang berisi udang dan Keong
Emas peliharaan mereka. "tentu dia adalah jelmaan keong dan udang emas itu" bisik Mbok
Rondo Sambega kepada Mbok Rondo Sembadil. "Ayo kita tangkap sebelum menjelma
kembali menjadi udang dan Keong Emas" bisik Mbok Rondo Sembadil. Dengan perlahan-
lahan mereka masuk ke dapur, lalu ditangkapnya gadis yang sedang asik memasak itu. "Ayo
ceritakan lekas nak, siapa gerangan kamu itu" desak Mbok Rondo Sambega "Bidadarikah
kamu ?" sahutnya lagi. "bukan Mak, saya manusia biasa yang karena dibunuh dan dibuang
oleh orang tua saya, maka saya menjelma menjadi udang dan keong" sahut Jambean lirih.
"terharu mendengar cerita Jambean kedua bersaudara itu akhirnya mengambil Keong Emas
sebagai anak angkat mereka. Sejak itu Keong Emas membantu kedua bersaudara tersebut
dengan menenun. Tenunannya sangat indah dan bagus sehingga terkenallah tenunan terebut
keseluruh negeri, dan kedua janda bersaudara tersebut menjadi bertambah kaya dari hari
kehari.

Sampailah tenunan tersebut di ibu kota kerajaan. Sang raja muda sangat tertarik dengan
tenunan buatan Jambean atau Keong Emas tersebut. Akhirnya raja memutuskan untuk
meninjau sendiri pembuatan tenunan tersebut dan pergi meninggalkan kerajaan dengan
menyamar sebagai saudagar kain. Akhirnya tahulah raja perihal Keong Emas tersebut, dan
sangat tertarik oleh kecantikan dan kerajinan Keong Emas. Raja menitahkan kedua
bersaudara tersebut untuk membawa Jambean atau Keong Emas untuk masuk ke kerajaan dan
meminang si Keong Emas untuk dijadikan permaisurinya. Betapa senang hati kedua janda
bersaudara tersebut.
LUTUNG KASARUNG
Cerita Rakyat Jawa Barat

Pada jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh
seorang raja yang bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung.

Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan
adiknya Purbasari.

Pada saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari,
putri bungsunya sebagai pengganti. “Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun
tahta,” kata Prabu Tapa.

Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya


diangkat menggantikan Ayah mereka. “Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda
memilih aku sebagai penggantinya,” gerutu Purbararang pada tunangannya yang
bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya
mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk
memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu
juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi
punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. “Orang yang dikutuk seperti dia
tidak pantas menjadi seorang Ratu !” ujar Purbararang.

Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan.


Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah
pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, “Tabahlah Tuan Putri.
Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama
Putri”. “Terima kasih paman”, ujar Purbasari.

Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu


baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang
misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung
kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –
bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.

Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke
tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata.
Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama
kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil,
airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.

Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk


mandi di telaga tersebut. “Apa manfaatnya bagiku ?”, pikir Purbasari. Tapi ia
mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi
pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik
kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga
tersebut.
Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi
bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya
bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya
melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau kehilangan
muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. “Siapa yang paling panjang
rambutnya dialah yang menang !”, kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak
mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut
Purbasari lebih panjang.

“Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini
tunanganku”, kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari
mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan
Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan
menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, “Jadi monyet itu
tunanganmu ?”.

Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu
keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah
sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya
bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan
kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon
untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah
kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.

Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya.


Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud
seekor lutung.
TIMUN MAS
Cerita Rakyat Jawa Tengah

Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di
dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak
pun.

Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang
anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa
suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.

“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata Raksasa.
“Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak
itu harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang
anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.

Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat
tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian
tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.
Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka
memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di
dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat
bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.

Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang
tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun
Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih janji untuk
mengambil Timun Mas.

Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan
memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah ini,”
katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan Raksasa.
Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.

Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya
menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu,
telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia
mengejar Timun Mas ke hutan.

Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera
mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah
Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan
susah payah.

Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas
kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu
dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam
memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari
menyelamatkan diri.

Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas
pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika
tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan kelaparan. Ia pun
makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan,
Raksasa tertidur.

Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya
habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir
menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir,
segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas
terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas.
Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu
tenggelam.

Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan
Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. “Terima
Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.

Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup
bahagia tanpa ketakutan lagi.
CINDELARAS
Cerita Rakyat Jawa Timur

Kerajaan Jenggala dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Putra. Ia didampingi oleh
seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang memiliki sifat iri dan dengki. Raja
Putra dan kedua istrinya tadi hidup di dalam istana yang sangat megah dan damai. Hingga
suatu hari selir raja merencanakan sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut
dilakukan karena selir Raden Putra ingin menjadi permaisuri.

Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan rencana
tersebut. Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja.
Setelah memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah
menaruh racun dalam minuman tuan putri. "Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda
sendiri," kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia
segera memerintahkan patih untuk membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.

Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah hutan
belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang permaisuri. Rupanya sang
patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. "Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan
melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh," kata patih. Untuk
mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya.
Raja merasa puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki.
Anak itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas
dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari,
ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras
kemudian mengambil telur itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu
menetas menjadi seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya
dengan rajin. Kian hari anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan
kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam tersebut. Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan
ayam lainnya. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun
kelapa, ayahnya Raden Putra...", kokok ayam itu

Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan segera memperlihatkan pada
ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan.
Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan
kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani
oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung
ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. "Ayo, kalau berani, adulah
ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya. "Baiklah," jawab Cindelaras. Ketika diadu,
ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat
mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.

Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai ke Istana.
Raden Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh
hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras ke istana. "Hamba menghadap paduka," kata
Cindelaras dengan santun. "Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan
rakyat jelata," pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu
syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika
ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam
Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-
elukan Cindelaras dan ayamnya. "Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku.
Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?" Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera
membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya
segera berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun
kelapa, ayahnya Raden Putra...," ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra
terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. "Benarkah itu?" Tanya baginda keheranan.
"Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda."

Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang
sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. "Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda
Raden Putra. "Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda
dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera
memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan
hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan
Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras
menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.
BATU MENANGIS
Cerita Legenda Kalimantan

Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan
seorang anak gadisnya.

Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat
buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.

Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti.
Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan
keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.

Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa
itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu
berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan
yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan
dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup
ditempat terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu
adalah ibu dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu
terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-
puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang
gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.

Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis
itu, "Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?"
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
"Bukan," katanya dengan angkuh. "Ia adalah pembantuku !"
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi
seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
"Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?"
"Bukan, bukan," jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. " Ia adalah budakk!"
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan
perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.

Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih
dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang
amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu
berdoa.

"Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya
memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini !
Hukumlah dia...."
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah
menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah
badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.

" Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini.


Ibu...Ibu...ampunilah anakmu.." Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada
ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah
menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya
masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari
gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut " Batu Menangis ".
SANGKURIANG
Cerita Rakyat Jawa Barat

Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi.
Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat
gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing
kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga
bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang
sengaja merahasiakannya.

Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah
sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung
yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung
menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk
mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah
Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang
dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.

Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu


mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan
dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka
Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari,
dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan
dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan
abadi dan usia muda selamanya.

Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang


ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung
halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di
tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah
Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang
langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan
sepakat akan menikah di waktu dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon
istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk
mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena
pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka
tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang
penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon
suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.

Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya
sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada
Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan
Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.

Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah
terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia
mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi
kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal
maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya
sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat
sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai
sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan
menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya,
Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu
menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari
Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua
syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.

Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera
berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota,
Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan
pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang
Sumbi.

Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya
sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air.
Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan
jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
Legenda dari tanah Sumatera Selatan, Palembang

PULAU KEMARO
Kisah Cinta Sejati Antara Tan Bun An Dan Siti Fatimah

Pulau Kemaro adalah sebuah pulau kecil yang membentang diatas Sungai Musi. Sungai yang
memisahkan antara seberang ulu dan seberang ilir kota Palembang.

Dalam Bahasa Indonesia, Pulau Kemaro artinya sama dengan Pulau Kemarau. Dikatakan
demikian karena pulau ini tidak pernah dibanjiri oleh air walaupun pada saat sungai musi
mengalami pasang naik.

Pulau Kemaro ini selalu ramai dikunjungi oleh warga khususnya warga Tiong Hoa. Apalagi
ketika Cap Go Meh tiba.

Diatas pulau ini ada sebuah Pagoda China. Dan yang paling terkenal adalah "POHON
CINTA". Konon menurut penduduk asli setempat, bila dua orang pasang kekasih mengukir
namanya di Pohon Cinta tersebut maka cinta mereka akan abadi.
Ada sepenggal kisah cinta yang romantis dibalik terbentuknya Pulau Kemaro ini. Mari kita
simak ceritanya.

Dahulu kala ada seorang putri raja Palembang yang cantik jelita bernama Siti Fatimah.
Wajahnya sangat menawan. Sehingga banyak pemuda-pemuda kaya yang datang
berbondong-bondong untuk mempersuntingnya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang
berhasil, karena sang raja hanya menginginkan menantu yang berasal dari keturunan
bangsawan dan yang sederajat dengannya.

Bersamaan pada waktu itu ada seorang pemuda dari negeri China bernama Tan Bun An
bersama awak kapalnya berlabuh di negeri melayu tersebut dengan maksud untuk berdagang.

Tan Bun An rupanya bukanlah seorang pelayar biasa. Dia adalah putra mahkota dari raja
China yang bermaksud untuk membuat hubungan dagang dengan kerajaan Palembang. Lalu
dia menemui raja Palembang untuk menyampaikan maksud dari kedatangannya tersebut.

Raja Palembang menyambut kedatangan Tan Bun An dengan baik dan ramah. Sejak itu,
setiap hasil yang didapat oleh Tan Bun An dari perdagangannya dibagikan kepada raja
Palembang sesuai dengan perjanjian.

Hingga pada suatu waktu, Tan Bun An bertemu dengan Siti Fatimah. Tan Bun An sangat
terpesona melihat kecantikan Siti Fatimah. Siti Fatimah pun tertarik dengan sosok pemuda
yang gagah dan penuh sopan-santun tersebut. Akhirnya mereka pun saling jatuh cinta.

Tan Bun An tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Lalu dia membulatkan hatinya
untuk melamar Siti Fatimah. Alangkah senangnya sang raja mendengar berita yang
disampaikan oleh sang putra mahkota raja China tersebut. Karena Tan Bun An sangat
memenuhi kriteria yang diinginkannya.

Namun sang raja meminta sebuah persyaratan yang harus dipenuhi oleh Tan Bun An, yaitu
sembilan buah guci yang berisi emas sebagai mas kawin untuk putrinya. Tan Bun An pun
menyanggupi persyaratan sang raja tersebut. Lalu ia menyuruh para pengawal dan awak
kapalnya untuk menyampaikan berita ini kepada orang tuanya yang tidak lain adalah
penguasa negeri china pada saat itu.
Awak bersama kapalnya pun kembali ke negeri China untuk menyampaikan surat dari Tan
Bun An kepada raja mereka. Sementara pernikahan Tan Bun An dan Siti Fatimah
dilangsungkan secara besar-besaran di Palembang.

Setelah enam bulan purnama, para awak kapal dan pengawal Tan Bun An kembali dari negeri
China bersama sebuah surat dari orang tuanya dan sembilan buah guci berisi emas yang
dipinta oleh raja Palembang. Namun guci-guci tersebut sengaja ditutupi oleh sayur-sayuran
agar agar terhindar dari perompak laut.

Mendengar berita ini, Tan Bun An bersama Siti Fatimah dan dayang-dayang bergegas
menemui awak kapal dan pengawalnya tersebut dibantaran sungai Musi Palembang.

Dalam surat yang disampaikan oleh orang tuanya itu, mereka meminta maaf kepada Tan Bun
An putranya karena tidak dapat berkunjung ke Palembang untuk melihat menantu mereka
yang cantik jelita tersebut. Sedangkan sesuai dengan permintaan raja Palembang, mereka
sudah menyiapkan sembilan buah guci berisi emas tersebut diatas kapal.

Alangkah senangnya Tan Bun An setelah membaca surat dari orang tuanya itu. Dengan
semangat, kemudian ia pun naik ke atas kapal bersama Siti Fatimah untuk memeriksa ke
sembilan guci tersebut.

Namun alangkah terkejutnya Tan Bun An saat mendapati isi dari guci pertama hanyalah
berupa sayur-sayuran. Belum lagi sayur-sayuran tersebut sudah membusuk dan melepaskan
aroma yang tidak sedap.

Dalam hatinya berkata, bagaimana dia bisa menemui mertuanya raja Palembang itu kalau
ternyata yang ia bawa adalah guci berisi sayur-sayuran yang sudah membusuk. Pastinya dia
akan sangat malu sekali.
Tan Bun An pun marah dan melemparkan guci tersebut keatas sungai musi. Begitu juga
dengan guci-guci kedua, ketiga, ke-empat dan seterusnya. Hingga guci yang ke-sembilan,
saat Tan Bun An ingin melemparkannya keatas sungai musi tiba-tiba ia tersandung sesuatu
dan jatuhlah guci tersebut hingga pecah diatas kapal.

Betapa terkejutnya Tan Bun An, saat ia melihat ada batangan-batangan emas berhamburan
dari dalam guci itu. Ia pun menyesal. Lalu menyeburkan diri kedalam sungai Musi dengan
maksud mengambil emas-emas itu.
Siti Fatimah yang cemas dengan keadaan Tan Bun An yang tak kunjung timbul ke
permukaan sungai ikut menceburkan diri kedalam sungai Musi. Sebelum itu ia mengatakan
sesuatu kepada para dayangnya. Jika ada seonggok tanah muncul diatas permukaan sungai
Musi ini, maka berarti itu adalah makamnya.

Para dayang, awak kapal, dan pengawal Tan Bun An yang setia kemudian ikut
menenggelamkan diri kedalam sungai Musi bersama kapalnya.

Setelah beberapa bulan dari peristiwa itu Tan Bun An, Siti Fatimah, beserta dayang-dayang
dan para pengawal Tan Bun An tak kunjung ditemukan lagi. Mereka hilang dikedalaman
sungai Musi bagaikan ditelan bumi.

Lalu muncul sedikit demi sedikit seonggok tanah diatas permukaan sungai Musi seperti yang
dikatakan oleh Siti Fatimah sebelum ajalnya. Hingga sekarang seonggok tanah yang sedikit
demi sedikit itu membentuk sebuah pulau kecil ditengah-tengah sungai Musi yang dinamakan
Pulau Kemaro. Pulau yang selalu tampak seperti mengalami musim kemarau yang tak pernah
usai. Walaupun keadaan sungai Musi sedang pasang naik.
NAMA : Muhammad Ridho Miqraz

KELAS : III.B

Si Pahit Lidah Dan Si Mata Empat Mata

Zaman dahulu, di daerah Banding Agung, Sumatera Selatan, hiduplah dua jawara yang gagah
perkasa. Mereka sangat dikenal oleh masyarakat Banding Agung dan disegani lawan-
lawannya. Kedua pendekar itu memiliki julukan si Pahit Lidah dan si Mata Empat.

Suatu hari, si Pahit Lidah datang menemui si Mata Empat. Ia berkata, "Hai Mata Empat,
kudengar kau sangat sakti. Tapi, kurasa kesaktianmu tidaklah sebanding denganku."

Merasa diremehkan oleh si Pahit Lidah, si Mata Empat pun berkata, "Apa maksudmu? Kau
pikir sehebat apa dirimu? Untuk membuktikan siapa yang paling sakti diantara kita, ayo kita
adu kesaktian!"

"Baiklah, aku terima tantanganmu. Masing-masing dari kita nanti harus menelungkup di
bawah rumpun bunga aren. Kemudian, bunga aren itu dipotong. Siapa yang bisa menghindar
dari bunga aren tersebut, dialah yang menang," jelas si Pahit Lidah menantang.
Akhirnya, mereka bersepakat menentukan waktu untuk beradu kekuatan. Hari berganti,
waktu yang telah ditentukan pun tiba. Si Mata Empat mendapat giliran pertama. Sesuai
dengan namanya, si Mata Empat memiliki empat mata, yaitu dua di depan dan dua di
belakang (kepalanya).

Dengan gesit, si Pahit Lidah memanjat pohon aren dan berhasil memotong bunganya.
Sementara, si Mata Empat menelungkup badannya di bawah rumpun pohon tersebut. Dibantu
oleh kedua matanya yang terletak dibelakang kepala, si mata empat pun berhasil menghindari
bunga aren yang telah dipotong dari pohonnya oleh si pahit lidah. selamatlah si Mata Empat.

Kini, giliran si Mata Empat untuk memanjat pohon aren. Sedangkan, si Pahit Lidah
menelungkupkan badannya di bawah rumpun pohon tersebut. Tidak kalah gesitnya si Mata
Empat memanjat. Setelah sampai di atas, ia memotong bunga aren. Dengan cepat, bunga aren
tersebut meluncur ke bawah. Si Pahit Lidah yang tidak mengetahui bunga aren itu telah
dipotong, hanya menelungkup tanpa menghindar. Akibatnya, tubuh si Pahit Lidah terkena
hujaman bunga aren. Seketika itu juga ia tewas.

Melihat kematian si Pahit Lidah, hati si Mata Empat menjadi puas. Kini, dialah yang paling
sakti di antara jawara yang lain. Namun, dibalik rasa puasnya, si Mata Empat masih merasa
penasaran tentang nama si Pahit Lidah.

"Dia pikir dia itu hebat?" Ucap Mata Empat melihat ke arah mayat Pahit Lidah.

"Tapi, mengapa dia dipanggil si Pahit Lidah? Apakah lidahnya benar-benar pahit?" pikir si
Mata Empat.

Karena penasaran, si Mata Empat pun menghampiri mayat si Pahit Lidah. Setelah itu,
dibukalah mulut si Pahit Lidah. Setelah dilihat-lihat dengan teliti, ternyata lidah milik si Pahit
Lidah tidak jauh berbeda dengan lidah miliknya.

"Benarkah lidah pahit?" tanya si Mata Empat dalam hati sambil menempelkan telunjuknya ke
lidah si Pahit Lidah. Kemudian, ia kecap jari telunjuknya yang telah terkena liur si Pahit
Lidah itu ke lidahnya. "Memang terasa sangat pahit," ujarnya kembali dalam hati.
Akan tetapi, ia tidak mengetahui bahwa rasa pahit itu adalah racun yang berada di lidah si
Pahit Lidah. Akibatnya, si Mata Empat pun tewas.

Kini, tidak ada lagi jawara yang terkenal saat itu. Mereka tewas akibat kesombongannya
sendiri. Mayat si Mata Empat dan si Pahit Lidah pun dimakamkan di tepi Danau Ranau.
Danau itu masih ada sampai sekarang dan menjadi objek wisata yang pemandangannya
sangat indah.

Pesan Moral :

Tidak ada gunanya menyombongkan diri. Sebab, sifat sombong dapat mencelakakan diri kita
sendiri. Jadilah orang yang rendah diri walaupun memiliki kemampuan lebih dari orang lain.
Sejarah kisah hidup Gajah Mada sebagai seorang sosok yang berpengaruh dimulai kira-kira
tahun 1313, dan berdasarkan manuskrip, puisi, dan mitologi dari tanah Jawa, Gajah Mada
merupakan seorang panglima perang yang sangat berpengaruh di kerajaan Majapahit pada
zaman itu. Kejadian yang menjadikannya patih adalah ketika Sri Jayanagara memerintah.
Dilanjutikan pada masa Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi, Gajah Mada menanjaki tangga
jabatannya lagi dan diangkat menjadi Mahapatih. Kedudukan tertinggi yang pernah ia pegang
adalah Amangkubumi yang setara dengan Perdana Mentri, dimana pada saat ia menjadi
Amangkubumi inilah Majapahit ia hantarkan kepada puncak gunung emas kejayaan.

Sejarah Kisah Hidup Gajah Mada Yang Menginspirasi


Hampir tidak ada yang diketahui tentang sejarah kisah hidup Gajah Mada kecil, selain
beberapa tulisan yang menceritakan bahwa ia merupakan anak dari kalangan rakyat jelata.
Namun ada beberapa catatan mengenai awal karirnya sebagai Begelen, kepala Bhayangkara
yang merupakan tentara elit bertugas untuk menjaga raja-raja serta keluarga dari para raja
Majapahit. Suatu ketika, Rakrian Kuti yang merupakan salah satu elit Majapahit
merencanakan sebuah pemberontakan terhadap raja Majapahit di tahun 1321, Jayanegara. Hal
ini menyebabkan Gajah Mada dan mahapatih masa itu yang bernama Arya Tadah membantu
sang Raja bersama keluarganya untuk kabur menuju ibukota Trowulan. Beberapa saat setelah
kejadian itu, Gajah Mada kembali ke kerajaan dan membantu mengakhiri pemberontakan
oleh Ra Kuti sehingga ia mendapatkan gelar Patih.
Ada beberapa sumber yang menceritakan masa akhir pemerintahan Jayanegara sebelum
akhirnya digantikan oleh Tribhuwana. Satu versi mengatakan bahwa Jayanegara dibunuh
oleh Rakrian Tanca yang pada masa itu menjabat menjadi tabib kerajaan yang merupakan
antek dari Rakrian Kuti. Versi lainnya yang tertulis dalam Negarakertagama dan dipastikan
kebenarannya lewat beberapa prasasti yang ada pada abad ke-13 dan awal abad ke-14,
menyatakan yang membunuh Jayanegara adalah Gajah Mada dan hal itu terjadi pada tahun
1328. Dalam tulisan di prasasti dan Negarakertagama, diceritakan bahwa Jayanegara amat
berlebihan dalam hal proteksi terhadap dua adiknya yang lahir dari ratu termuda Kertarajasa
yaitu Dyah Dewi Gayatri. Komplain yang datang dari kedua putri muda ini menuntun kepada
intervensi Gajah Mada dimana ia mengambil solusi yang drastis, yaitu memerintahkan
seorang ahli bedah untuk membunuh sang raja sambil berpura-pura sedang melakukan
operasi penting.
Sejarah kisah hidup Gajah Mada sebagai Mahapatih dimulai pada masa pemerintahan
Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi. Tepatnya tahun 1329, Arya Tadah yang masih duduk di
posisi Mahapatih menyatakan bahwa ia ingin mengundurkan diri, dan menunjuk Gajah Mada
sebagai penerusnya. Hal ini tidak langsung disetujui oleh Gajah Mada sendiri, karena ia
berpikir bahwa jasanya kepada Majapahit belum cukup, dan demi hal itu ia berjanji untuk
menghentikan terlebih dahulu pemberontakan yang sedang terjadi yang didalangi oleh Keta
dan Sadeng. Benar saja, tak butuh waktu lama, Keta dan Sadeng langsung tunduk, membuat
Gajah Mada akhirnya diangkat sebagai Mahapatih secara resmi oleh Tribhuwana pada tahun
1334.
Mungkin salah satu hal yang paling bisa diingat tentang Gajah Mada dan Majapahit adalah
sumpah yang disuarakan olehnya yaitu sumpah Palapa. Sumpah ini disuarakan oleh Gajah
Mada pada saat ia diangkat menjadi Amangkubumi di tahun 1336. Isi dari sumpah tersebut
adalah bagaimana Gajah Mada tidak akan mengecap “rempah” sebelum Nusantara berhasil
ditundukkan. Sumpah ini memiliki banyak makna, dan arti sesungguhnya hanya Gajah Mada
yang tahu. Beberapa orang menganggap bahwa Gajah Mada tidak akan memperbolehkan
makanannya diberikan rempah apapun (pala apa = rempah apapun). Beberapa orang lain juga
menganggap sumpah ini berarti Gajah Mada tidak akan mencicipi kenikmatan dunia
berbentuk apapun sebelum ia berhasil menaklukkan seluruh daerah di kepulauan yang kelak
menjadi Indonesia tersebut.
Perjalanan hidup Gajah Mada mencapai puncaknya ketika ia berhasil memenuhi sumpah
Palapa yang bahkan diragukan oleh teman-teman dekat dari Gajah Mada sendiri. Meski
begitu, ia berhasil menepis ketidak percayaan orang-orang yang menganggapnya terlalu
ambisius dengan pertama menaklukkan Bedahlu di Bali dan Lombok pada tahun 1343.
Setelah mengurus kedua area baru itu, ia mengirim pasukan laut ke arah barat untuk
menyerang sisa-sisa kerajaan maritim Sriwijaya yang ada di Palembang. Ia juga
menempatkan Adityawarman yang saat itu merupakan pangeran dari Majapahit untuk
menjadi pemimpin daerah jajahan di Minangkabau, Sumatra Barat. Penundukkan yang ia
lakukan berlanjut hingga kesultanan pertama di Asia Tenggara, yaitu Samudra Pasai. Gajah
Mada juga berhasil menundukkan Bintan, Tumasik (Singapura), Melayu, dan Kalimantan.
Ketika Tribhuwana mengundurkan diri sebagai ratu, anaknya yang bernama Hayam Wuruk
naik tahta menjadi raja, dan Gajah Mada tetap ditunjuk sebagai Amangkubumi. Di bawah
pemerintahan raja yang baru, Gajah Mada berhasil menundukkan Logajah, Seram, Gurun,
Sasak, Buton, Hutankadali, Banggai, Kunir, Salayar, Galiyan, Solor, Bima, Banda, Sumba,
Dompo, Ambon, dan Timur. Dengan begini, ia juga berhasil mencapai janjinya dan
membentuk purwarupa daerah Indonesia modern ditambah dengan Temasek (sekarang
Singapura), Malaysia, Brunei, Timor Timur, dan Filipina bagian selatan.
Sejarah kisah hidup Gajah Mada menginspirasi banyak hal kepada nasionalisme bangsa
Indonesia. Soekarno juga sering mengutip kata-kata Gajah Mada yang ia nilai adalah sebuah
inspirasi dan bukti sejarah kejayaan Indonesia. Nama Mahapatih yang satu ini juga
diabadikan sebagai nama jalan di beberapa daerah di Indonesia dan sebagai nama salah satu
universitas di Yogyakarta. Dalam kultur pop, sosok Gajah Mada sendiri bisa ditemui pada
permainan video yang berjudul Sid Meier’s Civilization V sebagai pemimpin peradaban
Indonesia.
Asal Usul Bukit Siguntang

Cerita Rakyat Asal Usul Terjadinya Bukit Si Guntang ~ Gunung Merapi di Sumatera
Barat, Bukit si Guntang di Jambi, dan Bukit si Guntang-guntang di Palembang, ketiganya
mempunyai sejarah asal-usul yang sama. Pada zaman dahulu tersebutlah sebuah
kerajaan yang bernama Selado Sumai. Negeri itu diperintah oleh seorang raja yang arif
lagi bijaksana. Raja Negeri itu ada mempunyai sebuah pedang pusaka yang diturunkan
secara turun-temurun, tapi sayang senjata tersebut tiba-tiba hilang tanpa diketahui ke
mana perginya. Kalau di curi orang siapa yang mencurinya. Ke daerah mana dilarikan.
Periswtiwa ini sangat mengharubirukan sang raja.

Pedang pusaka yang keramat serta bertuah itu bernama Pedang Surik meriang sakti
sumbing sembilan puluh sembilan. Raja telah bertekad agar pusaka yang hilang itu
harus ditemukan segera. Maka untuk menemukan kembali pedang pusaka itu,
dipanggilah seorang hulubalang kerajaan yang amat terkenal bernama Datuk Baju
Merah Berbulu Kerongkongan. Disebut Datuk Baju Merah, karena setiap kali turut
berperang bajunya selalu merah oleh darah. Dan disebut berbulu Kerongkongan, karena
ketika dilahirkan kerongkongannya ditumbuhi bulu. Kewpada beliau inilah raja
mempercayakan untuk mencari pedang pusaka yang hilang itu.

Ketika Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan mendapat tugas ini beliau
menerimanya dengan senang hati tanpa membantah sedikit juapun. Sebagi hulubalang
kerajaan, beliau tahu benar dengan tugasnya. Maka pergilah beliau masuk hutan
mencari pedang pusaka yang hilang itu. Belau tanpa takut sedikit juapun bertualang
sampai ke sebuah goa. Diputuskannyalah untuk memasuki goa itu. Goa itu nampak
sangat gelap. Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan melangkahi satu-satu dengan
pasti menyusup berpegangan kepada dinding goa yang keras dan dingin. kalau
semenjak tadi goa itu gelap, tidak demikian halnya pada bagian dalam. Di bagian
sebelah ke ujung goa itu namapak terang sekali, rupanya, dibagian itu ada lobang
disebelah atas. Melalui lobang itu cahaya matahari bebas menerpa dasar goa. Sesampai
disana Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan amat terkejut di sebuah batu yang
tampak dilihatnya seorang tua sedang duduk bertapa, mulut orang tua bertapa itu
nampak komat-kamit mengucapkan sesuatu. Di haribaannya terlintang, sebuah pedang.
Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan nanar memeperhatikan benda tersebut.
Menurut hematnya itulah pedang Surik meriang, sakit sumbing sembilan puluh
sembilan yang hilang dari kerajaan Selado Sumai yang sedang dicarinya.

Setelah menunggu beberapa saat berserulah, beliau menyapa orang asing yang sedang
bertapa itu. Ooi, Datuk yang sedang bertapa! Siapa gerangan Datuk Sebenarnya, dari
negeri mana Datuk datang.

Mendengar ada suara manusia petapa itu dengan suatu gerakan menoleh kearah
datangnya suara itu. Dari sikapnya ia tidak merasa takut sedikitpun mendengar sapaan
yang tiba-tiba itu. Dengan suara keras ia menghardik. “Tutup mulutmu jangan banyak
omong takkan engkau ketahui bahwa aku sedang bertapa? Ketahuilah olehmu bahwa
akulah yang bernama Panglimo Tahan Takik, berasal dari Ranah Pagaruyung. Siapa
engkau gerangan yang selancang ini. Ada keperluan apa makanya engakau sampai
kemari.”

“Hamba? hamba bernama Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan, hulubalang


kerajaan selado sumai. Maksud hamba datang ke mari hendak mencari pedang pusaka
negeri Selado Sumai yang hilang. Pedang itu bernama pedang surik meriang sakti
sumbing sembilan puluh sembilan. Kalau hamba tak salah lihat, pedang pusaka itu ada
di haribaan Datuk Panglimo!

“Kurang ajar!” raung panglimo Tahan Takik. Ia pun lalau tegak dan langsung menyerang
Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkong. Perkelahian sudah tak dapat dihindarkan lagi.
Mula-mula saling tendang-menendang, kemudian. Saling hempas-menghempas. Bunyi
pekik dan raung bersipongganga melantun-lantun di diniding goa. Binatang-binatang
yang ada, disekitar goa itu bertemperasan lari. Mana yang berdiam di atas pohon
beerloncatan ketakutan, daun-dau kayu berguguran kena terjang binatang yang
berlompat-lompatan. perkelahian makin seru, tanpa ada tanda-tanda yang kalah dan
yang menang. Kedua, manusia itu namapak seimbang. sama-sama sakti dan bertuah.
Dinding goa pecah-pecah kena sepak dan kena hempasan tangan kedua jagoan itu.

Bila malam telah datang mereka saling menghentikan perekelahian untuk sama-sama
beristirahat. Istirahat semalam suntuk cukup untuk memulihkan kekuatan. Esoknya
matahari mulai bersinar lagi. Perkelahian pun dilanjutkan makin dahsyat. Gerakan
mereka berpindah-pindah dari tempat yang terang ke tempat yang gelap. Terkam-
menerkam, hempas-menghempas. Melompat, berpalun bertumbukan. Tak Jarang buku
tangan kedua dubalang itu beradu, berdetak, menggelegar, menerbitkan api. Dindidng
goa makin banyak yang runtuh.. Untunglah kemduaian malam datang pula
memperhatikan perkelahian yang mengerikan itu.
Kokok ayam Derogo telah lama berhenti. Kicau murai dan cicit burung kecil-kecil mulai
terdengar. Matahari musim kemarau mulaimemanasi daun-daun kayu. kedua dubalang
itu mulai, bersiap-siap tanap mengeluarkan sepatah katapun. Maka mereka bersinar
marah saling mengawasi gerak lawan. inilah hari yang keenam mereka berkelahi. Tubuh
kedua pendekar itu nampak bergulung-gulung hempas-menghempas. Sebentar-
sebentar terdengar suara pekikan, bersipngan terpantul-pnatul di anatar kedua sisi
dinding goa. Batu pecahan dinding goa makin bertambah banyak berguguran.
Perkelahian ini, memang semakin tinggi dan hebat. Tapi sungguh sangat menarik belum
ada tanda-tanda yang akan kalah dan yang akan menang. Matahari telah pula tergelincir
di ufuk barat. Malam telah tiba, kedua dubalang itu sama-sama menghentikan gerakan
dan saling menjauhkan diri, mundur dan beristirahat. Datuk Baju Merah bergegas
keluar goa agaknya mencari dedaunan untuk dimakannya. Datuk Tahan Takik
demikaina pula keluar mencari apa-apa yang dapat dimakannya. Tak obahnya kedua
orang itu bagaikan musang raksasaa yang mencari makan di wkatu malam hari. Setelah
perut mereka kenyang mereka sama-sama beristirahat dan melepaskan mata.

Matahari pagi telah tiba, mengawali hari ketujuh dlama mengikuti perkelahian antara
kedud pendekar yang tangguh di dalam sebuah goa ditengah rimba raya negeri Selado
Sumai. Pada yang ketujuh ini tempat elah berpindah kbagian luar. Perkelahian sudah
semakin hebat. Pohon-pohon kayu banyak yang tumbang. Permukaan tanah bagaikan
tercukur terinjak, kaki dan himpitan tanah keuda pendekar yang berkelahi mati-matian
itu.

Entah salah dalam melangkah, entah nasib lagi sial, dapatlah Datuk Baju Merah Bebulu
Kerongkongan menangkap kaki Panglimo Tahan Takik yang segera menghmpaskannya
ke banir kayu. Pada saat tubuh Panglomo Tahan Takik terhempas itu, pedang surik
meriang sakti sumbing sembilan puluh sembilan terlepas dari pengangannya dan
terpental keudara.

Melihat ini segera Datuk Baju Merah B erbulu Kerongkongan melepaskan kaki Panglimo
Tahan TAkik dan tubuhnya membumbung ke udara mengikuti arah pedang dan lalu
menangkapnya. Ketika kakinya menjejak tanah, tanpa buang waktu larilah Datuk Baju
merah Berbulu Kerongkongan membawa pedang pusaka yang tergenggam ditangannya.

Datuk Panglimo Tahan Tekik sadar bahwa pedang yang mereka perebutkan telah
berhasil diambil lawannya, segera berdiri dan mengejar Datuk Baju Merah Berbulu
kerongkongan. kedua pendekar itu berkeja-kejaran sejadi-jadinya. Penghuni rimba,
binatang besar kecil, berlarian pontang-panting ketakutan.

Sudah tujuh lurah tujuh pematng yang mereka lalui, akhirnya sampailah ke sebuah
tanah lapang yang maha luas. Sesayup-sayup mata memandang rumput hijau papak
belaka. Di atas padang datar itulah kedua pendekar masih saling kejar-mengejar.
Namun tiba-tiba mereka berhenti, dimuka mereka nampak seekor ular besar sedang
menghadap siap menelan barang siapa yang berani mendekat.
Melihat hal ini kedua pendekar yang bermusuhan itu saling mendekat penuhg
pengertian. mereka mulai mengadakn perundingian. “Di depan kita melintang ular
besar yang akan mellur kita, Datuk Panglimo, “kata Datuk Baju Merah Berbulu
Kerongkongan. “Menurut hemat hamba, barang siapa yang sanggup membunuh ulr itu,
dialah yang berhak memiliki pedang surik meriang sakti sumbing sembilan puluh
sembilan ini. Setujukah Datuk penglimo?

“Kalau demikian ujudnya, “jawab Datuk Panglimo tahan Takik gembira, “hamba setuju
sekali.”

Selesai berucap demikian Datuk Panglimo Tahan Takik lalu menghunus, keris.
Panjangnya bergegas menuju ke tempat ular besar telah siap pula menunggunya.
sesampai disana ditikamnyalah ular besar tersebut sekuat-kuatnya. Begitu ujung keris
Datuk Panglimo mencecah di kulti ular, terdengar bunyi berdencing keras memekakkan
telinga. Keris tersebut terpental. Pangkal ketiak Datuk Panglimo merasa kesemutan.
Dilihatnya keris panjang itu bengkok sepuluh, sedang kulit ular itu sendiri tidak cedera
sedikit juapun.

Datuk Panglimo merasa sangat kesal. Di pihak lain, terdengar gelak mengkkak Datu Baju
Berahg Berbulu Kerongkongan mengejek lawannya. Datuk Panglimo tentu saja sangat
marah dibuatnya. Keringatnya membasahi muka dan sekujur tubuhnya, matanya
mendelik menengadah ke awang-awang. Ia pun mencabut keris pendek yang tersisip di
puinggangnya. Diugasaknya menikamkan senjata tersebut kebadan ular besar yang
mengerikan itu.

“Terimalaha tikaman mautku ini ular keparat! terdengar raung Datuk Panglimo seraya
menghujamkan kerisnya kuat-kuat. Ya Tuhan ular tadi tidak juga cidera sedikit pun.

Melihat temannya tidak mampu membunuh ular besar yang melintang dan menghalangi
perjalanan mereka, Datuk Baju Merah Berbulu Kerongkongan berdiri dalam, sikap
seorang dubalang. Sebentar matanya melirik kepada pedang surik meriang sakti yang
dipegangnya. Ia melangkah lambat-lambat secara menyakinkan. Sambil melangkah itu
ia Mengucapkan kata sakti dan himbauan.

“Kalau benar engkau pedang surik meriang sakti sumbing sembilan puluh sembilan,
pusaka Kerajaan Selado Sumai, Sobeklah olehmu kulit ular itu dan putuskan urat-urat
nadinya. Selesai berucap yang demikian dicabutnyalah pedang tersebut. Tentu saja ia
berhajat untuk segera menetak badan ular itu. Tiba-tiba keluar cahaya seperti kilat dari
senjata pusaka milik negeri Selado Sumai, serentak dengan itu dihunjamkannyalah
senjata itu sekuat-kuatnya.

Terpungkus dan potongan tiga badan ular besar tersebut melihatr kenyataan ini, Datuk
Panglimo Tahan Takik sangat marah. Ia melompat kesamping, serentak dengan itu
ditendangnya kepala ular itu sekuat-kuatnya. Kepala ular itu terlempar ke udara
bersiutan dan jatuh di Ranah Minangkbabu, yang lama-kelamaan menajdi gunung
Merapi seeprti yang ada sekarang. Ekornya diangkatnya menjadi tangan lalu
dilemparkannnya jatuh ken negeri Pelembang menjadi Bukit Siguntang-guntang.
Sedang perutnya, bagian tangah dibiarkan saja tertinggal di Jambi di daerah Sumai
menjadi Bukit Si Guntang. Itulah sejarah asal-usul terjadinya Bukit Siguntang.
Cerita Rakyat Palembang: Ratu Bagus Kuning dan
Siluman Kera

Pada masa Kesultanan Palembang, sekitar abad ke-16, di wilayah Batanghari Sembilan
mulai masuk penyebar agama Islam. Salah satu diantaranya adalah seorang perempuan
yang dianggap suci bernama Bagus Kuning. Konon, ia adalah salah satu murid dari
sembilan wali di Pulau Jawa yang dikenal dengan nama Walisongo.Kehadirannya di
Palembang adalah untuk menyebarkan agama Islam.

Perjalanan menuju Palembang tentu saja tidak mudah. Banyak halangan dan rintangan
yang harus ia hadapi dan atasi. Demikian pula dengan ajaran yang disampaikannya, tidak
begitu saja diterima oleh penduduk setempat. Bahkan ia sering harus bertarung dan siap
mengorbankan jiwanya demi menyebarkan ajaran Rasulullah. Beruntunglah dia memiliki
bekal kepandaian yang cukup hebat untuk membela diri sehingga banyak musuh yang
dapat ditaklukkan dan turut memeluk agama Islam.

Ketika Bagus Kuning memasuki wilayah perairan Batanghari, ia pun harus berhadapan
dengan para pendekar setempat yang berilmu tinggi. Namun ia tetap menghadapinya
dengan sabar dan memantapkan keyakinannya bahwa cukuplah Allah SWT pelindung dan
penolong baginya. Pada akhirnya ia mampu menaklukkan para pendekar di wilayah
batanghari ini, konon ada 11 penghulu yang dipercaya masyarakat sebagai pengikut setia
Bagus Kuning, yaitu Penghulu Gede, Datuk Buyung, Kuncung Emas, Panglima Bisu,
Panglima Api, Syekh Ali Akbar, Syekh Maulana Malik Ibrahim, Syekh Idrus, Putri Kembang
Dadar, Putri Rambut Selako, dan Bujang Juaro.

Setelah mampu menguasai wilayah Batanghari, Bagus Kuning dan anak buahnya pun
memasuki tengah kota Palembang. Kemudian mereka singgah di bagian hulu kota yang
sekarang dikenal dengan nama Plaju. Di tempat ini mereka mendapati suatu dataran rendah
yang ditumbuhi pohon-pohon besar yang rindang dan teduh. Mereka pun beristirahat
dengan nyaman.

Setelah bermalam barulah Bagus Kuning menyadari tempat tersebut bukanlah tempat yang
aman. Tempat yang berada di tepia sungai Musi itu ternyata merupakan kerajaan Siluman
Kera. Para siluman kera di tempat ini tampaknya merasa terganggu dengan kedatangan
rombongan Bagus Kuning dan mencoba untuk menakut-nakuti.

“Maaf, kami tidak bermaksud untuk mengganggu. Kami hanya menumpang singgah untuk
melepas lelah karena kami lihat tempat ini cukup indah dan nyaman,” berkata Bagus Kuning
kepada rombongan siluman kera.

Namun, para siluman kera tidak mau tahu. Mereka mengancam akan membunuh
rombongan Bagus Kuning jika mereka tidak mau pergi meninggalkan wilayah kekuasaan
siluman kera ini.
“Kami mendengar bahwa kalian adalah para penyebara ajaran Islam, pantang bagi kami
untuk melepaskan kalian karena itu sama saja kami membantu kalian!", ucap Raja Siluman
Kera.

Tampaknya percekcokan antara Bagus Kuning dan Raja Siluman tak dapat dielakkan lagi
dan keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Akhirnya pertarunganpun tak dapat
terhindarkan lagi. Mereka dan pasukannya masing-masing saling menyerang dan saling adu
kekuatan.

“Hai Raja Siluman Kera, aku tidak mau mengorbankan banyak teman-temanku hanya untuk
menghadapimu. Sebagai pemimpin disini aku ingin mengajukan sebuah perjanjian
kepadamu, jika aku kalah menghadapi satu lawan satu makan aku akan tunduk kepadamu.
Sebaliknya, jika kau yang ku kalahkan maka kau harus tunduk kepadaku!’’ tantang Bagus
Kuning.

“Tidak masalah bagiku, hai Bagus Kuning! Hai rakyatku, kalianlah saksi atas perjanjian ini
yang mana jika aku dapat dikalahkan oleh perempuan ini maka aku dan juga kalian harus
tunduk dan patuh terhadap manusia perempuan ini. Bahkan jika kau menang hai Bagus
Kuning maka akan ku angkat kau sebagai ratu kami.” Balas Raja Siluman Kera dengan
nada yang agak meremehkan.

Para siluman kera pun segara menepi untuk memberi ruang para Raja mereka. Demikian
pula para pengikut Bagus Kuning yang juga menepi sambil terus melafalkan doa-doa
keselamatan dan kemenangan bagi mereka.

Pertarungan akhirnya dimulai. Bumi bagaikan bergetar, pohon-pohon pun bergoyang


bagikan diayun-ayun angin besar, suara gemuruh mengiringi pertarungan ini tapi tak ada
angin. Ini semua karena kesaktian Raja Siluman dan kekuatan karomah Bagus Kuning.
Kedua-duanya adalah orang yang memiliki kekuatan yang sangat hebat dan seimbang
sehingga keduanya susah untuk merubuhkan musuh masing-masing.

Setelah beberapa lama, sejak pertarungan yang dimulai pagi hari kini matahari pun telah
berdiri tegak menyinari dengan teriknya akhirnya nampak jualah siapa yang bakal menjadi
pemenang dalam pertarungan ini. Beberapa kali Raja Siluman Kera terbanting keras.
Darahpun banyak keluar dari mulut dan hidungnya. Napasnya pun makin tersengal-sengal
dan wajahnya pucat. Namun sesekali ia masih dapat membalas dengan usahanya yang
sangat berat. Tapi karena kondisinya yang cukup parah setelah mendapatkan terjangan
maut dari Bagus Kuning ia pun roboh dan sang Raja Siluman kera ini mengaku kalah
(menyerah).

“Baiklah Bagus Kuning, hamba mengaku kalah, hamba menyerah. Kami semua takluk
padamu.” Kata Raja Siluman kera dengan lantang sambil bersujud dan memberi hormat
kepada Bagus Kuning yang diikuti oleh para siluman kera yang lain.

“Selanjutnya, setelah ini maka perjanjian yang kita buat tadi harus dijalankan, kau lah Ratu
kami hai Bagus Kuning.” Lanjut Raja Siluman Kera dan diikuti oleh penghormatan oleh para
siluman kera lainnya.
“Baiklah, tapi kalian tidak perlu bersujud begikut karena hal yang demikian ini adalah tidak
patut dilakukan karena aku hanyalah seorang manusia biasa begitu juga kalian yang
merupakan sama-sama makhluk Allah, bagiku hanya Dia (Allah SWT) yang patut disembah
dan patut dimintai pertolongan.’’ Kata Bagus Kuning.

Bagus Kuning pun akhirnya menetap di tempat itu bersama para pengikutnya. Sampai
kemudian para pengikutnya sepakat mendirikan keraton dengan Bagus Kuning sebagai
Ratunya. Sejak saat itu namanya resmi menjadi Ratu Bagus Kuning dan para siluman kera
pun tetap menetap di tempat itu dan tetap tunduk pada Ratu Bagus Kuning hingga pada
suatu hari Ratu Bagus Kuning pun wafat dan disemayamkan di lokasi keratonnya. Para
pengikutnya tetap setia dan terus menyebarkan ajaran Islam ke wilayah-wilayah lain. Para
siluman kera pun tetap setia menunggui makam Ratu Bagus Kuning. Konon, sampai
wafatnya Ratu Bagus Kuning tetap menjadi perempuan yang suci dan ia tidak pernah
menikah.

Sampai saat ini, lokasi tempat keraton Ratu Bagus Kuning dan sekitarnya disebut dengan
Bagus Kuning yang terletak di Kecamatan Plaju, Kota Palembang. Kini lokasi keraton sudah
tidak ada lagi karena tempat tersebut sejak zaman kolonial telah dijadikan lokasi perumahan
karyawan perusahaan minyak pemerintah yang kini bernama Pertamina. Kini hanya tersisa
makam yang dipercaya sebagai makam Ratu Bagus Kuning didalam kompleks perumahan
pertamina dan diantara Lapangan Golf Plaju yang masih sering diziarahi oleh masyarakat
muslim kota Palembang khususnya oleh waga Palembang keturunan Arab-Hadhramaut
yang merasa memiliki kedekatan hubungan emosional dan garis keturunan yang sama
karena di percaya pula bahwa Ratu Bagus Kuning adalah seorang Waliyah (Wali
Perempuan) dan seorang Syarifah (Perempuan keturunan Nabi Muhammad saw).

Para Siluman Kera kini dipercaya masih tinggal diwilayah tersebut terutama di Stadion Patra
Jaya Pertamina, Plaju yang konon katanya jumlah kera disitu tetap tidak berkurang dan tidak
lebih.

Kesimpulan
Cerita ini merupakan mithe bagi masyarakat Plaju Palembang. Hikmah yang dapat dipetik
dari ceritaini adalah hendaknya kita tidak takut dalam menegakkan kebenaran dan keadilan
dan menjalankan syariat Islam. Yakinlah Allah SWT akan menolong melindungi siapapun
hambanya yang beriman kepada-Nya.
LEGENDA PERI BULAN
Oleh Mila Nurhida

Wulan adalah seorang gadis desa yang miskin. Wajahnya agak suram, sebab ia menderita
penyakit kulit di wajahnya. Orang-orang desa sering takut jika berpapasan denganya. Wulan
akhirnya selalu menggunakan cadar.

Pada suatu malam, Wulan bermimpi bertemu dengan pangeran Rangga. Putra Raja itu
terkenal dengan keramahannya dan ketampanannya. Wulan ingin berkenalan dengannya. Ia
pun makin sering memimpikan Pangeran Rangga.

“Sudahlah, Wulan! Buang jauh-jauh mimpimu itu!“ kata Ibu Wulan, ketika melihat anaknya
termangu di depan jendela kamar. “Ibu tidak bermaksud menyakiti hatimu. Kamu boleh
menyukai siapa saja. Tapi Ibu tidak ingin akhirnya kamu kecewa,“ tutur Ibu Wulan lembut.

Sebenarnya Wulan juga sadar. Mimpinya terlalu tinggi. Orang-orang desa saja takut
melihatnya, apalagi pangeran Rangga. Pikir Wulan.

Pada suatu malam, Wulan melihat pemandangan alam yang sangat indah. Bulan bersinar
terang di langit. Cahayanya lembut keemasan. Di sekitarnya, tampak bintang-bintang yang
berkelap-kelip. Malam itu begitu cerah.

“Sungguh cantik!“ gumam Wulan. Matanya takjub memandang ke arah bulan.


Tiba-tiba saja Wulan teringat pada sebuah dongeng tentang Dewi Bulan. Dewi itu tinggal di
bulan. Ia sangat cantik dan baik hati. Ia sering turun ke bumi untuk menolong orang-orang
yang kesusahan. Di desa Wulan, setiap ibu yang ingin mempunyai anak perempuan, selalu
berharap anaknya seperti Dewi Bulan.

Dulu, ketika Wulan masih kecil, wajahnya pun secantik Dewi Bulan, menurut Ibu Wulan.
“Aku ingin memohon kepada Dewi Bulan agar aku bisa canti lagi seperti dulu. Tapi…, ah..,
mana mungkin! Itu pasti hanya dongeng!” wulan segera menepis harapannya. Setelah puas
menatap bulan, Wulan menutup rapat jendela kamarnya. Ia beranjak untuk tidur dengan hati
sedih.

Wulan adalah gadis yang baik. Hatinya lembut dan suka menolong orang lain. Suatu sore,
Wulan bersiap-siap pergi mengantarkan makanan untuk seorang nenek yang sedang sakit.
Meski rumah nenek itu cukup jauh, Wulan rela menjenguknya.

Sepulang dari rumah si nenek, Wulan kemalaman di tengah perjalanan. Ia bingung karena
keadaan jalan begitu gelap. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba, muncul ratusan kunang-
kunang. Cahaya dari tubuh mereka begitu terang.

“Terima kasih kunang-kunang. Kalian telah menerangi jalanku!“ ucap Wulan lega.
Ia berjalan, dan terus berjalan. Namun, meski sudah cukup jauh berjalan. Wulan tidak juga
sampai di rumahnya. Wulan tidak juga mememukan rumahnya.

“Kusara aku sudah tersesat!“ gumamnya panik. Ternyata para kunang-kunang telah
mengarahkannya masuk ke dalam hutan.

“Jangan takut, Wulan! Kami membawamu kesini , agar wajahmu bisa disembuhkan,“ ujar
seekor kunang-kunang.

“Kau?Kau bisa bicara?“ Wulan menatap heran seekor kunang-kunang yang paling besar.
“Kami adalah utusan Dewi Bulan,“ jelas kunang-kunang itu.

Wulan akhirnya tiba di tepi danau. Para kunang-kunang beterbangan menuju langit. Begitu
kunang-kunang menghilang, perlahan-lahan awan hitam di langit menyibak. Keluarlah sinar
bulan purnama yang terang benderang.

“Indah sekali!“ Wulan takjub. Keadaan di sekitar danau menjadi terang.


Wulan mengamati bayang-bayang bulan di atas air danau. Bayangan purnama itu begitu bulat
sempurna. Tak lama kemudian, tepat dari bayangan bulan itu muncullah sosok perempuan
berparas cantik.

“Si...siapa kau?“ tanya Wulan kaget.

“Akulah Dewi Bulan. Aku datang untuk menyembuhkan wajahmu,“ tutur Dewi Bulan
lembut. “Selama ini kau telah mendapat ujian. Karena kebaikan hatimu, kau berhak
menerima air kecantikan dariku. Usaplah wajahmu dengan air ini!“ lanjut Dewi Bulan sambil
memberikan sebotol air.

Dengan tangan gemetar Wulan menerimanya. Perlahan-lahan Dewi Bulan masuk kembali ke
dalam bayang-bayang bulan di permukaan air danau. Kemudian ia menghilang.
Wulan segera membasuh wajahnya dengan air pemberian Dewi Bulan. Malam itu, Wulan
tertidur di tepi danau.

Akan tetapi, sungguh ajaib! Esok harinya. Ia telah berada di kamarnya sendiri lagi. Ketika
bercermin, ia sangat gembira melihat kilit wajahnya telah halus lembut kembali seperti dulu.
Ia telah canti kembali. Ibunya heran dan gembira.

“Bu, Dewi Bulan ternyata benar-benar ada!“ cerita Wulan.

Dengan cepat kecantikan paras Wulan tersebar kemana-mana. Bahkan sampai juga ke telinga
Pangeran Rngga. Karena penasaran, Pangeran Rangga pun mecari Wulan. Keduanya
akhirnya bisa bertemu. Wulan sangat gembisa bisa bersahabat dengan pangeran pujaan
hatinya.
Nama : Zahara Novita Sari
Kelas : VII. G

Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari ( Jawa Tengah )

Pada jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah
Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Milah. Ayahnya
sudah lama meninggal. Sehari hari Jaka Tarub dan Mbok Milah bertani padi di sawah.

Pada suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri
seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan menyadari bahwa
itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri. Walaupun demikian, mimpi indah
barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur lagi. Ia keluar
dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang bintang di langit. Tak
terasa ayam jantan berkokok tanda hari sudah pagi.

Mbok Milah yang baru terjaga menyadari kalau Jaka Tarub tidak ada di rumah. Begitu ia
melihat keluar jendela, dilihatnya anak semata wayangnya sedang melamun. “Apa yang
dilamunkan anakku itu”, pikir Mbok Milah. Ia menebak mungkin Jaka Tarub sedang
memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya sudah lebih dari cukup. Teman teman
sebayanyapun rata rata telah menikah. Pikirannya itu membuat Mbok Milah berniat untuk
membantu Jaka Tarub menemukan istri.

Siang hari ketika Mbok Milah sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak Ranu pemilik
sawah sebelah menghampirinya. “Mbok Milah, mengapa anakmu sampai saat ini belum
menikah juga ?”, tanya Pak Ranu membuka percakapan. “Entahlah”, kata Mbok Milah
sambil mengingat kejadian tadi pagi. “Ada apa kau menanyakan itu Pak Ranu ?”, tanya
Mbok Milah. Ia sedikit heran kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi
anaknya. “Tidak apa apa Mbok Milah. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan
anakku Laraswati”, jawab Pak Ranu.

Mbok Milah terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia sangat
senang. Laraswati adalah seorang gadis perparas cantik yang tutur katanya lemah lembut.
Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati sebagai istrinya. Walaupun
demikian Mbok Milah tidak ingin mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar
bagaimanapun ia menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan
sendiri. “Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya dulu pada anak kita masing
masing”, kata Mbok Milah bijak. Pak Ranu mengangguk angguk. Ia pikir apa yang
dikatakan Mbok Milah benar adanya.

Hari berganti hari. Mbok Milah belum juga menemukan waktu yang tepat untuk
membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub
tersinggung. Mungkin juga Jaka Tarub telah memiliki calon istri yang belum dikenalkan
padanya. Lama kelamaan Mbok Milah lupa akan niatnya semula.

Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang pemburu
yang handal. Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya. Jaka Tarub seringkali
diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil. Pagi itu Jaka Tarub telah siap berburu ke hutan.
Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya. Iapun pamit pada ibunya.

Mbok Milah terlihat biasa biasa saja melepaskan kepergian Jaka Tarub. Ia berharap
anaknya itu akan membawa pulang seekor menjangan besar yang bisa mereka makan
beberapa hari ke depan. Tak lama kemudian Mbok Milah masuk ke kamarnya. Ia
bermaksud beristrihat sejenak sebelum berangkat ke sawah. Maklumlah, Mbok Milah
sudah tua.

Tak memakan waktu lama di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor
menjangan. Hatinya senang. Segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud
segera pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah asyik berjalan, tiba tiba
muncul seekor macan tutul di hadapan Jaka Tarub. Macan itu mengambil ancang ancang
untuk menyerang. Jaka tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan yang dipanggulnya
dan mencabut pedang dari pinggangnya. Sang macan bergerak sangat cepat. Ia segera
menggigit menjangan itu dan membawanya pergi.

Jaka Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget atas peristiwa yang baru dialaminya,
iapun merasa heran. Baru kali ini nasibnya sesial ini. Hewan buruan sudah ditangan
malah dimangsa binatang buas. “Pertanda apa ini ?”, pikirnya. Jaka Tarub segera menepis
pikiran buruk yang melintas di benaknya. Setelah beristirahat sejenak, ia segera berjalan
lagi.

Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa
kali, tak seekor hewan buruanpun yang melintas. Matahari makin meninggi. Jaka Tarub
merasa lapar. Tak ada bekal yang dibawanya karena ia memang yakin tak akan selama ini
berada di hutan. Akhirnya Jaka Tarub memutuskan untuk pulang walau dengan tangan
hampa.

Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang berjalan
tergesa gesa menuju ke arah yang sama. Bahkan ada beberapa orang yang berpapasan
dengannya terlihat terkejut. Walaupun merasa heran Jaka Tarub enggan untuk bertanya.
Rasa lapar yang menderanya membuat Jaka Tarub ingin cepat cepat sampai di rumah.

Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah nampak dari kejauhan. Banyak
orang berkerumun di depan rumahnya. Bahkan orang orang yang tadi dilihatnya berjalan
tergesa gesa ternyata menuju ke rumahnya juga. “Ada apa ya ?”, pikirnya. Jaka Tarub
mulai tidak enak hati. Ia segera berlari menuju rumahnya.

“Ada apa ini ?”, tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang orang terkejut dan menoleh
kearahnya. Pak Ranu yang memang menunggu kedatangan Jaka Tarub sedari tadi
langsung menghampiri dan menepuk nepuk bahu Jaka Tarub. “Sabar nak..”, katanya
sambil membimbing Jaka Tarub memasuki rumah.

Mata Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku diatas dipan di
ruang tengah. Beberapa detik kemudian Jaka Tarub menyadari kalau ibunya telah
meninggal. Jaka Tarub tak sanggup menahan air mata. Inilah bukti atas firasat buruk yang
kurasakan sejak pagi, pikirnya.

Jaka Tarub tak sanggup berbuat apa apa. Ia hanya termenung memandang wajah Mbok
Milah. Cerita Pak Ranu bahwa istrinya yang menemukan Mbok Milah telah meninggal
dunia dalam tidurnya tadi pagi tak dihiraukannya. Ia merenungi nasibnya yang kini
sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal belum memenuhi keinginan ibunya melihat ia
berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal kenangan. Kini ibunya telah
beristirahat dengan tenang.

Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu. Hampir setiap hari
ia berburu ke hutan. Hasil buruannya selalu ia bagi bagikan ke tetangga. Hanya dengan
berburu, Jaka Tarub bisa melupakan kesedihannya.

Seperti pagi itu, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan santai ia
berjalan menuju Hutan Wanawasa karena hari masih pagi. Ketika sampai di hutanpun
Jaka tarub hanya menunggu hewan buruan lewat di depannya. Tak terasa hari sudah
siang. Tak satupun hewan buruan yang didapat Jaka Tarub. Ia justru lebih banyak
melamun.

Karena rasa haus yang baru dirasakannya, Jaka Tarub melangkahkan kakinya kea rah
danau. Danau yang terletak di tengah Hutan Wanawasa itu dikenal masyarakat sebagai
Danau Toyawening. Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub menghentikan
langkah kakinya. Telinganya menangkap suara gadis gadis yang sedang bersenda gurau.
“Mungkin ini hanya hayalanku saja”, pikirnya heran.”Mana mungkin ada gadis gadis
bermain main di tengah hutan belantara begini ?”.

Dengan mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau
Toyawening. Suara tawa gadis gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub mengintip dari
balik pohon besar kearah danau. Alangkah terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh
orang gadis cantik sedang mandi di Danau Toyawening. Jantungnya berdegub makin
kencang.

Jaka Tarub memperhatikan satu satu gadis di danau itu. Semuanya berparas sangat cantik.
Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari
yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti mimpiku waktu itu ?”, pikirnya senang.

Mata Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar di pinggir
danau. Semua pakaian itu memiliki warna yang berbeda. “Jika aku mengambil salah satu
pakaian bidadari ini, tentu yang punya tidak akan dapat kembali ke kayangan”, gumam
Jaka Tarub. Wajahnya dihiasi senyum manakala membayangkan sang bidadari yang
bajunya ia curi akan bersedia menjadi istrinya.

Dengan hati hati Jaka Tarub berjalan menghampiri tumpukan baju itu. Ia berjalan sangat
perlahan. Jika para bidadari itu menyadari kehadirannya, tentu semua rencananya akan
buyar. Jaka Tarub memilih baju berwarna merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru buru
menyelinap ke balik semak semak.

Tiba tiba seorang dari bidadari itu berkata “, Ayo kita pulang sekarang. Hari sudah sore”.
“Ya benar. Sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari terbenam”, tambah yang
lain. Para bidadari itu keluar dari danau dan mengenakan pakaian mereka masing masing.

“Dimana bajuku ?”, teriak salah seorang bidadari. “Siapa yang mengambil bajuku ?”,
tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. “Dimana kau taruh bajumu
Nawangwulan ?”, tanya seorang bidadari kepadanya. “Disini. Sama dengan baju kalian..”,
Nawangwulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat sangat panik. Tanpa bajunya, mana
mungkin ia bisa pulang ke Kayangan. Apalagi selendang yang dipakainya untuk terbang
ikut raib juga.

Karena Nawangwulan tidak menemukan bajunya, ia segera masuk kembali ke Danau


Toyawening. Teman temannya yang lain membantu mencari baju Nawangwulan. Usaha
mereka sia sia karena baju Nawangwulan sudah dibawa pulang Jaka Tarub ke rumahnya.

Akhirnya seorang bidadari berkata “Nawangwulan, maafkan kami. Kami harus segera
pulang ke kayangan dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore”.
Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa. Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan
tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan meninggalkan Danau
Toyawening. “Mungkin memang nasibku untuk menjadi penghuni bumi”, pikir
Nawangwulan sambil mencucurkan air mata.

Nawangwulan kelihatan putus asa. Tiba tiba tanpa sadar ia berucap “Barangsiapa yang
bisa memberiku pakaian akan kujadikan saudara bila ia perempuan, tapi bila ia laki laki
akan kujadikan suamiku”. Jaka Tarub yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik
Nawangwulan dari balik pohon tersenyum senang. “Akhirnya mimpiku menjadi
kenyataan”, pikirnya.

Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan berjalan kearah danau. Ia membawa baju
mendiang ibunya yang diambilnya ketika pulang tadi. Jaka Tarub segera meletakkan baju
yang dibawanya diatas sebuah batu besar seraya berkata “Aku Jaka Tarub. Aku
membawakan pakaian yang kau butuhkan. Ambillah dan pakailah segera. Hari sudah
hampir malam”.

Jaka Tarub meninggalkan Nawangwulan dan menunggu di balik pohon besar tempatnya
bersembunyi. Tak lama kemudian Nawangwulan datang menemuinya. “Aku
Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa kembali kesana karena bajuku
hilang”, kata Nawangwulan memperkenalkan diri. Ia memenuhi kata kata yang
diucapkannya tadi. Tanpa ragu Nawangwulan bersedia menerima Jaka Tarub sebagai
suaminya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa rumah tangga Jaka Tarub dan
Nawangwulan telah dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nawangsih. Tak
seorangpun penduduk desa yang mencurigai siapa sebenarnya Nawangwulan. Jaka Tarub
mengakui istrinya itu sebagai gadis yang berasal dari sebuah desa yang jauh dari
kampungnya.

Sejak menikah dengan Nawangwulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Namun ada
satu hal yang mengganggu pikirannya selama ini. Jaka Tarub merasa heran mengapa padi
di lumbung mereka kelihatannya tidak berkurang walau dimasak setiap hari. Lama lama
tumpukan padi itu semakin meninggi. Panen yang diperoleh secara teratur membuat
lumbung mereka hampir tak muat lagi menampungnya.

Pada suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai. Ia menitipkan Nawangsih


pada Jaka Tarub. Nawangwulan juga mengingatkan suaminya itu untuk tidak membuka
tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya.

Ketika sedang asyik bermain dengan Nawangsih yang saat itu berumur satu tahun, Jaka
Tarub teringat akan nasi yang sedang dimasak istrinya. Karena terasa sudah lama, Jaka
Tarub hendak melihat apakah nasi itu sudah matang. Tanpa sadar Jaka Tarub membuka
kukusan nasi itu. Ia lupa akan pesan Nawangwulan.

Betapa terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu. Nawangwulan hanya
memasak setangkai padi. Ia langsung teringat akan persediaan padi mereka yang semakin
lama semakin banyak. Terjawab sudah pertanyaannya selama ini.

Nawangwulan yang rupanya telah sampai di rumah menatap marah kepada suaminya di
pintu dapur. “Kenapa kau melanggar pesanku Mas ?”, tanyanya berang. Jaka Tarub tidak
bisa menjawab. Ia hanya terdiam. “Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai
padi menjadi sebakul nasi”, lanjut Nawangwulan. “Mulai sekarang aku harus menumbuk
padi untuk kita masak. Karena itu Mas harus menyediakan lesung untukku”.

Jaka Tarub menyesali perbuatannya. Tapi apa mau dikata, semua sudah terlambat. Mulai
hari itu Nawangwulan selalu menumbuk padi untuk dimasak. Mulailah terlihat persediaan
padi mereka semakin lama semakin menipis. Bahkan sekarang padi itu sudah tinggal
tersisa di dasar lumbung.

Seperti biasa pagi itu Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang untuk
mengambil padi. Ketika sedang menarik batang batang padi yang tersisa sedikit itu,
Nawangwulan merasa tangannya memegang sesuatu yang lembut. Karena penasaran,
Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah Nawangwulan seketika pucat pasi menatap
benda yang baru saja berhasil diraihnya. Baju bidadari dan selendangnya yang berwarna
merah.. !!

Bermacam perasaan berkecamuk di hatinya. Nawangwulan merasa dirinya ditipu oleh


Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya. Ia sama sekali tidak menyangka
ternyata orang yang tega mencuri bajunya adalah Jaka Tarub. Segera saja keinginan yang
tidak pernah hilang dari hatinya menjadi begitu kuat. Nawangwulan ingin pulang ke
asalnya, kayangan.

Sore hari ketika Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawangwulan dan
anak mereka Nawangsih. Jaka Tarub mencari sambil berteriak memanggil Nawangwulan,
yang dicari tak jua menjawab. Saat itu matahari sudah mulai tenggelam. Tiba tiba Jaka
Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah melihat sesuatu melayang menuju ke
arahnya. Dia mengamatinya sesaat.

Jaka Tarub terpana. Beberapa saat kemudian ia mengenali ternyata yang dilihatnya adalah
Nawangwulan yang menggendong Nawangsih. Nawangwulan terlihat sangat cantik
dengan baju bidadari lengkap dengan selendangnya. Jaka Tarub merasa dirinya gemetar.
Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nawangwulan berhasil menemukan kembali baju
bidadarinya. Hal ini berarti rahasianya telah terbongkar.

“Kenapa kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub ?”, tanya Nawangwulan dengan nada
sedih. “Maafkan aku Nawangwulan”, hanya itu kata kata yang sanggup diucapkan Jaka
Tarub. Ia terlihat sangat menyesal. Nawangwulan dapat merasakan betapa Jaka Tarub
tidak berdaya di hadapannya.

“Sekarang kau harus menanggung akibat perbuatanmu Jaka Tarub”, kata Nawangwulan.
“Aku akan kembali ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang bidadari.
Tempatku bukan disini”, lanjutnya. Jaka Tarub tidak menjawab. Ia pasrah akan keputusan
Nawangwulan.

“Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan suami istri lagi”, kata
Nawangwulan tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka Tarub. Anak kecil itu
masih tertidur lelap. Ia tidak sadar bahwa sebentar lagi ibunya akan meninggalkan
dirinya.

“Betapapun salahmu padaku Jaka Tarub, Nawangsih tetaplah anakku. Jika ia ingin
bertemu denganku suatu saat nanti, bakarlah batang padi, maka aku akan turun
menemuinya”, tutur Nawangwulan sambil menatap wajah Nawangsihbakar”, lanjut
Nawangwulan.
Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar. Setelah Jaka
Tarub menyatakan kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi dengan Nawangwulan, sang
bidadaripun terbang meninggalkan dirinya dan Nawangsih. Jaka Tarub hanya sanggup
menatap kepergian Nawangwulan sambil mendekap Nawangsih. Sungguh kesalahannya
tidak termaafkan. Tiada hal lain yang dapat dilakukannya saat ini selain merawat
Nawangsih dengan baik seperti pesan Nawangwulan
NAMA : FAZL RAVIF

KELAS: VII. H

ASAL MULA IKAN DUYUNG


Ini adalah cerita rakyat Sulawesi Tengah

Dahulu kala, hiduplah pasangan suami istri dengan tiga anak yang masih kecil,
pagi itu mereka makan nasi dengan ikan. Masing-masing beroleh bagiannya. Ikan
yang dihidangkan rupanya tidak habis dimakan, sang suami berpesan kepada
istrinya sebelum berangkat ke kebun" istriku, tolong siapkan ikan yang tersisa
tadi untuk makan nanti sore"." baik pak, jawab si istri" dan pada siang harinya,
istri dan ketiga anaknya makan siang bersama. Tiba-tiba bungsu menangis, dia
inginkan yang disimpan di lemari. Dengan sabar, ia mencoba memberi
pengertian kepada anak bungsunya." nak, ikan yang di lemari itu untuk makan
Ayah nanti sore".
Entah apa yang terjadi, si bungsu malah menangis sekeras-kerasnya. Akhirnya,
sisa ikan itu diberikan kepada anaknya yang paling bungsu. Seketika itu juga, rani
si bungsu tak terdengar lagi.

Setelah seharian si Ayah begitu selesai bekerja tampak ya begitu lapar dan
lelahnya. Di benak nya, iya terbayang makan sore dengan ikan. Dengan cekatan,
si Ibu menghidangkan makanan.
Namun sang ayah tidak melihat sisa ikan tadi pagi. Raut mukanya langsung
berubah masam." istriku, mana sisa ikan tadi pagi?" tanya si Ayah kepada
istrinya.
" maaf suamiku, ketika makan siang si bungsu menangis, ingin makan dengan
ikan." jawab si istri.
Akan tetapi bukannya mengerti dengan watak anak bungsunya, sang suami
malah terlihat begitu marah. Saat itu juga, istrinya dipaksa mencari ikan di laut.
" kau tidak boleh pulang ke rumah sampai mendapat ikan yang banyak, sebagai
pengganti ikan yang dimakan si bungsu" marah suami kepada istrinya tanpa
belas kasihan. Sang istri pun pergi dengan rasa sedih dan sakit hati kepada
suaminya. Itu berat meninggalkan ketiga anaknya, khususnya si bungsu yang
masih menyusui.

Sudah lama Si Buta kembali ke rumah. Ketiga anaknya yang masih kecil itu begitu
merindukan ibunya. Mereka mencari ibunya ke pinggir laut, terus saja mereka
memanggil-manggil ibunya.

Proses pencarian ibunya hampir mustahil, karena tidak seorang pun ada di situ.
Sungguh ajaib, si Ibu tiba-tiba mu laut. Dihampirinya si bungsu dan segera
disusuinya. Sang Ibu berpesan kepada ketiga anaknya agar mereka kembali ke
rumah. Kata sang ibu, ia tidak lama lagi akan pulang. Ketiga anaknya pun
mematuhi perintah sang Ibu dan segera pulang. Semalaman mereka menunggu
sang ibu. Namun, sang ibu yang dirindu rindukan oleh anaknya tak juga kunjung
datang.
Kecemasan terhadap nasib sang ibu, akhirnya keesokan harinya Mereka pun
kembali ke laut.
" ibu, pulanglah ke rumah..! Si bungsu ingin menyusui ujar si sulung ketika tiba di
pinggir laut.
Tak lama, ibu mereka pun muncul dari laut. Lalu, ibu menyusui si bungsu.
Barulah kelihatan ada sesuatu yang berubah dengan tubuh sang ibu. Ada sisik di
sekujur tubuhnya. Rasa suka cita sirna, berganti dengan rasa ragu dan takut.
" sini bungsu, gua kan menyusuimu," bujuk si Ibu
" tidak! Kau bukan Ibuku...!" tukas si bungsu
" aku adalah ibu kalian anak-anakku"
" bukan...! Kau bukan ibu kami! Jawab si sulung sambil menarik adik-adiknya
meninggalkan tepi laut. Mereka pun terus menyusuri pantai tanpa tujuan yang
jelas. Tiap kali mereka memanggil si Ibu, tiap itu pula muncul si ibu dengan
tubuhnya yang disesaki sisik ikan. Akhirnya, ibu itu menjadi ikan duyung,
separuh tubuhnya berwujud manusia dan separuhnya lagi berwujud ikan.
Nama : MASAGUS MUHAMMAD TAUFIQ Y.
Kelas : VII. J

RORO JONGGRANG

Alkisah pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaan yang sangat besar
yang bernama Prambanan. Rakyat Prambanan sangat damai dan makmur di
bawah kepemimpinan raja yang bernama Prabu Baka. Kerajaan-kerajaan kecil
di wilayah sekitar Prambanan juga sangat tunduk dan menghormati
kepemimpinan Prabu Baka.

Sementara itu di lain tempat, ada satu kerajaan yang tak kalah besarnya dengan
kerajaan Prambanan, yakni kerajaan Pengging. Kerajaan tersebut terkenal
sangat arogan dan ingin selalu memperluas wilayah kekuasaanya. Kerajaan
Pengging mempunyai seorang ksatria sakti yang bernama Bondowoso. Dia
mempunyai senjata sakti yang bernama Bandung, sehingga Bondowoso terkenal
dengan sebutan Bandung Bondowoso. Selain mempunyai senjata yang sakti,
Bandung Bondowoso juga mempunyai bala tentara berupa Jin. Bala tentara
tersebut yang digunakan Bandung Bondowoso untuk membantunya untuk
menyerang kerajaan lain dan memenuhi segala keinginannya.

Hingga Suatu ketika, Raja Pengging yang arogan memanggil Bandung


Bondowoso. Raja Pengging itu kemudian memerintahkan Bandung Bondowoso
untuk menyerang Kerajaan Prambanan. Keesokan harinya Bandung Bondowoso
memanggil balatentaranya yang berupa Jin untuk berkumpul, dan langsung
berangkat ke Kerajaan Prambanan.
Setibanya di Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana
Prambanan. Prabu Baka dan pasukannya kalang kabut, karena mereka kurang
persiapan. Akhirnya Bandung Bondowoso berhasil menduduki Kerajaan
Prambanan, dan Prabu Baka tewas karena terkena senjata Bandung Bondowoso.

Kemenangan Bandung Bondowoso dan pasukannya disambut gembira oleh


Raja Pengging. Kemudian Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung
Bondowoso untuk menempati Istana Prambanan dan mengurus segala
isinya,termasuk keluarga Prabu Baka.

Pada saat Bandung Bondowoso tinggal di Istana Kerajaan Prambanan, dia


melihat seorang wanita yang sangat cantik jelita. Wanita tersebut adalah Roro
Jonggrang, putri dari Prabu Baka. Saat melihat Roro Jonggrang, Bandung
Bondowoso mulai jatuh hati. Dengan tanpa berpikir panjang lagi, Bandung
Bondowoso langsung memanggil dan melamar Roro Jonggrang.

“Wahai Roro Jonggrang, bersediakah seandainya dikau menjadi


permaisuriku?”, Tanya Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang.

Mendengar pertanyaan dari Bandung Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang


hanya terdiam dan kelihatan bingung. Sebenarnya dia sangat membenci
Bandung Bondowoso, karena telah membunuh ayahnya yang sangat
dicintainya. Tetapi di sisi lain, Roro Jonggrang merasa takut menolak lamaran
Bandung Bondowoso. Akhirnya setelah berfikir sejenak, Roro Jonggrang pun
menemukan satu cara supaya Bandung Bondowoso tidak jadi menikahinya.

“Baiklah,aku menerima lamaranmu. Tetapi setelah kamu memenuhi satu syarat


dariku”,jawab Roro Jonggrang.

“Apakah syaratmu itu Roro Jonggrang?”, Tanya Bandung Bandawasa.

“Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu satu malam”,
Jawab Roro Jonggrang.

Mendengar syarat yang diajukan Roro Jonggrang tersebut, Bandung


Bondowoso pun langsung menyetujuinya. Dia merasa bahwa itu adalah syarat
yang sangat mudah baginya, karena Bandung Bondowoso mempunyai
balatentara Jin yang sangat banyak.

Pada malam harinya, Bandung Bandawasa mulai mengumpulkan


balatentaranya. Dalam waktu sekejap, balatentara yang berupa Jin tersebut
datang. Setelah mendengar perintah dari Bandung Bondowoso, para balatentara
itu langsung membangun candi dan sumur dengan sangat cepat.

Roro Jonggrang yang menyaksikan pembangunan candi mulai gelisah dan


ketakutan, karena dalam dua per tiga malam, tinggal tiga buah candi dan sebuah
sumur saja yang belum mereka selesaikan.

Roro Jonggrang kemudian berpikir keras, mencari cara supaya Bandung


Bondowoso tidak dapat memenuhi persyaratannya.

Setelah berpikir keras, Roro Jonggrang akhirnya menemukan jalan keluar. Dia
akan membuat suasana menjadi seperti pagi,sehingga para Jin tersebut
menghentikan pembuatan candi.

Roro Jonggrang segera memanggil semua dayang-dayang yang ada di istana.


Dayang-dayang tersebut diberi tugas Roro Jonggrang untuk membakar jerami,
membunyikan lesung, serta menaburkan bunga yang berbau semerbak
mewangi.

Mendengar perintah dari Roro Jonggrang, dayang-dayang segera membakar


jerami. Tak lama kemudian langit tampak kemerah merahan, dan lesung pun
mulai dibunyikan. Bau harum bunga yang disebar mulai tercium, dan ayam pun
mulai berkokok.

Melihat langit memerah, bunyi lesung, dan bau harumnya bunga tersebut, maka
balatentara Bandung Bondowoso mulai pergi meninggalkan pekerjaannya.
Mereka pikir hari sudah mulai pagi, dan mereka pun harus pergi.

Melihat Balatentaranya pergi, Bandung Bondowoso berteriak: “Hai


balatentaraku, hari belum pagi. Kembalilah untuk menyelesaikan pembangunan
candi ini !!!”

Para Jin tersebut tetap pergi, dan tidak menghiraukan teriakan Bandung
Bondowoso. Bandung Bondowoso pun merasa sangat kesal, dan akhirnya
menyelesaikan pembangunan candi yang tersisa. Namun sungguh sial, belum
selesai pembangunan candi tersebut, pagi sudah datang. Bandung Bondowoso
pun gagal memenuhi syarat dari Roro Jonggrang.

Mengetahui kegagalan Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang lalu menghampiri


Bandung Bondowoso. “Kamu gagal memenuhi syarat dariku, Bandung
Bondowoso”, kata Roro Jonggrang.

Mendengar kata Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso sangat marah.


Dengan nada sangat keras, Bandung Bondowoso berkata: “Kau curang Roro
Jonggrang. Sebenarnya engkaulah yang menggagalkan pembangunan seribu
candi ini. Oleh karena itu, Engkau aku kutuk menjadi arca yang ada di dalam
candi yang keseribu !”

Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang berubah menjadi


arca/patung. Wujud arca tersebut hingga kini dapat disaksikan di dalam
kompleks candi Prambanan, dan nama candi tersebut dikenal dengan nama
candi Roro Jonggrang. Sementara candi-candi yang berada di sekitarnya disebut
dengan Candi Sewu atau Candi Seribu.
RORO JONGGRANG

Alkisah pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaan yang sangat besar yang bernama
Prambanan. Rakyat Prambanan sangat damai dan makmur di bawah kepemimpinan raja yang
bernama Prabu Baka. Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah sekitar Prambanan juga sangat tunduk dan
menghormati kepemimpinan Prabu Baka.

Sementara itu di lain tempat, ada satu kerajaan yang tak kalah besarnya dengan kerajaan
Prambanan, yakni kerajaan Pengging. Kerajaan tersebut terkenal sangat arogan dan ingin selalu
memperluas wilayah kekuasaanya. Kerajaan Pengging mempunyai seorang ksatria sakti yang
bernama Bondowoso. Dia mempunyai senjata sakti yang bernama Bandung, sehingga Bondowoso
terkenal dengan sebutan Bandung Bondowoso. Selain mempunyai senjata yang sakti, Bandung
Bondowoso juga mempunyai bala tentara berupa Jin. Bala tentara tersebut yang digunakan Bandung
Bondowoso untuk membantunya untuk menyerang kerajaan lain dan memenuhi segala
keinginannya.

Hingga Suatu ketika, Raja Pengging yang arogan memanggil Bandung Bondowoso. Raja Pengging itu
kemudian memerintahkan Bandung Bondowoso untuk menyerang Kerajaan Prambanan. Keesokan
harinya Bandung Bondowoso memanggil balatentaranya yang berupa Jin untuk berkumpul, dan
langsung berangkat ke Kerajaan Prambanan.

Setibanya di Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana Prambanan. Prabu
Baka dan pasukannya kalang kabut, karena mereka kurang persiapan. Akhirnya Bandung Bondowoso
berhasil menduduki Kerajaan Prambanan, dan Prabu Baka tewas karena terkena senjata Bandung
Bondowoso.

Kemenangan Bandung Bondowoso dan pasukannya disambut gembira oleh Raja Pengging.
Kemudian Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung Bondowoso untuk menempati Istana
Prambanan dan mengurus segala isinya,termasuk keluarga Prabu Baka.

Pada saat Bandung Bondowoso tinggal di Istana Kerajaan Prambanan, dia melihat seorang wanita
yang sangat cantik jelita. Wanita tersebut adalah Roro Jonggrang, putri dari Prabu Baka. Saat melihat
Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso mulai jatuh hati. Dengan tanpa berpikir panjang lagi, Bandung
Bondowoso langsung memanggil dan melamar Roro Jonggrang.

“Wahai Roro Jonggrang, bersediakah seandainya dikau menjadi permaisuriku?”, Tanya Bandung
Bondowoso pada Roro Jonggrang.

Mendengar pertanyaan dari Bandung Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang hanya terdiam dan
kelihatan bingung. Sebenarnya dia sangat membenci Bandung Bondowoso, karena telah membunuh
ayahnya yang sangat dicintainya. Tetapi di sisi lain, Roro Jonggrang merasa takut menolak lamaran
Bandung Bondowoso. Akhirnya setelah berfikir sejenak, Roro Jonggrang pun menemukan satu cara
supaya Bandung Bondowoso tidak jadi menikahinya.

“Baiklah,aku menerima lamaranmu. Tetapi setelah kamu memenuhi satu syarat dariku”,jawab Roro
Jonggrang.

“Apakah syaratmu itu Roro Jonggrang?”, Tanya Bandung Bandawasa.

“Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu satu malam”, Jawab Roro Jonggrang.

Mendengar syarat yang diajukan Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso pun langsung
menyetujuinya. Dia merasa bahwa itu adalah syarat yang sangat mudah baginya, karena Bandung
Bondowoso mempunyai balatentara Jin yang sangat banyak.

Pada malam harinya, Bandung Bandawasa mulai mengumpulkan balatentaranya. Dalam waktu
sekejap, balatentara yang berupa Jin tersebut datang. Setelah mendengar perintah dari Bandung
Bondowoso, para balatentara itu langsung membangun candi dan sumur dengan sangat cepat.

Roro Jonggrang yang menyaksikan pembangunan candi mulai gelisah dan ketakutan, karena dalam
dua per tiga malam, tinggal tiga buah candi dan sebuah sumur saja yang belum mereka selesaikan.

Roro Jonggrang kemudian berpikir keras, mencari cara supaya Bandung Bondowoso tidak dapat
memenuhi persyaratannya.

Setelah berpikir keras, Roro Jonggrang akhirnya menemukan jalan keluar. Dia akan membuat
suasana menjadi seperti pagi,sehingga para Jin tersebut menghentikan pembuatan candi.

Roro Jonggrang segera memanggil semua dayang-dayang yang ada di istana. Dayang-dayang
tersebut diberi tugas Roro Jonggrang untuk membakar jerami, membunyikan lesung, serta
menaburkan bunga yang berbau semerbak mewangi.

Mendengar perintah dari Roro Jonggrang, dayang-dayang segera membakar jerami. Tak lama
kemudian langit tampak kemerah merahan, dan lesung pun mulai dibunyikan. Bau harum bunga
yang disebar mulai tercium, dan ayam pun mulai berkokok.
Melihat langit memerah, bunyi lesung, dan bau harumnya bunga tersebut, maka balatentara
Bandung Bondowoso mulai pergi meninggalkan pekerjaannya. Mereka pikir hari sudah mulai pagi,
dan mereka pun harus pergi.

Melihat Balatentaranya pergi, Bandung Bondowoso berteriak: “Hai balatentaraku, hari belum pagi.
Kembalilah untuk menyelesaikan pembangunan candi ini !!!”

Para Jin tersebut tetap pergi, dan tidak menghiraukan teriakan Bandung Bondowoso. Bandung
Bondowoso pun merasa sangat kesal, dan akhirnya menyelesaikan pembangunan candi yang tersisa.
Namun sungguh sial, belum selesai pembangunan candi tersebut, pagi sudah datang. Bandung
Bondowoso pun gagal memenuhi syarat dari Roro Jonggrang.

Mengetahui kegagalan Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang lalu menghampiri Bandung


Bondowoso. “Kamu gagal memenuhi syarat dariku, Bandung Bondowoso”, kata Roro Jonggrang.

Mendengar kata Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso sangat marah. Dengan nada sangat
keras, Bandung Bondowoso berkata: “Kau curang Roro Jonggrang. Sebenarnya engkaulah yang
menggagalkan pembangunan seribu candi ini. Oleh karena itu, Engkau aku kutuk menjadi arca yang
ada di dalam candi yang keseribu !”

Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang berubah menjadi arca/patung. Wujud arca
tersebut hingga kini dapat disaksikan di dalam kompleks candi Prambanan, dan nama candi tersebut
dikenal dengan nama candi Roro Jonggrang. Sementara candi-candi yang berada di sekitarnya
disebut dengan Candi Sewu atau Candi Seribu.

Anda mungkin juga menyukai