Anda di halaman 1dari 6

Cerita Rakyat

“Sangkuriang”

Pada jaman dahulu kala, di sebuah kerajaan di Jawa Barat, hiduplah seorang putri raja yang
sangat cantik jelita bernama Dayang Sumbi. la sangat gemar menenun.

Suatu hari, ketika sedang menenun, benang tenunnya menggelinding keluar rumah. Gadis itu
berucap, "Ah, benangku jauh sekali jatuhnya. Siapa pun yang menggambilkan batang tenunku,
kalau ia perempuan akan kuangkat sebagai saudara. Kalau laki-laki, ia akan menjadi suamiku."

Tiba-tiba, datanglah seekor anjing membawakan benang miliknya. Anjing tersebut bernama si
Tumang. Dayang Sumbi pun terpaksa memenuhi janjinya. Mereka pun menikah. Ternyata, si
Tumang adalah titisan dewa yang dikutuk menjadi binatang dan dibuang ke Bumi.

Waktu berlalu, Dayang Sumbi pun hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan
yang diberi nama Sangkuriang. Suatu hari, Dayang Sumbi menyuruh Sangkuriang untuk
berburu mencari hati kijang. Sangkuriang pun berangkat ke hutan ditemani si Tumang.

Setelah berburu sepanjang hari, Sangkuriang tak mendapatkan seekor kijang pun. la juga kesal,
karena si Tumang tidak membantunya berburu. Sangkuriang marah, lalu memanah si Tumang,
sehingga anjing itu mati. Sangkuriang mengambil hati si Tumang dan membawanya pulang.

Dayang Sumbi tidak percaya bahwa hati yang dibawa anaknya adalah hati seekor rusa.
Akhirnya, Sangkuriang mengakui bahwa hati yang dibawanya adalah hati si Tumang. Betapa
murka Dayang Sumbi, tanpa sadar la memukulkan gayung yang dipegangnya kepala
Sangkuriang hingga menimbulkan bekas di kepala anak itu.

Sangkuriang kesal, lalu pergi meninggalkan rumah. Dayang Sumbi menyesali perbuatannya.
Dengan perasaan sedih, ia mengasingkan diri. Kesungguhannya dalam bertapa, membuat para
dewa menganugrahkannya kecantikan abadi.

Tahun berganti tahun. Sangkuriang tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah, selain itu
dia juga memiliki berbagai ilmu kesaktian karena berguru dengan beberapa pertapa sakti. Suatu
hari, ketika sedang mengembara, ia sampai di suatu tempat dan bertemu dengan seorang gadis
cantik dan mempesona. la adalah Dayang Sumbi. Mereka saling jatuh cinta tanpa tahu bahwa
mereka adalah ibu dan anak. Sangkuriang pun hendak meminangnya.
Ketika mendekati hari pertunangan, Sangkuriang bermaksud pergi berburu. Ketika akan
mengikatkan kain di kepala calon suaminya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang sama
dengan bekas luka anaknya. la sangat terkejut dan yakin bahwa calon suaminya adalah anak
kandungnya.

Dayang Sumbi segera mencari akal untuk menggagalkan pernikahannya. la mengajukan


persyaratan, yaitu membendung Sungai Citarum dan membuatkan sampan yang besar. Kedua
syarat ini harus diselesaikan sebelum fajar. Sangkuriang menyanggupinya.

Sangkuriang pun meminta bantuan para makhluk ghaib untuk menyelesaikan tugas itu. Sebelum
fajar menyingsing, Sangkuriang telah hampir menyelesaikan persyaratan itu. Dayang Sumbi
panik. la meminta perempuan desa menumbuk padi. Ayam jago pun berkokok, karena mengira
fajar telah datang. Para makhluk ghaib yang datang membantu Sangkuriang pun ketakutan.

Sangkuriang sangat kesal. Usahanya gagal sudah. Dengan marah ia menjebol tanggul yang telah
hampir selesai dibuatnya. Akibatnya, terjadilah banjir yang melanda seluruh desa.

Sampan yang juga telah jadi pun ia tendang, sehingga terlempar jauh dan terbalik. Sampan besar
itu lama-kelamaan berubah menjadi sebuah gunung yang kemudian diberi nama Gunung
Tangkuban Parahu yang artinya perahu terbalik.
CERITA RAKYAT

“BATU BELAH BATU BATANGKUP”

Kisah ini terjadi di Desa Penurun, Tanah Gayo, ratusan tahun yang silam. Dahulu kala, ada suatu
keluarga miskin yang terdiri dari seorang ayah, ibu, seorang anak yang berumur tujuh tahun, dan
seorang anak lain yang masih menyusu. Sang ayah ialah seorang petani. Di waktu senggang ia
selalu berburu rusa di hutan. Di samping itu ia juga banyak menangkap belalang di sawah untuk
dijadikan makanan, bila tidak berhasil memperoleh rusa buruan. Belalang itu dikumpulkan
sedikit demi sedikit di sebuah lumbung padi yang kosong karena sedang musim paceklik.

Pada suatu hari sang ayah pergi berburu rusa ke dalam hutan. Di rumah tinggal istri dan anak-
anaknya. Waktu saat makan tiba, anak yang besar merajuk karena tidak ada ikan sebagai teman
nasinya. Juga tidak tersedia lauk pauk lainnya di rumah itu. Peristiwa ini membuat hati ibunya
sedih benar.

Akhirnya, si ibu memerintahkan agar putranya mengambil belalang sendiri di dalam lumbung.
Tatkala si anak membuka pintu lumbung, ia kurang hati-hati, pintu lumbung tetap terbuka.
Keadaan ini menyebabkan semua belalang terbang ke luar.

Sementara itu ayahnya pulang berburu. Sang ayah kelihatan amat kesal dan lelah. Ia tidak
memperoleh rusa buruan. Kemarahannya menjadi bertambah besar ketika ia mengetahui dari
istrinya bahwa semua belalang di lumbung telah terbang. Kekesalannya pun bertambah pula bila
diingatnya betapa lamanya ia telah mengumpulkan belalang-belalang itu. Kini semuanya lenyap
dalam tempo sekejap saja. Dalam keadaan lupa diri itu, si ayah memukul istrinya sampai babak
belur. Kemudian ia menyeretnya ke luar rumah.

Sambil merintih kesakitan. sang ibu pergi meninggalkan rumahnya. Dalam keputus asaan ia
menuju ke Atu Belah yang selalu menerima dan menelan siapa saja yang bersedia ditelannya.
Niat semacam ini dapat terkabul jika ia menjangin, yaitu mengucapkan kata-kata sambil
bernyanyi dalam bahasa Gayo sebagai berikut:

"Atu belah, atu bertangkup nge sawah pejaying te masa dahulu. " Artinya: Batu Belah, batu
bertangkup, sudah tiba janji kita masa lalu.
Kata-kata itu dinyanyikan berkali-kali secara lembut oleh ibu yang malang itu. Sementara itu si
ibu menuju ke Atu Belah, kedua anaknya terus mengikutinya sambil menangis dari kejauhan.
Yang besar menggendong adiknya yang masih kecil.

Akhirnya apa yang terjadi? Lambat-lambat tetapi pasti bagian batu yang terbelah itu terbuka.
Tanpa ragu-ragu lagi si ibu masuk ke dalam mulut batu. Sedikit demi sedikit tubuhnya ditelan
oleh Batu Besar setelah ia berulang kali menyanyikan kalimat yang bertuah itu.

Pada waktu kedua kakak beradik itu tiba di sana. Keadaan alam di sekitarnya amat buruk. Hujan
turun deras disertai angin ribut. Bumi terasa bergetar karena sedang menyaksikan Atu Belah
menelan manusia. Setelah semua reda, dengan hati hancur luluh kedua kakak beradik itu hanya
dapat melihat rambut ibunya yang tidak tertelan Atu Belah. Kemudian anak sulungnya mencabut
tujuh helai rambut ibunya untuk dijadikan jimat pelindung mereka berdua.
CERITA RAKYAT
“SAMPURAGA”

Pada suatu hari, dibawah pohon rindang Sampuraga dan juga majikannya beristirahat sambil menikmati
makan siang dan berbincang-bincang "Sampuraga, usiamu masih muda, kalau boleh aku sarankan. Kamu
sebaiknya pergi ke negeri yang penduduknya hidup makmur dan subur." ucap majikannya. "Yang Tuan
maksud itu, negeri mana?" Sampuraga penasaran. "Namanya negeri Mandailing, rata-rata penduduk
disana memiliki ladang dan juga saha. Karena tanah disana memiliki kandungan emas, maka dengan
mudah mereka mendapatkan uang, hasil dari mendulang emas di sungai." Majikannya menjelaskan.
"Sebenarnya, saya sudah lama ingin merantau untuk mencari pekerjaan yang baik dan bisa
membahagiakan ibu saya." Ucap Sampuraga sungguh-sungguh.

"Begitu mulia cita-citamu Sampuraga!" Kamu memang anak yang berbakti." Puji majikannya. Setelah ia
berbincang seperti itu dengan majikannya, Sampuraga pun pulang dan mengutarakan niatnya kepada
sang ibu. "Bu, aku ingin merantau untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Aku ingin merubah
nasib kita yang selalu menderita!" ucap Sampuraga kepada ibunya. "Mau kemanakah engkau akan pergi
anakku?" Tanya ibunya. "Aku akan pergi ke negeri Mandailing bu. Majikanku bilang, kalau disana
penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena tanahnya yang begitu subur!" jelas Sampuraga.
"Pergilah anakku! Meskipun ibu sangat khawatir tidak bisa bertemu lagi denganmu, karena usia ibu yang
sudah semakin tua. Namun tida ada alasan untuk ibu melarangmu pergi. Maafkan ibu, karena belum bisa
membahagiakanmu selama ini anakku!" ucap sang ibu. "Terima kasih ibu! Aku berjanji jika sudah
berhasil nanti, aku akan datang menemui ibu. Doakan anakmu bu!" Sampuraga meminta restu ibunya.
Keesokan harinya, Sampuraga siap untuk berangkat dan berpamitan sambil mencium tangan ibunya. Air
matapun keluar dari kelopak mata sang ibu begitupun dengan Sampuraga. Sampuraga pun pergi
meninggalkan ibunya. Ia pergi dimalam hari, melewati perkampungan dan hutan belantara. Akhirnya ia
sampai di suatu desa yang bernama Sirambas.

Melihat desa itu ia sangat terpesona. Penduduknya yang begitu ramah, masing-masing memiliki rumah
indah beratapkan ijuk. Ditengah-tengah desa berdiri sebuah istana yang begitu mewah, disetiap sudut
desa terdapat candi yang terbuat dari batu. Semua yang ia lihat menandakan kalau desa tersebut
penduduknya hidup dengan sejahtera. Sampuraga pun mencoba melamar pekerjaan di desa tersebut dan
lamarannya langsung diterima oleh Raja Sirambas. Sang Raja sangat percaya padanya, karena
Sampuraga jujur dan rajin dalam bekerja. Oleh karena itu, Sang Raja ingin menikahkan Sampuraga
dengan anak perempuannya yang terkenal sangat cantik di desa Sirambas. "Sampuraga, engkau adalah
anak yang begitu baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?" Sang Raja bertanya pada
Sampuraga. "Dengan senang hati Tuan! Hamba bersedia menikah dengan Puteri Tuan!" Jawab
Sampuraga. Acara pernikahanpun dipersiapkan. Acara dilangsungkan secara besar-besaran, puluhan ekor
kambing dan juga kerbau di sediakan untuk disembelih. Gordang Sembilan pun dipersiapkan untuk
menghibur para undangan. Di satu sisi ibu Sampuraga meneruskan hidupnya dengan mencari kayu bakar,
untuk bisa menghidupi dirinya.
Namun, kerinduannya kepada anaknya Sampuraga yang semakin hari semakin tak tertahan, membuatnya
sering sakit-sakitan. Suatu hari, ibunya ingin menyusul Sampuraga ke negeri Mandailing, meskipun ia
sendiri tidak tahu dimana anaknya itu tinggal. Karena Sampuraga tdak pernah memberikan kabar
termasuk pernikahannya. Rasa lelah dan laparpun tidak ia pedulikan, karena ingin segera bertemu dengan
anaknya Sampuraga. Akhirnya ia sampai di desa Sirambas. Disana ia melihat keramaian dan juga
terdengar suara Gordang Sembilan yang bertalu-talu. Sang ibu pun mendekat dengan langkah yang
terseok-seok. Ia terkejut melihat anaknya bersanding bersama seorang puteri yang begitu cantik. Tiba-
tiba sang ibu mendatangi Bagas Godang, tempat Sampuraga itu bersanding, sambil berteriak :
"Sampuragaaaaaaa, ini ibu naaaaaak!" teriak ibunya. Sampuraga terkejut mendengar ada yang
memanggil namanya itu. "Ah tidak mungkin itu suara ibu.....!!" sambil matanya mencari-cari sumber
suara. Kemudian, salah satu pengawalnya memberitahu, kalau di Bagas Godang ada seorang perempuan
tua, lalu Sampuraga pun keluar. Tiba-tiba sang ibu berlari mendekati Sampuraga dan berkata :
"Anakku.....Sampuraga! Ini ibu nak.....!" Sang ibu mengulurkan tangan hendak memeluk anaknya itu.
Sampuraga pun terkejut, ketika ia melihat ibunya itu. Ia malu kepada isterinya dan juga kepada para tamu
undangan. Wajahnya berubah menjadi merah, karena ada nenek tua yang tiba-tiba mengakui kalau ia
anaknya. Perasaannya berkecamuk, ia takut kalau sang Raja mengetahui kalau wanita itu adalah ibunya.

Sebab, sebelumnya ia pernah bercerita, kalau ayah dan ibunya sudah lama meninggal dan ia hidup
sebatang kara. "Hei, wanita tua jelek! Enak saja kau mengaku kalau aku ini anakmu! Aku tidak punya ibu
jelek seperti kamu! Pergi kau dari sini! Jangan kau kacaukan acaraku....!" Sampuraga membentak ibunya.
"Sampuraga.....ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu nak! Kenapa kau lupa sama ibu?
Ibu sangat merindukanmu. Peluklah ibumu ini nak....!!" ucap sang ibu. "Tidak, kau bukan ibuku! Dan
aku bukan anakmu!Ibuku sudah lama meninggal! Algojooo.......!! Usir perempuan tua jelek ini !!!"
Perintah Sampuraga. Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega tidak mengakui ibunya sendiri
dan mengusirnya. Para undangan terharu, namun tidak ada yang bisa berbuat apa-apa. Sang ibupun
diseret keluar oleh pengawal Sampuraga. Dengan berderai air mata, sang ibu pun berdoa : "Ya
Tuhan....Jika ia benar anakku Sampuraga, berilah ia pelajaran! karena ia telah mengingkari ibu
kandungnya sendiri...!!". Seketika itu juga langit menjadi hitam diselimuti awan yang sangat tebal. Petir
menyambar, hujan turun dengan sangat deras dan guntur yang menggelegar. Para tamu undanganpun
berlarian menyelamatkan diri, sementara sang ibu hilang entah kemana. Dalam waktu yang singkat,
tempat diadakannya pesta itu tenggelam tak seorangpun selamat, termasuk Sampuraga dan isterinya.
beberapa hari kemudian, tempat itu berubah menjadi kolam air yang begitu panas. Disekitarnya terdapat
batu kapur yang bentuknya sepeti kerbau dengan ukuran yang begitu besar. Selain itu, ada juga unggukan
tanah berpasir dan lumpur yang bentuknya seperti bahan makanan. Bentuk itu dipercaya jelmaan dari
upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Kemudian kolam itu dinamakan "KOLAM
SAMPURAGA" oleh masyarakat setempat.

Anda mungkin juga menyukai