Pada zaman dahulu di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di daerah
Padang, Sumatera Barat hiduplah seorang janda bernama Mande Rubayah
bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Mande
Rubayah amat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin adalah
seorang anak yang rajin dan penurut.
Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk
mencupi kebutuhan ia dan anak tunggalnya. Suatu hari, Malin jatuh-sakit. Sakit
yang amat keras, nyawanya hampir melayang namun akhirnya ia dapat
diseiamatkan-berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia
semakin disayang. Mereka adalah ibu dan anak yang saling menyayangi. Kini,
Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke
kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.
"Jangan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana.
Menetaplah saja di sini, temani ibu," ucap ibunya sedih setelah mendengar
keinginan Malin yang ingin merantau.
"Ibu tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa denganku," kata Malin sambil
menggenggam tangan ibunya. "Ini kesempatan Bu, kerena belum tentu setahun
sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Aku ingin mengubah nasib kita Bu,
izinkanlah" pinta Malin memohon.
"Baiklah, ibu izinkan. Cepatlah kembali, ibu akan selalu menunggumu Nak," kata
ibunya sambil menangis. Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah
mengizinkan anaknya pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus
daun pisang sebanyak tujuh bungkus, "Untuk bekalmu di perjalanan," katanya
sambil menyerahkannya pada Malin. Setelah itu berangkatiah Malin Kundang ke
tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian.
Hari-hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi
dan sore Mande Rubayah memandang ke laut, "Sudah sampai manakah kamu
berlayar Nak?" tanyanya dalam hati sambil terus memandang laut. la selalu
mendo'akan anaknya agar selalu selamat dan cepat kembali.
Beberapa waktu kemudian jika ada kapal yang datang merapat ia selalu
menanyakan kabar tentang anaknya. "Apakah kalian melihat anakku, Malin?
Apakah dia baik-baik saja? Kapan ia pulang?" tanyanya. Namun setiap ia
bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak pernah mendapatkan jawaban.
Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.
Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban
hingga tubuhnya semakin tua, kini ia jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada
suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda dulu membawa Malin,
nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah.
"Mande, tahukah kau, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri
seorang bangsawan yang sangat kaya raya," ucapnya saat itu.
Mande Rubayah amat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya
selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan mulai
mengampirinya kembali. Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima
kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.
"Malin cepatlah pulang kemari Nak, ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...,"
rintihnya pilu setiap malam. Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak
berapa lama kemudian di suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah
kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai. Orang kampung
berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang
pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.
Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan.
Pakaian mereka berkiiauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi
senyum karena bahagia disambut dengan meriah. Mande Rubayah juga ikut
berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras saat melihat lelaki
muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu
adalah anaknya, Malin Kundang. Belum sempat para sesepuh kampung
menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung
memeluknya erat, ia takut kehilangan anaknya lagi.
"Malin, anakku. Kau benar anakku kan?" katanya menahan isak tangis karena
gembira, "Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?"
Malin terkejut karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang
camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Sebelum dia sempat
berpikir berbicara, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, "Wanita jelek
inikah ibumu? Mengapa dahulu kau bohong padaku!" ucapnya sinis, "Bukankah
dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat
denganku?!"
Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong ibunya
hingga terguling ke pasir, "Wanita gila! Aku bukan anakmu!" ucapnya kasar.
Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk sambil
berkata, "Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini
Nak?!" Malin Kundang tidak memperdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan
mengakui ibunya. la malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak
memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, "Hai, wanita gila! lbuku
tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!" Wanita tua itu terkapar di pasir,
menangis, dan sakit hati.
Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan kemudian pulang ke rumah
masing-masing. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar,
Pantai Air Manis sudah sepi. Dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Ia tak
menyangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Hatinya perih dan
sakit, lalu tangannya ditengadahkannya ke langit. Ia kemudian berdoa dengan
hatinya yang pilu, "Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafhan
perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin
Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!" ucapnya pilu sambil menangis. Tak
lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah
menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Tiba-tiba
datanglah badai besar, menghantam kapal Malin Kundang. Laiu sambaran petir
yang menggelegar. Saat itu juga kapal hancur berkeping- keping. Kemudian
terbawa ombak hingga ke pantai.
Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di kaki bukit
terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang!
Tampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Itulah tubuh Malin
Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu karena telah
durhaka. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan
tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari
Malin Kundang.
Sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal
dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia, terkadang
bunyinya seperti orang meratap menyesali diri, "Ampun, Bu...! Ampuun!" konon
itulah suara si Malin Kundang, anak yang durhaka pada ibunya.
Pesan moral dari Cerita Dongeng Malin Kundang (Cerita Rakyat SumBar) adalah
Hormatilah ibumu dan jangan perna mendurhakainya.
Dongeng Sangkuriang
Alkisah pada jaman dahulu kala ada sebuah kerajaan di jawa barat yang
dipimpin oleh seorang raja. Raja memiliki seorang putri yang sangat cantik yang
bernama Dayang Sumbi. Dayang Sumbi sangat pandai menenun, setiap hari dia
akan menghabiskan waktu dengan menenun kain di sebuah pondok di pinggir
hutan. Suatu hari, seperti biasa ketika Dayang sumbi sedang menenun kain, tibatiba segulung benang terjatuh dan berguling ke luar pondok. Tanpa sadar
Dayang Sumbi berkata:
"Siapa pun yang mau mengambilkan benangku yang terjatuh, jika dia wanita
akan kujadikan saudara, jika dia pria akan kujadikan dia suamiku."
Seekor anjing hitam tiba-tiba muncul di hadapannya dengan membawa gulungan
benang miliknya. Dayang sumbi terkejut, namun apa mau dikata, Dayang sumbi
telah terlanjur berucap. Maka Dayang sumbi pun bersedia menikahi anjing
tersebut. Ternyata anjing tersebut adalah titisan dewa. Begitu Dayang sumbi
bersedia menikahinya, dia pun berubah wujud menjadi seorang pria yang sangat
tampan. Mereka berdua merahasiakan kejadian ini pada baginda raja. Raja
hanya tahu bahwa kemana pun Dayang sumbi pergi akan ditemani oleh seekor
anjing hitam yang dipanggil Tumang.
Hingga suatu hari Dayang sumbi mengandung. Hal ini membuat istana geger
dan membuat raja murka. Beliau murka karena Dayang sumbi hamil tanpa
menikah. Karena sangat marah, raja lalu mengusir Dayang sumbi keluar dari
istana. Maka Dayang sumbi dan si Tumang pun pergi dari istana dan tinggal di
sebuah pondok di tepi hutan. Beberapa bulan kemudian Dayang Sumbi
melahirkan seorang putra yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh
menjadi anak yang pandai. Setiap hari Sangkuriang pergi berburu Rusa atau
burung dan menangkap ikan di sungai bersama Tumang.
Suatu ketika saat berburu, Sangkuriang melihat seekor kijang emas. Dia
menyuruh Tumang mengejarnya. Anehnya Tumang yang biasanya menurut, kali
ini tidak mau bergerak dari tempatnya meski Sangkuriang mengancamnya. Tak
sengaja anak panah yang dipakai untuk mengancam Tumang terlepas dari
busurnya dan mengenai Tumang hingga anjing itu tewas. Ketika sampai di
pondok, Dayang sumbi yang sedang menanak nasi menanyakan keberadaan
Tumang.
"Saya membunuhnya bu," kata Sangkuriang.
Dayang sumbi sangat terkejut dan marah sehingga memukul kepala Sangkuriang
dengan sendok nasi yang sedang dipegangnya hingga berdarah. Sangkuriang
berulang kali memohon ampun, namun Dayang sumbi malah mengusirnya.
"Ya, tapi sebelum fajar menyingsing kau harus sudah menyelesaikannya," jelas
Dayang Sumbi. "Baiklah!" kata Sangkuriang. "Kau akan melihatnya besok pagi."
Malam harinya Sangkuriang memanggil Jin dan dedemit untuk membantunya.
Tidak sulit bagi para makhluk gaib itu untuk melaksanakannya. Mereka dengan
mudah menggali tanah dan menyusun batu-batu besar untuk membendung
aliran air sehingga terbentuk sebuah danau. Lalu mereka mulai menebang hutan
dan membuat perahu. Dayang Sumbi yang diam-diam mengintip pekerjaan
Sangkuriang merasa was-was melihat sebentar lagi danau dan perahu tersebut
akan selesai. Maka dia berlari ke desa terdekat untuk meminta pertolongan.
Kemudian Dayang sumbi dan masyarakat di desa tersebut menggelar kain
sutera merah di sebelah timur dan ramai bercengkrama sehingga
membangunkan ayam-ayam yang lalu mulai berkokok seolah-olah hari telah
pagi. Para Jin dan Dedemit yang melihat warna merah dan suara ayam berkokok
mengira bahwa fajar akan segera terbit. Mereka ketakutan sehingga cepat-cepat
melarikan diri meninggalkan perahu yang hampir jadi.
Sangkuriang sangat marah mengetahui dirinya telah tertipu. Maka dengan
kekuatannya dia menendang perahu yang dibuatnya hingga perahu itu terbang
dan jatuh terbalik. Sejak itu perahu itu berubah menjadi gunung yang sampai
sekarang dikenal dengan Gunung Tangkuban Perahu. (Dalam bahasa Sunda
Tangkuban Perahu artinya Perahu yang terbalik)
jangan sampai baju kesayanganku rusak atau hanyut disungai. Perintah ibu
tirinya.
Baik bu. Jawab Bawang Putih.
Bawang Putih pergi menuju sungai, ketika sedang mencuci. Tanpa sadar, salah
satu baju ibunya hanyut terbawa arus sungai. Bawang Putih sangat panik dan
takut, karena baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya.Bawang Putih
akhirnya kembali kerumah dan melapor kepada ibu tirinya. Ibunya sangat marah.
Dasar bodoh! Baju kesayanganku itu harganya sangat mahal. Apakah kau
mampu untuk menggantinya? Cepat cari dan jangan pulang sebelum kau
temukan bajuku!Bawang Pusih sangat sedih dan ia berjalan menyusuri aliran
sungai. Ia lalu bertemu dengan seorang pemburu yang sedang minum di pinggir
sungai. Ia bertanya kepada pemburu itu, Permisi, apakah paman melihat
sehelai baju yang hanyut.
Ya, aku melihatnya. Baju itu hanyut ke arah sana. Ujar si pemburu.
Bawah Putih berjalan menuju arah yang di tunjuk si pemburu. Namun, baju
ibunya tidak juga ketemu. Bawang Putih sudah hampir menyerah karena hari
sudah mulai gelap. Ketika ia akan pulang , dari kejauhan ia melihat sebuah
rumah. Bawang Putih berjalan kerumah itu dan mengetuk pintu. Keluarlah
seorang nenek penghuni rumah.
Ada apa gadis cantik? Tanya nenek itu.
Aku sedang mencari baju ibuku yang hanyut. Apakah nenek melihatnya?
Tanya Bawang Putih.
Kebetulan tadi ketika aku sedang mengambil air di sungai. Aku menemukan
sehelai baju. Mungkin saja itu baju mulik ibumu. Kata nenek itu.
Ketika Bawang Putih melihat baju itu. Ternyata benar baju itu milik ibunya.. ia
sangat berterima kasih kepada nenek itu. Karena hari sudah malam, nenek itu
menyuruh Bawang Putih menginap, dan bahkan tinggal di rumahnya selama lima
hari.Selama tinggal dirumah nenek itu. Bawang Putih sangat rajin. Nenek sangat
senang kepadanya. Pada hari kelima ketika Bawang Putih akan pulang. Nenek itu
memberikan hadiah kepada Bawang Putih karena sudah membantunya bekerja
membersihkan rumah.
Bawang Putih, ini ada dua buah labu. Pilihlah salah satu. Kata nenek itu.
Bawang Putih memilih labu yang kecil karena ia takut tidak kuat membawa yang
besar. Setelah mengucapkan terima kasih, ia langsung bergegas
pulang.Setibanya ia dirumah. Bawang Putih membelah labu itu. Ia langsung
terkejut karena di dalamnya berisi intan permata dan berlian sangat banyak. Ia
Tiba-tiba bumi bergetar, seperti ada gempa bumi. Di depan Mbok Rondo muncul
raksasa bertubuh besar dan wajahnya menyeramkan. Mbok Rondo takut
melihatnya.
"Hai, Mbok Rondo, kamu menginginkan anak, ya? Aku bisa mengabulkan
keinginanmu," kata raksasa itu dengan suara keras."
"Benarkah?" tanya Mbok Rondo. Rasa takutnya mulai menghilang.
"Benar....Tapi, ada syaratnya. Kalau anakmu sudah berumur enam belas tahun,
kau harus menyerahkannya kepadaku. Dia akan kujadikan santapanku," jawab
raksasa itu.
Karena begitu inginnya dia punya anak, maka Mbok Rondo tidak berpikir panjang
lagi. Yang penting segera punya anak.
"Baiklah, aku tidak keberatan," jawab Mbok Rondo.
Kemudian, raksasa itu memberi biji mentimun kepada Mbok Rondo. Mbok Rondo
segera pulang dan menanam benih itu di halaman belakang.
Setiap hari Mbok Rondo menyirami biji timun itu.
Ajaib!!
Dua minggu kemudian, tanaman itu sudah berbuah. Buahnya lebat sekali.
Diantara sekian banyak buah mentimun yang tumbuh, ada satu satu buah yang
sangat besar. Warnanya kekuningan. Kalau tertimpa sinar matahari, buah itu
berkilau seperti emas. Mbok Rondo sangat tertarik pada buah mentimun yang
paling besar itu, ia memetiknya dan membawa pulang buah yang paling besar
itu.
Sampai di rumahnya, Mbok Rondo mengambil pisau dan membelah buah itu.
Lalu, ia membukanya dengan hati-hati. Ajaib!
Ternyata ada seorang bayi perempuan yang cantik!
"Ah, ternyata raksasa itu tidak berbohong!" gumam Mbok Rondo.
"Sekarang aku punya anak perempuan. "Aduh senangnya hatiku."
Mbok Rondo sangat gembira. Ia menamakan bayi mungil ituTimun Emas dan
dipanggil "Timun Mas".
Hari, bulan, dan tahun pun berganti. Timun Mas tumbuh mejadi seorang gadis
jelita. Mbok Rondo sangat menyayangi Timun Emas.
Pagi itu sangat cerah. Mbok Rondo dan Timun Mas bersiap pergi ke hutan untuk
mencari kayu.
Tiba-tiba, Bum...Bum, bum ... Bumi bergetar. Lalu disusul suara tawa
menggelegar.
"Hai, Mbok Rondo, keluarlah! Aku datang untuk menagih janji," kata raksasa itu.
Gemetar seluruh tubuh Mbok Rondo, cepat-cepat ia memeluk Timun Mas lalu
membisikinya agar gadis itu sembunyi di kolong tempat tidur. Lalu Mbok Rondo
keluar menemui raksasa itu.
"Aku tahu, kedatanganmu kemari untuk mengambil Timun Mas. Berilah aku
waktu dua tahun lagi. Kalau Timun Mas aku berikan sekarang, tentu kurang lezat
untuk disantap. Tubuhnya masih kecil."
"Benar juga, baiklah, dua tahun lagi aku akan datang. Kalau bohong, kamu akan
kutelan mentah-mentah," ancam raksasa itu.
Sambil tertawa, raksasa itu pergi meninggalkan rumah Mbok Rondo. Mbok Rondo
menghela nafas lega. Kemudian, ia masuk ke rumah menghampiri anaknya yang
masih bersembunyi di kolong tempat tidur.
"Anakku, Keluarlah. Raksasa itu sudah pergi," kata Mbok Rondo.
Dua tahun kemudian, Timun Mas sudah dewasa. Wajahnya semakin cantik.
Kulitnya kuning langsat. Tapi, Mbok Rondo cemas jika teringat akan janjinya
kepada si raksasa.
Pada suatu malam, ketika Mbok Rondo sedang tidur, ia mendengar suara gaib
dalam mimpinya.
"Hai, Mbok Rondo, kalau kau ingin anakmu selamat, mintalah bantuan kepada
seorang pertapa di bukit Gandul."
Esok harinya, Mbok Rondo pergi ke Bukit Gandul. Di sana, ia bertemu dengan
seorang pertapa. Pertapa itu memberikan empat bungkusan kecil yang isinya biji
timun, jarum, garam, dan terasi.Mbok Rondo menerimanya dengan rasa heran.
Sang pertapa menerangkan khasiat benda-benda itu.Sesampainya di rumah, ia
menceritakan perihal pemberian pertapa itu kepada Timun Mas.
"Anakku, mulai saat ini kamu tidak perlu cemas. Kamu tidak perlu takut kepada
raksasa itu, sebab kamu sudah memiliki penangkalnya. Berdoalah selalu supaya
Tuhan menyelamatkanmu," kata Mbok Rondo.
"Terima kasih Mbok...!"
Demikianlah haripun berganti hari. Hingga pada suatu ketika Mbok Rondo
sedang menjahit baju untuk Timun Mas, tiba-tiba bumi berguncang pertanda
raksasa datang.
Hem, raksasa itu datang lagi rupanya." gumam Mbok Rondo.
Benar saja, tak lama kemudian raksasa itu sudah berada di ambang pintu.
"Ho... ho... ho... Mana Timun Mas! Ayo, cepat serahkan dia padaku. Aku sudah
sangat lapar!" kata raksasa dengan suara menggelegar.
Mbok Rondo keluar dengan tubuh gemetar.
"Baiklah. Akan kubawa dia keluar," kata Mbok Rondo.
Ia segera masuk ke rumah. Diambilnya bungkusan pemberian sang pertapa,
Hehehe... tidak mengapa bocah manis, larilah sekuat tenagamu. Toh nanti aku
akan dapat menyusulmu."
Lalu ia mencabuti timun-timun itu sekalian dengan daunnya yang masih
muda.Dengan rakus ia segera melahap buah yang ada, sampai tak satu pun
tersisa.
Setelah kenyang, raksasa itu sejenak beristirahat. Ia tidak begitu kuatir melihat
Timun Mas berlari cepat. Secepat-cepatnya gadis itu berlari, toh, ia akan dengan
mudah bisa menyusulnya.
Hehehe....! Sekarang tenagaku bertambah kuat ! Aku pasti dapat menangkap
gadis kecil itu!"
Benar saja, setelah cukup beristirahat, ia kembali mengejar Timun Mas. Hanya
dalam beberapa gerakan kaki saja, ia sudah dapat menyusul Timun Mas.Timun
Mas ketakutan, lalu ia mengambil jarum dari kayu bambu yang dipotong kecilkecil.
Di saat yang kritis. Timun Mas menaburkan jarum ke tanah. Sungguh ajaib!
Jarum-jarum itu berubah menjadi hutan bambu yang lebat.
Raksasa itu berusaha menembusnya. Namun tubuh dan kakinya terasa sakit
karena tergores dan tertusuk bambu yang patah.Ia pantang menyerah. Dan
berhasil melewati hutan bambu itu. Ia terus mengejar Timun Mas.
"Hai, Timun Mas, jangan harap kamu bisa lolos!" seru si raksasa sambil
membungkuk untuk menangkap Timun Mas.
Dengan sigap. Timun Mas melompat ke samping dan berkelit menghindar. "Oh,
hampir saja aku tertangkap," Timun Emas terengah-engah.
Keringat mulai membasahi tubuhnya. Ia ingat pada bungkusan pemberian
pertapa yang tinggal dua itu. Isinya garam dan terasi.Ia segera membuka tali
pengikat bungkusan garam. Garam itu ditaburkan ke arah si raksasa. Seketika
butiran garam itu berubah menjadi lautan.Raksasa itu sangat terkejut, karena
tiba-tiba tubuhnya tercebur ke dalam laut. Tapi, berkat kesaktiannya, ia berhasil
berenang ke tepi. Ia kembali mengejar Timun Mas.
Merasa dipermainkan, kemarahan raksasa itu semakin memuncak. "Bocah
kurang ajar! Kalau tertangkap, akan kutelan kau bulat-bulat!"
Timun Mas semakin khawatir karena raksasa itu berhasil melewati lautan yang
sangat luas itu. Akan tetapi, ia tidak putus asa. Ia terus berlari meskipun sudah
kelelahan. Raksasa itu terus mengejar.Timun Mas melemparkan isi bungkusan
yang terakhir. Terasi itu langsung dilemparkan ke arah si raksasa. Tiba-tiba saja
terbentuklah lautan lumpur yang mendidih.Raksasa itu terkejut sekali. Dalam
sekejab, Tubuhnya ditelan lautan lumpur. Dengan segala upaya, ia berusaha
menyelamatkan diri. Ia meronta-ronta. Tapi, usahanya sia-sia. Tubuhnya pelanpelan tenggelam ke dasar.
Timun Mas, tolonglah aku!" Aku berjanji tidak akan memakanmu," raksasa itu
meminta belas kasihan.Tapi lumpur panas itu menelan tubuh si raksasa. Matilah
si raksasa di dasar danau. Kini Timun Mas bisa bernafas legas karena selamat
dari bahaya maut.
Ia segera berjalan ke arah rumahnya. Di kejauhan nampak Mbok Rondo berlari ke
arah Timun Mas, kiranya wanita itu mengkhawatirkan keselamatn anaknya.
Zaman dahulu kala ada sebuah Kerajaan yang bernama Kerajaan Jenggala, raja dari
Kerajaan itu bernama Raden Putra. Raden Putra tersebut memiliki seorang permaisuri yang
begitu baik dan seorang selir yang cantik. Namun Selir tersebut merasa iri kepada sang
Permaisuri dan ia merencanakan hal buruk kepada Permaisuri.
Harusnya yang menjadi Permaisuri itu adalah aku, dan aku harus mencari cara supaya
dapat menyingkirkan Permaisuri. Ucap selir tersebut.
Selir itu memiliki cara untuk menyingkirkan Permaisuri dengan cara bekerjasama dengan
tabib istana. Selir berpura-pura sakit dan segera memanggil tabib istana. Sang tabibpun
mengatakan bahwa ada yang meracuni minuman tuan putri (selir).
Orang itu tak lain adalah Permaisuri Baginda sendiri. Ucap sang tabib.
Bagindapun marah ketika tabib mengatakan hal seperti itu dan langsung memerintahkan
seorang patih untuk membuang permaisuri ke hutan.
Perintah itu langsung dilaksanakan dan dengan segera juga sang patih itu membuang
permaisuri yang sedang hamil ke hutan. Namun sang patih tidak mau membunuhnya karena
ia tahu bahwa semua ini merupakan niat buruk selir.
Tuan Putri jangan khawatir, hamba akan mengabarkan kepada Baginda kalau tuan Putri
sudah hamba bunuh. Ucap sang patih.
Sang patihpun akhirnya membunuh seekor kelinci untuk melumuri pedangnya supaya Raja
tidak mencurigainya. Raja pun puas ketika mendengar permaisuri sudah di bunuh.
Ketika sudah beberapa bulan, lahirlah seorang anak laki-laki yang begitu tampan dan cerdas
bernamaCindelaras. Dari kecil ia bermain bersama hewan-hewan yang berada di hutan.
Sutau hari ketika ia bermain seekor Rajawali menjatuhkan sebuah telur.
Hemmm.. Rajawali itu sangat baik, dia sengaja memberikan telurnya padaku. Ucapnya.
Setelahnya 3 minggu, telur itu akhirnya menetas, dan Cindelaraspun merawat anak
ayamnya dengan baik dan rajin. Ayam itu tumbuh dengan bagus dan sangat kuat. Namun
ada satu keanehan pada ayam jantan tersebut yang begitu menakjubkan.
Kukuruyuuuuk Tuanku Cindelaras, Rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa,
ayahnya Raden Putra. Ucap sang ayam.
Cindelaraspun merasa takjub dengan ayam tersebut dan dengan segera ia memelihara
ayamnya dengan lebih baik lagi dn memperlihatkannya kepada ibunya. Setelah itu,
kemudian ibu Cindelarasmenceritakan bagaimana ia bisa sampai dan tinggal di hutan.
Putra, Permaisuri jugaCindelaras hidup bahagia bersama. Dan ketika Raden Putra
meninggal, Cindelaraslah yang menjadi pengganti raja. Ia memerintah negerinya dengan
adil juga bijaksana.