Anda di halaman 1dari 6

Kisah seorang anak bernama Malin Kundang adalah salah satu

legenda asal Indonesia yang sudah sangat terkenal dan


diceritakan secara turun-menurun.
Tentunya, parents mungkin juga sudah tahu dan pernah
dengar kisah ini sebelumnya. Kisah Malin Kundang berasal
dari provinsi Sumatra Barat dan menceritakan tentang anak
laki-laki yang durhaka pada ibunya sendiri, ia dengan sengaja
menyakiti hati ibunya, sehingga Malin Kundang mendapatkan
hukuman yang sangat berat sepanjang hidupnya.

Yuk, baca lagi kisah Malin Kundang dan ceritakan pada si


kecil agar kalian bisa mengajarkan nilai-nilai baik pada
mereka dengan cara yang menyenangkan!

Selamat membaca!

Pada suatu hari, ada seorang janda bernama Mande Rubayah


yang tinggal hanya bersama anak laki-lakinya di sebuah
perkampungan Nelayan Pantai Air Manis di Padang. Ia sangat
menyayangi anaknya dan merawatnya dengan sepenuh hati.
Nama anak laki-laki yang sangat ia sayangi ini adalah Malin
Kundang. Mande Rubayah sangat memanjakan Malin Kundang,
sehingga ia tumbuh besar menjadi seorang anak yang rajin
dan penurut—ia juga sangat menyayangi ibunya.

Saat Mande Rubayah semakin berumur, ia hanya bisa bekerja


sebagai penjual kue untuk memenuhi segala kebutuhan di
rumah. Mande Rubayah tetap berusaha keras agar kuenya
laris, ia tetap ingin yang terbaik untuk anak kesayangannya
ini. Namun, cobaan keluarga mereka tidak berhenti di sana.
Suatu hari, Malin Kundang jatuh sakit yang cukup parah. Ia
hampir meninggal, tapi untungnya sang ibu masih berhasil
menyelamatkannya.

Saat Malin Kundang tumbuh dewasa, ia memohon pada ibunya


agar ia diperbolehkan merantau dan mencari pekerjaan di
tanah lain agar ia bisa mengubah nasibnya dan ibunya menjadi
lebih baik. Mande Rubayah melarang Malin Kundang pergi
karena ia takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada
anaknya saat ia jauh di sana dan ia tidak bisa membantunya.

“Ibu, tenang saja, ya, Aku akan baik-baik saja,” ucap Malin
Kundang mencoba menenangkan ibunya. Malin Kundang
merasa hanya inilah kesempatannya agar ia bisa menjalankan
kehidupan yang lebih baik. Akhirnya, Mande Rubayah pun
mengizinkan anak tunggalnya ini pergi. Tentunya, dengan hati
yang berat. Namun, Mande Rubayah meminta pada Malin
Kundang agar ia cepat kembali dan berkumpul bersamanya.

Sebelum pergi, Malin Kundang dibekali ibunya nasi


berbungkus pisang sebanyak tujuh porsi. Mereka pun
berpelukkan dan berpisah di dermaga. Saat Malin Kundang
pergi, Mande Rubayah meneteskan air mata, karena ia tahu ia
akan sangat merindukan keberadaan anaknya.
Hari demi hari berganti. Mande Rubayah tidak pernah lupa
untuk mendoakan keselamatan dan kebahagiaan anaknya
yang sedang jauh. Sering kali, ia pergi keluar dan menatap
lautan serta langit, “Apakah, kamu sudah sampai tujuanmu,
Nak?” Tanya Mande Rubayah dalam hati. Ia tidak tahu pasti di
mana anaknya sekarang dan sedang melakukan apa.
Kecemasan dan kekhawatiran selalu menghantui pagi dan
malam Mande Rubayah.

Tiap malam sebelum ia tidur, ia selalu mengharapkan anaknya


cepat kembali. Tiap malam, Mande Rubayah berharap Malin
Kundang pulang saat ia membuka mata. Namun, tiap pagi juga
harapannya menjadi sirna.

Beberapa waktu kemudian, ada kapal yang datang pulang.


Mande Rubayah sangatlah senang dan mencari anaknya tapi
ia tidak menemukan Malin Kundang di antara banyak awak
kapal itu. Ia pun bertanya-tanya pada mereka apakah mereka
melihat Malin Kundang atau bahkan hanya sekadar tahu di
mana ia berada. Jawaban yang Mande Rubayah terima selalu
sama, tidak ada yang tahu di mana Malin Kundang berada.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti


bulan, dan tahun berganti tahun. Entah sudah berapa tahun
sang ibu menunggu kepulangan anaknya yang tidak pasti ini.
Mande Rubayah masih tetap berdoa tiap harinya agar sang
anak kembali pulang ke pelukannya.
Mande Rubayah sudah semakin tua. Cara jalannya sudah
berubah; tubuhnya bungkuk dan menjadi semakin lemah.
Namun, tiba-tiba ada sebuah kabar bahwa Malin Kundang
sudah menikah dengan seorang putri bangsawan di kota.
Tentunya, ia merasa sangat senang di dalam hatinya, ia yakin
Malin Kundang akan pulang dan memperkenalkan istrinya
pada ibu yang ia sayangi ini.

Tidak lama kemudian, ada sebuah kapal besar yang datang


menuju ke pantai. Kapal ini sangatlah besar, tidak ada kapal
yang lebih besar yang pernah berlabuh di pantai ini
sebelumnya. Semua orang penduduk desa pun berkumpul
untuk melihat. Para penduduk desa berpikir kapal itu adalah
milik seorang sultan atau pengeran. Mereka semua sudah siap
untuk menyambut siapa pun yang ada di kapal itu dengan
gembira.

Ketika kapal itu sampai, terlihat sepasang anak muda yang


berdiri di anjungan. Pakaian mereka terlihat sangat indah dan
mewah. Wajah mereka dihiasi senyum yang bahagia. Para
penduduk desa pun bersorak untuk menyambut mereka.
Ternyata, kedua sepasang itu adalah Malin Kundang dan
istrinya.

Hati Mande Rubayah sangat senang. Kerinduan yang ia


rasakan selama ini akhirnya terbayar. Ia pun berlari
menghampiri Malin Kundang saat ia turun dari kapal. “Malin,
anakku! Mengapa kamu pergi lama sekali tanpa kabar?” Kata
Mande Rubayah sambil menangis terharu.
Malin Kundang terkejut karena ia tiba-tiba dipeluk oleh
perempuan tua renta yang berpakaian jelek dan kumuh. Malin
Kundang tidak percaya bahwa perempuan itu adalah ibunya.
Istri Malin Kundang pun juga terkejut dan berkata, “Wanita
jelek dan tua ini ibumu? Tidak mungkin,” ucap istri Malin
Kundang merendahkan sambil meludah pada Mande Rubayah.

“Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi
seperti ini Nak?!” Malin Kundang tidak memerdulikan
perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la malu
kepada istrinya.

Perempuan tua itu terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati.


Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan kemudian
pulang ke rumah masing-masing. Mande Rubayah pingsan dan
terbaring sendiri. Ketika ia sadar, pantai sudah sepi.

Saat Mande Rubayah terbangun, ia melihat kapal Malin


Kundang sudah jauh pergi, ia benar-benar tidak percaya
anaknya berubah menjadi durhaka dan melupakan dirinya.
Mande Rubayah pun menangis dan menadahkan tangannya ke
atas seraya berdoa pada Tuhan, “Ya, Tuhan, kalau memang
dia bukan anakku, aku maafkan perbuatanny. Tapi kalau
memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku
mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis.
Tak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah,
mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun
dengan teramat lebatnya.
Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin
Kundang yang dilanjutkan sambaran petir yang menggelegar.
Saat itu juga kapal besar dan mewah itu hancur berkeping-
keping. Kemudian terbawa ombak hingga ke pantai.

Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah


reda. Di pinggir pantai terlihat kepingan kapal yang telah
menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak sebongkah
batu yang menyerupai tubuh manusia. Itulah tubuh Malin
Kundang, anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu. Di
sela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan
ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang
istri yang terus mencari Malin Kundang.

Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah kita harus
selalu menyayangi orang tua kita dan menunjukkan rasa
hormat pada mereka. Jangan sekali-kali kita menyakiti orang
tua yang sudah merawat kita dari kecil ini.

Dengan menceritakan kisah seperti ini, mengajarkan kompas


moral yang baik pada anak bisa menjadi lebih mudah, bukan?
Selain itu, jika kalian membacakan ini menggunakan bahasa
asing, mereka bisa lebih cepat menangkap pelajaran
bahasanya juga, lho!

Anda mungkin juga menyukai