Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ardian Gavino Saputra

Kelas : 1C

“Malin Kundang”
** Cerita Rakyat provinsi Sumatera Barat

Pada suatu hari, hiduplah satu keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah
Sumatera, Ibu Rubayah dan anak semata wayang, Malin Kundang. Suami Ibu Rubayah
sudah lama meninggalkan keluarganya dan tak pernah kembali sejak saat itu. Malin
Kundang tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pemberani, meski sedikit nakal.
Keluarga tersebut hidup serba pas-pasan sehingga sang ibu harus bekerja keras
untuk menghidupi dirinya dan anaknya.
Ketika beranjak dewasa, Malin berpikir untuk pergi merantau ke negeri
seberang dengan harapan nantinya ketika kembali pulang ke kampung halaman, ia
akan menjadi seorang yang kaya raya. Niatannya untuk pergi mencari nafkah
terwujud setelah menerima ajakan seorang nakhoda kapal dagang, yang dulunya
hidup miskin kini sudah menjadi seorang yang kaya raya. Mulanya sang ibu kurang
setuju dengan niatan Malin Kundang. Namun akibat terus didesak, akhirnya beliau
menyetujui kepergian anaknya. “Anakku, jika engkau berhasil dan menjadi orang
yang berkecukupan, jangan lupa dengan ibumu dan kampung halamanmu ini, Nak,”
pesan Ibu Rubayah pada anaknya, Malin Kundang.
Beberapa hari kemudian, Malin Kundang pergi meninggalkan sang ibu dan
kampung halamannya. Setiap harinya, tak henti-hentinya sang ibu selalu mendoakan
kesuksesan dan keselamatan Malin Kundang selama di perantauan. Ia pun selalu
berharap agar anaknya cepat kembali. Selama berada di dalam kapal, Malin Kundang
banyak belajar ilmu mengenai pelayaran. Ilmu tersebut lantas ia terapkan
sesampainya di negeri seberang. Bertahun-bertahun ia bekerja dengan keras hingga
kini menjadi orang kaya yang memiliki banyak kapal dagang. Meski begitu, ternyata
tak pernah sekalipun Malin Kundang mengirimkan surat atau bertukar kabar dengan
ibunya. Seolah Malin Kundang telah melupakan keberadaan ibunya di kampung.
Tak lama kemudian, Malin Kundang mempersunting salah seorang putri
bangsawan. Berita mengenai Malin Kundang yang telah kaya raya dan menikah,
sampai ke telinga sang ibu. Beliau merasa bersyukur dan sangat gembira bahwa
anaknya telah berhasil di perantauan dan kini hidup Makmur. Sejak saat itu, ibu Malin
Kundang selalu menunggu setiap harinya di dermaga. Ia menantikan anaknya yang
mungkin akan pulang ke kampung halamannya.
Hingga pada suatu hari, Malin Kundang dan istrinya melakukan pelayaran
menuju kampung halamannya. Penduduk desa kemudian menyambut kedatangan
kapal besar tersebut. Sang Ibu yang saat itu memang berada di dermaga melihat ada
sepasang suami istri yang tengah berdiri di atas geladak kapal yang besar. Ibu
Rubayah yakin bahwa mereka adalah anaknya yang sudah lama pergi merantau
beserta sang istri. Tak lama, ketika kapal tersebut berhenti, Malin Kundang pun turun.
Ia langsung disambut oleh ibunya yang sudah lama menantinya pulang.

“Malin Kundang, anakku! Mengapa kau pergi begitu lama tanpa pernah mengirimkan
kabar?” tanya sang ibu sambil memeluk Malin Kundang. Namun yang terjadi
berikutnya, Malin Kundang malah melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya
hingga terjatuh.
“Wanita tidak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku,” kata Malin
Kundang kepada ibunya. Malin Kundang ternyata pura-pura tidak mengenali ibunya,
ia malu karena ibunya sudah tua dengan memakai pakaian yang compang-camping.
“Wanita itu ibumu?” tanya istri Malin Kundang.
“Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar
mendapatkan hartaku,” sahut Malin Kundang kepada istrinya. Sang ibu yang
mendengar perkataan tersebut dan diperlakukan semena-mena oleh anak
kandungnya sendiri, lantas merasa sedih sekaligus marah.

Ia tidak menduga bahwa anak semata wayang yang sangat ia sayangi kini
berubah menjadi anak durhaka yang tidak mengenali ibunya sendiri. Tak lama kapal
Malin Kundang kemudian perlahan menjauhi tepi pantai. Karena kesedihan dan
kemarahannya yang memuncak, ibu Malin Kundang kemudian menengadahkan
kedua tangannya sambil berdoa, “Ya Allah Yang Maha Kuasa, kalau ia bukan anakku,
aku akan memaafkan perbuatannya tadi. Tapi jika ia memang benar anakku, Malin
Kundang, aku mohon keadilan-Mu.”
Seketika, tak lama setelah sang ibu berdoa kepada Allah, langit pun menjadi
gelap. Angin tiba-tiba berhembus kencang dan terjadilah hujan badai. Kapal milik
Malin Kundang yang sudah berlabuh langsung terkena petir besar, dan kemudian
pecah dihantam gelombang besar. Bangkai kapal kemudian terempas ombak yang
bergulung-gulung hingga ke tepi pantai. Bersamaan dengan datangnya badai, tubuh
Malin Kundang perlahan-lahan menjadi kaku dan lama kelamaan berubah menjadi
sebuah batu. Saat matahari pagi mulai memancarkan sinarnya, hujan badai telah reda.
Di kaki bukti, tampaklah kepingan kapal yang telah menjadi batu. Tak jauh dari
sana, tampak sebuah batu yang menyerupai sosok manusia. Konon katanya, itulah
tubuh Malin Kundang, si anak durhaka yang terkena kutukan akibat tak mau
mengenali ibu kandungnya sendiri. Sementara itu, di sela-sela batu berenanglah ikan-
ikan teri, blanak, dan tenggiri. Kabarnya ikan-ikan tersebut berasal dari serpihan
tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Pesan moral atau hikmah dari cerita Malin Kundang :
Dongeng Malin Kundang memberikan banyak pesan moral atau hikmah
khususnya bagi anak-anak agar selalu berbakti kepada kedua orang tua yang telah
merawat dan membesarkan sepenuh hati. Janganlah merasa malu atau gengsi jika
hidup dari keluarga miskin, namun jadikan hal tersebut sebagai pacuan untuk bekerja
karena kerja keras akan membuahkan hasil. Selain itu, ketika sudah sukses janganlah
sekali-kali untuk berbuat durhaka kepada kedua orang tua, terutama ibu. Surga
berada di bawah telapak kaki ibu, maka dari itu bahagiakanlah beliau selagi masih
ada karena rezeki dan keberkahan akan terus mengalir dalam hidup melalui ridha dan
doa ibu.

Anda mungkin juga menyukai