Oleh
SLAMET PURWANTO
F34101026
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGGUNAAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DALAM
FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI
SKRIPSI
Oleh
SLAMET PURWANTO
F34101026
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
SLAMET PURWANTO
F34101026
Disetujui,
Bogor, Mei 2006
RINGKASAN
Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan anionik
yang memiliki kelebihan dalam hal daya deterjensi, tahan terhadap kesadahan,
bersifat terbarukan dan ramah lingkungan. Kelebihan MES dapat dimanfaatkan
dalam suatu formula yang digunakan dalam proses pendesakan minyak bumi
melalui mekanisme surfactant flooding. Petroleum sulfonate yang selama ini
digunakan dalam proses perolehan minyak bumi memiliki karakteristik tidak
tahan terhadap salinitas (kadar garam) tinggi dan kesadahan tinggi. Selain itu,
pada umumnya petroleum sulfonate (contohnya alkohol etoksilat) bersifat toksik
sehingga bersifat tidak ramah bagi lingkungan.
MES dapat disintesis dari metil ester minyak kelapa sawit (Elaeis
guineensis). Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua
di dunia (memasok 36 % total kebutuhan dunia) setelah Malaysia (47 %). Bila
melihat potensi tersebut, maka Indonesia memiliki potensi besar untuk
menghasilkan MES dalam skala komersial. Selain itu, pembuatan MES dari metil
ester minyak sawit akan meningkatkan nilai tambah minyak sawit itu sendiri.
Apabila dibandingkan dengan produk turunan minyak sawit lainnya, surfaktan
memiliki nilai tambah paling besar yaitu mencapai sekitar 795 persen.
Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi
di dunia, Indonesia masih mengalami krisis bahan bakar minyak (energi). Apalagi
peranan minyak bumi sebagai sumber energi saat ini belum tergantikan oleh
sumber energi alternatif. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan
meningkatkan produksi minyak bumi. Salah satu caranya adalah melalui proses
Enhanced Oil Recovery (EOR) dengan menggunakan surfaktan yang prosesnya
disebut surfactant flooding. Proses EOR diperlukan karena residu minyak bumi
yang tertinggal dalam reservoir masih cukup besar yaitu sekitar 60-70 persen dari
kandungan minyak bumi awal.
Kondisi ekstrim yang terdapat pada sumur minyak bumi, seperti suhu dan
salinitas yang bervariasi merupakan penghalang bagi surfaktan untuk bekerja
secara maksimal. Selain itu, mahalnya harga surfaktan juga merupakan kendala
bagi digunakannya surfactant flooding dalam proses produksi minyak bumi.
Penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui pengaruh faktor salinitas,
suhu dan konsentrasi pelarutan formula terhadap kinerja agen pendesak minyak
bumi berdasarkan nilai tegangan antarmuka (IFT) dan (2) mendapatkan formula
terbaik dari kombinasi antara MES, surfaktan non ionik, mutual solvent dan air
berdasarkan kemampuannya menurunkan tegangan antarmuka (IFT). Rancangan
percobaan yang digunakan dalam pengujian berbagai formula surfaktan adalah
rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga faktor perlakuan yaitu salinitas,
suhu dan konsentrasi pelarutan formula. Faktor suhu diujikan pada taraf 25 oC
(suhu ruang), 50 oC, 75 oC dan 100 oC, sedangkan salinitas diujikan pada taraf
5000 ppm, 10.000 ppm dan 20.000 ppm. Selain itu, konsentrasi pelarutan formula
pun divariasikan menjadi tiga taraf yaitu 0,1%, 1% dan 10%.
Formula yang dibuat terdiri dari empat macam komponen yaitu MES,
surfaktan nonyl phenol ethoxylate, mutual solvent dan air. Keempat bahan tersebut
diformulasikan, sehingga diperoleh empat macam formula (A, B, C, D). Faktor
pembeda empat macam formula tersebut adalah konsentrasi MES dan nonyl
phenol ethoxylate. MES divariasikan ke dalam empat taraf mulai dari 10 %
sampai 25 % dengan interval masing-masing 5 %, sedangkan nonyl phenol
ethoxylate divariasikan ke dalam empat taraf sedemikian rupa sehingga kedua
bahan tersebut menyusun 50 % dari total formula. Sisa 50 % formula yang terdiri
dari mutual solvent (5%) dan air (45%) tidak dikombinasikan.
Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap
faktorial dengan tiga faktor perlakuan (salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan
formula dalam air injeksi) dengan uji lanjut Duncan pada formula agen pendesak
minyak bumi (A, B, C dan D) dapat disimpulkan bahwa pada formula A dan D,
salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata terhadap
perubahan nilai tegangan antarmuka (IFT) yang menjadi parameter kinerja agen
pendesak minyak bumi. Semakin tinggi salinitas dan semakin tinggi suhu maka
kinerja agen pendesak minyak bumi semakin rendah, sedangkan semakin tinggi
konsentrasi pelarutan formula yang digunakan maka semakin tinggi kinerja agen
pendesak minyak bumi. Pada formula B dan C, salinitas dan suhu tidak
berpengaruh nyata terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi, akan tetapi
konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata terhadap kinerja agen pendesak
minyak bumi. Dengan demikian, dapat dikatakan formula B dan C memiliki
ketahanan yang baik terhadap salinitas dan suhu dan semakin tinggi konsentrasi
pelarutan formula yang digunakan maka semakin tinggi kinerja agen pendesak
minyak bumi.
Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji T (T test) dapat
disimpulkan bahwa nilai IFT terendah pada setiap formula tidak berbeda nyata.
Formula B dan C memiliki kinerja (berdasarkan nilai IFT) yang sama yaitu tidak
dipengaruhi oleh salinitas dan suhu. Namun demikian, formula C adalah formula
terbaik, karena dari segi ekonomi lebih murah dan dari segi lingkungan lebih
ramah.
Slamet Purwanto F34101026. Utilizing Methyl Ester Sulfonate Surfactant in the
Surfactant Flooding Agent Formulae for Oil Recovery. Under supervision of:
E. Gumbira Said and Agus Pratomo
SUMMARY
Minyak Bumi adalah hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung
bahan/materi yang digunakan untuk mendapat gelar dari Universitas lain. Semua
sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas.
Slamet Purwanto
F34101026
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan. Terima kasih.
Slamet Purwanto
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xvii
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG....................................................................... 1
1.2. TUJUAN........................................................................................... 5
1.3. RUANG LINGKUP .......................................................................... 5
LAMPIRAN .................................................................................................. 45
DAFTAR TABEL
Halaman
Halaman
Halaman
900
795
800
700
Nilai tambah (%)
600
500
500
400
296
300
180 210
200
80 86,4
100 46
0
Minyak Asam Asam Margarin Gliserin Fatty Metil ester Surfaktan
Goreng lemak stearat alcohol
1.2. TUJUAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. mengetahui pengaruh faktor salinitas, suhu dan konsentrasi
pelarutan formula terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi
berdasarkan nilai tegangan antarmuka (IFT)
2. mendapatkan formula terbaik dari kombinasi antara MES,
surfaktan non ionik, mutual solvent dan air berdasarkan
kemampuannya menurunkan tegangan antarmuka (IFT)
2.1. SURFAKTAN
Surfaktan (Surface Active Agent) adalah suatu bahan yang dapat mengubah
atau memodifikasi tegangan permukaan dan antarmuka antara fluida yang tidak
saling larut (Unisource Canada, 2005; Schramm, 2000; Hackley dan Ferraris,
2001; Salager, 2002), atau molekul yang mengadsorbsi molekul lain pada
antarmuka dua zat (Particle Engineering Research Center, 2005). Dalam satu
molekulnya, surfaktan memiliki dua gugus yang berbeda polaritasnya yaitu gugus
polar dan non polar. Gugus polar memperlihatkan afinitas (daya ikat) yang kuat
dengan pelarut polar, contohnya air, sehingga sering disebut gugus hidrofilik.
Gugus non polar biasa disebut hidrofob atau lipofilik yang berasal dari bahasa
Yunani phobos (takut) dan lipos (lipid). Surfaktan sering diberi nama sesuai
dengan tujuan penggunaannya yaitu sabun, deterjen, pembasah (wetting agent),
pendispersi, pengemulsi, pembusa, bakterisida, inhibitor korosi, dan agen
antistatis (Salager, 2002).
Ada empat macam jenis surfaktan yang telah dikenal berdasar muatan
pada gugus polarnya yaitu surfaktan anionik, nonionik, zwitterionik dan kationik.
Berdasarkan jumlah konsumsi surfaktan dunia, surfaktan anionik merupakan
surfaktan yang paling banyak digunakan (50 persen), kemudian disusul nonionik
(45 persen), kationik (4 persen) dan yang paling sedikit penggunaannya adalah
surfaktan dari jenis amfoterik (1 persen) (Salager, 2002). Struktur surfaktan secara
umum diperlihatkan pada Gambar 2 berikut.
a b
Gambar 2. Struktur surfaktan (a. Unimer surfaktan b. Agregat surfaktan )
2.2. SURFAKTAN NONIONIK
O O
R CH C R CH 2 C
OH O CH 3
H 2C OH
O O
R' C C +3 H 3C OH R' CH 2 C
+ HC OH
OH O CH 3
H 2C OH
O O
R'' CH C R'' CH 2 C
OH O CH 3
Minyak/lemak Metanol Metil ester Gliserin
Karakteristik MES disajikan pada Tabel 1 dan gambar produk dan struktur
MES dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Dari tabel tersebut dapat dilihat
bahwa selain MES sebagai produk utama juga dihasilkan produk lain yang tidak
diinginkan seperti garam di-natrium karboksi sulfonat (di-salt), metanol, hidrogen
peroksida, air, petroleum eter, natrium karboksilat, natrium sulfat, dan natrium
metil sulfat. Metanol sisa yang terdapat dalam produk komersial adalah 0.5 persen
(bobot). Menurut Hovda (2002) dan MacArthur et al. (2002), di-natrium karboksi
sulfonat merupakan pengotor pada MES yang dapat menurunkan deterjensi MES.
Tabel 1. Metil Ester Sulfonat produksi Chemiton Corp. Inc.
Menurut Hovda (2002), ada tiga tipe proses pembuatan MES yaitu proses
yang menggunakan dua tahap pemucatan sehingga diperlukan halogen, proses
yang menggunakan pemurnian ultra, proses/teknologi yang dikembangkan
Chemiton Corporation menggunakan agen peroksida untuk tahap pemucatan.
Foster (1997) berpendapat bahwa untuk mendapatkan produk yang unggul
dari reaksi sulfonasi, rasio mol reaktan merupakan faktor utama yang harus
dikendalikan. Faktor lainnya adalah suhu reaksi, konsentrasi reaktan (gas SO3),
pH netralisasi, lama penetralan, dan suhu selama penetralan. Faktor-faktor
tersebut memang memberikan pengaruh pada kualitas produk, namun
pengaruhnya tidak sebesar pengaruh akibat rasio mol. Agen sulfonasi yang
digunakan secara luas pada reaksi sulfonasi adalah asam sulfat (H2SO4) dan oleum
(SO3 H2SO4). Tipe reaksi proses sulfonasi dibedakan berdasar agen sulfonasi
yang digunakan. Faktor-faktor yang menentukan dalam pemilihan tipe reaksi
sulfonasi adalah kuantitas dan kualitas produk yang diinginkan, harga reagen
(bahan pereaksi), biaya peralatan, dan biaya pengolahan limbah.
Secara teknis, minyak bumi terdiri dari gugus pentana (hidrokarbon yang
terdiri dari lima atom karbon dan 12 atom hidrogen) dan hidrokarbon yang lebih
berat (hidrokarbon dengan panjang rantai karbon lebih lima atom karbon).
Mungkin juga berisi material lain seperti air, gas-alam, belerang dan mineral lain.
Pada dasarnya, minyak bumi adalah dapat mengalir secara alami tanpa
dipompa atau dipanaskan dan diencerkan. Minyak bumi biasanya digolongkan
menjadi light, medium dan heavy, berdasarkan pada gaya beratnya yang
dinyatakan dalam skala American Petroleum Institute (API). API dinyatakan
dengan satuan derajat dan dihitung menggunakan rumus 141.5/S.G.)- 131.5= API
gravity (S.G. = Specific Gravity). Minyak bumi dengan kategori light mempunyai
API gravity yang lebih tinggi dari 31.1, kategori medium mempunyai API gravity
antara 22.3 dan 31.1, dan kategori heavy mempunyai API gravity di bawah
22.3.
Formula yang diaplikasikan pada surfactant flooding yang biasanya
disebut mikroemulsi memiliki viskositas rendah dan stabil terhadap perlakuan
panas. Mikroemulsi mampu berperan sebagai bahan aktif permukaan dan
memiliki tegangan antarmuka yang rendah. Mikroemulsi berbeda dengan emulsi
biasa dalam hal stabilitas dan ukuran droplet. Stabilitas mikroemulsi lebih tinggi
dan dipengaruhi oleh garam, zat aditif kesadahan dan suhu, sedangkan ukuran
dropletnya lebih kecil bila dibandingkan dengan emulsi biasa. Pada Tabel 2
diperlihatkan komposisi mikroemulsi komersial.
Mutual solvent adalah bahan aditif yang digunakan pada proses stimulasi
sumur minyak, di mana mempunyai sifat larut dalam air, minyak dan fluida asam.
Bahan aditif ini dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti menghilangkan
deposit hidrokarbon fraksi berat dan mengendalikan wettability dari batuan
formasi. Jenis mutual solvent yang sering dipakai di lapangan adalah etilen glikol
monobutil eter atau sering disebut sebagai butyl cellosolve yang memiliki rumus
kimia C6H1402 dengan sifat fisik berupa cairan jernih tidak berwarna
(www.glossary.oilfield.slb.com). Penggunaan mutual solvent dapat
menyebabbkan terjadinya emulsifikasi. Mutual solvent bekerja dengan
memindahkan lapisan film organik sehingga menjadi bersifat water wet
(http://www.messina-oilchem.com). Ethylene Glycol Monobutyl Ether (butoxy
ethanol) telah digunakan sebagai oil spill dispersant oleh Exxon Mobile (Clark,
2004).
1 3
= r 2
4
Keterangan :
r : jari-jari
: tegangan antarmuka
: selisih densitas drop dan densitas cairan
: kecepatan putar
III BAHAN DAN METODE
3.1.1. BAHAN
3.1.2. ALAT
Komposisi (% v/v)
Jenis formula
MES Non ionik H2O Mutual solvent
Formula A 10 40 45 5
Formula B 15 35 45 5
Formula C 20 30 45 5
Formula D 25 25 45 5
Gambar 11. Hasil pengujian (kanan) timol biru pada MES (kiri)
Gambar 12. MES hasil reaksi sulfonasi metil ester dan Na-bisulfit
Tabel 4. Karakteristik metil ester sulfonat
Parameter Nilai
Tegangan antarmuka dengan metode Du 0.23
Nuoy (dyne/cm)
Tegangan permukaan (dyne/cm) 32.8
Bilangan asam (mg KOH/g sampel) 16.32
Bilangan Iod (g Iod/100 g sampel) 7.84
Bilangan peroksida (mmol/1000 g sampel) 9.85
Absorbansi sulfonat (AU) 1.51
pH 6,5-7,5
Densitas (g/ml) pada suhu 25 oC 0,87
Wujud Cair
Sumber : Hidayati (2006)
O Na O Na
O S O O O S O O
R CH2 CH C
+ NaCl (l)
R CH2 CH C
O CH3
O Na
4.3.1. FORMULA A
Formula A mengandung komposisi MES 10 persen, nonyl phenol
ethoxylate 40 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil
pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan
salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran
2,98 x 10-03 dyne/cm dan 4,36 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi
0,0122. Nilai rekapitulasi IFT formula A dan analisis statistik deskriptif
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan analisis keragaman
terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen menunjukkan bahwa
faktor salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata
terhadap perubahan nilai IFT. Selain faktor tunggal tersebut, interaksi faktor
konsentrasi pelarutan formula dengan salinitas dan suhu juga berpengaruh
nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis keragaman pada nilai IFT
formula A selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7a.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT
formula A pada berbeda pada salinitas, suhu dan konsentrasi tertentu. Untuk
faktor salinitas, nilai IFT pada taraf 5000 ppm berbeda nyata dengan nilai IFT
pada taraf 10.000 ppm dan 20.000 ppm, sedangkan nilai IFT pada taraf
10.000 ppm dan 20.000 ppm tidak berbeda nyata. Untuk faktor suhu, nilai IFT
pada taraf 25 oC berbeda nyata dengan nilai IFT pada suhu 50, 75 dan 100 oC,
sedangkan nilai IFT pada suhu 50, 75 dan 100 oC tidak berbeda nyata. Untuk
faktor konsentrasi pelarutan formula, nilai IFT pada taraf 0,1 persen berbeda
dengan taraf 1 persen dan 10 persen dan nilai IFT pada taraf 1 persen dan 10
persen tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut dengan metode Duncan dapat
diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh pada faktor perlakuan salinitas
o
5000 ppm, suhu 25 C dan konsentrasi pelarutan formula 10 persen.
Walaupun nilai IFT tertinggi (secara kasar) diperoleh pada faktor perlakuan
salinitas 20.000 ppm, suhu 100 oC dan konsentrasi pelarutan 0,1 persen,
namun nilai IFT tertinggi tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai IFT pada
perlakuan salinitas 10. 000 ppm serta pada suhu 50 dan 75 oC. Hasil uji lanjut
pada formula A dengan metode Duncan selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 7b.
Pada Gambar 18 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan
hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada
berbagai konsentrasi pelarutan Formula A. Pada gambar tersebut terlihat
bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin
meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan
meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai
IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
IFT Formula A
0.045
0.04
IFT (dyne/cm)
0.035
0.03 Salinitas 5000 ppm
0.025
0.02 Salinitas 10.000 ppm
0.015 Salinitas 20.000 ppm
0.01
0.005
0
K1T1
K1T2
K1T3
K1T4
K2T1
K2T2
K2T3
K2T4
K3T1
K3T2
K3T3
K3T4
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
Gambar 18. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu
terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi
pelarutan Formula A
Keterangan :
Komposisi Formula A: MES 10%, NPE 40%, air 45% dan mutual solvent 5%
4.3.2. FORMULA B
Formula B mengandung komposisi MES 15 persen, nonyl phenol
ethoxylate 35 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil
pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan
salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran
5,741 x 10-03 dyne/cm dan 7,488 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi
0,01619. Nilai rekapitulasi IFT formula B dan analisis statistik deskriptif
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan analisis keragaman
terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen menunjukkan bahwa
hanya faktor konsentrasi pelarutan formula saja yang berpengaruh nyata
terhadap perubahan nilai IFT, sedangkan faktor salinitas dan suhu tidak
berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis keragaman
pada nilai IFT formula B selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9a.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT
formula B pada konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen berbeda dengan nilai
IFT pada konsentrasi pelarutan formula 1 dan 10 persen dan nilai IFT pada
konsentrasi pelarutan formula 1 persen berbeda dengan nilai IFT pada
konsentrasi pelarutan formula 10 persen. Dengan kata lain, nilai IFT pada
setiap taraf faktor konsentrasi pelarutan formula berbeda nyata satu sama lain.
Karena faktor salinitas dan suhu tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai
IFT, maka nilai IFT yang dihasilkan oleh setiap taraf pada faktor perlakuan
salinitas dan suhu tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut dengan metode
Duncan dapat diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh pada faktor
perlakuan konsentrasi pelarutan formula 10 persen dengan nilai IFT 5,741 x
10-03 dyne/cm dan nilai IFT tertinggi diperoleh dengan faktor perlakuan
konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen dengan nilai IFT 7,488 x 10-02
dyne/cm. Hasil uji lanjut pada formula B dengan metode Duncan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9b.
Pada Gambar 19 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan
hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada
berbagai konsentrasi pelarutan Formula B. Pada gambar tersebut terlihat
bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin
meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan
meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai
IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
IFT Formula B
0.055
0.05
0.045
IFT (dyne/cm)
0.04
0.035 Salinitas 5000 ppm
0.03 Salinitas 10.000 ppm
0.025
0.02 Salinitas 20.000 ppm
0.015
0.01
0.005
0
K1T1
K1T2
K1T3
K1T4
K2T1
K2T2
K2T3
K2T4
K3T1
K3T2
K3T3
K3T4
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
Gambar 19. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu
terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi
pelarutan Formula B
Keterangan :
Komposisi Formula B: MES 15%, NPE 35%, air 45% dan mutual solvent 5%
4.3.3. FORMULA C
Formula C mengandung komposisi MES 20 persen, nonyl phenol
ethoxylate 30 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil
pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan
salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran
6,374 x 10-03 dyne/cm dan 7,025 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi
0,01801. Nilai rekapitulasi IFT formula C dan analisis statistik deskriptif
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan analisis
keragaman terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen
menunjukkan bahwa hanya faktor konsentrasi pelarutan formula saja yang
berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT, sedangkan faktor salinitas
dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis
keragaman pada nilai IFT formula C selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 11a.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT
formula C pada konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen berbeda dengan nilai
IFT pada konsentrasi pelarutan formula 1 dan 10 persen dan nilai IFT pada
konsentrasi pelarutan formula 1 persen berbeda dengan nilai IFT pada
konsentrasi pelarutan formula 10 persen. Dengan kata lain, nilai IFT pada
setiap taraf faktor konsentrasi pelarutan formula berbeda nyata satu sama lain
dalam. Karena faktor salinitas dan suhu tidak berpengaruh terhadap
perubahan nilai IFT, maka nilai IFT yang dihasilkan oleh setiap taraf pada
faktor perlakuan salinitas dan suhu tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut
dengan metode Duncan dapat diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh
pada faktor perlakuan konsentrasi pelarutan formula 10 persen dengan nilai
IFT 6,374 x 10-03 dyne/cm dan nilai IFT tertinggi diperoleh dengan faktor
perlakuan konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen dengan nilai IFT 7,025 x
10-02 dyne/cm. Hasil uji lanjut pada formula C dengan metode Duncan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11b.
Pada Gambar 20 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan
hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada
berbagai konsentrasi pelarutan Formula C. Pada gambar tersebut terlihat
bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin
meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan
meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai
IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
IFT Formula C
0.06
0.055
0.05
IFT (dyne/cm)
0.045
0.04 Salinitas 5000 ppm
0.035
0.03 Salinitas 10.000 ppm
0.025
0.02 Salinitas 20.000 ppm
0.015
0.01
0.005
0
K1T1
K1T2
K1T3
K1T4
K2T1
K2T2
K2T3
K2T4
K3T1
K3T2
K3T3
K3T4
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
Gambar 20. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu
terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi
pelarutan Formula C
Keterangan :
Komposisi Formula C: MES 20%, NPE 30%, air 45% dan mutual solvent 5%
4.3.4. FORMULA D
Formula D mengandung komposisi MES 25 persen, nonyl phenol
ethoxylate 25 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil
pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan
salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran
6,107 x 10-03 dyne/cm dan 5,822 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi
0,0158. Nilai rekapitulasi IFT formula D dan analisis statistik deskriptif
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan analisis
keragaman terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen
menunjukkan bahwa hanya faktor konsentrasi pelarutan formula saja yang
berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT, sedangkan faktor salinitas
dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis
keragaman pada nilai IFT formula D selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 13a.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT
formula D pada berbeda pada salinitas, suhu dan konsentrasi tertentu. Untuk
faktor salinitas, nilai IFT pada setiap taraf salinitas berbeda nyata satu sama
lain. Artinya nilai IFT pada taraf 5000 ppm berbeda nyata dengan nilai IFT
pada taraf 10.000 ppm dan 20.000 ppm dan nilai IFT pada taraf 10.000 ppm
berbeda nyata dengan taraf 20.000 ppm. Untuk faktor suhu, nilai IFT pada
taraf 25 oC berbeda nyata dengan nilai IFT pada suhu 50 dan 75 oC,
sedangkan nilai IFT pada suhu 25 dan 100 oC tidak berbeda nyata. Untuk
faktor konsentrasi pelarutan formula, nilai IFT pada taraf 0,1 persen berbeda
dengan taraf 1 persen dan 10 persen dan nilai IFT pada taraf 1 persen dan 10
persen tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut dengan metode Duncan dapat
diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh pada faktor perlakuan salinitas
5000 ppm, suhu 75 oC dan konsentrasi pelarutan formula 10 persen yaitu
dengan nilai IFT 6,107 x 10-03 dyne/cm. nilai IFT tertinggi diperoleh pada
faktor perlakuan salinitas 20.000 ppm, suhu 100 oC dan konsentrasi pelarutan
0,1 persen yaitu dengan nilai IFT 5,822 x 10-02 dyne/cm. Hasil uji lanjut pada
formula D dengan metode Duncan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
13b.
Pada Gambar 21 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan
hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada
berbagai konsentrasi pelarutan Formula D. Pada gambar tersebut terlihat
bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin
meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan
meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai
IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
IFT Formula D
0.06
0.055
0.05
IFT (dyne/cm)
0.045
0.04 Salinitas 5000 ppm
0.035
0.03 Salinitas 10.000 ppm
0.025
0.02 Salinitas 20.000 ppm
0.015
0.01
0.005
0
K1T1
K1T2
K1T3
K1T4
K2T1
K2T2
K2T3
K2T4
K3T1
K3T2
K3T3
K3T4
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
Gambar 21. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu
terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi
pelarutan Formula D
Keterangan :
Komposisi Formula D: MES 25%, NPE 25%, air 45% dan mutual solvent 5%
5.1. KESIMPULAN
5.2. SARAN
Penggunaan konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen, 1 persen dan 10
persen masih terlalu besar rentangnya (sepuluh kali lipat), sehingga penelitian
lanjutan menggunakan rentang konsentrasi yang lebih kecil perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ajith, S., A.C. John dan A.R. Rakshit. 1994. Physicochemical Studies of
Microemulsions. Pure & Appl. Chem. Vol. 66, No. 3. Great Britain.
http://www.iupac.org/publications/pac/1994/pdf/6603x0509.pdf
[22 Desember 2005]
Al Manhal. 2005. Boosting Oil Recovery No. 3. The Magazine Explaining the Oil
and Gas Industry. http://www.pdo.co.om/NR/rdonlyres/174DAA4A-
D53B-49C9-93BD-D42F5AA9A2E2/0/almanhalIssue32005English.pdf
[22 Desember 2005]
Drelich, J., Ch. Fang, dan C.L. White. 2002. Measurement of Interfacial Tension
in Fluid-Fluid Systems. Marcel Dekker, Inc.
http://pcserver.iqm.unicamp.br/~wloh/cursos/qf732/m2.pdf [22 Desember
2005]
Foster, N.C. 1997. Sulfonation and Sulfation Processes. The Chemithon
Corporation. http://www.chemithon.com/papers_brochures/Sulfo_and_
Sulfa.doc.pdf [30 November 2005]
Gardner, J.E. dan M.E. Hayes. 1983. Spinning Drop Interfacial Tensiometer
Instruction Manual. Department of Chemistry. Univ. of Texas, Austin.
Gumbira-Said, E. 2001. Penerapan Manajemen Teknologi dalam Meningkatkan
Daya Saing Global Produk Agribisnis/Agroindustri Berorientasi Produksi
Berkelanjutan. Orasi Ilmiah Guru Besar Teknologi Industri Pertanian.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Hackley, V.A. dan C.F. Ferraris. 2001. The Use of Nomenclature in Dispersion
Science and Technology. National Institute of Standards and Technology:
Special Publication 960-3. U.S. Government Printing Office, Washington
www.nist.gov/public_affairs/practiceguidesember/SP960-3.pdf [17 Maret
2006]
Hidayati, S. 2006. Optimasi Proses Pembuatan Metil Ester Sulfonat dari Minyak
Sawit dan Uji Efektifitasnya untuk Pendesakan Minyak Bumi. Desertasi.
FATETA, IPB. Bogor.
http://www.chemicalland21.com/arokorhi/specialtychem/perchem/NONYLPHEN
OL%20ETHOXYLATE.htm [20 Maret 2006]
http://www.glossary.oilfield.slb.com/Display.cfm?Term=mutual%20solvent
[14 Maret 2006]
http://www.messina-oilchem.com/Stimulation/Stimulation-MS.html
[14 Maret 2006]
http://www.messina-oilchem.com/PDs/OILAID-MS-1%20PD.pdf
[14 Maret 2006]
http://www.engr.pitt.edu/chemical/undergrad/lab_manuals/optimal_salinity.pdf
[22 Desember 2005]
http://web.engr.oregonstate.edu/~istokj/pdf/Field%20et%20al.%202000%20JCH.
pdf [20 Desember 2005]
http://www.kapanlagi.com/h/0000076314.html [14 Maret 2006]
Lake, L.W., R.L. Schmidt dan P.B. Venuto. 1995. A Niche for Enhanced Oil
Recovery in the 1990s. http://www.slb.com/media/services/resources/
oilfieldreview/ors92/0192/p55_61.pdf [22 Desember 2005]
Liu, Y, R.B. Grigg, dan R.K. Svec. 2005. O2 Foam Behavior: Influence of
Temperature, Pressure, and Concentration of Surfactant. Abstract SPE
94307. http://baervan.nmt.edu/publications/newpublications/gas/SPE%
2094307.htm [16 Maret 2006]
MacArthur, B.W., B Brooks, W.B. Sheats dan N.C. Foster. 2002. Meeting The
Challenge of Methylester Sulfonation. The Chemiton Corporation.
http://www.chemithon.com/papers_brochures/Meeting_the_Challenge.doc.
pdf [30 November 2005]
Nummedal, D., B. Towler, C. Mason, dan M. Allen. 2003. Enhanced Oil
Recovery in Wyoming: Prospects and Challenges. Univ of Wyoming.
http://uwadmnweb.uwyo.edu/AcadAffairs/PolicyStatements/ EORfinal.pdf
[30 November 2005]
Sabatini, D.A., R.C. Knox, dan M.J. McInerney. 2005. Evaluation of Sub-micellar
Synthetic Surfactants versus Biosurfactants for Enhanced LNAPL
Recovery. EPA Agreement Number: R83-0633-010.
http://ipec.utulsa.edu/31.d/31_Q3.pdf [15 Maret 2005]
Samhadi, S.H. 2006. Ironi Sawit dan Ambisi Nomor Satu Dunia. Kompas edisi
Sabtu, 25 Februari 2006. http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0602/25/Fokus/2462794.htm [14 Maret 2006]
Sampath, R., L.T. Moeti, M.J. Pitts dan D.H. Smith. 1998. Characterization of
Surfactants for Enhanced Oil Recovery. Proceedings.
www.netl.doe.gov/publications/proceedings/98/98hbcu/SAMPATH2.PDF
[24 November 2005]
Salager, J.L. 2002. Surfactants Types and Uses. Version 2. FIRP Booklet # E300-
A: Teaching Aid in Surfactant Science & Engineering in English.
Universidad De Los Andes, Mrida-Venezuela.
http://www.firp.ula.ve/cuadernos/E300A.pdf [20 Maret 2005]
Sheats, W.B., dan B.W., MacArthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. The
Chemithon Corporation. USA. http://www.chemithon.com/
papers_brochures/MES_Products.doc.pdf [30 November 2005]
Sheats, W.B. dan N.C. Foster. 2002. Concentrated Products from Methyl Ester
Sulfonates. The Chemithon Corporation. http://www.chemithon.com/
papers_brochures/Concentrated_Products.doc.pdf [30 November 2005]
Syahmani. 2001. Isolasi, Sulfonasi dan Asetilasi Lignin dari Tandan Kosong
Sawit dan Studi Pengaruhnya Terhadap Proses Pelarutan Urea. ITB
Central Library. http://library.gunadarma.ac.id/go.php?id=jbptitbpp-gdl-s2-
2000-syahmani-1076-urea [4 April 2006]
Taber, J.J., F.D. Martin, dan R.S. Seright. 1997. EOR Screening Criteria
Revisited. Society of Petroleum Engineers. Tulsa, Oklahoma. USA.
Sumber :http://www.dprin.go.id
Lampiran 2. Spesifikasi Metil Ester (ME) Minyak Inti Sawit dan
Perhitungan Mol reaksi antara Metil Ester dan Na-HSO3
Parameter Nilai
Bilangan asam (mg KOH/g) 0,19
Bilangan Penyabunan (mg KOH/g) 1.88
Bilangan Iod (g/100g) 83.20
Densitas (gr/ml) 0.87
Kadar air (%) 0,03
Lovibond colour, 5 red / yellow 0.2/1.7
Warna, APHA 65
Distribusi asam lemak (%)
C16 0.2
C18 10.6
C18/1 75.4
C18/2 13.3
C20 0.5
Sumber : PT. Ecogreeen Oleochemicals (2003)
Jika diketahui komposisi asam lemak dalam metil ester berbasis PKO adalah
(%b):
C16 = 0,2%
C18 = 10,6%
C18/1 = 75,4%
C18/2 = 13,3%
C20 = 0,5%
-----------------
100 %
Massa
Mol = --------------
BM
Jadi setiap 1 L Metil Ester yang digunakan dibutuhkan reaktan NaHSO3 sebanyak
468 g atau setiap 500 ml metil ester yang digunakan dalam reaksi maka
diperlukan 234 Na-HSO3
Lampiran 3a. Karakteristik Minyak Bumi Mentah PT. X
Parameter Nilai
o 3
Densitas pada suhu 60 F (g/cm ) 0,8461
Bilangan Asam (mgKOH/g) 0,09
o
Titik tuang ( F) 79
Kandungan Aspal (% b/b) 0,83
Kandungan resin (% b/b) 3,03
Kandungan lilin (wax) (% b/b) 25,45
Sulfonasi
Disalt, sisa reaktan,
Perbandingan mol metil ester : NaHSO3 = 1 : 1,5
NaHSO3 234 g dan produk samping
Suhu 1000C, selama 4,5 jam
lain
Pemurnian
Metanol Perbandingan volume MES : metanol = 70% : 30%
500C, 1,5 jam
NaOH Penetralan
Kondensasi
20% pH 7, 550C, 30 menit
10 6 2 ( sampel crudeoil ) d 3
IFT = .....................Persamaan 3
8 3 2
Keterangan :
d = lebar droplet (m)
x = batas atas droplet (cm)
y = batas bawah droplet (cm)
faktor konversi alat = 0,0025
= phi (3,142857)
sampel = densitas sampel (g/ml)
crude oil = densitas crude oil = 0,942 g/ml
= indeks bias sampel
P = periode (msec/putaran)
Lampiran 6. Rekapitulasi data IFT formula A (dalam satuan dyne/cm)
Faktor perlakuan suhu (C)
25 50 75 100
Konsentrasi
Pelarutan Salinitas Ulangan1 Ulangan2 Rata-rata Ulangan1 Ulangan2 Rata-rata Ulangan1 Ulangan2 Rata-rata Ulangan1 Ulangan2 Rata-rata
Formula (%)
5000 0,016781 0,020641 0,018711 0,022474 0,039152 0,030813 0,030345 0,029127 0,029736 0,031237 0,036472 0,033854
0,1 10000 0,023787 0,026193 0,02499 0,034697 0,033182 0,033939 0,030774 0,039496 0,035135 0,038073 0,036886 0,037479
20000 0,032317 0,032317 0,032317 0,035093 0,032805 0,033949 0,037185 0,032878 0,035032 0,043643 0,033916 0,038779
5000 0,005162 0,012082 0,008622 0,012812 0,012812 0,012812 0,016767 0,010958 0,013863 0,012061 0,012061 0,012061
1 10000 0,011942 0,011039 0,011491 0,014354 0,012099 0,013227 0,012338 0,01309 0,012714 0,013223 0,012201 0,012712
20000 0,015174 0,009526 0,01235 0,014063 0,014063 0,014063 0,014229 0,009806 0,012018 0,013421 0,013421 0,013421
5000 0,00298 0,005261 0,004121 0,005697 0,004484 0,00509 0,003885 0,004931 0,004408 0,005067 0,004787 0,004927
10 10000 0,003901 0,004587 0,004244 0,005812 0,004305 0,005059 0,005416 0,004781 0,005098 0,005573 0,004255 0,004914
20000 0,003935 0,004714 0,004325 0,006168 0,004126 0,005147 0,004762 0,004026 0,004394 0,005729 0,004206 0,004968
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KONSENTRASI 72 0,1 10,0 3,700 4,5013
SALINITAS 72 5000 20000 11666,67 6279,858
SUHU 72 25 100 62,50 28,147
IFT 72 0,002980 0,043643 0,01641055 0,012219534
Valid N (listwise) 72
Lampiran 7a. Analisis Keragaman Formula A
Lampiran 7b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula A
Term A: Salinitas
Term B: Suhu
Term C: Konsentrasi
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KONSENTRASI 72 0,1 10,0 3,700 4,5013
SALINITAS 72 5000 20000 11666,67 6279,858
SUHU 72 25 100 62,50 28,147
IFT 72 0,005741 0,074886 0,02326340 0,016194339
Valid N (listwise) 72
Lampiran 9a. Analisis Keragaman Formula B
Lampiran 9b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula B
Term A: Salinitas
Term B: Suhu
Term C: Konsentrasi
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KONSENTRASI 72 0,1 10,0 3,700 4,5013
SALINITAS 72 5000 20000 11666,67 6279,858
SUHU 72 25 100 62,50 28,147
IFT 72 0,006374 0,070258 0,02856506 0,018016165
Valid N (listwise) 72
Lampiran 11a. Analisis Keragaman Formula C
Analysis of Variance Table
Lampiran 11b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula C
Term A: Salinitas
Term B: Suhu
Term C: Konsentrasi
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KONSENTRASI 72 0,1 10,0 3,700 4,5013
SALINITAS 72 5000 20000 11666,67 6279,858
SUHU 72 25 100 62,50 28,147
IFT 72 0,006107 0,058226 0,02932524 0,015807826
Valid N (listwise) 72
Lampiran 13a. Analisis Keragaman Formula D
Lampiran 13b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula D
Term A: Salinitas
Group Count Mean Different From Groups
5000 24 2,77E-02 10000, 20000
10000 24 2,93E-02 5000, 20000
20000 24 3,10E-02 5000, 10000
Term B: Suhu
Term C: Konsentrasi
Catatan :
Hypothesis
Ho: form A -form B =0, nilai rata-rata formula A dan formula B tidak berbeda
secara statistik
Ha: form A -form B 0, nilai rata-rata formula A dan formula B berbeda secara
statistik
Lampiran 14 . Hasil analisis dengan uji T (lanjutan)
Hypothesis
Ho: form A -form D =0, nilai rata-rata formula A dan formula D tidak berbeda
secara statistik
Ha: form A -form D 0, nilai rata-rata formula A dan formula D berbeda secara
statistik
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T (lanjutan)
Hypothesis
Ho: form B -form C =0, nilai rata-rata formula B dan formula C tidak berbeda secara
statistik
Ha: form B -form C 0, nilai rata-rata formula B dan formula C berbeda secara
statistik
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T (lanjutan)
Catatan :
Hypothesis
Ho: form B -form D =0, nilai rata-rata formula B dan formula D tidak berbeda
secara statistik
Ha: form B -form D 0, nilai rata-rata formula B dan formula D berbeda secara
statistik
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T (lanjutan)
Difference: (Formula_C)-(Formula_D)
Catatan :
Hypothesis
Ho: form C -form D =0, nilai rata-rata formula C dan formula D tidak berbeda
secara statistik
Ha: form C -form D 0, nilai rata-rata formula C dan formula D berbeda secara
statistik