Anda di halaman 1dari 48

 

Kumpulan Cerita Anak Anak

Sumber : Berbagai Sumber / Internet  

Ebook Re Edited by: Farid ZE


Blog Pecinta Buku –  PP Assalam Cepu

Daftar Isi
1. Sangkuriang
2. Legenda Candi Prambanan
3. Aryo Menak
4. Si Lancang
5. Terjadinya Danau Toba
6. Si Sigarlaki dan Si Limbat
7. Aji Saka
8. Arti Sebuah Persahabatan
9. Batu Golog
10. Bende Wasiat
11. Buaya Ajaib
12. Asal Usul Danau Lipan
13. Buaya Perompak
14. Cindelaras
15. Kancil si pencuri Timun
16. Kelelawar Yang Pengecut
 

17. Keong Mas


18. Kera dan Ayam
19. Kera Jadi Raja
20. Kutukan Raja Pulau Mintin
21. La Dana dan Kerbaunya
22. Laba-laba, kelinci dan sang bulan
23. Loro Jonggrang
24. Lutung Kasarung
25. Malin Kundang
26. Manik Angkeran
27. Pak Lebai Malang
28. Puteri Junjung Buih
29. Raja Parakeet
30. Si Pahit Lidah
31. Gembala Sang Raja
32. Chin Na
33. Istana Bunga
34. Raja Telinga Keledai
35. Tiga Tersangka
36. Tiga Mantra, Satu Tenaga
37. Dongeng Rakyat Vietnam

1. Sangkuriang 

Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak
tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.
Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan buruan.
Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan.
Ketika kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan
main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala
Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan
 pergi mengembara. Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu
 berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia
akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi.
Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke
tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total. Disana dijumpainya seorang
gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut
maka, Sangkuriang melamarnya. Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun
sangat terpesona padanya.
Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi
untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi demi melihat bekas luka
di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau.
Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia
menjadi sangat ketakutan.
 

 
Maka kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia
mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung sungai
Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk
menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum fajar menyingsing.
Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan
mahluk-mahluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun
diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai, Dayang Sumbi
memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di sebelah timur kota.
Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira hari sudah
menjelang pagi. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia
tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.
Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar
melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang dibuatnya. Sampan itu
melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang bernama "Tangkuban Perahu."

2. Legenda Candi Prambanan

Di dekat kota Yogyakarta terdapat candi Hindu yang paling indah di Indonesia. Candi ini
dibangun dalam abad kesembilan Masehi. Karena terletak di desa Prambanan, maka candi ini
disebut candi Prambanan tetapi juga terkenal sebagai candi Lara Jonggrang, sebuah nama yang
diambil dari legenda Lara Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Beginilah ceritanya.
Konon tersebutlah seorang raja yang bernama Prabu Baka. Beliau bertahta di Prambanan.
Raja ini seorang raksasa yang menakutkan dan besar kekuasaannya. Meskipun demikian, kalau
sudah takdir, akhirnya dia kalah juga dengan Raja Pengging. Prabu Baka meninggal di medan
 perang. Kemenangan Raja Pengging itu disebabkan karena bantuan orang kuat yang bernama
Bondowoso yang juga terkenal sebagai Bandung Bondowoso karena dia mempunyai senjata
sakti yang bernama Bandung.
Dengan persetujuan Raja Pengging, Bandung Bondowoso menempati Istana Prambanan.
Di sini dia terpesona oleh kecantikan Lara Jonggrang, putri bekas lawannya -- ya, bahkan putri
raja yang dibunuhnya. Bagaimanapun juga, dia akan memperistrinya.
Lara Jonggrang takut menolak pinangan itu. Namun demikian, dia tidak akan
menerimanya begitu saja. Dia mau kawin dengan Bandung Bondowoso asalkan syarat-syaratnya
dipenuhi. Syaratnya ialah supaya dia dibuatkan seribu candi dan dua sumur yang dalam.
Semuanya harus selesai dalam waktu semalam. Bandung Bondowoso menyanggupinya,
meskipun agak keberatan. Dia minta bantuan ayahnya sendiri, orang sakti yang mempunyai
 balatentara roh-roh halus.
Pada hari yang ditentukan, Bandung Bondowoso beserta pengikutnya dan roh-roh halus
mulai membangun candi yang besar jumlahnya itu. Sangatlah mengherankan cara dan kecepatan
mereka bekerja. Sesudah jam empat pagi hanya tinggal lima buah candi yang harus disiapkan. Di
samping itu sumurnya pun sudah hampir selesai.
Seluruh penghuni Istana Prambanan menjadi kebingungan karena mereka yakin bahwa
semua syarat Lara Jonggrang akan terpenuhi. Apa yang harus diperbuat? Segera gadis-gadis
dibangunkan dan disuruh menumbuk padi di lesung serta menaburkan bunga yang harum
 

 baunya. Mendengar bunyi lesung dan mencium bau bunga-bungaan yang harum, roh-roh halus
menghentikan pekerjaan mereka karena mereka kira hari sudah siang. Pembuatan candi kurang
sebuah, tetapi apa hendak dikata, roh halus berhenti mengerjakan tugasnya dan tanpa bantuan
mereka tidak mungkin Bandung Bondowoso menyelesaikannya.
Keesokan harinya waktu Bandung Bondowoso mengetahui bahwa usahanya gagal, bukan
main marahnya. Dia mengutuk para gadis di sekitar Prambanan -- tidak akan ada orang yang
mau memperistri mereka sampai mereka menjadi perawan tua. Sedangkan Lara Jonggrang
sendiri dikutuk menjadi arca. Arca tersebut terdapat dalam ruang candi yang besar yang sampai
sekarang dinamai candi Lara Jonggrang. Candi-candi yang ada di dekatnya disebut Candi Sewu
yang artinya seribu.

3. Aryo Menak

Dikisahkan pada jaman Aryo Menak hidup, pulau Madura masih sangat subur. Hutannya
sangat lebat. Ladang-ladang padi menguning.
Aryo Menak adalah seorang pemuda yang sangat gemar mengembara ke tengah hutan.
Pada suatu bulan purnama, ketika dia beristirahat dibawah pohon di dekat sebuah danau,
dilihatnya cahaya sangat terang berpendar di pinggir danau itu. Perlahan-lahan ia mendekati
sumber cahaya tadi. Alangkah terkejutnya, ketika dilihatnya tujuh orang bidadari sedang mandi
dan bersenda gurau disana.
Ia sangat terpesona oleh kecantikan mereka. Timbul keinginannya untuk memiliki
seorang diantara mereka. Ia pun mengendap-endap, kemudian dengan secepatnya diambil sebuah
selendang dari bidadari-bidadari itu.
Tak lama kemudian, para bidadari itu selesai mandi dan bergegas mengambil pakaiannya
masing-masing. Merekapun terbang ke istananya di sorga kecuali yang termuda. Bidadari itu
tidak dapat terbang tanpa selendangnya. Iapun sedih dan menangis.
Aryo Menak kemudian mendekatinya. Ia berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi.
Ditanyakannya apa yang terjadi pada bidadari itu. Lalu ia mengatakan: "Ini mungkin sudah
kehendak para dewa agar bidadari berdiam di bumi untuk sementara waktu. Janganlah bersedih.
Saya akan berjanji menemani dan menghiburmu."
Bidadari itu rupanya percaya dengan omongan Arya Menak. Iapun tidak menolak ketika
Arya Menak menawarkan padanya untuk tinggal di rumah Arya Menak. Selanjutnya Arya
Menak melamarnya. Bidadari itupun menerimanya.
Dikisahkan, bahwa bidadari itu masih memiliki kekuatan gaib. Ia dapat memasak sepanci
nasi hanya dari sebutir beras. Syaratnya adalah Arya Menak tidak boleh menyaksikannya.
Pada suatu hari, Arya Menak menjadi penasaran. Beras di lumbungnya tidak pernah
 berkurang meskipun bidadari memasaknya setiap hari. Ketika isterinya tidak ada dirumah, ia
mengendap ke dapur dan membuka panci tempat isterinya memasak nasi. Tindakan ini membuat
kekuatan gaib isterinya sirna.
Bidadari sangat terkejut mengetahui apa yang terjadi. Mulai saat itu, ia harus memasak
 beras dari lumbungnya Arya Menak. Lama kelamaan beras itupun makin berkurang. Pada suatu
hari, dasar lumbungnya sudah kelihatan. Alangkah terkejutnya bidadari itu ketika dilihatnya
tersembul selendangnya yang hilang. Begitu melihat selendang tersebut, timbul keinginannya
untuk pulang ke sorga. Pada suatu malam, ia mengenakan kembali semua pakaian sorganya.
 

Tubuhnya menjadi ringan, iapun dapat terbang ke istananya.


Arya Menak menjadi sangat sedih. Karena keingintahuannya, bidadari meninggalkannya.
Sejak saat itu ia dan anak keturunannya berpantang untuk memakan nasi.

4. Si Lancang

Alkisah tersebutlah sebuah cerita, di daerah Kampar pada zaman dahulu hiduplah si
Lancang dengan ibunya. Mereka hidup dengan sangat miskin. Mereka berdua bekerja sebagai
 buruh tani.
Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia
meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si
Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar Si Lancang
 jangan menjadi anak yang durhaka.
Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang
menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak , kue
kegemaran Si Lancang.
Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi
saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikhabarkan ia pun
mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya.
Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.
Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ke
tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah dan alat-alat hiburan berupa
musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain
sutra dan aneka hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan
kemewahan dan kekayaan Si Lancang.
Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia
 bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Karena miskinnya, ia hanya
mengenakan kain selendang tua, sarung usang dan kebaya penuh tambalan. Dengan
memberanikan diri dia naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang.
Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya Si Lancang, tidak ada seorang kelasi
 pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu tua tersebut. Tetapi perempuan itu
tidak mau beranjak. Ia ngotot minta untuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu
menimbulkan keributan.
Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya
mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa perempuan compang
camping yang diusir itu adalah ibunya.
Ibu si Lancang pun berkata, "Engkau Lancang ... anakku! Oh ... betapa rindunya hati
emak padamu. "
Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang menepis.
Anak durhaka inipun berteriak, "Mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin
seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini."
Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di
rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah
nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya.
 

Ia pun berkata, "Ya Tuhanku ... hukumlah si Anak durhaka itu."


Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berhembus sangat dahsyatnya
sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya
kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain
sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri.
Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang
menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga sampai di
sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.

5. Terjadinya Danau Toba

Pada jaman dahulu, hiduplah seorang pemuda tani yatim piatu di bagian utara pulau
Sumatra. Daerah tersebut sangatlah kering. Syahdan, pemuda itu hidup dari bertani dan
memancing ikan. Pada suatu hari ia memancing seekor ikan yang sangat indah. Warnanya
kuning keemasan. Begitu dipegangnya, ikan tersebut berubah menjadi seorang putri jelita. Putri
itu adalah wanita yang dikutuk karena melanggar suatu larangan. Ia akan berubah menjadi
sejenis mahluk yang pertama menyentuhnya. Oleh karena yang menyentuhnya manusia, maka ia
 berubah menjadi seorang putri.
Terpesona oleh kecantikannya, maka pemuda tani tersebut meminta sang putri untuk
menjadi isterinya. Lamaran tersebut diterima dengan syarat bahwa pemuda itu tidak akan
menceritakan asal-usulnya yang berasal dari ikan. Pemuda tani itu menyanggupi syarat tersebut.
Setelah setahun, pasangan suami istri tersebut dikarunia seorang anak laki-laki. Ia mempunyai
kebiasaan buruk yaitu tidak pernah kenyang. Ia makan semua makanan yang ada.
Pada suatu hari anak itu memakan semua makanan dari orang tuanya.
Pemuda itu sangat jengkelnya berkata: "dasar anak keturunan ikan!"
Pernyataan itu dengan sendirinya membuka rahasia dari isterinya.Dengan demikian janji
mereka telah dilanggar.
Istri dan anaknya menghilang secara gaib. Ditanah bekas pijakan mereka menyemburlah
mata air. Air yang mengalir dari mata air tersebut makin lama makin besar. Dan menjadi sebuah
danau yang sangat luas. Danau itu kini bernama Danau Toba.

6. Si Sigarlaki dan Si Limbat

Pada jaman dahulu di Tondano hiduplah seorang pemburu perkasa yang bernama
Sigarlaki. Ia sangat terkenal dengan keahliannya menombak. Tidak satupun sasaran yang luput
dari tombakannya.
Sigarlaki mempunyai seorang pelayan yang sangat setia yang bernama Limbat. Hampir
semua pekerjaan yang diperintahkan oleh Sigarlaki dikerjakan dengan baik oleh Limbat.
Meskipun terkenal sebagai pemburu yang handal, pada suatu hari mereka tidak berhasil
memperoleh satu ekor binatang buruan. Kekesalannya akhirnya memuncak ketika Si Limbat
melaporkan pada majikannya bahwa daging persediaan mereka di rumah sudah hilang dicuri
orang.
 

  Tanpa pikir panjang, si Sigarlaki langsung menuduh pelayannya itu yang mencuri daging
 persediaan mereka. Si Limbat menjadi sangat terkejut. Tidak pernah diduga majikannya akan
tega menuduh dirinya sebagai pencuri.
Lalu Si Sigarlaki meminta Si Limbat untuk membuktikan bahwa bukan dia yang
mencuri. Caranya adalah Sigarlaki akan menancapkan tombaknya ke dalam sebuah kolam.
Bersamaan dengan itu Si Limbat disuruhnya menyelam. Bila tombak itu lebih dahulu keluar dari
kolam berarti Si Limbat tidak mencuri. Apabila Si Limbat yang keluar dari kolam terlebih
dahulu maka terbukti ia yang mencuri.
Syarat yang aneh itu membuat Si Limbat ketakutan. Tetapi bagaimanapun juga ia
 berkehendak untuk membuktikan dirinya bersih. Lalu ia pun menyelam bersamaan dengan
Sigarlaki menancapkan tombaknya.
Baru saja menancapkan tombaknya, tiba-tiba Sigarlaki melihat ada seekor babi hutan
minum di kolam. Dengan segera ia mengangkat tombaknya dan dilemparkannya ke arah babi
hutan itu. Tetapi tombakan itu luput. Dengan demikian seharusnya Si Sigarlaki sudah kalah
dengan Si Limbat. Tetapi ia meminta agar pembuktian itu diulang lagi.
Dengan berat hati Si Limbat pun akhirnya mengikuti perintah majikannya. Baru saja
menancapkan tombaknya di kolam, tiba-tiba kaki Sigarlaki digigit oleh seekor kepiting besar.
Iapun menjerit kesakitan dan tidak sengaja mengangkat tombaknya. Dengan demikian akhirnya
Si Limbat yang menang. Ia berhasil membuktikan dirinya tidak mencuri. Sedangkan Sigarlaki
karena sembarangan menuduh, terkena hukuman digigit kepiting besar.

7. Aji Saka

Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja
 bernama Prabu Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja
memakan seorang manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari rakyat yang
resah dan ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.
Di dusun Medang Kawit ada seorang pemuda bernama Aji Saka yang sakti, rajin dan
 baik hati. Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang dipukuli oleh
dua orang penyamun. Bapak tua yang akhirnya diangkat ayah oleh Aji Saka itu ternyata
 pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang kebuasan Prabu Dewata Cengkar,
Aji Saka berniat menolong rakyat Medang Kamulan. Dengan mengenakan serban di kepala Aji
Saka berangkat ke Medang Kamulan.
Perjalanan menuju Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama
tujuh hari tujuh malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka menolak dijadikan budak
oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewati hutan itu. Tapi
 berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat setelah Aji
Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan penghuni hutan
sekaligus melenyapkannya.
Aji Saka tiba di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang
murka karena Patih Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu.
Dengan berani, Aji Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk
disantap oleh sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang digunakannya.
 

 
Saat mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, serban terus
memanjang sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah
setelah mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri kelalimannya.
Ketika Prabu Dewata Cengkar sedang marah, serban Aji Saka melilit kuat di tubuh sang
Prabu. Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan kemudian
hilang ditelan ombak.
Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong ayahnya
ke istana. Berkat pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan Kerajaan
Medang Kamulan ke jaman keemasan, jaman dimana rakyat hidup tenang, damai, makmur dan
sejahtera.

8. Arti Sebuah Persahabatan

Pada dahulu kala hiduplah seekor kura-kura dan seekor burung elang. Walaupun sang
kura-kura dan elang jarang bertemu karena sang kura-kura lebih banyak menghabiskan waktu
disemak-semak sedangkan sang elang lebih banyak terbang, namun tidak menghalangi sang
elang untuk selalu mengunjungi teman kecilnya yang baik hati, sang kura-kura.
Keluarga sang kura-kura sangat ramah dan selalu menyambut kedatangan sang elang
dengan gembira. Mereka juga selalu memberi sang elang makanan dengan sangat royalnya.
Sehingga sang elang selalu berkali-kali datang karena makanan gratis dari keluarga kura-kura
tersebut.
Setiap kali sehabis makan dari keluarga kura-kura sang elang selalu menertawakan sang
kura-kura : "ha ha betapa bodohnya si kura-kura, aku dapat merasakan kenikmatan dari makanan
yang selalu dia berikan, namun tidak mungkin dia dapat merasakan nikmatnya makananku
karena sarangku yang terletak jauh diatas gunung"
Karena begitu seringnya sang elang menertawakan dan dengan egoisnya menghabiskan
makanan sang kura-kura, maka seluruh hutan mulai menggunjingkan sikap sang elang tersebut.
Para penghuni hutan tersebut merasa tidak suka dengan sikap seenaknya sang elang kepada sang
kura-kura yang baik hati.
Suatu hari seekor kodok memanggil kura-kura yang sedang berjalan dekat sungai. "Hai
temanku sang kura-kura, berilah aku semangkok kacang polong, maka aku akan memberikan
kata-kata bijak untukmu" seru sang kodok.
Setelah menghabiskan semangkuk kacang polong dari sang kura-kura, sang kodok
 berkata lagi: "kura-kura, sahabatmu sang elang telah menyalahgunakan persahabatan dan
kebaikan hatimu. Setiap kali sehabis bertamu di sarangmu, selalu saja dia mengejekmu dengan
 berkata " ha ha betapa bodohnya si kura-kura, aku dapat merasakan kenikmatan dari makan yang
selalu dia berikan, namun tidak mungkin dia dapat merasakan nikmatnya makananku karena
sarangku yang terletak jauh diatas gunung".
Pada suatu hari nanti sang elang akan datang kembali dan akan meminta sekeranjang
makanan darimu dan berjanji akan memberikan makanan kepadamu dan anak-anakmu"
Benarlah yang dikatakan oleh sang kodok, sang elang datang dengan membawa
keranjang dan seperti biasanya sang elang menikmati makanan dari sang kura-kura. Sang elang
 berkata: "hai temanku kura-kura, ijinkan aku mengisi keranjangku dengan makanan darimu,
maka akan kukirimkan kepada anak istriku dan istriku akan memberimu makanan buatannya
 

untuk istri dan anakmu".


Kemudian sang elang terbang dan kembali menertawakan sang kura-kura. Maka
segeralah sang kura-kura masuk kedalam keranjang tersebut dan ditutupi dengan sayuran
 buah-buahan oleh istrinya, sehingga tidak terlihat. Ketika sang elang kembali, istri sang
kura-kura mengatakan bahwa suaminya baru saja pergi dan memberikan keranjang penuh berisi
makanan kepada sang elang. Sang elang segera bergegas terbang sambil membawa keranjang
tersebut.
Kembali dia menertawakan kebodohan sang kura-kura. Namun kali ini sang kura-kura
mendengar sendiri perkataannya. Sampailah mereka di sarang sang elang, dan sang elang segera
memakan isi keranjang tersebut sampai habis. Betapa terkejutnya melihat sang kura-kura keluar
dari keranjang tersebut.
"Hai temanku sang elang, engkau sudah sering mengunjungi sarangku namun belum
 pernah sekalipun aku mengunjungi sarangmu. Kelihatannya akan sangat berbahagianya aku
kalau dapat menikmati makananmu seperti engkau menikmati makananku."
Betapa marahnya sang elang karena merasa tersindir. Dengan marah ia mematuk sang
kura-kura.Namun berkat batok rumah sang kura-kura yang keras, kura-kura tidak dapat dipatuk
oleh sang elang.
Dengan sedihnya sang kura-kura berkata: "Aku telah melihat persahabatan macam apa
yang engkau tawarkan padaku hai sang elang. Betapa kecewanya aku. Baiklah antarkan aku
kembali ke sarangku dan persahabatan kita akan berakhir."
Sang elangpun berkata :"Baiklah kalau itu maumu. Aku akan membawamu pulang"
 Namun timbul pikiran jahat pada diri sang elang. "Aku akan menjatuhkanmu dan
memakan sisa-sisa dirimu" pikirnya lagi.
Begitulah, sang kura-kura memegang kaki sang elang yang terbang tinggi.
"Lepaskan kakiku" seru sang elang marah.
Dengan sabar sang kura-kura menjawab: "Aku akan melepaskan kakimu apabila engkau
sudah mengantarkanku pulang ke sarangku"
Dengan kesal sang elang pun terbang tinggi, menungkik dan menggoyang-goyangkan
kakinya dengan harapan sang kura-kura akan jatuh. Namun tidak ada gunanya. Akhirnya dia
menurunkan sang kura-kura di sarangnya, dan segera terbang tinggi dengan perasaan malu.
Ketika sang elang terbang, sang kura-kura berseru : " Hai temanku persahabatan
membutuhkan rasa saling membagi satu dengan lainnya. Aku menghargaimu dan kaupun
menghargaiku. Namun bagaimanapun, sejak engkau menjadikan persahabatan kita hanya
 permainan, mentertawakan keramahan keluargaku dan aku maka sebaiknya engkau tidak usah
lagi datang kepadaku".

9. Batu Golog 

Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing hiduplah sebuah keluarga
miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq Lembain.
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa
menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu
hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper
 

didekat tempat ia bekerja.


Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin
menaik.
Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: "Ibu batu
ini makin tinggi."
 Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, "Anakku tunggulah
sebentar, Ibu baru saja menumbuk."
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi
hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq
Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin
sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai
awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua
anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil
anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat
memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi
tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong
oleh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi
nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan
 potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu
diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor
 burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung
Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu
mengerami telurnya.

10. Bende Wasiat

Harimau sedang asyik bercermin di sungai sambil membasuh mukanya.


"Hmm, gagah juga aku ini, tubuhku kuat berotot dan warna lorengku sangat indah," kata
harimau dalam hati.
Kesombongan harimau membuatnya suka memerintah dan berbuat semena-mena pada
 binatang lain yang lebih kecil dan lemah. Si kancil akhirnya tidak tahan lagi.
"Benar-benar keterlaluan si harimau !" kata Kancil menahan marah. "Dia mesti diberi
 pelajaran! Biar kapok! "
Sambil berpikir, ditengah jalan kancil bertemu dengan kelinci. Mereka
 berbincang-bincang tentang tingkah laku harimau dan mencoba mencari ide bagaimana cara
membuat si harimau kapok.
Setelah lama terdiam,
"Hmm, aku ada ide," kata si kancil tiba-tiba.
"Tapi kau harus menolongku," lanjut si kancil. "Begini, kau bilang pada harimau kalau
aku telah menghajarmu karena telah menggangguku, dan katakan juga pada si harimau bahwa
aku akan menghajar siapa saja yang berani menggangguku, termasuk harimau, karena aku
 

sedang menjalankan tugas penting," kata kancil pada kelinci.


"Tugas penting apa, Cil?" tanya kelinci heran.
"Sudah, bilang saja begitu, kalau si harimau nanti mencariku, antarkan ia ke bawah
 pohon besar di ujung jalan itu. Aku akan menunggu Harimau disana."
"Tapi aku takut Cil, benar nih rencanamu akan berhasil?", kata kelinci.
"Percayalah padaku, kalau gagal jangan sebut aku si kancil yang cerdik".
"Iya, iya. Aku percaya, tapi kamu jangan sombong, nanti malah kamu jadi lebih sombong
dari si harimau lagi."
Si kelincipun berjalan menemui harimau yang sedang bermalas-malasan. Si kelinci agak
gugup menceritakan yang terjadi padanya. Setelah mendengar cerita kelinci, harimau menjadi
geram mendengarnya.
"Apa ? Kancil mau menghajarku? Grr, berani sekali dia!!, kata harimau.
Seperti yang diharapkan, harimau minta diantarkan ke tempat kancil berada.
"Itu dia si Kancil!" kata Kelinci sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar di ujung
 jalan.
"Kita hampir sampai, harimau. Aku takut, nanti jangan bilang si kancil kalau aku yang
cerita padamu, nanti aku dihajar lagi," kata kelinci.
Si kelinci langsung berlari masuk dalam semak-semak.
"Hai kancil!!! Kudengar kau mau menghajarku ya?" Tanya harimau sambil marah.
"Jangan bicara keras-keras, aku sedang mendapat tugas penting".
"Tugas penting apa?". Lalu Kancil menunjuk benda besar berbentuk bulat, yang
tergantung pada dahan pohon di atasnya.
"Aku harus menjaga bende wasiat itu."
"Bende wasiat apa sih itu?" Tanya harimau heran.
"Bende adalah semacam gong yang berukuran kecil, tapi bende ini bukan sembarang
 bende, kalau dipukul suaranya merdu sekali, tidak bisa terlukis dengan kata-kata.
Harimau jadi penasaran. "Aku boleh tidak memukulnya?, siapa tahu kepalaku yang lagi
 pusing ini akan hilang setelah mendengar suara merdu dari bende itu."
"Jangan, jangan," kata Kancil.
Harimau terus membujuk si Kancil. Setelah agak lama berdebat,
"Baiklah, tapi aku pergi dulu, jangan salahkan aku kalau terjadi apa-apa ya?", kata si
kancil.
Setelah Kancil pergi, Harimau segera memanjat pohon dan memukul bende itu. Tapi
yang terjadi…. Ternyata bende itu adalah sarang lebah! Nguuuung…nguuuung…..nguuuung
sekelompok lebah yang marah keluar dari sarangnya karena merasa diganggu. Lebah-lebah itu
mengejar dan menyengat si harimau.
"Tolong! Tolong!" teriak harimau kesakitan sambil berlari. Ia terus berlari menuju ke
sebuah sungai.
Byuur!
Harimau langsung melompat masuk ke dalam sungai. Ia akhirnya selamat dari serangan
lebah.
"Grr, awas kau Kancil!" teriak Harimau menahan marah. "Aku dibohongi lagi. Tapi
 pusingku kok menjadi hilang ya?".
Walaupun tidak mendengar suara merdu bende wasiat, harimau tidak terlalu kecewa,
sebab kepalanya tidak pusing lagi.
 

  "Hahaha! Lihatlah Harimau yang gagah itu lari terbirit-birit disengat lebah," kata kancil.
"Binatang kecil dan lemah tidak selamanya kalah bukan?".
"Aku harap harimau bisa mengambil manfaat dari kejadian ini," kata kelinci penuh
harap."

11. Buaya Ajaib  

Pada jaman dahulu, hiduplah seorang lelaki bernama Towjatuwa di tepian sungai Tami
daerah Irian Jaya.
Lelaki itu sedang gundah, oleh karena isterinya yang hamil tua mengalami kesulitan
dalam melahirkan bayinya. Untuk membantu kelahiran anaknya itu, ia membutuhkan operasi
yang menggunakan batu tajam dari sungai Tami.
Ketika sedang sibuk mencari batu tajam tersebut, ia mendengar suara-suara aneh di
 belakangnya. Alangkah terkejutnya Towjatuwa ketika ia melihat seekor buaya besar di
depannya. Ia sangat ketakutan dan hampir pingsan. Buaya besar itu pelan-pelan bergerak ke arah
Towjatuwa. Tidak seperti buaya lainnya, binatang ini memiliki bulu-bulu dari burung Kaswari di
 punggungnya. Sehingga ketika buaya itu bergerak, binatang itu tampak sangat menakutkan.
 Namun saat Towjatuwa hendak melarikan diri, buaya itu menyapanya dengan ramah dan
 bertanya apa yang sedang ia lakukan. Towjatuwapun menceritakan keadaan isterinya.
Buaya ajaib inipun berkata: "Tidak usah khawatir, saya akan datang ke rumahmu nanti
malam. Saya akan menolong isterimu melahirkan."
Towjatuwa pulang menemui isterinya. Dengan sangat berbahagia, iapun menceritakan
 perihal pertemuannya dengan seekor buaya ajaib.
Malam itu, seperti yang dijanjikan, buaya ajaib itupun memasuki rumah Towjatuwa.
Dengan kekuatan ajaibnya, buaya yang bernama Watuwe itu menolong proses kelahiran seorang
 bayi laki-laki dengan selamat. Ia diberi nama Narrowra. Watuwe meramalkan bahwa kelak bayi
tersebut akan tumbuh menjadi pemburu yang handal.
Watuwe lalu mengingatkan agar Towjatuwa dan keturunannya tidak membunuh dan
memakan daging buaya. Apabila larangan itu dilanggar maka Towjatuwa dan keturunannya akan
mati. Sejak saat itu, Towjatuwa dan anak keturunannya berjanji untuk melindungi binatang yang
 berada disekitar sungai Tami dari para pemburu.

12. Asal Usul Danau Lipan  

Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota


Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan
nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau
Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.
Dahulu kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu
ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas.
Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di
 

tepi laut.
Terkenallah pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri
 bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini
makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui
kerongkongannya.
Kejelitaan dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja
Cina yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan
istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.
Sebelum Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu
dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia
tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah
makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina
itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung
dengan mulut seperti anjing.
Betapa jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja
Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai
santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka
sambil berkata, "Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya
saja menyesap seperti anjing."
Penghinaan yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada
Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena
sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk
menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan
segenap bala tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.
Perang dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang
 pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih.
Ternyata tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang
mengamuk dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang
itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan
dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.
Putri pun segera makan sirih seraya berucap, "Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka
 jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh bala
tentaranya."
Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan
yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi
 beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina
yang sedang mengamuk.
Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan.
Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke
 jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman
dengan lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh
lipan-lipan itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah
diucap untuk membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka
menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke
mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.
Sementara itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan
 

dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti
kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal
menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan
nama Danau Lipan.

13. Buaya Perompak

Pada jaman dahulu, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal akan keganasan buayanya.
Sehingga orang yang berlayar disana maupun para penduduk yang tinggal disana perlu untuk
sangat berhati-hati. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja disana.
Pada suatu hari, kejadian yang menyedihkan itu terulang kembali. Orang yang hilang itu
adalah seorang gadis rupawan yang bernama Aminah. Anehnya, meskipun penduduk seluruh
kampung tepi Sungai Tulang Bawang mencarinya. Tidak ada jejak yang tertinggal. Sepertinya ia
sirna ditelan bumi.
 Nun jauh dari kejadian itu, di dalam sebuah gua besar tergoleklah Aminah. Ia baru saja
tersadar dari pingsannya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa gua itu dipenuhi oleh
harta benda yang ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian yang
indah-indah. Harta benda itu mengeluarkan sinar yang berkilauan.
Belum habis rasa takjubnya, dari sudut gua terdengarlah sebuah suara yang besar,
"Janganlah takut gadis rupawan! Meskipun aku berwujud buaya, sebenarnya aku adalah manusia
sepertimu juga. Aku dikutuk menjadi buaya karena perbuatanku dulu yang sangat jahat. Namaku
dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Dulu aku selalu merampok
setiap saudagar yang berlayar disini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini. Kalau
aku butuh makanan maka harta itu kujual sedikit di pasar desa tepi sungai. Tidak ada seorangpun
yang tahu bahwa aku telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu
menghubungkan gua ini dengan desa tersebut."
Tanpa disengaja, si buaya perompak tersebut sudah membuka rahasia gua tempat
kediamannya. Secara seksama Aminah menyimak dan mengingat keterangan berharga itu. Buaya
itu selalu memberinya hadiah perhiasan. Harapannya adalah agar Aminah mau tetap tinggal
 bersamanya. Namun keinginan Aminah untuk segera kembali ke kampung halamannya makin
menjadi-jadi.
Pada suatu hari, buaya perompak tersebut sedikit lengah. Ia tertidur dan meninggalkan
 pintu guanya terbuka. Si Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Di balik gua itu
ditemukannya sebuah terowongan yang sempit. Setelah cukup lama menelusuri terowongan itu,
tiba-tiba ia melihat sinar matahari. Betapa gembiranya ia ketika keluar dari mulut terowongan
itu. Disana Aminah ditolong oleh penduduk desa yang mencari rotan. Lalu Aminah memberi
mereka hadiah sebagian perhiasan yang dibawanya. Aminah akhirnya bisa kembali ke desanya
dengan selamat. Ia pun selanjutnya hidup tenteram disana.

14. Cindelaras

Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi seorang permaisuri yang baik
hati dan seorang selir yang cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra memiliki sifat iri dan
 

dengki terhadap sang permaisuri. Ia merencanakan suatu yang buruk kepada permaisuri.
"Seharusnya, akulah yang menjadi permaisuri. Aku harus mencari akal untuk
menyingkirkan permaisuri," pikirnya.
Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia berpura-pura sakit parah. Tabib
istana segera dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun
dalam minuman tuan putri.
"Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri," kata sang tabib.
Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan
 patihnya untuk membuang permaisuri ke hutan.
Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke hutan belantara.
Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat
 jahat selir baginda.
"Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan
 putri sudah hamba bunuh," kata patih.
Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang
ditangkapnya. Raja mengangguk puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh
 permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang permaisuri. Bayi itu diberinya
nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil
ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain,
seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur.
"Hmm, rajawali itu baik sekali. Ia sengaja memberikan telur itu kepadaku."
Setelah 3 minggu, telur itu menetas. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin.
Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang bagus dan kuat. Tapi ada satu
keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh menakjubkan!
"Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa,
ayahnya Raden Putra..."
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya dan segera memperlihatkan pada
ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan.
Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan
selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam
 jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam.
Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam.
"Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya.
"Baiklah," jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung
dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali
diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan. Ayamnya benar-benar tangguh.
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat. Raden Putra pun
mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang
Cindelaras.
"Hamba menghadap paduka," kata Cindelaras dengan santun.
"Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata," pikir baginda.
Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam
Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka
setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam
 

Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan
Cindelaras dan ayamnya.
"Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya,
anak muda?" Tanya Baginda Raden Putra.
Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya.
Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras,
rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...,"
Ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok
ayam Cindelaras.
"Benarkah itu?" Tanya baginda keheranan.
"Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda."
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa
yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri.
"Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda Raden Putra.
"Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda dengan
murka.
Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk
anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera
menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat
 berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan
ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.

Pesan moral : Kebaikan akan berbuah kebaikan sedang kejahatan akan mendatangkan
 penderitaan.

15. Kancil si pencuri Timun

Siang itu panas sekali. Matahari bersinar garang. Tapi hal itu tidak terlalu dirasakan
oleh Kancil. Dia sedang tidur nyenyak di bawah sebatang pohon yang rindang. Tiba-tiba saja
mimpi indahnya terputus.
"Tolong! Tolong! " terdengar teriakan dan jeritan berulang-ulang.
Lalu terdengar suara derap kaki binatang yang sedang berlari-lari.
"Ada apa, sih?" kata Kancil.
Matanya berkejap-kejap, terasa berat untuk dibuka karena masih mengantuk. Di kejauhan
tampak segerombolan binatang berlari-lari menuju ke arahnya.
"Kebakaran! Kebakaran! " teriak Kambing. " Ayo lari, Cil! Ada kebakaran di hutan! "
Memang benar. Asap tebal membubung tinggi ke angkasa. Kancil ketakutan melihatnya.
Dia langsung bangkit dan berlari mengikuti teman-temannya.
Kancil terus berlari. Wah, cepat juga larinya. Ya, walaupun Kancil bertubuh kecil, tapi
dia dapat berlari cepat. Tanpa terasa, Kancil telah berlari jauh, meninggalkan teman-temannya.
"Aduh, napasku habis rasanya," Kancil berhenti dengan napas terengah-engah, lalu duduk
 beristirahat. "Lho, di mana binatang-binatang lainnya?"
Walaupun Kancil senang karena lolos dari bahaya, tiba-tiba ia merasa takut.
"Wah, aku berada di mana sekarang? Sepertinya belum pernah ke sini." Kancil berjalan
 

sambil mengamati daerah sekitarnya. "Waduh, aku tersesat. Sendirian lagi. Bagaimana ini?'
Kancil semakin takut dan bingung. "Tuhan, tolonglah aku."
Kancil terus berjalan menjelajahi hutan yang belum pernah dilaluinya. Tanpa terasa, dia
tiba di pinggir hutan. Ia melihat sebuah ladang milik Pak Tani.
"Ladang sayur dan buah-buahan? Oh, syukurlah. Terima kasih, Tuhan," mata Kancil
membelalak. Ladang itu penuh dengan sayur dan buah-buahan yang siap dipanen. Wow, asyik
sekali!
"Kebetulan nih, aku haus dan lapar sekali," kata Kancil sambil menelan air liurnya.
"Tenggorokanku juga terasa kering. Dan perutku keroncongan minta diisi. Makan dulu, ah."
Dengan tanpa dosa, Kancil melahap sayur dan buahbuahan yang ada di ladang. Wah,
kasihan Pak Tani. Dia pasti marah kalau melihat kejadian ini. Si Kancil nakal sekali, ya?
"Hmm, sedap sekali," kata Kancil sambil mengusap-usap perutnya yang kekenyangan.
"Andai setiap hari pesta seperti ini, pasti asyik."
Setelah puas, Kancil merebahkan dirinya di bawah sebatang pohon yang rindang. Semilir
angin yang bertiup, membuatnya mengantuk.
"Oahem, aku jadi kepingin tidur lagi," kata Kancil sambil menguap. Akhirnya binatang
yang nakal itu tertidur, melanjutkan tidur siangnya yang terganggu gara-gara kebakaran di hutan
tadi. Wah, tidurnya begitu pulas, sampai terdengar suara dengkurannya. Krr... krr... krrr...
Ketika bangun pada keesokan harinya, Kancil merasa lapar lagi.
"Wah, pesta berlanjut lagi, nih," kata Kancil pada dirinya sendiri. "Kali ini aku pilih-pilih
dulu, ah. Siapa tahu ada buah timun kesukaanku."
Maka Kancil berjalan-jalan mengitari ladang Pak Tani yang luas itu.
"Wow, itu dia yang kucari! " seru Kancil gembira. "Hmm, timunnya kelihatan begitu
segar. Besarbesar lagi! Wah, pasti sedap nih."
Kancil langsung makan buah timun sampai kenyang.
"Wow, sedap sekali sarapan timun," kata Kancil sambil tersenyum puas. Hari sudah agak
siang. Lalu Kancil kembali ke bawah pohon rindang untuk beristirahat.
Pak Tani terkejut sekali ketika melihat ladangnya.
"Wah, ladang timunku kok jadi berantakan-begini," kata Pak Tani geram. "Perbuatan
siapa, ya? Pasti ada hama baru yang ganas. Atau mungkinkah ada bocah nakal atau binatang
lapar yang mencuri timunku?"
Ladang timun itu memang benar-benar berantakan. Banyak pohon timun yang rusak
karena terinjak-injak. Dan banyak pula serpihan buah timun yang berserakan di tanah.
"Hm, awas, ya, kalau sampai tertangkap! " omel Pak Tani sambil mengibas-ngibaskan
sabitnya. "Panen timunku jadi berantakan."
Maka seharian Pak Tani sibuk membenahi kembali ladangnya yang berantakan.
Dari tempat istirahatnya, Kancil terus memperhatikan Pak Tani itu.
"Hmm, dia pasti yang bernama Pak Tani," kata Kancil pada dirinya sendiri. "Kumisnya
 boleh juga. Tebal,' hitam, dan melengkung ke atas. Lucu sekali. Hi... hi... hi.... "
Sebelumnya Kancil memang belum pernah bertemu dengan manusia. Tapi dia sering
mendengar cerita tentang Pak Tani dari teman-temannya.
"Aduh, Pak Tani kok lama ya," ujar Kancil.
Ya, dia telah menunggu lama sekali. Siang itu Kancil ingin makan timun lagi. Rupanya
dia ketagihan makan buah timun yang segar itu. Sore harinya, Pak Tani pulang sambil
memanggul keranjang berisi timun di bahunya. Dia pulang sambil mengomel, karena hasil
 panennya jadi berkurang. Dan waktunya habis untuk menata kembali ladangnya yang
 

 berantakan.
"Ah, akhirnya tiba juga waktu yang kutunggu-tunggu,"
Kancil bangkit dan berjalan ke ladang. Binatang yang nakal itu kembali berpesta makan
timun Pak Tani.
Keesokan harinya, Pak Tani geram dan marah-marah melihat ladangnya berantakan lagi.
"Benar-benar keterlaluan! " seru Pak Tani sambil mengepalkan tangannya. "Ternyata
tanaman lainnya juga rusak dan dicuri."
Pak Tani berlutut di tanah untuk mengetahui jejak si pencuri.
"Hmm, pencurinya pasti binatang," kata Pak Tani. "Jejak kaki manusia tidak begini
 bentuknya."
Pemilik ladang yang malang itu bertekad untuk menangkap si pencuri.
"Aku harus membuat perangkap untuk menangkapnya! "
Maka Pak Tani segera meninggalkan ladang. Setiba di rumahnya, dia membuat sebuah
 boneka yang menyerupai manusia. Lalu dia melumuri orang-orangan ladang itu dengan getah
nangka yang lengket!
Pak Tani kembali lagi ke ladang. Orang-orangan itu dipasangnya di tengah ladang timun.
Bentuknya persis seperti manusia yang sedang berjaga-jaga. Pakaiannya yang kedodoran
 berkibar-kibar tertiup angin. Sementara kepalanya memakai caping, seperti milik Pak Tani.
"Wah, sepertinya Pak Tani tidak sendiri lagi," ucap Kancil, yang melihat dari kejauhan.
"Ia datang bersama temannya. Tapi mengapa temannya diam saja, dan Pak Tani
meninggalkannya sendirian di tengah ladang?"
Lama sekali Kancil menunggu kepergian teman Pak Tani. Akhirnya dia tak tahan.
"Ah, lebih baik aku ke sana," kata Kancil memutuskan. "Sekalian minta maaf karena
telah mencuri timun Pak Tani. Siapa tahu aku malah diberinya timun gratis."
"Maafkan saya, Pak," sesal Kancil di depan orangorangan ladang itu. "Sayalah yang telah
mencuri timun Pak Tani. Perut saya lapar sekali. Bapak tidak marah, kan?"
Tentu saj,a orang-orangan ladang itu tidak menjawab. Berkali-kali Kancil meminta maaf.
Tapi orang-orangan itu tetap diam. Wajahnya tersenyum, tampak seperti mengejek Kancil.
"Huh, sombong sekali!" seru Kancil marah.
"Aku minta maaf kok diam saja. Malah tersenyum mengejek. Memangnya lucu apa?"
gerutunya.
Akhirnya Kancil tak tahan lagi. Ditinjunya orangorangan ladang itu dengan tangan
kanan. Buuuk! Lho, kok tangannya tidak bisa ditarik? Ditinjunya lagi dengan tangan kiri. Buuuk!
Wah, kini kedua tangannya melekat erat di tubuh boneka itu.
"Lepaskan tanganku! " teriak Kancil jengkel. " Kalau tidak, kutendang kau! "
Buuuk! Kini kaki si Kancil malah melekat juga di tubuh orang-orangan itu.
"Aduh, bagaimana ini?"
Sore harinya, Pak Tani kembali ke ladang. "Nah, ini dia pencurinya! " Pak Tani senang
melihat jebakannya berhasil.
"Rupanya kau yang telah merusak ladang dan mencuri timunku."
Pak Tani tertawa ketika melepaskan Kancil.
"Katanya kancil binatang yang cerdik," ejek Pak Tani. "Tapi kok tertipu oleh
orang-orangan ladang. Ha... ha... ha.... "
Kancil pasrah saja ketika dibawa pulang ke rumah Pak Tani. Dia dikurung di dalam
kandang ayam. Tapi Kancil terkejut ketika Pak Tani menyuruh istrinya menyiapkan bumbu sate.
" Aku harus segera keluar malam ini juga !" tekad Kancil. "Kalau tidak, tamatlah
 

riwayatku. "
Malam harinya, ketika seisi rumah sudah tidur, Kancil memanggil-manggil Anjing, si
 penjaga rumah.
"Ssst... Anjing, kemarilah," bisik Kancil. "Perkenalkan, aku Kancil. Binatang piaraan
 baru Pak Tani. Tahukah kau? Besok aku akan diajak Pak Tani menghadiri pesta di rumah Pak
Lurah. Asyik, ya?"
Anjing terkejut mendengarnya. "Apa? Aku tak percaya! Aku yang sudah lama ikut Pak
Tani saja tidak pernah diajak pergi. Eh, malah kau yang diajak."
Kancil tersenyum penuh arti. "Yah, terserah kalau kau tidak percaya. Lihat saja besok!
Aku tidak bohong! "
Rupanya Anjing terpengaruh oleh kata-kata si Kancil. Dia meminta agar Kancil
membujuk Pak Tani untuk mengajaknya pergi ke pesta.
"Oke, aku akan berusaha membujuk Pak Tani," janji Kancil. "Tapi malam ini kau harus
menemaniku tidur di kandang ayam. Bagaimana?"
Anjing setuju dengan tawaran Kancil. Dia segera membuka gerendel pintu kandang, dan
masuk. Dengan sigap, Kancil cepat-cepat keluar dari kandang.
"Terima kasih," kata Kancil sambil menutup kembali gerendel pintu. "Maaf Iho, aku
terpaksa berbohong. Titip salam ya, buat Pak Tani. Dan tolong sampaikan maafku padanya."
Kancil segera berlari meninggalkan rumah Pak Tani. Anjing yang malang itu baru
menyadari kejadian sebenarnya ketika Kancil sudah menghilang.

Kancil yang cerdik, temyata mudah diperdaya oleh Pak Tani. Itulah sebabnya kita
tidak boleh takabur.  

16. Kelelawar Yang Pengecut  

Di sebuah padang rumput di Afrika, seekor Singa sedang menyantap makanan. Tiba-tiba
seekor burung elang terbang rendah dan menyambar makanan kepunyaan Singa.
“Kurang ajar” kata singa. Sang Raja hutan itu sangat marah sehingga memerintahkan
seluruh binatang untuk berkumpul dan menyatakan perang terhadap bangsa burung.
“Mulai sekarang segala jenis burung adalah musuh kita”, usir mereka semua, jangan
disisakan !” kata Singa.
Binatang lain setuju sebab mereka merasa telah diperlakukan sama oleh bangsa burung.
Ketika malam mulai tiba, bangsa burung kembali ke sarangnya.
Kesempatan itu digunakan oleh para Singa dan anak buahnya untuk menyerang.
Burung-burung kocar-kacir melarikan diri. Untung masih ada burung hantu yang dapat melihat
dengan jelas di malam hari sehingga mereka semua bisa lolos dari serangan singa dan anak
 buahnya.
Melihat bangsa burung kalah, sang kelelawar merasa cemas, sehingga ia bergegas
menemui sang raja hutan.
Kelelawar berkata,”Sebenarnya aku termasuk bangsa tikus, walaupun aku mempunyai
sayap. Maka izinkan aku untuk bergabung dengan kelompokmu, Aku akan mempertaruhkan
nyawaku untuk bertempur melawan burung- burung itu”.
Tanpa berpikir panjang singa pun menyetujui kelelawar masuk dalam kelompoknya.
 

  Malam berikutnya kelompok yang dipimpin singa kembali menyerang kelompok burung
dan berhasil mengusirnya. Keesokan harinya, menjelang pagi, ketika kelompok Singa sedang
istirahat kelompok burung menyerang balik mereka dengan melempari kelompok singa dengan
 batu dan kacang-kacangan.
“Awas hujan batu,” teriak para binatang kelompok singa sambil melarikan diri. Sang
kelelawar merasa cemas dengan hal tersebut sehingga ia berpikiran untuk kembali bergabung
dengan kelompok burung. Ia menemui sang raja burung yaitu burung Elang.
“Lihatlah sayapku, Aku ini seekor burung seperti kalian”.
Elang menerima kelelawar dengan senang hati.
Pertempuran berlanjut, kera-kera menunggang gajah atau badak sambil memegang busur
dan anak panah. Kepala mereka dilindungi dengan topi dari tempurung kelapa agar tidak
mempan dilempari batu. Setelah kelompok singa menang, apa yang dilakukan kelelawar ?. Ia
 bolak balik berpihak kepada kelompok yang menang. Sifat pengecut dan tidak berpendirian yang
dimiliki kelelawar lama kelamaan diketahui oleh kedua kelompok singa dan kelompok burung.
Mereka sadar bahwa tidak ada gunanya saling bermusuhan. Merekapun bersahabat
kembali dan memutuskan untuk mengusir kelelawar dari lingkungan mereka. Kelelawar merasa
sangat malu sehingga ia bersembunyi di gua-gua yang gelap. Ia baru menampakkan diri bila
malam tiba dengan cara sembunyi-sembunyi.

Tamat 

17. Keong Mas 

Alkisah pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda bernama Galoran. Ia termasuk
orang yang disegani karena kekayaan dan pangkat orangtuanya. Namun Galoran sangatlah malas
dan boros. Sehari-hari kerjanya hanya menghambur-hamburkan harta orangtuanya, bahkan pada
waktu orang tuanya meninggal dunia ia semakin sering berfoya-foya. Karena itu lama kelamaan
habislah harta orangtuanya. Walaupun demikian tidak membuat Galoran sadar juga, bahkan
waktu dihabiskannya dengan hanya bermalas-malasan dan berjalan-jalan. Iba warga kampung
melihatnya. Namun setiap kali ada yang menawarkan pekerjaan kepadanya, Galoran hanya
makan dan tidur saja tanpa mau melakukan pekerjaan tersebut. Namun akhirnya galoran
dipungut oleh seorang janda berkecukupan untuk dijadikan teman hidupnya. Hal ini membuat
Galoran sangat senang ; "Pucuk dicinta ulam pun tiba", demikian pikir Galoran.
Janda tersebut mempunyai seorang a nak perempuan yang sangat rajin dan pandai
menenun, namanya Jambean. Begitu bagusnya tenunan Jambean sampai dikenal diseluruh dusun
tersebut. Namun Galoran sangat membenci anak tirinya itu, karena seringkali Jambean
menegurnya karena selalu bermalas-malasan.
Rasa benci Galoran sedemikian dalamnya, sampai tega merencanakan pembunuhan anak
tirinya sendiri.
Dengan tajam dia berkata pada istrinya : " Hai, Nyai, sungguh beraninya Jambean
kepadaku. Beraninya ia menasehati orangtua! Patutkah itu ?"
"Sabar, Kak. Jambean tidak bermaksud buruk terhadap kakak" bujuk istrinya itu.
"Tahu aku mengapa ia berbuat kasar padaku, agar aku pergi meninggalkan rumah ini !"
serunya lagi sambil melototkan matanya.
 

"Jangan begitu kak, Jambean hanya sekedar mengingatkan agar kakak mau bekerja"
demikian usaha sang istri meredakan amarahnya.
"Ah .. omong kosong. Pendeknya sekarang engkau harus memilih .. aku atau anakmu !"
demikian Galoran mengancam.
Sedih hati ibu Jambean. Sang ibu menangis siang-malam karena bingung hatinya.
Ratapnya : " Sampai hati bapakmu menyiksaku jambean. Jambean anakku, mari kemari nak"
serunya lirih.
"Sebentar mak, tinggal sedikit tenunanku" jawab Jambean.
"Nah selesai sudah" serunya lagi. Langsung Jambean mendapatkan ibunya yang tengah
 bersedih.
"Mengapa emak bersedih saja" tanyanya dengan iba. Maka diceritakanlah rencana bapak
Jambean yang merencanakan akan membunuh Jambean.
Dengan sedih Jambean pun berkata : " Sudahlah mak jangan bersedih, biarlah aku
memenuhi keinginan bapak. Yang benar akhirnya akan bahagia mak".
"Namun hanya satu pesanku mak, apabila aku sudah dibunuh ayah janganlah mayatku
ditanam tapi buang saja ke bendungan" jawabnya lagi.
Dengan sangat sedih sang ibu pun mengangguk-angguk. Akhirnya Jambean pun dibunuh
oleh ayah tirinya, dan sesuai permintaan Jambean sang ibu membuang mayatnya di bendungan.
Dengan ajaib batang tubuh dan kepala Jambean berubah menjadi udang dan siput, atau disebut
 juga dengan keong dalam bahasa Jawanya.
Tersebutlah di Desa Dadapan dua orang janda bersaudara bernama Mbok Rondo
Sambega dan Mbok Rondo Sembadil. Kedua janda itu hidup dengan sangat melarat dan bermata
 pencaharian mengumpulkan kayu dan daun talas. Suatu hari kedua bersaudara tersebut pergi ke
dekat bendungan untuk mencari daun talas. Sangat terpana mereka melihat udang dan siput yang
 berwarna kuning keemasan.
"Alangkah indahnya udang dan siput ini" seru Mbok Rondo Sambega "Lihatlah betapa
indahnya warna kulitnya, kuning keemasan. Ingin aku bisa memeliharanya" serunya lagi.
"Yah sangat indah, kita bawa saja udang dan keong ini pulang" sahut Mbok Rondo
Sembadil.
Maka dipungutnya udang dan siput tersebut untuk dibawa pulang. Kemudian udang dan
siput tersebut mereka taruh di dalam tempayan tanah liat di dapur. Sejak mereka memelihara
udang dan siput emas tersebut kehidupan merekapun berubah. Terutama setiap sehabis pulang
 bekerja, didapur telah tersedia lauk pauk dan rumah menjadi sangat rapih dan bersih. Mbok
Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil juga merasa keheranan dengan adanya hal tersebut.
Sampai pada suatu hari mereka berencana untuk mencari tahu siapakah gerangan yang
melakukan hal tersebut.
Suatu hari mereka seperti biasanya pergi untuk mencari kayu dan daun talas, mereka
 berpura-pura pergi dan kemudian setelah berjalan agak jauh mereka segera kembali menyelinap
ke dapur. Dari dapur terdengar suara gemerisik, kedua bersaudara itu segera mengintip dan
melihat seorang gadis cantik keluar dari tempayan tanah liat yang berisi udang dan Keong Emas
 peliharaan mereka.
"Tentu dia adalah jelmaan keong dan udang emas itu" bisik Mbok Rondo Sambega
kepada Mbok Rondo Sembadil.
"Ayo kita tangkap sebelum menjelma kembali menjadi udang dan Keong Emas" bisik
Mbok Rondo Sembadil.
Dengan perlahan-lahan mereka masuk ke dapur, lalu ditangkapnya gadis yang sedang
 

asik memasak itu.


"Ayo ceritakan lekas nak, siapa gerangan kamu itu" desak Mbok Rondo Sambega
"Bidadarikah kamu ?" sahutnya lagi.
"Bukan Mak, saya manusia biasa yang karena dibunuh dan dibuang oleh orang tua saya,
maka saya menjelma menjadi udang dan keong" sahut Jambean lirih.
Terharu mendengar cerita Jambean kedua bersaudara itu akhirnya mengambil Keong
Emas sebagai anak angkat mereka. Sejak itu Keong Emas membantu kedua bersaudara tersebut
dengan menenun. Tenunannya sangat indah dan bagus sehingga terkenallah tenunan terebut
keseluruh negeri, dan kedua janda bersaudara tersebut menjadi bertambah kaya dari hari kehari.
Sampailah tenunan tersebut di ibu kota kerajaan. Sang raja muda sangat tertarik dengan
tenunan buatan Jambean atau Keong Emas tersebut. Akhirnya raja memutuskan untuk meninjau
sendiri pembuatan tenunan tersebut dan pergi meninggalkan kerajaan dengan menyamar sebagai
saudagar kain. Akhirnya tahulah raja perihal Keong Emas tersebut, dan sangat tertarik oleh
kecantikan dan kerajinan Keong Emas. Raja menitahkan kedua bersaudara tersebut untuk
membawa Jambean atau Keong Emas untuk masuk ke kerajaan dan meminang si Keong Emas
untuk dijadikan permaisurinya. Betapa senang hati kedua janda bersaudara tersebut.

Tamat 

18. Kera dan Ayam 

Pada jaman dahulu, tersebutlah seekor ayam yang bersahabat dengan seekor kera. Namun
 persahabatan itu tidak berlangsung lama, karena kelakuan si kera.
Pada suatu petang Si Kera mengajak si ayam untuk berjalan-jalan. Ketika hari sudah
 petang si Kera mulai merasa lapar. Kemudian ia menangkap si Ayam dan mulai mencabuti
 bulunya. Si Ayam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Akhirnya, ia dapat meloloskan diri.
Ia lari sekuat tenaga. Untunglah tidak jauh dari tempat itu adalah tempat kediaman si
Kepiting. Si Kepiting adalah teman sejati darinya. Dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam
lubang kediaman si Kepiting. Disana ia disambut dengan gembira. Lalu si Ayam menceritakan
semua kejadian yang dialaminya, termasuk penghianatan si Kera.
Mendengar hal itu akhirnya si Kepiting tidak bisa menerima perlakuan si Kera. Ia
 berkata, "Marilah kita beri pelajaran kera yang tahu arti persahabatan itu."
Lalu ia menyusun siasat untuk memperdayai si Kera. Mereka akhirnya bersepakat akan
mengundang si Kera untuk pergi berlayar ke pulau seberang yang penuh dengan buah-buahan.
Tetapi perahu yang akan mereka pakai adalah perahu buatan sendiri dari tanah liat.
Kemudian si Ayam mengundang si Kera untuk berlayar ke pulau seberang. Dengan
rakusnya si Kera segera menyetujui ajakan itu. Beberapa hari berselang, mulailah perjalanan
mereka. Ketika perahu sampai ditengah laut, mereka lalu berpantun.
Si Ayam berkokok "Aku lubangi ho!!!"
Si Kepiting menjawab "Tunggu sampai dalam sekali!!"
Setiap kali berkata begitu maka si ayam mencotok-cotok perahu itu. Akhirnya perahu
mereka itu pun bocor dan tenggelam. Si Kepiting dengan tangkasnya menyelam ke dasar laut. Si
Ayam dengan mudahnya terbang ke darat. Tinggallah Si Kera yang meronta-ronta minta tolong.
 

Karena tidak bisa berenang akhirnya ia pun mati tenggelam.

Tamat 

19. Kera Jadi Raja  

Sang Raja hutan "Singa" ditembak pemburu, penghuni hutan rimba jadi gelisah. Mereka
tidak mempunyai Raja lagi. Tak berapa seluruh penghuni hutan rimba berkumpul untuk memilih
Raja yang baru. Pertama yang dicalonkan adalah Macan Tutul, tetapi macan tutul menolak.
"Jangan, melihat manusia saja aku sudah lari tunggang langgang," ujarnya.
"Kalau gitu Badak saja, kau kan amat kuat," kata binatang lain.
"Tidak-tidak, penglihatanku kurang baik, aku telah menabrak pohon berkali-kali."
"Oh…mungkin Gajah saja yang jadi Raja, badan kau kan besar..", ujar binatang-binatang
lain.
"Aku tidak bisa berkelahi dan gerakanku amat lambat," sahut gajah.
Binatang-binatang menjadi bingung, mereka belum menemukan raja pengganti.
Ketika hendak bubar, tiba-tiba kera berteriak, "Manusia saja yang menjadi raja, ia kan
yang sudah membunuh Singa".
"Tidak mungkin," jawab tupai.
"Coba kalian semua perhatikan aku…, aku mirip dengan manusia bukan ?, maka akulah
yang cocok menjadi raja," ujar kera.
Setelah melalui perundingan, penghuni hutan sepakat Kera menjadi raja yang baru.
Setelah diangkat menjadi raja, tingkah laku Kera sama sekali tidak seperti Raja. Kerjanya hanya
 bermalas-malasan sambil menyantap makanan yang lezat-lezat.
Penghuni hutan menjadi kesal, terutama srigala.
Srigala berpikir, "bagaimana si kera bisa menyamakan dirinya dengan manusia ya?,
 badannya saja yang sama, tetapi otaknya tidak".
Srigala mendapat ide. Suatu hari, ia menghadap kera.
"Tuanku, saya menemukan makanan yang amat lezar, saya yakin tuanku pasti suka. Saya
akan antarkan tuan ke tempat itu," ujar srigala.
Tanpa pikir panjang, kera, si Raja yang baru pergi bersama srigala. Di tengah hutan,
teronggok buah-buahan kesukaan kera. Kera yang tamak langsung menyergap buah-buahan itu.
Ternyata, si kera langsung terjeblos ke dalam tanah. Makanan yang disergapnya ternyata jebakan
yang dibuat manusia.
"Tolong…tolong," teriak kera, sambil berjuang keras agar bisa keluar dari perangkap.
"Hahahaha! Tak pernah kubayangkan, seorang raja bisa berlaku bodoh, terjebak dalam
 perangkap yang dipasang manusia, Raja seperti kera mana bisa melindungi rakyatnya," ujar
srigala dan binatang lainnya.
Tak berapa lama setelah binatang-binatang meninggalkan kera, seorang pemburu datang
ke tempat itu. Melihat ada kera di dalamnya, ia langsung membawa tangkapannya ke rumah.

Pesan Moral  : Perlakukanlah teman-teman kita dengan baik, janganlah sombong dan
 bermalas-malasan. Jika kita sombong dan memperlakukan teman-teman semena-mena, nantinya
 

kita akan kehilangan mereka.

Tamat 

20. Kutukan Raja Pulau Mintin  

Pada zaman dahulu, terdapatlah sebuah kerajaan di Pulau Mintin daerah Kahayan Hilir.
Kerajaan itu sangat terkenal akan kearifan rajanya. Karenanya, kerajaan itu menjadi wilayah
yang tenteram dan makmur.
Pada suatu hari, permaisuri dari raja tersebut meninggal dunia. Sejak saat itu raja menjadi
murung dan nampak selalu sedih. Keadaan ini membuatnya tidak dapat lagi memerintah dengan
 baik. Pada saat yang sama, keadaan kesehatan raja inipun makin makin menurun. Guna
menanggulangi situasi itu, raja berniat untuk pergi berlayar guna menghibur hatinya.
Untuk melanjutkan pemerintahan maka raja itu menyerahkan tahtanya pada kedua anak
kembarnya yang bernama Naga dan Buaya. Mereka pun menyanggupi keinginan sang raja. Sejak
sepeninggal sang raja, kedua putranya tersebut memerintah kerajaan. Namun sayangnya muncul
 persoalan mendasar baru.
Kedua putra raja tersebut memiliki watak yang berbeda. Naga mempunyai watak negatif
seperti senang berfoya-foya, mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan buaya memiliki watak
 positif seperti pemurah, ramah tamah, tidak boros dan suka menolong.
Melihat tingkah laku si Naga yang selalu menghambur-hamburkan harta kerajaan, maka
si Buayapun marah. Karena tidak bisa dinasehati maka si Buaya memarahi si Naga. Tetapi
rupaya naga ini tidak mau mendengar. Pertengkaran itu berlanjut dan berkembang menjadi
 perkelahian. Prajurit kerajaan menjadi terbagi dua, sebahagian memihak kepada Naga dan
sebagian memihak pada Buaya. Perkelahian makin dahsyat sehingga memakan banyak korban.
Dalam pelayarannya, Sang raja mempunyai firasat buruk. Maka ia pun mengubah haluan
kapalnya untuk kembali ke kerajaanya. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa putera
kembarnya telah saling berperang.
Dengan berang ia pun berkata,"Kalian telah menyia-nyiakan kepercayaanku. Dengan
 peperangan ini kalian sudah menyengsarakan rakyat. Untuk itu terimalah hukumanku. Buaya
 jadilah engkau buaya yang sebenarnya dan hidup di air. Karena kesalahanmu yang sedikit, maka
engkau akan menetap di daerah ini. Tugasmu adalah menjaga Pulau Mintin. Sedangkan engkau
naga jadilah engkau naga yang sebenarnya. Karena kesalahanmu yang besar engkau akan tinggal
di sepanjang Sungai Kapuas. Tugasmu adalah menjaga agar Sungai Kapuas tidak ditumbuhi
Cendawan Bantilung."
Setelah mengucapkan kutukan itu, tiba-tiba langit gelap dan petir menggelegar. Dalam
sekejap kedua putranya telah berubah wujud. Satu menjadi buaya. Yang lainnya menjadi naga.

Tamat 
 

21. La Dana dan Kerbaunya

La Dana adalah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan kecerdikannya.
Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya orang. Sehingga kecerdikan itu
menjadi kelicikan.
Pada suatu hari ia bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta kematian. Sudah
menjadi kebiasaan di tanah toraja bahwa setiap tamu akan mendapat daging kerbau. La Dana
diberi bagian kaki belakang dari kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian
kerbau itu kecuali bagian kaki belakang.
Lalu La Dana mengusulkan pada temannya untuk menggabungkan daging-daging bagian
itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau hidup. Alasannya adalah mereka dapat
memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum disembelih. Mereka beruntung karena usulan
tersebut diterima oleh tuan rumah.
Seminggu setelah itu La Dana mulai tidak sabar menunggu agar kerbaunya gemuk.
Pada suatu hari ia mendatangi rumah temannya, dimana kerbau itu berada, dan berkata
"Mari kita potong hewan ini, saya sudah ingin makan dagingnya."
Temannya menjawab, "Tunggulah sampai hewan itu agak gemuk."
Lalu La Dana mengusulkan, "Sebaiknya kita potong saja bagian saya, dan kamu bisa
memelihara hewan itu selanjutnya." Kawannya berpikir, kalau kaki belakang kerbau itu dipotong
maka ia akan mati. Lalu kawannya membujuk La Dana agar ia mengurungkan niatnya. Ia
menjanjikan La Dana untuk memberinya kaki depan dari kerbau itu.
Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar bagiannya
dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian badan kerbau itu asal La Dana
mau menunda maksudnya. Baru beberapa hari berselang La Dana sudah kembali kerumah
temannya. Ia kembali meminta agar hewan itu dipotong.
Kali ini kawannya sudah tidak sabar, dengan marah ia pun berkata, "Kenapa kamu tidak
ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang lagi untuk mengganggu saya."
La dana pun pulang dengan gembiranya sambil membawa seekor kerbau gemuk.

Tamat 

22. Laba-laba, kelinci dan sang bulan  

Sang bulan terlihat sedih karena sudah lama ia melihat banyak kejadian di dunia dan juga
melihat banyak ketakutan yang dialami oleh manusia. Untuk membuat manusia menjadi tidak
takut, sang bulan berupaya mengirimkan pesan kepada manusia melalui temannya sang laba-laba
yang baik hati.
"Hai sang laba-laba, manusia di bumi sangatlah takut untuk mati dan hal itu membuat
mereka menjadi sangat sedih. Cobalah tenangkan manusia-manusia itu bahwa cepat atau lambat
manusia pasti akan mati, sehingga tidak perlu mereka untuk merasa sedih", seru sang Bulan
kepada temannya sang laba-laba.
Dengan perlahan-lahan sang laba-laba turun kembali ke bumi, dan dengan sangat
hati-hati ia meniti jalan turun melalui untaian sinar bulan dan sinar matahari. Di perjalannnya
turun ke bumi, sang laba-laba bertemu dengan si kelinci.
 

  "Hendak kemanakah engkau hai sang laba-laba ?" tanya si kelinci penuh rasa ingin tahu.
"Aku sedang menuju bumi untuk memberitahukan manusia-manusia pesan dari temanku
sang Bulan" sahut sang laba-laba menjelaskan.
"Oohh perjalananmu sangatlah jauh wahai sang laba-laba. Bagaimana jika kamu
memberitahukan pesan sang Bulan kepadaku dan aku akan membantumu memberitahukan
kepada manusia-manusia itu" seru si kelinci.
"Hemm.. baiklah, aku akan memberitahukan pesan dari sang Bulan kepadamu." jawab
sang laba-laba. "Sang Bulan ingin memberitahukan manusia-manusia di bumi bahwa mereka
akan cepat atau lambat mati ........." lanjut sang laba-laba.
Belum habis sang laba-laba menjelaskan, si kelinci sudah meloncat pergi sambil
menghapalkan pesan sang laba-laba.
" Yah, beritahukan manusia bahwa mereka semua akan mati" serunya sambil
meloncat-loncat dengan cepatnya. Sang Kelinci memberitahukan manusia pesan yang
diterimanya. Manusia menjadi sangat sedih dan ketakutan.
Sang laba-laba segera kembali kepada sang Bulan dan memberitahukan apa yang terjadi.
Sang bulan sangat kecewa dengan si kelinci, dan ketika si kelinci kembali sang bulan mengutuk
si kelinci karena telah lalai mendengarkan pesan sang Bulan dengan lengkap.
Karena itu sampai saat ini si kelinci tidak dapat bersuara lagi. Bagaimana dengan sang
laba-laba? Sang bulan menugaskan sang laba-laba untuk terus menyampaikan pesan kepada
manusia-manusia di bumi tanpa boleh menitipkan pesannya kepada siapapun yang dijumpainya.
Oleh karena itu sampai pada saat ini kita masih dapat melihat sang laba-laba dengan tekunnya
merajut pesan sang bulan di pojok-pojok ruangan. Namun berapa banyakkah dari kita manusia
yang telah melihat pesan sang Bulan tersebut?

Tamat 

23. Loro Jonggrang  

Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan.
Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan
diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik.
Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan
Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam.
"Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!", ujar Bandung
Bondowoso pada rakyatnya.
Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak
 berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri
Raja Prambanan yang cantik jelita.
"Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku," pikir Bandung
Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. "Kamu cantik sekali, maukah kau
menjadi permaisuriku ?", Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang.
Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. "Laki-laki ini lancang
 

sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya", ujar Loro
Jongrang dalam hati. "Apa yang harus aku lakukan ?".
Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka
Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat
Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak
suka dengan Bandung Bondowoso.
"Bagaimana, Loro Jonggrang ?" desak Bondowoso.
Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. "Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada
syaratnya,"
Katanya. "Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?".
"Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus
seribu buah.
"Seribu buah?" teriak Bondowoso.
"Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam."
Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah.
Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya
ia bertanya kepada penasehatnya.
"Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!", kata penasehat.
"Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!"
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua
lengannya dibentangkan lebar-lebar.
"Pasukan jin, Bantulah aku!" teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian,
langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni
Bandung Bondowoso.
"Apa yang harus kami lakukan Tuan ?", tanya pemimpin jin.
"Bantu aku membangun seribu candi," pinta Bandung Bondowoso.
Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam
waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas,
mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin.
"Wah, bagaimana ini?", ujar Loro Jonggrang dalam hati.
Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan
mengumpulkan jerami.
"Cepat bakar semua jerami itu!" perintah Loro Jonggrang.
Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung... dung...dung! Semburat
warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar
yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing.
"Wah, matahari akan terbit!" seru jin. "Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita
dihanguskan matahari," sambung jin yang lain.
Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso
sempat heran melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi.
"Candi yang kau minta sudah berdiri!". Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi
itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!.
"Jumlahnya kurang satu!" seru Loro Jonggrang. "Berarti tuan telah gagal memenuhi
 

syarat yang saya ajukan".


Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka.
"Tidak mungkin...", kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. "Kalau
 begitu kau saja yang melengkapinya!" katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro
Jonggrang.
Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini
candi-candi tersebut masih ada dan terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut
Candi Loro Jonggrang.

Tamat 

24. Lutung Kasarung

Prabu Tapa Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai pengganti.


"Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta," kata Prabu Tapa.
Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat
menggantikan Ayah mereka.
"Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya," gerutu
Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya.
Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan
adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu
memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol
hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut.
"Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !" ujar Purbararang.
Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai
di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari.
Ia pun menasehati Purbasari, "Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang
Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri".
"Terima kasih paman", ujar Purbasari.
Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik
kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera
tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan
Purbasari dengan mengambilkan bunga –   bunga yang indah serta buah-buahan bersama
teman-temannya.
Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat
yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa
Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah
dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat
harum.
Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di
telaga tersebut.
"Apa manfaatnya bagiku ?", pikir Purbasari.
Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada
 

kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat
terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.
Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama
tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya
dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula.
Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut.
"Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !", kata Purbararang.
Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya.
Ternyata rambut Purbasari lebih panjang.
"Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku",
kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan.
Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak
seakan-akan menenangkan Purbasari.
Purbararang tertawa terbahak-bahak, "Jadi monyet itu tunanganmu ?".
Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban.
Lutung Kasarung berubah menjadi seorang pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari
Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya
mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan
memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian
itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.
Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda
yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.

Tamat 

25. Malin Kundang 

Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra.
Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin
Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk
mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas.
Maka tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan,
dua bulan bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke kampung
halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya
dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan
kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting
tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri
seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi
seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang
dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin Kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju
dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang
 

akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan
 perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya.
"Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau
lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang
air mata.
Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan
Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu
 pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal
yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang
yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang
yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung
dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera
 bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang
ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang
 berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang
ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang
menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan
kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia
memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah
menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga
kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya
telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan
anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal
yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin
Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke
 pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau
yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat,
ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang
ia dekati adalah Malin Kundang.
"Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?",
katanya sambil memeluk Malin Kundang.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan
mendorongnya hingga terjatuh.
"Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang
 pada ibunya.
Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang
sudah tua dan mengenakan baju compang-camping.
"Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang.
"Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar
mendapatkan hartaku", sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang
sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka.
 

Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil


 berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu".
Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang
menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku
dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.

Pesan Moral :   Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa orangtua
terutama kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya, apalagi jika
sampai menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada orangtua merupakan satu dosa
 besar yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh anak.

Tamat 

26. Manik Angkeran

Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra
yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta
 benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang
anak yang mereka namai Manik Angkeran.
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia
mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa
mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak
dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi
Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar
suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang
 bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit
hartanya."
Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya
di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca
mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah
mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar
emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda
yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi.
Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta
 bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anaknya.
Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung.
Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah
 belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya
waktu ayahnya tidur.
Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya.
Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud
kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu
harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."
Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba
ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan
 

secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik
Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu,
Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.
Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia
mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga
menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi
Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan
 berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga
mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.
"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia
lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga
menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan
anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau
Bali.

Tamat 

27. Pak Lebai Malang  

Tersebutlah kisah seorang guru agama yang hidup di tepi sungai disebuah desa di
Sumatera Barat. Pada suatu hari, ia mendapat undangan pesta dari dua orang kaya dari desa-desa
tetangga. Sayangnya pesta tersebut diadakan pada hari dan waktu yang bersamaan.
Pak Lebai menimang-nimang untung dan rugi dari setiap undangan. Tetapi ia tidak
 pernah dapat mengambil keputusan dengan cepat. Ia berpikir, kalau ia ke pesta di desa hulu
sungai, tuan rumah akan memberinya hadiah dua ekor kepala kerbau. Namun, ia belum begitu
kenal dengan tuan rumah tersebut. Menurut berita, masakan orang-orang hulu sungai tidak
seenak orang hilir sungai.
Kalau ia pergi ke pesta di hilir sungai, ia akan mendapat hadiah seekor kepala kerbau
yang dimasak dengan enak. Ia juga kenal betul dengan tuan rumah tersebut. Tetapi, tuan rumah
di hulu sungai akan memberi tamunya tambahan kue-kue. Hingga ia mulai mengayuh perahunya
ketempat pestapun ia belum dapat memutuskan pesta mana yang akan dipilih.
Pertama, dikayuh sampannya menuju hulu sungai. Baru tiba ditengah perjalanan ia
mengubah pikirannya. Ia berbalik mendayung perahunya ke arah hilir. Begitu hampir sampai di
desa hilir sungai. Dilihatnya beberapa tamu menuju hulu sungai. Tamu tersebut mengatakan
 bahwa kerbau yang disembelih disana sangat kurus. Iapun mengubah haluan perahunya menuju
hulu sungai. Sesampainya ditepi desa hulu sungai, para tamu sudah beranjak pulang. Pesta disana
sudah selesai.
Pak lebai cepat-cepat mengayuh perahunya menuju desa hilir sungai. Sayangnya,
disanapun pesta sudah berakhir. Pak Lebai tidak mendapat kepala kerbau yang diinginkannya.
Saat itu ia sangat lapar, ia memutuskan untuk memancing ikan dan berburu. Untuk itu ia
membawa bekal nasi. Untuk berburu ia mengajak anjingnya.
Setelah memancing agak lama, kailnya dimakan ikan. Namun kail itu menyangkut di
dasar sungai. Pak Lebaipun terjun untuk mengambil ikan tersebut. Sayangnya ikan itu dapat
 

meloloskan diri. Dan anjingnya memakan nasi bekal pak Lebai. Oleh karena kemalangan
nasibnya, pak Lebai diberi julukan Lebai Malang.

Tamat 

28. Puteri Junjung Buih  

Tersebutlah kisah sebuah kerajaan bernama Amuntai di Kalimantan Selatan. Kerajaan itu
diperintah oleh dua bersaudara. Raja yang lebih tua bernama Patmaraga, atau diberi julukan Raja
Tua. Adiknya si Raja muda bernama Sukmaraga. Kedua raja tersebut belum mempunyai putera
ataupun puteri.
 Namun diantara keduanya, Sukmaraga yang berkeinginan besar untuk mempunyai
 putera. Setiap malam ia dan permaisurinya memohon kepada para dewa agar dikarunia sepasang
 putera kembar. Keinginan tersebut rupanya akan dikabulkan oleh para dewa. Ia mendapat
 petunjuk untuk pergi bertapa ke sebuah pulau di dekat kota Banjarmasin. Di dalam pertapaannya,
ia mendapat wangsit agar meminta istrinya menyantap bunga Kastuba. Sukmaraga pun
mengikuti perintah itu. Benar seperti petunjuk para dewa, beberapa bulan kemudian
 permaisurinya hamil. Ia melahirkan sepasang bayi kembar yang sangat elok wajahnya.
Mendengar hal tersebut, timbul keinginan Raja Tua untuk mempunyai putera pula.
Kemudian ia pun memohon kepada para dewa agar dikarunia putera. Raja Tua bermimpi disuruh
dewa bertapa di Candi Agung, yang terletak di luar kota Amuntai. Raja Tua pun mengikuti
 petunjuk itu. Ketika selesai menjalankan pertapaan, dalam perjalanan pulang ia menemukan
sorang bayi perempuan sedang terapung-apung di sebuah sungai. Bayi tersebut terapung-apung
diatas segumpalan buih. Oleh karena itu, bayi yang sangat elok itu kelak bergelar Puteri Junjung
Buih.
Raja Tua lalu memerintahkan pengetua istana, Datuk Pujung, untuk mengambil bayi
tersebut. Namun alangkah terkejutnya rombongan kerajaan tersebut, karena bayi itu sudah dapat
 berbicara. Sebelum diangkat dari buih-buih itu, bayi tersebut meminta untuk ditenunkan
selembar kain dan sehelai selimut yang harus diselesaikan dalam waktu setengah hari. Ia juga
meminta untuk dijemput dengan empat puluh orang wanita cantik.
Raja Tuapun lalu menyayembarakan permintaan bayi tersebut. Ia berjanji untuk
mengangkat orang yang dapat memenuhi permintaan bayi tersebut menjadi pengasuh dari puteri
ini. Sayembara itu akhirnya dimenangkan oleh seorang wanita bernama Ratu Kuripan. Selain
 pandai menenun, iapun memiliki kekuatan gaib. Bukan hanya ia dapat memenuhi persyaratan
waktu yang singkat itu, Ratu Kuripan pun menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat
mengagumkan. Kain dan selimut yang ditenunnnya sangatlah indah. Seperti yang dijanjikan,
kemudian Raja Tua mengangkat Ratu Kuripan menjadi pengasuh si puteri Junjung Buih. Ia ikut
 berperanan besar dalam hampir setiap keputusan penting menyangkut sang puteri.

Tamat 
 

29. Raja Parakeet  

Tersebutlah kisah, seekor raja burung parakeet hidup beserta rakyatnya di sebuah hutan
di Aceh. Hidup mereka damai. Kedamaian tersebut terganggu, karena kehadiran seorang
 pemburu. Pada suatu hari pemburu tersebut berhasil menaruh perekat di sekitar sangkar-sangkar
 burung tersebut.
Mereka berusaha melepaskan sayap dan badan dari perekat tersebut. Namun upaya
tersebut gagal. Hampir semuanya panik,kecuali si raja parakeet. Ia berkata, "Saudaraku,
tenanglah. Ini adalah perekat yang dibuat oleh pemburu. Kalau pemburu itu datang,
 berpura-puralah mati. Setelah melepaskan perekat, pemburu itu akan memeriksa kita. Kalau ia
mendapatkan kita mati, ia akan membuang kita. Tunggulah sampai hitungan ke seratus, sebelum
kita bersama-sama terbang kembali.
Keesokan harinya, datanglah pemburu tersebut. Setelah melepaskan perekatnya, ia
mengambil hasil tangkapannya. Betapa ia kecewa setelah mengetahui burung-burung tersebut
sudah tidak bergerak, disangkanya sudah mati. Namun pemburu tersebut jatuh terpeleset,
sehingga membuat burung-burung yang ada ditanah terkejut dan terbang. Hanya raja parakeet
yang belum terlepas dari perekat. Iapun ditangkap.
Raja Parakeet meminta pada pemburu itu untuk tidak dibunuh. Sebagai imbalannya ia
akan selalu menghibur si pemburu. Hampir tiap hari ia bernyanyi dengan merdunya. Khabar
kemerduan suara burung itu terdengar sampai ke telinga sang Raja.
Raja menginginkan burung parakeet tersebut. Sang Raja kemudian menukar burung itu
dengan harta-benda yang sangat banyak. Di istana sang Raja, burung parakeet ditaruh didalam
sebuah sangkar emas. Setiap hari tersedia makanan yang enak-enak.
 Namun burung parakeet tidak bahagia. Ia selalu ingat hutan Aceh tempat tinggalnya.
Pada suatu hari ia berpura-pura mati. Sang Raja sangat sedih dan memerintahkan penguburannya
dengan upacara kebesaran. Ketika persiapan berlangsung, burung itu diletakkan diluar sangkar.
Saat itu ia gunakan untuk terbang mencari kebebasanya. Ia terbang menuju hutan kediamannya.
Dimana rakyat burung parakeet setia menunggu kedatangannya.

Tamat 

30. Si Pahit Lidah 

Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak
keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang
 bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria
Tebing.
Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan.
Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria
tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting
tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.
Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa
Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan
lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk
 

memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.


Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang
yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali
menantang Serunting untuk berkelahi. Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang
yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi
mengembara.
Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan
kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh
tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah
menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib.
Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan
 berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.
Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut
ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang
sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu
 berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian
Sungai Jambi untuk menjadi batu.

 Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul
menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang
sudah ompong untuk mempunyai anak bayi.

Tamat 

31. Gembala Sang Raja  

dikirim oleh : Indras  

Raja Hastira memiliki 100 ekor domba pilihan. Bulunya putih bagaikan salju, muda,
sehat, dan bersih. Pada waktu-waktu tertentu, 100 ekor domba itu dipersembahkan sebagai
kurban untuk Tuhan. Kemudian sang gembala, Pak Karbana, menyiapkan lagi 100 ekor domba
 pilihan. Ia memberi mereka makan rumput yang hijau segar. Dan membawa mereka minum ke
air danau yang tenang. Juga menjaganya bila ada serigala menyerang. Namun, sekarang Pak
Karbana sudah tua. Ia harus diganti dengan seorang gembala muda yang tangkas dan kuat.
"Pak Karbana, kau pilihlah dulu tiga gembala muda calon penggantimu. Berikutnya aku
yang akan menguji, untuk menentukan siapa yang pantas menggantikanmu!" titah Raja.
Pak Karbana segera melaksanakan perintah raja. Ternyata cukup banyak peminat. Rakyat
negeri itu tahu, bekerja bagi Raja adalah kesempatan istimewa. Gajinya besar dan merupakan
suatu kehormatan.
Pak Karbana menguji pengetahuan para calon penggantinya. Ia bertanya tentang cara
menyisir bulu domba, ciri-ciri domba sakit, cara mengobati domba sakit, cara melawan serigala,
kemahiran menggunakan tongkat gembala dan sebagainya.
Akhirnya didapat tiga calon; Yunus, Obaja, dan Daud. Ketiganya masih muda, kuat,
gagah, dan pandai. Karbana segera menghadap Raja untuk melapor.
 

  "Bagus, Pak Karbana. Besok suruh mereka menghadap aku di halaman belakang istana.
Dan tolong sembunyikan seekor domba dari yang 100 ekor itu. Tukar dengan kambing hitam!"
kata Raja.
"Baik, Baginda. Segera hamba laksanakan!" kata Karbana. Namun dalam hatinya ia
heran. Mengapa seekor domba harus ditukar dengan kambing hitam?
Esok harinya Baginda pergi ke halaman belakang istana. Tiga gembala muda sudah
menunggu dengan tongkat masing-masing. Domba-domba berkeliaran di rumput, ada yang
duduk tenang, ada yang berjalan-jalan dan ada pula yang berlaga dengan kawannya.
"Anak-anak muda, itulah 100 ekor domba pilihan yang akan dipercayakan pada salah
seorang di antaramu. Coba perhatikan dan kemudian beri komentar kalian!" kata Raja.
Ketiga calon gembala istana itu segera mendekati domba-domba. Setengah jam kemudian
mereka kembali menghadap Raja.
"Bagaimana komentar kalian?" tanya Raja.
"Domba-domba itu memang domba pilihan. Tak ada cacat cela. Sungguh suatu
kehormatan bila hamba dipercaya menggembalakan mereka!" kata Yunus.
"Hamba pun berpendapat demikian. Merawat domba-domba untuk dipersembakan pada
Tuhan sungguh merupakan anugerah!" kata Obaja.
"Dan apa komentarmu?" tanya Raja pada Daud.
"Jumlah domba hanya 99 ekor. Yang seekor kambing hitam, bukan domba. Dimanakah
yang seekor lagi? Menurut Pak Karbana, kami harus merawat 100 ekor domba pilihan!" kata
Daud.
Raja mengangguk-angguk. "Ya, ya. Kalau begitu, biar Pak Karbana mencari yang seekor
lagi. Besok kalian datanglah lagi untuk diuji!" kata Raja.
Sesudah tiga calon gembala pergi, Raja berkata pada Pak Karbana,
"Tukarlah kambing hitam itu dengan domba yang luka!"
"Baik, Baginda!" jawab Pak Karbana dengan hormat.
Keesokan harinya ketiga gembala muda itu datang lagi. Raja meminta mereka memeriksa
100 domba-domba itu dan memberikan komentarnya.
"Bagaimana sekarang? Jumlahnya 100 ekor?" tanya Raja.
"Ya, Tuanku. Jumlahnya 100 ekor domba pilihan. Kemarin hamba tidak
menghitungnya!" kata Yunus.
"Benar, Baginda, hari ini dombanya lengkap 100 ekor!" jawab Obaja.
"Maaf, Baginda. Tadi saat hamba sisir bulu domba-domba itu, ternyata ada seekor yang
terluka. Lihatlah! Ini perlu diobati!" ujar Daud sambil membawa seekor domba dan menunjukan
 bagian yang terluka.
"Baiklah, Pak Karbana akan obati. Besok ujian terakhir. Jadi, datanglah sekali lagi!" kata
Raja. Kemudian Raja menyuruh Pak Karbana menukar domba yang luka dengan domba yang
sehat sempurna.
Esok harinya, ketiga gembala itu datang lagi. Raja meminta mereka memeriksa
domba-domba itu dan kemudian menghadap. Kali ini Yunus dan Obaja memeriksa
domba-domba itu dengan teliti.
Ketika menghadap, Yunus berkata, "Hamba lihat ada 100 ekor domba sehat, Baginda!"
"Benar! 100 ekor domba pilihan yang sehat!" kata Obaja.
"Jumlah domba memang 100 ekor, tapi hamba tidak lihat domba yang terluka kemarin.
Dimanakah dia? Apakah lukanya sudah membaik?" tanya Daud.
Raja tersenyum senang dan mengangguk-angguk.
 

  "Kalian bertiga gembala-gembala muda yang tangkas. Namun, aku harus memilih satu.
Dan pilihanku jatuh pada Daud. Ia pantas menjadi gembala istana. Ia teliti menghitung
domba-domba yang akan dipercayakan padanya. Ia memeriksa kesehatan domba dengan teliti.
Dan mengenal domba-domba itu dengan baik. Ia tahu bahwa domba yang terluka itu tak ada,
walau jumlah seluruh domba tetap 100 ekor!" kata Raja.
Maka Daud pun diangkat menjadi gembala sang Raja.

Tamat 

32. Chin Na 


dikirim oleh : Indras

Chin Na seorang anak buta. Ia hidup bersama ayahnya di sebuah gubuk reot. Suatu hari,
saat Chin Na berusia lima tahun, ayahnya mengusirnya. Sebab sang ayah sudah tak sanggup
membiayai hidup Chin Na. "Kau pergi saja mengemis. Nanti akan banyak orang memberimu
sedekah. Mereka pasti kasihan padamu karena kau buta."
Chin Na meninggalkan rumah tanpa bekal apapun. Ia ditemani Fan, anjingnya yang setia.
Mereka pergi ke kota. Mereka mencari nafkah dengan meminta-minta. Chin Na berjalan
memakai tongkat. Di jalanan yang terjal dan berbatu-batu, Fan menjadi penunjuk jalan.
Fan adalah anjing yang pandai. Sesekali ia membantu majikannya mencari uang. Apabila
Chin Na menepuk tangan tiga kali, Fan berlutut dan menjatuhkan kepalanya ke tanah.
Orang-orang di jalan menyukai tontonan ini, sehingga mereka memberi Chin Na uang receh.
Lima tahun telah berlalu. Sejak matahari terbit sampai tenggelam ke peraduan, Chin Na
menyusuri jalan-jalan kota, mencari sesuap nasi. Pada malam hari mereka tidur di sembarang
tempat. Kadang di depan pintu rumah orang, kadang di lapangan terbuka.
Suatu malam, Fan menuntun majikannya ke sebatang pohon berdaun lebat di tepi jalan.
Chin Na menyantap makanan malam, berupa sekerat kecil roti. Roti itu dimakannya berdua
dengan Fan. Mereka lalu tidur.
Dalam tidurnya Chin Na bermimpi. Seorang peri cantik datang dan berbicara lembut
 padanya, "Chin Na, apa kau dapat melihatku?"
Chin Na menjawab sedih, "Tidak, aku buta."
"Kasihan," sahut sang peri, "Tapi jangan sedih. Barangkali aku bisa menolongmu."
"Apa kau bisa memulihkan mataku?" tanya Chin Na penuh harap.
"Maksudku, kau bisa menolong dirimu sendiri. Aku hanya membantu. Kalau kau berbuat
 baik, maka secercah cahaya kecil akan memasuki rongga matamu. Semakin banyak kau beramal
kebaikan, semakin bertambah baik penglihatanmu." Si peri lalu menambahkan, "Tapi ingat,
apabila perbuatanmu kurang baik, sinar itu akan meredup, dan kau akan kembali buta."
Suara itu menjadi sayup-sayup, dan Chin Na terbangun. Matahari hangat menerpa
wajahnya. Bocah pengemis itu menjadi penuh semangat. Begitu juga Fan yang menyalak-nyalak
gembira.
"Fan, bantulah aku agar bisa melihat lagi," cetus Chin Na. "Tanpa kau, aku tak bisa
 berbuat banyak."
Mereka berjalan bersama menyelusuri jalan-jalan di kota. Tanpa disadari, mereka
melintas di depan seorang pengemis tua yang duduk di tepi jalan. Pengemis itu berkata,
 

"Kasihani aku! Beri pengemis buta uang satu kepeng!"


Chin Na menjawab, "Tapi aku juga buta, Kek. Aku juga pengemis, seperti Kakek."
"Tapi kau lebih beruntung, anak muda," sahut lelaki tua, "Karena kau masih bisa
 berjalan. Tapi aku…, aku buta dan lumpuh."
"Oh, ya," pekik Chin Na. Ia segera memberi si Kakek sekeping uang receh. Itu
satu-satunya uang yang dimilikinya.
Pengemis tua mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba Chin Na merasakan secercah cahaya
melintas di depan matanya. Dikerjapkan matanya, dan ketika dibuka dunia nampak sedikit
terang. Ia sudah tidak buta total. "Fan, mimpiku menjadi kenyataan!" pekiknya. "Kata Peri, kalau
aku berbuat amal dan kebajikan, buta mataku jadi berkurang!"
Malam harinya Chin Na tidur di Kuil Pengemis. Yaitu bangunan berupa puing-puing
kuno, letaknya di luar kota. Kuil Pengemis adalah tempat singgah para pengemis. Di pojok kuil
ada seorang nenek pengemis. Tubuhnya kurus kering. Ia sakit karena kurang makan. Chin Na
hanya memiliki sepotong kecil roti kering untuk makan malam. Tapi diberikannya roti itu kepada
nenek itu. Nenek itu mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba ada secercah cahaya lain melintas di
depan mata Chin Na. Dikerjapkan matanya. Sekarang ia bisa melihat malam itu ada bulan
 purnama.
Malam itu Chin Na tidur dengan perut kosong. Tapi ia tidak peduli. Rasa bahagia karena
matanya mulai pulih membuat ia lupa bahwa ia lapar.
Esok harinya, Chin Na dan Fan kelaparan. Mereka tidak punya roti lagi. Chin Na dan Fan
kembali ke kota untuk mengemis. Mereka telusuri jalanan berdebu. Tiba-tiba mereka melihat
seekor ayam tersesat di jalan. Fan mengejarnya, lalu menangkapnya, dan memberikannya kepada
Chin Na.
Chin Na merasa amat lega. Ayam itu dijualnya di pasar. Tapi ketika Chin Na menerima
 beberapa keping uang dari si pembeli, tiba-tiba seberkas awan gelap melintas di depan mata Chin
 Na. Pemandangan di depannya pun menjadi gelap.
Chin Na teringat kata-kata peri dalam mimpi. "Pasti ini hukuman karena aku berbuat
 jahat," batinnya. "Ayam itu bukan milikku. Aku telah mencurinya."
Meskipun merasa amat lapar, Chin Na tidak mau berbuat dosa. Ia harus mengembalikan
ayam itu kepada pemiliknya. Tapi karena pembelinya sudah pergi, Chin Na kembali ke desa,
mencari pemilik ayam, dan menyerahkan semua uang hasil penjualan ayam kepadanya. Maka
seberkas cahaya kembali melintas di depan matanya. Bumi nampaknya lebih cerah daripada
semula. Chin Na kembali tersenyum senang.
Sebulan kemudian, Chin Na sudah bisa membedakan benda-benda yang dilihatnya.
Sekarang Fan tak perlu lagi menuntunnya.
Suatu hari, ia dan Fan sedang duduk di pinggir sungai. Semalam turun hujan lebat. Langit
diselimuti mendung tebal. Air sungai meluap, arusnya deras sekali. Tiba-tiba terdengar jeritan
seorang lelaki, "Tolong! Aku tenggelam!"
Lelaki itu pasti tercebur ke sungai, dan kini terseret arus deras! Batin Chin Na. Chin Na
tidak tahu haru berbuat apa. Ia masih kecil dan matanya setengah buta. Bagaimana ia bisa
menolong orang tenggelam? Tapi Chin Na ingat, Fan bisa berenang dan pandai. Ia pasti bisa
menolong orang itu. "Tapi bagaimana kalau Fan tenggelam?" gumam Chin Na ragu. "Aku tak
akan punya teman lagi."
Teriakan laki-laki tadi terdengar lagi. Kali ini Chin Na tidak ragu-ragu. "Lari, Fan!
Selamatkan lelaki yang tenggelam itu!"
 

Chin Na berdoa agar si pria dan Fan selamat.


Akhirnya terdengar suara si lelaki naik ke tepian dan merebahkan tubuh dari tepi sungai.
Chin Na menghampirinya, dan bertanya, "Apakah anda baik-baik saja? Di mana anjingku?"
Lelaki itu duduk nyaris tak bisa bicara. Tapi ia kemudian berkata pelan, "Menyesal
sekali, anjingmu terseret arus. Aku telah berusaha menariknya. Tapi kami berdua sama-sama
lemah…"
Chin Na menangis meraung-raung di rerumputan. "Fan! Apa yang bisa kulakukan tanpa
kau di sampingku? Kau satu-satunya sahabatku!" Chin Na terisak, membenamkan wajahnya di
kedua telapak tangannya.
Lelaki itu duduk dan melingkarkan lengannya ke bahu Chin Na yang malang. "Jangan
menangis!" katanya menghibur. "Pulanglah, ceritakan pada ayahmu. Aku yakin dia akan
membelikanmu anjing lain."
"Tapi aku tak punya rumah," jawab Chin Na. "Aku buta, dan ayah mengusirku lima tahun
lalu. Fan satu-satunya sahabatku."
Tangisan lelaki itu pun meledak. "Angkatlah mukamu, Nak," katanya.
Chin Na menengadah dan memandangi lelaki itu. Ya, ia dapat melihat wajah lelaki itu!
Matanya telah pulih. Perbuatan baiknya yang terakhir telah menyembuhkan kebutaannya. Lelaki
itu bicara dengan suara pelan, "Apakah namamu Chin Na?"
"Ya, benar," jawab Chin Na. "Tapi darimana Anda tahu?"
"Chin Na, anakku, maafkan aku!" ujar lelaki itu. "Aku ayahmu. Aku telah berlaku kejam
dengan mengusirmu. Ayo pulang bersamaku, aku berjanji tak akan berbuat kejam padamu. Aku
akan membelikan kau seekor an jing lain…."
Sesaat Chin Na marah. Lelaki di depannya ternyata ayahnya yang telah membuat
hidupnya sengsara! Tapi Chin Na kemudian sadar, bahwa ia harus memaafkan. Jawabnya, "Aku
maafkan, Ayah. Aku akan pulang bersama Ayah!"
Ayahnya memekik kegirangan. Saat mereka berjalan berangkulan pulang, Chin Na
 bercerita tentang peri baik hati yang datang ke mimpinya.
Chin Na kini mempunyai anjing lain bernama Min. Namun bagaimana pun akrabnya ia
dengan Min, kenang-kenangan manisnya bersama Fan tak pernah bisa dilupakannya.

Tamat 

33. Istana Bunga 

dikirim oleh : Indras

Dahulu kala, hiduplah raja dan ratu yang kejam. Keduanya suka berfoya-foya dan
menindas rakyat miskin. Raja dan Ratu ini mempunyai putra dan putri yang baik hati. Sifat
mereka sangat berbeda dengan kedua orangtua mereka itu. Pangeran Kresna dan Puteri Retno
selalu menolong rakyat yang kesusahan. Keduanya suka menolong rakyatnya yang memerlukan
 bantuan.
Suatu hari, Pangeran Kresna marah pada ayah bundanya,
"Ayah dan Ibu jahat. Mengapa menyusahkan orang miskin?!"
Raja dan Ratu sangat marah mendengar perkataan putra mereka itu.
 

  "Jangan mengatur orangtua! Karena kau telah berbuat salah, aku akan menghukummu.
Pergilah dari istana ini!" usir Raja.
Pangeran Kresna tidak terkejut. Justru Puteri Retno yang tersentak, lalu menangis
memohon kepada ayah bundamya, "Jangan, usir Kakak! Jika Kakak harus pergi, saya pun
 pergi!"
Raja dan Ratu sedang naik pitam. Mereka membiarkan Puteri Retno pergi mengikuti
kakaknya. Mereka mengembara. Menyamar menjadi orang biasa. Mengubah nama menjadi
Kusmantoro dan Kusmantari. Mereka pun mencari guru untuk mendapat ilmu. Mereka ingin
menggunakan ilmu itu untuk menyadarkan kedua orangtua mereka.
Keduanya sampai di sebuah gubug. Rumah itu dihuni oleh seorang kakek yang sudah
sangat tua. Kakek sakti itu dulu pernah menjadi guru kakek mereka. Mereka mencoba mengetuk
 pintu.
"Silakan masuk, Anak Muda," sambut kakek renta yang sudah tahu kalau mereka adalah
cucu-cucu bekas muridnya. Namun kakek itu sengaja pura-pura tak tahu. Kusmantoro
mengutarakan maksudnya,
"Kami, kakak beradik yatim piatu. Kami ingin berguru pada Panembahan."
Kakek sakti bernama Panembahan Manraba itu tersenyum mendengar kebohongan
Kusmantoro. Namun karena kebijakannya, Panembahan Manraba menerima keduanya menjadi
muridnya.
Panembahan Manraba menurunkan ilmu-ilmu kerohanian dan kanuragan pada
Kusmantoro dan Kusmantari. Keduanya ternyata cukup berbakat. Dengan cepat mereka
menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan. Berbulan-bulan mereka digembleng guru bijaksana dan
sakti itu. Suatu malam Panembahan memanggil mereka berdua.
"Anakku, Kusmantoro dan Kusmantari. Untuk sementara sudah cukup kalian berguru di
sini. Ilmu-ilmu lainnya akan kuberikan setelah kalian melaksanakan satu amalan."
"Amalan apa itu, Panembahan?" tanya Kusmantari.
"Besok pagi-pagi sekali, petiklah dua kuntum melati di samping kanan gubug ini. Lalu
 berangkatlah menuju istana di sebelah Barat desa ini. Berikan dua kuntum bunga melati itu
kepada Pangeran Kresna dan Puteri Retno. Mereka ingin menyadarkan Raja dan Ratu, kedua
orang tua mereka."
Kusmantoro dan Kusmantari terkejut. Namun keterkejutan mereka disimpan rapat-rapat.
Mereka tak ingin penyamaran mereka terbuka.
"Dua kuntum melati itu berkhasiat menyadarkan Raja dan Ratu dari perbuatan buruk
mereka. Namun syaratnya, dua kuntum melati itu hanya berkhasiat jika disertai kejujuran hati,"
 pesan Panembahan Manraba.
Ketika menjelang tidur malam, Kusmantoro dan Kusmantari resah. Keduanya
memikirkan pesan Panembahan. Apakah mereka harus berterus terang kalau mereka adalah
Pangeran Kresna dan Puteri Retno? Jika tidak berterus terang, berarti mereka berbohong, tidak
 jujur. Padahal kuntum melati hanya berkhasiat bila disertai dengan kejujuran.
Akhirnya, pagi-pagi sekali mereka menghadap Panembahan.
"Kami berdua mohon maaf, Panembahan. Kami bersalah karena tidak jujur kepada
Panembahan selama ini."
Saya mengerti, Anak-anakku. Saya sudah tahu kalian berdua adalah Pangeran Kresna dan
Puteri Retno. Pulanglah. Ayah Bundamu menunggu di istana."
Setelah mohon pamit dan doa restu, Pangeran Kresna dan Puteri Retno berangkat menuju
ke istana. Setibanya di istana, ternyata Ayah Bunda mereka sedang sakit. Mereka segera
 

memeluk kedua orang tua mereka yang berbaring lemah itu.


Puteri Retno lalu meracik dua kuntum melati pemberian Panembahan. Kemudian
diberikan pada ayah ibu mereka. Ajaib! Seketika sembuhlah Raja dan Ratu. Sifat mereka pun
 berubah. Pangeran dan Puteri Retno sangat bahagia. Mereka meminta bibit melati ajaib itu pada
Panembahan. Dan menanamnya di taman mereka. Sehingga istana mereka dikenal dengan nama
Istana Bunga. Istana yang dipenuhi kelembutan hati dan kebahagiaan.

Tamat 

34. Raja Telinga Keledai  

dikirim oleh : Indras

Raja Gannas memerintah dengan sewenang-wenang. Kegemarannya menumpuk harta


sebanyak mungkin yang diperolehnya dari pajak rakyatnya.
Raja Gannas selain tamak juga seorang raja yang sangat kikir. Rakyat yang hidup
sengsara tidak sekalipun pernah dipikirkannya.
Anehnya raja yang zalim itu mempunyai kegemaran mendengarkan musik. Padahal kata
orang-orang bijak musik dapat memperhalus perasaan. Oleh karena itu yang menyukainya akan
mempunyai perasaan yang lembut tetapi cerdas.
Salah satu kegemaran Raja Gannas adalah mendengarkan tiupan suling. Kebetulan di
negerinya ada seorang peniup seruling yang sangat pandai bernama Tarajan. Raja Gannas sangat
memanjakan Tarajan dan kerap mengirim peniup seruling itu ke seluruh penjuru negeri bahkan
ke luar kerajaannya untuk berlomba. Tarajan selalu jadi juara pertama dan memperoleh
hadiah-hadiah yang menggiurkan. Sayang karena hal itu Tarajan jadi sombong dan congkak.
Karena sombongnya Tarajan mengaku dapat mengalahkan Dewa Apolo. Seorang Dewa
 bangsa Yunani yang sangat menguasai seni musik.
Tarajan mengusulkan pada Raja Gannas agar ia dipertandingkan dengan Apolo. Usul itu
diterima dengan baik bahkan raja merasa bangga jika Tarajan dapat mengalahkan pemain musik
dari kerajaan langit itu.
Dewa Apolo yang mendengar tantangan itu menyanggupi. Justru Dewa itu ingin memberi
 pelajaran pada Tarajan dan Raja Gannas yang berkelakuan tidak lazim.
"Seandainya aku kalah biarlah aku mengabdi pada Raja Gannas seumur hidupku. Tetapi
andaikan aku yang menang aku minta separuh kerajaanmu dan kuserahkan pada rakyatmu" kata
Dewa Apolo.
Raja Gannas dan Tarajan setuju. Mereka begitu yakin dapat mengalahkan Apolo yang
tampak masih sangat muda itu.
Pada hari yang telah ditentukan pertandingan dimulai. Seluruh rakyat tumpah ruah ke
halaman Istana. Sedangkan Dewa Zeus sebagai penguasa seluruh khayangan ikut menyaksikan
tanpa seorang pun yang tahu.
Sebagai penantang Tarajan dipersilakan meniup seruling terlebih dahulu. Dengan pongah
Tarajan naik ke atas podium lalu segera meniup serulingnya. Seruling emas berbalut intan
 permata milik Tarajan segera mengumandangkan lagu-lagi yang sangat merdu. Naik turun
seperti ombak. Lembut seperti angin pesisir. Bergolak seperti ombak menerjang karang.
 

  Semua yang mendengarkan bagaikan tersihir. Begitu hebatnya tiupan seruling Tarajan.
Raja Gannas tertawa terbahak-bahak dan yakin sekali peniup serulingnya akan keluar jadi
 pemenang. Tetapi Dewa Apolo tenang. Diam bagaikan patung, tetapi bibirnya tersenyum.
Pertanda kagum juga pada permainan seruling Tarajan. Dan ketika usai sorak ssorai seperti
membelah angkasa. Tarajan berdiri berkacak pinggang dengan wajah sangat pongah.
Ketika giliran Dewa Apolo, Dewa kesenian itu mengangkat serulingnya dengan cantik
sekali. Lembut bagaikan menimang bayi suci. Dan ketika bibirnya mulai meniupkan sebuah
lagu, langit berpendar-pendar antara siang dan malam. Rakyat yang menonton terhanyut dalam
irama yang luar biasa indah. Dengan mata terpejam semua menari dengan lembut sekali. Mereka
 pun menyanyi sebuah lagu kedamaian yang sekonyong saja mampu dinyanyikan. Rakyat yang
 jumlahnya tidak terhitung itu larut dalam lagu-lagu dan irama yang sebelumnya tidak pernah
mereka dengarkan tetapi sangat merdu mendayu-dayu.
Akhirnya Dewa Zeus yang menampakkan diri menyatakan Apolo sebagai pemenangnya.
Dan meminta Raja Gannas segera memberikan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Tetapi raja
kikir itu menolak hingga membuat Dewa Zeus marah.
"Selama kau tidak memberikan pada rakyat apa yang telah kau janjikan, maka telingamu
akan membesar setiap hari." Kata Dewa Zeus.
Memang benar. Telinga Raja Gannas tiap hari semakin besar hingga sangat berat dan
membuatnya tidak bisa berdirii apalagi berjalan.
Akhirnya Raja Gannas menyerahkan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Dan berjanji
tidak lagi kikir dan tamak. Dewa Zeuslah saksi dari ucapannya.

Tamat 

35. Tiga Tersangka 

dikirim oleh : Indras

Putri Salbina terkejut ketika membuka peti kayu tempat ia menyimpan tiara emas
semalam. Benda berharga itu sekarang sudah tidak ada di tempatnya lagi. Padahal pagi ini ia
 bermaksud mengunjungi kerajaan tetangga. Dan seperti biasa ia harus mengenakan tiara emas
itu.
Tanpa banyak buang waktu, Putri Salbina langsung melaporkan kejadian itu pada Raja
Habbas. Karuan saja Raja Habbas terkejut. Ia sudah menugaskan dua pengawal di pintu kamar
Putri Salbina, jadi bagaimana bisa seorang pencuri masuk ke dalam kamar putri kesayangannya.
Raja Habbas segera menitahkan Patih Rendra menyelesaikan masalah ini.
"Aku percaya kau bisa menyelesaikan kasus ini seperti biasanya," titah Raja Habbas di
hadapan Patih Rendra.
Patih Rendra mengangguk menyatakan kesanggupannya. Ia segera menanyakan
 pengawal yang bertugas menjaga kamar Putri Salbina semalam. Akhirnya didapat keterangan,
ada tiga orang yang memasuki kamar Putri Salbina. Mereka adalah para pengasuh Putri Salbina
yang memang mempunyai hak istimewa dapat memasuki kamar Putri Salbina dengan leluasa.
"Sekarang juga aku menginginkan mereka menghadapku satu persatu," seru Patih Rendra
kemudian.
Pengasuh pertama seorang wanita yang rambutnya sudah memutih. Ia telah mengasuh
Putri Salbina sejak masih bayi. Atas permintaan Patih Rendra ia mulai bertutur apa yang
 

dilakukannya semalam.
"Hamba masuk ke dalam kamar Tuan Putri tak lama setelah Tuan Putri tertidur. Seperti
 biasa hamba hanya membetulkan letak selimut Tuan Putri," papar pengasuh pertama.
"Apa kau tidak melihat kotak kayu tempat menyimpan tiara emas itu semalam?" selidik
Patih Rendra.
"Hamba melihatnya. Peti itu seperti biasa ada di atas meja rias. Tapi hamba tidak berani
menyentuhnya tanpa seizin Tuan Putri," jawab sang pengasuh.
Patih Rendra berpikir sebentar. Ia kemudian menyuruh pengasuh pertama keluar dan
menitahkan pengasuh kedua menghadapnya. Pengasuh kedua lebih muda dari pengasuh pertama.
Ia bertugas mengasuh Putri Salbina sejak masa kanak-kanak. Seperti sebelumnya, pengasuh
kedua diminta menceritakan apa yang dilakukannya semalam di kamar Putri Salbina.
"Hamba menyiapkan pakaian Putri Salbina untuk dikenakan hari ini. Itu sudah menjadi
tugas hamba," tuturnya.
"Apa kau melihat peti kayu tempat Tuan Putri menyimpan tiara emas itu?"
"Ya, tentu saja. Tapi hamba tidak berani menyentuh peti itu tanpa izin Tuan Putri," jawab
 pengasuh kedua.
Patih Rendra menganggukkan kepalanya. Ia menyuruh pengasuh kedua keluar dan
 pengasuh ketiga dimintanya masuk. Pengasuh ketiga paling muda di antara yang lain. Ia baru
mengasuh ketika Putri Salbina menginjak usia remaja. Patih Rendra segera memintanya
menceritakan apa yang dilakukannya semalam di kamar Putri Salbina.
"Tugas hamba adalah mempersiapkan perhiasan yang akan dipakai Putri Salbina hari ini.
Tapi hamba sama sekali tidak tahu dengan hilangnya tiara emas itu. Hamba tidak berani
menyentuhnya kecuali seizin Tuan Putri," tutur pengasuh ketiga.
Patih Rendra mengerutkan keningnya. Ia kemudian menyuruh dua pengasuh sebelumnya
masuk kembali. Bahkan Putri Salbina dimintanya ikut bergabung.
Suasana jadi begitu tegang karena biasanya Patih Rendra memang dapat segera
menyelesaikan masalah apa pun yang terjadi di dalam istana.
"Terus terang saja, aku tidak bisa menemukan siapa yang telah mencuri tiara emas milik
Putri Salbina. Ketiga pengasuh yang menjadi tersangka dalam masalah ini semuanya lepas dari
tuduhan pencurian. Untuk itu aku hanya bisa memutuskan kesalahan pada Putri Salbina. Tentu
saja bukan sebagai pencuri, melainkan telah lalai menjaga barang berharga miliknya sendiri. Dan
untuk kelalaiannya itu, Tuan Putri harus menerima hukuman. Selama sebulan Putri Salbina tidak
 boleh keluar dari kamar, kecuali tiara emas itu dapat ditemukan," Patih Rendra mengeluarkan
keputusan.
Putri Salbina terkejut. "Itu tidak adil, Patih Rendra. Lagi pula apa yang dapat kulakukan
selama sebulan di dalam kamar? Aku juga ingin bermain di halaman istana, mengunjungi
rakyatku, membaca di perpustakaan, menyanyi di pendopo, dan lain-lainnya seperti biasa, protes
Putri Salbina.
Patih Rendra tak mengeluarkan suara. "Putusan ini tidak bisa diubah kecuali oleh
Baginda Raja Habbas," kata Patih Rendra kemudian.
Putri Salbina menitikkan air mata. Ia mulai menangis sedih. Ayahnya pasti tidak akan
memenuhi permintaannya agar Patih Rendra merubah keputusannya, karena dia tahu ayahnya
 begitu menghargai setiap keputusan Patih Rendra.
Tiba-tiba saja pengasuh pertama bersujud di depan Patih Rendra. "Ampuni Putri Salbina,
Patih Rendra. Hambalah yang bersalah telah mengambil tiara emas milik Putri Salbina. Tapi,
hamba tidak bermaksud mencurinya, hamba hanya menyembunyikannya untuk sementara waktu.
 

Malam tadi, hamba masuk ke dalam kamar dan mengambil tiara emas itu dari dalam kotak kayu.
Hamba tahu tidak ada yang akan dicurigai dari kami bertiga karena kami tidak pernah
menyentuh kotak itu tanpa seizin Tuan Putri. Tiara emas itu masih ada di dalam kamar. Hamba
menyembunyikannya di kolong lemari pakaian," tutur pengasuh pertama.
"Mengapa kau lakukan itu?" tanya Patih Rendra.
"Hamba mempunyai seorang anak lelaki di perbatasan kerajaan. Ia pemilik sebuah kedai.
Kemarin ia datang menemuiku dan menceritakan ada segerombolan penjahat yang mabuk di
kedainya. Saat mabuk itu, seorang penjahat bercerita punya rencana untuk merampok Tuan Putri
saat melintas perbatasan. Mereka mengincar tiara emas milik Putri Salbina. Hamba tidak ingin
terjadi hal merugikan Tuan Putri, makanya sengaja hamba sembunyikan tiara itu agar Tuan Putri
tidak jadi pergi hari ini," kata pengasuh pertama.
"Seharusnya kau memberitahukan hal itu padaku. Tapi baiklah, aku mengampunimu.
Sekarang ambilkan tiara emas itu. Tuan Putri tetap akan berangkat hari ini," titah Patih Rendra.
Patih Rendra segera menyusun rencana menjebak gerombolan penjahat yang akan
merampok Putri Salbina. Berkat kecerdikannya dan kesigapan prajurit istana, dua puluh penjahat
 berhasil diringkus.
"Masalah ini tidak hanya selesai dengan ditemukannya tiara emas milik Putri Salbina dan
siapa pencurinya. Bahkan tidak cukup selesai dengan membatalkan rencana kepergian Putri
Salbina. Kerajaan harus mampu mengatasi kejahatan yang menjadi penyebabnya," kata Patih
Rendra ketika memberi laporan terhadap Raja Habbas.

Tamat 

36. Tiga Mantra, Satu Tenaga  

dikirim oleh : Indras

Sekarang Bella Safira sudah berusia enam tahun. Di Negeri Peri Jelita, peri yang sudah
 berumur enam tahun dan tidak nakal, akan mendapat tiga mantra percobaan dari Peri Mulia, ratu
 para peri. Tiga mantra percobaan itu harus digunakan untuk kebaikan. Bila berhasil, akan
diberikan mantra tambahan. Sebaliknya, bila salah mempergunakan mantra, si peri akan
mendapatkan hukuman. Misalnya membersihkan kebun, membantu Peri Petani di ladang,
menambal pakaian rusak pada Peri Penjahit, dan masih banyak lagi.
Hari itu Bella Safira sedang berjalan dengan riangnya. Mulutnya komat-kamit
menghapalkan mantra yang baru diberikan Peri Mulia. Di tengah jalan, ia bertemu Beby Ayu
yang membawa sekeranjang rumput. Beby Ayu baru mendapat hukuman, membantu Peri
Penggembala. Sekeranjang rumput itu untuk makanan sapi-sapi di kandang.
"Wah, kamu kelihatan bahagia sekali, Bella Safira!" sapa Beby Ayu ramah.
"Ya, aku baru saja mendapatkan tiga mantra percobaan dari Peri Mulia," balas Bella
Safira riang.
"Selamat, ya. Kuharap kau bisa memakainya dengan baik. Tidak seperti aku yang
membuat satu kesalahan," ucap Beby Ayu tulus, "Waktu itu aku sebenarnya ingin melidungi
sarang burung dari gangguan anak nakal. Eh, tapi ternyata aku malah membuat marah sekawan
lebah karena sarangnya aku ganggu dengan mantraku. Lebah itu menyerang anak-anak nakal itu
 

hingga mereka terpontang-panting," cerita Beby Ayu sedih.


"Lain kali kau pasti bisa menggunakannya dengan baik. Terima kasih atas nasehatmu,
Beby Ayu," ujar Bella Safira lantas melanjutkan perjalanan. Ia sudah tak sabar ingin
menggunakan mantranya!
Pada sebuah tikungan, Bella Safira melihat pedati yang penuh gandum. Pedati itu tidak
 bisa berjalan karena sapi penariknya kelelahan. Pak Pedati pun tampak putus asa. Sapinya tidak
mau bergerak. Apalagi jalan agak mendaki. Bella Safira memperhatikan Pak Pedati dari tempat
 persembunyiannya. Dia ingin menolong Pak Pedati dengan mantra pertamanya. Tapi dia tidak
 boleh ketahuan manusia.
"Kulama… kulama…" Bella Safira mengucapkan mantra pertama sambil mengerahkan
tangannya ke pedati. Tiba-tiba pedati itu bergerak karena sapinya mulai mau berjalan. Ya, Bella
Safira membuat beban pedati menjadi ringan. Pak Pedati pun melanjutkan perjalanannya dengan
gembira.
Ketika berjalan di pinggir sungai, Bella Safira melihat Pak Pengail yang sedang bersedih.
Ia belum mendapatkan ikan sejak pagi.
"Padahal keluargaku perlu lauk untuk makan siang nanti. Dan sisanya akan kujual di
 pasar. Tentu anak-anakku akan kecewa," gumam Pak Pengail murung. Bella Safira sedih
mendengarnya.
"Birdapa… birdapa…!" Bella Safira mengucapkan mantra kedua. Tangannya diarahkan
ke kail. Tak lama kemudian terdengar seruan Pak Pengail.
"Oh, aku dapat ikan!" seru Pak Pengail riang. Bella Safira berlalu sambil tersenyum. Hari
itu Pak Pengail pasti akan dapat banyak ikan.
Bella Safira melewati sebuah hutan kecil. Ia melihat seorang nenek pencari kayu bakar.
Jalannya tertatih-tatih. Agaknya kayu bakar yang dibawanya berat sekali. Bella Safira tidak tega
melihatnya.
"Uramba… uramba…!" Bella Safira mengucapkan mantra ketiga. Tangannya diarahkan
ke tumpukan kayu bakar yang dibawa si nenek. Nenek itu agak heran karena beban
yangdibawanya terasa ringan. Ia tahu ada yang menolongnya. Tapi entah siapa. Si nenek
melanjutkan langkahnya dengan ringan dan gembira.
Di tempat persembunyiannya, Bella Safira tersenyum puas. Hari itu dia telah berhasil
mempergunakan mantranya dengan baik. Berarti nanti dia akan mendapatkan tiga buah mantra
lagi. Oh, betapa senang hati Bella Safira.
Setiba di perkampungan penduduk, tiba-tiba Bella Safira mendengar tangis seorang anak
kecil. Bella Safira mendatangi rumah asal suara itu. Tangis anak itu tidak juga berhenti. Bella
Safira mengintip lewat jendela. Tidak ada orang lain selain anak itu. Mungkin dia baru bangun.
Bella Safira mendekati anak kecil itu. Umurnya kira-kira satu tahun. Bella Safira
membujuknya agar berhenti menangis. Tapi tidak berhasil. Bella Safira mulai kesal. Coba kalau
mantranya belum habis, tentu dia akan menyihir agar mainan anak itu menjadi hidup. Dan
mainan-mainan itu yang akan menghibur anak kecil itu.
Tapi Bella Safira tidak putus asa. Ia mulai bernyanyi sambil menari-narikan boneka badut
dengan tangannya. Anak kecil itu mulai diam. Bella Safira lalu menunggang boneka kedelai kian
kemari dan menari-nari jenaka. Anak kecil itu mulai tertawa. Bella Safira senang melihatnya. Ia
lalu menerbangkan sebuah boneka burung dengan tangannya. Suaranya mendengung-dengung
seperti lebah. Anak kecil itu bertepuk-tepuk tangan dengan riang.
Akhirnya anak kecil itu mau bermain sendiri. Tapi Bella Safira malah terbaring
kelelahan. Keringatnya bercucuran. Napasnya memburu. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka.
 

Bella Safira buru-buru menyelinap pergi.


"Oh, Si Kecil sudah bangun. Ibu ke pasar membeli susumu," ujar wanita itu. Anak kecil
itu tertawa senang. Diam-diam Bella Safira meninggalkan rumah itu. Tugasnya hari itu telah
selesai dengan baik.
Tapi ada kejutan untuk Bella Safira begitu ia tiba di Negeri Peri Jelita.
"Bagus Bella Safira. Kamu berhasil mempergunakan mantramu dengan baik. Aku akan
memberikan tiga mantra lagi untukmu," ujar Peri Mulia," Ditambah tiga mantra lagi sebagai
hadiah," lanjut Peri Mulia.
Bella Safira ternganga tidak mengerti. Tiga mantra hadiah?
"Kamu mempergunakan tenaga sendiri ketika mengasuh anak kecil itu, Bella Safira. Itu
 juga sebuah kebaikan," kata Peri Mulia.
"Ya, ya, terima kasih, Peri Mulia," ucap Bella Safira senang. Dia mendapat enam mantra
hari itu! Tapi… hari itu Bella Safira lebih memilih beristirahat. Sebab dia lelah sekali.

Tamat 

37. Dongeng Rakyat Vietnam  

dikirim oleh : Indras

Di zaman pemerintahan Raja Hung Voung yang ketiga, tinggallah seorang pembesar
 bernama Cao. Dia mempunyai dua orang anak lelaki bernama Tan dan Lang. Kedua anak lelaki
itu seperti bersaudara kembar. Bentuk badan dan paras mereka sangat serupa. Kedua mereka
sama-sama kacak dan sama-sama tampan. Mereka mempunyai bulu kening yang lebat, hidung
yang mancung dan mata yang bulat lagi bersinar-sinar. Selain dari persamaan yang terdapat pada
kedua beradik itu, mereka juga saling kasih mengasihi diantara satu dengan yang lain.
Malangnya Pembesar Cao dan isterinya telah meninggal dunia. Tinggallah mereka dalam
keadaan yatim piatu. Kematian kedua ibu bapa mereka tidaklah dapat mengurangi
kehendak-kehendak mereka itu. Untuk mengelakkan penderitaan-penderitaan akibat dari
kemalangan itu, mereka telah mengambil keputusan hendak meninggalkan rumah, pergi ke
tempat lain untuk mencari kerja.
Kebetulan telah ditakdirkan Tuhan, tempat pertama yang mereka pergi ialah ke rumah
Hakim Luu, salah seorang sahabat karib orang tua mereka. Hakim Luu menyambut mereka
dengan mesra sekali di rumahnya yang besar itu. Dipeliharanya mereka seperti anak kandungnya
sendiri, kerana Hakim Luu tidak mempunyai anak lelaki. Dia hanya mempunyai seorang anak
 perempuan sahaja. Kulitnya seperti kapas dan parasnya cantik seperti bulan purnama.
Untuk menambah erat rasa kasih sayang dan persaudaraan di antara ketiga mereka itu,
terniatlah dihatinya hendak mengahwinkan salah seorang dari anak lelaki itu dengan anak
 perempuannya. Sebenarnya, kedua beradik itu secara diam-diam telah mencintai anak
 perempuan Hakim Luu itu. Mereka tertarik akan kecantikan dan tingkahlakunya yang lemah
lembut. Walaupun demikian, kedua-dua mereka itu enggan mengahwini anak perempuan Hakim
Luu. Masing-masing mendesak supaya orang lain sahaja yang mengahwininya. Oleh kerana
susah hendak mendapat persetujuan diantara mereka, maka Hakim Luu yang bijaksana itu pun
menjalankan ikhtiar untuk mengetahui siapakah diantara mereka yang lebih tua.
 

  Oleh Hakim itu, lalu disuruhnya menyediakan makanan dengan hanya meletakkan
sepasang sepit sahaja. Apabila mereka duduk hendak makan, Lang pun mengambil penyepit
yang sepasang itu, lalu diserahkannya kepada Tan dengan tertibnya. Tan menerima pemberian
Lang seperti biasa sahaja. Dengan perbuatan itu, tahulah Hakim Luu bahawa Tan adalah yang
tua dan telah terpilih untuk menjadi pasangan anak perempuannya yang tunggal itu.
Tan merasa dirinya orang yang paling bahagia sekali di dunia ini. Dia benar-benar
mencintai tunangnya dan berikrar hendak sehidup semati. Tan suka sekali dengan tunangnya.
Dia mengarang syair-syair percintaan yang melukiskan kebahagiannya dan menyanyikannya
lagu itu. Oleh kerana terlalu asyiknya dia, maka terlupalah dia kepada adiknya Lang.
Selepas perkahwinan abangnya itu, perasaan cinta Lang kepada gadis yang sekarang telah
menjadi kakak iparnya itu pun mulai hilang. Dia telah menerima keputusan itu kerana baginya
kebahagiaan abangnya adalah kebahagiaannya juga. Lama kelamaan sedarlah dia bahawa Tan
telah berubah terhadapnya. Kemesraan Tan tidak seperti dahulu lagi.
Tinggallah Lang seorang diri di biliknya dalam kesepian. Dia berdiam diri sahaja dan
tidak bergerak-gerak. Sambil itu dia menunggu kalau-kalau ada sesuatu tanda persaudaraan dari
abangnya. Tetapi semuanya hampa belaka. Alangkah sedihnya dia ketika mengenangkan sikap
abangnya yang tidak mahu mempedulikannya lagi.
Dalam hatinya dia berkata: "Beginilah nasibku yang malang. Abangku sendiri tidak lagi
menyayangi aku. Apalah gunanya aku tunggu di sini? Tidak siapa pun yang mempedulikan
diriku. Labih baik aku pergi sahaja dari sini."
Lang pun meninggalkan rumah itu dengan segera, kerana dia tidak tahan lagi
menanggung kesedihan. Setelah beberapa tahun mendaki gunung, menyeberangi sungai dan
 paya, akhirnya sampailah dia ke tepi sebuah lautan yang luas. Ketika itu berhembuslah angin.
Hari sudah hampir malam. Lang pun mencari-cari tempat di sekitar itu untuknya bermalam.
Malangnya tidak ada sebuah tempat pun yang ditemuinya.
Oleh kerana malam itu terlalu gelap, tidaklah dapat dia bergerak dari situ. Perutnya
sangat lapar, tekaknya terlalu haus, sedangkan tubuhnya terlalu lesu dan tak berdaya lagi. Dia
 pun duduklah di atas rumput meratapi nasibnya. Akhirnya dia pun matilah. Mayatnya bertukar
menjadi sebuah batu kapur yang putih.
Apabila Tan sedar adiknya telah melarikan diri dari rumahnya, maka dia pun merasa
menyesal. Dengan perasaan yang sedih dan pilu, dia pun pergilah mencari adiknya. Setelah
 beberapa lamanya dia berjalan melalui hutan rimba, mendaki gunung dan mengharungi paya
yang dilalu oleh adiknya, maka dia pun sampailah ke tepi pantai lautan yang biru itu. Oleh
kerana terlalu letih, dia pun duduk tepi pantai itu, lalu menangis tidak berhenti-hentinya.
Akhirnya dia pun mati di situ dan bertukar menjadi pokok pinang.
Isteri Tan yang di rumah telah puas menunggu kepulangan suaminya. Akhirnya dia pun
keluar pergi mencari suaminya yang sanyat dikasihinya itu. Dia pun berjalanlah tidak
 berhenti-hentinya. Akhirnya dia pun sampailah pula ke tepi pantai tempat suaminya mati itu.
Oleh kerana tersangat letih dan tak berdaya hendak meneruskan perjalanannya, dia pun
 bersandarlah di pokok pinang di tepi pantai itu lalu menangis. Dia menangis tidak
 berhenti-hentinya dan akhirnya dia pun rebah lalu mati. Seperti mayat kedua beradik itu, maka
mayatnya pun bertukar menjadi pokok sirih dan melilit di pokok pinang itu. Sempena mengingati
mereka, maka penduduk di tempat itu kemudiannya telah mendirikan sebuah rumah ibadat
sebagai mengingati ketiga-tiga manusia yang saling cinta mencintai itu.

Tamat 
 

Ebook Re Edited By: Farid ZE


Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai