Hiduplah tiga bersaudara yatim piatu yaitu Saku, Abatan, dan Seko. Mereka tinggal di suatu bukit di
pedalaman Pulau Timor. Di malam yang dingin, mereka bertiga begitu merindukan kedua orang
tuanya yang telah lama meninggal. Saku teringat akan sebuah lagu dan mulai memainkan seruling
sembari menyanyikan lagu kerinduan itu.
Tiba-tiba saja, suara menyeruak dari langit yang ternyata itu adalah kedua orang tuanya. Mereka
mengatakan jika mereka juga rindu pada ketiga anaknya. Lantas, orang tua mereka menyuruh
mereka untuk turun ke bawah bukit dengan membawa ayam jantan merah. Saku menuruti
permintaan itu dan saat tiba di bawah jurang, dia menyembelih ayam itu. Darah dari si ayam itu lantas
berubah menjadi dua ekor babi.
Orang tuanya berkata lagi jika dua ekor babi itu mereka kirimkan untuk menjadi hewan peliharaan
mereka. Dari pertemuan itu tiga saudara itu saling melepas rindu dengan dua orang tuanya. Peristiwa
ini kemudian membuat bukit yang mereka tempati dinamai Bukit Fafinesu atau bukit babi gemuk.
Sambil menunggu temannya, dia memainkan kayu kering dari pohon nunak. Tak menyangka, muncul
percikan api dan asap dari gesekan dua kayu itu. Dia terus mencoba menggesek-gesek hingga api
muncul begitu besar. Api itu dia lemparkan ke arah babi dan membuat si babi terbakar habis.
Akhirnya, pemuda itu mengajari dua pemuda lainnya, dan dari situlah masyarakat Lakamola
mengenal api.
Lona Kaka menjebak Lona Rara supaya dia berlari ke arah hutan. Di tengah hutan, dia tersesat dan
tak dapat kembali pulang ke rumahnya. Dia menangis merintih sambil menyanyikan sebuah lagu.
Seorang laki-laki tiba-tiba muncul dihadapannya dan mengaku sebagai Goa Wuamaroto, laki-laki
yang ada di lagunya.
Goa Wuamaroto juga bersedia mengantarkan Rara pulang ke rumahnya. Meskipun awalnya merasa
takut, Rara mengiyakan pertolongan Goa Wuamaroto. Sesampai di rumah, ibu Rara yang sudah
khawatir mencari Rara merasa begitu bahagia dengan tibanya Rara. Ditambah lagi, ada seorang laki-
laki yang mengantarkan. Di lain sisi, Kaka menerima karma akibat perbuatannya dan dia menjadi gila.
RAJA UDANG DAN SISIR PERAK SI GADIS.
Mereka hidup bahagia, rumah tempat kediaman mereka sederhana, bersih, rapi dan teratur baik.
Halamannya ditanam dengan bunga-bunga beraneka ragam dan sedap dipandang mata,.
Tak jauh dari situ terletak sebuah sungai yang bernama Sungai Noemuti, airnya sangat jernih.
Pada suatu hari, seorang anak gadis dari keluarga itu hendak pergi mandi.
Ia menyiapkan segala kebutuhan untuk dibawanya.
Tidak lama kemudian berangkatlah gadis itu ke sungai dengan membawa sebuah sisik perak
peninggalan nenek moyangnya.
Di sana gadis itu mulai mencuci barang cuciannya, lalu mandi dan mencuci rambutnya yang panjang
serta menyisirnya dengan sisir perak yang dibawanya.
setelah itu, ia menjunjung barang cucian serta menaruh sisir pada rambutnya bagian belakang.
Pada suatu hari, seorang anak gadis dari keluarga itu hendak pergi mandi.
Tidak lama kemudian berangkatlah gadis itu ke sungai dengan membawa sebuah sisik perak
peninggalan nenek moyangnya.
Di sana gadis itu mulai mencuci barang cuciannya, lalu mandi dan mencuci rambutnya yang panjang
serta menyisirnya dengan sisir perak yang dibawanya.
setelah itu, ia menjunjung barang cucian serta menaruh sisir pada rambutnya bagian belakang.
Setiba di rumah dipegangnya rambutnya ternyata sisir peraknya tidak ada lagi.
Ia sangat sedih, karena sisir perak kesayangan dan satu-satunya peninggalan neneka moyang yang
di wariskan kepadanya sudah tidak ada.
Antara sedih dan menyesal gadis itu memutuskan kembali ke sungai mencari sisir peraknya.
Ia mencari kesana kemari sepanjanag jalan, keseberang sungai dengan rasa bingung, sisir peraknya
itu tidak dilihatnya.
Ia berdiri dalam keadaan bingung, tiba-tiba ia mendapat satu jalan dan ia mengikuti arus air dan
mencari sisir itu mungkin terhanyut dibawa arus.
Segera ia berjalan mengikuti arus itu sambil mencari sisirnya yang hilang itu.
Segera gadis itu bertanya kepada Raja Udang : "Hai Raja Udang apakah kamu melihat sisir perakku?".
Jawab Raja Udang : "Saya tidak melihatnya, coba tanyakan pada Raja Limbar."
Sang gadis itu melanjutkan perjalanannya, tak lama kemudian ia bertemu dengan Raja Limbar.
Kepada Raja Limbar gadis itu berkata : "Raka Limbar, apakah engkau melihat sisir perakku?"
Raja Limbar menjawab: "Saya tidak melihatnya, coba tanyakan kepada Raja Belut."
Gadis itu berjalan terus, tak lama berselang ia bertemu dengan Raja Belut.
Kepada Raja Belut anga gadis bertanya lagi : "Hai raja Belut, apakah engkau melihat sisir perakku?"
"Saya tidak melihatnya," jawab Raja Belut. Coba tanyakan kepada Raja Buaya," kata Raja Belut.
Gadis itu berjalan terus menyusuri sungai sambil mencari sisir perak itu.
Sambil berjalan dan berpikr demikian tiba-tiba ia bertemu dengan Raja Buaya.
Raja Buaya segera berangkat. Tak berpa lama kemudian kembalilah Raja Buaya dengan membawa
sebuah kotak yang dianyam dari daun lontar.
Raja buaya mendekati si gadis itu lalu menyerahkan kotak yang dibawanya sambil berkata: "Terima
dan bawalah pulang, tiba di rumah baru engkau membukanya."
Ia pun segera kembali ke rumah dengan hati yang sangat lenga dan gembira.
Karena sang gadis itu ingin sekali melihat sisirnya itu, maka duduklah ia ditengah jalan lalu ia
membuka kotak itu.
Dalam kotak itu ada bermacam-macam ulat. Si gadis itu hilang akal tak sadarkan diri.
Pada akhri cerita ini pencerita berkata: "Foouh..... (bim sala bim).
Hancur seluruhnya dan masuklah ke dalam akar jagungku supaya bertambah subur ternyata esok
pagi saya melihat daun jagungku segar bugar.