Anda di halaman 1dari 10

Legenda Mas Merah - MALAYSIA

Pada tahun 1890 seorang pria bernama Salam tinggal di Serawak Malaysia dan mempunyai abang bernama
Amran. Salam telah menjalin hubungan secara diam-diam dengan gadis bernama Rukiah. Hubungan ini tidak
diketahui oleh orangtua Salam. Rukiah adalah seorang gadis baik dan berparas cantik.
Ayah Salam ingin menikahkan Amran dengan seorang gadis. Pada suatu hari ia bertanya pada Amran
apakah dia ingin menikah. Karena dilihatnya Amran sudah "berumur". Amran menjawab, "Kalau Ayah hendak
menikahkan aku, terserah pada Ayah saja,". Konon pada jaman dahulu, pasangan hidup diatur oleh orangtua.
Ayahnya kembali bertanya pada Amran, "Siapa yang kau suka untuk menjadi istrimu?". "Terserah siapa yang
Ayah suka untuk menjadi istriku, aku ikut saja,". Pilihan satu-satunya gadis yang baik dan cantik di daerah
Serawak ialah Rukiah.
Singkat cerita, dinikahkanlah Amran dengan Rukiah. Saat pernikahan mereka, Salam menjadi putus asa.
Beberapa waktu kemudian Salam menjumpai Rukiah, dan berkata, "Kalau memang abangku yang menjadi
jodohmu, ya sudah, apa yang bisa kita perbuat. Itu sudah kemauan orang tua. Daripada nantinya aku melihat
kau bersenang-senang dengan abangku, lebih baik aku pergi dari sini,". Konon Salam melemparkan batu
sebanyak tiga buah di tanah Serawak. Ia berkata, "Kalau timbul tiga buah batu yang kulempar di tanah
Serawak ini, barulah aku akan pulang,".
Saat pementasan di daerah Medan Labuhan, dengan kehendak Tuhan, Salam bertemu dengan Salmah.
Salmah adalah kembang di Medan Labuhan-Belawan. Ayah Salmah bernama H. Kasim. Ibu Salmah
berhutang pada seorang keturunan India bernama Tambi namun ia tidak mampu membayar hutangnya. Lalu
Tambi mengatakan pada orangtua Salmah, "Kalau memang hutang Anda tidak bisa terbayar, ya sudah,".
Namun melihat hutangnya yang tidak terbayar maka H. Kasim kembali berkata pada Tambi, "Untuk mengikat
erat persaudaraan bagaimana kalau Salmah saya kimpoikan dengan Anda,".
Di saat acara perkimpoian Salmah dengan Tambi, pementasan sandiwara ini diundang untuk mengisi acara
tersebut. Salam memainkan biola sambil menyanyikan sebuah lagu yang berjudul "Kau adalah Mas
Merahku". Isi bait dari lagunya seperti ini:
Sayang Mas Merah jangan merajuk
Mari kemari abang nan bujuk
Kalau ada penawar yang sejuk
Racun kuminum haram tak mabuk
Sayang selasih dibawa dulang
Mekar satu di atas peti
Sayang kekasih Mas Merahku sayang
Biar Bang Salam membawa diri
Mendengar bait ini, Salmah langsung jatuh pingsan. Masyarakat sekitar tidak mengetahui bahwa Salmah
adalah Mas Merah yang disebut Salam dalam lagunya. Salam kembali berputus asa dan kemudian pergi ke
laut untuk menjadi nelayan di daerah Brandan.
Setelah melaut selama berbulan-bulan, Salam dapat melupakan Salmah. Namun Salmah tidak menyukai
Tambi dan akhirnya mereka akhirnya bercerai.
Pulau Kampai awalnya adalah hutan yang lebat. Dan tidak seorang pun dari masyarakat Belawan yang berani
membuka lahan hutan Pulau Kampai tersebut. Orang yang dituakan di daerah ini adalah H. Makminias. H.
Makminias berkata bahwa ia tidak berani membuka hutan ini. "Yang berani adalah abangku yaitu H. Kasim,"
tambahnya. H. Kasim adalah ayah Salmah yang tinggal di Belawan.
Maka H. Makminias menjemput H. Kasim beserta anaknya Salmah. Namun, di tengah perjalanan mereka
dirampok penyamun yang dikenal dengan Pendekar Nayan (Pendekar Senayan). Mereka diikat di tiang layar.
Salmah dibawa ke tempat para penyamun dan ia berteriak meminta pertolongan.
Saat itu Salam bersama temannya Husein sedang melaut di kawasan itu. Mendengar teriakan seorang
wanita, Salam hendak menolong namun dihalangi oleh Husein. Husein berkata pada Salam, "Aku tidak berani
kesana. Daerahnya sangat angker. Biasanya orang yang pergi kesana pasti tidak bisa kembali pulang,".
Namun keinginan Salam untuk menolong wanita tersebut tidak bisa terhalangi oleh temannya Husein.
Akhirnya terjadilah perkelahian antara Pendekar Nayan dengan Salam. Akhirnya Pendekar Nayan kalah dan
bertemulah Salam dengan Salmah. H. Kasim yang awalnya tidak menyukai Salam akhirnya berbaik hati.
Salam pergi ke mana saja dengan membawa biola. Dan ia selalu menyanyikan lagu "Kau adalah Mas
Merahku". Di daerah itu ada seorang tauke ikan yang merantau dari Malaysia ke Pulau Kampai bernama Tu
Awang Muhammadin. Ia membeli ikan-ikan dari para nelayan dan dikenal dengan sifatnya yang baik hati.
Salam yang dulunya menjual ikan di Pulau Sembilan dan Brandan, kini hanya menjual ikannya di Pulau
Kampai. Tanpa diketahui Salam, Tu Awang Muhammadin selalu memperhatikan gelagat Salam yang selalu
termenung. Ia juga melihat hubungan Salam dengan Salmah yang sudah serius.
Tu Awang Muhammadin menanyakan kepada Salam, "Lam, apakah kau mau menikah? Jangan hanya pergi
ke laut saja. Kalau memang engkau mau, akan kunikahkan kalian,".
Salam menjawab, "Terserah Tu Awang saja,". Kemudian Tu Awang kembali menanyakan kepada Salam,
"Siapa yang jadi pilihanmu?". Pilihan jatuh pada Salmah.
Mereka menikah selama sepuluh tahun dan tidak mempunyai keturunan. Suatu hari keduanya terkena
penyakit cacar. Pada tahun 1920 tepatnya pada hari Jumat pukul 05.00 pagi Salam meninggal, dan disusul
oleh Salmah pada pukul 06.00 pagi. Sebelum meninggal Salam berpesan kepada Husein, temannya, "Kalau
nanti aku meninggal tolong kuburkan aku berdekatan dengan kuburan istriku, dan tanamkan bunga tanjung di
atas nisan kuburan kami berdua,". Bunga tanjung yang ditanam adalah kisah perjalanan cinta Salam sebagai
tanda antara Semenanjung Malaysia, Medan Labuhan dan Pulau Kampai.
Hal ini diceritakan Husein kepada teman-temannya, dan cerita ini secara turun-temurun dipercaya oleh
masyarakat setempat sebagai sejarah terjadinya Pulai Kampai.
Legenda Hantu Thailand "Mae Nak"

(Foto: puanpertiwi.com)
Mae Nak atau Nak Phra Khanong, adalah hantu wanita asal Thailand yang sangat di kenal cerita mitosnya
oleh masyarakat Thailand. Perah gak sih kalian terbayang memiliki istri hantu? Pasti tidak ada yang mau kan,
Tapi dalam legenda hantu Thailand Mae Nak ini berbeda, bermula ketika masa pemerintahan Raja Mongkut.
Ada seorang wanita bernama Nak, yang menikah dengan laki – laki militer bernama Mak. Lalu mereka tinggal
di daerah Phra Kanong Bangkok, yang dekat dengan kuil Wat Mahabut. Setelah menikah Mak harus
meninggalkan istrinya untuk tugas militer. Saat itu Nak sedang mengandung dan meninggal pada saat
menanti suaminya yang sedang bertugas militer. Warga sekitar cemas dikarnakan menurut kepercayaan
mereka jika sorang wanita meninggal pada saat hamil maka arwahnya tidak akan tenang dan dapat
mengganggu warga sekitar. Arwah tersebut di kenal dengan sebutan Phi Tai Hong Thong Klom
Kabar meninggalnya Nak tidak di ketahui oleh suami, sampai akhirnya sang suami pulang ke rumah dan
menemui istri dan anaknya dalam keadaan baik – baik saja, dan mereka menjalani kehidupan secara normal,
padahal para tetangga sudah memperingati bahwa sang istri Nak sudah meninggal. Hari demi hari di lewati,
Mak merasa ada yang aneh dan mulai curiga dengan istrinya Nak. Hingga pada akhirnya Mak menyadari
bahwa ia tinggal selama ini bersama dengan hantu.
Mak pun langsung bergegas kabur dan bersembunyi di dalam kuil, dimana di yakininya tidak ada hantu mana
pun yang berani masuk ke dalam kuil tersebut.
Hingga pada akhirnya hantu Nak bergentayangan dan menakuti warga sekitar tempat tinggalnya. Berkat
seorang biksu, arwah penasaran Nak dimasukkan kedalam sebuah kendi lalu di buang ke sungai hingga
arwah tersebut tidak menghantui masyarakat di sekitarnya lagi.
Legenda Telaga Pasir – Indonesia
Pada zaman dahulu di sebuah kampung hiduplah sepasang suami isteri petani yang hidup sangat
sederhana tetapi kehidupan mereka sangat bahagia dan harmonis. Sepasang suami isteri itu bernama
Ki dan Nyai Pasir, mereka hidup tanpa di karunia seorang anak.

Pada suatu ketika, selesai mencangkul duduklah Ki Pasir di pinggir sawah dengan bersandar di
bawah pohon besar sambil melepas lelahnya. Dan tiba-tiba tangannya memegang suatu benda bulat
dan licin yang berada di sampingnya. Sebutir telur yang berbentuk tidak selazimnya, telur tersebut
sangat besar yang melebihi telur angsa.

Bertanya dalam hati Ki Pasir berkata “Telur apa ini, besar sekali?. Yasudahlah namanya telur ya
tetap telur, si Nyai juga tadi sempat bilang kalau persediaan lauk kita habis.”

Akhirnya telur tersebut dibawa pulang untuk diberikan kepada isterinya . Namun sawahnya
dilupakan begitu saja oleh Ki Pasir untuk dicangkuli, Ki Pasir lupa untuk melanjuti pekerjaannya.

Sesampainya dirumah, Ki Pasir memanggil isterinya sambil berteriak "Nyai kemari, lihatlah apa
yang aku bawa."
Dengan wajah yang kaget ketika nyai melihat telur yang sangat besar dan aneh.

“Telur apa ini dan kau mendapatinya dimana?” tanya nya nyai kepada aki.

Ki Pasir menjawab, “Cukuplah, jangan terus kau tanya ini telur apa. Sebab aku pun juga tidak tahu."

“Aku sangat lapar, lebih baik kamu pergi ke dapur untuk memasaknya.”

Masakan pun sudah jadi dan nyai menyiapkannya di atas meja makan untuk segera disantap oleh
mereka berdua. Dibaginya telur itu menjadi dua kemudian mereka memakannya dengan sangat
menikmati. Rasa telurnya yang gurih melebihi dari telur ayam.

Setelah selesai makan tertidurlah mereka berdua, disaat tengah malam terbangunlah Nyi Pasar dan
merasakan panas serta gatal pada sekujur tubuhnya. Namun tak terlihatnya sang suami yang biasa
berada disampingnya, kemudian Nyai Pasir pergi untuk mencari dan meminta tolong kepada warga.

Sudah beberapa lama Nyai Pasir mencari suaminya didalam rumah tetapi ia belum menemukannya,
akhirnya dia mencoba mencarinya lagi ke halaman rumahnya. Sangat terkejut melihat suaminya yang
berguling-guling ditanah, dikarenakan mereka berdua sedang merasakan panasnya dan gatal
disekujur tubuhnya setelah memakan telur yang sangat besar itu.

Ingin sekali Nyai Pasir menolong suaminya, namun seketika dia pun tak kuat untuk menahan rasa
yang semakin panas dan gatal. Terjatuhlah Nyai Pasir di tanah yang bersampingan dengan suaminya
sambil berguling-guling bersama di dalam tanah tersebut.

Berguling, berguling dan terus berguling mereka melakukannya tanpa henti sehingga tanah itu
menjadi berlubang dan lama kelamaan semakin membesar. Semakin membesar lubang tanah itu yang
kemudian dari dalam tanah tersebut keluarlah air yang menjadi sebuah danau. Beberapa lama
kemudian tidak terlihatnya Ki Pasir dan Nyai Pasir, namun yang terlihat sepasang naga yang sangat
besar dan menyeramkan yang berada disekitar danau itu. Sehingga terkenalah danau itu dengan
sebutan Telaga Pasir.

Telaga Pasir ialah sebuah tempat wisata yang berada di Lereng Gunung Lawu, Magetan Jawa Timur.
Namun sampai saat ini Telaga Pasir dikenal dengan nama Telaga Sarangan.
Chonguita, Sang Putri Monyet – Filipina
Pada zaman dahulu hiduplah seorang raja yang mempunyai tiga orang putera, pada putera pertamanya
bernama Pedro, putera keduanya bernama Diego dan putera yang ketiga bernama Juan. Pada suatu ketika,
sang raja memerintahkan putera-puteranya untuk pergi dari istana agar mereka bisa mendapatkan pasangan
mereka masing-masing.

Sudah berhari-hari mereka berjalan, suatu ketika Pedro dan Juan bertemu dengan seorang kakek tua.
Kemudian si kakek tua itu memberikan sepotong roti kepada Don Juan dan merintah untuk pergi ke sebuah
istana yang jaraknya satu mil untuk sampai ke istana tersebut. Namun sebelum Juan pergi si kakek tua itu
berkata, “Supaya kau bisa masuk ke istana tersebut, kau harus memberikan roti-roti ini kepada para monyet
yang menjaga gerbang istana."

Setibanya di depan istana, Don Juan memberikan roti itu kepada monyet yang sedang menjaga gerbang
istana. Dan kemudian, Don Juan dipersilahkan masuk ke istana dan bertemu dengan seekor monyet yang
besar. Hampir saja si Don Juan lari ketakutan, tiba-tiba dipanggillah oleh monyet besar itu " Hei Don Juan,
aku tahu tujuanmu datang kesini untuk mencari jodoh. Tenang, puteriku Chonguita mau menikahimu."

Akhirnya menikahlah Don Juan dengan Chonguita puteri dari seekor monyet besar yang tinggal di istana.

Beberapa hari kemudian setelah mereka menikah, Don Juan meminta izin kepada isterinya untuk bertemu
dengan ayahnya. Ibunya Chonguita mendengar kalau menantunya ingin pergi, dan ia berkata kepada Don
Juan "Bawalah juga isterimu pergi." Dibawalah Chonguita ke istana untuk bertemu sang Raja.

Disambutlah kedatangan mereka oleh sang raja, tetapi sang raja sangatlah kecewa dan malu ketika Don Juan
mengenalkan isterinya yang hanya seekor monyet. Semakin hari sang raja semakin malu dengan mempunyai
seorang menantu yang menjadi seekor monyet dan ia memikirkan bagaimana caranya agar bisa
menyingkirkan Chonguita dari istana. Beberapa hari kemudian sang raja memanggil semua puteranya dan
berkata, "Bicaralah pada isteri-isteri kalian, untuk membuatkan mantel bersulam untukku. Dari isteri-isteri
kalian yang tidak berhasil membuatkannya dalam waktu tiga hari akan dihukum mati."

Sang raja sangat menginginkan kalau Chonguita lah yang tidak bisa membuat mantel sehingga dirinya yang
akan dihukum mati, tetapi pada hari ketiga semua menantunya menyerahkan hasil buatanya masing-masing
kepada raja. Dari ketiga hasil mantel buatan menantunya, hanya ada satu mantel yang paling indah dan
bagus yaitu mantel sulaman buatan yang Chonguita.

Sang raja masih sangat meninginkan untuk menyingkirkan CKarena, kemudian raja mencari ide kembali.
Beberapa saat kemudian, sang raja menyuruh kembali untuk para menantunya agar bisa membuatkan topi
dari sulaman dengan jangka waktu dua hari dengan diberikan ancaman yang sama yaitu dihukum mati. Para
menantu raja dapat menyelesaikan topi itu tepat waktu yang diberikan raja.

Sang rajapun belum bisa menyingkirkannya, dan ia terus saja mencari ide bagaimana caranya. Suatu ketika
sang raja kembali memanggil ketiga menantunya dan berkata kepada mereka semua, "Siapa dari kalian yang
dapat membuat lukisan paling indah dalam jangka waktu tiga hari, aku berjanji akan menjadikan suami kalian
untuk menjadi raja dan memimpin istana ini."

Sampai pada hari yang dimana sang raja memberikan batas waktu kepada menantunya untuk menyelesaikan
lukisan itu. Setelah sang raja melihatnya, ternyata lukisan yang paling indah ialah lukisan yang dibuat oleh
Chonguita, akhirnya sesuai janji yang sang raja berikan. Maka diberikanlah kepemimpinan kerajaan kepada
Don Juan, suami dari Chonguita yang sang raja ingin sekali menyingkirkannya.

Dibuatlah pesta yang mewah untuk mennyambut raja yang baru. Di dalam keramaian pesta, Chonguita
meminta agar dirinya dapat berdansa dengan Don Juan. Di saat itulah Don Juan sangat marah sehingga
Chonguita di dorongnya sampai menyentuh dinding. Maka pada saat itulah semua ruangan menjadi gelap
gulita, namun kemudian ruangan tersebut menjadi sangat terang dan Chonguita berubah menjadi seorang
wanita cantik yang anggun.
Sang Raja dan Seorang Ahli Memuji - Myanmar
Tersebutlah seorang Raja yang sangat arip dan bijaksana dalam menjalakan pemerintahan kerajaannya,
rakyat sangat bahagia dan sangat mencintai sang Raja mereka. Dan ketika itu seluruh istana sedang sibuk
dengan persiapan menyambut kedatangan seorang ahli memuji yang sangat terkenal. Seorang penasihat
telah datang kehadapan sang Raja lalu berkata, "Paduka yang mulia, dia telah datang dan menunggu di
ruang aula istana orang tersebut adalah ahli memuji yang paduka tunggu!" serunya dengan sangat hormat.
Sang Raja pun lalu bersiap-siap untuk menemui sang ahli memuji tersebut, lalu beliau berjalan dengan gagah
penuh kharisma ke ruang istana yang biasa untuk menyambut tamu kerajaan.
"Prestasi orang ini sungguh sangat hebat diberbagai negeri tetangga sebagai orang terbaik dalam ahli memuji
sehingga telah banyak orang yang termakan pujiannya dan mereka semua membayar dengan sangat mahal
pujian tersebut, mereka akhirnya telah banyak kehilangan harta bendanya dan juga tanahnya," kata sang
penasihat memperingatkan sang Raja tercintanya.
"Engkau tidak perlu khawatir tentang semua ini. Sebab Aku pun, tidak sedikit pun khawatir," Raja berkata
dengan bersikap sombong kala itu.
Aku dijuluki orang-orang dengan sebutan kepala batu atau orang yang sangat keras kepala, tak ada seorang
pun yang bisa menipuku dengan mudah, tenang saja Aku ingin tahu maksud kedatanganya," menjawab lagi
sang Raja tanpa peduli semua nasihat dari sang penasihat setianya.
Lalu Raja telah siap ada di ruangan khusus yang akan dipakai pertemuan dengan sang ahli memuji yang
sangat terkenal tersebut. Kemudian datanglah sang ahli memuji diantar sang pengawal yang ditugaskan
mengantar tamu khusus Raja yang akan bertemu langsung sang Raja mereka. Si ahli memuji langsung
bersimpuh kepalanya hampir menyentuh karpet yang terdapat di ruang pertemuan seraya berkata, "Ampun
paduka Raja yang terhormat, hamba sepertinya sangat tersanjung dapat bertemu langsung dengan Tuanku
Raja yang sangat terkenal akan kebijaksanaannya yang termasyur jauh sampai semua orang yang ada di
muka bumi ini, mengenal nama anda dengan baik walaupun mereka semua belum melihat atau bertemu
secara langsung dengan sang paduka terhormat," katanya sangat mambanggakan sang Raja dengan pujian
yang belum keluar semua dari mulutnya yang sangat pandai bersilat lidah.
"Mata hamba telah disilaukan oleh sinar keagungan sang paduka Raja, hamba telah disilaukan oleh
kharismatik seorang pemimpin yang mulia dan hamba telah disilaukan oleh kabaikan hati dari seorang tokoh
dunia yang sangat bermurah hati terhadap rakyat-rakyat kecil dan peduli terhadap siapa pun yang
mambutuhkan kebaikkan hati Paduka dan seterusnya dan seterusnya,,,,,,,,,,, " katanya lagi nyerocos keluar
kata-kata pujiannya begitu lancar tanpa berhenti, mempengaruhi hati sang Paduka Raja yang telah termakan
dengan pujian menghasutnya.
Semua pujian yang keluar dari mulutnya sangatlah enak didengar ditelinga sang Raja yang saat itu telah
terhasut rayuannya. Sejenak sang ahli memuji berhenti untuk menarik napas dari bicaranya yang terus
terlontar dengan gencar bagaikan peluru senapan laras panjang yang melancarkan tembakkan dengan
memberondong sasaran tembaknya dan berhenti untuk mengisi pelurunya dengan mengganti magazin yang
baru dan penuh dengan isi peluru.
Seorang penasihat setia tidak menunggu kesempatan emas itu untuk segera memperingati sang Raja dari
tipu daya sang ahli memuji.
"Yang mulia Paduka Raja berhati-hatilah, dia telah melancarkan serangan tipu muslihatnya dengan gencar,
berhati-hatilah dalam bertindak," kata sang penasihat memberitahukan sang Raja.
"Kekhawatiran kalian sangat tidak beralasan, tenang saja Aku bukan orang yang dapat ditipu dengan mudah
apalagi oleh orang seperti dia," katanya tidak peduli dengan kata-kata penasihat lagi.
Seluruh penasihat yang hadir disitu tentu telah tahu bahwa Raja mereka telah termakan tipu daya sang ahli
penipu yang berakal bulus sangat pintar.Mereka semua penasihat-penasihat kerajaan yang hadir di tempat
tersebut telah dapat menerka bahwa Rajanya telah masuk dalam perangkapnya yang sangat halus dari
seorang ahli dalam memuji yang sudah biasa bersilat lidah dengan sangat pandainya. Akhirnya dari
pertemuan tersebut sang Raja telah kehilangan setengah kekuasaannya dan kini telah terbagi dua kerajaan,
Raja sangat menyesal tidak mendengar nasihat yang selalu diberikan sang penasihat-penasihat
kepercayaannya selama ini.
"Raja kita yang sangat terkenal bijak dan dicintai rakyat banyak masih bisa tertipu, apalagi kita yang tidak
terkenal bijak," kata salah satu penasihat kerajaan.
"Ya! hanya orang yang selalu rendah hatilah yang tidak gila pujian yang tidak akan tertipu sang ahli memuji,
sebab orang tersebut tidak akan sombong," kata seorang penasihat lainnya.
"Jelas sudah Raja kita bukanlah seorang yang rendah hati tetapi Raja yang sombong walaupun arif bijaksana
menurut rakyatnya," berkata penasihat yang lainnya.
Sekian ceritanya, mudah-mudahan kita bukan termasuk orang yang mudah terhasut berbagai macam pujian
yang pada akhirnya akan menjerumuskan kita pada kesengsaraan dan penyesalan. Hanya bersyukur kepada
Tuhanlah yang akan membuat kita tidak akan terlena oleh pujian dari manapun, sebab semua yang telah
engkau capai dalam usahamu sesukses apapun itu adalah kehendak Tuhan.
Kisah Khek Menjual Keledai – Kamboja
Dahulu, ada seorang ayah bernama Khek yang hidup bersama anaknya. Khek memiliki seekor
keledai.

Suatu hari, Khek akan menjual keledai miliknya ke Desa Kompang.

"Kalau aku biarkan keledai ini berjalan kaki, dia akan kurus karena kelelahan. Kalau dia kurus, maka
harganya akan turun," pikir Khek.

Akhirnya, Khek dan anaknya memanggul keledai itu. Di tengah perjalanan, mereka ditertawakan
penduduk desa.

"Keledai itu untuk ditunggangi, bukan untuk dipanggul," kata mereka.

Khek lalu menyuruh anaknya menunggangi keledai. Khek sendiri berjalan di belakang agar beban
keledai tidak terlalu berat.

Ketika sampai di suatu desa, ada seorang laki-laki berkata, "Tega sekali kau membiarkan ayahmu
berjalan kaki, sementara kau asyik duduk di atas keledai. Dasar anak durhaka!"

Mendengar hal itu, anak Khek segera turun dari punggung keledai. Kali ini giliran Khek yang
menunggangi keledai.

Ketika sampai di desa berikutnya, seorang pemuda menegur Khek, "Tega sekali kau membiarkan
anakmu yang masih kecil berjalan kaki, sedangkan kau asyik naik keledai. Harusnya kau yang
berjalan kaki, kakimu tentu lebih kuat daripada anakmu."

Khek akhirnya memutuskan menunggangi keledai itu bersama anaknya. Ketika melewati pasar, ada
seorang prajurit yang melihat mereka.

"Kalian bodoh sekali. Kalau keledai itu kalian tunggangi, nanti dia akan kurus karena kelelahan.
Kalau dia kurus, maka harganya akan turun," kata prajurit.

Mendengar hal itu, Khek kebingungan. Sepertinya apa yang mereka lakukan salah semua.

Akhirnya,Khek dan anaknya turun dari punggung keledai. Mereka menuntun keledai itu bersama-
sama ke Desa Kompang. Mereka tidak mempedulikan lagi perkataan orang lain.

Sesampainya di Desa Kompang, mereka berhasil menjual keledai itu dengan harga yang pantas.

Kepribadian yang bisa diambil : Khek Menjual Keledai adalah Berpendirian kuat. Kita tidak bisa
menyenangkan semua orang. Lakukanlah yang terbaik yang bisa kita lakukan.
Asal Muasal Kota Singapura
Dahulu, ada seorang raja bernama Sang Nila Utama. Dia seorang pemburu yang hebat.
Suatu hari, dia mendengar kabar tentang seekor rusa. Rusa itu sangat sulit diburu. Rusa itu ada di
hutan di Pulau Tanjung Bentam.
Raja pun memutuskan untuk pergi ke pulau tersebut. Dia ingin menangkap rusa itu. Sesampainya di
pulau, raja dan rombongannya langsung berburu.
Setelah hampir seharian berburu, mereka belum berhasil menangkap sang rusa. Raja pun sangat
kecewa.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk istirahat sebentar. Ketika sedang beristirahat, tiba-tiba seekor
rusa jantan melompat di depan raja.
Raja langsung mengeluarkan pedangnya dan mengejar rusa. Sayangnya, rusa itu berhasil lolos dan
lari ke atas bukit.
Raja dan rombongannya mengejar rusa itu sampai ke atas bukit. Setelah sampai di sana, ternyata rusa
itu sudah tidak ada.
Tidak jauh dari raja berdiri, ada sebuah batu besar. Raja pun naik dan berdiri di atasnya.
Dari atas batu, Raja melihat sebuah pulau di kejauhan. Pulau itu dikelilingi pantai berpasir putih.
"Pulau apakah itu?" tanya raja pada pengawalnya. "Itu Pulau Tumasik, Tuanku," jawab pengawal.
"Ayo kita pergi ke sana," kata raja.
Rombongan raja pun pergi ke pulau itu. Sesampainya di Pulau Tumasik, Raja disambut oleh seekor
hewan yang mengagumkan.
Hewan itu seperti kucing besar. Lehernya berbulu lebat. Dia terlihat gagah dan mengaum sangat
keras.
"Hewan apakah itu?" tanya raja.
"Itu singa, Tuanku. Biasanya mereka ada di Afrika. Entah kenapa mereka bisa ada di sini," jawab
pengawal raja.

"Pulau ini sangat cantik. Kita akan membuat kota dan tinggal di pulau ini. Mulai sekarang, kota ini
kuberi nama 'Kota Singa' atau Singapura," kata raja.
Pesan moral : Jadilah anak yang senang belajar hal-hal baru agar pengetahuan kamu semakin
bertambah.
ANAK DERHAKA DISUMPAH MENJADI BATU – BRUNEI DARUSSALAM
Cerita legenda ini bermula beratus-ratus tahun dahulu ketika pembukaan awal Kampung Ayer dan ianya
tentang satu keluarga yang kaya raya di Kampung Ayer ketika itu iaitu Keluarga Dang Ambon. Dang Ambon
merupakan seorang balu kaya yang dikatakan mewarisi harta yang banyak setelah kematian suaminya. Dang
Ambon mempunyai seorang anak lelaki yang amat tampan serta gagah yang bernama Nakhoda Manis.
Walaupun penghidupan Nakhoda Manis dilimpahi dengan serba-serbi kemewahan namun begitu segala
kekayaan ini tidak boleh membendung sifat semulajadi Nakhoda Manis yang ingin mengembara meluaskan
pengalaman melihat negeri orang. Setelah dia dewasa keinginannya ini tidak dapat dibendung lagi
sehinggalah akhirnya ibunya iaitu Dang Ambon akur dengan keinginan anak tunggalnya untuk berlayar lalu
dibelikannya sebuah bahtera yang agak besar untuk anaknya Nakhoda Manis pergi mengembara. Setelah
segala kelengkapan sudah disiapkan maka pada hari yang sesuai maka berangkatlah Nakhoda Manis
dengan anak kapalnya mengembara ke negeri orang. Dang Ambon dengan berat hati melepaskan anak
tunggalnya dengan penuh kesedihan dan sentiasa mengharapkan anak tunggalnya ini sentiasa di dalam
keadaan selamat selalu.
Nakhoda Manis amat gembira kerana akhirnya cita-citanya untuk menjelajah ke negeri orang sambil mencari
peluang perniagaan termakbul jua. Di arahkannya anak kapal untuk menuju ke Sulu kerana ketika itu
dikatakan Sulu mempunyai peluang-peluang untuk berniaga. Setelah beberapa purnama meredah lautan
yang luas akhirnya bahtera Nakhoda Manis tiba di Sulu. Tanpa melengahkan masa Nakhoda Manis terus
membuka perniagaannya di Sulu dan setelah beberapa ketika perniagaannya semakin berkembang dan
namanya agak gah di kalangan rakyat tempatan termasuk di kalangan pembesar-pembesar Sulu pada ketika
itu. Melihat kepada ketampanan dan kebijaksanaan Nakhoda Manis berniaga akhirnya ada seorang
pembesar Sulu ingin menjodohkan puterinya dengan Nakhoda Manis. Nakhoda Manis yang masih bujang
malah kaya raya itu tidak menolak cadangan daripada pembesar Sulu kerana dia sendiri sudah terpaut hati
dengan kejelitaan puteri pembesar Sulu tersebut. Setelah kata sudah searah dan hati sudah bersatu akhirnya
berlangsunglah perkahwinan Nakhoda Manis dengan puteri pembesar Sulu dengan majlis besar-besaran
selama 3 hari 3 malam kemeriahannya. Maka hiduplah Nakhoda Manis dengan isterinya yang tercinta
melayari bahtera perkahwinan dengan bahagia segalanya.
Berbalik kepada cerita si ibu yang ditinggalkan berseorangan di Kampung Ayer iaitu Dang Ambon. Diceritakan
bahawa Dang Ambon sepanjang ketiadaan anak tunggalnya Nakhoda Manis telah sering bersedekah dengan
orang miskin malah sesiapa sahaja yang dirundung malang akan dibantunya. Semakin hari kekayaan Dang
Ambon dikatakan semakin berkurangan sehinggalah pada satu tahap Dang Ambon bukan lagi menjadi orang
yang kaya raya di Kampung Ayer tetapi sudah seperti masyarakat yang biasa-biasa sahaja. Walaupun begitu,
Dang Ambon tetap juga bersedekah kerana ini semua dilakukan atas kepercayaan sedekahnya itu akan
memastikan keselamatan dan kesihatan anak tunggalnya di perantauan si Nakhoda Manis akan dijaga. Kasih
sayang seorang ibu sememangnya sukar untuk kita gambarkan.
Setelah beberapa ketika hidup di alam rumahtangga akhirnya Nakhoda Manis ingin pulang ke kampung
halamannya sambil memperkenalkan isterinya yang jelita dengan ibunya Dang Ambon di Kampung Ayer,
Negara Brunei Darussalam. Setelah mendapat keizinan daripada ayahanda mertuanya akhirnya berangkatlah
Nakhoda Manis bersama-sama isteri serta anak kapalnya menuju ke Brunei Darussalam. Setelah beberapa
ketika dilambung ombak dengan pelayaran dari Sulu ke Brunei akhirnya sampailah Nakhoda Manis ke
kampung halamannya. Oleh kerana ianya sudah larut malam maka Nakhoda Manis mengambil keputusan
untuk tidak naik ke daratan dahulu dan beliau berhasrat untuk melakukannya di sebelah siangnya. Namun
begitu seperti kebiasaannya apabila ada sahaja kapal besar yang berlabuh sudah tentu orang tempatan akan
cepat mengetahui beritanya dan akhirnya berita tentang kepulangan Nakhoda Manis telah sampai ke telinga
Dang Ambon. Dang Ambon terlalu gembira kerana ternyata ibunya ini terlalu merindui anak tunggalnya yang
telah meninggalkannya bertahun lamanya .
Keesokan harinya kerana tidak tertahan dengan kerinduan kepada anaknya itu, Dang Ambon telah mengayuh
sampan kecil sendiri menghampiri kapal anaknya Nakhoda Manis. Suara Dang Ambon yang memanggil
nama Nakhoda Manis telah didengar oleh Nakhoda Manis dan dia sendiri mengenali itu adalah suara ibunya.
Namun begitu belum sempat Nakhoda Manis memperkenalkan ibunya kepada isterinya sudah kedengaran
isterinya memandang jijik kepada ibunya yang dikatakan kotor dan miskin sedangkan sepanjang perjalananan
Nakhoda Manis telah menceritakan kepada isterinya tentang betapa kaya raya keluarganya di Kampung Ayer,
Brunei Darussalam. Apabila mendengar isterinya memandang hina kepada seorang tua yang miskin dan tidak
punya apa-apa itu akhirnya Nakhoda Manis sendiri berpaling kepada isterinya malah dia sendiri memaki
hamun ibunya sendiri malah mengarahkan anak kapalnya untuk mengalihkan sampan kecil berserta Dang
Ambon untuk tidak dekat pada kapalnya.
Dang Ambon berasa kecewa dengan sikap kurang ajar dan biadap anaknya Nakhoda Manis yang dijaganya
dengan penuh kasih sayang selama ini sehingga dia sanggup tiada apa-apa asalkan anaknya selamat.
Dengan penuh rasa sedih dan hampa, Dang Ambon telah bertindak menyumpah anaknya Nakhoda Manis
dengan seluruh anak kapal serta anak menantunya menjadi batu sebagai memberi pengajarannya kepada
mereka. Dengan tidak semena-mena langit yang cerah menjadi kelam, angin yang sepoi-sepoi bahasa
menjadi kencang dan berpusar-pusar diiringi dengan halilintar dan pada ketika itulah kapal Nakhoda Manis
dan seluruh isi kapal telah bertukar menjadi batu. Batu itulah yang dikenali sebagai Jong Batu sekarang yang
terletak di Sungai Brunei.
Legenda Kepiting Pantai, Kisah Dã Tràng – Vietnam
Dahulu kala, di Vietnam hiduplah seorang pemburu muda bernama Dã Tràng. Tiap hari ia pergi ke hutan
membawa busur dan anak panah untuk berburu. Ia selalu melewati sarang sepasang ular belang. Mulanya
Dã Tràng takut kepada ular itu, tapi karena mereka tidak pernah mengganggunya, lama-lama ia terbiasa
dengan ular-ular itu. Ia bahkan suka mengamati gerakan ular dan sisik-sisik mereka yang indah.
Pada suatu hari, Dã Tràng melihat kedua ular belang itu berkelahi dengan seekor ular berbisa yang besar. Dã
Tràng segera mengambil busur. Anak panahnya mengenai leher ular berbisa yang kemudian melarikan diri.
Seekor ular belang mengejarnya, sementara pasangannya sudah mati. Dã Tràng menguburkan ular yang mati
itu.
Malam harinya, Dã Tràng bermimpi ular belang datang kepadanya. Ular itu berterima kasih karena Dã Tràng
telah menolongnya dan menguburkan pasangannya. Sebagai tanda terima kasih ia memberikan sebutir
mutiara. “Letakkan mutiara ini di bawah lidahmu. Kau akan memahami bahasa binatang,” kata ular.
Esok harinya ketika Dã Tràng bangun, ia menemukan mutiara yang indah di dekat bantalnya. Ketika pergi
berburu, Dã Tràng memanah seekor rusa. Panahnya meleset. Seekor burung gagak berkaok-kaok ribut di
dahan pohon. Dã Tràng meletakkan mutiara di bawah lidahnya. Seketika ia mendengar gagak itu berbicara
kepadanya.
“Ke sana! Rusa itu lari ke timur!” kata gagak. “Ayo kejar!”
Dã Tràng mengejar rusa bersama gagak. Ia berhasil menangkap rusa itu. Dã Tràng membersihkan daging rusa
dan memberikan sebagian kepada gagak. Sejak itu gagak selalu menemani Dã Tràng berburu. Tiap hari Dã
Tràng selalu mendapat hewan buruan berkat bantuan gagak. Dã Tràng tidak pernah lupa meninggalkan
sebagian hasil buruannya untuk gagak.
Pada suatu hari, Dã Tràng menangkap seekor kijang. Ketika ia selesai membersihkan kijang, ia tidak melihat
gagak. Dã Tràng tidak menunggu gagak kembali. Ia meninggalkan daging untuk gagak di bawah pohon dan
langsung pulang.
Tak lama kemudian gagak datang ke rumah Dã Tràng dan meminta bagiannya. Rupanya daging yang
disisihkan Dã Tràng diambil oleh hewan lain. Gagak marah karena mengira Dã Tràng tidak memberinya
daging kijang. Dã Tràng juga marah karena tuduhan gagak. Ia memanah gagak, tapi tidak kena. Gagak
terbang berputar-putar sambil berteriak-teriak. Lalu ia mengambil anak panah Dã Tràng dan terbang pergi.
Beberapa hari kemudian Dã Tràng ditangkap. Anak panah dengan tulisan namanya ditemukan pada mayat
yang tenggelam di sungai. Walaupun Dã Tràng mengatakan ia tidak membunuh orang itu, tapi karena bukti
anak panah itu, ia dinyatakan bersalah dan dipenjarakan.
Pada suatu hari, Dã Tràng melihat semut banyak sekali berbaris di dinding penjara. Semut-semut itu
berjalan cepat-cepat membawa makanan dan telur mereka. Dã Tràng bertanya kepada semut mengapa
tergesa-gesa. “Kami mengungsi,” kata semut. “Ada banjir besar tak lama lagi.” Dã Tràng memberitahukan
berita itu kepada penjaga. Penjaga itu memberi tahu kepala penjara yang segera melapor kepada raja.
Raja merasa berita itu aneh, tapi ia segera memerintahkan untuk menyiapkan semua kebutuhan yang
diperlukan bila banjir benar-benar datang. Ia juga meminta rakyatnya bersiap-siap, bahkan mengungsi. Tiga
hari kemudian, terjadi banjir besar. Karena peringatan Dã Tràng, seluruh negeri selamat. Raja memanggil Dã
Tràng. Ia dibebaskan dari penjara dan diangkat menjadi penasehat raja.
Pada suatu hari Dã Tràng mendengar burung-burung mengatakan bahwa tentara negara tetangga akan
untuk menyerang mereka. Dã Tràng segera melapor kepada raja. Raja segera mempersiapkan pasukan untuk
menahan serangan.Tentara negara tetangga berhasil dihalau. Sekali lagi Dã Tràng berjasa menyelamatkan
negara.
Pada suatu hari raja mengajak Dã Tràng pergi berlayar. Dã Tràng mendengar suara aneh. Seekor cumi-cumi
berenang di samping perahu sambil menyanyi penuh semangat. Dã Tràng mendengarkan lagu cumi-cumi
yang lucu. Ia pun tertawa terbahak-bahak hingga mutiara di mulutnya melompat ke luar dan tenggelam di
laut.
Dã Tràng segera memberitahu sang raja bahwa mutiaranya yang sangat berharga jatuh di laut. Raja segera
memerintahkan semua orang mencari mutiara itu. Semua tentara dan pelayan yang ada di perahu mencari
mutiara itu, namun tidak menemukannya.
Dã Tràng mengaduk-aduk pasir di pantai, berharap menemukan mutiaranya kembali. Bertahun-tahun ia
mencari tapi tetap tidak menemukan mutiara yang hilang. Akhirnya ia meninggal karena sedih.
Bila kamu pergi ke pantai berpasir, kamu akan melihat kepiting-kepiting kecil di pantai. Hewan-hewan kecil
itu menggali lubang di pasir, berkeliaran dari lubang ke lubang seperti mencari-cari sesuatu yang tidak
pernah ditemukan. Orang-orang Vietnam percaya bahwa kepiting-kepiting itu adalah penjelmaan Dã Tràng
yang masih penasaran karena belum menemukan mutiaranya.
Tongni Dan Saemi – Laos

Dahulu kala, di Laos, hiduplah sepasang kekasih yang saling mencintai. Mereka adalah Tongni dan
Saemi.

Walaupun umur mereka baru enam belas tahun, mereka ingin sekali menikah. Namun demikian,
orangtua Tongni tidak setuju anak laki-lakinya itu menikah dengan Saemi yang berasal dari suku
Hmong.

Berapa kali pun Tongni menyatakan niatnya menikahi Saemi, orangtuanya tetap tidak mengizinkan.
Hati Tongni hancur. la jatuh sakit dan akhirnya meninggal karena patah hati.

Mendengar kematian Tongni, Saemi sangat bersedih. la tidak tahu apakah ia masih bisa hidup tanpa
kekasih sejatinya itu.

Setelah Tongni dikubur, Saemi pergi ke makamnya. la membawa nasi, ayam goreng, dan kue ke
makam Tongni. la berdoa kepada Dewa agar Tongni dihidupkan kembali.

Hari pertama, Saemi memanggil Tongni. Tapi, ia tidak bangun. Hari kedua, Saemi memanggil nama
Tongni. Tapi, Tongni tetap saja tidak bangun. Begitu seterusnya sampai tiba hari ketujuh.

Para Dewa pun merasa kasihan pada Saemi. Akhirnya Tongni hidup kembali pada panggilan ketujuh.
Saemi begitu bahagia kekasihnya telah kembali.

Lalu, mereka berdua pergi ke rumah orangtua Tongni dan memohon agar dinikahkan. Hati orangtua
Tongni yang keras pun akhirnya melunak. Mereka terharu oleh ikatan cinta anaknya dan Saemi.

Pesan Moral: Tongni Dan Saemi adalah Kejarlah cita-cita dan keinginanmu dengan cara yang baik.
Jangan mudah menyerah untuk mendapatkan apa yang karnu inginkan.

Anda mungkin juga menyukai