Anda di halaman 1dari 20

TIDAK DIPERJUALBELIKAN

Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara


Perpustakaan Nasional, 2011

MAMANUA

Oleh
Dr. M.R. DAJOH

Perpustakaan Nasional Balai Pustaka


Republik Indonesia
Penerbit dan Percetakan
PN BALAI PUSTAKA
B P N o . 2402
Hak Pengarang dilindungi Undang-Undang

Cetakan pertama 1969


Cetakan kedua 1974
Cetakan ketiga 1981

Gambar kulit oleh Suranto


Kata Pengantar

Dongeng-dongeng daerah atau cerita-cerita rakyat yang memiliki


ciri-ciri yang khas bisa dijadikan penunjang terbentuknya kebudayaan
Nasional kita.
Cerita Mamanua, karangan Dr. M.R. Dayoh ini merupakan buku
cetak ulang ketiga. Di dalamnya dikisahkan seorang pemburu yang
bernama Mamanua, yang akhirnya kawin dengan seorang bidadari dan
memiliki anak. Karena Mamanua tak menepati janjinya, maka akhirnya
di tinggal pergi d e h sang bidadari, pulang ke kahyangan. Tinggallah
Mamanua sendiri, membesarkan anaknya.
Tema ini mirip sekali dengan cerita rakyat dari Jawa, Jaka Tarub.
Cerita-cerita rakyat yang berasal dari lain daerah, ada juga yang memiliki
tema yang sama. Pergeseran dan saling mempengaruhi dalam dunia
kebudayaan, memang merupakan hal yang wajar.

PN Balai Pustaka
MAMANUA

Dekat sebuah mata air berdiam seorang pemburu dengan beberapa


hamba sahayanya. Besar dan tegap perawakan pemburu itu.
Barangsiapa melihat dia merasa takut dan takluk; itulah kurnia yang
amat besar baginya untuk memerintah makhluk di sekitar tempat
kediamannya itu.
Sekeliling mata air itu ditanaminya berbagai-bagai tanaman yang
diselenggarakan oleh hamba sahayanya dengan teliti. Subur benar
tumbuhnya tanam-tanaman itu, karena gemuk tanahnya.
Sejuk air yang ke luar dari mata air itu, berbuai-buai menyanyikan
kesukaan hidupnya. Dari gunung Kelabat datangnya air itu,
berhubungan dengan danau di gunung yang dinamai Tamporok.
Bertahun-tahun pemburu itu dengan hamba sahayanya mendiami
sekitar mata air, yang dinamai Tumetenden, tak ada yang mengganggu
penghidupan mereka, kedukaan dan kesukaan besar yang berlaku pada
mereka.
Suatu hari berkatalah Mamanua, demikian nama pemburu itu, pada
hamba sahayanya, "Aku hendak ke luar rumah ini, lama aku di sini,
belum melihat tanda-tanda yang membuktikan, bahwa aku ini anak
Dewa yang menguasai sekitar, seantero dunia ini.
Lama sudah aku menyelidiki hal ini, sekarang pastilah padaku,
bahwa kamu saudara-saudaraku juga. Kamu, bukanlah hamba
sahayaku, hanyalah aku ini saudara kamu, yang lebih tua, yang harus

PNRI
memimpin kamu. Sepeninggalku kamu harus tenteram, jangan beriri
hati satu kepada yang lain, usahakan tanah ini, selenggarakan kebun ini
dengan tertib."
Maka pergilah Mamanua. Ia berangkat ke puncak gunung Kelabat
hendak bersembahyang. Lama ia memanggil-manggil nama Empung-i
wuilan (Dewa yang Maha Kuasa). Mengeluhlah ia, katanya, "Empung-i
wuilan, di kaki gunung, di lereng, di puncak, telah ku kunjungi
tempat-tempat yang suci, tapi sejenak pun tak kulihat perawakanMu.
Di manakah Engkau? Bagaimanakah Engkau? Hujan, angin, laut dan
darat, bisu semuanya, jika kutanyai keadaanMu."
Maka berjalanlah ia tanpa tujuan. Berbulan-bulan ia mengeluh,
akhirnya putuslah pengharapannya, lalu pulanglah ia ke tempat kedi-
amannya.
Heran benar ia, jika didengarnya cerita saudara-saudaranya, yang
dahulu diperhambakannya itu.
"Saudara," kata mereka itu. "Sepeninggal saudara, tiap-tiap pagi
datanglah dewi-dewi sembilan banyaknya, mengunjungi tempat kita ini.
Dipetiknya buah-buahan, dimakannya dan sesudah itu mereka mandi di
pancuran; sesudah mandi mereka pulang ke kayangan."
"Bohong!" Kata Mamanua marah, "kamu malas dan kamu makan
sendiri buah-buahan itu."
Dengan sesungguh-sungguhnya, saudara-saudaranya menceritakan
Mamanua itu segala hal ihwal kedatangan sembilan dewi itu. Maka
percayalah Mamanua, tetapi hendak juga ia melihat kedatangan
dewi-dewi itu dengan matanya sendiri.
Di balik gunung Kelabat, matahari terbit samar-samar. Tiba-tiba
gemerlapanlah puncak gunung itu yang diliputi awan bergumpal-
gumpal.
Seasyik-asyiknya matahari memancarkan cahayanya, seasyik-asyiknya
pula mata air Tumetenden berbuai-buai mendendangkan nyanyi restu,
seolah-olah dikirimkan dari Danau Tamporok ke sumber hening bening
itu.
Maka menjadi teramat teranglah cakrawala. Awan tebal-tebal
berlarian, terpencar-pencar diusir sinar yang menyilaukan mata.
Sinar yang maha hebat terangnya itu menurunkan sembilan
bayang-bayang yang putih bersih bagai merpati. Berputar-putar
merpati-merpati itu turun dari awan-awan, serta menerangi pula dengan
limpahan sinar sekitar Tumetenden (di negeri Airmadidi). Kaget dan

PNRI
kagum Mamanua melihat merpati-merpati itu, seluruh badannya
gemetar.
"Empung," katanya dalam hati, "sekarang insyaflah akan kebesaran
dan kekuasaanMu."
Lama Mamanua memandang "merpati-merpati" itu seperti terpaku
sehingga agak tegang badannya. Dilihatnya "merpati-merpati" itu
menjelma menjadi gadis amat cantik. Mereka memakan buah-buahan,
bermain-main di taman Tumetenden, bernyanyi-nyanyi, menari-nari,
sudah itu mereka mandi.
Kagum Mamanua bukan buatan melihat mereka bermain-main
dengan air, yang gerlap gemerlap membasahi badan mereka. Sesudah
puas gadis-gadis itu mandi, dikenakan mereka pula pakaiannya yang
merupakan salju karena putihnya itu, lalu terbanglah mereka me-
nyongsong matahari, raiblah mereka itu.
Dengan hati kesal, karena ditinggalkan dewi-dewi itu, maka pergilah
Mamanua dari tempat duduknya, mendapatkan saudara-saudaranya,
katanya, "Sediakanlah makan-makanan yang lezat di rumah." Dengan
rajinnya mereka menyajikan makan-makanan hingga malam. Semalam-
malaman itu tak dapat Mamanua memejamkan matanya, senantiasa ia
memikir-mikirkan kejadian tadi.
Dalam berpikur-pikir itu, maka terbitlah akal pada Mamanua.
Sebelum fajar menyingsing, pergilah Mamanua menyelenggarakan
pancuran-pancuran di dekat rumahnya itu. Sembilan pancuran di situ,
sebelah-menyebelahnya ditempatkan tonggak untuk menggantungkan
alat-alat pakaian. Tonggak-tonggak itu ditanggalkan dan ditukarinya
dengan satu tonggak amat panjang yang diletakkannya melintang
sehingga alat pakaian semua disangkutkan di tonggak panjang itu
bersama-sama.
Keesokan harinya datanglah pula sembilan dewi di pancuran
Tumetenden. Mamanua tak kagum dan tak kaget lagi, malahan
menjadi amat berani dan penuh akal hendak melakukan tipumuslihat-
nya. Ketika dewi-dewi itu mandi pula dan ditanggalkannya pakaiannya,
serta diletakkannya pakaiannya itu di tonggak panjang, maka dengan
segera ditarik Mamanua tonggak itu hendak merebut pakaian dewi-
dewi itu, pakaian itulah yang memberi kuasa terbang pada mereka.
Melihat tindakan itu maka kaget dan gemparlah dewi-dewi itu,
mereka berteriak-teriak, berusaha merebut pakaiannya kembali.

PNRI
Untunglah dapat juga mereka merebutnya, tapi hanya seorang yang tak
sempat memegang pakaiannya. Itulah yang ditarik Mamanua terus
menerus, dipegangnya dan ... tiba-tiba delapan dewi terbang dan raib
sekali gus, sedang seorang yang tak berpakaian itu, lari ketakutan. Ia
pun diburu Mamanua, lama ia mencarinya, tapi dewi tadi tetap
menghilang. Berbulan-bulan ia mencari, tak juga ia mendapatkan dewi
itu.
Suatu hari ia mendengar anjing-anjing perburuannya berkelahi.
Karena ingin mengetahui pokok perkelahian anjing-anjing itu, pergilah
Mamanua, ke tempat anjing-anjingnya. Dikiranya ada binatang
perburuan yang diperebutkan, tapi seekor pun tak dilihatnya. Mengapa-
kah anjing-anjing itu berkelahi? pikirnya.
Sekonyong-konyong jatuhlah sekerat tulang dari atas, di balik dahan
yang rimbun. Mamanua menoleh ke atas, dan ... hai, orangkah yang
dilihatnya? Mambang? Setan?
Mamanua memandang dengan selidik kepada bayang-bayang itu.
"Hai, manusia, siapakah engkau?" tanya bayang-bayang itu.
"Mamanua!" sahut pemburu itu.
"Aha, kaulah yang merampas pakaianku, tapi aku mengerti
maksudmu. Oleh perampasan pakaianku, aku ini sebenarnya dalam
tanganmu. Rela aku mengikut engkau, tapi haruslah engkau
memulangkan padaku pakaian itu."
"Kalau aku pulangkan, kau akan lari!" kata Mamanua.
"Anak langit, anak matahari, anak Dewi, tak akan mungkir dalam
perjanjiannya. Pergilah, ambillah pakaianku," kata Lumalungdung itu,
demikian nama dewi itu.
"Baiklah!" kata Mamanua, lalu diambilnya pakaian dewi itu dari
rumahnya.
Bertahun-tahun Mamanua hidup berkasih-kasihan dengan Luma-
lungdung. Anak mereka dinamainya Wulan Sendow. Amat senang dan
bersuka ria mereka menyambut kelahiran Wulan Sendow, keturunan
dewi Matahari itu.
Suatu hari berkatalah Lumalungdung, "Mamanua, teramat sayang
engkau akan daku. Senang benar aku di sini, hidup dengan kau. Ibu
Bapakku di Kayangan tak khawatir lagi. Tapi dalam kesenangan kita
ini tersisip suatu kecelakaan, ialah karena kesayanganmu itu tidak ada
batasnya. Ada suatu pesan ipaha penting yang hendak kuamanatkan
kepadamu.

PNRI
Dengarlah! Kepalaku ini sangat keramat, pun sangat lemah juga.
Rambutku yang amat banyak dan subur tumbuhnya ini tak boleh
sehelai, tak boleh selembar pun jatuh atau tercabut. Jika berlaku
demikian, akan jatuh sakit aku. Jadilah perpisahan antara kita. Ingat
baik-baik akan pesan ini, kekasihku! Mengabaikannya berarti
menimbulkan malapetaka kepada kita semua."
Mamanua mengangguk kepalanya mendengar perkataan itu, tetapi
kurang percaya ia akan kebenaran pesan Lumalungdung itu. Sekali
peristiwa, Mamanua dan Lumalungdung bercengkerama mengecap
iklim sejuk Tumetenden, tapi sering-sering Lumalungdung menggaruk
kepalanya, karena terlampau banyak makhluk-makhluk kecil (kutu)
yang dibiarkannya merajalela di rambutnya, sungguhpun demikian
Lumalungdung sendiri tak berani mengeluarkannya, takut kalau-kalau
sehelai rambut jatuh atau tercabut.
Melihat itu teramatlah geli hati Mamanua. Perlahan-lahan ia
mendekati Lumalungdung, dipegangnya rambut istrinya itu, dijepitnya
seekor, ditariknya, dan ... teriak, — tercabutlah rambut selembar, dan
... amboi ... darah ke luar dari akar dan tempat rambut tadi tumbuh,
darah bersimbah, mengalir, memancar, sehingga melumuri, membasahi
badan Lumalungdung.
Sungguhpun demikian tenang dan tenteram jua Lumalungdung.
Hanya amat sedih ia, karena diketahuinya, bahwa saat berpisah dari
Mamanua dan anaknya telah tiba. Berkatalah Lumalungdung,
"Kekasihku Mamanua, ini salahmu sendiri. Telah kupesankan padamu
hal ini. Mengapakah kau abaikan? Sebentar akan datang saudara-sau-
daraku mengambil aku dari dunia ini. Kalau Wulan Sendow, anak bayi
kita itu menangis kehausan atau kelaparan, kau bawa dia ke loteng,
nanti kususui dia."

Perpisahan
Baru Lumalungdung itu berkata, nampaklah balai-balai di
hadapannya, ialah balai-balai yang dikirimkan Dewa-dewa dan
Dewi-dewi pada Lumalungdung untuk dinaikinya, pulang ke kayangan
(ke Sinonsayan atau ke Kasendukan). Maka naiklah Lumalungdung di
balai-balai itu seperti ditarik dari atas atau diterbangkan ke atas.
Mamanua melihat, memandangnya dengan putus asa, lalu ia mengeluh,
"Lumalungdung, kekasihku, pulanglah! Tidakkah kau menaruh belas
kasihan kepadaku? Lumalungdung, ampunilah kesalahanku, marilah,
pulanglah ke mari, tak kubuat-buat lagi kesalahan sedemikian."

PNRI
Tapi wahai, balai-balai terus menerus ke atas, saat demi saat
menyongsong awan, menyongsong sinar matahari, semangkin jauh
semangkin kecil Lumalungdung kelihatan, akhirnya hilanglah ia di
angkasa.
Mamanua menghempaskan dirinya di lantai, menyalahkan dirinya.
Ketika matahari terbenam, menangislah pula Wulan Sendow, meminta
susu. Sedih pedih hati Mamanua mendengar tangis Wulan Sendow itu.
"Wahai, anakku, ibumu telah melupakan engkau. Apa dayaku? Tak
beribu di dunia ini lagi. Salah bapakmu, anak! Kau anak manusia dan
dewi yang menyatukan langit dan bumi, tapi harus pula kau menahan
kepahitan hidup di dunia, ya anakku!"
Maka dicium, didekap Mamanua akan Wulan Sendow itu dengan
kasih mesranya, tapi Wulan Sendow tak terhibur, tak berhenti-henti ia
menangis kehausan dan kelaparan. Teringatlah Mamanua akan pesan
Lumalungdung. Dibawanya Wulan Sendow itu ke loteng, diletakkannya
di situ, lalu turunlah ia ke bawah.
Beberapa saat kemudian kedengaran kecap Wulan Sendow mengisap
susu, tanda dan bukti, bahwa Lumalungdung telah di loteng. Perlahan-
lahan naiklah Mamanua di loteng. Dilihatnya Wulan Sendow mengecap
dan mengisap, tapi Lumalungdung tak nampak padanya. Tak mengapa,
pikir Mamanua, asal Wulan Sendow disusui. Dilihatnya pula Wulan
Sendow tertawa-tawa, itulah tanda, bahwa Lumalungdung bermain-
main dengan anaknya, Wulan Sendow. Dibiarkannya anaknya bermain-
main dengan ibunya, dalam pada itu Mamanua memikir-mikirkan akal
akan memegang Lumalungdung, supaya ia tak pulang-pulang lagi ke
langit.
Keesokan harinya pergilah ia ke loteng dengan Wulan Sendow,
diletakkannya bayi itu di situ, lalu ia menyembunyikan dirinya di balik
sebuah lumbung padi. Aha, dilihatnya sesaat kemudian Lumalungdung.
Perawakannya agak berlainan dari dulu, sudah kurus, tapi masih cantik
dan elok parasnya.
Sekonyong-konyong menyerbulah Mamanua ke Lumalungdung,
hendak menangkapnya, tapi ... yang terpegang hanya Wulan Sendow.
Lumalungdung raib. Mamanua sangat kecewa. Berhari-hari ia
menunggu kedatangan Lumalungdung, tapi dewi itu tak datang-datang
lagi. Wulan Sendow makin kurus badannya, karena tak terpelihara lagi.
Kesedihan Mamanua bertambah-tambah, sehingga acapkali terbit
hasrat jahat padanya terhadap dirinya sendiri.

10

PNRI
Saudara-saudaranya khawatir amat melihat hal Mamanua itu, sering-
sering terpekur, termenung penuh duka. Mereka berusaha menghibur
hati Mamanua, tapi Mamanua tetap termenung, terpekur, sedikit pun
tak memperdulikan perkataan saudara-saudaranya.
Pada suatu pagi, berkatalah Mamanua, "Hai saudara-saudaraku,
sebentar aku berangkat dengan Wulan Sendow meninggalkan kamu.
Sepeninggalku, baik kamu bagi-bagikan tanah pusaka Dewata ini
dengan seadil-adilnya."
Ke langit
Maka pergilah Mamanua dengan Wulan Sendow, menuju hutan
belantara. Sampailah mereka pada sebuah pohon yang amat besar,
kepalanya melambai-lambai digerakkan angin dengan asyiknya. Tegap
dan perkasa pohon itu, merajai sekitar,' memerintah dengan angkuhnya
sekalian tumbuh-tumbuhan yang di dekatnya, Walantakan nama pohon
itu.
Kata Mamanua, "Hai, pohon yang merajai dan memerintah jajahan
ini, sanggupkah engkau membawa aku dengan Wulan Sendow ke
langit?"
"Sanggup," sahut pohon itu dengan megahnya, sambil diangguk-
anggukkannya kepalanya, yang tinggi melampaui seluruh kayu-kayuan.
Maka naiklah Mamanua dan Wulan Sendow pada dahan pohon kayu
itu. Bertumbuhlah pohon itu memanjangkan dirinya sekuat-kuatnya,
setinggi-tingginya, sedapat-dapatnya. Kepalanya makin panjang,
mengulur menyongsong langit dengan tangkasnya sehingga sampailah ia
di pintu kayangan.
Tapi sekonyong-konyong berembuslah angin topan dengan ganasnya,
dan ... krak, krak, tumbanglah pohon kayu itu; patah-patah dahannya,
hancur ujungnya. Oleh keramatnya Wulan Sendow, keturunan Dewi itu,
maka luputlah bapak dan anak dari bahaya maut.
Karena kecewa berkatalah Mamanua kepada pohon kayu yang
hampir mati itu, "Hai Walantakan, oleh megah dan angkuhmu kau
ditumbangkan topan. Mulai hari ini kau terkutuk, tidak sanggup
menepati janjimu.. Badanmu tetap lemah demikian, gampang
ditumbangkan, dipatahkan angin. Angin tetap merajai dan menguasai
engkau. Itulah upah orang megah dan angkuh."
Mamanua meneruskan perjalanannya. Sampailah ia pada sepohon
rotan (Nue) yang merayap menegakkan kepalanya tinggi-tinggi, melam-
paui kayu-kayuan. Kata Mamanua, "Hai rotan, sanggupkah engkau

11

PNRI
membawa Wulan Sendow dengan aku ke langit?" "Sanggup," sahut
rotan itu dengan gesa. Maka naiklah Mamanua dan Wulan Sendow di
punggung rotan itu. Dengan sekuat-kuatnya dan sedapat-dapatnya
rotan itu memanjangkan dirinya.
Alat makanan dan kekuatan, bahkan semua zat yang perlu untuk
dirinya diisap-isapnya dari dunia untuk mencapai maksudnya. Lama
mereka naik, akhirnya sampailah mereka di pintu Kasendukan
(kayangan).
Tiba-tiba bertiuplah angin kencang. Digerak-gerakkannya badan
rotan itu; digoyang-goyangkannya, diguncang-guncangkannya dengan
kerasnya, sehingga jatuhlah seantero perawakan rotan itu tunggang
langgang, tergulung-gulung, tergelimpang, terbujur lintang, menggele-
par-gelepar, menggigil-gigil di muka bumi. Oleh keramatnya Wulan
Sendow, luputlah pula bapak dan anak dari bahaya maut.
Kata Mamanua, "Kutuk Empung, kepala Dewata kayangan,
menimpa engkau, hai Nue, karena hatimu penuh keangkuhan dan
kemegahan. Demikianlah nasib orang seperti engkau. Pun Walantakan
tertimpa nasib demikian. Sejak hari ini tak mungkin engkau menguasai
sekitar ini. Sifatmu merayap dan melengkung-lengkung, berbengkok-
bengkok, tetap demikian, sediakala. Tak lurus jalanmu, tak lurus
badanmu, seperti ular juga sifatmu, tak mungkin dipercaya."
Kemudian Mamanua dengan Wulan Sendow meneruskan perjalanan-
nya mencari Lumalungdung. Sampailah mereka di tepi laut.
Sejauh-jauh mata memandang, laut itu dihiasi sinar matahari terbit.
Berkilau-kilauan muka air dicurahi kurnia sinar Suria dengan logam
yang terang benderang terhampar berlimpah-limpah. Asyik Mamanua
memandang keelokan tamasya laut itu.
Katanya, "Empung-i wuilan, Matahari Terbit, yang penuh kuasa,
insyaf benar-benarlah aku akan kekayaan dan kesaktian yang
ditinggalkan ibu anakku, Lumalungdung." Demikian sembahyang
Mamanua.
Ombak berbisik-bisik, datang bersaf-saf menyembah Mamanua;
sesampai di tepi, pulang pula dengan girangnya, berbuih-buih ia,
memanggil-manggil kawan-kawannya, yang bersaf-saf pula datang
menjelang Mamanua.
Angin bertiup sepoi-sepoi basa; lemah gemulai ombak-ombak kecil
menari-nari, mengirama lagu laut yang senang tenang dan tenteram
menghibiir-hibur hati Mamanua. Menangislah Mamanua hendak
menyebar dan mengeluarkan sedihnya. Laut tak jemu-jemu menghibur-

12

PNRI
hiburnya, matahari terbit yang sejuk sinarnya menerang-nerangi
wajahnya. Tampaklah dari jauh air laut, makin lama makin dekat dan
besar, menggaris lurus menuju ke tempat Mamanua. Mamanua amat
terperanjat, ketika dilihatnya seekor ikan besar melayari laut menjelang
dia, muncul dan maju mendekatinya. Kata Mamanua, "Kau
menyaksikan sudah, hai anak laut akan kesedihanku. Siapakah
engkau? Sanggupkah engkau membawa aku dengan Wulan Sendow ke
kayangan?"
Sahut ikan, "Akan hamba usahakan, tapi menjanjikan kesanggupan
tak layak hamba. Cobalah tuanku naik di punggung hamba." Maka
naiklah Mamanua dan Wulan Sendow di punggung ikan itu. Matahari
terbit menyinari ketiganya dengan asyiknya; air laut tetap memper-
dengarkan lagu restu yang penuh rindu dan hiburan; lagu itu melangit
menyongsong Sinonsayan; menurut pimpinan sinar Matahari terbit.
Tidak lama kemudian sampailah mereka ke pintu Sinonsayan
(kayangan).
"Syukurlah!" kata Mamanua, "berbahagialah engkau, hai Ikan
Layar, demikianlah namamu. Suci sediakala namamu." Maka
pulanglah Ikan Layar itu dengan girangnya.
Syahdan sesampai Mamanua di pintu Sinonsayan, maka ia diserang
oleh seorang penjaga pintu; dilontarkannya lembing berkali-kali ke
Mamanua, tapi oleh keramatnya Wulan Sendow, yang dipakai
Mamanua selaku perisai, maka luputlah Mamanua itu dari bahaya
maut. Maka kata penjaga pintu, "Sekarang aku insyaf akan kesaktian
kamu. Kamu turunan dewi Matahari juga. Kau Mamanua belum
sesakti Wulan Sendow. Anak bayi ini teramat keramat, tapi kau
Mamanua masih menaruh zat-zat keduniaan di sanubarimu. Sebentar
kau dekati Endol) dan engkau akan hangus oleh kepanasan matahari
itu. Selaku penahan diri baik kau bawa dahan pohon Waudie^) ini; kau
celupkan di air dan kalau kau lihat Endo (matahari), kau percikkan air
dari Waudie ini ke kepalanya supaya dingin Dia."
Maka berangkatlah Mamanua dengan Wulan Sendow, sehingga
mereka sampai di jalan yang dilalui Endo. Baru matahari itu ke luar

1) Matahari.
2) Sebangsa Croton, yang ditanam untuk memagari halaman rumah di Minahasa.
Ditanam juga untuk mengadakan batas kebun-kebun; pohon itu dianggap suci dan
yang memotongnya, atau memindahkannya untuk membesarkan bidang kebunnya atau
halamannya, sangat berdosa dan mungkin celaka.

13

PNRI
dari tempatnya, maka dipercikkan oleh Mamanua sedikit air Waudie ke
kepalanya. Mengertilah Endo itu akan maksud Mamanua itu. "Turutlah
kamu akan daku, nanti kubawa kamu ke tempat Lumalungdung."
Berjalanlah mereka; Mamanua di belakang, Wulan Sendow digendong
oleh Endo.
Dari jauh tampaklah istana keluarga Lumalungdung, terang
benderang; bukan buatan besar dan eloknya. Sesampai di situ, di depan
istana itu, pergilah Endo meneruskan perjalanannya meninggalkan
Mamanua dan Wulan Sendow.
Didengar Mamanua suara yang menyatakan suka ria dari mahligai
keluarga Lumalungdung itu. Maka masuklah Mamanua di halaman
istana itu.
Heran benar ia, karena dilihatnya bukan seorang saja, sewajah
Lumalungdung, melainkan sembilan bidadari yang sama rupanya, sama
perawakannya, tidak berbeda-beda. Bingunglah Mamanua. Datanglah
seekor lalat menghampirinya.
"Hai lalat," kata Mamanua, "sembilan bidadari itu siapakah?"
"O, mereka itu dewi-dewi, yang bersenang-senang, bersuka-suka,
karena Lumalungdung baru sembuh dari penyakitnya yang menimpanya
di dunia. Seorang dari sembilan dewi itu, Lumalungdung."
"Di manakah Lumalungdung itu?" tanya Mamanua.
"Kau perhatikan betul-betul," kata Lalat tadi, "aku hinggap di
kepala mereka satu persatu, dan yang berulang-ulang aku hinggapi,
dialah Lumalungdung."
Dengan hati yang berdebar-debar Mamanua melihat-lihat terbangnya
dan hinggapnya lalat itu.
Ketika Mamanua tahu benar-benar dewi dihinggap-hinggapi lalat itu,
maka ia menyerbu meletakkan Wulan Sendow di pangkuan dewi itu.
Hiruk pikuk semua dewi melihat kejadian itu, lalu lari ke biliknya
masing-masing. Sunyi senyaplah sekitar Mamanua. Bingunglah ia
kembali, tak tahu ke mana hendak pergi. Maka datanglah Kawok
(nama tikus), katanya, "Hai orang dunia, mengapa sebingung begini?"
Kata Mamanua, "Aku mencari istriku Lumalungdung dan anakku
Wulan Sendow."
"Turutlah akan daku," kata Kawok, "dan dengarlah baik-baik bunyi
jendela yang kukorek-korek sebentar untuk membukanya."
Tiada lama antaranya kedengaran suara Lumalungdung menegur dari
dalam biliknya, "Hai Kawok, apakah yang kau cari di sini? Jangan
ribut, bayiku Wulan Sendow hendak tidur."

14

PNRI
Dengan segera Mamanua memasuki bilik Lumalungdung; dipeluknya
istrinya itu, lalu ia menangis tersedu-sedu. Kata Lumalungdung,
"Semua akibat ini, oleh salahmu sendiri, Mamanua. Nasehatku kau 1
abaikan."
Mamanua mengakui segala kesalahannya; dan Lumalungdung
menghimpunkan keluarganya untuk memperkenalkan Mamanua, yang
telah insyaf akan tujuan murni dari dewa-dewa dan dewi-dewi.

Catatan: Nama Wulan Sendow, berubah-rubah menurut ucapan tiap-tiap daerah atau
Kecamatan di Minahasa. Ada yang menyebut Wulan Sendow, Wulansendou, Walang
Sendow, selanjutnya ada yang menukar nama Lumalundung, menjadi anak, dan Wulan
Sendow menjadi ibu.

15

PNRI
PNRI

Anda mungkin juga menyukai