“Istriku, kita tak bisa terus tinggal di sini. Kita harus berani merantau jika
ingin mengubah nasib," kata Baitusen pada Mai Lamah. Baitusen dan Mai
Lamah adalah sepasang suami-istri miskin yang tinggal di Natuna, Kepulauan
Riau. Karena bosan hidup miskin, Baitusen ingin merantau, "Selagi muda, kita
harus giat mencari uang," katanya. Pilihan mereka jatuh ke Pulau Bunguran
yang terkenal dengan kekayaan Iautnya. Mereka berharap bisa mengumpulkan
kerang dan ikan untuk dijual.
Tibalah saatnya Mai Lamah melahirkan. Siang itu perutnya terasa mulas
sekali. Baitusan amat cemas. "Aduhh... aduhh... aku tak tahan lagi, Bang.
Panggilkan tabib China di kapal saudagar Apeng yang berlabuh di dermaga,"
teriak Mai Lamah. Malang bagi mereka, kapal Saudagar Apeng pulang lebih
awal dari rencana semula. Baitusen kebingungan. Tiba-tiba ia teringat pada Mak
Semah. "Maaf, Baitusen. Aku tak bisa menolong istrimu. Aku sudah pernah
menawarkan jasaku padanya. Tapi ia malah menghinaku," jawab Mak Semah.
"Bawalah ia ke pulau seberang. Di sana ada bidan yang terkenal. Mungkin
istrimu mau diperiksa olehnya," kata Mak Semah lagi.
Demikianlah akhir cerita Mai Lamah yang sombong itu. Pulau berbadan
dua itu dikenal dengan nama Pulau Sanua yang berarti "satu tubuh berbadan
dua". Masyarakat meyakini bahwa burung layang-layang putih yang banyak
terdapat di Kepulauan Riau itu berasal dari perhiasan emas Mai Lamah.