Empat tempat yang layak diziarahi oleh umat yang penuh keyakinan dan yang
akan mengispirasikan kebangkitan spiritual dalam diri mereka tempat-tempat itu
meliputi :
konon, jika meninggal saat berziarah ke tempat-tempat ini dengan hati yang penuh
bakti, saat tubuhnya hancur setelah mati, akan terlahir kembali di alam bahagia,
bahkan di alam surga
Dalam Dhammacakkappavattana Sutta; Samyutta Nikaya 56.11 {S 5.420}, Guru
Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani) kepada Lima
Bhikkhu Pertama (Panca Vaggiya Bhikkhu), yang di dalamnya terdapat Jalan yang
Menuju Terhentinya Dukkha. Jalan itu disebut dengan Jalan Mulia Berunsur
Di dalam Jalan ini mengandung unsur sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi), dan
dalamnya:
Paa
berikut:
terhadap
c. Hukum Paticca-Samuppda
d. Hukum Kamma
a. makhluk hidup
b. senjata
hidup
Dan terdapat pula lima pencaharian salah yang harus dihindari (Majjima Nikaya.
117), yaitu:
a. Penipuan
b. Ketidak-setiaan
c. Penujuman
d. Kecurangan
Usaha Benar dapat diwujudkan dalam empat bentuk tindakan, yaitu: berusaha
Konsentrasi Benar berarti pemusatan pikiran pada obyek yang tepat sehingga batin
mencapai suatu keadaan yang lebih tinggi dan lebih dalam. Cara ini disebut
yaitu:
- Bebas dari nafsu-nafsu indria dan pikiran jahat, ia memasuki dan berdiam dalam
Jhna pertama, di mana vitakka (penempatan pikiran pada objek) dan vicra
(mempertahankan pikiran pada objek) masih ada, yang disertai dengan kegiuran
Jhna kedua, yang merupakan ketenangan batin, bebas dari vitakka dan vicra,
memiliki kegiuran (piti) dan kesenangan (sukha) yang timbul dari konsentrasi.
dalam Jhna keempat, keadaan yang benar-benar tenang dan penuh kesadaran di
1. Sila-visuddhi - Kesucian Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis
Demikianlah Jalan Utama Berunsur Delapan yang telah dibabarkan oleh Guru
Kelahiran
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM[5] di Taman Lumbini, saat Ratu
Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada saat ia lahir, dua arus kecil
jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut
membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda,
berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang
dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.
1. Orang tua,
2. Orang sakit,
3. Orang mati,
4. Seorang pertapa.
. Orang tua
Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana
dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahmy Dewi. Ibunda Pangeran
Siddharta Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Pangeran.
Setelah meninggal, dia terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur. Sejak
meninggalnya Ratu Mahmy Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu
Mah Pajpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.
Riwayat hidup
Kelahiran
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM[5] di Taman Lumbini, saat Ratu
Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada saat ia lahir, dua arus kecil
jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut
membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda,
berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang
dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.
1. Orang tua,
2. Orang sakit,
3. Orang mati,
4. Seorang pertapa.
Masa kecil
Sejak kecil sudah terlihat bahwa Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan
sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang
masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat
berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:
Masa dewasa
Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan
malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan
menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih
banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya
menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan
dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian,
sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.
Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin untuk berjalan di luar istana, di mana
pada kesempatan yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berarti,
yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha
bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau
semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang
minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu
dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran
Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua
jawaban tersebut.
Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.
Masa pengembaraan
Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua
sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana
dengan mengatakan:
Nasihat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan
untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang
telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa
Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk
susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut
jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama
melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asattha) di Hutan Gaya, sambil
ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang
belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai
aku mencapai Pencerahan Sempurna."
Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Dia putus
asa menghadapi godaan Mara, dewa penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan
yang keras membaja dan dengan keyakinan yang teguh kukuh, akhirnya godaan
Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi
memperlihatkan dirinya di ufuk timur.
Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun
lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga
akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan
mencapai Parinibbana.
Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara,
memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana
(versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar.
Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).
Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang
(karuna). Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan
ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada waktu
Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan
Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak
terbatas, yaitu
Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk
kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan
mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap
mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Buddha akan
memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Buddha menganjurkan
supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar dan mereka akan dibimbing
dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".
Sebagai Buddha, Dia telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan
berbagai cara. Dia telah berusaha untuk meringankan penderitaan banyak
makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakikat dunia, Ia
menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama
mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan
watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Ia tidak saja mengajarkan
melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Dalam mengajar umat
manusia yang mendambakan lenyapnya Dukkha, Dia menggunakan jalan
pembebasan dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.