Anda di halaman 1dari 3

Cerita Rakyat Melayu Riau : Putri Tujuh dan

Legenda Asal Usul Nama Dumai

Cerita Rakyat Melayu Riau Putri Tujuh dan Legenda Asal Usul Nama Dumai

Cerita Rakyat Riau : Putri Tujuh dan Legenda Asal Usul Nama Dumai

Alkisah dahulu kala terdapatlah sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Seri Bunga Tanjung.
Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang ratu yang sangat cantik, pintar dan bijaksana yang
bernama Ratu Cik Sima. Sang ratu memiliki tujuh orang putri yang juga tak kalah cantiknya.
Namun yang paling cantik adalah putri bungsu yang bernama Mayang Sari. Kecantikan Mayang
Sari telah terkenal ke seantero negeri, bahkan penduduk kerajaan tersebut menyebutkan
dengan panggilan Mayang Mengurai.

Itu adalah sebutan untuk seorang gadis yang sangat cantik. Mayang berarti bunga pohon
pinang. Bunga ini sangat elegan, indah, terlihat menawan namun juga kuat. Sedangkan
mengurai diartikan sebagai mekar atau terbuka. Ketika Mayang sedang mengurai sungguh
betapa indah dan elok kelihatannya. Oleh karena itu, bunga pinang itu sangat banyak
manfaatnya dan sering digunakan untuk hiasan-hiasan acara pesta atau pernikahan.

Mayang berarti bunga pohon pinang. Bunga ini sangat elegan, indah, terlihat menawan
namun juga kuat.

Meskipun begitu, ketujuh putri ratu Cik Sima hidup rukun dan tentram di istana kerajaan.

Pada suatu hari, ketujuh putri ratu berjalan-jalan menikmati udara di luar istana kerajaan. Setelah
seharian melihat pemandangan alam yang indah, ketujuh putri ratu sampailah di sebuah danau
yang terkenal dengan nama Lubuk Sarang Umai. Air danau yang jernih dan segar sungguh
sayang untuk tidak dinikmati, begitulah pikiran mereka kala itu.

Tak membuang waktu, mereka pun menceburkan diri ke danau, mandi dan bermain air dengan
riang. Ketika sedang asyik bermain air, tanpa mereka sadari seorang pangeran dan
pengawalnya dari kerajaan tetangga melewati tempat tersebut. Pangeran pun diam-diam
menyaksika ketujuh putri yang sedang bercengkrama dan bercanda dengan senangnya.

angeran yang ternyata berasal dari kerajaan Empang Kuala itu sangat terpesona melihat
kecantikan ketujuh putri Ratu Cik Sima. Namun kecantikan Mayang Sari atau Mayang Mengurai,
si putri bungsu telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Tanpa sadar sang pangeran berucap, “Siapa gadis cantik di lubuk umai itu? Ia telah membuatku
jatuh hati. Ya! Gadis cantik di Umai. Cantik d’Umai!” Kata-kata tersebut terus diulangnya berkali-
kali. Sehingga kata di Umai terdengar seperti Dumai. Konon karena itulah kemudian daerah
tempat ketujuh putri tersebut mandi dinamakan dengan Dumai, hingga saat ini menjadi Kota
Dumai.

Kemudian seorang pengawal pangeran berbisik bahwa mereka adalah Putri-Putri Ratu Cik Sima
dan Kerajaan Seri Bunga Tanjung. “Namun menurut penduduk di sini, yang paling cantik adalah
Mayang Mengurai, putri paling bungsu,” bisik seorang pangawal pangeran.

Setelah mengalami peristiwa tersebut, pangeran tidak dapat menghilangkan bayangan Putri
Mayang Mengurai dari pikirannya. Pangeran pun kemudian mengutus pengawalnya untuk
melamar putri bungsu ratu Cik Sima tersebut.

Berangkatlah pengawal pangeran ke kerajan Seri Bunga Tanjung membawa tepak sirih dengan
tujuh buah combol berbagai ukuran sebagai tanda kebesaran kerajaan Empang Kuala. Tepak
sirih adalah tempat khusus untuk meletakkan sirih sesuai dengan adat melayu. Terdiri dari
berbagai bentuk dan ukuran, ada yang bulat, persegi empat atau belah ketupat. Biasanya
terbuat dari kayu atau tembaga. Sedangkan Combol adalah seperangkat peralatan makan sirih
yang terdapat di dalam tepak sirih. Combol umumnya berbentuk bulat dengan berbagai ukuran,
mulai dari yang besar, sedang hingga kecil. Di dalam combol inilah biasanya diletakkan pinang,
gambir, kapur, tembakau dan aneka perlengkapan lainnya untuk memakan sirih.

Tidak lama kemudian sampailah pengawal pangeran di Istana Ratu Cik Sima. Sang ratupun
menyambut utusan pangeran dengan senang hati dan tangan terbuka.
Sebagai seorang ratu yang sangat menjunjung adat istiadat yang berlaku di Kerajaan Seri
Bunga Tanjung, ratupun mengisi combol yang terdapat di tepak sirih utusan kerajaan Empang
Kuala dengan pinang dan gambir. Ratu Cik Sima meletakkan pinang dan gambir di combol yang
paling besar. Sementara keenam combol lainnya dibiarkan kosong. Itu artinya Ratu Cik Sima
telah menjawab pinangan sang pangeran Empang Kuala, bahwa putri tertualah yang berhak
mendapatkan pinangan terlebih dahulu. Sekalipun Ratu Cik Sima tahu bahwa pangeran
menginginkan putri bungsunya.

Kemudian utusan pangeran Empang Kuala kembali ke kerajaan menyampaikan hasil pinangan
tersebut kepada sang pangeran. Ketika melihat sendiri bahwa combol paling besarlah yang diisi
pinang dan gambir, sementara yang lainny dibiarkan kosong, mengertilah pangeran bahwa
lamarannya terhadap Putri Mayang Sari ditolak oleh sang ratu. Pangeran yang tidak dapat
menerima penolakan tersebut sangat marah dan merasa malu. Hingga tak peduli akan adat
istiadat yang berlaku pada waktu itu, ia mencanangkan perang terhadap kerajaan Seri Bunga
Tanjung.

Selang beberapa hari terjadilah pertumpahan darah dari kedua kerajaan yang berada di pinggi
Selat Melaka tersebut. Ketidakseimbangan kekuatan menyebabkan Kerajaan Seri Bunga
Tanjung terpukul mundur. Banyak rakyat yang tewas dari kerajaan tersebut. Namun perang tidak
menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Demi menyelamatkan ketujuh putrinya, Ratu Cik Sima melarikan mereka ke dalam sebuah
hutan. Di sana ratu menyembunyikan ketujuh putrinya di sebuah lubang yang tertutup dengan
pepohonan. Untuk memenuhi kebutuhan ketujuh putri yang dicintainya, Ratu Cik Sima
melengkapi mereka dengan perbekalan makanan untuk tiga bulan.
Selajutnya Ratu Cik Sima kembali kekerajaan Seri Bunga Tanjung. Ratu sangat miris melihat
kondisi kerajaannya yang luluh lantak tidak berdaya. Kala itu juga, Ratu segera menemui jin
pertapa di bukit hulu sungai Umai untuk meminta bantuannya menghadapi serangan Kerajaan
Empang Kuala.

Bukit tempat Ratu Cik Sima meminta bantuan jin tersebut kemudian diberi nama Bukit Jin. Saat
ini Bukit Jin menjadi nama daerah tersendiri di Dumai.

Hingga suatu sore, peperangan telah memasuki bulan keempat. Para prajurit Kerajaan Empang
Kuala sedang beristirahat di hilir sungai Umai usai berperang. Mereka membuat tempat
peristirahatan di bawah pohon bakau yang berbuah lebat. Menjelang tengah malam, suasana
yang tadinya tenang mendadak menjadi sangat riuh dan penuh dengan jerit kesakitan. Pasukan
Kerajaan Empang Kuala secara tiba-tiba diserang oleh ribuan buah bakau yang menusuk tajam
ke badan para prajurit. Tak sampai separuh malam kerajaan Empang Kuala telah dapat
dilumpuhkan.

Di tengah suasana yang tidak berdaya tersebut, pasukan Kerajaan Empang Kuala didatangi oleh
utusan Ratu Cik Sima. “Wahai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ke sini?”
tanya pangeran Empang Kuala dengan meringis. Menahan sakit.

“Kedatangan kami untuk menyampaikan pesan dari Ratu Cik Sima agar pangeran menghentikan
peperangan ini. Sebab perbuatan pangeran telah merusak ketentraman pesisir Seri Bunga
Tanjung,” utusan Ratu Cik Sima menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Pangeran yang kesakitan tidak bergeming menanggapi maksud kedatangan utusan ratu Cik
Sima. Takut pangeran tidak ingin menuruti permintaan ratunya, utusan kerajaan Seri Bunga
Tanjung kembali bicara.

“Peperangan ini telah menyakiti Bumi Sakti Rantau Bertuah kita. Dan, sudah menjadi rahasia
kita bersama, bahwa bagi siapa yang datang ke negeri Seri Bunga Tanjung dengan niat buruk
akan mendapatkan malapetaka. Sebaliknya, yang datang dengan niat baik akan sejahteralah
hidupnya.”

Mendengar itu, sadarlah pangeran bahwa peperangan tersebut bermula dari ambisi dan
keegoisannya. Kemarahanlah yang menimbulkan niat buruk pangeran untuk menghancurkan
Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pangeran pun kemudian memerintahkan pasukannya untuk
kembali ke Kerajaan Empang Kuala dan menyatakan Ratu Cik Sima sebagai pemenang perang.

Keesokan harinya Ratu Cik Sima bergegas menuju hutan tempat persembunyian ketujuh
putrinya. Namun alangkah kecewa dan sedihnya hati Ratu Cik Sima karena ketujuh putrinya
ditemukan sudah tidak bernyawa. Ketujuh putri tersebut meninggal karena kelaparan dan
kehausan. Bekal yang ditinggalkan untuk ketujuh putri tersebut hanya cukup untuk tiga bulan
sementara perang berlangsung selama empat bulan. Akhirnya, karena terlalu sedih akan
kehilangan ketujuh putrinya, Ratu Cik Sima jatuh sakit kemudian meninggal dunia.

Tempat terkuburnya ketujuh putri ratu Cik Sima kemudian menjadi lokasi kilang minyak milik
Pertamina, yang sekarang terkenal dengan nama Puteri Tujuh.

Anda mungkin juga menyukai