Anda di halaman 1dari 22

Kisah Nyapu dan Moret Yang

Cerdas

Alkisah, di daerah Kalimantan Timur, terdapat sebuah sungai yang bermuara di Sungai
Kahayan. Muara sungai itu bernama muara Sungai Sian. Di muara sungai itu terdapat
sebuah kampung yang makmur, tenteram, dan damai. Penduduknya senantiasa hidup
rukun dan saling membantu satu sama lain. Di tengah-tengah kedamaian itu, tiba-tiba
mereka diserang oleh kawanan perampok dengan persenjataan lengkap. Mereka
memporak-porandakan seluruh isi kampung. Rumah-rumah penduduk hancur
berantakan. Tangga dan tiang penyangga berserakan di mana-mana.

Melihat keberingasan perampok tersebut, penduduk kampung tidak tinggal diam. Para
kaum laki-laki, baik muda maupun tua, berusaha untuk melakukan perlawanan.
Pertempuran sengit pun tak terhindarkan lagi. Alhasil, mereka dapat menghalau
perampok tersebut, meskipun banyak warga yang harus menjadi korban. Setelah
musuh itu pergi, mereka segera menguburkan warga yang tewas dan membersihkan
serpihan-serpihan rumah yang masih berserakan.

Malam harinya, seluruh penduduk berkumpul di balai basara (rumah khusus untuk
rapat) untuk mencari jalan keluar agar kampung mereka terhindar dari serangan
perampok. Saat musyawarah itu dimulai, seorang warga yang bernama Nyapu langsung
angkat bicara.
“Maaf, para hadirin! Kalau saya boleh mengusulkan, bagaimana kalau kita tinggalkan
saja kampung ini. Kita cari tempat lain untuk mendirikan kampung yang baru, sehingga
kita bisa hidup aman dan tenteram. Kita tidak akan mungkin bertahan lama di kampung
ini. Mereka pasti akan kembali lagi menyerang kita dengan jumlah besar, sedangankan
jumlah kita semakin berkurang,” usul Nyapu memulai pembicaraan.

Namun, tak seorang pun warga yang mendukung usulannya, kecuali istrinya. Para warga
lebih memilih untuk bertahan di kampung itu. Mereka bersepakat untuk mengadakan
upacara agar roh-roh halus melindungi kampung mereka dari gangguan kawanan
perampok. Mereka juga bersepakat untuk bergotong-royong membuat benteng
pertahanan yang kokoh dan menyiapkan persenjataan lengkap. Siang dan malam, para
kaum laki-laki berkeliling kampung untuk berjaga-jaga secara bergiliran, sedangkan
kaum perempuan sibuk menyiapkan makanan.

Pada suatu malam, ketika sedang menyiapkan makan malam, kaum perempuan melihat
beberapa jukung (kapal) datang dari hilir sungai menuju ke kampung mereka.
Mengetahui bahwa jukung-jukung tersebut berisi kawanan perampok,mereka pun panik
dan berlarian sambil berteriak.

Baca Juga:

 Legenda Gunung Wurung


 Asal Mula Nama Simalungun
 Legenda Asal Mula Prasasti Munjul
 Kisah Si Bungsu Tujuh Bersaudara

“Perampok …! Perampok … ! Perampok datang… !!!

Mendengar teriakan itu, para kaum laki-laki yang sedang berjaga-jaga segera
membangunkan warga lainnya yang sedang beristirahat untuk menghadang kawanan
perampok tersebut. Pertempuran sengit pun kembali terjadi. Pertempuran antara kedua
belah pihak berlangsung cukup lama. Namun, lagi-lagi pertempuran itu dimenangkan
oleh penduduk. Pertempuran tersebut kembali menyisahkan kepedihan bagi sebagian
penduduk. Banyak kaum ibu-ibu yang menangis histeris, karena suami mereka tewas
dalam pertempuran tersebut.

Melihat kondisi kampung yang rusak parah dan banyaknya warga yang menjadi korban,
Nyapu kembali mengajak seluruh penduduk kampung untuk meninggalkan kampung itu.
Namun, para warga tetap saja menolak ajakan Nyapu. Akhirnya, Nyapu dan istrinya
memutuskan untuk meninggalkan kampung itu.
“Baiklah! Jika tidak ada yang berniat meninggalkan kampun ini, izinkanlah saya dan istri
saya pergi. Kami akan pergi ke hulu sungai dan membuka ladang di sana,” ungkap
Nyapu.
Keesokan harinya, Nyapu dan istrinya berpamitan kepada seluruh penduduk. Ketika
mereka akan berangkat, para tali atau palu (janda) yang berjumlah empat puluh orang
menyatakan ingin ikut. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, rombongan itu pun
berangkat dengan menggunakan jukung menyusuri Sungai Kahayan. Setelah berhari-
hari menentang arus, sampailah mereka di muara Sungai Miri. Mereka kemudian
menyusuri Sungai Miri menuju arah hulu hingga menemukan muara Sungai Napoi.
Kemudian mereka berbelok menyusuri Sungai Napoi hingga ke hulu. Akhirnya, mereka
tiba di sebuah sungai yang belum pernah mereka datangi. Mereka pun menamakan
sungai itu Sungai Bolo. Air sungai itu sangat jernih. Pemandangan di sekitarnya pun
sangat indah dan hawanya sangat sejuk. Pepohonan tumbuh subur di pinggir sungai.

“Wah, tempat ini indah sekali. Tanahnya subur dan banyak sungai-sungai kecil yang
mengalir di sini. Jika kita tinggal di sini, tentu kita tidak akan kekurangan air,” ucap istri
Nyapu.

“Kamu benar, Istriku! Sebaiknya kita membuka perkampungan baru di sekitar sungai
ini,” kata Nyapu.

Akhirnya, Nyapu bersama rombongannya memutuskan untuk tinggal di daerah itu dan
segera membangun rumah. Dalam waktu sepekan, mereka berhasil mendirikan sebuah
perkampungan. Nyapu pun diangkat menjadi kepala kampung. Mereka menamai
kampung itu Kampung Nyapu.

Setelah itu, Nyapu bersama warganya membuka ladang. Mereka menanami ladang itu
dengan tanaman padi. Mereka sangat tekun dan rajin merawat tanaman mereka,
sehingga ketika musim panen tiba, lumbung-lumbung padi mereka penuh dengan padi.
Nyapu dan warganya pun hidup bahagia.

Kebahagiaan Nyapu pun semakin bertambah ketika istrinya melahirkan seorang anak
perempuan yang cantik jelita. Bayi itu mereka beri nama Moret. Nyapu dan istrinya
merawat dan mendidik Moret dengan penuh kasih sayang. Sejak Moret berusia lima
tahun, Nyapu sering mengajaknya ke ladang untuk memperkenalkan kepadanya tentang
kehidupan alam di sekitarnya. Tak heran jika Moret tumbuh menjadi anak yang cerdas
dan memiliki watak kasih sayang kepada sesama. Moret pun sangat senang tinggal di
kampung itu, karena seluruh warga sayang kepadanya.
Sementara itu di tempat lain, penduduk kampung di muara Sungai Sian kembali
diserang oleh kawanan perampok. Karena tidak mampu lagi bertahan di kampung itu,
akhirnya mereka pun berbondong-bondong menuju ke Kampung Nyapu. Mereka
membangun rumah dan membuka ladang sebagaimana penduduk lainnya. Lama-
kelamaan, Kampung Nyapu semakin ramai.

Seiring dengan berjalannya waktu, Moret pun tumbuh menjadi seorang gadis yang
cantik jelita. Kecantikannya mengundang decak kagum setiap pemuda yang melihatnya
dan mereka pun berharap dapat mempersuntingnya.

Moret adalah gadis yang cerdas. Ia tidak ingin gegabah dalam memilih jodoh. Ia ingin
mendapatkan suami yang dapat mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, dan
ketenteraman bagi seluruh penduduk Kampung Nyapu. Untuk itu, ia mengajukan syarat
kepada setiap pemuda yang datang melamarnya agar mengisi lumbung terbesar yang
ada di Kampung Nyapu dengan biji buah-buahan dalam waktu sehari. Biji-biji tersebut
akan ditanam di ladang-ladang milik penduduk seusai pesta pernikahannya.

Sudah banyak pemuda kampung yang datang melamarnya, namun tak satu pun yang
mampu untuk memenuhi syaratnnya. Moret menyadari bahwa syarat yang diajukannya
itu cukup berat. Namun, ia merasa yakin bahwa suatu hari kelak pasti ada pemuda yang
sanggup untuk memenuhinya. Ternyata keyakinannya benar. Beberapa hari kemudian,
datanglah seorang pemuda tampan dari kampung lain yang bernama Karang hendak
melamarnya. Selain tampan, Karang juga memiliki kesaktian yang tinggi. Berbekal
kesaktiannya, ia pun menyanggupi syarat yang diajukan Moret. Namun, Moret tidak mau
menerima lamaran itu sebelum syaratnya diwujudkan oleh si Karang.

“Maaf, Tuan! Lamaran Tuan baru saya akan terima jika Tuan telah memenuhi lumbung
padi yang paling besar di kampung ini dengan biji buah-buahan,” kata Moret.

“Baiklah, jika itu yang Putri inginkan. Izinkanlah saya untuk mohon diri untuk segera
mewujudkan syarat Putri,” kata Karang.

Setelah berpamitan, berangkatlah si Karang ke hutan. Dengan kesaktiannya, ia berhasil


mengumpulkan banyak sekali biji buah-buahan hingga memenuhi lumbung padi terbesar
di Kampung Nyapu. Karena syaratnya terpenuhi, Moret pun menerima lamaran Karang.
Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan mereka dilangsungkan dengan sangat
meriah. Berbagai pertunjukan seni dan tari dipertontonkan. Undangan yang hadir datang
dari berbagai penjuru.
Dalam pesta tersebut, ayah Moret (Nyapu) meminta tolong kepada seluruh undangan
untuk menanam seluruh biji buah-buahan yang telah dikumpulkan Karang. Usai pesta,
seluruh undangan yang hadir bergotong-royong menanam biji buah-buahan tersebut di
ladang Nyapu dan di ladang milik warga Kampung Nyapu lainnya. Dalam waktu
setengah hari, seluruh biji buah-buahan tersebut berhasil ditanam. Betapa senang hati
Moret karena keinginannya dapat terwujud. Ia pun hidup berbahagia bersama suaminya.

Beberapa tahun kemudian, kebahagiaan Moret semakin bertambah. Selain karena


dikaruniai dua orang putra-putri yang tampan dan cantik, juga karena seluruh biji buah-
buahan yang ditanam di ladang telah berbuah lebat. Hasilnya pun dapat dinikmati oleh
seluruh warga hingga ke anak cucu mereka.

***
Demikian cerita Nyapu dan Moret dari daerah Kalimantan Timur, Indonesia. Cerita di
atas termasuk kategori dongeng yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh utama dalam cerita di atas
adalah Nyapu dan Moret. Pelajaran yang dapat diambil dari tokoh Nyapu adalah bahwa
ia seorang laki-laki yang memiliki wawasan luas dan pandangan jauh ke depan. Hal ini
terlihat ketika ia mengajak para penduduk untuk mengungsi ke tempat lain setelah
kampung mereka diporak-porandakan oleh kawanan perampok dan banyak warga yang
menjadi korban. Dengan mengungsi, ia berharap kehidupan mereka akan lebih baik dan
aman dari gangguan perampok. Alhasil, mereka pun dapat mendirikan sebuah
perkampungan dan berladang secara aman, sehingga mereka hidup tenteram dan
sejahtera.

Hal tersebut di atas juga ditunjukkan oleh sikap Moret. Ia adalah seorang gadis yang
cerdas dan memiliki pandangan jauh ke depan. Ia memilih jodoh yang dapat
mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, dan ketenteraman bagi seluruh penduduk
Kampung Nyapu. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa orang yang memiliki
pandangan jauh ke depan memiliki rasa tanggung jawab terhadap anak cucu (generasi
mendatang). Tindakan yang dilakukan oleh Moret tidak semata-mata untuk kepentingan
pribadi, tapi juga untuk kepentingan seluruh masyarakat. Tidak hanya untuk kehidupan
masa kini, tapi juga untuk kehidupan anak cucunya di masa yang akan mendatang.
Legenda Jaka Seger dan
Rara Anteng

Jaka Seger dan Rara Anteng adalah sebuah legenda yang beredar
di kalangan masyarakat Jawa Timur, Indonesia. Legenda yang
mengisahkan tentang percintaan antara Jaka Seger dan Rara
Anteng ini menerangkan tentang asal-usul Gunung Brahma
(Bromo) dan Gunung Batok, serta asal-usul nama suku Tengger,
yaitu sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo. Bagi
suku Tengger, Gunung Bromo merupakan gunung yang suci.
Itulah sebabnya, setiap setahun sekali, yaitu setiap bulan
Purnama pada bulan ke-10 tahun Saka, mereka melaksanakan
upacara yang dikenal dengan Yadnya Kasada. Konon, keberadaan
upacara tersebut juga diyakini berasal dari cerita Jaka Seger dan
Rara Anteng ini. Berikut kisahnya.

***

Alkisah, di sebuah rumah sederhana di lereng Gunung Bromo,


seorang laki-laki setengah baya sedang duduk menunggu istrinya
yang akan melahirkan anak kedua mereka. Laki-laki itu adalah
Raja Majapahit yang meninggalkan negerinya dan membuat
sebuah dusun di lereng Gunung Bromo bersama beberapa orang
pengikutnya karena kalah berperang melawan putranya sendiri.
Wajah laki-laki itu tampak begitu pucat dan hatinya diselimuti
perasaan cemas melihat istrinya terus merintih menahan rasa
sakit.

Saat tengah malam, buah hati yang mereka nanti-nantikan pun


lahir ke dunia. Namun anehnya, bayi yang berjenis kelamin
perempuan itu tidak menangis seperti halnya bayi-bayi pada
umumnya.

“Dinda! Bayi kita seorang perempuan,” kata mantan Raja


Majapahit itu.

Baca Juga:

 Kisah Kebo Iwa dan Patih Gajah Mada


 Legenda Asal Usul Ikan Patin
 Kisah Jaka Budug dan Putri Kemuning
 Legenda Asal Mula Nama Kota Bandung
“Tapi Kanda, kenapa Dinda tidak mendengar suara tangis putri
kita?” tanya permaisurinya yang masih terbaring lemas.

“Jangan khawatir, Dinda! Putri kita lahir dengan normal dan


sehat. Lihatlah, wajah putri kita tampak bersinar! Dia bagaikan
seorang titisan dewa,” ujar mantan Raja Majapahit itu sambil
menimang-nimang bayinya yang mungil di depan istrinya.

Pasangan suami-istri itu tampak begitu bahagia mendapat anak.


Mereka pun memberi nama bayi itu Rara Anteng, yang berarti
seorang perempuan yang diam atau tenang.

Pada saat yang hampir bersamaan, di tempat lain yang tidak jauh
dari rumah Anteng dilahirkan, juga lahir seorang bayi laki-laki
dari pasangan suami-istri pendeta. Suara tangis bayi yang baru
lahir itu sangat keras sehingga memecah kesunyian malam di
lereng Gunung Bromo itu. Bayi itu tampak sehat dan montok.
Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Jaka Seger, yang
berarti seorang laki-laki yang berbadan segar.

Waktu terus berlalu. Kedua bayi itu pun tumbuh menjadi dewasa.
Jaka Seger tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan,
sedangkan Rara Anteng tumbuh menjadi gadis yang cantik nan
rupawan. Berita tentang kecantikan Rara Anteng pun tersebar
hingga ke mana-mana dan menjadi pujaan setiap pemuda. Sudah
banyak pemuda yang datang meminangnya, namun tak satu pun
yang diterimanya. Rupanya, putri mantan Raja Majapahit itu
telah menjalin hubungan kasih dengan Jaka Seger dan cintanya
tidak akan berpaling kepada orang lain.
Pada suatu hari, kabar tentang kencantikan Rara Anteng juga
sampai ke telinga sesosok raksasa yang tinggal di hutan di
sekitar lereng Gunung Bromo. Raksasa yang menyerupai badak
itu bernama Kyai Bima. Ia sangat sakti dan kejam. Begitu
mendengar kabar tersebut, Kyai Bima pun segera datang
meminang Rara Anteng. Jika keinginannya tidak dituruti, maka ia
akan membinasakan dusun itu dan seluruh isinya. Hal itulah yang
membuat Rara Anteng dan keluarganya kebingungan untuk
menolak pinangannya. Sementara Jaka Seger pun tidak dapat
berbuat apa-apa karena tidak mampu menandingi kesaktian
raksasa itu.

Setelah sejenak berpikir keras, akhirnya Rara Anteng


menemukan sebuah cara untuk menolak pinangan Kyai Bima
secara halus. Dia akan mengajukan satu persyaratan yang kira-
kira tidak sanggup dipenuhi oleh raksasa itu.

“Baiklah, Kyai Bima! Aku akan menerima pinanganmu, tapi kamu


harus memenuhi satu syarat,” ujar Rara Anteng.

“Apakah syarat itu! Cepat katakan!” seru Kyai Bima dengan nada
membentak.

Mendengar seruan itu, Rara Anteng menjadi gugup. Namun, ia


berusaha tetap bersikap tenang untuk menghilangkan rasa
gugupnya.

“Buatkan aku danau di atas Gunung Bromo itu! Jika kamu


sanggup menyelesaikannya dalam waktu semalam, aku akan
menerima pinanganmu,” ujar Rara Anteng.
Dengan penuh percaya diri dan kesaktian yang dimilikinya, Kyai
Bima menyanggupi persyaratan itu dan menganggap bahwa
persyaratan itu sangatlah mudah baginya.

“Hanya itukah permintaanmu, wahai Rara Anteng?” tanya


raksasa itu dengan nada angkuh.

“Iya, hanya itu. Tapi ingat, danau itu harus selesai sebelum ayam
berkokok!” seru Rara Anteng mengingatkan raksasa itu.

Mendengar jawaban Rara Anteng, raksasa itu tertawa terbahak-


bahak, lalu bergegas pergi ke puncak Gunung Bromo. Setibanya
di sana, ia pun mulai mengeruk tanah dengan
menggunakan batok (tempurung) kelapa yang sangat besar.
Hanya beberapa kali kerukan, ia telah berhasil membuat lubang
besar. Ia terus mengeruk tanah di atas gunung itu tanpa
mengenal lelah.

Rara Anteng pun mulai cemas. Ketika hari menjelang pagi,


pembuatan danau itu hampir selesai, tinggal beberapa kali
kerukan lagi.

“Aduh, mampuslah aku!” ucap Rara Anteng cemas, “raksasa itu


benar-benar sakti. Apa yang harus kulakukan untuk
menghentikan pekerjaannya?”

Rara Anteng kembali berpikir keras. Akhirnya ia memutuskan


untuk membangunkan seluruh keluarga dan tetangganya. Kaum
laki-laki diperintahkan untuk membakar jerami, sedangkan kaum
perempuan diperintahkan untuk menumbuk padi. Tak berapa
lama kemudian, cahaya kemerah-merahan pun mulai tampak dari
arah timur. Suara lesung terdengar bertalu-talu, dan kemudian
disusul suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.

Mengetahui tanda-tanda datangnya waktu pagi tersebut, Kyai


Bima tersentak kaget dan segera menghentikan pekerjaannya
membuat danau yang sudah hampir selesai itu.

“Sial!” seru raksasa itu dengan kesal, “rupanya sudah pagi. Aku
gagal mempersunting Rara Anteng.”

Sebelum Kyai Bima meninggalkan puncak Gunung Bromo,


tempurung kelapa yang masih dipegangnya segera dilemparkan.
Konon, tempurung kelapa itu jatuh tertelungkup dan kemudian
menjelma menjadi sebuah gunung yang dinamakan Gunung
Batok. Jalan yang dilalui raksasa itu menjadi sebuah sungai dan
hingga kini masih terlihat di hutan pasir Gunung Batok.
Sementara danau yang belum selesai dibuatnya itu menjelma
menjadi sebuah kawah yang juga masih dapat disaksikan di
kawasan Gunung Bromo.

Betapa senangnya hati Rara Anteng dan keluarganya melihat


raksasa itu pergi. Tak berapa lama kemudian, Rara Anteng pun
menikah dengan Jaka Seger. Setelah itu, Jaka Seger dan Rara
Anteng membuka desa baru yang diberi nama Tengger. Nama
desa itu diambil dari gabungan akhiran nama Anteng (Teng) dan
Seger (Ger). Mereka pun hidup berbahagia.
Setelah bertahun-tahun mereka hidup menikmati manisnya
perkawinan dan kehidupan berumah tangga, tiba-tiba muncul
keresahan di hati mereka.

“Dinda, sudah bertahun-tahun kita menikah, namun belum juga


dikaruniai anak. Padahal kita sudah mencoba berbagai jenis
obat,” keluh Jaka Seger kepada istrinya.

“Sabarlah, Kanda! Sebaiknya jangan terlalu cepat berputus asa.


Kita serahkan saja semua kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” bujuk
Rara Anteng.

Baru saja istrinya selesai berucap, tiba-tiba Jaka Seger


mengucapkan ikrar, “Jika Tuhan mengaruniai kita 25 anak, aku
berjanji akan mempersembahkan seorang di antara mereka
untuk sesajen di kawah Gunung Bromo.”

Begitu Jaka Seger selesai mengucapkan ikrar itu, tiba-tiba api


muncul dari dalam tanah di kawah Gunung Bromo. Hal itu
sebagai pertanda bahwa doa Jaka Seger didengar oleh Tuhan
Yang Mahakuasa. Tak berapa lama kemudian, Rara Anteng pun
diketahui sedang mengandung. Alangkah bahagianya hati Jaka
Seger mendengar kabar baik itu. Sembilan bulan kemudian, buah
hati yang telah lama mereka nanti-nantikan pun lahir ke dunia.
Kebahagiannya pun semakin sempurna ketika mengetahui bahwa
istrinya melahirkan anak kembar. Setahun kemudian, Rara
Anteng melahirkan lagi anak kembar. Begitulah seterusnya,
setiap tahun Rara Anteng melahirkan anak kembar, ada kembar
dua dan ada pula kembar tiga, hingga akhirnya anak mereka
berjumlah dua puluh lima orang.
“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa hamba!”
ucap Jaka Seger.

Jaka Seger bersama istrinya merawat dan membesarkan kedua


puluh lima anak tersebut hingga tumbuh menjadi dewasa. Jaka
Seger sangat menyayangi semua anaknya, terutama putra
bungsunya yang bernama Dewa Kusuma. Karena terlena dalam
kebahagiaan, ia lupa janjinya kepada Tuhan. Suatu malam,
Tuhan pun menegurnya melalui mimpi.

“Mana janjimu, wahai Jaka Seger! Serahkanlah salah seorang


putramu ke kawah Gunung Bromo!” seru suara itu dalam mimpi
Jaka Seger.

Jaka Seger langsung tersentak kaget saat tersadar dari


mimpinya.

“Ya, Tuhan! Aku telah lupa pada janjiku,” ucap Jaka Seger,
“Aduh, bagaimana ini? Siapa di antara putra-putriku yang harus
kupersembahkan, padahal aku sangat menyayangi mereka
semua?”

Akhirnya, Jaka Seger bersama istrinya mengumpulkan seluruh


putra-putrinya dalam sebuah pertemuan keluarga. Jaka Seger
kemudian menceritakan perihal nazarnya itu kepada mereka.
Wajah mereka pun serempak berubah menjadi pucat pasi.
Apalagi ketika dimintai kesediaan salah seorang dari mereka
untuk dijadikan persembahan.
“Ampun, Ayah! Ananda tidak mau menjadi persembahan di
kawah itu. Ananda tidak mau mati muda,” sahut anak sulungnya
keberatan.

“Dengarlah, wahai putra-putriku! Jika Ayahanda tidak


menunaikan nazar ini, maka desa ini dan seluruh isinya akan
binasa,” jelas Jaka Seger.

Dengan sigap, Dewa Kusuma langsung menanggapi penjelasan


ayahandanya.

“Ampun, Ayah! Jika itu memang sudah menjadi nazar Ayah,


Ananda bersedia untuk dijadikan persembahan di kawah Gunung
Bromo,” kata Dewa Kusuma.

Jaka Seger tersentak kaget. Ia tidak pernah mengira sebelumnya


jika putra bungsunyalah yang mempunyai keberanian dan
kerelaan untuk dijadikan persembahan.

“Apakah kamu yakin dengan ucapanmu itu, hai Dewa Kusuma?”


tanya ayahnya.

“Iya, Ayah! Ananda rela berkorban demi menyelamatkan dusun


ini dan seluruh isinya,” jawab Dewa Kusuma, “tapi, Ananda
mempunyai satu permintaan.”

“Apakah permintaanmu, Putraku?” tanya ayahnya.

Dewa Kusuma pun menyampaikan permintaannya kepada Ayah,


Ibu, dan saudara-saudaranya agar dirinya diceburkan ke dalam
kawah itu pada tanggal 14 bulan Kasada (penanggalan Jawa). Ia
juga meminta agar setiap tahun pada bulan dan tanggal tersebut
diberi sesajen berupa hasil bumi dan ternak yang dihasilkan oleh
ke-24 saudaranya. Permintaan Dewa Kusuma pun diterima oleh
seluruh anggota keluarganya.

Pada tanggal 14 bulan Kasada, Dewa Kusuma pun diceburkan ke


kawah Gunung Bromo dengan diiringi isak tangis oleh seluruh
keluarganya. Nazar Jaka Seger pun terlaksana sehingga dusun itu
atau kini dikenal Desa Tengger terhindar dari bencana.

***

Demikian cerita Jaka Seger dan Rara Anteng dari daerah Jawa
Timur. Hingga kini, kawah yang memiliki garis tengah lebih
kurang 800 meter (utara-selatan) dan 600 meter (timur-barat)
ini telah menjadi obyek wisata menarik di kawasan Gunung
Bromo. Untuk mengenang dan menghormati pesan Dewa
Kusuma, masyarakat suku Tengger melaksanakan upacara
persembahan sesaji ke kawah Gunung Bromo yang dikenal
dengan istilah upacara Yadnya Kasada. Upacara yang juga
merupakan daya tarik wisata ini dilaksanakan pada tengah
malam hingga dini hari setiap bulan purnama, yaitu sekitar
tanggal 14 – 15 di bulan Kasada (kepuluh) menurut penanggalan
Jawa.

Pesen moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah sifat


rela berkorban demi kebahagiaan kedua orang tua dan demi
keselamatan masyarakat umum. Sifat ini tergambar pada sifat
dan perilaku Dewa Kusuma yang rela mengorbankan nyawanya
demi menyelamatkan keluarga dan seluruh penduduk Desa
Tengger dari kebinasaan.
Legenda Asal Mula Pulo
Kemaro

Legenda Asal Mula Pulo Kemaro adalah sebuah legenda yang


mengisahkan asal mula terjadinya Pulau Kemaro di daerah
Palembang, Sumatra Selatan, Indonesia. Menurut cerita, pulau
tersebut merupakan penjelmaan Siti Fatimah putri Raja Sriwijaya
yang menceburkan diri ke Sungai Musi hingga tewas. Peristiwa
tewasnya putra Raja Sriwijaya tersebut disebabkan oleh tindakan
ceroboh yang dilakukan oleh kekasihnya bernama Tan Bun Ann,
putra Raja Negeri Cina. Kecerobohan apa yang telah dilakukan
oleh Tan Bun Ann? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita
Legenda Pulo Kemaro berikut ini.

Alkisah, di daerah Sumatra Selatan, tersebutlah seorang raja


yang bertahta di Kerajaan Sriwijaya. Raja tersebut mempunyai
seorang putri yang cantik jelita bernama Siti Fatimah. Selain
cantik, ia juga berperangai baik. Sopan-santun dan tutur
bahasanya yang lembut mencerminkan sifat seorang putri raja.
Kecantikan dan keelokan perangainya mengundang decak kagum
para pemuda di Negeri Palembang. Namun, tak seorang pun
pemuda yang berani meminangnya, karena kedua orang tuanya
menginginkan ia menikah dengan putra raja yang kaya raya.
Pada suatu hari, datanglah seorang putra raja dari Negeri Cina
bernama Tan Bun Ann untuk berniaga di Negeri Palembang. Putra
Raja Cina itu berniat untuk tinggal beberapa lama di negeri itu,
karena ia ingin mengembangkan usahanya. Sebagai seorang
pendatang, Tan Bun Ann datang menghadap kepada Raja
Sriwijaya untuk memberitahukan maksud kedatangannya ke
negeri itu.
“Ampun, Baginda! Nama hamba Tan Bun Ann, putra raja dari
Negeri Cina. Jika diperkenankan, hamba bermaksud tinggal di
negeri ini dalam waktu beberapa lama untuk berniaga,” kata Tan
Bun Ann sambil memberi hormat.
“Baiklah, Anak Muda! Aku perkenankan kamu tinggal di negeri
ini, tapi dengan syarat kamu harus menyerahkan sebagian
untung yang kamu peroleh kepada kerajaan,” pinta Raja
Sriwijaya.
Tan Bun Ann pun menyanggupi permintaan Raja Sriwijaya. Sejak
itu, setiap minggu ia pergi ke istana untuk menyerahkan
sebagian keuntungan dagangannya. Suatu ketika, ia bertemu
dengan Siti Fatimah di istana. Sejak pertama kali melihat wajah
Siti Fatimah, Tan Bun Ann langsung jatuh hati. Demikian
sebaliknya, Siti Fatimah pun menaruh hati kepadanya. Akhirnya,
mereka pun menjalin hubungan kasih. Karena merasa cocok
dengan Siti Fatimah, Tan Bun Ann pun berniat untuk
menikahinya.
Pada suatu hari, Tan Bun Ann pergi menghadap Raja Sriwijaya
untuk melamar Siti Fatimah.
“Ampun, Baginda! Hamba datang menghadap kepada Baginda
untuk meminta restu. Jika diperkenankan, hamba ingin menikahi
putri Baginda, Siti Fatimah,” ungkap Tan Bun Ann.
Raja Sriwijaya terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa Tan Bun Ann
adalah seorang putra Raja Cina yang kaya raya.
“Baiklah, Tan Bun! Aku merestuimu menikah dengan putriku
dengan satu syarat,” kata Raja Sriwijaya.
“Apakah syarat itu, Baginda?” tanya Tan Bun Ann penasaran.
“Kamu harus menyediakan sembilan guci berisi emas,” jawab
Raja Sriwijaya.
Tanpa berpikir panjang, Tan Bun Ann pun bersedia memenuhi
syarat itu.
“Baiklah, Baginda! Hamba akan memenuhi syarat itu,” kata Tan
Bun Ann.
Tan Bun Ann pun segera mengirim utusan ke Negeri Cina untuk
menyampaikan surat kepada kedua orang tuanya. Selang
beberapa waktu, utusan itu kembali membawa surat balasan
kepada Tan Bun Ann. Surat balasan dari kedua orang tuanya itu
berisi restu atas pernikahan mereka dan sekaligus permintaan
maaf, karena tidak bisa menghadiri pesta pernikahan mereka.
Namun, sebagai tanda kasih sayang kepadanya, kedua orang
tuanya mengirim sembilan guci berisi emas. Demi keamanan dan
keselamatan guci-guci yang berisi emas tersebut dari bajak laut,
mereka melapisinya dengan sayur sawi tanpa sepengetahuan Tan
Bun Ann.
Saat mengetahui rombongan utusannya telah kembali, Tan Bun
Ann dan Siti Fatimah bersama keluarganya serta seorang dayang
setianya segera berangkat ke dermaga di Muara Sungai Musi
untuk memeriksa isi kesembilan guci tersebut. Setibanya di
dermaga, Tan Bun Ann segera memerintahkan kepada utusannya
untuk menunjukkan guci-guci tersebut.
“Mana guci-guci yang berisi emas itu?” tanya Tan Bun Ann
kepada salah seorang utusannya.
“Kami menyimpannya di dalam kamar kapal, Tuan!” jawab
utusan itu seraya menuju ke kamar kapal tempat guci-guci
tersebut disimpan.
Setelah utusan itu mengeluarkan kesembilan guci tersebut dari
kamar kapal, Tan Bun Ann segera memeriksa isinya satu persatu.
Betapa terkejutnya ia setelah melihat guci itu hanya berisi sayur
sawi yang sudah membusuk.
“Oh, betapa malunya aku pada calon mertuaku. Tentu mereka
akan merasa diremehkan dengan barang busuk dan berbau ini,”
kata Tan Bun Ann dalam hati dengan perasaan kecewa seraya
membuang guci itu ke Sungai Musi.
Dengan penuh harapan, Tan Bun Ann segera membuka guci yang
lainnya. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Setelah
membuka guci-guci tersebut ternyata semuanya berisi sayur sawi
yang sudah membusuk. Bertambah kecewalah hati putra Raja
Cina itu. Dengan perasaan kesal, ia segera melemparkan guci-
guci tersebut ke Sungai Musi satu persatu tanpa memeriksanya
terlebih dahulu. Ketika ia hendak melemparkan guci yang terakhir
ke sungai, tiba-tiba kakinya tersandung sehingga guci itu jatuh
ke lantai kapal dan pecah. Betapa terkejutnya ia saat melihat
emas-emas batangan terhambur keluar dari guci itu. Rupanya di
bawah sawi-sawi yang telah membusuk tersebut tersimpan emas
batangan. Ia bersama seorang pengawal setianya segera
mencebur ke Sungai Musi hendak mengambil guci-guci yang
berisi emas tersebut.
Melihat hal itu, Siti Fatimah segera berlari ke pinggir kapal
hendak melihat keadaan calon suaminya. Dengan perasaan
cemas, ia menunggu calon suaminya itu muncul di permukaan air
sungai. Karena orang yang sangat dicintainya itu tidak juga
muncul, akhirnya Siti Fatimah bersama dayangnya yang setia
ikut mencebur ke sungai untuk mencari pangeran dari Negeri
Cina itu. Sebelum mencebur ke sungai, ia berpesan kepada orang
yang ada di atas kapal itu.
“Jika ada tumpukan tanah di tepian sungai ini, berarti itu kuburan
saya,” demikian pesan Siti Fatimah.
Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, muncullah tumpukan
tanah di tepi Sungai Musi. Lama kelamaan tumpukan itu menjadi
sebuah pulau. Masyarakat setempat menyebutnya Pulo Kemaro.
Pulo Kemaro dalam bahasa Indonesia berarti Pulau Kemarau.
Dinamakan demikian, karena pulau tersebut tidak pernah
digenangi air walaupun volume air di Sungai Musi sedang
meningkat.
***
Demikianlah Legenda Pulo Kemaro dari daerah Palembang,
Sumatra Selatan. Pulau Kemaro yang terletak sekitar lima kilo
meter di sebelah timur Kota Palembang ini memiliki luas kurang
lebih 24 hektar. Kini, Pulau Kemaro menjadi salah satu obyek
wisata menarik, khususnya wisata budaya dan religius, di
Palembang. Setiap perayaan Cap Go Meh (15 hari setelah Imlek)
ribuan masyarakat Cina (baik dari dalam maupun luar negeri
seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Cina) datang
berkunjung ke Pulau Kemaro untuk melakukan sembahyang atau
berziarah. Di pulau itu terdapat sebuah kuil sebagai tempat
peribadatan, dan di dalamnya terdapat gundukan tanah yang
diyakini makam Siti Fatimah, dan dua gundukan tanah yang agak
kecil yang diyakini makam pengawal Tan Bun Ann dan makam
dayang Siti Fatimah.

Di Pulau Kemaro juga terdapat sebuah pohon langka yang


disebut “Pohon Cinta”, yang dilambangkan sebagai ritus “cinta
sejati” antara dua bangsa dan budaya berbeda pada zaman
dahulu, yaitu antara Siti Fatimah dari Negeri Palembang dan Tan
Bun Ann dari Negeri Cina. Konon, jika pasangan muda-mudi yang
sedang menjalin hubungan kasih mengukir nama mereka di
pohon itu, maka cinta mereka akan berlanjut sampai ke
pelaminan. Itulah sebabnya, pulau ini disebut juga “Pulau Jodoh”.
Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa
sikap ketergesa-gesaan dapat membuat seseorang kurang teliti
dalam melakukan sesuatu, sehingga pekerjaan atau masalah
yang dihadapinya tidak mampu diselesaikannya. Hal ini
ditunjukkan oleh sikap Tan Bun Ann yang karena tidak
ketidaksabarannya ingin menunjukkan emas tersebut kepada
Raja Sriwijaya, sehingga membuatnya kurang teliti ketika
memeriksa guci-guci tersebut. Akibatnya, guci-guci yang berisi
emas batangan tersebut dibuangnya ke sungai, yang pada
akhirnya menyebabkan ia tenggelam dan tewas.

Anda mungkin juga menyukai