1
Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan
tergesa-gesa. Bayangan perempuan yang tadi dilihatnya harus
terkejar olehnya. Sudah lama dia menunggu untuk bertemu.
"Arum... Arum... tunggu Arum.." pangggilnya berkali-kali.
Perempuan tinggi semampai berbaju biru kembang-kembang
itu hampir terkejar olehnya.
"Arum...!!"
Perempuan itu menoleh. Aryo melompat kedepannya dan
menghentkan langkahnya.
Perempuan itu terbelalak, marah.
"Arum, jangan pergi, sudah lama aku menunggu bisa
bertemu denganmu, Aku minta ma'af Arum, aku khilaf. Jangan
pergi."
"Anda salah orang," jawabnya dengan pandangan kesal.
"Jangan begitu Arum, aku tau itu kamu."
"Saya bukan Arum," katanya sambil menghindar.
"Arum, tunggu Arum, kamu tidak kangen sama anakmu?
Angga sudah mau masuk sekolah sekarang, ia kangen sama
ibunya," kata Aryo sambil memegangi tangannya.
2
Angga merosot turun dari gendongan ayahnya, langsung
merangkul Rini. Tapi Aryo melotot marah. Ditariknya Angga lalu
digendongnya lagi.
Rini menegakkan tubuhnya, mengucek matanya.
"Ma'af, saya ketiduran."
"Mau apa kamu datang kemari? Aku sudah mengusir kamu.
Kamu pembuat berantakan keluargaku."
"Mengapa bapak selalu menyalahkan saya? Bukan saya saja
yang melakukannya, bapak juga menikmatinya." katanya sambil
menatap Aryo dengan berani. Sesa'at tak bisa menjawab.
Memang dia juga bersalah. Tapi jangan sampai perempuan
dihadapannya muncul di kehidupannya lagi.
"Baiklah, aku juga bersalah, tapi lebih baik kamu tidak usah
datang kemari lagi.Kamu tau, gara-gara itu isteriku pergi dan
belum pulang sampai sekarang.
"Saya baru kembali dari rumah sakit. Hari sudah sore, saya
mohon ijinkan saya menginap disini semalam ini saja, besok
pagi-pagi saya akan pergi."
"Tidak, lebih baik kamu menginap disebuah losmen," tegas
kata Ayo.
"Tapi saya tak punya uang untuk membayar penginapan."
"Ini, aku beri kamu uang," kata Aryo sambil mengambil
dompet disakunya, dan memberikan beberapa lembar ratusan ribu
yang kemudian diberikannya kepada Rini.
"Ingat, jangan pernah menginjakkan kakimu dirumah ini
lagi."
Lalu Aryo membuka pintu rumahnya, masuk kedalam dan
menguncinya lagi.
Angga merengek, minta bertemu Rini, tapi Aryo terus
membawanya kebelakang, agar Rni tak mendengar tangisan
Angga yang akan membuatnya merasa menang.
"Aku mau Rinii.. bapak.. aku mau Rini... Bapak jangan
marah sama Rini..." rengek Angga.
"Tidak sayang, Rini harus pergi, karena orang tuanya
menunggu. Kamu mau minum susu?"
"Aku mau Rinii.."
"Tidak ada, Rini sudah pergi.."
Dan Rini memang sudah pergi, dengan senyum manis karena
membawa beberapa lembar uang ratusan ribu yang diberikan
"Ada play group didekat rumah, biar ibu antar saja kesitu.
Barangkali dengan banyak teman dia akan melupakan Rini dan
tidak merengek-rengek terus untuk mencari ibunya."
"Ibu benar. Terserah ibu saja. Aryo tidak biasa mengasuh
anak, agak bingung setiap kali dia rewel."
Angga yang kebetulan baru keluar dari dalam tampak
gembira mendengar dia mau sekolah.
"Angga mau sekolah.. Angga mau sekolah."
Aryo merengkuhnya, menciumi kepalanya dengan gemas.
"Besok Angga sekolah bersama eyang. Ya?"
"Apa eyang juga mau sekolah?"
"Tidak sayang, itu sekolah untuk anak-anak kecil." jawab
Aryo sambil tertawa.
Malam itu Angga terlelap dalam tidurnya. Mungkin dia
bermimpi bersekolah, mempunyai teman banyak dan bermain
dengan mereka sepuasnya.
Aryo masih duduk disofa sambil menyandarkan kepalanya.
Hari-hari yang dilaluinya terasa amat menyiksa. Ia merindukan
isterinya, ia ingin bersujud dihadapannya dan meminta ma'af.
"Arum, aku akan melakukan apa saja asalkan kamu mau
kembali dan mema'afkan aku," bisiknya lirih dan pilu. Sebelah
tangannya meraih bantal yang kemudian dirangkulnya erat,
seakan bantal itu adalah isterinya.
"Ma'afkan aku, ma'afkan aku.. aku khilaf... ma'af Arum.."
Lalu setetes air mata menitik.. lalu beribu rasa penuh sesal
menyesak didadanya.
"Malam itu benar-benar malam jahanam !! Aku gila.. aku
gilaaa!!" Tak henti-henti Aryo memaki dirinya sendiri.
"Mimpi !!"
"Taruhan?!"
"Paling menang aku. Mana mungkin kamu bisa merebut
suami orang."
"Bagaimana kalau bisa?"
"Aku akan membenci kamu seumur hidup!" ancam Wuri.
"Yah, jangan gitu Wuri, masa sahabatnya punya cita-cita kok
nggak didukung."
"Cita-cita edan, siapa yang mau mendukung?"
Rini kembali terbahak.
"Oh iya Wuri, kamu jadi nyariin aku pekerjaan kan?"
"Ada, merawat kakek-kakek tua, dan sakit-sakitan. Kalau
mau aku kasih tau alamatnya."
"Apa? Merawat kakek-kakek tua, sakit-sakitan? Ogah !!"
"Pekerjaan yang lagi ditawarkan cuma itu. Kamu itu perawat
pake milih-milih pekerjaan."
"Iya dong, masa mencari pekerjaan yang aku nggak suka
menjalaninya. Coba carikan lagi dong Wuri. Merawat cowwok
ganteng, yang manja, yang royal kasih uang.. dan.."
"Nggak ada."
"Kok gitu."
"Ya nggak ada, mana ada cowok ganteng butuh perawat.
Memangnya nggak bisa merawat dirinya sendiri?"
Rini tertawa keras.
––––––––
3
Angga melepaskan pegangan neneknya dan berlari kearah
sudut ruangan, dimana seorang wanita duduk menghadapi sebuah
laptop.
"Ibuuu..."
Bu Nastiti menatap kearah wanita dimana Angga berlari
mendekatinya, lalu berbisik lirih.
"Arum ?"
Wanita itu terkejut ketika Angga menubruk pangkuannya
sambil memanggilnya ibu. Rasa trenyuh tiba-tiba menghinggapi
perasaannya. Diangkatnya tubuh Angga dan diletakkannya diatas
pangkuannya.
"Ibuu..."
Wanita itu menggeleng pelan.
"Mengapa ibu tidak pulang?"
Kejadian itu membuat beberapa orang guru yang ada
diruangan itu menatap mereka dengan heran.
Bu Nastiti mendekati wanita itu.
"Kamu Arum?"
Wanita itu tersenyum ramah dan menggeleng.
"Bukan ibu, saya Ratih," jawabnya sambil masih memangku
Angga.
"Angga mau ganti baju dulu ibu, tadi lupa belum ganti baju,"
kata Angga sambil menarik-narik bajunya sendiri. Mungkin
merasa kegerahan.
"Oh iya, ayo sini ibu lepas. Dimana baju gantinya?" aduh
Ratih bagaimana, masa tidak tau dimana letak baju anaknya. Dan
sekali lagi ada bu Nastiti yang selalu mengikutinya.
"Ini kan almari Angga."
Lalu bu Nastiti membukanya.
"Astaga, mengapa baju Angga berantakan begini?" kata bu
Nastiti setelah membuka almarinya.
Ratih menggeleng gelengkan kepalanya. Kasihan, seorang
laki-laki, hidup sendirian, merawat anak kecil.
"Sebentar, ibu bereskan dulu baju-baju kamu ya?" kata Ratih
sambil mengeluarkan semua baju dan celana, kemudian
menatanya dengan rapi.
"Nah, sekarang Angga mau baju yang mana?"
"Yang... biru, gambar Micky Mouse !!
Dengan sabar Ratih meladeninya.
"Ma'af ya nak Ratih," bu Nastiti berbisik ditelinga Ratih.
"Nggak apa-apa bu, saya mulai senang meladeni Angga,"
jawab Ratih sambil melepas baju Angga, kemudian diajaknya ke
kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangannya. Harusnya tadi
begitu sampai rumah dia melakukannya. Habisnya Ratih gugup
ketika tiba-tiba harus menjadi ibu yang diharuskan memasak buat
anaknya.
Sementara Ratih menemani Angga bermain, bu Nastiti
membersihkan semua perabot yang kotor berdebu. Menyedihkan
ketika seorang lelaki dengan satu anak harus mengurus rumah
––––––––
4
Ratih meronta, pelukan itu terlepas. Ratih membalikkan
badan dan mereka berhadapan, saling tatap, dengan perasaan
yang berbeda.
"Arum ?"
"Saya bukan Arum..." kata Ratih, gemetar, terlebih mata si
ganteng yang menatap tak berkedip, penuh pesona
"Kamu...bukan Arum?"
"Aryo... kamu salah Aryo.." bu Nastiti yang tadi berada
didalam kamar terkejut mendengar suara Aryo. Ia merasa
terlambat datang untuk memberi tau Aryo lebih dulu, sehingga
telah terjadi salah sangka didepan pintu dapur.
"Ibu, Aryo bingung..."
"Itu namanya Ratih, gurunya Aryo, memang mirip sekali
dengan isterimu. Bahkan Angga menganggapnya ibunya.
Aryo menatap lagi perempuan disebelahnya. Adakah
perbedaannya?
"Ya Tuhan, Aryo, itu bukan Arum. " kata batin Aryo yang
segera menstarter mobilnya menjauh dari sana.
Ratih melihat kearah mobil itu karena Angga melambaikan
tangannya, melihat ayahnya pergi. Ratih ingin melihat sosok
berkumis tipis itu tersenyum, tapi terhalang oleh kaca mobil yang
hitam dan sudah ditutupnya begitu mobil itu berlalu.
––––––––
Jam sepuluh kurang lima menit, Angga sudah memarkir
mobilnya didepan sekolah Angga. Perlahan Aryo turun, dan
menunggu dibawah sebuah pohon trembesi yang berdaun rindang
didekat pagar.
Didengarnya anak-anak sekolah bernyanyi 'sayonara' lalu
para orang tua yang menjemput mendekat kearah pintu kelas agar
ketika bubaran mereka langsung melihat bahwa orang tua mereka
sudah menunggu. Bu Nastiti ada diantara mereka. Tapi sampai
mereka pulang, Angga belum juga keluar. Aryo melongok kearah
ibunya, tapi bu Nastiti masih menunggu didepan pintu.
Tak lama kemudian Angga kelihatan keluar dari pintu itu,
sambil menggandeng tangan Ratih. Ada haru yang menyesak
dadanya melihat pemandangan itu. Angga benar-benar
merindukan ibunya, dan bahagia ketika merasa bahwa ibunya
sudah kembali.
Melihat ayahnya, Angga segera berlari mendahului.
"Bapak, Angga sudah bilang sama ibu kalau kita mau
membeli mobil-mobilan."
"Angga, ini bapak masih harus kembali ke kantor."
"Iya, kalau libur kan?Tapi ibu bilang, bapak yang harus
minta pada ibu," kata Angga sambil menarik tangan bapaknya
5
Aryo tertegun mendengar pemintaan anakna. Dipandangina
Ratih yang tersipu dihadapannya. Gadis itu tampak salah tingkah.
Tapi Angga terus menggoyang goyangkan tangan ayahnya.
"Bapak, ayolah bapak..."
"Bu.. maukah nanti ikut bersama kami?" terbata Aryo
mengucapkannya..
Ratih menatap wajah ganteng yang tampak gugup dengan
permintaan anaknya. Mana mungkin dia menolaknya? Dia suka
kok. Tapi entahlah, suka karena sayang pada Angga, atau
ayahnya. Wadhuh..
Ratih hanya mengangguk, sambil tersenyum.
"Ibu, bilang 'ya' sama bapak," pinta Angga karena tak puas
dengan anggukan Ratih.
"Tuh, ayah, ibu sudah mau, kapan ibu libur?" tanya Angga
seperti seorang polisi mengintrograsi seorang penjahat.
"Angga, kalau Minggu bapak libur, tapi jangan merepotkan
ibu, ya?" kata Aryo sambil melirik kearah ibu guru cantik.
"Kalau ibu, apakah hari Minggu juga libur?"
Lagi-lagi Ratih mengangguk.
"Kata ibu guru, kalau ditanya jawabnya tidak boleh
mengangguk, ya kan?"
Aduh, anak pintar darimana yang tiba-tiba membuat dua
orang dewasa menjadi kelimpungan?
"Ya, Angga." lagi-lagi jawaban Ratih mengarah kepada
Angga.
"Horeee... Eyang, besok hari apa?"
"Besok hari Sabtu Angga, "
"Kalau begitu habis Sabtu apa ya... "
"Coba Angga sebutkan nama-nama hari. Kemarin sudah
hafal kan?"
"Senin.. Selasa.. Rabu.. Kamis.. Jum'at. Sabtu.. Minggu.. Jadi
habis Sabtu itu Minggu."
"Baiklah Angga, ayo kita pulang, ayah kan harus kembali ke
kantor," sela Aryo.
"Ibu ikut kan?"
"Angga, ibu harus bekerja bukan?"
6
Rini berdiri disamping meja satpam rumah sakit, pura-pura
membuka ponsel dan menundukkan kepala. Ketika wanita yang
disebutnya Arum itu lewat, Rini baru mengangkat mukanya.
"Bu Arum sama siapa itu? Apakah dia sakit?"
Arum terus melangkah keluar, seorang wanita setengah tua
menuntunnya. Rini mengikuti sampai mereka tiba di halaman
rumah sakit, dan dilihatnya Arum naik kedalam mobil itu.
"Tampaknya dia memang sakit, siapa yang menuntunnya?
Apakah dia sudah kembali kerumah pak Aryo?"
Rini terus mengamatinya, sampai mobil itu keluar dari
halaman rumah sakit.
Apakah bu Arum sudah kembali? Mengapa kalau dia sakit
maka bukan pak Aryo yang mengantarnya? Siapa itu? Setahuku
bukan ibunya bu Arum.
7
"Ibuuu.." teriak Angga yang segera mengacungkan
tangannya kearak Ratih. Rini membiarkannya, lalu mengangguk
kearah Ratih dan dengan cepat berlalu.
"Terimakasih, bu Ratih," kata Aryo kepada Ratih.
"Mengapa bapak marah sama Rini?"
"Nggak apa-apa, ayo kita ambil mobilmu."
8
Aryo masih termenung diteras, ketika Ratih keluar diikuti bu
Nastiti.
"Pak Aryo, saya mau pulang dulu, Angga sudah tidur," kata
Ratih
"Eit, tunggu, biar aku antar," kata Aryo sambil berdiri dan
tanpa menunggu jawaban Ratih langsung mengambil kunci
mobilnya.
"Tapi...."
"Nggak apa-apa nak Ratih, biar saja. Aryo merasa nggak
enak karena selalu merepotkan nak Ratih, jadi biar dia melakukan
sesuatu untuk nak Ratih. Tidak seberapa, tapi dia kan tidak
kecewa."
Ratih terpaksa menerimanya.
"Ayu bu Ratih, biar saya antar."
Ratih mencium tangan bu Nastiti, kemudian berjalan
mengikuti Aryo ke mobilnya. Aryo membukakan pintu,
kemudian mempersilahkan Ratih naik.
Merinding Ratih ketika akan menutupkan pintu, tangannya
bersentuhan dengan tangan yang sedikit berbulu. Hiih.. kenapa
juga aku ini, batin Ratih yang kemudian menata duduknya. Ia
terkejut ketika Aryo membuka lagi pintu mobilnya.
mau segera pulang? Kalau dia begitu marah pada suaminya, apa
tidak rindu pada anak semata wayangnya?"
"Arum, ingat anakmu Arum..."
Tiba-tiba dia teringat lagi apa yang dikatakan Rini.Katanya
ia melihat Arum dirumah sakit pusat. Bisakah menanyakan ke
rumah sakit tentang seseorang yang pernah berobat? Dibagian
apa? Penyakit dalam, umum, atau apa. Bisakah menanyakannya?
Aryo memacu mobilnya kearah rumah sakit. Barangkali ada
yang bisa memberitahu tentang isterinya yang pernah berobat.
Kalau apa yang dikatakan Rini benar. Tapi kalau hanya meng
ada-ada?
Apapun yang terjadi Aryo harus menanyakannya.
"Bisa nggak ya?" gumamnya ketika sudah memasuki
halaman rumah sakit.
Dengan perasaan ragu dia berjalan menuju kedalam. Aryo
tidak tau kemana sebaiknya bertanya. Tapi melihat loket
pendaftaran, dia menuju kesana.
"Selamat sore," sapanya.
"Selamat sore bapak, ada yang bisa saya bantu?"
"Bisakah saya menanyakan mmm.. seseorang yang pernah
berobat kemari?"
"Maksud bapak?"
"Saya sedang mencari..mm.. salah seorang saudara saya,
apakah benar dia berobat kemari pada kira-kira tiga atau empat
hari yang lalu."
Penjaga itu saling pandang dengan teman kerjanya.
"Susah ya ? Namanya Arum. Arumsari," lanjut Aryo.
"Ya, tadi rewel, tapi kemudian aku minta nak Ratih bicara
sama dia, sekarang sudah tenang. Lagi main mobil-mobilan."
"Ah ya, syukurlah, Aryo segera pulang bu, cuma muter-
muter saja."
Aryo menghela nafas lega. Berkali-kali Ratih bisa
menenangkan anaknya. Bisa menghiburnya, menyenangkannya,
menjadi ibunya. Ya Tuhan, menjadi ibunya? Hati Aryo berdebar
kencang. Kalau Ratih menjadi ibunya... tidak... jauhkanlah
pikiranku dari dia.. pikir Aryo.
Aryo menjalankan mobilnya sangat pelan, karena pikirannya
benar-benar kacau. Tapi ada sebersit harapan, rumah sakit itu.
Besok dia harus kesana, barangkali nama Arum ditemukan disana
sehingga dia bisa melacak keberaadannya.
Tiba-tiba Aryo merasa kepalanya berdenyut-denyut.
"Aduh, kenapa pula kepalaku ini," keluhnya.
Aryo ingin segera sampai dirumah, tapi dia ingat, obat sakit
kepala dirumah sepertinya habis. Dia harus membelinya. Lalu
dicarinya apotik.
Aryo hampir saja memarkir mobilnya ditepi, ketika dua
orang wanita melintas dihadapannya. Aryo menginjak rem
dengan kaget. Dilihatnya salah seorang wanita itu terjatuh.
Aro membuka mobilnya, tapi wanita yang satunya sudah
menolong yang tadi terjatuh, kemudian berjalan kearah depan.
Aryo ingin mengikutinya untuk meminta ma'af, tapi keduanya
keburu masuk kedalam mobil. Aryo menutup mobilnya, lalu
berjalan kearah apotik.
Salah satu perempuan tadi, melihat kebelakang, kearah mobil
Aryo.
9
Ketika keluar dari apotik itu, tiba-tiba ada rasa menyesal
dihati Aryo. Ia sudah membuat seseorang jatuh, tapim tidak
sempat meminta ma'af.
"Bodohnya aku. Seharusnya tadi aku bisa mengejarnya, kan
mobilnya ada didepanku dan hanya selisih satu mobil. Kasihan,
karena kepala pusing jadi kehilangan akal sehatku."
Aryo mengendarai mobilnya, dan berlalu, sambil berharap,
mudah-mudahan bisa bertemu lagi suatu sa'at. Tapi bertemu yang
bagaimana? Kan wajahnya saja ia tak melihatnya? Hari mulai
gelap dan mereka seperti tergesa gesa pergi.
Dan entah mengapa, Aryo terganggu dengan kejadian itu,
dan terus menyesalinya.
Ia sampai dirumah, ketika Angga sedang bermain dengan
mobilnya. Hanya maju mundur didalam rumah, karena neneknya
melarang bermain di halaman ketika hari mulai senja.
"Angga... waduh.. main terus ya.. nggak capek?"
"Oh..."
"Yu Siti, aambilkan makanan dengan sup panas."
Yu Siti bergegas kebelakang untuk memenuhi perintah
majikannya. Bu Surya seorang janda yang baik hati dan suka
menolong. Ia juga memperlakukan yu Siti seperti keluarganya
sendiri. Sifat suka menolongnya itu tergugah ketika yu Siti
mengatakan bahwa ada orang pingsan dijalan.
"Kalau tadi kamu belum sadar juga, aku pasti membawamu
kerumah sakit," kata bu Suryo sambil duduk disebuah bangku
yang ada didekat pembaringan.
Arum menatap perempuan setengah tua itu. Walau wajahnya
tidak cantik, tapi sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa
dia seorang yang ramah. Mata itu begitu teduh.
"Pusing ?"
Arum mengangguk.
"Nanti setelah yu Siti memberi kamu makan, kamu harus
minum obat. Dan kalau kamu masih merasa kurang baik juga,
besok aku akan membawamu ke rumah sakit."
Arum terdiam.
"Namamu siapa?"
"Arum, jawabnya lirih.
Bagaimana kamu bisa pingsan ditepi jalan? Kamu tidak
membawa apa-apa. Dompet, tas.. atau apa..?"
Arum meraba-raba seperti mencari sesuatu didekatnya.
10
Yu Siti terpaku. Dielusnya tahi lalat itu lembut. Adakah
orang yang memiliki seperti ini sama seperti milik Arum?
"Terimakasih ibu."
"Dimana orang tuamu?"
"Ada, saya juga belum mengabari ibu. Saya takut ibu nanti
memberitahu kepada mas Aryo, suami saya tentang keberadaan
saya."
"Kamu tidak kangen sama anak kamu?"
"Sangat kangen, tapi mengingat pengasuh anak saya itu, saya
enggan untuk pulang."
"Ya sudah, kamu istirahat dulu disini. Kalau sehari ini kamu
masih merasa pusing, aku akan membawa kamu ke dokter."
"Terimakasih ibu," kata Arum berlinang air mata. Kali ini bu
Surya mengusap air mata Arum dengan jari tangannya.
"Jangan menangis, kamu berada ditempat yang aman."
Arum mengangguk.
"Tapi menurut aku, kamu harus mengabari ibumu tentang
keberadaanmu, kata bu Suryo sambil mengelus kepala Arum.
"Tapi Arum, badan kamu panas sekali," katanya sambil
memegang kening, leher dan tangannya.
Lalu bu Suryo berteriak kepada yu Siti.
"Yuu.."
Dengan cepat yu Siti sudah tiba dihadapan bu Suryo.
"Obat untuk nak Arum yu, tapi mungkin sore nanti mau aku
ajak ke dokter. Obat-obatan di warung sepertinya tidak cukup
bisa mengobatinya.Atau sekarang saja, suruh Pono menyiapkan
mobilnya.
––––––––
"Angga minta Ratih datang pagi. Dia tidak mau mandi kalau
bukan Ratih yang memandikannya."
"Kasihan anak itu, sudah benar-benar tergantung sama
kamu."
"Iya pak, karena dia mengira Ratih ini ibunya. Terkadang
Ratih juga berfikir, apakah harus seperti ini terus?"
"Semoga saja ibunya segera kembali."
"Aamiin, pak. Ratih juga berharap demikian."
"Bagaimana mungkin seorang ibu tega meninggalkan
anaknya begitu lama?"
"Ratih justru khawatir telah terjadi sesuatu pada bu Arum."
"Ah, semoga semuanya baik-baik saja Tih. Jangan berfikiran
yang tidak-tidak."
"Iya pak, cuma kadang-kadang Ratih berfikir begitu, semoga
saja tidak terjadi sesuatu yang buruk. Ya sudah pak, ma'af kalau
kali ini bapak sarapan sendiri ya."
"Tidak apa-apa, pergilah , anakmu sudah menunggu," canda
ayahnya sambil tersenyum.
––––––––
Angga berjingkrak kegirangan melihat Ratih datang.
11
Keluar dari rumah sakit itu Aryo terus berfikir. Ke poliklinik
apa ya kalau Arum benar-benar berobat? Banyak poliklinik
dengan pengobatan bagi penyakit tertentu . Apakah Arum
mengidap suatu penyakit? Mungkin hanya sakit biasa. Atau harus
mengatakan bahwa dia berobat ke poli umum? Lalu Aryo
membalikkan badannya, mengatakan kepada bagian informasi
bahwa sahabatnya itu berobat di poliklinik umum.
"Namanya?"
"Arum.. Arumsari.."
"Alamat ?"
Aryo bingung, akhirnya disebutkannya alamat rumahnya."
"Jl. Amarta no 94.
"Kapan dia periksa?"
"Kira-kira empat atau lima hari yang lalu."
Aryo menunggu, beberapa sa'at lamanya. Hatinya berdebar.
Namun keterangan dari petugas sangat membuatnya kecewa.
"Ma'af pak, ada tiga tanggal yang saya cari, tapi tidak saya
ketemukan nama itu."
"Oh, begitu ya pak?" jawab Aryo lemah.
Aryo benar-benar keluar dari sana, lalu menuju pulang.
"Berarti Rini bohong !! dasar perempuan mata duitan !"
umpatnya dalam perjalanan pulang.
"Iya bu, nanti ibu dapat melihatnya sendiri. Aryo tidak bisa
mencegahnya, karena dengan Ratih Angga seperti menemukan
Arum. Dan Aryo bersyukur Ratih mau membantu. Semoga Arum
segera ditemukan ya bu."
"Baiklah, segera datang, karena ibu sudah memasak buat
kalian. Ibumu ikut kan?"
"Iya bu, ibu juga kangen, sudah lama tidak bertemu."
––––––––
"Dimana beloknya mbak, beritahu Pono sebelumnya ya,
so'alnya ini jalan satu arah, kalau kebablasan harus muter lewat
sana lagi." kata Pono ketika mengantarkan Arum.
"Iya mas Pono, nanti, setelah perempatan itu, belok kiri,
hanya kira-kira limapuuhan meter kok."
"Baiklah."
Hati Arum berdebar-debar. Sudah lama dia tidak ketemu
ibunya, dan juga sudah lama ia membuat ibunya harap-harap
cemas menunggunya. Sungguh ia merasa berdosa.
Mobil yang dibawa Pono sudah belok kekiri.
"Sebentar mas, berhenti dulu," tiba-tiba kata Arum.
"Disini mbak?"
"Ya, berhenti disini dulu."
Arum melongok kedepan. Dilihatnya Aryo turun dari mobil,
lalu bu Nastiti, Lalu Angga. Tidak, masih ada satu lagi. Arum tak
berhedip ketika satu kaki kelihatan muncul dipintu belakang.
Kaki perempuan. Seketika darahnya mendidih. Nafasnya
terengah engah menahan emosi.
"Mas Pono, balik saja."
"Apa?"
"Kita balik saja. Cepat mas Pono, putar mobilnya!!" kata
Arum agak keras.
––––––––
12
Mobil yang membawa Arum berbalik arah.
"Kita kemana mbak?" tanya Pono bingung.
"Pulang saja mas."
"Pulang? Nggak jadi kerumah ibu?"
"Nggak."
"Karena kelihatannya banyak tamu itu ya?"
"Ya.." singkat semua jawaban Arum. Rasa kesal, hati panas,
dan kecewa, bercanpur aduk menjadi kemarahan yang menyala-
nyala..
Pono yang mengerti bahwa Arum sedang kesal tak
melanjutkan percakapan,. Hanya diam sampai kemudian tiba
kembali dirumah bu Suryo.
Begitu memasuki rumah, bu Suryo menyambutnya dengan
heran.
"Kok sudah kembali? Nggak ketemu ibu?"
Arum tak menjawab, tapi merangkul bu Suryo sambil
menangis. Tak tahan menanggung amarah yang telah membakar
jiwa raganya pagi itu.
"Ada apa ini? Ayo duduklah dan ceritakan semuanya."
13
Arum merengkuhnya, anak semata wayangnya, darah
dagingnya, menciuminya tanpa henti, sambil berlinangan air
mata.
"Saya sudah keluar untuk melihatnya bu, tapi tak ada siapa-
siapa disana," kata Ratih.
"Angga... ibu bilang apa?"
"Angga dipeluk, terus ibu menangis.. terus Angga bilang ada
ibu dua.. lalu Angga disuruh masuk, terus ibu pergi lagi."
"Ya Tuhan.. " keluh bu Nastiti sedih.
"Eyang kenapa?"
"Ya sudah, Angga masuk dulu ke kelas, tuh, teman-teman
pada menggambar didalam," kata Ratih sambil mendorong pelan
tubuh Angga. Angga berlari masuk kedalam kelas.
"Bagaimana ini bu?"
"Kalau saja tadi aku melihatnya, aku pasti menahannya
supaya tidak pergi."
"Benarkah dia bu Arum?"
"Kemungkinan besar iya. Angga bilang ada ibu dua. Dia
memeluk Angga sambil menangis. Ibunya kan mirip nak Arum,
jadi dia bilang ada ibu dua."
"Sayang sekali ya bu? Benar sekali, bu Arum belum ingin
pulang, tapi kangen sama Angga."
"Aryo pasti kecewa kalau tau tentang hal ini."
"Ikut prihatin ya bu. Begini saja, barangkali dilain hari bu
Arum akan kemari lagi, setiap Angga ada diluar, ibu atau saya
akan mengawasinya, siapa tau kita bisa membujuknya untuk
pulang."
"Iya nak, benar, terimakasih ya nak. Seandainya benar, pasti
nak Ratih tidak akan repot karena harus mengasuh Angga yang
nakalnya bukan main."
––––––––
Aryo bingung bukan alang kepalaang. Pelan ia menjalankan
mobilnya sambil berfikir apa yang akan dikatakan kepada Angga
kalau Angga terus mendesaknya. Kalau saja dia tau bahwa Arum
akan datang, pasti segalanya akan selesai. Ia akan meminta, kalau
perlu menyembah-nyembah agar Arum bersedia pulang.
Dilihatnya Angga duduk disampingnya, menyandarkan
kepalanya. Aryo berharap Angga akan tertidur. Tapi tidak,
matanya mengawasi jalanan diantara keramaian lalu lintas
dimalam hari. Tampaknya ia mencari sesuatu. Aryo menghela
nafas.
Karena bingung, sa'at berhenti di sebuah traficlight Aryo
mengirim pesan singkat kepada Ratih.
"Saya bingung, Angga rewel mencari ibunya, saja ajak di
putar-putar, bolehkah saya melewati rumah bu Ratih, lalu bu
Ratih saya mohon kalau tidak keberatan keluar kejalan, pura-pura
lagi jalan, gitu. Ma'af merepotkan."
Pesan singkat yang panjang. Mudah-mudahan Ratih
membacanya segera.
Aryo terus mengendarai mobilnya pelan, menuju rumah
Ratih.
"Nggak ketemu ya bapak?" tiba-tiba Angga bertanya,
rupanya dia juga memperhatikan kiri kanan jalan yang dilaluinya.
"Gelap sih, barangkali nggak kelihatan." Aryo menjawab
sekenanya.
Angga terdiam.
"Angga nggak capek?"
"Enggak."
"Ibu harus tidur sama Angga, Angga nggak mau ibu pergi,"
rengeknya.
"Ya sudah, Angga sekarang tidur, ini sudah dipangku sama
ibu." kata Ratih sambil meletakkan kepala Angga didadanya.
Sebelum sampai kerumah Angga sudah terlelap dalam dekapan
Ratih.
"Nanti setelah dia benar-benar terlelap, saya antar bu Ratih
pulang," kata Aryo berbisik.
Ratih hanya mengangguk.
––––––––
Sudah seminggu Rini membantu Wuri dirumah sakit.
Lumayan melegakan karena Rini bisa keluar dari rumah yang
membuatnya bosan.
"Rini, antarkan berkas ini ke poli bedah ya."
"Apa ini?"
"Antarkan saja, mereka kan sudah tau."
"Aku mau mampir ke kantin ya, lapar aku."
"Ya ampun, sebentar lagi waktunya makan, kita akan makan
bersama nanti."
"Tapi aku juga haus."
"Rini, cepatlah, berkas itu ditunggu. Makannya nanti bareng
sama aku," jawab Wuri kesal.
"Baiklah, baiklah, juragan," kata Rini sambil bersungut.
Rini membawa berkas itu lalu berjalan kearah poli bedah.
Beberapa hari membantu ditempat itu, Rini sudah banyak
dikenal, karena dia memang ramah kepada setiap orang.
14
Rini mundur kebelakang, menabrak gerobag dorong yang
membawa seabreg obat-obatan.
"Rini !!" teriak Arum.
Tapi Rini terus berlalu, setengah berlari dan mendapat
ketuntungan karena gerobag obat-obatan itu berhenti.
Pendorongnya memunguti beberapa box obat yang terjatuh akibat
tertabrak olehnya, dan itu menutupi penglihatan Arum atas
dirinya.Tak perduli pendorongny mengomel dengan wajah geram
melihat Rini bukannya membantu malah berlari sepeti dikejar
setan.
"Siapa Rum?" tanya bu Suryo yang duduk disebelah Arum.
"Saya melihat Rini bu, tapi baru saya panggil dia sudah lari
ketakutan," kata Arum kesal.
"Dia pegawai rumah sakit ini?"
"Sepertinya bukan, dia tidak memakai seragam seperti
karyawan lainnya. Mungkin juga sedang berobat. Entah sakit
apa."
"Masih rendah bu, " kata perawat itu kepada Arum. Ketika
perawat itu mundur, dokter Bram berdiri dan melakukan tugasnya
memeriksa Arum.
"Bu Arum harus makan yang banyak, pikiran tenang, dan
jangan lupa obatnya ya." kata dokter Bram yang memeriksa
dengan stetoskop nya.
Arum mengangguk pelan. Dan lagi-lagi tatapan mata tajam
pak dokter bagai menusuk jantungnya.
"Saya tuliskan resepnya ya bu," kata dokter Bram setelah
memeriksa Arum.
"Tekanan darah masih rendah, jantung sedikit lemah. Rutin
diminum obatnya ya." katanya sambil menatap Arum.
Arum mengangguk.
"Kalau semuanya sudah baik, maka bu Arum siap dioperasi."
Arum terkejut. Ia tak pernah tau apapun tentang penyakitnya,
dan sekarang akan dioperasi?
––––––––
Wuri jengkel karena Rini pergi lama sekali. Begitu datang, ia
terengah engah seprti baru saja menyelesaikan lomba lari maraton
seribu kilo.
"Kamu dari mana sih? Jadi makan duluan ya?"
––––––––
Sebulan berlalu, Ratih mengisi hari-harinya dengan selalu
menghibur Angga, dan berusaha melupakan 'ibu yang satunya'. Ia
mengajaknya bermain, dan terkadang mendongeng sa'at Angga
mau tidur.
Terkadang Ratih harus tidur juga dirumah keluarga Aryo
kalau Angga sangat rewel. Dan lama kelamaan sang 'ibu yang
satunya' tidak lagi ditanyakannya.
Lama kelamaan Aryo juga terbiasa dengan kehadiran Ratih,
dan mereka tampak semakin akrap. Rasa rikuh yang tadinya
memenuhi perasaan mereka lenyap digilas hari demi hari yang
terkadang melelahkan.
Penantian Ratih akan datangnya Arum pada suatu hari
disekolah Angga, pupus sudah. Karena Arum tak pernah lagi
kembali kesana.
Aryo yang berharap akan kembalinya Arum, perlahan
meletakkan gundah dan gelisahnya akibat kehilangan seorang
isteri yang dicintainya. Nyatanya hanya sekali Arum datang
menemui Angga. Dan tak perduli lagi setelahnya.
Seandainya Aryo tau, hari itu Arum sedang menjalani
operasi tumor yang dideritanya. Hanya bu Suryo, yu Siti dan
terkadang Pono yang menungguinya.
––––––––
Celakanya, Rini mendengar perihal Arum yang dioperasi.
Kemudian timbullah niyat untuk mengganggu Aryo.
Ketika itu ia sedang berjalan kearah ruang kerja Wuri setelah
menjalankan tugas yang diberikan Wuri. Tiba-tiba ia harus
menepi karena sebuah brankar sedang didorong kearah ruang
operasi. Sebenarnya Rini tak perduli, tapi wanita yang berjalan
15
Rini melepaskan tangan Angga yang sedang menggenggam
tangannya. Ia bergegas keluar dari halaman dan menghilang
dibalik pagar, setelah melihat sesosok bayangan orang yang
dikenalnya, Arum, keluar dari rumah.
Angga heran melihat sikap Rini.
"Oh ya?"
"Tampaknya dia mengira bahwa saya adalah bu Arum."
"Pastinya begitu. Mm.. saya akan mengatakan semuanya. Bu
Ratih sudah sangat baik kepada keluarga saya, saya tak akan
menutupi semua rahasia ini."
Ratih diam, menunggu apa yang akan dikatakan Aryo.
"Ceritanya panjang. Maukah bu Ratih menemani saya
sekedar minum disebuah restoran? Saya akan mengatakan
semuanya."
Karena terdorong oleh rasa keingin tahuan, Ratih
mengangguk.
"Baiklah, tapi jangan lama-lama."
"Tidak, hanya sekedar minum atau makan sesuatu, agar saya
bisa mengatakan semuanya."
Aryo menghentikan mobilnya disebuah rumah makan. Ia
memilih tempat duduk yang agak jauh dari beberapa orang lain
yang sedang makan disana.
terlarang yang lebih jauh, tapi sesungguhnya itu tidak pantas saya
lakukan. Ketika itulah Arum datang dan melihat semuanya."
Ratih tercekat mendengar semuanya. Tidak terlalu panjang,
tapi Ratih sudah bisa menangkapnya. Ada sa'at luang, ada situasi
mendukung, dan ada setan mengipasi, yang terakhir adalah ada
iman yang mudah runtuh.
"Saya sangat menyesal. Isteri saya pergi begitu saja, dan tak
pernah kembali. Tapi bahwa dia sempat menemui Angga
beberapa bulan yang lalu, saya sedikit lega, artinya dia masih ada
dan tak kurang suatu apa. Tadinya saya berfikiran buruk, jangan-
jangan dia bunuh diri, jangan-jangan.. ah.. bayangan-bayangan
buruk selalu menghantui saya."
Ratih merasa iba menatap wajah Aryo yang berubah sendu.
Ia telah melakukan kesalahan, dan ia menyesalinya. Mengapa
Arum tak bisa mema'afkannya?
"Saya beruntung bisa bertemu bu Ratih, yang bisa menjadi
'ibu' bagi Angga. Terimakasih banyak," kata Aryo yang kali ini
agak tersendat, seperti menahan tangis.
Ratih ingin menghiburnya, tapi bagaimana? Ia tak mungkin
menyentuhnya. Ia hanya menetapnya iba.
"Ma'af bu Ratih, saya terbawa perasaan."
"Pak Aryo harus sabar, pada suatu hari nanti bu Arum pasti
akan kembali kepada pak Aryo. Tak mungkin selamanya dia
melupakan keluarganya."
"Sudah hampir setahun.." keluh Aryo.
Ratih meneguk minumannya.
"Ah, sudahlah, silahkan dimakan kroketnya." kata Aryo
ketika merasa lebih tenang. Ia merasa lega telah mengungkapkan
semua yang terjadi kepada Ratih. Ia berhak tau karena dia selalu
ada untuk Angga.. dan kalau terjadi Rini datang lagi, Ratih sudah
tau bahwa dia membencinya karena sesuatu hal, dan Ratih juga
tau bagaimana harus bersikap.
––––––––
"Tadi pagi dokter Bram tidak datang, apa tadi juga tidak
kemari?" tanya bu Suryo ketika sudah datang malam itu, bersama
yu Siti.
"Datang bu."
"Syukurlah. Apa katanya?"
"Hanya memeriksa seperti biasa. Katanya besok Arum harus
latihan duduk."
"Apa tidak terasa sakit lagi?"
"Tidak begitu sakit, sudah berkurang."
"Syukurlah."
"Bu Siti nanti tidur disini ?"
"Iya, nanti biar yu Siti tidur disini."
"Ibu dirumah sama siapa?"
"Tidak apa-apa sendiri. Pono ibu suruh tidur di garasi,
supaya kalau diperlukan se-waktu-waktu kita tidak usah
kelamaan menunggu."
"Saya juga ingin segera pulang."
"Ya jangan tergesa-gesa ingin pulang. Biar dokter yang
menentukannya."
"Sedih merepotkan ibu terus."
"Kamu lupa, ibu pernah berkata apa. Kamu itu kan anakku,
mana ada orang tua keberatan direpotkan anak?"
"Terimakasih ibu," kata Arum lirih, penuh haru.
"Tapi menurut ibu,kamu juga harus ingat orang tua kamu."
"Saya masih ingat ketika ibu menerima Rini waktu saya mau
kesana."
"Kalau begitu telepone saja Rum, mengatakan pada ibu
kamu, bahwa kamu baik-baik saja, agar ibumu lega. Sudah
hampir setahun ka mu menghilang."
Arum menghela nafas. Sebaiknya begitu, ia akan menelpone
ibunya saja. Entah kapan akan datang kesana.
"Ini ponsel kamu." kata bu Suryo sambil menngulurkan
ponsel Arum yang semula dibawanya. Bu Suryo juga yang
membelikan ponsel itu untuk Arum, agar Arum bisa
menghubungi siapa yang ingin dihubunginya. Tapi ternyata Arum
hanya mempergunakan untuk berhubungan dengan dirinya, atau
Pono kalau akan disuruh melakukan sesuatu.
"Terimakasih bu, ini sudah malam, besok saja Arum
menelpone ibu."
"Yu Siti, mengapa kamu diam saja? Tadi kan kamu
membawa stup makaroni untuk Arum?"
"Iya bu, habisnya ibu masih bicara sama nak Arum."
"Nggak yu, aku mau pulang sekarang. Biarkan Arum makan
masakan kamu itu, biasanya dia suka."
"Iya bu Siti, saya suka, mau dong sedikit." kata Arum sambil
tersenyum.
"Sudah ya, ibu pulang dulu. Yu, kamu temani Arum, kalau
ada apa-apa telephone saja kerumah."
16
Ia terus melangkah, tak perduli nanti mendapat marah. Ia
hanya penasaran, bagaimana mungkin Arum bisa ada di dua
tempat dalam waktu yang bersamaan?
––––––––
"Darimana saja kamu? Jangan bilang nemuin bu Arum.. atau
orang yang kata kamu mirip dengannya," tegur Wuri ketika Rini
masuk rumah dengan wajah masam.
"Nggak, cuma jalan-jalan saja kok," katanya berbohong. Ia
bosan mendengar omelan sahabatnya yang selalu
menyalahkannya.
"Ngapain ? Beli sesuatu.."
"Maksudnya iya, tapi dompetku ketinggalan."
"Mau beli apa sih?"
"Sabun," jawab Rini sekenanya.
"Dirumah masih ada sabun, mau beli sabun yang seperti apa
lagi?"
"Iya aku lupa."
"Tiap hari dipakai kok bisa lupa."
"Namanya manusia ya bisa saja lupa."
"Ya sudah, bantuin angkat sayurnya, kemudian goreng
tempenya ya, aku mau bersih-bersih rumah."
"Belum selesai masaknya?"
"Habisnya aku masak sendirian kamu malah pergi."
Dengan bersungut-sungut Rini pergi kedapur. Tapi
pikirannya masih melayang kearah apa yang dilihatnya. Sudah
jelas Arum ada disana, bersama Angga. Lalu yang dirumah sakit
siapa?
17
Ia terus melangkah, tak perduli nanti mendapat marah. Ia
hanya penasaran, bagaimana mungkin Arum bisa ada di dua
tempat dalam waktu yang bersamaan?
Begitu tiba didepan kamar yang diketahuinya adalah kamar
Arum, ia berhenti melangkah. Khawatir kalau ibu-ibu galak itu
kembali datang dan memaki-makinya.
Ia menoleh kesana kemari. Sepi.. karena siang itu sudah
lepas waktu bezoek. Namun ketika ia hampir memegang
gerendel pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka. Dan lagi seorang ibu
keluar dari dalamnya. Ibu itu adalah yu Siti.
Rini surut beberapa langkah, dan yu Siti teringat pesan bu
Suryo yang menyuruhnya berhati-hati. Ia belum pernah melihat
wanita yang tampak terkejut begitu ia keluar, dan ia menjadi
curiga.
"Kan beda?"
"Iya. Nak Arum kenal sama yang namanya Murni?"
Arum mengerutkan keningnya, mengingat-ingat.
Murni..Murni.. Murni.. tidak, ada ibu-ibu di apotik langganan
yang namanya Murni.
"Masa mbak Murni mau membezoek aku?"
"Jadi nakArum kenal sama yang namanya Murni?"
"Dia pegawai apotik?"
"Dia bilang dari luar kota, tapi saya kok curiga sama dia."
"Dari luar kota? Nggak bu Siti, saya nggak kenal."
"Ya sudah, sudah saya usir tadi."
"Diusir?"
"Ibu bilang harus berhati-hati, dan jangan membiarkan orang
asing masuk. Karena dia asing bagi saya maka saya tidak
mengijinkan dia masuk.Dan dia langsung pergi."
"Siapa ya kira-kita?"
"Orangnya sih cantik, tapi matanya seperti bukan mata orang
baik-baik. Seperti gugup ketika melihat saya keluar dari kamar.
Tapi dia tau bu Arum, begitu."
"Jangan-jangan dia."
"Dia siapa ya?"
"Rini.."
Yu Siti terkejut. Ia sudah tau perihal Rini dan kelakuannya,
yang membuat Arum pergi dari rumah, karena bu Suryo selalu
berbincang dengannya. Hanya yu Siti temannya berbincang
dalam keluh dan suka hatinya.
"Belum tau, nanti bapak kasih tau. Ya, sekarang bapak mau
mandi dulu. Angga sudah mandi?"
"Sudah bapak. Ayo ibu, kita bermain mobil-mobilan lagi. Ibu
tungguin disana."
"Sebentar saja ya, tadi kan sudah.."
Lalu Angga berlari-lari mengambil mobil kecilnya..
Dan tiba-tiba juga seseorang melintas sambil berjalan kaki,
menatap kearah halaman. Angga yang asyik bermain tak
memperhatikannya. Tapi Ratih melihatnya. Ia ingat gadis itu,
namanya Rini, yang sudah menggoda Aryo dan membuat Arum
pergi dari rumah.
Ratih berdiri, menatap tajam gadis itu. Tapi kemudian
dilihatnya Rini melangkah cepat pergi dari sana.
"Baik dokter."
Dan dokter itu pergi, meninggalkan senyum khasnya, yang
terasa sangat menyejukkannya.
"Bagimana nak Arum, pak dokter bilang sudah boleh
pulang?" kata yu Siti sambil mendekat.
"Iya bu, katanya besok sudah boleh pulang."
"Hm, lega saya nak, nanti kalau bu Suryo atau Pono kemari,
saya akan membawa baju-baju dan semua yang sudah tidak
diperlukan disini. Biar besok kalau pulang nggak kebanyakan
bawanya."
"Iya bu, tinggalkan dua baju saja, untuk nanti sore dan
besok."
"Benar nak, biar saya kemasi sekarang."
"Ibu kemarin bilang akan ke bank dulu, tapi nggak usah
ditungguin, biar Pono menjemput saya kemari. Tapi kok belum
sampai ya?"
"Mungkin sebentar lagi bu."
"Nanti Pono kan disuruh ngantar saya ke pasar sekaliyan,
lalu menjemput ibu, lalu mengantar ibu kemari."
"Sebetulnya saya nggak perlu ditungguin bu, kan saya sudah
baikan."
"Ibu nggak ngijinin nak, harus selalu ada yang bersama nak
Arum. Takutnya ada orang jahat masuk kemari dan
mencelakakan nak Arum."
"Oh, iya bu, tapi itu berlebihan kan, masa saya mau
dicelakain, memangnya saya salah apa?"
"Kalau saja saya bisa berkomunikasi, tapi tidak, dia tak mau
berkomunikasi.
"Apa yang harus saya lakukan bu?"
"Hanya menunggu sampai terbuka hatinya."
"Sampai kapan?"
"Kita harus bersabar nak, tak ada yang bisa kita lakukan,
kecuali Tuhan sudah berkenan mempertemukan kita dengannya."
––––––––
Aryo mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedih.
Pesan singkat yang diutarakan kepada ibunya, menunjukkan
bahwa Arum memang tak mau lagi kembali. Sudah hampir
setahun. Tak ada tanda-tanda Arum akan kembali. Ia juga hanya
sekali menemui Angga, yang pada awalnya membuat dia
bingung.
"Kapan lagi ibu peri menemui Angga?"
masih terngiang ditelinganya ketika Ratih membuat dongeng
tentang ibu peri, dan mengatakan bahwa yang datang
menemuinya adalah ibu peri yang berwajah sama dengan ibunya.
Aduhai. Aryo sangat mengagumi Ratih yang dengan tepat
bisa mengalihkan perhatian Angga ketika bingung karena ditemui
ibunya.
"Mengapa ibuku ada dua?"
Tapi pertanyaan itu tak lagi diutarakannya. Pertanyaannya
berganti menjadi 'kapan ibu peri datang lagi' dan itu tak susah
menjawabnya.
"Banyak anak-anak baik didunia ini yang harus ditemui ibu
peri, jadi tidak setiap sa'at ibu peri bisa datang menemui Angga,"
jawab Ratih waktu itu.
––––––––
18
Rini terkejut, mundur selangkah untuk memberi jalan bu
Suryo masuk. Ia ingin segera kabur tapi bu Suryo berdiri
menghadang jalan.
"Kamu lagi? Berani-beraninya kamu memasuki kamar
anakku."
"Ma'af, hanya ingin membezoek kok," katanya lirih.
"Arum, apa yang dia lakukan disini?" tanya bu Suryo kepada
Arum.
"Biarkan dia pergi ibu, eneg melihat wajahnya."
"Perempuan tak tau malu." umpat bu Suryo kemudian
memberi jalan agar Rini keluar dari sana.
Rini melengkah cepat. Ia tak menduga Arum mengira dia
menikah dengan Aryo.
"Aduhai, alangkah senangnya kalau itu benar. Bodoh !! Biar
saja dia menganggapnya begitu," gumamnya sambil terus
melangkah.
––––––––
Ia tiba diruang kerja Wuri sambil tersenyum senyum sendiri.
Senang sekali rasanya mendengat Arum mengatakan bahwa dia
sudah menjadi isteri Aryo. Tapi tak habis pikir dia. Itu tadi benar
Arum kan? Mengapa dirumah Aryo juga ada Arum? Sama-sama
galak dan menatapnya penuh kebencian. Siapa dia? Mana yang
asli? Yang tadi itu benar Arum, tapi kok ibunya beda? Rini
memukul-mukul kepalanya sendiri.
"Kenapa kamu? Kenapa pula kepalamu?" tanya Wuri heran.
"Orang tak tau malu, berkali kali datang dan diusir masih
saja datang kemari."
"Biarkan saja ibu, kan dia sudah pergi."
"Iya sih. Kamu sudah siap? Semuanya sudah selesai.
Sebentar lagi Pono akan datang menjemput."
"Sudah ibu."
Tiba-tiba dokter muda itu masuk kedalam. Bu Suryo dan
Arum terkejut.
"Bu Arum sudah siap?"
"Sudah dokter."
"Saya menulis resep ini, tadi saya lupa menyerahkannya pada
perawat," katanya sambil mengulurkan selembar resep yang
diterima bu Suryo.
19
Masih gemetar tangan Aryo ketika memegang lembaran
surat itu.
"Iya.."
"Sama pensil untuk menggambar.."
"Iya, pokoknya semuanya."
Angga berlari lagi dan asyik dengan mainannya.
––––––––
"Tidak Arum, aku tidak akan menceraikan kamu. Kamu
harus kembali Arum, anakmu membutuhkan kamu. Ia
menemukan ibu semu, bukan ibu sejatinya, apa kamu tidak
kasihan Arum. Kamu boleh benci sama aku, tapi kembalilah
untuk anak kamu." tangis Aryo meledak ledak, sambil memeluk
guling erat-erat. Guling yang basah oleh air matanya.
Sesal dan sedih memenuhi benaknya. Ia mengutuk malam
penuh hujan itu, dan mengutuk setan perempuan yang
mengganggunya. Dan mengutuk kelakuannya sendiri yang
mudah tergoda. Walau tak terlampau jauh, tapi kelakuannya
bersama Rini sungguh tak pantas. Ia tak menyalahkan Arum yang
marah ketika itu.
"Aku lemah, aku khilaf.. Ya Tuhan, ini adalah hukuman dari
dosa yang hamba lakukan."
––––––––
"Pak Aryo harus sabar ya, percayahalah bahwa bu Arum
pasti akan kembali." kata Ratih ketika Aryo mengantarkannya
pulang.
"Yakin ?"
"Ia boleh tega sama suaminya, tapi ia akan luluh kalau
dihadapkan dengan buah hatinya."
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Ya bu, saya menaruh bunga ini dulu dikamar," jawab yu Siti
dari kejauhan, Rupanya ia sedang menata seikat bunga yang beru
saja diberikan oleh sang dokter muda.
––––––––
Sore itu Aryo pulang dari kantor. Ia baru saja membeli susu
untuk Angga karena Ratih mengatakan susunya hampir habis. Ia
juga membeli roti untuk camilan.
Aryo baru saja naik keatas mobilnya dan meletakkan
belanjaan di jok disampingnya, lalu siap menstarter mobilnya,
ketika didepannya berhenti sebuah mobil. Si pengemudi seorang
laki-laki gagah, berjalan memutar kedepan untuk membukakan
pintu samping kiri.
Aryo urung menjalankan mobilnya, menunggu sampai mobil
didepannya tertutup kembali pintunya.
Tiba-tiba matanya nanap menatap siapa yang turun dari
mobil itu. Perempuan yang sangat dikenalnya, dicintainya dan
dirindukannya. Arum.
Hancur hatinya melihat laki-laki gagah itu memegang tangan
Arum dan membantunya turun, tetap menggenggam tangannya
sambil menutupkan lagi pintunya.
Ada darah menggelegak, ada panas membara, ada amarah tak
terhingga.
"Itu sebabnya kamu menggugat cerai ?? Umpatnya geram.
––––––––
20
"Bu Siti.. terimakasih atas kasih sayang ini ya bu," isakn ya.
Tak tau apa yang harus dikatakannya, yu Siti justru ikut
terguguk dalam tangisnya.Ada kekuatan yang menyatu, ada jiwa
terjalin dalam pelukan itu.
"Sudah ya, jangan sedih.."
"Saya tak akan merasa sedih selama ada bu Siti didekat
saya."
Yu Siti mempererat pelukannya.
––––––––
Dokter Bram segera pamit setelah menceritakan semua yang
dialaminya bersama Arum.
"Terimakasih banyak ya nak, sudah merepotkan."
"Tidak bu, saya senang kok. Lain kali saya akan kemari
lagi."
"Datanglah kemari seperti datang kerumah sendiri nak, pintu
ini selalu terbuka," kata bu Suryo ramah.
"Terimakasih ibu."
"Ibulah yang harusnya berterimakasih."
"Semoga bu Arum segera tenang."
"Iya nak, kasihan saya. Heran juga mendengar bahwa
suaminya masih marah melihat Arum sedang bersama nak
dokter."
"Mungkin suaminya masih mencintainya bu."
"Mana ada cinta sepertiitu. Kalau cinta pasti dia tak akan
begitu cepat punya isteri lagi. Dan isterinya adalah perempuan
murahan itu."
––––––––
"Bu Ratih, saya ingin mengatakan sesuatu," kata Aryo ketika
malam itu mengantarkan Ratih pulang.
"Oh ya, ada apa pak?"
"Saya ..." Aryo ragu-ragu mengatakannya. Ia bingung
sendiri, sesungguhnya ingin mengatakan apa.
Ratih menatap laki-laki ganteng disebelah kanannya. Ia
menatap lurus kedepan, dan menjalankan mobilnya pelan.
"Bapak harus tenang."
"Ya, saya tenang."
"Bapak ingin mengatakan apa?"
"Saya sudah memutuskan, akan bercerai dengan Arum."
Ratih terkejut.
"Itu benar."
"Mengapa pak Aryo berubah pikiran?"
"Dia tiudak mencintai suaminya lagi."
"Itu karena dia sedang marah. Tak ada komunikasi diantara
pak Aryo dan bu Arum. Seharusnya pak Aryo dan bu Arum
bertemu, lalu berbicara. Selama ini tak ada komunikasi itu. Salah
paham bisa saja terjadi."
Aryo tercengang mendengar kata-kata Ratih. Memang benar,
tak ada komunikasi selama ini diantara mereka berdua. Tak
pernah bicara empat mata.
"Kalau bisa berkomunikasi, pasti keadaannya akan lain."
"Beberaapa hari yang lalu saya bertemu Arum."
21
Ratih diam, benarkah apa yang didengarnya? Aryo akan
menjadikannya ibunya Angga? Ibu yang sesungguhnya dan itu
berarti Aryo melamarnya? Aduhai. Memang benar Ratih suka,
atau memang memendam rasa suka kepada laki-laki ganteng
disampingnya, tapi ucapan yang serta merta itu sama sekali tidak
membuatnya bahagia. Belum lama Aryo mengatakan bahwa dia
masih mencintai Arum, dan beberapa menit kemudiaan
melamarnya menjadi isteri? Tidak, Ratih tidak suka itu. Cinta
akan indah apabila didasari saling suka yang tulus. Ia yakin Aryo
tidak tulus. Artinya dirinya hanyalah sebagai pelarian dari
kegagalaan rumah tangganya bersama Arum.
"Ma'af, kalau saya terlalu lancang, "
Ratih menoleh kearah Aryo. Dilihatnya wajah penuh luka
yang membuatnya iba.
"Anggap saja saya tak pernah mengucapkannya. Sekali lagi
ma'af.." kata Aryo penuh sesal.
bayinya yang menangis keras. Seorang ibu yang ketika itu lewat,
berhenti dan mengingatkannya.
"mBak, anakmu menngis, kok didiamkan saja?"
"Oh, iya.. " lalu terburu-buru yu Siti menyusukan bayinya.
Tak perduli dijalan dan dilihat banyak orang,, ia terus
menyusukannya.
"Anakmu cantik, itu perempuan kan?" kata seorang wanita
yang rupanya memperhatikannya.
"Iya bu."
"Senangnya bisa punya anak. Sudah lama saya menikah,
belum diberikan keturunan. Kata dokter saya mandul. " kata
wanita itu yang kemudian duduk disampung yu Siti,
memperhatikan betapa lahap bayi itu menyusu.
"Rumahnya dimana mbak?"
"Dikampung sebelah bu, tapi itu bukan rumah saya, hanya
menyewa saja belum sempat saya bayar sewanya." keluh yu Siti
sambil berlinangan air mata.
Wanita itu merasa kasihan, lalu memberikan dua lembar
puluhan ribu untuk yu Siti.
"Tidak bu, terimakasih."
"Kasihan anak kamu itu mbak, udara begini panas, kamu
ajak dia duduk disini."
"Habis mau duduk dimana bu, saya juga sedang bingung. "
"Terimalah uang ini, tak seberapa, tapi bisa untuk membeli
sesuatu."
"Tidak bu, kalau ibu mau menerima anak ini dan merawatnya
dengan baik, saya akan sangat berterimakasih," kata yu Siti
dengan berlinangan air mata.
"Ya Tuhan, benarkah?" wanita itu melonjak kegirangan.
Yu Siti mengangguk. Pilu rasanya bisa mengucapkan kata-
kata itu. Barangkali itu yang terbaik, agar anaknya mendapat
perawatan yang layak. Ia menyadari tak akan mampu, lalu dia
juga membayangkan, bagaimana nanti bayi yang satunya lagi,
yang masih ditinggalkannnya di klinik bersalin itu.
"Benarkah mbak? Boleh saya minta anak mbak?"
"Saya hanya berharap, anak saya mendapat perawatan yang
layak. Saya tak berdaya bu," isak yu Siti.
"Saya senang sekali, saya akan mengasihi seperti anak
kandung saya sendiri mbak, yakinlah. Saya ini seorang janda,
ditinggalkan suami karena tidak bisa melahirkan anak mbak,"
ucap wanita itu dengan wajah sedih.
"Ya sudah, tak usah disesali, semoga suatu haru nanti kamu
bisa ketemu anakmu. Lha kok malah berdiri, duduk saja disini."
"Saya ambilkah dulu teh untuk ibu."
Arum mengunyah singkong rebusnya dengan nikmat, tapi
pikirannya melayang kearah kata-kata bu Siti. Benarkah anak yu
Siti yang diberikan kepada orang itu kembar? Arum penasaran
dan ingin mendengar ceritanya. Namun mengingat tampaknya yu
Siti menyembunyikan perihal anak kembar itu, Arum mencari
waktu agar yu Siti mau menceritakannya.
Rasa iba kembali merebak ketika melihat yu Siti membawa
baki berisi teh hangat untuk bu Suryo. Tampak ada duka yang
terpendam diwajah setengah tua yang masih tetap cantik itu. Baru
kali ini Arum memperhatikannya.
––––––––
"Aryo, saya pikir kamu sudah tidur," sapa bu Nastiti ketika
melihat Aryo duduk sendirian diteras malam itu.
"Belum mengantuk bu."
"Kamu terlalu banyak pikiran, makanya susah tidur."
Aryo menghela nafas. Kata-kata Ratih ketika diantarkannya
pulang tadi terus membekas dibenaknya. Hatinya gundah, tidak
mengendap, lalu memutuskan sesuatu yang ditolaak oleh Ratih.
Iya sih, masa tiba-tiba melamarnya?
"Saya tadi melamar Ratih.." katanya seperti bergumam pada
dirinya sendiri.
"Kamu? Melamar Ratih? Diterima?"
"Tidak bu..."
"Tuh kan, tidak gampang melamar orang. Lagipula kamu
terburu-buru."
22
Bu Nastiti menatap anaknya, ada rasa syukur tersirat disana.
Ia berharap perpisahan itu tak terjadi.
"Iya Yo, ibu setuju.. Angga harus mendapatkan ibunya
kembali. Tidak baik perpisahan itu."
"Tapi bagaimana kalau Arum tetep minta cerai bu, so'alnya
dia sudah punya calon, gagah, ganteng, mobilnya lebih bagus dari
mobil Aryo.," kata Aryo sedih.
"Usahakan untuk bertemu. Atau sebaiknya ketika
persidangan nanti kamu ikut hadir, disana kalian bisa
berkomunikasi dengan baik. Ingatkan dia akan Angga. Tak
mungkin dia bisa melupakan Angga begitu saja."
Aryo termenung. Begitu mudahkah? . Tapi ia masih teringat
ketika bertemu, Arum menatapnya penuh kebencian. Dan lagi-
"Ya capek bu, masa disuruh tiduran terus, aku kan sudah
tidak apa-apa."
"Kalau capek tiduran ya duduk didepan teve, nanti yu Siti
buatkan camilan.."
"Saya ingin membantu masak bu Siti."
"Jangan nak, sudah, biar yu Siti menyelesaikan sendiri, ini
sudah hampir selesai."
"Masak apa sih bu?"
"Cuma sayur asem, pecel, ceplok terur, tahu tempe bacem.
Ini sudah hampir selesai, tinggal goreng telurnya."
"Kalau begitu biar saya duduk disini saja.. Haa.. tahu
bacemnya sudah matang, boleh ngicipin?"
23
Bram mengawasi kemana gadis itu pergi, aduh.. menghilang
kemana dia. Bram melangkah mengitari tuku buku yang sangat
luas itu. Tadi ada anak kecil berlari lari. Tapi Bram kehilangan
jejak.
"Aneh, kok wajahnya seperti bu Arum ya?" gumamnya
sambil menuju kearah kasir.
Ia keluar dari toko buku itu, tapi sambil berputar sekali lagi,
tapi gadis itu tak juga ditemukannya. Dokter Bram pulang dengan
rasa penasaran.
"Ibuu.. aku juga mau ini..."
"Angga.. ini sudah banyak, besok lagi ya.. "
"Satu ini, yang gambar pinokio, nanti ibu ndongeng buat
Angga..."
Ratih terpaksa mengambil buku itu, sambil menoleh kearah
Aryo yang sudah sampai didekatnya. Entahlah tadi dia pergi
kemana.
"Kita pulang?"
"Boleh minta es krim?" tanya Angga.
"Tuh, kan, sudah beli buku banyak, masih mau minta es krim
juga."
"Satu saja bapak..."
"Baiklah, biar bapak bayar dulu belanjaan kamu ini ya.."
––––––––
Dirumah makan itu mereka hanya minum, dan makan
makanan ringan.
"Kasihan ibu sudah masak buat makan malam," kata Aryo.
"Iya, tadi eyang masak ayam goreng kesukaan Angga."
Angga yang semula asyik melahap es krimnya, tiba-tiba
menggamit Ratih.
"Ibu, Angga pengin pipis.."
"Ayo pipis sama bapak saja ya," kata Aryo sambil berdiri.
"Nggak mau, Angga mau sama ibu."
"Aduuh, Angga mengapa nggak mau sama bapak?"
"Ya sudah nggak apa-apa, ayo kekamar mandi," kata Ratih
sambil menggandeng tangan Angga.
Aryo menatap punggung keduanya dengan menggeleng
gelengkan kepalanya. Angga sudah terlalu bergantung pada
Ratih, dan itu membuatnya was-was. Ia ingin Arum segera
kembali, dan pengacara sudah berjanji akan mengusahakannya.
Tiba-tiba seseorang menepuk lengannya. Aryo menoleh dan
seketika matanya melotot marah.
"Satu juta."
"Kamu sudah gila !!"
Aryo meletakkan lima lembar ratusan ribu lalu berdiri dan
melangkah keluar.
"Hanya itu, dan sekalian buat bayar makananmu itu!!"
katanya sambil berlalu.
Rini memunguti uang yang terserak dimeja karena Aryo
meletakkannya dengan kasar. Dengan mengomel panjang pandek
pergi kearah kasir untuk membayar makanannya.
––––––––
Siang itu juga Aryo pergi kerumah sakit. Dia menghubungi
perawat di klinik bedah. Dan mendapat keterangan memang
benar Arumsari pernah operasi disana.
"Bisakah saya tau dimana alamatnya?"
"Sebentar saya cari ya pak.."
Aryo menunggu dengan harap-harap cemas. Ia yakin kali ini
akan bisa menemui isterinya. Ia menunggu tak lama karena
perawat itu sudah mengatakan dimana alamat Arumsari. Tapi
celakanya, alamat yang tercantum adalah alamat rumahnya
sendiri. Alamat dimana Arum dan dirinya tinggal.
Aryo mengucapkan terimakasih dengan perasaan kecewa.
Informasi dari Rini memang benar, tapi ia tetap belum bisa
menemukan alamatnya. Benar kata ibunya, bahwa ia harus
bersabar.
Aryo melangkah keluar, dan tiba-tiba ia melihat seorang laki-
laki tampan dengan atribut dokter bersimpangan dengannya.
Aryo mengingat ingat. Astaga, bukankah dia laki-laki yang
menggandeng Arum itu?
24
Aryo mengepalkan tangannya. Ingin memburunya lalu
menghajarnya. Tapi dokter itu sudah lenyap ditikungan sana.
"Suster, suster.. sebentar, mohon tanya," kata Aryo kepada
salah seorang perawat yang tadi berjalan dibelakang dokter itu,
walau agak jauh.
"Ya, ada yang bisa saya bantu?"
"Yang baru saja lewat tadi namanya dokter siapa?"
"Yang mana?"
"Yang barusan lewat tadi, lalu belok kesana."
"O, itu dokter Bramasto, dokter bedah."
"Oh, terimakasih suster."
Dan suster itu berlalu. Aryo melangkah pelan. Ada sedikit
perasaan minder mendengar keterangan perawat itu.
"Jadi aku bersaing dengan seorang dokter ahli? Spesialis
bedah?"gumamnya lirih sambil terus melangkah.
"Rini siapa?"
"Kalau wanita itu Rini, Angga pastilah anak saya."
"Saya tidak sempat menanyakannya. Anak itu tadinya
menabrak saya, sehingga buku-buku ini jatuh ke lantai. Wanita
itu membantu memungutinya dan meminta ma'af, lalu mengejar
anak kecil itu. Yang saya heran, wajah wanita itu mirip sekali
dengan bu Arum.
Arum bingung. Jadi anak itu pasti bukan Angga. Masa wajah
Rini mirip wajahnya?
"Banyak orang mirip satu sama lain didunia ini," gumam
Arum pada akhirnya.
"Mengapa sangat mirip ya, seperti pinang dibelah dua."
"Itu karena dokter membeli buku untuk saya, jadi kebayang
wajah saya," canda Arum yang sudah berhasil menghilangkan
rasa kesalnya.
"Begitu ya?"
"Nak dokter, mari makan dulu, kebetulan kami juga mau
makan siang," tiba-tiba bu Suryo muncul.
"Lho, bu.. kok ada acara makan siang."
"Ada dong, kebetulan kami mau makan, nak dokter datang.
Ayo Rum, ajak nak dokter keruang makan, "
––––––––
Aryo sudah tiba dirumah sakit. Sudah jam 3 siang, ia
langsung menanyakan, diruang mana dokter Bram praktek.
"Oh, ma'af pak, dokter Bram sudah pulang sekitar setengah
jam yang lalu," kata petugas kantor .informasi
"Ya..ya.. benar."
"Disana pak, ujung jalan ini, kiri jalan, Rumah kecil, bercat
abu-abu."
"Oh, baiklah pak, terimakasih banyak."
Aryo memutar lagi mobilnya. Ujung jalan, rumah kecil
bercat abu-abu. Perlahan Aryo mengamati rumah-rumah
disepaanjang jalan itu. Oh ya, dari sini kiri jalan. Lalu Aryo
menemukannya. Tapi ia melihat rumah itu tertutup rapat. Ada
gerbang yang terkunci dari luar. Berarti dokter itu belum pulang.
Aryo masih duduk dibelakang kemudi, berharap yang
empunya rumah segera kembali. Tapi sudah sejam lamanya ia
menunggu, sang dokter ganteng belum juga pulang.
"Sebaiknya aku pulang saja dulu, mandi lalu agak malam
baru kemari lagi.
Aryo menjalankan lagi mobilnya, menuju pulang. Tak
disadarinya mobil dokter Bram datang beberapa menit setelah dia
pergi. Barangkali belum sa'atnya untuk bertemu.
––––––––
"Dokter Bram itu besar sekali perhatiannya terhadap kamu
Rum."kata bu Suryo setelah dokter itu pulang.
"Iya bu, kan saya itu bekas pasiennya."
"Tapi dia memperlakukanmu dengan sikap yang berbeda. Ibu
merasa ada sesutu dihatinya."
"Sesuatu itu apa ?"
"Sebuah perasaan. Tampaknya cinta."
Arum berdebar mendengarnya. Cinta? Ah, sepertinya masih
sangat jauh. Beberapa kali bertemu, sudah merasa jatuh cinta?
Tapi cinta pada pandangan pertama itu katanya ada. Ah, Arum
ingin segera masuk kekamarnya dan membaca buku-novel yang
tadi diterimanya. Tapi bu Suryo masih mengajaknya bicara.
"Arum, kalau seandainya 'iya', bagaimana dengan kamu?"
"Apanya bu?" Arum pura-pura tak tau.
"Perasaan cinta itu, seandainya ada, apakah kamu akan
membalasnya?"
Arum termenung beberapa sa'at.
"Dia laki-laki yang baik. Ibu yakin dia akan menjadi suami
yang mencintai kamu dengan sepenuh hati. Ibu akan bahagia
kalau kamu bisa menjadi isterinya.
"Tapi bu, saya kan masih punya suami."
"Tapi kan pengacara juga sedang membantu memproses
perceraian kamu. Setelah kamu bercerai, kamu bebas melakukan
apa saja. Mencari suami lagi.. memilih yang terbaik untuk
pendamping kamu."
Arum menghela nafas. Ia suka pada dokter Bram, tapi
apakah itu cinta? Atau gejala akan tumbuhnya rasa cinta? Tiba-
tiba terbayang kembali kenangan bersama suaminya. Suami yang
sangat dicintainya. Apakah cinta itu juga masih ada?
"Mengapa aku merasa sakit hati, dan benci sekali sama Rini?
Apa itu pertanda aku masih cinta sama mas Aryo? Aduhai, kalau
cinta itu tak ada, tak perlu ada rasa cemburu bukan? " kata hati
Arum sambil memeluk buku-buku pemberian dokter Bram.
"Apa kamu menyesal telah mengirimkan gugatan cerai untuk
suami kamu?"
"Entahlah bu, Arum bingung."
"Sidang itu akan digelar beberapa hari lagi. Kamu mau hadir
nanti?"
"Tidak bu, kan sudah ada pengacara," jawab Arum lalu
menghela nafas panjang.
"Baiklah, istirahatlah saja dulu. Kamu belum sempat tidur
siang tadi."
Arum mengangguk kemudian berdiri dan melangkah
kedalam kamarnya.
"KALAU CINTA ITU TAK ADA LAGI, HARUSNYA
TAK ADA RASA CEMBURU" diselaminya kata-kata itu
dalam-dalam. Jadi masihkah dia cinta?
Membaringkan tubuhnya dikamar masih dengan memeluk
buku-buku itu, Arum mencoba mencerna kata hatinya.
Diletakkan buku-buku itu disampingnya, dan dicobanya untuk
mengheningkan rasa dan hatinya. Akan dicarinya rasa cinta itu,
Kalau tak ketemu juga, berarti akan berakhirlah rumah
tangganya. Pasti menyedihkan, lalu titiklah air matanya.
––––––––
Baru saja datng Aryo sudah mandi dan berpakaian rapi. Bu
Nastiti yang merasa heran mendekati anaknya.
"Tumben langsung mandi, mau jalan-jalan sama Angga?"
25
Tatapan itu masih terlekat. Tak seorangpun mendahului
menyapa, karena sedang bergolak beribu rasa yang ada dikepala
mereka. Tapi Aryo segera bisa menguasai dirinya.
"Selamat sore," sapanya pelan.
"Selamat sore," akhirnya dokter Bram menjawa juga
"Saya ingin bertemu dokter."
26
"Iya, tapi ada pohon jagung yang sedang berbuah. Sore nanti
kita membakar jagung dihalaman."
Arum tersenyum senang. Barangkali ditempat teduh nyaman
akan lebih menenangkan hatinya. Ia tak tau bahwa bu Suryo
sedang menjauhkannya dari Aryo..
––––––––
Dalam meeting itu Aryo sama sekali tidak konsentrasi
dengan apa yang dibicarakan pimpinannya. Ia hanya
mengangguk-angguk untuk melegakan. Ia ingin cepat-cepat
selesai dan pergi. Hal pertama yang akan dilakukannya setelah
meeting adalah menemui dokter Bram, o tidak, barangkali dokter
Bram masih sibuk dengan pasien-pasiennya dirumah sakit. Ia
harus menemui Rini.
"Pasti dia yang mengatakan pada Arum bahwa aku telah
menikahi dirinya," gumamnya dalam hati. Rasa geram karena
merasa bahwa Rini tidak cukup membuat isterinya pergi, tapi
masih ditambah menghalangi bersatunya kembali keluarganya,
membuatnya sangat geram.
"Bapak sakit?" tiba-tiba suara lembut menyadarkannya.
Sekretarisnya berdiri didekatnya, dan arena meeting sudah
kosong.
27
"Bu Arum, sudah ketemu pak Aryo?" tanya dokter Bram.
"Apa?"
Tiba-tiba bu Suryo keluar, mengikuti orang-orang desa yang
berjumlah empat orang. Rupanya pembicaraan sudah selesai.
Barangkali tentang pembelian pupuk, atau bagi hasil yang harus
dirembug lagi.
"Itu nak dokter masih ngomong? Mana saya tadi belum
sempat bicara. Ponsel yang dipegang Arum diminta oleh bu
Suryo. Arum mengulurkannya sambil bertanya dalam hati,
mengapa dokter Bram bertanya tentang Aryo? Apa Aryo bilang
mau ketemu dia? Untuk apa ketemu? Ah, paling tentang
perceraian itu. Perceraian yang ditolak Aryo. Entahlah, Arum
sebutkan tadi. Baiklah, ini Arum. Tapi ingat pesan saya tadi ya
nak dokter.." kata bu Suryo, seperti menyembunyikan sesuatu.
Bu Suryo mengulurkan ponsel kearah Arum.
"Ini, nak dokter ingin bicara sama kamu."
Bu Suryo duduk disamping yu Siti. Duduk berderet bertiga.
Tampak sekali bu Suryo ingin mendengar apa yang dibicarakan
Arum dan dokter Bram.
"Ya, dokter, bagaimana?" sapa Arum.
"Saya sudah bicara sama ibu. Besok boleh menyusul kemari
kan?"
"Tentu saja boleh, sudah tau tempatnya?"
"Sudah, ibu sudah memberi tau tadi."
"Baguslah dokter. Sebetulnya ada yang ingin saya tanyakan."
Bu Suryo menatap Arum, tatapan itu membuat Arum
sungkan melanjutkan kata-katanya.
"Tentang apa bu Arum?"
"Ooh, itu.. tentang obat yang harus saya minum.." kata Arum
meralat kata-katanya. Ia tahu bahwa bu Suryo tak menyukai
pembicaraan tentang Aryo, padahal Arum ingin bertanya tentang
apa yang dikatakan dokter Bram tadi. Tepatnya pertanyaannya
tentang apakah dia bertemu Aryo. Mengapa dokter Bram
bertanya begitu? Tapi Arum berjanji akan menanyakannya besok
pagi kalau dokter ganteng itu datang.
"Obat? Bukankah sudah saya terangkan semuanya?"
"Besok saya akan menanyakannya lagi. Ada yang terasa
nggak enak kalau diminum." lagi-lagi Arum berbohong.
"Baiklah bu Arum, sampai besok ya."
28
Ratih menatap laki-laki ganteng itu. Berwajah bersih bermata
tajam, dan memandanginya tanpa berkedip. Bagaimana si
ganteng ini bisa tau namanya? Ayah salah satu muridnya?
"Benar bu Ratih bukan?" laki-laki itu semakin dekat.
"Bu Arum bersama ibunya, eh, ibu angkatnya. Sa'at ini pak
Aryo sedang berusaha menghubunginya. Agak susah karena ibu
angkatnya tampaknya mencegah bersatunya kembali antara pak
Aryo dan bu Arum."
"Oh, kasihan pak Aryo. Dia sangat sedih."
"Semoga saya bisa membantunya."
Pembicaraan itu terputus karena Ratih minta berhenti
disebuah gang yang menuju kearah rumahnya.
"Terimakasih banyak, pak Bram."
"Sama-sama bu Ratih, sampaikan salam saya kepada pak
Aryo."
"Nanti akan saya sampaikan."
Ketika Ratih sudah turun, tak henti-hentinya dokter Bram
mengagumi kemiripan wajah antara Arum dan Ratih. Nyaris tak
ada bedanya. Hanya tahi lalat kecil diatas bibir itu yang
membedakannya. Bagaimana mungkin, bukan saudara kembar
tapi sangat mirip?
"Nanti akan saya katakan semua ini kepada bu Arum. Tapi
jangan sampai bu Suryo mendengarnya. Semoga ada kesempatan
untuk bicara." gumam dokter Bram sambil memacu mobilnya,
kearah rumah peristirahatan bu Suryo.
––––––––
Aryo senang ketika Ratih mengatakan bahwa tadi bertemu
dokter Bram.
"Kebetulan yang menyenangkan. Ia tiba-tiba menjadi sangat
dekat, ia baik dan ramah. Saya menyesal dulu hampir
menghajarnya."
"Ada apa bu?" tanya Aryo karena melihat wajah Ratih tiba-
tiba tampak murung.
"Tapi alasan menggugat cerai itu sangat kuat bu, mas Aryo
sudah menikah."
"Kalau nak Arum bisa bertemu pak Aryo, barangkali akan
ada jalan yang lebih baik. Terbukti kata pak pengacara yang
mengatakan bahwa katanya pak Aryo akan menolak gugatan itu,
pasti ada sesuatu yang membuatnya berbuat begitu."kata yu Siti
masih dengan suara lirih, takut bu Suryo mendengarnya.
" Misalnya apa?"
"Mungkin pak Aryo akan menceraikan perempuan itu, atau
malah sudah dilakukannya. Sebuah peristiwa tanpa ada
komunikasi itu menjadi rumit, karena satu sama lain akan berfikir
sendiri-sendiri, tanpa tau apa yang sesungguhnya terjadi."
"Aduh baunya, sudah matang bakwannya?" tiba-tiba bu
Suryo masuk kedapur.
Yu Siti terkejut, lalu menjauh dari Arum, dan mencuci
sayuran yang sudah disiapkan.
"Ada apa kok bicaranya berbisik-bisik?"
"Oh, itu bu, nak Arum minta saya mencicipi bakwannya
dulu, tapi masih panas," jawab yu Siti sekenanya.
"Baunya sudah enak, aku juga ingin mencicipi, tapi karena
masih panas ya nanti saja."
"Saya ambilkan dipiring kecil ya bu."
"Iya, tapi taruh dulu disitu, aku sama Pono mau keluar
sebentar, Sayurnya apa tuh yu?"
Tadi ibu bilang ingin sayur bobor. Saya sudah memetik
bayam dari kebun, dan juga ada kates muda untuk ditambahkan."
"Hm, iya, sudah lama juga tidak makan pakai sayur bobor.
Ya sudah, aku mau pergi sebentar ya."
29
Arum terpaku ditempatnya berdiri. Suara Aryo begitu
bersemangat ketika tau bahwa dia yang mengangkatnya. Karena
gembira bisa menyapanya? Belum sempat mengatakan sesuatu,
kecuali hanya sulit menghubungimu. kata Aryo di telephone itu.
Arum kebingungan. Nomor telephone yang menghubungi
tadi belum sempat dicatatnya. Mana mungkin mencatat, baru kata
sepatah diucapkan, lalu ponsel itu diambil.
Arum setengah berlari masuk kekamarnya. Dipegangnya
ponselnya. Aduh, baterynya mati. Diambilnya charger. Tapi ia
akan menelpon siapa? Nomor Aryo sudah dibuangnya sejak dia
pergi. Dan tadi itu benar nomor Aryo atau bukan? Arum sudah
lupa semuanya.
Ketika ponsel itu menyala, dia membaca semua kontak yang
ada. Tak ada .. hanya dua nomor. Nomor bu Suryo, dan nomor
ibunya. Yaaa.. mengapa tidak menelpon ibunya saja? Arum
mencobanya,.
––––––––
Mobil Bramasto terus menyusuri jalanan perdesaan. Ia
sudah mengatakan bagaimana bertemu Aryo, lalu Bram
mengatakan semuanya. Arum gemetar mendengarnya.
"Jadi mas Aryo tidak menikahi Rini?"
"Pak Aryo mengusirnya malam itu juga."
"Aku tidak tau, aku tidak mengira," bisiknya terisak.
"Darimana bu Arum tau bahwa pak Aryo menikahi Rini?
Rini mengatakannya?"
"Tidak."
"Lalu, mengapa bu Arum mengira begitu?"
"Hanya asumsi saya saja."
"Bagaimana urusan sebesar ini dipastikan hanya karena
asumsi?"
"Waktu itu saya mau ketemu ibu, diantar Pono. Tapi ketika
hampir tiba, saya melihat mas Aryo turun, lalu Angga, dan ada
seorang perempuan yang baru saya lihat kakinya juga turun dari
sana. Saya sakit hati, mengira itu Rini."
"Belum jelas siapa, tapi sudah mengira itu Rini?"
"Ketika saya menemui Angga disekolah, dia berteriak,
mengapa ibuku ada dua?"
Saya sakit hati, lalu menangis disepanjang jalan.
Bram menghentikan mobilnya, lalu memutar arah.
"Kembali?"
"Kita sudah terlalu jauh, nanti bisa benar-benar kesasar.
Masih banyak yang bisa dibicarakan sambil pulang."
30
Hati Arum mencelos. Baru mau nyambung dengan
suaminya, bu Suryo muncul.
––––––––
"Mungkin lain kali saya akan kemari lagi dan melihat desa
ini lebih tenang. Hari sudah sore dan saya harus segera pulang."
"Oh, nak Bram praktek sore hari? Ini kan Minggu?" tanya bu
Suryo.
"Tidak bu, bukan masalah praktek, saya tidak praktek
dirumah, sudah capek."
"Lalu mengapa sepertinya tergesa pulang?"
"Saya ada janji dengan teman," kata Bram sambil melirik
Arum disebelahnya.
Arum menatapnya, dan melihat dokter Bram mengedipkan
sebelah matanya. Apakah dokter Bram berkencan dengan
suaminya?
"Oh, yang tadi menelpon itu ya nak?"
"Iya bu, yang tadi menelpone."
"Oh, baiklah. Kapan nak Bram kemari lagi?"
"Kalau ada waktu senggang bu."
"Ma'af lho, kalau banyak yang mengecewakan dalam ibu
menyambut nak Bram, maklumlah, sambutan orang desa."
"Ibu, saya senang sekali. Saya merasa menjadi tamu
istimewa. Terimakasih banyak bu.Sama sekali tak ada yang
mengecewakan. Lain kali saya pasti datang kemari."
"Terimakasih ya nak, semoga kita benar-benar bisa menjadi
keluarga."
Ucapan terakhir ini tidak dijawab oleh Bramasto. Permintaan
yang dianggap mengada-ada, sementara Arum masih ada
suaminya.
"Arum dari tadi kok diam saja? Kamu sakit?" tanya bu Suryo
karena dari tadi tidak bicara.
"Tidak apa-apa bu, kan mas Bram sudah banyak bicara.
Takut saingan," kata Arum mencoba bercanda.
"Iya, nanti saya mendapat saingan kalau bu Arum ikut
bicara."
"Ya sudah kalau tidak apa-apa, ibu takut kamu merasa pusing
atau apa."
"Arum hanya lelah bu."
"Nanti sampai dirumah harus langsung beristirahat."
"Baiklah bu," memang itulah maksud Arum, supaya nanti bu
Suryo tidak lagi mengajaknya bicara yang macam-macam.
"Bolehkah saya mengetahui nomor ponsel bu Arum?" tanya
BRam.
"Boleh mas saya akan catatkan."
"Lha apa itu perlu, nak Bram bisa menghubungi Arum lewat
nomor saya kan?" sanggah bu Suryo.
"Tapi kalau kelamaan nomor bu Arum mati bisa hangus bu,
nanti saya bantu mengisinya kalau sudah sampai dirumah."
Bram mengulurkan ponselnya kepada Arum, dan meminta
agar Arum menuliskan nomor ponselnya. Bu Suryo diam, tak
bisa membantah kata-kata Bramasto.
––––––––
sahabat walau baru sekali dua kali ketemu itu tampak sangat
akrab.
Ia menceritakan pertemuannya dengan Arum, dan mengapa
Arum mengira Aryo sudak menikahi Rini. Hanya asumsi, hanya
perkiraan dan dijadikan alasan untuk bercerai. Aryo sedih
mendengarnya.
"Tapi saya bersyukur pak Bram sudah mengatakan
semuanya. Semua kebenaran itu."
"Saya malah belum sempat menceritakan pertemuan saya
dengan bu Ratih, karena cerita tentang pak Aryo belum selesai,
dan saya hampir menelpon pak Aryo agar bisa bicara dengan bu
Arum, tapi bu Suryo keburu datang.
"Apa sebabnya dia menghalangi kami untuk bersatu?"
"Pak Aryo, ma'af, ini bukan kemauan saya. Rupanya bu
Suryo ingin agar saya menikahi bu Arum."
Aryo tertegun.
"Tampaknya dia menghalangi pak Aryo untuk bersatu
kembali dengan bu Arum, walau saya sudah mengatakan hal yang
sebenarnya. Dia malah melarang saya mengatakannya pada bu
Arum. Tapi saya sudah menceritakan semuanya pada bu Arum."
"Saya baru saja mengisi pulsanya, sehingga kita bisa
berkomunikasi langsung. Tapi pak Aryo harus hati-hati, kalau bu
Suryo mendengar dering telepone bu Arum pasti akan curiga.dan
seribu cara akan dilakukan bu Suryo untuk menghalanginya."
Bramasto segera memberikan nomor ponsel Arum.
"Barangkali kalau tengah malam saya bisa menghubunginya,
semoga kamarnya berbeda dengan kamar bu Suryo."
Bram mengangguk setuju.
31
Bramasto memegangi ponselnya dengan tangan gemetar.
Tampak geram membacanya. Ia kemudian mengulurkan ponsel
itu kepada Aryo.
"Coba pak Aryo baca ini."
Aryo menerima dan membacanya. Wajahnya merah padam
menahan amarah.
"Apa-apaan ini? Saya akan laporkan pada polisi," kata Aryo
geram.
"Sebentar pak, lebih baik kita berfikir jernih. "
"Ini sudah keterlaluan. Dia seperti menculik isteri saya. Biar
saya telephone Arum."
"Jangan sekarang pak, Ini masih sore. Kalau bu Suryo
mendengarnya kita justru akan gagal berbicara dengan bu Arum."
Aryo menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi.
Tangannya mengepal menahan amarah.
"Saya akan kesana, tolong pak Bram kasih alamatnya."
"Pak Aryo, sabar dulu."
Bramasto menulis pesan singkat membalas pesan Arum.
––––––––
"Ibu, hari ini saya mau kerumah ibu. Boleh kan?" tanya
Arum yang sudah berpakaian rapi.
"Boleh saja, mau saya antar?"
"Jangan bu, saya harus cerita-cerita dulu sama ibu, suatu hari
nanti pasti ibu akan saya kenalkan dengan ibu saya."
"Yu Siti, panggil Pono, suruh mengantar Arum kerumah
ibunya."
Tak perlu diulang dua kali yu Siti sudah bergegas keluar
menemui Pono. Banyak harapan dalam hatinya ketika nanti Arum
menemui ibunya. Semoga sejoli yang masih saling mencinta itu
bisa bersatu kembali.
"Hati-hati ya, ini uang, kalau mau beli oleh-oleh buat ibu."
"Saya masih punya bu, ibu kan sering memberi uang saku
untuk Arum."
"Nggak apa-apa, bawa saja, barangkali kurang. Beli oleh-
oleh yang pantas, makanan yang enak, supaya ibu kamu mengerti
bahwa kamu hidup tidak kekurangan."
Arum mengangguk sambil menerima uang pemberian bu
Suryo.
––––––––
Angga ternyata tidak hanya minta beli es krim, ia menarik
tangan Ratih untuk masuk kesebuah mal. Hm, untung pak Aryo
memberi uang banyak, kalau tidak, lalu Angga minta yang
mahal-mahal, bisa repot dia.
32
Mata licik itu menyipit, memandangi wajah dua wanita
dihadapannya yang nyaris tak ada bedanya. Tapi yang bersama
Angga, Rini yakit itu bukan Arum, karena Arum berada ditempat
lain. Makanya Rini berani berkata kasar dan mengejeknya.
Namun ia surut ketika seorang lagi datang dan menghardiknya.
Ratih terpaku seperti melihat bayangan dirinya di cermin.
Angga menatap heran tanpa ber-kata-kata. Ia menempel
dipinggang Ratih.
"Mau apa kamu? Haa? Katakan kamu mau apa?"
"Mm... ma'af, tapi ingat, saya kan.. isterinya pak.. Aryo?"
kata Rini yang masih ingat bahwa Arum mengatakan bahwa
dirinya telah dinikahi Aryo. Tapi sambil mendekat dan menuding
kearah wajahnya, Arum menghardiknya.
Apa? Kamu isterinya pak Aryo? Kamu mimpi bukan? Kamu
yang tergila-gila pada suamiku, lalu kamu menggodanya,
sekarang kamu ingin mengatakan bahwa kamu sudah jadi
isterinya? Mana sudi suamiku punya isteri macam kamu.
Perempuan murahan !!"
"Ibu .. benar kata ibu, kalau aku nggak nakal, ibu peri akan
datang lagi," celoteh Angga sambil memandangi Ratih.
Arum menatap Ratih, lalu sekali lagi Ratih mengerjapkan
sebelah matanya.
Apa sih, Arum tidak mengerti, Tapi kemudian keduanya
tersenyum lucu. Pertemuan itu sangat membahagiakan. Arum tak
menyangka bisa ketemu Angga. Ratih tak menyangka bisa
bertemu Arum.
Mereka sudah duduk disebuah meja dirumah makan yang
ada di mal itu. Arum memesan makan dan minum, dan Angga
minta es krim dan nasi ayam.
Sebelum pesanan datang, Arum menelpone Pono.
"Pono, sabar ya, saya lagi pesen makanan dan lagi dimasak,
agak lama jadinya."
"Ibu bersama sopir?"
"Sopirnya bu Suryo. Sebenarnya dia akan mengantarkan saya
kerumah ibu, tapi saya harus membeli oleh-oleh dulu. Nah, ini
malah ketemu anak ganteng."
"Apa ibu peri doyan makanan manusia?"
"Ratih menutup mulutnya. Ia harus mengatakan sesuatu pada
Arum, tapi jangan sampai Angga mendengarnya. Lalu dibukanya
tasnya, ada buku catatan kecil yang kemudian diambilnya. Ia
menuliskan sesuatu. Tentang mengapa Angga menganggapnya
ibu peri. Singkat tapi semoga Arum bisa mengeri.
"Ibu peri itu, kata ibu makanannya bunga," lanjut Angga
sambil tak henti-hentinya menatap ibu peri.
"Enakkah rasanya bunga?" lanjut Angga.
"Itu karena ibu peri sayang sama Angga, dan sedih karena
harus meninggalkan Angga."
"Kamu dimana?"
"Masih di ibunya bu Arum bu.. ini lagi makan."
"Wah, enak bener disuguhin makan segala No."
"Iya bu,habisnya dipaksa -paksa.. Ada apa bu?"
"Apa Arum masih lama?"
"Waduh .. saya nggak tau bu, akan saya tanyakan dulu."
"Kalau kamu sudah selesai makan, dan Arum masih akan
lama, tolong pulang dulu No, aku butuh kamu."
"Saya kira tidak selalu begitu bu, orang bersalah bisa saja
bertobat, kemudian bisa menjalani hidupnya dengan lebih baik."
"Bagaimana menurut pendapatmu yu, apakah salah kalau aku
menjodohkan Arum dengan dokter Bramasto?"
"Menurut saya tidak salah, karena ibu memilihkan yang
terbaik untuk nak Arum. Cuma saja, apakah nak Arum mau, dan
apakah pak dokter juga mau? Sa'at ini nak Arum baru dalam
proses perceraian yang hasilnya entah bagaimana. Lalu apakah
pak dokter belum punya calon? Selama ini ibu belum pernah
menanyakannya bukan?"
Bu Suryo termenung.
"Iya juga ya, apa nak Bram sudah punya calon? Seorang
dokter sebaik itu, seganteng itu, masa sih belum punya calon ya
yu?"
"Baiknya ibu tanyakan dulu, karena dengan belum menjawab
tawaran ibu, mungkin dia sungkan mengatakannya."
"Ya, aku lupa itu. Aku hanya menilai perhatiannya yang
besar sama Arum."
"Itu Pono kelihatannya sudah datang bu," kata yu Siti ketika
mendengar suara mobil masuk ke halaman.
"Iya, baiklah, saya akan bertanya ke petugas imigrasi
bagaimana mendapatkan paspor bagi Arum, kalau masih
bersuami kan diminta surat nikahnya kalau tidak salah. Jadi harus
menunggu statusnya apa ya. Setelah surat cerai itu keluar
mungkin."
Waduh, masih nekat mau membawa keluar negeri? Keluh yu
Siti dalam hati.
––––––––
33
Namun beberapa kali Arum menelpone tetap tak ada
jawaban.
"Apakah mas Aryo masih sibuk? Ingin rasanya Arum
menelphone kekantor Aryo, tapi agak sungkan. Selama menjadi
isterinya ia tak pernah mengganggu pekerjaan suaminya.
"Adakah telephone kantornya?" tanya bu Martono.
"Ada sih bu, tapi sungkan, kalau mas Aryo masih sibuk nanti
mengganggu."
"Tapi kan ini penting, Saya kira tidak apa-apa kalau kamu
mau menelpone."
"Gitu ya bu?"
"Iya, kalau memang lagi sibuk kan pasti dijawab sibuk, gitu."
Arum menelpone ke nomor kantor, tapi yang menjawab
sekretarisnya.
"Ma'af bu, pak Aryo sudah pulang dari tadi."
"Sudah pulang?"
"Iya, so'alnya beliau kebingungan mencari ponselnya tadi."
"Oh, jadi... pak Aryo nggak bawa ponsel?"
"Saya lihat seharian pak Aryo tidak mempergunakan
ponselnya, baru sore ini tadi kebingungan karena ternyata
ponselnya nggak ada."
"Tidak mudah bagi dia untuk memilih isteri, apalagi dia tau
kalau Arum masih punya suami."
––––––––
Dokter Bram meluncur kearah rumah Aryo. Ketika bertemu
Aryo sudah mengatakan dimana alamatnya. Kasihan Arum kalau
sampai tidak bisa bertemu suaminya.
Didepan sebuah rumah yang dikatakan Aryo, Bramasto
berhenti. Ia melihat seorang anak kecil berlarian dibawah pohon
mangga, seorang gadis mengejarnya. Bram tau, dia adalah Ratih,
dan Angga.
"Tidak ada yang sakit, pak dokter ini temannya bapak, ayo
kasih salam."
Angga mengulurkan tangannya dan disambut dokter Bram
dengan senyum ramah. Senang rasanya ketika Bram mencium
tangannya.
"Anak baik, anak ganteng," kata dokter Bram.
"Mau menunggu?"
"Tidak, saya sedang ter-buru-buru."
"Oh.."
"Jam berapa biasanya pak Aryo pulang?"
"Biasanya juga sudah pulang, atau terkadang juga agak
malam. Sebaiknya pak Bram menelpon dulu."
"Itulah bu Ratih, saya tidak akan bisa menelpone nya karena
ponselnya hilang."
"Oh iya, saya lupa, tadi ibu bilang pak Aryo sedang mencari
ponselnya, tapi dirumah tidak ada."
"Aduh, lalu kemana dia? Sa'at ini bu Arum ada dirumah
ibunya."
"Iya, tadi ketemu di toko."
"Tadi ketemu?"
"Iya, katanya mau menelpone pak Aryo ketika sudah
dirumah bu Martono, saya pikir sudah ketemu."
"Belum ketemu bu, karena tidak bisa berhubungan dengan
adanya ponsel hilang itu."
"Bagaimana ya, kasihan bu Arum menunggu."
"Begini saja, saya pulang dulu, nanti kalau pak Aryo datang,
tolong bilang kalau ditunggu bu Arum dirumah ibunya."
"Baiklah. Tidak duduk dulu?"
"Saya harus segera mengabari bu Arum."
"Baiklah, semoga bu Arum segera bisa ketemu pak Aryo."
Bram mengangguk dan berpamitan. Sekilas ditatapnya wajah
cantik yang sedikit berkeringat itu dengan debar yang aneh. Biar
wajah berkeringat, tapi tidak hilang kecantikannya. Ia
mengangguk tersipu ketika Ratih juga sedang menatapnya. Saling
tatap yang hanya sekilas itu memercikkan nyala api yang tidak
diketahui dari mana asalnya. Aduhai..
––––––––
––––––––
Arum gelisah menunggu, ia berjalan mondar mandir keluar
masuk rumah, membuat bu Martono ikut gelisah.
"Duduklah dulu disini dan bersabar nduk, nanti juga dia pasti
datang kemari."
34
Arum tertegun. Seketika menghentikan langkahnya.. Orang
yang diharapkan belum datang, yang tidak diharapkan malah
nongol, menebar senyum manisnya, yang sama sekali tak enak
untuk dinikmati. Arum tau bu Suryo akan segera mengajaknya
pulang.
"Arum.." panggil bu Suryo sambil mendekat.
"Kok ibu sampai kemari?"
"Iya, sekalian pulang, sekalian nyamperin kamu. Dan
sekalian juga ingin kenalan sama ibu kamu."
"Oh, silahkan masuk bu. Silahkan masuk kedalam saja."
"Kenapa deg-degan?"
Arum menutupkan jari telunjuk dibibir..
"Ketemu mas Aryo.." kata Arum berbisik.
"Oh, bagaimana ibu ?"
"Tampak kurang suka, lalu mengajak saya kembali kemari."
"Oh.. ya ampuun.. ibu kok gitu ya."
"Tapi saya senang, sudah ketemu mas Aryo, walau bicara
sedikit tapi penuh makna. Kami selalu saling mencintai bu. Dan
saya akan segera kembali."
"Syukurlah, yu Siti ikut senang. Tapi sedih kalau nak Arum
nanti kembali kesana, yu Siti akan kehilangan..." kata bu Siti
sendu.
"Tidak bu, bu Siti tetap akan menjadi ibu saya, yang akan
selalu saya kunjungi setiap sa'at.
"Benarkah?"
Arum mengangguk lalu merangkul yu Siti erat.
"Anakku...." bisiknya lirih, seakan menemukan anaknya
kembali.
"Mau mandi dulu ya bu, ceritanya nanti malam saja."
"Ya, mandi sana nak, biar seger. Yu Siti mau menyiapkan
makan malam dulu."
––––––––
Malam itu bu Suryo hampir tak keluar kamar. Ia hanya
makan sedikit tanpa banyak bicara, lalu kembali masuk kedalam
kamarnya.
35
36
Kalaupun pantas Aryo pasti akan menari-nari. Setengah
berlari ia kebelakang, mencari ibunya dan memeluknya erat. Bu
Nastiti kebingungan dibuatnya.
"Ada apa ini Yo?"
"Ibu, Arum telah membatalkan gugatannya." teriak Aryo
kegirangan. Bu Nastiti memegangi kedua lengan anaknya,
menatap wajahnya dengan binar bahagia.
"Benar?"
:Baru saja pengacara Aryo menelpone. katanya
pengacaranya Arum sudah mengabari bahwa dia akan mencabut
gugatan cerainya. Kita akan kembali bersama ibu. Angga akan
mendapatkan ibunya yang sejati." menggebu suara Aryo, bergetar
penuh perasaan bahagia.
"Akhirnya do'a kita terkabul ya Yo, syukurlah. Kapan Arum
akan kembali?"
"Secepatnya ibu, Aryo akan segera menghubungi Arum.
Rupanya dia berhasil meluluhkan hati ibu angkatnya."
"Ibu sungguh penuh kasih sayang kepada siapa saja, itu yang
saya kagumi, saya belum pernah menemukan orang sebaik ibu."
"Bukankah kamu pernah merasa kesal sama ibu karena ibu
melarang kamu kembali pada suami kamu? Ngaku saja, ibu
melihat wajah kamu yang kelihatan marah sama ibu."
"Tidak bu, Arum tidak marah.."
"Mengapa wajah kamu tampak kesal begitu? Kelihatan lho
orang kalau lagi kesal."
"Arum mengerti mengapa ibu melakukannya."
"Mengerti?"
"Karena ibu menyayangi Arum, ikut merasakan sakit ketika
Arum disakiti, "
"Itu benar, herannya kamu bisa mema'afkan suami kamu.
Sedangkan ibumu ini, tidak akan pernah bisa mema'afkan
penghianatan yang dilakukan suami ibu."
"Saya kira jauh bedanya bu, antara ibu dan Arum. Benar
kalau ibu tidak bisa mema'afkan, karena sudah jelas ibu
dikhianati sepenuhnya. Diporoti hartanya demi perempuan lain,
tapi mas Aryo hanya khilaf sesa'at, dan saya sudah
mema'afkannya."
"Semoga itu bukan karena perangai buruknya."
"Ibu harus selalu merestui saya dan mendo'akan saya, agar
kami hidup bahagia."
Bu Suryo balas memeluk Arum. Pertemuan yang baru
setahun itu telah membuat ikatan halus diantara jiwa mereka,
menalikannya seakan mereka adalah sedarah daging, saling
mengasihi dan memperhatikan.
37
Arum mengangkat kepalanya. Ia menoleh lagi ke arah yu
Siti, masih diam sambil memeluk guling. Arum bangkit dan
duduk ditepi ranjang. Isak itu masih terdengar. Arum berdebar,
turun dan melangkah kearah pintu. Dibukanya pintu kamarnya,
perlahan sehingga tak menimbulkan suara.
Diruang tengah datangnya suara itu. Arum melangkah
perlahan. Astaga, dilihatnya bu Suryo sedang memeluk sebuah
pigura, sambil terisak isak. Arum tau, didalam pigura itu ada foto
dirinya dan bu Suryo. Ada senyum merekah disana, bagai ibu dan
anak yang sedang bahagia.
Arum mendekat, lalu duduk disamping bu Suryo. Bu Suryo
terkejut karena tak menduga Arum masih terjaga.
"Ibu...."
"Kamu belum tidur ?"
"Mengapa ibu juga masih ada disini ?" tanya Arum sambil
menghapus air mata bu Suryo dengan selembar tissue yang
diambilnya dimeja itu.
"Ibu nggak bisa tidur."
"Ibu harus tidur, ini sudah malam."
"Arum... besok malam, kamu sudah tidak ada lagi dirumah
ini," terisak bu Suryo memeluk Arum erat didadanya."
Arum hanyut oleh kesedihan bu Suryo. Memang susah
memutuskan ikatan yang sudah lama terjalin. Tak urung air
matanya juga terurai, membasahi pundak bu Suryo.
"Ibu jangan sedih ya, biarpun Arum tidak disini, tapi hati
Arum akan tetap berada dihati ibu, dan ibu juga akan tetap ada
dihati Arum ini."
"Jangan sampai ibu kamu lupakan ya Rum? Aku ibumu
kan?"
"Ibu, mana mungkin Arum melupakan ibu? Kita akan sering
bertemu, dan menikmati masakan bu Siti, atau jalan bersama
seperti biasanya."
"Benarkah?"
"Ibu harus percaya pada Arum.Sekarang ibu tidur ya, malam
sudah larut."
Bu Suryo mengangguk. Ditaruhnya pigura yang tadi
didekapnya diatas meja. Dipandanginya lagi sekilas dengan
perasaan tak menentu, lalu bangkit dan berjalan kearah kamarnya.
Arum menatapnya dengan iba, disadarinya bahwa ia juga
merasakan hal yang sama..
––––––––
"Pak Aryo, besok kan mau menjemput bu Arum, saya tidak
usah datang ya, saya ada keperluan bersama bapak."
Pesan singkat Ratih yang diterima Aryo malam itu. Tak apa,
ia tak bisa selamanya mengikat Ratih. Ia juga punya keperluan
dan tidak harus selalu melayani keinginan Angga.
Tapi Aryo bingung, bagaimana nanti menjelaskannya kepada
Angga kalau Arum ikut pulang kemari.Biasanya Ratih selalu bisa
memecahkan masalah, karena itu ditelponnya Ratih pagi sebelum
dia berangkat.
"Bu Ratih, ma'af, saya masih akan mengganggu."
"Ya pak Aryo, ada apa?"
berpisah sama ibunya. Dan itu juga yang membuat aku semakin
yakin bahwa aku harus membiarkan Arum kembali."
"Apakah nanti anak itu ikut kemari?"
"Aku minta agar Arum menyuruh suaminya untuk mengajak
Angga. Oh ya yu, aku belum cerita ya, selama setahun ini Angga
itu merasa mendapatkan ibunya, karena ada gadis yang wajahnya
persis sekali sama Arum."
"Persis?"
"Persis seperti kembar."
Bu Siti menghentikan kegiatannya menata meja.
"Kembar? Ibu pernah melihatnya?"
"Melihatnya dengan mata kepala sendiri yu, seperti pinang
dibelah dua. Aku mengira dia itu kembar, tapi katanya mereka itu
masing-masing anak tunggal lho. Kok bisa..."
Yu Siti tercekat, tiba-tiba piring yang dipegangnya terlepas,
memperdengarkan bunyi nyaring yang mengagetkan bu Suryo.
––––––––
38
"Yu Siti, ada apa kamu ini.." bu Suryo melangkah mendekati,
lalu berjongkok membantu memunguti pecahan piring.
"Ma'af bu, ini piring kesayangan ibu," kata yu Siti agak
gemetar. Bukan hanya karena takut dimarahi, tapi juga ada yang
difikirkannya. Tentang anak kembar itu, tiba-tiba
mengingatkannya akan kedua anaknya. Beribu pertanyaan
memenuhi benaknya. Benarkah.. benarkah.. dan benarkah..?
"Rumah nenek peri bagus ya, tapi tidak ada mainan disini."
Semuanya tertawa.
"Karena nenek peri sudah tua, jadi tidak suka mainan."
Suara penuh riang itu terdengar oleh yu Siti dari dalam
kamarnya. Ia sudah merasa lebih tenang. Kemudian dia bangkit,
lalu melangkah keluar kamar, Dilihatnya Arum sedang
memeriksa meja makan dan membenahi apa-apa yang dirasa
kurang. Yu Siti mendekat.
"Lho, bu Siti gimana, sudah, tiduran saja, biar saya
mengaturnya."
"Yu Siti sudah baikan."
"Jangan begitu bu, nanti ibu marah lho."
"Banyakkah tamunya?"
"Tidak, cuma mas Aryo, ibu mertua saya dan Angga."
Yu Siti tampak kecewa. Ada yang ingin dilihatnya, kembaran
Arum, tapi ternyata dia tak ada.
––––––––
39
Bu Suryo heran. Mengapa yu Siti bertanya begitu.
"Tahi lalat diatas bibirnya? Aduh, aku kok nggak begitu
perhatian ya, aku bertemu hanya sekilas, ketika Arum mengajak
ke sekolah Angga. Tapi mengapa kamu bertanya begitu yu?"
Yu Siti bingung untuk menjawabnya. Ia keceplosan
menanyakan hal itu. Padahal dia masih takut mengakui bahwa
anaknya yang diberikan orang itu kembar. Bu Suryo
menganggapnya hanya seorang. Bagaimana kalau bu Suryo
memarahinya lagi seperti ketika ia mendengar bahwa dia telah
menyerahkan anak bayinya?
"Buk..bukan apa-apa bu, saya pernah melihat .. itu.. seorang
gadis mirip nak Arum.. tapi nggak persis kok.. Ya sudah bu, saya
bawa makanan ini keluar dulu." kata yu Siti agak gugup, lalu
keluar dari dapur.
"Yu Siti bersikap aneh hari ini. Apa dia stress karena
ditinggal Arum ya. Hm, aku maklum lah, dia kan selalu
menyesali anaknya yang diberikan ke orang itu. Tapi ya
menyesallah, aku yang bukan orang tuanya saja menyesal. Duh,
seandainya bayi itu masih ada, dan dirawat disini, alangkah
menyenangkan, aku punya yu Siti, punya anaknya yu Siti..." bu
Suryo bergumam sendiri sambil membersihkan meja dan sisa-sisa
makanan yang harus dibuang.
––––––––
Yu Siti pergi kejalan, membagikan bungkusan nasi kepada
abang becak dan siapa saja yang ditemuinya dan yang sekiranya
mau menerima nasi bungkusnya. Tidak mudah memberikannya,
dan harus cermat bahwa orang yang diberinya benar-benar mau
menerimanya dan membutuhkannya. Pernah pada suatu kali, ia
melihat seorang perempuan setengah tua, dengan pakaian lusuh,
duduk ditepi jalan. Ketika bu Siti mengulurkan nasi bungkus
yang dibawanya, perempuan itu menolaknya.
"Oh, tidak bu, saya sudah punya nasi dirumah."
Aduh, yu Siti sangat menyesal. Sebenarnya maksudnya baik,
tapi terkadang orang mengira bahwa dirinya direndahkan,
dianggap hina atau miskin. Dengan terbungkuk-bungkuk ia
meminta ma'af. Setelah itu ia harus lebih cermat mengamati siapa
yang benar-benar butuh dan yang tidak. mampu.
Disebuah gerombolan abang-abang becak, yu Siti
memberikan 10 bungkus yang tersisa. Dengan wajah sumringah
mereka menerimanya, dan berkali-kali mengucapkan terimakasih.
Tapi bukan ucapan terimakasih itu yang dibutuhkan, rasa gembira
ketika menerimanya, sungguh cukup membuat lega.
Yu Siti kembali berjalan kearah rumah. Ia belum
membersihkan dapur, nggak enak apabila nanti bu Suryo
melakukannya, walau bu Suryo tak pernah membiarkannya
bekerja sendiri.
Ketika ia akan menyeberang jalan, sebuah mobil berhenti
disampingnya. Pengemudi mobil membuka kaca, dan melongok
kearah bu Siti.
"Bu Siti darimana?"
Yu Siti terkejut, menatap pengemudi mobil itu.
Ratih tertawa.
"Tadi mengganggu, sekarang menculik..."
"Iya benar. Senang dong menculik gadis cantik, kan yang
diculik juga mau."
"Iih... bisa aja.."
"Kalau nggak mau pasti sudah berteriak-teriak minta tolong
dong."
"Ngomong-ngomong.. tadi itu bu Siti?"
"Iya, lupa ngenalin ke Ratih. Itu pembantunya bu Suryo, tapi
seperti tidak dianggap pembantu."
"Maksudnya.?"
"Bu Suryo sangat baik. Yu Siti ditemukan dalam keadaan
sakit dan tak berdaya, lalu ditolongnya, diajaknya kerumah dan
dianggapnya sebagai keluarga."
"Sungguh baik ya hatinya bu Suryo? Dan penampilan bu Siti
juga tidak seperti pembantu kan? Bajunya bagus, wajahnya bersih
dan sisa-sisa kecantikannya masih ada kan?"
"Benar, dulunya pasti cantik sekali."
"Kapan-kapan saya ingin minta bu Arum agar mengajak saya
kerumah bu Suryo."
"Mengapa tidak minta saja sama saya?"
"Haaa.."
"Saya juga bisa lho mengantarkan.."
"Benarkah?"
"Kapan-kapan saya akan ajak Ratih kesana. Biar bu Siti
kaget dan mengira Ratih adalah bu Arum."
40
Setangkai Mawar Untuk Ibu 464
Pdf created by: Goldy Senior
"Benarkah?"
"Saya sedang mengingat-ingat, kapan bertemu dia."
"Mungkin ketika bersama bu Suryo?"
"Tidak .. ketika bu Suryo kerumah, dia tidak bersama bu
Siti."
"Menurut saya, wajah bu Siti itu bukan wajah seorang
pembantu. Dia cantik, dan berpakaian sangat pantas."
"Itu karena bu Suryo tidak menganggapnya sebagai
pembantu. Lihat saja, bu Suryo tampak sedih disana."
"Jeng, menurut saya, wajah bu Siti itu kok ada miripnya
sama Arum ya?"
Bu Martono terkejut. Iya benar, ada miripnya, terutama
bibirnya itu. Lalu tiba-tiba peristiwa itu terlintas kembali.
Seorang wanita menggendong bayi, duduk ditepi jalan, sedih
karena tak bisa membayar beaya persalinan.
"Itu diaaa!!" kata bu Martono setengah berteriak, membuat
bu Nastiti kaget.
"Ada apa??"
"Dia... saya ingat dia... "
"Dia siapa?" tanya bu Nastiti keheranan.
"Mungkin itu sebabnya dia sayang sekali sama Arum?"
Bu Nastiti menatap besannya dengan heran. Bicaranya
seperti celetukan-celetukan yang tak dimengertinya, membuatnya
bertanya-tanya.
"Ya Tuhan.. ini memang sudah diatur olehNya" kata bu
Martono yang kemudian berdiri menuju kearah ruang ICU.
orang yang berbeda. Apa salah satu wanita penerima bayi itu
adalah ibunya? Diakah bayi itu?
"Sayakah bayi itu bu?" tanya Arum kepada bu Siti.
"Ibu itu...ibu itu.. " yu Siti menunjuk kearah bu Martono
yang juga berlinang air mata.
"Saya bu Martono, yang menerima bayi itu.. dia inilah
anakmu bu.." kata bu Martono sambil menunjuk kearah Arum .
Arum menjatuhkan tubuhnya kedada yu Siti, tenggelam
dalam tangisan yang menyayat.Ia ingat yu Siti pernah bercerita
tentang anak yu Siti yang kembar. Ia tak menyangka, dirinyalah
salah satu bayi itu. Lalu tentang kemiripan wajahnya dengan
Ratih, Ratihkah saudara kembarnya? Ratih masih terpana,
bingung atas kejadian itu.
"Apakah Ratih adalah saudara kembarku?" kata Arum sambil
menarik tangan Ratih.
"Aku pernah bilang, satu lagi anakku entah aku berikan
kepada siapa, karena aku sedang sakit parah. Dia seorang wanita
yang tidak punya anak... entah siapa... tapi aku mengenali kedua
anakku. Yang satu punya tahi lalat didekat pusar, satunya diatas
bibir sebelah kiri.. apa itu kamu?"
Ratih masih bingung. Bapaknya tak pernah mengatakan dia
anak siapa. Menurutnya dia juga anak pak Kardi dan bu Kardi
yang telah meninggal beberapa tahun lalu.
"Apakah aku anak angkat?"
"Tanyakan kepada bapak ibumu... anak angkat atau anak
kandung kamu sebenarnya," bisik yu Siti yang tak lagi
memanggil nak kepada mereka. Ia hampir yakin Ratih dan Arum
adalah anak-anaknya.
Bramasto mengangguk.
"Bu Suryo benar, saya akan menjemput pak Kardi sekarang.
Ratih disini saja."
––––––––
Wajah yu Siti tidak sepucat tadi. Ia senang bertemu bu
Martono yang masih ingat semuanya sehingga meyakinkan
Arum. Beruntung yu Siti pernah bercerita kepada Arum tentang
kejadian puluhan tahun lalu setelah dia melahirkan, sehingga ia
tak perlu bicara banyak pada Arum.
"Tidak disangka ya bu, ternyata Arumlah bayi ibu. Dan Ratih
adalah kembaranku. Apa kamu belum yakin kalau kita saudara
kembar? Jangan panggil aku bu Arum. Kamu adalah Ratih, dan
panggil aku Arum."
"Aku hampir yakin kalau melihat keadaan fisik aku ini, tapi
bukankah bapak juga harus memberikan keterangannya sehingga
semuanya menjadi lebih jelas?"
"Iya, kamu benar. Tapi aku bahagia kita bertemu, semula kita
hanya mengira bahwa kemiripan wajah ini adalah kebetulan."
"Aku juga bahagia menjadi saudara kembarmu, dan bahagia
memiliki bu Siti sebagai ibu kandungku..." kata Ratih sambil
menciumi pipi yu Siti.
Selangkah lagi bahagia itu akan sempurna, tinggal menunggu
kedatangan pak Kardi.
Namun pak Kardi yang kemudian datang justru bingung
mendapat pertanyaan Ratih tentang siapa dirinya.
"Aku menikahi ibumu ketika dia sudah menjadi janda,
membawa anak satu, ya kamu itu. Ibumu mengatakan bahwa
kamu adalah anak satu-satunya," kata pak Kardi bingung.
41
Semua menjadi bingung. Ternyata pak Kardi tidak tau apa-
apa.tentang siapa orang tua Ratih sebenarnya.
"Apakah kamu menyesal menjadi anakku, Ratih?" tiba-tiba
pak Kardi menyela. Ia merasa disitu bukan siapa-siapa. Ratih
juga bukan darah dagingnya, anak tiripun tidak. Ia adalah orang
asing yang tak ada gunanya berlama-lama ditempat itu.
Ratih merangkul pak Kardi.
"Bapak, kasih sayang bapak sejak Ratih masih bayi, tidak
cukupkah membuat Ratih menyayangi bapak? Bapak adalah
bapaknya Ratih. Ratih sangat menyayangi bapak."
Mata laki-laki tua itu berkaca-kaca.
"Baiklah, karena tidak lagi diperlukan, saya mohon diri,"
kata pak Kardi masih dengan air mata berlinang.
"Tidak bapak, kalau bapak pulang, kita akan pulang bersama-
sama."
"Ma'afkan saya, bu Martono, pak Kardi, sungguh
kebahagiaan bagi saya karena bisa menemukan anak-anak saya.
Tapi saya sudah merasa cukup bisa bertemu dan mengetahui
keadaan anak-anak saya. Saya tidak akan memintanya dari
siapapun, baik dari bu Martono maupun pak Kardi. Sungguh,
"Apa?"
"Bukan, ini satunya, yang wajahnya mirip, aduuh..
senengnya bisa jadi pengantin. Aku kapan ya Wur?"
"Perbaiki kelakuan kamu, supaya dapat jodoh yang baik."
Rini melamun . Dia merasa telah melakukan hal-hal buruk,
semau sendiri, bahkan hampir memporak porandakan sebuah
keluarga.
"Aku salah ya Wur?"
"Kamu bisa memperbaikinya. Aku do'akan kamu akan
mendapatkan jodoh yang baik."
"Aamiin.." kata Rini sambil memasukkan kembali kartu
undangan kedalam sampulnya.
––––––––
Sebuah pesta meriah telah digelar. Sepasang pengantin
duduk dipelaminan dengan sangat anggun. Dengan pakaian
pengantin adat Jawa yang gemerlap, dan tampak senyuman
bahagia selalu tersungging dibibir mereka. Yu Siti dan pak Kardi
duduk sebagai kedua orang tua Ratih disebelah kanan pengantin,
sedangkan kedua orang tua Bramasto disebelah kirinya.
"Seperti Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih..." bisik beberapa
tamu yang didengar Aryo dan Arum.
Keduanya tersenyum bahagia.
Angga berlari-lari mendekati ibunya.
"Ibu, aku mau bunga mawar itu," teriaknya sambil menunjuk
kearah rangkaian mawar yang berjajar disepanjang gedung
pertemuan.
"Untuk apa Angga."
––––––––
TAMAT