Anda di halaman 1dari 10

AFTER DIVORCE

Nonnie Dyannie

“Hari ini kamu bisa pulang cepat, ya, Han. Jangan lupa besok pagi ingatkan saya ada
janji sama Pak Hendro.”
Pak Iqbal, atasanku di kantor berbicara seraya meletakkan gelas juice yang isinya telah
pindah ke dalam perut buncitnya.
Aku yang tengah menyuapkan makan siangku, seketika menghentikan gerakan dan
menurunkan tangan.
“Kenapa saya harus pulang cepat, Pak? Bukannya hari ini Pak Rizal mau datang?”
“Tadi pagi beliau berangkat ke Surabaya, ada urusan lain saya lupa memberitahu
kamu,” jawab Pak Iqbal.
Namaku Hanny Pertiwi, saat ini bekerja sebagai sekertaris pribadi seorang pengacara
ternama di kota ini. Aku seorang single parent dengan seorang anak laki-laki berusia
lima tahun.
Awal aku berada di kota ini hanyalah satu kebetulan saja, niatnya hanya untuk singgah
sementara, hanya saja seorang teman yang begitu kupercaya tega berkhianat. Uang yang
kubawa untuk bekal, raib tak tersisa, sedangkan di tempat ini tak ada satu orang pun
yang aku kenal.
Bersyukur seorang tetangga di tempat kos yang mungkin aneh melihat seorang
perempuan membawa anak kecil tanpa siapa pun yang di kenalnya ada di tempat ini.
Lalu tanpa basa basi dia menawariku pekerjaan yang Alhamdulillah ternyata pekerjaan
inilah yang dia tawarkan.
“Mama bawa apa? Kok, pulangnya lama. Mama bawa burger lagi gak?” Saat baru saja
tiba di rumah, disambut celoteh riang anakku.
“Hari ini, Mama beli nasi goreng, Sayang. Adek makan dulu, Mama suapin, ya?”
“Yaaaaahh ... Adek, kan, maunya burger, Ma,” seraya memonyongkan bibirnya putraku
itu sedikit menekukkan wajah.
“Besok, kalo ada rezeki, Mama janji beli burger lagi buat Adek. Sekarang makan nasi
goreng dulu, ya, ini enak, kok, Sayang.” Aku berusaha membujuknya.
“Tapi, janji, ya, nanti beli burger lagi,” masih dengan sedikit merajuk anakku akhirnya
mau juga makan nasi goreng.
‘Maafkan Mama, Nak. Belum bisa memenuhi keinginanmu, tapi Mama janji, saat ada
rezeki, Mama akan turuti keinginanmu’ dalam hati aku berjanji untuk tidak membuat
kecewa anakku.
Sebungkus nasi goreng yang aku belikan untuk anakku telah habis tak tersisa. Walau
dalam hati sangat sedih tidak bisa membelikan burger yang ia inginkan.
Tok ... tok ... tok ....
Kami di kagetkan dengan suara ketukan pintu. Entah siapa yang datang. Lalu aku
berkata kepada anakku.
"Sayang, kamu di sini dulu, ya, biar Mama yang buka pintu!" Jagoanku pun tampak
hanya mengangguk. Dengan segera aku melangkahkan kaki ke arah pintu.
Ceklek!
Pintu akhirnya terbuka. Aku benar-benar sangat kaget, dengan sesosok pria bertubuh
kekar dengan ada beberapa tato di tangannya. Sosok yang pernah mengisi hatiku selama
tujuh tahun lamanya. Sekarang dia datang kemari, untuk apa juga dia kesini? Apa masih
kurang dia menyakiti selama ini?.
"Mmaa-mau apa kau datang kesini?" Tanyaku dengan nada gemetar.
"Ingin mengambil Dion dari hakmu!"
Deg!
Apa? Dia bilang ingin mengambil Dion, tidak! Tidak akan aku biar dia merebut Dion.
Padahal sudah jelas-jelas saat di persidangan ke tiga dia tidak mau merawat Dion. Lalu
untuk apa sekarang dia datang kemari dan ingin mengambilnya dariku?
"Jangan harap kau bisa mengambil Dion, dia sudah menjadi hakku, ingat itu!?" Ucapku
dengan nada berteriak.
"Ha ha ha, Dion nggak akan bahagia bersamamu. Dia lebih bahagia bersama ayahnya.
Kau itu miskin!"
Glegar!
"Dion lebih bahagia bersamaku," tanpa terasa air mata yang sedari tadi aku tahan, kini
turun jatuh membasahi kedua pipi.
"Halah ..., minggir!"
Mas Hadi langsung mendorong tubuhku dan menerobos masuk. Suara tangisan Dion
terdengar sanggat keras.
"Nggak mau, Ayah jahat! Dion mau sama Mama. Ayah jahat!" Teriak Dion ketakutan.
"Ayo cepat, ikut!?" Bentak Mas Hadi, sambil menyeret lengan Dion.
"Mas, aku mohon jangan bawa Dion," ucapku berlulut di kakinya dengan air mata yang
terus saja membasahi pipi.
"Minggir!"
Aku terjungkal karena Mas Hadi menendang dengan sangat keras. Bagian dada sampai
perutku rasanya sangat nyeri akibat tendangan yang di layangkannya.
Aku tersungkur di lantai, pandangan terasa kabur, nyeri di bagian ulu hati membuat
sesak napas ini, hingga akhirnya kesadaranku hilang.
***
Perlahan mataku terbuka saat indra penciuman menghirup bau khas dari aroma ruang
perawatan.
Mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, seketika aku tersentak kala teringat
akan Dion.
“Dioooooonnn ....” Aku menjerit sekuatnya dan membuat dua orang berseragam putih
tergopoh menghampiriku.
“Mbak ... harap tenang dulu, Mbak baru saja tersadar, tenang dulu, ya,” lembut suara
suster seraya mengusap lenganku.
“Anakku ... anakku ....” Tak terbendung lagi tangisku.
“Hanny, kamu tenang, ya, Dion aman.”
Aku tertegun saat seseorang yang sangat ku kenal berdiri di ambang pintu.
“Pak Iqbal? Bapak, di sini?”
“Ya, tadi saya datang ke rumah kamu, tapi rumahmu ramai sekali. Saya pikir kamu
buat acara dangdutan atau apa, rupanya malah tiduran depan pintu. Enggak ngorok, sih,
tapi, kok, susah kali kau di bangunkan. Ya sudah saya suruh saja Pak Mien buat seret
kau kemari, amankan?
Tuhaaaan ... Kalo bukan atasan, ingin rasanya kulempar pake apa pun yang ada di
dekatku, bisa-bisanya bercanda di situasi seperti ini.
“Maksud Bapak, Dion aman? Dion ....”
“Ya, anakmu baik-baik saja, Hanny. Dia ada di sini.”
“Di sini? Dion ada di sini?” Ulangku seakan tak percaya kalau ternyata Dion baik-baik
saja dan bahkan saat ini berada di dekatku.
Lalu pak Iqbal bercerita kalau saat kejadian tadi, beliau ada tak jauh dari tempat
tinggalku, bukan sengaja datang ke rumahku.
Beliau melihat seorang laki-laki dewasa yang menyeret anak kecil dan di belakang laki-
laki itu berlarian warga mengejarnya.
Lalu setelah dekat Pak Iqbal mengenali ternyata yang di seret itu Dion. Alhamdulillah
akhirnya Dion bisa diselamatkan tapi Mas Hadi berhasil meloloskan diri dari amukan
massa.
***
Pagi ini sebelum berangkat ke kantor kusempatkan diri untuk menitipkan Dion pada
guru mengajinya, Bu Rahma.
“Nak Hanny, tidak usah khawatir, Insya Allah Dion aman di sini.” Dengan tersenyum
lembut Bu Rahma mengusap pucuk kepala Dion saat kuutarakan maksud kedatanganku
ini.
Sebelumnya setiap aku kerja, Dion kutitip pada Mbak Dini, tetangga sebelah rumah
kontrakan yang mempunyai anak sebaya dengan Dion. Mbak Dini pun sangat
menyayangi Dion. Tetapi, sejak kejadian kemarin, Mbak Dini pun gak mau ambil resiko
jika suatu saat Mas Hadi tiba-tiba datang dan melakukan yang seperti kemarin dia
perbuat.
Tiba dikantor, ternyata Pak Iqbal sudah ada di ruangannya. Segera ku ketuk pintu kaca
itu dan terdengar sahutan dari yang empunya ruangan.
“Masuk.”
“Selamat pagi, Pak, maaf tadi saya antar anak saya dulu, Pak,” ucapku memberi alasan
keterlambatanku.
Pak Iqbal hanya mengangguk-angguk saat ku ungkapkan alasan keterlambatanku.
“It’s ok.” Ini jurus pamungkasnya saat beliau beranggapan bahwa apa yang dilihat atau
didengar masih dapat dipahaminya.
“ Han, kamu gak berniat untuk pindah?” Tanyanya saat aku sedang merapikan meja
pojok ruangan dan menggantikan bunganya yang telah mulai layu.
“Saya rasa kamu ada baiknya pindah saja lah, Hanny,” lanjutnya sebelum
pertanyaannya ku jawab, dia sudah mengemukakan pendapat lainnya.
“Saya pun merasa seperti itu, Pak. Tapi, nantilah saya coba cari yang sesuai sama
kemampuan saya, Pak.”
“Baiknya secepatnya kamu cari, nanti kalo sudah dapat kasih tahu saya, saya bantu.
Kamu kerja sama saya, sudah menjadi tanggung jawab saya untuk melindungi kamu.”
Satu minggu kemudian, aku pindah ke tempat baru yang Insya Allah di sini aku merasa
lebih aman. Untuk menjaga Dion, atas rekomendasi dari Bu Rahma, turut tinggal
bersamaku Bu Murti, seorang janda tanpa anak yang hidup sebatang kara.
***
Sore ini sepulang kantor aku menyempatkan diri untuk berbelanja bulanan, kubeli
bermacam-macam sayuran dan lauk karena Bu Murti rajin masak dan masakannya
sangat enak, di rumah baru ini perabotan dapur sudah lebih lengkap dari sebelumnya,
lemari es pun sudah ada walau kecil tak apa cukup untuk menyimpan stok ikan dan
sayur supaya lebih hemat karena keuangan masih merangkak dari bawah.
Dion pun lebih nyaman tinggal di sini, walau tidak ada teman bermain, tetapi Bu Murti
sangat telaten mengurus Dion.
“Dion itu sudah Ibu anggap sebagai cucuku sendiri, Nak Hanny jangan sungkan. Kalian
berdua itu Anak dan Cucu Ibu.” Terharu saat Bu Murti dengan mata berkaca-kaca
mengucap demikian.
Terima kasih, ya, Allah ... telah mengirimkan orang-orang baik di kehidupan Hamba.
Aku yang datang ke kota ini dengan tanpa mengenal siapa pun, kini seakan menemukan
keluarga baru yang begitu peduli.
Brraaakkkk ....
“Ya, Allah ... Astaghfirullah.”
“Mbak ... Mbak, enggak kenapa-napa, kan? Mari saya bantu.”
Rupanya sedari tadi melamun hingga tak sadar menabrak seseorang di depanku yang
membuatku kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk dengan isi keranjang
belanjaan berserakan.
“Saya tidak apa-apa, maaf, saya yang salah,” ucapku seraya menangkupkan kedua
tangan.
“Iya, Mbak, ini belanjaannya. Lain kali hati-hati, ya.”
Hatiku mencelos saat tatapan kami beradu, dia seorang lelaki dewasa berperawakan
tinggi dan gagah, ‘Aaahh, pantas saja dia tidak tersungkur sedikit pun tadi malah aku
yang ambruk, rupanya perawakan tinggi besar begitu,’ batinku sambil agak sedikit
cengengesan.
“Mbak ... Mbak ....”
“Eh, oh, aduh ... Maaf, terima kasih,” dengan perasaan yang entah apa ini namanya
kuterima keranjang belanjaanku yang terjatuh.
‘Duh, kenapa, sih, pake salah tingkah segala. Sadar Hanny sadar.’
“Mau saya bantu bawakan keranjangnya?”
“Tidak usah, Mas, terima kasih.”
“Haikal ....” Dia mengulurkan tangannya.
“Hanny ...,” kusambut uluran tangannya.
“Sudah selesai? Atau masih cari yang lain?”
“Sudah selesai, kok,”
“kalo gitu, mari keranjangnya biar aku yang bawa.”
Kali ini aku tidak menolak, kami berjalan bersisian menuju kasir, ada satu rasa lain yang
hadir di dalam sini.
‘Ya, ampuuunn Hanny ... please, deh! Jangan ganjen!’

“Boleh aku antar pulang?” Haikal bertanya sesaat setelah kami menyelesaikan
pembayaran di kasir.
“Ehm ... terima kasih, tapi aku pulang sendiri saja.”
“ kalo gitu, boleh ketemu lagi lain waktu?”
Aku tersenyum dan mengangguk tanda mengiyakan. Setelah itu segera mengorder ojek
online untuk mengantarku pulang.
Haikal masih menemani menunggu ojek online yang ku pesan datang, beberapa kali
terdengar tanda panggilan dari ponselnya tapi dia abaikan.
Tak lama kemudian ojek online pesanan pun tiba dan aku gegas meraih kantong
belanjaan yang sedari tadi kuletakan begitu saja di bawah kaki.
Tetapi, aku kalah cepat, Haikal lebih dulu meraihnya dan membawakan belanjaanku.
“Terima kasih, aku duluan, ya,” pamitku pada Haikal.
“Hati-hati, Hanny.”
Setelah mengenakan helm aku segera duduk di boncengan.
“Hanny ....” Sesaat sebelum aku berlalu, tiba-tiba Haikal memanggil.
“Ya ....”
“Boleh aku tahu nomor kontakmu?” Aku mengangguk seraya menerima ponsel yang
disodorkan Haikal dan mencatat nomorku pada ponselnya.
“Thankyou ... nanti aku telepon, ya.”
Setelah itu aku berlalu dan Haikal mengantar kepergianku dengan senyuman.
Selama perjalanan pulang ada sesuatu yang terasa lain di dalam hati, senyuman Haikal
tadi kenapa tiba-tiba memenuhi isi kepala dan membuatku senyum-senyum sendiri.
Apakah mungkin aku jatuh cinta pada Haikal???
Dion menghampiri sambil berlari kecil saat melihatku baru saja turun dari motor.
“Yeyeyeyye ... Mama pulaaangg ....” Serunya riang.
“Mama bawa apa?” Tanya Dion saat melihat aku menenteng satu kantong yang
ukurannya lumayan besar.
“Kita buka di dalam, ya, Dek,”
“Iya, Ma.”
Bu Murti menyongsong kami di depan pintu, senyum tulusnya tak pernah lepas dari raut
wajah yang sudah mulai keriput dimakan usia.
Kuraih tangannya dan menciumnya takzim, kebiasaan itu sudah kulakukan sejak Bu
Murti tinggal bersama kami, karena Bu Murti adalah orang tua dan Nenek bagi Dion.
“Mandilah dulu, Nak, Ibu sudah masak sayur asem kesukaanmu ada peyek kacang
juga.”

“Wah ... jadi langsung lapar perutku, Bu,” seruku seraya merangkul Bu Murti dan kami
masuk langsung menuju meja makan.
“Mama, tadi Mama bawa apa?”
Ah, rupanya aku lupa kalau tadi sudah janji sama Dion untuk membongkar apa yang
aku bawa, maklumlah kalau Bu Murti sudah membuatkan aku sayur asem, perut yang
sudah penuh pun akan terasa keroncongan.
“Oh iya, Mama sampe lupa, Sayang,” ujarku, lalu kami membongkar belanjaan yang
tadi kubawa, semua sayuran dan keperluan dapur langsung dibawa oleh Bu Murti,
sedangkan Dion senang sekali mendapatkan jajanan kesukaannya.
“Mama, gajian?”
Aku tertawa mendengar celoteh anak sekecil itu. Seingatku tak pernah mengucap kata
“gajian” di depan Dion.
“Gajian? Adek tahu gajian dari siapa?”
“Raisa, Ma. Kata Raisa, Kalo mamanya gajian, Raisa suka dapat jajan.”
“Raisa? Raisa siapa?”
“Raisa itu anak penghuni blok depan, biasa ketemu kalo Ibu lagi belanja sayur, Adek
ikut Ibu belanja, Raisa juga ikut neneknya belanja. Kadang Ibu biarkan dulu Adek sama
Raisa main di taman. Ibu juga bisa sambil mengobrol sama neneknya Raisa,” Bu Murti
yang baru kembali dari menyimpan sayuran menjelaskan siapa itu Raisa.
“Oohh, jadi sekarang Adek sudah punya teman baru, nih?”
“Iya, Ma, Adek sekarang punya teman baru.”
“Adek, senang?”
“Senang, dong, Ma.” Jawabnya sambil mengangkat jempol dan tertawa, duhh ... senang
rasanya melihat anakku selalu ceria.
“Nak, Ayo kita makan dulu, Adek juga belum makan. Tadi katanya tunggu Mama, biar
makan sama-sama.” Bu Murti mengajak untuk makan sama-sama.
Kami duduk bertiga di meja makan dengan menu masakan yang sederhana tapi cukup
membuat perut kenyang dan tentu saja sehat. Aku sangat bersyukur dengan keadaan ini,
setidaknya kami tidak kelaparan dan ada tempat yang layak untuk berteduh serta
melepas lelah.
Selesai makan, mandi, dan Mengganti baju dengan pakaian rumah, aku duduk santai di
depan televisi. Bu Murti di teras sedang menyiram bunga yang ditanamnya sendiri,
kemarin aku sempat membelikannya bunga anggrek dan beliau sangat menyukainya.
“Ma, kita jalan-jalan ke taman, yuk,” Dion yang kulihat sudah mandi dan rapi
menghampiriku.
Sebenarnya aku sedikit malas untuk keluar, tetapi tak ada salahnya menemani Dion
jalan-jalan sore ini, toh, tidak setiap hari aku bisa menemaninya bermain.
“Mama ganti baju dulu, Adek tunggu sebentar, ya,” pintaku seraya bangkit dan berlalu
untuk berganti pakaian.
Setelah mengganti pakaian dan sedikit berhias aku segera menemui Dion, tak tampak
anak itu di ruang tengah, ah, mungkin dia menungguku di depan, sepertinya anak itu
sudah tak sabar ingin segera pergi jalan-jalan.
“Dek ....”
“Iya, Ma, ayo kita berangkat, Ma.”
Semangat sekali Dion, padahal hanya akan berjalan-jalan di sekitar taman yang tak jauh
dari rumah saja.
“Bu, Hanny ajak Dion jalan-jalan ke taman sebentar, ya,” pamitku pada Bu Murti yang
masih asyik dengan tanamannya.
“Hati-hati, Nak, jalan dari depan situ ambil belok kanan saja, ya, jangan ambil jalan
lurus, Ibu enggak mau nanti kamu digangguin para lelaki yang suka nongkrong di
ujung gang situ.” Bu Murti memberikan wejangan sebelum aku berlalu, terharu rasanya
melihat ketulusan dan kasih sayang yang Bu Murti berikan kepada kami walaupun di
antara kami tidak ada hubungan darah.
Dengan riang sepanjang jalan menuju taman Dion terus saja berceloteh, terkadang
langkahnya sedikit berlari kecil ketika ada kupu-kupu atau capung yang terbang di
dekatnya, terkadang juga diam terpaku melihat apa yang menarik perhatiannya.
‘Semoga kamu tetap ceria seperti ini, Nak, dan Mama akan berusaha semampu Mama
untuk membahagiakanmu hingga kamu dapat meraih apa yang menjadi rasianmu.’
Di depan sana sudah terlihat taman yang menjadi tujuan kami, cukup ramai juga. Di
ujung taman sebelah kiri banyak ditemui penjual makanan kecil yang sepertinya hanya
di area sebelah kiri itulah mereka diperbolehkan untuk berjualan, sementara di area
lainnya hanya khusus untuk para pengunjung dan arena main anak-anak.
Dengan riang Dion berlari dan langsung menuju area permainan perosotan yang hanya
ada satu orang anak sebayanya saja yang sedang bermain di situ dan aku memilih untuk
duduk di salah satu bangku taman yang kosong seraya memperhatikan Dion bermain
dan sesekali berteriak meminta Dion untuk lebih berhati-hati.
Tak terasa sudah hampir satu jam kami berada di taman ini dan waktu sudah semakin
sore, kudatangi Dion untuk segera mengajaknya pulang. Kam pinkam

Anda mungkin juga menyukai