Anda di halaman 1dari 45

The

Dance
of L o v e

IKA VIHARA
Author of My Bittersweet Marriage,
When Love Is Not Enough,
and Bellamia
Chapter One

MARA masih ingat, dan aku selalu ingat, bagaimana dia


dan ketiga adiknya selalu berteriak protes dan menutup
mata ketika melihat orangtua mereka sengaja berciuman
di tengah rumah. Juga sangat ingat bagaimana
ayahnya menyalahkan istrinya karena mereka berdua
sama-sama tidak ingat untuk menjemput Kallan,
salah satu adiknya, di TK karena sibuk bekerja. Lalu
gantian ibunya memarahi suaminya yang selalu lupa
menurunkan dudukan toilet. Seaneh apa pun alasan
yang menyebabkan pertengkaran, kedua orangtuanya
selalu bisa menemukan cara untuk berdamai di akhir
hari. Mulai dari menari berdua mengikuti lagu di teras
belakang sampai mengurung diri di kamar dan meminta
Mara mengawasi adik-adiknya.
That is the very best example of parents who
showed her true love. Love is more than just a word. It
is the ability to past the arguments and find a way to
getting lost in the very same someone’s eyes every day.
Orangtuanya tidak perlu menjelaskan kepadanya akan
pentingnya cinta dan bagaimana cara menemukannya.
Dengan sendirinya, Mara sudah mempelajari selama
menjadi anak mereka.
“Penny to your thought, Lolipop.”
Mara menyeringai dan kembali fokus pada
layar ponselnya. Siang ini, setelah keluar dari studio
dan selesai berlatih, Mara memilih duduk di Granola
bersama semangkuk es krim, untuk sekadar memberi
apresiasi kepada dirinya, yang akan menjadi soloist
dalam pertunjukan spesial The Royal Danish Ballet.
Sudah sangat lama Mara menantikan peran ini. Dalam
balet, Giselle diceritakan sebagai sosok seorang wanita
yang meninggal karena patah hati setelah mengetahui
kekasihnya menikah dengan wanita lain. Meski
perjalanan cintanya tidak begitu berwarna, Mara cukup
membayangkan bagaimana jika ibunya mengetahui
suaminya bersama wanita lain. Rasa sakit itu yang dia
masukkan ke dalam setiap gerakannya.
“You are true ballerina, Mara,” kata artistic
director RDB.
“Aku sudah beli tiket pesawat buat pulang,
Papa.” Mara tidak akan melewatkan hari ulang tahun
ibu kandungnya. Keluarganya memilih untuk merayakan
hidup ibunya, bukan memperingati kematiannya.
Ah, ibu dan ayah kandungnya. Satu cerita yang
tidak kalah indah, tentang pasangan yang memenuhi
ikrar sehidup semati. Mara mendengar secara lengkap
kisah mereka menjelang ulang tahunnya yang ketujuh
belas.
“Jangan bawa calon suami. Papa belum siap.”
Mara tertawa keras.
“Aku nggak punya pacar, Pa.” Dengan segala
kesibukannya, Mara tidak tahu kapan, d mana atau
bagaimana dia harus menemukan cinta. Hari-harinya
selalu diisi dengan latihan—meski sudah profesional,
seorang balerina harus berlatih setiap hari didampingi
guru, supaya tubuh tidak lupa—dan keliling dunia.
Menari adalah hobinya dan Mara tidak menyangka
bahwa balet yang akan memberinya penghidupan dan
kebahagiaan.
“Tidak perlu susah mencari, Sayang.” Edna1,
ibunya, ikut bicara. “Kamu dan pasanganmu akan
bertemu dengan cara yang tidak terduga. Papa, orang
1
Dari cerita The Game of Love. Edna adalah gadis berusia 24 tahun yang
mengambil tanggung jawab mengasuh Mara, usia 2 bulan, yang ditinggal
mati kedua orangtuanya. Dua tahun kemudian Edna terpaksa menikah
dengan Alwin, founder game house Basilisk, pembuat game mega hits yang
membuat namanya tercatat sebagai salah satu multimillionaire muda, a
loner, a cool nerd, menerima penghargaan di sana-sini, diundang berbicara
di hampir semua negara di dunia, tapi tidak mencintai Edna. Cerita ini sudah
selesai kutulis tapi belum diterbitkan.
yang malas keluar rumah saja ketemu jodohnya.
Jodohnya datang sendiri ke rumah. Dia nggak usaha
apa-apa….”
“Hei!” Ayahnya protes dan disambut tawa Edna.
“Dengan sendirinya, kamu akan tahu bahwa dia
adalah belahan jiwamu. Kamu akan bisa merasakan.
Kadang orang merasakan pada pertemua pertama.
Kadang setelah satu tahun berteman. Kadang perlu
waktu lebih lama. Seperti papamu.” Mendengar nasihat
ibunya, Mara mengangguk lega. Sejak masih kanak-
kanak dan menyukai cerita princess, sampai saat ini,
kepercayaan mengenai pangeran berkuda putih tidak
pernah memudar. Mereka akan datang saat belahan
jiwa berada dalam bahaya bukan? Tapi amit-amit,
bagian berada dalam bahaya tidak perlu terjadi.
“Papa mau kamu punya suami orang sini, Mara.
Setelah kamu puas menari, kamu akan pulang ke sini dan
tinggal bersama kami.” Bersamaan dengan itu, ayahnya
mendapat sikutan dari istrinya, dan mengaduh pelan.
“Aku janji, Pa. Aku akan kembali. Aku sudah
berpikir untuk mengajar di sana.”
Mara tidak ingat usia berapa dia meninggalkan
rumah. Masih kecil sekali. Menurut cerita ibunya,
sejak kecil dia sudah suka bergerak. Kelebihan energi,
sehingga ibunya memasukkannya dalam kelas menari.
Supaya gerakannya tidak sia-sia. Dia lulus dari The Royal
Danish Ballet School ketika memasuki masa remaja.
Edna rajin mencari informasi untuk mengembangkan
bakat menari Mara dan berakhir dengan diskusi dengan
Jasper, sepupu ayahnya. Rencana awalnyanya dia dikirim
ke Copenhagen untuk tinggal bersama dengan Jasper.
Tetapi ayahnya tidak sanggup hidup jauh dari anak
perempuan kesayangannya. Lima tahun orangtuanya
mendampingi hidup di Copenhagen. Salah satu adiknya
bahkan lahir di sini. Sebelum orangtuanya memutuskan
untuk kembali ke Indonesia.
“Rafka akan datang menonton pertunjukanmu,
Mara.” Ibunya memberi informasi yang sudah diketahui
Mara. Sudah jadwalnya. Salah satu adiknya itu kuliah di
Jerman dan secara berkala datang ke sini.
“Ma, aku ini Kakak lho.” Mara menyuarakan
keberatan. “Kenapa malah aku yang diawasi?” Tugas dari
ayahnya, adik-adiknya harus memastikan keselamatan
Mara.
“Kalian saling menjaga,” jawab Edna saling
tersenyum.
Mereka menghabiskan sisa obrolan mereka
dengan si kembar, Kallan dan Lane, yang tidak pernah
berhenti menggambar komik. Setelah bertukar ‘I
love you’, Mara melepas earplug dari telinganya dan
membuka buku yang terbuka di depannya. Meski punya
e-reader, Mara tetap suka membaca paperback.
“Sorry.” Sebuah suara mengganggu konsentrasi
membaca Mara.
Mara mengangkat kepala dan melihat seorang
laki-laki, dengan mata biru yang cerah dan hangat seperti
langit musim panas, rambur berwarna cokelat seperti
tanah yang terkena hujan pertama di musim gugur, dan
yang paling menarik adalah warna kulitanya. Seperti
orang yang menghabiskan liburan musim panasnya di
pantai dan berjemur sepanjang hari. Lebih gelap dan
seksi. Bukan warna kulit, hatinya meralat, yang paling
menarik adalah senyumnya. Senyum di bibir dan di
mata.
Seandainya hari ini Mara jatuh saat berlatih,
keseleo, dan kesal karena harus istirahat beberapa hari,
setelah melihat senyum seperti yang masih ada di depan
matanya, dia yakin akan dengan mudah melupakan
ketidakberuntungannya dan mensyukuri hidupnya hari
ini. Kata tampan tidak mampu mendeskripsikan sosok
yang kini, tanpa menunggu izin, memindahkan cangkir
dari meja di sebelah kanan Mara ke meja Mara.
“Apa kamu orang Indonesia?” Sapanya dengan
bahasa Indonesia yang lancar, tetapi dengan aksen yang
tidak biasa. Tidak mengganggu. Tapi, seksi.
Tuhan, kenapa sejak tadi otaknya tidak bisa
berhenti mengeluarkan kata seksi.
“Kamu keberatan aku duduk di sini?”
Seharusnya Mara protes karena ada yang
melanggar privasi. Tetapi demi melihat senyum dengan
satu lesung pipit di sebelah kiri, Mara hanya bisa
mengangguk.
“Oh?” Kali ini laki-laki tersebut mengamati
wajah Mara dengan seksama. “Mara? Mara Hananto?”
Bukan terkejut, tapi laki-laki tersebut malah terlihat
lega.
Mara tidak tahu dia harus menganggguk atau
berpura-pura menjadi orang lain. Dia sudah menari di
mana-mana, bahkan disiarkan di televisi, dan sangat
mungkin orang akan mengenalinya, meski dengan
rambut digerai dan tanpa make-up.
“Adikku penggemarmu. Waktu itu kebetulan
kami sedang ada acara di Copenhagen dan kami
sekeluarga pergi menonton penampilanmu … nah,
ini adikku.” Dari layar ponselnya, laki-laki tersebut
menunjukkan foto satu keluarga, yang dia klaim diambil
pada saat makan malam sebelum pergi ke The Royal
Theatre, lalu bercerita banyak. Tanpa bisa dicegah, Mara
mengingat satu per satu nama yang disebutkan, seolah
mereka akan menjadi bagian dari keluarganya juga.
“Sorry, apa aku … kampungan?” Laki-laki
tersebut menghentikan cerita. Baru sampai mana tadi?
Adiknya suka menari tapi lututnya tidak memungkinkan
setelah kecelakaan?
Kali ini Mara tertawa pelan. “Jarang ada orang
yang duduk di mejaku dan menceritakan keluarganya.
Terima kasih kamu dan keluargamu sudah datang
menyaksikan pertunjukanku.”
“Suatu kehormatan bagiku bisa menyaksikan.
Indah sekali. Aku belum pernah menonton balet
sebelumnya. Adikku, seperti kubilang, penggemar
beratmu, dan memaksaku pergi. Aku tidak menyesal.
Bahkan mungkin tertular. Selama bisa mendapatkan
tiketnya, aku akan datang ke setiap pertunjukanmu.”
“Oh? Thank you.” Mara tidak tahu harus
mengatakan apa.
“Atau aku lebih parah daripada adikku. Aku
memasukkan namamu di internet dan mengirimkan
surat penggemar ke The Royal Danish Ballet. Aku harus
bersaing dengan banyak orang bukan? Karena sampai
sekarang belum beruntung.”
“Um … aku memang tidak bisa membalas
satu per satu.” Seandainya Mara lebih rajin membalas
semuanya, pasti dia tidak akan melewatkan surat dari
laki-laki ini. Apa tulisan tangannya berkarakter juga
seperti wajahnya? Uh, Mara menggelengkan kepala.
“Setelah ini aku akan bisa tidur nyenyak.”
Mara mengerutkan kening. Apa hubungannya
surat penggemar dengan tidur?
“Karena aku sudah menyampaikan
kekagumanku kepadamu. Bahkan secara langsung.
Aku tidak perlu bergadang membanjiri media sosialmu
dengan komentar dan berharap dibalas. Atau di-like,
paling tidak.”
“Aku tidak setenar itu.” Apa dia pikir Mara artis
Hollywood? Berapa banyak penggemar balet di dunia
ini? Di negara ini? Mara menggelengkan kepala.
“Tidak semua orang bisa mencapai prestasi
seperti ini, Mara.” Tatapan mata laki-laki ini serius dan
dalam sekali. Tepat pada manik hitam mata Mara, seolah
sedang bicara kepada hati dan jiwa Mara. “Soloist kulit
kuning pertama setelah tiga puluh dekade?”
“Dan pendek.” Mara menutupi kegugupannya,
sama gugupnya saat dia mengikuti audisi pertama pada
umur 15 tahun.
“Tidak ada yang salah dengan tinggi badanmu.
You are not short, just … cute size.”
“Dalam duniaku, 162 cm termasuk wrong type
body. Poorly proportioned.”
“Selama ini tidak menjadi masalah, kan? Karena
orang tahu kamu menari dengan hati, Mara. Dan banyak
dari mereka yang menunggu-nunggu penampilanmu.
Jangan pernah menganggap apa yang kamu lakukan
adalah hal kecil. Kamu menginspirasi banyak orang.
Termasuk diriku saat melihatmu menari sebagai Nikiya.
Yang erat-erat menggenggam cintanya. Dan kesetiannya
diganjar dengan cinta yang abadi di kehidupan
selanjutnya.”
Binar di mata biru tersebut meredup. Jika
sebelumnya seperti langit musim panas yang cerah, kali
ini tersaput awan gelap. Apa sedang patah hati?
“Bagaimana kamu membawakannya,
membuatku percaya akan adanya cinta sejati untuk
setiap orang. Kalau tidak menemukan di dunia ini,
kita akan bersama dengan belahan hati kita di surga.
Seandainya aku bisa menari seindah dirimu, aku tidak
akan memberikan peran Solor kepada laki-laki lain.
Kamu membuatku ingin menari bersamamu.”
Please, jerit hati Mara. Kalau pasangan menarinya
adalah laki-laki ini, Mara akan lebih bisa menghayati
Nikiya. Bentuk tubuhnya tidak banyak berbeda dengan
pasangan menari Mara, yang memenuhi semua syarat
traditional and ideal ballet body. Learn and strong,
rather than bulky. Laki-laki dengan otot terlalu menonjol
dan menggembung tidak akan menarik perhatiannya
sama sekali.
Kalimat ibunya setengah jam yang lalu berputar
di kepala Mara. Bahwa Mara akan bisa merasakannya,
saat bertemu dengan cinta sejatinya. Laki-laki di
depannya, yang tidak dia ketahui namanya, yang baru
pertama kali menonton pertunjukkannya, menangkap
dengan hati pesan dari semua gerakan Mara yang
bersumber dari hati.
“Adikku pasti iri setengah mati kalau aku
menceritakan pertemuan kita hari ini.”
Mara menarik napas. Berusaha menghilangkan
pikiran bodohnya. Sama sekali dia tidak kenal dengan
laki-laki ini. Bagaimana mungkin dia sudah memikirkan
cinta sejati?
“Kalau adikmu ke Copenhagen….” Tadi laki-laki
ini menyebut bahwa keluarganya tinggal di Aarhus. “Dan
suatu saat nanti datang lagi ke pertunjukanku, beri tahu
aku, aku akan menemui kalian.” Tidak setiap saat ada
orang yang sangat ingin bertemu dengannya.
“Tentu saja. Aku jadi tidak pusing mencari hadiah
ulang tahun. Aku akan mengajaknya makan malam dan
menonton penampilanmu. Kami tidak akan melewatkan
Giselle. Sorry, stalking.” Wajahnya menyeringai jenaka,
membuat Mara ikut tersenyum. “Tapi bagaimana cara
memberitahumu?”
“Bilang saja pada orang yang memeriksa tiket,
kamu ingin menemuiku. Dia akan mengaturmu, dan
adikmu, untuk menemuiku di ruang ganti. Aku akan
meninggalkan namamu….” Siapa nama laki-laki ini? Yang
sejak tadi menatapnya dengan … penuh penghargaan
dan kebanggaan? Sama sekali bukan tatapan seorang
penggemar kepada idolanya. Mara tidak bisa
mengartikan. Tidak saat ini.
“Møller2. Hagen Møller.”
Hagen Møller. Hampir saja Mara ingin
menanyakan nama tengahnya. Tapi tidak perlu. Baginya
nama lengkap laki-laki ini adalah Hagen Wise Møller.
Mara mengangguk dan mencatat nama laki-laki tersebut
pada halaman pertama novel yang terbuka di meja di
depannya. Laki-laki ini akan menjadi satu-satunya orang,
selain keluarganya, yang bisa menemuinya di belakang
panggung.
“Aku harus pergi.” Mara melirik jam di
pergelangan tangannya. Sore ini dia akan mengepas
kostum dan mengunjungi paman dan bibinya untuk
makan malam.
2
Baca juga My Bittersweet Marriage, cerita mengenai Afnan Moller, yang
membawa istrinya—yang sebelum menikah baru tiga kali dia temui—ke
Aarhus dengan asumsi akan bisa membahagiakannya. Tapi nyatanya,
istrinya malah mengidap SAD hingga kehilangan calon anak mereka. Juga
baca When Love Is Not Enough, tentang Lilja Moller yang menikah dengan
childhood sweetheart dan tinggal di Munchen dan harus mengakui bahwa
menikah dengan orang yang telah dikenal seumur hidup tidak semudah
yang dia bayangkan.
“Aku tidak sabar menunggu penampilan
selanjutnya, Mara,” katanya. “Aku yakin kamu akan
membawakan Giselle jauh lebih indah daripada saat
kamu membawakan Nikiya.”
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Mara
sangat ingin menari dengan seluruh kemampuannya.
Bukan demi tidak mengecewakan orangtuanya, yang
sudah banyak berkorban dan melakukan banyak hal
untuk kariernya. Tetapi demi laki-laki yang sungguh-
sungguh menyukai balet, karena dirinya.
“Tidak sabar bertemu denganmu lagi.” Hagen
ikut berdiri dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Padahal kita belum berpisah.”
Mara tertawa. Kalau tidak ada janji, mungkin
Mara bisa mengobrol banyak dengannya.
“Apa kamu akan menganggapku, orang yang
bukan siapa-siapa ini, yang beruntung bisa duduk satu
meja dengan The Mara Hananto, tidak tahu diri kalau
aku ingin berteman denganmu?” tanya Hagen, menahan
langkah Mara.
Berteman? Seperti nasihat ibunya, berteman
dengan banyak orang, termasuk yang berasal dari
dunianya, akan semakin membuka kesempatan untuk
bertemu dengan belahan jiwa.
“Paling tidak, kita berbagi darah yang sama,
Mara. Darah Indonesia.”
“Aku tidak keberatan.” Setelah tersenyum sekali
lagi, Mara melangkah menjauh. Dari balik punggungnya,
dia tahu Hagen masih berdiri dan mengikuti langkahnya
dengan pandangan, sampai sosok Mara menghilang dari
jendela kaca.
Sudah, sudah, berhentilah berdebar dengan
semangat begitu, Mara memenangkan hatinya. Berapa
lama sampai dia akan bertemu dengan Hagen lagi?
Apa Hagen akan menjadi laki-laki pertama—di luar
keluarga—yang memberinya bunga setelah dia turun
dari panggung? He will be my many firsts, pipi Mara
memanas.
Mungkin Tuhan sedang merencanakan sesuatu
untuk mereka. Apa pun itu, Mara tidak sedang terburu-
buru untuk mencari tahu. Mungkin dia dan Hagen akan
berteman. Laki-laki itu teman mengobrol yang baik. Atau
mungkin Hagen adalah orang yang dimaksud ibunya.
Mungkin Hagen hanya akan hadir dalam hidupnya
sesaat saja. Tidak masalah. Yang penting ada satu orang
lagi yang mencintai dan menghargai baletnya.
Mara menengadah menatap langit Copenhagen
yang kelabu. True love isn’t always easy to find. But it is
well worth the wait.
Chapter Two

BAGI Hagen, dalam hidup ada dua kalimat yang tidak


bisa diobral. Pertama, kalimat I love you. Kalimat ini
benar-benar keluar dari hati terdalam, hanya diberikan
kepada orang yang benar-benar kita cintai. Orangtua,
kakak atau adik, anak, sahabat, kekasih, atau sosok
yang betul-betul kita kagumi—karena kehadirannya
memberikan inspirasi kepada kita. Kalimat kedua, I’m
proud of you. Kalimat ini akan betul-betul berarti jika
diungkapkan benar-benar mengetahui bagaimana
perjuangan seseorang hingga mencapai sebuah prestasi.
Mungkin kita pernah menapaki jalan yang sama.
Atau kita berpartisipasi dalam mencapainya—secara
langsung maupun tidak.
“I am very proud of you.” Untuk ketiga kalinya
Hagen mengucapkan kalimat ini, kepada Mara yang
duduk di depannya, sambil menggigit sepotong piza.
Meski dia tidak tahu seberapa keras perjuangan Mara.
Meski dia tidak berkontribusi pada prestasi Mara. He
just feels similar to her in some ways. Selalu melakukan
yang terbaik dan berhasil.
“Terima kasih sudah datang.” Mara tersenyum.
“Wouldn’t miss it for the world.” Setelah Mara
menyelesaikan segala urusan usai penampilan, mereka
memutuskan belum terlalu larut untuk mengobrol.
Rafka, adik Mara, bersikeras bahwa Mara lelah
dan karena kalau lelah suka marah-marah, mereka
tidak perlu duduk di restoran atau akan malu sendiri.
Agnetha, adik Hagen, mengusulkan untuk mengobrol
di kantor Hagen. Kalau tidak takut dingin, mereka bisa
naik ke atap dan menatap langit. Atau duduk di tepi laut,
bukan di atas pasir, tapi di atas lantai beton, melihat
kapal-kapal berlalu lalang. Kalau kedinginan, bisa main
game atau menonton film di dalam.
“Kamu tahu, Mara.” Hagen membanting
potongan piza di tangannya. “Kalau orangtuaku tahu
aku hanya memberimu pizza untuk makan malam
pertama kita, apalagi setelah kamu menari seindah
itu, kepalaku akan dicelupkan ke dalam bak mandi dan
dicuci bersih. Sambil diceramahi tentang bagaimana
memberi penghargaan kepada seorang gadis luar biasa
sepertimu.”
“Mmm … ini lebih baik.” Mara mengeluarkan
lidahnya untuk menjilat saus di ujung bibir dan Hagen
hanya bisa membayangkan bagaimana rasa manis dari
bibir Mara. “Rafka benar. Kalau lelah dan lapar, aku …
tidak bersahabat.”
Suara tawa Rafka dan Agnetha terdengar dari
sudut ruangan. Kedua adik mereka duduk di sofa merah
di dekat dinding, dengan sekotak piza di pangkuan Rafka.
“Apa menurutmu aku akan menjauh kalau
kamu sedang tidak bersahabat?” Hagen punya dua adik
perempuan dan sudah sangat terbiasa menghadapi
segala sikap yang tidak bersahabat pada hari-hari
tertentu. “Aku tidak peduli. Berikutnya, makan malam
kita berikutnya, aku akan memastikan kita makan di
tempat yang menggunakan garpu dan pisau.”
“Why do you have to be such an awesome man,
Hagen?”
“I ask myself that same question every time I
look in the mirror.”
Mara tertawa. Tawa yang ingin terus didengar
Hagen setiap hari. Sejak hari itu, hari terburuk dalam
hidupnya, hari di mana dia ingin mati saja, belum
pernah dirinya merasa ingin hidup lebih lama hanya
untuk mendengar sebuah tawa.
Ketika melihat Mara menari untuk pertama kali,
Hagen merasa Mara sedang meniupkan kembali nyawa
ke dalam hatinya. Membangkitkan kembali keinginan
untuk mencintai dan dicintai. Sesuatu yang sudah lama
mati. Atau sengaja dibunuh.
“You up for walk?” Rafka bertanya pada
Agnetha saat meletakkan kotak piza di meja di depan
Hagen. Tanpa repot-repot pamit, kedua orang itu
berjalan melewati pintu belakang, masih sambil tertawa
bersama, menuju area pelabuhan.
“Kalau aku tidak menari, aku pasti ingin kerja di
sini.” Mara mengamati ruangan lebar di mana dia duduk
saat ini. Kantor Hagen nyaman sekali. Ada meja-meja
lebar di tengah ruangan, dikelilingi kursi aneka warna.
Ada lima rak buku putih dua sisi yang digunakan sebagai
sekat. Sofa dan bean bag merah di sepanjang dinding
sisi kanan. Dinding dan mebel-mebel berwarna terang.
“Kamu harus lulusan tata kota. Atau perencanaan
wilayah,” kata Hagen.
“Apa tidak ada posisi executive assistant? Got
my degree.”
Kali ini Hagen yang tertawa. “Aku tidak akan bisa
bekerja kalau ada gadis secantik kamu di ruangan ini.”
Hagen tahu Mara tersipu. Manis sekali. Jika
mereka terus bersama sampai puluhan tahun kelak,
Hagen ingin tetap bisa membuat pipi Mara memerah
seperti ini. Jika. Seandainya.
“Aku juga suka mengagumi wajahku sendiri,
Mara,” goda Hagen saat menangkap basah Mara
sedang mengamati wajahnya. Tapi kali ini Mara tidak
memalingkan muka.
“Kamu Møler yang itu.” Mara tampak menyadari
sesuatu. “Aku pernah menontonmu di TV. Iya, pernah.”
“Kamu yakin? Itu bukan kembaranku?”
“Wow! Ada dua orang seperti kamu di dunia?”
Mata Mara membulat. “Tapi aku yakin itu kamu. Kamu
berdebat dengan NGO tentang penggunaan helm saat
naik sepeda.”
“Mana yang lebih kamu suka, Hagen yang kamu
lihat di TV atau Hagen yang ada di depanmu sekarang?”
Mara terdiam sesaat sebelum memutuskan
menjawab malu-malu. “Keduanya. Maksudku … saat
di TV kamu membuat orang NGO jadi terlihat payah
sekali. Meski aku tidak suka kalau punya pasangan yang
… sorry.” Menyadari dirinya bicara terlalu banyak, Mara
menutup mulut.
“Pandai berdebat?” Hagen melanjutkan kalimat
Mara.
“Don’t you worry, Mara. I learned that women
are always right. Aku akan mengalah setiap berdebat
dengamu.” Hagen menyeringai dan karena kasihan pada
Mara yang tersipu sejak tadi, Hagen mengganti topik.
“Jadi, apa kamu setuju orang harus pakai helm saat naik
sepeda?”
“Apa ini wawancara yang harus dilalui sebelum
menjadi temanmu?”
Hagen tertawa. “Khusus untuk calon teman
istimewa.”
“Aku tidak setuju. Seperti yang kamu bilang,
yang seharusnya memakai helm adalah orang-orang di
dalam mobil. Mereka lebih berpotensi pecah kepala.”
Kalau tidak salah, menurut penjelasan Hagen di TV,
hanya 1% dari jumlah total cyclists yang kepalanya
terluka saat kecelakaan sepeda.
“Karena kamu mendukung pemikiranku, maka
sekarang kamu diterima menjadi teman istimewaku.”
Hagen mengedipkan mata.
“Konyol.” Mara berdiri sambil tertawa.
Tatapan mata Hagen mengikuti ke mana Mara
bergerak. Setelah menaruh mug merahnya di meja,
Mara bergerak menuju salah satu rak buku putih di
tengah ruangan. Malam ini Mara memakai sweater
berwarna merah, celana jeans hitam, dan boots
tinggi selutut berwarna hitam. Make-up free. Rambut
hitamnya digerai. Sederhana sekali. Lekuk tubuh Mara
masih bisa terlihat. Hagen tidak tahu di mana Mara bisa
menemukan pakaian sesuai ukurannya, yang lebih kecil
daripada rata-rata wanita di sini.
“Hei. Ada fotoku di sini.” Mara mengacungkan
sebuah buku ke arah Hagen.
Foto Mara? Ada foto Mara di kantornya? Hagen
berjalan mendekat.
Hagen mengenali buku tersebut. Salah satu
bentuk kampanye yang digagas Hagen. Berisi foto-foto
wanita berprestasi dan berpengaruh di seluruh Denmark
yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi
utama. Yang dipilih sebagai cover adalah gambar Crown
Princess, yang sedang mengantarkan anaknya berangkat
sekolah menggunakan cargo bike—sepeda dengan
gerobak di depan, bisa diisi orang atau barang—roda
tiga.
Foto selanjutnya adalah seorang gadis muda
dengan gaun merah tanpa lengan dan high heels hitam
sedang mengayuh sepeda yang juga berwarna hitam.
Dengan make up dan hair do sempurna. Simple simply
classy to make even Snow White envious, judul yang
sangat dipilih Laure, project coordinator yang ditunjuk
Hagen untuk buku tersebut. Setuju. Snow White akan
pensiun menjadi idola anak-anak jika melihat foto Mara.
Hagen memeriksa keterangan di sudut kanan
bawah. Mara Elaisa Hananto. Ballerina. Copenhagen.
Dan penjelasan singkat tentang siapa Mara dan apa
prestasinya.
“No way.”
“Yes way. Aku ingat orang bernama Laure
menghubungiku.” Mara menjelaskan. “Kami bertemu
dan dia menjelaskan tentang kampanye ini. Juga
menanyai apa aku mau berpartisipasi, imbalannya aku
mendapatkan kartu untuk naik kereta gratis selama
setahun. Siapa yang tidak mau? Hanya difoto, tidak
susah. Plus, tentu akan banyak wanita terbuka mata dan
pikirannya. Pergi ke pesta, memakai gaun dan sepatu hak
tinggi tidak perlu naik mobil. Aku selalu melakukannya.
“Foto ini diambil saat aku dalam perjalanan
menuju lokasi makan malam untuk penggalangan dana
bagi children’s hospital. Aku punya dua copy buku ini.
Yang belum ada cap best seller. Satu di flatku dan satu
di Indonesia.”
“No kidding.” Hagen kembali menggelengkan
kepala. “You know what, Mara, aku terlibat juga dalam
acara tahunan children’s hospital. Tapi aku menjadi
badut yang bermain sulap untuk mereka.”
“Seandainya mereka seumuran denganku,
mereka pasti akan lebih memilih dikunjungi oleh Hagen
tanpa topeng.”
“Kenapa wanita seumuran kamu memilih
melihat wajah asliku?” Apa Mara menganggapnya
menarik? Tampan? Seksi? Apa? Hagen penasaran.
Mara menggeleng sedikit salah tingkah,
menunduk, dan berjalan menjauh.
“Ini apa?” Mara menunjuk gambar dalam
bingkai kaca di dinding. Di atas deretan sofa dan bean
bag berwarna merah. Gambar yang buruk sekali.
Lingkaran besar dengan garis dan kotak yang diwarnai
seadanya juga.
“Karya pertamaku sebagai seorang urban
expert.” Hagen menjawab dengan bangga. “Aku
membuatnya saat kelas 6. Guru menyuruh kami keluar
kelas dan mengamati sekitar. Mencari apa yang bisa
diperbaiki dari lingkungan kita dan memberi solusi
supaya lebih baik. Aku menggambar bundaran depan
sekolah.”
Telunjuk Hagen menunjuk lingkaran besar
berwarna biru. “Tempat ini selalu ramai jelang jam
delapan. Tidak ada batas yang jelas mana jalur
pesepeda, jalur bus, jalur mobil. Semrawut. Pengguna
mobil sangat tidak sabar menunggu siswa dan orangtua
menyeberang, karena khawatir terlambat bekerja. Ini
solusi dariku.” Dengan semakin bangga Hagen menunjuk
tulisan tangannya yang jelek sekali di sisi kanan kertas
gambarnya.
“Membuat mobil dengan desain jelek, sehingga
orang tidak mau naik mobil? Simple. And … rational.”
Mara kembali tertawa dan Hagen merasa prestasinya
selama mendalami urbanisme tidak ada artinya. Tidak
dibandingkan saat bisa membuat Mara tertawa.
“Lihat poin kedua. Itu yang paling hebat.”
“Batas kecepatan mobil 15 km/jam.” Mara
membaca sambil mengamati rambu yang digambar
Hagen, sesuai kondisi nyata. Di situ tertulis 40 km/jam.
“Saat aku sudah kuliah dan melakukan
penelitian, aku menemukan bahwa kecepatan rata-
rata sepeda di Copenhagen adalah 15 km/jam. Betapa
geniusnya aku saat kelas 6, kan?”
“Dari mana kamu dapat angka 15?” tanya Mara
sambil—lagi-lagi—tertawa.
“Tidak tahu. Aku asal menulis saja.”
“Berarti itu hanya kebetulan.” Mara tidak mau
mengakui.
“Itu hebat! Guruku bahkan baru mengajari
menghitung apel dan bebek.”
Mara tertawa dan bergerak menuju rak buku
lain. “Kelas 6 menghitung uang kembalian. Bukan bebek.
Oh, saat kelas 6, aku ikut cyklistprøve.”
“Kamu sudah sekolah di sini umur segitu?”
Hagen tidak percaya. Tidak wajib mengikuti cyclist test
seperti yang dijalani Mara. Tetapi banyak sekolah yang
memilih menggelar tes tersebut. Pertimbangannya
karena anak-anak akan mulai naik sepeda sendiri di atas
aspal. Di jalan besar. Sekolah ingin memastikan mereka
siap—tahu rambu dan sebagainya.
“Aku mulai berpikir jangan-jangan kamu
jodohku, Mara.”
“Hahaha. Kalau syarat menjadi jodohmu adalah
lulus ujian bersepeda, maka seluruh anak kelas enam di
sekolahku bisa lolos seleksi.”
“Itu syarat nomor satu. Masih banyak yang lain.”
“Seperti?”
“Bisa menari balet.”
Hagen bersumpah pipi Mara berubah warna.
Gradasi warna merah sampai merah muda.
“Aku membuat dua kesalahan saat tes 3 menit.
Jadi nilaiku dikurangi 60.”
“Kesalahan apa?”
“Aku tidak menoleh ke belakang sebelum
berhenti. Yang kedua, melebar ke jalur pejalan kaki.”
Mara tersenyum malu.
“Aku sedang ada project untuk kampanye
bersepeda. Membuat buku lagi. Apa kamu mau
berpartisipasi?” Hagen aktif bergerak untuk membuat
orang-orang mengubah pikiran bahwa bersepeda adalah
hal yang keren. Bukan, dia bukan pecinta lingkungan.
Dia bahkan tidak peduli kalau kebiasaan bersepeda bisa
memperlambat pencairan salju di kutub utara. Cita-
citanya sederhana saja. Setiap orang merasakan mafaat
bergerak.
“Difoto lagi?”
“Tidak. Hanya menjawab pertanyaan.”
“Tentang?”
“Would you date someone who didn’t have a
car?”
Mara terdiam sesaat, sebelum memutuskan
untuk bertanya. “Apa jawabannya akan mempengaruhi
pertemanan kita?”
“Tidak,” jawab Hagen. “Tapi akan mempengaruhi
langkahku selanjutnya. Apakah aku ingin kenal lebih
dekat denganmu atau menjaga hubungan kita tetap
seperti sekarang.”
“Hmm….” Mara hanya menggumam dan
kembali memeriksa rak buku di depannya.
“Aku harus memastikan bahwa gadis yang
kusukai memahami apa yang kulakukan untuk
menyambung hidup.”
“Suka? Kita baru kenal sebulan.” Dan dua kali
bicara.
“Masa? Kenapa aku merasa sudah mengenalmu
selama tujuh tahun?”
Hagen tidak ingat kapan terakhir kali dia merayu
wanita. Atau menggombali wanita. Melihat Mara selalu
tersenyum, tertawa, tersipu membuatnya tidak ingin
berhenti melakukan ini.
“Hari Minggu nanti aku mengadakan balapan
cargo bike, Mara. Apa kamu mau ikut?”
“Aku pulang ke Indonesia. Ibuku akan berulang
tahun ke-50. Jika masih hidup.”
“I am sorry, Mara.”
“Yah, I am sorry too.”
“Kamu sering pulang ke Indonesia?”
“Tentu saja. Kedua orangtuaku tinggal di sana.
Makam orangtua kandungku juga ada di sana. Aku
bukan kacang yang lupa pada kulitnya.”
“Kacang?” Hagen mengangkat alis, tidak paham.
“Nasihat dari ayahku.” Mara juga tidak tahu
harus menjelaskan seperti apa. “Kapan terakhir kali
kamu ke Indonesia?”
“Tidak ingat.”
“Huh? Kamu tidak punya keluarga di Indonesia?”
“Kedua kakek dan nenekku di Indonesia.”
“Kamu tidak pernah mengunjungi mereka?”
“Pernah.” Tetapi sudah tidak lagi.
“Kamu tidak suka Jakarta?”
Hagen tidak menjawab.
“Aku juga,” kata Mara. “Tapi ada banyak tempat
lain yang bisa dikunjungi.”
“Tidak ada alasan khusus.”
“Apa mungkin mantan pacarmu orang
Indonesia?”
“Orang Aarhus.”
“Kalau begitu apa yang membuatmu tidak suka
Indonesia?”
“Tidak ada yang bilang aku tidak suka
Indonesia!” Suara Hagen meninggi. Di antara segala hal
yang bisa dibicarakan, kenapa gadis ini memilih terus
membicarakan Indonesia. Tempat terakhir yang ingin
dia datangi adalah Indonesia. Bukan salahnya kalau dia
tidak ingin ke sana lagi. Tapi salah … Hagen memejamkan
mata, otaknya menolak mengingat nama tersebut.
Sebelum kepalanya meledak, Hagen
berjalan menuju kulkas dan mencari air dingin untuk
mendinginkan kepalanya. Setelah menghabiskan
hampir satu botol air, Hagen kembali menuju main room
dan mendapati Mara sudah tidak ada lagi di sana. Buket
bunga raksasanya juga hilang. Hanya parka kuning milik
Mara masih tergantung bersama dengan milik Hagen
di samping pintu. What the…? Mara tidak membawa
sepeda. Tadi sepulang dari The Royal Theater Mara naik
cargo bike bersamanya. Hagen berlari menuruni tangga
dan menangkap sosok Mara berjalan cepat menjauh.
Dengan cepat Hagen meloncat ke atas cargo
bike merahnya dan mengayuh sampai di samping Mara.
“Ke mana kamu, Mara? Aku antar.”
Mara menatapnya sebentar, sebelum naik
dan duduk di lantai carriage dan menyelonjorkan kaki.
Tangannya masih mendekap erat buket bunga raksasa.
Tidak terdengar lagi suara percakapan setelah Mara
memberitahukan alamatnya.
“Enak ya jadi orang pendek?” Hagen memutus
keheningan di antara mereka. Baru kali ini Hagen
membawa seorang gadis di atas cargo bike roda dua
miliknya.
Mara tidak menjawab dan juga tidak tertawa.
Hagen memutuskan untuk ikut diam selama lima
belas menit perjalanan menuju flat Mara. Malam ini
Copenhagen tidak hujan. Sekelompok orang bersepeda
di depannya memberi tanda bahwa mereka akan
berbelok ke kanan dan Hagen berhenti sebentar, untuk
mengambil foto. Anak-anak muda berangkat party
menggunakan sepeda sambil tertawa-tawa. Setelah
aman, Hagen kembali mengayuh Bullit-nya. Sambil
menimbang apakah dia harus menanyakan kapan Mara
akan berangkat ke Indonesia.
“Sorry, I was being a jerk.” Hagen sudah
berhenti di depan gedung flat 3 lantai Mara. “Aku
berusaha terlihat sempurna. Tapi, kadang ketika orang
menyentuhku di tempat yang salah, aku bisa kesal juga.”
“Aku mengerti.” Mara turun dan berdiri di
samping Hagen, yang tidak turun dari sepedanya.
“Aku lebih sering berada di posisi itu. Berpura-pura itu
melelahkan. Seperti aku harus tetap menari dengan
bagus meski sedang rahang tenggorokan dan tidak
boleh meringis. Tapi di depan beberapa orang … yang
kupercaya … aku bisa berhenti pura-pura.”
Hagen tidak tahu harus tersenyum atau
memukul kepalanya. Lihat. Betapa baiknya gadis ini.
“Aku menyukaimu, Mara. Aku ingin mengenalmu lebih
jauh. But, when you….” Hagen menghela napas. Saat
Mara menyebut Indonesia, semua kepercayaan akan
cinta kembali lenyap tak bersisa. “At that point, I had to
wonder if it was worth interrupting your life for a future
I am not sure I could promise.”
“Apa ini ada hubungannya dengan Liv?”
“Dari mana kamu tahu tentang Liv?”
“Internet. What?” Tatapan Mara menantangnya.
“Kamu melakukan background check kepadaku. Salah
kalau aku melakukan yang sama?”
Tidak. Tidak salah sama sekali. Dirinya dan Liv
terlalu banyak membagi kehidupan mereka di media
sosial.
“Hei, mau mencoba ke bandara naik Bullit saat
kamu berangkat?” Hagen menunjuk sepedanya, tidak
ingin melanjutkan obrolan berat ini.
“Aku mau.” Mara kembali tersenyum, Hagen
mendesah lega.
“Aku tidak tidak tahu akan seperti apa …
kita berdua di depan nanti. Aku hanya menikmati
kebersamaan kita saat ini. Good night, Hagen.”
“Night, Sweetgirl.”
Mara melambai sekali lagi, sambil memberikan
senyum terbaiknya. Hagen menunggu sampai Mara
menghilang di ujung tangga sebelum mengayuh cargo
bike-nya menjauh. Jika Mara tidak ingin menebak-nebak
akan seperti apa masa depan mereka, sebaiknya Hagen
berhenti mengharapkan masa lalunya berbeda. We are
just human. We can’t change the past and predict the
future.
Chapter Three

SUMMER is all about adventures, and what’s more fun


than cargo bike adventure? Ini akan menjadi kali pertama
Mara pergi ke bandara tidak menggunakan metro. Tapi
duduk di lantai carriage bersama satu koper ukuran
sedang sambil tangannya memegang gelas bening berisi
strawberry smoothie. Hagen juga yang membawakan
smoothie untuknya. Empat puluh lima menit perjalanan
dengan sepeda dari kanor Hagen di Frederiksberg. Tiga
belas kilometer yang pernuh dengan cerita dan canda.
Seorang laki-laki melintas, di atas cargo bike
warna hitam yang sudah dimodifikasi. Bukan sekadar
lantai seperti milik Hagen, tetapi ada barnevogn3 minus
roda di atasnya. Tiga puluh persen dari jumlah pasangan
yang memiliki anak, memiliki cargo bike. Pikiran Mara
mau tidak mau membayangkan Hagen yang ada posisi
3
Baby carriage
tersebut. Hagen akan membawa anak-anaknya dalam
satu sepeda sedangkan istrinya naik sepeda—sepeda
biasa—di sisinya.
“Hey, Mara. Take picture of us.” Suara Hagen
memutus lamunan Mara.
Mara mengeluarkan ponsel dan meninggikan
tangannya, merekam video mereka berdua. Hagen
melepaskan tangannya dari stang sepeda dan
membentuk simbol hati dengan kedua pasang ibu jari
dan telunjuknya. Sedangkan Mara melemparkan air kiss
ke kamera.
Sambil tersenyum mengingat suara tawa
mereka dalam video setengah menit yang dibuatnya,
Mara mengetikkan caption you learn to love the same
way you learn to ride a bike: scared but reckless. Dia
dan Hagen sama-sama menahan diri untuk jatuh cinta.
Dengan alasan berbeda. Alasan Mara, karena belum
pernah. Sedangkan Hagen, karena patah hati.
“Kapan-kapan kita harus bawa Bullit kita untuk
naik ferry,” kata Hagen.
“Mau ke mana?”
“Swedia?”
“It would be fun.” Mara sudah sering ke Swedia,
untuk menari, tapi ke sana untuk jalan-jalan dan naik
sepeda akan berbeda. Sepertinya apa saja jika dilakukan
bersama Hagen akan menyenangkan.
Hagen memarkir sepedanya di cycleparkering
dekat terminal 2 lalu membantu Mara membawa
kopernya menuju gedung terminal.
“Aku akan merindukanmu, Mara.”
Mara tertawa. “Kita tidak setiap hari bertemu.
Akan sama saja seperti biasanya.”
“Tidak sama. Hidupku tidak sama lagi sejak
aku kenal kamu.” Hagen mengedipkan mata sedangkan
Mara menunduk tersipu. Tidak terbiasa dengan laki-laki
yang merayunya.
“Di sana kamu akan bersama orang-orang yang
mencintaimu dan kamu akan mengabaikanku,” lanjut
Hagen.
“Rencanaku memang begitu.” Mara tersenyum.
“Aku ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin
dengan mereka selama sepuluh hari ke depan. Sebelum
aku kembali ke sini dan sibuk dengan balet lagi.”
“Aku?” Hagen menunjuk dirinya sendiri. “Kamu
tidak ada waktu untukku?”
Mara menggeleng. “Tidak ada.”
“Ouch.” Hagen menyentuh dadanya dengan
dramatis.
“But I make time for you, Hagen.”
“If it’s not my sweetest girl in the whole world.”
Hagen menyeringai puas.
“Aku masuk dulu.” Mara memberanikan diri
untuk menjulurkan badannya dan mencium pipi kanan
Hagen, sebelum melangkah cepat menuju tangga
berjalan, supaya Hagen tidak sempat melihat wajahnya
yang memerah.
Mara tidak bisa menahan hatinya agar tidak
berbunga. Bagaimana dia bisa, Hagen, laki-laki yang
tinggal menggerakkan jarinya untuk mendapatkan
wanita mana saja, memberi perhatian padanya.
Sejak kunjungan ke kantor Hagen malam itu, Mara
menggunakan kemampuannya untuk meng-Google
fakta dan berita mengenai Hagen. Karena prestasinya,
dia pernah dipanggil untuk bertemu dengan raja dan
dikabarkan pernah terlihat di muka umum bersama
dengan putri raja.
Selama di Indonesia, sepertinya akan menjadi
waktu yang tepat baginya untuk menenangkan hati.
Mengerem semua perasaan yang tidak dia ketahui
bagaimana bisa berkembang secepat ini. Tidak perlu
berharap macam-macam pada pertemanan mereka.
Kalau dia bisa menjaga hatinya tetap berada dalam jarak
aman, tidak aka nada potensi patah hati.
Ponselnya bergetar dan Mara melirik nama
Hagen di sana.
Would you call me crazy if I said this city feels
so empty without you?
Mara memeluk ponselnya erat-erat. Sepertinya
usaha untuk melindungi hatinya akan semakin berat.

***

Mara mengumumkan kedatangannya saat


masuk ke dalam rumah. Di belakangnya Rafka berjalan
sambil membawakan koper Mara.
“Hmm … hmm….” Jawaban ayahnya saat
menyambut Mara yang langsung meloncat ke pelukan.
“Mana laki-laki yang membuat anak Papa belajar jatuh
cinta?”
“Tetap Papa yang nomor satu di hatiku.” Mara
memeluk lengan ayahnya.
“Good luck, Princess.” Rafka mengolok kakaknya.
“I don’t think so, Young Man.” Kali ini ibu
mereka, Edna, menghampiri. “Siapa gadis cantik yang
membuatmu memilih untuk internship di Denmark?”
“Agnetha?” Seperti pertanyaan ibunya
mengingatkannya pada hal yang mahapenting, Rafka
langsung menempelkan ponsel di telinga. “Baby, aku
sudah sampai … yeah, besok kuantar rumah kakek dan
nenekmu … iya, semua kubawa….”
“Kak Mara!” Elma, yang masih mengenakan
seragam, sekolah berlari menubruk Mara. Gadis berusia
sepuluh tahun itu adalah anggota terbaru di keluarga
mereka. Diadopsi saat mereka memperingati ulangtahun
ibu kandung Mara sepuluh tahun yang lalu. Nama Elma,
juga diambil dari nama ibunda Mara.
“Kakak bawa hadiah ulang tahun untukmu.”
Mara berjongkok dan membuka koper, mencari satu
buah kotak berwarna merah. “Ini dia.”
“Terima kasih.” Dengan tidak sabar Elma
membuka kotak di tangannya.
“Cantik sekali,” komentar ibu mereka,
memperhatikan snow globe di tangan Elma.
“Oh! Ada musiknya!” Elma memekik senang.
Tiga hari yang lalu saat melakukan video call
dengan Hagen, Mara mengeluh tidak tahu harus
memberi kado apa untuk adiknya. Elma sudah memiliki
segala yang diperlukan dan tidak diperlukan anak
seusianya. Keesokan harinya benda ini datang diantar
kurir ke flatnya. Dari Hagen. Bersama dengan satu
snow globe lain. Milik Mara bukan berisi skyline kota
Copenhagen, tetapi berisi satu figurine ballerina. Forget
the glass slippers, my princess wears pointe shoes.
Bunyi kartu yang ditulis Hagen.
“Mas Rafka, hadiah!” Elma menagih Rafka, yang
sudah selesai menelepon.
“Sorry, lupa,” jawab Rafka.
“Kalau gitu, Mas Rafka nggak dapat cake dan
cookie.”
“Wow. Itu jahat sekali.” Rafka memasang wajah
terluka.
Mara tertawa bersama keluarganya. Siapa pun
tidak ingin melewatkan cake dan cookie buatan Elma
bersama ibu mereka. Kebalikan dari Mara, Elma suka
menghabiskan waktu di dapur membantu ibu mereka
membuat kue.
“Coba kamu ke kamar, Elma.” Ibunya
menyarankan. “Siapa tahu hadiah dari Mas Rafka ada di
sana.”
“Tapi Mas Rafka baru datang.” Elma tidak mau
bergerak. “Hadianya pasti di situ,” tunjuknya pada koper
Rafka.
“Ya sudah kalau tidak mau lihat.” Edna
tersenyum penuh arti dan Elma bergerak menuju lantai
dua ditemani oleh ayah mereka.
“Sepertinya banyak yang harus kalian ceritakan.”
Edna kali ini fokus kepada dua anaknya yang baru saja
datang, sambil membimbing mereka untuk duduk di
ruang tengah. “Kenapa tiba-tiba kalian berdua punya
pacar? Dalam waktu bersamaan?”
“Aku nggak punya pacar, Mama,” jawab Mara.
“Aku punya,” jawab Rafka dengan bangga.
“Kamu pacaran sama adik Hagen?” Mara
menatap tajam pada adiknya.
“Iya dong. Agnetha … sempurna.” Adiknya
mengangkat bahu.
“Siapa Hagen dan siapa Agnetha?” Ibu mereka
sudah tidak sabar.
Mara menceritakan dan menekankan bahwa
Hagen adalah temannya, sedangkan Rafka malah
memamerkan kehebatannya bisa mendapatkan gadis
yang cantik dan cerdas dalam waktu tidak lebih dari satu
bulan.
“Mama tidak ingin mengacaukan kebahagiaan
kalian. Tapi kalian sadar, bukan, kalau Rafka dan Agnetha
putus, maka kalian akan tetap saling bertemu, karena
kakak kalian bersama?”
“Aku dan Hagen nggak pacaran, Ma.”
“Dan sebaliknya, kalau Mara dan Hagen putus,
kalian akan tetap saling bertemu.” Ibunya mengabaikan
protes Mara.
“Nggak usah berpikir terlalu jauh, Ma, nggak
semua orang yang pacaran akan menikah,” kata Rafka
dan untuk pertama kali dalam sepuluh tahun terakhir,
Mara sependapat dengan Hagen.
“Jangan mendebat, Hagen. Sekalian Mama ingin
mengingatkan, kalau kamu tidak serius dengan gadis itu,
jangan diteruskan. Kamu akan menyakitinya.”
“Agnetha juga mungkin tahu bahwa masa depan
kita masih jauh dan belum pasti. Jangan terlalu serius,
Mama.”
“Kalau tidak serius, Rafka, kenapa kamu akan
internship di Denmark?” tanya ibunya.
“Karena ayah Agnetha membuka lowongan.
Beliau yang terbaik di Eropa.” Rafka mengemukakan
alasannya.
“Itu sudah cukup untuk menjadi alasan agar
kamu tidak menyakiti anaknya. Mama rasa, Mama tidak
bisa mendukung hubungan yang seperti itu. Mama tidak
ingin salah satu dari akan tersiksa suatu hari nanti.”
“Aku tidak ada hubungan dengan Hagen,
Mama.” Sekali lagi Mara menegaskan.
“Hmm … hmmm….” Ibunya menggumam tidak
percaya.
Sebelum Mara atau Rafka memberi penjelasan
lagi, ada suara percakapan mendekat ke ruang tengah.
Dua adik laki-laki Mara yang lain, Kalan dan Lane,
masuk membawa kandang kucing. Sepertinya Rafka
membelikan kucing untuk Elma dan Kalan dan Lane,
melengkapi hadiah dari Rafka.
Rafka sibuk mengobrol dengan si kembar
diselingi tawa bahagia ibu mereka. Berapa puluh kali
Mara protes, ingin punya adik perempuan? Dikabulkan.
Tapi lima belas tahun kemudian. Saat orangtuanya
memutuskan untuk mengadopsi Elma, Mara sudah
sibuk dengan dunianya sendiri.
Mara melirik ponselnya dan tersenyum melihat
pesan masuk dari Hagen.
“Kamu jatuh cinta, Mara,” kata ibunya.
Mara tersentak. Pembicaraan dengan ibunya
kali ini membuatnya kembali sibuk menyadarkan diri
untuk tidak membiarkan hatinya terpukau pada Hagen.
Meski akan sangat sulit. Laki-laki itu sempurna baginya.
Lucu, tampan, cerdas, perhatian, dan orang Indonesia.
Paling tidak mereka memahami akar budaya yang sama,
meski dalam diri Hagen mungkin tidak terlalu banyak.
Bagaimana kalau dimulai dengan mengabaikan
pesan dari Hagen? Mara mematikan ponselnya.

####

Beri tahu aku apakah kalian ingin cerita ini dilanjutkan?


Tinggalkan komentar di blog ini atau Instagram, Twitter,
atau FanPage Facebook milikku.
Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai