IKA VIHARA Author of My Bittersweet Marriage, When Love Is Not Enough, and Bellamia Chapter One
MARA masih ingat, dan aku selalu ingat, bagaimana dia
dan ketiga adiknya selalu berteriak protes dan menutup mata ketika melihat orangtua mereka sengaja berciuman di tengah rumah. Juga sangat ingat bagaimana ayahnya menyalahkan istrinya karena mereka berdua sama-sama tidak ingat untuk menjemput Kallan, salah satu adiknya, di TK karena sibuk bekerja. Lalu gantian ibunya memarahi suaminya yang selalu lupa menurunkan dudukan toilet. Seaneh apa pun alasan yang menyebabkan pertengkaran, kedua orangtuanya selalu bisa menemukan cara untuk berdamai di akhir hari. Mulai dari menari berdua mengikuti lagu di teras belakang sampai mengurung diri di kamar dan meminta Mara mengawasi adik-adiknya. That is the very best example of parents who showed her true love. Love is more than just a word. It is the ability to past the arguments and find a way to getting lost in the very same someone’s eyes every day. Orangtuanya tidak perlu menjelaskan kepadanya akan pentingnya cinta dan bagaimana cara menemukannya. Dengan sendirinya, Mara sudah mempelajari selama menjadi anak mereka. “Penny to your thought, Lolipop.” Mara menyeringai dan kembali fokus pada layar ponselnya. Siang ini, setelah keluar dari studio dan selesai berlatih, Mara memilih duduk di Granola bersama semangkuk es krim, untuk sekadar memberi apresiasi kepada dirinya, yang akan menjadi soloist dalam pertunjukan spesial The Royal Danish Ballet. Sudah sangat lama Mara menantikan peran ini. Dalam balet, Giselle diceritakan sebagai sosok seorang wanita yang meninggal karena patah hati setelah mengetahui kekasihnya menikah dengan wanita lain. Meski perjalanan cintanya tidak begitu berwarna, Mara cukup membayangkan bagaimana jika ibunya mengetahui suaminya bersama wanita lain. Rasa sakit itu yang dia masukkan ke dalam setiap gerakannya. “You are true ballerina, Mara,” kata artistic director RDB. “Aku sudah beli tiket pesawat buat pulang, Papa.” Mara tidak akan melewatkan hari ulang tahun ibu kandungnya. Keluarganya memilih untuk merayakan hidup ibunya, bukan memperingati kematiannya. Ah, ibu dan ayah kandungnya. Satu cerita yang tidak kalah indah, tentang pasangan yang memenuhi ikrar sehidup semati. Mara mendengar secara lengkap kisah mereka menjelang ulang tahunnya yang ketujuh belas. “Jangan bawa calon suami. Papa belum siap.” Mara tertawa keras. “Aku nggak punya pacar, Pa.” Dengan segala kesibukannya, Mara tidak tahu kapan, d mana atau bagaimana dia harus menemukan cinta. Hari-harinya selalu diisi dengan latihan—meski sudah profesional, seorang balerina harus berlatih setiap hari didampingi guru, supaya tubuh tidak lupa—dan keliling dunia. Menari adalah hobinya dan Mara tidak menyangka bahwa balet yang akan memberinya penghidupan dan kebahagiaan. “Tidak perlu susah mencari, Sayang.” Edna1, ibunya, ikut bicara. “Kamu dan pasanganmu akan bertemu dengan cara yang tidak terduga. Papa, orang 1 Dari cerita The Game of Love. Edna adalah gadis berusia 24 tahun yang mengambil tanggung jawab mengasuh Mara, usia 2 bulan, yang ditinggal mati kedua orangtuanya. Dua tahun kemudian Edna terpaksa menikah dengan Alwin, founder game house Basilisk, pembuat game mega hits yang membuat namanya tercatat sebagai salah satu multimillionaire muda, a loner, a cool nerd, menerima penghargaan di sana-sini, diundang berbicara di hampir semua negara di dunia, tapi tidak mencintai Edna. Cerita ini sudah selesai kutulis tapi belum diterbitkan. yang malas keluar rumah saja ketemu jodohnya. Jodohnya datang sendiri ke rumah. Dia nggak usaha apa-apa….” “Hei!” Ayahnya protes dan disambut tawa Edna. “Dengan sendirinya, kamu akan tahu bahwa dia adalah belahan jiwamu. Kamu akan bisa merasakan. Kadang orang merasakan pada pertemua pertama. Kadang setelah satu tahun berteman. Kadang perlu waktu lebih lama. Seperti papamu.” Mendengar nasihat ibunya, Mara mengangguk lega. Sejak masih kanak- kanak dan menyukai cerita princess, sampai saat ini, kepercayaan mengenai pangeran berkuda putih tidak pernah memudar. Mereka akan datang saat belahan jiwa berada dalam bahaya bukan? Tapi amit-amit, bagian berada dalam bahaya tidak perlu terjadi. “Papa mau kamu punya suami orang sini, Mara. Setelah kamu puas menari, kamu akan pulang ke sini dan tinggal bersama kami.” Bersamaan dengan itu, ayahnya mendapat sikutan dari istrinya, dan mengaduh pelan. “Aku janji, Pa. Aku akan kembali. Aku sudah berpikir untuk mengajar di sana.” Mara tidak ingat usia berapa dia meninggalkan rumah. Masih kecil sekali. Menurut cerita ibunya, sejak kecil dia sudah suka bergerak. Kelebihan energi, sehingga ibunya memasukkannya dalam kelas menari. Supaya gerakannya tidak sia-sia. Dia lulus dari The Royal Danish Ballet School ketika memasuki masa remaja. Edna rajin mencari informasi untuk mengembangkan bakat menari Mara dan berakhir dengan diskusi dengan Jasper, sepupu ayahnya. Rencana awalnyanya dia dikirim ke Copenhagen untuk tinggal bersama dengan Jasper. Tetapi ayahnya tidak sanggup hidup jauh dari anak perempuan kesayangannya. Lima tahun orangtuanya mendampingi hidup di Copenhagen. Salah satu adiknya bahkan lahir di sini. Sebelum orangtuanya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. “Rafka akan datang menonton pertunjukanmu, Mara.” Ibunya memberi informasi yang sudah diketahui Mara. Sudah jadwalnya. Salah satu adiknya itu kuliah di Jerman dan secara berkala datang ke sini. “Ma, aku ini Kakak lho.” Mara menyuarakan keberatan. “Kenapa malah aku yang diawasi?” Tugas dari ayahnya, adik-adiknya harus memastikan keselamatan Mara. “Kalian saling menjaga,” jawab Edna saling tersenyum. Mereka menghabiskan sisa obrolan mereka dengan si kembar, Kallan dan Lane, yang tidak pernah berhenti menggambar komik. Setelah bertukar ‘I love you’, Mara melepas earplug dari telinganya dan membuka buku yang terbuka di depannya. Meski punya e-reader, Mara tetap suka membaca paperback. “Sorry.” Sebuah suara mengganggu konsentrasi membaca Mara. Mara mengangkat kepala dan melihat seorang laki-laki, dengan mata biru yang cerah dan hangat seperti langit musim panas, rambur berwarna cokelat seperti tanah yang terkena hujan pertama di musim gugur, dan yang paling menarik adalah warna kulitanya. Seperti orang yang menghabiskan liburan musim panasnya di pantai dan berjemur sepanjang hari. Lebih gelap dan seksi. Bukan warna kulit, hatinya meralat, yang paling menarik adalah senyumnya. Senyum di bibir dan di mata. Seandainya hari ini Mara jatuh saat berlatih, keseleo, dan kesal karena harus istirahat beberapa hari, setelah melihat senyum seperti yang masih ada di depan matanya, dia yakin akan dengan mudah melupakan ketidakberuntungannya dan mensyukuri hidupnya hari ini. Kata tampan tidak mampu mendeskripsikan sosok yang kini, tanpa menunggu izin, memindahkan cangkir dari meja di sebelah kanan Mara ke meja Mara. “Apa kamu orang Indonesia?” Sapanya dengan bahasa Indonesia yang lancar, tetapi dengan aksen yang tidak biasa. Tidak mengganggu. Tapi, seksi. Tuhan, kenapa sejak tadi otaknya tidak bisa berhenti mengeluarkan kata seksi. “Kamu keberatan aku duduk di sini?” Seharusnya Mara protes karena ada yang melanggar privasi. Tetapi demi melihat senyum dengan satu lesung pipit di sebelah kiri, Mara hanya bisa mengangguk. “Oh?” Kali ini laki-laki tersebut mengamati wajah Mara dengan seksama. “Mara? Mara Hananto?” Bukan terkejut, tapi laki-laki tersebut malah terlihat lega. Mara tidak tahu dia harus menganggguk atau berpura-pura menjadi orang lain. Dia sudah menari di mana-mana, bahkan disiarkan di televisi, dan sangat mungkin orang akan mengenalinya, meski dengan rambut digerai dan tanpa make-up. “Adikku penggemarmu. Waktu itu kebetulan kami sedang ada acara di Copenhagen dan kami sekeluarga pergi menonton penampilanmu … nah, ini adikku.” Dari layar ponselnya, laki-laki tersebut menunjukkan foto satu keluarga, yang dia klaim diambil pada saat makan malam sebelum pergi ke The Royal Theatre, lalu bercerita banyak. Tanpa bisa dicegah, Mara mengingat satu per satu nama yang disebutkan, seolah mereka akan menjadi bagian dari keluarganya juga. “Sorry, apa aku … kampungan?” Laki-laki tersebut menghentikan cerita. Baru sampai mana tadi? Adiknya suka menari tapi lututnya tidak memungkinkan setelah kecelakaan? Kali ini Mara tertawa pelan. “Jarang ada orang yang duduk di mejaku dan menceritakan keluarganya. Terima kasih kamu dan keluargamu sudah datang menyaksikan pertunjukanku.” “Suatu kehormatan bagiku bisa menyaksikan. Indah sekali. Aku belum pernah menonton balet sebelumnya. Adikku, seperti kubilang, penggemar beratmu, dan memaksaku pergi. Aku tidak menyesal. Bahkan mungkin tertular. Selama bisa mendapatkan tiketnya, aku akan datang ke setiap pertunjukanmu.” “Oh? Thank you.” Mara tidak tahu harus mengatakan apa. “Atau aku lebih parah daripada adikku. Aku memasukkan namamu di internet dan mengirimkan surat penggemar ke The Royal Danish Ballet. Aku harus bersaing dengan banyak orang bukan? Karena sampai sekarang belum beruntung.” “Um … aku memang tidak bisa membalas satu per satu.” Seandainya Mara lebih rajin membalas semuanya, pasti dia tidak akan melewatkan surat dari laki-laki ini. Apa tulisan tangannya berkarakter juga seperti wajahnya? Uh, Mara menggelengkan kepala. “Setelah ini aku akan bisa tidur nyenyak.” Mara mengerutkan kening. Apa hubungannya surat penggemar dengan tidur? “Karena aku sudah menyampaikan kekagumanku kepadamu. Bahkan secara langsung. Aku tidak perlu bergadang membanjiri media sosialmu dengan komentar dan berharap dibalas. Atau di-like, paling tidak.” “Aku tidak setenar itu.” Apa dia pikir Mara artis Hollywood? Berapa banyak penggemar balet di dunia ini? Di negara ini? Mara menggelengkan kepala. “Tidak semua orang bisa mencapai prestasi seperti ini, Mara.” Tatapan mata laki-laki ini serius dan dalam sekali. Tepat pada manik hitam mata Mara, seolah sedang bicara kepada hati dan jiwa Mara. “Soloist kulit kuning pertama setelah tiga puluh dekade?” “Dan pendek.” Mara menutupi kegugupannya, sama gugupnya saat dia mengikuti audisi pertama pada umur 15 tahun. “Tidak ada yang salah dengan tinggi badanmu. You are not short, just … cute size.” “Dalam duniaku, 162 cm termasuk wrong type body. Poorly proportioned.” “Selama ini tidak menjadi masalah, kan? Karena orang tahu kamu menari dengan hati, Mara. Dan banyak dari mereka yang menunggu-nunggu penampilanmu. Jangan pernah menganggap apa yang kamu lakukan adalah hal kecil. Kamu menginspirasi banyak orang. Termasuk diriku saat melihatmu menari sebagai Nikiya. Yang erat-erat menggenggam cintanya. Dan kesetiannya diganjar dengan cinta yang abadi di kehidupan selanjutnya.” Binar di mata biru tersebut meredup. Jika sebelumnya seperti langit musim panas yang cerah, kali ini tersaput awan gelap. Apa sedang patah hati? “Bagaimana kamu membawakannya, membuatku percaya akan adanya cinta sejati untuk setiap orang. Kalau tidak menemukan di dunia ini, kita akan bersama dengan belahan hati kita di surga. Seandainya aku bisa menari seindah dirimu, aku tidak akan memberikan peran Solor kepada laki-laki lain. Kamu membuatku ingin menari bersamamu.” Please, jerit hati Mara. Kalau pasangan menarinya adalah laki-laki ini, Mara akan lebih bisa menghayati Nikiya. Bentuk tubuhnya tidak banyak berbeda dengan pasangan menari Mara, yang memenuhi semua syarat traditional and ideal ballet body. Learn and strong, rather than bulky. Laki-laki dengan otot terlalu menonjol dan menggembung tidak akan menarik perhatiannya sama sekali. Kalimat ibunya setengah jam yang lalu berputar di kepala Mara. Bahwa Mara akan bisa merasakannya, saat bertemu dengan cinta sejatinya. Laki-laki di depannya, yang tidak dia ketahui namanya, yang baru pertama kali menonton pertunjukkannya, menangkap dengan hati pesan dari semua gerakan Mara yang bersumber dari hati. “Adikku pasti iri setengah mati kalau aku menceritakan pertemuan kita hari ini.” Mara menarik napas. Berusaha menghilangkan pikiran bodohnya. Sama sekali dia tidak kenal dengan laki-laki ini. Bagaimana mungkin dia sudah memikirkan cinta sejati? “Kalau adikmu ke Copenhagen….” Tadi laki-laki ini menyebut bahwa keluarganya tinggal di Aarhus. “Dan suatu saat nanti datang lagi ke pertunjukanku, beri tahu aku, aku akan menemui kalian.” Tidak setiap saat ada orang yang sangat ingin bertemu dengannya. “Tentu saja. Aku jadi tidak pusing mencari hadiah ulang tahun. Aku akan mengajaknya makan malam dan menonton penampilanmu. Kami tidak akan melewatkan Giselle. Sorry, stalking.” Wajahnya menyeringai jenaka, membuat Mara ikut tersenyum. “Tapi bagaimana cara memberitahumu?” “Bilang saja pada orang yang memeriksa tiket, kamu ingin menemuiku. Dia akan mengaturmu, dan adikmu, untuk menemuiku di ruang ganti. Aku akan meninggalkan namamu….” Siapa nama laki-laki ini? Yang sejak tadi menatapnya dengan … penuh penghargaan dan kebanggaan? Sama sekali bukan tatapan seorang penggemar kepada idolanya. Mara tidak bisa mengartikan. Tidak saat ini. “Møller2. Hagen Møller.” Hagen Møller. Hampir saja Mara ingin menanyakan nama tengahnya. Tapi tidak perlu. Baginya nama lengkap laki-laki ini adalah Hagen Wise Møller. Mara mengangguk dan mencatat nama laki-laki tersebut pada halaman pertama novel yang terbuka di meja di depannya. Laki-laki ini akan menjadi satu-satunya orang, selain keluarganya, yang bisa menemuinya di belakang panggung. “Aku harus pergi.” Mara melirik jam di pergelangan tangannya. Sore ini dia akan mengepas kostum dan mengunjungi paman dan bibinya untuk makan malam. 2 Baca juga My Bittersweet Marriage, cerita mengenai Afnan Moller, yang membawa istrinya—yang sebelum menikah baru tiga kali dia temui—ke Aarhus dengan asumsi akan bisa membahagiakannya. Tapi nyatanya, istrinya malah mengidap SAD hingga kehilangan calon anak mereka. Juga baca When Love Is Not Enough, tentang Lilja Moller yang menikah dengan childhood sweetheart dan tinggal di Munchen dan harus mengakui bahwa menikah dengan orang yang telah dikenal seumur hidup tidak semudah yang dia bayangkan. “Aku tidak sabar menunggu penampilan selanjutnya, Mara,” katanya. “Aku yakin kamu akan membawakan Giselle jauh lebih indah daripada saat kamu membawakan Nikiya.” Untuk pertama kali dalam hidupnya, Mara sangat ingin menari dengan seluruh kemampuannya. Bukan demi tidak mengecewakan orangtuanya, yang sudah banyak berkorban dan melakukan banyak hal untuk kariernya. Tetapi demi laki-laki yang sungguh- sungguh menyukai balet, karena dirinya. “Tidak sabar bertemu denganmu lagi.” Hagen ikut berdiri dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. “Padahal kita belum berpisah.” Mara tertawa. Kalau tidak ada janji, mungkin Mara bisa mengobrol banyak dengannya. “Apa kamu akan menganggapku, orang yang bukan siapa-siapa ini, yang beruntung bisa duduk satu meja dengan The Mara Hananto, tidak tahu diri kalau aku ingin berteman denganmu?” tanya Hagen, menahan langkah Mara. Berteman? Seperti nasihat ibunya, berteman dengan banyak orang, termasuk yang berasal dari dunianya, akan semakin membuka kesempatan untuk bertemu dengan belahan jiwa. “Paling tidak, kita berbagi darah yang sama, Mara. Darah Indonesia.” “Aku tidak keberatan.” Setelah tersenyum sekali lagi, Mara melangkah menjauh. Dari balik punggungnya, dia tahu Hagen masih berdiri dan mengikuti langkahnya dengan pandangan, sampai sosok Mara menghilang dari jendela kaca. Sudah, sudah, berhentilah berdebar dengan semangat begitu, Mara memenangkan hatinya. Berapa lama sampai dia akan bertemu dengan Hagen lagi? Apa Hagen akan menjadi laki-laki pertama—di luar keluarga—yang memberinya bunga setelah dia turun dari panggung? He will be my many firsts, pipi Mara memanas. Mungkin Tuhan sedang merencanakan sesuatu untuk mereka. Apa pun itu, Mara tidak sedang terburu- buru untuk mencari tahu. Mungkin dia dan Hagen akan berteman. Laki-laki itu teman mengobrol yang baik. Atau mungkin Hagen adalah orang yang dimaksud ibunya. Mungkin Hagen hanya akan hadir dalam hidupnya sesaat saja. Tidak masalah. Yang penting ada satu orang lagi yang mencintai dan menghargai baletnya. Mara menengadah menatap langit Copenhagen yang kelabu. True love isn’t always easy to find. But it is well worth the wait. Chapter Two
BAGI Hagen, dalam hidup ada dua kalimat yang tidak
bisa diobral. Pertama, kalimat I love you. Kalimat ini benar-benar keluar dari hati terdalam, hanya diberikan kepada orang yang benar-benar kita cintai. Orangtua, kakak atau adik, anak, sahabat, kekasih, atau sosok yang betul-betul kita kagumi—karena kehadirannya memberikan inspirasi kepada kita. Kalimat kedua, I’m proud of you. Kalimat ini akan betul-betul berarti jika diungkapkan benar-benar mengetahui bagaimana perjuangan seseorang hingga mencapai sebuah prestasi. Mungkin kita pernah menapaki jalan yang sama. Atau kita berpartisipasi dalam mencapainya—secara langsung maupun tidak. “I am very proud of you.” Untuk ketiga kalinya Hagen mengucapkan kalimat ini, kepada Mara yang duduk di depannya, sambil menggigit sepotong piza. Meski dia tidak tahu seberapa keras perjuangan Mara. Meski dia tidak berkontribusi pada prestasi Mara. He just feels similar to her in some ways. Selalu melakukan yang terbaik dan berhasil. “Terima kasih sudah datang.” Mara tersenyum. “Wouldn’t miss it for the world.” Setelah Mara menyelesaikan segala urusan usai penampilan, mereka memutuskan belum terlalu larut untuk mengobrol. Rafka, adik Mara, bersikeras bahwa Mara lelah dan karena kalau lelah suka marah-marah, mereka tidak perlu duduk di restoran atau akan malu sendiri. Agnetha, adik Hagen, mengusulkan untuk mengobrol di kantor Hagen. Kalau tidak takut dingin, mereka bisa naik ke atap dan menatap langit. Atau duduk di tepi laut, bukan di atas pasir, tapi di atas lantai beton, melihat kapal-kapal berlalu lalang. Kalau kedinginan, bisa main game atau menonton film di dalam. “Kamu tahu, Mara.” Hagen membanting potongan piza di tangannya. “Kalau orangtuaku tahu aku hanya memberimu pizza untuk makan malam pertama kita, apalagi setelah kamu menari seindah itu, kepalaku akan dicelupkan ke dalam bak mandi dan dicuci bersih. Sambil diceramahi tentang bagaimana memberi penghargaan kepada seorang gadis luar biasa sepertimu.” “Mmm … ini lebih baik.” Mara mengeluarkan lidahnya untuk menjilat saus di ujung bibir dan Hagen hanya bisa membayangkan bagaimana rasa manis dari bibir Mara. “Rafka benar. Kalau lelah dan lapar, aku … tidak bersahabat.” Suara tawa Rafka dan Agnetha terdengar dari sudut ruangan. Kedua adik mereka duduk di sofa merah di dekat dinding, dengan sekotak piza di pangkuan Rafka. “Apa menurutmu aku akan menjauh kalau kamu sedang tidak bersahabat?” Hagen punya dua adik perempuan dan sudah sangat terbiasa menghadapi segala sikap yang tidak bersahabat pada hari-hari tertentu. “Aku tidak peduli. Berikutnya, makan malam kita berikutnya, aku akan memastikan kita makan di tempat yang menggunakan garpu dan pisau.” “Why do you have to be such an awesome man, Hagen?” “I ask myself that same question every time I look in the mirror.” Mara tertawa. Tawa yang ingin terus didengar Hagen setiap hari. Sejak hari itu, hari terburuk dalam hidupnya, hari di mana dia ingin mati saja, belum pernah dirinya merasa ingin hidup lebih lama hanya untuk mendengar sebuah tawa. Ketika melihat Mara menari untuk pertama kali, Hagen merasa Mara sedang meniupkan kembali nyawa ke dalam hatinya. Membangkitkan kembali keinginan untuk mencintai dan dicintai. Sesuatu yang sudah lama mati. Atau sengaja dibunuh. “You up for walk?” Rafka bertanya pada Agnetha saat meletakkan kotak piza di meja di depan Hagen. Tanpa repot-repot pamit, kedua orang itu berjalan melewati pintu belakang, masih sambil tertawa bersama, menuju area pelabuhan. “Kalau aku tidak menari, aku pasti ingin kerja di sini.” Mara mengamati ruangan lebar di mana dia duduk saat ini. Kantor Hagen nyaman sekali. Ada meja-meja lebar di tengah ruangan, dikelilingi kursi aneka warna. Ada lima rak buku putih dua sisi yang digunakan sebagai sekat. Sofa dan bean bag merah di sepanjang dinding sisi kanan. Dinding dan mebel-mebel berwarna terang. “Kamu harus lulusan tata kota. Atau perencanaan wilayah,” kata Hagen. “Apa tidak ada posisi executive assistant? Got my degree.” Kali ini Hagen yang tertawa. “Aku tidak akan bisa bekerja kalau ada gadis secantik kamu di ruangan ini.” Hagen tahu Mara tersipu. Manis sekali. Jika mereka terus bersama sampai puluhan tahun kelak, Hagen ingin tetap bisa membuat pipi Mara memerah seperti ini. Jika. Seandainya. “Aku juga suka mengagumi wajahku sendiri, Mara,” goda Hagen saat menangkap basah Mara sedang mengamati wajahnya. Tapi kali ini Mara tidak memalingkan muka. “Kamu Møler yang itu.” Mara tampak menyadari sesuatu. “Aku pernah menontonmu di TV. Iya, pernah.” “Kamu yakin? Itu bukan kembaranku?” “Wow! Ada dua orang seperti kamu di dunia?” Mata Mara membulat. “Tapi aku yakin itu kamu. Kamu berdebat dengan NGO tentang penggunaan helm saat naik sepeda.” “Mana yang lebih kamu suka, Hagen yang kamu lihat di TV atau Hagen yang ada di depanmu sekarang?” Mara terdiam sesaat sebelum memutuskan menjawab malu-malu. “Keduanya. Maksudku … saat di TV kamu membuat orang NGO jadi terlihat payah sekali. Meski aku tidak suka kalau punya pasangan yang … sorry.” Menyadari dirinya bicara terlalu banyak, Mara menutup mulut. “Pandai berdebat?” Hagen melanjutkan kalimat Mara. “Don’t you worry, Mara. I learned that women are always right. Aku akan mengalah setiap berdebat dengamu.” Hagen menyeringai dan karena kasihan pada Mara yang tersipu sejak tadi, Hagen mengganti topik. “Jadi, apa kamu setuju orang harus pakai helm saat naik sepeda?” “Apa ini wawancara yang harus dilalui sebelum menjadi temanmu?” Hagen tertawa. “Khusus untuk calon teman istimewa.” “Aku tidak setuju. Seperti yang kamu bilang, yang seharusnya memakai helm adalah orang-orang di dalam mobil. Mereka lebih berpotensi pecah kepala.” Kalau tidak salah, menurut penjelasan Hagen di TV, hanya 1% dari jumlah total cyclists yang kepalanya terluka saat kecelakaan sepeda. “Karena kamu mendukung pemikiranku, maka sekarang kamu diterima menjadi teman istimewaku.” Hagen mengedipkan mata. “Konyol.” Mara berdiri sambil tertawa. Tatapan mata Hagen mengikuti ke mana Mara bergerak. Setelah menaruh mug merahnya di meja, Mara bergerak menuju salah satu rak buku putih di tengah ruangan. Malam ini Mara memakai sweater berwarna merah, celana jeans hitam, dan boots tinggi selutut berwarna hitam. Make-up free. Rambut hitamnya digerai. Sederhana sekali. Lekuk tubuh Mara masih bisa terlihat. Hagen tidak tahu di mana Mara bisa menemukan pakaian sesuai ukurannya, yang lebih kecil daripada rata-rata wanita di sini. “Hei. Ada fotoku di sini.” Mara mengacungkan sebuah buku ke arah Hagen. Foto Mara? Ada foto Mara di kantornya? Hagen berjalan mendekat. Hagen mengenali buku tersebut. Salah satu bentuk kampanye yang digagas Hagen. Berisi foto-foto wanita berprestasi dan berpengaruh di seluruh Denmark yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi utama. Yang dipilih sebagai cover adalah gambar Crown Princess, yang sedang mengantarkan anaknya berangkat sekolah menggunakan cargo bike—sepeda dengan gerobak di depan, bisa diisi orang atau barang—roda tiga. Foto selanjutnya adalah seorang gadis muda dengan gaun merah tanpa lengan dan high heels hitam sedang mengayuh sepeda yang juga berwarna hitam. Dengan make up dan hair do sempurna. Simple simply classy to make even Snow White envious, judul yang sangat dipilih Laure, project coordinator yang ditunjuk Hagen untuk buku tersebut. Setuju. Snow White akan pensiun menjadi idola anak-anak jika melihat foto Mara. Hagen memeriksa keterangan di sudut kanan bawah. Mara Elaisa Hananto. Ballerina. Copenhagen. Dan penjelasan singkat tentang siapa Mara dan apa prestasinya. “No way.” “Yes way. Aku ingat orang bernama Laure menghubungiku.” Mara menjelaskan. “Kami bertemu dan dia menjelaskan tentang kampanye ini. Juga menanyai apa aku mau berpartisipasi, imbalannya aku mendapatkan kartu untuk naik kereta gratis selama setahun. Siapa yang tidak mau? Hanya difoto, tidak susah. Plus, tentu akan banyak wanita terbuka mata dan pikirannya. Pergi ke pesta, memakai gaun dan sepatu hak tinggi tidak perlu naik mobil. Aku selalu melakukannya. “Foto ini diambil saat aku dalam perjalanan menuju lokasi makan malam untuk penggalangan dana bagi children’s hospital. Aku punya dua copy buku ini. Yang belum ada cap best seller. Satu di flatku dan satu di Indonesia.” “No kidding.” Hagen kembali menggelengkan kepala. “You know what, Mara, aku terlibat juga dalam acara tahunan children’s hospital. Tapi aku menjadi badut yang bermain sulap untuk mereka.” “Seandainya mereka seumuran denganku, mereka pasti akan lebih memilih dikunjungi oleh Hagen tanpa topeng.” “Kenapa wanita seumuran kamu memilih melihat wajah asliku?” Apa Mara menganggapnya menarik? Tampan? Seksi? Apa? Hagen penasaran. Mara menggeleng sedikit salah tingkah, menunduk, dan berjalan menjauh. “Ini apa?” Mara menunjuk gambar dalam bingkai kaca di dinding. Di atas deretan sofa dan bean bag berwarna merah. Gambar yang buruk sekali. Lingkaran besar dengan garis dan kotak yang diwarnai seadanya juga. “Karya pertamaku sebagai seorang urban expert.” Hagen menjawab dengan bangga. “Aku membuatnya saat kelas 6. Guru menyuruh kami keluar kelas dan mengamati sekitar. Mencari apa yang bisa diperbaiki dari lingkungan kita dan memberi solusi supaya lebih baik. Aku menggambar bundaran depan sekolah.” Telunjuk Hagen menunjuk lingkaran besar berwarna biru. “Tempat ini selalu ramai jelang jam delapan. Tidak ada batas yang jelas mana jalur pesepeda, jalur bus, jalur mobil. Semrawut. Pengguna mobil sangat tidak sabar menunggu siswa dan orangtua menyeberang, karena khawatir terlambat bekerja. Ini solusi dariku.” Dengan semakin bangga Hagen menunjuk tulisan tangannya yang jelek sekali di sisi kanan kertas gambarnya. “Membuat mobil dengan desain jelek, sehingga orang tidak mau naik mobil? Simple. And … rational.” Mara kembali tertawa dan Hagen merasa prestasinya selama mendalami urbanisme tidak ada artinya. Tidak dibandingkan saat bisa membuat Mara tertawa. “Lihat poin kedua. Itu yang paling hebat.” “Batas kecepatan mobil 15 km/jam.” Mara membaca sambil mengamati rambu yang digambar Hagen, sesuai kondisi nyata. Di situ tertulis 40 km/jam. “Saat aku sudah kuliah dan melakukan penelitian, aku menemukan bahwa kecepatan rata- rata sepeda di Copenhagen adalah 15 km/jam. Betapa geniusnya aku saat kelas 6, kan?” “Dari mana kamu dapat angka 15?” tanya Mara sambil—lagi-lagi—tertawa. “Tidak tahu. Aku asal menulis saja.” “Berarti itu hanya kebetulan.” Mara tidak mau mengakui. “Itu hebat! Guruku bahkan baru mengajari menghitung apel dan bebek.” Mara tertawa dan bergerak menuju rak buku lain. “Kelas 6 menghitung uang kembalian. Bukan bebek. Oh, saat kelas 6, aku ikut cyklistprøve.” “Kamu sudah sekolah di sini umur segitu?” Hagen tidak percaya. Tidak wajib mengikuti cyclist test seperti yang dijalani Mara. Tetapi banyak sekolah yang memilih menggelar tes tersebut. Pertimbangannya karena anak-anak akan mulai naik sepeda sendiri di atas aspal. Di jalan besar. Sekolah ingin memastikan mereka siap—tahu rambu dan sebagainya. “Aku mulai berpikir jangan-jangan kamu jodohku, Mara.” “Hahaha. Kalau syarat menjadi jodohmu adalah lulus ujian bersepeda, maka seluruh anak kelas enam di sekolahku bisa lolos seleksi.” “Itu syarat nomor satu. Masih banyak yang lain.” “Seperti?” “Bisa menari balet.” Hagen bersumpah pipi Mara berubah warna. Gradasi warna merah sampai merah muda. “Aku membuat dua kesalahan saat tes 3 menit. Jadi nilaiku dikurangi 60.” “Kesalahan apa?” “Aku tidak menoleh ke belakang sebelum berhenti. Yang kedua, melebar ke jalur pejalan kaki.” Mara tersenyum malu. “Aku sedang ada project untuk kampanye bersepeda. Membuat buku lagi. Apa kamu mau berpartisipasi?” Hagen aktif bergerak untuk membuat orang-orang mengubah pikiran bahwa bersepeda adalah hal yang keren. Bukan, dia bukan pecinta lingkungan. Dia bahkan tidak peduli kalau kebiasaan bersepeda bisa memperlambat pencairan salju di kutub utara. Cita- citanya sederhana saja. Setiap orang merasakan mafaat bergerak. “Difoto lagi?” “Tidak. Hanya menjawab pertanyaan.” “Tentang?” “Would you date someone who didn’t have a car?” Mara terdiam sesaat, sebelum memutuskan untuk bertanya. “Apa jawabannya akan mempengaruhi pertemanan kita?” “Tidak,” jawab Hagen. “Tapi akan mempengaruhi langkahku selanjutnya. Apakah aku ingin kenal lebih dekat denganmu atau menjaga hubungan kita tetap seperti sekarang.” “Hmm….” Mara hanya menggumam dan kembali memeriksa rak buku di depannya. “Aku harus memastikan bahwa gadis yang kusukai memahami apa yang kulakukan untuk menyambung hidup.” “Suka? Kita baru kenal sebulan.” Dan dua kali bicara. “Masa? Kenapa aku merasa sudah mengenalmu selama tujuh tahun?” Hagen tidak ingat kapan terakhir kali dia merayu wanita. Atau menggombali wanita. Melihat Mara selalu tersenyum, tertawa, tersipu membuatnya tidak ingin berhenti melakukan ini. “Hari Minggu nanti aku mengadakan balapan cargo bike, Mara. Apa kamu mau ikut?” “Aku pulang ke Indonesia. Ibuku akan berulang tahun ke-50. Jika masih hidup.” “I am sorry, Mara.” “Yah, I am sorry too.” “Kamu sering pulang ke Indonesia?” “Tentu saja. Kedua orangtuaku tinggal di sana. Makam orangtua kandungku juga ada di sana. Aku bukan kacang yang lupa pada kulitnya.” “Kacang?” Hagen mengangkat alis, tidak paham. “Nasihat dari ayahku.” Mara juga tidak tahu harus menjelaskan seperti apa. “Kapan terakhir kali kamu ke Indonesia?” “Tidak ingat.” “Huh? Kamu tidak punya keluarga di Indonesia?” “Kedua kakek dan nenekku di Indonesia.” “Kamu tidak pernah mengunjungi mereka?” “Pernah.” Tetapi sudah tidak lagi. “Kamu tidak suka Jakarta?” Hagen tidak menjawab. “Aku juga,” kata Mara. “Tapi ada banyak tempat lain yang bisa dikunjungi.” “Tidak ada alasan khusus.” “Apa mungkin mantan pacarmu orang Indonesia?” “Orang Aarhus.” “Kalau begitu apa yang membuatmu tidak suka Indonesia?” “Tidak ada yang bilang aku tidak suka Indonesia!” Suara Hagen meninggi. Di antara segala hal yang bisa dibicarakan, kenapa gadis ini memilih terus membicarakan Indonesia. Tempat terakhir yang ingin dia datangi adalah Indonesia. Bukan salahnya kalau dia tidak ingin ke sana lagi. Tapi salah … Hagen memejamkan mata, otaknya menolak mengingat nama tersebut. Sebelum kepalanya meledak, Hagen berjalan menuju kulkas dan mencari air dingin untuk mendinginkan kepalanya. Setelah menghabiskan hampir satu botol air, Hagen kembali menuju main room dan mendapati Mara sudah tidak ada lagi di sana. Buket bunga raksasanya juga hilang. Hanya parka kuning milik Mara masih tergantung bersama dengan milik Hagen di samping pintu. What the…? Mara tidak membawa sepeda. Tadi sepulang dari The Royal Theater Mara naik cargo bike bersamanya. Hagen berlari menuruni tangga dan menangkap sosok Mara berjalan cepat menjauh. Dengan cepat Hagen meloncat ke atas cargo bike merahnya dan mengayuh sampai di samping Mara. “Ke mana kamu, Mara? Aku antar.” Mara menatapnya sebentar, sebelum naik dan duduk di lantai carriage dan menyelonjorkan kaki. Tangannya masih mendekap erat buket bunga raksasa. Tidak terdengar lagi suara percakapan setelah Mara memberitahukan alamatnya. “Enak ya jadi orang pendek?” Hagen memutus keheningan di antara mereka. Baru kali ini Hagen membawa seorang gadis di atas cargo bike roda dua miliknya. Mara tidak menjawab dan juga tidak tertawa. Hagen memutuskan untuk ikut diam selama lima belas menit perjalanan menuju flat Mara. Malam ini Copenhagen tidak hujan. Sekelompok orang bersepeda di depannya memberi tanda bahwa mereka akan berbelok ke kanan dan Hagen berhenti sebentar, untuk mengambil foto. Anak-anak muda berangkat party menggunakan sepeda sambil tertawa-tawa. Setelah aman, Hagen kembali mengayuh Bullit-nya. Sambil menimbang apakah dia harus menanyakan kapan Mara akan berangkat ke Indonesia. “Sorry, I was being a jerk.” Hagen sudah berhenti di depan gedung flat 3 lantai Mara. “Aku berusaha terlihat sempurna. Tapi, kadang ketika orang menyentuhku di tempat yang salah, aku bisa kesal juga.” “Aku mengerti.” Mara turun dan berdiri di samping Hagen, yang tidak turun dari sepedanya. “Aku lebih sering berada di posisi itu. Berpura-pura itu melelahkan. Seperti aku harus tetap menari dengan bagus meski sedang rahang tenggorokan dan tidak boleh meringis. Tapi di depan beberapa orang … yang kupercaya … aku bisa berhenti pura-pura.” Hagen tidak tahu harus tersenyum atau memukul kepalanya. Lihat. Betapa baiknya gadis ini. “Aku menyukaimu, Mara. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. But, when you….” Hagen menghela napas. Saat Mara menyebut Indonesia, semua kepercayaan akan cinta kembali lenyap tak bersisa. “At that point, I had to wonder if it was worth interrupting your life for a future I am not sure I could promise.” “Apa ini ada hubungannya dengan Liv?” “Dari mana kamu tahu tentang Liv?” “Internet. What?” Tatapan Mara menantangnya. “Kamu melakukan background check kepadaku. Salah kalau aku melakukan yang sama?” Tidak. Tidak salah sama sekali. Dirinya dan Liv terlalu banyak membagi kehidupan mereka di media sosial. “Hei, mau mencoba ke bandara naik Bullit saat kamu berangkat?” Hagen menunjuk sepedanya, tidak ingin melanjutkan obrolan berat ini. “Aku mau.” Mara kembali tersenyum, Hagen mendesah lega. “Aku tidak tidak tahu akan seperti apa … kita berdua di depan nanti. Aku hanya menikmati kebersamaan kita saat ini. Good night, Hagen.” “Night, Sweetgirl.” Mara melambai sekali lagi, sambil memberikan senyum terbaiknya. Hagen menunggu sampai Mara menghilang di ujung tangga sebelum mengayuh cargo bike-nya menjauh. Jika Mara tidak ingin menebak-nebak akan seperti apa masa depan mereka, sebaiknya Hagen berhenti mengharapkan masa lalunya berbeda. We are just human. We can’t change the past and predict the future. Chapter Three
SUMMER is all about adventures, and what’s more fun
than cargo bike adventure? Ini akan menjadi kali pertama Mara pergi ke bandara tidak menggunakan metro. Tapi duduk di lantai carriage bersama satu koper ukuran sedang sambil tangannya memegang gelas bening berisi strawberry smoothie. Hagen juga yang membawakan smoothie untuknya. Empat puluh lima menit perjalanan dengan sepeda dari kanor Hagen di Frederiksberg. Tiga belas kilometer yang pernuh dengan cerita dan canda. Seorang laki-laki melintas, di atas cargo bike warna hitam yang sudah dimodifikasi. Bukan sekadar lantai seperti milik Hagen, tetapi ada barnevogn3 minus roda di atasnya. Tiga puluh persen dari jumlah pasangan yang memiliki anak, memiliki cargo bike. Pikiran Mara mau tidak mau membayangkan Hagen yang ada posisi 3 Baby carriage tersebut. Hagen akan membawa anak-anaknya dalam satu sepeda sedangkan istrinya naik sepeda—sepeda biasa—di sisinya. “Hey, Mara. Take picture of us.” Suara Hagen memutus lamunan Mara. Mara mengeluarkan ponsel dan meninggikan tangannya, merekam video mereka berdua. Hagen melepaskan tangannya dari stang sepeda dan membentuk simbol hati dengan kedua pasang ibu jari dan telunjuknya. Sedangkan Mara melemparkan air kiss ke kamera. Sambil tersenyum mengingat suara tawa mereka dalam video setengah menit yang dibuatnya, Mara mengetikkan caption you learn to love the same way you learn to ride a bike: scared but reckless. Dia dan Hagen sama-sama menahan diri untuk jatuh cinta. Dengan alasan berbeda. Alasan Mara, karena belum pernah. Sedangkan Hagen, karena patah hati. “Kapan-kapan kita harus bawa Bullit kita untuk naik ferry,” kata Hagen. “Mau ke mana?” “Swedia?” “It would be fun.” Mara sudah sering ke Swedia, untuk menari, tapi ke sana untuk jalan-jalan dan naik sepeda akan berbeda. Sepertinya apa saja jika dilakukan bersama Hagen akan menyenangkan. Hagen memarkir sepedanya di cycleparkering dekat terminal 2 lalu membantu Mara membawa kopernya menuju gedung terminal. “Aku akan merindukanmu, Mara.” Mara tertawa. “Kita tidak setiap hari bertemu. Akan sama saja seperti biasanya.” “Tidak sama. Hidupku tidak sama lagi sejak aku kenal kamu.” Hagen mengedipkan mata sedangkan Mara menunduk tersipu. Tidak terbiasa dengan laki-laki yang merayunya. “Di sana kamu akan bersama orang-orang yang mencintaimu dan kamu akan mengabaikanku,” lanjut Hagen. “Rencanaku memang begitu.” Mara tersenyum. “Aku ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan mereka selama sepuluh hari ke depan. Sebelum aku kembali ke sini dan sibuk dengan balet lagi.” “Aku?” Hagen menunjuk dirinya sendiri. “Kamu tidak ada waktu untukku?” Mara menggeleng. “Tidak ada.” “Ouch.” Hagen menyentuh dadanya dengan dramatis. “But I make time for you, Hagen.” “If it’s not my sweetest girl in the whole world.” Hagen menyeringai puas. “Aku masuk dulu.” Mara memberanikan diri untuk menjulurkan badannya dan mencium pipi kanan Hagen, sebelum melangkah cepat menuju tangga berjalan, supaya Hagen tidak sempat melihat wajahnya yang memerah. Mara tidak bisa menahan hatinya agar tidak berbunga. Bagaimana dia bisa, Hagen, laki-laki yang tinggal menggerakkan jarinya untuk mendapatkan wanita mana saja, memberi perhatian padanya. Sejak kunjungan ke kantor Hagen malam itu, Mara menggunakan kemampuannya untuk meng-Google fakta dan berita mengenai Hagen. Karena prestasinya, dia pernah dipanggil untuk bertemu dengan raja dan dikabarkan pernah terlihat di muka umum bersama dengan putri raja. Selama di Indonesia, sepertinya akan menjadi waktu yang tepat baginya untuk menenangkan hati. Mengerem semua perasaan yang tidak dia ketahui bagaimana bisa berkembang secepat ini. Tidak perlu berharap macam-macam pada pertemanan mereka. Kalau dia bisa menjaga hatinya tetap berada dalam jarak aman, tidak aka nada potensi patah hati. Ponselnya bergetar dan Mara melirik nama Hagen di sana. Would you call me crazy if I said this city feels so empty without you? Mara memeluk ponselnya erat-erat. Sepertinya usaha untuk melindungi hatinya akan semakin berat.
***
Mara mengumumkan kedatangannya saat
masuk ke dalam rumah. Di belakangnya Rafka berjalan sambil membawakan koper Mara. “Hmm … hmm….” Jawaban ayahnya saat menyambut Mara yang langsung meloncat ke pelukan. “Mana laki-laki yang membuat anak Papa belajar jatuh cinta?” “Tetap Papa yang nomor satu di hatiku.” Mara memeluk lengan ayahnya. “Good luck, Princess.” Rafka mengolok kakaknya. “I don’t think so, Young Man.” Kali ini ibu mereka, Edna, menghampiri. “Siapa gadis cantik yang membuatmu memilih untuk internship di Denmark?” “Agnetha?” Seperti pertanyaan ibunya mengingatkannya pada hal yang mahapenting, Rafka langsung menempelkan ponsel di telinga. “Baby, aku sudah sampai … yeah, besok kuantar rumah kakek dan nenekmu … iya, semua kubawa….” “Kak Mara!” Elma, yang masih mengenakan seragam, sekolah berlari menubruk Mara. Gadis berusia sepuluh tahun itu adalah anggota terbaru di keluarga mereka. Diadopsi saat mereka memperingati ulangtahun ibu kandung Mara sepuluh tahun yang lalu. Nama Elma, juga diambil dari nama ibunda Mara. “Kakak bawa hadiah ulang tahun untukmu.” Mara berjongkok dan membuka koper, mencari satu buah kotak berwarna merah. “Ini dia.” “Terima kasih.” Dengan tidak sabar Elma membuka kotak di tangannya. “Cantik sekali,” komentar ibu mereka, memperhatikan snow globe di tangan Elma. “Oh! Ada musiknya!” Elma memekik senang. Tiga hari yang lalu saat melakukan video call dengan Hagen, Mara mengeluh tidak tahu harus memberi kado apa untuk adiknya. Elma sudah memiliki segala yang diperlukan dan tidak diperlukan anak seusianya. Keesokan harinya benda ini datang diantar kurir ke flatnya. Dari Hagen. Bersama dengan satu snow globe lain. Milik Mara bukan berisi skyline kota Copenhagen, tetapi berisi satu figurine ballerina. Forget the glass slippers, my princess wears pointe shoes. Bunyi kartu yang ditulis Hagen. “Mas Rafka, hadiah!” Elma menagih Rafka, yang sudah selesai menelepon. “Sorry, lupa,” jawab Rafka. “Kalau gitu, Mas Rafka nggak dapat cake dan cookie.” “Wow. Itu jahat sekali.” Rafka memasang wajah terluka. Mara tertawa bersama keluarganya. Siapa pun tidak ingin melewatkan cake dan cookie buatan Elma bersama ibu mereka. Kebalikan dari Mara, Elma suka menghabiskan waktu di dapur membantu ibu mereka membuat kue. “Coba kamu ke kamar, Elma.” Ibunya menyarankan. “Siapa tahu hadiah dari Mas Rafka ada di sana.” “Tapi Mas Rafka baru datang.” Elma tidak mau bergerak. “Hadianya pasti di situ,” tunjuknya pada koper Rafka. “Ya sudah kalau tidak mau lihat.” Edna tersenyum penuh arti dan Elma bergerak menuju lantai dua ditemani oleh ayah mereka. “Sepertinya banyak yang harus kalian ceritakan.” Edna kali ini fokus kepada dua anaknya yang baru saja datang, sambil membimbing mereka untuk duduk di ruang tengah. “Kenapa tiba-tiba kalian berdua punya pacar? Dalam waktu bersamaan?” “Aku nggak punya pacar, Mama,” jawab Mara. “Aku punya,” jawab Rafka dengan bangga. “Kamu pacaran sama adik Hagen?” Mara menatap tajam pada adiknya. “Iya dong. Agnetha … sempurna.” Adiknya mengangkat bahu. “Siapa Hagen dan siapa Agnetha?” Ibu mereka sudah tidak sabar. Mara menceritakan dan menekankan bahwa Hagen adalah temannya, sedangkan Rafka malah memamerkan kehebatannya bisa mendapatkan gadis yang cantik dan cerdas dalam waktu tidak lebih dari satu bulan. “Mama tidak ingin mengacaukan kebahagiaan kalian. Tapi kalian sadar, bukan, kalau Rafka dan Agnetha putus, maka kalian akan tetap saling bertemu, karena kakak kalian bersama?” “Aku dan Hagen nggak pacaran, Ma.” “Dan sebaliknya, kalau Mara dan Hagen putus, kalian akan tetap saling bertemu.” Ibunya mengabaikan protes Mara. “Nggak usah berpikir terlalu jauh, Ma, nggak semua orang yang pacaran akan menikah,” kata Rafka dan untuk pertama kali dalam sepuluh tahun terakhir, Mara sependapat dengan Hagen. “Jangan mendebat, Hagen. Sekalian Mama ingin mengingatkan, kalau kamu tidak serius dengan gadis itu, jangan diteruskan. Kamu akan menyakitinya.” “Agnetha juga mungkin tahu bahwa masa depan kita masih jauh dan belum pasti. Jangan terlalu serius, Mama.” “Kalau tidak serius, Rafka, kenapa kamu akan internship di Denmark?” tanya ibunya. “Karena ayah Agnetha membuka lowongan. Beliau yang terbaik di Eropa.” Rafka mengemukakan alasannya. “Itu sudah cukup untuk menjadi alasan agar kamu tidak menyakiti anaknya. Mama rasa, Mama tidak bisa mendukung hubungan yang seperti itu. Mama tidak ingin salah satu dari akan tersiksa suatu hari nanti.” “Aku tidak ada hubungan dengan Hagen, Mama.” Sekali lagi Mara menegaskan. “Hmm … hmmm….” Ibunya menggumam tidak percaya. Sebelum Mara atau Rafka memberi penjelasan lagi, ada suara percakapan mendekat ke ruang tengah. Dua adik laki-laki Mara yang lain, Kalan dan Lane, masuk membawa kandang kucing. Sepertinya Rafka membelikan kucing untuk Elma dan Kalan dan Lane, melengkapi hadiah dari Rafka. Rafka sibuk mengobrol dengan si kembar diselingi tawa bahagia ibu mereka. Berapa puluh kali Mara protes, ingin punya adik perempuan? Dikabulkan. Tapi lima belas tahun kemudian. Saat orangtuanya memutuskan untuk mengadopsi Elma, Mara sudah sibuk dengan dunianya sendiri. Mara melirik ponselnya dan tersenyum melihat pesan masuk dari Hagen. “Kamu jatuh cinta, Mara,” kata ibunya. Mara tersentak. Pembicaraan dengan ibunya kali ini membuatnya kembali sibuk menyadarkan diri untuk tidak membiarkan hatinya terpukau pada Hagen. Meski akan sangat sulit. Laki-laki itu sempurna baginya. Lucu, tampan, cerdas, perhatian, dan orang Indonesia. Paling tidak mereka memahami akar budaya yang sama, meski dalam diri Hagen mungkin tidak terlalu banyak. Bagaimana kalau dimulai dengan mengabaikan pesan dari Hagen? Mara mematikan ponselnya.
####
Beri tahu aku apakah kalian ingin cerita ini dilanjutkan?
Tinggalkan komentar di blog ini atau Instagram, Twitter, atau FanPage Facebook milikku. Terima kasih.