Anda di halaman 1dari 441

ONE

Enam tahun silam ....

I hate Monday.
Ungkapan yang sering orang katakan tentang hari
senin. Dan aku setuju dengan ungkapan itu. Namun
untukku, bukan hanya hari Senin yang aku benci, tapi
semua hari dalam satu minggu. Intinya, aku benci hidupku,
aku benci keadaanku saat ini, aku benci keluargaku, dan
aku benci diriku sendiri.
Apa yang kamu pikirkan tentang putri seorang pejabat
tinggi Dinas Perpajakan? Senang? Berlimpahan uang?
Tinggal tunjuk-tunjuk saja dan nyaris semuanya bisa
didapatkan?

Yep. Kamu benar.


Sayangnya, itu terjadi jauh sebelum ayahku tertangkap
sebagai tersangka korupsi. Ternyata, jabatan yang tinggi
tidak lantas membuatnya amanah dengan berlaku jujur
sebagai pejabat negara. Ia berkhianat. Ia menghancurkan
tanggung jawab yang diembannya dengan melakukan
korupsi.
Dan hari-hariku berubah sejak saat itu....
Singkirkan saja bagian yang terasa seperti surga tadi.
Cibiran teman-temanku yang dulu hanya berani 'main
belakang', kini mulai bergema di hadapan. Tak pelak
kadang ketika berkumpul berubah menjadi sindiran tajam
tak manusiawi. Merugikan negara, membuat rakyat semakin
ditelan sengsara, begitu yang didengungkan mereka di
hadapanku. Bahkan nyaris tak repot memperhalus kata.
Mengisyaratkan agar aku menyingkir segera dari
lingkungan mereka.
Padahal bukan aku pelakunya, tapi mengapa aku ikut
dipersalahkan? Come on, usiaku bahkan baru dua belas
tahun saat itu dan aku harus menanggung semuanya.
Setelah aksi bully yang kualami, aku memutuskan
untuk tinggal dengan Oma di Las Vegas. Sebuah kota
metropolitan yang terdapat di negara bagian Nevada,
Amerika serikat.
Penggerak utama ekonomi Las Vegas selain dari
sektor pariwisata dan perjudian, adalah ritel dan restoran.
Oma—yang memang pada dasarnya selalu di taktik
bisnis— melihat peluang usaha yang sangat menjanjikan
dari kota ini.
Sejak usiaku 5 tahun, Oma sudah pindah ke Vegas
dan membuka bisnis restoran khas Indonesia yang berada
di pusat kota. Terbukti, saat ini Oma sudah sukses dengan
bisnis restorannya yang telah menjalar menjadi beberapa
cabang. Bukan hanya di wilayah Nevada dan Amerika
Serikat, restoran Oma kini sudah merambat ke wilayah Asia
seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Indonesia,
tentunya.
Kesialanku berawal sejak Oma meninggal dunia pada
bulan lalu. Dengan begitu teganya, aku ditarik paksa oleh
Mami untuk kembali pulang ke Indonesia dan melanjutkan
sekolah di sini. Awalnya aku menolak dengan keras rencana
Mami untuk membawaku kembali ke negara ini. Bukan
karena aku tidak mencintai tanah kelahiranku sendiri.
Tentu saja bukan. Alasan utamanya karena aku sudah
diterima tanpa tes di Academy of Art Careers and
Technology. Sebuah high school terbaik di Nevada.
Akan tetapi, lagi-lagi keinginan tetaplah keinginan.
Keputusan Mami tidak bisa di ganggu gugat. Mami sudah
benar-benar mempersiapkan kepulanganku ke Indonesia,
terbukti dari semua urusan sekolah yang sudah diurus
dengan rapi, bahkan sebelum aku tiba di sini. Tadi malam,
Mami menyerahkan map besar berisikan tetek bengek
tentang sekolah baruku.
And I know I was in trouble....

***
Sudah satu jam aku terjebak dalam kemacetan jalanan
Jakarta yang semakin tidak karuan. Aku menyayangkan
atittude warga negara ini yang sangat buruk. Terbukti dari
sikap para pengendara yang menjalankan kendaraannya
seenak jidat mereka sendiri. Andai saja mereka memiliki
sedikit kedisplinan yang diterapkan pada diri masing-
masing, aku yakin negara ini bisa memperbaiki satu per
satu masalah yang dimilikinya, termasuk soal kemacetan.
Untungnya Mami hari ini sedang berbaik hati untuk
mengantarku sampai ke sekolah. Jika tidak, entah apa yang
aku lakukan saat terjebak di tengah-ditengah kemacetan
seperti ini. Butuh waktu lebih dari satu jam perjalanan dari
rumah menuju sekolah.
Aku mengutuk keadaan yang memaksaku berada
dalam situasi seperti ini. Aku rindu Vegas. Aku rindu
sahabatku Scarlett dan Erica. Aku rindu mantan pacarku,
Kieve. Dan yang paling menyedihkan ... aku merindukan
Oma.
"Mami perlu masuk untuk antar kamu?"
"Come on, Mam. I'm not a child anymore!"
Aku melangkah keluar mobil dan segera berjalan
menelusuri lorong menuju tempat di mana kelasku berada.
Hari ini penampilanku sungguh tak biasa. Dengan
seragam atasan kemeja putih dan bawahan rok abu-abu
sebatas lutut. Rambut dark brownku yang panjang
kubiarkan tergerai dan kututup dengan snapback. Aku
menyadari tatapan orang-orang saat melihat kedatanganku.
Tanpa menghiraukan mereka, aku masih terus
berjalan dengan penuh percaya diri sambil mencari di mana
ruangan kelasku berada. Namun, tiba-tiba...,
BUGHH!!
Langkahku terhenti ketika seseorang menabrak
tubuhku dengan keras hingga aku terpelanting ke belakang
dan mendarat tepat di atas bokongku.
"Ahh, shit!" umpatku, dengan keras.
Dan saat kulihat ke depan, ternyata orang yang
menabrakku tidak lebih baik keadaannya dariku. Tubuhnya
tersungkur hingga kepalanya membentur lantai. Aku yakin,
keesokan harinya pasti keningnya akan memar karena
benturannya lumayan keras.
Di detik berikutnya, laki-laki yang menabraku tadi
bangun dengan bantuan dari teman-temannya. Aku sendiri
mencoba berdiri dengan tenagaku sendiri karena tidak ada
yang mencoba untuk menolongku. Dan dia menatapku.
Mata yang meneduhkan dan membuatku jatuh cinta dari
pertemuan pertama ini.
So here's the crazy parts of all of this.
Our first meeting.
With you ...
Arkha Galih Wardana.

TWO
Mengutip kata-kata yang ditulis John Steinbeck dalam
novelnya, East of Eden : 'It's a hard thing to leave any
deeply routine life, even if you hate it'.
And here I am slowly drifting away. Hanyut dan tak
bisa keluar dari rutinitas ini walaupun aku membencinya.
Langit Bandung yang beberapa hari ini selalu tertutup awan
mendung, seakan setia menemani kesibukanku hari ini.
Aku yang bekerja pada sebuah agency komunikasi
yang berkembang di bidang advertising, event, public
relations, digital, dan social media, saat ini benar-benar
tengah disibukan oleh tumpukan pekerjaan yang sudah
beberapa waktu ini menyita perhatianku.
Buzzlight WorldWide Advertising, Perusahaan
tempatku bekerja yang merupakan sepuluh besar
perusahaan periklanan terbesar di Indonesia, baru saja
memenangkan tender baru. Sebuah iklan untuk brand
makanan yang diluncurkan oleh salah satu perusahaan
makanan besar.
Dengan nilai Project yang tidak sedikit, hingga
membuatku yang ikut tergabung team creative sebagai art
director, semakin disibukan dengan tumpukan pekerjaan
yang seakan membuat kerja otakku mati rasa.
Suara PING dari ponsel membuyarkan fokusku pada
apa yang sedang kukerjakan. Saat kuperiksa, ada pesan
masuk dari suamiku.

Hubby: Aku lagi di jalan menuju kantor


kamu. Bawain kamu karedok leunca Bu Imas
sama ayam bakarnya buat makan siang.
Tunggu ya, 5 menit lagi sampe.

Aku tersenyum membaca pesan darinya. Hal inilah


yang membuatku selalu merasa istimewa. It's about the way
he carry me and I love how he treats me. Membuatku
seperti merasa dicintai, merasa dipedulikan. Suatu hal
sederhana yang nyatanya tidak pernah bisa kudapatkan dari
Arkha.
Ucapannya benar. Lima menit kemudian dia sudah
berdiri dengan gaya santainya di lobby kantorku. Dia
mengikutiku saat aku mengajaknya naik ke atas, dan
menemaniku makan di kubikalku.
"Kok tumben bawain makanan buat aku?" tanyaku,
sambil menyalakan kembali laptop untuk meneruskan
pekerjaan yang sebelumnya terputus.
"Karena aku tahu, kalau kamu lagi deadline kayak
gini, pasti suka lupa makan."
Aku tertawa kecil mendengarnya. "Emangnya kamu
nggak kuliah?"
"Kuliah. Nanti ada kelas lagi jam tiga."
Dia membantuku membuka bungkusan plastik yang ia
bawa. Ayam goreng dan karedok leunca yang ia beli dari
rumah makan khas sunda langganan kami, serta jus jambu
kesukaanku.
Aku menatapnya lama sambil mengulum senyum.
"Ayo makan, Fris. Aku tahu, aku ganteng. Tapi kalau
cuma lihatin aku, nggak akan bikin perut kamu kenyang."
Kali ini, senyumku berubah menjadi tawa kecil.
"Thanks," ucapku tulus.
Dia memajukan tubuhnya dan mencium bibirku.
"Mbak Frisca!"
Mati!
Secara refleks, aku mendorong tubuhnya menjauh dan
melepas paksa ciumannya. Saat aku menoleh, kutemukan
Eno—office girl yang bertugas di kantorku—berdiri kaku
dengan ekspresi terkejut menatapku.
"Kenapa, No?" tanyaku, mencoba mengendalikan
situasi.
Eno mengerjap. "Eh, punten, Mbak. Ini ... file yang
tadi Mbak minta di-fotocopy sudah selesai." Eno menaruh
beberapa lembar kertas di atas mejaku.
"Makasih ya, No."
Gadis itu mengangguk dan berbalik setelah sempat
mencuri pandang ke arah suamiku. Setelah kepergian Eno,
aku mencubit perutnya.
"Barga! Kamu itu, kalau mau nyium suka nggak lihat-
lihat tempat."
Barga tertawa dan membawa tanganku untuk
digenggamnya. "Iya, maaf. Soalnya kamu kelewatan
cantiknya kalau lagi senyum kayak tadi. Bikin aku nggak
bisa nahan pengin nyium kamu terus."
Aku membulatkan mata saat mendengar ucapannya.
Sementara dia semakin terbahak disampingku.
"Nanti pulang jam berapa?" tanya Barga, setelah
tawanya reda.
"Aku lembur lagi kayaknya."
"Jangan terlalu capek, Fris. Kasian babynya kalau
kamu bawa kerja berat terus. Nanti jangan lupa telepon
aku, ya, satu jam sebelum kamu pulang. Jadi aku nggak
telat lagi jemput kamu kayak kemarin."
Aku mengangguk dan kembali tersenyum saat dia
mengacak rambutku sekilas.
"Kamu juga jangan capek-capek, ya. Sempetin waktu
untuk istirahat. Sebenernya kamu juga nggak perlu jemput
aku, Bar. Lebih baik waktunya kamu pakai untuk istirahat.
Malemnya kamu harus kerja lagi, kan? Aku bisa pulang
sendiri kok."
"Terus kamu mau pulang naik apa? Naik angkot? Aku
bisa digorok Bunda kalau tahu menantunya naik angkot."
Aku tertawa kecil mendengar ucapannya. "Bunda juga
nggak bakalan tahu kalau aku naik angkot."
"Kamu istri aku, Frisca. Udah kewajiban aku untuk
selalu jaga kamu."
Aku kembali tersenyum mendengarnya. Yeah,
walaupun pernikahan ini terjadi karena keterpaksaan, tapi
kami selalu berusaha untuk make it work and just make it
look easy.
"Frisca."
Aku mendongak saat mendengar seseorang
menyerukan namaku. Dan terlihat di sana, Baron Adirajadi,
manager divisi kreatif yang tidak lain adalah atasanku.
"Siapa, Fris? Adik kamu?" tanyanya, setelah tiba di
depan kubikalku.
Pandanganku teralih pada Barga yang sedang pura-
pura sibuk sambil memainkan ponselnya.
"Dia ... suamiku."
"Oh? Berondong kayak gini?"
Dari ujung mata, aku menyadari Barga mendongak
cepat dan balas menatap Baron.
"Ada apa, Ron?"
"Hm, iya sampai lupa. Nanti sore ikut join, yuk?
Stone Cafe, acara farewell-nya si Agus."
"Stone Cafe? Dago atas, ya? Kayaknya aku nggak bisa
deh, Ron. Jauh banget aku baliknya. Harus muter lagi ke
arah Sarijadi."
"Minta dijemput sama berondong kamu ini aja. Kalau
dia nggak bisa jemput, bareng aku aja. Nanti aku anterin
kamu pulangnya sampai depan rumah."
Aku meringis dan kembali menengok pada Barga. Dia
menatap Baron tajam, tak peduli jika usia lelaki di
depannya jauh lebih tua darinya.
"Ron, tolong lain kali dijaga ucapan kamu. Kamu
nggak tahu kan, siapa aja yang akan tersinggung sama
ucapan kamu itu. Dan tolong juga bilangin sama Agus, aku
minta maaf karena nggak bisa join sama kalian nanti
malam."
Baron mengalihkan tatapannya padaku. Seakan tak
terima dengan teguranku. Setelahnya, dia berbalik tanpa
mengucapkan satu patah kata pun.
"Ya, udah. Aku ke kampus lagi, ya? Makan yang
banyak. Abisin semuanya kalau bisa." Barga berdiri dan
mengecup pelipisku sebelum melangkah keluar dari kubikal
dan hilang di balik pintu lift.
Dia ... Barga Anggara. Berondongku. Suamiku yang
usianya tiga tahun lebih muda dariku. Satu hal yang
menarik darinya, dia selalu berusaha menempatkan dirinya
dengan sangat baik. Kapan waktu dia kembali menjadi
lelaki usia dua puluh tahun bersama teman-temannya, dan
kapan dia menjadi suami yang baik ketika sedang
bersamaku.

***

BARGA
Aku keluar dari kantor itu dengan perasaan kesal
yang sampai di ubun-ubun. What the hell did the bastard
say?
Berondong?
Berondong gigi lo ompong!
Memangnya apa sih yang dimasalahkan dari sebuah
umur? Hanya masalah angka. Belum tentu menjamin
kedewasaan dan kualitas berpikir seseorang.
Buktinya, seperti apa yang si bastard tadi lakukan.
Apa itu yang dinamakan pria dewasa? Apa itu kelakuan
seorang real men? Mengintimidasi dan menunjukkan jika
dirinya lebih hebat karena usianya jauh di atasku.
Kampretlah!
Aku segera memasuki mobil dan membawanya
kembali menuju kampus. Mobil pemberian Ayah. Dengan
sedikit paksaan karena ibuku yang super bawel tidak ingin
menantunya berkeliaran dengan menggunakan motor dalam
keadaan hamil.
Sedangkan aku anaknya sendiri?
Jalan kaki dari Bandung ke Jakarta pun tidak akan
membuatnya peduli.
"Laki-laki harus kuat. Nggak boleh manja." Begitu
katanya.
Tiba di kampus, aku memarkirkan mobil dan kembali
keluar untuk menuju warung Mang Didin. Warung makan
yang memiliki prinsip 3M. Murah, Meriah, Muntah.
Namun aku tidak ingin makan. Aku hanya memesan
kopi susu dan mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam
tasku. Hingga seseorang menepuk pundakku saat aku
sedang menikmati rokok pertama yang baru saja kuhisap.
Jaka Kurniawan. Sahabatku sejak SMA yang sekarang
menjadi teman sesama perantau. Sama-sama menjadi anak
gaul Bandung dan kuliah di kampus yang sama denganku.
Si belagu yang lebih suka dipanggil Jack, daripada
menggunakan nama pemberian orangtuanya sendiri.
"Ngapa lo? Muka lo butek banget kek air sungai
Kalimalang."
"Emang kenapa, sih kalau umur gue lebih muda?
Masalahnya apa emangnya kalau gue sama bini gue lebih
tua dia?"
Jack melongo. Bengong karena tidak mengerti maksud
ucapanku.
"Ini kopi ada sianidanya apa?" tanyanya, sambil
menghirup dan mencicipi kopiku.
"Kesel gue, Jack."
"Kesel kenapa emang?"
"Gue udah kurang gimana lagi, Jack? Gue udah bela-
belain kerja malem jadi kacung minimarket, Sabtu Minggu
gue kerja daily worker di hotel jadi Steward, yang cuma
nama doang keren, tapi kerjaannya jadi buruh nyuci piring
setumpukan. Buat apa itu, Jack? Supaya gue bisa punya
penghasilan sendiri, supaya gue bisa mandiri dan nggak
bergantung sama bokap gue untuk biayain kehidupan
rumah tangga gue dan istri gue. Tapi kenapa masih aja gue
diremehin. Dianggap nothing cuma karena umur gue yang
baru nginjek dua puluh taun. Gue anaknya Marcello
Prawirayasa, mau-maunya kerja banting tulang, buat siapa
lagi kalau bukan buat istri dan anak gue nantinya."
Jack kembali menepuk-tepuk pundakku untuk
menenangkan. "Yah, namanya juga laki, man. Nggak kerja
diremehin, kerja kecil direndahin, punya gaji minim
disepelein. Tapi justru hal itu yang membentuk kita supaya
menjadi pribadi yang lebih tangguh lagi."
Yeah, ucapan si Jaka Kurniawan ini benar. Dunia ini
kejam, man. Lebih kejam dari si cantik O-ren Ishii di film
Kill Bill, yang bisa menebas kepala orang dengan ekspresi
datar. Beuh, tsadeest!
"Bar, gue mau nanya sesuatu sama lo. Sebenernya, lo
itu cinta nggak, sih sama istri lo?"
Aku tertawa sinis mendenger ucapannya. "Males gue
ngomongin cinta. Nggak ada untungnya buat gue. Lo liat
aja abang gue. Stuck sama satu cewek yang dia cinta sampai
akhirnya mati konyol kayak gitu. Maksa pulang ke sini
waktu denger Kak Kia sekarat. Padahal satu minggu lagi
dia wisuda. Nyokap gue udah sengaja jahit kebaya untuk
dipakai di acara wisuda dia nanti. Dan apa yang dia dapet?
Nggak ada, selain bikin nyokap histeris sampe pingsan
berkali-kali waktu kita jemput jenazahnya di rumah sakit.
Menurut gue itu konyol, Jack. Dan bokap gue, dia udah
sia-siain hidupnya dan keluarganya sendiri selama belasan
tahun, hanya karena rasa kehilangan dan penyesalan sama
cinta masa lalunya. Dan kalaupun gue cinta sama Frisca,
gue tau, gue nggak akan dapat apa-apa. Sama seperti gue
coba menggenggam angin. Semu. Dan mustahil bisa gue
dapat."
Setelahnya kami sama-sama terdiam. Menikmati setiap
sedotan batang kanker yang menjarah pada seluruh sel saraf
di dalam tubuh.
"Kalau gitu, kita ngikutin hidupnya lumba-lumba aja,
Bar. Penganut LGBT. Bercinta dengan sesama jantan,
sampai dia bener-bener siap dan PD untuk menggoda
betina."
Dan satu lagi yang perlu kuberitahukan pada kalian,
hati-hati milih teman. Jangan sampai kalian menyesal
sepertiku yang memiliki teman kampret macam si
Kurniawan ini.

***

FRISCA

Pukul enam sore, aku sudah bersiap pulang seraya


menunggu Barga menjemputku. Setelah beberapa saat
menanti di lobby, akhirnya mobil Nissan X trail hitam
milik Barga terlihat berhenti di depan pintu lobby. Aku
segera masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku
penumpang sebelah Barga yang tidak menatapku sama
sekali. Hingga satu jam kemudian, setelah kami tiba di
rumah, dia masih belum mengeluarkan suara.
Aku menahan tangannya saat dia memasuki kamar
dan melepas atasannya sebelum melangkah memasuki
kamar mandi.
"Hey, what's going on?" tanyaku.
"Nothing," jawabnya tanpa acuh.
Aku mengapit wajahnya dengan kedua tanganku dan
memaksanya untuk kembali menataku.
"Kenapa?" tanyaku, dengan suara lebih halus dari
sebelumnya. "Tell me what happened with you?"
Kudengar dia mengembuskan napas dengan kasar.
Barga menjauhkan tanganku dari wajahnya dan duduk di
atas tempat tidur.
"Emangnya kamu nggak malu punya suami
berondong kayak aku?" ucapnya kemudian.
Well, I see. Jadi ini karena ucapan Baron tadi.
The man and his ego.
Aku kembali menghampirinya dan duduk di
sebelahnya. Kembali menangkup wajahnya, dan kembali
memaksanya untuk menatapku.
"Aku gendut ya, dan keliatan tua banget sampe orang-
orang akan tau kalau aku lebih tua dari kamu?"
Berhasil. Dia tertawa kecil mendengarnya.
"Aku nggak malu, Bar. Malah aku bangga dong, bisa
dapetin suami berondong yang lebih muda dari aku dan
ganteng kayak kamu."
Dan tawanya semakin keras. Dia balas menangkup
wajahku dan menciumku dengan ganas, mendorong
tubuhku hingga terlentang di atas tempat tidur dan
melakukan foreplay yang aku yakini akan berakhir dengan
mandi besar setelah ini.
"Barga, kan kemaren udah," bisikku, saat dia sedang
berusaha melepas baju terusan yang sedang kukenakan.
"Lagian kamu menggoda kayak tadi, bikin aku
bangun jadinya."
Dan satu hal yang aku lupakan tentang menikah
dengan anak ABG.
Dia dan hormone testosterone-nya.
****

THREE
Sesosok lelaki yang memenuhi pikiranku beberapa
hari ini muncul di ambang pintu flat saat aku
membukanya. Namun aku menahan keinginan untuk
menyambutnya dan lebih memilih menatapnya tanpa
ekspresi. Lelaki itu, Arkha Galih Wardana, lelaki yang sama
dengan dia yang membuatku kacau selama beberapa hari
ini.
"Masuk, Kha, " ucapku, sambil berbalik dan
meninggalkan dirinya yang masih berdiri di depan pintu.
"Kapan balik dari Jakarta?" Aku duduk di atas sofa
ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang menonton.
Arkha mengikuti dan duduk di sebelahku. "Tadi
malem."
"Dan urusan kamu di sana udah beres?"
Aku benci menanyakan hal ini. Aku benci jika
mendengarnya membicarakan perempuan itu. Perempuan
bernama Kiasah yang membuatnya patah hati hingga
memutuskan untuk menghindar, dan mengambil hadiah
beasiswanya saat menjuarai Olimpiade Sains Nasional ketika
SMA dulu.
"Masalahnya udah selesai dan Kia udah rujuk lagi
sama suaminya."
"Dan kamu kecewa, dong, perjalanan Melbourne to
Jakarta hanya berakhir sia-sia, karena ternyata dia memang
sudah melangkah jauh dari kamu."
Arkha tertawa miris, "Aku pulang ke Jakarta bukan
dengan niat ingin balik lagi sama dia, Fris. Aku tau, hal itu
nggak mungkin. Aku pulang karena aku ingin ada di dekat
dia saat dia butuh seseorang untuk menopang dia saat
jatuh. Kiasah itu cewek manja. Dia nggak biasa dengan hal-
hal berat yang membuat hidupnya tertekan."
Lalu aku? Kamu pikir aku kuat, Kha? Kamu pikir aku
bisa menerima hal-hal berat yang membuat hidupku
tertekan? Aku juga sama seperti Kiasah, sama seperti
perempuan lainnya yang ingin cintanya berbalas.
Arkha menggeser posisinya, hingga membuat
duduknya semakin merapat padaku. Lelaki itu menarik
tanganku dan memasangkan sebuah gelang titanium dengan
model lilit yang terlihat sangat cantik dan berkilau.
"Tadi, lihat gelang ini di toko souvenir bandara, terus
tiba-tiba inget kamu. Ternyata keliatan lebih cantik kalau
udah dipakai. Kontras sama kulit kamu yang putih."
Kemudian, ia mengapit daguku dan memaksa untuk
menengok ke arahnya. Membuat mata kami terkunci satu
sama lain.
Arkha mengamati mataku lekat. Menatap hingga
dalam dan membuatku sedikit kepayahan untuk terus
membalas tatapannya.
"Are you crying?" tanyanya, saat mengusap kedua
mataku yang bengkak karena terlalu sering menangis.
"Mata kamu jadi kelihatan jelek kalau habis nangis,"
bisiknya lirih. Membuat mataku kembali memanas.
Namun, aku pun tak dapat menolak saat dia semakin
mendekatkan wajahnya padaku. Dan aku hanya bisa pasrah
dengan memejamkan mata, ketika bibirnya yang sedikit
tebal dengan aroma mint campur tembakau, menyapu
lembut permukaan bibirku.
Aku tidak bohong saat mengatakan jika dia selalu
menciumku lebih dulu. Dan sisi bitchy-ku terlalu lemah
untuk menolaknya. Aku kembali membuka mata saat
ciumannya selesai. Arkha mengusap permukaan bibirku
yang basah dengan ibu jarinya.
"Arkha," bisikku, pelan.
"Hmm?"
"Will you do something for me then?"
Arkha menaikan matanya yang semula memerhatikan
bibirku, dan menatap mataku dengan serius. "What is
that?"
"Stop trying to fix me and just to love me. Would
you?"
Arkha terdiam. Usapan lembut ibu jarinya di atas
bibirku terhenti. Dia menutup mata. Seolah berat
mengatakan jawaban yang ingin ia sampaikan. Aku masih
memerhatikannya saat ia membuka mata dan kembali
menatapku dengan raut wajah penuh penyesalan.
"I told you... I can't promise you anything, Fris. But I
promise you as long as you trying, I'm staying. Aku tetep
di sini, di dekat kamu. Tapi kalau kamu minta aku
berusaha untuk mencintai kamu ... I'm sorry, I can't. Kamu
tau kalau aku masih sangat mencintai Kiasah. Dan aku
nggak mau menjanjikan sesuatu hal yang aku sendiri nggak
yakin bisa menepatinya."
"Frisca." Panggilan Barga membuatku kembali pada
realita. Dan saat kutengok, Barga tengah menatapku dengan
penuh kekhawatiran.
"Are you ok?"
Aku mengangguk lemah.
"Baru kali ini, aku liat orang yang nonton Masha and
The Bear sampai nangis."
Saat ini, kami berdua tengah menikmati waktu luang
dengan duduk bersantai di ruang tengah. Aku
menyandarkan kepalaku di atas pundak Barga yang sedang
tekun mengerjakan tugas kuliahnya, sembari menonton
tayangan kartun anak kecil yang berteman dengan seekor
beruang dan tinggal sendiri di dalam hutan.
Aku tertawa kecil ketika menghapus lelehan air mata
yang membasahi pipiku. Dan inilah salah satu hal yang aku
suka dari Barga. I love when he makes me smile no matter
what mood.
Lebih dari lima bulan berlalu sejak saat itu. Saat-saat
yang membuatku sadar, jika ketika Tuhan menciptakan
kehilangan, mungkin hal itu dimaksudkan agar aku mau
bersabar, agar aku mau belajar. Dan ketika aku kehilangan
cinta, pasti ada alasan di antara sebaiknya alasan yang
kadang sulit untuk kumengerti.
Tapi ada satu hal lagi yang kupercaya, bahwa ketika
Tuhan mengambil sesuatu hal dalam hidupku, itu karena
Tuhan telah mempersiapkan sesuatu yang lebih baik untuk
diberikan. Dan janji-Nya adalah nyata, Tuhan mengirimkan
Barga dan bayi kecil dalam perutku yang saat ini menjadi
alasanku untuk terus melangkah maju dan meninggalkan
semua tentang masa lalu.
"Besok jadi cek kandungan?" Pertanyaan Barga
kembali menyela lamunanku.
"Besok dokter kandungannya praktik pagi."
"Emang kenapa kalau praktik pagi?"
"Besok hari Senin, kamu lagi UAS, kan?"
"Ohh, iya!" seru Barga, seakan baru mengingat hal
itu. "Yah, aku nggak bisa nemenin kamu. Nggak bisa liat
babynya, dong. Padahal aku selalu nungguin setiap
waktunya cek kandungan."
"Ya udah, cek kandungannya diundur minggu depan
aja."
Barga menatapku penuh harap. "Bisa?" tanyanya.
Aku mengangguk dan kembali menyandarkan
kepalaku di atas pundaknya. Merasakan saat ia mengecup
kepalaku.
"Bar, emang kamu nggak capek, siangnya kuliah,
malem kamu kerja jadi pramuniaga di minimart, dan hari
Sabtu Minggunya kamu masih kerja juga jadi steward di
hotel,"
Barga tertawa kecil mendengarnya. Ia mengacak-acak
rambutku dengan lembut. Kebiasaan yang sama, seperti
yang kakaknya sering lakukan.
"Kalau dibilang capek, pasti capek lah, Fris. Tapi
selagi aku masih muda, masih produktif, masih punya
tenaga untuk kerja, kenapa nggak aku manfaatin. Dari pada
nongkrong nggak jelas, mendingan aku pakai waktunya
untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, kan? Dan sebagai
seorang suami, memang kewajiban aku untuk menafkahi
kamu. Lelahnya aku pun menjadi berkah, ketika aku
menjalaninya karena lillah."
Speechless. Aku terenyuh saat mendengar
penjelasannya. Dan tanpa bisa dicegah, aku bangkit dari
dudukku dan berpindah duduk di atas pangkuannya yang
sedang bersila di atas sofa. Melingkarkan tanganku pada
sekeliling pinggangnya dengan menyandarkan kepalaku di
atas dadanya. Aku memeluk Barga dengan erat.
"Tapi kamu jangan terlalu capek. Sempetin waktu
untuk istirahat. Badan kamu bukan robot yang nggak butuh
istirahat. Aku nggak mau kamu sakit nantinya."
Barga terkekeh. Kembali mengecup ubun-ubunku,
sebelum balas memelukku.
"Nanti juga ada waktunya untuk istirahat, tapi bukan
sekarang. Waktu istirahatnya nanti, setelah aku pensiun.
Menikmati hasil kerja keras sewaktu masih muda dan
menikmati hari tua dengan istri dan anak cucu."
Aku semakin mengeratkan pelukanku pada tubuhnya.
Menyesap aroma cologne murahan yang ternyata mampu
membuatku nyaman.

***

BARGA

Satu hal yang aku suka dari istriku ini, dia manja, dan
paling senang dimanjakan. Membuatku selalu merasa
dibutuhkan.
Kadang aku berpikir, hidup itu misteri. Kita tidak
akan tahu seperti apa rupa masa depan sebelum kita
berhadapan langsung dengannya.
Dan tentu saja, menikah muda tidak ada dalam daftar
rencana hidupku sebelumnya. Umurku baru dua puluh
tahun, man. Dan saat ini aku sudah menjadi seorang suami.
Dan yang lebih gilanya lagi, sebentar lagi aku akan menjadi
seorang ayah. Sebuah kejutan luar biasa yang tak pernah
bisa kuduga sebelumnya.
Tapi aku pikir, tidak ada yang salah dengan hal itu.
Karena menurutku, menikmati masa muda dengan bekerja,
jauh lebih menyenangkan daripada hanya sekedar senang-
senang dan hura-hura. Masuk dari satu tempat dugem ke
tempat dugem yang lain. Berkencan dengan cewek random
yang tidak aku kenal. Menjadi junkies. Apa untungnya?
Kena HIV dan penyakit kelamin, mungkin iya!
Lebih nikmat hidup yang kujalani saat ini. Punya istri
cantik, yang tetap terlihat seksi walaupun dengan pipi
tembam dan perut buncit. Bisa memenuhi kebutuhanku,
lahir dan batin.
Asli. Nikmatnya luar biasa, bray!
Asal kalian tahu, kadang kala keberhasilan itu tidak
selalu datang untuk mereka yang pantang menyerah, bukan
pula untuk mereka yang tidak kenal kata lelah. Namun
keberhasilan, selalu hadir untuk kita yang bisa bertahan,
dalam kesabaran yang disertai pula oleh keikhlasan.
Anjay! Bahasa gue....
"Bar,"
"Hmm?"
"Kadang, aku ngerasa kamu lebih dewasa dari abang
kamu."
See?
"Ya, iyalah. Anaknya Marcello Prawirayasa. Kalau
dibandingin sama Arkha, bukan cuma lebih dewasa, tapi
lebih ganteng juga pastinya."
Frisca tertawa pelan. "Salah ngomong aku, Bar."
Dan satu lagi pelajaran yang aku dapat, merasakan
kebahagiaan batin itu, adalah hal yang tidak semua orang
bisa dapatkan.

***
"Barga, jam enam kurang. Cepetan bangun."
Aku loncat dari tempat tidur dengan cepat dan
menatap jam digital yang tergantung di tembok kamar.
Anjrit! Jam enam kurang sepuluh menit. Sedangkan ujian
mulai jam tujuh pagi.
Dengan cepat aku menyambar handuk, dan segera
memasuki kamar mandi. Kepalaku terasa pusing. Semalam
aku baru tidur jam tiga pagi karena harus menyelesaikan
tugas teknik pemograman dengan membuat flowchart dan
programnya.
Tiba-tiba aku merasa seseorang membasuh mukaku
dengan air hangat, saat aku tertidur sambil duduk di atas
kloset. Frisca membantuku sikat gigi dan mencukur kumis
serta jenggot yang sudah satu minggu ini belum sempat
kupangkas. Aku menikmati sentuhannya yang sangat
lembut sambil memejamkan mata dan hampir kembali
tertidur.
"Sakit banget kulit aku waktu kamu ciumin badan
aku tadi malem. Kumis sama jenggot kamu ini nusuk-
nusuk."
Ucapan Frisca kembali membuatku terbangun.
Mengingatkan aku dengan kegiatan tadi malam yang
membuat waktu tidurku semakin sedikit. Ia kembali
membasuh wajahku setelah selesai. Aku menarik tangannya
dan berniat untuk memberikan ciuman terima kasih,
namun batal saat aku menemukan sesuatu melingkari
pergelangan tangannya.
Sebuah gelang titanium. Dan aku tau dari siapa
gelang itu.
Sudah lama ia tidak menggunakan gelang ini lagi.
Lalu mengapa sekarang ia menggunakannya lagi?
Yeah, aku tau, Fris. Apapun kelebihanku jika
dibandingkan Arkha, tetap lebih hebat dia karena bisa
dengan mudahnya membuat kamu galau berkepanjangan
seperti ini.
"Udah selesai. Sekarang kamu mandi. Aku bikinin
sarapan buat kamu."
Dia keluar. Dan aku masih termenung di atas kloset.
Argh, sial! Memikirkan hal itu membuat moodku semakin
berantakan pagi ini.
Selesai mandi, aku keluar kamar dan menemukan
kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam sudah siap
di atas tempat tidur. Aku sempatkan salat subuh lebih dulu
sebelum bersiap dan melangkah keluar kamar.
Terlihat satu piring nasi goreng yang sudah disiapkan
Frisca di atas meja makan. Namun aku tak berniat
memakannya. Makan hati sudah bikin aku kenyang.
"Fris, aku nggak sarapan, ya. Udah telat banget ini."
Tanpa menunggu jawaban darinya, aku segera melesat
dan membawa mobilku menuju kampus. Sengaja tak ingin
menghiraukan wajah protesnya saat aku pergi begitu saja.
Sorry, Fris....

***

FOUR
FRISCA

Aku masih memandangi pintu yang tertutup setelah


Barga menghilang di baliknya.
Kenapa, sih dia?
Tanpa menghiraukan kelakuannya, aku memilih
menghabiskan nasi goreng yang kusiapkan untuk Barga
tadi. Saat memasukan suapan ketiga ke dalam mulut,
telepon genggamku berbunyi. Menampilkan nama ibu
mertuaku di layarnya.
"Assalamualaikum, Fris."
"Waalaikumsalam, Bunda. Tumben pagi-pagi telepon,
Bun?"
Terdengar tawa lembut dari ujung telepon.
"Tadinya Bunda telepon ke nomornya Barga, tapi
nggak diangkat."
"Barga lagi nyetir kayaknya, Bun. Dia baru berangkat
dari rumah tadi. Emangnya ada apa ya, Bun?"
"Nggak ada apa-apa, sih. Bunda cuma mau ingetin,
hari Minggu ini Ayah ulang tahun. Bunda mau bikin acara
makan-makan, pengin semua keluarga ngumpul. Kalian
usahakan untuk ikut juga, ya? Acaranya di Lembang, kok.
Bisa ya, Fris?"
Acara kumpul keluarga? Itu artinya... akan ada
perempuan itu di sana. Walaupun hubungan kami di depan
baik, tapi aku tidak bisa memungkiri jika aku
membencinya. Benci karena dia selalu membuatku
mengingat semua tentang Arkha. Mengingat bagaimana
besarnya cinta lelaki itu untuknya. Membuatku kembali
mengingat seperti apa rasanya menjadi orang yang tidak
terpilih.
Dan satu hal yang paling aku benci, perempuan itu
mengingatkan aku saat-saat terakhir ketika aku kehilangan
Arkha.
"Frisca?"
Aku berdeham untuk menormalkan suaraku yang
sedikit tercekat. "Frisca usahakan ya, Bun. Kalau nggak ada
deadline kerjaan pasti Frisca datang."
Dan setelah itu, percakapan kami diteruskan dengan
obrolan seputar kehamilanku. Walaupun Bunda orang yang
cerewet, namun aku tahu, Bunda menyayangiku dengan
tulus. Dia tidak pernah membenciku, sekalipun aku pernah
membuat kehebohan dalam keluarga besarnya dengan berita
kehamilanku.
Aku kembali memasuki kamar setelah sambungan
dengan ibu mertuaku terputus.
Hatiku sakit. Rasanya lelah terus menerus bergelung
dalam ingatan yang membuatku terus terpuruk seperti ini.
Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir perlahan.
Dan aku hanya bisa menangis bodoh setiap kali
mengingatnya. Aku benci menjadi lemah. Aku benci selalu
dikalahkan oleh kenangan.
But I wonder why it’s so hard to be happy. Without
you... Arkha.

***

BARGA

"Gue cari di kampus, taunya udah balik duluan lo!"


seruku, sambil menyerobot masuk ke dalam kamar kost si
Jack saat dia baru membuka pintu.
"Lo assalamualaikum dulu, kek! Permisi dulu, kek!
Main nyelonong masuk aja."
Aku tak menanggapi protesnya dan segera
merebahkan tubuhku di atas tempat tidurnya yang empuk.
Ahh, nyamannya....
"Numpang tidur bentar, Jack. Bangunin jam dua, ya.
Gue kerja jam tiga."
Aku memiringkan posisi dan mulai menutup mata.
"Kenapa lagi lo sama Frisca?" tanya Jack tiba-tiba.
Membuatku kembali membuka mata.
"Nggak papa,"
Terdengar dengusan kasar darinya. Aku tak
menghiraukan. Lebih memilih melanjutkan tidurku yang
terinterupsi tadi.
"Lo harusnya lebih tegas jadi suami. Jangan karena
umur lo lebih muda dari Frisca, terus dia bisa bertingkah
seenaknya aja tanpa menghargai lo."
Aku kembali membuka mata dan menatap Jack
dengan serius. "Ini masalah komitmen, Jack. Gue udah
sadar dengan konsekuensi dari keputusan yang gue pilih
saat gue mutusin untuk nikahin Frisca."
Menikahi dia, beserta semua kenangannya.
"Walaupun lo sadar dengan konsekuensinya, tapi
tetep aja, lo nggak bisa mengendalikan perasaan lo sendiri
saat lo harus bersaing dengan kenangan abang lo sendiri.
Hati lo sakit, dan ego lo berontak karena merasa nggak
dihargai. Iya, kan?"
Yeah, aku sepenuhnya sadar jika apa yang dikatakan
si Kurniawan ini benar. Namun, terlalu naif jika aku harus
mengakui semua itu. Berulang kali aku menghela napas
panjang dan mengembuskannya dengan kasar.
"Lo paling lemah kalau udah ngadepin bini lo itu.
Uring-uringan seharian, dicipok sedikit aja langsung manut
lagi, persis kayak kebo habis dicocok hidung."
"Gue dateng kesini pengin ngadem, Jack. Denger
omongan lo malah bikin kuping gue tambah panas."
Jack kembali berdecak. "Ngeles aja terus, Bar."
Aku bangun dari posisiku dan menghampiri rak kecil
tempat Jack menyimpan bahan-bahan makanan untuk
mencari kopi. Butuh asupan kafein untuk membuat
tubuhku bertahan sampai jam sepuluh malam nanti.
"Kopi lo kayak beginian semua. Nggak ada kopi item,
ya?"
"Ada,"
"Mana?"
"Di warung."
Aku menoyor kepalanya cukup keras. Saat yang sama,
telepon genggamku bergetar dari balik saku celana. Ada
enam panggilan tak terjawab. Tiga dari Bunda, dan tiga lagi
panggilan tak terjawab dari nomor Frisca.
Dan ada pesan LINE juga. Aku membukanya dan
membuatku tersedak oleh ludahku sendiri saat melihat
isinya. Frisca mengirimiku foto dan sebuah pesan,

Semangat ujiannya, Papa �

Aku menelan air liur saat memandangi fotonya. Punya istri


modelan begini, gimana nggak bikin lemah, coba? Cuma si
'boy' yang dibikin keras setiap saat. Sial.
***
"Ada lagi tambahannya, Mbak?" tanyaku, saat
menghitung belanjaan seorang perempuan umuran tiga
puluh tahunan di meja kasir tempatku bekerja.
"Ada."
Aku menatapnya dan menunggu belanjaan apa lagi
yang akan dia tambahkan.
"Kalau masnya boleh dibawa pulang, sekalian masnya
dikantongin juga."
Kampret!
Aku hanya tertawa hambar. Segera kuselesaikan
proses pembayaran dan tak menanggapinya lagi.
"Mas, judes banget, sih! Tapi malah bikin tambah
gemes," ucap perempuan itu lagi sebelum melangkah keluar
dengan senyum menggoda dan membuatku ingin muntah.
Sedangkan si Mul alias Maulana yang menjadi partner
shift-ku malam ini, sudah tertawa terbahak-bahak setelah
kepergian perempuan tadi.
"Puas banget, Mul?"
Mul menarik napas dalam untuk mengisi paru-
parunya yang kosong setelah puas tertawa. "Gelo, anjir, si
teteh eta! Makanya, Bar, punya muka jangan ganteng-
ganteng banget. Digodain tante girang akhirnya."
Mau tak mau aku ikut tertawa karena kekonyolan
tadi.
"Punten, 'A." ucap seseorang, menghentikan tawa
kami.
Aku dan Mul menengok bersamaan. Terlihat
keberadaan seorang wanita muda di depan kami.
"Di sini nggak jual obat asma, ya?"
"Ada. Di rak obat-obatan," jawabku.
"Bisa tolong dicariin, 'A? Tadi saya cari di sana nggak
ada."
Aku menatapnya malas. Pasti cuma pembeli iseng lagi.
Namun saat aku melewatinya, napasnya terdengar berat dan
pendek-pendek.
Perempuan ini benar-benar sedang sakit.
Aku mencari obat asma yang biasanya tersimpan di
rak obat, namun kosong. Sepertinya stock-nya habis.
"Obat asmanya habis, Teh."
Perempuan itu mengeratkan jaket yang digunakannya
sebelum mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
"Teh," panggilku lagi, saat ia sudah berada di luar.
Aku membawakan kursi plastik dan memintanya duduk.
"Teteh tunggu di sisi aja. Biar saya yang cari obat
asma untuk teteh. Sebelum perempatan ada apotik yang
buka 24 jam. Teteh biasanya minum obat apa?"
Dia menyebutkan nama obatnya dan mengasongkan
selembar uang padaku. Namun aku menolaknya.
"Uangnya nanti aja."
Dengan setengah berlari, aku bergerak cepat menuju
apotik yang berjarak cukup jauh dari minimart tempatku
bekerja. Setelah mendapatkan obatnya, aku kembali berlari
dan menemukan dia masih berada di sana.
Aku membawakannya minum air hangat dari
dispenser yang disediakan di pantry dan membantunya
meminum obat. Setelah menunggu beberapa saat, napasnya
kembali teratur walaupun masih terdengar sedikit berat.
"Alhamdulillah. Makasih banyak ya, 'A."
Aku mengangguk dan tersenyum tulus.
"Teteh habis dari mana?" tanyaku, berbasa basi.
"Pulang kerja. Tadi angkotnya sepi, jadinya saya turun
karena takut dibawa kabur sama supir angkotnya. Tapi
nunggu angkot lagi malah nggak ada yang lewat."
Aku melirik arlojiku, pukul sepuluh malam. Sudah
waktunya aku pulang.
"Rumahnya di mana, Teh?"
"Di Geger Kalong. Panggil Icha aja, 'A, jangan
panggil teteh."
"Gue Barga. Kalau lo percaya, biar gue antar lo
pulang. Ini udah jam sepuluh malem. Angkot udah jarang
yang lewat sini. Kebetulan rumah gue di Sarijadi, jadi kita
searah."
"Tapi, A'a bukannya lagi kerja."
"Shift gue udah selesai, kok! Tuh, orang yang
gantiinnya udah dateng."
Selama UAS, aku memang meminta jadwal kerja sore,
agar memiliki sedikit waktu untuk belajar dan istirahat.
Dan kembali lagi pada perempuan di depanku ini, dia
menatapku sesaat, seperti sedang menelaah.
"Emang nggak ngerepotin?" tanyanya.
Aku menggeleng, kemudian masuk ke dalam gudang
yang juga menjadi tempat istirahat karyawan. Setelah
berganti pakaian, aku segera mengambil tas serta jaket yang
kusimpan di sana.
"Mul, gue balik, ya." pamitku, saat melewati meja
kasir.
Aku mengajak Icha dan dia mengikuti di belakang.
Perempuan itu tampak terkejut saat aku membukakan pintu
mobil untuknya. Dia menatapku ragu, sebelum akhirnya
melangkah naik ke dalam mobil.
"Ini mobil kamu?" tanya Icha, penuh keheranan.
"Kenapa, aneh ya, pelayan Alfamart kayak gue bisa
punya mobil?"
Dia tertawa. Tawa yang lembut sekali.
"Ini mobil bokap, bukan punya gue."
Setelah percakapan itu, kami diam dengan canggung.
Aku memerhatikan perempuan di sampingku ini, sepertinya
usianya sama denganku. Dia manis, dan senyumnya tulus.
Berbeda dengan Frisca yang cantik tapi wajahnya sedikit
jutek. Apalagi jika sedang mengomel, membuatku tak tahan
ingin terus menciumi bibir tipisnya yang cerewet.
"Bar, nanti berhenti di depan gang itu, ya," ucap Icha,
menghentikan pikiran liarku. Ia menunjuk sebuah gang
kecil di depan jalan.
"Loh, kenapa nggak sampai depan rumah aja?"
"Kostan aku gangnya kecil, nggak masuk mobil. Aku
udah biasa, kok, pulang jam segini sendiri."
Aku menghentikan mobil di tempat yang dia tunjukan
tadi.
"Barga, makasih banyak, ya. Maaf jadi ngerepotin
kamu."
"Santai aja."
Icha membuka tuas pintu dan melangkah turun dari
mobil. Dia sempat melayangkan senyum singkat sebelum
berjalan memasuki gang. Aku memutar balik mobilku dan
membawanya menuju rumah. Memikirkan Frisca tadi
membuatku sedikit merindukannya.
Tiba di rumah, aku memarkirkan mobil dan kembali
mengunci pintu gerbang depan. Saat memasuki rumah,
terlihat televisi di ruang tengah masih menyala dengan
seseorang yang meringkuk di atas sofa di depannya.
"Frisca," panggilku pelan, mencoba membangunkan.
Dia membuka matanya perlahan dan tersenyum saat
melihatku. "Kamu kok baru pulang?" erangnya manja.
"Aku pikir kamu mau pulang cepet, karena dari kampus
tadi nggak pulang dulu ke rumah, tapi aku tungguin
kamunya nggak pulang-pulang, sampai aku ketiduran."
Aku menatapnya serius. Dan dia membalas tatapanku
dengan penuh kelembutan. Tangannya terulur, membelai
setiap inci bagian wajahku.
Aku memerhatikan tangannya, sudah tidak ada gelang
itu lagi. Membuat sudut mulutku terangkat tanpa bisa
dicegah.
"Aku tau kamu marah. Waktu pergi tadi, kamu nggak
cium aku kayak biasanya. Kamu nggak angkat telepon dari
aku dan LINE aku juga cuma kamu read."
Dengan hati-hati, kudekap tubuhnya dan
membawanya memasuki kamar dalam gendonganku. Aku
merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan
perlahan. Kehamilannya sudah memasuki bulan ketujuh,
namun berat badannya tak banyak berubah seperti dulu
saat ia belum hamil. Frisca terlalu kurus untuk ukuran ibu
hamil.
"Aku mandi dulu, ya. Nggak enak badannya lengket,"
bisikku, tepat di depan wajahnya.
"Jangan lama."
Aku tersenyum dan menciumnya sekilas. Sesuai
perintahnya, aku mandi secepat kilat. Saat keluar dari
kamar mandi, aku melihatnya sudah kembali tertidur. Dia
masih berpakaian seperti foto yang dia kirim tadi. Atasan
tanpa lengan dan hanya menggunakan celana sangat
pendek. Hal yang tidak aku mengerti dari kebiasaan ibu
hamil, dia sama sekali tidak nyaman jika memakai celana
panjang. Tipe istri penggoda iman.
"Fris," bisikku, dengan mulut yang dekat dengan
telinganya. Membuatnya melenguh dan sedikit terusik.
"Hmm?"
"Pakai baju yang bener, masuk angin kamu nanti."
"Enakan kayak gini, Bar. Kalau pake celana panjang
itu rasanya sesak."
Tapi kalau kamu kayak gini, malah celana aku yang
sesak, Fris.
Tiba-tiba dia berbalik dan menatapku. "Tadi Bunda
telpon," katanya.
"Terus?"
"Ngasih tau, hari Minggu Ayah ulang tahun. Bunda
mau bikin acara kumpul-kumpul keluarga di Lembang.
Kamu aja yang dateng, ya? Bilang aja aku lagi ngerjain
project iklan, jadi nggak bisa ikut kumpul."
Aku mengerutkan kening mendengar ucapannya.
"Kenapa nggak mau dateng?"
Dia membuang muka. Menghindari tatapanku. Aku
semakin mencondongkan tubuhku padanya, menarik
dagunya dan memaksanya untuk kembali menatapku.
"Kenapa nggak mau dateng?" ulangku.
Dia berusaha melepaskan tanganku yang mengapit
dagunya.
"Frisca, lihat aku sini."
"Aku malu, Bar," ucapnya, sambil menunduk.
"Malu kenapa? Malu lihat aku, atau malu datang ke
acara ulang tahun Ayah?"
"Malu dateng ke acara ulang tahun Ayah."
"Kenapa?"
"Aku takut keluarga besar kamu nggak bisa terima
aku."
Aku kembali menangkup wajahnya dan menatapnya
dengan tegas.
"Keluarga aku bukan orang-orang primitif yang punya
pemikiran sempit. Dan kalaupun mereka nggak bisa
menerima kamu, yang penting aku terima kamu apa
adanya, kan?"
Dia tersenyum malu-malu. Dan hal itu membuatku
tak tahan untuk mencium bibirnya. Awalnya hanya ingin
memberi kecupan singkat, namun saat ia melingkarkan
lengannya pada leherku, aku tahu itu sebuah lampu hijau.
Aku semakin merapatkan posisi kami dan
menciumnya dalam. Lidah dan tanganku bermain.
Membelai apa yang bisa kubelai, meremas semua yang bisa
kuremas.
So now, I can see that you're wondering what
happened. We were so perfect for each other. Tell me about
it before I tell you what happen next.

****
Bab 5

BARGA

Aku menggulingkan tubuhnya, hingga kini dia berada


di atasku. Posisi seperti ini yang paling aku suka. Woman
on top. Membuatku leluasa menikmati pemandangan di
atas sana. Aku suka melihatnya mengigit bibir dan
meringis.
It's more than erotic. Beyond intimate. Dan itu
nikmat, man! Apalagi saat mendengar desahannya.
Aku mesum? Excatly. Asal kalian tahu, mens orgasm
are ninety percent physical. Jadi bohong kalau ada laki-laki
yang mengatakan jika dirinya tidak pernah orgasme seumur
hidupnya.
Aku masih menatapnya hingga tiba-tiba ia menutup
kedua mataku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Lagian kamu ngeliatin aku kayak gitu. Kan, malu!"
Aku tertawa ketika menjauhkan kedua tangannya dari
mataku. Kembali kuputar tubuhnya hingga kini berada di
bawahku.
****
FRISCA

Barga menciumku, sangat lembut. And it make me


feel precious. Barga make me feel that way. Always. Di
balik sifatnya yang sedikit mesum, namun ia selalu bisa
memperlakukanku dengan baik. Membuatku merasa
istimewa. Dan kadang aku berterima kasih karena takdir
telah mengirimkan Barga dalam hidupku. Si anak ABG
yang nyatanya banyak mengajariku tentang arti sebuah
kehidupan.
Barga berani mengorbankan masa mudanya sendiri
untuk menikahiku. Untuk menjadikan anak yang aku
kandung ini sebagai anaknya setelah ayah biologisnya pergi
dan tak mungkin untuk kembali. Barga mengatakan jika
ibunya dulu mengalami hal yang sama denganku.
Ditinggalkan oleh suami pertamanya saat tengah
mengandung Arkha. Dan kini, Arkha meninggalkanku
dalam keadaan hamil.

***

Empat hari sudah kami menghabiskan masa liburan


musim panas di pantai St Kilda yang berada cukup dekat
dengan pusat kota Melbourne. Dan tibalah pada acara
puncaknya nanti malam, kami akan mengadakan pool party
untuk pesta perayaan kelulusan sebelum wisuda.
Karena pesta kali ini bertema pool party,
automatically, dress code yang digunakan bertema swimsuit.
Namun tidak termasuk aku. Kalian pasti tidak percaya
alasannya. Tentu saja, alasannya karena Arkha tidak ingin
tubuhku menjadi tontonan untuk dinikmati banyak lelaki,
sehingga ia melarangku menggunakan bikini.
Konyol, bukan?
Akhirnya, karena lelah berdebat dengannya, akupun
mengalah dan menutup bikiniku dengan cover ups.
"Fris, berenang yuk!" ajak Arkha, saat baru keluar dari
kolam. Terlihat dari tubuhnya yang masih meneteskan titik
-titik air dan membuatnya mirip dengan model iklan body
wash khusus pria, yang sering kulihat di televisi.
Aku yang sejak tadi hanya tiduran di atas lounger di
pinggiran kolam, hanya menggelengkan kepala untuk
menolak ajakannya.
"Ayo dong, Fris. Airnya seger, lho!"
"Sejak kapan ada orang berenang pake cover ups
kayak gini?" tanyaku ketus.
Arkha tertawa dan duduk di sampingku. Kemudian
dengan santainya dia melingkarkan lengannya di atas
pundakku yang sedang bersandar.
"Jadi ceritanya masih bete nih, karena nggak aku
bolehin pakai bikini?" tanyanya, yang kutahu bermaksud
ingin menggodaku. "Kamu liat tuh, mata cowok-cowok
yang ngeliatin Bella dan cewek-cewek yang pakai bikini itu.
Kamu bisa menilai sendiri kan, arti dari tatapan mereka?
Dan kamu mau mereka ngeliatin badan kamu kayak gitu
juga? tubuh kamu terlalu berharga untuk jadi tontonan
gratis buat mereka, Frisca."
Aku baru menyadari perkataan Arkha memang tidak
mengada-ngada. Pandangan cowok-cowok itu memang tidak
lepas dari tubuh Bella, Silvy, Agnes dan beberapa cewek
lainnya yang hanya menggunakan woman's two-pieces
swimsuit. Dan aku langsung bergidik ngeri jika
membayangkan tubuhkulah yang mereka tatap seperti itu.
"Ya udah, aku balik ke kolam lagi, ya," pamitnya,
sebelum berlalu dan kembali memasuki kolam.
Aku mengamatinya saat sedang berbincang akrab
dengan teman-teman kami yang lain. Kulihat, Arkha sangat
menonjol dibandingkan bule-bule yang lain. Kulitnya yang
paling gelap, namun justru membuatnya terlihat lebih
maskulin. Dan bagiku, dia yang paling tampan di antara
yang lainnya. Dan sejak aku memerhatikannya sedari tadi,
beberapa gadis dengan terang-terangan menggodanya.
Bahkan Bella, mahasiswi asal Queensland atau Quenslandia,
yang menjadi negara terbesar kedua di Benua Australia
setelah Australia Barat. Yang menurutku cewek tercantik di
sini, terus menerus menggodanya dengan menempelkan
payudara besarnya yang bersilikon itu pada lengan Arkha.
Jangan dikira jika aku tidak peduli melihat tingkahnya
Bella. Tentu saja aku terbakar, hanya saja aku ingin melihat
sampai sejauh mana usahanya untuk menarik perhatian
Arkha.
Dan aku hanya mengulum senyum saat menyadari
Bella sudah tidak berada disamping Arkha. Sepertinya dia
mulai menyerah karena melihat ketidakpedulian Arkha
padanya.
Ganti bikini kamu dengan gamis panjang jika ingin
menarik perhatian Arkha. Teriakku dalam hati.
Namun, baru saja merasa kemenangan berpihak
padaku, tiba-tiba kami dikejutkan dengan teriakan seseorang
di tengah kolam. Dan saat kuteliti, ternyata pemilik suara
itu adalah Bella. Aku melihatnya melambaikan tangan
sambil berteriak minta tolong. Dan ketika baru menyadari
jika Bella akan tenggelam, kulihat seseorang sudah lebih
dulu masuk ke dalam kolam dan berenang menuju tempat
Bella akan tenggelam.
Lelaki itu berhasil menggapai Bella dan membantunya
berenang ke tepian. Bella dengan eratnya merangkul pria
yang menyelamatkannya itu.
Tidak hanya sampai disitu, saat sudah tiba di tepi
kolam, pria itu membantu memberikan pertolongan
pertama pada gadis itu yang ternyata sudah pingsan. Dia
menekan tepat di tengah dadanya berulang ulang dan
puncaknya... pria itu menempelkan bibirnya pada bibir
Bella untuk memberikannya napas buatan.
What the man fucking doing?
Aku yang sudah menahan emosi sejak tadi, semakin
mendidih menyaksikan pertunjukan yang baru saja mereka
lakukan.
Aku segera berbalik pergi meninggalkan pesta dan
berjalan cepat menuju kamarku. Aku akui jika saat ini aku
mengacungkan dua jempol untuk kehebatan Bella. Dia
berhasil menipu semua orang tapi tidak denganku. Aku
tahu jika Bella hanya berpura-pura tenggelam dan pingsan.
Apalagi tujuannya kalau bukan untuk menarik perhatian
Arkha, dan dia berhasil. Arkha dengan tampang
innocentnya tampak begitu panik ketika menyelamatkan
Bella tadi.
Aku langsung membanting pintu kamar dan bergegas
menuju kamar mandi untuk mendinginkan otakku dengan
guyuran air shower. Sengaja kuabaikan panggilan telepon
dari kamar hotel dan beberapa panggilan dari
handphoneku.
Aku tak peduli jika diluar sana terjadi badai sekalipun,
karena dalam dadaku saat ini sedang terjadi tsunami yang
telah menghancurkan semua isi di dalamnya.
Tok tok tok
"Frisca, ini aku. Tolong buka pintunya, Fris." Teriak
seseorang di luar sana. Sengaja tak kuhiraukan terikannya
walaupun kutahu jika itu akan mengganggu penghuni
kamar yang lain.
Setelah selesai mengganti pakaian dengan piyama
yang kubawa, aku segera naik ke atas tempat tidur dan
membungkus tubuhku dengan selimut tebal. Aku tak peduli
jika malam ini adalah malam terakhir kami berada di St
Kilda. Yang kupedulikan saat ini adalah Arkha yang baru
saja menempelkan bibirnya pada bibir wanita lain di
hadapanku, di hadapan semua teman-teman kami. Dan tak
diragukan lagi jika berita ini akan menjadi berita panas
keesokan harinya.
It thinks is dying. That it's the ending. Thank's for
you, Arkha.
Ketika aku mulai terlelap, kudengar suara pintu
kamar yang terbuka. Tak lama kemudian, kurasakan
ranjangku bergerak. Menandakan ada orang lain yang
berada di ranjangku saat ini.
Aku masih berpura-pura tidur saat orang itu ikut
masuk ke dalam selimut dan melingkarkan lengannya pada
pinggangku.
"Frisca," panggilnya, dengan lembut di telingaku.
"Aku tahu kamu belum tidur." Bisikan Arkha semakin
menggelitik telingaku.
"Kamu tahu aku pura-pura tidur, tapi kenapa kamu
nggak tahu ada orang lain yang pura-pura tenggelam dan
pingsan?" ucapku sarkastik. Tanpa menoleh sedikitpun ke
arahnya.
"Aku minta maaf. Tapi niat aku cuma mau nolong
dia," jawabnya, sambil menciumi tengkuk dan leherku.
Aku langsung melepaskan pelukannya dan segera
beranjak dari ranjang untuk menjauhinya.
"Stop give me a kiss, after you kissed the other girl.
Jijik, tau nggak!" teriakku.
"Terus aku harus ngelakuin apa supaya kamu mau
maafin aku? Ayolah, jangan childish kayak gini, Fris."
Aku tersentak mendengar perkataannya tadi.
"Childish? Kamu bilang aku childish? Kamu tahu,
gimana susahnya aku buat nahan emosi setiap kali kamu
ngomongin perempuan yang namanya Kiasah? Kamu tahu,
gimana besarnya rasa cemburu aku setiap kali kamu
nunjukin seberapa besar rasa cinta kamu untuk perempuan
itu?" aku menggeleng lemah, "Kamu nggak akan pernah
tau itu, Kha. Karena kamu nggak pernah peduli sama aku.
Karena yang kamu pedulikan hanya Kiasah.
"Tapi aku masih selalu berusaha untuk sabar, Kha.
Karena aku yakin, suatu saat nanti kamu pasti akan sadar
gimana besarnya cinta aku buat kamu. Dan sekarang kamu
bilang aku childish, karena aku marah setelah lihat kami
cium cewek bule itu?
"Aku nggak tau kamu terlalu naif atau memang
innocent atau memang kamu juga menikmati, sampai kamu
nggak sadar kalau Bella itu cuma pura-pura tenggelam dan
pingsan. Atau jangan-jangan kamu emang menikmati waktu
bibir kamu nempel sama bibir dia?"
Aku melihat Arkha mengeram marah. "Harus berapa
kali aku bilang sama kamu, aku nggak tertarik sedikit pun
sama dia. Bahkan waktu bibir aku nempel sama bibir dia,
sama sekali nggak ada pengaruhnya buat aku. Percaya sama
aku, Fris"
Aku terdiam mendengar ucapannya. Bagiku, dia masih
seperti teka teki yang sulit ditebak. Kadang aku merasa
putus asa saat melihatnya yang masih begitu sangat
mengharapkan Kiasah. Namun, kadang aku juga merasa dia
mencintaiku jika aku melihat rasa pedulinya yang besar
untukku. Ataukah semua itu dia lakukan hanya karena rasa
kasihan? Entahlah....
Beberapa detik kemudian, saat aku sadar, Arkha
sudah mendorongku hingga terlentang di atas tempat tidur.
Membuatku sedikit terperanjat karena terkejut.
Setelahnya, dia naik ke atasku dan mencumbuku
dengan perlahan dan penuh kelembutan. Seolah
membiusku, hingga membuatku tak sadar kapan dan
bagaimana caranya Arkha meloloskan semua pakaian yang
melekat pada tubuhku.
Seakan baru menyadari semuanya, aku menatap
Arkha tak percaya. Teganya dia melakukan hal ini padaku
tanpa persetujuan dariku.
"Sorry, can't control myself," ucapnya. "Aku nggak
sangka kalau ternyata kamu masih virgin." lanjutnya lagi.
"Should I tell you that I'm a virgin?" jawabku sinis.
"Dan kamu nggak pakai kondom?"
Dia memelukku dan berusaha menenangkanku.
"Sorry, Fris."
Aku mendorongnya menjauh dan memaksanya lepas
dariku. "Kalau udah selesai, kamu bisa balik ke kamar
kamu."
Setelah mengucapkan kalimat itu, aku segera berlari
meninggalkannya dan lebih memilih untuk bersembunyi
sementara di dalam kamar mandi hingga kudengar suara
pintu yang terbuka dan tertutup kembali.

***

"Aku mandi dulu, ya." ucapku, saat Barga sedang


memakai kembali celananya.
"Butuh bantuan?"
"Nggak usah. Aku bisa sendiri."
"Ya udah, aku ngerokok dulu di luar, ya."
Ia mencium pelipisku sebelum keluar dari kamar.
Telepon genggamnya berbunyi. Dan aku melihat pop up
dari pesan Line yang masuk untuknya.
Mul : yang abis nganterin cewek, nggak ada kabarnya.
Lo bener anterin dia pulang kan, Bar? Awas maneh mawa
kabur budak batur. Bejakeun ka si frisca ku aing.
Aku mengerutkan kening. Tinggal selama lima bulan
di Bandung, membuatku mengerti sedikitnya bahasa Sunda.
Jangan lagi, kumohon. Jangan lagi ada orang ketiga di
antara hubunganku saat ini....

-tbc-
SIX
FRISCA

"Fris, bangun. Solat subuh dulu, yuk?"


Aku mengeliat ketika mendengar bisikan Barga di
telingaku. Kurentangkan kedua tangan untuk
menghilangkan rasa pegal akibat aktivitas liar kami
semalam.
"Ayo, Fris."
"Kamu duluan aja deh, Bar. Aku masih ngantuk,"
ucapku, lalu kembali memejamkan mata dan berpura-pura
kembali tidur.
"Ayo dong, Fris. Selama lima bulan kita nikah, nggak
pernah lho, sekalipun kita solat berjamaah."
Aku tetap bergeming. Tak menghiraukan ajakannya
sama sekali. Hingga akhirnya ia menyerah dan melangkah
menjauh memasuki kamar mandi.
Tinggal cukup lama di luar negeri, membuatku
terbawa arus budaya luar dan menjadi asing dengan hal
apapun yang menyangkut soal ibadah. Dan lagi, aku
berpikir untuk apa melakukan semua itu? Apa untungnya
buatku?
Karena buktinya, saat dulu aku masih rajin
melakukannya, kebahagiaan tetap pergi menjauh dariku.
Apa itu bahagia dan seperti apa wujudnya? Sepanjang
23 tahun hidupku, tak pernah sekalipun aku mengalami
satu kata itu. Kadang aku berpikir, apa memang aku tidak
ditakdirkan untuk bahagia?
Aku memutar posisiku dan mengamati Barga yang
sedang khusyuk dalam salatnya.
Ya, Barga benar. Selama lima bulan kami menikah,
setiap kali Barga salat di rumah, ia tak pernah lupa untuk
mengajakku. Namun, seperti halnya tadi, aku selalu mencari
alasan untuk menolaknya.
Setelah selesai, Barga menengok dan menemukanku
yang sedang memerhatikannya. Ia menghampiriku, kembali
naik ke atas tempat tidur dan memelukku dari belakang.
"Besok, aku kasih hukuman kalau kamu masih nolak
aku ajak salat." ucapnya sambil berbisik. Napasnya
membelai telingaku dan membuatku bergidik kegelian.
"Kamu kayak Christian Grey, suka banget ngasih
hukuman." jawabku, dengan nada manja yang menggoda.
Barga mengedip, sambil tertawa kecil.
"Aku serius, Frisca."
"Tapi, aku mau salat dengan keinginan aku sendiri.
Bukan karena paksaan dari kamu."
"Nggak papa," sela Barga, tak mau dibantah. "Lebih
baik kamu aku paksa dulu, sampai akhirnya jadi kebiasaan.
Lama-lama kamu pasti ngelakuin itu dengan kesadaran
kamu sendiri. Dari pada kamu cuma nunggu. Ya, kapan
kamu siapnya, Fris?"
Aku menarik tangannya dan semakin mengeratkan
pelukannya pada tubuhku.
"Bobok lagi yuk, Bar!"
"Tuh kan ngeles terus."
Aku terkikik geli saat ia menggigiti telingaku,
menciumi sepanjang leher sampai ke bahu.
"Kamu pernah dengar Filosofi Plato?" tanya Barga
lagi, setelah menghentikan serangannya.
"Apa itu?"
"Bahwa sebuah realitas terbagi menjadi dua, yang
pertama rasio, dan yang kedua pancaindra. Ada realitas
yang dihadirkan melalui indera-indera kita, seperti
pengalaman hidup. Tapi dibalik itu, ada dunia lain yang
tidak dapat kita jangkau selain dengan nalar rasio yang
kadang kita sendiri juga kurang paham dengan maksudnya.
Dan semua itu mengarah pada satu hal, yaitu Tuhan kita
yang Maha Gaib."
"Kamu tau nggak, denger kamu ngomong gitu, kayak
aku lagi dipeluk sama Pak Dosen."
Barga tertawa keras mendengarnya. Ia semakin
mengeratkan pelukannya dan mengusap-usap perut
buncitku dari belakang.
"Oh iya, Fris. Aku lupa belum beli kado buat Ayah."
Sial. Kenapa dia harus ingat, sih, dengan acara itu?!
Aku sengaja tidak pernah mengungkit acara ulang tahun
ayah mertuaku, berharap Barga juga akan lupa. Namun
ternyata justru malah dia yang mengingatkan aku.
"Aku aja yang cariin hadiah buat Ayah. Tapi aku
nggak ikut ke acaranya, ya?"
Barga memutar tubuhku dan menatapku dengan
tegas.
"Kenapa lagi, sih? Masih mikirin malu? Masih takut
keluarga aku nggak akan memperlakukan kamu dengan
baik?"
Aku menunduk tanpa menjawab pertanyaannya.
"Frisca!"
"Aku nggak mau dateng, Bar."
"Iya, kenapa? Kasih aku alasan yang jelas, kenapa
kamu nggak mau datang ke acara Ayah besok?"
Aku membasahi bibirku sebelum bicara, "Ada orang
yang nggak mau aku temuin di sana." Dan kalimat itupun
meluncur mulus dari mulutku.
Kening Barga berkerut. Matanya menatapku heran.
Sedetik kemudian ia tertawa. Bukan tawa yang
menggambarkan kegembiraan. Namun tawa yang seakan
mengataiku bodoh. Hatiku kebas mendengar nada tawanya.
"Konyol. Alesan kamu itu konyol. Kenapa, sih? Kamu
cemburu sama Kak Kia? Dan ini karena kamu belum bisa
lupain Bang Arkha? Why you still can't get over him?
Can't let him go. Dan sekarang, kamu malah benci sama
Kak Kia karena alasan yang nggak jelas. Bener-bener
konyol."
Dan kini, giliran aku yang tertawa miris. "Kamu bisa
ngomong kayak gitu karena nggak pernah ngerasain ada di
posisi aku."
Astaga... bahkan suaraku sendiri seakan mengkhianati.
Aku berdeham. Mencoba meredam getaran dalam nada
bicaraku.
"Aku iri sama Kiasah karena hidupnya sempurna dan
aku nggak. Mungkin setelah dengar ini, kamu pasti
ngetawain aku. Sama kayak temen-temen aku yang lain.
Kamu nggak pernah ngerasain gimana rasanya jadi aku.
Kamu nggak pernah merasakan gimana rasanya jadi anak
koruptor, mulai jadi bahan bully-an, sampai sahabat-sahabat
aku yang menjauh karena malu temenan sama anaknya
koruptor. Sedangkan Kiasah, dia punya semua yang aku
mau. Dia punya keluarga yang utuh dan bahagia. Hidup
tenang dengan suami dan anaknya. Dia punya kamu,
sebagai adik yang sayang sama dia. Dan dia punya cinta
Arkha... yang nggak pernah bisa aku miliki. Kiasah nggak
perlu susah payah untuk dapat perhatian banyak orang.
Lain halnya sama aku. Bahkan untuk dapat perhatian dari
Arkha aja aku harus ngemis dulu, Bar. Dan itu yang bikin
aku cemburu sama dia. Karena aku pikir, kenapa dia bisa
dapat semua kebahagiaan itu dan aku nggak?"

***

BARGA

"Bar, lu kenapa, sih? Dari tadi nggak konsen banget


kerjanya." Tegur seniorku saat aku kembali menjatuhkan
piring yang sedang kucuci.
Hari Sabtu, saatnya kembali menjadi cungpret.
Kacung kampret tukang cuci piring. Beruntung piring tadi
jatuh ke dalam bak pencucian sehingga tidak sampai pecah.
Seharian ini, fokusku hanya tertuju pada perempuan di
sana. Memikirkan ucapannya tadi pagi. Membuat
konsentrasiku pecah dan menyebabkan kekacauan.
"Udah jam satu. Lo mau break dulu?"
"Ya udah, gue istirahat dulu, deh!"
Aku membersihkan tanganku dan mengeringkannya
sebelum keluar dari area kitchen. Saat memasuki kafetaria,
mataku langsung tertuju pada seseorang yang sedang duduk
di deretan meja makan yang tersedia di sana. Tampak serius
menikmati makanannya seorang diri.
Dia menaikan wajah dan pandangan matanya bertemu
denganku. Tampak sama terkejutnya denganku. Namun
sedetik kemudian, dia terlihat antusias saat melambaikan
tangannya padaku.
Aku berjalan menghampirinya.
"Icha?" sapaku.
"Barga, kamu kerja di sini juga? Duduk sini, Bar."
Icha menggeser kursi di sebelahnya dan mengajak aku
bergabung.
"Lo-gue aja sih ngomongnya. Nggak usah kaku gitu,"
ucapku, saat menarik kursi dan duduk di atasnya.
"Lo di bagian apa, Bar? Perasaan gue baru liat muka
lo?"
"Gue cuma kasualan. Kerja Sabtu Minggu aja. Lo?"
lanjutku lagi
"Gue di Front Desk. Concierge."
Aku memerhatikan Icha dari atas sampai bawah.
Terlihat anggun dengan seragam kerjanya. Setelan blazer
dan rok di atas lutut berwarna hitam, dengan bordiran
emas sebagai penghiasnya. Rambutnya disanggul rapi, dan
dicepol menggunakan ikatan seperti jaring laba-laba
berwarna hitam. Aku membaca nama yang tertulis pada
name tag yang terpasang di dada sebelah kirinya.
Anisa P
"Nama asli lo Anisa?"
Dia ikut memerhatikan name tag-nya sebelum
mengangguk dan tersenyum jenaka. "Lo sama siapa, Bar?"
"Sendiri, lo juga sendiri?"
"Temen-temen gue udah makan duluan. Tadi gue
habis handle tamu dari Jepang. Nggak ada yang bisa bahasa
Jepang selain gue."
Aku menatapnya penuh minat.
"Lo bisa bahasa Jepang?"
"Bisa ah. Dikit. Hajimemashite. Watashi wa icha desu.
Douzoyoroshiku."
Dan aku tertawa mendengarnya. Tawa lepas yang
baru kudapat sejak seharian ini.
"Lo temenan sama Sadako ya, makanya bisa bahasa
Jepang?"
"Sialan. Lo nggak makan, Bar?"
"Untung lo ingetin. Bentar ya, gue ambil makanan
dulu."
Aku mengamati menu makanan hari ini. Hidangan
gratis untuk para karyawan yang dimasak langsung oleh
chef. Segera kuambil piring dan memasukan nasi serta
beberapa jenis lauk pauk secukupnya di atas piringku.
Setelah selesai, aku kembali menghampiri Icha yang masih
belum menghabiskan makanannya.
"Gue baru nyadar, anak kitchen yang diomongin
temen-temen gue itu elo ternyata," ucapanya tiba-tiba, saat
aku kembali duduk di depannya.
"Ngomongin gimana maksudnya?"
"Jadi, anak-anak Front Desk pada heboh gitu
ngomongin anak kitchen yang katanya ganteng."
Oh?
"Jadi gue ganteng ya?"
"Menurut lo!"
Aku kembali tertawa mendengarnya. Menyenangkan
bisa terus menerus tertawa. Sedikitnya bisa melupakan
masalahku yang membuat moodku berantakan hari ini.
"Tapi gue heran, Bar. Ngapain lo kerja di Alfamart
dan masih jadi daily worker di hotel? Sedangkan yang gue
perhatiin, tampang lo bukan tampang rakyat jelata. Lo juga
punya mobil. Walaupun lo bilang kalau itu mobil bokap lo.
Tapi itu malah nunjukin kalau ortu lo memang orang
berada."
"Yang kaya kan bokap gue, bukan gue. Kalau gue
ya... kayak gini. Jadi kacung. Siang gue kuliah, malemnya
kerja di Alfamart. Hari Sabtu Minggu, dari pagi sampe sore
casual di hotel, malemnya kerja lagi di Alfa. Dan semuanya
gue lakuin buat istri dan calon anak gue."
Icha tampak terkejut mendengar ucapanku. "Jadi lo
udah nikah?"
"Udahlah. Makanya gue kerja keras kayak gini."
"Lo itu bener-bener unpredictable. Penuh dengan
kejutan. Dan gue salut sama anak muda kayak lo."
Aku menaikan wajah dan menemukan Icha yang
sedang menatapku dengan saksama.
"Buat gue, kunci bahagia itu istri gue. Kunci berkah
itu istri gue. Kunci ibadah pun, ada pada istri gue. Karena
orang tua dan anak udah dikasih dari sananya sama Allah.
Beda sama istri. Gue sendiri yang memutuskan untuk
memilih dia sebagai pendamping hidup gue. Apapun alasan
yang bikin gue nikahin dia, tapi saat kata ijab itu terkabul,
itu artinya mulai saat itu dia jadi tanggung jawab gue
sepenuhnya."
Setelahnya, aku kembali menghabiskan makan
siangku. Begitupun dengan Icha, hingga piring kami berdua
bersih tanpa sisa.
"Tapi, menurut gue sayang banget kalau lo cuma jadi
steward, Bar. Area Front Office juga masih kurang orang.
Kalau jadi Bell Man, lo mau nggak? Soalnya Bell Man juga
masih butuh orang lagi kalau nggak salah. Tampang
ganteng lo sayang kalau cuma dipakai buat nyuci piring di
kitchen. Lagian, kalau lo jadi Bell Man, lo bisa dapet tips.
Lumayan kan buat nambah-nambah beli beras."
"Anjir, segitu melaratnya ya gue. Sampe buat beli
beras aja ngandelin uang tips. Emang gue bisa masuk Front
Office? Gue kan nggak ada background Perhotelan."
"Kalem aja. Nanti gue omongin sama Bu Vera,
manager gue. Dia asik kok orangnya. Apalagi kalau dia
lihat berondong kece kayak lo. Pasti langsung diterima."
Lagi-lagi, Icha kembali membuatku tertawa.
Menghabiskan waktu break satu jam dengan Icha membuat
moodku menjadi lebih baik. Dan sisa waktu kerjaku hari
itu, kuselesaikan dengan lebih baik.
Pukul lima, aku berjalan menuju loker karyawan pria
untuk berganti pakaian setelah jam kerjaku berakhir. Saat
mengantri untuk check body dan pemeriksaan barang
bawaan yang menjadi salah satu procedure bagi para
karyawan sebelum meninggalkan area kerja, kembali aku
bertemu dengan Icha.
"Pulang naik apa, Cha?" tanyaku, saat kami berjalan
bersisian dengannya menuju pintu keluar karyawan.
"Angkot."
"Bareng gue aja. Rumah kita searah, kan?"
"Nggak ngerepotin?"
"Halah! Masih kaku aja lo."
Icha meninju bahuku pelan.
"Gue baru tau, Cha, nyari taksi di Bandung sama
kayak nyari jodoh."
Icha menengok dan menatapku penuh tanya, "Sama
gimana emangnya?"
"Susah susah gampang."
"Njer, nyindir gue kan lo?"
Aku kembali tertawa, entah untuk keberapa kalinya
hari ini. Icha kembali meninju lenganku, tepat saat ada
seseorang yang menyerukan namaku dari belakang.
Aku dan Icha menengok bersamaan. Dan di sana, ada
Frisca yang sedang berjalan menghampiri kami.
"Lho, Fris. Kok bisa ada disini?" tanyaku. Cukup
terkejut menemukan keberadaannya di tempat kerjaku.
Frisca menaikkan tangannya dan memperlihatkan
paper bag dari sebuah brand jam tangan mewah.
"Habis jalan-jalan di TSM sambil beli hadiah buat
Ayah," ucapnya. (Baca: TSM = Trans Studio Mall)
"Kenalin, Fris. Temenku, namanya Icha. Cha, ini istri
gue yang gue ceritain tadi."
"Hai. Icha." Icha mengulurkan tangannya untuk
mengajak bersalaman dengan senyum tulus yang menjadi
khasnya.
Berbeda dengan Frisca, tampak mengamati Icha
beberapa saat sebelum menerima uluran tangannya.
"Frisca," balasnya, dengan senyum singkat yang ia
paksakan.
"Kamu mau langsung pulang, atau masih mau jalan
lagi? Aku temenin kalau kamu mau jalan-jalan lagi di
TSM."
Frisca menggeleng lemah. "Langsung pulang aja, Bar.
Kaki aku pegel."
Aku menggapai tangannya dan menggenggamnya erat.
"Ya udah, kita pulang, yuk."
Kembali menengok pada Icha, "ayo, Cha," ajakku.
"Bar, kayaknya gue naik angkot aja, deh."
"Lah, kok gitu, sih? Rumah kita searah, ngapain lo
naik angkot?"
"Gue lupa, mau mampir ke rumah temen dulu."
Aku mengerutkan kening. Yakin jika Icha hanya
mengarang alasan. "Ya udah kalau gitu. Hati-hati ya, Cha.
See ya."
Kulihat, Icha dan Frisca saling melempar senyum
singkat, sebelum Icha berbalik dan berjalan menuju halte.
Sementara aku, berjalan berlainan arah menuju basemant
tempat mobilku terparkir dengan tangan Frisca dalam
genggamanku.

-tbc-

SEVEN
FRISCA

Sepanjang perjalanan, aku dan Barga saling diam


dengan pikiran kami masing-masing. Barga serius dengan
kemudi di depannya dan begitu pun aku yang hanya diam
sambil mengamati jalanan yang kami lewati. Barga selalu
mengemudikan mobilnya dengan hati-hati, dan tindakannya
itu selalu membuatku merasa aman setiap kali bepergian
dengannya.
Aku membawa telapak tangannya yang berada di atas
tuas persneling. Menggenggamnya dan menempatkan di
atas pangkuanku. "Aku minta maaf soal tadi pagi," ucapku,
memecah keheningan diantara kami berdua.
Barga menengok sekilas sebelum kembali
memerhatikan jalanan di depannya.
"Aku juga salah. Harusnya aku jangan paksa kamu
kalau kamu memang nggak mau datang."
"Aku mau, kok! Aku mau datang ke acara ulang
tahun Ayah."
Barga kembali menengok dan melayangkan senyum
terbaiknya. "Apa yang bikin kamu berubah pikiran?"
"Aku nggak mau kita berantem lagi kayak tadi pagi.
Kamu tiba-tiba ninggalin aku. Aku nggak suka liat muka
kamu kalau lagi marah."
Barga menarik tanganku dan mengecupnya dengan
lembut. "Maaf, harusnya aku nggak usah emosi. Aku cuma
nggak mau pikiran kamu dipenuhi dengan hal-hal negatif
yang kamu pikirkan tentang orang lain, tentang diri kamu
sendiri, tentang nasib baik yang kamu pikir nggak pernah
berpihak sama kamu. Kamu harus inget, masih banyak
orang-orang di luar sana yang nasibnya nggak seberuntung
kamu, dan aku nggak mau kamu sia siain hidup kamu
sendiri kayak gini."
Aku melepas seatbelt dan menggeser tubuhku untuk
mendekat padanya. Memeluk tangan kirinya dan
menempatkan kepalaku di atas bahunya.
Kini aku percaya, jika kami dipertemukan untuk
sebuah alasan. Entah itu untuk belajar atau saling
mengajarkan. Entah hanya untuk sesaat atau selamanya.
Entah untuk menjadi bagian terpenting atau hanya
sekedarnya. Namun, mulai saat ini, akan kulakukan yang
terbaik dari yang bisa kulakukan. Karena jika suatu saat
nanti pernikahan ini berakhir bukan dengan cara yang aku
inginkan, aku tidak akan merasa menyesal. Karena aku
tahu, takdirlah yang telah mempertemukan kami.
Menggiring kami dalam pernikahan yang awalnya karena
sebuah keterpaksaan.
"Nanti malem kamu kerja?"
"Iya. Nanti malem aku kerja dulu. Besok baru
ngambil libur."
"Kerja jam berapa?"
"Kayak biasa aja, jam sembilan."
Aku melirik jam digital yang terpasang di dasboard
mobil, jam lima lewat tiga puluh menit.
"Kalau kita nggak langsung pulang, kamu nggak
papa?"
"Mau kemana dulu emangnya?"
"Aku lagi pengin makan pisang keju Madtari."
Barga terkekeh pelan. "Tumben kamu ngidam?"
"Nggak ngidam... tiba-tiba pengin makan itu aja."
Dia kembali terkekeh dan mengacak rambutku
dengan lembut.
Aku lupa jika ini hari Sabtu. Cafe Madtari penuh
dengan anak-anak muda yang menghabiskan malam
Minggu mereka di tempat ini, hingga sulit sekali mendapat
tempat parkir.
"Kamu masuk duluan aja. Cari tempat kosong sambil
pesan dulu. Penuh gini, nunggu pesanannya aja lama pasti."
"Kamu mau aku pesanin apa?"
"Samain aja."
Aku keluar dari mobil dan melangkah memasuki cafe
yang juga menjadi tempat nongkrong anak muda mudi di
Bandung. Aku memesan di depan agar lebih cepat dilayani
dan segera menempati meja kosong di salah satu sudut cafe.
Tak lama Barga datang dan pandangan matanya
berkeliling untuk mencariku.
"Itu si Barga, lain?" Tersengar suara seorang
perempuan di belakangku.
"Mana?" ujar suara perempuan yang lain.
"Itu, nu karek datang?" (itu, yang baru datang)
"Naha bisa kasep kitu nya?" (kenapa bisa ganteng gitu
ya?)
"Ges kawin, nyaho!" (udah kawin, tau!)
"Sabodo teuing. Ada pemandangan menarik di depan
mah, nikmatin aja."
Aku berdeham, kemudian melambaikan tangan
padanya. "Barga!" panggilku, dengan suara sedikit keras
agar gadis-gadis di belakang itu mendengarnya juga.
"Ih, goblok maneh! Eta pamajikanan nyaho, nu di
hareup." (ih, goblok lu. Itu istrinya tau, yang di depan."
Barga menghampiriku, namun nampak memerhatikan
gadis-gadis di belakang itu.
"Hey, pada nongkrong di sini juga?" sapanya pada
mereka, namun aku tak mendengar jawaban mereka.
Setelahnya, Barga duduk di sampingku, dengan posisi
membelangkangi para gadis-gadis itu.
"Siapa?" tanyaku.
"Anak-anak Fisip. Tau sekilas doang, sih. Tapi pada
nggak tau namanya."
Oh? Sepopuler itukah Barga di kampusnya? Hingga
mereka bisa tahu namanya, bahkan tahu jika Barga sudah
menikah, tapi Barga sendiri tidak tahu nama mereka.
"Terus... yang tadi itu siapa?"
"Yang tadi, yang mana?"
"Temen kamu yang tadi itu. Kayaknya kamu akrab
banget sama dia."
Barga nampak berpikir sebentar.
"Oh... maksud kamu Icha? Dia temen kerja. Kita
ketemunya random gitu. Dia dateng ke Alfa mau nyari obat
asma, tapi ternyata obatnya abis. Terus aku bantu beliin
obatnya di apotik. Baru tadi ketemu lagi, dan baru tau
kalau ternyata dia kerja di Trans Hotel juga."
Aku kembali menyandarkan kepala di atas pundaknya.
"Kamu baik banget, sih sama orang yang baru
ketemu."
"Kenapa? Cemburu, ya?"
Aku tak menjawab. Hanya memeluk satu tangannya
dengan erat. Meyakinkan diri sendiri jika lelaki ini hanya
milikku. Dan aku tersenyum, saat merasakan Barga
mengecup kepalaku.
"Cewek lain tuh kalau cemburu marah marah. Ini
kamu malah jadi kolokan gini."
"Kamu udah jadi punyanya aku ini. Ngapain marah?"
Barga terkekeh pelan. Dan aku melepas pelukanku
pada tangannya saat pesanan kami datang.

***
BARGA

Aku mengamati Frisca yang sedang makan dengan


lahap. Tak tahan ingin mengacak rambutnya dan
membuatnya memberenggut kesal karena membuat
rambutnya berantakan.
"Tadi beli hadiah apa buat Ayah?" tanyaku, kemudian.
"Jam tangan."
"Itu kan jam tangan mahal, Fris."
"Lumayan."
"Sayang banget, sih beli hadiah mahal-mahal kayak
gitu. Kita beliin hadiah biasa-biasa aja Ayah tetep seneng
kok."
Frisca berdecak dan menatapku sinis. "Kamu tuh pelit
banget, sih buat ayahnya sendiri! Harga jam itu nggak
sepadan sama biaya selama orang tua kamu besarin kamu
dari kecil. Setiap barang yang mereka beli untuk kamu,
pasti mereka pilih yang terbaik. Dan sekarang, kamu itung-
itungan soal hadiah untuk Ayah kamu sendiri. Materi itu
masih bisa dicari, Bar. Tapi kebahagiaan orang tua itu yang
nggak mudah kita dapat."
Aku tersenyum lebar mendengarnya. "Jadi... kamu
udah yakin besok mau dateng?"
Frisca menatapku dan mengangguk. "Aku lakuin itu
buat kamu. Biar kamu seneng. Mungkin cuma hal itu yang
bisa aku lakuin sebagai balasan untuk semua yang udah
kamu kasih buat aku."
Aku menatapnya penut minat. Memikirikan hal apa
yang membuatnya jadi berubah seperti ini.
"Apaan, sih, Bar? Aku paling risih kalau udah diliatin
kayak gitu!"
"Aku heran aja, kenapa tiba-tiba kamu berubah
pikiran?"
Frisca terdiam sesaat. Menghindari tatapanku dan
memilih untuk mengaduk-aduk minumannya dengan
sedotan, lalu kembali meminumnya.
"Aku cuma mikir, selama ini kamu udah ngelakuin
banyak hal untuk aku. Tapi aku sedikitpun nggak pernah
ngelakuin apa-apa buat kamu. Dan kalau hal ini bisa bikin
kamu seneng... aku mau ngelakuin hal itu buat kamu."
Mendadak aku ingin membawa Frisca pulang.
Namun, melihat bagaimana dia menikmati makanannya,
membuatku mengalah dan memilih untuk tetap
menemaninya di sini.
Tahan, Boy. Jangan dulu minta jatah sekarang.
***
Pukul sembilan pagi, kami sudah berada dalam
perjalanan menuju Lembang. Sebuah villa milik keluarga
yang berada di daerah Maribaya, yang dipilih untuk
menjadi tempat merayakan ulang tahun Ayah kali ini.
Udara sejuk Lembang menyambut kami saat baru
tiba. Terlihat keberadaan mobil-mobil lain yang sudah
berjejer rapi di dalam pekarangan.
Pintu utama terbuka, disusul dengan munculnya
Bunda di ambang pintu dan melambaikan tangannya pada
kami dengan senyum cerah yang menghiasi wajahnya. Aku
menggandeng Frisca dan membawanya menghampiri
Bunda.
"Ya ampun... Adek. Kangen Bunda, Dek." Bunda
memelukku dengan erat.
Aku mendengus. Paling sebal kalau Bunda sudah
memanggilku Adek.
"Anaknya udah bisa bikin adek, masih aja dipanggil
adek!"
Bunda menjewer kupingku. "Udah mau jadi papa,
masih aja ngomongnya ngelantur!"
"Ya, lagian Bunda, masih aja manggil aku adek."
Bunda tak menanggapi. Memilih menghampiri Frisca
dan memeluknya dengan hati-hati.
Aku meninggalkan mereka dan berjalan memasuki
villa. Terlihat yang lainnya sudah berkumpul di ruang
tengah. Personil lengkap. Hanya satu orang yang tak ikut
hadir. Bang Arkha.
Andai dulu lo nggak bertindak bodoh, Bang. Mungkin
saat ini lo masih bisa ikut ngumpul disini. Ikut ngerayain
ulang tahun Ayah. Jadi orang paling bahagia karena
sebentar lagi lo jadi seorang papa. Gue kangen lo, brother!
"Ngapain kamu ngelamun di situ?" tanya Ayah, tiba-
tiba sudah berada di depanku. Aku maju selangkah dan
memeluknya.
Dia, Marcello Prawirayasa. Ayahku. Seburuk apapun
dia di mata banyak orang, namun dia tetap Ayah yang baik
untukku. Ayah yang mendidikku dengan keras, dan
membentukku menjadi seperti sekarang ini.
"Sehat, Yah?"
"Sehat. Gimana ujiannya kemarin? Nggak terganggu
karena kerjaan, kan?"
"Jangan ngeremehin, Yah. Anaknya Marcello ini.
Kalau cuma nge-handle urusan kuliah sama kerjaan mah
cetek."
"Jangan catak-cetek-catak-cetek tapi akhirnya malah
harus ngulang semester depan," ucap Ayah, sambil berjalan
kembali menuju ruang tengah dan duduk di atas sofa.
Aku mengikuti dan duduk di sebelahnya. "Nggak lah,
Yah. Nilai kuis aku juga bagus-bagus. Nggak ada yang
dapet C."
Tak lama, Bunda masuk yang diikuti Frisca di
belakangnya. Frisca menyalami Ayah, kemudian menyalami
keluarga yang lain, sebelum akhirya duduk di sebelahku.
***
FRISCA

Barga benar. Keluarganya menerimaku dengan baik.


Mereka semua terbuka dengan keberadaanku dan anak
yang aku kandung. Melihat bagaimana keakraban keluarga
itu, membuatku merasa iri. Aku tak pernah seakrab itu
dengan keluargaku sendiri.
Seseorang menduduki tempat kosong di sebelahku
saat aku tengah memerhatikan Barga dan Ayah Ello yang
sedang mengipasi jagung bakar di halaman belakang.
Aku menengok, dan menemukan Kiasah yang sedang
tersenyum menatapku.
"Hai!" sapanya.
Aku hanya balas tersenyum dan mengangguk.
"Udah berapa bulan, Fris?" tanya Kiasah, memulai
percakapan.
"Tujuh bulan. Jalan delapan."
"Bentar lagi, ya? Tapi kamu masih kerja sekarang?"
"Masih. Aku nggak mau membebani Barga kalau aku
nggak kerja. Sekarang aja, dia udah kerja pontang panting
sana sini untuk menuhin kebutuhan kami."
Kiasah tertawa pelan. "Awalnya aku ragu, Barga bisa
serius sama keputusannya. Kaget banget waktu denger
Barga mau ambil alih tanggung jawabnya Arkha. Tapi
sekarang, Barga bisa buktiin sama kita semua, bahwa dia
memang nggak main-main dengan keputusannya."
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Masih suka inget sama Arkha?"
Kepalaku menoleh seketika saat mendengar dia
menyebutkan nama Arkha. Seperti ada rasa tak nyaman
saat mendengarnya.
"Harus aku jawab, ya?" tanyaku, tanpa nada ramah
sedikitpun.
"Kita menyayangi orang yang sama, Frisca. Dan aku
harap, hal itu bisa membuat kita menjadi teman. Apalagi
sekarang kita udah jadi saudara. Jangan anggap kami ini
orang asing. Karena saat ini, kamu dan anak kamu, sudah
menjadi bagian dari keluarga kami."
Aku terdiam. Tak tahu harus menanggapi apa dari
ucapannya tadi.
"Kalau boleh jujur, aku juga sampai saat ini masih
belum bisa lupain Arkha. Sesekali aku masih suka mimipiin
dia. Dan Arkha... masih punya tempat istimewa di dalam
hati aku. Walaupun aku udah nikah sama Mas Bilal dan
aku juga mencintai suamiku, tapi cinta untuk Arkha nggak
pernah hilang. Hanya sedikit bergeser, dan berbagi tempat
dengan hati yang lain. Mungkin itu juga yang harus kamu
lakukan. Kamu nggak perlu melupakan Arkha untuk
membuka hati kamu ketika datangnya cinta yang lain."
Aku kembali terdiam. Mencoba menyelami setiap
ucapan yang Kia sampaikan tadi.
Memories is a great servant, but a really bad master.
Itu kalimat yang pernah aku baca dari novelnya Ika
Natassa. Dan Christian Simamora pun bicara di dalam
novelnya. Bahwa, 'Terkadang, yang tak bisa kamu lupakan
adalah seseorang yang tak pernah bisa kamu miliki'.
Dan bergelung dalam kenangan tentang Arkha, tentu
bukanlah pilihanku. Jika pikiran dan hati bisa sinkron,
sudah pasti aku lebih memilih untuk melupakan semua
kenangan tentang Arkha dan memilih untuk menggantinya
dengan tokoh yang baru.
And I get the point. Just making the new memories to
erase all these past memories.
But, can I?
-tbc-
EIGHT
FRISCA
"Ki..."
Aku dan Kiasah menengok bersamaan. Di ambang
pintu muncul seorang lelaki yang kutahu adalah suami
Kiasah, sedang berjalan menghampiri kami dengan seorang
anak perempuan cantik dalam gendongannya.
"Eh, anak cantik udah bangun." Kia berdiri dan
menghampiri mereka.
"Udah bangun dari tadi. Anteng main sama Mas di
kamar. Tapi tadi udah mulai ngerengek, kayaknya udah
haus," jawab suaminya.
Kiasah mengambil alih anaknya dari gendongan
suaminya, Bilal Arkana. Seorang penulis yang mengangkat
kisah Arkha untuk cerita dalam novel terbarunya. Novel
Namaku Langit, yang kini menjadi favoritku, dan entah
sudah berapa kali kubaca.
Kulihat lelaki itu menatapku dan melayangkan
senyum ramahnya. Aku pun membalas senyumannya
dengan tak kalah ramah.
"Frisca, aku masuk dulu ya." Pamit Kiasah.
Aku mengangguk dan tersenyum. "Makasi ya, Ki."
Kiasah menatapku cukup lama, seperti ingin
menyampaikan sesuatu namun ia urungkan. Ia pun hanya
balas mengangguk dan tersenyum sebelum mengikuti
suaminya masuk.
Tak lama setelah kepergian Kiasah, Barga
menghampiriku. Si anak mesum itu sempat-sempatnya
mencuri ciuman di bibirku.
"Barga! Ish, kamu tuh ya ... gimana kalau Ayah liat?"
Barga terkekeh jahil. "Ayah juga sama mesumnya kali
sama aku," ucapnya dengan santai.
"Ngobrol apa aja sama Kak Kia tadi?" tanya Barga
lagi, setelah duduk di sampingku.
"Urusan cewek. Mau tau aja, sih!"
Barga tertawa. "Mau jagung bakar nggak?"
"Nggak, ah. Udah kenyang, tadi makan nasi liwetnya
banyak banget."
Barga merebahkan tubuhnya dan menempatkan
kepalanya di atas pangkuanku. "Besok jadi cek kandungan,
kan? Udah bikin appoitment sama dokternya?" tanyanya
lagi.
"Udah. Jam delapan pagi kita harus udah ada di
rumah sakit. Jam sembilannya jadwal senam hamil. Besok
senam hamilnya harus ditemenin sama suami katanya."
"Oke. Aku tidur dulu bentar ya, Fris. Ngantuk banget,
dari pulang kerja tadi belum tidur."
"Tidur di kamar aja, Bar. Nggak enak sama yang
lain."
"Bentaran doang, kok. Bangunin sebelum magrib ya."
Setelah mengucapkan kalimat tadi, Barga langsung
terlelap. Terlihat dari tarikan napasnya yang mulai teratur.
Aku memerhatikan wajahnya yang sudah terlelap
dalam tidur. Napasnya terdengar lembut. Dadanya naik
turun.
I cannot adequately describe the intensity of what I
was feeling at this moment. We had a wonderful journey.
We struggle together. Dan hal itu membuatku takut. Aku
takut dia pergi. Aku takut dia meninggalkan aku saat dia
mulai lelah dan memilih menyerah. Aku takut kehilangan
lagi.
"Masih nggak percaya, ini anak udah nikah."
Aku mendongak, dan menemukan ayah mertuaku
sudah duduk di atas kursi plastik yang berada di samping
bangku taman yang aku dan Barga tempati.
"Tapi Barga memperlakukan kamu dengan baik kan,
Fris?"
Aku mengangguk mantap. "Baik banget, Yah. Barga
bisa menempatkan dirinya dengan baik. Kapan dia jadi
suami, dan kapan dia jadi anak seumurannya kalau lagi
sama temen-temennya."
Kulihat Ayah menghela napas lega. "Dari kecil, Barga
dan Arkha nggak pernah merayakan ulang tahun, selain
acara kumpul-kumpul keluarga seperti ini. Mereka juga
nggak pernah Ayah belikan baju baru setiap lebaran. Nggak
pernah beli tas dan sepatu baru kalau sepatu dan tas
mereka belum rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Semua itu
bukan karena Ayah pelit. Ayah hanya ingin membentuk
mereka menjadi pribadi yang mandiri dan menghargai
setiap barang apapun yang mereka milikki. Jika mobil-
mobilan mereka rusak, mereka selalu berusaha memperbaiki
sendiri. Dan kalau ternyata nggak bisa diperbaiki lagi,
mereka selalu saling meminjamkan mainan mereka untuk
saudaranya. Dan hal itu membuat mereka belajar untuk
saling berbagi, untuk saling mengandalkan kemampuan
mereka sendiri dan tidak selalu bergantung kepada orang
tua. Dan ternyata didikan Ayah terasa manfaatnya sekarang.
Bangga juga lihat Barga berani bertanggung jawab untuk
hal yang tidak bisa dianggap main-main. Bangga, karena
melihatnya tidak pernah mengeluh ketika harus kerja keras
untuk keluarganya."
Aku kembali memerhatikan Barga yang masih
tertidur. Mengingat bagaimana usaha keras Barga selama
ini, membuatku ingin menangis. Hormon kehamilan
membuatku jadi cengeng.
"Bangunin Barga, Fris. Udah mau magrib."
Aku menuruti perintah ayah mertuaku. Menepuk pipi
Barga pelan, untuk membangunkannya.
Barga melenguh. Memiringkan tubuhnya dan
memeluk pinggangku. Tidurnya semakin nyenyak saat ia
menempelkan wajahnya pada perut buncitku.
Dia pikir perutku ini bantal emangnya!
"Barga, bangun mau magrib."
"Bentar lagi, Fris. Lima menit lagi."
Aku mengumpat dalam hati. Menahan malu di depan
ayah mertuaku karena ulah anaknya. Kudorong tubuhnya
sedikit menjauh, namun pelukannya sangat erat.
"Barga, bangun...."
"Hhmm."
Si mesum ini malah semakin merapat padaku dan
menciumi perutku. Aku tak bisa menebak bagaimana
ekspresi Ayah, karena tak berani melirik ke arahnya.
"Bar ... bangun, dong." Kini nada suaraku berubah.
Membangunkannya dengan sedikit memohon.
"Bentar lagi, Fris... bentaarr lagi. Kamu juga kalau
malem aku gangguin tidurnya suka kesel, kan? Padahal
cuma minta nenen doang."
Crap. Aku semakin menunduk karena malu pada
Ayah mertuaku. Entah semerah apa wajahku saat ini.
***

BARGA
"Ehm!"
Aku terbangun saat mendengar suara dehaman cukup
keras di dekatku. Namun, wangi tubuh Frisca serta
kenyamanan tidur di pangkuannya membuatku tak bisa
move on. Saat akan kembali terlelap, mataku sepenuhnya
terbuka saat mendengar suara Ayah.
Sial! Aku lupa jika saat ini kami sedang tidak berada
di rumah.
Aku bangun seketika dan mengernyit saat merasakan
pening di kepalaku karena bangkit tiba-tiba. Setelah mereda,
kulihat Frisca yang sedang menatapku sebal. Seperti seorang
algojo yang siap mengeksekusi mati.
Mampus, gue!
***
Jam delapan pagi. Aku sudah menemani istri cantikku
ini cek rutin kandungan dengan dokter langganannya. Dan
inilah salah satu favoritku. Mengamati perkembangan bayi
kecil itu dari layar monitor. Melihat bagaimana lucunya
ketika ia bergerak gerak lincah di dalam perut ibunya.
And it makes me feel completed.
Mahatma Gandhi pernah berkata, "Happiness is when
what you think, when what you say, when what you do are
in harmony" Dan dialah harmoniku. Bayi kecil yang bukan
merupakan darah dagingku ini, nyatanya mampu
membuatku jatuh cinta bahkan sebelum kami bertemu.
"Mau tau jenis kelaminnya nggak?" tanya dokter yang
memeriksa.
Aku dan Frisca saling tatap dan sama-sama
mengiyakan.
Dokter nampak kembali mengamati. Memindahkan
alat yang ditempelkan di atas perut Frisca, dan mengambil
gambar dari sudut yang lain.
"Bayinya aktif. Muter-muter terus dari tadi." Ucap
dokter lagi.
Aku kembali tersenyum. Bangga, karena petakilannya
pasti menurun dariku.
"Nih... baru keliatan, ada monasnya. Inshaa Allah
anaknya laki-laki."
Anak laki-laki?
Great. Come on, boy. Come to Papa. Can't wait to see you.
Setelah selesai pemeriksaan, kami naik ke lantai atas
untuk mengikuti senam hamil. Musik instrumental yang
diputar, menyambut kedatangan kami saat memasuki
ruangan.
Senam hamil kali ini untuk latihan pernapasan dan
mengejan saat melahirkan nanti. Karena itu, suami
diharuskan mengikuti agar tidak bingung saat menemani
istrinya melahirkan nanti.
And here I am. Duduk di belakang Frisca untuk
menahan bobot tubuhnya yang sedang berpura-pura
mengejan. Mengikuti pola yang diinstruksikan dari
instruktur di depan kami. Tarik napas, hembuskan, tarik
napas, dorong. Begitu seterusnya.
Setengah jam berlalu. Namun, di tengah acara, Frisca
bangun secara tiba-tiba dan berpindah dengan mengambil
tempat di barisan paling belakang.
Aku memerhatikannya dengan bingung. Menyadari
raut wajah kesal yang ia tampakkan.
Ya Tuhan ... apa lagi salahku?
***
FRISCA

"Kenapa pindah?" tanya Barga, setelah mengikutiku


pindah tempat di barisan paling belakang.
Aku menatap Barga malas. Masa dia nggak nyadar,
sih kalau ibu-ibu di depan tadi ngeliatin dia terus?
Karena itu, aku memilih untuk pindah tempat agar
mereka tidak mencuri pandang terus menerus ke arah
suamiku. Ada suaminya di belakang, masih pada kecentilan
aja ngeliatin suami orang!
"Panas. Enakkan di sini deket AC," jawabku ketus.
Dan Barga menatapku heran. Namun, ia tak banyak
bertanya. Memilih bungkam dan kembali mengikuti apa
yang dicontohkan oleh instruktur senam di depan sana.
Satu jam selesai, dan ditutup dengan sesi tanya jawab
seputar kehamilan dan persalinan. Kue buah, susu coklat
hangat, dan segelas air putih, lumayan mengisi perut yang
keroncongan seusai senam.
"Habis ini langsung anterin aku ke kantor ya, Bar,"
ucapku, saat kami tengah berjalan menuju tempat parkir
mobil.
Barga menatapku dan siap melayangkan protesnya.
"Aku kira kamu ngambil cuti hari ini."
"Tadinya emang gitu. Tapi tadi aku ditelepon,
sebelum makan siang ada meeting sama produser. Gantiin
Baron presentasi storyline untuk iklan rokok. Dia juga ada
meeting dengan client yang lainnya soalnya."
"Yah, padahal tadinya mau ngajakin kamu nonton.
Udah lama banget kita nggak jalan-jalan berdua."
Aku mengapit lengannya. Bermanja-manja kepadanya
adalah cara paling ampuh untuk mendapat izin darinya.
"Aku pulang jam empat. Kamu jemput aku ya? Pulangnya
kita langsung jalan."
Dan senyumnya mengembang seketika. "Oke."
***
Meeting selesai, dan client terlihat puas dengan
storyline yang kupresentasikan tadi. Mereka tertarik dengan
konsep yang team-ku kemukakan. Dan sekarang, hanya
tinggal membuat storyboard, sebelum kami mencari
sutradara dan production house yang akan mengeksekusi
akhir.
Tak lama setelah aku keluar ruang meeting, Baron
datang menghampiri kubikalku.
"Gimana presentasinya, Fris?"
"Sukses. Ini kita lagi bikin storyboard-nya. Kamu
udah tentuin sutradara dan PH mana yang mau dipakai,
kan?"
"Belum. Nanti aku hubungi sutradaranya. Ada lagi,
Fris?"
Aku berpikir sebentar, mengingat apa saja isi meeting
tadi.
"Oh iya. Satu lagi, permintaan khusus dari Pak
Djanuar. Jadi, karena kita mengangkat tema adventure
untuk iklan rokok ini, Pak Djanuar minta lokasinya di
Lombok. Pendapat dia, di Lombok pantai dan
pegunungannya menyatu. Tempatnya juga dekat, dan
mudah untuk dijangkau."
"Nggak masalah. Tapi kayaknya kamu yang harus
berangkat untuk jadi perwakilan dari agency. Karena aku
masih harus kejar deadline untuk iklan Wonderfull
Indonesia dari Kementrian Pariwisata. Dan ini bukan
project main-main, Fris. Jadi nggak bisa aku lepas."
Aku diam sesaat. Menggigiti kuku setiap kali harus
berpikir keras.
"Aku coba ngomong dulu sama suamiku ya, Ron.
Takutnya dia nggak kasih izin kalau aku pergi jauh-jauh
dalam keadaan hamil gini."
"It's ok. Take your time. Sambil kamu minta izin
suami kamu, sambil aku juga hubungi sutradara untuk
casting talent sebelum kita mulai shooting."
***
Pukul empat sore Barga sudah menjemputku di depan
lobby gedung Buzzlight.
"Hai." Sapaku, ketika masuk ke dalam mobil.
"Assalamualaikum." Barga mengoreksi sapaanku.
"Assalamualaikum, suamiku," ulangku kemudian,
yang disusul dengan mencium tangannya.
Barga tertawa dan mengacak rambutku sekilas. "Ready
to start dating?" tanyanya, dengan raut wajah jenaka yang
membuatku mengangguk mantap.
Bandung Indah Plaza. Sebuah Mall besar di Bandung
yang menjadi tempat kencan kami hari ini. Begitu tiba,
kami segera memasuki gedung Empire XXI yang berada di
lantai paling atas.
"Mau nonton apa?" tanya Barga, saat kami tengah
melihat-lihat film apa saja yang showing today.
"Finding Dory aja ya, Bar?"
Barga melirikku. Dengan tatapan what-the-hell-nya.
"Kenapa nggak nonton The Legent of Tarzan aja?"
"Nggak mau! Aku lagi hamil gini, masa diajakin
nonton monyet, sih."
"Lah, kamu sendiri maunya nontonin ikan."
"Tapi ikannya lucu. Dari pada monyet."
Barga berdecak. Menghela napas panjang dan memilih
untuk menghentikan argument. "Ya udah, nonton Sabtu
Bersama Bapak aja. Better dari pada nonton kartun. Isinya
bocah semua pasti."
Aku kembali menggeleng. Menampilkan raut wajah
memelas dan merayu manja. "Nggak mau. Film yang itu
sedih, Bar. Nanti kalau aku nangis gimana?"
Barga menggaruk kepalanya seraya mengembuskan
napas kasar. Terlihat sekali raut wajah frustasi darinya. "Ya
udah, nonton ikan aja nggak papa."
Yeay. That's my Barga. Selalu rela mengalah dan
melakukan apapun untuk membuatku senang.
"Thank you." Bisikku, saat kami sudah duduk di
dalam gedung bioskop dengan keadaan lampu padam.
Barga menengok. Membuat kami bertatapan dengan
jarak yang sangat dekat. Dan aku sadar saat Barga
menggeser posisinya, semakin mempersempit jarak di antara
kami. Ia memajukan tubuhnya untuk mengecup dahiku,
dilanjutkan dengan memberikan kecupan pada bibirku dan
melumatnya dengan lembut. Aku hanya mengikuti
permainannya, hingga saat ia menjauhkan kembali bibirnya
dari bibirku.
Barga menatapku dalam. "Pertama kalinya ciuman di
bioskop. Seru juga ternyata."
Ia menarik tengkukku, dan kembali melumat bibirku.
Kali ini sedikit lebih kasar. Lebih passionate. Lebih intim
dan lebih dramatis.
Beruntung penonton di dalam bioskop ini tidak
terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang saja, dan mereka
semuanya memilih duduk di deretan tengah bersama anak-
anak mereka. Hanya ada aku dan Barga yang menempati
kursi di deretan paling belakang.
Aku menyembunyikan wajahku di atas dadanya saat
Barga kembali melepas ciumannya.
"Kenapa ngumpet?" Tanyanya.
"Malu. Ngapain ke bioskop kalau mau ciuman doang?
Mendingan di atas tempat tidur aja biar lebih bebas."
"Kode banget itu, Fris, pengen banget ya aku ciumin
di atas tempat tidur."
Aku mencubit perutnya dengan gemas. Dasar mesum!
Selesai acara nonton yang banyak dibumbui oleh
adegan ciuman kami, aku dan Barga berjalan menuju salah
satu restoran fast food yang terdapat di dalam mall untuk
makan malam.
Sebelum mencapai restoran, kami melewati tenant
baby shop yang memajangkan sebuah boks bayi di depan
etalase. Warnanya biru, dengan tirai putih dan hiasan
pesawat dan helikopter yang bergelantungan di atasnya.
Membuatku tertarik sejak melihatnya dari jauh.
Aku berhenti sesaat. Tepat di depan etalase itu.
Terlihat banderol yang tergantung di sampingnya.
Membuatku mengernyit karena melihat harga yang cukup
fantastis untuk sebuah boks bayi.
"Bagus, ya?" ujar Barga yang berdiri di sampingku.
Aku mengangguk. "Bagus, tapi mahal."
Ia mengusap rambutku, dan mendaratkan ciumannya
di atas kepalaku. "Doain ya, semoga aku bisa cari uang
yang banyak untuk kita belanja perlengkapan bayi."

-tbc-
NINE

Tak usah pikirkan, seperti apa dan bagaimana saat


takdir mengantarkan langkah kita menuju sebuah
penyatuan.
Tak usah pikirkan, sekerat kenang yang telah tersusun
rapi dalam laci-laci memori.
Aku untukmu. Cukup pikirkan itu dan jangan yang
lain.
***
FRISCA
Aku terbangun dengan semangat yang tidak pernah
kurasakan sebelumnya. Kulihat, Barga masih terlelap di
sampingku. Teringat dengan acara kencan kami kemarin,
membuatku tertawa kecil ketika mengingat hal konyol yang
kami lakukan di dalam gedung bioskop.
"Kenapa ketawa ketawa sendiri?" tanya Barga, dengan
suara seraknya.
Aku mengubah posisiku. Menyamping dan saling
berhadapan dengan Barga. "I'm just thinking about... it's so
cool, having you here with us."
Dahi Barga berkerut. "Us?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Me and my baby. Aku nggak tau,
gimana caranya aku menjalani kehamilan ini kalau nggak
ada kamu disini."
Barga tersenyum. Senyum lembut yang meneduhkan.
Bukan senyum mesum yang biasa ia tampakan. Ia menarik
tubuhku dan memelukku dengan erat. Menyandarkan
kepalaku di atas dadanya. Benar-benar membuatku nyaman.
Seperti menemukan tempat pulang.
Menunggu beberapa saat, namun tak ada balasan
apapun darinya. Aku mendongak dan menatapnya sebal.
"Kok nggak di-respon, sih ucapan aku tadi?"
Tawa Barga pecah seketika.
"Kirain kamu nggak nungguin jawaban dari aku."
Aku semakin memberenggut. Dasar cowok! Makhluk
nggak peka!
Setelah tawanya reda, Barga menarik daguku dan
memaksaku kembali mendongak. Tatapannya mengunciku.
Melukiskan bahasa rindu yang membuatku tiba-tiba
diserang kegugupan. Sedetik kemudian, seperti gerakan
slow motion, Barga mendekatkan wajahnya secara perlahan.
Aku membuka sedikit mulutku sebagai tanda untuk
menyambut kedatangannya. Saat mulutnya berada tepat di
depan mulutku, Barga menghentikan gerakannya.
Membuat mataku yang semula menatap bibirnya,
menjadi naik dan menatap matanya.
"Baru bangun, belum sikat gigi. Bau pasti."
What the hell! Dia pasti sengaja mau mengerjaiku.
Aku mendengus dan membuang muka darinya. Namun
tangannya menahan wajahku dan memutarnya kembali.
Saat kusadari, kini mulut kami telah saling menempel. Dan
ia menciumku dengan lembut. Sangat lembut. Ciuman
terbaik dari yang pernah ia berikan. Tanpa lidah, dan
seolah dipenuhi dengan cinta. Membuatku terengah saat
mulut kami terlepas.
"Anggap ciuman tadi sebagai jawabannya. Udah, ah.
Aku mandi dulu."
Dia kembali mengecupku sekilas sebelum bangkit dari
tempat tidur dan memasuki kamar mandi. Meninggalkanku
yang tiba-tiba menjadi sesak. Entah karena ciuman tadi,
atau karena ucapannya.
So what's going on with me? Notice more than he
realize.
***
Aku merasakan getaran dari dalam saku celana.
Sebuah panggilan masuk dari nomor Barga yang terpaksa
kutolak karena posisiku yang sedang berada di tengah-
tengah meeting.
Barga Anggara : U reject me?
Dengan memasukan ponsel di bawah meja, kuketik
balasan untuknya.
Me : Sorry, I'm in a meeting. Couldn't use my phone.
Whats up?
Barga Anggara : Cuma mau ngasih kabar, nanti sore
aku nggak bisa jemput. Aku kerja jam 3. Dari kampus
langsung ke tempat kerja. Kamu nggak papa kan pulang
sendiri?
Me : That's ok. Jam berapa kamu pulang?
Barga Anggara : Jam 11 malem. Kamu langsung tidur
aja, jangan tungguin aku.
Aku kembali menyimpan ponselku di dalam kantung
blazer saat mendengar dehaman Baron yang duduk di
depanku.
"Sutradara sudah oke. Dia ready untuk shooting
minggu depan," ujar Baron, sambil menatapku.
Aku mengangguk.
"Gimana, sudah dapat izin dari suami kamu?"
Dan pastinya... aku melupakan soal itu.
"Semua urusan udah beres," jawabku asal.
"Bagus. Tinggal kita hubungi PH dan casting talent
yang akan menjadi model dalam iklan ini. Dan karena
rokok ini biasa dikonsumsi oleh anak-anak muda, sutradara
minta modelnya juga harus anak muda. Umur sekitaran dua
puluh tahun. Good looking and good performance. Dan
harus bisa naik motor juga. Karena ada adegan ketika si
model ini mengendarai motor trail di sepanjang pantai Kuta
Lombok."
Aku kembali mencatat perkataan Baron di dalam
note-ku agar tidak lupa.
"Frisca."
Aku mendongak. "Ya?"
"Suami kamu bisa bawa motor?"
"Bisa. Kenapa emangnya?"
"Kira-kira, dia tertarik nggak kalau kamu ajak untuk
ikut casting?"
"Casting?" tanyaku tak percaya, mengulangi ucapan
Baron.
"Yup. Dia masih muda, ganteng, menarik, dan yang
penting, dia bisa bawa motor. Coba kamu bawa dulu dia
untuk casting sama sutradara hari Sabtu ini. Siapa tau
cocok, jadi kita nggak perlu repot nyari talent yang lain."
Aku hanya bisa melongo saat mendengar semua
penuturan Baron. "Tapi... dia nggak biasa tampil depan
kamera, Ron," sanggahku.
"Tapi dari foto-foto kamu sama dia yang kamu
posting ke Instagram, aku lihat dia photogenic. Wajahnya
menarik kalau dilihat di depan kamera."
"Aku coba ngomong dulu sama dia ya, Ron. Tapi
kayaknya dia nggak akan tertarik."
"Ini kesempatan buat kalian, Fris. Kalau dia beneran
jadi model iklan ini, lumayan kan penghasilannya. Bisa
nambahin tabungan kalian untuk persiapan lahiran nanti."
Aku terdiam. Mencoba memikirkan ucapan Baron
dengan serius. "Nanti aku coba bicara dengan dia."
"Oke. Kalau bisa, malam ini juga aku tunggu
keputusannya."
***
Pukul enam sore, aku sengaja memutar arah untuk
mengunjungi Barga di tempat kerjanya lebih dulu dengan
menggunakan angkutan umum. Dua bungkus nasi rendang
dari rumah makan padang di depan kantor Buzzlight,
sengaja kubawa untuk makan malamnya.
"Selamat sore. Selamat datang di Alfamart." Sapa
pramuniaga saat aku membuka pintu kaca. Namun orang
itu bukan Barga.
"Barganya ada nggak?" tanyaku, saat menghampiri
meja kasir.
"Oh, Barga tadi ada temennya juga yang dateng.
Terus sekarang lagi istirahat di luar sama temennya."
Temennya yang dateng? Oh, mungkin si Jack.
"Oke. Makasih ya."
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas untuk
menghubungi Barga. Sampai panggilan keempat, masih
belum ada jawaban darinya.
"Teh, lagi nelepon Barga ya? HP-nya ditinggal di sini.
Lagi di-charge."
Good.
"Biasanya dia istirahat di mana?" tanyaku mulai kesal.
"Kalau nggak jajan bakso, dia biasanya makan warteg
di samping sini."
"Ya udah, makasih ya, 'A."
Aku melangkah keluar dan menuju tempat yang
ditunjukan orang tadi. Saat melewati warung bakso, orang
yang kucari ada di sana. Sedang tertawa-tawa dengan
seseorang di sampingnya. Namun orang itu bukan Jack.
Melainkan perempuan yang pernah bertemu denganku saat
menyusulnya ke hotel tempatnya bekerja.
Setelah meperhatikan mereka sebentar, aku kembali
masuk ke dalam minimart dan kembali menghampiri
temannya tadi.
"A, kayaknya dia lagi sibuk sama temennya. Aku titip
ini aja ya. Ada dua bungkus nasi Padang. Buat Barga satu,
buat Aa satu. Makasih ya."
Tanpa menunggu jawaban dari orang itu, aku
melangkah keluar dan memberhentikan angkot yang
kebetulan lewat saat itu.
Ditengah kondisiku yang seperti ini, sebuah alunan
lagu dari radio yang diputar di dalam angkot membuatku
semakin galau.
Underneath it all I'm held captive by the hole inside
I've been holding back for the fear that you might change
your mind
I'm ready to forgive you but forgetting is a harder fight
Little do you know
I need a little more time
[Little Do You Know - Alex and Sierra]
Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku terdiam
dengan pikiran yang entah melayang ke mana. Seperti ada
rasa tak asing yang merajaiku saat ini. Perasaan ini... seperti
mengingatkan aku dengan kejadian dulu saat masih
bersama Arkha
Crap. I hate this situation.
***
Keputusan tersulit dalam hidup, adalah ketika aku
terlalu lelah untuk bertahan. Namun, terlalu sakit untuk
melepaskan. Dan waktu jualah yang ternyata mengantarkan
langkahku untuk sampai di ujung jalan.
"Kamu mau kemana, Kha?" tanyaku, saat melihatnya
tengah mengemas pakaian ke dalam tas ransel miliknya.
"Pulang ke Jakarta."
"Ngapain? Bukannya orangtua kamu mau datang ke
Melbourne untuk hadir di acara graduation kamu?"
Arkha menghentikan gerakannya. Menatap kosong ke
depan.
"Kiasah kritis, Fris."
Aku menghela napas. Lagi-lagi ini tentang Kiasah.
"Kamu bisa tau keadaannya dari telepon, kan? Kamu
tinggal keep in touch dengan keluarga kamu disana untuk
tahu keadaannya. Kenapa harus pulang?"
"Aku harus pulang. Aku takut nggak bisa ketemu dia
lagi."
Dan ucapannya tadi, seperti kata The End dalam
setiap akhir cerita. Memang tak akan pernah ada harapan
untukku.
"I will drive you to the airport."
Arkha kembali menghentikan gerakannya dan
memerhatikanku dengan lekat. Ia berjalan menghampiriku
dan membawa tubuhku dalam pelukannya.
"Will you do something for me?" tanyanya dengan
suara lirih.
Aku balas menatapnya. Menegak air liurku yang
terasa keras di tenggorokan.
"Andai aku nggak bisa kembali lagi sama kamu, kamu
mau kan janji sama aku? Untuk selalu bahagia. Untuk
selalu menikmati hidup kamu walaupun nggak ada aku."
Aku menutup mata. Berusaha menahan air mata
dengan payah. Aku benci situasi ini. Aku benci saat ditekan
seperti ini.
Dan saat itu juga aku tahu, bahwa inilah saatnya
untuk melepaskan. Untuk mengorbankan perasaanku demi
kebahagiannya.
Aku akan mencintainya dalam sebuah doa. Doa yang
bukan sekedar kata-kata, melainkan sesuatu yang air
matapun tak sanggup mengartikan. Aku berharap dia
menemukan sosok yang mampu mencintainya sebanyak
aku, dan menungguinya sesabar caraku.
***
Sesampainya di rumah, aku terduduk diam di atas
sofa ruang tengah. Mengabaikan panggilan dengan nada
khusus yang kupasangkan untuk Barga dari telepon
genggamku.
Aku capek, Bar. Sakit yang kemarin aja masih belum
sembuh, kenapa sekarang harus ditambah lagi? Aku nggak
mau patah hati lagi, Bar. Aku takut kehilangan lagi....
Setelah beberapa saat, ponsel itu diam dengan
sendirinya. Namun, tak lama kembali nyaring dengan nada
panggil yang lain. Aku melihat nama Mami tertera di
layarnya.
"Ya, Mam?" Sapaku, saat menjawab panggilannya.
"Kamu kemana aja, sih? Udah lama nggak hubungi
Mami."
"Sorry, aku sibuk banget akhir-akhir ini. Lagi banyak
kerjaan."
Mami diam sesaat, sebelum kembali bersuara.
"Minggu depan Papi ulang tahun. Kamu nggak mau
besuk Papi? Merayakan ulang tahun Papi di LAPAS."
Aku berdecak. "Males. Terakhir aku ke LAPAS,
barang-barangku habis dijarah sipir di sana. Kacamata
kenang-kenangan dari Oma harus aku ikhlasin karena
mereka minta paksa. Belum lagi uang yang harus kita
keluarin setiap kali besuk Papi. Ngapain? Malah nyenengin
oknum-oknum itu."
"Iya, Mami tau. Tapi paling nggak, kamu datang
sekali aja saat ulang tahunnya. Supaya Papi senang dan
merasa diperhatikan."
Dan kini, aku hanya bisa tertawa getir. "Terus yang
merhatiin kita siapa, Mi? Nggak ada, kan? Yang ada, kita
hancur... dihina orang karena perbuatan Papi. Udah ya, Mi.
Frisca baru pulang kerja. Mau mandi dulu. Bye Mam. I love
you."
Setelah memutus panggilan itu, aku segera memasuki
kamar dan berbaring di atas tempat tidur. Air mataku
mengalir saat aku mengingat kepedihan itu. Dua kejadian
yang membuatku hampir gila. Kasus korupsinya Papi dan
meninggalnya Arkha ketika aku sedang mengandung
anaknya.
Air mataku masih terus menerobos. Memaksa keluar
dari kedua sudut mata. Sakit, saat merasa apa yang kita
lakukan tidak ada hasilnya. Aku bingung, kecewa, lalu
menyerah. Hingga tak terasa, air mata kepedihan menina-
bobokanku hingga terlelap di bawah bayang rembulan yang
menggenap.
-tbc-

TEN

Ekspresi Barga pas lagi bacain komen foto dia di part


'SEVEN' ���
Lanjut kakaaaakkk...
Warning : This part intended for mature reader only.
May not be suitable for young readers. *Cek KTP*
***
BARGA
"Selamat datang di Alfamart," sapaku, saat mendengar
bunyi pintu terbuka. Dan terlihat di sana, Icha dengan
cengiran khasnya, berjalan menghampiriku yang sedang
memasukan botol-botol minuman isotonik ke dalam lemari
pendingin khusus minuman.
"Hey! Tumben belanja ke sini, Cha?" ujarku, saat dia
sudah berdiri di depanku.
"Sengaja mau ketemu sama lo. Hari Minggu kemaren
gue cariin ke area kitchen, lo nggak ada. Katanya lagi izin
ya?"
"Hmm. Kemaren ada acara kumpul keluarga. Bentar
ya, Cha. Gue beresin kerjaan gue dulu."
"Oke. Lanjut aja."
Aku kembali menyusun botol-botol minuman itu,
hingga semuanya masuk dan sudah tersusun rapi di dalam
showcase. Setelah menyimpan kembali troley di gudang,
aku menghampiri Mul yang sedang berada di balik meja
kasir.
"Mul, gue istirahat sekarang ya. Titip HP, lagi gue
charge di bawah."
Mul menggangguk. "Oke."
Aku keluar, menghampiri Icha yang sedang
menungguku. "Lo baru pulang kerja, Cha?" tanyaku, setelah
berdiri di sebelahnya.
"Iya. Sekalian mampir ke sini."
"Ngobrolnya sambil makan bakso aja di sebelah, ya."
Dan Icha mengikuti saat aku berjalan lebih dulu di
depannya. Setelah tiba di warung bakso, aku memesan dua
porsi untuk kami, kemudian mengambil tempat duduk di
sebelah Icha.
"Ada apaan nih, sampai lo nyariin gue ke sini?"
Icha terkekeh. "Nggak ada yang penting, sih. Cuma
mau ngasih kabar sama lo. Gue udah recomend lo sama
manager gue buat dipindah ke area front office. Dan
manager gue mau ngeliat lo dulu katanya. Jadi hari Sabtu
ini, kalau bisa lo dateng ke hotel lebih awal, terus temuin
dulu manager gue. Nanti Bu Vera yang ngomong sama
manager lo, kalau lo mau ditarik ke bagian Front Office."
Wow, kejutan buatku. Ternyata niat Icha serius ingin
membantuku pindah bagian.
"Jadi, hari Sabtu gue tinggal ketemu sama Bu Vera
aja?"
"Kalau nggak, kita janjian aja. Gue Sabtu masuk pagi.
Nanti gue anterin lo ketemu sama Bu Vera."
Aku menggangguk setuju. "Oke. Makasih ya, Cha.
Repotin lo jadinya."
"Alah! Masih kaku aja lo!"
Aku tertawa. "Oh, iya. Kemaren kenapa nggak jadi
bareng pulangnya?"
"Nggak enak kali, Bar. Liat muka istri lo, udah kayak
yang mau nyambit gue gitu!"
Dan lagi, aku kembali tertawa. Tepat saat pesanan
bakso kami tiba.
"Frisca emang kurang welcome sama orang asing. Jadi
ngasih kesan kalau dia jutek. Tapi sebenernya dia baik, kok.
Lo balik pake angkot jadinya?"
Icha mengangguk.
"Lagian, kostan lo jauh banget, sih dari hotel, Cha?"
tanyaku, sambil menambahkan saus, kecap, dan sambal ke
dalam kuah baksoku. Meraciknya agar sesuai seleraku.
"Gue ngekost di Gerlong dari gue kuliah."
"Emangnya lo kuliah di mana?"
"AKPAR NHI."
"Oh, pantesan lo kerja di hotel. Umur lo berapa sih?"
"Taun ini dua tiga."
Good. Another mbak-mbak.
Setelah menghabiskan waktu istirahat satu jam, Icha
kembali melanjutkan perjalanan pulang menuju tempat
kostnya, dan aku melanjutkan kembali sisa waktu kerjaku.
"Bar, bieu aya pamajikan." (Bar, tadi ada istri). Ujar si
Mul, saat aku baru masuk. Aku menghampirinya dan ikut
masuki area kasir.
"Pamajikan saha?" (istri siapa?)
"Pamajikan maneh atuh. Saha deui, da urang mah can
boga pamajikan." (istri lo lah. Siapa lagi? Orang gue belum
punya istri)
Aku berjongkok. Memeriksa telepon genggamku yang
masih mengisi baterai di terminal listrik yang tersedia di
bawah meja kasir. Ada empat panggilan tak terjawab dari
nomor Frisca.
"Mere ieu tadi. Nasi Padang, aya dua bungkus. Hiji
ewang jeung urang." (ngasih ini tadi. Nasi Padang, ada dua
bungkus. Satu satu sama gue)
Aku memerhatikan bungkusan nasi padang yang
diberikan Mul. "Lo tadi nggak bilang sama dia kalau gue
makan di sebelah?"
"Ngomong. Terus pamajikan maneh nanya, maneh
biasa istirahat di mana? Ku urang dijawab, 'kalau nggak
makan bakso, makan warteg di sebelah'."
Aku mencabut handphone-ku dan mencoba
menghubungi Frisca. Sepuluh kali panggilanku, tak ada
satupun yang dijawab olehnya.
Hingga malam tiba, aku masih terus menerus
menghubunginya, namun masih juga belum ada jawaban
juga.
"Ngges balik weh maneh lah. Uruskeun heula
pamajikan." (Udah, pulang aja deh lo. Urusin dulu istri lo)
Aku mendongak saat menengar ucapan Mul, saat aku
baru memutuskan panggilan untuk Frisca yang masih
belum dijawab.
"Beneran, Mul? Nggak papa gue balik duluan?"
"Teu nanaon. Ngges buru kaditu balik. Si Risman
ngges datang, kan. Urang teu sorangan jadina." (nggak apa-
apa. Udah cepetan sana pulang. Si Risman udah datang,
kan. Gue nggak sendiri jadinya)
Melirik jam yang melingkari tangan, masih pukul
sembilan malam. Sisa dua jam sampai tiba waktu pulang.
Thank you so much, Mul.
Ingatkan aku untuk mengenalkan si Mul dengan
beberapa teman di kampus. Kasihan dia, sudah terlalu lama
jomblo sampai taraf akut.
Tanpa banyak bicara, aku segera berlari ke dalam
gudang. Menyambar tas serta jaket, dan segera bergegas
pulang. Tanpa berganti pakaian seperti biasanya.
Kupacu mobilku menelusuri jalanan Bandung menuju
arah pulang. Mencoba fokus walau pikiranku tak hentinya
memikirkan Frisca. Entah sedang apa dia saat ini, hingga
tak sempat menjawab rentetan telepon dariku.
Keadaan rumah sangat gelap saat aku baru tiba.
Lampu teras belum dinyalakan. Masuk ke dalam rumah,
lampu dapur dan ruang tengah pun masih padam.
Kunyalakan lampu satu per satu. Ada tas dan blazer yang
digunakan Frisca saat pergi kerja tadi pagi. Tergeletak
begitu saja di atas sofa ruang tengah.
Aku melangkah menuju kamar dan membuka
pintunya dengan perlahan. Keadaan sama gelapnya, seperti
yang kulihat di ruang depan saat baru memasuki rumah
tadi. Hanya ada sedikit cahaya bulan yang mengintip di
balik tirai jendela yang masih terbuka.
Dan terlihat di sana. Istriku. Sedang meringkuk di
atas tempat tidur, lengkap dengan pakaian kerjanya.
Dia kenapa?
Mengapa dia bisa terlihat sekacau ini?
Secara perlahan, aku menaiki ranjang dan mengusap
kepalanya dengan sangat hati-hati. Matanya bengkak. Pasti
dia habis menangis.
Aku meluruskan posisinya, yang semula terbaring
miring menjadi terlentang menghadapku.
"Fris..."
Dia bergerak gelisah.
"Friscaa..."
Matanya perlahan terbuka dan menatapku. Dia diam.
Namun aku tahu, ada kepedihan mendalam dari sorot
matanya.
"Baru pulang?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Kamu sakit?"
"Nggak. Cuma kecapean aja. Nyampe rumah langsung
tidur."
Aku berdecak. "Pantes, aku teleponin nggak diangkat
terus."
Frisca tak menanggapi. Hanya menatapku dengan
tatapan... entahlah. Aku tak dapat menilai arti tatapan itu.
Aku sedikit terkejut saat dia tiba-tiba saja menarik
tengkukku dan menciumku. Sangat dalam. Seperti ciuman
kami tadi pagi.
Tanpa lidah, man. Tapi terasa jauh lebih intimate. The
kiss is possessive.
Dan aku bergidik geli saat merasakan tangannya
memasuki celanaku. Menggapai si 'Boy' yang sedang
memasang kuda-kuda siap bertempur.
Frisca melepas ciumannya dan kembali menatapku.
Making me feel how real this is.
"Bar, I want to try something," bisiknya. Dengan
suara serak, namun terdengar seksi di telingaku.
"What do you want to try?"
Dia tak menjawab. Menatapku sesaat, lalu kembali
menarik tengkukku dan berbisik tepat di telingaku.
"I want... you and me... tonight... sex without
condom."
She say what? Sex without condom?
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Don't ask me why. I just want you inside me...
without condom. Just you and me. Nobody else. Aku benci
orang ketiga."
Apa yang terjadi dengannya?
Tidak mungkin dia seperti ini hanya karena melihatku
bersama Icha tadi. Aku yakin, ada sesuatu hal yang lebih
menyakitinya dari sekedar melihatku sedang bersama wanita
lain.
Aku menelan ludah dengan keras. "Kamu kenapa,
Fris?"
"Aku cuma minta seks dengan suamiku sendiri tanpa
penghalang, dan kamu sampai dua kali tanya kenapa? Apa
harus aku jelasin alesannya sama kamu?"
Kembali aku menatapnya heran.
"Bukannya kita udah komitmen dari awal, nggak ada seks
tanpa kondom sampai kamu lahiran. Kenapa sekarang jadi
kayak gini?"
Tatapannya menghujamku. Membuatku tak mampu
melawan ketika percikan luka itu terasa bagai titik api yang
menghanguskan. Aku kalah. Dan tak mampu melawan.
Kucengkeram bahunya dengan kuat, berusaha
menahan agar tak sampai menyakiti. Frisca membalas
tatapanku. Menangkap kekalahan yang kuperlihatkan
dengan gamblang. Dan ia kembali menyatukan kedua
mulut kami.
Aku menarik tangannya dan membuatnya bangun
untuk memudahkan usahaku meloloskan setiap helai
pakaian yang ia kenakan. Satu per satu. Hingga lepas
seluruhnya.
Giliranku yang melepaskan seluruh pakaianku sendiri.
Seragam kerja berwarna merah, serta celana jeans berwarna
hitam berserta dalamannya yang kulepas dengan sekali
sentak.
Tak butuh foreplay. Aku tahu dia sudah siap. Terlihat
dari celana dalamnya yang sudah basah kuyup. Kubuka
kakinya sedikit lebar. Dan mata kami tak teralih saat
melakukan penyatuan itu. Saling menatap dan menghisap
kenikmatan bersama.
Shit. Ini luar biasa. Tanpa terhalang apapun. Tanpa
terbungkus karet sialan yang --baru kutahu-- jika benda itu
mengurangi nikmatnya. Doesn't need alcohol or even being
in love.
Because it's about trust. It's true... I crave you, Frisca.
Frisca menatapku sayu. Membuatku tergagap ketika
mengeja ungkapan lain dari sorot matanya. Kesunyian.
Kehampaan. Wanita itu ungkapkan dengan cara tak
terduga.
"Ahh...."
Suaranya... serak dan parau. Namun mampu membuat
birahiku kian memuncak. Dan sungguh, aku tak bisa
menahan saat sensasi itu hadir dan mendesak ke
permukaan.
Aku menggapai titik sensitifnya tanpa meleset. Aku
mengenal tubuhnya lebih baik dariku mengenal tubuhku
sendiri. Dan hal itu membuatnya semakin belingsatan tak
karuan. Saling berburu denganku untuk menemukan siapa
yang lebih cepat sampai.
Frisca melenguh tertahan, menandakan dia tiba lebih
dulu.
I'm coming, baby. Dan tepat saat sensasi itu tiba, aku
mencabut milikku dan melepaskan bukti kenikmatan itu di
atas perutnya.
Walau kacrut begini, namun aku tahu aturan. Bahwa
tidak boleh mencampurkan air mani dengan janin hasil dari
lelaki lain. Walau sedikit mengurangi sensasinya, namun
tak sedikitpun mengurangi nikmatnya.
Aku menuruni ranjang dan berjalan dengan telanjang
untuk membawa beberapa lembar tisue yang tersimpan di
atas meja rias Frisca. Kembali naik ke atas tempat tidur dan
membantu membersihkan sisa-sisa bakal calon anakku di
atas perutnya.
Frisca masih terengah. Mencoba mengatur napasnya
yang terdengar berantakan. Ia membuang muka saat aku
menatapnya. Setelah itu ia bangkit. Menarik jubah tidurnya
dan menutup tubuh telanjangnya.
"Aku mau bikin minum. Kamu mau?" tanyanya,
sambil mengenakan slipper rumahan tanpa menatap ke
arahku.
"Aku kopi aja. Nanti aku nyusul habis mandi ya."
Dia mengangguk, dan segera melangkah keluar dari
kamar.
***
FRISCA
Tadi itu apa? Setan mana yang merasukiku hingga
berani meminta hal itu pada Barga. Aku mempermalukan
diriku sendiri. Aku menghancurkan harga diriku sendiri.
Astaga! Entah apa yang Barga pikirkan tentangku saat
ini. Karena itu, aku sengaja menghindar dan lebih memilih
untuk bersembunyi sementara di dapur.
Hanya lima belas menit, karena setelah itu, Barga
keluar dari dalam kamar dengan keadaan segar sehabis
mandi.
Aku menggeser cangkir kopi untuknya saat Barga
berjalan menghampiriku. Kami duduk saling berhadapan.
Terpisah oleh mini bar yang menjadi pembatas antara area
dapur dan ruang makan.
"Thank you," ujarnya, sesaat sebelum menyeruput
minumannya.
"Tadi kamu datang ke tempat kerja aku?"
"Hmm."
"Kok nggak nungguin aku?"
Aku mengaduk minumanku sebentar sebelum kembali
meminumnya.
"Aku cuma mau nganterin makanan aja buat kamu.
Dari kampus langsung kerja, pasti kamu belum makan."
"Terus kenapa telepon aku nggak diangkat? Kamu itu
bikin aku khawatir, Fris."
"Nggak kedengeran. HP-nya masih aku silent habis
rapat tadi. Oh iya, Bar. Ngomongin rapat jadi inget
omongannya Baron tadi. Dia nawarin kamu untuk ikut
casting sebagai talent dari proyek baru aku. Iklan rokok.
Dan sutradara minta modelnya cowok-cowok seumuran
kamu. Baron bilang, kriteria kamu cocok untuk jadi bintang
iklan ini. Kalau kamu mau, hari Sabtu kita ketemu
sutradara untuk casting. Gimana?"
Aku terdiam. Menatap Barga dan menunggu jawaban
darinya.
"Hari Sabtu aku nggak bisa, Fris. Udah janjian duluan
sama Icha mau ketemu manager dia untuk pindah ke front
office. Jadi, si Icha ini mau bantu aku pindah bagian,
tadinya Steward, jadi Bell Boy."
What the hell! Dia menolak ajakanku untuk menjadi
bintang iklan dan lebih memilih tawaran temannya untuk
menjadi pelayan hotel? Lelucon apa ini?
"Oh, oke. Kalau gitu, aku minta izin dari kamu untuk
pergi ke Lombok minggu depan. Jadi perwakilan dari
agency untuk shooting iklan di sana. Tadinya kalau kamu
mau terima tawaran dari aku untuk casting, kita bisa pergi
bareng-bareng ke Lombok. Tapi karena kamu lebih tertarik
dengan ajakan temen kamu itu... it's ok."
Aku menutup mata. Menarik napas dalam dan
mengembuskan perlahan. Aku paham, aku tak bisa
memaksakan semua hal harus sesuai dengan keinginanku.
"Aku capek, Bar. Tidur duluan ya."
Aku beringsut dan mencium pipinya sekilas. "Good
nite," bisikku, sebelum berlalu meninggalkannya memasuki
kamar.
Aku menggigil. Merasakan pengharapan dan keputus-
asaan membaur, melebur menjadi seonggok debu. Dan saat
ini juga, sudah kupersiapkan keikhlasan sebagai titik akhir
dari harapanku untuknya. Sebelum aku kembali patah hati.
Sebelum aku kembali hanyut dalam sebuah elegi.
-tbc-
Thanks for reading.
Yang mau komen next, lanjut, lagi, tambah, teruskan,
dan teman-temannya, SILAKAN. BEBASKAN. Apalagi
kalau mau vote & follow ahahahah....

ELEVEN

Elegi patah hati


Ode pengusir rindu
Atas nama pasar
Semuanya begitu banal
[Cinta Melulu - Efek Rumah Kaca]
***
FRISCA
Sabtu pagi di awal bulan Juni. Aku duduk di atas
kursi meja makan, menikmati seduhan susu ibu hamil
seraya menatap sepetak taman di halaman belakang rumah
yang dipenuhi bunga-bunga hias warna warni..
Tak lama pintu kamar terbuka. Disusul dengan
langkah Barga menghampiriku.
"Morning." Sapanya, kemudian mengecup kepalaku
dengan lembut. "Udah sarapan?"
Aku mengangkat gelas susu sebagai jawaban dari
pertanyaannya.
"Jalan-jalan, yuk. Dokter bilang, kamu harus banyak
jalan, biar lancar lahirannya."
"Nggak mau, ah!"
"Keliling komplek aja, Fris."
"Udah kesiangan, Bar. Panas."
"Pakai payung aja. Biar nggak kepanasan."
"Capek!"
"Aku gendong, deh."
"Males!"
Barga berdecak. Nggak enak, kan ditolak?
"Mau sarapan apa?" tanyaku, mencoba berbasa-basi
karena masih menghormatinya sebagai suami.
"Roti aja."
Aku melangkah menuju dapur, menyiapkan dua iris
roti, mengolesi dengan mentega dan menaburinya dengan
coklat meses. Barga tidak suka roti selai. Ia lebih suka roti
dengan mentega dan taburan coklat meses.
Setelah selesai, aku melihat ada bungkusan plastik
berwarna hitam, tergeletak begitu saja di atas meja dapur.
"Ini apa, Bar?"
Barga memerhatikan sekilas bungkusan yang berada di
tanganku.
"Oh, itu asahan. Dapet beli kemarin di pasar Jumat
Pusdai, waktu aku lagi salat Jumat di situ."
"Asahan pisau?"
"Iya. Aku inget, kamu kemaren-kemaren ngeluh kalau
pisau dapur udah nggak tajem. Kebetulan lihat ada asahan,
aku beli aja biar kamu seneng. Jadi bisa tambah semangat
masaknya."
Sederhana. Perhatian kecil seperti ini yang justru
mampu menelusup hingga dalam. Menyentuh dasar hati
yang sebelumnya kebas setelah kejadian itu. Namun, bukan
wanita namanya jika tidak mempertahankan gengsi yang
terlanjur tinggi.
Aku udah bilang sama kamu kalau aku benci orang
ketiga kan, Bar? Tapi kamu--dengan cueknya--masih aja
ngomongin dia di depan aku.
You takes wrong step, Dude!
Sorry to be the one who tell you this. But yet--it's
doesn't actually get.
Worse.
You'll see.
***
"Kamu mau ngapain?" tanyaku, ketika melihat Barga
melepas seatbelt-nya, saat ia mengantarku meeting dengan
sutradara di restoran Nanny's Pavillon.
"Mau ketemu sutradara juga."
Aku menatapnya heran. "Bukannya kamu udah nolak
dan lebih milih ajakan temen kamu itu?"
"Aku udah bilang sama Icha. Katanya, kalau aku
nggak bisa hari ini, besok juga nggak apa-apa. Jadi hari ini
aku mau ikutin mau kamu untuk ketemu sama sutradara."
Aku menahan tangan Barga yang hendak menarik
tuas pintu mobil di sampingnya.
"Kenapa?" tanyaku, dengan kedua mata yang
memperhatikannya dengan intens.
"Karena aku pengin nyenengin kamu. Udah beberapa
hari ini kamu diemin aku. Dan itu nggak enak banget,
sumpah!"
Aku mengulum senyum saat melihat wajah
frustasinya.
"Dan lagi, aku pikir honor dari bintang iklan ini
lumayan banget. Uangnya bisa kita pakai untuk belanja
keperluannya si Abang."
"Abang?"
"Yes. Our son."
Aku sadar, terlalu egois memang, jika menumpahkan
segala kesal dan kesalahan kepadanya. Namun rasanya aku
masih sangat jengkel pada dirinya. Rasa jengkel yang tak
dapat kukendalikan. Aku kesal karena Barga menolakku.
Aku marah karena Barga lebih memilih ajakan perempuan
lain. Dan aku cemburu melihat dia bisa sedekat itu dengan
perempuan lain.
Wait ... aku bilang apa tadi? Cemburu? Oh, no ...
anggap aku tidak pernah bicara seperti itu.
Barga meraih tanganku dan menggenggamnya dengan
erat. "Selama lima bulan ini, kita bisa tinggal bareng, tidur
bareng, bisa saling menjalani peran sebagai suami istri. Tapi
kenapa kita nggak pernah bisa berbagi? Kenapa kita nggak
pernah bisa untuk saling memiliki? Kenapa, Fris?"

Aku menatapnya. Mencoba mencari selah dari kedua


matanya.
"Because I dont expect anything from everyone.
Because I know, expectation always hurt. Aku capek kalau
harus disakitin lagi, Bar."
"Kenapa, sih semuanya harus dibikin rumit? Kenapa
kita nggak coba merubah bingung, jadi tanya. Merubah
firasat, menjadi kejujuran. Merubah unek-unek menjadi
sebuah ungkapan. Karena dalam sebuah hubungan itu,
intinya komunikasi, Fris. Bukannya saling diem-dieman
kayak gini. Aku bukan Edward Cullen yang bisa baca
pikiran kamu."
***
BARGA
Bila tak selamanya kita bisa bersama
Haruskah menunggumu di sini
Dan bila selamanya kita bisa bersama
Ku simpan cinta ini
Apakah ini cinta
Cinta... Cinta...
Cintaku kau abaikan
Apakah ini cinta
[Apakah Ini Cinta - Judika]
Kampret! Ini lagu apaan, sih?
Kenapa liriknya sangat menggelitik dan rasanya tepat
sasaran? Apakah ini cinta?
Alah, bullshit!
Aku mematikan radio dan lagu itu pun lenyap.
Namun keresahanku ternyata tak juga ikut lenyap. Frisca
mendiamkanku selama beberapa hari ini--sejak percakapan
kami tentang tawarannya menjadi model iklan itu. Dan aku
bingung harus melakukan apa untuk mengembalikan mood-
nya seperti sebelumnya.
Ini terlalu memusingkan. Wanita dan kerumitannya.
Membuatku ingin menggorok leher rasanya.
"Aku harus ngelakuin apa lagi, supaya kita bisa
baikan lagi? Aku mau ikutin keinginan kamu untuk casting
sama sutradara. Aku udah beberapa hari ini nggak minta
'jatah' sama kamu dan aku fine ngelakuin itu. Tapi kenapa
aku masih dijutekin juga, sih?"
"Oh... Jadi ini semuanya hanya karena seks? Kamu
minta maaf sama aku supaya kamu bisa dapat 'jatah' lagi?"
Aku meremas rambutku dengan sedikit kasar.
Menghalau rasa frustasi yang menderaku saat ini.
Kamera mana, kamera?
Aku ingin melambaikan tangan di hadapan kamera rasanya.
Aku menyerah.
Kepalaku seketika menoleh saat mendengar isak
tangis. For god's sake, ini pertama kalinya aku melihat
Frisca menangis. Serapuh apapun dia, seburuk apapun
mood-nya, Frisca tidak pernah menangis. Entah jika di
belakang, namun di depanku Frisca tidak pernah sama
sekali menunjukan kelemahannya.
Aku tahu dia perempuan tangguh. Dia wanita kuat--
terutama jika sedang di atas ranjang. Dan saat ini dia
menangis. Menampakan kelemahan yang selama ini hanya
ia simpan sendiri. Membuka topeng yang selama ini ia
perlihatkan di depanku, di depan semua orang. Dan itu
artinya dia memang sangat terluka saat ini.
Damn you, Barga!
Tanpa aba-aba, aku segera menarik tubuhnya dan
mendudukannya di atas pangkuanku. Dia pun
menyambutnya. Segera menghamburkan diri dalam
pelukanku dan menyembunyikan wajahnya di atas dadaku.
Tangisnya semakin pecah dan membasahi baju yang aku
kenakan.
"Baby, tell me why you crying? Why do me wrong?
Please... Jangan bikin aku kayak orang bego gini, Fris."
Frisca tak menjawab. Hanya terus menangis dan aku
membiarkannya. Hingga saat tangisnya reda, aku menaikan
wajahnya dan menatap langsung matanya yang bengkak
akibat menangis.
"Udah puas nangisnya?"
Dia menggeleng. "Belum," jawabnya.
Aku mencabut beberapa lembar tisue yang tersimpan
di atas dashboard mobil.
"Kamu kenapa sampai nangis kayak gini?"
Frisca diam. Mengapus jejak basah pada kedua
pipinya dan mengeringkan kedua matanya dengan tisue
yang aku berikan.
"Aku kesel sama kamu. Pengin marah-marah tapinya
nggak bisa. Jadinya nangis saking keselnya."
Aku melongo. Jika perempuan lain menangisi prianya
karena sakit hati. Istriku ini justru menangis karena kesal
tapi tidak bisa marah.
Konyol, bukan?
Untung kamu cantik, Fris. Konyol seperti ini pun
masih terlihat menggemaskan.
Frisca beringsut saat mendengar telepon genggamnya
berdering. Sebelum ia pindah dari pangkuanku, aku
menahan tubuhnya dan mencium bibirnya sekilas.
"Cari kesempatan mulu, sih!" Gerutunya.
"Ya menurut kamu aja. Lima hari puasa, dikira aku
nggak haus apa!"
Frisca mendelik, dan berdeham sebelum menjawab
teleponnya.
"Ini udah di basement, Ron. Bentar lagi naik."
Ucapnya, pada seseorang yang meneleponnya. Ia kembali
memasukan ponselnya ke dalam tas lalu menatapku.
"Ayo! Jadi kan, mau ikut casting."
Aku mengangguk mantap.
***
Ada untungnya juga punya muka ganteng. Dengan
begitu mudahnya aku lolos saat casting dengan sutradara
untuk menjadi talent yang membintangi iklan ini. And here
we are. Lombok, Man. Menikmati pemandangan pantai
Kuta Lombok yang masih bersih dan jauh dari polusi.

Aku baru tahu, jika ternyata Pantai Kuta bukan hanya


ada di Bali. Di Lombok juga terdapat Pantai Kuta yang
berlokasi di Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten
Lombok Tengah. Pantai Kuta Lombok memiliki pasir
berwarna putih agak kecoklatan, seperti merica.
Ciri khas pantai di Lombok ini adalah adanya sebuah
bukit di sebelah barat pantai, yang diberi nama Bukit
Mandalika. Dari bukit ini, kita bisa menikmati keindahan
seluruh Pantai Kuta.
Shooting iklan ternyata tidak terlalu merepotkan.
Hanya butuh waktu satu hari untuk menyelesaikannya. Dan
kebetulan hari ini keadaan cuaca cukup cerah hingga tidak
menjadi hambatan untuk kami saat pengambilan gambar.
Landscape yang indah, dengan bintang iklan yang keren.
Membuat iklan itu terlihat sempurna. Aku yakin penjualan
rokok ini akan menjadi laris di pasaran.
Keesokan harinya, Frisca mengajaku jalan-jalan di
sekitaran pantai Kuta. Pantai yang indah ini masih sangat
sepi pengunjung karena jarang sekali turis yang mendatangi
tempat ini. Penginapan pun belum ada selain rumah-rumah
penduduk sekitar yang bisa kami sewa.
Aku melotot saat melihat Frisca yang baru keluar dari
kamar mandi. Hanya menggunakan bikin berwarna peach
dengan tonjolan perut yang justru membuatnya terlihat
semakin seksi.
Bahaya! Ada yang berkedut di bawah sana.
"Kamu mau kemana?" tanyaku.
"Pantai." jawabnya acuh, tanpa tendeng aling-aling.
"Pake bikini kayak gini?"
"Kenapa? Badan aku keliatan gendut banget yaa, Bar?
Jadi jelek ya?"
Jelek, Fris. Jelek banget. Saking jeleknya, sampe bikin
aku pengen geret kamu ke atas kasur.
"Ganti yang lain aja. Pake dress atau apa kek yang
sedikit tertutup "
Frisca memberenggut. "Besok-besok ingetin aku
supaya bawa gamis aja kalau ke pantai!" Gerutunya, sambil
berbalik dan kembali memasuki kamar mandi dengan
bantingan pintu yang cukup keras.
***

Langit cerah di atas pulau Lombok, mengiringi


langkah kami menelusuri sepanjang pantai Kuta, hingga
membuat kaki pegal.
"Capek?" tanyaku, saat menyadari langkah Frisca yang
semakin melambat di belakang.
"Cuma pegel aja sedikit. Tapi nggak papa."
Aku mengamati wajahnya. Terlihat flawless, dengan
raut kegembiraan yang terlihat jelas.
Aku kembali menggandengnya dan mengajaknya
bermain-main air ombak di tepian pantai.
"Kamu tau, Bar, apa yang lebih kelam dari senja yang
terbenam menjelang malam?" tanyanya, saat kami terduduk
di atas hamparan putih, menatap matahari yang hampir
terbenam di ujung senja.
"Apa itu?"
"Sebuah rasa kehilangan. Aku pernah merasakan itu
saat kehilangan Oma, lalu Arkha. Dan aku nggak mau
kembali menjadi kelam... saat aku harus kehilangan kamu."
Aku terdiam. Diam yang benar-benar diam.
Memikirkan dengan sedikit tertatih arti dari ucapan Frisca.
Cukup lama, hingga saat matahari mulai terbenam, saat itu
juga aku merasa sesuatu menyadarkan pikiranku. Kutatap
Frisca yang ikut terdiam di sampingku. Aku kembali
menggapai tangannya dan menggenggamnya dengan kuat.
"Kamu nggak perlu memikirkan akan seberapa lama
kita bisa bertahan dengan hubungan ini. Aku untuk kamu.
Cukup pikirkan itu dan jangan yang lain."
***

12

FRISCA
"Stop dulu, Bar. Aku turun duluan. Nggak kuat
pengen pipis." Ujarku, saat Barga tengah memarkirkan
mobilnya di dalam carport ketika baru pulang menjemputku
dari kantor.
Barga menurut. Menghentikan mobilnya dan
membuka kunci mobil disampinya. Aku berlarian kecil
memasuki rumah dan segera menuju kamar mandi di dalam
kamar tidur. Namun, saat aku baru membuka pintu kamar,
aku tercengang melihat sesuatu yang sudah tersimpan di
salah satu sudut kamar.
"BARGA!" Teriakku dari dalam, sambil terus bergerak
menahan dorongan ingin buang air kecil.
"Ya ampun, Barga!" Ucapku tak sabar.
"Kenapa sis, Fris?" tanya Barga, dengan sedikit
tergopoh memasuki kamar.
"Itu apa?"
Barga mengikuti arah telunjukku. "Menurut kamu itu
apaan emangnya?" Dia terkekeh setelahnya.
"Ish, kamu tuh. Aduh! Bentar deh aku pipis dulu,
nggak kuat."
Aku pun berlarian kecil memasuki kamar mandi.
Meninggalkan Barga yang menertawaiku di belakang.
Setelah selesai, aku keluar dari kamar mandi dan
menemukan Barga yang sedang mengutak-atik benda itu.
Sebuah box bayi berwarna putih dengan kelambu biru.
Persis seperti yang aku lihat di BIP saat kami kencan dua
minggu lalu.
Barga menggantungkan mainan pesawat di atasnya,
menekan sesuatu dan benda itu hidup. Berputar dengan
iringan musik lullaby dari musik ciptaannya Beethoven.
Aku melangkah perlahan. Mengamati benda itu
dengan baik. Dan si Abang bergerak intens di dalam
perutku. Membuatku sedikit meringis karena gerakannya
yang cukup kuat.
"Kenapa?" tanya Barga sambil berjalan
menghampiriku.
"Si Abang geraknya kenceng banget. Bikin ngilu."
Barga menaikan blouse kerjaku dan menempatkan
tangannya di atas perutku yang tak tertutup.
Ia menatapku. Matanya berseri dan memancarkan
sebuah kehangatan saat merasakan kehidupan kecil di
dalam perutku.
"Berapa lama lagi sih sampai due date-nya?" tanya
Barga.
"Baru 36 minggu. Masih ada empat minggu lagi."
"Ya ampun... bentar lagi kita ketemu, Bang. Nggak
sabar banget pengen gendong kamu." Ucapnya dengan
kegembiraan yang tulus.
"Kapan kamu beli box bayi itu?" tanyaku.
Barga melirik box bayi di depan kami, lalu
menyeringai kepadaku. Memperlihatkan deretan giginya
yang rapi.
"Tadi, pulang dari kampus langsung ke BIP. Awalnya
sempet kaget, karena box bayi ini udah nggak ada di
etalase. Aku pikir udah laku, tapi ternyata cuma ganti
model lain dan yang ini disimpan di dalem."
Aku maju selangkah dan memeluk lehernya dengan
sedikit miring karena terhalang jendulan besar di perutku.
"Makasih. Aku suka kejutannya." Bisikku di depan
telinganya.
Ia balas memelukku. "Aku suka lihat kamu bahagia
kayak gini. Si Abang juga kayaknya seneng ya? Gerak-gerak
terus dari tadi."
"He's so excited... Papa."
Matanya naik seketika. Membuat dua iris mata kami
saling bertemu dan saling menyelami dasar pikiran masing-
masing.
"Nggak tau kenapa, aku ngerasa... panggilan Papa dari
kamu itu jauh lebih seksi dari panggilan honey bunny, baby
bala-bala, sweetheart, atau panggilan sayang yang lain.
Panggil Papa lagi dong, sekali lagi."
"Udah ah, malah keterusan. Jadi papa aja belum."
Ujarku, sambil meninggalkannya. Berjalan menghampiri
box bayi dan mengamatinya dari dekat. Meraba serat-serat
kayunya yang halus dan tertutup cat berwarna biru muda.
Merasakan tekstur lembut dari kelambu dan spreinya yang
juga berwarna biru muda.
Bagus, Bang. Kamu pasti suka.
Aku merasakan sepasang tangan kekar melingkari
tubuhku dari belakang. Memelukku dan menempatkan
dagunya di atas pundakku.
"Kamu suka?" bisiknya, dengan sengaja
menghembuskan napasnya di sekitar daun telingaku.
Aku mengangguk.
"Kalau suka, imbalan buat aku apa?"
"Pamrih. Kalau ngasih itu harus ikhlas, jangan
berharap imbalan. Nggak iklash banget, sih!"
Barga tertawa pelan. Aku merasakan saat ia
menyingkap rambutku dan mendaratkan kecupan di
leherku. Menelusuri sepanjang garis leher hingga ke atas
pudak. Membuatku meremang. And I take the deep breath.
"Bar..."
"Hmm?"
"Laper."
"Aku juga. Tapi maunya makan kamu."
"Tapi aku beneran laper, Bar."
Barga menghentikan ciumannya dan terkekeh saat
mendengar erangan manja dariku.
Ia melepas pelukannya dan mengulurkan tangannya
padaku. "Ayo, masak."
Aku menyambut uluran tangan itu dan mengikutinya
saat menggandengku keluar dari kamar. Aku pernah
berkata jika aku beruntung memilikinya bersama kami saat
ini. Dialah yang membuka mataku, membuatku sadar jika
realita di ambang mata jauh berbeda dengan hembusan
sejuk keindahan sebuah khayalan.
***
Kepedihan mengoyakku saat menyaksikan tubuhnya
yang telah terbungkus kain berwarna putih dan tengah
bersiap untuk dikebumikan.
Aku masih terus bertahan hingga saat ia benar-benar
menghilang di balik tumpukan tanah merah yang menutup
rapat seluruh tubuhnya.
Dan kini aku sadar, Arkha telah pergi. He was gone
before the goodbye. Aku ingat bagaimana terkejutnya aku
hingga tak mampu berdiri karena lututku yang terasa lemah
ketika mendengar kabar tentang kecelakaan Arkha. Grup
Line dari teman-teman sesama mahasiswa Indonesia di
RMIT, mengabarkan saat mereka mendapat kabar dari
keluarga, bahwa Arkha telah meninggal dunia. Kecelakaan
di jalan tol saat ia sedang dalam perjalanan dari bandara
cengkareng menuju rumahnya.
Setelah mendengar kabar itu, tanpa make sure lebih
dulu, hari itu juga aku segera memesan tiket pesawat untuk
penerbangan paling akhir menuju Jakarta.
Dan di sini-lah aku saat ini. Menatap nanar gundukan
tanah yang menenggelamkan dirinya dalam sunyi dan
gelap. Membaurkan harapan dan kenangan pada tumpukan
tanah jelata yang dingin dan basah.
"Kamu yang namanya Frisca?"
Aku menengok, dan menemukan seorang laki-laki
yang kutahu bernama Barga, adik satu ibu namun lain ayah
dengan Arkha, tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahku.
"Iya."
Dia mengulurkan tangannya dan mengajakku
bersalaman.
"Aku Barga, adiknya Akrha." Ucapnya saat aku
menerima uluran tangan itu.
Aku mengangguk.
"Kenapa diemnya disini?"
"Aku takut. Takut nggak kuat kalau terlalu dekat di
sana."
"Semuanya juga kaget, Fris. Nggak ada yang bisa
terima waktu denger berita meninggalnya Bang Arkha.
Bunda sampai pingsan berkali-kali saat kita jemput
jenazahnya Bang Arkha di rumah sakit. Taksi yang Bang
Arkha naikin nabrak truk yang oleng di depannya. Terus
bagian belakang taksi, dihantam Kijang Inova sampai bikin
body taksi gepeng. Bang Arkha dan supir taksi meninggal
langsung di tempat kejadian."
Barga bicara dengan pandangan lurus ke depan.
Memperhatikan para pelayat yang sedang mendoakan
Arkha dengan dipimpin oleh seorang Ustadz.
"Kayaknya Arkha memang udah punya firasat kalau
dia mau pergi. Karena kata-kata terakhir yang dia ucapkan
sama aku waktu aku mau antar dia ke bandara, seperti
ucapan dari seseorang yang memang akan pergi jauh."
Dari sudut mataku, kulihat Barga menengok dan
memandang ke arahku.
"Dia bilang apa sama kamu?" tanyanya.
Aku menutup mata dan menggeleng.
"Aku nggak ingat dan nggak mau mengingat itu lagi.
Terus... gimana sama Kiasah? Arkha maksa mau pulang ke
Indonesia karena dia khawatir dengan Kiasah yang kritis
setelah melahirkan anaknya."
"Kak Kia masih koma. Udah tiga hari belum sadar."
Tolong Kha, ajarkan aku tentang arti keikhlasan
meskipun hatiku telah timpang sepeninggalan kamu.
Bagaimana caranya untukku menekan perih yang tertindih
karena kehilangan kamu yang tak pernah aku miliki. Aku
mencoba menahan semburan panas dari kedua pelupuk
mata. Mencoba menampung genangan air mata agar tak
sampai luluh.
Namun sungguh, aku tak mampu menahan saat sesak
itu kembali hadir. Aku tergelak dalam ironi. Sakit kepala
yang kurasakan kembali menyerang. Dan yang aku ingat,
ketika Barga menahan tubuhku yang siap terjatuh sebelum
mencapai permukaan tanah sebelum akhirnya kegelapan
pekat menyelimutiku seketika.
Aku tak menyadari apapun. Semuanya nampak kabur
dalam ingatanku. Yang aku tahu, aku terbangun di dalam
sebuah kamar serba putih dengan bau obat-obatan yang
menyengat kuat.
Aku menengok dan kembali menemukan Barga yang
sedang menatapku dengan posisi berdiri menyandar pada
tembok putih dengan kedua tangan yang ia silangkan di
atas dada.
"Aku nggak nyangka kalian udah sampai sejauh itu?"
Dahiku otomatis berkerut saat mendengar ucapannya.
"Maksud kamu?"
Barga maju beberapa langkah dan berhenti tepat di
depan ranjang rumah sakit yang kini tengah kutiduri.
"Sekarang aku tanya sama kamu... sejauh apa
hubungan kamu dengan Bang Arkha?"
Aku semakin heran mendengar pertanyaannya.
"Mendingan kamu to the point aja. Apa maksud
kamu?"
"Aku tanya sama kamu, hubungan kamu sama Bang
Arkha itu apa? Kalian pacaran?"
Aku menggeleng.
"Kamu hamil, Frisca... dan kamu masih bisa bilang
kalau kalian nggak ada apa-apa."
Sebenarnya, aku tidak terlalu terkejut saat mendengar
ucapan Barga. Aku sudah menduga sejak menyadari jika
periode menstruasiku sudah telat hingga dua minggu. Dan
ternyata dugaanku benar. Aku kembali menatap Barga dan
meneguk air liurku dengan keras.
"Apa bener kamu pernah ngelakuin hal itu sama Bang
Arkha? Apa bener bayi ini anaknya Bang Arkha?"
"Aku cuma sekali ngelakuin hal itu, dan itu cuma
sama Arkha. Nggak ada yang tau kabar ini kan selain
kamu?"
Kini, giliran Barga yang menggeleng.
"Nggak ada yang tau selain aku sama dokter yang
meriksa kamu tadi. Dan kita akan pastikan lagi dengan
USG setelah kamu sadar."
"Nggak usah!" Buru-buru aku memutus ucapannya.
"Aku mau langsung pulang lagi ke Melbourne. Aku
bisa urus masalah ini sendiri."
Barga tertawa hambar. Seakan mengejek keadaanku.
"Sayangnya, aku nggak akan biarin kamu bawa lari
ponakan aku gitu aja."
***
Sore hari itu, aku pulang dari kantor dengan
menggunakan Go-jek. Barga mengabariku, bahwa ia tidak
bisa menjemput karena mobilnya mogok.
Saat tiba di rumah, sudut mulutku terangkat ketika
memperhatikan pemandangan di depanku. Barga, sedang
bermain bersama anak tetangga di beranda rumah kami.
"Om, kok kepala Optimus-nya gepeng?" Tanya Farell,
anak lelaki dari tetangga sebelah rumah yang berumur
enam tahun, saat memperhatikan Barga yang sedang
membuat robot Optimus Prime dari mainan lego miliknya.
"Lah iya. Dia kan habis nge-heading si Megatron. Jadi
kepalanya gepeng kayak gini."
"Emang iya, Om?"
"Iya. Kamu belum nonton Transformer tiga? Optimus
sama Megatron duel, kan? Badannya Megatron di-heading
Optimus Prime sampai jatuh."
Farell mendengarkan ucapan Barga dengan serius,
mengangguk-anggukan kepala saat menyimaknya.
"Tapi ini tangannya kok pendek sih, Om?"
"Jangan terlalu panjang. Nanti jadi panjang tangan
malah bahaya. Udah jadi nih, Rell. Bagus, kan?
Aku menahan tawa saat memperhatikan raut wajah
Farell yang nampak memberenggut karena tidak puas
dengan robot yang dibuatkan Barga.
Setelahnya, mereka menengok bersamaan saat
mendengarku membuka pintu gerbang.
"Lagi pada ngapain, sih?" tanyaku, sambil
menghampiri Barga dan mencium tangannya. Barga
mengusap rambutku sekilas.
"Lagi bikinin robot buat Farell. Maksa dia, pengen
dibikinin Optimus Prime katanya. Pulang naik apa tadi?"
"Tadi kan udah bilang, aku pulang naik Go-jek. Kalau
naik angkot pasti macet dan penuh banget. Emang
mobilnya kenapa, sih?"
Barga menghela napas. "Nggak tau. Bingung aku juga.
Udah aku utak atik sendiri masih nggak bisa hidup juga.
Akhirnya aku panggil montir, sekarang lagi dikerjain di
garasi. Terus gimana pengajuan cutinya?"
Aku menengok dan membalas tatapan Barga.
"Udah. Hari Jumat ini last day. Mudah-mudahan
lahirannya nggak meleset dari tanggal perkiraan dokter, jadi
seminggu setelah cuti udah lahiran."
"Kamu yakin masih mau kerja setelah lahiran nanti?"
Aku mengangkat bahu. "Liat nanti aja. Kalau aku
nggak tega ninggalin Abang kerja, mungkin aku pilih resign
aja. Nggak papa, kan?"
Barga tersenyum dan kembali mengacak rambutku.
"Apapun pilihan kamu, selama itu bisa bikin kamu
seneng, pasti aku akan dukung keputusan kamu. Karena
aku sadar, aku bukan laki-laki yang mudah ungkapin
sayang. Aku hanya laki-laki... yang ingin selalu nyenengin
kamu berulang-ulang."
-tbc-

13

FRISCA
Sebuah kehangatan menyusup saat sepasang tangan
kekar melingkari tubuhku dari belakang. Memelukku
dengan erat. Membuatku nyaman dan semakin merapatkan
diri padanya. Tak lama kemudian, tangannya yang iseng itu
mulai menjamahi tubuhku, meremas kedua bukit dada yang
sedikit membesar akibat kehamilan.
Aku melenguh saat Barga menciumi leherku dari
belakang, terus turun sampai ke atas pundak. Atasan tanpa
lengan yang kupakai, memudahkan ia mengakses bagian-
bagian dari tubuhku yang tak tertutup.
"Bargaaa...."
Ia terkekeh di belakang. "Can I have you for breakfast
in bed today? Without condom?"
"Keenakan."
"Come on, babe. You're not the only ones who hate
condoms."
Aku tak menanggapi. Kembali memejamkan mata dan
berpura-pura tidur. Namun, si anak mesum ini dengan
sengaja membelai-belai bagian pahaku yang terbuka. terus
naik dan menyelipkan tangannya pada pangkal paha yang
hanya tertutup selembar kain segitiga.
"Barga...."
"Nolak suami dosa lho!"
Aku semakin meradang ketika tangannya mulai
bermain-main di area sensitifku. Sengaja menggoda dan
membuatku basah.
Ting tong.
Mataku terbuka saat mendengar suara bel pintu.
"Fuck. Siapa sih dateng pagi-pagi gini?" Barga berdiri
dan merapikan celana boxer-nya yang mengetat. "Kamu
bukain pintu ya. Aku guyuran air dingin dulu."
Aku terkekeh setelah ia masuk kamar mandi. Terlihat
sekali wajah frustasinya karena tak bisa menemukan
pelepasan. Setelah mengenakan pakaian dengan benar, aku
melangkah keluar dari kamar dan berjalan menuju pintu
utama.
Kejutan untukku saat menemukan seorang perempuan
yang tidak asing sedang berdiri di depan rumahku. Icha,
dengan senyum ramahnya menyambutku saat aku
membuka pintu. Kami saling melempar pandangan sesaat
sebelum aku mulai bersuara.
"Cari Barga?" tanyaku, tanpa nada ramah sedikitpun.
Dia menggangguk. "Iya. Barga-nya ada?"
Aku tak menjawab. Hanya diam dan mengamatinya
dengan lekat. Siapa sih, dia? Seneng banget ngerusuhin
hidup orang! And I guess I've got my own door to close
now, huh!
"Hey, Cha. Ada apa ke sini?"
Aku menengok dan menemukan Barga dalam keadaan
segar dengan rambut sedikit basah, sedang berjalan
menghampiri kami.
"Sorry, ganggu pagi-pagi gini. Gue mau balikin SIM
punya lo."
"Ya, ampun. Gue kan bilang, lo pegang aja dulu.
Nanti gue yang ambil ke tempat lo."
Aku menatap bingung dan menuntut penjelasan saat
Barga menengok ke arahku.
"Jadi di hotel itu, untuk anak daily worker kayak aku
harus ninggalin ID card tiap mau ambil seragam buat kerja.
Dan kemaren aku lupa ngambil SIM aku lagi waktu
ngembaliin seragam. Jadinya minta tolong Icha bawain SIM
aku. Nggak tenang kayaknya kalau bawa mobil nggak
megang SIM. Jadi gitu ceritanya, Sayang. Jangan cemburu
sama Icha ya. Aku nggak ada apa-apa kok sama Icha."
Aku melongo. Merasakan saat pipiku memanas karena
ucapan Barga tadi. It seems so symbolic. His voice weak yet
somehow still full of promise. Tapi dia nyebelin. Ngapain
sih, Barga ngomong kayak gitu depan Icha. Ngeliatin
banget kalau aku cemburu sama dia.
"Ya, udah. Ajak temen kamu masuk." Ucapku,
kemudian berbalik dan melangkah meninggalkan mereka.
"Yah, bini lo ngambek deh, Bar."
"Udah, nggak papa. Nanti gue cipok juga baikan lagi."
Dan obrolan terakhir yang kudengar, membuat
kesalku semakin memuncak.
Nanti malem, tidur di luar kamu, Barga!!
***
BARGA
"Ibu Frisca."
Aku dan Frisca menengok bersamaan saat mendengar
perawat memanggil nama Frisca. Aku berdiri lebih dulu,
mengulurkan tangan untuk membantu Frisca berdiri dan
menggandengnya memasuki ruang praktik dokter obgyn.
Seperti biasa, dokter menyambut kami dan melakukan
konsultasi lebih dulu sebelum memulai pemeriksaan.
"Udah mulai sering kontraksi, Bu?" tanya dokter, saat
kami sudah duduk saling berhadapan.
"Belum, Dok. Belum ngerasain apa-apa."
"Tapi bayinya masih aktif?"
Frisca diam sesaat. Seperti sedang berpikir. "Udah
nggak seaktif sebelumnya."
Aku memperhatikan saat dokter menulis sesuatu di
dalam rekam medis milik Frisca.
"Oke. Sekarang Ibu-nya tiduran. Kita periksa dalam
ya."
Frisca menurut. Bangkit dari duduknya dan berjalan
menghampiri tempat pemeriksaan, lalu berbaring di atasnya.
Setelah memasangkan hand glove dari bahan karet
pada satu tangannya, dokter lantas memasukan jarinya pada
lubang lahir Frisca yang posisinya sudah diatur sedemikian
rupa. Frisca meringis saat jari dokter mulai memasukinya.
Shit! Ganti pake jari gue aja boleh nggak, Dok? Kalau
pakai jari gue, istri gue pasti mendesah, bukan meringis
kayak gini.
"Belum ada pembukaan. Tapi Ibu masih suka
ngerasain bayinya gerak-gerak, kan?"
Aku menatap Frisca.
"Udah nggak terlalu, Dok. Malah sekarang udah
jarang gerak-gerak lagi."
"Sejak kapan?"
"Sekitar semingguan ini."
"Kita USG aja ya, Bu, untuk pastikan keadaannya?"
Frisca mengangguk.
"Kamu kok nggak bilang apa-apa sama aku?" tanyaku,
dengan sedikit menunduk, saat dokter sedang menyiapkan
alat untuk USG.
"Soalnya aku pikir emang nggak ada apa-apa."
Aku tidak mengeluarkan suara lagi. Hanya mengamati
saat dokter mulai membuka atasan yang Frisca kenakan,
mengolesi gel di atas perutnya, dan mulai melakukan USG.
Dan aku dapat melihat si Abang yang sedang tertidur
nyaman di dalam kehangatan rahim ibunya.
"Oh... Iya pantes. Bayi Ibu kelilit tali pusar. Nih,
keliatan, kan?"
Aku mengamati dengan baik bagian yang ditunjukan
dokter. Memang benar. Ada lilitan tali yang melingkari
bagian leher anakku. Bahayakah itu?
Tangan Frisca sangat dingin, saat aku membawanya
dalam genggamanku. Terlihat sekali jika iapun sama
tegangnya seperti yang aku rasakan saat ini.
"Jadi gimana, Dok?" tanyaku, setelah kami kembali
duduk berhadapan.
"Dengan keadaan janin seperti tadi, terlalu beresiko
untuk Ibu Frisca melahirkan normal. Jadi, saya lebih
menyarankan Ibu Frisca melahirkan dengan cara operasi."
Aku merasa saat telapak dingin tangan Frisca
meremas tanganku dengan cukup kuat.
"Dan kira-kira kapan, Dokter bisa atur jadwal untuk
operasi istri saya?"
"Kalau bisa sih, hari ini juga kita langsung ambil
tindakan, karena usia kandungan sudah matang, berat
badan bayi juga sudah cukup. Jadi, lebih cepat lebih baik."
"Untuk estimasi biayanya, kira-kira butuh biaya
berapa ya, Dok?"
Aku menengok saat mendengar pertanyaan Frisca.
Jadi hal ini yang ia pikirkan sejak tadi dan membuatnya
resah.
"Kalau untuk urusan biaya, Ibu dan Bapak bisa
tanyakan langsung ke bagian administrasi untuk lebih
jelasnya."
"Ya udah, Dok. Langsung eksekusi aja hari ini juga."
Ucapku, tanpa perlu berpikir lebih dulu.
Frisca menatapku. Seperti ingin menyampaikan
sesuatu namun ia tahan.
"Sekarang, saya buatkan surat rujukan dulu, untuk
diserahkan di bagian pendaftaran. Operasinya kita lakukan
sore ya, Bu, setelah jadwal praktik saya selesai."
Setelah itu, aku membawa Frisca keluar dari ruang
praktek dokter dan berjalan kembali ke arah lobby utama,
untuk menuju bagian pendaftaran.
"Bar,"
Langkahku terhenti karena Frisca menahan tanganku.
Aku menengok dan menemukan raut wajah penuh
kecemasan darinya.
"Kita balik ke mobil sebentar. Aku pengen ngomong
dulu sama kamu."
Aku mengangguk. Kini, gantian Frisca yang
menggandengku menuju arah basement.
"Ada apa?" tanyaku, setelah kita berada di dalam
mobil.
"Ini seriusan aku mau operasi sesar hari ini?"
Dahiku berkerut mendengar ucapannya. "Lho, emang
kamu pikir kita lagi main-main?"
"Terus biayanya? Operasi sesar nggak murah lho, Bar.
Apalagi di rumah sakit besar seperti ini."
"Nggak perlu kamu kasih tau juga aku udah tau, Fris,
kalau operasi sesar nggak murah. Tapi kamu nggak perlu
mikirin masalah itu. Biar hal itu jadi urusan aku. Sekarang
kamu cuma perlu berdoa, berusaha, supaya kamu dan anak
kita bisa selamat."
Aku menyeringai dan membalas tatapannya untuk
mencairkan ketegangan.
Frisca menangkup wajahku dengan kedua tangan dan
mencium bibirku. Manis, dan lembut. Membuat aku
semakin menarik lehernya dan membuatku memperdalam
ciuman kami.
"Aku nggak tau harus bilang apa lagi sama kamu,
Bar. Karena kata terima kasih aja nggak cukup." Bisiknya
tepat di depan bibirku.
"Dengan kamu selalu mendampingi aku aja sudah
sangat cukup untuk aku. Apalagi ditambah dengan
kedatangannya si Abang. Jadi, mau masuk ke dalem, apa
masih pengen mesum-mesuman di sini?"
Frica mencubit perutku dengan cukup kuat. "Ish.
Kamu tuh bisa banget ngancurin mood aku." Hardiknya,
yang membuat aku tertawa dan kembali menciumnya
dengan gemas.
***
Telepon genggamku berbunyi, saat kami sudah berada
di dalam ruang persalinan. Tinggal menunggu dokter dan
operasi akan segera dimulai.
Panggilan dari si Jack. Mengabarkan bahwa ia ada di
luar kamar bersalin. Aku memintanya datang ke rumah
sakit untuk membawa kunci rumah dan mengambilkan tas
berisi peralatan melahirkan yang sudah disiapkan Frisca
sejak lama. Dan sekarang ia sudah kembali lagi ke rumah
sakit.
"Fris, si Jack udah balik lagi. Aku keluar dulu nemuin
dia ya. Kamu nggak papa kan sendirian?"
Frisca mengangguk. Dan terlihat di sana. Si Jack
sedang menenteng tas bayi berwarna biru langit, seperti
sedang kebingungan mencariku.
"Jack!"
Ia menengok dan menghampiriku. Dan tas bayi
itupun berpindah tangan saat ia tiba di depanku.
"Kok ngedadak gini, sih? Katanya minggu depan baru
lahiran?"
"Bayinya kelilit tali pusar. Jadi harus cepet-cepet
dikeluarin biar nggak bahaya. Jack, temen lo ada yang lagi
nyari mobil, nggak? Gue mau jual mobil gue."
"Buat apaan?"
"Biaya operasi, Bray. Lo pikir berapa biaya operasi
sesar?"
"Kenapa nggak minta sama bokap lo aja, sih? Kalau
cuma buat biaya sesar doang mah, bokap lo pasti mampu
lah bayarin."
"Nggak mau lah gue. Udah kawin masih aja nyusahin
bokap. Selama gue masih mampu, ya mending gue usaha
sendiri."
"Lah, elu baru mau jual mobil sekarang. Terus biaya
operasinya gimana?"
"Gue masih nyimpen uang SKS. Sengaja belum gue
bayarin buat pegangan dulu. Ternyata bener kan feeling
gue. Cukup lah kalau ditambah tabungan gue sama Frisca."
Aku menengok dan mendapati Jack yang sedang
menatapku dengan serius.
"Nggak usah ngeliatain gue kayak gitu. Gue mau
punya anak, nggak bisa bales perasaan lo kalau lo beneran
suka sama gue!"
Jack tidak menanggapi. Hanya diam, dan masih terus
memperhatikanku dengan lekat.
"Lo kenapa sih, Jack?"
"Sedih aja gue liat lo kayak gini."
Aku mengerutkan dahi mendengarnya. "Sedih
kenapa?" tanyaku.
"Lo masih muda, Bar. Harusnya, kita itu sekarang lagi
nongkrong di Ngopdoel atau di Warung Pasta, sambil
ngecengin anak-anak ITB yang pada nongkrong di sana.
Bukannya malah sibuk nyari duit buat biaya lahiran.
Sekarang gimana gue nggak sedih liat keadaan sahabat gue
kayak gini. Lo ngumpanin masa muda lo untuk jadi tameng
dari aib yang udah abang lo bikin."
Aku terdiam. Entah harus memberikan sanggahan apa
dari ucapan Jack tadi. Yang aku pikirkan, aku ikhlas
melakukan semua ini. Tak ada paksaan apalagi penyesalan.
Jika perlu, I would have traded my life for her. For our
baby either.
"Gue sayang sama Frisca, Jack. Dan semua yang gue
lakuin ini, bukan lagi sebagai tanggung jawab atas
kesalahan abang gue. Tapi sebagai bentuk tanggung jawab
suami yang emang sayang sama istrinya."
Terdengar helaan napas berat dari Jack. Ia menatapku
dengan penuh rasa kasihan. "Kalau udah ngomongin
sayang sih, gue angkat tangan. Nggak mau ikut campur
kalau udah ngomongin perasaan."
Jack berdiri dan menepuk pundakku. "Ya udah, gue
balik ya. Kalau ada apa-apa, kabarin gue secepatnya."
Aku pun ikut berdiri dengannya. "Lo sekalian bawa
aja mobil gue, Jack. Kali aja ada yang minat, jadi bisa liat
langsung barangnya."
"Gue nyumbang deh, Bar, buat nambahin biaya
operasi. Nggak perlu sampai jual mobil."
Kusodorkan kunci dan STNK mobilku ke arahnya.
"Udah, nggak apa-apa lo bawa aja. Gue udah mikirin
keputusan ini dari jauh-jauh hari. Apalagi mobil gue
sekarang sering mogok, bikin males jadinya."
Setelah kepulangan Jack, aku kembali memasuki
ruang bersalin dan menemukan Frisca yang sedang
berbincang dengan perawat.
"Si Jack kemana?" tanya Frisca, setelah aku berdiri di
sampingnya.
"Udah pulang lagi dia. Terus gimana, Sus? Dokternya
udah selesai praktik?"
"Sebentar lagi, Pak. Ruang operasinya juga udah siap.
Tinggal nunggu dokternya aja."
Tak lama setelah ucapan perawat tadi, dokter
kandungan yang menangani Frisca datang, dengan seorang
dokter lain di belakangnya.
"Bapak, Ibu, ini dokter anak yang akan langsung
menangani bayinya setelah lahir nanti. Untuk dokter
anastesi sudah siap, sus?"
"Dokter anastesi sudah siap di ruang operasi."
Doktet mengangguk. "Oke, kalau gitu, kita langsung
masuk ke ruang operasi sekarang ya, Bu?"
Aku masih terus mendampingi Frisca saat para
perawat mendorong bed yang ditempati Frisca menuju
ruang operasi.
"Aku tunggu kamu disini ya, sayang." Ucapku, sambil
mencium keningnya sesaat sebelum sosoknya menghilang di
balik pintu ruang operasi.
***

14

FRISCA

Suhu udara yang sangat dingin menyambutku saat


memasuki ruang operasi, membuat kulitku meremang dan
bulu-bulu halusku berdiri. Namun, ketegangan seketika
menguap, saat sebuah alunan musik klasik karya Mozart
sengaja dimainkan sebagai pengiring dari operasi Sectio
Caesaria yang aku lakukan saat ini.
"Ibu, sekarang duduk ya, dengan posisi sedikit
membungkuk."
Aku menurut. Duduk bersila dengan sedikit
membungkuk membelakangi doktet anestesi. Aku
memperhatikan dokter dan suster yang sedang
mempersiapkan alat-alat operasi di depanku. Ada lima
orang yang berada di ruangan ini. Dokter obgyn yang
menangani operasi pembedahan rahim, dokter anak yang
akan menangani anakku begitu ia lahir, dokter anestesi,
serta dua orang perawat sebagai asisten. Dan aku meringis
saat merasakan tusukan sebuah jarum kecil di bagian atas
tulang ekor saat dokter mulai menyuntikan obat bius
anestesi.
Setelah itu, aku kembali berbaring dan masih sangat
sadar saat dokter obgyn mulai menyayat bagian perutku.
Rasanya... seperti perutku sedang dicoret oleh sebuah
pulpen.
Namun, walaupun dalam keadaan sadar, aku tetap
tidak dapat melihat langsung seperti apa prosesnya karena
ada sebuah kain penghalang yang ditempatkan di bagian
atas perutku, hingga menghalangi kerja dokter yang sedang
berusaha mengeluarkan bayiku dari dalam rahim.
Ada dua orang perawat berdiri di samping kiri dan
kanan, lalu mendorong kedua sisi perutku hingga ada bunyi
blek cukup keras.
"Aduh, pudaknya gede banget."
Dan tak lama setelah ucapan dokter itu, terdengar
suara tangis bayi yang begitu nyaring. Menandakan anakku
sudah lahir dengan selamat. Dan semua proses itu sangat
singkat. Tak lebih dari lima belas menit.
"Ibu, selamat ya, anaknya laki-laki."
Antara dalam keadaan sadar dan tidak sadar, aku
mendengar suara perawat yang mengabarkan tentang
anakku. Aku pun hanya mengangguk, dan masih terus
mendengarkan suara tangis bayiku yang semakin mengeras.
Seperti bentuk protes karena harus dipisahkan dari
kenyamanan yang menyelimutinya selama sembilan bulan
ini.
Secara perlahan, kesadaranku pun sedikit demi sedikit
mulai luruh. Mengikuti tempo dari lagu Mozart yang
semakin melambat saat memasuki fade out. Dan yang aku
ingat, saat aku tertidur, ada Arkha disana. Memandang ke
arahku dengan tatapan meneduhkan yang membuatku jatuh
cinta sejak pertama kali bertabrakan dengannya saat SMA
dulu. Ia tersenyum. Mengucapkan terima kasih, lantas pergi
kembali.
Arkha....
***
BARGA
Ada kelegaan besar yang aku rasakan saat mendengar
suara tangisan nyaring dari dalam ruang operasi. Dan ini
rasanya... luar biasa. Seperti inikah rasanya jadi seorang
ayah?
Pintu ruangan operasi terbuka, disusul dengan
munculnya dokter dari dalam ruangan.
"Pak, Ibu Frisca mau sekalian dipasangin KB? Karena
untuk kelahiran sesar, paling tidak harus ada jeda tiga
tahun untuk pemulihan sampai luka operasi benar-benar
kering."
Aku berpikir sebentar. "Dipasangin KB apa, Dok?"
"IUD. Jadi seperti huruf 'T' yang dipasangkan di
depan mulut rahim untuk menghalangi sperma supaya
nggak bisa masuk. Kalau mau, sekalian saya pasang
sekarang."
"Tapi sewaktu-waktu bisa dicabut kan, Dok? Kapan
aja seandainya saya ingin program punya anak lagi?"
"Bisa. Tinggal datang aja ke sini, atau ke dokter
kandungan manapun untuk dicabut lagi IUD-nya."
"Ya udah, pasangin aja, Dok. Tapi, setelah
melahirkan, berapa lama biasanya waktu istirahat sampai
bisa berhubungan lagi, Dok?"
Dokter tertawa.
Kampret! Keceplosan gue. Keliatan banget gue
mesum. Bodo amat lah, namanya juga kebutuhan.
"Normalnya, empat puluh hari sudah bisa kembali
berhubungan. Tapi, Bapak tanya lagi sama istrinya, sudah
siap untuk kembali berhubungan intim atau belum. Jangan
dipaksa ya, Pak, kalau istrinya belum siap. Karena hormon
ibu setelah melahirkan biasanya masih belum stabil."
Tuh, kan! Dokter aja sampai ngomong kayak gitu.
Keliatan banget kali ya kalau gue suka maksa Frisca
nananina sama gue.
Dan setelahnya, dokter kembali masuk ke dalam
ruang operasi. Namun beberapa detik kemudian, pintu
ruangan kembali terbuka, hingga muncul lah seorang bayi
mungil yang di simpang di dalam sebuah tabung kaca,
dengan hanya menggunakan popok kain berwarna putih.
Dan sebuah perasaan haru yang luar biasa aku
rasakan saat suster memberiku kesempatan untuk
menggendongnya, untuk mengumandangkan azan pada
telinga kanannya, serta iqamah di telinga kirinya.
Naluri seorang ayah membuatku tak ragu untuk
membawa tubuh mungil itu dalam gendongan. Dia tampan.
Rambutnya hitam dan lebat, kulitnya putih pucat dan
matanya yang sebentar menutup sebentar terbuka,
mengingatkan aku dengan matanya Bang Arkha. Sangat
mirip.
Dia emang bener-bener anak lo, Bang.
Walaupun belum puas menggendongnya, aku kembali
menyerahkan bayi itu kepada perawat untuk diobervasi
lebih dulu. Sambil menunggu Frisca selesai ditangani oleh
dokter, aku berjalan menuju musala untuk melaksanakan
salat maghrib yang aku sambung dengan salat hajat dua
rakaat. Apalagi yang bisa seorang hamba kampret seperti
aku, lakukan sebagai bentuk syukur selain beribadah
kepada-Nya.
Selama salat, telepon genggamku tak hentinya
berbunyi. Dan setelah selesai, terlihat nama Bunda dengan
tujuh panggilan tak terjawab dari nomornya.
"Barga, kemana aja sih kamu? Bunda teleponin nggak
diangkat."
Aku menjauhkan ponselku dari telinga, saat
mendengar sahutan dari Bunda ketika aku baru
menghubunginya.
"Habis salat, Bunda."
"Perasaan Bunda kok gelisah banget ya dari pagi.
Kenapa ya, Bar?"
Feeling seorang ibu memang tidak bisa kita anggap
main-main.
"Frisca udah melahirkan, Bun. Anaknya laki-laki. Ini
aku juga baru salat setelah tadi nungguin di ruang operasi."
Hening. Tak terdengar suara apapun dari ujung
telepon sana. Hingga saat kusimak baik-baik, ada suara
isakan pelan yang aku tangkap.
"Bun...." Bisikku.
"Frisca sama bayinya sehat?" tanya Bunda dengan
suara sedikit serak.
"Sehat, Bun, alhamdulillah. Bunda nggak perlu
khawatir. Kita semuanya di sini pasti baik-baik aja, karena
ada doa Bunda yang nggak pernah putus jadi pelindung
buat kita."
Kembali Bunda terisak. Lebih keras dari sebelumnya.
"Dasar anak badung ya kamu. Kenapa baru ngasih tau
sekarang? Ini aja Bunda yang telepon. Kalau Bunda nggak
telepon kamu, pasti kamu nggak kepikiran buat ngabarin
Bunda, kan?"
Aku terkekeh. "Maaf. Boro-boro kepikiran buat
nelepon, Bun. Kita berdua udah panik duluan karena
semuanya mendadak. Sampai aku juga nggak bisa pulang
ke rumah buat ambil keperluan melahirkan karena Frisca
nggak mau aku tinggal."
Terdengar hembusan kasar dari ujung telepon. "Ya
udah, Bunda ke Bandung sekarang ya. Nemenin kalian di
rumah sakit."
"Sama Ayah?"
"Nggak. Ayah lagi inspeksi ke Medan. Kantornya
Ayah lagi rame kerjaan, sampai Ayah harus turun ke
lapangan juga karena inspekstor semuanya udah punya
kerjaan masing-masing."
"Bunda mau ke sini naik apa?"
"Bunda mau ajak Ibu Zulmi. Mungkin Kia mau ikut,
jadi bisa diantar Mas Bilal."
"Ya udah, kalau sama Mas Bilal nggak apa-apa. Tapi
kalau naik travel nggak usah ya, Bun. Tunggu Ayah pulang
aja."
Setelah mengakhiri panggilan telepon dengan Bunda,
aku keluar dari musala dan kembali menuju ruang operasi.
Frisca sudah tidak ada di sana. Suster mengabarkan jika
Frisca sudah berada di ruang observasi sebelum
dipindahkan ke dalam kamar perawatan.
Frisca menengok saat aku masuk. Dan pemandangan
di depanku ini sungguh luar biasa. Bayi kecilnya sedang
telungkup di atas dadanya. Kulitnya tak lagi sepucat tadi.
Dan aku menyaksikan sendiri saat kulitnya berubah
menjadi sedikit kemerahan, dan semakin lama semakin
merah padam.
Ia terlihat begitu nyaman berada di atas dekapan sang
ibu. Frisca mengulurkan satu tangannya ke arahku yang
segera aku sambut. Aku semakin merapat dan
memperhatikan saat bayi kecil itu berhasil menemukan
puting milik Frisca, dan segera menghisapnya dengan kuat.
Aku menatap Frisca, membelai rambutnya dengan
penuh sayang dan mencium keningnya.
Tak ada kata yang bisa menggambarkan bagaimana
perasaanku saat ini. Yang aku tahu, aku bersyukur memiliki
mereka di sini. Menjadi milikku. Dan siap untuk
menghabiskan banyak waktu bersamaku.
"Emang udah langsung keluar ASI-nya?" tanyaku.
"Belum, sih. Masih bening-bening. Tapi kata dokter
tadi harus disusuin terus supaya jadi lancar keluarnya."
"Kalau aku bantu sedotin gimana? Biar banyak keluar
ASI-nya."
Aku menahan tawa saat Frisca menatapku dengan
sebal. "Boleh aja, tapi sekalian kamu aku pakein popok
juga, mau?"
Dan kini, tawaku benar-benar pecah. Tawa pertama
setelah seharian digelung rasa panik dan gelisah.
"Kamu nggak ngabarin Mami kamu, kalau udah
lahiran?"
"Iya, nanti aku telepon Mami."
"Tadi juga Bunda telepon. Katanya nanti mau ke sini
sama Ibu Zulmi dan Kak Kia."
Frisca diam sesaat. Aku tau dia pasti sedikit terganggu
saat mendengar nama Kak Kia. Kuapit dagu lancipnya
dengan jariku, dan memaksanya menengok ke arahku.
"Udah nggak cemburu kan, sama Kak Kia?"
Frisca menggeleng. "Nggak. Aku sekarang sebelnya
sama Icha, karena dia tuh nyamper-nyamperin kamu terus."
ucapnya, dengan tampang juteknya dan membuatku tak
tahan untuk menciumnya.
"Cemburu ya?"
"Udah sih, Bar, ganggu aja. Gimana Abang mau tidur
kalau papanya berisik terus."
Aku tertawa pelan. Menundukan sedikit kepalaku dan
mengecup kepala anakku dengan penuh rasa sayang.
"Udah mikirin nama buat si Abang?" tanyaku
kemudian, yang dijawab gelengan kepala oleh Frisca.
"Kalau aku aja yang kasih nama, boleh nggak?"
"Ya boleh, dong. Kamu kan papanya. Emang kamu
udah dapet nama?"
Aku mengangguk mantap. "Caezar Omar Er Rafif."
Frisca mengerutkan dahi mendengarnya. "Kenapa
kasih nama itu? Artinya apa?"
"Tadi aku habis salat di musala, terus tiba-tiba
kepikiran nama itu. Caezar, karena jalan lahirnya dengan
cara sesar, dan selain itu, Caezar bisa juga artinya kaisar,
seorang pemimpin. Dan Omar, sebenarnya sih ada beberapa
arti. Tapi dalam bahasa Arab, Omar artinya anak yang lahir
pertama. Sedangkan Er Rafif artinya bijaksana. Jadi kalau
kita rangkai, arti nama itu menjadi, anak pertama yang
akan menjadi pemimpin bijaksana."
Frisca menatapku dengan binar mata yang tak ia
sembunyikan. Membuatku tersentuh, seperti titik air yang
menyusup ke dalam akar-akar rumput di tengah padang
ilalang. Membuatku dengan tertatih mengeja isyarat
tersamar dari sorot matanya.
Anjeerrr. Bahasa gue. Kelar ini langsung saingan sama
Rangga bikin puisi cinta.
Dengan berat hati, aku memutus pandangan mata
kami saat telepon genggamku berbunyi. Dari Ayah.
"Assalamualaikum, Yah?"
"Waalaikumsalam. Kamu itu gimana sih, jadi anak?
Kenapa nggak ngasih kabar kalau istri kamu udah lahiran?"
"Mendadak, Yah. Aku nggak kepikiran buat nelponin
orang-orang. Udah khawatir duluan sama keadaan Frisca
dan bayinya."
"Jaga mereka baik-baik ya, Bar. Besok pulang dari
Medan Ayah langsung ambil penerbangan ke Bandung.
Bunda juga sekarang lagi di jalan sama Ibu Zulmi. Ya udah,
salam buat Frisca ya. Assalamualaikum."
Keluargaku ini memang unik. Ibu Zulmi adalah
mantan istri Ayah sebelum menikah dengan Bunda. Lalu
setelah Bunda kehilangan suaminya yang meninggal akibat
kecelakaan, Ayah poligami dengan menjadikan Bunda istri
kedua. Tak lama setelah melahirkan aku, Ayah dan Ibu
Zulmi bercerai, dan Ibu Zulmi menikah dengan Om
Ammar. Dari Ibu Zulmi, Ayah memiliki anak, yaitu Kiasah,
yang sekarang menjadi saudara satu ayah denganku.
Sedangkan aku dan Arkha adalah saudara satu ibu.
Namun si kampret Arkha malah jatuh cinta sama kak
Kia, yang akhirnya menimbulkan masalah besar dalam
keluarga kami, karena mereka berdua adalah saudara
sepersusuan. Hingga membuat Arkha patah hati, lalu
memilih kabur ke Melbourne karena ajakan Frisca, yang
sudah lebih dulu kuliah di sana.
Yah... seperti itulah singkat cerita tentang keluargaku.
Rumit dan membuat sakit kepala. Namun yang membuat
aku salut, kedua keluarga kami masih bisa akur dan sama-
sama saling merangkul.
Malam harinya, setelah Frisca dipindahkan ke ruang
perawatan, Bunda datang bersama Ibu Zulmi, Kak Kia serta
Mas Bilal. Aku memberikan kunci rumah untuk mereka
pulang setelah melihat keadaan Frisca. Karena kamar kelas
dua yang Frisca tempati, tidak bisa menampung banyak
orang di dalamnya. Hanya satu penunggu yang
diperbolehkan menemani pasien selain pada jam besuk.
Kak Kia dan Mas Bilal menghampiriku, saat aku
duduk di ruang tunggu, membiarkan Bunda dan Ibu Zulmi
yang sedang merecoki Frisca dan Omar di dalam.
"Gimana rasanya jadi Ayah, Bar?"
Aku terkekeh lebih dulu sebelum menjawab
pertanyaan mereka. "Luar biasa lah pokoknya."
Mereka pun ikut tertawa. Lalu aku merasakan saat
Mas Bilal menepuk pundakku.
"Bar, saran dari Mas nih ya. Lebih baik kamu dan
Frisca ulang akad nikah setelah Frisca melahirkan. Karena,
dalam aturan agama, menikahi wanita dalam keadaan hamil
itu nggak sah. Dan supaya pernikahan kalian lebih sakral
dan lebih berkah, lebih baik kamu ulang ijab qobul."
Iya, aku juga paham soal aturan itu. Mungkin yang
diucapkan Mas Bilal nggak ada salahnya. Setelah Frisca
mendapatkan periode menstruasi pertamanya setelah selesai
nifas, aku akan mengulang ijab qobul agar penikahan kami
sah di mata agama. Dan supaya aku juga tenang jika mau
beribadah dengannya setiap malam.
-tbc-
Baru update wattpad versi terbaru malah ga bisa login
dari hp. Dicoba ga bisa teruuss... Jadinya ga bisa balesin
komen-komen di part kemaren. Maaf yaa.. Jangan bilang
author baik hati dan mamah muda ini sombong karena ga
balesin komen.
*cipok reader atu-atu dari papah barga.

15

FRISCA

Aku menengok saat tirai penutup di ruang


perawatanku terbuka, dan menampakkan sosok Barga yang
masuk dengan membawa bungkusan plastik di tangannya.
"Beli apa?" tanyaku.
"Nasi Padang."
Ia mengeluarkan bungkusan nasi Padang dari dalam
plastik dan membukanya di atas meja penyimpanan
samping ranjang. Aku masih memperhatikannya saat
sedang makan. Aku tahu, Barga pasti kelelahan
menungguiku di rumah sakit. Namun, tidak pernah
sekalipun aku mendengarnya mengeluh.
Aku mengulurkan tangan dan membelai kepalanya
yang sedang menunduk, membuatnya mendongak dan
menatapku sambil terus mengunyah makanannya.
"Kenapa?" tanya Barga.
Aku menggeleng. Hanya melempar senyum untuknya.
"Kita jadi pulang hari ini, kan?" tanyaku, tak sabar
ingin pulang ke rumah setelah tiga hari menjalani
perawatan di rumah sakit.
"Jadi. Tinggal nunggu doktet visit. Tapi nanti kita
harus tanda tangan surat pulang paksa."
"Tapi Omar ikut pulang juga kan, Bar?"
"Ya, ikut lah. Tadinya Omar disuruh nginep di sini
semalam lagi, karena bilirubin-nya cukup tinggi. Tapi aku
telepon Bunda, katanya, nggak apa-apa dibawa pulang aja.
Nanti kita jemur setiap pagi."
Aku bernapas lega. Rasanya tidak nyaman berlama-
lama di rumah sakit. Bukan hanya karena fasilitas kamar
inapku yang hanya berada di kelas dua, sehingga harus
berbagi ruangan dengan dua pasien lainnya, tapi karena aku
juga memikirkan masalah biaya. Dan selain itu, aku juga
kasihan melihat Barga yang harus tidur di kursi panjang
ruang tunggu setiap malam.
Selesai makan, Barga membuang bungkus sisa
makanannya di tempat sampah dan memasuki kamar
mandi.
Aku tersentak saat Barga tiba-tiba sudah berada di
belakangku, membantu merapihkan rambut yang terurai
saat sedang menyusui Omar. Ia membungkukkan tubuhnya,
menempatkan dagunya di atas pundakku, dan
memperhatikan bayi kecil kami yang sudah mulai terlelap.
Di tengah kedamaian itu, aku dan Barga menengok
bersamaan saat melihat tirai penutup kembali terbuka,
disusul dengan munculnya perusuh yang datang dengan
membawa hadiah yang sudah dibungkus rapi dengan kertas
kado warna warni.
"Anjir, cobaan buat jomblo, menyaksikan keluarga
bahagia kayak gini." Cetus si Jack, yang lantas dibalas
jitakan kepala oleh Barga.
"Ngomong yang bener. Jangan sampai anak gue
ngikutin congor lo yang isinya sampah semua."
Jack melirik Barga sinis. "Kagak nyadar mulut dia-nya
sendiri busuk. Gimana, Fris? Masih sakit?" tanya Jack,
setelah mengalihkan perhatiannya padaku.
"Masih sakit banget, Jack. Makanya, kalian jangan
pada ngelawak di sini. Perut aku tambah sakit kalau
ketawa."
"Lah, dikira kita Sule sama Andre kali yaa, pake acara
ngelawak segala." Timpal si Jack, yang membuatku terkekeh
dan mengeryit setelahnya karena merasakan sakit pada
bekas jahitan di perutku.
"Udah, kita keluar aja, Jack. Nggak beres kalau ada lo
di sini." Barga kembali mengampiriku, "keluar dulu bentar
ya." Ucapnya, kemudian mencium Omar dan menciumku
sebelum menghilang di balik tirai.
Suddenly I knew that I'd never felt as strongly for
another person as I did at the moment. Sebab kini aku
tahu, aku punya dua lelaki hebat yang menjadi penguatku
saat ini. Dua lelaki yang senantiasa menjadi bait dalam
alunan doa yang senantiasa menemani perjalanan terjalku
menuju garis akhir.
***
BARGA
"Gimana? Udah ada yang nawar belum?" tanyaku,
saat aku dan Jack berjalan menuju tempat parkir mobil di
lantai bawah rumah sakit.
"Lo mau lepas berapa? Abang gue tertarik. Tapi dia
mau lihat dulu fisiknya. Jadi nanti sore rencananya mobil
mau gue bawa dulu ke Jakarta."
"Ya udah, bawa aja. Terserah lo aja, Jack. Kira-kira X-
Trail kayak gini laku berapa kalau di jual."
Sampai di depan mobilku, Jack bersandar di bagian
sisinya dekat pintu untuk pengemudi, sedangkan aku
berdiri di depan Jack. Kami sama-sama menyalakan satu
batang rokok dan mulai menghisapnya.
"Udah mulai cinta sama Frisca?"
Aku menengok seketika saat mendengar pertanyaan
konyolnya. "Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?"
"Kepo aja gue. Tapi kalau lihat perlakuan lo sama
Frisca tadi, gue yakin lo memang ada hati sama dia."
Aku berdecak. "Hari gini masih mikirin cinta. Perut
dulu kenyangin. Cinta nggak bisa bikin perut kenyang."
Jack tertawa mengejek. "Basi lo. Kalo emang bukan
cinta, ngapain lo mau sama cewek bekas dipake abang lo?"
Dia bilang apa tadi? Emang bener-bener minta dihajar
kali ini orang, sampai berani berkata seperti itu di depanku.
Dengan penuh emosi, aku melempar batang rokok
yang masih tersisa banyak, lalu maju selangkah dan
menarik kerah baju si Jack dengan cukup keras hingga
membuat lehernya tercekat.
"Ngomong apa lo tadi? NGOMONG APA LO,
ANJING!" Teriakku langsung di depan wajah si bandit
sialan ini.
"Kalem, Bro. Lo nggak santai banget sih sekarang."
"Cewek yang lo hina itu istri gue, Gembel! Gimana
bisa gue santai denger ada orang yang hina dia!"
"Oke, sorry, sorry. Gue minta maaf."
"Masalahnya apa sih sama lo? Lo nggak ikhlas
bantuin gue? Balikin kunci mobil gue, biar gue usaha
sendiri."
"Berapa lama sih kita temenan, Bar? Gue ikhlas
nolongin lo. Oke, gue salah karena tadi udah menghina
istri lo. Gue minta maaf."
Aku mendengus. "Sekali lagi lo berani hina dia, nggak
peduli kita udah temenan lama, Jack, gue hajar lo sampai
mampus sekalian."
Aku melepas cengkaraman tanganku dengan sedikit
mendorong tubuhnya hingga membentur body mobil
dengan cukup keras dan membuatnya meringis.
"Bilangnya nggak cinta, tapi gue ngomong kayak gitu
aja langsung bikin lo kalap.
"Ya, elo mancing-mancing gue."
"Kalo lo kepancing, itu artinya lo cinta sama dia,
Gembel!" Balas si Jack, lalu menoyor kepalaku.
I don't want to hear this fucking topic. Frica pernah
mengatakan sendiri padaku, bahwa ia tidak ingin
menggantungkan harapan pada siapapun, karena sebuah
harapan selalu menyakitkan. Lalu apa yang bisa aku
harapkan darinya jika ia sendiri tidak ingin berharap
padaku? Dan kembali pada perkataanku dulu, bahwa
mencintainya sama saja seperti menggenggam angin. Semu.
Dan mustahil bisa kita dapat.
Si Jack mengajaku kembali masuk untuk berpamitan
pada Frisca karena harus langsung menemui kakak
lelakinya di Jakarta. Saat kami berjalan di tengah-tengah
lobby, seseorang meneriakan namaku dengan begitu keras.
Aku menengok, dan mendapati Icha yang sedang berjalan
menghampiri kami.
"Lo bawa apaan itu, Cha?" tanyaku heran, saat
melihatnya membawa bingkisan kado yang cukup besar.
"Hadiah buat anak lo lah. Gue mau besuk anak lo
boleh nggak, Bar?"
"Ya boleh lah. Kenalin dulu, ini sahabat gue dari
SMA."
Icha dan Jack bersalaman dan saling melempar
senyum. Aku mengajak mereka naik ke atas, dan
menemukan Omar yang sedang menangis dengan cukup
keras hingga membuat Frisca kewalahan saat memasuki
kamar perawatan mereka.
"Kenapa, Fris?" tanyaku, sambil mendekat dan
mengambil Omar dari gendongannya.
"Yang sebelah tadi ada yang besuk. Banyak orang,
trus pada ketawa-ketawa kenceng banget. Omar sampai
kaget waktu lagi tidur, terus akhirnya ngamuk kayak gini."
Ujar Frisca sambil berbisik, agar tidak sampai terdengar
pasien sebelah yang hanya terhalang tirai.
"Kasian banget anak Papa. Keganggu ya bobok-nya?
Sekarang Abang bobok lagi sama Papa ya."
Aku menempatkan Omar di atas dada. Menepuk-
nepuk punggungnya perlahan. Dan ajaib, bayi kecil itu
diam dengan sendirinya.
"Selamat ya, Frisca." Ujar Icha, setelah sebelumnya
sempat terdiam saat melihatku menenangkan Omar.
"Duduk aja, Cha. Sorry ya, tempatnya sempit. Nggak
mampu nyewa kamar VIP soalnya." Ucapku mengambil alih
percakapan, karena Frisca hanya melempar senyum singkat
tanpa bicara sedikitpun.
"Ya elah, Bar. Yang penting anak dan ibunya selamat,
sehat." Kemudian memalingkan kembali wajahnya ke arah
Frisca. "Namanya siapa?"
"Omar." Frisca menjawab singkat, kali ini ditambah
dengan sedikit senyum.
"Fris, balik dulu ya. Sorry nggak bisa lama-lama.
Sekali lagi selamat ya." Pamit Jack yang dibalas anggukan
oleh Frisca.
Sedetik kemudian, Icha ikut berdiri, "Gue juga
sekalian pamit, deh. Ini hadiah buat Omar. Mudah-
mudahan manfaat." ucapnya, sambil memberikan kotak
besar yang ia bawa kepada Frisca.
"Cepet-cepet banget sih, Cha?"
"Gue masih ada janji lagi soalnya. Selamat jadi Ayah
ya, Bar. Dijaga baik-baik amanahnya."
Aku mengangguk dan tersenyum.
"Lo bareng gue aja, Cha." Ucap si Jack tiba-tiba.
Membuat kami semua menengok ke arahnya.
"Nah, bener tuh. Bareng sama Jack aja, Cha, daripada
lo naik angkot."
"Emang nggak papa?"
"Alah! Si Jack mah udah biasa jadi supir. Tapi hati-
hati aja, Cha. PK dia!"
***
FRISCA

Aku memperhatikan Barga yang sedang berkemas.


Membereskan perlengkapan milikku dan Omar serta
hadiah-hadiah yang diberikan dari teman-teman kami yang
menyempatkan waktu untuk membesuk ke rumah sakit.
Setelah Barga menyelesaikan urusan administrasi,
akhirnya aku bisa keluar dari rumah sakit setelah tiga hari
terkurung di sini. Barga mengatakan jika di rumah ada
Bunda yang sudah menunggu kami, sedangkan Ibu Zulmi
dan Kiasah sudah kembali ke Jakarta setelah dua malam
menginap di sini.
"Butuh kursi roda, Bu?" Tawaran seorang security,
saat melihatku yang sedang berjalan perlahan sambil
menggendong Omar. Sementara Barga mendorong troley
yang berisikan tas serta hadiah-hadiah untuk Omar. Aku
pun menolak tawarannya karena merasa masih mampu
untuk berjalan sendiri.
Aku mengernyit ketika Barga membukakan pintu
Uber Taksi yang berhenti di depan kami saat kami baru
tiba di pintu lobby utama rumah sakit.
"Kok naik Uber? Mobil kamu mana?" Tanyaku,
setelah kami berdua duduk berdampingan di dalam mobil.
"Ada." Jawab Barga singkat. Namun, jawabannya itu
justru membuatku semakin curiga.
"Ada di mana, Barga?"
Barga tak menanggapi. Hingga saat kami tiba di
rumah, Barga masih belum menjawab pertanyaanku.
Bunda menyambut kami di depan pintu rumah.
Keadaan rumah sudah sangat rapi dari terakhir kali aku
meninggalkannya.
Sama seperti mobil, rumah ini pun pemberian dari
mertuaku. Beruntung, karena membuat kami tidak perlu
memikirkan biaya tambahan untuk mengontrak rumah.
"Ayah baru take off dari Medan. Nyampe kesini
malem kayaknya. Nanti tolong jemputin di Bandara Husen
ya, Bar?"
Aku mengamati Barga yang terlihat gelagapan saat
mendengar perkataan Bunda.
"Mobilnya nggak ada, Bun. Lagi dibawa sama Jack.
Mau dilihat kakaknya dulh, soalnya akhir-akhir ini sering
mogok."
Aku mengerutkan dahi saat mendengar jawabannya,
namun urung menanyakan lagi tentang keberadaam mobil
itu.
Malam harinya, saat aku keluar dari kamar mandi,
aku mendengar Barga sedang bicara dengan seseorang di
telepon.
"Ya udah, kalau harganya emang mentok segitu, lo
lepas aja Jack. Nanti gue kasih nomor rekening gue. BPKB-
nya gimana? Oke, besok gue kirim lewat JNE. Thanks ya
Jack."
Aku mendekat setelah Barga memutus panggilannya.
Mengambil tempat di sebelahnya, dan menatapnya lekat.
"Jujur sama aku, mobil kamu kemana?" tanyaku
dengan serius.
Barga menghela napas, kemudian mengusap wajahnya
dengan kasar.
"Aku denger obrolan kamu sama Jack tadi. Kamu
minta tolong Jack buat jual mobil kamu, kan?"
Barga memalingkan wajahnya dariku. Membuatku
harus sedikit memaksanya untuk menatapku.
"Iya, aku jual mobilnya."
"Kenapa?"
"Ya, buat bayar biaya operasi."
Aku tertawa miris. "Tapi kenapa harus dijual, Bar?"
"Kamu pikir, aku bisa dapet uang dari mana buat
bayar operasi kamu selain dari jual mobil? Udah lah nggak
usah dibahas lagi. Yang penting aku dapet uangnya halal.
Bukan uang haram hasil korupsi."
Aku tersentak. Perkataannya tadi benar-benar
membuatku terkejut. Di saat aku tengah menelaah
perkataannya, aku mendengar umpatan pelan dari
mulutnya.
"Sorry, aku bener-bener minta maaf, Fris. Nggak ada
sedikitpun maksud aku untuk ngomong kayak gitu. Aku...."
Barga bicara dengan gelagapan.
"No. I'm okay. It's doesn't matter. Apa yang kamu
omongin tadi emang bener. Harusnya aku berterima kasih
sama kamu, karena kamu udah berusaha cari rezeki yang
halal untuk aku dan Omar. Nggak kayak Papaku, yang tega
ngasih makan aku dan Mami dengan uang haram hasil
korupsi." Ada rasa sakit yang merambatiku saat
mengucapkan kalimat tadi. Bahkan aku nyaris tidak bisa
mengenali suaraku sendiri yang sedikit bergetar karena
berusaha keras menahan tangis. Aku menarik napas dalam.
Berusaha meredam percikan luka yang aku rasakan saat ini.
"Tidur yuk, Bar. Udah malem."
Aku beranjak menghampiri tempat tidur,
membaringkan diri di atasnya dan menutup rapat seluruh
tubuhku dengan selimut. Aku merasakan saat Barga
mengecup kepalaku dan berbisik, "I am so sorry. I never
meant to hurt you. Aku sayang sama kamu, Frisca."
Dan kata-katanya tadi adalah kekalahan untukku. Aku
menyerah dan akhirnya membiarkan air mata itu luruh
dengan sendirinya. Aku sudah biasa mendengar cemoohan
seperti itu dari orang lain. Namun, mengapa kali ini
rasanya beribu-ribu kali lebih menyakitkan? Aku menutup
mata, berusaha menghilangkan nyeri tapi tak berhasil.
Hatiku sudah terlanjur tergores karena perkataannya tadi.
Aku mendekap bantal dengan sangat erat. Berusaha
menyembunyikan tangisku yang semakin mengencang di
baliknya. Aku semakin terisak. Mencoba menghilangkan
perih dengan air mata yang tak hentinya mengalir sebagai
saksi dari setiap perih yang aku rasakan.
-tbc-
Say hi from Mama Papa-nya dedek Omar. Thx for
reading guys ���

16

Karena udah tiga hari nggak nongol, aku kasih bonus


videonya Barga & Frisca. Bukan trailer sih, just for fun aja.
Soalnya kalau dibilang trailer, ga nyambung sama judulnya
ahahahaha...
Enjoy guys...
***
FRISCA
Aku berjalan dengan sedikit tergesa di tengah koridor
sekolah untuk menuju ruang Bimbingan Konseling. Setelah
tiba di depan pintu ruangan, aku mengetuknya dan
membuka pintunya secara perlahan.
Terlihat anakku, sedang duduk di salah satu sudut
sofa dengan muka memar seperti habis kena pukulan.
"Mamanya Omar ya?" Tanya seorang wanita usia di
bawahku, yang aku yakini adalah guru BK di sekolah ini.
Aku mengangguk. "Iya, saya Mamanya Omar."
"Silahkan duduk dulu."
Aku mengikuti perintah dari sang guru. Duduk tepat
di samping Omar. Dari dekat, memar pada wajahnya
terlihat lebih jelas.
"Ada apa dengan anak saya, Bu?" tanyaku, kepada
guru yang duduk di seberang meja.
"Omar berkelahi dengan temannya."
Aku mengalihkan pandangan, menatap Omar dengan
tegas. "Benar?" tanyaku.
Omar mengangguk.
"Sama siapa?" tanyaku lagi.
"Azriel."
"Kenapa?"
"Di kelas, cuma Abang yang belum pernah main ke
Trans Studio. Azriel ngeledekin Abang. Katanya, Abang
nggak punya Papa, jadi nggak ada yang ngajakin main ke
Trans Studio."
"Terus?"
Omar menunduk, tak berani menatapku sama sekali.
"Terus, Azriel Abang lempar pake tempat pensil. Dia
marah, balik lempar Abang tapi nggak kena. Terus... ya
udah, akhirnya kita berantem."
Aku menghela napas panjang. Hal yang paling aku
takutkan akhirnya terjadi. Aku melirik guru BK di depanku,
dan ia mengerti maksudku.
"Ya udah, Omar sekarang kembali ke kelas ya."
Ujarnya, yang langsung dijawab anggukan kepala oleh
Omar.
Omar berdiri. Dan saat melewatiku, ia berhenti.
"Maafin Abang ya, Ma." Ucapnya pelan, masih
menundukan kepala.
Aku terdiam sesat. Sadar, jika ini semua bukan
sepenuhnya kesalahan Omar. Namun, aku pun tidak ingin
membelanya dan membuatnya menganggap jika berkelahi
untuk membalas sebuah kejahatan itu benar.
"Nanti kita bicara lagi di rumah ya."
Omar mengangguk, dan kembali melanjutkan
langkahnya.
"Kalau boleh saya tau, papanya Omar ke mana, Bu?"
tanya guru BK, setelah Omar keluar dari ruangan dan
kembali menutup pintunya dengan rapat.
"Papa kandungnya Omar sudah meninggal sejak
Omar masih di dalam kandungan. Setelah itu saya menikah
lagi, dan berpisah waktu Omar masih bayi."
Guru BK nampak mengangguk-anggukan kepala
tanda memahami ucapanku.
"Oh, pantes aja, sikap Omar cenderung fluktuatif.
Karena menurut ilmu psikologi yang saya pelajari, 63
persen anak mengalami masalah psikologis jika dibesarkan
tanpa campur tangan seorang ayah. Karena, kehilangan
peran ayah dalam kehidupan anak, sangat berkaitan dengan
kesulitan anak untuk menyesuaikan diri di sekolah,
lingkungan sosial dan penyesuaian pribadi terhadap
perubahan.
"Seperti yang saya perhatikan dari perilaku Omar, dia
sering sekali terlihat gelisah, sedih, suasana hati yang
mudah berubah, Omar juga sedikit introvert. Dan hal yang
saya khawatirkan, bila dibiarkan masalah kejiwaan pada
Omar akan berkembang dan bisa mengakibatkan depresi.
Dan itu akan lebih sulit untuk disembuhkan."
Tubuhku bergetar selama mendengar penjelasan dari
guru BK di depanku. Separah itukah pengaruh
perkembangan seorang anak tanpa kehadiran sosok ayah?
Semakin lama, getaran di tubuhku semakin kuat
hingga membuat seluruh tubuhku sedikit terguncang.
"Frisca," Bisikan lembut itu, seperti suara Barga yang
sedang berbisik di telingaku.
"Frisca... bangun, sayang." Ulangnya lagi dengan
mengguncang bahuku lebih keras.
Aku terperanjat dan bangun seketika. Astaga!
Ternyata cuma mimpi. Aku diam, mencoba meredakan
tarikan napasku yang masih sedikit terengah. Mimpi tadi
terasa sangat nyata.
"Kamu mimpi apa sih, sampe ngos-ngosan gini?"
tanya Barga, dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Ia
mengusap kepalaku dengan lembut
Aku menelan ludah dan mengusap wajahku. Saat
menutup mata, terlintas bayangan anak kecil tadi. Dan aku
baru sadar jika wajahnya sangat mirip dengan Barga.
Tampan, tapi tengil. Bukan wajah Arkha yang lebih tenang
dan meneduhkan.
Kami sama-sama menengok saat mendengar suara
tangisan Omar dari dalam box bayi. Saat aku akan berdiri,
Barga menahanku.
"Biar aku aja." Ucapnya, lalu berdiri dan berjalan
menghampiri Omar.
"Oh, popoknya udah penuh ya, Bang? Papa gantiin
ya."
Aku memperhatikan saat Barga dengan cekatan
mengganti popok sekali pakai yang digunakan Omar, dan
memakaikan popok kain sebagai gantinya.
Setelah selesai, ia membawa Omar dalam
gendongannya dan menyanyikan The Man Who Can Be
Move. Lagu dari band The Script yang membuatku
menggeleng-gelengkan kepala.
The good, the cool, and the silly Papa.
Dan aku pernah berkata jika aku beruntung karena
memilikinya disini, bersamaku dan Omar.
Namun kejadian kemarin membuatku berpikir ulang.
Delapan bulan menjalani pernikahan dengannya, tidak
lantas membuatku mengenal dirinya luar dalam. Dia masih
sangat asing. Siapa Barga dan bagaimana dia sebenarnya,
semua masih berupa bayangan samar di depanku.
Seperti sebuah kutipan yang pernah kubaca dari novel
WE, karya penulis Yevgeny Zamyatin, yang membuatku
berpikir ulang tentang dirinya.
'A man is like a novel, until the very last page you
don't know how it will end. Otherwise it wouldn't be worth
reading'
Well, untuk kita kaum wanita, membaca pikiran
seorang pria itu memang sama seperti membaca sebuah
novel. Kita tidak akan tau isinya seperti apa jika kita belum
sampai pada halaman terakhir. Karena berbeda dengan
wanita yang lebih ekspresif, para pria cenderung lebih
memilih untuk menutupi perasaannya. Dan hal inilah yang
aku benci dari mereka
***
Sudah dua minggu terhitung sejak operasi, aku sudah
membuat appoitment dengan dokter untuk membuka
perban yang selama ini menutupi luka bekas jahitan.
Beruntung metode kedokteran saat ini sudah canggih,
hingga membuat perban anti air dengan bagian luar seperti
terbungkus plastik dan tidak menjadi masalah jika terkena
air saat mandi.

Saat aku keluar rumah, Barga sudah menungguku di


carport dengan sebuah motor Yamaha Vixion di depannya.
"Motor punya siapa?" Tanyaku, saat berjalan
menghampirinya.
"Motornya Jack." Barga membantu memasangkan
helm di atas kepalaku dan mengencangkan kaitannya.
Setelah selesai, ia menatapku. Dalam, dan sangat gamblang.
"Maaf ya, sekarang cuma bisa masangin helm, nggak
bisa bukain pintu mobil lagi kayak kemaren."
Aku membalas tatapannya. Dalam situasi normal,
mungkin aku akan menghamburkam diri ke dalam
pelukannya dan mengatakan jika aku tidak masalah dia ajak
naik motor ataupun naik mobil asal ada dia yang
melindungi aku.
Namun untuk saat ini, aku telan semua perkataan itu
dan memilih menyimpannya sendiri. Aku pun hanya
mengangguk dengan sedikit senyum untuknya. "Ya udah,
yuk cepetan. Takut Omar keburu bangun. Nggak enak
sama Bunda kalau dititipin lama-lama."
Barga tersenyum pahit karena tidak mendapat respon
dariku.
Setelah aku duduk di atas motor, Barga menarik
tanganku dan melingkarkannya di sekeliling pinggangnya.
Membuat tubuh bagian depanku menempel ketat dengan
punggungnya.
Barga mulai menjalankan motornya, membelah
jalanan Bandung pada sore hari di bawah langit yang cerah
tanpa tertutup awan mendung.
Aku menunduk, menyembunyikan wajahku di atas
punggungnya saat merasakan laju motornya semakin cepat.
Dan itu membuatnya menarik tanganku agar semakin
merapat padanya.
Tepat saat pemberhentian lampu merah, Barga
menengok ke belakang, membuat wajah kami berjarak
sangat dekat.
"Geez, I miss your smell, Frisca. Too bad. I am sorry
to make you upset. Please, tell me how to get you back?"
bisiknya, sangat dekat. Matanya seakan menghipnotisku.
Belum sempat aku menjawab, suara nyaring dari
klakson mobil di belakang membawa kami kembali pada
realita. Akupun menelan kembali respon dari ucapannya.
***
BARGA
Sudah hampir satu bulan aku terjebak dalam situasi
ini. Situasi di mana kami seperti berada dalam fase awal
perkenalan ketika baru memulai pernikahan ini. Asing, dan
awkward. Benar-benar canggung, dan membuatku tak
nyaman saat berada di rumah. Kami masih sama-sama
tinggal di rumah yang sama, menempati kamar yang sama,
bahkan kami masih tidur di atas ranjang yang sama.
Namun... rasanya dia semakin jauh. Semakin tak
tergapai. Frisca hanya menanggapi sekilas setiap kata-kata
apapun yang aku ucapkan padanya. Dan aku paham, dia
berusaha bersikap seperti biasanya karena ada orangtuaku
di sini. Entah bagaimana keadaannya jika mereka sudah
kembali ke Jakarta.
Ayah menengok saat aku keluar dari kamar. Dia
melirikku sekilas, kemudian melanjutkan acara minum
kopinya di atas mini bar. Ada cangkir lain di sampingnya
yang aku yakini adalah kopi untukku. Aku menarik bar
stool di sebelah Ayah dan duduk di atasnya.
"Frisca sama Bunda pada ke mana, Yah?"
"Bunda lagi beli sayur di abang sayur yang lewat
depan ruman. Frisca lagi jemur Omar."
Aku mengangguk, lantas kembali menyeruput kopiku.
"Mobil kamu mana? Udah sebulan Ayah di sini,
belum lihat mobil kamu kayaknya."
Gerakan tanganku yang sedang mendekatkan tepian
cangkir pada mulut, terhenti seketika saat mendengar
pertanyaan Ayah. Akhirnya... setelah satu bulan, muncul
juga pertanyaan itu dari mulut Ayah.
"Dijual, Yah." Jawabku, dengan menundukan kepala
karena tak berani menatapnya.
"Kenapa dijual?"
"Buat biaya rumah sakit."
"Dan kamu pasti nggak ngomong dulu sama Frisca,
sampai akhirnya jadi alasan kalian untuk bertengkar?"
Aku diam. Sudah yakin jika orangtuaku sadar dengan
ketidak-beresan hubunganku dan Frisca saat ini.
"Kamu itu sekarang hidup nggak sendiri, Bar. Kamu
nggak bisa gegabah, asal ambil keputusan sendiri. Sekarang,
ada istri kamu yang harus kamu hargai juga pendapatnya.
Karena hakikat dari pernikahan itu menyatukan dua kepala
jadi satu. Dua kepala yang memiliki pemikiran dan cara
pandang yang lain. Dan titik temunya itu, satu-satunya
dengan komunikasi."
I don't know if we each have a destiny, or if we're all
just floating around accidental - like on a breeze. Karena
seperti seekor kupu-kupu, Frisca terlalu lincah untuk
kutangkap. Aku tidak bisa memaksanya jika tidak ingin dia
terbang semakin jauh hingga akhirnya lepas sepenuhnya
dariku.
"Bar," Aku dan Ayah menengok bersamaan, saat
mendengar Frisca memanggilku dari pintu depan dengan
membawa Omar dalam gendongannya.
"Iya?" Jawabku, kemudian berdiri menghampirinya.
"Minta tolong beliin salep untuk ngobatin bekas
gigitan nyamuk, dong. Di apotik depan ada kayaknya."
"Buat siapa?"
"Omar digigitin nyamuk. Kasian, pasti gatel kalau
nggak diobatin."
Aku memeriksa kaki dan tangan Omar. Memang
benar, ada beberapa bentol bekas gigitan nyamuk.
"Nggak usah pakai salep. Digosok pelan sama bawang
putih aja. Aku juga dari kecil suka digosokin bawang putih
kalau kena gigit nyamuk."
Frisca mengernyit mendengarnya. "Bawang putih?
Gimana caranya?" tanyanya, dengan raut wajah bingung.
"Tunggu sebentar," aku membalikan tubuh dan
melangkah cepat menuju dapur. Mengambil bawang putih
dari keranjang penyimpanan, mengupas kulitnya, lalu
memotongnya menjadi dua bagian.
Sambil berjalan menghampiri Frisca kembali, aku
menekan sedikit bawang itu hingga mengeluarkan getah
bening dari dalamnya. Frisca sudah duduk di atas sofa
ruang tengah saat aku menghampirinya. Aku mengambil
tempat di sampingnya, membawa Omar dari gendongannya,
dan mengolesi getah dari bawang putih tadi pada bentol-
bentol bekas gigitan nyamuk pada kaki dan tangan Omar.
"Udah. Biarin aja dulu. Nanti juga ilang sendiri
bentolnya." Ucapku, pada Frisca yang terlihat dari ujung
mata, jika ia terus memperhatikanku sejak tadi.
Aku menangkap tanganya saat Frisca berdiri. Aku
tahu, dia pasti akan menghindariku seperti sebelum-
sebelumnya.
"Mau kemana?" tanyaku, yang membuatnya
menegang seketika.
"Lepasin, Bar. Ada Ayah juga!"
"Ya, udah. Di kamar aja ngobrolnya."
Walaupun wajahnya terlihat sebal, namun ia tetap
menurut. Mengikuti saat aku menuntunnya memasuki
kamar dan mengajaknya duduk di pinggiran tempat tidur.
"Mau sampai kapan kita kayak gini terus, Fris?"
tanyaku, setelah membaringkan Omar yang sudah tertidur
dengan nyenyak.
"Emang kita kenapa? Biasa-biasa aja kayaknya."
Aku menghela napas. Mencoba meredam emosi agar
tidak mengulang kebodohan yang sama.
"Oke. Aku nggak tau ini untuk yang ke-berapa
kalinya aku minta maaf sama kamu. Sadar nggak sadar,
ucapan aku waktu itu emang udah keterlaluan. Dan aku
maklumin kalau kamu sampai semarah ini sama aku. Tapi
seperti yang pernah aku bilang sama kamu, kenapa kita
nggak bisa merubah unek-unek itu menjadi sebuah
ungkapan. Kita obrolin bareng-bareng, Fris. Nggak akan
ketemu ujungnya kalau kita diem-dieman terus kayak gini?"
Frisca membeku dalam kediamannya dengan
pandangan kosong menatap lantai kamar kami.
"Yeah... well... I guess you're right. But, I don't know
if I can anymore. Semuanya terlalu nyakitin buat aku, Bar.
Kayak kita habis diajak terbang tinggi, terus tiba-tiba
dilemparin gitu aja." Frisca kembali terdiam, menunduk, tak
menatapku sama sekali. "Mungkin lebih baik kita kayak
gini dulu aja ya. Karena aku butuh waktu, dan aku takut
kalau dipaksakan, kita malah semakin menyakiti satu sama
lain."
Frisca berdiri, namun saat ia akan melangkah, aku
kembali menahan tangannya. "Can't you see? Every step I
have taken to bring me closer to you. Sekarang aku tanya,
hal apa sih yang belum aku lakukan buat kamu? Semua
cara udah aku lakukan untuk bisa bahagiain kamu. Tapi
kayaknya pengorbanan aku sama sekali nggak ada artinya
di mata kamu. Karena semuanya ketutup sama kesalahan
kecil yang sebenarnya sepele."
Anjing! Kelepasan ngomong lagi kan gue. Mulut lo,
Bar! Minta disumpel kolor banget emang!
Frisca menatapku tak percaya. Cukup lama, hingga
akhirnya, ia tertawa miris setelahnya. Seketika aku merasa
diriku sebagai makhluk paling nista.
"Kayaknya terlalu naif ya, kalau kita harus membesar-
besarkan masalah yang sebenarnya sepele. Tapi buat aku,
jadi anak seorang tahanan koruptor itu bukan masalah
sepele, Bar. Itu aib buat aku, dan hal itu juga yang bikin
hidup aku hancur.
"Selama ini aku nggak pernah protes. Aku terima
semua hinaan dari orang-orang. Karena aku tau, sekali aja
aku protes, itu sama aja kayak aku lagi nyalahin Tuhan.
Tapi kok rasanya tambah nyakitin ya, waktu denger hinaan
itu dari mulut kamu? Orang yang aku percaya, orang yang
aku anggap sebagai pelindung aku.
"Kamu pernah nyobain nggak, gimana rasanya
naburin garem di atas luka yang belum sepenuhnya kering?
Perih, kan? Dan kayak gitu yang aku rasain sekarang."
***

17

Di dalam hidup, ada saat untuk


berhati – hati atau berhenti berlari
[Barasuara - Taifun]
***
FRISCA

"Udah bisa apa aja cucu Mami sekarang?" tanya


Mami, di tengah-tengah perbincangan kami melalui telepon.
"Baru juga sebulan, Mam. Bisa apa lagi selain nangis,
nenen, pup, tidur."
Mami terkekeh pelan di ujung sana. "Sedih banget
belum bisa nengokin cucu." Ujarnya.
"Emangnya Mami sekarang di mana?"
"Mami masih di KL, akhir bulan ini mau buka cabang
baru restorannya Oma di KLCC." (Baca : KL = Kuala
Lumpur. KLCC = Kuala Lumpur City Center)
"Ya udah, nanti juga Mami pulang. Udah aku kirimin
foto dan videonya Omar juga, kan."
Mami kembali terkekeh. "So, are you happy, now?"
Pertanyaan Mami membuatku terdiam beberapa detik.
"I hope so, Mam." Jawabku, dengan lirih.
"Think of all the beauty still left around you. Barga
dan Omar. Jadikan mereka alasan kamu untuk selalu
bahagia."
"Be noted, Mam. Thank you."
"You know that I love you so much more than
everything."
Dan perkataan Mami tadi membuat sesuatu di dalam
mataku mendesak untuk keluar. "Mamiii... Please... Jangan
bikin aku sedih, dong. Mami tau kan, kalau sekarang ini
aku lagi sensitif banget."
Dan lagi-lagi, Mami terkekeh. "Ya udah, kalau gitu.
Mami balik kerja lagi ya. Salam buat Barga dan besan
Mami. Dan titip cium sayang dari Oma untuk Omar yaa."
"Okay. We love you, Mam. Take care there."
"You too, Honey."
Setelah panggilan terputus, aku masih terdiam.
Menatap Omar yang sedang tertidur nyenyak di dalam box-
nya. Menjadi seorang ibu membuatku semakin mengerti
arti dari sebuah pengorbanan. Ibu, dengan semua
kelembutan dan kehangatannya, selalu menasbihkan nama
kita di dalam setiap bait-bait doa yang mengalir seiring
alirah darah dalam nadinya. Ibu yang terlihat lemah,
ternyata sanggup menghalau semua kerikil yang menjadi
penghalang dalam setiap langkah kita saat menyusuri masa
depan. Ibu, makhluk mulia, yang senantiasa
menghadiahkan mata air saat kita kehausan, dan menjadi
lentera ketika kegelapan menyekat.
And now, I wish you were here, Mam.
Sore harinya, saat aku baru menidurkan Omar, aku
mengintip dari jendela saat mendengar suara deru mesin
motor yang berhenti di depan rumah. Posisi kamarku yang
menghadap langsung ke arah jalanan, memudahkan aku
untuk melihat ke depan.
Menyaksikan saat perempuan yang diboncengnya
turun lebih dulu, lantas disusul oleh Barga setelah
memarkirkan motor yang ia kendarai tepat di depan pintu
gerbang. Barga menyerahkan helm yang ia gunakan pada
perempuan itu dan dengan iseng menurunkan kaca helm
yang digunakan perempuan itu dengan sekali sentak.
Kemudian mereka tertawa bersamaan setelahnya. Aku
masih terus memperhatikan Barga yang sedang menunggu
perempuan itu saat membawa motornya pergi, dan masih
menatap kepergiannya beberapa lama sebelum berbalik dan
memasuki pintu gerbang.
Good attitude, dude!
Aku berjalan dengan pikiran kosong. Kembali duduk
di pinggiran tempat tidur dan mencoba men-suggest diri
sendiri untuk berusaha bersikap tenang.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, disusul
dengan masuknya Barga ke dalam kamar. Ia terlihat sedikit
terkejut saat menemukan keberadaanku.
"Hei, assalamualaikum." Sapanya.
"Waalaikumsalam." Jawabku datar.
Melepas travel pouch Eiger yang ia selempangkan di
atas pundaknya, lalu menaruhnya di atas meja.
"Pulang sama siapa tadi?" Tanyaku, setelah terdiam
beberapa lama.
"Si Icha. Udah diangkat jadi karyawan permanent dia.
Terus baru kredit motor gitu. Jadi tadi sekalian nebeng
pulangnya."
"Seneng dong, bisa boncengan terus sekarang."
Gerakan Barga yang sedang melepas jaketnya terhenti,
dan menatapku dengan serius.
"Apa lagi sih, Frisca? Aku baru pulang kerja. Capek.
Bukannya disambut, malah diajakin berantem."
Aku membuang muka darinya. Selalu ingin menangis
setiap kali menahan kesal. "Aku nggak ngajakin berantem.
Aku cuma nanya aja, kan."
Dari ujung mata, kulihat Barga yang sedang
memperhatikanku. Belum sempat ia menyahut, ketukan
pada pintu menghentikan perdebatan kami.
Aku menyeka setitik air yang keluar di kedua ujung
mata, dan menarik napas dalam untuk meredam emosi.
Terlihat keberadaan Bunda saat membuka pintu.
Tersenyum hangat, penuh kasih sayang. Membuat rasa
kerinduan akan sosok seorang ibu sedikit terbayarkan.
"Lagi nggak sibuk, kan? Kita ngobrol sebentar di
ruang tengah, 'yuk!"
Aku tersenyum, lantas berjalan di belakang Bunda,
diikuti pula oleh Barga di belakangku. Terlihat ayah
mertuaku yang sudah menanti kami di ruang tengah.
Aku duduk di sofa panjang samping Bunda.
Sedangkan Barga duduk di sofa single yang posisinya
berhadapan langsung dengan Ayah.
"Ada sesuatu yang mau Bunda bicarakan. Ini soal
Arkha." Ucap Bunda, mulai membuka obrolan.
"Bicara apa, Bun?" Tanyaku penasaran.
"Jadi gini, Fris. Sebelum Arkha meninggal, dia dapat
jatah warisan dari almarhum ayahnya. Dan itu sebagian
sudah dipakai untuk biaya Arkha selama tinggal di
Melbourne. Tapi, karena biaya kuliah di RMIT sudah
sepenuhnya ditanggung oleh hadiah beasiswa dari
Olimpiade, jadi, sisa uang Arkha masih bunda pegang. Dan
sekarang, Bunda mau kasih uang itu untuk Omar. Karena
Bunda rasa, Omar lebih berhak atas uang itu." (Baca :
RMIT = Royal Melbourne Institute of Technology
University)
Aku tercengang. Sedikit terkejut karena ucapan
Bunda. Aku saling melempar pandangan dengan Barga.
Dilihat dari gesture-nya, sepertinya Barga sudah tahu
tentang hal ini.
"Tapi ... Omar anak Arkha di luar nikah, Bun. Dan
itu artinya, dia nggak berhak atas warisan apapun dari
Arkha."
"Bukan warisan, anggap aja hadiah dari Arkha.
Bentuk tanggung jawab Arkha sebagai ayah kandungnya.
Karena bagaimanapun, Omar anak kandungnya Arkha,
satu-satunya penerus keturunan ayah Galih. Tolong, jangan
kamu tolak ya. Bunda sudah pikirkan hal ini sejak Omar
masih di dalam kandungan. Bunda sudah diskusikan
dengan Ayah dan Barga, dan mereka setuju untuk
memberikan uang itu sebagai haknya Omar."
Aku kembali terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.
Terlalu banyak hal yang mereka berikan untukku dan
Omar. On an almost daily basis, I look that I am a nobody.
Dan ini semua terlalu berlebihan untukku. Membuatku
merasa I don't deserve to be loved.
"Frisca malu, Bun. Frisca udah terlalu banyak bikin
susah di keluarga ini." Akhirnya aku membuka suara.
"Nggak, Sayang. Kamu sekarang sudah bagian dari
keluarga kami. Kami semuanya sayang sama kamu dan
Omar. Dan untuk masalah kamu dengan Barga... biar Ayah
aja deh, yang jelasin ya."
Aku memalingkan wajah pada Ayah mertuaku.
Menanti, apa yang akan mereka sampaikan mengenai aku
dan Barga.
"Ayah sudah bicara dengan Barga, soal rencana kalian
untuk mengulang ijab qobul. Dan...,"
"Emangnya kenapa Frisca dan Barga harus mengulang
ijab qobul, Yah?" tanyaku, memutus perkataan Ayah.
"Biar aku aja yang jelasin, Yah." Barga mengambil alih
percakapan. Membuatku ganti menatap Barga.
"Jadi gini, Fris. Dalam aturan agama, menikahi wanita
hamil itu tidak sah. Mau itu hamil anak sendiri atau anak
dari laki-laki lain, aturannya tetap sama. Jadi kita harus
mengulang ijab qobul supaya pernikahan kita sah, dan
jatuhnya jadi nggak zina."
"Terus... Yang kemaren-kemaren itu gimana?"
Tanyaku lagi, tanpa merasa risih di depan kedua mertuaku.
Barga nampak bingung mencari jawaban. Ia mematap
kedua orangtuanya bergantian sebelum menjawab,
"Pernikahan kita kemaren hanya untuk mengesahkan di
mata hukum. Karena, untuk bikin akta kelahiran Omar kita
butuh surat nikah, kan."
Hanya untuk akta Omar, your ass! Terus, setiap
malem kamu gerayangin aku itu apa? Kita ngapain itu?!
"Kalau bisa, kalian lakukan akad nikah ulang
secepatnya. Setelah Frisca selesai nifas dan keluar haid
pertama. Itu artinya Frisca sudah selesai dalam masa iddah."
Sambung Ayah mertuaku kemudian.
Aku tertawa miris. "Nggak tau, Yah. Frisca bingung.
Jujur aja, Frisca kaget dengernya. Barga udah tau, tapi dia
nggak pernah menyinggung masalah ini sama Frisca. Dan
sekarang... Frisca rasa, Frisca butuh waktu. Mungkin Frisca
mau ke tempat Mami dulu di KL. Kayaknya Frisca tinggal
dulu di sana...," Ucapanku terhenti saat Barga tiba-tiba
menarik tanganku dan memaksaku berdiri.
"Ayah sama Bunda nggak keberatan kan, kalau aku
mau ngobrol dulu berdua sama Frisca?"
Saat melihat kedua mertuaku mengangguk bersamaan,
Barga dengan sedikit kasar menyeretku memasuki kamar.
"Kamu itu kenapa sih, Fris?" tanya Barga, setelah
kami berada di dalam kamar. Aku melangkah mendekati
ranjang dan duduk di atasnya. Sedangkan Barga berdiri di
depanku. Tegang, dan terlihat sedikit marah.
"Aku nggak kenapa-kenapa. Aku cuma mau ke tempat
Mami. Mami pingin ketemu sama Omar, tapi masih belum
ada waktu untuk pulang ke Indonesia. Nggak ada salahnya
kan, kalau aku yang nyamperin Mami ke sana?"
Terdengar dengusan kasar darinya. "Omar masih bayi,
Frisca. Umurnya baru sebulan. Dia masih rentan kena virus
penyakit. Dan kamu tau sendiri, kan, di bandara itu
keadaannya seperti apa? Tempat yang paling banyak
menjadi penyebaran virus. Kamu nggak kasihan sama
Omar?
"Kamu boleh mentingin perasaan kamu sendiri, tapi
ya jangan ngorbanin Omar juga demi ego kamu. Kamu
udah jadi seorang ibu, Fris. Seharusnya kamu bisa bersikap
lebih bijak."
"Aku cuma butuh waktu dan jarak dari kamu, tapi
kamu nuduh aku jadi ibu yang jahat dan tega ngorbanin
anak aku sendiri untuk keegoisan aku? Ada lagi nggak,
kata-kata yang lebih nyakitin lagi setelah ini? Biar aku bisa
siap-siap jadinya."
Aku memilih membuang muka karena tidak suka
melihat caranya menatapku.
"Kenapa sih semuanya harus dibikin rumit, Fris?
Kenapa harus sampai drama kayak gini, sih? Kenapa kamu
nggak bisa bicara jujur tentang semua yang kamu rasain
sekarang."
"Because, sometimes not saying anything is the best
answer. Dan pilihanku, lebih baik aku diam, daripada aku
bicara tapi malah menyakiti. Dan satu hal lagi yang harus
aku ingatkan sama kamu, just in case kamu lupa. Aku
nggak pernah maksa kamu untuk tanggung jawab sama
kehamilan aku. Aku berulang kali nolak kamu waktu kamu
paksa aku untuk nikah sama kamu. Walaupun aku sendiri
nggak yakin bisa melewati masa kehamilan sampai
kelahiran Omar sendiri, tapi paling nggak, hidup aku bisa
lebih tenang, Bar. Karena aku nggak perlu jadi beban untuk
orang lain."
***
Keesokan harinya, aku sudah mendatangi Kantor
Imigrasi sejak pagi hari. Membuat paspor untuk Omar
dengan bantuan calo agar bisa jadi hari ini juga. Dengan
bayaran beberapa kali lipat dari biaya normal, akhirnya
paspor milik Omar sudah aku pegang. Bukan hal yang
patut dicontoh memang. Namun, dalam keadaan urgent
seperti ini, hal yang haram pun dapat menjadi halal jika
sudah mendesak, bukan?
Aku kembali pulang dan menemukan keadaan rumah
sepi. Aku lupa, tadi pagi ayah dan ibu mertuaku sudah
berpamitan untuk kembali pulang ke Jakarta.
Terlihat Barga baru selesai mandi saat aku memasuki
kamar. Hanya menggunakan celana boxer-nya tanpa atasan.
Aku menidurkan Omar di atas tempat tidurnya, lalu
menyimpan tas serta gendongan yang aku pakai untuk
menggendong Omar di atas meja.
"Udah beres?" tanya Barga, tanpa menatapku.
"Udah. Pakai calo, sehari langsung jadi."
"Terus rencananya berangkat kapan?"
"Besok."
"Naik apa? MAS?" (Baca : MAS = Malaysia Airlane)
Aku menggeleng. "MAS nggak ada keberangkatan dari
Husein. Adanya cuma Garuda."
Saat aku sadar, aku sudah melepas semua pakaianku
dan hanya menyisakan satu set dalaman yang aku kenakan.
Kebiasaanku setiap kali akan mandi.
Sambil menahan malu, aku berjalan cepat menuju
kamar mandi. Namun saat aku melewati Barga yang sedang
berdiri di depan lemari, dengan sengaja Barga menghalangi
jalanku. Mencengkram lenganku dan sedikit mendorongku
hingga membentur tembok.
Aku menelan ludah saat Barga mengurungku dengan
kedua tangannya. Napasnya membelai saat ia semakin
memajukan tubuhnya. Dan aroma mint dari mulutnya
menyambutku saat Barga menyatukan kedua mulut kami.
Dalam sudut pikiranku, seharusnya aku sadar jika
tidak seharusnya kami melakukan ini. Namun naluriku
seakan berkata lain. Hasratku terpanggil. Menuntunku
untuk membalas ciumannya dan melingkarkan kedua
tanganku pada lehernya. Menyelipkan jemariku pada
rambut-rambut halusnya yang masih setengah basah.
Menikmati ciuman pertama kami setelah satu bulan lebih
saling bertahan di balik tameng arogansi masing-masing.
Seperti oase di tengah-tengah padang pasir, ciumannya
selalu menyejukan. Membuatku seakan mendapatkan air
segar di tengah kekeringan.
"Kasih tau aku, Fris, apa yang harus aku lakuin
supaya kamu nggak pergi?" bisiknya di depanku. Dengan
kedua mulut kami yang masih saling menempel.
Aku membuka mata. Membuat kami saling mengunci
pandangan selama beberapa saat.
"Nggak ada." Jawabku. "Kita emang harus pisah dulu,
Bar. Kita butuh jarak untuk bisa menelaah baik-baik
bagaimana perasaan kita satu sama lain. Karena aku ingin,
ketika ijab qobul itu terulang, kita sudah punya satu tujuan
yang sama dan kita juga sudah yakin dengan perasaan kita
masing-masing."
Barga kembali menciumku. Berulang-ulang. Seakan
tak pernah puas.
"Aku takut, Fris. Aku takut saat aku sadar dengan
perasaan itu, ternyata kamu sudah terlanjur pergi jauh dari
aku."
Aku semakin mengeratkan pelukan pada lehernya.
Membuat tubuh bagian atasnya yang tak tertutup, semakin
menempel dengan tubuhku yang hanya terhalang pakaian
dalam tipis.
"Aku untukmu, percayailah itu sekali lagi." Ucapku,
sebelum kembali menciumnya lebih dulu.
-tbc-

18

BARGA
Sore hari itu, aku berdiri di antara barisan makam
yang berjajar rapi. Menatap lurus pada sebuah gundukan
tanah yang terselimuti rumput hias di depanku.
"Dia pergi, Bang." Ucapku, seolah gundukan tanah di
depan sana dapat mengerti arti perkataanku.
"Gue bego, karena nggak bisa jaga dia, sampai
akhirnya dia minta lepas dari gue. Dan gue bingung
sekarang. Nggak tau harus ngapain."
Aku kembali terdiam. Menghalau sesak yang
kurasakan sejak kepergiannya. Dan kini aku paham,
mengapa dulu Arkha sampai harus kabur ke Melbourne
ketika ia patah hati. Karena jujur saja, patah hati memang
bukan kiamat, tapi tetap saja rasanya membuat sekarat.
"Gue akui, Bang. Mungkin gue memang mencintai
dia. Karena saat gue kehilangan dia, rasanya... kosong.
Kayak ada yang hilang di dalam diri gue."
Mungkin memang seperti ini rules-nya... cinta dan
patah hati. Sudah berada dalam satu konsep yang akan
menggiring kita pada lembah elegi. Dimulai dengan
nyanyian kegembiraan, dan harus siap jika berakhir dengan
nada ratapan kesedihan. Cinta itu hakiki. Sebuah tirani.
Ada sebagian orang yang menganggap cinta itu sebuah
keagungan, hingga rela bersujud di bawahnya. Tapi tidak
untukku.
"Nggak asik curhat sama lo sekarang. Dikacangin
mulu gue. Udah lah, gue balik sekarang. Lo istirahat yang
tenang di sana ya, Bang. Jujur aja, gue kangen sama lo.
Kangen sama suasana rumah yang dulu. Di mana masalah
kita hanya sebatas takut diomelin Ayah karena nilai
ulangan jeblok, atau karena ikutan tawuran sampai kena
skros dari guru. And it's been a long day without you, bro."
Setelah selesai, aku kembali melangkah menyusuri
jalan setapak di pinggiran makam, menghampiri tukang
ojek yang sabar menungguku di atas motornya.
"Balik lagi ke SCBD ya, Bang." Ucapku, saat naik ke
atas motor.
"Ke pool City Trans lagi?" tanya si Tukang Ojek.
"Iya."
Niat banget emang. Sengaja naik travel Bandung-
Jakarta pulang pergi hanya untuk mengunjungi makam
Arkha. Salah satu hal bodoh yang aku lakukan sebagai
bentuk pelarian dari rasa sepi. Sudah dua minggu sejak
kepergian Frisca ke Malaysia, rumah menjadi tempat yang
mengerikan bagiku. Terlalu mencekam, penuh kenangan,
dan membuatku merasa sesak ketika pulang, dan hanya
disambut oleh keheningan. Tidak ada lagi istri yang selalu
menyambutku setiap pulang kerja seperti sebelumnya.
Pukul tujuh malam, aku tiba di rumah. Mandi,
berganti pakaian, dan lanjut kerja lagi. Sengaja
mempersibuk diri sendiri agar tidak berakhir tragis dengan
meneguk obat nyamuk sebagai obat patah hati. Aku
terdiam beberapa lama saat tak sengaja melihat ke arah
tempat tidur Omar. Rasa rindu yang besar kembali
menyelimutiku.
Aku kembali pulang ke rumah sesaat sebelum
terdengar azan subuh. Setelah mandi, kusegerakan salat,
dan bertafakur di tengah zikir sesudah salat. Setidaknya,
aku tidak merasa sendiri, karena ada Yang Di Atas sana
yang senantiasa mengiringi setiap langkah kaki menuju
garis akhir. Dan Dia-lah yang paling agung menurutku.
Satu-satunya yang paling pantas untuk disembah. Dan kini
aku mencoba memasrahkan urusan duniawi kepada-Nya.
Biarlah Dia yang memilihkan jalan terbaik yang harus
kulalui. Sekalipun perpisahan akan menjadi hasil akhirnya,
aku ikhlas. Karena aku tahu, Dia selalu memberikan apa
yang kita butuhkan, bukan hanya sekedar yang kita
inginkan.
Setelah selesai, kurebahkan tubuhku di atas tempat
tidur. Menyempatkan sedikit waktu untuk istirahat sebelum
kembali menjadi cungpret di hotel.
Bunyi ping dari telepon genggam membuatku kembali
membuka mata. Ada pesan dari Icha
Icha : Masuk apa?
Segera kuketik balasan untuknya.
Me : Pagi. Lo?
Icha : Sama. Mau nebeng nggak?
Me : Mau dong, Cha. Jemput ya.
Icha : Okay. Tapi ntar malem traktir makan di
Upnormal yak
Me : Okay. Tapi bikin gue ketawa ya.
Icha : Ogyaahhh. Lo kira gue Nunung diminta
ngelawak di depan lo?!
Aku tersenyum saat membaca balasan darinya. Paling
tidak, Icha akan membuat hari Sabtu ini menjadi tidak
terlalu buruk.
Pukul enam, Icha sudah tiba di depan rumahku.
Dengan gaya casual sporty yang membuatnya selalu terlihat
manis dan lebih muda. "Bar, numpang ke kamar mandi,
dong." Serbunya, saat baru turun dari motor.
Aku segera mengajaknya masuk ke dalam rumah dan
menunjukan letak kamar mandi. Sambil menunggu Icha,
aku mencuci piring bekas sarapanku tadi. Mie goreng
dengan telur ceplok.
Icha keluar kamar mandi dan nampak memerhatikan
keadaan sekeliling rumahku. "Lo iseng banget di rumah
sendirian ya, Bar?" tanyanya.
Aku menyambar jaket dan tas yang kuletakan di atas
meja makan. "Banget. Taken rasa jomblo, Cha." Jawabku,
sambil mengajaknya keluar.
"Emangnya sampai kapan Frisca di Malaysia?"
"Nggak tau."
Setelah mengunci pintu, kami berjalan bersisian
menuju motor Icha yang sudah kumasukan ke dalam
carport. Ada Bu Fatma, mamanya Farell yang rumahnya
tepat di sebelah rumahku, sedang mengobrol dengan Ibu
Amel di depan rumahnya saat aku mendorong motor Icha
keluar.
"Mau berangkat, Om?" sapa Bu Fatma.
"Iya." Jawabku, sambil melempar senyum ramah
untuk mereka.
"Dedek Omar masih di tempat Omanya?" giliran Ibu
Amel yang bertanya.
"Masih, Bu."
Aku mengunci pintu gerbang terlebih dahulu sebelum
bersiap menaiki motor Icha.
"Pergi dulu Bu Fatma, Bu Amel." Pamitku, saat
melewati mereka.
Hari Sabtu, jalanan Bandung tidak terlalu padat
seperti hari-hari kerja biasanya. Aku membawa motor matic
Icha dengan sedikit cepat, dan membuat Icha berpegangan
erat di belakangku.
"Barga! Lo mau mati ya? Bawa motor kenceng
banget!" terdenger suara Icha yang sedikit berteriak.
Aku berpura-pura tak mendengar dan terus
berkonsentrasi pada jalanan di depanku. Hingga saat kami
tiba di hotel, aku memarkirkan motor Icha di tempat parkir
khusus karyawan.
"Lo gila ya? Kalau mau mati, mati aja lo sendiri.
Jangan ajak-ajak gue." Hardik Icha, saat baru turun dari
atas motor.
Aku tertawa pelan mendengarnya. "Soalnya enak bawa
motor baru, Cha. Masih mulus gitu jalannya. Nanti malem
jadi nongkrong di Upnormal, Kan?"
"Hayu aja. Tapi ajakin Jack juga ya, biar kita nggak
cuma berduaan?"
Aku mengangguk semangat. "Iya, lah. Ajak si Jack
biar lebih seru."
Well, kembali mencari pelarian, dari pada harus
pulang ke rumah dan kembali menjadi idiot yang meratapi
kesendirian. I'm gonna miss them so much. Ironis memang.
***
"Masih belom balik si Frisca?" tanya Jack, saat kami
duduk berhadapan sambil menunggu pesanan di cafe
Upnormal. Icha pamit sebentar ke toilet, dan kesempatan
itu membuat si Jack segera menginterogasiku.
"Belum, Jack. Nggak tau lah. Pusing gue!"
Jack berdecak. "Bener kan gue bilang. Lo itu terlalu
lembek jadi cowok."
"Lo mau gue tusuk, biar tau kalau gue keras?"
Jack melempar tempat tisue ke arahku yang langsung
kutangkap dengan sigap. "Ngomong nggak usah pake toa,
anjir! Lo nggak nyadar itu orang-orang pada ngeliatin kita."
Aku tak menjawab. Terlebih saat Icha kembali
bergabung bersama kami.
"Ngomongin apaan sih, serius banget?" ujarnya, saat
kembali menduduki kursinya.
"Temen kamu tuh, Cha. Muka doang ganteng, tapi
bloon!"
"Enak aja. Dia kan lebih lama temenan sama kamu
dari pada sama aku."
Aku tak menanggapi mereka. Lebih memilih menarik
sebatang Dunhill menthol dari dalam kotaknya, dan
membakarnya dengan lighter. Merasakan saat asupan
nikotin menjarah pada sebagian sel di dalam tubuh.
Aku sedikit terusik saat merasakan getaran dari dalam
saku celana. Saat kulihat, ada pesan masuk dari Frisca.
kenapa rasanya jadi berdebar-debar nggak jelas gini?
Mungkin karena inilah pertama kalinya Frisca kembali
menghubungiku sejak dua minggu lalu, saat mengabarkan
jika mereka sudah landing dengan selamat di bandara Kuala
Lumpur, dan sejak itu, tidak ada lagi kabar apapun darinya.
Aku sendiri memilih membiarkannya karena berpikir jika
mungkin dia memang butuh waktu sementara tanpa
kehadiran aku.
Frisca: Ada hal-hal yang pantas untuk diperjuangkan
dan ada juga hal yang memang sudah saatnya untuk
dilepaskan. Dan aku pikir, mungkin memang ini saatnya
untuk kita sama-sama saling melepaskan. Because I want to
see you as happy as you can be.
Bandit! Apa maksudnya ini? Kenapa dia tiba-tiba
mengirimku pesan seperti ini?
Tanpa membuang waktu lebih lama, aku segera
mencari nomornya dan mulai menghubunginya. Dan
hebatnya, saat ini nomornya langsung tidak aktif. Aku
melirik Jack yang menatapku penuh rasa ingin tahu.
Kusodorkan telepon genggamku padanya dan menunjukan
pesan dari Frisca tadi.
"So?" tanyanya.
"So, apa?"
"Terus gimana keputusan lo sekarang?"
"Ya udah, mau gimana lagi. Dianya udah minta gue
lepas."
"Geez. What the hell wrong with you, man! If you
want her, go and get her back!"
Namun aku tak menanggapi. Berpikir jika I dont
really have much of a choice anymore. Karena aku tahu ...
aku telah mencintainya. Namun, aku pun memahami
hakikatnya, bahwa ketika kita siap untuk jatuh cinta, maka
kita juga harus siap untuk patah hati. Karena cinta dan
patah hati, akan selalu membawa akhir pada sebuah elegi.
***
FRISCA
Mami masuk ke dalam kamar saat aku sedang
menyusui Omar. Ia tersenyum, menghampiriku dan duduk
di depanku yang sedang bersandar pada tumpukan bantal
di belakangku.
"Mami dari mana?" tanyaku, saat melihat Mami
membawa beberapa kantung belanjaan di tangannya.
"Dari Sungei Wang. Nih, beliin baju buat Omar.
Lucu-lucu deh, Fris."
Aku membongkar kantung belanja dengan satu
tangan, sementara tangan lain masih menggendong Omar.
Menggelangkan kepala saat melihat berapa banyak baju
yang dibelikan Mami untuk Omar.
Sejak hari pertama tiba di sini, Mami sudah sangat
excited menyambut kedatangan kami. Mami sudah
mempersiapkan segala kebutuhan Omar selama berada di
sini. Salah satunya adalah ini. Hampir setiap hari Mami
membelikan pakaian, sepatu dan barang-barang lainnya
untuk Omar.
Sepertinya, aku harus mengirimkan lewat Cargo
untuk membawa barang-barang ini saat akan kembali ke
Bandung.
"Mau makan apa?" tanya Mami kemudian.
"Ayam rica dong, Mi. Udah lama nggak makan ayam
rica-rica buatan Mami."
Mami nampak berpikir sebentar. "Lemongrass-nya ada
nggak ya? Bentar, Mami liat dulu ya."
Aku mengangguk. Dan Mami berlalu menuju dapur.
Aku memperhatikan Omar yang sudah terlelap setelah puas
menyusu. Segera kubaringkan tubuh mungilnya di atas
tempat tidur di sampingku. Memperhatikan dengan lekat
wajahnya yang terlihat damai. Sangat menenangkan.
Perhatianku teralihkan oleh bunyi BBM masuk dari
ponselku.
Mama Farell : Tante Frisca, kapan pulang? Betah
banget di Malaysia. Di rumah lagi ada sodara yang nginep
ya?
Saudara yang menginap? Siapa?
Me : Masih belum tau pulangnya kapan. Sodara siapa
yaa Bu Fatma?
Mama Farell : Nggak tau. Saya baru lihat juga
soalnya. Perempuan seumuran Tante Frisca. Tadi pagi jam
6 keluar bareng sama Om Barga, terus pergi bareng-bareng
naik motor Vario. Kalau nggak percaya, tanya Bu Amel.
Tadi kebetulan lagi ngobrol sama Bu Amel waktu Mas
Barga keluar bareng-bareng sama perempuan itu.
Tubuhku menegang seketika. Aku tahu perempuan
siapa yang dimaksud. Sialan! Baru kutinggal dua minggu,
dia sudah berani membawa perempuan lain menginap di
rumah kami. Lalu, kamar mana yang mereka tempati?
Maybe I should to say good bye? Would it better for
me to go? Ya, Tuhan... Barga...
Dengan tangan bergetar, aku membuka akun dari
social media Instagram milik Barga dan melihat foto apa
saja yang Barga unggah selama aku tak ada. Mungkin ada
hal yang bisa kujadikan bukti.

❤ 120 Likes
BargaAnggara : Secara teoritis, gue meyakini jika hidup itu
harus dinikmati. Singkirkan hal apapun yang bikin lo sulit
untuk menikmati hidup. Because love never keeps a man
from pursuing his destiny.
view all 69 comments
JakaJack : Betul brother. Hidup cuma sekali. Nikmati aja
apa yang ada.
Veraherbal : Mau payudara besar dan kencang dalam 10
hari? Yuk konsultasi dengan dokter vera. Membantu
mengencangkan payudara kendur hanya dalam waktu 10
hari. Menggunakan ramuan obat-obatan herbal dan tanpa
efek samping. Tunggu apa lagi?
Apa maksud dari tulisan Barga? Apa selama ini aku
menahannya untuk mencapai takdirnya sendiri? Dan apa
itu artinya dia ingin menyingkirkan aku dari hidupnya?
Ada tag nama Jack dan Icha di sana. Aku men-klik
nama Icha dan langsung masuk ke akunnya. Melihat foto
terakhir yang ia posting. Membuat tubuh menggigil
seketika.

❤26 Likes
Ichanisa : And my answer... Absolutely yes. Yaa ampuun...
Nggak percaya akhirnya gue nggak jomblo lagi.
View all 18 comments
Aku bergerak gelisah di dalam kamar. Menggigiti
kuku setiap kali merasa resah. Aku ingin menangis, namun
egoku melarang. Setelah sekian banyak hal yang kami lalui,
aku terlalu percaya diri hingga berpikir jika dia akan
mengejarku jika aku pergi darinya. Namun, kenyataannya
justru sebaliknya. Barga melepaskan aku, dan memilih
melanjutkan langkahnya bersama perempuan lain.
If I left would you be glad, Bar? Even though i'm not.
Aku menarik napas dalam, dan mengembuskanya perlahan.
Semoga, keputusan yang aku pilih ini adalah
keputusan terbaik untuk kita berdua.

-tbc-

Ya ampuunn.. Ga tau part ini gimana jadinya. Udah 3


hari ini aku meriang. Ga enak badan. Kurang piknik
kayaknya makanya jadi sakit. Maaf yaa kalau part ini
kurang memuaskan.

19

Now I can't get you out of my brain. Oh, it's such a


shame
[Charlie Puth ft. Selena Gomez - We Don't talk anymore]
***
FRISCA
Malam hari itu, seperti beberapa malam sejak selesai
nifas, aku mulai rutin melakukan salat tahajud, yang juga
diiringi dengan salat wajib lima waktu. Mencoba
mendekatkan diri dan mencari ketenangan dari-Nya.
Merenungi cinta dan segala kasih sayang-Nya, walau
hidupku sebelumnya sering jauh dari-Nya.
Sesaat setelah selesai salat, telepon genggamku
berdering. Menampilkan sebuah panggilan facetime dari
Barga.
Sudah tiga hari sejak pesan perpisahan itu, namun tak
ada balasan apapun darinya. Baru hari ini dia
menghubungiku kembali.
Aku menggeser icon terima panggilan, dan menunggu
beberapa saat hingga muncul wajahnya pada layar ponsel.
Barga terperangah. Sedikit terkejut saat bertatap muka
denganku.
"Kamu... sholat?" tanyanya, tak dapat
menyembunyikan nada takjub dari suaranya.
Aku menaikan tangan, dan meraba atas kepalaku.
Ternyata aku belum sempat membuka mukena yang
kupakai.
Aku tersenyum malu. Menundukan wajah, tak berani
membalas tatapannya.
"Sejak kapan, Fris?" tanya dia lagi.
"Sejak selesai nifas. Tiba-tiba aja ada dorongan untuk
sholat."
"Masya Allah. Aku udah pernah lihat kamu dalam
keadaan apapun, termasuk tanpa pakaian sekalipun..."
Aku segera menaikan wajah dan menatapnya tajam.
Membuat tawanya lepas seketika.
"Sorry, salah ngomong. Maksud aku... aku udah lihat
kamu dengan penampilan apapun. Tapi buat aku... kamu
paling cantik dengan mukena itu, Fris."
Aku kembali menundukan wajah. Terutama saat
mendengar nada suaranya yang berubah lembut dan
membuatku hampir meleleh di tempat.
"Kalau bisa, jangan dibuka lagi ya, Fris? Biarin aku
jadi satu-satunya laki-laki yang bisa nikmatin keindahan
rambut kamu. Keindahan kulit kamu yang tertutup rapat
oleh hijab. Kalau mau buka-bukaan, di kamar aja, berdua
sama aku."
Aku kembali menaikan wajah dan semakin melotot
padanya. "Kamu itu ya, aku baru selesai tahajud, udah
tercemar lagi gara-gara otak mesum kamu."
Dan Barga kembali tertawa. Setelahnya, kami sama-
sama terdiam. Menjadi tak nyaman saat kecanggungan
menyeruak. Muncul ke permukaan dan mengambil alih
situasi.
Barga berdeham sebelum kembali bicara, "Kenapa
nomor kamu nggak aktif? Aku teleponin nomor kamu, tapi
nggak pernah nyambung."
"Aku emang ganti nomor. Pakai provider sini
sekarang, soalnya kena roaming terus."
"Pantesan aja aku teleponin dari kemaren-kemaren
nggak nyambung terus."
"Kamu lagi di mana?" tanyaku, mengambil alih
pertanyaan.
"Di rumah."
"Tumben. Biasanya juga nggak pernah pulang.
Sekalinya pulang ke rumah, bawa nginep cewek!"
Barga kembali terdiam di tempatnya. Menatapku
dengan heran dari layar ponsel.
"Kamu... denger dari mana soal itu?"
Dan kini, giliranku yang terdiam. Barga tidak
menyangkal, dan itu artinya semua yang dikatakan Bu
Fatma memang benar.
Aku kembali memalingkan wajah. Untuk beberapa
detik yang canggung, kami sama-sama terdiam. Dan aku
berani bersumpah jika ini rasanya sangat menyakitkan.
Lebih sakit dari pada saat aku mendengar Arkha yang
selalu menyebut nama Kiasah.
Aku mengambil napas panjang dan kembali
menatapnya. "Untuk proses perceraian, aku nggak harus
pulang ke Bandung, kan? Nggak perlu hadir di
persidangan?"
"Emang siapa sih, yang mau cerai?" Barga sedikit
menyentak. Membuatku mengerjap beberapa kali.
"Kita." Jawabku, tanpa mengalihkan tatapan darinya.
Barga nampak semakin gusar. Raut wajahnya
menegang. Ia mengacak rambutnya dengan kasar. Membuat
berantakan, dan terlihat... sexy. Aku rindu menyusupkan
jariku pada setiap helai rambutnya yang sedikit kasar.
Menjambaknya saat ia menciumku dengan keras, saat kami
mendapatkan pelepasan bersama. Saat... Ok, stop it, Frisca!
"Perjanjiannya nggak kayak gini, kan? Kamu bilang,
kita hanya butuh waktu untuk sama-sama yakin sebelum
mengulang ijab qabul. Iya, kan, Fris? Terus kenapa tiba-tiba
sekarang kamu ngomong cerai."
"Iya, aku tau. Tapi jauh dari kamu, bikin aku mikir,
Apa yang bisa kita harapkan dari pernikahan ini? Nggak
ada, selain sama-sama saling menyakiti. Dan menurut aku,
perpisahan memang satu-satunya jalan yang terbaik."
"Oke. Tapi aku butuh satu alasan yang jelas, kenapa
kamu bisa tiba-tiba minta pisah dari aku?"
Aku menatapnya. Tegas, dan tanpa kedip. "Karena
pernikahan kita nggak punya masa depan. As simple as
that. Dan jika sudah seperti ini, apa yang bisa kita
harapkan? Bahkan untuk saling terbuka aja kita nggak bisa,
Bar?"
Tepat setelah ucapanku selesai, terdengar tangisan
Omar dengan cukup keras. Menjadi alasanku untuk
memutus panggilan Barga.
"Bar, udah dulu ya. Nanti aku hubungi lagi.
Assalamualaikum."
***
BARGA
Frisca memutus panggilanku begitu saja, dan
membuatku berpikir, how I miss them so much.
Mendengar suara tangis Omar, membuat rasa rinduku
semakin membengkak untuk mereka. Dan membuatku
berpikir, apa aku sanggup kehilangan mereka?
Dan melihat Frisca dengan mukenanya... Oh. My.
Godness.
She's more than just a beautiful. She was beautiful for
the way she thought. She was beautiful, deep down to her
soul. She's like an angel. My angel. And I knew I loved her.
But I realized I loved her too late.
Because she was gone...
Aku menggulingkan tubuhku hingga telungkup di sisi
tempat tidur Frisca. Menyesap sisa harum tubuhnya yang
masih tertinggal di sana. Dua minggu lebih sprei ini bahkan
belum aku ganti karena tidak ingin menghilangkan jejaknya
di atas ranjang ini.
Frisca... You makes me going crazy. Yes, you did!
***
"Ngomong dong, Jack. Kasih gue solusi kek, saran
apa kek!"
Jack mendesah pasrah.
"Speechless gue, bro. Nggak bisa bayangin, lo umur
21 tahun udah jadi duda. Anjir, mati aja lo mendingan,
Bar!"
Aku benar-benar hilang harapan. Kalau Jack saja
menyarankan aku untuk mati, itu artinya menang sudah
tamat riwayatku.
"Gue cinta sama dia, Jack. Gue nggak mau kehilangan
dia."
Jack berdecak. "Ya, ngomong langsung lah sama
orangnya. Ngapain ngomong sama gue?" Jack menyesap
rokoknya sesaat, sebelum kembali melanjutkan
perkataannya. "Tapi kalau saran dari gue, mendingan lo
samperin dia ke KL. Tunjukin keinginan lo yang memang
nggak mau pisah dari dia. Bilang sama ibunya, kalau lo
datang ke sana untuk jemput anak dan istri lo. Dan
terakhir, lo omongin deh tuh, kata-kata yang tadi lo
omongin sama gue."
"Kata-kata yang mana?"
"Yang tadi, bajing! Yang lo ngomong kalau lo cinta
sama dia dan nggak mau kehilangan dia."
"Emang harus diomongin ya, Jack?"
Jack menoyor kepalaku dengan cukup keras. "Bego
tuh jangan dipelihara napa, Bar! Ya, harus lo ungkapin lah.
Dia mana bisa tau kalau lo nggak ngomong!"
"Gue pikir cinta itu cukup dirasain aja, Jack. Nggak
perlu kita omongin."
"Cewek itu butuh kejelasan, Bar. Mereka butuh
ungkapan, karena nggak semuamya ngerti kalau hanya kita
tunjukin dengan tindakan."
Perkataan si Jack tadi membuatku berpikir keras,
bahkan saat pulang dari kampus, selama berada di angkot,
hingga saat tiba di rumah. Aku mengistirahatkan tubuhku
di atas sofa ruang tengah.
Memandangi foto pernikahan kami yang terpajang di
salah satu sudut ruangan. Frisca dengan kebaya putih
sederhana, yang ia pakai selama melangsungkan akad nikah
denganku. Dan di samping foto itu, ada foto Frisca yang
sedang menggendong Omar, denganku yang merangkulnya
dari samping. Foto yang diambil saat acara akikahan tepat
pada hari ke tujuh kelahiran Omar. Memperhatikan senyum
kegembiraan tulus yang merekah dari wajah kami.
Membuatku berpikir, honestly, we are perfect for each
other. Lalu kenapa harus ada perpisahan jika memang kami
dapat saling menyempurnakan?
Aku berdiri dan melangkah menuju dapur. Membawa
gelas dan mengisinya dengan air mineral dari dispenser.
Ketika minum, mataku menangkap selembar post-it dengan
tulisan tangan Frisca yang ditempel di pintu atas lemari
pendingin.
Aku masak sop iga. Sebelum kerja makan dulu ya.
Jangan lupa dipanasin.
Ps. Es krim di freezer sisa bagian aku lho. Awas aja kalau
pulang kerja nanti aku liat udah nggak ada!
Aku tersenyum miris. Dan hatiku kembali mencelos
saat membuka pintu kulkas bagian atas, dan menemukan
tumpukan botol-botol kecil berisikan ASI perah dengan
label yang bertuliskan tanggal di setiap bagian depannya.
Membuatku kembali meringis saat bayangan Frisca dan
Omar kembali mengisi pikiranku.
"Cewek itu butuh kejelasan, Bar. Mereka butuh
ungkapan, karena nggak semuamya ngerti kalau hanya
ditunjukan dengan tindakan."
Perkataan si Jack kembali terngiang di telingaku. Sial.
Ternyata jatuh cinta itu rumit. Tapi sudah sangat terlambat
untuk menyesalinya. Saat ini pilihanku hanya dua, matiin
gengsi atau kehilangan?
Aku berjalan memasuki kamar sambil melepas kausku.
Melemparkan ke dalam keranjang cucian dan menarik
handuk dari dalam lemari. Namun, ada sesuatu yang juga
ikut tertarik hingga jatuh di atas lantai. Kain pantai
berwarna kuning. Aku ingat, kain ini Frisca beli di pasar
Cakranagara saat menjalani shooting iklan di Lombok.
Membuatku kembali mengingat perkataan yang
sempat Frisca ucapkan saat kami tengah menikmati sunset
di pantai Kuta,
"Kamu tau, Bar, apa yang lebih kelam dari senja yang
terbenam menjelang malam? Sebuah rasa kehilangan. Aku
pernah merasakan itu saat kehilangan Oma, lalu Arkha.
Dan aku nggak mau kembali menjadi kelam... saat aku
harus kehilangan kamu."

Seketika, sebuah kesadaran menghantamku secara telak.


Membuatku teringat akan bayangan perempuan mungil dan
sangat ringkih. Istriku. Istri yang keras kepala namun
rapuh. Dan sudah menjadi kewajibanku untuk
melindunginya. Bukannya malah menghancurkannya pelan-
pelan hingga membuatnya berlari menjauh dariku.
Aku kembali menuju ruang tengah dan menyambar
telepon genggamku di atas meja. Membuka aplikasi
pemesanan tiket online dan mencari tiket penerbangan
terakhir menuju KL.
Sial. Bandung-Kuala Lumpur hanya ada dua kali
penerbangan. Oke, tak masalah. Sambil menunggu besok,
sambil kupikirkan kata-kata apa saja yang harus aku
ucapkan untuk meyakinkan Frisca saat kami bertemu nanti.
***
FRISCA
"Terus, bilang apa lagi dia?" tanya Mami, saat kami
duduk berhadapan di restoran Oma yang baru satu minggu
ini opening. Terletak di lantai satu Suria KLCC Mall.
Mami mendengarkan dengan saksama, ketika aku
menceritakan obrolanku dengan Barga saat facetime
dengannya tadi malam.
"Nggak sempet jawab, aku udah putus duluan."
Mami terdiam sejenak. Kembali menyeruput green
tea-nya dari cangkir teh di depannya.
"Mami nggak mau menggurui, karena Mami pikir,
kamu lebih tau mana yang terbaik untuk jalan hidup kamu
sendiri. Tapi satu hal yang harus kamu tau. Honore de
Balzacp pernah mengatakan, 'a good marriage would be
between a blind wife and a deaf husband'. Itu artinya, jadi
istri itu kadang harus pura-pura buta. Nggak semua hal
harus kamu lihat. Salah satunya saat kamu melihat Barga
terlalu dekat dengan teman perempuannya. Suggest diri
kamu sendiri kalau mereka hanya berteman, dan yakin jika
Barga hanya mencintai kamu. Hal itu penting, Sayang.
Karena kalau kamu terlalu menganggap benar ucapan
orang-orang, yang ada kamu malah capek sendiri. Sama saja
seperti kamu menyiksa diri kamu sendiri."
Aku menyimpan cangkir teh yang kupegang sejak
tadi, dan ganti menggenggam tangan Mami. Membuat
Mami membalas menggenggam tanganku dengan lebih erat.
"How lucky i am to have you, Mam. We've had lots
of hard times. Remember when I came and told you that I
was pregnant? Mami nggak marahin aku, Mami nggak
menghakimi aku. Mami justru merangkul aku dan
meyakinkan aku jika kita bisa sama-sama membesarkan
anak yang aku kandung walaupun tanpa kehadiran
ayahnya. Dan aku salut sama Mami, karena masih bisa
bertahan dan masih setia nungguin Papi sampai lima belas
tahun masa tahanan Papi."
Mami tersenyum lembut dan meremas tanganku
sekilas. "Kalau bukan kita yang support Papi, lalu siapa
lagi? Mami tau, Papi kamu sudah banyak mendapat
pelajaran selama di LAPAS. Dan lagi, Mami akan
menghabiskan masa tua dengan siapa kalau Mami tinggalin
Papi sekarang? But anyway, sudah sore ternyata. Mau
pulang jam berapa?"
Aku melirik jam yang melingkari tanganku, pukul
empat sore waktu Malaysia. "Ya udah, kita pulang ke condo
sekarang. Kasian juga Omar udah kelamaan jalan-jalannya."
Setelah itu, kami berjalan beriringan menuju
basement. Mami mendorong stroller Omar sedangkan aku
mengangkut kantung belanjaan. Hanya setengah jam waktu
yang kami butuhkan untuk perjalanan dari Suria KLCC
Mall menuju kondominium milik Mami di daerah Ampang.
Mutiara Upper East Apartment. Sebuah tempat tinggal
kelas menengah yang menjadi tempat tinggal Mami selama
di KL. Di Malaysia, harga rumah jauh lebih mahal dari
pada harga mobil. Hingga membuat kebanyakan warganya
lebih memilih menyewa kondominium atau flat yang harga
sewanya lebih murah.
"Mami sama Omar duluan aja. Biar aku yang
masukin mobilnya ke basement." Ujarku, saat
menghentikan mobil Mami di depan lobby gedung
apartment.
Setelah memarkirkan mobil di basement, aku segera
menyusul Mami dengan membawa serta kantung belanjaan
yang tersimpan di jok belakang. Sempat menyapa security
yang berjaga di depan elevator sebelum masuk ke dalamnya.
Dan ketika memasuki condo, langkahku terhenti saat
menemukan seseorang sedang duduk di ruang tamu yang
juga menjadi ruang tengah. Sedang memangku Omar yang
tertawa-tawa saat digodai olehnya.
Dia menengok, dan tersenyum lembut ke arahku.
Membuatku menahan keinginan untuk berlari
menghampirinya dan memeluknya dengan erat.
"Ya ampun, Fris. Barga udah nungguin kita dari siang
di lobby. Ajak makan suaminya ya. Kasian, pasti kelaperan
dari tadi." Ucap Mami tiba-tiba saat keluar dari dapur
dengan membawa makanan yang kami bawa dari restoran
Oma dan menyajikan di atas meja makan.
"Nggak juga, Mam. Tadi di pesawat udah makan
kok."
"Beneran nggak laper?"
Barga mengangguk yakin.
"Ya udah, kalau gitu. Mami tinggal ke minimart
depan dulu ya. Ada yang mau Mami beli. Omar Mami ajak
aja."
"Tapi, stoller Omar aku tinggal di mobil." ucapku,
mengambil alih jawaban.
"Ya udah, mana kuncinya, sekalian Mami ambil kalau
gitu."
Aku menahan kunci mobil saat Mami mengulurkan
tangannya. "Mami mau ke mana, sih? Ke minimart depan
kok bawa-bawa botol susunya Omar?" bisikku penuh
curiga, saat melihat botol susu berisikan asi perahku berada
di tangan Mami.
"Buat jaga-jaga, takutnya nangis. Udah, kamu sambut
dulu suami kamu. Selesaikan masalah kalian baik-baik. Dia
sampai nyusulin kamu ke sini, itu artinya dia memang
menganggap kamu penting. Jangan kayak anak kecil ya.
Pikirkan juga tentang Omar." Mami berbalik dan
mengalihkan perhatiannya pada Barga. "Bar, Mami tinggal
dulu sebentar ya."
Setelah mendapat anggukan kepala dari Barga, Mami
segera melangkah menuju pintu keluar dengan membawa
Omar dalam gendongannya. Meninggalkanku yang berdiri
kaku dan bingung harus melakukan apa.
Hingga akhirnya, aku menghampiri Barga dan duduk
di sampingnya.
"Kamu mau minum?"
Barga menaikan botol air mineral di tangannya untuk
menunjukannya padaku.
"Ya udah, tas sama jaket kamu simpen di kamar aja."
Aku berdiri dan Barga mengikutiku di belakang.
"Kamar siapa?" tanyanya, setelah kami berada di
dalam kamar. Aku segera merapihkan atas tempat tidur
yang masih berantakan saat aku tinggalkan tadi.
"Kamar aku. Biar nanti aku tidur sama Mami."
ucapku, sambil melipat selimut bekas aku pakai.
"Kenapa tidur sama Mama? Nggak sama aku aja."
Aku mendengus. Dan saat berbalik, aku tersentak saat
mendapati Barga sudah berdiri tepat di belakangku.
Matanya menatapku dengan penuh hasrat. Membuatku tak
mampu mengalihkan pandanganku darinya.
"Kamu kok tega banget sih sama aku? Enteng banget
kamu minta pisah dari aku. Kamu tau nggak, cuma tiga
minggu aja nggak ketemu kamu, udah bikin aku kayak
orang nggak waras tau nggak?! Apalagi kalau kamu bener-
bener pergi dari aku. Please, bilang sama aku kalau kamu
cuma main-main. Bilang sama aku kalau kamu juga nggak
mau pisah dari aku."
Aku menggeleng pelan. "Nggak. Kita emang harus..."
Ucapanku terhenti saat Barga membungkam mulutku
dengan mulutnya. Menciumku dengan agresif dan sangat
liar. Membuatku sedikit kepayahan untuk menolaknya. Dan
aku tak punya pilihan lain selain pasrah dan membalas
ciumannya.
-tbc-
Tahan dulu yaa.. Adegan selanjutnya disimpan untuk
part depan. Lol

20

WARNING : This part contains sexually explicit


material and is intended solely for adults only!
***
BARGA
Aku menelan semua protes Frisca dengan mulutku.
Merasakan saat tubuhnya menegang karena ciuman tiba-
tiba ini. Namun ia diam. Tak melawan, dan seakan
terhipnotis hingga akhirnya mengalah dan mulai membalas
ciumanku.
Oh, astaga. Aku sangat merindukan ini. Seluruh
kerinduan dan rasa takut kehilangannya kucurahkan lewat
ciuman ini. Begitu dalam, dan apa adanya.
Her eyes are eager. Daring me to bring it on. Oh, I
can bring it. Don't ever doubt that, baby! Merasakan
kebutuhanku akan dirinya yang perlahan mengambang
dipermukaan.
Untuk beberapa detik yang singkat, kami masih saling
menikmati ciuman itu, hingga terdengar sebuah isakan
tertahan darinya. Membuat kesadaranku kembali dan
akhirnya melepaskan ciuman kami. Frisca menunduk
dalam. Hatiku semakin mencelos saat melihatnya menangis.
"Stop it, Bar. Please... stop it." Bisik Frisca ditengah
isak tangisnya.
Dan pada detik yang sama, aku mengutuk diri sendiri
karena sudah bersikap brengsek.
"Fris..." Astaga, bahkan suaraku sendiri
menghianatiku. "I'm apologize for..."
"No. It's not about you. This is about me. Aku kesel
sama diri sendiri karena nggak pernah bisa nolak kamu.
Aku kesel karena masih aja bales ciuman kamu walaupun
tau kalau kamu itu brengsek." Ujarnya, sedikit merengek.
Aku membingkai wajahnya. Membantu menghapus air
matanya dengan ibu jariku. Kemudian turun dan mengusap
lembut bibirnya yang basah oleh ciuman tadi.
"Aku tau, aku brengsek. Maaf, karena aku terlalu
impulsif. Aku cuma nggak bisa nahan perasaan aku sendiri.
I want you. I wanted it to be yours so badly."
"Tapi kita butuh bicara, Bar."
"Then do it."
"Jangan di kamar. Aku butuh tempat yang lebih netral
untuk kita bicara."
Aku mengangguk paham. Segera kubawa telapak
tangannya dan menggandengnya kembali ke ruang tengah.
Kami duduk bersisian di atas sofa dengan posisiku
yang menghadap ke arahnya. Frisca menengok. Menarik
napas panjang sebelum bicara.
"Being a single mother wasn't something I'd ever
planned to be... but now, it's who I want to be."
Dahiku berkerut mendengarnya. "What you mean?"
Aku masih terus memperhatikan saat raut wajahnya
berubah murung. Dan ia semakin menundukkan wajahnya.
"Keputusan aku tetep sama, Bar. Aku mau cerai."
Bisiknya, lirih. Dengan satu tetes air mata yang mengiringi.
Napasku tercekat. Sebesar itukah keinginannya untuk
berpisah dariku?
"Kenapa?" tanyaku pada akhirnya. Tak dapat
menyembunyikan getaran dari suaraku.
Frisca kembali menatapku. Matanya menatap lurus
kedua iris mataku yang terus memperhatikannya dengan
intens.
"Karena aku capek, Bar. Aku capek terus menerus
bersandiwara seakan semuanya baik-baik saja.
Kenyataannya, aku hancur ketika tahu bahwa kamu
mencintai wanita lain. Alasannya bukan tentang Omar, tapi
ini tentang aku. Tentang bagaimana rasanya menjadi orang
yang terabaikan. Harus kuakui ... sakit, Bar...."
Frisca menutup wajahnya dengan kedua tangan dan
kembali menangis. Dan aku hanya bisa ternganga.
Mengernyit bingung karena sama sekali tak paham dengan
maksud ucapanya.
Aku menarik kedua tangan Frisca dan memaksanya
untuk kembali menatapku. "You thought I was having
affair?"
Frisca mengangguk.
"How could you think that? How could you ever
believe I would cheat on you?"
"Bu Fatma." Jawabnya, membuatku semakin
mengernyit bingung. "Bu Fatma bilang sama aku, kamu
bawa nginep perempuan lain di rumah kita."
Dan pikiranku mengarah pada kejadian minggu lalu.
Saat para tetanggaku melihatku keluar rumah bersamaan
dengan Icha. And I got the point. The power of 'gosip'.
"Kamu percaya sama aku?" Bisikku, tepat di depan
wajahnya.
Frisca nampak berpikir sesaat sebelum menjawab,
"Tapi keadaannya nggak mendukung aku untuk bisa
percaya sama kamu, Barga. Dan aku tau siapa perempuan
itu. Aku lihat ada foto bunga mawar yang dia posting ke
Instagram dan itu pasti dari kamu, kan?"
Ini konyol. Benar-benar konyol. Dan akhirnya, tawaku
pecah dengan sendirinya. Frisca menatapku sebal. Seperti
ingin protes namun ia tahan. Wajahnya sampai terlihat
merah padam karena menahan kesal.
"Ya ampun, Frisca... Frisca!" Ujarku, sambil berusaha
meredam tawa dan mengatur napas kembali.
"Kamu itu orang berpendidikan. Sekolah di Nevada,
kuliah di Melbourne, tapi pikiran kamu..." Aku geleng-
geleng kepala. "Kenapa sih, susah banget kayaknya untuk
jujur sama aku? Untuk bicara terus terang sama aku.
Kenapa, Fris? Karena gengsi? Karena kamu nggak mau
mengakui kalau kamu cemburu?
"Pertama, aku nggak pernah bawa perempuan lain
tidur di rumah kita selain keluarga aku. Dan kedua,
perempuan yang kamu maksud itu Icha, kan? Dan foto
bunga mawar yang kamu lihat di IG-nya itu, hasil kelakuan
alay-nya si Jack. Dia yang nembak Icha, dan mereka udah
jadian sekarang. Nggak ada ceritanya aku cinta sama
perempuan lain, Frisca. Jatuh cinta sama satu cewek aja
udah bikin rumit, apalagi ditambah cewek lain."
Aku mengulurkan tangan untuk menggapai
tangannya. Membawanya dalam genggamanku dan
menatapnya dengan serius. Kuubah nada bicaraku menjadi
lebih lembut.
"Aku tau, aku bukan suami yang romantis. Aku juga
nggak bisa seperti laki-laki lain yang gampang ungkapkan
sayang. Aku bahkan baru tau kalau perempuan itu butuh
ungkapan cinta. So then, let me to tell you... that I love
you, Frisca. I cannot live without you. And I don't even
know how to try."
***
FRISCA
Aku terdiam. Berusaha keras untuk tetap bernapas.
Dan entah bagaimana, namun seluruh keraguanku hilang
tanpa sisa. Tergantikan oleh sebuah rasa asing yang
terlanjur melekat kuat meninggalkan rasa. Dan akhirnya
akupun memilih menyerahkan diri pada ketetapan takdir.
Memilih untuk percaya pada satu hal yang perlu aku
yakini. Aku mencintainya. Tanpa syarat dan apa adanya.
"Maaf, aku nggak bisa ikutin cara alay-nya si Jack,
ungkapkan cinta dengan bunga atau hal-hal manis lainnya.
Aku cuma mau bilang... aku masih Barga yang sama. Cuek
dan nggak peka. Tapi aku punya cara sendiri untuk
nyayangin kamu, untuk ungkapin rasa cinta aku sama
kamu. Dan mungkin menurut kamu itu aneh. Tapi kerja
keras aku selama ini, sebagai bukti kalau aku sayang sama
kamu. Cinta sama kamu. Bahkan sebelum aku sadar
dengan perasaan itu. Aku nggak mau hubungan yang
berlebihan. Cukup sewajarnya aja, asal jangan curiga dan
bisa saling jaga. Kamu masih salat, kan?"
Aku mengerjap beberapa kali sebelum mengangguk.
"Selalu dijaga salatnya ya, Fris. Karena kebahagiaan
dan keberkahan rumah tangga kita, ada disetiap sujud kamu
sebagai istri yang selalu mendoakan aku."
Tak bisa menunggu lama lagi, aku mengangkat
tubuhku dan berpindah duduk di atas pangkuannya.
"Kangen..." Bisikku, memeluknya dengan erat dan
menyerap semua rindu yang kini mulai tersampaikan.
"Bawa aku pulang, Bar. Segera urus acara akad nikah kita,
dan jadikan aku halal untuk kamu."
Barga tertawa pelan dan balas memelukku lebih erat.
Dan kini, bukan lagi tentang siapa yang salah dan
siapa yang benar. Ini semua tentang belajar memaafkan dan
berusaha saling menerima. Tentang bagaimana usaha untuk
saling mempertahankan dan takut kehilangan.
Semua proses yang kami lalui dalam pernikahan ini,
ternyata banyak mengajarkanku tentang kedewasaan yang
tidak berpatok pada usia. Dewasa bukan lagi tentang umur,
tapi dilihat dari sikap dan bagaimana cara menyikapi
sebuah masalah dan berusaha untuk menyelesaikan.
Dan buatku, Barga dengan ketidak-pekaannya dan
juga sikap cueknya, menjadi pelajaran tersendiri, tentang
bagaimana caranya untuk menyatukan dua kepala yang
berbeda menjadi satu. Untuk menemukan satu tujuan, yaitu
bahagia dan membahagiakan.
***
Mami memelukku dengan erat saat mengantarkan
kami ke bandara. Kami sama-sama menangis. Sangat berat
rasanya harus kembali berpisah dan meninggalkan Mami
sendiri.
"Bahagia ya, Sayang. Karena kebahagiaan kamu,
menjadi kunci kebahagiaan Mami."
"Mami kenapa, sih nggak ikut pulang aja. Aku dan
Barga mau ngulang akad nikah, dan aku mau Mami ada di
sana."
Mami membelai wajahku lembut. Merapihkan
rambutku yang sedikit berantakan dan kembali memelukku.
"Doa Mami ada di sana menemani kamu. Inget terus pesan
Mami ya. Jadilah istri yang penurut dan berbakti pada
suami."
"Walaupun kita jarang sama-sama, tapi Mami percaya,
kan kalau aku sayang sama Mami."
"Iya, Mami percaya. Udah ah, jangan cengeng.
Cepetan check in. Kasian Barga juga udah nungguin dari
tadi."
Aku menengok dan memperhatikan Barga yang
sedang menggendong Omar. Barga menengok ke arahku
dan tersenyum, kemudian berjalan perlahan menghampiri
kami.
"Bar, Mami titip Frisca ya. Maklumin aja kalau dia
sedikit kolokan. Anak tunggal, biasa dimanja dari kecil.
Kalau perlu dikerasin, kerasin aja, Bar. Biar dia nurut sama
kamu."
"Mami!" protesku. Membuat mereka tertawa
bersamaan. Barga merangkul pundakku dan menarik
tubuhku agar semakin merapat padanya.
Setelah berpamitan, aku dan Barga melangkan
menaiki escalator untuk turun menuju konter pemeriksaan
imigrasi. Aku menengok sekali lagi, dan menemukan Mami
yang masih memperhatikan kami dari atas. Kulambaikan
tangan untuk Mami, dan Mami membalasnya. Sebelum
berbalik, sekilas aku seperti melihat Mami menghapus
kedua matanya dengan sapu tangan.
***
Hanya dua hari waktu yang kami persiapkan untuk
prosesi akad nikah yang kedua kalinya. Tidak banyak yang
hadir seperti saat akad nikah pertama. Hanya ada keluarga
inti dan beberapa kerabat dekat.
Bertempat di rumah kami, dengan Mas Bilal sebagai
saksi dari pihak Barga, serta Jack sebagai saksi dari pihakku,
prosesi akad nikahpun siap dimulai.
Dengan suara lantang dan hanya satu kali tarikan
napas, Barga dengan lancar berhasil mengkabul ijab yang
diucapkan wali hakim sebagai pengganti Papi yang tidak
bisa hadir untuk menjadi wali nikahku.
Dan kini, kehalalan status sebagai suami istri telah
kami genggam. sebagai pasangan halal yang mampu
menjadikan hal mudarat menjadi manfaat. Menjadikan
kekotoran menjadi kesucian. Hingga mampu merubah hal
maksiat menjadi suatu ibadah.
Barga masuk ke dalam kamar saat aku sedang
membersihkan wajah dari riasan make up yang aku
gunakan saat akad tadi. Lelaki itu, suamiku. Berjalan
menghampiriku dan mengecup kepalaku dengan lembut.
Lalu turun dan menciumi leherku setelah ia menyingkirkan
uraian rambut yang menutupinya.
Kemudian, ia menyerahkan selembar amplop yang
disimpan di atas meja rias tepat di hadapanku. Aku
memutar kepala ke arahnya. "Apa itu?" tanyaku.
"Buka aja."
Aku mengambil amplop itu dan membukanya. Sebuah
voucer menginap di hotel The Trans Luxury Bandung.
Hotel tempat Barga kerja.
"Dari siapa?" tanyaku.
"Hadiah dari Jack sama Icha."
Aku tertawa pelan. "Dan sekarang, ada upik abu yang
berubah jadi pangeran. Tadinya tukang angkatin barang,
sekarang jadi tamu kehormatan."
Barga ikut tertawa dan mengacak rambutku pelan.
"Udah, cepetan siap-siap. Kita berangkat sekarang."
"Terus Omar?"
"Omar sama Bunda. Nggak usah khawatir. Kapan lagi
coba, kita bisa berduaan kayak gini?"
***
Malam harinya, kami telah menempati premier room
The Trans Luxury Hotel Bandung. Sebuah room standart
namun tetap terkesan mewah dan sangat berkelas.
Aku meletakkan ponselku kembali di atas meja setelah
menghubungi Bunda. Menanyakan kabar Omar karena rasa
kekhawatiran yang besar, mengingat inilah pertama kalinya
aku meninggalkan Omar dalam waktu yang cukup lama.
Barga memelukku dari belakang saat aku duduk di
sisi ranjang. "Percaya aja sama Bunda. Omar pasti baik-baik
aja." Bisiknya, tepat di samping telingaku.
"Aku percaya. Cuma ya, namanya ibu ninggalin anak
pasti kepikiran terus."
"Dan waktu kamu ninggalin aku, kepikiran juga
nggak?"
Aku menggeleng. "Nggak kepikiran. Tapi memang
dipikirin terus."
Aku menjerit saat Barga tiba-tiba menarikku dan
merebahkan tubuhku di atas ranjang, lalu ia naik di atasku.
"Udah boleh kan, sekarang?" tanyanya.
"Udah boleh apa?"
"Sex without condom."
"Tumben pake nanya dulu. Biasanya main hajar-hajar
aja."
"Soalnya kata dokter, aku harus tanya kamu dulu.
Nggak boleh dipaksa kalau kamu nggak mau."
Aku cekikikan mendengarnya. Kemudian tersenyum
lembut sebelum akhirnya menganggukan kepala sebagai
persetujuan untuknya. Ada kilatan hasrat yang besar dari
pupil matanya saat mendekat ke arahku. Membuatku
pasrah saat ia mulai meloloskan setiap lembar pakaian yang
kami berdua kenakan.
Ia mengecup bahuku dengan lembut, menjelajahi
leherku dengan bibirnya yang dingin hingga membuatku
menggigil. Menghadiahkan mata air hingga membentuk
satu muara yang menyejukan.
Barga menjauhkan kedua kakiku dan menempatkan
dirinya di tengah-tengahku.
"Ahh..." Desahku, saat Barga memulai memasukiku.
Secara perlahan, sangat lembut. Bersentuhan langsung kulit
dengan kulit.
Dan aku pasrah. Menyerahkan seluruh kelopakku di
atas takdirnya. Membuat ini jauh lebih nikmat dari pada
seks pertama kami tanpa pengaman.
"Frisca..." Barga mengerang di telingaku. Kemudian ia
menaikan tubuhnya dan menatapku dari atas. Terus
bergerak mengisiku dan semakin meregangkan.
Aku belingsatan, namun tetap membalas tatapannya.
Astaga, adakah yang lebih nikmat dari ini? Barga seperti
potongan-potongan fragmen seksi dan tampan dan panas
dan menggoda di atas sana. Dan dia milikku. Suamiku.
"Hampir, Sayang." Ucap Barga dengan suara
rendahnya.
Aku mengangguk. "Aku juga."
Setelah mendengar itu, Barga merubah posisinya.
Berusaha menggapai pusat intiku dan membuatku semakin
merangkak naik. Aku mengeliat gelisah. Pikiranku kacau
oleh sentuhannya di seluruh tubuhku.
Aku tak ingin ini semua berakhir. Namun tubuhku
berkata lain. Sebuah perasaan yang sangat familiar
mendekat padaku hingga akhirnya, aku meledak dalam
sebuah orgasme hebat selama perjalanan seks kami. Dan
beberapa detik kemudian, Barga menyusulku.
Memuntahkan isinya di dalamku dan membuatku kembali
meledak saat merasakan denyutan hebat dari miliknya di
dalamku.
Barga menyembunyikan wajahnya pada ceruk leherku.
Napasnya masih memburu dan terdengar kasar di telingaku.
"I love you." bisiknya. His voice is raspy. With need
for me.
"I love you every second. I love you every step on my
way. I love you with my every breath. I love you so much,
Frisca."
Aku tertawa. Tawa lepas yang sangat menyenangkan.
Namun terhenti saat Barga kembali membungkam mulutku
dengan mulutnya. Ia menciumku. Satu kali. Dua kali.
Berulang kali, hingga aku kembali merasakan si 'boy' yang
kembali hidup di dalam sana.
Suddenly, i'm ready for the next round.
-tbc-
Tamat apa lanjut?? XD

21

A/N: Baca part kemaren, baru nyadar adegan


nananinanya terlalu vulgar. Yaa ampun. Banyak dedek
gemez disini. Maafin kakak ya ( kakak lohh ya manggilnya,
jangan emak apalagi Oma ). Maklum, lagi ditinggal dinas
suami, jadi pelampiasannya sama papa Barga. Lol
Part ini juga ada adegan becek-beceknya sedikit.
Wkwkkw... Be wise ya!
***
BARGA
Cinta itu ilusi. Sebuah ironi.
Begitulah hal yang kupikirkan dulu, saat masih
tersesat di dalam lorong-lorong gelap masa lalu. Menatap
jengah saat menyaksikan Arkha yang banyak bertindak
konyol ketika jatuh cinta.
Namun, kini kutelan mentah-mentah teori itu.
Cinta itu keindahan. Sebuah perasaan yang hakiki.
Ada seni di dalamnya. Dan bagiku, pengorbanan yang
kulakukan untuk keluarga kecilku, adalah bentuk seni
sebagai wujud rasa sayang untuk mereka.
Aku menengok saat pintu kamar terbuka, disusul
dengan munculnya Frisca dari dalam kamar. Mematikan
lampu, lalu kembali menutup pintunya secara perlahan.
Kemudian, dia duduk disampingku yang sedang terduduk
di atas sofa ruang tengah, dan menyandarkan kepalanya di
atas pundakku.
"Omar udah tidur?" tanyaku.
Frisca mengangguk. "Kamu lagi ngapain, sih?"
tanyanya, ketika memerhatikan layar laptop yang berada di
atas pangkuanku.
"Bikin tugas buat besok. Tidur duluan, gih!"
Bukannya menurut, Frisca malah mengapit lenganku
dan memeluknya dengan erat. "Masa aku tidur sendiri."
Ucapnya manja.
Aku terkekeh dan mengecup kepalanya. "Ada yang
lagi manja, nih. Sebentar lagi selesai kok."
"Mau aku buatin kopi, nggak?"
"Nggak usahlah. Nanti malah nggak bisa tidur."
Frisca kembali menyandarkan kepalanya di atas
pundakku dan ikut memerhatikan layar laptop di depan
kami.
"Bar,"
"Hm?"
"ASI aku kok sekarang sedikit ya keluarnya? Sekarang
udah nggak pernah pumping lagi karena nggak keluar
banyak ASI-nya."
Aku mengalihkan perhatian pada istriku sepenuhnya.
"Kamu kecapean mungkin. Ngurusin Omar, terus ngurusin
rumah juga. Atau mungkin, bisa juga karena Omar udah
enam bulan, kan. Udah mulai makan, dan frekuensi
menyusunya juga berkurang, jadi ASI kamu juga berkurang
sendiri."
"Bisa jadi, sih." Jawabnya, kemudian kembali
mengapit lenganku.
Setelahnya, kami sama-sama terdiam. Ingin
menyampaikan hal yang beberapa hari ini terus kupikirkan,
namun bingung memulainya dari mana.
"Fris..." panggilku perlahan.
Frisca kembali mendongak dan menatapku.
"Kalau aku keluar dari kerjaan... kamu keberatan
nggak?" tanyaku, pada akhirnya.
Kening Frisca berkerut mendengarnya. "Kerjaan yang
mana?"
"Dua-duanya."
"Kenapa? Aku juga udah resign dari kantor. Terus
kalau dua-duanya nganggur, kita mau hidup dari mana?"
Aku menggeser posisiku. Membuat Frisca melepas
pelukannya dan mengubah posisi kami menjadi saling
berhadapan.
"Jadi gini, Fris, kita kan masih punya uang dari hasil
jual mobil. Dan rencananya, uang itu mau aku pakai untuk
modal usaha. Kamu tau food truck, kan? Di Vegas dan di
Melbourne pasti udah banyak. Nah, rencananya aku mau
buat kayak gitu. Kalau kamu setuju, aku mau ngomong
sama Ayah. Ngajakin Ayah join dan minta jadi investor,
soalnya modal yang kita butuhin lumayan besar. Kalau
Ayah udah acc, baru aku ngajuin resign."
Aku menunggu jawaban Frisca setelah selesai
bercerita. Mengamatinya yang juga tengah mengamatiku
dengan gamblang.
"Emang kenapa kamu tiba-tiba kepikiran mau buka
usaha?" tanyanya, setelah terdiam cukup lama.
Aku mengangkat bahu. "Nggak tau. Tiba-tiba
kepikiran aja. Terinspirasi dari masa mudanya Ayah
mungkin. Jadi dulu Ayah sama Om Ligar punya usaha
distro waktu mereka masih kuliah. Dan sekarang, Ayah
buka perusahaan penerbit SLO sendiri, setelah resign dari
PLN.
"Dan lagi aku pikir, sekarang ini kuliner kita terlalu
didominasi sama makanan dan minuman dari luar. Padahal
negara kita sendiri punya banyak makanan dan minuman
khas daerah yang nggak kalah enak. Tinggal kita combine
aja sama selera anak muda sekarang supaya tetep kekinian."
"Contohnya apa?"
Aku berpikir sebentar sebelum menjawab. "Banyak.
Misalnya, late macchiato, kita ganti late-nya dengan bajigur.
Jadinya bajigur macchiato. Atau es cingcau smooties, jadi
santannya kita ganti susu UHT supaya lebih sehat. Kalau
makanannya... batagor tapi isian ayam, daging atau udang.
Terus atasnya pakai taburan keju dan saus mayonase.
Gimana? Keren, kan?"
Frisca kembali terdiam. Menatapku tanpa kedip,
hingga akhirnya tawanya pecah seketika.
"Ya ampun, Barga... Barga. Ide kamu itu ada-ada aja,
sih! Terlalu anti mainstream kamu orangnya. Mana ada
bajigur macchiato? Yang umum aja kadang susah diterima,
apalagi yang anti mainstream kayak gitu."
Aku berdecak. "Anak-anak muda sekarang itu justru
senang berinovasi, Fris. Mereka suka dengan sesuatu yang
aneh, unik, dan anti mainstream."
Frisca kembali terdiam. Raut wajahnya berubah serius,
namun matanya tak lepas menatapku.
"Kamu serius, Bar? Buka usaha sendiri itu nggak
gampang, lho! Kamu harus konsisten, harus mau susah
dulu, harus rela merangkak dulu dari bawah. Dan kamu
siap untuk itu?"
Aku membawanya tangannya dalam genggamanku,
dan menatapnya tanpa ragu. "Aku tau. Sadar dengan semua
resikonya. Tapi aku punya kamu dan Omar untuk jadi
alasan aku supaya nggak gampang nyerah. Asal kamu selalu
ada di samping aku. Bukan untuk diajak susah, bukan.
Karena laki-laki manapun pasti nggak mau bawa
perempuannya hidup susah. Tapi untuk mendampingi aku
dalam berproses. Supaya aku juga punya alasan untuk
nggak gampang lepasin kamu."
Seperti apa yang Coldplay katakan di dalam lagunya
Up&Up. 'We're gonna get it, get it together right now.
Gonna get it, get it together somehow'.
Karena Tuhan dan rencananya. Tidak ada yang bisa
menerka dan tidak ada yang bisa menduga. Yang penting
usahanya. Karena untuk melompat tinggi, aku butuh
berjalan mundur, butuh berlari hingga menghentakan kaki.
Dan bukan seberapa jauh aku melompat, tapi seberapa kuat
aku mampu bertahan dengan kerja keras itu sebelum
mencapai lompatan tertinggi.
"Kalau memang keputusan kamu seperti itu, sebagai
istri, aku pasti akan dukung kamu. Kalau mau, kamu bisa
pakai dulu uangnya Omar yang dikasih Bunda?"
"Janganlah. Itu kan uangnya Omar."
"Ya, nggak apa-apa. Kita pakai aja dulu. Nanti Omar
udah besar baru kita ganti uangnya. Aku percaya kok,
rejeki itu ada di mana-mana. Datang tanpa bisa kita duga,
akan selalu tepat waktu dan nggak akan salah sasaran.
Apalagi untuk orang-orang yang mau berusaha keras seperti
kamu. Dan aku percaya, ketika nanti kita jatuh satu kali,
kamu akan punya seribu kali cara untuk bisa membuat kita
bangkit berkali-kali. Tapi... yang jadi pertanyaan aku. Kalau
nanti Omar udah besar, udah sekolah, terus ditanya sama
gurunya, 'Omar, Papanya kerja apa?', terus Omar jawabnya
apa? Kang bajigur, Bu. Atau Kang batagor, Bu. Gitu?"
Aku tertawa lepas mendengarnya. Mengacak
rambutnya sekilas, sebelum menarik tubuhnya dan
menempatkannya di atas pangkuanku.
Oh, God. How I love her so much. She's always been
a top priority for me. Apapun yang aku lakukan saat ini,
tujuannya hanya untuk membahagiakannya. Untuk
mempertahankan senyum yang saat ini merekah indah di
wajahnya.
Aku menciumnya. Satu kali. Dua kali. Merasa tak
pernah puas dengannya. She's my ecstasy. Did I say she
was a beautiful butterfly before? Nope. She is a fucking
lioness.
Lihat saja sekarang, dia merubah posisi duduknya
menjadi mengangkangiku. Membalas ciumanku dengan tak
kalah agresif. Aku menikmati pemandangan saat ia melepas
blouse-nya hingga menampakan kedua buah ranum
miliknya yang tertutup bra hitam. Dan dia menutup mata,
mengerang nikmat saat aku meremasnya dengan lembut.
Frisca kembali membuka mata, menarik ujung kausku
dan melepaskannya dengan gesit.
"Mau di mana? Di kamar atau di sini?" tanyanya.
Membuat tawa kecil kembali lolos dari mulutku.
"Tumben nawarin sendiri? Aku lagi nggak minta,
lho!"
Frisca memajukan tubuhnya. Memeluk leherku erat,
dan membuat tubuh atas kami yang tak terhalang apapun
menempel dengan ketat.
"Anggap aja reward buat kamu. Imbalan dari aku
karena kamu selalu berusaha keras untuk bahagiain aku.
Biar kamu tambah semangat juga usahanya." Jawabnya,
dengan senyum sensual yang mengundangku untuk kembali
mencicipi bibirnya.
"Di sini aja. Biar kamu mendesahnya bisa lebih
keras."
***
FRISCA
Aku berlarian kecil saat mendengar ketukan pada
pintu. Ada Jack dan Icha di sana saat aku membuka pintu.
"Lagi ngapain si Barga?" tanya Jack, setelah
kupersilakan mereka masuk.
"Lagi main sama Omar di kamar. Excited banget dia,
lihat anaknnya udah bisa ngerangkak. Bentar ya, aku
panggilin dulu."
Akupun segera berbalik, berjalan menuju kamar dan
memberitahukan kedatangan Jack. Barga segera keluar dari
kamar menuju ruang tamu, dengan membawa Omar dalam
gendongannya, sedangkan aku menuju dapur untuk
membuatkan minuman.
"Lagi buat apa, Fris?" Sapa Icha, saat menyusulku ke
dapur. Inilah pertama kalinya kami bicara berdua seperti
ini. Bahkan aku belum meminta maaf karena sudah
berpikiran negatif kepadanya.
"Bikinin kopi buat Jack sama Barga. Kamu mau
minum apa? Kopi atau teh?"
"Teh aja deh."
Aku mengangguk, dan segera menyeduh teh dengan
sedikit tambahan gula untuknya.
"Aku baru denger cerita soal kamu sama Barga."
Aku mendongak saat mendengarnya bicara. "Soal
apa?" tanyaku.
"Kamu yang salah paham sama aku. Aku minta maaf
sebelumnya ya, Fris. Mungkin aku sama Barga terlalu akrab
sampai akhirnya bikin kamu cemburu."
Aku tersenyum dan kembali mengaduk minuman di
depanku.
"Aku juga harusnya minta maaf sama kamu, karena
udah nuduh kamu macem-macem."
"Bukan salah kamu juga. Aku aja yang nggak bisa
bedain batasan berteman dengan laki-laki single dan suami
orang. Tapi, dari awal aku ketemu Barga, aku tau dia orang
baik. Dia tulus bantuin aku waktu itu. Dan setelah temenan
sama dia, aku juga tau kalau dia sayang banget sama kamu.
Dan nggak ada sama sekali pikiran aku untuk nikung
suami orang."
Kami tertawa bersamaan.
"Aku juga ngerasa konyol banget, waktu Barga jelasin
kalau cowok yang nembak kamu itu Jack. Tapi ngomong-
ngomong, kok kamu bisa pacaran sama si Jack, sih?"
Icha cekikikan mendengar pertanyaanku. "Semenjak
Jack nganterin aku pulang dari rumah sakit waktu besuk
kamu lahiran, dari situ kita udah mulai deket. Terus tiba-
tiba dia nembak aku. Ya udah... akhirnya kita jadian."
"Kamu seumuran sama aku kan, Cha?"
Icha mengangguk.
"Berarti, kita sama-sama dapetin berondong."
Dan kami kembali tertawa bersamaan.
"Ya udah yuk, balik lagi ke depan." Ajakku, sambil
mengangkat baki. Icha berjalan lebih dulu dan aku
menyusulnya di belakang.
"Grandmax aja kalau mau, Bar. Harganya lebih
murah. Perawatannya juga nggak ribet." Ujar Jack, saat aku
menaruh baki berisi minuman dan beberapa cemilan di atas
meja ruang tengah.
"Bokap juga ngomongnya gitu. Grandmax ada yang
udah di-modif juga buat jualan makanan. Jadi bisa langsung
pakai."
"Terus yang bantu lo jualan siapa?"
"Si Mul katanya punya saudara lagi nganggur. Kalau
emang cocok, gue bisa hire dia jadi karyawan gue. Semua
perencanaannya udah mateng, kok. Tinggal eksekusinya
aja."
"Ya udah kalau gitu. Besok gue anterin lo ke tempat
penjualan mobil."
Malam harinya, setelah kepulangan Jack dan Icha, aku
dan Barga kembali duduk berhimpitan di ruang tengah.
Menemani Barga yang sedang serius menonton
pertandingan sepak bola dari tim favoritnya. Sedangkan aku
sendiri, memilih memainkan telepon genggam milik Barga.
"Bar," panggilku.
"Hm?"
"Kok nomor aku kamu namain MCR?"
Barga menengok dan ikut memerhatikan ponselnya. Ia
terkekeh pelan setelahnya.
"Itu kan singkatan."
"Singkatan apa?"
"My Chemical Romance."
Dahiku otomatis berkerut mendengarnya. "Itu kan
nama band?"
Barga mengangguk. "Emang. Tapi kamu tau nggak,
apa artinya itu?"
Aku menggeleng.
"Chemical Romance itu istilah halus dari kecanduan
narkotika. Dan kenapa aku namain kamu dengan nama itu,
artinya memang kamu itu chemical romance aku. Buat aku
merasa kecanduan sama kamu. Nggak bisa kalau hidup
nggak sama kamu."
Aku mengulum bibir mendengarnya. Menarik
tangannya untuk melingkari pundakku dan menyandarkan
kepalaku di atas dadanya.
Satu tahun kami menjalani rumah tangga. Menikmati
setiap kesusahan dan kesenangan bersama. Dan selama itu
juga, sudah terlalu banyak pengorbanan yang Barga lakukan
untuk mempertahankan rumah tangga ini. Membuatku
sampai pada satu kesimpulan, bahwa setiap perempuan
memiliki keinginan, dan setiap laki-laki punya keputusan.
Keduanya harus berjalan beriringan untuk sampai pada
sebuah harmoni. Karena pernikahan bukan akhir, namun
awal menuju sebuah penyatuan. Penyatuan dua kepala
menjadi satu untuk mencapai satu tujuan, yaitu bahagia dan
saling membahagiakan.
-tbc-
22

BARGA
Jika ingin tahu seberapa dalam dasar laut, kita harus
menyelam dan mengukurnya secara langsung. Dan jika
ingin tahu seberapa sulitnya menjalani sebuah usaha, maka
kita harus terjun langsung dan merasakannya sendiri.
Dan kini aku paham, jika menjadi seorang
entrepeneur tak semudah kelihatannya. Butuh modal dan
semangat besar untuk membuatnya tetap bergerak. Nekat
dan tahan banting. Harus mau merangkak dulu sebelum
berlari kencang.
Seperti saat ini, sudah hampir satu bulan menjalani
usaha mobil kuliner, dan ternyata, selama itu juga usahaku
masih jalan di tempat. Jangankan balik modal, keuntungan
yang aku dapat hanya mampu untuk menutupi biaya
operasional yang memang cukup tinggi, dan juga untuk
membayar gaji karyawanku sesuai dengan kesepakatan yang
sudah kujanjikan sejak awal. Hal itu membuat kondisi
keuanganku dan Frisca benar-benar kritis saat ini. Uang
tabungan kami bahkan sudah dikuras habis-habisan untuk
modal awal usaha.
Aku keluar kelas setelah selesai jam kuliah terakhir.
Menghampiri mobil kuliner milikku yang sedang mangkal
di depan kampus, dan terlihat masih sepi pembeli. Cuaca
sedang gerimis sejak pagi, membuat penjualan hari ini
semakin anjlok.
"Sepi ya, Gun?" tanyaku, pada si Gugun--karyawan
yang membantuku berjualan.
"Pisan, Boss." Jawabnya. (Baca : Pisan = banget)
Aku masuk ke bangku pengemudi, menelungkupkan
kepalaku di atas setir mobil untuk istirahat sejenak.
Menunggu sampai kampus sepi, setelah itu berpindah lapak
jualan di Taman Lansia yang letaknya bersebelahan dengan
Gedung Sate.
Aku kembali mendongak saat merasakan getaran pada
kantung celana. Ada pesan masuk dari Frisca.
Frisca : Pulang jam berapa?
Kulirik jam pada dashboard mobil. Masih jam satu
siang.
Me : Sampe malem kayaknya. Kenapa?
Menunggu beberapa lama, namun tidak ada balasan
lagi dari Frisca. Aku pun berinisiatif untuk
menghubunginya yang langsung dijawab Frisca pada nada
panggil pertama.
"Kenapa?" tanyaku, setelah mendengar sapaannya dari
ujung telepon sana.
"Kamu pulang jam berapa?" Frisca balik bertanya dan
tidak menghiraukan pertanyaanku.
"Malem kayaknya, Fris. Ada apa, sih? Kamu bikin aku
khawatir."
"Ya udah, nanti aja ngobrolnya di rumah."
"Ada masalah serius?"
"Nope. Something aren't important."
Jawaban ragu-ragu dari Frisca, membuat rasa
penasaranku semakin membesar.
"Ya udah, aku pulang sekarang."
Setelah memutus panggilanku. Aku keluar dari mobil
dan menghampiri Gugun yang terlihat sedang melayani
beberapa orang pembeli.
"Gun, gue balik dulu ya. Jam tigaan nanti lo bawa
mobilnya ke Taman Lansia. Nanti gue nyusul ke sana."
"Siap!"
Setelah itu, aku berjalan ke arah halte dan segera
melesat menuju rumah dengan menggunakan ojek yang
biasa mangkal di sana.
Setengah jam kemudian, aku tiba di rumah. Frisca
dan Omar menengok bersamaan saat aku membuka pintu.
Terlihat Frisca yang sedang menemani Omar bermain di
ruang tengah.
Omar tertawa saat melihat kedatanganku. Kemudian,
ia merangkak pelan-pelan untuk menghampiriku.
"Pa pa pa pa pa pa pa pa," ucapnya, dengan jenaka.
Membuat rasa lelah dan beban pikiran yang kurasakan
seharian ini, hilang dengan sendiri.
Aku berjongkok dan membawa tubuh mungil itu
dalam gendonganku.
"Abang lagi apa?"
"Pa pa pa pa pa pa pa."
"Iya, ini Papa. Dari kemaren belum main sama Papa
ya?"
"Pa pa pa pa pa pa pa."
Aku menciumi wajahnya dengan gemas. Membuat
Omar tertawa kegelian sambil meronta-ronta dalam
gendonganku.
Ya, Tuhan... adakah yang lebih membahagiakan dari
pada ini?
Aku melirik Frisca yang masih terduduk di atas
karpet, dan menyadari wajahnya yang sedikit pucat.
"Kenapa, Sayang?" tanyaku, saat menghampirinya.
Frisca diam sesaat, sebelum akhirnya menghela napas
panjang.
"Kamu sakit?"
Dia menggeleng.
"Terus kenapa?"
Dia hanya membalas tatapanku dan tak bicara
sedikipun. Kami terdiam cukup lama hingga akhirnya dia
bersuara, "aku... kayaknya hamil deh, Bar."
Dahiku berkerut. Tak paham dengan maksud
ucapannya. "Kok bisa?" tanyaku.
Frisca berdecak. "Ya, bisa lah. Orang kita rajin
bikinnya."
"Bukan gitu maksudnya. Kamu kan udah pasang KB,
kok masih bisa hamil?"
"Justru itu, aku juga bingung. Tapi udah dua bulan
aku belum dapat haid. Dan gejalanya juga sama kayak dulu
waktu hamil Omar," rengek Frisca, terdengar ada sedikit
kecemasan dari nada bicaranya.
Dan kini, giliran aku yang terdiam. Bingung
menjelaskan bagaimana tepatnya perasaanku saat
mendengar kabar itu.
Hamil?
Mengandung maksudnya?
Dan itu artinya, aku akan punya anak lagi?
Shit. Seharusnya aku senang mendengar kabar ini.
Tidak ada kabar yang lebih membahagiakan untuk seorang
suami, selain mendengar istrinya sedang hamil.
Namun, mengingat bagaimana kondisi keluarga kami
saat ini, membuatku merasa belum siap jika harus punya
anak lagi.
Aku melirik Frisca yang juga ikut terdiam. Terlihat
matanya sudah mulai berkaca-kaca. Mungkin menyadari
kekalutanku.
Aku menarik kepalanya dengan lembut dan
menyandarkan di atas dadaku. Memeluknya, membelai
rambutnya, mencoba menenangkannya. Walau pikiranku
sendiri kacau.
"Kalau emang beneran hamil juga nggak apa-apa kok.
Ada bapaknya ini, kan? Ada yang tanggung jawab." ucapku,
mencoba mencairkan ketegangan.
"Tapi kondisi keuangan kita lagi kayak gini, Bar.
Omar juga masih kecil banget. Dan kemungkinan besar,
lahirannya sesar lagi. Terus kita mau dapat biayanya dari
mana?"
Aku kembali menghela napas. Membingkai wajahnya
dan menatapnya dengan tegas. "Kamu sendiri kan yang
bilang, rezeki itu ada di mana dan akan selalu datang tepat
pada waktunya. Yang penting tawakal dan usahanya. Iya
kan, Sayang?
"Lagipula, anak-anak kita sudah diatur rezekinya
masing-masing. Kalau kamu meragukan rezeki mereka, itu
artinya... kamu juga meragukan Sang Pemberi Rezeki.
Relax, take it easy, it will get done... you don't need to
push yourself through it. Besok kita periksa ke dokter ya."
Frisca mengangguk. Melingkarkan tangannya pada
sekeliling tubuhku, dan memelukku dengan erat.
"Masak apa? Aku laper."
Frisca kembali mengulur pelukannya. "Ikan acar
kuning. Kesukaan kamu. Aku panasin dulu ya biar tambah
enak makannya."
Aku menahan tangannya saat akan berdiri, dan
mencuri ciuman singkat di atas bibirnya.
"Ma ma ma ma ma ma."
Kami menengok, dan menemukan Omar yang sedang
memerhatikan kami. Menyeringai, memperlihatkan gusinya
yang masih belum tumbuh gigi.
"Nyium dikit doang, sih, Bang. Pelit amat Mamanya
nggak boleh dibagi-bagi."
"Ma ma ma ma ma."
"Sama Papa dulu sini. Mamanya nyiapin makanan
dulu." Aku mengangkat Omat saat sedang merangkak
menghampiri Frisca.
"Mamam."
"Iya, mamam. Abang udah mamam?"
Omar menepuk-nepuk wajahku dengan tangannya
yang kecil. "Pa pa pa pa pa pa."
Kembali kuciumi wajah dan lehernya berulang-ulang,
membuatnya kembali tertawa riang dan menggeliat
kegelian.
Incubus benar. "Whatever tomorrow brings, I'll be
there with open arms and open eyes."
Karena kita manusia bisa apa, sih jika Yang Di Atas
sana sudah berkehendak? Tidak ada. Selain pasrah, dan
ikhlas menerima.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum kembali
berjualan, aku sudah memboyong keluarga kecilku menuju
rumah sakit. Mendaftarkan Frisca untuk konsultasi dengan
dokter ahli kandungan yang sama saat hamil Omar dulu.
"Hamil lagi, Mbak?" tanya seorang Ibu-ibu, saat kami
sedang mengantre di depan ruangan dokter.
Frisca tersenyum sopan. "Iya," jawabnya.
"Kakaknya berapa umurnya?"
"Sekarang jalan delapan bulan."
"Masih kecil padahal ya. Kasian udah mau punya
adek lagi."
Frisca melirikku dengan senyum pahit di wajahnya.
"Ketagihan, Bu. Bikin anak enak, sih!" Ujarku,
mengambil alih jawaban. Membuat Frisca kembali
menatapku, dengan tatapan I-will-kill-you, sedangkan si ibu
usil terlihat terkejut dengan jawaban asalku.
Beruntung, nama Frisca dipanggil saat itu,
membuatku segera berdiri dan mendorong stroller Omar
menghampiri pintu ruang praktek.
Aku membawa Omar dalam gendonganku, dan
meninggalkan stroller-nya di luar ruangan, setelah
mengamankannya di samping tembok.
"Besok-besok ingetin aku bawa lakban. Biar mulut
kamu aku lakban kalau ngomong ngaco lagi!" bisik Frisca,
ketika melewatiku saat akan masuk ke dalam ruang praktik
dokter. Membuatku terkekeh pelan, sebelum menyusulnya
di belakang.
Frisca kembali menjalani USG, dan ternyata memang
benar. Frisca hamil dengan usia kandungan yang sudah
memasuki minggu ke delapan.
"Tidak ada alat kontrasepsi apapun yg efektif 100%,
semua ada kekurangannya. Tapi kegagalan alat KB
bervariasi, efektifnya tiap orang berbeda-beda. Ada juga
pasien saya, sudah steril, maksudnya saluran tubanya sudah
diikat keduanya tapi kenyataannya dia masih bisa hamil.
Apalagi KB IUD yang fungsinya hanya mengacaukan
hormonal agar tidak berovulasi dan menetralisir efek
hormonalnya, memang tidak terlalu efektif juga. IUD juga
fungsinya barier saja, bisa jadi bergeser ketika Ibu sedang
mengalami menstruasi dan Ibu terlalu banyak beraktifitas.
Selama ada sel telur dan sel sperma bertemu, kemungkinan
untuk hamil pasti akan selalu ada. Menyusuinya diteruskan
saja jika tidak terjadi masalah. Kecuali jika Ibu sering
merasakan kontraksi ketika sedang menyusui, terpaksa
harus dihentikan."
Begitu penjelasan dokter saat melakukan konsultasi.
Dan membuatku berpikir, mungkinkan hal ini ada
hubungannya dengan aku yang sering makan tauge?
Semenjak hamil, istri cantikku ini menjadi pemalas
dan lebih kolokan. Membuatku tidak bisa ikut berjualan
selama tiga hari ini, dan membiarkan Gugun meng-handle
semuanya sendiri.
Aku masuk ke dalam kamar saat mendengar tangisan
Omar yang masih belum berhenti sejak Frisca membawanya
masuk untuk ditidurkan.
"Kenapa, Fris?" tanyaku, saat menghampiri mereka di
atas ranjang.
"Omar nggak mau dinenenin. Udah nggak ada ASI-
nya mungkin. Jadinya dia kesel sendiri," ujar Frisca, terlihat
seperti ingin menangis.
Aku mengambil alih Omar dan menggendongnya
keluar kamar. "Bobok sama Papa aja ya, Bang. Anak pinter
nggak boleh rewel. Kasian Mama ada dedek bayinya di
dalem perut."
"Nenen, nenen," rengek Omar, dan akhirnya kembali
menangis.
Aku kembali menghela napas panjang.
Sabar, Bar. Sabaaarrrrr...
Sambil menggendong Omar dengan satu tangan, aku
membuka kulkas dan mengeluarkan ASI perah milik Frisca
yang sudah dicairkan di bagian bawah kulkas, lalu
merendamnya dengan air hangat.
Aku mengajak Omar bermain sebentar sambil
menunggu hingga suhu ASI-nya berubah hangat.
Menuangkan di dalam dot, kemudian memberikannya pada
Omar.
Beberapa menit kemudian, terdengar dengkuran halus
dari Omar saat mulai terlelap. Membuatku dapat bernapas
lega pada akhirnya. Seperti ada kepuasan tersendiri saat kita
berhasil menidurkan anak.
Karena percaya atau tidak percaya, menidurkan anak
itu jauh lebih sulit dari para jomblo yang sedang mencari
jodoh. Terutama untuk kita makhluk yang tak berpayudara.
Aku kembali masuk ke dalam kamar, membaringkan
Omar di dalam tempat tidurnya dengan sangat hati-hati.
Terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka,
disusul dengan keluarnya Frisca dari dalam kamar mandi
dengan wajah pucat. Ia naik ke atas tempat tidur dan
kembali berbaring.
Aku menghampirinya, "muntah lagi?" tanyaku.
Frisca mengangguk.
"Mau aku buatin teh manis."
Dia menggeleng pelan. Aku ikut berbaring dan
memeluknya dari belakang.
"Hamil yang sekarang sedih banget. Omar jadi nggak
keurus, kamu juga sampe ikutan repot. Sekarang masak aja
nggak bisa karena nggak kuat nyium bau bumbu dapur.
Maafin aku ya, Bar, jadinya malah bikin kamu tambah
repot sampe nggak bisa kerja."
"Kamu kan hamil gara-gara aku juga, Fris. Ngapain
minta maaf, sih? Kita itu satu tim sekarang, harus bisa
sama-sama saling menguatkan, saling support. Kita jalani
semuanya bareng-bareng. Kamu lagi hamil, nggak boleh
banyak pikiran, nggak boleh stres. Ingat, ada nyawa lain di
dalam tubuh kamu sekarang. Jangan terlalu over thinking.
Percaya aja sama Allah."
Aku paham, seorang laki-laki memang hanya bisa
terus berjuang tanpa tahu pasti apa yang akan terjadi di
depan sana. Dan sebagai laki-laki, aku memang tidak bisa
memastikan perempuanku akan selalu hidup terjamin.
Namun aku yakin, jika kami dapat terus saling mendukung,
saling menguatkan, dan saling mendoakan, maka aku
percaya... Tuhan yang akan menjamin semuanya.
-tbc-
Balesin komennya nanti ya. Mama cantik mau siap-
siap nganterin anak karnaval sepeda hias dulu, cyiinn.
Thanks for your attention. *cipok basah satu-satu dari
Papa Barga :*

23

FRISCA
Aku menengok saat Barga masuk ke dalam kamar
dengan membawa cangkir teh di tangannya.
"Sari kurma lagi?" tanyaku, saat Barga mengasongkan
cangkir itu ke arahku.
Barga mengangguk. Aku menggeleng.
"Biar sehat, Fris. Kamu muntah-muntah terus tapi
nggak ada makanan yang masuk. Mau dapet nutrisi dari
mana dedek bayinya? Kasian, kan."
"Tapi nggak enak, Bar."
"Dikit-dikit aja minumnya. Kasian kamunya juga
kalau nggak ada makanan yang masuk sama sekali."
Aku menghela napas. Menegakkan posisiku sebelum
mengangkat cangkir berisikan air hangat yang sudah
dicampurkan dengan sari kurma dari tangan Barga.
Menyesapnya perlahan, kemudian mengernyit karena rasa
mual yang kembali menyerang.
Memasuki usia kandungan sepuluh minggu, morning
sickness yang kualami semakin bertambah parah. Awalnya,
aku mengira gejala morning sick pada ibu hamil hanya
terjadi pagi hari saja. Namun, kenyataannya gejala itu
kualami sepanjang hari. Sejak terbit matahari hingga
terbenam kembali. Membuatku tidak bisa mengerjakan
pekerjaan apapun karena rasa mual yang selalu datang tiba-
tiba.
Sangat berbeda saat hamil Omar dulu. Semuanya
tetap normal, berjalan lancar, tanpa ada keluhan apapun.
"Masih keluar flek?"
"Udah nggak lagi, semenjak Omar disapih. Tapi
masalahnya malah pindah sama Omar sekarang. Dari
kemarin Omar diare terus. Karena nggak cocok sama susu
formulanya mungkin."
Aku menyimpan cangkir yang masih tersisa
setengahnya di atas nakas.
"Sedih. Niat resign dari kantor karena pengin ngasih
haknya Omar, dapat ASI sampai dua tahun. Ternyata tetep
nggak bisa juga."
Barga mengusap rambutku. "Nggak apa-apa. Yang
penting kan selama enam bulan pertama Omar udah dapet
ASI ekslusif. Bukan maunya kamu juga nggak bisa
menyusui sampai dua tahun, kan."
"Ya udah, kamu berangkat jualan sekarang, gih!"
"Yakin, kamu nggak apa-apa kalau aku tinggal?"
"Yakin, Bar. Udah, kamu jualan aja sana. Udah
seminggu nggak bantuin jualan. Kasian karyawan kamu, dia
juga butuh libur, kan."
Barga kembali mengusap rambutku dengan penuh
kelembutan. "Ya, udah. Tapi kalau ada apa-apa, kamu
langsung telepon aku ya?"
Aku mengangguk. Barga mencium keningku sebelum
melangkah melewati pintu dan kembali menutupnya
Setelah kepergian Barga, aku menutup semua tirai
jendela kamar. Menghalau masuknya sinar matahari yang
membuatku merasa tak nyaman. Sejak hamil, entah
mengapa aku menjadi benci sinar matahari. Barga bilang itu
hanya sugesti. Namun, tetap saja merasa risih jika keadaan
kamar terang benderang.
Entah berapa lama aku tertidur, hingga suara tangis
Omar membangunkanku. Aku membuka mata dan
menemukan Omar sudah berdiri di dalam boksnya dengan
berpegangan pada pinggirannya. Mulutnya mencibir, dan
wajahnya sudah sangat basah oleh air mata.
Aku bangun dari tempat tidur, lalu berjalan
menghampirinya. "Ya, ampun. Kasian banget anak Mama,"
ucapku, seraya menggendong Omar dan sedikit terkejut saat
merasakan suhu tubuhnya yang sedikit meninggi. Kuraba
dahi dan lipatan lehernya, sepertinya memang demam.
Aku melangkah keluar kamar dengan membawa
Omar dalam gendonganku. Membuka kabinet dapur dan
mengambil kotak obat yang tersimpan di sana.
Aku mengeluarkan termometer yang tersimpan di
dalam kotak obat untuk mengukur suhu tubuh Omar, dan
sedikit panik saat melihat angka 38,9 derajat yang tertera
pada layar kecilnya.
"Makan dulu ya, Bang. Habis makan langsung minum
obat biar cepet sembuh."
Hingga sore hari, demam Omar masih belum turun.
Padahal sudah dua kali aku memberinya obat penurun
panas. Diarenya pun masih belum sembuh. Membuat
Omar terus menerus merengek dan tidak bisa lepas dari
gendonganku.
Omar tidak mau makan, dia juga menolak minum
susu. Membuatku ingin ikut menangis saat dia kembali
menangis.
Telepon genggamku berdering. Menampilkan foto
Barga di layarnya.
"Kamu udah makan belum?" sapa Barga, saat aku
menjawab panggilannya.
"Udah, dari tadi kenyang ngabisin buburnya Omar.
Kamu udah selesai jualan?"
"Udah. Ini mau pulang sekalian beliin kamu makan.
Itu Omar lagi nangis, ya?"
"Iya. Rewel banget dari tadi. Demam, diare, nggak
mau makan, susah ditidurin pula. Pusing aku, Bar."
"Ya udah, sabar aja. Ini aku juga udah mau pulang
kok. Mau aku beliin apa?"
"Nggak usah. Mau kamu cepet pulang aja."
Aku menaruh kembali telepon genggam di atas meja
setelah Barga memutus panggilannya, lalu kembali
menggendong Omar dan membawanya keluar rumah.
"Kita tungguin Papa di depan ya, Bang. Tapi Abang
harus sambil makan ya."
Dengan membawa bubur saring sebagai menu
makanan untuk Omar, aku menggendongnya dengan kain
gendongan dan mengajaknya makan di teras depan rumah.
Ada mobil yang berhenti tepat di depan gerbang, saat
aku sedang menyuapi Omar. Tak lama kemudian, seorang
perempuan berhijab turun dari dalam mobil.
"Assalamualaikum," sapanya, saat memasuki gerbang
dan berjalan menghampiri kami.
"Waalaikumsalam. Sengaja main ke sini, Ki?"
"Tadi habis nganterin Mami ngisi seminar di ITB,
terus mau lanjut makan malem sama temen-temennya di
Dago. Mas Bilal nggak mau diajakin nimbrung sama ibu-
ibu, akhirnya aku ajak mampir ke sini aja."
"Anaknya mana?"
"Dititipin Ibu. Katanya sepi kalau nggak ada cucunya
di rumah."
Aku tersenyum saat suaminya berjalan menghampiri
kami.
"Omar lagi makan apa?" Kia mengusap pipi Omar.
"Ya, ampun. Panas banget badannya, Fris."
"Iya, udah dua hari ini diare, terus tadi pagi deman."
"Udah dibawa ke dokter?"
Aku menggeleng pelan. Bahkan untuk biaya dokter
aja kita nggak punya.
Aku menunduk. Berpura-pura membersihkan mulut
Omar dari sisa makanan untuk menyembunyikan mataku
yang mulai memanas.
"Ayo, di dalem aja ngobrolnya. Malah pada berdiri di
luar," ajakku, sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Barga masih belum pulang?" tanya Mas Bilal, saat
memasuki rumah dan duduk di sofa ruang tengah.
"Belum, Mas. Tadi nelpon katanya bentar lagi
pulang."
"Fris, tadi kita beli makanan di luar. Nggak apa-apa
kan, kalau mau sekalian makan malem di sini?" Kiasah
mengasongkan bungkusan yang ia bawa di tangannya.
"Kok jadi malah yang punya rumah yang disuguhin,
sih!" candaku, yang disambut tawa kecil oleh Kiasah.
Aku menurunkan Omar dan membiarkannya bermain
di atas karpet, lalu mengambil bungkusan dari Kiasah dan
membawanya ke dapur
Aku membuka satu per satu bungkusan itu dan
menempatkannya di dalam wadah untuk dihidangkan. Dan
saat membuka bungkusan terakhir, aku mengernyit saat
mencium bau tajam yang menyeruak.
"Ini apa, Ki?" tanyaku, pada Kiasah yang sedang
membuat kopi untuk suaminya.
Kiasah menengok dan mengamati bungkusan yang
sedang aku pegang. "Gulai kambing," jawabnya.
Ow, shit! Aku meninggalkan bungkusan itu begitu
saja dan berlarian kecil memasuki kamar mandi yang
berada di dalam kamar tidurku, dan kembali memuntahkan
seluruh isi perutku di dalam kloset.
"Frisca, kamu nggak papa?" Terdengar teriakan Kia
dari balik pintu kamar mandi.
Setelah membasuh wajahku dengan air dingin, aku
membuka pintu kamar mandi dan menemukan Kia yang
sedang menungguku di depan pintu. Nampak mengamatiku
dengan penuh kekhawatiran.
"Kamu hamil lagi?" tanya Kia penuh selidik.
Aku duduk di depan meja rias. Mencabut beberapa
lembar tisue yang tersimpan di sana, dan menyeka titik
keringat yang mulai bermunculan di keningku.
"Udah jalan tiga bulan, Ki."
Kiasah menatapku ngeri. "Seriously?"
Aku mengangguk pelan. Dan tanpa bisa dicegah, air
mataku mengalir dengan sendirinya. "Aku dan Barga bener-
bener lagi diuji banget sekarang. Usaha Barga masih sepi.
Pendapatannya juga masih belum stabil. Keadaan kami lagi
kayak gini, tau-tau aku hamil. Kemarin sempet keluar flek.
Aku pikir mungkin karena aku masih nyusuin Omar, dan
akhirnya terpaksa harus di-sapih. Nambah lagi biaya untuk
beli susu formula. Tapi Omar malah jadi diare terus dari
kemarin, tiba-tiba badannya panas tadi pagi. Mau dibawa ke
dokter juga mikir lagi karena nggak punya uang."
"Ya, Allah... kalian itu kenapa, sih pada keras kepala
banget? Kalau ada apa-apa itu kenapa nggak mau
diomongin sama keluarga yang lain. Malah dibikin susah
sendiri. Bunda sama Ayah Ello pasti nggak tau keadaan
kalian kayak gini, kan?"
Aku menggeleng. Kiasah mendengus.
"Ya, udah. Kita bawa Omar ke dokter sekarang ya?"
Aku kembali mendongak dan menatap Kiasah.
"Nggak usah, Ki. Kalian masih harus jemput Tante Diayu,
kan. Sekarang dikasih obat penurus panas aja. Kalau sampai
besok masih belum sembuh, baru aku bawa Omar ke
dokter."
Setelahnya, kami sama-sama terdiam. Aku menyeka
air mata yang kembali mengalir. Ternyata, untuk belajar
ikhlas itu sangat sulit.
"Fris, kalau Omar dibawa ke Jakarta aja gimana?" Aku
mendongak saat mendengar ucapan Kiasah. "Biar diurus
sama oma-omanya di sana. Paling nggak, sampai morning
sick kamu hilang, dan keadaan kamu jadi lebih baik.
Karena kalau dibiarin kayak gini, kasihan Omar juga
karena malah nggak keurus jadinya."
Belum sempat aku menjawab, obrolan kami terhenti
saat terdengar tangisan Omar. Kiasah keluar kamar dan
membawa Omar dari gendongan suaminya.
"Omar ngantuk kayaknya. Kamu tidurin dulu, sambil
kamu pikirin saran dari aku tadi, ya."
Aku menurut. Mengambil alih Omar dari gendongan
Kiasah dan membaringkannya di atas ranjang.
Selama menidurkan Omar, aku terus memikirkan
saran dari Kiasah tadi. Kiasah memang benar, Omar akan
terlantar jika terus dibiarkan seperti ini. Karena untuk
mengurus diri sendiri saja sudah membuatku sedikit
kepayahan, apalagi untuk mengurus Omar yang sedang
berada dalam masa aktifnya.
Namun, lagi-lagi aku berpikir, apa aku bisa tinggal
berjauhan dengan Omar?
"Sayang."
Aku terbangun saat merasakan usapan lembut di atas
kepalaku. Saat membuka mata, kulihat Barga sedang
berjongkok di depanku.
"Ya, ampun... aku ketiduran, Bar."
Barga tersenyum dan kembali mengusap kepalaku.
"Kata Kak Kia, tadi muntah-muntah lagi ya?"
Aku mengangguk. "Iya. Nggak kuat nyium bau
kambing."
"Udah habis kok gulai kambingnya."
"Terus, Kia sama Mas Bilal?"
"Masih ada di depan. Aku bangunin kamu karena
kata Kak Kia kamu belum makan dari tadi. Makan dulu,
yuk!"
Barga membantuku bangun dan menggandengku
keluar kamar. Keadaan sudah gelap saat aku
keluar. Terlihat Kiasah dan suaminya yang sedang duduk
di ruang tengah.
"Kamu udah makan?" tanyaku, saat Barga
mengajakku ke meja makan.
"Udah. Semuanya udah makan. Tinggal kamu aja
yang belum."
Aku mengambil piring dan mengisinya dengan nasi
serta lauk pauknya. Memilih makan di ruang tengah dan
bergabung dengan yang lain dari pada makan sendiri di
meja makan.
"Produk yang kamu jual itu sebenarnya potensial
untuk semua kalangan. Mulai dari pelajar, mahasiswa,
sampai orang kantoran juga bisa masuk target jual kamu.
Karena zaman sekarang ini, produk lokal yang dikemas
dengan gaya luar yang modern itu justru lebih memiliki
nilai jual." Ujar Mas Bilal, saat aku bergabung dan duduk
di samping Barga.
"Iya, sih. Aku juga mikirnya gitu, Mas. Karena
sebenarnya, ngikutin selera pasar itu nggak sulit. Apalagi
zaman sekarang, tinggal masukin sedikit aroma barat aja."
"Nah, itu dia. Selain dari produknya, juga dari strategi
selling-nya. Kamu udah coba promosi di media sosial?"
"Belum," jawab Barga.
"Promosiin lah di medsos kamu. Efek media sosial itu
besar untuk sarana promosi."
"Iya, Bar. Apalagi Instagram dan Twitter kamu makin
banyak follower-nya sejak kamu jadi bintang iklan," ucapku,
ikut memberikan tanggapan.
Barga menengok ke arahku, dan mengangguk-
anggukan kepalanya. "Bener juga, ya. Kenapa aku nggak
kepikiran dari sebelumnya ya?"
Kami tertawa kecil mendengarnya.
"Sebagai seorang entreprenuer, kamu harus jeli
melihat setiap peluang, Bar. Harus bisa juga ikuti seperti
apa tren pasar saat ini. Karena strategi kreatif untuk
meningkatkan nilai produk kamu itu penting di tengah era
persaingan seperti sekarang ini."
Aku menyimpan piring kosong dan mengambil gelas
minuman yang aku bawa tadi. Melirik Barga yang nampak
tengah memikirkan dengan serius ucapan Mas Bilal.
"Bar." Panggilan Kiasah membuatku dan Barga
menengok ke arahnya.
Kiasah melirikku sesaat sebelum bicara, "kondisi
kalian kan lagi kayak gini. Tadi Kak Kia udah ngomong
juga sama Frisca, gimana kalau Omar Kakak bawa dulu ke
Jakarta. Kalau nggak di rumah Kakak, ya mungkin di
rumah Bunda Gendis. Paling nggak, di sana banyak orang
yang ngurusin. Soalnya Kakak ngeliatnya kasihan juga sama
Frisca. Lagi mabuk kayak gini, ngurusin anak seumuran
Omar yang lagi aktif-aktifnya. Kamu juga baru mulai usaha,
nggak mungkin kamu tinggalin terus, kan?"
Aku dan Barga saling tatap.
"Aku, sih terserah kamu. Kamu setuju atau nggak?"
ujar Barga.
Aku mengangkat bahu. "Nggak tau. Bingung. Emang
bener apa yang Kia bilang. Kasian Omar, jadi nggak keurus
karena kondisi aku lagi kayak gini. Tapi sedih juga kalau
aku jauh dari Omar. Pasti kepikiran terus, Bar. Rumah juga
jadi sepi karena kamu pulangnya malam terus, kan."
Barga terkekeh. Mengusap kepalaku sekilas, lalu
merangkul pundakku. "Sementara aja. Sampai kondisi kamu
stabil. Biar kamu juga tenang kalau mau istirahat."
***
BARGA
Malam harinya, setelah kepulangan Kak Kia dengan
membawa serta Omar, aku masuk ke dalam kamar dengan
membawa cangkir berisikan susu ibu hamil untuk Frisca.
"Minum dulu susunya, Fris."
Frisca mengangkat gelas susu dari tanganku dan
meminumnya hingga habis. Aku meminta gelas yang sudah
kosong, lalu menyimpannya di atas meja.
"Tidur, yuk!" Aku mengajaknya berbaring dan
memeluknya dari belakang. "Udah, Sayang. Jangan dipikirin
terus. Omar pasti baik-baik aja di sana sama Bunda.
Sekarang, lebih baik kamu fokus sama kandungan kamu.
Istirahat yang cukup, jangan terlalu sering mikir yang
macem-macem."
Frisca menarik tanganku untuk memeluknya lebih
erat. "Don't worry about me. I'm going to be just fine.
Eventually, I'll be great. Selama kamu terus meluk aku
kayak gini."
Aku menyingkap rambutnya, memerlihatkan lekuk
lehernya yang telanjang dan memberikan kecupan si setiap
bagian lehernya yang jenjang.
Frisca memiringkan kepalanya sedikit, seolah
memberikan jalan untukku mengeksplorasi tubuhnya yang
semakin ranum sejak hamil.
Shit! Istri lagi keadaan kayak gini masih nafsu aja lo,
Bar!
But, it's incredibly arousing. Apalagi saat mendengar
desahannya. Driving me. Owning me. Naughty kind of
way.
Aku bangun tiba-tiba hingga membuat Frisca terkejut.
"Mau ke mana, Bar?" tanyanya, saat aku turun dari
ranjang dan melepas kaus yang kukenakan.
"Mandi!" jawabku, sebelum menutup pintu kamar
mandi dan mengguyur tubuhku dengan air dingin.
Calm down, Boy. Belum waktunya dapat jatah....
-tbc-

24

FRISCA
"Omar sudah dibawa ke dokter. Katanya, kemarin itu
nggak cocok dengan merek susu formula yang diminum.
Akhirnya Bunda ganti merek yang lain. Sekarang sudah
nggak diare lagi. Panasnya juga sudah normal. Jangan
terlalu dipikirin, Fris. Omar baik-baik aja kok. Kalau kamu
pikirin terus, nanti malah rewel anaknya. Kamu fokus sama
kandungan kamu aja. Madu dan sari kurmanya diminumin
terus. Harus dipaksa makan juga walaupun mual. Ya udah,
kalian baik-baik ya di sana."
Aku mendesah lega saat mendengar kabar dari ibu
mertuaku.
Delapan bulan sudah terbiasa dengan kehadirannya,
membuat keadaan rumah terasa lain tanpa adanya Omar.
Terlebih dengan kondisinya yang sedang sakit. Membuatku
terus merecoki ibu mertuaku setiap jamnya, hanya untuk
menanyakan kabar tentangnya.
Aku mengintip dari balik tirai saat terdengar suara
gemuruh cukup keras. Hujan lebat, dengan kilatan petir
saling menyambar. Membuatku kembali mendesah pasrah
saat memikirkan omset penjualan hari ini.
Lagi-lagi, keadaan memaksaku untuk selalu ikhlas.
Bagaimana ketika sebuah kesederhanaan pikiran dan
keterbatasan pilihan, menjadi penopang ketika berada di
tengah himpitan keadaan.
Demi menghilangkan pikiran-pikiran negatif, aku
memilih untuk menyibukan diri di dapur. Membuka lemari
pendingin, dan kembali menghela napas ketika melihat isi
di dalamnya. Hanya ada telur, buah dan beberapa biskuit.
Tidak ada bahan makanan lain yang bisa dimasak
Aku kembali mendesah. Sepertinya menu makan
malamku harus sama dengan menu sarapan tadi. Nasi putih
dengan telur dadar.
Barga datang tak lama setelah aku selesai makan dan
mencuci piring. Aku mengamatinya saat kami duduk
bersebelahan di ruang tengah. Menyadari raut wajah
kelelahan yang ia tampakan.
Tanganku terulur, membelai rambutnya yang sudah
sedikit panjang dan berantakan. Membuat Barga menengok,
lalu membawa tanganku untuk digenggamnya.
"Kamu udah makan?" tanyaku, yang dijawab
anggukan kepala oleh Barga.
"Udah ada kabar dari Bunda?"
Giliran aku yang mengangguk. "Udah. Katanya Omar
baik-baik aja. Diare dan demamnya udah sembuh."
"Syukurlah."
"Gimana tadi jualannya?"
Barga mendesah pelan. "Lumayan, Fris. Lumayan
anjlok maksudnya. Hujannya awet banget. Nggak ada
berhentinya dari pagi."
Aku menggeser posisiku agar semakin merapat
padanya. Menyandarkan kepalaku di atas bahunya.
"Allah itu Maha Adil, Bar. Dia tau, siapa aja umat-
umatnya yang mau berusaha. Dinikmati aja prosesnya, dan
disyukuri berapapun itu hasilnya."
Barga tersenyum dan membelai kepalaku dengan
lembut. "Maafin aku ya. Selama nikah sama aku, kayaknya
hidup kamu susah terus."
"Aku kan udah pernah bilang, ketika kita jatuh satu
kali, aku yakin kamu akan punya seribu cara untuk
membuat kita bangkit berkali-kali. Dan usaha kamu selama
ini bukan hanya omong kosong. Aku tau, kamu udah
berusaha keras sampai sejauh ini, dan aku nggak akan
menuntut lebih dari kamu."
"Tapi setiap perempuan punya hak untuk menuntut,
Fris."
"Aku tau. Aku bukan orang naif yang percaya kalau
hidup dengan cinta aja udah bisa bikin kita bahagia.
Gimanapun juga, kita pasti butuh materi, karena perut
nggak akan kenyang kalau hanya diisi cinta. Tapi aku juga
nggak mau muluk-muluk, Bar. Cukup sederhana dan
seadanya. Karena hubungan yang sehat itu dibangun
dengan sikap saling menerima, bukannya malah saling
menuntut."
Kedua tangan Barga membingkai wajahku dengan
lembut. Menatapku dalam. Mengisyaratkan rasa cinta yang
besar hanya dari pancaran matanya tanpa banyak kalimat
yang terkhidmat
"Sekarang ini, banyak laki-laki yang menilai
perempuan dari penampilan luar. Tanpa mereka pikir,
bahwa sesuatu yang sementara seperti itu akan hilang
pelan-pelan. Cuma ketulusan dan kesabaran seorang
perempuan yang akan menentukan siapa ibu yang baik
untuk anak-anak mereka. Dan aku beruntung dapetin
kamu."
Barga melingkarkan tangannya di atas pundakku.
Membuatku membalasnya dengan memeluk pinggangnya
dan menyandarkan kepalaku di atas dadanya.
Rasanya lengkap saat kami dapat saling mengisi
seperti ini. Menenangkan. Dan membuat hati damai.
Barga menarik daguku. Membuatku mendongak ke
arahnya saat dia memberikan ciuman lembut di bibirku.
Mataku menutup dan mulutku terbuka. Lidahnya
membelaiku, mengajaku bermain, dan membuatku semakin
hanyut dalam permainan yang ia ciptakan.
"Rasa susu coklat," bisiknya.
Aku terkekeh pelan. "Aku baru minum susu."
"Tapi enak," ujar Barga, lalu kembali menciumku.
Perlahan tapi pasti, kabut gairah mulai menguasaiku.
Seperti gelembung keindahan di atas jazirah mimpi yang
membawaku pada sensasi kenikmatan duniawi. Aku
mendesah di dalam mulutnya saat Barga semakin
memperdalam ciuman kami, mengajaku naik ke atas
puncak menara kastil, lalu melepaskanku begitu saja.
"Kenapa?" protesku, saat Barga melepas ciumannya.
"Nggak boleh, Fris. Kondisi kamu masih lemah. Nanti
malah kenapa-kenapa."
"Tapi aku mau, Bar." Aku membelai rahangnya yang
ditumbuhi bulu-bulu kasar sisa cukuran. Mengecupi
lehernya yang sedikit lengket oleh keringat. Membaui
aroma maskulin yang menguar dari balik bajunya.
"Frisca ...." Terdengar geraman pelan dari mulutnya
saat dia menolakku dengan gesture enggan.
"Celana aku udah sesak ini, Fris. Si boy kalo udah
bangun susah ditidurin lagi."
Aku menyembunyikan wajahku di dadanya saat
tawaku pecah. Terlebih ketika merasakan jendulan besar di
bawah sana.
"Kebiasaan hamil kamu yang sekarang ini aneh
banget. Kamu nggak kuat nyium bau bumbu masakan, tapi
seneng banget nyiumin bau keringat aku."
"Anak kamu tuh, maunya yang aneh-aneh terus."
Barga menyeringai, kemudian mengusap-usap perutku
dengan hati-hati.
"Aku belum bilang ya kalau aku sekarang udah
tergabung dengan ISTI?" ujar Barga, saat matanya kembali
menatapku.
"ISTI?"
Barga mengangguk. "Ikatan Suami Takut Istri."
Hah?
"Emangnya aku istri yang nyeremin ya?" rengekku,
membuat Barga tertawa mendengarnya.
"Konteks takutnya itu lain, Fris. Bukan takut karena
kamu nyeremin, bukan. Tapi, takutnya itu karena takut
kehilangan. Takut kalau kamu tiba-tiba pergi dari aku."
Aku terdiam. Membalas tatapannya yang sedang
memandangiku dengan gamblang. Tubuhku seakan
bergerak sendiri, berpindah duduk di atas pangkuannya dan
memeluknya dengan erat. Posisi favoritku.
"Waktu dengar cerita Ayah yang dulu pernah
poligami, aku sempat takut, Bar. Takut kisahnya turun ke
kamu. Tapi kamu nggak ada pikiran mau poligami juga
kan, Bar? Karena kalau ada... aku bawa kamu ke tukang
sunat sekarang. Kalau habis burungnya kan nggak akan
macem-macem jadinya."
"Astaga!" seru Barga, dengan refleks memegangi adik
kecilnya. "Masa depan aku ini, Fris. Tega banget mau kamu
habisin."
Aku tertawa keras mendengarnya.
"Nggak ada pikiran aku untuk poligami. Istri satu aja
udah bikin kenyang, apalagi kalau nambah dua. Lagipula,
semua yang aku lakukan untuk kamu, tujuannya untuk
meninggalkan 'kisah' di dalam kepala kamu. Apapun itu.
Sedih dan bahagia, kesusahan dan kesenangan, akan kita
jalani sama-sama. Karena kenangan itulah yang akan kita
ceritakan ketika kita tua nanti."
Well, kebahagiaan memang bukanlah sebuah teori
ataupun hitung-hitungan duniawi. Karena kebahagian batin,
hanya akan didapatkan ketika manusia benar-benar berada
dalam fase ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya.
Aku kembali memeluk Barga dengan lebih erat.
Berharap selamanya akan seperti ini, hingga menjadi tua
dan mati dalam pelukannya.

***
Barga keluar kamar ketika aku tengah menyiapkan
sarapan. Aku memerhatikannya saat ia mengeluarkan
sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kamera digital SLR.
"Punya siapa itu, Bar?"
Barga menengok. "Si Jack," jawabnya singkat, lalu
kembali memusatkan perhatian pada benda itu.
Aku memilih mengabaikannya dan melanjutkan
kegiatanku. Memasak nasi goreng dengan bumbu instan.
Karena hanya bumbu inilah yang dapat kutolerir.
Dan aku bergidik saat merasakan sentuhan di
pinggangku, lalu disusul dengan kecupan lembut di atas
bahuku. "Masak apa?" bisik Barga di samping telingaku.
"Nasi goreng. Ke kampus jam berapa nanti?"
"Hari ini nggak ada kelas. Ke kampus bantuin si
Gugun jualan doang. Kamu bisa plating kan, Sayang?"
Aku menengok dengan dahi berkerut. "Plating apa?"
"Menu jualan aku. Kamu buat se-eye catching
mungkin. Semenarik mungkin. Supaya orang penasaran dan
tertarik untuk beli. Udah biasa bikin storyboard buat iklan,
pasti gampang lah buat kamu bikin kayak gini."
"Bahan-bahannya mana?"
"Nggak ada. Harus beli dulu," ucapnya, sambil
menyeringai lebar.
"Ya udah, sana beli dulu bahannya ke pasar."
Barga terlihat terkejut. "Ke pasar? Aku yang pergi ke
pasar? Seriusan, Fris?"
"Menurut kamu? Emang siapa lagi yang mau pergi."
Aku memutar posisiku dan kembali mengaduk-aduk nasi
goreng di dalam wajan.
Barga memeluk perutku dari belakang. "Temenin,
dong. Masa aku sendiri sih? Pasarnya aja nggak tau di
mana."
"Aku aja semenjak hamil nggak pernah ke pasar.
Nggak kuat nyium baunya."
Dan ia hanya bisa mendesah pasrah. "Belanjanya di
supermarket aja ya. Jangan di pasar."
Aku mematikan kompor, menuang nasi goreng di atas
piring, dan menambahkan dua telur di atasnya. Telur lagi
....
"Mahal, Bar, kalau belanjanya di supermarket. Sayang
kalau cuma untuk plating aja."
Aku menahan tawa saat melihatnya menggaruk kepala
dengan raut wajah frustasi yang ia tampakkan.
"Ya udah, aku belanja ke pasar sendiri. Sekarang
kamu tulis bahan-bahan apa aja yang harus aku beli."
"Bawain dong, note juga pulpennya."
"Astaga ... untung aku cinta, Fris!" gerutunya, sambil
melangkah menjauh memasuki kamar, dan tak lama
kembali dengan membawa note beserta pulpen di
tangannya.
Aku menuliskan bahan apa saja yang sekiranya
diperlukan untuk hiasan. Dan sekalian menambahkan
catatan untuk keperluan dapur.
Hampir satu jam berlalu, namun Barga masih belum
kembali. Aku menunggunya sambil menonton televisi
dengan posisi tidur berselonjor di sofa ruang tengah.
Tak lama kemudian, telepon genggamku berdering.
Meneriakkan nada panggil yang khusus kupasangkan untuk
Barga.
"Kenapa, Bar?"
"Fris, aku kecopetan ...."
Apa?
Aku menegakkan posisiku dan menengarkan setiap
kata yang diucapkan Barga dengan saksama, "Tadi setelah
beli buah-buahan di kios buah, dompetnya masih ada, Fris.
Tapi pas lagi mau beli rokok, dompetnya udah nggak ada."
"Isinya apa aja?" tanyaku lemah.
"Uang hasil jualan kemarin, Fris. Habis semuanya.
KTP, SIM, Kartu Mahasiswa, Kartu Asuransi, semuanya ada
di dalam dompet. Dari tadi aku ngejar copetnya tapi udah
ngilang."
Ya, Allah ... apa lagi ini?
Aku menarik napas dalam. Mengisi paru-paruku
dengan udara yang mampu menenangkan.
"Ya, udah kamu pulang sekarang. Plating seadanya aja
dengan bahan-bahan yang udah kamu beli."
Setelah panggilan Barga terputus, aku kembali
meringkuk di atas sofa. Merasakan genangan air mata
menumpuk ketika sebuah kenyataan menghantam kami
secara telak.
Mengapa cobaan untuk kami seakan tidak ada
habisnya? Membuat keyakinanku menyusut karena lelah.
Aku lelah pada keadaan. Lelah pada kenyataan yang
memaksaku untuk menerima semuanya dengan ikhlas.
Belum selesai keresahanku karena harus berjauhan
dengan anakku sendiri, sekarang harus ditambahkan pula
dengan kejadian ini. Dan semua ini seperti pukulan berat
bagiku.
Terdengar suara gerbang yang terbuka. Membuatku
kembali menarik napas dalam untuk meredam kesedihanku.
Sudah cukup beban yang Barga pikul selama ini, dan aku
tidak ingin menambahkannya dengan memperlihatkan
kesedihanku di depannya.
Saat Barga membuka pintu, tatapannya langsung
bertemu denganku. Kemudian ia mengembuskan napas
pelan dan menggelengkan kepala.
Aku melangkah mendekat, mengusap wajahnya
dengan penuh sayang. "Nggak apa-apa. Memang bukan
rezeki kita."
Barga tersenyum sedih. "Untung ada kamu di sini.
Kalau nggak ... aku nggak tau gimana jadinya."
"Ikhlasin ya, Sayang. Kita harus percaya, bahwa
orang-orang sukses adalah mereka yang sebelumnya pernah
gagal. Karena takut mengulang kegagalan adalah sebuah
langkah mundur yang tidak kita sadari."
-tbc-

25
BARGA
Tak butuh banyak waktu bagiku untuk bangkit
kembali setelah kejadian kemarin. Aku suka bagaimana cara
Frisca menenangkanku semalaman. Menyentuhku,
membuatku merasa tidak sendiri. Aku membutuhkannya,
jelas, dan tanpa ragu—dan Frisca tahu itu.
Seperti motivasi yang pernah diucapkan Winston
Chuchill, seorang penulis terkenal Inggris, yang juga pernah
menjabat sebagai Perdana Menteri Britania Raya saat
perang dunia kedua. Bahwa, "Keberhasilan adalah
kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu
kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan
semangat".
So, here we go. Kembali bangkit berkali-kali setelah
terjatuh satu kali.
Aku berjalan menghampiri mobil kulinerku di depan
kampus setelah selesai jam kuliah terakhir. Terlihat
beberapa anak-anak mahasiswa yang sedang dilayani oleh
Gugun.
"Barga, bajigur macchiato-nya enak. Nggak kalah enak
sama caramel macchiato di SB. Batagornya juga." Seorang
mahasiswi senior bicara padaku saat aku menghampiri
mereka.
Aku mengeringai lebar. "Masa, sih?"
"Sini dong kita foto dulu biar makin nge-hits."
Aku tertawa. Namun tetap mengikuti keinginan
mereka.
"Ih, keren!" seru mahasiswi tadi saat melihat hasil
fotonya. "Foto bareng founder bajigur macchiato. Nanti kita
posting di Path dan Instagram juga ya."
Tawaku semakin keras mendengarnya. "Makasih ya.
Besok ajak temen-temennya jajan di sini juga dong."
"Oke. Tapi dapet gratisan ya."
"Boleh, nanti gue kasih gratisan sedotan."
Mereka semua tertawa. Tak lama setelah kepergian
mereka, aku menghampiri Gugun yang masih melayani satu
pembeli lagi.
"Gimana, udah dapet tempat buat acara DaFest
besok?"(Baca : DaFest = Dago Festival. Acara karnaval
musik dan bazaar yang diadakan di sepanjang jalan Dago,
Bandung)
"Udah, Bos. Kalem aja."
"Dago sebelah mana? Awas dapet tempat yang
nyungsep."
Gugun berdecak. "Teu percayaan pisan ka aing. Di
parkiran Hero supermarket, Bos. Depan Plaza Dago."
"Serius? Kok bisa dapet tempat di situ?" ujarku tak
percaya. Mengingat tempat yang disebutkan si Gugun tadi
adalah tempat strategis yang paling banyak dijadikan tempat
tongkrongan oleh anak-anak Bandung
"Serius. Gue kan kenal sama preman daerah situ."
"Anjir, gaya lo, Gun. Siapa emang premannya? Si
Kang Bahar? Apa Kang Mus?"
Gugun terbahak.
"Berapa sewanya?"
"Sekitar segituan lah. Lebih mahal karena kita pakai
mobil, jadi makan tempat lebih banyak. Kalau cuma stand
makanan biasa lebih murah. Jam empatan kita harus udah
standby, Bos. Udah mulai banyak yang nongrong jam
segitu."
"Ya, udah. Berarti besok kita gantian, Gun. Gue
jualan siang, lo yang handle malem. Nggak apa-apa, kan?
Bini gue lagi hamil, nggak tega ninggalin dia malem-malem
di rumah sendirian. Paling gue bantuin lo sampai jam
sembilanan."
"Siap, Bos. Gue sendirian juga nggak apa-apa."
Obrolan kami terhenti saat datangnya beberapa
pembeli.
Malam hari setelah selesai berjualan, aku kembali
membawa mobil kulinerku pulang ke rumah. Frisca
membantu membukakan pintu gerbang saat aku tiba.
"Kok belum tidur?" Aku mengecup puncak kepalanya
dengan penuh sayang.
Frisca menggeleng. Senyumannya seperti moodbooster
bagiku setelah seharian lelah bekerja.
"Sengaja nungguin kamu," ucapnya, lalu
menggandeng tanganku memasuki rumah.
"Kamu belum makan, kan? Aku udah pesen makanan
untuk kamu."
Aku memerhatikan beberapa macam makanan yang
sudah tersaji di atas meja makan.
"Kamu pesan makanan dari mana?" tanyaku, tanpa
mengalihkan pandanganku dari meja makan.
"Ayam goreng Suharti."
Aku menengok padanya. "Punya uang dari mana bisa
beli makanan kayak gini?"
Frisca mengerjap beberapa kali. Raut wajahnya
berubah tak seceria sebelumnya. Mungkin menyadari
ketegangan dari nada suaraku.
"Kamu habisin uang kita untuk beli makanan ini?"
Dia menggelang pelan.
"Terus dari mana?"
"Minta sama Mami." Frisca menunduk, tak berani
menatapku sama sekali.
Sedangkan aku... jelas saja aku terkejut mendengar
jawabannya. Dia meminta uang kepada ibunya karena
keadaan kami yang sedang kekurangan seperti ini?
Mungkin niatnya baik karena ingin meringankan
bebanku. Namun, entah mengapa aku justru merasa kecewa
dengan tindakannya kali ini. Egoku berontak karena merasa
terhina.
Arogansi laki-laki.
Kembali ke situ lagi.
Frisca berjalan menghampiriku, menyentuh bahuku
dengan lembut.
"Kamu marah ya?"
Aku membuang muka. Tak ingin luluh karena
melihat wajahnya. "Kamu kenapa nggak minta tinggal di
rumah mama kamu aja sekalian, Fris?"
"Kamu kok gitu sih ngomongnya, Bar. Aku nggak
akan ke mana-mana. Aku mau di sini nemenin kamu."
"Kalau kamu masih mau di sini sama aku, kamu
harusnya bisa hargai aku sebagai suami. Aku ini lagi
berusaha keras untuk siapa lagi kalau bukan untuk kamu,
untuk Omar. Untuk bayi kecil yang ada di perut kamu.
Terus sekarang kamu melangkahi aku dengan minta uang
sama Mami kamu. Sama sekali nggak menghargai usaha
aku.
"Kalau memang akhirnya kita ngandelin orangtua
juga, kenapa nggak dari kemarin-kemarin aja sekalian?
Ngapain kita harus susah dulu sampai hampir kelaparan?
Mami kamu udah balik ke Jakarta, kan? Besok kamu ke
tempat Mami kamu aja dulu. Daripada kamu malah hidup
melarat di sini."
Frisca menggeleng, menggapai tanganku dan
menggenggamnya dengan erat. "Aku nggak mau ke mana-
mana. Aku tetep mau di sini. Aku minta tolong Mami,
karena nggak tega lihat kamu kerja keras setiap hari, Bar.
Dan aku ngelakuin itu karena aku sayang sama kamu."
Dan aku hanya bisa tertawa miris mendengarnya.
"Tapi tetap aja hidup harus realistis, Fris. Karena sayang aja
nggak menjamin hidup kamu bisa bahagia. Lagipula,
kenapa segitu ngototnya sih kamu mau hidup sama aku,
yang kerjaan aja nggak punya, penghasilan juga nggak
jelas?"
Frisca terdiam. Terlihat matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku ngotot karena aku yakin, orang yang nggak bisa diem
kayak kamu pasti punya banyak cara untuk berhasil. Dan
apa aku salah kalau aku pengin sedikit mengurangi beban
kamu? Karena aku juga sadar, selama ini aku nggak bisa
bantu apa-apa. Tapi di samping itu, nama kamu selalu aku
sebut di setiap saat aku berdoa."
Dia membalikkan tubuhnya dan berjalan memasuki
kamar. meninggalkanku yang terdiam tanpa mampu
melakukan apapun.
Meninggal aja deh lo, Bar!
Tanpa banyak berpikir, aku memutar tubuhku dan
berjalan keluar rumah. Mengunci pintunya dari luar dengan
kunci cadangan yang biasa aku bawa. Mungkin ada baiknya
kami saling menjaga jarak dahulu untuk sementara waktu.
Sampai kami bisa sama-sama tenang. Sampai pikiran
kami kembali dingin.
Selagi aku berjalan keluar dari komplek perumahan
tempatku tinggal, aku membuka ponsel untuk
menghubungi si Jack.
"Lo di mana, Jack?" tanyaku, saat panggilanku
tersambung padanya.
"Kostan Icha. Kenapa?"
Aku berdecak. "Lo ngapain sih malem-malem gini
masih di kostan cewek? Tadi lo nggak ngampus?"
"Kepo aja lo. Ngampus lah. Ini gue baru jemput Icha
pulang kerja. Kenapa sih emangnya?"
"Icha udah nyampe di tempat kostnya, kan? Balik lo,
jangan lama-lama main di kost cewek. Gue tungguin di
warung Mang Didin sekarang."
Aku menaruh kembali telepon genggamku di dalam
kantung celana setelah panggilan terputus. Lalu naik ke
dalam angkutan umum yang kebetulan sedang ngetem di
depan gerbang masuk perumahan tempat aku tinggal.
Hampir satu jam kemudian, aku tiba di tempat
tujuan. Sebuah kedai makanan dekat kampus yang buka 24
jam. Terlihat si Jack sudah tiba lebih dulu.
Aku membuka tas dan menyodorkan kamera miliknya
setelah duduk di depannya. "Thanks," ucapku.
"Udah kelar emang?"
"Udah. Udah gue posting di sosmed juga."
"Ya, udah. Tinggal tunggu hasilnya aja. Acara DaFest
besok udah dapet tempat jualan belum? Anak-anak mesin
mau pada ke sana. Nanti gue ajak mereka nongkrongnya di
tempat lo. Lo sediain bangku plastik yang banyak.
Tambahin juga rokok sama air mineral."
Aku mengangguk.
"Lo mau ngopi?"
"Boleh."
Jack berdiri, memesan kopi pada penjaga kedai, lalu
duduk kembali.
"Hari Senin besok, gue minta tolong lo tengokin si
Gugun ya, Jack. Kalau pas lo lagi nyantai aja. Gue mau ke
Jakarta dulu soalnya."
"Ngapain lo ke Jakarta?" tanyanya, sambil membakar
sebatang rokok.
"Ngurusin surat-surat. Kemarin gue habis kecopetan."
Jack menoleh dengan cepat ke arahku. "Seriusan? Di
mana?"
"Di pasar deket rumah gue."
"Ilang semua?"
"Ya, semua. Termasuk duit hasil penjualan hari
sebelumnya juga ludes."
"Hidup lo kok apes banget sih, Bar?" ucapnya, sambil
geleng-geleng kepala.
"Mau naik pangkat kali gue. Makanya diuji dulu."
Jack diam. Menatapku dengan tatapan yang sulit
kuartikan, hingga saat kopi kami tiba. Aku menyeruput
kopiku sedikit demi sedikit.
"Terus ... hidup lo ke depannya gimana? Masih
megang duit nggak?" tanyanya.
"Ada lah dikit-dikit. Untungnya kartu ATM udah gue
kasih Frisca."
"Mau pinjem duit gue dulu?"
Aku menoleh padanya, lalu menggelengkan kepala.
"Jangan dulu lah. Gue masih ada duit kok. Paling nggak,
buat modal jualan hari ini sampai besok. Kalau nanti
mentok, mau nggak mau gue harus ngerecokin lo lagi,
Jack."
Setelahnya, kami sama-sama terdiam. Menikmati
batangan kanker masing-masing sambil meminum kopi
yang sudah mulai mendingin.
"Udah malem. Nggak balik lo?" tanya Jack, setelah
kami terdiam cukup lama.
"Nanti aja. Lagi males diem di rumah."
Terdengat decakan keras dari mulut si Jack. "Kenapa
lagi sih? Berantem mulu kerjaannya kek bocah."
Aku diam. Kembali menghisap rokokku dan
mengembuskannya perlahan.
"Lo sendiri bakal gimana kalo usaha lo selama ini
nggak dihargai sama sekali? Dianggap sepele dan mungkin
nggak ada nilainya?"
Terlihat Jack mengela napas panjang. Kami kembali
terdiam setelahnya. Menunggu sanggahan apa yang akan
diberikan si Jack untuk menimpali ucapanku.
"Sebenernya, lo juga jangan terlalu keras sama Frisca.
Dia memang dasarnya orang berada, dari kecil udah biasa
hidup enak. Sekarang lo ajak dia hidup ngegembel kayak
gini, ya pasti dia berontak lah."
"Iya, gue juga ngerti. Tapi gue ini lagi berusaha, Jack.
Apa aja gue lakuin buat dia, buat anak-anak gue juga.
Sekalipun itu mustahil dan mungkin agak sedikit ngeselin,
tapi gue berjuang habis-habisan untuk menuju ke arah sana.
Dan kenapa dia nggak bisa percaya aja sama semua rencana
gue. Karena semuanya memang butuh proses, kan? Nggak
ada yang bisa kita dapetin secara instan. Masak mie aja
harus nunggu air mendidih dulu, baru lo bisa cemplungin
mienya. Jadi gigolo aja harus belajar ngejilat dulu baru lo
bisa bikin puas pelanggan."
Jack melempariku dengan puntung rokok yang sudah
mati bara apinya. "Kampret!" serunya.
"Udah lo balik sana! Kasihan, bini lo nungguin di
rumah."
Aku mendengus kasar. "Nungguin apaan? Kamarnya
aja dia kunci dari dalem."
"Ya elo, sih! Hidup kebanyakan gengsi. Jilatin deh tuh
gengsi lo. Kali aja bisa bikin kenyang!"
Aku tak menanggapinya. Hingga saat si Jack memutar
tubuhnya, menghadapku dan menatapku serius.
"Balik sekarang, Bar. Inget, istri lo lagi hamil. Lo
boleh marah sama dia, tapi jangan lepas tanggung jawab lo
untuk jagain dia. Kalau ada apa-apa sama dia di rumah
gimana?"
Aku diam. Mengingat bagaimana Frisca menatapku
dengan mata berkaca-kaca saat aku membentaknya.
Bagaimana saat ia mengucapkan kalimat terakhir sebelum
berbalik dan memasuki kamar tidur kami.
Tanpa komando dariku, tubuhku seakan bergerak
sendiri. Mematikan puntung rokok di dalam asbak, lalu
berdiri. "Balik dulu gue."
Jack mendongak dan menatapku heran. Namun, tak
lama ia menyeringai lebar. "Nah, gitu dong, Bar. Ada
masalah itu di hadapi, bukan dihindari." Terdengar ucapan
si Jack sebelum aku keluar dari kedai.
Tiba di rumah, Frisca masih mengurung diri di dalam
kamar. Melepaskan tas serta jaket, aku pun segera
merebahkan tubuh di atas sofa ruang tengah.
Mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang teramat lelah dan
menuntut jeda sejenak.
Tanpa mandi dan berganti pakaian, aku terlelap
dengan cepat. Bahkan tak butuh bantal serta selimut.
***
FRISCA

Subuh menjelang fajar, aku terbangun dan


menemukan Barga sedang meringkuk di atas sofa.
Tidurnya begitu pulas disertai dengan dengkuran
halus. Dalam hati aku merasakan sebuah keseganan ketika
harus membangunkannya.
Aku maju selangkah, sedikit menunduk, lalu
menggoyangkan bahunya perlahan. "Barga," panggilku.
Barga melenguh, memiringkan tubuhnya dan kembali
tertidur.
"Bangun, Bar ... salat subuh dulu. Nanti lanjut tidur
lagi."
Dia menarik napas panjang, mengusap wajahnya
sebelum akhirnya bangun dan melangkah memasuki kamar.
Tanpa bicara sedikit pun padaku, bahkan menoleh ke
arahku pun tidak.
Aku mendengus. Tak ingin menghiraukan
kelakuannya, aku melangkah menuju halaman belakang
rumah untuk mencuci pakaian, lalu membuat sarapan
untuk Barga.
"Aku pergi dulu ya. Nanti malem aku jualan di Dago
Festival. Takutnya pulang malem, kamu tidur duluan aja.
Nggak usah nungguin aku." Barga mengejutkanku saat aku
tengah mengolesi roti tawar dengan mentega untuknya.
Suaranya ... dalam dan terdengar kaku. Mungkin masih
marah karena kejadian kemarin.
Aku menengok, membuat mata kami bertemu selama
beberapa detik. Aku memerhatikan keadaannya yang jauh
lebih rapi dari sebelumnya. Terlihat segar sehabis mandi
dengan rambut basah.
"Kamu nggak sarapan dulu?"
Barga menggeleng. "Nggak usah. Nanti aja makan di
luar."
Tak ingin kembali memancing keributan, aku memilih
tidak memedulikannya dan membiarkannya saat ia
melangkah keluar dari rumah.
***
Berulang kali aku melirik jam yang tergantung di
dinding kamar, sudah hampir tengah malam. Namun Barga
masih belum pulang. Ingin menghubunginya tapi gengsi.
Lagipula, kenapa sih harus diributkan? Niatku baik
karena ingin mengurangi sedikit bebannya. Istri mana yang
tega membiarkan suaminya kerja keras banting tulang
sendirian? Aku pikir tidak ada. Dan kenapa sih sikap
arogannya masih harus ditampakkan di tengah kondisi
kami yang seperti sekarang ini.
Terdengar bunyi ping dari ponselku. Pesan masuk
dari Barga
Aku nggak pulang. Bantu si Gugun jualan sampai
selesai acara, besok pagi dilanjut jualan di CFD Dago.
Makasih doanya. Karena doa kamu, hari ini usaha kita
rame. Kamu hati-hati di rumah ya. Kunci pintu selalu.
Aku menaruh kembali ponselku di atas nakas.
Menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh dan mulai
menangis.
Tanpa banyak kata terpahat, Barga selalu berhasil
menunjukan seolah-olah aku ini berharga. Merasa jika aku
memang teramat penting untuknya, hingga dia rela
berjuang sedemikian kerasnya untukku.
Lalu aku sendiri, apa yang aku lakukan untuknya
selain mengacaukan semuanya? Mengingat bagaimana
ekspresinya kemarin, terlihat terluka dan lebih dari sekedar
tersinggung.
Aku ingin memulai pembicaraan, meminta maaf
dengan sungguh-sungguh. Walaupun aku tahu, hal itu tidak
akan mengubah fakta bahwa aku telah mengecewakannya
dan sedikit melukai egonya.
Maafin aku, Bar...

-tbc-
Ngomongin Dago Festival jadi kangen masa muda.
Wkwkkwkw
Makasih yang masih lanjut baca cerita absurd ini.
Semoga ga butuh panadol setelah selesai baca yaaa.
4 part lagi menuju ending... Yeaayyy

26

Warning : sexual content. Adik-adik manis harap


menyingkir yooo...
***
FRISCA
Pagi ini, fajar pertama di awal bulan September. aku
terbangun dengan kekosongan. Sendiri dalam kehampaan.
Dan rasanya aneh saat tidak menemukan Barga di
sampingku ketika terbangun.
Embun pekat menyambutku tatkala membuka pintu.
Duduk di teras depan rumah, menyaksikan ketika matahari
muncul mengusir kegelapan diremang fajar yang tertutup
kabut.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, pukul enam pagi,
selalu lewat ibu-ibu penjual nasi kuning di jalanan depan
rumah. Aku membeli dua bungkus nasi kuning dengan
taburan irisan telur dadar, bihun goreng, serta tambahan
kerupuk bawang. Satu untukku dan satu lagi untuk Barga.
Masuk kembali ke dalam rumah, lalu sarapan, dan
diakhiri dengan memuntahkan lagi semuanya di kamar
mandi. Selalu seperti itu.
Saat keluar dari kamar mandi, bersamaan dengan
Barga yang muncul di ambang pintu kamar. Untuk
beberapa detik yang singkat, mata kami terkunci satu sama
lain. Merasakan atmosfer ketegangan yang seketika
menyeruak di tengah-tengah kami.
Dia tampan. Dan masih terlihat tampan walaupun
dengan jeans pudar dan kaus putih yang sudah lusuh.
Terlihat semakin menarik dengan rambutnya yang sudah
mulai panjang dan sedikit berantakan.
Kami masih saling menatap dalam diam. Tetap
bertahan seperti itu hingga aku mengalah. Membuang
muka dan menunduk untuk menyembunyikan tawa kecil
yang keluar dengan sendirinya.
"Ngapain cengengesan?"
Aku mengangkat kembali wajahku, menemukan dia
yang juga sedang terkekeh di sana. "Kamu sendiri ngapain
cengar-cengir di situ?"
Barga tertawa kecil. "Lucu aja ngebayangin kelakuan
kita kemarin yang kayak anak kecil."
Aku masih mempertahankan senyumku saat dia
berjalan mendekat.
"Habis muntah lagi ya?"
Aku mengangguk. "Gimana jualannya?"
"Rame banget, Fris. Sampai Gugun nggak bisa handle
sendiri. Akhirnya si Jack ikut bantuin juga. Tadi malem
nggak apa-apa kan aku tinggal sendiri?"
"Nggak apa-apa. Waktu kamu masih kerja di
minimart, aku juga udah biasa tidur sendirian, kan?"
Barga tersenyum. Dia kembali maju satu langkah,
merapikan uraian rambutku yang sedikit berantakan, lalu
membingkai wajahku dengan kedua tangannya.
"Aku minta maaf. Harusnya aku nggak perlu marah-
marah kayak kemarin. Nggak perlu sampai ngebentak
kamu. Padahal niat kamu baik mau bantu aku. Cuma
karena gengsi di depan Mami kamu, akhirnya aku
nutupinnya dengan marah. Aku cuma takut Mami kamu
mikirnya aku ini suami yang payah. Nggak bisa bawa
anaknya hidup enak."
"Nggak, Bar." Aku menyela ucapannya. "Justru Mami
salut sama kamu. Dan Mami menghargai sekali kerja keras
kamu untuk keluarga kecil kita. Aku juga minta maaf,
karena aku udah lancang melibatkan Mami di dalam
masalah rumah tangga kita kemarin. Tapi sedikit pun aku
nggak ada maksud untuk meremehkan kamu, Bar. Aku
percaya sama semua rencana kamu. Aku yakin banget sama
kemampuan kamu. Tapi aku juga nggak bisa diem aja lihat
keadaan kamu kemarin."
Barga mengusap wajahku lembut. "Iya, Sayang. Iya...
aku ngerti. Aku seneng kamu bisa nilai aku bukan hanya
dari omongan. Tapi dari tindakan yang mungkin ... nggak
semua orang bisa mengerti tujuannya apa."
Aku melingkarkan tanganku pada tengkuknya dan
menarik kepalanya agar sedikit menunduk, lalu memberikan
kecupan singkat di bibirnya. "Kamu akhir-akhir ini kenapa
selalu pesimis?"
"Ada bedanya antara pesimis dan realistis, Fris. Dan
aku nggak mau iming-imingi kamu hal yang belum tentu
bisa aku tepati."
Menggunakan jari telunjuk, aku menutup mulutnya
agar dia berhenti bicara. Aku benci melihatnya seperti ini.
"Selama ini, kamu yang selalu mengenalkan aku cara
bersyukur dengan hal-hal yang sederhana. Dan aku nggak
mau kamu terlalu ambisius ngejar semua ambisi kamu,
sampai akhirnya kamu lupa gimana caranya untuk
bersyukur dengan hal-hal kecil yang kita punya."
Barga menjauhkan jari telunjukku untuk kembali
bicara. "Aku bukan laki-laki yang cukup hebat untuk selalu
menjadi benar, Fris. Yang aku tahu, aku cuma laki-laki
yang nggak akan berhenti untuk belajar dan bersabar.
Karena aku paham, menjaga air mata kamu itu adalah
tanggung jawab yang besar untuk aku."
Dengan sedikit kasar, aku menarik kerah bajunya dan
membuatnya semakin menunduk ke arahku. "You talking
too much, Dude. Shut up your mouth and just give me a
kiss," bisikku, di depan wajahnya yang berjarak sangat
dekat denganku.
Barga tertawa lirih. Menciumku singkat, dan
membuatku mengerang protes saat ia melepaskannya.
"Jangan sekarang. Aku bau. Belum mandi dari
kemarin."
Dan dia pikir aku peduli?
Aku semakin menarik tengkuknya dan menciumnya
lebih dulu. Astaga ... aku bahkan baru tahu bahwa hormon
kehamilan ini bisa mengubahku menjadi perempuan binal.
Dan tanpa banyak menunggu, Barga membalas
ciumanku lebih dalam. Membawa tubuhku dalam
dekapannya dan menurunkanku di atas ranjang.
Aku menyadari saat tubuh Barga mulai berkeringat.
Merasakan sentakan panas dan elektris dari perut hingga ke
payudara saat tangannya bermain-main di sana.
Di tengah ketegangan, aku mencoba menarik napas
dalam. Berusaha mengontrol reaksi liar dalam tubuhku agar
tetap berada dalam keseimbangan. Namun, sentuhan Barga
menghancurkan semuanya. Membuatku semakin terengah-
engah di bawahnya.
My vagina's despressed.
"Barga."
"Hm?"
"Undress me."
Barga melepas semua sentuhannya dan membuatku
merasa kehilangan. Dia menatapku dengan serius. Dahinya
berkerut tanda sedang berpikir keras.
"Jangan dulu ya? Aku takut, Fris. Beneran!"
"No. I'm okay. Don't ever think about me, Bar. Just
do it. I want you ... so badly. Please ...."
Barga kembali menatapku. Memerhatikanku dengan
gamblang selama beberapa detik. Dan kekecewaan
menyiksaku saat dia kembali menggelengkan kepala.
"Aku takut, Frisca. Satu bulan kita nggak
berhubungan. Aku takut nggak bisa ngontrol emosi, dan
akhirnya malah nggak bisa jaga kamu."
Aku membuang muka. Memutar tubuhku hingga
membelakanginya.
"Fris, jangan kayak gini, dong. Baru juga baikan.
Masa mau marahan lagi?"
"Ya udah. Kalau kamu nggak mau ngapain masih
diem di sini?"
Terdengar helaan napas berat darinya. "Aku mau,
Frisca. Tapi aku takut."
Aku kembali memutar posisiku. Mengusap wajahnya
yang masih berada di atasku. "Just do it in my way, Bar.
Please ... come on."
"How dare you?" ujar Barga, dengan menggelengkan
kepala.
"Because I trust you."
Barga masih mengamatiku selama beberapa detik.
Hingga saat dia berdiri dan menarik keluar kausnya, saat
itu aku tahu bahwa usahaku berhasil.
Aku masih memerhatikan Barga yang sedang melucuti
pakaiannya satu per satu hingga lepas seluruhnya. Dengan
lembut kudekap tubuhnya, menariknya masuk dan berbagi
kehangatan selimut denganku.
Barga menarik tanganku hingga membuatku terduduk,
lalu membantu melepas dress lusuh yang kugunakan
beserta celana dalamnya.
"No bra?" bisiknya.
Aku menggeleng dengan mengulum senyum.
Dan kini ... aku tak ayalnya bagai insan yang terbakar
seperti lilin. Meleleh karena api, saat Barga memasuki
dengan sangat perlahan. Penuh kehati-hatian. Dan aku tahu
Barga berusaha sangat keras untuk itu.
Perlahan tapi pasti, dia mulai bergerak di dalamku.
Ah ... that's feel so good.
"Astaga, Frisca. You're so unexpected. You take my
breath away."
Ini menyenangkan. Sangat menggairahkan. Suasana
kamar dengan cahaya remang-remang karena tertutupnya
semua tirai jendela, serta ditambah dengan suasana hati
kami yang masih dipenuhi andrenalin usai pertengkaran
kemarin, membuat percintaan ini terasa lebih panas
walaupun dilakukan dengan sangat perlahan.
Sex after war is the best medicine. And it is true.
Titik-titik keringat mulai bermunculan di sekitar
wajahnya. Aku menyekanya dengan telapak tangan, dan
kembali menangkup wajahnya hingga membuat Barga
menurunkan sedikit posisinya. Menciumku dengan lembut,
selembut gerakannya di dalamku. Membuatku sangat
menikmati setiap detik yang kami lewati pagi ini.
Ini tentang merendahkan diri untuk membunuh
keangkuhan. Tentang mencemooh ketololan diri sendiri
yang dipertontonkan di depan sebuah kebijaksanaan.
Ini tentang fajar pertama di awal bulan September.
Tentang hakikat sebuah pernikahan, yang dapat kita capai
bukan karena mencari pasangan yang tepat, melainkan
tentang bagaimana caranya menjadi pasangan yang tepat.
Dan ini semua ... tentang berani salah untuk menjadi
benar. Serta tentang kebahagiaan yang harus selalu kami
kejar.
Barga menyerukan wajahnya di leherku. "Hampir,
Sayang ...."
Gerakannya semakin intens saat dia mulai mengejar
pelepasan bersama. Membuatku semakin belingsatan ketika
sensasi kenikmatan itu seakan membuatku pecah hingga
berkeping-keping, dan Barga menyusul di belakangku.
"You okay?" tanyanya, penuh kekhawatiran.
Aku terkekeh pelan. Mengecupi bibirnya berulang
kali. "It's wonderfull. Bisa diulang lagi besok."
"Kamu diem aja udah cobaan besar buat aku, apalagi
kamu nakal kayak gini, Fris."
Aku tertawa.
Barga melepas penyatuan kami secara perlahan, lalu
berguling dan berbaring di sampingku. Aku memiringkan
posisiku, merebahkan kepalaku di atas dadanya, dan
memeluk perutnya dengan erat. Aroma seks masih
menyeruak begitu kuat di antara kami.
"Thank you for always taking care of me"
Barga mendekap tubuhku dengan satu tangannya.
"Dulu, aku bukan orang yang gampang ungkapin sayang.
Kayaknya, cinta itu bullshit aja menurut aku. Tapi kamu,
nggak tau dengan pelet apa, bisa bikin aku nggak lagi
mikirin soal logika, nggak peduli lagi tentang selera. Sampai
akhirnya bisa buat aku nggak bosen untuk bilang aku cinta
kamu, aku sayang kamu, dan aku nggak mau kehilangan
kamu. Hebat juga kamu, ya."
Kami terkekeh bersamaan.
"Kadang, sikap kecil laki-laki yang sering nggak
disadari perempuannya justru lebih berarti dari sekedar
omong kosong, Frisca. Tapi aku nggak akan maksa kamu
untuk mengerti tentang itu. Aku cuma berharap, waktu
yang akan menunjukan sama kamu, gimana 'hebatnya' aku
menjaga kamu tanpa banyak orang tau."
"Aku tau," selaku. "Aku tau kamu peduli sama aku,
bahkan sebelum kamu nikahin aku. Aku tau usaha keras
kamu untuk selalu menjaga aku selama ini. Kamu inget,
waktu kamu datengin aku ke rumah sakit setelah baca chat
di grup anak-anak mahasiswa Indonesia RMIT dari
handphone-nya Arkha? Waktu itu mereka ngasih kabar
tentang aku yang harus dirawat karena pendarahan waktu
hamil Omar.
"Saat itu kamu bilang, kenapa kamu ngotot mau
nikahin aku, karena keadaan aku ngingetin kamu sama
Bunda. Kamu cerita tentang Bunda yang juga ditinggal
meninggal suami pertamanya waktu hamil Arkha. Dan
kamu nggak mau aku ngalamin hal seperti Bunda. Kamu
pernah tanya sama aku, kenapa segitu ngototnya aku mau
hidup sama kamu. Sekarang aku jawab, karena dulu, kamu
juga segitu ngototnya mau nikahin aku."
Aku tergelak dalam ironi. Merasakan saat mataku
kembali memanas saat mengulang semuanya.
Lelaki ini ... begitu berbeda dengan semua laki-laki
yang pernah dekat denganku. Sangat jauh dari apa yang
aku harapkan saat pertama kali menerima ajakannya untuk
menikah. Bukan hanya tampan dan menawan, melainkan
ada hal unik di dalam dirinya yang sangat sulit untuk
kujabarkan.
Barga seperti kombinasi menarik dari sebuah
kesederhanaan dan kelembutan. Selalu berbicara tentang
cinta dan kejujuran. Mengulurkan tangannya dan
membantuku berdiri dengan yakin di antara nasib dan
keyakinan.
"Besok aku mau ke Jakarta."
Aku mendongak dan menatapnya. "Ngapain?"
"Ngurusin surat-surat."
"Aku ikut," ucapku manja. "Aku kangen banget sama
Omar, Bar. Boleh ya aku ikut?"
"Tapi aku naik travel. Nanti kalau kamu mabuk
gimana?"
"Bawa permen asem. Bisa ilang mualnya."
Barga terkekeh. "Iya, boleh."
"Sekarang aja perginya, Bar."
"Ya ampun, Fris. Aku malem nggak tidur sama sekali.
Nyampe rumah langsung diajakin perang, terus sekarang
diajakin ke Jakarta."
Aku mencium bibirnya, menyusupkan lidahku ke
dalam celah mulutnya yang sedikit terbuka. "Ya udah,
kamu tidur dulu. Tapi bangun tidur nanti kita perang lagi
kayak tadi ya?"
Dulu, tidak ada sedikitpun ketertarikanku dengan
lelaki yang usianya lebih muda dariku. Namun, seperti apa
yang Barga katakan tadi, kini logika cinta seakan tak
bekerja pada penilaian atas selera. Yang aku tahu, kami
saling mencintai. Tanpa syarat dan selalu apa adanya.
-tbc-
Pagi-pagi dikasih cerita beginian wkwkwk...

Castnya Barga & Jaka Kurniawan. Yang jualannya cowok-


cowok kayak begini, gimana nggak bikin laku dagangan
coba?! Lol.

27
Kita tidak harus sama untuk dapat bersama.
Tidak juga harus berbeda agar bisa jalan berdua.
Kita hanya perlu menertawakan masalah bersama ...,
Dan menangisi apa yang kita khawatirkan tanpa perlu
saling melepaskan.
[ ELEGI PATAH HATI ]
***
BARGA
Dengan menggunakan salah satu penyedia jasa travel
transportasi, kami berangkat dari Bandung menuju Jakarta.
Hampir empat jam perjalanan yang kami lalui dengan
kondisi jalanan yang cukup padat. Bahkan satu bungkus
permen asam yang Frisca bawa, habis tanpa sisa untuk
menghilangkan rasa mual dan mabuk yang ia rasakan
sepanjang perjalanan.
Lewat magrib, travel yang kami naiki tiba di pool
Cikini. Aku membawa Frisca pulang menuju rumah Ayah
dengan menggunakan taksi, setelah menyempatkan makan
malam lebih dulu di warung makan khas sunda yang
terletak tak jauh dari situ.
Bunda menyambut kami di depan pintu saat baru
tiba. Terlihat terkejut karena kedatangan kami yang tiba-
tiba tanpa mengabarkan lebih dulu. Dan secara kebetulan,
ada Kak Kia serta Mas Bilal yang juga membawa anak
mereka menginap di rumah Ayah.
"Omar mana, Bun?" tanyaku, sambil mengajak Frisca
duduk di ruang tengah. Bergabung dengan keluargaku yang
lainnya.
"Udah tidur dari tadi. Makan dulu, ya? Tadi Ayah,
Kak Kia, Mas Bilal juga baru pada makan."
"Udah makan, Bun. Tadi ngajakin Frisca makan dulu
di Ampera Dua Tak. Lahap banget Frisca makan sama
sayur asem. Sampe nambah dua kali dia."
"Enak ya, Fris? Bunda juga paling suka sayur asem
sama sambel terasinya kalau makan di situ."
Frisca tertawa. "Ditambah juga tadi lagi laper banget,
Bun. Omar tidur di mana?" tanyanya kemudian.
"Di kamar Bunda. Nempel banget Omar sama Ayah.
Dikelonin nininya nggak mau. Maunya sama babahnya
terus. Sama seperti Barga dan Arkha waktu kecil, maunya
sama Ayah terus."
Ayah berdecak. "Ya, iya. Nininya cerewet banget.
Sakit kali kupingnya Omar kalau deket-deket nininya."
Tanpa menghiraukan kelakuan absurd kedua
orangtuaku, aku kembali bicara pada Frisca. "Pindahin aja
Omar ke kamar aku, Fris. Sekalian kamu istirahat."
"Lho, gimana bisa tidur bertiga? Kasur kamu kecil
gitu!" sela Bunda, mengomentari ucapanku.
"Di gudang masih ada kasur busa yang nggak pernah
dipake, kan? Aku tidur pake itu juga nggak apa-apa. Frisca
kangen sama Omar. Dari tadi pagi udah bawel terus mau
cepet-cepet ke sini."
Frisca menengok, terlihat sekali raut kelelahan dari
wajahnya. "Kamu yang pindahin dong, Bar. Nggak enak
masuk kamar Bunda sama Ayah."
Aku menurut. Memasuki kamar orangtuaku dan
menggendong Omar yang sudah pulas tertidur di tengah-
tengah ranjang dengan tumpukan bantal di sekelilingnya
sebagai penghalang.
Cepat sekali anak ini tumbuh. Hanya tidak bertemu
satu minggu membuatnya terlihat lebih besar dari terakhir
kali melihatnya.
Frisca mengikuti saat aku berjalan menuju kamar
bujangku di lantas atas. Membukakan pintu, dan
membantuku merebahkan Omar di atas tempat tidur yang
tergeletak begitu saja di atas lantai, dengan hanya
beralaskan karpet bolong-bolong karena terkena puntung
rokok.
"Khas kamar cowok banget!" Komentarnya saat baru
masuk ke dalam kamar.
Aku tersenyum menyeringai. "Ini udah dirapihin
Bunda. Dulu waktu masih aku tempatin, lebih ancur lagi
dari ini. Atau kamu mau tidur di kamar sebelah aja?
Kamarnya Bang Arkha lebih rapi."
Frisca mendelik. Membuatku kembali terkekeh.
Aku membuka lemari, dan memberikan kaus milikku
yang masih tersimpan di sana. "Ganti bajunya dulu, Fris."
"Kiasah sama Mas Bilal sering nginep di sini juga,
Bar?" tanyanya, ketika menerima kaus yang aku asongkan
ke arahnya.
"Baru sekarang-sekarang aja. Dulu nggak pernah sama
sekali."
"Emangnya, dulu hubungannya Kia sama Arkha
gimana, sih?"
"Cieee... kepo, ya?"
Frisca kembali mendelik. "Penasaran aja, hubungan
mereka dulu kayak apa. Karena setau aku, mereka itu
backstreet, kan?"
"Nggak ada yang tau. Dan sekalinya ketauan,
langsung heboh semuanya. Mereka kabur berdua, nginep di
Puncak. Pulangnya langsung disidang rame-rame. Aku
denger waktu mereka pulang, Ayah tanya sama Bang
Arkha, ngapain aja mereka di hotel semaleman? Si Arkha
bilang mereka ciuman terus tidur sambil pelukan. Langsung
dihajar habis-habisan saat itu juga sama Ayah."
Frisca menutup mulutnya yang ternganga dengan
telapak tangannya. "Separah itu?"
Aku mengangguk. "Dan nggak tau gimana ceritanya,
tau-tau kita diundang di acara lamarannya Mas Bilal dan
Kak Kia. Dari situ Bang Arkha tambah nggak jelas. Pernah
keciduk razia waktu lagi ngetrek di Warung Buncit, sampai
akhirnya dia mutusin untuk ambil hadiah beasiswanya dari
OSN." (Baca : OSN = Olimpiade Sains Nasional)
"Oh ... pantes aja. Dulu Arkha tiba-tiba nge-Line aku.
Nanya-nanya tentang kampus RMIT."
"Terus, kamu juga yang bantu dia untuk daftar di
sana, ya?"
"Iya. Bantu dia daftar, bantu nyari home
accomodation untuk dia juga."
"Akhirnya CLBK lagi?"
Frisca berdecak, namun tiba-tiba memeluk leherku
dan memberikan kecupan singkat di bibirku. "Tapi karena
Arkha juga, aku bisa sama kamu akhirnya."
Aku mengacak rambutnya dengan lembut. "Ya, udah.
Kamu istirahat, ya. Aku ke bawah lagi." Aku mengecup
kepalanya sebelum keluar dari kamar dan kembali
bergabung dengan keluargaku.
"Gimana City kemarin?" tanya Mas Bilal, saat aku
baru mendaratkan tubuhku di atas sofa ruang tengah.
"Menang, Mas. Tiga - satu lawan West Ham."
"Baca di Detik, si Aguero terancam kena sanksi
karena nyikut bek tengahnya West Ham, ya?"
"Iya, nyikut si Raid dia. Awalnya lolos dari wasit. Tapi
ternyata Asosiasi Sepakbola ngeliat dari rekaman TV. Udah
terancam nggak ikut Liga Primer lawan MU tanggal
sepuluh nanti dia."
"Kipernya juga lagi dipinjam klub Torrino, kan?"
Aku tertawa. "Menang telak MU kayaknya."
"Kakak udah lihat e-flyer kamu di Instagram. Keren,
Bar. Siapa yang buat layout-nya," ujar Kak Kia, yang baru
kembali dari dapur dengan membawa baki berisikan tiga
cangkir kopi di tangannya. Menyajikan di atas meja
untukku, Ayah dan untuk suaminya.
"Aku sendiri dong, Ka. Frisca bantu buat plating-nya
aja. Sisanya, semua aku yang kerjain. Dari mulai belanja
bahan-bahannya ke pasar juga aku sendiri. Sampai
kecopetan akhirnya."
Terlihat, mereka semua mengalihkan perhatian
padaku sepenuhnya saat mendengar kalimat terakhir yang
kuucapkan.
"Kecopetan di mana?" Bunda bertanya lebih dulu.
"Di pasar, Bun. Tempat biasa Bunda belanja sama
Frisca kalau lagi nginep di Bandung."
"Kok bisa sampai kecopetan sih, Bar?" Kini giliran
Kak Kia yang bertanya.
Aku mengedikan bahu. "Emang bukan rezeki aku aja
kali, Kak. Makanya sekarang aku pulang ke sini. Besok mau
urus surat-surat yang hilang biar cepet kelar. Pusing mikirin
masalah ini."
"Lagian kamu sembrono banget, sampai bisa
kecopetan."
Aku menengok pada Ayah. "Ayah tau sendiri, kapan
aku pergi ke pasar. Nggak ngerti sama sekali situasi pasar
itu kayak apa. Bahan-bahan untuk jualan aja aku suruh
karyawanku yang belanja."
"Tapi ketangkep nggak copetnya?"
"Ya, kalau copetnya ketangkep aku nggak perlu repot
ngurus surat-surat kali, Bun."
Kak Kia dan Mas Bilal tertawa kecil mendengar
jawabanku.
"Oh iya, Bar. Untuk bahan dasar menu yang kamu
jual itu, dapet dari mana?" tanya Mas Bilal, mengalihkan
topik pembicaraan.
"Untuk sekarang, aku masih ngorder sama tukang
bajigur dan tukang cingcau yang biasa terima pesanan, Mas.
Tapi kalau batagor, karyawanku yang buat sendiri. Karena
dulu dia pernah kerja di Batagor Ihsan, jadi dikit-dikit nyuri
resep dari sana, tapi aku combine juga dengan resep aku
sendiri. Niatnya pengin hire tukang bajigur dan tukang
cingcau di pinggir jalan untuk kerja sama. Jadi biar mereka
kerja sama aku aja, nggak perlu jualan muter-muter lagi.
Tapi nantilah. Rencana itu masih jauh banget kayaknya."
"Terus, kamu nggak ada minat untuk buka sistem
franchise?"
Aku berdecak. "Mas Bilal nih suka ngeledek aja. Siapa
yang mau franchise?"
"Lho, kenapa nggak kamu coba aja? Mas juga mau
kalau usaha kamu bisa franchise. Tapi Mas nggak akan
pakai foodtruck, Mas maunya buka stand makanan di
Mall."
Aku diam. Memikirkan dengan serius saran dari Mas
Bilal.
"Ini Mas serius lho, Bar. Bukan maksud mau
ngeledek. Karena potensi usaha kamu itu menjanjikan jika
terus dikembangkan. Dan lagi, di negara kita ini masih
minim sekali pengusaha yang bisa menciptakan lapangan
pekerjaan, jika dibanding dengan negara Asia lainnya.
Makanya, Mas mendukung sekali ide usaha kamu ini.
Karena sekecil apapun usaha yang kita miliki, we are the
boss. Lain halnya dengan karyawan. Setinggi apapun
jabatan yang kita pegang, tetep aja statusnya bawahan. Iya
kan?"
Aku mengangguk mantap saat mendengarkan setiap
kalimat yang diucapkan Mas Bilal. Lalu melirik pada Ayah
untuk meminta pendapatnya.
Ayah menaikan kedua alis matanya saat aku
menengok. "Menurut Ayah, semua omongan Mas Bilal tadi
itu benar. Usaha ini ide original kamu, kan? Istilahnya,
kamu jual ide kamu ini, untuk orang lain yang ingin
memiliki usaha juga tapi nggak punya ide seperti kamu.
"Tapi ada satu hal lagi yang harus Ayah ingatkan.
Kamu harus daftarkan dulu merek usaha kamu, sebelum
usaha kamu makin berkembang nantinya, dan akhirnya
muncul para plagiat. Karena di Indonesia, ada hal aneh
dikit pasti langsung ditiru. Tapi kamu jadi tenang. Karena
brand kamu sudah terdaftar, semua orang sudah tau bahwa
kamu ini pioneer. Pencetus ide awal. Dan kamu juga bisa
terhindar dari sengketa merek."
"Daftarnya di MUI ya, Yah?"
"Kalau di MUI itu, untuk mendapatkan label halal di
produk makanan kamu. Boleh juga untuk make sure
costumer kamu bahwa produk kamu ini terjamin. Tapi
untuk satu produk aja biayanya mahal dan prosedurnya
panjang. Lebih baik itu nanti aja, saat usaha kamu sudah
mulai maju. Sekarang yang penting daftarin brand kamu aja
dulu, Bar."
Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. "Ayah
bisa bantu daftarin, kan? Soalnya aku harus mikirin juga
untuk franchise. Buka gerai di Mall kan harus ada
konsepnya. Belum lagi harus urus surat-surat, Yah."
Ayah berdecak. "Ya udah, masalah daftarin merek dan
surat-surat biar Ayah semua yang urus. Kamu fokus sama
usaha kamu aja dulu."
Well, we're ready to rock. Mulai melangkah pasti.
Susun semua strategi. Dan jadikan setiap detik yang
kulewati menjadi lebih berarti.
***
FRISCA
Secara perlahan, aku keluar dari kamar Barga dan
memasuki kamar Arkha yang terletak tepat di sampingnya.
Aroma khas Arkha menyambutku saat baru membuka
pintu. Kamarnya rapi, lebih tertata jika dibandingkan
dengan kamar Barga. Aku melangkah masuk, mengamati
semua isi di dalamnya. Ada foto Arkha yang terpajang di
salah satu sudut kamar. Terlihat tampan dengan jas
almamater RMIT.
Melangkah mendekati rak buku miliknya, aku
menemukan beberapa koleksi novel fiksi klasik yang
semuanya berbahasa asing.
Kurang nasionalisme kamu, Kha.
Aku sangat berharap menemukan buku harian tempat
Arkha mencurahkan semua isi hatinya seperti di cerita-
cerita novel pada umumnya. Namun, sayangnya Arkha
bukan sejenis cowok melow yang biasa menuliskan curahan
hatinya di dalam buku harian. Apalagi zaman serba digital
seperti ini. Blog pribadi miliknya pun hanya dia isi dengan
tulisan tentang biografi band favoritnya dan beberapa
kumpulan puisi.
Ada satu kotak yang menarik perhatianku. Aku
membuka dan menemukan sebuah Ipod yang aku ketahui
milik Arkha.
Menekan tombol ON hingga membuatnya menyala,
lalu mendengarkan lagu terakhir yang Arkha dengarkan.
Adalah dendam tak terucap
Rahasia yang tak terungkap
Inikah perih yang tertahan
Hingga ku tak sanggup melawan
Adanya aku pernah diminta
Sosok terindah yg dipuja
Kini lepas jauh terhempas
Karenamu 'kan terbang bebas
Cintaku dicela rasa dilupa
Olehmu ... olehmu ....
Dan aku disapih perlahan jadi buih
Olehmu ... olehmu ....
[Mian Tiara - Disapih]
Aku seperti terkesiap saat mendengarkan lagu terakhir
yang dimainkan di Ipod miliknya. Dulu, aku yang
mengenalkan lagu ini pada Arkha. Karena liriknya seperti
menceritakan tentang perasaan kami masing-masing. Aku
untuk Arkha, dan Arkha untuk Kiasah.
Sialan. Kilatan rasa sakit yang aku rasakan ketika
terakhir kali mengantarkan dirinya ke bandara, kembali
kurasakan saat ini.
Bagaimana pertanda menciptakan gelagat-gelagat—
yang baru kusadari setelahnya—bahwa semua itu isyarat
bahwa dirinya akan pergi jauh. Tanpa banyak kata terpahat,
hanya tindakan-tindakan kecil yang menunjukan seolah-
olah kami tak 'kan bertemu kembali. Dan ternyata memang
benar adanya.
Aku tergelak sedih. Mengingat bagaimana aku yang
dulu memaksa dada melapangkan ruang untuk menerima
semua kenyataan saat mendengar kabar meninggalnya
Arkha.
Bagaimana saat aku harus menekan perih karena hati
yang seolah timpang ketika mendapati kenyataan bahwa
aku tengah mengandung anaknya setelah beberapa jam
menghadiri pemakamannya.
Aku memejamkan mata. Samar-samar, pikiranku
kembali memutar kenangan beberapa tahun silam.
Memajangkan potongan-potongan kisah masa lalu yang
bertalu.
Hingga aku tersentak saat seseorang memelukku dari
belakang.
"Ciee, ada yang kangen."
Aku menyeka air mata, lalu membalikan badan dan
memaksakan senyum untuknya.
"Bar ...."
"Hm?"
"Besok ... anterin aku ziarah ke makamnya Arkha,
ya?"
Barga diam. Membuatku menyadari saat matanya
menelisikku secara jelas. Dia menyematkan uraian
rambutku ke belakang telinga. "Boleh, besok aku anterin
kamu ke makamnya Bang Arkha. Tapi sekarang kamu
harus istirahat, kasian badan kamu kecapean habis macet-
macetan tadi."
Aku tersenyum, lalu menangguk. Mengikuti saat
Barga menuntunku keluar dari kamar Arkha. Ada kasur
tambahan yang entah sejak kapan dipindahkan ke dalam
kamar Barga. Dengan posisi membelakanginya, aku
menarik kedua lengan Barga agar memelukku dari
belakang. Sangat erat. Seolah menjanjikan sebuah penjagaan
ketika perputaran malam yang menjelma menjadi pagi, serta
menemani perjalanan dini hari untuk bersiap menyambut
selarik kisah yang harus kulewati dalam nadi-nadi hari
untuk keesokannya, bahkan hingga seterusnya.
-tbc-
Kyaaahhhh... Satu part lagi, lanjut epilog. Dan ada
tambahan extra part (kalo masih ada ide) wkwkw.
Makasih Naomichyntiaa yang udah bikinin trailer
Elegi Patah Hati yang aku pajang di mulmed. Keren banget
trailernya.

28

People fall in love in


mysterious ways
[Ed Sheeran - Thinking Out Loud]
***
FRISCA
Bagiku, bagi napasku, bagi setiap detik yang kulewati,
bagi setiap jejak yang kususuri, kuakui bahwa masih ada
sebagian kenangan tentang Arkha yang terlanjur melekat
kuat di dinding ingatan yang kian tiarap. Seperti cat
minyak di atas kanvas putih. Tak bisa terhapus. Hanya
dapat berubah warna saat aku menutupnya dengan warna
lain, hingga akhirnya menciptakan satu lukisan luka atas
nama cinta yang pernah kusanjung pada masa-masa silam.
I personally always talk about how I would be act if I
meet him again, but that's all bull. God knows I would be
freaking the fuck out cause this is someone I've looked up
and has been part of my life for so long. Namun, kusadari
cinta bukan transaksi ganja. Ada uang, maka ada barang.
Aku mencintai dia, dan dia pun harus mencintaiku juga.
Kutahu hidup tak senaif itu.
Dan—lagi-lagi—aku berpikir, aku tidak mau mati
dengan cara seperti ini. Tidak dengan membawa dendam
yang mengotori. Tidak dengan membawa rasa sakit yang
membebani. Tidak dengan keadaan langit kelabu dan
gemuruh keras yang menjadi pertanda hujan badai. Tidak.
Seperti sebaris lirik yang dinyanyikan Avenged
Sevenfold, 'A life that healed a broken heart'. Hidup yang
menyembuhkan hati yang patah. Dan aku setuju. Karena
hiduplah yang memberiku seorang Barga sebagai
penyembuh luka-luka yang ditorehkan Arkha.
"Udah selesai?"
Aku menengok pada lelaki yang berjongkok di
sampingku. Lelaki muda ini, siapa yang mengira jika
ternyata anak lelaki tengil ini sangat mampu memahami
hidup dengan baik. Mengajariku bahwa hidup lebih indah
bagi siapa saja yang mensyukurinya.
Aku tersenyum padanya lalu mengangguk.
"Arkha," ucapku, sambil menatap batu nisan di
hadapanku. "Aku belum sempat berterima kasih karena
kamu telah membiarkanku memilikimu dalam sebagian
hidupku. Aku juga belum sempat berterima kasih, karena
kehilanganmu membuatku banyak mengucap syukur
dengan adanya Omar dan Barga. Hingga aku sanggup
dilupakan untuk melepasmu pergi dan bahagia.
Aku menengok kembali pada Barga. "Lihat senyum
itu, Kha. Senyum yang lembut untukku dibalik sifat keras
kepalanya untuk selalu membahagiakanku. Tatapan mata
yang penuh sayang kepadaku ditengah perjuangannya
untuk dapat dilihat ketika orang lain menyepelekan. Mereka
menyebutnya Barga, tapi aku menyebutnya kehidupan.
"Dialah kehidupanku saat ini. Adik kamu. Laki-laki
brengsek, keras kepala, yang selangkah pun tidak pernah
mundur untuk membuatku bahagia. Pasangan gila kamu
setiap kali bertingkah konyol. Di balik kekonyolan kalian,
aku tau kamu menyayanginya. Sama seperti dia yang juga
menyayangimu. Aku ingat, dulu kamu pernah bilang sama
aku, rumah adalah segala cerita dan kebahagiaan. Walaupun
kalian lain ayah, tapi kalian punya satu tujuan untuk
membahagiakan orang yang sama. Mengagungkan seorang
ibu yang sama.
"Terima kasih, karena sudah membawanya untukku.
Karena Barga, sekarang aku tidak lagi takut apapun. Barga
mengajarkanku, bahwa hitam tidak akan pernah menang di
saat biru dan hijau mengajariku untuk selalu tersenyum
terang. Dan aku mencintainya. Sangat mencintainya."
Barga tersenyum menyeringai saat mendengar
kalimatku yang terakhir.
"Kamu istirahat yang tenang di sana ya, Kha.
Berbahagialah, seperti aku yang berbahagia di sini."
Aku menyambut uluran tangan Barga dan
mengikutinya saat membimbingku menapaki jalan setapak.
Melewati setiap baris makam yang berjajar rapi. Sama
seperti aku yang menyerahkan seluruh hidupku untuk
mengikutinya, membiarkannya membimbingku melewati
suka maupun duka dalam hidup, sekali pun kami harus
merintih bersusah payah.
Barga membukakan pintu penumpang untukku, lalu
memutar dan duduk di kursi pengemudi. Memasukkan
persneling, menurunkan perlahan tuas rem tangan, dan
membawaku pergi dari area pemakaman Arkha. Pergi dari
segala kenangan tentang Arkha yang sudah kutinggalkan di
atas makamnya bersama jasadnya yang terkubur di
bawahnya.
Mobil Honda Civic dengan sistem transmisi otomatis,
membuat satu tangan Barga dengan bebas menggenggam
tanganku tanpa berniat melepaskan. Aku menengok dan
mengamati wajahnya dari samping. Dengan kontur wajah
tegas namun tetap lembut setiap kali menatapku. Dengan
raut wajah serius dan dahi yang sering berkerut jika sedang
berpikir keras.
Barga menengok saat aku cekikikan memikirkannya.
"There's something funny going on around here?"
"Yeah."
"What is that?"
"How I love you so much much much much more."
Barga menatapku heran saat mobil berhenti di
perempatan lampu merah. Dia menempatkan telapak
tangannya di dahiku. "Kamu kesambet apaan tadi di
makamnya Arkha?"
Aku melepas safety belt dan menggeser tubuhku
untuk semakin menempel pada Barga. Memeluk sebelah
tangannya dengan erat.
"Meluknya nanti aja di rumah, Fris. Pakai lagi safety
belt-nya. Polisi di Jakarta lebih nyeremin daripada di
Bandung."
"Barga." Aku tak menghiraukan tegurannya.
"Hm?"
"Aku mau besuk Papi di LAPAS."
Barga mengalihkan perhatiannya ke arahku selama
beberapa lama sebelum kembali memerhatikan jalanan di
depannya. "Kamu yakin?"
Aku mengangguk. "Selama kamu mau temenin aku ...
aku yakin."
"Kapan?"
"Hari ini aja. Sebelum kita pulang ke Bandung."
"Jam besuknya kapan aja?"
"Setiap hari. Dari jam sembilan sampai jam dua sore
kalau nggak salah. Tapi kita nggak perlu bawa apa-apa.
Nggak usah bawa handphone. Bawa uang seperlunya aja.
Karena sebelum masuk ke lapas, kita bakalan digeledah
nanti. Dan biasanya, kalau mereka lihat barang yang aneh
sedikit langsung dijarah sama mereka."
Barga kembali terdiam, cukup lama. Hingga akhirnya
ia mengeluarkan suara. "Kamu udah nggak benci lagi sama
Papi kamu?"
Aku menghela napas dan memeluknya lebih erat.
Menyandarkan kepalaku di atas bahunya. "Aku nggak
pernah dan memang nggak bisa benci sama Papi. Aku
cuma kecewa. Dan aku marah pada keadaan yang memaksa
untuk menempatkanku pada situasi yang menyakitkan saat
aku masih belum ngerti apa-apa. Saat itu umurku baru dua
belas tahun dan aku lupa apa aja yang terjadi, yang aku
ingat cuma rasa sakitnya aja."
Barga melepas genggaman tangannya dan
menggantinya dengan merangkul pundakku. Membelai
rambutku dengan lembut. "Ya udah, nggak usah diinget-
inget lagi. Nanti aku temenin kamu besuk Papi kamu
sebelum kita pulang ke Bandung."
Aku menaikan tubuhku, mencium pipinya sekilas.
"Thank you," bisikku.
Pukul sebelas siang. Kami duduk di dalam ruang
tunggu Lembaga Permasyarakatan Cipinang yang terletak di
ujung timur Jakarta. Barga terus menggenggam tanganku,
terasa dingin karena ketegangan yang kurasakan. Entahlah,
mungkin karena sudah sangat lama dari terakhir kali
bertemu dengan Papi, hingga membuatku sedikit nervous
saat akan bertemu kembali dengannya.
Tibalah giliran kami. Setelah mengeluarkan biaya yang
diminta orang yang bertugas saat itu, kami dibawa
memasuki sebuah aula serbaguna. Ruangan yang
merupakan tempat berkumpulnya para napi dan keluarga di
jam besuk. Tempat tersebut bisa menampung sekitar dua
puluh kelompok, dan untuk setiap kelompoknya disediakan
satu atau dua meja serta beberapa kursi.
Tak lama Papi masuk. Terlihat tetap gagah walau
sedikit lebih kurus dengan wajah yang tampak lebih segar
dari terakhir kali bertemu dengannya.
Papi tampak sedikit terkejut saat melihat
keberadaanku. Aku berdiri dan memeluknya dengan erat.
Papi terdiam selama beberapa detik sebelum membalas
pelukanku dengan tak kalah eratnya. Dan aku menyadari
betapa aku sangat merindukan pelukan ini. Begitu
menenangkan. Seperti menemukan tempat pulang.
Kerinduan, kelegaan, kesedihan, kami tumpahkan
semuanya lewat tangisan yang mengharu biru.
"Papi ... Frisca kangen banget sama Papi." Aku
semakin terisak hebat.
"Papi juga. Kangeeennn sekali."
Memang benar, kasih sayang yang paling hebat bagi
manusia adalah kasih sayang kedua orangtua kepada
anaknya. Tak ada yang bisa menandingi bagaimana
besarnya dan tulusnya rasa sayang mereka untukku. Dan
kemana aku selama ini? Menutup mata karena kemarahan
yang kurasakan pada ayah kandungku sendiri, hingga
mengabaikannya dan tak pernah memedulikannya lagi.
Aku sadar, sebagai anak, seharusnya aku
mendoakannya di saat yang lain menertawakan.
Menguatkan di saat yang lain menyepelekan, memeluknya
di saat yang lain membalikkan badan, dan berkata aku
menyayanginya di saat semua orang berteriak koruptor di
depan wajahnya.
Aku melepas pelukanku dan menatap wajahnya dari
dekat. Walau ketampanannya sudah termakan usia, namun
tak mengurangi kegagahannya dengan baju batik yang ia
kenakan.
"Papi sehat?" bisikku, tak bisa bersuara lebih keras
lagi.
"Sehat. Alhamdulillah. Semua orang di sini baik. Papi
diperlakukan dengan baik. Kamu semakin kelihatan cantik.
Mirip mamimu waktu masih muda. Itu siapa? Barga, ya?"
Aku menengok, menemukan Barga sedang
memerhatikan kami. Dia tersenyum untukku. "Iya, ini
Barga. Suami Frisca."
Barga maju dan menyalami Papi, namun Papi
menyambutnya dalam sebuah pelukan.
"Akhirnya, kamu bawa suami kamu untuk ketemu
Papi. Papi sudah sering mendengar tentang kalian dari
Mami. Termasuk foto cucu laki-laki Papi. Sudah sebesar apa
dia sekarang?"
"Namanya Omar, sekarang udah delapan bulan. Udah
mulai nakal. Sekarang Frisca lagi hamil anak kedua, Pap."
Papi tersenyum. Mengangguk-anggukan kepala
mendengarnya. "Papi senang lihat kamu bahagia. Kasih
Papi cucu yang banyak ya."
Aku dan Barga terkekeh.
"Masih berapa lama lagi Papi di sini?" tanya Barga,
mengambil alih percakapan.
"Papi kena vonis lima belas tahun penjara. Dan Papi
sudah menjalani selama dua belas tahun. Tinggal sisa tiga
tahun lagi. Tapi Papi nggak berasa sudah dua belas tahun
berada di sini. Papi nggak terlalu menghitung-hitung. Selalu
mencoba dinikmati saja. Karena kalau dirasakan, akan
terasa lama. Tapi kalau terus beraktivitas, sepertinya tidak
merasa di dalam sini," katanya.
"Memangnya selama di dalam sini, apa aja aktivitas
yang Papi lakukan?"
"Banyak. Setiap pagi atau sore Papi manfaatkan untuk
bermain badminton dan tenis meja dengan teman-teman
sesama penghuni di sini. Dan Papi baru merasakan ada
hikmah yang besar setelah berada di sini. Papi jadi rajin
baca buku dan rajin salat berjamaah. Papi juga merasakan
akrabnya suasana keluarga di sini."
Air mataku kembali menetes. "Maafin Frisca karena
baru besuk Papi sekarang."
"Nggak apa-apa, Sayang. Papi sangat mengerti kondisi
kamu. Pasti lebih sulit keadaan kamu dan Mami yang ada
di luar, daripada Papi yang ada di dalam sini."
Lebih dari satu jam kami mengobrol dengan Papi.
Menceritakan apa yang belum sempat diceritakan,
mendengarkan apa yang memang perlu di dengarkan.
Mencoba membuka pikiran dengan keikhlasan karena
ternyata keikhlasan tak selamanya menyakitkan.
Menyakitkan hanya bagi mereka yang menyia-nyiakan
kesempatan untuk memperoleh hikmah dari permasalahan
yang diberikan hidup untuk mereka.
Tiba di rumah, kami disambut dengan suara tangis
Omar dengan cukup keras.
"Kenapa, Bun?" tanya Barga, mengambil alih Omar
dari gendongan ibu mertuaku.
"Lihat Ayah pergi tadi, nangis mau ikut."
"Emangnya Ayah mau ke mana?"
"Lho, bukannya mau urus surat-surat kamu?"
Aku menghampiri Barga. "Gendong sama Mama aja,
ya?"
Omar menatapku. Sudah berhenti menangis namun
masih sedikit terisak. Mulutnya mencibir, mata bulat
besarnya basah oleh genangan air mata. Lalu pandangannya
berpindah pada Barga, dan berpindah kembali padaku.
Aku dan Barga tertawa kecil ketika Omar terus
menatap kami secara bergantian.
"Ini siapa?" tanyaku, menempatkan tangan di atas
dada.
"Ma—ma."
"Kalau ini?" Aku menunjuk Barga.
"Pa—pa."
Aku mencium pipinya gemas. "Kata Nini, Abang
udah bisa tepuk tangan, ya? Gimana tepuk tangannya?"
Omar bertepuk tangan dan tertawa setelahnya.
"Tangannya Abang mana?"
"Nih." Omar menaikan tangan kanannya.
"Matanya mana?"
Omar mengedip beberapa kali. Aku dan Barga
kembali tertawa.
"Pinter banget, sih anak Papa."
Barga membawa Omar ke ruang tengah dan
membaringkannya di atas sofa, lalu menciumi wajah hingga
perutnya. Aku tertawa saat melihat Omar menjerit dan
tertawa ketika Barga menggelitiki perutnya.
Pada akhirnya, hanya bahasa keikhlasan yang berhasil
menyadarkanku akan arti kehidupan. Bagaimana aku yang
selama ini senantiasa bersembunyi di balik tameng arogansi.
Selalu merasa benar, dan mereka semua salah. Menganggap
jika diri sendiri sebagai korban, dan merekalah Tuan Takur
yang jahat.
Dee Lestari mengatakan, 'semua perjalanan hidup
adalah sinema.' It one, two, three, four ... roll and ... action!
***
"Kamu liat Barga, Ki?" tanyaku, pada Kiasah yang
sedang berada di dapur.
"Barga di belakang sama Mas Bilal. Lagi ngomongin
konsep buat buka gerai di mall. Ini aku lagi bikin kopi buat
mereka. Omar udah tidur?"
Aku mengangguk. "Udah. Ayah sama Bunda juga
udah pada tidur, ya?"
"Udah. Fris, tolong bawain tahu gorengnya ke
belakang ya."
Aku mengangkat piring saji berisikan tahu goreng
panas dan membawanya mengikuti Kiasah yang sudah
berjalan lebih dulu ke halaman belakang rumah Ayah.
Terlihat Barga dan Mas Bilal yang sedang berbincang serius.
Aku menaruh piring di atas meja, mengambil tempat
di samping Barga dan mengamati coretan kertas di
tangannya.
Barga menengok ke arahku saat Mas Bilal sedang
meminum kopinya. "Kok belum tidur?" tanya Barga.
"Belum ngantuk."
"Tapi Omar udah tidur?"
Aku mengangguk. "Besok Omar ikut pulang sama
kita, kan?"
"Iya, besok Omar ikut pulang sama kita. Lagipula,
minggu depan Ayah sama Bunda lagi sibuk-sibunya
ngurusin kantor baru Ayah di Semarang." Barga
memainkan sejumput rambutku yang terurai panjang.
"Gimana, udah dapet konsepnya?"
"Udah. Mas Bilal ngikut aku aja."
"Terus nanti pengiriman bahan makanannya gimana?"
"Pakai travel. Sekitar tiga sampai empat jam udah
sampai. Cuma harus diantar dan diambil sendiri ke pool-
nya langsung."
Entah bagaimana caranya, Barga bisa membuatku
percaya akan semua rencananya tanpa sedikit pun merasa
ragu. Membuatku yakin bahwa Tuhan mendengarkan lebih
dari yang kuucapkan, menjawab lebih dari yang kupinta,
memberi lebih dari yang kubayangkan, dengan waktu dan
caranya sendiri.
Dan untukku, bahagia bagi cinta yang tulus tak
melulu soal kesempurnaan. Walau dalam keadaan tubuh
gendut karena hamil besar sekali pun, Barga is the one that
makes me sexy everyday. Dan untuk apa sempurna, jika
sederhana mencukupi kami untuk bahagia?
-tbc-
Sampai ketemu lagi dengan mereka di epiloogggg...

29

It's not the endings, but it's beginning of the journey.


***
Aku menengok saat pintu kamar perawatanku
terbuka. Tak lama, masuklah seorang lelaki muda yang
tidak kuharapkan keberadaannya.
Lagi-lagi dia, mau apa lagi dia mengejarku hingga ke
sini?
Aku menatapnya malas. "Tau dari mana kamu, aku
dirawat di sini?" tanyaku sinis, tanpa menatap matanya.
"Aku baca chat dari grup anak-anak RMIT di
handphone-nya Arkha."
Aku menengok padanya. Membalas tatapannya yang
menatapku dengan tegas. Tak ingin dibantah.
"Aku udah bilang, kamu nggak perlu mengorbankan
diri kamu sendiri untuk tanggung jawab dengan kehamilan
aku. Ini anaknya Arkha. Dan kenyataannya memang Akrha
udah nggak ada. Kenapa kamu ngotot banget, sih mau
ambil tanggung jawabnya Arkha dan nikahin aku?"
Dia maju beberapa langkah, dan berhenti tepat di
ujung ranjang rumah sakit tempatku berbaring.
"Keluarga aku udah tau kamu sekarang lagi hamil
anaknya Arkha."
Satu bantal yang kutiduri melayang bebas ke arahnya.
"Kamu itu emang brengsek, ya! Kamu bilang kamu nggak
akan kasih tau orangtua kamu soal kehamilan aku. Kamu
janji sama aku, cukup kita berdua aja yang tau soal masalah
ini. Terus kenapa sekarang kamu bongkar semuanya sama
orangtua kamu? Kamu dendam sama aku karena aku udah
nolak kamu? Kamu mau bikin aku malu di depan orangtua
kamu?"
Barga kembali maju beberapa langkah dan semakin
merapat padaku. "Dengerin aku dulu, Fris. Bukan aku yang
ngomong sama mereka. Kak Kia baca chat terakhir yang
kamu kirim untuk Arkha."
Aku diam. Mengingat isi chat terakhir yang kukirim
untuk Arka. Iya, aku ingat. Aku sempat membalas pesan
dari Arkha saat dia memberiku kabar sesaat sebelum
pesawatnya take off. Aku memberitahukan tentang
kecurigaanku yang sudah dua bulan telat menstruasi saat
itu.
"Bang Arkha belum sempat buka HP-nya waktu baru
landing. Jadi kayaknya dia juga belum baca chat dari kamu.
Kak Kia yang pertama nemuin HP itu. Waktu dinyalain,
langsung masuk chat dari kamu. Kak Kia langsung bilang
sama semua keluarga, dan akhirnya aku ngaku kalau aku
memang udah tau kamu hamil anaknya Arkha."
Aku membuang muka darinya. Lebih memilih untuk
menatap langit sore kota Jakarta dari jendela kamar
perawatanku.
"Fris." Barga menyentuh lenganku. Memaksaku
kembali menengok padanya "Aku udah bilang sama semua
keluargaku, kalau aku mau tanggung jawab sama bayinya
Arkha. Aku udah minta izin sama mereka untuk nikahin
kamu."
Aku menggelengkan kepala. Tidak mengerti dengan
isi kepala anak ini. Apa yang dia cari dariku? Mengapa
begitu ngototnya dia ingin menikahiku?
"Stop it, Bar. Please ... jangan tekan aku kayak gini.
Aku nggak mau nikah sama kamu. Kalaupun Arkha masih
hidup, aku juga nggak akan maksa dia untuk nikahin aku.
Apalagi kamu. Cowok asing yang tiba-tiba ngotot mau
tanggung jawab sama bayi yang aku kandung. Pernikahan
itu bukan lelucon, Bar. Nggak bisa kita main-main dengan
keputusan itu."
"Aku nggak main-main," sela Barga. "Aku serius,
Frisca."
Aku menatapnya lama. Menelisik matanya untuk
mencari selah dari segala keyakinan yang ia tunjukan
padaku.
"Kenapa?" tanyaku lemah, pada akhirnya. "Kasih aku
satu alasan yang kuat. Kenapa kamu sampai sengotot ini
mau nikahin aku?"
Barga membawa kursi yang tersimpan di ujung
ruangan, memindahkannya tepat di samping ranjangku,
lantas duduk di atasnya. Terlihat dia menarik napas dalam
sebelum bicara.
"Mungkin ini kedengarannya klise, tapi satu alasan
yang bikin aku sampai sengotot ini mau nikahin kamu,
karena keadaan kamu sekarang ngingetin aku sama keadaan
ibuku waktu dulu lagi hamil Arkha. Sama persis seperti
kamu ini. Cuma bedanya, dulu Bunda udah nikah. Dan
suaminya meninggal waktu Bunda lagi hamil Arkha.
"Dan asal kamu tau, Fris. Bayi yang lagi kamu
kandung ini, keturunan terakhir dari almarhum ayahnya
Arkha. Dan lagi, Fris. Pradigma orang-orang tentang
perempuan yang hamil di luar nikah itu negatif. Benar atau
salah, bagi mereka tetap posisi kamu sebagai wanita yang
salah. Menjalani kehamilan dengan adanya pendamping aja
sulit, Fris. Apalagi kalau kamu menjalani semuanya sendiri.
Biarin aku gantiin posisinya Arkha untuk tanggung jawab
sama kamu.
"Aku tahu, aku ini bukan siapa-siapa, dan juga bukan
apa-apa. Aku cuma Barga Anggara, laki-laki umur dua
puluh tahun yang bahkan nggak tau caranya melawan lupa
atau lupa melawan.
"Aku juga nggak mau menuntut apapun dari kamu.
Yang biasa-biasa aja, tapi mencoba menghadapi masalah
bersama-sama, sampai akhirnya kita saling terbiasa sama-
sama. Sampai ada satu moment yang akhirnya membuat
kita yakin, jika kamu nggak ada, aku nggak bisa. Akhirnya
takut kehilangan pun jadi kebiasaan."
Aku tersentak saat Barga membawa tanganku dalam
genggamannya. Seperti ada sengatan listrik yang mengalir
dari sentuhannya.
"Nikah sama aku, Fris. Kita mulai semuanya bareng-
bareng. I always got your back no matter what happens. So,
please ... trust me."
***
Aku mengenalmu dalam sebuah cerita yang tidak
pernah bisa kuyakini awalnya. Membawaku dalam sebuah
siklus asmara tentang kesederhanaan serta keterbatasan
pilihan di tengah himpitan keadaan.
Kauhadir, ketika aku sedang menunggu datangnya
pagi di tengah malam yang menyeramkan. Kaudatang
dengan tangan kosong. Tanpa janji-janji omong kosong.
Menawarkan sebuah kisah tanpa kesempurnaan.
Mengajakku hidup bersama dalam sebuah kesederhanaan.
Kau seperti cahaya matahari di antara pagi yang tertutup
embun. Seperti senja yang menjadi penutup selarik kisah
dengan euforia yang membuncah.
Dan demi satu tulang rusuk yang kupinjam darimu,
izinkan aku untuk menjalani kisah panjang denganmu,
selalu bersamamu, hingga 'ku tua dan mati dalam
pelukanmu. Karena aku untukmu ... percayalah itu
selamanya.
'Aku mencintamu karena seluruh alam semesta ini
berkonspirasi membantuku untuk menemukan kamu'
(Paulo Cuelho)
*End*

Yawlaaahhh, akhirnya tamat juga ini cerita.


Makasiihhh yaa semua yang udah baca kisah ini. Untuk
semua saran dan kritiknya. Untuk vote dan komennya.
Aku masih punya satu hutang extra part, sebelum
unpublish cerita ini seluruhnya.
Kalau ada yang mikir aku unpub lalu publish ulang
untuk naikin viewer, nggak apa-apa. Nggak jadi aku
republish di wattpad berarti. Kita pindah lapak aja ke storial
dan publish Ello Series 1, 2, 3 dan EPH di storial aja.
*emak-emak baperan* wkwkwkw.
Sekali lagi makasihhh yaaa semuanya. Yuk dadah
babay dulu sama Barga, Frisca dan Abang Omar.
I love you all :*
EXTRA PART

This special part for you, Guys. Enjoy ^^


***
"Bar...."
Aku merasakan saat seseorang mengguncang bahuku
dengan keras.
"Barga!"
"Hm?"
"Aku keluar flek. Udah waktunya melahirkan
kayaknya."
Aku bangun dari tempat tidur dengan cepat.
Menemukan Frisca yang sedang memegangi perut dan
pinggangnya, terlihat jelas sedang menahan sakit.
"Kita ke rumah sakit sekarang. Kamu ganti baju dulu,
aku siapin mobil sambil bangunin Mbak Jijah untuk jaga
anak-anak," ucapku, sembari membuka lemari dan
mengasongkan pakaian ganti yang kupilih random
untuknya.
Keluar dari kamar, aku melangkah menuju kamar
asisten rumah tangga yang terletak di bagian samping
rumah.
Mbak Jijah awalnya bekerja sebagai asisten rumah
tangga di rumah Bunda, tetapi karena Bunda merasa Frisca
lebih membutuhkan bantuan darinya, hingga akhirnya
Mbak Jijah diminta pindah untuk membantu Frisca
mengurusi rumah kami dan juga anak-anak.
Setelah membangunkan asisten rumah tanggaku, aku
menengok anak-anak di kamarnya. Tampak masih sangat
pulas dalam tidurnya. Aku tersenyum memerhatikan
mereka. Anak-anakku, Caezar Omar dan Anjani Darra. Saat
ini, usia Omar sudah lima tahun, sedangkan Jani tiga bulan
lagi akan merayakan ulang tahunnya yang ke-4.
Dan malam ini, akan bertambah satu anggota baru
dalam keluarga kami. Menambah kehebohan suasana rumah
yang semula sudah seheboh pasar Ciroyom Bandung.
Berbeda saat melahirkan Omar dan Jani yang harus
melakukan persalinan secara sesar, untuk anak ketiga kami,
Frisca memaksa ingin melahirkan normal. Berulang kali
kami melakukan konsultasi setiap bulannya, dan jawaban
dari dokter selalu positif hingga sejauh ini. Tidak ada
masalah dalam kehamilan ketiga ini yang mengharuskan
Frisca kembali melahirkan secara sesar. Mungkin karena
jarak kehamilan ketiga ini cukup jauh dengan jarak
kehamilan Jani sebelumnya.
Aku masuk kembali ke dalam kamar dan menemukan
Frisca sedang duduk di pinggiran tempat tidur.
"Masih sakit?" kuusap titik keringat di keningnya.
"Masih. Udah mulai rapat jarak kontraksinya."
"Mana aja yang mau dibawa?"
Frisca menunjuk tas bayi yang sudah tersimpan di
sudut kamar. "Satu tas itu aja. Semuanya udah aku siapin
di situ."
Aku menyampirkan tali selempangnya di bahu, lantas
membantu memapah Frisca menuju mobil yang sedang
kupanaskan mesinnya. Terlihat Mbak Jijah berdiri dengan
panik di ruang tengah.
"Mbak, minta tolong bukain gerbang depan, ya."
Dia mengangguk. Segera mengambil kunci gerbang,
dan membawanya keluar.
Kududukan Frisca dengan sangat hati-hati di bangku
penumpang depan. Menurunkan sandarannya sedikit, lantas
memasangkan safety belt sebelum jalan memutar untuk
duduk di bangku pengemudi.
"Mbak, kalau jam tujuh aku belum pulang, Mbak
tolong antar anak-anak ke sekolah. Tapi mudah-mudahan
Frisca lahirannya cepet, jadi aku bisa antar anak-anak ke
sekolah, sekalian aku juga mau ngisi seminar di Sabuga
soalnya."
"Iya, Mas Barga. Semoga Mbak Frisca lahirannya
lungsur langsar. Sehat ibu dan bayinya."
Aku mengamini ucapan Mbak Jijah. Setelah
berpamitan, kulajukan mobil dengan berusaha bersikap
setenang mungkin meski dalam hati panik. Mencoba
berkonsentrasi, memecah jalanan Bandung yang terlihat
lengang di tengah malam buta.
Frisca mencengkram bisepku dengan sangat keras.
"Sakit banget, Bar."
"Tahan sebentar, Fris. Sebentar lagi kita sampai
rumah sakit."
Tak lama, terdengar bunyi letupan pelan. "Ya, ampun,
Bar ... air ketubannya udah pecah!"
Aku menengok ke arah Frisca. Memerhatikan bagian
bawah tubuhnya. Dan benar saja ... roknya sudah sangat
basah dengan air yang terus mengalir hingga menggenang
di atas karpet mobil. Dan aku baru sadar jika bunyi letupan
tadi adalah bunyi pecahnya air ketuban.
"Bar, cepetan, Bar. Bayinya udah mau keluar ini
kayaknya. Aku takut lahiran di mobil."
Apa kalian pernah menonton adegan car chase di
film-film, dimana penjahat yang sedang dikejar-kejar oleh
polisi?
Yeah, seperti itulah yang kurasakan saat ini. Seperti
merasakan bagaimana tegangnya James Bouney dan
kekasihnya saat berusaha melarikan diri dari agen CIA yang
mengejar dan berusaha membunuh mereka. Bagaimana
caranya aku agar bisa fokus memerhatikan jalanan di
depanku, dengan tekanan yang cukup berat saat mendengar
Frisca terus menerus mengaduh kesakitan.
Dan saat mobilku memasuki pelataran rumah sakit,
rasanya seperti Brian O'Connor ketika menemukan garis
finish dalam film Fast and Furious. Lega rasanya.
Aku menghentikan mobilku tepat di depan pintu Unit
Gawat Darurat. Keluar dari mobil, dan minta segera
disiapkan bangkar kepada perawat yang bertugas untuk
istriku yang sudah siap melahirkan. Dengan sangat cekatan,
beberapa perawat UGD membopong tubuh Frisca, dan
membawanya masuk ke dalam ruang persalinan.
Kepala bayinya bahkan sudah terlihat saat perawat
menggunting underware Frisca yang sudah basah oleh air
ketuban.
"Ibu, pasiennya dokter Esteer, ya? Ini bukaannya
sudah lengkap, Bu. Tapi saya khawatir, karena sebelumnya
Ibu Frisca punya riwayat melahirkan sesar. Saya takutnya
ada komplikasi saat ibu melahirkan normal dan khawatir
tidak dapat ditindak jika bukan ditangani oleh dokter
obgyn."
Emosiku semakin tak karuan saat mendengar ucapan
bidan. "Terus jadi gimana?" tanyaku dengan sedikit sewot.
"Kami sedang berusaha menghubungi dokter Esteer.
Saya nggak berani, Pak, ambil tindakan tanpa ada
persetujuan dari dokter Esteer."
"Tapi istri saya udah siap melahirkan. Nggak liat itu
kepala bayinya aja udah nongol?" hadirku, dengan semakin
emosi.
"Barga... hey, calm down. Take it easy. Mereka cuma
khawatir, karena persalinanku ini beresiko. Udah, kamu
santai aja. Nggak perlu emosi."
Aku berdecak. "Gimana aku nggak emosi, Fris. Istri
aku lagi kesakitan, bukannya cepet ditolongin malah diulur-
ulur waktunya."
Frisca kembali meringis dan mencengkram lenganku
dengan cukup keras.
"Bidan Ayu!"
Kami semua menengok. Seorang perawat muncul dari
ambang pintu.
"Kata dokter Esteer, kalau pembukaannya sudah
lengkap langsung diambil tindakan aja. Dokter Esteer lagi
di jalan menuju ke rumah sakit."
Bidan Ayu mengangguk dan kembali mengalihkan
perhatiannya padaku. "Ya udah, Pak. Kita lakukan
persalinan sekarang. Ibunya tiduran miring ke kiri, ya. Saya
siapkan peralatannya dulu."
"Oke."
"Perlengkapan bayi dan pakaian ganti untuk ibunya
sudah dibawa, Pak?" tanya perawat yang satunya lagi.
"Udah, tapi tasnya ketinggalan di mobil. Saya ambil
dulu."
Namun saat hendak berbalik, Frisca mencekal
lenganku dengan semakin kuat.
"Mau ke mana?" tanyanya.
"Ambil tas dulu di mobil."
Frisca menggeleng. "Nggak boleh. Kamu nggak boleh
ke mana-mana."
"Sebentar aja, Sayang. Nanti aku balik lagi ke sini."
"Nggak. Minta tolong ambilin aja."
Aku melirik perawat yang ternyata sedang
memandangiku. Dia tersenyum. "Nggak apa-apa, Pak. Biar
saya aja yang ambil tasnya di mobil."
Aku menarik kunci mobil dari dalam saku celana dan
menyerahkannya pada perawat tadi. "Maaf ya, Sus, jadi
ngerepotin. Mobilnya Noah warna hitam."
Setelah kepergian perawat tadi, bidan dengan beberapa
perawat lainnya masuk kembali ke dalam ruang bersalin
dan menutup pintunya dari dalam.
"Bapak mau temani istrinya?"
Aku mengangguk yakin. Menggosok punggung Frisca
untuk membantu mengurangi rasa sakitnya, sambil
menunggu bidan yang sedang mempersiapkan peralatan
persalinan.
"Sakit banget ya, Fris?" tanyaku, saat melihat Frisca
kembali meringis pelan.
Sikapnya sangat tenang. Terus berusaha mengatur
napas dengan sesekali meringis saat kontraksinya semakin
kuat. Jauh lebih tenang dari aku yang sejak tadi tidak bisa
menahan panik.
Dan kini aku paham, mengapa surga itu ada di bawah
telapak kaki ibu. Karena pengorbanan seorang ibu memang
bukan hal yang sepele. Dari sejak awal kehamilan, apa saja
sudah Frisca rasakan. Mual hingga muntah-muntah sudah
bukan hal yang aneh lagi. Bahkan, pada kehamilan anak
ketiga ini, Frisca mengalami bintik-bintik pada bagian
punggungnya. Seperti biang keringat pada kulit bayi. Dan
membuatku harus rela terganggu waktu tidur setiap malam
karena Frisca selalu memintaku menggosoki punggungnya
setiap malam.
Namun, aku ikhlas melakukan semuanya. Termasuk
saat ini, ketika tanganku harus rela menjadi alat untuk
menyalurkan rasa sakitnya.
"Ibu boleh terlentang sekarang. Jangan dulu ngeden
sebelum saya intruksikan, ya."
Dan dengan bantuan dari bidan serta beberapa
perawat yang bertugas malam itu, Frisca berhasil
melahirkan anak ketiga kami. Seorang anak lelaki tampan,
dengan berat 3560 gram, dan panjang 51 sentimeter. Jauh
lebih besar dari Omar dan Jani.
Dan aku turut menitikan air mata saat bidan menaruh
bayi kecil itu di atas dada sang ibu. Melakukan proses
Inisiasi Menyusui Dini sebagai stimulasi awal menyusui
untuk bayi yang baru dilahirkan.
Aku mengusap rambut Frisca dan mencium
keningnya sebagai ungkapan rasa terima kasih. "Akhirnya ...
kamu berhasil juga melahirkan normal."
Frisca tersenyum lemah. "Lemes, Bar. Capek banget.
Tapi lihat bayinya jadi hilang semua sakitnya."
Aku kembali mencium keningnya. "Makasih, ya."
Pukul enam pagi, saat Frisca sedang beristirahat dan
bayi kami sedang diobervasi lebih dulu. Aku menyempatkan
waktu pulang ke rumah untuk mengantar anak-anakku ke
sekolah.
Terdengar teriakan Jani dari dalam rumah saat aku
baru saja tiba. "Kenapa, Kak?" tanyaku, menghampiri Jani
dan Omar di kamarnya. Dengan Mbak Jijah yang sedang
menengahi mereka.
"Papa, pensil warnanya Asha patah sama Abang."
Aku menekuk kaki, dan mensejajarkan tubuhku
dengan Jani.
"Ini pensil warnanya siapa?"
"Punya Asha."
"Kenapa pensil warnanya Asha ada sama Kakak?
Bukannya Kakak udah punya pensil warna sendiri?"
"Tapi Kakak mau yang ada gambar Elsa. Punya
Kakak nggak ada gambar Elsa-nya, Pah."
Aku mengerutkan dahi. Menengok pada Mbak Jijah
yang sedang berdiri di depan pintu. "Elsa itu apaan, sih,
Mbak?" tanyaku.
"Queen Elsa itu yang ada di film Frozen, Mas.
Kesukaannya Kakak Jani kalau lagi nonton."
Aku menghela napas. Kembali menatap Jani. "Ya
udah, nanti Papa beliin yang ada gambar Elsa-nya. Tapi
yang ini Kakak kembalikan sama Asha, ya."
Dan kini, perhatianku teralih pada Omar. "Abang
juga jangan lupa nanti minta maaf sama Asha. Bilang,
pensil warnanya Asha patah sama Abang. Ngerti?"
Omar mengangguk patuh.
"Ya udah. Mandi sekarang, ya. Nanti Papa antar
kalian ke sekolah."
"Mama mana, Pah?" tanya Jani.
"Mama ada di rumah sakit. Dedek bayinya udah lahir.
Abang sama Kakak sekarang sekolah dulu. Nanti pulang
dari sekolah, Papa jemput kalian. Kita lihat dedek bayinya
sama-sama, ya."
Omar dan Jani terlihat terkejut saat mendengar
ucapanku.
"Dedek bayi yang ada di perut Mama udah lahir?
Cantik nggak, Pah?" tanya Jani dengan penuh semangat.
Aku terkekeh dan mengusap kepalanya dengan
lembut. "Nggak cantik, Sayang. Dedek bayinya laki-laki.
Ganteng kayak Abang Omar."
Omar berjingkrak-jingkrak senang. "Yeaayy, Abang
punya temen. Kasian Jani nggak ada temennya."
Jani cemberut mendengar ucapan Omar. "Kenapa
dedek bayinya bukan perempuan, Pah? Kalau perempuan,
mau Kakak kasih nama Elsa buat dedek bayinya."
"Lebih bagus kalau dedek bayinya laki-laki, Kakak jadi
anak Papa paling cantik. Iya, kan?"
"Nggak mau!" seru Jani. Berbalik dan duduk di atas
tempat tidurnya. "Ya udah, Kakak nggak mau sekolah."
Aku saling berpandangan dengan Omar. "Abang
mandi duluan aja, ya. Nanti kalau mau sabunan, panggil
Papa."
Omar menurut. Melangkah memasuki kamar mandi
dengan patuh.
Dan kini, giliran anak perempuanku yang menuruni
sifat ibunya. Manja dan gampang sekali ngambek. Aku
menghampiri Jani dan duduk di sampingnya.
"Kakak kok gitu, sih? Kakak kan anak pinter."
"Kakak maunya dedek bayi perempuan, Pah. Terus,
nanti Kakak kasih nama Elsa."
"Iya, nanti Papa bikinin lagi deh, dedek bayi
perempuan buat Kakak. Tapi sekarang Kakak siap-siap
sekolah dulu. Udah jam tujuh, Kakak masuknya jam
setengah delapan, kan?"
"Tapi beli mainan!"
Aku berdecak. "Mainan apa lagi, Kak? Mainan Kakak
itu udah banyak."
"Mainan boneka-bonekaan yang bisa nangis. Yang
rambutnya panjang. Terus, nanti Kakak kasih nama Elsa."
Aku menggelengkan kepala. "Nggak!" ucapku dengan
tegas. Tak ingin membiasakan anakku membujuknya
dengan iming-iming sebuah hadiah. "Papa nggak mau beliin
mainan buat Kakak. Kakak aja nggak mau nurut sama
Papa."
Jani menekuk wajahnya. Semakin cemberut saat
mendapat penolakkan dariku.
"Mau nurut nggak sama Papa?"
Terlihat matanya sudah mulai berkaca-kaca. Namun
sedetik kemudian, Jani berdiri dan berjalan keluar kamar
sambil menyeka air matanya.
"BUDE JIJAAAHHH. KAKAK MAU DIMANDIIN
SAMA BUDEEE! PAPANYA NAKAAALL!"
Yeah, seperti itulah keadaan rumah setiap harinya.
Penuh dengan kehebohan. Hal kecil pun bisa menjadi besar
jika sudah diributkan oleh Jani dan Omar.
Ada hal-hal yang harus keras untuk kujaga, dan itulah
mereka. Istri, serta ketiga anak-anakku. Satu hal yang aku
yakini, ketika aku ingin bahagia, maka aku harus membuat
tujuan yang dapat mengendalikan pikiran, melepaskan
semua hal negatif dari dalam tubuh, serta selalu berusaha
untuk menikmati setiap proses.
***
"Apa kabar semuanya?" sapaku, saat berada di depan
ratusan peserta seminar kewirausahaan di gedung Sasana
Budaya Ganesa, Bandung.
"Senang sekali, melihat anak-anak muda di sini punya
semangat yang luar biasa. Oke, karena waktu saya singkat,
saya langsung mulai saja dengan perkenalan. Nama saya
Barga Anggara. Umur saya saat ini 26 tahun. Saya seorang
ayah dari tiga orang anak. Dan baru saja tadi malam, istri
saya melahirkan anak ketiga kami. Sebuah pencapaian yang
luar biasa di usia yang ke-26 ini.
"Dan sebuah kehormatan bagi saya, dapat diberi
kesempatan berdiri di sini, di depan teman-teman semuanya
untuk berbagi sedikit pengalaman hidup saya saat memulai
usaha Bajigur Machiato ini.
"Jadi, ide saya ini berawal karena kejenuhan saya
dengan kuliner di negara kita yang sudah terlalu didominasi
oleh makanan dan minuman dari luar. Sedangkan, negara
kita sendiri punya makanan dan minuman khas daerah
dalam negeri yang tidak kalah enak dengan kuliner luar
negeri.
"Salah satunya cendol. Kalian pasti nggak tau, bahwa
cendol kita itu sudah termasuk dalam lima puluh minuman
terenak sedunia versi CNNgo. Yang lainnya ada juga es
kelapa muda. Dan dari situlah, akhirnya muncul ide di
kepala saya, untuk meningkatkan popularitas bajigur dan
juga cingcau. Karena officially, saya asli orang Sunda. Dan
kedua minuman itu khas daerah saya. Dan dari ide iseng-
iseng itulah, akhirnya saya bisa berdiri di sini. Sebagai salah
satu narasumber dari seminar kewirausahaan ini.
"Well, menurut kalian, apa sih modal awal untuk
berwirausaha? Jawabannya simple. Hanya sebuah kemauan.
Itu aja dulu. Karena dari kemauan ini, perlahan muncul
sebuah tekad. Dan tekad ini yang akhirnya membawa kita
untuk belajar lebih jauh, mencari tahu lebih banyak tentang
kewirausahaan. Menemukan ide-ide mengejutkan yang
sebelumnya tidak terpikir sama sekali di kepala kita. Setelah
itu, ada sebuah proses. Dan proses ini hal yang paling
menarik untuk diceritakan."
Mengambil jeda sejenak, aku membawa kursi yang
kududuki dan memindahkannya hingga di ujung stage agar
lebih dekat dengan audience.
"Saya, dulu hanya seorang mahasiswa Teknik Electro.
Siangnya kuliah, dan malamnya kerja sebagai kasir
minimarket. Hari Sabtu dan Minggu, dimana teman-teman
saya memanfaatkan hari liburnya untuk hangout, tapi saya
memilih untuk bekerja sebagai tukang cuci piring di hotel.
Hingga akhirnya saya berpikir, kalau saya seperti ini terus
... kapan waktu saya untuk kumpul dengan keluarga?
Menikmati quality time dengan istri dan anak-anak saya?
Dan karena hal itu pula yang akhirnya membuat saya
memutuskan untuk membuka usaha ini. Hingga sampai
saat ini, sudah ada 312 cabang outlet waralaba yang sudah
tersebar di seluruh Indonesia. Dengan penghasilan bersih
mencapai satu miliyar dalam setahun. Maaf, ya. Saya
bukannya mau sombong, hanya ingin sedikit pamer aja."
Aku tertawa konyol.
"Dalam sebuah bisnis, jatuh bangun itu adalah hal
yang lumrah. Begitupun hal yang saya rasakan. Banyak
sekali kerikil serta lubang besar yang menghalangi jalan
saya untuk sampai puncak. Namun, dari situlah saya belajar
tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Kerja keras dan
konsistensi yang menjadi pengiring langkah saya untuk tiba
di garis finish.
"Selain itu, lingkungan sedikit banyaknya
mempengaruhi akan menjadi apa kita nantinya. Dan saya
pribadi sangat berterima kasih kepada ayah saya yang sudah
mendidik saya dengan keras sejak kecil. Membentuk pribadi
saya menjadi seorang anak laki-laki yang tahan banting, dan
selalu mengingatkan saya untuk selalu konsisten dengan
apa yang sedang saya kerjakan saat itu.
"Selain orang tua saya, ada juga istri dan anak-anak
saya. Mereka alasan saya jatuh bangun hidup dan berjuang.
Senyum mereka adalah maha tujuan saya berusaha. Sampai
istri saya pernah bilang, bahwa saya ini seorang brengsek,
keras kepala, yang sedikit pun tidak pernah mundur untuk
membuat mereka bahagia. Karena saya paham, sebaik-
baiknya rumah, adalah kebahagiaan di tengah senyuman
keluarga."
Aku kembali tersenyum saat mengingat wajah Frisca,
Omar, Jani, serta bayi kecil yang belum kuberi nama.
"Mereka yang membuat saya terus berlari kencang
saat yang lain berjalan. Memaksa saya untuk melakukan
sesuatu yang belum orang lain lakukan. Memikirkan apa
yang belum sempat orang pikirkan. Dan berani melompat
tinggi, saat yang lain hanya duduk dengan santai. Hingga
pada akhirnya, mereka yang membuat saya tersenyum saat
yang lain belum. Jika bahagia adalah pilihan, maka berjuang
adalah kewajiban!"

*end*

Alhamdulillah... akhirnya sampai juga kita di extra


part. Maaf yaa kalau endingnya kurang memuaskan.
Makasih yang udah ikut berpartisipasi dalam readers
voice kemarin. Aku sampai ngakak2 sendiri baca review
kalian tentang watak dari tokoh dari cerita EPH ini. Dan
semua penilaian itu akan aku pakai untuk bantuan ngedit
cerita ini sebelum aku repost lagi.
Makasih juga buat al-al12, verbacrania, azizale22,
kincirmainan, Vicantika yang udah membantai ceritaku
habis-habisan di grup kemarin. Maaf yaa kalo aku sempet
baper. Tapi karena kalian juga, aku jadi tahu di mana aja
letak kesalahan dalam ceritaku ini.
Dan tauu nggak seehh... setelah aku unpublish part
awal dan aku hilangin tag maturenya, EPH ada di rank #14
in romance. Uluuhhh langsung joged kayang akika, cyiin.
Kecup basah buat kalian semuanya.
Sekali lagi makasiihhh yaa semuanya. Sampai jumpa
lagi dengan ceritaku selanjutnya.
Lambai cantik dari Papa Barga dan Mama Frisca.

Anda mungkin juga menyukai