Anda di halaman 1dari 452

1 : Takdir

Orang bilang hidup tidak selalu berjalan


seperti yang kita impikan, namun kita bisa
menentukan apa yang akan lakukan setelah
satu mimpi kita hancur. Aku percaya itu dan
ini adalah hidup yang aku pilih setelahnya.
==========================
========
Ini adalah malam minggu, tapi kami masih
bekerja seperti kurcaci sahabat putri tidur
yang seperti tidak memiliki rasa lelah.
'Meski kami bukan ibu peri Cinderella yang
bisa mengubah labu menjadi kereta
kencana, tapi kami bisa mewujudkan
pernikahan impian yang kalian
inginkan.' Entah apa yang aku pikirkan
hingga bisa menjadikan kata-kata itu
sebagai moto kami. Menggelikan dan
terdengar kekanak-kanakan, namun kami

1
F)
berusaha keras untuk merealisasikan kata-
kata itu.
Kakiku hampir mati rasa, setelah dari dini
hari berjalan kesana-kemari menyiapkan
pesta pernikahan anak salah satu
konglomerat di kota ini. Aku bahkan lupa
kapan duduk diam selama dua hari ini.
Mereka membayar mahal dan tentu saja
kami bekerja keras untuk itu. Bagi kaum
kelas atas pesta pernikahan bukan sekedar
acara keluarga biasa, namun juga
menunjukkan kelas mereka, serta
pembuktian pada relasi bisnis mereka jika
ekonomi mereka sangat bagus hingga
mereka tak ragu untuk menjalin kerja
sama.1
Setelah semua persiapan, tinggal
menghitung beberapa jam pesta pernikahan
siap untuk digelar. Aku mengumpulkan
semua tim, dari tim tata rias, konsumsi,
dekorasi dan lainnya untuk melakukan

2
pengarahan terakhir agar tidak terjadi
kesalahan.
"Selamat sore!" sapaku.
"Sore," jawab mereka serentak.
"Hari ini adalah pesta pernikahan dari putri
bapak Hartono, dengan konsep modern
bertema putih hijau. Acara akan di mulai
jam tujuh malam atau empat jam dari
sekarang. Untuk tim MUA harap persiapkan
semuanya dengan baik, mempelai dan
keluarga akan datang sekitar setengah jam
lagi. Jumlah yang akan kalian rias sekitar
tiga puluh orang. Jadi setiap MUA pegang
dua orang, kecuali Karin dan Mia yang
khusus makeup-in mempelai," jelasku.17
"Siap mbak!" sahut mereka.
"Tim konsumsi, pastikan semua persediaan
makanan cukup dan yang terpenting
kebersihan harus selalu dijaga, terutama
wilayah untuk tamu VVIP. Tim dekorasi
dan sound sistem pastikan semua dekorasi

3
sesuai dengan yang mereka inginkan dan
paling penting semuanya aman agar tidak
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan!"
"Siap!"
"Oke, ada pertanyaan?"
"Enggak, Mbak."
"Kalau begitu kalian ada waktu lima belas
menit untuk istirahat, setelah itu baru
kembali bekerja!"
Aku meninggalkan mereka karena aku juga
ada beberapa hal yang harus aku siapkan.
Seperti membersihkan diri dan memakai
beberapa riasan, karena aku juga akan
menjadi salah satu tamu undangan. Tentu
saja aku tidak melewatkan kesempatan ini,
biar bagaimanapun ini adalah salah satu
strategi marketing terbaik yang aku terapkan
selama ini.
***
Rasa lelahku sedikit terbayar setiap melihat
pesta yang aku siapkan berjalan dengan baik
4
sesuai keinginan mereka. Sebelum semakin
jauh izinkan aku memperkenalkan diri, aku
Alana Wirasti pemilik dari salah
satu weddingorganizer terbaik di
kota SunshineWedding. Mulai dari orang
biasa, artis ibu kota, pejabat dan
konglomerat rela mengantre untuk bisa
mewujudkan pesta pernikahan impian
mereka melalui kami.
"Selamat ya Pak, Bu, atas pernikahan putri
bapak ibu. Saya harap bapak dan keluarga
dilimpahkan semua kebahagiaan. Dan untuk
mempelai selalu langgeng dan segera diberi
momongan," ucapku.
"Terima kasih Ibu Alana sudah berkenan
datang, padahal kami tahu ibu Alana pasti
sibuk karena banyak pesta pernikahan yang
harus diurus," ujar Ibu Hartono dengan
senyuman ramahnya.
"Saya yang harusnya berterima kasih karena
sudah memilih kami dan bisa datang ke

5
pesta ini adalah suatu kehormatan untuk
saya."
"Wah, memang ada alasan kenapa hampir
semua rekan bisnis saya
merekomendasikan sunshinewedding saat
membicarakan pernikahan anak saya!" ujar
Pak Hartono yang membuatku tidak bisa
untuk tidak tersenyum.
"Bapak terlalu berlebihan. Kami hanya
mengusahakan semua sebaik mungkin agar
tidak membuat kecewa orang-orang yang
mempercayakan mimpinya pada kami!"
"Kamu pantas mendapat semua pujian ini!"
"Terima kasih. Saya pamit dulu, seperti
banyak tamu lain yang ingin berbicara
dengan Anda."
"Selamat menikmati pestanya!"
Aku tersenyum lalu meninggalkan mereka
yang berdiri di pelaminan. Semuanya pasti
ada alasan kenapa mereka memilih kami
dan di balik semua alasan itu ada kerja keras
6
yang tidak mudah dan tidak dalam waktu
singkat untuk bisa di posisi ini. Aku yang
dulu bukan siapa-siapa bisa memiliki
banyak kenalan orang-orang hebat bukan
sesuatu yang aku dapat begitu saja.
***
Badanku rasanya masih remuk, meski satu
hari kemarin aku habiskan untuk tidur.
Rasanya aku masih ingin berbaring di
kasurku, namun apa daya banyak pekerjaan
yang menumpuk dan harus aku selesaikan.
Aku tidak bisa melepas pekerjaanku begitu
saja, meski aku memiliki banyak staf yang
pasti akan melakukan pekerjaan mereka
dengan baik. Meski tidak sepagi biasanya
aku putuskan untuk berangkat bekerja.
"Pagi, Mbak Alana!" sapa resepsionis yang
sudah dua tahun bekerja di sini. Dia cantik
dan sangat baik dalam pekerjaannya.
"Pagi, Ta," sahutku.
"Ibu Marisa datang!"

7
"Udah lama?"
"Sekitar setengah jam."
"Oke!"
Aku melangkah menuju ruanganku. Tak
lupa menyapa beberapa karyawan yang
tidak sengaja berpapasan denganku. Tempat
ini sekarang ramai, berbeda dengan lima
tahun yang lalu saat pertama kali datang ke
sini. Dulu gedung ini hanya gedung tua
yang beroperasi dengan tiga orang
karyawan. Weddingorganizer yang
mengurus pernikahan-pernikahan kecil.
"Yang ditungguin akhirnya datang juga!"
ujar wanita cantik yang sedang duduk manis
di sofa ruanganku.
"Ya siapa suruh Kak Risa datang tanpa
mengabari lebih dulu!" Aku duduk di
sebelahnya. Marisa dia adalah investor
sekaligus pemilik gedung ini dulu.
"Taudeh owner WO terbaik emang sibuk!"
"Itu tau."
8
"Ih sombongnya!" Dia menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Kak Risa ada apa datang ke sini. Nggak
mungkin kan, kakak cuma gabut doang?"
Aku tahu dia tidak mungkin datang hanya
ingin menemuiku. Jarak rumahnya dan
kantor ini lumayan jauh dan yang pastinya
macet.
"Ini nih yang aku suka dari kamu,
selalu tothepoint nggak basa-basi."
"Ya udah terus apa?"
"Kakak bawa satu klien VVIP dan mau
kamu langsung yang tangani!"
"Oke, asal jangan bulan ini dan bulan depan.
Jadwalku penuh soalnya." Ya, ada delapan
yang aku urus dua bulan ini, dengan artian
aku sibuk setiap akhir pekan hingga dua
bulan ke depan.
"Ayolah Al, nggak enak soalnya aku
nolaknya. Dia itu adik sepupuku. Kamu

9
ingatkan Shireen artis yang menikah sama
konglomerat itu lima tahun yang lalu?"
"Dia mau nikah lagi?" Ekspresi penuh harap
kak Risa seketika berubah datar, dia terlihat
jengkel mendengar pertanyaanku dan aku
hanya bisa menahan agar tidak tertawa.
Sebenarnya pertanyaanku hanyalah sebuah
candaan, karena setahuku Shireen dan
suaminya adalah salah satu pasangan
selebriti paling adem ayem.
"Adiknya yang mau nikah. Selain karena dia
sepupuku, aku tidak bisa menolak karena
dia yang membuat Sunshinewedding sebesar
ini kan?"
Ya memang tidak dapat aku ingkari, setelah
mengurus pernikahan Shireen yang
disiarkan secara langsung di beberapa
stasiun televisi, satu persatu orang datang
menggunakan jasa kami. Meski dulu dia
sempat ragu, tapi berkat kak Risa yang
meyakinkannya dia memilih kami.

10
"Oke, aku yang akan mengurus pernikahan
dia!"
"Serius?"
"Iya, lagi pula rasanya aku tidak tahu diri
jika menolak mereka. Anggap saja aku
sedang balas budi, karena dulu mereka
sudah mau mempercayaiku."
"Alana Wirasti memang tidak pernah
mengecewakan!" Kak Risa menepuk-nepuk
pundakku dengan raut wajah yang sedikit
membuatku geli.
"Kak Risa, apaan sih! Udahdeh atur jadwal
pertemuannya agar aku bisa mengosongkan
jadwalku."
"Sok sibuk banget!"
"Emang sibuk!"
"Iya deh iya, yang sibuk banget! Nanti
kakak kabari jadwalnya. Tadi kakak juga
udahmeriksa jadwal di sekretaris kamu jadi
kakak pastikan nggak akan bentrok dengan
jadwal kamu yang lain."
11
"Sip!" Kemudian kami berdua tertawa.
***
Sial! Kenapa Jakarta selalu macet seperti
ini. Mobil yang aku tumpangi bahkan tidak
bergerak sama sekali sejak setengah jam
yang lalu. Suara klakson kendaraan dari
kendaraan yang tidak memiliki kesabaran
lebih, benar-benar membuat telingaku ingin
pecah. Jarum jam di tanganku terus
bergerak, tapi mobilku masih diam di
tempat. Jika seperti ini aku akan benar-benar
menua di kemacetan.
Setelah berjuang mengarungi kemacetan,
akhirnya aku berhasil memarkirkan mobilku
di depan restoran tempat aku berjanji untuk
bertemu dengan Kak Risa dan adik dari
Shireen itu. Dari restoran yang dipilih untuk
pertemuan pertama kami, aku tahu mereka
memang bukan orang sembarangan.
Setahuku restoran ini hanya menerima lima
puluh reservasi setiap harinya dan perlu
beberapa hari untuk memesan tempat ini.
12
Restoran ini terlihat sepi, meski semua meja
terisi penuh hingga aku dengan mudah
menemukan kak Risa dan seorang gadis
cantik yang duduk di sebelahnya.
"Maaf saya terlambat!l" ucapku.
"Ini bukan terlambat lagi, Al," cibir kak
Risa.
"Nggak apa-apa kok, Mbak. Jalanan Jakarta
lagi macet-macetnya jam segini.
"Kamu sendiri?" tanyaku karena biasanya
mereka akan datang bersama pasangan
mereka atau tidak orang tua mereka.
"Kamu pikir kakak ini apa?" Kak Risa
terlihat jengkel karena merasa tak dianggap.
"Maksudku itu calon suami atau orang
tuanya kak!"
"Dia sedikit terlambat, ada pasien darurat
yang harus ditangani." Aku mengangguk
paham, ternyata calon suaminya adalah
calon dokter. Beruntung sekali dia, atau
justru calon suaminya yang beruntung
13
karena mendapatkan gadis secantik dia
terlebih dia juga dari keluarga yang hebat.
"Oh iya gimana kabar Mbak Shireen saya
dengar dia baru melahirkan anak
keduanya?"
"Iya dia lagi sibuk-sibuknya ngurus anak.
Apalagi anak pertamanya juga masih
lumayan kecil. Kak Shireen juga nitip salam
buat mbak Alana. Katanya kak Shireen ikut
bangga karena mbak Alana bisa sesukses
sekarang, dia bilang dia menyesal pernah
meragukan mbak Alana."
Bibirku terangkat, kata-kata yang dia
ucapkan membuatku merasa bahagia.
"Salam balik buat mbak Shireen dan juga
sampaikan rasa terima kasih saya karena
dulu sudah mau mempercayai kami. Bisa
dibilang dia menjadi malaikatku."
Gadis itu tiba-tiba tertawa tanpa sebab yang
aku ketahui. "Mbak Alana terlalu
berlebihan, masa kak Shireen malaikat.
Nggaktauaja kalau kak Shireen
14
udahngomel-ngomel serangga aja kabur!"
katanya masih sibuk tertawa yang
membuatku juga ikut tertawa.
"Maaf saya terlambat!"
Suara itu menghentikan tawanya dan
membekukanku. Kenapa aku harus
mendengar suara itu di tempat ini. Kenapa
harus dia dari milyaran manusia yang ada di
bumi ini? Kenapa takdir mempertemukan
kami kembali?

15
2. Pertama Kali

Hari itu hari terakhir di tahun 2008. Aku dan


anak kelas tiga lainnya melakukan
perjalanan ke Bogor untuk berkemah satu
hari satu malam untuk merayakan
pergantian tahun baru, sekaligus
menyegarkan otak sebelum kami bergelut
dengan buku-buku yang begitu banyak dan
bervariasi dari bentuk, ukuran, jenis dan
ketebalan untuk persiapan ujian akhir yang
akan menentukan nasib kami ke depannya.
Mataku tertuju pada pemuda tampan yang
sedang bermain gitar sambil menyanyi di
bagian depan bus. Suaranya sangat merdu
membuat gadis-gadis itu, termasuk aku sulit
untuk tidak memperhatikannya. Sesekali
aku melirik seseorang yang duduk di
sebelahku. Dia terlihat jengkel saat aku
menatap Julian-anak laki-laki yang sedang
menyanyi di depan.

16
"Awas matanya lepas," sindirnya yang tidak
aku hiraukan, "telinganya sepertinya mau
lepas!" sindirnya lagi yang membuatku
semakin memperhatikan Julian. Melihat
wajahnya yang kesal adalah hiburan
tersendiri untukku.
"Lagi ... Lagi ... Lagi ..." ujar anak-anak
termasuk aku saat Julian menyelesaikan
lagunya.
Julian tersenyum menampakkan gigi
kelincinya yang lucu, membuat dia semakin
mempesona. "Masa guemulugantiandong,"
ujar Julian yang diikuti oleh tawa kecil.
"Yah ...."
"Di sini yang bisa nyanyi bukan gueaja,
Jevano juga jago nyanyinya."
"Jevano .... Jevano ... Jevano ...."
Meski sempat menolak dan malu-malu,
akhirnya dia maju ke depan. Aku tahu
suaranya memang merdu, setiap aku tidak
bisa tidur dia selalu bernyanyi untukku.
17
Lihatlah gadis-gadis itu juga mulai
meneriakkan namanya, sangat
menjengkelkan. Dia melirikku sekilas,
seolah berkata 'lihat aku juga bisa!' rasa
jengkel semakin jadi saat gadis yang duduk
di depannya berdiri dan ikut bernyanyi
bersama dia. Dan apa maksud mereka
bergandengan tangan? Ingin rasanya aku
menendang mereka berdua keluar dari bus.
Suara tepukkan tangan begitu meriah saat
lagu selesai dinyanyikan. Beberapa dari
mereka meminta dia untuk bernyanyi lagi.
Dia menatapku. Awas saja kalau dia
menyanyikan lagu lagi, aku pastikan dia
menyesal pernah bersedia menyanyi di
depan.
"Kayanya enggak
deh, princess guengambek!" ujarnya yang
membuat satu bus menjadi ricuh dan
menatap ke arahku semua.
Entah mengapa aku tidak bisa menahan
bibirku untuk tidak terangkat, saat melihat

18
dia tersenyum dan berjalan ke arahku. Ya,
Jevano memang sehebat itu membujukku
saat aku marah, atau mungkin aku yang
terlalu mudah luluh.
"Cie yang cemburu? Gimana enak nggak
rasanya cemburu?" tanyanya menggodaku.
"Ih enggak ya, siapa juga yang cemburu!"
elakku.
"Yakin nihnggak cemburu? Jadi boleh
nyanyi lagi?" Dia masih terus menggodaku.
"Tau ah! Awas aja kalau nyanyi lagi,"
ujarku lalu memalingkan wajah darinya.
Aku mendengar suara tawanya, dia
terdengar begitu bahagia setelah berhasil
menggodaku. Dasar tidak peka, tanpa
bertanya harusnya dia tahu aku cemburu.
Dia mengusap kepalaku, lalu menarikku
untuk bersandar padanya. "Aku tahu kamu
cemburu, maaf. Jangan ngambek ya!"
ujarnya lembut. Jika begini, katakan gadis
mana yang bisa tetap marah dan tidak luluh.

19
Jevano dan semua perlakuannya padaku
adalah alasan aku semakin mencintai dia
setiap waktu.
***
Kami sudah sampai tujuan, sebuah hutan
yang biasanya memang untuk tempat
berkemah. Satu persatu dari kami menuruni
bus, termasuk aku dan Jevano. Dia hampir
membawa semua barang bawaanku. Semua
orang terlihat sibuk dengan tugas mereka
masing-masing, dan sekarang aku hanya
diam melihat mereka bersama beberapa
anak yang lain karena tugasku menyiapkan
bahan makanan sudah selesai.
"Kayanya kita butuh kayu bakar deh! Ada
yang mau ikut aku cari kayu bakar?" tanya
Tian ketua rombongan kami.
"Aku aja, kerjaanku juga selesai!" ujarku.
"Eh Yan, biar gueaja yang cari sama
Alana!" ujar Jevano tiba-tiba mengajukan
diri, "gini loh, lo kan ketua di sini, kalau

20
anak-anak butuh sesuatu gimana?" lanjut
Jevano berusaha menyakinkan Tian.
"Bilang aja mau mojoklo!" ledek Doni yang
kemudian dijawab oleh suara riuh yang
membuat sedikit malu. Ingin rasanya aku
menutup mulut dia dengan lakban.
"Sirik aja, jomblo!" balas Jevano.
"Ya udahJevano sama Alana cari kayu
bakar, tapi jangan masuk terlalu dalam
bahaya. Usahakan kembali sebelum gelap,
karena hutan cenderung berkabut dan kalian
bisa tersesat!"
"Siap, komandan!" ujar Jevano dengan
hormat ala upacara bendera hari Senin.
Aku dan Jevano pergi untuk mencari kayu
bakar. Sesekali aku berjalan mendahului
Jevano yang sibuk mengambil beberapa
foto. Sudah aku duga, dia pasti melakukan
ini. Ini bahkan terjadi saat pergi berkencan,
dia akan sibuk mengambil foto. Aku bahkan
sedikit membenci kameranya.

21
"Udah ah foto-fotonya. Ini kayunya nanti
nggak dapat-dapat!" omelku yang mulai
tidak tahan dengan apa yang dia lakukan.
"Iya deh maaf."
"Ya udah buru cari kayunya."
"Ini mau."
Byurrrr ....
Tanpa kami duga hujan tiba-tiba turun,
padahal langit awalnya terlihat cerah.
Sekarang memang bukan Desember, tapi
mengapa hujan harus turun sekarang.
Jevano menarikku untuk berlari bersamanya
mencari tempat berlindung yang aman,
karena jika hujan begini tidak baik berada di
bawah pohon yang besar bahaya. Beruntung
kami menemukan gubuk tua, yang seperti di
bangun oleh penjaga hutan. Sebelum
basecamp mereka dibangun di depan sana.
"Huh untung aja ada gubuk." Jevano
menghela napas lega.

22
Namun aku menyadari satu hal., "Jev,
kayanya kita masuk terlalu dalam," ujarku.
Jevano mengedarkan pandangan ke sekitar
kami. Pepohonan di sekitar kami terlihat
lebih tinggi dan juga lebat. Keadaan macam
apa ini? Tidak lucu jika kami tersesat
bukan? Seperti aku berjalan tanpa sadar
masuk hutan terlalu dalam dan Jevano yang
fokus pada kameranya tidak menyadari itu.
"Kamu yang tenang, ya jangan panik," ujar
Jevano menenangkanku. Dia tahu jika aku
memiliki ketakutan tersendiri dengan
pepohonan yang tinggi dan lebar terlebih
sekarang hujan.
"Aku takut!"
"Jangan takut ada aku."
Dia terlihat sibuk mencoba menghubungi
teman-teman kami, namun jangan lupakan
fakta jika kami ada di tengah hutan dan
sedang hujan. Sangat mustahil sinyal ponsel
bisa sampai di sini. Hari semakin gelap dan

23
berkabut karena hujan memperparah
keadaan. Jarak pandang tidak lebih dari satu
meter. Mustahil jika kami memaksa keluar
dari hutan. Jika kami memaksa, skenario
terburuk kami semakin masuk ke dalam
hutan.
Dia memegang bahuku, menatapku hangat
yang membuatku merasa lebih tenang.
"Alana kamu percaya, kan sama aku?" Aku
mengangguk meski ragu. "Kita menginap di
sini, karena mustahil menemukan jalan
pulang dalam keadaan seperti ini." Aku rasa
ini juga keputusan terbaik, dibandingkan
memaksakan diri keluar dari hutan.
Hari semakin larut, udara semakin terasa
menusuk, apalagi hujan juga enggan untuk
berhenti. Angin malam juga sepertinya tidak
mau untuk diajak kerja sama. Tubuhku
mungkin sudah seperti ikan yang ada di
mesin pendingin supermarket. Percayalah
menyalakan api tidak semudah di acara
televisi. Jevano mencoba mematik-matikan

24
batu, tapi hasilnya nihil hingga akhirnya dia
memilih untuk menyerah.
Dia melepas jaket yang dikenakannya, lalu
dengan lembut memakaikannya padaku,
padahal aku tahu dia juga pasti kedinginan.
"Enggak usah, kamu juga pasti dingin!"
tolakku.
"Aku bisa tahan, kamu kan gampang kena
flu apalagi kalau kedinginan."
"Tapi Jev ...."
Duarrr! Aku langsung memeluk Jevano ada
di sebelahku, karena jujur aku sangat takut
dengan petir. Tubuhku bergetar karena
terlalu takut.
"Kamu tenang ya, ada aku!" ujarnya lalu
membalas memelukku. Usapan tangannya
menyalurkan rasa hangat keseluruhan
tubuhku. Namun aku merasakan kegelisahan
dari Jevano, dia seperti tidak nyaman dalam
posisi ini.

25
Duarrr! Petir kembali menyambar,
membuatku mengeratkan pelukanku
padanya. "Al, tolong lepasin aku bisa
enggak?"
"Aku takut!"
"Tapi kamu tahu aku lebih bahaya dari
petir!" ujarnya sambil menyingkap anak-
anak rambut yang menutupi wajahku.
"Kamu nggak takut?" tanyanya dengan
napas yang tidak teratur. Akhirnya aku
mengerti letak 'bahaya' yang Jevano maksud
dan segera melepas pelukanku dan bergerak
menjauh tapi Jevano justru menarikku
mendekat.1
Dia tersenyum menatapku, senyuman yang
tidak pernah aku lihat sebelumnya dan
tatapannya yang bisanya menenangkanku
kali ini benar-benar membuatku gelisah.
Seperti aku telah memprovokasi
hormonnya. Kenapa aku lupa jika Jevano
adalah laki-laki 17 tahun normal.1
"Ka-kamu mau apa?" tanyaku gugup.
26
"Kamu."1
"Enggak, Jev, kita terlalu muda untuk itu!"
tolakku sambil berusaha mendorong Jevano
menjauh, tapi pelukannya terlalu erat.
Dia kembali tersenyum. "Kamu yakin tidak
menginginkan aku juga?" ujarnya dengan
suara yang benar-benar membuatku gelisah.
Dia semakin memperpendek jarak antara
kami. Hingga aku bisa merasakan hembusan
napasnya. "Maafin aku, Alana, tapi aku
tidak bisa menahannya lagi apa lagi kita
harus berdua di sini hingga pagi!"
"Ta-tapi bagaimana jika sesuatu yang buruk
terjadi. Kita bahkan belum lulus SMA!"
Namun dia sepertinya tak menghiraukan
pertanyaanku dan mulai memangkas jarak
antara kami. Hal paling aku sesali adalah
karena nyatanya aku tidak bisa menolaknya.

27
3. Penyesalan

Setelah melakukan itu dengan Jevano,


sungguh aku merasa sangat menyesal. Aku
menangis tanpa suara. Bayangan ibuku
melintas di benakku. Mama pasti kecewa,
jika tahu apa yang sudah putrinya ini
lakukan. Aku sangat bodoh hingga tak bisa
menjaga diri. Aku mencoba pembenaran
atas apa yang aku lakukan, tapi tidak aku
temukan karena yang kami lakukan adalah
sebuah kesalahan.
"Lan, udah, jangan nangis lagi. Percaya aku,
semuanya akan baik-baik saja!" ucapnya
sambil memelukku dari belakang.
"Lepasin aku, Jev! Aku ingin sendiri, jangan
sampai kita melakukan kesalahan ini lagi.
Aku harap ini yang terakhir."
"Ayolah, Lan, tidak ada apa pun yang
terjadi. Jika pun memang ada yang terjadi
kita tanggung bersama."16

28
"Kamu enak ngomong begitu! Kalau terjadi
sesuatu yang hamil itu aku bukan kamu!"
kataku jengkel lalu memilih menjauh dari
Jevano.
Setelah pagi datang dan aku merasa lebih
tenang, kami memutuskan untuk kembali
sebelum teman-teman mengkhawatirkan
kami. Semakin lama di sini, semakin sulit
untukku melupakan apa yang sudah kami
lakukan. Butuh waktu lama, hingga kami
bisa melihat tenda-tenda yang kami dirikan.
Aku merasa lega akhirnya kami menemukan
jalan keluar. Dia memapahku setelah aku
berulang kali nyaris terjatuh. Seluruh
tubuhku terasa sakit dan aku juga hampir
kehabisan tenaga. Senyum lega terlihat dari
wajah teman-teman kami saat melihat kami
muncul dari lebarnya hutan.
"Jev, Lan. Akhirnya kalian kembali. Kita
udah mau lapor polisi kalau kalian nggak
balik-balik," ujar Tian yang terlihat lega
melihat kami kembali.

29
"Maaf, kemarin kita nggak sadar masuk
hutan terlalu dalam waktu nyari kayu, eh
malah hujan jadi kami neduh eh hujannya
nggak reda-reda jadi kami putuskan nginep
di sana," ujar Jevano menjelaskan keadaan
kami. Aku hanya diam saja karena tenagaku
benar-benar terkuras habis.
"Ya udah, kalian bersih-bersih, terus makan
dan istirahat. Kalian pasti lelah banget!"
Aku hanya mengangguk dan tersenyum
tipis, lalu meninggalkan kumpulan anak
laki-laki itu.
"Alana capek banget kelihatannya, lo ajak
main berapa ronde?" tanya Dino menggoda
Jevano.1
"Main apaan? Alana cuma capek!'" jawab
Jevano yang terdengar gugup.
"Santai, Bro! Kita tau kok anak baik-baik
kaya longgak mungkin aneh-aneh."
Aku tersenyum miris. Mendengar mereka
begitu mempercayai Jevano. Di titik ini aku

30
sadar semua laki-laki sama saja. Meski dia
baik, ada kalanya mereka bahkan kesulitan
mengendalikan diri mereka dan itu yang
terjadi pada Jevano semalam.1
***
Semua berjalan seperti biasanya setelah
kejadian itu. Tidak ada yang berubah,
Jevano masih jadi pacar yang baik dan
perhatian seperti tidak terjadi apa pun.
Meski awalnya aku khawatir jika aku hamil
karena kejadian malam itu, tapi semua
kekhawatiranku berakhir saat tamu
bulananku datang tepat waktu seperti
biasanya. Satu beban dalam hidupku seakan
terangkat. Meski tetap saja, aku tidak dapat
melupakannya hal yang sudah aku lakukan
dan rasa penyesalanku, namun ini jauh lebih
baik.
Hingga malam itu rumahku kosong. Aku
dan Jevano belajar bersama untuk persiapan
ujian. Tentu saja karena otakku yang tidak
terlalu pintar, butuh asupan materi tambahan
31
dan Jevano adalah solusinya. Dia adalah
murid paling cerdas di sekolah jadi tidak
salah jika aku memilih dia sebagai guru
privatku.
"Kamu paham?" tanyanya setelah
menjelaskan materi secara panjang lebar.
"Iya paham."
"Yakin?" tanyanya sambil menggodaku.
"Iya!"
"Karena udahngajarin kamu boleh dong aku
minta imbalan?" Jevano mengusap lembut
kepala.
"Ih, sama pacar sendiri kok pamrih!"
"Baby, in relationships, wemustgiveandtake,
right?" tanyanya dengan tatapan yang sudah
aku artikan.
"Terus kamu mau apa?"
"Kamu!"
Jawaban Jevano membuatku dejavu. Aku
teringat kejadian sebulan yang lalu, saat dia
32
bilang menginginkan aku dan hal itu terjadi.
Terlebih cara Jevano menatapku sama
seperti saat itu.
"Enggak ya, Jev! Cukup waktu itu!" tolakku
tegas.
"Al, kita udahngelakuin sekali, jadi bukan
hal besar kalau kita ngelakuin lagi."17
"Jev, aku takut hamil!"
"Buktinya kamu nggak hamil! Janji deh aku
ngeluarinnya diluar."3
"Jev!" bentakku yang membuat dia tertawa.
Wajahku terasa panas saat dia
membicarakan hal itu.
"Gimana?"
Aku terdiam, ingin rasanya mulutku berkata
tidak dan menolak keinginan Jevano.
Namun sepertinya tubuhku bereaksi lain
saat Jevano terus menyentuhku. "Oke, tapi
kita main aman dan nggak di sini."

33
Jevano tersenyum penuh kemenangan lalu
tiba-tiba menggendongku dan membawa ke
kamarku. Untuk kedua kalinya kami
melakukan hal itu lagi dan setelahnya kami
melakukannya kembali setiap kami pergi
untuk belajar bersama dan rumahku kosong.
Seperti kali ini, kami tanpa busana hanya
berbalut selimut di kamarku. Dia
memelukku dari belakang. Seperti biasanya
selalu ada penyesalan setiap kali kami
selesai melakukan itu.
"Lan, aku janji setelah aku sudah jadi dokter
aku akan melamar kamu dan kita menikah!"
"Kamu yakin nggak akan ninggalin aku?"
tanyaku. Jujur hal paling aku takutkan saat
ini jika Jevano pergi meninggalkan aku.
Setelah aku menyerahkan segalanya
padanya.
"Ya enggak lah!"
"Aku harap kamu bisa aku percaya. Jika
kamu ninggalin aku, berarti hari itu kamu

34
akan menjadi manusia yang paling aku
benci."
"Aku janji nggak akan ninggalin kamu!
Kamu bisa percaya sama aku."
Meski aku tidak sepenuhnya percaya pada
ucapannya, tapi aku tidak memiliki pilihan
lain selain mempercayainya.
***
Sebulan ini aku dan Jevano jarang bertemu,
mungkin karena kami memang sudah selesai
melakukan ujian satu bulan yang lalu. Dia
juga terlihat sibuk melakukan sesuatu, tapi
aku tidak bertanya lebih karena tidak ingin
membuat dia merasa terganggu. Karena
sekarang hari Minggu Mama ada di rumah.
Ibuku adalah kepala sekolah di tempat aku
sekolah, mama adalah ibu tunggal sekaligus
keluargaku satu-satunya setelah Papa pergi
untuk selamanya saat aku masih kecil

35
"Al, sini!" Mama menepuk sofa kosong di
sebelahnya, memberi isyarat aku untuk
duduk di sebelahnya.
"Ada apa, Ma?" tanyaku.
"Enggak Mama cuma mau tanya, setelah
lulus kamu mau kuliah apa dan di mana?"
Aku memikirkan jawaban yang tepat, aku
sendiri tidak tahu jurusan apa yang ingin
aku ambil. Mengingat kapasitas otakku yang
tidak seberapa ini, tidak mungkin aku
memilih universitas yang terbaik.
"Gimana? Mau di mana?"
"Ma, kalau Alana nggak kuliah boleh
nggak?" tanyaku ragu.
"Terus kalau nggak kuliah kamu mau
ngapain? Nikah?"
"Ih, Mama, kok nikah!"
"Terus kamu mau apa?"
"Kerja, cari pengalaman lalu buka usaha
sendiri."
36
"Kamu yakin?"
Aku mengangguk cepat.
"Oke! Kalau itu keputusan kamu!" Respons
mama sungguh di luar dugaanku. Aku pikir
mama akan marah mengingat nama adalah
seseorang yang sangat peduli dengan
pendidikan.
"Mama nggak marah?"
"Enggaklah! Kamu itu cuma tidak ingin
kuliah bukan ingin menjadi kriminal. Lagi
pula sebagai orang tua Mama hanya bisa
mendukung apa yang kamu inginkan.
Percuma kamu kuliah cuma karena Mama
paksa."1
Aku tersenyum mendengar jawaban dari
ibuku. Dia adalah wanita paling hebat dalam
hidupku, jika nanti aku mempunyai anak
aku ingin menjadi ibu seperti Mama. Namun
aku berharap semoga Tuhan tidak
memberiku anak sepertiku.2
***
37
Aku anak kelas dua belas jadi kegiatan
belajar mengajar sudah tidak ada lagi
setelah ujian nasional Maret lalu. Aku hanya
masuk sesekali, itu juga yang membuat aku
dan Jevano menjadi jarang bertemu. Meski
sesekali dia datang ke rumah, sekedar
menemaniku saat ibu harus pergi dinas
keluar kota. Hari ini aku harus masuk
karena ada penyuluhan, namun ada yang
lain dengan diriku.
"Lan, kok baju kamu jadi ngepasgitu!" ujar
Mama.
"Enggak kok, perasaan mama aja kali,"
elakku, padahal aku juga merasa bajuku
terasa lebih sempit dari terakhir kali aku
memakainya terutama di bagian dada.3
"Ah, mungkin juga sih!"
"Ya udah, Alana berangkat dulu ya!"
"Nggak bareng Mama?"
"Enggak, aku dijemput Jevano."
"Oke, Hati-hati!"
38
Di depan Jevano sudah menunggu di atas
motornya. Seperti biasa dia selalu terlihat
tampan. Dia tersenyum cerah yang membuat
dua sisi pipinya berlubang, imut sekali. Jauh
berbeda dengan Jevano saat merayuku untuk
melakukan hal itu.
"Lan, kamu nggak ada seragam lain apa?"
tanya Jevano begitu aku menghampirinya.
"Apaan sih? Ini juga seragam yang biasa
aku pakai!"
"Masa sih? Ya udah, kamu pakai jaket aku.
Nggak rela aku kalau cowok-cowok di
sekolah natap tubuh kamu karena baju kamu
terlalu ketat!"
"Aku lagi nggak ingin pakai jaket!"
"Ya udah, kalau gitunggak usah pergi
sekolah!"
"Kok gitu?"
"Pakai atau aku yang pakaiin!"
"Iya, iya."

39
Meski jengkel akhirnya aku menuruti apa
yang Jevano inginkan, lagi pula apa yang
dia katakan benar. Aku bisa jadi objek
pandangan orang-orang jika memakai
seragam seketat ini. Bisa-bisa aku di pikir
cabe-cabean lagi.
Sekitar lima belas menit kami sampai di
sekolah. Suasananya masih sama dengan
terakhir aku datang ke sekolah untuk acara
yang sama. Aku berpisah dengan Jevano di
parkiran sekolah karena aku memang
berbeda kelas. Meski kami berpacaran
bukan berarti kami harus selalu bersama.
Baik aku ataupun dia ada hal yang ingin
masing-masing dari kami lakukan. Seperti
dia yang ingin nongkrong dengan teman-
temannya yang kelakuannya sedikit .... ya
begitulah dan aku jujur sangat merindukan
batagor di kantin sekolah. Namun saat baru
memasuki area kantin perutku terasa begitu
mual karena mencium bumbu yang sedang
ditumis.

40
Aku memuntahkan seluruh isi perutku,
belakangan ini memang kondisi tubuhku
sedikit kurang fit. Mungkin aku masuk
angin karena sering begadang untuk
maraton drama Korea.
"Lan, lo sakit?" tanya Yerin yang kebetulan
juga ada di kamar mandi.5
"Masuk angin doang."
"Eh Lan, minta pembalut dong!"
"Enggak bawa gue! Emanglodapet?"
"Lo pikir? Kalau nggakdapetngapaingue
minta sama lo!"
"Kan cuma nanya."
"Ah, iya gue lupa guedapetnya lumayan
telat. Lo pasti udah selesai jadi nggak bawa
pembalut!"
"Emang sekarang tanggal berapa?"
"23 Mei!"

41
Tubuhku terasa membeku saat mendengar
jawaban Yerin. Aku berharap ini hanya
kebetulan dan tidak ada yang terjadi padaku.

42
4. Dua Garis Merah

Setelah selesai penyuluhan, aku menunggu


Jevano di parkiran. Ada hal yang aku
bicarakan tentang apa yang sedang aku
pikirkan. Sejak bertemu Yerin di toilet aku
sungguh tidak bisa merasa tenang. Aku
tidak bisa berpikir positif, terlebih jika
mengingat terakhir kami melakukan itu aku
dalam masa subur.
"Hey, kok gelisah banget sih!" tegur Jevano
yang entah sejak kapan ada di sebelahku.
"Aku telat!"
"Maksudnya?"
"Udah dua bulan aku nggak datang bulan,
Jev!"
"Terus?"
"Kok terus? Kalau aku hamil gimana?"
ujarku yang langsung dibekap oleh Jevano

43
mengingat parkiran cukup ramai. Dia
menyeretku sedikit menjauh dari keramaian.
"Kamu hamil? Kamu udahpastiin?"
Aku menggeleng.
"Gini ya, Lan, kamu tuh masih remaja jadi
siklus datang bulan kamu mungkin belum
teratur. Telat datang bulan itu bukan berarti
kamu hamil!"3
"Tapi kalau benerangimana?"
Jevano terdiam, meski berusaha tenang dia
tetap gugup. Buktinya dia menggigit bibir
bawahnya, biasanya dia melakukan ini saat
dia cemas ataupun merasa tak nyaman.1
Drtttt .... Drtttt ...drtttt. Terdengar getaran
dari ponsel yang di genggam Jevano.
"Bentar ya, Lan!"
Jevano mengambil beberapa langkah
menjauh dariku dan mengangkat
teleponnya.
"...."
44
"Selamat siang!"
"...."
"Iya, saya akan segera ke sana!"
Entah siapa yang meneleponnya. Intinya
panggilan itu hanya berlangsung sebentar.
Dia kembali menghampiriku.
"Kamu jangan mikirmacem-macem ya,
mungkin kamu lagi stressaja jadi telat,"
ujarnya dengan sangat lembut sambil
mengusap rambutku. "Sekarang lebih baik
kamu pulang ya, istirahat!" Aku
mengangguk. "Maaf, aku nggak bisa
nganterin kamu, aku di suruh ke ruang guru
ada sesuatu yang mau dibicarain katanya."
"Nggak papa kok, aku bisa sendiri."
"Oke, nanti aku hubungi kamu dan kita
bahas ini lagi!" ujarnya lalu melangkah
meninggalkan aku. Melihat punggung
Jevano entah mengapa aku merasa sesak,
aku takut jika dia meninggalkan aku. Aku
berlari mengejarnya lalu memeluknya dari
45
belakang dan menangis di punggung. "Ada
apa lagi?" tanyanya terdengar sedikit
terkejut dengan apa yang aku lakukan.
"Jangan tinggalkan aku!"
"Lan, please deh! Aku cuma mau ke ruang
guru!"
"Bukan itu, maksudku jika terjadi sesuatu
jangan tinggalin aku. Kamu udah janji!"
Jevano terdiam. Dia kemudian berbalik,
dengan lembut menghapus air mataku.
"Udah, jangan nangis lagi! Nggak enak
dilihatin orang! Lebih baik kamu pulang ya!
Nanti kita bicarakan ini lagi."
Setelah mengatakan itu Jevano langsung
pergi meninggalkan aku. Meski apa yang
aku pikirkan belum tentu terjadi, kenapa
sulit rasanya untuk Jevano mengatakan tidak
akan meninggalkan aku.
***
Aku hanya berdiri diam di depan sebuah
apotek hampir satu jam. Aku terlalu takut
46
untuk masuk ke dalam. Orang-orang yang
berlalu lalang menatapku heran. Aku
berperang dengan diriku sendiri. Satu sisi
aku belum siap bahkan tidak pernah siap
untuk menerima kemungkinan terburuk, tapi
di sisi lain aku ingin tahu apa yang
sebenarnya terjadi padaku.3
Setelah perdebatan panjang aku
memberanikan diri untuk masuk ke dalam
apotek saat sudah lebih sepi.
"Mbak, saya mau beli testpack," ucapku
lirih.
"Testpack?" tanya apoteker itu dengan
tatapan sinis padaku. Aku tahu seragam
yang aku pakai mungkin menjadi alasannya.
"Buat kakak saya," kataku berbohong. Aku
tidak ingin ditatap seperti itu. Aku tidak
ingin orang-orang berpikiran negatif
kepadaku.
"Oh, buat kakaknya. Tunggu sebentar."

47
Aku merasa lega akhirnya bisa mengatakan
itu dan beruntung lagi apoteker itu tidak
bertanya lebih lanjut.
"Dek, ini testpack-nya ada beberapa jenis.
Kamu mau yang mana?" tanya apoteker itu
membuatku bingung.
Ini adalah kali pertamaku membeli benda
seperti itu. Aku bahkan tidak menyangka
jika aku akan membelinya. Benda itu
ternyata ada beberapa macam yang berbeda
baik harga, bentuk, ukuran dan warna.
"Dek!" Aku tersadar dari pemikiranku.
"Mau yang mana?" tanyanya lagi.
"Ehmmm." Aku masih ragu. "Yang paling
akurat deh, Mbak," jawabku.
"Sebenernya yang paling akurat jika pergi
ke dokter langsung, tapi jika untuk
memastikan bisa menggunakan lebih dari
satu alat," jelas apotek bernama Dinar yang
aku tahu dari nametag di saku bajunya.

48
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar
penjelasannya, karena aku juga tak paham
masalah seperti ini. "Saya beli tiga deh,"
ujarku.
Setelah menunggu beberapa saat alat itu
sudah berada di tanganku. Aku segera
menyembunyikan benda-benda itu di tasku.
Akan jadi runyam jika ada orang yang
melihat, terutama Mama. Mama pergi keluar
kota, aku hanya sendiri di rumah. Benda itu
masih tersimpan aman di dalam tasku. Aku
masih terlalu enggan untuk menyentuh
benda-benda itu. Alasan sebenarnya aku tak
memiliki cukup keberanian untuk
menggunakannya. Aku hanya mondar-
mandir di dalam kamarku untuk mengusir
rasa gelisah dan takutku, tapi aku justru
semakin gelisah dan ketakutan.
Aku mengambil ponselku. Aku putuskan
untuk mencari tanda-tanda kehamilan di
internet, mungkin ini akan membantuku
lebih berani untuk menggunakan alat itu.

49
Aku yakin aku telat datang bulan bukan
karena hamil, tapi karena hormonku yang
tidak stabil. Waktu SMP ini juga pernah
terjadi.
Aku mulai mengetikan huruf per huruf di
halaman pencarian Google yang
menampilkan berbagai hasil dari berbagai
sumber, baik yang dibuat oleh ahli atau
sekedar orang yang sedang berbagi
pengalaman. Tanda kehamilan
pertama, Mual di pagi hari. Ingatan tentang
aku yang sering muntah di pagi hari
belakangan ini langsung muncul di otakku,
tapi bisa saja ini hanya sebuah kebetulan,
kan? Tanda kehamilan kedua, Payudara
membesar dan terasa nyeri saat
disentuh. Secara refleks aku langsung
menyentuh dadaku dan keadaanku sama
seperti yang ditulis di artikel.
Aku yakin artikel yang kubaca pasti salah,
aku membaca setiap artikel yang ada
di Google, aku mencoba mencari tanda-

50
tanda yang tidak aku alami, tapi nyatanya
hampir semuanya aku mengalami. Alat yang
tersimpan di tasku, akhirnya berpindah ke
tanganku. Aku sedikit gemetar, tentu saja
karena aku ketakutan jika yang aku takutkan
benar-benar terjadi. Bagaimana hidupku
nantinya jika itu benar-benar terjadi? Apa
yang harus kukatakan pada Mama? Apa
yang akan orang-orang katakan tentangku?
Dan yang paling aku takutkan, Jevano tak
memegang kata-katanya jika itu benar
terjadi.
Mataku enggan terbuka, seperti ada beban
yang di kelopak mataku hingga terlalu sulit
untuk terbuka. Aku sudah menggunakan
benda-benda itu, tapi aku masih takut untuk
melihat hasilnya.
"Semuanya pasti baik-baik saja!" Aku
mencoba meyakinkan diriku.
Kemudian saat mataku terbuka, aku
kesulitan untuk berkedip. Aku membeku,
apa yang aku takutkan benar-benar terjadi.
51
Tiga benda itu menunjukkan dua garis
merah yang berarti positif, aku hamil. Aku
mengusap perutku yang masih sama seperti
biasa, aku tak bisa menahan air mataku
untuk tidak jatuh. Duniaku serasa berakhir.
Tidak! Duniaku belum berakhir! Aku
menghapus air mataku. Biar bagaimanapun
ini adalah akibat perbuatanku. Aku harus
bertanggung jawab dan dia juga harus
menanggungnya bersamaku. Aku
mengambil ponselku, aku harus segera
menghubunginya.3
"Kamu di mana?" tanyaku saat sambungan
telepon tersambung.
"Di kafe deket sekolah."
Aku tak ingin berbicara lebih banyak di
telepon. Akan lebih baik aku mengatakan
langsung padanya. Aku berlari dari
rumahku, karena jaraknya memang tak
terlalu jauh. Aku menatapnya yang sedang
berbincang-bincang dengan anak laki-laki
lain. Kakiku terasa berat untuk digerakkan.
52
Mengingat apa yang dia katakan siang tadi,
membuatku ragu untuk melangkah. Pada
akhirnya aku mengurungkan niatku untuk
menemuinya, aku masih tidak sanggup jika
dia justru mengingkariku.
***
Sudah satu bulan sejak aku tahu jika aku
hamil. Aku tidak tahu berapa usia
kandunganku saat ini, intinya perutku sudah
mulai terlihat membuncit. Namun hingga
saat ini masih tak punya keberanian untuk
memberi tahu Jevano, tapi sudah
kuputuskan aku akan memberitahu dia hari
ini. Kebetulan hari ini kami masuk sekolah
karena hari ini adalah pengumuman
kelulusan.
"Cie, yang bentar lagi bukan anak SMA,"
goda Mama. Setiap melihat Mama
tersenyum seperti itu membuat hatiku sakit,
karena cepat atau lambat senyuman itu
mungkin hilang jika tahu rahasiaku.

53
"Ma, Alana berangkat ya," pamitku. Ya,
seminggu ini aku menghindari Mamaku.
"Oke! Mama ke sekolah lebih siang karena
ada yang harus Mama urus."
Aku segera berangkat. Aku sengaja
berangkat lebih pagi, agar bisa bicara
dengan Jevano. Aku takut jika sampai
pengumuman kelulusan aku tak sempat
mengatakannya. Namun aku tak kunjung
melihat sosok Jevano. Apa dia sungguh
menghilang?
"Lan, cari apa lu?" tanya Dino.
"Eh, Din, tau di mana Jevano?" tanyaku.
"Oh si Jevano. Dia ada di kantor guru, biasa
dia kan murid terbaik. Eh denger-denger dia
dapat beasiswa penuh kuliah di
Harvarduniversity jurusan kedokteran."2
"Harvard?"
"Biasa aja kali, Lan. Gue tau lu nggak siap
LDR-an," ledek Dino yang membuatku

54
semakin gelisah. "Udah ya, gue ada urusan.
Bye, Alana."
Dino pergi. Aku menjadi semakin kacau.
Apa Jevano akan tetap memegang
ucapannya sedangkan dia sudah dijamin
bermasa depan cerah jika berkuliah di salah
satu universitas terbaik di dunia itu. Jika dia
memilih untuk pergi dan tak menepati
janjinya, apa yang harus aku lakukan?
Acara kelulusan di mulai. Aku bahkan tak
lagi peduli aku lulus ataupun tidak. Satu-
satunya hal yang aku pikirkan adalah cara
bicara dengan Jevano. Tiba-tiba semua
orang bersorak-sorai, aku hanya mengikuti
mereka yang sangat bahagia karena kepala
sekolah yang tak lain adalah Mamaku.
"Selamat untuk kalian semua dan saya akan
mengumumkan 10 terbaik."
Telingaku seperti tak lagi berfungsi karena
otakku membeku. Aku juga tidak terlalu
tertarik dengan siapa yang masuk sepuluh

55
besar, pasti daftarnya tak terlalu berubah
dari aku kelas sepuluh.
"Dan kebanggaan SMA 127 yang selalu
mempertahankan peringkatnya, Jevano
Aditama dengan rata-rata nilai 9,9."
Suasana begitu riuh oleh tepukan tangan
seisi ruangan. Benar Jevano adalah
kebanggaan mereka semua dan ini yang
paling aku takutkan. Jika Jevano menolak
untuk bertanggung jawab, semua orang
tidak akan ada yang percaya jika janin yang
ada di perutku adalah anaknya. Kepalaku
terasa berat memikirkan ini, pandanganku
mulai kabur dan kemudian semuanya
menjadi gelap.
Aroma obat langsung menusuk hidungku
saat aku membuka mata. Ruangan beraroma
obat di sekolah hanya satu yaitu UKS.
Kepalaku masih terasa berat, entah aku
sudah kehilangan kesadaran berapa lama.
***

56
Plakkk! Pipiku terasa panas dan perih
setelah tangan Mama mendarat dengan
keras. Aku langsung tersadar 100%. Mama
menatapku tajam, matanya memerah dan
berkaca-kaca. Aku tidak tahu apa yang
terjadi selama aku hilang kesadaran.
Mungkinkah mama sudah tahu keadaanku?
"Siapa?" tanya Mama yang gagal aku
mengerti.
"Apanya?" tanyaku.
"Jangan pura-pura bodoh! Kamu pasti tahu
apa yang Mama maksud!"
"Aku bener-benernggakngerti, Ma."
"Siapa ayah dari bayi yang kamu
kandung?"1
Aku bagaikan tersambar petir saat tahu jika
Mama sudah tahu jika aku hamil.
Bagaimana aku mengatakannya? Apa Mama
akan percaya?
"Jangan diam saja, jawab Mama!"

57
"Maafin Alana, Ma," ucapku penuh
penyesalan.1
"Kata maaf kamu nggak berguna, Lan!
Katakan siapa laki-laki brengsek itu!" Mama
mengguncang tubuhku, tapi aku ragu untuk
mengatakan. Hanya air mata yang mampu
terurai dariku. "Jika kamu nggak mau
bilang, jangan salahkan Mama kalau Mama
akan mencarinya sendiri. Dan kamu tahu
jika Mama menemukannya Mama jangan
harap dia bisa hidup," ancam Mama dan aku
tahu Mama tak pernah main-main dengan
ucapannya.
"Tapi, Ma ...."
"Jangan coba melindungi bajingan itu!"
Aku memejamkan mataku, mengumpulkan
keberanianku. Jika nantinya tidak ada yang
percaya atau Jevano tak mengakuiku
setidaknya aku sudah jujur. "Jevano!"
"Jevano?" tanya Mama setengah tak
percaya.

58
"Iya. Jevano! Ayah bayi yang aku kandung
adalah Jevano."
Mama terlihat kehilangan keseimbangannya
begitu aku menyebut nama Jevano. Mama
bukan hanya ibuku. Dia juga kepala sekolah
yang sangat bangga dengan Jevano. Aku
dapat melihat betapa terlukanya Mama.
"Bangun!" bentak Mama. Aku hanya
menurut karena aku sadar aku salah, sangat
bersalah.
Mama menyeretku. Aku tak mengatakan
apa pun meski kepala masih pusing. Aku
tidak tahu apa yang akan Mama lakukan.
Namun satu hal yang aku tahu tidak akan
ada hal baik yang akan terjadi.
Plak ... Plak ... Plak!
Suara itu terdengar begitu menyakit, semua
orang terpaku melihat aksi Mama yang
menampar Jevano berulang kali hingga
pipinya memerah. Mereka semua bingung
termasuk Jevano dan kedua orang tuanya.

59
"Bu ada apa ibu menampar putra saya! Saya
bisa menuntut Ibu!" kata Mama Jevano tak
terima putranya di tampar berulang-ulang.
"Silakan tanyakan pada putra Anda, apa
yang putra Anda lakukan pada putri saya!"
"Jev, ada apa ini?"
"Jevano tidak tahu!" Hatiku terasa sangat
sakit saat mendengar itu, mungkinkah dia
lupa dengan janjinya? Sungguh aku semakin
takut sekarang.1
"Alana hamil! Kata dia, kamu ayah dari bayi
itu!" ujar Mamapenuh penekanan. "Kamu
tahu, Jev, saya percaya sama kamu! Tapi
kenapa kamu, melakukan ini pada saya!"
Mereka semua menatapku dalam diam. Aku
hanya mampu menunduk, aku terlalu malu.
Jevano juga membisu, dia tak mengatakan
apa pun. Dia terlihat kosong, antara percaya
dan tidak percaya. Aku bertahan sebisaku
untuk tidak menangis, karena air mataku tak

60
akan berguna itu hanya akan membuatku
semakin menjadi pusat perhatian.
"Jevano, jawab Papa! Apa benar kamu
menghamili Alana?' tanya Ayahnya begitu
tegas.
Dia terlihat ragu membuka bibirnya.
"Jevanonggaktau kalau Alana hamil, Pa!"
ucapnya. Hatiku sakit, apalagi dia bahkan
tak melihat ke arahku sekalipun.
"Bukan itu jawaban yang Papa inginkan!
Kamu sudah cukup dewasa! Kamu pernah
tidur dengan Alana?" Kali ini Jevano diam
yang membuat ayahnya semakin marah.
Blug! Dia terpental, darah segar mengalir
dari sudut bibirnya. Seolah masih belum
puas ayahnya menarik kerah baju Jevano.
"Jawab yang tegas, Jev!" bentak ayahnya
lagi.
"Iya."
Ibunya Jevano terlihat lemas, mungkin dia
tak menyangka putra kebanggaannya
61
melakukan hal seperti ini. Lain dengan
ayahnya yang terus menghujaninya dengan
pukulan. Aku benar-benar tak tahan
melihatnya, tapi sepertinya ayahnya belum
puas melampiaskan amarahnya.
"Aku mohon jangan pukul, Jevano lagi,"
ucapku. Aku memeluk Jevano, yang
membuat ayahnya mengurungkan niat untuk
memukul Jevano lagi. Aku juga tak
mengerti kenapa aku melakukan ini, semua
terjadi begitu saja.
"Lan, kamu beneran hamil?" tanyanya
memastikan. Aku hanya mengangguk. "Ini
anak aku?" Entah mengapa pertanyaan itu
membuatku merasa sakit, seolah dia sedang
meragukan aku.
"Aku hanya melakukan itu sama kamu! Jika
kamu nggak percaya itu urusan kamu!"
ujarku lalu bangkit.
Akibat adegan dramatis ini kami semakin
menjadi pusat perhatian. Namun aku tak lagi
peduli, ibaratnya aku sudah basah jadi tak
62
ada bedanya jika aku masuk ke dalam
kolam. Ayah Jevano mencoba meredam
amarahnya, dia menatapku dengan tatapan
yang sulit untuk aku artikan. Rasa nyeri
menjalar di perutku. Aku melihat darah
segar mengalir di kakiku.
"Akghhhhhhh." Rasa nyeri semakin tak
dapat aku tahan. Sangat luar biasa, rasanya
seperti aku tidak akan bisa bertahan lebih
lama.
Saat itu aku begitu ketakutan, terlebih saat
melihat darah mengalir begitu banyak. Aku
memang tak menginginkan dia, aku bahkan
sempat ingin membuangnya saat aku tahu.
Namun saat keinginanku akan terkabul, aku
berharap seseorang akan
menyelamatkannya.

63
5. Our Wedding

Aku mendapatkan kembali kesadaranku


keesokan paginya. Rasa nyeri masih
menjalar di perutku, meski tak sehebat hari
kemarin. Aku dapat melihat dengan jelas
Mama tertidur di kursi samping ranjang
tempat aku berbaring. Mama masih
menggunakan pakaian yang kemarin mama
gunakan. Air mataku mengalir begitu saja,
mama pasti merasa sangat malu. Saat ini
aku sungguh merasa menyesal. Andai saja
aku lebih tegas menolak Jevano saat
pertama kali, atau setidaknya aku tidak
mengulangi kesalahan yang sama aku tidak
mungkin berada di posisi ini.
"Kamu udah bangun?" Mama sepertinya
terganggu dengan isak tangisku.
"Kenapa nangis? Masih ada yang sakit?"
Aku menggeleng dan terus menangis karena
tak mampu berkata-kata. "Terus kenapa
kamu nangis?" tanya mama lagi dengan
64
nada yang begitu lembut, tidak terdengar
nada marah di sana.4
"Maafin Alana, Ma," ucapku tanpa berani
menatap mama, "Alana nggak bisa jaga diri,
Alana udah buat Mama kecewa dan malu!"
Mama mengusap air mata yang membasahi
pipiku. "Harusnya Mama yang minta maaf,
Mama nggak bisa jaga kamu. Mama terlalu
sibuk bekerja sampai lupa jika Mama punya
putri yang harus Mama jaga!"
Aku menggeleng cepat, semua ini adalah
salahku. Aku yang tidak berbuat tanpa
berpikir panjang. "Mama nggak salah,
Mama udah jadi ibu terbaik untukku. Alana
...." Aku tidak mampu melanjutkan kata-
kataku aku kembali menangis.
Mama memelukku, membuatku merasa
lebih baik. Saat itu seseorang masuk ke
dalam ruang rawatku. Jevano dan kedua
orang tuanya. Aku bisa melihat bercak biru
di beberapa sudut wajahnya, itu pasti bekas
dari pukulan ayahnya kemarin. Wajah
65
ayahnya terlihat dingin, sedangkan ibunya
terlihat tidak bersahabat. Ya, apa yang aku
harapkan? Mereka pasti sedang merasa
sangat kecewa dengan apa yang terjadi
padaku.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanya ayah
Jevano tanpa nada yang berarti.
"Sudah lebih baik, Om!" jawabku gugup.
"Bu Dewi, kami bisa bicara?" tanya Ayah
Jevano. Ibu mengangguk lalu mereka
bertiga keluar dari ruang inapku.
Tinggal aku berdua dengan Jevano. Aku
enggan menatapnya, aku teringat pertanyaan
terakhir yang Jevano tanyakan kemarin.
Pernyataan dia seolah meragukanku dan
menuduhku tidur dengan banyak laki-laki
dan itu sangat menyakitkan.
"Maaf!" ucapnya tanpa menatapku.
"Untuk?"
"Pertanyaanku kemarin!"

66
"Harusnya aku yang minta maaf, karena
mengacaukan kelulusan kamu yang
sempurna. Harusnya kamu sekarang
menjadi siswa kebanggaan, bukan siswa
yang menghamili pacarnya! Harusnya aku
lebih hati-hati biar tidak ketahuan lalu ...."
"Lalu apa? Kamu mau menghilangkan dia
diam-diam?" tanyanya memotong kata-
kataku.
"Jika itu adalah pilihan terbaik kenapa
enggak! Bukannya dengan begitu kamu
tetap bisa bebas tanpa terbebani olehku!"
jawabku.
Dia mengusap rambutnya kasar, dia terlihat
frustrasi. "Lan, se-brengsek itukah aku di
mata kamu?" Dia terlihat begitu keras
menahan emosinya, aku hanya bisa
menunduk dan menangis. Sebenarnya aku
bukan orang yang cengeng hanya saja
belakangan ini aku merasa lebih mudah
menangis.

67
"Jev, aku hanya realistis, kamu mendapat
beasiswa penuh di Harvard jurusan
kedokteran seperti yang kamu impian kamu
selama ini. Terlebih tanggapan kamu saat
aku berbicara padamu sebulan yang lalu
tentang kemungkinan aku hamil dan juga
pertanyaan kamu kemarin. Aku nggak naif,
Jev!" Aku semakin menangis tak terkendali.
Jevano menarikku ke dalam pelukannya.
"Maafin aku, Lan, karena membuat kamu
berpikir seperti itu. Sungguh aku nggak ada
niat buat ingkari semua ini. Jujur aku juga
gelisah dan nggak bisa tidur saat kamu
bilang kamu kemungkinan hamil, tapi
selama sebulan ini kamu nggak bilang apa-
apa, aku pikir semuanya baik-baik saja!"
Krekkkk. Aku menarik diri saat mendengar
suara pintu terbuka. Aku melihat mama dan
kedua orang tua Jevano masuk ke dalam
ruang inapku. Entah apa yang baru saja
mereka diskusikan.

68
"Kami sudah mendiskusikan cara terbaik
untuk masalah ini. Karena kandungan Alana
sudah hampir empat bulan mustahil untuk
menggugurkannya. Alana akan tetap
melahirkan bayinya dan kami sebagai orang
tua Jevano akan menanggung semua biaya
hidup Alana selama dia hamil dan
melahirkan. Setelah anak itu lahir, kami
putuskan untuk memberikan anak itu untuk
diadopsi oleh keluarga kita yang tinggal di
luar kota!" ujar Ibu Jevano mengatakan itu
seolah tanpa beban. Namun fokusku pada
mama, mama terlihat begitu sedih, tapi dia
juga terlihat tidak menentang apa yang
ibunya Jevano katakan.
"Enggak!" ujar Jevano tegas. "Kami akan
menikah dan membesarkan anak itu!"
lanjutnya yang membuatku sedikit terkejut.
"Jev, kamu jangan gila, kalau kalian
menikah gimana dengan beasiswa kamu!"
"Apa itu penting daripada masa depan Alana
yang sudah aku rusak. Mungkin satu tahun
69
dua tahun orang akan lupa jika aku pernah
menghamili seorang gadis dan
meninggalkannya. Tapi tidak dengan Alana
selamanya dia akan diingat sebagai
seseorang yang pernah melahirkan tanpa
suami!"2
"Lalu bagaimana dengan masa depan kamu
sendiri?"
"Alana adalah masa depan Jevano, Ma!"
Jevano terlihat begitu teguh dengan
keputusannya, sesuatu yang tidak aku
bayangkan sebelumnya. "Pa, Papa bilang
sebagai laki-laki kita harus berani
bertanggung jawab atas apa yang kita
lakukan dan Jevano ingin bertanggung
jawab atas Alana!" Dia menatap ayahnya
penuh keyakinan.2
"Kamu yakin?"
Dia mengangguk tanpa keraguan.
"Kalau itu keputusan kamu, Papa nggak bisa
larang. Tapi saat kamu memutuskan untuk

70
menikahi dia, itu artinya kamu bukan
tanggung jawab kami lagi. Saat kamu
menikah, kamu harus siap menghidupi diri
kami sendiri, istri kamu dan juga anak
kamu," kata ayahnya.
"Jevano siap, Pa!"
"Jika begitu Papanggak bisa larang kamu!"
"Pa, kenapa Papa berubah pikiran?" tanya
Ibunya Jevano tidak terima. "Bu Dewi, juga
kenapa diam saja?"2
"Saya bisa apa? Jika itu yang mereka
putuskan. Mereka sudah cukup dewasa
untuk memutuskan apa yang akan mereka
lakukan,"
"Tapi ...."
"Ma, kita pulang saja. Mama perlu
menenangkan diri." Ayah Jevano berusaha
menenangkan istrinya. "Ibu Dewi, kami
permisi!"
Orang tua Jevano pergi, tinggal kami
bertiga. Aku, Jevano dan Mama. Rasanya
71
begitu canggung, terlebih mama yang diam
saja membuatku merasa lebih gelisah.
"Jev ...."
"Iya, Bu!" sahut Jevano cepat.
"Kamu tahu seberapa keras usaha
membesarkan Alana?" Jevano terdiam dia
pasti bingung harus menjawab apa. "Kamu
tahu betapa hancurnya saya saat tahu Alana
hamil? Kamu tahu dunia saya rasanya
runtuh, saat Alana menyebut nama laki-laki
yang menghamilinya! Alana adalah putri
yang selalu saya jaga dan kamu adalah
murid yang selalu saya banggakan. Saya
berharap Alana kamu menjaga Alana bukan
menghancurkannya-
Aku melihat air mata Mama mulai mengalir,
saat ini Mama pasti merasa sangat hancur.
Dua orang yang dipercaya telah
menghianatinya.
-namun semua sudah terjadi! Saya hanya
berharap kamu tidak menghancurkan Alana

72
lagi. Buat dia bahagia sebagai harga dari
kamu membuat dia melalui semua ini!"
Mama menepuk pundak Jevano lalu pergi
meninggalkan kami.
Aku hanya bisa menangis. Bahkan setelah
apa yang aku lakukan, Mama masih
memikirkan aku. Rasanya aku ingin
memutar waktu dan tidak melakukan semua
kebodohan itu, kemudian menjadi anak baik
yang selalu membanggakannya.
Jevano menarikku ke dalam pelukannya.
"Udah, jangan nangis, kamu nggak boleh
cengeng! Di depan sana masih banyak hal
sulit yang harus kita hadapi." Dia mengusap
air mata di wajahku. "Mulai sekarang jangan
mikir yang berat-berat nggak baik untuk
kamu dan kandunganmu. Aku akan
mengurus semuanya, kamu fokus saja pada
kesehatan kalian."
Setelah beberapa kali mencoba Jevano
akhirnya berhasil meyakinkan ibunya.
Meski aku dapat melihat jelas jika ibunya
73
masih tidak rela putranya mengambil pilihan
ini. Hari pernikahan yang tak pernah aku
sangka datang secepat ini, akhirnya tiba.
Tidak ada gaun indah atau pesta seperti
yang aku impikan selama ini. Bahkan
pernikahan kami di lakukan secara diam-
diam karena bagi orang tua kami,
pernikahan kami adalah sebuah aib. Jika
masih ada yang bertanya, menyesalkah aku?
Lebih dari apa pun aku menyesali
perbuatanku yang aku lakukan tanpa pikir
panjang yang berakibat aku harus merelakan
masa mudaku. Mulai detik di mana dia
selesai mengucapkan akad nikah, mulai
detik itu pula aku sudah bukan hidup
sebagai Alana Wirasti si gadis 18 tahun lagi,
tapi hidup sebagai seorang istri dan calon
ibu.

74
6. Setelah Sekian Lama

Maaf, aku terlambat."


Satu kalimat, tiga kata dari suara yang
masih dapat kukenali siapa pemiliknya
mengguncang seluruh jiwaku. Setelah
sekian lama aku mendengar suara lembut
nan merdu itu lagi. Dadaku terasa begitu
sesak. Ingatan masa lalu yang selama ini
aku kubur rapat, muncul kembali. Sesaat
aku begitu kesulitan untuk bernapas, saat dia
berdiri nyata di hadapanku Senyumnya
perlahan memudar.
"Akhirnya Pak Dokter yang super sibuk ini
datang!" ujar Kak Risa, sepertinya mereka
sudah saling kenal. Rupanya aku yang
terlambat tahu siapa calon suami Danisa.
"Mbak Alana, ini Mas Jevano, calon
suamiku," ujar Danisa memperkenalkan
calon suaminya.1

75
Aku masih terlalu bingung harus bereaksi
seperti apa. Haruskah aku pergi saja?
Melihat dia berdiri nyata di hadapanku
sungguh menyakitiku. Sangat sakit, terlebih
saat ada wanita lain yang mengatakan dia
sebagai calon suaminya. Kenapa harus dia,
dari milyaran laki-laki di dunia ini?
"Jevano," ucapnya sambil mengulurkan
tangannya, seolah kami baru pertama kali
bertemu. Hebat sekali dia.
Aku menetralisir semua rasa sakit dalam
hatiku. Seperti dia, aku juga akan bersikap
yang sama. "Alana," ucapku membalas
uluran tangannya. "Silakan duduk, kita akan
segera memulai rapatnya," lanjutku, tak lupa
aku juga tersenyum. Tenang saja aku sudah
mulai ahli dalam menyembunyikan
perasaan. Sungguh.
"Baik, Mbak. Silakan di mulai."
"Kami memiliki beberapa contoh konsep
pernikahan, kalian bisa melihat-lihat sebagai
referensi. Jika kalian memiliki konsep lain,
76
kalian juga bisa mengajukan pada kami,"
ujarku sambil menyodorkan sebuah album
foto.
Kebahagiaan dapat jelas terpancar dari raut
wajah Danisa. Dia sangat antusias membuka
lembar demi lembar album itu. Tidak ada
yang salah memang, ekspresi wajah Danisa
adalah ekspresi normal yang diperlihatkan
setiap calon pengantin.
"Mas, ini yang pink sama putih lucu deh,"
ujarnya sambil menunjukkan gambar itu
pada Jevano yang hanya meresponsnya
dengan senyuman. "Nggak suka ya?"
"Dan, kita pulang aja ya. Kepala aku tiba-
tiba sakit," ujarnya yang meredup senyum di
wajah Danisa.
"Tapi, Mas, nggak enak sama Mbak Alana-
nyadong."
"Kalau pusing nggak usah dipaksa, kita bisa
atur jadwal lagi nanti," ujarku menyela
mereka. Sebenarnya aku juga tidak nyaman

77
dalam kondisi seperti ini. Aku belum siap
untuk berhadapan dengan dia lagi, bahkan
aku mungkin tidak akan pernah siap
bertemu dia lagi.
"Benerannggak apa-apa?"
"Iya nggak apa-apa."
"Ya udah ya, Mbak. Aku pergi dulu, maaf
karena buat Mbak Alana harus kerja dua
kali," ucapnya sebelum dia mengikuti
Jevano yang sudah berjalan mendahuluinya.
Akhirnya oksigen bisa sampai ke paru-
paruku dengan lancar. Aku bahkan merasa
kehilangan banyak tenaga hanya karena
berhadapannya. Hingga aku kehilangan
keseimbangan saat aku hendak berdiri.
"Lan, kamu nggak apa-apa?" tanya kak Risa
cemas.
"Aku baik-baik!" Pembohong!
"Baik-baik saja apanya! Kamu nyaris
pingsan. Biar kakak antar kamu pulang, ini
pasti karena kamu terlalu lelah!"
78
Kak Risa benar aku tidak baik-baik saja,
bagaimana aku bisa baik-baik saja jika aku
baru saja berhadapan dengan sumber rasa
sakit yang aku rasakan selama ini. Jujur
sangat sulit untuk berpura-pura baik-baik
saja. Berhadapan dengannya lagi setelah
sekian lama, rasanya masih sama
menyakitkannya seperti saat aku meminta
kami untuk berpisah.
Hujan turun lebat hari itu, sekitar bulan
Oktober lima tahun yang lama. Sudah lama
memang, tapi aku masih ingat rasa sakit itu.
Entah sudah berapa hari aku mengurung diri
di dalam kamar. Aku tak memiliki
keinginan untuk bertahan hidup kala itu,
hidupku sudah seperti gelas kaca yang jatuh
ke lantai. Hancur dan berserakan, tidak ada
kesempatan untuk menjadi utuh lagi.
Aku tak meminta banyak darinya, aku hanya
ingin dia memberiku waktu untuk bisa
menerima keadaan, itu saja. Namun dia tak

79
bisa menungguku dan hari itu dia
memutuskan untuk pergi.
"Sampai kapan kamu akan begini, dia sudah
pergi. Kamu hanya menyiksa dirimu
sendiri?" Aku hanya menatapnya, aku tak
percaya dia mengatakan itu dengan begitu
mudah. Seolah dia yang pergi tak memiliki
arti untuknya. "Lan, aku tahu kamu sedih,
aku juga sedih, tapi itu nggak akan buat dia
kembali." Kata-katanya sungguh
menyakitkan, yang lebih menyakitiku
adalah tak ada lagi perasaan bersalah dalam
kata-katanya.
"Kamu sama sekali tak merasa bersalah?
Dia pergi gara-gara kamu, kalau aja kamu
nggak lebih milih pergi sama temen-temen
kamu dia mungkin masih di sini!" Aku ingin
memastikan yang dia rasakan saat
mengatakan itu dengan mudahnya.
"Semua yang terjadi itu takdir, meski aku
tak pergi dia tetap akan pergi. Tidak ada
seorang manusia pun yang bisa mencegah
80
kematian!" Dia memang benar, tidak ada
seorang manusia pun yang bisa mencegah
kematian, tapi jika dia ada setidaknya aku
tidak akan menangis sendirian.4
"Ayo kita berpisah saja!" Meski aku
menyalahkannya dan aku mengatakannya
lagi. Namun sungguh aku tak pernah
berpikir berpisah dengannya, tapi kata-
katanya seperti garam yang ditabur di
lukaku yang basah.
"Baiklah, jika itu mau kamu, kita bercerai!
Aku juga lelah hidup seperti ini. Aku
melepas impianku untuk menikah
denganmu! Sekarang tidak lagi! Kau benar
lebih baik kita berpisah. Tidak ada alasan
untuk kita bersama lagi."
Itu adalah hari terakhir kami bicara. Dia tak
pernah lagi terlihat, dia benar-benar pergi.
Semuanya berakhir begitu saja. Memang
aku yang meminta pertama kali untuk
berpisah dengannya, tapi aku tak mengira
dia menyetujui dengan mudahnya.
81
Dia bilang dia melepas impiannya, apakah
dia tidak tahu jika aku juga melakukan hal
yang sama. Rasa sakitku tumbuh menjadi
rasa benci, aku selalu berdoa agar kami
tidak dipertemukan lagi. Namun sepertinya
takdir terlalu kejam padaku, dia
membawanya lagi ke dalam hidupku dengan
cara yang tak pernah aku duga.

82
7. My Little Angel

Hari ini aku benar-benar lelah, baik fisik,


hati dan pikiranku. Entah sudah berapa kali
aku mengatakan takdir terlalu kejam
padaku. Rasanya semua masih tidak nyata,
aku bertemu dia lagi dengan keadaan kami
yang sangat jauh berbeda. Aku masih
berjuang untuk melupakan segalanya dan
mengobati lukaku, sedangkan dia mungkin
sudah bahagia dengan hidupnya. Aku sadar
selama ini aku memang salah mengira, jika
dia juga terluka pada kenyataannya hanya
aku sendiri yang masih terluka dan dia
sudah sembuh atau bahkan dia tak pernah
terluka sama sekali.3
"Bunda ...." Suara manis dan senyuman
hangat nan polos yang menyambut begitu
aku membuka pintu seolah melunturkan
segala lelah dan rasa sakit yang aku rasakan.
Dia malaikat kecilku, alasan aku hidup dan

83
bertahan hingga hari ini. Pelukan dari
tangan kecilnya terasa begitu hangat.2
"Deren, Bunda pasti capek sini gendong
mbak aja," ujar Diah wanita yang sudah
membantuku mengasuh Derano selama dua
tahun terakhir.
"Nggak apa-apa, Mbak," ucapku.
"Mbak Alana, nggak cape?"
"Tentu aja capek, tapi sudah tugas saya
sebagai seorang ibu untuk memberi dia
perhatian."
Aku sudah cukup bersalah pada putraku,
karena dia tidak mempunyai ibu seperti
ibu seperti ibu teman-temannya yang selalu
bersamanya setiap saat. Keadaan yang
memaksaku tidak bisa menjadi ibu yang
biasa, aku harus mencari penghidupan untuk
dia dan tentunya untukku sendiri.
"Deranoudah makan, Mbak?" tanyaku.
"Udah, Mbak."

84
"Deren sama Mbak Diah dulu ya, Bunda
mau bersih-bersih dulu. Oke?"
"Oke!"
"Anak pintar," pujiku.
Dia tumbuh menjadi anak yang sangat
pintar, aku sadar itu. Dia cukup dewasa
untuk anak seusianya, dia tumbuh dengan
baik meski tanpa seorang ayah. Tentu saja
ayahnya bahkan tidak tahu jika dia ada dan
aku berharap dia tidak akan pernah tahu.
Bagiku Derano itu putraku, milikku, aku
yang melahirkannya dan membesarkan dia
jadi tak ada seorang pun yang berhak
mengatakan dirinya sebagai ayahnya.3
Aku selesai membersihkan diri, sayang
sekali pangeran kecilku sudah pergi ke alam
mimpi. Wajahnya selalu membuatku
teringat seseorang, katakan bagaimana aku
bisa melupakan dia sedangkan setiap hari
aku melihat sosoknya dari putraku. Sekali
lagi akan aku katakan jika takdir sangat
kejam, kenapa dia tak mirip denganku saja.3
85
"Mbak Alana."
"Iya, Mbak, kenapa?" tanyaku.
"Mbak, saya mau ijin pulang kampung, tapi
nggaktau kapan baliknya."
Satu masalah datang padaku lagi di saat
seperti ini juga. "Kenapa?" tanyaku, karena
aku yakin dia pasti memiliki alasan.
"Ibu saya sakit, dan nggak ada yang
ngerawat."
"Ya sudahlah, Mbak. Saya nggak mungkin
ngelarang."
Mustahil untuk aku menahan dia, meski aku
sangat membutuhkan bantuannya, tapi
ibunya pasti lebih membutuhkan dia. Aku
tak ingin bersikap egois demi kepentinganku
sendiri.
Pagiku berkali lipat lebih sibuk dari
biasanya. Bagaimana tidak, aku harus
menyiapkan segalanya sendiri, tapi tak perlu
terlalu khawatir aku sudah biasa melakukan
ini dulu jadi tak terlalu masalah jika aku
86
harus melakukannya lagi. Dibandingkan
memasak dan beres-beres rumah yang
paling menguras tenaga dan emosiku adalah
Derano. Dia berlari ke sana-kemari seolah
tak punya lelah.9
"Kalau Derano lari lagi Bunda marah!"
ancamku, dia memelankan langkahnya dan
setelah itu kembali berlari.
Akhirnya aku berhasil membuat dia
memakai seragamnya dan tugasku
selanjutnya adalah mengantar dia ke sekolah
lalu aku berangkat kerja.
"Jadi baik-baik di sekolah ya!" ucapku
memperingatinya.
"Siap, Bunda!" jawabnya sambil hormat ala
militer. Dia sangat imut bukan, katakan
bagaimana bisa aku marah padanya.
"Janji?"
"Janji!"
Senyumnya sungguh obat lelah paling
manjur di dunia, aku bahkan tak bisa
87
membayangkan bagaimana aku hidup jika
dia tak ada. Ibuku masih enggan untuk
pulang dari pengabdiannya di pedalaman,
setelah kejadian itu mama memilih berhenti
dari posisinya sebagai kepala sekolah dan
memilih menjadi relawan yang mengajar di
pedalaman. Hanya dia yang kupunya
sekarang ini. My little Angel.
Aku kembali berkencan dengan pekerjaanku
yang menumpuk. Banyak proposal yang
harus aku periksa dan konsep-konsep yang
harus aku sesuaikan dengan keinginan klien.
Pekerjaanku memang terlihat mudah, tapi
dilihat lebih dalam sebenarnya sangat rumit
terkini pekerjaanku berhubungan dengan
mimpi seseorang.
***
Siang ini kak Risa datang ke kantor
membawakan aku makan siang yang dia
masak sendiri. Sepertinya dia masih
mencemaskan aku yang hampir pingsan
kemarin. Dia tahu jika aku memiliki riwayat
88
darah rendah, yang sering kambuh saat
kelelahan atau kurang nutrisi dan saat dia
merasa aku sakit dia akan datang dengan
semua makanan yang katanya bagus untuk
kesehatanku.
"Makan yang banyak! Kalau kamu sakit,
kakak bisa rugi ratusan juta!" ujarnya sambil
terus menambahkan sayuran dan lauk ke
dalam piringku.
"Jadi kakak ngasih aku makan karena nggak
mau rugi gitu?"
"Tentu aja, kesehatan kamu adalah sumber
utama dari penghasilan weddingorganizer
ini. Kalau kamu sakit SW nggak berjalan
dengan baik, banyak klien
yang cancel investasi kakak nggak kembali
kan rugi!"
"Dasar perhitungan!"
"Business isbusiness, right?"
"Iya deh, Kak!"

89
Setelah semalaman memikirkan tentang apa
yang harus aku lakukan dengan pernikahan
Danisa aku memutuskan untuk mundur.
Rasanya tidak baik jika menggabungkan
masa lalu dan juga masa depan. Seperti ini
saat yang tepat aku bicara pada kak Risa.
"Kak gimana kalau yang nanganin
pernikahan Danisa bukan aku?" tanyaku
sedikit ragu.
"Enggak bisa!" tolak kak Risa tegas.
"Keluarga Danisa itu berharap banget sama
kamu, terutama Shireen." Aku sudah
menduganya tidak mudah mundur begitu
saja, harusnya aku menolak sejak awal dan
dengan begitu aku tidak harus bertemu
dengan Jevano.
"Tapi kak, aku benar-benar nggak bisa! Lagi
pula agen-agen di sini juga bagus-bagus
kok!" Aku berusaha untuk membujuknya.
"Oke, kalau kamu keras kepala. Kasih kakak
alasan yang logis, kenapa kamu mundur dari
pernikahan Danisa?"
90
Aku terdiam. Tidak mungkin ski
mengatakan yang sejujurnya. Meski kak
Risa bukan kakak kandungku, aku tidak
meragukan kasih sayangnya padaku dan aku
tahu kak Risa tipe orang yang seperti apa.
Dia bisa mengamuk jika tahu yang
sebenarnya. Aku masih ingat di awal
pertemuan kami saat aku bercerita sedikit
tentang hidupku, dia marah-marah tidak
jelas. Terlebih Danisa juga masih
berhubungan keluarga dengannya.
"Mbak Diah pulang kampung, aku takut
waktuku nggak maksimal karena harus
kubagi dengan mengurus Derano." Aku tak
sepenuhnya berbohong, karena waktuku
memang cukup tersita untuk mengurus
Derano seorang diri.
"Oh itu toh masalahnya, itu mah gampang!
Biar aku yang urus Derano, lagi pula ada
Zen yang bakal selalu bantuin kamu!"
Sepertinya aku memilih alasan yang salah.

91
"Kak Risa benar, pangeran Zen akan selalu
siap menjadi pahlawan," sahut Zen yang
entah datang dari mana.
Aku hanya bisa tertawa, aku sangat
bersyukur karena bertemu dengan orang
sebaik mereka di saat paling sulit dalam
hidupku. Mereka selalu membelaku apa pun
yang terjadi padaku, terutama Zen yang
selalu ada di garis terdepan untuk
membantuku. Mungkin sekarang telah tiba
saatnya untuk aku menghadapi masa laluku,
kemudian membuang jauh-jauh rasa sakit
dalam hatiku. Karena sebaik-baiknya obat,
adalah rasa sakit itu sendiri. Jika aku terus
menolak rasa sakitku, selamanya aku tidak
akan bisa menyembuhkan lukaku.

92
8. Titik Mula Rahasia.

Dia memiliki beberapa teman akrab di sini


dan dia selalu bersemangat setiap aku
membawanya ke sini. Padahal aku tidak
menyukai tempat ini, rumah sakit aku benci
setiap kali datang ke tempat ini. Namun aku
tidak punya pilihan lain, saat usia Derano
menginjak dua tahun dokter memvonisnya
mengidap Thalasemia minor. Meski kata
dokter, itu bukan sesuatu yang terlalu
dikhawatirkan, namun sebagai ibu yang
pernah kehilangan seseorang anak
membuatku takut. Takut jika sewaktu-
waktu, keadaannya memburuk. Thalasemia
minor memang tidak mengharuskan
transfusi darah secara berkala, tapi setiap
bulan tetap harus menjalani pemeriksaan
rutin.
Mataku tertuju, pada wanita yang duduk
sambil mengawasi putrinya yang sedang
bermain dengan Deren, matanya terlihat
93
berkaca-kaca. Aku duduk di sampingnya
lalu ku usap punggungnya, mencoba
membuat dia merasa lebih baik.
"Aika pasti sembuh!" ujarku.
"Kata dokter harapan hidup Aika sangat
tipis, bahkan dengan kemoterapi ataupun
transplantasi sumsum tulang belakang saja
Aika belum tentu bisa selamat!" Dia
semakin terisak. Aku bisa merasakan apa
yang dia rasakan, aku juga seorang ibu.
"Mbak Lisa, yang sabar ya, mbak harus kuat
dengan begitu Aika pasti menjadi lebih
kuat." Dia mengangguk sambil menghapus
air matanya.
Kami bertemu dengan Aika satu tahun yang
lalu, waktu pertama aku melihatnya dia
begitu cantik dan menggemaskan, namun
kini dia terlihat pucat dan seluruh
rambutnya sudah rontok akibat kemoterapi
yang dia jalani. Dia mengidap Leukimia,
namun gadis itu tetap aktif bermain dan
senyumnya masih sama cantiknya seperti
94
pertama kali. Namun aku percaya dia gadis
yang kuat, untuk tubuh sekecil dia bisa
bertahan selama setahun ini adalah hal yang
luar biasa dan aku berharap dia bisa terus
bertahan dan sembuh.
Aku melihat jam yang ada di pergelangan
tanganku. Sekarang sudah waktunya pulang,
lagi pula sudah waktunya Aika beristirahat.
"Deren, ayo pulang!" Derano menggeleng,
dia biasa seperti ini. Jika dia sedang bermain
dengan Aika dia memang enggan untuk
pulang.
"Deren, kita pulang ya, Ayi biar istirahat,
biar cepat sembuh." Aku berusaha
membujuk Derano lagi.
"Tapi Bun, Alen masih main sama Ayi!"
"Besok lagi kan bisa mainnya, Ayi harus
istirahat. Biar cepat sembuh, kalau udah
sembuh bisa main lama sama kamu."
"Deren pulang dulu ya, besok kalau Ayi
sudah sembuh bisa main lagi sepuasnya. Ayi

95
sekarang harus istirahat dulu," ujar Lisa
lembut yang kemudian dijawab dengan
anggukan oleh Derano.
Setelah beberapa kali gagal membujuknya,
akhirnya dia mau aku akan pulang. Saat
pertama kali aku tahu dia sakit, aku sempat
takut dia tidak bisa tumbuh dengan baik
seperti anak pada umumnya. Namun
kekhawatiranku tidak terbukti, dia tumbuh
dengan baik dan sangat aktif. Salah satu
bukti nyatanya adalah dia yang sekarang
berlarian ke sana-kemari padahal aku
sedang mengantre di kasir.1
"Derano, jangan lari-lari sayang!" Aku
memperingatinya dengan suara lantang,
namun lihatlah dia mengabaikanku. Jika
langsung mendengarkanku dia pasti bukan
Derano, dia justru berlari kian jauh. Aku
ingin mengejarnya, tapi giliranku sudah tiba.
Jika aku tak membayar sekarang maka aku
harus mengantre lagi dan itu akan memakan
lebih banyak waktu.

96
"Derano, jangan jauh-jauh!" Aku hanya
berharap kali ini dia mendengarkan aku.
Namun Derano tetaplah Derano yang tidak
pernah mendengarkan aku. Setelah aku
selesai dengan urusan administrasi, anak itu
sudah benar-benar tak terlihat oleh mata.
Kenapa aku bodoh sekali, seharusnya tadi
aku langsung mengejarnya atau jika perlu
aku mengikat dia bersamaku. Setelah
berkeliling ke sana-kemari aku menemukan
dia.
Langkahku terhenti, saat melihat sosok yang
tak asing sedang bersama Derano. Mereka
terlihat begitu akrab. Sangat mirip, itulah
yang terpikir olehku saat melihat mereka
berdua. Cara mereka tersenyum, mata dan
bibir mereka sangat identik. Saat mereka
bersama terlihat sangat luar biasa. Membuat
orang-orang di sekitar mereka menatap
takjub.

97
"Dok, istrinya ke mana? Sampai bawa
anaknya ke rumah sakit," tanya ibu-ibu yang
kebetulan melewati mereka.
"Mirip banget ya, Dok, putranya!" ujar
lainnya.
Dia hanya tersenyum dalam kebingungan.
Aku mulai penasaran, apa dia juga
menyadari itu seperti mereka? Aku sedikit
khawatir jika dia tahu, aku tidak rela karena
Derano adalah putraku dan selamanya itu
tidak berubah.
"Kamu sama siapa?" tanyanya sambil
jongkok menyesuaikan tinggi Derano.
"Bunda."
"Bunda kamu di mana?" Derano yang
sempat melihatku, langsung menunjuk ke
arahku dan aku segera menyembunyikan
diri.
"Ya udah, Om Dokter bantu cari Bunda
kamu ya."

98
Derano mengangguk cepat dan sepertinya
aku tidak bisa lagi menyembunyikan diri
lebih lama. Sejujurnya aku sudah
memperkirakan, cepat atau lambat mereka
pasti bertemu setelah pertemuan kami
kembali. Memang benar, tak mudah
memutuskan ikatan darah meski telah
berusaha aku tetap tidak mampu mencegah
pertemuan mereka. Tak tetap
mempertemukan mereka dengan cara yang
tidak aku duga sebelumnya.1
"Bunda ...." Derano berlari ke arahku lalu
memelukku, sedangkan dia hanya diam
terpaku sama seperti saat kami bertemu
beberapa hari yang lalu.
"Alana?" Dia mencoba memastikan.
Aku memenuhi paru-paru dengan oksigen
sebanyak yang aku bisa, aku harus tetap
tenang. "Hai, Jev, maaf ya dia ganggu
kamu." Aku berusaha setenang mungkin.
"Dia?"

99
"Derano, putraku!" jawabku.
"Putramu?" Dia seperti masih meragukan
aku.
Drtttt .... Drtttt .... Drtttt
"Sebentar ya!" ucapku lalu mengangkat
telepon.
"Iya, Mas Cahyo."
"Lan, aku sama Risa udah di lobi rumah
sakit"
"Udah di depan ya? Oke, aku sama Deren
segera keluar!"
"Oke!"
Sambungan telepon terputus, dia masih
menatapku dengan penuh pertanyaan.
Namun siapa yang peduli? Aku lebih peduli
untuk segera sampai di lobi sebelum Kak
Risa mengomel karena menunggu terlalu
lama.
"Sayang, ayo Papa kamu udah jemput!"2

100
Aku menggandeng tangan Derano lalu
membawanya pergi tanpa mengatakan
apapun. Setidaknya untuk hari ini aku bisa
menghindar. Namun aku janji jika waktunya
sudah tepat aku akan memberitahunya.
Sekarang waktunya tidak tepat, orang-orang
pasti akan berpikir akusengaja mengacaukan
pernikahannya, meski sempat terpikir
seperti itu. Namun aku segera membuang
jauh pemikiran itu, karena aku sadar ada
hati tak bersalah yang akan terluka.
***
Pekerjaanku tak sama seperti orang lain, aku
tahu itu. Jika mereka bisa bersantai di akhir
pekan, kami justru sibuk di akhir pekan.
Hari ini aku juga ada jadwal untuk
mengulang rapat yang tertunda bersama
Danisa dan Jevano waktu itu. Sejak bertemu
Jevano di rumah sakit dengan Derano aku
merasa lebih tenang membawa Derano. Hari
ini aku juga membawanya, karena memang
tak ada yang menjaganya di rumah.

101
"Deren, baik-baik sama Mama Merisa, ya,"
ujarku.
Derano terbiasa memanggil Merisa mama,
karena Kak Risa sendiri yang
menginginkannya. Katanya setiap melihat
Derano dia selalu teringat putranya yang tak
sempat lahir ke dunia.
"Tenang aja, nanti kalau Deren nakal Mama
Merisa ikat di pohon toge!"
"Mama Lita dahat (jahat)! Alen mau
tamaUncle Zen adja!" Derano
mengerucutkan bibirnya yang membuat dia
semakin menggemaskan.
"Uncle Zen nggak di sini, jadi yang nurut
sama Mama Merisa! Oke!"
"Bunda tama(sama) Mama Lita dahat
(jahat)!"
"Udah, Lan, kamu pergi aja biar Derano aku
yang urus."

102
"Ok. Titip Derano ya, Kak," ucapku
sebelum menemui Jevano dan Danisa yang
sudah menungguku di ruang VIP.
Seperti biasa aku mengisi paru-paruku
dengan oksigen sebanyak yang aku bisa
sebelum masuk ke dalam ruangan itu, yang
mungkin saja membuat aku kesulitan
bernapas seperti waktu itu. Hari ini aku
melakukan dengan baik.
"Selamat pagi, maaf membuat kalian
menunggu," ucapku.
"Ini juga baru kok, Mbak," ucap Danisa
ramah dan ceria seperti biasa.
"Kita mulai saja, kemarin kita masih
memilih konsep dan tema pernikahan.
Silakan melihat-lihat contoh sebagai
referensi."
"Baiklah."
Jevano terlihat lebih dingin dibandingkan
hari itu, aku bisa merasakan itu dari tatapan
matanya. Dia juga terlihat tak ragu
103
menunjukkan perhatiannya pada Danisa. Ya
Tuhan, kenapa hatiku terasa terbakar saat
melihat mereka. Apakah aku merasa
cemburu? Alana sadarlah! Dia bukan siapa-
siapa kamu lagi.
"Mas, gimana yang ini?" Jevano
menggeleng pelan. "Yang ini?" Jevano
menggeleng lagi. "Yang ini?" Kali ini
Jevano menggeleng lagi tapi disertai
senyuman.
"Silakan memilih dahulu. Saya mau ke toilet
sebentar," pamitku lalu pergi secepat yang
aku bisa. Mataku sudah terlalu perih, hatiku
terlalu panas.
Aku persilakan untuk mengataiku bodoh
dan sebagainya. Aku tak bisa mengelak lagi
jika aku cemburu. Entah cemburu karena
masa laluku dan Jevano, atau cemburu
karena hingga hari ini aku terluka
sedangkan dia terlihat begitu bahagia. Aku
tak tahu, yang aku tahu aku bodoh karena
cemburu. Aku menyalakan flush toilet
104
berulang kali untuk menyamarkan tangisku.
Ya benar, aku menangis, hingga aku merasa
sedikit lebih baik dan mengurangi beban
dalam hatiku agar aku bisa masuk ke
ruangan itu lagi.1
"Ternyata kebiasaan kamu nangis di toilet
belum ilang ya, Lan?" Aku terperanjat
melihat seseorang yang berdiri di depan
toilet.1
"Bukan urusan kamu!"
"Kamu cemburu lihat aku dan Danisa?"
tanyanya dengan senyuman sinis.
"Terlalu percaya diri kamu! Adakah alasan
kenapa aku harus cemburu sama kalian?"
Aku berusaha terderngar sebiasa mungkin
mengatakan itu.
"Ah, iya, aku lupa! Kamu kan sudah bahagia
dengan hidup kamu sekarang. Mempunyai
seorang anak pula!" katanya terdengar
sarkas.5

105
Aku ingin sekali mengeluarkan semua
umpatan kasar kepadanya, jika tak
mengingat di mana sekarang aku berada dan
siapa dia untukku saat ini.
"Ya, aku bahagia, sangat bahagia!" ujarku
penuh penekanan lalu pergi meninggalkan
dia.
Aku kembali ke ruang rapat, di sana Danisa
masih asyik melihat-lihat album foto yang
aku berikan padanya tadi . "Maaf, tadi
toiletnya mengantre hingga butuh waktu
sedikit lama," ucapku berbohong, tak
mungkin kan jika aku katakan jika habis
menangis hingga lama di kamar mandi.
"Enggak apa-apa, Mbak."
"Gimanaudahnemu?" tanyaku. Di saat yang
bersamaan Jevano kembali ke ruang
meeting.
"Oh, udah, kita milih tema pernikahan putih
dengan sentuhan silver dan untuk konsep

106
kita mau moderen klasik," terang Danisa
yang terlihat begitu berbinar.3
Aku mencatat yang Danisa ucapkan pada
buku agendaku. "Baiklah, saya akan
membuat desain tentang konsep dan tema
yang kalian inginkan. Saya rasa meeting kita
cukup untuk hari ini, kita lanjutkan dua hari
lagi setelah saya selesai membuat desain,"
ujarku.
"Oke, aku udahnggak sabar untuk melihat
desainnya."
"Dua hari nggak lama kok, Dan,." Jevano
mengecup puncak kepala Danisa lembut,
yang lagi-lagi membuat api di hatiku
menyala.1
"Bunda ...." Derano memelukku.
"Deren, kok kamu di sini?"
"Maaf, anakmu lepas dari kandang. Maaf
ya, Danisa, Derano memang hiperaktif
banget," ucap Kak Risa.1

107
"Enggak apa-apa, kita udah selesai kok,"
ujar Danisa.
"Om tokten?" Derano mengamati Jevano
yang berdiri di hadapannya.2
"Hai, Derano," sala Jevano tak lupa dengan
senyum manisnya.
"Udah gede ya, Mbak. Padahal terakhir aku
lihat dia masih di dalam perut, waktu Mbak
Alana ngurusin pernikahan Kak Sirene.
Waktu itu aku kagum banget sama semangat
Mbak, lagi hamil gede, tapi tetap bikin acara
pernikahan yang luar bisa," ujar Danisa
panjang lebar tanpa bisa kusela.
"Alana hamil waktu pernikahan Kak
Sirene?"1
"Iya Mas, hebat banget, kan? Kalau nggak
salah hamil delapan bulan."
Jevano menatapku penuh tanda tanya, aku
tidak tahu apa yang dia pikirkan saat ini.
Mungkinkah dia mulai mencurigai sesuatu?

108
Aku harap tidak! Waktunya sungguh tidak
tepat.

109
9. Tersembunyi.

Tok ... Tok ... Tok.


Aku tak perlu menerima tamu di malam
hari, tapi ketukan pintu itu sangat
mengganggu dan aku takut apabila nanti
justrutetanggaku terganggu. Ya, tentu saja
karena aku tinggal di apartemen. Bagaimana
seseorang bisa sampai mengetuk pintuku,
apakah satpam membiarkan tamu
berkunjung di jam segini?
“Siapa?” tanyaku sambil membuka pintu.
Aku mengucek mataku berulang kali, saat
dia yang kutemukan di balik pintu. Aku
takut jika aku sedang berhalusinasi, tapi dia
tampak begitu nyata. “Jevano?” tanyaku
memastikan.
“Iya, ini aku!”
“Bagaimana bisa ....”

110
“Itu tak penting, jawab aku dengan jujur.
Apakah Derano putraku?” 1
“Bukan, dia anakku! Lebih baik kamu pergi
sebelum aku minta security buat seret
kamu!” ancamku.
“Lan ....”
“Pergi!”
Aku langsung menutup pintu apartemenku.
Aku rasanya tak mampu berdiri saat ini,
kehadirannya seperti garam yang ditaburkan
di lukaku yang mulai terbuka kembali.
Anggap saja aku jahat, karena memisahkan
seorang ayah dari anaknya, tapi apakah dia
bisa disebut ayah? Meski aku sudah
memprediksi sejak pertemuan kami, tapi
aku tak menyangka secepat ini. Hari ini aku
bisa menghindarinya, namun aku yakin dia
tak akan menyerah begitu saja.
***
Seperti biasa pagiku selalu sibuk, seolah
mengerti aku tidak dalam kondisi yang baik,
111
pagi ini Derano jadi lebih penurut. Dia
bahkan menghabiskan sarapannya tanpa
harus aku marahi terlebih dahulu seperti
biasanya. Seperti biasanya juga aku
mengantarnya ke sekolah sebelum
berangkat kerja.
“Baik-baik ya, sayang!” peringatanku
padanya.
“Iya, Bunda.”
“Kalau Bunda belum jemput, jangan ke
mana-mana. Tetap di sekolah, Bunda udah
bilang ke Bu Guru.” Dia mengangguk.
“Anak pintar,” pujiku sambil mencium
pipinya.
“Bunda Alen, tekolah dulu, ya. Dadah
Bunda,” ucapnya sambil melambaikan
tangan padaku.
Melihat dia tersenyum pagi ini membuat
hatiku terasa lebih baik. Seperti yang aku
bilang dia adalah obat paling ampuh yang
aku punya saat ini, penawar dari segala rasa

112
sakit dan lelah. Semangat Alana! Demi
putramu, kamu harus berusaha lebih
keras! 1
Aku segera menuju kantor setumpuk berkas
di mejaku pasti sudah sangat merindukanku.
Lebih lagi, stafku pasti banyak mengalami
kesulitan karena akhir-akhir ini aku banyak
meninggalkan pekerjaanku. Bukan
bermaksud sombong, aku memang sibuk
dan aku adalah orang penting di
perusahaan. Ada yang mau protes? Waktu
dan tempat dipersilakan. 5
Orang-orang sudah sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Aku juga sama, rasanya
melelahkan, tapi saat sibuk seperti ini aku
sejenak lupa dengan peliknya kehidupanku.
Hidupku memang tak mudah, namun aku
cukup bersyukur lagi pula tidak ada seorang
pun yang hidup tanpa mengalami kesulitan.
“Mbak Alana, ada yang nyari,” ujar Mita.
“Siapa?” tanyaku.

113
“Pernah lihat, tapi lupa namanya. Pokoknya
orangnya ganteng,” jawab Mita dengan
senyum semringah.
“Kamu tuh kalau orang ganteng aja,
senyumnya lebar banget!” Mita hanya
tersenyum malu, “di mana orangnya?”
tanyaku.
“Di lobi.”
“Oke, saya segera ke sana.”
Jantungku berdetak lebih cepat dari
biasanya. Aku tak tahu siapa orang yang
kata Mita 'ganteng' itu, tapi entah kenapa
aku merasa gugup. Lucu, kan? Namun aku
rasa bukan perasaan gugup, mungkin lebih
ke perasaan khawatir jika dia bukan orang
yang ingin aku temui.
“Alana!” Dia melambaikan tangan padaku.
Benar saja, perasaanku tidak meleset. Dia
bukan orang yang aku temui untuk saat ini.
Aku memilih berputar arah, aku benar-benar
tak ingin berbicara dengannya. “Alana ....”

114
Dia menahan tanganku hingga kami menjadi
pusat perhatian.
“Ada apa lagi?” tanyaku.
“Aku butuh penjelasan!”
“Semuanya udah jelas, saya harap Anda
jangan seperti ini, orang-orang bisa salah
paham!” 1
“Aku nggak peduli, aku butuh penjelasan!”
Dia rupanya masih sama keras kepalanya
seperti dulu, memang benar manusia tak
mudah berubah. Kami semakin menjadi
pusat perhatian, terlebih statusku sebagai
seorang ibu tunggal membuat mereka akan
bergosip buruk tentangku.
“Baiklah, tapi jangan di sini! Ikut saya!”
Aku membawanya ke tempat yang
kemungkinan kecil untuk di datangi orang.
Di balkon yang memang hanya aku dan Kak
Risa yang bisa masuk.

115
“Apa yang ingin kamu ketahui?” tanyaku
tothepoint.
“Siapa anak itu? Apakah anak itu putraku?”
Sudah kuduga dia anak menanyakan ini
lagi.
“Dia anakku! Aku yang mengandungnya,
aku yang melahirkannya dan aku yang
membesarkan dia.”
“Tapi aku ayahnya, kan?”
Aku tertawa miris mendengar pertanyaan.
“Lucu sekali kamu mengaku sebagai
ayahnya! Apa kamu melihat saat aku
mengandung dia? Apa kamu melihat saat
dia lahir ke dunia? Apa kamu juga terjaga
saat dia sakit? Bahkan jika benar kau
ayahnya, apa kamu yakin untuk
mengakuinya? Jangan terlalu percaya
diri!” 1
Aku segera meninggalkan dia. Aku tak mau
menangis di depannya, lagi. Hatiku sangat
sakit setelah mengucapkan kata-kata itu.

116
Aku merasa menjadi wanita jahat karena
mengatakan itu, tapi aku tidak salah kan? 2
Toilet sudah menjadi tempatku bersembunyi
saat sedang menangis. Sangat memalukan
jika orang lain melihatku menangis.
Katakan jika aku sangat menyedihkan,
menyembunyikan isakkanku di balik
gemercik air kran. Aku ingin menyimpan
tangis dan rasa sakitnya untukku sendiri,
karena aku tak ingin menjadi beban orang
lain karena aku yang masih belum bisa
berdamai dengan masa lalu.
Aku terlalu lama menangis, aku sampai lupa
menjemput Derano. Ini sudah lewat jam dia
pulang sekolah. Terlebih hari Jum’at
sekolahnya pulang lebih awal. Aku
memutuskan untuk menelepon gurunya,
agar menjaganya selama aku dalam
perjalanan ke sana lagi pula jarak
sekolahnya dan kantor tidak terlalu jauh
hanya beberapa ratus meter.

117
“Selamat siang, ini saya Alana bundanya
Derano. Bu bisa minta tolong jagain Derano
sebentar saya masih dalam perjalanan,”
ujarku begitu panggilanku tersambung.
“Oh Derano, baru saja dijemput oleh laki-
laki, katanya temannya Ibu.” 2
Aku sangat terkejut saat gurunya
mengatakan dia sudah dijemput, siapa yang
menjemputnya?
“Bu Alana ....”
“Siapa namanya, Bu, soalnya saya
nggaknyuruhtemen saya jemput Derano.”
“Saya lupa bertanya namanya, karena
Derano terlihat sangat akrab dengannya.”
“Oh begitu, ya sudah, terima kasih,” ucapku
lalu menutup telepon.
Derano adalah anak yang pintar, dia juga
tidak akan pergi dengan orang yang tidak
dikenalnya. Seorang laki-laki? Siapa dia?
Tidak mungkin Zen karena dia ada di Bali
mengurus pernikahan salah satu klien kami.
118
Mas Cahyo—suaminya Kak Risa juga
sedang di luar negeri untuk urusan
bisnisnya. Haruskah aku lapor polisi?
“Al, kok bingung banget sih?” tanya Kak
Risa yang entah sejak kapan berdiri di
belakangku.
“Deranoilang!”
“ILANG?”
“Kata gurunya ada yang laki-laki jemput,
tapi aku nggaktau siapa?” Kadar
kepanikanku meningkat, karena tak kunjung
ada titik terang siapa yang menjemput
Derano.
“Kamu yang tenang, mungkin aja Zen yang
jemput.” Kak Risa mencoba
menenangkanku.
“Zen di Bali.”
“Mas Cahyo mungkin, dia bilang pulang
hari ini. Kamu tau kan, Mas Cahyo sayang
banget sama Derano.”

119
Aku berharap itu benar-benar Mas Cahyo,
tapi harapanku satu-satunya pupus karena
Mas Cahyo sudah berdiri di depan kami dan
tanpa Derano.
“Kok kaya panik gitu?” tanya Mas Cahyo
dengan santainya.
“Deranoilang!” jawab kami serentak.
“Apa anakku ilang? Kita harus segera lapor
polisi!”
Aku dan Kak Risa hanya menghela napas
panjang. Kedatangan Mas Cahyo semakin
membuat kami panik.
“Bunda ....”
Seluruh kekhawatiranku terasa lenyap
setelah mendengar suara itu. Rasanya aku
bisa bernapas kembali. Aku benar-benar
takut jika terjadi sesuatu padanya.
“Bunda habis nangis, ya?” tanyanya sambil
menatapku dengan mata polosnya. Aku tak
tak menjawab, aku langsung memeluknya
dan menangis. Aku sungguh takut jika aku
120
harus kehilangan lagi, cukup sekali saja aku
tak ingin merasakannya lagi.
“Maaf tadi saya jemput Deranonggak
bilang-bilang.”
Kenapa harus dia lagi? Apa dia sepenasaran
itu? Aku tak meminta banyak, aku hanya
ingin hidup tenang seperti lima tahun ini,
hanya itu saja. Namun kenapa semua terasa
begitu sulit sejak dia datang ke hidupku lagi.

121
SpecialChapter : JevanoPov

Bertemu dengannya setelah lima tahun


adalah sesuatu yang sebenarnya tidak aku
harapkan. Terlebih kami bertemu dengan
cara yang tidak pernah aku duga, kenapa
harus dia dari milyaran manusia yang
menjadi pengurus pernikahanku dengan
Danisa. Gila bukan? Pernikahanku diurus
oleh mantan istriku. Butuh waktu lama
untukku bisa kembali ke negara ini setelah
perpisahan kami, tapi kenapa harus bertemu
lagi.
Aku pikir, waktu mengubah segalanya.
Nyatanya tidak. Sorot matanya masih penuh
kebencian padaku, dan itu membuat hatiku
sakit. Kesalahanku memang bukan sesuatu
yang bisa dia maafkan, tapi aku tak
menyangka dia sebenci itu padaku hingga
sepertinya dia tak ingin mengenalku. Semua
akan berjalan sesuai seharusnya, dia hanya
masa lalu untukku. Aku meyakinkan diriku.
122
Hingga hari itu, aku bertemu dengan
seorang anak kecil yang kata orang-orang di
sekitar kami mirip denganku. Aku juga
menyadari itu, melihatnya serasa sedang
bercermin. Aku sedikit terkejut, tapi yang
paling mengejutkan aku adalah wanita yang
anak kecil itu panggil dengan sebutan,
bunda.
"Bunda ...." Anak itu berlari ke arahnya lalu
memeluknya , sedangkan dia hanya diam
terpaku sama seperti saat kami bertemu
beberapa hari yang lalu.
"Alana?"
"Hai, Jev, maaf ya dia ganggu kamu,"
sapanya dengan senyuman yang masih sama
dari dulu.
"Dia?"
"Derano, putraku!" jawabnya sambil
mengusap lembut rambut anak itu.

123
"Putramu?" Entah mengapa aku merasa
tidak rela jika dia sudah memiliki putra, dari
orang lain.4
Drtttt .... Drtttt .... Drtttt
"Sebentar ya!" ucapnya lalu mengangkat
telepon.
Aku tidak bermaksud menguping, tapi aku
mendengar dengan jelas karena dia hanya
menjauh beberapa langkah dariku
"Iya, Mas Cahyo." Apakah itu suami
barunya?
"...."
"Udah di depan ya? Oke, aku sama Deren
segera keluar!"
Setelah selesai bertelepon dia kembali pada
kami. "Sayang, ayo papa kamu udah
jemput!" Ah, rupanya benar.
Dia pergi begitu saja. Ada rasa sakit yang
ingin aku ingkari. Dia pasti sudah bahagia
dengan hidupnya sekarang, aku merasa lega

124
hanya saja aku sedikit kecewa. Jika aku lihat
anak mereka, dia pasti segera menikah
setelah kami berpisah. Kejam sekali dia,
secepat itukah perasaannya berubah?
Kenapa aku butuh begitu lama, untuk
membuka hatiku? Tidak adil, bukan?
Aku sakit hati untuk alasan yang sebenarnya
aku tak berhak lagi merasakannya. Kami
mengatur kembali pertemuan kami untuk
membahas pernikahanku dengan Danisa.
Dia sudah bahagia, akan ditunjukkan juga
padanya jika aku juga sudah bahagia. Aku
sibuk memilih konsep dan tema
pernikahanku bersama Danisa. Sesekali aku
melirik dia yang juga terlihat sibuk dengan
tab-nya.
"Silakan memilih, saya mau ke toilet
sebentar," pamitnya lalu pergi meninggalkan
kami.
Dia pergi cukup lama untuk ukuran ke
toilet. Aku jadi penasaran dengan yang dia
lakukan sebenarnya.
125
"Dan, aku juga ke toilet dulu, ya," pamitku
yang hanya di jawab dengan anggukkan
kecil oleh Danisa.
Sebenarnya aku tak berhak untuk merasa
penasaran, tapi pada nyatanya aku sudah di
depan toilet. Meski aku tak dapat masuk ke
toilet wanita, dapat kudengar dengan jelas
suara flush toilet yang terus menyala.
Ternyata kebiasaan dia masih belum hilang.
Dia masih menyembunyikan tangisannya di
balik suara air. Aku ingin segera pergi
sebelum dia tahu, tapi kakiku enggan
bergerak.
"Ternyata kebiasaan kamu nangis di toilet
belum ilang ya, Lan?" Aku terperanjat
melihat seseorang yang berdiri di depan
toilet.3
"Bukan urusan kamu!"
"Kamu cemburu lihat aku dan Danisa?"
Dia terlihat tidak suka dengan pertanyaanku.
"Terlalu percaya diri kamu. Adakah alasan

126
kenapa aku harus cemburu sama kalian?"
tanyanya dengan nada mengejek.
"Ah, iya, aku lupa! Kamu kan sudah bahagia
dengan hidup kamu sekarang. Mempunyai
seorang anak pula!" Aku lupa dengan fakta
dia bahkan sudah bahagia dengan orang
lain, tidak mungkin dia merasa cemburu.
Dia menatapku dengan tatapan yang sulit
untuk aku artikan. "Ya, aku bahagia, sangat
bahagia!" ucapnya penuh penekanan lalu
pergi meninggalkanku.
Aku segera menyusulnya setelah aku yakin
dia sudah sampai di ruangan itu karena akan
terasa canggung jika kami muncul di saat
yang sama. Aku juga butuh waktu untuk
menormalkan emosiku. Setiap berhadapan
dengannya membuat semua emosi dan
perasaan bercampur menjadi satu,
membuatku begitu frustrasi.

"Gimanaudahnemu?" tanyanya pada Danisa


yang kudengar dari pintu.
127
"Oh, udah, kita milih tema pernikahan putih
dengan sentuhan silver dan untuk konsep
kita mau modern klasik," terang Danisa.
"Baiklah, saya akan membuat desain tentang
konsep dan tema yang kalian inginkan. Saya
rasa meeting kita cukup untuk hari ini, kita
lanjutkan dua hari lagi setelah saya selesai
membuat desain," ujarnya
"Oke, aku udahnggak sabar untuk melihat
desainnya."
"Dua hari nggak lama kok, Dan." Aku
mengecup puncak kepala calon istriku,
sekilas aku melirik yang terlihat dia
memalingkan wajahnya. Terdengar jahat
memang, tapi aku senang melihat terganggu.
"Bunda ...." Anak kecil itu berlari ke
arahnya dan langsung memeluknya erat.
"Deren, kok kamu di sini?"
"Maaf, anakmu lepas dari kandang. Maaf
ya, Danisa, Derano memang hiperaktif

128
banget," ucap wanita yang mengejar anak
itu.
"Enggak apa-apa, kita udah selesai kok,"
ujar Danisa.
"Om tokten?" Dia mengamatimu, mungkin
dia sedang memastikan jika dia tak salah
orang.
"Hai, Derano," sapaku.
"Udah gede ya, Mbak. Padahal terakhir aku
lihat dia masih di dalam perut, waktu Mbak
Alana ngurusin pernikahan Kak Sirene.
Waktu itu aku kagum banget sama semangat
Mbak, lagi hamil gede, tapi tetap bikin acara
pernikahan yang luar bisa," ujar Danisa
panjang lebar yang membuat banyak
pertanyaan terlintas dalam otakku.
"Alana hamil waktu pernikahan Kak
Sirene?" tanyaku memastikan.
"Iya, Mas, hebat banget, kan? Kalau nggak
salah hamil delapan bulan."

129
Fakta itu benar-benar membuatku terkejut.
Terlalu bingung untuk menjawab semua
pertanyaan yang melintas tanpa henti di
otakku. Aku berusaha untuk menghilangkan
segala prasangkaku, tapi aku tak bisa.
Semakin aku memikirkannya semakin
otakku tak bekerja dengan baik.
"Jevano, tenang, kita itung dengan benar!"
Aku mencoba meyakinkan diriku.
Kata Danisa, saat pernikahan kakaknya,
Alana hamil delapan bulan. Pernikahan Kak
Sirene dilakukan bulan Maret, berarti itu
lima bulan setelah kami bercerai. Tidak
salah lagi! Aku harus memastikannya.

Seperti orang gila aku mencari informasi


tentang dia, termasuk tempat dia tinggal.
Gilanya lagi aku menipu petugas keamanan
agar diizinkan masuk ke dalam apartemen
karena ini sudah tengah malam. Aku
mengetuk pintunya seperti rentenir yang
ingin menagih hutang, sungguh aku
130
melupakan segala etika bertamu yang
pernah aku pelajari. Semua kekacauan di
otakku harus segera menemukan jawaban.
"Siapa?" tanyanya sambil membuka pintu.
Dia mematung saat melihat aku yang berdiri
di depan pintu. "Jevano?"
"Iya ini aku!"
"Bagaimana bisa ...."
"Itu tak penting, jawab aku dengan jujur.
aApakahDerano putraku?"
"Bukan, dia anakku! Lebih baik kamu pergi
sebelum aku panggil security buat nyeret
kamu!" ujarnya mengancamku dengan
tegas.
"Lan ...."
"Pergi!" Dia lalu menutup pintu dan aku tak
bisa berbuat banyak.
****

131
Rasa penasaranku tak bisa aku tahan.
Semalam aku sampai tak bisa tidur
memikirkan itu. Meski Alana bilang bukan,
tapi aku yakin anak itu adalah putraku.
Terdengar mustahil memang karena aku
bahkan tidak tahu jika dia hamil. Namun
lebih mustahil lagi jika itu anak orang lain,
kecuali dia berselingkuh saat masih menikah
denganku, tapi itu lebih tidak mungkin
lagi.6
Aku mendatangi kantornya. Sebenarnya aku
datang ke apartemennya lagi, tapi aku lihat
dia sudah pergi. Aku mengikutinya perlahan
agar dia tak curiga, ternyata dia mengantar
anak itu ke sekolah, haruskah aku sebut dia
anak kami? Dia terlihat begitu lucu saat
memberi flyingkiss pada ibunya. Aku dibuat
gemas karena itu, tanpa sadar aku
tersenyum. Akh aku bisa benar-benar gila,
jika bertahan seperti ini lebih lama.

132
"Permisi, saya ingin bertemu Ibu Alana,"
ucapku pada wanita yang duduk di meja
resepsionis.
"Ada perlu apa?" tanyanya.
"Dia tahu saya, kok."
"Baiklah, sebentar saya panggil Mbak
Alana-nya."
Aku sudah tak sabar untuk mendengar
penjelasan sejelas-jelasnya dari Alana.
Setelah beberapa saat aku melihat dia
muncul, terlihat celingukan.

"Alana!" Aku melambaikan tangan padanya,


agar dia tahu keberadaanku, tapi dia malah
berbalik arah saat melihatku. Aku tak akan
membuatkan dia menghindariku. "Alana ...."
Aku berhasil meraih tangannya.
"Ada apa lagi?" tanyanya
"Aku butuh penjelasan!"

133
"Semuanya udah jelas, saya harap Anda
jangan seperti ini, orang-orang bisa salah
paham!" Dia berusaha melepas tangannya
dari genggamanku.
"Aku nggak peduli, aku butuh penjelasan!"
ucapku.
Dia memperhatikan sekitar kami yang
memulai memperhatikan gerak-gerik kami.
Baguslah dia seperti tak punya pilihan lain.
"Baiklah, tapi jangan di sini! Ikut saya!"
ujarnya.
Entah dia membawaku ke mana, aku hanya
mengikutinya. Kami melewati beberapa
lorong lalu menaiki beberapa anak tangga
hingga sampai di balkon yang terdapat
beberapa kursi dan tertata rapi.
"Apa yang ingin kamu ketahui?" tanyanya
tanpa basa-basi.
"Siapa anak itu? Apakah anak itu putraku?"
Dia diam sejenak, "Dia anakku! Aku yang
mengandungnya, aku yang melahirkannya
134
dan aku yang membesarkan dia," ujarnya
dalam satu tarikan napas.
"Tapi aku ayahnya, kan?"
Dia tertawa, entah di mana sisi lucu dari
pertanyaanku. "Lucu sekali kamu mengaku
sebagai ayahnya! Apa kamu melihat saat
aku mengandung dia? Apa kamu melihat
saat dia lahir ke dunia? Apa kamu juga
terjaga saat dia sakit? Bahkan jika benar kau
ayahnya, apa yakin untuk mengakuinya?
Jangan terlalu percaya diri!"
Aku tak bisa membantahnya. Dia benar,
terlalu lucu untuk mengaku sebagai ayah
dari anak itu. Aku bahkan tidak pernah tahu
dia ada, aku tidak melihat saat dia lahir ke
dunia. Aku tak pernah menjaga dia saat dia
sakit. Betapa bodohnya aku, aku bahkan tak
pantas menyebutkan diriku bodoh karena
sebenarnya aku adalah laki-laki yang benar-
benar jahat. Jika dia benar anakku, berarti
aku menceraikan wanita yang sedang hamil

135
lalu pergi begitu saja untuk mencari
ketenangan untukku sendiri.

136
10. Terungkap.

Marah, kesal, tapi juga lega bercampur


menjadi satu. Aku lega, karena Derano
kembali dengan selamat. Aku marah,
kenapa harus dia yang membawa Derano
kembali? Sepertinya dia semakin penasaran
hingga mencoba lebih dekat dengan Derano
dan cara dia tersenyum sungguh membuatku
kesal. Bagaimana bisa tersenyum seperti itu,
setelah membuatku nyaris terkena serangan
jantung karena terlalu panik? Dia masih
seperti dulu, melakukan semua sesukanya.
“Kak Risa, Mas Cahyo bisa tolong jaga
Derano sebentar? Ada yang mau aku
omongin sama Bapak Jevano.” Kak Risa
masih terpaku, pasti banyak pertanyaan di
benaknya kini.
“Oh, tentu bisa aku sama Risa
jagainDerano!” Mas Cahyo langsung
menggendong Derano. “Deren kita lihat
137
oleh-oleh yang papa beliin buat kamu!” ujar
Mas Cahyo yang disambut antusias oleh
Derano.
“Makasih ya, Mas, Kak!” ucapku.
“I-iya, kamu bicara dulu sama dia biar
Derano kita yang jaga. Setelah itu kita bisa
bicara, kan?”
“Iya Kak!”
Mereka membawa Derano pergi, tinggal aku
dan Jevano. Aku memberi kode padanya
untuk mengikuti aku. Sepertinya aku
memang harus mengakhiri rasa
penasarannya. Jevano itu keras kepala dan
juga nekat, sekarang mungkin dia hanya
menjemput Derano diam-diam dan
mengantarnya padaku. Siapa yang tahu, ke
depannya, dia membawa Derano pergi dan
aku tidak ingin itu terjadi. Terlebih Derano
terlihat nyaman bersamanya. Seperti
kemarin aku membawanya ke balkon atap
gedung ini. 2

138
“Aku tidak akan bertanya alasan kamu
melakukan ini, tapi aku mohon jangan
lakukan ini lagi!”
“Aku hanya ingin dekat dengannya!”
“Sudah kubilang, aku tidak bertanya
alasanmu karena apapun alasanmu itu tidak
bisa aku terima!” Ya, aku tidak menerima
alasannya, karena dia sudah membuatku
ketakutan.
“Lan ....”
“Dia anakmu! Jika itu yang membuat kamu
penasaran hingga melakukan ini. Tapi satu
hal yang harus kamu tahu, kamu bukan
ayahnya!” Aku mencoba bernapas dengan
benar, dadaku terasa sesak saat mengatakan
itu. “Deranonggak butuh ayah, aku cukup
untuknya jadi aku mohon ... bersikaplah
seolah kamu tidak tahu apa-apa. Biarkan
kami hidup tenang tanpa kamu seperti lima
tahun ini!” Aku berlutut di depannya, tanpa
sadar air mataku mulai mengalir. 1

139
Dia jongkok di depanku, “Jangan seperti ini,
aku mohon! Harusnya aku yang berlutut
memohon agar kamu memaafkan aku!” Aku
mendengar dia mulai terisak. “Maafin aku
karena sudah meninggalkan kamusendirian.
Aku benar-benar nggaktau kamu lagi hamil
waktu itu.” Dia mencoba merengkuhku.
Aku menyingkirkan tangannya dengan
kasar. “Jangan mengatakan seolah kamu
menyesalinya, saat itu kami bukan
nggaktau, tapi kamu tidak mau tau. Kamu
pergi gituaja, padahal kamu tahu aku cuma
punya kamu!” ujarku sarkas. 1
“Maafin aku!”
“Jika kamu menyesal, harusnya kamu nggak
melakukan ini. Aku nggak minta kamu ganti
tidak hadirnya kamu saat tersulitku, aku
hanya ingin kamu hidup seperti kamu hidup
selama lima tahun ini dan begitu juga aku.”
“Lan ....” Dia menatapku sendu.

140
“Aku memaafkan kamu, tapi aku harap
kamu ngerti, jangan membuat semuanya
jadi lebih sulit untukku.” Aku meninggalkan
dia pergi, aku hanya berharap dia mengerti
dan berhenti untuk penasaran lagi.
***
Sudah beberapa hari sejak insiden Derano
hilang. Aku mencoba menjalani semuanya
dengan normal kembali. Aku harap Jevano
tidak melakukan hal-hal yang aneh lagi dan
mengabulkan permintaanku. Namun jika dia
tetap nekat, terpaksa aku akan
meninggalkan kota ini dan hidup di tempat
yang jauh, di mana dia tidak mungkin
menemukan kami. Bahkan jika perlu tidak
ada orang yang mengenali kami. 1
Hari ini aku membuat janji bertemu dengan
Jevano dan Danisa. Tekanan dalam hatiku
berkurang karena tidak ada hal yang perlu
aku sembunyikan. Sejak hari insiden itu,
aku benar-benar serius dengan ucapanku
untuk memaafkannya. Aku menyadari
141
selama ini aku selalu memeluk erat lukaku
dalam ikatan kebencian hingga aku selalu
merasa kesakitan. Namun perlahan aku
mulai belajar untuk membuka ikatan tali
benci yang menjerat hatiku.
Hampir setengah jam aku menunggu
mereka, namun mereka tidak kunjung
terlihat. Aku bahkan sudah menghabiskan
dua gelas jus jeruk dan dua potong
cheesecake. Ini bukan karena aku rakus, aku
hanya bosan jadi aku putuskan untuk
makan, terlebih matahari siang ini begitu
terik yang membuatku merasa dehidrasi.
“Mbak Alana, udah lama ya?” Akhirnya dia
datang juga. “Maaf ya, tahu sendiri jalanan
Jakarta gimana!” Oke, kemacetan Jakarta
selalu menjadi kambing hitam, setiap
seseorang terlambat untuk sesuatu.
“Iya nggak apa-apa, santai aja. Aku juga
baru datang kok!” Iya baru datang, tapi
setengah jam yang lalu. Aku berusaha
tersenyum, menunjukkan aku baik-baik saja.
142
“Mas Jevano hari ini nggak bisa ikut.” Apa
dia sedang menghindariku. “Jadi aku datang
sama Mama!”
“Terus Ibu Sita-nya mana?”
"Mama bareng mamanya Mas Jevano,
nggak bareng aku."
Tubuhku gemetar saat mendengar itu.
Dibandingkan Jevano, dia adalah orang
lebih tidak ingin aku temui. Terlalu banyak
kenangan buruk antara kami. Dia adalah
rahasia yang aku sembunyikan jauh dalam
lubuk hatiku. 2
"Itu Mama sama Mama Ratna."
Semakin wanita itu melangkah mendekat ke
arahku, rasanya semakin menipis kadar
oksigen di sekitarku. Dadaku terasa sesak,
rasa sakit yang sedang aku coba obati terasa
memeluk erat hatiku yang hancur dan
berserakan.
"Maaf, Sayang, tadi Mama sama Mama
Ratna ke salon dulu," ucap Ibu Sita
143
"Yey, Mama! Minta maaf ke Mbak Alana,
kasian dia nunggu dari tadi."
"Ini Alana? Mama pangling loh! Makin
cantik ya?" Aku hanya tersenyum merespon
pujian dari Ibu Sita. Bibirku masih kelu
untuk berbicara.
"Ma, ini Mbak Alana yang bakal ngurusin
pernikahanku dan Mas Jevano," ujar Danisa
memperkenalkan aku pada calon mertuanya,
"Mbak, ini Mama Ratna, mamanya Mas
Jevano."
Aku mengulurkan tanganku, aku harus
segera mengatasi semua perasaan ini. Aku
sudah berjanji pada diriku untuk melepas
lukaku. "Saya Alana," ucapku.
Dia menatapku sebelum akhirnya membalas
uluran tanganku, dia juga tersenyum hangat.
Senyuman yang baru pertama kali aku lihat,
dulu dia selalu dingin padaku. "Ratna."
Kami terdiam untuk beberapa saat, aku
sibuk mempersiapkan peralatanku sekaligus
kugunakan untuk mengisi paru-paruku
144
dengan oksigen. Aku harus tetap tenang
agar tak melakukan kesalahan.
"Bu, kita yakin mau pakai WO-nya dia,"
bisik Bu Ratna di telinga calon besannya
tapi dapat terdengar olehku.
Entah kenapa aku semakin yakin untuk
menjadi WO untuk pernikahan Jevano dan
Danisa. Aku ingin membuktikan pada
mantan ibu mertuaku yang sejak dulu selalu
meremehkanku. "Mungkin ibu ragu dengan
kami, tidak apa-apa. Semua orang juga
pernah meragukan kami. Tapi dari 10 orang
menggunakan jasa kami 9 orang
mengatakan sangat puas dan sisanya mereka
mengatakan puas. Jika ibu masih ragu, ibu
bisa melihat akun media sosial kami
semuanya memberikan kami review positif,"
jelasku sambil mencoba terus tersenyum.
Bu Ratna hanya diam, tak mungkin juga jika
dia berkata macam-macam karena akan
membuat dia terlihat buruk di depan calon
besan dan menantunya. Sehingga aku bisa
145
mempresentasikan konsep yang sudah aku
rancang sesuai deskripsi yang pernah Danisa
katakan.
"Wah, baru mendengar penjelasan mbak
Alana saja aku sudah sangat menyukainya,"
ujar Danisa.
"Aku hanya ingin mewujudkan impian
kalian."
"Kamu masih sama seperti waktu itu saat
pernikahan Shireen , meski kamu sekarang
sudah jauh lebih sukses, tapi kamu tetap
memberikan semua yang terbaik yang kamu
bisa," puji Bu Sita.
Pujian dari Bu Sita sukses membuatku
bahagia sekaligus malu "Saya hanya tidak
ingin mengecewakan orang yang
mempercayakan hari bahagia pada saya,"
kataku.
Bu Ratna yang masih tak bereaksi. Aku tak
ingin menebak apa yang ada di pikiran
mantan ibu mertuaku itu. Aku tidak mau

146
berburuk sangka yang berujung menyakiti
hatiku sendiri. "Jadi udah cocok kan konsep
dengan konsep ini?" tanyaku memastikan.
"Iya, Mbak. Mas Jevano juga pasti setuju,
iya kan, Ma?" Danisa menatap calon
mertuanya.
"Iya," jawab Bu Ratna singkat.
"Ok. Kalau begitu pertemuan selanjutnya
kita pilih gaun pengantin, besok saya
kirimkan alamat butiknya."
"Makasih untuk hari ini, Alana. Saya dengar
kamu paling sibuk di SunshineWedding,
tapi kamu masih menyempatkan diri untuk
Danisa," ucap Bu Sita yang terdengar begitu
tulus.
"Jangan berterima kasih, anggap saja saya
sedang membalas kebaikan Mbak Sirene,
ucapku.3
Bu Sita memelukku. "Andai kamu belum
menikah, Ibu pasti jadi orang paling depan
yang melamarmu untuk jadi menantu."
147
"Ma, meskipun Mbak Alana belum
menikah, Mama tetap nggak bisa jadiin
Mbak Alana menantu. Anak Mama kan
cewek semua," ujar Danisa sambil terkikik
karena tingkah ibunya.
"Oh iya, Mama sampai lupa kalau Mama
nggak punya anak cowok," ujar Bu Sita
yang mengundang tawa.
Mereka sudah pergi lebih dulu. Sedangkan
aku masih sibuk membereskan barang-
barangku. Aku memastikan tidak ada yang
tertinggal, jika ada satu saja benda yang
tertinggal itu akan sangat merepotkan untuk
kembali lagi ke tempat ini.
"Alana, saya perlu bicara!"

148
11. Rahasia yang Lain.

“Alana, saya perlu bicara!” Aku


menghentikan aktivitasku. “Mundur jadi
WO Danisa dan Jevono!” lanjutnya tanpa
basa-basi. 5
Aku menghela napas panjang. “Ada barang
yang tertinggal, Bu?” tanyaku basa-basi
seolah tidak mendengar perkataannya tadi.
“Jangan ganggu mereka! Saya akan berikan
semua yang kamu mau! Jadi berhenti
sekarang juga, jangan hancurkan hidup
Jevano lagi. Dia berhak untuk bahagia,”
ujarnya yang membuat pertahananku untuk
bersikap biasa saja perlahan hancur. 1
Aku menatapnya tajam, dia memang selalu
seperti ini. Kata-kata selalu tajam dan
menyakitkan sama seperti dulu. Aku pikir
seiring berjalannya waktu dia akan berubah,
nyatanya dia masih sama saja.

149
“Ibu yakin akan memberikan semua yang
saya mau?” Aku tersenyum miring
meremehkannya.
“Ya, katakan saja!” ujarnya yakin.
“Oke, bagaimana jika saya ingin putra ibu?
Ah, tidak, saya ingin kebahagiaannya.” Aku
tertawa pelan. “Ibu bilang putra ibu itu,
berhak bahagia lalu bagaimana dengan
saya?”
“Kamu!”
Dia melayangkan tangan ke wajahku,
namun aku lebih sigap menangkap
tangannya. “Jika Anda berani menyentuh
saya, saya pastikan putra ibu tidak akan
pernah bahagia. Bahkan dengan cara paling
mudah.”
“Apa yang akan kamu lakukan!”
“Jevano sudah tahu jika saat saya pergi,
saya sedang hamil! Kita lihat apa yang bisa
dia lakukan jika dia tahu ibunya menyuruh

150
saya untuk menggugurkan kandungan. Atau
mungkin cerita tentang malam itu ....” 1
“Jangan katakan apapun!” ujarnya
memotong kalimatku yang tak sempat aku
selesaikan.
“Kita lihat saja bagaimana Anda bersikap!
Jika Anda mengusik saya, jangan salahkan
kalau saya juga mengusik Anda!” 6
Aku langsung meninggalkan Bu Ratna yang
masih terdiam. Sebenarnya aku tidak ingin
menjadi wanita jahat yang menekan orang
tua. Namun aku tidak bisa terus diam tanpa
melakukan apa pun jika dia terus
menggangguku. Sudah cukup dulu aku
diam, sekarang tidak akan lagi.
Meski aku bersikap sok kuat di depan Bu
Ratna, nyatanya aku masih tersakiti oleh
semua kata-katanya. Aku menangis di mobil
yang terparkir di depan restoran itu. Aku
teringat masa-masa sulit itu. Saat Jevano
membawaku masuk ke rumah itu.

151
Hari itu satu bulan setelah pernikahan kami.
Ibu yang memutuskan untuk menjadi
sukarelawan di daerah terpencil, akhirnya
benar-benar berangkat. Ibu juga
mengembalikan rumah dinas yang selama
ini kami tinggali, hingga terpaksa Jevano
membawaku ke rumah orang tuanya, untuk
tinggal sementara. Waktu itu kami benar-
benar tidak punya apa-apa. Jevano hanya
bekerja paruh waktu, sedangkan aku hanya
melakukan pekerjaan yang bisa aku lakukan
dari rumah salah satunya adalah editor
lepas.
“Kita nggak apa-apa tinggal di
sini?” tanyaku ragu. Aku masih ingat
perkataan Ayahnya saat kami memutuskan
untuk menikah.
“Ya enggak apa-apalah! Lagi pula ini
rumah orang tuaku yang artinya orang tua
kamu juga!” Dia mencoba
menenangkanku.

152
Dia menggenggam tanganku erat,
membawaku melangkah masuk ke rumah
itu. Sebelumnya dia memang sudah
memberi tahu orangnya jika kami akan
tinggal sementara di sana.
“Selamat malam, Ma, Pa!” sapaku lalu
menyalami mereka.
Tanpa sepatah katapun, atau setidaknya satu
senyuman ibunya berlalu begitu saja dan
meninggalkan kami. Sementara ayahnya
hanya diam sebentar, lalu pergi juga.
Rasanya aku ingin menangis dan melarikan
diri saat itu. Namun aku tidak melakukan itu
semuanya, karena seseorang menggenggam
tanganku dan tersenyum. 3
“Mama sama Papa memang seperti itu.
Nanti juga kamu akan terbiasa. Mereka
sebenarnya baik kok!” katanya mencoba
menghiburku.
Namun seiring hari berlalu, nyatanya tidak
ada yang berubah. Mereka masih saja dingin
padaku, bahkan sesekali terlontar sindiran
153
halus oleh ibunya. Bahkan sesekali sindiran
terang-terangan yang semakin lama semakin
sering aku dengar. Mengingat semua itu
rasanya masih sama menyakitkannya seperti
saat aku mendengarnya dulu. 1
***
“Aku nebeng kamu ya!”
Menyadari seseorang masuk dan duduk di
bangku penumpang, membuatku secara
refleks menyeka air mataku. Dia tersenyum
tanpa rasa bersalah, setelah masuk tanpa ijin
ke mobil orang. Namun sayangnya aku tidak
punya tenaga lebih untuk marah padanya.
“Kenapa kamu di sini?” tanyaku. 1
“Mau nebeng kamu lah! Mobil aku habis
bensin!” jawabnya yang terdengar mengada-
ada.
“Deket sini kan ada SPBU!”
“Malesnyetir!”
“Kan bisa naik taksi! Aku sibuk!”

154
“Sibuk apa? Sibuk nangis?” tebaknya yang
tepat sasaran.
“Siapa juga yang nangis!” elakku.
“Terus itu maskara sampai bleder-bleder,
pipi basah kaya habis cuci muka, nggak
mungkinkan mata kamu keringetan?”
“Bodo!”
“Lan, kamu bisa bohong sama kak Risa,
sama Mas Cahyo, kamu bisa bohong sama
semua orang, tapi kamu nggak bisa
bohongin aku!” Dia benar, aku selalu gagal
membohonginya. Mungkin karena dia orang
yang paling sering menghabiskan waktu
denganku selain Derano selama lima tahun
ini membuatnya dia mengenalku dengan
baik. Tanpa sadar air mataku kembali
menetes. “Lan, semuanya akan baik-baik
saja! Kamu punya aku,” ucapnya yang
menghangatkan hatiku. Rasanya satu
bebanku terangkat setelah menangis di
depannya. “Kamu nggak perlu katakan apa
alasan kamu menangis, tapi kalau kamu mau
155
cerita kedua telingaku selalu terbuka untuk
mendengarkan semua cerita kamu.”
Aku benar-benar tersentuh dengan kata-kata
Zen yang membuatku merasa jauh lebih
baik. “Zen, makasih!” ucapku.
“Lan, sesi curhat itu nggak gratis!” ujarnya
yang membuatku tidak paham, “jaman
sekarang pipis aja bayar! Masa
curhatgratisan!”
Aku mengerutkan keningku. “Maksudnya
aku harus bayar gitu?’
“Nah, gitudong peka! Buruan anterin aku!”
Sudah aku duga, otaknya hanya berjalan
dengan baik beberapa menit saja. Semua
sikapnya yang sedikit random, membuatku
terkadang berpikir jika dia berkepribadian
ganda. Terkadang bersikap sangat kekanak-
kanakan melebih Derano, tapi kadang juga
begitu dewasa sampai membuatku tak
percaya jika dia adalah Zen yang sama.
Namun aku bersyukur memiliki dia di

156
sekitarku, karena dia membawa banyak
kebahagiaan di dalam hidupku.

157
12. Menjadi Keluarga.

“Keluarga itu bukan hanya seseorang yang


berhubungan darah atau memiliki sebuah
ikatan dengan kita Sebenarnya keluarga
adalah orang-orang yang selalu ada untuk
kita dan tidak pernah meninggalkan kita
sendiri.”
==========================
=======
Arfandi Zaenal Abraham atau yang biasa
aku sapa Zen. Seseorang yang membuat aku
merasakan indah keluarga selama lima
tahun ini. Pertemuan kami bukan sesuatu
yang indah untuk dikenang, namun
membuatku menjadi diriku yang sekarang.
Dia adalah alasan kenapa aku hidup hingga
saat ini, jika tidak bertemu dengannya
mungkin aku sudah berakhir menjadi mayat
saat itu.

158
“Jika ingin mati jangan ngerugiini
orang!” bentaknya setelah menyeretku ke
tepi jalan.
Ya, malam itu aku berniat mengakhiri
hidupku. Entah apa yang aku pikirkan saat
itu, satu yang pasti aku kehilangan hasratku
untuk tetap hidupku. Setelah Jevono benar-
benar pergi dari rumah kami dan tak
kembali. Terlebih surat panggilan sidang
cerai dan di hari yang sama aku tahu jika
aku sedang mengandung lagi membuatku
keinginan untuk tetap bertahan hidup
terkikis habis.
“Ikut saya!” Orang yang sama sekali tidak
aku kenal saat itu, menyeretku. Aku dengan
bodohnya juga mengikuti dia tanpa
bertanya, saat itu aku bahkan tak peduli jika
dia akan membunuhku atau melakukan hal-
hal yang lebih buruk dari itu.
“Loncat!” ujarnya sambil menunjuk
jembatan yang berdiri kokoh di atas sebuah
sungai yang arusnya cukup deras. “Tunggu
159
apa lagi? Loncat.” Dia mengulangi
perkataannya. “Kenapa, takut nggak mati?
Tenang saja sungai ini cukup deras untuk
menghanyutkan tubuh kamu. Dari pada
kamu nabrakin diri ke mobil dan nyusahin
orang lain. Sungai ini pilihan yang tepat!”
Aku terdiam mendengar kata-kata yang
terdengar kejam dan tanpa perasaan. Aku
menatap derasnya air yang mengalir di
bawah sana. Tiba-tiba aku merasakan
sebuah pergerakan di perutku. Aku
menangis sekencang yang aku bisa.
Bagaimana bisa aku lupa, jika ada
kehidupan lain dalam diriku. Jika aku mati,
berarti aku juga membunuhnya. Merenggut
kesempatannya untuk hidup.
“Maafin Bunda sayang, maafin
bunda!” rancauku sebelum akhirnya
semuanya menjadi gelap.
***
“Dor!” Aku terseret dari lamunanku oleh
kejahilan seseorang yang sekarang sedang
160
duduk manis di sampingku sambil memakan
kuaciku tanpa permisi.
“Zen, kalau aku jantungan, terus mati
gimana?”
“Kuburlah!” jawabnya tanpa rasa
bersalah. 1
“Kalau aku mati Derano sama siapa?”
“Tenang aja, ada aku, Kak Risa, dan Mas
Cahyo yang dengan senang hati merawat
Derano, jadi kamu nggak perlu khawatir!”
ujarnya yang membuatku ingin
memakannya hidup-hidup, jika perlu aku
ingin menelannya secara utuh.
“Udah sana, ganggu!” usirku. Lalu fokus
pada rancangan yang sedang aku buat di
laptopku.
“Jadi ganggu nih? Padahal aku datang mau
kasih tau kamu kalau Mas Cahyo ngajakin
kita shoping plus dibayarin!” ujarnya yang
membuatku

161
“Ya udah ayo!” Aku langsung menutup
laptop, rezeki itu tidak boleh ditolak dan
kesempatan seperti ini tidak akan datang
setiap hari.
“Yey, giliran shopping ajacepet!” cibir Zen
“Kaya yang ngomong enggak!”
“Eh, ni bayi gede berdua malah berantem!
Ayo keburu macet!” ujar Mas Cahyo yang
turun dari lantai dua sambil menggendong
Derano.
Jangan heran kenapa ada Zen, Kak Risa dan
Mas Cahyo karena ini memang rumah
mereka. Setiap akhir pekan Kak Risa
memintaku untuk membawa Derano
menginap di rumahnya, terlebih jika aku
sedang ada pekerjaan. Kebetulan karena aku
ingin fokus pada pernikahan Danisa, aku
memilih menyerahkan beberapa proyek
pada stafku tentu saja dengan pengawasan
dariku. Jadi aku bisa bersantai di akhir
pekan.

162
***
Karena tidak terlalu jauh dan jalanan juga
belum terlalu macet, kami akhirnya sampai
di mall yang dekat dari rumah kak Risa.
Aku dan Kak Risa memilih untuk belanja
kebutuhan rumah dan bahan makanan,
sementara Zen dan Mas Cahyo membawa
Derano untuk mencari sepatu.
“Lan, kalau begini rasanya kaya anak gadis
lagi ya,” ujar kak Risa sambil tersenyum
lebar.
“Ya besok-besok kita jalan berdua lagi!”
ujarku.
“Kamu sih sibuk ngurusin nikah orang
terus! Jadi kita jarang jalan bareng!”
Aku mengangkat bahuku. “Namanya juga
orang sibuk!”
“Kamu tuhngurusinnikahan orang mulu,
nggak ada gitu niatan ngurusinnikahan
sendiri?” Aku langsung merasa terdesak
padahal aku sedang tidak makan atau
163
minum apa pun. “Gini loh, Lan, maksudku
Derano itu pasti butuh sosok seorang ayah!
Katakanlah dia punya Mas Cahyo, tapi tetap
akan berbeda jika kamu nikah, Derano
punya ayah dan kalian menjadi keluarga
yang utuh!” Aku hanya diam, aku terlalu
diam harus merespons apa perkataan Kak
Risa. Aku bahkan tidak pernah
berpikir mencari laki-laki untuk aku jadikan
ayah untuk anakku.
“Bagi aku dan Derano Kak Risa, Zen dan
Mas Cahyo udah lebih dari cukup untuk
untuk menjadi keluarga kami. Tidak orang
lain untuk membuat keluarga kami terasa
sempurna!”
“Lan ....”
“Kak, di sana ada diskon!”
Aku berlari meninggalkan Kak Risa
menuju tempat orang-orang mengantre
untuk mengambil barang-barang diskon.
Sebenarnya itu hanya alasan agar kak Risa
teralihkan dari pembicaraan kami tadi.
164
Karena jika dilanjutkan aku akan semakin
bingung harus merespons bagaimana.
Sepertinya kak Risa juga menyadari jika aku
tak nyaman dengan obrolan kami, dia juga
tidak membahasnya lagi. Kami memilih
membahas menu makan malam kami nanti.
“Mbak Alana!” Seseorang menepuk bahuku
pelan.
“Danisa?”
“Mbak Alana belanja juga?” tanyanya yang
terlalu jelas hanya basa-basi, karena tanpa
bertanya harusnya dia tahu dengan melihat
aku di tempat ini mendorong troli berisi
bahan-bahan makanan.
“Iya, kamu juga?”
“Akh sebenarnya enggak niat belanja sih,
cuma tadi tiba-tiba pinginmasakin sesuatu
buat mas Jevano. Jadi daripada aku bosan
nemenin mas Jevanonyari sepatu, akhirnya
aku putusin untuk beli beberapa bahan
masakan,” jelasnya.

165
“Oh, ya? Kamu tuh sosok istri idaman
banget!” ujar Kak Risa yang sukses
membuat Danisa tersipu malu.
“Aku cuma lagi belajar, soalnya malu Mas
Jevanotuh jago banget masaknya!”
“Wah, kamu beruntung sekali, dokter
Jevano itu benar-benar definisi dari husband
material. Ganteng, pinter masak, perhatian
juga!” puji Kak Risa yang membuat senyum
Danisa kian mengembang.
Danisa terlihat begitu bahagia saat
menceritakan semua tentang Jevano. Aku
bisa melihat betapa dia sangat mencintai
Jevano. Aku mungkin pernah merasakan hal
yang sama seperti Danisa. Merasa sebagai
wanita paling beruntung karena memiliki
dia. Jevano dan semua perlakuannya
memang perpaduan sempurna meluluhkan
hati wanita.
“Kalian cuma berdua?”

166
“Enggak kok! Ada Mas Cahyo, Zen sama
Derano mereka katanya juga lagi cari
sepatu,.” jawab Kak Risa. “Dan, dari pada
sendirian gimana gabung kita aja?” tawar
kak Risa.
“Beneran boleh gabung?”
“Beberanlah, iya kan, Kak?”
Aku hanya tersenyum lalu mengangguk.
Aku tidak mungkin menolak, karena akan
menimbulkan banyak pertanyaan. Lagi pula
aku sudah beberapa kali berhadapan dengan
mereka dan ke depannya akan lebih sering
terjadi. Kami duduk di restoran ini
menunggu para lelaki yang belum terlihat
batang hidungnya sama sekali. Kak Risa dan
Danisa terlihat begitu akrab sementara aku
hanya diam, rasanya begitu sulit untuk
mengakrabkan diri dengan Danisa, aku juga
tidak tahu alasannya apa. Aku memilih
menikmati makananku, aku harus
mengumpulkan banyak tenaga, karena
berhadapan dengan mantan yang sudah
167
bahagia dengan pasangan barunya butuh
banyak energi.
“Kalian udah lama?” tanya Mas Cahyo yang
datang dengan beberapa paperbag.
“Kamu pikir?” tanya Kak Risa jengah.
“Alana, bagi minumannya!” Tanpa
menunggu persetujuanku, Zen langsung
menenggak minumanku hingga habis.
“Zen, kenapa dihabisin?”
“Haus?” ujarnya tanpa rasa bersalah setelah
menghabiskan minumanku.
“ Btw, anakku mana?” tanyaku saat
menyadari Derano tidak ada bersama
mereka.
“Oh, Deren? Tadi dia sama Dokter Jevano,
soalnya tadi dia ngerengek dan hampir
nangis karena nggak mau pisah Dokter
Jevano. Tadi aku juga udah WA Risa kok!”
jelas Mas Cahyo.

168
“Aduh Jevano itu idaman banget sih, dia
kebapakan banget!” gumam kak Risa yang
membuat mereka tertawa.
“Kok kalian izinin sih? Kalau dia
ngerepotingimana?”
“Tadi aku udahnggakbolehin, tapi Deren itu
batu sama kaya kamu!” ujar Zen.
“Ya udah, aku cari Derano dulu!” Sungguh
aku tidak bisa tenang saat membiarkan
mereka berdua bersama, bagaimana jika
mereka semakin dekat dan Jevano
membawa Derano pergi. Aku bisa gila jika
itu benar-benar terjadi.
“Aku temenin!”
“Enggak perlu!”
Aku pergi meninggalkan mereka, aku tidak
lagi bisa berpikir dengan benar. Aku hanya
memikirkan bagaimana segera menemukan
Derano. Aku mencari mereka di tempat
sepatu di jual, melihat deretan sepatu-sepatu
itu membuatku sebuah kenangan teringat di
169
pikiran. Dulu Jevano sering mengajakku
untuk melihat-lihat sepatu dan jika sudah
mencari sepatu bisa menghabiskan berjam-
jam hingga aku merasa begitu bosan.
Setelah berkeliling akhirnya aku
menemukan mereka. Mataku menangkap
sosoknya yang sedang memakaikan sepatu
pada kaki kecil Derano. Mereka terlihat
begitu bahagia bersama, di sini aku merasa
menjadi manusia egois karena memisahkan
mereka. Namun aku tak punya banyak
pilihan. Aku tidak ingin menjadi lebih egois
dengan membuka semua, akan lebih banyak
hati tak bersalah akan terluka.
“Bunda ....” Sepasang mata kecilnya
menangkap bayanganku, dia terlihat begitu
bahagia. Dia langsung berlari ke arahku dan
memelukku erat. “Bunda, Alen
dibeliintepatu (sepatu) tama (sama) om
tokten (dokter)” Derano dengan bangga
menunjukkan sepatu yang dia kenakan.

170
Dia berjalan menghampiri kami. “ Nggak
apa-apa kan aku beliinDerano sepatu?”
tanyanya memastikan, aku hanya
mengangguk. Jika aku menolak secara
terang-terangan Derano pasti akan menjadi
sedih dan aku tidak mau itu.
“Jevano, Alana!” Kami menoleh ke arah
suara itu bersamaan.
***
Cookies!
“Alen mau sama om tokten!” Derano
menggenggam erat tangan Derano.
“Ren, Bunda kamu nanti marah loh! Nanti
kita ketemu sama om dokternya lagi setelah
kita ketemu bunda dulu,” bujuk Cahyo.
Derano menggeleng. “Nggak mau!” tolak
Derano yang membuat Cahyo dan Zen
begitu frustrasi.
“Udah biar Derano sama saya nggak apa-
apa kok. Tadi Danisa juga bilang lagi sama
Mbak Marisa dan bundanya Derano.”
171
“Oh ya?”
“Coba aku tanya sama Risa dulu!” Setelah
beberapa saat Cahyo menghubungi Risa..
“kata Risa boleh.”
“Tapi, Mas ....”
“Nggak apa-apa kok, lagi pula Derano itu
anak yang baik. Jadi saya senang menjaga
dia.”
“Benerannggak apa-apa?”
“Iya,” jawab Jevano dengan senyum yang
begitu meyakinkan.
“Oke. Titip Derano ya!”
Jevano merasa bahagia, akhirnya tiba
saatnya dia bisa menghabiskan waktu
bersama anaknya, walaupun hanya sebentar
saja.
***

172
13. (Bukan) Keluarga Bahagia

“Jevano, Alana.” Kami menoleh ke arah


suara itu.
Aku mengenal wanita itu. Seseorang yang
tidak lagi aku temui setelah kami lulus
SMA. Tentu saja, setelah lulus anak
menikah dan sibuk mengurus anakku. Tidak
ada waktu untuk bermain-main, atau
sekedar bertemu mereka. Lagi pula aku
terlalu malu untuk menunjukkan diri di
depan mereka.
“Kamu apa kabar?” tanya Yerin yang
terlihat begitu antusias.
“Aku baik kok, kamu sendiri?”
“Ya, seperti yang kamu lihat. Wah, ini anak
kamu yang kedua pasti, ganteng banget
mirip ayahnya!” Aku bingung harus
bereaksi apa, aku hanya tersenyum. 2
“Iya dong, anak gue pasti ganteng! Papanya
aja ganteng begini!,” ujar Jevano sambil
173
menggendong Derano, “kita mirip kan?”
Jevano melirikku, seolah menunjukkan
padaku jika dia memang ayahnya Derano.
“Ya Allah, sejak kapan suami lo jadi narsis
begini?” Suami? Andai saja dia tahu kalau
aku dan Jevano bukan lagi suami istri. Aku
tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi
mereka jika tahu, Jevano bahkan sudah akan
menikah lagi.
“Lan, Jev hari ini kita ada arisan bareng
anak-anak yang lain, kalian mau gabung
nggak?” tawar Yerin penuh harap.
“Gimana ya ....” Aku memikirkan cara
untuk menolak tanpa mengecewakannya.
Tak mungkin juga aku terima tawaran itu,
karena keadaan aku dan Jevano yang tidak
memungkinkan lagi.
“Oke!” ujar Jevano setuju.
“Tapi ....”

174
“Udahnggak apa-apa, udah lama juga kita
nggak ketemu mereka,” ujar Jevano sambil
merangkulku.
Aku mematung karena perlakuan Jevano.
Ingin rasanya aku mendorong dia pergi,
namun sisi lain dalam diriku menyukai
perlakuannya. Aku tidak bisa memungkiri,
jika aku merindukan saat dia
memperlakukanku seperti ini.
“Ya udah, kita langsung ke sana aja!” ujar
Yerin yang terlihat begitu bahagia, “oh iya,
lupa, ini Mas Tama suami gue.” Dia
memperkenalkan suaminya.
“Tama!” Dia mengulurkan tangan padaku.
“Alana.”
“Jevano.
“Ya udah, ayo kita jalan! Tapi gue bayar ini
dulu ya!” Yerin menunjukkan barang yang
dua beli.
“Kita juga mau bayar sepatu Derano dulu!”

175
“Sip, kita ketemu di parkiranaja ya!”
“Oke.”
Yerin dan suaminya jalan lebih dulu. Aku
menahan tangan Jevano, biar bagaimanapun
ini salah dan aku sadar itu. Kami dalam
keadaan yang tidak oleh seperti ini lagi. Dia
sudah milik orang lain, bukan milikku lagi.
“Danisa gimana, kamu kan pergi sama dia?”
tanyaku, mencoba mengingatkan dia
takutnya dia lupa jika dia datang bersama
calon istrinya bukan aku.
“Aku udah bilang sama dia, ada urusan
mendadak.”
“Mas Cahyo, Zen sama Kak Risa nungguin
aku!”
“Sekali ini saja, Lan.
Sekali saja? Apa tidak masalah jika aku
melakukan ini sekali saja? Melihat Derano
begitu bahagia bersamanya aku menjadi
tidak tega untuk memisahkan mereka.
Maafkan aku Tuhan, biar aku melakukan hal
176
bodoh ini sekali saja. Aku janji ini pertama
dan terakhir.
***
Rasanya begitu aneh membayangkan
bertemu orang-orang yang sudah lama tidak
aku temui. Terlebih kami tidak
meninggalkan kesan manis saat terakhir kali
bertemu. Mungkin yang mereka ingat dariku
adalah siswi yang ketahuan hamil di acara
kelulusan sekolah.
“Guys! Lihat siapa yang datang!” ujar Yerin
begitu masuk ke rumah itu, rumah yang
tidak kami ketahui siapa pemiliknya.
Ruangan yang semua bising, tiba-tiba
menjadi hening saat melihat kedatangan aku
dan Jevano. Mereka pasti terkejut dengan
kehadiran tamu yang tidak diundang ini.
“Ke mana ajalo, Jev?” Dino merangkul
Jevano.
“Wih bini lo makin cantik ya!”
“Garcep ya Llodah dua aja!’
177
Anak laki-laki, ralat mereka bukan anak-
anak lagi. Kami sudah tumbuh dewasa,
mereka sekarang bahkan sibuk mengurus
anak mereka masing-masing. Rasanya
sedikit lucu melihat pemandangan ini, anak
laki-laki yang dulu di berkumpul akan
membicarakan hal-hal kekanak-kanakan,
kini dengan sikap mengurus anak. Waktu
merubah segalanya, dan semua terjadi
begitu singkat sampai aku tidak menyadari
jika waktu telah berlalu, padahal rasanya
baru terjadi kemarin.
“Lan, dulu kita kecewa sama lo!” ujar Yerin
tiba-tiba.
“Iya, kita kecewa sama lo. Habis
longgakngundang kita-kita dan setelah
nikah lo juga susah dihubungi!” timpal
Nala.
“Maaf,” ucapku. Sungguh aku dulu tak
berpikir jika apa yang aku lakukan membuat
mereka sedih. Aku pikir mereka sudah
enggan untuk bertemu aku lagi.
178
“Dulu kita mikir, lo bodoh! Gimana bisa
seorang Alana yang terkenal selalu berpikir
dulu sebelum bertindak bisa hamil,
sebucinapapunlo saat itu pada Jevano saat
itu harusnya longgakngorbanin masa depan
lo. Tapi semuanya udah terjadi, melihat
keluarga yang lo bangun bareng Jevano,
sebagai sahabat lo kita semua bangga.
Karena Alana, tetap menjadi Alana yang
berani bertanggung jawab atas apa yang dia
lakukan!” ujar Yerin panjang lebar, yang
membuat mataku terasa perih.
Mendengar gelak tawa di ruangan ini.
Membuatku rindu saat masa-masa SMA
kami. Aku tidak menyadari telah
melewatkan banyak hal untuk
mempertanggungjawabkan apa yang sudah
aku lakukan. Tanpa sadar aku tumbuh
dewasa tanpa melewati masa muda seperti
orang-orang pada umumnya. Membuat aku
bertanya menyesalkah aku dengan pilihan
yang aku pilih? Aku jadi membayangkan,
bagaimana jika saat itu aku memilih lari.
179
Menyembunyikan semuanya, hingga dunia
tidak tahu jika saat itu aku hamil, apa
hidupku akan baik-baik saja? Namun saat
melihat Derano berjalan ke arahku sambil
tersenyum, aku segera membuang pikiran
itu jauh-jauh, aku tidak menyesal. Aku tidak
menyesal melewati masa muda untuk
membesarkan anak-anakku.
“Bunda, Alen mau pipis!” ujar Derano yang
terlihat gelisah.
“Rin, boleh pinjam kamar mandi?”
“Boleh banget! Kamu tinggal ke arah sana,
lurus nah di ujung itu kamar mandinya!”
ujar Yerin sambil menunjukkan arah kamar
mandinya.
“Oke makasih.”
Aku menggendong Derano menuju tempat
yang Yerin tunjuk. Anak ini memang suka
merepotkan, tapi namanya juga anak kecil
hak seperti ini adalah yang wajar. Derano
juga cukup pintar, setiap kali dia ingin

180
buang air sejak dia bisa bicara dia selalu
bilang padaku dan jarang ngompol
sembarangan.
“Udah?” tanyaku.
“Udah!” jawabnya disertai anggukkan kecil.
Setelah membersihkan Derano, aku segera
kembali tidak juga jika pergi terlalu lama.
“Thanks kalian dah mau bantuingue!” Aku
menghentikan langkahku saat mendengar
Jevano mengatakan itu.
“Santai aja, Jev, lagi pula kita seneng kok
bantuinlo,” ujar Dino.
“Berkat kalian, hari ini gue bisa habisin
waktu sama anak gue!" Mendengar itu aku
semakin penasaran dengan apa yang
sebenarnya mereka bicarakan.
“Kita juga seneng kok lihat kalian bersama,
jujur kita masih nggak percaya kalau kalian
udah pisah.”
Jadi mereka semua sudah tahu, jadi yang
sejak tadi terjadi adalah sebuah
181
pertunjukkan yang mereka rancang. Astaga
Alana, kenapa kamu bodoh sekali? Kenapa
kamu tidak memikirkan jika semua ini
terlalu ganjil. Kebetulan-kebetulan yang
terjadi hari ini, terlalu sempurna untuk
disebut kebetulan.
“Alana!” ujar Yerin yang menyadari
kehadiranku.
“Pertunjukan hari ini, luar biasa. Terima
kasih!” ucapku.
“Alana, ini semua ideku jadi kamu jangan
marah sama Jevano?” ujar Yerin, dia terlihat
berusaha keras membela Jevano.
“Aku nggak marah kok. Kalian nggak salah,
aku aja yang terlalu bodoh!”
“Lan, maafin aku. Aku cuma ingin
menghabiskan waktu dengan anakku,” ujar
Jevano.
“Aku pergi, permisi!” Aku menggendong
Derano dan melangkah pergi. Aku

182
mendengar derap kaki mengikutiku dan aku
mempercepat langkahku.
Meski aku sudah berusaha melangkah
secepat mungkin, langkahnya lebih cepat
untuk mengejarku. Dia menahan tanganku.
“Lan, jangan kekanak-kanakan begini!”
ujarnya.
“Kekanak-kanakan kamu bilang? Yang
kamu lakukan hari ini lebih kekanak-
kanakan!” ujarku.
“Maafin aku, aku hanya ingin
menghabiskan waktu dengan kalian!”
“Tapi caramu salah! Kamu sadar nggak sih
apa yang kamu lakukan ini bisa membuat
orang-orang salah paham apa lagi kamu
sudah mau menikah!”
“Bunda Tama om tokten kok berantem sih?’
tanya Derano yang terlihat kebingungan. Ya
Allah, kenapa aku lupa jika ada Derano. Dia
pasti merasa bingung dengan situasi ini.

183
“Enggak berantem kok sayang, Bunda sama
Pa- om dokter nggak berantem!” ujar
Jevano lembut.
“Jev, biarkan aku pergi! Hari ini cukup
sampai di sini!”
“Biar aku antar kalian, ini udah mau ujan!”
“Aku bisa naik taksi!” Aku pergi
meninggalkan dia.
Langit terlihat mengelap, namun aku tidak
ingin semua ini semakin berlarut dengan
membiarkan dia mengantar kami pulang.
Aku tidak mau merasa lebih nyaman dengan
kebersamaan kami.
Seperti dia belum menyerah, dia
menghentikan mobilnya di depan kami.
“Ayo naik, bentar lagi hujan!” ujarnya.
“Kita taksi aja!”
“Tolong jangan keras kepala!”
Aku hanya diam, percuma aku
membalasnya karena dia juga tidak akan

184
mendengar aku. Perlahan titik-titik kecil air
hujan mulai turun, sepertinya langit juga
mendukung Jevano. Jalanan juga sepi tidak
ada taksi yang lewat. Aku menghela napas
berat, jika aku tetap keras kepala dan
bertahan di sini lebih lama Derano bisa
sakit, namun jika aku terima tawaran dia itu
dia pasti merasa menang.
“Ayolah, Lan, kasianDeranoudah mulai
kedinginan!” bujuknya lagi.
“Oke, tapi ini aku tidak mau anakku sakit!
Dan ini adalah terakhir kali, tolong jangan
lakukan lagi.”
Dia tidak menjawab, dia hanya berjalan
membukakan pintu untukku. Dia tersenyum
tipis menatap Derano. Aku tahu, apa yang
dia lakukan tulus. Dia hanya ingin lebih
dekat dengan anaknya, namun jika seperti
ini terus aku takut. Aku takut jika hatiku
menjadi salah paham, lalu semakin berat
untukku melupakan dia.

185
14. Cukup

Hari ini bagaimana rollercoaster yang


menjungkirbalikkan perasaanku. Aku
merasa bahagia dan juga sakit bersamaan.
Bahagia karena aku bisa melihat Derano
terlihat begitu bahagia menghabiskan
seharian bersama Jevano—ayahnya. Sakit
karena tahu jika semua ini adalah sandiwara
yang Jevano lakukan dan semua ini
hanyalah kebahagiaan semu.
Derano terlihat begitu lelah, sekarang dia
tertidur lelap di pangkuanku. Dia pasti
kelelahan setelah bermain dengan teman-
temannya apalagi ditambah drama yang
terjadi antara aku dan Jevano pasti membuat
dia semakin kelelahan. Namun dari semua
itu dia terlihat bahagia, bahkan segurat
senyum terukir di wajahnya yang polos saat
dia tertidur.

186
“Dia mirip banget sama aku, ya?” ujarnya
memecah keheningan di antara kami.
“Tapi aku berharap, dia nggak mirip kamu!
Aku pingin punya anak yang mirip sama
aku, hingga nggak ada orang lain yang
mengakuinya sebagai anak mereka,” kataku
yang mungkin terdengar begitu dingin.
Terbukti dia langsung membeku. Dia
terdiam tanpa mengatakan apa pun lagi.
“Kemarin ... kamu ketemu Mama?”
tanyanya setelah beberapa saat diam.
“Iya aku bertemu Bu Ratna, walau kemarin
nggak ketemu, cepat atau lambat kami pasti
bertemu. Perlu aku pertegas hubungan
antara kita sekarang.”
“Aku tahu. Tapi maafin mama ya, kalau
mama nyakitin kamu,” ucapnya.
“Bu Ratna emang selalu begitu sama aku.
Jika dulu aku ngerasa sakit hati, tapi
sekarang udahnggak ada alasan untuk aku
sakit hati.”

187
Setelah itu benar-benar tak ada lagi
pembicaraan di antara kami. Kata-kataku
mungkin terlalu kejam, tapi aku ingin
membuat dia sadar tentang keadaan kami
saat ini. Tak hanya untuk dia, kata-kata itu
juga untuk menampar diriku sendiri agar
tidak lupa dan terlalu terbawa suasana.1
***
Derano masih terlelap hingga kami sampai
di lobi apartemenku. Sudah lama aku tak
menggendongnya, ternyata dia sudah cukup
berat. Jevano membukakan pintu untuk
kami.
"Biar aku yang gendong Derano," tawarnya.
"Tidak! Aku bisa sendiri," tolakku tegas.
"Lan ...."
"Cukup untuk hari ini, terima kasih dan aku
harap jangan ulangi lagi!" tegasku.
Meski sedikit kesulitan menggendong
Derano dan membawa barang-barangku,
aku tak berniat untuk menerima bantuannya.
188
Aku tak mau jika aku menjadi tergantung
padanya. Cukup untuk hari ini sekali saja,
karena dia telah memiliki seseorang dan aku
tak mau menyakiti orang itu karena masa
lalu kami.
"Tapi, Lan. Aku ayahnya kenapa kamu
begitu tega memisahkan kami. Kamu lihat
sendiri betapa bahagianya dia saat bersama
kita, tadi."
Aku tahu dan aku melihat betapa Derano
bahagia, tapi aku tidak ingin keadaan seperti
ini semakin berlarut. Aku harus tegas, aku
tidak akan goyah hanya karena satu hari
sedangkan aku sudah terluka untuk waktu
yang lama. Luka yang hingga hari masih
terasa perih, bagaimana bisa terobati hanya
dengan satu hari?
"Kamu bilang aku tega, lalu kamu sebut apa
dirimu?" tanyaku.
"Aku tidak tahu, jika dia ada. Kamu juga tak
pernah mengatakan padaku jika kamu hamil
saat itu.”
189
"Kamu bukan nggak tahu, tapi kamu nggak
berusaha untuk tahu."
"Kamu juga nggak berusaha untuk ngasihtau
aku!"
"Jev, aku cape. Derano juga butuh istirahat.
Terserah kamu saja, kamu memang selalu
mencari pembenaran atas apa yang terjadi.
Kamu bersikap seolah kamu yang paling
menderita, sama seperti Mama kamu yang
selalu berpikir hanya hidup kamu yang
hancur!"
Benar, usia tak mengubahnya. Dia sama
seperti ibunya. Semula aku ingin melupakan
semuanya, aku ingin berhenti membencinya
tapi nyatanya setiap bersama dia hatiku
selalu terasa nyeri. Aku memutuskan untuk
meninggalkan dia yang terdiam, karena
berhadapan dengan dia lebih lama bisa
membuatku mengatakan semua yang aku
simpan selama ini.
"Lan, tunggu kita belum selesai bicara!"
Jevano menahanku.
190
"Cukup untuk hari ini!"
"Lan ...."
"Lepaskan Alana, dia bilang cukup, kan!"
ujar seseorang yang melepas paksa tangan
Jevano yang memegang pundakku.
"Jangan ikut campur urusan kami!" ujar
Jevano tak terima.
"Jika yang Anda ganggu bukan Alana saya
nggak peduli, tapi karena Anda
mengganggu Alana, saya harus ikut
campur!"
"Siapa Anda, hingga berhak ikut campur?"
Jevano mendorong Zen hingga Zen
kehilangan keseimbangan.
"Saya orang yang menemani Alana periksa
kandungan saat hamil, saya orang
mencarikan Alana makanan saat dia
ngidam, saya orang mengumandangkan
adzan saat Derano lahir. Apa Anda masih
ingin mengatakan saya tidak berhak ikut
campur?" Kata-kata Zen membuat Jevano
191
terdiam. Kata-katanya juga membuat aku
teringat betapa begitu banyak hal yang
sudah Zen lakukan padaku selama ini. 6
Zen mengambil alih Derano dariku. Dia
menggenggam tanganku. "Ayo masuk,
kasihan Derano!” Dia menuntunku menjauh
dari Jevano. Seperti terhipnotis aku hanya
mengikutinya tanpa mengatakan apa pun.
***
Akhirnya aku bisa bernapas lega setelah
sampai di dalam apartemenku. Zen
menidurkan Derano di sofa sedangkan dia
membaringkan diri di lantai. Aku masih
diam, sebenarnya aku sedang menyiapkan
alasan jika Zen bertanya tentang Jevano.
Selama ini dia memang tahu jika aku hamil
setelah bercerai, dia juga tahu rahasiaku dan
Bu Ratna, tapi dia tidak tahu jika mantan
suamiku adalah Jevano.2
"Akh!!!! Dasar bajingan gila!" teriaknya
tiba-tiba yang mengejutkanku.

192
"Kamu kesurupan, Zen?" tanyaku pura-pura
tak tahu alasan dia teriak.
"Bagaimana bisa ada laki-laki kaya dia,
udah pergi saat istrinya hamil ...."
"Mantan istri!" selaku mengoreksi.
"Apa pun itu, tapi tetap saja dia itu
brengsek. Dan sekarang dia main datang
lalu ngaku-ngaku. Ini nih akibatnya kalau
yang lain makan nasi dia makan tembok jadi
nggak tahu malu. Lihat saja bentar lagi juga
kena azab Indosiar!" rancau Zen
mengungkapkan kekesalannya, tapi
membuatku tak bisa menahan tawaku. 4
"Lan aku serius, kok malah diketawain!"
rajuknya.
"Habis kamu pakai bawa-bawa azab
Indosiar."
"Lan aku nggak habis pikir kok kamu mau
nikah sama orang macam dia!”
Aku terdiam. Aku terlalu malu untuk
mengakui jika aku hamil, jadi aku tak punya
193
pilihan selain menikah dengannya. Aku
takut Zen akan berpikir negatif tentangku,
tapi jika aku berbohong Zen pasti akan lebih
kecewa padaku.
"Aku tahu, nggak perlu dijawab. Maaf udah
buat kamu sedih," ucapnya.
"Zen telinga kamu masih mau dengerin
cerita aku nggak?" Aku merasa sudah
saatnya aku bercerita pada Zen. Dia pastikan
banyak pertanyaan, tapi tak menanyakan
padaku karena takut membuatku sedih.
"Tentu," jawabnya yakin.
"Jevano mantan suamiku," ucapku
mengawali ceritaku
"Aku tahu itu, saat kamu nangis di dalam
mobil waktu itu." Begitulah Zen, dia tak
akan ikut campur urusanku meski kami
dekat. Dia akan pura-pura tak tahu, jika aku
tak mengatakan padanya.
"Kamu tidak ingin bertanya?" tanyaku.
"Kan kamu mau cerita."
194
"Kami menikah saat usia kami masih terlalu
muda, karena aku hamil." Zen menatapku
sekilas, dia pasti terkejut tapi mencoba
menutupi itu, aku tahu mungkin dia tak
ingin aku tersinggung. "Karena kami masih
terlalu muda, kami sama-sama egois. Dia
ingin tetap bebas bermain dengan teman-
temannya, sementara aku merasa tak adil
harus terkurung di dalam rumah mengurus
anak." 2
"Berarti anak itu, kakaknya Derano?"
"Iya."
"Lalu di mana anak itu?"
Dadaku terasa sesak mengingat putriku yang
sudah pergi. Aku tak dapat menahan diri
untuk tidak menangis. "Dia ... Mmeninggal
lima tahun yang lalu." Rasa begitu berat
mengatakan itu. Terlalu berat untuk
menceritakan yang terjadi hari itu.1
"Jangan diteruskan jika tidak bisa." Dia
membawaku dalam pelukannya.2

195
15. The Beginningof An End

Hujan mulai turun lebih awal. Bulan


September yang tak pernah aku lupakan
hingga saat ini. Bulan September yang tidak
ingin aku lewati. Suara gemericik hujan
bersahutan dengan tangisan putriku, Jeana
Wisha Aditama. Sejak malam dia terus
menangis, suhu badannya meski sekarang
sudah tak sepanas waktu malam. Aku
menggendongnya, berjalan mondar-mandir
di apartemen kami yang tidak terlalu besar,
sedangkan Jevano sibuk mengemasi barang-
barangnya.
“Jev, kamu jangan pergi ya,” pintaku.
“Enggak bisa, Lan, aku salah satu
penanggung jawab acara ini.” Dia menolak
permintaanku.
“Wisha sakit, badannya anget!”

196
“Lan, anak kecil demam itu biasa. Kasih aja
parasetamol, lagi pula demamnya udah
turun,” ujar Jevano dengan santainya.3
“Jev, kamu bisa pergi lain kali, kan?”
“Cukup Lan, aku nggak mau bertengkar
sama kamu. Aku tahu kamu ngelarang aku
pergi karena kamu mikir aku di sana
seneng-seneng sama cewek, kan?”
“Bukan begitu!”
“Udah aku pergi, nanti aku telepon.”
Dia selalu begitu, tak pernah mendengarkan
aku. Mungkin dia benar, alasan utama aku
melarangnya pergi karena aku cemburu dan
curiga.
****
Sampai menjelang sore, Wisha masih
menangis, sekarang suhu tubuhnya naik
bahkan lebih panas dari semalam. Aku
mencoba menghubungi Jevano, tapi tak
kunjung dijawabnya. Aku juga mengirimkan
puluhan, bahkan ratusan pesan yang hingga
197
saat ini tak dibalasnya. Sedangkan Wisha
terlihat semakin lemas, tangisannya juga tak
sekeras tadi.
“Sabar ya, Sayang. Kita tunggu Papa, nanti
ke dokter bareng Papa,” ujarku pada Wisha.
Aku tak bisa menunggu lebih lama, aku
putuskan untuk membawa dia ke rumah
sakit sendiri tanpa Jevano, keadaan Wisha
tak bisa untuk menunggu lagi. Beruntung
rumah sakit tak berada jauh dari apartemen
kami hingga aku bisa cepat sampai.
“Suster, putri saya demam tinggi,” ujarku
panik saat bertemu perawat di lobi rumah
sakit. Perawat itu memeriksa suhu tubuh
Wisha dan setelah itu dia mengambil alih
putriku yang membuatku semakin cemas,
karena perawat itu terlihat panik.
“Ibu, tunggu di luar saja, ya,” ujar perawat
itu melarangku masuk ke dalam.
Aku mencoba menghubungi Jevano lagi
sambil menunggu Wisha yang sedang

198
ditangani oleh dokter. Namun hasilnya
masih nihil, Jevano masih tak menjawab
telepon dariku. Aku mencoba berpikir
positif tentang Jevano, aku tak ingin berpikir
macam-macam yang akan membuatku
semakin tak tenang.
“Wali dari Jeana Wisha,” panggil dokter
yang keluar dari ruang gawat darurat.
“Saya,” jawabku lalu menghampiri dokter
itu, “bagaimana keadaan putri saya, Dok?”
tanyaku.
“Putri ibu terkena demam berdarah, kondisi
cukup parah, trombositnya sangat rendah
jadi dia butuh donor darah secepat. Tapi
golongan darah putri Anda cukup langka
jadi akan lebih baik jika ada pihak keluarga
yang mendonorkan darahnya.”
“Ayahnya memiliki golongan darah sana
dengannya.”
“Baiklah, segera hubungi suami Anda.”

199
Aku kembali menghubungi Jevano, tapi
hasilnya masih sama saja hingga hari kian
larut dia masih tak mau mengangkat telepon
dariku. Aku menyerah menghubungi
Jevano, aku memilih untuk mendatangi
rumah mertuaku. Ibu mertuaku bergolongan
darah sama dengan Jevano dan putriku.
“Suster, saya boleh minta tolong jagakan
putri saya sebentar, ada hal yang harus saya
urus,” pintaku pada perawat itu.
“Baiklah.”
Aku segera pergi ke rumah mertuaku,
setelah menitipkan Wisha pada perawat
yang sedang jaga malam. Aku tinggalkan
semua tata krama dan kesopanan, aku tidak
peduli jika mertuaku nanti, yang
kupedulikan hanya keselamatan putriku.
Aku menggedor pintu rumah dua lantai itu.
Hingga seseorang datang untuk
membukakan pintu.
“Siapa sih malam-malam bikin ribut?”

200
“Aku, Ma.”
“Alana kenapa sih, malam-malam bikin
keributan?”
“Ma, Wisha kena DBD, dia kritis dan butuh
donor darah. Mama tahu sendiri golongan
darah Wisha langka.”
“Kalau anak kamu sakit, kenapa kamu bikin
keributan di rumah saya?”
“Jevanonggak bisa di hubungi., Mama bisa
kan, donorin darah buat Wisha,” pintaku
memohon.
“Enggak!” 1
“Kali ini saja. Dia kan juga cucu Mama.”
Aku berusaha membujuknya, aku bahkan
sudah berlutut, tapi wanita itu memang
berhati batu, dia tak sedikit pun
menunjukkan rasa belas kasihan.
“Alana, tekanan darah saya tinggi, jadi
nggak bisa donor darah,” ujarnya lalu
menutup pintunya. Dia bahkan berbohong,

201
aku tahu dia tidak memiliki riwayat darah
tinggi.
Aku mengumpulkan harapanku yang tersisa,
aku kembali menghubunginya. Setelah
berulang kali mencoba akhirnya dia
menjawab telepon dariku.
“Ada apa sih, Lan? Aku sibuk!” Seperti
ribuan jarum yang tertancap di jantungku.
Sangat menyakitkan saat dia membentakku,
aku hanya bisa menangis untuk menahan
rasa marah dan juga kecewaku.
“Aku tidak peduli kamu sesibuk apa? Aku
mau kamu pulang, Wisha masuk rumah
sakit dan butuh donor darah secepatnya.”
Aku segera memutus sambungan telepon
setelah mengatakan itu. Terlalu
menyakitkan untuk mendengar reaksinya.
Aku hanya berharap dia pulang secepat.
Aku kembali ke rumah sakit tempat putriku
di rawat. Sudah jam tiga dini hari, aku
menatap putriku yang terbaring tak berdaya
dengan alat-alat yang menempel pada
202
tubuhnya. Aku bahkan tak bisa
menyentuhnya, dokter tak mengizinkan aku
masuk.
Tiba-tiba seorang dokter dan dua orang
perawat berlarian menuju ruangan di mana
putriku dirawat. Aku ingin bertanya tapi
mereka sepertinya sedang terburu-buru.
Dapat kulihat dari jendela kaca mereka
sedang menangani putriku. Aku tidak tahu
apa yang terjadi, tapi satu yang aku tahu
bukan hal baik yang terjadi terlebih saat
tiba-tiba jendela kaca tertutup tirai. Aku
menunggu dengan gelisah, berharap tidak
ada hal buruk yang terjadi. Aku percaya
putriku adalah anak yang kuat, dia pasti bisa
bertahan hingga ayahnya datang.
“Wali dari Jeana Wisha.” Aku bergegas
mendekat ke arah dokter itu.
“Putri saya baik-baik saja kan, Dok?”
“Maafkan kami, sepertinya Tuhan lebih
menyayangi putri ibu.”

203
“Apa maksud, Dokter?”
“Putri Ibu tidak dapat bertahan.”
Aku kehilangan seluruh tenagaku. Kakiku
terlalu lemas untuk berdiri. Aku bahkan lupa
cara untuk menangis, semua begitu kosong
dan terasa tak nyata. Terlalu sulit untuk
mempercayai itu. 7
“Lan, apa yang terjadi?” Aku menoleh ke
arah suara itu. Dia menatapku penuh
pertanyaan, tapi aku tak mempunyai energi
untuk menjawabnya.
“Jeana Wisha tidak bisa diselamatkan,
karena trombositnya terus menurun.”
Dia ikut duduk di lantai bersamaku. "Alana,
maafkan aku," ucap Jevano sambil
menggenggam tanganku.
"Jangan sentuh aku!" teriakku sambil
menarik tanganku, rasanya begitu perih saat
dia menyentuhku.
"Lan ...."

204
"Jev, kemanaaja kamu saat aku dan dia
butuhin kamu? Jika kamu datang lebih cepat
mungkin dia tidak akan pergi," ujarku
sambil memukulnya sekuat yang aku bisa.
"Aku tau aku salah, tapi kamu jangan
begini."
"Terus aku harus bagaimana? Anak kita
meninggal! Wisha ...." Terlalu sulit bagiku
untuk mengatakan jika putriku sudah tidak
ada.
Dia memelukku erat dan aku mencoba
melepaskan diri. Dia adalah orang tidak
ingin aku lihat saat itu. Luka itu masih
terasa sakit saat aku mengingatnya. Aku
berpikir untuk memaafkannya saat itu,
karena dia terus berada di sisi meski aku
terus mengusirnya, aku hanya butuh waktu
sebentar lagi untuk benar-benar menerima
lagi, tapi dia memilih untuk berpisah karena
terlalu bosan menungguku. Sejak hari itu
aku membencinya, aku juga membenci
diriku yang mencintainya.11
205
16. Wedding Dress

Setelah hari Sabtu bagaikan rollercoaster,


hari Minggunya aku putuskan untuk
menghabiskan seharian penuh hanya dengan
Derano di dalam rumah dan sekarang sudah
hari Senin jadi aku kembali ke rutinitasku.
Mengurus Derano yang selalu menguras
energi dan kesabaran, lalu mengantarnya ke
sekolah lalu berangkat bekerja seperti hari-
hari yang lalu.
"Pagi, Tuan Putri," sapa Zen yang tidak
biasanya jam segini sudah ada di kantor.
Aku bahkan mengecek jam tanganku, jam di
ponselku dengan jam di dinding lobi kantor
untuk memastikan jamku tidak salah. "Kok
bingung gitu?" tanyanya yang mungkin
heran denganku yang sibuk mengecek jam.
"Nggak, cuma mastiin jam aku nggak
salah," jawabku yang sepertinya membuat
dia semakin bingung. "Heran aja, kok kamu
jam segini di kantor. Kan aneh!" lanjutku.
206
"Yey! Aku kesiangan kamu marah, aku
datang pagi kamu heran!"
"Zen, tumben udah sampai kantor?" tanya
Kak Risa yang sama herannya denganku.
"Tuh kan, Zen. Kak Risa juga herman!"
"Heran, Lan," timpal Zen membenarkan
ucapanku.
"Udah ganti ya?"
"Serah, Lan, serah!"
"Udahnggak usah ribut, kalian tuh ribut
mulu kaya anak kecil!" omel Kak Risa yang
sepertinya sudah terlalu pusing dengan
tingkah kami. "Udah sana kerja, kamu juga
ada janji ketemu desainer
buat weddingdress-nya Danisa kan, Kan?"
Aku mengecek jurnalku. Benar, aku nyaris
melupakan itu. Proses persiapan pernikahan
Jevano dan Danisa sudah sampai proses
pemilihan gaun pengantin. Sebenarnya aku
masih kesal dengan Jevano, aku berharap
dia tidak ikut hari ini.
207
"Ya udah, biar Alana pergi sama aku," ujar
Zen sambil merangkulku.
"Bukannya kamu ada kerjaan sendiri, ya?"
tanya Kak Risa.
"Yaelah Kak, itu udah di handle sama
Mitha. Jadi Zen nganggur. Karena Zen
nganggur Zen mau mbantuin Alana.
Begitu!" jelas Zen.
"Ya udah terserah kamu, yang penting
jangan malah kamu ngerusuhingerusihin
Alana bukan ngebantuin!"
"Enggak percaya amat, sama adeknya
sendiri yang ganteng kece mempesona," ujar
Zen dengan gaya sok imut yang membuat
dia harus menerima pukulan jijik dari Kak
Risa dan aku yang ingin muntah melihat
tingkahnya.
***
Sesuai rencana aku pergi ke butik yang
sudah aku dan Danisa pilih bersama Zen,
sebelum aku menjemput Derano di
208
sekolahnya karena searah. Sebenarnya ini
adalah ide Zen membawa Derano bersama
kami. Semula aku menolak, tapi setelah Zen
memberiku banyak alasan akhirnya aku
kalah.
"Zen aku berasa sopir, loh!" ujarku sambil
melirik mereka dari kaca spion. Ya Zen dan
Derano duduk di kursi belakang dan asyik
bercanda, sementara aku harus berkutat
dengan padatnya jalanan ibu kota yang tak
pernah sepi kecuali lebaran.
"Udah sekali-kali jadi sopir!"
"Bunda udah totok jadi topirgab," timpal
Derano.
"Zen, jangan ajarin anakku yang aneh-
aneh!" teriakku yang disambutdi sambut
suara cekikikan mereka.
Kami sampai di butik, di depan butik
terlihat Danisa dan Jevano sudah menunggu.
Zen menggendong Derano dan tiba-tiba

209
tangannya menggandeng tanganku,
membawaku melangkah bersamanya.
"Udah lama?" tanyaku.
"Baru kok mbak," jawab Danisa, matanya
melirik tangan Zen yang masih
menggenggam tanganku.
"Oh, kenalin ini Zen. Dia juga akan
mbantuin mengurus pernikahan kalian."
"Zen," ucap Zen sambil mengulurkan
tangannya pada Danisa.
"Danisa," balas Danisa.
"Zen." Kali Zen beralih ke Jevano. Jevano
menatapnya tak suka, setelah kejadian
malam itu aku tak berekspektasi hubungan
mereka akan baik.
"Jevano."
"Uncle Zen, Alen mau pipis," ujar Derano.
"Sini sama Bunda," ujarku.
"Nggak mau, maunya sama Uncle Zen!"
tolak Derano. Derano memang sangat dekat
210
dengan Zen, mungkin karena Zen selalu
bersama dengan dia sejak dia masih dalam
kandungan.
"Ya udah, Lan, biar aku aja. Kamu urus aja
pekerjaan kamu!"
"Oke."
Danisa tersenyum penuh arti melihat
kedekatan antara aku, Zen dan Derano. Di
sisi lain aku bisa melihat Jevano sangat
tidak suka dengan pemandangan ini. Aku
tahu, karena terkadang aku juga merasa
cemburu saat Derano sangat dekat dengan
Kak Risa, mungkin itu yang sedang Jevano
rasakan saat ini.
***
Zen entah membawa Derano ke toilet mana
karena hingga saat ini belum kembali.
Danisa sedang mencoba beberapa gaun yang
sudah jadi di fittingroom. Tinggal aku dan
Jevano duduk menunggu Danisa keluar.
"Lan, maafin aku," ucapnya tiba-tiba.
211
"Untuk?"
"Semuanya. Untuk aku yang dulu egois,
untuk aku yang hingga saat ini masih
memikirkan diriku sendiri," ucapnya lirih
tanpa melihat ke arahku. "Aku nggak minta
kamu maafin aku, karena aku tahu
kesalahanku tidak bisa dimaafkan." Aku
bingung untuk menanggapinya bagaimana.
Tirai di depan kami terbuka, menampilkan
Danisa yang terlihat cantik dengan balutan
gaun pengantin berwarna putih. Entah
kenapa hatiku sangat sakit. Miris bukan?
Dulu saat aku menikah dengannya, aku
hanya memakai kebaya sederhana dan saat
ini aku menemaninya dia memilih gaun
pengantin bersama wanita lain.
"Mas, cocok nggak sama aku?" tanya
Danisa begitu antusias.
"Iya, cocok," jawab Jevano singkat. Dia
memaksakan bibirnya terangkat aku tahu
itu, sepertinya Danisa juga merasakan,

212
terlihat dari yang senyumnya yang
memudar.
"Cantik, Dan. Kamu sangat cantik. Calon
suami kamu beruntung," pujiku.
"Aku ke toilet dulu," pamit Jevano lalu
pergi.
Dengan dibantudi bantu pegawai butik
Danisa berjalan ke arahku. "Aku mau ambil
yang ini, Mbak," ucapnya.
"Nggak mau coba yang lain?" tanyaku.
"Enggak, aku suka yang ini. Cuma
pinggangnya sedikit kegedean."
"Oke, nanti dikecilkan!"
"Mbak, sebenarnya yang beruntung bukan
Mas Jevanodapetin aku, tapi aku dapetin
Mas Jevano. Aku masih merasa seperti
mimpi, jika aku akan menikah dengannya."
Melihat Danisa, membuatku teringat diriku
dulu. Dulu aku juga sangat memuja Jevano.
Setiap pagi saat aku terbangun, aku merasa

213
seperti mimpi melihat dia adalah orang yang
kulihat pertama kali, namun mimpiku
berubah jadi mimpi buruk sejak hari di
mana semua kepercayaanku pada Jevano
mulai runtuh.

214
SpecialChapter : Cerita Setelah
Pernikahan.

Alana sudah mulai kesulitan berjalan cepat


karena perutnya yang sudah semakin
membesar. Enam bulan, membuat dia benar-
benar terlihat seperti wanita hamil
sesungguhnya. Berat badannya juga naik
hingga tujuh kilo membuat pipinya yang
semula chubby bertambah chubby. Di hari
yang cerah ini, mereka memutuskan untuk
pindah dari rumah orang tua Jevano.
Alasannya sederhana, Jevano ingin
bertanggung jawab pada keluarganya sendiri
selain itu alasan paling utama adalah dia
tidak ingin Alana terus-menerus tertekan
dengan segala sindiran ibunya.
"Apartemen ini, nggak sebesar rumah aku
dan juga lebih kecil dari rumah kamu.
Nggak apa-apa kan, Lan?" tanya Jevano
pada istrinya saat pertama kali membuka
pintu apartemen mereka.
215
"Enggak apa-apa, asal ada kamu aku sih
oke-oke aja," jawab Alana.
"Berarti kalau asal ada aku, tinggal di
kolong jembatan kamu mau?" goda Jevano.
"Yey! Kalau itu sih, mending aku cari suami
lagi!"
"Kok gitu?"
"Ya iyalah, iya kali aku biarin anakku
tinggal di kolong jembatan!"
Jevano tersenyum melihat wajah cemberut
Alana yang menurutnya sangat lucu. Dia
merangkul Alana dan membawanya ke
dalam pelukannya. "Iya kamu nggak usah
khawatir, aku bakal selalu berusaha agar
keluarga kita nggak kekurangan," ucapnya
yang mengundang segaris senyum di wajah
Alana.
Mereka mulai merapikan barang-barang
mereka yang memang tidak banyak, tapi
karena kehamilannya Alana sudah lebih

216
dulu terkapar di sofa yang baru saja dia
bersihkan dari debu-debu.
"Kamu istirahat aja, biar aku yang beresin
sisanya," ujar Jevano.
"Tapi masih banyak yang harus dikerjakan.
Belum lagi, masak buat kita makan siang."
"Udah istirahat aja. Ini perintah dari suami
kamu!"
"Oke, kalau kamu-nyamaksa." Jevano
mengusap lembut puncak kepala Alana lalu
mengecupnya.
Senyum Alana mengembang. Tentu saja dia
bahagia, semua ini masih terasa mimpi
baginya jika teringat saat dia berusaha keras
untuk menaklukkan seorang Jevano, tapi
sekarang laki-laki itu menjadi orang pertama
yang selalu dia lihat di setiap paginya. Dia
terus tersenyum sambil menatap suaminya
yang sibuk merapikan apartemen yang akan
mereka tinggali dan mengukir cerita
bersama.

217
Setelah beberapa lama Alana terlelap dalam
tidurnya. Begitulah wanita hamil, mudah
lelah dan mudah tertidur seperti saat ini.
Jevano menghampiri istrinya, ditatapnya
wajah Alana yang terlihat begitu lelah.
Tangannya kemudian mengusap perut Alana
yang sudah tidak rata lagi.
"Baik-baik di dalam perut bunda ya, jangan
buat bunda susah," ucapnya. "Cukup gara-
gara papa bunda kamu kesusahan."
Sofa yang pendek membuat Alana terlihat
tidak nyaman tidur di sana. Jevano
memutuskan memindahkan Alana ke dalam
kamar. Sebenarnya Alana susah terbangun
dari Jevano mengusap perutnya, tapi dia
tetap pura-pura tidur untuk mendengarkan
kata-kata yang Jevano ucapkan
Lagi-lagi dia tersenyum saat Jevano sudah
meninggalkannya. Perlakukan Jevano
selama mereka menikah, membuat rasa
penyesalannya perlahan terkikis. Dia

218
percaya apa pun yang terjadi adalah jalan
hidup yang harus dilaluinya.
Aroma masakan sudah sampai di kamarnya.
Alana memutus untuk bangun dan melihat
apa yang sedang suaminya lakukan. Jevano
ternyata sedang sibuk bercengkrama dengan
wajan, kompor dan teman-temannya. Dari
pengamatan Alana, Jevano terlihat mahir
dalam menggunakan peralatan dapur dan ini
adalah hal baru yang Alana tahu tentang
Jevano
"Kamu masak apa?" tanya Alana.
"Sop kesukaan kamu," jawabnya. Alana
memang penggemar sayur sop, Jevano
bahkan sudah bosan melihat Alana makan
sayur sop, tapi sayur sop adalah satu-
satunya makanan yang bisa Alana makan
tanpa muntah.
"Kemarin bilangnya bosen liat sayur sop?"
"Kan kamu bisanya makan sayur sop, jadi
aku bikinin."

219
"Mau cobain," rengek Alana.
"Masih panas, kamu tunggu aja di meja
makan. Sebentar lagi aku antar kesana."
"Oke."
Alana sabar menunggu suaminya membawa
makanan untuknya.
"Makanan datang ...," ujar Jevano.
"Maaf ya, Jev. Harusnya aku yang masakin
kamu, malah kamu yang masakin aku," ucap
Alana.
"Lan, nggak ada salahnya gantian. Kamu
pasti juga cape tiap hari masak buat aku.
Lebih dari apa pun, harusnya aku yang
meminta maaf karena sudah membuat kamu
kehilangan masa muda kamu dan membuat
kamu harus jadi ibu di usia yang sangat
muda."
Alana menggenggam tangan Jevano.
"Bukan salah kamu. Dalam kasus kita,
bukan siapa yang jadi tersangka, atau siapa
yang jadi korban. Karena kita berdua sama-
220
sama pelaku. Aku memang kehilangan masa
muda aku yang bebas, tapi bukan cuma aku,
kamu juga harus merelakan impian kamu."
Jevano berkaca-kaca dia terharu dengan
kata-kata Alana yang terdengar begitu
dewasa. Alana benar mereka berdua adalah
pelaku dalam kasus ini. Jika bertanya siapa
yang salah, mereka berdua salah. Jika
bertanya siapa yang paling dirugikan
mereka berdua sama-sama dirugikan oleh
perbuatan mereka.
"Terima kasih, aku janji akan selalu
menjaga dan membuat kalian bahagia," ucap
Jevano.
"Aku juga janji sama kamu, bagaimana
keadaan kita nanti aku akan bertahan
bersama kamu."
Namun janji hanyalah rangkaian kata, yang
kemudian mereka lupakan seiring
berjalannya waktu. Awalnya semua terasa
manis untuk mereka, namun belakangan ini
mereka sering ribut bahkan untuk masalah
221
kecil lebih tepatnya Alana yang sering
marah, terlebih saat Jevano pulang malam
yang membuat Alana selalu berpikir negatif.
Seperti sekarang sudah lewat jam dua belas
tapi Jevano belum juga terlihat. Alana
gelisah karena Jevano juga tak dapat
dihubungi. Dia ingin membuang semua
pikiran negatif dalam otaknya, tapi semakin
dia berusaha menghilangkan itu semakin dia
meyakini itu sebagai hal yang
sesungguhnya.
***
Krekkk.
Alana langsung bergegas menuju pintu saat
mendengar pintu terbuka. Jevano melangkah
lunglai dia terlihat begitu lelah.
“Dari mana aja?” tanya Alana ketus.
“Tadi ada pasien darurat jadi aku di minta
jadi asisten di ruang operasi,” jawabnya,
“Kok kamu belum tidur?”
“Kamu pikir?”
222
“Kan aku udah bilang, kalau jam sepuluh
aku belum pulang jangan ditungguin.”
“Jev, kok kamu bau parfum cewek?”
Jevano menghela napas, menghembuskan
rasa lelahnya. Dia menghampiri Alana yang
menatapnya penuh rasa curiga. “Lan, tadi
aku naik kereta jadi otomatis ada cewek
nggak sengaja nempel parfumnya di aku,”
jelasnya dengan lembut. Dia menarik Alana
ke dalam pelukannya lalu diciumnya puncak
kepala Alana. “Jangan mikirmacem-macem.
Aku udah punya kamu dan Wisha yang
harus aku jaga, jadi buat apa aku nyari
cewek lain,” ujarnya.
Alana memang tak bisa marah lama, terlebih
jika Jevano memperlakukannya seperti ini.
Ya memang semua pertengkaran selalu
dimulai dari Alana dan setiap kali Alana
marah dan curiga Jevano selalu bersikap
lunak hingga pertengkaran itu tak
berlangsung lama.
***
223
Hari Minggu biasanya Jevano akan
mengajak Alana dan putri mereka keluar,
meski hanya sekedar jalan-jalan di taman
atau di mall, tapi sudah empat Minggu
Jevano tidak melakukan itu. Dia sibuk
belajar untuk persiapan ujian sertifikasi.
Sebenarnya ini membuat Alana sedikit
jengkel.
Sepertinya putri mereka juga merasa bosan
di dalam ruangan. Dia menangis dari pagi,
Jevano yang bisanya langsung
menenangkan putrinya, juga bersikap acuh
dia lebih tertarik pada buku-bukunya.
Namun lama-lama tangisan Wisha mulai
mengganggu konsentrasi Jevano.
“Lan, tenangin Wisha dong. Aku nggak bisa
konsentrasi,” ujarnya dari ruang depan.
“Iya, ini juga lagi ditenangin,” sahut Alana
yang berada di kamar.
Alana tak kunjung berhasil untuk
memenangkan putrinya, yang justru
menangis semakin keras. Jevano benar-
224
benar merasa kesal, selain karena tangisan
putrinya mengganggu konsentrasi dia juga
merasa kesal karena Alana tak bisa
membuat putri mereka tenang.
“Kamu bisa ngurus anak nggak sih, Lan?”
tanya Jevano kesal. Jevano mengambil alih
putrinya dan seketika tangisannya berhenti.
“Lan, giniaja masa kamu nggak bisa. Kamu
tuh bisa apa? Marah-marah nggak jelas?
Cemburu? Kamu itu terlalu kekanak-
kanakan, aku tahu kamu sengaja bikin
Wisha nangis untuk cari perhatian, iya
kan?” ujar Jevano menumpahkan rasa
kesalnya. 1
Mata Alana berkaca-kaca. Hatinya terasa
begitu sakit. Dibandingkan saat dia melihat
Jevano berbicara dengan sangat akrab
bersama gadis lain, ini jauh lebih
menyakitkan.
“Iya, aku emangnggak bisa apa-apa! Aku
cuma bisa marah dan cemburu. Aku juga
masih kekanak-kanakan, aku nggak bisa jadi
225
ibu yang baik!” ujar Alana, lalu dia
mengambil putrinya dengan paksa dari
gendongan Jevano lalu berlari pergi. Jevano
sangat frustrasi hingga memilih membiarkan
Alana pergi.
Alana menangis di halte bus, dia naik bus
tanpa tujuan yang paling penting dia pergi
jauh. Rasa penyesalan kembali mengusik
hatinya saat melihat gadis-gadis seusianya
terlihat masih ceria bermain bersama teman-
temannya, sedangkan dia harus terbebani
tanggung jawab sebagai seorang ibu. 1
Jevano mulai gelisah saat Alana tak kunjung
kembali padahal hari sudah mulai gelap.
Jika dia Alana yang dulu, Jevano tidak akan
terlalu cemas, tapi Alana yang sekarang jauh
berbeda. Sejak mereka menikah Alana tidak
akan pergi tanpa dia. Apalagi sekarang dia
juga bersama putri mereka. Alana juga tak
mengangkat teleponnya.
“Lan, kamu di mana?”

226
Dia memutuskan untuk mencari Alana
setelah meminjam mobil dari salah satu
temannya yang juga tinggal di salah satu
unit apartemen ini. Dia menyusuri taman-
taman yang biasa mereka datangi. Hingga
dia terpikir rumah Alana dulu yang sekarang
sudah ditempati oleh orang lain.
Jevano menghela napas lega saat melihat
sosok wanita muda dan seorang anak kecil
yang duduk melamun di halte bus.
“Alana!” Jevano langsung memeluk Alana.
“Ngapain di sini?”
“Jemput kamu sama Wisha. Kita pulang ya,
udahmalem.”
“Aku dan Wisha itu cuma beban buat kamu,
jadi mendingan nggak sudah peduliin kita.
Biarkan aja aku dan Wisha ilang jadi kamu
bisa cari cewek baru yang lebih cantik,
pintar, bisa ngelakuin semuanya. Nggak
kaya aku!”

227
“Maafin aku ya, aku janji nggak bakal gitu
lagi. Aku nggak akan bentak kamu lagi. Kita
pulang ya!”
“Janji?”
“Iya, janji percaya deh sama aku!”
Tapi sejak saat itu aku tak lagi bisa
mempercayainya karena
dia semakin banyak mengingkari janjinya.

228
17. Tersirat

“Mbak Alana, kok diam sih? Lagi mikir


aku bucin banget gitu ya?” tanyanya yang
membuat aku tersadar dari lamunanku.
“Enggak kok!” elakku.
“Aku emangbucin kok, api sayangnya mas
Jevanonggak secinta itu sama aku.” Entah
sadar atau tidak matanya mulai berkaca-
kaca. “Ada orang lain yang tidak bisa ganti
posisinya di hati mas Jevano!” Orang lain
apakah itu aku?
“Kalau kamu tahu ada orang lain, kenapa
kamu menikah sama dia?” tanyaku
“Aku mencintai, aku nggak mau perjuangan
selama ini sia-sia!”
“Memang siapa orang itu?”
“Aku tidak tahu, yang aku tahu dia yang
berhasil menghancurkan setiap bagian dari
dirinya!”

229
Aku penasaran dengan orang yang Danisa
maksud. Mungkinkah orang itu aku? Danisa
mulai bercerita awal pertemuan dia dengan
Jevano. Mereka bertemu pertama kali saat
Danisa menjalani fisioterapi paska
kecelakaan saat Jevano sedang koas. Saat itu
Jevano menyelamatkan Danisa saat
mencoba bunuh diri dan Jevano berhasil
membuat Danisa mengurungkan niatnya
untuk bunuh diri. Setelah itu mereka tidak
pernah bertemu lagi, hingga saat Danisa
menjadi relawan di sebuah desa di NTT dia
bertemu lagi dengan Jevano yang sedang
menjadi dokter internship. 1
“Saat di NTT aku bertemu dengan orang
sama, namun terasa berbeda!”
“Maksudnya?”
“Dia jadi terlihat selalu sedih dan terkadang
menangis sambil menatap ponselnya!”
“Memangnya kenapa?” tanyaku semakin
penasaran.

230
“Aku tidak tahu pasti, tapi dengar dari
temen-temennya yang jadi dokter intern
bareng dia, Mas Jevano baru saja kehilangan
putrinya dan bercerai dengan istrinya!”
Tiba-tiba merasa sesak, sepertinya dugaan
aku benar. Orang yang Danisa maksud
kemungkinan besar adalah aku. “Sungguh
aku iri dengan mantan istrinya itu, aku
cemburu bahkan dengan seseorang yang
tidak pernah aku lihat!”
Danisa mulai menangis, entah mengapa aku
merasa bersalah, karena mantan istri yang
Danisa maksud adalah aku dan aku ada di
sekitarnya. Dia kemudian melanjutkan
ceritanya, setelah menjadi relawan dia
kembali ke Jakarta meski sebenarnya dia
tidak rela untuk berpisah dengan Jevano,
hingga dia rela bolak-balik Jakarta-NTT
selama satu tahun. Sebelum akhirnya Jevano
memilih melanjutkan kuliahnya untuk
program spesial di Harvarduniversity.
Danisa juga memilih ikut ke sana, untuk
mengejar cintanya. Selama dua tahun di
231
sana, Jevano tidak berubah sesekali dia
masih menangis meski tidak sesering dulu
hingga beberapa bulan sebelum kembali ke
Indonesia Danisa nekat menyatakan
perasaannya pada Jevano, bukan hanya
pernyataan biasa, yang membuatku sedikit
terkejut adalah Danisa melamarnya.
“Mbak Alana pasti mikir aku gila, kan?”
“Enggak kok! Jaman sekarang wajar kalau
cewek ngelamarduluan!”
“Enggak kok. Jaman sekarang cewek
ngelamarduluanudah wajar,” jawabku.
“Dia menolaknya, tapi aku tak menyerah
hingga akhirnya dia setuju beberapa hari
sebelum kami kembali, dengan satu syarat
jangan bertanya tentang masa lalunya.”
“Kamu setuju?”
“Tentu saja, aku tak mencari masa lalunya.
Aku juga tidak ingin tahu. Meski wanita itu
sangat hebat hingga menghancurkan semua
bagian dalam dirinya dia hanya masa lalu,
232
sedangkan aku akan menjadi masa
depannya. Mungkin aku akan selalu
cemburu dengan wanita itu, tapi aku yakin
wanita itu akan lebih merasa sakit hati dan
menderita,” ujarnya lalu tersenyum miring.1
Untuk pertama kalinya aku merasa tak
nyaman berbicara dengan Danisa. Aku
merinding mendengar kata-katanya.
Memang tidak ada yang salah, tapi entah
mengapa aku merasa kata-kata ditujukan
padaku. Ah, tidak mungkin, itu hanya
perasaanku saja.
“Bunda ....” Derano akhirnya kembali,
seperti biasa dia langsung memelukku.
“Dari mana aja?” tanyaku.
“Uncle Zen ajak Alen main di taman,”
jawabnya sambil menunjuk arah taman
tempat dia bermain, “tadi juga ketemu Om
tokten.”

233
“Zen, kamu ajak main apaan sih sampai
keringetangini dan bajunya sampai coklat
gini?”
“Dia cuma main prosotan, udah aku larang
dianyangeyel!” jawabnya tanpa rasa
bersalah sudah membuat putraku seperti ini.
“Tapi Zen tau sendiri kan, Deranonggak
boleh capek-capek banget!”
“Iya ... Iya maaf,” ucapnya setengah
menyesal
“Oh ya, tadi kalian ketemu Mas Jevano.,
Mas Jevano-nya mana?” tanya Danisa
sambil mencari calon suaminya.
“Tadi dia di belakang kami kok,” jawab Zen
sambil mencari ke arah belakangnya. “Ah,
itu dia,” ujarnya saat menangkap sosok
Jevano.
“Udah selesai ya pilih baju pengantinnya?”
tanya Jevano begitu sampai.
“Udah. Mas Jevano dari mana aja kok
lama?”
234
“Ini, tadi aku ke toilet terus ada yang
telepon jadi ke taman karena di depan butik
terlalu berisik dan aku temu mereka.”
Danisa mengangguk mengerti. Dia berjalan
menghampiri Jevano lalu bergelayutan di
tangan Jevano, menyandarkan kepala yang
membuat aku malu sense melihatnya.
“Mas, Derano lucu ya?” Jevano
mengangguk. “Dia mirip kamu deh kalau di
perhatiin,” ujarnya Danisa yang membuat
aku dan Jevano refleks menatapnya.
“Masa sih?” tanyaku gugup. Aku merasa
seperti selingkuhan yang ketahuan sama
pacarnya, padahal aku tak selingkuh sana
sekali.
“Iya, kalau orang yang nggak tahu pasti
ngira mereka ayah dan anak. Kalau aku
nggak tahu pasti akan menyangka begitu.”
Aku merasa semakin gugup saat Danisa
terus membahas kemiripan Jevano dan
Derano. Aku tak tahu ini hanya kebetulan

235
atau dia sengaja, tapi aku ingin berteriak
menghentikan dia membahas itu. 4
***
Cookies
Di taman, saat selesai berbincang dengan
seseorang di telepon Jevano melihat Derano
sedang asyik bermain dengan Zen. Ada rasa
cemburu yang membuat dia berinisiatif
mendekati mereka.
“Kok di sini?” tanyanya.
“Deranopingin main!” jawab Zen datar.
“Maaf untuk kejadian kemarin malam,”
ucap Jevano. Dia tulis meminta maaf, dia
sadar dia keterlaluan malam itu.
“Jangan meminta maaf sama saya, minta
maaf sama Alana!”
“Kamu benar Alana yang terluka, saya
tidak pernah membuat dia bahagia ....”
“Itu sadar!” sela Zen memotong ucapan
Jevano.
236
“Ya, saya sadar, sangat sadar!” Jevano
terlihat sedikit kesal. “Tapi terima kasih
untuk menemani Alana di waktu tersulit ya
saat saya tidak ada di sisinya!”
“Jangan berterimakasih, saya melakukan
ini untuk Alana, bukan untuk Anda!” ujar
Zen yang membuat Jevano tidak bisa
berkata-kata lagi. 3

237
18. Berdamai dengan Masa Lalu.

Aku, Zen dan Derano pulang lebih dulu


setelah Danisa menentukan gaun pernikahan
yang akan dia gunakan. Kata-kata Danisa,
entah mengapa terus terngiang di pikiranku,
meski aku berusaha tak memikirkan aku
terus memikirkannya. Selama ini aku pikir
Jevano hidup dengan baik setelah berpisah
denganku, tapi kenapa dia harus menjadi
orang bodoh dengan bersikap seolah dia
yang paling menderita. Jika dia pergi hanya
untuk menangisiku, untuk apa dia
meninggalkan aku dan membuatku
menderita juga. Sungguh aku tidak mengerti
dan tidak bisa mengerti.
“Woy! Ayamnya Pak Anwar mati gara-gara
sering ngelamun!” Zen berhasil
membuyarkan semua pemikiranku yang
rumit.
“Apaan sih Zen! Nggak jelas!”

238
“Kamu yang nggak jelas, dari tadi
ngelamunmulu! Mikirin apa sih? Kaya
presiden ajamikirin rakyat +62 yang aneh
bin ajaib!”
“Termasuk kamu!”
“Ah kamu nggak seru! Turun!” ujar Zen
yang sedikit mengejutkanku, karena
semarah apa pun dia, tidak pernah sekalipun
mengusirku keluar dari mobilnya atau
menurunkan aku di tengah jalan.
“Zen kok kamu gitu sih? Tega ya nurunin
aku di tengah jalan, nggak lihat apa aki
bawa Derano!” omelku.
“Astaga Lan, kamu mikirin apa sih? Ini aku
nyuruh kamu turun karena emangudah
sampai!”
Aku melihat ke sekelilingku, ternyata benar
ini sudah di depan lobi apartemenku. Ingin
rasanya aku menyembunyikan diri di balik
tembok raksasa. “Sorry!” ucapku.

239
“Gini ya Lan, mulai sekarang buang semua
pikiran aneh-aneh yang ada di otak kamu,
jangan buang waktu kamu untuk
memikirkan sesuatu yang harusnya tidak
kamu pikirkan!”
Dia benar! Tidak seharusnya aku membuang
energi dan waktuku untuk memikirkan
semua itu. Meski wanita yang membuat
Jevano menderita selama beberapa tahun itu
adalah aku, itu adalah sesuatu yang dia
putuskan. Semua juga sudah terjadi dan dia
juga sudah memulai hidup baru, tidak
seharusnya aku memikirkan dia lagi.
Zen hanya mengantarku sampai lobi
apartemen. Dia bilang ada yang harus dia
urus. Aku tidak bertanya lebih, karena itu
privasinya. Lagi pula kami tidak dalam
hubungan, di mana kami harus tahu kegiatan
satu sama lain selama dua puluh empat jam..
Seperti biasa saat kelelahan Derano akan
mudah tertidur dan susah untuk di
bangunkan, hingga terpaksa aku harus

240
menggendongnya. Untung saja apartemen
ini dilengkapi lift, jika tidak kaki pasti akan
patah karena harus menaiki tangga. Nak
kenapa kamu berat sekali? Perasaan bukan
kasih makan kamu nasi bukan batu.
“Biar saya bantu!”
“Tidak usah, Bu, merepotkan!” ujarku
sambil mencoba memungut sepatu Derano
yang terjauh.
“Dasar keras kepala!” Dia mengambilkan
sepatu itu dan memberikannya padaku.
“Terima kasih!” Aku terkejut saat melihat
siapa yang membantuku.
“Ada urusan apa Ibu datang ke sini?”
tanyaku ketus.
“Lebih baik kita jangan bicara di sini, itu
liftnya sudah terbuka. Lagi pula kasian dia!”
ujarnya sambil tersenyum menatap Derano.
Baiklah, aku juga tidak mau mengganggu
penghuni yang lain dengan bertengkar di
depan umum seperti ini. Sebenarnya aku
241
ingin menyuruhnya pergi saja, namun
rasanya tidak sopan apalagi dia datang baik-
baik. Aku hanya berharap dia tidak
melakukan hal-hal yang membuatku
menyesal mengizinkan dia masuk ke
apartemenku.
“Silakan masuk!” ujarku
mempersilakannya.
“Cukup besar dan rapi.” Dia meneliti setiap
sudut apartemenku.
“Duduk Bu!”
“Dia anak itu?” tanyanya sedikit ragu.
“Iya, dia anak saya!”
“Dia persis ayahnya waktu kecil.”
“Dia nggak punya ayah, Dia hanya punya
ibu!”
“Saya tahu, saya salah menyuruh kamu
menggugurkan kandunganmu agar tak
membuat Jevano goyah lagi. Tapi semua

242
salah saya, Jevano benar-benar tidak tahu
apa-apa.”
Dia membuatku mengingat hari itu. Dadaku
terasa sesak membuatku sulit untuk
bernapas, rasanya sangat menyakitkan. Hari
itu aku pertama kali aku tahu jika aku hamil
lagi. Aku memang bodoh, hingga butuh
waktu lama hingga aku menyadari jika aku
tengah hamil padahal aku pernah hamil
sebelumnya. Hari itu juga bertepatan dengan
surat gugatan cerai datang padaku.
Hal pertama yang aku pikirkan adalah
Jevano aku harus menemui dia. Biar
bagaimanapun dia ayahnya. Aku pikir
mungkin Tuhan sedang memberi kami
kesempatan untuk bisa kembali bersama.
Namun saat aku mengetuk pintu itu, bukan
Jevano tapi ibunya yang membukakan
pintu.
“Ada apa lagi?” tanyanya ketus.
“Ma, Jevano ada? Aku telepon dia nggak
bisa soalnya!”
243
“Jevano berangkat ke NTT kemarin untuk
internship. Lebih baik kalian lanjutan hidup
kalian masing-masing. Jangan saling
mengganggu satu sama lain. Kamu sendiri
kan yang bilang tidak ingin melihat dia!”
“Tapi aku perlu bicara dengan dia?”
“Memang apa lagi yang mau kamu
bicarakan?”
“Aku hamil!”
“Kamu hamil lagi?”
“Iya, empat bulan!”
“Astaga, kamu hamil empat bulan dan kamu
baru menyadarinya? Tapi belum terlambat.
Lan, kamu tahu kan betapa sulitnya menjadi
orang tua? Jadi lebih baik kamu gugurkan
kandunganmu dan kamu bisa hidup dengan
bebas, menggapai mimpi-mimpi kamu yang
belum sempat kamu raih!” ujarnya dengan
nada lembut, namun terdengar sangat
kejam.

244
Air mataku jatuh, sangat menyakitkan
mengingat semua itu. Hari itu aku juga
sempat berpikir untuk mati, hari di mana
aku menganggap Jevano sudah mati
untukku. Hari aku merasa paling hancur,
tapi mencoba untuk tetap utuh.
“Alana, saya mohon biarkan Jevano bahagia
dengan hidup barunya, dia sudah cukup
menderita selama ini!”
Aku sungguh tidak menyangka dia
mengatakan itu, aku nyaris tidak bisa
berkata-kata saat dia memohon untuk
kebahagiaan anaknya. Luar biasa bukan?
“Dia sudah cukup menderita? Lalu
bagaimana dengan saya! Saya belum cukup
menderita? Jevano pergi, saya tidak punya
siapa-siapa. Tidak punya pekerjaan dan saat
itu saya sedang hamil. Saya berusaha mati-
matian untuk bertahan dan membesarkan
anak saya seorang diri!”
“Itu adalah pilihan yang kamu pilih!”

245
“Ya, memang itu keputusan yang saya pilih,
tapi jika saat itu Jevano tidak pergi saya
tidak harus mengalami semua itu sendiri!”
“Tolong berhenti berpikir kamu yang paling
menderita dan semua terjadi padamu karena
Jevano!”
“Lalu apa bedanya dengan ibu yang berpikir
anak ibu yang paling menderita. Selama ini
Jevano baik-baik saja, tidak banyak yang
berubah bahkan setelah kami menikah. Dia
masih bisa kuliah kedokteran. Dia masih
bebas bermain dengan teman-temannya
hingga larut malam sementara saya terjebak
mengurus anak kami di rumah....”
Plakkk! Pipiku terasa perih, saat dia
mendaratkan tangannya di pipiku. Aku tidak
tahu mengapa dia tiba-tiba menamparku,
apa ada yang salah? Semua yang aku
katakan adalah fakta.
“Saya nggak habis pikir kenapa anak saya
bisa sangat mencintai wanita yang
pikirannya sempit seperti kamu. Ya, saya
246
tahu Jevano memang sering pulang larut
malam. Tapi apa kamu tahu apa yang dia
lakukan? Apa kamu pernah bertanya?”
Aku tak bisa menjawab pertanyaan Bu
Ratna, karena aku memang tak pernah tahu
alasan dia pulang larut malam, entah saat
dia masih kuliah atau saat menjadi
koas. Aku hanya menebak jika dia pergi
bersama teman-temannya.
“Kamu diam berarti kamu tidak tahu. Saya
beri tahu agar kamu tahu Jevano tidak
seburuk yang kamu pikirkan! Sejak
memutuskan menikah dengan kamu,
papanya Jevano tidak memberi dia uang
kecuali untuk kuliahnya. Dia bekerja paruh
waktu, kamu pasti tahu itu, tapi kami tidak
tahu sebanyak apa yang dia lakukan.” Bu
Ratna menghapus air matanya. Semula aku
berpikir dia sedang berpura-pura, namun
aku bisa melihat ketulusan dari tatapannya.
“Untuk mencukupi kebutuhan kalian, dia
melakukan banyak pekerjaan paruh waktu.

247
Dari menjadi pelayan kafe, penerjemah,
guru les dan beberapa pekerjaan lainnya.”
Rasa bersalah menghampiriku. Aku teringat
sering marah padanya saat pulang larut
malam padahal mungkin dia lelah setelah
bekerja. Aku merasa sangat jahat,
bagaimana aku tak pernah berpikir jika dia
bekerja paruh waktu. Aku malah berpikir
jika dia selingkuh dan bermain-main dengan
gadis lain.
“Untuk sekali ini saya mohon biarkan dia
bahagia,” ujarnya sambil meletakkan
amplop coklat di meja, “pergilah yang jauh,
jika kurang saya akan memberikan lagi.
Hiduplah dengan tenang dan biarkan Jevano
juga hidup dengan tenang.”
Benar aku memang merasa bersalah, dengan
Jevano karena telah membuat dia melalui
kesulitan selama bersamaku. Aku sempat
tersentuh dengan air mata dan ketulusan
seorang ibu yang memohon untuk

248
kebahagiaan anaknya, tapi dia
menghancurkan simpatiku.
“Bawa saja uang Anda, Bu. Saya sudah
lebih dari kecukupan. Dan untuk Jevano
anggap saja kita satu sama!”
Boleh kan aku berpikir demikian? Aku
menderita, Jevano menderita bukankah itu
adil? Namun mengapa aku tak bisa
membuang rasa bersalah ini? Andai saja aku
tahu semua yang Jevano lakukan untukku
dulu, apakah keadaan kami akan berubah?

249
19. Timeto Say Sorry

Derano terlelap setelah melakukan


pemeriksaan rutin bulanannya, kondisinya
sedikit menurun karena belakang ini dia
terlalu kelelahan hingga dia harus
mendapatkan infus vitamin untuk membuat
dia segar. Aku hanya berdua dengan
Derano, Zen yang biasa menemani kami
pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa
pekerjaan. Selagi menunggu Derano terjaga,
aku memutuskan untuk mengurus
administrasi, hingga aku tidak terlalu
kerepotan saat pulang nanti. Aku masih
belum melupakan kejadian bulan lalu, saat
dia tiba-tiba menghilangkan saat mengantre
untuk mengurus administrasi. Aku tidak
ingin kejadian itu terulang lagi.
“Alana?” Seseorang menepuk pundakku,
kenapa aku harus bertemu dia lagi. Akh aku
lupa, dia kan bekerja di rumah sakit ini.

250
“Kamu sakit?” Aku menggeleng. “Derano
yang sakit?” tanyanya lagi.
“Dia nggak sakit, kok! Cuma pemeriksaan
rutin!”
“EmangDerano kenapa hingga aku
melakukan pemeriksaan rutin?” tanyanya
semakin penasaran.1
“Aku harus kembali, Derano sendiri?” Aku
berusaha menghindar darinya, Aku tidak
ingin dia tahu, setidaknya tidak untuk saat
ini. 1
“Lan, biar bagaimanapun aku ayahnya!”
ujar Jevano yang mengundang perhatian
pengunjung rumah sakit yang lain.
"Jev!" Aku menatapnya tajam.
"Maaf," ucapnya. Sepertinya dia sadar jika
kami menjadi pusat perhatian.
Aku meninggalkan antrean di kasir dan
kembali ke ruang Derano. Jevano
mengikutiku, aku membiarkannya karena

251
aku menghentikan juga, dia tidak akan
mendengarkan aku.
"Jika mau masuk, masuk aja. Kata Mama
berdiri di depan pintu ngehalanginrejeki!"
ujarku yang mungkin terdengar sedikit acak.
Dia berjalan sangat perlahan, entah
mengapa dia terlihat sangat lucu. "Duduk,
diam jangan berisik!" perintahku yang di
jawabnya dengan menganggukkan kepala. 1
Kalian tahu, dia benar-benar duduk diam,
bahkan nyaris tak bergerak. Luar biasa
bukan? Sesekali dia terlihat melirikku, dia
benar-benar seperti Derano saat sedang aku
hukum karena melakukan
kesalahan. Melihatnya seperti ini, aku jadi
teringat perkataan mantan ibu mertuaku
beberapa hari yang lalu. Rasa bersalah
perlahan menjalar di hatiku.
"Kenapa, kamu diam aja?" tanyaku.
Dia menatap ke arahku. "Kan, kamu yang
nyuruh aku diam," jawabnya dengan polos.

252
"Bukan sekarang, tapi dulu. Kenapa kamu
diam saja, kenapa kamu nggak cerita kalau
setiap kamu pulang malam kamu kerja!
Kenapa kamu membiarkan aku menjadi
orang bodoh yang selalu salah paham?"
tanyaku dengan pertanyaan yang lebih
jelas.
Dia terdiam, matanya terlihat berkaca-
kaca. "Aku tidak ingin kamu khawatir,"
jawabnya.
"Tapi gara-gara kamu diam aku salah
paham!"
"Itu lebih baik dari pada kamu menyalahkan
dirimu sendiri dan menganggap kamu
adalah beban untukku."
"Tapi tetap saja ...."
Aku tak melanjutkan kata-katanya. Air mata
terlebih dahulu menguasaiku hingga aku
kesulitan berkata-kata. Dia menarikku ke
dalam pelukannya. Air mataku semakin
deras mengalir. Ada begitu banyak perasaan

253
yang tak bisa aku gambarkan saat ini. Yang
jelas aku rasakan pelukannya masih terasa
hangat seperti dulu. Semua rasa benciku
padanya seolah luruh begitu saja. 1
"Jangan nangis malu di lihat Derano,"
ujarnya.
"Harusnya kamu bilang, maafkan aku yang
udahnuduh kamu, marah-marah tanpa
alasan."
"Kamu nggak salah, aku yang salah nggak
bisa buat kamu percaya padaku." Sial! Aku
semakin tak berdaya di pelukannya. Kata-
katanya benar-benar mengobrak-abrik
segala benteng kebencian yang aku bangun
selama ini.
***
Butuh waktu sedikit lama, hingga aku
kembali menguasai diriku. Saat ini aku dan
dia duduk di taman rumah sakit yang tak
jauh dari ruang rawat Derano, sambil

254
menikmati jus alpukat yang tadi sempat
dibelinya.
"Kamu nggak kembali kerja? Dicariin
pasien nanti," kataku.
"Aku masih jam istirahat."
"Kamu nggak jujur ke Danisa tentang
kita?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Belum aja!"
"Takut dia marah? Ingat dasar dari
hubungan adalah kejujuran. Kamu nggak
mau kan, hubungan kalian berakhir seperti
hubungan kita."
Dia tertawa hambar mendengar ocehanku
yang mungkin terdengar lucu. Ya memang
lucu, aku sedang memberi nasihat pada
mantan suamiku tentang hubungan dia dan
calon istrinya.

255
"Lan, bisa tidak kita kembali bersama?"
tanyanya yang membuat aku bingung. "Tapi
rasanya mustahil, kamu kan benci banget
sama aku." Dia menjawab pertanyaannya
sendiri. "Gara-gara aku Wisha pergi. Dulu
aku meyakinkan diriku sendiri jika
kepergiannya adalah takdir, tapi jauh dalam
hatiku aku benar-benar menyesal.
Andai saja ...." Dia menyeka air matanya
yang akhirnya jatuh setelah dia mencoba
untuk menahannya.
"Aku juga sering berpikir begitu, andai saja
kamu datang lebih cepat. Dia mungkin
masih ada, dan kita mungkin masih
bersama. Tapi perlahan aku sadar, kita
hanya manusia yang menjalani skenario
takdir."
"Lan, boleh aku tanya?" Aku mengangguk.
"Kenapa kamu nggak kasih tahu kalau kamu
hamil lagi?"
Aku bingung harus menjawab apa. Dulu aku
menyimpan rahasia ini, agar aku bisa
256
menyakitinya saat aku beritahukan padanya.
Namun saat ini aku tidak sampai hati untuk
mengatakan padanya. Bagaimana hancurnya
dia nanti jika tahu yang sebenarnya.
"Ibu Alana, Derano sudah bangun dan dia
mencari Ibu," ujar perawat yang tadi
menunggui Derano.
"Oh iya."
Selamat! Aku bisa menghindar dari
pertanyaan Jevano, setidaknya untuk saat
ini. Aku dan Jevano segera mendatangi
Derano.
“Bunda ...” rengek Derano manja.
“Anak Bunda sudah bangun!”
“Uncle Zen mana?” Derano mencari Zen.
Memang sebelum berangkat ke rumah sakit,
Derano sempat merengek dan tidak mau
pergi jika tidak bersama Zen. Akhirnya aku
membujuknya dengan mengatakan Zen akan
menyusul kami. Aku pikir Derano akan
lupa, tapi ternyata tidak.
257
“Uncle Zen ada urusan jadi nggak bisa
datang.”
“Alen mau Uncle Zen. Kemarin Uncle Zen
bilang setelah di peliksaUncle Zen mau
ngajakin Alen ke Timezone!” Derano
menangis, akh akhirnya aku tahu kenapa dia
ngotot untuk pergi bersama Zen. Astaga
Zen, kenapa harus menjadikan seseorang
jika kamu nggak bisa menepati!. 1
“Hai, Derano,” sala Jevano yang seketika
membuat tanggul Derano reda.
“Om tokten?” Derano terlihat begitu
bersemangat melihat Jevano, seperti ikatan
batin mereka semakin kuat, aku semakin
tidak tega jika terus memisahkan mereka.
“Gimana kalau ke Timezone-nya sama Om
aja?” Derano mengangguk cepat. “Tapi
nggak sekarang, Derano harus istirahat biar
sehat dan kuat. Besok Minggu baru kita ke
Timezone “
“Jev ....”

258
“Sekali aja boleh ya!” pintanya penuh
harap.
“Boleh ya, Bunda! Mereka berdua
memasang ekspresi yang membuat siapapun
akan sulit untuk menolak keinginan
mereka.
“Iya, boleh!”
Mereka langsung berpelukan setelah aku
bilang setuju. Kebahagiaan terpancar dari
mereka, andai saja aku bisa melihat
pemandangan ini setiap hari. Seandainya
kami tidak pernah berpisah dulu pasti kami
menjadi keluarga yang sangat bahagia saat
ini. Namun aku cukup sadar diri, tidak
seharusnya aku menginginkan sesuatu yang
bukan milikku lagi.

259
20. Daydream

Hari Minggu yang Jevano janjikan tiba.


Derano terlihat begitu semangat, dia bahkan
menghabiskan sarapannya tanpa harus
drama kejar-kejaran seperti biasanya. Meski
dia tidak tahu, aku rasa dia merasa nyaman
dan bahagia saat bersama Jevano, ayahnya.
"Ayo Bunda ...," rengeknya yang seperti tak
sabar menungguku.
"Iya bentar, ini bunda pakai lipstik dulu,"
ujarku.
Kalian pasti sedang menertawai aku, silakan
tertawa sebanyak yang kalian mau. Aku
memang sedang merias wajahnya, tapi
jangan salah paham aku hanya tidak ingin
terbanting saat berjalan bersama Jevano dan
Derano. Kalau kalian belum tahu, maka
akan kuberitahu lebih dahulu. Derano itu
benar-benar menuruni wajah ayahnya,
jadi aku tidak memakai riasan takutnya

260
orang-orang akan mengira aku sebagai
pengasuh, atau tidak aku memakai pelet
jaran goyang mungkin.1
"Bunda ayo ...."
"Iya ... Iya. Ini Bunda udah siap!"
Aku tidak berlebihan, kan? Aku hanya
memakai dress tiga perempat lengan
panjang berwarna biru muda dengan ikat
pinggang untuk menyamar jika aku sedikit
gendut sekarang. Aku akan pergi dengan
taksi, aku tak mau membuat Jevano repot
dengan menjemput kami, apalagi dengan
status kamu aku takut jika akan ada
omongan tidak enak di dengar dari mata
jahil yang berada di tempat tak terduga.
"Hai!!!" Wah, rupanya rencanaku tidak
berjalan seperti seharusnya. Jevano sudah
siap menunggu di depan apartemen kami.
Dia berlari kecil menghampiri aku dan
Derano. Ya Tuhan, kuatkan hati hamba.
Senyumnya masih terlihat seperti dulu, saat
dia berlari di lapangan basket saat SMA.
261
"Kok ke sini, kan kemarin janjiannya
ketemu di Timezone?" tanyaku.
"Hari ini kamu cantik?" Semoga pipi aku
nggak jadi kepiting rebus.
"Aku cantik tiap hari kali!" Aku mencoba
menetralisir efek ucapan Jevano yang
sedikit kampret.
"Masih over percaya diri rupanya kamu!"
"Udah jawab dulu, kenapa ke sini?" tanyaku
mengalihkan pembicaraan kami yang
semakin membuat aku mengingat masa lalu
yang indah, tapi cukup memalukan untuk
diingat.
"Jemput kalian apa lagi."
"Harusnya nggak usah repot-repot, aku
nggak enak sama Danisa kalau tahu."
Danisa adalah nama yang selalu aku ingat
saat bersama Jevano, agar aku tetap sadar
tentang status kami.

262
"Lan, bisa nggak hari ini hanya ada kita.
Aku, kamu dan Derano. Jangan sebut
Danisa!"
"Tapi Jev ...."
"Biarkan hari ini aku bermimpi."
Aku mengangguk. Ya biarkan kami
bermimpi untuk hari ini, karena ini adalah
mimpi tidak apa-apa kan, jika aku membalas
uluran tangannya. Tidak apa-apa kan jika
kami tertawa, melangkah sambil
bergandengan tangan seperti ini. Karena
kami sedang bermimpi, biarkan
menciptakan dunia indah untuk kami. 5
****
Kami sampai di tempat yang kami tuju.
Banyak memperhatikan kami, tidak lebih
tepatnya mereka memperhatikan Jevano.
Ibu-ibu muda itu sampai lupa jika mereka
datang bersama anak mereka.

263
"Seneng ya, Mbak suaminya ganteng," ujar
wanita yang mungkin seumuran
denganku. 1
Aku hanya tersenyum canggung dan
mengangguk. Tidak lucu jika aku bilang dia
bukan suamiku, dia mantan suamiku yang
sekarang menjadi klien WO yang aku urus.
Kalian juga ribet, kan bacanya? Jevano
yang sedang bermain dengan Derano
melambaikan tangan padaku.
"Kayanya suami mbak sayang banget ya
keluarga," ujar yang lain.
Lagi-lagi aku hanya tersenyum, kata-kata
mereka membuatku memikirkan banyak
kata seandainya.
"Mbak saya ke sana dulu ya, kayanya anak
saya manggildeh," ujarku lalu meninggalkan
mereka, rasanya tak nyaman juga
mendengar kata 'suami' yang terus mereka
sebutkan.

264
Aku menghampiri Jevano dan Derano yang
sepertinya sudah lelah bermain, bayangkan
saja sudah hampir dua jam kami di sini,
mereka terus bermain tanpa berhenti.
"Bunda, Alen lapen," ujar Derano sambil
mengelus perutnya.
"Aku juga," timpal Jevano.
"Ya udah kita cari makan dulu, ini juga udah
waktunya makan siang juga."
Jevano mengendong Derano dengan sebelah
tangan dan tangan satunya menggandengku.
Betapa indahnya mimpiku hari ini. Biasa
aku akan repot menyuapi Derano, tapi hari
ini tidak karena Jevano mengambil alih
tugasku. Sungguh tidak adil, Derano tidak
protes apa pun saat disuapi oleh Jevano,
coba saja jika denganku sudah begitu
banyak alasan-alasan aneh untuk tidak
menghabiskan makanannya.
"Deranopinter banget ya," ujar Jevano.
"Pinterlah anakku!" sahutku cepat.
265
"Lan, kayanya pinternyaDerano itu nurun
dari aku deh. Kamu nggak lupa, kan? Kalau
pernah dapat nilai 3 di semua pelajaran!"
ujarnya sambil tertawa puas.
Sepertinya sangat menyenangkan untuk
dia mengungkit masa laluku yang kelam.
Benar kata orang dia jenius, bahkan untuk
masalah seperti itu dia masih mengingatnya,
aku jadi penasaran berapa banyak hal
memalukan tentang aku yang masih dia
ingat.
"Meski begitu, Deranopinter karena kamu
udah mendidiknya dengan sangat baik." Dia
menggenggam tanganku. "Terima kasih
karena sudah menjadi ibu yang hebat, dan
maaf karena aku nggak ada buat nemenin
kamu. Aku tahu kamu pasti kesulitan."
Entah mengapa mataku tiba-tiba menjadi
panas. Kuakui tidak mudah untukku
membesarkan dia seorang diri. Itu juga yang
jadi alasan aku membenci Jevano selama
ini.

266
"Bunda kok nangis?" Tangan mungil
Derano mengusap air mataku.
"Bunda nggaknangis kok, cuma kelilipan."
"Mata Bunda kamu keringatan, Ren!" Aku
tertawa hanya dengan leluconnya yang
sebenarnya tidak lucu.
"Nah gitudong ketawa," ujarnya sambil
mengusap rambutku.
Siapapun tolong ajarkan aku caranya agar
tidak terbawa perasaan. Kenapa mimpi bisa
seindah dan semanis ini. Jika bisa, bolehkan
aku tidak usah terbangun saja? Aku ingin
terus bermimpi seperti ini selamanya.

267
21. Back to Reality

Mimpi hari ini berakhir, saat Jevano


mengantar kami pulang. Seperti biasa
Derano selaku tertidur, dia pasti lelah.
Meski singkat hari ini aku merasa sangat
bahagia. Setiap detik yang aku lewati hari
ini bersamanya terasa sangat cepat, namun
terasa sangat menyenangkan hingga
membuatku ingin menghentikan waktu agar
semuanya tetap seperti ini.
“Terima kasih untuk hari ini,” ucapnya
“Sama-sama. Makasih juga sudah membuat
Derano dan aku bahagia,” balasku.
“Lan, boleh aku tanya?” Aku mengangguk.
“Dia saat apa?” sebenarnya aku tidak ingin
memberitahunya, tapi sepertinya dia sangat
ingin mengetahui dan dia juga berhak
tahu. 1
“Thalasemia ...” Jevano menghentikan laju
kendaraannya, dia terlihat terkejut.
268
“Thalasemia?”
“Iya, itu mengapa aku dan Derano datang ke
rumah sakit!” jelasku.
“Tekanan darah kamu kan rendah! Bahaya
jika kamu menjadi pendonor!” Jevano
terlihat begitu cemas, aku terharu ternyata
dia masih mengingat semua tentang diriku.
“Dia tidak perlu donor darah, lagi pula
golongan darah kami berbeda! Golongan
darah dia sama kaya Wisha, sama kaya
kamu juga!”
“Tapi dokter bilang dia baik-baik saja
kan?”
“Selama ini dia baik-baik saja, untuk
memastikan setiap bulan dia melakukan
pemeriksaan rutin.”
“Syukurlah aku lega!”
Dia melanjutkan perjalanan karena hari
semakin larut dan jarak menuju
apartemenku masih lumayan jauh.
Sepanjang jalan kami hanya saling
269
mendiamkan. Meski dalam benakku ada
begitu banyak kata yang ingin aku ucapkan
padanya, nyatanya aku hanya diam. Aku
takut jika aku salah bicara.
Akhirnya kami sampai, hari yang
melelahkan ini akan segera berakhir. Mimpi
indahku akan aku akhiri. Meski berat, kami
harus kembali pada kenyataan yang ada,
kembali pada hidup kami yang sebenarnya
saat ini.
“Biar aku yang gendong dia!” ujarnya yang
melihat aku kesulitan turun dari mobil.
Tidak seperti saat itu, aku membiarkan dia
mengendong Derano, sedangkan aku
membawa barang-barang kami.
“Kalian sudah pulang?” tanya Zen yang
entah sejak kapan berada di depan lobi
apartemenku.
“Kok kamu di sini?” tanyaku basa-basi.
“Kak Risa bikin puding stroberi kesukaan
Deren, jadi aku ke sini buat nganter!” Dia

270
menyerahkan rantang berwarna hijau muda
yang dia bawa.
"Biar saya saja yang gendong Deren." Zen
mengambil alih Derano dari gendongan
Jevano. "Lebih baik Anda pulang, tidak
enak jika di lihat orang apalagi calon istri
Anda!"
Jelas sekali Jevano menahan emosinya.
Sepertinya kejadian sebulan yang lalu akan
terulang kembali, beda hari ini aku bingung
untuk berpihak pada siapa jika mereka
sampai baku hantam.
"Udah Zen, lebih baik kita masuk
ajakasianDerano," ujarku. Jevano
menatapku dengan tatapan sulit aku artikan.
Dia seperti sedih dan juga kecewa. "Jev,
kamu juga pulang ya udah malam. Benar
kata Zen, nggak enak di lihat orang apalagi
Danisa."
"Lan, sampai kapan aku harus main kucing-
kucingan hanya untuk bertemu anakku? Aku
bahkan tidak bisa mendengar dia
271
memanggilku papa." Jevano menumpahkan
perasaannya.
Zen tersenyum miring, " Apa Anda tidak
malu ingin di panggil papa oleh Deren
dengan semua yang ibu Anda lakukan
kepada Alana, saat dia datang untuk
memberitahukan jika dia hamil?" 1
"Zen!" Aku mencoba mencegah Zen agar
tak mengatakan segala.
"Maksudnya? Lan, apa maksud kata-
katanya? Jadi Mama tau? Apa yang Mama
lakukan? Tolong kasih tahu aku!"
"Sebenarnya ..."
"Lan jawab!" bentak Jevano.
"Anda tidak berhak membentaknya! Jika
anda penasaran silakan bertanya pada ibu
Anda!"
Zen lagi-lagi menyeretku pergi. Aku
mengikutinya karena aku rasa ini lebih baik.
Mungkin tetap akan menyakitkan, tapi jika
dia mendengar dari ibunya langsung rasa
272
sakitnya akan lebih berkurang,
dibandingkan dia mendengar dari orang
lain. Seperti waktu itu, saat ini Zen juga
mendiamkanku. Rasanya sungguh tidak
nyaman.
"Zen kamu marah?"
"Iya aku marah, karena kamu pergi dengan
orang yang jelas-jelas udah buat kamu
menderita!"
"Aku hanya ingin Derendeket sama
ayahnya!"
"Apa aku tidak cukup untuk kamu dan
Derano!"
"Bukan gitu ..."
"Aku memang bukan ayah Deren, tapi aku
bisa menjaga Deren lebih baik dari
ayahnya!" 4
"Zen ..."
"Lan, aku nggak mau kamu terluka lagi
untuk ke sekian kalinya. Apalagi Deren

273
masih terlalu kecil untuk paham dengan
keadaan ini." 1
Hari ini sungguh membuat aku buta dengan
keadaan yang sebenarnya terjadi. Aku
bahkan lupa memikirkan Derano, jika dia
tahu yang sebenarnya. Kenapa aku menjadi
begitu bodoh dan terlena dengan
kebahagiaan semu ini.
"Kamu harus ingat kamu dan Jevano sudah
tidak mungkin bersama lagi! Oke mungkin
dia masih ada rasa sama kamu, tapi tetap
saja tidak benar karena secara tidak
langsung kamu akan menghancurkan
kebahagiaan orang lain!"
Kata-kata Zen teramat tajam. Mengiris
setiap bagian dari hatiku. Hari ini ibarat aku
diterbangkan ke langit ke tujuh lalu di
jatuhkan ke bumi yang paling dasar. Aku
tak mampu membalas kata-kata Zen, terlalu
menyakitkan hingga aku hanya bisa
menangis.

274
"Maafin aku ya, buat kamu nangisgini. Aku
hanya tidak ingin kamu terluka oleh harapan
semu yang kamu ciptakan sendiri," ucap
Zen sambil menenangkan aku dalam
pelukannya.
***
Mataku terasa buram saat aku terbangun
dari tidurku. Sepertinya hari ini aku harus
menggunakan riasan tebal seperti biduan
dangdut, untuk menutupi lingkaran hitam di
bawah mataku. Hidungku yang peka
terhadap aroma makanan mencium harum
dari dapur. Sudah dapat aku tebak siapa
pelakunya, siapa lagi kalau bukan Zen.
Jangan heran sepagi ini dia di sini, ini bukan
pertama kalinya dia menginap. Saat Derano
masih kecil dia juga sering menginap,
apalagi jika Derano sakit. Jika aku tinggal di
komplek perumahan pasti sudah digrebek
dengan tuduhan kumpul sapi, eh kebo.
"Nih aku buatin sarapan buat kamu dan
Deren," ujarnya sambil meletakkan dua
275
piring mie instan di meja makan. Ya mie
instan, memangnya apa yang kalian
harapkan. Zen bukan cowok yang jago
masak, jadi masak mie instan sudah lebih
dari luar biasa.
"Makasih Zen gara-gara kamu, aku dan
Deren makan mie instan," ucapku.
"Udah makan ajanggak usah banyak
komentar, biar Deren aku yang ngurus pagi
ini." Zen pergi meninggalkan aku dengan
mie instan yang tidak ada spesial-
spesialnya. 1
"Lan, kamu juga mandi terus makeup muka
kamu nggak enak banget di lihat, aku berasa
di Cina kalau lihat kamu!" Aku gagal
pahami.
"Kok Cina?"
"Iya Cina, itu pandanya," ujarnya sambil
menunjuk ke arahku yang membuat bantal
sofa berpindah ke wajahnya. 2
"Zen!!!!!!"
276
22. Sindiran?

Aku nyaris tak mengenali diriku sendiri


karena riasan yang aku pakai. Tidak kok,
aku tidak sampai memakai lakban untuk
menjadi tirus seperti tutorial riasan
di YouTube. Aku hanya menggunakan
lebih banyak riasan dari pada hari biasanya.
"Ren, lihat Bunda kamu udah mirip Joy
RedVelvet ya? Lipstiknya kaya orang habis
makan ayam mentah," ujar Zen kepada
Derano. 2
"Zen, udahdehnggak usah ngeledekinmulu!
Aku tahu aku cantik!"
"Cantikan juga penjaga warteg seberang
jalan!"
"Terserah kamu ajadeh, aku pergi dulu.
Titip Deren, ya."
"Iya."

277
"Jagain, jangan lupa siang jemputnya jangan
sampai telat, sama satu lagi jangan lupa
kasih makan, jangan godain mbak Dayu
mulu! Udahgodainnggakditangepin lagi!"
"Terus Lan, terus! Ledek aja terus!"
Wajah masam Zen memang sangat lucu.
"Bunda pergi dulu, jangan nakal sama Uncle
Zen!" Aku mencium kedua pipi putraku.
"Aku nggak sekalian, Lan?" ujarnya sambil
menunjuk pipinya yang membuatku tidak
tahan untuk mendaratkan tangan di
pipinya. 1
"Nih sekalian!” Aku mencubit pipinya.
"Jahat ih! Ini namanya penganiayaan!"
"Mulai deh dramanya, aku berangkat ya!"
Akhirnya aku benar-benar pergi. Jika aku
teruskan perdebatan ini tidak akan berakhir
hingga tahun depan. Setelah kemarin aku
mimpi indah hari ini aku harus bangun. Aku
masih menjadi orang yang bertanggung
jawab atas pesta pernikahan Jevano dan
278
Danisa, jika kalian lupa aku hanya
mengingatkan.
Naik ojek online seperti yang saat ini aku
lakukan adalah pilihan terbaik, jika tidak
ingin terjebak di antara kendaraan di
jalanan. Tujuanku adalah sebuah rumah
yang lumayan besar berada sedikit jauh dari
keramaian Jakarta. Aku datang menemui
Kak Tifani pemilik katering yang bekerja
sama dengan SunshineWedding . Tentu saja
aku tak sendiri, aku bersama sang calon
pengantin karena mereka yang akan
memilih menu.
"Lan, ditunggu di dalam aja. Ini aku baru
bikin menu baru, sekalian dicobain!" ujar
Kak Tifani dari teras rumahnya.
"Bentar Kak, nunggu orangnya takut mereka
nyasar!" sahutku.
"Oke!"

279
Beruntung aku tak perlu menunggu mereka
lama, karena mobil Danisa sudah terlihat
menuju ke sini.
"Dan parkir di dalam aja," ujarku.
"Iya, Mbak!"
Ternyata Danisa datang sendiri, Jevano pasti
sibuk apalagi dengan kejadian semalam,
pasti sulit untuk berhadapan denganku hari
ini. "Masuk Dan, orangnya udahnunggu!"
ujarku.
Danisa mengikuti ke dalam rumah dengan
desain yang sedikit klasik dengan sebuah
ruang yang sangat lebar, yang difungsikan
sebagai tempat tester. Ya, semua klien yang
aku bawa akan mencicip makanan di
ruangan ini.
"Kak Tifani kenalin ini Danisa, calon
pengantin kita. Dan, ini Kak Tifani yang
akan mengurus konsumsi di pernikahan
kamu nanti."
"Danisa."
280
"Tifani."
Kak Tifani mulai mempresentasikan setiap
menu yang dia siapkan. Bukan hanya nama-
nama makanan dan bahan-bahannya, Kak
Tifani juga menjelaskan kandungan gizi
yang terkandung dalam makanan itu.
Sekedar informasi dia itu lulusan ilmu gizi,
jadi tidak heran kan dia bisa menjelaskan
dengan begitu terampil.
"Silakan dinikmati dan tulis menu yang
akan di masukan dalam acara pesta
pernikahan kalian nanti."
"Mbak Alana bantuinmilihdong."
"Kok aku?"
"Kan Mas Jevanonggak di sini, mamaku dan
Mama Ratna juga nggak ada. Jadi mbantuin
ya."
"Ok."
Aku mulai memilih menu yang sepertinya
akan sesuai. Beberapa yang kupilih adalah
menu kesukaan Jevano, papanya Jevano dan
281
beberapa yang di sukai Bu Ratna. Aku
memang tak memiliki hubungan yang baik
dengan mereka dulu, tapi kami sempat
beberapa kali makan malam bersama. Jadi
sedikit banyak aku tahu.
"Gimana kamu setuju dengan menu yang
saya pilih?" tanyaku.
"Wow!" ucapnya dengan ekspresi yang tak
bisa aku artikan. Dia kemudian tersenyum
ke padaku, tapi entah perasaanku saja
senyumnya terasa lain. "Kok bisa ya Mbak,
menu yang Mbak Alana pilih adalah menu
favorit keluarga Mas Jevano."
Aku terasa ditampar oleh ucapan Danisa.
Mungkinkah Danisa sedang mengujiku?
"Oh ya?"
"Mbak Alana memang hebat," ujarnya
kemudian dengan senyuman seperti
biasanya.
Aku merasa lega. Apakah ini yang
dinamakan perasaan bersalah? Aku takut
282
Danisa tahu tentang masa lalu kami, meski
sebenarnya masa lalu kami bukan hal yang
harusnya kamu sembunyikan.
"Mbak pulang dari sini kita jalan, yuk,"
ajaknya.
"Ke mana?"
"Ke mana saja. Aku ingin bicara sesuatu
pada Mbak Alana!" 1
"Ok."
Danisa berbicara dengan Kak Tifani tentang
menu yang dia pilih, aku hanya mendengar
saja. "Jadi semuanya ada duapuluh menu, ya
Dan?"
"Iya Kak."
"Ya udah ya Kak, kayanya kita harus
pamit," ujarku.
"Oke. Lain kali kalau ke sini ajak Derano
aku kangen!"
"Ntar dia ngabisin makanan Kak Tifani
loh!"
283
"Nggak apa-apa, aku seneng. Rea juga
kangen pasti sama Derano!"
"Lain kali ya Kak. Aku pamit, titip salam
buat Mas Kris sama Rea!"
"Mari Kak Tifani," ucap Danisa sopan.
Danisa mengajakku untuk jalan, aku
menyetuji ajakannya meski tak tahu ke
mana kami akan pergi. Aku tidak mau
menjadi orang yang menumpang mobil
dengan tidak tahu diri, jadi aku putuskan
untuk menyetir.
"Mbak Alana jago ya nyetirnya. Kayanya
semua hal Mbak Alana bisa lakuin."
"Nggak semuanya juga, tapi aku mencoba
melakukan semuanya sendiri karena aku
tidak punya seseorang untuk bergantung."
"Suami Mbak Alana ke mana memang?
Hingga Mbak Alana harus ngelakuin
semuanya sendiri."
Aku terdiam sesaat setelah mendapat
pertanyaan itu, aku tidak ingin salah
284
menjawab yang mungkin akan
memperburuk suasana. "Kami bercerai,
bahkan sebelum Deren lahir!" jawabku
jujur.
"Gila ya, ada laki-laki yang nyerain istrinya
waktu lagi hamil."
"Dia tidak tahu, dia juga mungkin sama
terlukanya denganku. Keadaan antara kami
saat itu tidak memungkinkan untuk kami
tetap bersama."
Dia diam, aku juga diam. Hanya ada suara
radio yang memutarkan lagu Asal Kau
Bahagia. Danisa bersenandung mengikuti
lagu itu. "Aku punya ragamu tapi tidak
hatimu." Lalu air matanya jatuh, aku tidak
tahu alasannya dia menangis. 1
"Dan kok nangis?" tanyaku heran.
"Nggak apa-apa cuma lagunya sedih aja."
Masuk akal, lagunya memang sedih
menceritakan seseorang yang punya pacar
tapi pacarnya masih memendam perasaan

285
pada mantannya. "Mbak kalau mantan
suami Mbak Alana sekarang udah punya
pacar baru, terus dia pingin balik ke Mbak
Alana karena anak kalian apa yang akan
Mbak Alana lakukan?" Lagi-lagi
pertanyaan benar-benar menyindirku. 3
"Aku tidak akan kembali padanya. Jika aku
kembali kekasihnya pasti terluka."
"Tapi anak Mbak Alana butuh ayahnya,
kan?"
"Aku bisa menjadi ibu dan ayah untuk dia.
Sejak aku memutuskan untuk
mempertahankan dia, aku sudah bertekad
untuk membesarkan dia sendiri. Tidak akan
ada yang berubah." Meski sebenarnya aku
sempat goyah.
Dia menatapku sangat dalam, matanya
berkaca-kaca mungkin karena tadi sempat
menangis.
Dertttt ... Dertttt

286
Aku menepikan mobil untuk mengangkat
telepon karena terlalu berbahaya menyetir
sambil menelepon.
"Hallo! Assalamualaikum, Budhe. Ada
apa?"
"Walaikumsalam. Mama kamu pulang,
Lan."
"Mama?"
"Iya Bu Dewi, pulang."
"Budhe, Alana segera ke rumah. Jangan
cerita apapun ke Mama ya!"
Aku memutus sambungan telepon. Danisa
menatapku seolah bertanya, ada apa?
"Dan, kayanya kita nggak jadi jalan. Aku
ada urusan mendadak."
"Ya udahnggak apa-apa."
"Kamu hati-hati ya nyetirnya!"
Aku berlari mencegat taksi yang lewat di
jalan, untung saja ada taksi kosong. Aku

287
sudah tidak sabar untuk bertemu ibuku,
setelah hampir sepuluh tahun.

288
23. Berbohong.

Rasanya masih seperti aku sedang


bermimpi, saat aku mendengar ibuku
kembali. Ini adalah hari yang aku tunggu,
butuh hampir sepuluh tahun untuk aku bisa
bertemu dengannya. Aku berdebar hanya
dengan membayangkan senyum di wajah
ibuku. Aku penasaran bagaimana dia kini.
Aku berhenti melangkah saat berada di
pelataran rumah yang pernah aku tingali
bersama wanita berbaju biru itu, yang duduk
di kursi tua. Kakiku kaku, rasa bersalah
masih membekas di hatiku. Apalah dia juga
masih memendam rasa kecewanya padaku
"Mama ..." ucapku lirih.
Wanita yang wajahnya masih sama seperti
aku lihat terakhir kali, bedanya dia
tersenyum padaku. Aku berlari ke arahnya
lalu memeluknya erat, untuk memastikan
jika aku tidak sedang berhalusinasi.

289
"Maafin aku, Ma," ucapku.
"Mama udahmaafin kamu," ujar Mama.
Aku menangis karena terlalu bahagia. Satu
beban terbesar dalam hidupku akhirnya
lepas, selama ini aku takut jika Mamaku
tidak akan memaafkan aku selamanya.
Tangannya yang terasa lebih kasar dari
terakhir kali aku menggenggamnya. Dia
mengusap lembut air mata yang membuat
pipiku basah. "Jangan nangis, kalau kamu
nangis Mama jadi merasa bersalah."
Aku mengangguk lalu menghapus sisa air
mataku, "Alana nggaknangis kok Ma, Alana
cuma terlalu bahagia." Kemudian aku
memeluknya lagi.
***
Karena rumah kami yang dulu sudah di
tempati orang lain, aku membawa nama ke
apartemenku. Jika mama tak keberatan aku
ingin mama tinggal di sana saja.
“Mama tinggal aja di apartemen Alana.”
290
“Tapi suami kamu nggak masalah kalau
Mama tinggal sama kalian?"
Aku merasa tertohok dengan pertanyaan
Mama. Aku melupakan fakta, jika Mama
belum mengetahui tentang aku dan Jevano.
Aku bingung bagaimana untuk
menceritakannya. Terlalu panjang dan
rumit.
"Lan, suami kamu nggak masalah kan, kalau
mama tinggal di sana? Kalau dia keberatan
lebih baik Mama tinggal di rumah Budhe
Lastri."
"Ehmm ... Dia nggak masalah kok. Lagi
pula dia sedang di luar kota, jadi nggak
masalah."
Aku berbohong lagi, tidak aku tidak
berbohong aku hanya butuh waktu sedikit
lebih lama untuk menjelaskan pada Mama.
Aku tidak mau Mama syok, jika aku
menjelaskan sekarang dan kemudian
merusak momen yang sudah lama aku
tunggu.
291
***
"Nah Ma, ini apartemen Alana. Nggak
terlalu gede sih, tapi nyaman kok," ujarku.
"Tapi rapi kok, Mama nggaknyangka putri
Mama yang dulu manja bisa mengurus
rumah dengan baik," ujar Mama yang
terlihat begitu bangga padaku.
"Keadaan membuat aku dewasa, Ma."
"Memang. Dulu Mama pikir khawatir
dengan masa depan kamu setelah menikah,
apalagi saat itu kamu sudah hamil. Jevano
juga masih begitu muda, tapi melihat kamu
sekarang Mama tidak lagi khawatir."
Rasanya aku ingin menangis lagi, karena
pada kenyataannya hidupku tidak seindah
yang Mama bayangkan, tapi aku tidak tega
menghancurkan ekpektasi Mama tentang
hidupku sesudahnya untuk saat ini.
"Bunda ... Alen pulang!"

292
Derano berlari memelukku. Memang sudah
jamnya dia pulang sekolah. Mama dan
Derano saling menatap.
"Ma, Ini Derano putraku," ujarku.
Mama berkaca-kaca saat melihat cucunya
untuk pertama kalinya.
"Derano?" Aku mengangguk. "Derano, ini
Oma," ucap Mama sambil menyetarakan
tinggi badannya dengan Derano.
"Oma?"
"Iya, Oma ini Mamanya Bunda, salim sama
Oma."
"Hallo, Oma. Aku Alen," ucapnya.
Mama tersenyum kemudian memeluk
Derano. "Dia mirip sekali dengan dengan
ayahnya."
"Ren, Bunda kamu udah pulang?" ujar Zen
yang tidak lama masuk ke dalam.

293
Suasana menjadi hening lagi. Sama seperti
saat Derano masuk, Mama dan Zen juga
seolah bertanya, siapa dia?
"Zen ini Mamaku. Ma ini Zen, temen aku.
Tadi aku nggak sempat jemput Derano jadi
minta tolong buat jemputin."
"Hallo, Tante. Saya Zen," ujar Zen sambil
mencium tangan mamaku.
"Mamanya Alana," ucap Mama dingin.
Kemudian mama membawaku sedikit
menjauh dari Zen.
"Lan, dia sering ke sini?"
"Sering."
"Lan, lebih baik kamu jaga jarak dari laki-
laki lain karena bisa menimbulkan fitnah,
apalagi suami kamu lagi nggak ada di
rumah."
"Iya, Ma."
Untuk saat ini biar saja aku hanya
mengiyakan apa yang mama katakan. Aku
294
yakin Zen pasti mendengar obrolan kami,
karena Mama mengatakan itu dengan cukup
keras. Terbukti dengan Zen yang
memberiku kode meminta penjelasan, tapi
Zen bukanlah orang bodoh yang akan
mengatakan secara gamblang. Aku memberi
dia kode agar dia pulang.
"Lan, Tante. Aku pamit pulang dulu ya,"
kata Zen setelah mengerti kode yang aku
berikan.
"Oh ok. Makasih ya udah jemput Derano,"
ucapku.
"Uncle Zen." Derano berlari memeluk Zen.
"Kok pulang? Katanya mau nginep lagi?"
rengek Derano.
Mama menatapku tajam. Tentu saja, Mama
tidak tahu cerita sebenarnya. Setahu Mama
aku ini wanita bersuami yang sedang di
tinggal ke luar kota dan ada laki-laki lain
yang menginap di rumahku.

295
"Deren, Uncle Zen nya biar pulang ya. Kan
ada Bunda sama Oma."
Aku mendorong Zen pelan agar keluar dari
apartemenku sebelum semua menjadi
tambah kacau.
"Jelasin ke Mama!"
"Jadi begini, semalam dia emangnginep di
sini, tapi Jevanotau kok. Mama lihat sendiri
kan Derano lengket banget sama Zen."
"Untung suami kamu pengertian!" Mama
seperti masih kesal padaku. "Oh ya, Lan!
Derano ini berarti anak kedua kamu, kan?
Soalnya jika anak pertama harusnya sudah
sekitar 9 tahunan."
Aku terdiam, untuk kesekian kalinya aku
bingung untuk menjawab. "Iya dia anak
kedua kami,putri pertama kami meninggal
lima tahun yang lalu." Untuk kali ini aku
putuskan berkata jujur. Cukup aku
berbohong dengan statusku dan Jevano.

296
Mama terlihat terpukul, "Mama bahkan
belum sempat melihatnya."
"Allah lebih sayang sama dia, Ma."
Sebenarnya hatiku sangat sakit saat
membahas ini. Namun aku tak ingin
menunjukan itu di depan Mama. Mama
hanya memelukku. "Kamu benar-benar udah
dewasa," ucap Mama.
Hampir semalaman aku dan Mama bercerita
tentang banyak hal tidak kita lewati
bersama, meski aku melewatkan kejadian
antara aku dan Jevano. Hari ini aku
putuskan untuk tidak berangkat kerja. Aku
menemani Mama untuk membeli beberapa
peralatan rumah karena, perabot di rumah
kami dulu pasti sudah usang. Selain karena
sudah lama, juga karena tidak pernah di
gunakan.
"Lan apa nggak kemahalan beli sofa ini?"
tanya Mama saat melihat harga sofa yang
lebih dari sepuluh juta.

297
"Nggak apa-apa."
"Kamu nggak apa-apa, tapi suami kamu."
Ma aku tidak punya suami!
"Aku beli pakai uangku sendiri kok, Ma."
"Emang kamu kerja?"
"Iya aku kerja juga."
Setelah berdebat panjang, Mama akhirnya
setuju untuk membeli sofa itu.
"Bunda, Alen mau pipis."
"Pipis, ya?" Derano mengangguk. "Ma, aku
nganterinDeren pipis dulu ya."
"Ok."
Karena ini hari kerja dan juga bukan jam
istirahat jadi toilet lebih senggang, sehingga
tak perlu untuk mengantre dan bisa kembali
lebih cepat. Mama pasti bingung jika
ditinggal di sana sendirian. Langkahku
terhenti saat melihat mama sedang
menampar seseorang. Orang itu adalah

298
Jevano. Aku berlari untuk menghampiri
mereka.
"Brengsek kamu, Jev. Kamu sudah merebut
masa muda putri saya dan sekarang ini
balasannya?" Mama terlihat begitu emosi.
Beberapa orang yang lewat terlihat
memperhatikan kami, beruntung mall masih
sepi sehingga tak jadi keributan besar.
"Jaga ucapan Anda ya, Bu. Calon suami
saya ini laki-laki baik-baik!" bela Danisa
yang tak terima dengan perlakuan Mama ke
Jevano.
"Kamu juga, apa kamu nggaktau kalau laki-
laki yang kamu sebut calon suami ini, sudah
memiliki istri dan anak!" 1
Jevano terlihat bingung sedangkan Danisa
dan Mama sibuk beradu argument.
"Ma cukup , Jevanonggak salah. Yang salah
Alana karena nggak jujur sama Mama. Aku
dan Jevano sudah bercerai!"
"Cerai?"
299
"Iya, Ma. Maafin Alana karena
berbohong!"
"Jelasin ke Mama!"
"Iya, Ma. Alana akan jelasin, tapi sekarang
lebih baik kita pergi dari sini. Nggak enak di
lihatin orang."
Aku mengajak Mama pergi. Aku tak
menyangka situasi seperti ini akan terjadi.
Benar kata orang meski untuk kebaikan
kebohongan tetaplah kebohongan. Tidak ada
pembenaran untuk berbohong, dan
kebohonganku justru membuat keadaan
menjadi lebih rumit untukku.

300
Spesial Chapter : Berbeda

Jevano POV
Mungkin yang aku lakukan saat ini salah,
tapi aku menikmati kesalahan yang aku
lakukan hari ini bersamanya. Alana dan
Derano. Hari terasa berlalu cepat saat
bersama mereka membuatku ingin menjadi
serakah, melarikan diri sejauh mungkin
bersama mereka agar kami bisa seperti ini
setiap hari. Bolehkah aku melakukan itu?
Aku membuang jauh pikiran itu, ada hati
lain yang harus aku jaga. Alana pasti tidak
akan pernah setuju dengan ide gila yang
sempat terpikir olehku. Tak terasa waktuku
bersamanya berakhir saat mobil yang
kukemudikan berhenti di depan gedung
tinggi tempat pangeran kecilku tinggal,
bersama wanita yang hingga saat ini masih
menjadi bidadariku. Ya, aku masih
mencintainya, meski aku mencoba menepis
itu. Namun menghabiskan hari bersamanya
301
membuatku aku sadar, tempatnya di hatiku
belum tergantikan. Dia terlihat kesulitan
saat akan turun dari mobil. Sebenarnya aku
ragu menawarkan diri untuk membantunya,
aku takut ditolak olehnya seperti waktu itu.
"Biar aku yang gendong Derano," tawarku
ragu.
Tidak seperti waktu itu, hari ini dia tak
menolak bantuanku. Dia mengangguk kecil.
Aku mengambil alih Derano, sedangkan dia
membawa barang-barangnya.
"Kalian baru pulang?" tanya laki-laki yang
selalu membuatku cemburu, harusnya aku
yang ada di posisinya andai saja ....
"Zen, kok kamu di sini?" tanyanya
"Kak Risa bikin puding stroberi kesukaan
Deren, jadi aku ke sini buat nganterin." Dia
menyerahkan rantang warna hijau pada
Alana.
"Biar saya aja yang gendong Deren." Zen
mengambil alih Derano dari gendonganku.
302
"Lebih baik Anda pulang, tidak enak jika di
lihat orang apalagi calon istri Anda!" Dia
seperti benar-benar tak menyukaiku.
Aku menahan emosiku karena aku tak mau
Alana sedih jika kami sampai bertengkar
seperti waktu itu.
"Udah Zen, lebih baik kita masuk
ajakasianDerano," ujarnya yang sungguh
menyakitiku. Aku kecewa, meski aku sadar
tak berhak untuk kecewa. "Jev, kamu juga
pulang ya udah malam. Benar kata Zen,
nggak enak di lihat orang apalagi Danisa."
Sungguh aku tak bisa menahan diriku lagi.
"Lan, sampai kapan aku harus main kucing-
kucingan hanya untuk bertemu anakku? Aku
bahkan tidak bisa mendengar dia
memanggilku papa." Aku mengungkapkan
perasaanku yang coba untuk kutahan.
Laki-laki itu tersenyum miring padaku.
"Apa Anda tidak malu ingin di panggil papa
oleh Deren? Dengan semua yang ibu Anda

303
lakukan kepada Alana, saat dia datang untuk
memberitahukan jika dia hamil!"
"Zen!" Bentak Alana pada laki-laki yang dia
panggil Zen.
"Maksudnya?" Aku ingin sebuah
kejelasan. "Lan, apa maksud kata-katanya?
Jadi Mama tau? Apa yang mama lakukan?
Tolong kasih tahu aku!" ujarku frustrasi.
"Sebenarnya ...." Alana ragu untuk
menjawab.
"Lan jawab!" bentakku tanpa sadar.
"Anda tidak berhak membentaknya! Jika
anda penasaran silakan bertanya pada ibu
Anda!"
Laki-laki itu menyeret Alana pergi
bersamanya, sedangkan aku hanya
membeku. Sebenarnya apa lagi hal yang
tidak aku tahu?
***

304
Otakku benar-benar kosong, aku hanya
memikirkan satu hal, apa yang mamaku
sembunyikan? Apa yang mama lakukan,
hingga Alana begitu membenciku dan
menyembunyikan semuanya dariku. Aku
memarkirkan mobilku sembarangan di
pelataran rumah.
"Ma ... Mama ... Ma!" teriakku.
"Jev, kenapa sih pulang-pulang bukannya
ngasih salam malah teriak-teriak kaya di
hutan aja!"
"Aku masih ingat jika Mama adalah ibuku
itu udah lebih dari cukup, setelah yang
Mama lakukan sama aku! Kenapa, Ma?
Kenapa ...." Apa aku sudah menjadi anak
durhaka karena membentak dan meneriaki
wanita yang melahirkan aku?
"Maksud kamu apa?"
"Lima tahun yang lalu, saat aku pergi ke
NTT apa yang Mama sembunyikan? Apa
yang mama lakukan pada Alana saat dia

305
datang untuk memberitahu jika dia hamil?
Apa yang mama lakukan?" Aku berteriak
menangis seperti orang gila, karena aku
bingung aku harus bagaimana menghadapi
situasi ini, terlebih mama hanya diam. "Ma,
jawab aku jika Mama masih menganggap
aku anak mama!"
"Hari itu Alana datang, tepat saat kamu
pergi. Dia bilang dia hamil, tapi Mama pikir
keadaan kalian tidak memungkinkan untuk
kalian bersama. Mama nggak mau kamu
menderita lagi karena Alana. Mama nggak
mau ngelihat kamu bekerja terlalu keras
untuk wanita yang bahkan nggak pernah
menghargai kerja keras kamu!"
Aku bingung untuk mengatakan apa. Benar
memang kasih sayang orang tua kadang
buta. "Ma aku nggak pernah merasa
menderita saat bersama Alana. Aku sangat
bahagia dengan hidup kami, aku nggak mau
dia tahu karena Alana sudah cukup
menderita gara-gara laki-laki seperti aku!"

306
"Jev, kamu yang banyak menderita karena
dia! Kamu terlalu mencintai dia hingga
menjadi buta!"
"Ya aku terlalu cinta sama Alana, hidupku
hancur saat harus merelakan berpisah
dengan dia! Mama tahu itu, kan?"
"Maka dari itu, Mama nggak mau kamu
jatuh di lubang yang sama. Gadis bodoh itu
malah membesar anak itu!"
Aku semakin tak bisa mengerti, bagaimana
wanita yang paling aku hormati. Melakukan
semua ini. Aku bahkan terlalu malu
mengakui dia sebagai ibuku. Dia begitu
kejam, bahkan tak berperasaan.
"Ma, anak yang Alana kandung saat itu anak
aku, cucu Mama. Apa putriku saja tidak
cukup, Mama ingin menghilangkan dia
juga?"
"Maksud kamu apa?"
"Aku tahu, Malam itu mama menolak untuk
mendonorkan darah untuk Wisha, kan?"
307
"Gadis itu yang mengatakan?"
"Berarti benar. Dulu aku kira Alana bodoh
karena tidak meminta bantuan Mama
padahal dia tahu golongan darah mama
sama dengan aku, tapi ternyata dugaanku
benar!"
Ya benar aku hanya menebak saja, aku tahu
Mamaku tidak menyukai Alana, tapi tak
menyangka akan sekejam ini.
"Mas, tenang. Semuanya bisa di selesaikan
dengan kepala dingin!"
Aku tidak tahu sejak kapan Danisa ada di
sini, dia pasti mendengar semuanya, tapi
kenapa dia begitu tenang seperti tak ada
yang terjadi. Seperti yang dia dengar bukan
hal yang mengejutkan.
"Dan, yang semuanya nggak seperti yang
kamu dengar!" ujar Mama mencoba
menjelaskan pada Danisa.
"Iya Ma, Danisa ngerti kok."

308
Aku merasa sesak di sini, melihat Danisa
yang masih bisa tersenyum setelah
mendengar semuanya membuatku semakin
bingung dengan keadaan ini. Aku
memutuskan untuk pergi, aku takut tak bisa
mengendalikan emosiku dan melakukan hal-
hal buruk yang mungkin saja bisa terjadi.
***
Aku menangis di tengah taman yang sudah
sepi, jam segini siapa juga yang akan datang
ke taman. Bagaimana semua ini terjadi dan
tersimpan begitu rapi, aku sungguh tak
mengerti. Siapa yang harus aku salahkan
dengan keadaan ini.
"Angin malam nggak bagus untuk kesehatan
kamu," ujar seseorang yang kemudian
mengambil posisi di sebelahku.
"Dan ..."
"Aku tahu, bahkan alasan aku memilih WO
milik Alana juga karena aku tahu. Aku tahu
lebih banyak dari yang kamu duga. Aku

309
juga tahu hari ini kamu habis jalan dia,
waktu itu saat tiba-tiba kamu sama Alana
menghilang aku juga tahu kalian pergi
bersama," tuturnya dengan ekspresi datar
seolah yang dia dengar bukan apa-apa. 8
"Jadi ..."
"Ya, aku pura-pura tidak tahu. Aku nggak
ingin kehilangan kamu. Sekaligus aku ingin
dia membalas rasa sakit yang pernah kamu
rasakan " 2
"Setelah semua yang kamu tahu, kamu
masih ingin melanjutkan pernikahan kita?"
"Tentu saja, banyak yang aku korbankan
untuk bisa menikah sama kamu. Aku nggak
akan melepas kamu begitu saja, aku yakin
kalau kita udah nikah dan punya anak, kamu
juga akan mencintai aku seperti aku
mencintai dia!" 3
"Tapi Dan ...."
"Kamu udah janjikan untuk menikah
denganku, jadi pastikan kamu menepati
310
janjimu. Lagi pula Mbak Alana pasti akan
merasa bersalah jika pernikahan kita sampai
batal!"
Selama ini aku hanya tahu Danisa gadis
lemah lembut, baik dan juga polos. Aku
tidak tahu jika dia semenakutkan ini.
"Aku harus pulang, Mas juga masuk, aku
nggak mau calon suamiku sakit!"
Kemudian dia pergi begitu saja. Bagaimana
bisa aku tak mengenal dengan baik orang-
orang di sekitarku. Mamaku bahkan Danisa,
setelah waktu yang kami habiskan bersama,
hari aku benar-benar merasa asing
dengannya.

311
24. Keputusan

"Jelaskan pada Mama, Lan!" ujar Mama


begitu sampai di dalam mobil kami.
"Nanti Alana jelasin kalau kita sudah
sampai rumah!"
"Jelasin sekarang atau Mama kembali ke
dalam dan menghajar itu!"
Mama memang keras kepala. Namun semua
ini memang salahku, harusnya aku jujur dari
awal sehingga kejadian hari ini tidak perlu
terjadi. Aku merasa bersalah pada Danisa
saat ini, dia pasti merasa bingung dengan
situasi yang terjadi. Namun mama lebih
bingung. Aku memutuskan menceritakan
semuanya. Aku mulai bercerita, tanpa
melewatkan satu hal pun. Hatiku terasa sakit
saat harus menceritakan semua itu satu
persatu. Air mataku mengalir tanpa bisa
kukendalikan.1

312
"Cukup Lan, jangan dilanjutkan lagi. Mama
nggak mau kamu terluka dengan
menceritakan semua ini." Mama menangis,
Mama menarikku ke dalam pelukannya.
"Maafin Mama Lan, yang biarin kamu
melewati semua ini sendiri!"
"Mama nggak salah, semua terjadi karena
Alana yang salah!" Semua yang terjadi
memang berawal dari kesalahanku sendiri.
Jadi aku tidak menyalahkan siapa pun,
termasuk diriku sendiri. Sekarang aku sudah
memaafkan diriku sendiri, semua waktu
yang aku lewati sangat berharga karena
telah mendewasakanku meski harus
melewati begitu banyak rasa sakit.
***
Setelah beberapa lama menetap di
apartemen, aku memutuskan untuk
menjualnya dan membeli sebuah rumah. Ya,
rumah itu adalah rumah yang dulu kami
tempati. Kebetulan, pihak instansi terkait
berniat menjual rumah itu karena jaraknya
313
lumayan jauh dari lokasi sekolah. Aku
membelinya dan melakukan beberapa
renovasi, karena rumah itu memang sudah
cukup tua. Sekarang kami bisa
menempatinya lagi. Banyak cerita yang
tersimpan di rumah ini, meski sudah banyak
yang berubah, namun rumah ini masih
terasa nyaman seperti dulu. Aku sudah tak
membawa Derano ke tempat kerja lagi,
karena ada mama yang menjaganya.
Aku bekerja seperti biasanya, hanya saja
untuk pernikahan Danisa dan Jevano aku
memilih untuk sedikit mundur. Aku masih
mengurusnya, namun tidak turun tangan
secara langsung. Aku hanya mengawasi
saja. Sejujurnya aku ingin mengambil
sedikit jarak dari mereka. Namun hari ini
Danisa datang ke kantor untuk menemuiku.
Sepertinya aku tidak bisa bersembunyi lagi.
Mau tak mau aku harus menemuinya. Lagi
pula aku yakin Jevano pasti sudah
menjelaskan semuanya pada Danisa.

314
"Maaf udah bikin kamu menunggu," ucapku
basa-basi.
"It's ok. Bukan masalah besar !"
Aku merasakan aura Danisa yang benar-
benar berbeda, aku bahkan berpikir jika
mereka adalah orang yang berbeda. Dia tak
seperti Danisa yang biasa aku temui. Tidak
ada senyum manis seperti yang biasa dis
tunjukkan.
"Maaf untuk yang terjadi waktu itu, kamu
pasti terkejut!"
Dia menatapku dan tersenyum tipis lalu
seketika berubah menjadi dingin.
"Sayangnya aku tidak terkejut!"
"Maksudnya?" Sungguh aku tidak mengerti
apa yang sebenarnya terjadi.
"Aku tau semuanya! Bahkan jauh sebelum
mas Jevano setuju untuk menikah
denganku! Karena aku penasaran seperti apa
mantan istri Mas Jevano yang tidak tahu diri
itu, aku mencari tahu dan aku
315
menemukanmu!" jelasnya membuatku
benar-benar terkejut.
"Jadi kamu tahu, lalu kenapa kamu ingin
aku ingin mengurus pernikahan kalian?"
"Simpel saja! Aku ingin membalas
penderitaan yang Mas Jevano rasakan. Aku
ingin menyiksamu perlahan!"7
Aku tidak bisa berkata-kata, aku tidak
pernah menyangka jika semua yang terjadi
adalah hal yang disengaja. Aku tidak habis
pikir Danisa melakukan semua ini dan dia
berhasil menyembunyikan semua itu dengan
begitu rapi.
"Akh, tapi semuanya tidak lagi
menyenangkan, setelah kamu dan Mas
Jevano diam-diam bertemu di belakangku!
Harusnya kamu tetap membenci Mas Jevano
seperti saat pertama kali kita bertemu. Jadi
permainan ini terasa lebih menyenangkan!"
Dia tertawa kecil, lalu memasang wajah
kecewa.

316
"Sakit jiwa kamu!" Aku pikir tidak ada kata
yang tepat untuk menggambarkan kondisi
Danisa saat ini, kecuali sakit jiwa.
Dia tertawa keras. "Aku sakit jiwa? Ah
benar juga, aku menjadi gila karena Mas
Jevano terus menerus menolakku dan
setelah aku berhasil mendapatkannya kamu
berusaha merebut dia!"1
"Aku tidak pernah berpikir untuk
merebutnya!"
"Bohong! Jika tidak ingin merebutnya,
kenapa kamu mau-mau saja pergi dengan
dia!"
"Itu karena Derano ...."
"Berhenti menjadikan anak itu sebagai
alasan! Lagi pula belum tentu juga anak itu
anak mas Jevano!"
"Cukup kamu keterlaluan!"
"Memang benar kan? Kamu menikah
dengan Mas Jevano juga karena hamil

317
duluan, nggak menutup kemungkinan kamu
hamil dengan orang lain!"
Rasanya sulit untuk mengendalikan emosi
dalam menghadapi Danisa. Bisa-bisa aku
menjadi gila jika terus berhadapan dengan
dia. Aku menarik napas dalam, aku tidak
mau terpancing oleh Danisa. Yang waras
ngalah.
"Oke terserah kamu mau ngomong apa!
Saya minta maaf karena sudah
menghabiskan hari dengan calon suami
kamu. Tapi tolong jangan bawa-bawa anak
saya! Dia tidak tahu apa-apa."
"Minta maaf? Sayangnya aku nggak butuh
kata maafmu!"
"Lalu kamu mau apa? Mau saya mundur
dari persiapan pernikahanmu saya akan
mundur. Jika kamu khawatir tentang Jevano,
hubungan kami sudah berakhir lima tahun
yang lalu. Untuk Derano, dari awal dia
putraku. Dari dia lahir hingga saat, dia

318
sudah terbiasa tanpa Jevano!" Aku mulai
muak dengan semua sikap Danisa.
"Sayangnya nggak semudah itu, aku ingin
kamu tetap mengurus pernikahan ini hingga
selesai. Aku ingin kita bertarung hingga
akhir!" Gadis ini benar-benar membuatku
kehilangan kata-kata.
"Pertarungan apa yang kamu maksud Dan?
Udah ya, kita akhiri semuanya di sini!
Untuk pernikahan kamu, biar staf saya yang
mengurus. Jadi kita akhiri ketidaknyamanan
ini," bujukku. Sungguh aku ingin
mengakhiri hubungan gila ini.
"Kamu takut? Kamu yakin ingin mundur?
Jika begitu siap-siap menunggu kehancuran
kamu dan weddingorganizer kebanggaan
kamu ini!"
"Dan cukup!" Aku lama-lama bisa
kehilangan kesabaranku.
"Pasti akan menjadi headlinenews pemilik
WO ternama menjalin hubungan dengan

319
calon mempelai pria kliennya! Bagaimana
menarik bukan?"2
"Oke! Saya akan tetap mengurus pernikahan
kamu hingga akhir!"
"Bagus! Dengan begitu kita bisa menikmati
permainan ini hingga akhir."
"Enggak Lan, Mana nggakngijinin kamu
ngurusin pernikahan mereka!" ujar Mama
yang tiba-tiba sudah ada di ruanganku.
Kenapa Mama harus datang disaat seperti
ini.
"Aku pamit, sampai jumpa di pertemuan
berikutnya!" ujar Danisa lalu dia pergi tanpa
rasa bersalah sedikitpun.
"Lan, kamu usah nggak waras ya, hingga
ngurusin pernikahan mantan suami kamu?"
Tentang kewarasan, aku terkadang
mempertanyakan pada diriku sendiri. Semua
ini memang gila, sangat gila hingga aku
berpikir pergi ke rumah sakit jiwa untuk
memeriksakan kejiwaanku. Bayangkan saja,

320
mana ada wanita waras yang mau mengurus
pernikahan mantan suaminya, terlebih dulu
berpisah secara tidak baik-baik.1
"Nggak bisa Ma, nggak semudah itu! Aku
nggak mau dibilang nggak profesional."
Aku berusaha menjelaskan pada mama.
"Lan, jangan gila! Kalau kamu kawatir
tentang uang ganti rugi, mana punya cukup
tabungan untuk itu!" Mama sepertinya
benar-benar emosi.
"Ada apa kok ribut-ribut?" tanya kak Risa
yang entah kenapa juga datang.
"Ini loh Ris, Alana nggak bisa dibilangin,
padahal Tante hanya ingin dia mundur dari
acara pernikahan Jevano dan calon istrinya!
Bagaimana bisa dia mengurus pernikahan
mantan suaminya!"
Kak Risa terdiam. Dia menatapku meminta
penjelasan, selama ini dia memang belum
tahu akan hal ini. "Lan, kamu anggap aku
apa? Kenapa kamu nggak bilang dari awal?"

321
Kak Risa terlihat begitu kecewa, matanya
terlihat berkaca-kaca.
"Maafin aku kak, semuanya terlalu rumit!"
"Mundur dari pernikahan mereka!"
"Enggak bisa, itu akan berakibat buruk
pada sunshinewedding, terlebih jika mereka
menuntut karena pelanggaran kontrak!"
"Apa itu penting sekarang? Jika mereka
menuntut ganti rugi kakak yang akan
menggantinya! Aku dan Mas Cahyo punya
uang lebih dari cukup. Bahkan jika kita
harus membiayai kamu dan Derano kita
nggak keberatan. "
"Aku nggak khawatir tentang uang kak.
Mungkin aku masih bisa hidup
sekalipun sunshinewedding hancur, namun
bagaimana dengan ratusan karyawan yang
menggantungkan hidupnya di sini?"
Memang benar, baik Kak Risa ataupun
mama sanggup membiayai hidupku, aku tak
meragukan itu. Bahkan aku sendiri juga
322
memiliki tabungan yang cukup jika hanya
untuk membiayai hidupku dan Derano.
Namun bagaimana dengan karyawan-
karyawan yang menggantungkan hidupnya
di sini? Bagaimana dengan keluarga yang
harus mereka biayai? Aku tidak ingin
karena masalah pribadiku, ratusan orang tak
bersalah ikut menderita.1
Kak Risa memelukku, "Lan, lakukan jika
kamu rasa itu baik, namun jika kamu tidak
sanggup kamu boleh menyerah jangan
pikirkan orang lain. Pikirkan dirimu lebih
dulu," ujar Kak Risa yang di selingi isakkan.
Mama juga ikut memelukku. "Putriku
sekarang benar-benar dewasa. Apa pun yang
kamu putuskan, Mama hanya ingin kamu
bahagia."
"Aku janji, aku akan bahagia. Bagaimana
aku tidak bahagia, aku memiliki kalian
semua."2
Ini adalah hal aku putuskan, semula aku
berniat untuk melarikan diri. Namun
323
akhirnya aku tetap tinggal aku akan
menyelesaikan apa yang aku mulai. Meski
nantinya mungkin aku akan sedikit tergores,
namun aku berjanji untuk bahagia.2

324
25. Reason.

Pernikahan Danisa dan Jevano tinggal satu


setengah bulan lagi. Undangan sudah
dicetak, gedung dan semua keperluan sudah
siap. Tinggal mengurus hal-hal kecil yang
mungkin kami lewatkan. Hari ini aku dan
mereka berdua akan mengecek ulang
gedung yang akan kami gunakan, sekaligus
menyusun desain terakhir untuk dekorasi
nantinya.
“Zen tolong tab-ku!” ujarku sambil
menunjuk tablet yang ada di jok belakang.
“Nih!” Zen menyerahkan tablet itu setelah
mengambilnya di jok belakang.
“Makasih!” ucapku.
“Aku udah kaya asisten kamu benerandeh!”
cibir Zen. Namun jika dipikir-pikir lagi yang
Zen katakan ada benarnya, belakang ini dia
selalu mengikutiku atas perintah langsung
325
dari investor terbesar Sunshinewedding,
Merisa. Kata Kak Risa, untuk jaga-jaga jika
sewaktu-waktu Danisa berulah.
“Terima aja, sekali-kali jadi asisten. Lagi
pula aku kan jadi bos yang baik, coba pikir
lagi mana ada bos yang mau nyeterin
asistennya!”
“Jadi kamu benar nganggap aku asisten?”
Aku mengangguk. “Kemarin babysitter,
sekarang asisten, terus kapan aku naik
pangkat? Jadi suami gitu!” ujar yang
membuatku tersedak minuman yang sedang
aku minum.
“Zen nggak lucu ih!”
“Siapa juga yang lagi ngelucu!”
“Zen, aku baper tanggung jawab loh!”
“Ya udah ayo!”
“Ngapain?”
“Nikah!”

326
“Udahdeh, nggak usah bercanda!” Jujur aku
mulai tak nyaman jika dia mulai bercanda
seperti ini.
“Siapa bilang aku bercanda! Aku serius!”
“Zen ....”
“Serius bercandain kamu!” Tawanya
kemudian pecah.
“Tau ah! Udah turun, bisa gila kalau lama-
lama gobrol sama kamu.”
Aku meninggalkan Zen di dalam mobil.
Aku sempat berpikir jika Zen tidak sedang
bercanda. Namun saat tahu dia hanya
bercanda aku merasa lega. Aku takut jika
Zen benar-benar serius, karena aku tidak
mungkin menerimanya, namun akan sulit
untuk aku menolaknya. Aku takut
kehilangan dia. 1
****
Gedung yang tidak terlalu mewah, namun
cukup sulit untuk melakukan reservasi
adalah gedung yang Danisa pilih. Semula
327
aku memberi dia beberapa pilihan hotel
bintang lima, namun dia tetap ingin
pernikahannya di adakan di gedung
itu. Tepat saat kami tiba, mereka juga tiba.
Aku bisa melihat Danisa menggandeng
Jevano posesif.
“Kita langsung aja ya,” ujarku.
Kami masuk ke dalam gedung, selain kami
berempat ada seorang pengurus gedung
yang menemani kami. Tujuannya adalah
memastikan jika semua fasilitas yang
diinginkan tersedia dengan baik.
“Jadi ada yang mau ditambahin atau ada
sesuatu yang kurang pas sebelum desain
terakhir jadi?” tanyaku memastikan setelah
selesai berkeliling gedung.
“Aku rasa tidak,” jawab Jevano.
“Jika Mas Jevano bilang seperti itu aku
setuju.”
“Saya permisi ke toilet dulu,” ujar Jevano,
aku bisa merasakan jika Jevano terlihat
328
tidak nyaman berada situasi seperti ini.
Sesekali aku melihat dia berusaha melepas
genggaman tangan Danisa dan membuat
sedikit jarak dengan Danisa, sisanya dia
hanya dua seperti patung yang bisa berjalan
dan bernapas. Ekspresi wajahnya datar
seperti manekin di toko baju.
“Iya silahkan!” ujarku.
“Lan, aku juga ya.” Zen ikut pergi ke toilet,
aku hanya berharap mereka tidak berkelahi
di sana.
Sekarang tinggal aku dan Danisa. Kami
duduk di panggung yang memang menjadi
salah satu fasilitas di gedung ini. Danisa
masih terlihat angkuh seperti beberapa hari
yang lalu. Tatapannya, senyumannya benar-
benar membuatku merasa tak nyaman
berada dekat dengan dia.
“Mbak Alana taunggak alasan aku memilih
gedung ini?” tanya Danisa memecah
keheningan di antara kami.

329
“Aku tidak tahu dan tidak tertarik untuk
tahu!” jawabku.
“Tapi aku ingin memberitahu. Coba kamu
ingat lagi, tentang gedung ini? Kamu yakin
tidak ingat?”
Sepertinya Danisa sedang mencoba
mempermainkan emosiku, namun perlahan
sebuah ingatan muncul. Ya, gedung ini
adalah tempat Jevano mengatakan cinta saat
aku gagal memenangkan kompetisi tari,
karena aku mengalami cidera.
“Nggak apa-apa, lain kali bisa coba lagi!”
“Tapi kamu nggaktau seberapa keras aku
berusaha! Kamu bilang nggak suka sama
cewek yang nggak bisa apa-apa. Aku ingin
buktikan ke kamu kalau aku itu nggak
seburuk yang kamu pikir!”
“Lan ....”
“Jangan mengatakan apa pun, itu membuat
aku merasa semakin buruk!”

330
Setelah aku mengatakan itu, Jevano pergi
begitu saja. Tentu saja apa yang aku
harapkan. Harusnya dari awal aku
mendengar kata-kata teman-temanku.
Bahwa sekeras apa pun aku berusaha,
Jevano tidak akan pernah melihatku.
“Perhatian semua!” Aku langsung mencari
sumber suara itu dan itu Jevano. Dia berdiri
di atas panggung. “Hari seseorang gadis
yang telah berusaha keras, tiba-tiba
terjatuh dan cedera hingga dia tidak bisa
melanjutkan kompetisi. Untuk gadis yang
itu, Alana Wirasti tidak apa-apa kamu tidak
menang, tapi kamu berhasil memenangkan
hatiku. Alana Wirasti, mau nggak jadi
pacarku?”
Hari itu aku merasa sangat bahagia,
bagaimana tidak seseorang yang aku sukai
sejak pertama kali masuk SMA. Seseorang
yang dengan berbagai cara menolakku
menyatakan cinta dengan cara yang tidak
pernah aku pikirkan sebelumnya.

331
Hatiku berdebar mengingat itu semua,
namun terasa sakit di waktu yang sama.
Dulu Jevano pernah bilang, jika kami
menikah ingin mengadakan pesta
pernikahan di gedung ini. Bagaimana aku
tidak mengingat semua itu.
“Sudah ingat?”
“Bagaimana kamu bisa tau?”
“Karena aku ada di sana menjadi saksi
pernyataan cinta Mas Jevano! Dan aku
membayangkan seandainya aku adalah
gadis itu.”
“Lalu apa tujuanmu?”
“Tentu saja menyakitimu! Aku bersumpah
pada diriku sendiri bahwa aku akan
menghancurkan seseorang yang membuat
Mas Jevano begitu menderita!” Sungguh
aku tidak menyangka dia begitu totalitas
untuk menyakitiku.
Aku tersenyum miris, aku tahu jika
sebenarnya saat dia melakukan ini semua
332
dia juga melukai hatinya sendiri. “Dan, aku
hanya ingin memberimu saran dengan
melakukan semua ini, sama halnya kamu
membuat Jevano tidak bisa lepas dari masa
lalunya! Dengan melakukan ini, kamu juga
melukai hati kamu sendiri?”
Danisa terlihat gelisah mendengar
ucapanku. “Tau apa kamu?” bentaknya.
Wajahnya langsung memerah.
“Aku salah?”
“Mas Jevano itu milikku dan aku akan
melakukan apa pun untuk membuat dia
tetap di sisiku!”
“Termasuk menghancurkan diri kamu
sendiri?”
“Ya sekalipun aku harus hancur, setidaknya
dengan melakukan ini aku tidak hancur
sendirian!” Seperti pembicaraan kami
semakin jauh dan aku semakin merasa tidak
waras karena mendengar semua pemikiran
gila Danisa. Berbicara lebih lama dengan

333
dia benar-benar akan membuatku menjadi
pasien rumah sakit jiwa. 2
“Lan, ayo pulang!” ujar Zen yang langsung
mengambil alih perhatian kami. Dia kembali
bersama dengan Jevano.
“Akh iya.” Akhirnya aku bisa menghindar
dari pembicaraan gila aku dan Danisa.
“Karena semua sudah selesai, kami pamit
pulang!” ujarku.
Aku dan Zen meninggalkan Danisa yang
masih terlihat mencoba mengendalikan
emosinya. Benar kata orang jika cinta bisa
membuat seseorang menjadi buta dan
melakukan apa saja, termasuk
menghancurkan dirinya sendiri.
***
Saat aku sampai di kantor, aku melihat
seseorang wanita cantik yang tak asing
untukku duduk dengan anggun di kursi
tunggu. Dia Shireen, kakaknya Danisa. Aku
mendekatinya karena penasaran dengan

334
alasan keberadaannya di sini. Aku hanya
berharap, dia tidak datang untuk
mengajakku berkelahi karena telah
membuat adiknya emosi.
“Selamat siang, ada apa ya Mbak Shireen ke
sini?” tanyaku berusaha ramah.
“Saya ingin bicara sama kamu Alana,
boleh?” Dia terlihat ragu.
“Tentu, tapi lebih baik jika kita bicara di
ruangan saya!” Aku mengajaknya ke
ruanganku. Rasanya tidak pantas jika
pembicaraan kami nantinya menjadi
konsumsi pegawaiku yang lain. “Silakan
duduk!” ujarku setelah sampai di
ruanganku.
“Maaf untuk sikap Danisa, saya sudah
mendengar semuanya dari Risa!” ujarnya.
“Mbak Shireen nggak salah, dalam hal ini
tidak ada yang bisa disalahkan. Saya bisa
paham kenapa Danisa bersikap seperti itu.”

335
Jujur, sebenarnya aku masih tidak paham
alasan Danisa terobsesi untuk menyakitiku.
Dia tersenyum, “Kamu memang baik,
sangat baik. Pantas Jevano sangat mencintai
kamu.” Dia terlihat berkaca-kaca saat
mengatakan itu. Saya bertemu Jevano lima
tahun yang lalu, saat Jevano menjadi koas.
Saat itu Danisa mengalami kecelakaan yang
membuat ligamen patah hingga dia cedera
permanen dan dia tidak menari lagi. Semua
itu membuat Danisa yang bermimpi menjadi
balerina depresi dan berniat bunuh diri,
beruntung seorang dokter muda
menolongnya dan membuat Danisa mau
untuk tetap bertahan.”
Aku sedikit banyak mendengar cerita
pertemuan mereka dari Danisa, tapi aku
tidak menyangka jika Danisa saat itu hendak
bunuh diri.
“Namun saat Danisa sudah pulih, Jevano
selesai koas dan memilih internship di luar
pulau, padahal pihak rumah sakit
336
menawarkan dia untuk tetap di Jakarta
karena semua tahu kemampuan Jevano,”
lanjutnya. Mendengar itu membuatku
berpikir, seandainya dulu Jevano memilih
internship di Jakarta mungkin semuanya
tidak akan menjadi seperti ini. Aku bisa
memberitahunya jika aku hamil dan kami
mungkin masih bisa bersama.
Shireen mulai berkisah, yang menurutku
mirip dengan Danisa ceritakan waktu itu,
hanya saja dengan sudut pandang berbeda.
Dia bilang, saat Jevano pergi kondisi Danisa
kembali memburuk hingga mereka
memutuskan membawa Danisa ke NTT
untuk melakukan kegiatan sukarelawan dan
membuat seolah kebetulan hingga bisa
bertemu dengan Jevano kembali.
Awalnya aku pikir Danisa hanya sekedar
mencintai Jevano, namun saat mendengar
cerita dari Shireen ternyata Danisa lebih dari
itu. Dia terobsesi untuk memiliki Jevano.
Terlebih jika menggabungkan semuanya,

337
dari kejadian di gedung itu, hingga semua
cerita yang aku dengar.
“Tapi semua ini nggak baik untuk Danisa
juga Jevano jika diteruskan!”
“Saya tahu. Saya juga menyesal karena
tidak mencegah dari awal, tapi sekarang
rasanya sudah terlambat. Danisa semakin
bergantung dengan Jevano.”
Aku mencoba memahami sebanyak yang
aku bisa. Mungkin aku pernah ada di posisi
Danisa saat aku begitu terobsesi dengan
Jevano. Dulu setelah aku menikah, terlebih
setelah aku melahirkan aku sangat takut jika
dia meninggalkan aku, setelah aku
menyerah pada semua mimpiku dan menjadi
ibu rumah tangga. Aku menjadi begitu
terobsesi dan posesif. Aku melakukan
segala cara agar Jevano tetap bersamaku.
Namun tetap saja aku masih tidak mengerti
Danisa.
“Lan ...” Dia menggenggam tanganku.
“Saya tahu, saya tidak lantas mengatakan
338
ini. Dibandingkan Danisa kamu dan anak
kamu, lebih berhak akan Jevano. Mungkin
terdengar egois, tapi biasakan kamu pergi
dari Jevano. Saya tahu ini terdengar egois,
tapi ...” Dia menangis. “Danisa mungkin
tidak bisa bertahan jika tanpa Jevano.” Aku
tahu sebenarnya berat untuk dia mengatakan
ini semua, dia hanya seorang kakak yang
sangat menyayangi adiknya. 1
“Tapi apa Mbak Shireen yakin Danisa bisa
bertahan hidup dengan Jevano setelah tahu
semuanya?” Dia terdiam. “Namun Mbak
Shireen tidak perlu khawatir, setelah
pernikahan mereka aku juga berniat
meninggalkan kota ini.” Seperti pergi jauh
dari tempat ini adalah pilihan paling tepat.
“Terima kasih. Kamu wanita yang baik,
saya yakin akan banyak laki-laki baik untuk
kamu!”
Aku tersenyum hambar, jika benar ada laki-
laki baik itu datang dalam hidupku, aku
tidak yakin hatiku bisa menerimanya.
339
Sebagian hatiku hancur melihat kematian
putriku, sebagian lagi hancur saat aku dan
Jevano berpisah. Kini tinggal kepingan
kecil, dan kepingan itu telah berpemilik.
Bagaimana bisa aku mencintai orang lain?
***
Cookies
Jevano dan Danisa duduk di taman dekat
apartemen yang kini menjadi tempat Jevano
tinggal. Danisa terlibat gemetaran, dia
menangis tanpa suara.
"Apa nggak bisa lupain Mbak Alana? Kamu
juga udah janji mau nikah sama aku!" ucap
Danisa.
"Maaf Dan, sekarang aku nggak bisa nikah
sama kamu. Aku nggak mau menipu kamu
dengan berpura-pura cinta sama kamu
padahal di hatiku masih ada orang lain."
Dia meremas roknya untuk melampiaskan
perasaan yang sulit untuk dia jelaskan.
"Aku nggak masalah kamu tipu, aku baik-
340
baik aja meski kamu cuma pura-pura cinta
sama aku atau di hati kamu ada orang lain
aku pun nggak peduli, selama kamu masih
sama aku."1
"Dan, tapi aku nggak bisa!"
"Ok. Berarti besok kamu akan datang ke
pemakaman aku." 2
"Please Dan! Jangan gila!"
"Aku udah kehilangan mimpi aku, dan jika
aku juga harus kehilangan kamu untuk apa
aku hidup!" ujar Danisa setengah berteriak.
"Dan!"
"Hidup sama kamu adalah mimpiku, jika
aku harus kehilangan mimpiku untuk kedua
kalinya berarti itu akhir dari duniaku."
"Dan ...."
"Pergi saja! Jangan lupa untuk datang ke
pemakamanku. Setidaknya jika aku mati,
kamu akan membawakan bunga untukku!"

341
ujarnya lalu pergi meninggalkan Jevano
yang tertegun.5
Jevano tak punya pilihan lain, selain
mengejar Danisa. Dia mengenal Danisa
dengan baik, Danisa tak pernah main-main
dengan kata-katanya. Jevano sudah menjadi
saksi puluhan kali Danisa mencoba
mengambil nyawanya sendiri. 1
"Jangan lakukan hal yang buat kamu
bahaya. Aku akan tetep sama kamu, tapi aku
mohon biarkan aku melakukan hal yang
belum sempat aku lakukan untuk
Alana." Jevano memeluk Danisa dari
belakang. 3
"Jika untuk terakhir kali, lakukanlah."

342
26. September.

Hari berlalu begitu cepat sejak pertemuan


kembali aku dan Jevano, tak terasa sudah
memasuki pertengahan September.
September menjadi bulan penuh cerita
untukku. Hidupku yang dulu berakhir di
bulan September. Entah cerita apa yang
akan terjadi September tahun ini. Mungkin
aku akan banyak tertawa seperti empat
September yang lewati, atau aku akan
banyak menangis seperti September lima
tahun yang lalu.
Aku menitipkan Derano bersama Kak Risa
dan Mas Cahyo karena Mama sudah mulai
mengajar kembali, memang tidak seperti
dulu sekarang Mama mengajar secara suka
rela untuk berbagi ilmu yang mama miliki.
Hari ini tanggal 19 September, dia pergi
lima tahun yang lalu. Setiap tahun aku
selalu mengunjunginya, saat ulang tahunnya
aku juga datang. Terkadang saat aku
343
merindukannya aku pun datang. Pagi
begini biasanya belum ada yang datang ke
makam, terlebih makam putriku. Namun
aku melihat seseorang laki-laki bersimpuh
di samping makam Wisha, dia terlihat
sedang berdoa. Aku memelankan langkahku
agar tak mengusik orang itu.
"Apa kabar putri Papa yang cantik. Maaf
Papa baru bisa datang, perlu bertahun-tahun
untuk papa bisa menerima kalau kamu
benar-benar di sini," ujarnya sambil
terisak. 1
"Kamu tahu? Papa ketemu sama Bunda
kamu dan adik kamu. Papa bahagia bisa
melihat mereka kembali." Dia bermonolog
dengan sesekali mengusap air mata yang
membasahi pipinya.
"Kamu datang?" tanyaku singkat.
"Iya."
"Kenapa pagi sekali?" tanyaku lagi, karena
ini memang masih terlalu pagi.

344
"Biar bisa ketemu kamu, maaf jika kamu
nggak suka," ucapnya.
"Nggak apa-apa, Wisha pasti seneng papa
dan bundanya datang barengan."
"Kamu nggak marah, Lan? Aku dan
Mamaku yang buat dia nggak bisa
selamat!"
Dilihat dari ekspresinya dia pasti sudah tahu
semuanya termasuk tentang mamanya yang
menolak untuk mendonorkan darah. Tentu
saja, tidak ada lagi rahasia yang
tersembunyi. Ini adalah kali pertama aku
bicara lagi dengannya sejak satu bulan yang
lalu, saat kami mengalami mimpi yang
sangat indah. Kami memang beberapa kali
bertemu untuk membicarakan persiapan
pernikahan, tapi aku memilih untuk menjaga
jarak darinya terlebih Danisa yang selalu
menempel padanya seperti prangko.
"Dulu aku sangat marah, dan aku
menganggap itu salah kalian, tapi sekarang
aku sadar bahwa semua yang terjadi adalah
345
takdir. Meski kamu datang lebih cepat atau
mama kamu donorin darahnya, tidak ada
yang berubah," ujarku padanya. Aku tidak
ingin dia selalu merasa bersalah, aku sadar
dia juga banyak menderita.
Andai saja dulu aku bisa berpikir seperti ini,
mungkin kami masih bersama. Sekarang
aku sadar betapa tidak dewasanya aku
waktu itu, tapi aku yakin semua orang di
posisiku waktu itu akan melakukan hal yang
sama. Rasa sakit paling luar biasa dari
seorang ibu adalah melihat kematian anak
yang dilahirkannya. 3
***
September juga berarti musim hujan telah di
mulai. Aku dan Jevano terjebak hujan, tidak
lebat, tapi cukup akan membuat kami basah
jika memaksa untuk pergi tanpa payung. Dia
datang dengan motornya sedangkan aku tadi
naik ojek online jadi terpaksa kami berteduh
di warung kopi yang berada beberapa meter
dari pemakaman.
346
"Mau pesan apa?" tanya ibu-ibu pemilik
warung.
"Teh manis anget dua, Bu," jawabku.
Ibu itu pergi membuatkan pesanan kami.
Jevano tersenyum kecil memandang rintikan
hujan, aku tak tahu apa yang ada
dipikirannya.
"Dulu kita juga pernah kejebak hujan ya,
Lan," ujarnya begitu enteng.
Tubuhku tiba-tiba terasa panas, padahal
baru beberapa saat lalu merasa kedinginan
karena terkena gerimis.
"Pipi kamu merah, hayo pasti kamu inget
yang iya-iya, kan?" ledek Jevano karena
pipiku yang mungkin saja sudah seperti
tomat matang.
"Apaan sih!"
"Ih tambah merah!" Dia semakin gencar
menggodaku yang membuatku tak bisa
mengelak karena pipiku yang semakin
memerah.
347
"Ini Mas, Mbak tehnya," ujar ibu itu
menyajikan teh di depan kami.
"Makasih, Bu," ucapku. Lalu aku
mengalihkan perhatianku pada teh itu dan
menetralisir efek blushing gara-gara
Jevano.
"Aku nggak tinggal di rumah Mama lagi!"
ucapnya tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Terlalu sulit untukku, aku tidak ingin
membenci wanita yang melahirkan aku.
Namun berat rasanya untuk bersikap seperti
tidak terjadi apa-apa." Matanya terlihat
berkaca-kaca saat mengatakan itu.
"Semuanya butuh waktu, aku yakin seiring
berjalannya waktu kamu bisa memaafkan
mamamu. Percaya deh, rasa sakit yang
kamu rasakan akan terkikis oleh perasaan
bahagia yang akan kamu terima nantinya."
Aku bisa mengatakan ini karena aku sudah
membuktikannya, rasa sakit hatiku perlahan

348
memudar setiap kali aku mendapat
kebahagiaan dari hidupku sekarang.
"Terima kasih, Lan. Meski aku nggak yakin
aku bakal bahagia, tapi aku harap kamu
selalu bahagia." Tatapannya terlihat begitu
sendu.
"Kamu pasti bahagia, Danisa sangat
mencintai kamu."
Dia hanya tersenyum hambar, lalu
meminum tehnya. Sambil menatap kosong
rintikan hujan yang semakin merenggang.
"Mau jalan sama aku nggak?" tanyanya
yang membuat aku berhenti menyeruput
tehku.
"Derano lagi sama Kak Risa."
"Kok Derano? Kamu mau nggak jalan sama
aku? Berdua." Dia memperjelas ajaknya.
"Enggak!" tolakku tegas. Aku masih ingat
kata-kata Zen, aku tidak boleh semakin
dekat dengannya yang membuatku
mempunyai harapan semu. Apalagi jika
349
sampai Danisa tahu, bisa terjadi perang
dunia ketiga.
"Sekali ini aja!" pintanya memohon,
"setelah ini aku tidak akan mengganggu
kamu lagi, setelah hari ini semua antara kita
aku akan mengakhirinya. Jika kamu ingin
aku menjauhi Deren, aku juga akan lakukan.
Aku sadar aku tak pantas menjadi ayahnya,"
lanjutnya mencoba meyakinkan aku.
"Jangan bicara begitu, sampai kapan pun
kamu tetap ayahnya Derano. Entah pantas
ataupun tidak, tidak akan bisa menghapus
kenyataan bahwa darah yang mengalir di
tubuhnya adalah darah kamu."
Lagi-lagi dia hanya tersenyum, "Jadi, mau
jalan denganku?" tanya lagi.
"Emmm ...."
"Iya atau tidak?"
"Tidak!"
"Sekali saja." Dia kembali memohon.

350
"Aku tak ingin Danisa salah paham,
semuanya sudah cukup rumit untukku."
"Untuk terakhir kali, sebelum kita benar-
benar tidak bisa bahkan untuk saling
bertegur sapa."
"Ok." Baiklah ayo lakukan untuk yang
terakhir kali.
Setelah hujan reda dan membayar teh yang
kami minum aku dan dia pergi. Aku tak
bertanya dia membawaku ke mana, aku
hanya mengikutinya saja. Naik motor
berdua seperti ini mengingatkan aku pada
masa SMA kami. Waktu kami menikah dia
tak pernah membawaku naik motor saat aku
hamil takut aku dan bayi kami kenapa-napa.
Setelah anak kami lahir, dia bilang anak
kami bisa sakit jika naik motor. Dia akan
memilih naik taksi, bahkan busway menurut
dia itu jauh lebih baik.
***

351
Rupanya dia membawaku ke kota tua, cuaca
mendung tapi tidak hujan memang cocok
untuk datang ke kota tua. Kami mengambil
beberapa foto, sesaat aku lupa dengan
keadaan kami yang sebenarnya.
Menjelang sore dia mengajakku ke Taman
Mini, rupanya dia masih ingat jika dulu aku
ingin pergi ke sana untuk naik kereta
gantung. Aku sangat kekanak-kanakan
bukan? Kami tak langsung menaiki kereta
gantung, dia mengajakku berkeliling dulu.
Tidak terlalu ramai karena ini adalah hari
kerja. Jadi kami bisa berjalan-jalan dengan
nyaman hingga tiba ke tempat tujuan awal
kami datang ke sini. Aku merasa merinding
melihat ke bawah, ini sangat tinggi.
"Jangan takut, ini aman kok," ujarnya
menenangkan aku.
"Ini masalahnya kalau aku jatuh itu udah
pasti mati, anakku masih kecil loh, Jev!" Dia
malah tertawa. "Aku serius, Jev. Kalau kita
naik terus jatuh, kasianDerano."
352
"Percaya sama aku, ini aman. Kamu kan
yang dari dulu pingin!"
"Tapi sekarang aku udahnggak semuda
dulu, kalau dulu mati tinggal kubur, kalau
sekarang kalau aku mati kasian anak kita."
"Ya udah, kamu merem biar nggak takut!"
Aku benar-benar memejamkan mataku. Lalu
aku merasakan sesuatu menempel di leherku
hingga aku akhirnya membuka mata.
"Ini apa?" tanyaku.
"Kalung!"
"Aku juga tau ini kalung, tapi kenapa di
pakaiin ke aku?" Aku melepas kalung itu.
"Emang buat kamu!"
"Jev aku nggak bisa terima, kalau Danisa
tahu dia pasti marah. Kamu harus jaga
perasaan dia, biar bagaimanapun dia adalah
wanita yang kamu pilih."

353
"Danisa tahu, dari awal kalung ini memang
untuk kamu jadi sudah seharusnya ada di
kamu."
"Maksudnya?"
"Aku membelinya lima tahun yang lalu,
untuk kamu."
"Jev ...."
"Selamat ulang tahun Alana, maaf aku
ngucapin lebih awal," ucapnya. Tak sadar
aku mulai menangis, dia mengusap air
mataku dengan lembut. "Terima kasih untuk
hari ini, aku bahagia memiliki kenangan
indah yang dulu tak sempat aku berikan.
Terima kasih sudah menjadi wanita dan ibu
yang hebat. Selamat tinggal Alana, semoga
kamu menemukan laki-laki yang lebih hebat
dan mencintai kamu lebih baik dari aku." 7
Dia memelukku yang membatu dengan
semua kata-kata yang dia ucapkan.
"Tuh keretanya datang, udah naiklah!"

354
Dia menuntunku masuk ke dalam kereta
gantung. Perlahan kereta itu membawaku
pergi, dia tersenyum sambil melambaikan
tangannya padaku. Terasa sangat
menyakitkan, meski ini bukan yang
pertama. Namun hatiku masih saja terasa
patah menjadi kepingan kecil.
Saat kereta berhenti, kakiku terasa tak
menyentuh tanah. Aku berjalan linglung,
meski aku tahu dia sudah pergi aku
mencarinya berharap dia menungguku di
pemberhentian. 3
"Lan, kita pulang ya," ujar seseorang yang
menggenggam tanganku.
"Zen ...." 2
Dia menarikku ke dalam pelukannya.
"Menangislah, jangan di tahan. Sepertinya
janjiku dulu, aku akan selalu ada untukmu.
Menjadi sapu tangan saat kamu menangis.
Menjadi bahu yang selalu bisa kamu sandari
dan menjadi tiang yang kokoh saat kamu
butuh pegangan."
355
Aku tak bisa lagi berkata-kata, aku hanya
menangis sekuat yang aku bisa. Aku
menyangka berpisah dengan cara seperti ini
jauh lebih menyakitkan, dibandingkan
berpisah begitu saja seperti dulu.

356
27. This is Our Ending.

Aku patah hati untuk ke sekian kalinya


dengan orang yang sama. Bodoh! Ya, aku
memang bodoh. Aku membiarkan hatiku
kembali jatuh pada lubang yang sama, aku
bahkan lebih buruk dari keledai pembawa
garam. Aku yang salah. Harusnya dari awal
aku menolak, hingga tidak terjebak dalam
situasi seperti ini. Aku akan tetap
membencinya, aku rasa itu lebih baik dan
aku lebih mudah melupakan dia.
"Udah jangan nangis lagi! Kamu tuh bukan
ABG nggakpantesnangis-nangis karena
patah hati. Malu kali Lan, sama anak, " ujar
Zen yang terdengar sangat menyebalkan.
"Gini kalau kamu nangis terus aku anterin
ke rumah Jevano minta dia buat batalin
pernikahannya. Atau nggak kita batalin
semua persiapan pernikahan mereka,
gampang kan!"

357
Zen mengatakan itu benar-benar tanpa
beban. Bagaimana bisa aku melakukan itu?
Aku masih cukup waras untuk
menggunakan otakku dengan benar.
"Zen kamu cukup diam, aku udah sangat
berterima kasih," ujarku.
Setelah itu Zen hanya fokus menyetir dan
tidak bersuara sama sekali, hingga kami
sampai di rumah.
"Kamu udah pulang?" tanya Mama.
Aku mengangguk. "Derano belum pulang?"
"Belum."
"Ma, kalau Deren pulang tolong jagain ya.
Aku lelah aku mau istirahat," ucapku laku
meninggalkan mama dan Zen.
"Jangan khawatir Tan, Alana baik-baik aja."
Sayup-sayup aku mendengar suara Zen,
memberi Mamaku penjelasan.
***

358
Aku menatap kalung yang Jevano berikan
padaku. Katanya sebagai kado ulang tahun,
padahal ulang tahunku masih besok.
Kalungnya indah, aku mengingat kalung ini.
Beberapa hari sebelum hari itu, kami pergi
ke pusat perbelanjaan. Kami tidak berniat
untuk belanja, hanya sekedar berjalan-jalan
dan membawa anak kami bermain. Dia
menggendong Wisha dan satu tangannya
menggandengku. Kata dia biar aku nggak
hilang.
"Kamu nggak malu gitu jalan sama
aku?" tanyaku yang mungkin terdengar
begitu bodoh.
Dia tersenyum, "Kok malu, kamu kan istri
aku. Yang malu itu kalau aku jalan sama
selingkuh aku!" Dia terkekeh sambil
menyingkirkan anak rambutku.
"Jadi kamu punya selingkuhan dong?"
"Ngomongnya! Enggaklah. Satu aja bikin
pusing!"

359
"Jadi aku bikin pusing, gitu?"
"Cape aku ngomong sama kamu..
Untung istri!"
Aku tertawa melihat wajah frustrasinya. Dia
sangat lucu. Langkahku terhenti saat
melihat sebuah kalung berliontin hati yang
terpajang di patung sebuah toko.
"Kok berhenti?" tanyanya.
"Nggak apa-apa kok, cuma kalungnya
cantik."
"Kamu mau?"
"Emang mau beliin?"
"Enggak!"
"Nyebelin ih!"
Aku merasa semakin sesak saat mengingat
kalung ini. Aku tidak menyangka dia benar-
benar membelikannya untukku. Kenapa aku
tak pernah tahu?
***

360
Aku menangis semalaman hingga tertidur.
Astaga! Aku melupakan putraku.
Bagaimana bisa aku seegois ini. Zen benar
aku bukan remaja yang menangis hanya
karena patah hati, aku sekarang seorang ibu
dan aku punya tanggung jawab lain selain
diriku. Setelah mencuci mukaku yang lebih
seram dari mayat hidup di film-film, aku
keluar dari kamar.
"Ma, Deren mana?" tanyaku pada Mama
yang sedang menyiapkan sarapan.
"Masih di rumah Risa, kata Zen dia yang
akan mengurusnya."
"Aku memang bukan ibu yang baik!"
"Nggak boleh begitu, kamu udah menjadi
ibu yang hebat."
Entah mengapa aku menjadi mudah
menangis belakangan ini. Aku memeluk
Mama dan menangis di pelukan mama yang
selalu terasa hangat dan menenangkan.

361
"Sakit, Ma. Hati Alana sakit banget,"
keluhku.
"Mama tahu, nggak mudah buat kamu."
"Alana benci Jevano, Alana benci diri Alana
yang mencintainya." Aku menangis seperti
anak kecil.
"Menangislah. Menangis sebanyak yang
kamu mau, tapi setelah ini jangan menangis
lagi. Kamu punya Deren, yang pasti akan
sedih jika bundanya menangis."
Sekali lagi aku harus mengingat jika aku
adalah seorang ibu. Putraku jauh lebih
penting dari pada rasa sakit hatiku.
***
Aku sudah kembali seperti semula, seolah
tak ada yang terjadi. Aku bahkan lupa kalau
kemarin aku menangis. Minggu ini aku
sangat sibuk karena pernikahan Jevano dan
Danisa tinggal terjadi minggu ini.

362
"Kamu serius Lan, setelah ini mau pindah
ke Jogja. Nggak kasihan sama aku. Kalau
aku kangen gimana?" rengek Kak Risa.
"Jakarta-Jogja itu cuma satu jam naik
pesawat. Aku nggak pindah ke Kutub
Utara," kataku menanggapi Kak Risa.
"Tetepaja, aku nggak bisa ketemu Deren
tiap hari!"
"Ya udah Kak Risa ikut pindah ke Jogja,
repot amat!"
"Terserah. Tapi seminggu ini Deren aku
culik di rumah aku, titik!" Final, tidak bisa
diganggu gugat. Aku mengerti perasaan Kak
Risa, karena dia sangat menyayangi Derano
seperti anaknya sendiri.
Seminggu ternyata berlalu cepat. Besok
adalah hari pernikahan mereka. Aku dan
para staf sudah di aula pernikahan sejak pagi
untuk membuat dekorasi agar tidak ada
cacat sedikitpun.

363
Sesekali aku mendengar mereka berbisik
tentangku. Mereka bilang aku tidak punya
hati, karena bisa menyiapkan pernik untuk
mantan suamiku. Ada juga yang
mengasihaniku. Biarkan saja, aku juga
merasa hidupku sangat lucu. Aku di sini, di
tempat ini sedang menyiapkan pernikahan
untuk mantan suamiku. Thisismyex-
husbandwedding.
Dari semalam aku sudah bergadang, karena
ternyata banyak hal yang kurang, yang harus
aku urus. Tinggal menghitung menit acara
itu akan di mulai. Pelaminan, katering,
sudah di tata sebagaimana mestinya. Danisa
sudah siap dengan gaun pengantinnya. Aku
akui dia sangat cantik, dan aku iri
dengannya.
"Mbak Alana ..." panggilnya.
"Iya, Dan. Kenapa?" tanyaku.
"Makasih sudah mempersiapkan pesta
pernikahanku dengan sempurna," ucapnya.

364
"Jangan berterima kasih! Saya hanya
melakukan pekerjaan saya, karena saya
dibayar." 2
Dia tersenyum canggung. "Aku dengar
kamu mau pindah dari Jakarta!"
"Iya," jawabku singkat. Dia hanya ber-oh
ria. "Kamu hanya memastikan itu, kan?
Saya harus pergi."
“Maaf!”
“Untuk?” tanyaku bingung karena Danisa
tiba-tiba berubah, apa mungkin kepalanya
terbentur sebelum datang ke tempat ini?
“Karena menyakitimu. Tapi aku tidak
menyesal, setidaknya aku sudah
mengusahakan yang aku bisa.” 2
“Tidak perlu minta maaf ataupun menyesal.
Lagi pula setelah ini hubungan kita usai.
Jika tidak ada yang mau dibicarakan aku
pergi, masih banyak yang harus diurus!”
Aku kemudian meninggalkan dia. Aku takut
hilang kendali jika berbicara terlalu lama
365
dengan Danisa. Aku tetaplah wanita,
bagaimana bisa aku berbincang santai
dengan wanita yang akan menikahi mantan
suamiku, yang hingga saat ini masih aku
cintai dan aku juga harus segera pergi. Dia
jam dari sekarang pesawat yang akan aku
tumpangi akan lepas landas.
"Akkkk!" pekikku saat tiba-tiba ada tangan
yang menarikku.
"Ssst!" Dia menempelkan telunjuknya di
bibirku.
"Jev, ada apa?"
"Lan, ayo kita kabur saja! Kita bawa Deren,
lalu kita hidup di tempat yang jauh."
Entah mengapa aku berpikir jika ide gila
Jevano mungkin harus aku lakukan, tapi aku
masih bisa berpikir waras. "Kamu gila!”
"Ya aku gila, aku gila karena nggak bisa
lupa sama kamu. Aku pikir setelah aku
melakukan semua yang keinginan kamu

366
waktu itu, aku bisa melupakan kamu. Tapi
terlalu sulit, Lan. Aku nggak bisa!"
Jevano menangis. Dia memang secengeng
itu. Dulu dia lebih sering menangis di
bandingkan aku. Saat aku melahirkan dia
yang menangis, saat anak kami sakit dia
juga menangis.
Tanganku bergerak tanpa sadar menghapus
air mata itu. "Jangan menangis. Aku tahu ini
berat untuk kamu." Karena ini juga berat
untukku. "Tapi sebagai laki-laki kamu harus
menepati janji yang sudah kamu buat.
Danisa sebenarnya gadis yang baik dan
tentunya dia sangat mencintai kamu. Dia
bahkan rela kehilangan mimpinya untuk
menyelamatkan kamu. Dia pasti bisa bikin
kamu bahagia."3
"Terus bagaimana dengan kamu, Lan?"
Aku berusaha untuk tersenyum. "Aku pasti
menemukan seseorang yang akan
membuatku bahagia."

367
Jevano termenung. Tanganku meraih
wajahnya, menarik dia agar lebih dekat
denganku. Aku tahu ini salah, tapi biarkan
aku melakukan kesalahan sekali lagi.
"Selamat tinggal, Jevano," ucapku seusai
mengecup bibirnya singkat. "Kamu harus
bahagia dan aku juga akan mencari
kebahagiaanku." Setelah itu aku
meninggalkan dia yang masih membatu.2
Aku mengakhiri kisah cintaku hari ini.
Mungkin tujuan takdir mempertemukan
kami kembali bukan untuk disatukan lagi,
tapi untuk saling mengobati luka meski pada
akhirnya kami sama-sama terluka lagi.
Namun setidaknya kami tidak lagi saling
membenci, mungkin kami hanya akan saling
merindukan dalam diam. Selamat tinggal
Jevano, selamat tinggal cinta pertamaku,
selamat tinggal semua kenangan yang
pernah kita ukir bersama. Kamu akan tetap
menjadi bagian paling menarik dalam
hidupku.6

368
28. Bunga.

Kota Jogja yang di kenal kota pelajar, di


sinilah aku menjalani hidupku tiga bulan
terakhir. Cukup nyaman tinggal di sini
dibandingkan di Jakarta, di sini orang-orang
lebih peduli dan bersahaja. Aku bukan lagi
seorang weddingorganizer, aku
menyerahkan segala kepengurusan pada
Kak Risa dan staf yang ada di sana. Ya,
meski sesekali aku masih memantau dari
jarak jauh.
"Selamat pagi Bulek," sapa seseorang yang
baru datang ke toko bunga yang dia bulan
kami urus.
Aku belajar banyak tentang bunga selama
menjadi WO. Dengan sedikit ilmu, aku
mengambil alih toko bunga yang nyaris
tutup karena sepi dan pemiliknya juga sudah
tua.
"Pagi Han," balasku.

369
"Rajin banget, jam segini bunga-bunga
udahrapih."
Aku hanya tersenyum. "Budhe apa kabar?"
tanyaku.
"Baik. Simbah seneng banget pas denger
toko bunganya rame lagi. Untung ada Bulek
Alana."
Toko bunga ini memang milik neneknya
gadis ini. Namanya Hani usianya dua tahun
lebih muda dariku. Kata Mama Simbahnya
Hani adalah kakak Mama yang paling tua.
Oleh karena itu dia memanggilku Bulek
yang artinya bibi atau tante. Awalnya kami
tinggal di rumah mereka, tapi karena tak
ingin merepotkan akhirnya aku dan Mama
menyewa sebuah rumah yang tidak terlalu
besar tapi nyaman dan asri. Lokasinya juga
tak jauh dari toko bunga ini.
Sebenarnya sedikit membosankan hanya
duduk menunggu pembeli datang. Mungkin
karena aku masih menyesuaikan diri dengan
kebiasaanku di Jakarta. Dulu aku bahkan
370
sampai lupa makan karena terlalu sibuk.
Sekarang aku bahkan terlalu banyak makan
untuk mengusir bosanku.
Berat badanku naik beberapa kilo, jika ada
meledekku-sebut saja namanya Zen aku
selalu bilang jika aku bahagia jadi berat
badanku naik. Jangan kalian berpikir meski
kami jauh, dia tidak bisa meledekku. Setiap
ada kesempatan dia selalu meledekku, entah
di telepon atau saat video call. Saat kami
sesekali bertemu dia juga meledekku.
"Bundaaaaaa ...." Anak ini juga masih sama,
hobi berlari dan berteriak memanggil
namaku.
"Sudah bunda bilang, jangan lari-lari. Nanti
jatuh!" omelku.
"Ren, Bunda kamu emang hobi banget
ngomel," celetuknya yang tiba-tiba muncul.
Aku jadi curiga jika dia adalah goblin
karena setiap kali aku memikirkan dia akan
muncul. Setidaknya dia akan meneleponku
atau sekedar mengirimiku pesan.
371
"Daren kok bisa sama Uncle Zen?" tanyaku
pada Derano karena terlalu malas bertanya
pada Zen.
"Aku kangen!"
"Perasaan baru dua minggu yang lalu deh
Zen ketemu."
"Emang kalau orang kangen harus nunggu
sebulan?"
"Idih! Bucin, kaya anak ABG aja," ledekku.
"Emang kamu nggak kangen?"
"Enggak!"
"Jahat! Pantesandicerain!"
Aku terdiam. Bagiku topik itu sedikit
sensitif. Sebenarnya aku tidak marah tapi
melihat ekspresi kebingungan Zen karena
aku tiba-tiba terdiam membuatku ingin
mengerjainya.
"Lan, cuma bercanda elah!" Aku masih
memasang muka datar. "Lan, maaf aku
nggak bermaksud gitu!" Aku tetap diam,
372
karena ingin melihat raut wajahnya yang
lalu lebih lama. "Lan ...." Sekarang aku tak
tahan lagi dan akhirnya tawaku pecah.
"Kok ketawa? Oh jadi kamu ngerjain aku?"
"Eng ... enggak!" Aku mengambil ancang-
ancang untuk meninggalkan dia sebelum dia
menyerangku.
"Lan jangan lari!!!!"
Tertawa dan bahagia itu yang ingin aku
lakukan sekarang. Aku sudah terlalu banyak
menangis, air mataku mungkin juga sudah
mulai mengering. Dan sesekali aku akan
merindukan saat-saat aku sering menangis
karena seseorang.
Sekarang sudah memasuki bulan Februari.
Kata orang-orang, bukan ini adalah bukan
cinta. Pesanan bunga juga mulai ramai. Dari
yang bentuk karangan, buket atau sekedar
satu kuntum bunga yang di pesan oleh
remaja yang tengah di mabuk cinta.1
Kring ... Kring ... Kring.
373
Aku berlari menghampiri telepon toko sejak
tadi berdering. Mungkinkah ada yang
memesan bunga semalam ini. Ya sekarang
pukul 20:45 hampir jam sembilan dan aku
sedang bersiap-siap untuk menutup toko.
"Halo! Selamat malam dengan Sekar Florist
di sini," sapaku saat mengangkat telepon,
tapi orang meneleponku masih diam. "Halo
...," ulangku lagi.
"Ah maaf."
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku.
"Saya mau pesan bunga!"
"Iya boleh. Bunga apa, untuk tanggal berapa
dan dikirim ke alamat siapa?"
"Boleh tanya, karena saya bingung untuk
memilih bunga yang tepat untuk dia."
"Bisa deskripsikan dia seperti apa?"
"Dia bukan gadis yang anggun. Dia suka
marah-marah, tapi dia gadis yang tegar dan
hebat. Terkadang dia dewasa, tapi juga

374
kekanak-kanakan." Dia berhenti
mendeskripsikan gadis pujaan, kemudian
dia terkekeh entah apa yang lucu. "Dia
benci mawar merah karena dia pernah
tertusuk durinya."
"Jadi Masnya mau bunga apa?" tanyaku
mulai jengah dengan segala ucapannya.
"Bunga yang paling indah."
"Lily?"
"Bukan."
"Lavender?"
"Bukan."
"Anggrek?"
"Bukan."
"Lalu Anda mau bunga apa? Krisan?"
Dia malah terkekeh saat mendengar
perubahan pada nada bicaraku.
"Bunga paling indah, itu kamu ...."
Aku seperti dejavu dengan kata-kata itu.
Seperti pernah mendengar sebelumnya.
375
"Aku benci mawar! Sakit tau."
"Iya besok lagi nggak kasih mawar.
Padahal kan indah."
"Indah, tapi nyakitin!"
"Taunggak bunga yang paling indah?"
"Apa?"
"Bunga yang paling indah, itu kamu ...."

376
29. Dia.

Aku melihat bayangan seseorang yang


berdiri di depan toko bungaku dari jendela
kaca yang masih terbuka.
"Jevano ...."
Entah perasaan apa ini. Ingin rasanya aku
berlari keluar dan memeluknya, namun aku
menyadari sesuatu. Aku dan dia tidak bisa
melakukan itu, bahkan kita akan berdosa
jika masih saling merindukan. Kenapa
rasanya masih menyakitkan? Berulang kali
aku mengatakan, aku sudah merelakannya,
tapi kenapa terlalu sulit untuk benar-benar
rela. Berulang kali aku meyakinkan diriku,
menyadarkan diriku sendiri. Mengendalikan
semua perasaan, hingga akhirnya aku bisa
keluar untuk menemuinya. Dia tersenyum
saat melihatku mendekat ke arahnya.
"Jev, kok kamu di sini? Danisa mana?"
tanyaku mencoba sebiasa mungkin.

377
"Aku sendiri," jawabnya. "Aku kangen sama
kamu," ucapnya.
"Tolong jaga ucapanmu. Tidak enak di
dengar orang, terutama istrimu."
"Tapi ...."
"Ini udah malam, lebih baik kamu pulang.
Aku juga harus pulang, kalau kamu mau
ketemu Deren datang lagi saja besok. Jam
seginiDeren juga sudah tidur."
"Lan ...."
"Selamat malam," ujarku lalu meninggalkan
dia.
Rasanya ingin aku memakinya. Kenapa dia
begitu kurang ajar? Datang dan bilang
kangen, sedangkan dia sudah menjadi suami
orang dan gilanya, aku ingin membalas
ucapan rindunya.
Aku masih melihat dia berdiri di depan
toko, tapi aku pura-pura tak melihatnya aku
hanya berjalan melewatinya begitu saja. Jika
kalian bertanya apakah ini sulit untukku?
378
Tentu saja, tanganku bergetar, kakiku
bahkan terasa kaku. Sangat sulit untuk
mengendalikan diri, agar tidak berlari dan
memeluknya.
***
Sepertinya biasa Mama dan Derano sudah
terlelap saat aku sampai di rumah. Putraku
terlihat begitu lelah, kadang aku berpikir dia
tumbuh terlalu cepat dan semakin dia besar
semakin mirip pula dengan ayahnya. Jika
begini bagaimana aku bisa melupakan dia
dengan mudah, sedangkan setiap hari aku
melihat sosoknya dari Derano.
"Lan kamu kok nangis?" tanya Mama yang
terbangun. Sepertinya aku menangis terlalu
keras.
"Nggak apa-apa kok, Ma," jawabku
berbohong. Bagaimana aku baik-baik saja,
kalau hatiku yang terluka baru saja di saran
air garam.
"Jangan bohong."

379
Aku sulit untuk menyembunyikan rasa
sakitku. Aku menangis dan memeluk Mama.
"Dia datang, Ma."
"Siapa?"
"Papanya Deren!"
"Jevano?" Aku mengangguk. "Terus?"
"Dia bilang kangen, kurang ajar banget kan,
Ma?"
Mama mengusap rambut lembut. "Jadi
ceritanya kamu belum moveon?"
"Bukan gitu ...."
"Udah kamu tidur gih, kalau
ngerengekginiudah kaya ABG aja!"
Ini memang sedikit kekanak-kanakan.
Ayolah Alana kamu sudah 28 tahun dua
tahun lagi, 30 tahun. Sungguh tidak pantas
seperti ini. Jika di Instagram aku akan
memakai
tagar #MemakiDiriSendiriAlana2019.
*****
380
Setiap pagi aku masih sibuk seperti waktu di
Jakarta. Derano juga tak berubah, dia selalu
menguji kesabaranku setiap pagi.
"Ya Allah, Ren. Bunda cape kalau tiap pagi
kamu ngajak kejar-kejaran gini!" Aku
meneriaki Derano yang asik berlari ke sana-
kemari. "Ren, kamu sebenarnya kaya siapa
sih?"
"Kaya kamu siapa lagi, waktu kecil kamu
juga gitu," celetuk Mama yang tiba-tiba
lewat.
"Ma ...."
"Emangbener kok. Pas kecil kelakukan
kamu persis anak kamu. Buah jatuh nggak
jauh dari pohonnya!"
Baru saja aku lengah sedikit dia sudah
berlari keluar.
"Deren ...," teriakku yang tentunya tidak
didengar olehnya.

381
Jika di Jakarta dia hanya berlari di dalam
apartemen, tapi di sini dia berlari keluar
juga.
"Deren bunda mar ...." Aku berhenti
mengejarnya saat dia sudah melangkah
mendekat padaku dengan di gendong oleh
seseorang, Jevano.
"Kok, tahu rumahku di sini?"
"Semalam ngikutin kamu!"
"Deren, kita ganti baju dulu, ya," ujarku
berniat mengambil alih Derano, tapi dia
malah mempererat pelukannya pada Jevano.
"Nggak mau! Maunya sama Papa!"
Papa? Sejak kapan dia memanggil Jevano
seperti itu. Biasanya juga memanggil Om
Dokter.
"Papa?" Derano mengangguk. "Jev, kamu
kasih tahu dia?" tanyaku.
"Aku cuma minta dia jangan panggil aku
Om Dokter, tapi panggil Papa."

382
"Sejak kapan?"
"Barusan!"
Wow! Baiklah tidak ada yang salah dengan
panggilan itu. Namun tidakkah Derano
begitu gampang dipengaruhi.
"Deren, sama Bunda aja ya. Om Dokter, eh
Papa kamu sibuk."
"Enggak sibuk kok," jawab Jevano dengan
begitu entengnya.
"Sama papa, nggak mau tama Bunda. Bunda
galak!"
"Terserah!" Kemudian mereka tersenyum.
Oke Alana, sabar. Kenapa mereka sangat
menyebalkan. Aku memilih berjalan lebih
dulu dari mereka.
"Deren mana?" tanya Mama.
"Tau!"
"Assalamualaikum," ucap Jevano saat
masuk rumah.

383
"Walaikumsalam," balas Mama. "Jev,
ngapain di sini?" tanya Mama sinis.
Mungkin kalian tidak tahu, atau mungkin
lupa. Mama masih dalam mode, kecewa
dengan Jevano.
"Mama masih marah ya sama aku?"
tanyanya.
"Menurut kamu, seorang ibu akan
memaafkan orang yang sudah membuat
putrinya menderita dengan mudah!" ujar
Mama dengan begitu ketus. Terus Ma,
serang dia.
"Maaf," ucapnya dengan memasang wajah
yang akan membuat siapa saja luluh.
"Deren, kamu ikut Bunda!"
"Nggak mau, maunya sama Papa," rengek
Derano menolak.
"Oma, mau bicara dengan Papa kamu. Lan,
kamu urusin anak kamu!"
Aku mengambil Derano dari Jevano, meski
dia sedikit menolak, tapi akhirnya dia mau
384
menurut juga. Aku tidak tahu apa yang akan
mama bicarakan, aku mencoba mencuri
dengar, tapi sepertinya mereka berbicara di
luar.
***
Jevano duduk di kursi yang ada di teras
rumah kontrakanku. Mama sudah tidak ada
di sana.
"Kamu masih di sini?"
"Iya, nunguin kamu. Biar aku antar ya ke
sekolah Deren."
"Enggak!" tolakku tegas.
"Lan ...."
"Enggak!"
"Bunda, Alen mau sama Papa," rengek
Derano lagi dan jika begini aku tidak bisa
untuk menolak.
Aku membiarkan dia mengantarkan kami,
tapi aku dan Derano duduk di kursi
belakang. Biarkan saja aku bilang tidak
385
sopan, karena menjadikan dia supir. Aku
hanya tidak ingin ada kesalahpahaman yang
terjadi. Dia sudah menikah lagi, dan
hubungan masa lalu akan mudah
menimbulkan kecurigaan.
"Makasih," ucapku saat sampai di depan
gerbang sekolah Derano.
"Aku yang makasih." Aku hanya
menanggapinya dengan senyuman dan
mengangguk kecil, kemudian turun dan
mengantar Derano masuk ke kelasnya.
Seperti biasanya aku akan meninggalkan
Derano saat dia sudah masuk kelas dan
Mama yang akan menjemputnya nanti.
Mobil Jevano masih ada di depan gerbang.
"Kok masih di sini?"
"Nungguin kamu!"
"Jev, tolong jangan begini! Kamu sudah
punya istri, apa yang akan orang katakan
jika kita seperti ini." Aku tidak ingin
menahan lagi, Jevano bukan orang yang
386
akan mengerti dengan sebuah kode. Aku
harus berterus terang.
"Aku belum punya istri, aku dan Danisa
batal menikah!"1
Aku terkejut, sungguh. Bagaimana
pernikahan mereka bisa batal? Apa Jevano
benar-benar kabur?
"Aku tidak kabur, Danisa yang
membatalkannya," katanya seolah membaca
isi pikiranku.
"Kok bisa?"
"Ceritanya panjang!"
"Ya iya panjang, panjangnya itu gimana?
Bukannya dia sangat ingin menikah
denganmu?"
Kemudian dia menceritakan semuanya.
Tentu kami tidak berbicara di depan
gerbang sekolah. Aku dan dia melihat
sebuah kafe dekat dari sekolah Derano.
"Jadi itu alasan kamu di sini?" tanyaku.

387
"Iya. Aku ingin datang dari dulu, tapi aku
tidak tahu kamu di mana."
"Lalu kamu tahu dari mana?"
"Mbak Risa memberitahuku setelah aku
meyakinkan dia selama tiga bulan ini."
"Kamu mau apa sekarang?"
Dia meraih tanganku dan menggenggamnya
erat. Menatapku begitu dalam, "Aku mau
kita bersama lagi, aku mau jadi laki-laki
yang membahagiakanmu. Lan, ayo kita
mulai semuanya lagi," ujarnya.
Jantungku berdegup kencang, rasanya
seperti saat dia menyatakan cinta untuk
pertama kalinya. Namun seketika bayangan
semua hal yang telah terjadi antara kami
membuatku sesak. Aku menarik tanganku,
"Maaf aku nggak bisa," jawabku.
Meski aku sering memikirkan jika aku dan
dia hidup bersama lagi, namun saat dia
benar-benar mengajakku untuk kembali
bersama rasanya begitu berat untukku.
388
Bayangan saat kami bertengkar untuk
masalah sepele dan banyak hal lagi yang
membuatku takut.
"Kenapa?"
"Aku takut, jika semuanya akan terulang
kembali."
Aku meninggalkan dia yang masih terdiam.
Aku benar-benar takut semuanya terulang
kembali, aku takut kami akan menjadi egois
lagi. Aku belum siap atau tidak akan pernah
siap jika kami harus melalui hari-hari buruk
itu kembali.
***
Cookies.
Para tamu undangan sudah bersiap untuk
menyaksikan akad nikah antara Jevano dan
Danisa. Penghulu, wali nikah dan para
saksi juga sudah berkumpul.
"Sudah siap semuanya?" tanya sang
penghulu

389
"Siap!"
"Sudah bisa kita mulai?"
"Berhenti!" ujar Shireen.
"Kak ...."
Sirene berjongkok di depan adiknya.
Digenggamnya tangan sang adik, kedua
mata indahnya menatap Danisa lembut.
Setelah semua yang dia dan Danisa lihat di
dekat ruang rias, Shireen merasa tidak
benar membiarkan pernikahan ini terjadi.
"Dan, kamu yakin mau nikah sama
Jevano?" Danisa tak mampu menjawab, dia
hanya menangis. "Dan, kamu yakin akan
hidup dengan laki-laki yang mencintai
wanita lain?" Tangis Danisa semakin
pecah. Dia ketakutan, dia takut jika sampai
akhir Jevano tidak akan pernah
mencintainya. "Danisa jawab kakak!"
"Kak ...."

390
"Iya atau tidak? Kakak akan dukung semua
keputusan kamu. Apapunresikonya nanti
kamu harus siap , karena itu pilihan kamu."
Danisa semakin menangis, dia menatap
Jevano yang bingung menyaksikan drama
yang terjadi di depannya.
"Mas, apa tidak ada tempat di hati kamu
untuk aku?" tanya Danisa sambil terisak.
Jevano ragu untuk menjawab. "Mas, jawab
aku!"
"Aku sayang sama kamu, tapi bukan
sebagai seorang wanita."
Danisa meraih tangan Jevano lalu melepas
cincin yang melingkar di jari manis tangan
kirinya, kemudian dia juga melepas cincin
miliknya.
"Pergi Mas, kamu bebas," ujarnya.
"Dan ...."
"Aku melepaskan kamu, kejar orang yang
kamu cintai."2

391
30. Lamaran Kedua

Aku menolaknya. Kerja bagus Alana.


Kenapa mudah sekali dia meminta memulai
semuanya dari awal? Dia adalah lelaki
paling tidak konsisten yang pernah aku
temui. Bodohnya aku sedikit menyesali
keputusanku untuk menolaknya. Iya
menyesal, tapi hanya sedikit!
"Lan, kenapa kamu nolak aku?" Rupanya
dia mengejarku dan sekarang dia
menahanku.
"Jev malu!" ujarku sambil menutup
mukaku.
Kami menjadi pusat perhatian. Bagaimana
tidak? Dia mengatakan itu dengan keras dan
sekarang dia berlutut di depanku. Kenapa
sosok Jevano menjadi begitu kekanak-
kanakan. Ayolah! Kita bukan ABG yang
sedang dilanda virus merah jambu. Kita
sudah terlalu tua untuk seperti ini.

392
"Jev, bangun!" ujarku.
"Enggak sebelum kamu mau memulainya
denganku lagi," tolaknya. Alien tolong culik
mahluk ini ke luar angkasa, aku benar-benar
tak punya muka lagi.
"Terima ... Terima ... Terima." Orang-orang
mulai menyoraki kami.
"Jev, bangun! Aku aku benar-benar tidak
akan memberi kamu kesempatan!" ancamku
dan akhirnya dia mau bangun. Aku langsung
menyeretnya menjauh dari keramaian.
"Jadi aku diterima?" tanyanya.
"Siapa yang bilang?"
"Tadi ...."
"Aku cuma bilang kalau kamu nggak
bangun, aku benar-benar nggak akan
memberi kamu kesempatan."
"Jadi kamu mau memberi aku
kesempatan?"

393
"Kamu bilang mau mulai dari awal, kan?"
Dia mengangguk. "Baiklah kita mulai dari
awal."
"Jadi kamu mau nikah lagi sama aku?"
"Siapa yang bilang? Aku cuma mau mulai
semua dari awal!"
"Berarti kamu mau kita begituan dulu, lalu
hamil lagi baru nikah?" Pertanyaan yang
sungguh tidak berbobot membuat tanganku
tidak bisa, untuk tidak memukul kepala
yang kotor. "Sakit, Lan!" pekiknya.3
"Otak itu sekali-kali dicuci, biar nggak
kotor. Kalau perlu disedot sama
vacumcleaner biar nggakngeres!"
"Salahku di mana? Emang hubungan kita
dimulai dari itu!"
"Ini nih kalau kebanyakan main sama orang
sakit, maksudku dari awal banget aku dan
kamu memulai menjadi kita." Dia
menatapku. Sepertinya dia tak mengerti
dengan yang aku katakan. "Dulu aku
394
berjuang meyakinkan kamu untuk bersama
denganku. Aku ingin kamu juga
meyakinkan aku, kalau semuanya hal buruk
tidak akan terulang lagi," jelasku.
Dia tersenyum, "Aku akan meyakinkan
kamu, aku akan buat kamu percaya lagi
sama aku," ujarnya penuh keyakinan.
Mungkin ini adalah cara terbaik. Aku ingin
diperjuangkan, agar aku tidak lagi ragu
untuk bersama dia kembali.
***
Musik gamelan menggema di gedung yang
saat ini berhias bunga-bunga dan dedaunan.
Sesaat aku merindukan keseharianku dulu,
waktu aku sibuk mempersiapkan pernikahan
klienku. Sebuah pesta, tidak mewah.
Sederhana, namun begitu hikmat dengan
kentalnya adat Jawa.
"Lan, Jevano mana?" tanya Zen.
"Nggaktau, tadi ada kok."

395
Aku tidak tahu mulai kapan mereka menjadi
dekat, padahal dulu saat bertemu mereka
seperti air dan minyak. Sekarang mereka
selalu mencari satu sama lain. Inikah yang
dinamakan benci menjadi cinta?
"Lah, ini suaminya ilang masa nggaktau!"
"Ralat Zen, dia belum jadi suamiku!"
"Tapi akan segera, kan?"
"Enggak!"
"Lan, jangan lama-lama nggantungin anak
orang. Mungkin sekarang kamu sibuk
berlari dan dia mengejarmu, tapi kamu
nggak akan tau kapan dia berhenti. Jika
kamu terus berlari dan dia berhenti, kamu
mungkin baru akan sadar saat kalian sudah
semakin jauh!" Aku merenungi perkataan
Zen.
Dua tahun berlalu. Iya selama itu, namun
dia masih belum bisa meyakinkan aku.
Tidak terhitung berapa banyak dia
melamarku. Jujur aku sudah melihat
396
perjuangan dia, dari dia yang mondar-
mandir Jakarta-Jogja, tapi entah mengapa
masih ada yang mengganjal untuk
menerimanya. Terkadang aku takut jika dia
benar-benar berhenti dan menyerah, tapi aku
juga takut jika tragedi dulu akan terulang
kembali. Aku tak mau patah hati karena dia,
lagi.
"Woy malah bengong!"
"Kasar banget ih. Gini-gini sekarang aku
Tante kamu loh Zen!" ujarku.
"Tante apaan!"
Zen masih tidak terima jika aku menjadi
Tantenya. Asal kalian tahu Zen baru saja
melakukan akad nikah dengan Hani, cucu
dari Budheku. Aku bahagia akhirnya dia
menemukan gadis yang baik. 2
"Sana samperin istri kamu, malah di sini
nyariinJevano. Istri kamu itu Hani bukan
Jevano!" cibirku.

397
"Iya, iya Bulek Alana!" ujarnya penuh
penekanan.
***
Resepsi pernikahan sedang berlangsung,
meski sangat kental dengan adat Jawa.
Namun masih ada sentuhan moderen,
seperti prosesi lempar bunga saat ini. Aku
sangat malas untuk melakukan ini, tapi
ibuku menyuruhku untuk ikut berbaris
dengan gadis-gadis lajang.
"Nggak ah, Ma. Alana kan udah pernah
nikah!"
"Udah sana."
"Enggak Ma. Kekanak-kanakan banget ih!"
"Lan. Buat seru-seruan aja, lagi pula nggak
dapat bunga pun kalau kamu iya Jevano
langsung nikahin kamu."
"Loh kok Mama jadi dukung dia?" Aku
tidak terima Mama sudah pindah haluan.
Dulu Mama yang menentang keras kami
kembali bersama.
398
"Lan, Mama ini punya mata yang bisa
melihat kesungguhan dia dan Mama juga
punya hati yang bisa merasakan kalau dia
benar-benar tulus."
Apakah aku yang sudah keterlaluan?
Bahkan Mama yang menolak keras bisa
luluh, sedangkan aku masih bersikeras
menolaknya.
1 ... 2 ... 3.
Tepuk tangan meriah dapat aku dengar.
Mereka menyorakiku.
"Bulek, cepetannyusul sama Om Jev!" ujar
Hani.
"Iya, Lan cepetnyusulkasianJevano keburu
jamuran," timpal Zen. 1
Aku masih membeku menatap buket bunga
mawar putih yang sudah tidak berdiri di
tanganku. Musik gamelan kemudian
berganti dengan alunan musik yang
sepertinya pernah aku dengar.
 jichinharugagagodalbicharae
399
(Setelah melewati hari yang melelahkan)
Mataku terasa begitu panas saat dia
berjalan mendekat ke arahku.
 dusaramhanauigeurimja nun
(di bawah sinar bulan, dua orang menjadi
satu bayangan)
Dia menggenggam lembut tanganku.
 gameumyeonjabhildeutaryeonhan
(sebuah kebahagian yang ingin dicapai)
 haengbogiajigjeogiitneunde
(samar-samar masih di sana)
 sangcheoibeunmaeumeunneoui
(Meski hatiku yang terluka ini)
 kkummajeogeuneureuldeuriwod
(menebar bayang-bayang ke dalam impimu)
 gieoghaejwoapeudorog sarang
(Harap ingat bahwa seseorang)
 haneunsaramigyeoteitdaneungeol

400
(mencintaimu hingga terluka, ada di
sampingmu)
 ttaeroneuni giri meolgemanboyeodo
Meskipun jalan ini terasa panjang
 seogeulpeunmaeumenunmuriheulleodo
(meskipun kau menangis karena sedih)
 modeun iri chueogidoelttaekkaji
(Hingga semua ini menjadi kenangan)
 uri dusaramseorouishwilgoshidoeeo juri
(Mari kita menjadi peristirahatan satu sama
lain)
Dia berlutut di depanku.
 neowahamkkegeoreulttae
(saat aku berjalan denganmu)
 eodiro gaya halji giri boijianheulttae
(saat aku tidak bisa melihat kemana aku
harus pergi atau aku harus melangkah)
 gieoghalgeneo hana maneuro

401
(Aku akan ingat dunia hari itu)
 nunibushideongeunaruisesangeul
(ketika semuanya terpesona padamu)
 yeojeonhiseotulgottobujoghajiman
(Aku masih canggung dan penuh
kekurangan tetapi)
 eonjekkajinanegyeoteisseulge
(aku akan berada disisimu)
 kamkamhan bam gireulilhgohemaedo
(Dimalam yang gelap, bahkan jika kita
tersesat dan menggembara)
 uri dusaramseorouideungburidoeeo juri
(mari saling menjadi cahaya satu sama
lain)
 meonhutnalmujigaejeoneomeoe
(Di hari mendatang, meski)
 chatdeonkkumgeogieobtdahaedo
(mimpi kita tak terwujud)

402
 geudaewanahamkkebonaeneunjigeumi
(untuk tidak melewati pelangi)
 shigandeurinaegengeuboda
(waktu yang dihabiskan bersamamu)
 deosojunghangeol
(lebih berharga bagiku)
 ttaeroneuni giri meolgemanboyeodo
(Meskipun jalan ini terasa panjang)
 seogeulpeunmaeumenunmuriheulleodo
(meskipun kau menangis karena sedih)
 modeun iri chueogidoelttaekkaji
(Hingga semua ini menjadi kenangan)
 uri dusaramseorouishwilgoshidoeeo juri
(Mari kita menjadi peristirahatan satu sama
lain)
 yeojeonhiseotulgottobujoghajiman
(Aku masih canggung dan penuh
kekurangan tetapi)

403
Aku menangis. Benar-benar menangis.
 eonjekkajinanegyeoteisseulge
(aku akan berada disisimu)
 mojinbaramttodashibureowado uri
(meskipun angin kejam kembali bertiup)
 dusaramjeogeochinseworeuljina gari
(kita akan menghindarinya bersama)
Cr : Lirik lagu Two people2
"Jev ...."
"Alana Wirasti, maukah kamu menikah
denganku lagi? Mungkin aku nggak selalu
buat kamu tertawa, ada kalanya aku
membuat kamu menangis. Aku tidak
menjanjikan sesuatu yang mungkin bisa aku
ingkari, tapi aku akan selalu berusaha
membuat kamu dan anak-anak kita bahagia.
Maukah kamu mengulang semuanya
denganku?"
Aku kehilangan kemampuanku untuk
bersuara. Aku hanya mengangguk, sebagai
404
tanda iya aku mau menikah dengannya.
Kemudian dia langsung bangun dan
memelukku erat. Aku memang belum yakin
seratus persen jika tragedi masa lalu tak
akan terulang lagi, tapi aku tidak akan tahu
jika tidak mencobanya. Oleh karena itu aku
putuskan untuk mencobanya, meski
kemungkinan terburuk kami akan gagal
untuk kedua kali dan kami akan terluka lagi.
Namun aku akan tetap mencoba untuk hidup
bersama dengannya, lagi

405
31. Satu Langkah

Aku sudah kembali ke Jakarta sejak dua


bulan yang lalu, alasannya? Tentu saja
untuk mempersiapkan pernikahanku dan
Jevano. Awalnya aku hanya ingin
pernikahan sederhana bersama keluarga dan
teman dekat. Lagi pula kami sudah terlalu
tua untuk melakukan pesta mewah, apalagi
ini bukan pertama kalinya kami menikah.
Namun Si Kepala Batu itu, ingin
mengadakan pesta yang mewah.
Dia bilang dia yang akan mengurus
semuanya, aku tinggal duduk manis dan
perawatan agar manglingi di acara
pernikahan kami. Omong kosong!
Bodohnya aku, aku percaya dan akibatnya
aku harus mengurus semuanya sendiri.
Sedangkan dia sibuk dengan pisau bedah
dan lampu-lampu di ruang operasi.
Menyebalkan!

406
Seperti saat ini aku sudah menunggu dua
jam tapi bayangannya saja tidak terlihat.
Bahkan dia tak mengirimiku satu pesan pun.
"Maaf telat," ucapnya tanpa rasa berdosa.
"Nggak apa-apa kok, Pak Jevano. Tapi tadi
calon istri Anda sudah pulang. Dia bilang
mau membatalkan pernikahan kalian!"
ujarku kesal.1
"Jangan gitudong, aku udah berjuang dua
tahun masa dibatalin!"
"Jev, aku ini calon istri kamu. Kalau kamu
gini terus, aku jadi ngerasa jadi WO yang
lagi ngurusinnikahan kamu!"
"Maafin aku ya. Nanti aku beliin tas
limitededition, deh!"
"Emang sejak kapan aku suka barang-
barang mewah kaya gitu?"
"Jadi nggak mau?"
"Maulah."3
"Jadi aku dimaafin?"
407
"Em!"
"Senyum dong ...."
"Udah sana nggak usah buang waktu, cobain
baju kamu!"
"Siap!"
Dia pergi untuk mencoba jas yang sebulan
lalu kami pesan. Aku sudah melakukan
fitting tadi, saat menunggu dia yang tak
kunjung datang.
"Gimana Lan, bagus nggak?"
Setelah jas hitam entah kenapa sangat cocok
dengannya. Dia terlihat sangat tampan. Oke,
biarpun setiap hari dia selalu tampan.
"Ya udah, kalau udah pas kamu ganti baju
lagi dan kita pulang!'
"Lah kok?"
"Terus mau apalagi?"
"Kamu nggaknyobain gaun kamu?"
"Udah tadi!"

408
"Kok nggaknungguin aku?"
"Kamu lama!"
"Di drama-drama Korea itu, kalau fitting
baju yang nyobain gaun itu mempelai
wanita. Terus kamu keluar dari balik tirai
dan aku terpesona." Demi apapun aku
tercengang dengan kata-kata mengalir indah
dari bibirnya.
"Jev, udahdehnggak usah drama. Mama
kasianjagainDerano. Lagi pula ini udah sore,
keburu macet jalanan," omelku.
"Iya deh."
***
Jevano mengantarku hingga rumah, tentu
saja. Sebenarnya aku bisa saja pulang
sendiri, tapi dia pasti tidak akan
membiarkannya.
"Assalamualaikum," ucapku saat masuk
rumah.
"Walaikumsalam," sahut Mama.

409
"Kok baru pulang, katanya sebelum
Maghribudah di rumah?" tanya Mama.
"Tanya tuh, sama calon menantu Mama."
Mama menatap Jevano, meminta
penjelasan.
"Gini, Ma. Tadi aku gantiin salah satu
dokter buat operasi, karena dia mengalami
kecelakaan. Nggak parah sih, cuma nggak
mungkin untuk melakukan operasi pada
pasien. Ya gara-gara itu, jadi telat dua jam,"
jelasnya yang hanya simak oleh Mama.
"Deren mana, Ma?" tanyaku sambil mencari
keberadaan putraku di penjuru rumah.
"Tadi Risa sama Cahyo datang, jadi dibawa
dia," jawab Mama.
"Kok nggak bilang aku, tahu gitu kan aku
jemput sekalian," kataku.
"Udahlah, mungkin Risa sama Cahyo
kangen sama Deren. Selama dua tahun kan
jarang ketemu."

410
"Bagus dongDeren sama Kak Risa dan Mas
Cahyo, jadi kita bisa ...."
"Bisa apa? Jangan mikirmacem-macem kita
belum sah!" ujarku memotong kata-kata
Jevano. Anak itu memang suka melantur
jika tidak dicegah lebih dulu.
"Udah kalian ini berantem mulu. Kamu juga
Jev, jangan macem-macem. Jangan sampai
kejadian dulu terulang lagi, awas aja kalau
kamu berani nyentuh Alana sebelum sah,
Mama sunatin kamu!"
Aduh, serem juga ancaman Mama. Jevano
hanya tersenyum ngeri, mungkin dia sedang
membayangkan jika dia benar-benar disunat
lagi.
"Iya, Ma."
"Ya udah, lebih baik kalian bersih-bersih,
salat magrib terus kita makan bersama. Tadi
Mama udah masak."
"Iya, Ma."

411
Setelah kami selesai mandi, lalu makan
kami berdua duduk di teras depan. Dia
bilang ingin menghabiskan waktu lebih
banyak denganku sebelum kami resmi di
pingit. Belakangan ini Jevano sering
melakukan hal kekanak-kanakan, bahkan
aku merasa Jevano yang dulu jauh lebih
dewasa.
"Jev, kita nggak minta restu sama Mama
dan Papa? Biar bagaimanapun mereka tetap
orang tua kita."
Sebenarnya aku sudah beberapa kali
membicarakan ini dengan dia, tapi dia selalu
menghindar. Jika aku harus jujur, tentu saja
masih ada rasa sakit yang tertinggal tentang
orang tuanya. Namun seperti aku dan dia,
aku juga ingin memulai hubungan yang baru
dengan orang tuanya.
"Aku nggak mau mereka nyakitin kamu
lagi!"
"Jev." Aku menggenggam tangannya.
"Semuanya udah berubah, aku yakin orang
412
tua kamu pasti juga udah berubah. Besok
kita temui mereka ya!" bujukku.
"Kamu yakin?" Aku mengangguk. "Jika
mereka nyakitin kamu lagi, kamu harus janji
itu tidak akan mengubah apapun!"
"Apapun yang terjadi nanti, aku janji tidak
ada yang akan berubah," ujarku
meyakinkannya.
Aku tahu yang dia khawatirkan, karena aku
juga mengkhawatirkan hal yang sama.
Namun aku yakin, semuanya akan baik-baik
saja. Lagi pula kami sudah dewasa, jika
kemungkinan terburuk orang tuanya masih
tidak bisa menerimaku rasanya pasti tidak
sesakit dulu.
***
Seperti yang telah kami sepakati, aku dan
Jevano datang menemui orang tuanya. Kami
juga membawa Derano, awalnya kami tidak
ingin membawa Derano, tapi mama bilang
Derano bisa saja menjadi hal yang bisa

413
meluluhkan hati mereka. Jantungku berpacu
cepat, ada rasa cemas dan juga khawatir.
Aku masih takut jika mereka mengatakan
hal-hal buruk, terlebih ada Derano. Seolah
merasakan kegelisahanku, Jevano
menggenggam tanganku.
"Semua akan baik-baik saja!" ujarnya. Aku
harap juga begitu.
Beberapa kali kamu mengetuk pintu, namun
tidak ada jawaban hingga suara langkah
terdengar menuju pintu.
"Iya sebentar! Sia ..." Mata kami bertemu
saat pintu itu terbuka. Aku mencoba
tersenyum sebisaku. Meski sebenarnya saat
aku melihatnya, aku juga melihat kenangan
buruk yang pernah terjadi.
"Jevano, Alana." Dia terlihat berkaca-kaca
dan tidak percaya melihat kami di sini.
"Mama apa kabar?" tanyaku.
"Baik. Ayo masuk!"

414
Kami masuk ke dalam rumah yang sudah
lama tidak aku datangi. Tidak banyak
berubah, kecuali warna dinding yang terlihat
sedikit berbeda dari terakhir kali.
"Kalian mau minum apa?" tanya Bu Ratna.
"Tidak usah repot-repot Ma," jawabku.
Sungguh, kami terjebak dalam
kecanggungan yang sulit untuk diuraikan.
Meski ini lebih baik, dari pada dia langsung
mengusir kami.
"Ma, Papa mana?" tanya Jevano.
"Akh iya, biar Mama panggilin papa!"
Bu Ratna pergi untuk memanggil papa.
Sebenarnya hubunganku dengan ayah
mertuaku tidak seburuk hubunganku dengan
ibu mertuaku. Dulu, meski tidak sering papa
memberiku sedikit perhatian. Seperti
membeli beberapa buah-buahan untukku,
atau makanan-makanan kecil.
"Kalian datang?" tanyanya datar seperti
biasa.
415
"Iya Pa." Aku mencium tangannya. "Deren,
salim sama kakek!" ujarku pada Derano.
Tanpa penolakan dia menuruti yang aku
perintahkan.
Papa jongkok menyetarakan tingginya
dengan Derano. "Ini siapa?" tanya papa
lembut dan untuk pertama kalinya aku
melihat ayah mertuaku tersenyum sehangat
itu.
"Derano."
"Dia mirip banget sama Jevano waktu
kecil."
"Ya kan, emang aku bapaknya!" celetuk
Jevano yang membuatku tak tahan untuk
tidak menyubitnya.
"Tapi papa harap kelakuan dia nggaknurun
bapaknya!" ujar papa jengkel.
"Amin!" ucapku cepat, yang membuat papa
dan mama tertawa sedang Jevano terlihat
masam.

416
"Kompak banget ya bully aku! Ren, kamu
bela papa kek!" gerutu Jevano.
"Enggak enak banget ngobrol sambil
berdiri, ayo duduk!" ujar Mama.
"Iya Ma, makasih."
Suasana kembali hening, kami hanya duduk
diam. Aku memberi kode pada Jevano agar
memulai pembicaraan. Rasanya aneh jika
aku yang mulai bicara lebih dulu.
"Begini Pa, Ma aku kesini mau
memberitahu jika kami akan menikah lagi.
Tapi satu hal yang harus kalian tahu, meski
kalian menentang aku akan tetap menikah
dengan Alana!" ujar Jevano penuh
penegasan.
"Kamu berpikir kami akan menentang
pernikahan kalian?" tanya Papa.
"Ya, seperti waktu dulu!"
Papa tertawa. "Jev, kami sekarang sudah
terlalu tua. Kami hanya ingin menjalani hari
tua kami dengan tenang. Lagi pula kalian
417
sudah dewasa tidak ada alasan kami
menentang kalian!"
"Benar apa yang papa kalian katakan, kalian
sudah dewasa. Mama minta maaf, meski
mama tahu kalian tidak mudah untuk
memaafkan mama. Namun mama hanya
berharap, kalian bahagia."
Kata-kata yang terdengar begitu tulus,
membuat hatiku tersentuh. Sekarang aku
mengerti alasan mereka dulu begitu
mentang pernikahan kami. Karena kami
masih begitu muda. Pasti banyak
kekhawatiran yang mereka rasakan.
"Ma, aku memang belum bisa melupakan
semuanya karena terlalu membekas
untukku. Tapi kita bisa memulai hubungan
yang baru, kita bersama-sama
menyembuhkan luka yang ada antara kita."
Mama meneteskan air mata, begitu juga
denganku. Dia kemudian memelukku untuk
pertama kalinya. Semua terasa seperti
mimpi, ternyata seperti ini rasanya diterima.
418
Hari ini aku memutuskan melangkah satu
langkah lagi menuju kebahagiaan. Meski
nanti pasti tidak mudah, aku berjanji untuk
menjadi bahagia.

419
32. Our Wedding Day (End)

Pernikahan kami tinggal menghitung jam,


besok adalah hari pernikahan kami. Dari
beberapa hari yang lalu, aku dan dia dalam
masa dipingit. Aku tidak pernah
membayangkan jika aku akan melewati
proses ini. Kalian semua pasti tahu semua
kisahku dan Jevano. Rasa lucu saat aku
bahkan tidak bisa mengirim chat sekedar
memarahinya dan yang lebih lucu lagi,
seperti ABG aku merindukan dia.
Tok ... Tok ... Tok.
Aku mendengar ketukan pelan di kaca
jendela kamarku. Aku mendekati jendela
dengan waspada, takut-takut jika itu adalah
perampok. Tidak akan lucu jika aku muncul
di surat kabar dengan judul berita, Seorang
Calon Pengantin Meninggal Dibunuh
Perampok, Sehari Sebelum
Pernikahannya. Amit-amit pokoknya.

420
"Siapa?" tanyaku ragu.
"Aku ...," jawabnya.
"Aku, siapa?"
"Jevano."
Aku segera membuka kaca jendelaku.
Dengan mudah dia melompat masuk dan
langsung memelukku.
"Aku kangen banget sama kamu," ujarnya.
"Lebay ih. Baru seminggu nggak ketemu!"
Aku mengatainya dan sebenarnya juga juga
mengatai diriku sendiri, karena aku juga
merindukan dia.
"Lan tahu nggak?"
"Enggak!"
"Ih belum selesai."
"Iya tahu apa?"
"Aku bahagia banget akhirnya keinginanku
terwujud."
"Menikah lagi sama aku?" tanyaku.

421
"Bukan."
"Lalu?"
"Diam-diam nemuin kamu saat lagi
dipingit," jawabnya.5
Aku hanya tersenyum tak percaya dengan
jawaban. Posisinya masih memelukku. Dia
menatap wajahku sambil tersenyum yang
menampakan dua lesung pipi yang
menawan.
"Kok senyum terus, kram nanti pipinya,"
kataku sambil menyentuh pipinya.
"Kamu cantik."
"Udah dari dulu kali."
"Serius aku Lan. Makasih ya udah mau
nikah lagi sama aku, mau nerima laki-laki
tidak sempurna yang sering melakukan hal-
hal yang membuat kamu marah, jengkel
bahkan terluka. Aku mungkin akan
melakukan lebih banyak hal menjengkelkan
lagi di masa depan, tapi aku mohon kamu
tetap bertahan sama aku ya, jangan lagi
422
pergi atau meminta aku pergi. Pernah
melepaskan kamu sekali adalah kebodohan
paling bodoh yang pernah aku lakukan,"
ujarnya yang terdengar begitu tulus.
"Aku juga bukan wanita sempurna, terima
kasih sudah memilihku lagi dan lagi, meski
di luar sana banyak wanita yang lebih
segalanya dariku. Aku tidak akan
melepaskanmu. Tidak peduli kamu ingin
melepaskan diri, aku akan memelukmu erat,
hingga kamu nggak bisa ke mana-mana."
"Aku mencintaimu, Alana."
"Aku lebih mencintaimu."
"Aku lebih, lebih, lebih
mencintaimu." Kemudian kami tertawa. 1
***
Melihat orang berlalu lalang mengatur
dekorasi gedung yang memang belum
seratus persen, membuatku gatal ingin
membantu. Jika saja aku turun tangan

423
sendiri pasti sudah selesai dari beberapa jam
yang lalu.
"Kak aku bantuinngatur ya biar cepet kelar,"
pintaku pada Kak Risa.
"Apaan sih, kamu itu calon pengantin masa
mau ikut-ikutan ngatur orang yang
mempersiapkan pernikahan kamu."
"Tapi aku gatelpingin ikut."
"Udah kamu makeup aja, nggak usah aneh-
aneh."
Baiklah. Ini pasti terjadi karena aku terlalu
merindukan pekerjaanku. Daripada semua
menjadi lebih kacau, aku menuruti saja
semua kata-kata Kak Risa dan aku harus
menikmati menjadi pengantin yang dilayani
sebagai ratu. Namun semua terasa lucu,
karena biasanya aku yang sibuk melayani,
sekarang aku yang dilayani.
Jantungku berdegup kencang, saat
mendengar Jevano mulai mengucapkan
akad nikah di luar sana. Aku ditemani
424
Mama dan Kak Risa menunggu di ruangan
berbeda. Kak Risa menggenggam tanganku
yang gemetaran.
"Tenanglah, semuanya pasti lancar,"
kata kak Risa menenangkanku dan aku
hanya tersenyum.
"Sah!"
"Sah!"
Aku merasa oksigen sudah mengalir ke
dalam paru-paru saat mendengar kata itu.
Aku dan Jevano sudah resmi menjadi suami
istri lagi. Sesuatu yang awalnya terasa
mustahil. Semuanya masih terasa seperti
mimpi. Mama dan Kak Risa menuntunku
keluar untuk menemui suamiku. Aku
melihat Jevano tersenyum lebar saat
melihatku, di sana juga ada Derano yang
juga tersenyum padaku. Aku rasa hari ini
semua kebahagiaan menghampiriku.
"Kamu cantik banget, Lan."

425
"Makanya kamu harus bersyukur punya istri
kaya aku," ucapanku mengundang tawa
seluruh tamu yang datang.
Kami melakukan semua prosesi setelah akad
nikah, seperti tukar cincin. Pengucapan janji
nikah oleh suami dan istri. Dan sekarang
kami sedang melakukan resepsi. Karena
kami bukan pasangan bisa, kami tidak
duduk berdua melainkan bertiga dengan
Derano.
"Selamat ya, akhirnya kalian balikan juga,"
ujar Yerin yang datang bersama anak dan
suaminya.
Terakhir aku bertemu mereka memang tidak
meninggalkan kesan baik karena aku pergi
begitu saja. Meski sempat merasa kecewa
karena dipermainkan, tapi aku harus
berterima kasih pada mereka. Karena drama
murahan yang mereka susun, aku dan
Jevano mulai mendekatkan diri lagi dan
karena drama itu kami ada di sini sekarang.

426
"Makasihudah datang. Kamu lagi hamil
lagi?" tanyaku sambil melirik perutnya yang
terlibat membesar.
Dia tersenyum lalu mengangguk. "Aku udah
terlalu tua, jika nggak buru-buru takut
fisiknya nggak kuat lagi buat melahirkan,"
ujarnya. "Kamu juga, habis ini buru-buru
kasih adik buat Deranokasian dia sendiri,"
ujarnya yang membuat menyesal
menanyakan perihal kehamilannya.
"Pastinya. Iyakan Ren, kamu mau punya
adik, kan?" Derano mengangguk cepat.
"Emang bapak sama anak nggak ada
bedanya!" gumamku.
"Ya udah, Lan, sekali lagi selamat."
Aku mendengus kesal dengan dua spesies
jantan beda usia itu. Mereka semakin lama
semakin kompak saja menyebalkan.
Seorang tamu yang menarik perhatianku.
Aku memang mengirimi dia undangan, tapi
tak menyangka dia benar-benar datang. Dia
427
melangkah dengan anggun dengan gaun
putih gadis selutut.
"Selamat untuk pernikahan kalian,"
ucapnya.
"Dan ...."
"Jangan menatapku begitu. Aku tidak apa-
apa, jangan merasa bersalah padaku,"
ujarnya.
"Makasihudah datang," ucapku.
"Aku yang makasih karena kalian udah mau
mengundangku. Aku pikir kalian
membenciku."
"Sama sekali tidak Dan. Jika aku jadi kamu
pasti akan melakukan hal yang sama."
Danisa memang tidak bersalah dan tidak ada
alasan untuk aku membencinya, terlepas
dari apa yang pernah dia lakukan. Aku
mengerti, jika aku jadi dia mungkin juga
akan melakukan hal yang sama.

428
"Sekarang aku tahu kenapa Mas Jevano
begitu mencintai Mbak Alana. Mbak Alana
cantik dan juga baik. Mbak Alana juga
dewasa dan mandiri. Aku senang karena
Mas Jevano mencintai orang yang tepat,"
ujarnya. Sungguh, aku ingin menangis
mendengar setiap kata yang dia ucapkan.
Aku yakin pasti sulit untuk dia mengatakan
itu. "Semoga kalian bahagia, aku boleh kan
memeluk kalian?" 1
"Tentu saja."
Dia memeluk Jevano. Aku tidak cemburu,
sama sekali tidak. "Mas selamat sudah
mendapatkan cinta kamu, aku harap kamu
bahagia," ucapnya.
"Kamu juga akan mendapatkan cinta kamu,
laki-laki yang jauh lebih baik daripada aku
yang akan sangat mencintai kamu," ujar
Jevano.
Lalu dia memelukku. "Tolong jaga Mas
Jevano ya dan pastikan untuk selalu
bahagia."
429
"Aku akan menjaga dia. Kamu juga harus
bahagia, kamu gadis baik dan juga cantik.
Seseorang yang akan bersama kamu adalah
orang beruntung," ucapku.
Dia tersenyum lagi setelah memeluk kami
satu persatu. "Sekali lagi selamat, aku harus
pergi sekarang!"
"Ke mana?"
"Kembali ke Amerika. Aku mengambil
program S2 di sana."
"Hati-hati dan sampai jumpa kembali."
Dia melangkah meninggalkan kami. Danisa
adalah salah satu orang paling penting yang
membuat kami bersama kembali. Karena dia
yang membuat kami bertemu lagi, karena
dia kami menyadari jika kami masih saling
mencintai. Terima kasih Danisa sudah hadir
di hidup kami. Meski kita tidak mempunyai
kenangan yang indah, aku akan selalu
mengenang sosokmu dan aku berharap
takdir akan mempertemukan kita lagi, dalam

430
keadaan yang jauh lebih baik. Saat kita
sama-sama bahagia.
***
Dilamar dengan begitu romantis,
mempersiapkan pernikahan yang
melelahkan, bertemu diam-diam saat
dipingit, menggunakan gaun pernikahan
yang indah dan mengadakan pesta
pernikahan yang meriah adalah hal yang tak
pernah aku mimpikan sebelumnya.
Kisah kami berawal dari kebodohan yang
kami lakukan. Kami banyak terluka karena
kebodohan itu. Meski kalian mungkin
bilang pada akhirnya kisah kami berakhir
bahagia, tapi tidak bagiku ini adalah awal
dari semuanya yang aku tidak tahu.
Oleh karena itu aku berharap, tidak ada
Alana dan Jevano yang lainnya. Sepasang
remaja bodoh yang melakukan kesalahan
yang menyeret kami ke jurang penderitaan.
Aku harap kalian terutama para remaja,
berpikirlah tentang masa depan kalian
431
sebelum kalian bertindak. Karena satu
tindakan salah, kalian tidak akan tahu
seberapa banyak kalian harus
membayarnya. 4

-END-

432
Bonus Chapter - Only One Day

Hai ini aku, wanita yang mungkin sering


kalian caci maki. Wanita malang yang
mencintai seseorang yang sekalipun tak
pernah melihatku. Meski hanya satu hari,
aku tak pernah ada di dalam hatinya. Dia
bahkan tak mengizinkan aku untuk sekedar
mampir. Aku tahu semua itu, tapi aku pura-
pura tidak tahu. Bodoh! Aku memang
bodoh, aku bodoh karena terlalu
mencintainya. Dia kutemui saat aku
mengalami waktu sulit dan tidak memiliki
harapan untuk tetap hidup. Berbagi
sedikit beban hidup dengannya, membuatku
akhir ingin tetap hidup.
Pertemuan kami sederhana, sesederhana itu
juga aku jatuh hati padanya. Saat dia selalu
menemaniku untuk pulih dari luka yang
sedang aku alami. Kecelakaan yang
merenggut semua mimpiku, tapi karena dia
aku bertahan. Namun tiba-tiba hilang,
433
hingga aku tahu dia pergi ke NTT untuk
menjalani internship di sana.
Dengan berbagai cara, akhirnya aku
menemukan keberadaannya. Aku membuat
semua seolah kebetulan. Aku menjadi
relawan dan menghabiskan hari
bersamanya. Namun dia seperti orang yang
berbeda. Tidak ada lagi senyum hangat
seperti yang selalu dia tebarkan dulu. Aku
mendengar dari teman-teman itu karena dia
berpisah dengan istrinya. 1
Entah mengapa hatiku terasa sakit saat
melihat dia begitu hancur karena seseorang.
Aku cemburu bahkan dengan seseorang
yang tidak aku kenal. Meski dia terus
menolakku untuk berada di sekitarnya, tapi
aku terus mengikutinya berada di dekatnya.
Aku takut jika dia akan menyakiti dirinya
sendiri. Semakin lama, perasaanku
berkembang dan sulit untuk aku
kendalikan.

434
Hingga dia menghilangkan lagi, namun
seolah kami memang ditakdirkan untuk
bersama. Aku menemukan dia lagi. Dia
berada di Cambridge, untuk mengambil
spesialis. Aku juga memusatkan menetap di
sana untuk berada di sisi orang yang aku
cintai.
Awalnya terasa berat karena seperti satu
tahun di NTT dia tetap menolakku, hingga
hari aku merasa putus asa dan berniat
mengakhiri hidupku. Dia menyelamatkanku
dan semua terasa lebih baik. Hari-hariku di
Cambridge sangat menyenangkan, perlahan
aku juga melihat senyuman di wajahnya.
Dia sudah tak lagi menyendiri, atau
menangis diam-diam. Aku bahagia, karena
aku pikir aku berhasil membuat dia lupa
pada seseorang yang telah menghancurkan
hidupnya. Saat aku meyakini semuanya, aku
melamarnya di hari kepulangan kami ke
Indonesia.

435
"Kak Jevano, aku cinta sama kakak. Kakak
mau nggak nikah sama aku," ucapku yang
membuat dia menatapku bingung.
"Menikahlah denganku, aku tahu kamu
mungkin belum mencintaiku, tapi aku pasti
bisa membuat kamu jatuh cinta sama aku,"
kataku kemudian.
Dia masih terdiam. "Baiklah, ayo kita
menikah. Aku akan berusaha untuk
mencintai kamu," jawabnya yang membuat
musim semi datang padaku.
Hubungan kami berjalan lancar, orang
tuanya juga menerimaku dengan baik.
Perlahan, aku merasa dia mulai
mencintaiku. Pernikahan kami mulai
disiapkan. Kakakku memilihkan
weddingorganizer yang dulu membantu dia
mempersiapkan pernikahannya. Aku senang
bertemu dengan dia, wanita tangguh dan
juga hebat. Namun aku tidak menyangka
jika kehadiran membuka semua luka dan
masa lalu Jevano, laki-laki yang akan aku

436
nikahi. Aku selalu menyakinkan diriku, jika
mereka hanya masa lalu, tapi setiap melihat
mereka bersama sungguh membuatku tak
bisa untuk tetap tenang.
Mereka yang diam-diam bertemu, berjalan
bersama dengan putra mereka sebagai
keluarga utuh, benar-benar menyakitiku.
Perlahan, tapi pasti sakit yang aku rasakan
mulai menjadi racun. Cinta yang awalnya
tulus, tak mengharap balasan berubah
menjadi obsesi untuk memiliki.
Aku tak lagi peduli, jika Jevano tak
mencintaiku selama dia menjadi milikku
dan untuk Alana, wanita yang selalu
membuatku cemburu, entah saat aku belum
mengenalnya hingga aku tahu segalanya.
Aku juga tidak melepaskannya, aku ingin
dia juga merasakan rasa sakit yang sama
denganku.
Aku jahat. Aku bahkan membenci diriku
yang perlahan berubah menjadi monster.
Namun terlalu jauh jika aku harus berhenti,
437
meski aku tahu aku juga akan hancur jika
aku terus maju. Sampai di hari pernikahan
kami. Tinggal satu langkah lagi, semua yang
aku perjuangkan akan berakhir. Aku akan
memilikinya. Aku kira aku akan bahagia,
nyatanya tidak! Aku justru ketakutan,
apalagi saat mendengar percakapan singkat
Jevano dan Alana. 1
Saat itu aku dan Kak Shireen berjalan
melalui lorong menuju ruang tunggu di
belakang aula pernikahan akan lakukan.
"Lan, ayo kita kabur saja! Kita bawa Deren,
lalu kita hidup di tempat yang jauh."
Suara yang tak asing di telingaku
menghentikan langkah kami. Untuk
kesekian kalinya hati menjadi kepingan.
"Kamu gila!"
"Ya aku gila, aku gila karena nggak bisa
lupa sama kamu. Aku pikir setelah aku
melakukan semua yang keinginan kamu

438
waktu itu, aku bisa melupakan kamu. Tapi
terlalu sulit, Lan. Aku nggak bisa!"
Kepingan hatiku menjadi serpihan kecil
yang kemudian semakin hancur dan menjadi
debu. Terlebih saat aku mendengar Isak
tangis darinya, tangisan yang sama seperti
yang aku dengar saat aku menghafalkan aksi
bunuh dirinya. 1
"Jangan menangis. Aku tahu ini berat untuk
kamu." Suara lembut itu mampu
menghentikan tangisnya. "Tapi sebagai laki-
laki kamu harus menepati janji yang sudah
kamu buat. Danisa sebenarnya gadis yang
baik dan tentunya dia sangat mencintai
kamu. Dia bahkan rela kehilangan
mimpinya untuk menyelamatkan kamu. Dia
pasti bisa bikin kamu bahagia."
Seketika, aku tak hanya lagi butiran debu.
Aku bahkan tidak akan pernah terlihat. Aku
tahu alasan kenapa, Jevano sangat mencintai
gadis itu. Dia gadis yang hebat, dengan
semua yang aku lakukan padanya dia masih
439
peduli padaku, dan mengatakan aku adalah
gadis yang baik.
"Terus bagaimana dengan kamu, Lan?"
"Aku pasti menemukan seseorang yang akan
membuatku bahagia."
Alana pergi meninggalkan Jevano dan aku
bersembunyi bersama Kak Shireen. Aku
semakin ragu untuk melangkah, tapi terlalu
berat untuk mengakhiri. Aku harus
bagaimana? Apa aku aku akan bahagia?
Hidup dengan seseorang yang bahkan tidak
punya ruang di hatinya untuk aku tinggal.
Namun, apakah aku juga bisa jika aku hidup
tanpa melihat dia?
Para tamu undangan sudah bersiap untuk
menyaksikan akad nikah kami. Penghulu,
wali nikahku, yang tak lain adalah ayahku,
dan juga para tamu sudah berkumpul. Aku
duduk bersebelahan dengan Jevano, tapi tak
sekalipun dia melihatku.

440
"Sudah siap semuanya?" tanya sang
penghulu.
"Siap!"
"Sudah bisa kita mulai?"
"Stop!" ujar Kak Shireen.
"Kak ...." Mataku mulai berkaca-kaca.
Kak Shireen berjongkok di depanku . Dia
menggenggam tanganku, kedua mata
indahnya menatapku lembut. Mungkin Kak
Sirene merasakan kegelisahan yang sama
denganku.
"Dan, kamu yakin mau nikah sama Jevano?"
Aku tak mampu menjawab, aku hanya bisa
menangis. "Dan, kamu yakin akan hidup
dengan laki-laki yang mencintai wanita
lain?" Tangis Danisa semakin pecah. Dia
ketakutan, dia takut jika sampai akhir
Jevano tidak akan pernah mencintainya.
"Danisa jawab kakak!"
"Kak ...."

441
"Iya atau tidak? Kakak akan dukung semua
keputusan kamu. Apapunresikonya nanti
kamu harus siap, karena itu pilihan kamu."
Aku menatap Jevano yang terlihat bingung.
"Mas, apa tidak ada tempat di hati kamu
untuk aku?" tanyaku sebagai usaha
terakhirku. "Mas, jawab aku!"
"Aku sayang sama kamu, tapi bukan sebagai
seorang wanita."
Aku meraih tangannya lalu melepas cincin
yang melingkar di jari manis tangan kirinya,
kemudian aku juga melepas cincin milikku
"Pergi Mas, kamu bebas," ujarku.
"Dan ...."
"Aku melepaskan kamu, kejar orang yang
kamu cintai."
Terlalu berat untuk mengatakan ini. Melihat
dia pergi hatiku yang terah menjadi serpihan
semakin berserakan. Duniaku berbentuk saat
ini. Orang-orang yang mulai berbisik, ibuku

442
yang pingsan hingga di rawat di rumah
sakit. Itu adalah konsekuensi dari keputusan
yang aku pilih.
Jika kalian bertanya apakah aku sudah
mengikhlaskan semuanya. Tentu saja tidak.
Aku masih sakit hati dan terluka. Namun
aku mencoba untuk mencari kebahagiaanku
sendiri. Seperti mereka, aku harap seseorang
akan datang ke dalam hidupku dan jika
orang itu datang, aku harap dia akan
mencintaiku sepenuhnya.
Tertanda Danisa.2

443
Bonus chapter : Stupid Girl

Aku baru saja menangis. Iya benar, aku


tidak menyangkal itu. Aku begitu bahagia
saat mendengar tangisannya menggema di
ruangan bersalin ini. Akhirnya aku benar-
benar menjadi seorang ayah. Arfandi Zaenal
Abraham junior telah lahir ke dunia dengan
selamat tanpa kurang satu apa pun. Momen
ini mengingatkanku pada kejadian beberapa
tahun silam. Aku pernah di ruang bersalin,
tentu saja menemani seseorang melahirkan.
Iya Dia, gadis terbodoh yang pernah aku
temui. 1
Namanya Alana, gadis pemilik wajah yang
sama persis dengan adikku yang malang,
dan sialnya gadis itu juga memiliki takdir
yang sama malangnya. Pertama aku bertemu
dengannya, saat dia berjalan linglung di
tengah jalan yang begitu banyak kendaraan
berlaku lalang. Awalnya aku tidak ingin

444
peduli, rapi saat melihat wajahnya aku
seolah melihat adikku yang berdiri di sana.
Aku menyeretnya ke jembatan dengan
sungai berarus deras. Terdengar kejam, aku
menyuruhnya menceburkan diri ke dalam
derasnya arus sungai setelah hujan turun.
"Locat!" ujarku, "tunggu apa lagi, loncat!
Tadi mau nabrakin diri ke mobil, mau
matikan. Sungai ini pilihan yang lebih baik
dari pada kamu nabrakin diri dan nyusahin
orang nggak bersalah," lanjutku yang
mungkin terdengar tak berperasaan dan
kejam. "Kenapa? Takut nggak mati? Tenang
sungai ini cukup deras untuk
menghanyutkan tubuh kamu dalam
beberapa detik!"
Dia terdiam menatap derasnya air sungai,
jika bertanya apa aku tidak khawatir jika dia
benar-benar lompat? Aku masih manusia
normal, jadi tentu saja aku takut jika dia
benar-benar melakukan saranku. Namun
saat tubuhnya mulai ambruk dan bergetar,
445
dia menangis mungkin sedang menyesali
keputusan bodoh yang sempat ingin dia
pilih.
"Saya tahu kamu pasti sangat terluka hingga
memutuskan untuk bunuh diri, tapi kami
harus tahu diluar sana banyak orang yang
juga terluka tapi mereka berjuang untuk
tetap hidup. Kamu tahu kenapa?" tanyaku,
dia menggeleng, "karena mereka ingin
menjadi lebih hebat setelah terluka,"
lanjutku.
Aku membiarkan dia menangis, jika aku
menghiburnya mungkin juga percuma. Dia
tak akan diam dengan mudah.
"Udah cape nangisnya?" tanyanku saat dia
sudah berhenti menangis, tapi dia tak
menjawab. "Besok jangan nangis lagi, apa
lagi mikir bunuh diri karena di luar sana
banyak orang yang berjuang untuk hidup,"
ujarku lalu meninggalkan setelah aku yakin
dia tak akan benar-benar lompat.
***
446
Aku pikir takdirku dengan gadis itu
berakhir, tapi ternyata aku salah. Aku
melihat dia lagi, dengan keadaan yang tak
kalah menyedihkan. Seorang wanita paruh
baya sedang memakainya. Aku tak terlalu
jelas mendengarnya, yang paling jelas
adalah wanita itu bilang. "Dia sudah pergi
ke luar negeri, jangan hancurkan hidupnya
lagi. Kamu gugurkan saja kandungan itu!"
Saat itu aku baru mengerti kenapa dia
berniat untuk bunuh diri. Aku sungguh
sangat emosi, jika laki-laki brengsek itu add
di depanku pasti sudah aku hajar. Namun
aku tak mendekat, karena aku sadar aku tak
terkait dengan ini.
Dia menangis saat pintu rumah besar itu
tertutup, seolah alam juga merasakan pedih
hatinya. Langit pun mulai menangis, tapi dia
masih dia di sana. Dasar gadis bodoh, aku
yang tak ingin terlibat akhirnya terlibat
juga.

447
Perlahan kami menjadi dekat, saat aku
membawa dua untuk bertemu kakakku yang
juga sedang terluka saat itu. Kakakku juga
sedang terluka, baru satu tahun sejak
kepergian orang tua dan adik kami, dia
harus kehilangan bayinya, dan yang
membuat dia lebih terpuruk lagi, dokter
bilang kemungkinan besar dia tak bisa
menjadi seorang ibu.
Untuk pertama kalinya sejak kakakku
kehilangan bayinya dia tersenyum saat
melihat gadis itu. Alana juga bercerita
tentang kejadian sebenarnya, aku sempat
berpikir jika dia hamil dengan pacarnya.
Namun ternyata dia sudah menikah, cuma
nasibnya yang tak beruntung dia harus
bercerai dan bodohnya dia baru tahu jika dia
hamil saat si suami sudah pergi.
Meski tidak langsung, kehadiran Alana
membawa senyum di keluarga kami.
Menjaga Alana seperti menjaga adik bungsu
kami. Terlebih saat bayi yang Alana

448
kandung lahir, menjadi bayi yang sangat
tampan. Kata Alana, dia mirip ayahnya.
Tahun demi tahun kami lalui dengan tenang,
damai dan juga bahagia. Namun takdir
buruk dalam hidupnya sepertinya belum
berakhir. Mantan suaminya datang kembali,
awalnya aku tidak tahu, tapi gadis itu tak
cukup pandai untuk membohongiku.
Di sini aku menyadari sesuatu, jika
perasanku padanya lebih dari perasan kakak
pada adiknya. Tanpa sadar aku meletakkan
dia di dalam hatiku, aku mencintai dia. Aku
cemburu saat mantan suaminya menjadi
dekat dengannya.
Aku tidak suka, saat putranya yang aku
sayangi seperti putraku sendiri tertawa lepas
dengan ayahnya. Iya, aku sekekanak-
kanakan itu. Aku pikir, dia siapa aku yang
membesarkan anak itu dan dia hanya orang
yang menyumbang bagian darah hingga dia
ada.

449
Namun semua tak seburuk yang aku kira,
banyak situasi yang membuat semua ini
terjadi. Aku menjadi iba dengan mereka.
Mereka saling mencintai, bahkan rasa
cintaku tidak ada sepersen dari cinta
mereka, namun keadaan membuat mereka
menderita. Di saat inilah aku mulai melepas
cintaku padanya. Karena aku sadar, tak
peduli berapa ribu kali aku membuat dia
tertawa, aku tetap kalah dengan dia yang
membuatnya menangis. 5
Orang bilang Tuhan itu adil. Aku percaya
itu, karena Dia telah mengirimiku bidadari
tanpa sayap, yang tak hanya cantik tapi
menerimaku apa adanya. Namanya Hani,
mungkin kalian sudah tahu dia keponakan
Alana. Kami bertemu juga karena Alana.
Dia wanita yang baru saja melahirkan anak
kami ke dunia.
Mungkin kalian semua pernah mengeluh
karena cinta kalian tak terbalas. Sama
seperti aku yang membenci saat cintaku

450
bertepuk sebelah tangan. Namun saat
melihat dia bahagia, rasanya aku juga
bahagia dan saat itu aku menemukan
cintaku. Seseorang yang akan menemaniku
sampai aku menjadi tua kemudian mati.

Selesai dibaca
My Ex-Husband Wedding (END) ✓

451

Anda mungkin juga menyukai