Anda di halaman 1dari 50

Pembukaan

Hi, Gengs!

Aku mau ngumumin bahwa mulai hari ini cerita Making Perfect Family
telah bergabung ke dalam program Paid Stories Wattpad. Terima kasih
untuk dukungannya selama ini. Semua vote dan comment yang kalian
berikan sangat berarti, hingga aku bisa dapat sampai pada tahap ini.

Making Perfect Family adalah salah satu cerita yang aku paling sayangi
meski aku sayang semuanya sih. Latar belakang cerita ini cukup unik, jadi
waktu itu aku dalam perjalanan dari Wonosobo-Jogja naik motor, entah
mengapa tiba-tiba aku memikirkan ide cerita ini. Beberapa hari kemudian,
aku putuskan untuk membuat outline dan publish di wattpad. Aku sempat
berhenti menulis cerita ini sekitar tiga bulan, karena ngerasa buntu dan
akhirnya aku mulai menulis Making Perfect Family lagi dengan beberapa
perubahan hingga jadilah cerita ini sekarang.

Aku rasa cukup, cerita dari aku tentang cerita ini, aku harap kalian
menikmati cerita ini. Untuk yang sudah membaca sebelumnya dan ingin
membaca cerita ini lagi ada beberapa perbedaan dan bonus chapter. Untuk
pembaca baru aku ucapkan selamat datang.

Jika kalian mengalami kesulitan dalam membeli koin untuk membuka bab
cerita Making Perfect Family jangan sungkan untuk menanyakannya.

Terima kasih!

Happy reading ❤️
Preface

Gelak tawa terdengar dari sekumpulan ibu-ibu muda yang sedang sibuk
memamerkan kehebatan anak-anak mereka. Ada juga sibuk menjelek-
jelekkan ibu mertuanya, ada juga yang sibuk mengumpat suami mereka.

Namun, wanita yang satu itu terlihat tenang, tak banyak bicara hanya
mendengarkan dengan seksama.

"Disa mah kalau cerita-cerita mana pernah ikutan, hidup kamu sempurna.
Suami ganteng, baik, kaya. Anak cantik pinter juga. Ibu mertuamu juga
baik banget kan!" ujar Kirana. 

Nadisa tersenyum, "Di dunia ini enggak ada yang sempurna, yang penting
itu kita selalu bersyukur dengan apa yang yang kita miliki," ujarnya lalu
menyeruput green tea latte yang menjadi minuman favoritnya.

"Disa kalau udah kaya kamu terus nggak bersyukur itu namanya
kebangetan!" celetuk Mia lalu mereka tertawa.

Mereka adalah teman SMA yang dulu sebenarnya tidak begitu akrab. Tapi
saat mereka telah tumbuh dewasa, mereka menjadi dekat dan sering
berkumpul, sekedar berbagi cerita ataupun berkeluh kesah tentang rumah
tangga mereka atau bahkan pekerjaan mereka. 

Tawa mereka terhenti saat mata mereka menangkap sosok laki-laki yang
menggandeng mesra tangan wanita muda, dia Dani—suami Disa yang baru
saja mereka bicarakan. 

"Dis, itu suami kamu kan?" tanya Ria memastikan. Nadisa melihat ke arah
orang yang Ria tunjuk. Wajahnya merah padam untuk sesaat, sebelum
akhirnya dia tersenyum. 
"Oh iya, itu Dani. Bentar ya aku samperin dia!" ujarnya.

Dia meninggalkan teman-temannya dan menghampiri suaminya yang


sedang bersama wanita lain. Dia terlihat tenang, seolah pemandangan
seperti itu sudah biasa untuknya. 

"Hai! Kebetulan ya, ketemu di sini!" sapa Disa ramah dengan senyuman
yang sangat manis. Dia duduk di kursi kosong di meja itu.  

"Disa?" Dani terlihat gugup saat melihat istrinya itu. 

"Iya aku Disa, istri kamu kalau lupa!" sahut Disa masih dengan senyuman
yang justru membuat Dani dan wanita itu terlihat semakin gelisah. "Kalian
langgeng juga ya?" tanya Disa yang tidak dijawab oleh mereka berdua.
"Tenang aja, aku nggak akan jambak rambut kamu sampai botak, nggak
akan siram kamu dengan jus mangga ini kok!" ujar Disa sambil memainkan
gelas berisi jus mangga yang masih penuh. Wanita itu menelan ludah
gugup, bagaimana tidak dia tertangkap basah oleh istri sah dan dia tahu
Disa bukan seperti istri kebanyakan yang akan langsung mengamuk saat
melihat suaminya bersama wanita lain. 

"Sayang, pacar kamu kayaknya takut deh sama aku." ujar Disa dengan nada
sangat lembut, "perasaan dari dulu aku baik deh sama kamu!" lanjutnya.

"Dis, cukup!" ujar Dani yang mulai tidak tahan. 

Raut wajah manis Disa tiba-tiba hilang, berubah menjadi wajah datar yang
terlihat dingin dan menakutkan. "Teman-temanku lihat kamu, aku harap
kamu lebih hati-hati lain kali! Sekarang sapa mereka dan bilang dia sepupu
kamu." 

Dani terdiam sebentar, pandangannya melirik ke arah meja yang menjadi


tempat Disa duduk tadi sebelum akhirnya dia mengangguk. "Oh Oke!" 

Dani mengikuti apa yang Disa inginkan. Tidak ada alasan untuk menolak,
karena Disa juga tidak dapat ditolak.
 

"Hai, tadi Disa bilang mau kumpul-kumpul sama kalian, tapi nggak tahu
kalau di sini!" ujar Dani. 

"Dan itu siapa? Kamu nggak selingkuh, kan?" 

"Ya enggaklah, kalian kenal Dani dari SMA," ujar Disa membela Dani. 

"Iya juga sih!" 

"Ya udah kalian lanjut, aku mau nganterin sepupu aku ke stasiun soalnya
mau pulang ke Jogja!" 

"Oke! Jangan pulang malam-malam, nanti malam aku masakin makanan


kesukaan kamu," ucap Disa sambil membenarkan dasi milik Dani yang
sedikit miring, "Salam buat Alya dan bilangin dia juga untuk segera
mutusin pacarnya, karena aku pikir pacarnya itu nggak akan pernah bisa
nikahin dia!" Dani hanya tersenyum canggung. 

"Aku pergi dulu ya!" Dani mengecup kening Disa, lalu Disa mencium
tangan Dani. 

"Hati-hati!" 

Dia menjadi suami yang sempurna untukku, seperti aku yang juga berusaha
terlihat sempurna sebagai istrinya. Berdua, kami membuat sebuah keluarga
yang terlihat sempurna.
MPF 1. Tengelam.

"Air yang terlihat tenang, justru rawan untuk menenggelamkan."

……..

Seperti hari-hari yang dia lewati selama delapan tahun terakhir ini, setiap
pagi dia selalu bangun lebih awal. Menyiapkan sarapan dan semua
keperluan keluarga kecilnya.

Namanya Nadisa Syaharani dua puluh enam tahun, ibu dari seorang putri
yang dari tadi susah sekali untuk dibangunkan.

"Bentar ya Ma, lima menit aja!"

"Sharon, Papa bisa terlambat kalau kamu nggak bangun-bangun!"

"Aku kan bisa diantar Mama!"

"Sharon!"

"Dia nggak mau bangun?" tanya sosok laki-laki berpakaian rapi dari depan
pintu, dengan senyuman yang menghangatkan hati.

"Biasa!"

"Biar aku yang bangunin dia!"

Dia membisikkan sesuatu di telinga putrinya yang masih bergelut dengan


selimut unicorn kesayangannya, membuat putri kecilnya itu langsung
terjaga.

"Janji ya, Pa!"


"Iya janji!"

"Apaan sih?" tanya Disa penasaran.

"Rahasia!" ujar anak dan ayah itu bersamaan yang membuat Disa hanya
bisa memutar mata jengah yang membuat mereka tertawa.

Hari-hari seperti itulah yang dia lalui setiap hari. Penuh canda tawa, dia
bersyukur karena keluarga impiannya dapat terwujud dan dia sangat
bahagia sekarang.

"Aku berangkat ya!" pamit suaminya.

"Aku juga!" Anak perempuannya itu meraih tangan Disa dan menciumnya.

"Hati-hati di jalan! Sharon harus baik-baik di sekolah, oke!"

"Siap ibu negara!" ujar Sharon dengan hormat ala upacara bendera.

"Sa, kamu hari ini nggak ke mana-mana, kan?"

"Enggak kok, aku di rumah aja! Palingan ke pasar sama Bibi, belanja buat
makan malam.  Memangnya kenapa?"

"Nggak apa-apa kok. Ya udah aku berangkat!"

"Dah Mama!" ujar Sharon sambil melambaikan tangan.

Rumah yang semula ramai, dengan perdebatan kecil antara dia dan putrinya
berubah sepi sesaat setelah dia mengantar suami dan putrinya pergi. Di
rumah besar itu, tersisa dia dan seorang asisten rumah tangga. Awalnya dia
merasa sangat bosan, namun lambat-laun dia menjadi terbiasa. Dia
menyukai hari-harinya sebagai ibu rumah tangga, hal-hal kecil seperti
memikirkan menu makan malam, menjemput putrinya ke sekolah, hingga
menunggu suaminya pulang kerja membuat dia bahagia. Sangat bahagia.

***
Siang itu sepulang dari pasar, dengan telaten Disa menata sayur dan buah
yang baru dibelinya dari pasar ke dalam kulkas. Saat Disa baru akan
mengambil serbet untuk menyeka tangannya yang sedikit basah, dia
terhenti oleh suara keras dari arah pintu depan.

Ting tong! Ting tong!

"Bi, tolong bukain pintu bi! Ada yang datang!" teriaknya saat mendengar
bunyi bel rumahnya, "Bi!" panggilnya lagi tapi tidak ada sahutan, "Ah iya
tadi bibi bilang mau salat!" gumamnya lalu dia memutuskan membuka
pintunya sendiri.

"Siapa?"

"Selamat siang, bisa bertemu dengan ibu Nadisa Syaharani?" tanya laki-laki
berkemeja biru tua dengan celana kain hitam dan sepatu pantofel.

"Saya sendiri, ada apa ya?"

"Saya dari pengadilan agama Jakarta Selatan, ditugaskan untuk


mengantarkan surat panggilan sidang gugatan cerai untuk ibu."

Disa terlihat syok dan tidak percaya. "Kayaknya, Bapak salah orang deh,
saya dan suami saya baik-baik aja kok, Pak!" sangkal Disa.

"Dari alamatnya sesuai dengan yang ditulis di surat gugutan yang dibuat
oleh penggugat bapak Dani Alfandi."

Jantungnya berdetak kencang, tangannya gemetar menerima amplop


berwarna putih dengan stempel pengadilan agama. Dia berharap jika dia
sedang dikerjai oleh seseorang.

"Jika begitu saya pamit Bu, selamat siang!" ujar bapak itu lalu pergi
meninggalkan Disa yang masih mematung di depan pintu.

"Mbak Disa tadi ada apa ya panggil saya?" tanya asisten rumah tangganya
yang menariknya dari kubangan kebingungan dan rasa tak percaya.
"Oh itu salah alamat Bi!" dustanya, dia tak mungkin menceritakan apa yang
baru saja terjadi apalagi itu belum tentu benar, dia masih berharap jika ini
hanyalah keisengan teman-temannya saja.

"Oalah!"

"Oh ya Bi, besok kan libur, saya mau quality time sama Mas Dani, bibi bisa
tolong jemput Sharon dan ajak dia menginap di rumah Mama!"

Bi Mirah tersenyum penuh arti, memang entah satu atau dua bulan sekali,
Disa terkadang meminta hal seperti itu.

"Siap Mbak! Semoga kali ini, Sharon punya adik!" Disa hanya tersenyum,
menutupi luka yang ada dalam hatinya.

***

Seperti yang Disa inginkan, Bi Mirah membawa Sharon menginap di rumah


orang tuanya. Malam ini dia menyiapkan romantic dinner di rumahnya. Dia
juga merias dirinya menjadi terlihat begitu cantik terlebih dengan gaun
berwarna maroon one off shoulder.

Dia juga menciptakan suasana yang begitu romantis dengan lilin aroma
terapi dan bunga mawar. Katakan dia sudah kehilangan akal sehatnya
karena melakukan semua ini setelah mendapat surat panggilan untuk sidang
gugatan perceraian.

"Disa ... Sharon ... Bi Mirah!" panggil Dani karena begitu sampai rumah
mendapati rumahnya sepi dan lampunya padam.

"Disa ... Sharon ... apa pergi semuanya?" Dia bertanya pada dirinya sendiri.

Klik!

Tiba-tiba lampu menyala, bukan lampu terang melainkan lampu remang-


remang.

"Surprise!" ujar Disa yang tiba-tiba muncul di depan Dani.


"Loh Sa, kamu mau ke mana dan juga ini ada acara apa? Perasaan ulang
tahun aku masih lama, ulang tahun pernikahan kita juga udah lewat." Dani
terlihat bingung.

Disa tersenyum, lalu menggandeng Dani dan menuntunnya ke meja makan.


"Memang memberi kejutan pada pasangan harus menunggu momen spesial
gitu?"

"Ya ... enggak gitu!" Dani menggaruk tengkuknya, untuk menghilangkan


rasa canggung karena Disa tiba-tiba melakukan hal seperti itu.

"Duduk, aku udah bikin udang saus padang sama tumis kangkung, makanan
kesukaan kamu!"

"Makasih."

Kemudian mereka mulai menyantap hidangan makan malam mereka.


Semuanya terasa hening dan mencekam, hanya ada suara piring yang
beradu dengan sendok dan garpu. Sesekali Dani melirik Disa yang begitu
fokus dengan makanannya.

"Sa ...." panggil Dani.

"Hemm …" sahut Disa halus dan kemudian menghentikan aktivitas


makannya.

"Sebenarnya ada apa tiba-tiba kamu melakukan ini?" tanya Dani


memberanikan diri, karena dia tahu ini bukan Disa yang biasanya.

"Nggak ada, ingin aja." jawab Disa dengan senyuman manisnya.

"Sa, aku kenal kamu dan ini bukan kamu biasanya. Nggak mungkin 'kan,
nggak ada angin nggak ada hujan kamu ngelakuin kaya gini."

"Nggak ada yang nggak mungkin, sama seperti surat gugatan cerai yang
tiba-tiba datang padaku."

Seketika senyuman di wajah Disa memudar, dia menatap Dani yang hanya
bisa menunduk.
"Jadi surat itu datang hari ini?"

"Ya surat itu datang, aku coba nggak percaya, tapi setelah aku baca
berulang-ulang surat itu nggak ada kesalahan! Tapi aku mencoba
mempercayai satu hal, kamu sedang bercanda kan Dan?" Dani terdiam dia
tak menjawab pertanyaan Disa. "Dan katakan, kamu bercanda kan?" Dani
masih diam. "DANI! INI NGGAK SERIUS KAN?!" Disa meninggikan
suaranya sambil melempar amplop putih yang dia terima tadi siang.

Disa menarik napas dalam-dalam, mencoba menjadi lebih tenang. "Dan,


kamu cukup bilang ya aku cuma bercanda, aku janji nggak bakal marah,"
ujar Disa melunak.

"Maaf, Sa. Tapi itu benar. Aku ingin kita cerai!"

Air mata Disa jatuh, tapi segera dia menghapusnya. Dia mencoba untuk
bernapas dengan benar karena dadanya terasa sangat sesak. Mendengar
langsung dari Dani ternyata terasa lebih menyakitkan bagi Disa.

"Tapi kenapa? Salah aku apa?"

"Kamu nggak salah, aku yang salah karena perasaanku berubah. Aku jatuh
cinta sama orang lain!"

Rasa sesak di dadanya bertambah berkali lipat saat mendengar alasan dari
Dani. Dia tidak habis pikir, bagaimana perasaan seseorang begitu mudah
berubah. Rasanya baru kemarin Dani menyatakan perasaannya. Rasanya
baru kemarin, Dani mengatakan tidak bisa hidup bila tanpanya, tapi baru
saja dia mendengar jika Dani-nya jatuh cinta pada orang lain.

"Kamu jatuh cinta lagi? Dengan siapa? Apa kurangnya aku daripada dia?"

"Kamu nggak kurang, kamu sempurna aku hanya merasa tidak bahagia lagi
bersamamu." Dani menghela napas panjang, dia terlihat berat untuk
mengatakan itu pada Disa. "Aku jatuh cinta sama orang lain, aku ingin
selalu sama dia, tapi dia nggak mau jadi istri kedua, jadi aku harap kamu
mengerti dan kita akhiri semua ini dengan baik-baik," jelas Dani.
"Dan, apa kamu sama sekali nggak menghargai aku, seenggaknya kamu
menghargai kenangan kita. Perjuangan kita untuk sama-sama. Perjuangan
kita hingga sampai di titik ini?

"Maafin aku Sa, justru karena aku menghargai kamu dan semua yang kita
lalui aku tidak ingin menyakiti kamu lebih dengan mempertahankan
hubungan kita."

Rasa sakit dalam dada Disa sudah tak terbendung lagi. Mendengar Dani
mengatakan semua itu dengan mudahnya membuat dia merasa semakin
terluka. Dia menangis sekeras yang dia bisa, lagi tidak ada orang di rumah
itu dan rumah mereka cukup besar hingga tidak mungkin tetangga akan
mendengar suara tangisnya.

Dani yang melihat Disa menangis begitu keras, mencoba untuk


menenangkan Disa. Namun, tangan Dani langsung ditepis oleh Disa. Lalu
dia menatap Dani tajam, tatapan yang sudah lama tidak pernah Dani lihat.

"Kamu pikir semudah itu kamu ceraiin aku Dan?"  Dani tidak menjawab
karena bingung apa yang harus dia katakan. "Aku Nadisa jika kamu lupa!
Aku masih Nadisa yang sama dengan gadis SMA pembuat onar, tukang
tawuran dan hobi balap liar!" Disa menenggak jus jeruk yang ada di meja,
untuk mengasihi tenggorokannya yang kering. "Aku tidak mau bercerai!"

"Aku akan kabulkan semua permintaan kamu!"

"Permintaanku cuma satu, cabut gugatan cerai kamu!"

"Nggak bisa!"

"Ya sudah terserah, intinya sampai kapan pun aku tidak ingin bercerai!"

"Tapi kita harus, aku nggak ingin menyakiti kamu lebih lagi!"

"Terserah kamu, intinya aku nggak mau cerai."

"Sa ...."
"Sekali tidak. TIDAK. Kamu bisa menjalin hubungan dengan wanita
manapun aku tidak peduli selama aku melihatnya. Selama keluarga kita
nggak ada yang tahu. Selama kamu bisa bermain cantik, aku tidak peduli!"

"Sa, aku mohon jangan mempersulit keadaan kita!"

"Dan jangan bersikap seolah aku mempersulit kamu. Kamu yang


mempersulit diri kamu sendiri!"

"Sa ...."

Prankkk ....

Suara gelas yang beradu dengan kaki meja terdengar begitu keras. Disa
menggenggam pecahan gelas itu hingga darah segar mengalir deras.

"Nadisa kamu gila!" teriak Dani sambil berusaha membuat Disa melepas
beling dari tangannya.

"Ya, aku gila dari dulu aku juga gila!"

"Lepasin pecahan kacanya kamu luka!"

"Hatiku lebih dari ini!"

"Ok, aku tarik gugatan ceraiku, tapi pastikan kamu juga menepati
ucapanmu dan tidak menuntut lebih!"

Disa tersenyum miring, "Tentu saja! Kamu yang harus lebih hati-hati. Don't
be stupid when you fall in love! Pastikan kamu bersembunyi sebaik
mungkin. Karena jika hubunganmu dengan wanita itu terlihat oleh orang
sekitar kita hanya ada tiga kemungkinan, aku, kamu atau dia yang mati!"

Dan hari itu adalah semua kehidupan baru Nadisa di mulai. Hidup yang
penuh dengan kepalsuan dan juga luka yang berusaha untuk dia
sembunyikan.

****
MPF2 - Perfect but Crazy

Disa terbangun dari mimpi buruknya semalam, tapi saat menyadari Dani
tidak ada di sampingnya dia tahu yang terjadi semalam itu nyata.
Tangannya yang tertutup perban terasa begitu nyeri, seperti dadanya juga
yang terasa sesak.

Dia terlihat begitu kacau, matanya bengkak karena menangis semalam. Saat
dia melangkah keluar kekacauan yang dia buat semalam kini sudah tak
meninggalkan bekas. Semuanya tertata seperti biasanya dan dia melihat
Dani tertidur di sofa ruang tamu. Masih dengan baju yang sama seperti
semalam. Dia menatap Dani begitu lama. Tanpa bisa Disa tahan air matanya
menetes lagi, yang kembali dengan segera dihapusnya.

Kini matanya tertuju pada luka di tangan Dani yang masih dibiarkan
menganga dan darah yang mengalir begitu saja.

"Dasar bodoh!" gumamnya lalu pergi mengambil kotak obat yang semalam
Dani tinggalkan di meja dekat sofa setelah mengobati lukanya.

Perlahan dia mulai membersihkan luka itu agar tidak membuat Dani
terbangun.

"Kamu ngapain!" tanya Dani dengan suara paraunya.

"Sedang ingin memotong tanganmu!" jawab Disa ketus tanpa mengalihkan


pandangannya dari tangan Dani.

"Makasih," ucap Dani pelan yang bahkan nyaris tak terdengar.

"Mengurusmu dengan baik masih kewajibanku karena kamu masih


suamiku."
"Maafin aku Sa, maaf karena tidak menepati janjiku untuk tidak berubah!
Maaf karena jatuh cinta pada orang lain maaf ...."

"Cukup! Tidak usah meminta maaf, karena percuma aku tidak terima
permintaan maafmu. Aku harap kamu jangan terlalu percaya diri, aku tidak
ingin bercerai bukan berarti aku terima saja semua pengkhianatan dari
kamu, Dan. Aku hanya tidak ingin Sharon mengalami yang aku alami.
Cukup aku yang menderita karena perceraian orang tuaku, tidak untuk
Sharon!" Disa menahan sebanyak yang dia bisa agar tidak menangis, setiap
kali mengingat betapa mengerikan hidupnya setelah perceraian orang
tuanya dan membayangkan itu terjadi pada putrinya benar-benar
membuatnya sakit.

"Tapi meski kita bercerai tidak ada yang berubah, aku akan tetap menjadi
ayah terbaik untuk Sharon dan kamu tetap bisa menjadi ibu terbaik untuk
dia."

"Ayah dan ibuku juga bilang begitu, nyatanya mereka lupa setelah mereka
bahagia dengan keluarga barunya!"

"Sa ..., kamu bisa lebih sakit lagi jika kita tetap bersama!"

"Justru dengan mempertahankan kamu di sisiku adalah cara balas dendam


terbaik yang bisa aku lakukan. Selamanya kamu tidak akan bisa menikahi
wanita yang kamu cintai itu dan dia akan menjadi simpanan selamanya.
Dan aku akan pastikan kamu akan sangat menderita berada di sisiku!"

Disa kemudian pergi meninggalkan Dani. Dia tidak tahan jika harus berada
di dekat Dani lebih lama lagi. Luka di hatinya masih basah sedangkan Dani
adalah garam yang menambah luka itu semakin terasa perih.

Dani menatap punggung wanita yang masih sah menjadi istrinya itu, terlihat
begitu kacau. Ada rasa bersalah tentu saja, tapi dia tidak bisa berbuat apa
pun, hati seseorang adalah sesuatu yang sulit untuk dikendalikan.

***

Satu tahun kemudian ....


"Sa ... Disa ... dasiku yang warna biru mana ya?" Dani berseru cukup
kencang hingga terdengar ke tempat Disa yang tengah berada di meja
makan.

"Papa kenapa sih pagi-pagi udah berisik!" ujar Sharon yang sedang
menikmati sarapannya.

Disa tak terpengaruh oleh teriakan-teriakan itu, dia tetap fokus menata
makanan di meja makan. Setahun belakangan ini, hubungan Dani dan Disa
benar-benar buruk.

"Disa!"

Dia menghela napas kesal, meletakan piring terakhirnya lalu bergegas


menuju sumber suara.

"Dan kamu tuh nggak miskin, dasi kamu nggak cuma satu pakai yang lain
juga bisa."

"Nggak bisa, Alya bisa marah kalau nggak pakai dasi itu!"

Disa tersenyum miring, menarik napas dalam-dalam. Berusaha tidak marah


karena ini masih pagi dan lagi pula tidak baik jika terdengar oleh Sharon-
putri mereka.

"Terus aku peduli gitu kalau pacar kamu itu marah? Itu sih derita kamu!"

"Disa udah deh kamu pasti umpetin itu dasi, sini balikin!"

"Dani, suamiku tersayang eh tapi enggak sih. Gini ya aku tuh nggak
segabut itu buat ngumpetin barang kamu. Tapi meski aku tahu di mana, aku
nggak akan kasih tahu kamu!"

"Dis ayolah!" rengek Dani.

"Bodo! Selamat bertengkar dengan pacar kamu. Ah iya lupa meski kamu
bertengkar, nanti sore tetap harus pulang tepat waktu ibu kamu datang
soalnya. Jangan lupa belikan aku bunga, jika perlu kado juga boleh. Sama
satu lagi nanti siang aku nggak nganterin makan siang, so take your time
with your angry girlfriends!"

"Emang mau ke mana?"

"Not your business!"

Disa melenggang pergi meninggalkan Dani yang masih kebingungan


mencari dasinya. Beginilah hubungan mereka saat ini, awalnya Disa
menjadi seseorang yang sangat pendiam hingga beberapa bulan setelah
kejadian itu. Perlahan dia mulai bicara dan mengajak Dani adu mulut.
Meski Dani tidak membalas awalnya, tapi belakangan dia bersikap sama
seperti Disa.

Terkadang mereka bertengkar untuk hal-hal sepele, layaknya anak kecil saat
hanya berdua, kemudian berubah menjadi sangat harmonis dan romantis
saat di depan orang-orang.

****

Suara samsak yang beradu dengan tinju wanita berambut biru pendek
terikat. Pukulan terlihat stabil dan tidak pernah melesat meski kedua
matanya tertutup dengan kain hitam. Keringat mengalir di pelipisnya,
hingga kemudian dia terkapar di lantai.

"Wah kalau gini terus bisa jadi juara dunia lu, Sa!" ujar laki-laki yang dari
tadi sudah mengamatinya.

"Bisa aja lu Vi! Tapi sayangnya gue nggak tertarik jadi juara dunia!"

"Terus ngapain lu latihan tiap hari?"

"Ngeluapin emosi, dari pada gue bunuh orang!"

Kemudian mereka berdua tertawa. Ravi tertawa karena menurutnya alasan


Disa sangat lucu dan konyol, sedangkan Disa menertawakan hidupnya.
Alasan dia kembali berlatih boxing memang untuk meluapkan emosinya.
Saat tawa mereka terhenti, Ravi bisa melihat tatapan kosong dari sahabat
itu. Sebenarnya dia sadar sejak Disa mendatanginya lima bulan yang lalu,
sesuatu yang tidak baik sedang terjadi. Namun, dia memutuskan untuk tidak
bertanya, sama halnya sepuluh tahun lalu saat Disa memutuskan berhenti
padahal turnamen sudah di depan mata untuk menikah dengan Dani.

Sebagai sahabat dia ingin membuat Disa merasa nyaman, tanpa pertanyaan
yang memberatkannya. Ravi tahu Disa bukan wanita yang berpikiran
pendek yang melakukan sesuatu berdasarkan emosi sesaat jadi yang bisa
dia lakukan adalah mendukung apa pun yang Disa putuskan selama itu
bukan hal buruk.

TBC

MPF3 - Mother in Law

Hampir saja dia melupakan tentang kedatangan ibu mertua ke rumahnya


sore ini. Itu juga menjadi alasan Disa berlatih boxing lebih awal, agar dia
bisa menyambut sang ibu mertua tercinta. 

"Bik, Mama belum datang kan?" tanya Disa begitu sampai di rumahnya. 

"Belum Mbak." 

"Kalau Sharon udah pulang?" 

"Udah, baru aja masuk kamar!" 

"Oke makasih Bik, aku bersih-bersih dulu ya. Setelah itu aku mau masak
tolong bibi siapin bahan-bahannya yang tadi pagi aku minta Bibi beli."

"Baik Mbak!" 

Disa langsung pergi untuk membersihkan diri. Mertuanya akan menjadi


berkali lipat lebih cerewet jika melihat penampilannya sekarang. Dia juga
mempersiapkan diri karena hari ini akan terasa panjang karena kehadiran
mertuanya. 

Selesai mandi, Disa memakai beberapa perawatan wajah dan dia dikejutkan
dengan memar di pelipis kirinya. Sebenarnya tidaklah menyakitkan, tapi
akan jadi masalah besar jika dilihat oleh ibu mertuanya. 

"Tumben mama make up?" tanya Sharon yang membuat Disa sedikit
terkejut. Anak perempuannya itu sekarang sudah berdiri di depan pintu,
perlahan masuk dan menutup pintu. 
"Ah enggak kok, ini cuma mau nutupin lebam. Oma kan nanti datang, takut
bikin khawatir!" 

"Oh, pantesan Bibi heboh masak banyak!" 

"Ya udah, kamu mandi gih! Nanti Oma ngomel lihat kamu masih bau.
Mama mau bantuin Bibi masak!" 

Sore yang panjang dimulai. Disa sibuk dengan segala urusannya di dapur,
memasak makanan kesukaan ibu mertuanya. Masakan kesukaan suaminya
juga, baginya melakukan semua ini adalah bagian dari perannya sebagai
istri yang sempurna. 

"Ma! Oma datang!" teriak Sharon dari ruang depan. 

Dengan cepat dia mencuci tangan dan segera menyambut ibu mertuanya,
menyerahkan segala urusan dapur yang belum selesai pada asisten rumah
tangganya. Kebetulan semuanya hampir selesai dan tinggal merapikan
bekas memasak tadi. 

"Ibu diantar siapa?" tanyanya begitu bertemu ibu mertuanya lalu dia
mencium tangan sang ibu. 

"Tadi diantar supir! Kamu pasti habis masak bau bawangnya kecium
banget!" 

Disa tersenyum polos, "Iya tadi denger ibu datang langsung lari ke sini." 

"Kamu tuh ya kebiasaan, untung aja ibu yang datang bukan suami kamu.
Kalau dia lihat kamu begini, bisa-bisa dia cari cewek lain!" omel sang ibu
yang hanya di tanggapi dengan senyuman, dia tahu ibu mertuanya terlalu
menyayanginya hingga  tidak ingin dia terluka. 

"Andai saja ibu tahu kalau dia sudah bersama wanita lain."

"Ya udah mandi saja! Keburu Dani pulang!" 

"Oke, Disa mandi dulu Ibu istirahat dulu, nanti aku minta Bibi siapin teh
hangat kesukaan Ibu." 
*** 

Sore berganti malam, mereka sedang menantikan makan malam sekaligus


menunggu Dani yang belum kunjung datang. Disa berharap Dani tidak lupa
apa yang dia katakan tadi pagi dan justru pergi dengan selingkuhannya
bukan pulang ke rumah. Jika dia melakukan semua itu, sudah dipastikan dia
tidak akan selamat dari omelan ibunya. 

"Udah setengah delapan kok Dani belum pulang?" tanya ibu. 

"Papa mah selalu gini Oma, kadang malah nggak pulang!" ujar Sharon yang
langsung mendapat tatapan tajam dari Disa. 

"Nggak pulang?" Sharon mengangguk cepat. "Dis kok kamu nggak cerita
ke Ibu sih?" 

"Ah gini Bu, sebenarnya Mas Dani pulang cuma kemalaman dan paginya
berangkat subuh jadi Sharon mikirnya Papanya enggak pulang!" 

"Tapi waktu itu ...." Sharon menghentikan katanya karena ibunya terlihat
siap memakannya hidup-hidup jika dia melanjutkan kata-katanya. 

"Waktu itu kenapa?" tanya ibu penasaran. 

"Ehmmm waktu itu ...." Disa memikirkan bingung harus mengatakan apa. 

"Assalamualaikum!" suara Dani yang datang menjadi kesempatan Disa


untuk menghindari pertanyaan mertuanya. Dia segera menyambut Dani. 

"Waalaikumsalam!" Disa memasang senyuman semanis yang dia bisa. 

"Sayang bunga kesukaan kamu!" ujar Dani sambil menyerahkan sebuket


bunga lily putih. Disa menatap datar bunga itu, lalu dia tersenyum kembali.
Dia menerima bunga itu lalu segera memeluk Dani. 

"Bunga kesukaan aku tuh mawar putih, mungkin ini kesukaan selingkuhan
kamu!" bisik Disa. 

"Makasih ya bunganya!" Senyumnya begitu manis.


"Ini nih, si biang kerok dah pulang. Seneng gitu bikin Ibunya kelaparan
nunggu kamu nggak pulang-pulang udah gitu kata Sharon kamu sering
pulang malam bahkan nggak pulang!" omel ibunya. 

"Bu, tadi kerjaan Dani banyak!" 

"Hilih alasan bilang aja mau menghindari ibu!"

"Bu, jangan marah ya, nanti darah tinggi Ibu kumat," ujar Disa berusaha
menenangkan mertuanya, padahal dalam hatinya dia bersorak bahagia
melihat Dani tidak berkutik di depan ibunya. "Biar Dani mandi dulu, habis
itu baru diomelin lagi!" ujarnya sambil tertawa. 

"Ya udah gih mandi!" 

"Mandi dulu ya Bu!" 

"Aku siapin keperluan Mas Dani dulu," ujar Disa lalu mengikuti Dani. 

Sebenarnya Disa tidak benar-benar menyiapkan keperluan Dani. Disa hanya


mencari alasan untuk menghindari mertuanya dan juga pertanyaan yang
sempat tak terjawab. 

"Kamu ngadu apa ke ibu? Katanya kamu ingin semua yang terjadi antara
kita hanya menjadi rahasia kita!" 

"Kamu pikir aku tukang ngadu gitu? Anak kamu yang bilang. Tahu sendiri
Sharon gimana! Mungkin nanti anak kamu yang bakal ceritain semuanya,"
ujar Disa sambil asyik dengan ponselnya dan melihat ke arah Dani yang
sedang berbicara. Raut wajahnya juga terlihat begitu sumringah. 

"Sa ...." 

"Hmm!" 

"Nadisa!" Dani merebut ponsel Disa, penasaran karena Disa yang terlihat
begitu asyik dengan dunianya sendiri. Dani merasa penasaran dengan apa
yang sedang Disa lakukan hingga membuat Disa terlihat begitu bahagia,
raut wajah yang sudah lama tidak dia lihat. 
"Apaan sih Dan?" tanya Disa dengan nada yang meninggi. 

"Kamu yang kenapa senyum-senyum nggak jelas!" 

"Kamu kok kepo sih!" Disa berusaha merebut ponselnya kembali, tapi Dani
lebih dulu mengangkat tangannya. "Dani balikin!" Disa masih berusaha
mengambil ponselnya dengan sedikit melompat hingga dia sedikit
kelelahan membuat Disa terpaksa mengeluarkan jurus andalannya. Dia
menendang tulang kering Dani. 

"Aww!" pekik Dani yang refleks menurunkan tangannya membuat Disa


akhirnya bisa lebih mudah merebut ponselnya kembali. Sekilas Dani bisa
melihat nama kontak yang sedang berkirim pesan dengan Disa yang
kemungkinan menjadi alasan Disa tersenyum lebar. 

"Ravi? Kamu masih berhubungan dengan Ravi?" tanya Dani. 

"Ya memang kenapa?" 

"Kamu dulu janji nggak akan berhubungan dengan dia lagi, kamu nggak
ingat apa yang dia lakukan saat kamu hamil Sharon?" 

"Berapa kali aku harus bilang, Ravi nggak salah aku yang salah. Aku terlalu
malu untuk bilang kalau aku hamil hingga Ravi memaksa aku untuk tetap
ikut turnamen!" 

"Tetap saja kamu ingkar janji! Jangan bilang motor di garasi dan luka ini
...." 

"Ya aku naik motor lagi dan main boxing lagi memangnya kenapa?" potong
Disa cepat.

"Terserah kamu, lagi pula aku juga tidak punya hak untuk melarang kamu
lagi. Aku harap kamu lebih hati-hati dan nggak terluka." Dani mengusap
rambut Disa lalu pergi meninggalkan Disa dan masuk ke dalam kamar
mandi. 

Satu bulir air mata menetes di pipi Disa saat Dani menghilang di balik
kamar mandi. Perlakuan manis  Dani yang tiba-tiba selalu berhasil
meluluhkan hatinya dan semuanya terasa menyakitkan untuknya. Terlebih
mengingat bagaimana hubungan mereka di mulai.  

TBC
MPF4 - Saat Cerita Ini di Mulai.

Kamis, 21 Juli 2011

Untuk keempat kalinya, di minggu ini gadis berambut panjang yang diikat
asal itu terlambat datang sekolah. Saat ini dia sedang menjalani
hukumannya membersihkan seluruh kaca yang di kantor guru. Wajahnya
terlihat masam, tentu saja siapa yang akan bahagia saat sedang menjalani
hukuman. Terlebih hampir setiap hari dia menjalani hukuman. Bahkan
sudah semua jenis hukuman pernah dia lakukan, dari hormat pada bendera
di tengah lapangan, berdiri dengan satu kaki diangkat seperti anak SD,
membersihkan kamar mandi dan berbagai hukuman lainnya.

"Ini kalau kamu terlambat terus, kayanya sekolah kita nggak perlu lagi deh
petugas kebersihan!" sindir guru olah raga yang merangkap sebagai
kesiswaan.

Seperti tak terpengaruh dia tetap membersihkan kaca-kaca itu. Menurutnya


tidak ada gunanya menanggapi omongan gurunya itu.

"Nadisa, kamu tuh perempuan coba deh berlaku sedikit, sedikit saja
bersikap layaknya anak perempuan yang lain!" ujar guru itu lagi, tapi masih
tak diindahkan oleh Nadisa-begitu gadis itu di panggil.

Tanpa menghiraukan gurunya yang masih terus mengomel, dia mengangkat


ember berisi air sabun yang dia gunakan untuk membersihkan kaca dan
pergi meninggalkan kantor guru karena pekerjaannya telah selesai. Namun,
dia tidak melihat sebuah bola basket yang terpental dari lapangan basket
melambung ke arah dan ....

Byurr! Bola itu mengenai ember yang dia bawa hingga membuat sebagian
air dari ember itu tumpah mengenai sepatu dan sebagian roknya.
"Sorry nggak sengaja!" ujar seseorang cowok tampan yang
menghampirinya untuk mengambil bola yang saat ini sedang dipegang
olehnya.

Nadisa berjalan mendekati pemuda itu, menyerahkan bola itu. Tapi saat
pemuda itu hendak menerima bola, Nadisa dengan sengaja menjatuhkan
bolanya. Lalu dengan sisa air yang ada di embernya dia mengguyur
pemuda.

"Sorry, nggak sengaja!" ucapnya lalu pergi tanpa rasa bersalah


meninggalkan pemuda itu masih mematung tak percaya dengan apa yang
baru saja terjadi.

Kejadian itu menjadi tontonan siswa-siswi yang sedang menikmati waktu


istirahat di sekitar lapangan basket. Ada yang tertawa, ada juga yang merasa
geram dengan apa yang Nadisa lakukan. Karena pemuda yang baru saja dia
siram air bekas untuk membersihkan kaca adalah cowok terpopuler idaman
hampir seluruh siswa di SMA 127. Dani Alfandi, ketua OSIS, kapten basket
sekaligus siswa jenius yang selalu mendapat peringkat satu.

Namun, Nadisa tidak peduli, lagi pula menurut dia semuanya impas. Nadisa
basah dan dia juga basah. Jadi adil dan harusnya tidak ada lagi dendam
antara mereka.

"Dan, lo sih belum mandi jadinya dimandiin sama si preman cantik!" ujar
Ren meledek Dani.

"Sumpah ya, harusnya tadi gue abadiin terus upload di Facebook atau
Twitter!" timpal Jun yang membuat wajah Dani semakin merah padam.

"Puas kalian ngetawain gue?"

"Banget!" sahut Jun dan Ren bersamaan yang membuat Dani semakin
jengkel.

Dani menatap punggung gadis yang telah mempermalukannya itu, gadis itu
terlihat tanpa beban seperti tidak ada yang terjadi. Membuat Dani semakin
marah dan berjanji akan membuat gadis itu menerima balasannya.
***

Rasa marah Dani, menuntun dia untuk mencari tahu lebih banyak tentang
Nadisa. Dia hanya tahu Nadisa adalah siswi pembuat masalah, tapi juga
atlet taekwondo yang pernah mendapat juara nasional. Teman-temannya
sering menjuluki gadis itu, preman cantik. Meski berkelakuan layaknya
preman, gadis itu memiliki paras cantik. Satu fakta yang dia ketahui, jika
gadis itu hampir setiap hari terlambat. Dan hal itu membuat dia menemukan
ide untuk membalas apa yang gadis itu lakukan padanya.

Dengan segala daya dan upaya akhirnya Dani berhasil membujuk guru
kesiswaan untuk menyerahkan pendisiplinan siswa yang terlambat pada
anggota OSIS, dengan dalih agar OSIS lebih aktif dalam mewujudkan
lingkungan sekolah yang lebih disiplin.

Seperti biasanya di antara siswa-siswi yang terlambat, ada Nadisa di sana.


Sejauh ini rencana berjalan sesuai yang telah Dani susun. Dani
membacakan hukuman untuk siswa-siswi yang terlambat di tengah
lapangan. Semuanya mendapatkan hukuman yang berbeda-beda, termasuk
Nadisa.

"Nadisa Syaharani, ini kali ketiga kamu terlambat bulan ini. Padahal
sekarang baru tanggal lima, sebenarnya kamu niat sekolah nggak sih?
Karena kamu sudah cukup keterlaluan hukuman untuk kamu adalah, berdiri
di tengah lapangan sambil mengatakan 'saya berjanji tidak akan terlambat
lagi' sampai bel masuk!"

Nadisa menatap Dani jengah, tapi karena dia sadar telah melakukan
kesalahan dia tidak membantah.

"Saya berjanji tidak akan terlambat lagi." ucap Nadisa malas

"Kurang keras!" ujar Dani.

"Saya berjanji tidak akan terlambat lagi!" Kali ini dengan suara yang lebih
keras.

"Lebih keras!"
"Saya berjanji tidak akan terlambat lagi!"

Nadisa terus mengulangi kata-kata itu dan membuat dia menjadi pusat
perhatian. Orang-orang mulai menertawakannya. Wajahnya mulai terlihat
merah padam menahan amarah. Sementara Dani terlihat puas dendamnya
terbalaskan. Namun, itu tidak berlangsung lama, fokusnya teralihkan oleh
luka lebam di pipi kiri, di sudut bibir dan luka yang ditutup plester di dahi
kanan. Suara yang lantang perlahan mulai tak terdengar lagi.

Brukkkk!

"Nadisa!" Orang-orang di lapangan itu langsung berlari mengerubuti Nadisa


yang tergolek tak berdaya. Dia hilang kesadaran.

Dani yang melihat dia juga langsung berlari untuk memastikan keadaan
gadis itu.

"Nadisa ... Nadisa ... Nadisa!" Dani menepuk-nepuk pipi Nadisa.

Nadisa tak merespon, sementara anak-anak lain hanya mengerubuti tanpa


melakukan apa pun. Dani menggendong Nadisa.

"Kalian minggir!" ujar Dani yang membuat semua anak-anak itu langsung
memberi jalan untuk Dani.

Dani berlari menuju UKS. Dia terlihat begitu khawatir, terlebih melihat
luka-luka yang ada di wajah Nadisa membuat dia merasa bersalah, karena
apa yang dia lakukan sudah sedikit keterlaluan.

"Dok, tolong!" ujar Dani pada dokter sekolah. Dia lalu membaringkan
Nadisa di ranjang UKS.

"Dia kenapa Dan?" tanya dokter itu pada Dani.

"Pingsan pas lagi dihukum!"

Dokter itu mulai memeriksa Nadisa. Dani menanti dengan cemas terlebih
tak ada tanda-tanda jika gadis itu mendapatkan kembali kesadarannya.
"Gimana dok?"

"Dia cuma kelelahan dan sedikit demam karena luka-luka yang infeksi.
Setelah dia sadar nanti tolong kasih dia minum ini. Paracetamol dan
antibiotik."

"Terima kasih, Dok!"

"Saya tinggal dulu ya."

Kini tinggal Dani dan Nadisa di ruangan itu. Dani mengamati wajah Nadisa
yang terlihat begitu lelah. Dia mulai bertanya, bagaimana gadis ini
mendapatkan luka-luka itu. Ternyata bukan hanya di wajah, ada beberapa di
lengannya juga.

"Gue di mana?" tanya Nadisa begitu tersadar.

"UKS, tadi lo pingsan pas dihukum!"

Nadisa mencoba bangkit, tapi kepalanya terasa sakit hingga dia terjatuh
kembali.

"Jangan dipaksain, tadi dokter bilang lo kelelahan jadi harus istirahat dulu.
Oh iya lo udah sarapan belum?"

"Apa urusan lo?" tanya Nadisa ketus.

"Dokter tadi nyuruh lo minum obat ini, lebih baik kalau lo udah makan!"

"Minum obat mah minum obat aja!"

"Berarti lo belum sarapan," tebak Dani yang tidak ditanggapi oleh Nadisa,
"oke lo tunggu sini, gue beli makanan buat lo!"

"Nggak perlu!" tolaknya, tapi Dani tak menghiraukannya dan tetap pergi.

Tak lama kemudian Dani kembali, dengan bungkusan di tangannya.


"Adanya bubur nggak apa-apa, kan?" Nadisa mengangguk, lalu berusaha
bangun lagi, tapi masih kesulitan akhirnya Dani membantunya untuk
duduk.

"Aaa!" ujar Dani sambil menyodorkan sesendok bubur.

"Gue bisa sendiri!"

"Nurut aja ngapa!" ujar Dani dengan tatapan tajam yang berhasil
menghipnotis Nadisa.

Dani menyuapi Nadisa hingga bubur itu habis, dia juga memberi Nadisa
obat yang tadi di berikan oleh dokter.

"Lo istirahat, kalau udah mendingan kata guru lo boleh pulang!" ujar Dani
yang tidak ditanggapi oleh Nadisa. Nadisa terlihat sibuk dengan dunianya
sendiri. "Gue balik kelas ya, soalnya gue udah bolos dua mata pelajaran!"
pamitnya lalu pergi meninggalkan Nadisa.

"Dani ...." Dani menghentikan langkahnya, "terima kasih, gue pasti balas
kebaikan lo hari ini!" ujar Nadisa dengan senyuman yang belum pernah
Dani lihat sebelumnya.. Dani hanya mengangguk lalu benar-benar
menghilangkan dibalik pintu.

Saat berada di balik pintu UKS Dani menghela napas dalam. Dia
memegangi dadanya, karena jantungnya berdegup kencang.

"Gila, cantik banget senyumnya!" gumam Dani.

***

TBC
MPF5 : Saat Cerita Berlanjut

Sejak hari itu Dani menghabiskan hari untuk memperhatikan Nadisa secara
diam-diam. Rasa tertariknya pada gadis itu, membuat dia ingin tahu lebih
banyak dan rasa ingin tahunya berubah menjadi perasaan ingin selalu
melihat gadis itu dan yang lebih kacau lagi, kini dia ingin selalu dekat
dengan gadis itu, apa pun caranya. Termasuk sengaja datang terlambat agar
bisa menghabiskan sedikit waktu lebih banyak dengan gadis itu saat mereka
dihukum bersama.

"Wow ketua OSIS kita yang terhormat ternyata bisa telat juga!" ledek
Nadisa, entah mengapa dia yang sebenarnya tidak peduli dengan apa yang
orang lain, tiba-tiba merasa tertarik untuk ikut campur saat melihat seorang
Dani yang terkenal sebagai SD siswa teladan bisa datang terlambat seperti
dirinya.

"Namanya juga manusia, terlambat itu manusiawi!" sahut Dani yang


berhasil Nadisa tertawa mendengar penuturannya."Please, jangan ketawa
gue nggak kuat lihatnya!" batin  Dani.

"Iya sih, cuma aneh aja. Mungkin sama anehnya jika gue datang ke sekolah
tepat waktu!"

"Bisa aja lo!"

"Udah ah, selesain nanti kita  kena omel Pak Ridho eh, bukan kita, gue
lebih tepatnya. Lo kan murid kesayangan dan ini pelanggaran pertama pasti
dimaafin!"

Nadisa kembali fokus dengan hukumannya mencabuti rumput di taman


belakang. Sementara Dani sibuk mengamati indahnya ciptaan Tuhan yang
ada di depannya. Saat Nadisa mengelap keringat, dia benar-benar terlihat
cantik di mata Dani. Jika dipikirkan lagi ini adalah hal paling gila yang
pernah Dani lakukan seumur dia hidup. Namun, mau bagaimana lagi, jatuh
cinta memang membuat orang-orang bertindak gila.

***

Mereka sudah kelas dua belas, jika diibaratkan kehidupan manusia, mereka
sedang berada dalam kondisi antara hidup dan mati. Kelas dua belas
menentukan hidup mereka ke depannya. Tak hanya siswa, para guru juga
mengusahakan yang terbaik agar semua anak didiknya bisa lulus dengan
nilai yang memuaskan, karena kelulusan seratus persen juga akan
menjadikan tingkat kredibilitas sekolah meningkat.

Hari ini wali kelas memanggil siswa-siswinya yang nilainya di bawah rata-
rata untuk mendapatkan pembinaan dan jika membicarakan siswa dengan
nilai di bawah standar nama Nadisa ada di urutan paling atas. Tentu saja
bukan karena dia bodoh, tapi dia hanya tidak punya waktu untuk
mengerjakan tugas apalagi belajar. Nadisa terlalu sibuk dengan dunianya
sendiri.

"Nadisa, kamu itu anak perempuan bagaimana bisa kamu begini!" ujar Bu
Nanda wali kelasnya.

"Bu, kenapa kalau saya perempuan nggak boleh begini. Apa jika saya laki-
laki saya boleh melakukan apa pun?" tanya Nadisa sarkas.

Bu Nanda memijat keningnya, berhadapan dengan Nadisa sama pusingnya


dengan berhadapan dengan siswa satu kelas. "Oke, Ibu nggak bermaksud
melakukan diskriminasi perempuan dan laki-laki. Gini ya Disa, nilai kamu
tuh benar-benar nggak bisa diselamatkan jika begini terus. Kalau kamu
nggak lulus gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana, tinggal ikut ujian ulang atau ngulang satu tahun
lagi, beres kan?"

Gurunya menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan segala


kesabaran agar tidak meledak di depan murid yang luar biasa seperti
Nadisa. "Oke, jika itu mau kamu. Kamu boleh kembali ke kelas."
"Oke, terima kasih." ucap Nadisa lalu meninggalkan gurunya yang sedang
berusaha keras menahan diri.

Namun, kekesalan guru itu menjadi hiburan tersendiri untuk Dani yang
kebetulan sedang berada di ruangan yang sama bersama dua temannya
untuk mengantarkan tugas anak-anak kelasnya. Sebenarnya yang lebih
menghibur adalah tanggapan Nadisa yang terlalu santai, gadis itu sungguh
luar biasa. Dani tersenyum melihat Nadisa hingga gadis itu hilang di
belakang pintu.

"Biasa aja kali lihatnya!" sindir Ren.

"Kalau suka tuh samperin, terus bilang!" timpal Jun.

"Bacot lo pada!" ujar Dani lalu meninggalkan kedua temannya yang terlihat
senang karena berhasil menggoda Dani.

Sementara itu Dani diam-diam mengikuti Nadisa, karena gadis itu tidak
kembali ke kelasnya padahal ini masih jam pelajaran. Dia penasaran ke
mana gadis itu akan pergi dan apa yang dia lakukan. Nadisa yang merasa
diikuti memutuskan berhenti dan menoleh kebelakang, beruntung Dani
berhasil menyembunyikan diri. Namun, insting seorang Nadisa tidak bisa
dibohongi dan benar, dia menemukan seseorang bersembunyi di belakang
tembok.

"Ngapain lo ngikutin gue?" tanya Nadisa dengan nada tinggi.

"Gue, gue, gue …" Dani kehilangan kata-kata jika di depan Nadisa, terlebih
jika posisinya seperti ini. Nadisa memojokkannya di tembok dan
menguncinya dengan kedua tangannya. Posisi mereka sangat dekat, saking
dekatnya dia bisa mendengar hembusan napas Nadisa.

"Lo mau nangkep gue, terus laporin ke BK?"

"Enggak kok!" sangkal Dani.

Nadisa tersenyum miring. "Lo pikir gue percaya?" Nadisa semakin


mendekat, membuat jarak antara mereka benar-benar dekat.
Dani menelan ludahnya kasar, matanya tidak bisa berpaling dari bibir
Nadisa yang seolah sedang mengundangnya. Dia berusaha sekuat tenaga
menahan ledakan hormon dalam tubuhnya. Dani terus menyakinkan dirinya
jika dia adalah orang rasional yang selalu menggunakan otak dan akal
sehatnya sebelum melakukan sesuatu. Namun, seorang Nadisa seperti
mampu membuat Dani kehilangan semua itu dan hilang kendali.

Cup! Dani mendaratkan bibirnya di bibir Nadisa. Hanya sebuah kecupan


tidak lebih dari itu, tapi itu mampu membungkam Nadisa yang hendak
mengomelinya lagi. Dani membeku, dia masih tak percaya dengan apa yang
dia lakukan.

Plakkk! Tangan Nadisa mendarat dengan selamat di pipi Dani. "Kurang ajar
lo!" Nadisa langsung pergi menjauh. Tidak baik untuknya jika bertahan
lebih lama di dekat laki-laki itu. Sedangkan Dani hanya melihat Nadisa
yang pergi, dan tersenyum sambil memegangi bibirnya.

***

Untuk pertama kali dalam sejarah, Nadisa datang tepat waktu pagi itu.
Namun kemudian dia menyesali apa yang dia lakukan, dia berpikir akan
lebih baik jika dia datang terlambat atau jika perlu tidak masuk sekalian,
setelah melihat foto dirinya dan Dani terpasang di majalah dinding sekolah.
Sialnya itu bukan foto biasa, tapi foto saat mereka sedang berciuman, atau
lebih tepatnya jika dikatakan saat Dani menciumnya.

"Nggak tau diri banget ya, dia godain Dani!"

"Dari posisinya pasti dia yang nyosor duluan!"

Nadisa memilih meninggalkan kerumunan itu, seseorang pernah bilang


padanya, tangannya hanya dua tidak mungkin bisa menutup semua mulut
orang-orang yang mengatakan hal buruk tentangnya. Jadi lebih baik
menggunakan tangan itu untuk menutup telinganya.

Dani juga terkejut dengan foto itu, dia tidak menyangka apa yang dia
lakukan akan berakibat sebesar ini. Namun dibandingkan reputasinya dia
lebih mengkhawatirkan Nadisa. Dia yakin gadis itu pasti sedang menyendiri
di suatu tempat, karena Dani tahu Nadisa tidak mempunyai teman untuk
berbagi perasaannya. Karena sudah lebih dari sebulan Dani sering
mengikuti Nadisa diam-diam, sedikit banyak dia tahu kebiasaan Nadisa dan
tempat persembunyian.

"Jangan tidur di bawah pohon, nanti diganggu penghuninya baru tahu rasa!"
ujar Dani sambil menyingkap jaket yang menutupi wajah Nadisa.

"Ngapain lo di sini? Yang ada lo yang gangguin gue, bukan penghuni


pohon."

"Gue khawatir sama lo, gue takut lo kenapa-kenapa!"

Nadisa tersenyum sinis. "Gue jadi begini juga gara-gara lo coba nggak
nyium gue semua ini nggak akan terjadi. Hidup gue itu selama ini damai-
damai aja, tapi gara-gara lo …

Cup! Lagi-lagi Dani berhasil membungkam Nadisa dengan bibirnya. Entah


mengapa, Dani juga tak mengerti kenapa sulit mengendalikan diri saat
bersama Nadisa.

"Lo gila!" ujar Nadisa.

"Mau tahu yang lebih gila lagi nggak?" Dani memangkas jarak antara dia
dan Nadisa. Kali ini bukan sekedar kecupan seperti kemarin dan yang baru
saja dia lakukan. Dia menambahkan sedikit lumatan lembut, yang membuat
Nadisa benar-benar terdiam. Posisinya yang bersandar pada pohon besar
itu, membuat dia tidak bisa berbuat banyak. Terlebih usap lembut tangan
Dani dan punggung membuat Nadisa terbuai. Ini memang gila, tapi Nadisa
harus mengakui dia menikmati apa yang Dani lakukan padanya.

***
MPF6 - Saat Cerita Punya Rasa

Setelah berciuman cukup lama Nadisa langsung pergi meninggalkan Dani


karena terlalu malu. Dia terus memarahi dirinya sendiri karena sudah
bertindak bodoh. Mungkin lebih tepatnya jika disebut gila, dia merasa
benar-benar hilang kewarasan saat Dani menyentuhnya. Terlebih getaran
asing dalam dirinya saat mengingat kejadian yang terjadi beberapa menit
yang lalu.

"Gila, Dani gila!" rancau Nadisa sambil mempercepat langkahnya, karena


tahu Dani mengikutinya.

Sementara Dani hanya melenggang santai mengikuti Nadisa. Dia tak


berhenti tersenyum melihat Nadisa yang terlihat tak nyaman, baginya itu
adalah hiburan yang menarik. Seorang Nadisa yang biasanya terlihat galak,
dingin dan tenang, kini terlihat begitu gelisah. Membuat Dani semakin
ingin menggodanya.

Dani mempercepat langkahnya hingga sejajar dengan Nadisa, dia


merangkul Nadisa. "Santai aja jalannya, gue nggak akan nerkam lo!" bisik
Dani.

Anak-anak yang sejak pagi sudah membicarakan mereka, melihat yang


Dani lakukan pada Nadisa menjadi heboh.

"Dan, lepasin!" ujar Nadisa yang merasa tak nyaman menjadi pusat
perhatian.

"Sa, ibarat kata ya kita tuh udah basah, jadi kenapa nggak nyebur aja
sekalian! Sama-sama basah ini!"

"Dasar gila!"
"Menjadi gila ternyata tidak buruk juga!" Nadisa menghela napas jengah,
bagaimana bisa Dani yang biasanya kalem berubah menjadi seperti ini.

"Eh lo berdua, disuruh ke ruang guru!" ujar Ten yang terngengah-enggah


karena mengejar mereka berdua.

"Kita?" tanya Dani memastikan.

"Iya kalian berdua! Lagian mesra-mesraan di ruang terbuka! Emang susah


sih kalau lagi mabuk cinta!" jawab Ren lalu pergi meninggalkan Dani dan
Disa.

Nadisa menatap Dani tajam. "Semua ini gara-gara lo!" ujarnya lalu pergi
meninggalkan Dani.

Mereka berdua sekarang sudah ada di ruang guru. Ada guru BK, wali kelas
Dani, wali kelas Nadisa dan kepala sekolah.

"Kalian tahu, kenapa ada di sini?" tanya kepala sekolah.

"Tahu Pak, sebenarnya semua ini salah Dani. Jadi kalau mau hukum,
hukum saya saja. Nadisa tidak salah," jawab Dani berusaha melindungi
Nadisa, meski kenyataanya memang begitu. Dani yang memulai kekacauan
ini.

Kepala sekolah memijat keningnya. Sebenarnya masih tidak percaya


dengan apa yang si murid teladan ini lakukan. "Dani, Bapak kecewa sama
kamu. Harusnya kamu itu menjadi contoh yang baik bagi teman-teman dan
adik kelas kamu. Bukan melakukan hal seperti itu! Dan kamu Nadisa,
Bapak tidak bisa mentolerir kesalahan kamu kali ini! Kami akan memanggil
orang tua kamu!" kata kepala sekolah itu.

Nadisa memutar bola matanya. "Silakan saja Pak, jika Bapak bisa membuat
mereka datang ke sini saya akan sangat berterima kasih!"

"Nadisa!" bentak Bu Nanda wali kelasnya. "Kamu tuh ya bener-bener!


Pokoknya orang tua kamu harus datang ke sekolah, jika tidak maka dengan
terpaksa pihak sekolah harus mengeluarkan kamu!" 
"Oh jika begitu saya lebih berterima kasih!" ujar Nadisa lalu pergi
meninggalkan ruangan itu.

"Disa tunggu!" Dani menjegal Nadisa.

"Lepasin gue!"

"Lo nggak boleh kaya gini, masalah itu harus dihadapi bukannya lo tinggal
lari!"

"Jangan sok peduli. Terima kasih, karena sudah membantu gue keluar dari
sekolah lebih cepat!"

"Dani, biarkan dia pergi kamu masih harus nyelesain masalah yang kamu
buat!" ujar wali kelasnya.

Dengan segala frustrasinya, Dani masuk kembali ke ruang guru, karena jika
dia menyusul Nadisa sekarang juga, dia akan kehilangan kesempatan untuk
membela Nadisa. Jadi dia memutuskan untuk tinggal dan membela Nadisa
sebanyak yang dia bisa.

***

Dani duduk termenung di sofa. Dia merasa malas untuk melakukan apa
pun. Sudah berlalu satu minggu sejak hari itu dan selama itu juga Nadisa
menghilang seolah ditelan bumi. Dani mencoba menanyakan pada teman
sekelasnya, tapi tak ada yang tahu, karena Nadisa memang tidak memiliki
teman.

"Akhhh!" teriak Dani frustrasi.

"Kenapa sih Dan, dari tadi galau banget?" tanya Ibunya yang dari tadi
sudah mengamati pergerakan putra semata wayangnya itu.

"Dani ceritain juga Ibu nggak bakal ngerti!" jawab Dani lalu bangkit dari
sofa.

"Mau ke mana kamu Dan?"


"Cari angin!"

Dani pergi meninggalkan rumahnya. Dia berjalan tanpa tujuan pasti. Seperti
yang dia katakan pada ibunya, dia benar-benar mencari angin. Sayangnya
anginnya tidak kunjung dia temukan sepertinya. Akhirnya dia memilih
untuk membeli beberapa camilan di minimarket.

Keberuntungan sepertinya berpihak pada Dani, karena hal yang membuat


dua gelisah, gundah-gulana selama satu minggu ini ada di mini market itu
sedang membeli beberapa barang.

Dia ingin langsung menghampiri gadis itu, tetapi sepertinya itu bukan ide
yang bagus. Jika melihatnya, Nadisa pasti melarikan diri dan Dani tidak
ingin itu. Jadi dia memutuskan untuk bersembunyi lalu diam-diam
mengikuti Nadisa.

Awalnya semua tampak normal, Nadisa berjalan melewati gang belakang


minimarket itu, tetapi semua berubah saat segerombolan orang berpakaian
preman menghadangnya.

"Sa, Bos bilang dia mau lo main lagi!" ujar salah satu dari mereka.

"Gue nggak mau, gue lagi nggak mood!" tolak Nadisa.

"Baiklah kalau gitu, jangan salahin kita jika berbuat lebih buat maksa lo!"

Mereka mulai menyerang Nadisa. Kemampuan bela diri Nadisa memang


tidak bisa diragukan, tapi dengan jumlah mereka yang tidak sedikit
membuat Nadisa mulai terlihat kewalahan. Dani ingin sekali membantu,
tapi basic bela diri saja dia tidak mengerti. Dani berpikir keras cara
membantu Nadisa.

Dia akhirnya menemukan cara, dia membuka ponselnya lalu nyalakan suara
yang mirip dengan alarm mobil polisi. Suara itu berhasil membuat
konsentrasi para preman itu terpecah hingga Nadisa lebih mudah
menjatuhkan mereka.

"Bang ada polisi!" ujar salah satu preman


"Kita cabut!"

Krekkk!

"Sial!" umpat Dani.

Dia tak sengaja menginjak botol plastik hingga menimbulkan suara yang
menarik perhatian preman-preman itu dan dia ketahuan.

"Rupanya itu kerjaan bocah itu!"

Tanpa pikir panjang, Dani menarik tangan Nadisa, membawanya berlari dan
pergi dari tempat itu ke tempat yang lebih ramai.

"Lo gila ya, lo pikir nyawa lo banyak ngelakuin hal kaya gini!" omel
Nadisa.

"Nyawa gue satu, tapi karena itu elo jadi gue rela pertaruhin!" sahut Dani.

Nadisa tersenyum tipis mendengar kata-kata Dani. Dia menatap tangannya


yang digenggam erat oleh Dani, dia merasa bahagia, meski sebenarnya dia
sedang dalam bahaya.

"Akhirnya!" ujar Dani begitu mereka sampai di depan pos polisi.

Dani memang tidak terlalu mengenal daerah belakang minimarket, tapi


ingatan masa kecil saat dia bermain sepeda sedang belakang seperti sedikit
membantunya dan keberuntungan juga menaunginya hingga dia tidak salah
jalan. Tidak bisa dibayangkan jika dia salah jalan dan berakhir di jalan
buntu, bisa jadi ibunya akan kehilangan putra semata wayangnya.

"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Dani khawatir.

"Nggak apa-apa kok!"

"Tunggu!" Dani melihat luka memar di saji dan sudut bibirnya. "Ah sial!
Kenapa orang-orang itu tega ngelakuin ini sama kamu!" ujar Dani emosi.

"Ini cuma luka kecil doang!"


"Luka kecil kamu bilang? Astaga Nadisa kamu bisa mati tadi!"

"Tenang aja gue mati pun nggak ada yang peduli!"

"Kata siapa? Terus kamu pikir aku apa?"

"Lah emang lo siapa?"

"Mulai hari ini, kamu harus ingat bahwa aku adalah orang yang peduli sama
kamu dan akan sedih jika sesuatu hal yang buruk terjadi sama kamu," ujar
Dani dengan menatap Nadisa lembut.

"Tapi kenapa kamu harus peduli? Sedangkan keluargaku sendiri saja tidak
peduli?"

"Karena aku cin-

Brukkk! Tubuh Nadisa ambruk, sepertinya dia kelelahan setelah dikejar-


kejar tadi.

"Nadiasa, Nadisa bangun!" Dani menepuk-nepuk pipi Nadisa.

Dani menggendong Nadisa dan memutuskan untuk membawanya pulang


karena jarak tempat mereka berdiri dengan rumahnya cukup dekat. Hanya
beberapa puluh meter.

"Bu, tolongin Dani!" ujar Dani begitu sampai di pelataran rumahnya.

"Kamu kenapa? Loh itu siapa?" tanya Ibunya beruntun.

"Bukain pintunya aja dulu, nanti Dani jelasin."

Ibunya menuruti apa yang Dani katakan, Dani berlari masuk lalu
menidurkan Nadisa di sofa ruang tamu.

"Dia siapa?" tanya Ibunya.

"Teman Dani, eh bukan teman juga sih!"


"Dia kenapa?" tanya Ibunya lagi.

"Habis dipukuli orang."

"Apa? Ya Allah siapa yang tega ngelakuin sama dia?"

"Dani juga nggak tau, mereka kaya preman gitu."

"Kasian banget!"

"Bu, sebenarnya Dani  ngelakuin salah sama dia dan Dani harus
bertanggung jawab!"

"Ya Allah!" Ibunya terkejut mendengar pengakuan putranya. "Jadi dia lagi
hamil?"

Dani tercengang mendengar tebakan ibunya. "Ya enggaklah! Dani cuma


nyium dia nggak mungkin sampai hamil!" ujar Dani keceplosan. Saat
menyadari itu dia langsung menutup mulutnya.

"Kamu ya!" Ibunya menjewer telinga Dani.

"Ampun Bu, tapi itu bukan masalah utamanya!" rengek Dani.

"Terus kamu apa masalahnya?"

"Pas Dani nyium dia, ada yang foto terus fotonya ditempel di Mading!"

"Ibu nggak tau lagi mau ngomong apa!"

Dani  memeluk ibunya dari belakang. "Kali ini aja ya Bu, bantuin Dani."

"Bantuin apa?"

Dani sekarang berlutut di depan ibunya. "Datang ke sekolah sebagai wali


Nadisa, kata guru-guru orang tuanya tidak ada yang mau datang." Dani
menatap ibunya penuh harap. "Bu, Dani mohon. Ibu boleh potong uang
jajan Dani, ambil motor Dani juga boleh. Asal Ibu mau bantuin Nadisa."
Sang ibu bisa melihat dengan jelas, bagaimana putranya itu sangat
mempeduli gadis yang terbaring di sofa ruang tamunya. Gadis itu pasti
sangat berarti untuk putranya, karena yang dia tahu putranya termasuk anak
yang memikirkan dirinya sendiri di atas orang lain. Namun, saat ini Dani
justru dengan rela memberikan beberapa penawaran yang dapat
merugikannya demi gadis itu.

***

TBC
MPF7 - Saat Hati Jatuh Cinta.

"Aku di mana?" Itu adalah kalimat yang keluar dari bibir Nadisa saat dia
sadar. Dia menginvasi setiap sudut ruangan itu dengan matanya, dan dia
menangkap sosok yang dia kenal, Dani.

"Kamu ada di rumah aku, tadi kamu pingsan. Karena nggak tau rumah
kamu, jadi aku putuskan membawa kamu pulang," jelas Dani yang hanya
diangguki oleh Nadisa. 

"Terima kasih, udah nolongin aku tadi. Maaf udah ngerepotin, Bu," ucap
Nadisa sopan. 

"Nggak ngerepotin kok, sayang. Lain kali kamu lebih hati-hati. Kalau
keluar malam lebih baik lewat jalan yang ramai, atau seenggaknya jangan
sendirian. Bahaya anak perempuan," ujar Ibunya Dani tulus. Ada rasa iba
saat melihat Nadisa, terlebih saat mendengar cerita dari Dani. 

"Dengerin tuh kata Ibu, jangan suka keluyuran sendiri malam-malam.


Untung tadi aku lewat!" celetuk Dani yang langsung mendapat hadiah
cubitan dari ibunya. "Aw! Sakit Bu!" Pekik Dani. 

"Nadisa, maafin Dani, ya. Dia anaknya suka ceplas-ceplos," ucap ibunya
Dani yang merasa tak enak setelah melihat raut wajah Nadisa. 

"Nggak apa-apa kok Bu, ah ini udah malam Nadisa pamit pulang." Nadisa
berusaha bangkit, tapi sepertinya masih tidak bisa. Tubuhnya masih terasa
sakit, bekas pukulan yang dia terima tadi. 

"Sayang, lebih baik kamu telepon orang tua kamu, biar mereka jemput ke
sini," ujar Ibunya Dani. 
Raut wajah Nadisa berubah muram. "Nggak usah Bu, aku bisa pulang
sendiri kok." 

"Sa, jangan gila deh. Kamu bangun aja susah gimana mau pulang sendiri.
Belum lagi kalau orang-orang itu datang ke rumah kamu." 

"Aku udah baik-baik aja kok. Bu, aku pamit ya," ucap Nadisa lalu
mengumpulkan tenaganya untuk berdiri.

Dia mencium tangan ibunya Dani, lalu mencoba melangkah, menahan


segala rasa sakitnya. Dia hanya tidak ingin membuat Dani dan ibunya
kerepotan karena dia. Terlebih Disa tidak ingin orang-orang tahu betapa
menyedihkannya hidup yang dia jalani. 

Beberapa langkah semua terlihat normal, kecuali langkahnya yang sedikit


tertatih hingga saat dia sampai di depan pintu, dia ambruk. Kakinya tak
mampu menopang tubuhnya. 

"Nadisa!" Dani berlari menghampiri Nadisa. "Aku bilang apa!" omel Dani,
dia terlihat begitu mencemaskan kondisi Nadisa. 

"Aku baik-baik saja!" 

"Cukup Sa! Kamu tuh nggak baik-baik saja, jadi tolong berhenti
mengatakan kamu baik-baik saja!" kata Dani dengan nada sedikit meninggi.
Sebenarnya dia tak ada niatan seperti itu, hanya saja dia tidak tahu lagi cara
menghentikan sifat keras kepalanya Nadisa. 

"Lalu aku harus apa?" Nadisa menatap Dani, tatapannya terlihat kosong dan
putus asa. "Kamu sendiri tahu, orang tuaku saja tidak mau datang ke
sekolah. Apalagi untuk menjemputku!" Nadisa berusaha menahan air
matanya, tapi akhirnya jatuh juga.

Dani menghapus air mata yang membuat pipi Nadisa basah. "Jangan
menangis, Nadisa yang aku tahu kamu itu tidak cengen," ucap Dani
lembut. 
Ibunya Dani merasa begitu bersalah, karena mengusulkan Nadisa menelpon
orang tuanya.

"Nak, karena kamu di rumah Ibu, kamu harus ikuti aturan rumah ini." ujar
Ibunya Dani yang membuat Dani dan Nadisa menoleh ke arahnya. "Ibu
nggak izinkan kamu pergi, kamu di sini sampai sembuh, atau setidaknya
hingga besok pagi. Dan satu lagi, besok Ibu yang akan ke sekolah gantiin
orang tua kamu," lanjutnya yang membuat mereka tak bisa berkata-kata.

"Ibu serius?" tanya Dani mengangguk. 

Ibunya mengangguk. "Sekarang kamu antar Nadisa ke kamar tamu, Ibu


mau minta Bi Narti buat nyiapin makanan." Ibunya lalu melangkah pergi
meninggalkan mereka. 

"Aku nggak mau ngerepotin kamu dan ibu kamu." 

"Sssst!" Dani meletak telunjuknya di bibir Nadisa. "Nggak usah protes." 

"Tapi …" Dia tak bisa melanjutkan ucapannya karena Dani tiba-tiba
mendaratkan bibirnya di bibir Nadisa. 

"Kalau masih protes, aku bisa ngelakuin yang lebih untuk buat kamu
nurut!" ujar Dani tanpa rasa bersalah.

Nadisa benar-benar membeku oleh perlakukan Dani. Apalagi perasaan aneh


yang menggerayangi seluruh tubuhnya, dan debaran tak normal dari
jantungnya membuat dia hanya terdiam  membiarkan Dani
menggendongnya dan membawa dia ke kamar tamu. 

***

Sesuai apa yang ibunya katakan, ibunya benar-benar datang ke sekolah


sebagai wali Nadisa. Meski dia sebenarnya tak yakin ini akan berhasil atau
tidak, dia berharap bisa membantu Nadisa. Setidaknya, sebagai wujud
tanggung jawabnya. 

"Permisi!" ucap Dani. 


"Dani, ada apa?" tanya Pak Ridho. 

"Ini ibu saya  mau bertemu Ibu Nanda," jawab Dani. 

"Ada apa ya? Wali kelas kamu kan saya?" Pak Ridho terlihat kebingungan. 

"Saya datang ke sini, bukan sebagai orang tua Dani, tapi sebagai wali dari
Nadisa Syaharani," jelas ibunya. 

"Ah, begitu rupanya? Mari masuk Bu, biar saya antar menemui Ibu
Nanda." 

Pak Ridho membawa Dani dan ibunya untuk menemui wali kelas Nadisa.

"Ibu Nanda, ini ada wali dari Nadisa," ujar Pak Ridho. 

"Jadi Ibu ini, Ibunya Nadisa?" tanya Bu Nanda memastikan. 

"Saya Sekar, Ibunya Dani." 

"Kok Ibunya Dani, jadi walinya Nadisa?" Bu Nanda juga terlihat


kebingungan dengan situasi ini. 

"Maaf sebelumnya, saya mencoba bertanggung jawab atas yang putra saya
lakukan. Mungkin, karena Dani adalah salah satu siswa dengan nilai baik,
kalian tidak memanggil saya, karena kalian pikir bukan masalah besar.
Sedangkan untuk Nadisa yang kata kalian siswa bermasalah, kalian
memanggil orang tuanya lalu saat orang tuanya tidak datang kalian dengan
mudah ingin mengeluarkan dia. Padahal kalian tahu kan, bagaimana
keadaan keluarga Nadisa?" 

"Keluarga Nadisa? Kami benar-benar tidak mengerti!" 

Brakk! Semua orang di ruangan terkejut saat ibunya Dani menggebrak


meja. "Lalu apa gunanya kalian sebagai guru, harusnya jika ada siswa
bermasalah kalian cari tahu apa masalahnya, bukan malahan mengecap
mereka jelek dan saat kalian pikir itu tidak bisa ditangani dengan mudahnya
kalian mengeluarkannya!" 
"Bukan begitu, kami sudah berusaha, tapi memang dasarnya Nadisa yang
sudah keterlaluan. Apalagi absensi dan nilainya juga sangat buruk. Jadi
keputusan mengeluarkan dia itu adalah keputusan terbaik!" Bu Nanda
bersikukuh. 

"Bu saya mohon, jangan keluarkan Nadisa. Untuk foto yang tersebar itu,
seratus persen adalah kesalahan saya. Dan satu lagi, untuk masalah absensi
dan nilai saya janji akan membantu Nadisa untuk meningkatkan nilainya
dan untuk absensi saya akan membuat dia nggak telat-telat." mohon Dani. 

"Kamu bisa pastikan itu?" Dani mengangguk tanpa keraguan. "Oke, kita
tidak akan mengeluarkan Nadisa, tapi ibu minta jangan kecewakan kami." 

"Saya janji!" Dani tersenyum sumringah akhirnya usaha dia tidak sia-sia. 

*** 

Seperti yang Dani janjikan, dia berusaha membuat Nadisa lebih baik. Meski
awalnya Nadisa menolak keras, tapi berkat bujukan Dani yang dibantu oleh
ibunya, Nadisa setuju. Dia mulai belajar, Dani bahkan rela datang pagi-pagi
ke rumah Nadisa untuk membangunkannya dia agar tidak telat, karena
Nadisa ternyata tinggal sendiri di rumah itu. Ada kalanya Dani juga
menginap jika terlalu larut, karena begitu serius saat belajar hingga lupa
waktu. Semua usaha tentu tidak pernah mengkhianati hasil. Hingga tibalah
pada hari pengumuman, Disa sama sekali tidak mampu menahan senyum di
wajahnya. 

"Dani aku lulus!" ujar Nadisa saat melihat namanya terpampang di papan
pengumuman. Dia langsung memeluk Dani yang ada di sebelahnya. 

"Selamat sayang," ucap Dani sambil mengusap puncak kepala Nadisa lalu
mengecupnya beberapa kali. 

"Sekarang panggilannya udah sayang-sayangan," ujar Jun menyindirnya. 

"Kalau mau mesra-mesraan lihat tempat," sindir Ren. 

"Sirik aja jomblo!" Mereka kemudian tertawa. 


Hingga mereka sampai pada acara perpisahan. Acara yang menyebabkan
berbagai emosi. Ada rasa bahagia, karena perjuangan mereka selama tiga
tahun terbayar. Ada juga rasa sedih, karena masa remaja akan segera
berakhir dan harus berpisah dengan teman-teman yang mereka sayangi. 

Dani terlihat berada di panggung dengan memangku gitar. Alunan nada


syahdu tercipta oleh petikan gitar yang dimainkan oleh Dani. Suara merdu
Dani berhasil membius semua yang ada ruangan itu. Termasuk Nadisa yang
selalu berhasil dibuat terkejut oleh sisi Dani yang lain selama enam bulan
menghabiskan hari-harinya bersama Dani. 

Dani berdehem setelah menyelesaikan lagunya membuat semua mata


tertuju biasanya. "Yang pakai gaun biru muda, bisa naik ke panggung!" ujar
Dani yang membuat Nadisa langsung salah tingkah. 

"Naik … naik … naik!" seru anak-anak yang membuat Nadisa makin salah
tingkah, tapi tetap saja dia menuruti apa yang Dani minta. Dia naik ke atas
panggung, yang disambut gemuruh tepuk tangan.  

"Apaan sih, Dan!" bisik Nadisa yang menyembunyikan wajahnya di pundak


Dani. 

"Ih malu-malu empus!" ledek Dani. 

"Nggak lucu!" 

Dani tertawa melihat tingkah Nadisa yang terlihat menggemaskan


menurutnya. Tiba-tiba Dani berlutut di depan Nadisa, yang membuat
Nadisa terkejut. 

"Kamu ngapain?" tanya Nadisa bingung. 

Dani mengeluarkan kotak kaca kecil dari kantong jasnya. Sebuah kotak
yang berisi cincin sederhana. 

"Nadisa, mari menjadi keluarga!" ujar Dani. 

"Maksudnya?" Nadisa masih tak mengerti. 


"Ayo kita menikah dan membuat keluarga yang bahagia. Aku, kamu dan
anak kita nanti." 

"Dan, kamu yakin? Kamu nggak nyesel nanti?" 

"Enggak! Aku nggak akan menyesal! Jadi apa jawaban kamu?" 

"Ya, aku mau." 

Dani langsung bangkit dan langsung memeluk Nadisa. Hari itu adalah hari
paling bahagia dalam hidup Nadisa, karena perjalanan membuat keluarga
yang sempurna seperti diimpikannya selama ini dimulai. 

*** 

Anda mungkin juga menyukai