Anda di halaman 1dari 118

1

Love Paint Extended Epilogue 1 Paint My


Love: Bristol

Azka
“Touch down in 10.”
Senyumku langsung mengembang begitu
membaca pesan Caleb. Aku meraih cangkir
kopi dan keluar dari coffee shop tempatku
menunggu selama setengah jam terakhir.
Dengan satu tangan memegang cup kopi,
aku menyeberang jalan menuju halte yang
berada di Bond Street.
Mataku menatap ke satu titik di kejauhan,
sembari menghitung mundur waktu sepuluh
menit sesuai pesan Caleb. Sudah menjelang
siang, sisa-sisa musim panas masih terasa.
Walaupun musim panas, aku tidak
merasakan sengatan matahari. Satu hal
yang masih tidak cocok dengan jiwa negara
tropisku—cuaca Inggris yang mendung dan
dingin.

2
Oh, how I miss the tropical breeze.
Terakhir kali aku merasakan terpaan
sinar matahari saat liburan dua bulan lalu.
Caleb baru menyelesaikan proyek bersama
The National Gallery dan ingin beristirahat
sejenak sebelum terlibat dalam proyek lain.
Di saat yang sama, aku sudah gatal ingin
jalan-jalan. Aku juga kangen dengan nuansa
tropis setelah empat tahun tinggal di
London.
Jadi, aku dan Caleb memutuskan liburan
ke Maldives. Selama dua minggu penuh, aku
bermalas-malasan di resort yang langsung
berbatasan dengan pantai, sambil membaca
buku dan menikmati cahaya matahari yang
enggak ada habisnya. Dua minggu yang
menyenangkan, bahkan aku sudah lupa
kapan terakhir kali bermalas-malasan
seperti itu? Dua minggu yang diisi dengan
berenang, main-main di pantai, sunbathing,
dan bermesraan dengan Caleb. Too much
sunshine. Too much alcohol. Of course, too
much sex.
Not that I’m complaining.

3
Maldives seems like a century
away. Begitu kembali ke London, aku
mendapat tanggung jawab baru untuk
menangani galeri di Bristol. Mereka
butuh advisor untuk mempertahankan galeri
itu agar enggak bangkrut. Aku menerima
tantantangan tersebut dan beranjak ke
Bristol.
Satu bulan terakhir, aku tinggal di
Bristol. Artinya, sudah satu bulan juga aku
tidak bertemu Caleb. Selama empat tahun
terakhir, aku tidak bisa dipisahkan dari
Caleb. Teman-teman menyebut kami seperti
amplop dan prangko. Selalu menempel. Di
mana ada Caleb, di situ ada aku. Begitu juga
sebaliknya.
Aku menyelesaikan kuliah tanpa
halangan, sekaligus bekerja dengan Nat.
Setelah lulus, Nat menawarkan posisi tetap
untukku. Aku menerimanya, meskipun Mama
membujuk untuk pulang ke Jakarta. Tinggal
dan bekerja di London jauh lebih
menyenangkan. Sudah dua tahun berlalu
semenjak kasus foto telanjangku tersebar,

4
aku masih enggan menginjakkan kaki di
Jakarta.
Dua tahun setelahnya, aku pun gatal
akan tantangan baru. Bekerja dengan Nat
memang menyenangkan, tapi pekerjaanku
terasa monoton. I need something new.
Ketika aku mendapat tawaran dari
sebuah agensi yang bertanggung jawab
terhadap bisnis di bidang seni, aku
mendapat jawaban yang kubutuhkan. Aku
pun menempati posisi
sebagai advisor karena aku juga
punya background di bidang bisnis dan
marketing. Pekerjaanku menyasar bisnis
kecil yang butuh bantuan berupa sokongan
modal dan strategi bisnis, dan aku langsung
tertarik sehingga bergabung dengan agensi
tersebut.
Caleb bilang, selalu ada tempat untukku
di ARTE. Aku menyayangi galeri itu, tapi aku
juga ingin melebarkan sayap dengan
mencoba bekerja di tempat lain. Suatu hari
nanti, aku akan berakhir di ARTE tapi aku
butuh mengumpulkan pengalaman di tempat

5
lain. Caleb just being himself, a supportive
boyfriend who always got my back.
Tadinya Caleb akan menemaniku di
Bristol, tapi pekerjaan membuatnya stuck di
London. Having a LDR was suck. Setelah
empat tahun tinggal bersama Caleb, aku
merasakan waktu satu bulan ini sangat
menyiksa. Aku berangkat tidur sendiri tanpa
bisa merasakan kehangatan tubuh Caleb,
aku bangun tidur sendiri tanpa melihat
senyum Caleb dan merasakan ciuman
selamat pagi.
That was suck.
Masih ada waktu dua bulan lagi sebelum
pekerjaanku di Bristol selesai. Aku punya
tenggat waktu tiga bulan untuk
memutarbalikkan keadaan, membuat galeri
ini bisa kembali bernapas dan enggak jadi
gulung tikar.
Setelah pekerjaannya selesai, Caleb
memutuskan menyusul ke Bristol. Selama
berjauhan Caleb jadi lebih chatty. Dia betah
menelepon berjam-jam—sesuatu yang
rasanya mustahil mengingat Caleb sangat
6
irit bersuara. Dari gelagatnya, aku tahu
kalau Caleb juga enggak tahan dengan
hubungan jarak jauh.
Meski orang-orang bilang kadang jarak
dibutuhkan untuk memberi warna dalam
hubungan, hal tersebut tidak berlaku
untukku.
I miss my cuddle buddy.
Senyumku terkembang saat melihat bis
berwarna biru tua muncul di jalanan. Lama
kelamaan, bis tersebut terlihat semakin
besar ketika jaraknya dengan tempatku
menunggu semakin dekat.
Aku mengeluarkan gulungan kertas dari
dalam tas dan membukanya, bersamaan
dengan bis berhenti di halte. Pintu bis
terbuka dan satu per satu penumpang mulai
turun. Aku berjinjit, mencari keberadaan
Caleb.
I miss him so much.
His sandy brown hair caught my
attention. Akumelompat kegirangan
sembari melambai agar dia menyadari
7
kehadiranku. Caleb menolehkan kepalanya
ke arah halte, dan ketika matanya bersitatap
denganku, dia pun tersenyum.
Aku mengangkat kertas itu tinggi-tinggi
agar Caleb bisa melihatnya. Senyumnya
berubah menjadi tawa begitu membaca apa
yang kutulis. Caleb menutup wajahnya
dengan telapak tangan sembari
menggelengkan kepala. Pundaknya
berguncang karena menahan tawa.
Sementara itu, aku menunggu di tempat
dengan cengiran lebar di wajahku.
Bukan hanya Caleb, beberapa
penumpang bis turut melihat ke arahku.
Mereka berusaha terlihat tidak peduli, tapi
tidak bisa menahan tawa.
Caleb melangkah lebar. Dia tampak
casual—dengan celana jeans gelap yang
membungkus kakinya dengan pas, juga kaus
hitam yang dilapis jaket berwarna senada.
Caleb tidak membawa banyak barang, hanya
ransel yang disandangnya.
Begitu sampai di dekatku, dia menarikku
ke pelukannya. Aku terpekik ketika Caleb
8
mengangkat tubuhku, membuatku harus
berpengan ke pundaknya.
“Miss you,” bisiknya.Caleb tidak
memberiku waktu untuk menjawab karena
dia langsung merengkuh bibirku ke dalam
ciuman yang hangat dan dalam.
Aku membalas ciuman itu dengan
kerinduan yang sama.
Caleb tidak suka PDA, tapi di saat
tertentu, dia tidak peduli dengan sekitar.
Termasuk siang ini. Sekalipun menjadi
tontonan di tengah halte yang ramai, Caleb
tidak peduli.
“Wait…” Aku berusaha melepaskan diri
darinya. Caleb tampak keberatan begitu aku
mengurai ciuman itu. “Yes, I miss you too
and I know how much you miss me but not
now. You’re grinding on me. Kita lagi di halte,
Mas.”
Caleb menyengir dengan ekspresi polos
tanpa dosa.

9
“You asked me to hug you,” balasnya.
Dengan dagu dia menunjuk kertas yang
kubawa.
Aku tertawa pelan. Di kertas itu
tertulis, “30 days without you and I miss you.
Please come and hug me.”
“Iya, sih, tapi peluk aja.” Aku berusaha
untuk protes.
Caleb menarikku ke pelukannya.
Tangannya melingkari tubuhku dengan
sangat protektif. Inilah yang kurindukan,
pelukan hangat Caleb yang selalu menjadi
tempatku berkeluh kesah atau sekadar
melepas lelah.
He’s my favorite cuddle buddy.
“So, where are we going?” tanyanya
sesaat setelah melepaskan pelukan.
Aku menyimpan gulungan kertas ke
dalam tas. Setelahnya, aku menggandeng
Caleb dan membawanya menjauh dari halte.
“Kamu lapar, kan? Kita makan siang
terus pulang. Aku harus kerja sore ini, kamu

10
bebas mau ngapain. But tonight…” Aku
meliriknya sambil tersenyum
simpul. “Tonight, you’re mine.”
Caleb terkekeh. “I’m always yours, Babe.”
Aku membawa Caleb menuju halte dan
menunggu bis menuju city center. Satu
bulan tinggal di sini, aku sudah cukup hafal
dengan kota ini. Aku menyukai Bristol, kota
kecil yang setiap sudutnya dipenuhi oleh
seni. Ada banyak galeri di sini, juga street
art yang memenuhi seisi kota. Walaupun
seluruh kota ramah bagi seniman,
menjalankan bisnis galeri di sini bukan hal
yang mudah. Ada banyak saingan, dan
semuanya berlomba-lomba dengan
keunikan masing-masing.
Upside World Art Gallery, galeri yang
harus kuselamatkan, menjadi satu dari
sekian banyak bisnis yang mencoba
bertahan di kota ini.
“Aku ada janji dengan temanku di Upfest
Gallery,” ujar Caleb, sambil mengisi kursi
kosong di sampingku. Tidak lama, bis

11
bergerak meninggalkan Bond Street dan
menuju City Center.
“Ugh,” komentarku sambil memasang
wajah keberatan. “Belum sampai satu jam ya
kamu di sini, udah janjian sama orang lain.
Kamu ke sini untukku atau karena orang
lain?”
Caleb berusaha keras menahan ekspresi
geli. “Buat Upfest Festival.”
Refleks, aku menyikut lengannya dan
memasang wajah pura-pura cemberut.
Upfest Festival menjadi makanan wajib buat
Caleb. Dia selalu membawaku ke Bristol
setiap tahun untuk menghadiri festival seni
jalanan terbesar di Eropa itu. Caleb yang
tidak menyukai keramaian, tapi dia bisa
betah di tengah ribuan orang yang memadati
festival tersebut. Kebetulan tahun ini festival
diadakan bertepatan dengan masa tinggalku
di Bristol, sehingga Caleb punya alasan
double buat berkunjung ke Bristol.
“Udahan ah, jangan ngambek.” Caleb
merangkulku.

12
Sekilas, aku merasakan dia mencium sisi
kanan kepalaku. Aku sengaja menunduk
untuk menyembunyikan tawa, tapi dia
telanjur menangkap basah upayaku.
“You got me, Ka.”
Aku menelengkan kepala. “Gimana, ya.
Godain kamu seru soalnya.”
Caleb mendecakkan lidah. Setelah empat
tahun bersama, dia masih belum bisa
menebak apakah aku serius atau cuma
pura-pura ngambek. Aku pun
menjadikannya sebagai permainan yang
menyenangkan.
Bis berhenti di halte yang kutuju. Caleb
mengikutiku turun dari bis. Dia kembali
menggandeng tanganku sewaktu aku
menunjuk restoran Italia, tidak jauh
dari flat yang kusewa. Waktuku tidak banyak,
jadi untuk hari ini, aku enggak menyusun
rencana apa-apa.
Di akhir pekan, aku sudah
menyusun itinerary yang bisa membuat
Caleb kewalahan. Aku mengirimkan file

13
berisi itinerary tersebut ke ponselnya. Caleb
membacanya sekilas sebelum
mengabaikannya.
“I’m in. Selama rencanamu enggak
berhubungan dengan hal ilegal atau
melanggar hukum, fine by me,” ujarnya.
“Tenang aja. Semuanya under control.
Trust your Azka.” Aku menepuk dada dan
mengangkat dagu tinggi-tinggi.
Selama ini, semua itinerary yang
kususun sudah terbukti berhasil. Caleb
paling malas merencanaakan liburan jadi dia
menyerahkan semuanya kepadaku. Walau
awalnya dia sering complain karena
menurutnya itinerary itu sangat touristy,
akhirnya malah dia yang bersenang-senang.
Dia menikmati liburan yang katanya
sangat mainstream. Plus, Caleb juga
menjalankan tugasnya sebagai Instagram
boyfriend dengan baik. Semua foto di
Instagramku dipotret olehnya. Kemampuan
fotografinya makin bagus dari hari ke hari.
Setelah makan siang, aku mengantar
Caleb ke flat. Aku langsung bersiap-siap
14
menuju galeri, sementara Caleb baru akan
mengunjungi temannya pukul empat sore
nanti. Dia memelukku erat, seraya
memasang wajah cemberut, untuk
menahanku pergi.
Plus, he’s shirtless. Shirtless Caleb is my
kryptonite.
Aku harus membuang muka agar tidak
berhadapan dengan dada bidangnya yang
mengundang untuk dipeluk.
“Save it for tonight,” bisikku. Setelah
menciumnya sekilas, aku angkat kaki meski
satu-satunya yang ingin kulakukan saat ini
adalah bercinta dengannya.
**
“Oh, God.”
Aku mencengkeram ujung tempat tidur
agar tidak terjungkal, sementara Caleb
menghunjamku kian dalam. Aku harus
berpegangan erat-erat, membuat buku-buku
jariku memutih. Sementara itu, Caleb terus
memanjakanku tanpa ampun.

15
Setelah satu bulan terpisah, akhirnya aku
bisa merasakan Caleb lagi.
Caleb mengajakku tinggal bersamanya,
tidak lama setelah resmi berpacaran. We
have an active and healthy sex life. Hal itu
juga yang membuatku uring-uringan ketika
harus pindah ke Bristol dan berjauhan
dengannya.
I miss having sex with him.
Malam ini Caleb mengejutkanku dengan
makan malam buatannya di flat. Dari kilat di
matanya, aku bisa merasakan kerinduannya.
Aku juga merasakan hal yang sama, meski
sengaja menyembunyikannya. Setelah
makan malam yang berlangsung cepat,
Caleb menuangkan wine dan mendengarkan
ceritaku selama berjauhan dengannya.
Hanya bertahan sampai gelas kedua, karena
Caleb mulai menciumiku. Ciumannya
semakin menuntut. Wine pun terlupakan
ketika Caleb membaringkanku di lantai yang
berlapis karpet tebal dan mulai
menanggalkan pakaianku satu per satu.
Setelah membuatku tidak berdaya dengan

16
permainan lidahnya, Caleb mengangkatku
menuju kamar tidur dan bercinta denganku.
Caleb meraih pinggangku dan
mengangkatku hingga bersandar ke
dadanya. Dia memelukku erat, tanpa
melepaskan dirinya dariku. Caleb
menenggelamkan wajahnya di leherku,
napasnya terdengar memburu saat dia
menyentakku dengan keras.
“Oh. God.” Aku kembali mengerang saat
sentakannya membuatku tidak bisa bertahan
di kedua lututku sendiri. Aku harus
menggenggam lengannya yang melingkari
pinggangku agar bisa bertahan dalam posisi
ini.
Tangan Caleb beranjak menuju leherku.
Aku mendongak sementara tangannya
mencengkeram leherku dengan erat.
Tubuhku bergetar seiring sentakannya yang
semakin liar dan tidak terkendali.
“Give it to me,” bisiknya.
Suaranya
terdengar serak, mengimbangi napasnya
yang tak beraturan.

17
Aku menggigit bibir, merasakan tubuhku
makin bergetar. Saat Caleb menyentakku
dengan keras, aku membiarkan rintihan
keluar dari mulutku. Rintihan yang
membuatnya semakin bernafsu dalam
memuaskanku.
Cengkeramannya di leherku semakin
erat, membuatku harus membuka mulut
lebar-lebar untuk bisa mengatur napas. Aku
menekankan kuku ke lengannya bersamaan
dengan dorongan hasratku yang tidak
terbendung. Aku menjerit keras ketika rasa
puas itu menyelimuti tubuhku.
Selama beberapa saat, Caleb mendekap
tubuhku yang bergetar.
He’s not done yet.
Sebelum bisa mencerna yang kurasakan,
Caleb memutar tubuhnya hingga dia
berbaring dengan diriku berada di atasnya.
“Ride on me.” Dia berkata tegas.
Caleb tidak memberiku waktu. Kedua
tangannya berada di pinggangku, membuat
tubuhku bergerak seiring keinginannya.
18
Hasratku kembali menggebu-gebu, dan aku
tidak butuh Caleb untuk membimbingku. Aku
menekankan telapak tangan di dadanya,
sementara tubuhku bergerak
memuaskannya. Aku seperti berada di
lapangan tandus, dengan dahaga tak
berkesudahan, dan aku butuh Caleb
sebanyak-banyaknya untuk menuntaskan
dahaga tersebut.
“Pretty Azka,” bisiknya.
Aku menurunkan tubuh hingga berada
tepat di hadapannya. Caleb meraup
payudaraku ke dalam mulutnya dan
memanjakanku dengan permainan lidahnya.
Dia meninggalkan gigitan ringan yang
membuat darahku berdesir.
Gerakan Caleb semakin tidak terkendali.
Dia membalikkan keadaan sehingga kini aku
yang berbaring di bawahnya.
“Come with me,” bisiknya.
Aku memaksakan diri untuk
mengangguk, sekaligus meningkahi
dorongan hasratku sendiri. Caleb menahan

19
wajahku dengan tatapannya. Dia terlihat
tidak berdaya, larut dalam kurungan
hasratnya sendiri. Matanya menatapku
tajam, menimbulkan efek panas yang
membuatku terbakar.
“Give me yours,” bisiknya. Sekali lagi, aku
memaksakan diri untuk mengangguk.
Caleb menahan wajahku hingga aku tidak
bisa beranjak selain menatapnya.
Sementara itu, dia mengajakku menjemput
rasa puas itu bersama-sama. Aku menjerit
ketika sentakannya mengalirkan getaran
lsitrik yang membuat tubuhku bergetar.
Tatapannya tidak beranjak dariku ketika
Caleb menyerah kepada hasratnya.
Dia terus menatapku, dengan ekspresi
tidak berdaya, sampai tubuhnya berhenti
bergetar. Caleb memberikanku satu ciuman
yang dalam sebelum mengangkat tubuhnya.
Dia melepaskan dirinya dariku,
menghadirkan rasa kosong yang
membuatku merindukannya padahal belum
sampai semenit yang lalu dia berada di
dalam tubuhku.

20
“Tunggu, ya,” bisiknya. Caleb melepaskan
kondom sebelum beranjak ke kamar mandi.
Aku berbaring sembari berusaha
menenangkan diri. Tidak lama, Caleb
kembali bergabung denganku di atas tempat
tidur.
“Jadi, besok kita ke mana?”
Pertanyaan sederhana, tapi otakku malah
buntu sehingga tidak bisa memberikan
jawaban. Aku meringkuk ke dalam
pelukannya. Refleks, aku menarik napas
panjang, menghirup aroma tubuh Caleb yang
kurindukan.
“Bahas besok aja,” balasku. Karena
malam ini, satu-satunya yang ingin
kulakukan hanyalah melepas rindu
bersamanya.
**

Caleb yang pertama kali


memperkenalkanku kepada Banksy. Di kali
pertama mengunjungi Bristol, Caleb

21
mengajakku berkeliling kota menikmati seni
jalanan hasil karya Banksy.
“Masih belum ketahuan siapa dia?”
tanyaku. Saat ini, aku dan Caleb kembali
berkeliling Bristol mencari graffiti hasil
karya Banksy. Aku tengah menatap lukisan
di dinding yang menampakkan sosok
tergantung yang berpegangan di lukisan
mirip jendela dan di sana ada pasangan yang
tidak peduli pada sosok tersebut. Banksy’s
Well Hung Lover.
“It doesn’t matter anyway,” balas Caleb.
“Yang penting, pesan yang disampaikannya.”
Banksy is a legend. Dia sudah ada sejak
tahun 1990-an, menggabungkan humor dan
kritik politik ke dalam street art. Aku salut
dengan keberaniannya menuangkan
pemikiran dalam bentuk seni dan graffiti,
meski tidak jarang pemikirannya
menimbulkan kontroversi. Namun, dia masih
anonim. Tidak ada yang tahu siapa dia.
Apakah dia satu orang atau banyak
orang? Nobody knows. Hanya karyanya yang

22
sarat akan isu sosial dan politik tersebar di
seantero Bristol.
“Aku pernah melakukan sesuatu seperti
ini.” Caleb mengajakku beranjak dari grafiti
tersebut. “Diajak teman malam-malam
membuat grafiti. Karena subjekku bukan
grafiti, hasilnya jelek dan aku enggak punya
pesan positif yang mau disampaikan lewat
gambar itu.”
Aku menatap Caleb dengan mulut
terbuka, selalu terpana setiap kali
menemukan satu sisi baru tentang dirinya.
Caleb selalu punya kejutan yang menunggu
untuk diketahui. Dia seperti dikelilingi
banyak layer dan aku dengan senang hati
mengupas layer itu satu per satu, dengan
begitu aku bisa mengenal siapa sosok yang
mencuri hatiku ini.
“Pesan apa yang kamu buat?” tanyaku.
Caleb tertawa kecil. Dia melirikku dengan
wajahnya yang memerah. “Suck my cock,
bitches.”

23
Sontak aku tertawa. Sedikit pun tidak
menyangka Caleb menggambar pesan itu.
“Besoknya, si pemilik toko langsung
mengecat ulang dindingnya,” sambungnya.
Aku masih tertawa sementara Caleb
membawaku menyusuri College Green. Dia
merangkul pundakku, sementara aku
memeluk pinggangnya. Cuaca musim panas
yang hangat membuat akhir pekan ini
semakin menyenangkan.
“As my defence, that wasn’t mine. Sudah
hampir pagi dan enggak ada waktu lagi jadi
ketika salah satu temanku mengumpat
seperti itu, aku membuatnya.”
Tawaku semakin pecah saat mendengar
ceritanya. Aku meliriknya sekilas sebelum
berbisik ke telinganya. “Well, in that case, I’m
willing to suck yours.”
“Of course, you are. Semalam udah kamu
buktiin.”
Aku masih tertawa meski pipiku
memerah saat mengenang kejadian
semalam. Caleb benar-benar melepaskan
24
rindu dengan tidak memberiku waktu untuk
beristirahat. Termasuk pagi ini. Kalau saja
aku tidak memaksanya untuk bangun,
mungkin saat ini aku masih berada di tempat
tidurku, bercinta dengan Caleb.
Aku melepaskan diri darinya dan berdiri
di depan toko yang sedang tutup. Caleb
mengeluarkan ponsel dan memposisikan
diri untuk memotretku. Dia tidak pernah
protes meskipun aku cukup rewel sampai
mendapatkan foto yang menurutku bagus.
“Giliranmu,” ujarku, dan mendorongnya
ke dinding yang berisi street art.
Caleb menolak, tapi aku memaksa.
Berbeda denganku, dia tidak suka berada di
depan kamera. Aku sampai berbusa-busa
menyuruhnya lebih memperhatikan
Instagram tapi dia enggak peduli.
Sebagai public figure, dia harus punya public
image dan itu bisa diberikan melalui
Instagram. Untuk satu hal ini, aku belum
berhasil membujuknya.
Dengan malas-malasan, Caleb berdiri di
depan street art. Dia memasang wajah datar
25
dan tidak bersemangat. But he’s
Caleb. Meski Grumpy Caleb nyebelin, enggak
ada yang bisa menolak fakta bahwa Grumpy
Caleb sama seperti Handsome Caleb.
“Jadi, ke mana lagi?” tanyanya, yang
sudah kembali berada di sampingku.
Hari ini, aku membawanya berkeliling
Bristol dan mengunjungi street art yang ada
di seantero kota. Aku juga mengajaknya
mengunjungi galeri kecil yang tersebar di
penjuru Bristol.
“Es krim.” Aku menunjuk toko es krim
yang berada di seberang jalan. “Enggak ada
di itinerary, tapi aku tiba-tiba mau es krim.”
Tanpa suara, Caleb menggandengku
menyeberang jalan dan menuju toko
tersebut. Aku menunggu di meja, sementara
Caleb memesan es krim untukku.
Ada rasa haru di hatiku. Tidak banyak
yang bersikap semanis dia. Aku bahkan ragu
bisa menemukan cowok lain yang enggak
pernah mengeluh meski menjadi Instagram
Boyfriend atau mengantre es krim.

26
He’s so thoughtful.
Caleb melemparkan senyum dari konter
tempat menunggu es krim. Aku membalas
senyuman itu dengan perasaan
membuncah. I’ve been through hell until I
found him.
Empat tahun bukan waktu yang singkat
untuk menjalin hubungan, juga bukan waktu
yang lama. Aku tidak tahu sejak kapan
tepatnya, tapi selalu ada keyakinan di hatiku
bahwa Caleb adalah cinta terakhir untukku.
Aku menggeleng, mengusir pemikiran itu
jauh-jauh. Caleb belum mengajakku bicara
soal masa depan. Jujur saja, aku tidak tahu
apa yang ada di pikirannya. Aku menikmati
hubungan yang kujalani sekarang, tapi aku
tidak bisa menghindar dari keinginan untuk
membawa hubungan ini ke tingkat lebih
tinggi.
“Buatmu.” Caleb menyodorkan es krim
vanilla kepadaku. Aku mengucapkan terima
kasih dan menjilati es krim.

27
Di hadapanku, Caleb menatapku dengan
wajah bersemu merah. Dia sepertinya lupa
dengan es krim miliknya.
“Kenapa?” tanyaku.
Caleb mengusap belakang lehernya
sementara wajahnya makin memerah.
“Nothing. I just … harus banget menjilati es
krimnya begitu?”
Aku tertawa kecil, dan kuputuskan untuk
semakin menggodanya. “Gimana
maksudnya.”
Caleb tidak menjawab, dia bergerak
gusar di tempat. Sementara itu, aku kembali
menjilat es krim tanpa memutus pandangan
darinya.
“Damn you, Ka.”
Sekuat tenaga, aku menahan diri untuk
tidak tertawa.
“Kamu harus membayarnya malam ini.”
Aku sengaja menjilati bibir untuk
menghapus sisa es krim yang memempel di
sudut bibir, sedangkan Caleb menatapku
28
dengan mata berapi-api. Meski dia tidak
berkata apa-apa, aku mengerti arti di balik
tatapannya.
Karena di detik ini, aku juga merasakan
dorongan dari dalam tubuhku untuk kembali
menikmati cumbuannya.
**

Upfest Festival merupakan salah satu


atraksi menarik di Bristol, sekaligus untuk
merayakan musim panas. Upfest Festival
berlangsung di sepanjang North Street dan
tersebar ke jalan-jalan di sekitarnya.
Kali ini, aku enggak perlu memaksa
Caleb untuk bangun pagi. Dia bahkan bangun
lebih awal. Caleb menungguku dengan raut
tidak sabar ketika aku berdandan. Kalau
biasanya aku yang selelu overexcited,
sekarang justru Caleb yang enggak bisa
mengendalikan diri.
Penyuka musik enggak akan mau
menyia-nyiakan waktu barang semenit
untuk bisa menikmati semua performance di
29
Coachella atau Glastonbury. Pecinta seni
seperti Caleb enggak akan mau kehilangan
waktu yang berharga di Upfest Festival.
Sama seperti festival musim panas pada
umumnya, semua yang datang memadati
jalanan untuk bersenang-senang. Musik di
mana-mana. Makanan dan minuman ada di
setiap sudut. Namun, yang
menjadi highlight adalah street art yang
menjadi pusat perhatian.
“Kamu mau foto di sana?” Caleb
menunjuk sebuah grafiti berbentuk black
mamba yang memenuhi satu ruang tembok.
Aku menyengir lebar, tanpa berkata apa-
apa langsung berlari menuju tempat yang
dimaksud Caleb. Di sela keasyikannya
menikmati lukisan dan grafiti, Caleb
meluangkan waktu untuk memotretku.
“Selfie, yuk.” Aku menyambar ponsel dari
tangannya. Sambil merangkul Caleb, aku
memposisikan kamera hingga wajahku dan
Caleb berada di dalam layar, serta
keramaian festival menjadi latar belakang.

30
Aku mengambil beberapa potret, dan
semuanya Instagram-worthy.
“Mau minum?” tanya Caleb, yang kujawab
dengan anggukan. Dia beranjak
menuju stand minuman terdekat. Tidak lama
kemudian, Caleb kembali dengan dua kaleng
bir. Butiran es yang meleleh di sekeliling
kaleng membuatku mendadak sangat haus.
“Thanks,” ujarku saat menerima kaleng
tersebut. selama sesaat, aku terpana begitu
mendapati Caleb sudah membuka tutup
kaleng sehingga aku bisa langsung
meneguknya. Aku menahan senyum, ini
bukan hal baru. Hal kecil yang sederhana
tapi terasa berarti setiap kali Caleb
melakukannya.
Laid back Caleb is something new for
me. Aku menemukan sisi tersebut di
sepanjang hari ini. I like laid-back Caleb. Dia
terlihat santai, begitu menikmati keramaian
yang biasanya membuatnya cranky. Caleb
juga lebih touchy. Dia tidak pernah berhenti
merangkul atau menggandeng lenganku.
This is the best summer ever.
31
“One more volunteer. Anyone?”
Aku berhenti melangkah. Tatapanku
tertuju ke keramaian di persimpangan North
Street dan Raleigh Road, tidak jauh dari
Tobacco Factory yang menjadi pusat festival.
Di sana sedang berlangsung
pertunjukan live painting.
Tanpa meminta persetujuannya, aku
mendorong Caleb ke tengah kerumunan. “He
volunteer.”
Caleb tidak sempat mengelak karena si
pelaksana langsung menggiringnya
menuju easel kosong. Aku melemparkan
senyum tak berdosa sembari bertepuk
tangan. Semua orang yang ada di festival ini
harus tahu betapa hebatnya Caleb. Meski dia
menunjukkan wajah keberatan, itu tidak
berlangsung lama. Caleb langsung fokus
pada kanvas dan cat di dekatnya. Ketika dia
mengambil kuas, aku menahan napas.
Apa yang akan dilukisnya?
Aku sengaja menyimpan lukisan itu
sebagai kejutan, jadi aku

32
menuju volunteer lain dan menikmati
aksi live painting. Sesekali, sudut mataku
tertuju kepada Caleb. Tidak butuh waktu
lama sampai dia dikelilingi penonton yang
terpukau dengan lukisannya.
Live Painting Caleb is the sexiest thing
on earth. Aku mengusulkan agar dia
mengadakan sesi live painting di ARTE.
Awalnya Caleb menolak, tapi
sekarang event itu menjadi salah satu daya
tarik ARTE.
Meski begitu, Live Painting Caleb dengan
aku sebagai satu-satunya penonton menjadi
momen paling kusukai. Caleb bisa melukis
apa saja, tapi seringkali dia menjadikanku
sebagai objek lukisan. Tidak terhitung
berapa banyak lukisanku yang sudah
dibuatnya. Kadang dia melukisku dengan
serius, atau kalau isengnya sedang kumat,
dia bisa membuat lukisanku dengan unsur
komedi. Seperti lukisan terakhirnya, dia
melukisku yang sedang tidur dan bisa-
bisanya dia menambahkan air liur yang
menetes dari bibirku.

33
Aku masih mengecek lukisan lain dan
telingaku menangkap bisik-bisik yang
memuji lukisan Caleb. Rasa penasaran
membuatku menyerah dan menghampirinya.
Lukisan Caleb sederhana. Malah terlihat
mentah dan kasar. Ada beberapa kesalahan
di sana, seperti goresan yang kurang
sempurna atau warna yang ditumpuk untuk
menutupi kesalahan. Justru
ketidaksempurnaan itulah yang membuat
lukisannya jadi lebih hidup. Satu hal yang
menonjol, lukisan itu terlihat jujur. Caleb
berhasil memindahkan keramaian festival
ke atas canvas. Di bagian belakang ada
Tobacco Factory, lalu jalanan yang dipenuhi
pengunjung festival. Di bagian tengah, dia
melukis dirinya sendiri yang dikelilingi oleh
pengunjung festival. Tidak ada wajah di
sana, kecuali di satu sosok, dan kusadari itu
wajahku.
Dia melukisku berada di tengah-tengah
festival.
My Caleb is very talented.

34
Caleb membubuhkan tanda tangan di
sudut kanan bawah lukisan itu, dan
meninggalkannya.
“Can I keep it at my gallery?” Seorang
pria paruh baya dengan rambut gimbal
menghampirinya.
Caleb mengangguk. “It will be my
pleasure.”
Aku melingkarkan tangan di lengannya.
“Kalian bisa datang ke ARTE Gallery di
Shoreditch. Dia yang punya galeri itu. Di
minggu terakhir setiap bulan, ada Live
Viewing yang memajang lukisan seniman
baru. Kalau mau berpartisipasi, just hit us.
We will welcome you.”
Caleb tertawa kecil sebelum mengecup
sisi kanan kepalaku. “Kamu baru aja
mempromosikanku?”
“Of course. We have to keep up with the
hype. Mereka calon pelanggan potensial, jadi
harus tahu soal kamu dan ARTE. Kamu, sih,
paling enggak paham soal promosi,”
jawabku.

35
“That’s why I need you.”
Aku menengadah sambil tersenyum
lebar. “Someday, Mas Raka. We’re gonna
rock the world together.”
Sepanjang sisa sore itu, aku dan Caleb
menikmati festival yang semakin ramai.
Caleb masih belum mengeluh sekalipun
sepanjang hari ini dia berada di luar rumah.
Hanya keramaian seperti ini yang bisa
membuat Caleb berada di luar rumah atau
studio lebih dari delapan jam.
Saat malam menjelang, keramaian
festival belum berakhir. Aku mengajak Caleb
menikmati live music dari DJ yang ada di
salah satu stage. Highlight festival ketika
ada water showering yang membuat seluruh
jalanan itu seperti diguyur hujan.
Aku menengadah, membiarkan guyuran
air membasahiku. Di sampingku, Caleb
melakukan hal yang sama.
“Having fun?” tanyanya.
“Very,” sahutku. Aku mengusap wajah
untuk menghapus air yang mengaburkan
36
pandangan sebelum menghadap Caleb.
“Kamu tahu apa yang paling membuatku
bersenang-senang hari ini?”
Caleb merangkul pundakku, memutus
jarak denganku. Dia menunduk untuk
menatapku, menunggu jawaban atas
pertanyaan barusan.
“Spending my summer with you. I never
get enough of you.” Aku berjinjit untuk
menciumnya. “I love you.”
Caleb tersenyum lembut. Tanpa suara,
dia mengucapkan hal yang sama. Caleb
meraih bibirku dan memberikan ciuman
yang hangat dan dalam, sementara guyuran
air masih membasahi tubuh kami.
This is the perfect summer ever.
“Let’s go home,” bisiknya, di sela
ciumannya.
“Already?”
Caleb terkekeh. “I’m getting old, Ka.
Besides…” Tatapannya berkilat saat

37
menatapku. “Live painting tadi memberiku
ide. I want to paint you.”
Aku tertawa kecil, sudah bisa menebak
apa yang akan diucapkannya setelah ini.
“I want to paint Naked Azka.”
Sekali lagi, aku berjinjit untuk
menciumnya. “Take me home so you can
paint me.”
Keramaian festival akan selalu ada, tapi
aku tidak lagi peduli. Dengan tanganku
berada di genggaman Caleb, aku mengikuti
langkahnya menjauh dari keramaian.

38
39
Love Paint Extended Epilogue 2 Paint My
Love: Edinburgh

Caleb
“Uncle Caleb.”
Aku menoleh ke pintu galeri dan
mendapati kedua keponakanku berlari
mendekat. Aku berlutut sehingga Celine dan
Camille bisa menghambur ke pelukanku.
Mereka menyengir lebar, memperlihatkan
ekspresi yang sama di wajah yang sangat
mirip. Cukup sulit membedakan Celine dan
Camille. Mereka kembar identik, dan ibunya,
alias kakakku, suka mendandani dengan
gaya yang sama. Kalau jailnya sedang
kumat, mereka suka memakai pakaian yang
sama, menata rambut dengan gaya yang
sama, lalu menipu orang-orang dengan
bertukar identitas.
Aku menatap berganti-gantian. Siang ini,
mereka terlihat seperti satu orang yang
sama dalam dua badan berbeda. Dress

40
pink selutut dan tennis shoes putih, juga
ransel kecil berbentuk Minnie Mouse.
Rambut sebahu dibiarkan tergerai dan
disempurnakan dengan bando pink.
“Celine.” Aku menunjuk Camille dan
sengaja memanggilnya Celine, lalu beralih
ke keponakanku yang satu lagi. “Camille.”
Mereka tertawa, tampak puas karena
berhasil menipuku. Setelahnya, mereka
berkacak pinggang. Ekspresi mereka
terlihat bossy, persis seperti ekspresi
kakakku yang juga bossy itu.
“Aku Camille,” protes Camille.
Aku meletakkan tangan di dada dan
memasang wajah pura-pura bersalah.
“Sorry.”
Camille mengangguk, masih dengan
wajah angkuhnya. “Fine.”
They are the real copycat of my
sister. Menghadapi satu orang seperti Mbak
Rani saja sudah membuatku pusing. Aku
salut dengan kakak iparku yang sanggup
menghadapi tiga orang Mbak Rani.
41
Celine dan Camille menatapku penuh
harapan. “Can we play at your studio?”
Mbak Rani mengerang sementara aku
tertawa. Setelah satu anggukan singkat,
kedua anak itu berlari menuju studio di
lantai dua.
“Gue yang bakal ribet ngebersihin cat. Lo
enggak lihat mereka pakai sepatu putih?
Pasti, deh, sepatunya cemong-cemong,”
gerutu Mbak Rani, membuatku tidak bisa
menahan tawa.
Berbanding terbalik dengan kedua
anaknya yang suka bermain di studio, Mbak
Rani malah sebaliknya. Meski sebenarnya
dia tidak keberatan, tapi dia tidak lupa untuk
menggerutu di depanku.
“So, any news?”
Aku memutar bola mata sementara Mbak
Rani malah terkikik. Dia selalu menanyakan
hal yang sama, tepatnya semenjak dua bulan
yang lalu. Salahku juga curhat kepada Mbak
Rani, padahal aku tahu dia tidak akan pernah
bisa melepaskanku.

42
Mbak Rani melingkarkan lengannya di
pundakku. “She will say yes. Trust me.”
Dua bulan lalu, aku bertanya
pendapatnya ketika berpikir untuk
membawa hubunganku dan Azka ke jenjang
yang lebih serius. Dia tidak kaget,
menurutnya aku menunggu terlalu lama.
Sejujurnya, keinginan itu sudah ada
semenjak aku baru berpacaran dengannya.
Namun situasinya tidak memungkinkan. Aku
menunggu sampai Azka lulus kuliah, setelah
itu mungkin aku bisa mengajaknya bicara
serius soal masa depan.
Hampir dua tahun berlalu semenjak dia
menyelesaikan kuliah, tapi aku belum punya
keberanian untuk mengutarakan niat. Aku
berdalih kalau Azka masih terlalu muda
untuk menginjak pernikahan. Ditambah
dengan pekerjaannya, yang membuatnya
bersemangat, sehingga aku berpikir dia
butuh waktu untuk mengembangkan potensi
yang dimilikinya.
Waktu berlalu begitu saja dan aku masih
belum menemukan keraguan.

43
But I can’t wait anymore. I love her. I love
our relationship right now but it’s not
enough. When I think about the future, I
always see myself walking side by side with
her.
“Do I need a grand gesture?” tanyaku.
Pertanyaan yang salah, karena aku
sudah tahu jawabannya bahkan sebelum
kakakku itu mengangguk.
She’s a hopeless romantic. Tentu saja dia
butuh grand gesture di momen penting.
“I think you drop on your knee in the
middle of the crowd and ask her your
proposal. Mungkin di salah satu acara di
galeri ini? Atau…” Mbak Rani menatapku
dengan kilat usil di matanya. “Make it
private. Just the two oi you.”
“What about you? What did Mas Arsya
do?”
“Nothing special. It was his birthday and
we just laying naked in his bed after a rough
and hot sex then he popped up with the
question.”
44
Aku mengernyitkan hidung. “Please
spare me with the detail.”
Mbak Rani kembali tertawa, tapi detik
setelahnya dia menatapku serius. Tidak ada
lagi kesan usil di wajahnya. “Do you love
her?” tanyanya.
Aku mengangguk. Sedikit pun tidak ada
keraguan soal perasaanku kepada Azka.
“Do you want to spend your life together
with her?”
Sekali lagi, aku mengangguk dengan
penuh keyakinan.
“Then, ask her. Dia enggak akan peduli
dengan grand gesture atau apa pun. Dia
cuma butuh lo mengutarakan niat buat
menikahinya. Itu aja sudah cukup.” Mbak
Rani berkata cepat.
Aku mengusap bagian belakang leher.
Ada kebenaran di balik ucapannya.
Seharusnya tidak ada yang membuatku
ragu, tapi kenapa aku malah seperti ini.

45
“But you just said that I need a grand
gesture.”
Mbak Rani menjitak kepalaku sambil
menggeram kesal. “Silly you. You know
what? She can wait but for how long? Sudah
empat tahun, Dek. Kalau serius, seharusnya
lo udah melamar dia sejak lama.”
She’s 100% right.
“Kalau Azka akhirnya mundur, itu bukan
salah dia. Melainkan karena lo sendiri
yang wishy washy begini. Man up, little
brother.” Mbak Rani berkacak pinggang di
depanku dengan ekspresi bossy yang
menyebalkan. “Jangan kebanyakan berpikir.
Just do it already.”
Easier said than done.
Karena, aku ingin melakukan sesuatu
yang istimewa untuk Azka. Selama ini dia
berusaha terlalu keras dalam hubungan ini
dan aku tidak melakukan apa-apa.
Sekarang giliranku.
Mungkin Azka tidak butuh grand gesture.

46
But I have to.
**
Azka memberikan jalan keluar. Setelah
berhasil membuat galeri di Bristol kembali
beroperasi, Azka semakin dipercaya untuk
menangani proyek yang lebih besar. Kali ini,
dia harus meninggalkanku karena pekerjaan
ke Edinburgh.
Edinburgh would be my grand gesture.
Azka sangat menyukai Edinburgh. Dari
semua tempat yang pernah kami kunjungi,
Skotlandia menempati posisi istimewa di
hatinya. Aku merasa Edinburgh akan
menjadi latar sempurna di saat aku
melamar Azka.
The timing is on my side.
Karena, aku dan Azka akan merayakan
hari jadi yang keempat dua minggu lagi.
“Mas, yakin enggak mau ikut aku ke
Edinburgh?” Azka menatapku dengan penuh
harap.

47
Sejak mendapat pekerjaan itu, Azka
mengajakku untuk ikut. Ditambah aku tidak
punya proyek penting yang mengharuskanku
tinggal di London. Tidak ada alasan untuk
menolak ajakannya.
Selama tiga bulan dia berada di Bristol,
aku merasakan sulit untuk hidup terpisah
dengannya. Azka juga merasakan hal yang
sama. Dia hampir menolak pekerjaan ini
karena tidak mau berjauhan. Aku tidak ingin
menjadi pacar posesif yang
menghamnbatnya, sehingga aku
meyakinkannya untuk menerima tanggung
jawab ini.
This is a huge opportunity for her.
Azka menerimanya. Sebagai gantinya, dia
mengajakku ikut.
Aku sudah siap untuk ikut dengannya,
tapi aku menahan diri. I need to make my
grand gesture. Jadi, aku harus memaksakan
diri untuk tinggal berjauhan setidaknya
selama dua minggu ke depan.

48
“James butuh aku di ARTE,” ujarku.
Terpaksa, aku berbohong meski itu adalah
hal terakhir yang ingin kulakukan. Aku tidak
suka berbohong kepadanya, meski
kebohongan itu tidak serius.
Azka mendesah. Dia beringsut untuk
memelukku. “I’m gonna miss you.”
It will kill me to live in different place
with her. Cuma dua minggu, aku meyakinkan
diri bahwa kami akan baik-baik saja.
“I’ll come when I can,” bisikku. Aku akan
menghampirinya dua minggu lagi.
Azka menengadah untuk
menatapku. “Promise me?”
Aku menunduk dan mengecup
hidungnya. “Promise you, Love.”
Azka berusaha untuk tersenyum meski
wajahnya menampakkan hal sebaliknya.
Tanpa melepaskannya, aku mengangkat
tubuhnya dan membawanya ke tempat tidur.
“Let me spoil you while I can.”

49
Undressing her is my favorite. Seringkali,
aku harus melawan dorongan hasrat yang
menggebu-gebu tidak sabar untuk bercinta
dengannya. Sebagai gantinya, aku melucuti
pakaiannya satu per satu, menikmati setiap
jengkal tubuhnya yang indah dengan kedua
mataku.
I love her. I love her body. I love her
round breast with her hard nipples that beg
me to kiss them. I love her flat stomach and
her small waist. I love her hips and her thigh
that cage me every time I made love with
her. I love her long and slender legs. Most of
all, I love her sex which always welcomes
me to touch and kiss and fill her with mine.
I love everything about her.
Mataku menelusuri setiap jengkal
tubuhnya. Jantungku berdebar kencang.
Hasratku menuntut untuk segera dipuaskan.
Kejantananku menegang, memaksa untuk
segera dilepaskan dari kurungan celana
yang mendadak sempit.
Namun aku sengaja berlama-lama
memandanginya. Soon, she will be mine.
50
If she said yes.
Bertumpu kepada siku dan lutut, aku
menurunkan tubuh agar tidak
menghimpitnya. Aku menciumnya, berlama-
lama di sana karena selama dua minggu ke
depan, aku tidak bisa menikmati bibirnya.
Azka menyambut ciumanku, memberikanku
kesempatan untuk mencumbunya dengan
dalam. Ciuman Azka membuatku harus
menahan diri lebih keras lagi, karena saat
ini tidak ada hal lain yang ingin kulakukan
selain menyatukan tubuhku dengannya.
“Take it slow, eh?” bisiknya.
“Just enjoying my time,” balasku.
Azka melingkarkan lengannya di leherku
sementara aku melarikan bibir di di
wajahnya. Aku mengecup keningnya, turun
ke hidung dan pipinya. Azka mendongak saat
bibirku menyentuh rahangnya, sebelum
turun ke lehernya. Aku menghirup aromanya
yang memenuhi penciumanku, berharap
aroma tubuhnya bisa menemaniku sampai
aku bertemu dengannya dua minggu lagi.

51
Sebuah lenguhan keluar dari bibirnya
ketika ciumanku turun ke dadanya. Aku
membenamkan wajah di antara kedua
payudaranya, membiarkan aroma tubuhnya
menguasaiku. Perlahan, aku menuju
payudaranya yang menunggu untuk
dimanjakan. Aku menyentuhnya dengan
ujung lidah, merasakan tubuhnya bergetar di
bawahku.
“My love,” bisikku,
sebelum meraup
payudaraya ke dalam ciuman yang dalam
dan menuntut.
Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar
dan Azka melengkungkan punggungnya agar
aku bisa menikmatinya tanpa ada yang
menghalangi. Rintihan yang keluar dari
bibirnya membuatku semakin menjadi-jadi.
This is what I love about her. She’s very
expressive, especially when she made love
to me. Azka tidak ragu untuk menunjukkan
sisi liarnya di hadapanku, membuatku
semakin bergelora dalam memanjakannya.
I am the lucky guy. Cuma aku yang bisa
melihat tubuhnya tanpa batas dan
52
menyaksikan sisi liarnya setiap kali bercinta.
Dia membuatku merasa istimewa.
Aku juga satu-satunya pria yang
diizinkan untuk menyentuhnya di tempat
paling rahasia di tubuhnya. Aku
meregangkan kaki, memberi celah di antara
kedua pahanya untuk kutempat untuk
menyicipi kewanitaannya.
Dia membuatku gila.
Everything about her makes me crazy.
Rintihannya. Lenguhannya. Juga
tubuhnya. Semuanya membuatku gila.
Malam ini, dia membuatku gila dengan
kedua kakinya yang melingkari tubuhku,
menenggelamkanku ke dalam
kewanitaannya yang memabukkan.
**
“How’s your day?”
Di layar laptop, Azka memasang wajah
cemberut. “Miss you already.”

53
Hari keempat. Masih ada sepuluh hari
lagi. Aku harus bisa bertahan.
Aku menghabiskan empat hari ini
berpindah dari satu toko perhiasan ke toko
lainnya untuk mencari cincin. Ternyata, ini
jauh lebih sulit dibanding perkiraanku.
Semua cincin terlihat indah, tapi aku belum
menemukan cincin yang mampu
menggerakkan hatiku.
Setidaknya, aku sudah
membuat progress dengan booking kamar di
The Artist’ House, sebuah penginapan di
Jupiter Artland. Azka pernah menyinggung
ingin mengunjungi Jupiter Artland,
sebuah landscape berisi patung dan
pameran karya seni yang berada di tengah
hutan seluas seratus hektar. Sayangnya,
setiap kali ke Edinburgh, Azka belum
berkesempatan mengunjunginya.
Jupiter Artland will be my grand gesture.
Aku sudah booking special tour di Jupiter
Artland. Jika rencanaku berjalan lancar, aku
akan menghampiri Azka tanpa
mengabarinya terlebih dahulu, lalu
54
membawanya ke sana. Aku akan
menemaninya mengelilingi Artland,
menjadi Instagram boyfriend biar dia punya
banyak stok foto buat Instagram, dan makan
malam di private terrace di penginapan.
Then I’ll drop on my knee asking her to
marry me.
Masalah besar, aku belum menemukan
cincin. Aku meminta bantuan Mbak Rani
untuk menemaniku mencari cincin besok.
Mungkin dia bisa memberikan perspektif
lain.
“Everything’s okay?”
Azka bercerita tentang pekerjaannya.
Tangannya bergerak seiring ceritanya. Dia
sangat ekspresif. Tidak ada yang bisa
menghentikannya kalau sudah bicara.
She’s a perfect match for me. Aku paling
malas bicara, sementara Azka bisa bicara
selama berjam-jam.
She’s the yang to my yin.

55
Sementara dia bercerita, aku
mendengarkan tanpa bisa menghapus
senyum. Aku membayangkan masa depan
bersamanya. Akan selalu seperti ini. Aku
mendengarkan dalam diam. Azka bercerita
tanpa henti.
It’s perfect.
“Menurutmu, aku bakal berhasil enggak?”
Aku mengangguk. “You’re more than
great. Baru empat hari kamu sudah ketemu
apa yang salah dengan galeri itu. Pasti kamu
bisa membuat program menarik di sana.”
Azka tidak butuh pendapatku. Dia pasti
bisa menaklukkan apa saja.
“Pemiliknya agak keberatan. He gave me
a hard time actually.” Azka menghela napas
panjang. “Anaknya yang reach out ke agensi,
sementara si Bapak enggak begitu suka ada
orang asing yang ikut campur dalam galeri
mereka.”
“I can see that.”

56
“Kamu keberatan kalau ada orang asing
ikut campur dalam mengurus ARTE?”
Aku butuh waktu untuk memikirkan
jawaban. “Dulu, iya. Kalau kamu ingat, aku
sempat enggak mau meninggalkan ARTE
Jakarta di tangan Tania. Padahal aku
masih hands on 100%, cuma dari jauh aja.
Sekarang aku mengerti, aku cuma punya
dua tangan dan enggak semuanya bisa
kuurus sendiri. Ada bagian yang aku enggak
paham dan butuh bantuan orang lain. Aku
enggak terima jika ada yang mengatur
karyaku, tapi menyangkut ARTE, selama
masih sejalan denganku, dan tujuannya baik,
kenapa tidak?”
Senyuman di wajah Azka ikut
membuatku lega. Melihatnya yang
menanggung beban itu sendiri membuatu
ingin emngubah rencana, dan
mengunjunginya besok.
“You’re right. Aku akan melakukan hal
yang sama,” jawabnya. “Well, thanks for
listening to me. I’m sleepy.”

57
Untuk menegaskan ucapannya, Azka
menguap.
“Let’s go to sleep. Jangan dimatiin, aku
mau melihat kamu tidur.”
Azka tersenyum. Dia menempatkan
laptop di sisinya, dan mengambil posisi
berbaring menyamping agar bisa melihatku
di layar laptop. Dia membungkus tubuhnya
dengan selimut, hanya meninggalkan
wajahnya.
“I wish you here,” bisiknya.
“Me too.” Sepuluh hari lagi, aku akan ada
di sana. “I’ll be there, I promise you. Just
save yourself for me.”
Meski Azka tertawa, dia mulai kesulitan
membuka mata.
“Go to sleep, Love.” Aku bergeming di
tempat, melihat Azka yang mulai menyerah
kepada kantuk. Aku masih bertahan di
temapt sampai Azka tertidur.
I can see my future. Me, sleeping beside
her, stroke her hair until she falls into sleep.

58
**
“Mas Raka!”
Azka melompat ke pelukanku. Sejujurnya
teriakannya membuat telingaku sakit, tapi
aku mengabaikannya. Rasa rindu selama
dua minggu terakhir mengaburkan
semuanya.
“Kok enggak bilang mau datang?”
tanyanya. Dari wajahnya yang berseri begitu
melihatku, membuat semua upayaku
terbayar.
Aku merengkuh pinggangnya, menahan
tubuhnya yang bergelayut sambil
memelukku. Azka menciumi wajahku,
menimbulkan rasa geli tapi tidak ada satu
pun protes yang bisa kuberikan. Jadi,
kubiarkan Azka berbuat sesuka hati dan
menikmati setiap perhatian yang
diberikannya.
“Miss you banget, lho.” Azka menangkup
kedua sisi wajahku sebelum mencium
bibirku. “Tumben banget kamu
bikin surprise.”

59
Aku tertawa. “Sesekali ganti peran sama
kamu.”
Azka tersenyum lebar. “Lama, kan, di
sini?”
“I bought one-way ticket,” sahutku.
“Good.” Azka kembali menciumi wajahku
sebelum melompat turun. Dia
menggandengku untuk masuk ke dalam flat.
“Baliknya nanti aja kalau aku udah selesai
kerja di sini.”
“Boleh aja,” timpalku. Tidak ada
kewajiban atau hal penting yang
mengharuskanku untuk kembali ke London.
Sehingga menemani Azka di sini terasa lebih
menyenangkan.
Azka menarikku hingga terduduk
di loveseat di sudut kamarnya. Azka
menempati apartemen tipe studio dengan
konsep open plan. Apartemen itu tidak
begitu besar. ada satu tempat tidur di sudut
dalam, berbatasan dengan ruang kerja
sekaligus ruang tamu. Di sisi lain ada dapur
kecil.

60
“Aku belum bikin rencana apa-apa. Mas
Raka, sih, enggak bilang mau ke sini, jadi
aku enggak ada persiapan.” Azka ikut
menempati loveseat itu bersamaku. Sofa itu
tidak terlalu besar, tubuhku saja sudah
hampir memenuhi semua sisi sofa, sehingga
Azka menumpangkan sebagian bobot
tubuhnya di pangkuanku. “Aku juga belum
belanja jadi enggak ada makanan apa-apa.”
“It’s okay. Actually, I have a plan.”
Mata Azka membola saat mendengar
penuturanku.
“Mungkin kamu lupa,
lusa anniversary kita,” lanjutku.
Azka menyikut rusukku sambil
memasang wajah cemberut. “Aku enggak
mungkin lupa. Kalau kamu yang lupa, aku
enggak heran ya.”
Of course, she remembers.
“Well, I have a plan,” ujarku lagi.
“Apa?”

61
Aku tersenyum tipis lalu menggeleng.
“Rahasia. Kamu tinggal siapin pakaian buat
menginap selama semalam. Besok pagi, kita
berangkat.”
Azka bersedekap, matanya menatapku
dengan penuh curiga. “Bisa kasih bocoran?”
Aku menggeleng. “Aku yakin kamu bakal
suka.”
“Okay.” Azka melingkarkan lengannya di
leherku. Dia mengubah posisi hingga
tubuhnya sepenuhnya berada di
pangkuanku.
Aku bisa merasakan kejantananku yang
mengeras ketika bersentuhan dengannya.
Azka mengenakan celana pendek yang
menampakkan paha, juga tank top sewarna
kulit yang membuat imajinasiku semakin
liar.
Dengan berada di pangkuanku, Azka jadi
lebih tinggi sehingga aku terpaksa
mendongak untuk membalas tatapannya.
Selama dua minggu ini aku menahan diri
untuk tidak membeli tiket kereta ke

62
Edinburgh agar bisa melepas rindu
dengannya. Dua minggu terakhir
kumanfaatkan untuk menyiapkan kejutan
sesempurna mungkin. Aku tidak mau ada
kesalahan kecil yang bisa membuyarkan
rencanaku.
Menjelang hari yang kusiapkan,
perasaanku jadi tidak menentu.
**
Azka melepaskan pegangan dari tas yang
dibawanya, menimbulkan bunyi debum kecil
ketika tas itu menyentuh paving. Dia
menutup mulut yang terbuka dengan kedua
tangan. Matanya berbinar-binar menatap
pemandangan hijau yang sangat luas di
hadapannya.
“Welcome to Jupiter Artland,” bisikku.
Sejak kemarin, Azka berusaha mencari
tahu soal kejutan ini. Dia memberikan
beberapa tebakan. Azka sempat menyebut
Jupiter Artland ketika aku menunjukkan
tiket ke Waverley. Hampir saja aku
keceplosan, tapi masih bisa menahan diri.

63
Ada bahagia menyelimuti hatiku saat
melihat reaksi Azka ketika kami turun dari
mobil yang kusewa di stasiun Waverley.
“Makasih. Kamu tahu banget aku penign
ke sini dari kapan tahu tapi belum
kesampaian. Tadinya, aku berencana ke sini
sendiri kalau kamu enggak menyusul. Aku
bahkan udah mulai riset cara ke sini, tapi
masih bingung bakal jalan-jalan aja atau
enaknya sekalian menginap ya?” ujarnya.
Azka menatapku dengan mata terbelalak.
“Kita menginap di sini?”
Aku mengangguk dan ditanggapi Azka
dengan jeritan riang.
“Oke, aku udah enggak sabar. Untung aku
pakai sneakers.” Azka melirik sepatu yang
dipakainya. “Kamu enggak ngasih tahu kita
mau ke sini. Kalau aku saltum atau salah
pakai sepatu gimana? Kan enggak lucu aku
keliling hutan pakai high heels.”
Aku tertawa ringan. “Kalau kamu
pakai high heels, aku bisa gendong,”
timpalku. Aku mengambil ransel, juga tas
Azka, dan membawanya ke bagian
64
resepsionis. “Kamu tunggu di sini, aku
registrasi dulu.”
Azka sudah sibuk dengan ponselnya
sementara aku melakukan registrasi di
konter resepsionis. Berhubung baru
bisa check in pukul empat, aku mengajak
Azka makan siang di café sebelum
berkeliling Jupiter Artland sembari mengisi
waktu. Area ini sangat luas. Dikelilingi hutan
dan ada banyak patung tersebar di
dalamnya. Saat ini juga berlangsung
pameran dari seniman terkenal di
Skotlandia, juga ada winter painting session.
This is perfect.
Kehadiran Azka membuat akhir pekan ini
jadi lebih sempurna.
Dan malam ini, kesempurnaan yang
kucari akan semakin lengkap ketika
menyematkan cincin di jarinya.
Azka yang selalu bersemangat membuat
udara musim dingin jadi tidak terasa.
Sampai sekarang aku belum habis pikir
karena Azka seperti tidak pernah mengenal

65
capek. Setelah selesai makan siang, ia
langsung menarikku mengikuti tur
berkeliling hutan yang
menjadi highlight Artland sembari mencari
patung-patung yang tersebar di sana.
“Aku ingat NuArt di Bandung.” Azka
berjalan pelan di sampingku. “Enggak apple
to apple sih. Artland jauh lebih gede tapi
NuArt juga enggak kalah bagus.”
“I’ve been there. Waktu itu menemani
teman yang perupa patung. I Nyoman Nuarta
is a genius.”
Azka meremas lenganku untuk menahan
gemas. “Banget. GWK itu magical, sih.”
Satu hal yang membuat hubunganku dan
Azka bertahan selama empat tahun, aku
bisa bicara apa saja dengannya. Dia teman
diskusi yang menyenangkan, tidak jarang
masukan Azka membantuku dalam
mengambil keputusan.
She’s my partner. Tidak hanya sebagai
pasangan, Azka juga menjadi rekan kerja
yang cocok denganku. Dia satu-satunya

66
perempuan yang ingin kujadikan sebagai
partner hidup.
“Fotoin di sini.” Azka berdiri di samping
patung perempuan sedang tersungkur yang
dikelilingi pepohonan. Dia mengambil jarak
aman dengan patung tersebut agar tidak
menyentuh karya seni yang ada di sana.
Aku memotretnya sambil menahan
senyum. Sekarang aku masih menjadi
Instagram Boyfriend. Aku tidak sabar
untuk upgrade posisi menjadi Instagram
Husband.
What a nice title.
“Kenapa, sih, senyum-senyum mulu dari
tadi?” tanya Azka dengan tatapan curiga.
Aku menggeleng. Satu tanganku
tersimpan di dalam saku coat, memainkan
kotak cincin yang tersimpan di sana.
Sekalipun hubungan ini baik-baik saja, tetap
ada kemungkinan Azka akan menolak.
Sekuat tenaga, aku mengabaikan ragu
yang mendadak muncul. Sebagai gantinya,
aku berusaha menikmati pemandangan di
67
sekeliling. Azka merangkul lenganku,
kehangatan tubuhnya turut mengusir cuaca
musim dingin yang menggigit.
Sesekali, aku berhenti untuk meneliti
patung dan membaca penjelasan. Lain kali,
Azka yang berhenti jika ingin memotret
pemandangan atau mengajakku selfie.
Artland sangat luas, dan butuh waktu tiga
jam lebih untuk menelusuri setiap sisinya.
“Aku mau melukis di sini,” bisikku. Aku
mengajak Azka beristirahat dengan
bersandar di pohon. Azka berada di
depanku, dengan aku memeluk pinggangnya
dan dia bersandar ke dadaku. “Modelnya
kamu.”
Azka terkikik pelan. “Your favorite pose?”
Aku menenggelamkan wajah di
rambutnya untuk menyembunyikan tawa.
“Naked Azka.”
“Aku bukan exhibisionist.” Azka tertawa.
Aku mengecup sisi kanan kepalanya.
“Tonight, Love. I’ll paint you.”

68
Lukisan pertama Azka sebagai
tunanganku, jika dia menerima.
“Balik ke penginapan?”
Azka menghela napas panjang lalu
mengangguk. Tanpa suara, aku
menggandengnya keluar dari area hutan
menuju penginapan.
Jupiter Artland dilengkapi penginapan
khas Skotlandia, The Artist’ House. Aku
sudah menyewa master bedroom di sana.
Kamar dengan area teras dan taman privat,
juga ada outdoor bathtub yang dilengkapi air
panas dengan pemandangan alam yang
indah.
Kamar itu didominasi unsur kayu. Ada
tempat tidur besar yang nyaman di dekat
perapian sehingga kamar terasa hangat.
Azka membuka pintu yang menghubungkan
kamar dengan private terrace.
“Kita harus ke sini lagi waktu summer.”
Azka berkata santai dan melangkah ke luar
kamar. Dia berhenti di samping outdoor
bathtub dan membalikkan tubuh dengan

69
cengiran lebar di wajahnya. “Ada air hangat.
Kita bisa berendam di sini sebelum pulang
besok.”
Aku meraih kursi kayu di teras dan
membawanya ke dekat Azka. “Sebelumnya,
aku akan melukismu di sini.”
Azka mengangguk kencang dan cengiran
di wajahnya masih ada.
“Kamu tunggu di sini,” ucapku pelan.
Aku kembali ke kamar untuk mengambil
selimut, lalu membawanya keluar dan
menata di sofa yang ada di teras. Azka
berlari ke dalam kamar, tidak lama dia
keluar dengan sebotol wine dan dua gelas
kosong. Azka menghampiriku di sofa,
meringkuk di pelukanku sambil
menuang wine.
Hari ini berjalan sesuai rencana. Aku
menghabiskan sore bersama Azka di
pelukanku, mendengarnya bercerita sembari
memilih foto di ponsel. Satu tanganku
berada di kantong coat, memainkan kotak
cincin yang masih tersimpan di sana.

70
Aku berencana melamarnya saat dinner.
Aku juga sudah melatih ucapan saat
melamarnya. Namun sore ini semuanya jadi
buyar. Aku tidak yakin apakah momen yang
kurencanakan, juga kata-kata yang
kusiapkan, bisa menyentuh hatinya.
Sampai jam makan malam tiba, ragu itu
belum juga hilang. Aku berusaha
mendengarkan cerita Azka, sementara
jantungku berdebar tak keruan. Sesekali aku
tersenyum untuk menanggapi, tapi tidak ada
sepatah kata pun yang keluar dari mulutku.
“Are you okay?”
Aku gelagapan saat mendengar
pertanyaan itu. “Yes. Why?”
“Kamu pendiam.”
Sebuah tawa mencuri keluar dari bibirku.
“Bukannya biasanya juga diam?”
Azka terkikik. “Iya, sih, tapi sejak di
kamar, kamu diam banget.”
Kalau saja dia bisa mendengar debar
jantungku.

71
Beruntung Azka tidak mendesakku. Dia
memandang ke sekeliling. Api unggun di
dekat meja yang kami tempati membuat
wajahnya terlihat bercahaya. Azka tampak
lucu dalam coat dan beanie kuning.
“Damai, ya. Kamu pasti punya banyak ide
buat lukisan baru.
Rencana exhibition buat summer tahun
depan masih jalan, kan?” tanya Azka.
“Masih. James sudah mendapatkan
sponsor.”
Azka menatapku dengan tatapan
menyelidik. “Terus?”
“Aku butuh kurator.”
“Nat?”
Aku menggenggam tangannya di atas
meja. “I want you.”
Tawaran itu tidak pernah terlintas
sebelumnya. Aku memang ingin
bekerjasama dengannya, tapi belum
menemukan momentum yang tepat. Malam
ini, tiba-tiba saja momentum itu hadir. Solo

72
exhibition yang menjadi event rutin dua
tahunan yang kulakukan.
“Aku enggak punya pengalaman apa-
apa.”
Aku meremas tangannya pelan. “I trust
you. Kalau kamu mau.”
“Mau, sih…” Azka tampak ragu. “If you
trust me.”
“I always trust you. Mungkin kita bisa
bawa solo exhibition ke Jakarta,” timpalku.
Lagi, sebuah rencana yang belum
terpikirkan sebelumnya.
“Ide bagus.” Azka tersenyum lebar.
“Risikonya besar karena aku belum punya
portofolio profesional tapai aku kenal kamu.
Aku pede bilang kalau aku yang paling
mengerti kamu, jadi aku yakin aku bisa.”
“Kamu yang paling mengerti aku?”
This is the moment I’m waiting for.
Azka mengangguk.

73
“Aku enggak punya keyakinan yang sama
denganmu. Mungkin ada orang lain di luar
sana yang jauh lebih mengerti kamu
dibanding aku, tapi aku selalu berusaha
untuk mengerti kamu.” Aku berkata pelan,
sementara Azka menatapku dengan mata
bulatnya yang bersinar.
Keheningan terasa begitu mencekam
ketika lidahku mendadak kelu. Tidak ada
kata-kata manis yang bisa kuucapkan. Rasa
panik melanda, membuatku harus mati-
matian menahan diri agar tidak lari terbirit-
birit.
Fuck off.
Begitu saja, aku mengeluarkan kotak
cincin yang selama beberapa jam terakhir
tersimpan di dalam kantong dan
meletakkannya di atas meja. Aku
membukanya, menampakkan cincin
sederhana dengan berlian kecil di atasnya.
Azka terkesiap.
“Marry me.” Permintaan itu keluar dari
mulutku. “Aku mencintaimu dan aku ingin

74
menghabiskan sisa hidupku
denganmu. Please, marry me.”
Azka menatapku dan cincin itu berganti-
gantian. Ketika matanya tertuju kepadaku,
dia tampak berkaca-kaca. Aku bangkit
berdiri dan menghampiri Azka. Di
hadapannya, aku berlutut dengan kotak
cincin yang kusodorkan ke hadapannya.
“Marry me. Will you?”
Azka melemparkan tangannya untuk
menutup mulut. Walaupun dia sangat
ekspresif, aku tidak berani menebak
jawaban yang akan diberikannya.
Ketika Azka mengangguk dan
menghambur ke pelukanku, beban yang
menghimpit dada mendadak hilang. Juga,
ketika menyelipkan cincin itu di jari Azka,
hidupku terasa sempurna.
**
“I want to make love with my
fiancée.” Aku berbisik di telinga Azka.

75
Dia tertawa pelan, lalu melingkarkan
lengannya di leherku. “I want to make love
with my fiancée,” ucapnya, mengulang
perkataan yang kusebutkan sebelumnya.
Azka membalas ciumanku sementara
aku menggendongnya melewati ruangan
menuju tempat tidur. Perlahan, aku
membaringkannya tanpa mengurai ciuman.
Lidahnya yang berpagut denganku
membuatku harus menahan diri untuk tidak
menuntaskan hasratku saat ini juga. Aku
ingin menikmati momen ini, bercinta
dengannya tanpa peduli waktu.
Perlahan, aku melucuti pakaiannya.
Kulitnya yang berkilauan akibat cahaya dari
perapian menghadirkan pemandangan indah
di mataku. Aku menelusuri kulitnya yang
hangat dengan bibir, mengecap setiap
jengkal tubuhnya yang menggairahkan. Saat
ini, aku tidak ingin memikirkan waktu karena
yang kupikirkan hanyalah memuaskan Azka
dengan sepenuh hati.
I love this girl. Bersamanya membuatku
merasa menjadi pria paling beruntung.

76
Keberuntunganku kian sempuna dengan
cincin yang melingkar di jarinya.
I found love when I look into her eyes.
Aku menyatukan diriku dengannya,
sengaja berdiam dan meresapi kehangatan
yang diberikannya, sebelum memacu
kenikmatan bersamanya.
**
“Aku enggak mau pulang.”
“Kita bisa ke sini lagi,” timpalku. Aku
meraih tangannya yang tersembunyi di
dalam air hangat yang menyelimuti
tubuhnya.
Azka bersandar ke dadaku di dalam
bathtub. Buih sabun yang menyelimuti
tubuhnya, memperlihatkan bayangan
kulitnya di dalam air, membuat hasratku
kembali menggebu.
“Ini kamu yang pilih?” Azka mengangkat
tangannya yang dilingkari cincin.
Butuh waktu berhari-hari untuk memilih
cincin yang tepat. Bahkan dengan bantuan
77
Mbak Rani pun, aku tidak bisa membuat
keputusan. Cincin ini kutemukan dengan
tidak sengaja, sewaktu melewati toko
perhiasan dan seolah ada yang
memanggilku. Begitu mataku menatapnya,
aku langsung tahu kalau cincin itulah yang
kubutuhkan.
“Suka?”
Azka mengangguk. Dia mengangkat
tubuh dan bergerak menjauhiku. Azka
bersandar di sisi lain bathtub hinga duduk
berhadapan denganku. Aku menekuk lutut
dan bersandar di atasnya, membiarkan
kakiku mengait kaki Azka di bawah air.
Mataku tertuju ke kanvas yang masih berada
di easel.
Lukisan pertama Azka setelah menjadi
tunanganku.
Di lukisan itu, Azka duduk di kursi kayu di
taman private di luar kamar. Di kejauhan,
ada pepohonan mengintip dari hutan di
belakang. Azka membiarkan rambut tergerai
menutupi dadanya, sementara dia duduk
tegak dengan kaki terbuka.
78
The perfect Naked Azka.
“Aku enggak yakin bisa melukis kamu
lebih baik lagi dari ini.”
Azka mengikuti arah pandangku. “Aku
punya tantangan.”
“Tantangan?”
Azka mengangkat tubuhnya dan
bersandar ke lutut. Dia berada sangat dekat
denganku, membuatku bisa merasakan
embusan napasnya di wajahku.
“Paint me and you. Naked Azka and
Caleb.”
Aku tertawa kecil. Azka selalu menjadi
Azka, dengan kejutan dan pola pikirnya yang
tidak pernah bisa ditebak. Tantangan
tersebut tidak mudah, tapi aku menerimanya
dengan senang hati. “I think I can do that.”
Azka mencondongkan wajahnya hingga
bibirnya menempel di bibirku. “Aku tunggu.”
This is perfect. Having my time with her
is perfect. Spending the rest of my life with
her is perfect.
79
“Love you,” bisikku.
“Love you too, fiancée.”

80
81
Love Paint Extended Epilogue 3 Paint
My Love: Bandung

Caleb
“Here you are.”
Azka menjatuhkan tubuhnya ke
pangkuanku. Kedua lengannya dilingkarkan
di leherku. Dia menoleh ke balik punggung,
mencari tahu apa yang membuatku terpaku
di tempat selama beberapa menit terakhir.
“Kamu belum balas emailnya?”
Tanpa bisa dicegah, aku menghela napas
panjang. Azka yang sensitif langsung
menangkap ada yang membebani pikiranku.
Email yang memenuhi layar laptop menjadi
sumber kegelisahanku. Sudah dua bulan aku
menghindar dari email itu, karena belum
menemukan jawaban yang tepat. Namun aku
tidak bisa menghindar lebih lama lagi.
Aku harus memberi jawaban.
“What do you really want?”

82
Pertanyaan itu sederhana. Seharusnya
tidak sulit mencari jawabannya. Namun,
ketika aku memberanikan diri membalas
tatapan Azka, aku tidak lagi yakin dengan
apa yang kuinginkan.
All I want is to make her happy.
Apakah dengan menerima tawaran
tersebut bisa membuat Azka bahagia?
“What do you want?” Bukannya
menjawab, aku malah balik bertanya.
Azka mendecakkan lidah. Jari-jarinya
memainkan ujung rambutku yang sudah
mulai panjang. “Kenapa malah balas nanya,
sih? Kan, kamu yang ditawarin, bukan aku.
Kenapa malah nanya aku?”
“Because you’re my wife.”
Pipinya bersemu merah saat mendengar
bisikanku.
Hampir empat bulan yang lalu, aku
menikahi Azka. Kedua orangtuanya meminta
kami menikah di Jakarta, tapi Azka
bersikeras untuk menikah di Edinburgh.

83
Selama bekerja di sana, dia jatuh cinta
dengan kastil kecil di bagian selatan
Edinburgh. Azka ingin menikah di sana,
mewujudkan dream wedding yang
dimilikinya sejak kecil.
Pernikahan itu berlangsung sederhana
dan sakral. Tidak banyak yang datang, hanya
keluarga dan teman dekat yang bisa
meluangkan waktu untuk berkunjung ke
Edinburgh. Aku menikahinya tepat
menjelang matahari terbenam, di kastil tua
yang indah dengan latar belakang
pemandangan pebukitan serta matahari
yang perlahan tenggelam di balik bukit.
I can’t take my eyes off of her. Di hari
pernikahannya, Azka melupakan pakaian
warna warni yang menjadi ciri khas. Sebagai
gantinya, Azka mengenakan vintage
gown yang sederhana tapi membuatnya
terlihat bercahaya di bawah sinar matahari
core. Gaun pengantin itu milik neneknya,
yang juga dipakai ibunya saat menikah.
Harta terindah di keluarganya, yang
melepasnya menuju kehidupan baru
bersamaku.
84
Aku pun mengabadikan sosoknya di
hadapan kastil di hari pernikahan ke dalam
lukisan yang kini menjadi penghuni tetap
ARTE.
Tidak lama setelah menikah, Azka
berhenti dari pekerjaannya dan sepenuhnya
bergabung denganku di ARTE. Dia sukses
menjadi kurator untuk pameran tunggalku.
Tidak hanya menjadi rekan kerja, Azka juga
menjadi partner dalam menjalani hidup.
Tak banyak yang berubah dalam
hubunganku dengan Azka, selain status
pernikahan yang tercatat secara legal. Kami
tetap tinggal di flat di London, bekerja di
ARTE, dan menghabiskan akhir pekan
dengan liburan ke kota lain atau bersantai
di cottage di pedesaan. Azka membuktikan
ucapannya bahwa dia sangat mengerti aku,
sehingga tidak pernah protes sekalipun aku
mengurung diri di studio.
Aku berkompromi dengannya karena
sekarang tidak lagi hidup sendiri. Ada Azka
bersamaku. Sekalipun butuh waktu berhari-

85
hari untuk melukis, aku selalu memastikan
untuk tidak melupakannya.
Kehidupan di London berjalan sempurna.
Sampai aku menerima email berisi
penawaran yang memantik kembali
keinginan terpendamku.
Adhikara Sasmita, seorang seniman
senior dari Bandung, memintaku untuk
mengakuisisi galeri miliknya. Dia merasa
sudah terlalu tua untuk menjalankan galeri
itu, sementara dia tidak memiliki anak atau
rekan yang bisa dipercaya untuk
melanjutkan galeri tersebut. Tentu saja,
sebuah kehormatan bagiku mendapat
penawaran tersebut.
Jika menerimanya, aku harus pulang ke
Indonesia.
Aku pernah berkeinginan untuk pulang
ke Indonesia. Sudah saatnya aku kembali ke
sana setelah selama ini bekerja di London.
Aku ingin berkarya di sana. Itulah yang
membuatku memberanikan diri mendirikan
ARTE Jakarta. Bukan pilihan yang mudah,
tapi sekarang galeri itu sudah mampu
86
berdiri sendiri sekalipun aku berada jauh
darinya.
Tawaran Pak Sasmita membuatku
memikirkan ulang keinginan tersebut. Jauh
di dalam hati, aku masih ingin pulang.
Namun aku tidak bisa memutuskannya
sendiri.
Azka tidak pernah bilang secara
gamblang, tapi dia masih enggan untuk
pulang ke Jakarta. Selama ini, dia hanya
pulang saat libur Natal. Skandal yang
menimpanya bertahun-tahun lalu masih
mempengaruhi sekalipun tidak ada lagi
berita yang mengungkitnya. Namun skandal
itu masih ada. Tidak ada yang melupakannya.
Dia harus menanggung banyak
kekecewaan. Azka juga harus berurusan
dengan hukum untuk memperjuangkan
keadilan, sementara publik juga
menghakiminya. Tidak seharusnya dia
menerima penghakiman dan disudutkan
karena bukan dia yang menyebarkan foto
telanjang itu. Azka harus membayar

87
semuanya dengan rusaknya kepercayaan
yang dimiliki terhadap teman-temannya.
Ririe harus menanggung hukuman tiga
tahun penjara karena terbukti
menyebarluaskan pornografi. Sementara
Kevin melenggang bebas setelah naik
banding dan dinyatakan tidak bersalah. Dia
melemparkan semua kesalahan kepada
Ririe. Kevin masih berkeliaran di luar sana,
seolah tidak ada dosa.
Bukan hal mudah bagi Azka untuk
pulang. Aku mengerti mengapa berat
baginya untuk kembali ke Indonesia. Pulang
hanya mengingatkannya kepada luka lama.
Publik akan kembali menhujatnya jika dia
berkarya di Indonesia.
Itulah yang membuatku ragu menerima
tawaran tersebut.
“Okay, what about this? Kita ke Bandung,
lihat langsung galeri itu dan ketemu Pak
Sasmita. Jujurly, aku penasaran sih. Aku
pernah ke sana tapi dulu banget jadi
penasaran aja kenapa dia enggak sanggup
lagi menjalankan galeri itu. Kalau
88
ternyata challenging dan kamu rasa kita bisa
menjalankannya, mungkin bisa kita terima,”
ujar Azka.
Aku menatapnya lekat-lekat. “Artinya,
kita harus pulang ke Bandung. Kalau setuju,
aku mau hands on 100%. Enggak
menjalankannya dari jauh seperti ARTE
dulu.”
Azka memaksakan diri untuk tersenyum
sebelum mengangguk. “Of course. Aku juga
maunya total kalau memang kita setuju buat
mengambil alih galeri itu.”
Aku menyelipkan rambut ke belakang
telinganya. “Kamu siap kalau kita harus
pulang?”
Sejenak Azka tidak bersuara. Dia
menatapku dengan mata menyipit,
membuatku bertanya-tanya apa yang
sebenarnya dipikirkannya.
“Jadi itu yang bikin kamu ragu begini?”
Perlahan, aku mengangguk.

89
“Jujur deh, enggak usah mikirin faktor
apa pun, kamu sebenarnya tertarik, kan,
sama penawaran ini?” tanyanya. Matanya
menusukku, membuatku tidak bisa
berbohong atau sekadar mengelak.
Jadi, aku mengangguk di depan Azka.
“I know. Kamu pasti langsung setuju
dengan tawaran itu. Lagipula, enggak semua
orang beruntung ditawari galeri oleh Pak
Sasmita.” Azka tersenyum tipis. “Kalau
masalahnya karena aku, kamu enggak perlu
khawatir. Aku siap kalau memang kita harus
pulang.”
Penjelasan Azka membuatku tidak
tenang. “Aku enggak mau memaksa.”
“Siapa yang maksa?” Azka tergelak. “Aku
memang masih kesal kalau ingat apa yang
terjadi. Apalagi Kevin masih petantang
petenteng di sana. Ririe juga sudah bebas
dan jadi makin terkenal. Orang-orang pasti
akan mengusikku lagi kalau aku pulang.
Namun, mau menghindar sampai kapan?
Aku yang bakal capek terus-terusan
menghindar, jadi aku pikir mungkin ini
90
momen yang tepat buat menghadapi
ketakutanku itu.”
She’s seven years younger than me. Di
saat tertentu, Azka bisa bersikap sangat
dewasa. Seperti sekarang misalnya.
Jawabannya terdengar masuk akal dan
dewasa. Menghindar tidak akan
menyelesaikan masalah. Bersembunyi tidak
akan memberikan ketenangan yang utuh.
Satu-satunya cara agar masalah tertinggal
di belakang adalah dengan berani
menghadapinya.
“Bilang ke Pak Sasmita kalau kamu mau
mengecek tempatnya dulu. Ketemu dulu
sama beliau. Setelah itu, baru kasih
jawabannya.”
Jawaban yang masuk akal. Ragu yang
sempat ada, kini perlahan mulai mengabur.
“Are you sure?” tanyaku meyakinkan.
“Enggak ada salahnya untuk mencoba.”
Aku menariknya hingga bibirku bisa
menyentuhnya. Aku memberinya satu

91
ciuman yang dalam sebagai ungkapan
terima kasih.
“Kamu sudah kelar, kan, melukis? Aku
kangen tidur sama suamiku. Sudah tiga hari
ini aku tidur sendiri.” Azka merajuk di
depanku.
Aku tertawa kecil. “I miss you too.”
“Baguslah. Aku enggak puas cuma pakai
vibrator. Aku mau kamu.”
Mataku terbelalak saat mendengar
penuturannya. “Don’t tell me you touch
yourself while I’m gone!”
Azka memasang senyum tipis. Dia
menangkup kedua sisi wajahku sebelum
mengecupku. “Risiko, siapa suruh kelamaan
ninggalin istrinya sendirian.”
Sambil tertawa, Azka mengangkat
tubuhnya dan berlari menjauhiku. Suara
tawanya masih terdengar sementara aku
terpaku di tempat, mencerna ucapannya.
“Mas, are you coming or not?”

92
Seharusnya aku membalas email Pak
Sasmita, tapi email itu bisa menunggu. Aku
menutup laptop dan melangkah cepat
menuju kamar, tempat Azka menungguku.
**
Adhikara Sasmita, seniman senior yang
sudah kuidolakan sejak lama tapi baru kali
ini bisa bertemu secara langsung. Dia
memiliki galeri di bagian utara Bandung. Aku
langsung menyukai suasana asri yang
ditawarkan galeri. Begitu masuk, aku
langsung merasa familiar. Ada rasa hangat
yang menyelimuti galeri.
Sasmita Art & Gallery menempati
bangunan utama di bagian depan yang tidak
begitu besar. Galeri tersebut memiliki
konsep open plan yang modern dengan
dominasi kaca sehingga siapa pun bisa
melihat langsung ke dalam galeri.
Di belakangnya terdapat rumah yang juga
berfungsi sebagai studio dan ditempati Pak
Sasmita bersama istrinya. Beliau juga
mempunyai outdoor studio tempat dia biasa
melukis atau mengadakan workshop. Bagian
93
belakang rumahnya dipenuhi pepohonan
yang membuat suasana terasa sejuk.
“Aku bisa bayangin kamu melukis di
sini. Shirtless Painter Caleb.”
Aku tertawa menanggapi celetukan Azka.
Saat ini kami berada di outdoor studio dan
memandang halaman belakang yang asri.
Dia benar, aku bisa membayangkan diriku
melukis di sini dengan pemandangan alami
sebagai latar belakang.
“Di sana ada apa, Pak?” Azka menunjuk
sebuah paviliun di sisi kanan rumah.
Pak Sasmita mengikuti arah yang
ditunjuk Azka. “Studio pribadi saya. Isinya
lukisan yang saya enggak mau dilihat orang
lain.”
Aku dan Azka saling berpandangan
begitu mendengar jawaban Pak Sasmita.
Dari senyumnya, aku bisa menebak apa yang
ada di pikirannya.
Paviliun itu cocok menjadi studio pribadi
tempat aku memajang lukisan Azka.

94
“Kenapa Pak Sasmita mau menjual galeri
ini?” tanya Azka.
Aku beruntung Azka mau menemaniku
bertemu beliau. Azka tidak pernah kesulitan
saat bertemu orang baru. Dia tahu cara
bersikap dengan tepat—sesuatu yang tidak
mungkin kulakukan seorang diri.
“Saya sudah tua, Nak Azka. Galeri ini
terlalu besar buat saya. Saya tidak punya
kemampuan manajerial yang baik makanya
galeri ini jadi kacau,” jawab Pak Sasmita.
“Selama ini enggak ada yang membantu?”
“Ada karyawan saya. Dia juga asisten
saya. Dia ikut suaminya pindah ke Bali sejak
tahun lalu, makanya setahun ini galeri jadi
kacau.” Pak Sasmita menghela napas
panjang. “Saya menyayangi galeri ini, tapi
saya menyerah. Meski begitu saya tidak mau
menyerahkannya ke sembarang orang. Saya
mencari orang yang tepat, dan baru
menemukannya setelah mengenal Nak
Caleb. Saya bisa tenang kalau galeri ini
ditangani oleh orang yang tepat.”

95
Ucapan Pak Sasmita begitu menekan. Dia
berharap terlalu tinggi, dan aku khawatir
kehadiranku malah mengecewakan
harapannya.
“Saya tinggal dulu, biar kalian lebih kenal
dengan galeri ini.”
Pak Sasmita meninggalkanku dan Azka.
Sepeninggal beliau, aku mengajak Azka
berkeliling. Keadaan yang asri
mengingatkanku kepada akhir pekan di
Jupiter Artland. Aku memandang sekeliling,
meresapi setiap sudut yang ada, merasakan
desakan kuat untuk menerima tawaran
tersebut.
Aku baru pertama ke sini, tapi tempat ini
terasa familiar. Aku bisa melihat diriku di
sini, berkarya bersama Azka, juga
menjalankan galeri ini agar kembali ke masa
jayanya.
I can see myself here.
“I know what you think.” Azka memeluk
lenganku erat. “Aku juga punya pikiran yang
sama.”

96
“Memangnya aku lagi mikirin apa?”
Di sampingku, Azka tertawa kecil. “Kamu
lagi mikirin program apa yang bisa kita bikin
di sini. Sekarang galeri ini memang sepi, tapi
aku yakin kita bisa membuatnya kembali
ramai seperti seharusnya.”
Dia benar, apa yang diucapkannya sama
persis dengan apa yang kupikirkan.
Azka berhenti berjalan. Dia beranjak ke
hadapanku, membuatku otomatis
menghentikan langkah. Dia merangkul
pingganggku dan menengadah untuk
menatapku.
“Tempat ini vibe-nya begitu kuat, susah
buat ditolak. Aku tahu, kamu enggak akan
menolaknya.”
Aku sudah membuka mulut, tapi Azka
mendahuluiku.
“Kalau yang bikin kamu ragu itu aku,
kamu salah. I want it. I want to live here with
you. I want to build this place with you. So, I
will say yes to Pak Sasmita.”

97
Ucapan Azka terdengar tegas. Sedikit
pun tidak ada keraguan di sana. Azka
menatapku elkat-lekat, dengan mata
bulatnya yang bercahaya di balik sinar
matahari Bandung.
“I will say yes too,” ujarku akhirnya, yang
disambut senyum lebar di wajahnya.
“So, Bandung will be our next adventure.”
Aku tertawa. Ini bukan hal mudah. Akan
ada banyak tantangan menunggu di
kemudian hari. Namun, aku tidak ragu dalam
mengambil keputusan ini.
Terlebih, dengan Azka di pelukanku,
semua yang tadinya terlihat berat, sekarang
terasa masuk akal.

Azka
Orang-orang pada umumnya
memilih maternity photoshoot. Sementara
aku ingin mengabadikan momen ini ke
dalam bentuk yang lebih istimewa. Dalam
lukisan Caleb.

98
Setahun yang lalu, pertama kalinya aku
dan Caleb menginjakkan kaki di galeri ini
atas permintaan Pak Sasmita. Cukup sekali
pertemuan saja, aku dan Caleb sampai ke
keputusan yang kami ambil.
Caleb membeli galeri ini dari tangan Pak
Sasmita, termasuk rumah beliau. Karena itu,
kami memutuskan untuk meninggalkan
London dan memulai petualangan baru di
Bandung. Bukan hal yang mudah
menjalankan galeri ini. Perlahan tapi pasti,
Caleb bisa memutarbalikkan keadaan.
Dia tetap memakai nama Sasmita untuk
menghargai Pak Sasmita. Galeri ini masih
memajang lukisan karya beliau, sementara
Pak Sasmita dan istrinya pulang ke
kampung halaman mereka di Tasikmalaya.
Sesekali beliau kembali ke sini untuk
mengisi workshop atau mengikuti program
yang kubuat. Dari raut puas di wajahnya, aku
lega karena Pak Sasmita tidak salah
memilih orang untuk melanjutkan galeri ini.
Aku bertanggung jawab menangani
galeri. Pengalaman di Bristol dan Edinburgh

99
memberikan banyak perspektif baru yang
bisa kuterapkan di sini. Awalnya terlihat
berat, tapi setelahnya aku merasa seperti
bersenang-senang. Caleb memberiku
kebebasan dalam membuat program apa
pun. Setahun kemudian, galeri yang tadinya
hampir mati, kini menjadi salah satu tempat
hits di Bandung.
Bandung menjadi rumah baru bagiku dan
Caleb. Sesuai tebakan,ku Caleb menyukai
suasana yang tenang seperti ini. Dia sering
melukis di outdoor studio, dan di sanalah
aku mengadakan event live painting dengan
Caleb sebagai atraksi utama. Beberapa
seniman muda juga menemukan rumahnya
di galeri ini.
Melihat banyaknya talenta baru
bermunculan membuatku bangga. Aku ada
di belakang mereka, meski tidak berperan
secara langsung. Aku juga bangga dengan
Caleb, yang menjadi mentor bagi talenta
muda tersebut.

100
Mungkin nanti dia juga bisa menjadi
mentor khusus untuk talenta baru yang kini
masih berada di perutku.
Di usia kehamilan yang menginjak bulan
keenam, perutku sudah
membesar. Pregnancy goals, kata Mbak
Rani, karena tidak ada perubahan berarti di
tubuhku selain perut yang membesar.
Bukannya aku enggak mau tubuhku ikut
membesar, tapi siapa yang menolak diberi
anugrah seperti ini?
Udara Bandung sore ini terasa segar.
Angin berembus memainkan rambutku.
Sesekali, aku membenarkan rambut yang
tergerai akibat sapuan angin. Udara yang
lumayan dingin terasa menggigit di tubuh
telanjangku.
Punggung dan kakiku terasa pegal
karena berdiri di posisi yang sama dalam
waktu yang lama. Tanganku yang memangku
perut juga terasa kebas karena tidak
beranjak dari posisinya. Rasanya ingin
duduk, tapi aku tidak ingin merusak
konsentrasi Caleb.

101
Lagipula, ini ideku. Aku yang ingin
ada maternity painting, alih-alih maternity
photoshoot.
Caleb mengangkat wajah dari kanvas.
Rambutnya sudah agak panjang, sehingga
dia mengikat sebagian rambut agar tidak
jatuh menutupi mata. Dia juga belum
bercukur, membuat rahangnya dipenuhi
cambang yang lumayan lebat. Melihatnya
membuatku teringat waktu awal berkenalan
dengannya, di saat dia
sering cosplay menjadi gelandangan.
Homeless Caleb is still handsome
though.
Aku berusaha menahan diri untuk tidak
tertawa karena pikiranku barusan.
Caleb meletakkan palet cat ke lantai dan
mengangkat tubuhnya. Dia hanya
mengenakan jins usang yang dipenuhi sisa
cat. Ada goresan cat baru di sana,
bercampur dengan sisa cat lama yang tidak
bisa hilang.

102
Melihat Shirtless Painter Caleb selalu
berhasil memantik hasratku. Ditambah
dengan hormonku yang tidak stabil karena
kehamilan, membuatku ingin bercinta
dengannya saat ini juga. Aku menekan kaki
rapat-rapat, sementara perutku terasa
melilit. Juga di bawah perutku, rasanya tidak
nyaman dan lengket.
Caleb mengulurkan tangan saat berada
di hadapanku untuk menyelipkan rambut ke
belakang telinga.
“Sudah selesai?” tanyaku.
“Belum. Ada yang kurang.” Matanya
tampak berkilat saat menatapku.
“Apa?”
Alih-alih menjawab, Caleb malah
menunduk. Dia mengarahkan wajahnya ke
payudaraku. Aku terkesiap saat merasakan
bibirnya menghisap putingku hingga
membengkak. Dia melakukan hal yang sama
ke payudaraku yang lain, membuat
keduanya mengeras dan menantang.
“There, perfect.” Caleb tersenyum simpul.
103
Aku mendengkus, sementara Caleb
malah tertawa. Tindakannya sama sekali
tidak membantu, malah membuatku
semakin kesulitan mengendalikan diri
melawan hasrat yang makin tak terbendung.
“I’m not in a mood anymore.” Aku
merajuk.
Caleb tertawa makin keras. “Aku sudah
sering melukismu telanjang seperti ini tapi
sampai sekarang aku masih belum tahu
caranya menguasai diri. This is pure torture
for me. Melihatmu telanjang sementara aku
harus menahan diri di saat satu-satunya
yang aku mau adalah bercinta denganmu.”
Sekarang, giliranku yang tertawa.
Dilukis Caleb menjadi salah satu momen
paling intim sekaligus menantang. Caleb
tidak sendiri, karena aku harus menahan diri
setiap kali menjadi modelnya. Seringnya,
sesi melukis itu rusak karena salah satu
tidak bisa mengendalikan diri. Di satu
kesempatan, Caleb tiba-tiba melempar palet
dan menghampiriku. Kejantanannya sudah
mengeras dan aku sudah sangat siap,
104
sehingga tidak perlu menunggu waktu. Dia
akan mencumbuku di tempat, mengajakku
bercinta saat itu juga. Lain kali, aku yang
tidak bisa menahan diri dan berhenti
berpose lalu menghampiri untuk
mencumbunya.
“Kali ini siksaannya makin keras. You
look sexy as hell. Damn it, I don’t know that
pregnant woman will turn me on.” Caleb
mengusap rahangnya sambil
menggelengkan kepala. “Ralat. My pregnant
wife turns me on.”
Aku tertawa kecil. Hanya di depanku
Caleb yang biasanya irit suara bisa berkata
panjang lebar seperti itu.
Perlahan, aku meraih tangannya dan
mengarahkannya ke kewanitaanku. Di sana
sangat lembap dan lengket. Aku bisa melihat
senyum miring di wajahnya, juga matanya
yang berkilat saat jarinya menyentuhku.
“You’re not alone,” bisikku.
Caleb memutus jarak denganku,
semaksimal yang dimungkinkan oleh perut

105
besarku. Dia memutar tubuhku hingga
bersandar di dadanya. Aku bisa merasakan
kejantanannya yang mengeras mendesak
untuk keluar dari celana jeans yang
mengurungnya dan menusuk bokongku.
Sementara itu, jari-jari Caleb mulai
memanjakanku. Aku harus berpegangan
erat ke lengannya karena kakiku mendadak
berubah seperti jelly akibat sentuhannya.
Caleb membaringkanku di atas selimut
yang terhampar di halaman. Perutku yang
sudah besar membatasi gerakannya saat
bercinta denganku. Terlebih, Caleb sangat
berhati-hati karena tidak ingin menyakitiku.
Bibirnya meraihku, mencumbuku dengan
dalam dan hangat. Lidahnya memagutku,
membuat hasratku mengambil alih keadaan.
Aku membenamkan jari di rambutnya,
sementara bibirnya terus memagutku tanpa
henti.
Aku mengambil napas panjang begitu
ciumannya beranjak turun ke leherku. Neck
Kisser Caleb adalah kelemahanku. Dia tahu

106
itu, dan Caleb dengan senang hati
menyiksaku dengan menviumi leherku.
Breast Kisser Caleb juga membuatku
lemah. Setiap kali lidahnya menyapu
payudaraku, aku tidak bisa menahan gejolak
yang menguasai tubuh. Aku menahannya di
sana, memanjakanku di tempat sensitif
tersebut dan menikmati setiap ciuman yang
diberikannya.
Caleb melepaskan payudaraku, lalu
bibirnya bergerak turun ke perutku.
Semenjak aku memberitahunya soal
kehamilan ini, Caleb menemukan bagian
tubuhku yang sangat disukainya. Dia
menciumi seluruh bagian perutku,
menimbulkan rasa geli ketika cambangnya
menyentuh kulitku, sekaligus membuat
hasratku semakin bergelora.
Tanpa melepaskan ciumannya, Caleb
membantuku menekuk kedua kaki hingga
ada celah di antara kedua kakiku. Dia
menyurukkan tubuhnya di sana. Aku harus
berusaha keras mencuri napas ketika

107
lidahnya memanjakan kewanitaanku yang
sudah mendamba cumbuannya.
**

“Oh God!” Aku mencengkeram selimut


yang menjadi alas tidurku untuk
mengendalikan diri. Sementara itu, Caleb
menyentak dirinya dengan keras dan dalam.
Aku mendongak, berusaha menghirup
napas dengan susah payah. Punggungku
melengkung, membuat Caleb tenggelam
kian dalam. Dia terus bergerak tanpa henti,
mengalirkan sengatan listrik ke seluruh
tubuhku.
Perlahan, aku menurunkan pandangan
hingga tertumbuk ke dada bidangnya yang
berkilat karena keringat. Cahaa matahari di
belakangnya membuat dirinya terlihat begitu
mempesona.
Magical Caleb.
Caleb menunduk agar bisa menciumi
perutku. Gesekan cambang dengan kulit

108
membuatku semakin kesultian menahan diri.
Sekalipun perutku yang besar tidak bisa
membuatnya bergerak seliar biasanya,
Caleb tetap tahu cara memanjakanku. Satu
tangannya berada di payudaraku,
memberikan remasan yang mengundang
hasrat. Tangannya yang lain menopang
kakiku yang disandarkan di pundaknya, agar
dia bisa bergerak dengan leluasa saat
memuaskanku.
“Sexy Mama,” bisiknya.
Aku bisa merasakan gerakan Caleb
semakin tidak terkendali. Saat ini, aku juga
sudah tidak bisa lagi menahan dorongan
gejolak yang siap menghantam. Aku
menggenggam tangannya erat, sementara
Caleb semakin dalam menghentakku.
“Come with me, Babe,” pintanya.
Dia tidak perlu meminta dua kali. Dengan
satu sentakan keras, aku menyerah saat
rasa puas itu menyelimutiku. Caleb
menggeram pelan ketika dia juga menyerah
dan mengeluarkan cairan cintanya di dalam
tubuhku.
109
Caleb rebah di sampingku dengan napas
tersengal-sengal. Tanganku terulur
menyentuh wajahnya. Ada senyum di
wajahku saat melihatnya yang tidak berdaya
seperti ini setiap kali selesai bercinta.
I love Post-Orgasmic Caleb.
“Lukisannya dilanjut besok ya.” Caleb
memaksakan diri untuk bicara.
Aku tertawa kecil. Sejujurnya, aku sudah
tidak ingat lagi dengan lukisan itu.
Setelah berhasil menguasai diri, Caleb
memutar tubuh hingga berbaring di
sampingku. Dia menarikku untuk bersandar
di lengannya. Aku menyampirkan lengan di
perutnya sementara kepalaku bersandar di
dadanya. Rasanya sangat damai.
“Awalnya, aku enggak mau menerima
kamu jadi intern di ARTE,” ujar Caleb.
“Kenapa?”
Caleb tertawa pelan. “You’re too colorful.
Too loud.”

110
Sontak, aku memukul perutnya, membuat
tawanya semakin keras.
“It’s true. Awal-awal dulu, aku sering
mengeluh karena kamu sering membuatku
sakit kepala.”
Aku memutar bola mata. “Aku ingat kamu
pernah marah karena aku enggak berhenti
ngomong.”
“Dan kamu jadi irit ngomong.” Caleb
meraih wajahku dan membuatku
menatapnya. “You are the greatest
distraction. Memang, kamu terlalu
berwarna, terlalu ribut, tapi itu yang
membuatku jatuh cinta. You are a color to
my black and white.”
Aku menahan diri untuk tidak tersenyum.
“Kalau anak kita ribut juga sama kayak aku
gimana?”
“Aku sudah berlatih dengan Celine dan
Camille,” ujarnya, membuatku kembali
menepuk perutnya. “I don’t mind. Aku bisa
jadi pendengar, sementara kalian bisa ribut
sesuka hati. Look at around you.”

111
Aku mengikuti perkataan Caleb dan
menatap ke sektiar. Sore ini terasa damai
dan … hening. Sebaris senyum terkembang
di wajahku saat tersadar maksudnya.
Setelah anak ini lahir, sore yang hening
seperti ini tidak akan ada lagi.
“I can’t wait to play with my kids. Ironis,
karena aku sempat berpikir kalau aku
enggak cocok dengan anak kecil. Lala
mengubah pendapatku, lalu ada Adia, Celine,
dan Camille. Aku menjadi Paman
yang cool dan menyenangkan buat
keponakanku. Sekarang, aku enggak sabar
membayangkan diriku bermain bola dengan
anakku.” Caleb berkata tegas.
“Kalau anakmu perempuan dan minta
ditemenin main boneka?”
“Why not? Halaman ini cukup luas, kita
bisa bikin rumah boneka di sini.”
Aku tertawa dengan rasa haru yang
menyusup ke dalam hatiku.
Ingatanku beranjak ke hari pertama aku
bekerja di ARTE dan bertemu Caleb yang
112
menatapku dingin. Grumpy Caleb all long
gone. Smiley Caleb is here.
Lovely Caleb will always be by my side.
Aku memejamkan mata, dan
membayangkan Caleb bermain bola atau
boneka dengan anakku di sini. Itu
pemandangan yang sangat indah dan aku
sudah tidak sabar untuk merasakannya.
Fatherly Caleb will be the death of me
but I don’t mind. At all.

Caleb
Aku pernah merasa hidupku begitu gelap.
Patah hati membuatku kehilangan harapan.
Aku sempat tidak mengenal warna lain
sehingga lukisan yang kuhasilkan hanya
memiliki warna hitam dan putih.
Kuning, warna pertama yang kugoreskan,
setelah sekian lama berkutat dalam
kegelapan.
Kuning, warna pakaian Azka.

113
Semenjak ada Azka, aku kembali
mengenal warna. Dia masuk ke hidupku
dengan pakaiannya yang warna warni, tapi
dia bertahan di hidupku. Dia mewarnai
hidupku.
Lukisanku tidak lagi hanya mengenal
hitam dan putih. Semua warna ada di sana.
Aku tidak lagi menatap kegelapan,
melainkan ada banyak warna berpendar di
hadapanku.
Her laugh is coloring my life.
Warna di hidupku semakin bertambah
dari hari ke hari. Bukan hanya karena Azka,
tapi juga karena Ravi.
“Cemong-cemong, deh.” Di sampingku,
Azka terkikik.
Aku mengikuti arah pandangnya. Di
tengah halaman belakang, putraku yang
baru berusia satu tahun bermain-main
dengan kuas kecil dan cat. Aku
menyediakan easel dengan kanvas kecil
untuknya, tapi dia tidak peduli. Cat

114
berserakan di halaman, sebagian mengenai
baju, bahkan wajah dan tangannya.
“Little Dali in the making.” Aku
menanggapi.
Azka menyikut rusukku. Sejak Ravi mulai
bisa menggenggam, dia sudah kukenalkan
kepada kuas. Aku sering mengajaknya
melukis, mendudukkannya di pangkuanku
sementara aku melukis. Tentu saja itu bukan
pilihan yang bijak. Ravi tidak mau diam, ikut
menggoreskan cat di kanvas bersamaku.
Lukisan hasil karyaku dan Ravi jauh dari
kata bagus, tapi aku menyukainya.
“Enggak salah aku kasih dia nama
Gerhard.”
Azka memutar bola matanya. Butuh
waktu lama untuk memberi nama Ravi. Azka
menolak mentah-mentah semua nama yang
kuusulkan. Menurutnya aku tidak kreatif.
Salvador, Dali, Jean-Michel, Damien, Hirst,
Olafur, semuanya ditolak. Harus kuakui
kalau nama itu tidak kreatif, aku hanya
mencomot dari nama pelukis idolaku.

115
Akhirnya Azka sepakat dengan nama
Gerhard. Itu pun karena Azka juga
menggemari karya Gerhard Richter. Azka
juga menambahkan Cobalt, karena warna
tersebut mewakili perasaan menenangkan
yang dirasakannya saat bersamaku.
Gerhard Ravi Cobalt Prijadi.
Langkah-langkah kecilnya berlari
mendekatiku. Ravi memeluk kakiku,
membuat cat di kuasnya mengenai celana
yang kupakai. Aku menunduk dan
mengangkatnya. Ravi tertawa, pipinya yang
gembil terlihat menggemaskan. Dia
mengarahkan kuas ke wajahku, menjadikan
wajahku sebagai kanvas. Aku memejamkan
mata, membiarkan Ravi menjadikan wajahku
sebagai canvas. Dia tertawa heboh melihat
wajahku yang ikut berlumuran cat.
Di sampingku, Azka pura-pura
memasang wajah prihatin.
Aku menunjuk Azka, dan Ravi pun
menemukan objek baru. Azka bergerak
menghindar, membuatku berlari

116
mengejarnya dengan Ravi yang
mengacungkan kuas.
“No, please spare me.” Azka mengelak.
“You wish. Let’s grab Mama.”
Ravi makin berteriak heboh ketika Azka
terpojok dan tidak bisa menghindar. Tidak
lama, wajahnya ikut berlumuran cat.
Azka mengulum senyum, sedikit pun
tidak keberatan sekalipun wajahnya
berlepotan cat.
“Harus diabadiin, nih.” Azka
mengeluarkan ponsel dari saku celana dan
membuka aplikasi kamera.
Aku berdiri di belakangnya, sementara
Azka mengarahkan kamera. Wajahku, Azka,
dan Ravi memenuhi layar. Semuanya
berlumuran cat, tapi senyum lebar tidak
hilang dari wajah Azka dan Ravi, membuatku
ikut tersenyum.
“This is a perfect family portrait,” ujar
Azka. Aku yakin, tidak lama lagi foto itu akan
menghiasi Instagramnya.

117
Dengan Azka memelukku, dan Ravi di
gendonganku, hidupku tidak lagi hanya
mengenal hitam dan putih. Setiap hari, ada
warna baru yang mengisi hari-hariku. Warna
bernama Azalea Karina, juga warna
bernama Gerhard Ravi.

THE END

118

Anda mungkin juga menyukai