Anda di halaman 1dari 25

THE BROKEN BLACK ROSE

CHAPTER 16-20

By: Faitna YA

Siapa pun kamu yang nantinya memiliki file ini, dilarang keras untuk
menggandakan, mensadur, dan memperjual belikannya pada pihak
lainnya. File ini sudah penulis buat khusus untuk kalian para pembaca
yang bersedia memberi apresiasi pada penulis. Terima kasih.

16. Tanya

Bak ibu dan anak yang begitu serasi dan kompak, Jinta—ibu Zafar, dan Gewinta
ada di rumah sakit tersebut. Pandangan keduanya terpusat pada Zafar yang ada di
depan ruangan mahal dengan pintu kaca yang memperlihatkan pasien di dalamnya.
Privasi tetap menjadi kunci perawatan di sana, tapi saat itu tidak ada penutup apa pun
yang bisa menyembunyikan Sinar yang sudah kembali tenang dari pengaruh obat,
kecuali tubuh besar Zafar bisa membuat kedua perempuan itu mengalihkan rasa
penasarannya dari pintu.

"Kamu di sini??" Gewinta menambah pertanyaan dari Jinta.

"Ma... Win... kalian kenapa bisa barengan ke sini?"

Jinta yang lebih dulu bergerak dan memukul tubuh Zafar dengan keras, tetapi itu
tak ada apa-apanya bagi sang putra.

"Kenapa handphone kamu mati, hah?! tahu dari mana kamu kalo papa dirawat di
sini?? Kamu harus dikasih pelajaran karena beberapa hari ini malah sibuk nggak tahu
kemana! Di kantor kamu dicariin, kata asistenmu kamu nggak masuk dan sengaja
melimpahkan segalanya ke orang lain! Sekarang tiba-tiba dateng sendiri tanpa perlu
dicari!"

Zafar mengedipkan mata beberapa kali. Dia belum paham apa yang ibunya
sedang sampaikan dengan nada marah bercampur kalut karena sedih.

"Tunggu, tunggu. Maksud mama apa? Papa dirawat?"

Gewinta memeluk bahu calon mertuanya dan menatap Zafar untuk bicara. "Papa
kamu masuk rumah sakit karena jantungnya kumat. Aku kira kamu udah tahu
makanya lihat kamu di sini." Perempuan itu melihat sekeliling dan membaca
nama-nama ruangannya. "Anyway, ini bukan lorong kamar inap papamu. Di sini
bukan deret ruangan inap lansia, kamu..."

Gewinta sejujurnya tak ingin menuduh tunangannya dengan dugaan


macam-macam, tapi jujur saja dia merasa aneh. Dia tahu gambar dari nama-nama
deret ruangan di sana. 'Ibu&Anak' dengan gambar perempuan hamil dan bayi dalam
perutnya menjadi penjelasan yang konkrit.

Gewinta bahkan tak sempat melanjutkan ucapannya ketika beberapa perawat


menggeser pintu ruang rawat yang Zafar halangi, dan salah satunya berkata hingga
Gewinta serta Jinta terperangah.

"Ibu Sinar sudah kami tangani, Pak. Silakan masuk dan temani."

Jinta rubuh, dan calon menantunya tak cukup kuat untuk menyangga tubuh wanita
itu. Apalagi Gewinta juga tak percaya dengan pendengarannya. Zafar, tunangannya,
menunggui seseorang bernama Sinar yang dia yakini adalah perempuan karena
perawat menyinggung panggilan ibu.

"Zafar?" Gewinta meminta penjelasan dari nada lirihnya.

"Aku jelaskan nanti, sekarang kita bawa dulu mama ke ruangan papaku dan
membuatnya tenang lebih dulu."
Tunangan Zafar itu tidak bisa berkata tidak. Dia sudah cukup paham bahwa hanya
dirinya yang tidak tahu apa-apa di sini. Jinta bahkan sudah melemparkan tatapan
kekecawaan pada putranya, itu berarti sang calon ibu mertua mengetahui siapa itu
Sinar.

***

Zafar diusir dari ruangan dimana papa dan mamanya berada. Untung saja
keluarganya berada, Jinta bisa istirahat di ranjang lain yang sudah disediakan untuk
penjaga pasien.

Kini, Zafar dan Gewinta duduk berdampingan dengan wajah tertunduk dalam
pikirannya masing-masing. Zafar dengan bayangan Sinar dan Pijar sedangkan
Gewinta memikirkan kelanjutan hubungannya dengan pria itu.

"Kamu belum pernah membagi cerita soal Sinar. Siapa dia? Mantan kamu?" tanya
Gewinta langsung.

Tak mau menutupi Zafar menjawab, "Ya. Mantan sewaktu kuliah."

Gewinta harus menahan diri untuk tidak meledak karena pengakuan Zafar yang
terlalu gamblang.

"Kenapa kamu nemenin dia di sini? Dia bukan keluarga kamu, seharusnya ada
kerabatnya sendiri yang menunggui. Harusnya dia paham bahwa kamu sudah menjadi
tunangan orang lain!" ucap Gewinta meluncur dengan cepat.

Menoleh pada tunangannya yang terlihat marah, Zafar menjadi geram sendiri.
"Jangan salahkan Sinar, dia nggak tahu kalo aku udah bersama kamu. Lagi pula, dia
nggak punya kerabat manapun karena dia hidup sendirian. Kamu nggak paham situasi
yang Sinar alami seperti apa, Win."

Nada yang kentara agak marahnya dari Zafar membuat Gewinta mendengus keras.
"Kamu mencintai wanita lain selama ini, makanya kamu nggak berniat menikahi aku
sama sekali. Kamu hanya menggantung hubungan kita dan terus hadir dalam hidup
perempuan nggak tahu diri itu. Iya, kan?"
Zafar berdiri dari tempat duduknya. Mengacungkan jari telunjuknya di depan
wajah Gewinta. "Jangan sembarangan menyebut Sinar seperti itu, Win!"

Menyeringai, Gewinta tidak merasa tersudut sama sekali dengan ancaman Zafar.
"Oh, harusnya aku sebut dia apa? Perempuan murahan, begitu?" tantang Gewinta
semakin sengaja.

Zafar menahan diri, dia tidak ingin membuat dirinya sendiri malu di rumah sakit,
apalagi melawan seorang perempuan. Itu lebih dari pengecut.

"Aku akan batalin pertunangan kita." Pada akhirnya kalimat itulah yang muncul
dari bibir Zafar. Mudah saja, tanpa hambatan. Seolah hubungan yang mereka bangun
selama ini hanya mimpi.

"Gampang banget kamu ngomong mau batalin. Kamu pikir apa yang udah aku
kasih itu makanan kucing? Yang kamu sisain cuma tulangnya aja!" kata Gewinta tak
terima sama sekali.

Menyugar rambut serta wajahnya sendiri, Gewinta menambahkan lagi. "Zafar,


kamu harus tahu aku hamil. Aku mau bilang ini sama kamu tapi kamu nggak bisa
dihubungi beberapa hari ini."

"Apa?"

Bagaimana bisa Zafar menerima ini? Dia berduka, sedang kehilangan anaknya
bersama Sinar. Sekarang...

"Aku hamil, Zafar."

Pria itu menggelengkan kepalanya. "Gimana bisa? Kita udah lama—"

Gewinta turut berdiri dan menangkup wajah tunangannya. "Aku nggak akan
mengatakan kabar ini kalo bukan anak kamu yang aku kandung." Dengan segala
kepandaiannya berkata, Gewinta memengaruhi pikiran Zafar. "Tanggung jawab atas
perbuatan kamu atau aku yang akan mengurus Sinar kamu itu dan membuatnya
menderita."
***

Menikahi Gewinta nyatanya tidak mengubah apa-apa. Perempuan itu hanya


meminta pertanggungjawaban untuk menutupi aibnya sendiri. Zafar tahu bahwa
bukan dia ayah dari si bayi, karena Gewinta memiliki teman tidur lain sewaktu
mereka bersama. Zafar dengan Sinar, dan Gewinta dengan peliharaannya. Ya, begitu
Zafar menyebut pria yang seharusnya bertanggung jawab atas bayi yang dikandung
Gewinta.

"Mau ke mana kamu?" tanya Gewinta.

Zafar bersiap, memakai jaketnya dan mengambil kunci mobilnya sendiri.

"Zafar! Ada acara baby shower yang harus kita hadiri—"

"Aku akan datang, terlambat. Bilang aja sama semua orang yang datang kalo aku
ada panggilan kerja mendadak dan mengharuskan aku ada di Bar&Tool sore ini."
Kata Zafar tanpa melihat istrinya.

"Rasanya aku benar-benar akan melaksanakan rencana aku setelah anak ini lahir."
Gewinta sengaja membuat langkah Zafar terhenti.

"Rencana apa?"

"Bercerai dengan laki-laki gila seperti kamu."

Zafar mendengus. Sengaja menunjukkan seringainya di depan Gewinta. "Aku


nggak peduli. Lakukan aja renacana apa pun yang kamu mau, setelah itu kamu pergi
dari hidupku bersama pacarmu itu.

Merasa harga dirinya terinjak, Gewinta berteriak. "Dasar laki-laki gila! Kamu
memang pantas bersama perempuan gila yang kamu piara sampai saat ini! Dasar
pasangan gila!!!"

Zafar tidak lagi mendengar teriakan Gewinta setelah pintu kamar dia tutup
dengan keras. Helaan napasnya terdengar oleh telinganya sendiri dan tak lama
ponselnya berdering nyaring.
"Kenapa?" sapanya langsung pada si penelepon.

"Pak... ibu Sinar, Pak."


17. Mendengar

Zafar datang dengan raut sangat cemas dengan kabar dari orang yang merawat
Sinar datang. Dalam panggilan telepon nada bicara wanita itu bergetar ketakutan.
Sudah ada dokter khusus yang selalu Zafar mintai dengan cepat menangani Sinar.
Sebab bukan hanya sekali dua kali perempuan itu histeris dan meracau hingga
melukai dirinya sendiri. Sudah berkali-kali dalam kurun dua bulan ini. Hingga kini
untuk yang paling parah Zafar dengar.

"Pak."

Zafar langsung menaiki tangga menuju kamar di rumah yang sudah dia
sembunyikan dari banyak orang. Di sana, semua orang kewalahan karena Sinar
menodong seluruh perawat dengan gunting di tangannya.

Bodoh! Gimana bisa Sinar dapetin gunting itu!

"Minggir!! Jangan berani ada yang mendekat!! Pergi semua!!"

Sinar begitu rapuh hingga tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri untuk kembali
stabil setelah kehilangan putri mereka. Jujur, Zafar rindu dimana mereka bisa kembali
ke fase bahagia. Andai saja perempuan itu meminta pertanggung jawabannya saja
ketimbang lari dan membuat Zafar salah paham dengan kebencian menggunung...
semua tidak akan seperti ini keadaannya.

Namun, Zafar harus menyingkirkan perandaian tersebut sekarang. Dia memiliki


tugas lebih penting dari pada ini.

Zafar baru saja hendak maju, tapi dokter yang menangani Sinar menahan
pundaknya.

"Pak Zafar, ini genting. Ibu Sinar selalu mengamuk dan mengancam akan
menyakiti kami dan dirinya sendiri, sedangkan keadaannya sudah bukan tentang
nyawa bu Sinar saja. Ada janin yang dikandungnya."
Informasi itu disampaikan langsung tanpa jeda. Zafar tak diizinkan untuk
mengurai apa maksud dari ucapan dokter Mitra.

"Hamil..." gumam Zafar sempat kehilangan kesadarannya sesaat.

"ARGGGHHHHH!!! PERGI!!!"

Teriakan Sinar kembali menghentak Zafar dalam kesadarannya yang seharusnya.


Dia mendapati Sinar dengan wajah memerah, kemarahan yang sarat akan rasa kecewa
itu tidak disembunyikan oleh Sinar. Meledak-ledak adalah keahlian Sinar belakangan
ini.

"SEMUANYA PERGI DARI RUANGAN INI! BIARKAN NYONYA SINAR


MENDAPATKAN APA YANG DIA MAU."

Zafar membuat semua orang menatapnya heran. Keriuhan mendadak hening


dalam seketika. Tidak ada yang tahu apa tujuan dari titah Zafar yang tiba-tiba saja itu.
Keheningan juga menyapa Sinar, meski marah, perempuan itu terdiam menatap Zafar
yang sama tak mau lepasnya menatap Sinar.

Sesaat, ruangan itu sepi. Semua perawat keluar dan membiarkan Sinar bertatapan
dengan Zafar. Dalam jarak yang cukup jauh, dimana Zafar berada di depan pintu dan
Sinar di seberang ranjang, keduanya bisa mendengar hembus napas yang saling
bersahutan. Khususnya deru napas Sinar yang memburu.

"Pergi... pembunuh!" kata Sinar dengan menggeratkan rahangnya.

"Aku tahu kamu nggak benar-benar kehilangan akal kamu, Sinar. Kamu sadar
bahwa kamu masih memiliki segala akal untuk berpikir, yang kamu lakukan ini hanya
untuk membuat aku menyerah." Zafar mengembuskan napas. "Menyerah untuk
memperbaiki segalanya bersama kamu."

Sinar menggeleng dengan cepat dan terkesan buru-buru. "Nggak ada kata 'kita',
nggak ada! Kamu adalah pembunuh anakku."
Zafar tak menunduk, menangis tanpa suara. Ketika mengingat kebodohannya
yang menghina dan menyiksa Sinar kala anak mereka mendapati mereka hingga
membuat nyawanya melayang... Zafar bisa gila.

"Aku tahu aku sulit termaafkan—"

"Nggak ada maaf yang akan terucap untuk kamu!!! Pembunuh harusnya dihukum!
Kamu harus dihukum atas perbuatanmu!!!" Teriakan yang terdengar dibarengi dengan
tangisan tergugu. Sinar tidak bisa sama sekali menahan diri akan emosinya yang
berubah cepat.

"Kenapaa... kenapaa kamu begitu jahatnya!! Kenapa kamu buat anakku menangis
kecewa dan pergi sebelum aku menjelaskan segalanya!!! kenapaaaaa!!!" raung Sinar
yang langsung terduduk di lantai dengan gunting yang tergenggam di tangan
perempuan itu.

Zafar bergerak dengan cepat untuk menekan tangan Sinar, tapi perempuan itu
memberontak sedikit bertenaga hingga pipi Zafar tergores gunting tersebut. Sinar
terkejut karena darah yang menetes di gaun putihnya. Kesadarannya penuh, dan dia
tidak bisa melakukan apa pun begitu Zafar menyandarkan keningnya pada bahu
perempuan itu.

"Sakiti aku, Sinar. Bunuh aku bila kamu merasa itu bisa memperbaiki rasa
tertekan kamu. Tusuk aku dengan gunting ini." Zafar sengaja menarik pergelangan
tangan Sinar tetapi mempertahankan tenaganya.

Sinar mengeluarkan tangisnya semakin keras. Dia lebih frustasi karena sudah
menyakiti fisik seseorang. Dia terus menangis dan membayangkan wajah putrinya
yang akan sangat kecewa jika ia menjadi pembunuh. Pijar sudah sangat kecewa
melihatnya disetubuhi oleh pria yang belum dia ketahui sebagai ayahnya, dan jika
sampai Pijar melihatnya seperti ini anaknya akan semakin kecewa.

Tangan Sinar melepaskan gunting yang ternoda darah Zafar, memaksa tubuhnya
berdiri dengan sempoyongan. Pandangannya kosong dan tangisannya langsung
terhenti. Langkah gontai Sinar membawa perempuan itu segera menuju pintu kamar
dengan gaun putih yang masih dihiasi darah Zafar. Rambut panjang sebahunya
membuat tampilan Sinar begitu menyeramkan.

Semua orang melihat ke arah Sinar berada. Mayat hidup, itu adalah kata yang
paling tepat untuk menggambarkan kondisi Sinar sekarang. Zafar mengikuti dari
belakang dan semakin membuat semua orang di kediaman itu terkejut. Gores luka di
pipi Zafar masih merembeskan darah, tapi tak ada yang berani mendekatinya karena
Zafar langsung memberi isyarat agar tidak ada yang menganggu ketenangan Sinar.

Perlahan, Sinar membuat seluruh mata memandanginya menuju halaman


belakang. Zafar bisa sedikit lebih tenang karena ternyata Sinar duduk di kursi ayun
dengan memeluk kakinya sendiri. Tangisan perempuan itu kini tanpa suara.

Zafar menghela napas lega, dia tinggalkan Sinar sebentar untuk meminta lukanya
dibersihkan.

"Pak Zafar, sebaiknya kita cari cara supaya—"

Byurrr

Suara air kolam yang tidak lagi tenang terdengar. Sinar sengaja menjatuhkan diri
ke dalamnya dan membuat Zafar melupakan lukanya yang tak seberapa. Tak ada rasa
kecuali rasa sakit keadaan Sinar yang sengaja menenggelamkan diri.

"Sinar!"

Semuanya panik, teriakan dari para perawat perempuan mendominasi. Zafar


segera menceburkan diri dan menarik Sinar dari dasar kolam.

"Sinar! Sayang, bangun, Sayang." Zafar dengan panik menepuk pipi Sinar.
Perihnya luka di wajahnya kembali tak dirasa.

"Pak Zafar, mari segera di bawa ke kamar."

Dan rumah itu memang tak pernah terlewati oleh drama yang menegangkan.
Setiap detik, setiap saat, selalu ada kejadian yang mengejutkan semua orang.
***

"Mama. Ma..."

Sinar mendengarnya. Panggilan Pijar, dia mengenalnya.

"Mama."

"Pi? Pijar? Itu kamu, Nak?" teriak Sinar mencari keberadaan putrinya dalam
kabut pekat. "Pijar! Mama di sini, Nak! Pijar!"

"Mama jangan ikut aku. Mama jaga adek."

Sinar menangis. Suara itu memperingatkannya, tapi kenapa Pijar tak


menemuinya?

"Pijar, Sayang... pulang, Nak. Ayo, pulang sama mama. Mama kangen sama
kamu, Pi."

"Mama aku bahagia, Ma. Mama aku nggak suka mama sakit. Mama harus sehat
sama adek. Kasih makan adek, urus adek aku, Ma. Aku bisa makin bahagia, Ma."

Sinar menggeleng. "Kamu bicara apa, Pi? Ayo, pulang sama mama!"

"Bangun, Ma. Jaga adek aku seperti mama jaga aku. Adek yang akan bikin ayah
sadar, Ma. Adek akan bantu mama."

"PIJAAAARRRRR!!!"
18. Gila

Ada bagian dalam diri Sinar yang ingin membuat ulah terus menerus guna
mendapati raut lelah Zafar pada semua tingkah yang ia buat. Namun, mimpi yang
menghantamnya semalam rasanya bukan hanya sekadar mimpi. Perempuan itu yakin,
sebagian dirinya yang lain sudah gila. Sebab yang ada dalam pikiran Sinar tak hanya
satu atau dua hal saja untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

Sekarang, Sinar akan memilih diam. Bukan untuk mengalah, tetapi untuk
menunggu waktu yang tepat. Tidak mengetahui apa makna dari waktu yang tepat
tersebut. Yang Sinar lakukan adalah terus menerus menuruti semua yang Zafar
berikan tanpa penolakan, pun tanpa banyak memberikan respon yang diinginkan oleh
orang sekitarnya.

Zafar sendiri sudah resmi menjadi duda. Bercerai dari Gewinta tidak membuatnya
merasa kehilangan, justru perasaan lega yang menghiasi benaknya. Fokusnya sendiri
saat ini adalah Sinar, bukan perempuan lain. Hanya Sinar yang sedang mengandung
anak mereka.

"Pak Zafar, ini foto hasil dari pemeriksaan kandungan ibu Sinar." Wajah cerah
Zafar terlihat.

"Oh, iya. Hasil dari pemeriksaannya juga saat ini sudah menunjukkan jenis
kelamin." Kata si dokter.

"Apa jenis kelaminnya, Dokter?" tanya Zafar tak sabar, sekaligus berharap
semoga bayi yang Sinar kandung adalah laki-laki dan bukan perempuan.

"Perempuan, Pak. Selamat."

Tertegun, Zafar tahu ketakutannya akan segera menjadi nyata.

"Pe—perempuan, Dok?" ucap Zafar terbata.


"Iya, Pak. Sekali lagi saya ucapkan selamat. Putri bapak dan ibu Sinar akan
segera lahir."

Dan menamatkan dunia Zafar. Jelas saja Zafar akan menggali kuburannya sendiri
dengan kelahiran anak perempuan. Alasan pertama, jelas anak perempuan
mengingatkannya pada Pijar yang sudah meninggalkan mereka dan andil terbesarnya
adalah dari Zafar sendiri. Alasan kedua, karena anak perempuan akan membuat
ketakutan Zafar semakin naik. Ketakutan supaya putrinya tidak memiliki nasib seperti
Sinar yang buruk karena ulah pria semacam Zafar ini. Zafar bisa gila jika semuanya
terjadi.

"Pak Zafar? Pak? Anda baik-baik saja?"

Zafar mengangguk lemah. "Ya, saya baik-baik saja. Terima kasih untuk waktunya.
Kami permisi."

Sinar seperti manusia yang tidak bernyawa karena diam saja. Tatapannya kosong
meski mendengar semua penjelasan dari dokter. Kabar mengenai calon buah hatinya
seperti ditelan begitu saja tanpa diolah sama sekali olehnya. Itu sebabnya orang lain
berpikir bahwa Sinar adalah ibu yang tak memedulikan bayinya. Untuk saat ini jelas
hanya hal tersebut yang bisa Sinar lakukan, meski terpaksa Zafar memang
mengurusnya dengan baik. Walaupun untuk mencapainya justru banyak momen
menyakitkan yang dilalui.

Selama perjalanan, mereka di dalam mobil, hanya ada keheningan yang dirasa.
Meski begitu Zafar tidak luput melepaskan tatapannya pada Sinar dari samping.
Hanya pemandangan itu yang Zafar suka.

"Ayahmu adalah binatang!" ujar Sinar tiba-tiba. Mengejutkan Zafar sekaligus dua
orang lainnya yang duduk di kursi depan.

"Kamu bicara apa, Sinar?" balas Zafar masih belum mengerti kemana
pembahasan itu akan berakhir.

Sinar terdengar mendengus samar. "Keluarga binatang."


Zafar semakin tertegun dan rahangnya mengetat mendengar nada penuh cibiran
dari Sinar. Menahan diri untuk segala kesabaran yang sudah seharusnya dia biasakan,
nyatanya tetap saja telinga Zafar merasa risih dengan ungkapan tersebut.

"Apa yang kamu maksud, Sinar? Kamu mungkin salah mengira dengan semua
yang terjadi. Kenapa kamu bahas orangtuaku?"

"Aku bosan karena selalu menutupi ini. Tapi kamu sudah salah menyiksa orang
selama ini!" Sinar mulai menunjukkan emosinya. "Ayahnya yang berniat membunuh
Pijar dari awal! Aku melindunginya, dan ternyata anaknya yang membunuh Pijar!
Apa namanya kalo bukan keluarga binatang!!"

Zafar berusaha tidak mendengarkan ucapan Sinar. "Jalan lebih cepat, Pak. Segera
bawa kami sampai ke rumah."

"Dasar keluarga binatang! Yang bisanya cuma menghancurkan orang lain saja!
Kalian yang seharusnya nggak pantas hidup! Kenapa harus anakku!!!" teriak Sinar
kembali histeris.

Emosinya tidak bisa ditata dengan baik, tapi sedikit banyaknya dia merasa lega
meluapkan segala emosi.

"ARGGGHHH!!! DASAR KELUARGA BINATANG!!!"

***

Zafar tidak mendiamkan apa yang dia sempat dengar dari Sinar. Meski terkadang
dia abaikan segala racauan perempuan itu, Zafar nyatanya tetap sangat peduli.

Masuk ke dalam rumah dengan segala dokumen yang sengaja dia bawa membuat
kedua orangtuanya terkejut.

"Apa-apaan ini, Zafar?!" ucap pria baya itu.

"Dokumen pernikahan yang aku siapkan, Pa, Ma."


Rendra tahu dokumen yang anaknya berikan adalah dokumen pernikahan, tapi
kejelasan dari nama mempelai di dalamnya yang membuat pria itu melebarkan mata
tak terima.

"Sinar??? Ini... ini Sinar yang kamu temui dulu, kan, Pa?" tanya Jinta tanpa sadar
bahwa dia sudah membuka rahasia di depan Zafar.

"Oh. Jadi papa sama mama yang bikin aku pisah dari Sinar dari dulu?! Itu
sebabnya kenapa Sinar meneriaki aku sebagai keluarga binatang! Itu karena kalian,
orangtuaku membuat semua ini persis seperti persaingan binatang!"

"Jaga mulut kamu! Perempuan ini yang membuat kamu menceraikan Gewinta
dalam hitungan bulan pernikahan, kan? Lagi dan lagi, nama perempuan ini yang
membuat kamu kehilangan sopan santun kamu kepada orangtuamu sendiri." Rendra
membalas.

"Aku tahu sekarang. Papa memang bisa sangat licik membuat rencana, tapi nggak
aku sangka rencana itu juga untuk aku dan Sinar! Papa yang meminta Sinar
menggugurkan anak kami dulu, papa juga yang memberikan uang?!! Apa papa nggak
pernah berpikir bahwa yang Sinar kandung saat itu adalah cucu papa sendiri!!?"

Rendra terlihat menaikkan kedua alisnya. "Papa nggak melihatnya sebagai cucu
papa. Ketika perempuan sejenisnya memanfaatkan kamu setiap saat, papa hanya
melihatnya sebagai parasit. Nggak perlu lagi kamu bahas ini. Batalkan niatan kamu
menikahinya. Papa akan mengurus perempuan itu—"

"Nggak akan. Aku akan membangkang ke papa dan mama mulai sekarang! Aku
akan menikahi Sinar, hidup bersamanya dan nggak akan ada yang bisa menganggu.
Usahaku akan melibas perusahaan papa, dan kita hanya perlu melihat sampai kapan
papa bisa bertahan dengan ego itu tanpa mengemis ke aku."

Jinta terjatuh di sofa dan berkata dengan lirih, "Zafar... jangan menjadi anak
durhaka."

"Disaat seperti ini mama masih bisa memikirkan durhaka atau nggak nya aku!?
coba pikirkan apa yang sudah kalian lakukan kepada Sinar dan anakku dulu!!! Pikir!!"
Dengan bantingan pintu keras, Zafar meninggalkan rumah. Ancaman yang dia
berikan pada kedua orangtuanya benar-benar dirinya lakukan. Kacau hidupnya sudah
tidak bisa dibandingan dengan apa pun lagi. Sudah lebih dari cukup Zafar menjadi
sosok bodoh yang mengiyakan semua tuntutan orangtuanya.

Namun, Zafar lupa. Bahwa meninggalkan kebodohannya dulu tidak menjamin dia
tidak bodoh di masa mendatang. Pilihannya memertahankan Sinar akan membawa
risiko, tidak peduli apa itu risikonya yang pasti Zafar akan mendapatkan balasannya.
Begitu pula kedua orangtuanya yang tamak.
19. Bersedih

Setiap pilihan akan memiliki risiko, dan setiap perbuatan akan menanggung
risikonya. Tidak banyak yang Sinar inginkan sebagai seorang perempuan. Keinginan
terbesarnya saat menjadi mahasiswi sekaligus kekasih tercinta Zafar adalah hidup
bahagia kelak. Bahagia yang artinya bersama selamanya. Namun, yang Sinar
dapatkan dari selamanya adalah tersiksa.

Dia masih tersadar, menatap semua pilihan Zafar yang menginginkan pernikahan
tanpa kebenaran. Tak benar adalah kenyataan, fakta bahwa hubungan mereka tak
dimulai, diakhiri maupun ditata kembali dengan cara yang benar. Sinar hanya
mengerti bahwa sekarang adanya akad yang—tak benar—terjadi berdasarkan
kehamilannya saja. Semua dilakukan atas keinginan Zafar, sedangkan Sinar hanya
memilih menunggu. Menunggu bahwa kenyataan akan menghempaskan pria angkuh
di sisinya.

Berjalannya akad yang terlalu hikmat itu berakhir dengan kepergian para
pengisinya yang dibayar oleh Zafar. Ya, semua hal memang selalu mudah dengan
adanya kertas bernilai yang mengalir. Lagi dan lagi Sinar hanya bisa menatapnya
dengan keterdiaman yang dirinya bawa sendiri.

Ini hari bahagia, seharusnya. Sayangnya tak ada kebahagiaan yang Sinar rasakan
dalam hatinya. Justru dia merasa semakin terpenjara dengan jebakan Zafar. Tidak ada
rasa yang lebih kompleks dari yang kini Sinar rasakan. Mulutnya juga turut terpenjara
akan kepalsuan cerita yang kini Zafar buat. Meski pria itu berusaha memperbaiki
dirinya, tetap saja tidak akan mengubah hal yang sudah menyakitkan bagi Sinar yang
sudah kehilangan segala asa.

"Kamu mau sesuatu untuk dimakan? Dari acara selesai kamu belum mengisi perut
sepenglihatanku." Kata Zafar dengan segala nada yang berubah.

Jika dulu, semasa Pijar masih bisa dipeluk dan nyata untuk menjadi pendorong
semangat Sinar pria itu suka sekali menggunakan bahasa yang menyakiti, kini Zafar
menjadi kembali dalam mode kasih sayang penuh kelembutan seperti masa mereka
masih menjadi pasangan kekasih zaman kuliah.

Karena tak diberikan balasan oleh Sinar, pria itu memutuskan untuk menyuruh
salah satu asisten rumah tangga untuk membawakan makanan apa saja yang tersedia.

"Kamu perlu makan, Sinar." Ucap Zafar seraya mengusapi rambut istrinya.

Pada akhirnya Zafar bisa juga memanggil Sinar dengan sebutan istri, meski
perempuan yang diinginkannya dengan berbagai cara itu tidak memiliki hasrat yang
sama untuk menganggap Zafar sebagai suaminya.

"Ada bayi yang perlu asupan makanan di dalam perut kamu. Jangan egois, Sinar.
Segalanya akan aku berikan untuk anak yang kamu kandung."

Anak yang aku kandung? "Kemana kamu selama aku berusaha sewaktu aku hamil
dulu? Apa kamu memberikan segalanya untuk Pijar yang belum aku lahirkan saat itu?
Apa kamu peduli?!" tuntut Sinar dengan wajah yang tidak menoleh sama sekali pada
lawan bicaranya.

Pandangannya terpaku pada sesuatu yang tak terfokuskan di depan sana. Hantaran
hijau di pekarangan rumah yanng Sinar tinggali memang sepertinya lebih bisa
menarik perhatian perempuan itu.

"Sinar... kita penuh kesalahpahaman waktu itu. Aku- pun nggak ingin kita
menjalani hal semacam ini, tapi aku nggak memiliki pemahaman yang bagus
mengenai kamu waktu itu. Maafin aku atas semua yang aku lakukan kepada kamu
selama ini, tapi aku benar-benar menyesal membuat Pijar pergi dari kita."

Sinar mendengarnya hanya sebatas ucapan belaka, bukan ucapan yang


benar-benar terdengar perih untuk hati Sinar yang rusak untuk Zafar. Semua hal
berlebihan yang pria itu berikan membuat Sinar tak merasa perlu mendengarkannya
lebih jauh.

Segera berdiri dari tempatnya, Sinar tak memedulikan Zafar yang ingin
menghabiskan banyak waktu untuk bicara dan tak merasa tergugah untuk berhenti
dengan aroma makanan yang bik Wijah bawakan. Sinar menatap lurus jalannya
menuju kamar, membuat Zafar dan bik Wijah hanya bisa menghela napas perlahan.

"Pak..."

"Bawa aja makanannya ke kamar, Bik. Istri saya harus tetap makan. Kalo dia
nggak mau, bilang saja anak kami yang membutuhkannya."

Bik Wijah mengamati majikan laki-lakinya dengan tatapan prihatin. Sebab bik
Wijah tidak mengetahui cerita lama yang terjadi diantara dua sejoli itu, yanng terlihat
saat ini adalah kondisi rumah tangga yang menyedihkan antara Zafar dan Sinar.

"Baik, Pak. Saya bawa ke kamar kalo begitu."

Dan tinggalah Zafar duduk termenung sendiri diiringi gerakan mengusap wajah
berulang kali.

***

Masa lalu...

Sinar memundurkan wajahnya karena ulah Zafar yang selalu usil mengganggu
sesi mempelajari teori sebelum kelas esok hari. Kekasih Sinar itu memang lebih suka
menghabiskan waktu bercanda ketimbang bosan dan tertidur di atas lembaran
bukunya.

"Ayolah, Zaf. Kamu juga harus baca-baca materi buat besok. Pak Zulani belum
tentu nggak kasih kuis, lho. Kamu tahu, kan, kalo matkul dia selalu ada aja kuis
sehabis materi yang panjang lebar di minggu sebelumnya?"

Zafar mengangguki. "Iya, aku tahu, kok."

Sinar mengernyit. "Terus kenapa kamu nggak baca bukunya?" tanya Sinar sangat
bosan dengan sikap kekasihnya yang satu ini.

"Aku bosen, Sayang. Aku maunya sama kamu, kita ngobrol, bercanda, main di
kasur—"
Sinar membekap mulut kekasihnya cepat. Walau Zafar dengan mudah
melepaskan bungkaman tersebut dan berkata kembali, "Kamu masih malu aja, sih,
Yank aku gituin? Muka kamu sampe merah."

"Ya, itu karena kamu! Lagian kenapa otak kamu, tuh selalu ke arah sana coba?!"
balas Sinar tak lupa dengan memukul pelan dada kekasihnya manja.

Tidak membalas, Zafar lebih cepat menggerakan kepalanya untuk mencium bibir
Sinar secepat yang lelaki itu bisa. Malu yang semula hanya melalui kata-kata, kini
merambat semakin pekat karena sentuhan singkat dari Zafar itu.

"Bales, dong!" kata Zafar masih tipis jarak wajahnya dengan sang kekasih.

"Hm?" sahut Sinar dengan keterkejutan di wajahnya. "Bales apa?"

Zafar semakin mendekat setelah mendecak karena ketidakpekaan Sinar. Begitu


jarak wajah dan tubuhnya terpupus, Zafar dengan leluasanya mengalihkan fokus
kekasihnya dari buku dan mengajak untuk bermain seperti yang disinggung
sebelumnya.

Cumbuan memang selalu menjadi bahasa tubuh yang tidak akan terlepas dari
keduanya. Gaya pacaran mereka terlampau bebas, tanpa rambu, sebab Sinar yang
memang meyakini Zafar sebagai cinta pertamanya juga merasa percaya untuk
memberikan segalanya untuk sang kekasih.

***

Lamunan memang selalu menyenangkan untuk hadir kala kekalutan menyapa.


Zafar menamatkan bayangan masa lalu yang menyenangkan bersama Sinar dengan
helaan napas. Meski tak merasa lelah, akhirnya memang selalu memberatkan benak.

"Pak Zafar belum tidur?" Bik Wijah terkejut mendapati majikannya masih berada
di dapur dengan segelas botol minuman yang diketahui pembantu rumah tangga itu
dari ruang kerja Zafar.

"Tolong beresin, Bik. Saya baru mau tidur."


Zafar bergerak untuk menuju kamar. Namun, langkahnya terhenti karena bik
Wijah menyampaikan isi pikirannya.

"Pak, sepertinya ibu Sinar sangat sedih. Saya kasihan ke kondisi bayinya jika ibu
Sinar terus menangis, Pak. Foto anak pertama ibu Sinar ada di bawah bantalnya, apa
sebaiknya saya ambil saja, Pak? Karena setiap melihat foto itu bu Sinar selalu
menangis meraung-raung."

Untuk yang satu ini Zafar baru mengetahuinya. Sinar tidak pernah terlihat
membawa foto apa pun yang berhubungan dengan Pijar. Bahkan Zafar hanya melihat
wajah putrinya begitu singkat dalam kondisi yang tidak sepatutnya. Lalu, darimana
Sinar bisa membawa foto Pijar tanpa Zafar ketahui?
20. Mengakhiri

Sinar tidak menjadi hidup dengan mempertahankan janin di dalam perutnya.


Bayangan Pijar tidak bisa hilang dalam pikirannya, bahkan Sinar semakin
memikirkan bagaimana kondisi putrinya di alam baka sana. Apa Pijar melihat
kebodohannya dengan masih hidup bersama Zafar yang sudah menjadikannya pelacur?
Apa Pijar kecewa pada Sinar sebagai ibu yang pandai berbohong? Apa Pijar tetap
tersenyum bangga melihat Sinar masih bisa bertahan hidup hingga kini?

Ah, tapi yang Sinar ingat adalah wajah terkejut putrinya itu dengan gurat
kekecewaan penuh. Mendapatinya dan Zafar melakukan hal tidak pantas, meyakinkan
Pijar bahwa Sinar adalah ibu yang bekerja sebagai perempuan tidak benar. Bahkan
Pijar tidak tahu bahwa pria yang menyetubuhi Sinar saat itu adalah ayah kandungnya.
Ayah kandung yang tidak pantas disebut ayah. Zafar adalah binatang! Binatang yang
melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang dirinya inginkan.

Malam ini, Sinar merasakan pergerakan di ranjangnya. Zafar adalah orangnya.


Mengganggu Sinar yang sedang menatap kepada selembar foto Pijar yang membuat
wanita itu tetap bisa mempertahankan satu hal; kandungannya. “Dia cantik seperti
kamu.”

Sinar tidak akan pernah jatuh pada kata rayu yang Zafar berikan. Sudah bukan
saatnya lagi untuk tersipu dengan semua yang pria itu katakan hanya untuk berharap
hubungan mereka membaik.

“Seandainya kamu bilang waktu itu … kita nggak akan seperti ini.”

Sinar setia untuk diam. Dia tidak memiliki niatan untuk menjawab Zafar sama
sekali. Matany masih terpaku pada potret sang putri yang tersenyum cerah di sana.
Sinar mengelus permukaan kertas foto tersebut. Tidak peduli bahwwa Zafar
memperhatikannya yang sibuk menatap Pijar.

“Apa aku boleh meminta satu hal?” tanya Sinar membuat Zafar langsung
menegakkan tubuh.
“Kamu mau minta apa?”

Ada jeda yang tak langsung dikatakan oleh Sinar. Ada isak yang justru
mendahului permintaan Sinar. Hal itu jelas membuat Zafar kebingungan. “Kamu
kenapa? Apa yang kamu inginkan? Aku akan mengabulkannya, Sinar.”

“Foto ini … jadikan foto ini dalam pigura besar. Kalau bisa jadikan ini lukisan
paling besar yang ada di dunia ini yang akan dilihat banyak orang di galeri manapun.
Aku mau wajah Pijar dilihat banyak orang tanpa harus orang-orang itu ketahui cerita
dibaliknya.”

Zafar bukan seorang seniman, dia juga tidak mengerti prosedur untuk
memasukkan suatu karya ke galeri seni. Apalagi untuk wajah anaknya yang bukan
siapa-siapa bagi para penikmat seni. Zafar merasa dilema sendiri untuk mengiyakan
permintaan Sinar.

“Kamu pasti berpikir aku gila karena meminta hal ini.”

Segera pria itu menggelengkan kepala. “Sama sekali nggak. Aku akan
melakukannya.” Dipeluknya Sinar yang tidak menolak malam ini. Zafar juga
menyentuh perut Sinar yang sudah besar dengan usia kandungan semakin matang.
Semua kenangan yang terjadi sebelumnya Zafar kira sudah terlupakan oleh wanita itu
hingga menjadi begitu penurut seperti ini. Mereka akan bahagia, segera. Iya, kan?

***

Pada momen dimana Sinar pada akhirnya dikabarkan sudah mengalami kontraksi
dan melaksanakan persalinannya di rumah sakit, pada saat itu Tuhan seakan sengaja
membuat halangan besar bagi Zafar untuk menemani istrinya itu untuk menyambut
bayi mereka bersama. Pekerjannya di luar kota sudah dilakukan sejak lima hari lalu,
Wijah sendiri yang melaporkan bahwa Sinar diperkirakan masih dua minggu lagi
untuk melahirkan. Namun, anaknya ingin melihat duni lebih cepat dari itu.

“Bapak jangan buru-buru. Yang penting bapak selamat sampai ke sini.” Bik
Wijah memang selalu menjadi orang yang pengertian sekali. Meski Zafar tahu suara
waniat baya itu serak akan tangis. Zafar sendiri juga tak tahu apa alasan yang
menyebabkan Wijah menangis dan tidak mau mengabarkan bagaimana kondisi Sinar
dengan rinci.

“Saya akan selamat sampai di sana. Bilang kepada Sinar untuk menunggu saya
apa pun yang terjadi.”

“Iy-iya, Pak. Saya akan sampaikan ke ibu Sinar.”

Dan yang tidak pernah Zafar sangka adalah Sinar yang benar-benar
menunggunya adalah Sinar yang terbujur kaku dengan kulit pucatnya. Jika bukan
Zafar orangnya, jasad Sinar yang meninggal setelah memperjuangkan bayi mereka
tidak akan dibiarkan masih berada di ruang perawatan mahal itu. Jasad Sinar akan
segera ditindak agar tidak semakin lama berada di ruangan untuk pasien normal.

“Pak—”

“Saya bilang untuk memberitahu istri saya agar menunggu, kan, Bik?!” potong
Zafar dengan kemarahan yang tercetak jelas di wajahnya.

Wijah menangis. Bukan karena nada keras Zafar, melainkan karena melihat
sendiri bagaimana putus asanya pria itu mendapati perempuan yang dicintainya
sampai mati sudah meninggalkannya lebih dulu.

“Sinar, bangun!” kata Zafar tak mau menerima kenyataan. “Aku bilang bangun!!!
Kamu nggak aku izinkan untuk menyerah! Aku nggak mengizinkan kamu untuk
meninggalkan aku dan anak kita!”

Di dalam ruangan itu semuanya terlihat sangat menyedihkan. Wijah menjadi


saksi bagaimana Zafar kehilangan dirinya sendiri. Jika sebelumnya Zafar selalu bisa
mengatasi semua tindakan Sinar yang tak mau menurut, kini tak lagi. Pria itu
mengamuk dan menggerakan tubuh kaku Sinar.

“Bangun, Sinar!! Bangun perempuan sialan! Bangun!”

Semua kata makian bersamaan tangisan keluar dari mulut Zafar. Raungan yang
membuat orang-orang rumah sakit pada akhirnya bertindak untuk jasad Sinar dan
Zafar yang bertindak semakin tak wajar pada tubuh Sinar. Bahkan ada drama yang
terjadi karena pria itu tak ingin Sinar dikebumikan secara benar. Pria itu ingin Sinar
kembali ke rumahnya seolah kematian Sinar adalah permainan kata saja.

Menyedihkan. Bahkan hingga diakhir hayat Sinar, pria itu masih tidak
mengatakan kata maaf satu detikpun atas semua kesalahannya pada perempuan itu.
Dia masih belum mau menerima kenyataan bahwa ini adalah bagian dari
kebodohannya yang terus berlanjut.

Selanjutnya, Zafar akan membuat kebodohan lainnya. Mungkin tak akan berhenti
sebelum kematian yang menerjang hidup pria itu sendiri. Tak akan ada akhir yang
baik pada bunga yang sudah rusak. Meski cantik, durinya membuat darah tak berhenti
mengalir.

The end.

Anda mungkin juga menyukai