mobi
PEREMPUAN SUCI
TERIMA KASIH banyak kepada Joan Deitch dan John Shaw untuk
kerja keras mereka.
Terima kasih saya untuk semua sahabat dan rekan sejawat: Profesor
Akbar S. Ahmed, Sajida Ahmed, Maulana Qamaruzzaman Azmi,
Amanda Challis, Lizbeth Cheatle, Ann Gibson, Dr. Afshan Khawaja,
Shahed Saduallah, Jamil Dehlavi, Julie Northey, Maulana Habibur
Rahman, Lynda Robinson, Richard Seidel, dan Masarat Shafi.
Saya juga ingin berterima kasih pada Ken Ashberry, John O'Brien,
Andrew Brown, Glenda Cox, Bel Crompton, Carl Delaney, George
Hastings, Patricia Kushnick, Samima Ahmed, Marie Froggatt, Nita
Patel, Carl Ryan, Jane Sladen, Habidah Usman, Ann Vause,
Madeleine Bedford, dan Merillie Vaughan Huxley.
Terima kasih pula untuk Colin Muir, Lavinia Murray, Peter Ridsdale
Scott, Susie Smith, Lucy Scher, Sherry Ashworth, Elizabeth
Baines, Cathy Bolton, Beverly Hughesdan, Pete Kalu, Jennifer
Bagian Pertama
Prolog
berdebu, pekan raya tahunan itu menarik para lelaki dari desa-desa
di sekitarnya untuk mengudap makanan ringan panas dan dingin,
menikmati suasana dan menonton keunikan para badut, pelawak, dan
para penghibur lainnya.
Berkeliling di keempat provinsi di Pakistan, para pelakon itu
mempertontonkan keterampilan khusus dan jiwa seni mereka kepada
para penduduk Desa Sindu. Sontak terdengar tepukan tangan, derai
tawa, dan siulan keras para pemuda yang merupakan keriangan dan
pengharapan pada suatu siang di musim panas yang terik.
Membentuk sebuah kerumunan yang lingkarannya makin membesar,
mereka tampak sedang menyoraki sang badut—seorang pemuda
cekatan yang mampu mempertahankan tiga buah bola berlompatan
sekaligus di udara.
Di dekat lingkaran berdebu itu berdiri seorang lelaki tua bertubuh
kurus tetapi tampak kuat, dengan topi berhiaskan kaca di atas
kepalanya, mencengkeram tali yang mengikat seekor monyet. Para
penonton bersorak ribut ketika binatang yang didandani sehelai rok
mungil berempel dan sebuah topi berwarna merah itu mulai menari-
nari dan menggerak-gerakkan tubuh kecilnya di atas sebuah tilam
rami. Si pemilik monyet menyunggingkan seulas senyum ompong pada
para penontonnya, lalu mulai memainkan sebuah tabla dengan dua
tongkat ramping, mendorong binatang itu melakukan serangkaian
aksi jungkir balik yang lucu mengelilingi kerumunan. Gerombolan
lelaki yang tengah bersorak-sorai buru-buru melangkah mundur
untuk memberi jalan kepada monyet itu.
Dari kejauhan, sebuah jip Shogun hitam bermuatan dua orang lelaki
melaju sepanjang jalanan berdebu. Jip itu berhenti di dekat mela.
Sopirnya, seorang lelaki jangkung berumur awal tiga puluhan, turun
dari kendaraan itu dan menutup pintu di belakangnya, kemudian
bersandar pada jip itu dan merentangkan kakinya yang panjang.
"Aku tidak ingin berdebat di sini, Baji Jan. Sebaiknya kau segera
pulang. Ia sudah telanjur melihatmu dan ini tidak benar. Ini tidak
baik bagi izzat kita." Keinginan Jafar untuk segera mengawal kakak
perempuannya itu keluar dari pandangan umum sangat kuat.
Jafar menoleh kembali pada lelaki itu dan melambaikan tangannya
lagi memberi tanda. Dia tampak tegang karena kakak perempuannya
berdiri di sampingnya dengan kerudung terbuka. Si orang asing itu
menganggukkan kepalanya ke arah mereka untuk memberi salam.
Anak-anak rambut yang hitam tebal jatuh di atas dahinya, tampak
berkilau
terkena cahaya matahari. Dia mengangkat tangannya untuk
membalas salam itu, seulas senyum masih saja menghias bibirnya,
tetapi matanya kini terpaku hanya pada Zarri Bano.
Zarri Bano merasakan tekanan dari sorot mata si orang asing dan
terhanyut dibuatnya. Dia memerhatikan kedua lelaki yang saling
bertukar salam itu dengan gundah—kedua bola matanya melebar.
"Oh, tidak! Mungkinkah itu dia?" Zarri Bano menggumam gelisah. Dia
berada di tempat yang salah, waktu yang salah, dan dilihat oleh
orang-orang yang salah. Jantungnya berdegup kencang
mengantisipasi keadaan yang mengerikan. Seraya melirik sekilas ke
arah sosok lelaki itu, dia pun memberi tanda memanggil pada
sopirnya.
"Aku siap pulang, Nalu. Bisakah kau membawa mobilnya memutar sisi
sebelah sini. Di sana terlalu banyak lelaki." Kata-kata itu mengalir
begitu saja.
"Baik, Sahiba muda."
Dia menunggu mobil itu mendekat dan tetap memunggungi si orang
asing saat memasuki mobil. Dia hanya memandang ke luar jendela
saat mobilnya melewati jip lelaki itu. Malangnya, matanya segera
saja berserobok pandang dengan mata lelaki itu. Zarri Bano tersipu,
segera dia menunduk ketika mobilnya mulai melaju.
1.
"Ya, Tuhan, masya Allah, dia sangat ganteng. Tidak aneh kau jadi
berubah." Ruby terkekeh melihat rona merah di pipi kakak
perempuannya itu.
Terganggu oleh godaan Ruby, Zarri Bano berkata ketus, "Siapa
bilang dia ganteng? Kau ingat Ali? Adakah yang bisa menyaingi
tampangnya?"
"Ya, Ali sangat tampan. Tetapi ada sesuatu dalam diri lelaki ini—
semacam karisma. Menurutku, dia mungkin memiliki sebuah umpan
untuk menyeretmu ke dalam jaringnya, jeratnya—bahkan kalaupun
itu bukan karena tampangnya."
"Jangan bicara padaku tentang jaring dan jerat!" tukas Zarri Bano
sambil berlalu dari tepi jendela. "Aku bukan seekor ikan yang harus
dipancing, ditangkap, dan dijerat, Ruby."
"Maafkan aku, Baji Jan. Kata-kataku tak termaafkan, khususnya
karena aku tahu bagaimana perasaanmu tentang analogi seperti itu
dan juga karena kau adalah seorang feminis."
"Ya, kau sudah seharusnya menyesal. Aku seorang perempuan
merdeka. Aku yang memutuskan apakah aku menginginkan lelaki ini
atau lelaki yang lainnya. Ini sebabnya mengapa sepuluh tahun berlalu
dan aku masih belum juga menikah. Kau mungkin malah akan menikah
sebelum aku dan aku akan menjadi seorang perawan tua," guraunya.
"Kau tidak akan pernah menjadi perawan tua, Zarri Bano. Kau terlalu
cantik dan gemerlap untuk disisihkan ke dalam laci. Seseorang akan
memetikmu suatu hari nanti, jika bukan lelaki ini. Tahukah kau, aku
mungkin saja akan menikah sebelum dirimu karena caramu
mengecewakan orang. Aku mungkin akan berakhir di pelukan salah
satu dari sekian banyak calonmu yang kau tampik. Tahukah kau
berapa kali Chaudharani Kaniz mengunjungi kita, bahkan setelah kau
menolak untuk menikah dengan Khawar? Kupikir dia kini mulai
mengincarku. Jika kau tidak akan menikah dengannya, dia akan
berpikir aku akan mau pada Khawar."
"Tidak ada seorang pun dari kita yang akan menikah dengan Khawar.
Ia lebih seperti saudara laki-laki kita. Namun, bisakah kau
bayangkan aku atau kau sebagai si angkuh nyonya Chaudharani Kaniz
berikutnya di desa ini? Tidak, terima kasih. Aku tak akan menyia-
nyiakan kepandaianku."
Perbincangan singkat ini telah membawa kebaikan kepada Zarri Bano
dan membantunya untuk kembali bersikap normal. Dia berkata pada
dirinya sendiri, "Hanya karena aku telah memergoki lelaki itu
menatapku di antara keramaian manusia dan aku telah membalas
tatapannya itu, ini tidak berarti apa-apa. Aku tidak akan jatuh ke
dalam sihirnya, seperti yang dipikirkan Ruby."
Entah bagaimana, kebalikan dari yang biasa dilakukannya, dia tampak
siap menemui tetamu ini untuk menghabiskan waktu bersama
mereka. Biasanya dia akan menganggap pertemuan-pertemuan
dengan para calon suami
ini sebagai sesuatu yang membuatnya mual dan merendahkan
martabatnya, apalagi saat diketahuinya kemudian bahwa dia akan
menolak lamaran mereka.
Abaikan saja semua analisis itu, dia memikirkan semua hal yang
menguatkannya saat menuruni tangga ulir yang mengarah ke dalam
ruang tengah. Dia melangkah dengan mantap menghampiri ruang
tamu. Dia adalah seorang perempuan dewasa berusia dua puluh tujuh
tahun, bukan lagi seorang gadis remaja yang akan dipinang. Dia akan
memperlakukan lelaki ini sebagai seorang tamu biasa. Dengan berdiri
tegak dan meninggikan lehernya, Zarri Bano berdiri di ambang pintu,
siap untuk melakukan langkah resminya memasuki ruangan itu.
***
Sikander dan ayahnya, Raja Din, sedang duduk dan berbincang
dengan orangtua Zarri Bano. Teh telah disajikan oleh Fatima,
pembantu mereka. Ini adalah pertama kalinya mereka semua
bertemu dalam satu ruangan. Jafar dan Sikander sudah sempat
ditentukan oleh kita. Aku yang menentukan apabila lelaki ini akan
menjadi takdir putri kita atau bukan."
"Tidak, Habib, jangan!" Shahzada memohon, kata-kata sang istri
bergema di dalam ruangan kosong karena Habib langsung melangkah
ke luar seraya membanting pintu kayu yang berat di belakangnya.
Shahzada menerawang ukiran di balik pintu itu dan merasakan
semacam firasat buruk.
2.
Itu adalah sebuah masalah, dan masalah yang sangat besar! Karena
kenyataannya sangat mudah dipahami bahwa di antara para
perempuan dari Lahore hanya sebagian kecil yang menyukai
kehidupan pedesaan, tidak peduli fasilitas apa pun yang ditawarkan.
Bahkan masalah listrik sekalipun, video recorder, dan penyejuk
udara bukanlah kompensasi yang pantas bagi kehidupan malam yang
riuh rendah, dunia hiburan, dan fasilitas belanja yang ditawarkan
oleh ibu kota tua Pakistan itu.
Dilahirkan dan dibesarkan di wilayah pedesaan membuat Kaniz
sendiri tidak memedulikan gaya hidup kota besar sedikit pun. Saat
diberi pilihan untuk menikahi seorang lelaki yang "biasa", tetapi
berasal dari satu keluarga kota, atau tinggal di sebuah desa dan
menikahi seorang tuan tanah kaya raya, Kaniz tanpa pikir panjang
telah memutuskan untuk meraih kehormatan menjadi istri seorang
zemindar. Dia diberkahi akal sehat dan kecerdikan sejak usia muda,
diiringi hasrat untuk menjadi kaya raya yang ada padanya sejak
lahir. Kaniz berpikir bahwa dia sangat tolol jika menampik tawaran
seperti itu!
Menjadi seorang chaudharani dan memegang kekuasaan sebagai ratu
rumah tangga di dalam sebuah hierarki desa yang saling mendukung
satu sama lain adalah sebuah kesempatan yang tidak akan datang ke
depan pintu orang setiap hari. Dia sudah melakukan tujuh puluh nafi
sujud syukur pada Allah karena telah menganugerahkan kismet yang
sedemikian bagus untuknya. Karena itu, Kaniz sama sekali tidak
merasa bimbang untuk menetap di desa itu selamanya.
Daya tarik dan kemegahan kehidupan kota yang menyesatkan telah
gagal menjeratnya. "Dengan berhektar-hektar tanah atas namanya
dan hasil panen melimpah yang dihasilkannya, kau dan suamimu,
Sarwar, tidak akan pernah kekurangan apa pun," demikian sang ibu
mencekokinya dengan penuh semangat. Dia tidak harus diberi tahu
"Assalamu 'alaikum, Ibu. Aku tak mengira Ibu sudah pulang. Kupikir
Ibu akan kembali minggu depan." Khawar menyapanya, membungkuk,
dan menciumnya dengan hangat di kening.
"Ya, begitulah. Aku sudah menunggu kau pulang selama berjam-jam,
Anakku. Dari mana saja kau? Kuduga kau sudah bersenang-senang di
ladang dengan kudamu, atau sedang mengadakan sebuah pertemuan
penting, mungkin?" Kaniz memancing-mancing.
"Aku tadi mengadakan perundingan harga dengan chaprassi kita
untuk minggu depan, Ibu, dan memeriksa mesin penumbuk tepung."
Dia menjawabnya dengan kalem, memilih mengabaikan suasana hati
ibundanya yang tampak sedang kesal.
"Aku tadi melihatmu," tukas Kaniz. Suaranya direndahkan. Matanya
yang gelap berbentuk kacang almond itu kini bersinar jahat di wajah
putihnya.
"Di mana?" Khawar menyelusupkan badannya ke dalam sofa di
samping ibunya. Kaniz menoleh untuk memeriksa dari dekat rona
muka putranya, mencari tanda perasaan bersalah.
"Di tengah ladang—dengan gadis itu!" ujar Kaniz ketus. Bola matanya
mengecil dan menipis tajam.
"Apa maksud Ibu dengan 'gadis itu'?" tanpa takut-takut Khawar
balas menatap tajam ke arah mata ibunya.
"Tampaknya, kau begitu asyik masyuk dengan anak perempuan
tukang cuci itu sehingga kau bahkan tidak melihat mobil ibumu
melintas."
"Aku bukan sedang asyik masyuk, Ibu. Ayolah! Firdaus terjatuh dan
aku membantunya berdiri. Itu saja." "Tidak, kau tidak hanya
membantunya berdiri! Aku menyaksikannya. Kau berjalan dan
berbincang mesra dengannya."
"Ada apa ini, Ibu?" Khawar bergerak gelisah di atas sofa. "Sebuah
penyelidikan? Lalu memangnya kenapa jika aku berbincang
dengannya! Dia seorang warga desa, lagi pula, aku sudah bermain
dan tidak ada satu pun yang bisa kau lakukan untuk menghentikanku,
Ibu." Dia memberi tatapan tajam ke arah ibunya dan tidak lagi
berseloroh padanya.
Dengan mulut indahnya ternganga lebar, Kaniz menyaksikan putranya
berlalu keluar dari kamar dengan marah. Satu-satunya yang
mencegahnya menjadi histeris diperlakukan seperti itu adalah
kesadaran bahwa Khawar hanya menggertaknya. Kaniz berpikir
bahwa Khawar hanya mengatakan itu semua untuk membalasnya.
Anak itu menyadari kewajibannya dan tidak akan melakukan sesuatu
yang tak termaafkan seperti yang dikatakannya itu!
Dengan benak yang lebih tenang, Kaniz perlahan menutup mulutnya.
Menepuk-nepuk tumpukan bantal di bawahnya, merentangkan
tungkai-tungkainya yang besar dan panjang di atas sofa, dan
menikmati lagi film yang sedang ditontonnya. Sekarang dia sudah
sampai mana? Oh, ya. Si pemeran utama pria, Shahrukh Khan, baru
saja jatuh cinta pada saudara si pemeran utama perempuan....
Tangan Kaniz menggapai piring yang berisi dendeng.
Begitu dia mulai masuk ke dalam plot film itu, Kaniz terganggu
Neesa yang muncul tergopoh-gopoh, memberi tahu bahwa Mansur,
lelaki desa penjual melon, sudah berada di gerbang rumah menunggu
pesanan mereka. "Tidak, Neesa! Katakan padanya untuk
melemparkan buah-buahan busuknya ke sumur desa. Aku sedang
tidak menginginkan buah-buah melonnya yang sedang tidak musim
itu."
Dengan suasana malam yang kini sepenuhnya kelabu, Kaniz meminta
Neesa memanggil Kulsoom, mak comblang desa, untuk datang ke
rumah. Setelah gagal dengan upayanya menyatukan putra
kesayangannya dengan Zarri Bano, sekarang dia siap memulai
kembali dari awal. Zarri Bano yang angkuh itu telah menyatakan diri
tidak menginginkan hidup di desa, dan, dia juga berkeras bahwa
Khawar hanya menjadi seperti seorang kakak baginya.
3.
Sejak kapan kau menjadi begitu tidak bermoral?" suara Siraj Din
melecut Shahzada.
Tercekat mendengar penghinaan langsung yang diucapkan ayah
mertuanya dan kata-kata yang begitu menuduh, darah mengalir
deras ke pipi Shahzada.
Dengan mengetukkan tongkatnya berirama ke atas karpet sutra,
Siraj Din menunggu menantunya mengatakan sesuatu—sebuah
permintaan maaf karena kelancangannya dalam berbicara dan
menjawab pertanyaannya secara langsung, bukan membiarkan
suaminya yang melakukannya. Dan di atas semua itu, dia bahkan
kemudian cukup berani untuk membuat pembenaran atas sikapnya
pada sang ayah mertua! Sekarang ini Siraj Din murka sekali
terhadap menantu perempuan kesayangannya. Menunjukkan
kekecewaannya yang mendalam, dia menggeleng-gelengkan kepalanya
tak percaya. Ini bukan Shahzada yang pernah dikenal dan
dicintainya.
Shahzada melemparkan tatapan tak berdaya ke arah sang suami. Dia
sangat mengharapkan dukungannya, berharap Habib akan
mengatakan sesuatu untuk membelanya. Namun, Habib, dengan sorot
mata sedingin sorot mata ayahnya, tetap terdiam dengan penuh
wibawa di sampingnya.
Tiba-tiba saja Shahzada kembali merasa sangat tertekan dan ingin
segera keluar dari keadaan yang memojokkannya itu. Dia bangkit,
tetapi kata-kata Siraj Din kembali membuatnya terpaku di sofa.
"Shahzada, aku tahu bahwa aku tak lebih dari seorang lelaki tua dan
aku akan segera menjadi uzur di tengah dunia yang terus berubah
ini. Hari demi hari kita terus diserang oleh nilai-nilai Barat, lewat
satelit dan acara-acara televisi. Namun, aku harus berkata bahwa
trah-ku belum seterpuruk itu untuk menjadi 'maju' yang keblinger,
yang rusak moralnya, sehingga kita akan membiarkan anak-anak
perempuan kita yang cantik dan belum menikah tinggal di rumah
4.
gadis itu dengan sorot mata yang sekali lagi membujuknya, berusaha
memusnahkan sisa-sisa kefeminisan dalam diri gadis itu yang
tampaknya masih sulit ditundukkan.
Zarri Bano segera menanggapi. Pertama dengan sesungging
senyuman dan kemudian dia mencondongkan tubuhnya ke depan,
sampai bahunya hampir bersentuhan dengan bahu Sikander.
"Kau benar sekali, Sahib Sikander. Aku tidak akan membiarkan
tanganku disentuh jika aku tidak merasa bahwa itu benar." Pikiran
dan perasaan yang jujur sangat penting di saat seperti ini, "Aku
sangat tersanjung oleh lamaranmu dan kuharap kau juga akan
menghargai penerimaanku."
Kedua kelopak mata Sikander terpejam. Dia sudah menerimanya.
"Zarri Bano, aku tidak akan pernah membiarkanmu menyesalinya.
Aku akan membuatmu menjadi perempuan yang paling bahagia di
muka bumi ini," dia berikrar untuk dirinya dan untuk Zarri Bano
dengan suara yang dipenuhi janji.
"Aku juga berharap seperti itu karena seperti yang kau lihat, aku
sudah menolak banyak pelamar. Aku nyaris tergoda untuk menolakmu
juga." Dia menyunggingkan lesung pipitnya kepada Sikander. "Namun,
kau adalah satu-satunya yang akhirnya mendapatkanku, seperti yang
dikatakan oleh adikku. Bagaimanapun, aku menjunjung tinggi
kemerdekaanku. Di atas segalanya, aku tidak akan terikat dengan
cara apa pun. Kau harus memahami dan mengingatnya selalu, Sahib
Sikander."
"Aku akan jujur padamu juga. Kau adalah perempuan pertama yang
telah 'menangkapku lewat jaringnya'. Aku menginginkanmu apa
adanya. Itulah yang paling kusukai darimu—perilakumu yang lain
daripada yang lain, kecerdikan, dan kecemerlanganmu. Mari kita
masuk dan memberitahukan kabar gembira ini pada keluargaku.
Mereka akan sangat berbahagia, khususnya ayahku yang memimpikan
memiliki cucu dengan mata sepertimu. Kau dapat menelepon
rumah ini? Kau atau anakku, Habib?" Siraj Din terdiam saat melihat
putranya sontak bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruangan.
Shahzada menyaksikan semua itu dengan kepiluan dan kebingungan.
Habib tidak mengatakan sepatah kata pun. Tidakkah dia merasa
berbahagia atas putrinya? Apa yang terjadi padanya? Mulut
Shahzada kini begitu kering. Dia menoleh ke arah pandangan mata
ayah mertuanya yang sama dengkinya. Siraj Din menarik kakinya ke
atas sofa dan kembali mengisap pipa panjangnya.
"Aba Jan, Anda tahu orang-orang ini sangat tertarik pada Zarri
Bano kita." Shahzada merasa wajib menjelaskannya. "Jafar yang
memperkenalkan kita pada mereka. Sahib Habib tidak
memberitahukan semuanya pada Anda. Anda tahu kami tidak pernah
melakukan apa pun tanpa restu atau kewenangan dari Anda. Tolong
maafkan aku jika telah memberi kesan lain pada Anda. Sahib Habib
adalah kepala rumah tangga di rumah ini, bagaimana mungkin Anda
meragukannya? Dan bagaimana mungkin aku, yang hanyalah seorang
perempuan ini, berani mengambil langkah mengatur pernikahan anak
perempuanku tanpa melibatkan Anda berdua? Anda menghinaku
sekaligus diri Anda sendiri dengan kesimpulan yang ganjil seperti itu.
Aku tidak bersalah apa pun, Aba Jan. Aku tidak melakukan
kesalahan apa pun. Jika kecintaanku pada putri sulungku dan
pertimbanganku atas masa depan kebahagiaannya dalam menikahi
orang yang tepat adalah kejahatan menurut Anda, berarti aku
memang bersalah." Shahzada mengakhirinya dengan terdiam,
mengumpulkan seluruh harga dirinya.
"Kalau begitu, katakan padaku, Shahzada, mengapa putraku bersikap
begitu aneh padamu?" tanya Siraj Din ketus seraya menyimpan
pipanya. "Aku telah hidup lebih dari tujuh puluh tahun untuk menjadi
tidak buta dalam melihat tanda-tanda bahwa putraku tampak sangat
terganggu atas dirimu sepanjang siang ini. Dia sama sekali tidak
menunjukkan restunya terhadap perjodohan dengan pemuda kaya ini
5.
6.
"Ya, salah satu pelayan Habib Khan menelepon. Jafar terjatuh dari
kudanya, dan kecelakaan itu melukai kepalanya. Pendarahan di otak,
mereka bilang."
***
Saat mereka tiba di rumah Zarri Bano dua jam kemudian, Zarri
masih belum bisa mencucurkan air mata. Dia terus menerawang ke
depan. Jiwanya tampak terpaku. Sikander terus mengawasinya, ingin
menenangkannya, merangkulnya, dan merengkuh tubuhnya ke dalam
pelukannya. Bagaimanapun, etiket sosial telah membuat kedua
lengannya terjatuh ke bawah. Saat itu, di hadapan mata dunia,
mereka tidak memiliki hubungan resmi yang menyatukan mereka.
"Tidak ada apa-apa di antara kita," sebagaimana yang dinyatakan
Zarri malam sebelumnya; dia mengingatnya dengan pahit. Suaminya
saja, ayahnya, atau adik lelakinya yang mendapatkan kehormatan
untuk menenangkannya dengan sentuhan fisik.
Dengan langkah tertatih, Zarri Bano memasuki rumahnya. Rumah
bahagia itu telah berubah menjadi sebuah rumah duka. Para
kerabat, sahabat, tetangga, dan pelayan ada di mana-mana—ada
yang menangis ataupun membaca doa. Saat mereka melihatnya, suara
doa mereka semakin nyaring dan mereka bergegas menghambur ke
arahnya untuk menyatakan dukacita. Dua orang perempuan
mengembangkan lengan mereka ke arahnya dan menangis
sesenggukan di dadanya. Berdiri kaku di antara mereka, Zarri Bano
tidak mampu meneteskan air mata atau bersikap seperti apa yang
ada di sekitarnya. Sikander dan kedua orangtuanya tetap berada di
sisinya.
Fatima memandu mereka memasuki ruang tamu yang besar tempat
jenazah Jafar dibaringkan di atas palang di tengah ruangan. Fatima
dan anak perempuannya, Firdaus, diminta untuk menerima para tamu
dan mereka yang turut berduka-cita dari para penduduk sekitar.
Mereka adalah orang-orang yang tiba dari desa siang itu. Mereka
7.
IBU PASTI sudah salah paham! pikir Zarri Bano kalut di dalam
kamarnya setelah Shahzada menjatuhkan "bom" itu dan bergegas
keluar kamar dengan chador putihnya yang panjang menjuntai di
belakangnya.
"Tidak mungkin! Mereka tidak dapat melakukan itu padaku!" gugat
Zarri Bano pada dinding-dinding kamarnya. "Aku harus berbicara
pada ayahku dan mengenyahkan gagasan gila ini dari benakku." Dia
menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap gerakannya itu bisa
mendatangkan mukjizat, tetapi dia malah merasa lebih pening dan
lebih bingung daripada sebelumnya.
Sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, Zarri Bano
merasa bimbang atas siapa yang bisa dia percaya. Jika dia
mengatakannya pada Ruby, adiknya itu akan sama kalutnya dan sama
terguncangnya dengan dirinya sendiri. Mengapa harus menambah
beban batinnya?
Beberapa saat kemudian, dia terpikir untuk berbicara pada ayahnya,
tetapi semuanya tak berguna. Dengan tampang berkabungnya, Habib
selalu dikelilingi oleh para pria lainnya dan itu membuat Zarri Bano
sulit mendekati ayahnya itu. Bagaimanapun, Zarri Bano tidak dapat
menenangkan dirinya sebelum mengatakan semuanya itu langsung
kepada ayahnya.
"Aku harus bisa berbicara pada Ayah malam ini juga!" tekadnya.
Sekitar setengah dua belas malam, saat dia tahu pasti bahwa kedua
orangtuanya akan berada di kamar tidur mereka, Zarri Bano
mengetuk pintunya dan masuk. Kamar yang luas dengan langit-langit
tinggi menjulang itu tampak temaram, tetapi perabot dari kayu
walnut membuat suasana di kamar itu tetap terasa hangat. Ibunya
sedang shalat di salah satu sudut, di atas sajadahnya. Habib sedang
duduk di sofa dekat ranjang sambil membuka-buka koran Jang. Dia
meletakkan koran itu saat melihat putrinya masuk.
tidak akan pernah! Kau boleh menceraikanku! Tidak ada lagi yang
tersisa di antara kita. Camkan ini, jika kau akan menjadikan putrimu
seorang Perempuan Suci, kau juga sekaligus menguburkan seorang
istri."
"Aku tidak akan mendengarkan rengekan bodohmu lagi. Aku akan
tidur di kamar yang lain," bentaknya. Suaranya yang berat dan dingin
terdengar membahana, dan dia, membanting pintu di belakangnya.
Kata-kata istrinya telah membuatnya berang. Dia tahu apa yang
dirasakan Shahzada karena dia juga merasakan kepedihan yang
sama. Bagaimanapun, tidak seperti istrinya, dia tidak memiliki pilihan
lain. Dia diperingatkan oleh apa yang dikatakan Shahzada bahwa dia
tidak akan memaafkannya, tetapi, "Dia akan berubah seiring
berjalannya waktu," ujarnya pada dirinya sendiri.
Di dalam benaknya dia mengingat bayangan Shahzadi Ibadat lainnya
di masa kanak-kanaknya. Betapa dia sempat begitu terpukau oleh
perempuan itu, ketenarannya, dan pujian yang diterimanya dari
semua orang. Ke mana pun dia pergi, "Bibi, Bibi, " menggema
bersahutan di sekelilingnya.
Zarri Bano dan karisma pribadinya akan melebihi semua Shahzadi
Ibadat sepanjang sejarah. Dia memiliki kecantikan sekaligus
terpelajar. Dia bahkan sudah mendapatkan gelar pascasarjananya.
Semakin Habib memikirkan putrinya itu sebagai seorang Perempuan
Suci, dia kian teryakinkan bahwa dia sudah menetapkan sebuah
keputusan yang tepat. Istrinya hanyalah salah satu dari jenis
kelamin yang lemah dan karena itu dia memiliki pandangan yang picik
tentang hal ini.
"Apakah dia tidak mengharapkan kejayaan dan kehormatan untuk
putri kami?" sahutnya dengan menatap bintang-gemintang di angkasa
sambil berjalan-jalan mengelilingi lahan miliknya. Cahaya dari langit
berbintang itu membias di atas berhektar-hektar tanah penuh
tanaman. Dada bidang Habib membusung karena bangga. Seraya
8.
Seperti juga ibunya, dia sudah dididik sejak bayi untuk menghormati
dan memuja setiap keinginan ayahandanya dan siapa pun lelaki yang
dituakan dalam keluarga mereka. Menentang salah satu keputusan
mereka akan dianggap sebagai pembangkangan tingkat tinggi dan
sebuah tanda dari gangguan moral dan sosial, sebentuk
pemberontakan yang oleh para tetua akan dianggap harus
dimusnahkan sesegera mungkin dan dengan sebentuk perlakuan
hingga dia tidak akan pernah bisa meninggikan kepalanya yang buruk
itu lagi.
Di sisi lain, Shahzada menganggap membantu putrinya melarikan diri
dari takdirnya adalah sesuatu yang tak mungkin. Ke mana dan apa
yang akan dijadikan pelarian Zarri Bano? Kekuatan klan keluarganya,
seperti juga trah yang lain, bergantung kepada izzat mereka—
kehormatan keluarga mereka. Bagi Zarri Bano, meninggalkan
rumahnya akan membuat izzat mereka terpuruk jatuh di mata semua
orang. Tidak ada seorang pun yang mampu memperbaiki
guncangannya, baesti, kehilangan muka.
Kemungkinan anak perempuannya menikah sebelum upacara
penobatan Perempuan Suci juga terasa tidak mungkin. Pernikahan itu
pasti akan membangkitkan skandal besar, khususnya jika pernikahan
itu tidak direstui oleh ayah dan kakeknya, dan masih dalam suasana
berkabung karena kematian adiknya. Mereka harus berkabung untuk
Jafar selama tiga bulan.
Singkatnya, tidak ada jalan keluar bagi putri tercintanya! Zarri Bano
juga akan terbelenggu di dalam sangkar emas, tetapi dia tidak akan
berada di bagian dalam sangkar itu karena tidak seperti ibunya, dia
tidak akan pernah menikah, memiliki anak, menikmati kebersamaan
seorang suami, atau mengurus kehidupan rumah tangga yang normal
seperti perempuan-perempuan lainnya. Tugas dan kewajibannya
hanyalah melakukan ibadah agama.
"Fatima, andai saja aku ini istri tukang ikan," kini dia mengungkapkan
isi kepalanya keras-keras. "Dengan begitu, aku dapat melindungi
kepentingan putriku: Di sini aku seorang chaudharani, tetapi aku
bahkan tidak memiliki cukup kekuatan dalam jemariku untuk
melindungi putriku dari nasib buruk yang menunggunya."
"Ayolah, Sahiba, jangan menangis. Tentu saja itu tidak akan terjadi.
Tidak mungkin terjadi pada Zarri Bano kita. Itu sangat gila dan
kejam. Bagaimana mungkin seorang perempuan cantik yang sudah
cukup matang untuk menikah dan punya anak bisa dipisahkan dari
tugas yang sudah ditakdirkan bagi kita, sebagaimana juga semua
perempuan di seluruh dunia? Untuk itulah, Allah menciptakan kita."
"Ini akan terjadi dan sedang terjadi, Fatima. Kukatakan padamu
bahwa aku tak berdaya mencegah apa yang akan terjadi nanti, yang
tampaknya akan diselenggarakan dalam beberapa hari ini." Shahzada
menatap Fatima dengan sorot mata penuh kepiluan. "Kalian orang-
orang dari kasta rendah merasa iri pada kekayaan yang kami miliki,
tetapi saat ini aku akan memberikan apa saja untuk bertukar
kehidupan denganmu, atau sebagai seorang perempuan yang tinggal
di dalam pondok yang terbuat dari lumpur kering. Fatima, kedua
tangan putriku tidak akan pernah dilukis dengan henna merah
berpola pengantin." Dia merintih, seolah-olah jantungnya mau pecah.
Mulut Fatima terus ternganga akibat dari penuturan yang dikatakan
chaudharani-nya meresap sempurna ke dalam benaknya. Tidak
mungkin! Kedua tangannya mulai saling menggosok satu sama lain,
menandakan kekalutan batinnya.
Sambil berjongkok di lantai, Fatima meletakkan kepalanya di
pangkuan majikannya dan mulai terisak. Karena sempat
membesarkan Zarri sejak usianya tujuh tahun, Fatima mencintai
Zarri Bano layaknya seorang ibu kandung. Fatima menyuapinya,
memandikannya, dan mendandaninya. Selama bertahun-tahun, dia
senang mendengarkan celotehnya, sindiran-sindiran sinisnya, dan
9.
10.
Pipi Zarri merona merah karena malu dan terkejut. Dia menatap
nanar ayahnya dalam bisu. Kemudian pandangannya tertunduk seiring
dengan rasa malu dan amarah yang bercampur aduk menyiksa
tubuhnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia membenci ayahnya
dengan cara yang tak pernah dipikirkannya. Konotasi seksual dalam
kata-kata yang dilontarkan sang ayah telah mengguncangnya hingga
ke dalam kalbu.
"Aku tidak berkata bahwa aku menginginkan seorang laki-laki!"
Bicaranya kini begitu pelan sampai Habib nyaris tidak bisa
mendengarnya. "Aku hanya ingin menjadi perempuan normal dan
hidup normal seperti perempuan lainnya."
"Jika kau tidak menginginkan...," Habib terhenti. Orang-orang tidak
berbicara pada anak perempuannya dengan sikap atau intonasi
seperti ini. "Jika kau tidak ingin ditemani seorang lelaki," Habib
memperbaiki sikapnya, "atau mendambakannya, lalu mengapa kau
begitu memberontak sehingga tidak ingin menjadi seorang Shahzadi
Ibadat? Sebagai perempuan normal, sebagai seorang istri, kau akan
terikat pada seorang laki-laki. Kehidupan semacam itu tidak ada apa-
apanya dibandingkan dengan izzat, kehormatan dan ketenaran yang
akan dihadirkan oleh perananmu itu kepadamu dan keluargamu."
"Kegemilangan? Izzat? Ketenaran? Aku tidak menginginkan semua
itu, Ayah. Mengertikah Ayah? Tolong, tinggalkan aku sendirian!"
jerit Zarri Bano. "Apakah aku sedang membentur-benturkan
kepalaku ke dinding batu?"
Habib berdiri dan melangkah ke arah pintu. Di ambangnya dia
berhenti dan berbalik, dan dengan hati yang terpuruk dalam, Zarri
Bano menangkap tatapan dingin dan tegas di mata ayahnya.
"Kau boleh menjerit-jerit semaumu, putriku tersayang yang
sombong, tetapi kau akan melakukan apa yang kukatakan—aku tahu
kau akan melakukannya. Kita berdua sama. Kau tidak akan pernah
mengecewakanku, aku tahu pasti, tidak terhadap tradisi kita, tidak
11.
12.
13.
FIRDAUS DAN kedua adiknya bertemu dengan ibu mereka dua jam
kemudian, lama setelah Ali mengantarkan bingkisan-bingkisannya dan
pulang lagi ke kota. Gusar dan tegang, mereka tak sabar
menunggunya.
"Dia seharusnya mendahulukan keluarganya daripada berhura-hura
mengunjungi teman-temannya." Mereka semua sepakat dengan Salma
tentang hal itu. Tetapi itulah ibu mereka—dialah aturan itu sendiri,
tidak bertanggung jawab pada siapa pun!
Ayah mereka juga sedang menunggu dengan sabar di atas
ranjangnya di pasar. Dia tidak bertemu Fatima selama hampir dua
bulan. Putri-putrinyalah yang mengganti pakaiannya, membereskan
tempat tidurnya, dan membereskan seluruh pojok rumah dengan
cepat untuk menyambut kedatangan ibu mereka. Dia akan selalu
Fiaz masih bisa mengingat dengan jelas hari ketika kepiluan itu
terjadi, saat dia terbangun dengan keterkejutan yang mengerikan di
rumah sakit karena mendapati kaki kanannya telah diamputasi.
Matanya mengatup. Secara otomatis dia menutup kenangan tentang
kejadian yang membuat kismet dan nasib mereka menjadi
menyedihkan.
Seusai menyemai ladangnya, ketika dia sedang menghela dua ekor
kerbaunya kembali ke peternakan, tiba-tiba saja salah satu di
antaranya berbalik, mengakibatkan tali kekang yang dipegang Fiaz
terlepas. Fiaz pun goyah dan kemudian terjerembap. Hanya dalam
beberapa detik, mimpi terburuknya terjadi, saat dia merasakan
kaki-kaki kerbau itu menginjak-injak kedua kakinya. Kemudian
semuanya menjadi gelap baginya.
Selama bulan-bulan berikutnya, kehilangan fungsi kaki yang satunya
lagi membuat Fiaz harus menangani patah hatinya karena terpaksa
menjual kerbau-kerbaunya dan sebagian tanahnya, serta harus
meminjam uang dari tetangga-tetangganya untuk membayar biaya
pengobatan. Tidak ada seorang pun dari kerabatnya ataupun kerabat
Fatima bisa membantu mereka.
Selain keputusasaan yang menyiksa dan kebutuhan mendesak untuk
memberi makan keempat anak mereka, Fatima harus menelan harga
dirinya dan mendatangi rumah besar itu untuk bekerja. Dia segera
dipekerjakan membantu menantu tertua Siraj Din, Shahzada,
membesarkan ketiga anaknya, sekaligus mengurus rumah tangganya.
Untuk mengerjakan semua itu, Fatima harus meninggalkan anak-
anaknya di rumah dengan suaminya, meminta pertolongan
tetangganya, Naimat Bibi, koki desa itu, untuk mengawasi mereka.
Tanpa air mata menetes di wajahnya, batinnya menangis
membayangkan anak-anaknya ditinggalkan sendirian tanpa seorang
ibu. "Aku tidak punya pilihan lain. Melakukan ini atau sama sekali
14.
"Oh, tentu saja, khususnya Firdaus. Dia yang tertua dan yang paling
menjanjikan dari ketiga putri Fatima," jawab Kulsoom dengan
sengaja menyunggingkan senyum yang seolah sedang
menyembunyikan sesuatu.
"Di manakah para rishta ini?"
"Satu di antaranya ada di kota. Lelaki itu seorang jenderal," bualnya
licik. Pandangannya menengadah, membalas tatapan mata Khawar.
"Yang lainnya tinggal di desa tetangga. Dia adalah anak lelaki satu-
satunya dan seorang sarjana, memiliki seorang ibu yang sangat baik
hati dan sebuah hawali besar, dan bekerja sebagai seorang penyelia
di kota." Dia menambahkan kalimat terakhirnya sebagai penyemarak.
Dia sangat piawai dalam membesar-besarkan suatu hal dan saat itu
harus dilakukannya.
"Oh, kalau begitu Firdaus kita tidak bisa menjadi pilihan lagi. Jodoh
yang hebat!" seru Khawar sedikit sarkastis. Cuping hidungnya
membengkak. Kedua tangannya tampak tegang mencengkeram tali
kekang kudanya.
"Ya, tentu saja," dengan licik Kulsoom mengompori pemuda itu,
melihat tatapan maupun aksinya tampak seperti tidak tertarik.
"Tidak seorang pun yang cocok di desa ini untuk Firdaus kita. Dia
sendiri bersikukuh dirinya tidak ingin menikah dengan siapa pun di
sini, bahkan jika mereka mengemis padanya sekalipun, atau andaikan
dewan sekolah mengeluarkannya dari sekolah. Seharusnya kau
dengar sendiri apa yang dikatakannya, Khawar. Dia begitu keras
kepala dan garang padaku dan ibunya tentang itu."
"Mengapa?"
"Eh...." Dengan sengaja Kulsoom memutuskan untuk bermain-main
dengan nasib dan mengatakan yang sesungguhnya pada Khawar. "Kau
tahu, Khawar, Fatima berangan-angan bahwa kau dan Firdaus akan
menjadi pasangan yang serasi. Namun, tentu saja ibumu tidak akan
mau mendengar hal itu, dan kini Firdaus benar-benar tidak ingin
berhubungan dalam bentuk apa pun denganmu. Tahukah kau apa yang
dikatakannya, Khawar sayang? Dia berkata, andaikan ibumu datang
berlutut meminangnya sekalipun, dia tidak akan bersedia
menjejakkan kaki ke rumahmu. Dapatkah kau bayangkan ibumu
sedang berlutut mengemis-ngemis, Khawar? Firdaus tampaknya akan
mengejar calonnya, seorang pemuda yang tinggal di desa tetangga.
Menurutku, penting bagimu untuk mengetahui hal itu, Anakku.
Karena aku tahu bahwa kau selalu mengincar Firdaus dan aku tidak
ingin kau menyalahkanku karena semua itu sudah terlambat."
Perempuan itu lalu mengembuskan napas berat.
"Dia akan segera dipetik, begitu yang dikatakan ibunya, di depan
hidungmu sendiri, Khawar. Aku tidak akan berkata apa-apa lagi—aku
sudah mengatakan semuanya. Dan ibumu tidak akan berterima kasih
padaku. Aku mungkin sudah menciptakan seorang musuh dan
sekaligus kehilangan bisnisku dengannya—tetapi lihatlah, aku peduli,
Khawar! Aku peduli pada kalian berdua. Kalian adalah anak-anak yang
tidak pernah kumiliki. Meski demikian, aku juga tidak ingin
menimbulkan jurang di dalam keluargamu. Selamat malam, Anakku,
semoga Allah mewujudkan semua mimpimu." Dia mengakhirinya
dengan doa dan kembali ke jalan desa.
Dia meninggalkan Khawar di atas kudanya, meninggalkan begitu
banyak hal untuk dipikirkannya. Khawar tahu permainan apa yang
sedang dimainkan Kulsoom. Kelelakiannya terluka. Apa yang
diceritakan Kulsoom bahwa Firdaus tidak ingin menikah dengannya,
ataupun menjejakkan kaki di rumahnya, membuatnya seakan-akan
harus menghadapi dua perempuan angkuh. Seorang perempuan yang
ingin dinikahinya dan seorang ibu yang tidak akan membiarkannya
menikahi perempuan itu.
Ini adalah saatnya bertindak! Masalah ini harus dituntaskan, dengan
cara apa pun. Dia tidak merasa menikmatinya, tetapi tampaknya
pertentangan dengan ibunya tak dapat ter-elakkan. Seperti yang
diuntung! Tidak bisakah kau jatuh cinta dengan seorang gadis lainnya
yang lebih baik daripada anak perempuan tukang cuci, anak
perempuan dari musuh terbesarku itu? Kau sudah mengkhianatiku,
Khawar. Aku tidak akan pernah mengampunimu jika kau menikahi
gadis itu!" Kaniz menjadi sangat murka. Pipinya berwarna merah
karenanya.
"Aku akan menikahi gadis itu! Gadis itu akan segera menjadi kepala
sekolah dan akan mampu menegakkan kepalanya lebih tinggi daripada
Ibu dan status asli keluarga Ibu. Orang dari segala kalangan akan
menghormatinya. Dia bernilai dua puluh kali lebih berharga
daripadamu, Ibu!" Khawar membalas dengan kejam.
Kemudian, merasa marah pada dirinya sendiri dan menyesali
amuknya, dia pun bergegas keluar dari ruangan itu. Dia tahu betul
bahwa dirinya sudah sangat melukai dan menyinggung perasaan
ibunya, tetapi biarlah. Hari ini dia sudah melewati batas
kesabarannya dalam mencandai ibunya.
Kaniz tenggelam begitu dalam di kursinya. Halilintar baru saja
menyambar. Pikirannya pun berkecamuk. Langit baru saja runtuh di
atas kepalanya dan berjatuhan di atas bahunya. Putra semata
wayangnya, kepada siapa dia mengabdikan hidupnya selama dua puluh
tujuh tahun, baru saja memberinya sebuah ultimatum. "Bagaimana
mungkin dia bisa mengkhianatiku seperti ini?" Kaniz bertanya pada
dirinya sendiri dalam kebingungan, sementara matanya mulai berair.
Tidak akan pernah! Dia lebih memilih mati daripada menyambut
gadis itu ke dalam rumahnya. Putranya telah benar-benar gila.
Majnoon! Dia mungkin baru saja menenggak minuman yang disiapkan
oleh penyihir itu. Itulah cara yang digunakannya untuk memikat hati
Khawar. "Betapa Fatima saat ini akan melonjak-lonjak gembira!"
erangnya.
Jantungnya berdebam keras di dalam rongga dadanya. "Aku akan
mati terlebih dahulu daripada menerima perempuan itu sebagai
15.
16.
tampan Sikander dan mengingat setiap detail dan waktu yang pernah
mereka habiskan berdua.
"Tahukah kau, Zarri Bano, aku berharap setelah kita menikah nanti,
kita akan memiliki anak-anak secantik kau."
Pipi Zarri Bano memerah saat Sikander menyebut kata anak-anak.
Matanya segera tertunduk menatap kedua tangan di pangkuannya.
Sebutir peluru rasa sakit dan kerinduan menghunjam tubuhnya,
membuat wajahnya memucat, dan semburat kepedihan tampak di
kedua matanya. Dia memalingkan pandangannya ke hamparan perdu
mawar, memandanginya, tetapi tidak sungguh-sungguh menikmati
mawar-mawar merah jambu dan kuning yang sedang merekah indah
itu. Tanpa ampun, dia menginjak-injak taman mawar cintanya. Lalu,
dia menoleh ke arah Sikander sambil menegakkan duduknya.
Matanya tenggelam ke dalam sorot mata Sikander; kedukaan
terpancar di sana sehingga dia berharap dan berdoa agar lelaki itu
mengenali sorot pedih itu dan memahaminya.
"Sahib Sikander," Zarri Bano memulainya dengan nada suara yang
amat rendah. Suara yang datang dari lubuk hatinya yang terdalam,
"Bagimu dan aku, tidak akan ada pernikahan ataupun anak—
setidaknya, tidak bersamaku. Kau mungkin sudah mendengar bahwa
aku akan menjadi seorang Shahzadi Ibadat. "
"Apakah orangtuamu yang memaksamu melakukannya?" tuduh
Sikander. Dia nyaris tak mampu menahan emosinya.
"Tidak, Sikander. Aku melakukannya atas keinginanku sendiri. Itu
memang tradisi keluarga kami, tetapi pada akhirnya keputusan ada
di tanganku. Gagasan itu diajukan padaku oleh ayahku dan aku
menerimanya."
"Tetapi mengapa, Zarri Bano?" tanya Sikander frustrasi. Dia
membungkukkan badannya dan meraih tangan gadis yang dicintainya
itu. Secara naluriah, dia ingin merengkuh tubuh Zarri Bano untuk
seperti yang kau katakan. Aku tahu apa yang kulakukan. Tolong
jangan rendahkan kepintaranku. Pendidikan tinggi mungkin sudah
kukenyam, aku mungkin salah satu anggota pergerakan perempuan
APWA, dan aku telah memperdebatkan serta mendukung isu-isu
perempuan. Namun, tampaknya kau melupakan apa yang kuceritakan
padamu di restoran di Karachi. Aku masih sebuah mikrosom dari
keluargaku, seorang anak perempuan dari seorang
zemindar yang kaya raya dan sangat berkuasa. Keluarga, perilaku,
dan etiket sosial kami diatur oleh sebentuk kode etik dan adat
khusus keluarga besarku. Itu yang tidak mampu kau pahami sebagai
seorang asing dari kelompok sosial lain. Aku bagian dari semua itu
dan yang memang menjadi tempatku. Aku tidak bisa memisahkan diri
dari semua itu. Tidak sesederhana itu!"
"Jadi, individualitasmu akan dikorbankan demi 'adat' keluargamu,
untuk 'semua' itu. Jika kau memang sudah dicuci otak untuk
melakukan sesuatu yang dicerca orang normal, apa lagi yang bisa
kulakukan sebagai seorang lelaki gher biasa untuk mencegah agar
kau tidak dikorbankan?" Dia menekankan kata gher itu dengan pahit.
Zarri Bano tetap menganggap dan memperlakukannya sebagai
seorang asing. Sikander tidak akan pernah memaafkan Zarri Bano
untuk pengkhianatan itu. Dia memerhatikan kekakuan di bibir Zarri,
menyadari gadis itu tersinggung oleh kata-katanya.
Mengikuti kata hatinya dan dipicu oleh hasratnya yang menggebu
untuk berkomunikasi dengan Zarri, sekali lagi, dengan satu gerakan
lembut, Sikander meraih tangan Zarri Bano ke dalam genggaman
tangannya.
Jantung Zarri berdegup amat kencang, tetapi dia sama sekali tidak
berusaha menarik tangannya lagi. Ketika Sikander mendekatkan
tangan itu ke bibirnya, Zarri merasakan seberkas cahaya hangat
menerangi batinnya, mengembuskan angin segar ke dalam hatinya
17.
18.
19.
Zarri Bano duduk di depan meja rias memakai gaun pengantin sifon
merah berhias lempengan logam. Rambut panjangnya yang ikal ditata
indah oleh Ruby, membentuk gelungan di atas kepalanya. Seuntai
kalung bertatahkan rangkaian emas menggantung di lehernya.
Sepasang anting panjang yang selaras dengan kalung itu juga
terjuntai di kedua telinganya, sementara sepasang lengan putih
mulusnya tampak berkilauan oleh lusinan gelang emas yang didesain
sedemikian cantik.
"Apakah itu aku?" tanya Zarri Bano terbengong-bengong, menatap
sosok pengantin yang mencemooh di hadapannya. "Aku tampak
seperti pengantin perempuan Pakistan." Bahkan kedua tangannya
telah dilukis secara ritual oleh adiknya menggunakan pacar pada
malam sebelumnya. Dia menyeringai melihat kedua telapak tangannya
yang berlumuran warna oranye kemerahan.
Cemoohan tentang perhiasan dan pernak-pernik busananya malah
agak keterlaluan. "Semua ini kepura-puraan!" keluhnya. "Untuk apa
semua ini?"
Dia mengerjapkan matanya—mendongak. Sesosok bayangan hitam
berdiri tegak, menyeramkan, di belakang bangkunya.
Dengan jantung berdegup kencang, Zarri Bano terjajar melihat
kepala Sakina yang terbungkus jubah hitam, dan hanya menyisakan
dua pertiga wajahnya yang bisa terlihat. Tidak ada kening. Hanya
separuh dagunya yang terlihat.
"Beginilah rupaku nantinya," jerit batinnya ketakutan. "Lukisan di
wajahku, perhiasanku, dan tatanan rambutku— semuanya ini akan
disembunyikan di balik sehelai jilbab hitam."
"Assalamu 'alaikum, Zarri Bano." Sosok gelap menyeramkan itu
menyapanya dari balik cermin, membangunkan Zarri Bano dari
lamunannya. "Bolehkah aku duduk di bangku ini?"
untuk jempolku! Siapa yang harus kubuat kagum dengan semua ini?
Ipar yang mana? Suami yang mana yang akan mengagumi corak dan
modelnya, serta menghitung jumlahnya? Kau tidak mengenakan apa
pun di kedua tanganmu. Apakah kau juga menjalani drama
mengerikan seperti ini,
didandani layaknya seorang pengantin sebelum menjadi seorang
Perempuan Suci?" Zarri Bano terhenti sejenak, membuat Sakina
terpaku melihat sorot mata hijaunya yang tajam.
Sakina melihat ke sekelilingnya dengan rikuh, menyadari bahwa di
sekitar mereka ada orang lain yang tertarik mendengarkan
semuanya, Ruby dan dua perempuan lainnya. Tidak adil bagi Zarri
Bano jika derita batin yang sedang dirasakannya harus disaksikan
orang lain. Hanya dia, Sakina, sebagai seorang Perempuan Suci itu
sendiri yang dapat ikut merasakan pengalaman traumatis Zarri Bano
tersebut, karena dia juga pernah melalui semua prosesi upacara
tersebut, dipaksa menjalani semua ritual yang tak bisa
dikendalikannya.
Seperti Zarri Bano, dia sudah dipaksa untuk melakukan semuanya
oleh anggota keluarga laki-laki tertua. Satu-satunya yang
membedakan, dan merupakan perbedaan yang paling kentara, Sakina
menyadari dengan getir bahwa Zarri Bano perempuan yang begitu
menawan, sementara dirinya biasa-biasa saja. Seakan penahbisan ini
adalah pelanggaran terhadap hukum alam. Tidak boleh menikah.
Tidak boleh memiliki anak. Tidak menjalani kehidupan yang normal.
Sakina menatap nanar Zarri Bano, tiba-tiba saja dia merasa begitu
sedih dan pilu.
"Zarri Bano, bisakah kita berbincang berdua saja?" Sakina
memberanikan diri bertanya.
"Ya, tentu saja. Ruby...." Zarri Bano menoleh seraya mengirimkan
tatapan penyesalan pada adiknya.
"Tentu saja, Kak. Ayo, para gadis." Ruby memberi tanda pada
sepupunya, Gulshan, dan dua teman perempuannya untuk keluar dari
kamar itu. Zarri Bano dan Sakina menyaksikan mereka beranjak
pergi dan kemudian memalingkan kembali wajah mereka untuk saling
memandang.
"Silakan duduk, Ukhti Sakina, mari duduklah di kursi besar ini."
"Terima kasih." Sakina melangkah ke arah kursi besar itu dan duduk.
Keduanya tampak tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan.
Zarri Bano berdiri kikuk di tengah-tengah kamar tidurnya, ingin
mencurahkan begitu banyak hal, tetapi tidak mampu memercayai
dirinya sendiri untuk mengatakan apa pun pada seseorang yang
sungguh-sungguh asing. Dengan mata yang seolah terhipnotis,
tertunduk menatap ranjang, Zarri Bano menggigil menyaksikan
burqa. Raut wajah Sakina melembut penuh pengertian.
"Ya, Ukhti Zarri Bano, itulah yang harus kau kenakan, sebelum kau
siap untuk menjalani upacara. Bolehkah aku membantumu?" bujuknya
lembut.
Apakah itu bayangannya saja atau dia benar-benar telah
menyaksikan Zarri Bano kembali menciut selangkah? Ekspresi di
mata Zarri Bano yang tadinya tampak liar kini tampak seperti hewan
terluka yang terperangkap!
Sakina segera membuat keputusan kilat. Kewajibannyalah untuk
tidak membuat siapa pun kecewa, tidak Habib Khan ataupun Zarri
Bano. Dengan langkah mantap, dia melangkah ke arah ranjang dan
perlahan mengangkat burqa yang disiapkan untuk Zarri Bano dengan
kedua tangannya. Dengan raut lembut tampak di wajahnya, dia pun
memalingkan wajahnya pada Zarri Bano.
"Saudariku, akan sangat aneh mengenakan jilbab ini pada awalnya,
tetapi kau akan segera terbiasa nanti. Menutupi aurat perempuan
adalah bagian dari keyakinan dan budaya kita, sebagaimana yang kau
ketahui. Karena itu, tidak ada bedanya gaya berbusana yang
tampak jelita di dalam pakaian ini? Aku jijik pada pakaian ini, Ukhti
Sakina. Baju ini membakar tubuhku! Aku tidak pernah memakai
kerudung, chador, apalagi burqa, seumur hidupku. Benda ini—aku
tidak tahan! Benda ini mengurung kehidupanku. Tahukah kau bahwa
hitam adalah warna favoritku dua bulan yang lalu? Tetapi ini!" Tubuh
Zarri Bano mulai gemetar tak terkendali di balik kain lembut yang
terasa dingin itu.
"Aku tahu, saudariku, tetapi kau harus berusaha menahannya. Kau
akan segera terbiasa dengannya."
"Tidak akan pernah! Tidak akan pernah!" Suara ketus Zarri Bano
terlontar dari tenggorokannya saat dia memalingkan wajahnya dari
Sakina, menyembunyikan kerapuhannya.
"Kau akan berubah, Zarri Bano, kujamin. Aku sudah pernah melewati
fase yang baru akan kaujalani ini. Ini hanya soal waktu, sahabatku.
Seperti juga fase lainnya dalam hidup, kejadian ini akan
membangkitkan emosi, luka, dan sakit hati tersendiri. Untukmu,
hidup tidak akan pernah sama lagi," ujar Sakina. "Kau akan
mendapatkan saat-saat yang paling menggairahkan yang bisa kau
angankan. Kau akan mengetahui banyak hal tentang Islam—menjadi
ulama. Kau akan mempunyai banyak pengikut—penghormatan, harga
diri, kemuliaan, dan ketenaran. Aku memiliki semua itu. Aku tidak
akan pernah bisa mendapatkannya jika aku menikah seperti
perempuan lainnya, dan berkeluarga."
"Ukhti Sakina, aku tidak menginginkan penghormatan, kemuliaan,
ataupun ketenaran! Aku ingin menjadi diriku yang normal—seorang
perempuan biasa," ujar Zarri Bano. Suaranya bergetar karena emosi.
"Aku pernah mengatakan kalimat yang sama, Ukhti Zarri Bano.
Kemudian aku berubah. Aku tidak pernah menyesalinya dan kau juga
tidak akan menyesalinya, saudariku. Tentu saja, sesekali akan ada
sengatan nostalgia yang menyakitkan, ini wajar saja. Kau akan
merasakannya ketika melihat para perempuan dikelilingi anak-anak
aku akan dijadikan seorang ahli waris dan Perempuan Suci." Zarri
Bano menarik napas panjang dan tampak bergetar.
"Tetapi aku juga memiliki harga diriku sendiri, Ukhti Sakina!"
lanjutnya penuh perasaan. "Tidak ada seorang pun yang bisa
merampas itu dariku. Aku tidak akan mengerjakan semua yang
mereka titahkan. Masih ada sedikit Zarri Bano yang akan
kupertahankan sepanjang masa, bahkan meski nanti aku akan
membunuh dan mengubur sisanya. Dan itu adalah harga diri pribadi
dan integritas diriku! Maafkan aku, Ukhti Sakina, kini aku harus
melakukan sesuatu sebelum turun. Aku tidak akan turun sebagai
seorang pengantin sekaligus seorang biarawati—aku hanya bisa
menjadi satu saja, tidak dua-duanya!" Matanya berkilat dan
wajahnya merona.
Sakina membalas tatapan tajam itu, tak sanggup berkata-kata. "Ya,
tentu saja. Kau akan baik-baik saja, bukan?" tanyanya merendah.
"Ya!" seraya memamerkan senyumnya yang terindah ke arah Sakina,
pipi Zarri Bano tampak berdekik. Sakina segera merasa lebih baik.
Kini Zarri Bano kembali mampu menguasai keadaan. "Aku akan
memanggilmu bilamana aku siap." Zarri Bano memberi tahu tamunya
itu dengan lemah lembut.
Sakina meninggalkan kamar dan berdiri di luar, di lorong,
berbincang-bincang dengan Ruby.
Di dalam kamar, Zarri Bano melemparkan burqa-nya ke atas ranjang.
Dengan secepat kilat, dia melepaskan setiap keping perhiasan dari
leher, telinga, tangan, dan jemarinya. Setelah meloloskan gaun
pengantin merahnya yang panjang berlipit dan berhias koin-koin
logam, dengan tunik pendek yang serasi, dia berdiri tegak hanya
mengenakan rok dalam sutra berwarna gading di depan cermin dan
mengamati dirinya sendiri.
Kemudian, dia melepaskan gulungan rambut ikalnya yang ditata tinggi
bergaya putri raja. Sambil mengibas-ngibaskan kepalanya, Zarri
20.
sudah Anda ketahui, upacara yang akan Anda sekalian saksikan ini
bukanlah sebuah upacara pernikahan biasa, dan bukan juga sebuah
pesta pertunangan. Ini adalah upacara khas keluarga besar kami dan
kami sangat mengagungkannya. Upacara ini mengangkat kaum
perempuan kami, dengan cara yang unik, untuk mengemban sebuah
tugas yang jauh melebihi tugas perempuan-perempuan biasa. Putri
sulung saya yang cantik jelita...." Dia melirik ke arah Zarri Bano
dengan pancaran rasa cinta di matanya.
"Zarri Bano akan menjadi ahli waris saya menjadi Perempuan Suci
kami. Dia juga akan menjadi seorang ulama Islam, seorang guru
moral dan keagamaan bagi ratusan perempuan muda di kota dan
daerah kita, seorang perempuan yang menjadi simbol kesucian dan
ibadah dalam bentuk yang paling murni. Kelak, kami harap, dia akan
memiliki sekolah sendiri, madrasah atau perguruan tinggi miliknya
sendiri. Dia akan kembali ke universitas dan mempelajari agama
Islam di tingkat yang lebih tinggi. Untuk itu, saya berencana
mengirimkannya ke Mesir, ke Universitas Kairo, yang merupakan
universitas Islam tertua di dunia Muslim. Sebagai bagian dari
kehidupan barunya, dia akan menghadiri konferensi Islam di seluruh
dunia—kapan pun atau di mana pun yang mereka tawarkan. Dia akan
berada di bawah pengasuhan Perempuan Suci lainnya—Sakina, yang
merupakan sahabat keluarga kami. Al-Muhtaramah Sakina akan
melantik putri saya menuju tugas barunya. Perlu Anda sekalian
ketahui, bukanlah soal mudah menjadi seorang Perempuan Suci
karena akan ada begitu banyak yang harus dipelajari dan banyak
sekali harapan yang harus dipenuhi. Pada kenyataannya, itu sungguh-
sungguh sebuah kehidupan yang baru.
"Satu-satunya yang membedakan adalah, untuk melakukan tugasnya
ini, Zarri Bano tidak akan punya waktu ataupun keharusan untuk
melakukan tugas biasa sehari-hari."
bising. Para tetamu mulai saling memeluk layaknya yang biasa terjadi
dalam upacara-upacara pernikahan. Zarri Bano tetap duduk dengan
mata terpaku pada Kitab Suci Al-Quran, sama sekali tidak
memedulikan keadaan sekelilingnya. Saat suara bising itu lama-
kelamaan memasuki benaknya, dia memalingkan wajahnya untuk
menatap para tetamu.
Pandangan Zarri Bano tertuju ke arah kerumunan tamu, menatap
berpasang-pasang mata, kemudian secepat kilat mengalihkan
pandangannya, sampai matanya hinggap pada sepasang mata kelabu.
Pikirannya yang sempat bingung kini bangkit lagi. Sepasang mata itu!
Dia mengenal lelaki itu! Sengatan kesadaran menjalari tubuhnya.
"Ternyata dia datang juga meski berkata tidak akan datang."
Merasa bersyukur sekaligus tersanjung oleh kehadirannya, matanya
berusaha menyorotkan permintaan maaf, memaparkan yang tidak
mampu dikatakan oleh bibirnya, dan segala yang tak mampu
dijelaskan oleh kedua tangannya. "Tolong maafkan aku!" sepasang
mata Zarri meratap pada laki-laki yang cintanya telah dia korbankan
itu. "Maafkanlah dan lupakanlah aku. Semuanya kini sudah berakhir!"
Sikander terkunci dalam tatapan mata Zarri Bano. Keduanya begitu
terbius dan enggan melepaskan kontak mata tak disengaja itu.
Hanya itulah komunikasi yang paling mungkin dijalin olehnya yang
mampu menghubungkannya dengan Zarri Banonya yang dulu. Jika
ekspresi Zarri Bano mengguratkan kepedihan dan permintaan maaf,
sepasang mata Sikander memancarkan rasa frustrasi dan tuduhan
pengkhianatan pada Zarri Bano—matanya itu menyiratkan pesan
khusus untuknya, "Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Zarri
Bano!"
Tangan ayahnya yang mencekal bahu Zarri Bano dengan kasar
memutuskan kontak dari seberang ruangan itu. Dengan bergidik,
Zarri Bano menundukkan pandangannya, kembali menyurutkan
dirinya ke dalam cangkang mati rasa yang sudah diciptakannya di
21.
SAAT ITU sudah lewat tengah malam. Sebagian besar tamu Habib
sudah tidur dalam kamar-kamar yang disediakan untuk mereka.
Sekelompok kecil tamu masih duduk bersama di salah satu gazebo di
kebun dan melanjutkan diskusi mereka tentang apa yang terjadi hari
itu.
Shahzada sebagai nyonya rumah membiarkan mereka
melakukannya—dia sudah merasa cukup lelah. Ketika memutuskan
mendatangi kamar putrinya untuk menengok keadaannya, dia
menemukan kamar itu dalam keadaan gelap. Shahzada berpikir
bahwa Zarri Bano sudah terlelap sehingga dia perlahan menutup
pintunya. Dia kemudian berdiri di lorong, malas memasuki kamarnya
sendiri dan berduaan dengan suaminya.
Saat pada akhirnya dia memasuki kamarnya, dalam keremangan,
dada Shahzada begitu sesak oleh kemarahan yang terpendam.
Bagaimana mungkin suaminya bisa tidur nyenyak? Dia berjalan hilir
mudik perlahan di dalam kamar dan tidak melihat Habib yang sedang
duduk tegak di ranjangnya.
Cahaya bulan dari jendela menerangi kamar mereka dan
menyorotkan bayangan-bayangan di dinding. "Apakah mereka semua
sudah terlelap?" tanya Habib lirih. Tangan Shahzada membeku di
dalam lengan baju malam kurta-nya. Kedua bahunya menjadi kaku.
Dia tidak menjawab atau menolehkan wajahnya untuk menghadap
Habib. Dia malah melangkah menuju kamar mandi yang berhubungan
dengan kamar mereka.
Merasa kecewa, Habib menyandarkan punggungnya ke bantal.
Matanya menatap langit-langit kamar. Ketika Shahzada kembali ke
kamar dan perlahan menaiki ranjangnya sendiri, dia menunggu
istrinya itu mengatakan sesuatu. Dia tidak berkata apa pun. Habib
terkesiap karena terkejut. Tidak pernah seperti ini sebelumnya!
"Tadi itu adalah upacara yang megah, bukan, Shahzada?" kata-
katanya menusuk Shahzada, menyengatnya hingga membuatnya
menanggapi, seakan tak ada yang bisa dilakukan lagi.
"Ya, itu adalah upacara yang megah—untukmu, Habib!" balasnya
ketus.
Dia tidak tahu pasti kapan dia jatuh tertidur, tetapi dia pasti sudah
terlelap tanpa menyadarinya karena ketika terbangun, cahaya
menyelinap masuk lewat celah gorden kamarnya. Mata Zarri Bano
mengelana ke sekeliling ruangan itu. Ingatan tentang upacara itu
menyerangnya, membuatnya mengatupkan matanya kembali kuat-
kuat, putus asa, dan berharap bahwa semua itu hanyalah mimpi.
Tangannya menyentuh kepalanya yang terbungkus. Cangkang yang
menyakitkan itu terasa sangat asing teraba jemarinya. Suara
gesekan burqa mengingatkannya bahwa dia masih mengenakannya.
Tiba-tiba saja dia merasa tercekik. Dia ingin sekali mengoyak
pakaian itu.
Sambil mencengkeram kuat selimutnya, Zarri Bano berkata pada
dirinya sendiri, "Aku tidak harus mengenakannya, setidaknya di atas
ranjang." Tidak ada aturan yang mengharuskannya mengenakan
burqa di atas ranjang. Namun, busana itu adalah simbol sejati status
barunya. Orang akan mengenalinya sebagai siapa lagi kalau bukan
sebagai Perempuan Suci? "Mulai saat ini, aku harus selalu
mengenakannya," dia mencamkan sendiri kata-kata itu dengan pedih.
Di kamar mandi, dengan satu tarikan keras, dia menanggalkan
pakaian hitam itu dan melemparkannya ke atas lantai marmer.
Namun, Zarri segera membungkuk untuk memungutnya dan kemudian
dengan hati-hati menggantungkannya di salah satu gantungan di
dinding. Batinnya menegur dirinya sendiri. "Ini akan menjadi kulit
keduaku. Aku harus belajar menyukai dan menghormatinya.
Mengoyaknya akan berarti merusak sebagian dari diriku sendiri—
identitas baruku."
Zarri Bano berdiri di bawah pancuran air, membiarkan air hangat
menghujani tubuhnya, dan dia pun mulai melumuri dirinya dengan
sabun. Ketika menangkap bayangan dirinya di dinding keramik yang
berkilau bagaikan cermin, dia membiarkan pandangannya melahap
tubuhnya. Kemudian, sambil mengatupkan kelopak matanya rapat-
22.
hari ini." Dia lalu duduk di kursi kulit di depan mejanya. Seraya
tangannya meraih gagang telepon, dia mulai berbicara pada
sahabatnya itu.
Rucksana meninggalkan ibunya sendirian dan melangkah ke arah meja
makan. Dia melihat meja makannya sudah disiapkan untuk makan
malam oleh pembantu perempuan mereka.
Lima menit kemudian, Nighat memasuki ruang makan. Rucksana
berdiri dan dengan penuh hormat menarik salah satu kursi untuk
diduduki ibunya. Garis-garis kecemasan tampak sangat jelas di
kening Nighat. Sejak dirinya menjanda tujuh tahun yang lalu, garis-
garis itu jadi menetap.
"Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Rucksana sambil
membungkuk di atas meja untuk mengisi piring ibunya terlebih
dahulu.
"Ya, sayang. Kau bisa makan sekarang. Aku tidak begitu lapar,"
jawabnya dan dia pun memasuki ruang tamu untuk duduk di sofa.
"Ibu bilang, Ibu sedang kelaparan tadi!" seru putrinya.
Nighat mulai memijat, meredakan urat tegang di dahinya. Itu
seperti beban yang sangat berat.
"Ibu, ada apa?" tanya Rucksana cemas seraya membuntuti ibunya ke
ruang tamu.
"Tidak ada apa-apa. Makanlah. Nanti Ibu menyusul."
"Tidak, sampai Ibu juga ikut makan. Aku tahu Ibu sangat lelah dan
lapar."
"Ibu baru saja kehilangan selera makan, sayangku. Ibu sangat
marah!"
"Mengapa?"
"Sesuatu sudah terjadi pada salah satu anggota perempuan APWA
kami—salah satu mahasiswa senior Ibu, panggil saja Zarri Bano. Dia
sudah menulis banyak artikel mewakili kami di majalah yang
didirikannya. Menurut Zeenat, dia sudah dijadikan semacam
yang laki-laki. Ya, aku bahkan tidak disodori pilihan seperti itu.
Pernikahan sangat terlarang bagiku oleh ayahku. Dia berkata bahwa
aku tidak akan pernah menikah dengan siapa pun!" Zarri Bano
menarik napas dengan berat.
"Apa?" Nighat menatap Zarri Bano tak percaya.
"Ya, ayahku yang mencegahku—memerasku secara psikologis—agar
tak menikah dengan laki-laki yang membuatku jatuh cinta, lelaki yang
sangat aku inginkan untuk menikahiku." "Ya Tuhan!"
Zarri Bano menatap ekspresi kengerian sahabatnya dengan pilu. Dia
telah menelanjangi jiwanya pada perempuan ini dan tidak pada siapa
pun lagi. Dia berutang itu padanya.
"Anda mungkin pernah mendengar tentang tradisi kami mengenai
seorang Perempuan Suci dan ahli waris keluarga kami. Saat satu-
satunya ahli waris laki-laki meninggal dunia, di keluarga besar kami,
warisannya, dan khususnya tanah-tanahnya, akan diturunkan kepada
ahli waris perempuan berikutnya. Perempuan itu disyaratkan tidak
akan pernah meninggalkan rumah ayahnya. Akibatnya, dia tidak bisa
menikah. Untuk mengesahkan keadaan ini, moyang kami menciptakan
status seorang Perempuan Suci, seorang Shahzadi Ibadat. Itu
adalah sebuah ukuran bagi laki-laki seperti ayahku untuk
memastikan tanahnya tetap menjadi milik keluarga." Ada kepahitan
dalam suara Zarri Bano.
"Kau bisa menolak dijadikan ahli waris dan menurunkan warisannya
jika kau ingin menikah," desak Nighat.
"Mau tidak mau, akulah si ahli waris. Aku harus melakukannya! Tanah
itu kini bagaikan sebentuk beban tanggung jawab, sebentuk azimat
yang amat kubenci melingkar di leherku. Aku sudah berkali-kali
melihat berhektar-hektar tanah kami dalam beberapa minggu
terakhir ini, dan tetap tak mampu menerima dengan ikhlas kenyataan
bahwa kemerdekaanku identitasku, dan keperempuananku telah
ditukarkan dengan berhektar-hektar tanah. Tanah yang telah
"Ya, Anda benar. Ada banyak hal lagi yang bisa dikatakan, tetapi aku
tidak mampu mengatakannya. Ini sangat pribadi dan menyakitkan.
Yang bisa kukatakan adalah bahwa perempuan dalam masyarakat kita
juga menjadi tawanan dari silat keperempuanan yang malu-malu. Jika
seorang ayah menolak permintaan putri kandungnya untuk menikah,
bagaimana mungkin dia bisa dengan aktif memaksa untuk menikah?
Dia akan dijuluki besharm, seorang perempuan binal."
"Kini aku sepenuhnya teryakinkan, Zarri Bano. Kau seorang
perempuan dewasa. Kau tidak membutuhkan izin ayahmu dan kau
tidak akan dijuluki sebagai seorang besharm jika kau memang ingin
menikah. Agama kita, masyarakat kita, selalu mendukung pernikahan.
Kau tidak akan dikritik."
"Ya, apa yang Anda katakan itu benar. Namun pada akhirnya,
kesederhanaan perempuan dan harga diri memenjarakanku ke dalam
sebuah peranan untuk patuh dan mengikuti keinginan ayahku. Dia
mengatakan sesuatu yang telah begitu menyinggung perasaanku.
Setelah itu, aku tidak akan pernah mampu memikirkan pernikahan
lagi. Dia mencapai tujuannya dan aku tidak akan pernah
memaafkannya untuk itu. Bagaimanapun, kini aku sedang belajar
untuk meraih diriku yang baru dan hidup dengan identitasku yang
baru."
Tiba-tiba saja Zarri Bano menghentikan kalimatnya dan sebuah tawa
getir menghambur keluar dari bibirnya. "Profesor Nighat, Anda
dapat menggunakan sebuah judul untuk penelitian dan kerja lapangan
mahasiswa-mahasiswa pascasarjana—berdasarkan kisahku...,
'Seorang Feminis yang Menjadi Perempuan Suci'."
"Bukankah kau akan diasingkan—hampir seperti setengah berpurdah.
Inilah yang selalu kita lawan, Zarri Bano. Kita masih dalam proses
pemulihan dari kebijakan-kebijakan Zia Ul-Haq dan pengaruh
negatifnya pada kehidupan perempuan kita. Kita sudah bekerja
keras untuk membuat kaum perempuan keluar dari rumah mereka
dan menjadi mandiri di atas kaki mereka sendiri dan memiliki karier.
Lihat apa yang sudah kau lakukan? Mengasingkan dirimu sendiri."
Dengan sabar, Zarri Bano mendengarkan apa yang dikatakan Nighat.
"Tidak, Anda salah paham. Tidak akan ada pengucilan bagiku seperti
yang Anda bayangkan. Benar bahwa aku tidak boleh berhubungan
dengan kaum laki-laki, tetapi aku akan menjadi tokoh masyarakat.
Aku akan keluar rumah dan berada di mana saja. Pada kenyataannya,
aku berharap akan mendapatkan kemerdekaan yang lebih tinggi
daripada yang kumiliki sampai saat ini."
"Dalam pakaian seperti ini?" tatap Nighat tak percaya.
"Ya, dalam pakaian ini."
"Zarri Bano, aku tidak akan pernah bisa mengenakan burqa
menyelubungi diriku seperti itu. Aku akan merasa sesak."
"Ya, aku sempat merasa sesak olehnya. Ini bagaikan kain kafan
hitam yang menyelubungi tubuhku. Aku pernah berniat mengoyaknya
menjadi perca dan membakarnya di hari pertama. Kemudian aku
belajar menghargainya di hari ketiga. Aku menjadi terbiasa
mengenakannya di hari kelima. Hari ini aku sudah merasa nyaman
mengenakannya. Ini bukan sekadar kerudung atau burqa biasa,
melainkan sebuah simbol dari jabatanku. Begitu terbiasa dengan
tugas ini, sedikit demi sedikit aku akan terbiasa dengan burqa ini
pula. Entah bagaimana, aku masih belum sanggup memandangi diriku
sendiri di depan cermin. Aku juga belum terbiasa dengan pandangan
penuh kecurigaan yang kuterima dari semua orang ke mana pun aku
pergi. Aku sudah belajar satu hal. Orang kini mulai menjauh dariku
secara fisik dan psikis setiap kali melihatku. Khususnya seseorang
yang kukenal baik. Ayahku sendiri...." Suaranya mengabur.
"Ayahku, orang yang begitu bangga menjadikanku seorang Shahzadi
Ibadat, tak mampu memandang langsung mataku dalam beberapa
minggu terakhir ini. Adik dan ibuku sama-sama menganggap
penampilanku sekarang begitu mengerikan dan mereka berusaha
23.
nya akan menjadi karet jika aku tidak bergegas masuk dan
melihatnya."
"Aku akan menyusul untuk membantumu," ujar Shahzada. Dia merasa
sedikit lebih baik setelah meluapkan emosinya. "Kau adalah sahabat
yang baik, Fatima. Apa yang bisa kulakukan tanpamu?"
"Tak ada orang yang sempurna, Shahzada Jee," seru Fatima ceria
sambil bergegas masuk ke dapur bersama majikannya. "Namun, aku
akan meninggalkan Anda dalam waktu dekat ini, saat Firdausku
menikah."
24.
berutang uang pada mereka di desa kita. Khawar Sahib dan Siraj Din
benar-benar memedulikan kesejahteraan rakyat jelata seperti kita,"
ujar Kulsoom sok tahu.
"Di manakah Mesir itu, Kulsoom Jee?" tanya Naimat Bibi, begitu dia
mulai memukuli seprai di atas papan kayu lagi. "Apakah tempat itu
benar-benar sath sumundarphar?"
"Aku tidak tahu apakah tujuh samudra jauhnya, tapi setidaknya aku
tahu ini: ada sebuah laut setidaknya antara Pakistan dan Mesir.
Tempat itu kalau tidak salah terletak di dekat Arab Saudi. Dahulu
kala, orang-orang berangkat naik haji menggunakan kapal-kapal laut,
maka pasti ada laut dan samudra yang menghalangi. Setelah
menceritakan
semua ini, kau juga tahu betul, Naimat Bibi, aku bukan orang yang
tepat untuk menjawab pertanyaanmu. Aku belum pernah memasuki
pintu sekolah mana pun. Aku sama tidak terpelajarnya seperti kau.
Betapa sialnya bahwa tidak ada gadis-gadis berpendidikan di desa
saat kita masih kecil. Ini tidak adil. Jika saja aku bisa membaca dan
menulis, itu akan sangat membantuku menyaring serangkaian nama
untuk bisnisku. Aku tidak harus mengingat semua hal— khususnya
nama semua pemuda dan gadis yang harus kuingat, dan juga keluarga
mereka. Namun sudahlah, kita sudah cukup mapan meski nyaris tidak
bisa berhitung dan sepenuhnya tidak terpelajar."
"Kau mengatakan itu untuk dirimu sendiri! Kau memang sudah cukup
mapan, Kulsoom Jee, dengan bisnis perjodohanmu!" tukas Naimat
Bibi gusar. Dia tak mampu menyamarkan rasa iri dalam nada
suaranya.
Merasa disadarkan oleh sarkasme ini, Kulsoom tiba-tiba saja
mengingat gunungan seprai yang mereka cuci dan langsung menoleh
ke arah temannya. Matanya berkilau penuh arti.
"Naimat Bibi, sebenarnya seprai kotor milik siapakah yang kubantu
cucikan ini?" tanyanya dengan tak kalah sinisnya. "Tidak mungkin ini
25.
"Dia akan tinggal dengan sebuah keluarga Mesir yang kutemui saat
aku berhaji di Jeddah lima tahun yang lalu. Kami terus saling
berhubungan dan aku pernah mengunjungi mereka sekali. Laki-laki
itu memiliki seorang anak perempuan yang juga sedang bersekolah di
universitas yang akan dimasuki Zarri Bano dan seorang anak laki-laki
yang mengajar di situ. Dia juga yang mengatur pendaftaran Zarri
Bano di sekolah itu."
Seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, Siraj Din berkata, "Aku
tidak tahu, Anakku." Dia tampak tidak puas. "Kau masih tidak bisa
meyakinkanku tentang nilai dan kebijakan mengenai apa yang sudah
kau lakukan itu."
"Ayah, aku tahu betul apa yang kulakukan. Hanya saja aku mulai
belajar dan menyesali konsekuensi yang akan kuterima." Habib tidak
berusaha menyembunyikan nuansa kesedihan dalam suaranya.
"Apa maksudmu?" tanya Siraj Din tajam—sambil mengesampingkan
hookah-nya. Si pelayan laki-laki dengan penuh santun
mengembalikannya ke tempatnya.
"Kupikir aku sudah melakukan sesuatu yang benar, tetapi aku begitu
sedih karenanya. Aku sudah kehilangan keluargaku. Aku berjalan
sendirian di dalam rumahku, sebagai sosok yang kesepian, Ayah."
Bola mata Habib terpusat ke arah kebun anggur di sudut terjauh
halaman itu yang tengah berbuah lebat dengan ranting-ranting
menggayut dibebani buah-buah anggur hijau matang.
"Jangan bodoh, Anakku," dengus Siraj Din. Mata hijaunya
memercikkan tawa. "Pikiranmu mulai melemah."
"Tidak, Ayah, pikiranku tidak melemah seperti yang Ayah katakan.
Aku dirajam perasaan bersalah, merasa ragu apakah aku sudah
melakukan sesuatu yang benar."
"Tentu saja, kita sudah melakukan hal yang benar!" balas Siraj Din
cepat. Tawa itu terhapus dari matanya. Tubuhnya menegang.
bahan tertawaan kami. Akibatnya, dia tidak punya sepatah kata pun
untuk dikatakan karena istrinya menikahkan semua anaknya dengan
anggota keluarganya sendiri. Aku belajar darinya bahwa seorang
laki-laki bisa menjadikan dirinya begitu bodoh, dengan terlalu
banyak memberi perhatian pada istrinya. Ada perempuan yang
mampu dengan brutal menunggangi suaminya seperti itu. Itulah yang
dilakukan kakak iparku! Dia mengendalikan kakakku hanya dengan
satu gerakan alis matanya, dan serta-merta tanpa rasa malu
memamerkannya di hadapan kami semua.
"Suatu hari aku menentangnya. Dengan penuh amarah, kukatakan
padanya bahwa dia tidak seharusnya memperlakukan kakakku seperti
itu. Tahukah kau apa yang dikatakannya padaku, Anakku? Dia
menatap wajahku lekat-lekat dan tertawa, wajahnya sendiri
menyeringai. Dia mendorong dadaku dengan jari gendutnya. 'Urus
sajalah urusanmu sendiri! Jika kau ingin mendominasi, lakukan saja
itu kepada istrimu sendiri—itu dia, saat kau berhasil mendapatkan
seorang istri. Jangan padaku, bocah bau kencur!' dengusnya.
"Aku membenci mereka berdua. Aku belajar dari kakakku, seperti
yang kau pelajari sebaliknya dariku, bahwa aku tidak akan pernah
menjadi budak bagi seorang perempuan. Tidak ada perempuan mana
pun yang memiliki kesempatan untuk mendominasi dan
mempermalukanku. Kesialanku adalah karena aku menghabiskan
umurku dengan melakukan hal itu pada istriku dan aku tidak pernah
berhasil. Ibumu jauh berbeda dari kakak iparku; dia bernyali dan
berani menentangku!"
"Paman mungkin saja lebih berbahagia daripada Ayah dalam
pernikahannya," Habib tidak tahan untuk segera menimpali. "Dia
mungkin saja menjalani kehidupan yang lebih bermakna daripada
yang Ayah jalani dengan Ibu. Aku kepala rumah tangga di rumahku,
Ayah, tepat seperti yang Ayah ajarkan padaku. Namun, untung saja,
aku tidak memiliki istri yang semangat hidupnya harus kupatahkan.
Shahzada selalu menjadi istri yang penuh cinta, baik budi, dan
mendukungku. Seorang istri yang kemudian dengan tragis menjadi
asing bagiku karena aku menguatkan keinginanku untuk
mempertahankan tanah keluargaku."
"Anakku, jika kau datang kemari untuk mendendangkan lagu tentang
istrimu, kau sudah datang ke tempat yang salah. Camkan ini: kau
adalah pemegang kekuasaan dan kepala keluargamu—itu fondasi
permanennya. Jika itu berjalan lancar, seluruh bangunan akan
berada di bawah kakimu. Jangan lemah, Anakku! Istrimu akan
memaafkanmu, waktu akan mengubahnya. Aku sepakat denganmu
bahwa satu hal yang baik yang pernah dilakukan ibumu di antara
semua yang pernah dilakukannya adalah menjodohkanmu dengan
Shahzada. Dia adalah seorang menantu yang baik dan selalu seperti
itu. Zarri Banoku adalah cucu perempuanku yang cantik. Aku amat
bangga padanya dan aku juga sangat bangga padamu. Kau seorang
anak laki-laki yang baik," Siraj Din tersentak kaget ketika melihat
air mata mengalir dari mata Habib. "Hei! Jangan menangis." Sambil
mencondongkan tubuhnya ke depan, dia menepuk kedua bahu putra
sulungnya itu.
"Hidupku begitu hampa, Ayah," isak Habib. Bahunya membungkuk
seraya membebaskan dirinya untuk meratap dan bersedih. " Jafar
sudah pergi. Zarri Bano sudah pergi. Ruby enggan menatapku lagi.
Shahzada menghindar dariku. Aku tidak sepertimu, Ayah. Aku
menginginkan dan membutuhkan keluargaku. Aku tidak mampu
menjalani kehidupan seperti ini. Aku hanya bisa berharap andai
Jafar tidak meninggal dunia dan aku tidak pernah memaksa Zarri
Bano untuk menjadi seorang Perempuan Suci."
"Oh, putraku, aku menyesal. Maafkan aku! Kau begitu terpukul. Aku
lupa bahwa kau tidak seperti aku—si kulit badak. Kau selalu menjadi
yang paling perasa di antara keempat anakku." Perasaan tersinggung
26.
"Oh, kau baik sekali, tetapi kami tidak ingin merepotkanmu. Kami
tahu kau sangat sibuk mengajar dan juga mempersiapkan
perkuliahanmu."
"Tidak sama sekali, kau sama sekali tidak merepotkan. Tapi, aku
harus pergi sekarang."
"Tentu saja," Zarri Bano menjawab dengan sopan. Dia memandangi
lelaki itu kembali memasuki ruang belajarnya.
***
Tiga hari kemudian, Zarri Bano menelepon orangtua dan adiknya di
Pakistan. Dia berbicara panjang lebar dengan Ruby.
"Udaranya panas di sini, tetapi cukup nyaman. Apartemen yang kami
tempati ini menghadap Sungai Nil. Bayangkan, Ruby, dari balkon kami
dapat melihat perahu-perahu berlayar bolak-balik di sungai
legendaris ini. Kau sungguh-sungguh harus datang dan mengunjungi
kami di Kairo secepatnya."
"Aku pasti merasa sangat beruntung," gerutu Ruby iri dari ujung
telepon. "Aku merindukanmu, Zarri Bano."
"Aku juga merindukanmu, Ruby. Aku masih saja belum paham
sepenuhnya di mana aku berada dan apa yang sedang kulakukan di
sini, dan mengapa aku melakukannya."
"Aku mengerti, Kak. Katakan padaku, orang-orang macam apa mereka
di situ?" tanyanya. Dengan bijak, dia segera mengalihkan
pembicaraan mereka.
"Oh, mereka orang-orang yang sangat baik, Ruby. Seperti juga
orangtuanya, ada anak-anak mereka yang masih lajang yang tinggal di
rumah ini. Yang lainnya sudah menikah dan tinggal di Kairo atau
Iskandariah. Besok, Pakinaz, anak perempuan mereka yang lajang
itu, akan mengantar kami ke universitas tertua di Kairo, Al-Azhar,
dan bertemu dengan kakaknya. Aku tak sabar ingin bertemu dia."
"Apakah yang tinggal di rumah itu dua saudara perempuan? Kau
bilang ada anak-anak."
Ibrahim. Tiga bulan sudah berlalu. Saat itu dia sudah terdaftar di
Universitas Al-Azhar. Semester kedua sudah dimulai dan kini dia
sedang menjalani kuliahnya. Dia sudah memilih tema untuk tesisnya,
"Perjalanan para Sejarahwan Awal Arab, Ibnu Khaldun dan Ibnu
Battutah". Karena merasa kesulitan dalam menguasai bahasa Arab
klasik, dia pun kemudian cukup belajar tentang bahasa Arab modern
untuk mengatasi kebutuhannya sehari-hari, seperti saat berbelanja
atau berbicara dijalan. Meskipun dia sudah memiliki kamarnya
sendiri, dengan satu set meja belajar lengkap, Ibrahim Musa
mengizinkannya menggunakan ruang belajarnya saat sedang tidak
digunakan. Zarri Bano terpesona oleh rak buku yang memenuhi
dinding-dindingnya yang dipenuhi buku-buku tentang Islam, agama,
dan sejarah Islam.
Dia mendapatkan bantuan Pakinaz untuk menerjemahkan kata-kata
dan memahami ungkapan serta idiom bahasa Arab yang tidak formal.
Ibrahim Musa menawarkan untuk mengevaluasi pelajarannya setiap
dua hari sekali dan membantunya dalam mengembangkan bahasa
Arab klasiknya.
Setelah melewati beberapa hari pertamanya, Zarri Bano sudah mulai
merasa rileks menerima kehadiran Ibrahim, dengan menyapa dan
menganggapnya sebagai seorang kakak. Sementara bagi Ibrahim
sendiri, dia menghormati dan menyapa Zarri sebagai adiknya.
Tampak sangat menikmati kehadiran Zarri Bano, Ibrahim juga
bersyukur dapat membagi ketertarikan dalam bidang yang
dikuasainya bersama Zarri Bano. Pakinaz dan kedua orangtuanya
sama sekali tidak tertarik dengan bidang yang digelutinya. Entah
bagaimana, kini, seorang perempuan cerdas dengan semangat yang
membuncah, yang datang dari belahan dunia lain, telah melakukan
yang terbaik dalam bidang yang dipelajari Ibrahim itu.
"Adik Zarri Bano, aku sangat terkesan dengan kemampuanmu yang
tinggi dalam menguasai bidang ini dengan waktu yang cukup singkat,"
ujarnya memuji kemajuan studi Zarri Bano pada suatu hari, sambil
bersandar di kursinya dan mengamati Zarri Bano dari balik
kacamatanya. Matanya yang gelap menyorot lurus ke wajah Zarri.
Zarri Bano meraba keningnya untuk memeriksa andai ada helaian
rambutnya yang keluar dari balik kerudung burqa-nya.
"Terima kasih atas pujiannya, Abang Musa. Aku merasa semua
bidang yang kupelajari begitu menarik. Aku merasa seperti sebuah
busa. Aku ingin menyerap sebanyak mungkin ilmunya. Sudah menjadi
tujuanku menjadi seorang perempuan yang terpelajar dalam bidang
agama dan kalau bisa dalam waktu yang sesingkat mungkin. Tentu
saja, sebagaimana yang kau juga ketahui, sebagian besar kemajuanku
berkat kau juga. Jika aku tidak memilikimu sebagai seorang mentor,
tutor, atau apalah kau menyebutnya, aku tidak akan mendapatkan
kemajuan sejauh ini."
"Sama-sama. Sangat menyenangkan berteman denganmu, Zarri
Bano," dia menjawab hangat sambil mencondongkan tubuhnya ke
depan. Zarri menyadari, dengan hati yang terpuruk, betapa Ibrahim
Musa telah menghilangkan kata "adik". Sebentuk kesadaran fisik
yang belum pernah ada sebelumnya segera saja menyeruak di antara
mereka berdua.
Zarri Bano bersandar ke belakang dan dengan tatapan menerawang
dia memandangi buku di pangkuannya. Kemudian dia bangkit, sambil
matanya berusaha untuk terus menghindar dari sosok lelaki itu.
"Maafkan aku, Abang Ibrahim. Menurutku, kita berdua sudah sangat
lelah. Aku akan meninggalkanmu untuk beristirahat."
Terkesiap menerima sikap Zarri yang tiba-tiba saja berubah,
Ibrahim memandangi gadis itu berlalu dengan tatap mata cemas.
27.
28.
Kepala Kaniz masih terasa berputar. Begitu dia telah berada sejauh
beberapa meter, Kaniz merasa tidak yakin lagi siapa dirinya
sebenarnya.
Seolah-olah Firdaus sudah mencerabut identitasnya sebagai seorang
chaudharani. Bayangan Firdaus yang semakin memuakkannya, yang
sedang dipeluk bergantian oleh para perempuan berpakaian mewah
itu, dengan senyum-senyum senang terpancar di wajah mereka, akan
tetap menghantui Kaniz sampai hari kematiannya.
Firdaus sudah benar-benar membalikkan kenyataan itu di
hadapannya. Dia sudah berhasil membuat dirinya, Kaniz, merasa
bagaikan seorang perempuan tukang cuci, sementara Firdaus
menampilkan dirinya dengan sempurna sebagai seorang chaudharani
di sekolah itu.
29.
"Lupakan saja. Jangan biarkan dirimu lebih kesal lagi. Mengapa kau
tidak menyadari segalanya? Aku tahu apa yang sedang terjadi.
Mengapa tidak kau biarkan saja putramu menikahi Firdaus?"
"Tidak akan pernah!" jerit Kaniz. Dia sepenuhnya murka. Matanya
memerah oleh kemarahannya.
Mulut Siraj Din membiaskan seulas senyum. Alis cokelatnya yang
tebal menekuk karena terheran-heran. Ini adalah Kaniz yang
dikenalnya; bersuara nyaring, garang, selalu yakin pada dirinya
sendiri, dan sungguh-sungguh sok kuasa. Siraj Din tidak mengatakan
apa pun selama beberapa detik, dengan bijak ia tetap berdiam diri—
membiarkannya tenang terlebih dahulu. Kaniz tetap berdiri.
Tubuhnya kaku.
Siraj Din mulai melangkah bersama tongkatnya. Kaniz ikut berjalan
di sisinya dan dalam diam mereka berjalan berdampingan menuju
arah desa. Siraj Din tahu ia tidak akan membuat Kaniz senang
mendengar kata-katanya, meski demikian, ia bersikukuh
melakukannya.
"Kau tidak pernah memaafkan Fatima, bukan?" tuduh Siraj Din
dengan nada lembut.
Kaniz terdiam. Langkahnya terhenti. Wajahnya berubah tajam pada
Siraj Din, dengan mata terbelalak dan mulut sedikit ternganga. Siraj
Din pun berhenti.
"Apakah maksud Anda?" tanya Kaniz dengan suara yang hampir-
hampir tidak terdengar.
"Kau tahu benar apa yang kumaksud. Aku mengetahui semua yang
sudah terjadi di desa ini, Kaniz."
Perempuan itu menatap tak percaya ke arah lelaki tua yang berdiri
gagah dengan rambut putih dan janggutnya yang disemir. Mata Kaniz
terbelalak lebar-lebar.
"Aku tidak tahu apa yang sedang kau katakan, Baba Jee." Kaniz
berpura-pura tidak tahu apa-apa, sebagai upaya untuk menutupi
30.
Saat itu Kaniz bisa saja mencekik Sabra. Andai saja lebih muda, dia
akan menerkam adiknya itu dan mencabuti helai-helai rambutnya
dari jalinan rambutnya yang tebal itu.
"Pertama Siraj Baba, sekarang kau!" desisnya. "Apakah semua orang
sedang menganiaya dan mempermalukan aku?"
"Aku tidak mengerti mengapa kau memendam kebencian seperti itu
kepada mereka! Kau lihat, kau sudah mendapatkan segalanya, Kak.
Kau adalah nyonya besar di tempat ini yang menguasai berhektar-
hektar tanah. Sedangkan Fatima sebaliknya, dia harus bekerja keras
dengan pekerjaan yang tidak menyenangkan untuk menafkahi suami
dan keluarganya. Firdaus bisa saja menjadi anak perempuan Sarwar.
Dia bisa saja menjadi adik perempuan Khawar."
"Khawar adalah putraku, Sabra. Imajinasimu sudah kacau balau."
Suara Kaniz kini sedingin baja.
"Ayolah, Kakak, jangan menganiaya dirimu sendiri. Ingat tekanan
darahmu. Kalian berdua berasal dari keluarga-keluarga terhormat.
Gadis itu juga terpelajar. Firdaus dan Khawar tampaknya saling
menginginkan. Lalu mengapa kau menghalang-halangi mereka? Aku
akan katakan padamu alasannya. Ini menyangkut harga dirimu yang
pada suatu hari nanti justru akan menjerumuskanmu. Aku tidak mau
lagi menahan-nahan pembicaraan untuk menyenangkan hatimu. Aku
tahu kau tidak suka mendengar kebenaran dan wajahmu akan seungu
ubi karenanya, tetapi jika aku tidak mengatakannya, tidak ada orang
lain yang akan melakukannya."
Sabra memandangi sang kakak tepat pada matanya saat berkata
tegas, "Jika tidak merestui pernikahan ini, kau akan menyesalinya
Hingga akhir hayatmu. Kau hanya memiliki seorang putra. Jika
kehilangan Khawar, kau akan kehilangan semuanya. Cintalah yang
sedang kau perangi sekarang ini, kakakku tersayang. Cinta membuat
orang mampu melakukan hal-hal gila. Orang bisa terbunuh karena
cinta. Banyak raja yang menjadi terkenal dalam sejarah karena
31.
bukan Zarri Bano, kami sadari itu, tetapi Ruby adalah seorang
perempuan hebat. Beri dia kesempatan, Anakku, ayolah.... Dia adalah
seorang perempuan yang pintar, cantik, anggun, dan memiliki
kepribadian yang hangat bagaikan mentari pagi."
"Tapi, tak ada percikan-percikan itu," tambah Sikander dalam hati.
Ia mengingat daya tarik paling nyata dalam diri Zarri Bano. Ia tahu
ia tidak akan dapat menemukan hal itu dengan mudah dalam diri
perempuan lain. Zarri Bano yang baru, sang Perempuan Suci, sudah
kehilangan kualitas yang satu itu juga. Percikan itu ikut terkubur
bersama Zarri Bano yang dulu, di balik burqa itu.
"Ibu, pernahkah terpikir oleh Ibu apa yang akan dikatakan Ruby
atau apa yang akan dirasakannya tentang hal ini? Lagi pula, aku
pernah menjadi tunangan kakaknya. Aku merasa ini adalah gagasan
yang kontroversial. Aku yakin dia bahkan akan menganggapnya lebih
dari itu, khususnya karena kakaknya sendirilah yang pertama kali
ingin kunikahi. Jika Ibu menginginkan kejujuran, aku membenci
gagasan itu. Kenyataannya, aku bahkan membenci keluarga itu."
"Lupakanlah Zarri Bano dan ayahnya! Apakah kau membenci Ruby?"
"Tidak, tentu saja tidak."
"Lalu mengapa tidak kau nikahi saja dia?" Bilkis bersikukuh. "Ibu!
Berhentilah!"
"Aku tidak akan berhenti sampai kau setuju, atau setidaknya
bersedia memikirkan dengan jernih tentang hal ini, serta
mengizinkanku menghubungi orangtua Ruby, alih-alih langsung
mengubur gagasan ini hanya karena semua dugaanmu."
"Baiklah, Ibu, aku akan memikirkannya dengan serius. Sekarang
bisakah kita mengganti pembicaraan?"
Bilkis berhenti dan dengan penuh kemenangan dia menundukkan
pandangannya, berusaha menyembunyikan rasa senangnya dari
Sikander. Dia sudah setengah meraih tujuannya.
Itu adalah satu perbincangan yang paling kaku karena Ruby terus
menundukkan pandangannya di depan Sikander. "Apakah kau bahagia
dengan perjodohan ini, Ruby Sahiba?" tanya Sikander.
"Ya," jawab Ruby Akhirnya dia memberanikan diri menatap mata
Sikander. Semburat merah meronai pipinya. "Dan kau? Apakah kau
bahagia melangsungkan semua ini?" tampak ekspresi serius di
wajahnya, menggantikan rasa malu-malunya tadi.
"Ya," jawab Sikander dengan tegas. Ia sudah pernah melihat dan
merasakan kekakuan sikap Ruby, dan hal itu sebaliknya telah
meluluhkan kekakuan sikapnya sendiri. Mulutnya yang menawan kini
membentuk seulas senyum hangat yang wajar.
Ruby merona karenanya. Dia sudah tertawan. Dia melupakan
kakaknya dan malah menyambut laki-laki tampan ini dengan segenap
hatinya.
Saat dia berdiri untuk mengembalikan piring kecilnya ke atas meja,
Sikander memandanginya lekat-lekat. "Dia adalah Ruby, bukan Zarri
Bano," ia mencamkan hal itu dalam dirinya. Zarri Bano harus
dihapuskan dari hatinya. Kini ia merasa bahagia dan yakin bahwa
Ruby pasti sanggup membantunya melakukan itu. Kedua kakak
beradik itu sangat mirip dan juga sangat berbeda. Begitu Sikander
melayangkan senyumnya ke dalam bola mata cokelat Ruby, ia
bersumpah dalam hati bahwa ia tidak akan pernah membandingkan
keduanya dalam benaknya lagi.
Ruby kembali dengan sebuah cangkir di tangannya, sesungging
senyum yang bergetar masih tersisa di mulutnya. Dia bisa merasakan
mata Sikander menyapu tubuhnya. Naluri keperempuanannya
memberi isyarat padanya bahwa inilah untuk pertama kalinya
Sikander menyaksikan dirinya sebagai perempuan dalam hakikatnya
sendiri dan bukan sebagai adik Zarri Bano. Percikan kemenangan
membakar dalam dirinya dan membuatnya merasa sangat berbahagia
karenanya.
32.
"Membeli semua benda itu adalah hal yang bodoh, Ruby." Sikander
tertawa dan menanggapi dengan suara riang begitu mendengar Ruby
mendapatkan satu set pisau perak.
"Aku tahu," balas Ruby menyambut tawa Sikander. "Aku sangat tahu
bahwa kau telah memiliki semuanya dalam rumahmu. Meskipun
demikian, sudah menjadi adat kebiasaan para orangtua memberi
hadiah-hadiah untuk anak perempuan mereka, dari lemari es hingga
sikat gigi. Coba bayangkan Zarri Bano, dia memiliki gaun-gaun indah
dan dia tidak pergi ke mana-mana untuk memamerkannya." Ruby
terhenti, kedua pipinya memanas, dia menyesali kata-kata yang baru
saja diucapkannya. Sekali lagi Ruby merasakan ketegangan di ujung
saluran telepon di seberang sana. Apakah dia harus selamanya
merasakan kepedihan rasa bersalahnya terhadap Zarri Bano? "Ini
sangat tidak adil!" jeritnya dalam hati.
"Aku harus pergi dulu, Ruby Manajerku, Ali, sudah datang. Hudah
Hafiz. " Sikander pun segera menutup telepon tanpa memberi tahu
Ruby apakah ia akan menelepon lagi keesokan harinya.
Di kantornya, Sikander mengibaskan laporan komputer yang ia
terima dari Singapura. Benaknya melayang pada Zarri Bano. Siang
itu Zarri Bano akan tiba di bandara Karachi. Sikander tidak bertemu
dengannya sejak upacara itu, tidak pula ingin ia berjumpa dengan
gadis itu. Ia teringat kembali pada Zarri Bano. Sikander tak pernah
bisa melupakannya atas apa yang telah dia perbuat padanya. Ia tak
tahan untuk bertanya-tanya apakah reaksinya mendengar pernikahan
Ruby yang akan dilangsungkan. Bibir Sikander berkerut. "Inilah
pembalasanku, Zarri Bano!" ujarnya dengan getir, berharap ia
menyaksikan sendiri ketika Zarri Bano mengetahui bahwa dirinya
akan menjadi adik ipar gadis itu.
***
Habib dan Shahzada pergi menjemput Zarri Bano diantar sopir
mereka di bandara internasional Karachi. Mereka melihat Zarri Bano
33.
"ZARRI BANO akan segera tiba beberapa saat lagi!" Ruby dengan
tegang mengamati Fatima yang sedang memberi sentuhan terakhir
pada rangkaian bunga di atas meja makan. Matanya terpusat pada
jam dinding. Dia semakin merasa seperti seorang pengkhianat menit
demi menit.
Zarri Bano tidak mendengar Ruby masuk, tetapi lima kata yang
terucap pelan itu seakan-akan membelah ruangan dan
membekukannya di tempat. Dengan kelumpuhan menyerang beberapa
bagian tubuhnya secara tiba-tiba, Zarri Bano mencoba
menghilangkan semua perasaan dan sensasinya. Sepasang matanya
membelalak lebar.
Ruby menunggu Zarri Bano membalikkan tubuhnya ke arahnya. Detik
demi detik jam dinding terus berdetak. Sambil duduk kaku di ujung
ranjang Zarri Bano, Ruby bimbang tak tahu apa yang harus
dilakukannya.
"Bukan aku yang menginginkan perjodohan ini," ujarnya memelas. Dia
merasa seakan-akan baru saja membenamkan sebilah pedang besar
ke punggung kakaknya itu. "Zarri Bano, bukan aku! Tolong
maafkanlah aku. Aku tahu bagaimana perasaanmu." Sambil
menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangannya, Ruby
mulai terisak-isak.
Dengan isak tangis adiknya membahana di sekitarnya, Zarri Bano
melupakan dirinya sendiri dan bergerak ke arah sosok yang
mengerut itu.
"Jangan menangis," dia berbisik dari balik rambut adiknya,
merengkuh tubuh adiknya dalam pelukannya. "Tidak ada yang harus
dimaafkan. Aku berbahagia untukmu." Dengan bergetar, dia
menyuarakan kata-kata yang berbeda dari apa yang tersirat dalam
lubuk hatinya.
"Tetapi, dia tunanganmu. Aku benar-benar merasa bersalah, Zarri
Bano," jelas Ruby seraya menengadahkan wajahnya yang berlumuran
air mata, memandangi wajah kakaknya.
"Ya, dia pernah menjadi tunanganku." Zarri Bano berhasil
mengendalikan raut wajahnya sedatar mungkin. "Itu di masa lalu,
Adikku tersayang. Kau tidak memiliki alasan untuk meminta maaf.
Jangan pernah merasa bersalah
34.
35.
"Jadi, kau pikir pesta adikmu ini tercela?" tuduh Gulshan. "Ayolah,
lupakan sekali saja kesucian dirimu. Berikan pada kami Zarri Bano
yang dulu, untuk semalam saja. Ayo, bergabunglah bersama kami
untuk merayakan pesta pernikahan Ruby. Ayolah!" Sambil memegang
erat tangan Zarri Bano, Gulshan menyeretnya memasuki ruang
kosong untuk menari di sisi kiri mereka, di tengah-tengah lingkaran
tersebut. Merasa sangat malu, Zarri Bano berusaha kuat menarik
tangannya dari cengkeraman sepupunya.
"Tolong, Gulshan," Zarri mengiba, merasa panik. "Jangan lakukan ini
padaku—ini sangat tidak nyaman."
"Baiklah, gadis-gadis, Zarri Bano dan aku akan menarikan lagu
pakeeza 'Cheltah cheltah'. Tolong nyalakan musiknya, dan semua
orang boleh bertepuk tangan mengiringinya!"
Dengan penuh semangat, perempuan-perempuan itu mulai bertepuk
tangan. Gulshan mengayunkan tubuhnya seiring irama musik,
menggerakkan tubuhnya yang gemulai dengan anggun. Rok sifonnya
mengembang mengikuti gerakannya. Zarri Bano menatap kerumunan
perempuan yang duduk di lantai. Dia menangkap tatapan mata
adiknya, Ruby. Dia sedang duduk di atas setumpuk bantalan tinggi,
menunggu tangannya dilukis dengan pacar. "Ayolah," pinta sorot
matanya, memohon.
Zarri Bano menyerah dan memasuki arena untuk menari. Perlahan
tangannya, lengannya, dan kakinya mulai terayun dalam gerakan
gemulai yang anggun, mengelilingi ruangan. Shahzadi Ibadat itu
terlupakan saat tubuhnya mengingat dengan jelas bagaimana harus
menguntai keajaiban dalam gerak dan irama. Tepukan tangan
berirama membahana di sekelilingnya. Dia mengimbangi nada lagu
itu, tersenyum, dan mempertontonkan lesung pipitnya pada para
perempuan itu. Tubuh yang terayun naik turun dengan gerakan
sangat anggun akhirnya mencapai sebuah crescendo hingga ke musik
yang mengalun pilu.
36.
Dia masih bisa mengingat sorot mata Kaniz ketika salah satu tamu
perempuan berbisik dengan cukup nyaring dan tanpa
mempertimbangkan perasaan orang lain pada si pengantin baru, "Itu
dia Fatima, perempuan yang ingin dinikahi Sarwar, tetapi dia
menolaknya."
Sambil tersipu, Fatima segera saja menengadah dan melihat sorot
mata tajam Kaniz ke wajahnya. Karena memahami perasaan sang
pengantin baru, batin Fatima pun bersimpati padanya. Setelah itu,
dia diperingatkan bahwa perempuan itu sangat ketus dan nyinyir.
Kaniz tidak bisa melupakan ataupun memaafkan Fatima karena
menjadi "perempuan lain". Fatima, sebaliknya, harus mengubah
pendapatnya tentang Kaniz karena chaudharani baru itu segera
menampakkan sikapnya, dalam segala hal, menunjukkan bahwa Fatima
sama sekali tidak diinginkan di rumahnya. Kemudian, dia
menggunakan pelayannya, Neesa, untuk menyatakan dengan gamblang
pada Fatima bahwa dia tidak berhak datang ke rumahnya. Saat
itulah permusuhan itu dimulai, seiring dengan bertambahnya bulan
dan tahun.
Ketika Fiaz mengalami kecelakaan dan Fatima bekerja sebagai
pelayan di rumah Siraj Khan, Kaniz mendapat kesempatan untuk
membalas dendam.
Sambil meraup setiap kesempatan yang datang padanya, Kaniz
dengan terang-terangan dan tanpa ampun bersikap sinis pada "si
tukang cuci" yang merupakan perempuan yang sebenarnya ingin
dinikahi Sarwar. Fatima sendiri tidak pernah punya cukup waktu
untuk meladeni Kaniz dan cemoohannya yang tidak penting itu. Dia
menghadapi serangkaian tugas untuk mempertahankan keluarganya
dan merawat suaminya yang tak berdaya. Dia bahkan menemukan
kepercayaan dan seorang teman dalam diri Chaudharani Shahzada.
Fatima sedang tenggelam dalam lamunan tentang masa lalunya
dengan Kaniz ketika mendengar suara kaki Khawar di luar beranda.
37.
Tidak akan ada jalan untuk kembali, tidak untukmu ataupun untukku,
Kaniz. Memang benar, sebagaimana yang dengan puas hati kau
sebarkan pada seisi desa bahwa tanganku penuh jelaga, tetapi
katakan padaku, siapakah yang pertama kali pantas dan sejajar
dengan Sarwar? Aku atau kau? Kau tahu bahwa keluargaku adalah
keluarga pemilik lahan dan karena harga dirikulah aku tidak mau
menerima bantuan mereka. Aku ingin menafkahi sendiri keluargaku.
Kelemahanku, tidak sepertimu, Kaniz, adalah kebanggaan atas
pencapaianku sendiri dan hasil jerih payahku. Aku tidak ingin selalu
menengadahkan telapak tangan pada siapa pun.
"Tahukah kau, atau bisakah kau bayangkan, bagaimana rasanya
bekerja, menafkahi sebuah keluarga? Kau tidak bisa
membayangkannya, bukan? Kau yang sudah terbiasa menggonggong
pada para pelayanmu. Aku menikah dengan suamiku bukan karena
kekayaannya, tetapi karena cinta. Kau menikahi Sarwar karena
harta. Itu perbedaan di antara kita." Suara Fatima semakin nyaring.
"Memang benar, dalam buku tata krama sosialmu, aku melakukan
pekerjaan yang hina. Aku menggosok, mencuci, dan membawakan
benda-benda untuk orang lain. Tetapi, itu adalah pekerjaan yang
jujur dan halal. Tentu saja sangat berbeda dengan gaya hidupmu
yang bermalas-malasan, di mana kau sepenuhnya bergantung pada
orang lain. Aku mencukupi kebutuhan putri-putriku sendiri.
Semuanya itu kuraih dengan jerih payahku sendiri. Coba katakan
padaku apa yang sudah kau capai selain melahirkan seorang anak
laki-laki?"
"Cukup!" teriak Kaniz. Dia benar-benar tersinggung. "Aku tidak akan
mendengarkan lagi caci makimu. Kau gila, perempuan pengamuk—
keluar! Neesa!" Sepasang matanya kini benar-benar terbeliak di
dalam lubangnya.
Dengan tenang Fatima hanya tersenyum, menunjukkan sebaris
giginya yang putih rata. "Jangan takut—aku akan pergi. Kau tidak
Bagian Kedua
38.
PADA IDUL Fitri, Ibrahim, Pakinaz, dan Zarri Bano melayari Sungai
Nil dari Kairo ke kota kuno, Luxor, di selatan. Mereka menghabiskan
dua hari pertama untuk beristirahat setelah sebuah perjalanan
wisata melelahkan ke Kota Aswan dan monumen-monumen kuno kota
itu. Pada hari ketiga, mereka mengunjungi Lembah para Raja. setelah
menyeberangi Sungai Nil menggunakan kapal feri, mereka naik taksi
ke Kuil Ramses. Zarri Bano takjub pada beranda agung yang tinggi,
terpahat dalam bebatuan yang kemerahan serta lukisan-lukisan dan
tulisan-tulisan hieroglif yang dipahat dengan indah di dinding, pilar,
dan langit-langit.
Di luar, cahaya terik matahari siang memanggang kepalanya. Merasa
kepanasan dalam balutan burqa hitamnya yang panjang, dia amat
senang saat kembali naik taksi berpendingin udara dan melaju ke
Lembah para Raja.
Makam Raja Ramses adalah tujuan pertama mereka. Mereka bertiga
dengan gembira memasuki lorong panjang yang lebar. Terpukau oleh
lukisan hieroglif raksasa aneka warna yang dilukis di dinding, mereka
berjalan bersama menuju ruangan luas tempat menaruh sarkofagus
sang Raja seraya menyimak penuh perhatian saat pemandu wisata
Mesir menceritakan sejarah makam itu.
Kembali keluar, mereka menyeberang jalan dan pergi ke makam yang
jauh lebih kecil milik Raja Tutankhamen yang legendaris. Tempat itu
dipenuhi para wisatawan dan Zarri Bano merasa kesulitan melihat
sarkofagus raja muda itu dengan leluasa. Harta karun dan barang-
barang peninggalannya tersimpan di Museum Kairo.
"Sangat mengesankan, Abang Musa," ujar Zarri Bano pada Ibrahim
ketika Ibrahim berdiri menyamping agar Zarri bisa memandang
makam itu dalam kamar yang agak gelap. "Mana Pakinaz?"
Wajah Zarri Bano merona ketika dia menyadari betapa dirinya telah
terjatuh di lautan yang dalam. Bagaimana mungkin dia mengatasi
situasi ini tanpa melukai dirinya sendiri atau Ibrahim sebagai
akibatnya?
"Maafkan aku, Abang Ibrahim, tetapi itulah perasaanku padamu,"
ujarnya dengan suara lirih dan kembali menundukkan kepalanya.
Tak percaya bahwa Zarri Bano telah menolaknya, Ibrahim bangkit.
Dengan tinju mengepal dalam saku celananya, ia mendekati
perempuan itu dan berusaha menatap kepalanya yang menunduk.
"Bolehkah aku bertanya mengapa kau tak bisa menganggapku bukan
sebagai abang? Apakah kekuranganku, Zarri Bano? Apakah salahku?"
Terdengar nada kemarahan dalam suaranya.
"Tidak!" Zarri Bano ikut bangkit. Memilih bersikap jujur, Zarri Bano
menatapnya langsung pada matanya. "Tidak, Ibrahim Musa, tiada
yang kurang dalam dirimu." Matanya menilai wajah dan tubuh
Ibrahim, melihatnya untuk pertama kali dengan mata seorang
perempuan. "Perempuan lain akan melakukan apa pun agar bisa
menikah dengan lelaki sepertimu. Kau lelaki yang sangat tampan,
sangat perhatian, amat cerdas, dan menyenangkan."
"Perempuan lain-tapi bukan kau!" ujar Ibrahim dengan ketus.
"Persyaratan apa yang kau minta? Bolehkah aku tahu segagal apa aku
memenuhinya?"
"Aku tak punya persyaratan apa pun, Abang Musa. Kau memenuhi
segala persyaratan yang diinginkan oleh setiap perempuan-tetapi aku
tak bisa menjadi perempuan semacam itu."
"Mengapa tidak?" Dahi Ibrahim tampak berkerut. Tangannya
bergerak-gerak gelisah meraba janggutnya.
"Karena aku telah meninggalkan pernikahan." Zarri Bano berkata
begitu lirih sehingga Ibrahim nyaris tak mampu mendengarnya.
Perbincangan mengenai status pernikahannya adalah sesuatu yang
menyakitkan dan merupakan sebuah buku tertutup bagi semua orang.
39.
MALAM ITU begitu panas di Karachi. Lelaki dalam benak Zarri Bano
tak bisa tidur. Bangkit dari ranjangnya, Sikander beranjak ke kamar
mandi di depan kamarnya untuk minum air putih, lalu kembali ke
kamar tidurnya, berjalan ke jendela dan menatap ke luar pada
bintang-bintang yang bersinar di langit malam dan hamparan lampu-
lampu kota yang tengah tertidur.
Sikander menoleh untuk menatap ranjangnya. Dalam cahaya
temaram, ia melihat sosok istrinya. Rambutnya yang kelam tergerai
di atas bantal. Seraya memejamkan matanya, Sikander mencoba
mengenyahkan bayangan wajah perempuan lain di atas bantal
sutranya.
Ia tidak memikirkannya selama dua minggu penuh ini. Nama Zarri
Bano adalah tabu-tak pernah terucapkan oleh siapa pun di depannya.
Dalam beberapa bulan terakhir, ia telah memusatkan perhatian
untuk membuat perkawinannya berhasil. Ruby adalah seorang
perempuan yang menyenangkan, manis, dan penuh perhatian. Dia
selalu memenuhi segala kebutuhannya. Pendek kata, seorang
pasangan yang sempurna. Ia amat mengharapkan dua hal dalam
hidupnya. Menyempurnakan hubungannya dengan istrinya dan
mengubur bayangan perempuan yang telah mencuri hatinya dan
dengan kejam menolak cintanya. Namun, dia masih saja terus
memburunya!
Ruby bergerak. Tangannya secara otomatis meraba tempat kosong
di sampingnya. Dia membuka matanya dan menegakkan kepalanya
untuk melihat dalam kegelapan, mencari-cari suaminya. Melihat
40.
"Ya, aku sudah pulang," ujar Khawar pada akhirnya, "tetapi hanya
untuk sekadar datang dan karena ada tanah yang harus kuurus.
Jangan kira aku datang karenamu. Kau tak cocok menjadi seorang
ibu!"
"Kau kejam, Nak!" ujar Kaniz tercekat. Bibir bawahnya bergetar.
Memang benar. Khawar tengah dalam suasana hati bengis. Ia sama
sekali tak menyesal karena telah membuat ibunya menderita. Segala
cinta yang pernah dirasakannya terhadap ibunya telah musnah sejak
lama.
"Coba tebak dari mana aku belajar menjadi kejam," cemoohnya. "Di
haribaanmu, Ibu sayang. Karena hanya seorang perempuan egois
yang sungguh tak punya hati yang akan menghalangi kebahagiaan
masa depan putranya. Kau berhasil mengusir Firdaus dari desa dan
tak diragukan lagi kau pasti amat senang. Karena hal itu, aku tak
akan pernah memaafkanmu! Bahkan jika kau memohon padanya
sekalipun, dia tak akan mau mengawiniku kini. Karena itu, kau
perempuan bodoh, kau lebih baik menerima kenyataan untuk mati
tanpa pernah memiliki cucu. Karena aku tak akan pernah menikah
atau membawa perempuan lain sebagai mempelai ke rumah ini. Kau
boleh menyanyi menghibur dirimu sendiri dan dinding-dinding kosong
yang kau puja ini. Aku akan hidup di sini bukan sebagai putramu,
melainkan sebagai seorang asing. Kau tak layak mendapat yang lebih
baik daripada itu." Khawar terdorong untuk
menghukum ibunya. Ia tak ingin pulang, tetapi ia harus melakukannya
karena itu adalah tugasnya-seperti yang ditunjukkan oleh Fatima
padanya.
"Tidak, putraku, tidak!" Kaniz menangis.
Dulu, melihat ibunya yang janda itu menangis akan melukai jiwanya.
Kini ia malah berpaling dengan jijik, berjalan keluar dari kamar
tanpa menoleh pada perempuan yang tengah terguncang itu. Di
halaman ia memerintahkan Neesa menyiapkan makan siang untuknya
41.
Seperti yang Anda tahu, Ukhti, Islam adalah sebuah jalan hidup
yang sempurna. Anda tidak bisa memisahkan sisi spiritual kehidupan
Anda dari dunia material di sekeliling Anda." Zarri Bano menoleh
pada perempuan lain.
"Pertanyaan saya berkaitan dengan diri saya dan barangkali mewakili
generasi kedua kaum imigran yang dibesarkan dan dilahirkan di
Barat. Saya melihat hidup kami penuh dengan kompromi. Contohnya,
keyakinan kita menyarankan pemisahan antara kaum lelaki dan
perempuan, tetapi praktiknya hal itu tidak mungkin dilakukan di sini.
Kita harus berinteraksi dalam segala bidang kehidupan kita dengan
kaum lelaki, terutama di tempat kerja. Anda mengerti situasi yang
saya gambarkan?"
Zarri Bano tersenyum dan mengangguk, lalu berhenti sejenak untuk
berpikir sebelum menjawab. "Ini adalah soal penting, sebuah
keprihatinan bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Tentu saja, ada
tempat-tempat seperti Arab Saudi yang memungkinkan pemisahan
lelaki dengan perempuan. Namun, kemewahan ini tidak bisa didapat
secara luas dan pada praktiknya tidak mungkin dilakukan di banyak
tempat, terutama di negara-negara yang di dalamnya Anda adalah
minoritas.
"Yang bisa saya katakan adalah Anda seharusnya tahu secara
naluriah parameter-parameter sosial, etik, dan moral Anda sebagai
seorang Muslimah. Di tempat kerja, Anda secara alamiah harus
berinteraksi dengan kaum lelaki setiap waktu. Jika hubungannya
benar-benar profesional dan platonis dan Anda bisa menganggap
para lelaki itu sebagai sosok abang atau ayah, itu tidak berbahaya.
Apabila ada peluang hubungan itu berkembang menjadi sesuatu yang
lain, Anda harus mundur. Hal-hal semacam ini bisa mengakibatkan
hal-hal yang mengerikan. Naluri Anda seharusnya memberikan
isyarat pada Anda tentang perbedaan antara mana yang benar dan
mana yang salah. Belajarlah menganggap semua lelaki sebagai sosok
"Memang benar pada mulanya terasa aneh bagiku, Jane, ketika aku
mulai memakai hijab. Dua tahun yang lalu aku ingin menyisihkannya.
Kini tak bisa hidup tanpanya. Jilbab memberiku rasa penghargaan
terhadap diri sendiri, rasa hormat, dan martabat. Di atas segalanya,
ini membebaskanku dari kesia-siaan. Aku tak menganggapnya mudah,
tetapi aku bisa melepaskan diriku dari jebakan kesia-siaan kaum
perempuan. Jangan salah paham, Jane. Aku tidak mengatakan bahwa
semua perempuan Muslim menjalani kehidupan sederhana yang tidak
bermewah-mewah-itu mungkin sebuah kesalahpahaman.
Kebalikannya, di balik pintu tertutup dan di balik hijab, sebagian
besar kaum perempuan di sini bisa bersaing dengan perempuan mana
pun di Knightsbridge dalam hal seni kecantikan."
"Dan kau, Zarri Bano, apakah kau masih berdandan di balik
jilbabmu?" tanya Jane dengan mata berkilat.
"Tidak," Zarri Bano menyahut lirih. "Tidak lagi. Aku telah melewati
tahap itu dalam hidupku-sebuah tahap yang kini, dalam
perenunganku, terasa remeh. Dulu seluruh hidupku hanya untuk
kelihatan cantik dan menampilkan sebuah citra cerdas yang mewah
di depan umum. Kini puas dengan burqa yang sederhana. Aku tidak
berpakaian dengan tujuan untuk menyenangkan orang lain dan
kelihatan berbeda dari mereka. Terima kasih atas pertanyaanmu,
Jane. Jilbab selalu membingungkan dan menggoda dunia Barat, baik
terhadap kaum lelaki maupun kaum perempuan. Itu adalah sebuah
fenomena yang mengganggu bagi mereka. Orang Barat selalu salah
paham terhadap alasan mengapa kaum perempuan Muslim
mengenakannya. Sebagai sebuah serangan, mereka melihatnya
sebagai simbol penindasan kaum lelaki-sebuah mitos stereotip yang
diterima secara luas. Mereka mengira kaum perempuan dipaksa
memakainya oleh kaum lelaki.
"Aku jamin, kawanku, saat ini ada lebih banyak perempuan yang
mengenakan hijab atas kehendak bebas mereka sendiri dibanding
42.
seorang lelaki yang sama seperti dulu." Sepasang mata Habib tak
lepas dari wajah Shahzada.
"Maka, kau tahu, aku harus meminta maaf pada Zarri Bano dan
membebaskannya dari ikrar tak akan pernah menikah. Yang tak bisa
kutawar adalah aku juga kehilangan kau sebagai akibatnya. Allah tak
akan pernah mengampuniku karena telah memperlakukanmu seperti
yang kulakukan empat tahun lalu. Kini aku tak bisa hidup tanpa rasa
hormat dan cintamu, Shahzada. Janganlah kau singkirkan aku dari
pikiran dan hatimu! Aku membenci diriku dan keberpihakanku. Ketika
benakku membandingkan Zarri Bano dengan bagaimana dia dulu, aku
berkecil hati. Aku menginginkan seluruh dunia ini untuk putriku,
tetapi kita kehilangan dirinya untuk buku-buku, kesepakatan religius,
dan sehelai burqa hitam. Dia begitu jauh, tak tergapai."
Air mata penyesalan membayang di kedua matanya. Habib
melanjutkan, tercekik oleh emosi saat ia bicara, "Lesung pipit di
pipinya itu yang senang kulihat dan kusentuh saat dia masih kecil....
Aku tidak melihatnya selama tiga tahun. Dia bahkan jarang tertawa
dan tersenyum lagi. Oh, di manakah Zarri Bano kita tersayang?
Benak dan kesadaranku tidak akan tenang, Shahzada, hingga aku
berterus terang kepadanya. Aku ingin putriku kembali." Habib
mengakhiri perkataannya dengan penuh gairah, lalu menunggu
istrinya berbicara menghiburnya. Namun, kata-kata getir Shahzada
yang justru kini balik mencambuknya.
"Semua ini salahmu. Kau ingin menjaga putrimu yang cantik, milikmu
tercinta, di rumah. Kau tak ingin berpisah dengannya dan dengan
sawah ladangmu. Kau tidak sanggup melepaskannya pada Sikander,
sainganmu dalam mendapatkan kasih sayangnya, begitu yang kau
pikirkan. Kecemburuanmu itu telah melahap seluruh keluarga kita!
Kau ingin penghormatan dan penghargaan dari putrimu? Baiklah, kau
kini mendapatkannya! Orang-orang datang dari tempat-tempat yang
sehingga dia tahu apa yang harus dia lakukan begitu sampai di
Makkah dan tahu apa yang bisa dia harapkan. Aku juga sudah
membaca dua atau tiga buku tentang itu. Ukhti Sakina telah
memberi beberapa saran tentang hal-hal yang tak kuketahui.
Menurutnya, lebih baik pergi ke Madinah dahulu dan memanjatkan
empat puluh doa wajib kita di Masjid Nabawi sebelum melakukan
ibadah haji. Pada saat itu, di sana akan lebih sepi dibandingkan
setelah musim haji, ketika sebagian besar jamaah haji bermaksud
mengunjungi Madinah pada waktu bersamaan. Bila berangkat haji
nanti, Ayah akan pergi ke Madinah sebelum atau sesudah naik haji?"
"Sebelumnya. Sakina benar-agar tak terlalu banyak orang. Dengan
begitu, kita punya banyak waktu untuk mengunjungi tempat-tempat
suci dan lebih mudah mendapat hotel yang bagus."
"Kita telah memesan tiket sehingga kita punya waktu dua minggu
sebelum melaksanakan ibadah haji dan seminggu sesudahnya. Itu
memberi kita waktu sekitar enam hari di Jeddah dan Makkah serta
delapan hari di Madinah sebelum kembali ke Makkah sehari sebelum
pelaksanaan ibadah haji. Adik Sikander memiliki kontak di ketiga
tempat itu. Ia telah memesan kamar di hotel yang bagus untuk
tempat tinggal kita."
"Aku senang ia akan pergi haji bersama kita," ujar Habib. "Kita
membutuhkan seorang lelaki muda untuk perjalanan semacam ini.
Dengan tiga orang perempuan, tidak perlu lagi kawalan lelaki lain
untuk naik haji."
"Ya, aku pun senang ia pergi bersama kita, walaupun Haris akan
merindukan orangtuanya."
"Aku tahu, hanya itu masalahnya-kita semua akan merindukan Haris.
Aku tak sabar menunggu hingga bulan depan, Zarri Bano," ujar Habib
penuh semangat. "Itu akan menjadi ibadah haji pertama kita
bersama-sama sebagai sebuah keluarga."
"Aku juga sudah tidak sabar menunggunya," timpal Zarri Bano pada
ayahnya dengan hangat. "Sekarang, aku lebih baik turun dulu. Adik
Sikander sedang memilih-milih dokumen untuk mengurus visa kita.
Mereka akan pulang kembali ke Karachi setengah jam lagi."
"Mereka tidak menginap?"
"Tidak. Selamat tidur, Ayah. Hudah Hafiz. "
Ketika Zarri Bano telah pergi, Habib berbaring di ranjangnya,
merasa lebih bahagia setelah sangat lama tak merasakannya. Ia
amat senang telah bercakap-cakap seperti ini dengan putrinya. Zarri
Bano telah meringankan sebagian bebannya.
43.
***
Bintang-bintang bersinar terang di langit malam di atas kota kecil
Muzdalifah, beberapa kilometer dari tempat suci Arafah di Arab
Saudi. Seperti jutaan jamaah haji lainnya, Zarri Bano dan
keluarganya memanjatkan doa khusus pada siang hari dan telah
menjadi haji. Mengikuti teladan Nabi Muhammad, semoga kedamaian
dilimpahkan padanya, mereka wajib bermalam di Muzdalifah.
Berbaring di atas tikar rami yang dibelinya di Jeddah, Zarri Bano
menatap langit di atas mereka dengan bintang-bintang yang
mengedip pada mereka, menyambut kehadiran mereka di kota kecil
itu.
"Inilah intinya haji, Ruby sayang!" Jejak kegairahan masih tersirat
dalam suaranya. Ini adalah sebuah hari yang amat bermakna. Zarri
Bano menoleh pada adiknya yang setengah tertidur di atas tikar lain,
dekat darinya. "Pernahkah kau menghabiskan malam seperti ini
dalam hidupmu? Aku belum pernah. Tulang-tulangku sakit, tetapi
hatiku merasa senang dan jantungku berdegup kencang karena
bergairah. Lihatlah bintang-bintang di atas sana, Ruby, mereka
menyalami kita dan berkata, 'Salam. Kalian sudah haji sekarang.'
Bisakah kau bayangkan bagaimana di tempat ini, selama berabad-
abad, setiap tahun, ribuan jamaah haji dari berbagai penjuru dunia
tidur di sini? Sehari dalam setahun, tempat ini menjadi pusat alam
semesta. Apakah kau mendengarkanku, Ruby?" Zarri Bano
mengangkat kepalanya dan menatap adiknya.
"Hmm, ya," sahut Ruby seraya menguap. "Kau benar, ini adalah
sebuah peristiwa unik. Aku senang kita ada di sini. Aku bahkan tak
peduli batu-batu kerikil menusuk-nusuk punggungku di bawah tikar.
Sebaiknya kau tidur, Zarri Bano. Kita akan menghadapi hari yang
sibuk besok di Mina. Lihat, aku bisa mendengar Ibu dan Ayah
mendengkur walaupun Sikander Sahib masih bergerak-gerak."
tentu saja, kau adalah adik iparku. Suami adikku dan ayah
kemenakanku tercinta. Tak ada apa pun di antara kita, Sikander,"
ujar Zarri Bano penuh kepedihan. "Kita tak pernah memilikinya. Tak
ada hubungan apa pun-simpanlah keinginan platonik itu. Masa lalu
kita yang senang kau kenang dan perempuan yang kau kira kau kenal
telah terkubur dalam kuburan adikku." Memikirkan Jafar, tangis
memenuhi matanya dan Zarri Bano pun berusaha menahannya dengan
susah payah. "Kita sedang melaksanakan ibadah haji di sini, Adik
Sikander. Ini adalah ziarah suci, seharusnya membuat derajat kita
meningkat. Jangan rendahkan perjalanan spiritual kita yang suci ini
dengan penghinaan yang rendah serta sindiran dan lamunan
memuakkan." Kemarahan kembali bangkit dalam diri Zarri Bano.
"Lagi pula, aku tidak memerlukan kau berjalan di sampingku. Kau
bukan muhrimku. Ayahkulah muhrimku. Kau adalah suami Ruby dan di
sisinyalah kau seharusnya berada, bukan di sampingku! Kau bersama
perempuan yang salah, Adik Sikander!" Kemudian, seraya merapikan
jubah hitamnya dan membetulkan letak kerudungnya agar lebih
menutupi wajahnya, Zarri Bano melangkah menjauhi Sikander.
Kepalanya diangkat tinggi-tinggi.
Ketika para jamaah haji berjalan di sekitar Sikander, beberapa
orang di antaranya masih membawa baki-baki berisi daging ke tenda
mereka. Sikander melihat Zarri Bano menghilang, berjuang melawan
dorongan tak tertahankan untuk memeluknya dan merengkuh
lehernya yang ramping. Entah bagaimana perempuan itu selalu
memancing sisi buruknya keluar! Sikander mengembuskan napas
panjang. Merasa perlu berjalan-jalan di sekitar perkemahan, ia pergi
dan baru kembali lama kemudian ke tenda mereka.
Saat makan malam, Zarri Bano dan Sikander tak saling bertegur
sapa atau saling menatap, melainkan saling berdiam diri. Zarri Bano
telah berhasil mendirikan sebuah perisai di antara mereka. Sikander
membiarkannya. Terutama, ketika Zarri Bano mengatakan bahwa
44.
dengan waswas menenangkan diri dari daerah yang padat itu. Orang-
orang di sekitarnya bubar ke segala arah. Tangisan dan teriakan
mengoyak jiwanya.
Bergantung pada sebuah pilar, Zarri Bano dengan cemas memandangi
wajah-wajah dan kepala-kepala para jamaah haji di bawahnya,
berharap mereka adalah salah satu di antara orang-orang yang
disayanginya. Berdiri berjinjit dan takut jatuh, dia berdiri condong
ke depan mencari-cari dalam kerumunan. "Mereka seharusnya ada di
sini! Mana mereka?" teriaknya nyaring.
Secara ajaib, di depan matanya, ia melihat Sikander. Dia akan
mengenali kepala itu di mana pun! Sikander masih terpaku di antara
kerumunan para jamaah haji yang rusuh. "Sikander!" Zarri Bano
berteriak, tangis lega membasahi pipinya.
Yang membuat Zarri Bano gembira ternyata Sikander
mendengarnya. Tatapan penuh kelegaan tersirat di wajah Sikander
ketika ia melihat Zarri Bano berdiri dalam keadaan selamat pada
sebuah pilar pualam tinggi di lorong masjid. Zarri Bano tak
menyadari datangnya wajah tampan itu hingga saat ini.
"Tetap di sana!" teriak Sikander, di atas kepala seorang perempuan
tua yang mengenakan chadorhitam.
Sikander tahu ke mana ia akan pergi sekarang. Ia mendorong
langkahnya di antara kerumunan tubuh orang-orang, tak peduli pada
teriakan protes orang-orang. Ia amat mencemaskan keselamatan
Zarri Bano. Zarri Bano berdiri pada pilar. Dengan sedikit dorongan
saja, dia bisa remuk membentur dinding. Bagi Zarri Bano, rasanya
begitu lama sebelum Sikander mengulurkan tangannya perlahan ke
arahnya, menggapainya melewati kepala botak seorang lelaki tua
Baduy. Jemari mereka bersentuhan. Sikander kemudian meraih
seluruh tangan Zarri Bano dalam cekalan erat. Saat berikutnya,
Sikander telah berdiri berhadapan langsung dengan Zarri Bano.
hotel dan kita akan bertemu di sana nanti. Aku juga harus menelepon
ke Pakistan. Persiapan pemakaman akan dilakukan di sini. Kau harus
menyelesaikan umrahmu dulu."
"Apa yang telah terjadi pada orang-orang yang kita cintai, Adik
Sikander?" tanya Zarri Bano lagi dan menoleh pada Sikander dengan
wajah dicekam kengerian. Berbagi rasa sakit dengannya dan ingin
menghiburnya, Sikander tak tahu apa yang harus dikatakan atau
dilakukan. Ia sendiri tak bisa mengendalikan rasa sedihnya.
Sikander mengikuti polisi keluar dari Masjid Suci dan masuk ke
ambulans tempat mereka meletakkan Ruby dan Habib berdampingan.
Begitu pintu ditutup, ia membenamkan kepalanya di tangannya dan
menangis.
Seakan-akan bermimpi, Zarri Bano mengawasi mereka pergi.
Kesunyian setelah kekacauan itu menulikannya. Kepalanya bergema
oleh kata-kata, "Oh Tuhanku, apakah yang akan kukatakan pada
Haris dan Ibu?" Zarri Bano meninggalkan tempat itu dengan berdiam
diri, teringat kepada Sikander yang berkata padanya agar
menyelesaikan dahulu umrahnya.
Seraya mengalunkan kata-kata, "Labbaika Allahumma Labbaik,"
melalui gigi-giginya yang gemetar, Zarri Bano melangkah sekali lagi
ke dalam lingkaran manusia yang mengelilingi bangunan Ka'bah.
"Bagaimana mungkin ayahku dan adikku kini telah kembali pada
Allah?" tanyanya seraya menyeka air mata dari pipinya.
Ketika semuanya telah usai, dia naik tangga ke lorong atas dengan
hati berat untuk mencari ibunya. Apakah itu semua hanyalah mimpi
buruk? Kembali dia bertanya pada diri sendiri, merasa linglung. Jika
itu memang hanya sebuah mimpi belaka, kapankah dia akan terjaga?
***
Pramugari mengambil baki makanan yang tak disentuh dari ketiga
penumpang itu. Zarri Bano memandang ke luar dari jendela dan
menyaksikan awan putih di bawahnya. Shahzada duduk di dekatnya,
45.
Di luar gerbang hawali berdiri sosok Siraj Din yang kesepian dan
kehilangan.
"Kami menyambut kalian tidak dengan rangkaian bunga untuk
dikalungkan di leher kalian, menyambut pelukan kalian yang kembali
dari ibadah haji, melainkan dengan belasungkawa bagi orang-orang
yang kita cintai, anak-anakku," tangis Siraj Din di bahu Shahzada.
Shahzada direngkuh oleh Bilkis yang menangis.
Diikuti dari dekat oleh rombongan orang yang berkabung, mereka
semua beranjak masuk. Ketika Haris menatap ayahnya dan kemudian
mencari-cari ibunya serta bertanya, "Mana Mama?" meledaklah isak
tangis dan nyanyian perkabungan, seakan-akan tak pernah terdengar
sebelumnya di seluruh desa. Bahkan, sepasang mata Kaniz yang
kering pun membasah. Zarri Bano dengan lembut menggandeng
kemenakannya, menggendongnya, dan terisak getir di kepala Haris.
Bocah itu menatap Zarri Bano, tak mampu mengerti apa yang sedang
terjadi di sekelilingnya.
Ketika Zarri Bano melihat Sikander menatap mereka, hati Zarri
Bano merasa bersimpati padanya. Seraya menghampirinya, dia
memberikan Haris pada ayahnya dan kemudian menangis dalam
pelukan sepupunya, Gulshan.
Dalam rumah keluarga Siraj Din, kerumunan kaum perempuan yang
berkabung berkumpul, menunggu penuh harap kedatangan
Chaudharani Shahzada. Ditemani oleh Fatima, Shahzada berdiri tak
tentu arah di beranda rumah.
"Masuklah, Sahiba Jee, mereka menunggu Anda untuk menyatakan
belasungkawa. Anda harus menemui mereka," ujar Fatima lembut,
merasa kasihan padanya, mengetahui dengan baik bahwa majikannya
tak nyaman mendengar suara nyanyian dan ratapan itu.
Shahzada mengangguk dan masuk ke ruangan luas yang seluruh
perabotannya dikosongkan itu. Seakan-akan kakinya terbelenggu
beban berat, dia berjalan terhuyung-huyung di beranda. Dengan
***
Beberapa saat kemudian di malam itu, ketika para tamu mereka
telah tertidur mendengkur di tempat tidur mereka masing-masing,
Shahzada memberi salam hormat pada ayah mertuanya sebelum
berangkat tidur. Siraj Din menyuruhnya duduk dan bercakap-cakap
dengannya sejenak.
"Shahzada, aku mendengar ratapanmu tadi bersama para perempuan
itu. Aku tidak senang. Mengapa kau menyalahkan dirimu sendiri,
Sayangku, dan mengatakan segala hal pribadi tentang dirimu dan
Habib di depan sekelompok tukang gosip kampung?"
"Aku bersungguh-sungguh dengan setiap kata-kataku tadi, Aba Jan.
Itu semua benar adanya," sahutnya tanpa merasa menyesal.
"Tidak, Shahzada sayang, itu tidak benar. Kau terlalu keras pada
dirimu sendiri. Kau adalah istri yang baik-selalu begitu. Habib
melakukan kesalahan padamu-mengancam akan menjatuhkan talak
padamu. Ia bersalah. Kau tidak berdosa."
"Aba Jan, kau sangat baik hati, tetapi aku bukanlah istri yang baik.
Aku amat malu mengatakan bahwa aku tidak pernah memaafkannya.
Ia bahkan menyentuh kakiku." Shahzada mulai terisak perlahan.
"Aku akan menanggung beban rasa bersalahku dalam batin ini hingga
akhir hayatku."
"Oh, Shahzada, anakku-kau bicara tentang beban rasa bersalah,
tetapi kau tak tahu arti kata itu! Jika kau melihat melalui jendela
buram jiwamu ke dalam hatiku, kau akan segera tahu bahwa ada
beberapa tingkatan perbuatan dosa dan jiwaku adalah yang paling
berdosa. Dengan cara kita sendiri, kita semua adalah para pendosa,
Shahzada. Kita membawa kesalahan atau rahasia kegelapan dalam
batin kita. Habibmu mengancammu dengan sebuah perceraian dan
kau terguncang, tak mampu memaafkannya. Bayangkan bagaimana
dengan seorang perempuan tak bersalah yang diceraikan dari suami
tercintanya yang tak ingin menceraikannya."
46.
"Oh, Sabra, Khawar dan aku seperti orang asing saja," Kaniz dengan
bersimbah air mata mengadu padanya. "Aku ingin memeluk putraku,
tetapi aku bahkan tak mampu memandang matanya. Yang bisa kulihat
dalam matanya hanyalah kebencian. Apakah salahku sehingga Khawar
memperlakukanku begitu buruk? Sudah dua tahun berlalu sejak kami
bercakap-cakap secara layak, percayakah kau?" Nada suara Kaniz
yang memohon menyayat hati adiknya.
"Tidak apa-apa," Sabra menenangkan Kaniz dengan memeluk
kakaknya itu erat-erat.
"Tukang sihir itu, si Fatima, memang benar. Aku telah kehilangan
anakku. Mereka telah merebutnya dariku- walaupun tidak secara
ragawi. Fatima mengambil semuanya dariku. Suamiku-ia adalah
miliknya. Dan kini anak perempuannya memalingkan putraku dariku."
"Tidak, Kakak sayang, tidak begitu. Putramu masih milikmu. Firdaus
telah pergi. Dialah yang tak menginginkan anakmu."
"Kukatakan padamu, Sabra, aku akan mati karena keterasingan ini."
Dengan bibir bawah bergetar karena kesedihannya, Kaniz mencoba
membuat adiknya memahami keadaan. "Aku hanya punya satu anak.
Aku hidup hanya untuk Khawar. Aku tetap menjanda demi Khawar.
Seperti yang kau tahu, aku menolak Younus Raees, si tuan tanah,
ketika umurku baru dua puluh tujuh tahun. Kau memiliki anak-anak
yang lain. Jika yang satu tak bertegur sapa denganmu, kau bisa
dengan mudah berpaling pada yang lain. Kepada siapakah aku akan
meminta pertolongan selain kepadamu, Sabra? Tak ada!"
Sabra berdebat dengan dirinya sendiri mengenai apa yang bisa dia
lakukan untuk menolong kakaknya. Saatnya berkata jujur. Seraya
menarik Kaniz bersandar ke bahunya lagi, dia berbisik penuh kasih,
"Sebagai seorang ibu, putuskan dengan hatimu apa yang bisa kau
lakukan untuk anakmu."
Merasa kakaknya menjadi lebih tenang dalam pelukannya, Sabra
melanjutkan perkataannya dengan nada suara yang sama, berharap
pahit itu dan melakukan sesuatu yang telah dia ikrarkan tidak akan
pernah dilakukannya dalam seribu tahun. Mulutnya terasa kering. Dia
menjilat bibirnya yang penuh.
"Firdaus, aku datang untuk melamarmu, untuk anakku." Kata-kata itu
terucap lirih dan terlontar di sekeliling mereka.
Keheningan yang mencekam setelahnya dikacaukan oleh tawa nyaring
Firdaus. Kaniz tak memercayai telinganya. Merasa tidak nyaman,
Kaniz menatap anak perempuan musuhnya itu.
"Apakah aku sedemikian terhormat sehingga Chaudharani kita yang
mulia berkenan datang untuk melamarku? Pasti ini bukan karena
keadaan fisikku, Sahiba Jee, karena Anda selalu mencerca warna
kulitku dan tinggi tubuhku. Juga pasti bukan karena ibuku dan
keluargaku karena Anda membenci kami semua-seperti yang selalu
Anda siarkan pada seluruh dunia. Dan kini Anda memiliki keberanian
untuk melamarku. Pergilah, Chaudharani Kaniz! Aku tak tahu
permainan apa yang sedang Anda mainkan, tetapi aku tak punya
waktu dan kesabaran untuk ikut serta. Lagi pula, aku tak mau
berurusan dengan Anda, anak Anda, atau rumah Anda-selamanya."
"Tidak, Firdaus! Jangan katakan itu." Kaniz mulai panik. "Jangan
tampik aku. Aku datang dengan niat baik. Aku ingin kau menjadi
menantuku, sungguh."
"Sungguh-tetapi mengapa? Karena anak Anda menginginkannya?"
Firdaus naik pitam. Tubuhnya condong ke depan di kursinya.
"Ya. Ya!" ucap Kaniz. Dia tidak tahan dengan reaksi Firdaus.
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik. Aku sungguh-sungguh tidak ingin
menikah dengan anak Anda, Chaudharani Kaniz. Ingatlah apa yang
kukatakan tiga tahun lalu. Aku tak akan menikahi anak Anda, bahkan
jika Anda berlutut memohon padaku."
Keputusasaan yang lahir dari rasa cinta pada putranya membuat
Kaniz mempersetankan harga dirinya dan dia melakukan apa yang
dikiranya tak akan pernah dilakukannya dalam mimpi buruk yang
47.
memanggil bibi Anda, Sabra. Saya yakin dia akan bisa membuat
ibunda Anda berbicara dan makan. Dia sama sekali mengabaikan
saya. Sudahkah Anda melihat wajahnya? Pipinya makin kempot dan
matanya kian cekung. Lihatlah, hari raya sudah hampir tiba. Dia
harus membereskan semua hal."
"Baiklah, Neesa. Aku akan menelepon bibiku," Khawar menyahut
dengan berat hati. Kini ia pun mulai merasa cemas. Apa pun yang
telah dilakukannya, Kaniz tetaplah ibunya.
***
Merasa cemas atas keadaan kakaknya, Sabra dengan cepat tiba dari
Lahore esok paginya bersama putri tertua dan dua cucunya dengan
pesawat terbang. Dia memutuskan bahwa melihat anak-anak akan
membuat Kaniz riang, terutama karena mereka datang untuk
merayakan Idul Fitri bersamanya. Ketika anak-anak menghambur ke
dalam pelukannya, Kaniz menerima pelukan mereka dengan kaku.
Seraya membalas pelukan adik dan kemenakannya dengan cara
serupa, Kaniz duduk diam di kursinya. Menatap nanar pada ruang
hampa di depannya.
Sabra bertukar pandang dengan cepat dengan anak perempuannya,
tanda bahaya berdering di kepalanya. Sabra memberi isyarat kepada
putrinya agar membawa pergi anak-anaknya. Jelas ada sesuatu yang
keliru di sini karena kakaknya, Kaniz, bahkan tidak menyalaminya.
Seraya duduk di samping Kaniz, Sabra melingkarkan sebelah lengan
pada bahu Kaniz dan memberinya pelukan hangat. "Ada apakah, Baji
Jan? Kau bertingkah sangat aneh. Putramu, percayakah kau,
meneleponku semalam! Dan aku bergegas pergi ke sini naik pesawat
karena aku tak tahan berjam-jam dalam perjalanan dengan kereta
api. Khawar cemas kau tak mau makan. Ia bilang padaku bahwa kau
berpuasa-tetapi tak mau berbuka. Kau juga tak mau bicara pada
orang lain. Kini aku bisa melihat sendiri apa yang ia maksud jika kau
"Kau bahkan tak tahu siapa yang sedang kubicarakan!" tuduh Kaniz
dengan penuh derita.
Rasa takut mencekam Sabra, sebuah pikiran tiba-tiba menancap
dalam benaknya. "Bukan Firdaus, kan?"
Kepala Kaniz jatuh ke depan pada dadanya ketika kabut turun
kembali seperti sebuah tirai wol di benaknya. Matanya menatap pola
merah hijau pada karpet sutra dengan keterpukauan yang hampa.
Dengan air mata menitik, hati Sabra serasa bengkak oleh limpahan
cinta dan rasa kasihan ketika membayangkan kakaknya yang angkuh
itu berlutut, memohon-mohon di depan "perempuan murahan" itu.
"Siapa yang menyuruhmu memohon? Aku hanya memintamu
melamarnya-aku tak ingin kau memohon!" jerit Sabra seraya
menyeka air mata dari pipinya dengan chador-nya. Dengan marah,
dia memeluk kakaknya. Luluh dalam pelukan erat penuh cinta ini,
Kaniz akhirnya juga ikut menangis di atas bahu Sabra yang
menenangkannya.
"Aku tak tahu lagi siapakah diriku-katakan padaku, Sabra," suara
penuh derita Kaniz pecah di antara tangisnya, menusuk-nusuk hati
adiknya. "Akukah chaudharani desa ini, pemimpin para perempuan
desa? Kau tahu apakah yang kukorbankan untuk pergi menemuinya?
Aku mencampakkan harga diriku untuk gadis itu. Kuminum racun yang
kau sodorkan padaku-aku meneguknya tandas. Aku melakukan
semuanya. Aku menari mengikuti iramanya. Dia menantangku agar
aku berlutut. Dan aku melakukannya. Aku berlutut. Aku, Kaniz,
perempuan yang dikenal bisa memberi perintah kepada semua orang
di sekelilingnya hanya dengan kedipan mata. Aku, Kaniz, ratu desa
ini, menangkupkan tangan seperti pengemis dengan mangkuknya. Aku
meminta bantuannya. Tetapi dia...." Kaniz berhenti, merasa ngeri
dengan adegan menatap Firdaus dalam benaknya. Suaranya melirih
hingga hanya menyisakan bisikan. "... dia pergi dan membuka pintu,
menyuruhku pergi. Katakan padaku, Sabra, apakah kini hidupku
bimbang, tetapi berhasil menguasai diri. "Dia tak mau makan atau
bicara-seperti yang kau tahu. Dan aku menyalahkanmu! Anak macam
apakah kau? Apakah kau begitu tergila-gila pada Firdaus sehingga
tega mengabaikan ibumu sendiri? Kakakku mungkin saja bersalah,
tetapi dia tak layak diperlakukan seperti ini!"
"Dia telah menanti perhatianmu sejak lama dan akhirnya melakukan
sesuatu yang secara pribadi tak mampu kubayangkan akan
dilakukannya dalam seratus tahun. Tetapi, dia melakukannya demi
dirimu, Khawar! Dia menemui Firdaus dan memohon padanya agar
mau menerima lamarannya-dengan berlutut! Bisakah kau
memercayainya?" Sabra mengakhiri serapahnya, sepasang matanya
yang gelap berkilat-kilat seperti batu bara oleh api kemarahan.
"Apa? Omong kosong apa ini, Bibi?" desak Khawar, tak mampu
memercayai apa yang dikatakan bibinya.
"Kau terkejut, kan? Dan tahukah kau apa yang dilakukan oleh
perempuan laknat itu? Dia membuka pintu mengusir ibumu dan
berkata bahwa dia tak akan pernah menikah denganmu! Bisakah kau
mulai memahami betapa besarnya penghinaan yang diderita ibumu,
betapa dalam ia telah terpuruk? Bisakah kau bayangkan? Berlutut di
atas lantai! Ibumu-menyembah pada anak seorang perempuan yang
selalu dibencinya."
"Mengapa dia melakukannya? Aku tak memintanya melakukan hal
itu," cetus Khawar dengan muka masam. Cuping hidungnya membesar
karena amarah ketika ia mendengarkan cerita bibinya tentang
peristiwa memalukan itu. Merasa bersalah dan kapok, ia segera pergi
ke tempat ibunya berada. Karena kelelahan, Kaniz tertidur pulas.
Seraya duduk dekat tempat tidurnya, Khawar mengawasi ibunya
hampir sepanjang malam.
Esoknya, pagi-pagi benar Sabra tetap berjaga-jaga di samping
kakaknya, menenangkan Khawar bahwa dia akan tetap tinggal hingga
kakaknya pulih semangatnya. Seraya memanjatkan doa khusus bagi
48.
payah. Ya, kini kau terbebas dari kami semua, Firdaus. Kami tak akan
merepotkanmu lagi. Selamat Siang untukmu, Ibu Kepala Sekolah!"
Dengan tercenung, Firdaus menatap Khawar pergi. Wajah Firdaus
telah sedari tadi pucat pasi. Merasa terguncang, dia terduduk di
sebuah kursi di beranda. Benaknya dipenuhi lamunan. Jantungnya
berdentam-dentam karena terkejut.
Khawar lenyap melalui pintu ganda menuju lorong sekolah. Dengan
langkah-langkah penuh amarah, ia sampai ke jipnya. Sopir dengan
cepat membuka pintu baginya dan melihat raut wajah majikannya
yang muram, ia menahan diri untuk mencoba mengobrol ringan.
Semangat Khawar menurun. Kehendaknya untuk menikahi Firdaus
telah berakhir. Membutuhkan waktu lama baginya untuk pulih, tetapi
harga diri kelelakiannya dipertaruhkan. "Dia telah menjadi bagian
para sahib kota yang mungkin saja berkerumun di sampingnya setiap
malam," cacinya dalam hati, lalu mengenyahkan Firdaus dari
benaknya.
49.
aku merasa amat cemburu pada lelaki Mesir berewokan itu. Aku tak
tahan memikirkan lelaki itu menatapnya atau berhubungan
dengannya. Aku juga membenci Zarri Bano," aku Sikander dengan
suara lirih. "Aku masih tidak bisa memaafkannya karena ia berpaling
dariku dan cinta kami."
Ia menatap dengan tatapan memohon pada ibu mertuanya. "Aku
telah menjalani kismet buruk dengan mencintai bukan saja dua
perempuan, melainkan juga dua bersaudara, menikahi salah satunya
tetapi masih merindukan yang lain. Sebagai ibu mereka, aku tak tahu
apa yang Anda pikirkan tentang diriku."
"Terima kasih, Anakku, karena kau telah begitu jujur." Shahzada
amat tersentuh. "Aku sangat sadar akan betapa dalam rasa sakitmu
dan betapa memalukannya mengakui perasaan-perasaanmu padaku,
tetapi kau telah membuktikan padaku perasaan-perasaan
sesungguhnya yang kau miliki pada kedua putriku. Kau benar, aku tak
tahu bagaimana semestinya perasaanku atas soal ini karena mereka
berdua adalah anakku, terlahir dari rahim yang sama. Aku senang,
Anakku, kau ingin menikahi putri sulungku demi kau, demi Haris, dan
terutama demi Zarri Bano. Sebagai nenek Haris, aku berharap tak
ada perempuan lain yang akan menggantikan tempat putriku."
Kini saatnya bagi Shahzada mengeluarkan isi hatinya pada Sikander.
"Tetapi ini bukan hanya demi Haris," ujarnya. "Aku telah diserang
rasa bersalah sejak Zarri Bano menjadi seorang Shahzadi Ibadat.
Aku ingin dia menikah denganmu dan menjalani hidup normal. Dia
mengatakan bahwa dia amat bahagia dengan hidupnya sekarang,
tetapi dalam lubuk hatiku, aku tahu kami telah berlaku salah pada
kalian berdua, terutama pada Zarri Bano. Pada hari dia mengetahui
Ruby akan menikah denganmu, aku tak pernah melupakan tatapan
matanya, Sikander. Itu adalah tatapan seorang perempuan yang
dihancurkan dan tumbang di ujung penalaran. Aku melihat putriku
nyaris mati di depan mataku, tetapi dia bertempur dengan dirinya
sendiri dan menang. Zarri Banoku selalu berhasil. Aku amat bangga
padanya. Dia amat bagus dalam menghadapi dan mengatasi krisis,
tetapi apa yang harus dia korbankan? Kita tak pernah tahu. Kita
telah membunuhnya secara emosional." Sejenak Shahzada
membiarkan perasaan yang mengharukannya. Sikander tetap
berdiam diri. Nalurinya memberitahunya untuk membiarkan ibu
mertuanya menumpahkan isi hatinya.
"Hingga hari ketika kita pergi naik haji, aku tak pernah memaafkan
suamiku," lanjutnya. "Sikander, pada hari Jafarku mati, seluruh
hidup kami diliputi oleh chador bencana. Aku mendukung suamiku,
tetapi aku mengkhianati putriku. Kini, katakanlah padaku, Anakku,
bagaimana mungkin aku memaafkan diriku karena telah mengkhianati
Zarri Bano? Aku tak berdaya melawannya. Tak ada jalan keluar bagi
kami berdua sebagai perempuan. Tak ada jalan untuk membantah
keputusan ayah mertuaku dan suamiku. Kami punya harga diri, tetapi
sebagai perempuan dan demi keluarga kami, kami tunduk dan
mengalah.
"Kau harus memaafkan Zarri Bano karena telah berpaling darimu.
Dia tak punya pilihan, Sikander! Zarri Bano mengorbankan dirinya
untuk berbahagia dan telah memaafkan ayahnya. Dia telah
menemukan sebuah kesempatan hidup baru dalam identitas yang
diterimanya dan telah menemukan dunia baru bertaraf internasional.
Putriku secara mengagumkan berhasil menyesuaikan diri dengan
peran hidupnya. Aku, di sisi lain, kehilangan rasa hormat terhadap
diriku sendiri dan pada suamiku. Aku membangun sebuah dinding
terhadap suamiku tercinta yang tak pernah bisa dirobohkan. Hatiku
menjadi sebuah cangkang yang dingin. Hampa! Suamiku tak bisa
merobohkannya dan juga melakukan hal yang sama-tetapi semuanya
tak berhasil. Aku tahu ia kesepian-tapi aku tak bisa memaksa diri
untuk memaafkannya. Itulah kismet burukku, Anakku. Seandainya
saja aku bukan istri yang kejam terhadapnya.
"Jika mengintip isi hatiku, kau hanya akan melihat hati yang sakit
dan menderita. Dua anakku telah meninggal dunia. Aku kehilangan
suami dan cucuku kehilangan ibunya.
"Oleh karena itu, Anakku, tak ada yang bisa memberiku kebahagiaan
lebih besar selain kau menikahi Zarri Bano. Aku ingin putriku
menjalani hidup normal, kehidupan yang dia sangkal lima tahun lalu.
Aku ingin tangannya dicat dengan hiasan pacar dan menimang
seorang bayi di pangkuannya. Aku mau segala mimpiku untuknya
terlaksana. Biarlah aku bicara dulu padanya, Anakku. Aku perlu
menyampaikan secara halus padanya. Kau tahu, kini dia tak memiliki
tempat bagi pernikahan atau lelaki dalam hatinya maupun dalam
pikirannya."
50.
ZARRI BANO tidak pulang malam itu. Dia mengirim pesan bahwa
kakeknya, Siraj Din, menginginkan agar dia dan Haris tinggal dua
hari lagi di Chiragpur. Merasakan bahwa kesunyian rumahnya tak
tertahankan, Shahzada memutuskan bergabung dengan mereka di
desa.
Ketika ibunya tiba, Zarri Bano sedang sendirian di ruang tamu rumah
keluarga mereka di desa. Merasa senang, dia memeluk Shahzada
dengan hangat.
"Mana Haris?" tanya Shahzada, tak tahan ingin memeluk cucunya.
"Ia sedang berjalan-jalan dengan kakek buyutnya. Ia mungkin
sedang naik traktor di sawah atau bermain-main dan menggoyang-
goyangkan ekor kerbau-kerbau perahan di pertanian kita. Ia
menyukainya, Ibu. Udara segar dan lapangan terbuka baik baginya.
Para perempuan desa menyukainya dan kerap mengajaknya bermain
ke rumah mereka. Ia sudah dua kali diundang ke rumah Chaudharani
Kaniz."
51.
KERAP KALI, di malam hari, sekelompok lelaki yang terdiri atas lima
orang tua di desa itu datang berkunjung menyampaikan rasa hormat
mereka pada Siraj Din. Mereka membawa hookah dan berjalan
masuk halaman hawali dan tinggal berlama-lama seraya bercakap-
cakap ngalor ngidul. Dengan hookah mereka dipenuhi tembakau segar
oleh para pelayan Siraj Din dan dengan dendeng lezat untuk dimakan
serta kacang untuk dikunyah dengan gigi tua mereka, para tetua
desa itu menyampahi pekarangan berlantai marmer itu dengan kulit
kacang pistachio, mengabaikan piring-piring yang diletakkan dekat
mereka. Mengapa harus memedulikan piring kalau lantai itu akan
disapu dan dipel pagi-pagi benar? Mereka menikmati percakapan
akrab di antara mereka dan mendengarkan cerita-cerita Baba Siraj
Din tentang India di masa lalu. Misalnya, bagaimana Siraj Din dan
keluarganya melarikan diri ke Sind di Pakistan dan memulai hidup
baru setelah "Pemisahan antara India dan Pakistan".
Di bawah embusan angin sejuk dari kipas di langit-langit, Shahzada
duduk di sudut yang jauh dari para lelaki itu di atas sebuah charpoy,
tersembunyi dalam bayang-bayang pot tanaman tinggi di beranda.
Dia mendengarkan percakapan mereka tanpa menunjukkan diri.
Ketika melihat mereka pergi, beranjak ke altar halaman dengan
hookah di depan mereka, Shahzada mendekati Siraj Din untuk
bertanya apakah ia memerlukan sesuatu sebelum berangkat tidur.
"Aba Jan, apakah aku perlu membawakanmu hookah yang masih
segar? Aku akan menyiapkannya sendiri." Dia dengan sukarela
menawarkan pelayanannya walaupun para pelayan biasa menyiapkan
tugas ini. Berdiri dekat kasur lipat milik Siraj Din di beranda,
Shahzada menutupkan kerudung wolnya erat-erat di sekeliling bahu
dan kepalanya sebagai tanda hormat pada lelaki tua itu. Siraj Din
tak pernah melihatnya tanpa penutup kepala-sebuah kenyataan yang
"Aku menaruh gembok dan rantai berat di mulut dan hatiku dan
menguncinya selamanya untuk kebaikan ketika Anda dan Habib
memutuskan untuk menentukan nasib putriku dalam kuasa tangan
maskulin kalian. Anda tak berpikir untuk meminta pendapatku. Aku
tentu saja tak ikut bertanggung jawab atas akibatnya. Aku malah
menerima hukuman dari Anda karena membiarkan Zarri Bano tinggal
di rumah Sikander. Anda pun tak mempertimbangkan perasaan
seorang ibu sama sekali atau perasaan putriku. Anda tahu, kami
kaum perempuan hanyalah para pelayan bodoh dalam rumah tangga
Anda-budak-budak yang patuh. Maka, bagaimana mungkin kini aku
mencurahkan segenap perasaanku pada Anda?"
Itu adalah perkataan terpanjang dan paling terbuka yang pernah dia
lakukan di depan ayah mertuanya. Tawa Siraj Din bergema
menakutkan dalam temaram beranda, membuat senyap suara
jangkrik untuk beberapa waktu. "Tidak,
menantuku tidaklah bodoh. Kebalikannya, dia justru diberkahi otak
yang cerdas. Dia tidak berteriak atau mengutuk, tetapi dia tahu
bagaimana menajamkan kata-katanya dan menusukkannya pada
tempat yang paling melukai."
Dengan tersipu, Shahzada menatapnya dan memutuskan berterus
terang padanya seperti yang dikehendaki oleh Siraj Din. "Anda
memintaku berbicara, maka aku pun bicara. Hari ini budak yang
bodoh ini menyatakan kegetiran. Anda harus memaafkanku, Aba Jan.
Anda telah menyentuhku pada titik getir dalam hidupku-putriku,
Zarri Bano. Memang benar apa yang Anda katakan. Aku berubah
pada hari Anda memenjarakan putriku dalam jalan suci ini. Aku
kehilangan dan menguburkan seorang anak perempuan pada hari itu,
Aba Jan, Zarri Bano yang kukenal dan kucintai. Aku tak pernah pulih
dari kehilangan itu-aku berhadapan dengan orang asing. Aku merasa
sedih hari ini karena aku ingin putriku menikah dengan Sikander.
Aku meminta pertimbanganmu soal ini dan Anda memberikan
baik bagiku lima tahun lalu-mengapa? Kau tahu, Kakek, aku sudah
sepakat akan menikah dengan seorang lelaki yang sungguh ingin
kunikahi, tetapi Kakek dan Ayah dengan tangan besi
membatalkannya. Aku sudah melakukan apa yang kau inginkan. Tapi
tidak sekarang, tidak kali ini, Baba Jee."
"Ya, sebenarnya kau bisa menikahinya sekarang, Zarri Bano," Siraj
Din buru-buru menawarkan.
"Tidak, Kakek, aku tak bisa. Sudah terlambat lima tahun. Asal Kakek
tahu, kalau-kalau kau tak memerhatikan, aku seorang pribadi yang
lain sekarang ini. Aku tak berhasrat menikah-dengan atau tanpa
izinmu yang begitu murah hati. Ayahku memaksaku menjadi seorang
Perempuan Suci dengan menolak memberiku izin menikah. Aku tak
membutuhkan izin siapa pun, aku sudah dewasa, tapi aku menjadi
seorang tawanan dari perasaan wajib berbakti kaum perempuan.
Ketika mengalah, aku mengorbankan jiwa dan kebahagiaanku serta
kedamaian pikiranku. Aku tak akan melakukan hal serupa lagi.
Melakukan hal seperti itu akan melenyapkan inti otonomi
individualku. Jika aku sampai kehilangan hal itu, Allah melarangnya,
aku sama saja dengan seorang tolol-sesosok phutley. "
"Aku tidak tahu apa-apa tentang jiwa atau otonomi individu atau
phutley, Zarri Bano. Yang kami minta darimu hanyalah menjadi ibu
Haris," tegas Siraj Din dengan suara mengeras.
"Maafkan aku, Kakek, jawabannya masih tidak." Suara Zarri Bano
sama tegasnya dengan kekerasan Siraj Din. Dia berlari mengikuti
Haris.
Tiada lagi yang perlu dibicarakan. Keheningan meraja di antara
mereka-sebuah pengalaman unik bagi Siraj Din. Ia terbiasa dengan
orang-orang yang mematuhi perintahnya. Penolakan tegas cucunya
adalah sebuah pil pahit yang terpaksa harus ditelannya.
Mengapa dia tidak bisa menolak mereka lima tahun yang lalu? Dalam
hatinya, Siraj Din tahu jawabannya. Saat itu Zarri Bano tak memiliki
52.
dihabiskan bersama. Aku datang hanya karena Haris sakit. Aku sibuk
saat ini terutama karena berharap bisa mendirikan sebuah
perusahaan penerbitan seperti yang ingin kulakukan sejak lima tahun
yang lalu."
"Ya, tentu saja, Sahiba. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa
kau tak memiliki urusan," Sikander dengan cepat menimpali. "Kami
tahu kau memiliki kehidupan yang amat sibuk. Aku juga sadar kau
harus menunda kepergianmu ke Lahore. Kami semua amat berterima
kasih kau bersedia meluangkan begitu banyak waktumu untuk
kunjungan ini. Apakah kau merencanakan Karachi sebagai basis
perusahaanmu?" tanyanya penuh rasa ingin tahu, secercah cahaya
tersirat di matanya.
"Aku belum yakin, tetapi aku berharap bisa membuat penerbit yang
memiliki spesialisasi dalam buku-buku akademis dan pelajaran,
barangkali di Hyderabad atau Islamabad," kilah Zarri Bano yang
telah membeli tanah di Karachi untuk perusahaannya. Sikander tak
tahu, begitu pula Shahzada-hanya kakeknya yang tahu.
Zarri Bano menuruni tangga untuk makan malam dan bergabung
dengan ibunya. Tak lama setelahnya, dia kembali ke kamar Haris dan
memutuskan untuk tidur dengan bocah mungil itu. Sejak kematian
ibunya, Haris selalu tidur dengan Zarri Bano ketika ia tinggal
dengannya. Seraya membuka burqa dan mengenakan kurta malamnya,
Zarri Bano naik ke ranjang besar, memeluk Haris dan jatuh tertidur.
Sikander masuk kamar anaknya tidak lama kemudian di malam itu.
Ketika ia melihat anaknya dikeloni bibinya, sesuatu membuat
kerongkongannya serasa tercekat. Ia berdiri begitu lama menatap
mereka berdua. Itu adalah untuk
pertama kalinya ia melihat Zarri Bano tidur di rumahnya. "Aku tak
akan melepaskannya! Aku harus segera berbicara dengannya. Setiap
hari adalah hari yang terbuang," ujar Sikander pada diri sendiri
seraya menutup pintu.
***
Sikander menemukan kesempatan untuk berbicara dengan Zarri
Bano dua hari kemudian. Zarri Bano sedang berada di kebun jeruk,
bermain-main dengan Haris. Kesehatan bocah itu telah membaik
hanya dalam waktu dua puluh delapan jam. Zarri Bano tidak
menyadari kehadiran Sikander untuk beberapa waktu karena begitu
asyik bermain petak umpet dengan kemenakannya, merasa senang
dengan tawa sehat kekanak-kanakan bocah itu.
"Oh, itu Ayah!" teriak Haris seraya berlari ke arah Sikander. Ketika
Zarri Bano berpaling untuk melihat Sikander, senyum telah lenyap
dari wajahnya. Sikander memeluk anaknya dan menatap Zarri Bano
melalui atas kepala Haris.
Tatapan Sikander yang membakar tertangkap oleh mata Zarri Bano.
Kata-kata, "Haram! Haram! Itu dosa!" menggeledek dalam benak
Zarri Bano ketika dia buru-buru membuang muka. "Aku tidak boleh
menatap seorang gher merd, " gumamnya pada diri sendiri.
Selama beberapa detik Sikander telah berhasil menggiring Zarri
Bano masuk ke dalam dua dunia: dunia masa lalu dan masa kini,
dengan dirinya sebagai seorang Perempuan Suci. Zarri Bano merasa
tidak senang karena dia melihat dirinya kembali berada pada titik
yang sama seperti lima tahun silam ketika Sikander telah
melamarnya. Sepasang mata Sikander bermain-main di wajahnya,
memaksanya mengingat saat-saat itu dan mengakuinya-membuat
sepasang mata Zarri Bano kembali menatap Sikander sekali lagi.
Bola di tangan Sikander terlepas, melepaskan Zarri Bano kembali ke
dunia masa kini. Zarri Bano menunduk untuk mengambil bola dari
atas tanah.
"Haris, Nenek memanggilmu ke dalam rumah," ujar Sikander pada
anaknya seraya meletakkannya di tanah.
"Oke! Sebentar, Bibi," teriak Haris seraya berlari riang sepanjang
jalan setapak di kebun menuju vila. Zarri Bano menyaksikannya
Suci, dalam setiap arti kata yang dimaksud oleh kakekku dan
ayahku-dan lebih banyak lagi.
"Lima tahun lalu hidupku jungkir balik. Aku lalu menyerah. Aku
belajar untuk tak memedulikan dirimu dan kemungkinanku menikah.
Dan aku bisa bertahan. Orang berubah seiring dengan berjalannya
waktu, Adik Sikander. Dalam kasusku, aku menjalani sebuah
perubahan kepribadian. Selama beberapa minggu aku tak tahu
siapakah diriku.
Kini aku telah berdamai dengan diriku sendiri dan merasa bahagia
dengan jalan hidupku sekarang. Aku tak punya keinginan untuk
kembali ke kehidupan masa laluku atau berhubungan dengan semua
itu.
"Kau adalah hubungan lamaku, seperti yang kukatakan padamu di
Mina, Arab Saudi. Haram hukumnya menghubungkan namaku dengan
seorang lelaki, termasuk suami adikku. Aku menikah dengan
keyakinanku. Jadi, tolong jangan sebutkan sesuatu tentang ini lagi.
Aku telah menunaikan kewajibanku atas apa yang tak pernah bisa
terjadi. Jalan hidup kita, walaupun berpapasan lagi, tak ditakdirkan
untuk muncul kembali, Adik Sikander. Ruby pasti akan bangkit dari
kuburnya."
"Tidak akan." Kata-kata lirih itu terlontar dengan tegas. "Dia pasti
ingin agar kau menjadi ibunda Haris. Kau tahu dia selalu merasa
bersalah karena menikahiku. Dia tak pernah berterus terang soal
itu-tapi aku tahu. Dia berpikir telah mengambil bagianmu. Ingat, aku
dulu tunanganmu, bukan tunangannya."
"Kami ini kaum perempuan, Sikander Sahib! Kami bukan sayuran yang
bisa kau pertukarkan semaumu," ujarnya dengan suara lirih penuh
kepedihan. Di depan mata Sikander, Zarri Bano mulai bergidik,
mengingat bayangan waktu lain di taman ketika Sikander nyaris
mengurungnya dalam pelukannya dekat sebatang pohon dan
melamarnya. Sikander telah menyentuh tangannya dan kemudian dia
53.
membayang. Berganti baju dua kali sehari telah menjadi aturan dan
kebiasaan bagi Kaniz sejak dia berumur delapan belas tahun.
Pengabaian diri ini menunjukkan dengan jelas betapa amat dalamnya
dia telah terpuruk.
Seraya mengoleskan sedikit minyak dari botol ke telapak tangannya,
Sabra mengoleskan tetesan itu di kepala kakaknya dan
menggosoknya dengan sentuhan lembut. Kaniz menikmati pijatan itu.
Sepasang matanya terpejam.
"Mengapa kau menangis?" tanya Sabra lembut seraya
mencondongkan kepalanya ke depan di atas bahu kakaknya.
Mata Kaniz terbuka dengan gugup, tetapi dia tidak segera
menjawab. "Aku teringat hari pernikahanku pada malam resepsinya."
"Mengapa ingatan itu membuatmu menangis?" tanya adiknya
penasaran. Dia terus memijat. Rasa terhipnotis dan penyembuhan
membawa keluar perasaan-perasaan yang tersembunyi.
"Aku mencoba melupakan jenis orang yang menjelma dari diriku
sejak saat itu," ujar Kaniz. Nada suaranya penuh perasaan.
"Aku tidak mengerti, Kakak. Apa hubungannya hari pernikahanmu
dengan sesuatu hal?"
"Segalanya, Adikku. Pada hari itulah aku diselubungi selimut
penghinaan yang masih kukenakan tiga puluh tahun kemudian dan tak
bisa lenyap."
"Selimut penghinaan? Apakah yang kau bicarakan?" Sabra menatap
tajam wajah kakaknya. Kaniz tetap berdiam diri sejenak. Matanya
terpejam rapat seakan-akan memutar kembali bayangan itu.
"Aku tak pernah membicarakan soal ini dengan siapa pun," ujarnya
dengan suara lirih. "Sabra, bisakah kau bayangkan bagaimana
rasanya menjadi seorang istri yang tak diinginkan? Aku tahu sejak
hari pertama perkawinanku bahwa aku hanyalah yang kedua terbaik."
"Benarkah itu?" Sabra menghentikan pijatannya.
Seraya duduk, Kaniz berpaling dari tatapan ragu adiknya dan mulai
menjalin rambut lebatnya yang panjang, menariknya dengan
sentakan-sentakan gugup.
"Pada hari pernikahanku aku tahu bahwa Sarwar sesungguhnya ingin
menikahi Fatima. Kau tahu soal ini, bukan? Adegan ini tercetak di
benakku untuk selamanya. Aku duduk dengan gaun pengantin
Shanghai merah di sofa- seorang chaudharani baru yang penuh
harga diri, penuh gairah hidup dan percaya diri. Ada sekelompok
kecil perempuan muda yang sedang duduk mengitariku. Beberapa
adalah perempuan desa setempat, yang lainnya adalah sanak
keluarga-tapi aku tidak kenal siapa dia-charail itu, penyihir itu. Aku
tak pernah melihatnya lagi sejak hari itu.
"Fatima juga ada di situ. Aku tak tahu siapakah dia hingga
perempuan ini membuka mulut jahatnya. Dengan suara nyaring yang
jelas terdengar, walaupun dia berpura-pura berbisik pada temannya,
dia berkata, 'Itu Fatima, perempuan yang sesungguhnya ingin
dinikahi Sarwar, tetapi perempuan itu menolaknya dan kini menikahi
sepupunya.' Dia terus berkata bahwa dia tak akan mau menjalani
nasibku-karena kau hanyalah 'yang terbaik kedua'!
"Aku tercenung. Telingaku panas terbakar oleh luka dan rasa malu.
Mataku tertunduk pada tanganku yang penuh perhiasan dan diwarnai
pacar. Dalam hati, aku bergetar seperti sehelai daun dengan penuh
rasa terhina. Aku melirik cepat-cepat ke arah perempuan yang
ditunjuk oleh perempuan bermulut jahat itu dan melihat Fatima. Dia
balas menatapku dengan malu-malu. Aku tahu secara naluriah siapa
dia. Dia telah mendengar bisikan jahat itu pula dan cepat-cepat
memalingkan wajahnya. Pipinya merona malu. Pada saat itu, aku bisa
melompat ke dalam danau, Adikku Sabra, dan menenggelamkan
diriku. Aku berdoa agar bumi di bawah kakiku rekah dan menelanku,
enyah dari tatapan para perempuan itu.
54.
***
Selama beberapa hari kemudian, Zarri Bano berhasil mengenyahkan
seluruh urusan itu dari benaknya. Shahzada tidak menyebut-
nyebutnya lagi dan Zarri Bano menghindari pertemuan dengan
Sikander ketika ia datang mengantarkan Haris untuk perjalanan
mingguannya.
Setelah mengimami shalat Jumat bagi para perempuan di
madrasahnya, Zarri Bano menyelenggarakan sebuah seminar untuk
kelompok reguler para muridnya.
Duduk bersila di atas karpet di ruangan seminar yang luas, para
perempuan muda itu mendiskusikan hadis Nabi Muhammad Saw. dan
tulisan-tulisan tentang Al-Quran. Sebuah meja yang ditumpuki buku-
buku teks dalam bahasa Inggris, Arab, dan Urdu berdiri dekat Zarri
Bano.
Pada peristiwa ini mereka memperdebatkan isu kaum perempuan dan
hukum waris menurut syariat Islam.
"Keyakinan kita mengatakan bahwa kita memiliki hak-hak waris yang
jelas, tetapi pada kenyataannya kaum lelakilah yang mendapat lebih
banyak," seorang perempuan muda mengeluh dengan nada marah,
mengawali debat itu.
"Kau benar, Nargis. Sayangnya, itu cenderung terjadi dalam
masyarakat kita, terutama jika perempuan tak peduli pada hak-
haknya," Zarri Bano menimpali setuju seraya memberi tanda halaman
mengenai bab waris dalam salah satu buku teksnya. "Jika kau tahu
hak-hakmu dan mengenal hukum syariah, serta berkonsultasi dengan
buku-buku ini, kau mungkin bisa mengubah banyak hal. Kau bisa
membawa persoalan itu ke pengadilan syariah kita."
"Apa yang kau katakan itu benar, Ukhti Zarri Bano, tapi
kenyataannya berapa banyak perempuan, entah muda atau tua, yang
akan bangkit dan melawan keluarga lelaki mereka, atau berjuang
untuk hak-hak mereka, apalagi membawa soal ini ke pengadilan? Ini
"Ayolah, Zarri Bano. Tentu kau tidak lupa bagaimana kau dipaksa
menjalani hal ini. Kau tak akan berpura-pura padaku bahwa kau
menjalani kehidupan seperti ini dengan bebas, bukan? Kau hampir
saja menikah dengan Sikander!"
"Ayo kita pulang, Gulshan," sela Zarri Bano, memotong perkataan
sepupunya. Tampaknya seakan-akan semua orang memaksanya
membandingkan kembali kehidupan masa kini dan masa lalunya, dan
kemudian membuktikan padanya bahwa kehidupannya hampa dan
menyedihkan serta bahwa Sikander tiba-tiba menjadi jawaban atas
segalanya! Tentu saja itu membuatnya marah.
***
Malam itu, seraya duduk di beranda belakang rumah, Gulshan
melanjutkan percakapannya yang dengan kejam dipotong oleh
sepupunya. Haris sedang bermain-main di halaman. Zarri Bano
menyaksikannya dengan rasa kasih sayang berkilau-kilau di matanya.
"Kau amat mencintainya, bukan?"
"Ya, jika Haris yang kau maksud," kata Zarri Bano. "Ia adalah harta
peninggalan Rubyku."
"Apakah kau tak bosan memakai itu?" canda Gulshan, mengubah
pokok pembicaraan secara halus.
"Yang kau maksud burqa?" sahut Zarri Bano. "Tidak. Ini seperti kulit
kedua bagiku kini. Aku hanya merasa nyaman apabila memakainya. Ini
juga membuat hidupku terasa lebih enteng dan leluasa. Aku tidak
perlu mencemaskan apa yang harus kupakai di dalamnya atau tentang
tatanan rambutku dan seterusnya. Ini adalah sebuah pengalaman
yang menakjubkan. Aku masih ingat saat pertama kali
mengenakannya. Bisakah kau bayangkan getar rasa ngeri melandaku?
Kini aku merasa telanjang dan rapuh tanpa mengenakannya, terutama
ketika aku berada di depan para lelaki asing. Oleh karena itu, aku
menjumpai banyak di antara mereka merasa wajib menjaga jarak dan
menghormatiku. Zarri Bano lama yang ceroboh membuat para lelaki
55.
"Aku senang tinggal di sini denganmu. Apakah Bibi tak mau tinggal
denganku? Bibi tak sayang padaku!"
"Tentu saja aku sayang padamu, Haris," dengan cepat Zarri Bano
menenangkan kemenakan mudanya.
"Tidak, Bibi tak sayang padaku. Tak ada yang sayang padaku! Aku
ingin ibuku! Mama!"
"Berhentilah, Haris. Kami semua amat menyayangimu."
"Aku ingin ibuku kembali! Di mana dia?"
"Ya Allah, Haris-aku juga ingin ibumu kembali, tapi Allah telah
membawanya ke surga."
"Apakah Mama tidak akan pernah kembali lagi?" tanya Haris dengan
suara takut seraya menatap lekat bibinya dengan sepasang mata
cokelatnya yang mengabur oleh air mata.
"Tidak, Haris sayang, maafkan aku, dia tak akan kembali," jawabnya
dengan sedih, memilih berkata jujur. "Tapi aku ingin ibuku!" Haris
meratap. Tubuh mungilnya bergetar ketika ia tersedu sedan.
Kesedihan dalam nada suara kemenakannya melukai Zarri Bano. "Aku
juga adalah ibumu. Ingatlah kau selalu menyebutku ibu keduamu."
"Tapi ibuku tinggal bersamaku. Bibi selalu mengirimku kembali ke
Karachi!" jawab Haris dengan marah seraya melepaskan diri dari
pelukan bibinya.
Merasa tersengat, Zarri Bano berteriak, "Aku tak akan mengirimmu
pergi, Sayangku-selamanya, aku berjanji. Aku tidak akan pernah
membiarkanmu menangis lagi."
Seraya memeluknya erat-erat ke dadanya, Zarri Bano berjanji pada
dirinya sendiri bahwa dia tak akan membiarkan kemenakannya itu
meneteskan setitik pun air mata lagi. "Oh, keegoisan orang dewasa,"
batinnya dengan sedih.
Ketika dia mengeloninya sebelum tidur di ranjang, Haris meminta
jaminan dari bibinya. Dengan lengan mungilnya melingkari leher Zarri
"Aku tahu, tapi kau sadar bukan, ia harus pulang sesekali." Suaranya
terdengar tenang.
"Tentu."
"Maukah kau sendiri yang mengantarnya?" tanya Sikander lebih
ramah, setelah beberapa saat. Zarri Bano mengambil umpan yang
disodorkan Sikander.
"Ya. Aku mau. Lebih dari itu, aku akan tinggal selama yang diinginkan
Haris dan selama aku masih diperbolehkan tinggal di rumahmu.
Kebahagiaan Haris berarti segalanya bagiku," ujarnya dengan cepat.
Terasa kesunyian yang panjang di pihak Sikander.
"Kau tahu kau diterima dengan baik, Zarri Bano, kapan pun. Apakah
itu berarti waktunya tidak terbatas?" tanya Sikander setelah jeda
kembali, merasakan ketegangan merebak di ujung lain telepon.
Zarri Bano menunduk pada tangannya yang memegang gagang
telepon. Telapak tangannya basah.
"Jika itu yang terbaik bagi Haris," jawabnya dengan suara yang
terdengar seperti makhluk asing di telinganya.
Sikander seakan-akan kehabisan kata-kata, lalu ia bicara, "Terima
kasih, Zarri Bano! Lihat-kau paham apa yang kau katakan, bukan?"
"Ya."
Sikander tak bisa menahan diri. Ia ingin semuanya menjadi lebih
jelas. "Kapan itu bisa terlaksana?" desaknya.
Zarri Bano tak mampu berlagak pilon. "Aku... aku tak tahu. Aku
belum berpikir sejauh itu," gumamnya. Jantungnya serasa hendak
copot, seolah-olah dia baru berlari bermil-mil di ladang milik
kakeknya. "Aku sampai pada keputusan ini baru beberapa menit yang
lalu. Tangisan Haris menyayat hatiku. Aku tak tahan melihat
tangisnya. Aku melakukan ini untuknya."
"Demi Allah, Zarri Bano. Aku tak akan pernah membiarkanmu
menyesali keputusanmu. Kau akan bebas mengejar kariermu, baktimu
dalam kehidupan. Kau boleh datang dan pergi ke rumah sesukamu.
Aku tak menuntut apa pun, hanya bahwa kau menjadi ibu permanen
bagi Haris dan membuat rumahku menjadi rumahmu." Zarri Bano
bisa menangkap ketulusan yang hangat dalam nada suaranya.
Begitulah, semuanya telah terbuka. Kata tabu pernikahan belum
terlontar dari mulut mereka, hampir seakan-akan mereka berdua
takut bahwa jalinan rapuh yang tengah ditempa itu akan putus
dengan kata tersebut. Mereka berdua tak menginginkannya terjadi,
apa pun balasannya.
"Terima kasih. Kuharap kau menghargai bahwa aku hanya melakukan
ini untuk anakmu belaka. Aku bukanlah orang yang sama dengan
diriku lima tahun lalu, Sikander. Ini bukanlah sebuah pernikahan
biasa untuk seorang perempuan normal." Zarri Bano merasa
mengingatkannya adalah sesuatu yang penting.
"Tentu saja aku tahu kau kini orang yang berbeda dengan yang
pertama kali kujumpai-tapi, di balik itu semua, aku percaya kau
masih perempuan yang sama, Zarri Bano. Tapi aku tak ingin kembali
ke saat itu. Yang bisa kukatakan padamu adalah bahwa semuanya ada
di tanganmu. Aku tak akan menuntut apa pun darimu. Itu akan maju
secara bertahap."
Zarri Bano merasa pipinya menjadi hangat mendengar kata
"menuntut" yang diucapkan Sikander. Seraya memejamkan matanya,
Zarri Bano mencoba mengenyahkan bayangan-bayangan merangsang
di balik bulu matanya. Sudah lama sekali sejak pikirannya menyukai
bayangan-bayangan seperti itu.
"Terima kasih atas pengertianmu. Aku akan mengatakan pada Ibu
tentang hal ini malam ini juga. Tampaknya semua orang menang-
Gulshan, Fatima, Kakek, kau, dan Ibu." Zarri Bano menggelengkan
kepala, tak mampu menyembunyikan nada getir dalam suaranya.
"Allah Hafiz, Sikander Sahib!"
"Kuharap tidak. Kita akan lihat apa yang terjadi, tetapi perlahan-
lahan saja. Aku perlu menjaga dalam benakku bahwa ini adalah
perempuan yang pernah memperdayakanku dengan sekali pandang
lima tahun yang lalu, dan kini bergidik jijik pada segala gagasan intim
denganku karena aku menikahi adiknya. Kini kami memiliki jalan
panjang membentang. Kita tidak bisa memaksanya memenuhi
keinginan-keinginan kita. Dia telah tertekan dan dimanfaatkan oleh
ayah dan kakeknya. Aku tak akan menjadi lelaki penindas lainnya
dalam selubung seorang suami. Aku akan menjadi seorang teman
baginya hingga dia memutuskan telah siap untuk sebuah hubungan
pernikahan yang lebih sempurna."
"Aku akan berdoa untuk kalian semua. Semoga Allah memberkahi
keluargaku dan semoga jiwa Rubyku yang malang beristirahat dengan
tenang."
"Amin. Ya, Ibu, ya!" ujar Sikander pada ibunya dengan segenap
ketulusan dalam hatinya.
56.
waktuku dan waktu mereka. Aku tahu, tiada guna mengejar perkara
yang telah selesai."
"Aku tahu," ujar Kulsoom berpikir keras, otaknya menjadi hidup
dengan rasa ingin tahu. "Apakah kau telah mendengar bahwa
Chaudharani Kaniz jatuh sakit akhir-akhir ini dan tak terlihat oleh
orang lain selama beberapa minggu? Sudahkah kau menengoknya?
Dia tidak memanggilku selama dua tahun terakhir ini, maka aku tak
tahu apa yang dia lakukan mengenai pernikahan anak lelakinya."
"Tidak, aku belum menengoknya, juga tak ingin menemuinya-atau
mendengar apa pun tentang perempuan itu!" sergah Fatima,
mengingat pertemuan terakhir antara dirinya dan Kaniz yang masih
terasa segar di benaknya. Syukurlah, dia tidak lagi berjumpa dengan
harridan itu sejak saat itu!
***
Pada malam-malam musim panas yang gerah, Firdaus dan Fatima,
seperti halnya banyak penduduk desa lainnya di Pakistan, senang
tidur di tempat terbuka di atap rumah mereka. Ibu dan anak itu
berbaring di atas selimut katun perca di atas kasur lipat mereka
yang ditempatkan bersisian.
Fazeelet dan Salma memilih tidur di dalam rumah di lantai bawah, di
bawah tiupan kipas angin di langit-langit. Jika terjadi hujan, terlalu
mengganggu bagi mereka harus bergegas pergi dari tempat tidur
mereka, bersegera membereskan perlengkapan tidur dan masuk ke
ruangan. Ya, mereka selalu tidur di halaman terbuka di lantai bawah.
Fatima dan Firdaus bersiap untuk tidur. Seraya merapikan bantal
mereka dan menarik seprai katun tipis menutupi sekujur tubuhnya,
Firdaus berbaring telentang dan menatap bintang-bintang. Dia
memalingkan wajahnya ke arah
ibunya. "Para pengganggu ini!" Cetus Fatima ketika mengibaskan
seekor nyamuk besar yang berputar-putar di dekat wajahnya.
yang mereka usir dengan embusan kipas angin kini telah terlupakan
sama sekali.
57.
tetapi dia bukanlah Firdaus yang pernah dikenal Khawar. Ini adalah
ibu kepala sekolah yang canggih dan bergaya kota.
Tangan Khawar mencengkeram erat tali kekang kudanya. Ia nyaris
hendak bergerak ketika Firdaus mencekal betisnya lagi.
"Apakah aku tak akan pernah dimaafkan?" desaknya. "Aku datang
untuk meminta maaf padamu, Khawar Sahib." Sepasang mata Firdaus
enggan berkedip di hadapan amarah Khawar.
"Untuk apa, Ibu Kepala Sekolah? Karena telah menghina dan
mengusir ibuku...," katanya dengan marah, "... dan membuatnya
menderita sakit jiwa?"
Dengan berani Firdaus berdiri di tanah dan terus tersenyum
padanya, tahu secara naluriah bahwa dia harus bercanda pada
Khawar. "Apa pun yang kau katakan, Khawar Sahib. Aku amat
menyesal telah berbuat bodoh-aku mengakuinya. Kini aku menyadari
apa yang telah kulakukan. Kenyataannya hari ini aku berencana
mengunjungi ibumu dan meminta maaf padanya dengan berlutut, jika
itu akan memuaskan harga dirimu, Khawar, atau membuatmu mau
memaafkan kebodohan usia mudaku. Ingatlah ini; aku melakukannya
demi dirimu."
"Oh, tolong, Ibu Kepala Sekolah, jangan merendahkan dirimu dengan
memohon karena aku," sahut Khawar kaku.
"Kini selamat pagi untukmu." Sekali lagi ia membuat gerakan akan
pergi.
"Kau kejam, Khawar Sahib," ledak Firdaus. "Aku tidak menyukai ini.
Kau tidak memudahkan aku." Kini mulai membenci setiap detik
pertemuan ini.
Dengan kemarahan di matanya, Khawar menukas, "Apakah ibuku
senang memohon-mohon padamu? Apakah kau memudahkan dia?"
Seraya mencondongkan badannya ke bawah, ia menyemburkan kata-
kata itu ke wajah Firdaus.
58.
Kaniz baru saja duduk di sofa, menghadap ke pintu, ketika pintu itu
terbuka dan masuklah mula-mula Neesa, lalu diikuti Firdaus.
Sosok berkerudung rapat itu berdiri di muka pintu. Dengan wajah
terangkat lurus, dia menyapa mereka, "Salam." Tanpa malu-malu,
matanya bergerak menatap kakak beradik itu bergantian.
Melihat mata kakaknya tertunduk takut di hadapan Firdaus, Sabra
merasakan rasa sakit mengiris batinnya. Tatapan kakaknya yang
angkuh itu tak pernah tunduk di hadapan orang lain, tapi kini dia
duduk di sini dengan gugup. Sepasang matanya tertunduk karena
perempuan itu! Sabra menatap tamu tak diundang itu dengan penuh
kebencian, dan Firdaus tersentak.
"Wa 'alaikumussalam, Nona Firdaus!" Nada suara Sabra yang nyaring
dan kasar itu membuat saraf-saraf Kaniz menegang. "Untuk apakah
kami berutang kunjungan ini? Apakah kau ingin menghina kakakku di
rumahnya sendiri sekarang? Apakah kau belum cukup membuat
kerusakan, gadis muda?"
Dengan mengabaikan perkataan Sabra, Firdaus menatap tenang pada
sosok diam sang chaudharani, merasa terkejut dan jatuh kasihan
oleh sosoknya yang gugup. Tangannya mencengkeram pinggiran sofa.
Sesuatu menyentuh hati Firdaus.
Lalu hal yang aneh terjadi. Firdaus melupakan harga dirinya. Dia
melupakan dirinya. Dia bahkan melupakan Khawar-dan hanya melihat
perempuan kesepian yang menderita itu dan mengingat kata-kata
Khawar bahwa ibunya mencoba bunuh diri sebagai akibat peristiwa
malang yang dialaminya.
Firdaus tidak harus berpura-pura; tidak perlu mencari awalan apa
pun-tidak perlu ada basa-basi yang harus dilakukan. Hanya perasaan
kasihan dan empati bagi sosok malang di atas sofa yang terlintas
dalam hati Firdaus dan dengan sebuah dorongan dia menghambur ke
samping Kaniz. Seraya berjongkok di lantai di depan perempuan yang
lebih tua itu, dia meletakkan kepalanya di pangkuan Kaniz.
"Kini aku ingin anakku kembali! Aku ingin bertemu dengan Khawar,
kini, hari ini-siang ini! Detik ini juga! Sabra, sebuah beban telah
terlepas dariku. Kini aku merasa enteng pikiran dan bahagia. Aku
senang Firdaus datang ke sini-ingat, dia datang sendiri, aku tidak
memanggilnya. Dia memohon maaf kepadaku-aku tidak menuntutnya.
Kini kita bisa melamarnya dengan layak. Dia tidak akan menolak kita
sekarang. Dia tidak akan berani dan pasti tak akan melakukannya.
Dia mencintai anakku! Kau tahu, aku mengenalnya dengan baik!" Kaniz
mengakhiri perkataannya dengan penuh kemenangan. Matanya
berbinar dengan rasa senang dan kegairahan, menatap adiknya
dengan bersemangat.
Sabra benar-benar tercengang, tidak tahu apa yang harus dikatakan
olehnya-apakah dia harus berkata kasar, marah-marah, atau malah
menertawakan kakaknya. Akhirnya, dia memilih berdiam diri,
membayangkan dalam benaknya kakaknya akan kembali mekar
berseri oleh kehidupan dan kebahagiaan ketika dia mulai memercayai
kata-kata Kaniz.
"Sabra, ada banyak hal yang harus kita lakukan saat ini. Suruh
Neesa menjemput mak comblang itu, Kulsoom. Aku harus bergerak
cepat! Setiap menit amat berharga! Aku sudah tidak tahan
menunggu Firdaus segera tinggal di rumah ini sebagai menantu
perempuanku!"
"Kak, kukira kau benar-benar telah hilang akal. Aku tak bisa
memahaminya. Kau terlalu cepat berubah bagiku. Aku cemas," ujar
Sabra menghela napas dengan seulas senyum dan kehangatan di
matanya yang berkilat sebagai jawaban yang diminta oleh Kaniz.
"Aku tahu aku telah mengejutkanmu," Kaniz terkekeh, "tapi ingatlah,
aku ini Kaniz yang baru. Lupakan saja Kaniz yang lama. Aku telah
membunuhnya pada hari saat aku memutuskan melamar Firdaus. Kini,
kau akan duduk di sini seharian atau akan memanggil Neesa?" Dia
menggosok-gosokkan kedua tangannya. "Aku ingin segera mengobrol
dengan Kulsoom. Desa ini akan melihat sebuah pernikahan yang tak
akan terlupakan! Lagi pula, ini adalah perkawinan putra tunggalku-
anak kesayanganku. Akan ada baju pengantin untuk Firdaus yang
bahkan anak perempuan Habib sekalipun, Ruby, tidak
mendapatkannya dari konglomerat Karachi, Sikander. Aku juga ingin
halvie, juru masak dendeng, dipanggil kemari segera untuk
menyiapkan makanan bagi pesta pertunangan. Aku tak hanya ingin
dendeng biasa, tetapi juga dendeng tradisional dengan gula putih
pathasay yang dibuat khusus untuk anak-anak. Seluruh desa akan
menerima cukup makanan untuk membuat mereka kekenyangan. Ada
banyak hal yang harus dilakukan, Sabra Sayang, dan aku amat
bersukacita. Aku amat membutuhkan bantuanmu. Kau lihat, kau
benar-benar tak bisa meninggalkan kami hingga setelah usai pesta
pernikahan," ujar Kaniz dengan bahagia pada adiknya.
Sabra tersenyum penuh cinta pada kakaknya. Seakan-akan masa
depan akan penuh bunga bagi Kaniz. Sabra duduk dekat kakaknya
dan seraya menyingkap chador dari kepala Kaniz, dia mulai memijat
kulit kepalanya yang berminyak itu lagi. Tak akan diperlukan lagi
pijatan dengan minyak almond. Pernikahan putranya akan
mengembalikan kekuatan batin Kaniz.
Seraya duduk di lantai di depan sofa, Kaniz memiringkan kepalanya
ke belakang ke arah adiknya dan memejamkan matanya. Di balik
kelopak matanya dia masih bisa melihat Firdaus di atas lantai,
dengan tangan menggenggam sebagai permohonan. Lalu, dari antah
berantah sekilas adegan dirinya sendiri dalam posisi yang sama.
Mata Kaniz menantikan rasa sakit yang akan menjelang, tetapi tidak
terjadi. Terkekeh-kekeh dalam benaknya, Kaniz membuka matanya.
Dua perempuan angkuh yang konyol telah sama-sama menunduk dan
menyentuh bumi. Keduanya telah merasakan wajahnya berlumur
lumpur dalam bentuk yang setara. Chaudharani Kaniz telah sehat
kembali dan sungguh-sungguh bertahan.
59.
"Selamat datang, Kulsoom Jee, ada apa kau hingga naik ke sini? Kau
tak perlu naik tangga. Biar kami saja yang turun."
"Tak apa-apa, Fatima Jee," sahut Kulsoom bermurah hati dengan
suara parau dan masih mencoba menarik napas. "Aku tak terbiasa
dengan kerja fisik seperti memanjat tangga sekaligus," jelasnya.
Firdaus dengan cepat mengambil bukunya dari kursi dan
menyodorkan kursi itu untuk Kulsoom. Diam-diam merasa senang,
Salma lalu turun kembali. Seraya menatap wajah-wajah mereka,
Kulsoom tersenyum. Matanya yang mungil berkilat-kilat di tengah
kulit keriputnya.
"Aku punya kabar bagus untuk kalian berdua," ujarnya, masih
terengah-engah kehabisan napas.
"Apakah itu, Kulsoom Jee? Aku tahu dari wajahmu yang merona
bahwa kau punya kabar penting buat kami," goda Fatima yang merasa
senang seraya menengok pada putrinya.
"Fatima Jee, rasanya seakan-akan dadaku ini hendak meledak.
Jantungku yang tua ini tak pernah mengalami begitu banyak sukacita
sejak pagi ini. Aku yakin aku akan mati karena serangan jantung,
mungkin di sini, di atap ini."
"Tuhan melarang sesuatu yang buruk terjadi padamu, Kakak Kulsoom.
Apa yang bisa kami semua lakukan tanpa dirimu?" Fatima berkata
dengan ramah. "Katakan pada kami, jangan biarkan kami tegang."
Kulsoom menguatkan dirinya dan berdiri tegak. Dia ingin
menimbulkan kesan yang tepat. Dia tidak mau mengorbankan
jantungnya dan menaiki tangga hanya untuk sesuatu yang nihil. Dia
juga tak ingin menyia-nyiakan peluang emas yang telah mengubah
peruntungannya. Lagi pula, Chaudharani Kaniz telah memberinya
status yang tinggi dalam kariernya sebagai seorang mak comblang
yang ulung dengan memenuhi impian seumur hidup Fatima.
"Fatima, kau seorang perempuan yang amat beruntung," ujarnya
sebagai pendahuluan seraya mempermainkan anting-anting di kuping
Bagiku, ini sulit dipercaya. Bagaimana ini bisa terjadi? Kau tahu apa
pendapatnya dahulu soal ini. Di sisi lain, kurasa dia telah mengalami
perubahan sikap akhir-akhir ini." Fatima melepaskan tatapan penuh
arti pada putrinya, menyebabkan Firdaus merona. Ibunya tak akan
pernah mengizinkannya melupakan tindakan bodohnya membiarkan
Kaniz memohon-mohon padanya dengan berlutut.
"Kau benar, Fatima Jee, ini sangat tidak biasa. Aku tak bisa percaya
ketika Neesa datang untuk memanggilku ke hawali. Ini sangat
mengejutkan. Kau tahu, aku sudah tak bertegur sapa dengannya
selama dua tahun, terutama sejak Khawar minggat dari rumah."
Kulsoom berhenti, mengingat keheranannya pada perubahan sikap
dan penampilan Kaniz. "Kini seorang perempuan yang berbeda,"
ujarnya pada mereka. "Kau tahu, tangannya sungguh-sungguh
gemetar saat dia mengangkat secangkir teh, Fatima Jee! Kau belum
menjumpainya baru-baru ini, bukan? Dia selalu tampil sebagai
seorang perempuan cantik, tapi kini dia tampak kurus dan cekung.
Sikapnya-aku tak bisa menggambarkannya." Kulsoom berpikir
sejenak. "Untuk pertama kali seumur hidupnya, dia sungguh
menghargaiku sebagai manusia dan bukan hanya sekadar pelayan
yang melayani perintahnya. Tatapannya terasa hangat. Dia tak
banyak bicara, tapi apa pun yang dia utarakan tidak mirip dengan
sosok Kaniz yang lama, yang banyak menuntut. Dia sungguh menatap
langsung mataku sepanjang waktu aku di sana."
Kulsoom tertawa lembut. "Adiknya, Sabra, yang tinggal bersamanya
untuk waktu lama, memperingatkanku agar aku bertingkah lembut
dan tidak mengatakan apa pun yang bisa membuatnya gusar. Andai
saja! Aku tak pernah membuat orang gusar. Pekerjaanku adalah
menyenangkan orang, bukan membuat mereka gusar. Bagaimana lagi
bisnisku akan berjalan?"
Dia tampak berseri-seri. "Dulu dia kerap membuatku tersinggung.
Baginya, aku hanyalah seorang mak comblang, salah satu orang
padanya agar segera pulang dari Dubai. Kalian semua sudah kaya
sekarang. Aku akan mencarikan untuknya seorang pengantin yang
cantik. Seorang perempuan bertubuh tinggi, berkulit terang-sama
sepertinya."
"Jangan lupakan pendidikannya, Kulsoom Jee," goda Fatima.
"Tentu saja. Dewasa ini para lelaki tampaknya menyukai para
perempuan yang berpendidikan-biarpun tanpa ijazah atas nama
mereka sendiri.
"Memang ada juga sejumlah lelaki yang amat berpendidikan yang
hanya menginginkan para ibu rumah tangga- para perempuan geraloo.
Secara pribadi, kurasa mereka merasa terancam oleh para
perempuan berpendidikan yang memiliki pekerjaan dan aktif. Mereka
ingin memiliki kuasa dan kewenangan di atas istri mereka. Aku
percaya pendidikan memang bagus untuk kaum perempuan, tetapi
bukan untuk bekerja. Sebuah rumah membutuhkan seorang
perempuan untuk mengelolanya. Jika kedua suami-istri bekerja,
bagaimana rumah bisa dikelola dengan baik?"
"Aku khawatir, Kulsoom Jee, kau berbicara tentang perempuan yang
salah di sini. Aku ini perempuan yang bekerja. Lupakah kau, aku telah
bekerja begitu lama dan tetap mengurus keluarga. Firdausku
bekerja dan aku tak berharap dia berhenti bekerja jika menikah.
Aku membayar ribuan rupee baginya untuk bersekolah dan tak ingin
itu sia-sia hanya karena dia harus tinggal di rumah dan berpangku
tangan. Tidak, seorang perempuan membutuhkan kehidupannya
sendiri, perasaan merdeka, dan dihargai. Perempuan perlu mencapai
sesuatu."
"Kurasa kau benar juga, Fatima Jee," sahut Kulsoom diplomatis
seraya mengubah nada suaranya. Bukan taktik yang baik dalam
bisnisnya jika dia membuat tidak senang kliennya. Dia selalu setuju
sebisa mungkin, tanpa kehilangan muka. Lagi pula, dia sendiri seorang
perempuan yang bekerja.
60.
Ini adalah sebuah pengalaman yang aneh bagi Fatima. Dia melihat
segalanya dari sebuah sudut yang baru. Putrinya akan segera hidup
di tengah semua ini dan suatu hari nanti dia akan menjadi majikan
atas semua ini. Fatima menghela napas dalam dengan senang hati.
Neesa kembali dan Fatima menatapnya dengan penuh harap.
"Chaudharani kesulitan untuk turun tangga," pelayan itu berkata
padanya. "Dia jatuh dari tangga kemarin malam. Dia meminta Anda
bersama saya naik ke tempatnya jika Anda tidak keberatan."
"Tentu saja tidak," sahut Fatima. Jantungnya tiba-tiba mulai
berdetak lebih kencang. Apakah ini semacam penghinaan yang
disengaja oleh Kaniz? Apakah dia diminta naik seperti orang-orang
rendahan lainnya? Lalu Fatima mengenyahkan pikiran itu. Bukankah
tadi Neesa mengatakan Kaniz terjatuh? Dia sendiri tidak dalam
posisi untuk terlalu memedulikan hal-hal sepele. Lagi pula, Kaniz
mungkin masih menganggapnya sebagai si tukang cuci. Oleh karena
itu, di mata Kaniz, bukan persoalan jika Fatima diminta ke atas dan
bukannya Kaniz sendiri yang turun.
***
Kaniz sedang duduk dengan gugup di kamarnya. Dia menatap adiknya
yang duduk di sampingnya. Matanya menyiratkan kepanikan, dan
Sabra mengelus tangan kakaknya untuk menenangkannya.
Suara langkah kaki di luar ruangan membuat mereka menatap ke
arah pintu. Neesa mula-mula masuk, diikuti dari dekat oleh Fatima.
Sabra berdiri menyambut Fatima, sementara Kaniz menemukan
dirinya tak mampu bergerak.
Pemandangan musuh lamanya berdiri di muka pintu membawa kembali
kenangan mengenai pertemuan terakhir mereka dan Kaniz mengingat
kata-kata kejam Fatima dengan rasa sakit. Itu membuat otaknya
berdenyut-denyut. Senyum yang ditujukannya kepada Fatima lenyap
dan dia menemukan dirinya tengah menatap sepasang mata Fatima
dengan penuh kebencian.
"Ya, tentu saja. Tapi Anda tahu sendiri bagaimana anak-anak muda
ini."
"Ya, pasti. Katakan pada putrimu bahwa Khawar akan melamarnya
secara pribadi, lalu kita akan segera mengadakan upacara
pertunangan. Apakah kau senang dengan hal itu?" "Ya. Terima kasih,
Kaniz Sahiba."
Mereka bercakap-cakap lagi beberapa waktu, menjaga hanya
membicarakan hal-hal yang aman, seraya minum es jeruk limau.
Dengan hati bernyanyi riang, Fatima pergi-sebagai seorang
perempuan yang berbahagia. Pikirannya berdengung dengan gagasan-
gagasan mengenai persiapan pesta pernikahan yang akan datang.
***
Di ruang atas, kedua kakak beradik itu duduk dalam hening.
Sabralah yang pertama angkat bicara. "Apa yang kau pikirkan,
Sayang? Apakah barangkali kita memikirkan hal yang sama-bahwa
kau belum mengatakan apa pun pada Khawar mengenai ini?"
"Ya, Sabra Jee. Aku bertanya-tanya apakah yang akan ia katakan.
Apakah ia akan marah sekali, menurutmu?" Wajah Kaniz digurati
garis-garis kecemasan. Dengan gugup, dia menarik ujung
kerudungnya.
"Tidak, Kakakku Sayang, mengapa ia harus marah padamu?
Bagaimana mungkin ia berani? Lagi pula, kau melakukan semua ini
untuknya. Jika ia berani mengomel... aku akan berurusan dengannya!"
***
Wajah Khawar merah padam. Ia tak percaya apa yang telah
dilakukan oleh ibu dan bibinya. Lama sekali ia tetap berdiam diri
dengan kepala tertunduk dan tangan mendatar di atas meja makan.
Sabra telah mengatakan semuanya setelah ia selesai makan malam.
Kaniz sedang duduk di ruangan lain.
"Nah, kemenakanku sayang, kau pendiam sekali. Bukankah kau yang
selalu menginginkannya?" desak Sabra.
"Dia datang, berlutut, dan memohon maaf pada ibumu. Oh, itu
seperti sandiwara saja. Kau melewatkannya, Khawar. Kakakku
memaafkannya dan kini dia siap menerimanya di rumah ini sebagai
istrimu. Tahukah kau apa yang dikatakan ibumu? Dia bilang, Firdaus
adalah takdirmu dan dia memegang takdirmu di tangannya."
"Aku tahu. Ibuku tampaknya telah berubah," ujar pemuda itu seraya
berpikir. "Ya, jika ibuku memang amat menginginkannya, mengapa
aku harus menolaknya? Jika hatinya condong pada Firdaus,
tampaknya aku akan harus mulai memukul-mukul jantungku sendiri."
Khawar tertawa. "Untuk membangunkannya!" Ia menepuk-nepuk
dadanya dengan sebelah tangan.
"Hah. Jantungmu telah bangun sejak tadi," goda Sabra. "Apakah aku
ini kau kira? Semua ini hanya pura-pura."
"Tidak, Bibi. Aku tadi tak berpura-pura. Kemarahan membuatku
melupakannya. Aku masih marah padanya, tapi jika dia menginginkan
lamaran, kita akan lihat apa yang bisa kita lakukan."
Ada kilatan di mata Khawar yang tak tampak sebelumnya. Ia juga
tampak jauh lebih santai. Sabra merasa senang untuknya. Tepat
ketika Khawar akan beranjak pergi, Sabra menarik kepalanya ke
bawah dan mencium dahi serta pipinya.
"Kami tak akan membiarkanmu pergi hingga ada seorang pengantin
perempuan di rumah ini, Bibi," Khawar berjanji dan mencium pipi
Sabra sebagai balasan.
"Aku tak berniat pergi hingga saat itu tiba," ujar bibinya. "Tapi
sebaiknya kau cepat bergerak. Aku sudah berada di sini selama lebih
dari dua bulan. Keluargaku sendiri mulai gelisah kini. Oh, Khawar, aku
tak tahan menunggu saat pernikahanmu. Rumah ini akan kembali
berbahagia akhirnya."
"Bagaimana dengan Bibi Fatima?" tanya Khawar tiba-tiba.
"Oh, jangan cemaskan dia. Ibumu dan dia telah saling memahami. Kau
tidak akan lagi punya ganjalan. Aku berjanji kepadamu, Nak," kata
Sabra seraya membiarkannya pergi.
Sabra segera menemui kakaknya. Kaniz menatapnya penuh harap,
merasa gugup tiba-tiba.
"Semuanya baik-baik saja-ia akan melamarnya. Kau bisa santai."
Sabra tersenyum padanya, berusaha menenangkannya.
"Kau adik yang baik! Aku tak tahu apa yang bisa kulakukan tanpamu.
Apa yang ia katakan?" "Tidak usah cemas, Kak. Khawar sangat
bahagia dan ia ingin segera menikahi gadis itu."
"Oh, Sabra, aku amat bahagia!" Kaniz berdiri dan memeluk erat
adiknya. Mereka terus saling berpelukan selama beberapa waktu
lamanya. Tangis bahagia dan lega mengaliri pipi Kaniz.
"Terima kasih atas segalanya dan aku bersyukur kepada Allah
karena telah memberkahiku. Apakah kau tahu apa yang akan
kulakukan sebelum pesta pernikahan diadakan, Sabra? Aku akan
mengadakan acara syukuran besar-besaran dan mengundang seluruh
kaum perempuan di desa ini. Kita akan meminta Zarri Bano untuk
memimpin doa khusus."
"Aku tak tahu apakah dia masih tinggal di desa ini, Kakak. Kudengar
dia sendiri akan segera menikah. Apakah kau belum mendengarnya?
Dia akan menikahi suami almarhum adiknya. Aku tak pernah
melihatnya dari dekat, tapi mereka bilang dia cantik sekali."
"Tapi, Firdausku juga sangat menarik."
"Apakah dia tidak pendek dan hitam lagi?" goda Sabra pada
kakaknya seraya mengedipkan matanya.
"Jangan berani berkata begitu tentang dia! Dulu aku hanya ingin
melampiaskan kekesalanku. Warna kulitnya bagus. Kulitnya nyaris
seterang kulitmu atau kulitku, dan tingginya seukuran rata-rata
perempuan kebanyakan. Kalau ada orang yang mengejeknya begitu,
aku akan memotong lidahnya."
61.
"Kau gadis yang keras hati. Kukira aku telah menjelaskannya. Sekali
lagi kukatakan padamu. Tidak, aku akan menunjukkannya." Seraya
berkata, Khawar berpaling dan meraih tangan Firdaus. "Lihatlah aku,
Firdaus. Aku ingin kau menikahiku. Aku amat berhasrat padamu
karena aku mencintaimu. Kenyataannya keinginan ibuku adalah
sebuah bonus tambahan. Kini, apakah semuanya jelas?"
"Sangat jelas." Firdaus menarik tangannya dan bangkit. Mereka
belum menikah atau bertunangan. Tidak benar jika terlalu dekat
secara ragawi. Firdaus bergeser, membuat jarak di antara mereka.
"Apa yang akan kau lakukan dengan pekerjaanmu?" tanya Khawar. Ia
perlu tahu. Kebahagiaannya terletak pada jawaban Firdaus.
"Aku akan meninggalkan pekerjaanku di kota," jawab Firdaus segera.
Matanya menatap senang Khawar.
"Aku tak bisa membiarkanmu melakukannya. Aku tahu itu jawaban
yang baik buatmu," Khawar keberatan.
"Pekerjaan bukanlah segalanya, Khawar Sahib. Lagi pula, aku senang
kembali ke desa dan jika dewan pengelola sekolah desa memberiku
pekerjaan mengajar di sini, aku sudah cukup senang."
Khawar tertawa. "Pekerjaan sebagai kepala sekolah masih menjadi
milikmu. Yang sekarang menjabat hanya bersifat sementara. Desa ini
akan senang menerimamu kembali, gadisku."
Tiba-tiba saja Firdaus melihat Baba Siraj Din menuruni jalan dari
arah kawanan biri-biri miliknya. Pipi Firdaus menjadi hangat.
"Katakan pada ibumu, dia bisa mulai melakukan persiapan. Aku
menerimanya dengan senang hati. Hudah Hafiz! Aku harus pergi.
Baba Siraj Din ada di sini!" Firdaus dengan cepat menarik dupatta
ke atas kepalanya untuk menghormati orang tua itu. Ia tak pernah
melihat rambutnya terbuka dan terurai mengelilingi bahunya.
Dengan pipi merah padam, Firdaus lari, mengambil jalan kembali ke
arah desa.
62.
tapi aku masih berharap pada akhirnya ini akan menjadi pernikahan
sungguhan. Aku tidak menikahimu hanya demi Haris, tetapi untuk
diriku juga." Sikander ingin berkata lebih banyak pada Zarri Bano,
membuka pintu hatinya, tetapi ia tahu secara naluriah bahwa ini
bukanlah saat yang tepat. Sebuah gerakan yang salah, sebuah
langkah yang keliru darinya dan Zarri Bano pun akan meledak. Ia
tidak bisa mengambil risiko itu dan mengacaukan hubungannya
dengan Zarri Bano. Mereka berdua tadi telah bertengkar di kamar
lain.
"Zarri Bano, aku memiliki perasaan bahwa kau takut padaku," ujar
Sikander seraya menatapnya dengan ekspresi tenang di matanya.
"Kau takut pada kehadiranku, bukan? Jangan takut. Apa
sesungguhnya yang paling kau takutkan, Zarri Bano? Bahwa aku akan
menuntut hakku? Untuk menyempurnakan perkawinan kita?"
Sikander melihat pipi Zarri Bano memerah.
"Itukah yang paling kau takutkan? Aku amat mengenalmu untuk kau
ingkari, Zarri Bano. Kau harus belajar memercayaiku. Aku berjanji
sebelum kita menikah bahwa semuanya akan seperti yang kau
inginkan. Kaulah yang memegang kendali. Maka, kau tak perlu takut
pada kehadiranku. Perempuan yang kukenal lima tahun lalu tidak
takut padaku-pada apa pun. Aku tak meminta apa pun, Sayang, selain
persahabatan dan pertemanan. Yang tak kuinginkan
adalah kau bergegas menjauh dari sentuhan kecilku. Tampaknya kau
sungguh-sungguh melakukan tugasmu dengan baik, menjadi seorang
perempuan pakeeza yang sempurna, sehingga kau bahkan merasa
takut terhadap bayangan seorang lelaki. Namun, aku mengenalmu
dan pernah melihat seorang perempuan yang sangat bergairah di
dalam dirimu. Tapi cukuplah soal itu, aku tak akan berbicara tentang
masa lalu."
jelas, "Haris, apakah kau ingin aku menikahi ayahmu? Aku hanya akan
melakukannya jika kau menginginkannya."
"Ya, Bibi, ya!" bocah itu berkata seraya mengangguk-anggukkan
kepalanya penuh semangat dan duduk mendesak di sampingnya.
Lalu Zarri Bano mengikuti kata-kata imam dan akhirnya
menandatangani surat nikah. Ketika memegang pena, bersiap
mencoretkan tanda tangannya, Zarri Bano kembali menatap
Sikander. Kali ini matanya lebih dingin daripada
yang pernah ia lihat sebelumnya. Hati Sikander terpuruk dalam
kemasygulan. Dia tak bisa lebih jelas daripada itu melakukannya.
Sikander telah dihina-Zarri Bano berkata padanya dan para tetamu
bahwa dia melangsungkan upacara itu hanya karena kemenakannya.
Beberapa saat kemudian, ketika tangannya menyentuh tangan Zarri
Bano tanpa sengaja di meja makan, perempuan itu menampiknya
dengan tatapan panik. Meskipun kecewa, Sikander sadar bahwa
masa-masa sulit belum usai. Ia buru-buru menyingkirkan kecemasan
tiba-tiba yang terlintas di kepalanya: bagaimana jika dia tak akan
pernah berubah?
Dalam satu hari, ia telah mencapai banyak hal, tetapi masih harus
bersabar. "Aku harus mendapatkan rasa hormat dan
kepercayaannya," gumamnya. "Hormati keinginan dan hasratnya,
bahkan jika itu merupakan sebuah kutukan bagiku sekalipun. Bahkan
dia sudah harus melakukan kunjungan panjang ke Timur Jauh, hanya
sehari setelah pernikahan."
Di kamarnya, Zarri Bano memeluk tubuh mungil Haris ke tubuhnya.
Dia senang Sikander datang dan berbicara secara terbuka padanya.
Sikander telah mengusir beberapa rasa takutnya. Rasa takut
terbesar yang tidak bisa dienyahkan oleh Sikander adalah
ketakutannya pada dirinya sendiri. Rasa takut terhadap perempuan
binal yang penuh gairah dan penuh cinta yang telah dia kubur saat
mendengar pertunangan Sikander dengan Ruby. "Perempuan itu
sudah mati! Aku tak akan mati lagi untukmu, Sikander," jerit Zarri
Bano dalam tidurnya.
63.
ESOK HARINYA merupakan hari yang ramai bagi Zarri Bano ketika
dia harus menghabiskan waktu dengan para tetamu dan menyiapkan
perjalanannya ke Indonesia dan Malaysia. Hanya para anggota
keluarga dekat yang sadar bahwa dia akan pergi meninggalkan rumah
barunya selama sebulan hanya sehari setelah pernikahan
dilangsungkan. Apa yang mereka pikirkan mengenai rencana Zarri
Bano merupakan tebakan semua orang. Ibunda Sikander, Bilkis,
bersikap sangat sopan atas hal itu. Ayahnya, Raja Din, menerimanya
dengan tenang ketika putranya mendiskusikan hal itu dengannya saat
mereka menyantap makan Siang.
"Kau tahu, Ayah, Zarri Bano punya banyak komitmen. Dia tidak bisa
langsung meninggalkan semuanya walaupun kini telah menikah
denganku. Salah satu komitmennya adalah kunjungan kaum
perempuan Jamaah Muslim ke Indonesia dan Malaysia. Zarri Bano
telah membuat perencanaan mengenai hal ini sejak lama, sebelum
rencana pernikahan disepakati," jelas Sikander, berharap mereka
akan memahami tindakan istrinya dan tidak menghalang-halanginya.
"Tak apa-apa, Nak." Raja Din tersenyum menenangkan Zarri Bano
saat dia mendengarkan dan menyaksikan percakapan mereka dengan
berdiam diri. Raja Din menatap menantu barunya dengan bertanya-
tanya. Takdir adalah fenomena yang aneh. Takdir telah membawa
kembali perempuan yang telah membuat ia dan putranya jatuh hati.
Kini dia memang seorang perempuan yang berbeda, tentu saja, tapi
tetap merupakan kejutan yang menyenangkan memilikinya di sini, di
sisi putranya. "Semoga Allah mengabulkan segala keinginan Sikander
dan permohonanku untuk memiliki cucu lelaki lainnya," doanya.
tatapan matamu. Akankah nanti matamu melakukan apa yang tak bisa
dilakukan oleh tanganmu?"
Kehabisan kata-kata dan wajahnya yang kemerahan menjadi pucat
pasi, sebuah tatapan yang menyiratkan kebencian berkilat di mata
Sikander. Zarri Bano melihat tatapan itu dan tahu bahwa kali ini
dirinya telah kelewat batas. Jantungnya serasa hendak copot. Tiba-
tiba saja dia merasa telah kehilangan seorang kawan. Sikander
menatapnya dalam sekali.
"Kau mungkin seorang perempuan cantik yang menggairahkan, Zarri
Bano, tapi aku tidak seputus asa itu menuntut hakku sehingga harus
memerkosa istriku sendiri!" ia membentak Zarri Bano dari ujung
ruangan, melukai perempuan itu seperti perempuan itu melukainya.
"Juga tidak pada perempuan lain. Kau tak paham arti kata
memerkosa! Simpanlah kesucianmu yang beku itu untuk dirimu
sendiri." Sikander lalu menghambur keluar kamar itu dengan
membanting pintu.
Zarri Bano melemparkan gaun yang diminta Sikander dipakainya ke
arah pintu. Dupatta sifon bersulam berwarna ungu yang lebar itu
terhampar di lantai marmer. "Aku tak peduli jika ada orang yang
melangkah di atasnya!" teriaknya. Lalu dia pun menangis tersedu-
sedu.
"Ada apakah ini?" tanya Shahzada yang masuk ke kamar. "Mengapa
baju itu ada di lantai? Kau baik-baik saja?" Shahzada menunduk di
atas putrinya. Zarri Bano memalingkan wajahnya yang penuh air
mata pada ibunya, tak merasa perlu menyembunyikan keadaannya
yang berantakan.
"Ada apa, Anakku Sayang? Mengapa kau menangis?"
"Ibu, aku tak tahan dengan semua ini-dengan Sikander, dengan
perkawinan ini. Terutama dengan matanya.... Ibu, aku takut pada
matanya, dengan yang dilakukan mata itu padaku. Aku tak tahan!"
"Pada saat ini, aku berjuang untuk membuat detail kecil dan
perubahan dalam gaya hidupku masuk akal. Contohnya, aku berdebat
dengan diriku sendiri apakah aku sebaiknya mengenakan baju
berwarna gelap, seperti yang kulakukan lima tahun terakhir, atau
menukarnya dengan baju berwarna pastel dan warna-warna terang.
Tapi benakku menjauh dari itu semua. Hingga kini, aku pergi ke mana
pun dengan mengenakan burqa, merasa amat bahagia dan aman
mengenakannya, Ibu, sehingga tanpanya aku merasa telanjang dan
tak tentu arah, merasa amat sadar dengan tubuhku. Aku sudah lama
tak menyentuh peralatan rias, tapi kini aku harus merias wajahku
sebagai seorang pengantin baru dan untuk menyenangkan suamiku.
Aku merasakan semua ini menjijikkan. Aku tak memiliki keinginan
terhadap hal itu lagi. Tapi aku melakukan semua itu. Aku telah
berkompromi, tapi ada batas berapa banyak tekanan dan perubahan
yang bisa kutanggung, kecuali jika Ibu ingin aku berakhir di rumah
sakit jiwa."
"Jangan konyol!" kini Shahzada sungguh-sungguh merasa cemas. "Kau
berpikir yang terbaik menurutmu. Yang kuharapkan, sebagai seorang
ibu, adalah agar kau memiliki apa yang bisa kau miliki jika Jafar
tidak meninggal dunia. Kau dan Sikander menikah dengan bahagia
dan hidup sejahtera. Tak ada pasangan yang lebih cocok bagimu
selain Sikander, dan kau tahu itu. Ia adalah satu-satunya lelaki yang
membuat matamu berbinar-binar. Jangan lupa, kau telah diberi
kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Setidaknya biarlah
ada hal-hal baik yang lahir dari kematian adikmu," dia memohon
dengan lembut. "Jangan hancurkan sesuatu yang berharga, begitu
indah. Tidak ada banyak Sikander. Ia hanyalah satu di antara sejuta!
"Dan ia tidak seperti ayahmu," ujarnya tegas. "Habib adalah tiran,
tapi aku mencintainya. Aku berdamai dengan kediktatorannya dan ia
juga mencintaiku. Aku tak pernah mengatakan padamu sebelumnya,
tapi aku hidup dengan rasa
dan harga diri ayahmu tak bisa menerima penghinaan seperti itu. Ia
bahkan tak bisa mengatasinya, Sayangku."
"Ibu, aku tak percaya, hentikanlah."
"Aku juga tak percaya, Sayangku, hingga aku terkejut melihat raut
penuh kemenangan di wajahnya, langsung tertuju pada Sikander,
setelah upacara pengerudunganmu. Raut wajah itu menggetarkanku,
Zarri Bano." Dia bergidik. "Lelaki lain akan mengizinkanmu menikah,
tetapi entah bagaimana ia tak bisa mengizinkan Sikander
memilikimu. Pada akhirnya ia diyakinkan bahwa kau tak akan pernah
menikah. Kelak, seperti yang kau tahu, ia menyesali tindakannya. Ia
mati sebagai seorang lelaki yang bersusah hati, tak mampu
memaafkan diri sendiri karena menjadikanmu seorang Shahzadi
Ibadat. Dalam proses itu, ia mengasingkan aku dan aku menjadi sakit
hati. Jika ia membawa perempuan lain ke rumah saat itu, aku
mungkin bisa tak peduli. Ia bisa saja memelihara seorang harem dan
aku tak akan peduli sekedip mata pun. Oh ya, ia berhasil
mengurungmu di rumah, tapi akibatnya ia kehilangan aku. Sejak saat
itu, kami hidup sebagai sepasang orang asing hingga saat terakhir.
Dan aku tak bisa memaafkan diriku karena tidak bisa mengenyahkan
rasa sakit akibat beban rasa bersalah dalam jiwanya. Aku gagal
melakukan tugasku sebagai seorang istri.
"Kini yang kuminta darimu, Zarri Bano, hanyalah membiarkan sesuatu
yang positif muncul dari musibah yang telah melanda hidup kita
sejak Jafar meninggal dunia. Jangan sampai kau kehilangan suamimu
dan cintanya gara-gara kekeras-kepalaanmu! Kau adalah harta paling
berharga dalam hidup Sikander pada saat ini. Tapi harta yang
dicintai kehilangan nilai mereka jika mereka terbukti tak layak
dicintai. Jangan kehilangan kelayakanmu, Putriku. Jangan hanya
belajar menerima, tetapi juga belajarlah memberi. Hubungan
antarmanusia adalah soal memberi dan menerima. Ingatlah itu,
sebagai sebuah pengalaman hidup dari ibumu. Seperti yang
64.
WAJAH ZARRI Bano memucat saat dia berjalan keluar dari kamar
Sakina dan melihat suaminya berdiri di lorong hotel.
Bersandar santai di pintu kamarnya, Sikander menatapnya mendekat
dengan hati senang. Zarri Bano menatap ke segala arah, kecuali ke
arah Sikander. "Assalamu 'alaikum," salam Sikander dengan mata
berbinar-binar.
"Sedang apa kau di sini, Sikander Sahib?" tanya Zarri Bano sesak,
masih tak mampu memandang matanya.
"Aku tahu kau terkejut. Bukan cuma kau yang bisa mengunjungi
Malaysia, Zarri Bano, kau tahu. Aku juga bisa pergi ke sini," godanya
dengan suara penuh tawa. "Sini, biar kubantu," tawar Sikander saat
melihat Zarri Bano mencari-cari anak kunci.
Seraya membuka pintu lebar-lebar, Sikander membiarkan Zarri
Bano masuk lebih dulu dan kemudian baru mengikutinya. Melihat
berkeliling kamar itu dengan penuh rasa ingin tahu, ia lalu
meletakkan kopernya di atas salah satu dari dua ranjang yang ada di
kamar itu.
Zarri Bano terdiam tak pasti di tengah kamar, merasa kehadiran
suaminya amat mengancamnya. Dia berusaha keras untuk tersenyum,
tetapi yang keluar adalah sebuah seringai.
"Maafkan aku karena tak mengatakan padamu akan datang saat aku
meneleponmu kemarin," ujar Sikander lembut. "Aku ingin ini menjadi
sebuah kejutan. Aku ada urusan bisnis di sini. Juga aku memiliki
seorang istri cantik yang sedang menungguku," goda Sikander.
Zarri Bano dengan berdiam diri terus memandang Sikander.
Mulutnya kering. Lidahnya kelu.
Sikander memerhatikan kegelisahan Zarri Bano dan memutuskan
untuk bertindak. "Aku lapar, Zarri Bano. Bisakah kita cari makan
dulu?"
"Ya, tentu," Zarri Bano akhirnya bersuara. "Aku memang akan turun
untuk makan malam."
"Bagus, ayo kita pergi." Sikander mengulurkan tangannya pada Zarri
Bano dan melintasi ruangan. Zarri Bano menatap tangan itu, lalu pada
wajah Sikander. Sikap menantang dalam mata Sikander membuatnya
terpaksa meletakkan tangannya sendiri di tangan suaminya dengan
enggan.
Rengkuhan Sikander yang hangat terasa menenangkan saat ia
menggandengnya keluar kamar dan turun ke ruang makan. Sikander
baru melepaskan tangan Zarri Bano saat dia mendekati meja tempat
teman-temannya dari kelompok Jamaah Muslim lelaki dan perempuan
tengah duduk. Zarri Bano tersipu ketika dengan cepat
memperkenalkan Sikander sebagai suaminya dan kemudian duduk di
samping Sakina.
Sikander menatap Zarri Bano dari seberang meja dengan mata
berbinar-binar ketika mereka menyantap hidangan.
***
Beberapa saat kemudian di malam itu juga, Sikander, Zarri Bano,
dan Sakina bepergian bersama-sama, berkeliling Kota Kuala Lumpur.
Dari Pasar Jalan Petaling yang terkenal, mereka membeli
cenderamata untuk banyak orang. Zarri Bano merasa bahagia karena
Sikander membantu menawar barang-barang yang dibelinya.
bisa terjadi dan telah terjadi. Mereka memiliki seorang anak yang
manis sebagai bukti.
Zarri Bano teringat pada permintaan Sikander untuk menyiapkan
piyamanya dan membuka koper suaminya itu. Tangan Zarri Bano
menyentuh sesuatu yang hitam dan lembut di dasar koper itu. Dia
menarik kain sifon hitam dengan terkejut. Itu adalah pakaian hitam
yang dia pakai pertama kali saat bertemu Sikander di mela. Mengapa
benda itu ada di sini? Bagaimana Sikander bisa mendapatkannya?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkelebat di kepalanya.
Jemarinya mengelus bahan itu. Seraya menutup matanya, Zarri Bano
mencoba mengingat hari itu saat di pekan raya-dan pertemuan
dengan Sikander. Dia kembali merasakan sepasang mata Sikander
menjelajahi tubuhnya hari itu. Mengapa Sikander membawa benda
ini? Apa pentingnya baju ini baginya? Zarri Bano tiba-tiba merasa
tersentuh oleh pemujaan itu. Sikander pasti memiliki perasaan
khusus terhadapku, pikir Zarri Bano. Pasti, kalau tidak, mengapa ia
sampai bersusah payah mencari pakaian ini dan menyimpannya?
Ketika mendengar pancuran air di kamar mandi dimatikan, Zarri
Bano dengan cepat meletakkan kembali baju itu di dalam koper dan
mengeluarkan piyama Sikander. Zarri Bano lalu menggantungkan
piyama itu di luar pintu kamar mandi, tak berani masuk.
Ketika Sikander kembali, Zarri Bano telah berganti baju dan naik ke
ranjangnya. Sikander tersenyum pada Zarri Bano ketika ia
mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk.
"Apakah kau menyukainya?" tanyanya, tahu bahwa Zarri Bano akan
memahami apa yang dimaksudnya.
"Ya, bagus sekali. Apakah kau membawakan Ruby hadiah seperti itu
dan menulisinya dengan pesan semacam itu pula?" tanyanya sebelum
dia bisa tidur. Jawaban yang jujur dari Sikander amat penting
baginya.
menjadi perempuan yang sama lagi, Saudariku, karena kini ada orang
lain dalam kehidupanmu. Hidupmu oleh karenanya memiliki bentuk
dan cara pandang yang baru. Itu bisa tercapai. Jangan bergulat
dengan dirimu sendiri, Ukhti. Kau akan selalu menjadi seorang
Perempuan Suci sepertiku, tapi beri kesempatan pula pada dirimu
untuk menjadi seorang perempuan normal. Pasrahkan dirimu!"
"Kurasa aku telah melakukannya," bisik Zarri Bano, seraya mengingat
naluri tiba-tibanya untuk menyentuh Sikander semalam. Lalu
antiklimaks terjadi ketika Sikander berpaling darinya dan naik ke
ranjangnya. Kemudian rasa malu itu. Dia tak bisa tidur separuh
malam karena pikiran yang terus menggedor kepalanya: aku
menawarkan diri padanya dan ia menolakku.
"Apakah arti kepahitan di dalam nada suaramu, Zarri Bano? Aku bisa
merasakannya."
"Karena aku bergulat dengan perasaanku dan kedua identitasku,
Ukhti Sakina, dengan apa yang sesungguhnya terjadi dan dengan
hantu masa lalu. Di tengah itu semua adalah Sikander. Ia selalu
berada di sana, entah aku ingin atau tidak. Pada mulanya ia adalah
jodohku, lelaki yang amat ingin kunikahi. Kemudian ia menjadi adik
iparku, suami adikku tersayang, Ruby, dan ayah dari kemenakanku
tercinta, anak Ruby. Kini ia adalah suamiku.
"Awalnya akulah yang ingin menikahi lelaki ini. Lalu ayahku
menolaknya. Lalu aku kehilangan ia untuk adikku- dan kini akhirnya
aku memilikinya. Bagaimana mungkin aku mengubah-ubah perasaanku
tanpa membuatku menjadi sakit secara emosional karenanya?"
"Ya, aku paham, Zarri Bano. Kau telah menjelaskannya dengan baik.
Yang kukatakan hanyalah mengapa kau tak mencoba berkompromi?
Kau tahu, ketika melihat kalian berdua makan malam kemarin, aku
hampir saja merasa iri padamu. Kau memiliki sebuah hubungan
istimewa. Hargailah itu! Tapi pagi ini aku merasa seakan-akan tak
ada yang terjadi. Bahwa kau masih sesuci saat kau dilahirkan."
65.
***
Beranda besar berlantai marmer di hawali milik Chaudharani Kaniz
kini tampak berhias untaian lampu warna-warni yang berkerlap-
kerlip dan dipasang saling silang. Tidak satu meter pun lahan yang
tersisa. Jajaran lampu-lampu kuningan yang tinggi dan indah tegak
berdiri di jalanan di luarnya, menghiasi jalan masuk para tamu ke
dalam hawali. Grup musik khusus pesta pernikahan, yang nanti akan
memainkan nada-nada Skotlandia, berbaris di belakang lampu-lampu
itu, dengan antusias menanti kedatangan mempelai laki-laki dan
bharat untuk segera mulai memainkan musiknya.
Di dalam hawali, tamu-tamu pesta pernikahan itu berseliweran
dengan bebas keluar masuk seluruh ruangan. Untuk pertama kali
dalam hidupnya, Chaudharani Kaniz tidak mengasari siapa pun.
Sebaliknya, dia menyenangkan semua orang dengan mengundang
seluruh kerabat dari kedua belah pihak, baik darinya maupun dari
keluarga almarhum suaminya. Untuk semua itu, tidak sedikit pun dia
berhemat. Sebuah kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan,
sebagian besar dari tetamu yang hadir dengan bersemangat
menerima undangan sang Chaudharani untuk tiba seminggu
sebelumnya, agar bisa menikmati dan terlibat dalam keramaian
perayaan pesta itu. Lagi pula, itu adalah pesta pernikahan anak laki-
laki Kaniz satu-satunya. Tidak akan ada lagi pesta serupa di hawali
itu.
Kaniz tampak sibuk mondar-mandir di antara kerumunan orang dan
mengatasi stres yang ditimbulkannya dengan kebersahajaan,
merasakan semuanya dengan kebahagiaan. Dirinya sendiri yang
mengawasi mangkuk-mangkuk penuh oleh makanan yang disiapkan
tiga kali setiap harinya. Timnya terdiri atas enam orang koki yang
terus-menerus sibuk sepanjang minggu itu, hampir delapan belas jam
sehari. Persiapan untuk perayaan itu tampak sudah dilaksanakan dan
diawasi dengan saksama oleh Sabra, putrinya, dan Neesa.
Baba Siraj Din duduk kaku di ruang tamu yang luas di sebuah sofa
besar yang nyaman, di samping Khawar yang didandani dalam pakaian
resmi seorang mempelai laki-laki. Siraj Din dengan tidak sabar
mengetuk-ngetukkan tongkat gadingnya di atas karpet sutra sambil
menunggu upacara sehrahandi dan pemberian hadiah Khawar dimulai.
Mengenakan setelan yang sudah dikanji kaku, sebuah jubah hitam
panjang dan sebuah turban khusus di kepalanya, Siraj Din tampak
berpenampilan layaknya kepala suku di desa itu.
"Di manakah ibumu, Khawar?" tanya Siraj Din angkuh. "Semua orang
sudah ada di sini dan menunggu! Upacaranya harus segera dimulai,
Anakku."
"Dia pasti ada di suatu tempat di sini, Kakek, di dalam hawali. "
"Sabra, pergilah dan cari kakakmu! Aku tahu bahwa bharat j araknya
hanya dua ruas jalan dari sini, tetapi tetap saja kita harus berada di
sana. Para pemain musik sudah berdiri di luar lebih dari satu jam
lamanya. Udaranya cukup panas di sini. Kuda untuk mempelai laki-laki
mungkin bahkan sudah kelelahan, apalagi dengan semua hiasan di
atas tubuhnya."
"Ya, Baba Jee, aku akan pergi dan mencari Kaniz," Sabra
meyakinkannya, meninggalkan sekelompok perempuan yang sedang
ramai berbincang, yang sedang dilayaninya atas nama sang kakak.
***
Di lantai atas, di kamar tidurnya, Kaniz mengeluarkan sebuah kotak
besar, yang tutupnya dicat merah dan perak, dari lemari pakaiannya.
Sambil mengepit kotak itu, dia menuruni tangga menuju lantai satu
dan melangkah ke arah kamar Neesa. Kamar itu bertempat di ujung
terjauh hawali itu, di koridor jajaran gudang. Kaniz sangat jarang
mengunjungi bagian koridor ini. Dia tidak pernah merasa harus
melakukannya. Suaranya yang otoritatif bisa mengerjakan semua
pekerjaan itu untuknya. Hari ini langkah itu laksana sebuah ziarah
singkat.
menunjukkan padamu dan pada seluruh dunia, lewat gaun dan kalung
yang tak seberapa ini, betapa aku menyayangimu dan menghargai
seluruh waktu yang kau habiskan untuk mengabdi padaku dan pada
anakku.
"Kau sudah membesarkan Khawar dengan segenap kasih sayangmu
seolah ia anakmu sendiri. Hari ini adalah hari pernikahannya,
Sayangku. Aku sudah menghambur-hamburkan banyak hadiah untuk
orang-orang asing, pada para pengemis di jalanan, pada semua
perempuan dan gadis di desa ini. Jadi, tidak bolehkah aku
memberikan semua ini pada seseorang yang mempersembahkan
hampir tiga puluh tahun umurnya untuk kami dan yang menjadi
beruban karenanya? Ambillah pemberian kecil ini sebagai
penghargaanku, ayolah. Aku sudah mulai menganggapmu sebagai
seorang adik yang kusayang dan kucintai...."
Suara Kaniz menguap menjadi sebuah keheningan yang aneh. Kini dia
melakukan sesuatu yang tidak pernah terbayang akan dilakukan
olehnya seumur hidup. Dia mendekapkan kedua tangannya ke tubuh
Neesa, pelayan perempuannya. "Neesa, lihat tanganku. Kedua
tanganku ini terangkat dalam mafi padamu, bermohon padamu.
Maafkan aku atas semua kekejaman yang kulakukan di masa lalu
padamu. Aku tahu, aku adalah seorang perempuan yang sulit
dijadikan majikan. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Neesa! Rumah ini
sudah menjadi rumahmu sejak kau datang ke tempat ini sebagai
seorang remaja yatim piatu. Kau bahkan tidak menikah, hanya untuk
bisa tetap bersama kami. Hari ini kau akan mendampingiku,
berpakaian sepertiku, tidak sebagai pelayanku, tetapi sebagai adik
dan ibu kedua bagi Khawar, dan kau akan menerima para tetamu di
sampingku. Jadi tolonglah, Neesa, jangan menangis. Aku ingin agar
kau mengganti pakaianmu memakai gaun ini dan pakailah kalung ini."
"Tidak Nyonya, aku tidak bisa melakukannya," seru Neesa sambil
mundur satu langkah dan tercekat panik, sebelum akhirnya
anggota dari setiap keluarga, dan dari setiap kasta yang berbeda di
desa ini, semuanya diundang untuk mengikuti pesta bharat. Kau
sudah berhati mulia dengan tidak tega menyisakan siapa pun. Kau
memang benar-benar murah hati, Kakakku, menantang kami semua
untuk memutarbalikkan peraturan sosial yang ada di komunitas desa
ini."
"Ini hanyalah pesta pernikahan putraku, Sabra. Aku ingin semua
orang menikmatinya. Aku tidak akan mengadakan pesta lainnya lagi,"
jawab Kaniz singkat. "Aku ingin menjadikan ini sebagai satu-satunya
pesta yang akan dibicarakan dan dikenang selama puluhan tahun.
Selain itu, sebagai, seorang kepala sekolah, Firdausku akan
memasuki rumah ini. Dia patut mendapatkan penerimaan terbaik
yang bisa kita lakukan. Sekarang, cepatlah, Neesa, berpakaianlah,"
seru Kaniz dengan nada bangga dari balik bahunya, saat dia dan
adiknya meninggalkan pemondokan Neesa.
"Apakah kau sudah mendapatkan bundelan uang kertas lima
rupeean?" tanya Kaniz tiba-tiba, begitu dia mengingat anak-anak
desa itu. Bundelan uang kertas itu akan dibagikan di luar jalan,
mengiringi prosesi bharat. Kaniz tidak akan merendahkan derajat
putranya dengan menaburkan koin-koin atau uang kertas satu
rupeean. Tidak, harus lembaran uang kertas lima rupee yang masih
baru; dia sudah memerintahkan agar uang-uang itu dibundel dari
bank setempat, sejumlah ribuan rupee. Kaniz sendiri tersenyum
lebar. Suatu perasaan yang luar biasa bisa menyenangkan orang lain.
Lembaran uang-uang kertas itu melayang-layang di atas kepala
putranya dan segenap iring-iringan, dan akan dipunguti atau
disambar oleh jemari mungil anak-anak yang berebut penuh
semangat, memasukkan uang-uang itu ke dalam saku mereka.
"Lembaran uang lima rupee! Kau kini sudah keterlaluan, Kaniz,"
gerutu Sabra tak sepakat ketika mereka berjalan melintasi halaman.
66.
berharap cucuku sendiri Zarri Bano juga bahagia, di mana pun dia
berada bersama suaminya saat ini."
"Amin!" suara Shahzada antusias, sebias kecemasan muncul di kedua
matanya. "Andai saja mereka memang suami-istri!" ujarnya setengah
berbisik pada dirinya sendiri.
"Aba Jan, tadi malam aku bermimpi melihat seorang anak yang
rupawan di pangkuan Zarri Bano-tampangnya sangat mirip
dengannya. Kalau saja mimpiku itu menjadi kenyataan! Aku sedang
berpikir jika kini dia mau menetap, setidaknya di Karachi, tidak ada
lagi yang tersisa bagiku di khoti di kota. Fatima juga akan
meninggalkan kita, kembali ke Chiragpur dan merawat Fiaz. Karena
itu aku penasaran, apakah kau menginginkanku datang dan tinggal di
desa ini, di hawali bersamamu? Aku senang sekali di sini, lebih dari
tinggal di kota. Jika di sini, aku juga bisa sekaligus menjagamu di
hari-hari terakhir hidupmu. Selain itu, Fatima, sahabatku, juga ada
di sini dan aku bisa bertemu dengannya setiap hari...."
Shahzada terdiam, dia melihat mata ayah mertuanya yang hijau itu
berkilauan air mata. "Aba Jan?" tanyanya cemas.
"Shahzada, menantuku yang paling kusayang. Kau sudah membuatku
sangat bahagia! Tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa lebih
menyenangkanku daripada mendapatimu kembali di hawali. Tempat
itu tidak pernah sama lagi rasanya sejak kau pergi meninggalkan
desa ini, dan ibu mertuamu, Zulaikha, wafat. Dengan kau di sini,
tempat ini akan hidup kembali. Orang-orang akan mendatangi
rumahku dan menemanimu. Zarri Bano akan datang dan insya
Allah membawa serta anaknya. Dia juga akan tinggal di hawali. Lagi
pula, anaknyalah yang menjadi ahli warisnya dan mewarisi sebagian
besar tanah ini, Shahzada sayang.
"Jika ini semua terwujud di hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan,
dan tahun-tahun terakhirku, ini akan menjadi karunia Allah yang
sesungguhnya. Terima kasih, Shahzada sayangku. Kau menempati
67.
68.
MATA ZARRI Bano tertuju pada seekor kupu-kupu Raja Brook yang
terbang melayang dan hinggap di atas seonggok semak kecil di
depannya. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya dan juga apa
yang dirasakannya. Dia takut bersuara. Takut merasa.
Sambil melihat ke arah kepala Zarri yang tertunduk, Sikander
menunggu. Lalu, "Zarri Bano, apakah kau pernah mencintaiku?"
tanyanya, memecahkan keheningan memilukan yang menyelimuti
mereka. "Aku sudah menelanjangi jiwaku di hadapanmu, tetapi aku
tidak tahu apakah aku sempat menangkap hati perempuan yang
membiusku lewat sebuah pandangan di mela dahulu. Kau memang
sepakat untuk menikah denganku pada akhirnya-tetapi aku tidak
tahu atas dasar apa kau menyepakatinya. Katakan padaku! Lihatlah
mataku, Zarri Bano!" desak Sikander dengan suara yang bergetar
karena luka dan rindu.
Akhirnya, Zarri Bano memalingkan matanya dari kupu-kupu hijau dan
biru yang besar itu dan menatap nanar Sikander, membiarkannya
melihat isi batinnya yang sedang bergelut dengan kekuatan-kekuatan
menyakitkan dalam dirinya.
"Kau bertanya apakah aku pernah mencintaimu, Sikander?" ujarnya
dengan suara bergetar. "Aku sudah mati untukmu, Sikander, ribuan
kali. Kau memusnahkanku! Di hari aku mengetahui bahwa kau akan
menikahi adikku, aku meratap dan memohon pada Allah Yang
Mahakuasa untuk membantuku! Untuk menghilangkan dari dalam
diriku kau dan rasa sakit yang kau tambatkan. Kau adalah ular
berbisa yang sudah memangsa kepolosanku. Sementara aku duduk di
atas sajadah memohon pada Allah agar mencekik dan mengubur
perempuan yang, meski ditutup rapat oleh jubah pengabdiannya,
masih saja mencintaimu dengan sepenuh hati. Masih saja
mendambamu! Aku harus membunuh perempuan yang berdarah-
darah untukmu itu. Jika tidak, aku akan binasa. Allah Yang
"Kau tidak adil pada kami, Sikander," balas Zarri Bano dengan nada
sedih. "Ia sudah menikah sekarang. Ia menikahi Selima begitu ia
kembali ke Mesir. Mungkinkah kita bisa mengunjungi mereka suatu
saat?"
"Mungkin," tukas Sikander. Ia tahu bahwa hal itu adalah hal terakhir
yang ingin dilakukannya. Ia tidak akan pernah bisa menahan diri
memikirkan laki-laki mana pun menginginkan Zarri Banonya seperti
dirinya.
"Tidak ada laki-laki yang berarti untukku, tidak dia, tidak juga kau,
Sikander," jelas Zarri Bano.
"Dan sekarang?" desaknya, setelah hening beberapa saat dan dengan
suaranya yang tersengal. Sikander ketakutan mendengar jawaban
Zarri.
Mata Zarri Bano mengelana jauh dari Sikander. "Maafkan aku,
Sikander. Aku begitu takut! Takut padamu-takut akan apa yang kau
bangkitkan dalam diriku. Aku juga takut pada diriku sendiri, pada
perempuan yang terkubur di dalam diriku. Jangan memintaku untuk
jatuh cinta padamu lagi, Sikander. Aku tidak mampu menanganinya.
Aku sudah menderita terlalu berat...," dia mendongak memandang
suaminya, "... bahwa aku sungguh-sungguh percaya kalau aku secara
emosional sekarang sudah hancur. Aku tidak tahu apakah aku mampu
membuat lompatan besar yang kau mintakan padaku itu." Matanya
bercahaya bak permata, sekali lagi air matanya menggenang.
Hati Sikander terlonjak mendengar luka hati istrinya dan
menginginkan pemahaman. Sambil menggenggam tangan Zarri Bano
dan mendekapnya di dadanya, ia berkata, "Pengantinku yang cantik,
Perempuan Suciku." Suaranya yang tulus menggapai Zarri Bano. "Kau
tidak hancur secara emosional. Tidak ada lagi yang harus ditakutkan,
Sayangku. Kau tidak akan menderita bersamaku, kau juga tidak akan
mati lagi untukku. Tidak ada seorang pun yang pantas begitu. Dengan
keagungan Allah, aku akan selalu mendampingimu, selalu.
dari apa yang selalu ada di antara kita. Kau tak bisa melakukannya!
Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya! Jangan perangi apa
yang kita berdua tidak sanggup lakukan. Dulu kau membiarkan
ayahmu mengambil keputusan atas dirimu. Kali ini, kau yang harus
memutuskan, Zarri Bano."
Sikander terdiam. Wajahnya memucat begitu ia sampai di titik
persimpangan dalam benak dan dalam hidupnya. Hatinya luruh karena
ia tahu dengan jelas apa yang harus dilakukannya. Ia tidak memiliki
pilihan lain-taruhannya sangat tinggi, tetapi ia ingin melakukannya.
Karena ia tidak punya jalan lain. "Kau harus memutuskan," lanjutnya,
"apakah kita akan terus melanjutkan pernikahan ini, atau...."
"Atau?" desak Zarri Bano sambil menahan napasnya.
"Atau...." Dia tidak akan pernah tahu betapa riskannya Sikander
mengatakan kata-kata ini. "Atau aku melepasmu pergi! Kau
mengancam akan keluar dari pernikahan ini setelah satu tahun. Aku
membebaskanmu untuk keluar dari pernikahan ini sekarang juga. Kau
menikahiku di bawah tekanan, demi Haris. Kau hanya boleh tetap
dalam pernikahan ini atas kehendakmu sendiri. Jika
menginginkannya, kau bisa kembali sepenuhnya ke dalam kehidupan
ibadahmu, jika itu semua lebih berarti bagimu daripada pernikahan
kita atau daripada diriku. Karena kau tahu, aku tidak akan bisa
mendapatkan jalan lain, Zarri Bano."
Zarri Bano menatap nanar wajah tegang Sikander, tak bisa
memercayai apa yang didengarnya. Ia membebaskan dirinya pergi!
Sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, dia meletakkan
kepalanya di atas kedua lututnya yang tertekuk. Lalu dia
menyilangkan tangannya di depannya, menutupi mata dan wajahnya
dari Sikander.
Aku membenamkannya! Sikander memarahi dirinya sendiri, sambil
menunduk memandangi kepala yang tertunduk itu. Ia lalu
memutuskan untuk melangkah menjauh.
"Apa pun yang kau inginkan," jawab Zarri Bano lirih sambil
mendongak menatap Sikander dengan segenap isi hati terpancar di
kedua bola matanya itu.
"Tidak, Zarri Bano! Kau yang memutuskan. Bola itu ada di
lapanganmu, seperti seharusnya," ujarnya pada sang istri, dengan
wajah yang begitu takzim.
"Kalau begitu," ujar Zarri Bano, matanya berkilauan oleh kejujuran
dan keterbukaan, Zarri Bano akhirnya berdamai dengan dirinya
sendiri. "Aku lebih suka kembali ke hotel."
Tidak ada semburat kemenangan yang disembunyikan di mata
Sikander yang bercahaya oleh rasa bahagia mendengar jawaban
istrinya. Ia memandangi rambut Zarri Bano yang ikal mayang, di
mana jemarinya menikmati mengelus-elus dan mencengkeram
kelembutannya. "Aku akan mengambil burqa-mu. Kalau tidak, si
tukang sadap karet Melayu itu akan bertanya-tanya apa yang sudah
terjadi di dalam hutan rimba ini," guraunya.
Zarri Bano tertawa. Suara tawa yang alami dan jernih mengalun di
udara di sekitar mereka.
Sikander berpaling ke arah pohon untuk mengambil burqa milik
Zarri. "Lagi pula," lanjutnya nakal, "kita tidak ingin mengejutkannya,
bukan?"
Dalam keheningan yang damai, pasangan itu menyelusuri kembali
tapak-tapak mereka melintasi hutan dan kebun karet, lalu menuruni
bukit kembali ke taksi mereka yang sudah menunggu.
Dalam perjalanan pulang, Zarri Bano kembali melayangkan
pandangannya menikmati panorama yang luar biasa itu, pemandangan
yang diberkahi dengan keindahan alami. Dia mendekatkan tubuhnya
ke arah Sikander dan meletakkan tangannya di atas tangan laki-laki
itu. Jemari Sikander mencengkeram kuat, wajahnya menyeruakkan
sebuah senyuman yang hanya dipersembahkan untuk istrinya itu.
Zarri Bano membalas senyumannya. Tidak ada lagi yang harus
Istilah Khusus
Aba Jan, panggilan takzim kepada ayah; aba berarti ayah, sedangkan
jan ditambahkan sebagai penanda ketakziman. Badmash, niat buruk,
sering digunakan untuk menggambarkan laki-laki yang mempunyai
niat buruk terhadap
perempuan. Baji Jan, kakak perempuan.
Burqa, jilbab panjang yang menutupi seluruh tubuh; ada yang
menutupi muka, ada yang tidak. Zarri Bano
menggunakannya tanpa tutup muka. Buzurg, panggilan takzim kepada
lelaki yang lebih tua.
Chador, sal yang lebar, terbuat dari pelbagai bahan; yang paling
sering dipakai adalah yang terbuat dari bahan linen,
katun, dan wol. Digunakan perempuan untuk menutup kepala hingga
ke bahu. Chaie, minuman yang terbuat dari campuran teh dan susu.
Chapatti, roti rata-pipih khas India.
Chaprassi, tangan kanan. Seorang pegawai yang menjaga tanah dan
kekayaan majikannya. Charail, tukang tenung (istilah yang
berkonotasi merendahkan).
Munshi, tangan kanan tuan tanah, yang mengelola bisnis dan tanah
tuannya.
Nafi, shalat sunnah (jamak: shalat nawafi); biasanya dilakukan
sebagai tanda syukur atas kabar gembira yang diterima seseorang.
Nathu pethu, lelaki pada umumnya (dengan nada yang agak
merendahkan). Paisa, koin; uang recehan terkecil. Pakeeza, murni.
Paratha, chapatti goreng, dibuat dari mentega. Pathasay, gula
berbentuk bulat, biasanya ada di pedesaan. Perandah, sejenis wig;
untuk memanjangkan rambut perempuan. Phutley, boneka yang
dimainkan dalam pertunjukan drama. Pingra, sangkar burung.
Ressmeh, kebiasaan atau ritual.
Rishta, orang yang menggandeng tangan mempelai perempuan dalam
acara pernikahan. Sahib, istilah untuk lelaki, terutama dari kalangan
sosial yang tinggi. Sath sumundarphar, tujuan lautan.
Segan, persembahan bagi mempelai perempuan/lelaki; sering berupa
uang. Shabz tea, teh khas Pakistan, berwarna pink.
Shahzadi Ibadat, perempuan suci, zahidah; perempuan yang
mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Tuhan;
semacam biarawati. Istilah ini sendiri tidak dikenal di masyarakat
yang sebenarnya. Sengaja saya ciptakan sendiri istilah ini untuk
menggambarkan upaya si ayah untuk memingit putrinya.
Shalwar kameze, pakaian resmi Pakistan, terdiri dari tunik panjang
dan shalwar, dengan celana baggy.
Shan, penghormatan personal, kedudukan sosial, dan kehormatan.
Skoon, damai, tenang.
Tabla, drum bulat khas alat musik India/Pakistan.
Takkia, bantal besar, yang biasa digunakan di tempat tidur atau di
lantai.
Tandoor, oven besar terbuat dari tanah, biasa digunakan untuk
membuat chapatti di pedesaan.
Thola, ukuran gram emas di Pakistan.
Topee, topi.
Zemindar, pemilik tanah, tuan tanah.