Anda di halaman 1dari 599

http://inzomnia.wapka.

mobi

PEREMPUAN SUCI

Diterjemahkan dari The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz

Penerjemah: Anton Kurnia & Atta Verin Penyunting: Salahuddien Gz

Penerbit: Qanita Edisi Baru (Gold Edition) Cetakan I, Januari 2012

Untuk anak-anak saya: Farakh Shuyab, Gulraiz Sarfaraz, Shahrukh


Raees, dan kemenakan tercinta, Raees Hamza

Ucapan Terima Kasih

TERIMA KASIH banyak kepada Joan Deitch dan John Shaw untuk
kerja keras mereka.
Terima kasih saya untuk semua sahabat dan rekan sejawat: Profesor
Akbar S. Ahmed, Sajida Ahmed, Maulana Qamaruzzaman Azmi,
Amanda Challis, Lizbeth Cheatle, Ann Gibson, Dr. Afshan Khawaja,
Shahed Saduallah, Jamil Dehlavi, Julie Northey, Maulana Habibur
Rahman, Lynda Robinson, Richard Seidel, dan Masarat Shafi.
Saya juga ingin berterima kasih pada Ken Ashberry, John O'Brien,
Andrew Brown, Glenda Cox, Bel Crompton, Carl Delaney, George
Hastings, Patricia Kushnick, Samima Ahmed, Marie Froggatt, Nita
Patel, Carl Ryan, Jane Sladen, Habidah Usman, Ann Vause,
Madeleine Bedford, dan Merillie Vaughan Huxley.
Terima kasih pula untuk Colin Muir, Lavinia Murray, Peter Ridsdale
Scott, Susie Smith, Lucy Scher, Sherry Ashworth, Elizabeth
Baines, Cathy Bolton, Beverly Hughesdan, Pete Kalu, Jennifer

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Whitelaw, Qassim Afzal, Huma, Ali Azeem, Neil Broady, Khalid


Hussain, Wakil Konsul Jamil Ahmad Khan, Raza Khan, Keelin Watson,
Bridgette O'Connor, Asad Zaman, dan Angharad Jackson.
Secara khusus saya ingin berterima kasih pada Lord Nazir Ahmed
dari Rotherham, Iftikhar Qaiser, Zahoor Niazi, Elizabeth Wright,
Dr. Musharaf Hussain, Faisal Munir Khan, Saba dan Aamer Naeem,
Asad, Mohsan dan Sherry Qureshi, Maqsood Ellahie Sheikh, Dr.
Sidra Hasan, Bashir Mann, Mohamed Sarwar MP, Habib Ullah,
Ghulam Rabbani MBE, Tahir Inam Sheikh, Yacub Nizami, Naveed
Aziz, Bailie Muhammad Shoaib JP, Nisar Naqvi, Baldev Mavi,
Rafaqat Hussain, dan Nazia Khalid.
Di Pakistan rasa terima kasih saya persembahkan kepada paman
saya, Mohamed Ashraf, dan putranya, Ejaz Ashraf; Muhammad
Iqbal, dan Khalid Mahmood.
Terima kasih tak terhingga saya sampaikan pada suami saya, Saeed
Ahmad; orangtua saya, Mohamed Aslam dan Amina Akhtar; saudara-
saudara lelaki saya dan para istri mereka—Dr. Suhail Abbas, Dr.
Zulfiqar Babar, Dr. Waqar Aslam, Sajida Parveen, dan Dr. Naushene
Sara; serta saudara perempuan saya, Farah Shahnaz, atas dukungan
mereka yang tiada habisnya.

Bagian Pertama

Bagaimana aku bisa tersesat dari tamanku, Dan bagaimana aku


terjebak dalam pusaran badai, aku pun tak tahu.
—Muhammad Iqbal (1873-1938)

Prolog

DI PROVINSI SINDU, di daerah perbatasan sebuah kota kecil,


sebuah mela tampak sedang ramai-ramainya. Di tengah lapangan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berdebu, pekan raya tahunan itu menarik para lelaki dari desa-desa
di sekitarnya untuk mengudap makanan ringan panas dan dingin,
menikmati suasana dan menonton keunikan para badut, pelawak, dan
para penghibur lainnya.
Berkeliling di keempat provinsi di Pakistan, para pelakon itu
mempertontonkan keterampilan khusus dan jiwa seni mereka kepada
para penduduk Desa Sindu. Sontak terdengar tepukan tangan, derai
tawa, dan siulan keras para pemuda yang merupakan keriangan dan
pengharapan pada suatu siang di musim panas yang terik.
Membentuk sebuah kerumunan yang lingkarannya makin membesar,
mereka tampak sedang menyoraki sang badut—seorang pemuda
cekatan yang mampu mempertahankan tiga buah bola berlompatan
sekaligus di udara.
Di dekat lingkaran berdebu itu berdiri seorang lelaki tua bertubuh
kurus tetapi tampak kuat, dengan topi berhiaskan kaca di atas
kepalanya, mencengkeram tali yang mengikat seekor monyet. Para
penonton bersorak ribut ketika binatang yang didandani sehelai rok
mungil berempel dan sebuah topi berwarna merah itu mulai menari-
nari dan menggerak-gerakkan tubuh kecilnya di atas sebuah tilam
rami. Si pemilik monyet menyunggingkan seulas senyum ompong pada
para penontonnya, lalu mulai memainkan sebuah tabla dengan dua
tongkat ramping, mendorong binatang itu melakukan serangkaian
aksi jungkir balik yang lucu mengelilingi kerumunan. Gerombolan
lelaki yang tengah bersorak-sorai buru-buru melangkah mundur
untuk memberi jalan kepada monyet itu.
Dari kejauhan, sebuah jip Shogun hitam bermuatan dua orang lelaki
melaju sepanjang jalanan berdebu. Jip itu berhenti di dekat mela.
Sopirnya, seorang lelaki jangkung berumur awal tiga puluhan, turun
dari kendaraan itu dan menutup pintu di belakangnya, kemudian
bersandar pada jip itu dan merentangkan kakinya yang panjang.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Seraya membuka kacamata hitamnya, dia mengamati pemandangan di


depannya dengan penuh perhatian. Seulas senyum pun tersirat di
wajahnya mengikuti keunikan aksi sang monyet di lingkaran terbuka.
Tak lama kemudian, merasa bosan dengan pertunjukan itu,
tatapannya mengembara melintasi kerumunan dan tertambat pada
seekor kuda yang diikatkan pada sebatang pohon. Dekat kuda itu, di
bawah naungan payung hijau lebar pohon itu, berdiri seorang
perempuan. Sepasang mata orang asing itu terhenti pada
pemandangan tersebut.
Mengenakan sebuah shalwar kameze hitam yang indah, sehelai
dupatta sifon yang serasi melingkari bahu dan rambutnya, seakan-
akan membingkai wajah perempuan itu yang memang amat cantik.
Monyet itu kini bergerak penuh semangat, menari-nari liar mengikuti
irama gendang. Kini sepasang tangan perempuan di bawah pohon itu
pun teracung ikut bertepuk tangan. Angin hangat musim panas
mencetak bahan lembut kameze-nya mengikuti bentuk tubuhnya
yang ramping dan menyingkap dupatta itu dari kepalanya,
membuatnya jatuh membentuk lipatan anggun di sekeliling bahunya.
Perempuan itu tidak membuat gerakan untuk membetulkannya,
mengabaikan kesepakatan umum bagi para perempuan untuk
menutupi kepalanya di tempat umum di tengah sekelompok lelaki.
Tak ada perempuan lain yang hadir dalam mela itu, selain tiga orang
perempuan tua, karena tidak biasa dan tidak bisa diterima oleh
umum apabila para perempuan muda bergabung secara terbuka
dalam sebuah kegiatan yang dilakukan seluruhnya oleh kaum lelaki.
Si orang asing merasa penasaran sekaligus senang melihat
pembangkangan terang-terangan yang ditunjukkan perempuan itu.
Mulutnya membentuk senyum lebar saat dia memerhatikan
perempuan itu masih juga tidak membuat upaya untuk menutup
rambutnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Saat dia memerhatikan hal itu, seorang pemuda menghampiri


perempuan itu dan melepaskan ikatan kuda dari pohon. Sepasang
mata kelabu orang asing itu pun melebar; tiba-tiba saja dia tampak
begitu tegang. Kebekuan yang mencekam merasuki tubuhnya ketika
dia mengamati wajah pemuda itu—yang ternyata nyaris seperti
replika wajah si perempuan.
Senyuman kini menghunjam pada matanya. Dia berdiri tegak.
Di bawah pohon, adik lelaki Zarri Bano, Jafar, berdiri di depan
perempuan itu dan berbisik ke telinganya. Jafar berbalik untuk
menghadap kerumunan orang, seketika pandangan sekilas lelaki itu
menyapu mereka. Wajah Jafar berseri-seri. Seraya tersenyum, dia
melambaikan tangannya.
"Para tetamu yang kita tunggu-tunggu dari Karachi telah tiba!"
Jafar memberi tahu kakak perempuannya dengan bersemangat,
kemudian raut wajahnya melunak. "Kakak tersayang, aku harap kau
dapat memastikan kerudungmu tetap terpasang dengan benar di
kepalamu saat kau berada di tempat umum," ia menegur lembut
kakak perempuannya itu. "Lihat rambutmu! Tidak pernahkah kau
merapikannya? Acak-acakan! Tidak baik seorang perempuan terlihat
seperti ini. Kaum lelaki, khususnya para lelaki Badmash, akan
memelototi para perempuan secantik dirimu. Kau terlihat begitu
binal! Ini menciptakan kesan buruk. Tidak hanya tentangmu, tetapi
juga tentang kita dan ayah kita. Hanya perempuan-perempuan nakal
yang melakukan hal seperti itu." Dia tampak sangat menyadari
keberadaan si orang asing dan berpasang mata yang menjelajah liar.
"Kau sudah selesai bicara, Jafar sayang?" goda Zarri Bano dengan
nada suara menguasai. Pipi perempuan itu merona, "Aku tidak mau
dikuliahi oleh adik bayiku. Memangnya kenapa jika dupatta-ku luruh
selama beberapa detik? Apakah kau tidak pernah melihat rambut
sebelumnya?"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku tidak ingin berdebat di sini, Baji Jan. Sebaiknya kau segera
pulang. Ia sudah telanjur melihatmu dan ini tidak benar. Ini tidak
baik bagi izzat kita." Keinginan Jafar untuk segera mengawal kakak
perempuannya itu keluar dari pandangan umum sangat kuat.
Jafar menoleh kembali pada lelaki itu dan melambaikan tangannya
lagi memberi tanda. Dia tampak tegang karena kakak perempuannya
berdiri di sampingnya dengan kerudung terbuka. Si orang asing itu
menganggukkan kepalanya ke arah mereka untuk memberi salam.
Anak-anak rambut yang hitam tebal jatuh di atas dahinya, tampak
berkilau
terkena cahaya matahari. Dia mengangkat tangannya untuk
membalas salam itu, seulas senyum masih saja menghias bibirnya,
tetapi matanya kini terpaku hanya pada Zarri Bano.
Zarri Bano merasakan tekanan dari sorot mata si orang asing dan
terhanyut dibuatnya. Dia memerhatikan kedua lelaki yang saling
bertukar salam itu dengan gundah—kedua bola matanya melebar.
"Oh, tidak! Mungkinkah itu dia?" Zarri Bano menggumam gelisah. Dia
berada di tempat yang salah, waktu yang salah, dan dilihat oleh
orang-orang yang salah. Jantungnya berdegup kencang
mengantisipasi keadaan yang mengerikan. Seraya melirik sekilas ke
arah sosok lelaki itu, dia pun memberi tanda memanggil pada
sopirnya.
"Aku siap pulang, Nalu. Bisakah kau membawa mobilnya memutar sisi
sebelah sini. Di sana terlalu banyak lelaki." Kata-kata itu mengalir
begitu saja.
"Baik, Sahiba muda."
Dia menunggu mobil itu mendekat dan tetap memunggungi si orang
asing saat memasuki mobil. Dia hanya memandang ke luar jendela
saat mobilnya melewati jip lelaki itu. Malangnya, matanya segera
saja berserobok pandang dengan mata lelaki itu. Zarri Bano tersipu,
segera dia menunduk ketika mobilnya mulai melaju.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Setelah memberi arahan pada kedua tamunya untuk membuntutinya,


Jafar meraih kudanya. Dia melecut kudanya hingga ke bagian depan
jip Shogun, lalu memimpin rombongan itu melintasi pasar kota hingga
perbatasan dan mencapai vila keluarganya di Tanda Adam.
Lelaki yang lebih tua, Raja Din, duduk di samping putranya di kursi
penumpang, memandangi punggung si pemuda berkuda putih di
depannya.
"Nah, jika pemuda itu adalah si adik, Sikander, kita dapat
menyimpulkan bahwa kakak perempuannya akan sangat menarik
juga," ujar lelaki itu.
"Ayah, dia memang sangat menarik," balas Sikander dengan suara
perlahan. Dia mengingat wajah perempuan itu dengan sangat jelas.
"Apa maksudmu? Apakah kau sudah melihatnya?" tukas Raja Din
sambil menatapnya tajam. "Tidak, aku hanya menerka," Sikander
berdusta.
"Baiklah. Jangan lupa, Anakku, mereka memiliki dua orang anak
perempuan—dan yang tertualah yang kita incar. Kita tidak boleh
mendapatkan gadis yang salah! Kau tahu, kadang-kadang hal ini
terjadi. Orang mengincar seorang calon dan malah berjodoh dengan
yang lain."
Sikander melirik ke arah ayahnya, senyumnya sejenak tersungging di
wajahnya. "Tentu saja," sahutnya. Apakah perempuan itu anak
perempuan tertua atau yang lebih muda? Dia bertanya-tanya dalam
hati sambil sedikit mengerutkan kening. Perempuan itu sangat
cantik—sebuah kejutan yang menyenangkan. Ironisnya, apakah
perempuan itu menyadari siapa dirinya?
Jodohnya.
Dia harus menjadi jodohnya! "Dengan cara apa pun, aku akan memiliki
perempuan ini," Sikander berikrar dalam diam, seraya menepukkan
tangannya pada kemudi mobil.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Saat melihat mobil di depan mereka lenyap dalam awan debu,


Sikander Din merasakan suatu perasaan yang aneh bahwa dalam
beberapa saat terakhir, hidupnya tiba-tiba saja terjalin dengan
perempuan cantik berbaju hitam itu untuk selamanya.

1.

ADA SEBUAH kesibukan mendadak di vila itu. Setelah


memperingatkan semua orang bahwa para tamu mereka dari Karachi
yang telah ditunggu-tunggu akan segera tiba, Zarri Bano langsung
bergegas naik tangga ke kamar tidurnya, melangkahi dua anak
tangga sekaligus, dan dengan cepat berganti pakaian. Kali ini dia
menggunakan setelan warna merah jambu. Adik perempuannya, Ruby,
masuk ke kamar dan memelototi Zarri mulai dari kepala hingga kaki
dengan tatapan menggoda.
"Kau berganti baju! Kau akan segera turun dan menghadapi para
tetamu! Aku tak percaya," ujarnya berpura-pura terpana. "Biasanya
kau bahkan tidak bersedia menemui para lelaki yang dijodohkan
denganmu atau orangtuanya. Lelaki ini pasti sangat istimewa sampai-
sampai malika-ku, ratu semua kakak, berusaha ganti baju segala."
Sepasang mata Ruby bergerak-gerak lincah memandangi tubuh
ramping kakaknya.
"Ah, ayolah Ruby. Aku habis mendatangi mela bersama Jafar. Aku
merasa gerah dan berkeringat sehingga memutuskan untuk berganti
pakaian. Siapa bilang aku benar-benar akan turun untuk
menemuinya? Dia sudah kurang ajar dengan datang secara pribadi
dan bahkan tidak mau mengirimkan foto dirinya terlebih dahulu."
Zarri Bano mengomeli adiknya di depan cermin seraya membenahi
sejumput rambut ikal dan memasangkan jepit-jepit di rambutnya
agar menjadi gelungan yang menarik di bagian atas kepalanya. Dia
pun membiarkan beberapa anak rambut berulir menyelinap keluar di

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sekitar telinganya. Dia merasa tertarik karena si orang asing telah


melihatnya dan mungkin mengetahui siapa dirinya. Lelaki itu telah
menangkap basah dirinya pada sebuah ketidakberuntungan.
"Jadi, kau sudah mendapatkan bayangan sekilas sosoknya?" Ruby
membaca pikiran kakaknya dengan tepat.
"Tidak," kata Zarri Bano berdusta.
Mereka berdua sudah melihat sekilas sosok masing-masing. Dia
mengingat pandangan seronok lelaki itu yang membuatnya jengah dan
merasa tak berharga. Ketika mobilnya melintasi jip lelaki itu, dia
sekali lagi memandanginya dari dekat—seakan-akan lelaki itu sempat
menyelami kedalaman jiwanya. Sambil gemetaran di depan cermin,
Zarri Bano menangkap tatapan ketidakpastian dalam matanya sendiri
dan ada sesuatu yang lain.
Begitu selesai berdandan, Zarri Bano melangkah untuk berdiri di
dekat jendela yang terbuka ke arah bagian tengah halaman yang luas
dan tertata indah di vila mereka. Beberapa saat kemudian, sebuah
jip hitam memasuki gerbang yang terbuka dan berhenti di samping
mobil abu-abu keluarga Bano.
Sikander membantu ayahnya melangkah keluar dari mobil, kemudian
kedua lelaki itu berdiri dan memandang ke sekeliling halaman dengan
bergairah. Di bagian tengah ada sehampar rumpun mawar yang
sedang merekah dan di setiap penjuru tampak semak oleander yang
sedang berbunga dan rumpun bugenvil yang harum merayapi dinding
dengan indah setinggi enam kaki. Beranda yang panjang, dengan
pilar-pilar alabaster dan lantai bermozaik, mengarah ke bagian
dalam rumah. Ketika mata lelaki muda itu menyapu jendela kamar-
kamar tidur di bagian atas, Zarri Bano buru-buru melangkah mundur
ke balik gorden. Dia takut terlihat oleh pemuda itu.
Melihat sikap sang kakak, Ruby bergerak ke jendela dan melongok
ke bawah. Jafar sudah bersama kedua tamu mereka.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ya, Tuhan, masya Allah, dia sangat ganteng. Tidak aneh kau jadi
berubah." Ruby terkekeh melihat rona merah di pipi kakak
perempuannya itu.
Terganggu oleh godaan Ruby, Zarri Bano berkata ketus, "Siapa
bilang dia ganteng? Kau ingat Ali? Adakah yang bisa menyaingi
tampangnya?"
"Ya, Ali sangat tampan. Tetapi ada sesuatu dalam diri lelaki ini—
semacam karisma. Menurutku, dia mungkin memiliki sebuah umpan
untuk menyeretmu ke dalam jaringnya, jeratnya—bahkan kalaupun
itu bukan karena tampangnya."
"Jangan bicara padaku tentang jaring dan jerat!" tukas Zarri Bano
sambil berlalu dari tepi jendela. "Aku bukan seekor ikan yang harus
dipancing, ditangkap, dan dijerat, Ruby."
"Maafkan aku, Baji Jan. Kata-kataku tak termaafkan, khususnya
karena aku tahu bagaimana perasaanmu tentang analogi seperti itu
dan juga karena kau adalah seorang feminis."
"Ya, kau sudah seharusnya menyesal. Aku seorang perempuan
merdeka. Aku yang memutuskan apakah aku menginginkan lelaki ini
atau lelaki yang lainnya. Ini sebabnya mengapa sepuluh tahun berlalu
dan aku masih belum juga menikah. Kau mungkin malah akan menikah
sebelum aku dan aku akan menjadi seorang perawan tua," guraunya.
"Kau tidak akan pernah menjadi perawan tua, Zarri Bano. Kau terlalu
cantik dan gemerlap untuk disisihkan ke dalam laci. Seseorang akan
memetikmu suatu hari nanti, jika bukan lelaki ini. Tahukah kau, aku
mungkin saja akan menikah sebelum dirimu karena caramu
mengecewakan orang. Aku mungkin akan berakhir di pelukan salah
satu dari sekian banyak calonmu yang kau tampik. Tahukah kau
berapa kali Chaudharani Kaniz mengunjungi kita, bahkan setelah kau
menolak untuk menikah dengan Khawar? Kupikir dia kini mulai
mengincarku. Jika kau tidak akan menikah dengannya, dia akan
berpikir aku akan mau pada Khawar."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Tidak ada seorang pun dari kita yang akan menikah dengan Khawar.
Ia lebih seperti saudara laki-laki kita. Namun, bisakah kau
bayangkan aku atau kau sebagai si angkuh nyonya Chaudharani Kaniz
berikutnya di desa ini? Tidak, terima kasih. Aku tak akan menyia-
nyiakan kepandaianku."
Perbincangan singkat ini telah membawa kebaikan kepada Zarri Bano
dan membantunya untuk kembali bersikap normal. Dia berkata pada
dirinya sendiri, "Hanya karena aku telah memergoki lelaki itu
menatapku di antara keramaian manusia dan aku telah membalas
tatapannya itu, ini tidak berarti apa-apa. Aku tidak akan jatuh ke
dalam sihirnya, seperti yang dipikirkan Ruby."
Entah bagaimana, kebalikan dari yang biasa dilakukannya, dia tampak
siap menemui tetamu ini untuk menghabiskan waktu bersama
mereka. Biasanya dia akan menganggap pertemuan-pertemuan
dengan para calon suami
ini sebagai sesuatu yang membuatnya mual dan merendahkan
martabatnya, apalagi saat diketahuinya kemudian bahwa dia akan
menolak lamaran mereka.
Abaikan saja semua analisis itu, dia memikirkan semua hal yang
menguatkannya saat menuruni tangga ulir yang mengarah ke dalam
ruang tengah. Dia melangkah dengan mantap menghampiri ruang
tamu. Dia adalah seorang perempuan dewasa berusia dua puluh tujuh
tahun, bukan lagi seorang gadis remaja yang akan dipinang. Dia akan
memperlakukan lelaki ini sebagai seorang tamu biasa. Dengan berdiri
tegak dan meninggikan lehernya, Zarri Bano berdiri di ambang pintu,
siap untuk melakukan langkah resminya memasuki ruangan itu.
***
Sikander dan ayahnya, Raja Din, sedang duduk dan berbincang
dengan orangtua Zarri Bano. Teh telah disajikan oleh Fatima,
pembantu mereka. Ini adalah pertama kalinya mereka semua
bertemu dalam satu ruangan. Jafar dan Sikander sudah sempat

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

saling mengenal saat mereka sedang berbisnis di Karachi. Pada suatu


kali Sikander mengundang Jafar ke rumahnya.
Sebuah persahabatan pun dengan cepat terjalin antara kedua lelaki
itu. Pada kesempatan lain yang serupa, ibu Sikander mengajak Jafar
berbicara tentang masalah perjodohan untuk anak laki-lakinya. Saat
itu Jafar hanya dapat memikirkan kedua saudari kandungnya. Yang
tertua, sudah diceritakannya kepada mereka, bahwa dia telah
menolak sekian banyak calon sehingga mereka merasa malu kepada
mereka yang datang untuk meminangnya. "Namun, kau boleh
mencobanya," ujarnya pada Sikander. "Jika tidak, ada adik
perempuanku, Ruby," candanya.
Setelah bertemu dengan Sikander dan mengenalnya lebih baik,
Jafar secara naluriah tahu bahwa kakak perempuannya, Zarri Bano,
adalah perempuan yang cocok untuk temannya itu. Dalam hal usia,
pendidikan, tampang, dan watak, mereka berdua cocok.
Sekembalinya ke rumah, Jafar memberi tahu orangtuanya dan Zarri
Bano tentang Sikander. Zarri langsung menghapus masalah itu dari
benaknya—dia tidak tertarik! Meski sejenak terpikir olehnya akan
menyenangkan menikah dengan seseorang yang sudah memiliki
tempat tinggal tetap di Karachi, saat dia merencanakan untuk
mendirikan perusahaan penerbitannya di sana. Namun, ayah Jafar,
Habib, dan ibunya, Shahzada, justru sangat tertarik. Mereka
menyuruh Jafar untuk mengundang temannya dan orangtuanya itu ke
rumah mereka.
Sampai saat itu, kedua orangtua Zarri sudah berputus asa. Mengusir
para pelamar sudah menjadi semacam rutinitas. Dan tidak selalu
Zarri Bano saja yang menolak para lelaki yang datang untuk melihat
dan meminangnya, ayahnya juga sedikit terlalu banyak menuntut.
Entah bagaimana, tidak ada seorang pun dari para pelamar yang
diundang yang tampak seimbang dengan kepintaran lelaki tua itu
ataupun kerupawanan anak perempuan tertuanya. Dia selalu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengakhiri pertemuan dengan berbicara angkuh, "Lelaki itu haruslah


yang terbaik." Ketika Zarri Bano menampik para pelamarnya, diam-
diam Habib mendukungnya dan bersyukur pada keputusan putri
sulungnya.
Sebaliknya, sang istri melihat semua itu dari sudut pandang seorang
ibu. Dia berada di titik keputusasaan. Zarri Bano sudah berada di
penghujung usia dua puluhannya dan masih saja tidak ada tanda-
tanda rencana pernikahan. "Kapan dia akan berumah tangga dan
membesarkan sebuah keluarga?" pertanyaan itu yang selalu
dilontarkannya pada sang suami. Dan Habib sudah terbiasa untuk
menjawab dengan tenang bahwa masih ada banyak waktu.
"Apakah kau mau memberikan putri kita yang cantik kepada
sembarang nathu pethu?" Habib bertanya pada istrinya. "Aku hanya
akan mengizinkannya menikahi seorang laki-laki dari bibit unggul
terbaik dari keluarga tuan tanah yang memiliki keturunan unggul itu,
dengan nama dan status sosial yang baik."
Istrinya kemudian akan merasa berkewajiban mengomeli Habib
sebagai seorang istri. "Jangan berkata seperti itu, Habib Sahib.
Semua anak akan selalu sangat berharga di mata orangtuanya,
termasuk semua calon pelamar itu. Tidak baik selalu mengusir
mereka. Kau dan putri sulungmu akan mendapatkan reputasi buruk
karenanya. Mereka akan berpikir bahwa dia terlalu hebat, sombong,
dan keras kepala. Padahal kenyataannya, dia hanyalah seorang gadis
yang tak mampu menentukan pilihannya. Kau juga bersikap tidak
membantu. Kau sudah bersekongkol dengannya dalam menampik para
pelamar, bukan?"
"Jangan bodoh! Aku hanya sangat posesif atas putriku dan
menginginkan yang terbaik untuknya."
"Itu dia, kau terlalu posesif! Itulah masalahnya. Itu tidak sehat,
Habib Sahib." Tatapan mata Shahzada menusuknya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Sekarang kau melebih-lebihkan." Habib berpaling dari istrinya,


tertawa, dan mengakhiri perbincangan mereka.
Kini para tetamu kembali datang untuk bertemu dan ingin mengenal
putri mereka. Jika semuanya berjalan lancar, akan ada pertemuan
berikutnya dua minggu kemudian. Jika ternyata nantinya ada
persahabatan yang tumbuh di antara Sikander dan Zarri Bano,
seperti juga antara dua pasang orangtua mereka, Zarri Bano dapat
mengunjungi rumah Sikander di Karachi.
Setelah menemui Sikander dan berbincang-bincang sejenak,
Shahzada tampak sangat bersukacita. Sikander langsung
menghangatkan hatinya. Mata Shahzada sering menelusuri wajah
tampan pemuda itu. Namun, Habib menahan diri untuk tetap tenang.
Dari penampilan dan sikapnya, Sikander sangat menarik. Habib tidak
mungkin menolaknya, tetapi dia akan menunggu dan melihat reaksi
putri sulungnya, baru kemudian memutuskan.
Sebuah ketukan di pintu membuat mereka semua tegak menanti
siapa yang akan masuk.
Zarri Bano memasuki ruangan. Dia berdiri di hadapan mereka semua:
tinggi, berpenampilan megah, dan memesona dengan pakaian
berwarna merah jambu. Sikander yang langsung memandanginya dan
merasa terpuaskan karena dia adalah perempuan yang dilihatnya di
mela, mencondongkan badannya ke depan, seolah-olah sibuk
membelah biskuit di atas sebuah piring. Saat itulah Habib
melemparkan pandangannya ke arah Sikander, untuk melihat
reaksinya terhadap putri kesayangannya. Mulutnya mengatup
kencang menanti saat Sikander menengadah.
Ayah Sikander lain lagi. Dia yang sedang mengamati Zarri Bano
untuk pertama kalinya, sungguh-sungguh terpukau. Sebuah seringai
lebar muncul di wajahnya. Dia terus memelototi gerak-gerik Zarri
Bano ketika dia melangkah mendekati mereka.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri Bano mengucapkan salam kepada tetamu itu. Sikander


mendengar suaranya, tapi masih saja malas menengadahkan
wajahnya. Dia sadar bahwa suara itu begitu merdu, suaranya sesuai
dengan penampilannya.
Zarri Bano melayangkan pandangannya ke semua orang yang ada di
ruangan itu, menangkap sorot mata mereka satu per satu dan
tersenyum. Setelah berada di dekat mereka, dia duduk di samping
ibunya, di sebuah sofa yang tepat berseberangan dengan Sikander
dan ayahnya. Kini, dia menanti lelaki itu menengadah ke arahnya
karena sejak tadi pandangan mereka belum juga saling bertemu.
Namun, dia seakan lebih peduli pada biskuit bodohnya ketimbang
pada Zarri Bano!
Dia tidak tahu dari mana kenekatan itu datang, tapi memang sudah
menjadi karakternya melawan sopan santun umum. Dia memutuskan
untuk menyapanya secara pribadi sehingga lelaki itu akan terpaksa
harus melihat ke arahnya dan menengadah. Dia tidak akan
membiarkan dirinya diabaikan oleh orang asing angkuh dan tampan
yang telah mencerabut dirinya dari dunianya yang damai dan berani
mengasarinya dengan pandangan kurang ajarnya di lapangan tadi—
entah jodohnya atau siapa pun itu!
"Sahib Sikander," dia mulai menyapa dengan manis. Dia mengenal
namanya dari Ruby saat menuruni tangga tadi. "Apakah kau menyukai
perjalananmu kemari? Apakah mela kami menyenangkanmu? Kami
memang agak sedikit unik dibandingkan dengan dunia yang canggih di
Karachi, sebagaimana yang kau lihat."
Akhirnya dia menengadah!
Alisnya beradu. Dia tampak terkejut pada keberanian Zarri Bano
berbicara langsung padanya di hadapan orangtua mereka dan tanpa
perkenalan resmi seperti pada umumnya. Selain itu, gadis itu dengan
berani mengingatkannya pada kejadian yang mereka alami di mela!
Itu tindakan yang tidak pantas. Sebuah kesan sebal terbias di

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

matanya. Dia terlalu "berbeda" dari seleranya! Tiba-tiba saja


sebuah pemikiran muncul di benaknya.
Sekarang dia memberikan sorot matanya seutuhnya kepada Zarri
Bano. Bola matanya yang berwarna abu-abu keruh, seakan terpasang
tepat ke dalam jiwa Zarri Bano. Namun, mereka berdua masih tetap
terlihat tenang dan tidak tampak ada senyum jawaban di bibir
Sikander.
"Ya, Sahiba, kami telah melalui perjalanan yang menyenangkan,"
balasnya sopan. "Dan ya, tentu saja, mela itu adalah sebuah hiburan
menarik yang kami jumpai dalam perjalanan. Itu adalah kejutan yang
mengasyikkan—sekilas bayangan tentang apa yang ada di rumah ini."
Pipi Zarri Bano merona seketika. Hanya Sikander yang
memerhatikan hal itu, karena hanya dia yang mengetahui dengan
jelas penyebab ketersipuannya. Dia telah mengingatkan Zarri Bano
tentang saat di mana pandangan mereka berserobok dan dia tampak
senang menyadari bahwa ternyata ada juga sesuatu yang cacat
dalam penampilan gadis itu.
Zarri Bano menoleh ke arah Raja Din; secara halus itu adalah
upayanya untuk berpaling dari Sikander. Dia pun mulai berbicara
fasih tentang Karachi dan universitas tempat dia pernah menuntut
ilmu di sana. Raja Din sumringah memandanginya. Kecantikan Zarri
yang memukau itu berenang-renang di matanya. Dia pun
membayangkan cucu-cucu rupawan dengan wajah seperti perempuan
ini. Matanya yang membiaskan warna biru dan hijau nan gemerlap,
tampak berkilauan olehnya: dia membayangkan memiliki seorang cucu
laki-laki dengan mata secemerlang itu! Dia menanggapi pertanyaan-
pertanyaan Zarri dengan bersemangat.
Sementara mereka bercakap-cakap, Sikander diam-diam mengamati
dan mendengarkan. Dia terpana melihat ayahnya begitu terpesona
oleh Zarri Bano. Tidakkah hal yang sama terjadi pada dirimu,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander, ketika di mela? Sekilas pandangan dengannya sudah


berhasil menjeratnya!
Setelah setengah jam, Zarri Bano meninggalkan mereka semua.
Hanya sampai itulah yang harus diselesaikan pada pertemuan
pertama.
Sikander dan ayahnya diundang untuk ikut makan malam. Kali ini
Ruby menemani mereka, sedangkan Zarri Bano tinggal di kamarnya.
"Bahkan kalaupun aku tertarik, karena aku tidak merasakan itu,"
ujarnya angkuh, "mengapa aku harus kembali ke ruangan itu? Aku
tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Jadi, mengapa aku harus
mulai melakukannya sekarang? Khususnya untuk menyenangkan
seorang lelaki yang bahkan sama sekali tidak ingin tersenyum
padaku."
Namun, dia tidak mampu menahan diri untuk terus memasang telinga
mendengarkan suara-suara dari lantai bawah dan menunggu saatnya
tetamu itu pergi. Akhirnya, sambil bersembunyi di balik gorden, dia
melihat mereka pergi. "Kau akan datang kembali padaku, Sikander
yang angkuh," gumamnya. "Saat itulah yang akan menyenangkan
sekali bagiku—mencampakkanmu!" Dan Zarri Bano segera menjauhi
tepi jendela, mengenyahkan lelaki itu seutuhnya dari benaknya.
Ketika Ruby naik beberapa saat kemudian dan mengatakan padanya
bahwa mereka akan datang kembali, Zarri Bano tidak berkomentar
apa pun. Di lantai bawah, di ruang tengah, dia berjalan melewati
pembantu mereka, Fatima. Sesungging senyuman menghias wajah
perempuan tua itu.
"Yang satu ini sangat tampan, bukan?" goda Fatima. Yang amat
disukai Zarri Bano, Fatima cukup berani berbicara terus terang
dengannya.
"Oh, dia lelaki yang baik, menurutku. Kita akan lihat apa yang akan
terjadi nanti," jawab Zarri Bano. Pipinya berdekik lucu.
"Tetapi, Anda menyukainya, bukan?" desak Fatima ingin memastikan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri Bano tertawa tergelak sambil melangkah ke arah ruang makan.


Fatima menatap sosok majikan mudanya. Dia semata-mata hanya
berharap agar Zarri Bano dan putri kandungnya, Firdaus, menikah
dan berbahagia. Dia berdoa untuk kesehatan dan masa depan
mereka. Di atas segalanya, mendapatkan Khawar sebagai menantu
adalah mimpi Fatima yang sesungguhnya.
***
Beberapa saat kemudian, berduaan dengan suaminya di kamar tidur
mereka, Shahzada menatap wajah Habib, suaminya, dengan gundah.
Dia terduduk di atas sofa. Sebuah buku neraca perhitungan untung
rugi terhampar di atas pangkuannya.
"Aku tidak senang dengan perhitungan tentang tanah milik munshi.
Ada sesuatu yang tidak cocok di sini." Habib mendongak memandang
istrinya sekilas dari seberang ruangan.
"Tapi kau senang pada Sikander, kan?" Shahzada memberanikan diri.
Kepala Habib menegang sesaat, tapi dia segera menunduk kembali,
membuka-buka halaman buku, dan menandai salah satu sudutnya
dengan pena emasnya.
"Menurutku, putri kita akhirnya telah menemukan jodohnya," kata
Shahzada mencoba lagi. Dia merasakan sebentuk keinginan yang
mendesak untuk terus mengajukan masalah ini karena melihat
tatapan aneh di sorot mata suaminya. Dia sadar bahwa sang suami
sedang menyembunyikan pikirannya di balik buku perhitungan bisnis
yang dipangkunya itu.
"Begitu menurutmu?" Habib balik bertanya, menoleh ke arah
istrinya dan melemparkan pena emasnya ke atas meja di hadapannya.
"Ya," Shahzada menjawab dengan tegas. "Tidakkah kau lihat, Habib
Sahib, pancaran mata putrimu saat dia kembali dari mela, dan
reaksinya begitu bertemu dengan pemuda itu? Dia tidak pernah
bertingkah seperti itu sebelumnya." Dengan mengabaikan sorot mata
dingin suaminya—yang sedingin pegunungan Kashmir itu—Shahzada

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dengan berani bersikukuh, "Menurutku, pemuda tampan ini akan


menjadi takdir putri kita...."
Seketika dia berhenti berbicara begitu suaminya menendang meja
kayu kecil di depannya dan berdiri tegak. Sosok yang tinggi
menjulang ini tampak menatap ke bawah ke arahnya, membiarkan
buku perhitungan dagang itu terjatuh ke lantai marmer dengan
suara keras.
"Aku belum memutuskannya." Dia berbicara dengan nada marah.
"Sudah jelas bahwa kau dibuat mabuk olehnya. Bajingan penipu itu
lebih memedulikan biskuit daripada menghormati putriku dan
memberi perhatian yang pantas didapatkan Zarri Bano. Lelaki itu
nyaris tidak memandang ke arah Zarri Banoku, Shahzada! Belasan
lelaki bertekuk lutut pada putriku sejak dia masih remaja, dan
mereka bahkan tidak peduli meski tidak melihatnya dengan jelas.
Aku tersinggung dengan sikap seperti itu!"
"Namun, bagaimana dengan putrimu? Tidakkah kau lihat pancaran
matanya?" Shahzada memohon.
"Ya, aku melihatnya." Habib menggerundel kesal. "Itu semakin
menambah alasan bagiku untuk lebih waspada. Aku adalah kepala
keluarga ini dan aku akan memutuskan apa yang terbaik untuk Zarri
Bano. Aku tidak menyukai lelaki ini, Shahzada."
"Habib, kau terlalu bersikap protektif. Aku harus mengatakan
padamu, Zarri Bano putri kita tampak sangat menyukainya. Kau pasti
sudah melihat reaksinya di depan lelaki itu. Tidakkah kau lihat
betapa dia—"
"Lelaki ini memiliki kekuatan untuk menyakiti putri kesayanganku.
Aku merasakan itu di dalam nadiku!" Habib menjawab kesal dengan
memotong pembicaraan sang istri.
"Aku tidak akan membiarkan siapa pun melakukan apa saja yang
menyebabkan dia sakit hati atau menghinanya dengan cara apa pun.
Kau lupa, Shahzada, dalam trah kita, takdir diciptakan dan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ditentukan oleh kita. Aku yang menentukan apabila lelaki ini akan
menjadi takdir putri kita atau bukan."
"Tidak, Habib, jangan!" Shahzada memohon, kata-kata sang istri
bergema di dalam ruangan kosong karena Habib langsung melangkah
ke luar seraya membanting pintu kayu yang berat di belakangnya.
Shahzada menerawang ukiran di balik pintu itu dan merasakan
semacam firasat buruk.

2.

CHAUDHARANI KANIZ baru saja kembali dari liburan selama dua


minggu di tempat peristirahatan Murri di perbatasan Kashmir. Dia
juga dalam perjalanan mengunjungi dua saudarinya yang sudah
menikah dan tinggal di Lahore, di Provinsi Punjab.
Selain karena panasnya musim panas di Sindu yang menyengat, dia
merasa senang berada dekat kampung halamannya. Dia
mengharapkan putranya, Khawar, baik-baik saja dan bahwa segala
sesuatunya berjalan lancar di rumahnya yang dititipkan kepada
pelayannya, Neesa.
Di dalam benak Chaudharani Kaniz, seorang rishta atau calon
mempelai yang cocok yang sudah diperkenalkan kepadanya oleh
adiknya, Sabra, di Lahore, akan menjadi calon istri yang hebat bagi
Khawar. Seorang gadis yang menarik dan sangat berpendidikan,
tetapi yang terutama adalah dia datang dari sebuah keluarga kaya
raya dengan reputasi dan latar belakang yang baik. Satu-satunya
ganjalan adalah tidak jelas apakah si gadis dan keluarganya akan
menganggap lamarannya pantas untuk diterima. Pikiran tentang hal
itu tertancap di dalam benak Kaniz bagaikan sebatang duri:
mungkinkah seorang gadis kota dari kalangan menengah yang
berpendidikan dari Lahore mampu menikmati keberadaannya di
tempat terpencil, sebuah desa asli di Sindu yang panas?

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Itu adalah sebuah masalah, dan masalah yang sangat besar! Karena
kenyataannya sangat mudah dipahami bahwa di antara para
perempuan dari Lahore hanya sebagian kecil yang menyukai
kehidupan pedesaan, tidak peduli fasilitas apa pun yang ditawarkan.
Bahkan masalah listrik sekalipun, video recorder, dan penyejuk
udara bukanlah kompensasi yang pantas bagi kehidupan malam yang
riuh rendah, dunia hiburan, dan fasilitas belanja yang ditawarkan
oleh ibu kota tua Pakistan itu.
Dilahirkan dan dibesarkan di wilayah pedesaan membuat Kaniz
sendiri tidak memedulikan gaya hidup kota besar sedikit pun. Saat
diberi pilihan untuk menikahi seorang lelaki yang "biasa", tetapi
berasal dari satu keluarga kota, atau tinggal di sebuah desa dan
menikahi seorang tuan tanah kaya raya, Kaniz tanpa pikir panjang
telah memutuskan untuk meraih kehormatan menjadi istri seorang
zemindar. Dia diberkahi akal sehat dan kecerdikan sejak usia muda,
diiringi hasrat untuk menjadi kaya raya yang ada padanya sejak
lahir. Kaniz berpikir bahwa dia sangat tolol jika menampik tawaran
seperti itu!
Menjadi seorang chaudharani dan memegang kekuasaan sebagai ratu
rumah tangga di dalam sebuah hierarki desa yang saling mendukung
satu sama lain adalah sebuah kesempatan yang tidak akan datang ke
depan pintu orang setiap hari. Dia sudah melakukan tujuh puluh nafi
sujud syukur pada Allah karena telah menganugerahkan kismet yang
sedemikian bagus untuknya. Karena itu, Kaniz sama sekali tidak
merasa bimbang untuk menetap di desa itu selamanya.
Daya tarik dan kemegahan kehidupan kota yang menyesatkan telah
gagal menjeratnya. "Dengan berhektar-hektar tanah atas namanya
dan hasil panen melimpah yang dihasilkannya, kau dan suamimu,
Sarwar, tidak akan pernah kekurangan apa pun," demikian sang ibu
mencekokinya dengan penuh semangat. Dia tidak harus diberi tahu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bahwa mimpi materialistisnya yang terhebat akan terwujud—dan


memang begitulah yang terjadi.
Satu-satunya yang membahayakan dan terus-menerus terasa
menyakitkan hingga hari ini adalah kenyataan bahwa suaminya
ternyata sempat ditolak oleh seorang perempuan desa lainnya
sebelum Kaniz muncul dalam kehidupannya. Dia hanyalah menjadi
pilihan kedua lelaki itu. Ini adalah duri dalam daging, ular berbisa di
tengah taman mawar, yang berdampak seperti penyakit kanker
dalam kehidupannya, dan dia tidak mampu mengusir perasaan itu.
Di tahun-tahun pertama, dia benar-benar dibuat merana karena
dijuluki sebagai "Chaudharani Kedua", mengingat semua orang
mengetahuinya dan merupakan fakta tak terbantahkan bahwa
Shahzada adalah pemilik tanah lokal pertama yang paling
berpengaruh. Ketika Habib Khan dan Chaudharani Shahzada pindah
ke kota terdekat, Tanda Adam, sepuluh tahun yang lalu, Kaniz
merasa bersukacita. Hanya si lelaki tua, Siraj Din, yang tetap tinggal
di hawali-nya yang luas di desa itu. Sampai saat itu, Shahzada,
sebagai menantu tertua Siraj Din, tanpa disadarinya dan dengan lugu
telah merampok semua pusat perhatian dari Kaniz yang malang.
Sekarang, hanya Kanizlah satu-satunya chaudharani di desa itu dan
dia tidak pernah membiarkan seorang pun melupakan kenyataan itu!
Dengan perilakunya yang angkuh dan tinggi hati, dia menjaga jarak
dengan sebagian besar penduduk desa. Itu semua akibat dia begitu
terpengaruh oleh pepatah kuno yang mengatakan, "jangan pernah
terlalu dekat dengan para pelayan dan tetanggamu". Bagaimana lagi
dia dapat mempertahankan posisi khususnya dan kekuasaannya atas
semua orang, pikir Kaniz, jika dia harus mengelus bahu setiap orang?
Tanpa kekuasaan yang dimilikinya, dia bukanlah siapa-siapa!
Kaniz tersentak ke belakang saat mobilnya melaju keluar dari jalan
raya ke jalan tak beraspal yang mengarah ke Chiragpur. Dengan
senang hati, dia memperkirakan bahwa akan ada banyak orang yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menyadari kedatangannya. Malam ini, seluruh isi desa akan tahu


bahwa Chaudharani Kaniz sudah kembali, karena hanya ada empat
mobil di desa itu: mobil Kaniz, mobil Siraj Din, dan dua mobil lagi
milik keluarga orang kaya baru yang mulai mengumpulkan
kekayaannya karena anak laki-laki mereka pergi bekerja di Timur
Tengah. Mula-mula sebuah kulkas raksasa, lalu sebuah video, dan
akhirnya mereka mendapatkan kemajuan yang berarti dalam
mempertontonkan kekayaan mereka lewat sebuah jip baru!
Kaniz memalingkan kepalanya dengan satu dengusan, sebuah cibiran
mencemooh terukir di mulutnya yang indah. Jip dan video tidak akan
mengubah garis keturunan. Dia dan keluarganya memiliki latar
belakang sekaligus kekayaan. Barisan mobil mengilap tidak mampu
membuat shan mereka terselimuti!
Jalanan yang berdebu itu membelah ladang sayuran nan hijau
sepanjang satu mil. Kaniz membuka kaca jendela mobilnya dan
menghirup udara segar pedesaan dengan nikmat. Betapa senangnya
pulang kampung!
Setengah mengantuk, matanya menangkap sosok seorang lelaki di
atas seekor kuda putih. Apakah itu Khawarnya? Dia adalah satu-
satunya lelaki dengan seekor kuda putih di wilayah itu. Tanpa
kacamatanya, dia tidak dapat betul-
betul mengenalinya dari jarak sejauh itu. Sambil mengerutkan
keningnya, dia mencoba mengenali sosok lainnya yang sedang
bersamanya. Itu adalah seorang perempuan muda, berjalan beberapa
meter di depan Khawar. Kaniz melihat perempuan itu berlari dan
jatuh ke tanah, tenggelam di dalam ladang kembang kol yang rimbun.
Putranya melompat turun dari kudanya dan menolong perempuan itu
berdiri. Khawar kini sedang berbincang-bincang dengannya dan gadis
itu membalasnya sebelum membalikkan tubuh untuk pergi berlalu.
Sambil menarik tali kekang kudanya, Khawar mulai berjalan pulang
dengan gadis itu menuju desa.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Siapakah gadis bodoh itu? Kaniz bertanya-tanya dengan geram.


Mengapa putranya harus berperilaku sedemikian idiot? Tidak benar
seorang bujangan sepertinya berduaan di ladang asyik mengobrol
bersenda gurau dengan seorang gadis, bahkan meskipun itu tidak
disengaja. Itu adalah tindakan yang paling tidak patut dilakukan,
mengingat reputasinya dan terutama reputasi perempuan itu. Kaniz
harus mengingatkannya tentang kepatutan dan sopan santun yang
berlaku di desa itu begitu dia sampai di rumah nanti. Chiragpur
adalah sebuah desa kecil dan izzat, seorang gadis atau
kehormatannya, adalah harta yang sangat tak ternilai.
Kaniz terus mengawasi mereka ketika dilihatnya si gadis
mempercepat langkahnya. Lalu dia tampak membalikkan tubuhnya
untuk mengatakan sesuatu pada Khawar. "Perempuan murahan!"
Kaniz berdesis sambil menahan napas.
Khawar tampak berhenti mengikuti gadis itu. Dia kembali naik ke
punggung kudanya dan melecut kudanya ke arah lain. Putranya itu
masih saja tidak melihat mobil ibundanya dijalan.
Gadis itu kini sampai di jalan dan berjalan searah dengan mobil
Kaniz—menuju desa. Dia menoleh ke belakang untuk melihat mobil,
tepat saat Kaniz sedang melongok ke luar jendela, dengan tubuh
condong ke luar karena rasa penasarannya tentang identitas si gadis.
Begitu mobilnya melintas, Kaniz menjatuhkan diri ke jok dengan
wajah terbakar oleh panas yang tiba-tiba menyengat.
Firdaus! Anak perempuan tukang cuci itu! Anak perempuan
musuhnya! Bagaimana mungkin putranya bisa melakukan hal seperti
ini padanya?
"Betapa memalukan. Rubah betina itu! Aku menduga dia sudah
menancapkan cakarnya pada diri putraku," umpat Kaniz, tersedak
oleh kemurkaannya. "Lihat saja nanti. Aku akan menghentikan
hubungan ini sejak awal. Jika tidak, jangan sebut aku Kaniz!" Dia
berikrar seraya menyekakan tangan ke wajahnya, dari dahi hingga

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dagu, dengan bahasa tubuh orang desa yang mengisyaratkan


tantangan pribadi. "Diam-diam bertemu putraku di ladang!
Gushty!Pelacur!"
***
Putra Kaniz tidak pulang ke rumah sampai malam tiba. Saat itu Kaniz
sudah membiarkan dirinya mengumbar angkara murkanya. Bara
kebencian terhadap gadis itu telah membuatnya mencecar si
pengurus rumah, Neesa, begitu dia melangkahkan kakinya di pintu
depan.
"Ke mana saja putraku menghabiskan waktunya, Neesa?" cecarnya.
"Tampaknya, dia mengeluyur terus selama aku tak ada. Seperti yang
dikatakan orang tua zaman dulu, 'Ketika kucing pergi, rumah jadi
dipenuhi cecurut'. Dalam hal ini, ketika ibunya pergi...."
"Ia pulang pergi sepanjang waktu, Nyonya. Mengerjakan bisnisnya,
saya rasa," seketika Neesa menjawab. "Anda pasti sangat lelah.
Apakah Anda ingin berbaring? Saya akan membangunkan Anda saat
tuan muda pulang."
"Tidak, Neesa. Aku tidak dapat beristirahat sampai aku bertemu
Khawarku. Aku seorang janda dan menanggung semua tanggung
jawab sendirian. Karena itu, aku harus benar-benar mengetahui
semuanya. Jika kau sudah mengetahui sesuatu tentang perilaku
putraku, kau wajib memberitahukannya padaku, Neesa. Dia adalah
putraku satu-satunya. Aku harus selalu siaga setiap saat demi
kebaikannya."
"Ada masalah apa, Nyonya?" takut-takut Neesa bertanya, merasa
penasaran untuk mengetahui sumber amukan Chaudharani-nya.
"Adakah sesuatu yang telah terjadi?"
"Tidak, tidak ada apa-apa. Kau boleh pergi sekarang. Panggil Khawar
untuk menemuiku saat dia datang." Kaniz meminta pengurus rumah
tangganya pergi.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Neesa menatap punggung majikannya selama beberapa detik,


kemudian perlahan dia berlalu meninggalkan ruangan itu. Kaniz bukan
seorang perempuan yang menyenangkan untuk dijadikan atasan
dalam bekerja. Dia tidak hanya angkuh, tapi juga kejam. Dia jarang
sekali memuji dan hanya mengharapkan segala sesuatunya
dikerjakan dengan standar kualitas tertinggi. Dia memelihara jarak
dengan semua pelayannya, termasuk Neesa—pengurus rumah
tangganya selama dua puluh sembilan tahun. Mengingat Neesa adalah
bawahannya, Kaniz merasa tidak pantas baginya "menghargai" Neesa
dengan kepercayaan.
Neesa menarik napas panjang dan kembali melakukan aktivitas
bersih-bersihnya. Dia harus mengecek kembali setiap kamar dan
setiap pilar, untuk memastikan tidak ada lagi debu dan sarang laba-
laba, berjaga-jaga seandainya dia melewatkan satu celah sekalipun.
Sebagai seorang pemilik rumah yang rapi dan obsesif, Nyonya Kaniz
tentu saja akan terus-menerus mencolekkan jarinya ke setiap
permukaan perabot dan memeriksa semua daun jendela untuk
melihat ada tidaknya debu, sebelum dia pergi tidur. Itu adalah tugas
yang selalu dengan sangat teliti dilakukannya setiap kali dia baru
pulang dari bepergian—meski dia sedang dalam keadaan sangat lelah
sekalipun.
Majikannya sedang dalam suasana hati yang buruk. Neesa tidak ingin
memberinya alasan lain untuk melampiaskan amarahnya padanya kali
ini. Dengan sukarela, dia mengambil kain lap dan tongkat boker-nya
lagi.
***
Khawar, pemuda berusia dua puluh enam tahun dan ahli waris semua
kekayaan duniawi ibundanya, menemukan Kaniz sedang bersandar
pada setumpuk bantal di atas sofa di depan televisi. Dia sedang
menonton sebuah film video —sebuah film yang baru dirilis dari
Bollywood, India.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Assalamu 'alaikum, Ibu. Aku tak mengira Ibu sudah pulang. Kupikir
Ibu akan kembali minggu depan." Khawar menyapanya, membungkuk,
dan menciumnya dengan hangat di kening.
"Ya, begitulah. Aku sudah menunggu kau pulang selama berjam-jam,
Anakku. Dari mana saja kau? Kuduga kau sudah bersenang-senang di
ladang dengan kudamu, atau sedang mengadakan sebuah pertemuan
penting, mungkin?" Kaniz memancing-mancing.
"Aku tadi mengadakan perundingan harga dengan chaprassi kita
untuk minggu depan, Ibu, dan memeriksa mesin penumbuk tepung."
Dia menjawabnya dengan kalem, memilih mengabaikan suasana hati
ibundanya yang tampak sedang kesal.
"Aku tadi melihatmu," tukas Kaniz. Suaranya direndahkan. Matanya
yang gelap berbentuk kacang almond itu kini bersinar jahat di wajah
putihnya.
"Di mana?" Khawar menyelusupkan badannya ke dalam sofa di
samping ibunya. Kaniz menoleh untuk memeriksa dari dekat rona
muka putranya, mencari tanda perasaan bersalah.
"Di tengah ladang—dengan gadis itu!" ujar Kaniz ketus. Bola matanya
mengecil dan menipis tajam.
"Apa maksud Ibu dengan 'gadis itu'?" tanpa takut-takut Khawar
balas menatap tajam ke arah mata ibunya.
"Tampaknya, kau begitu asyik masyuk dengan anak perempuan
tukang cuci itu sehingga kau bahkan tidak melihat mobil ibumu
melintas."
"Aku bukan sedang asyik masyuk, Ibu. Ayolah! Firdaus terjatuh dan
aku membantunya berdiri. Itu saja." "Tidak, kau tidak hanya
membantunya berdiri! Aku menyaksikannya. Kau berjalan dan
berbincang mesra dengannya."
"Ada apa ini, Ibu?" Khawar bergerak gelisah di atas sofa. "Sebuah
penyelidikan? Lalu memangnya kenapa jika aku berbincang
dengannya! Dia seorang warga desa, lagi pula, aku sudah bermain

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dengannya sejak kecil. Berbincang dengannya bukanlah suatu


kejahatan, bukan? Aku hanya bertanya padanya tentang sekolah. Ibu
ingat kan, aku adalah anggota panitia pengelola sekolah."
Kaniz mendengarkannya dengan sabar sebelum berbicara padanya
dengan nada datar. Dia tak akan bisa menerima jika putranya
menganggap remeh ucapannya atau bahkan salah memahaminya: Oleh
karena itu, dia terdorong untuk mengutarakan semuanya pada
Khawar. "Aku ingin kau menjauhi perempuan itu," ujarnya. "Aku tidak
ingin kau menjalin hubungan apa pun dengannya, tidak juga dengan
keluarganya. Terlalu memalukan bagi seorang tuan tanah yang kaya
raya dan dibesarkan dengan baik mengejar-ngejar seorang anak
perempuan tukang cuci."
Tidak sanggup lagi menerima hinaan dan cacian ibunya, Khawar
bangkit berdiri dan menghela napas dengan berat.
"Firdaus adalah seorang wakil kepala sekolah, Ibu! Mengapa Ibu
selalu dengan mudah meremehkan kenyataan itu? Ibu senang
menghinanya dengan menjulukinya sebagai 'anak perempuan si
tukang cuci'! Kenikmatan apa yang Ibu dapatkan dengan
menghinanya? Dia bukan anak perempuan tukang cuci!"
"Menurutku dia memang begitu. Dan aku tidak mendapatkan
kenikmatan apa pun, anak nakal! Aku sedang memberitahumu,
Anakku, untuk tidak menodai nama baik kita dengan berhubungan
dengan mereka. Lagi pula, aku sudah mendapatkan jodoh yang tepat
untukmu, di Lahore, seorang perempuan yang sangat cantik dan
terpelajar. Bibimu Sabra sudah bersusah payah demi kamu."
"Biar saja." Khawar bersiul pelan, melepaskan ikatan amarah yang
mencekiknya. Dengan bangga, sebagaimana sang ibu, ia tidak mampu
menahan diri untuk tidak bersikap angkuh dan zalim. "Ibu dan Bibi
Sabra bisa melakukan apa pun yang kalian suka dengan perempuan-
perempuan 'Lahore' ini," sahutnya dingin. "Jika menginginkannya,
aku bisa saja menikahi gadis itu—anak perempuan tukang cuci itu—

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dan tidak ada satu pun yang bisa kau lakukan untuk menghentikanku,
Ibu." Dia memberi tatapan tajam ke arah ibunya dan tidak lagi
berseloroh padanya.
Dengan mulut indahnya ternganga lebar, Kaniz menyaksikan putranya
berlalu keluar dari kamar dengan marah. Satu-satunya yang
mencegahnya menjadi histeris diperlakukan seperti itu adalah
kesadaran bahwa Khawar hanya menggertaknya. Kaniz berpikir
bahwa Khawar hanya mengatakan itu semua untuk membalasnya.
Anak itu menyadari kewajibannya dan tidak akan melakukan sesuatu
yang tak termaafkan seperti yang dikatakannya itu!
Dengan benak yang lebih tenang, Kaniz perlahan menutup mulutnya.
Menepuk-nepuk tumpukan bantal di bawahnya, merentangkan
tungkai-tungkainya yang besar dan panjang di atas sofa, dan
menikmati lagi film yang sedang ditontonnya. Sekarang dia sudah
sampai mana? Oh, ya. Si pemeran utama pria, Shahrukh Khan, baru
saja jatuh cinta pada saudara si pemeran utama perempuan....
Tangan Kaniz menggapai piring yang berisi dendeng.
Begitu dia mulai masuk ke dalam plot film itu, Kaniz terganggu
Neesa yang muncul tergopoh-gopoh, memberi tahu bahwa Mansur,
lelaki desa penjual melon, sudah berada di gerbang rumah menunggu
pesanan mereka. "Tidak, Neesa! Katakan padanya untuk
melemparkan buah-buahan busuknya ke sumur desa. Aku sedang
tidak menginginkan buah-buah melonnya yang sedang tidak musim
itu."
Dengan suasana malam yang kini sepenuhnya kelabu, Kaniz meminta
Neesa memanggil Kulsoom, mak comblang desa, untuk datang ke
rumah. Setelah gagal dengan upayanya menyatukan putra
kesayangannya dengan Zarri Bano, sekarang dia siap memulai
kembali dari awal. Zarri Bano yang angkuh itu telah menyatakan diri
tidak menginginkan hidup di desa, dan, dia juga berkeras bahwa
Khawar hanya menjadi seperti seorang kakak baginya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Baiklah," Kaniz mendengus dengan kesal. Perempuan itu juga terlalu


gemerlap, terlalu terpelajar, dan keras kepala untuk seleranya. Kini
Ruby yang pemalu menjadi masalah lainnya.... Kini ingin Kulsoom
mencari tahu dari Habib Khan andai saja dia akan memperbolehkan
Kaniz melamar anak perempuannya, Ruby, sebagai calon pengantin
bagi Khawar.
Begitu Kaniz mencoba meraih ludoo lain dari atas piring dan
melemparkannya ke dalam mulutnya, tiba-tiba saja terlintas
bayangan Firdaus dan putranya, dan itu nyaris membuatnya
tersedak. "Tidak akan pernah!" jeritnya dalam hati. "Langkahi dulu
mayatku!"

3.

BABA SIRAJ DIN, ditemani oleh asistennya yang setia sekaligus


sopirnya, Waris, secara resmi memutuskan untuk mendatangi rumah
putranya, Habib, untuk mendiskusikan masalah rishta cucu
perempuannya, Zarri Bano. Begitu mobilnya sampai di halaman depan
berlantai marmer di vila Habib yang megah, Siraj Din menunggu
dengan sabar hingga sopirnya membantunya keluar dari jip. Sambil
menggenggam erat tongkat gadingnya dengan satu tangan, dia
meraih tangan Waris untuk turun dari kursinya. Dia menegakkan
mantel wol hitamnya yang panjang dan membenahi serbannya agar
pas lipatannya di atas kepalanya. Dia selalu mengunjungi putranya
dengan berdandan formal, "Penampilan itu sangat berarti," itu yang
selalu dipesankannya kepada putra-putra dan cucu-cucunya.
Tongkat gadingnya menyuarakan bunyi ketukan di atas lantai marmer
putih susu itu, sementara Siraj Din menaiki tiga anak tangga di
beranda yang mengarah ke dua pintu geser. Dia pun menekan tombol
bel di dinding dan menunggu dengan tak sabar.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Fatima keluar dari dapur. Sambil mengelap tangannya yang basah ke


ujung celemek yang dipakainya, dia berjalan tenang ke arah ruang
tengah untuk melihat siapa yang berani memencet bel selama itu.
Begitu dia menangkap bayangan sesosok lelaki tua yang berdiri di
luar pintu kaca yang jernih, dengan kepala yang tinggi tegak sambil
mengawasinya dengan tatapan mata dingin, Fatima terbirit-birit
mendekati pintu. Dari balik bahunya, dia berteriak kepada
majikannya, Shahzada, "Sahiba Jee, Baba Siraj Din datang!"
"Bismillah! Bismillah, Baba Jee!" Fatima menyambutnya, seraya
menggeser pintu hingga terbuka sepenuhnya. Secepatnya dia
memberi jalan dan merundukkan kepalanya di hadapan lelaki tua itu
sebagaimana yang selalu dilakukannya. Dengan berwibawa, Siraj Din
mengusap pelan kerudung di kepala Fatima sebelum dia berjalan
memasuki ruang tengah.
Shahzada, menantu perempuannya yang tertua, telah mendengar
teriakan Fatima. Siraj Din melihatnya bergegas keluar dari ruang
tamu memegangi chador-nya kuat-kuat di kepalanya, sambil diam-
diam menyelempangkan ujung lainnya ke sekeliling bahunya hingga
menutupi dadanya. Dengan pandangan hormat yang hanya ditujukan
ke mantel ayah mertuanya dan dengan pipi merona ceria, Shahzada
berdiri di depan ayah mertuanya yang terhormat. Perlahan-lahan dia
menaikkan kepalanya menghadap tangan Siraj Din yang terangkat.
Lelaki tua itu meletakkan tangannya sejenak di atas kepala
Shahzada, dan kedamaian menyeruak hatinya. Ini adalah kepala yang
tidak pernah membuatnya jenuh untuk menepuknya. Kepala milik
menantu perempuan kesayangannya, kebahagiaan dalam hidupnya
setelah istrinya, Zulaikha, wafat.
"Assalamu 'alaikum, Aba Jan, " dengan gugup Shahzada menyapa
ayah mertuanya, sambil mencemaskan chador sutra akan merosot
dari posisinya yang tidak pas di atas kepalanya dan akibatnya akan
terjadi skandal memalukan karena kepalanya akan terlihat oleh ayah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mertuanya. "Kami tidak mengira Anda akan datang, Baba Jee,"


dengan gemetar dia mencoba menjelaskan.
"Wa 'alaikumussalam," Siraj Din membalas salam sebelum melangkah
mendahului mereka memasuki ruang tamu, seraya bertanya sambil
lalu, "Apakah Habib ada di rumah?"
Shahzada membuntuti dua langkah di belakang ayah mertuanya saat
dia memasuki ruang tamu yang besar. Fatima sudah terlebih dahulu
melesat memasuki ruangan itu untuk menyiapkan takkia, atau bantal
tebal, di atas sofa. Siraj Din tersenyum menghargai Fatima yang
sedang menyusun tumpukan bantal krem bersarung brokat dengan
sedemikian tingginya. Dia benar-benar tidak menyukai sofa-sofa
modern. Hatinya masih saja merindukan palang, tumpukan kasur, dan
bantal tradisional mewah yang menghiasi ruang-ruang utama di
zaman dahulu. Namun, palangtidak cocok dengan perabotan lainnya di
ruang tamu modern. Perabot seperti itu sudah dipindahkan ke ruang-
ruang yang kini diberi nama "kamar tidur".
Mata Siraj Din bergerak ke arah lampu tinggi di satu sudut. Gorden
panjang dengan bahan brokat dan talinya yang sepadan, ditarik dari
dinding ke dinding jendela pendopo. Mereka kemudian duduk
menghadap tiga buah meja marmer berat yang ditempatkan di
antara dua buah sofa besar yang mewah. Ada banyak tempat duduk
di ruangan itu yang cukup untuk dua puluh lima orang, Siraj Din
mengingat kembali ke belakang. Mengetahui selera ayahnya soal
perabot, Habib secara khusus membeli sebuah sofa peraduan yang
elegan dari sebuah toko berkualitas di Karachi yang serasi dengan
perabot mewah lainnya, termasuk karpet sutra yang sepenuhnya
menutupi lantai marmer rumahnya.
Shahzada sejenak meninggalkan ayah mertuanya sendirian saat dia
masuk ke dapur untuk memberi tahu koki keduanya agar menyiapkan
hidangan spesial untuk Sahib Siraj Din dan agar dia membubuhkan
sedikit bubuk cabe merah ke dalam hidangan berkaldu. Fatima juga

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sedang berada di dapur untuk menyiapkan sebuah hookah untuk


Siraj Din, dengan tembakau segar yang disusun rapi di antara
butiran batu bara di dalam topee. Ketika Shahzada kembali, Habib
sudah menemani ayahnya membicarakan perundingan bisnis yang
berkaitan dengan tanah mereka. Siraj Din bertanya pada putranya
apakah cukup pantas menjual sebagian tanah di kampung halamannya,
Chiragpur, kepada tuan tanah lainnya, Khawar.
"Sulit bagiku mengelola segala sesuatu dalam hidupku sekarang ini,"
keluh lelaki tua itu padanya. "Kau dan Jafar sudah cukup bersusah
payah dengan tanah di sekitar sini. Ya, menurutku, aku akan
membiarkan Khawar muda itu membeli sejumlah tanah di sana. Dia
seorang pemuda yang pintar dan akan memelihara tanah itu dengan
baik. Aku tidak ingin menjualnya kepada orang lain selain dia."
"Aku sepakat denganmu, Ayah. Zarri Bano sedang berpikir untuk
membuka sebuah perusahaan penerbitan di Karachi, dengan bantuan
Jafar. Jadi, dengan keterlibatan putraku di bisnis tersebut, aku
merasa tidak akan punya cukup waktu untuk mengawasi kedua lahan
di Tanda Adam sini dan di Chiragpur."
"Mana Zarri Bano?" Siraj Din bertanya pada menantu perempuannya
saat Shahzada duduk di samping suaminya. Dia sudah disambut
Jafar dan cucu bungsunya, Ruby.
Habib melemparkan sorot mata bertanya ke arah istrinya. Siraj Din
juga memusatkan sepasang mata hijaunya, seperti putranya, ke
wajah menantu perempuannya. Pancaran mata Shahzada
menunjukkan kegentaran di depan
mereka berdua. Dengan salah tingkah, dia memainkan gantungan di
ujung renda chador-nya, dengan tegang Shahzada menunggu Habib
yang menjelaskan.
Beberapa detik berlalu. Habib tidak juga menjelaskan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dengan alis cokelat tebalnya yang berbentuk segitiga tampak


terangkat di atas hidung elangnya, Siraj Din kini terpana
menyaksikan keheningan.
Menyadari Habib sengaja berdiam diri, Shahzada terpaksa harus
menjelaskan. Dia paham: ini adalah pembalasan Habib terhadap
reaksinya membiarkan Zarri Bano pergi ke Karachi mendatangi
rumah Sikander.
"Dia sedang berada di Karachi," jawab Shahzada dengan suara pelan
dan datar.
"Apa yang sedang dilakukannya di sana?" tanya Siraj Din dengan
nada tajam, yang segera saja menyadari bahwa hampir semua
anggota keluarga ada di rumah itu. Cucu tertuanya pasti pergi
sendirian.
Sebuah keheningan yang ganjil merebak. Tatapan Siraj Din yang
penuh tanya berpindah-pindah dari putranya ke menantu
perempuannya. Sebuah ketegangan yang tersembunyi di ruangan itu
menyiratkan padanya tentang adanya sesuatu yang salah sedang
terjadi. Pasangan yang duduk di hadapannya itu tampak tertunduk
seperti sedang saling menunggu. Masing-masing dari mereka tampak
saling ingin melempar tanggung jawab untuk menjelaskan masalah
Zarri Bano.
Shahzada yang pertama memandang takut-takut ke arah ayah
mertuanya lalu ke arah suaminya, hatinya terpuruk saat melihat
kekejaman yang sesungguhnya di mata suaminya tercinta, Habib.
Dengan tabah, dia menerima kenyataan bahwa Habib sedang dalam
suasana hati yang bengis dan tak mau kompromi.
"Zarri Bano sedang berkunjung ke rumah Sikander." Dia
mengabarkan berita itu sambil memindahkan gelas-gelas minum ke
atas baki. "Keluarga Sikander menginginkannya datang dan
mengunjungi rumah mereka." Suara Shahzada membahana dalam

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

keheningan ruangan itu. Seketika itu juga dia merasa sangat


membutuhkan udara segar dari halaman belakang rumah mereka.
"Apakah kau sedang mengatakan padaku, Shahzada, bahwa cucu
perempuanku yang masih muda dan perawan itu telah pergi sendirian
untuk tinggal di rumah sebuah keluarga asing dan dengan ditemani
seorang pemuda bujangan?" kata-kata Siraj Din merobek telinga
Shahzada bagaikan satu lecutan cambuk. Ayah mertuanya tidak
pernah berbicara padanya dengan nada suara ketus ataupun dengan
diiringi sikap yang seperti itu.
"Aku tidak melakukan kesalahan apa pun!" tukas Shahzada. Hatinya
bergetar oleh kemarahan. Teringat akan sorot mata tajam putri
sulungnya, Shahzada memberanikan diri untuk menatap langsung
mata ayah mertuanya; dia juga merasa yakin bisa berbicara lantang
di hadapan orang yang paling dituakan di keluarga besar mereka itu.
"Aba Jan, " dia berkata pelan-pelan. Dia selalu memanggilnya dengan
kata yang berarti 'Ayah' itu. "Zarri Bano sudah pernah tinggal
sendirian di Karachi di sebuah pondokan, seperti yang Anda ketahui,
saat dia kuliah di universitas. Lagi pula dia akan tinggal di Karachi
karena perusahaan penerbitan yang ingin dibangunnya. Dia adalah
seorang perempuan dewasa berusia dua puluh tujuh tahun. Dan dia
tidak berangkat sendirian. Jafar berangkat bersamanya. Orangtua
Sikander memintanya tinggal beberapa hari lagi. Kupikir itu bagus
untuknya agar lebih mengenal Sikander dan keluarganya sebelum dia
menikahinya." Shahzada dalam hati membebaskan jiwa
pemberontaknya yang baru saja menyeruak dengan mengatakan pada
dirinya sendiri bahwa dia melakukan itu semua demi anak
perempuannya.
"Oh, begitu," komentar lelaki tua itu dengan nada suara pelan yang
mengancam. "Dan itu artinya dia tinggal di rumah yang sama, bukan?
Menghabiskan waktu dengan seorang pemuda—dua orang yang bukan
sedarah atau memiliki pengesahan apa pun yang mengikat mereka?

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sejak kapan kau menjadi begitu tidak bermoral?" suara Siraj Din
melecut Shahzada.
Tercekat mendengar penghinaan langsung yang diucapkan ayah
mertuanya dan kata-kata yang begitu menuduh, darah mengalir
deras ke pipi Shahzada.
Dengan mengetukkan tongkatnya berirama ke atas karpet sutra,
Siraj Din menunggu menantunya mengatakan sesuatu—sebuah
permintaan maaf karena kelancangannya dalam berbicara dan
menjawab pertanyaannya secara langsung, bukan membiarkan
suaminya yang melakukannya. Dan di atas semua itu, dia bahkan
kemudian cukup berani untuk membuat pembenaran atas sikapnya
pada sang ayah mertua! Sekarang ini Siraj Din murka sekali
terhadap menantu perempuan kesayangannya. Menunjukkan
kekecewaannya yang mendalam, dia menggeleng-gelengkan kepalanya
tak percaya. Ini bukan Shahzada yang pernah dikenal dan
dicintainya.
Shahzada melemparkan tatapan tak berdaya ke arah sang suami. Dia
sangat mengharapkan dukungannya, berharap Habib akan
mengatakan sesuatu untuk membelanya. Namun, Habib, dengan sorot
mata sedingin sorot mata ayahnya, tetap terdiam dengan penuh
wibawa di sampingnya.
Tiba-tiba saja Shahzada kembali merasa sangat tertekan dan ingin
segera keluar dari keadaan yang memojokkannya itu. Dia bangkit,
tetapi kata-kata Siraj Din kembali membuatnya terpaku di sofa.
"Shahzada, aku tahu bahwa aku tak lebih dari seorang lelaki tua dan
aku akan segera menjadi uzur di tengah dunia yang terus berubah
ini. Hari demi hari kita terus diserang oleh nilai-nilai Barat, lewat
satelit dan acara-acara televisi. Namun, aku harus berkata bahwa
trah-ku belum seterpuruk itu untuk menjadi 'maju' yang keblinger,
yang rusak moralnya, sehingga kita akan membiarkan anak-anak
perempuan kita yang cantik dan belum menikah tinggal di rumah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

orang-orang asing tanpa pengawalan. Bersama dengan luasnya tanah


kita, istri kita, dan anak-anak perempuan kita, ada izzat kita—
kehormatan kita—dan itu adalah sesuatu yang paling berharga di
dalam kehidupan kita. Kita tidak akan pernah kompromi mengenai
perempuan kita dan izzat kita! Tidak peduli dalam zaman apa pun
kita hidup, tidak peduli apa yang sudah didiktekan dunia pada kita;
tidak peduli dusta-dusta setan yang seperti apa pun di luar pintu
rumah kita. Bahkan, jika kau mempersembahkan, melupakan, atau
mengambil bagian di dalam sopan santun lainnya di kelas pemilik
tanah dari zaman tuan-tuan tanah feodal, kita tidak akan pernah
membiarkan kau menodai izzat kita atau kehormatan para
perempuan kita, Shahzada."
Dicecar seperti itu, Shahzada tidak berani mengangkat matanya,
ataupun membiarkan dirinya berbicara. Dia terpuruk ke dalam
kegamangan setelah dipermalukan ayah mertuanya, dengan bahasa
tubuh yang menghina dan
memamerkan ketidaksukaannya. Setelah itu, Siraj Din mengusirnya
dengan memunggunginya dan bersandar ke sofa besar.
Sambil menggigit bibir bawahnya yang gemetaran, Shahzada
menyiratkan rasa sakit hatinya atas pengkhianatan suaminya.
Dengan sebuah gerakan kikuk dan dengan memastikan bahwa
chador-nya tidak melorot dari kepalanya, perlahan-lahan dia
berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan kedua lelaki itu.

4.

SIKANDER DAN Zarri Bano sedang berjalan-jalan berduaan


sepanjang kebun jeruk di rumah Sikander, di pinggiran Kota Karachi
yang subur. Matahari siang sedang bersinar terang di atas mereka.
Saat mereka berjalan bersisian, suasana yang menyelimuti mereka
adalah pengharapan dan kegairahan. Sambil mengobrol ringan,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

keduanya tampak bahagia untuk berkeliling saja di sekitar topik


utama di benak mereka, dengan menurutkan kehendak hati dan
bersenda gurau.
Ini adalah pertemuan ketiga mereka. Zarri Bano, yang secara khusus
diundang untuk mengunjungi rumah Sikander, telah menerima
undangan itu dengan anggun. Sikander pada kenyataannya,
sebagaimana yang diperkirakan oleh Zarri Bano, kembali ke Tanda
Adam untuk mengunjunginya yang kedua kalinya. Kali ini mereka
diberi kesempatan menghabiskan waktu sehari penuh berduaan. Dan
Sikander tidak mengecewakan Zarri Bano, sebagaimana yang
disadari Ruby kemudian.
Setelah makan malam, Sikander menawarkan diri memandu Zarri
Bano mengelilingi kebun keluarganya. Kali ini tidak ada orangtua yang
mengawal mereka. Mereka tidak diperlukan. Mereka adalah dua
orang dewasa yang membutuhkan dan mendambakan komunikasi dan
penjajakan terhadap perasaan mereka satu sama lain, sebelum
menetapkan takdir mereka berdua.
Mereka sudah berjalan jauh dari rumah besar. Berjalan kaki di
antara pepohonan jeruk, Zarri Bano berusaha menggapaikan
tangannya untuk memetik sebuah sitrun matang dari batangnya.
"Mari kubantu, Zarri Bano."
Itulah untuk pertama kalinya dia memanggil Zarri dengan nama
panjangnya bukan dengan panggilan formal "Sahiba". Panggilan itu
terdengar bagaikan musik di telinga Zarri Bano.
Saat Sikander meraih batang pohon itu dan menarik sitrun dari
batangnya, tak sengaja dia menyentuh tangan Zarri Bano. Gadis itu
terdiam, suatu kesadaran yang ganjil merasuki tubuhnya. Dia
menunggu lelaki itu menarik tangannya.
Dia tidak melakukannya.
Akhirnya Zarri Banolah yang harus mengentakkan tangannya dengan
sangat tersinggung. Zarri menantang Sikander secara langsung.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dengan tangan masih merasakan getaran dari sentuhan jemari


Sikander, dia berkata dengan lirih dan emosional, "Sahib Sikander,
kita berdua saja di kebun ini dan hanya berbicara berdua. Namun,
biar kujelaskan padamu, aku tidak akan pernah mengizinkan siapa
pun menjadi sedemikian bebasnya padaku. Tak seorang lelaki pun
yang pernah menyentuhku atau berani melakukan itu, tidak peduli
betapa tak bersalahnya dia."
Sikander menatap Zarri Bano. Sepercik kesedapan membias di
matanya. Dia memandang ke arah tangan Zarri Bano lagi. Dia sangat
memahaminya!
"Kebebasan apa yang sudah kurampas, Zarri Bano?" dia bertanya
dengan suara lembut. "Jika sebentuk kontak fisik yang tak disengaja
dari tanganku ini harus dibalas tangkisan kasarmu, kita mungkin
sudah salah mengartikan kewajaran situasi ini, atau alasan mengapa
kita di sini—berjalan berdua, seperti yang kau katakan, seorang
lelaki dan seorang perempuan tanpa ikatan di antara kita. Aku
sempat mengharap bahwa ada satu tujuan dari jalan-jalan kita ini —
tujuan untukmu tinggal di rumahku, pada kenyataannya. Itu
sebabnya ibu dan adikmu meninggalkanmu di sini, bukan?"
Pipi Zarri Bano sontak merona. Dia datang ke kebun ini untuk
memberinya jawaban secara pribadi bahwa dia bersedia menikah
dengannya, tetapi sekarang, keinginan untuk menundanya meraja
dalam diri Zarri Bano. Dia ingin memberi Sikander pelajaran—
menghukumnya atas kekurangajarannya.
"Kau sudah salah duga, Sahib Sikander. Tidak ada satu tujuan dalam
jalan-jalan kita ini. Aku hanyalah seorang tamu di rumahmu dan aku
ingin berjalan-jalan mengelilingi kebunmu. Kau menawarkan diri
menemaniku. Itu saja." Dia tersenyum sopan pada pemuda itu.
"Baiklah, jika kau berpikir bahwa aku terlalu bebas, Sahiba, dan
tidak ada tujuan dari jalan-jalan kita ini, aku akan meninggalkanmu
dengan damai. Aku sendiri tidak terbiasa membawa perempuan yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

masih lajang berkeliling kebun kami. Aku akan berjumpa denganmu


lagi di dalam rumah." Dia membalas senyum Zarri Bano sesaat
sebelum pergi berlalu, meninggalkan Zarri Bano yang terpaku
mendengar jawabannya.
"Sahib Sikander!" Zarri Bano memanggilnya, mengerahkan
kecerdasannya setelah merasa terpojok oleh aksi Sikander. Dia
telah membalikkan meja ke arahnya dengan begitu rapi. "Kau
memperlakukan tamu dengan tidak layak. Kupikir ada sebuah
handani, kode etik, dan kehormatan seorang Sindu."
Sikander membalikkan tubuhnya untuk memandang Zarri. Zarri
sedang berdiri di samping pohon jeruk. Kedua tangannya memeluk ke
belakang seperti sedang merengkuh pohon itu—nyaris bersatu
dengannya. Sepoi angin nan hangat bermain-main dengan pakaian
yang dikenakannya dan beberapa helai rambut panjang
bergelombang berjatuhan di sekitar wajah dan bahunya.
Sikander menahan napas. Zarri sedang memandanginya dengan
pancaran sinar mata yang sama terlukanya dengan keluguan yang
diperlihatkannya ketika dia berada di bawah pohon di mela tempo
hari. Hanya saja, kali ini dia mengenakan pakaian berwarna hijau
gelap dan tampak begitu menawan. Seakan sedang ditarik gaya
magnet, Sikander berbalik dan melangkah mendekat kembali, lalu
berdiri tepat di hadapan Zarri.
Zarri Bano mengawasinya dan menunggu. Sebuah gelombang
kegembiraan tiba-tiba saja menjalari nadinya. Karena tidak mampu
mengendalikan perasaannya saat Sikander berlalu dengan marah
darinya, dia pun panik. Dengan satu sentakan saja, kenyataan
sesungguhnya menyeruak, bahwa dia ternyata sangat memedulikan
lelaki itu, dan bahwa pendapatnya berarti banyak bagi Zarri.
Matanya tidak akan mampu dikenalinya lagi, seakan berbicara dan
berbisik pada Sikander apa yang diingkari oleh hati dan benaknya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri adalah seorang perempuan berperawakan tinggi, tetapi


Sikander masih lebih tinggi beberapa inci. Zarri Bano menengadah
memandang wajahnya. Matanya tersedot oleh jurang dalam di dagu
Sikander. Lalu mata Zarri terangkat —terkunci oleh matanya.
Tak sanggup menahan diri lagi, Sikander merengkuh tangan Zarri
dan menggenggamnya. Kali ini Zarri tidak berusaha menarik
tangannya. Sikander terpukau dengan bentuk tangannya,
kelembutan, dan warnanya. Dia juga terpukau melihat kuku-kuku jari
yang terpelihara dengan baik. Dia membiarkan jemarinya perlahan
menyelusuri kulit lembut itu.
"Tangan yang sangat indah," gumamnya. Matanya menantang mata
Zarri Bano untuk memberontak dari rengkuhannya. Kemudian
sebelum Zarri sempat menyorotkan keterkejutannya, Sikander
membalikkan tangan gadis itu dan jemarinya mulai meraba telapak
tangannya.
Zarri Bano terpaku karena terkejut. Jantungnya berdegup kencang,
sebelum dia sempat menarik tangannya. Zarri sangat ketakutan
melihat aksi Sikander dan juga reaksi dirinya sendiri terhadap
perlakuan lelaki itu. Dia menyukai rasa saat jemari Sikander
menyentuh telapak tangannya. Akal sehat dan sopan santun
perempuannya menuntutnya untuk menarik tangannya dari tangan
Sikander.
Dia semakin terguncang ketika Sikander kembali menarik tangannya
yang satu lagi dan melakukan hal yang sama. Dia berusaha
menariknya kembali, tetapi lelaki itu enggan melepaskannya. Rona
wajahnya memerah. Zarri memalingkan wajahnya karena malu
menatap gairah yang membara di mata lelaki itu. Dia pun salah
tingkah. Sikander sedang menjarah wilayah terlarang dari dunia
intimnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dari tindakan Sikander, keduanya menyadari bahwa mereka telah


tenggelam dalam suatu ikatan. Tidak ada lagi langkah mundur untuk
mereka. Mereka telah sedemikian saling mengenal satu sama lain.
Sikander terpuaskan. Zarri ketakutan setengah mati, tetapi dia
tidak menarik tangannya ketika untuk kedua kalinya digenggam oleh
lelaki itu. Mata Zarri nyata-nyata memperlihatkan bahwa tidak ada
lagi yang bisa dilakukan ataupun dibisikkan tentang apa yang
memenuhi hatinya.
"Aku sepertinya sudah menambah daftar kejahatanku di bukumu.
Sepertinya aku ditakdirkan untuk begitu cepat tenggelam dalam
semua pradugamu," rayu Sikander. Dia tersenyum lembut ke arah
Zarri Bano. "Aku tidak pernah seakrab ini. Apakah Shahzadi Zarri
Bano sekarang sudah tak mampu berkata-kata?"
Wajah Zarri Bano merebakkan senyuman, menampakkan lesung pipit
nan menawan di pipi kirinya.
"Aku tidak akan pernah membiarkanmu menjadi sedemikian akrab
jika aku tidak menginginkannya," dia menjawab lirih.
"Kalau begitu aku merasa terhormat."
"Ya, memang sudah seharusnya. Ini adalah untuk pertama kalinya
aku membiarkan seorang lelaki asing menyentuh tanganku."
"Namun, aku tidak akan menyentuh dan memegang kedua tanganmu
yang indah ini andai aku tak berpikir bahwa aku memiliki hak untuk
melakukannya. Aku juga memahami parameter kepemilikan sosial."
"Dan hak apakah yang kau maksud itu, jika aku boleh bertanya?"
tanya Zarri Bano dengan nada suara yang sangat resmi. Kini dia siap
untuk bermain api. "Kau terlalu percaya diri, Sahib Sikander."
"Hak sebagai calon suamimu, bukankah begitu, Zarri Bano?"
bujuknya. Kedua matanya masih saja terpaku pada Zarri seraya
memancarkan kilauan gelapnya yang hangat.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Itu dia—lamaran secara lisan. Tidak ada lagi kata-kata yang


berputar-putar tentang masalah itu. Sikander kini menanti dengan
tegang sebuah jawaban dari gadis itu.
Ini adalah saat ketika Zarri Bano merasa begitu ketakutan,
sekaligus tergugah oleh kebahagiaan. Namun, dia malah dikuasai oleh
kekhidmatan yang terucap dalam momen tersebut. Senyum dan
lesung pipit Zarri menghilang dan dia menatap lelaki itu dengan
tatapan bingung. Dia tidak mampu memalingkan pandangannya.
Sikander menatapnya dan menunggu. Apakah dia akan menerima
lamarannya atau tidak? Perlahan Sikander melepaskan tangan Zarri.
Dia tidak ingin membebani gadis itu dengan sentuhan fisiknya, dan
dia pun bergerak untuk berdiri agak jauh darinya.
Zarri Bano mengawasi gerakan mundurnya dengan perasaan
kehilangan. Sekarang ini, dia sudah mengenali kekuatan karisma daya
tarik lelaki ini yang melingkupinya. Setelah sepenuhnya terlepas dari
lelaki itu, Zarri kembali ke alam realitas. Jangan sampai ada yang
disesalinya.
Dia adalah lelaki pertama yang berhasil membangkitkan sesuatu
dalam dirinya. Pada kenyataannya, dia sudah mulai merasa takut
terhadap perasaan-perasaan yang dibangkitkannya itu. Dia ingin
membagi hidupnya bersama Sikander. Bersamanya, menyentuhnya,
dan merasakan sentuhannya. Tanpa lelaki itu, hidupnya akan
berkabut laksana sebuah ruang hampa—kosong, tak berwarna, dan
tak berarti. Dia membiarkan dirinya terisap ke dalam medan
magnetnya. Dia menyadari secara naluriah bahwa Sikander adalah
sesuatu yang paling berarti dalam hidupnya.
Mengikuti kata hati, dia melangkah mendekati Sikander: menggapai
ke arahnya dan meletakkan tangannya di tangan lelaki itu. Sikander
menggenggamnya erat-erat. Kedua bahunya tampak rileks. Itu
adalah kejutan yang paling menyenangkannya, tetapi dia
membutuhkan sebuah tanggapan lisan dari Zarri. Dia menatap wajah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

gadis itu dengan sorot mata yang sekali lagi membujuknya, berusaha
memusnahkan sisa-sisa kefeminisan dalam diri gadis itu yang
tampaknya masih sulit ditundukkan.
Zarri Bano segera menanggapi. Pertama dengan sesungging
senyuman dan kemudian dia mencondongkan tubuhnya ke depan,
sampai bahunya hampir bersentuhan dengan bahu Sikander.
"Kau benar sekali, Sahib Sikander. Aku tidak akan membiarkan
tanganku disentuh jika aku tidak merasa bahwa itu benar." Pikiran
dan perasaan yang jujur sangat penting di saat seperti ini, "Aku
sangat tersanjung oleh lamaranmu dan kuharap kau juga akan
menghargai penerimaanku."
Kedua kelopak mata Sikander terpejam. Dia sudah menerimanya.
"Zarri Bano, aku tidak akan pernah membiarkanmu menyesalinya.
Aku akan membuatmu menjadi perempuan yang paling bahagia di
muka bumi ini," dia berikrar untuk dirinya dan untuk Zarri Bano
dengan suara yang dipenuhi janji.
"Aku juga berharap seperti itu karena seperti yang kau lihat, aku
sudah menolak banyak pelamar. Aku nyaris tergoda untuk menolakmu
juga." Dia menyunggingkan lesung pipitnya kepada Sikander. "Namun,
kau adalah satu-satunya yang akhirnya mendapatkanku, seperti yang
dikatakan oleh adikku. Bagaimanapun, aku menjunjung tinggi
kemerdekaanku. Di atas segalanya, aku tidak akan terikat dengan
cara apa pun. Kau harus memahami dan mengingatnya selalu, Sahib
Sikander."
"Aku akan jujur padamu juga. Kau adalah perempuan pertama yang
telah 'menangkapku lewat jaringnya'. Aku menginginkanmu apa
adanya. Itulah yang paling kusukai darimu—perilakumu yang lain
daripada yang lain, kecerdikan, dan kecemerlanganmu. Mari kita
masuk dan memberitahukan kabar gembira ini pada keluargaku.
Mereka akan sangat berbahagia, khususnya ayahku yang memimpikan
memiliki cucu dengan mata sepertimu. Kau dapat menelepon

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

orangtuamu." Matanya kembali menerawangi wajah Zarri Bano. Tidak


ada yang merona di kedua pipinya, sebelum dia menggandeng Zarri
Bano bersamanya.
Mereka berjalan berbarengan sejauh beberapa meter, bersisian,
dalam diam. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing dan
mantra gaib menyuratkan bahwa langkah mereka berdua sudah
digariskan. Begitu mereka mendekati vila itu, Zarri Bano bergerak
agak menjauh dari Sikander.
"Sulit sekali berjauhan denganmu, khususnya saat kau ada di gedung
yang sama," bisik Sikander ke telinganya dengan sebuah senyum
nakal menghias bibirnya.
***
Shahzada memasuki ruang tamu dengan rendah diri. Dia memegang
hookah dan isinya di tangannya. Dia meletakkannya perlahan di
samping ayah mertuanya dan kemudian duduk di sofa. Habib dan
ayahnya baru saja selesai bersantap dan kini sedang menikmati teh
shabz. Mereka terserap ke dalam sebuah diskusi seru tentang
pabrik bata yang baru saja dibuka di dekat desa mereka, dan
mereka sama sekali tidak memerhatikan Shahzada.
"Kita selalu berbangga diri atas pemandangan hijau di tanah milik
kita. Kini dengan adanya bisnis pembuatan bata, mereka menyisakan
sebuah kawah raksasa yang jelek di permukaan tanah. Tanah ini
diacak-acak seenaknya. Habib, kita harus melakukan sesuatu
tentang hal ini secepatnya. Aku tidak akan membiarkan industri-
industri pembuat polusi ini didirikan di sekitar desa kita, tidak
peduli selaku apa pun mereka. Di pedesaan kita berbangga hari
dengan adanya udara segar."
Siraj Din menatap sekilas menantunya saat Shahzada berdiri dan
mengambil hookah lagi. Perempuan itu berpikir bahwa memindahkan
posisi pipa itu akan membuat ayah mertuanya semakin nyaman
meraih pipa itu, lalu dia meletakkannya di dekat kaki Siraj Din.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sambil bersandar, Siraj Din meraih pipa itu ke arahnya dan


mengisapnya kuat-kuat, membuat asap di dalam bejana aluminium
yang mengilap itu bergejolak.
Saat mengisap pipanya, matanya melirik ke arah Shahzada, melihat
segaris senyum masam di wajahnya dan semburat pucat di pipinya.
Dia tidak mampu menahan diri untuk tidak membalas senyuman
menantunya itu. Sorot matanya meredup dan dihiasi pancaran cinta
seorang ayah dan rasa sayang. Shahzada akan selalu menjadi
menantu kesayangannya meskipun sudah melakukan kesalahan
dengan membuatnya berang. Sesungguhnya, dia memiliki tempat
yang lembut di hatinya untuk Shahzada. Dia mengharapkan semua
menantu perempuannya seperti Shahzada. Dengan besar hati, Siraj
Din memutuskan untuk memaafkannya. "Dia manusia juga dan semua
manusia kadang-kadang melakukan kesalahan."
Mata hijau Siraj Din menyempit saat menatap garis-garis
ketegangan di wajah putranya. Siraj Din tidak bisa mengira-ngira
suasana hati Habib dan hubungannya dengan sang istri. Beberapa
saat sebelumnya, siang itu kentara sekali adanya kebekuan di antara
mereka berdua, nyaris tampak seakan-akan mereka adalah dua orang
asing. Tidak ada kata-kata atau sorot mata hangat yang terjalin di
antara mereka. Sebaliknya, Habib hampir bersikap kejam terhadap
istrinya dengan tidak memberi dukungan apa pun padanya. "Apa yang
terjadi di antara mereka?" pikir Siraj Din. Dia merasa tergugah rasa
ingin tahunya oleh adanya jurang yang menganga di antara orang-
orang yang saling mencinta ini.
Siraj Din melemparkan pandangan bertanya ke arah menantu
perempuannya.
Shahzada tersipu dipandangi seperti itu. Dia menyampaikan sebuah
berita dengan agak takut-takut, "Aba Jan, Zarri Bano baru saja
menelepon dari Karachi. Dia memberitahuku bahwa dia sudah
memutuskan untuk menikah dengan Sikander dan dia terdengar

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

begitu bahagia." Shahzada menatap kedua wajah lelaki itu dengan


harap-harap cemas.
Dia menunggu, memandang satu wajah dan beralih ke wajah lainnya,
tetapi yang ada hanyalah kesunyian yang senyap sebagai sambutan
atas berita itu: Berhadapan dengan wajah dingin ayah mertuanya,
Shahzada gemetar karena gugup. Sepasang jemarinya terus-
menerus mengetuk-ngetuk pinggiran cangkir keramiknya yang
berwarna emas. Ketika dia menoleh ke arah sang suami, sepasang
sorot mata sekeras besi terpancar untuknya. "Mengapa mereka
bersikap begitu dingin terhadapku?" Shahzada bertanya pilu pada
dirinya sendiri. "Tidakkah mereka bahagia mendengar berita itu?"
Dari kedalaman naluri keibuannya, muncul kenekatan dan
pemberontakannya. Dia memutuskan untuk mengatakannya secara
langsung kepada mertuanya.
"Tidakkah kalian berdua bahagia bahwa pada akhirnya kita berhasil
mengatur perjodohan untuk Zarri Bano dan untuk kepuasan kita?"
tanyanya, dan dia sudah tak mampu menutup-nutupi nada
menuduhnya atau perasaan sakit hati di matanya.
Terguncang oleh kelancangan menantu "kesayangannya", Siraj Din
dengan ketus membalas kata-katanya.
"Mengatur, Shahzada? Kami tidak melakukan pengaturan apa pun.
Kau dan anak perempuanmu yang telah seenaknya mengatur semua
itu. Kau bahkan tidak berniat memberi tahu kami bahwa Zarri Bano
berangkat ke Karachi atau membicarakannya dengan kami terlebih
dahulu apakah dia boleh pergi atau tidak, tanpa kehadiranmu sebagai
pengawalnya. Tampaknya, Shahzadaku, kami tidak punya komentar
apa pun tentang masalah ini. Luar biasa sekali kau telah melewati
kami berdua, Habib dan aku. Aku tidak menyangka betapa cerdiknya
menantuku. Kenyataannya, aku mulai penasaran, siapakah yang
sesungguhnya menjadi kepala rumah tangga di rumah ini. Siapa yang
berkuasa di

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

rumah ini? Kau atau anakku, Habib?" Siraj Din terdiam saat melihat
putranya sontak bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruangan.
Shahzada menyaksikan semua itu dengan kepiluan dan kebingungan.
Habib tidak mengatakan sepatah kata pun. Tidakkah dia merasa
berbahagia atas putrinya? Apa yang terjadi padanya? Mulut
Shahzada kini begitu kering. Dia menoleh ke arah pandangan mata
ayah mertuanya yang sama dengkinya. Siraj Din menarik kakinya ke
atas sofa dan kembali mengisap pipa panjangnya.
"Aba Jan, Anda tahu orang-orang ini sangat tertarik pada Zarri
Bano kita." Shahzada merasa wajib menjelaskannya. "Jafar yang
memperkenalkan kita pada mereka. Sahib Habib tidak
memberitahukan semuanya pada Anda. Anda tahu kami tidak pernah
melakukan apa pun tanpa restu atau kewenangan dari Anda. Tolong
maafkan aku jika telah memberi kesan lain pada Anda. Sahib Habib
adalah kepala rumah tangga di rumah ini, bagaimana mungkin Anda
meragukannya? Dan bagaimana mungkin aku, yang hanyalah seorang
perempuan ini, berani mengambil langkah mengatur pernikahan anak
perempuanku tanpa melibatkan Anda berdua? Anda menghinaku
sekaligus diri Anda sendiri dengan kesimpulan yang ganjil seperti itu.
Aku tidak bersalah apa pun, Aba Jan. Aku tidak melakukan
kesalahan apa pun. Jika kecintaanku pada putri sulungku dan
pertimbanganku atas masa depan kebahagiaannya dalam menikahi
orang yang tepat adalah kejahatan menurut Anda, berarti aku
memang bersalah." Shahzada mengakhirinya dengan terdiam,
mengumpulkan seluruh harga dirinya.
"Kalau begitu, katakan padaku, Shahzada, mengapa putraku bersikap
begitu aneh padamu?" tanya Siraj Din ketus seraya menyimpan
pipanya. "Aku telah hidup lebih dari tujuh puluh tahun untuk menjadi
tidak buta dalam melihat tanda-tanda bahwa putraku tampak sangat
terganggu atas dirimu sepanjang siang ini. Dia sama sekali tidak
menunjukkan restunya terhadap perjodohan dengan pemuda kaya ini

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dan kau serta anak perempuanmu tampak begitu serius tentangnya.


Katakan padaku, Shahzada, mengapa demikian?" Sorot mata Siraj
Din menusuk langsung mata Shahzada. Dia tidak pernah menatap
dengan sedemikian tajam kepadanya sebelumnya.
"Aku tidak tahu," sahut Shahzada pilu. Kepalanya tertunduk. Dia tak
mampu menjelaskan sikap penolakan suaminya terhadap Sikander
maupun kekesalan ayah mertuanya.
Dengan air mata meleleh di ujung matanya, Shahzada bangkit sambil
terus menyembunyikan wajahnya. "Aku akan melihat apakah Jafar
sudah pulang berkuda," sahutnya lirih dan dia pun meninggalkan
ruangan itu.
Namun, yang dilakukan oleh Shahzada bukan melihat Jafar,
melainkan mencari suaminya.
***
Shahzada menemukan suaminya berada di kamar tidur mereka. Dia
sedang berdiri memunggunginya, menatap ke luar ke arah ladang
gandum dan jagung. Dia mendengar istrinya masuk dan nalurinya
mengatakan bahwa itu memang Shahzada. Shahzada berhenti di
tengah-tengah kamar tidur yang luas itu, menunggu lelaki itu
membalikkan tubuhnya dan menatapnya. Dia tidak melakukannya.
Dalam kebingungan, Shahzada melangkah mengelilingi ruangan,
mengambil handuk besar yang lembut dari ranjang Habib. Melipatnya
dan menyimpannya di atas kursi. Kemudian, dia menegakkan buku-
buku dan jurnal bisnis Habib di meja kerjanya di depan sofa. Lalu
Shahzada menepuk-nepuk tumpukan bantal untuk kemudian disusun
rapi di sudut sofa kulit, dan dia pun berdiri sambil mengawasi seisi
ruangan—tidak ada lagi yang bisa dilakukannya.
Punggung Habib masih saja menghadap ke arahnya. Menyerah pada
kenyataan bahwa suaminya tidak akan mulai berbicara padanya
ataupun menanggapi keberadaannya, Shahzada pun menelan harga
dirinya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Sahib Habib," bisiknya perlahan. Dia melangkah pelan untuk berdiri


di belakang suaminya dan menyentuh tangannya. "Tidakkah
menyenangkan jika Zarri Bano sudah setuju untuk menikah dengan
Sikander? Aku sangat bahagia." Dia merasakan otot-otot tangan
suaminya begitu tegang disentuhnya. "Tidakkah kau berbahagia,
Habib Sahib?" ulangnya.
"Bahagia, Shahzada?" Habib tiba-tiba saja membalikkan tubuhnya,
menatap marah ke bawah, ke arahnya, dari tubuh tingginya yang
menjulang. "Aku sudah mengatakan padamu, aku tidak tahan dengan
lelaki itu! Kau pikir aku akan membiarkannya menikahi putri
kesayanganku? Dia tidak pantas untuk Zarri Bano." Dia mengabaikan
pandangan ketakutan di wajah Shahzada.
"Habib, Zarri Bano baru saja mengatakan pada kita bahwa dia ingin
menikah dengan Sikander. Putri kita mencintainya!" Dia terbata-
bata memohon pengertian sang suami.
"Cinta!" bentak Habib. "Sejak kapan perempuan-perempuan kita
mulai jatuh cinta sebelum menikah?" dengusnya. Sorot matanya kali
ini memancarkan kilau hijau kemarahan.
Jantung Shahzada berdetak kencang saat dia mengangkat wajah
putus asanya menghadap suaminya. "Kau tidak akan mampu
memerangi sesuatu yang sealamiah cinta, Habib," balasnya. "Penyakit
apa yang sedang melandamu?" serunya. Matanya menatap tajam
wajah suaminya.
"Aku akan memberitahumu penyakit yang sedang melandaku!" bentak
Habib tepat di muka Shahzada. "Jika kau mendukung putriku untuk
menikahi lelaki ini dengan melawan keinginanku, aku akan
menceraikanmu saat ini juga, Shahzada—bukan talak satu atau talak
dua, tapi talak tiga sekaligus! Kau akan kuceraikan, talak tiga! Dan
itu akan kunyatakan sekaligus!" Dia memberondongkan kata-kata itu
dengan kejam. Matanya memancarkan kebencian yang membara ke
dalam mata Shahzada.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Shahzada terjajar ke belakang karena terguncang. Mulutnya


setengah terbuka. Tatapan yang menyiratkan kemarahan dan
keterkhianatan tampak di matanya. Suaminya yang lembut dan baik
hati sudah berubah menjadi sesosok asing yang sudah
mengancamnya dengan hukuman terkeji yang bisa diterima seorang
perempuan dari suaminya. Talak tiga.
"Kau! Kau...," gagapnya dengan suara bergetar seraya mengepalkan
tangannya kuat-kuat di dadanya yang terasa sesak. "Kau bisa
melakukan itu padaku? Kau akan menceraikanku? Aku, Habib,
istrimu?" Mata cokelatnya yang hangat menatap nanar dengan
memancarkan luka hati bercampur keterkejutan. "Kekuatan iblis
mana yang merasukimu, suamiku terkasih? Kegilaan macam apa ini?"
Tersedak oleh kata-katanya sendiri, dia terjajar, berlari
menjauhi suaminya dan langsung menghambur ke pelukan pengurus
rumahnya, Fatima, begitu perempuan baik itu memasuki kamar
terburu-buru tanpa mengetuk pintu.
Kedua perempuan itu saling menatap, tidak mampu memahami
pandangan mereka satu sama lain. Wajah keduanya menyiratkan luka
dan ketakutan.
"Nyonya! Jafar, Nyonya," sahut Fatima gugup. Wajahnya sepucat
mayat. Dia menatap tajam majikannya. "Ia... ia...," Fatima tak mampu
melanjutkan kalimatnya. Dia malah membenamkan kepalanya ke dada
Shahzada.
"Jafar?" sahut Shahzada. Otaknya berputar saat disaksikannya
sang suami berlari keluar dari ruangan.

5.

PELAYAN BERPAKAIAN apik hilir mudik di sekitar meja tempat


Sikander dan Zarri Bano tengah bersantap di pojok yang agak
terpisah di sebuah restoran mewah di Karachi. Setelah pelayan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berlalu membawa piring-piring, Sikander berkesempatan


memandangi Zarri Bano dengan tatapan lembut. Karena terlalu malu
untuk membaca sorot matanya, Zarri Bano melemparkan
pandangannya ke arah orang-orang lain yang sedang makan malam di
ruang tengah berpendingin yang didekorasi dengan indah bercorak
Mughal*. (* Mughal adalah sebuah dinasti Muslim yang pernah
menguasai sebagian India antara 1526-1857—penerj.)
"Kau seorang perempuan yang sangat cantik, Zarri Bano," bisik
Sikander. "Pelayan itu tidak tahan untuk tidak memandangimu."
"Aku merasa hal itu memalukan, Sahib Sikander," Zarri Bano merasa
harus menyatakannya. Dia tahu benar bahwa pipinya merona. "Aku
belum pernah makan di luar berduaan dengan seorang pemuda
sebelumnya."
"Apakah aku masih tampak seperti seorang pemuda, Zarri Bano?
Pasti tidak begitu!" Zarri mendengarkan kata-kata itu mengandung
kegusaran sekaligus luka hati.
"Memang, Sikander, kau akan seperti itu sampai aku melangkahkan
kaki ke dalam rumahmu sebagai seorang istri." Matanya terpaku
pada lukisan Mughal dari abad ketujuh belas yang menggambarkan
seorang maharani sedang berjalan-jalan di tamannya. Zarri Bano
merasa harus menjelaskan keadaannya kepada Sikander. "Untuk
saat ini, tidak ada apa-apa di antara kita."
"Aku tidak sepakat tentang itu, Zarri Bano." Sikander
mencondongkan tubuhnya ke depan di atas taplak meja. Tatapan
lembutnya menghangatkan wajah Zarri. "Ada 'segalanya' di antara
kita, dan kau tahu itu! Tak lain daripada cinta pada pandangan
pertama, sejak kita saling berpandangan di mela!"
Zarri Bano menentangnya dengan halus. "Tidak ada ikatan darah di
antara kita, Sikander. Kau bukan kerabat atau saudaraku."
"Tuhan melarangnya, Zarri Bano. Aku tidak akan pernah menjadi
saudaramu! Perkataan macam apa ini? Mari kita ganti pokok

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

pembicaraan. Ceritakan padaku tentang perusahaan penerbitan yang


kau bicarakan kemarin dan rencana apa yang kau buat di Karachi ini."
Zarri Bano mengabaikan permintaannya dan malah melontarkan satu
pertanyaan, "Seringkah kau membawa perempuan kemari untuk
makan malam bersamamu?" Untuk beberapa alasan, sangat penting
baginya untuk tahu berapa banyak perempuan yang pernah duduk di
seberang meja Sikander. Terkejut karena munculnya pertanyaan itu,
Sikander terdiam. Kemudian dia melongokkan kepala ke bawah untuk
melihat serbet di tangannya.
"Tidak terlalu sering, tetapi aku membawa teman-teman pria dan
kolegaku ke tempat ini. Mengapa kau tanyakan?"
"Aku hanya penasaran." Zarri tersipu. Dia menjelaskan, "Karena
begitulah orang-orang Karachi biasanya berperilaku, sebut saja,
lebih 'maju' daripada kami yang ada di pedesaan. Dari yang kutahu,
kau membawa seorang perempuan baru ke tempat ini setiap malam.
Orang-orang itu melakukan banyak hal di sini yang dianggap tidak
bermoral bagi kami di pedesaan, khususnya hubungan bebas antara
lelaki dan perempuan."
"Dan kau, Zarri Bano? Di manakah posisimu?" tanya Sikander. Dia
merasa lebih terpikat lagi oleh perempuan yang duduk di
hadapannya.
"Tidak di mana-mana, Sikander." Sebuah tatapan sangat serius
terbias di matanya. "Jangan terkecoh oleh kesan modern di
hadapanmu. Aku mungkin tampak seperti bagian dari itu, tetapi di
dalam diriku, aku adalah produk asli keluargaku. Jangan pernah kau
lupakan itu. Aku berpikir dan berperilaku dalam satu sikap yang
konsisten dengan tradisi keluargaku. Aku menghormati dan
mengikuti tradisi kami yang sudah berabad-abad usianya. Inti sari
kehidupanku terletak pada kesejahteraan keluargaku.
"Untung bagiku karena memiliki ayah dan kakek tercinta yang sangat
ulet—keduanya sangat mengasihiku dan membiarkanku melakukan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

apa yang ingin kulakukan. Sebagai contoh, tidak pernah terdengar


sepuluh tahun yang lalu seorang perempuan dari keluargaku tinggal
jauh dari rumah. Aku melakukannya. Aku tinggal di sini, di Karachi,
selama tiga tahun saat aku belajar di universitas untuk gelar
masterku. Sekarang ini ayahku yang menurut gurauan adikku
'bersedia menjual seluruh isi dunia ini' untukku, sedang membantuku
mendirikan sebuah kantor penerbitan besar. Ngomong-ngomong,
tahukah kau, Sikander, bahwa kau akan menikahi seorang perempuan
kaya raya?" canda Zarri Bano.
Mata abu-abu Sikander berkilauan. "Bukan kekayaanmu yang
kupikirkan. Aku memiliki kekayaanku sendiri yang layak bersaing
dengan kekayaan ayahmu," balasnya. Lalu, sambil mencondongkan diri
ke atas meja, Sikander berbisik, "Hanya kau yang kuinginkan!"
Semburat merah merona di pipi Zarri Bano menuntut Sikander
untuk kembali duduk di bangkunya dan mengusulkan sesuatu, "Kita
pergi?"
"Ayo!" sahut Zarri Bano penuh syukur. Mulutnya terasa kering. Dia
pun bangkit dari kursinya.
Mereka melewati jajaran meja-meja bundar. Menyadari adanya dua
orang lelaki memandang kagum ke arah Zarri Bano yang tampak
anggun dengan busana haute couture Karachi dan rambut panjangnya
yang tebal berayun bebas di antara dua bahunya, Sikander pun
bergerak sangat protektif di sampingnya dan memandunya keluar
dari gedung itu.
Begitu mereka sudah duduk nyaman di dalam mobil, Sikander
bertanya, "Maukah kau berjalan-jalan di Taman Clifton atau
sepanjang bibir pantai sebelum kita kembali ke rumah?"
"Ya, aku akan senang sekali." Zarri Bano segera menyetujuinya.
Perjalanan itu terasa sunyi saat Zarri Bano menikmati pemandangan
semaraknya kehidupan malam di jalan-jalan dan pusat perbelanjaan
Karachi. Mereka berhenti di salah satu pusat perbelanjaan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander berkata lirih padanya, "Aku ingin kau membeli sebuah


hadiah, Zarri Bano."
Zarri Bano menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Sikander, tolong
jangan ada hadiah. Jangan dulu. Hanya cincinmu yang kuinginkan dan
itu pun harus diserahkan pada waktu yang seharusnya melalui
orangtuamu."
"Baiklah." Sikander berusaha tidak menunjukkan kekecewaannya
dengan menoleh ke arah kaca mobil sebelum mereka kembali
memasuki keramaian lalu lintas.
Berniat mencandainya, Zarri Bano menampakkan lesung pipitnya,
entah bagaimana dia tahu tindakannya itu akan berakibat pada lelaki
itu. "Aku akan membuatmu berhenti di pusat perbelanjaan ini setiap
akhir pekan, Sikander," godanya. "Jadi, kau bisa membelikanku
semua hadiah yang ada di dunia ini, termasuk di Singapura ketika
kita menikmati bulan madu di sana."
Dalam keheningan yang damai, seolah-olah mereka sudah hidup
bersama selama bertahun-tahun, mereka berkeliling ke pojok-pojok
Taman Clifton dan pasar malamnya, sebelum akhirnya menuruni jalan
ke arah pantai.
Di seberang Samudra Hindia, sebuah lingkaran kabut yang bersinar
merah menangkap kilauan keemasan gelombang ombak yang
bergetar. Sebuah kapal tua tampak jelas di cakrawala sendirian
bermil-mil jauhnya dari dermaga. Embusan angin malam yang hangat
meniup rambut Zarri Bano di sekitar wajahnya. Sambil tertawa dia
membenahi rambutnya.
Seekor unta dengan dua orang anak kecil di punggungnya berjalan
tertatih sepanjang tempat yang menyenangkan itu, dikendalikan oleh
pemiliknya. Seorang lelaki yang menjual jagung bakar di atas bara
perapian, layaknya penjual makanan ringan lainnya, tampak sibuk,
dengan deretan orang yang mengantre untuk membeli jagung bakar,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bahkan yang agak gosong sekalipun. Sikander menuntun Zarri Bano


menjauh dari mereka yang juga berjalan-jalan malam di tepi pantai.
"Aku sering datang ke pantai di waktu malam. Aku merasa
suasananya menenangkan," dia memberi tahu Zarri Bano sambil
mengambil sebutir batu kecil dan melemparkannya ke tengah air.
"Bagiku, itu menenangkan karena kami tidak memiliki lautan atau
sungai yang dekat dengan tempat tinggal kami, hanya ladang-ladang
di tanah milik kakekku di desa kami."
Sikander berlutut di atas pasir pantai dan menjumput tiga cangkang
kerang. Zarri Bano melihatnya menggoyangkan kerang itu untuk
membersihkan pasirnya dan berdiri di hadapannya, mengacungkan
salah satunya untuk dilihat Zarri Bano. "Aku menyenangi setiap
menit di malam ini, Zarri Bano. Aku tahu kau menolak hadiah dariku,
tapi tolong simpan benda ini sebagai sebuah kenangan tentang hari
ini," pintanya lembut.
Tersentuh oleh kata-katanya, Zarri Bano membuka telapak
tangannya dan menggenggam cangkang kerang itu erat-erat di
tangannya. "Aku juga sangat menikmati malam ini, Sikander, tetapi
jika kakekku melihatku berduaan denganmu malam ini, dia pasti akan
mengamuk." Mereka berdua tergelak menikmati rasa bersalah
mereka.
"Kalau begitu, Zarri Bano, menikahlah denganku secepat mungkin,"
ujarnya serak. "Tolong jangan membuatku menunggumu."
Zarri Bano memandangi pemandangan di belakang Sikander, air
keemasan Samudra Hindia. Lalu dia berpaling menghadap Sikander,
bukan kata-kata yang terungkap, dia hanya memandanginya. Dia
hanya membiarkan lelaki itu membaca pesan halus yang terpancar
dari matanya. "Aku pun menginginkan hal yang sama."

6.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

SEKEMBALINYA DARI kunjungan ke kantor-kantor milik Sikander,


dengan tawa mereka berdua membahana di sepanjang jalan masuk,
Zarri Bano dan Sikander memasuki ruang tamu dengan wajah-wajah
yang membiaskan kebahagiaan. Tawa mereka tenggelam ke dalam
kesunyian yang mencekam di ruangan itu. Ibunda Sikander, Bilkis,
tergopoh menghapus air mata di matanya. Ayahnya memalingkan
wajahnya dengan kaku dari tatapan Zarri Bano.
"Ada apa?" tanya Zarri Bano cemas. "Mengapa Anda menangis, Bibi
Jee?" Dia segera bergerak ke samping Bilkis seraya merangkulnya.
"Aku takut kami mempunyai beberapa kabar buruk buatmu. Kau
harus segera pulang, Zarri Bano, putriku," dengan lembut Bilkis
memberitahunya, sambil menyeka wajahnya dengan kerudungnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Zarri Bano. Dia berusaha sekuat mungkin
untuk tetap tenang.
Sikander merasa waswas terhadapnya. Dia memandangi kedua
orangtuanya dengan tatapan penuh tanya.
"Sikander, tolong atur kepulangan Zarri Bano sesegera mungkin. Ini
tentang... adik lelaki Zarri Bano. Jafar mengalami sebuah kecelakaan
tadi malam. Ia meninggal siang ini."
"Ya Allah, Tuhanku!" suara Zarri Bano lirih. Dia menggeleng-
gelengkan kepalanya seolah-olah sedang berusaha mengusir
bayangan yang menyiksa pikirannya yang dihadirkan oleh kata-kata
Bilkis. Kemudian dia menatap langit, merasa sangat terguncang.
Sikander mengamatinya dengan gemetar, merasakan juga
keputusasaan Zarri Bano dan trauma yang sedang dijalaninya.
Bagaimana mungkin seorang lelaki muda yang tampan meninggal dunia
begitu saja? Ini sangat tidak adil.
"Ayah, aku akan mengantar sendiri Zarri Bano pulang. Dia tidak
boleh berkendaraan dengan sopirnya saja. Ayah dan Ibu, menurutku;
sebaiknya ikut serta. Apakah mereka menelepon?"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ya, salah satu pelayan Habib Khan menelepon. Jafar terjatuh dari
kudanya, dan kecelakaan itu melukai kepalanya. Pendarahan di otak,
mereka bilang."
***
Saat mereka tiba di rumah Zarri Bano dua jam kemudian, Zarri
masih belum bisa mencucurkan air mata. Dia terus menerawang ke
depan. Jiwanya tampak terpaku. Sikander terus mengawasinya, ingin
menenangkannya, merangkulnya, dan merengkuh tubuhnya ke dalam
pelukannya. Bagaimanapun, etiket sosial telah membuat kedua
lengannya terjatuh ke bawah. Saat itu, di hadapan mata dunia,
mereka tidak memiliki hubungan resmi yang menyatukan mereka.
"Tidak ada apa-apa di antara kita," sebagaimana yang dinyatakan
Zarri malam sebelumnya; dia mengingatnya dengan pahit. Suaminya
saja, ayahnya, atau adik lelakinya yang mendapatkan kehormatan
untuk menenangkannya dengan sentuhan fisik.
Dengan langkah tertatih, Zarri Bano memasuki rumahnya. Rumah
bahagia itu telah berubah menjadi sebuah rumah duka. Para
kerabat, sahabat, tetangga, dan pelayan ada di mana-mana—ada
yang menangis ataupun membaca doa. Saat mereka melihatnya, suara
doa mereka semakin nyaring dan mereka bergegas menghambur ke
arahnya untuk menyatakan dukacita. Dua orang perempuan
mengembangkan lengan mereka ke arahnya dan menangis
sesenggukan di dadanya. Berdiri kaku di antara mereka, Zarri Bano
tidak mampu meneteskan air mata atau bersikap seperti apa yang
ada di sekitarnya. Sikander dan kedua orangtuanya tetap berada di
sisinya.
Fatima memandu mereka memasuki ruang tamu yang besar tempat
jenazah Jafar dibaringkan di atas palang di tengah ruangan. Fatima
dan anak perempuannya, Firdaus, diminta untuk menerima para tamu
dan mereka yang turut berduka-cita dari para penduduk sekitar.
Mereka adalah orang-orang yang tiba dari desa siang itu. Mereka

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

meninggalkan apa saja; para ibu dan anak perempuan bergegas


menawarkan diri untuk menenangkan dan memberi dukungan moral
pada Shahzada dan Habib.
Mengelilingi sebuah ranjang besar dengan papan kayu, para pelayat
menjenguk tubuh Jafar, memberi penghormatan. Beberapa orang
perempuan menangis secara terbuka, yang lainnya melantunkan lagu-
lagu perkabungan tradisional. Beberapa perempuan bahkan memukuli
dada mereka sendiri dengan perlahan mengikuti adat kebiasaan desa
itu. Yang lainnya memilih menyatakan kesedihan mereka dengan cara
yang lebih halus: menangis diam-diam di balik chador dan kerudung
mereka dan di bahu orang-orang yang mereka cintai. Secara ritual
mereka beralih dari bahu ke bahu.
Masih terguncang, Zarri Bano berjalan menuju keranda adiknya.
Melihat dia mendekat, sekelompok orang yang tengah berkabung
dalam diam dengan penuh hormat memberinya jalan. Dengan mata
kering, dia menatap adik lelakinya yang muda dan tampan, terbaring
di sana. Mengapa orang-orang bodoh ini mengelilinginya dan
menangis? pikirnya seraya menatap berkeliling pada kerumunan
orang yang berkumpul.
"Bangun, Jafar, sayangku! Ini sudah siang! Bangun, Jafar!"
Membungkuk di atas ranjang, Zarri Bano mulai menggoyang-
goyangkan tangan adiknya yang dingin.
Mendengar kata-kata Zarri Bano dan memerhatikan bagaimana dia
bersikap, ruangan itu bergema oleh ratapan dan alunan doa. Bahkan,
yang hingga saat itu matanya kering pun ikut menangis, merasakan
kepedihan Zarri Bano.
Shahzada duduk dekat ranjang putranya di atas lantai, bangkit dan
dengan lembut membimbing Zarri Bano menjauh, menyandarkan
sosok tinggi Zarri Bano pada tubuhnya sendiri. Lalu dia memberi
isyarat pada Ruby yang tengah duduk di sisi lain tempat tidur untuk
membawa pergi kakaknya dari tempat itu. Dalam keadaan terluka

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

secara emosional, Shahzada tidak tega membiarkan orang-orang


menyaksikan putri sulungnya menumpahkan kesedihannya secara
kasar.
Ruby membimbing Zarri Bano ke kamarnya. Kedua bersaudara itu
duduk di sofa, saling berpegangan tangan. Ruby berbicara, tetapi
Zarri Bano tak menanggapi—hanya terus menatap hampa.
"Ayolah, Kak, sadarlah! Menangislah, karena itu saja yang bisa kita
lakukan. Jafar kita telah tiada."
"Dia menggenggam tanganku, Ruby. Kurasa aku mengaguminya.
Akhirnya itu terjadi padaku, Ruby. Kurasa aku...." Zarri Bano
menoleh dengan pandangan bertanya-tanya di wajahnya,
memecahkan kesunyian yang aneh di antara mereka.
"Siapa yang menggenggam tanganmu, Baji Jan!" tanya Ruby terkejut.
"Sikander Sahib."
"Mengapa?"
"Karena aku bersedia menjadi istrinya."
"Oh, aku ikut senang, Kakak," sahut Ruby merasa senang mendengar
Zarri Bano kembali berkata.
"Aku harus menceritakan pada semua orang, akhirnya aku
menemukan seorang lelaki yang ingin kunikahi. Mana Ibu? Aku harus
bilang padanya!" Dengan tatapan nanar masih terlihat di matanya,
Zarri Bano bangkit hendak pergi.
"Kak, tunggu dulu!" Ruby mencegah Zarri Bano dengan cemas. "Bukan
waktunya menceritakan pada mereka atau pada orang lain. Ingatlah,
kita sekarang baru saja kehilangan Jafar."
"Di mana hilangnya? Dia pasti sedang di kandang kuda. Aku akan
memberitahunya lebih dulu."
"Tidak, dengarkan!" Ruby memekik putus asa. "Dia sudah mati.
Cobalah mengerti. Jafar tak akan bisa mendengarmu lagi. Dia telah
pergi selamanya. Dia tak akan bisa datang pada hari pernikahanmu."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Tangis kesedihan bergema di ruangan itu ketika Ruby menunduk dan


tersedu.
Zarri Bano menatap nanar pada kepala adiknya yang tertunduk,
mencoba memahami apa yang tadi dikatakannya. Lalu, kata-kata "dia
telah mati" bergema di kepalanya.
"Tidak! Tidak! Tidak! Adikku sayang!" Mulutnya bergetar dan dia
melontarkan jeritan yang menusuk hati. Seraya berlari ke luar
kamar, Zarri Bano bergegas melewati lorong di antara kamar-kamar
tidur, menuruni tangga melingkar, langsung menuju ruang tamu. Dia
tak sadar bahwa dia tak mengenakan dupatta, juga tak memakai
sepatu. Menghampiri ranjang adiknya, dia menjatuhkan diri ke lantai
di depannya dan menangis tersedu-sedu. Sembari menyentuh wajah
adiknya dengan penuh cinta, Zarri Bano menatap wajah-wajah di
sekelilingnya dalam kesedihan yang sunyi. Suara ratapan dan
lantunan perkabungan terdengar lagi, disela oleh tangisan sedih
Zarri Bano.
Sikander duduk bersama para lelaki lain di salah satu sisi ruangan
itu, tak berdaya menyaksikan Zarri Bano. Dia marah pada takdir.
Mengapa hidup ini begitu kejam? Baru semalam dia merasa menjadi
lelaki paling bahagia di muka bumi—dan sekarang ini yang terjadi!
Mereka telah merencanakan pernikahan mereka di restoran.
Bercakap-cakap tentang tempat-tempat yang akan dia tunjukkan
pada Zarri Bano di Singapura pada bulan madu mereka.
Itu bukanlah sebuah pertanda baik. Dia sama sekali bukan seseorang
yang memiliki kekuatan gaib, tetapi perasaan takut yang aneh
melandanya. Kematian Jafar pasti akan berarti penangguhan
perkawinan mereka. Dengan getir, dia mengutuk kismet-nya. Mereka
bahkan belum sempat bertunangan atau bertukar cincin secara
resmi. Dengan perginya satu-satunya putra mereka yang amat
berharga, orangtua Zarri Bano pasti akan berkabung dalam waktu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

lama. Pernikahan mereka mungkin harus menunggu hingga beberapa


bulan, bahkan mungkin setahun.
"Zarri Bano, aku tak mampu menunggu selama itu. Aku tak bisa!"
Sikander memohon pada Zarri Bano dalam hati. Dia lalu bangkit
menuju kamar mandi. Sebelum meninggalkan ruangan, dia
menghampiri dan berdiri dekat Zarri Bano sejenak, bermaksud
memberinya dukungan moral dan kata-kata penghibur.
Duduk di sudut yang jauh di ruangan itu, dikelilingi oleh para lelaki
lainnya dari desa itu, Habib memerhatikan tindakan Sikander.
Bahkan dalam kesedihannya sekalipun, pikirannya yang tajam tetap
bekerja. Bagaimana Zarri Bano menemukan keluarga Sikander,
rumah mereka, dan kebiasaan mereka? Dia bertanya-tanya. Apakah
Zarri Bano akan menikah dengan lelaki itu? Habib ingin tahu apa
yang telah terjadi antara putrinya dan lelaki "angkuh" itu di Karachi.
***
Tiga hari berikutnya adalah sebuah mimpi buruk, tidak hanya untuk
Habib, keluarga, dan kerabatnya, tetapi juga untuk semua keluarga
tetangga mereka, di kota kecil Tanda Adam dan kampung
halamannya, Chiragpur. Kibaran kain dukacita digantung di setiap
rumah. Semua orang tanpa sungkan tetapi penuh hormat menghargai
kedukaan Habib. Selain seorang tuan tanah feodal dengan kekayaan
melimpah yang keluarganya berasal dari kasta tertinggi, Habib Khan
juga dikaruniai tiga orang anak rupawan dan berhektar-hektar tanah
untuk diwariskan kepada mereka. Dia adalah lelaki yang paling
membuat iri banyak orang, selain juga paling disukai dan dihormati
sebagai tokoh di kotanya.
Maka, semua orang berkabung atas wafatnya putra Habib—dan
betapa Jafar telah menjadi anak laki-laki yang luar biasa! Salah satu
anak laki-laki tertampan, yang mati dengan tragis dalam usia sangat
muda, belum menikah, dan belum memiliki anak untuk meneruskan
garis keturunannya. "Cara yang memilukan untuk mati!" keluh mereka

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

yang sedemikian berempati terhadap kedukaan Habib yang baru saja


kehilangan ahli waris dan putra satu-satunya, tambatan hati mereka.
Dalam sebuah budaya dan negeri di mana para anak laki-laki secara
tradisional dipuja-puja, anak lelaki semata wayang menjadi harta
yang tak ternilai di atas semua kekayaan duniawi bagi seorang ayah.
Karena itu, kehilangan anak lelaki satu-satunya bagaikan kehilangan
hidup itu sendiri—kekalahan terbesar dari semua musuh terjahat
yang bisa dihadapi.
Bagaimana mungkin seseorang dapat menerima sebuah kedukaan dan
kehilangan seperti ini? Mereka hanya dapat menerawang dengan
suram di antara diri mereka sendiri. Bisakah Habib dan keluarganya
pulih dari kekalahan ini? Lebih jauh lagi, diam-diam orang-orang itu
memperkirakan apa yang akan terjadi di masa depan. Akankah Habib
mengikuti adat yang sudah berabad-abad dilestarikan untuk
menunjuk salah seorang anak perempuannya sebagai ahli warisnya?
Semua kerabat Zarri Bano, termasuk kakek kandungnya, Siraj Din,
dan neneknya, datang untuk berkabung dan menghadiri pemakaman.
Semua kamar di rumah itu terisi. Seprai dan selimut di rumah itu
diganti setiap hari. Dapur yang luas mempekerjakan tiga orang koki
yang bekerja tiga kali sepanjang hari, termasuk Naimat Bibi dari
desa yang seharian menyiapkan makanan dan melayani tetamu. Ada
arus pergerakan orang-orang yang konstan tiada henti, laki-
laki, perempuan, dan anak-anak berseliweran di vila itu. Mereka
duduk berkelompok dalam ruangan-ruangan, juga di halaman.
Berkumpul seperti ini, meski dimaksudkan sebagai perkabungan, juga
melahirkan kesempatan besar untuk para tetamu saling bertukar
kabar dan membagi cerita, gosip sosial, dan perjodohan.
Zarri Bano dan Ruby mengunci diri dalam kamar mereka dan hanya
memperbolehkan pelayan rumah mereka, Fatima, masuk membawa
makanan. Hanya di sanalah mereka memiliki privasi bersama. Dengan
lebih dari seratus orang memenuhi rumah, mereka tidak dapat

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

terlepas dari pandang mata dan telinga yang mengintai. Mereka


membiarkan ayah, kakek, dan ibu mereka menemui para tetamu dan
mengatur pemakaman.
***
Jafar dikuburkan di sebidang tanah keluarga yang indah di
pemakaman setempat, termasuk dalam kompleks masjid Chiragpur.
Jenazahnya diusung melalui upacara pemakaman ke tempat itu
dengan menggunakan truk di hari kedua setelah kematiannya. Ini
adalah hari yang sangat menyesakkan bagi semua orang, khususnya
bagi orangtua Jafar, kedua saudari kandungnya, dan sahabat
lamanya dari desa, Khawar. Khawar menyatakan dukacitanya secara
langsung dengan menangis di dada Siraj Din dan Habib beberapa
kali, dan dia dikungkung perasaan kehilangannya sendiri. Kedua
saudari kandung Jafar saling bertangisan sepanjang hari,
memikirkan saudara mereka yang sedang dibaringkan di bawah
tumpukan tanah.
Di hari ketiga, Sikander dan Zarri Bano tak sengaja saling
berpapasan. Sikander dan kedua orangtuanya tetap tinggal di sana
seusai pemakaman seperti para tetamu lainnya.
Mereka berhenti dan saling memandang dengan sorot mata sedih.
Sikander ingin mengucapkan banyak hal, tetapi hanya mampu
berkata-kata sedikit karena aturan sosial mencegahnya. Sampai
mereka secara resmi bertunangan di hadapan semua orang, mereka
tidak memiliki hak untuk saling mendampingi satu sama lain.
Zarri Bano sendiri kini menampakkan sikap seolah-olah tidak lagi
merasakan hubungan khusus di antara mereka. Hari-hari saat
mereka menghabiskan waktu bersama di Karachi seakan-akan
terjadi berjuta-juta tahun yang lalu. "Seakan-akan, dengan kematian
adik laki-lakinya, dia sudah menghapuskan aku dan semua saat indah
di perkebunan di Karachi dan sepanjang pantai waktu itu," pikir

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander dengan putus asa. Hanya seulas senyum di wajahnya yang


menandakan bahwa gadis itu mengenalinya.
"Apa kabarmu, Zarri Bano?" sapa Sikander pelan. Dia merana
melihat tampang gadis itu yang begitu muram. Lesung pipit di pipinya
tampaknya kini terhapus begitu saja. Dia masih tampak begitu cantik
dengan pakaian berwarna muram dan kerudung sifon putih. Namun,
percikan cahaya di mata hijaunya sudah sirna. Keriangan masa muda
dalam dirinya, sudah menguap—tawa di matanya juga raib!
"Sebaik yang bisa diharapkan dalam suasana seperti ini, Sahib
Sikander. Terima kasih sudah bersedia hadir dan terima kasih juga
atas dukunganmu. Aku yakin ayahku akan menghargainya," dia
menjawab sopan, tanpa mampu menatap langsung mata lelaki itu.
Zarri bersiap untuk berlalu.
"Terima kasih kembali," sahut Sikander, berupaya mengatakannya
dengan nada yang sama.
Menyadari mereka berada di tempat umum, di luar halaman, dengan
banyak perempuan dan laki-laki mengawasi dan ikut mendengarkan
pembicaraan mereka dengan penuh minat, Zarri Bano merasa sangat
kikuk berada di dekat Sikander.
"Aku harus pergi, Sahib Sikander." Dia memohon diri dan berlalu
dari hadapan lelaki itu.
Dengan setengah hati, Sikander membiarkan gadis itu pergi. Namun,
dia tetap memandanginya dengan tatapan putus asa. Sudah lama
sekali dia menyadari bahwa dirinya sungguh-sungguh jatuh cinta
pada Zarri Bano, sejak hari pertama mereka berserobok pandang di
mela. Dia kini merasa tersiksa oleh keinginannya untuk melindungi
dan menjaga gadis itu dari segenap rasa sakit dan penderitaannya.
Andai saja mereka sudah menikah sebelum Jafar wafat! Dia tentu
bisa membawa Zarri Bano keluar dari tempat duka ini dan
menenangkannya dengan ketulusan cintanya. Sekarang ini dia tidak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berdaya melakukan apa pun. Seakan-akan dia tidak mengambil bagian


apa pun dalam kehidupan Zarri Bano.
Para pelayat hanya menyaksikan pertemuan singkat antara putri
sulung Habib dan seorang pengusaha tampan berbadan tinggi itu.
Namun, Fatima menangkap sesungging senyuman persekongkolan dari
Shahzada di halaman saat dia melihat mereka berdua.
Saat melewati Kaniz, Fatima melihat wajahnya berubah sinis saat
dia melirik ke arah sorot mata penuh amarah perempuan itu. Di
sudut yang agak jauh di halaman, Firdaus sedang duduk bersama
Ruby, sedangkan Khawar tampak berdiri di belakangnya,
membungkukkan bahunya dan membisikkan sesuatu ke telinga
Firdaus. Firdaus mendongak menatap Khawar, lalu tertawa.
Kaniz sudah dengan sewaspada mungkin mengawasi putranya. Dia
memandang angkuh ke atas tepat saat Fatima berlalu menjauh,
tetapi belum sempat menangkap bias kemenangan di wajah
saingannya itu. Piring makanan di tangan Kaniz bergetar dan jatuh
dengan sebuah suara benturan keras di atas lantai semen itu. Begitu
membalikkan tubuhnya, Fatima dengan segera dan cekatan
membereskan pecahan-pecahan itu dari sekitar kaki Kaniz.
"Chaudharani Kaniz, apakah Anda ingin aku mengisi kembali piring
Anda?" tanyanya santun sambil tetap berjongkok sibuk di lantai.
"Tidak, terima kasih. Aku tidak menginginkan apa pun darimu!" sahut
Kaniz ketus, dengan suara yang cukup nyaring untuk didengar semua
tetamu dan perempuan desa yang berada di sekitar tempat itu.
Dengan wajah memucat, Fatima berusaha menahan diri, menolak
terpancing oleh ucapan Kaniz. Dengan bijak dia memilih berlalu
pergi.
Kaniz bisa mengatakan apa pun yang ingin dikatakannya, tetapi dia
tidak dapat melakukan apa pun untuk mencegah kasih sayang
putranya kepada putriku! pikir Fatima gembira. Dengan sebuah
senyuman nyinyir di wajahnya, dia terus bergerak mendatangi para

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

pelayat lainnya dan menyodorkan baki-baki berisi buah-buahan. Dia


tidak menawarkan apa pun lagi pada Kaniz.
***
Habib Khan juga sempat menyaksikan pertemuan singkat antara
Sikander dan putrinya. Shahzada menangkap emosi yang berbeda
menyeruak di wajah suaminya. Dia berusaha mengartikannya sebaik
mungkin setelah bertahun-tahun hidup bersamanya. Melihat
Shahzada menatapnya, Habib lalu mengajaknya berbicara tentang
apa yang sedang ditatapnya.
"Katakan pada Zarri Bano bahwa dia tidak boleh berbincang dengan
orang asing," titahnya tegas, "khususnya dalam pertemuan ini, saat
semua jenis telinga bisa ikut mendengarkan dan menonton untuk
sejumput gosip murahan. Itu tidak baik untuk reputasi putriku."
"Tetapi Habib Sahib, Sikander bukanlah seorang asing! Dia adalah
tamu khusus kita, seseorang yang segera akan menjadi anggota
keluarga kita—kenyataannya dia adalah seorang calon menantu,"
sahut Shahzada. Suaranya meninggi perlahan karena dia merasa
tidak memahami titah suaminya itu.
"Mungkin ini adalah kismet. Mungkin Sikander tidak ditakdirkan
untuk menjadi anggota keluarga kita. Setidaknya, tidak sebagai
suami Zarri Bano." Habib berpaling sambil berbicara dengan suara
pelan seperti untuk dirinya sendiri.
"Apa? Apa maksudmu?" gugat Shahzada sambil mencondongkan
kepalanya ke arah suaminya. Sebuah bogem mentah baru saja
meninju dadanya. Matanya membelalak dengan raut wajah merana.
"Tidak apa-apa. Lupakan saja apa yang baru kukatakan," bisik Habib
dari belakang Shahzada sebelum bangkit dan melintasi halaman
untuk berbicara dengan ayahnya, Siraj Din.
Shahzada bagaimanapun tak mampu melupakannya. Dengan
terhuyung-huyung, dia bangkit dari tempat duduknya dan
meninggalkan halaman rumah itu dalam kekalutan, dan mencari

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kesendirian di dalam kamarnya. Habib mengancam akan


menceraikannya jika dia berani mendorong Zarri Bano menikahi
Sikander—ini gila! Kata-kata ketus dan dingin dari mulut suaminya
telah membuatnya terguncang, nyaris sama mengerikannya dengan
kematian putranya semata wayang. "Ini tidak mungkin!" Sirene
meraung-raung nyaring di kepalanya. Dia tentu saja tidak dapat
merencanakan takdir seperti itu! Tidak bagi putrinya yang rupawan!
Mereka tidak mungkin sekeji itu. Mereka tidak bisa sekeji itu!
pikirnya kalut. Kepalanya tersiksa oleh bermacam-macam bayangan
buruk.
Masih dalam kekalutan, Shahzada mencari putrinya. Zarri Bano
sedang berada di kamarnya. Tampak olehnya putrinya itu sedang
membaca Al-Quran, dengan kepala tertutup kerudung. Benak ibunya
membayangkan sebuah kenyataan pahit.
"Zarri, sayangku. Tolong simpanlah kitab suci itu di rak di atas
perapian dan mari kita bicara." Shahzada menghambur ke arahnya
dengan suara bergetar dan langsung terduduk di atas sofa. Dia
bersusah payah untuk bisa tersenyum pada putrinya itu, tetapi
gagal.
"Ya, Ibu." Setelah mencium Al-Quran dengan takzim, Zarri Bano
menyimpan Kitab Suci di rak di atas perapian dan menyingkap turun
kerudung di kepalanya. Dia menggoyangkan kepalanya membuat
rambut ikalnya berayun, jatuh dengan lembut di atas bahu dan
mukanya, lalu menjurai indah di punggungnya.
"Katakan padaku, Zarri Bano, kau sungguh-sungguh ingin menikah
dengan Sikander, bukan?" Shahzada memulai perbincangan mereka,
tanpa mampu memandangi mata putrinya.
Pipi Zarri yang tadinya pucat mulai dihiasi semburat merah muda
dan Zarri Bano pun mengangguk. "Ya, Ibu. Dua hari sebelum aku
menekuri kematian Jafar, Sahib Sikander melamarku dan aku sudah
menerimanya. Itu sebabnya kemudian aku menelepon Ibu untuk

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengabarkannya. Namun, bagaimana mungkin aku sempat memikirkan


pernikahan setelah kini aku kehilangan adikku tercinta?"
"Kau harus memikirkannya, sayang. Kau harus menikah secepatnya."
"Tetapi ini bukan saat yang tepat, Ibu. Bagaimana mungkin Ibu
menyarankannya? Kita baru saja menguburkan Jafar kemarin. Itu
akan menjadi masalah yang sangat sensitif. Apa yang akan dikatakan
Ayah?"
"Kau harus segera mengatakan hal itu padanya karena menurutku dia
mungkin akan membuat rencana lain untukmu, setelah kini dia
kehilangan Jafar." Suara Shahzada terdengar sangat lirih. Dia
menunggu reaksi atau komentar apa pun yang terlintas di benak
putrinya itu, sambil berharap Zarri memahami apa yang
dikatakannya. Namun, Zarri Bano hanya menatapnya dengan sorot
mata hampa sehingga Shahzada terdorong untuk menjelaskannya
lagi.
"Ayahmu...," Shahzada tercekat. Dia merasa sulit sekali untuk
mengutarakan kata-katanya, "... menginginkanmu untuk menjadi ahli
warisnya, dan menjadi Shahzadi Ibadat kita, 'Perempuan Suci' kita,
secara adat."
Zarri Bano menatap nanar, tampak terpana ketika menyerap semua
yang dikatakan ibunya. Mulutnya ternganga, tetapi tidak ada sebuah
suara pun yang keluar.
Dalam kekalutan, Shahzada menengadah dan Zarri Bano melihat
ketakutan dirinya terpancar pada sepasang mata cokelat ibunya
yang hangat. Pancaran sorot matanya bak seekor binatang yang
diburu dan terluka. Dunia terbalik dalam pusarannya bagi Zarri Bano.
"Tidak, Ibu! Jangan!"
Tangis membuncah dari palung jiwanya yang terdalam.

7.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

IBU PASTI sudah salah paham! pikir Zarri Bano kalut di dalam
kamarnya setelah Shahzada menjatuhkan "bom" itu dan bergegas
keluar kamar dengan chador putihnya yang panjang menjuntai di
belakangnya.
"Tidak mungkin! Mereka tidak dapat melakukan itu padaku!" gugat
Zarri Bano pada dinding-dinding kamarnya. "Aku harus berbicara
pada ayahku dan mengenyahkan gagasan gila ini dari benakku." Dia
menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap gerakannya itu bisa
mendatangkan mukjizat, tetapi dia malah merasa lebih pening dan
lebih bingung daripada sebelumnya.
Sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, Zarri Bano
merasa bimbang atas siapa yang bisa dia percaya. Jika dia
mengatakannya pada Ruby, adiknya itu akan sama kalutnya dan sama
terguncangnya dengan dirinya sendiri. Mengapa harus menambah
beban batinnya?
Beberapa saat kemudian, dia terpikir untuk berbicara pada ayahnya,
tetapi semuanya tak berguna. Dengan tampang berkabungnya, Habib
selalu dikelilingi oleh para pria lainnya dan itu membuat Zarri Bano
sulit mendekati ayahnya itu. Bagaimanapun, Zarri Bano tidak dapat
menenangkan dirinya sebelum mengatakan semuanya itu langsung
kepada ayahnya.
"Aku harus bisa berbicara pada Ayah malam ini juga!" tekadnya.
Sekitar setengah dua belas malam, saat dia tahu pasti bahwa kedua
orangtuanya akan berada di kamar tidur mereka, Zarri Bano
mengetuk pintunya dan masuk. Kamar yang luas dengan langit-langit
tinggi menjulang itu tampak temaram, tetapi perabot dari kayu
walnut membuat suasana di kamar itu tetap terasa hangat. Ibunya
sedang shalat di salah satu sudut, di atas sajadahnya. Habib sedang
duduk di sofa dekat ranjang sambil membuka-buka koran Jang. Dia
meletakkan koran itu saat melihat putrinya masuk.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Bagaimana kabarmu, putriku?" sapanya ramah. Wajahnya


menyeruakkan senyuman. "Dengan banyaknya tetamu di mana-mana,
aku tidak sempat berbicara denganmu untuk menenangkanmu,
putriku."
Ketika Zarri Bano sudah duduk di sampingnya, Habib memusatkan
semua perhatiannya pada anak kesayangannya itu, perhiasannya yang
paling indah. Bahkan, putra satu-satunya tidak mampu bersaing
dalam mendapatkan kasih sayang yang dirasakannya untuk Zarri
Bano. Zarri Bano menggenggam tangan ayahnya, menciumnya, dan
menyentuhkannya ke pipinya.
"Ayah, aku merindukan adikku. Bagaimana kita dapat bertahan
tanpanya?" ratapnya sambil menyandarkan kepalanya ke bahu sang
ayah. Sambil merangkul putrinya, Habib mendekapnya erat.
Kemudian, teringat niatan awalnya mendatangi kamar orangtuanya
malam itu, Zarri Bano melepaskan kepalanya dari dekapan sang ayah.
"Ayah, aku belum sempat menceritakan padamu tentang kunjunganku
ke Karachi," serunya.
Habib mengalihkan pandangan matanya ke arah surat kabar lagi.
"Hmm!" Dia mendehamkan suara datar dari tenggorokannya. Zarri
Bano mengawasi betapa senyum penuh kasih itu berganti menjadi
sebuah tatapan kosong.
"Sahib Sikander telah melamarku," lanjutnya perlahan seraya
menunggu sang ayah menatap wajahnya kembali, sehingga dia bisa
melihat reaksinya. Tetapi, dia malah melihat bahu dan lehernya
menegang. "Apakah Ayah mendengar apa yang baru saja kukatakan?"
desak Zarri Bano gugup.
"Ya, aku bisa mendengarmu, Zarri Bano," ujar Habib sambil menoleh
ke arahnya. "Aku mengetahuinya. Ibumu sudah memberitahukannya
padaku. Apa yang kau katakan padanya?" Suaranya terdengar ketus.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sambil tertunduk kaku di sajadahnya, Shahzada lupa melanjutkan


shalat yang sedang dijalankannya. Dia menunggu dengan jantung
berdebar jawaban dari mulut putrinya.
"Aku menerimanya. Aku sadar bahwa ini bukan saat yang tepat,
tetapi kupikir aku harus memberitahukannya pada Ayah dahulu,
sebelum orangtua Sikander mendatangi Ayah." Zarri Bano
meluncurkan semua kalimat itu dalam satu desahan napas. Pipinya
merona merah karena malu saat reaksi yang dinantikannya tidak juga
muncul. "Tidakkah Ayah senang? Setelah bertahun-tahun Ayah
menungguku menentukan pilihanku pada seorang lelaki untuk
menikahiku dan akhirnya sekarang aku melakukannya, Ayah malah
membisu. Seolah-olah Ayah tidak menginginkanku menikah!"
Habib menangkap percikan kemarahan dalam suara putrinya. "Kau
terlalu tegang, putriku. Ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk
membicarakan pernikahanmu. Kita baru saja menguburkan adikmu
kemarin."
"Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku—Ayah benar, ini bukan waktu
yang tepat. Aku sangat tidak sensitif." Zarri Bano menguatkan diri
untuk memohon maaf dengan gigi-gigi bergemeletuk menahan geram.
Untuk pertama kali seumur hidupnya, dia merasakan pijaran
kemarahan terhadap ayahnya—sebuah pengalaman yang sungguh
baru.
"Ada apa dengannya?" batinnya. Mengapa dia membuat segalanya
begitu sulit?
Zarri bangkit dan berdiri tegak, menangkap kekalutan di mata
ibundanya. Ketakutan kembali meraja dalam dirinya saat dia kembali
ke kamarnya. Sedang terjadi sebuah kekeliruan. Sangat keliru,
sebenarnya. Selama ini ayahnya selalu punya waktu untuknya, dalam
suasana hati yang bagaimanapun atau dalam waktu apa pun. Dan kini,
sorot mata sedingin es di matanya itu! Zarri Bano bergidik.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Tak lama kemudian, di atas ranjang, Zarri Bano menatap langit-


langit kamar yang putih dan menerawang membayangkan apakah
dirinya dan ibunya pernah menduga semua ini. Lagi pula, Habib
benar: betapa dia sudah bersikap tidak sensitif dengan
memperbincangkan pernikahannya begitu cepat setelah kematian
adiknya tercinta. Namun, ayahnya tidak bisa melakukan hal itu
padanya... tidak pada putri kesayangannya, seorang anak perempuan
kepada siapa dia akan "siap menjual segala yang ada di dunia ini
untuknya".
Merasa sedikit lebih terhibur, Zarri Bano membalikkan tubuhnya
dan segera tertidur pulas.
***
Shahzada merasa begitu bersusah payah untuk menyelesaikan shalat
isyanya. Dengan jemari gemetar, dia melipat sajadah tebalnya dan
menyimpannya di dalam laci meja rias. Dari sudut matanya, diam-
diam diamatinya sosok kaku suaminya. Dia sedang duduk dalam posisi
yang sama.
Shahzada merasakan perdebatan sengit di dalam benaknya: apa yang
harus dilakukannya? Haruskah dia memperbincangkan hal itu dengan
suaminya itu? Jika ternyata dia salah mengira, dia justru akan
menanamkan gagasan gila itu ke dalam benak suaminya, dan dia tidak
mau mengambil risiko itu. Sambil menarik napas panjang, dia
merayap naik ke ranjangnya sendiri.
Sepuluh menit berlalu. Matanya masih terbuka. "Dia tidak sedang
membaca. Aku tahu pasti," ujar Shahzada pada dirinya sendiri. "Apa
yang sedang kau pikirkan, Habib Sahib?" serunya nyaring. "Kau sama
sekali tidak bergerak sejak Zarri Bano meninggalkan kamar kita.
Ada masalah apa?"
"Tidak," sahut Habib. Dia memunggungi istrinya.
"Aku tak sengaja mendengar apa yang dikatakan Zarri Bano. Aku
senang dia sudah menerima pinangan Sikander. Akhirnya, putri kita

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

telah menemukan seseorang yang diinginkannya untuk menikah.


Sikander adalah sosok yang tepat untuknya," ujar Shahzada dengan
berani. Dia juga sangat menyadari sikap menentang suaminya pada
para pelamar dan dia sadar sedang bermain api.
"Tolong jangan membicarakan pernikahannya! Kita baru saja
menguburkan anak laki-laki kita, dan kau tampaknya sudah langsung
merencanakan pesta pernikahan Zarri Bano."
"Kau salah memahamiku. Aku tidak merencanakan apa pun. Seperti
juga kau, aku pun telah kehilangan orang yang kucintai—anakku.
Sebagai seorang ibu, aku tidak akan pernah bisa pulih dari
kehilangan ini, Habib," tukas Shahzada membela diri.
"Ayolah, tidak perlu saling melontarkan kata-kata kekanak-kanakan
tentang siapa yang paling merasa kehilangan, Shahzada," ujar Habib.
Lelaki itu akhirnya menoleh ke arahnya. Ekspresinya begitu
menekan. "Jafar adalah kesayangan kita, dan kita sudah kehilangan
dirinya. Sekarang ini aku merasa jatuh dalam keterpurukan terhebat
dalam hidupku. Apa yang akan terjadi pada diri kita dan ahli waris
kita?"
Tikaman perasaan kembali menghantam dada Shahzada. Terpaku,
bagaikan terkena patukan seekor ular kobra, Shahzada menusukkan
pandangannya ke mata suaminya. "Apa maksudmu?" ucapnya lirih.
"Karena kita tidak punya anak laki-laki sekarang ini, lalu siapakah
yang akan menjadi ahli warisku, Shahzada? Pada siapa aku akan
menyerahkan semua tanah ini? Aku tidak mungkin memberikannya
pada orang asing yang kebetulan menikahi putriku. Ini adalah tanah
kita, yang terkumpul dan dibayarkan oleh keringat dan kerja keras
kakek moyangku, turun-temurun selama berabad-abad dari generasi
ke generasi. Katakan padaku, apa yang akan kau lakukan jika kau
berada di tempatku?" Dia terdiam sejenak yang bagi istrinya tampak
sebagai sebuah momen kehancuran. Lalu, "Hanya ada satu pilihan di
hadapan kita."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Tidak!" jeritan Shahzada melengking menggetarkan semua sudut


ruangan yang gelap itu. Napasnya memburu. Dia terlompat dari
ranjangnya dan berdiri di hadapan suaminya. "Tidak, Habib! Itu
bukan seperti yang kupikirkan." Keheningan yang mencekam dari
suaminya begitu menakutkan baginya. Dia meninjukan kepalan
tangannya ke dada suaminya. Menyadari keadaannya, Habib
mendorong istrinya menjauh.
"Berhentilah! Kendalikan dirimu, perempuan!" Wajah Shahzada
memucat. Habib memelototi istrinya dengan sorot mata yang lebih
dingin daripada puncak Himalaya. Saat itu juga sesuatu telah mati
dalam diri Shahzada. Dia sedang memandangi seseorang yang benar-
benar asing baginya—sesosok tuan tanah feodal yang keji, bukan
suaminya.
"Tidak, tidak. Sampai kau katakan padaku apa yang ada dalam
kepalamu. Jangan membiarkanku dalam keadaan tegang, kumohon,
Habib!" ratapnya. Tubuh Shahzada menggapai untuk memukul lelaki
itu lagi. Dipicu oleh kekerasan primitif di dalam dirinya, Shahzada
membuat dirinya sendiri terkejut dan juga suaminya.
Habib kembali mencengkeram tangan istrinya kuat-kuat dan
mendorong tubuhnya. "Baiklah, aku akan mengatakannya padamu.
Aku akan berbicara pada ayahku mengenai kemungkinan Zarri Bano
menjadi seorang Shahzadi Ibadat, seorang Perempuan Suci. Kau
puas sekarang?" ujarnya menggeram di depan muka Shahzada.
"Shahzadi Ibadat, " istrinya mengulang kata itu dengan nada sendu.
Suaranya memudar menjadi bisikan lirih saat tubuhnya menjauh dari
suaminya—sentuhan suaminya kini terasa membakar tubuhnya. "Jadi,
kau akan mengorbankan putri kesayanganmu?"
"Mengorbankan?" tukas Habib terdengar murka. "Beraninya kau
mengatakan hal seperti itu! Putriku akan menjadi seorang Perempuan
Suci—yang termurni, tersaleh, terpelajar, dan yang paling dipuja

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

oleh semua orang." Begitu kata-kata ini meluncur keluar dari


mulutnya, perasaannya semakin baik.
"Kau gila, Habib Sahib! Bagaimana mungkin kau melakukan hal ini
pada putrimu sendiri? Aku tidak rela! Ini bukan zaman kekaisaran
Akbar. Ini abad kedua puluh—ini tidak bisa terjadi."
"Ini bisa dan akan terjadi! Menurutmu, apakah kau, seorang
perempuan, dapat mencegahnya? Beban itu menindihmu, perempuan."
"Habib, dengarkan aku," bujuk Shahzada putus asa. "Dia akan
menikah dengan Sikander. Dia baru saja mengabarkannya padamu."
Shahzada kini merasa bagaikan sedang berjalan di atas pasir isap
dan tanah serasa menghilang begitu cepat dari pijakannya.
"Oh tidak, dia tidak akan menikah. Aku sudah putuskan! Kau
sebaiknya memberitahunya. Aku sudah kehilangan seorang putra,
dan aku tidak akan melepaskan semua warisanku pada seseorang
yang benar-benar asing. Aku ingin kau mendukungku dalam hal ini.
Itulah kewajibanmu sebagai seorang istri. Jika kau tidak
melakukannya, tradisi kuno kita akan memberatkan posisimu. Jadi,
sebaiknya kau membiasakan diri dengan gagasan itu. Ingatlah apa
yang kukatakan: Aku akan menceraikanmu begitu kau memberontak
melawan kami."
Habib menghunjamkan sorot matanya ke mata istrinya dengan keji.
"Dan berhentilah membicarakan omong kosong tentang
pengorbananku. Zarri Banoku yang cantik sudah ditakdirkan atas
nasibnya ini. Kematian adiknya menetapkan masa depannya sebagai
Shahzadi Ibadat. Inilah yang selalu terjadi saat para putra tunggal
meninggal dunia di kalangan kita. Warisan akan jatuh pada anggota
keluarga perempuan berikutnya—kau tahu itu."
"Jadi, kau akan menikahkan putrimu dengan ladang-ladangmu dan
keyakinannya." Air mata kalut mengalir di wajah Shahzada. "Itu
adalah zulm, kekejian yang terkeji. Jika kau tetap menjalankannya,
aku tidak akan pernah, tak akan pernah, memaafkanmu, Habib—

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tidak akan pernah! Kau boleh menceraikanku! Tidak ada lagi yang
tersisa di antara kita. Camkan ini, jika kau akan menjadikan putrimu
seorang Perempuan Suci, kau juga sekaligus menguburkan seorang
istri."
"Aku tidak akan mendengarkan rengekan bodohmu lagi. Aku akan
tidur di kamar yang lain," bentaknya. Suaranya yang berat dan dingin
terdengar membahana, dan dia, membanting pintu di belakangnya.
Kata-kata istrinya telah membuatnya berang. Dia tahu apa yang
dirasakan Shahzada karena dia juga merasakan kepedihan yang
sama. Bagaimanapun, tidak seperti istrinya, dia tidak memiliki pilihan
lain. Dia diperingatkan oleh apa yang dikatakan Shahzada bahwa dia
tidak akan memaafkannya, tetapi, "Dia akan berubah seiring
berjalannya waktu," ujarnya pada dirinya sendiri.
Di dalam benaknya dia mengingat bayangan Shahzadi Ibadat lainnya
di masa kanak-kanaknya. Betapa dia sempat begitu terpukau oleh
perempuan itu, ketenarannya, dan pujian yang diterimanya dari
semua orang. Ke mana pun dia pergi, "Bibi, Bibi, " menggema
bersahutan di sekelilingnya.
Zarri Bano dan karisma pribadinya akan melebihi semua Shahzadi
Ibadat sepanjang sejarah. Dia memiliki kecantikan sekaligus
terpelajar. Dia bahkan sudah mendapatkan gelar pascasarjananya.
Semakin Habib memikirkan putrinya itu sebagai seorang Perempuan
Suci, dia kian teryakinkan bahwa dia sudah menetapkan sebuah
keputusan yang tepat. Istrinya hanyalah salah satu dari jenis
kelamin yang lemah dan karena itu dia memiliki pandangan yang picik
tentang hal ini.
"Apakah dia tidak mengharapkan kejayaan dan kehormatan untuk
putri kami?" sahutnya dengan menatap bintang-gemintang di angkasa
sambil berjalan-jalan mengelilingi lahan miliknya. Cahaya dari langit
berbintang itu membias di atas berhektar-hektar tanah penuh
tanaman. Dada bidang Habib membusung karena bangga. Seraya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

merasakan kebahagiaan, matanya menyapu bentangan ladang hijau


tebu dan lobak yang berkilauan terkena sinar bulan, menghampar
hingga melebihi batas cakrawala.
Desah napas kelegaan dan kepuasan terlepas dari bibirnya. Yang
terkaya dari semua pemilik tanah, tidak ada seorang pun yang
mampu menandingi kekayaannya atau pengaruhnya. "Ya! semua ini
akan menjadi milik Zarri Bano. Dia yang akan mewarisinya. Dia akan
menjadi satu-satunya tuan dari semua kekayaan ini setelah
kematianku. Sebagai anak kesayanganku, dia pantas
mendapatkannya."
Dengan semangat membumbung tinggi, dia pun kembali ke vilanya.
Pikirannya dengan gesit melesat ke depan dan dengan cekatan
membuat keputusan-keputusan. Besok dia akan merundingkan dengan
sang ayah tentang Zarri Bano. Tapi, setelah menimbang-nimbang, dia
ingin membicarakannya malam ini juga.
Siraj Din masih terjaga. Dia tak mampu terlelap. Dia merindukan
kampung halaman dan ranjangnya. Dia mengisap kuat-kuat hookah-
nya, membuat air di bejana kecil itu bergejolak—menjijikkan.
Bahkan, rasa tembakaunya saja tidak sama di kota ini!
Habib menemukan ayahnya tengah berada di atas sebuah charpoy, di
beranda belakang, sedang mengamati bintang-gemintang menari-nari
di angkasa. Siraj Din menyapa putranya dan menepuk sebuah
bantalan kursi di samping ranjang lipatnya.
"Ayah, aku ingin berbicara padamu. Ini tentang Zarri Bano dan
warisan kita," dia berkata pelan. Siraj Din melupakan tembakaunya
dan menegakkan duduknya di atas ranjang itu untuk menyimak. Ada
banyak sekali soal yang harus didiskusikan.
***
Shahzada meringkuk di atas ranjangnya, menatap sendu udara
kosong di depannya. Ini adalah saat tersuram dalam hidupnya.
Ketakutan atas apa yang akan dilakukan suaminya benar-benar

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menghantuinya. "Bagaimana mungkin mereka mampu melakukan hal


itu pada anak kesayanganku?" ratapnya. "Ini keji dan tidak
manusiawi. Zarri Bano dilahirkan untuk mencinta, untuk hidup, untuk
mengandung anak-anak. Bagaimana mereka bisa mengunci takdirnya
untuk sebuah kehidupan tanpa anak, hanya ibadat, pemujaan—
ketenangan?"
Kesunyian yang gelap-mencekam di kamarnya seolah-olah
mengejeknya. Kesunyian itu mengancamnya, menyingkap
ketidakberdayaannya sebagai seorang perempuan, sebagai seorang
ibu, dan sebagai seorang istri. Terpasung oleh tradisi dan budaya
keluarga besar suaminya yang berabad-abad usianya, dia tidak bisa
melakukan apa-apa. Nasib Zarri Bano memang sudah terkunci. Tidak
ada lagi jalan keluar untuk putrinya.
Saat suaminya kembali ke kamar tidur mereka, Shahzada masih saja
terjaga. Dia tidak mendekati istrinya dan Shahzada tidak
menunjukkan sedikit pun bahwa dia menyadari kehadiran suaminya—
suatu fenomena baru untuk mereka berdua. Seolah-olah ada
sebidang tembok tebal yang tiba-tiba saja menjulang di antara
mereka, memisahkan mereka satu sama lain bak sepasang musuh.
Shahzada tidak lagi merasa takut pada suaminya. Kenyataannya, dia
bahkan tidak takut akan apa pun dan siapa pun. Bahkan juga tidak
pada ayah mertuanya. Yang ditakutinya hanyalah nasib buruk yang
menanti putrinya.
Dalam kegelapan, mata Shahzada membiaskan kepedihan dan
kebencian. Dia tahu persis apa yang harus dilakukannya. Dia akan
berdiri di pihak suaminya dan mendukung keputusannya.
Bagaimanapun, dia tidak akan pernah memaafkan suaminya atau
tradisi barbar yang membuat lelaki seperti suaminya memperbudak
perempuan dan membuat mereka menjadi orang asing. Laki-laki
seperti dialah yang melupakan perikemanusiaan mereka dan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mendagangkan kehidupan orang-orang yang dicintainya demi


bongkahan-bongkahan tanah mereka yang berharga.
Shahzada ingin sekali melompat keluar dari rumahnya dan membakar
ladang-ladang itu, membumihanguskan semuanya. Dia meratap,
"Tanah mewakili kesuburan. Bagi keluargaku dan anak perempuanku,
tanah berarti kehancuran dan ketidaksuburan. Untuk menjaga agar
tanah ini tetap menjadi milik keluarga, putriku ditakdirkan untuk
selamanya perawan dan tak berputra. Dia harus mengingkari
kebahagiaan seorang ibu; kedua tangannya tidak akan pernah
merasakan kebahagiaan merengkuh seorang bayi yang baru
dilahirkan ke dadanya."
Dengan pilu, Shahzada membayangkan apa yang sedang dimimpikan
oleh putrinya saat itu juga. Apakah Sikander muncul dalam mimpi-
mimpinya? Apakah dia tidur dalam damai, tidak menyadari hukuman
yang baru saja ditimpakan untuknya, dan tali yang disiapkan untuk
menjerat lehernya?
"Aku seorang ibu, tetapi aku seorang pengkhianat," isaknya di dalam
bantalnya.
***
Ketika terbangun pagi-pagi sekali mendengar suara azan subuh dari
masjid di dekat rumah mereka, Shahzada kembali terisak. Putrinya
yang sempat menjalani kehidupan yang bebas dan nyaman akan
segera mendapati seluruh hidupnya berputar di sekitar sajadah.
Sepenuhnya mengabdikan diri untuk ibadah.
Bangkit perlahan dan dengan langkah tertatih, Shahzada pergi ke
kamar mandi. Seusai berwudhu, dia melaksanakan shalat subuh.
Habib juga sudah bangun dan mengamati istrinya dari atas
ranjangnya. Dia menghitung lamanya Shahzada melakukan wirid—
berdoa kepada Allah. Apa yang didoakannya? Apakah dia berdoa
untuk anak perempuannya?

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Ketika Shahzada berdiri, dia berhadapan dengan wajahnya yang


tampak muram dan hampa. Lingkaran hitam mengelilingi matanya.
Dalam semalam, dia tampak sudah bertambah tua. Tidak tampak
kedukaan, tetapi juga tidak ada maaf dalam sepasang mata cokelat
muda itu.
"Apakah kau berdoa untuk kami, Shahzada?" tanya Habib dengan
suara terbata penuh keraguan yang muncul untuk pertama kalinya
dalam hidupnya.
"Aku sudah mendoakan keluargaku. Untuk almarhum anak lelakiku,
semoga dia beristirahat dalam damai di surga. Untukmu, semoga
Allah mengampunimu dan mengampuni kita, untuk apa yang akan kita
lakukan," jawab Shahzada dengan nada dingin.
"Shahzada, tidak ada yang perlu diampuni. Mengapa kau tetap saja
berbicara seperti itu?" "Aku tidak akan berdebat denganmu, Habib."
Habib menyadari adanya kekurangan yang disengaja dengan
panggilan hormat Sahib setelah namanya. Hal itu membuatnya sedih,
tetapi dia membiarkannya berlalu.
"Apa yang akan kukatakan adalah," lanjut Shahzada, "aku tidak akan
pernah memaafkanmu, tetapi aku akan melakukan yang terbaik yang
bisa kulakukan untuk mendukungmu dalam segala hal, sebagai
kewajibanku."
"Terima kasih," balas Habib dengan helaan napas lega, bersyukur
atas dukungan sang istri.
"Jangan berterima kasih padaku," tukas Shahzada ketus. "Aku
hanyalah sebuah boneka, semata-mata seorang perempuan tak
berharga yang mengerjakan titahmu. Kau dan ayahmu adalah
dalangnya, Habib. Kau menggenggam nasib putriku dalam kepalan
tanganmu. Pilihan apa yang kumiliki? Aku hanya bisa ikut berayun dan
menuruti ke arah mana pun kau tarik atau bagaimanapun kau
gerakkan aku. Apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan putriku
dari nasib buruk yang kau takdirkan untuknya? Orang menyebutnya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sebagai kismet, tetapi tampaknya seperti kau yang memahatkan


kismet orang lain dan mendiktekan takdir mereka—seperti yang kau
katakan padaku dengan sangat berapi-api kemarin. Aku terbelenggu
oleh rantai dominasi priamu, ressmeh-mu, tradisi-tradisimu."
"Jangan berbicara ngawur!" Dia menoleh pada istrinya dengan marah
sambil terduduk di atas ranjangnya.
"Itu dia. Hanya itu yang kau yakini dariku—berbicara ngawur.
Sepanjang yang kau pikirkan, Allah hanya memberkahimu dengan
akal sehat." Shahzada berpaling darinya dan meninggalkan ruangan.
Habib tetap terduduk di atas ranjangnya, merasa dibingungkan oleh
kata-kata istrinya.
"Oh, Jafar, mengapa kau harus pergi?" Habib menjerit. "Karena
kematianmulah aku terpaksa harus melakukan ini semua. Aku merasa
masa berkabung keluarga kita tidak akan pernah berakhir. Ibumu
tidak akan pernah memaafkanku dan itu akan kutanggung dengan
berat sekali." Dia mencengkeram kepalanya sendiri dan menangis
tersedu-sedu sepenuh hati.

8.

SHAHZADA TURUN ke dapur guna memastikan segalanya lancar


untuk sarapan pagi tetamu mereka. Dia berdoa agar Zarri Bano
belum bangun karena dia belum sanggup menghadapi putrinya itu.
Tugas yang menghadangnya adalah tugas yang sangat besar:
menyiapkan putri kesayangannya untuk menjadi seorang Perempuan
Suci.
Berdiri sendirian di tengah-tengah dapurnya yang modern, lengkap,
dan luas, Shahzada berusaha mengawasi pekerjaan ketiga kokinya
saat mereka sedang mempersiapkan halwa puri, kari Chana, teh, kue-
kue, dan paratha. Pikirannya benar-benar linglung. Berkali-kali dia
harus menyembunyikan wajahnya di balik kerudungnya, saat air mata

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tak tertahankan jatuh perlahan di pipinya. Pengurus rumah


tangganya, Fatima, adalah orang pertama yang melihatnya menangis.
"Shahzada Sahiba, ayolah, janganlah Anda menangis. Kami semua
mencintai Jafar kita yang tampan. Kita akan menghabiskan sisa umur
kita untuk menangis dan berduka untuknya, tolong berhentilah
menangis," desak Fatima yang juga tidak mampu menahan dirinya
untuk tidak menangis. "Pergilah dan duduklah di kamar yang lain.
Kami dapat menyelesaikan semuanya di sini." Sambil mengelap
matanya dengan sudut chador-nya, Fatima menuntun majikannya
keluar dari dapur.
Mereka masuk ke sebuah ruangan penghubung dan bersama-sama
duduk di atas sebuah sofa empuk. Shahzada memperlakukan semua
pelayan dan bawahannya sebagai sesama manusia, dan dengan
kebaikan hati yang tulus, Shahzada berhasil membina hubungan yang
luar biasa dengan Fatima. Dia sudah bekerja pada mereka selama
lebih dari dua puluh tahun dan karena itu Fatima nyaris seperti
anggota keluarga saja.
Meski kelaziman menuntutnya untuk tidak melakukannya, berbagi
dan membicarakan kegundahannya dengan Fatima tidak akan
terelakkan. Kalau tidak, Shahzada merasa akan menjadi gila, serasa
memeluk sebuah bom mematikan sendirian saja di dadanya.
"Oh, Fatima, Fatima!" seru Shahzada dengan suara terbata-bata.
"Kupikir aku adalah perempuan hidup yang paling berbahagia. Aku
memiliki sebuah rumah yang indah, gaya hidup yang menyenangkan,
dan hingga kematian Jafarku, aku dikaruniai anak-anak yang paling
rupawan yang pernah kuimpikan dan kudambakan. Aku mengenal
semua ibu yang membanggakan anak-anaknya. Aku mencoba menjadi
salah satunya. Bagaimana mungkin aku melupakan putraku yang
tampan? Rubyku yang cantik dan Zarri Bano...," dia tersedak oleh air
mata yang mengucur deras.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ayolah, Sahiba, Anda masih memiliki Ruby dan Zarri Bano.


Janganlah menangis. Anda memiliki semuanya untuk menjadi seorang
ibu yang berbangga hati. Tidak seorang pun yang dapat menandingi
kecantikan Zarri Bano kita dan dia masih hidup."
"Jangan membicarakan kecantikannya—apa gunanya itu jika
disembunyikan karena tidak akan ada laki-laki yang akan
mengaguminya, untuk mencintainya, dan membuatnya berkeluarga."
"Apa yang sedang Anda katakan, Sahiba? Ada apa dengan Zarri
Bano?" Fatima tercekat.
"Dia mendapat musibah." Shahzada menatap nanar teman dan
pembantunya itu. Matanya berkilauan oleh air mata.
"Aku tidak mengerti," sahut Fatima sambil membalas tatapan
Shahzada dengan ketakutan membias di wajahnya. "Katakan padaku,
mengapa dia mendapat musibah?" Sebagai seorang yang percaya
pada adanya ilmu hitam, Kala Jadoo, Fatima kini benar-benar tegang.
Mungkinkah seseorang menggunakan sebuah azimat jahat untuk
merusak kesehatan anak asuhnya itu? Benak Fatima menjadi
sedemikian kalut dipenuhi bermacam-macam dugaan dan takhayul.
"Biasanya ini terjadi di desa, pasti tidak bisa terjadi di sini, di kota
ini," bisiknya lirih kepada majikannya.
"Ini bukan ilmu hitam, Fatima. Ini lebih buruk. Dia akan menjadi
seorang Shahzadi Ibadat, seorang Perempuan Suci!"
Fatima menatap wajah majikannya dengan ketakutan. "Shahzada
Sahiba? Tidak!" erangnya. Suaranya begitu lemah —nyaris bagai
desisan belaka. "Itu tidak mungkin. Siapa yang berkata begitu?"
Melihat kekalutan Fatima, Shahzada mengingat kembali kekalutan
dirinya sendiri kemarin ketika Habib pertama kali menyebutkan
rencananya ini padanya. Tidakkah dirinya bahkan memukuli dada
suaminya dengan menggunakan kepalan tangannya? Dan kini, dari
seorang istri penurut dan patuh yang tidak pernah meninggikan nada
suaranya atas lelaki itu sebelumnya, dia meninjukan kepalan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tangannya! Kenyataan itu menyelimutinya. "Tak satu pun dari semua


ini yang sungguh terjadi! Itu akan menjadi sebuah mimpi buruk," dia
mengucapkan kalimat itu.
Dia merasa begitu tua. Kehilangan Jafar dan sekarang Zarri Bano
melumpuhkannya hingga ke tulang-tulangnya.
Dia adalah sang chaudharani, ratu keluarga ini. Meski begitu, dengan
satu serangan saja, suaminya sudah menjatuhkannya ke tingkat
terendah dari yang paling rendah. Bahkan, istri seorang penjual ikan
saja memiliki lebih banyak kewenangan dan akan mampu melawan
serangan suaminya demi anak-anaknya. Dia, sebaliknya, terbelenggu
di dalam sangkar emasnya.
Bahkan, jika suaminya melemah di bawah kendalinya, dia tidak akan
mampu seorang diri melawan tekanan dari sesepuhnya yang lain,
khususnya ayah Habib. Siapa yang pernah mendengar seorang
menantu perempuan sendirian mengusung keadilan seraya melawan
kehendak penguasanya? Sebagai seorang perempuan, dia tidak
memiliki kekuatan apa pun—pendapatnya tidak berarti. Hukum
berlaku di antara mereka: kata-kata kaum lelaki adalah perintah,
dan mereka dilahirkan untuk dipatuhi. Mereka memiliki kemampuan
khusus dalam hal memberi dalih sehingga segalanya terdengar
begitu meyakinkan. Di hadapan kezaliman mereka yang dengan tebal
tersamarkan itu, perempuan tidak akan pernah bisa berharap
menang atau menantang mereka. Mereka selalu selangkah di muka
dan sangat cekatan dalam hal itu.
Zarri Bano tidak akan mempunyai kesempatan. Dia akan hancur
melawan benteng tirani patriarkat ini. Bahkan dengan kebeliaannya,
feminisme, dan pendidikan universitas yang dikenyamnya, dan
dengan kepribadiannya yang ramah, dia tetap akan digariskan untuk
menjadi seorang pecundang dalam permainan kekuasaan kaum lelaki
ini.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Seperti juga ibunya, dia sudah dididik sejak bayi untuk menghormati
dan memuja setiap keinginan ayahandanya dan siapa pun lelaki yang
dituakan dalam keluarga mereka. Menentang salah satu keputusan
mereka akan dianggap sebagai pembangkangan tingkat tinggi dan
sebuah tanda dari gangguan moral dan sosial, sebentuk
pemberontakan yang oleh para tetua akan dianggap harus
dimusnahkan sesegera mungkin dan dengan sebentuk perlakuan
hingga dia tidak akan pernah bisa meninggikan kepalanya yang buruk
itu lagi.
Di sisi lain, Shahzada menganggap membantu putrinya melarikan diri
dari takdirnya adalah sesuatu yang tak mungkin. Ke mana dan apa
yang akan dijadikan pelarian Zarri Bano? Kekuatan klan keluarganya,
seperti juga trah yang lain, bergantung kepada izzat mereka—
kehormatan keluarga mereka. Bagi Zarri Bano, meninggalkan
rumahnya akan membuat izzat mereka terpuruk jatuh di mata semua
orang. Tidak ada seorang pun yang mampu memperbaiki
guncangannya, baesti, kehilangan muka.
Kemungkinan anak perempuannya menikah sebelum upacara
penobatan Perempuan Suci juga terasa tidak mungkin. Pernikahan itu
pasti akan membangkitkan skandal besar, khususnya jika pernikahan
itu tidak direstui oleh ayah dan kakeknya, dan masih dalam suasana
berkabung karena kematian adiknya. Mereka harus berkabung untuk
Jafar selama tiga bulan.
Singkatnya, tidak ada jalan keluar bagi putri tercintanya! Zarri Bano
juga akan terbelenggu di dalam sangkar emas, tetapi dia tidak akan
berada di bagian dalam sangkar itu karena tidak seperti ibunya, dia
tidak akan pernah menikah, memiliki anak, menikmati kebersamaan
seorang suami, atau mengurus kehidupan rumah tangga yang normal
seperti perempuan-perempuan lainnya. Tugas dan kewajibannya
hanyalah melakukan ibadah agama.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Fatima, andai saja aku ini istri tukang ikan," kini dia mengungkapkan
isi kepalanya keras-keras. "Dengan begitu, aku dapat melindungi
kepentingan putriku: Di sini aku seorang chaudharani, tetapi aku
bahkan tidak memiliki cukup kekuatan dalam jemariku untuk
melindungi putriku dari nasib buruk yang menunggunya."
"Ayolah, Sahiba, jangan menangis. Tentu saja itu tidak akan terjadi.
Tidak mungkin terjadi pada Zarri Bano kita. Itu sangat gila dan
kejam. Bagaimana mungkin seorang perempuan cantik yang sudah
cukup matang untuk menikah dan punya anak bisa dipisahkan dari
tugas yang sudah ditakdirkan bagi kita, sebagaimana juga semua
perempuan di seluruh dunia? Untuk itulah, Allah menciptakan kita."
"Ini akan terjadi dan sedang terjadi, Fatima. Kukatakan padamu
bahwa aku tak berdaya mencegah apa yang akan terjadi nanti, yang
tampaknya akan diselenggarakan dalam beberapa hari ini." Shahzada
menatap Fatima dengan sorot mata penuh kepiluan. "Kalian orang-
orang dari kasta rendah merasa iri pada kekayaan yang kami miliki,
tetapi saat ini aku akan memberikan apa saja untuk bertukar
kehidupan denganmu, atau sebagai seorang perempuan yang tinggal
di dalam pondok yang terbuat dari lumpur kering. Fatima, kedua
tangan putriku tidak akan pernah dilukis dengan henna merah
berpola pengantin." Dia merintih, seolah-olah jantungnya mau pecah.
Mulut Fatima terus ternganga akibat dari penuturan yang dikatakan
chaudharani-nya meresap sempurna ke dalam benaknya. Tidak
mungkin! Kedua tangannya mulai saling menggosok satu sama lain,
menandakan kekalutan batinnya.
Sambil berjongkok di lantai, Fatima meletakkan kepalanya di
pangkuan majikannya dan mulai terisak. Karena sempat
membesarkan Zarri sejak usianya tujuh tahun, Fatima mencintai
Zarri Bano layaknya seorang ibu kandung. Fatima menyuapinya,
memandikannya, dan mendandaninya. Selama bertahun-tahun, dia
senang mendengarkan celotehnya, sindiran-sindiran sinisnya, dan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

selalu mengintip para pelamarnya untuk dilaporkan pada gadis itu,


sebelum Zarri Bano menemui mereka. Di dalam hatinya, seperti juga
di dalam hati ayah Zarri Bano, Fatima tidak pernah merasa puas
melihat para pelamar tersebut. Dia selalu berpikir bahwa Zarri Bano
terlalu bagus untuk para lelaki itu. Hanya Sikanderlah yang lulus dari
ujian itu. Dan itu hanya karena dia menangkap secercah cahaya dan
tatap sayu di mata Zarri Bano yang tidak pernah disaksikan Fatima
sebelumnya saat Zarri Bano menghadapi lelaki lainnya. Hati pengurus
rumah tangga itu membuncah karena bangga dan bahagia,
mengetahui bahwa akhirnya Zarri Bano sudah menemukan jodohnya.
Seorang lelaki yang bisa dihormatinya sekaligus dicintai.
Sekarang kenyataan lain muncul. "Tidak mungkin terjadi!" Dia ingin
berlari dan menghantamkan kepalanya ke dinding di hadapan
Chaudhury Habib untuk mengembalikan akal sehatnya!
Mereka berdua tetap saling berangkulan, terpaku dalam kedukaan
selama bermenit-menit dalam hening. Baru ketika si koki, Naimat
Bibi, mendatangi mereka untuk bertanya apakah mereka harus
menyiapkan meja makan untuk makan pagi, Shahzada terpaksa harus
berdiri dengan setengah hati. Kehidupan harus terus berjalan. Krisis
pribadi harus dikesampingkan untuk menghadapi rutinitas dan
penampilan sehari-hari.
***
Sejam kemudian, sebagian besar tamu yang sudah mandi dan
berdandan turun memasuki ruang makan yang luas. Mereka duduk
berkelompok dan sementara mereka menyantap makanan, mereka
juga mengobrol dan memindah-mindahkan makanan ke sekeliling
meja. Ketika Habib masuk, dia duduk sendirian di sebuah sofa,
bukan di salah satu dari keempat meja makan besar itu, dan
langsung mengunyah sepotong roti kering menemani tehnya. Dia
tampak sedang merenung ketika Shahzada memandanginya, sambil
lalu-lalang di antara meja-meja makan untuk memastikan semua

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tamunya dilayani dengan baik. Bahkan dengan kedukaan pribadi yang


meradang di dalam hatinya, dia tetap teliti mengawasi semuanya,
memastikan semua perabot porselennya bersih tak bernoda, dan
serbet tersedia di mana-mana.
Ruby dan Zarri Bano memasuki ruang makan. Melihat berkeliling dan
tersenyum ramah pada semua orang, mereka duduk berdua di
sebuah meja yang masih kosong dua kursinya. Semua orang berhenti
bersantap, mengasihani mereka —saudari-saudari yang malang yang
baru saja kehilangan seorang saudaranya.
Habib dan Shahzada saling menyorotkan tatapan tegang saat
melihat kepala Zarri Bano tak berkerudung. Di hadapan para
kerabatnya, Zarri Bano tidak pernah berusaha menutupi kepalanya.
Sepuluh menit kemudian, Sikander dan ibunya, Bilkis, memasuki
ruang makan. Zarri Bano memunggunginya. Tetapi saat secara
kebetulan dia melihat dari cangkirnya sekilas ayahnya yang saat itu
menyorotkan tatapan penuh peringatan, Zarri Bano menyadari
kehadiran Sikander. Ketika menoleh melihatnya, mulutnya
membentuk seulas
senyum hangat—matanya memercikkan rasa suka. Sikander balas
tersenyum padanya. Matanya menatap penuh kasih sayang ke wajah
Zarri Bano. Dia tampak tak peduli siapa pun yang menyaksikannya.
Potongan roti kering di tangan Habib berderak nyaring,
menggetarkan suasana. Dengan sopan, Sikander bergerak menjauh,
membimbing ibunya ke ujung ruangan ke meja makan lainnya. Zarri
Bano mengikuti gerakan lelaki itu dengan tatapan sendu. Dia menoleh
ke arah ayahnya, memerhatikan ekspresi tegangnya dan gerakan-
gerakan kaku tangannya. Sebersit rasa ketakutan muncul di
benaknya begitu dia mengingat kata-kata ibundanya sekali lagi.
Sebagai ujian, mata Zarri Bano menjelajahi ruangan mencari
Sikander. Sekali lagi dia melihat sorot mata sang ayah yang meneliti
tatapan mereka berdua. Dia merasa bersalah, seolah-olah baru saja

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ketahuan karena melakukan kesalahan. "Bukan suatu kejahatan


melakukan kontak mata dengan lelaki yang akan menikah denganku!"
Dia ingin meneriakkan kata-kata itu ke arah Habib. Zarri Bano lalu
menatap ke arah ibunya mencari pembelaan, tetapi Shahzada
menghindari tatapan putrinya dengan berpura-pura menyerahkan
selembar serbet ke salah seorang tamu.
Dengan malas, Zarri Bano mengangkat kerudung Muslimnya,
menutupi kepalanya, dan kemudian sengaja memalingkan wajahnya ke
arah sang ayah. Dia tidak tersenyum kepadanya kali ini, dan ayahnya
memerhatikan hal itu. Ada sesuatu yang lain dalam sorot mata dan
ekspresi Zarri Bano sekarang.
Apakah keputusan itu kini sudah jatuh? Sudahkah dia
menyadarinya? pikir Habib panik. Dia bergidik ketakutan memikirkan
apa yang ditawarkan masa depan pada mereka, sambil mencemaskan
kapan Zarri Banonya yang berharga itu akan tersenyum padanya lagi.
Belum apa-apa, dia sudah bisa merasakan sikap menentang putrinya
itu meruap dari setiap pori-pori tubuhnya, melintasi ruangan.

9.

"KAU AKAN menjadi seorang Perempuan Suci, Zarri Bano!" Habib


menyatakannya dengan suara membahana kepada putrinya.
Itu terjadi dua minggu setelah kejadian di ruang makan pagi itu.
Selama itu, ayah dan anak itu tidak lagi berbicara satu sama lain,
dan mereka saling menghindar.
Sikander dan ibunya sudah pulang ke rumah mereka. Dia dijadwalkan
pergi ke Singapura untuk urusan bisnis. Sikander dan Zarri Bano
tidak memiliki kesempatan untuk berbincang-bincang berdua saja,
begitu juga ibunda Sikander tidak sempat bercakap-cakap dengan
ibunda Zarri Bano. Shahzada selalu tidak sempat mengobrol secara
pribadi dengan Bilkis. Oleh karena itu, dengan baik ibu maupun anak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

lelakinya itu pergi tanpa sempat memperbincangkan apa pun tentang


rencana pertunangan Sikander dengan Zarri Bano.
Zarri Bano memerhatikan sikap tak suka ayahnya terhadap
Sikander. Itu menurutnya tidak masuk akal. Ayahnya pernah
memohon kepadanya untuk menikahi seseorang, tetapi kini dia
memberikan perlakuan yang amat dingin kepada calon menantunya.
Sebagian besar tetamu dan pengunjung sudah pulang. Hanya
beberapa kerabat dekat dari keluarga itu yang masih tinggal untuk
memberikan doa khusus pada selamatan hari keempat puluh
chaleesema, atas meninggalnya Jafar.
Seperti pengecut, Shahzada dan Fatima telah memilih untuk
bungkam, dan menghindar dari Zarri Bano. Mereka bersalah karena
menjaga sebuah rahasia jahat, sambil menunggu dengan ketakutan
sampai Habib membongkarnya sendiri kepada putrinya itu. Kemudian
dunia ini serasa meledak di sekeliling tubuh mereka.
Pada akhirnya Habib memerlukan waktu dua minggu untuk memanggil
putrinya agar menemuinya. Sekarang, putrinya berdiri di
hadapannya, dan Habib mengetahui bahwa tubuh jangkung Zarri
Bano tegak bagaikan sebatang kawat per. Dia menolak duduk.
Dengan berdiri tegak, Habib berdeham membersihkan
tenggorokannya yang kering. Belum pernah sebelumnya dia merasa
begitu sulit berbicara pada "bintang" kesayangannya itu.
Sebelumnya, mereka tidak pernah berhenti berbicara satu sama
lain. Sejak kematian Jafar, samudra nan luas seolah membentang di
antara mereka.
"Menurutku, Zarri Bano, ini adalah saatnya kita membicarakan masa
depanmu," ujarnya berat hati, dan dia mulai melangkah berkeliling
ruangan.
"Maksud Ayah, pernikahanku?" potong Zarri Bano memberanikan
diri, dan itu membuat ayahnya tercekat. Zarri Bano tidak akan
membuat pembicaraan ini mudah bagi sang ayah.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Tidak," sahut Habib tegas. Lalu dia memutuskan untuk mengambil


tindakan berbahaya. Ini bukan saatnya membuang-buang waktu.
"Bukan pernikahanmu. 'Masa depan'-mu Zarri Bano." Habib terdiam
sejenak. Lalu, "Tidak akan ada pernikahan bagimu, putriku. Kau
malah akan menjalankan upacara yang lain. Kami sudah memutuskan
bahwa kau akan menjadi seorang Perempuan Suci, seorang Shahzadi
Ibadat. "
Zarri Bano menatap kosong ayahnya. Apa yang sedang dikatakannya?
Pasti dia tidak sungguh-sungguh!
"Mengapa?" tanya Zarri Bano amat lirih. "Aku tidak ingin menjadi
Perempuan Suci, Ayah. Ayah tidak sungguh-sungguh, bukan? Ini
sebuah gurauan—dan ini gurauan yang buruk." Dia menatap sang ayah
dengan tatapan penuh protes.
"Tidak, putriku tersayang, ini bukan gurauan. Aku tidak pernah lebih
serius lagi seumur hidupku." Suara yang begitu tega dan tak
berperasaan itu menghambur ke arah Zarri Bano. "Kau tahu betul
tradisi kita, tentang ahli waris laki-laki yang meninggal dan putri
tertuanya menggantikannya menjadi seorang Shahzadi Ibadat. Aku
tidak memiliki pilihan lain. Kau harus berusaha mengerti."
"Tidak ada pilihan? Aku tidak percaya, Ayah. Tidak mungkin aku
menjadi seorang Perempuan Suci," ancamnya. "Aku tahu
konsekuensinya dan aku tidak tepat untuk tugas itu. Seperti yang
Ayah ketahui, aku bahkan nyaris tidak pernah menutup kepalaku
dengan benar. Aku hanya mengetahui sedikit tentang agama. Aku
adalah seorang perempuan yang sangat duniawi. Aku tidak bisa
menjadi seorang biarawati!"
"Kau akan segera terbiasa dengan tugas itu," ujar Habib tegas.
"Ini gila. Ayah tak mungkin serius," sahut Zarri Bano datar. "Aku
sudah menerima pinangan Sikander Sahib. Ayah sendiri sudah
merestui dan mendukung adanya perjodohan. Aku sudah memutuskan
untuk menikah dengannya. Aku ingin menikah dengannya!" Zarri Bano

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

merasa terhenyak dengan intonasi suaranya dan disadarinya pipinya


segera saja merona merah.
"Situasinya sekarang sudah berubah." Muncullah suara yang tegas
itu lagi. "Kita kehilangan adikmu. Tidak akan ada upacara pernikahan
untukmu. Aku tidak akan memberi restu padamu untuk menikahi
lelaki ini atau lelaki mana pun, Zarri Bano. Tidak akan pernah."
"Tidak, Ayah!" Zarri Bano menjauh dari ayahnya, seolah-olah lelaki
itu adalah sesosok setan.
Habib menyaksikan ekspresi tidak percaya yang tertumpah,
bercampur ketakutan dan kemarahan, silih berganti membias di
wajah putrinya. Dia melihat putrinya berperang dengan dirinya
sendiri, mencoba memahami kata-kata ayahandanya. Kemudian
begitu kenyataan menerpanya, wajah Zarri Bano berubah sepucat
mayat dan dia pun berlari terbirit-birit ke luar.
Begitu mencapai lorong, dia tidak tahu ke arah mana dia harus
berbelok. Suara bising terus bergaung di telinganya dan matanya
menjadi kabur oleh air mata. Entah bagaimana, dia bisa menemukan
pintu kamar tidurnya dan menerjangnya hingga terbuka, dan dia pun
terhuyung masuk. Tungkai-tungkai kakinya lemas dan tubuhnya
roboh di atas lantai.
Ketakberdayaan ini diikuti oleh kegelapan yang tiada tara. Tak sadar
diri, Zarri Bano kehilangan orientasi atas waktu dan ruang. Jam
dinding terus berdetak. Detik dan menit berlalu, sementara Zarri
Bano tergeletak di atas lantai marmer yang dingin dan ayahandanya
berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya sendiri.

10.

SEJAM KEMUDIAN Shahzada bergabung dengan suaminya. Dia


mendapati sang suami berdiri terpaku di tepi jendela kamar tidur
mereka, seperti biasa menatap halaman berhias bebungaan yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sedang mekar-mekarnya. Shahzada memerhatikan kepalanya yang


tertunduk tak bahagia. Tanpa banyak ribut, Habib mengatakan pada
sang istri tentang apa yang sudah dilakukannya. "Aku sudah
berbicara padanya, Shahzada."
Baki makanan yang dipegang istrinya bergetar dan dia
meletakkannya di atas meja rias.
"Di... di... di mana dia?" tukasnya gugup. Matanya segera
membengkak dipenuhi air mata.
"Aku tidak tahu." Habib membalikkan tubuhnya dan kembali
melemparkan pandangan ke luar jendela. "Dia pergi beberapa saat
yang lalu," sahutnya datar.
Perlahan Shahzada berjalan keluar dari kamar mereka. Dengan
pandangan kabur, dia berjalan ke arah kamar Zarri Bano. Pintunya
tak mau terbuka; sesuatu mengganjalnya. Setelah mendorong dan
membuatnya terbuka sedikit, Shahzada menyelipkan kepalanya ke
balik pintu.
Dalam keremangan kamar itu, Shahzada menyaksikan putrinya
tergeletak di lantai. Matanya terbuka, tetapi pandangannya begitu
kosong menatap ruang hampa. Setelah menjerit pilu, Shahzada
melangkah masuk ke dalam kamar itu. Di benaknya dia sadari bahwa
masih ada banyak tetamu di rumahnya dan sebagian besar di
antaranya akan senang hati memasang telinga.
Seraya merangkak di atas lantai marmer, Shahzada mengangkat
kepala putrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukannya. Sambil
memegangi kepala putrinya, dia mulai menggoyang-goyangkannya
perlahan. Sungai air mata mengalir lembut di pipinya.
"Zarri Bano, bicaralah padaku, anakku. Apakah kau terluka? Mengapa
kau terbaring di lantai?"
Sambil menyandarkan putrinya di bahunya, Shahzada menyeretnya
melintasi lantai yang dingin dan berusaha mengangkatnya ke atas

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ranjang di tengah ruangan. "Ruby! Ruby!" teriaknya memanggil putri


bungsunya di lorong.
"Ada apa?" tanya Ruby sembari berlari tergopoh-gopoh keluar dari
kamarnya. Shahzada tidak menjawab, hanya memberi isyarat
padanya untuk masuk ke kamar Zarri Bano dan menyalakan lampu di
samping tempat tidurnya.
"Apa yang terjadi dengan Zarri Bano, Ibu? Mengapa dia melotot
seperti itu?" tanya Ruby cemas.
"Pergilah dan ambil segelas air untuk kakakmu. Dia tidak sehat,"
pinta Shahzada padanya. "Menurutku, dia pingsan."
Tidak tampak reaksi apa pun dari Zarri Bano ketika ibunya
mengelilingi tempat tidurnya dan sekali lagi meletakkan kepala
putrinya di pangkuannya. Mata gadis itu tetap terbelalak, tapi tanpa
perhatian ke arah wajah ibundanya. Dia menelan air yang disodorkan
ke bibirnya oleh Ruby yang kalut, tetapi tidak berkata apa-apa.
"Haruskah aku memanggil Ayah?" tanya Ruby panik. Dia tidak pernah
melihat kakaknya seperti itu. Pemandangan itu terlalu menakutkan
setelah kematian kakak laki-lakinya.
"Tidak usah, Ruby," ujar Shahzada lirih. "Ayahmulah yang
menyebabkan semua ini."
"Apa maksud Ibu?" Ruby tidak mengerti.
"Ayahmu baru saja memberi tahu Zarri Bano bahwa dia akan
dijadikan seorang Shahzadi Ibadat, " bisik Shahzada. Keheningan
yang mencekam menyeruak.
"Ya, Tuhan!" Ruby tercekat. "Ibu, ini tidak mungkin terjadi. Zarri
Bano sudah terikat untuk segera menikah." "Tidak. Tidak akan ada
pernikahan untuk putriku yang cantik ini," Shahzada berkata kelu.
Suara ibunya yang semakin samar lebih menakutkan bagi Ruby
daripada histeria yang tadi dilakukannya. "Tetapi Ibu, dengarkan
aku! Siapa yang bilang bahwa dia akan dijadikan seorang Shahzadi
Ibadat?" tanyanya sambil mendorong tangan ibunya dengan keras.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Itu sudah diputuskan oleh ayah dan kakekmu." Shahzada mengingat


kembali kejadian saat dirinya dipanggil untuk menemui Siraj Din dan
diberi tahu bahwa Zarri Bano akan menjadi seorang Bibi—sang
Perempuan Suci. Dan bahwa dirinya, sebagai ibunya, diharapkan
mampu menyiapkan Zarri untuk tugas itu. "Jangan melawan kami
dalam soal ini, Shahzada," Siraj Din memperingatkannya dengan
nada suara yang pelan dan terdengar dingin.
"Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!" gagap Ruby "Ibu, ini
gila. Bagaimana mungkin Ayah bisa melakukan hal ini—
menyembunyikan kakakku yang jelita ini di balik selembar kerudung
hitam?" Ruby melontarkan bayangan yang terbentuk di dalam
kepalanya. "Ya, Tuhan. Melihat kakakku terbungkus burqa, yang
menutupi kepala hingga jari kakinya, itu jelas tidak mungkin, bukan?
Aku akan menemui Ayah! Dia tidak bisa melakukan ini atau
membiarkan hal ini terjadi."
Dia berbalik untuk pergi berlalu, tetapi ibundanya menangkap
lengannya dan menarik tubuhnya agar kembali duduk.
"Tidak, jangan, Ruby! Aku sudah mencoba membujuknya, tetapi tidak
ada gunanya. Bagaimana mungkin kau bisa berhasil, kalau aku saja
gagal? Zarri Bano tidak bisa meloloskan diri dari nasib buruk ini."
Ruby menatap ibundanya dengan sorot mata ketakutan yang langsung
terbias di wajahnya. "Dia menggenggam tradisinya, dan ayah serta
semua kerabat laki-lakinya akan mendukungnya," Shahzada
melanjutkan kalimatnya dengan gemetar.
"Tetapi Ibu, mengapa mereka melakukan semua ini?" Kini Ruby yang
gemetaran karena rasa takut dan amarah.
"Tidakkah kau pahami?" Suara Shahzada terdengar kental oleh
sarkasme. "Tidakkah kau ketahui bahwa kakakmu akan diikat kuat-
kuat pada ladang tebu busuk di sekeliling tanah kita?" suara
Shahzada luruh, tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Maksud Ibu, kakakku akan dinikahkan pada zemin kita—dia tidak


akan diperbolehkan untuk menikah, selamanya?" Ruby lagi-lagi
tercekat. "Tapi, Zarri Bano tidak membutuhkan harta kita. Sikander
dapat memenuhi semua kebutuhannya dengan melimpah."
"Ruby, sayangku, dengarkan Ibu. Zarri Bano adalah ahli waris
ayahmu. Dia tidak bisa menghindar dari tugas itu atau dari apa yang
diwarisinya. Keduanya akan selamanya saling berkaitan. Hanya
dengan menjadi seorang Perempuan Suci, dia dapat menjadi ahli
waris yang sah...." Shahzada terdiam, memandang dengan terbelalak
ke arah pintu yang terbuka, tepat ketika bayangan Habib tampak
melintasi lantai.
Habib bisa membaca suasana dengan sekilas saja. Tatapan menuduh
dari mata Ruby, dengan mulut yang setengah ternganga siap untuk
berteriak ke arah ayahnya, dan istrinya yang dengan tegang
mencengkeram tangan gadis itu dari belakang, berusaha untuk
menghentikannya. Ruby kemudian berbalik dan menatap ibundanya.
Shahzada memberi isyarat dengan kedua matanya agar Ruby tenang.
"Jadi, Ruby juga sudah tahu," pikir Habib. Sambil berjalan gontai
memasuki kamar itu. Sosoknya yang tinggi dan kaku berdiri tegak di
tepi ranjang dan memandangi putri sulungnya yang terbaring tak
bergerak di depannya. Dia merasa terpuruk. Sebuah pengalaman
baru baginya menjadi sedemikian terasing dari keluarganya.
"Shahzada dan Ruby, maukah kalian pergi meninggalkan kamar ini?
Aku ingin sendirian dengan Zarri Bano," pintanya. Shahzada tak juga
beranjak pergi.
"Tolonglah, kataku!" perintahnya. "Aku ayahnya. Aku juga
mencintainya. Jangan perlakukan aku seperti seorang penderita
lepra. Jangan merebut atau menghilangkan wewenangku."
Nada dingin suaranya memaksa Shahzada meletakkan kembali kepala
putri sulungnya ke atas bantal dan menarik Ruby yang tampak marah
keluar dari ruangan tersebut. Hanya karena kewajibannya sebagai

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

anak selama bertahun-tahun dan penghormatan kepada orangtualah


yang mencegah Ruby meneriaki sang ayah dan menahan
kemarahannya yang meledak-ledak terhadapnya.
Habib menyaksikan mereka berlalu. Sambil menghela napas berat,
dia menjatuhkan pandangannya ke arah putri sulungnya. Mata Zarri
Bano masih menunjukkan tatapan kosong. Dengan membungkuk,
Habib mengangkat kepala Zarri Bano dan meletakkannya ke dalam
pangkuan tangannya. Setengah berjongkok di atas permukaan lantai
marmer yang dingin, Habib memalingkan wajah Zarri Bano perlahan
ke arahnya. Sambil mengusap lembut anak-anak rambut dari
belakang telinga Zarri Bano, Habib berbisik, "Lihat Ayah, putriku
sayang. Jangan mengabaikanku!"
Tepat pada nada suara tenang tetapi tegas itu, kelopak mata Zarri
Bano terangkat perlahan ke arah wajah sang ayah.
"Terima kasih, putriku yang cantik." Dia mengusap lembut pipi
putrinya seperti yang biasa dilakukan Habib saat dia masih seorang
gadis kecil dan biasa tertidur di pangkuannya. Saat dia sudah
beranjak dewasa, tata krama sosial memaksa mereka untuk hanya
berbincang atau paling-paling dia mencium ubun-ubun putrinya.
Habib selalu ingin mengelus pipi putrinya yang berlesung pipit dan
indah, khususnya saat Zarri Bano tertawa dan tersenyum menggoda
padanya. Hari ini dia ingin mengurai rasa sakitnya di tingkat yang
sepantasnya.
Zarri Bano terus menatap nanar ayahnya. Tiba-tiba saja segalanya
muncul kembali dalam pikirannya bagaikan segumpal awan hitam dan
dia pun memalingkan wajahnya dari sang ayah.
Habib berdiri seraya membiarkan kedua lengannya terjatuh ke
samping tubuhnya. Sehebat apa pun dia berusaha menutupinya dari
dirinya sendiri, penolakan putrinya itu tetap terasa sangat
menyakitkan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Maafkan Ayah, Zarri Bano, tetapi semuanya tidak akan seburuk


yang kau duga," ujarnya pada putri sulungnya itu. "Aku tidak memiliki
pilihan lain...."
Zarri Bano menatap ayahnya dengan sorot mata ketakutan. Habib
menyaksikan sorot mata seekor binatang yang terperangkap di mata
Zarri.
"Tentu saja Ayah punya pilihan lain!" serunya. "Setiap manusia
memiliki pilihan! Tak satu pun di dunia ini yang terikat selamanya.
Apa yang Ayah maksudkan sebenarnya adalah Ayah tidak memiliki
pilihan antara memberikan berhektar-hektar tanah kepada putrimu
atau tidak sama sekali. Aku tidak menginginkan ladangmu, Ayah! Dan
aku tidak ingin menjadi Perempuan Sucimu, Shahzadi Ibadat-mu."
Dia terdiam sejenak, memandangi raut wajah sang ayah lekat-lekat,
mencari tanda-tanda bahwa dia telah masuk ke dalam lubuk sanubari
kemanusiaannya.
Roman muka kaku dan datar, serta tatap mata dingin itu
menyampaikan satu pesan saja pada Zarri Bano. Dia semata-mata
hanya menggenggam batang yang rapuh. Suaranya tenggelam begitu
saja, dan dia pun melontarkan pernyataan barunya, "Aku ingin
menjadi perempuan normal, Ayah, dan hidup normal! Aku ingin
menikah. Aku bukanlah orang saleh, seperti yang Ayah tahu. Aku
seorang perempuan modern yang terpelajar dari abad kedua puluh.
Aku tidak hidup di zaman Mughal—seorang pion dalam permainan
catur kaum lelaki. Tidakkah kau lihat, Ayah, aku jarang sekali shalat
dalam hidupku, tidak juga rajin membuka Al-Quran dan
menggunakannya sebagai pedoman. Bagaimana mungkin aku kemudian
menjadi seorang Perempuan Suci? Aku tidak cocok untuk peranan
itu. Ayah, aku ingin—."
"Yang ingin kau katakan hanyalah bahwa kau membutuhkan seorang
laki-laki di dalam hidupmu," tukas Habib memotongnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Pipi Zarri merona merah karena malu dan terkejut. Dia menatap
nanar ayahnya dalam bisu. Kemudian pandangannya tertunduk seiring
dengan rasa malu dan amarah yang bercampur aduk menyiksa
tubuhnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia membenci ayahnya
dengan cara yang tak pernah dipikirkannya. Konotasi seksual dalam
kata-kata yang dilontarkan sang ayah telah mengguncangnya hingga
ke dalam kalbu.
"Aku tidak berkata bahwa aku menginginkan seorang laki-laki!"
Bicaranya kini begitu pelan sampai Habib nyaris tidak bisa
mendengarnya. "Aku hanya ingin menjadi perempuan normal dan
hidup normal seperti perempuan lainnya."
"Jika kau tidak menginginkan...," Habib terhenti. Orang-orang tidak
berbicara pada anak perempuannya dengan sikap atau intonasi
seperti ini. "Jika kau tidak ingin ditemani seorang lelaki," Habib
memperbaiki sikapnya, "atau mendambakannya, lalu mengapa kau
begitu memberontak sehingga tidak ingin menjadi seorang Shahzadi
Ibadat? Sebagai perempuan normal, sebagai seorang istri, kau akan
terikat pada seorang laki-laki. Kehidupan semacam itu tidak ada apa-
apanya dibandingkan dengan izzat, kehormatan dan ketenaran yang
akan dihadirkan oleh perananmu itu kepadamu dan keluargamu."
"Kegemilangan? Izzat? Ketenaran? Aku tidak menginginkan semua
itu, Ayah. Mengertikah Ayah? Tolong, tinggalkan aku sendirian!"
jerit Zarri Bano. "Apakah aku sedang membentur-benturkan
kepalaku ke dinding batu?"
Habib berdiri dan melangkah ke arah pintu. Di ambangnya dia
berhenti dan berbalik, dan dengan hati yang terpuruk dalam, Zarri
Bano menangkap tatapan dingin dan tegas di mata ayahnya.
"Kau boleh menjerit-jerit semaumu, putriku tersayang yang
sombong, tetapi kau akan melakukan apa yang kukatakan—aku tahu
kau akan melakukannya. Kita berdua sama. Kau tidak akan pernah
mengecewakanku, aku tahu pasti, tidak terhadap tradisi kita, tidak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

juga kepada kakekmu. Jika kau tidak mau mematuhi keputusanku,


setidaknya pikirkanlah kakekmu." Habib menatap mata putrinya yang
berkilauan oleh air mata bak butiran permata raksasa di wajahnya.
Tetapi hari ini, butiran itu tidak memengaruhinya.
Untuk pertama kalinya, Zarri Bano diserang kepanikan dalam
hidupnya. Rasa takut yang mencekam menyelimutinya; mulutnya
kering, napasnya memburu.
Ayahnya telah menyiapkan sebuah jebakan dan dia terjerat dengan
mudah, dengan menggunakan seksualitas sebagai amunisinya. Kata-
kata sang ayah membadai di kepalanya: "yang kau inginkan adalah
seorang laki-laki. " Zarri Bano meringkukkan tubuhnya. Tangannya
membelit mendekap dadanya seraya mengingat kembali perasaannya
terhadap Sikander. Ya, dia mendambanya, tetapi ayahnya sudah
merendahkan pernikahan dan landasannya, menghinakan dirinya
sekaligus inti keperempuanannya, dengan menekankan caciannya
bahwa yang sesungguhnya diinginkan Zarri Bano adalah kehadiran
seorang lelaki dalam hidupnya.
Masih bergulat dengan sensasi mencekam berada di dasar kegelapan
yang pekat, dengan pahit Zarri Bano menyadari bahwa ayahnya telah
menang. Karena dirinya tidak akan pernah membiarkan ayahnya atau
dunia tahu bahwa dia menginginkan dan mendambakan Sikander. Itu
adalah situasi yang tidak memungkinkan. Dan tidak ada lagi jalan
keluar baginya.
Menit berganti jam. Jam dinding itu tanpa ampun terus berdetak
melintasi malam. Tak seorang pun mendatangi kamarnya. Segenap
angan dan pikirannya melayang dan menguap di benaknya saat dia
menatap langit-langit putih susu yang menjulang di atas sana.
"Aku tidak bisa mengecewakan Ayah ataupun keluargaku," isaknya.
"Ayah menang! Dia berhasil memerasku secara psikologis."
Dia benar-benar tidak boleh memandangi Sikander lagi. Ayahnya
telah menyatakan semuanya, mengenyahkan sesuatu yang begitu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

alami, begitu indah, dan membuatnya menjadi mustahil. Bahkan para


ibu saja tidak akan berani memperbincangkan masalah semacam itu
dengan anak-anak perempuan mereka, apalagi seorang ayah. Sekali
lagi pipi Zarri Bano merona karena malu. Kebencian pada ayahnya
meruak kembali dan membakar seluruh tubuhnya.
Dia bangkit dari ranjang dan berdiri di depan cermin. Dia
memandang datar ke arah bayangannya sendiri. Dia tahu apa yang
harus dilakukannya.
***
Ketika Shahzada memasuki kamarnya beberapa saat kemudian, Zarri
Bano sudah sepenuhnya menguasai diri. Rambutnya tersisir dan
terjurai ke belakang, diikat satu simpul di belakang lehernya. Ada
segurat ketenangan dalam mimik mukanya yang sudah berhari-hari
tidak disaksikan Shahzada. Shahzada tersenyum kaku.
"Apakah kau baik-baik saja, putriku?" Zarri Bano sedang duduk di
sofa dengan sebuah buku di tangannya. Kemudian dia bangkit
berdiri. Tatapan sedih Shahzada memandang ke arah sosok tinggi
dan angkuh milik putrinya itu.
"Ya, Ibu. Hari ini aku sudah dewasa. Aku tidak hanya putrimu atau
putri ayahku, aku adalah aku! Namun, Ibu dan Ayah telah secara
brutal mengoyak identitasku sebagai seorang perempuan normal dan
malah merendahkanku pada tingkatan sebuah boneka. Menurut Ayah,
aku harus mengerjakan apa yang dititahkannya. Jadi, itulah aku."
Kepahitan menusuk jantung ibundanya. "Aku tidak pernah menyadari
Ayah bisa melakukan hal ini padaku. Aku dulu mengasihani
perempuan lain yang memiliki para lelaki tiran. Tak kuduga aku
sendiri dibesarkan di pangkuan seorang lelaki tiran. Ayahku
membuat diriku percaya bahwa dia akan 'menjual dunia ini untukku',
padahal kenyataannya dia perlahan tapi pasti berniat 'menjual'
diriku ini pada hasrat patriarkat dan tradisi kunonya. Apa yang bisa
kulakukan sendirian, Ibu? Kalian semua telah menjerat dan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

membungkamku ke dalam sebuah komitmen yang harus bersedia


kujalani—dengan terpaksa, Ibu. Aku tidak akan pernah ikhlas. Pada
saat ini, aku tidak merasakan apa pun selain kebencian yang
membara pada Ayah. Hanya waktu yang akan menentukan apakah dia
akan memiliki kembali Zarri Banonya yang dulu."
Zarri Bano mengunci tatapan Shahzada, merasakan ekspresi
keterkejutan sang ibu. "Kini aku yang berdiri di hadapanmu, Ibu,
adalah Shahzadi Ibadat ayahku." Dia merentangkan tangannya
dengan dramatis. "Sang Perempuan Suci. Perempuan yang diciptakan
Ayah untuk membunuhku. Tidakkah kau tahu bahwa para lelaki
adalah pencipta sesungguhnya dalam kebudayaan kita, Ibu? Mereka
mencetak kehidupan dan takdir kita sesuai dengan hasrat dan nafsu
mereka. Yang paling ironis dari segala yang ironis, karena aku tidak
mampu memaafkan diriku sendiri karenanya, adalah bahwa ini
terjadi pada diriku—seseorang yang membela hak kaum perempuan.
Selama ini aku tinggal di dalam sebuah rumah kaca yang menjanjikan,
Ibu. Putri Tidurmu telah dengan kasar dibangunkan untuk merasakan
dunia tiran kaum patriarkis. Jangan menunjukkan kesedihan seperti
itu. Aku membebaskan Ibu dari semua kesalahan. Aku tahu Ibu tidak
mampu menolongku. Aku tidak akan menuntut pertanggung-
jawabanmu atas apa pun."
Shahzada telah menyimak semuanya. Tangannya terangkat untuk
menutup mulutnya. Banyak yang ingin dikatakannya, tetapi dia tak
mampu melontarkan apa pun—hanya air mata dan rasa bersalah
meraja dalam diam. Zarri Bano melangkah ke depan dan menarik
tubuh ibundanya dengan lembut ke dalam pelukannya.
Tanpa air mata, dia tegar dalam waktu lama. Tidak ada yang
dipedulikannya lagi. Kepedihan telah membebalkan pikiran dan
tubuhnya. Tanpa banyak bicara dan dengan kebersahajaan yang
hanya dimiliki seorang Zarri Bano dan ternyata cukup membantunya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tegar, dia berbisik di telinga ibundanya, "Katakan pada Ayah, dia


dapat memulai persiapan pernikahanku dengan Kitab Suci Al-Quran."

11.

DESA CHIRAGPUR lebih besar daripada sebagian besar desa


tetangganya, tetapi menunjukkan sebuah kesamaan: memiliki sebuah
masjid dan dua buah madrasah—satu untuk anak-anak lelaki dan
yang satunya lagi untuk anak-anak perempuan. Dengan kubah besar
bermozaik hijau dan menara putih tinggi menjulang, masjid itu
didirikan di alun-alun desa. Di depannya bertebaran tukang roti
bakar, tukang jagal, tukang gerabah, dan toko-toko lainnya. Kedua
madrasah dibangun di pinggiran desa, di antara ladang sayuran,
gandum, dan tebu yang menghijau subur. Keseluruhan desa itu
terbagi oleh delapan jalan, dengan jajaran rumah beraneka bentuk,
ukuran, dan penampilan.
Hawaii, rumah besar milik ayah Habib Khan, Siraj Din, si tuan tanah
feodal, terletak di dekat masjid dan karena itu penghuninya
menikmati posisi paling sentral di desa itu. Dengan tanah yang
sangat luas dan halaman yang membentang membentuk persegi
panjang, rumah itu menghabiskan seperempat lahan yang dihuni oleh
seluruh penduduk desa. Keluarga Siraj Din telah menguasai
Chiragpur selama puluhan tahun, bahkan sebelum hijrahnya para
pengungsi Muslim dari India setelah pemisahan India dan Pakistan.
Hari ini matahari bersinar terang di langit biru musim panas yang
cerah, meratakan sinarnya ke ladang-ladang. Kedamaian menyelimuti
segenap penduduk desa. Faisal, si petani, sedang membajak lahan
dengan traktor barunya. Dua puluh empat jam suara "chug-chug"
dari penggilingan gandum tiada henti terdengar hingga ke tempat
jauh siang dan malam—suara yang tak mungkin ditiadakan bagi
segenap penduduk desa itu. Para perempuan sibuk di rumah-rumah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mereka atau bertebaran di ladang-ladang, dan sebagian besar anak-


anak sedang bersekolah.
Putri tertua Fatima, Firdaus, sedang beristirahat sejenak pagi itu di
beranda luar kantornya ketika petugas sekolah datang dan
memberinya sebuah pesan: Fatima telah menelepon untuk memberi
tahu putrinya bahwa dia akan kembali ke desa siang itu.
Setelah beberapa menit, Ibu Sadaf, kepala sekolah putri, bergabung
dengan Firdaus di beranda. Mereka punya persoalan penting untuk
didiskusikan. "Jadi, ibumu akan kembali ke desa ini untuk selamanya,
sayangku?" tanya kepala sekolah itu pada wakil dan tangan kanannya
yang baru berusia dua puluh enam tahun itu.
"Aku tidak tahu, Bu, mungkin untuk beberapa hari saja. Keluarga
yang diasuhnya sangat bergantung padanya, khususnya setelah kini
putra mereka, Jafar, tewas dalam kecelakaan berkuda dan putri
tertua mereka, Zarri Bano, tampaknya akan segera menikah. Anda
pasti pernah melihat gadis itu!" ujar Firdaus dengan antusias. "Dia
datang untuk menghabiskan libur hari raya dengan kakeknya di sini
di desa ini. Dia sangat memesona. Begitu tinggi, ramping, dan
kulitnya bagaikan buah persik ranum. Rambutnya ikal berkilau dan
matanya bagai permata—dan dia sangat terpelajar. Ibuku tidak
jemu-jemunya membicarakan gadis itu. Ketika kami masih remaja,
kami pernah iri padanya dan menuduh ibu kami lebih mencintainya
daripada mencintai kami, anak-anak perempuannya sendiri." Firdaus
terkekeh mengenangnya. "Itu dahulu. Sekarang ini, kalau Zarri Bano
mengunjungi kakeknya, Siraj Din, kami tak sabar untuk segera
memanggilnya. Dia bisa menjadi seorang kepala sekolah yang hebat.
Aku bisa membayangkan para muridnya akan terpukau oleh
kepribadian dan penampilannya. Ibu sangat senang akhirnya dia
menemukan seseorang yang menarik minatnya untuk menikah."
"Jadi, kau mungkin akan menghadiri pesta pernikahan itu?" Ibu
Sadaf bertanya sebelum disela oleh dering telepon di kantornya. Dia

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bangkit untuk menjawabnya. "Maafkan aku, Firdaus. Aku akan segera


kembali."
Firdaus menunduk mengamati dokumen yang dipegangnya. Matanya
dengan cepat meneliti permukaan kertas berisi pemberitahuan
tentang inspeksi pemerintah yang akan dilaksanakan. Ketika dia
mendengar suara langkah kaki kuda, Firdaus mendongak dan
memandang ke arah dinding kokoh yang mengelilingi halaman sekolah
yang luas. Di atasnya terlihat bagian atas tubuh seorang laki-laki,
tampak sedang duduk di atas punggung seekor kuda.
Itu adalah Khawar yang sedang menatap langsung ke arahnya. Begitu
tatapan mereka berserobok, Khawar tersenyum, mempertontonkan
tampang gayanya yang rupawan. Firdaus segera menunduk kembali
memandangi kertas-kertas, merasa malu oleh tatapan Khawar dan
juga kehadirannya. Ketika dia mendongak kembali, Khawar tampak
mendekat, tetapi matanya tetap menatap lekat-lekat wajah Firdaus.
Tiba-tiba, dia mengangkat tangannya dan memberi salam pada
Firdaus.
Firdaus tahu Khawar sedang menggodanya dengan aksi beraninya itu.
Sejak kejadian di ladang kembang kol desa beberapa minggu lalu,
Khawar jadi senang menunjukkan sikapnya pada Firdaus secara
terang-terangan. Kemarahan menerpa Firdaus. Hanya karena Khawar
telah membantunya berdiri, bukan berarti reputasinya harus
berkompromi dengan itu. Bagaimana jika seseorang melihat lelaki itu
melambaikan tangan kepadanya tadi? Lidah-lidah akan mulai
menceracau! Sebuah gunjingan kecil saja di desa itu bisa jadi satu
ledakan gunung. Firdaus akan segera menjadi seorang kepala sekolah
saat Ibu Sadaf pensiun di musim panas ini. Maka, dia tidak mungkin
membuat skandal sekecil apa pun yang bisa merusak reputasinya.
Apa yang akan terjadi saat dia mengambil alih tempat ini? Firdaus
membayangkan. Akankah dia tetap tinggal di desa ini atau akankah
dia pindah ke kota dan meniti kariernya sendiri di sana? Tentu saja,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

itu semua bergantung pada siapa yang akan menikahinya. Firdaus


mengeluh pada dirinya sendiri.
Pernikahan, pada saat itu, adalah masalah utama bagi Firdaus dan
keluarganya. Ibunya tidak pernah membuang-buang waktu dengan
meminta bantuan tiga orang mak comblang untuk menemukan
pasangan yang pantas untuk Firdaus. "Mengingat putriku memiliki
kualitas yang sangat baik dan terpelajar, selain juga cukup menarik,
hanya yang terbaiklah yang pantas untuknya. Aku tidak akan
membiarkannya hidup dengan pemuda yang biasa-biasa saja," ujar
Fatima berbangga hati. Masalahnya adalah, sebagaimana yang sering
dikeluhkannya pada semua orang, "Nyaris tidak ada lelaki yang
pantas di desa ini yang mendekati kualifikasi putriku dan status
hidupnya."
Pada akhirnya nanti, sebagai calon kepala sekolah menengah untuk
perempuan, Firdaus itu tidak mungkin menikahi sembarang orang.
Satu-satunya laki-laki yang menurut Fatima pantas untuknya adalah
Khawar—dan dia memang pantas dalam segala hal: terpelajar,
tampan, dan berasal dari keluarga tuan tanah yang kaya. Itu
merupakan bonus
tambahan: dengan menikahi Khawar, Firdaus akan selamanya hidup
mapan di desa itu dan dia bisa menjadi kepala sekolah sepanjang
hayatnya.
Itulah yang dalam benak Fatima dianggap sebagai sebuah
perjodohan yang paling ideal!
Masalahnya adalah ibunda Khawar, Kaniz, sudah memberi tahu
seluruh dunia bahwa dia tidak akan pernah merestui perjodohan
semacam itu untuk putranya—"perjodohan dengan anak perempuan
seorang tukang cuci!" Itu akan menjadi sebuah aib yang tidak
mungkin terpulihkan meski oleh status Firdaus sebagai wakil kepala
sekolah sekalipun.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dengan sepenuh hati, Firdaus berharap bahwa ibunya akan berhenti


dari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga yang begitu hina.
Ibunya tidak perlu bekerja. Mengapa dia melakukannya? Memalukan,
jika ibu dari seorang wakil kepala sekolah harus bekerja sebagai
pembantu di rumah orang lain. Jika dia kembali ke rumah untuk
selamanya, mereka semua dapat hidup layaknya keluarga biasa
lainnya. Ibunya dapat menjaga suaminya yang terpaksa harus terus
tergeletak di atas tempat tidur, daripada meninggalkannya dalam
perawatan putri-putrinya yang harus mengurusi kehidupan mereka
sendiri.
Hari ini dia sungguh-sungguh akan melakukan perbincangan serius
dengan ibundanya, Firdaus berjanji pada dirinya sendiri. Fatima
terus membayar mahal untuk para mak com-blang agar menemukan
rishta yang cocok, sementara dia masih saja menciptakan sebuah
halangan nyata bagi seorang calon pasangan yang cocok dengan tetap
bekerja sebagai pengurus rumah tangga. Ibunda Khawar akan terus
memandang remeh mereka dengan hidung panjangnya yang angkuh
selama ibunya masih bekerja "mencuci piring", seperti yang selalu
dicaci oleh Chaudharani Kaniz.
Firdaus tahu betul dalam tiga tahun terakhir ini bahwa Khawar
hanya memerhatikannya dan berminat melanjutkan hubungan yang
seharusnya dirasakan oleh semua laki-laki di desa itu dan diharapkan
menjadi tindakan santun yang dilakukannya terhadap para
perempuan. Para perempuan yang lebih tua menjadi para bibi dan
yang lebih muda seharusnya menjadi para saudari.
Firdaus dan Khawar tidak memiliki kesempatan untuk saling
menjajaki perasaan masing-masing atau bahkan untuk saling
mengenal lebih dekat. Mereka hanya bertemu di hadapan orang
lain—atau kadang-kadang, kebetulan, saat mereka ada dijalan desa.
Pada kesempatan seperti ini, sesuai dengan adat istiadat yang
berlaku, mereka tetap menjaga jarak dan membisu. Namun, Firdaus

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

selalu merasakan pandangan Khawar padanya setiap kali dia melintas.


Dalam beberapa hari terakhir ini, Khawar mulai mengendarai
kudanya di jalur yang menuju arah sekolahan dan melintasi dinding
tinggi, tepat pada saat Firdaus istirahat dan tengah menikmati teh
di beranda.
Firdaus tidak yakin mengapa Khawar mengistimewakannya. Ibunda
Khawar tampak masih saja mengejar-ngejar para putri Habib Khan.
Selain itu, masih ada banyak perempuan desa yang menarik. Satu-
dua gadis muda ini bisa cukup diterima oleh ibunda Khawar.
Keluarga Khawar menempati peringkat kedua dalam hierarki desa itu
setelah keluarga Siraj Din. Mereka memiliki tanah atas nama
mereka, sebuah rumah besar, dan dua kediaman nyaman di kota-kota
terdekat. Sebagai satu-satunya anak lelaki, Khawar bertanggung
jawab dalam menjalankan bisnis keluarganya yang berupa penyewaan
berhektar-hektar tanah subur pada para penyewa dari desa.
Seperti Baba Siraj Din, yang langkah-langkahnya diikuti oleh Khawar
dan dia juga memang suka diikuti, Khawar pun dalam tahun-tahun
terakhir ini mulai memainkan peranan penting dalam dewan
pengelolaan desa, terutama dalam mengawasi dan mengurus sekolah.
Biasanya Firdaus akan menghindari pertemuan dan membiarkan
kepala sekolah menghadapi mereka. Khawar secara khusus meminta
pengganti Ibu Sadaf diambil dari desa itu.
"Jika kita mendapatkan seorang perempuan dari desa ini," ujarnya
pada suatu pertemuan, "dia akan lebih mengabdikan diri tidak hanya
pada sekolah dan para muridnya, tetapi juga akan memiliki komitmen
yang sama untuk mencoba mewariskan pada mereka etos kehidupan
penduduk desa ini dan sopan santunnya, karena dia akan menjadi
seperti kita. Dengan demikian, kita bisa meninggalkan anak-anak kita
dengan aman dalam tangannya karena dia memiliki kepedulian dan
ketertarikan yang sama dengan kita. Juga, dia bisa dimintai
konsultasi oleh para orangtua karena dia akan tinggal di desa ini."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Singkatnya, saya yakin kita akan mendapatkan keuntungan yang


lebih besar dengan mengangkat orang dari desa ini, daripada
mendatangkan orang dari kota. Kita tak mungkin menahan orang kota
untuk tinggal selamanya di sini. Mereka memiliki gaya hidup yang
berbeda dan cara tersendiri dalam menangani sesuatu, dan mereka
akan selalu ngotot. Mereka tidak memiliki rasa pengabdian pada kita
atau kehidupan desa ini secara luas. Kita juga tidak dapat
mengharapkan mereka mengabdi pada kita. Selain itu, saya belajar
dari pengalaman bahwa bagaimanapun mereka memiliki
kecenderungan untuk bersikap angkuh terhadap kita. Seolah-olah
kita yang hidup di pedesaan ini tak lebih dari sekadar orang-orang
kampungan."
Akhirnya dia selesai berbicara, seraya menyapukan pandangannya
kepada enam orang lelaki lainnya sesama anggota dewan sekolah dan
Ibu Sadaf. Dia telah berapi-api mengatakannya dan karenanya
menuntut tanggapan positif dari mereka semua.
"Oh, begitu," sahut Siraj Din. "Berapa orang kandidat yang akan
melamar dari desa untuk pekerjaan ini?" Sebagai salah satu pendiri
sekolah tersebut, dia juga seperti Khawar, memberi perhatian yang
sangat besar terhadap masalah calon pengganti Ibu Sadaf ini. Dia
telah membantu pendirian sekolah tersebut dengan bantuan kedua
orang putranya. Menyepakati apa yang diusulkan Khawar, dia juga
ingin mempertahankan etos desa itu semurni dan setertib mungkin.
Dia tidak menginginkan nona yang "canggih" dari kota merusak
gadis-gadis polos yang diasuhnya. Pengaruh seorang kepala sekolah
sangatlah kuat. Masalah tersebut menuntut pemikiran yang sangat
matang. Idealnya, dia menginginkan cucu perempuannya, Zarri Bano,
untuk mengepalai sekolah itu—tetapi dia tahu bahwa gadis itu
terlalu mencintai kota besar untuk mau tinggal di sini. Dia akan
tersiksa oleh tenangnya kehidupan pedesaan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Selain Firdaus, tidak ada lagikah kandidat lainnya?" sambung Siraj


Din. "Dia seorang gadis yang masih sangat muda dan belum menikah.
Itu artinya kita akan mulai lagi dari awal..."
"Mengapa demikian, Paman Siraj Din?" tukas Khawar. "Perempuan
masih bisa bekerja setelah mereka menikah."
"Tentu saja bisa. Aku tidak bermaksud seperti itu. Maksudku adalah
dia akan segera terikat untuk meninggalkan desa ini," jelas Siraj
Din. "Ibunya sedang mencari-cari rishta yang tepat untuk Firdaus
dalam tiga tahun terakhir ini. Tidak ada seorang pun di desa ini yang
sesuai dengan keinginan Fatima. Kecuali, tentu saja...," Siraj Din
mengangkat pandangannya dengan penuh arti ke arah Khawar, tetapi
kemudian dia segera mengenyahkan pikiran itu karena dia tahu betul
Kaniz bahkan tidak akan sudi mendengarkan usulan seperti itu,
apalagi membiarkannya terjadi. Dia terus mengganggunya agar
bertindak sebagai perantara selama tiga tahun terakhir ini untuk
meminang Zarri Bano.
Khawar tahu betul apa yang dimaksud Siraj Din.
Firdaus juga mengetahui hal itu saat dia duduk menguping di balik
tirai di mejanya. Jendelanya terbuka dan dia sudah menyimak
semuanya. Wajahnya memerah karena gusar. Apakah maksud lelaki
tua itu Khawar harus menikahinya agar dia tetap tinggal di desa itu?
Betapa menyebalkan! Apakah pendapat pribadinya tidak berarti apa
pun? Dia sama sekali tidak berhasrat mengikatkan diri dengan
Khawar atau terlibat apa pun dengan ibundanya yang pongah dan
nyinyir itu. Dia akan menikahi orang yang lebih sesuai, tetapi juga
akan tetap tinggal di desa itu. Suaminya kelak pastilah bukan
Khawar! Firdaus adalah calon istri yang bermutu, bukan gadis yang
angkuh!

12.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

FATIMA KEMBALI ke desa itu dengan membawa berkotak-kotak


barang dan memperlihatkan segala kemewahan di dalam mobil Audi
hitam milik Habib Khan. Dia membawa serta persediaan makanan,
pakaian, dan barang-barang lainnya yang hanya bisa dibeli di butik-
butik terkemuka di kota, termasuk hadiah-hadiah untuk ketiga
putrinya. Shahzada secara pribadi membantu Fatima mengemas
semua barangnya dan melepas sendiri kepergiannya.
"Kami akan sangat merindukanmu, Fatima. Tinggallah di rumahmu
setidak-tidaknya selama satu minggu—kau berutang waktu pada
keluargamu. Cobalah memilih rishta untuk Firdaus kali ini. Jika kau
membutuhkanku, aku akan datang dan membantumu menemukan
seorang pemuda yang pantas untuk putrimu yang amat berharga itu!"
Fatima berseri-seri karena bahagia mendengar kata-kata
majikannya itu. Dia adalah majikan yang baik hati, ramah, dan
dermawan. "Terima kasih, Chaudharani Sahiba!" serunya dari jendela
mobil.
Sambil menyusuri jalan raya berbatu di kampungnya, Fatima
menyaksikan teman-temannya, dan hatinya terasa penuh sesak oleh
rasa bangga ketika dilihatnya mereka memandang penuh perhatian
ke arah mobil hitam berkilau yang ditumpanginya, dan mereka mulai
mengekor di belakangnya.
Mobil itu berhenti dahulu di halaman depan rumah Baba Siraj Din.
Fatima selalu mengikuti ritual untuk menyapanya dan menghadapnya
terlebih dahulu setiap kali dia kembali ke kampungnya. Sebagai
buzurg, atau yang dituakan di desa itu, Siraj Din juga menikmati
posisi tertinggi di antara penduduk desa itu. Entah bagaimana, Siraj
Din tidak ada di rumah pagi itu. Fatima diberi tahu oleh pelayannya
bahwa lelaki itu sedang keluar berjalan-jalan ke ladangnya.
Fatima bergegas memasuki kembali mobil itu dan mendatangi daerah
tempat tinggal Kaniz, sudut lain dari desa itu. Merasa bergairah
hendak naik mobil melewati rumah keluarga Khawar, Fatima berdoa

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

agar Chaudharani Kaniz yang perkasa itu, menyaksikannya berada di


dalam mobil itu dari kamarnya di balkon yang tinggi di lantai dua
rumahnya.
Seraya menurunkan kaca jendela mobil, Fatima diam-diam melirik ke
arah jendela kamar Kaniz. Ketika disaksikannya seraut wajah
perempuan tampak di jendela itu, Fatima memutuskan untuk keluar
dari mobilnya. Bagaikan seorang majikan, dia memerintahkan Ali
untuk menghentikan mobil itu. Suaranya sengaja dibuat nyaring agar
terdengar tidak hanya oleh orang-orang di jalanan, tetapi juga oleh
mereka yang menguping sembunyi-sembunyi. "Ali! Tolong antarkan
semua bingkisanku ke rumahku," serunya angkuh. "Ada sepuluh
bingkisan. Aku akan mengunjungi temanku Rani terlebih dahulu
sebelum pulang ke rumah. Sesudah itu, putri-putriku tidak akan
membiarkanku keluar rumah," dia mengakhiri kalimatnya dengan
derai tawa.
Sambil menyelendangkan chador hitam barunya ke kedua bahunya,
Fatima memasuki rumah yang tepat berseberangan dengan rumah
Kaniz. Pipinya menggembung menahan tawa.
Fatima begitu menikmati aksinya itu. Dia merasa yakin sembilan
puluh sembilan persen bahwa Kaniz masih terus mengamat-amatinya,
karena dia nyaris bisa merasakan sorot tajam sepasang mata elang
Kaniz sedang memelototi punggungnya.
Perempuan itu dengan penasaran menghindar dari tepi jendela dan
membanting daun jendelanya sehingga jendela kayu itu bergetar
engsel-engsel nya. Dia menyadari bahwa dia sudah dipermainkan
Fatima dengan melongok ke luar jendela. "Apa jadinya dunia ini?"
omel Kaniz dengan jijik. "Seorang perempuan pencuci meneriakkan
perintahnya kepada sesama pelayan dan naik sebuah mobil Audi!
Betapa vulgarnya!" gerutunya. "Sepuluh bingkisan," tirunya
mengejek. Seakan-akan sangat berarti bagi semua orang di sini
berapa batang sabun Lux dan pasta gigi Colgate yang dibawa Fatima

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dari kota untuk putri-putrinya. "Bingkisan-bingkisan itu paling-paling


hanya berisi baju-baju bekas dari anak-anak perempuan Chaudharani
Shahzada," ejek Kaniz berbicara pada dirinya sendiri.
"Ibu dan anak memiliki kepribadian yang berbeda, tetapi mereka
memiliki satu sifat yang sama. Mereka berdua membanggakan diri
mereka melebihi statusnya," pikir Kaniz. Firdaus, bagaimanapun,
jauh lebih parah daripada ibunya. Hanya karena dia berhasil
membuat dirinya cukup terpelajar dan mengajar di sebuah sekolah,
kini dia seakan-akan memiliki langit dan keinginan yang tak
berbatas—perempuan muda yang merasa dirinya penting! Dia
berharap segenap warga desa mengunjunginya, seolah-olah dialah,
bukan Kaniz, yang menjadi seorang Chaudharani!
Ketakutan dan mimpi buruk Kaniz yang dirahasiakannya, yang
membuat sekujur tubuhnya merinding, adalah bahwa Firdaus, entah
bagaimana jalannya, akan menjerat putra kesayangannya ke dalam
pernikahan. Dia sudah mendengar desas-desus santer di desa itu
bahwa Firdaus telah berkata tentang tidak adanya jodoh yang
pantas untuknya di sini—dasar gadis binal, ular berkepala dua yang
licik! Menurut Kaniz, Firdaus telah mengincar Khawar sejak dia
masih seorang gadis kecil berusia dua belas tahun, dengan selalu
mengamat-amatinya dari atap rumahnya.
"Mereka anggap apa aku ini? Apakah mereka pikir aku ini cukup
bodoh untuk merestui anak perempuan tukang cuci itu memaksakan
kehendaknya kepada putraku semata wayang, agar dia bisa mewarisi
berhektar-hektar tanah milik kami? Tidak akan pernah!"
Fatima dapat mengumpulkan semua bingkisan yang ada di muka bumi
ini, mengendarai barisan mobil berkilau memasuki desa, putrinya
menjadi seorang profesor di universitas, atau apa pun yang
diinginkannya, tetapi semua itu tetap tidak mampu menghapus
tingkatan pekerjaan Fatima sebagai babu. Ada beberapa hal yang
tidak akan pernah berubah! Tidak ada uang atau pencapaian apa pun

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

yang dapat menutupi kenyataan-kenyataan tertentu, atau mampu


membeli derajat dan latar belakang yang tak ternodai.
Kaniz tertawa di depan cermin, mencermati jajaran giginya yang
putih rapi, sebelum dia menyikat dan mengikirnya menggunakan
muswak, kemudian dengan sak dia memulas merah bibirnya. Saat
mengamati lebih dekat di muka cermin, dia melihat noda chaiei-nya
yang mengerikan—noda hitam yang terbentuk tepat di bawah mata
kirinya di atas pipinya yang berwarna terang.
Kaniz terbelalak. Ini adalah masalah yang lebih gawat daripada
Firdaus dan ibunya. Tak boleh ada satu noda pun yang mengotori
wajahnya—dia selalu memastikan hal itu. Cermin itu mungkin sedang
mengelabuinya. Dia
mengambil cermin kecil bergagang dari laci kayunya dan memutuskan
naik ke balkon untuk bercermin dengan lebih jelas di bawah cahaya
matahari.

13.

FIRDAUS DAN kedua adiknya bertemu dengan ibu mereka dua jam
kemudian, lama setelah Ali mengantarkan bingkisan-bingkisannya dan
pulang lagi ke kota. Gusar dan tegang, mereka tak sabar
menunggunya.
"Dia seharusnya mendahulukan keluarganya daripada berhura-hura
mengunjungi teman-temannya." Mereka semua sepakat dengan Salma
tentang hal itu. Tetapi itulah ibu mereka—dialah aturan itu sendiri,
tidak bertanggung jawab pada siapa pun!
Ayah mereka juga sedang menunggu dengan sabar di atas
ranjangnya di pasar. Dia tidak bertemu Fatima selama hampir dua
bulan. Putri-putrinyalah yang mengganti pakaiannya, membereskan
tempat tidurnya, dan membereskan seluruh pojok rumah dengan
cepat untuk menyambut kedatangan ibu mereka. Dia akan selalu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

memandang berkeliling dengan kritis. Salma, putri keduanya, sudah


menggoreng ikan segar—yang diketahuinya sebagai makanan
kesukaan ibunya. Disertai hidangan pencuci mulut—karai halwa.
Akhirnya, gerbang kayu rumah mereka berderak terbuka dan sosok
tambun Fatima menyelinap masuk. Dengan gembira, kedua tangannya
terentang ke arah putri-putrinya. Segera saja Salma menghambur
ke pelukan ibunya, diikuti Fazeelet, si putri bungsu, dan akhirnya
Firdaus.
"Ibu bisa santai saja, Ibunda sayang. Kami bisa menunggu sampai
bulan depan," sindir Firdaus sambil menertawakan wajah malu ibunya
ketika dia merengkuh tubuhnya dengan hangat.
"Ayolah, gadis-gadisku. Kalian tahu bahwa aku harus menyapa teman-
temanku di sepanjang jalan pulang. Nah, aku sudah di sini sekarang,
dan kalian akan memilikiku selama dua minggu penuh. Apa kabar
kalian semua?"
Mereka menuntun sang ibu masuk ke pasar, menghampiri ayah
mereka. Dengan daun jendela yang terbuka lebar, Fiaz dimabuk
keriangan sambutan putri-putrinya. Wajah kurusnya menyeruakkan
senyum. Garis-garis kerentaan yang belum waktunya menghiasi
wajahnya. Senang rasanya mendapati Fatima pulang. Beberapa hari
ke depan ini pasti akan menyenangkan. "Ini adalah dunia yang aneh,"
pikirnya sedih, "karena seorang suami menunggu dengan sabar
kepulangan istrinya dari tempatnya bekerja. Pada umumnya,
seharusnya sang suamilah yang datang dari ladang atau kota atau
luar negeri."
Fiaz tidak memelihara kepedihan dalam hatinya terhadap istrinya.
Sebaliknya, dia sudah belajar untuk menerima takdirnya secara
filosofis. Jika bukan karena pekerjaan Fatima di rumah keluarga
Habib Khan, bagaimana mungkin dia dan keluarga mudanya bisa
bertahan ketika dia kehilangan salah satu kakinya?

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Fiaz masih bisa mengingat dengan jelas hari ketika kepiluan itu
terjadi, saat dia terbangun dengan keterkejutan yang mengerikan di
rumah sakit karena mendapati kaki kanannya telah diamputasi.
Matanya mengatup. Secara otomatis dia menutup kenangan tentang
kejadian yang membuat kismet dan nasib mereka menjadi
menyedihkan.
Seusai menyemai ladangnya, ketika dia sedang menghela dua ekor
kerbaunya kembali ke peternakan, tiba-tiba saja salah satu di
antaranya berbalik, mengakibatkan tali kekang yang dipegang Fiaz
terlepas. Fiaz pun goyah dan kemudian terjerembap. Hanya dalam
beberapa detik, mimpi terburuknya terjadi, saat dia merasakan
kaki-kaki kerbau itu menginjak-injak kedua kakinya. Kemudian
semuanya menjadi gelap baginya.
Selama bulan-bulan berikutnya, kehilangan fungsi kaki yang satunya
lagi membuat Fiaz harus menangani patah hatinya karena terpaksa
menjual kerbau-kerbaunya dan sebagian tanahnya, serta harus
meminjam uang dari tetangga-tetangganya untuk membayar biaya
pengobatan. Tidak ada seorang pun dari kerabatnya ataupun kerabat
Fatima bisa membantu mereka.
Selain keputusasaan yang menyiksa dan kebutuhan mendesak untuk
memberi makan keempat anak mereka, Fatima harus menelan harga
dirinya dan mendatangi rumah besar itu untuk bekerja. Dia segera
dipekerjakan membantu menantu tertua Siraj Din, Shahzada,
membesarkan ketiga anaknya, sekaligus mengurus rumah tangganya.
Untuk mengerjakan semua itu, Fatima harus meninggalkan anak-
anaknya di rumah dengan suaminya, meminta pertolongan
tetangganya, Naimat Bibi, koki desa itu, untuk mengawasi mereka.
Tanpa air mata menetes di wajahnya, batinnya menangis
membayangkan anak-anaknya ditinggalkan sendirian tanpa seorang
ibu. "Aku tidak punya pilihan lain. Melakukan ini atau sama sekali

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tidak ada makanan di mulut mereka," dia meratap pada dirinya


sendiri saat merengkuh mereka dalam pelukannya di malam hari.
Ketika Habib memindahkan keluarganya ke kota, Fatima ikut pindah
dengan mereka, dengan sangat terpaksa. Sungguh-sungguh
menyadari apa yang menjadi konsekuensi Fatima dan keluarganya,
Habib dan Shahzada pernah memintanya untuk membawa mereka
bersamanya, tetapi Fiaz tidak bersedia. Akhirnya, keluarga Habib
menunjukkan penghargaan mereka lewat kedermawanan. Mereka
membayari biaya sekolah anak-anak Fatima dan membelikan buku-
bukunya, serta membiayai pengobatan suaminya, sekaligus juga
memberinya gaji yang melimpah, yang sebagian besar ditabung
Fatima di bank.
Ketika ibu mereka pindah ke kota bersama keluarga Khan, Firdaus
yang masih berumur dua belas tahun memikul tanggung jawab penuh
mengurus rumah tangga keluarganya, me-rawat ayahnya yang sakit
dan mengurus dua orang adik perempuan dan adik laki-lakinya,
Sarfaraz. Rumah Habib di kota terlalu jauh bagi Fatima untuk bolak-
balik setiap hari. Akhirnya kunjungannya menjadi dua kali seminggu.
Tahun demi tahun berlalu, anak-anak Fatima mulai terbiasa hidup
tanpa ibunya. Karena memiliki cukup uang, Sarfaraz bisa dikirim ke
Dubai dan Firdaus ke perguruan tinggi yang ternama untuk belajar
menjadi guru, lalu Salma belajar selama dua tahun di sekolah
menjahit di kota. Kini tujuan hidup Fatima adalah mengumpulkan
ribuan lakh rupee untuk maskawin putri-putrinya. Itu adalah pil
pahit yang harus ditelan kelelakian Fiaz. Dia, yang menurut adat
adalah lelaki pencari nafkah bagi keluarganya, dipaksa oleh nasib
untuk menjadi seseorang yang bergantung kepada istrinya, dan juga
harus selalu kehilangan sosoknya.
Selama bertahun-tahun Fiaz menyaksikan perubahan yang terjadi
pada diri Fatima. Dia menjadi sedemikian terikat dengan anak-anak
Habib Khan, khususnya Zarri Bano, seolah-olah mereka adalah anak-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

anaknya sendiri. Seleranya juga berubah menjadi selera "tinggi".


Tinggal di antara kemewahan istana megah keluarga Khan, Fatima
jadi
mendapati semua yang dimilikinya di rumah, di desa, begitu usang,
remeh, dan kampungan. Meski dia tidak mempermasalahkannya,
keluarganya mengetahui perasaannya itu dari caranya berbicara dan
memandang sekelilingnya.
Di tahun-tahun pertama dia merasakan, transisi antara gaya hidup
majikannya dan di rumahnya sendiri di kampung begitu menyiksanya.
Contohnya, kini dia sudah terbiasa dengan penyejuk udara di setiap
ruangan di rumah Habib, termasuk di dapur. Karena itu, Fatima
merasa gerah dan tersiksa berada di dapurnya sendiri yang sempit.
Selain kenyataan bahwa di dapurnya itu tidak ada perkakas modern
yang bergantungan di dinding dan dia harus berjongkok di lantai
untuk memasak, di dapurnya juga hanya ada satu buah kipas angin
yang ditempatkan di langit-langit. "Kipas itu tak berguna," gerutu
Fatima pada putri-putrinya sambil mengipasi wajahnya yang
memerah kegerahan dengan selembar karton. "Kipas itu hanya
meniupkan lebih banyak udara panas ke wajah kita!"
"Ibu menjadi sangat manja; Ibu tersayang, karena penyejuk udara di
kota," balas Salma kesal.
"Kalian benar, anak-anak. Kehidupan di rumah Shahzada telah
mengikisku secara menyedihkan. Aku memang menjadi manja.
Bayangkan, bagaimana bisa seorang ibu menjadi lebih manja daripada
putri-putrinya yang terpelajar," dia terkekeh sambil membanting
sebuah cAapatti-bermentega lagi ke atas wajan.
***
"Bagaimana kabarmu, Sayangku?" tanya Fiaz ketika Fatima
menyapanya dan duduk di kursi di samping ranjangnya. Fatima
merasakan seolah dirinya adalah seorang asing—istri kurang ajar,
tepatnya, yang meninggalkan keluarga dan rumahnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dia hanya bisa berharap Fiaz akan mengerti dan memaafkannya.


Entah bagaimana, dia selalu dikuasai rasa bersalah setiap kali pulang
ke rumahnya.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?" kata-kata itu meluncur
cepat dari mulutnya. "Aku mohon maaf karena sudah lama sekali
tidak pulang. Aku selalu menelepon Firdaus ke sekolahnya untuk
memastikan kau baik-baik saja. Aku seorang istri yang payah, Fiaz
Sahib, aku sadari itu. Maafkan aku, tetapi kau memahaminya,
bukan?"
"Ya, aku paham, Sayangku. Kau bukan seorang istri yang payah—kau
tahu itu. Kami kehilangan dirimu, tentu saja, tetapi kami tahu bahwa
kau sangat dibutuhkan di sana. Jangan pernah merasa bersalah,
Fatima. Jika bukan karenamu, akan berada di manakah kita?
Terkadang aku dihantui rasa bersalah. Kau seharusnya menikahi
Sarwar sehingga kau tidak akan pernah mengalami situasi seperti
ini."
"Hus, Fiaz Sahib! Jangan bodoh. Aku menikahimu, bukan Sarwar.
Inilah kismet-ku. Kau adalah suami yang begitu baik dan penuh
pengertian. Aku bekerja, Fiaz Sahib, hanya karena aku ingin
memberi Firdaus maskawin yang besar. Aku tidak ingin dia
membayarnya dari kantongnya sendiri—harga diriku tidak akan
membiarkan hal itu terjadi! Dia dapat membantu membayarkan
maskawin adik-adik perempuannya, tetapi aku akan tetap
menyiapkan maskawin untuknya. Mari, biar kupijat kakimu."
Fatima duduk di kaki ranjang dan mulai melemaskan otot-otot kaku
di tungkai suaminya yang tak pernah digunakan itu. Fiaz bersandar
ke bantal dan memejamkan matanya, menikmati sentuhan tangan
istrinya. Dia membayangkan ritual seperti ini selama beberapa hari
ke depan.

14.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

SETENGAH JAM kemudian, pasangan itu terganggu oleh suara


berat Kulsoom yang menggelegar dan gemerencing dua lusin gelang
manik-manik kaca yang teruntai di tangan-tangan kurusnya. Mak
comblang desa itu sudah datang. Tampaknya dia tak ingin kehilangan
banyak waktu mendengar kepulangan "Fatima Jee" ke desa itu,
mengingat keempat anak Fatima berarti peluang bisnis yang
menjanjikan bagi Kulsoom.
Sapaan selamat datang dan basa-basi ala kadarnya segera dilakukan.
Kulsoom dan Fatima dengan lihai segera berganti bahan pembicaraan
yang paling mengganggu benak keduanya.
"Nah, sudahkah kau temukan seorang rishta yang cocok untuk
Firdausku, Kulsoom Jee?" Fatima memulainya dengan bersemangat.
"Sudah." Sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, Kulsoom
menangkap percikan bahagia di sorot mata Fatima. "Malah ada dua."
"Oh, bagus sekali!" kini Fatima benar-benar memusatkan
perhatiannya. Sambil duduk tegak di kursinya, dia juga tampak
mencondongkan tubuhnya ke depan. "Ceritakan padaku tentang
mereka," pintanya.
"Salah satu rishta-nya berada di desa tetangga. Anak laki-laki itu
tampan dan lulus dengan nilai B. Komputer atau entah apa.
Keluarganya lumayan kaya. Mereka memiliki satu rumah besar dua
lantai dengan enam kamar tidur, didirikan di atas empat belas meria
lahan. Dan coba tebak? Mereka hanya memiliki dua orang anak lagi.
Yaitu dua orang anak perempuan, kakak-kakak si lelaki ini, keduanya
sudah menikah dan tinggal di tempat lain."
"Begitu...." Fatima menelan informasi itu mentah-mentah. Jadi, anak
lelaki itu adalah anak laki-laki satu-satunya— sempurna! Putrinya
tidak akan mendapatkan saudari ipar lain-nya, dan rumah itu akan
menjadi milik mereka pada akhirnya. Dan Firdausnya akan menjadi
ratu yang berkuasa atas rumah itu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Bagaimana dengan orangtuanya?" tanyanya tajam.


"Ayahnya sudah meninggal dunia. Hanya ada seorang ibu, dan dia
orang yang berjiwa lembut dan baik. Kurasa kau tidak dapat
mengharapkan ibu mertua yang lebih baik daripada perempuan ini
untuk putrimu, Fatima Jee. Aku mengenal beberapa ekor ular
berbisa.... Kau bisa menerka siapa yang kumaksudkan, bukan?"
Kulsoom mengedipkan sebelah matanya ke arah Fatima karena dia
menyadari kehadiran Firdaus di halaman luar. Dia bisa mendengar
sekaligus melihat mereka dari jendela yang terbuka. Seraya
mencondongkan tubuhnya ke depan, Fatima menutup salah satu daun
jendela kayu itu.
"Begitu...," ucap Fatima lirih. Sekali lagi dia tampak melamun.
Keluarga ini cocok baginya. Dia tidak akan membiarkan mereka lolos
dari cengkeramannya. Mereka adalah paket yang sangat menarik dan
dia ingin membukanya sebelum terlambat. Hanya Tuhan yang tahu
berapa banyak ibu yang mengincar anak lelaki ini dan keluarganya.
Dia tinggal di desa tetangga. Jadi, putrinya tidak akan pergi terlalu
jauh. Itu adalah satu tambahan keuntungan yang besar bagi mereka.
Merasa harus segera memutuskan, Fatima menyelipkan tangannya ke
dalam tuniknya dan mengeluarkan dompet kecil dari lipatan leher
bajunya. Setelah membukanya, dia mengeluarkan sehelai uang
pecahan 500 rupee dan memberikannya kepada Kulsoom.
"Ini, saudariku Kulsoom. Menurutku, kita akan tertarik pada anak
lelaki ini dan keluarganya. Aku memberimu ini sebagai penghargaan
atas penelitianmu sekaligus meminta pertolonganmu untuk
merahasiakan rishta ini dan tidak menukarnya untuk harga yang
lebih tinggi yang ditawarkan siapa pun di antara tetangga kami,
ataupun klienmu yang lain. Jika ternyata kemudian aku mendapatimu
membisikkan satu kata saja tentang hal ini kepada orang lain, aku
akan mencampakkanmu dan mencari bantuan mak comblang lainnya.
Aku tidak akan membiarkanmu lagi mendekati anak-anakku atau

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

teman-temanku. Apakah kau paham, Kulsoom Jee?" ujar Fatima


seraya menatap tajam pada mak comblang itu.
"Ayolah, Fatima Jee, kau dapat memercayaiku. Aku tidak akan
mengembuskan satu kata pun pada siapa pun mengenai yang sudah
ditetapkan untuk kepuasanmu. Kau seharusnya mengenalku lebih
baik." Dengan kecurigaan yang dinyatakan begitu terbuka oleh
Fatima, Kulsoom segera berusaha meyakinkan kembali padanya
bahwa dialah klien favoritnya.
"Sekarang ceritakan padaku tentang rishta yang kedua." Dengan
pikiran yang sudah benar-benar tenang, Fatima kembali
menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan santai.
Memiliki tiga orang putri untuk dinikahkan, dia harus menjelajahi
jalan-jalannya sebanyak mungkin.
"Yang kedua tinggal di kota. Kau tahu tempat di mana aku sangat
terkenal," bual Kulsoom. Wajah bulatnya menyeruakkan sesungging
senyuman berbangga hati. "Aku memiliki koneksi yang baik dengan
mak comblang lainnya, kau tahu, di kota-kota dan desa-desa lainnya.
Yang kutakutkan, satu-satunya masalah dengan rishta yang satu ini
adalah bocah lelaki ini berasal dari sebuah keluarga besar. Ia adalah
anak tertua dan mereka memiliki lima anak perempuan—semuanya
belum menikah, semuanya lebih muda daripada bocah lelaki itu, juga
dua orang kakak laki-laki lainnya."
"Sudah, hentikan saja! Jangan berkata apa-apa lagi, Kulsoom Jee.
Aku tidak yakin kami akan tertarik pada keluarga ini." Bayangan
putrinya terlibat konflik dan disembunyikan dalam satu rumah
tangga dengan begitu banyak saudari dan saudara ipar, dan dengan
begitu banyak maskawin yang harus disiapkan, telah membuat
Fatima mengerutkan keningnya karena ngeri. Memikirkan betapa dia
telah mengorbankan tahun-tahun dalam kehidupannya yang berharga
untuk bekerja di rumah orang lain hanya agar mampu membesarkan
dan memberi pendidikan pada putri-putrinya, Fatima yakin tidak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

akan menyia-nyiakan semua itu dengan menanam salah satu putrinya


di dalam sebuah rumah tangga keluarga besar. Putri-putrinya akan
tersingkirkan dari segala hal yang lebih baik.
"Kulsoom, bagaimana tentang 'dia'? Kau tahu maksudku!" desis
Fatima sambil mengangkat alisnya bak orang yang sedang
bersekongkol, berharap si mak comblang akan memahaminya. Dia
tidak ingin Firdaus mendengar apa
yang sedang mereka diskusikan. "Apakah dia sudah menemukan
seorang rishta untuk putranya? Aku tahu kau bekerja untuknya juga.
Jangan mengkhianatiku tentang yang satu itu, Kulsoom. Kau harus
terus memberitahuku tentang segala yang terjadi di sana. Jika aku
mendapatimu merahasiakan sesuatu dariku...," suara Fatima
meluncur dahsyat. Tatapan matanya kembali menajam.
"Tidak, tentu tidak, saudariku Fatima, aku tidak akan
mengkhianatimu. Namun, aku bisa mengatakan padamu blak-blakan
bahwa dia sama sekali tidak berniat menjadikan Firdausmu sebagai
menantunya, tidak akan pernah! Sekarang setelah Zarri Bano
menolak menikah dengan Khawar, dia mengalihkan perhatiannya pada
Ruby. Itu sebabnya, saudariku tersayang, jika kau sungguh-sungguh
mendengarkan nasihatku, janganlah selalu berharap ataupun
melayangkan pandanganmu ke arah hawali itu. Ini jalan buntu. Aku
tahu kau sudah menancapkan pilihanmu pada Khawar dan
menyukainya sejak lama, dan menganggapnya sebagai calon idaman
untuk putrimu, tetapi ibunya benar-benar bermasalah. Kau sungguh-
sungguh kehilangan peluang di sana, sayangku. Perempuan itu,
seperti yang kau ketahui, adalah seekor ular berbisa. Kujelaskan
padamu, dia membencimu dan keluargamu, dan akan memakan
putrimu hidup-hidup lewat kenyinyirannya."
"Baiklah, Kulsoom, tolong jangan memancingku!" tukas Fatima kesal.
"Suatu hari dia akan menyesalinya. Katakan padaku berapa orang
perempuan di desa ini yang menjabat kepala sekolah dan begitu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

terpelajar. Kukatakan padamu, Firdausku akan berhasil—berhasil


dengan mudah!" Untuk menekankan inti kalimatnya itu, Fatima
menjentikkan jarinya di depan wajah Kulsoom. "Ini hanya karena aku
ingin Firdaus tetap tinggal di desa ini. Dia juga ingin tetap tinggal di
sini, dan satu-satunya orang yang sesuai dengan latar belakang
pendidikan dan kepribadiannya adalah Khawar...."
"Namun, tidak bagi keluarga Khawar, Fatima. Kau harus menerima
kenyataan! Latar belakang keluargamu berbeda dengan mereka. Aku
tak ingin menyinggung perasaanmu, tetapi perempuan itu sangat
pongah dan sok. Dia tidak pantas sebagai rishta. Satu-satunya
keluarga yang dianggap sejajar dengannya hanyalah keluarga Habib
Khan. Kau tahu maksudku. Dia menyatakan derajat putri-putrimu ada
di bawahnya."
"Ya, aku tahu benar maksudmu," jawab Fatima. Wajahnya memerah
karena marah. "Apakah dia tidak menyadari bahwa aku bekerja
untuk menopang kehidupan keluargaku? Jika ada kejadian yang
serupa menimpa suaminya, apa yang akan dilakukannya? Membiarkan
anak-anaknya kelaparan? Apakah keluargaku akan selamanya
dihukum dan dicaci hanya karena aku bekerja untuk menafkahi
mereka? Kau tahu bahwa pekerjaanku bukan pekerjaan yang
kuwarisi, tidak ada dalam hikayat keluargaku. Kami petani seperti
penduduk desa lainnya—sama seperti keluarganya. Aku benar-benar
marah dengan ketidakadilan ini." Air mata tampak menggenang di
matanya.
"Meskipun demikian, aku tidak akan menyerah," serunya optimistis
dengan suara nyaring. "Sudah bertahun-tahun kutahu Khawar ingin
menikahi putriku. Ibunyalah yang bagaikan duri dalam daging. Aku
akan berbicara pada buzurg kami, Siraj Din. Sebagai tetua desa ini
dan laki-laki yang keluarganya menjadi tempatku mengabdikan
tahun-tahunku yang berharga, mungkin dia dapat menengahi dan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

memberi fatwa yang baik bagi kita serta menampik pendapat


perempuan itu...."
"Hentikan! Ibu, hentikan!" jerit Firdaus sambil menghambur ke
ruangan itu dan berdiri di samping Fatima yang pipinya memerah
menahan marah. "Aku sudah cukup mendengar semuanya sampai
telingaku terasa panas membara karena malu. Kukatakan padamu,
Ibu. Bahkan, andai perempuan pongah itu datang sambil berlutut,
aku tidak akan mau melangkahkan sebelah kaki sekali pun ke dalam
rumah mereka. Tidakkah kita memiliki harga diri atau apakah kita
masih memiliki derajat, Ibu? Mereka pikir, siapa mereka? Berasal
dari tanah yang seperti apakah mereka? Apakah mereka sudah
kehilangan perikemanusiaan mereka dengan mementingkan diri
sendiri dan mengagungkan berhektar-hektar tanah milik mereka?
Ibu, bagaimana mungkin Ibu menganiaya kami semua dengan
menyodor-nyodorkan diri pada mereka? Seolah-olah Tuhan hanya
menciptakan Khawar dan tak ada lelaki lainnya. Tidak adakah lelaki
atau keluarga lain di muka bumi ini?" Dia terhenti sejenak untuk
menarik napas panjang.
"Jika Ibu tetap bersikukuh menikahkan aku dengan Khawar, tolong
dengarkan aku, Ibu, dengarkan dengan saksama. Aku akan tetap
melajang! Aku tidak akan menikah untuk menyenangkan Ibu, tidak
juga untuk dewan sekolah, agar mereka tetap mempertahankan aku
di desa ini. Jika Ibu ingin aku menikah dengan lelaki mana pun, aku
akan mempertimbangkan calon yang diceritakan Kulsoom Jee di awal
tadi, calon dari desa tetangga. Aku dapat tetap mengabdi di
sekolahku dari sana. Aku pribadi merasa tertarik padanya, Kulsoom
Jee," ujar Firdaus pada si mak comblang. "Tolong ceritakan padaku
tentang lelaki itu dan keluarganya, dan tolong aturlah pertemuan di
antara kedua keluarga kami."
"Ya, Sahiba muda," sambut Kulsoom dengan hormat. Matanya yang
mungil berpindah-pindah memandang ibu dan putrinya itu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dikejutkan oleh kemarahan putrinya, Fatima tidak mengatakan apa


pun lagi selama beberapa menit saat mereka menyesap teh dan
menyantap biskuit, selain menceritakan pada Kulsoom kisah sedih
tentang Zarri Bano yang menjadi seorang Perempuan Suci.
Baru satu jam kemudian Kulsoom meninggalkan rumah Fatima
sebagai seorang perempuan yang terpuaskan. Sambil menunggu
ketiga putri Fatima, dia sudah dijamu hidangan khusus dan diberi
hadiah istimewa berupa seperangkat pakaian oleh Fatima, selain juga
sebotol krim pelembap untuk kulitnya yang kering dan berbintik.
Kulsoom merasa yakin benar bahwa dia akan diberi hadiah yang
cukup setelah berhasil menjodohkan putri-putri Fatima pada para
rishta yang berharga.
***
Saat melangkahkan kaki menuju rumah sahabatnya, Naimat Bibi,
dijalan desa, Kulsoom melihat Khawar di atas kuda putihnya di
tengah ladang. Dengan sengaja, dia mempercepat langkahnya menuju
lelaki itu.
"Assalamu 'alaikum. Apa kabarmu, Anakku?" sapanya seraya terus
menjaga jarak dari kaki-kaki kuda. Bagaimanapun, dia bukanlah
seorang pencinta binatang. Tungkai-tungkai kakinya yang kerempeng
baru saja lepas dari gips bulan lalu.
"Wa 'alaikumussalam. Aku baik-baik saja, Bibi Kulsoom. Apa yang
membawamu ke pojok desa ini?" ujarnya menggoda mak comblang
desa yang terkenal itu.
"Aku berkunjung ke rumah Fatima." Dengan bersemangat, Kulsoom
memancing-mancing, sambil menengadah menatap si pemuda tampan
itu. "Dia baru saja pulang ke desa. Aku tadi memberitahunya tentang
beberapa rishta yang cocok untuk ketiga putrinya yang jelita."
"Termasuk untuk Firdaus?" Khawar bertanya lirih seraya
membungkuk untuk menepuk paha kudanya dan menahan ekspresi
wajahnya sewajar mungkin.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Oh, tentu saja, khususnya Firdaus. Dia yang tertua dan yang paling
menjanjikan dari ketiga putri Fatima," jawab Kulsoom dengan
sengaja menyunggingkan senyum yang seolah sedang
menyembunyikan sesuatu.
"Di manakah para rishta ini?"
"Satu di antaranya ada di kota. Lelaki itu seorang jenderal," bualnya
licik. Pandangannya menengadah, membalas tatapan mata Khawar.
"Yang lainnya tinggal di desa tetangga. Dia adalah anak lelaki satu-
satunya dan seorang sarjana, memiliki seorang ibu yang sangat baik
hati dan sebuah hawali besar, dan bekerja sebagai seorang penyelia
di kota." Dia menambahkan kalimat terakhirnya sebagai penyemarak.
Dia sangat piawai dalam membesar-besarkan suatu hal dan saat itu
harus dilakukannya.
"Oh, kalau begitu Firdaus kita tidak bisa menjadi pilihan lagi. Jodoh
yang hebat!" seru Khawar sedikit sarkastis. Cuping hidungnya
membengkak. Kedua tangannya tampak tegang mencengkeram tali
kekang kudanya.
"Ya, tentu saja," dengan licik Kulsoom mengompori pemuda itu,
melihat tatapan maupun aksinya tampak seperti tidak tertarik.
"Tidak seorang pun yang cocok di desa ini untuk Firdaus kita. Dia
sendiri bersikukuh dirinya tidak ingin menikah dengan siapa pun di
sini, bahkan jika mereka mengemis padanya sekalipun, atau andaikan
dewan sekolah mengeluarkannya dari sekolah. Seharusnya kau
dengar sendiri apa yang dikatakannya, Khawar. Dia begitu keras
kepala dan garang padaku dan ibunya tentang itu."
"Mengapa?"
"Eh...." Dengan sengaja Kulsoom memutuskan untuk bermain-main
dengan nasib dan mengatakan yang sesungguhnya pada Khawar. "Kau
tahu, Khawar, Fatima berangan-angan bahwa kau dan Firdaus akan
menjadi pasangan yang serasi. Namun, tentu saja ibumu tidak akan
mau mendengar hal itu, dan kini Firdaus benar-benar tidak ingin

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berhubungan dalam bentuk apa pun denganmu. Tahukah kau apa yang
dikatakannya, Khawar sayang? Dia berkata, andaikan ibumu datang
berlutut meminangnya sekalipun, dia tidak akan bersedia
menjejakkan kaki ke rumahmu. Dapatkah kau bayangkan ibumu
sedang berlutut mengemis-ngemis, Khawar? Firdaus tampaknya akan
mengejar calonnya, seorang pemuda yang tinggal di desa tetangga.
Menurutku, penting bagimu untuk mengetahui hal itu, Anakku.
Karena aku tahu bahwa kau selalu mengincar Firdaus dan aku tidak
ingin kau menyalahkanku karena semua itu sudah terlambat."
Perempuan itu lalu mengembuskan napas berat.
"Dia akan segera dipetik, begitu yang dikatakan ibunya, di depan
hidungmu sendiri, Khawar. Aku tidak akan berkata apa-apa lagi—aku
sudah mengatakan semuanya. Dan ibumu tidak akan berterima kasih
padaku. Aku mungkin sudah menciptakan seorang musuh dan
sekaligus kehilangan bisnisku dengannya—tetapi lihatlah, aku peduli,
Khawar! Aku peduli pada kalian berdua. Kalian adalah anak-anak yang
tidak pernah kumiliki. Meski demikian, aku juga tidak ingin
menimbulkan jurang di dalam keluargamu. Selamat malam, Anakku,
semoga Allah mewujudkan semua mimpimu." Dia mengakhirinya
dengan doa dan kembali ke jalan desa.
Dia meninggalkan Khawar di atas kudanya, meninggalkan begitu
banyak hal untuk dipikirkannya. Khawar tahu permainan apa yang
sedang dimainkan Kulsoom. Kelelakiannya terluka. Apa yang
diceritakan Kulsoom bahwa Firdaus tidak ingin menikah dengannya,
ataupun menjejakkan kaki di rumahnya, membuatnya seakan-akan
harus menghadapi dua perempuan angkuh. Seorang perempuan yang
ingin dinikahinya dan seorang ibu yang tidak akan membiarkannya
menikahi perempuan itu.
Ini adalah saatnya bertindak! Masalah ini harus dituntaskan, dengan
cara apa pun. Dia tidak merasa menikmatinya, tetapi tampaknya
pertentangan dengan ibunya tak dapat ter-elakkan. Seperti yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

telah dikatakan Kulsoom, Firdaus mungkin saja akan dipetik oleh


mereka yang disebut "jenderal" dan "manajer". Mungkinkah Firdaus
akan meninggalkan dia dan sekolahnya? Dia memiliki kepentingan
ganda, di hatinya, juga pada saat itu sebagai pihak yang berwenang.
***
Ketika Khawar sampai di rumahnya, api kebencian ibunya terhadap
Fatima dan anak-anaknya semakin membara. Oleh karena itu, Kaniz
tidak menangkap sorot mata dingin putranya.
"Si tukang cuci itu memamerkan bingkisan yang dibawanya dari
kota!" Kaniz mulai mengomel, serapah menghambur ke arah putranya.
"Aku berani bertaruh semuanya hanya berisi barang-barang bekas
dari keluarga itu," tudingnya. Sementara Khawar tampak begitu
dingin. Ibunya melihat raut beku itu, tetapi dia enggan
mencermatinya. Pada kenyataannya, dia terpicu oleh julukan kejam
ibunya, yaitu "si tukang cuci", untuk menggambarkan Fatima. Bulu
mata Khawar yang panjang dan lentik mengatup dan menyembunyikan
raut mukanya dari tatapan sang ibu.
"Ibu, dia tidak selalu bekerja sebagai tukang cuci!" tukasnya. "Dia
bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Perempuan-perempuan
manja seperti Ibu bahkan tidak tahu bagaimana memberi makan
anak-anak mereka, apalagi membesarkan dua keluarga sekaligus
menyokong seorang suami yang cacat. Aku mengagumi perempuan itu
jika Ibu ingin tahu."
Bibir Kaniz ternganga lebar karena terkejut. Dia mendengus kesal.
"Aku tahu mengapa kau mengagumi perempuan itu," ujarnya.
Suaranya menjadi pelan dan terdengar berbahaya. "Itu pasti karena
gadisnya! Si sombong yang angkuh dan sok itu."
"Gadis itu adalah perempuan yang ingin kunikahi, Ibu. Namun seperti
Ibu, dia juga sangat angkuh. Dia sudah menyatakan tidak akan
pernah menjejakkan kakinya di rumah ini, bahkan andai Ibu berlutut
memohon padanya sekalipun." Dia berhenti. Dalam hati, dia

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menertawakan sorot mata ibunya mendengar hal itu. Mulut Kaniz


terbuka sepenuhnya karena kaget, sambil tampak sekuat tenaga
berusaha mengumpulkan kata-kata keluar dari mulutnya.
"Aku... aku...." Napasnya tersengal. "Aku memohon padanya untuk
menikah denganmu?" pipi Kaniz yang berwarna terang itu lalu
memerah. Mata berbentuk kacang almondnya berpijar. "Tidak akan
pernah! Jika kau ingin menikah dengan perempuan itu, kau hanya bisa
melakukannya tanpa seizinku dan di luar rumah ini! Dan... dan aku
tidak akan pernah membiarkannya menjejakkan kaki di rumah ini!"
dia menuntaskannya dengan emosi yang meluap-luap.
"Dengarkan aku baik-baik, Ibu," buru Khawar. Sejenak dia tak peduli
bahwa ibunya sedang mengalami histeria hebat. "Firdaus adalah
perempuan yang ingin kunikahi." Dia tidak ingin mengatakan hal itu,
tetapi ibunya telah menggiringnya untuk menumpahkan semuanya.
"Kalau begitu kau harus memilih antara aku dan gadis itu. Aku akan
mengusirmu dan mengingkarimu sebagai putraku!" jerit Kaniz. Kini
dia benar-benar tidak mampu mengendalikan diri. Tangannya
menekan kuat dadanya yang terasa akan meledak.
"Baiklah, Ibu! Aku tidak akan mengikuti tiranimu lagi. Aku sudah
hampir dua puluh tujuh tahun dan aku bisa membuat keputusanku
sendiri. Jika Ibu begitu picik dan berpikir sempit, aku terpaksa akan
bertindak sendiri dan melakukan apa yang kuanggap benar. Aku tidak
ingin Ibu mengejar-ngejar rishta lainnya untukku. Aku tidak akan
kehilangan Firdaus untuk orang-orang kota yang licik. Dia milik desa
ini. Dia harus bersamaku dan tinggal di dalam rumahku. Meski ini
tidak masuk akal bagimu, Ibu, atau meskipun aku harus keluar dari
rumah ini." Dia memberi ibunya ultimatum. Matanya sungguh-
sungguh tampak keji.
"Tidak akan pernah! Tidak akan pernah!" teriak Kaniz pada putranya.
Dia menjadi begitu kasar dan nyaris saja membanting-bantingkan
kakinya ke lantai. "Kau boleh pergi, bocah kasmaran tak tahu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

diuntung! Tidak bisakah kau jatuh cinta dengan seorang gadis lainnya
yang lebih baik daripada anak perempuan tukang cuci, anak
perempuan dari musuh terbesarku itu? Kau sudah mengkhianatiku,
Khawar. Aku tidak akan pernah mengampunimu jika kau menikahi
gadis itu!" Kaniz menjadi sangat murka. Pipinya berwarna merah
karenanya.
"Aku akan menikahi gadis itu! Gadis itu akan segera menjadi kepala
sekolah dan akan mampu menegakkan kepalanya lebih tinggi daripada
Ibu dan status asli keluarga Ibu. Orang dari segala kalangan akan
menghormatinya. Dia bernilai dua puluh kali lebih berharga
daripadamu, Ibu!" Khawar membalas dengan kejam.
Kemudian, merasa marah pada dirinya sendiri dan menyesali
amuknya, dia pun bergegas keluar dari ruangan itu. Dia tahu betul
bahwa dirinya sudah sangat melukai dan menyinggung perasaan
ibunya, tetapi biarlah. Hari ini dia sudah melewati batas
kesabarannya dalam mencandai ibunya.
Kaniz tenggelam begitu dalam di kursinya. Halilintar baru saja
menyambar. Pikirannya pun berkecamuk. Langit baru saja runtuh di
atas kepalanya dan berjatuhan di atas bahunya. Putra semata
wayangnya, kepada siapa dia mengabdikan hidupnya selama dua puluh
tujuh tahun, baru saja memberinya sebuah ultimatum. "Bagaimana
mungkin dia bisa mengkhianatiku seperti ini?" Kaniz bertanya pada
dirinya sendiri dalam kebingungan, sementara matanya mulai berair.
Tidak akan pernah! Dia lebih memilih mati daripada menyambut
gadis itu ke dalam rumahnya. Putranya telah benar-benar gila.
Majnoon! Dia mungkin baru saja menenggak minuman yang disiapkan
oleh penyihir itu. Itulah cara yang digunakannya untuk memikat hati
Khawar. "Betapa Fatima saat ini akan melonjak-lonjak gembira!"
erangnya.
Jantungnya berdebam keras di dalam rongga dadanya. "Aku akan
mati terlebih dahulu daripada menerima perempuan itu sebagai

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menantuku." Kaniz bergidik jijik. Mimpi ter-buruknya kini


membentang di depan matanya. Kehilangan anak laki-lakinya untuk
perempuan itu, dan mendapati ibunya, si tukang cuci gendut itu,
berjalan-jalan di sekitar rumahnya yang indah.
"Tidak akan terjadi dalam seribu tahun!" geramnya sendirian di
dalam kamarnya.

15.

SEBAGAI SEORANG sahabat yang setia, Kulsoom Bibi, si mak


comblang, memutuskan mendatangi sahabat karibnya, Naimat Bibi,
untuk "menghormati"-nya dengan berita menggemparkan tentang
cucu perempuan tertua Baba Siraj Din yang kini menjadi seorang
Perempuan Suci.
Sambil memastikan bahwa gelang-gelang kacanya tidak pecah
terbentur daun pintu kayu yang keras di rumah sederhana berkamar
tiga milik Naimat Bibi, Kulsoom mendorong pintunya lebar-lebar.
Kalau Naimat Bibi sedang ada di rumah, pintu akan selalu dibiarkan
terbuka lebar. Kulsoom pun melangkah masuk perlahan ke dalam
lorong gelap menuju halaman rumah terkecil di desa itu. Hidung
Kulsoom mengerut jijik. Dia menutupkan dupatta sifon putihnya yang
baru ke hidungnya. Dia sedang berusaha menahan bau tidak sedap
yang menyengat.
Benda yang paling mencolok di halaman itu adalah pohon jambu yang
besar. Dahan-dahan rindangnya yang membengkak karena buah-
buahan yang berbentuk seperti pir, nyaris menutupi seluruh
halaman, menutupinya dari semburat cahaya redup matahari yang
juga tampak membias di atas atap rumah Naimat Bibi.
"Naimat Bibi!" seru Kulsoom riang sambil melangkah perlahan di atas
pijakan semen yang sudah rusak menuju halaman rumah. Beberapa
kali kakinya terpeleset di atas pijakan ini. Matanya menjelajahi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

plesteran dinding yang sudah rompal di sana sini, mempertontonkan


lapisan batu bata yang retak di bawahnya. Temannya itu sedang
membungkuk di pinggir sebuah kuah besar berisi air mendidih di
atas sebuah kompor gas di beranda yang digunakannya sebagai
dapur. Dengan sebilah sendok kayu besar, dia tampak sibuk
mengaduk-aduk gunungan tepung di atas air.
Ketika menangkap sosok temannya mendekat, Naimat Bibi segera
bangkit, sampai nyaris tersandung bangku kecil tempat kakinya
berpijak. Dengan seulas senyum lebar menyeruak di wajahnya yang
berwarna seperti chaie, dia menyapa Kulsoom dengan "Bismillah!
Bismillah! Kulsoom Jee...."
"Apa yang kau lakukan dengan air itu?" Kulsoom bertanya bingung.
"Membuat sabun," serunya gembira seraya menghadiahkan pelukan
hangat yang biasa dilakukannya. Kulsoom terkesiap kaku dalam
pelukan temannya. Dia sangat bimbang apakah kedua tangan Naimat
Bibi yang memeluknya itu cukup bersih. Dia amat mencemaskan
dupatta sifon putihnya yang baru.
Naimat Bibi kembali ke kuali besar berisi adonan sabun. Di hadapan
sorot mata penasaran Kulsoom, dia mulai memasukkan dan mengaduk
sebongkah lemak binatang yang baru diambilnya dari tukang jagal
bersama sejumlah minyak jamur.
"Pikirkan tanganmu, Naimat Bibi. Ingatlah apa yang terjadi padamu
saat kau menambahkan soda," penuh perhatian Kulsoom
memperingatkan saat temannya itu menyendok sejumlah besar soda
bubuk.
"Aku tahu, tetapi," dengan malu-malu Naimat Bibi mengangkat ujung
kerudung usang yang khusus dikenakannya dalam situasi semacam
itu, "aku sudah membuat satu lubang lagi di sini."
Kulsoom tertawa dengan nada mengejek. Dia heran mengapa
temannya itu harus bekerja sekeras itu. "Mengapa kau disibukkan
dengan semua ini, Naimat Bibi? Jangan katakan kau sudah membuat

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dua kuali sabun." Kulsoom melangkah menuju dua belanga tanah


merah yang besar, dicat, dan dipoles dengan pola geometris yang
ditinggalkan di salah satu sudut halaman agar terkena panas
matahari. Dia menekankan jempolnya ke gumpalan adonan berwarna
kuning pekat.
"Adonan itu sudah mengeras dengan baik, Kulsoom Jee. Kau bisa
menyentuhnya. Aku membuatnya karena tidak mampu membeli bubuk
busa. Ini akan dijual dalam kotak-kotak dan harganya lumayan mahal.
Lagi pula sekotaknya tidak lebih dari satu hari mencuci saja, apalagi
jika harus mencuci seprai. Batangan kecil sabun itu tidak cocok
untukku. Sabun seperti itu selalu tergelincir dari tanganku yang
besar. Aku sudah terbiasa dengan gerakan sederhana menyiramkan
sabun cair ke atas pakaian dan menguceknya dengan saksama di
dalam air sabun.
"Ini, aku sudah membuat sebaskom sabun lagi untukmu, meski aku
tahu kau nyaris tidak pernah mencuci sendiri baju-bajumu. Tahukah
kau, Kulsoom Jee, sesungguhnya aku senang membuat sabun. Aku
pasti satu-satunya perempuan yang membuat sabun buatan rumah di
zaman sekarang ini. Gadis-gadis muda menertawakanku saat
melihatku menggiling butiran gandum sendirian untuk membuat
tepung. Semua orang telah terpuruk pada kehidupan modern penuh
kemewahan dan kemalasan sekarang ini. Mereka tidak tahu lagi
bagaimana harus berpuas hati."
Terhibur oleh nada suara temannya yang nakal, Kulsoom Bibi tidak
tahan untuk menimpali, "Dengarlah, Naimat Bibi, ada orang yang
memiliki pekerjaan lain yang lebih baik untuk mengisi waktunya
daripada menggiling gandum di rumah dan tak jemu-jemunya
membuat berbaskom-baskom sabun. Aku salah satunya yang sama
sekali tidak punya waktu luang. Jika aku duduk di rumah menggiling
gandum setiap pagi dan membuat berbaskom-baskom sabun,
bagaimana aku bisa menjalankan bisnis perjodohanku? Aku harus

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

selalu berada di luar rumah, mengunjungi banyak keluarga, membina


hubungan dengan semua orang. Mengapa kau amat senang membuat
kehidupanmu begitu sulit? Tidakkah kau sudah cukup sibuk sebagai
seorang koki desa? Jasamu selalu dibutuhkan saat ada tetamu tak
terduga datang di keluarga mana pun di desa ini, dan tentu saja oven
chapatti-mu menyala dua kali sehari, memanggang untuk hampir
setengah penduduk desa ini."
"Yah, bisnisku tidak sama menguntungkannya dengan bisnismu!" balas
Naimat Bibi membela dirinya. "Kau tahu tidak, aku tidak
mendapatkan bingkisan pakaian, giwang emas, dan uang. Dari semua
chapatti itu, aku hanya mendapatkan keping-keping recehan, paisa,
atau makanan untuk pekerjaanku. Yang ingin kulakukan adalah
sebuah pekerjaan yang tidak begitu rendahan, tetapi memberi
keuntungan yang lumayan. Ada usul, Kulsoom Jee?"
"Tidak, aku tidak punya!" jawab Kulsoom kesal. Kini dia agak
terganggu dengan arah pembicaraannya. "Dan asal kau tahu, kau
mungkin malah menghasilkan jumlah total paisa yang lebih banyak
setiap harinya. Aku, sebaliknya, harus menunggu berbulan-bulan
untuk diberi hadiah atas kerja kerasku. Lagi pula, aku tidak datang
kemari untuk
membicarakan sabun atau penggilingan tepung! Aku datang untuk
memberitahumu tentang Zarri Bano kita. Aku baru saja mendengar
dari Fatima bahwa dia akan menjadi seorang Perempuan Suci."
Kulsoom memberi jeda. Dia merasa puas dengan efek kata-katanya
pada temannya itu.
Mulut Naimat Bibi dengan bibir tipisnya dan jajaran gigi yang tak
beraturan itu telah menganga lebar. Dia langsung lupa pada adonan
panas yang sedang diaduknya sehingga adonan dalam panci itu
berbuih-buih.
"Apa yang kau katakan?" Naimat Bibi bertanya dengan bingung. Dia
sudah mengabaikan sendok kayu yang tanpa disadarinya jatuh ke

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dasar kuali itu. "Kau sedang menceritakan padaku tentang majikan


muda kita yang terpelajar dan gemerlapan itu menjadi seorang Bibi?
Kupikir, mereka melakukan adat itu di masa lalu saja—dan itu hanya
terjadi di desa ini, bukan di kota. Bagaimana mungkin? Mengapa?"
"Ini tentu saja berkaitan dengan wafatnya tuan muda kita, Jafar,
yang merupakan ahli waris mereka."
"Menurutmu, apakah mereka benar-benar membuatnya menjadi
seorang perempuan saleh? Aku tidak bisa memercayainya. Dia
berpakaian bagaikan seorang aktris film sepanjang waktu. Aku tidak
bisa membayangkannya terbungkus chador. "
"Aku merasakan firasat buruk bahwa mereka akan menikahkannya
pada Kitab Suci Al-Quran, pada keimanannya. Para Zemindar ini
adalah lelaki-lelaki keji, bagaikan macan dan banteng. Dan mereka
sangat posesif pada kaum perempuannya."
"Jadi, itu berarti gadis malang itu tidak akan pernah menikah
ataupun memiliki anak?" Wajah keriput Naimat Bibi kini
menunjukkan keprihatinan dan mimik seram.
"Dia bukan satu-satunya yang tidak diberkahi dengan kehadiran anak
di desa kita ini," ujar Kulsoom pedih. "Aku telah keburu menjadi
janda sebelum mempunyai anak. Kau sebaliknya. Tampaknya kau
memiliki rahim yang tidak pernah ditakdirkan untuk dikaruniai anak."
"Namun, suamiku hidup bersamaku selama sepuluh tahun," tukas
Naimat Bibi mengingatkan temannya. Dia merasa tersinggung dengan
nada suara Kulsoom yang meremehkan dan hinaannya terhadap
kesuburan rahimnya.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Kulsoom berkata, "Aku
tahu, sahabatku. Aku masih saja percaya kau seharusnya tetap
bersamanya, daripada menceraikannya saat kau mengizinkannya
untuk menikah lagi. Dia akan menjagamu dan mendukungmu,
sebagaimana yang seharusnya dilakukannya. Dengan begitu, kau
tidak usah menyalakan tandoor-mu."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Tidak, temanku. Aku tidak menyesalinya. Aku sangat mandiri, orang


yang puas pada diri sendiri. Aku bisa saja tinggal dengan istri
keduanya dan membantu membesarkan anak-anaknya. Aku bahagia
dia sekarang mendapatkan anak-anak dari perempuan lain, tetapi aku
tidak memiliki kasih sayang seorang ibu, tidak juga aku mengabaikan
mereka. Mengapa kau membicarakan diriku? Berbicaralah tentang
Chaudharani Kaniz. Dia seorang perempuan cantik, tuan tanah yang
kaya raya, dan masih di usia lima puluh tahunan. Dia tidak pernah
menikah lagi, bukan? Dia mengorbankan hidupnya untuk putranya. Si
tuan tanah, Younus Raees, dari desa tetangga, sempat mencoba
selama hampir tiga tahun untuk meminangnya, tetapi dia tidak
pernah menikahi lelaki itu atau lelaki mana pun. Tahukah kau bahwa
Younus baru saja menjadi seorang duda?"
"Oh, ayolah, kita tidak perlu membicarakannya, dia adalah orang
yang tidak ramah," ejek Kulsoom jahat. "Dia tidak mampu mencintai
siapa pun—kecuali dirinya sendiri. Suami macam apa yang sanggup
bertahan dengan sikapnya yang keji? Dia kini sedang kehilangan
putranya akibat sifat keras kepalanya, karena dia tidak mengizinkan
anaknya itu menikahi Firdaus. Aku baru saja berbicara pada Khawar,
anaknya. Mengenai sang Chaudharani, aku sepertinya akan
mengunjunginya nanti untuk memberitahunya mengenai Zarri Bano."
Naimat Bibi tertawa mengejek. Gilirannya untuk balas menggali
keterangan dari temannya itu.
"Kedua keluarga itu, keluarga Siraj Din dan keluarga Khawar,
bagaikan keluarga kembar. Orang yang pertama, Siraj Din, pasti
sudah diberi tahu tentang apa yang terjadi pada Khawar. Sekarang
ini Kaniz pasti sedang menunggumu untuk datang berkunjung dan
memberitahunya...." Perempuan tua itu terhenti ketika melihat
temannya menunjukkan wajah terkejut.
"Ah!" jerit Kulsoom saat dia merasakan kotoran gagak jatuh di atas
dupatta-sifon putihnya yang baru, tepat di atas kepalanya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dengan jijik, Kulsoom cepat-cepat beranjak dari bawah pohon. Pipi


Naimat Bibi menggembung menahan tawa, tetapi dengan bijak dia
memalingkan wajahnya dari temannya itu.
"Itu selalu terjadi padamu, bukan, Kulsoom Jee?" gumamnya sambil
mencoba menegakkan kepalanya.
"Ya, memang. Dan aku sungguh-sungguh tidak terhibur. Lihatlah
dupatta baruku. Barang ini didatangkan jauh-jauh dari Barra! Setiap
kali berdiri di bawah pohonmu, aku pasti dihujani oleh gagak-gagak
sialmu itu. Kau harus menebang pohon ini. Setiap kali aku
memandangi lantaimu, ada tahi di mana-mana. Itu menjijikkan dan
berbahaya bagi kesehatan."
Dengan pipi merona merah, Naimat Bibi berujar, "Aku menggosok
lantaiku setiap hari, Kulsoom Jee!" Dia agak tersinggung.
Kulsoom melepaskan dupatta-nya dan melemparkannya ke atas lantai
tepat di depan kaki Naimat Bibi. "Kau memiliki banyak sekali sabun.
Jadi, kau bisa mencucinya untukku sekarang!"
"Ah, aku memang memiliki banyak sabun, jangan khawatir tentang
itu. Gagak-gagak ini sudah bertengger sepanjang hari. Aku tidak
tahu apakah aku akan didatangi tamu lain."
"Mungkin saja anak-anak tirimu akan datang mengunjungi ibu tirinya
dari kota." Kini giliran Kulsoom menggoda temannya itu.
"Haram hukumnya!" Sambil tertawa dan menunjukkan wajah lucu
pada temannya, Naimat Bibi masuk ke tempat penyimpanan
barangnya yang kecil untuk mengambil kerudung lain bagi
sahabatnya. Bagaimanapun, Kulsoom tidak mungkin tak berkerudung
di jalanan.
Sambil menyambar dupatta sutra baru milik Naimat Bibi, Kulsoom
membalikkan tubuhnya. "Aku akan mengembalikannya padamu nanti!"
Dia pun berlalu dari rumah temannya itu.
Tiba-tiba saja Kulsoom membayangkan segelas susu skim dingin,
lassi, dan mengetahui dengan pasti bahwa benda itu melimpah ruah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

di rumah Sardara. Dia segera melangkahkan kakinya ke arah rumah


perempuan penjual susu itu. Dia juga, tentu saja, akan membantu
Sardara, mengingat perempuan itu menderita sakit persendian dan
selamanya terikat di atas kursi rodanya. Kini bergantung pada
kebaikan jiwa dan kesetiaan teman-temannya seperti Kulsoom untuk
mendapatkan berita-berita terbaru, baik itu pergunjingan maupun
masalah yang lebih serius.
Kini, kabar bahwa putri tuan tanah mereka yang begitu jelita dan
gemerlapan akan menjadi seorang Perempuan Suci merupakan
"berita utama" bagi sebagian besar penduduk desa ini. Jika bukan
berita itu, Kulsoom tidak tahu lagi berita seperti apa yang lebih
menghebohkan. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin jika Ratu
Elizabeth dari Inggris mengunjungi desa mereka, itu akan menjadi
berita yang lebih heboh. Di penghujung hari itu, semua keluarga
yang menghargai kehadiran Kulsoom akhirnya mengetahui apa yang
akan terjadi pada Zarri Bano mereka yang "malang".

16.

"TIDAK MUNGKIN!" Sikander menghantamkan kepalan tangannya


ke atas meja. Matanya menatap nanar ibunya di rumah mereka di
Karachi. Dia berdiri tegak, menjulang tinggi di atas ibunya yang
sedang duduk di sofa. "Zarri Bano menjadi Shahzadi Ibadat! Omong
kosong apa ini, Ibu?"
Bilkis memandangi putranya dengan tatapan putus asa. Tidakkah
dirinya sendiri sempat mengalami guncangan luar biasa ketika Habib
menelepon dan memberitahukan hal itu dengan tegas, "Zarri Bano
sudah memutuskan untuk menjadi seorang Shahzadi Ibadat, seorang
Perempuan Suci." Dia merasakan kehilangan yang amat dalam,
mengingat tidak akan ada pernikahan antara putranya tercinta dan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

perempuan jelita tinggi semampai yang telah menawan hati dan


pikiran Sikander.
Tidak lama sesudahnya, Bilkis balas menelepon dan minta berbicara
dengan Shahzada. Hal pertama yang merebut perhatian Bilkis adalah
adanya perubahan dalam nada suara dan sikap perempuan itu. Gaya
bicara Shahzada yang sangat resmi telah kehilangan kehangatan
yang biasa dirasakannya. Bahkan dari jarak bermil-mil, Bilkis tahu
bahwa ada sesuatu yang salah.
Dia menyimak dengan perasaan terpuruk, dengan benak terbagi
dalam dua bayangan Zarri Bano. Perempuan muda yang cantik jelita
dan anggun serta perempuan yang hidup dengan khidmat hanya untuk
beribadah dan berkerudung tertutup, terpisah dari hiruk-pikuk
duniawi yang riang gembira dan ditakdirkan untuk tidak pernah
mengalami pernikahan atau memiliki keturunan.
Bilkis sudah berusaha mengatakannya selembut mungkin pada
putranya, tetapi pada akhirnya efeknya sama saja— sebuah bom
bagi Sikander.
"Mereka tidak bisa melakukannya! Ini barbar! Zaman apa ini, negeri
apa yang mereka tinggali? Dalam Islam, tidak ada biarawati, tidak
ada istilah perempuan menikahi Kitab Suci Al-Quran! Omong kosong
apa ini? Tidak ada satu perempuan pun yang bisa mengingkari apa
yang telah digariskan alam padanya sebagai seorang istri dan
seorang ibu. Siapa yang menemukan tradisi gila ini? Apakah mereka
sempat mempelajari Kitab Suci Al-Quran yang menyebutkan bahwa
para janda dan mereka yang diceraikan harus didorong untuk
menikah kembali pada kesempatan pertama? Jadi, bagaimana
mungkin seorang perawan muda yang cantik bisa dipaksa untuk
mengingkari pernikahan? Itu inti permasalahannya, bukan? Agar dia
tidak bisa menikahi siapa pun. Habib tidak menginginkan dia
menikahiku, aku tahu itu! Sadarkah mereka bahwa mereka sedang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berbuat kejahatan? Apakah mereka...." Ibunya segera memotong


kemarahan Sikander yang tengah membuncah itu.
"Tolong berhentilah, Sikander. Itu sudah terjadi dari generasi ke
generasi pada kelas masyarakat tertentu di Sindu— dan ini adalah
masalah yang sangat dirahasiakan. Adat istiadat mereka sangat
kuat. Tak seorang pun yang menentang orang-orang ini. Mereka
sangat kuat dan memiliki pengaruh amat besar pada masyarakat
sekitarnya. Kaum perempuan mereka hanya sedikit atau bahkan sama
sekali tidak memiliki kemerdekaan atau otonomi."
"Tidak, Ibu. Aku tidak bisa percaya bahwa itu adalah Zarri Bano
yang asli. Dia menentang semua stereotip itu. Aku tidak percaya dia
akan menyetujui semua gagasan gila itu. Dia terlalu menikmati
hidupnya, dan tidak akan menjalani hidup terasing. Itu bukan Zarri
Bano. Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi!"
"Sikander, tolong tenanglah. Duduklah dulu," pinta Bilkis sambil
menepuk sisi sofa di sampingnya. Sikander memandangi titik itu.
Tubuhnya begitu tegak menjulang dan tampak tegang.
"Aku juga sama terkejutnya denganmu, Sikander," lanjut Bilkis
lembut. "Aku teramat menyukai Zarri Bano. Kau bisa berbicara
dengannya jika itu akan membantumu, putraku yang tampan, tetapi
menurutku, kau hanya akan membenturkan kepalamu ke dinding
batu," keluhnya.
"Aneh rasanya mengingat kembali kejadian itu sekarang, tapi aku
ingat sempat mendengar beberapa orang perempuan bergunjing,
setelah kematian Jafar, tentang 'Perempuan Suci' dalam sejarah
keluarga itu. Mereka mempergunjingkannya, dan aku tidak
memerhatikannya saat itu karena kupikir itu hanyalah legenda,
tetapi aku mengingatnya sekarang. Aku juga menangkap sikap dingin
Habib pada kita, khususnya padamu. Nyaris tampak seperti dia
sedang membencimu. Matanya mengawasimu bagaikan seekor elang.
Seolah-olah kau adalah ancaman pribadi baginya. Saat itu, aku hanya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengartikannya sebagai kedukaan mendalam atas kehilangan


putranya, Jafar, tetapi setelah kupikir kembali, aku seharusnya
lebih mencermati isyarat-isyarat ini. Orang tidak akan
memperlakukan calon menantunya dengan sikap bermusuhan seperti
itu, atau terhadap calon besannya, tanpa kesantunan seperti itu.
Tidakkah kau memerhatikan sesuatu saat itu?"
"Tidak, Ibu. Seperti Ibu, aku hanya mengartikannya sebagai sikap
berkabung Habib atas putranya. Aku tidak bisa melepaskan Zarri
Bano, Ibu! Aku akan menghancurkan tradisi mereka ini. Bahkan
andaikan aku tidak memiliki kepentingan pribadi sekalipun. Adat
seperti ini adalah kejahatan terhadap sesama manusia."
Dia berlalu dari hadapan ibunya dan berdiri sendirian, berpikir keras
di tengah ruang tamu.
"Aku akan pergi ke kampung halaman mereka," Sikander
memutuskan. "Aku akan mendatangi Habib dan Zarri Bano besok."
"Baiklah, putraku. Lakukan apa yang kau inginkan. Lagi pula, kau
berhak melakukannya. Meskipun belum secara resmi bertunangan
denganmu, Zarri Bano tetaplah tunanganmu." Dengan penuh cinta,
Bilkis mengelus bahu putranya, mencoba menenangkan dan
meredakan kekakuan otot-ototnya.
***
Pagi yang hangat dan cerah di bulan Mei, tepat satu bulan setelah
kematian Jafar. Zarri Bano sedang duduk di teras halaman belakang
rumah, di depan meja sambil menikmati cahaya matahari pagi
sebelum menjadi panas. Dengan mata terpejam, dia meresapi wangi
perdu mawar dan nyanyian sekawanan burung pipit di pepohonan.
Ruby bergabung dengannya untuk menyantap sarapan pagi di
beranda dan kemudian pergi ke pasar dengan ibunya untuk membeli
beberapa helai kain. Habib pergi mengurusi bisnisnya di Hyderabad.
Sekarang ini semua tamu telah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kembali ke rumahnya masing-masing dan hanya tinggal tiga orang


pelayan yang tetap tinggal di rumah itu, yang kini sibuk
membersihkan berbagai sudut gedung itu.
Kedamaian yang melingkupinya meninabobokan Zarri Bano hingga dia
tertidur. Sambil bersandar pada tumpukan bantal di sofa, dia
membiarkan koran di pangkuannya terjatuh ke lantai.
Zarri Bano terbangun dengan gundah, merasa dia sedang diawasi.
Sesosok bayangan tinggi membias di tubuhnya. Dalam keadaan
sepenuhnya terjaga, matanya mengerjap-ngerjap terbuka dan
menatap celana panjang linen putih yang membungkus sepasang kaki
berotot. Lalu dia memandang ke arah dada bidang yang berbalut
kemeja rapi berkanji, kemudian pandangannya mendarat di wajah
tampan kecokelatan karena terbakar matahari, di mana sepasang
mata kelabu dengan sorot dinginnya sedang menatap nanar ke
arahnya.
"Apakah aku sedang bermimpi?" Zarri Bano bertanya pada dirinya
sendiri. Ketika bibir yang jantan itu menyunggingkan seulas senyum
datar, Zarri Bano tersentak, hingga jantungnya nyaris berhenti
berdetak. Ini bukan mimpi! Sikander berdiri di hadapannya dengan
karismanya. Gelombang rasa senang menghantamnya dan menjelajahi
sekujur tubuhnya, menyirami taman mawar di hatinya, dan membuat
bunga-bunganya bermekaran indah.
Dia jadi sadar dan malu mengingat penampilannya yang tidak rapi.
Rambutnya yang panjang dan ikal terurai di bahunya tak beraturan
dan dia merasa telanjang tanpa dupatta menutupi kepala hingga ke
dadanya. Sambil menyilangkan tangan ke dadanya, dia meletakkan
tangan yang satunya di pipinya, berusaha menutupi dirinya dari
pandangan Sikander. Namun, dia tetap menikmati perhatian yang
dipancarkan kedua mata itu.
Sepasang mata itu ada di mana-mana! Mengungkungi wajahnya,
menelusuri leher jenjang nan putih susu, lekukan femininnya yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

lembut, kedua lengannya yang setengah terbuka, dan menggerayangi


rambutnya yang bergelombang indah.
Tenggelam dalam gairah tatap mata Sikander yang melingkupinya,
Zarri Bano tidak mampu memalingkan wajahnya dari sepasang mata
itu atau wajahnya yang tampan. Detak jantungnya berpacu dengan
iramanya. Hawa hangat telah menyebabkan rona merah jambu
mengalir cepat naik dari tenggorokan ke kedua pipinya.
Tiba-tiba saja, sopan santun dan rasa malu seorang perempuan
dengan cepat menampakkan dirinya. Dengan satu gerakan rikuh,
tangannya meraih dupatta-nya dari kursi di sampingnya. Di depan
tatapan nanar Sikander, Zarri Bano mengerudungkannya ke
sekeliling bahu hingga ke bagian depan tubuhnya, menutupi dirinya
sepenuhnya.
Kini Zarri Bano merasa marah pada dirinya sendiri karena
tertangkap basah dalam sikap seperti itu. Tatapan Sikander telah
menelanjanginya. Dengan degup jantung semakin kencang karena
rasa malu, dia bangkit dan berdiri gugup sambil kembali
menyelempangkan dupatta-nya ke sekeliling bahu.
"Sahib Sikander, bagaimana kau bisa sampai kemari?" tanyanya. "Kau
mengejutkanku." Dia tidak mampu menatap langsung mata Sikander.
"Aku bisa melihatnya, Sahiba Zarri Bano," balas Sikander lembut.
Sorot matanya tampak hangat diwarnai tawa. "Aku datang dengan
cara yang wajar. Fatima memberitahuku bahwa selain dirimu, tidak
ada siapa-siapa lagi di rumah ini. Ini tepat sekali untukku. Karena
kaulah yang ingin kutemui."
"Silakan, Sahib Sikander, duduklah." Zarri Bano mempersilakannya
duduk di salah satu kursi. Sambil mendudukkan pantatnya, Sikander
memberi isyarat serupa mempersilakan Zarri Bano duduk. Zarri
Bano pun terduduk, berhadap-hadapan dengan Sikander, merasa
agak tegang tetapi tak mampu mengalihkan pandangannya dari wajah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tampan Sikander dan mengingat setiap detail dan waktu yang pernah
mereka habiskan berdua.
"Tahukah kau, Zarri Bano, aku berharap setelah kita menikah nanti,
kita akan memiliki anak-anak secantik kau."
Pipi Zarri Bano memerah saat Sikander menyebut kata anak-anak.
Matanya segera tertunduk menatap kedua tangan di pangkuannya.
Sebutir peluru rasa sakit dan kerinduan menghunjam tubuhnya,
membuat wajahnya memucat, dan semburat kepedihan tampak di
kedua matanya. Dia memalingkan pandangannya ke hamparan perdu
mawar, memandanginya, tetapi tidak sungguh-sungguh menikmati
mawar-mawar merah jambu dan kuning yang sedang merekah indah
itu. Tanpa ampun, dia menginjak-injak taman mawar cintanya. Lalu,
dia menoleh ke arah Sikander sambil menegakkan duduknya.
Matanya tenggelam ke dalam sorot mata Sikander; kedukaan
terpancar di sana sehingga dia berharap dan berdoa agar lelaki itu
mengenali sorot pedih itu dan memahaminya.
"Sahib Sikander," Zarri Bano memulainya dengan nada suara yang
amat rendah. Suara yang datang dari lubuk hatinya yang terdalam,
"Bagimu dan aku, tidak akan ada pernikahan ataupun anak—
setidaknya, tidak bersamaku. Kau mungkin sudah mendengar bahwa
aku akan menjadi seorang Shahzadi Ibadat. "
"Apakah orangtuamu yang memaksamu melakukannya?" tuduh
Sikander. Dia nyaris tak mampu menahan emosinya.
"Tidak, Sikander. Aku melakukannya atas keinginanku sendiri. Itu
memang tradisi keluarga kami, tetapi pada akhirnya keputusan ada
di tanganku. Gagasan itu diajukan padaku oleh ayahku dan aku
menerimanya."
"Tetapi mengapa, Zarri Bano?" tanya Sikander frustrasi. Dia
membungkukkan badannya dan meraih tangan gadis yang dicintainya
itu. Secara naluriah, dia ingin merengkuh tubuh Zarri Bano untuk

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berkomunikasi dengannya dalam tataran ragawi jika kata-kata tidak


mampu mewakilinya.
Zarri Bano terpukau mengamati gerakan jemari Sikander. Dia
merasa tersihir oleh sentuhannya. Sekali lagi, sebagaimana yang
pernah terjadi di Karachi, dia mendapati dirinya amat menikmati
sensasi jemari maskulin Sikander di telapak tangannya. Tiba-tiba
saja dia menginginkan jemari itu merengkuh dan membelai wajahnya.
Sampai kemudian kata-kata sang ayah berkelebat laksana petir, dan
membuatnya merasa bersalah dan terpuruk: "Kau menginginkan
seorang lelaki dalam hidupmu." Merasa terguncang dan malu, Zarri
Bano mengibaskan tangannya, seolah sentuhan Sikander telah
menodai dan membakar tangannya. Zarri Bano memalingkan
wajahnya.
"Mulai hari ini, Sahib Sikander, kita tidak memiliki hubungan apa
pun. Karena itu, kau tidak boleh menyentuhku. Kau harus menjaga
jarak. Kita tidak berarti apa pun satu sama lain." Dia berdoa
Sikander tidak memedulikan keangkuhan dalam kata-kata yang
dilontarkannya.
"Zarri Bano, demi Allah! Bagaimana mungkin kau bisa berkata
seperti itu? Tidakkah pertunangan kita berarti sesuatu bagimu?"
Kemarahan dan gugatan bergetar dalam diri Sikander.
"Itu sudah lama berlalu," ujarnya dalam suara yang lirih dan parau
seraya merasakan kepedihan saat mengingat dengan jelas malam-
malam di pantai waktu itu. "Banyak yang sudah terjadi setelah
kejadian itu. Sahib Sikander, tolong maafkan aku."
"Aku tidak percaya ini!" Sikander berdiri tegak; sosok yang tinggi
menjulang dan tampak murka. "Tatap aku, Zarri Bano. Mari kita
hentikan omong kosong ini. Kau bersedia menikah denganku dan aku
ingin menikahimu. Itulah yang kita berdua inginkan—dan sudah kita
idamkan sejak pertama kali kita bertukar pandang di mela. Kita
memiliki sesuatu yang sangat istimewa. Kita berdua tahu itu!

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Tidakkah kau merasakannya? Siang itu, di mela, saat itu seolah-olah


kedua jiwa kita bersentuhan dan membaur menjadi satu. Jangan
biarkan mereka memisahkan kita, Zarri Bano, kumohon. Kita sudah
ditakdirkan untuk menjadi sepasang kekasih. Ini yang akan kita
lakukan, kita akan menikah! Aku tidak peduli dengan adat istiadat
barbarmu...."
Kepala Zarri Bano tersentak. Kata "barbar" menyengat hatinya dan
menggiring keangkuhannya. Zarri Bano yang angkuh hidup kembali.
Dengan mata memercikkan amarah, dia menukas, "Siapakah kau
sampai berani menilai tradisi kami barbar, Sahib Sikander?" Dia kini
berdiri juga dan menatap langsung ke wajah Sikander dengan galak.
"Kau sama sekali tidak tahu apa-apa tentang tradisi kami."
"Benar, aku hanya tahu sedikit saja tentang tradisi keluargamu,
tetapi aku tahu bahwa jika kau menjadi Perempuan Suci, mereka
akan merampas keperempuanan dan kebebasan pribadimu.
Dengarkan aku, Zarri Bano, kau tak bisa mengorbankan dirimu
sendiri demi adat istiadat dan tradisi keluargamu."
"Mengorbankan?" tanya Zarri Bano sinis. Tanpa disadari, Sikander
telah menyentuhnya tepat di titik rawan. "Siapa bilang aku akan
dikorbankan? Tahukah kau apa itu Shahzadi Ibadat? Tahukah kau
betapa pentingnya peranan itu?" Suaranya terdengar samar di
telinganya sendiri.
"Aku tidak tahu soal peranan itu, tetapi aku tahu kau tidak bisa
menjadi istriku atau ibu bagi anak-anakku, atau diperbolehkan hidup
normal bersamaku sebagai seorang perempuan. Tidakkah kau ingin
menjadi perempuan normal? Tidakkah hal itu berarti sesuatu
bagimu? Tidakkah aku berarti bagimu?" tanya Sikander frustrasi
seraya mengamati dengan takjub sorot mata Zarri Bano yang
berkilat-kilat dan berisi kobaran api ke arahnya. Berkilau bagai
permata, sepasang mata itu adalah salah satu yang membuatnya
terpikat pada Zarri Bano.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku tidak membutuhkan kuliahmu, Sikander." Dia menoleh ke arah


lelaki itu, berdiri tegak dan tampak angkuh. "Dengan sikap kelelakian
yang kau tampilkan, kau terlalu lancang menyimpulkan apa yang
kuinginkan. Tidak semua perempuan menginginkan anak atau
mendambakan seorang lelaki dalam kehidupan mereka. Kau pikir aku
tidak mampu menjalani kehidupanku tanpa kehadiranmu? Kau pikir
aku begitu menginginkanmu sehingga aku akan melepaskan
keluargaku untukmu? Betapa sombongnya! Tidak akan pernah! Kau
adalah seorang lelaki egois. Menurutmu, mengapa aku tidak pernah
memilih calon suami sebelumnya? Sebagian besar karena aku tidak
pernah merasa yakin apakah aku memang sejak awal menginginkan
pernikahan. Kau tidak ada bedanya, Sahib Sikander! Pernikahan
tidak lebih dari suatu lembaga seperti juga aspek-aspek lainnya
dalam hidup. Dalam dunia patriarkat kita, pernikahan bisa menjadi
sebuah pengorbanan yang lebih besar daripada yang kau bayangkan
akan kujalani.
"Pada kenyataannya, dalam perananku sebagai seorang Perempuan
Suci, aku akan mendapatkan kebebasan yang lebih besar dan
kemerdekaan sebagai seorang perempuan. Aku tidak akan terikat
dengan lelaki mana pun, tidak pada aturan atau komitmen mana pun,
hanya pada keyakinan dan yang menyertainya, layaknya orang normal
lainnya. Apa yang lebih baik daripada komitmen kepada keyakinan
kita? Aku tidak tertarik pada 'pertemuan dua jiwa' atau 'jiwamu'
yang sedemikian bersemangat kau ungkapkan. Aku tidak pernah
berniat menjadi kekasihmu! Jangan hina aku dengan pembicaraan
yang memalukan seperti itu. Kau sedang berbicara pada perempuan
yang berbeda sekarang, Sahib Sikander," tuntasnya seraya menatap
tajam ke arah Sikander.
Sebersit perasaan putus asa menyerang Sikander. Jika Zarri Bano
sendiri yang menginginkannya, apa yang bisa dilakukannya?
Pertempuran itu tiba-tiba saja usai baginya ketika dia berusaha

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menyatukan perempuan yang kini sedang berdiri tegak di hadapannya


itu dengan perempuan yang telah membuatnya jatuh cinta di mela,
dan kemudian di kebun buah.
Merasa terpuruk dan dikhianati, dia berlalu dari hadapan Zarri Bano
dan mengarahkan pandangannya ke arah pohon anggur yang berbuah
lebat di sudut halaman. Detik demi detik berlalu, Zarri Bano tetap
berdiri tegak, mengawasi gerak Sikander yang menjauhinya.
Matanya kini membersitkan kepedihan. Seakan berada dalam
kebingungan, Sikander menoleh padanya sekali lagi.
"Dengarkan aku!" dia mulai lagi. "Lupakan tentang pernikahan, lelaki,
aku, anak-anak, dan jiwa, tolong pikirkan saja individualitasmu. Kau
sebagai seseorang. Kebebasan pribadimu sedang dipertaruhkan di
sini. Tidakkah kau lihat, Zarri Bano, kau akan dijadikan seseorang
yang bukan dirimu? Di manakah keyakinan dan idealisme feminismu?
Bagaimana mungkin seorang perempuan sekaliber dirimu, dengan
sebuah gelar kesarjanaan, bekas editor sebuah majalah, di akhir
abad kedua puluh ini bisa sedemikian dibutakan? Aku tidak mampu
menggambarkannya, Zarri Bano. Ini adalah zaman perempuan
menjadi perdana menteri. Zamannya para Benazir Bhutto."
"Sahib Sikander, tolong jangan coba menilaiku dalam peranan apa
pun. Kau sama sekali tidak mengenalku atau perempuan kaliber apa
diriku ini. Hanya karena aku memiliki gelar sarjana, apakah itu
membuatku berbeda dengan perempuan lainnya yang bukan sarjana?"
"Kau sangat terpelajar. Kau dapat berpikir untuk dirimu sendiri,
Zarri Bano. Tahukah kau, betapa ironisnya ini mengingat bidang yang
kau kuasai adalah psikologi? Tidakkah penelitian dan bidang kerjamu
mengajarimu sesuatu tentang perilaku manusia? Kau adalah tumbal
bagi tradisi keluargamu, terutama bagi ayahmu!" Ketulusan dalam
suara Sikander tidak mampu ditangkap oleh Zarri Bano.
"Sahib Sikander, sekali lagi kau menyimpulkan terlalu jauh. Aku
paham tentang perilaku manusia, dan aku sudah mempelajarinya,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

seperti yang kau katakan. Aku tahu apa yang kulakukan. Tolong
jangan rendahkan kepintaranku. Pendidikan tinggi mungkin sudah
kukenyam, aku mungkin salah satu anggota pergerakan perempuan
APWA, dan aku telah memperdebatkan serta mendukung isu-isu
perempuan. Namun, tampaknya kau melupakan apa yang kuceritakan
padamu di restoran di Karachi. Aku masih sebuah mikrosom dari
keluargaku, seorang anak perempuan dari seorang
zemindar yang kaya raya dan sangat berkuasa. Keluarga, perilaku,
dan etiket sosial kami diatur oleh sebentuk kode etik dan adat
khusus keluarga besarku. Itu yang tidak mampu kau pahami sebagai
seorang asing dari kelompok sosial lain. Aku bagian dari semua itu
dan yang memang menjadi tempatku. Aku tidak bisa memisahkan diri
dari semua itu. Tidak sesederhana itu!"
"Jadi, individualitasmu akan dikorbankan demi 'adat' keluargamu,
untuk 'semua' itu. Jika kau memang sudah dicuci otak untuk
melakukan sesuatu yang dicerca orang normal, apa lagi yang bisa
kulakukan sebagai seorang lelaki gher biasa untuk mencegah agar
kau tidak dikorbankan?" Dia menekankan kata gher itu dengan pahit.
Zarri Bano tetap menganggap dan memperlakukannya sebagai
seorang asing. Sikander tidak akan pernah memaafkan Zarri Bano
untuk pengkhianatan itu. Dia memerhatikan kekakuan di bibir Zarri,
menyadari gadis itu tersinggung oleh kata-katanya.
Mengikuti kata hatinya dan dipicu oleh hasratnya yang menggebu
untuk berkomunikasi dengan Zarri, sekali lagi, dengan satu gerakan
lembut, Sikander meraih tangan Zarri Bano ke dalam genggaman
tangannya.
Jantung Zarri berdegup amat kencang, tetapi dia sama sekali tidak
berusaha menarik tangannya lagi. Ketika Sikander mendekatkan
tangan itu ke bibirnya, Zarri merasakan seberkas cahaya hangat
menerangi batinnya, mengembuskan angin segar ke dalam hatinya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

yang bersemi kembali. Dia mengatupkan matanya. Sikander


melanjutkan penjelajahannya ke sekitar wajah Zarri.
Keduanya hanyut dalam apa yang terjadi berikutnya. Jemari Zarri
Bano telah hidup dan bergerak dengan sendirinya. Jemari itu mulai
bergerak menyentuh bibir Sikander, menyentuh dan membelai
sekitar mulut dan rahangnya. Dengan mata terhunjam pada Zarri,
Sikander menggerakkan wajahnya perlahan mengimbangi sensualitas
jemari Zarri, sampai akhirnya jemari itu sekali lagi menyentuh
bibirnya, membalas tekanan mulut Sikander atasnya.
Tercekat ketakutan, mata Zarri Bano tampak mengerjap-ngerjap.
Dengan pipi memerah, dia menyentakkan tangannya dari mulut
Sikander. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?" tuduhnya panik.
Zarri melangkah mundur menjauhinya dan memandangi jemarinya—
merasa malu.
Mantra itu sudah terucap!
"Kita tidak berarti apa-apa satu sama lain, katamu, Zarri Bano?"
Sikander mengejeknya dengan pahit. "Ya, kau baru saja
mengkhianati dirimu sendiri. Kita akan selalu menjadi sepasang
kekasih!" Seraya sejenak menatap mata gadis itu, dia berkata parau,
"Selamat tinggal, Zarri Bano. Jangan harap aku akan datang ke
upacara penahbisanmu, aku malah akan mengundangmu ke upacara
pernikahanku. Kau akan mati untukku hari itu. Aku bersumpah kau
tidak akan pernah bisa mengenyahkanku dari benakmu dan hatimu
sampai hari kematianmu. Aku menjanjikanmu balas dendam ini, Zarri
Bano. Kau akan berharap kau tidak pernah mendengar namaku atau
melihatku." Sikander berpaling dan berlalu dari Zarri Bano tanpa
pernah menoleh ke belakang lagi. Keluar dari halaman belakang,
memasuki rumah, dan kemudian keluar dari pintu masuk.
Dari tempatnya berdiri, Zarri Bano mendengar deru suara jip yang
berlalu. Dia terpaku di tempatnya. Tangannya masih merasakan
sentuhan Sikander. Kata-kata yang dilontarkannya mengoyak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

perasaannya hingga ke lubuk hatinya yang terdalam. Perlahan-lahan


dia menguatkan diri dan memulihkan nalarnya yang kacau. Adakah
orang lain yang menyaksikannya menyentuh wajah Sikander? Dia
sudah melupakan dunia di sekelilingnya. Untung saja, tak ada seorang
pun yang melihat. Sambil duduk di kursi rotan, dia memejamkan
matanya, menggosok-gosokkan jemarinya, dan membayangkan
kembali dengan jelas sensasi kehangatan mulut Sikander di
jemarinya itu.
Sontak dia merasa takut dengan apa yang sudah dilakukannya. Kata-
kata terakhir Sikander yang begitu sinis kembali bergaung di
kepalanya. Dia berkata bahwa dia akan mengundangnya ke pesta
pernikahannya dan dia akan mengingatnya terus hingga akhir
hayatnya. Tubuhnya terasa luluh oleh rasa sakit yang tiba-tiba
menyengat. "Aku akan mencucurkan darah untuknya hari itu!"
ratapnya lirih dengan sepasang mata terus terpejam rapat.
Ayahnya tak akan pernah tahu apa yang sudah dikorbankannya untuk
melepaskan Sikander keluar dari hidupnya. Melepaskan Sikander
adalah sebuah pengorbanan yang jauh lebih hebat daripada
keperempuanannya sendiri. Dia sudah menukarkan cintanya untuk
adat istiadat keluarganya. "Ini harga yang terlalu mahal untuk
kubayar!" gumamnya pilu seraya mendekap kedua tangannya di
dadanya.

17.

ZARRI BANO tetap berdiam diri di halaman sepanjang siang itu.


Tak ada keinginannya untuk bangkit dan mengerjakan sesuatu; hanya
rongga kosong yang gelap dalam batinnya yang harus ditanganinya.
Sikander sudah pergi. Dia telah melepaskannya. Itu adalah akhir
dari episode pendek yang manis dalam kehidupannya—kebangkitan
hasratnya sebagai seorang perempuan dan penemuannya atas cinta.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Benaknya tiba-tiba saja terserang bayangan dirinya sendiri


terbungkus sebuah jubah hitam panjang. "Bagaimana aku mampu
mengenakan burqa?" ratapnya pada dirinya sendiri. "Aku tidak akan
pernah terbiasa mengenakannya. Bukan aku. Aku yang memiliki naluri
alamiah terhadap kemewahan dan mode ini akan tercekik hidup-
hidup di balik jubah itu."
Saat itu Habib Khan keluar menuju halaman rumah dan melangkah
pasti ke arah putrinya, menatapnya dengan sorot mata tegang. "Aku
mendengar bajingan dari Karachi itu datang hari ini. Betulkah,
putriku?" Zarri Bano mengangkat matanya yang hampa ke arah sang
ayah.
"Ya, dia dari sini," ujarnya datar. Dengan sengaja, dia menghilangkan
sebutan "Ayah". Dia merasa enggan menggunakan kata itu akibat
kebencian yang dirasakannya pada ayahnya. Habib duduk di kursi di
hadapan Zarri Bano, sesosok tubuh tinggi yang tampak kaku,
dikuasai kegugupan.
"Ya?" desaknya tajam. Matanya menghunjam ke wajah putrinya.
Zarri Bano tidak menanggapi, hanya memalingkan wajahnya,
memandangi rerumputan hijau di sekitar mereka. "Zarri Bano—"
"Tidak!" tukasnya cepat. Dia melayangkan pandangannya ke arah
sang ayah. "Zarri Bano sudah mati sejak detik ini juga. Jangan
memanggilku dengan nama itu!"
Terkesiap, Habib dilingkupi perasaan gugup. Putrinya baru saja
mengatakan bahwa Zarri Bano sudah mati. Apakah itu berarti dia
sudah mengusir Sikander? Dia membuka mulutnya untuk menggali
kebenaran dari putrinya itu.
Namun, kemudian dia mengatupkannya lagi setelah melihat garis
yang menunjukkan kebisuan di mulut Zarri Bano. Habib sadar
putrinya saat itu sengaja tidak mengacuhkannya, sebagai upaya
menjaga jarak secara fisik dan emosional darinya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Zarri Bano putriku masih hidup dan sehat walafiat," sahutnya


menyiratkan nada lebih ringan dalam nada bicaranya. "Dia sedang
duduk di hadapanku. Jadi, bagaimana mungkin dia bisa mati?" Zarri
Bano memutar kepalanya dan memandangi ayahnya, merasa menang.
"Ayah, marilah kita hentikan saja segala kekonyolan ini dan segera
menuntaskannya. Ayah tidak memberiku pilihan lain, bukan? Aturlah
upacara penahbisan itu secepat mungkin."
Habib nyaris tak mampu menanggung kepedihan dan kehancuran yang
tampak dalam sorot mata putrinya. Dia merengkuhnya, tetapi Zarri
Bano membalikkan tubuhnya menjauhi sang ayah dan berlari ke
kamarnya.
Habib menyaksikan kepergian putrinya dengan perasaan campur
aduk. Dia merasa lega karena Zarri Bano akan menjadi Perempuan
Suci, meski dia tidak mampu menanggung kepedihan dan derita yang
langsung menyergapnya.
Tampaknya dia sudah memenangi pertempuran sekaligus kalah di
dalamnya. Pada satu sisi Zarri Bano benar—dia memang sudah mati
karena dia bukan orang yang sama lagi. Kedipan dalam bola mata
hijau permata Zarri Bano, cinta yang membuncah untuk sang ayah,
menjadi pemuas dahaga hidupnya. Jantungnya bergetar, mengingat
tatapan kebencian yang diterimanya dari sepasang mata Zarri Bano
tadi.
"Oh, ya, Allah!" dia melolong nyaring untuk dirinya sendiri. "Apa yang
harus kulakukan dalam keadaan seperti ini? Aku mencintai putriku.
Menurutku, inilah yang tepat untuknya, untuk keluargaku, tradisi
kami, dan warisan kami. Di atas segalanya, dia akan meraih
ketenaran, penghormatan, dan pengabdian. Dengan semua ini,
mengapa aku masih saja merasakan kepedihan? Seakan sesuatu yang
salah sedang berlangsung dan aku berjalan di negeri kematian."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sebagai ganjarannya, sakit kepalanya kumat. Sejak kematian


putranya, dia terus didera sakit kepala. Dia bangkit dengan letih,
tetapi tak merasa kalah. Kini ada tujuan yang jelas dalam hidupnya.
Hanya ada satu tindakan yang harus dilakukan keluarganya. Banyak
yang harus dipersiapkan untuk upacara itu. Itu bukanlah upacara
pernikahan tradisional, tetapi atas izin Allah dia akan membuat
upacara penahbisan putrinya yang jelita sebagai sebuah perayaan,
sebuah acara yang akan dikenang selama berpuluh-puluh tahun. Dia
akan menyerahkan putri kesayangannya pada tugas barunya, dengan
segala kemegahan dan perayaan yang bisa diciptakan untuk sebuah
pernikahan.
Dengan benak yang mulai terhibur membayangkan sebuah perayaan
agung, Habib merasakan tenaganya bangkit kembali. "Akulah sang
majikan, sang kepala keluarga, pemegang kekuasaan tertinggi, di
mana aku memang sudah ditakdirkan untuk menikmatinya," katanya
pada dirinya sendiri dengan senang hati, seraya memilin-milin kumis
lebatnya.

18.

SIKANDER DUDUK dalam mobil jipnya di tempat yang sama seperti


saat ada di mela, lebih dari dua bulan lalu. Saat menengadahkan
kepalanya, dia memandang pohon minar yang menjulang tinggi,
dengan kerimbunan cabang-cabang daun hijaunya, berayun-ayun
tertiup angin siang itu.
Sambil menutup matanya, dia membiarkan pikirannya melayang pada
kenangan itu dan menikmati bayangan Zarri Bano sedang berdiri
tegak, tampak cantik menawan, di bawah pohon itu, dengan pakaian
hitamnya. Dia menyaksikan senyuman yang menggoda bermain-main
di bibirnya dan rambutnya yang terurai membingkai indah wajah
jelitanya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dia merasakan kembali momen saat Zarri Bano dengan anggun


memasuki ruang tamu rumahnya, tampak luar biasa dalam warna
merah jambu. Itulah kali pertama dia mendengar suaranya.
Pikirannya kemudian melompat ke adegan saat mereka berdua
berjalan bersama, diawasi oleh kedua orangtua mereka, mengelilingi
ladang di rumah Zarri Bano. Dia tersenyum getir, membayangkan
betapa dia mencuri-curi pandang ke arah Zarri Bano selama jalan-
jalan yang panjang itu. Dia sempat berpikir bahwa Zarri terlalu
angkuh dan terlalu percaya diri untuk bisa cocok dengannya. Meski
pada akhirnya, sifat ini digabungkan dengan kecantikannya yang
memikat, telah menyeretnya pada Zarri Bano bagaikan seekor
ngengat pada nyala lilin.
Akhirnya, helaan napas panjang mengantarnya pada kenangan yang
terlintas tentang kejadian yang menyentuh tetapi menyedihkan di
kebun buah rumahnya di Karachi. Begitu banyak yang telah terjadi
saat itu. Dia telah menyentuh tangannya dan berhasil menggapainya
secara emosional dan spiritual, serta akhirnya berhasil melamarnya.
Malam itu, di restoran, mereka berdua begitu riang bersenda gurau,
dan dirinya mabuk karena kecerdasan dan kepintaran Zarri Bano.
Kelembutan jemari lentik Zarri Bano masih terasa membakar
bibirnya. Kemudian angannya mundur ke saat mereka pulang ke
rumah dari jalan-jalan malam mereka, dan menemukan kehidupan
mereka telah terjungkir balik.
Saat ini dia telah kehilangan kendali atas hidup dan nasibnya.
Perempuan yang dicintainya dengan sepenuh jiwa tercerabut
darinya, dari genggamannya.
Menjadi seorang pengusaha muda yang sukses di Karachi adalah
dunia Sikander yang sampai seminggu lalu tidak pernah dibicarakan
olehnya. Orang-orang mengerjakan perintahnya. Sukses secara
finansial, populer, dan tampan, telah membuatnya menjadi sosok
bujangan idaman. Sejak awal usia dua puluh tahun, para orangtua

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dari kalangan atas Karachi selalu memamerkan putri-putrinya di


hadapan Sikander. Meski demikian, di sini, dalam kaitannya dengan
Zarri Bano, dia merasa diremehkan sekaligus dianggap tidak cukup
pantas. Itu adalah sebuah fenomena baru dalam kehidupannya dan
dia tidak menikmatinya sedikit pun.
Perasaan tidak percaya menggugahnya sekali lagi. Bagaimana
mungkin di akhir abad kedua puluh bisa terjadi hal seperti ini? Jika
ini di luar kehendak Zarri Bano, dia bisa memanggil aparat penegak
hukum dan pihak yang berwenang.
Dia dapat menyeret hal ini ke pengadilan. Dia adalah lelaki yang
memiliki pengaruh. Dia yakin bisa melakukannya, tetapi ternyata
dialah, Zarri Bano sendiri, yang telah mencampakkannya! Dia telah
meninggalkannya dan juga melepaskan pernikahan.
Aliran hangat menjalar ke seluruh tubuhnya saat dia mengingat apa
yang dirasakannya ketika jemari lentik Zarri Bano menjelajahi dan
mengelus bibirnya. Sentuhannya begitu lembut dan perlahan. Bisa
dipastikan Zarri Bano merasakan sesuatu untuknya! Untuk alasan apa
lagi seorang perempuan angkuh dan terhormat membiarkan seorang
lelaki bebas berbuat semaunya pada tangannya, dan dia justru
meraih dan menyentuh bibirnya....
Sejak awal, naluri Sikander telah memberi isyarat padanya bahwa
Zarri Bano adalah seorang perempuan yang penuh gairah. Ironisnya,
dia meragukan apakah Zarri Bano sendiri menyadari fakta itu. Dia
juga merasa yakin bahwa dirinya adalah satu-satunya lelaki yang
telah menyalakan api gairah dalam diri Zarri Bano, dan untuk
pertama kalinya pula. Apakah Zarri Bano sungguh-sungguh tahu
bahwa dirinya sedang ditumbalkan? Dengan mengorbankan cinta
manusia, hasrat, dan semua kesenangan!
Untuk apa? Untuk merengkuh kehidupan terasing seorang pertapa
religius—sepenuhnya bertentangan dengan kodratnya. Teganya
mereka melakukan ini pada Zarri Bano!

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander menghantamkan kepalanya ke roda kemudi karena


frustrasi. Ayah dan ibu Zarri Bano tampaknya telah menjalani
sebuah kehidupan yang utuh dan membagi semua kesenangannya, lalu
mengapa mereka justru mengingkari hal yang sama untuk putri
mereka?
Dalam kebudayaan masyarakat setempat, sudah biasa menikahkan
seorang anak perempuan pada usia dini— biasanya segera setelah
masuk usia puber, demi izzat mereka. Lalu ini, ada kasus di saat
orangtua dengan sengaja mencegah putrinya yang sudah dewasa
sepenuhnya untuk menikah. Mengapa? Agar mereka dapat tetap
menggenggam tanah dan warisan mereka!
"Sialan! Aku akan memberi tahu mereka bahwa aku tidak
menginginkan warisan mereka," dia berkata mantap. "Mereka dapat
menyerahkan semuanya kepada Ruby. Aku memiliki cukup kekayaan
untuk menjamin kesejahteraan Zarri Bano seumur hidup dalam
kemewahan sebagaimana kehidupannya sehari-hari," Sikander
berteriak nyaring— kata-kata itu bergema di dalam jipnya.
Sia-sia saja! Dia mengibaskan sejumput rambut dengan marah dari
dahinya. Pandangannya terpaku pada pohon di hadapannya. Dia tahu
jauh di dalam hatinya bahwa Zarri Bano tidak akan pernah
menikahinya dalam situasi seperti saat ini. Gadis itu tidak akan
pernah menodai kebanggaan dirinya ataupun status keluarganya.
Kebanggaannya adalah kelemahannya yang paling fatal—kelemahan
yang ditemukan oleh ayahnya dan kemudian digunakannya dengan
baik.
Dia mengangkat kepalanya untuk menatap ke balik kaca mobilnya
ketika mendengar ada kendaraan lain yang mendekat. Itu adalah
sebuah mobil yang berisi dua orang lelaki, dan mobil itu berhenti di
depan jipnya. Tubuh Sikander menegang begitu dia mengenali Habib
yang duduk di samping sopirnya. Kemarahan menjalari tubuhnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan sangat kuat.


Sikander membalas tatapan dingin Habib dengan
tatapan nanar, mencurahkan semua kebenciannya lewat sorot
matanya. Matanya tertancap di wajah Habib saat dia menyalakan
mesin mobilnya dan menjalankannya melintasi mobil itu.
Habib mengamati jip yang berlalu itu. Dengan jempol dan jari
telunjuknya, dia mulai memilin-milin kumisnya yang dicat cokelat
sambil merenung dalam-dalam. Jika ada orang yang bisa
mengacaukan rencanaku untuk menjadikan putriku seorang
Perempuan Suci, lelaki itulah orangnya. Alarm peringatan berdenging
di kepalanya. Kemudian, apakah dia baru kembali dari rumah?
Apakah dia baru menemui putriku? Mengingat dengan samar bahwa
selain dua orang pelayan dan Zarri Bano, tidak ada orang lainnya lagi
di rumah, Habib sangat gundah ingin segera pulang. Sesuatu yang
amat besar sedang dipertaruhkan di sini.
***
Di rumah dia menyaksikan Zarri Bano dan menanyainya di halaman.
Mendahulukan hal itu, Habib menemui Fatima dan dia pun
menanyainya dengan kasar tentang apakah Sikander datang
berkunjung dan apa yang sudah terjadi. Kemudian dia menyelidik
lebih lanjut tentang apa yang sudah dibicarakannya dengan Zarri
Bano.
"Ya," Fatima meresponsnya dengan datar. Dia sudah menyaksikan
adegan intim itu dari balik gorden di salah satu kamar tidur yang
menghadap langsung ke bagian belakang halaman dan kebun. Secara
pribadi, Fatima yang malang masih saja mengagungkan gagasan di
mana Sikander seharusnya melarikan Zarri Bano dan dia akan
membantu mereka.
"Di mana kau saat itu, Fatima, ketika dia datang kemari? Tidak
adakah seseorang di sini yang bisa mengawasi putriku?" Habib
berteriak gusar padanya. "Sebagai anggota rumah tanggaku yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

telah lama dan sebagai pengurus rumah tanggaku," lanjutnya,


"kupikir kau akan menanggung beban itu untuk menyelamatkan izzat
dan kehormatan kami daripada membiarkan seorang lelaki bujangan
melanggar tata krama kita, dan mendapatkan izin bertemu putriku."
Pipi Fatima membara karena marah dalam diam. "Aku ada di sekitar
sini, Sahib Jee, tetapi Sahib Sikander adalah calon suami Zarri
Bano." Dengan berani dia ikut campur dalam masalah tersebut.
"Karena itu, dia memiliki hak untuk mendapat izin bertemu
tunangannya." Fatima tidak berani memandangi Habib sekarang.
Murka oleh pernyataan yang agak menyindir itu, sorot mata hijau
Habib yang dingin membuat Fatima paham apa yang dipikirkan Habib
tentang dirinya dan mengenai hal yang baru saja diungkapkannya.
Dengan mulut membentuk garis tegas, dia menyalak pada Fatima.
"Kau tidak tahu diri dan melupakan tempatmu, Fatima! Namun, aku
akan mengampuni kelancanganmu kali ini karena aku tahu kau sangat
mengasihi Zarri Bano seperti putrimu sendiri dan bersedia
melakukan apa pun untuknya. Tapi ingatlah, di masa depan, Zarri
Bano tidak memiliki tunangan. Dia akan menjadi seseorang yang
begitu murni, seorang perempuan suci! Hak khusus dari tugas itu
adalah terasing dari lawan jenis, kecuali anggota keluarga terdekat.
"Kini, baguskah, Fatima, jika calon Perempuan Suci kita, yang
seharusnya mewakili tahap tertinggi kesucian dan kehormatan,
namanya dikaitkan dengan lelaki mana pun? Sikander itu kan seorang
bujangan! Dan Zarri bukan perempuan yang akan menikah. Oleh
karena itu, akan salah jadinya mengaitkan namanya dengan lelaki
mana pun selain aku, pamannya, dan kakeknya. Tidak boleh ada
pemuda, bahkan sepupunya sekalipun, yang boleh berhubungan
dengannya. Izzat-nya harus terus diawasi. Reputasinya harus
sedemikian bersih. Jelas, Fatima?" tanyanya. Suaranya melemah
menjadi sebentuk desisan, tatapan kejamnya memercik ke arah
wajah pucat sang pelayan, sebelum akhirnya Habib meninggalkannya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dengan rahang kaku, Fatima menggumamkan kata, "Ya." Kedua


matanya yang sudah lama tertunduk di bawah tekanan berat sorot
mata Habib tak berdaya untuk menyahut atau mengatakan apa pun
lagi.
Ketika Habib melangkah ke luar memasuki halaman untuk mencari
putrinya, bayangan Zarri Bano kawin lari dengan tunangannya kini
menjadi sungguh-sungguh mustahil dalam benak Fatima. Habib sudah
benar-benar mengurung putrinya. Dengan berat hati, Fatima
menyadari bahwa Zarri Bano, perempuan yang berprinsip itu, tidak
akan pernah bisa melarikan diri dengan lelaki mana pun. Perempuan
lainnya, di tempat yang lain, dalam sosok yang lebih lemah, mungkin
bisa melakukannya, tetapi tidak Zarri Bano! Dia lebih memilih masuk
kandang singa daripada mencari keselamatan dan surga.
Hari yang cerah itu sudah kehilangan seluruh cahayanya bagi Fatima.
Dia tidak perlu bertanya pada Zarri Bano apa yang harus
dilakukannya. Fatima sudah tahu.
Sekali lagi dia mengingat betapa Sikander dan gadis itu di halaman,
berdiri berhadapan, dan tangan Zarri Bano menyentuh bibir
Sikander. Perasaan Fatima terguncang untuk mereka berdua.
Mengapa kehidupan ini begitu tidak adil? Betapa mereka adalah
pasangan yang serasi. Bahkan orang buta sekalipun mampu melihat
bahwa keduanya saling mendamba. Oh, ya Allah, mengapa mereka
tega pada gadis itu? Mengapa tidak dibiarkan saja Zarri Bano dan
Sikander menikah, dan Zarri masih tetap bisa menjadi seorang
Shahzadi Ibadat?
Tawa histeris menggelegak di dalam tenggorokan Fatima. Mengapa
harus repot-repot membodohi diri sendiri? Bukankah daya tarik
utama menjadi seorang Perempuan Suci adalah bahwa dia tidak
pernah menikah? Siapa yang pernah mendengar adanya aktivitas
seksual seorang Shahzadi Ibadat, serta memiliki suami dan anak-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

anak! Dengan menjadi seorang Perempuan Suci, Zarri Bano


ditakdirkan untuk selamanya melajang dan suci lahir batin.
Dengan berat hati dan langkah gontai, Fatima berjalan ke dapur dan
memberi serangkaian instruksi kepada para asistennya untuk
santapan makan siang. Dia sudah berharap terlalu banyak untuk
Zarri Bano dan putrinya, Firdaus. Tampaknya, kedua gadis itu sudah
memiliki jalan di masa depan mereka yang penuh onak duri.
***
Siang itu juga, di vila di Karachi yang menjadi tempat tinggal
Sikander, Bilkis sedang menanyai putranya begitu dia memasuki
ruang tengah, "Bagaimana perjalananmu, putraku? Sudahkah kau
bertemu Zarri Bano? Apa yang dikatakannya?" Dia menatap wajah
Sikander dengan penasaran, menilik raut wajahnya atau tanda-tanda
yang bisa menceritakan sesuatu. Garis kemurungan di bibirnya
tampak tidak menyiratkan sesuatu yang baik. Sikander menatap
ibunya dengan sorot mata muram dan kemudian menjawab semua
pertanyaannya.
"Dia akan mengikuti omong kosong soal Shahzadi Ibadat.
Menikahkan diri dengan Kitab Suci Al-Quran. Aku tidak berarti apa
pun untuknya! Hanya adat istiadat keluarganya yang tampaknya
berarti untuknya. Jangan harap aku menghadiri penobatannya. Aku
akan mandi, Ibu," dia menuntaskan kalimatnya dengan getir.
Dia meninggalkan Bilkis yang terpana di lorong dingin yang luas.
Bilkis menyaksikan putranya itu beranjak pergi. Melihat bahunya
yang tampak begitu tegang, hatinya ikut hancur berkeping-keping.
Betapa kehidupan yang tidak adil terkadang menjadi nyata. Betapa
tidak beruntung putranya itu, jatuh cinta kepada seorang perempuan
yang tidak bisa diraihnya.
Bilkis menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. Memangnya
kenapa jika putranya tidak bisa menikahi Zarri Bano? Ada ribuan
perempuan cantik lain yang bisa dipilihnya. Sikander adalah salah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

satu bujangan idaman di kalangan atas Karachi. Jika Zarri Bano


tidak mungkin dinikahi, bukan berarti perempuan lain juga tidak bisa
diraihnya. Tidak semua perempuan menjadi Perempuan Suci.
Saat Bilkis berjalan di kebun jeruk di samping vila mereka, siksa
batin putranya itu berkecamuk dalam pikirannya, dan dia
mencemaskan berapa lama waktu yang diperlukan Sikander untuk
melupakan Zarri Bano....

19.

DI HARI penahbisan Zarri Bano, khoti tampak semarak dihiasi


rangkaian beribu bola lampu kecil warna-warni yang berkelap-kelip,
bagaikan lampu mercusuar dalam cahaya malam.
Sebagian besar tetangga dan penduduk Chiragpur diundang
menghadiri upacara penahbisan putri Habib Khan. Sanak kerabat
dari seluruh penjuru Pakistan sudah tiba di rumah-rumah keluarga
lainnya dua hari sebelumnya.
Kerumunan ramai membuat vila itu penuh sesak dan bising oleh suara
obrolan dan gelak tawa para tetamu. Ketujuh kamar tamu yang
masing-masing berisi empat ranjang seluruhnya penuh dihuni. Koper-
koper teronggok dan bertebaran di mana-mana.
Tamu-tamu pesta pernikahan, seperti yang sudah menjadi adat
kebiasaan, secara alamiah bergerombol sendiri-sendiri ke dalam
kelompok-kelompok kecil, bergantung pada usia, jenis kelamin, latar
belakang, dan tentu saja, seberapa jauh mereka saling mengenal.
Nuansa kegairahan terpancar dalam diri semua orang, sebagian
besar tamu menjadikan Zarri Bano dan upacara penahbisannya
sebagai topik pembicaraan. Sebagian pernah mendengar tentang
Shahzadi Ibadat di masa lalu dan karena itu mengetahui konsekuensi
yang mengiringinya. Bagi sebagian lainnya, itu adalah sebuah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

fenomena baru yang terus-menerus digunjingkan dan memancing


kontroversi.
"Yang benar saja!" jerit salah seorang perempuan. Alisnya terangkat
bersatu dengan lipatan keningnya.
"Ya, memang begitu!" terdengar jawaban tegas seorang tamu
bernama Nilofer, yang menarik perhatian sekelompok perempuan
lainnya. "Menurutku, saudariku, ini adalah upacara yang ganjil.
Mereka memanfaatkan Al-Quran," bisiknya sambil menundukkan
kepalanya dan diam-diam menoleh ke kiri kanannya. "Tidak ada
mempelai laki-laki, meski ini memang layaknya sebuah pesta
pernikahan, dengan segala hiasan khas pesta pernikahan. Sekarang
coba katakan padaku, saudariku, siapa yang ada di dalam pikiran
mereka yang sanggup melakukan hal seperti ini pada putri mereka
sendiri? Khususnya pada jenis gadis yang sangat merdeka seperti
Zarri Bano? Maksudku, pernahkah kau saksikan sehelai dupatta
bertahan lebih dari lima menit di kepala gadis itu?" Nilofer
menikmati satu-satu ekspresi kaget perempuan-perempuan di
sekitarnya. "Ya, akan lebih dari sekadar sehelai dupatta yang akan
dikenakannya mulai sekarang, itu pasti!"
Mereka baru saja selesai makan malam. Berkumpul bersama di sofa-
sofa, atau berjongkok di lantai berkarpet bersama teman dan
sahabat, merupakan waktu yang sangat tepat bagi para perempuan
untuk menikmati gosip yang benar-benar hebat. Dengan menguasai
perhatian penuh mereka, seraya mencondongkan tubuhnya ke depan,
Nilofer berniat memanfaatkan situasi itu. Dia memiliki kepentingan
untuk membalas dendam pada sepupunya, Shahzada, sejak lama.
Hatinya berbunga-bunga mendapati kesempatan emas ini. Dengan
anggun, dia bersiap untuk mengata-ngatai keluarga tingkat tinggi
dan berkuasa ini!
"Siapa yang akan menghabiskan jutaan rupee untuk sebuah upacara
yang bahkan tidak bisa disebut sebagai upacara pernikahan? Kalau

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

itu kalian, maukah kalian melakukannya, saudari-saudariku?" Matanya


berkilauan menantang mereka untuk tidak sepakat dengan
pendapatnya. "Semua pengeluaran itu untuk tujuan apa? Pernahkah
kalian melihat gaun pengantin Zarri Bano, jihaz-nya, pernahkah?"
tanyanya dengan raut licik di wajahnya. Ketika salah seorang
perempuan itu menggelengkan kepala, Nilofer segera berdiri, siap
menawarkan diri untuk membawa mereka berkeliling.
"Kalian tidak akan menyangka betapa terkejutnya kalian nanti,
saudariku. Aku akan mengajak kalian berkeliling ke gazebo di
halaman belakang. Ada banyak hal yang bisa dilihat; banyak yang bisa
dikagumi. Tahukah kalian berapa banyak pakaian milik Zarri Bano?
Kukatakan pada kalian—ada ratusan! Aku tidak sedang membesar-
besarkan, teman, karena aku sudah berada di rumah ini selama dua
minggu dan sudah membantu mengumpulkan dan menyiapkan gaun
pengantin Zarri Bano. Ruby dan aku yang memilih sebagian besar
barang-barang itu. Zarri Bano tidak berurusan dengan semua itu.
Malang nian! Dia menghindar dari semua itu. Aku berani bertaruh,
bahkan Benazir Bhutto sekalipun tidak memiliki gaun seperti itu
dalam pesta pernikahannya. Itu seperti gaun milik seorang pengantin
agung." Dia menghela napas untuk membumbui ceritanya dan
memandangi satu per satu wajah mereka yang mendengarkannya.
"Tapi, ini adalah pengalaman yang mengerikan!" katanya dengan nada
suara yang membuat yang lainnya terdiam. "Kapan coba Zarri Bano
sempat mengenakan semua gaun itu jika dia akan dibungkus dalam
kerudung hitam panjang, dalam burqa? Kami merancangnya khusus
untuk Zarri Bano, kalian tahu, dari seorang tukang jahit terkemuka
di Karachi. Suami seperti apa yang akan digodanya dengan gaun-gaun
megahnya? Fungsi sosial seperti apa yang akan dijalaninya? Di mana
dia akan memamerkan keindahan pesta pernikahannya? Karena aku
membayangkan kehidupannya hanya berkutat di seputar madrasah
dan sajadah. Sebuah kehidupan yang sepenuhnya dipersembahkan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

untuk ibadah dan kebersahajaan." Nilofer berhenti sejenak untuk


mengambil napas. Wajahnya memancarkan kemenangan saat melihat
mereka tampak kebingungan. Getaran rasa senang menjalari tulang
belakangnya.
Dia ingin meraih kemenangannya lebih jauh dengan membawa
sebagian dari mereka berjalan-jalan untuk menunjukkan gazebo
tempat jihaz yang dipamerkan. Sekawanan perempuan yang
penasaran segera mengekor di belakangnya dengan penuh semangat,
keluar melewati halaman belakang, dan memasuki gazebo besar yang
hijau menjulang di halaman samping yang dipenuhi gaun pengantin
Zarri Bano dan aneka hadiah.
Bagi perempuan desa pada umumnya, gazebo itu bak gua harta
Aladdin. Seraya mengekor di belakang Nilofer, mata mereka
semakin terbelalak, terpukau oleh semua perhiasan emas dan perak
yang luar biasa indah dipamerkan dalam kotak beludru berwarna
merah dan hijau. Ada banyak sekali gaun berhias logam berbentuk
koin, atau shalwar kameze, yang dipamerkan untuk menarik
perhatian.
"Apa gunanya semua ini? Tidak akan ada seorang pun yang
menyaksikannya," celetuk salah satu dari kawanan perempuan itu,
cukup keras untuk didengar teman-temannya.
"Sahib Habib menginginkan semuanya tersedia untuk Zarri Bano,"
perempuan lainnya membalas dengan lugas dan dengan nada rendah,
membantah komentar sebelumnya. Sebagai salah seorang anggota
keluarga dekat Habib, dia diminta untuk mengawasi gazebo yang
memamerkan gaun pengantin.
"Meskipun tidak akan ada mempelai laki-laki dalam upacara ini,"
lanjutnya, "kita bisa menganggap ini sebagai pesta pernikahan dan
semuanya berlangsung sesuai dengan namanya. Sahib Habib tak mau
putrinya tidak terpenuhi gaun pengantinnya. Dia akan mengenakan
semuanya ini." perempuan itu mengayunkan tangannya ke sekeliling

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

gazebo dan menunjuk ke semua kotak pakaian yang berjejer, juga


wadah-wadah perhiasan. "Tentu saja dia tidak akan sombong seperti
kita semua dengan memamerkan semua perhiasan dan pakaiannya
seperti pesta-pesta pernikahan pada umumnya," ujarnya ketus.
Ketidakpercayaan tergambar di wajah dua tiga perempuan, dan
seringai sinis di wajah Nilofer.
Mereka semua memikirkan apa yang sedang dipikirkan Zarri Bano
tentang semua ini. Masalahnya, nyaris tak ada yang melihat gadis itu.
Dia sudah tidak mengacuhkan keberadaan para tetamu di rumahnya,
dan tak seorang pun yang memiliki keberanian untuk mendekatinya—
apalagi mengobrol dari hati ke hati dengannya seperti yang amat
mereka harapkan.
***
Satu-satunya orang yang diberi kehormatan untuk melakukannya
adalah seorang Shahzadi Ibadat dari keluarga lain di kota. Dia
diundang secara pribadi oleh Habib ke upacara tersebut untuk
memotivasi dan menuntun Zarri Bano menjalani upacara itu dan
memperkenalkannya pada tata krama yang dituntut dari peran
tersebut.
Sakina, seorang Shahzadi Ibadat yang mewarisi rumah dan tanah
ayahnya, secara resmi diantar ke kamar Zarri Bano oleh Fatima. Dia
berjalan dengan langkah perlahan dari rumah induk, dengan penuh
minat melayangkan pandangan ke sekelilingnya, melihat persiapan
upacara penahbisan Zarri Bano. Benaknya disibukkan oleh perasaan
deja vu, mengingat kembali dengan jelas upacara yang pernah
dijalaninya sendiri, sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Fatima meninggalkannya di ambang pintu kamar Zarri Bano dan
Sakina kembali ke masa kini. Dia mengetuk pintu perlahan dan
seorang perempuan muda membukanya. Sakina memerhatikan
pakaian mewah yang dikenakan perempuan muda itu dan wajah
polosnya yang dibuat-buat.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri Bano duduk di depan meja rias memakai gaun pengantin sifon
merah berhias lempengan logam. Rambut panjangnya yang ikal ditata
indah oleh Ruby, membentuk gelungan di atas kepalanya. Seuntai
kalung bertatahkan rangkaian emas menggantung di lehernya.
Sepasang anting panjang yang selaras dengan kalung itu juga
terjuntai di kedua telinganya, sementara sepasang lengan putih
mulusnya tampak berkilauan oleh lusinan gelang emas yang didesain
sedemikian cantik.
"Apakah itu aku?" tanya Zarri Bano terbengong-bengong, menatap
sosok pengantin yang mencemooh di hadapannya. "Aku tampak
seperti pengantin perempuan Pakistan." Bahkan kedua tangannya
telah dilukis secara ritual oleh adiknya menggunakan pacar pada
malam sebelumnya. Dia menyeringai melihat kedua telapak tangannya
yang berlumuran warna oranye kemerahan.
Cemoohan tentang perhiasan dan pernak-pernik busananya malah
agak keterlaluan. "Semua ini kepura-puraan!" keluhnya. "Untuk apa
semua ini?"
Dia mengerjapkan matanya—mendongak. Sesosok bayangan hitam
berdiri tegak, menyeramkan, di belakang bangkunya.
Dengan jantung berdegup kencang, Zarri Bano terjajar melihat
kepala Sakina yang terbungkus jubah hitam, dan hanya menyisakan
dua pertiga wajahnya yang bisa terlihat. Tidak ada kening. Hanya
separuh dagunya yang terlihat.
"Beginilah rupaku nantinya," jerit batinnya ketakutan. "Lukisan di
wajahku, perhiasanku, dan tatanan rambutku— semuanya ini akan
disembunyikan di balik sehelai jilbab hitam."
"Assalamu 'alaikum, Zarri Bano." Sosok gelap menyeramkan itu
menyapanya dari balik cermin, membangunkan Zarri Bano dari
lamunannya. "Bolehkah aku duduk di bangku ini?"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Setengah mati Zarri Bano berusaha mengerahkan pengetahuannya


tentang perempuan itu. "Wa 'alaikumussalam. Tentu saja!" sahut
Zarri Bano.
"Namaku Sakina. Kau mungkin pernah mendengar tentang aku—
almarhum ayahku adalah Murad Chaudhury."
"Ya, tentu saja, Baji Jan. Ayah sudah berbicara tentang dirimu."
Zarri Bano bangkit untuk menyalaminya, segera saja dia kembali ke
sikap wajarnya.
Sakina menatap bagian belakang sosok Zarri Bano yang tinggi dari
permukaan cermin di meja rias; menatapnya dengan kekaguman.
Sosok itu sama indahnya dengan penampilan depannya.
"Kau seorang perempuan yang sangat cantik, Zarri Bano," seruannya
ini terlontar begitu saja dari mulutnya. "Aku pernah mendengar
tentangmu, tetapi hari ini, melihatmu langsung dalam riasan lengkap.
Aku harus mengakui bahwa orang itu sudah berbuat adil dengan
pujiannya terhadapmu."
Zarri Bano menatap Sakina dengan sorot mata penuh penyesalan.
"Aku hanyalah seorang gadis biasa yang sedang berada di puncak
kehidupanku. Ayolah, tidak perlu memuji-muji diriku." Pembicaraan
tentang kecantikannya sudah lama tak lagi menarik bagi Zarri Bano.
Dia menunduk memandangi tangannya yang berkulit terang dihiasi
riasan pacar yang mencolok, tepat di jari-jarinya yang panjang
ramping dengan kuku-kuku yang dibentuk sedemikian indah. Jemari
itu dihiasi cincin beraneka bentuk dan ukuran, bertatahkan beragam
permata, rubi, intan, dan berlian.
"Katakan padaku, Ukhti Sakina, apa gunanya semua ini?" Zarri Bano
bertanya pelan seraya menjulurkan tangannya pada Sakina. Suaranya
menyiratkan sarkasme. "Mengapa kedua tanganku harus didandani
sekonyol ini? Biasanya aku tidak pernah mengenakan lebih dari dua
buah cincin. Ini, lihatlah, aku mengenakan delapan cincin di jari-
jariku! Itu karena mereka tidak bisa menemukan cincin yang pas

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

untuk jempolku! Siapa yang harus kubuat kagum dengan semua ini?
Ipar yang mana? Suami yang mana yang akan mengagumi corak dan
modelnya, serta menghitung jumlahnya? Kau tidak mengenakan apa
pun di kedua tanganmu. Apakah kau juga menjalani drama
mengerikan seperti ini,
didandani layaknya seorang pengantin sebelum menjadi seorang
Perempuan Suci?" Zarri Bano terhenti sejenak, membuat Sakina
terpaku melihat sorot mata hijaunya yang tajam.
Sakina melihat ke sekelilingnya dengan rikuh, menyadari bahwa di
sekitar mereka ada orang lain yang tertarik mendengarkan
semuanya, Ruby dan dua perempuan lainnya. Tidak adil bagi Zarri
Bano jika derita batin yang sedang dirasakannya harus disaksikan
orang lain. Hanya dia, Sakina, sebagai seorang Perempuan Suci itu
sendiri yang dapat ikut merasakan pengalaman traumatis Zarri Bano
tersebut, karena dia juga pernah melalui semua prosesi upacara
tersebut, dipaksa menjalani semua ritual yang tak bisa
dikendalikannya.
Seperti Zarri Bano, dia sudah dipaksa untuk melakukan semuanya
oleh anggota keluarga laki-laki tertua. Satu-satunya yang
membedakan, dan merupakan perbedaan yang paling kentara, Sakina
menyadari dengan getir bahwa Zarri Bano perempuan yang begitu
menawan, sementara dirinya biasa-biasa saja. Seakan penahbisan ini
adalah pelanggaran terhadap hukum alam. Tidak boleh menikah.
Tidak boleh memiliki anak. Tidak menjalani kehidupan yang normal.
Sakina menatap nanar Zarri Bano, tiba-tiba saja dia merasa begitu
sedih dan pilu.
"Zarri Bano, bisakah kita berbincang berdua saja?" Sakina
memberanikan diri bertanya.
"Ya, tentu saja. Ruby...." Zarri Bano menoleh seraya mengirimkan
tatapan penyesalan pada adiknya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Tentu saja, Kak. Ayo, para gadis." Ruby memberi tanda pada
sepupunya, Gulshan, dan dua teman perempuannya untuk keluar dari
kamar itu. Zarri Bano dan Sakina menyaksikan mereka beranjak
pergi dan kemudian memalingkan kembali wajah mereka untuk saling
memandang.
"Silakan duduk, Ukhti Sakina, mari duduklah di kursi besar ini."
"Terima kasih." Sakina melangkah ke arah kursi besar itu dan duduk.
Keduanya tampak tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan.
Zarri Bano berdiri kikuk di tengah-tengah kamar tidurnya, ingin
mencurahkan begitu banyak hal, tetapi tidak mampu memercayai
dirinya sendiri untuk mengatakan apa pun pada seseorang yang
sungguh-sungguh asing. Dengan mata yang seolah terhipnotis,
tertunduk menatap ranjang, Zarri Bano menggigil menyaksikan
burqa. Raut wajah Sakina melembut penuh pengertian.
"Ya, Ukhti Zarri Bano, itulah yang harus kau kenakan, sebelum kau
siap untuk menjalani upacara. Bolehkah aku membantumu?" bujuknya
lembut.
Apakah itu bayangannya saja atau dia benar-benar telah
menyaksikan Zarri Bano kembali menciut selangkah? Ekspresi di
mata Zarri Bano yang tadinya tampak liar kini tampak seperti hewan
terluka yang terperangkap!
Sakina segera membuat keputusan kilat. Kewajibannyalah untuk
tidak membuat siapa pun kecewa, tidak Habib Khan ataupun Zarri
Bano. Dengan langkah mantap, dia melangkah ke arah ranjang dan
perlahan mengangkat burqa yang disiapkan untuk Zarri Bano dengan
kedua tangannya. Dengan raut lembut tampak di wajahnya, dia pun
memalingkan wajahnya pada Zarri Bano.
"Saudariku, akan sangat aneh mengenakan jilbab ini pada awalnya,
tetapi kau akan segera terbiasa nanti. Menutupi aurat perempuan
adalah bagian dari keyakinan dan budaya kita, sebagaimana yang kau
ketahui. Karena itu, tidak ada bedanya gaya berbusana yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

digunakan seluruh Muslimah, katakan saja di Iran, misalnya. Mereka


sudah mengenakan pakaian seperti ini sejak revolusi mereka—
perempuan biasa, yang menggunakannya di luar rumah untuk
menutupi aurat mereka. Di sini, di Pakistan, kita selalu mengenakan
burqa. Hanya saja, kau tidak pernah mengenakannya sebelumnya dan
entah bagaimana akhir-akhir ini jadi tidak mode lagi. Chador
menggantikannya. Oleh karena itu, kau akan merasa sedikit aneh
pada awalnya. Ayo, kita coba kenakan padamu, ya?"
Zarri Bano mengangguk tanpa berbicara, menatap nanar jubah hitam
di tangan Sakina. Burqa itu meluncur turun melewati kepalanya,
bahunya, dan sampai di ujung kakinya. Sakina kemudian
memasangkan jilbab yang menutupi rambut Zarri Bano, memasangnya
dengan pas hingga hanya menampakkan segitiga kecil wajah si
pengantin.
Zarri Bano berdiri kaku di dalam burqa itu, merasa bukan manusia.
Bagaikan sebuah tenda hitam besar, jubah besar itu
menyembunyikan gaun upacara resminya sepenuhnya. Hanya kakinya
yang bersandal jepit yang terlihat. Tepian burqa itu panjangnya
hingga menutupi pergelangan tangannya. Gelang-gelang emas yang
tak terhitung jumlahnya yang dipasang di tangannya bergemerencing
aneh di dalam pakaian itu. Sambungan kain pada segitiga yang
membingkai wajahnya menggelitik pipi lembutnya dan dia merasa
amat gerah.
"Kau tampak jelita," Sakina tersenyum. "Maukah kau melihat rupamu
di depan cermin?"
Mata Zarri Bano terbelalak mendengar kata-kata Sakina. Histeria
membadai dalam dirinya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,
dia mengatupkan kedua matanya, merasa tak mampu bernapas di
balik jubah hitam itu.
Karena tak bisa lagi menahan diri, Zarri Bano menjerit kesal,
"Tampak jelita—di dalam benda ini? Bisakah seorang perempuan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tampak jelita di dalam pakaian ini? Aku jijik pada pakaian ini, Ukhti
Sakina. Baju ini membakar tubuhku! Aku tidak pernah memakai
kerudung, chador, apalagi burqa, seumur hidupku. Benda ini—aku
tidak tahan! Benda ini mengurung kehidupanku. Tahukah kau bahwa
hitam adalah warna favoritku dua bulan yang lalu? Tetapi ini!" Tubuh
Zarri Bano mulai gemetar tak terkendali di balik kain lembut yang
terasa dingin itu.
"Aku tahu, saudariku, tetapi kau harus berusaha menahannya. Kau
akan segera terbiasa dengannya."
"Tidak akan pernah! Tidak akan pernah!" Suara ketus Zarri Bano
terlontar dari tenggorokannya saat dia memalingkan wajahnya dari
Sakina, menyembunyikan kerapuhannya.
"Kau akan berubah, Zarri Bano, kujamin. Aku sudah pernah melewati
fase yang baru akan kaujalani ini. Ini hanya soal waktu, sahabatku.
Seperti juga fase lainnya dalam hidup, kejadian ini akan
membangkitkan emosi, luka, dan sakit hati tersendiri. Untukmu,
hidup tidak akan pernah sama lagi," ujar Sakina. "Kau akan
mendapatkan saat-saat yang paling menggairahkan yang bisa kau
angankan. Kau akan mengetahui banyak hal tentang Islam—menjadi
ulama. Kau akan mempunyai banyak pengikut—penghormatan, harga
diri, kemuliaan, dan ketenaran. Aku memiliki semua itu. Aku tidak
akan pernah bisa mendapatkannya jika aku menikah seperti
perempuan lainnya, dan berkeluarga."
"Ukhti Sakina, aku tidak menginginkan penghormatan, kemuliaan,
ataupun ketenaran! Aku ingin menjadi diriku yang normal—seorang
perempuan biasa," ujar Zarri Bano. Suaranya bergetar karena emosi.
"Aku pernah mengatakan kalimat yang sama, Ukhti Zarri Bano.
Kemudian aku berubah. Aku tidak pernah menyesalinya dan kau juga
tidak akan menyesalinya, saudariku. Tentu saja, sesekali akan ada
sengatan nostalgia yang menyakitkan, ini wajar saja. Kau akan
merasakannya ketika melihat para perempuan dikelilingi anak-anak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mereka, atau ketika mereka tampak sedang bercanda akrab dengan


suami mereka. Namun, semua kehilangan itu hanyalah setitik air di
lautan dibandingkan dengan yang akan kau raih. Kau akan
mendapatkan kemerdekaan dan kemandirian. Aku sudah berkeliling
dunia. Aku bersekolah di universitas. Aku menghadiri konferensi-
konferensi internasional. Bisakah aku melakukan semua itu jika
terikat pada seorang suami dan sebuah keluarga? Aku mengatakan
semua ini untuk membuatmu merasa lebih baik, untuk
memberitahumu bahwa apa yang akan kau peroleh dengan menjadi
seorang Shahzadi Ibadat jauh melebihi semua kehilangan yang
diakibatkan olehnya."
Seraya mendengarkan apa yang dikatakan Sakina dengan santun,
serta membiarkan kata-kata itu terserap ke dalam dirinya, Zarri
Bano tak mampu menahan kepiluan batinnya, dan dia pun menangis.
"Yang kutahu hanyalah," dia menjepit lipatan burqa di depan Sakina,
"dengan pakaian ini, Zarri Bano sudah mati. Perempuan yang pernah
tinggal di kamar ini dua puluh tujuh tahun terakhir ini sudah tiada.
Aku sudah melepaskan identitasku dan seorang asing telah
menggantikan tempatku. Aku, pada saat ini, bergulat dengan
kematian dan kedukaan seorang perempuan, seraya mempersiapkan
kelahiran dan kebangkitan orang lain dalam kengerian. Aku tidak
menginginkan Zarri Bano dalam diriku mati! Tapi, aku tidak bisa
membuatnya bertahan hidup. Aku harus memisahkan hidup seorang
perempuan yang sedang kasmaran, Ukhti Sakina, untuk jatuh ke
dalam keinginan dan aspirasi ayahku, serta adat kebiasaan keluarga
kami. Kau tahu mengapa ini bisa terjadi karena kau sendiri pernah
mengalaminya. Ini terjadi dalam rangka menjaga harta warisan kami,
tanah-tanah kami yang tak ternilai harganya, yang akan dicatat atas
namaku, di pengujung hari ini. Aku tidak menginginkan tanah ladang
atau menjadi seorang ahli waris, Ukhti Sakina—tetapi, itu tidak
penting lagi, bukan? Sudah menjadi wasiat ayah dan kakekku bahwa

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

aku akan dijadikan seorang ahli waris dan Perempuan Suci." Zarri
Bano menarik napas panjang dan tampak bergetar.
"Tetapi aku juga memiliki harga diriku sendiri, Ukhti Sakina!"
lanjutnya penuh perasaan. "Tidak ada seorang pun yang bisa
merampas itu dariku. Aku tidak akan mengerjakan semua yang
mereka titahkan. Masih ada sedikit Zarri Bano yang akan
kupertahankan sepanjang masa, bahkan meski nanti aku akan
membunuh dan mengubur sisanya. Dan itu adalah harga diri pribadi
dan integritas diriku! Maafkan aku, Ukhti Sakina, kini aku harus
melakukan sesuatu sebelum turun. Aku tidak akan turun sebagai
seorang pengantin sekaligus seorang biarawati—aku hanya bisa
menjadi satu saja, tidak dua-duanya!" Matanya berkilat dan
wajahnya merona.
Sakina membalas tatapan tajam itu, tak sanggup berkata-kata. "Ya,
tentu saja. Kau akan baik-baik saja, bukan?" tanyanya merendah.
"Ya!" seraya memamerkan senyumnya yang terindah ke arah Sakina,
pipi Zarri Bano tampak berdekik. Sakina segera merasa lebih baik.
Kini Zarri Bano kembali mampu menguasai keadaan. "Aku akan
memanggilmu bilamana aku siap." Zarri Bano memberi tahu tamunya
itu dengan lemah lembut.
Sakina meninggalkan kamar dan berdiri di luar, di lorong,
berbincang-bincang dengan Ruby.
Di dalam kamar, Zarri Bano melemparkan burqa-nya ke atas ranjang.
Dengan secepat kilat, dia melepaskan setiap keping perhiasan dari
leher, telinga, tangan, dan jemarinya. Setelah meloloskan gaun
pengantin merahnya yang panjang berlipit dan berhias koin-koin
logam, dengan tunik pendek yang serasi, dia berdiri tegak hanya
mengenakan rok dalam sutra berwarna gading di depan cermin dan
mengamati dirinya sendiri.
Kemudian, dia melepaskan gulungan rambut ikalnya yang ditata tinggi
bergaya putri raja. Sambil mengibas-ngibaskan kepalanya, Zarri

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Bano membiarkan tirai tebal selembut sutra itu jatuh terurai di


sekeliling bahunya. Dia menatap dirinya sendiri selama beberapa
detik di depan cermin, mematri potret dirinya ke dalam benaknya
selamanya.
Kemudian, dia mengambil sebuah gunting besar dari laci meja riasnya
dan dengan menggenggam segumpal besar rambut di atas kepalanya,
Zarri Bano memangkasnya sekaligus dengan satu kali gerakan
menggunting yang kuat. Delapan inci rambut berkilau itu berceceran
bergumpal-gumpal di atas lantai marmer. Zarri Bano menatap lagi
bayangan di cermin. Bagai seekor anak ayam yang baru menetas,
rambutnya berbentuk tak beraturan di sekitar wajahnya.
Dengan tidak mengenali dirinya sendiri, Zarri Bano menatap nanar,
sekaligus terpana melihat penampilannya. Lalu, dengan selembar tisu,
dia menghapus bersih semua riasan di mukanya.
Setelah puas dengan apa yang dilakukannya, dia kembali
memasangkan burqa itu di kepalanya, dia merasa agak ringan
sekarang. Tidak ada lagi batangan jepit rambut yang menusuki kulit
kepalanya, tidak ada kalung yang menggores-gores lehernya, tidak
ada puluhan gelang yang memberati kedua lengannya, dan tidak ada
gaun berbordir yang berat yang tertekan di balik jubahnya.
Jubah itu sepenuhnya menyembunyikan bentuk tubuhnya. "Aku bisa
saja berberat badan lima belas batu* dan mengalami kegemukan,
tapi tak akan ada seorang pun yang tahu bedanya," pikir Zarri Bano.
Tidak ada seorang pun yang akan mengira bahwa selain rok dalam
sutra dan pakaian dalam lainnya, Zarri Bano lalu tidak mengenakan
apa-apa lagi. (*Ukuran berat, biasa digunakan di Inggris; 1 batu =
6,35 kg—penerj.)
"Ruby," panggil Zarri Bano. Dia merasa belum siap menghadapi
Sakina.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Ruby berlari tergopoh menghampirinya, lalu langkahnya terhenti—


terguncang. Ruby berusaha sekuat tenaga menghadapi kakaknya
dalam pakaian burqa. Bibirnya bergetar karena kalut.
Zarri Bano membaca raut wajah adiknya itu. Pertama-tama Ruby
merasa terguncang, lalu dengan setengah mati mengendalikan urat-
urat wajahnya, dia mencoba tersenyum pada kakaknya, tetapi gagal
dengan menyedihkan.
Dengan hati hancur, Zarri Bano memandang sedih wajah adiknya.
"Ruby kau adalah cerminku," bisiknya. "Aku memikirkan apa yang kau
pikirkan. Aku merasakan apa yang kau rasakan, sayangku."
"Sudahkah kau melihat bayangan dirimu sendiri?" ujar Ruby
tergagap.
"Belum," jawaban pilu itu mengiringi langkah Zarri Bano sedikit
menjauhi cermin tinggi di kamarnya.
Tiba-tiba saja Ruby menjerit histeris begitu disaksikannya
gumpalan-gumpalan rambut di atas lantai. Sambil berjongkok, dia
memunguti gulungan lembut itu dan membawanya ke depan Zarri
Bano. "Mengapa kau lakukan ini pada rambutmu, Baji Jati?" tanyanya
terguncang.
"Apa gunanya itu semua di balik burqa ini?"
Ruby menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Dia memain-
mainkan jemarinya di gulungan rambut itu. Lalu pandangannya
tertunduk melihat perhiasan yang berceceran di atas meja rias dan
gaun pengantin yang terlempar ke atas kursi besar. Dia menoleh
pada kakaknya dengan sorot mata tak percaya.
"Aku hanya bisa menjadi seorang Perempuan Suci atau seorang
pengantin, Ruby. Aku tidak bisa berdandan menjadi kedua-duanya,"
jelas Zarri Bano. "Semua benda itu kuwariskan padamu—gaun
pengantinku dan gulungan rambutku. Kau selalu iri pada rambutku.
Sekarang kau dapat menjepitnya di kepalamu karena itu kau tidak
perlu menyembunyikan rambutmu."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dengan langkah mantap berwibawa, Zarri Bano melangkah ke luar


menuju lorong. Sakina begitu terpukau melihat perubahan yang
disaksikannya di tempat itu. Ketegangan, kedukaan, dan
keterpurukan sudah benar-benar sirna! Kata-kata memilukan yang
keluar dari mulut Zarri Bano bahwa "Zarri Bano sudah mati" dan
bahwa "sekarang seseorang yang asing telah menggantikannya",
kembali terngiang di benak Sakina. Orang yang berdiri di depannya
memang orang yang benar-benar asing! Siapakah yang bisa terlihat
begitu tenang seperti perempuan ini, setelah kejadian memilukan
yang dirasakan mereka berdua di kamar tidurnya tadi?
"Apakah kau siap untuk turun, Zarri Bano?" ujar Sakina sambil
tersenyum pada gadis itu dan mengulurkan tangan padanya.
Sejenak, jantung Zarri Bano berhenti berdetak. Kemudian, sekali
lagi dia mampu mengendalikan dirinya, dan menegakkan kepalanya
dengan angkuh.
"Ya, Ukhti Sakina. Terima kasih telah datang menemuiku dan
berbicara padaku. Kita adalah dua jiwa yang sama-sama
terperangkap oleh takdir kita." Kata-kata yang meluncur datar itu
tidak mampu menutupi kepedihan nada suaranya.
"Tidak perlu berterima kasih padaku, saudariku yang cantik." Sakina
merasa takjub bahwa kecantikan Zarri Bano tetap terpancar
bagaikan kilatan lampu di atas bukit, dengan semua kemegahannya,
bahkan dari balik burqa itu.
Sakina memanggil Ruby Gadis itu keluar dari kamar tidur, masih
merasa terguncang mengetahui kakaknya setengah telanjang di balik
burqa-nya dan rambutnya terpangkas pendek. Dia menatap nanar dua
perempuan yang dari kepala hingga jari kakinya tertutup jubah
hitam itu.
"Apakah kau baik-baik saja, Baji Jan?" tanyanya dengan suara berat
oleh air mata. Matanya menatap lekat-lekat wajah Zarri Bano.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku baik-baik saja." Zarri Bano meremas tangan adiknya. "Aku


sudah pasti tidak akan mengecewakanmu, ayah kita, ataupun
keluarga besar kita," bisiknya di telinga Ruby sambil menyibakkan
untaian anting-anting di telinga Ruby. "Aku akan menjalaninya."
"Aku tahu kau tidak akan mengecewakan siapa pun, kakakku
tersayang, tetapi aku tidak menginginkanmu melalui semua ini! Aku
hanya bisa berdoa kepada Tuhan bahwa ini semua adalah mimpi
buruk, dan aku akan terbangun dengan napas lega."
"Ini bukan mimpi, Ruby, adikku. Aku sudah menyadarinya!
Menurutmu aku tidak berdoa ratusan kali agar terbangun dari mimpi
buruk yang menyiksaku selama dua bulan terakhir ini? Ini benar-
benar terjadi, Ruby. Sadarilah!" Nada suaranya yang kental oleh
kepahitan mengantarkan seulas senyum yang ditujukannya pada
Sakina.
"Ayo kita turun dan melalui semua kemustahilan ini," gumam Zarri
Bano, tidak pada siapa pun, seraya melangkah menuruni tangga.

20.

ZARRI BANO, Sakina, dan Ruby bersama-sama menuruni tangga ulir


yang lebar itu. Kerumunan perempuan dan anak-anak yang penasaran
menunggu di kaki tangga, menanti saat pertama kali mereka melihat
sang Perempuan Suci dalam kerudung resminya. Pesta pernikahan
adalah sebuah perayaan yang biasa bagi mereka. Perayaan yang satu
ini adalah sebuah kejadian langka, dan menyaksikan Zarri Bano, putri
Habib Khan yang gemerlap, menjadi seorang Perempuan Suci dengan
mengenakan burqa adalah sebuah kejadian yang amat luar biasa.
Zarri Bano tidak mengecewakan mereka semua! Dengan mata
menyorot sinis ke arah wajah-wajah mereka yang tampak penuh
minat, dia tersenyum menyadari sepenuhnya bahwa dirinya dan
adiknya telah menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Betapa mereka adalah pasangan yang sangat kontras! pikir


perempuan-perempuan itu. Kedua kakak beradik itu sama-sama
cantik menawan. Yang satu tampak begitu memesona dengan
mengenakan busana pesta khusus untuk perayaan itu, sementara
yang satunya terbungkus jubah hitam tak berbentuk, dengan
sembilan puluh persen tubuhnya tertutup dari pandangan.
Dengan berkerumun dan saling menyandarkan bahu satu sama lain,
para tamu perempuan itu memasang telinga, berusaha mendengarkan
gemerencing gelang emas di tangan Zarri Bano. Mereka merasa
yakin bahwa dia memakai perhiasan emas di balik burqa itu karena
mereka sudah menyaksikan seluruh perhiasan itu dipamerkan di
gazebo. "Betapa malangnya dia tidak melangkah turun dalam riasan
terbaiknya dan memamerkan diri sebelum masuk ke dalam pakaian
burung gagak itu," gumam salah seorang perempuan kepada
temannya dengan nada kesal, merasa dicurangi.
Di ruang tamu yang luas, kehadiran Zarri Bano sudah diumumkan
sebelum gadis itu memasuki ruangan. Begitu kedua kakak beradik itu
berdiri di ambang pintu, semua mata seolah-olah terhipnotis,
terpaku ke arah mereka.
Sambil memandangi apa yang terjajar di hadapannya, Zarri Bano
lebih bisa melihat daripada mendengar betapa semua yang hadir
menghela napas terkejut. Dia sadar bahwa dirinya menjadi
pemandangan yang menakjubkan. Tak seorang pun pernah melihat
Zarri Bano mengenakan burqa sebelumnya. Tidak juga mereka
menduganya akan terjadi dalam seratus tahun karena di antara
anggota keluarga Habib, dia memiliki reputasi sebagai gadis yang
paling anggun dan penuh gaya, di mana dupatta tak pernah menutupi
kepalanya. Selain itu, dia juga satu-satunya yang memiliki reputasi
sebagai gadis yang amat menawan hati para pria.
Sekarang ini, melihat gadis itu berbusana sedemikian sederhana,
sebagian tetamu, baik laki-laki maupun perempuan, merasa tidak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

enak hati karena tiba-tiba saja perasaan bahwa ada sebuah


kenyataan kejam di balik perayaan itu menekan batin mereka. Semua
dekorasi upacara di ruangan itu amat menyerupai sebuah pesta
pernikahan meskipun kenyataannya itu bukanlah sebuah pesta
pernikahan yang layak dimeriahkan oleh semua hiasan itu. Tidak ada
mempelai lelaki yang hendak diberi ucapan selamat atau yang tampak
bahagia bertabur uang. Tidak ada juga mempelai perempuan yang
malu-malu dan dikagumi riasan pengantinnya yang mewah dan
semarak. Hanya seorang perempuan cantik yang tertutup dari
pandangan dalam sehelai jubah hitam dan bertampang sederhana,
dengan hanya satu garis kecil terbuka di wajahnya. Hari ini adalah
saat ketika sebuah dunia sudah terbalik.
Terpana, dan dengan mulut setengah terbuka, Gulshan, sepupu Zarri
Bano, duduk di samping ibunya bersama-sama tetamu lainnya.
Sebelumnya dia sudah membantu mendandani Zarri Bano, tetapi kini
dia merasa sulit menerima kenyataan sepupunya mengenakan burqa.
Sebagai seorang pengagum yang selalu mencemburui Zarri Bano,
Gulshan telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan
membenci sekaligus mengagumi sepupunya itu atas sikap,
penampilannya yang menawan, dan sifat-sifat terbaik dirinya.
Rasa irinya itu sudah berlangsung sejak masa kanak-kanak. Gulshan
selalu merasa tertutupi bayangan Zarri Bano sehingga dia nyaris
selalu merasa ketakutan berada di ruangan yang sama dengan
sepupunya itu, meski meniru penampilan Zarri Bano yang tampak
angkuh dan sombong. Namun, Gulshan tidak memiliki kecerdasan,
karisma, dan kecantikannya.
Ketika untuk pertama kalinya mendengar kabar bahwa Zarri Bano
akan menjadi seorang Perempuan Suci, Gulshan merasakan ledakan
rasa senang di dadanya, meski kemudian diikuti rasa bersalah.
Seperti juga semua orang di ruangan itu, dia sudah menunggu dengan
menahan napas, bertanya-tanya apakah mungkin Zarri Bano akan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

melakukannya, akan benar-benar turun mengenakan burqa sebagai


seorang Perempuan Suci.
Sekarang, melihatnya terbungkus jubah yang menyerupai karung
berwarna hitam itu, berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya.
Bukan rasa senang dan puas yang dirasakannya, dia malah merasa
ketakutan sekaligus iba pada Zarri Bano. "Ini luar biasa!" pikirnya
bingung. Perempuan lain mungkin pantas untuk peranan itu, tetapi
tidak Zarri Bano kami. Dengan tetes air mata menggantung di ujung
bulu-bulu matanya, Gulshan sangat ingin menjerit di hadapan para
tetamu, "Tolong jangan lakukan ini pada Zarri Bano kami!"
Namun entah mengapa, bibirnya terkunci, terikat oleh adat istiadat
patriarkat yang sudah berabad-abad dan kesepakatan tentang kaum
perempuan yang patuh dan diam. Lagi pula, apa yang bisa
dilakukannya jika ibunda Zarri Bano dan adiknya sendiri tidak
berdaya membantunya? Diam-diam dia melayangkan pandangan ke
arah kakeknya, pamannya, Habib, dan ayahnya. Bagai sebuah
kendaraan yang bergerak dengan kecepatan penuh, perayaan itu
segera saja berjalan mencapai tujuannya, tak tercegah lagi. Gulshan,
sebagai seorang gadis biasa, hanyalah sebutir kerikil di antara batu-
batu karang raksasa yang dengan mudah bisa diancam atau jika perlu
dihancurkan.
Gulshan memerhatikan seorang pemuda berdada bidang yang duduk
dengan ibunya di barisan kursi yang sama dengan dirinya. Dia juga
sedang menyaksikan acara yang sedang berlangsung itu dengan
wajah terpana seakan terhipnotis. Gulshan mengagumi
penampilannya yang bersih dan rupawan. Gelombang ketertarikan
menghempas dadanya dan dengan takjub dia membatin, "Apakah
Zarri Bano tidak merasakan apa pun atas lelaki ini?"
Laki-laki yang penampilannya menarik hati Gulshan itu juga ternyata
menerima lirikan dari banyak orang. Terlihat agak aneh karena jika
Jafar tidak meninggal dunia, Sikander-lah, lelaki itu, yang akan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

duduk di samping Zarri Bano sebagai seorang mempelai laki-laki. Ini


benar-benar sebuah kismet!
Sama sekali tak terganggu dengan tatapan-tatapan tertarik yang
tertuju ke arahnya, sepasang mata Sikander terpusat sepenuhnya
pada perempuan berjubah hitam itu. Mungkinkah itu Zarri Bano?
Benaknya berperang dengan sebuah bayangan. Sosok itu sangat jauh
dari wujud perempuan yang dikenal dan diidamkannya. Dia mengingat
warna kulit Zarri Bano yang seterang kulit buah persik, ikal
rambutnya yang berkilauan, dan bentuk tubuhnya yang menawan—di
manakah semua itu? Sekuat tenaga dia berusaha mengendalikan
dirinya yang seolah ingin segera menghambur ke arah Zarri Bano dan
mengoyak pakaian jelek itu dari tubuhnya. Dengan pilu, dia berusaha
memberi alasan pada dirinya sendiri mengapa dia bereaksi sekuat
itu. Perempuan-perempuan zaman dahulu sudah mengenakan burqa
selama berabad-abad. Sebagian besar kaum perempuan, di bagian
tertentu masyarakat Pakistan, masih mengenakannya, tetapi dia
merasa tidak tahan melihat Zarri Bano berpakaian Seperti itu.
Bola mata kelabu Sikander menyorot tajam ke arah Habib—dalang
dari pertunjukan keji ini. Dengan menahan kemarahan yang amat
pahit, Sikander merasakan kebenciannya menggelegak naik ke
pipinya.
Dengan mata tertuju ke arah putri sulungnya, Habib berpura-pura
tidak menyadari sorot tajam mata Sikander dan kebenciannya.
Seperti juga semua orang yang hadir di aula itu, dia juga terguncang
oleh penampilan Zarri Bano yang mengenakan burqa, tetapi dia
berhasil mempertahankan wajahnya tetap datar sambil duduk
bersisian dengan ayahnya —Siraj Din, adiknya, dan para tetua desa
lainnya.
Berhadapan dengan empat sosok lelaki yang duduk di atas panggung
itu adalah sekelompok perempuan, termasuk Zarri Bano, Ruby,
Shahzada, Sakina, dan bibi-bibi tertua Zarri Bano serta

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Chaudharani Kaniz dari desa. Yang disebutkan terakhir, sebagai istri


dari mendiang tuan tanah, telah diberi penghormatan khusus dengan
diberi tempat duduk di atas panggung.
Panggung itu didirikan di ujung ruangan luas itu. Seperti juga
ruangan-ruangan yang lain, ruangan itu juga disemarakkan dengan
rangkaian balon, lampu warna-warni, dan bendera-bendera. Selembar
karpet sutra Persia bercorak bebungaan merah terhampar di
lantainya. Di dekat Habib dan anggota keluarga lainnya, duduk dua
orang tetua desa di atas sebuah kursi besar berselimut kain tebal
serupa beludru. Di bagian tengah panggung lainnya, berdiri sebuah
meja kayu mahoni dengan sewadah besar karangan bunga di atasnya.
Di sebelahnya, di atas jari-jari kayu berukir yang anggun, tergeletak
sebuah Kitab Suci Al-Quran yang sampulnya berhias kaligrafi indah.
Berhadapan dengan panggung itu, di barisan kursi dengan sandaran
beludru, duduklah para tetamu.
Dengan pura-pura terbatuk untuk merebut perhatian, Habib berdiri
tegak untuk menghadapi semua yang hadir. Zarri Bano duduk dengan
kepalanya yang terbungkus kain hitam, tertunduk, menatap karpet
sutra Persia itu. Dengan berdeham terlebih dahulu, Habib mulai
berbicara.
"Hadirin sekalian, saudara-saudara, handai tolan, dan sahabat
semua, selamat datang di upacara putri saya. Saya merasa sangat
terhormat atas kehadiran Anda semua. Mengingat sebagian dari
para tamu sudah datang sejak beberapa hari yang lalu, saya harap
Anda semua merasa nyaman tinggal di rumah kami. Bagi Anda yang
baru datang hari ini, saya berharap Anda dapat tinggal bersama
kami setidaknya selama beberapa hari lagi, dan berkenan atas apa
yang mampu kami sediakan.
"Saya telah mengundang buzurgyang paling terhormat di wilayah
kita untuk melangsungkan upacara ini. Ia sudah berhubungan dengan
keluarga kami sejak lama. Tentu saja, sebagaimana yang mungkin

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sudah Anda ketahui, upacara yang akan Anda sekalian saksikan ini
bukanlah sebuah upacara pernikahan biasa, dan bukan juga sebuah
pesta pertunangan. Ini adalah upacara khas keluarga besar kami dan
kami sangat mengagungkannya. Upacara ini mengangkat kaum
perempuan kami, dengan cara yang unik, untuk mengemban sebuah
tugas yang jauh melebihi tugas perempuan-perempuan biasa. Putri
sulung saya yang cantik jelita...." Dia melirik ke arah Zarri Bano
dengan pancaran rasa cinta di matanya.
"Zarri Bano akan menjadi ahli waris saya menjadi Perempuan Suci
kami. Dia juga akan menjadi seorang ulama Islam, seorang guru
moral dan keagamaan bagi ratusan perempuan muda di kota dan
daerah kita, seorang perempuan yang menjadi simbol kesucian dan
ibadah dalam bentuk yang paling murni. Kelak, kami harap, dia akan
memiliki sekolah sendiri, madrasah atau perguruan tinggi miliknya
sendiri. Dia akan kembali ke universitas dan mempelajari agama
Islam di tingkat yang lebih tinggi. Untuk itu, saya berencana
mengirimkannya ke Mesir, ke Universitas Kairo, yang merupakan
universitas Islam tertua di dunia Muslim. Sebagai bagian dari
kehidupan barunya, dia akan menghadiri konferensi Islam di seluruh
dunia—kapan pun atau di mana pun yang mereka tawarkan. Dia akan
berada di bawah pengasuhan Perempuan Suci lainnya—Sakina, yang
merupakan sahabat keluarga kami. Al-Muhtaramah Sakina akan
melantik putri saya menuju tugas barunya. Perlu Anda sekalian
ketahui, bukanlah soal mudah menjadi seorang Perempuan Suci
karena akan ada begitu banyak yang harus dipelajari dan banyak
sekali harapan yang harus dipenuhi. Pada kenyataannya, itu sungguh-
sungguh sebuah kehidupan yang baru.
"Satu-satunya yang membedakan adalah, untuk melakukan tugasnya
ini, Zarri Bano tidak akan punya waktu ataupun keharusan untuk
melakukan tugas biasa sehari-hari."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Habib berhenti sejenak untuk menarik napas seraya melayangkan


pandangannya ke segenap hadirin. Ruangan luas itu kini terselimuti
keheningan yang membius. Hanya suara kipas angin di langit-langit
yang terdengar. Helaan napas puas diembuskan Habib Khan. Kini dia
merasa begitu senang dengan kemampuan berbicaranya. Lalu, dia pun
melanjutkan.
"Seperti yang sudah saya katakan, putri saya akan menjadi terlalu
sibuk untuk terlibat dalam masalah-masalah remeh yang biasa
dinikmati gadis-gadis pada umumnya, seperti pergi ke pasar untuk
membeli gelang. Dia tidak akan punya cukup waktu untuk menikah,
mengurus suami, atau berumah tangga. Saya bertanya kepada Anda
semua, suami mana yang akan mengizinkan seorang istri mengabdikan
diri sepenuhnya untuk beribadah, untuk berdoa? Untuk menunaikan
tugas ini dengan sebaik-baiknya, Anda harus menyerahkan diri
sepenuhnya untuk tugas ini. Putri saya telah setuju melakukan semua
ini dan untuk mengikatkan dirinya menjadi Perempuan Suci keluarga
besar kami, secara
adat tradisional keluarga kami. Mulai saat ini, dia juga akan menjadi
ahli waris tunggal saya, yaitu satu-satunya yang akan memiliki semua
kekayaan dan tanah saya yang akan saya wariskan saat saya mati
nanti. Setelah itu, semuanya akan bergantung kepadanya, bagaimana
dia akan mewariskannya. Biasanya, ini akan diturunkan kepada putra
tertua saudara kandung. Jadi, contohnya, jika anak saya Ruby kelak
memiliki seorang putra, dia akan menjadi sang ahli waris setelah
Zarri Bano.
"Inilah alasan kita semua berkumpul hari ini, yaitu untuk melantik
dan menyerahkan putri saya pada peranan barunya. Buzurg kita akan
memimpin upacara ini. Ia akan memulainya dengan membaca
beberapa surah dari Kitab Suci Al-Quran dan Surah Ya Sin.
"Silakan dimulai!" Habib menoleh ke arah buzurg tertua sebelum
kembali ke tempat duduknya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Berbusana jubah hitam panjang, dengan turban putih membalut


kepalanya, buzurg itu berdiri. Setelah berdeham sebentar, dia pun
membaca Kitab Suci Al-Quran. Mendengar suaranya yang melengking
nyaring di ruangan itu, para perempuan bergegas menutupi kepala
mereka dengan kerudung untuk membedakan sikap mereka terhadap
kalimat Suci yang didengarnya. Kemudian, buzurg tertua mengangkat
Kitab Suci Al-Quran dari rehal dan membungkuk di depan Zarri
Bano. Pada awalnya dia memegang kitab itu di atas kepala Zarri Bano
dan membaca beberapa surah lagi, lalu dia meletakkan Kitab Suci itu
di dekat wajah Zarri.
Gadis itu mendongak menatapnya, tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Kemudian, ketika mulai paham, dia meraih Kitab Suci
itu dengan kedua tangannya dan menciumnya dengan takzim di kedua
sisinya. Buzurg itu menuntunnya untuk membaca lagi beberapa surah
dari Kitab Suci. Zarri mematuhinya di bawah tatapan hadirin yang
mendengarkan dengan khidmat. Buzurg itu bukanlah seorang imam,
tetapi upacara itu menjadi sedemikian mirip dengan upacara
pernikahan. Ketika Zarri Bano selesai melafazkan surah, lelaki tua
itu mengucapkan terima kasih padanya dan perlahan-lahan dengan
takzim dia meletakkan kembali Kitab Suci Al-Quran itu ke
tempatnya semula.
"Sekarang kau sudah menikah dengan keyakinanmu," serunya dengan
suara yang menggema ke seluruh ruangan.
Lelaki itu beranjak mendekati Habib, mengulurkan tangannya. Habib
meraih buzurgke dalam pelukannya dengan hangat. Kemudian, dia
berpaling ke arah ayahnya, Siraj Din, dan melakukan hal serupa.
Ucapan selamat—mubarak— menggema di setiap penjuru ruangan
itu.
Bagi sebagian tamu lelaki, ini adalah tanda untuk bangkit dan
membaur berbincang-bincang dengan para lelaki lainnya. Upacara itu
usai sudah dan ruangan luas itu pun tiba-tiba saja kembali menjadi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bising. Para tetamu mulai saling memeluk layaknya yang biasa terjadi
dalam upacara-upacara pernikahan. Zarri Bano tetap duduk dengan
mata terpaku pada Kitab Suci Al-Quran, sama sekali tidak
memedulikan keadaan sekelilingnya. Saat suara bising itu lama-
kelamaan memasuki benaknya, dia memalingkan wajahnya untuk
menatap para tetamu.
Pandangan Zarri Bano tertuju ke arah kerumunan tamu, menatap
berpasang-pasang mata, kemudian secepat kilat mengalihkan
pandangannya, sampai matanya hinggap pada sepasang mata kelabu.
Pikirannya yang sempat bingung kini bangkit lagi. Sepasang mata itu!
Dia mengenal lelaki itu! Sengatan kesadaran menjalari tubuhnya.
"Ternyata dia datang juga meski berkata tidak akan datang."
Merasa bersyukur sekaligus tersanjung oleh kehadirannya, matanya
berusaha menyorotkan permintaan maaf, memaparkan yang tidak
mampu dikatakan oleh bibirnya, dan segala yang tak mampu
dijelaskan oleh kedua tangannya. "Tolong maafkan aku!" sepasang
mata Zarri meratap pada laki-laki yang cintanya telah dia korbankan
itu. "Maafkanlah dan lupakanlah aku. Semuanya kini sudah berakhir!"
Sikander terkunci dalam tatapan mata Zarri Bano. Keduanya begitu
terbius dan enggan melepaskan kontak mata tak disengaja itu.
Hanya itulah komunikasi yang paling mungkin dijalin olehnya yang
mampu menghubungkannya dengan Zarri Banonya yang dulu. Jika
ekspresi Zarri Bano mengguratkan kepedihan dan permintaan maaf,
sepasang mata Sikander memancarkan rasa frustrasi dan tuduhan
pengkhianatan pada Zarri Bano—matanya itu menyiratkan pesan
khusus untuknya, "Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Zarri
Bano!"
Tangan ayahnya yang mencekal bahu Zarri Bano dengan kasar
memutuskan kontak dari seberang ruangan itu. Dengan bergidik,
Zarri Bano menundukkan pandangannya, kembali menyurutkan
dirinya ke dalam cangkang mati rasa yang sudah diciptakannya di

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sekeliling dirinya. Ketika ayahnya memanggil namanya, Zarri Bano


melemparkan pandangan kosong pada ayahnya. Seraya tersenyum,
dengan cinta memancar di kedua matanya, dia mengucapkan selamat
pada putrinya itu dan menciumnya pada ubun-ubunnya yang tertutup
jilbab. Kemudian, kakeknya, Siraj Din, mendatanginya dan melakukan
hal yang sama. Sambil berpaling ke arah Ruby, Habib memintanya
membawa Zarri Bano memasuki kamar karena upacara kini sudah
selesai.
Dengan langkah mantap, Habib turun dari panggung dan segera
menerima ucapan selamat dari para tetamu yang mengalungkan
untaian uang di lehernya. Zarri Bano dengan patuh membuntuti
Sakina dan Ruby ke sisi ruang lainnya dan diam-diam dituntun
melewati kerumunan tetamu yang tampak terpukau. Tidak ada
seorang pun yang berani mendekati Zarri Bano atau memiliki nyali
untuk menghampiri dan memberi ucapan selamat padanya atau
bahkan mengalungkan untaian bunga di sekeliling lehernya. Itu
adalah sesuatu yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Dalam benak
sebagian hadirin, terbersit pertanyaan, "Apa yang harus diberi
ucapan selamat? Seorang gadis dipenjarakan dalam sebuah
kehidupan yang serba terbatas!"
Melangkah mendekati ambang pintu ruangan, Zarri Bano menemukan
pintu keluar agak terhalangi oleh Sikander. Awalnya dia menatap
Sikander dengan sorot mata terkejut. Kemudian raut muka menutup
diri tersirat di matanya bersamaan dengan pandangan yang
dilontarkannya melalui balik bahu Sikander ke kamar lainnya.
Baru saat itulah Sikander menerima dengan pedih kekalahannya. Dia
merasa tidak mampu melakukan apa pun. Dia melangkah kikuk
kembali memasuki ruangan dan melayangkan pandangannya ke
segenap tetamu lainnya. Apakah semua orang di ruangan itu sudah
gila? Apa yang mereka beri ucapan mubarak? Apakah mereka
merayakan terpenjaranya seorang perempuan? Tidak adakah orang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

yang punya cukup nyali untuk menghentikannya? Apakah buzurg itu


sungguh-sungguh melakukan upacara? Upacara macam apa itu?
Apakah dia memang menggantikan mempelai laki-laki dengan Kitab
Suci Al-Quran? Betulkah Zarri Bano telah dinikahkan dengan
agamanya, bukan dengan seorang lelaki yang hidup?
Ibunya, Bilkis, menarik lembut tangannya dan perlahan-lahan
membimbingnya keluar dari ruangan itu. Dia sudah mengawasinya
dengan resah, mencoba mengikuti jalan pikiran putranya itu. Bilkis
mencemaskan Sikander, juga Zarri Bano. Kini dengan tugas barunya,
Zarri Bano terlarang untuk bergaul dengan kaum lelaki. Sebelum
meninggalkan ruangan itu, Sikander menoleh ke belakang dan
berserobok pandang dengan Habib Khan. Kedua lelaki itu saling
menatap tajam dengan penuh kebencian dan ketidakpercayaan.
Setelah memandangi satu per satu kedua lelaki itu, akhirnya Bilkis
memutuskan untuk menyeret anaknya keluar dari ruangan dan
memasuki gazebo di halaman berumput. Makan malam sudah
disiapkan oleh koki-koki berturban ketika Bilkis duduk di depan
salah satu meja. Sikander menunduk memandangi ibunya seolah-olah
perempuan itu sudah kehilangan akal. "Ada apa denganmu, putraku?
Duduklah dan bersantap. Semuanya sudah berakhir!" bisiknya lirih
seraya mendongak memandangi Sikander dengan penuh keprihatinan.
"Duduklah dan bersantap!" ulang pemuda itu. Dia bertanya-tanya
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya pada ibunya.
"Ibu, aku akan menjadi gila. Aku tidak mampu bersantap! Aku tidak
tahu mengapa aku datang ke sini. Dalam hatiku, dengan tololnya aku
masih saja meyakini bahwa bagaimanapun, Zarri Bano tidak akan
menjalani tindakan gila ini, dan bahwa seseorang entah dari mana
akan menghentikannya. Namun, kita semua gagal menyelamatkannya
dan bersekongkol dengan ayahnya. Aku akan pergi, Ibu. Tempat ini
seperti neraka! Semua orang sudah gila!"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander beranjak pergi dalam kemarahan, tidak peduli sebagian


tamu ikut menguping kata-katanya dan kini menatap penuh perhatian
padanya dan ibunya. Bilkis, terdiam karena malu, bangkit berdiri dan
mencoba tersenyum kikuk, lalu membuntuti anaknya keluar dari
khoti, dan keluar dari kehidupan Zarri Bano.
***
Kembang api dan roket dinyalakan dan dilontarkan ke angkasa,
meledak di udara menjadi ribuan pijaran bintang. Pertunjukan itu
sangat menghibur para tamu dan anak-anak kecil dari keluarga-
keluarga di sekitar tempat itu. Bak untaian bunga warna-warni,
lampu-lampu menyemarakkan semua tempat di sekitar mereka,
seolah-olah memberi tahu dunia bahwa kebahagiaan masih ada di
rumah Habib Khan.
Untuk mengakhiri perayaan itu, Habib telah menyewa sebuah
kelompok musik yang akan mempertunjukkan lagu-lagu daerah bagi
semua tetamu. Para lelaki, dengan alat musik mereka yang beraneka
ragam termasuk gendang tabla, duduk bersila di atas setumpuk
bantal di salah satu gazebo.
Segera mereka membuat semua orang terlena oleh alunan irama
musik mereka. Mula-mula mereka menyanyikan lagu-lagu religius,
khususnya yang bertemakan perikehidupan Rasulullah Muhammad,
kemudian lagu-lagu sekuler, bertema perayaan atas cinta dan hasrat
manusia. Terdengar suara-suara penuh gairah diwarnai kata-kata,
"Wa, wa!" dari setiap penjuru. Sebagian tetamu bahkan melompat
dari kursi mereka untuk menari atau terjatuh karena terbuai lagu
itu, kepala mereka bergoyang-goyang dan kaki mereka menjejak-
jejak mengikuti irama gendang tabla dan tepukan tangan yang
mengiringinya.
Terlena dan terbius oleh alunan musik, Habib menepuk-nepukkan
jemarinya ke lengan kursi yang didudukinya di hadapan para tamu
lelaki. Musik berhasil mengenyahkan ketegangan yang dirasakannya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

seharian itu di dalam dirinya. Dia melongok-longokkan kepalanya ke


arah gazebo mencari istrinya, bertanya-tanya dalam hati apakah
istrinya ikut mendengarkan alunan lagu itu atau tidak. Namun,
Shahzada tidak terlihat di mana-mana!
Istrinya itu sedang berada di kamar Zarri Bano, berusaha membujuk
putri sulungnya untuk menyantap makanan. Sejak upacara
berlangsung, Zarri Bano tidak banyak berkata-kata dan belum
menyantap apa pun. Dia duduk mengenakan jilbab hitam di ujung
ranjangnya, menatap ibunya dan adiknya yang duduk kaku di sofa di
depannya.
"Ayolah, Zarri Bano, kau harus makan sesuatu," bujuk Shahzada.
"Aku tidak lapar, Ibu," sahut Zarri Bano lirih. Matanya seolah-olah
menembus tubuh ibunya.
"Nanti kau bisa sakit, putriku." Shahzada bangkit dan merengkuh
tubuh putrinya itu ke dalam pelukannya. Tetap bersikap kaku dalam
pelukan ibunya, kedua tangan Zarri Bano tetap di samping tubuhnya,
tidak membalas pelukan sang ibu.
"Aku tidak bisa makan, Ibu," ujarnya akhirnya seraya perlahan
mendorong tubuh Shahzada menjauhinya. "Pergilah, Bu. Ibu harus
menyalami para tamu. Ruby, kau juga harus pergi, sayang. Aku tahu
kau sangat suka pada para pemusik itu—aku bisa mendengar musik
mereka dari sini. Aku akan baik-baik saja. Lagi pula, bukankah
pengantin biasanya ditinggalkan sendirian di akhir acara?"
Ibu dan putri bungsunya itu saling menatap satu sama lain. Zarri
Bano menggunakan kata pengantin!

21.

SAAT ITU sudah lewat tengah malam. Sebagian besar tamu Habib
sudah tidur dalam kamar-kamar yang disediakan untuk mereka.
Sekelompok kecil tamu masih duduk bersama di salah satu gazebo di

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kebun dan melanjutkan diskusi mereka tentang apa yang terjadi hari
itu.
Shahzada sebagai nyonya rumah membiarkan mereka
melakukannya—dia sudah merasa cukup lelah. Ketika memutuskan
mendatangi kamar putrinya untuk menengok keadaannya, dia
menemukan kamar itu dalam keadaan gelap. Shahzada berpikir
bahwa Zarri Bano sudah terlelap sehingga dia perlahan menutup
pintunya. Dia kemudian berdiri di lorong, malas memasuki kamarnya
sendiri dan berduaan dengan suaminya.
Saat pada akhirnya dia memasuki kamarnya, dalam keremangan,
dada Shahzada begitu sesak oleh kemarahan yang terpendam.
Bagaimana mungkin suaminya bisa tidur nyenyak? Dia berjalan hilir
mudik perlahan di dalam kamar dan tidak melihat Habib yang sedang
duduk tegak di ranjangnya.
Cahaya bulan dari jendela menerangi kamar mereka dan
menyorotkan bayangan-bayangan di dinding. "Apakah mereka semua
sudah terlelap?" tanya Habib lirih. Tangan Shahzada membeku di
dalam lengan baju malam kurta-nya. Kedua bahunya menjadi kaku.
Dia tidak menjawab atau menolehkan wajahnya untuk menghadap
Habib. Dia malah melangkah menuju kamar mandi yang berhubungan
dengan kamar mereka.
Merasa kecewa, Habib menyandarkan punggungnya ke bantal.
Matanya menatap langit-langit kamar. Ketika Shahzada kembali ke
kamar dan perlahan menaiki ranjangnya sendiri, dia menunggu
istrinya itu mengatakan sesuatu. Dia tidak berkata apa pun. Habib
terkesiap karena terkejut. Tidak pernah seperti ini sebelumnya!
"Tadi itu adalah upacara yang megah, bukan, Shahzada?" kata-
katanya menusuk Shahzada, menyengatnya hingga membuatnya
menanggapi, seakan tak ada yang bisa dilakukan lagi.
"Ya, itu adalah upacara yang megah—untukmu, Habib!" balasnya
ketus.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Untukku? Bagaimana denganmu?" tanyanya sambil menolehkan


wajahnya menghadap istrinya. Shahzada sedang menatap suaminya
dengan mata melotot.
"Untukku, Habib?" Shahzada hampir saja tersedak oleh kata-
katanya sendiri. "Itu adalah upacara pengorbanan putriku sendiri
untuk sebuah nasib buruk—kau sebut itu megah?"
Habib berjuang untuk mengendalikan emosinya. "Aku berharap kau
tidak berpanjang lebar dengan kekonyolan seperti itu. Jika kau
berkata seperti itu, sebagai seorang ibu, apa yang akan dikatakan
orang-orang?"
"Aku tidak peduli apa yang akan dikatakan orang, Habib."
Dia menyabar-nyabarkan diri menghadapi sikap ketus istrinya
dengan menyebut nama depannya tanpa panggilan penghormatan
yang biasa diberikannya. Itu adalah penghinaan yang sengaja
dilakukan Shahzada.
"Yang kutahu hanyalah kau yang menang. Akhirnya, kau meraih apa
yang selalu ingin kau ukir dalam hati putrimu. Kematian putramu
memberimu alasan yang sangat tepat," lanjut Shahzada tanpa ampun
dan tanpa rasa takut.
"Apa yang sedang kau katakan, Shahzada! Ini sangat tidak adil...."
"Tidak adil!" jerit Shahzada seraya terduduk tegak. "Jangan
berbicara padaku tentang ketidakadilan! Adilkah namanya jika kau
berusaha sekuat tenaga mencegah putrimu sendiri menikah? Kau
tidak pernah sungguh-sungguh ingin menikahkannya dengan lelaki
mana pun, bukan? Khususnya pada Sikander. Ali, tidak. Kau terlalu
mencintainya. Dia adalah hartamu, milikmu, dan kau tidak sanggup
menerima bayangan adanya lelaki lain yang...."
"Diam! Kau tolol, perempuan bodoh." Sambil duduk Habib menatap
istrinya. Tangannya bergetar di atas kain pelapis ranjangnya. "Kau
tidak tahu apa yang sudah kau katakan." Mati-matian dia berusaha

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengendalikan kemarahannya dan degupan jantungnya yang


memburu.
"Ya, Habib, kau benar. Aku adalah seorang perempuan tolol. Karena
hanya perempuan tolol yang akan membiarkan putri kandungnya
sendiri menjalani upacara itu—hanya untuk menyenangkanmu. Yang
kutahu pasti adalah aku membencimu, Habib, sangat membencimu
karena mengorbankan putri kita yang cantik." Shahzada memutar
tubuhnya memunggungi suaminya. Jantungnya berdebar keras di
dalam rongga dadanya. Mulutnya kering. Dia tidak pernah berbicara
pada suaminya seketus itu sebelumnya atau berbicara kasar seperti
itu.
Merasa betul-betul terguncang oleh ledakan kemarahan istrinya
yang tak pernah diduganya dan kebenciannya yang menggelegak,
Habib menyandarkan punggungnya ke atas bantal. Sambil
memandangi kegelapan di sekitarnya, benak Habib memunculkan
pertanyaan: Betulkah aku terlalu mencintai putriku? Betulkah aku
tidak menginginkan Zarri Bano menikah dengan siapa pun? Apakah
aku memang seorang ayah yang posesif? "Tidak! Tidak!" dia kuat-
kuat membantahnya dalam diam. "Ini terjadi karena kematian Jafar.
Kita tidak bisa melupakannya!"
***
Zarri Bano terbaring di dalam gelap dengan kedua mata terbuka
lebar, terbungkus kepompong sutra burqa-nya. Dia tidak
menanggalkannya karena merasa tidak punya alasan untuk
melakukannya. Kehidupan seakan sudah kehilangan makna dan
momentumnya. Hari ini menjadi hari yang paling aneh seumur
hidupnya. Dia belum mampu menyadari kebebalan fisik dan mental
yang dicapainya sejak dirinya mengenakan burqa itu. Perutnya
meratap kelaparan, tetapi mulutnya menolak menelan apa pun. Baki
penuh berisi makanan tetap tidak tersentuh di atas meja riasnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dia tidak tahu pasti kapan dia jatuh tertidur, tetapi dia pasti sudah
terlelap tanpa menyadarinya karena ketika terbangun, cahaya
menyelinap masuk lewat celah gorden kamarnya. Mata Zarri Bano
mengelana ke sekeliling ruangan itu. Ingatan tentang upacara itu
menyerangnya, membuatnya mengatupkan matanya kembali kuat-
kuat, putus asa, dan berharap bahwa semua itu hanyalah mimpi.
Tangannya menyentuh kepalanya yang terbungkus. Cangkang yang
menyakitkan itu terasa sangat asing teraba jemarinya. Suara
gesekan burqa mengingatkannya bahwa dia masih mengenakannya.
Tiba-tiba saja dia merasa tercekik. Dia ingin sekali mengoyak
pakaian itu.
Sambil mencengkeram kuat selimutnya, Zarri Bano berkata pada
dirinya sendiri, "Aku tidak harus mengenakannya, setidaknya di atas
ranjang." Tidak ada aturan yang mengharuskannya mengenakan
burqa di atas ranjang. Namun, busana itu adalah simbol sejati status
barunya. Orang akan mengenalinya sebagai siapa lagi kalau bukan
sebagai Perempuan Suci? "Mulai saat ini, aku harus selalu
mengenakannya," dia mencamkan sendiri kata-kata itu dengan pedih.
Di kamar mandi, dengan satu tarikan keras, dia menanggalkan
pakaian hitam itu dan melemparkannya ke atas lantai marmer.
Namun, Zarri segera membungkuk untuk memungutnya dan kemudian
dengan hati-hati menggantungkannya di salah satu gantungan di
dinding. Batinnya menegur dirinya sendiri. "Ini akan menjadi kulit
keduaku. Aku harus belajar menyukai dan menghormatinya.
Mengoyaknya akan berarti merusak sebagian dari diriku sendiri—
identitas baruku."
Zarri Bano berdiri di bawah pancuran air, membiarkan air hangat
menghujani tubuhnya, dan dia pun mulai melumuri dirinya dengan
sabun. Ketika menangkap bayangan dirinya di dinding keramik yang
berkilau bagaikan cermin, dia membiarkan pandangannya melahap
tubuhnya. Kemudian, sambil mengatupkan kelopak matanya rapat-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

rapat, dia menghapuskan bayangan di keramik itu. Dia selalu


bersyukur atas apa yang diberikan Allah pada tubuhnya.
Dengan wajah mendongak ke arah pancuran air, Zarri Bano
membiarkan air melarutkan air mata asin dari pipinya. "Ini
seharusnya menjadi ritual mandi pertamaku setelah menikah,
setelah semalaman ditinggalkan tidak sendirian, melainkan dengan
seseorang." Wajah Sikander tiba-tiba saja terbias di depan
matanya. Dia masih mampu mengingat bentuk bibirnya yang sensual.
"Bagaimana aku dapat menangani rasa rindu yang harus disangkal dan
menikmati sebuah kehidupan yang sepenuhnya steril?" jerit
batinnya.
Apa yang tidak akan dilakukannya adalah mengingkari kemewahan
sebuah rumah, untuk terakhir kalinya, di kehidupan masa lampaunya
dan orang-orang yang ada di dalamnya. Kelak dia akan dengan serta-
merta dan selamanya menutup pintu ruang di benaknya dan
membubuhkan label "masa lalu". "Aku akan melakukannya,"
sumpahnya, "tetapi tidak hari ini."
Hari ini dia akan membebaskan pikiran dan hatinya menikmati masa
lalu dan rasa kehilangan atas kehidupan seorang Zarri Bano, dan apa
yang akan terjadi seandainya Jafar tidak meninggal dunia. "Dia
berkata bahwa aku akan mengingatnya hingga hari kematianku.
Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Aku menginginkanmu,
Sikander!" ratap Zarri Bano.
Tangannya terkepal menekan otot-otot perutnya untuk
menggandakan rasa sakitnya, seiring jeritan duka yang menyayat
berbaur dengan suara air yang memancar. Bagaimana dia akan
mampu menghentikan rasa sakit atas kekosongan, rahim yang
terlupakan, dan kerinduan untuk menimang seorang anak di dadanya?
"Aku juga menginginkan anak seperti perempuan lainnya, ya Allah!"
ratapnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Itu adalah mandi terlama yang pernah dilakukannya seumur hidup.


Meski secara fisik dia merasa segar, kepiluan tetap membekas di
hatinya, di seluruh tungkai dan matanya. Selesai mengeringkan
tubuh, dia melangkah ke lemari pakaian dan mencari pakaian yang
paling sederhana dan paling polos. Seraya melirik ke arah semua
pakaian anggun miliknya yang tergantung di sana, sifon, krep, katun,
kain tipis, dan beludru. Tangannya merayapi pakaian hitam dari
bahan sifon yang dipakainya sewaktu bertemu Sikander untuk
pertama kalinya.
Dengan gerakan cepat bertenaga, dia menarik semua pakaian itu dari
lemari dan mencampakkannya ke lantai kamarnya, termasuk sifon
hitam itu. "Mereka tidak berguna dalam kehidupanku sekarang,"
ujarnya. Dia akan meminta Fatima untuk mengenyahkannya.
Akhirnya, Zarri memutuskan untuk mengenakan sebuah pakaian
polos dari kain linen. Merasa begitu terpuruk dan kecewa, sekali lagi
matanya meneteskan buliran air mata. Hari ini dia seharusnya
berdandan dalam pakaian pengantin yang paling megah dengan
warna-warni cemerlang. Akan ada nuansa kegairahan dan keriangan
di tempat itu. Namun, jika itu memang adalah hari pernikahannya,
dia pastilah tidak akan berada di kamar tidurnya. Dia akan berada di
Karachi, di rumah Sikander, di kamar tidur lelaki itu, atau berada di
Singapura....
Zarri Bano melangkah pelan ke arah meja rias dan memasang
selembar handuk di cermin panjang untuk menutupi bayangan
rambutnya yang pendek. Tanpa perlu merias wajah, tanpa perlu
menata rambut, tanpa keinginan Zarri untuk melihat bagaimana
rupanya, cermin itu sudah kehilangan fungsinya.
Dengan kasar, tangannya menyapu permukaan meja rias itu,
mengenyahkan botol-botol, krim, pelembut kulit, kemasan-kemasan,
dan pewangi. Dia menjatuhkan semua itu ke dalam sebuah keranjang
besar, lalu mengikatnya kuat-kuat. Kini hanya tinggal sebuah sisir,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sebotol krim tangan, dan sebuah kemasan krim pelembap di


permukaan meja yang kini bersih. Dari laci-lacinya, dia mengeluarkan
sebuah kotak beludru berisi perhiasan. Sambil membuka kotak itu
satu per satu, Zarri memandangi isinya. Perak, emas, rubi, opal, dan
permata berkilauan di depan matanya. Setelah menutup kotak-kotak
itu satu per satu, dia meletakkannya bertumpuk di salah satu sudut
meja riasnya. Dia akan menyerahkan semuanya itu kepada adiknya,
Ruby, dan sepupunya, Gulshan. "Satu-satunya perhiasan dalam
hidupku kini hanyalah jilbab, burqa, " ujarnya pada cermin yang
terbungkus handuk.
Setelah menyisir rambutnya yang basah, Zarri Bano pun kembali
menyelusupkan diri ke dalam burqa, menguji reaksi dirinya pada
benda itu. Anehnya, benda itu tidak lagi terasa seburuk sebelumnya.
Dengan ekspresi seorang ulama yang tenang di mata dan wajahnya,
Zarri Bano beranjak meninggalkan kamarnya. Burqa itu berdesir di
setiap langkahnya. Ketika dia melintasi kamar orangtuanya, pintu
tampak terbuka dan ayahnya melangkah ke luar. Dengan tampak
rikuh, mata Habib memandang dengan gugup ke arah tubuh Zarri
yang berselubung jilbab. Zarri Bano setengah mati berusaha
mengendalikan dirinya. Bagaimana mungkin dia memandangiku seperti
ini, dengan tatapan mata ketakutan? pikir Zarri Bano. Padahal
ayahnya sendirilah yang telah memaksanya melakukan ini semua!
Zarri Bano segera mengasihani ayahnya. Dia lalu mengangguk ikhlas
padanya. Masa lalu sudah berlalu. Mereka berdua harus menerima
dan mempersatukan diri untuk masa kini. Dengan khidmat, Zarri
menyapa ayahnya, "Assalamu 'alaikum, Ayah," dan Zarri melanjutkan
langkahnya.
"Wa 'alaikumussalam, putriku," balas Habib lirih seraya mengikuti
langkah putrinya itu dengan benak yang sulit untuk menyatukan
kedua sosok putrinya. Inilah yang diinginkannya, bukan? Burqa
adalah bagian terpenting dari situasi itu. Dia merasa yakin tidak bisa

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menerima putrinya dalam sosok berbusana seperti seorang Shahzadi


Ibadat. Pengabdian pada agama dan kemewahan tidak akan pernah
berjalan bersama.
Mengamati putrinya menuruni tangga, perasaan jengah menderanya
karena benda hitam itu memberi isyarat kuat padanya bahwa dia
tidak akan pernah terbiasa dengannya. Apakah bagian kepalanya
memang harus berbentuk sejelek itu? tanyanya dalam hati. Tidak
bisakah jika berupa kerudung lepas yang biasa ditutupkan di atas
kepala dan bahunya saja, daripada busana serupa karung yang
sedemikian polos? Zarri Bano jadi terlihat seperti hantu berwarna
hitam. Putrinya sempat menjadi contoh dalam soal gaya berbusana
dan penampilan. Dia pasti tidak harus mengenakan karung tak
berbentuk itu di dalam rumah, bukan? Dia akan membicarakan hal
itu dengannya.
Sama sekali tidak menyadari apa yang dipikirkan ayahnya, Zarri Bano
tak terasa sudah menjejakkan kakinya di ruang makan. Melihat
sosoknya, sebagian tetamu berhenti bercakap-cakap. Mereka diam-
diam mengamatinya bergerak mengelilingi ruangan itu, dan di saat
yang sama mereka juga merasa jengah.
Gulshanlah yang pertama berhasil pulih dari keterpanaannya dan
melangkah mendekat untuk menyalami sepupunya dengan seulas
senyum di wajahnya. "Zarri Bano, mari duduklah bersamaku. Aku
tadi tidak yakin apakah kau sudah bangun, kalau tidak aku akan naik
ke kamarmu dan membantumu berdandan."
"Mengapa? Membantuku memilih salah satu gaun pengantinku
barangkali?" balas Zarri Bano datar seraya mengangkat bagian leher
burqa-nya untuk memperlihatkan pakaian kumal yang dikenakannya di
baliknya. Mata Gulshan terbelalak.
"Apa yang kau harapkan—lenghajingga terangku yang kau dan ibuku
pesan dari penjahit terbaik di Lahore? Aku bukan seorang pengantin
yang harus berdandan; lagi pula, kini aku harus menjadi seorang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

perempuan pengabdi— seorang perempuan berselera sederhana,"


ujar Zarri Bano. "Tidak jadi masalah buatku sekarang tentang
bagaimana rupaku, Gulshan. Seperti yang kau lihat, keangkuhan
adalah satu hal yang harus kubinasakan dari diri Zarri Bano yang
dulu. Tahukah kau, aku mengira bahwa itu akan menjadi hal terberat
untuk dilakukan, tetapi aku cukup berhasil mengatasinya."
"Namun, kau tidak akan mengenakan busana ini sepanjang hari,
bukan?" sahut Gulshan gundah. "Ini hanyalah penyelubungan secara
simbolis. Bahkan perempuan-perempuan berpurdah pun tidak selalu
mengenakan purdahnya setiap saat. Hanya saat mereka keluar
rumah. Di rumah mereka berbusana seperti permaisuri."
"Gulshan, tolong kau camkan bahwa aku bukanlah perempuan
berpurdah yang harus disembunyikan di belakang dinding rumah kita.
Aku bisa melakukan apa pun dan pergi ke mana pun yang aku suka,
dalam kaidah-kaidah tugasku dan dengan beraneka tuntutan yang
dihasilkannya untukku, sebagai seorang manusia dan sebagai
Perempuan Suci. Kini aku harus hidup dengan nama itu dan belajar
untuk menyesuaikan diri pada sebuah kehidupan sederhana dan
bersahaja, dan bilamana memungkinkan, aku harus menghindari
kontak dalam bentuk apa pun dengan kaum laki-laki." Ketika
melontarkan kalimat itu, Zarri Bano melemparkan pandangannya ke
arah sang ayah. Dia mendengar semua perkataannya, Zarri tahu
pasti hal itu, karena ayahnya kemudian menundukkan pandangannya.
Ruby yang berdiri di belakang Zarri Bano mendapati kata-kata ini
begitu memilukan dan tampak kental tanda-tanda kepedihan di
wajah kakaknya yang tertutup itu. Dirinya sendiri telah semalaman
menangis.
Senyum Zarri Bano tampak luruh saat dia menatap kilauan air mata
di mata cokelat Ruby.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ruby sayang, kau dan Gulshan boleh melihat-lihat semua


perhiasanku dan membaginya di antara kalian berdua karena aku
tidak mungkin menggunakan perhiasan apa pun lagi."
Ruby tak tahan. Dadanya terasa sesak dan dia pun berlari keluar
ruangan. Seolah-olah kini Zarri Bano sedang sekarat di hadapannya
dan tengah mengucapkan salam perpisahan.
Begitu sampai di kamarnya, Ruby menangis terisak. Seharian itu, dia
memisahkan diri dari kakaknya. Dia tidak tahan melihat busana
hitam menakutkan itu menutupi tubuh indah kakaknya. Burqa dan
Zarri Bano sesungguhnya tidak bisa disatukan! Andai saja Jafar
masih hidup hari ini, Zarri Bano mungkin baru kembali dari rumah
mertuanya saat ini, dan alih-alih mengenakan pakaian hitam, dia akan
tampak menawan berbalut keindahan riasan pengantinnya. Sebuah
permata yang paling berkilau di antara permata lainnya, dengan
seorang pengantin laki-laki yang paling tampan di sisinya. Sekarang,
ke mana pun Zarri Bano pergi, dia akan berdiri bak sebuah sosok
terlarang dalam pakaian hitam—tidak memedulikan semua yang
datang menghampirinya.
***
Ruby menjaga jarak dari Zarri Bano selama beberapa hari kemudian.
Itu lebih mudah baginya dengan banyaknya tamu yang hadir dan
perempuan-perempuan yang mereka sebut sebagai "perempuan
salihah" yang datang mengunjungi kakaknya dan tampak
bersemangat untuk saling membagi ilmu mereka tentang Islam.
Sakina tetap serupa bayangan hitam di samping Zarri Bano,
membuat Ruby selalu mencemburuinya. Zarri Bano kini tampak selalu
melakukan shalat, menghitung untaian tasbih sambil berzikir dan
membaca Kitab Suci Al-Quran, mengunjungi sekolah-sekolah agama,
dan menyelenggarakan seminar persaudaraan Muslimah dengan
berbagai kelompok perempuan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sepanjang masalah keagamaan, Zarri Bano sadar diri bahwa dia


memang sangat abai tentang itu sebelumnya. Namun, karena
dikaruniai otak yang cerdas, dalam dua minggu saja dia tidak hanya
menyerap semua ilmu dasar agamanya, melainkan juga mengalami
perkembangan pesat dalam membaca karya-karya para ulama. Buku-
buku Islam kini berserakan di kamarnya.
Pada minggu ketiga, sebuah perbedaan besar menyeruak di antara
kedua kakak beradik itu, dan keduanya enggan saling berbicara dari
hati ke hati. Zarri Bano tampak berhasil menekan ingatannya
mengenai masa lalunya, sedangkan Ruby, adiknya tercinta, adalah
seseorang yang langsung menghubungkannya dengan dirinya yang
dahulu. Sebulan telah berlalu, Ruby dengan berat hati harus
menerima kenyataan bahwa dia sudah kehilangan kakaknya untuk
agamanya.
Memang benar. Zarri Bano kini sudah sepenuhnya menjadi seorang
Perempuan Suci. Dia tidak pernah melakukan apa pun dengan
setengah hati.

22.

PROFESOR NIGHAT Sultana dengan penuh syukur meninggalkan


ruangan di kampusnya di Universitas Karachi. Dengan kedua kaki
pegal dan koper penuh sesak oleh tugas-tugas mahasiswa yang harus
dinilai olehnya, dia tidak akan mendapatkan libur hari Jumat.
Telepon berdering di ruang belajar ketika dia baru saja sampai di
rumahnya.
"Untukmu, Ibu. Ini dari Bibi Zeenat," teriak putrinya dari ruang
belajar.
"Terima kasih, sayang. Akan Ibu terima," ujar Nighat pada putrinya.
"Tolong lihat apakah meja makan sudah disiapkan. Ibu sangat lapar.
Ibu juga sakit kepala. Perkuliahan seolah-olah tidak ada akhirnya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

hari ini." Dia lalu duduk di kursi kulit di depan mejanya. Seraya
tangannya meraih gagang telepon, dia mulai berbicara pada
sahabatnya itu.
Rucksana meninggalkan ibunya sendirian dan melangkah ke arah meja
makan. Dia melihat meja makannya sudah disiapkan untuk makan
malam oleh pembantu perempuan mereka.
Lima menit kemudian, Nighat memasuki ruang makan. Rucksana
berdiri dan dengan penuh hormat menarik salah satu kursi untuk
diduduki ibunya. Garis-garis kecemasan tampak sangat jelas di
kening Nighat. Sejak dirinya menjanda tujuh tahun yang lalu, garis-
garis itu jadi menetap.
"Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Rucksana sambil
membungkuk di atas meja untuk mengisi piring ibunya terlebih
dahulu.
"Ya, sayang. Kau bisa makan sekarang. Aku tidak begitu lapar,"
jawabnya dan dia pun memasuki ruang tamu untuk duduk di sofa.
"Ibu bilang, Ibu sedang kelaparan tadi!" seru putrinya.
Nighat mulai memijat, meredakan urat tegang di dahinya. Itu
seperti beban yang sangat berat.
"Ibu, ada apa?" tanya Rucksana cemas seraya membuntuti ibunya ke
ruang tamu.
"Tidak ada apa-apa. Makanlah. Nanti Ibu menyusul."
"Tidak, sampai Ibu juga ikut makan. Aku tahu Ibu sangat lelah dan
lapar."
"Ibu baru saja kehilangan selera makan, sayangku. Ibu sangat
marah!"
"Mengapa?"
"Sesuatu sudah terjadi pada salah satu anggota perempuan APWA
kami—salah satu mahasiswa senior Ibu, panggil saja Zarri Bano. Dia
sudah menulis banyak artikel mewakili kami di majalah yang
didirikannya. Menurut Zeenat, dia sudah dijadikan semacam

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Perempuan Suci. Rucksana, Ibu tidak sanggup memercayainya. Apa


yang sudah terjadi? Ini adalah sebuah kabar yang sensasional.
Betulkah ini terjadi? Zeenat berkata bahwa ini ada kaitannya
dengan adat istiadat kuno keluarganya, dan bahwa saudara laki-laki
satu-satunya meninggal dunia baru-baru ini dalam sebuah kecelakaan
berkuda."
"Ibu, apa itu Perempuan Suci?" Rucksana merasa bingung. Dia tidak
pernah mendengar sebutan itu sebelumnya.
"Ibu sendiri tidak yakin, sayangku. Zeenat berkata bahwa dia
dijadikan seseorang yang hidup terisolasi, dijauhkan dari kaum laki-
laki. Dia pergi ke mana-mana mengenakan burqa hitam. Dan bagian
yang lebih menghebohkan adalah bahwa dia terlarang untuk menikah
dengan siapa pun—selamanya! Zarri Bano adalah salah satu
mahasiswa Ibu yang paling cemerlang," ujar Nighat sedih. "Dia
nyaris memiliki segalanya—kecerdasan, kepribadian, kecantikan, dan
sebuah keluarga kaya raya yang mendukungnya. Yang lebih penting
lagi, dia dengan keras mengampanyekan hak-hak perempuan. Jika ini
terjadi pada salah satu anggota kami yang sedemikian kuat, kami
semua akan kehilangan. Tujuan kami, aspirasi kami, harapan—
semuanya, Rucksana!"
"Jangan gusar, Ibu. Mengapa Ibu tidak membicarakan ini dengan
Zarri Bano atau mengunjunginya? Mungkin saja semua ini tidak
benar," usul putrinya mencoba membantu sambil menggenggam
tangan ibunya untuk membuatnya lebih tenang.
"Ibu pasti akan berbicara dengannya," sahut Nighat. Tatapannya
masih tampak menerawang. "Bagus! Sekarang, mari kita makan. Aku
sudah amat lapar," ujar Rucksana seraya menarik tangan ibunya
memasuki ruang makan.
Sambil duduk di kursinya, Nighat memainkan sendok pada
makanannya. Pikirannya tetap terpusat pada Zarri Bano malam itu.
Tugas-tugas yang harus dinilai kini sepenuhnya terlupakan. Pada

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

malam harinya dia berbaring dengan mata nyalang. Benaknya


berkecamuk dengan sosok-sosok asing, kemarahan yang campur aduk
memburu dalam tubuhnya. Kemarahannya pada Zarri Bano atas apa
yang dilakukannya, pada keluarganya, dan di atas semua itu, dia
marah pada semua perempuan Pakistan yang tak berdaya
menghadapi serangan kekuasaan yang patriarkat.
***
Jumat siang, seminggu kemudian, Nighat meninggalkan rumahnya di
Karachi dan pergi mengunjungi Zarri Bano di Tanda Adam. Selama
mengendarai mobilnya melintasi jalanan Sindi yang tandus dan
berdebu, benaknya disibukkan dengan apa yang akan dikatakannya.
Begitu dia sampai ke tempat tinggal keluarga Zarri Bano, rumah itu
tampak ramai oleh kerumunan orang. Sekelompok laki-laki dengan
kumis tebal hitam dan jaket panjang hitam tampak sedang
melangkah keluar dari halaman ketika Nighat memarkirkan mobilnya
di halaman. Dia bisa mendengar tawa orang-orang dewasa dan anak-
anak dari halaman belakang.
Seorang pembantu laki-laki tua yang menuntunnya ke arah ruang
tamu memberitahunya bahwa Zarri Bano sedang keluar melakukan
suatu kunjungan bersama sahabat istimewa sekaligus pembimbing
spiritualnya, Sakina. Nighat menunggu dengan sabar sambil berusaha
menikmati sajian menyegarkan yang disajikan oleh Fatima.
Mengetahui bahwa Nighat adalah seorang profesor universitas,
Fatima tidak bisa menahan diri untuk mengatakan dengan bangga
bahwa putri kandungnya sendiri, Firdaus, adalah "wakil kepala
sekolah".
Beberapa menit kemudian, ketika Zarri Bano memasuki ruang tamu,
Nighat terkesiap melihatnya. Sosok berselubung hitam itu
menyerang segenap indranya; sebentuk amarah memburu di dalam
nadinya. Keinginan yang menggebu untuk mengoyak kain hitam itu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dari tubuh Zarri Bano menggetarkannya. Matanya mencucurkan air


mata ketidakpercayaan.
Bibirnya bergerak untuk menyapa bekas mahasiswinya itu, tetapi
semua kata-katanya seolah lenyap.
Dengan pilu, menyadari reaksi yang ditimbulkannya pada
profesornya, Zarri Bano membaca adanya ekspresi negatif di wajah
Nighat. Mimik itu memberinya pandangan tentang apa yang
dipikirkan orang-orang dalam kehidupannya, seperti Nighat,
mengenai dirinya yang menjadi seorang Perempuan Suci.
"Assalamu 'alaikum, Profesor Nighat. Betapa senangnya Anda
datang kemari," Zarri Bano menyambut tutornya dengan hangat.
"Wa 'alaikumussalam, Zarri Bano. Apa kabarmu? Aku mendengar
tentangmu dari kawanku, Zeenat." Akhirnya Nighat menemukan
kembali suaranya, meski senyumnya sulit menampakkan diri.
"Terima kasih telah datang menengokku. Seperti yang Anda lihat,
aku baik-baik saja. Bagaimana dengan putrimu, Rucksana?"
"Dia baik-baik saja, Zarri Bano." Nighat menundukkan pandangannya
dengan rikuh dari tatap mata bekas mahasiswinya itu. Ternyata ini
sungguhan. Pikirannya berkecamuk. Zarri Bano menjalaninya.
Gadis muda itu menunggu dengan cemas ledakan kemarahan dari
Profesor Nighat. Nighat yang sempat dikejutkan oleh kemarahannya
sendiri berkata lembut.
"Mengapa?"
Zarri Bano tidak tahu bagaimana harus mulai menjelaskan. Gadis itu
menjawab dengan suara pelan bersahaja. "Aku harus melakukannya.
Percayalah padaku."
"Kau harus?" suara Nighat meninggi karena emosi yang memburu.
"Dari orang lain aku mungkin akan menduga jawaban seperti itu, tapi
bukan darimu. Kau berkata bahwa perempuan menggenggam nasibnya
sendiri. Betapa palsunya! Kau sudah mengkhianati dan mengecewakan
seluruh perempuan Pakistan. Jika hal seperti ini bisa terjadi pada

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

seorang perempuan matang yang terpelajar dari sebuah


universitas—seorang feminis yang juga seorang perempuan modern—
hanya Allah yang akan membantu perempuan muda tak terdidik di
pedalaman Pakistan yang akan mengangguk dan disuruh-suruh, di
bawah belas kasihan dan titah kaum lelaki mereka. Zarri Bano, aku
merasa begitu marah, begitu impoten. Kerja keras kita bertahun-
tahun musnah sudah. Mengapa, Zarri Bano? Mengapa?"
Zarri Bano mendengarkan dalam diam kemarahan sahabatnya itu.
"Anda bertanya mengapa. Akan kukatakan pada Anda. Aku berutang
penjelasan karena Anda adalah sahabatku, tutor, dan teladanku. Aku
terbangun di suatu pagi, dan menemukan identitasku tercerabut
dariku, lalu kusadari bahwa orang lain, ayahku, menggenggamnya
dalam tangannya, dan dialah yang akan membentuk identitas itu
untukku. Aku terbangun dan menyadari bahwa buku-buku itu, buku-
buku tentang feminisme, kampanye, dan pendidikan, semuanya
benar-benar tak berguna untuk melawan tirani patriarkat dari kaum
tuan tanah kita yang feodal. Dengan tololnya, aku meyakinkan diriku
sendiri bahwa sebagai seorang perempuan dari kalangan atas yang
modern dan terpelajar, aku akan berbeda dari perempuan-
perempuan 'malang' itu, yang diturunkan derajatnya dalam
masyarakat kita, yang melakukan apa saja yang diperintahkan kaum
laki-laki.
"Entah bagaimana, aku tahu bahwa pada akhirnya ternyata kita
berada di dalam pingra yang sama—sebuah sangkar burung yang
kuncinya dipegang oleh para ayah dan tetua keluarga. Batinku terus-
menerus merasa sakit mengingat gadis tujuh belas tahun yang
gemetaran, yang nasibnya sudah ditentukan dan dia akan dinikahkan
dengan seorang laki-laki yang seperti itu. Agama kita secara
eksplisit mengatakan bahwa seorang perempuan harus memutuskan
sendiri hidupnya. Meski tekanan moral dan psikologis tetap
dibebankan padanya, untuk menerima keputusan anggota keluarga

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

yang laki-laki. Ya, aku bahkan tidak disodori pilihan seperti itu.
Pernikahan sangat terlarang bagiku oleh ayahku. Dia berkata bahwa
aku tidak akan pernah menikah dengan siapa pun!" Zarri Bano
menarik napas dengan berat.
"Apa?" Nighat menatap Zarri Bano tak percaya.
"Ya, ayahku yang mencegahku—memerasku secara psikologis—agar
tak menikah dengan laki-laki yang membuatku jatuh cinta, lelaki yang
sangat aku inginkan untuk menikahiku." "Ya Tuhan!"
Zarri Bano menatap ekspresi kengerian sahabatnya dengan pilu. Dia
telah menelanjangi jiwanya pada perempuan ini dan tidak pada siapa
pun lagi. Dia berutang itu padanya.
"Anda mungkin pernah mendengar tentang tradisi kami mengenai
seorang Perempuan Suci dan ahli waris keluarga kami. Saat satu-
satunya ahli waris laki-laki meninggal dunia, di keluarga besar kami,
warisannya, dan khususnya tanah-tanahnya, akan diturunkan kepada
ahli waris perempuan berikutnya. Perempuan itu disyaratkan tidak
akan pernah meninggalkan rumah ayahnya. Akibatnya, dia tidak bisa
menikah. Untuk mengesahkan keadaan ini, moyang kami menciptakan
status seorang Perempuan Suci, seorang Shahzadi Ibadat. Itu
adalah sebuah ukuran bagi laki-laki seperti ayahku untuk
memastikan tanahnya tetap menjadi milik keluarga." Ada kepahitan
dalam suara Zarri Bano.
"Kau bisa menolak dijadikan ahli waris dan menurunkan warisannya
jika kau ingin menikah," desak Nighat.
"Mau tidak mau, akulah si ahli waris. Aku harus melakukannya! Tanah
itu kini bagaikan sebentuk beban tanggung jawab, sebentuk azimat
yang amat kubenci melingkar di leherku. Aku sudah berkali-kali
melihat berhektar-hektar tanah kami dalam beberapa minggu
terakhir ini, dan tetap tak mampu menerima dengan ikhlas kenyataan
bahwa kemerdekaanku identitasku, dan keperempuananku telah
ditukarkan dengan berhektar-hektar tanah. Tanah yang telah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dianugerahkan Tuhan Yang Maha Pemurah kepada kami, yang dijaga


keluargaku bak bubuk emas selama berabad-abad, lebih berharga
bagi mereka daripada kemanusiaan itu sendiri." Tiba-tiba saja Zarri
Bano tercekat, merasa cemas jika saja dirinya sudah bicara terlalu
banyak. Kesetiaan keluarga dan kewajiban seorang anak pada
orangtuanya adalah sesuatu yang kuat dalam wataknya.
"Andai kau dulu membicarakan masalah Perempuan Suci yang
mengerikan ini padaku, aku pasti akan membantumu," ujar Nighat
gusar. "Ini bertentangan dengan ajaran Islam yang kita anut.
Syariat kita, pengadilan kita, baik yang sekuler maupun yang Muslim,
akan bersedia mengajukan kasus untukmu melawan keluargamu."
"Tidak, Anda tidak mengerti. Ya, aku bisa saja menolaknya. Aku bisa
saja berlari pada ratusan orang untuk memohon pertolongan jika
saja aku menginginkannya. Ini adalah satu kata 'jika' yang sangat
penting, Profesor Nighat. Inilah yang harus Anda pahami. Aku bisa
saja menikahi tunanganku jika aku menginginkannya. Dia mengatakan
dan menuduhku atas hal yang sama seperti yang baru saja Anda
lakukan. Dia juga menawariku dukungan dan penampungan, dan ketika
aku tidak mengikuti sarannya itu, dia juga sangat terpukul dan
marah seperti Anda.
"Ya, aku bisa saja membantah ayahku jika aku menginginkannya.
Namun, pada akhirnya aku tidak menginginkannya, dengan alasan
yang sama seperti, ribuan gadis dalam masyarakat patriarkat kita
yang pada akhirnya mengatakan 'ya'. Demi izzat kami, dan
kehormatan keluarga kami, seperti perempuan-perempuan lainnya,
aku menjadi sedemikian pengecut dan menjadi korban dengan
mengubur dan mengorbankan kebutuhan-kebutuhan pribadiku demi
keluargaku. Aku tidak bisa menjadi penyebab kekecewaan
keluargaku dan tradisi keluarga kami."
"Jadi kau pun menjadi seperti ini." Nighat mengusapkan tangannya
pada kain hitam yang dikenakan Zarri Bano.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ya, Anda benar. Ada banyak hal lagi yang bisa dikatakan, tetapi aku
tidak mampu mengatakannya. Ini sangat pribadi dan menyakitkan.
Yang bisa kukatakan adalah bahwa perempuan dalam masyarakat kita
juga menjadi tawanan dari silat keperempuanan yang malu-malu. Jika
seorang ayah menolak permintaan putri kandungnya untuk menikah,
bagaimana mungkin dia bisa dengan aktif memaksa untuk menikah?
Dia akan dijuluki besharm, seorang perempuan binal."
"Kini aku sepenuhnya teryakinkan, Zarri Bano. Kau seorang
perempuan dewasa. Kau tidak membutuhkan izin ayahmu dan kau
tidak akan dijuluki sebagai seorang besharm jika kau memang ingin
menikah. Agama kita, masyarakat kita, selalu mendukung pernikahan.
Kau tidak akan dikritik."
"Ya, apa yang Anda katakan itu benar. Namun pada akhirnya,
kesederhanaan perempuan dan harga diri memenjarakanku ke dalam
sebuah peranan untuk patuh dan mengikuti keinginan ayahku. Dia
mengatakan sesuatu yang telah begitu menyinggung perasaanku.
Setelah itu, aku tidak akan pernah mampu memikirkan pernikahan
lagi. Dia mencapai tujuannya dan aku tidak akan pernah
memaafkannya untuk itu. Bagaimanapun, kini aku sedang belajar
untuk meraih diriku yang baru dan hidup dengan identitasku yang
baru."
Tiba-tiba saja Zarri Bano menghentikan kalimatnya dan sebuah tawa
getir menghambur keluar dari bibirnya. "Profesor Nighat, Anda
dapat menggunakan sebuah judul untuk penelitian dan kerja lapangan
mahasiswa-mahasiswa pascasarjana—berdasarkan kisahku...,
'Seorang Feminis yang Menjadi Perempuan Suci'."
"Bukankah kau akan diasingkan—hampir seperti setengah berpurdah.
Inilah yang selalu kita lawan, Zarri Bano. Kita masih dalam proses
pemulihan dari kebijakan-kebijakan Zia Ul-Haq dan pengaruh
negatifnya pada kehidupan perempuan kita. Kita sudah bekerja
keras untuk membuat kaum perempuan keluar dari rumah mereka

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dan menjadi mandiri di atas kaki mereka sendiri dan memiliki karier.
Lihat apa yang sudah kau lakukan? Mengasingkan dirimu sendiri."
Dengan sabar, Zarri Bano mendengarkan apa yang dikatakan Nighat.
"Tidak, Anda salah paham. Tidak akan ada pengucilan bagiku seperti
yang Anda bayangkan. Benar bahwa aku tidak boleh berhubungan
dengan kaum laki-laki, tetapi aku akan menjadi tokoh masyarakat.
Aku akan keluar rumah dan berada di mana saja. Pada kenyataannya,
aku berharap akan mendapatkan kemerdekaan yang lebih tinggi
daripada yang kumiliki sampai saat ini."
"Dalam pakaian seperti ini?" tatap Nighat tak percaya.
"Ya, dalam pakaian ini."
"Zarri Bano, aku tidak akan pernah bisa mengenakan burqa
menyelubungi diriku seperti itu. Aku akan merasa sesak."
"Ya, aku sempat merasa sesak olehnya. Ini bagaikan kain kafan
hitam yang menyelubungi tubuhku. Aku pernah berniat mengoyaknya
menjadi perca dan membakarnya di hari pertama. Kemudian aku
belajar menghargainya di hari ketiga. Aku menjadi terbiasa
mengenakannya di hari kelima. Hari ini aku sudah merasa nyaman
mengenakannya. Ini bukan sekadar kerudung atau burqa biasa,
melainkan sebuah simbol dari jabatanku. Begitu terbiasa dengan
tugas ini, sedikit demi sedikit aku akan terbiasa dengan burqa ini
pula. Entah bagaimana, aku masih belum sanggup memandangi diriku
sendiri di depan cermin. Aku juga belum terbiasa dengan pandangan
penuh kecurigaan yang kuterima dari semua orang ke mana pun aku
pergi. Aku sudah belajar satu hal. Orang kini mulai menjauh dariku
secara fisik dan psikis setiap kali melihatku. Khususnya seseorang
yang kukenal baik. Ayahku sendiri...." Suaranya mengabur.
"Ayahku, orang yang begitu bangga menjadikanku seorang Shahzadi
Ibadat, tak mampu memandang langsung mataku dalam beberapa
minggu terakhir ini. Adik dan ibuku sama-sama menganggap
penampilanku sekarang begitu mengerikan dan mereka berusaha

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menghindariku. Aku bahkan belum pernah mengobrol sekali pun


tentang masalah ini dengan salah satu dari mereka. Satu-satunya
teman yang kumiliki adalah Sakina, Perempuan Suci lainnya."
"Perempuan yang datang bersamamu?"
"Ya, itulah Sakina. Aku mempertahankan kewarasanku, sebagian
karena dukungannya. Dia selalu membawaku ke sana-kemari. Dia
terus bersamaku sejak upacara penahbisan itu. Tahukah Anda, lewat
dirinyalah sebuah dunia baru terbuka untukku. Hari ini aku
mendatangi sebuah darbar dan aku menikmati setiap menitnya.
Sudah berapa lama Anda mengunjungi masjid setempat atau sebuah
darbar? Aku sudah membaca dan melafazkan Kitab Suci Al-Quran
dengan kemajuan yang cukup pesat. Aku mendapati diriku sebagai
sebuah jiwa yang abai mengenai agama kita. Jadi, kini Anda lihat,
aku tidak akan terkucil. Aku akan menjadi seekor burung dengan
sayap yang terbentang membuatnya terbang melayang memasuki
sebuah dunia baru. Sesungguhnya, aku akan terbang minggu depan ke
Kairo selama setahun untuk mempelajari Islam di Universitas Kairo."
Nighat tidak segera menanggapi. Semua itu terlalu banyak untuk
bisa diserapnya. "Baiklah, Zarri Bano, kau baik-baik saja dan sudah
benar-benar dicuci otak," sahutnya dengan berat hati.
"Tidak, bukan cuci otak," tambah Zarri Bano lembut dan sedih. "Aku
ingat ada orang lain lagi yang mengatakan hal serupa padaku
beberapa minggu yang lalu. Aku berusaha keras mengatasi situasi
yang kuhadapi, belajar untuk beradaptasi dengan tugas baruku dan
status di dalam kehidupanku, serta melupakan masa laluku, demi
masa kiniku. Anda seorang psikolog. Seperti yang Anda katakan, aku
sudah menjadi seseorang yang terbentuk oleh lingkungan di
sekitarnya."
Nighat tidak dapat lagi mendebatnya. Dia sudah datang dengan
kemarahan membludak dan merasa dirinya benar, tetapi kini angin
sudah berganti arah. Dan inilah dia, datang jauh-jauh untuk memberi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dukungan moral pada Zarri Bano dan memberinya perlindungan;


tetapi dia malah menemukan seorang perempuan yang tidak
membutuhkan dukungan siapa pun. Seorang perempuan yang,
singkatnya, sudah dengan gagah berani menantang kehidupan
barunya dan tidak menyembunyikannya dari dunia luar. Nighat
mengagumi keteguhannya. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa atau
melakukan apa. Pada akhirnya, Zarri Bano yang kembali
membantunya.
"Aku sangat menghormati Anda. Tolong jangan cemaskan apa yang
terjadi dengan diriku. Aku mohon maaf apabila aku sudah
mengecewakan Anda dan jika aku dianggap telah mengkhianati misi
kita, tolong maafkan aku. Satu hal yang bisa dipelajari dari kasusku
ini, yang sudah kuteriakkan pada jutaan perempuan lainnya, bahwa
pada akhirnya kita sebagai kaum perempuan hanyalah manik-manik
kecil dalam bentangan kain keluarga kita yang ditenun dengan pintar
oleh para ayah dan anggota keluarga laki-laki lainnya."
"Ada lagikah yang bisa kukatakan, Zarri Bano?"
"Tidak. Tolong doakan aku agar bisa belajar melupakan kehidupan
lampauku dan menyesuaikan diri dengan kehidupan baruku dengan
sebaik-baiknya. Insya Allah!"
"Kau ingin melupakan kami? Sebongkah besar kehidupanmu akan kau
tukar dengan sebuah kehidupan dengan pengabdian penuh pada
agama?"
"Ya. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk membuatku tetap waras.
Saat ini aku tidak tahu siapa diriku. Aku sedang menggantungkan
nyawaku pada selembar benang rapuh di antara dua dunia, hampir
seperti seekor ikan yang keluar dari air. Zarri Bano, perempuan
kampus, si feminis, sedang bertempur dengan sang Perempuan Suci
yang setengah hati, yang sedang berusaha menceburkan diri
sepenuhnya dalam sebuah pengabdian pada agama."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku mendoakanmu, sahabatku. Kau tidak boleh melupakanku—


bahkan andaikan kau melupakan semua yang lainnya. Kau harus
datang mengunjungiku sesekali dan menulis surat padaku dari Kairo."
"Tentu saja, aku tidak akan melupakan Anda!" sahut Zarri Bano
sambil tertawa. "Maukah Anda tinggal untuk ikut makan malam?"
pintanya saat melihat Nighat bangkit berdiri, siap untuk pergi.
"Tidak. Aku harus pergi. Akan sampai dua jam mengendarai mobil
untuk pulang ke rumahku. Selamat tinggal, sayangku."
"Hudah Hafiz. Semoga Allah bersama Anda."
"Kau juga, sayang," jawab Nighat. Dia tersenyum kaku ke arah Zarri
Bano sambil menaiki mobilnya dan berlalu meninggalkan rumah itu.
"Semoga Allah bersama Anda" adalah kata-kata yang terdengar
asing dari bibir Zarri Bano, dan kata-kata itu terngiang nyaring di
benak Profesor Nighat saat dia mempercepat laju mobilnya
menempuh perjalanan pulang yang panjang.

23.

DI BANDAR udara Karachi yang tidak terlalu ramai, Zarri Bano


menumpang maskapai penerbangan Mesir yang menuju Kairo. Ruby,
Shahzada, Habib, dan sopir mereka telah menemaninya ke bandara.
Shahzada dengan hujan air mata di wajahnya, diam-diam selalu
menghapus bulir-bulir kepedihan itu. Habib berhasil menahan air
matanya. Dia lebih berkonsentrasi melihat putrinya terbang dengan
selamat daripada membiarkan emosinya mempermalukan dirinya di
tempat umum.
"Terima kasih, Sakina, mau menemani putriku. Aku menyerahkannya
pada pengawasanmu dan tangan Allah Yang Mahakuasa. Selalu saling
menjagalah kalian," ini adalah kata-kata terakhir Habib pada Sakina
begitu mereka siap memasuki ruang keberangkatan. Setelah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

memeluk Shahzada dan Ruby, kedua perempuan berpakaian burqa


menjuntai-juntai itu beranjak pergi dan menghilang dari pandangan.
Di ruang keberangkatan, Zarri Bano menyadari adanya berpasang-
pasang mata yang memandangi tubuhnya. Ini adalah pengalaman
pertamanya berada di bandara mengenakan burqa. Dia tidak
berusaha menghindar dari tatapan mereka meski sebagian dari
mereka adalah kaum laki-laki. Tubuhnya tetap tegak dan sikapnya
waspada. Sambil membuka sebuah novel dari penulis favoritnya, dia
duduk membaca di sebuah sofa empuk di ruangan itu, menunggu saat
menaiki pesawat.
Bagi keluarga Zarri Bano, mereka kemudian mengalami perjalanan
pulang yang hening. Begitu sampai di rumah, mereka segera
berpencar ke berbagai arah yang berbeda. Habib menyuruh sopir
membawanya mengunjungi ayahnya di rumah mereka di desa
Chiragpur. Ruby naik ke kamarnya dan menghidupkan kaset.
Shahzada memasuki dapur, mencari pengurus rumah tangganya.
Fatima sedang sibuk membuat sajian kerala ghost dan menggoreng
kerala-nya di atas kompor. Begitu melihat majikannya menghampiri,
dia mematikan kompor dan menatap penuh harap pada Shahzada.
"Apakah pesawatnya tepat waktu, Chaudharani Sahiba?"
"Ya, Fatima, putriku sudah pergi," jawab Shahzada sedih sambil
melangkah keluar dari dapur. Fatima meletakkan sendok kayunya dan
membuntuti majikannya memasuki halaman belakang, dan ke dalam
lapangan rumput. Shahzada duduk di salah satu kursi dan Fatima di
kursi lainnya. Matanya menatap lekat wajah sang majikan.
"Bisakah aku membawakan makanan atau minuman untuk Anda,
Chaudharani Sahiba?" tanyanya lembut.
"Tidak, terima kasih, Fatima. Yang kubutuhkan hanya putriku. Di sini,
di dalam dekapanku. Dia sudah pergi, Fatima. Aku masih saja tidak
mengerti mengapa dia harus pergi. Hatiku ini terluka setiap hari

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sejak kematian Jafar. Aku tak mampu menerima siksaan lainnya,"


ujarnya pilu. Matanya mencucurkan air mata.
"Aku ikut prihatin. Ini adalah yang terbaik."
"Terbaik untuk siapa, Fatima? Mengapa putriku harus pergi ke luar
negeri sendirian?"
"Anda tahu, dia pergi untuk menjadi seorang ulama, untuk
mempelajari Islam. Itu sebabnya!" bujuk Fatima, berupaya
menghiburnya.
"Aku tahu, itu juga yang selalu dikatakan Habib. Tapi coba pikir,
putriku adalah seorang yang sangat terpelajar. Dia sudah hampir dua
puluh delapan tahun usianya. Mengapa dia harus menjadi mahasiswa
lagi, Fatima? Perempuan seusianya... teman-temannya... sebagian
besar kini sudah menikah dan memiliki anak. Dan apa yang dilakukan
putriku? Apa yang sedang terjadi pada kami?" Shahzada menoleh
dengan tatapan pilu ke arah pembantunya.
"Aku tidak bisa menahan apa pun lagi, Fatima. Aku terpuruk dalam
kedukaanku dan tenggelam semakin jauh dalam pelupaan. Mimpi
buruk ini seakan tidak ada habisnya. Apakah aku sudah melakukan
kesalahan, Fatima? Apakah aku seorang pendosa, seorang ghunagar?
Apakah ini adalah jalan Allah dalam menghukumku? Aku sudah
kehilangan putraku tercinta, putra kesayanganku. Dia terbaring di
kedalaman dua meter di tanah pekuburan keluarga. Aku juga sudah
kehilangan putri sulungku—dia, yang tidak pernah memasuki masjid
dan nyaris tidak pernah menyentuh sajadah, telah dinikahkan dengan
agamanya. Aku kehilangan dia dan kini dia benar-benar menghilang
dari kehidupan kita sehari-hari."
"Oh, ayolah. Dia pergi untuk beberapa bulan saja. Banyak orang yang
bepergian ke luar negeri untuk belajar zaman sekarang ini."
"Namun, semua ini salah, Fatima! Kita sudah melakukan sesuatu yang
mengerikan, mengubah kehidupan Zarri Bano. Apa hak kita
melakukan itu? Dia ingin menikah dengan Sikander, mendirikan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

perusahaan penerbitan, dan tinggal di Karachi. Dia mencintai


pergaulan dan mode. Kita telah memercayakan sebuah gaya hidup
yang asing padanya. Allah tidak mengharapkan pengabdian total
semacam itu dari kita. Allah menginginkan kita untuk menjalani
kehidupan sehari-hari dengan mengingat-Nya. Pikirkanlah, tidak ada
biarawati dalam agama kita, Fatima."
"Namun, semua ini bagus bukan, Chaudharani Sahiba? Dia akan
menjadi orang yang lebih saleh dan Muslimah yang lebih baik," desak
Fatima.
"Aku akan menjadi gila dengan memikirkan bahwa tidak akan ada
cucu yang kuperoleh dari Zarri Banoku tersayang. Aku membenci
pakaian hitam yang dipakainya sepanjang waktu. Putriku yang cantik
terkubur di dalamnya. Sejak hari penahbisan itu, dia sudah berubah,
tak sepatah kata penolakan pun keluar dari mulutnya. Aku sudah
kehilangan dia, Fatima!"
Menyadari tanda-tanda kepanikan di wajah majikannya, Fatima
bangkit dan membungkuk di atas rumput di depan Shahzada. Sambil
menggenggam tangan perempuan malang itu, dia mulai memijatnya
perlahan-lahan.
"Kita tidak kehilangan Zarri Bano. Dia hanya pergi untuk mengikuti
perkuliahan. Ayolah, jika dia menikah, Anda juga akan kehilangan
dia."
"Tidak, tidak! Ini tidak sama! Aku akan mampu mengatasi kehilangan
semacam itu," ratap Shahzada.
"Aku memiliki hati yang jembar, Fatima, seluas lapangan rumput ini.
Sekarang aku membawa sekeping batu kecil di hatiku. Aku sudah
kehilangan keluargaku, kedamaian pikiranku, dan rasa tanggung
jawabku pada pernikahan. Aku
tidak merasakan apa-apa lagi selain kebencian pada Habib Sahib,
seolah-olah aku tidak pernah mencintainya sebelumnya seumur
hidupku. Kemarahan yang meluap mengalir deras di dalam tubuhku

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

setiap kali aku melihatnya. Aku merasa mengerut dan lidahku


membeku. Aku tidak ingin berada satu kamar dengannya, apalagi
satu ranjang. Dia memandangiku dengan tatapan menghukum. Aku
sudah menutup pintu hatiku untuknya, selamanya. Aku tidak akan
membiarkannya memasuki hatiku lagi. Dia sama saja dengan
memberiku talak tiga yang diancamkannya padaku karena kami hidup
bersama sebagai sepasang orang asing. Kupikir dia hanya berbicara
dengan ayahnya dan berhektar-hektar tanahnya yang selalu
dijelajahinya setiap malam."
"Ia yang benar-benar kehilangan, bukan Anda. Dan ia pantas begitu
karena ialah yang menciptakan semuanya ini," suara Fatima meninggi.
"Rubylah satu-satunya yang tersisa," lanjut Shahzada muram,
"tetapi aku juga sudah merasa kehilangannya. Dia begitu limbung
tanpa kakaknya dan merasa sangat terganggu karena Zarri Bano
diperbolehkan pergi dan belajar di Kairo, sementara dia tidak. Bisa
kau bayangkan itu, Fatima? Ruby memiliki gelar sarjana. Mengapa dia
masih menginginkan lebih banyak lagi? Pada masa kita dulu, kita
hanya mendapatkan pendidikan sekolah dasar. Sekarang ini tidak ada
akhir dari sebuah pendidikan."
"Tidakkah aku menyadarinya, Shahzada Jee? Aku sudah membayar
semua itu dalam lima belas tahun terakhir ini untuk keempat anakku.
Bagi kami yang rakyat jelata ini, gelar sarjana menjadi komoditas
yang sangat berguna, khususnya di pasar perjodohan. Semakin
terpelajar seorang perempuan, semakin diminati dia. Tidak semua
orang dianugerahi apa yang dimiliki putri-putri Anda; kecantikan,
kekayaan, dan tanah untuk tawar-menawar. Pendidikan adalah
kualifikasi yang paling mungkin ditawarkan untuk sebagian besar
orang zaman sekarang, seperti yang Anda tahu, Shahzada Jee. Para
lelaki menginginkan perempuan-perempuan terpelajar. Perempuan
menginginkan pendidikan." Tiba-tiba saja Fatima terkekeh. "Kerala-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

nya akan menjadi karet jika aku tidak bergegas masuk dan
melihatnya."
"Aku akan menyusul untuk membantumu," ujar Shahzada. Dia merasa
sedikit lebih baik setelah meluapkan emosinya. "Kau adalah sahabat
yang baik, Fatima. Apa yang bisa kulakukan tanpamu?"
"Tak ada orang yang sempurna, Shahzada Jee," seru Fatima ceria
sambil bergegas masuk ke dapur bersama majikannya. "Namun, aku
akan meninggalkan Anda dalam waktu dekat ini, saat Firdausku
menikah."

24.

DENGAN NAIK mobil bersama sopirnya, Habib Khan melakukan


perjalanan menuju Chiragpur. Begitu mereka berbelok ke arah jalan
utama Hyderabad, seekor kerbau berlari melintas, nyaris menabrak
mobil. Dengan kepalanya yang besar berayun ke kiri dan ke kanan,
sementara lonceng dan rantai yang mengelilingi lehernya berdentang
ramai, kerbau itu tampak panik dan berlari keluar dari jalan raya
langsung menerobos ladang sayuran di seberangnya sambil menyeret
rantai besi yang berat di belakangnya.
"Astaga!" seru Habib begitu mobilnya berderit mengerem. "Dari
mana datangnya binatang itu?" Dia melongokkan wajahnya lewat kaca
depan. "Kerbau milik siapakah itu, Riaz? Apakah kau mengenalnya?
Apakah itu salah satu milik kita dari peternakan ayahku?" Habib
melangkah ke luar mobil.
"Aku tidak tahu, Sahib Jee," sopir yang berusia empat puluh tahun
itu menjawab sambil ikut-ikutan melongok lewat jendela depan untuk
melihat lebih jelas ke arah kerbau hitam yang kulitnya masih tampak
berlumuran lumpur itu.
Habib merasa aneh, lalu mencari di mana kawanan kerbau lainnya
berada. Pastinya binatang itu tidak bisa berkeliaran seenaknya. Dia

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

melihat dua orang perempuan, jaraknya sekitar 200 meter, sedang


mencuci pakaian di dekat pompa air sumur yang menyalurkan air
melalui saluran irigasi buatan hingga ke ladang-ladang.
Itu ternyata hari mencuci bagi Naimat Bibi. Dia berhasil meminta
pertolongan sahabatnya, Kulsoom. Disibukkan oleh tugas mencuci
linen dan seprai yang lumayan berat, ketika Naimat Bibi mendongak,
dilihatnya Habib Khan sedang berjalan menghampiri mereka.
Mulutnya langsung ternganga. Tangannya tetap dalam posisi mencuci
dan mencengkeram danda yang berbentuk pemukul untuk memukul-
mukul pakaian yang dicucinya. Dia segera saja mengayunkan benda
itu dan menghantamkannya dengan satu hantaman kuat ke
permukaan selimut katun berlumur sabun yang terhampar di atas
papan cuci kayu yang sudah usang. Dia menoleh ke arah sahabatnya
dengan panik. Kulsoom sedang membilas sehelai seprai di dalam air
sambil berpegangan pada pompa air.
"Ayo cepat, Kulsoom Jee, di mana dupatta-ku? Khan Sahib sedang
menuju ke sini," seru Naimat Bibi gemetaran.
Kulsoom tergagap karena terkejut dan menoleh sambil melongo,
sementara kedua tangannya yang kecil memegang kuat seprai basah
yang berat itu. Pergelangan tangannya yang rapuh tentu saja tidak
diciptakan untuk memegangi cucian yang berat; kedua tangannya itu
segera saja terasa sangat sakit. "Aku tidak tahu di mana dupatta-
mu berada," gagapnya, "tapi ini, gunakan ini, ini akan cukup
menutupi." Dengan satu tangan, dia melemparkan sarung bantal
kering ke atas kepala Naimat Bibi, sementara dirinya sendiri
berusaha keras memegangi kain basah yang terus meneteskan air
itu.
Naimat Bibi meletakkan sarung bantal itu menutupi kepalanya, tepat
di saat Habib Khan tiba dan berdiri hanya berjarak beberapa kaki
dari mereka. Dia memandangi mereka berdua dengan tatapan geli.
Naimat Bibi tampak lucu dengan selembar sarung bantal menutupi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kepalanya dan Kulsoom yang mungil sedang gemetaran memegangi


seprai yang menetes di kedua tangannya. Dia berusaha menjauhkan
kain basah itu dari pakaiannya sendiri. Habib juga menatap gunungan
cucian yang masih harus dikerjakan. Sisanya, cucian yang sudah
bersabun dan yang selesai dibilas, teronggok di semak-semak di
dekatnya untuk dikeringkan. Ada sebuah belanga tanah liat besar
berisi sabun ditempatkan di dekat papan cuci, tempat pakaian-
pakaian dipukuli oleh danda, sebuah metode efektif untuk
menghilangkan kotoran.
"Sahib Jee, assalamu 'alaikum," Kulsoom memberi salam dengan
penuh hormat meski dengan wajah merona. Hal terakhir yang
diinginkannya adalah tertangkap basah sedang mencuci oleh
seseorang seperti Habib Khan. Dan cucian itu bahkan bukan miliknya
sendiri! Sahabatnya tampak meniru memberi salam yang sama.
"Wa 'alaikumussalam. Ini hari mencucimu, Kulsoom Jee dan Naimat
Jee? Mengapa kau tidak menggunakan mesin cuci yang kau beli tahun
lalu, Naimat Jee?" goda Habib sambil diam-diam mempertanyakan
logika dan nalar kedua perempuan ini dengan membawa semua cucian
ini, nyaris satu setengah kilometer jauhnya dari desa, dan kemudian,
dia menyimpulkan, mereka juga harus menggotong kembali semuanya
ke desa.
"Mesin-mesin itu tak berguna, Sahib Jee!" dengan cepat Naimat Bibi
menjawabnya. "Milikku terbakar pada suatu hari. Berapa banyak
tukang servis yang datang ke desa? Aku tidak berniat membawanya
ke kota terdekat karena itu terlalu mahal dan terlalu merepotkan.
Di sini, sebaliknya, kami mempunyai bergalon-galon air bersih segar,
memompanya keluar, dan tentu saja ada lebih banyak udara dan
cahaya matahari untuk menuntaskan sisanya."
"Mengapa tidak kalian beri tahu ayahku? Ia akan memperbaiki
mesin-mesin itu untuk kalian. Kalau begitu, aku akan mengirimkan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

seorang tukang servis untuk memeriksanya besok. Dan tentu saja


kalian tidak perlu membayar," Habib Khan meyakinkan Naimat Bibi.
Naimat Bibi pipinya merona karena senang. "Betapa dermawannya
Anda, Sahib Jee. Di sini sahabatku ini membantuku."
Kulsoom Bibi menyeruakkan seulas senyuman gugup yang santun
sambil dirinya tetap mencengkeram seprai basah kuyup itu dengan
tangan kesakitan. Setelah memastikan bahwa pergelangan tangannya
yang kurus akan segera patah beberapa saat lagi, dia bersumpah
dalam hati bahwa ini bisa dipastikan untuk terakhir kalinya dia
membantu Naimat Bibi mencuci.
Tiba-tiba saja dia merasa heran mengapa Naimat Bibi tidak mencuci
di rumah saja, seperti orang-orang lainnya. Dan mengapa dia
mengumpulkan terlalu banyak seprai untuk dicuci pada satu hari?
Apakah dia tidak berpikir? Masalah ini membingungkan Kulsoom.
Naimat Bibi tinggal sendirian, tetapi Kulsoom merasa yakin dia sudah
mengumpulkan seprai milik sepuluh orang. Tidakkah dia memikirkan
pergelangan tangan sahabatnya yang malang dan mengasihaninya?
Sebuah pikiran tiba-tiba saja terlompat dari kepala Kulsoom yang
lelah. Apakah Naimat Bibi diam-diam sedang melakukan bisnis baru—
mencucikan seprai orang lain? Dan dia terjerat ke dalamnya. Dia,
Kulsoom Jee, seorang mak comblang desa yang dihormati, yang
sekian lama tidak pernah mencuci dan kini tidak mampu membungkuk
untuk
melakukannya. Selama lima belas tahun terakhir ini, dia mewakilkan
pekerjaan yang mengerikan dan merusak tulang punggung itu kepada
doban, tukang cuci desa.
Meski begitu, di sinilah dia kini, tengah memeras kotoran dari seprai
kotor milik orang lain!
Kulsoom tiba-tiba saja melepaskan seprai yang dipegangnya dan
seprai itu jatuh ke dalam saluran irigasi, dan menyaksikannya
hanyut. Tepat ketika Naimat Bibi melihat seprai spesial milik

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sardara, si perempuan penjual susu, hanyut menghilang, dia menjerit


dan melompat berdiri. Setelah mencampakkan danda, dia
membungkuk di atas batu datar dan karena itu, tak sengaja dia
menjatuhkan sarung bantal di atas kepalanya ke dalam air. Dia
berseru tergagap saat benda itu juga menghilang di depan matanya
yang panik.
"Ini, saudariku, jangan panik," Habib menawarkan bantuan. "Aku
akan mengambil semua benda itu untukmu." Mata Habib tampak
memercikkan tawa ketika menyaksikan senyum kikuk di wajah
Kulsoom. Habib berpegangan ke dinding dan dengan terampil
berhasil mengambil kedua kain itu dengan menggunakan danda.
Merasa sangat malu dan dengan pipi memerah bak buah prem,
Naimat Bibi dengan penuh terima kasih mengambil cucian basah itu
dari Sahib Jee.
"Nah, kau tidak bisa mengeluh bahwa sepraimu tidak terbilas dengan
baik, Naimat Bibi," Habib mencandainya dengan pipi menggembung
oleh tawa.
"Terima kasih, Sahib Jee," gumam Naimat Bibi sambil matanya
menatap gugup ke arah jubah hitam panjang Habib yang basah.
Setengah jubah itu di bagian bawahnya sudah basah kuyup.
Kulsoom memutuskan untuk berbicara dengan tuan tanah desa
mereka yang terpandang itu, putra dari Siraj Din, tetua desa. Dia
sudah belajar sejak muda tentang kebijakan dan betapa
berharganya menyemai waderas, berteman dengan orang besar. Dia
juga beberapa kali telah menikmati keuntungan material dengan
melayani mereka dan tetap berada di bawah kekuasaan mereka.
Maka, Kulsoom kini memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang
sangat pribadi.
"Sahib Jee, bagaimana kabar Zarri Bano?" Dia sadar, seperti juga
penduduk desa lainnya, bahwa Habib Khan sangat memuja putri
sulungnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Melihat tawa di wajah Habib menghilang dan sebagai gantinya,


semburat muram menghiasi wajahnya, Kulsoom mengomeli dirinya
sendiri, merasa bahwa dia sudah menanyakan pertanyaan yang salah,
dan di saat yang tidak tepat
juga-
"Dia sudah pergi, Kulsoom. Dia saat ini berada di dalam pesawat
menuju Mesir." Kulsoom menyadari secara naluriah bahwa sang tuan
tanah merasa sangat kehilangan putrinya itu.
"Untuk menjadi seorang ulama Islam, Habib Sahib?" dengan cerdik
dia memberanikan diri menambah pertanyaannya. Ini diketahuinya
dari salah satu pelayan Siraj Din.
"Ya, Kulsoom," balas Habib dengan nada berat. Kemudian dia
mengganti bahan pembicaraan. "Bisakah kau katakan padaku kerbau
siapakah itu, berlarian ke sana-kemari di ladang? Kerbau itu nyaris
menerjang mobilku." Habib mengingat kembali alasan awalnya berada
di tempat itu.
"Tampaknya itu milik Khawar Sahib. Dia mempekerjakan seorang
pemuda baru yang membantunya di peternakan, dan kerbau nakal ini
telah membuatnya kewalahan. Ini adalah kedua kalinya kerbau itu
melompati dinding pembatas yang rendah, mematahkan rantainya,
dan melarikan diri, berlari keluar dari desa. Kalau saja kerbau itu
berlari ke arah sini, bukan hanya cucian kami yang hanyut di dalam
saluran air itu, melainkan kami, perempuan-perempuan tua yang
malang ini. Itu dia!" Kulsoom menunjuk ke arah sosok seorang
pemuda yang berlari mengejar-ngejar kerbau.
"Kuharap kerbau itu akan berhenti. Kerbau yang diperah susunya
normalnya adalah makhluk yang lembut dan lumayan jinak. Aku heran
mengapa yang satu ini menjadi begitu liar? Jika kerbau ini berlarian
mengelilingi ladang seperti ini, kita tidak akan punya hasil tanaman
untuk dipanen," ujar Habib gusar seraya melihat pemuda itu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

akhirnya berhasil menggapai rantai dan mengalungkannya ke leher


binatang itu, dan menuntunnya kembali ke desa.
"Allah Hafiz, Sahib Jee," seru Kulsoom dan Naimat Bibi bersamaan,
dan berdiri tegak sebagai tanda penghormatan. Sementara Kulsoom
menyibukkan Habib dengan pembicaraannya, Naimat Bibi telah
berhasil menemukan kerudungnya dan mengenakannya di kepala dan
sekeliling bahunya. Sangat tidak mengenakkan terlihat tanpa
kerudung oleh seorang lelaki terpandang seperti itu.
Habib berlalu, kembali ke mobilnya. Dengan tatapan penuh kenangan,
Kulsoom mengawasi kendaraan itu menghilang ke arah desa,
meninggalkan gumpalan debu di belakangnya. Dia lalu memandangi
gunungan cucian dengan sebal. Tidakkah akan menyenangkan
meninggalkan sahabatnya itu dengan cuciannya, dan naik ke dalam
mobil Habib untuk menumpang? Mungkin dia sudah berada di rumah
saat ini.
Sambil menghela napas dan malas menjalani gunungan kedua seprai
yang harus dicuci itu, Kulsoom setengah hati melanjutkan kerjanya.
Sambil berjongkok di atas tungkainya di samping batu datar di
dekat saluran air sumur itu, dia mulai menyapukan sabun ke seprai
basah, sebelum menyerahkannya kepada temannya.
"Bukankah Habib Sahib itu pemurah, Kulsoom Jee? Tidakkah kau
dengar dia akan mengirimkan seorang tukang servis untuk
memeriksa mesin cuciku?"
"Ya, aku dengar, Naimat Jee. Namun, kita tidak usah terkejut
karenanya. Kau tahu ketiga tuan tanah kita, Siraj Din, Habib Khan,
dan Khawar Sahib muda, semuanya begitu baik hati dan
zemindar'yang lembut. Entah bagaimana, masih banyak tuan tanah
feodal di daerah kita yang menyedot semua hasil keringat
penduduknya dan membuat keluarga mereka terikat sebagai buruh
untuk bekerja di tanah mereka generasi demi generasi. Tidak ada
seorang pun yang terikat pada salah satu dari ketiga ini atau

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berutang uang pada mereka di desa kita. Khawar Sahib dan Siraj Din
benar-benar memedulikan kesejahteraan rakyat jelata seperti kita,"
ujar Kulsoom sok tahu.
"Di manakah Mesir itu, Kulsoom Jee?" tanya Naimat Bibi, begitu dia
mulai memukuli seprai di atas papan kayu lagi. "Apakah tempat itu
benar-benar sath sumundarphar?"
"Aku tidak tahu apakah tujuh samudra jauhnya, tapi setidaknya aku
tahu ini: ada sebuah laut setidaknya antara Pakistan dan Mesir.
Tempat itu kalau tidak salah terletak di dekat Arab Saudi. Dahulu
kala, orang-orang berangkat naik haji menggunakan kapal-kapal laut,
maka pasti ada laut dan samudra yang menghalangi. Setelah
menceritakan
semua ini, kau juga tahu betul, Naimat Bibi, aku bukan orang yang
tepat untuk menjawab pertanyaanmu. Aku belum pernah memasuki
pintu sekolah mana pun. Aku sama tidak terpelajarnya seperti kau.
Betapa sialnya bahwa tidak ada gadis-gadis berpendidikan di desa
saat kita masih kecil. Ini tidak adil. Jika saja aku bisa membaca dan
menulis, itu akan sangat membantuku menyaring serangkaian nama
untuk bisnisku. Aku tidak harus mengingat semua hal— khususnya
nama semua pemuda dan gadis yang harus kuingat, dan juga keluarga
mereka. Namun sudahlah, kita sudah cukup mapan meski nyaris tidak
bisa berhitung dan sepenuhnya tidak terpelajar."
"Kau mengatakan itu untuk dirimu sendiri! Kau memang sudah cukup
mapan, Kulsoom Jee, dengan bisnis perjodohanmu!" tukas Naimat
Bibi gusar. Dia tak mampu menyamarkan rasa iri dalam nada
suaranya.
Merasa disadarkan oleh sarkasme ini, Kulsoom tiba-tiba saja
mengingat gunungan seprai yang mereka cuci dan langsung menoleh
ke arah temannya. Matanya berkilau penuh arti.
"Naimat Bibi, sebenarnya seprai kotor milik siapakah yang kubantu
cucikan ini?" tanyanya dengan tak kalah sinisnya. "Tidak mungkin ini

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

semua milikmu, bukan? Apa yang sudah kau lakukan? Mengganti


sepraimu setiap malam?"
Lalu hening beberapa saat.
"Setengah dari semua itu milik Sardara Jee," jawab Naimat Bibi
sambil menatap malu ke arah temannya. "Kau tahu bahwa dia terikat
di kursi roda dan aku ingin membantunya."
"Baiklah," sahut Kulsoom sambil menganggukkan kepalanya tanda
mengerti. "Dia membayarmu untuk semua ini?"
"Tidak juga, tetapi dia tidak akan memintaku membayar susu selama
seminggu penuh." Naimat Bibi kini memandang dengan tatapan cemas
ke arah papan cuci.
Dengan pipinya yang cokelat jadi memerah, Kulsoom bertanya, "Jadi
semua acara cuci-mencuci, yang sudah membuat pergelangan
tanganku patah ini, adalah jalan bagimu untuk mendapatkan tiga guci
susu." Dia memalingkan wajahnya karena sebal. "Jika kau
menginginkan susu, demi Tuhan, Naimat Bibi, aku sendiri bisa
membelikannya untukmu, daripada harus mengerjakan semua
pekerjaan berat ini. Pernahkah kau berpikir bagaimana kita
mengangkut semua ini kembali ke desa? Ini sudah sore. Kau harus
memasak saat ini juga di rumah Siraj Din. Anaknya baru saja datang.
Tidak ada siapa pun yang mempersiapkan makanan di sana. Kita tidak
akan duduk di sini dan menunggu semua cucian itu kering, bukan?
Dan sekarang, karena ini basah, beratnya akan berlipat ganda. Jika
pergelangan tanganku patah hari ini, aku tahu siapa yang harus
disalahkan!"
"Oh jangan khawatir, Kulsoom Jee," ujar Naimat riang. "Kau tidak
harus memanggulnya. Aku yakin beberapa lelaki akan melintas dan
mereka tidak akan menolak permintaan kita untuk membantu
membawa semua ini kembali ke desa."
"Baiklah, terserah kau saja," ujar Kulsoom Bibi lelah sambil
mencampakkan satu seprai lagi untuk dibilas air bersih yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

memancar keluar dari pompa. Dia berharap dengan sepenuh hati


bahwa dia bisa mencampakkan semuanya ke air dan membiarkannya
hanyut. Dan kemudian dia, sendirian, bisa pulang ke rumah dan
meninggalkan sahabatnya itu mengurus semuanya sendiri.
Entah mengapa, dia sadar bahwa dia tidak bisa berbuat sekejam itu
karena Naimat Bibilah yang selalu ada untuk merawatnya saat dia
sakit. Naimat Bibilah satu-satunya yang terus setia mendampinginya
ketika dia terserang malaria tahun lalu. Dengan ikhlas, Kulsoom
melemparkan seprai bersih ke arahnya dan mulai memerasnya,
merendam baju kameze-nya, dan memecahkan dua di antara gelang-
gelang kacanya yang berwarna hijau saat melakukannya.

25.

SETELAH MENINGGALKAN Naimat Bibi dan Kulsoom yang sedang


mengerjakan cuciannya, Habib langsung menuju rumah ayahnya. Saat
melintasi jalanan sempit berdebu menuju desa Chiragpur, mobil
mereka membunyikan klaksonnya pada sebuah traktor dan sebuah
pedati yang ditarik sapi. Tampak mencolok di tengah-tengah desa,
sebuah bangunan vila besar berwarna putih pupus, dengan balkon
dari besi tempa putih di keempat sisinya dan jajaran tanaman dalam
pot yang menjurai turun sepanjang dinding, berdiri megah di antara
bangunan-bangunan sederhana di sekitarnya.
Ayah Habib kini tinggal di sini dengan tiga pelayan laki-lakinya dan
seorang pengelola tanah yang mengawasi bisnis dan mengumpulkan
pendapatan dari tanah tersebut. Siraj Din adalah lelaki desa sejati,
seorang zemindar yang sudah mendarah daging. Tidak ada satu hal
pun yang dapat membujuknya meninggalkan Chiragpur, "desa cahaya"
itu, dan bergabung dengan putranya di kota. Dia merelakan
kepindahan putranya sekeluarga dengan kekalutan dan kepedihan,
tetapi dia sendiri tidak akan terbujuk melakukannya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Bagaimana mungkin seorang zemindar bisa menjadi zemindar yang


sesungguhnya jika dia tinggal jauh dari tanahnya? Tanah ini adalah
kehidupanku. Mataku butuh memandangi hamparannya dan
menghirup aroma sayuran hijau segar yang tumbuh di ladang-ladang,
yang siap untuk dipetik dan dipanen. Aku tidak akan pernah
meninggalkannya!" demikian alasan Siraj Din yang tak tergoyahkan
kepada putranya, ketika mereka membujuknya untuk meninggalkan
rumahnya setelah ibu mereka, Zulaikha, meninggal dunia.
Akhirnya, mereka membiarkannya melakukan apa saja yang
diinginkannya. Sebagai seorang lelaki yang mandiri dan angkuh, dia
tidak membutuhkan anggota keluarga terdekat yang mana pun untuk
memastikan terlayaninya kebutuhan hidupnya sehari-hari—para
pelayannya sudah bisa memenuhi semua yang dibutuhkannya dengan
baik. Naimat Bibi adalah koki mereka. Siraj Din masih begitu sehat
dan gagah di usia delapan puluh tahun. Berjalan kaki setiap hari
mengelilingi ladangnya membuat jantung dan paru-parunya selalu
dalam keadaan baik. Tidak seperti putra-putranya, dia tidak memiliki
kelebihan lemak, melainkan garis pinggang yang ramping. Putra-putra
dan cucu-cucunya mengunjunginya secara teratur sekitar dua sampai
tiga kali seminggu.
Ketika memasuki rumah lamanya, sebuah pemandangan yang amat
dikenal Habib menyambutnya. Satu halaman tengah yang luas dengan
kamar-kamar berjajar rapi di keempat sisinya. Di tengah taman, di
antara empat bedengan mawar dan tiga pohon, ayahnya duduk di
kursi lipat bergaya palang, setengah berbaring ditopang bantal
tinggi. Seorang pelayan laki-laki duduk di dekatnya, siap untuk
menyerahkan hookah-nya. Seorang pelayan lainnya berdiri di
belakangnya sambil memijat bahunya perlahan tetapi mantap.
Siraj Din tidak berusaha untuk bangkit, hanya meninggikan posisi
kepalanya untuk menyambut kedatangan putranya. Seulas senyum
mengembang di wajahnya. Habib mendekati sang ayah dan, setelah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

memberi salam padanya, membungkuk. Dengan sikap yang sudah


biasa dilakukannya sejak kecil, Habib mengangkat tangan ayahnya
dan menciumnya. Setelah menerima salam itu, Siraj Din memberi
tanda pada putranya untuk duduk di charpoy lainnya.
"Bawakan makanan dan minuman untuk tuanmu!" perintahnya kepada
pemuda yang sedang memijat bahunya dan segera menyuruhnya
masuk untuk mencari Naimat Bibi, tanpa menyadari bahwa dia masih
berada di ladang sedang mencuci.
"Jadi, dia sudah pergi," Siraj Din mengawali berbicara sambil
membungkuk dan mengembuskan napas ke dalam hookah-nya,
membuat air menggelegak di bejana logam selama beberapa detik.
"Ya, Ayah. Dalam enam jam ini, dia akan sampai di Mesir."
"Baiklah," sahut Siraj Din. Matanya menatap putranya sambil
kembali mengembuskan napas panjang. "Namun, aku tidak tahu akan
jadi apa dunia ini, Anakku, karena seorang perempuan muda dan
masih lajang dikirimkan ke luar negeri, sendirian, untuk hidup
sendiri. Menurutku, itu sama sekali tidak bisa diterima. Dengan
tulus, aku berharap bahwa kau tahu apa yang kau lakukan. Aku
sendiri akan berpikir dua kali untuk mengirimkan anak gadisku
sendirian ke kota lain di Pakistan, apalagi ke negara lain."
"Zarri Bano pernah hidup sendirian di Karachi ketika dia sedang
belajar di universitas, Ayah. Jika itu adalah anak gadismu, dia akan
hidup di masa lain. Segalanya sudah berubah kini. Kita harus belajar
berpacu dengan waktu. Ayah sudah menikmati keuntungan
perkembangan mesin modern seperti traktor untuk membajak tanah,
bukan? Bukankah lebih baik dibanding dibajak kerbau? Perempuan
sekarang lebih mandiri, terpelajar, dan lebih bebas melakukan
banyak hal. Kita tidak dapat lagi mengunci mereka di dalam rumah.
Ini bukan zaman purdah, Ayah."
"Namun, dia sekarang ini adalah seorang perempuan pengabdi—
seorang Bibi, Habib!" dengus Siraj Din sebal. "Pada masaku dulu,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

seorang Bibi nyaris tidak pernah menjejakkan kaki keluar rumahnya


karena itu adalah bagian dari kebersahajaan dan pengabdiannya.
Keterasingan dan keterkucilannya dari kaum laki-laki
menempatkannya ke tingkatan seorang Bibi. Perempuan semacam itu
tidak bisa keluyuran mengelilingi belahan dunia sendirian dan hanya
Allah yang tahu apa yang akan dihadapinya di sana."
"Putriku bukanlah seorang Bibi, Ayah juga tahu," sahut Habib ketus.
Mulutnya mencibir kesal. "Ayah bicara tentang para Bibi tua yang
tidak berpendidikan, Ayah, ingatlah bahwa Zarri Bano adalah
seorang sarjana. Dia akan menjadi seorang ulama yang harus belajar
mengajari orang lain tentang Islam. Bagaimana mungkin dia
melakukan hal semacam itu di rumah, di antara orang-orang yang tak
terdidik seperti itu? Seberapa banyak ilmu tentang agama kita di
desa Ayah, Chiragpur ini? Harus kukatakan pada Ayah, sedikit
sekali. Khususnya di antara para perempuannya yang nyaris tidak
terpelajar. Tempat yang akan didatangi Zarri Bano adalah tempat
belajar terbaik untuknya. Dia adalah seorang perempuan dewasa,
Ayah, bukan anak kecil. Ayah harus berusaha memahami itu. Dia
akan menjaga dirinya sendiri. Dalam berbagai kesempatan, aku
meminta Sakina untuk bersamanya, mengawal sekaligus
menemaninya, sampai dia mapan. Aku sendiri akan mengunjunginya
dalam beberapa bulan ini."
"Di mana dia akan tinggal?" tanya Siraj Din lirih. Itu adalah masalah
yang mengganggu pikirannya sepanjang hari karena dia sempat
membayangkan cucu perempuannya yang jelita berada di satu negara
asing, ditatap oleh lelaki-
lelaki Mesir. Bahkan dengan mengenakan burqa-nya sekalipun, Zarri
Bano tampak memiliki pesona tersendiri. Kecantikan gadis itu adalah
kebanggaan keluarganya, meski juga bisa menjadi ancaman jika
dikaitkan dengan kaum lelaki.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Dia akan tinggal dengan sebuah keluarga Mesir yang kutemui saat
aku berhaji di Jeddah lima tahun yang lalu. Kami terus saling
berhubungan dan aku pernah mengunjungi mereka sekali. Laki-laki
itu memiliki seorang anak perempuan yang juga sedang bersekolah di
universitas yang akan dimasuki Zarri Bano dan seorang anak laki-laki
yang mengajar di situ. Dia juga yang mengatur pendaftaran Zarri
Bano di sekolah itu."
Seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, Siraj Din berkata, "Aku
tidak tahu, Anakku." Dia tampak tidak puas. "Kau masih tidak bisa
meyakinkanku tentang nilai dan kebijakan mengenai apa yang sudah
kau lakukan itu."
"Ayah, aku tahu betul apa yang kulakukan. Hanya saja aku mulai
belajar dan menyesali konsekuensi yang akan kuterima." Habib tidak
berusaha menyembunyikan nuansa kesedihan dalam suaranya.
"Apa maksudmu?" tanya Siraj Din tajam—sambil mengesampingkan
hookah-nya. Si pelayan laki-laki dengan penuh santun
mengembalikannya ke tempatnya.
"Kupikir aku sudah melakukan sesuatu yang benar, tetapi aku begitu
sedih karenanya. Aku sudah kehilangan keluargaku. Aku berjalan
sendirian di dalam rumahku, sebagai sosok yang kesepian, Ayah."
Bola mata Habib terpusat ke arah kebun anggur di sudut terjauh
halaman itu yang tengah berbuah lebat dengan ranting-ranting
menggayut dibebani buah-buah anggur hijau matang.
"Jangan bodoh, Anakku," dengus Siraj Din. Mata hijaunya
memercikkan tawa. "Pikiranmu mulai melemah."
"Tidak, Ayah, pikiranku tidak melemah seperti yang Ayah katakan.
Aku dirajam perasaan bersalah, merasa ragu apakah aku sudah
melakukan sesuatu yang benar."
"Tentu saja, kita sudah melakukan hal yang benar!" balas Siraj Din
cepat. Tawa itu terhapus dari matanya. Tubuhnya menegang.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Mungkinkah Selim melakukan hal itu pada Gulshan?" Habib menatap


nanar mata ayahnya, seolah menantang untuk mendebatnya. "Tentu
saja."
"Tidak, dia tidak akan melakukannya." Habib menggeleng-gelengkan
kepalanya dan memalingkan pandangannya dari tatap mata ayahnya.
"Ayah tahu, istrinya tidak akan mungkin membiarkannya. Aku
memaksa putriku dan dia mematuhiku. Shahzada dengan putus asa
memohon padaku untuk tidak melakukannya, tetapi pada akhirnya dia
menyerah dan berdiri di sampingku bagaikan sebuah pilar penopang
yang kukuh."
"Ya..., dia memang sudah seharusnya begitu!" tukas Siraj Din gusar.
"Itu adalah kewajibannya."
"Ya, dia sudah melakukan kewajibannya. Namun, balasan yang harus
kutanggung akan menjadi sangat besar. Dia tidak akan pernah
memaafkan diriku, Ayah. Tidak sepatah kata pun dia berbicara
padaku sejak malam ketika aku memberitahunya tentang nasib Zarri
Bano. Aku sudah kehilangan dia." Sekali lagi mata Habib tertuju
pada ketiga batang pohon yang biasa dipanjatnya saat masih kanak-
kanak.
Siraj Din menegakkan posisi duduknya, meluruskan kakinya ke atas
lantai marmer. Sambil mengesampingkan hookah-nya lagi, dia
mencondongkan badannya ke depan agar bisa menatap lurus anaknya.
"Sekarang dengarkan aku baik-baik, Habib, aku tidak menyukai apa
yang baru saja kudengar. Apakah kau sudah kehilangan
kejantananmu? Siapakah kepala rumah tangga di dalam rumahmu?
Aku sangat kecewa padamu." Sorot mata Siraj Din, tepat seperti
mata putranya, juga seperti yang diwarisi Zarri Bano, tampak begitu
tegang. "Jika kau membiarkan kelemahanmu, kau akan menemukan
dirimu terikat di perandah istrimu, dalam jaringnya. Dia akan
menguasaimu dan tidak hanya rumah tanggamu. Dia mengirimkan
Zarri Bano ke rumah Sikander di Karachi tanpa restumu, bukan? Kau

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

yang akan menjadi seorang perempuan di dalam rumahmu!" Siraj Din


menyimpulkannya dengan sorot mata jijik di wajahnya.
"Tidak mungkin hal itu terjadi," balas Habib getir. "Pernikahanku,
hubunganku dengan Shahzada, tidak seperti hubungan Ayah dengan
Ibu dulu. Kami berdua membangun keharmonisan di dalam rumah
tangga kami. Tidak ada persaingan kekuasaan di antara kami.
Shahzada menyadari posisi dan seluruh kewajibannya seperti yang
selalu dilakukannya. Aku tidak pernah mendominasinya sebagaimana
yang Ayah ajarkan pada kami, atau seperti Ayah mendominasi Ibu.
Aku tidak mematahkan semangat hidup Shahzada—sesuatu yang
seumur hidup Ayah nikmati atas Ibu, meski tidak cukup berhasil.
Ibu menampik Ayah bahkan di atas ranjang kematiannya sekalipun.
Shahzada bukanlah seorang perempuan yang memiliki semangat
juang tinggi seperti Ibu. Itu masalahnya! Andai saja dia begitu,
sehingga kami bisa berdebat dan bertengkar, tapi dia hanya
mengucilkanku." Dia terhenti sejenak, kemudian melanjutkan
kalimatnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, "Dengan bodoh
aku telah mengancam akan menceraikannya. Kupikir aku telah
membunuh sesuatu di dalam dirinya hari itu. Matanya, yang seperti
mata Ruby, yang selalu hangat oleh cinta dan tawa, kini
memandangiku dengan penuh kebencian. Aku telah melukainya
dengan teramat kejam, Ayah. Dia sudah kehilangan dua orang anak
sekaligus!"
Siraj Din kembali menyandarkan punggungnya dengan nyaman ke
atas tumpukan bantal dan sambil menerawang dia memuntir
kumisnya yang sudah dicat itu. Dia sepenuhnya merentangkan
kakinya ke atas palang. Dengan menyambar hookah dan
memasukkannya ke mulutnya untuk memberi keleluasaan pada
putranya, dia melambaikan tangannya menyuruh pelayannya pergi dan
memberi perintah, "Pergilah dan cari Naimat Bibi, di mana pun dia

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sedang menenggelamkan dirinya. Putraku sedang di sini dan


perempuan itu harus menyiapkan makan malam."
Dia tidak bisa memercayai apa yang dikatakan Habib padanya.
"Seusiamu, Habib! Kau sudah hampir enam puluh tahun. Mengapa kau
harus sangat peduli pada istrimu? Kau tidak membutuhkan seorang
istri untuk menjalani kehidupanmu."
"Ayah, aku tidak sepertimu. Aku tidak bisa hidup sendirian. Aku
sudah menjalani kehidupan yang berbeda dengan apa yang Ayah bagi
dengan Ibu. Ayah membelenggu Ibu agar selalu berada dalam
jangkauan Ayah, selalu merasa takut Ibu mendominasimu. Pada
prosesnya Ayah sama sekali tidak mengerti tentang kasih sayang
seorang perempuan, atau bagaimana rasanya hidup dalam harmoni,
bukan? Ayah selalu menjaga tanah Ayah dan setengah mati berusaha
menunjukkan siapa kepala rumah tangga di rumah Ayah. Cinta yang
telah Ibu abdikan untuk Ayah pasti sudah mulai terabaikan sejak
hari pernikahan kalian. Aku mengingat semuanya."
"Kau mengingat hari pernikahanku?" gerutu Siraj Din tak mampu
membendung cetusan kasarnya.
"Tentu saja tidak. Namun, aku masih memiliki ingatan masa kecilku.
Aku menyaksikan betapa kalian berdua begitu serasi meski juga
adalah pasangan yang kacau. Sifat Ayah menuntut kepatuhan dan
pengabdian, sementara Ibu menuntut persamaan derajat dan
penghormatan. Ayah tidak pernah memberikannya, bukan? Dan untuk
membalasnya, Ibu tidak pernah mengabdikan dirinya untuk Ayah.
Beliau adalah seorang perempuan tangguh. Itu yang membuat
seluruh anggota keluarga tetap bertahan. Ibu adalah benteng
pertahanan kami."
Dengan mata memancarkan ketidaksenangan ke arah putranya, Siraj
Din menunjukkan lewat bahasa tubuhnya. "Aku tidak tahu apa yang
telah merasukimu hari ini, Habib. Putraku sekarang mencaci makiku
dan membela ibunya! Menurutku, seluruh dunia ini telah menjadi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

amat kacau. Seolah-olah aku ini sudah sedemikian kuno pada


tingkatan kehidupanku kini. Aku hidup di sebuah negeri di mana
seorang gadis binal menguasai kita. Dan ini konon adalah sebuah
negara Islam! Mengapa kau tidak pergi saja dan meletakkan
kepalamu di pangkuan Shahzada dan membiarkannya memijat
punggungmu, daripada kau datang ke sini mencaciku tentang ibumu
dan pernikahan kami, Habib!" Laki-laki yang dituakan itu sekarang
tampak benar-benar tersinggung.
"Kita berasal dari bibit lelaki yang berbeda, putraku," dia
melanjutkan kalimatnya penuh kebencian. "Kita tahu ukuran-ukuran
kita seperti kita mengharapkan istri-istri kita dengan sepenuh hati
mengetahui apa ukuran mereka. Memang benar bahwa ibumu
Zulaikha adalah seorang perempuan tangguh. Mungkin itulah
alasannya mengapa aku mau menikahinya dulu—karena aku tahu dia
mampu menentangku, mengimbangi watakku. Dengan caraku sendiri,
aku juga mencintai ibumu, Habib. Aku tidak selamanya
mendominasinya seperti yang kau tuduhkan. Seorang lelaki masih
tetap membutuhkan kasih sayang seorang perempuan dalam
hidupnya. Meskipun kau mungkin sulit memercayainya, aku sangat
merindukannya."
"Ayah, tidak ada keharmonisan dalam kehidupan masa kanak-kanak
kami. Hidup kami begitu kacau. Aku bersumpah bahwa saat aku
menikah, itu sangat berbeda. Aku juga mengatakan hal itu pada Ibu.
Kupikir itu sebabnya Ibu membantuku memilih Shahzada, dan bukan
ibunya Gulshan. Ibu berkata bahwa Shahzada lebih cocok untuk
temperamenku. Shahzada selalu menjadi istri yang baik dalam semua
hal."
"Kau! Aku jijik menyadarinya bahwa kau adalah jenis yang sama
dengan kakakku! Dia terbiasa berjalan di belakang istrinya. Dia
sungguh-sungguh terikat pada perandah istrinya, menuruti setiap
perintahnya, dan pada akhirnya, dia menjadi bayangan istrinya dan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bahan tertawaan kami. Akibatnya, dia tidak punya sepatah kata pun
untuk dikatakan karena istrinya menikahkan semua anaknya dengan
anggota keluarganya sendiri. Aku belajar darinya bahwa seorang
laki-laki bisa menjadikan dirinya begitu bodoh, dengan terlalu
banyak memberi perhatian pada istrinya. Ada perempuan yang
mampu dengan brutal menunggangi suaminya seperti itu. Itulah yang
dilakukan kakak iparku! Dia mengendalikan kakakku hanya dengan
satu gerakan alis matanya, dan serta-merta tanpa rasa malu
memamerkannya di hadapan kami semua.
"Suatu hari aku menentangnya. Dengan penuh amarah, kukatakan
padanya bahwa dia tidak seharusnya memperlakukan kakakku seperti
itu. Tahukah kau apa yang dikatakannya padaku, Anakku? Dia
menatap wajahku lekat-lekat dan tertawa, wajahnya sendiri
menyeringai. Dia mendorong dadaku dengan jari gendutnya. 'Urus
sajalah urusanmu sendiri! Jika kau ingin mendominasi, lakukan saja
itu kepada istrimu sendiri—itu dia, saat kau berhasil mendapatkan
seorang istri. Jangan padaku, bocah bau kencur!' dengusnya.
"Aku membenci mereka berdua. Aku belajar dari kakakku, seperti
yang kau pelajari sebaliknya dariku, bahwa aku tidak akan pernah
menjadi budak bagi seorang perempuan. Tidak ada perempuan mana
pun yang memiliki kesempatan untuk mendominasi dan
mempermalukanku. Kesialanku adalah karena aku menghabiskan
umurku dengan melakukan hal itu pada istriku dan aku tidak pernah
berhasil. Ibumu jauh berbeda dari kakak iparku; dia bernyali dan
berani menentangku!"
"Paman mungkin saja lebih berbahagia daripada Ayah dalam
pernikahannya," Habib tidak tahan untuk segera menimpali. "Dia
mungkin saja menjalani kehidupan yang lebih bermakna daripada
yang Ayah jalani dengan Ibu. Aku kepala rumah tangga di rumahku,
Ayah, tepat seperti yang Ayah ajarkan padaku. Namun, untung saja,
aku tidak memiliki istri yang semangat hidupnya harus kupatahkan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Shahzada selalu menjadi istri yang penuh cinta, baik budi, dan
mendukungku. Seorang istri yang kemudian dengan tragis menjadi
asing bagiku karena aku menguatkan keinginanku untuk
mempertahankan tanah keluargaku."
"Anakku, jika kau datang kemari untuk mendendangkan lagu tentang
istrimu, kau sudah datang ke tempat yang salah. Camkan ini: kau
adalah pemegang kekuasaan dan kepala keluargamu—itu fondasi
permanennya. Jika itu berjalan lancar, seluruh bangunan akan
berada di bawah kakimu. Jangan lemah, Anakku! Istrimu akan
memaafkanmu, waktu akan mengubahnya. Aku sepakat denganmu
bahwa satu hal yang baik yang pernah dilakukan ibumu di antara
semua yang pernah dilakukannya adalah menjodohkanmu dengan
Shahzada. Dia adalah seorang menantu yang baik dan selalu seperti
itu. Zarri Banoku adalah cucu perempuanku yang cantik. Aku amat
bangga padanya dan aku juga sangat bangga padamu. Kau seorang
anak laki-laki yang baik," Siraj Din tersentak kaget ketika melihat
air mata mengalir dari mata Habib. "Hei! Jangan menangis." Sambil
mencondongkan tubuhnya ke depan, dia menepuk kedua bahu putra
sulungnya itu.
"Hidupku begitu hampa, Ayah," isak Habib. Bahunya membungkuk
seraya membebaskan dirinya untuk meratap dan bersedih. " Jafar
sudah pergi. Zarri Bano sudah pergi. Ruby enggan menatapku lagi.
Shahzada menghindar dariku. Aku tidak sepertimu, Ayah. Aku
menginginkan dan membutuhkan keluargaku. Aku tidak mampu
menjalani kehidupan seperti ini. Aku hanya bisa berharap andai
Jafar tidak meninggal dunia dan aku tidak pernah memaksa Zarri
Bano untuk menjadi seorang Perempuan Suci."
"Oh, putraku, aku menyesal. Maafkan aku! Kau begitu terpukul. Aku
lupa bahwa kau tidak seperti aku—si kulit badak. Kau selalu menjadi
yang paling perasa di antara keempat anakku." Perasaan tersinggung

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Siraj Din sebelumnya kini melunak, berempati pada dukacita


anaknya. Kata-kata Habib telah menghancurkan hatinya.

26.

IBRAHIM MUSA, seorang pemuda berusia dua puluh sembilan


tahun, duduk di ruang belajar apartemen keluarganya di Kairo yang
menghadap Sungai Nil. Tangannya mengelus-elus janggutnya yang
tercukur rapi, dengan posisi tubuh seperti sedang berkonsentrasi
penuh, dia membolak-balikkan beberapa kertas penelitian. Saat
tenggelam dalam pikirannya, dia mendengar suara pintu menutup—
tamu-tamu mereka sudah tiba. Dia bangkit dan melepaskan kacamata
bacanya, lalu menggosok-gosok matanya yang lelah.
Setelah meninggalkan ruang belajarnya, dia melongokkan
pandangannya ke luar jendela balkon ruang makan, ke arah halaman
kecil di mana sebuah mobil baru saja berhenti di sana. Dia
menyaksikan kedua orangtuanya turun dari mobil itu, diikuti adiknya,
Pakinaz, dan baru kemudian dua orang perempuan yang berjilbab
hitam panjang. Alis matanya naik. Dia memandang lebih lekat lewat
teralis balkon. Dia tidak menduganya. Begitu dia memercayai jilbab
yang dilihatnya, dia pun kemudian merasa sangat senang.
Begitu meninggalkan ruang makan, dia menuruni tangga untuk
kemudian berdiri di depan pintu masuk untuk menyambut kedua
tamunya. Rasa penasaran dalam dirinya kini meluap-luap, khususnya
dia sangat penasaran menunggu saat bertemu dengan gadis Pakistan
yang datang untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo tempat dia
mengajar. Daun pintu pun terbuka lebar. Ibrahim Musa berdiri
menyambut sambil wajah tampannya memancarkan senyum dan
menyapa dalam bahasa Arab, "Ahlan wa Sahlan Marhaba!" Yang
pertama masuk adalah kedua orangtuanya, kemudian kedua
perempuan itu, diikuti oleh Pakinaz.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ini putraku, Ibrahim Musa." Seulas senyum ramah tampak di wajah


ayahnya ketika dia memperkenalkan anak laki-lakinya itu kepada
kedua tamu mereka. "Aku sangat bangga padanya. Ini Zarri Bano,
putri sahabatku, Habib Khan, dan ini kawannya, Ukhti Sakina."
"Assalamu 'alaikum!" sapa Zarri Bano pada Ibrahim Musa sambil
memandanginya sesaat.
"Wa 'alaikumussalam, you are most welcome to our home, " ia
menjawabnya dalam bahasa Inggris. Kedua bola mata gelapnya
menatap lekat wajah gadis itu. Merasa malu, Zarri lalu membuntuti
Pakinaz memasuki ruang makan.
Mereka semua duduk di sofa yang dipenuhi tumpukan bantal empuk
buatan rumah yang kaya warna.
"Apakah kau ingin membuka hijabmu?" tanya Pakinaz kikuk. Dia
merasa tidak yakin apakah dia sudah berbuat benar dengan
bertanya seperti itu.
"Tenang saja," Zarri Bano meyakinkannya, melihat pancaran
perasaan tidak enak gadis itu. "Kami mengenakannya setiap saat di
dalam rumah." Dari ujung matanya, dia masih menyadari keberadaan
pemuda itu. Zarri juga sadar bahwa lelaki itu sedang mengamatinya
dari balik kacamatanya di ujung ruangan. Dengan lelaki itu berada di
dekatnya, Zarri dan Sakina tidak berniat membuka burqa mereka!
"Baiklah," Pakinaz menyahut setelah terdiam beberapa saat,
berharap mereka tidak akan menyangka dirinya juga mengenakannya
atau mengira dia akan mencoba menyesuaikan diri.
Terdengar sebuah pembicaraan singkat dalam bahasa Arab antara
ibu dan anak perempuannya itu, mengingat ibunda Pakinaz tidak bisa
berbicara bahasa Inggris ataupun bahasa Urdu.
"Kuharap kalian tidak keberatan kami berbicara dalam bahasa
Arab," Pakinaz memohon maaf sambil menoleh ke arah Zarri Bano.
"Ibu berkata bahwa kau boleh tinggal selama kau suka dan berharap

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kau dapat menikmati waktumu selama berada di Kairo. Apakah kau


sudah cukup lapar untuk makan malam?"
"Ya, kurasa kami cukup lapar. Kami tidak makan banyak di pesawat.
Kami tertidur tadi," Zarri Bano terkekeh.
Ibunda Pakinaz kembali berbicara dalam bahasa Arab. Kali ini
Ibrahim menerjemahkannya dengan cepat untuk Zarri.
"Ibu kami ingin dan berharap kau bisa menikmati masakan Mesir.
Yang jelas sangat berbeda dengan masakanmu." Dia berdiri tegak
dan dengan penuh santun mengantarkan mereka memasuki ruang
makan.
Musa memberi jalan bagi kedua sosok terbungkus kain hitam itu.
Sudah tidak banyak lagi perempuan, kecuali kaum petani di
pedalaman Mesir, yang mengenakan jilbab lebar seperti ini. Meski
berharap masih ada banyak yang mengenakannya, dia tetap saja
merasa terkejut bercampur bingung melihat rupa perempuan
bermata hijau dalam pakaian konvensional untuk perempuan itu.
Tanpa sengaja, Musa mendapati dirinya duduk tepat di depan Zarri
Bano. Begitu dia duduk, Zarri Bano menatap ke arahnya dan langsung
menundukkan pandangannya lagi. Karena tidak ingin berhubungan apa
pun dengan para pemuda, Zarri Bano tidak sempat tawar-menawar
untuk tinggal serumah dengan yang satu ini. Perasaan gundah Zarri
Bano, entah bagaimana, dirasakan oleh lelaki itu karena ketika
melihat adiknya masuk dengan sebaki penuh daging domba di atas
hamparan nasi, dia segera bangkit, memberikan tempat duduknya
pada adiknya.
"Pakinaz, duduklah di sini dan makanlah bersama kedua tamu kita.
Aku akan makan nanti saja." Dia berbicara dalam bahasa Inggris
demi Zarri Bano. Begitu berdiri, dia sempat menangkap sorot mata
berterima kasih di mata Zarri Bano. Kini Zarri tersenyum padanya
untuk pertama kalinya sebagai penghargaan atas apa yang sudah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dilakukannya. Dia menatap wajah gadis itu, melihat lesung yang


menarik yang tiba-tiba muncul di pipi kirinya.
***
Zarri Bano dan Sakina melihat Ibrahim Musa keesokan harinya,
tepat ketika mereka baru saja kembali dari kunjungan mereka ke
Piramid Giza ditemani Pakinaz. Ibrahim yang juga baru pulang dari
universitas, memutuskan bergabung dengan mereka di ruang makan
untuk menikmati minuman dingin, dan dengan sopan bertanya pada
tamu-tamunya, apakah mereka menikmati jalan-jalan mereka. Dia
menanyakan itu pada Zarri Bano, mengingat dia adalah satu-satunya
yang fasih berbahasa Inggris.
"Piramida itu adalah tontonan yang luar biasa, tetapi aku merasa
klaustropobia saat menuruni tangga menuju liang makamnya.
Menurutku, aku tidak akan terlalu bersemangat lagi menuruni tangga
itu dalam waktu dekat ini, Abang Musa!" ujar Zarri Bano seraya
tertawa.
"Ya, aku sepakat. Lorong-lorong di Piramid Giza memang sangat
sempit, Adik Zarri Bano." Dia juga kemudian ikut tertawa. "Makam
yang lain di Lembah para Raja memiliki lorong-lorong yang lebih
lebar. Mungkin aku bisa mengatur sesuatu agar kita semua bisa
mengunjungi Lembah para Raja dan Ratu, termasuk juga Luxor dan
Karnak. Sayangnya, aku harus pergi sekarang. Aku akan berjumpa
dengan kalian lagi nanti. Assalamu 'alaikum."
"Wa 'alaikumussalam. Terima kasih atas saranmu. Kami akan sangat
senang melakukannya begitu kami sudah santai. Prioritas utamaku
adalah mendaftarkan diri ke universitas dan memulai kerja
akademisku."
"Ya, tentu saja. Jika kau mau, Pakinaz dan aku bisa mengantarmu ke
universitas, serta mengajakmu berkeliling untuk melihat-lihat isinya,
sekaligus kami juga akan mengajakmu berjalan-jalan ke tempat lain."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Oh, kau baik sekali, tetapi kami tidak ingin merepotkanmu. Kami
tahu kau sangat sibuk mengajar dan juga mempersiapkan
perkuliahanmu."
"Tidak sama sekali, kau sama sekali tidak merepotkan. Tapi, aku
harus pergi sekarang."
"Tentu saja," Zarri Bano menjawab dengan sopan. Dia memandangi
lelaki itu kembali memasuki ruang belajarnya.
***
Tiga hari kemudian, Zarri Bano menelepon orangtua dan adiknya di
Pakistan. Dia berbicara panjang lebar dengan Ruby.
"Udaranya panas di sini, tetapi cukup nyaman. Apartemen yang kami
tempati ini menghadap Sungai Nil. Bayangkan, Ruby, dari balkon kami
dapat melihat perahu-perahu berlayar bolak-balik di sungai
legendaris ini. Kau sungguh-sungguh harus datang dan mengunjungi
kami di Kairo secepatnya."
"Aku pasti merasa sangat beruntung," gerutu Ruby iri dari ujung
telepon. "Aku merindukanmu, Zarri Bano."
"Aku juga merindukanmu, Ruby. Aku masih saja belum paham
sepenuhnya di mana aku berada dan apa yang sedang kulakukan di
sini, dan mengapa aku melakukannya."
"Aku mengerti, Kak. Katakan padaku, orang-orang macam apa mereka
di situ?" tanyanya. Dengan bijak, dia segera mengalihkan
pembicaraan mereka.
"Oh, mereka orang-orang yang sangat baik, Ruby. Seperti juga
orangtuanya, ada anak-anak mereka yang masih lajang yang tinggal di
rumah ini. Yang lainnya sudah menikah dan tinggal di Kairo atau
Iskandariah. Besok, Pakinaz, anak perempuan mereka yang lajang
itu, akan mengantar kami ke universitas tertua di Kairo, Al-Azhar,
dan bertemu dengan kakaknya. Aku tak sabar ingin bertemu dia."
"Apakah yang tinggal di rumah itu dua saudara perempuan? Kau
bilang ada anak-anak."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Tidak, salah satunya putra mereka. Dia adalah seorang pengajar di


universitas tempat aku akan belajar."
"Bagaimana tampangnya?"
"Oh, lumayan. Kuharap dia akan bisa sedikit membantuku begitu aku
mulai belajar. Aku akan tergabung dalam jurusan yang dipimpinnya.
Dia bahkan sudah memberikan beberapa buku padaku tentang
bagaimana cara mempelajari bahasa Arab. Sangat menguntungkan
ada lelaki itu sebagai narasumberku. Aku sedang berusaha melatih
lidahku berbicara bahasa Arab."
"Apakah dia berwajah tampan?" suara Ruby terdengar jelas sedang
menggoda kakaknya itu.
"Ruby! Ya, sekadar informasi untukmu, dia tampan. Dia berjanggut
hitam dan matanya berwarna gelap dan lebar sehingga kau bisa
tenggelam di dalamnya. Apakah itu memuaskanmu? Sejujurnya, aku
lebih suka dia tidak tinggal bersama keluarga ini. Aku jadi harus
mengenakan burqa sepanjang waktu karenanya. Aku hanya
melepaskannya di dalam kamarku."
"Oh, malang nian. Kau pasti merasa sesak napas, mengingat di sana
pasti sangat panas. Bagaimana kabar Sakina?"
"Sakina sedang bersenang-senang. Dia sudah berbelanja banyak
sekali dan membeli sekurang-kurangnya selusin botol parfum. Aku
akan mengirimkan padamu beberapa botol saat Sakina pulang dalam
dua minggu ini. Sampaikan salam sayangku pada semua orang." Zarri
Bano mengakhiri pembicaraan pertamanya dari Mesir dengan
adiknya.
Beberapa saat kemudian, Ibrahim mengantar mereka ke universitas
tua itu dan mengajak mereka melihat-lihat, seraya menjelaskan
aneka sejarah tentang tempat itu pada mereka.
***
Zarri Bano melirik ke arah kalender papirus dengan sebuah lukisan
pohon kehidupan Mesir yang digantungkan di dinding ruang belajar

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Ibrahim. Tiga bulan sudah berlalu. Saat itu dia sudah terdaftar di
Universitas Al-Azhar. Semester kedua sudah dimulai dan kini dia
sedang menjalani kuliahnya. Dia sudah memilih tema untuk tesisnya,
"Perjalanan para Sejarahwan Awal Arab, Ibnu Khaldun dan Ibnu
Battutah". Karena merasa kesulitan dalam menguasai bahasa Arab
klasik, dia pun kemudian cukup belajar tentang bahasa Arab modern
untuk mengatasi kebutuhannya sehari-hari, seperti saat berbelanja
atau berbicara dijalan. Meskipun dia sudah memiliki kamarnya
sendiri, dengan satu set meja belajar lengkap, Ibrahim Musa
mengizinkannya menggunakan ruang belajarnya saat sedang tidak
digunakan. Zarri Bano terpesona oleh rak buku yang memenuhi
dinding-dindingnya yang dipenuhi buku-buku tentang Islam, agama,
dan sejarah Islam.
Dia mendapatkan bantuan Pakinaz untuk menerjemahkan kata-kata
dan memahami ungkapan serta idiom bahasa Arab yang tidak formal.
Ibrahim Musa menawarkan untuk mengevaluasi pelajarannya setiap
dua hari sekali dan membantunya dalam mengembangkan bahasa
Arab klasiknya.
Setelah melewati beberapa hari pertamanya, Zarri Bano sudah mulai
merasa rileks menerima kehadiran Ibrahim, dengan menyapa dan
menganggapnya sebagai seorang kakak. Sementara bagi Ibrahim
sendiri, dia menghormati dan menyapa Zarri sebagai adiknya.
Tampak sangat menikmati kehadiran Zarri Bano, Ibrahim juga
bersyukur dapat membagi ketertarikan dalam bidang yang
dikuasainya bersama Zarri Bano. Pakinaz dan kedua orangtuanya
sama sekali tidak tertarik dengan bidang yang digelutinya. Entah
bagaimana, kini, seorang perempuan cerdas dengan semangat yang
membuncah, yang datang dari belahan dunia lain, telah melakukan
yang terbaik dalam bidang yang dipelajari Ibrahim itu.
"Adik Zarri Bano, aku sangat terkesan dengan kemampuanmu yang
tinggi dalam menguasai bidang ini dengan waktu yang cukup singkat,"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ujarnya memuji kemajuan studi Zarri Bano pada suatu hari, sambil
bersandar di kursinya dan mengamati Zarri Bano dari balik
kacamatanya. Matanya yang gelap menyorot lurus ke wajah Zarri.
Zarri Bano meraba keningnya untuk memeriksa andai ada helaian
rambutnya yang keluar dari balik kerudung burqa-nya.
"Terima kasih atas pujiannya, Abang Musa. Aku merasa semua
bidang yang kupelajari begitu menarik. Aku merasa seperti sebuah
busa. Aku ingin menyerap sebanyak mungkin ilmunya. Sudah menjadi
tujuanku menjadi seorang perempuan yang terpelajar dalam bidang
agama dan kalau bisa dalam waktu yang sesingkat mungkin. Tentu
saja, sebagaimana yang kau juga ketahui, sebagian besar kemajuanku
berkat kau juga. Jika aku tidak memilikimu sebagai seorang mentor,
tutor, atau apalah kau menyebutnya, aku tidak akan mendapatkan
kemajuan sejauh ini."
"Sama-sama. Sangat menyenangkan berteman denganmu, Zarri
Bano," dia menjawab hangat sambil mencondongkan tubuhnya ke
depan. Zarri menyadari, dengan hati yang terpuruk, betapa Ibrahim
Musa telah menghilangkan kata "adik". Sebentuk kesadaran fisik
yang belum pernah ada sebelumnya segera saja menyeruak di antara
mereka berdua.
Zarri Bano bersandar ke belakang dan dengan tatapan menerawang
dia memandangi buku di pangkuannya. Kemudian dia bangkit, sambil
matanya berusaha untuk terus menghindar dari sosok lelaki itu.
"Maafkan aku, Abang Ibrahim. Menurutku, kita berdua sudah sangat
lelah. Aku akan meninggalkanmu untuk beristirahat."
Terkesiap menerima sikap Zarri yang tiba-tiba saja berubah,
Ibrahim memandangi gadis itu berlalu dengan tatap mata cemas.

27.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

HARI ITU Jumat pagi, keluarga Ibrahim sedang pergi berlibur ke


Iskandariah, di pesisir Laut Tengah, mengunjungi kerabat mereka
selama satu minggu. Mereka sudah mengajak Zarri Bano untuk ikut
bersama mereka. Sambil berterima kasih atas tawaran baik mereka,
Zarri Bano menolak dengan halus, mengatakan bahwa ada banyak
buku yang harus dibaca untuk penelitiannya.
Setelah mandi untuk shalat Jumat, Zarri Bano memutuskan
mengenakan baju katun merah panjang khas Mesir yang dibelinya
dari pasar induk Kairo. Dia duduk di depan daun jendela dari kayu
yang terbuka di ruang belajar Ibrahim. Dia membiarkan sepoi angin
yang hangat dari Sungai Nil mengeringkan rambutnya yang
membingkai wajahnya dalam ikal alami rambut yang tak tertata.
Dengan sepasang mata terpejam, dia meresapi embusan angin hangat
di wajahnya sambil memikirkan tugas-tugasnya tentang ilmuwan dan
ahli matematika Muslim abad kedua belas.
Begitu mendengar langkah kaki di luar ruang belajar, segera dia
terduduk tegak, dengan mata terbuka dan sangat waspada. Siapakah
itu? Semua orang seharusnya sedang berada di Iskandariah. Menit
berikutnya, pintu ruang studi itu terbentang lebar. Zarri Bano
menatap kaget ke arah Ibrahim Musa yang memasuki ruangan.
"Assalamu 'alaikum!" sapanya pada Zarri. Padahal dirinya amat
terkejut melihat sesosok perempuan asing di ruang studinya.
Beberapa detik saja, sepasang mata di balik kacamatanya itu
mengedip dan langsung mengirimkan bayangan perempuan itu ke
dalam retinanya. Pakaian tangan pendek yang dikenakan Zarri Bano
mempertunjukkan lengannya di bagian atas sikunya. Leher dan
keindahan feminin tubuh Zarri tampak begitu cemerlang dalam
pandangan Ibrahim.
Pipi Zarri Bano segera saja memerah ketika menyadari semuanya itu.
Kedua lengannya terangkat dan melintang di depan dadanya,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berusaha menyelimuti dirinya dari Ibrahim dan sorot matanya. Zarri


membalikkan tubuhnya dan memandang ke bawah ke arah Sungai Nil.
"Wa 'alaikumussalam, Abang Musa." Dia membalas sapaan Ibrahim
dengan suara bergetar. "Kupikir kau sedang berada di Iskandariah
mengunjungi kakak perempuan sulungmu."
Ibrahim Musa secara naluriah memalingkan wajahnya begitu melihat
bahasa tubuh Zarri yang tampak malu. Ia juga merasakan malu
sekaligus rikuh karena telah memergoki Zarri dalam situasi yang
memalukan seperti itu. Dan itu semua adalah kesalahannya. Ia baru
saja masuk ketika Zarri berpikir bahwa dirinya sendirian di dalam
rumah itu dan karenanya membuka burqa-nya untuk merasakan
kenyamanan berkeliling di dalam rumah tanpa jilbab. Ia, Musa, telah
merampas kenyamanannya itu dengan mengganggu privasi gadis itu.
"Maafkan aku, Adik Zarri Bano. Aku memohon maaf setulusnya. Aku
sama sekali tidak menyadari bahwa kau ada di sini...," suaranya
lenyap, menunggu Zarri Bano mengatakan sesuatu. Matanya terfokus
pada sosok langsing punggung dan bahu yang terpancar kuat dari
bentuk pakaian yang dipakai Zarri Bano. Ibrahim masih merasa sulit
mengenali sosok perempuan yang tampak rapuh di depannya itu
sebagai seorang perempuan tangguh yang terus-menerus terbungkus
jilbab longgar panjang.
"Tidak apa-apa, Abang Musa. Ini rumahmu," Zarri Bano menjawab
lirih. Kepercayaan dirinya belum pulih setelah dilihat oleh pemuda
lajang ini tanpa burqa-nya. Dia merasa telanjang di bawah tatap
matanya. Punggungnya bergetar membayangkan mata lelaki Ibrahim
menelusuri tubuhnya. "Kupikir kau sudah pergi ke Iskandariah dan
tidak akan kembali sampai besok malam," ujarnya lagi, masih dengan
posisi tubuh memunggungi.
"Aku memutuskan pulang lebih cepat karena ada pertemuan dengan
teman-teman sejawatku di kampus. Aku minta maaf telah
mengganggumu, saudariku. Tolong maafkan aku jika aku sudah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

membuatmu kesal. Dan silakan menikmati keleluasaanmu di rumah ini.


Aku bisa meyakinkanmu, kau tidak akan diganggu lagi. Aku akan
mengunjungi kakak perempuan keduaku di Kairo sini, dan aku akan
menginap di rumahnya malam ini. Aku akan menemuimu lagi besok
malam saat segenap anggota keluarga sudah pulang. Sekali lagi aku
minta maaf. Assalamu 'alaikum."
"Tidak apa-apa. Wa 'alaikumussalam, Abang Musa."
Ibrahim berlalu, seraya menutup pintu dengan mantap di
belakangnya. Zarri Bano masih tetap berdiri di ambang jendela
sampai dia mendengar pintu luar menutup dan suara mesin mobil
yang berlalu terdengar. Baru kemudian dia melepaskan kedua
tangannya yang melintang kuat menutupi dadanya dan berbalik untuk
duduk di depan meja.
Zarri Bano memandang bukunya yang terbuka di atas meja itu,
tetapi itu sudah tak ada gunanya lagi! Ibrahim Musa sudah
menyaksikan semuanya. Dia begitu marah pada dirinya sendiri karena
dipergoki dalam keadaan seperti itu. "Aku seharusnya selalu
mengenakan burqa-ku!" bentaknya pada dirinya sendiri. Bagaimana
jika suatu kali dia mendapatkan kecelakaan dan tidak ada seorang
pun di sekitarnya selain Musa? Bisakah dia menahan diri andai Musa
harus menyentuh tubuhnya tanpa jilbab ketika menyelamatkannya?
Satu jam kemudian dia kembali ke kamarnya dan secara ritual
mengenakan kembali burqa untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Barulah setelah itu, dengan duduk di balik perlindungan jilbabnya,
dia mampu berkonsentrasi lagi pada buku yang sedang dibacanya. Dia
tahu dari dalam hatinya bahwa dia tidak akan merasakan perasaan
yang sama lagi menghadapi kehadiran Musa. Dia berharap pada
Allah, berkali-kali, andai saja Musa tidak datang tadi, ataupun andai
dirinya mengenakan burqa-nya saat itu.
***

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Ibrahim Musa mengemudikan mobilnya melewati lalu lintas sore di


pusat kota yang padat menuju rumah kakak perempuannya. Saat
melintasi pasar induk dan melihat sebuah pakaian tradisional Mesir
tergantung di sebuah gerai di antara pakaian lainnya, ia pun
mengingat Zarri Bano dengan baju merahnya. Ibrahim merasa malu
mendengar apa yang disuarakan oleh pikirannya, tetapi memang tak
bisa disangkal bahwa Zarri Bano adalah seorang perempuan yang
sangat memesona. Ia sudah menduganya, dari raut wajah, tangan,
dan matanya. Dengan melihat sosoknya tanpa jilbab, matanya mulai
belajar menghargai apa yang tersembunyi di balik jubah hitam itu.
Pada saat yang sama, ia begitu marah pada dirinya sendiri. Ia sudah
melakukan kesalahan. Ia tidak berhak menatap seorang perempuan
tanpa jilbabnya. Itu adalah keistimewaan yang hanya dinikmati pada
anggota keluarganya atau suaminya—dan ia bukan
salah satu di antaranya. Dengan kejadian itu, ia merasa malu atas
Zarri dan dirinya sendiri. Ia berharap Zarri akan memaafkannya dan
mau memercayainya lagi, dan tidak membangun benteng pembatas
karena kejadian tersebut. Ia tidak menginginkan hal apa pun
merusak hubungan harmonis yang sudah mereka jalin.
Dengan cemas, ia mengingat bagaimana Zarri Bano terus
memunggunginya sepanjang waktu saat ia berada di kamar itu.
Mungkin kini Zarri Bano akan selalu waspada dan terus menjaga
jarak darinya. Jika dia melakukannya, Ibrahim tidak punya pilihan
lain selain menerimanya dan menghormati keputusannya itu.
Bayangan Zarri Bano dalam balutan baju merahnya dan mahkota
ikalnya yang membingkai wajah cantik itu membersit berkali-kali di
depan matanya malam itu, saat ia bermain-main dengan anak-anak
kakak perempuannya.

28.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

IBU SADAF yang menjadi kepala sekolah di sekolah menengah untuk


para gadis di desa kini sudah pensiun dan Firdaus, sesuai dengan
keinginan semua orang, serta-merta dipilih oleh dewan sekolah
sebagai kepala sekolah yang baru.
Firdaus duduk di kantornya menyiapkan dokumen-dokumen penting
untuk dipresentasikannya pada beberapa tamu khusus yang
dinantikannya siang nanti. Seorang kepala sekolah dari sebuah
perguruan tinggi perempuan di kota tetangga, tertarik untuk
menjalin hubungan dengan sekolah-sekolah untuk para gadis di
pedesaan. Firdaus memeriksa beberapa halaman terakhir dan sudah
merasa puas dengan makalah yang sudah disiapkannya itu ketika
mendengar langkah kaki di beranda luar. "Apakah mereka sudah
datang?" Dia segera bangkit dari kursinya. Tanpa ketukan di pintu
seperti pada umumnya, pintu itu didorong tiba-tiba dan terbuka.
Firdaus mengerjap melihat orang yang berdiri di depannya dan
terduduk di kursi.
Sosok tinggi Kaniz mendominasi ruangan itu. Selama beberapa detik
yang mendebarkan, kedua perempuan itu saling menatap tajam satu
sama lain, tak mampu berkata-kata. Sepasang mata Kaniz yang gelap
dan dingin menampakkan tatapan penuh penghinaan.
"Assalamu 'alaikum, Chaudharani Kaniz Sahiba," Firdaus akhirnya
berhasil melontarkan sapaan setelah pulih dari keterkejutan dan
mengingat tata krama sosialnya. "Apa yang bisa kubantu untuk
Anda? Silakan duduk." Firdaus menganggukkan kepalanya ke arah
kursi.
Kaniz melemparkan pandangan jijik ke arah kursi tersebut, lalu dia
kembali menatap wajah Firdaus. "Gadis murahan" ini berani-
beraninya memberi perintah kepadanya!
Firdaus melemparkan pandangannya ke arah jam dinding. Setiap saat
tamu-tamunya bisa saja datang. Dia sama sekali tidak menginginkan
kehadiran Kaniz ataupun sebuah pertengkaran dengan perempuan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

itu. Terlalu kebetulan Kaniz datang mengganggunya di saat-saat


terakhir. Maka, Firdaus segera berdebat dengan dirinya sendiri
mencari cara bagaimana mengusir perempuan itu tanpa tindakan-
tindakan yang tidak menyenangkan. Lagi pula, mengapa dia harus
berada di sini?
"Adakah yang bisa kubantu? Seperti yang Anda lihat, aku sedang
menunggu beberapa orang tamu yang akan segera tiba, Bibi." Firdaus
mencoba menjelaskan situasinya dengan sopan sambil menatap mata
Kaniz dengan tenang.
"Ya, tentu, kau pasti bisa membantuku." Sebeku lapisan es di
pegunungan Kashmir, kata-kata Kaniz itu membahana ke sekeliling
ruangan. "Mengapa engkau dan ibumu mengincar aku dan putraku,
agar kalian bisa menjerat kami dengan jaring-jaring kejahatanmu?"
Firdaus terkesiap. Dia memejamkan matanya dari balik kacamata
bacanya dan batinnya menghitung sampai tiga— sebuah kebiasaan
efektif yang diterapkannya sejak lama—sebagai usaha untuk
mengendalikan diri dan temperamennya yang akan menjadi sangat
tidak menyenangkan jika meledak.
"Aku tidak mengerti. Kami sama sekali tidak pernah membuat
perangkap jahat atau jaring-jaring di sekitar Anda, putra Anda,
ataupun keluarga Anda. Pastilah itu hanya imajinasi liar Anda yang
membuat Anda berpikir seperti itu, Nyonya," Firdaus menjawab
dengan dingin.
"Jangan menyebutku 'Nyonya'," desis Kaniz. Matanya yang gelap
berbentuk buah almond menciut karena amarah yang membuncah.
"Kau dan ibumu sudah menghancurkanku dan keluargaku."
Jantung Firdaus kini berdebar kencang di dalam dadanya.
Perbincangan itu sudah menjadi semakin sulit dikendalikan, dan dia
tidak tahu cara terbaik untuk menangani situasi itu.
"Kuulangi, Bibi, aku tidak tahu maksudmu. Aku tidak memiliki kaitan
apa pun dengan putramu," Firdaus berusaha keras, sementara

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

hatinya didera rasa takut terisap ke dalam pusaran badai imajinasi


Kaniz yang simpang siur.
"Kau tidak memiliki kaitan apa pun dengan putraku, kau bilang? Kau
licik, perempuan-perempuan yang berkomplot. Kau dan ibumu selalu
mengejarnya selama bertahun-tahun. Tuhan tahu berapa gelas susu
yang dicampuri tweezyang kau dan perempuan itu jejalkan ke dalam
tenggorokan putraku. Khawar sudah kabur dari rumah karenamu,
perempuan j alang!"
"Cukup sudah!" Firdaus serentak bangkit dari kursinya. Dia
sepenuhnya merasa terguncang oleh ceracau berbisa perempuan itu.
Pipinya yang kecokelatan kini membiaskan warna merah, dan dengan
kedua tangan terentang di atas mejanya, Firdaus mencondongkan
tubuh rampingnya yang setinggi satu setengah meter itu ke arah
Kaniz. Gigi-giginya gemeretak menahan emosi seraya menggeramkan
suaranya yang paling tegas—suara yang biasa digunakan kepada
murid-muridnya saja.
"Nyonya, silakan Anda keluar dari kantorku dan keluarlah dari
hidupku. Anda tidak punya tata krama, tetapi aku tidak akan
terseret ke dalam permainan rendah Anda dengan membalas
kekurangajaran Anda. Tapi, biar kukatakan pada Anda bahwa aku
tidak akan menyentuh putra Anda atau anggota keluarga Anda
lainnya dengan sebatang dayung perahu sekalipun, apalagi
menikahinya. Anda boleh menyimpan Khawar Anda yang tak ternilai
itu. Buat saja barikade untuknya karena aku tak peduli," dia
mengakhiri kata-katanya dengan tajam, bahkan dirinya tercekat
sendiri mendengarnya. Kaniz tampaknya sudah berhasil memunculkan
sisi terburuk Firdaus.
"Berani-beraninya kau mengatakan hal itu padaku! Tutup mulut
jahatmu, gadis binal. Ia sudah kabur karenamu. Aku tidak tahu apa
yang dilihatnya padamu. Kau hanyalah makhluk murahan!" Sorot mata
penuh penghinaan yang terpancar di wajah Kaniz dan bentuk bibirnya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

yang mengerut ke bawah membuat kedua tangan Firdaus bergetar di


atas meja.
"Ia tidak kabur dari rumah Anda karena kami, tetapi karena Anda.
Ia tidak tahan berdekatan dengan seorang ibu mirip ular berbisa
seperti Anda!" Firdaus kini tidak mengindahkan tata krama sosial
dan memutuskan bahwa perempuan itu tidak pantas dihormati. "Aku
tidak pernah memasangkan azimat tertentu padanya—aku tidak
memercayai hal-hal seperti itu. Perempuan-perempuan yang bodoh,
percaya takhayul, dan jahat seperti Anda sajalah yang memercayai
hal-hal menggelikan seperti itu. Aku tidak pernah merencanakan apa
pun atas putra Anda dan tidak
akan pernah. Aku malu mengakui bahwa ibuku lebih menyukai jodoh
seperti itu, tetapi ibuku juga bodoh seperti Anda. Tidak,
Chaudharani Kaniz, aku tidak akan pernah menikah dengan putra
Anda, bahkan andaikan Anda merangkak-rangkak dan berlutut
memohon-mohon padaku."
"Itu hanya akan terjadi di akhir zaman!" jerit Kaniz histeris. "Aku—
merangkak untuk meminang seorang anak tukang cuci...." Matanya
nyaris terbalik di dalam kedua rongganya.
Dia segera dikejutkan oleh entakan tangan Firdaus tiga kali pada bel
di atas mejanya. Menyadari betapa dia ingin sekali memukul
perempuan itu, Firdaus merasa terkejut oleh perasaannya yang
begitu keji kepada Kaniz.
Penjaga sekolah, chaprassi, datang tergopoh-gopoh memasuki
ruangan kantor kepala sekolah.
"Ada apa, Ibu Kepala Sekolah?" dengan penuh hormat ia bertanya
pada Firdaus, dan dengan takut-takut ia memandangi satu per satu
kedua perempuan yang sedang murka itu.
"Baba Jee, tolong antar tamu tak diundang ini keluar dari sekolah
kita. Di masa yang akan datang, pastikan Anda bertugas dengan baik

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menjaga pintu. Kita tidak menginginkan nathupethu apa pun, tamu


tak diundang dari mana pun, merangkak memasuki sekolah kita."
Meski sempat terkejut sendiri mendengar suaranya yang begitu
tajam berbisa, Firdaus merasa lebih baik karenanya. Kaniz tercekat
mendengar tanggapan sekejam itu. Terbakar amarah ingin kembali
meneriakkan beberapa cacian lagi pada Firdaus, dia malah
menemukan dirinya bak orang buta dan bisu yang mengikuti si
chaprassi berjalan keluar dari ruangan itu.
Sambil meninggalkan ruangan itu dalam kebingungan sebagai
perempuan yang telah dipermalukan, Kaniz tiba-tiba saja merasa
dirinya sudah kehilangan tiga inci tinggi tubuhnya. "Dicampakkan
keluar oleh seorang chaprassi! Aku, Kaniz, seorang chaudharani! Dan
atas perintah siapa? Semata-mata oleh seorang anak perempuan
tukang cuci!" dia menjeritkan kalimat itu di kepalanya, pada saat
yang sama ketika dia ingin melarikan diri dan bersembunyi di suatu
tempat.
Begitu melintasi halaman sekolah, dia melihat sekelompok
perempuan, tampak rapi mengenakan busana shalwar kameze,
berjalan memasuki gerbang. Firdaus, yang telah mengikuti Kaniz
keluar dari ruang kantornya, segera bersemangat menyambut dan
menyapa tamu-tamunya. Kaniz memandangi itu semua dengan getir,
memandangi kedua tangan Firdaus yang terentang. Kini Firdaus telah
sepenuhnya mengabaikan Kaniz dan dia mengantar tamu-tamunya
memasuki ruangannya.
Merasa terkalahkan, Kaniz menyelinap pergi, menarik ujung
kerudungnya hingga menutupi dahi serta menyembunyikan wajahnya.
Ada dua buah mobil yang berkilau diparkirkan di luar area parkir
sekolah yang sempit. Orang-orang yang penampilannya menyerupai
orang penting itu terbukti mengunjungi anak perempuan si tukang
cuci itu! Mulut Kaniz mengatup kuat karena merasa sebal dan amat
marah.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kepala Kaniz masih terasa berputar. Begitu dia telah berada sejauh
beberapa meter, Kaniz merasa tidak yakin lagi siapa dirinya
sebenarnya.
Seolah-olah Firdaus sudah mencerabut identitasnya sebagai seorang
chaudharani. Bayangan Firdaus yang semakin memuakkannya, yang
sedang dipeluk bergantian oleh para perempuan berpakaian mewah
itu, dengan senyum-senyum senang terpancar di wajah mereka, akan
tetap menghantui Kaniz sampai hari kematiannya.
Firdaus sudah benar-benar membalikkan kenyataan itu di
hadapannya. Dia sudah berhasil membuat dirinya, Kaniz, merasa
bagaikan seorang perempuan tukang cuci, sementara Firdaus
menampilkan dirinya dengan sempurna sebagai seorang chaudharani
di sekolah itu.

29.

SAAT BERJALAN sendirian di salah satu ladang sayurannya, Siraj


Din membungkuk dan menekan-nekan tanah kering dengan tongkat
yang digunakannya untuk membantunya berjalan dengan maksud
memeriksa segembur apa tanah di bawahnya. Sistem irigasi itu
ternyata benar-benar bermanfaat. Sebuah traktor yang dikendarai
oleh salah seorang pekerjanya, Faisal, melintas. Siraj Din
meneruskan jalan-jalannya. Ia berjalan menuju arah desa.
Saat melintasi sekolah para gadis, ia tidak memerhatikan
keberadaan seorang perempuan yang sedang duduk di atas sebuah
batu besar di ujung jalan, sampai saat ia hanya berjarak sekitar
beberapa meter dari perempuan itu. Dengan kepala tertunduk dan
dupatta-nya menutupi sebagian wajahnya dari pandangan Siraj Din,
ia tidak bisa mengenali siapa perempuan itu. Apakah dia salah
seorang tamu dari kota atau dari desa tetangga? Namun, tidak
tampak adanya barang bawaan di sekitarnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Begitu ia mendekat, perempuan itu tampaknya mendengar suara


langkah Siraj Din dengan ketukan tongkatnya, dan perempuan itu
pun menengadah. Siraj Din merasa sangat terkejut.
"Kaniz, apa yang sedang kau lakukan di sini, duduk di tengah jalan?"
tanyanya seraya berhenti di hadapan Kaniz.
Perempuan itu tampak seperti bukan Kaniz, dia selalu bepergian
menggunakan mobil. Tepi jalan desa dan di atas sebongkah batu
berdebu adalah tempat terakhir yang akan dipikirkan orang untuk
mencari Chaudharani Kaniz.
Kaniz membalas tatapan Siraj Din dengan sorot mata kosong. Lelaki
itu menyipitkan matanya mengenali bentuk mulut yang terkatup
rapat di wajah Kaniz. Sikap alaminya seolah-olah sirna. Ekspresi
wajahnya menjadi begitu asing. Tanpa mampu berkata-kata, Kaniz
terus menatap Siraj Din. Bibirnya tampak sedang berupaya sekuat
tenaga untuk mengatakan sesuatu, tetapi dia gagal melontarkannya.
Bibirnya itu seolah-olah terekat semen yang kuat. Siraj Din kini
mencemaskan keadaannya. Ia menyaksikan ada dua orang perempuan
lainnya melintas, salah satunya memikul seikat besar tebu di
kepalanya. Mereka menundukkan kepala mereka sebagai tanda
penghormatan begitu bertatapan dengan Siraj Din, dan
mengucapkan "Salam". Ia membalas menundukkan kepalanya
perlahan dan mencondongkan tubuhnya ke depan untuk menepuk
bahu perempuan-perempuan itu. Ia mengenal nama keduanya dan
latar belakang keluarga mereka.
"Apakah kau baik-baik saja, Anakku?" ia bertanya lembut ketika
menoleh kembali ke arah Kaniz. Siraj Din menyapa semua perempuan
di desa itu dengan sebutan "anakku", dengan pengecualian kepada
tiga orang, yang dengan alasan usia mereka, dipanggilnya sebagai
"saudari".
Kaniz tak pernah dikenal sebagai seseorang yang bisa kehilangan
kata-kata. Dalam keadaan normal, Siraj Din tertawa sendiri, dia

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

adalah ratu pidato yang sangat piawai dalam membuat pidatonya


mengalir dan membuat orang tetap berada di tempatnya.
"Dia mengusirku, Baba Jee," bisiknya begitu lirih sehingga Siraj Din
nyaris tak bisa mendengar suaranya. Sambil memalingkan wajahnya
dari pandangan Siraj Din, Kaniz menunduk memandangi tanah. "Siapa
yang sudah mengusirmu, sayang?" bujuk Siraj Din.
Kaniz meliriknya dengan tajam, kemarahan tampak berpijar di bola
matanya. Kaniz merasa kesal karena Siraj Din tidak bisa mengerti
siapa yang dimaksudkannya sebagai "dia".
"Dia! Dia! Sundal itu! Charail itu yang sudah memantrai putraku
menggunakan ilmu sihirnya. Si anak tukang cuci itu!" kata-kata yang
mengalir deras itu kini melontarkan segenap kemarahan dan
kebencian yang mengendap di dalam benak dan hatinya pada Firdaus.
"Maksudmu Firdaus?" terka Siraj Din dengan tepat.
"Ya! Sementara dia menyambut tamunya dengan tangan terbuka,
memeluk, dan menciumi tamu-tamu 'dari kalangan tingkat tinggi'-nya
yang tiba dari kota, dia memerintahkan chaprassi mencampakkanku
ke luar seperti seorang pengemis. Bisakah kau memercayai itu, Baba
Jee? Aku, chaudharani di desa ini, diusir oleh perempuan binal yang
bahkan tidak cukup pantas untuk membersihkan sepatuku."
"Kaniz sayang, jangan terbawa emosi." Siraj Din menepukkan
tongkatnya perlahan ke atas tanah. Seulas senyum tertahan tampak
di wajahnya.
"Baba Jee, aku merasa seolah-olah identitas diriku sudah terampas
saat aku berjalan keluar dari gerbang sekolah itu," ratap Kaniz
seakan-akan tidak mendengar apa yang dikatakan lelaki itu. "Aku
sudah duduk di tempat ini sejak siang tadi. Kepalaku berputar
karena tak mampu memercayainya. Siapakah aku? Aku terus
bertanya-tanya dalam hatiku. Katakan padaku, Baba Jee, masih
adakah chaudharani desa lainnya? Beginikah caranya memperlakukan
seorang perempuan terhormat yang usianya lebih tua? Dia

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

melakukannya dengan sengaja, untuk menghinaku dan membalurkan


lumpur ke wajahku. Dia sudah membuat putraku melawanku. Khawar
telah kabur dari rumah. Kini gadis itu mengusirku pula dari sekolah
itu. Siapakah dia, Baba Jee? Dia tidak lebih dari seseorang yang
namanya baru saja menanjak. Tangan-tangan ibunya masih
berlumuran kotoran dari piring-piring yang dibersihkannya di rumah
putra Anda!"
"Kaniz, Anakku, tenanglah. Menurutku, kau sudah terbawa jauh oleh
imajinasimu. Aku yakin Firdaus tidak akan pernah berani
mengusirmu."
"Namun, dia benar-benar melakukannya, Baba Jee. Mengapa Anda
membelanya? Aku yakin aku akan terkena serangan jantung karena
kejadian ini." Pipi Kaniz panas memerah karena amarah yang meluap-
luap.
"Kupikir aku tahu apa yang kau maksud," Siraj Din berkata dengan
penuh perhatian, "apa yang baru saja kau alami. Aku pernah
mengalami kejadian serupa dalam hidupku. Aku tahu kita adalah raja
dan ratu di wilayah kita yang kecil. Yang sulit kita percayai dan kita
terima adalah bahwa di luar batas-batas wilayah itu, kita tidak
berarti apa-apa, Kaniz. Aku juga mengalami kebangkitan diri yang
cukup kejam, yaitu ketika aku diperlakukan dengan begitu rendahnya
di Makkah oleh seseorang. Saat itu aku juga merasa pening karena
terkejut. Egoku benar-benar terluka. Seperti kau, aku juga mulai
meragukan identitas diriku dan ke war asanku. Pada akhirnya aku
menyadari, dan itu terjadi dengan brutal
pada diriku serta menjadi pengalaman yang sangat berharga
untukku, melihat segala sesuatu dari luar diriku, dari dunia yang
kuciptakan sendiri. Di sini, di desa ini, aku menjadi tuan atas
segalanya. Di kota, aku hanyalah seorang lelaki tua uzur."
"Kau bukan seorang lelaki uzur! Dan aku tidak terbawa emosi, Baba
Jee. Dia benar-benar mengusirku," tukas Kaniz tak sabar.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Lupakan saja. Jangan biarkan dirimu lebih kesal lagi. Mengapa kau
tidak menyadari segalanya? Aku tahu apa yang sedang terjadi.
Mengapa tidak kau biarkan saja putramu menikahi Firdaus?"
"Tidak akan pernah!" jerit Kaniz. Dia sepenuhnya murka. Matanya
memerah oleh kemarahannya.
Mulut Siraj Din membiaskan seulas senyum. Alis cokelatnya yang
tebal menekuk karena terheran-heran. Ini adalah Kaniz yang
dikenalnya; bersuara nyaring, garang, selalu yakin pada dirinya
sendiri, dan sungguh-sungguh sok kuasa. Siraj Din tidak mengatakan
apa pun selama beberapa detik, dengan bijak ia tetap berdiam diri—
membiarkannya tenang terlebih dahulu. Kaniz tetap berdiri.
Tubuhnya kaku.
Siraj Din mulai melangkah bersama tongkatnya. Kaniz ikut berjalan
di sisinya dan dalam diam mereka berjalan berdampingan menuju
arah desa. Siraj Din tahu ia tidak akan membuat Kaniz senang
mendengar kata-katanya, meski demikian, ia bersikukuh
melakukannya.
"Kau tidak pernah memaafkan Fatima, bukan?" tuduh Siraj Din
dengan nada lembut.
Kaniz terdiam. Langkahnya terhenti. Wajahnya berubah tajam pada
Siraj Din, dengan mata terbelalak dan mulut sedikit ternganga. Siraj
Din pun berhenti.
"Apakah maksud Anda?" tanya Kaniz dengan suara yang hampir-
hampir tidak terdengar.
"Kau tahu benar apa yang kumaksud. Aku mengetahui semua yang
sudah terjadi di desa ini, Kaniz."
Perempuan itu menatap tak percaya ke arah lelaki tua yang berdiri
gagah dengan rambut putih dan janggutnya yang disemir. Mata Kaniz
terbelalak lebar-lebar.
"Aku tidak tahu apa yang sedang kau katakan, Baba Jee." Kaniz
berpura-pura tidak tahu apa-apa, sebagai upaya untuk menutupi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

masalah itu. Dia merasa terkejut dan terguncang menyadari bahwa


lelaki tua itu mengetahuinya, bahkan setelah dua puluh sembilan
tahun. "Mengapa aku harus memaafkan Fatima?" lanjutnya. Dia
telah, melontarkan nada sarkasme yang salah pada kalimatnya,
diiringi seulas senyum di wajahnya.
Bibir Siraj Din seakan hendak tertawa. Kaniz memiliki kepiawaian
dalam menyamarkan sikapnya dengan cepat. Senyum di wajah keriput
Siraj Din kemudian melebar. Tidak ada satu pun dan siapa pun yang
bisa membuat Kaniz terpuruk. Dia akan segera bangkit dari
keterpurukannya dengan dendam membara.
Siraj Din meneruskan langkahnya sejauh beberapa meter seraya
mengetuk-ngetukkan tongkatnya sepanjang jalan. Kaniz berjalan di
sampingnya, menunggu lelaki tua itu mengatakan sesuatu. Tubuh
Kaniz menegang. Siraj Din berdiri diam di tengah jalan yang
berdebu. Ujung tongkatnya menggambarkan sebuah lingkaran, lalu
menoleh pada perempuan di sampingnya.
"Kau sudah dengan sengaja bersikap bodoh, Kaniz. Kau sangat
mengetahui apa yang kumaksud. Kau belum juga memaafkan Fatima
karena sudah menolak cinta Sarwar, suamimu. Kini kau melihat pola
itu berulang, dengan putramu sendiri tertarik pada anak perempuan
Fatima."
Semburat merah segera tampak di pipi Kaniz yang berwarna terang.
Dengan mempersetankan tata krama, dia lupa bagaimana seharusnya
menghormati orang yang lebih tua.
"Baba Jee, kupikir karena usia tuamu, imajinasimu telah
menghilangkan hal-hal yang terbaik dari dirimu. Alangkah...," dia
baru saja akan melontarkan kata "tak masuk akal", tetapi dia
berhasil menyadari pada waktu yang tepat bahwa kalimatnya akan
sangat menyinggung lelaki yang lebih tua daripadanya itu.
Tepat setelah itu, tawa terbahak Siraj Din meledak membahana ke
udara, membuat Kaniz terkejut. Merasa bingung, Kaniz tak berdaya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menyaksikan tubuh langsing lelaki itu terguncang oleh tawa gelinya.


Hanya Kaniz yang memiliki keberanian untuk berdiri di hadapan Siraj
Din dan mengucapkan apa yang ingin dikatakannya tanpa
menghaluskan kata-katanya, untuk kemudian melepaskan diri
darinya. Menantu perempuannya saja, Shahzada, tidak berani
menatap wajahnya ketika sedang berbicara padanya—apalagi
menghinanya dengan mengatakan bahwa imajinasinya sudah tak
keruan!
"Hudah Hafiz, Baba Jee, aku harus pulang. Adikku sedang
menungguku di rumah dan aku tidak punya cukup waktu untuk
mendiskusikan perempuan tukang cuci itu atau gadis binalnya." Kata-
kata yang diucapkan Siraj Din telah mengembalikan Kaniz ke dalam
kehidupannya. Menyadari bahwa bahan pembicaraan Siraj Din terlalu
memuakkan baginya, Kaniz ingin berlalu dari sana sebelum lelaki itu
mengatakan hal-hal lain, dan sebelum dirinya sendiri mengatakan
sesuatu yang mungkin nanti akan disesalinya. Sambil membenahi
kerudung di sekitar bahunya, Kaniz bergegas meninggalkan Siraj
Din.
Siraj Din melanjutkan jalan-jalannya menuju desa dengan segaris
senyum yang masih saja menyeruak di bibirnya. Ia merasa sangat
senang bahwa Kaniz bukanlah menantu perempuannya. A 'udzubllahi
min dzalik. Jika itu terjadi, mungkin ia sudah terbaring di kuburnya
saat ini. Perempuan itu mungkin akan merepotkan mereka dalam
menangani lidahnya yang berbisa itu siang dan malam. Keegoisan,
keangkuhan, dan kelabilannya akan serta-merta menghancurkan
keharmonisan rumah tangga putranya sejak lama. Siraj Din begitu
bersyukur pada istrinya, Zulaikha, karena telah memilihkan menantu
yang cocok bagi Habib, seperti Shahzada.
Memikirkan Shahzada, membawa benaknya pada putranya, Habib.
Putranya itu masih saja terlihat tidak berbahagia ketika terakhir
kali Siraj Din mengunjunginya di kota. Sudah setahun sejak Zarri

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Bano menjadi seorang Perempuan Suci, menantunya, Shahzada,


masih saja tidak serajin dan sebersemangat seperti biasanya.
Secara lahiriah, ia tidak bisa menyalahkannya. Shahzada masih
tampak sama. Dia menghormatinya seperti biasa, menyajikan
makanan dan memberi penghormatan yang layak saat ia mengunjungi
mereka. Kalau begitu, apa yang salah? Siraj Din merasa bingung.
Ia baru mengetahui jawabannya ketika putranya datang dengan pilu
untuk memberitahukan hal itu padanya. "Dia sudah menutup pintu
hatinya dan membiarkan kita di luar. Dia tidak akan pernah
membiarkan kita masuk ke dalamnya lagi." Ia bertanya-tanya
bilamana Shahzada akan memaafkan mereka. Bukankah jalannya
waktu bisa meluluhkan hati?
Habib memberitahunya bahwa Zarri Bano berangkat ke Inggris atas
undangan salah seorang teman seuniversitasnya.
Siraj Din sangat merindukan cucu perempuannya yang tertua itu. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Zarri Bano bukanlah sang
Perempuan Suci sebagaimana yang dibayangkannya. Ia mulai
meragukan apakah keadaannya akan lebih baik jika ia
memperbolehkannya menikah dengan Sikander. Setidak-tidaknya,
dia akan tinggal di rumah dan menjalani kehidupan yang normal, alih-
alih mengelana ke segala penjuru dunia dengan alasan menghadiri
konvensi.
Dalam benaknya, semodern apa pun ia mencoba berpikir, ia tetap
tidak mampu mencerna betapa cucu perempuannya yang cantik jelita
itu harus sendirian dan berada di antara kerumunan pemuda-pemuda
asing. Tidak aman bagi seorang perempuan berada di suatu tempat
tanpa pengawalan kaum lelaki. Zarri Bano mereka sepenuhnya
sendirian di Mesir! Siraj Din mencemaskan cucu perempuannya itu.
Para lelaki bisa saja memerkosa mental seorang perempuan hanya
dengan sebuah pandangan, bahkan andai perempuan itu ditutupi dari
kepala hingga kaki.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kemudian, ia mengingat sosok putranya yang kesepian saat


menelusuri jalanan di tanah miliknya. Kata-kata Habib, "Apakah kita
sudah melakukan hal yang benar terhadap Zarri Bano, Ayah?"
kembali terngiang di telinganya.
"Tentu saja kita sudah bertindak benar!" seru Siraj Din pada dirinya
sendiri. Zarri Bano sudah ditakdirkan untuk mewarisi semua
kekayaan ayahnya dan menjadi seorang Bibi—Perempuan Suci! Itu
sudah menjadi kismet-nya.

30.

DENGAN AGRESIF, Kaniz mendorong gerbang besi berwarna putih


itu hingga terbuka dengan kakinya dan menutupnya dengan bantingan
keras di belakangnya, seakan-akan dia hendak mengumumkan
kedatangannya kepada semua orang. Dia bergegas mencari-cari
adiknya. "Sabra!" teriaknya. Neesa datang tergopoh-gopoh dari arah
gudang perlengkapan kamar tidur di lantai dasar. Begitu melihat
nyonya rumahnya, dia segera meraih kerudung dari bahu Kaniz.
"Di mana adikku?" desak sang chaudharani. Neesa mengalihkan
pandangannya. Kemarahan tampak menyeruak dari setiap lubang
pori-pori majikannya itu.
"Dia sedang beristirahat, Sahiba Jee," ujar Neesa pada Kaniz sambil
bergerak menjauh ketakutan. Dengan bijak, dia ingin menjaga jarak
sejauh mungkin dengan perempuan itu. Kaniz sudah terkenal karena
kebiasaannya mengamuk, melempar, dan memecahkan benda-benda
di sekitarnya.
Dua jam kemudian adalah saat yang menyenangkan, saat Sabra turun
setelah tidur siang. Masih menguap, Sabra tidak diberi kesempatan
untuk menahan semburan kata-kata yang menderanya begitu dia
melihat Kaniz berbaring di atas sebuah palang di beranda.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kaniz sedang mengipasi diri dengan penuh semangat, menggunakan


sebuah kipas tangan berhias manik-manik. Listrik di rumahnya
sedang mati; generatornya juga sedang tidak berfungsi. Panas udara
sore dan pipinya yang panas memerah cukup menjadi bahan bakar
untuk luapan kemarahannya. "Dua kali dalam sehari! Apa gunanya
membayar seribu rupee untuk penyejuk ruangan kalau tidak ada
listrik untuk menyalakannya?" dengusnya kesal sambil setengah mati
menahan diri menunggu adiknya itu duduk di sebuah kursi kayu
sebelum mulai menceracau melampiaskan amarahnya.
Lalu, "Dia mengusirku, Sabra!" seru Kaniz. Kedua tangannya
terentang dengan dramatis.
"Siapa, Kaniz sayang?" sahut Sabra dengan polosnya. Dia sama sekali
tidak siap menahan lelehan lahar kata-kata yang siap diledakkan dari
kawah mulut Kaniz yang indah itu.
"Sundal Firdaus itu, tentunya—siapa lagi?" tukas Kaniz sambil
menyorotkan pandangan mematikan ke arah adiknya. Dia merasa
yakin Sabra sama sekali tidak memahaminya!
Kini Sabra sepenuhnya paham. "Apa maksudmu dia mengusirmu?"
tanya Sabra lembut. Dia sangat penasaran untuk bisa menenangkan
kakaknya dan menurunkan tekanan darahnya, yang sudah menjadi
kebiasaannya saat Kaniz mengamuk.
"Waktu aku datang mengunjunginya, dia menyuruh chaprassi-nya
menyeretku ke luar," desis Kaniz. Napasnya mendenguskan api. "Dia
menyambut tamu-tamu istimewanya—para kepala sekolah dan
pejabat-pejabat penting. Saat dia bersemangat menghambur ke
arah mereka, dia menyuruh salah satu pelayannya menyeretku ke
luar layaknya seorang pengemis."
"Apa, begitu saja? Kau pasti telah mengatakan sesuatu atau
melakukan sesuatu, bukan?" Sabra tahu betul tentang sikap
permusuhan kakaknya terhadap Fatima dan keluarganya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku hanya ingin memberitahunya tentang yang memang pantas


didengarnya; agar dia tidak mengganggu putraku!" Kaniz
mengayunkan kipas tangan itu ke depan wajah Sabra dengan satu
ayunan panjang dan berat. Hawa panas segera saja membakar kedua
pipi Sabra.
Sabra yang sudah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini
segera menghindar dari tatapan sang kakak. Dia memungut kipas
tangan kedua dari meja dan mulai mengipasi wajahnya sendiri dengan
perlahan-lahan. Dia belum sepenuhnya siap ikut campur dalam
kemarahan Kaniz. Karena mengenal sekali sikap labil kakaknya sejak
mereka masih kanak-kanak, Sabra dengan tepat bisa membaca
suasana hati Kaniz dan tingkat kelabilannya bagaikan telapak
tangannya sendiri.
"Dia sudah meninggalkan putramu," akhirnya Sabra mencoba
menghibur. Kini dia mengirimkan tatapan jujur ke mata kakaknya.
"Oh, tidak, dia belum melakukannya!" Kaniz terpancing oleh
keberanian adiknya membantahnya. "Khawarlah yang telah
meninggalkanku! Aku—ibunya, yang melahirkannya! Ia sudah
meninggalkanku dan rumahnya untuk perempuan murahan itu. Demi
Allah, apa yang dilihatnya dari perempuan itu? Dia pendek dan biasa-
biasa saja— bukan siapa-siapa," caci Kaniz. Hidungnya menjulang di
udara.
Sabra menatap tenang kakaknya, merasa bimbang apakah dia harus
berkata jujur sekali ini—dan untuk itu dia harus berbicara amat
terus terang—atau haruskah dia hanya menghibur Kaniz seperti
yang biasa dilakukannya, dengan berdiam diri.
Pada akhirnya, kejujuran menang hari itu—lagi pula dia berutang
kejujuran itu pada kakaknya. Hati Sabra menciut membayangkan apa
yang akan terjadi nantinya. "Tapi, ini memang harus dikatakan,"
tegasnya pada dirinya sendiri. "Pada kenyataannya, sudah saatnya
seseorang berani berbicara tentang ini."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kaniz, kakakku tersayang," mulainya seraya mengambil napas,


"mengapa tidak kau biarkan saja Khawar menikahi gadis ini jika ia
benar-benar menginginkannya? Maka, kau akan mendapatkannya
kembali dalam rumah ini."
Sejenak keheningan yang sempurna menyeruak. Kaniz mengerjapkan
matanya ke arah Sabra. Dia tidak mampu memercayai sepasang
telinganya yang seakan-akan terbakar—dia merasa benar-benar
dikhianati. Adik kandungnya sendiri mengatakan sesuatu yang keji!
Bola mata Kaniz yang berbentuk almond membelalak. Bibir bawahnya
bergetar karena luapan emosinya.
"Kau juga, Sabra?" ujarnya. Suaranya terdengar tak percaya.
"Seakan-akan aku ini hidup di tengah-tengah sarang ular berbisa dan
para pengkhianat. Aku baru saja dikuliahi si lelaki tua itu, Siraj
Baba. Aku benar-benar tidak layak mendapatkannya lagi, sekarang
dari adik kecilku, saudara kandungku sendiri. Apakah sundal kecil
sudah berkeliling menyebarkan guna-gunanya kepada semua orang?
Kepada kau juga? Kukatakan padamu, Adik, bahwa aku tidak akan
pernah membiarkan anak tukang cuci itu menduduki rumah tangga
rumah ini. Selama aku masih hidup, rumah ini akan tetap menjadi
milikku. Kau paham?"
Sabra menghela napas dengan kesal. Dia sudah telanjur ikut campur
masalah ini. Jadi, dia akan sekalian saja menjerumuskan dirinya
hingga ke dasar kolam kekesalan kakaknya ini.
"Pernahkah kau pertimbangkan, Kaniz sayang, bahwa 'tukang cuci'
itu, sebagaimana kau menyebutnya, bisa saja menjadi chaudharani,
menduduki tempatmu? Jika dia menikah dengan Abang Sarwar,
dialah yang akan menjadi nyonya di rumah ini. Namun, Fatima
menolaknya. Baru setelah itu kau punya kesempatan untuk menjadi
chaudharani di sini."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Saat itu Kaniz bisa saja mencekik Sabra. Andai saja lebih muda, dia
akan menerkam adiknya itu dan mencabuti helai-helai rambutnya
dari jalinan rambutnya yang tebal itu.
"Pertama Siraj Baba, sekarang kau!" desisnya. "Apakah semua orang
sedang menganiaya dan mempermalukan aku?"
"Aku tidak mengerti mengapa kau memendam kebencian seperti itu
kepada mereka! Kau lihat, kau sudah mendapatkan segalanya, Kak.
Kau adalah nyonya besar di tempat ini yang menguasai berhektar-
hektar tanah. Sedangkan Fatima sebaliknya, dia harus bekerja keras
dengan pekerjaan yang tidak menyenangkan untuk menafkahi suami
dan keluarganya. Firdaus bisa saja menjadi anak perempuan Sarwar.
Dia bisa saja menjadi adik perempuan Khawar."
"Khawar adalah putraku, Sabra. Imajinasimu sudah kacau balau."
Suara Kaniz kini sedingin baja.
"Ayolah, Kakak, jangan menganiaya dirimu sendiri. Ingat tekanan
darahmu. Kalian berdua berasal dari keluarga-keluarga terhormat.
Gadis itu juga terpelajar. Firdaus dan Khawar tampaknya saling
menginginkan. Lalu mengapa kau menghalang-halangi mereka? Aku
akan katakan padamu alasannya. Ini menyangkut harga dirimu yang
pada suatu hari nanti justru akan menjerumuskanmu. Aku tidak mau
lagi menahan-nahan pembicaraan untuk menyenangkan hatimu. Aku
tahu kau tidak suka mendengar kebenaran dan wajahmu akan seungu
ubi karenanya, tetapi jika aku tidak mengatakannya, tidak ada orang
lain yang akan melakukannya."
Sabra memandangi sang kakak tepat pada matanya saat berkata
tegas, "Jika tidak merestui pernikahan ini, kau akan menyesalinya
Hingga akhir hayatmu. Kau hanya memiliki seorang putra. Jika
kehilangan Khawar, kau akan kehilangan semuanya. Cintalah yang
sedang kau perangi sekarang ini, kakakku tersayang. Cinta membuat
orang mampu melakukan hal-hal gila. Orang bisa terbunuh karena
cinta. Banyak raja yang menjadi terkenal dalam sejarah karena

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

meninggalkan takhtanya demi cinta. Kukatakan padamu, Kak,"


suaranya melembut, "kau sedang berada di ujung kehancuran."
"Aku memang sudah hancur. Khawar minggat dari rumah demi sundal
itu," sahut Kaniz putus asa.
"Mengapa kau begitu membenci mereka?" Sabra ingin tahu. "Aku
tidak memahaminya! Firdaus adalah seorang gadis yang baik,
berdasarkan pengamatanku. Kukatakan padamu, Kak, dia adalah
jodoh yang baik. Jika pergi ke kota, dia akan menjadi salah satu
perempuan lajang terpelajar yang paling berbakat. Menurutku, kau
akan senang mendapatkan seorang kepala sekolah sebagai
menantumu—menantu yang digaji ribuan rupee. Orang akan
berdatangan membanjiri pintumu untuk memberi penghormatan.
Kelak, dia bahkan bisa menjadi seorang kepala sekolah tinggi." Sabra
memanas-manasi kakaknya.
Namun, Kaniz sama sekali tidak bergairah mendengarkannya. "Aku
tidak ingin mendengar sepatah kata pun lagi, Sabra. Kau, adik
kandungku sendiri, telah berubah menjadi seorang pengkhianat!"
Jemarinya kini terangkat menutupi telinganya yang terasa panas. Dia
sedang berusaha menghadang segenap kata-kata yang tidak ingin
didengarnya.
"Tidak, kakakku tersayang, aku bukan seorang pengkhianat," Sabra
berkata dengan bersahaja. "Kecemburuan dan kebencianmu telah
menelan seluruh akal sehatmu."
"Kecemburuan! Cemburu pada siapa, kalau boleh aku bertanya?"
"Pada Fatima, tentu saja. Kau tidak mampu memaafkannya karena
telah membuat suamimu patah hati. Kau tak sanggup memikirkan
bahwa kau adalah nomor dua bagi Sarwar, bahwa ia sebenarnya ingin
menikahi Fatima, tetapi perempuan itu menolaknya. Yang tampaknya
kau lupakan adalah jika Fatima menikah dengan Sarwar, akan ada di
manakah kau? Di dalam sebuah apartemen berkamar tiga yang
mengerikan di tengah pasar kota, di rumah orangtuamu. Kau pasti

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tidak akan menjadi chaudharani atas semua kemegahan ini!" Sabra


mengakhiri kalimatnya dengan emosional. Dia sudah kehilangan rasa
takut dan kesabarannya terhadap kakaknya.
Merasa tak percaya telah terhina, Kaniz bangkit dan melangkah
memasuki rumah, menghempaskan kipasnya ke atas lantai marmer.
Kipas itu jatuh dengan sebuah entakan tajam dan pecah menjadi dua
bagian. Sabra menggeleng-gelengkan kepalanya tanda menyerah. Dia
sudah melakukannya sekarang. Kaniz pasti akan mengusirnya dari
rumah itu.
Saat Neesa muncul untuk bertanya di mana mereka akan makan,
apakah di dalam ruang makan atau di balkon atap, Sabra dengan
menyesal memberi tahu Neesa agar membawakan bakinya ke
halaman. Neesa merasa majikannya tidak akan makan bersama
adiknya hari ini. "Kukira," lanjut Sabra sambil menatap Neesa
dengan sorot mata lemah, "aku ada dalam buku hitamnya saat ini.
Kau mungkin juga harus mengemasi barang-barangku. Aku akan
segera meninggalkan rumah ini. Aku sudah tinggal terlalu lama kali
ini!"
Neesa menyunggingkan senyum pengertian ke arah Sabra dan
mengangguk paham. Itu bukan pertanda baik juga untuknya. Hari ini
tidak diragukan lagi dia akan menanggung akibat dari kemarahan
sang chaudharani, tetapi dia sudah menghabiskan dua puluh sembilan
tahun dari umurnya untuk melakukan itu. Jadi, apa yang akan terjadi
lain hari? Terkadang dia bingung, mengapa dia diam saja menghadapi
cara-cara tirani majikannya. Namun, di dalam hatinya, Neesa tahu
jawabannya: karena kasih sayangnya pada Khawar, tuan muda yang
bersama-sama Kaniz telah dibesarkannya.

31.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

SIKANDER DUDUK dengan kedua orangtuanya di ruang tamu


mereka di Karachi. Dua bulan telah berlalu sejak Zarri Bano menjadi
seorang Perempuan Suci. Mereka sudah tahu dari beberapa teman
bahwa Zarri Bano kini sedang belajar di Universitas Kairo. Sikander
melarang kedua orangtuanya menyebut nama itu di depannya. "Aku
tidak akan pernah bisa memaafkannya, Ibu!" serunya marah.
Sebuah gagasan, entah bagaimana, tumbuh di benak Bilkis. Setelah
menimbang-nimbangnya sekian lama, dia merasa sulit mengabaikan
gagasan itu. Malam ini, dengan keberadaan putra dan suaminya dalam
suasana hati yang santai, dia bertaruh dan memutuskan
melontarkannya.
"Sikander, tahukah kau bahwa aku dapat melihat beberapa helai
uban di pelipismu?" ujarnya. Sikander tertawa. "Ini tidak lucu," seru
Bilkis riang. "Sebagai seorang ibu, aku peduli, bukan mengenai
ubanmu, melainkan tentang status lajangmu. Kedua adikmu nyaris
tidak pernah mengunjungi kita lagi. Hatiku haus akan suara anak-
anak di tempat yang luas dan sunyi ini. Aku menginginkan cucu,
Sikander. Menurutku, sudah saatnya kini kau putuskan untuk
menikah dan berumah tangga, Anakku."
Sikander, yang sedang sibuk dengan hitungan bisnisnya,
mengesampingkan kertas-kertas kerja dari pangkuannya dan dengan
penuh hormat memerhatikan kata-kata ibunya. Ia baru saja akan
melontarkan kata-kata menenangkan saat ibunya berkata lirih,
"Bagaimana kalau dengan Ruby?"
Kata-kata sirna di mulut Sikander. Ia menatap ibunya dalam
keheningan yang memukau, seakan-akan ia baru saja tersengat aliran
listrik. Sambil mencampakkan kertas-kertasnya ke atas lantai, ia
berdiri. "Tidak akan pernah!" Dengan sepasang mata kelabunya
menjadi gelap tertutupi emosi, ia melangkah pergi ke luar ruangan
itu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Raja Din menoleh pada istrinya. Sorot matanya sendiri memancarkan


keterkejutan. "Kapan dan dari mana kau mendapatkan gagasan gila
ini, Sayangku? Alangkah tidak pekanya dirimu. Kau tahu betapa
Sikander masih mencintai Zarri Bano. Sejujurnya, aku sendiri juga
tidak bisa melupakan gadis itu," ia berkata pada istrinya dengan
sorot mata pilu.
"Yah, Ruby kan adiknya," Bilkis membela diri. "Dia sama baiknya dan
nyaris sama cantiknya. Aku tahu kalian berdua lebih menyukai
kecantikan Zarri Bano, tetapi sekilas, penampilan kedua kakak
beradik itu nyaris sulit dibedakan, dari model rambut Ruby dan
warna matanya. Jika Sikander tidak bisa menikahi Zarri Bano, apa
yang mencegahnya menikahi Ruby? Lagi pula, Ruby bukanlah seorang
Perempuan Suci, bukan?"
"Tidak, Bilkis! Sikander tidak menginginkan keterkaitan apa pun lagi
dengan keluarga itu. Menikahi Ruby hanya akan membangkitkan
kenangan masa lalu baginya. Tentu saja kau benar, Ruby adalah
seorang gadis yang sangat menawan dan memiliki sifat-sifat yang
baik, tetapi itu sepertinya tidak pantas. Apa yang akan dipikirkan
Zarri Bano? Apa yang akan dipikirkan oleh Ruby sendiri?"
"Jika dia cukup bernalar, Ruby akan cukup senang. Anak lelaki kita
juga sangat berkualitas, kaya raya, dan seorang pemuda yang
tampan. Sedangkan mengenai Zarri Bano, dia kini sudah memiliki
dunia yang lain. Dari kabar yang kukumpulkan, dia akan terus
melakukan perjalanan religius, mengikuti seminar atau berangkat
haji. Dengan siapa adiknya menikah, tidak ada urusannya dengan
dia."
"Tetapi dia memiliki perasaan," sanggah Raja Din.
"Dia tidak berhak merasa keberatan. Dia mencampakkan Sikander
dan rencana pernikahan mereka untuk menjadi seorang Perempuan
Suci," ujar Bilkis lugas.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Sayangku, kau mendebat semuanya dengan sangat meyakinkan,


tetapi pada akhirnya semua itu akan bergantung pada Sikander. Ia
sama sekali tidak berminat pada keluarga itu. Kau tahu itu."
"Tapi, hatiku sudah menetapkan Ruby, dan aku tidak akan menyerah.
Aku ingin mengusir hantu Zarri Bano dari hati anakku untuk
selamanya. Aku tahu dari dalam lubuk hatiku perempuan itu hidup
dalam benak dan hati Sikander setiap saat, sekuat apa pun ia
menyangkal hal itu."
Bilkis memang tidak menyerah. Kenyataannya, dia terus-menerus
menghantam penolakan putranya. Setelah tiga kali mencoba, dia
berhasil membuat Sikander mau mendengarkannya lagi.
"Aku tahu apa yang kau rasakan terhadap Zarri Bano, tetapi itu
semua kini sudah menjadi sejarah, Anakku. Dia menjadi bagian
sebuah dunia yang lain, sebuah kehidupan yang lain. Kau harus
belajar melupakannya. Dia tidak bisa kau gapai lagi. Tetapi, adiknya
tidak begitu dan Ruby adalah seorang gadis yang baik."
"Ibu, kehidupankulah yang sedang Ibu bicarakan. Zarri Banolah yang
ingin kunikahi, bukan Ruby Bagaimana mungkin tiba-tiba saja aku
memikirkan Ruby sebagai istriku? Selain itu, dia juga akan selalu
mengingatkanku pada kakaknya."
"Zarri Bano adalah masa lalu, Anakku," ulang Bilkis tegas.
"Aku tahu, Ibu. Ibu selalu mengingatkanku. Aku sudah berusaha
menghilangkan dia dari pikiran dan hatiku. Aku sungguh-sungguh
berusaha. Tetapi mengikatkan diriku pada Ruby akan mengembalikan
semua itu. Aku tidak akan pernah mampu lari darinya atau
keluarganya. Tidakkah Ibu pikirkan itu?"
"Tidak, Anakku. Aku tidak memikirkannya. Kau harus menyesuaikan
diri pada gagasan itu. Sudah jelas Zarri Bano adalah masa lalu,
sedangkan Ruby adalah masa kini dan masa depan. Dia adalah
seseorang yang memiliki haknya sendiri. Dia juga memiliki kualitas
dan penampilan yang menurutmu menjadi daya tarik Zarri Bano. Dia

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bukan Zarri Bano, kami sadari itu, tetapi Ruby adalah seorang
perempuan hebat. Beri dia kesempatan, Anakku, ayolah.... Dia adalah
seorang perempuan yang pintar, cantik, anggun, dan memiliki
kepribadian yang hangat bagaikan mentari pagi."
"Tapi, tak ada percikan-percikan itu," tambah Sikander dalam hati.
Ia mengingat daya tarik paling nyata dalam diri Zarri Bano. Ia tahu
ia tidak akan dapat menemukan hal itu dengan mudah dalam diri
perempuan lain. Zarri Bano yang baru, sang Perempuan Suci, sudah
kehilangan kualitas yang satu itu juga. Percikan itu ikut terkubur
bersama Zarri Bano yang dulu, di balik burqa itu.
"Ibu, pernahkah terpikir oleh Ibu apa yang akan dikatakan Ruby
atau apa yang akan dirasakannya tentang hal ini? Lagi pula, aku
pernah menjadi tunangan kakaknya. Aku merasa ini adalah gagasan
yang kontroversial. Aku yakin dia bahkan akan menganggapnya lebih
dari itu, khususnya karena kakaknya sendirilah yang pertama kali
ingin kunikahi. Jika Ibu menginginkan kejujuran, aku membenci
gagasan itu. Kenyataannya, aku bahkan membenci keluarga itu."
"Lupakanlah Zarri Bano dan ayahnya! Apakah kau membenci Ruby?"
"Tidak, tentu saja tidak."
"Lalu mengapa tidak kau nikahi saja dia?" Bilkis bersikukuh. "Ibu!
Berhentilah!"
"Aku tidak akan berhenti sampai kau setuju, atau setidaknya
bersedia memikirkan dengan jernih tentang hal ini, serta
mengizinkanku menghubungi orangtua Ruby, alih-alih langsung
mengubur gagasan ini hanya karena semua dugaanmu."
"Baiklah, Ibu, aku akan memikirkannya dengan serius. Sekarang
bisakah kita mengganti pembicaraan?"
Bilkis berhenti dan dengan penuh kemenangan dia menundukkan
pandangannya, berusaha menyembunyikan rasa senangnya dari
Sikander. Dia sudah setengah meraih tujuannya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander memang memikirkan hal itu. Ia memikirkannya sambil


berbaring di atas ranjangnya di malam hari dan ketika ia berjalan-
jalan di kebun jeruk. Malah, ia tidak bisa memikirkan hal lainnya.
Beberapa hari kemudian, ia memberi tahu Bilkis bahwa ia sudah
menyerah.
"Ibu bisa meneruskan rencana Ibu dan mendekati orangtua Zar—
Ruby," ujarnya seminggu kemudian. Ia memutuskan bahwa sudah
waktunya untuk mengubur masa lalu dan membuat awalan baru. Zarri
Bano sudah melakukannya, bukan? Kini ia dituntut untuk melakukan
hal serupa. Zarri Bano sudah melupakannya. Sekarang gilirannya
melupakan perempuan itu.
"Aku akan melakukannya, Anakku yang tampan," sahut Bilkis, lalu
memeluknya, dan merasakan kedua pipinya hangat oleh rasa senang.
"Kau tak bisa bayangkan betapa bahagia aku dibuatnya. Kau tidak
akan menyesalinya, aku jamin. Ruby adalah seorang gadis yang
menawan, Sayangku."
"Itulah yang terlihat, Ibu. Dia tidak akan pernah menjadi seorang
Zarri Bano, bukan? Aku tidak akan bercanda pada diriku sendiri,
tetapi aku memang bodoh dengan menjerumuskan diri ke dalam
keluarga itu lagi dan mendengarkan kata-kata Ibu."
***
Bilkis tidak membuang-buang waktu dalam memulai gerakannya, dan
dua minggu kemudian Sikander sudah secara resmi bertunangan
dengan Ruby. Bilkis menelepon orangtua Ruby malam itu juga begitu
Sikander memberinya lampu hijau. Shahzada dan Habib sangat
terkejut mendengar pinangan Bilkis terhadap Ruby Sejak upacara
penahbisan Zarri Bano, kedua belah pihak saling merasa rikuh.
Berniat untuk mengganti kerugian karena telah memutuskan ikatan
pertunangan mereka dengan Zarri Bano, Habib pun menyepakati
lamaran itu—bahkan sebelum ia menyampaikannya pada Ruby.
Tatkala Shahzada dengan lembut mengemukakan masalah itu pada

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

putrinya, wajah Ruby memerah karena malu. Dia memang berharap


dapat segera menikah, tetapi tidak dengan bekas tunangan
kakaknya, dan dia pun berkecut hati. Tentu saja dia merasa sangat
tersanjung dengan lamaran tersebut, tetapi seolah-olah ada sesuatu
yang tidak benar dalam hal itu. Sikander sangat kaya raya,
terpelajar, tampan, dan berasal dari kelas sosial yang tinggi, ujarnya
pada dirinya sendiri—tetapi ia sempat akan menjadi suami kakaknya.
Bagaimana mungkin dia akan menikahi laki-laki itu? Ia adalah satu-
satunya laki-laki yang diinginkan Zarri Bano untuk menikahinya dan ia
juga satu-satunya yang dicegah untuk menikahi kakaknya itu.
Bagaimana dirinya bisa menghadapi Zarri Bano jika dia menikahi
Sikander? Dia akan mengkhianati kakaknya itu dengan cara yang
paling buruk. Dia merasa menjadi seorang pengkhianat, bahkan hanya
dengan memikirkan hal itu dalam benaknya. Untung saja Zarri Bano
tidak ada di dekatnya. Dia sedang berada di India, di Azmeir Sharif,
mengunjungi Gedung Pengadilan India yang terkenal itu. Bagaimana
reaksi Zarri Bano nanti? Apa yang akan dikatakannya?
Selain itu, bagaimana dengan perasaannya sendiri? Ruby merasa
bimbang. Sebentuk kesadaran yang menyayat mengembalikannya
pada kenyataan bahwa dia memang melihat Sikander sebagai sosok
yang menarik hati. Dan betul, dia akan dengan senang hati menikah
dengan lelaki itu. Lagi pula, perempuan mana yang tidak mau? Dia
mempertentangkan hal itu dengan dirinya sendiri. Satu-satunya
penghalang yang menghadangnya adalah Zarri Bano dan reaksinya
saat dia mengetahui rencana ini.
Setelah dua hari bergulat dengan pikirannya sendiri, Ruby
memutuskan untuk menerima lamaran itu. Meskipun demikian,
Sikander dan Ruby belum secara langsung saling berhubungan.
Sikander tidak sebersemangat itu untuk segera bertemu dengan
tunangannya. "Aku sudah mengenalnya. Aku pernah menjumpainya,"
ujarnya pada orangtuanya dengan sikap malas-malasan. Ia memberi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

izin pada kedua orangtuanya untuk meneruskan rencananya,


sementara dirinya sendiri masih bimbang.
Pertunangan itu diresmikan oleh orangtua Sikander dua minggu
kemudian. Mereka membawa berbagai bingkisan untuk Ruby,
termasuk sebuah cincin pertunangan yang sangat mahal. Sikander
bersedia menemani mereka ke rumah Ruby setelah mengetahui
bahwa Zarri Bano tidak berada di Pakistan. Kalau tidak, ia akan lebih
memilih pesta pertunangan itu dilangsungkan di rumahnya saja.
Setelah pertemuan resmi yang singkat di ruang tengah, dengan
semua orang menikmati sajian penyegar, Ruby dan Sikander
dibiarkan berduaan untuk bisa saling mengenal lebih baik—situasi ini
dengan pedih berhasil mengembalikan ingatan Sikander pada situasi
serupa yang pernah dialaminya dulu, ketika ia dan Zarri Bano
dibiarkan berduaan untuk berjalan-jalan di ladang.
Baik Sikander maupun Ruby saling merasa tidak enak satu sama lain.
Terakhir kali Ruby melihat lelaki itu, ia adalah calon kakak iparnya
dan kini dia harus memandanginya sebagai tunangannya sendiri.
Mata Sikander menyapu sosok Ruby. Tidak dapat dimungkiri, dia
adalah seorang perempuan yang rupawan. Soal penampilan, Sikander
tidak salah memilih kecuali warna matanya. Sikander merasa bahwa
bagaimanapun Ruby bukan
tandingan Zarri Bano dan tidak akan pernah bisa. Dia tidak akan
pernah mampu menyalakan api dalam dirinya seperti yang pernah
dilakukan Zarri Bano.
Sikander menggodok mentalnya sendiri. Ia harus berhenti
membanding-bandingkan Ruby dengan Zarri Bano. "Dia tidak berarti
apa-apa lagi bagiku!" dengan marah ia berseru pada dirinya sendiri.
Lalu, mengapakah jantungnya selalu melayang setiap ia mendengar
nama itu disebutkan, atau tatkala bayangan wajahnya mulai
menyeruak di depan matanya?

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Itu adalah satu perbincangan yang paling kaku karena Ruby terus
menundukkan pandangannya di depan Sikander. "Apakah kau bahagia
dengan perjodohan ini, Ruby Sahiba?" tanya Sikander.
"Ya," jawab Ruby Akhirnya dia memberanikan diri menatap mata
Sikander. Semburat merah meronai pipinya. "Dan kau? Apakah kau
bahagia melangsungkan semua ini?" tampak ekspresi serius di
wajahnya, menggantikan rasa malu-malunya tadi.
"Ya," jawab Sikander dengan tegas. Ia sudah pernah melihat dan
merasakan kekakuan sikap Ruby, dan hal itu sebaliknya telah
meluluhkan kekakuan sikapnya sendiri. Mulutnya yang menawan kini
membentuk seulas senyum hangat yang wajar.
Ruby merona karenanya. Dia sudah tertawan. Dia melupakan
kakaknya dan malah menyambut laki-laki tampan ini dengan segenap
hatinya.
Saat dia berdiri untuk mengembalikan piring kecilnya ke atas meja,
Sikander memandanginya lekat-lekat. "Dia adalah Ruby, bukan Zarri
Bano," ia mencamkan hal itu dalam dirinya. Zarri Bano harus
dihapuskan dari hatinya. Kini ia merasa bahagia dan yakin bahwa
Ruby pasti sanggup membantunya melakukan itu. Kedua kakak
beradik itu sangat mirip dan juga sangat berbeda. Begitu Sikander
melayangkan senyumnya ke dalam bola mata cokelat Ruby, ia
bersumpah dalam hati bahwa ia tidak akan pernah membandingkan
keduanya dalam benaknya lagi.
Ruby kembali dengan sebuah cangkir di tangannya, sesungging
senyum yang bergetar masih tersisa di mulutnya. Dia bisa merasakan
mata Sikander menyapu tubuhnya. Naluri keperempuanannya
memberi isyarat padanya bahwa inilah untuk pertama kalinya
Sikander menyaksikan dirinya sebagai perempuan dalam hakikatnya
sendiri dan bukan sebagai adik Zarri Bano. Percikan kemenangan
membakar dalam dirinya dan membuatnya merasa sangat berbahagia
karenanya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Mereka berbicara lama sekali. Tidak ada sengatan listrik, hasrat


yang menggebu yang pernah ditumpahkannya pada Zarri Bano pada
saat mereka pertama kali berduaan. Sikander tercenung, tetapi ia
sudah mulai menikmati kebersamaannya bersama Ruby dan merasa
lebih bahagia dibuatnya.
Ketika orangtua mereka kembali, mereka menemukan pasangan itu
sedang mengobrol santai dan tertawa-tawa. Kedua pasang orangtua
saling bertukar pandang dan tersenyum, menyadari bahwa
pernikahan antara Ruby dan Sikander akan segera mereka
langsungkan.
Malam itu juga, tanggal pernikahan sudah disepakati—sebulan
kemudian. Saat itu, Zarri Bano sudah kembali dari India. Andai ada
yang merasakan ketegangan saat Shahzada menyebutkan nama Zarri
Bano, tak ada seorang pun yang mengisyaratkan hal itu.
***
Sikander dan kedua orangtuanya menolak dengan halus undangan
menginap malam itu karena Sikander akan terbang ke Malaysia untuk
urusan bisnis keesokan paginya. Mereka pulang larut malam itu.
Shahzada bergabung dengan suaminya di kamar tidur mereka
setelah mereka mengantar kepergian Sikander dan orangtuanya. Dia
duduk di sofa menghadap Habib yang sedang duduk di ranjangnya.
"Tahukah kau, ini akan menjadi pesta pernikahan Ruby, tetapi aku
sama sekali tidak merasakan kebahagiaannya, Habib," Shahzada
mulai berkata dengan nada suara sungguh-sungguh.
"Sebagai orangtua dari seorang anak perempuan, kita memang tidak
ditakdirkan untuk merasa bahagia, Sayangku. Kita akan kehilangan
seorang anak perempuan. Ya..., setidaknya kita masih memiliki Zarri
Bano, begitu Ruby meninggalkan kita...." Ia terdiam, memerhatikan
raut wajah istrinya.
"Itu dia, Habib—Zarri Bano." Shahzada berharap agar dia tidak
harus melantur lebih jauh dari pokok pembicaraan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Memangnya ada apa mengenai dia?" tanya Habib tanpa membalas


tatapan mata istrinya.
"Kita seharusnya tidak pernah menyetujui perjodohan dengan
Sikander. Apakah kau sudah mempertimbangkan perasaan Zarri
Bano tentang ini?"
"Dia kini adalah seorang Perempuan Suci, Shahzada. Apakah ada
pengaruhnya baginya dengan siapa Ruby menikah?" Habib menjawab
dengan tajam. Habib merasa terganggu dengan istrinya yang terus-
menerus mengungkapkan masalah itu dan membesar-besarkannya.
"Sikander adalah laki-laki yang akan dinikahi Zarri Bano, Habib! Kau
pasti mengingat hal itu, bukan? Tidakkah kau pikir kau sudah cukup
merusaknya, tanpa harus menyakiti perasaannya lagi? Bisakah kau
menjadi sedikit lebih peka untuk melihat permasalahan ini dari sudut
pandangnya?"
"Shahzada, kau terlalu membesar-besarkan perasaan Zarri Bano.
Kita sama sekali tidak tahu apa yang akan dipikirkannya. Karena dia
tidak boleh menikah dengan siapa pun, apakah dia masih akan
keberatan dengan siapa Sikander menikah? Dia sudah cukup sibuk
dengan kehidupan barunya sehingga tak akan punya kesempatan
untuk memikirkan kita. Lagi pula, aku merasa lebih senang karena
bisa membayar ganti rugi pada Sikander dan keluarganya. Selain itu,
apakah bedanya Ruby dengan Zarri Bano? Mereka berdua sama
saja."
"Betulkah begitu, Habib sayang?" tanya Shahzada sinis. "Maukah
kau menjadi orang yang memberi tahu Zarri Bano, saat dia kembali
nanti, bahwa laki-laki yang kau cegah untuk menikah dengannya, kali
ini akan menjadi adik iparnya?"
Dibuat cemas oleh kata-kata Shahzada, Habib tidak berkata
sepatah pun. Katakanlah, ia memang tidak ingin menjadi orang yang
memberitahukan hal ini pada Zarri Bano, atau bahkan hanya sekadar
menghadapinya. Ia tiba-tiba

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

saja serasa mendengar kembali, dengan sangat jelas, kata-kata putri


sulungnya dahulu, "Aku ingin menikah dengan Sikander."

32.

PERSIAPAN UNTUK gaun pengantin Ruby dilakukan dengan sangat


cepat. Perhiasan sudah dipilih dan dipesan dari toko perhiasan
langganan keluarga mereka. Tiga orang ahli busana di butik eksklusif
mereka telah menerima pesanan untuk menyiapkan serangkaian
koleksi pakaian beraneka rancangan, gaya, dan jenis bahan. Ruby,
Shahzada, dan Fatima melakukan kegiatan belanja setiap hari ke
pasar-pasar dan aneka pusat perbelanjaan untuk membeli barang-
barang keperluan maskawin Ruby. Ruby memilih, sementara
Shahzada dan Fatima memesan. Kegiatan itu nyaris seperti ritual,
setiap hari mereka berangkat pagi-pagi sekali dari rumah dan
kembali sore harinya dalam kondisi kelelahan dan membawa
berkantung-kantung barang.
Sikander kerap menelepon Ruby di malam hari untuk menindaklanjuti
pertunangan mereka. Dengan langkah ringan seakan terbang, Ruby
akan berlari menuju telepon saat Fatima memberitahunya siapa yang
menelepon. Wajahnya berkali-kali menyiratkan senyum lebar saat
dia berbicara dengan Sikander. Fatima mengamatinya dengan
perasaan campur aduk. Pada suatu kali, Ruby menangkap ekspresi
pengurus rumah tangga mereka itu saat meletakkan gagang telepon.
"Fatima, apakah kau baik-baik saja?" tanya Ruby Senyum manis
menghilang dari wajahnya. "Ya, Sayangku. Mengapa kau bertanya
seperti itu?"
"Tidak apa-apa. Aku.... Fatima, kau tidak setuju aku menikah dengan
Sikander, bukan?"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Fatima terhenyak. Keheningan tiba-tiba saja menyeruak di antara


mereka, sementara perempuan tua itu berdebat dengan dirinya
sendiri tentang apa yang harus diucapkannya.
"Ruby, tentu saja aku setuju! Aku berbahagia untukmu. Sikander
akan menjadi seorang suami yang baik untukmu." Fatima berusaha
keras menekan suara batinnya yang berkata, "Ia akan menjadi
seorang suami yang baik untuk Zarri Bano." Batinnya meratap pilu
untuk tuan putrinya, Zarri Bano. Dia tidak akan pernah mengatakan
hal itu kepada siapa pun, bahkan pada Shahzada sekalipun yang
selalu memercayakan nyaris segalanya kepadanya. Dia akan berduka
untuk Zarri Banonya tercinta, tetapi cukup sendirian saja. Suara
batinnya itu berteriak nyaring, sampai-sampai Fatima merasa cemas
jangan-jangan Ruby bisa mendengarnya, "Sikander seharusnya
menjadi suami Zarri Bano, bukan suamimu!"
Itu adalah perubahan nasib yang aneh, Sikander menikahi kakak
beradik. Ayah macam apa Habib ini? pikir Fatima gusar. Ia bisa saja
menolak lamaran itu jika ia mau. Menggagalkan pernikahan salah satu
putrinya dengan Sikander, tapi kemudian, justru mendukung
putrinya yang lain untuk melakukannya. Dalam benak Fatima, itu
semua tidak benar —itu adalah tindakan tak bermoral!
***
Sikander menelepon Ruby Siang harinya saat Zarri Bano dijadwalkan
pulang dari India. Sejenak keheningan dan ketegangan merebak di
saluran telepon itu ketika Ruby memberitahunya bahwa kakaknya
akan pulang malam itu.
"Oh, begitu," itu saja yang diucapkannya. Dalam keadaan normal, ia
akan menjemput dan menyambut Zarri Bano di bandar udara sebagai
calon iparnya. Karena hubungan masa lalu di antara mereka berdua,
ia merasa belum cukup siap untuk bertemu dengan gadis itu. Karena
itu, ia tidak mengatakan apa pun. Ia malah menanyakan apa yang
dibeli Ruby dari pasar hari itu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Membeli semua benda itu adalah hal yang bodoh, Ruby." Sikander
tertawa dan menanggapi dengan suara riang begitu mendengar Ruby
mendapatkan satu set pisau perak.
"Aku tahu," balas Ruby menyambut tawa Sikander. "Aku sangat tahu
bahwa kau telah memiliki semuanya dalam rumahmu. Meskipun
demikian, sudah menjadi adat kebiasaan para orangtua memberi
hadiah-hadiah untuk anak perempuan mereka, dari lemari es hingga
sikat gigi. Coba bayangkan Zarri Bano, dia memiliki gaun-gaun indah
dan dia tidak pergi ke mana-mana untuk memamerkannya." Ruby
terhenti, kedua pipinya memanas, dia menyesali kata-kata yang baru
saja diucapkannya. Sekali lagi Ruby merasakan ketegangan di ujung
saluran telepon di seberang sana. Apakah dia harus selamanya
merasakan kepedihan rasa bersalahnya terhadap Zarri Bano? "Ini
sangat tidak adil!" jeritnya dalam hati.
"Aku harus pergi dulu, Ruby Manajerku, Ali, sudah datang. Hudah
Hafiz. " Sikander pun segera menutup telepon tanpa memberi tahu
Ruby apakah ia akan menelepon lagi keesokan harinya.
Di kantornya, Sikander mengibaskan laporan komputer yang ia
terima dari Singapura. Benaknya melayang pada Zarri Bano. Siang
itu Zarri Bano akan tiba di bandara Karachi. Sikander tidak bertemu
dengannya sejak upacara itu, tidak pula ingin ia berjumpa dengan
gadis itu. Ia teringat kembali pada Zarri Bano. Sikander tak pernah
bisa melupakannya atas apa yang telah dia perbuat padanya. Ia tak
tahan untuk bertanya-tanya apakah reaksinya mendengar pernikahan
Ruby yang akan dilangsungkan. Bibir Sikander berkerut. "Inilah
pembalasanku, Zarri Bano!" ujarnya dengan getir, berharap ia
menyaksikan sendiri ketika Zarri Bano mengetahui bahwa dirinya
akan menjadi adik ipar gadis itu.
***
Habib dan Shahzada pergi menjemput Zarri Bano diantar sopir
mereka di bandara internasional Karachi. Mereka melihat Zarri Bano

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

melewati pabean dengan mengenakan burqa hitamnya, ditemani


Sakina dan dua perempuan lainnya. Dua orang perempuan itu
berpakaian tidak setertutup kedua Perempuan Suci di sampingnya.
"Bagaimana kabar Azmeir Sharif, Putriku?" tanya Habib begitu
mereka duduk dalam mobil mereka. Sakina dan kedua perempuan
yang lain telah pergi bersama keluarga mereka masing-masing.
"Baik, Ayah. Ada banyak orang yang harus ditemui. Kami
sesungguhnya menghabiskan waktu di sebuah rumah dekat darbar.
Orang-orang yang kami tumpangi amat ramah. Setiap hari, di darbar,
rasanya seperti ada perayaan. Ada pembacaan Al-Quran yang
berlangsung berjam-jam dan jamuan makan siang yang terus
berlanjut hingga makan
malam. Banyak sekali orang bergerombol mendatangi gedung-gedung
suci untuk mencari nasihat, bimbingan moral, dan tuntunan agama.
Aku berada dalam forum itu selama delapan belas jam sehari dan
hanya bangkit untuk shalat. Aku begitu sibuk dan nyaris tidak bisa
pergi dari tempat itu. Perempuan-perempuan berkerumun di
dekatku. Seluruh tubuhku terasa sakit."
"Putriku yang malang. Kini kau bisa beristirahat di rumah. Kau bisa
berjalan-jalan di sekeliling ladang-ladang kita di desa dan menghirup
udara segar. Kau sudah cukup lama melakukan perjalanan dan pergi
jauh dari rumah selama berbulan-bulan. Kami merindukanmu!"
Shahzada memeluk putrinya penuh kasih sayang.
"Tahukah Ibu, perempuan-perempuan yang datang dengan berbagai
keinginan dan harapan membutuhkanku untuk mendengarkan mereka.
Mereka sudah mendengar kabar bahwa aku adalah seorang
Perempuan Suci, dan karena itu mereka memperlakukanku dengan
sangat hormat. Aku berdoa dan shalat untuk mereka seperti halnya
aku memanjatkan doa untuk diriku sendiri.
"Kadang-kadang aku menangisi derita mereka. Dan itu malah
membuat mereka lebih terisak lagi. Menurutku, mereka

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menghargaiku karena sudah berempati dengan luka hati dan hasrat


batin mereka. Sebagian dari perempuan-perempuan itu memohon
padaku untuk memanjatkan doa kepada Allah agar mereka diberi
anak. Sebagian lainnya memintaku berdoa agar tubuh mereka sehat.
Mereka sangat membutuhkan bantuan medis. Aku tahu yang paling
mereka butuhkan mungkin adalah mendatangi dokter. Namun,
keyakinan mereka pada agamanya dan pada kami yang menjadi
'perantara' antara Allah dan mereka yang membuat mereka
mendatangi kami. Para dokter sepertinya tidak memberi mereka
keuntungan. Perempuan atau laki-laki yang lain bisa saja mengambil
keuntungan dari kerapuhan mereka, seperti yang aku yakin pernah
mereka lakukan. Mudah saja bagi semua orang untuk masuk ke dalam
pikiran seseorang, ke dalam ego orang lain, tetapi aku sangat kesal
dibuatnya." Dia memandangi kedua orangtuanya dan berusaha keras
menjelaskannya.
"Ada saat-saat ketika aku merasa aku ini seorang penipu. Karena aku
tidak memiliki solusi penyembuhan ataupun mukjizat untuk mereka,
hanya lewat doa dan keyakinanku. Reputasiku berkembang dengan
sedemikian rupa sehingga mereka merasa bahwa aku dianugerahi
kemampuan, pemujaan, dan perhatian khusus. Mereka adalah
perempuan-perempuan yang tidak hanya mencium tanganku, tetapi
juga berusaha menggapai telapak kakiku, Ibu. Menakutkan melihat
reaksi mereka. Aku mengibaskan kakiku dan ingin sekali berteriak
pada mereka, 'Lihatlah, aku perempuan biasa sepertimu juga,' tapi
bibirku tetap terkunci. Aku menemukan diriku tak mampu
menghancurkan angan-angan mereka dan menjauhkan mereka dari
keyakinan dalam diri mereka bahwa doa-doaku akan membantu
mereka. Aku juga didatangi para perempuan Hindu dan Sikh dengan
maksud yang sama seperti para perempuan Muslim."
"Kau bukan sekadar perempuan biasa, Putriku tersayang," Habib
menjawab tajam. "Kau adalah seorang Shahzadi Ibadat! Itu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sebabnya mereka mendatangimu. Tidak hanya untuk mencari


mukjizat, tetapi juga ilmu pengetahuan dan tuntunan. Kau adalah
seorang perempuan terpelajar dan kini lebih mendalami masalah
keagamaan. Waktu akan membuktikan bahwa kau akan menjadi
perempuan paling terpelajar dalam masalah keagamaan di wilayah
kita. Itu sebabnya kau tidak bisa menurunkan harkatmu sendiri atau
berpikir bahwa kau adalah seorang penipu. Itu sebutan yang
mengerikan, Sayangku. Kau harus merasa yakin pada kemampuan
dirimu sendiri. Jangan pernah meragukan diri sendiri, Zarri Bano!"
ujarnya dengan bangga.
"Cukup tentang aku dan Azmeir Sharif. Aku masih punya banyak
kisah untuk kuceritakan pada kalian tentang Mesir dan Kairo, tapi
itu nanti saja. Bagaimana dengan Ruby dan yang lainnya?" tanya
Zarri Bano polos. Dia tidak melihat sorot mata orangtuanya ketika
mereka saling bertukar pandang yang menyiratkan rahasia lewat
kaca spion di dalam mobil mereka.
"Ruby baik-baik saja, begitu juga dengan semua orang, Anakku. Kami
sangat merindukanmu, Zarri Bano," jawab Shahzada seraya
merangkul erat-erat putrinya itu sampai akan mendekapnya.
"Sekarang ceritakanlah tentang Kairo!" Shahzada membelokkan
Zarri Bano dari topik pembicaraan yang cukup berbahaya, tentang
Ruby.

33.

"ZARRI BANO akan segera tiba beberapa saat lagi!" Ruby dengan
tegang mengamati Fatima yang sedang memberi sentuhan terakhir
pada rangkaian bunga di atas meja makan. Matanya terpusat pada
jam dinding. Dia semakin merasa seperti seorang pengkhianat menit
demi menit.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Baru saja Ruby berniat mengatasi keadaan, Zarri Bano memasuki


ruangan itu dengan burqa hitamnya menjurai dan segera
menghambur mendekap adiknya erat-erat. Dia sama sekali tidak
menyadari betapa Ruby selalu menghindar melakukan kontak mata
dengannya.
Selama makan malam bersama, setelah mandi dan menyegarkan diri,
Zarri Bano bertanya dengan polos, apakah ada sesuatu yang penting
yang terjadi saat dia berada di luar negeri.
"Aku merasa telah pergi bukan selama setahun, melainkan sepuluh
tahun lamanya. Apa yang sudah kau lakukan selama aku tidak ada,
Ruby?" Zarri Bano menoleh ke arah adiknya. Ruby langsung
menundukkan pandangannya.
"Kami memiliki beberapa kabar bagus untukmu, Sayangku," jawab
Shahzada dengan suara lembut. Dia bisa merasakan panasnya
sorotan mata Ruby dan Habib di wajahnya.
"Apakah yang sudah terjadi? Katakanlah padaku, Ibu," pinta Zarri
Bano dengan riang.
"Kami sudah menentukan tanggal pernikahan Ruby." Ruby dan Habib
kini menahan napas, menunggu dengan tak sabar Shahzada
melanjutkan kalimatnya yang menggantung itu.
"Wah! Berita hebat! Kapan dan dengan siapa? Kalian tidak pernah
mengatakan apa pun padaku di telepon." Zarri Bano memandangi
mereka bertiga dengan raut wajah terkejut.
"Aku akan memberitahumu tentang itu nanti, setelah kau
beristirahat," tukas Ruby segera sebelum ibu atau ayahnya sempat
mengatakan apa pun—jantungnya serasa terlepas menghampiri
kakaknya, seakan-akan sedang memberinya privasi.
"Apakah seseorang yang kukenal?" Zarri Bano bertanya lembut. Dia
sama sekali tidak menyadari perubahan suasana di ruangan itu.
"Seperti yang Ruby katakan, dia akan memberitahumu nanti." Sambil
menjilat bibirnya yang kering, Shahzada terdiam seraya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengirimkan satu sorotan tajam penuh arti ke arah suaminya. "Itu


adalah hak Ruby, Habib Sahib, untuk menceritakannya pada
kakaknya sendiri. Kau pasti merasa sangat lelah, Anakku, mengapa
kau tidak tidur dulu saja?"
"Memang benar bahwa aku lelah, Ibu, tetapi aku sangat penasaran
ingin tahu siapa yang akan menikah dengan adikku. Pasti Khawar,
benar kan? Chaudharani Kaniz pastilah sudah berhasil mengejarmu
sekarang. Ya, kalian semua sangat tertutup tentang ini. Kalian
membuatku merasa menjadi orang luar sekarang ini. Betapa penuh
rahasia dirimu, Ruby!" goda Zarri Bano sambil tertawa melihat rona
merah menghiasi wajah adiknya. Dia bangkit meninggalkan meja.
Habib dan Shahzada saling bertukar pandang. Keduanya bernapas
dengan lebih lega.
"Ruby, naiklah ke kamarku dan ceritakan semuanya!" Zarri Bano
memberi isyarat pada adiknya sebelum menutup pintu.
Ruby duduk terpaku di kursinya. Saat perhitungan telah tiba.
Dengan tungkai kaki yang dirasakannya seakan tiba-tiba saja
dibelenggu dengan sebuah beban berat, Ruby bangkit dan
mengirimkan tatapan memelas ke arah ibunya seakan-akan meminta
bantuan. Shahzada, entah bagaimana, hanya bisa menggeleng-
gelengkan kepalanya dengan sedih ke arah putrinya itu, menganggap
bahwa masalah itu membutuhkan privasi antara kedua kakak beradik
itu.
"Jangan cemas, Sayang," seru Shahzada lembut saat Ruby
memandang ke arahnya lagi sebelum meninggalkan ruang makan.
***
Di kamar tidurnya, Zarri Bano memandang ke sekeliling dengan rasa
senang yang bergelora. Dia merasa bahagia bisa pulang ke rumah
lagi. Dia memandang ke luar jendela ke arah taman dan rumpun
mawar yang sedang bermekaran di halaman.
"Laki-laki itu adalah Sikander!"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri Bano tidak mendengar Ruby masuk, tetapi lima kata yang
terucap pelan itu seakan-akan membelah ruangan dan
membekukannya di tempat. Dengan kelumpuhan menyerang beberapa
bagian tubuhnya secara tiba-tiba, Zarri Bano mencoba
menghilangkan semua perasaan dan sensasinya. Sepasang matanya
membelalak lebar.
Ruby menunggu Zarri Bano membalikkan tubuhnya ke arahnya. Detik
demi detik jam dinding terus berdetak. Sambil duduk kaku di ujung
ranjang Zarri Bano, Ruby bimbang tak tahu apa yang harus
dilakukannya.
"Bukan aku yang menginginkan perjodohan ini," ujarnya memelas. Dia
merasa seakan-akan baru saja membenamkan sebilah pedang besar
ke punggung kakaknya itu. "Zarri Bano, bukan aku! Tolong
maafkanlah aku. Aku tahu bagaimana perasaanmu." Sambil
menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangannya, Ruby
mulai terisak-isak.
Dengan isak tangis adiknya membahana di sekitarnya, Zarri Bano
melupakan dirinya sendiri dan bergerak ke arah sosok yang
mengerut itu.
"Jangan menangis," dia berbisik dari balik rambut adiknya,
merengkuh tubuh adiknya dalam pelukannya. "Tidak ada yang harus
dimaafkan. Aku berbahagia untukmu." Dengan bergetar, dia
menyuarakan kata-kata yang berbeda dari apa yang tersirat dalam
lubuk hatinya.
"Tetapi, dia tunanganmu. Aku benar-benar merasa bersalah, Zarri
Bano," jelas Ruby seraya menengadahkan wajahnya yang berlumuran
air mata, memandangi wajah kakaknya.
"Ya, dia pernah menjadi tunanganku." Zarri Bano berhasil
mengendalikan raut wajahnya sedatar mungkin. "Itu di masa lalu,
Adikku tersayang. Kau tidak memiliki alasan untuk meminta maaf.
Jangan pernah merasa bersalah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengenaiku. Itu sudah menjadi kismet-ku, takdirku. Ingat bahwa


akulah yang melepaskan Sikander, ketika aku memutuskan untuk
menjadi seorang Perempuan Suci. Aku melepaskan semua hak
atasnya. Tidak menjadi masalah buatku dengan siapa dia akan
menikah, entah itu denganmu atau perempuan lain."
"Oh, Kakakku tersayang, kau begitu murah hati. Terima kasih, Zarri
Bano, karena kau begitu penuh pengertian." Air mata mengucur dari
mata Ruby.
Tepat saat itu juga, Shahzada memasuki kamar itu dan menyaksikan
kedua anak perempuannya berpelukan erat. Zarri Bano lebih tinggi
daripada Ruby, dan dialah yang pertama kali melihat ibunya masuk,
dari balik bahu Ruby.
Shahzada segera menangkap luka hati yang begitu jelas di mata
Zarri Bano. Dia sedang menyembunyikan luka hati itu dari adiknya
lewat kata-katanya yang meyakinkan, tetapi sesungguhnya dia tidak
mampu menutupi hal itu dari ibunya.
Bagaimana mungkin seseorang bisa melewati luka hati yang seperti
ini? Shahzada tercenung pilu, betapa batinnya melontarkan simpati
mendalam kepada anak sulungnya. Tidak ada solusi untuk situasi
seperti ini. Satu-satunya jalan adalah perdamaian total dalam diri
seseorang dan semua yang dirasakannya.
"Ruby, kau sudah menceritakannya pada kakakmu?" tanya Shahzada
dengan nada suara yang begitu hampa.
"Ya, Ibu, dia sudah menceritakannya." Zarri Bano melepaskan
pelukannya. Ruby memutuskan bahwa itu adalah saat yang tepat
untuk tidur dan meninggalkan Zarri Bano dengan penuh rasa terima
kasih.
***
Berdua saja di kamar, ibu dan putrinya itu saling menatap. Kemudian,
Zarri Bano melangkah untuk berdiri di dekat jendela. Dia
menyingkap jaring-jaring gorden untuk melongokkan pandangannya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ke halaman dan taman di bawahnya dengan sorot mata yang muram.


Rumahnya yang indah itu tiba-tiba saja menjadi sebuah benteng
kepedihan. Keheningan menyeruak di antara kedua perempuan itu.
"Maafkan Ibu, Zarri Bano." Shahzada mendekat untuk berdiri di
dekat putri sulungnya. "Bukan kami yang merencanakan semua ini—
kau harus memercayaiku. Ini usulan Bilkis. Aku menentangnya, Zarri
Bano. Sebelum kami menyadari apa yang terjadi, pertunangan itu
sudah berlangsung." Shahzada berharap putrinya akan mau
mengerti.
"Ibu tak perlu menjelaskan padaku bagaimana ini bisa terjadi. Tidak
juga Ibu harus meminta maaf."
"Zarri Bano, mengapa kau begitu menutup diri? Kau tidak harus
berpura-pura di hadapanku atau berusaha menjaga perasaanku.
Mengapa tidak kau katakan saja apa yang kau rasakan? Ingatlah, aku
bukan Ruby, aku ibumu. Aku tahu. Kami tidak hanya tidak
bertenggang rasa, tapi juga sudah bersalah telah membiarkan
pertunangan itu terjadi. Aku telah mengatakannya pada ayahmu."
"Ibu, tolong tinggalkan aku sendiri. Apa yang sudah terjadi,
terjadilah. Aku tidak akan pernah bisa menikah, jadi apa masalahnya
bagiku jika Sikander menikah? Ia memang harus menikahi seseorang
suatu hari. Aku seorang Shahzadi Ibadat. Aku seharusnya tidak
memedulikan hal ini." Namun, Zarri Bano tidak sanggup menutupi
keputusasaan di matanya.
"Kau tidak hanya seorang Perempuan Suci. Pada dasarnya kau
seorang perempuan yang berperasaan." Shahzada mengulurkan
tangannya dan mengguncang tangan putrinya.
"Kalau begitu, sebagai seorang perempuan, katakan padaku
bagaimana aku harus menghadapinya, Ibu!" jerit Zarri Bano pilu.
"Tunjukkan padaku caranya menghadapi semua ini, hambatan
emosional terbesar dalam hidupku— memenangkan perasaan
keperempuananku. Ini adalah ujian Tuhan, Ibu, tetapi aku akan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menang. Kukatakan padamu —aku akan menang! Tetapi, tolong


katakan dulu padaku bagaimana caranya. Tunjukkan caranya
bagaimana aku bisa menghentikan pisau ini menghunjam dan
mengoyak-ngoyak batinku."
Kepedihan dalam nada suara putrinya membuat air mata Shahzada
mengalir deras membasahi pipinya.
Sambil mendekapkan kedua tangan kuat-kuat ke dadanya, Zarri Bano
membungkukkan tubuh dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi,
berusaha menyembunyikan wajahnya yang merana dari ibunya.
"Sayangku, menangislah jika itu yang ingin kau lakukan. Kau bisa
memercayakan padaku segenap perasaanmu, Putriku." Suara
Shahzada sendiri bercampur sedu sedan dan isak tangisnya.
"Menangis, Ibu?" tukas Zarri Bano dengan lelehan air mata
kepedihan berkilauan bagaikan permata hijau misterius di matanya.
"Tolong, ya Allah, tolonglah aku!" dia meratap.
Zarri Bano membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan ibunya dan
bersandar di bahunya. "Ia berkata... Ia berkata...," suaranya
terbata-bata, tersendat-sendat, dengan kata-kata yang terpatah-
patah. "Ia berkata bahwa aku akan mengingatnya hingga akhir
hayatku, Ibu. Sekarang aku tidak akan pernah berlalu darinya.
Bagaimana aku bisa membodohi diriku sendiri! Kupikir aku telah
membunuh dan mengubur Zarri Bano yang lama di balik burqa ini,
kafan hitam ini, tetapi dia ternyata masih hidup, Ibu. Dia masih
hidup! Ya Allah, ampuni aku! Aku tidak pernah sadar betapa kejinya
orangtuaku. Katakan padaku Ibu, bagaimana aku bisa membunuh
perempuan di dalam diriku ini, perempuan yang masih saja mencintai
laki-laki ini secara membabi buta."
Melepaskan diri dari dekapan Shahzada, Zarri Bano berusaha sekuat
tenaga memunguti puing-puing pengendalian dirinya. Dia bangkit dan
berdiri tegak. Dengan penuh amarah, dia menghapus air mata dari
kedua pipinya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku ingin beristirahat sekarang. Maafkan aku, Ibu, atas


kecengengan seorang perempuan lemah ini. Aku sangat malu. Ibu
tidak akan pernah terpikir melihat suatu hari Zarri Banomu yang
angkuh menangisi seorang lelaki. Aku tidak pernah tahu bahwa cinta
dapat sedemikian menyakitkan. Ini cara Allah menghukumku karena
telah menampik semua laki-laki yang melamarku. Aku seharusnya
memberi selamat pada Ibu. Aku menyesal." Tubuhnya sekali lagi
ambruk. Sambil berbaring, Zarri Bano memalingkan wajahnya dan
mengatupkan kedua kelopak matanya.
Tak berdaya, Shahzada memandangi punggung putrinya itu selama
beberapa saat. Dia takut menyentuhnya. Dia takut mengatakan
sesuatu yang mungkin saja akan memecahkan kendali diri Zarri Bano
yang rapuh dan mendorongnya ke jurang keterpurukan mental.
Akhirnya dia meninggalkan kamar itu—sepasang matanya
membengkak oleh air mata. Dia segera menuju dapur, tempat Fatima
sedang menggosok sebuah bejana perak besar di tempat cuci piring.
"Dia sudah mengetahuinya, Fatima. Dia berkata, Aku tidak pernah
tahu bahwa orangtuaku bisa sekejam ini," gumam Shahzada lirih di
belakang rubuh pengurus rumah tangganya.
Tubuh Fatima tak bergerak. Tangannya yang berlumuran sabun
tetap teracung di udara. "Bagaimana reaksi Zarri Bano?" tanyanya
setengah berbisik, tanpa membalikkan tubuhnya.
"Seperti yang kita duga—dia sungguh-sungguh hancur. Kita sudah
melakukan sesuatu yang ganjil, Fatima. Aku tidak pernah menyangka
melihat hari ketika putriku itu benar-benar kehilangan kendali atas
dirinya. Dia selalu tampak tangguh dan tegar. Tetapi, kali ini dia
hancur berkeping-keping, Fatima. Semoga Allah menolong kita dan
menolong putriku. Dia masih saja belum mampu melupakan laki-laki
itu."
"Memang tidak baik dan tidak pantas adiknya menikahi laki-laki yang
dicintai Zarri Bano," ungkap Fatima jujur. "Ini akan menjadi sebuah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

pengalaman yang sangat menyakitkan untuk Zarri Bano, Shahzada


Jee."
"Tolonglah, Fatima, jangan katakan lagi. Seperti yang dikatakannya,
kita harus ingat bahwa dia adalah Perempuan Suci. Dia tidak bisa
menikahi siapa pun, jadi dia harus menempa perasaan-perasaan
seperti itu."
"Bahkan jika hal itu akan membunuhnya secara emosional?" tanya
Fatima.
"Ah, Fatima! Itu sudah kita lakukan saat kita membuatnya menjadi
seorang Perempuan Suci. Jangan katakan apa-apa lagi. Jika Habib
mendengar apa yang kau katakan...."
"Lantas mengapa kalau ia mendengarnya? Apa lagi yang dapat ia
lakukan setelah apa yang sudah dilakukannya?"
Fatima kembali mengurusi bejananya dengan sapuan tangan yang
panjang dan keras, melepaskan kedukaannya, dan melampiaskannya
pada benda itu. Bejana itu bisa dipastikan akan berkilau lebih terang
daripada biasanya. Bulir-bulir air mata berenang-renang di mata
Fatima yang bisa saja disaksikan Shahzada jika dia tidak
meninggalkan dapur. Fatima menghela napas panjang.
"Habib dan Kaniz adalah dua orang dari jenis yang sama. Mereka
berdua tahu bagaimana caranya menghancurkan kebahagiaan anak-
anaknya." Mulut Fatima mencibir getir. Dia merasa sangat panas
sehingga dia menyentakkan kerudung Kashmirnya yang berat dari
bahunya dan membiarkannya teronggok di lantai.

34.

MEMBIARKAN KAMARNYA gelap gulita, Zarri Bano duduk di kursi


dengan kedua tangan di atas pangkuannya. Dengan sepasang mata
terpejam rapat, dia mengayun-ayunkan tubuhnya ke depan dan ke
belakang, putus asa karena tak mampu menahan bayangan-bayangan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengancam yang akan meluruhkan dinding batinnya, dinding yang


sudah dibangunnya setelah upacara penahbisannya.
Masa lalu, entah bagaimana, dalam semua warna dan
kecemerlangannya, telah menderanya kembali dengan sebuah
pembalasan, seolah-olah ini adalah tahun terakhir hidupnya. Wajah
Sikander ada di mana-mana di dalam benaknya. Dia menyerah,
membiarkan adegan-adegan berkelebat di depan matanya yang
mengatup, diakhiri dengan bayangan saat jemarinya menelusuri bibir
laki-laki itu. Seakan-akan tubuhnya dialiri kehangatan rasa rindu,
Zarri Bano merengkuh tubuhnya sendiri, menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan putus asa, dan berusaha mengenyahkan semua
pikiran dan bayangan yang mendera dan menjeratnya.
"Aku membencimu, Sikander!" jeritnya nyaring. Lalu:
"Oh, ya Allah, tolonglah hamba-Mu. Ini adalah ujian terdahsyat yang
telah Kau berikan. Engkau menguji kekuatan imanku serta kemurnian
batin dan pikiranku. Dalam ujian ini, aku tak berharap bisa lulus!
Bagaimana aku bisa murni dalam pikiran jika pikiran tentang
Sikander bersama adikku menyayat-nyayatku laksana pedang tajam?
Tubuhku mengucurkan darah dari luka-luka yang terserak. Aku juga
benci dan muak pada diriku atas apa yang kuperbuat. Atas nama
kelemahan keperempuananku."
Satu jam kemudian, masih mengenakan burqa-nya, dia merangkak
naik ke ranjang. Betapa dia sangat merindukan ranjangnya ini
setelah bermalam-malam merasakan ketidaknyamanan di Azmeir
Sharif. Dengan menepuk-nepuk dan membalikkan bantal, lalu
membenamkan wajahnya ke bantal tersebut, Zarri Bano berusaha
mengenyahkan semua hal dari pikirannya.
Dia sadar Sikander pasti akan menikah suatu hari. Maka, dia
mempersiapkan jiwanya untuk hal itu. Lalu mengapa dia masih
merasa seolah-olah embusan napas terakhirnya sedang tersedot

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

keluar dari tubuhnya? Jawabannya datang lewat sebuah erangan


pilu.
"Ini karena Ruby adalah adikku. Aku harus terus menyaksikan
kehidupannya dan dihantui bayangan bagaimana jika aku jadi
menikah dengannya dulu." Apakah sebentuk kecemburuan yang
sedang dirasakannya? "Ya!" suara batinnya menjerit, nyaring dan
jelas. Dia tidak rela adiknya menikah dengan Sikander. Laki-laki
lainnya boleh, tetapi jangan Sikander! Itu adalah ganjaran terkejam
yang pernah diterimanya.
"Ia akan membagi hidupnya dan membina sebuah keluarga dengan
adikku." Pisau itu bergerak-gerak di dalam tubuhnya lagi, saat dia
memikirkan keintiman pernikahan yang akan mereka nikmati.
Pernahkah ia mencampakkan seorang saudari kandung, satu tubuh,
untuk mendapatkan tubuh lainnya? "Sikander, inikah balas dendam
yang kau janjikan? Bagaimana kau tega melakukan hal ini padaku?"
dia terisak, membenamkan wajahnya sekali lagi ke bantal empuknya.
Beberapa saat kemudian, dia terduduk tegak, kaku, di atas
ranjangnya. Dia menatap jam dinding. Sudah pukul dua pagi.
Bagaimana bisa keluarganya tidur dengan nyenyak saat mereka
selesai melontarkan sebongkah bola api seperti ini padanya dan
merampas kewarasannya?
"Ya Allah, tolonglah aku!" dia kembali meratap lewat bibirnya yang
bergetar dan kering.
Dia bangkit dengan tabah untuk melakukan shalat malam. Dia
percaya pada Allah dan hanya kepada-Nya dia akan meminta
kedamaian dan ketenangan batin. Dia tahu dia akan mendapatkannya.
Begitu berdiri di atas sajadahnya, dia berusaha setengah mati untuk
berkonsentrasi, meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia melafazkan
bacaan dan mendirikan jumlah rakaat yang benar. Saat memusatkan
pikiran itulah, dia melupakan Ruby dan Sikander. Ketika tiba saatnya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

melafazkan doa, Zarri Bano mengangkat kedua tangannya tinggi-


tinggi di depan wajahnya dan memohon dengan sepenuh hatinya.
"Ya Allah, terimalah shalat dari seorang perempuan lemah, seorang
pendosa. Bimbinglah aku kembali ke jalan-Mu yang penuh damai dan
kepada pengabdianku pada agama. Ambillah perasaan manusiawi yang
buruk ini, yang telah mengoyak-ngoyak diriku dan menyiksa jiwaku.
Basuhlah kerinduanku ini, api yang menelan tubuhku ini. Aku
seharusnya menjadi seorang perempuan yang murni. Bagaimana aku
bisa menjadi seperti itu jika aku masih merasakan perasaan-
perasaan seperti itu? Selimuti hamba-Mu ini dengan kebersahajaan
seorang perempuan yang telah Kau sucikan. Hilangkan laki-laki yang
menghantuiku saat ini dari benak dan hatiku. Tunjukkan padaku
jalan-Mu karena hanya itulah jalan yang kucari.
"Kupikir aku sudah berada di jalan itu, jalan kedamaian dan
kepolosan seorang perempuan. Kupikir aku bisa berbahagia berpisah
dengan Zarri Bano yang lama. Hari ini aku tidak hanya kehilangan
identitasku, tetapi juga jalan-Ku. Aku sudah hancur berkeping-
keping. Aku tidak tahu lagi ke mana harus menuju. Aku tidak ingin
mengabaikan tugas dan peranku sebagai Shahzadi Ibadat. Bantulah
aku membuang semua pikiran dan perasaan buruk ini untuk
memurnikan diriku dan menghapus semua jejak masa laluku sehingga
aku bisa memulai lembaran baru dalam keadaan murni, semurni-
murninya. Bilaslah dari dalam hatiku hasratku yang menggebu pada
Sikander! Berikan aku kekuatan agar aku dapat seutuhnya menikmati
pernikahan adikku. Bekukan aku dalam ketertutupanku sehingga saat
memandanginya, aku tidak merasakan apa pun, selain kegembiraan
untuk adikku. Tolong bantulah aku menggapai pikiran yang seperti
itu! Kalau tidak, aku akan menjadi orang yang kehilangan jiwa. Aku
tidak akan mampu menahan siksa ini ataupun menghadapi adikku."
Terkurasnya energi membuatnya mengakhiri doa sepenuh hatinya.
Zarri Bano lalu beranjak dari sajadahnya dan duduk di tepi ranjang.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dia membuka Kitab Suci Al-Quran dan membaca dua surah di


dalamnya, juga beberapa halaman Al-Hadis. Meniti untaian tasbih
sebanyak lima kali, sesuatu yang biasa dilakukannya sehabis shalat,
memberinya sebuah tujuan yang lebih jelas dan kegiatan itu telah
membawanya pergi dari kekacauan batinnya.
Akhirnya Zarri Bano berdamai dengan dirinya sendiri. Dia tertidur
dan bangun sekitar pukul tujuh keesokan paginya. Dia sudah
melewatkan shalat subuh. Saat membasuh diri dan berpakaian, dia
terpana menyadari ketetapan pikirannya karena kini dia benar-benar
merasa tenang dan damai.
Ketika mendatangi adiknya di lantai bawah, di ruang tengah, Zarri
Bano tersenyum hangat dan tulus ke arah Ruby Batin Zarri Bano
berseri-seri. Dia kini merasa yakin bisa menemui adiknya dan
berbagi kebahagiaan tanpa sesuatu berkecamuk dalam dirinya.
Menghadapi senyum sang kakak, Ruby merasa terselubungi oleh
kehangatannya dan terbebas dari gundah gulana. Dia juga nyaris tak
bisa tidur, tegang menghadapi pertemuan dengan kakaknya pagi ini.
Hanya Shahzada yang mampu melihat tatapan yang membayang di
mata putri sulungnya. Di luar itu, tidak ada tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa Zarri Bano sudah setengah mati mendaki
sebuah gunung yang amat tinggi dan terjal di malam hari, dan dia
sudah berhasil menaklukkan gunung itu, memenangkan dirinya sendiri
dan semua hasrat yang dimilikinya.
Untuk membuktikan semua ini pada dirinya sendiri, Zarri Bano
meningkatkan pengabdian dirinya pada agama, lebih dari yang pernah
dilakukannya. Pada saat yang sama, dia juga merasa sangat tertarik
pada persiapan pernikahan adiknya.
Sampai saat itu Zarri Bano belum bertemu dengan Sikander. Ia
tidak datang berkunjung. Suatu hari saat Sikander ditunggu
kehadirannya, Zarri Bano malah melakukan ziarah singkat,
menghadiri sebuah pengajian di sebuah darbar setempat.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Suatu hari, aku akan bertemu dengannya juga, tetapi tidak


sekarang, jangan dulu." Naluri perempuannya memperingatkannya
bahwa dia masih terlalu terluka secara emosional untuk berhadapan
langsung dengan Sikander.
***
Kenyataannya dia memang tidak harus bertemu dengan Sikander
hingga hari mehndi, pesta yang disiapkan oleh Ruby tiga hari
sebelum hari pernikahan. Pesta itu ditujukan untuk perempuan dan
para gadis, di dalamnya ada acara nyanyian dan tarian dengan iringan
musik pop, selain lagu-lagu tradisional khas pernikahan, hingga musik
tolki, sebuah genderang kecil.
Sepupu kedua gadis itu, Gulshan, sudah tiba seminggu sebelumnya
untuk membantu persiapan dan terlibat dalam segala hal. Pada pagi
hari acara pesta itu, Gulshan mendekati Zarri Bano dengan kedipan
di matanya dan sebuah permintaan khusus. "Sayangku, aku tidak
mengizinkanmu mengenakan burqa di pesta itu karena hanya akan
ada perempuan dan para gadis."
"Aku harus mengenakan burqa, Gulshan," tukas Zarri Bano.
"Tolong lupakanlah dulu 'kesucian'-mu untuk malam ini saja. Aku
ingin kau menari bersama adikmu di pesta ini." Bekas-bekas
sarkasme pada diri Zarri Bano tidak juga hilang.
Sebuah desisan mengiringi Zarri Bano yang tercekat mendengar apa
yang diusulkan oleh sepupunya.
"Aku? Menari? Itu benar-benar mustahil, Gulshan! Kapan kau
melihat seorang Perempuan Suci menari?"
"Aku tidak mengenal Perempuan Suci mana pun selain kau. Kau juga
adalah sepupuku dan seorang perempuan seperti aku. Aku akan
membuatmu menari—lihat saja nanti," goda Gulshan yang juga
menertawakan raut tersinggung di wajah Zarri Bano. "Tapi,
pertama-tama kau harus naik ke kamar Ruby. Aku punya sebuah
kejutan untukmu. Ruby dan aku sudah memilihkan beberapa pakaian

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

untukmu. Warnanya merah dan putih. Kami sungguh-sungguh tidak


menginginkanmu mengenakan warna hitam, meski itu sudah menjadi
warna kesukaanmu. Hanya warna-warna cerah yang cocok untuk
pernikahan adikmu."
"Aku tidak bisa melakukannya. Kau harus mengerti, Gulshan!" Zarri
Bano benar-benar merasa tersinggung. Dia berusaha melepaskan
cengkeraman tangan sepupunya itu saat dia menyeret Zarri menaiki
tangga.
"Ayolah, Zarri Bano, hari ini kami ingin melihat sekali lagi penampilan
gemerlapmu—setuju? Tidak termasuk kejahatan jika kau berdandan
atau menari di depan kami para perempuan, bukan? Mengapa kau
bersikap seperti ini? Kau tidak boleh mengingkari kesenangan dalam
menari atau berdandan dalam dirimu sendiri. Seingatku, dua-duanya
pernah memberimu kesenangan yang luar biasa."
Itulah yang terjadi. Zarri Bano tidak dapat meloloskan diri. Sekitar
pukul enam, dia didorong untuk memasuki kamar Ruby dan
diperlihatkan pakaian-pakaian itu. Akhirnya, Gulshan membantu
Zarri Bano berdandan di kamarnya sendiri. Tidak ada lagi cermin
tinggi di kamar Zarri Bano, karena itu dia tidak tahu bagaimana
rupanya mengenakan pakaian shahrarah yang mengembang, dengan
rok panjang dari sifon merah dan tunik yang serasi berwarna putih,
dihiasi kepingan berwarna emas yang dibordirkan di gaun itu.
Gulshan dengan terampil mendandani wajah Zarri Bano dan menata
rambutnya yang kini tampak terurai tak terurus hingga ke bahunya.
Dia menambahkan beberapa ikal rambut di tepi wajah Zarri. Seuntai
kalung melengkapi dandanan itu.
Gulshan memandangi sepupunya dengan pandangan puas. Betapa
piciknya dia karena pernah merasa iri pada Zarri Bano. Dia tak sabar
lagi untuk memamerkan Zarri Bano dan mengumumkan kehadirannya
dengan teatrikal karena dia sadar betapa semua orang akan terpana
dan semua kepala akan berpaling ke arahnya. Karena itu, dia segera

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mendahului Zarri Bano memasuki ruangan luas tempat musik sedang


dimainkan dan tepukan tangan yang mengiringinya terdengar meriah,
menambah lincahnya gerakan salah seorang perempuan penari.
Setelah beberapa menit, Zarri Bano melangkah keluar dari
kamarnya, merasa ada seorang perempuan lain yang sedang
mengambil alih tubuhnya. Pakaian itu terasa begitu asing dan aneh.
Ornamen-ornamennya menusuk-nusuk kulitnya. Keinginan untuk
berbalik arah dan menghapus semua riasan wajahnya begitu kuat
membuncah. Riasan wajah itu membuatnya merasa seakan-akan
sedang memakai masker wajah yang sangat berat. Sensasi aneh yang
dirasakannya karena rambutnya ditata ke luar dan beberapa ikal
rambut di sekitar wajahnya membuatnya sangat ingin menarik
semuanya ke belakang kepalanya dan menyembunyikan setiap helai
rambutnya ke balik jilbab burqa-nya. Alih-alih, dia malah menjinjing
burqa itu di tangannya.
Ketika mulai menuruni tangga dan mengangkat sedikit roknya dengan
kikuk dari lantai dengan sebelah tangannya, Zarri Bano mendengar
langkah-langkah kaki di lorong di bawahnya. Dia memandang ke
bawah dan kemudian berdiri terpaku di anak tangga teratas dari
tangga ulir yang panjang.
Berdiri di ujung tangga itu, Sikander yang sedang mendongak
memandangnya. Ia tersenyum, mengira itu adalah Ruby Lalu matanya
menyipit saat ia memusatkan pandangannya ke kain berwarna hitam
di tangan gadis itu, dan ia pun tercekat. Itu Zarri Bano!
Selama beberapa detik, dunia seakan membeku bagi Sikander.
Jantungnya berdegup amat lambat. Senyum di wajahnya perlahan
sirna. Memandangi penampilan begitu memesona yang sedang berdiri
di ujung tangga membuat rasa sakit yang telah ditekan Sikander
selama setahun terakhir itu kembali muncul dalam dirinya,
berbentuk sebuah letupan yang dahsyat. Sebuah isakan rindu
tertahan di tenggorokannya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri Bano terus memandanginya, terpana. Setahun terakhir dalam


hidupnya yang dihabiskan untuk pengabdian terbaiknya pada agama,
luruh begitu saja dari benaknya. Hanya masa kinilah yang berarti.
Ah, alangkah kuatnya mantra itu! Dunia seakan berhenti bergerak.
Kemudian sebuah suara dari kamar di dekatnya menyeret Zarri Bano
kembali ke alam nyata. Sambil menghela napas berat, dia segera
membalikkan tubuhnya dan menghilang dari penglihatan Sikander.
Sikander terpaku di tempatnya berdiri. "Kami bahkan tidak saling
mengucapkan sepatah kata pun," ratapnya. Ini adalah pertama
kalinya ia melihat Zarri Bano lagi sejak hari penahbisannya dulu.
Sikander masih saja berdiri terpaku di lorong besar itu, tetapi kini
menjauh dari tangga ketika mendengarnya melangkah turun. Dengan
penuh harap, ia menengadah dan siap untuk menyapanya.
Gadis itu kembali mengenakan burqa hitamnya. Kekontrasan
penampilannya sekarang dengan penampilan sebelumnya begitu jelas
terlihat. Sambil menegakkan kepalanya dan memandang lurus ke
depan, dia melangkah melintasi Sikander. Satu-satunya kata sapaan
yang ditujukan Zarri Bano padanya hanyalah, "Assalamu 'alaikum,
Adik Sikander."
Kata-kata Zarri Bano itu terdengar menusuk baginya. Mantra itu
sudah terucap. Zarri Bano sudah kembali ke dalam cangkang
kesalehannya. Mulut Sikander yang berkerut kini membentuk sebuah
garis, seulas senyuman pahit. Ia memang akan menjadi adik ipar
Zarri Bano.
Sejenak, Sikander nyaris menyerah pada keputusasaannya. Ia
terikat pada Ruby, seorang gadis yang setia dan penuh cinta....
Namun, ia masih mencintai kakaknya, cinta sejatinya. Dan ia tidak
tahu apa yang harus dilakukannya untuk itu semua.

35.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ZARRI BANO, mengapa kau masih mengenakan protes Gulshan


begitu melihat penampilan sepupunya dalam jilbab hitam.
"Aku harus mengenakannya. Seorang laki-laki bisa saja masuk kemari
kapan saja," ucap Zarri Bano membela diri begitu berdiri di dekat
Gulshan.
"Tetapi di sini tidak ada orang asing selain anggota keluarga kita.
Yang ada, tentu saja, hanyalah mempelai lelaki itu sendiri. Ia akan
segera menjadi adik iparmu, karena itu ia tidak akan lagi menjadi
orang asing. Kemarilah, aku bantu kau melepaskannya!" dengan cepat
Gulshan menarik burqa itu hingga terlepas.
Zarri Bano berdiri dengan canggung di tengah lingkaran perempuan-
perempuan yang duduk mengelilinginya. Mereka tampak menahan
napas dan terpana memandanginya. Dia merasa seolah-olah sedang
berada dalam sebuah pertunjukan makhluk aneh.
"Gulshan, aku akan membuat perhitungan denganmu nanti," desis
Zarri Bano seraya dengan cepat menjatuhkan dirinya dan duduk.
"Aku merasa nista! Apa yang akan dipikirkan orang tentang aku? Kau
pikir mereka akan menghormatiku lagi? Aku berdandan mengenakan
pakaian yang tak pantas—hampir seperti perempuan malam!"
"Jangan bodoh," ejek sepupunya itu. "Kau berpakaian dengan gaya
busana tingkat tinggi dan kau tahu itu. Kau juga tahu, pada saat ini,
di ruangan ini, kau adalah perempuan yang paling memesona."
Semburat rona merah menghilang dari pipi Zarri Bano. "Apa maksud
semua ini?" tanyanya.
"Maksudnya? Untuk menikmati hidup, tentu saja. Merayakan
keindahan! Merasakan kesenangan momen ini tepat pada waktunya—
yang merupakan mehndi adikmu. Kau tidak akan mendapatkan
kesempatan seperti ini lagi, Zarri Bano."
"Gulshan, apa yang kau katakan itu benar, tapi tolong kau camkan,
aku adalah seorang Perempuan Suci."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Jadi, kau pikir pesta adikmu ini tercela?" tuduh Gulshan. "Ayolah,
lupakan sekali saja kesucian dirimu. Berikan pada kami Zarri Bano
yang dulu, untuk semalam saja. Ayo, bergabunglah bersama kami
untuk merayakan pesta pernikahan Ruby. Ayolah!" Sambil memegang
erat tangan Zarri Bano, Gulshan menyeretnya memasuki ruang
kosong untuk menari di sisi kiri mereka, di tengah-tengah lingkaran
tersebut. Merasa sangat malu, Zarri Bano berusaha kuat menarik
tangannya dari cengkeraman sepupunya.
"Tolong, Gulshan," Zarri mengiba, merasa panik. "Jangan lakukan ini
padaku—ini sangat tidak nyaman."
"Baiklah, gadis-gadis, Zarri Bano dan aku akan menarikan lagu
pakeeza 'Cheltah cheltah'. Tolong nyalakan musiknya, dan semua
orang boleh bertepuk tangan mengiringinya!"
Dengan penuh semangat, perempuan-perempuan itu mulai bertepuk
tangan. Gulshan mengayunkan tubuhnya seiring irama musik,
menggerakkan tubuhnya yang gemulai dengan anggun. Rok sifonnya
mengembang mengikuti gerakannya. Zarri Bano menatap kerumunan
perempuan yang duduk di lantai. Dia menangkap tatapan mata
adiknya, Ruby. Dia sedang duduk di atas setumpuk bantalan tinggi,
menunggu tangannya dilukis dengan pacar. "Ayolah," pinta sorot
matanya, memohon.
Zarri Bano menyerah dan memasuki arena untuk menari. Perlahan
tangannya, lengannya, dan kakinya mulai terayun dalam gerakan
gemulai yang anggun, mengelilingi ruangan. Shahzadi Ibadat itu
terlupakan saat tubuhnya mengingat dengan jelas bagaimana harus
menguntai keajaiban dalam gerak dan irama. Tepukan tangan
berirama membahana di sekelilingnya. Dia mengimbangi nada lagu
itu, tersenyum, dan mempertontonkan lesung pipitnya pada para
perempuan itu. Tubuh yang terayun naik turun dengan gerakan
sangat anggun akhirnya mencapai sebuah crescendo hingga ke musik
yang mengalun pilu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Akhirnya lagu itu berhenti dan tubuhnya berputar lalu terhenti.


Matanya mulai terpusat pada wajah-wajah perempuan yang
mengamatinya dengan terkagum-kagum. Lalu, kedua matanya sampai
pada seraut wajah. Dia terkesiap kaku. Itu adalah wajah Sikander
yang sedang duduk tersembunyi bayangan di ujung lorong.
Zarri Bano jatuh pingsan saat kenyataan menghinggapinya, bahwa
Sikander selama ini memandanginya terus dari tempat itu. Tubuh
Zarri luruh terjatuh di atas tumpukan bantal di dekat Gulshan. Dua
kali dalam sehari itu Sikander melihatnya tanpa burqa. Kali ini
situasinya malah semakin mendukung—dia disaksikan Sikander
tengah menari di sebuah ruang terbuka. Itu adalah pesta pernikahan
laki-laki itu. Dan dia memberi pertunjukan tari bagaikan seorang
kanjari, seorang gadis penari, di hadapannya. Warna merah
menjalari pipi Zarri Bano karena malu—tak seorang laki-laki pun
yang pernah melihatnya dalam situasi seperti itu.
Dengan tangan bergetar, dia menarik burqa-nya hingga kembali
menyelimuti seluruh tubuhnya, membenahi jilbabnya serapi mungkin
menutupi rambutnya. Bahkan andai perempuan-perempuan itu
mengemis dengan berlutut di depannya sekalipun, dia tidak akan
bangkit dan mempermalukan dirinya sendiri lagi. Zarri Bano
mengingat dengan jelas gerakan-gerakan sensual tariannya,
tubuhnya menggigil lagi karena malu. Dia bahkan tidak mengenakan
dupatta atau sehelai selendang pun untuk menutupi tubuh bagian
depannya.
Begitu pengendalian dirinya kembali, Zarri Bano memberanikan diri
memandang ke arah kerumunan orang dan berpikir ironis: Setidak-
tidaknya, aku sudah membuat Ruby, Gulshan, dan kerumunan
perempuan ini senang. Dia mengenang kemampuan menarinya, di saat
dia sering diseret ke lantai dansa dalam pesta-pesta mehndi yang
dihadirinya dan biasanya dia tidak akan diperkenankan berhenti

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menari hingga dia menarikan setidaknya lima lagu yang paling


populer.
Kembali ke upacara mehndi itu, Zarri Bano membiarkan Gulshan
memimpin jalannya perayaan. Beberapa lama kemudian, dia
memberanikan diri melihat ke sudut tempat Sikander duduk. Tempat
itu kini sudah kosong. Zarri pun bernapas lebih lega. Dia berjanji
pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berusaha menghindarinya.
Tentu saja, nanti akan ada masa-masa ketika dia akan terpaksa
bertemu dan berbicara dengannya, tetapi dia tidak akan pernah mau
menyengajakan diri bertemu dengannya. Zarri sudah siap membuat
rencana untuk sepenuhnya terjun mendalami
peranannya sebagai satu upaya untuk berjarak dengan masa lalunya
dan secara khusus mengambil jarak terhadap Sikander, ular berbisa
yang meliuk-liuk di antara rumpun bunga di taman mawar pengabdian
keagamaannya.
***
Pada hari pernikahan, Zarri Bano, seperti juga kedua orangtuanya,
sibuk dan tidak punya waktu untuk mengobrol dengan Sikander. Para
tamu sudah seluruhnya berdatangan dan harus segera ditemui.
Semua pengaturan acara pernikahan sudah dilaksanakan. Ruangan
luas sudah didekorasi untuk resepsi dan upacara pernikahan. Pagi itu
berlalu dalam serangkaian kesibukan berbagai aktivitas. Ruby
dikunci di kamarnya bersama Gulshan dan para ahli rias.
Zarri Bano membantu ibunya dengan beberapa penugasan di saat-
saat terakhir. Sekitar pukul sebelas, dia memutuskan memeriksa
adiknya untuk melihat bagaimana kemajuan persiapan riasan
pengantinnya. Menahan napas melihat penampilan Ruby, Zarri
tercekat. "Oh sayangku, kau tampak memesona!"
Tepat pukul dua belas tiga puluh, mempelai laki-laki dan
rombongannya tiba untuk melangsungkan upacara dari Karachi.
Sebagian besar anggota keluarga Zarri Bano telah bersiap di

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

halaman depan untuk menyambut dan menerima kedatangan mereka.


Para gadis menggenggam mangkuk-mangkuk porselen kecil menunggu
untuk menaburkan bunga di kepala mempelai laki-laki dan
rombongannya.
Sendirian, Zarri Bano mengawasi semua itu dari jendela kamar
tidurnya—terlihat olehnya jajaran mobil dan iring-iringan para
pemusik berjalan kaki dengan riang gembira menyuarakan nada-nada
pesta pernikahan. Yang memimpin iring-iringan itu adalah sang
mempelai laki-laki di atas seekor kuda putih, sesuai dengan adat
istiadat yang sudah berlangsung berabad-abad.
Zarri Bano nyaris tidak bisa mengenali Sikander yang berbusana
layaknya seorang mempelai laki-laki, mengenakan serban tradisional
bertaburan manik-manik, atau khullah, di kepalanya dan sebuah
jaket panjang putih dengan shalwar yang serasi. Mata Zarri Bano
menatap lekat wajahnya. Kuda itu berderap pelan untuk kemudian
berhenti tepat di depan gerbang.
"Kismet, kau sangat kejam." Zarri Bano memalingkan wajahnya dari
jendela, merenung tentang berapa banyak perempuan atau laki-laki
yang pernah mengalami skenario mimpi buruk seperti yang sedang
dialaminya ini. "Bagaimana mereka mengatasi semua ini?" gumamnya.
"Aku seorang Shahzadi Ibadat!" dengan getir dia berseru pada
dirinya sendiri. "Seorang perempuan yang sudah menampik
pernikahan dan kehidupan normal. Aku adalah seorang yang sudah
mencampakkannya." Itu sebabnya dia sedang membayar semua ini
sekarang. Kata-kata Sikander terngiang kembali mengejeknya, "Kau
akan mati untukku di hari pernikahanku."
Zarri Bano sudah memohon pada Allah agar selalu membuatnya
sibuk. Hari ini, entah bagaimana, pemandangan tentang Sikander
telah menunjukkan padanya bahwa di balik semua itu, dia masih
seorang manusia rapuh—semata-mata hanyalah korban dari
penderitaan dan kemenangan dalam kehidupan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku sedang mati untukmu, Sikander. Kau berhasil membalaskan


dendammu." Zarri Bano menghapus lelehan air mata dari pipinya
dengan penuh amarah. Dengan gigi-gigi gemeretak, dia berjanji pada
dirinya sendiri, "Zarri Bano tidak akan pernah menangisi seorang
laki-laki lagi! Aku akan mengunci diriku, mengubur sisi-sisi rapuhku,
selamanya. Aku akan menunjukkan pada diriku sendiri dan pada
dunia, bahwa aku memang satu-satunya yang murni, yang suci! Untuk
melakukannya, pertama-tama aku harus mengeluarkan Sikander dari
inti keberadaanku."
Dengan agak bimbang, dia membuka salah satu laci meja riasnya dan
mengeluarkan tiga buah cangkang kerang laut yang
disembunyikannya dalam sebuah kotak kecil. Seraya meletakkannya
di atas telapak tangan, Zarri Bano memandangi ketiga benda itu
selama beberapa saat. Perlahan-lahan, dia mengangkat jaring gorden
jendelanya, lalu melemparkan kerang-kerang itu lewat jendela yang
terbuka, jauh melewati dinding rumahnya. Penghubung terakhirnya
dengan Sikander sudah hilang.
***
Selama berlangsungnya upacara pernikahan, Zarri Bano tetap
berada di belakang. Upacara "penyambutan susu", di mana kedua
kakak beradik itu secara adat menawarkan segelas susu kepada
mempelai laki-laki, diganti dengan pemberian uang. Zarri Bano sudah
menguasakannya pada Gulshan. Dia tidak sanggup berdiri di depan
Sikander. Ketika melihat adiknya duduk di samping Sikander di altar
seusai upacara pernikahan, dan Ruby tampak tertawa-tawa di depan
wajah Sikander, Zarri Bano tahu bahwa ikatan masa lalunya akan
benar-benar terputus malam itu.
Dengan penasaran, Zarri mengamati sorot mata Sikander. "Sepasang
mata itu pernah berkilauan dalam mataku juga!" ratapnya. Sikander
tidak bisa melihat Zarri Bano, tetapi mata Zarri menikmati
memandangi Sikander untuk terakhir kalinya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Tidak sanggup lagi bertahan, Zarri Bano meninggalkan ruangan itu


dan melangkah memasuki halaman belakang. Sambil duduk di sebuah
kursi di beranda, dia menatap sedih rumpun mawar. Dia mendengar
sebuah suara di belakangnya, segera saja dia memperbaiki topeng
mimik wajahnya.
Fatima berdiri di belakangnya. "Aku juga merasa kegerahan di dalam
ruangan luas itu, Sayangku," ujarnya.
"Ya, Fatima." Zarri Bano bangkit dan siap beranjak pergi.
"Beristirahatlah, Sayangku. Kau sudah sangat sibuk." Dengan
lembut, Fatima mendorong tubuh Zarri Bano agar kembali duduk.
Sejenak keheningan penuh arti meruap di antara mereka. "Ia tidak
pantas mendapatkannya," perempuan itu berkata dengan nada sedih.
Mata Zarri Bano membelalak lebar. "Aku tidak tahu apa yang kau
maksud, Fatima. Jika kau sedang membicarakan Sikander, kau tidak
perlu mengkhawatirkan aku, tetapi ia memang pantas menikahi
adikku. Aku sangat berbahagia untuk Ruby. Ingatlah bahwa aku
adalah seorang Perempuan Suci. Bagaimana kau bisa memikirkan hal
seperti itu? Sungguh-sungguh...," tawa gugup Zarri Bano membuat
batinnya terasa ringan. "Ayo, kita harus memamerkan gaun
pengantin Ruby ke semua perempuan yang ada di sini. Gulshan sudah
melakukan segalanya. Kau dan aku akan melakukan tugas ini bersama-
sama."
Bertahun-tahun kemudian, Zarri Bano menyadari bahwa momen
itulah, ketika mereka berada di taman belakang, saat hambatan
terbesar yang coba dia lalui pada akhirnya berhasil terlewati berkat
kata-kata simpatik Fatima. Untuk membuktikan pada dirinya sendiri
bahwa semua itu tidak ada artinya lagi baginya, Zarri Bano bahkan
menawarkan diri untuk menemani Ruby ke rumah Sikander.
"Aku orang yang berkemauan kuat dan aku akan membuktikan pada
diriku sendiri dan pada dunia bahwa aku memang sungguh-sungguh
seorang Perempuan Suci. Kuharap Sikander menemukan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kebahagiaannya bersama adikku. Tidak akan ada lagi calon-calon


pelamar di dalam hidupku!" Dia menyatakan doa pribadinya itu saat
bersimpuh di atas sajadah di malam pengantin adiknya.

36.

FATIMA MENYEWA sebuah tanga, kereta berkuda, untuk


membawanya dari Chiragpur menuju rumah tempat Khawar tinggal,
di desa tetangga. Setelah memberi upah di muka pada si kusir, dia
meminta kusir itu menunggunya di luar karena tidak ada taksi di
sekitar desa itu. Bahkan, tanga pun merupakan kendaraan langka
saat itu.
Dibangun di pinggiran desa, rumah Khawar yang besar berdiri tegak
sendirian di tengah-tengah ladang yang hijau. Ia mewarisi dua buah
rumah semacam itu saat ayahnya meninggal dunia. Ia
mempekerjakan dua orang pelayan untuk menjaganya dan Rani,
seorang perempuan tua yang membantunya memasak dan mencuci
sehari-hari. Ranilah yang mempersilakan Fatima masuk dan
mengantarnya memasuki ruang tamu, memintanya menunggu Khawar
kembali.
"Tidak akan ada mimpi-mimpi lagi," ujar Fatima getir pada dirinya
sendiri. "Semuanya berakhir sudah."
Dia sudah mendapatkan pelajaran, dengan baik dan sungguh-sungguh.
Kebahagiaan putrinya dan kesejahteraannya lebih berarti baginya
daripada mimpi bodohnya melihat Firdaus sebagai kepala sekolah
sekaligus calon chaudharani di desa itu. Kedudukan yang terakhir itu
sudah ditampiknya sekitar tiga puluh tahun yang lalu ketika dia
memutuskan untuk menikah dengan Fiaz, daripada Sarwar.
Memarahi dirinya sendiri tetap tidak membuatnya mudah
menghilangkan mimpinya itu. Sekian lama, hati Fatima terus
tertambat pada Khawar, sebagai calon menantu tertuanya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dia masih bisa mengingat sorot mata Kaniz ketika salah satu tamu
perempuan berbisik dengan cukup nyaring dan tanpa
mempertimbangkan perasaan orang lain pada si pengantin baru, "Itu
dia Fatima, perempuan yang ingin dinikahi Sarwar, tetapi dia
menolaknya."
Sambil tersipu, Fatima segera saja menengadah dan melihat sorot
mata tajam Kaniz ke wajahnya. Karena memahami perasaan sang
pengantin baru, batin Fatima pun bersimpati padanya. Setelah itu,
dia diperingatkan bahwa perempuan itu sangat ketus dan nyinyir.
Kaniz tidak bisa melupakan ataupun memaafkan Fatima karena
menjadi "perempuan lain". Fatima, sebaliknya, harus mengubah
pendapatnya tentang Kaniz karena chaudharani baru itu segera
menampakkan sikapnya, dalam segala hal, menunjukkan bahwa Fatima
sama sekali tidak diinginkan di rumahnya. Kemudian, dia
menggunakan pelayannya, Neesa, untuk menyatakan dengan gamblang
pada Fatima bahwa dia tidak berhak datang ke rumahnya. Saat
itulah permusuhan itu dimulai, seiring dengan bertambahnya bulan
dan tahun.
Ketika Fiaz mengalami kecelakaan dan Fatima bekerja sebagai
pelayan di rumah Siraj Khan, Kaniz mendapat kesempatan untuk
membalas dendam.
Sambil meraup setiap kesempatan yang datang padanya, Kaniz
dengan terang-terangan dan tanpa ampun bersikap sinis pada "si
tukang cuci" yang merupakan perempuan yang sebenarnya ingin
dinikahi Sarwar. Fatima sendiri tidak pernah punya cukup waktu
untuk meladeni Kaniz dan cemoohannya yang tidak penting itu. Dia
menghadapi serangkaian tugas untuk mempertahankan keluarganya
dan merawat suaminya yang tak berdaya. Dia bahkan menemukan
kepercayaan dan seorang teman dalam diri Chaudharani Shahzada.
Fatima sedang tenggelam dalam lamunan tentang masa lalunya
dengan Kaniz ketika mendengar suara kaki Khawar di luar beranda.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dia menengadahkan wajahnya, mengagumi jajaran gigi putih pemuda


itu dan senyumnya yang selalu mengembang di wajahnya.
Fatima tidak membalas senyum itu.
"Assalamu 'alaikum, Bibi Fatima. Betapa ini adalah kejutan yang
menyenangkan!" Sambil mengibaskan debu dari sepatu botnya
dengan sehelai sapu tangan, Khawar melangkah memasuki ruangan
itu. Fatima berdiri. Sorot matanya menatap sosok pemuda bertubuh
tinggi dan atletis itu.
"Kemari dan duduklah di sini, Bibi Fatima, dan katakan padaku semua
kabar yang kau bawa. Bagaimana kabar semuanya?"
"Semuanya baik-baik saja, Khawar. Bagaimana dengan dirimu
sendiri? Kau tampak sudah menetapkan diri untuk tinggal selamanya
di tempat ini, Anakku."
"Ya, aku sangat bahagia di tempat ini, Bibi," balasnya sopan. Ia
merasa tidak enak mendiskusikan perihal dirinya yang berpisah dari
ibunya.
"Rasanya tidak benar jika kau harus ada di sini," ujar Fatima dengan
hati-hati.
"Mengapa, Bibi?"
"Ya, ibumu yang malang sendirian di desa sekarang. Kau adalah
anaknya semata wayang, Khawar, dan kau seharusnya tinggal
bersamanya." "Bagaimana kabar Firdaus?"
"Dia baik-baik saja, tetapi dia akan meninggalkan desa itu untuk
selamanya, Anakku." "Apa?" tanyanya kaget. Khawar sontak berdiri.
"Ya, Anakku. Dia ingin meninggalkan kita dan desa itu. Dia sudah
ditawari jabatan baru sebagai wakil kepala sekolah di sekolah tinggi
khusus untuk perempuan di kota. Aku tidak bisa membujuknya untuk
tetap tinggal di desa. Kini semuanya telah berakhir, Anakku."
"Apa maksudmu, Bibi?"
"Maksudku, dia tidak ingin memiliki keterkaitan apa pun lagi
denganmu, ibumu, atau rumahmu. Dia begitu kukuh berpendapat

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bahwa kau adalah orang terakhir yang ingin dinikahinya." Fatima


nyaris menyesali kata-katanya. Khawar adalah laki-laki kedua dalam
keluarganya yang ditampik cintanya.
"Aku sangat menyesal, Khawar," ujar Fatima dengan suara yang lebih
lembut. "Aku sudah berusaha sekuat tenaga, kau tahu itu. Namun,
segalanya terjadi di luar kendaliku."
"Ini perbuatan ibuku, bukan?" suara tajam Khawar mengiringi kilatan
dingin yang terlintas di sorot matanya.
"Menurutku, ibumu tidak membantu dalam hal ini. Beberapa saat
yang lalu dia mendatangi sekolah Firdaus dan itu jelas membuat
segalanya jauh lebih buruk. Dia mungkin saja memiliki serangkaian
alasan untuk bersikap seperti itu. Namun, yang ingin kukatakan
padamu, Khawar, hanyalah agar kau kembali pulang ke rumah ibumu:
Aku tidak ingin kau terlihat asing darinya."
"Aku tidak ingin pulang!"
"Kau harus pulang, Sayang. Ibumu sangat menyayangimu. Aku datang
untuk memintamu pulang ke rumah dan mengesampingkan Firdaus
dan kami di luar benak dan hatimu."
"Tidak semudah yang kau katakan, Bibi. Dan mengapa aku harus
pulang hanya karena kau dan ibuku mengatakannya. Bolehkah aku
bertemu Firdaus?"
"Aku akan mengusulkannya, Anakku, tapi tidak saat ini. Suasana
hatinya sedang sangat tidak enak. Ibumu dan aku tidak mampu
meredakannya. Harga dirinya sangat terluka karena kami berdua."
"Bagaimana dengan masa depan, Bibi? Aku tidak akan
membiarkannya pergi tanpa berjuang untuk mempertahankannya."
"Itu terserah padamu, Anakku—tetapi secara pribadi aku tidak
menyarankanmu untuk melakukannya. Aku juga tidak ingin kau
melakukannya. Kau tahu sendiri, Khawar, betapa aku selalu
menginginkanmu sebagai menantu tertuaku. Namun, sepertinya
Firdaus sudah ditakdirkan untuk orang lain. Jika kau menghargaiku,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kuharap aku bisa melihatmu kembali berada di rumah keluargamu di


Chiragpur bersama ibumu dalam beberapa hari ini."
Fatima berlalu, menolak tawaran untuk makan malam dan menikmati
minuman penyegar. Tanga-nya dengan sabar menunggu. Si kusir
masih saja sibuk mengunyah paan-nya. Fatima sudah mencapai
tujuannya—berbicara apa adanya pada Khawar.

37.

SABTU PAGI yang cerah ceria, dengan matahari bercahaya terang


di langit Chiragpur. Burung-burung desa berkicauan di pepohonan.
Fatima masih saja tak menikmati siang yang menjelang dan tugas
tidak menyenangkan yang menunggunya. Dia membiarkan pagi itu
berlalu di atas atap rumahnya.
Akhirnya, setelah pukul dua tepat, Fatima memaksakan diri untuk
meninggalkan rumahnya. Keengganannya begitu terasa di setiap
langkahnya di atas jalanan berbatu, tak terhindarkan lagi, menuju
arah rumah Kaniz.
"Bertahun-tahun waktu yang terbuang sia-sia," ucapnya sedih. Andai
saja dia mengetahuinya! Keegoisan diri adalah sesuatu yang sangat
sulit dihadapi. Sekian lama dia memimpikan perjodohan putri
sulungnya dengan Khawar, dan dia sudah mulai memercayainya
sebagai sebuah penyelesaian masa lalu. Dan kini, Firdaus sudah siap
pergi ke kota untuk memulai pekerjaan barunya.
Hari ini Fatima berniat mengakhiri semua mimpinya bertahun-tahun
dan membiarkan Kaniz menganggap dirinya sebagai pemenang,
sementara dirinya sendiri menjadi si pecundang yang malang. Ini
adalah hari untuknya menundukkan kepala karena malu dan menerima
semua cemoohan tak beradab Kaniz sebagai kebenaran. "Bahkan
andai mulut perempuan itu menyemburkan bisa sekalipun," seru
Fatima pada dirinya sendiri, "hari ini aku akan dengan rela

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menelannya dengan segenap harga diri dan membungkuk di hadapan


Chaudharani Kaniz, dengan penuh hormat untuk selamanya."
Di luar gerbang rumah Kaniz, Fatima mengangkat jemarinya di depan
bel pintu—belum cukup siap untuk menekannya. Ketika pada akhirnya
dia menekan tombol bulat kecil itu, jantungnya mulai memalu
kencang di dadanya, membuatnya terpaku dan tercenung. Neesa
membuka pintu gerbang dan mempersilakan Fatima memasuki
halaman tengah yang dihiasi pilar-pilar pualam hingga ke sofa
berkanopi di beranda.
Terpana, Fatima menatap ke sekelilingnya, ke arah beraneka
tanaman dalam pot yang berjajar rapi di beranda, menciptakan
sebuah arena yang menarik di halaman. Tempat itu sangat indah.
Fatima teringat ketika para arsitek terkemuka dipanggil dari
Karachi oleh ayah Khawar untuk merancang semua itu. Fatima diam-
diam membayangkan putrinya, Firdaus, berjalan ke sana-kemari di
tempat itu dengan riang, di antara kamar-kamar di lantai dua atau
bermandi cahaya matahari di balkon-balkon atap yang berpagar
teralis. Fatima menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pilu. Ini
adalah saat untuknya berpisah dengan mimpi-mimpinya itu.
***
Kaniz sedang menikmati istirahat siangnya di kamar tidur luasnya
yang berpenyejuk udara ketika Neesa dengan lembut menyentuh
tangannya. Dia benar-benar tidak senang dibangunkan dari sebuah
mimpi yang menyenangkan. Otaknya masih setengah bermimpi, tidak
segera memahami kata-kata Neesa yang menyatakan bahwa "Fatima
Jee" ada di sini untuk menemuinya. Dia terduduk di atas palang-nya
dan mulai membenahi chador ke sekeliling bahunya.
Begitu melihat "musuh"-nya memasuki ruangan, mata Kaniz yang
berbentuk almond mula-mula mengecil menjadi segaris tipis dan
kemudian membelalak lebar. Tubuhnya tegak kaku. Pikirannya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menjadi buntu seketika. Mengapa perempuan yang dibencinya itu


berada di sini, di kamar tidurnya? pikirnya bingung.
Fatima tetap terpaku di ambang pintu. Wajahnya lurus dan matanya
menatap tajam wajah Kaniz.
"Assalamu 'alaikum!" suara penuh percaya dirinya yang dingin
membahana di kamar sunyi yang temaram itu dan mengejutkan
penghuninya.
"Wa 'alaikumussalam!" sahut Kaniz kaku, masih tak mampu menatap
ke arah Fatima. Etiket sosial dan tata krama desa menuntutnya
untuk memperlakukan Fatima layaknya seorang tamu. Yang paling
mungkin dilakukannya saat ini adalah menganggukkan kepalanya pada
Fatima dan memberi isyarat untuk mempersilakannya duduk.
Perasaan terhina tidak juga sirna dalam diri Fatima. Itu adalah
bahasa tubuh yang menyerupai sikap yang dilakukan Kaniz terhadap
Neesa, pelayannya. Tampaknya Fatima tidak lebih dari pelayannya
itu.
Dengan jantung berdegup kencang, Fatima segera menguatkan diri
dan berusaha mengatasi keadaan. Dia tidak datang untuk bertengkar
dengan sang chaudharani, melainkan untuk bersikap terkendali dan
dewasa. Kemudian dengan anggun dan bersahaja, dia memutuskan
untuk mengabaikan penghinaan Kaniz yang tak berguna itu.
Dia malah melangkah dua langkah ke depan di atas lantai bermozaik
marmer yang dingin, menolak duduk di kursi, seakan-akan memberi
isyarat pada Kaniz bahwa dia tidak berada di tempat itu untuk
mengerjakan "apa yang diperintahkannya".
"Apa yang membawamu ke rumah kami, Fatima Sahiba?" Sebuah
beban yang amat berat dengan penggunaan kata "Sahiba" terdengar
ironis di telinga Fatima.
"Aku berpikir ada baiknya jika kita melakukan sebuah perbincangan,"
ujar Fatima dengan penuh harga diri.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Mengenai apa?" Kaniz sangat membenci nada suaranya yang dingin


dan karena dia cepat kehilangan kendali di depan musuhnya.
"Tentang anak-anak kita dan masa lalu kita, Kaniz Sahiba," jawab
Fatima dengan suara lirih.
Kaniz memalingkan wajahnya. Sambil mengambil kipasnya, dia mulai
mengipas-ngipas leher jenjangnya dan melepaskan chador Muslimnya
dari kepala dan bahunya. Saat menolehkan kepalanya, dia menangkap
tatapan tajam Fatima.
"Menurutku, kita tidak memiliki persamaan. Kau sangat lancang
menyimpulkan demikian," sahutnya ketus. Pipinya kini terasa sangat
hangat.
"Aku tidak sependapat, tetapi jika kau memaksa, baiklah, aku setuju
kita tidak memiliki kesamaan apa pun. Namun, aku tidak datang
kemari untuk mendengarkan hinaanmu atau bersilat lidah denganmu,
Kaniz."
"Lantas untuk apa kau kemari?" tanya Kaniz. Kedua pipinya yang
berwarna terang kini merona merah.
"Aku datang untuk memberitahumu bahwa putriku telah
meninggalkan desa ini. Dia mendapat jabatan sebagai wakil kepala
sekolah di sebuah sekolah tinggi...."
"Jadi, kau datang kemari hanya untuk menyombongkan hal itu,
bukan?" tukas Kaniz ketus.
"Tidak. Bukan!" tukas Fatima. "Aku datang untuk memberitahumu
bahwa putriku sudah menetapkan hati bahwa Khawar adalah orang
terakhir yang akan dinikahinya. Dia sedang mengucapkan salam
perpisahan pada desa ini untuk selamanya. Aku tidak akan berpura-
pura di hadapanmu. Kuakui bahwa aku sudah berharap atas dirinya
dengan Khawar. Untung saja kini aku sudah tersadar. Adakah
gunanya, kutanya diriku sendiri, membenamkan wajah seseorang ke
dalam lumpur berkali-kali hanya untuk membuatnya berlumuran
noda? Putriku pantas mendapatkan yang lebih baik. Kau dan putramu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bahkan tidak pantas membersihkan sepatunya. Aku sudah bersikap


bodoh, sangat bodoh, dengan menginginkan Firdausku menikah dan
masuk ke dalam rumah tanggamu." Fatima menarik napas berat.
"Syukurlah, akhirnya aku tersadar, Kaniz. Aku sudah memutuskan
akan melakukan apa pun yang diinginkan putriku itu. Lewat
kekeraskepalaan dan keegoisanmu, kau sudah kehilangan putramu.
Aku tidak akan kehilangan putriku dengan cara yang sama. Aku
sudah menghabiskan bertahun-tahun hidupku bekerja untuk
menyekolahkan putri-putriku dan mendapatkan sebuah kehidupan
yang layak. Aku tidak akan membiarkannya terbuang percuma."
Fatima menatap nanar perempuan di depannya.
"Aku tidak memiliki cukup uang untuk mengurus anak-anakku, tidak
sepertimu. Aku bisa saja seperti ini jika bersedia menikah dengan
Sarwar—kau tahu itu, bukan? Kau tidak pernah berterima kasih
padaku, bukan? Kau menjadi seorang chaudharani hanya karena aku
menolak menikah dengan Sarwar. Kau seorang malika, ratu di desa
ini, yang memperlakukan semua orang seperti sampah, tetapi jangan
kau lupa, aku tahu siapa dirimu dan dari mana kau dibesarkan. Kau
sudah melupakan akarmu—rumahmu yang kumuh dengan tumpukan
charpoy tumpang tindih di atasnya, dan saudara-saudaramu
bertindihan karena kekurangan tempat. Kau sangat tidak bersyukur
dan tidak tahu terima kasih. Kau adalah seorang perempuan yang
tidak tahu bagaimana menggunakan kekayaannya. Kau harus
dilahirkan di antara kekayaan itu untuk melakukannya."
Saat itu Kaniz sudah terlonjak dari palang-nya.
"Berani-beraninya kau datang kemari untuk mencaciku di rumahku
sendiri!" Mulutnya ternganga dan terkatup— merasa terguncang.
"Aku tidak sedang mencacimu," lanjut Fatima tenang sambil kedua
matanya menatap lekat wajah Kaniz. "Hanya memberimu dosis penuh
tentang apa yang selalu kau lakukan pada orang lain. Hari ini aku
akan menghapus semua catatan di antara kita, untuk selamanya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Tidak akan ada jalan untuk kembali, tidak untukmu ataupun untukku,
Kaniz. Memang benar, sebagaimana yang dengan puas hati kau
sebarkan pada seisi desa bahwa tanganku penuh jelaga, tetapi
katakan padaku, siapakah yang pertama kali pantas dan sejajar
dengan Sarwar? Aku atau kau? Kau tahu bahwa keluargaku adalah
keluarga pemilik lahan dan karena harga dirikulah aku tidak mau
menerima bantuan mereka. Aku ingin menafkahi sendiri keluargaku.
Kelemahanku, tidak sepertimu, Kaniz, adalah kebanggaan atas
pencapaianku sendiri dan hasil jerih payahku. Aku tidak ingin selalu
menengadahkan telapak tangan pada siapa pun.
"Tahukah kau, atau bisakah kau bayangkan, bagaimana rasanya
bekerja, menafkahi sebuah keluarga? Kau tidak bisa
membayangkannya, bukan? Kau yang sudah terbiasa menggonggong
pada para pelayanmu. Aku menikah dengan suamiku bukan karena
kekayaannya, tetapi karena cinta. Kau menikahi Sarwar karena
harta. Itu perbedaan di antara kita." Suara Fatima semakin nyaring.
"Memang benar, dalam buku tata krama sosialmu, aku melakukan
pekerjaan yang hina. Aku menggosok, mencuci, dan membawakan
benda-benda untuk orang lain. Tetapi, itu adalah pekerjaan yang
jujur dan halal. Tentu saja sangat berbeda dengan gaya hidupmu
yang bermalas-malasan, di mana kau sepenuhnya bergantung pada
orang lain. Aku mencukupi kebutuhan putri-putriku sendiri.
Semuanya itu kuraih dengan jerih payahku sendiri. Coba katakan
padaku apa yang sudah kau capai selain melahirkan seorang anak
laki-laki?"
"Cukup!" teriak Kaniz. Dia benar-benar tersinggung. "Aku tidak akan
mendengarkan lagi caci makimu. Kau gila, perempuan pengamuk—
keluar! Neesa!" Sepasang matanya kini benar-benar terbeliak di
dalam lubangnya.
Dengan tenang Fatima hanya tersenyum, menunjukkan sebaris
giginya yang putih rata. "Jangan takut—aku akan pergi. Kau tidak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

harus mendengarkan apa pun lagi. Aku sudah mengatakan semuanya


lebih dari yang kurencanakan, tetapi kau memang pantas
mendapatkannya, Kaniz. Bab permusuhanmu terhadapku dan
keluargaku akan berakhir saat ini juga. Putri-putriku dan aku
menolak memiliki keterkaitan apa pun denganmu atau putramu. Kau
bisa mengambil semuanya. Semua itu jauh di bawah kami. Selamat
tinggal." Dengan langkah penuh harga diri, Fatima keluar dari kamar
itu, meninggalkan sang chaudharani desa itu dengan mulut setengah
terbuka, berdiri kaku di tengah-tengah ruangan—nyaris histeris.
Fatima berpapasan dengan Neesa di halaman. Dia membawa sebuah
baki berisi satu bejana jus limau dingin dan sebuah gelas.
"Kau harus minum dulu, Sahiba Fatima," pinta Neesa sopan.
"Terima kasih, Neesa. Aku rasanya tidak ingin minum setetes air pun
di rumah ini saat ini dan majikanmu juga tak akan berterima kasih
padamu karena menawarkannya padaku." Dia menyunggingkan sebaris
senyum penuh arti pada perempuan itu sebelum melangkah keluar
dari bangunan itu, lalu menutup pintu gerbang dengan mantap di
belakangnya.
Di dalam hatinya, berbagai perasaan berkecamuk Fatima menang
karena dia sudah mengatakan semuanya. Dengan pedih, diakuinya
bahwa itu adalah kemenangan yang hampa, menyadari bahwa Khawar
tidak pernah ditakdirkan untuk menikah dengan putrinya. Andai
saja.... Ah, tidak boleh ada lagi angan-angan bodoh! Dengan marah
Fatima membuka gerbang rumahnya sendiri.

Bagian Kedua

Dalam kegelapan malamku, mereka menyampaikan padaku Kabar-


kabar baik pagi hari, Memadamkan nyala pelita,
menghadapkanku Pada terbitnya matahari.
-Mirza Asadullah Khan Ghalib (1797-1869)

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

38.

PADA IDUL Fitri, Ibrahim, Pakinaz, dan Zarri Bano melayari Sungai
Nil dari Kairo ke kota kuno, Luxor, di selatan. Mereka menghabiskan
dua hari pertama untuk beristirahat setelah sebuah perjalanan
wisata melelahkan ke Kota Aswan dan monumen-monumen kuno kota
itu. Pada hari ketiga, mereka mengunjungi Lembah para Raja. setelah
menyeberangi Sungai Nil menggunakan kapal feri, mereka naik taksi
ke Kuil Ramses. Zarri Bano takjub pada beranda agung yang tinggi,
terpahat dalam bebatuan yang kemerahan serta lukisan-lukisan dan
tulisan-tulisan hieroglif yang dipahat dengan indah di dinding, pilar,
dan langit-langit.
Di luar, cahaya terik matahari siang memanggang kepalanya. Merasa
kepanasan dalam balutan burqa hitamnya yang panjang, dia amat
senang saat kembali naik taksi berpendingin udara dan melaju ke
Lembah para Raja.
Makam Raja Ramses adalah tujuan pertama mereka. Mereka bertiga
dengan gembira memasuki lorong panjang yang lebar. Terpukau oleh
lukisan hieroglif raksasa aneka warna yang dilukis di dinding, mereka
berjalan bersama menuju ruangan luas tempat menaruh sarkofagus
sang Raja seraya menyimak penuh perhatian saat pemandu wisata
Mesir menceritakan sejarah makam itu.
Kembali keluar, mereka menyeberang jalan dan pergi ke makam yang
jauh lebih kecil milik Raja Tutankhamen yang legendaris. Tempat itu
dipenuhi para wisatawan dan Zarri Bano merasa kesulitan melihat
sarkofagus raja muda itu dengan leluasa. Harta karun dan barang-
barang peninggalannya tersimpan di Museum Kairo.
"Sangat mengesankan, Abang Musa," ujar Zarri Bano pada Ibrahim
ketika Ibrahim berdiri menyamping agar Zarri bisa memandang
makam itu dalam kamar yang agak gelap. "Mana Pakinaz?"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Pergi ke toko cenderamata untuk membeli oleh-oleh bagi


kemenakan kami. Kau ingin tinggal di sini lebih lama dan menikmati
waktu?"
"Tidak. Kurasa sudah cukup aku melihat-lihat. Kita keluar saja?"
Mereka kembali melintasi jalan yang tadi mereka lalui, membiarkan
para pelancong yang tengah melihat-lihat, kebanyakan orang Eropa
atau Amerika, melintas. "Kita tunggu Pakinaz di sini saja," saran
Ibrahim. "Di sini teduh dan hawanya lebih sejuk."
"Terima kasih." Zarri Bano bergerak ke tempat yang ditunjukkan
oleh Ibrahim di sampingnya dengan penuh rasa terima kasih.
Ketika mereka berdua memandangi para wisatawan yang baru keluar
dari makam itu, keheningan yang canggung melingkupi mereka.
Keheningan itu dipecahkan oleh perkataan Ibrahim dalam bahasa
Arab. "Menikahlah denganku, Zarri Bano."
Merasa terkejut, sepasang mata Zarri menatap wajah Ibrahim,
berpikir dia hanya mendengar perkataan Ibrahim itu dalam lamunan.
Namun, seperti dirinya, Ibrahim juga mengenakan kacamata hitam
yang menghalangi sepasang matanya dan ekspresi yang
ditunjukkannya. Zarri menunggu denyut nadinya berdetak cepat,
berharap dia hanya salah paham.
"Maafkan aku, Abang Ibrahim-apakah kau mengatakan sesuatu?"
Zarri ragu-ragu bertanya untung-untungan dalam bahasa Inggris
seraya menatap pegunungan berbatu yang tandus, jauh di balik bahu
Ibrahim.
"Ya, Zarri Bano. Aku yakin kau mendengarku, tetapi barangkali
terlalu mengejutkan untuk memercayai apa yang baru saja
kukatakan. Maafkan aku. Aku akan mengulanginya dalam bahasa
Inggris, kalau-kalau kau mengira hanya mendengarnya dalam
lamunan. Aku melamarmu menjadi istriku, Zarri Bano. Tiada lagi yang
membuatku bisa lebih bahagia."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri Bano menghela napas dalam-dalam dengan cemas dan bangkit


dari samping Ibrahim.
Saat Ibrahim menatapnya, semangat Ibrahim merosot. Ini bukanlah
tanggapan yang ia harapkan. Merasa tidak senang, ia mengikuti Zarri
Bano ke deretan pertokoan dan melihatnya menghampiri Pakinaz, lalu
berdiri di dekatnya. Ia memahami isyarat itu. Zarri Bano sengaja
menjauhinya secara terang-terangan. Seraya melambai pada adik
perempuannya, Ibrahim berjalan dan naik ke dalam taksi yang
menunggu mereka.
Pakinaz dengan gembira menunjukkan seekor kucing alabaster yang
dibelinya untuk kemenakan perempuannya kepada Zarri Bano. Zarri
Bano berpura-pura mengaguminya, tetapi pikirannya sesungguhnya
bukan tertuju pada kucing itu, melainkan pada lelaki yang tengah
menunggu di dalam taksi. Pakinaz naik ke kursi depan, membuat
temannya tak punya pilihan lain kecuali duduk di belakang bersama
Ibrahim. Mereka melaju, dalam diam, untuk naik kapal feri melintasi
Sungai Nil dengan tujuan ke kompleks kuil di Karnak.
"Hei, kalian berdua!" panggil Pakinaz dari depan. "Kalian pendiam
sekali-apakah hawa panas ini kalian rasakan juga? Aku berani
bertaruh, Zarri Bano. Kau pasti merasa terpanggang dalam hijab
hitammu."
"Kurasa memang begitu, Pakinaz, karena hawa panas bisa membuat
kita berkata dan berbuat hal-hal yang tak masuk akal." Zarri Bano
melirik penuh arti pada Ibrahim. Mulut Ibrahim mengatup,
dibiarkannya waktu berlalu dan ia tak mengucapkan sepatah kata
pun.
Setelah menyeberangi Sungai Nil, mereka berjalan menuju kompleks
Karnak. Ketika mereka telah sampai, Ibrahim berkata pada adik
perempuannya. "Aku akan mengajak Zarri Bano melihat-lihat
berkeliling, Pakinaz, karena aku tahu betul sejarah tempat ini." Ia
lalu beralih berbicara dari bahasa Inggris ke bahasa Arab dan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Pakinaz mendengarkannya lalu mengangguk-angguk. Zarri Bano


berdiri di dekat mereka, merasa tak berdaya dan terjebak. Dia tak
ingin melihat-lihat kompleks bangunan kuno itu hanya berduaan
dengan Ibrahim.
"Lewat sini, Zarri Bano," Ibrahim memberi isyarat seraya terus
berjalan dan tak memberi waktu pada perempuan itu untuk menolak.
Zarri mencatat dengan kesal bahwa ini adalah kali ketiga Ibrahim
menghilangkan sebutan "adik" ketika memanggilnya.
Dengan berdiam diri, dia mengikuti Ibrahim sepanjang jalan antara
pilar-pilar kerajaan yang mencakar langit, permukaan kuno mereka
ditatah oleh tulisan-tulisan yang terlupakan. Bentuk-bentuk binatang
para dewa Mesir berbaris di gerbang menuju kompleks itu.
Di tengah para wisatawan dari seluruh dunia, Ibrahim berjalan
perlahan-lahan, membiarkan Zarri Bano hanyut dalam kemegahan
tempat itu dan merenungkan suasana peninggalan kejayaan masa lalu
Mesir itu. Zarri Bano membayangkan seperti apakah keadaan pada
masa hidup Ratu Hatshepsut dan Raja Ramses yang membangun
kompleks raksasa ini. Semilir angin sejuk bertiup sepoi-sepoi di
antara pilar-pilar tinggi, melembutkan darahnya yang menggelegak
dan menggelembungkan lipatan gelap, burqa-nya di atas tubuhnya.
Ibrahim membawanya ke salah satu ruangan terpencil, menjauh dari
kerumunan, dan duduk di atas sebongkah batu besar yang jatuh dari
salah satu pilar.
"Apakah kau ingin beristirahat, Zarri Bano?"
Seraya mendudukkan diri di atas sebongkah batu besar yang serupa
bentuknya beberapa meter jauhnya dari batu yang diduduki
Ibrahim, Zarri Bano melihat berkeliling kamar batu itu,
memerhatikan simbol-simbol dan patung-patung yang berbentuk
setengah binatang.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Apakah tidak sopan jika aku menanyakan apa jawabanmu atas


pertanyaanku sebelumnya?" ujar Ibrahim lirih. "Kurasa kau terkejut
oleh pertanyaan itu sehingga kau pergi cepat-cepat dari sampingku."
Semangat Zarri Bano lenyap. Kedamaian siang itu telah terkoyak dan
ia merasa terkungkung. Ia berdebat dengan diri sendiri bagaimana
sebaiknya menanggapi perkataan Ibrahim.
"Aku merasa tersanjung dengan lamaranmu," dia mengawali dengan
hati-hati, "tetapi aku juga amat terkejut. Kau tahu, aku tidak
mengiranya, Abang Musa."
"Tidak?" Suara Ibrahim menyentuh Zarri Bano dalam
kelembutannya. "Kurasa aku sudah cukup berterus terang dalam
begitu banyak cara. Keluargaku sudah mengetahuinya sejak lama,
tetapi kau, perempuan yang ingin kunikahi, sayangnya justru tak
menyadarinya."
Zarri Bano bergidik mendengar kata-kata "ingin kunikahi".
"Kau adalah seorang perempuan yang menarik dan sangat
menyenangkan," lanjut Ibrahim dengan suara parau seraya
membayangkan sosok Zarri Bano yang tengah berbaju merah. "Kau
cerdas dan memiliki watak periang. Selama beberapa bulan terakhir
ini aku telah mengenalmu dengan baik. Kau adalah jenis perempuan
yang kukagumi, kubutuhkan, dan kuharapkan ada di sampingku
sepanjang masa. Kita memiliki sangat banyak persamaan. Kita sama-
sama menyukai buku dan sejarah agama, Zarri Bano," ujarnya terus
terang.
"Berhentilah, Abang Ibrahim," Zarri Bano memohon padanya.
"Oh, jangan panggil aku abang, Zarri Bano, kumohon. Perasaanku
padamu bukanlah perasaan seorang abang kepada adiknya-terutama,
aku malu mengatakannya, sejak aku melihatmu tanpa kerudung." Kini
dibiarkannya sepasang mata hitamnya mengungkapkan seluruh
perasaannya pada perempuan itu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Wajah Zarri Bano merona ketika dia menyadari betapa dirinya telah
terjatuh di lautan yang dalam. Bagaimana mungkin dia mengatasi
situasi ini tanpa melukai dirinya sendiri atau Ibrahim sebagai
akibatnya?
"Maafkan aku, Abang Ibrahim, tetapi itulah perasaanku padamu,"
ujarnya dengan suara lirih dan kembali menundukkan kepalanya.
Tak percaya bahwa Zarri Bano telah menolaknya, Ibrahim bangkit.
Dengan tinju mengepal dalam saku celananya, ia mendekati
perempuan itu dan berusaha menatap kepalanya yang menunduk.
"Bolehkah aku bertanya mengapa kau tak bisa menganggapku bukan
sebagai abang? Apakah kekuranganku, Zarri Bano? Apakah salahku?"
Terdengar nada kemarahan dalam suaranya.
"Tidak!" Zarri Bano ikut bangkit. Memilih bersikap jujur, Zarri Bano
menatapnya langsung pada matanya. "Tidak, Ibrahim Musa, tiada
yang kurang dalam dirimu." Matanya menilai wajah dan tubuh
Ibrahim, melihatnya untuk pertama kali dengan mata seorang
perempuan. "Perempuan lain akan melakukan apa pun agar bisa
menikah dengan lelaki sepertimu. Kau lelaki yang sangat tampan,
sangat perhatian, amat cerdas, dan menyenangkan."
"Perempuan lain-tapi bukan kau!" ujar Ibrahim dengan ketus.
"Persyaratan apa yang kau minta? Bolehkah aku tahu segagal apa aku
memenuhinya?"
"Aku tak punya persyaratan apa pun, Abang Musa. Kau memenuhi
segala persyaratan yang diinginkan oleh setiap perempuan-tetapi aku
tak bisa menjadi perempuan semacam itu."
"Mengapa tidak?" Dahi Ibrahim tampak berkerut. Tangannya
bergerak-gerak gelisah meraba janggutnya.
"Karena aku telah meninggalkan pernikahan." Zarri Bano berkata
begitu lirih sehingga Ibrahim nyaris tak mampu mendengarnya.
Perbincangan mengenai status pernikahannya adalah sesuatu yang
menyakitkan dan merupakan sebuah buku tertutup bagi semua orang.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Perlu beberapa detik bagi Ibrahim untuk bisa memahami perkataan


perempuan itu.
"Aku tak percaya, Zarri Bano. Apa yang kau katakan? Apakah kau
tidak bisa menikah atau tidak mau?" Kerut-merut di wajah Ibrahim
bertambah-tambah. "Keduanya."
"Apakah kau sengaja mempermainkanku, Zarri Bano?" tanya Ibrahim
dengan penuh harap.
"Tidak, Ibrahim. Aku tak bisa dan tak mau mempermainkanmu soal
ini." Zarri Bano mengedip. "Aku susah menjelaskannya. Aku hanya
bisa mengatakan bahwa aku telah memutuskan untuk mengabdikan
hidupku secara total dengan mempelajari agama dan mengajar. Aku
tak berharap akan menikah-."
"Tapi itu tak masuk akal," sergah Ibrahim. "Kau bisa menikah
sekaligus mengabdikan dirimu untuk mempelajari agama. Kurasa tak
ada yang lebih baik daripada memiliki seorang istri yang sama-sama
mengajar di jurusan yang sama di universitas, sekaligus bersama-
sama di rumah dan menempuh kehidupan. Kau sudah melakukannya,
sampai batas tertentu," ujarnya.
"Tidak bisa! Percayalah padaku, Abang Musa. Aku datang ke Mesir
dengan tujuan menjadi seorang perempuan terpelajar. Mungkin bila
kita berjumpa di waktu berbeda dan di tempat lain atau dalam
kehidupan yang lain, itu bisa
saja terjadi. Aku merasa terhormat dengan lamaranmu, tetapi
bagaimana dengan Selima? Dia akan menjadi istri yang hebat bagimu.
Dia orang Mesir dan kalian memiliki bahasa dan budaya yang sama.
Aku bahkan tidak seperti itu."
"Itu sama sekali bukan persoalan. Kau toh telah mempelajari bahasa
Arab. Kau seorang Muslimah, itu saja yang penting bagiku, dan kau
adalah perempuan yang sangat ingin kunikahi."
"Ibrahim, tolong jangan bicarakan itu lagi." Zarri Bano habis
kesabarannya. "Aku tak akan pernah bisa menikahimu. Bila kau ingin

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

aku jujur, aku akan melakukannya, hanya untuk membuatmu


mengerti. Bahkan jika aku tidak meninggalkan pernikahan sekalipun,
aku tetap tak akan menikah denganmu karena aku akan memilih
seorang lelaki yang berasal dari negeriku, dengan budaya, latar
belakang, dan kelas sosial yang sama denganku. Memang benar kita
sama-sama memiliki budaya Islam, tetapi aku dan keluargaku tidak
siap jika aku menikahi seseorang yang tinggal ribuan kilometer
jauhnya dari kampung halaman dan negeriku. Jika kau tidak
keberatan aku mengatakannya, pada akhirnya kita ini tetaplah orang
asing."
"Aku tidak bisa menerima alasanmu, Zarri Bano. Kau tak memberi
kami kesempatan. Banyak perkawinan campuran terjadi. Kini dunia
adalah sebuah tempat yang kecil. Perbedaan yang kau sebutkan bisa
diatasi dengan mudah. Afinitas utama antara kita adalah keimanan
kita yang seharusnya mempersatukan segala ras dan kebangsaan.
Aku terkejut pada dirimu. Aku kenal banyak orang yang mengawini
perempuan Barat yang berasal dari budaya yang sungguh-sungguh
berbeda. Coba pikirkan kawan sebangsamu, Imran Khan, yang
mengawini Jemima Goldsmith, seorang perempuan Barat yang
memeluk agama berbeda, tapi mereka berbahagia. Perkawinan
mereka berhasil. Penyatuan kita didukung oleh lebih banyak hal
untuk bisa berhasil."
"Semua perkawinan yang kau bicarakan itu terjadi antara orang-
orang yang saling mencintai dan siap menghadapi segala rintangan
bersama-sama. Kau membicarakan situasi yang berbeda, Ibrahim."
"Kukira cinta bukanlah sesuatu yang memegang peranan penting
dalam hidupmu," gumam Ibrahim.
Merasa takut dirinya akan melukai ego Ibrahim, Zarri Bano terpaksa
membuka isi hatinya untuk menawarkan penyelamatan pada lelaki itu.
"Apa yang bisa kukatakan, Abang Ibrahim? Jika aku seorang
perempuan di waktu yang lain, aku akan berkata ya. Ya! Namun, aku

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tak punya perasaan cinta terhadapmu, kecuali rasa hormat dan


persahabatan. Aku juga tak memiliki perasaan cinta pada lelaki lain.
Kau tahu, aku telah menjadi seorang Perempuan Suci-dan salah satu
akibatnya adalah aku tak pernah bisa menikahi lelaki mana pun. Lagi
pula, aku memang tak ingin menikah. Kau benar-cinta tak memegang
peranan penting dalam hidupku. Karena tak memiliki rasa cinta pada
lawan jenisku, aku menyimpannya untuk persahabatan." Suara Zarri
Bano menyusut menjadi sebuah bisikan. "Aku pernah mencintai
seseorang-tetapi aku telah melepaskannya. Itu sulit sekali, Abang
Ibrahim, tetapi aku berhasil melakukannya. Kini aku menganggapnya
sebagai saudara. Maka, perasaan apa yang bisa kumiliki padamu? Tak
satu pun, sayangnya. Karena aku telah melatih pikiranku dan hatiku
menuju sebuah kehidupan yang berupa pengabdian total-ibadah. Aku
belajar memisahkan kehidupanku dari hal-hal tertentu semacam
perkawinan dan lelaki. Aku sungguh minta maaf. Aku hanya tak tahu
harus berkata apa lagi," dia mengakhiri perkataannya. Sepasang
matanya memohon pada Ibrahim agar mau mengerti.
Ibrahim terdiam beberapa lama. Zarri Bano melihat sekelompok
wisatawan Jepang melintas, berpikir bahwa temannya ini tak akan
pernah berbicara padanya lagi.
"Kalau begitu, berarti benar-benar tak ada harapan bagiku?" kata
Ibrahim pada akhirnya.
"Tidak, tak pernah. Hidupku sudah direncanakan bukan olehku,
Abang Ibrahim. Aku tak bisa menjadi istri lelaki mana pun. Aku
menikahi keimananku," tegas Zarri Bano. Suaranya tak menyiratkan
perasaan apa pun.
Mereka berjalan bersama tanpa berbicara melintasi kompleks kuil
itu. Keduanya hanyut dalam arus pikiran masing-masing. Hari itu
sama-sama terasa kacau bagi mereka berdua.
"Kau akan mengerti, Ibrahim," ujar Zarri Bano seraya kembali
menoleh pada Ibrahim, "mengapa aku tidak bisa lagi tinggal di rumah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

keluargamu setelah ini. Dengan persoalan ini di benakmu, tidak benar


rasanya aku tetap berada di rumahmu-karena kau tak lagi
menganggapku sebagai seorang adik."
"Itu benar, tetapi aku tak ingin kau pindah dari rumahku, Zarri
Bano. Bukankah kita bisa berteman?" Ibrahim takut memikirkan
kepergian perempuan itu.
"Dalam keadaan sekarang ini, itu tidak bisa terjadi karena satu-
satunya persahabatan yang seharusnya kita miliki adalah antara
seorang abang dan seorang adik. Karena kita tak seperti itu,
menurutmu, maka salah bagiku-haram- berada seatap denganmu. Aku
amat berterima kasih padamu dan keluargamu atas keramahtamahan
kalian, tetapi ketika kita telah kembali ke Kairo nanti, aku akan
mencari apartemen lain. Tentu saja aku masih akan tetap
berhubungan denganmu berkaitan dengan mata kuliahku, jika kau
tidak keberatan."
Ibrahim mencondongkan kepalanya dengan sopan. Lalu, saat melihat
Pakinaz yang sedang tersenyum menghampiri mereka, ia hanya
mengatakan sepatah kata, "Lay." Tidak. Wajah Pakinaz menunduk.
Seraya mempercepat langkahnya, Zarri Bano berjalan di depan
mereka, membiarkan Ibrahim menjelaskan pada Pakinaz mengapa
Zarri Bano menampiknya.
Lelaki yang terpaku dalam pikirannya secara tiba-tiba berada ribuan
kilometer jauhnya di sisi lain dunia. Rasa sakit mematikan yang dia
tekan berbulan-bulan lalu pada hari pernikahan adik perempuannya
kini kembali memburunya. Dunia ini memang aneh, renung Zarri Bano.
Di sinilah aku, berdiri di reruntuhan kuno kejayaan masa lalu Mesir,
dilamar oleh seorang lelaki Mesir ketika seseorang yang kulepaskan
telah berbahagia menikah dengan adikku sendiri. Mengapa aku
memikirkan lelaki itu hari ini? Apakah ia juga memikirkanku?
Zarri Bano menyeka air matanya. "Sikander, di manakah kau?" dia
memanggil nama itu dalam hati dengan penuh kesedihan, seraya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menatap ke bawah pada kedalaman Sungai Nil yang kehijauan ketika


mereka kembali ke Karnak, tiga orang yang lebih sedih dan lebih
lemah dibanding ketika mereka berangkat tadi pagi.

39.

MALAM ITU begitu panas di Karachi. Lelaki dalam benak Zarri Bano
tak bisa tidur. Bangkit dari ranjangnya, Sikander beranjak ke kamar
mandi di depan kamarnya untuk minum air putih, lalu kembali ke
kamar tidurnya, berjalan ke jendela dan menatap ke luar pada
bintang-bintang yang bersinar di langit malam dan hamparan lampu-
lampu kota yang tengah tertidur.
Sikander menoleh untuk menatap ranjangnya. Dalam cahaya
temaram, ia melihat sosok istrinya. Rambutnya yang kelam tergerai
di atas bantal. Seraya memejamkan matanya, Sikander mencoba
mengenyahkan bayangan wajah perempuan lain di atas bantal
sutranya.
Ia tidak memikirkannya selama dua minggu penuh ini. Nama Zarri
Bano adalah tabu-tak pernah terucapkan oleh siapa pun di depannya.
Dalam beberapa bulan terakhir, ia telah memusatkan perhatian
untuk membuat perkawinannya berhasil. Ruby adalah seorang
perempuan yang menyenangkan, manis, dan penuh perhatian. Dia
selalu memenuhi segala kebutuhannya. Pendek kata, seorang
pasangan yang sempurna. Ia amat mengharapkan dua hal dalam
hidupnya. Menyempurnakan hubungannya dengan istrinya dan
mengubur bayangan perempuan yang telah mencuri hatinya dan
dengan kejam menolak cintanya. Namun, dia masih saja terus
memburunya!
Ruby bergerak. Tangannya secara otomatis meraba tempat kosong
di sampingnya. Dia membuka matanya dan menegakkan kepalanya
untuk melihat dalam kegelapan, mencari-cari suaminya. Melihat

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander menatapnya dari dekat jendela, dia tersenyum, dan tiba-


tiba merasa jengah pada tatapan sepasang mata suaminya yang
menelitinya lekat-lekat.
Sikander datang menghampiri Ruby dan duduk di sampingnya, di atas
ranjang. Sepasang mata lelaki itu berbinar lembut di atas wajah
perempuan yang telah dinikahinya, yang mulai ia cintai dan telah
berbagi kehidupan dengannya selama enam bulan terakhir ini.
Ujung-ujung jemarinya dengan lembut mengelus rahang istrinya.
Seulas senyum menerangi wajah Ruby. Dia pun mengulurkan tangan
dan balas mengelus garis wajah suaminya tercinta dengan jari-
jemarinya.
"Kuharap aku tak akan mual lagi di pagi hari. Rasanya menyebalkan!"
Ruby bercerita, sedikit melucu.
"Tak akan." Ruby merasakan kehangatan dalam suara Sikander yang
dalam.
"Apakah aku sebaiknya mengatakan pada Zarri Bano bila dia
menelepon lagi dari Mesir?" tanya Ruby kemudian, dan langsung
mengubah suasana hati suaminya. Ketika Sikander menjawabnya,
kelembutan itu telah lenyap.
"Jangan dulu," ujarnya ketus. "Terlalu cepat. Kau baru hamil tiga
bulan-tunggulah hingga beberapa minggu lagi."
"Oh, tapi aku senang sekali. Aku tak sabar ingin menceritakan
padanya kabar ini. Lagi pula, dia kan kakakku."
"Ya, aku tahu," sahut Sikander dengan getir. Sikander naik ke atas
ranjang, lalu membaringkan kepalanya di atas bantal dan berpaling
ke arah lain.
Merasa tidak enak, Ruby menyelimuti dirinya dengan selimut katun.
Apakah suaminya membiarkan angan-angannya melantur lagi? Dia dan
Sikander menikah dengan bahagia dan tengah menantikan anak
pertama mereka. Zarri Bano tak ada hubungan apa-apa dengan
suaminya. Dia ada di luar negeri sekarang. Mengapa aku masih

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

merasa cemburu pada kakakku sendiri? Ruby bertanya pada diri


sendiri dengan penuh duka nestapa.
Dia mengelus bagian bawah perutnya perlahan-lahan.
"Aku akan menamainya Haris jika ia lelaki," bisiknya di bahu
suaminya, mencoba menggapainya.
"Nama yang bagus. Aku menyukainya," sahut Sikander. Di balik
kelopak matanya yang terpejam terdapat bayangan seorang
perempuan yang tersenyum menggoda, memberi isyarat dengan
sepasang matanya yang berkilau hijau seperti permata.
Bagaimana dia akan menanggapi kabar ini? Sikander bertanya-tanya
dengan sedih. Apakah dia akan senang, seperti dugaan polos Ruby?
Atau dia akan merasa sakit karena merindukan seorang anak dari
rahimnya sendiri?
Sarannya agar tidak bercerita dulu pada Zarri Bano untuk beberapa
bulan lagi berasal dari kepekaannya terhadap perasaan orang lain. Ia
membenci bekas tunangannya itu karena telah mencampakkannya
dan menjadi seorang Perempuan Suci, tetapi rasa cintanya masih
cukup kuat terhadapnya-cukup besar untuk membuatnya menjaga
perasaannya agar tidak disakiti.
Rasa cintanya pada Zarri Bano adalah sebuah siksaan yang terus-
menerus dirasakannya. Ia ingin mengenyahkan diri dari bayangan
Zarri Bano. Berkali-kali ia melupakannya, terserap dan merasa
bahagia dengan hidup barunya. Lalu tiba-tiba, sekonyong-konyong,
wajah perempuan itu akan berkilau dalam benaknya, meninggalkan
rasa sakit dalam dirinya-rasa sakit atas apa yang tak bisa terjadi.
Apakah dia ingat padaku? Ia bertanya-tanya. Ataukah dia sungguh-
sungguh lenyap dalam kesucian dan butir-butir tasbih? Semoga Allah
mencegahnya! Sikander berteriak pada dirinya sendiri dalam
benaknya. Dia adalah kakak iparku! Bagaimana mungkin aku berpikir
tentang dirinya seperti ini? Rasa rindunya pada perempuan itu tak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

akan lenyap. Ia masih bisa merasakan ujung-ujung jari Zarri Bano


merabai bibirnya di teras rumah perempuan itu....
Sikander membuka matanya dan merasakan embusan napas Ruby
yang hangat di lehernya.
"Apakah kau mencintaiku, Sikander?" Bisikan ketakutan itu memberi
isyarat pada Sikander bahwa Ruby sesungguhnya mengetahui secara
naluriah saat-saat dia kehilangan dirinya.
Sikander meleleh dalam api rasa bersalah. "Tentu saja, Ruby
sayangku." Dengan lembut ia memeluk istrinya, membenamkan
wajahnya di rambut perempuan itu.
"Sialan kau, Zarri Bano! Semoga kau membusuk di neraka yang sama
dengan yang kau berikan padaku," kutuk Sikander dalam hati, pada
kelam malam, berjam-jam setelah istrinya yang muda dan tengah
hamil itu tertidur dalam pelukannya.

40.

SUDAH TIGA bulan sejak Fatima mengunjungi Khawar di desa


sebelah. Khawar akhirnya memutuskan kembali ke rumah ibunya di
Chiragpur seperti yang disarankan oleh Fatima. Kulsoom
memberitahunya bahwa Firdaus telah pergi ke kota, mengisi
lowongan sebagai wakil kepala sekolah di sebuah sekolah perempuan.
Setelah menaruh barang-barangnya terlebih dulu dalam sebuah
koper baja dalam jipnya, Khawar naik kuda putihnya melalui padang
rumput Chiragpur. Tak ada hal menyenangkan dalam kepulangan ini.
Para petani sedang sibuk membajak sawah mereka dengan
menggunakan traktor. Kerbau-kerbau betina Sardara sedang
menikmati siang mereka dengan berkubang di kolam desa. Gembala
sapi mengawasi binatang-binatang yang punya kebiasaan kabur
kembali ke pemilik sebelumnya di desa tetangga. Chiragpur

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

terbaring dalam tidur yang hening di siang yang hangat di awal


musim semi.
Di luar gerbang hawali ayahnya, wajah Khawar berubah menjadi
muram. Menuju halaman belakang yang menyambung dengan istal, ia
lalu mengikatkan kudanya ke sebatang pohon. Anak muda yang
dibayar untuk memerah susu dan merawat kedua kerbau mereka
sedang menyirami dengan berember-ember air kandang yang
terbuat dari deretan bata merah, setelah menumpahkan kotoran
sapi dalam sebuah ember aluminium terpisah untuk diambil dua
orang perempuan yang menggunakan lempengan kotoran sapi kering
sebagai bahan bakar untuk memasak. Ketika melihat Khawar, pelayan
itu melompat bangkit dan menyapa majikannya, "Salam."
Dengan langkah-langkah tegas, Khawar berjalan melalui gerbang besi
besar dan menuju halaman tengah hawali. Ia menemukan Neesa
tengah berjongkok membersihkan lantai marmer beranda dengan
sebuah selang plastik. Mendengar suara langkah sepatu, wajah
Neesa yang keriput menyunggingkan seulas senyum ketika ia berdiri
tegak dan menepuk bahu Khawar. Khawar sudah setahun tak pulang.
"Selamat datang, Tuan Sahib! Senang rasanya bertemu Anda lagi."
Khawar mengangguk, mencoba bersikap santai sehingga ia bisa
tersenyum pada pembantu rumah tangga mereka yang telah
merawatnya dengan penuh kasih sayang sejak ia masih bayi.
"Saya akan bilang pada Chaudharani Sahiba. Oh, dia akan sangat
senang!" Neesa naik tangga, tak mampu menyembunyikan rasa
senangnya.
Saat nama ibunya disebut, wajah Khawar kembali muram. Perlahan-
lahan ia naik tangga di belakang Neesa, mengikutinya ke kamar tidur
ibunya.
***
Kaniz sedang menyisir rambut panjangnya yang tebal bergelombang
dengan sikat rambut ketika Neesa masuk ke kamarnya tanpa

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengetuk pintu. "Khawar Sahib datang, Chaudharani Sahiba,"


ucapnya terbata-bata. "Menyenangkan, bukan?"
Kaniz menengok pada cerminnya dan melihat tubuh besar putranya
berdiri kaku di muka pintu. Kaniz bangkit dari kursi meja riasnya.
"Anakku pulang!" Dia menangis karena senang.
Dengan langkah cepat, ia sampai di samping Khawar. Ia menarik
Khawar dengan lengannya dan dipeluknya anaknya tercinta itu
mendekat ke tubuhnya. Namun, Khawar tetap bergeming dalam
pelukannya. Merasa bingung, Kaniz melirik wajah Khawar yang
cemberut. Lengannya jatuh di samping tubuhnya, lalu dia kembali
berjalan terhuyung ke meja rias. Rupanya Khawar belum
memaafkannya.
Duduk di depan cermin, Kaniz mulai menata rambutnya dengan
jemari gemetar menjadi untaian tebal yang panjang.
"Apakah kau hanya mampir, Anakku, atau kau pulang untuk tinggal?"
tanyanya dengan gugup. Khawar tak tergerak untuk menjawabnya,
tetapi malah mengeluarkan saputangannya, membungkuk, dan
menyeka debu dari sepatunya.
"Kau akan tinggal atau tidak?" desak Kaniz. Dia sama sekali tak
merasa senang dengan perilaku Khawar terhadapnya.
"Aku tidak yakin-karena aku tak menganggap tempat ini sebuah
rumah," ujarnya dengan angkuh. "Dulu, ini rumahku, saat ayahku dan
kakekku masih hidup. Kini aku menganggapnya hanya sebuah tempat
luas yang kosong. Sebuah rumah, Ibu, seharusnya penuh cinta dan
harmoni. Kebalikannya, tempat ini dikuasai oleh seorang perempuan
tiran egois yang tak peduli pada orang lain." Sepasang mata Khawar
yang gelap berkilau oleh kebencian.
Kaniz hanya menatap nanar. Lalu hal yang aneh terjadi-tatapan mata
Kaniz menunduk ditentang anaknya. Kaniz tak mampu menatap wajah
anaknya atau menentang tatapan matanya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ya, aku sudah pulang," ujar Khawar pada akhirnya, "tetapi hanya
untuk sekadar datang dan karena ada tanah yang harus kuurus.
Jangan kira aku datang karenamu. Kau tak cocok menjadi seorang
ibu!"
"Kau kejam, Nak!" ujar Kaniz tercekat. Bibir bawahnya bergetar.
Memang benar. Khawar tengah dalam suasana hati bengis. Ia sama
sekali tak menyesal karena telah membuat ibunya menderita. Segala
cinta yang pernah dirasakannya terhadap ibunya telah musnah sejak
lama.
"Coba tebak dari mana aku belajar menjadi kejam," cemoohnya. "Di
haribaanmu, Ibu sayang. Karena hanya seorang perempuan egois
yang sungguh tak punya hati yang akan menghalangi kebahagiaan
masa depan putranya. Kau berhasil mengusir Firdaus dari desa dan
tak diragukan lagi kau pasti amat senang. Karena hal itu, aku tak
akan pernah memaafkanmu! Bahkan jika kau memohon padanya
sekalipun, dia tak akan mau mengawiniku kini. Karena itu, kau
perempuan bodoh, kau lebih baik menerima kenyataan untuk mati
tanpa pernah memiliki cucu. Karena aku tak akan pernah menikah
atau membawa perempuan lain sebagai mempelai ke rumah ini. Kau
boleh menyanyi menghibur dirimu sendiri dan dinding-dinding kosong
yang kau puja ini. Aku akan hidup di sini bukan sebagai putramu,
melainkan sebagai seorang asing. Kau tak layak mendapat yang lebih
baik daripada itu." Khawar terdorong untuk
menghukum ibunya. Ia tak ingin pulang, tetapi ia harus melakukannya
karena itu adalah tugasnya-seperti yang ditunjukkan oleh Fatima
padanya.
"Tidak, putraku, tidak!" Kaniz menangis.
Dulu, melihat ibunya yang janda itu menangis akan melukai jiwanya.
Kini ia malah berpaling dengan jijik, berjalan keluar dari kamar
tanpa menoleh pada perempuan yang tengah terguncang itu. Di
halaman ia memerintahkan Neesa menyiapkan makan siang untuknya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dan sopirnya. "Aku telah pulang sekarang," ujarnya memberi tahu


Neesa dengan datar.
***
Di dalam kamarnya, Kaniz berdiri dan merasa kehilangan. Dunia
rekah di bawah kakinya. Tangis mengasihani diri menetes di pipinya
ketika kata-kata kasar putranya bergema di kepalanya. Betapa
teganya ia berkata seperti itu kepadaku. Aku ini ibunya! tangisnya
bingung. Apakah ia begitu membenciku sehingga tega menghinaku
dengan perilaku semacam itu?
Kaniz berpaling dari renungan putus asanya dalam cermin meja rias.
Apakah aku orang yang seburuk itu, tanyanya ketakutan pada diri
sendiri, sehingga anak tunggalku tersayang berbalik memusuhiku?
Untuk pertama kalinya dalam tiga puluh tahun, Kaniz mulai
meragukan kekuasaan dan pengaruh yang seharusnya ia genggam
dalam tangannya dan menikmati perannya sebagai chaudharani desa
itu.
Takut bertemu secara tiba-tiba dengan putranya, dia tinggal di
kamarnya hingga siang hari, menyembunyikan matanya yang sembap
dan merah dari Neesa ketika dia membawakannya baki berisi
makanan ke kamarnya.
"Neesa, apakah Khawar sudah makan?" tanya Kaniz. "Pastikan kau
memasak kedua makanan kegemarannya malam ini: matrpilau dan
kheer. Dia sudah lama tak mencicipi masakanmu. Aku tak tahu apa
yang telah dimasak oleh perempuan tua buruk rupa itu untuknya.
Onggokan bayam dari kebun setiap hari, kurasa. Apakah kau
memerhatikan putraku menyusut berat badannya?" Kaniz
menyembunyikan wajahnya yang kacau balau dari pandangan
pembantunya itu.
"Tidak, Nyonya. Ia tampak sehat," sahut Neesa sopan sebelum
beranjak pergi dari kamar itu seraya berpikir keras. Sesuatu jelas
telah terjadi antara ibu dan anak itu. Majikannya tidak keluar kamar

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

seharian. Padahal, biasanya dia menghabiskan pagi hari di balkon


atap rumah.
Setengah jam kemudian, Neesa keluar untuk memberi tahu
majikannya bahwa adiknya, Sabra, datang mengunjunginya. Dengan
berbinar-binar, Kaniz segera bercermin. Matanya yang merah bukan
masalah. Tiada yang perlu disembunyikannya dari Sabra.
"Ada apakah?" pekik Sabra khawatir begitu melihat mata kakaknya
yang sembap.
Kata-kata penuh simpati itu segera berdampak pada Kaniz,
menawarkan padanya kemewahan menangis tersedu-sedu untuk
kedua kalinya siang itu.
"Ada apa? Katakan padaku," kata Sabra cemas ketika tubuh Kaniz
yang besar bergetar dalam pelukan tubuh rampingnya.
Sabra menenangkannya dan duduk bersamanya di atas palang.
"Katakan yang sebenarnya, Sabra!" seru Kaniz. "Apakah aku kejam
dan egois? Khawar menuduhku begitu. Ia membenciku! Kata-kata
kasarnya telah membunuhku. Ia pulang, tetapi kurasa aku telah
kehilangannya. Sabra- katakan padaku, tolonglah, apa yang harus
kulakukan."
Sunyi sejenak ketika sepasang mata Sabra memandang wajah
kakaknya dengan gelisah. "Hanya ada satu hal yang bisa kau lakukan,
Kakakku sayang," ujarnya dengan suara lirih.
Sepasang mata Kaniz yang berbentuk biji almond tetapi amat
bengkak, membelalak. "Tak akan pernah! Tak akan pernah!" jeritnya.
Sabra dengan sopan menjauh dari tubuh gemetar kakaknya. Dia
tidak bepergian dari Punjab ke Sind hanya untuk bertengkar dengan
Kaniz-maka ia pun mengalihkan bahan pembicaraan.
"Apakah kau sudah mendengar kabar tentang iparku, Yusuf? Lelaki
malang itu meninggal minggu lalu!"

41.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ZARRI BANO berada di antara sekelompok perempuan Muslim yang


tengah berkumpul di bagian jamaah putri di Masjid Regent Park,
Central London. Mereka baru saja selesai shalat zuhur. Saira, kawan
dan teman serumah Zarri Bano, telah mengundang teman-temannya
untuk bertemu dan berkonsultasi dengan Zarri Bano tentang segala
persoalan agama. Zarri Bano merasa senang bisa membantu. Hal
semacam itu memberinya kesempatan berjumpa dengan para
Muslimah lainnya dari berbagai penjuru dunia yang tinggal di Inggris.
"Bisakah saya memulai?" tanya seorang perempuan. Mereka duduk
membentuk setengah lingkaran dekat Zarri Bano di atas karpet.
"Tentu saja," sahut Zarri Bano dengan seulas senyum.
"Terima kasih, Ukhti. Nama saya Dudiya. Saya seorang pengungsi
Muslim dari Bosnia. Saya ingin bertanya pada Anda: apakah yang
disebut 'Muslim sejati'? Asal Anda tahu, di Bosnia, kami mengenal
diri kami hanya sebagai 'Muslim'. Tak ada perbedaan dalam
komunitas kami. Di sini, di Inggris, saya bertemu dan berteman
dengan banyak Muslim dan kerap mereka bertanya pada saya,
termasuk sekte apakah saya. Apakah saya Syi'ah, tanya mereka,
atau Syafi'i, atau Hanafi, atau Ismaili? Saya menatap balik pada
mereka, merasa bingung. Saya tidak tahu. Teman-teman ini terus
mendorong saya, menarik saya ke dalam keyakinan dan pemikiran
kelompok tertentu mereka. Saya tidak tahu apa yang harus saya
lakukan, Ukhti Zarri Bano. Kelompok mana yang sebaiknya saya
ikuti?" Para perempuan lainnya tersenyum mengerti-mereka paham
apa yang coba dia katakan.
"Ukhti Dudiya, Anda tidak perlu mengikuti salah satu kelompok
pemikiran atau sekte tertentu jika Anda memang tidak ingin. Ikuti
saja firman Allah dari kitab suci kita, Al-Quran, dan hadis,
perkataan Nabi Muhammad, semoga kedamaian dilimpahkan
kepadanya. Islam, seperti halnya agama-agama lainnya, telah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berkembang dan terpecah belah selama suatu periode tertentu.


Akan bermanfaat bagi Anda apabila mempelajari perbedaan dan
persamaan dari berbagai kelompok yang berbeda-beda. Dengan
demikian, Anda akan bisa memutuskan kelompok mana yang ingin
Anda ikuti jika memang ada-bergantung pada keyakinan pribadi
Anda," ujar Zarri Bano seraya mengakhiri perkataannya dengan
tersenyum lebar kepada Dudiya. Dudiya balas tersenyum dan
menganggukkan kepalanya.
"Giliran Anda, Ukhti." Zarri Bano memiringkan tubuh pada seorang
perempuan muda berdarah Pakistan yang duduk di sebelah kanannya.
"Rasanya memalukan memunculkan soal ini dalam kelompok ini, tetapi
suami saya mengeluh bahwa saya terlalu banyak menghabiskan waktu
untuk shalat dan membaca buku-buku agama. Hal itu sering
menyebabkan pertengkaran. Ia terkadang menyuruh saya berhenti
membaca Al-Quran di malam hari bila ia ada di dekat saya. Saya
merasa terkejut dan tertekan oleh hal ini karena saya percaya
bahwa saya tidak melakukan sesuatu yang salah. Apa yang sebaiknya
saya lakukan, Ukhti Zarri Bano?"
Zarri Bano berhenti sejenak untuk merenung. "Ini sebuah keadaan
yang rumit," dia mengawali, tersenyum hangat pada perempuan itu.
"Tak diragukan bahwa Anda tidak berbuat salah dan suami Anda
seharusnya tidak menyuruh Anda berhenti membaca Al-Quran. Di
sisi lain, saya kira ia mungkin merasa diabaikan dan merasa Anda
tidak memberinya cukup perhatian. Apakah Anda pernah berpikir
untuk beribadah ketika ia sedang tidak ada di rumah? Allah ingin
kita selalu mengingat-Nya, maka kita shalat lima kali sehari. Namun,
pada saat bersamaan, Ia menyuruh kita menjalani kehidupan sehari-
hari yang normal pula. Ia jelas tidak mengharapkan kita mengabaikan
keluarga dan orang-orang yang kita cintai atau pekerjaan yang
menjadi nafkah kita. Ia amat menyukai orang-orang yang bisa
menggabungkan keduanya secara sehat dan menjalani hidup normal.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Seperti yang Anda tahu, Ukhti, Islam adalah sebuah jalan hidup
yang sempurna. Anda tidak bisa memisahkan sisi spiritual kehidupan
Anda dari dunia material di sekeliling Anda." Zarri Bano menoleh
pada perempuan lain.
"Pertanyaan saya berkaitan dengan diri saya dan barangkali mewakili
generasi kedua kaum imigran yang dibesarkan dan dilahirkan di
Barat. Saya melihat hidup kami penuh dengan kompromi. Contohnya,
keyakinan kita menyarankan pemisahan antara kaum lelaki dan
perempuan, tetapi praktiknya hal itu tidak mungkin dilakukan di sini.
Kita harus berinteraksi dalam segala bidang kehidupan kita dengan
kaum lelaki, terutama di tempat kerja. Anda mengerti situasi yang
saya gambarkan?"
Zarri Bano tersenyum dan mengangguk, lalu berhenti sejenak untuk
berpikir sebelum menjawab. "Ini adalah soal penting, sebuah
keprihatinan bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Tentu saja, ada
tempat-tempat seperti Arab Saudi yang memungkinkan pemisahan
lelaki dengan perempuan. Namun, kemewahan ini tidak bisa didapat
secara luas dan pada praktiknya tidak mungkin dilakukan di banyak
tempat, terutama di negara-negara yang di dalamnya Anda adalah
minoritas.
"Yang bisa saya katakan adalah Anda seharusnya tahu secara
naluriah parameter-parameter sosial, etik, dan moral Anda sebagai
seorang Muslimah. Di tempat kerja, Anda secara alamiah harus
berinteraksi dengan kaum lelaki setiap waktu. Jika hubungannya
benar-benar profesional dan platonis dan Anda bisa menganggap
para lelaki itu sebagai sosok abang atau ayah, itu tidak berbahaya.
Apabila ada peluang hubungan itu berkembang menjadi sesuatu yang
lain, Anda harus mundur. Hal-hal semacam ini bisa mengakibatkan
hal-hal yang mengerikan. Naluri Anda seharusnya memberikan
isyarat pada Anda tentang perbedaan antara mana yang benar dan
mana yang salah. Belajarlah menganggap semua lelaki sebagai sosok

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

saudara lelaki, paman, atau ayah dan panggillah mereka dengan


sebutan semacam itu, jika mereka Muslim. Jika mereka bukan
Muslim, entah itu teman atau rekan kerja, jelaskan pada mereka
tentang keyakinan Anda dan kebiasaannya-sehingga mereka tidak
salah paham, bahkan mungkin akan belajar menghargai kebiasaan,
keyakinan, dan cara hidup Anda."
"Terima kasih," perempuan muda itu menyahut dengan seulas
senyum.
"Sama-sama," timpal Zarri Bano.
***
Beberapa saat kemudian di siang itu, Zarri Bano pergi bersama
Saira ke sebuah kafe tempat salah seorang teman Saira kemudian
bergabung dengan mereka.
"Ini Jane Foster," kata Saira. "Dia tertarik bertemu denganmu,
terutama ketika aku menceritakan padanya bagaimana kau
memutuskan untuk berjilbab."
Perempuan muda berkebangsaan Inggris itu mengulurkan tangannya
kepada Zarri Bano yang kemudian menyambutnya dengan hangat.
"Terima kasih sudah datang kemari, Jane."
"Aku terpesona oleh kisahmu, Zarri Bano. Saira bercerita padaku
tentang masa kuliahmu dulu ketika kau kuliah di universitas yang
sama dengannya. Dia menunjukkan padaku fotomu saat mengenakan
celana jins Levi's dengan atasan blus lengan pendek. Kini, melihatmu
terbungkus jilbab lebar, aku tak mampu menyandingkan kedua
gambar itu dalam benakku. Aku ingin bertanya apakah sulit bagimu
mengenakan hijab pada mulanya dan mengapa kau melakukannya?
Kuharap kau tak berpikir bahwa pertanyaanku terlalu pribadi."
Merasa tidak nyaman membahas masa lalunya dan burqa dengan
seorang asing, pada kenyataannya Zarri Bano merasa dipojokkan
oleh pertanyaan Jane. Dia berharap jika saja Saira tidak sedemikian
berbaik hati menunjukkan foto-foto lamanya dan membahas dirinya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Memang benar pada mulanya terasa aneh bagiku, Jane, ketika aku
mulai memakai hijab. Dua tahun yang lalu aku ingin menyisihkannya.
Kini tak bisa hidup tanpanya. Jilbab memberiku rasa penghargaan
terhadap diri sendiri, rasa hormat, dan martabat. Di atas segalanya,
ini membebaskanku dari kesia-siaan. Aku tak menganggapnya mudah,
tetapi aku bisa melepaskan diriku dari jebakan kesia-siaan kaum
perempuan. Jangan salah paham, Jane. Aku tidak mengatakan bahwa
semua perempuan Muslim menjalani kehidupan sederhana yang tidak
bermewah-mewah-itu mungkin sebuah kesalahpahaman.
Kebalikannya, di balik pintu tertutup dan di balik hijab, sebagian
besar kaum perempuan di sini bisa bersaing dengan perempuan mana
pun di Knightsbridge dalam hal seni kecantikan."
"Dan kau, Zarri Bano, apakah kau masih berdandan di balik
jilbabmu?" tanya Jane dengan mata berkilat.
"Tidak," Zarri Bano menyahut lirih. "Tidak lagi. Aku telah melewati
tahap itu dalam hidupku-sebuah tahap yang kini, dalam
perenunganku, terasa remeh. Dulu seluruh hidupku hanya untuk
kelihatan cantik dan menampilkan sebuah citra cerdas yang mewah
di depan umum. Kini puas dengan burqa yang sederhana. Aku tidak
berpakaian dengan tujuan untuk menyenangkan orang lain dan
kelihatan berbeda dari mereka. Terima kasih atas pertanyaanmu,
Jane. Jilbab selalu membingungkan dan menggoda dunia Barat, baik
terhadap kaum lelaki maupun kaum perempuan. Itu adalah sebuah
fenomena yang mengganggu bagi mereka. Orang Barat selalu salah
paham terhadap alasan mengapa kaum perempuan Muslim
mengenakannya. Sebagai sebuah serangan, mereka melihatnya
sebagai simbol penindasan kaum lelaki-sebuah mitos stereotip yang
diterima secara luas. Mereka mengira kaum perempuan dipaksa
memakainya oleh kaum lelaki.
"Aku jamin, kawanku, saat ini ada lebih banyak perempuan yang
mengenakan hijab atas kehendak bebas mereka sendiri dibanding

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sebelumnya. Telah terjadi revolusi jilbab internasional, sebuah


simbol persatuan perempuan Muslim. Ayahku pernah mengkritikku
karena memakainya di dalam rumah. Kini aku merasa telanjang
tanpanya."
Zarri Bano berhenti meminum kopinya, memutuskan dia sudah cukup
banyak berbicara mengenai persoalan kontroversial ini. Raut wajah
Jane Foster berubah dari rasa tertarik yang ringan menjadi
kekaguman. Itu bukanlah sebuah jawaban yang dia harapkan
sebelumnya.
"Kami bukanlah orang-orang aneh," Zarri Bano tak tahan untuk
menambahkan. "Kami hanyalah kaum perempuan yang suka
berpakaian sederhana dan ingin menutupi diri kami dengan baik.
Yang kami minta hanyalah agar orang-orang menghargai kami dan
cara berpakaian kami."
"Oh, tentu saja," ujar Jane Foster dengan cepat. Rona merah
menjalari kedua pipinya.
***
"Saira, kuharap kau tidak menceritakan segala hal tentangku atau
menunjukkan foto-foto memalukan itu pada seorang asing," kata
Zarri Bano pada temannya ketika mereka berjalan keluar kafe.
"Tolong jangan jadikan aku bahan hiburan atau sensasi."
"Maafkan aku, tadinya kukira kau tak akan keberatan," sahut Saira
dengan perasaan bersalah ketika mereka melintasi Piccadilly Circus.
"Kurasa," setelah hening sejenak, "kau pun menceritakan padanya
tentang upacaraku?" Zarri Bano membelalakkan matanya lekat-lekat
pada temannya.
"Tidak," Saira berbohong, berpikir lebih baik tidak menceritakan
sejujurnya pada Zarri Bano. Jane Foster adalah seorang wartawan
dan Saira telah menceritakan semuanya padanya. "Apakah kau akan
pulang bersamaku atau akan mengunjungi adikmu dulu di hotel?"
Saira bertanya, bermaksud mengalihkan Zarri Bano dari

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

pembicaraan tentang hijab. Saira sendiri tidak memakai jilbab dan


itu merupakan topik pembicaraan yang tidak enak baginya.
"Aku akan pergi ke hotel dulu untuk menemui Haris lagi. Ia lucu
sekali, aku tidak tahan ingin memeluknya. Aku telah berjanji pada
Ruby akan ikut bersama dia dan Sikander menonton teater malam
nanti. Mereka ingin menonton sebuah pertunjukan drama di West
End."
"Jangan pulang terlalu larut. Ingatlah, mereka menanti kehadiranmu
pukul setengah delapan pagi besok untuk memberi kuliah di
Manchester Metropolitan University. Sebelum itu, kita akan mampir
dulu di Birmingham. Aku tak ingin kau kelelahan," Saira
mengingatkan kawannya dengan penuh perhatian saat mereka sampai
di stasiun bawah tanah.
"Tidak akan, Allah Hafiz!" ujar Zarri Bano seraya melambai pada
Saira saat temannya itu turun ke tangga stasiun. Zarri lalu berjalan
menuju lampu lalu lintas dan menyeberang jalan ke hotel tempat
keluarga adiknya menginap. Ruby dan Sikander bersama putra
mereka, Haris, yang baru berumur setahun sedang melakukan
perjalanan ke Eropa dan memutuskan menghabiskan waktu tiga hari
di London bersamaan dengan kunjungan tiga minggu Zarri Bano di
Inggris.
Ketika dia memasuki serambi lewat pintu samping, dilihatnya
Sikander duduk bermalas-malasan di sebuah sofa besar. Matanya
menatap pintu putar. Zarri Bano berkedip, memalingkan muka. Dia
menarik bagian kepala burqa-nya lebih ke depan menutupi dahinya,
merasa ada beberapa jumput rambut yang terlepas. Sikander
menunggunya masuk!
Sikander menyaksikan Zarri Bano melenggang sepanjang karpet
menghampirinya. Masih menghindari kontak mata dengan Sikander,
Zarri Bano mengagumi lukisan cat minyak karya Turner mengenai
sebuah perahu di dinding di belakang Sikander.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Assalamu 'alaikum! Mana Ruby dan Haris?" tanyanya sopan seraya


duduk di sofa seberangnya dan berharap lelaki itu berhenti
memandangi wajahnya.
"Mereka menunggumu di atas. Ruby ingin mengajakmu pergi ke
Harrods bersamanya."
Zarri Bano tertawa, teringat pada keinginan seumur hidup adiknya
berbelanja di Harrods. Wajah Sikander tampak santai dan ia pun
ikut tertawa. Lalu dengan raut wajah serius, Sikander bertanya,
"Apakah rencanamu, Kakak Zarri Bano? Apakah kau akan pulang ke
Pakistan bersama kami atau akan tinggal lebih lama? Kami akan ke
Singapura. Aku -kami bertanya-tanya apakah kau mau bergabung
bersama kami." Sikander menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku, Adik Sikander." Zarri Bano berdiri tiba-tiba. "Aku
punya rencana lain. Permisi dulu, aku akan ke atas menemui Ruby dan
Haris."
Sepasang mata Zarri Bano berkaca-kaca. Dia pun berjalan dengan
cepat menjauh dari Sikander dan masuk ke lift. Singapura adalah
tempat yang dijanjikan Sikander untuk tempat bulan madu mereka.

42.

SUAMI-ISTRI itu tertawa ketika cucu mereka, Haris, melompat


dari pangkuan Habib dan berlari keluar dari kamar tidur mereka, lalu
turun menuju kedua orangtuanya dan bibi Zarri Bano.
"Shahzada, mintalah Zarri Bano menjumpaiku. Aku tidak bisa tenang
sampai bisa melepaskan bebanku tentangnya," ujar Habib pada
istrinya. "Kanker ini telah melahapku selama tiga tahun terakhir," ia
menghela napas.
"Kanker apa?" tanya Shahzada cemas, menjadi waspada. Walaupun
tidak lagi mencintai suaminya, dia masih peduli pada kesehatan
tubuh suaminya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Rasa bersalahku," bisik Habib, "karena memaksa putriku menjadi


seorang Shahzadi Ibadat. Seharusnya aku tidak melakukannya." Ia
tidak sanggup menatap wajah istrinya.
Helaan napas Shahzada membuatnya gundah. Istrinya itu tak
berkata apa pun-karena dia tak punya perasaan apa pun terhadap
suaminya. Kata-kata penuh pengertian dan dukungan yang ingin
didengar Habib tak keluar dari mulut Shahzada.
"Aku tahu kau tak akan pernah memaafkanku," lanjutnya. "Atau kau
sudah memaafkanku?"
Shahzada duduk di atas ranjang ketika suaminya bersandar di
kepala ranjang dengan lengan tersilang di belakang lehernya.
Shahzada turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu.
"Apakah kau sudah memaafkanku, Shahzada?" Suara Habib yang
meninggi menghentikan langkah Shahzada.
"Apakah ada pengaruhnya aku memaafkanmu atau tidak?" Shahzada
berbalik, tetapi tangannya mencengkeram pegangan pintu erat-erat.
"Tentu saja ada pengaruhnya! Aku kehilangan istri dan sahabat
tercinta sekaligus pada saat Zarri Bano ditahbiskan menjadi seorang
Perempuan Suci. Kau bertingkah seolah-olah semuanya berjalan
normal, tetapi kau terus menjauhiku. Aku tidak pernah tahu
Shahzadaku bisa sekeras itu. Dia adalah seorang perempuan yang
lembut dan hangat. Di kuburan manakah aku telah menguburnya?
Keakraban kita telah lenyap, cintamu, rasa hormatmu,... semuanya
hilang lenyap. Aku tidak tahan lagi! Maafkanlah aku, Shahzada-aku
mohon!"
Apa yang terjadi selanjutnya mengagetkan mereka berdua. Habib
melompat turun dari ranjang dan melompat ke arah Shahzada,
berlutut di depannya di atas lantai seraya memeluk kakinya sebagai
permohonan. Shahzada diam membeku, menatap ke bawah pada
suaminya yang kini berlutut memohon di kakinya. Kedua tangan
Habib mencengkeram tali sandal Shahzada.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Mengejutkan rasanya melihat Habib merendahkan diri seperti ini.


Walaupun bersimpati atas penderitaan Habib, Shahzada tak dapat
menanggapinya. Semuanya sudah terlambat.
"Habib, berdirilah," ujarnya dengan marah. "Jangan permalukan kita
berdua. Tak pantas kau menyentuh kakiku seperti itu. Kau tahu kau
tak bisa menghapus masa lalu. Yang telah terjadi, terjadilah. Kau
telah membunuh istrimu saat kau mengancamnya dengan talak tiga-
dan orang yang sudah mati tak akan kembali. Berbahagialah karena
Zarri Bano telah menjadi perempuan yang ingin kau bentuk." Wajah
Shahzada ditandai kerut-merut rasa sakit yang dalam.
"Andai saja aku tak pernah memaksa putriku menjadi seperti itu,"
jerit Habib. "Melihat Ruby menikah dengan bahagia dan mempunyai
seorang putra, aku bersembunyi ke dalam diriku dengan ketakutan.
'Apa yang telah kulakukan?' tanyaku selalu pada diriku sendiri. Aku
menangis getir setiap kali aku shalat dan saat tertidur. Aku telah
dengan sengaja mencegah anakku menjalani hidup normal seperti
Ruby. Siapakah aku-sesosok dewa? Shahzada, punya hak apa aku
mengubah takdir orang lain? Aku tak bisa meneruskan perjalanan
naik haji ke Makkah tanpa memohon maaf pada Zarri Bano dan kau.
Allah tak akan menerima ibadah hajiku sampai aku melakukan hal ini.
Nabi Muhammad, semoga kedamaian dilimpahkan padanya, pernah
berkata, barang siapa akan pergi haji, harus berdamai dengan semua
orang dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Karena haji akan
menjadi perjalanan spiritualku, aku harus kembali sebagai seseorang
yang baru dilahirkan. Aku telah belajar menjauhi ego kelelakianku,
Shahzada, dan menjadi rendah hati. Rasa hinalah yang telah
menurunkanku hingga melata di kakimu. Tiada lelaki, tiada suami
sepertiku yang akan mau melakukannya. Kau harus mengakuinya, kau
harus menghargainya! Kau bicara tentang kematian. Habib pun telah
mati ketika Sikander memasuki rumahku karena aku bukan lagi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

seorang lelaki yang sama seperti dulu." Sepasang mata Habib tak
lepas dari wajah Shahzada.
"Maka, kau tahu, aku harus meminta maaf pada Zarri Bano dan
membebaskannya dari ikrar tak akan pernah menikah. Yang tak bisa
kutawar adalah aku juga kehilangan kau sebagai akibatnya. Allah tak
akan pernah mengampuniku karena telah memperlakukanmu seperti
yang kulakukan empat tahun lalu. Kini aku tak bisa hidup tanpa rasa
hormat dan cintamu, Shahzada. Janganlah kau singkirkan aku dari
pikiran dan hatimu! Aku membenci diriku dan keberpihakanku. Ketika
benakku membandingkan Zarri Bano dengan bagaimana dia dulu, aku
berkecil hati. Aku menginginkan seluruh dunia ini untuk putriku,
tetapi kita kehilangan dirinya untuk buku-buku, kesepakatan religius,
dan sehelai burqa hitam. Dia begitu jauh, tak tergapai."
Air mata penyesalan membayang di kedua matanya. Habib
melanjutkan, tercekik oleh emosi saat ia bicara, "Lesung pipit di
pipinya itu yang senang kulihat dan kusentuh saat dia masih kecil....
Aku tidak melihatnya selama tiga tahun. Dia bahkan jarang tertawa
dan tersenyum lagi. Oh, di manakah Zarri Bano kita tersayang?
Benak dan kesadaranku tidak akan tenang, Shahzada, hingga aku
berterus terang kepadanya. Aku ingin putriku kembali." Habib
mengakhiri perkataannya dengan penuh gairah, lalu menunggu
istrinya berbicara menghiburnya. Namun, kata-kata getir Shahzada
yang justru kini balik mencambuknya.
"Semua ini salahmu. Kau ingin menjaga putrimu yang cantik, milikmu
tercinta, di rumah. Kau tak ingin berpisah dengannya dan dengan
sawah ladangmu. Kau tidak sanggup melepaskannya pada Sikander,
sainganmu dalam mendapatkan kasih sayangnya, begitu yang kau
pikirkan. Kecemburuanmu itu telah melahap seluruh keluarga kita!
Kau ingin penghormatan dan penghargaan dari putrimu? Baiklah, kau
kini mendapatkannya! Orang-orang datang dari tempat-tempat yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

jauh di Pakistan untuk mencari panduan moral dan intelektualnya


mengenai persoalan-persoalan
keagamaan. Maka, tak perlu kau menyesal, Habib." Shahzada tak
merasa perlu menyembunyikan rasa jijik yang tampak dalam
sepasang mata dan nada suaranya.
Cahaya harapan di mata Habib lenyap sudah. Ia pun bangkit.
Shahzada memang benar. Habib sendirilah yang telah membunuh
istri tercintanya di siang jahanam itu ketika ia mengancam akan
menceraikan istrinya karena mempertanyakan keputusannya
mengenai nasib Zarri Bano. Mengancamnya akan diberi talak tiga
tanpa alasan jelas akan membunuh perempuan mana pun secara
emosional, khususnya seseorang yang lembut seperti Shahzada yang
sebelumnya memuja suaminya. Itu adalah sebuah hukuman yang
terlalu kejam dan dialami oleh Shahzada hanya karena dia berusaha
membela hak putrinya tercinta.
"Aku akan pergi membawa Zarri Bano kepadamu," ujar Shahzada
dengan dingin. "Kurasa ia sedang berada di ruang santai bersama
Ruby dan Sikander." Dia meninggalkan suaminya berdiri di tengah
ruangan dengan tatapan mata nanar. Gembok yang mengunci hatinya
tak mengizinkan Shahzada mengucapkan kata-kata yang menghibur
suaminya. Ketika menutup pintu di belakangnya, Shahzada bertanya-
tanya dengan sedih apakah dia akan bisa memaafkan suaminya.
***
Secepat Zarri Bano berjalan ke dalam kamar, Habib langsung
berbicara, "Putriku sayang, sesuatu telah menggangguku akhir-akhir
ini. Tepatnya sejak kau menjadi seorang Perempuan Suci." "Apakah
itu, Ayah? Apakah yang mencemaskanmu?" ujar Zarri Bano dengan
cemas.
"Aku harus minta maaf karena aku tak bisa melakukan ibadah haji
tanpa meminta maaf dulu." Suaranya menjadi parau oleh emosi. "Aku
telah meminta maaf pada ibumu. Kau tahu, aku telah berdosa pada

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kalian berdua. Maafkanlah aku, Zarri Bano, karena telah memaksamu


melepaskan Sikander, pernikahan, dan kehidupan yang tadinya kau
miliki. Yang kulakukan itu salah. Aku tak tahu bagaimana harus
memutar kembali waktu ke masa lalu. Putriku sayang, aku akan
memberikan apa pun untuk mengembalikan Zarri Bano yang dulu."
"Ayah, tak ada yang harus dimaafkan," ujar Zarri Bano lembut.
"Ayah tak perlu merasa bersalah. Aku mendapat begitu banyak hal
dari kehidupanku sekarang-segala hal yang menurutmu akan
kudapat."
"Betulkah itu, sayang?" sela Habib mendesak. "Atau kau berkata
demikian hanya untuk menghiburku?"
"Tidak, Ayah. Allah saksiku. Aku berkata benar. Dengan tindakanmu,
aku membuka pintu dunia lain untukku. Aku, kuharap, telah menjadi
seorang Muslim yang baik kini. Kuharap aku bisa menunaikan segala
kewajibanku dengan baik. Kini aku juga memiliki pengetahuan yang
tak dimiliki oleh Zarri Bano yang lama. Aku telah mengunjungi
tempat-tempat yang di dalam kehidupan lamaku tak sempat kulihat.
Memang benar, hidupku tak seperti hidup Ruby, tetapi hidupku telah
lengkap dengan caranya sendiri. Maka, Ayah tak perlu merasa
cemas," ujar Zarri Bano mengakhiri perkataannya dengan seulas
senyum penuh maaf tersungging di bibirnya.
Kata-kata Zarri Bano bagaikan tetesan air yang keluar dari mulut
indahnya menuju jiwa Habib yang dahaga, menawarkan obat
berharga bagi kesadarannya. Dengan penuh terima kasih, ia
meneguknya hingga tandas.
"Kata-katanya saja tidak cukup," saran kesadarannya. Setengah
hati, Habib mencoba lagi, "Putriku, aku sudah berpikir panjang dan
keras mengenai persoalan ini dan aku tahu aku telah berbuat salah.
Tidak peduli apa yang kau katakan, aku ingin membuat perubahan.
Jika kini atau kelak di kemudian hari kau ingin menikah, kau akan
mendapatkan restuku."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ayah, mengapa Ayah mengatakan hal semacam ini!" Zarri Bano


memekik tak percaya, bertanya-tanya apakah Habib telah menjadi
gila. "Aku tak ingin menikah. Kini aku adalah seorang Perempuan
Suci!"
"Barangkali kau ingin menikah nanti-mengapa tidak sekarang? Aku
telah berbuat kejahatan bukan hanya padamu, melainkan juga
terhadap agama kita. Aku telah membaca buku-buku tentang Islam
dan kata-kata kutukan berlompatan menerjangku!"
Zarri Bano menyimak perkataan ayahnya dalam diam, kemudian
menyahut tanpa ada jejak kepahitan dalam nada suaranya. "Aku juga
telah mempelajari buku-buku dan membaca penafsiran-penafsiran
hukum, dan mazhab pemikiran Imam Malik dan Imam Syafi'i
mengenai persoalan ini. Pernikahan didukung dan tidak dicegah. Unit
keluarga dan mengembangkan keluarga adalah inti keimanan kita.
Namun, aku membebaskanmu dari rasa bersalah itu. Aku menerima
restumu, izinmu, sebagai penjagaku, agar aku menikah, jika aku mau.
"Pernikahan tak berkaitan dengan hidupku sekarang, Ayah. Aku
sungguh bahagia dengan segalanya. Tidak ada paksaan untuk menikah
jika pernikahan justru akan merusak semua itu-itu juga tertulis,
Ayah. Tak ada lelaki yang ingin kunikahi saat ini." Dia menindas
bisikan batinnya, "Dulu sekali pernah ada seorang lelaki yang ingin
kunikahi- tetapi Ayah mencegahku menikahinya."
"Kau yakin? Jika berubah pikiran, kau telah mendapatkan restuku,
Anakku, ingatlah itu!" Habib menekankan dengan sungguh-sungguh.
"Tak akan pernah, Ayah!"
Habib menganggukkan kepalanya sebagai tanda pengertian. Seraya
tersenyum, Zarri Bano bangkit hendak beranjak pergi.
"Bagaimana persiapan untuk pergi haji?" tanya Zarri Bano. "Aku baru
saja membicarakan perihal haji kita dengan Ruby dan Adik Sikander
di bawah. Tiket telah disiapkan. Pakaian kita telah dibereskan. Aku
telah selesai membaca buku tentang ibadah haji bersama Ruby

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sehingga dia tahu apa yang harus dia lakukan begitu sampai di
Makkah dan tahu apa yang bisa dia harapkan. Aku juga sudah
membaca dua atau tiga buku tentang itu. Ukhti Sakina telah
memberi beberapa saran tentang hal-hal yang tak kuketahui.
Menurutnya, lebih baik pergi ke Madinah dahulu dan memanjatkan
empat puluh doa wajib kita di Masjid Nabawi sebelum melakukan
ibadah haji. Pada saat itu, di sana akan lebih sepi dibandingkan
setelah musim haji, ketika sebagian besar jamaah haji bermaksud
mengunjungi Madinah pada waktu bersamaan. Bila berangkat haji
nanti, Ayah akan pergi ke Madinah sebelum atau sesudah naik haji?"
"Sebelumnya. Sakina benar-agar tak terlalu banyak orang. Dengan
begitu, kita punya banyak waktu untuk mengunjungi tempat-tempat
suci dan lebih mudah mendapat hotel yang bagus."
"Kita telah memesan tiket sehingga kita punya waktu dua minggu
sebelum melaksanakan ibadah haji dan seminggu sesudahnya. Itu
memberi kita waktu sekitar enam hari di Jeddah dan Makkah serta
delapan hari di Madinah sebelum kembali ke Makkah sehari sebelum
pelaksanaan ibadah haji. Adik Sikander memiliki kontak di ketiga
tempat itu. Ia telah memesan kamar di hotel yang bagus untuk
tempat tinggal kita."
"Aku senang ia akan pergi haji bersama kita," ujar Habib. "Kita
membutuhkan seorang lelaki muda untuk perjalanan semacam ini.
Dengan tiga orang perempuan, tidak perlu lagi kawalan lelaki lain
untuk naik haji."
"Ya, aku pun senang ia pergi bersama kita, walaupun Haris akan
merindukan orangtuanya."
"Aku tahu, hanya itu masalahnya-kita semua akan merindukan Haris.
Aku tak sabar menunggu hingga bulan depan, Zarri Bano," ujar Habib
penuh semangat. "Itu akan menjadi ibadah haji pertama kita
bersama-sama sebagai sebuah keluarga."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku juga sudah tidak sabar menunggunya," timpal Zarri Bano pada
ayahnya dengan hangat. "Sekarang, aku lebih baik turun dulu. Adik
Sikander sedang memilih-milih dokumen untuk mengurus visa kita.
Mereka akan pulang kembali ke Karachi setengah jam lagi."
"Mereka tidak menginap?"
"Tidak. Selamat tidur, Ayah. Hudah Hafiz. "
Ketika Zarri Bano telah pergi, Habib berbaring di ranjangnya,
merasa lebih bahagia setelah sangat lama tak merasakannya. Ia
amat senang telah bercakap-cakap seperti ini dengan putrinya. Zarri
Bano telah meringankan sebagian bebannya.

43.

PESAWAT TERBANG itu bergema oleh alunan doa haji, talbiah,


yang dilantunkan para jamaah haji dengan khusyuk.
"Inilah aku, ya Allah, di sinilah aku di hadapan-Mu! Kau yang tak
memiliki sekutu, inilah aku! Hanya Kau yang berhak menerima segala
puji dan syukur! Hanya Kau yang bisa memberikan pertolongan dan
berkah. Kau yang berdiri sendiri dan tak memiliki sekutu," Zarri
Bano dengan bahagia menerjemahkannya pada adik perempuannya
ketika mereka duduk di sisi yang sama, sedangkan Sikander, Habib,
dan Shahzada duduk di sisi yang berlainan, terpisah oleh lorong
pesawat.
Pemandangan itu tampak menakjubkan. Pesawat dipenuhi para
jamaah haji yang berpakaian khusus jubah haji berwarna putih dan
semuanya melantunkan talbiah dengan penuh semangat, "Ini aku
datang, ya Allah," dan bersama-sama menuju rumah Allah, Ka'bah
yang suci di Makkah, Arab Saudi. Seorang jamaah haji berdiri dekat
kokpit pesawat dan menggunakan interkom untuk melantunkan
talbiah.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Apakah aku mengucapkannya dengan benar, Zarri Bano?" tanya


Ruby cemas. Dia telah mempelajari talbiah dalam hati di rumah,
tetapi kini dalam kegairahan perjalanan itu dia seakan-akan
melupakan kata-kata itu lagi dan harus terus melihat pada buku
panduan mungilnya.
"Ya, sayang, sudah benar." Zarri Bano tersenyum sabar pada adik
perempuannya. Ekspresi bahagia tiba-tiba menerangi wajahnya.
"Bukankah ini sangat menyenangkan? Aku tak sabar ingin sampai di
Makkah. Orang-orang dari berbagai penjuru dunia berkumpul di
Arab Saudi. Berpakaian seperti ini, Ruby, kau pun tampak seperti
seorang perempuan saleh!"
Mata Zarri Bano menjelajahi jubah putih yang menutupi seluruh
tubuh adiknya dari kepala hingga kaki. Ruby merasa tidak nyaman
dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuh dan kepalanya, tetapi
dia tak bisa berbuat apa-apa. Semua perempuan lainnya pun
berpakaian dengan cara yang sama. Rambutnya, seperti rambut
mereka, diikat ke belakang dan tersembunyi di balik tutup kepala
karena terlarang hukumnya memperlihatkan sejumput rambut pun
atau menjatuhkan sehelai rambut pun di Masjidil Haram, Ka'bah.
"Sehelai rambut saja yang jatuh di Masjidil Haram akan menjadi
penistaan tingkat tinggi, maka berhati-hatilah," ucap Zarri Bano
pada Ruby. Awalnya Ruby merasa ketakutan, tetapi kemudian dia
melihat ekspresi rasa senang di wajah kakaknya.
Ruby berharap dia bisa menyesuaikan diri dengan semua orang dalam
membaca doa yang tampaknya telah dihafal semua orang dalam hari
dan juga telah dia pelajari. Ruby beradu pandang dengan suaminya
yang sedang menatapnya. Sikander tersenyum dan juga sedang
mengalunkan talbiah sepenuh hati.
"Allah pasti sangat sibuk mendengarkan doa semua orang hari ini,"
Ruby terkekeh pada diri sendiri, "saat semua jamaah haji
berdatangan dari seluruh penjuru dunia...."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

***
Bintang-bintang bersinar terang di langit malam di atas kota kecil
Muzdalifah, beberapa kilometer dari tempat suci Arafah di Arab
Saudi. Seperti jutaan jamaah haji lainnya, Zarri Bano dan
keluarganya memanjatkan doa khusus pada siang hari dan telah
menjadi haji. Mengikuti teladan Nabi Muhammad, semoga kedamaian
dilimpahkan padanya, mereka wajib bermalam di Muzdalifah.
Berbaring di atas tikar rami yang dibelinya di Jeddah, Zarri Bano
menatap langit di atas mereka dengan bintang-bintang yang
mengedip pada mereka, menyambut kehadiran mereka di kota kecil
itu.
"Inilah intinya haji, Ruby sayang!" Jejak kegairahan masih tersirat
dalam suaranya. Ini adalah sebuah hari yang amat bermakna. Zarri
Bano menoleh pada adiknya yang setengah tertidur di atas tikar lain,
dekat darinya. "Pernahkah kau menghabiskan malam seperti ini
dalam hidupmu? Aku belum pernah. Tulang-tulangku sakit, tetapi
hatiku merasa senang dan jantungku berdegup kencang karena
bergairah. Lihatlah bintang-bintang di atas sana, Ruby, mereka
menyalami kita dan berkata, 'Salam. Kalian sudah haji sekarang.'
Bisakah kau bayangkan bagaimana di tempat ini, selama berabad-
abad, setiap tahun, ribuan jamaah haji dari berbagai penjuru dunia
tidur di sini? Sehari dalam setahun, tempat ini menjadi pusat alam
semesta. Apakah kau mendengarkanku, Ruby?" Zarri Bano
mengangkat kepalanya dan menatap adiknya.
"Hmm, ya," sahut Ruby seraya menguap. "Kau benar, ini adalah
sebuah peristiwa unik. Aku senang kita ada di sini. Aku bahkan tak
peduli batu-batu kerikil menusuk-nusuk punggungku di bawah tikar.
Sebaiknya kau tidur, Zarri Bano. Kita akan menghadapi hari yang
sibuk besok di Mina. Lihat, aku bisa mendengar Ibu dan Ayah
mendengkur walaupun Sikander Sahib masih bergerak-gerak."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku bertaruh kerikil pasti sedang menusuk-nusuk tulang rusuknya!"


Zarri Bano bergurau. "Kau ingat kita harus mengumpulkan tujuh
puluh dua kerikil untuk melempari tempat 'setan'? Kerikil-kerikil di
bawah tikarmu dan tikar suamimu bisa kita kumpulkan dengan
mudah!"
Ketika Zarri Bano menoleh ke sampingnya, wajahnya bertatapan
dengan seorang perempuan muda Nigeria bertubuh besar yang
sedang melakukan shalat tahajud hanya beberapa langkah darinya.
Suami perempuan itu duduk di dekatnya, membaca surah-surah dari
Al-Quran dengan suara nyaring. Zarri Bano memejamkan matanya,
merasa puas bisa berbagi dengan orang-orang dari berbagai penjuru
dunia. Dia tahu, dia tak akan pernah melupakan malam ini.
***
Pukul enam pagi, matahari telah terbit dan semua orang telah
bangun. Antrean menuju jamban umum dan tempat wudhu makin
memanjang. Keran-keran air cadangan ditempatkan di mana-mana
setiap beberapa meter untuk memudahkan para jamaah haji. Tenda-
tenda didirikan untuk tempat sarapan.
Pada saat Ruby bangun, kakaknya telah membaca tiga juz Al-Quran.
Dia bangkit, merasa malu. Semua orang sedang shalat. Dia merasa
seakan-akan sedang tidur di tengah sebuah masjid di tengah orang-
orang asing. Tak lama setelah sarapan, seraya membereskan barang-
barang dan tenda mereka, para jamaah haji bergerak menuju Mina.
Di depan mereka terhampar hari ketiga haji yang penting dan akan
dilewatkan di dataran terbuka Mina dalam tenda-tenda mereka. Itu
adalah sebuah hari yang dirayakan oleh umat Muslim di mana pun-
berpuncak pada Idul Adha, hari raya kedua terpenting bagi umat
Islam.
"Pada hari ini, beberapa abad yang lalu," jelas Zarri Bano pada Ruby,
"Nabi Ibrahim membalikkan punggungnya tiga kali berturut-turut
dan meludah pada setan, sang iblis. Mengikuti teladannya, kita

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

melemparkan kerikil pada tempat yang telah ditandai untuk


menunjukkan penolakan pada setan. Setan mencoba menggoda Nabi
Ibrahim agar tidak mengorbankan putranya, Isma'il."
Setelah mencapai tenda mereka pada ujung pagi hari, Zarri Bano,
Ruby, dan Shahzada diminta beristirahat oleh Habib, sementara ia
dan Sikander pergi menyiapkan ritual suci mereka yang berikutnya,
pengorbanan hewan, di tempat penjagalan sementara. Siang
menjelang sore, baki-baki berisi daging mulai tiba. Seluruh jamaah
haji wajib membagikan daging bagian mereka kepada para tetangga
mereka. Mereka makan porsi mereka sendiri, lalu memberikan
sisanya kepada petugas pemerintah Arab Saudi karena akan
disimpan di tempat penggilingan dan dikirimkan kepada keluarga-
keluarga yang membutuhkan di seluruh dunia.
Setelah upacara mandi dan berganti pakaian, para perempuan
memotong sejumput rambut mereka. Kaum lelaki mencukur atau
memotong sebagian rambut mereka sebagai tanda merendahkan diri
dan kelahiran kembali secara spiritual.
***
Setelah makan, Zarri Bano memutuskan berjalan-jalan di dataran
Mina bersama Ruby. Mereka berjalan di antara barisan tenda yang
melindungi jamaah haji dari terik matahari. Orang-orang berkeliaran
di mana-mana. Zarri Bano tak bisa memercayai pandangan matanya
ketika secara kebetulan dia melihat Pakinaz dan Ibrahim Musa
berjalan ke arah mereka. Mereka pun sama-sama terkejut dan
senang seperti Zarri Bano.
"Assalamu 'alaikum, Pakinaz dan Abang Musa. Kejutan yang
menyenangkan! Kalian juga melakukan ibadah haji tahun ini? Aku tak
percaya!" ujarnya dalam bahasa Inggris.
"Ya, aku juga tak percaya. Orangtua kami berangkat bersama kami-
tunggulah hingga mereka tahu kau pun ada di sini!" ujar Pakinaz
seraya memeluk Zarri Bano serta mencium kedua pipinya dengan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

gembira. Zarri Bano menatap sekujur tubuh Pakinaz yang tertutup


rapat busana putih dengan riang. "Anehnya kita tidak bertemu lebih
dulu di tempat lain," komentar Pakinaz.
"Keluargaku juga ada di sini," ujar Zarri Bano pada Pakinaz.
"Kenalkan, ini adikku, Ruby."
Sebagai tanda menyalami Ruby, Ibrahim menganggukkan kepalanya
ke arah perempuan itu.
Zarri Bano menerangkan pada adiknya dalam bahasa Urdu mengenai
mereka dan bagaimana dia tinggal bersama mereka di Mesir.
"Oh, betapa menyenangkan. Ayo kita ajak mereka menemui keluarga
kita," desak Ruby senang. "Gagasan yang bagus." Zarri Bano menoleh
pada mereka. "Maukah kalian bertemu dengan orangtuaku? Mereka
di tenda besar yang ada bintang hijau di atasnya-itu lambang kami."
"Ya, kami akan senang sekali," sahut Pakinaz hangat.
Habib dan Shahzada amat senang berjumpa dengan saudara-saudara
seiman dari Mesir yang telah membuat putri mereka begitu betah di
Kairo. Setelah mengobrol sejenak, Ibrahim berdiri dan pamit untuk
pergi. Zarri Bano memutuskan untuk ikut bersamanya mengunjungi
orangtua Ibrahim.
"Apakah kau akan ikut, Pakinaz?" tanya Zarri Bano. Tatapan mata
Zarri Bano, karena beberapa alasan, melirik Sikander. Lelaki itu
terus berdiam diri selama kunjungan tamu mereka.
"Aku akan menyusul kalian sebentar lagi. Aku akan menghabiskan
minumanku dulu."
"Baiklah." Zarri Bano meninggalkan tenda dan mengikuti Ibrahim.
Pakinaz menghabiskan minumannya, lalu menatap berkeliling pada
keempat orang di dalam tenda.
"Lebih baik saya juga pergi," ujarnya malu-malu. "Menyenangkan
rasanya bertemu dengan Anda semua dan berjumpa kembali dengan
Zarri Bano. Kami amat merindukannya ketika dia meninggalkan Kairo.
Keluarga kami sungguh sangat menyukai kehadirannya. Kami semua,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

termasuk abang saya Ibrahim. Apakah Zarri Bano bercerita pada


Anda semua bahwa abang saya melamarnya...?"
"Dan apa katanya?" tanya Sikander tajam, berbicara untuk pertama
kalinya. Tubuhnya tiba-tiba tersentak seperti sebuah per. Ruby
menoleh untuk menatap suaminya. Matanya lekat di wajah Sikander.
"Apa yang dikatakan gadis ini, Sikander sayang? Aku tak paham
sepatah kata pun. Jangan biarkan aku dan ayah mertuamu bingung."
Shahzada menatap beralih-alih dari wajah polos Pakinaz ke raut
serius Sikander.
"Ibu, dia bilang lelaki yang baru saja meninggalkan tenda itu ingin
menikahi putri salehmu, Shahzadi Ibadat-mu," kata Ruby pada
orangtuanya.
Habib dan Shahzada saling pandang dengan terkejut.
"Tapi dia tak bisa menikah, dia seorang Perempuan Suci," Shahzada
berkata dengan seulas senyum canggung kepada tamu Mesir mereka.
"Ruby, tolong tanyakan pada tamu kita apa yang dikatakan oleh Zarri
Bano ketika Ibrahim melamarnya."
Ruby menerjemahkan permintaan ibunya dalam bahasa Inggris dan
mengatakannya pada Pakinaz.
"Oh, dia menolaknya," ujar gadis itu dengan enteng. "Kami semua
amat sedih. Kami ingin Zarri Bano menikah dengan Ibrahim. Abang
saya menerimanya dengan amat sedih. Ia amat menyukai Zarri Bano
dan mungkin masih menyukainya hingga kini," ujar Pakinaz.
"Apakah Zarri Bano menceritakan pada abangmu bahwa dia adalah
seorang Perempuan Suci dan telah meninggalkan pernikahan?" tanya
Sikander pada Pakinaz dalam bahasa Inggris.
Ruby terkejut oleh sorot permusuhan yang ia lihat dalam sepasang
mata kelabu suaminya.
"Ya, Zarri Bano menceritakannya pada kami, tetapi kami tidak
percaya," jawab gadis itu. "Kami sangat kecewa. Sedihnya, abangku
masih melajang. Kami berusaha sebaik mungkin untuk

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menjodohkannya. Tahun ini kami hampir berhasil!" Pakinaz berhenti


bicara ketika melihat Sikander berdiri dan berjalan keluar tenda.
Di luar tenda mereka, Sikander meregangkan otot-otot kakinya yang
kaku. Ia mengenakan sehelai jubah katun Arab yang serupa dengan
yang dipakai oleh ribuan jamaah haji lainnya.
Orang-orang berjalan ke segala arah di sekitar tenda-tenda.
Sikander memandangi pemandangan di depannya hingga matanya
menangkap kepala Zarri Bano yang berkerudung. Dia tengah berdiri
hanya beberapa meter jaraknya, dekat sebuah batu, berbicara pada
orang Mesir bertubuh tinggi dan berjanggut itu dalam bahasa Arab.
Sepasang mata kelabu Sikander berkilat dingin dalam cahaya
matahari. Orang Mesir itu berkata ia akan membawa Zarri Bano
menemui orangtuanya, tetapi mereka berdua malah mengobrol akrab.
Sikander bisa melihat dari kejauhan bibir Zarri Bano
menyunggingkan senyum ketika dia mengobrol dengan teman
lelakinya itu. Orang Mesir itu menatap Zarri Bano dan tersenyum.
Dari tempat Sikander berdiri, percakapan mereka menampakkan
sebuah adegan yang sangat akrab antara seorang lelaki dan seorang
perempuan.
Api kecemburuan meledak dalam tubuhnya. Dengan mulut
membentuk garis lurus, Sikander berjalan marah menuju tempat
Zarri Bano berada. Bayangannya yang tinggi jatuh secara tidak
menyenangkan menimpa pasangan itu dalam terik matahari sore.
Zarri Bano menoleh. Senyum masih menghiasi bibir dan lesung
pipitnya jelas terlihat, demikian Sikander memerhatikan dengan
getir. Ibrahim Musa juga menoleh dan segera membaca tatapan
mata Sikander, mengenali energi lelaki yang liar di balik pesan yang
jelas: Menjauhlah! Ibrahim melirik penuh tanya pada Zarri Bano.
Senyum itu meninggalkan pipi Zarri Bano yang merona. Di depannya
berdiri dua orang lelaki yang pernah melamarnya. Dia tidak siap
melihat mereka berdua di satu tempat dan pada waktu yang sama.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Lesung pipitnya lenyap. Dia menatap wajah kedua lelaki itu


bergantian, sebelum secara mental menjauhkan diri dari mereka
berdua. Tatapan mata Sikander tiba-tiba saja membuatnya merasa
bersalah-seakan-akan dia telah melakukan kesalahan. Sikander telah
menodai saat yang menyenangkan ini dengan kehadirannya dan
tatapan menuduh di matanya. Dorongan untuk menerangkan diri bagi
Zarri Bano makin kuat.
"Abang Ibrahim," ujarnya dalam bahasa Inggris, jelas-jelas memberi
penekanan pada kata Abang sehingga kedua lelaki itu pun
memerhatikannya menggunakan kata itu dan tahu posisi mereka,
"Abang Ibrahim baru saja mengatakan padaku bahwa ia akan
bertunangan dengan Selima ketika ia pulang ke Mesir nanti. Aku
telah bertemu dengan Selima. Dia seorang perempuan yang baik. Aku
memberinya ucapan selamat."
"Selamat, Saudara Musa. Mubarak." Sikander dengan sopan
mengulurkan tangannya pada Ibrahim. Matanya masih dingin
walaupun kata-katanya menyiratkan kehangatan.
"Terima kasih. Apakah kita akan pergi ke tenda sekarang? Di
sebelah sana. Mau bergabung dengan kami, Saudara Sikander?"
Ibrahim Musa menawarkan dengan sopan seraya mendahului
berjalan.
Sikander bergabung dengan mereka, walaupun dengan berat hati,
dan diperkenalkan pada keluarga Ibrahim. Mereka tinggal di sana
hingga hampir dua jam. Pada saat itulah Pakinaz bergabung dengan
mereka. Mereka berbincang-bincang tentang Mesir dan waktu yang
mereka tempuh bersama. Tak banyak bicara, Sikander
mendengarkan dengan sopan seraya duduk di samping Zarri Bano di
atas bantal-bantal di lantai tenda. Bagi orang-orang dalam kelompok
itu, Sikander memberi kesan bahwa ia adalah muhrim Zarri Bano,
lelaki yang mengantarnya.
***

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Berjalan kembali bersama-sama ke tenda mereka dengan berdiam


diri, Sikander dengan lirih berkata pada Zarri Bano, "Pakinaz
mengatakan pada kami bahwa Musa ingin menikahimu."
Zarri Bano berhenti berjalan, "Aku.... Dia bilang begitu? Dia tidak
berhak mengatakan hal itu." "Mengapa tidak? Dan mengapa kau
menolaknya?" Sikander mendesak. Suaranya merendah.
"Adik Sikander! Seperti yang kau tahu, aku tidak bisa dan tidak
ingin menikah dengan lelaki mana pun-itulah alasannya!" dia
mengingatkan Sikander. Pipinya merah padam.
"Ruby mengatakan padaku bahwa ayahmu telah membebaskanmu dari
sumpahmu," Sikander terus mendesak, masih tak menatap langsung
pada Zarri Bano.
Zarri Bano berdiri diam di salah satu sisi sebuah tenda darurat
tukang obat, mengabaikan antrean para jamaah haji yang sedang
membeli obat-obatan. Sikander juga turut berhenti. Tubuh mereka
menegang dan wajah mereka saling berhadapan. Zarri Bano meneliti
wajah Sikander, lalu mengedipkan mata karena terkejut oleh
tatapan mata lelaki itu yang menantang.
"Aku tidak tahu apa yang telah dikatakan oleh Ruby atau Pakinaz
kepadamu. Kenyataannya adalah aku ini seorang Perempuan Suci dan
aku tidak ingin menikah dengan siapa pun. Kau telah berbuat lancang,
bahkan jika kau hanya memberi saran tentang itu atau membahas
persoalan itu sekalipun." Sepasang mata indah Zarri Bano kini
tampak sedingin es.
"Bagiku, tak tampak lancang ketika kau mengobrol akrab dengan
teman lelakimu yang tak pantas itu." Sikander mengejutkan mereka
berdua dengan kata-kata yang terlompat begitu saja dari mulutnya.
"Adik Sikander!" Zarri Bano merasa tersinggung. "Berani-beraninya
kau menghinaku. Apa yang terjadi denganmu? Apa urusannya
denganmu?" Dia melotot. Tatapan matanya menentang mata
Sikander dengan penuh kemarahan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kau berani bertanya begitu padaku!" Sikander mendengus. Seraya


mencondongkan tubuh ke depan, tampak jelas oleh kerumunan
manusia di sekitar mereka, Sikander berkata tandas, "Aku lelaki
yang kau tolak, Zarri Bano-kalau-kalau kau lupa. Itulah yang terjadi
denganku." Sikander mencengkeram lengan Zarri Bano dan
menggoyangnya keras-keras. "Sebagai bekas tunanganmu, wajar aku
ingin tahu mengenai kehidupan cintamu!"
"Lepaskan tanganmu!" Zarri Bano hampir menjerit di depan wajah
Sikander. "Jangan berani-berani menyentuhku! Aku tak mau
mendengarkan lagi kegilaanmu. Menurutku, pikiranmu kacau karena
terik matahari. Kau tak sadar apa yang kau katakan dan apa yang kau
perbuat. Kehidupan cinta-aku? Berani-beraninya kau menghinaku
seperti itu!"
Sikander menjatuhkan lengan Zarri Bano seakan-akan lengan itu
membakarnya. "Kau kira aku senang melihatmu bermain mata
dengannya?" sergah Sikander. "Dia! Seorang lelaki yang orang bodoh
pun akan tahu bahwa ia masih mencintaimu, bukan sebagai saudara
seiman, melainkan sebagai seorang perempuan." Sikander gemetar
karena menahan emosi. Seluruh tubuhnya bergetar.
"Berhentilah!" tubuh ramping tinggi Zarri Bano di balik burqa-nya
juga bergetar-tetapi oleh amarah. "Kau telah melewati batas
kepantasan, Sikander Sahib! Tak kubayangkan kau bisa merosot
serendah ini. Aku ini seorang Perempuan Suci, kalau-kalau kau lupa.
Seorang perempuan yang melepaskan pernikahan dan tak tertarik
pada hubungan duniawi, tak peduli pada lelaki dan cinta!" Zarri Bano
meletupkan kata terakhir itu seakan-akan itu adalah asam yang
membakar lidahnya.
Lalu dia menghela napas dalam-dalam dan berkata lebih tenang, "Aku
akan memaafkanmu kali ini, Adik Sikander. Tetapi, jangan pernah
lagi berbicara padaku tentang hal ini! Kau tak ada urusan denganku,
sama seperti Ibrahim Musa, orang asing dari negeri lain. Kecuali,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tentu saja, kau adalah adik iparku. Suami adikku dan ayah
kemenakanku tercinta. Tak ada apa pun di antara kita, Sikander,"
ujar Zarri Bano penuh kepedihan. "Kita tak pernah memilikinya. Tak
ada hubungan apa pun-simpanlah keinginan platonik itu. Masa lalu
kita yang senang kau kenang dan perempuan yang kau kira kau kenal
telah terkubur dalam kuburan adikku." Memikirkan Jafar, tangis
memenuhi matanya dan Zarri Bano pun berusaha menahannya dengan
susah payah. "Kita sedang melaksanakan ibadah haji di sini, Adik
Sikander. Ini adalah ziarah suci, seharusnya membuat derajat kita
meningkat. Jangan rendahkan perjalanan spiritual kita yang suci ini
dengan penghinaan yang rendah serta sindiran dan lamunan
memuakkan." Kemarahan kembali bangkit dalam diri Zarri Bano.
"Lagi pula, aku tidak memerlukan kau berjalan di sampingku. Kau
bukan muhrimku. Ayahkulah muhrimku. Kau adalah suami Ruby dan di
sisinyalah kau seharusnya berada, bukan di sampingku! Kau bersama
perempuan yang salah, Adik Sikander!" Kemudian, seraya merapikan
jubah hitamnya dan membetulkan letak kerudungnya agar lebih
menutupi wajahnya, Zarri Bano melangkah menjauhi Sikander.
Kepalanya diangkat tinggi-tinggi.
Ketika para jamaah haji berjalan di sekitar Sikander, beberapa
orang di antaranya masih membawa baki-baki berisi daging ke tenda
mereka. Sikander melihat Zarri Bano menghilang, berjuang melawan
dorongan tak tertahankan untuk memeluknya dan merengkuh
lehernya yang ramping. Entah bagaimana perempuan itu selalu
memancing sisi buruknya keluar! Sikander mengembuskan napas
panjang. Merasa perlu berjalan-jalan di sekitar perkemahan, ia pergi
dan baru kembali lama kemudian ke tenda mereka.
Saat makan malam, Zarri Bano dan Sikander tak saling bertegur
sapa atau saling menatap, melainkan saling berdiam diri. Zarri Bano
telah berhasil mendirikan sebuah perisai di antara mereka. Sikander
membiarkannya. Terutama, ketika Zarri Bano mengatakan bahwa

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

masa lalu telah terkubur bersama perempuan yang ia kenal. Sikander


teringat malam di pantai saat mereka mengumpulkan cangkang
kerang di Karachi. "Kapankah itu terjadi? Ke manakah gadis ceria itu
pergi? Apakah peristiwa menyenangkan itu pernah terjadi?"
Sikander bertanya pada diri sendiri dengan sedih saat menatap
perempuan itu yang dengan enteng menolak mengakui keberadaannya
dalam tenda walaupun dia berbaring di atas tikar hanya beberapa
meter darinya. Sikander merasa jengkel karena telah berkata
konyol tentang dirinya sendiri.
Pakinaz, Ibrahim Musa, dan kedua orangtua mereka datang
mengunjungi orangtua Zarri Bano malam itu, tetapi Sikander segera
meninggalkan tenda begitu mereka datang.

44.

PADA PAGI di hari terakhir pelaksanaan haji, suasana sedih dan


penuh nostalgia meliputi Mina, membuat sebagian jamaah haji
bertanya-tanya apakah mereka ditakdirkan untuk kembali lagi ke
dataran itu dalam hidup mereka atau itu merupakan kunjungan
terakhir mereka.
Matahari bersinar terik di atas kepala para jamaah haji lelaki yang
tercukur ketika mereka melemparkan kerikil ke tempat setan untuk
terakhir kali. Dalam kelompok Zarri Bano, Sikander menjadi
sukarelawan dengan melontarkan kerikil mewakili semua orang.
Dalam kerumunan para jamaah haji yang memenuhi tempat mungil
itu, terkadang ibadah itu berubah menjadi sebuah perlombaan di
mana yang paling bugar dan paling kuatlah yang akan bisa bertahan
dalam desakan orang-orang.
Di ujung pagi, para jamaah haji dan pemandu mereka mulai
mengumpulkan barang-barang mereka dan membereskan tenda. Di
depan mereka ada sebuah acara haji yang penting: pergi ke Makkah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengunjungi Ka'bah untuk memberi penghormatan. Zarri Bano


mengunjungi keluarga Pakinaz pagi-pagi sekali dan saling bertukar
nomor telepon serta alamat hotel mereka di Makkah. Iring-iringan
kereta, bus, dan mobil merayapi sepanjang jalan menuju Makkah.
Jalan raya itu menjadi sarang kegiatan, dengan bunyi klakson
terdengar sepanjang hari. Setelah sampai di Makkah, keluarga
Habib mula-mula pergi ke hotel untuk beristirahat dan menaruh
barang-barang mereka sebelum pergi ke Masjidil Haram. Di depan
Ka'bah, mereka bergabung dengan kerumunan jamaah haji yang
memenuhi lorong panjang dan lapangan luas di halaman masjid untuk
melaksanakan ibadah terakhir mereka.
Masuk melalui pintu yang disebut "Bab Ibrahim", mata mereka
melihat pemandangan luar biasa. Pelataran Ka'bah dipenuhi
kerumunan jamaah haji. Nyaris tak selangkah pun tempat tersisa.
Para jamaah haji memenuhi sekeliling Ka'bah seperti sekawanan
lebah. Lantunan doa mereka bergema di sekitar masjid.
Habib mengatakan pada keluarganya untuk melaksanakan umrah,
dimulai dengan shafa-marwah, berjalan tujuh kali bolak-balik
sepanjang lorong masjid. Setelah ritual ini, mereka beristirahat
bersama di balkon lorong masjid dan menyaksikan para jamaah haji
lainnya berjalan mengelilingi Ka'bah tujuh kali.
Zarri Bano menyarankan, "Ibu, sebaiknya Ibu melaksanakan thawaf
di lantai atas. Di situ lebih leluasa, tak terlalu berkerumun dan lebih
sejuk walaupun waktu yang ditempuh jadinya lebih lama."
"Ya, kurasa aku akan melakukan apa yang kau sarankan," ujar
Shahzada penuh terima kasih. "Coba lihat kerumunan itu! Lalu,
bagaimana dengan ayahmu?"
"Ah, jangan konyol. Aku akan baik-baik saja." Habib mengangkat
bahu merasa diremehkan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Tetapi kerumunan itu, Habib Sahib-bagaimana kau bisa masuk ke


sana? Zarri Bano dan Ruby, kalian tidak usah mencoba mencium
Hajar Aswad, batu hitam suci, hari ini demi kebaikan kalian."
"Tidak, kami tak akan mencobanya. Tidak hari ini, Ibu." Ruby
menarik lengan ayahnya. "Ayo, Ayah, mari kita masuk."
Ruby menuruni tangga pualam putih dan berjalan penuh semangat
menuju kerumunan para jamaah haji. Habib memegang tangannya.
Zarri Bano pun turun, diikuti dari dekat oleh Sikander. Sikander
tidak menyentuh atau memegang tangan Zarri Bano, melainkan hanya
berdiri tepat di belakangnya, menghalanginya dari kerumunan
dengan lengannya. Mereka lalu bergabung melakukan thawaf seraya
membaca surah-surah dari Al-Quran saat mengelilingi bangunan
hitam persegi yang dilapisi sehelai kain emas yang indah, bersulam
surah-surah dari Al-Quran yang dengan penuh cinta ditisik tangan
oleh ratusan perempuan setiap tahun.
Shahzada menyaksikan keluarganya dengan cemas, berdiri dekat
sebuah pilar marmer selama beberapa saat sebelum berbalik naik ke
lantai dua untuk melaksanakan umrah di tempat yang tidak terlalu
ramai.
"Kau baik-baik saja, Kakak Zarri Bano?" Sikander bergumam.
Lengannya terentang untuk melindungi kedua sisi Zarri Bano,
mencegahnya terdorong oleh lelaki lain.
Ini adalah percakapan pertama mereka sejak pertengkaran pahit
mereka di Mina. Terdorong dari belakang, Sikander memegang
lengan Zarri Bano dan mencengkeramnya erat-erat. Terdorong
mendekat pada Sikander, Zarri Bano menerima perlindungannya,
mengetahui bahwa itu untuk keamanannya sendiri.
Dengan tubuhnya yang jangkung, Sikander terus mengawasi Habib
dan Ruby. Mereka tiga baris di depan Sikander dan Zarri Bano. Saat
menoleh, Ruby bersitatap dengan mata suaminya dan tersenyum.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander balas tersenyum. Sepasang sudut matanya berkerut


karena senang.
Ketika Ruby menoleh, sebuah mimpi buruk mulai terjadi ketika
seorang jamaah haji menderita serangan jantung dan terjatuh ke
bumi. Orang-orang yang berada di sekitarnya, termasuk istrinya,
berusaha menariknya, tetapi mereka pun malah ikut terjatuh dan
menindih lelaki itu. Kepanikan menjalar di antara kerumunan seperti
nyala api. Orang-orang berusaha keluar dari kerumunan, tetapi
menyadari bahwa mereka terperangkap dalam kerumunan itu dan tak
bisa pergi ke mana pun.
Zarri Bano terdorong ke depan, menjauh dari samping Sikander.
Lengan Sikander menjulur untuk meraihnya, tetapi tiga orang
jamaah haji telah memisahkan mereka. Di depan matanya, Sikander
melihat Zarri Bano lenyap dari pandangannya. Lalu ia menemukan
dirinya tersandung pada sosok seorang perempuan tua Turki yang
tertunduk. Sikander meraih lengan perempuan tua itu dan
membangunkannya. Diserang oleh rasa panik, perempuan tua itu
menyunggingkan senyum berterima kasih-bibirnya gemetar hebat.
Sementara itu, terbawa oleh kerumunan orang tanpa daya, Zarri
Bano berjuang mengatasi rasa takutnya dan mencoba tetap tenang.
Seorang perempuan muda Nigeria yang kuat jatuh menimpa dadanya,
serasa membuat rongga dadanya remuk. Tak mampu bernapas dan
dengan naluri untuk bertahan hidup menguasai benaknya, Zarri Bano
mendorong perempuan itu ke samping. Wajah perempuan itu kini
menekan wajahnya. "Tolong!" Zarri Bano berteriak dalam bahasa
Arab dan perempuan itu, dengan menggunakan sikunya, berhasil
mendorong ke samping seorang lelaki Indonesia yang mendesak
mereka berdua. Setelah menemukan sebuah celah di antara para
jamaah haji, Zarri Bano

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dengan waswas menenangkan diri dari daerah yang padat itu. Orang-
orang di sekitarnya bubar ke segala arah. Tangisan dan teriakan
mengoyak jiwanya.
Bergantung pada sebuah pilar, Zarri Bano dengan cemas memandangi
wajah-wajah dan kepala-kepala para jamaah haji di bawahnya,
berharap mereka adalah salah satu di antara orang-orang yang
disayanginya. Berdiri berjinjit dan takut jatuh, dia berdiri condong
ke depan mencari-cari dalam kerumunan. "Mereka seharusnya ada di
sini! Mana mereka?" teriaknya nyaring.
Secara ajaib, di depan matanya, ia melihat Sikander. Dia akan
mengenali kepala itu di mana pun! Sikander masih terpaku di antara
kerumunan para jamaah haji yang rusuh. "Sikander!" Zarri Bano
berteriak, tangis lega membasahi pipinya.
Yang membuat Zarri Bano gembira ternyata Sikander
mendengarnya. Tatapan penuh kelegaan tersirat di wajah Sikander
ketika ia melihat Zarri Bano berdiri dalam keadaan selamat pada
sebuah pilar pualam tinggi di lorong masjid. Zarri Bano tak
menyadari datangnya wajah tampan itu hingga saat ini.
"Tetap di sana!" teriak Sikander, di atas kepala seorang perempuan
tua yang mengenakan chadorhitam.
Sikander tahu ke mana ia akan pergi sekarang. Ia mendorong
langkahnya di antara kerumunan tubuh orang-orang, tak peduli pada
teriakan protes orang-orang. Ia amat mencemaskan keselamatan
Zarri Bano. Zarri Bano berdiri pada pilar. Dengan sedikit dorongan
saja, dia bisa remuk membentur dinding. Bagi Zarri Bano, rasanya
begitu lama sebelum Sikander mengulurkan tangannya perlahan ke
arahnya, menggapainya melewati kepala botak seorang lelaki tua
Baduy. Jemari mereka bersentuhan. Sikander kemudian meraih
seluruh tangan Zarri Bano dalam cekalan erat. Saat berikutnya,
Sikander telah berdiri berhadapan langsung dengan Zarri Bano.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dengan napas memburu, Sikander menatap mata Zarri Bano. "Zarri


Bano! Zarri Bano!" bisiknya. "Kukira aku akan kehilangan dirimu
selamanya!"
Dengan butir-butir air mata menetes di pipinya, Zarri Bano balik
berbisik, "Kukira saat perempuan Nigeria bertubuh besar itu jatuh
menindihku, itu adalah saat terakhirku, Sikander."
"Aku tahu," sahut Sikander susah payah, menyadari betapa dekat
mereka tadi dengan maut.
"Kau tahu di mana Ayah dan Ruby berada?" tanya Zarri Bano
ketakutan. "Aku tak bisa melihat mereka di mana pun. Tolong cari
mereka."
Dengan matanya, Sikander mencari-cari di antara kerumunan para
jamaah haji yang memenuhi sekeliling bangunan Ka'bah.
"Tentu saja aku akan mencari mereka. Tapi ayo-mari kita keluarkan
kau dulu dari sini." Sikander menggandeng Zarri Bano di belakangnya
ke tempat yang cukup aman di lorong yang luas. Para jamaah haji
lainnya juga beramai-ramai menuju tempat aman di lorong bagian
atas.
Seraya menoleh pada Zarri Bano, Sikander memberi saran,
"Tetaplah di sini. Aku akan mencari mereka."
Dengan rasa takut berpisah tampak nyata di wajah dan suaranya,
Zarri Bano menolak, "Tidak, Sikander, aku ikut denganmu!"
Sikander tersenyum lembut padanya. "Baiklah," Sikander menghela
napas. Tangannya mengelus pipi Zarri Bano. Wajah Sikander tampak
tenang ketika ia menatap Zarri Bano. "Lihatlah, polisi sudah datang.
Di manakah Ruby? Aku harus pergi mencarinya dan ayahmu."
Sikander tak mampu menutupi rasa takut dalam nada suaranya
ketika polisi mengawasi apa yang terjadi di masjid suci, dengan
tergesa berusaha masuk menuju tempat tragedi berlangsung.
Seraya mengibaskan tongkat mereka di depan kerumunan dengan
lagak mengancam, mereka membuka jalan menuju bangunan Ka'bah.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dengan Zarri Bano di sampingnya, Sikander menyusuri lorong masjid,


memandang tajam di antara bahu para jamaah haji, mencari Ruby
dan Habib.
Ketika ia melihat pada pelataran tengah yang berbentuk persegi,
jantung Sikander seakan-akan membeku. Para polisi menggotong
keluar korban-korban yang tewas dan terluka.
"Tetap di sini, Zarri Bano!" perintah Sikander dengan kasar sebelum
bergegas pergi melihat apa yang sedang dilakukan oleh para polisi.
Jenazah mereka yang tewas dibaringkan di salah satu bagian lorong
masjid, di atas lantai beralas karpet. Para, jamaah haji yang
terguncang menatap tajam mereka yang tewas dengan ketakutan,
tak mampu menerima tragedi itu.
Setelah mencapai tempat itu, Sikander menatap ke bawah dengan
ngeri. Tatapan matanya mencari-cari pada wajah para korban.
Jantungnya membeku saat matanya melihat sesosok tubuh yang
terbaring di samping sesosok jamaah haji asal Cina. Sikander
berjongkok di atas jenazah Habib, seorang lelaki yang pernah
dibencinya.
Zarri Bano tiba di sampingnya, menatap tajam dari atas bahu
Sikander yang tengah membungkuk.
"Ayah," katanya dengan ngeri. Tangan Zarri Bano menekan mulutnya
sendiri untuk membungkam teriakannya. Dia berlutut di samping
jenazah itu. "Ya Allah, tidak! Tak mungkin!"
Dengan rasa takut di hatinya, Sikander mencari-cari istrinya,
berharap Ruby tak termasuk di antara mereka yang tewas.
Lalu, di depan tatapan matanya yang tercekam, ia melihat dua orang
polisi menggotong Ruby ke lorong.
"Ruby! Ruby!" teriaknya. Sepasang mata istrinya terbuka dan
menatapnya dengan pandangan hampa.
Mendengar nama adiknya disebut, Zarri Bano menatap penuh harap.
Meninggalkan ayahnya yang tak bisa ditolong lagi, dia bergegas

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menghampiri adiknya. Namun, napas Ruby telah terengah-engah.


Kerudung putihnya terlepas. Seraya membungkuk di depan Ruby,
Sikander meraba dada istrinya dan mulai mencoba memompanya, sia-
sia berusaha memulihkannya.
Ruby masih sempat mengucapkan nama anaknya dengan lirih, "Haris!"
Itu adalah kata terakhirnya. Lalu kepalanya terkulai ke belakang.
Mulut dan sepasang matanya terbuka.
"Tidak!" jeritan pedih Sikander terdengar oleh Zarri Bano yang
tengah terpukul. Air mata membutakan pandangan Zarri Bano.
"Adik Sikander, apa yang terjadi pada kita?" Zarri Bano terisak,
menatap jenazah ayah dan adik tercintanya di lantai berkarpet di
lorong masjid. Para jamaah haji berkerumun di sekitarnya, menatap
mereka dengan ngeri sebelum beranjak pergi.
Dengan berjongkok, bertumpu di atas lututnya, Zarri Bano memeluk
wajah adik tercintanya.
"Adikku sayang, kau tak boleh mati. Kita belum menyelesaikan
umrah. Bagaimana dengan Haris? Ia menunggumu di Karachi. Ya
Allah, mengapa bukan aku saja, kok malah kau yang mati? Kau punya
anak, Ruby! Kau tak boleh mati!"
Para polisi kembali dengan para petugas kesehatan dan mengangkat
Ruby, Habib, serta para korban lainnya dengan tandu. Sikander
merenungi penderitaan pribadinya, mengetahui ia harus berpikir dan
bertindak cepat. Ada pemakaman yang harus dipersiapkan. Seperti
adatnya, para jamaah haji yang meninggal dunia di Masjidil Haram
akan dimakamkan di kota suci Makkah. Ini adalah mimpi rahasia
banyak jamaah haji yang diam-diam berdoa, "Semoga kematianku
terjadi di sana, di Masjidil Haram."
"Zarri Bano, aku harus ikut dengan orang-orang ini," kata Sikander
dengan penuh kasih. "Mereka tidak bisa meninggalkan ayahmu dan
adikmu di sini. Kau harus memberi tahu ibumu. Cari ibumu, tetapi
biarlah dia menyelesaikan thawaf terlebih dahulu. Ajaklah dia ke

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

hotel dan kita akan bertemu di sana nanti. Aku juga harus menelepon
ke Pakistan. Persiapan pemakaman akan dilakukan di sini. Kau harus
menyelesaikan umrahmu dulu."
"Apa yang telah terjadi pada orang-orang yang kita cintai, Adik
Sikander?" tanya Zarri Bano lagi dan menoleh pada Sikander dengan
wajah dicekam kengerian. Berbagi rasa sakit dengannya dan ingin
menghiburnya, Sikander tak tahu apa yang harus dikatakan atau
dilakukan. Ia sendiri tak bisa mengendalikan rasa sedihnya.
Sikander mengikuti polisi keluar dari Masjid Suci dan masuk ke
ambulans tempat mereka meletakkan Ruby dan Habib berdampingan.
Begitu pintu ditutup, ia membenamkan kepalanya di tangannya dan
menangis.
Seakan-akan bermimpi, Zarri Bano mengawasi mereka pergi.
Kesunyian setelah kekacauan itu menulikannya. Kepalanya bergema
oleh kata-kata, "Oh Tuhanku, apakah yang akan kukatakan pada
Haris dan Ibu?" Zarri Bano meninggalkan tempat itu dengan berdiam
diri, teringat kepada Sikander yang berkata padanya agar
menyelesaikan dahulu umrahnya.
Seraya mengalunkan kata-kata, "Labbaika Allahumma Labbaik,"
melalui gigi-giginya yang gemetar, Zarri Bano melangkah sekali lagi
ke dalam lingkaran manusia yang mengelilingi bangunan Ka'bah.
"Bagaimana mungkin ayahku dan adikku kini telah kembali pada
Allah?" tanyanya seraya menyeka air mata dari pipinya.
Ketika semuanya telah usai, dia naik tangga ke lorong atas dengan
hati berat untuk mencari ibunya. Apakah itu semua hanyalah mimpi
buruk? Kembali dia bertanya pada diri sendiri, merasa linglung. Jika
itu memang hanya sebuah mimpi belaka, kapankah dia akan terjaga?
***
Pramugari mengambil baki makanan yang tak disentuh dari ketiga
penumpang itu. Zarri Bano memandang ke luar dari jendela dan
menyaksikan awan putih di bawahnya. Shahzada duduk di dekatnya,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

diam seribu bahasa dalam kesedihan. Sikander berusaha


menenangkan ibu dan anak itu dan menangani segala hal dalam dua
hari terakhir itu. Sikander telah menelepon keluarganya sendiri dan
Siraj Din di desa-dan menyampaikan kabar itu pada mereka semua.
Merasa kelelahan, Shahzada akhirnya tertidur. Zarri Bano yang
duduk di samping Sikander memandangnya dengan tatapan penuh
tangis. "Maafkan aku, Adik Sikander. Andai saja kita tak pernah
melakukan ibadah haji."
"Tidak, Kakak sayang, semua itu takdir yang harus terjadi. Tidurlah
kini. Kau sudah dua malam tidak tidur. Sini, biar kuseka wajahmu,"
tawarnya dan seraya mengambil saputangan ia menyeka air mata
Zarri Bano dengan lembut, nyaris seperti seorang ayah menyentuh
wajah seorang bocah.
Zarri Bano membiarkannya.
Lalu, sembari memejamkan mata, Zarri Bano membenamkan diri di
kursinya, tak mampu menerima bahwa dia tak akan pernah lagi
melihat ayah dan adiknya tercinta. Sikander menyeka matanya
sendiri dengan saputangan, menangis dalam hati, "Apa yang akan
kukatakan pada Haris?"
Ia menyaksikan Zarri Bano jatuh tertidur. Beberapa saat kemudian,
kepala Zarri Bano terjatuh di bahunya. Dengan lembut, Sikander
memindahkannya kembali ke tempat duduknya. Sejumput rambut
Zarri Bano tersingkap dari burqa-nya dan Sikander
mengembalikannya ke tempatnya semula. "Terima kasih," gumam
Zarri Bano dalam tidurnya. Tragedi itu dengan sebuah cara yang
aneh telah menarik mereka ke dalam sebuah ikatan yang lebih dekat.
Zarri Bano memercayai Sikander sepenuhnya.
Sikander pindah ke sebuah kursi kosong di barisan yang lain. Tangis
kesedihan bagi putranya yang kini telah menjadi anak piatu kembali
membutakan matanya. "Oh, Ruby! Istriku sayang!" tangisnya seraya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tak akan pernah lagi melihat


wajahnya yang penuh senyum! Itu terlalu berat baginya.

45.

SIRAJ DIN menerima kabar kematian orang-orang yang


disayanginya dengan diam membatu, tak menunjukkan letupan emosi
pada wajahnya yang tua digerus usia. Namun, di dalam batinnya,
dunianya hancur lebur. Betapa tak adil, cucu perempuannya yang
muda dan putranya meninggal dunia-semuanya telah tiada
mendahului dirinya.
Ia segera mengirim pesan pada Fatima, menyuruhnya datang dan
mempersiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan para haji
dari Arab Saudi dan para tamu yang akan datang dari segala penjuru
Pakistan untuk berkabung dan menunjukkan penghormatan mereka.
Ia juga memanggil Naimat Bibi dan Kulsoom Bibi untuk tinggal
sepanjang waktu di rumahnya selama keseluruhan masa berkabung
empat puluh hari.
Bibir tipisnya memberi perintah tegas pada para pelayannya, tetapi
dalam hatinya ia adalah seorang lelaki yang kalah. Hanya pengalaman
bertahun-tahun tumbuh dan menempa diri dalam kesabaran yang
mencegahnya menampakkan kemewahan pamer emosi di hadapan
umum dan meratap keras-keras walaupun ia ingin sekali
melakukannya. Sebagai seorang teladan bagi para lelaki yang lebih
muda di desa itu, Siraj Din tak punya pilihan selain bergantung pada
beranda kukuh yang telah ia pelihara dan melakukan apa yang
diharapkan darinya.
Kabar itu menyebar bagai kobaran api di seluruh desa dan kota
tempat tinggal Habib. Dalam waktu sejam, rumah itu telah dipenuhi
orang yang datang untuk menyatakan bela-sungkawa mereka. Siraj
Din menerima mereka dengan anggukan singkat seraya tetap duduk

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

di atas permadani wol di beranda rumahnya. Ia telah meninggalkan


kemewahan palang-nya.
Ketika para lelaki duduk tenang di atas permadani tenunan rami di
beranda yang luas itu, para perempuan mengalunkan nyanyian
dukacita dan saling berkabung di dalam rumah. Chaudharani Kaniz
adalah salah seorang yang tiba paling awal. Dia kemudian menyambut
dan memimpin para tamu perempuan.
Terganggu oleh kegaduhan yang datang dari ruangan tempat para
perempuan berada, Siraj Din mengirim pesan melalui para
pelayannya bahwa ia tak ingin mendengar nyanyian apa pun di
rumahnya. "Mereka seharusnya membaca Al-Quran dan berdoa bagi
jiwa orang-orang yang kucinta. Nyanyian dan ratapan tak akan
membantu mereka, tetapi doa akan menolong mereka," ujarnya pada
Fatima dengan marah.
Siraj Din berhasil tidak menitikkan setetes pun air mata sepanjang
hari itu. Itu terjadi hingga pada malamnya orangtua Sikander
datang bersama Haris ke desa itu. Ketika ia melihat Haris melompat
ringan melalui gerbang tinggi, mendorong pintu itu terbuka lebar
dengan kekuatan anak-anak seperti yang selalu dilakukannya dengan
kedua tangan mungilnya dan kemudian menatap penuh minat pada
orang-orang yang berkumpul di beranda, pikirannya tak mampu
menebak apa yang sedang terjadi, pada saat itulah Siraj Din
kehilangan kendali.
Air mata membanjiri kedua pipi tuanya yang digerus cuaca ketika ia
memeluk Raja Din.
"Kau telah kehilangan seorang menantu perempuan, kawanku. Aku
kehilangan seorang putra dan seorang cucu, ibu dari buyutku, Haris
kita yang tak ternilai," tangis Siraj Din nyaring. "Sambutan macam
apa yang akan kita berikan pada mereka ketika mereka kembali dari
naik haji? Katakan padaku, kawanku!" Seraya menyeka wajahnya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dengan sehelai kain, ia membawa mereka menuju kumpulan para


lelaki yang tengah duduk di atas permadani di beranda.
Bilkis yang tengah menangis dibawa oleh Fatima ke ruang tamu luas
di mana Chaudharani Kaniz memberinya tempat di sampingnya di
atas permadani di lantai. Kaniz mencoba membaca satu juz Al-Quran
dengan sebaik mungkin, tetapi matanya berkedip-kedip setiap kali
Fatima memasuki ruangan. "Dia berada di tempat yang tepat
sekarang, melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar dalam lingkungan
rumah tangga di sini," dengus Kaniz liar pada dirinya sendiri ketika
melihat Fatima membawa seguci air untuk melayani Bilkis yang nyaris
jatuh pingsan ketika menangis. Perempuan itu-yang katanya kepala
pelayan bertampang angkuh-masuk sejenak untuk menyatakan
belasungkawa pada menantu perempuan Siraj Din yang lain dan
kemudian pergi. "Memangnya dia pikir siapa dia?" dengus Kaniz,
teringat kemunculan Firdaus sebelumnya pada hari itu.
Dengan penuh kejengkelan, Kaniz menatap lagi halaman Al-Quran.
Kata-kata mulai berenang di depannya. "Aku harus berkonsentrasi,"
ujarnya pada diri sendiri dengan gusar. Ini adalah kali ketiga ia lupa
pada bacaannya gara-gara perempuan itu dan anak perempuannya.
***
Beberapa saat kemudian, pada malam itu, Zarri Bano, Shahzada, dan
Sikander dijemput dari bandara Karachi oleh Khawar. Seluruh desa
kini berkabung dan menunggu kedatangan mereka dengan segala
ritual yang berkaitan. Tiada api atau kompor gas yang dinyalakan
pada hari itu sebagai pernyataan berdukacita. Tandoor desa Naimat
Bibi tetap dingin dan terlupakan ketika dia mengawasi makanan
untuk para tamu.
Begitu mereka keluar dari mobil di Chiragpur, Shahzada dan Zarri
Bano secara ritual dipeluk dan menangis di atas bahu antrean para
perempuan yang telah menunggu untuk memberikan penghormatan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Di luar gerbang hawali berdiri sosok Siraj Din yang kesepian dan
kehilangan.
"Kami menyambut kalian tidak dengan rangkaian bunga untuk
dikalungkan di leher kalian, menyambut pelukan kalian yang kembali
dari ibadah haji, melainkan dengan belasungkawa bagi orang-orang
yang kita cintai, anak-anakku," tangis Siraj Din di bahu Shahzada.
Shahzada direngkuh oleh Bilkis yang menangis.
Diikuti dari dekat oleh rombongan orang yang berkabung, mereka
semua beranjak masuk. Ketika Haris menatap ayahnya dan kemudian
mencari-cari ibunya serta bertanya, "Mana Mama?" meledaklah isak
tangis dan nyanyian perkabungan, seakan-akan tak pernah terdengar
sebelumnya di seluruh desa. Bahkan, sepasang mata Kaniz yang
kering pun membasah. Zarri Bano dengan lembut menggandeng
kemenakannya, menggendongnya, dan terisak getir di kepala Haris.
Bocah itu menatap Zarri Bano, tak mampu mengerti apa yang sedang
terjadi di sekelilingnya.
Ketika Zarri Bano melihat Sikander menatap mereka, hati Zarri
Bano merasa bersimpati padanya. Seraya menghampirinya, dia
memberikan Haris pada ayahnya dan kemudian menangis dalam
pelukan sepupunya, Gulshan.
Dalam rumah keluarga Siraj Din, kerumunan kaum perempuan yang
berkabung berkumpul, menunggu penuh harap kedatangan
Chaudharani Shahzada. Ditemani oleh Fatima, Shahzada berdiri tak
tentu arah di beranda rumah.
"Masuklah, Sahiba Jee, mereka menunggu Anda untuk menyatakan
belasungkawa. Anda harus menemui mereka," ujar Fatima lembut,
merasa kasihan padanya, mengetahui dengan baik bahwa majikannya
tak nyaman mendengar suara nyanyian dan ratapan itu.
Shahzada mengangguk dan masuk ke ruangan luas yang seluruh
perabotannya dikosongkan itu. Seakan-akan kakinya terbelenggu
beban berat, dia berjalan terhuyung-huyung di beranda. Dengan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

serasa bermimpi, matanya menyapu kepala-kepala perempuan


berkerudung putih yang sedang duduk melingkari ruangan di atas
lantai.
Berpakaian sebagian besar berwarna putih, beberapa orang
membaca ayat-ayat Al-Quran. Yang lainnya melafalkan zikir dalam
bahasa Arab dengan menggunakan tasbih dari biji kurma, lalu
mengumpulkannya dalam panci-panci besar.
Ketika mereka melihat Shahzada, sebagian besar bangkit untuk
menyatakan rasa belasungkawa mereka dan menghormatinya sebagai
janda Habib Khan dan menantu perempuan Siraj Din yang paling
dihormati. Sebagai tanda hormat, mereka memberi Chaudharani
Kaniz kehormatan untuk menjadi yang pertama bangkit dan memeluk
Shahzada.
Merasa lelah setelah melalui perjalanan panjang dengan pesawat
terbang, Shahzada berdiri dengan kaku dalam pelukan mereka,
menerima pelukan, rangkulan, ratapan, dan tangisan yang membasahi
kerudungnya. Akhirnya, ketika perempuan terakhir menjauh darinya,
Shahzada bergerak maju ke tengah ruangan. Para perempuan desa
menatapnya penuh harap, bertanya-tanya dalam hati apakah yang
akan dilakukan oleh Shahzada.
Dengan sebuah ratapan menerawang di matanya yang memerah,
Shahzada tiba-tiba saja melantunkan sendiri nyanyian
perkabungannya, tanpa merasa perlu memikirkannya. Itu meledak
begitu saja dari hati dan bibirnya yang bergetar.
"Katakan padaku, saudari-saudariku yang sedang berkabung,
kejahatan apa yang telah kulakukan? Apakah aku seorang pendosa
sehingga Allah menghukumku seperti ini? Aku telah kehilangan
semua keluargaku. Putraku tercinta Jafar, manisku sayang Ruby, dan
suamiku terhormat. Semuanya telah tiada! Seharusnya aku
melakukan kejahatan berat hingga di-hukum seperti ini-sehingga
cucuku tersayang, Haris, menjadi piatu. Katakan padaku, saudari-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

saudariku yang sedang berkabung, apakah dosaku?" Tatapan liar


Shahzada terpaku pada sahabatnya. "Aku tahu mengapa aku
dihukum, Fatima. Karena aku istri yang jahat. Aku tidak memaafkan
suamiku!"
"Diamlah! Sahiba Jee, duduklah." Merasa khawatir bahwa Shahzada
akan mempermalukan dirinya lebih jauh, Fatima dengan lembut
mendorongnya agar duduk di atas tumpukan bantal, di samping
Chaudharani Kaniz. Fatima bisa melihat kilatan rasa ingin tahu yang
muncul di mata Kaniz dan Kulsoom ketika Shahzada menyebut
dirinya sebagai "istri yang jahat".
"Kau adalah seorang ibu dan istri yang luar biasa, Chaudharani
Shahzada," sapa Kaniz dengan ramah seraya memberi sesama teman
chaudharani dan sekaligus saingannya itu pelukan untuk
menenangkan hatinya sehingga mengejutkan semua perempuan yang
ada di ruangan itu.
"Ya, aku tahu. Aku telah hidup bersama Anda hampir dua puluh
tahun, Chaudharani Jee." Fatima ikut memuji Shahzada seraya
duduk dengan sikap melindungi di samping lain majikannya.
Shahzada menatap pelayannya itu dengan tatapan bingung.
"Fatima, kekuatan jahat memasuki rumahku pada hari Sikander dan
ayahnya datang ke sini lima tahun lalu. Tiada yang sama sejak saat
itu. Aku menjadi terasing dari suamiku sejak hari itu. Putraku mati
bulan itu juga. Apa yang terjadi, Fatima? Kukatakan padamu, aku
menderita karena mata jahat orang lain. Aku begitu bangga dengan
keluargaku dan suamiku. Kini tak memiliki siapa pun kecuali seorang
anak perempuan dan dia telah hilang bagiku." Shahzada secara
otomatis meraih bahu Fatima dan terisak di bahu itu dengan merasa
amat terpukul, "Aku bahkan tak mau memaafkannya dan Habib Sahib
menyentuh kakiku."
"Diam, diamlah, Sahiba Jee," bisik Fatima cemas, tahu dengan baik
bahwa majikannya sudah tak memedulikan apa kata orang atau

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menjaga citra dirinya. Tetapi sudah terlambat. Fatima mengangkat


bahu dengan sinis saat melihat Kulsoom bangkit. Pada saat mak
comblang itu tidur pada malam itu, hampir seluruh rumah di desa ini
akan tahu sebuah fakta bahwa Habib Khan yang angkuh telah
menyentuh kaki istrinya! Kini adalah peristiwa yang luar biasa,
bahkan bagi telinganya sekalipun, dan dia adalah bagian dari rumah
tangga ini.
"Allah tak akan memaafkanku," Shahzada meneruskan igauannya
yang terputus di bahu Fatima. Fatima melihat pada raut wajah Kaniz
dan tahu bahwa perempuan itu membenci Shahzada karena berpaling
pada Fatima untuk mencurahkan isi hatinya, bukan pada dirinya. Di
atas segalanya, Shahzada dengan tak terduga bahkan memilih
Fatima secara fisik.
"Aku bahkan tak mengatakan padanya bahwa aku mencintainya!"
Shahzada meratap, tak menyadari ketegangan yang terus meningkat
di antara kedua perempuan yang duduk di kedua sampingnya itu.
***
Seraya menyelonjorkan kakinya yang kaku di beranda, Kulsoom
memutuskan untuk melihat bagaimana temannya, Naimat Bibi,
mempersiapkan pesta perkabungan untuk para tamu. Ketika dia
mencapai lorong yang menuju sebuah dapur luas, terlintas dalam
benak Kulsoom bahwa setidaknya Naimat Bibi bekerja di tempat
yang menyenangkan, dikelilingi dapur yang peralatannya lengkap,
termasuk diberkahi dengan sebuah pendingin udara. Berapa banyak
dapur di desa itu, selain dapur Chaudharani Kaniz, yang bisa
membanggakan salah satu peralatan mewah itu?
Kulsoom melongokkan kepalanya dari depan pintu dan dengan diam-
diam mengawasi temannya dengan tergesa-gesa menyiapkan suguhan.
Berdiri dekat kompor besar dan sebuah belanga berat yang penuh
berisi daging, Naimat Bibi tak menyadari kehadiran Kulsoom.
Wajahnya merah padam dan butiran keringat menetesi wajahnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Ketika meraih handuk untuk menyeka keringatnya, Naimat Bibi


melihat temannya itu di depan pintu.
"Kapankah kau menyelinap masuk, Kulsoom?" sergahnya. "Kau selalu
saja memata-mataiku."
"Ya, Naimat Bibi, terlepas dari keringatmu yang berleleran, kau tak
bisa berdalih bahwa pekerjaan ini tak bisa menafkahimu, terutama
karena Baba Siraj Din sangat dermawan. Aku yakin ia membayarmu
sangat banyak."
Mendengar jejak kecemburuan dalam nada suara temannya, Naimat
Bibi menukas tajam, "Sebaiknya kau mencoba memasak lima belas
kilo daging domba, Kulsoom Jee! Lengan kurusmu akan patah jadi dua
saat baru memasak lima kilo daging, apalagi lima belas kilo! Aku
mendapatkan setiap sen yang kuterima dengan keringatku sendiri,
seperti yang kau lihat. Koki lainnya yang disewa adalah seseorang
yang sungguh pemalas. Dia hanya memasak nasi dan menyiapkan
adonan, lalu menyerahkan padaku semua daging untuk kumasak dan
juga lebih dari seratus chapatti untuk kupanggang. Kau bisa
bayangkan kelakuannya?"
"Dia mungkin mengira bahwa karena kau sudah biasa mencari nafkah
dengan memasak chapatti, maka itu akan menjadi sesuatu yang
sangat remeh bagimu!" gurau Kulsoom.
"Sesuatu yang remeh! Ubanku! Aku telah bekerja tanpa henti sejak
pagi buta. Para tamu terus saja berdatangan dari seluruh penjuru
Pakistan dan mereka harus diberi makan tepat pada waktunya.
Sarapan baru saja usai ketika tiba waktunya untuk makan siang dan
begitu piring-piring dibereskan, sudah tiba waktunya untuk makan
malam. Dan kau tahu hal lain?"
"Apa, Naimat Bibi?" tanya Kulsoom dengan kedua pipi menggembung
karena menahan tawa.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Apakah kau memerhatikan bahwa beberapa penduduk desa sengaja


datang mengucapkan belasungkawa tepat pada saat makanan
dihidangkan?" Perempuan itu tertawa-tawa tak terkendali.
"Ya, kalau kau akan menghitung setiap butir nasi di piring setiap
orang, lebih baik aku pulang dan makan di rumahku sendiri," sahut
Kulsoom marah.
"Jangan konyol, aku tidak menyindirmu. Baba Siraj Din menyuruh
kami menyiapkan makanan yang cukup untuk dimakan seluruh desa.
Tujuh ekor domba telah disembelih. Ia berharap semua orang makan
di sini."
"Kau seharusnya amat senang dengan pekerjaan ini. Kenyataannya
aku mulai bertanya-tanya apakah selama ini aku telah mengerjakan
pekerjaan yang salah. Sebulan memasak di sini sama halnya dengan
membuat chapatti seperti biasa, akan amat membantuku. Aku tak
mendapat uang sebanyak itu dalam pekerjaan menjadi mak
comblang," ungkap Kulsoom Bibi dengan penuh sesal.
"Ayolah, Kulsoom, aku tak sesederhana itu, tak peduli apa yang kau
pikirkan. Aku tahu persis saat berkabung ini adalah kesempatan yang
dikirim Tuhan bagimu untuk mendapat pelanggan baru bagi jaringan
mak comblangmu," sergah temannya. "Seperti yang kami tahu,
banyak perkawinan dirancang dalam saat-saat semacam ini karena
berkumpulnya banyak orang merupakan kesempatan emas bagi
mereka untuk merekat hubungan dan merangkai jalinan perkenalan
di antara mereka. Dan dalam hal inilah, peranmu dibutuhkan."
Naimat Bibi amat sadar bahwa pada saat perkabungan Jafar,
Kulsoom berhasil menjodohkan tiga pasangan, sekaligus
menghasilkan imbalan yang banyak baginya.
"Waktu itu mungkin demikian, tetapi saat ini segalanya amat
berbeda. Itu pasti kecurigaanmu belaka," tukas Kulsoom pada
temannya. "Semua perempuan yang kutemui kali ini tak memiliki
putra yang belum menikah atau mereka masih terlalu muda sehingga

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

belum membutuhkan pelayananku. Ada lebih dari tiga puluh


perempuan pada saat ini dan aku telah bersama mereka selama dua
hari, tetapi tak ada hasilnya. Tidak ada yang membutuhkan
perjodohan." Wajah Kulsoom menjadi cemberut dan dia pun
menghela napas dalam-dalam.
"Maafkan aku," ujar Naimat Bibi tidak tulus, seraya membuang muka
ke arah lain untuk menyembunyikan seringai di wajahnya.
"Lebih baik aku kembali berkumpul dengan mereka. Apakah kau tahu
bahwa Habib Khan menyentuh kaki istrinya sebelum naik haji?
Itulah yang kusebut sebagai penyerahan terhadap istri." Sepasang
mata Kulsoom berkilat-kilat oleh duga prasangka dan kedengkian.
"Menyedihkan sekali karena kita berdua tak memiliki suami yang
bisa menyentuh kaki kita," gurau Naimat Bibi.
Kedua sahabat itu tertawa. Sebelum pergi, Kulsoom mencicipi dua
mangkuk penuh daging dari dua belanga. Sebagai gantinya, dia
membantu temannya itu dengan membulatkan tujuh puluh bola-bola
mungil adonan yang siap dibuat chapatti.
***
Zarri Bano meninggalkan ruangan yang dipenuhi para perempuan itu,
ingin menghindar dari mereka, tak tahan lebih lama berurusan
dengan perubahan suasana hati dramatis mereka. Dari sebuah
paduan suara nyanyian dukacita dan ratapan berirama, sesaat
kemudian mereka dengan gembira saling bergunjing, seperti
siapakah yang baru saja menikah-berapa thola emas yang diwarisi
mempelai perempuan, dan siapa yang baru mati.
Zarri Bano beranjak ke beranda dan melihat berkeliling. Dia melihat
Sikander di sudut pekarangan yang jauh. Sikander berdiri sendirian
bersama putranya dalam pelukannya di bawah pohon anggur.
Kerongkongan Zarri Bano serasa tercekat. Sepasang matanya
dipenuhi air mata, merasa sedih atas kepergian adiknya. Dengan
pandangan mata kian mengabur, dia melintasi pekarangan dan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bergabung dengan Sikander di bawah pohon. Mereka berdiri


berdampingan saling berdiam diri. Pipi Sikander berada di atas pipi
putranya yang sedang tidur, Sepasang matanya memandang air mata
yang berkilau di pipi Zarri Bano.
"Aku ikut bersedih, Adik Sikander." Kata-kata itu mengalir dari
kelumpuhan yang menyakitkan di tenggorokannya. "Maafkan aku.
Seharusnya aku tak mengajak kalian berdua naik haji bersama. Itu
usulku. Jika saja Ruby tidak pergi, kemenakanku tak akan kehilangan
ibunya."
"Jangan begitu, Zarri Bano. Jangan salahkan dirimu atau orang lain.
Itu adalah takdir yang harus terjadi."
"Jika saja kau ada di sampingnya saat itu, aku yakin kau akan bisa
menyelamatkannya." Zarri Bano tak bisa menutupi rasa sesalnya, tak
mampu mengendalikan banjir air mata ketika dia menyaksikan
Sikander mempererat pelukannya di sekeliling tubuh putranya.
"Jangan hukum dirimu sendiri atau aku-tolonglah, Zarri Bano," ia
memohon sepenuh hati. Lalu tangannya tanpa terkendali menggapai
ke arah wajah Zarri Bano, dengan lembut menyeka air mata dari
pipinya. Ia tak tahan melihat
Zarri Bano menangis. "Tolong jangan menangis. Setidak-tidaknya
kita masih hidup," bisiknya dengan sedih. Lalu Sikander
meninggalkannya berdiri sendirian saat ia berjalan menembus malam
dengan memeluk anaknya. Sikander berjalan-jalan sendirian di
perladangan desa, menatap langit, berkabung atas kematian istrinya
tercinta.
Di sudut lain pekarangan, dalam bayang-bayang beranda, Siraj Din
bersandar pada sebuah bantal panjang di atas kasur lipatnya. Ia
menyaksikan cucunya berdiri dan bercakap-cakap dengan Sikander
di bawah pohon dan melihat tangan lelaki itu menjulur ke wajah
Zarri Bano. Sepasang mata hijaunya berkilat dingin dalam kelam
malam.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

***
Beberapa saat kemudian di malam itu, ketika para tamu mereka
telah tertidur mendengkur di tempat tidur mereka masing-masing,
Shahzada memberi salam hormat pada ayah mertuanya sebelum
berangkat tidur. Siraj Din menyuruhnya duduk dan bercakap-cakap
dengannya sejenak.
"Shahzada, aku mendengar ratapanmu tadi bersama para perempuan
itu. Aku tidak senang. Mengapa kau menyalahkan dirimu sendiri,
Sayangku, dan mengatakan segala hal pribadi tentang dirimu dan
Habib di depan sekelompok tukang gosip kampung?"
"Aku bersungguh-sungguh dengan setiap kata-kataku tadi, Aba Jan.
Itu semua benar adanya," sahutnya tanpa merasa menyesal.
"Tidak, Shahzada sayang, itu tidak benar. Kau terlalu keras pada
dirimu sendiri. Kau adalah istri yang baik-selalu begitu. Habib
melakukan kesalahan padamu-mengancam akan menjatuhkan talak
padamu. Ia bersalah. Kau tidak berdosa."
"Aba Jan, kau sangat baik hati, tetapi aku bukanlah istri yang baik.
Aku amat malu mengatakan bahwa aku tidak pernah memaafkannya.
Ia bahkan menyentuh kakiku." Shahzada mulai terisak perlahan.
"Aku akan menanggung beban rasa bersalahku dalam batin ini hingga
akhir hayatku."
"Oh, Shahzada, anakku-kau bicara tentang beban rasa bersalah,
tetapi kau tak tahu arti kata itu! Jika kau melihat melalui jendela
buram jiwamu ke dalam hatiku, kau akan segera tahu bahwa ada
beberapa tingkatan perbuatan dosa dan jiwaku adalah yang paling
berdosa. Dengan cara kita sendiri, kita semua adalah para pendosa,
Shahzada. Kita membawa kesalahan atau rahasia kegelapan dalam
batin kita. Habibmu mengancammu dengan sebuah perceraian dan
kau terguncang, tak mampu memaafkannya. Bayangkan bagaimana
dengan seorang perempuan tak bersalah yang diceraikan dari suami
tercintanya yang tak ingin menceraikannya."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku tak mengerti," Shahzada merasa bingung.


Sebuah tawa getir terlontar dari mulut Siraj Din. "Aku memaksa
seorang perempuan diceraikan langsung dengan talak tiga oleh
seorang suami yang tak ingin menceraikannya. Aku melakukannya!
Katakan padaku kini, Shahzada- siapa yang menanggung beban paling
berat dalam hidup? Kau kira Allah akan mengampuniku atas semua
ini? Aku tidur dalam ketakutan mengalami mimpi-mimpi buruk, takut
pada tatapan angker di mata perempuan malang itu. Aku terkadang
berpikir bahwa keluargaku dikutuk karena helaan napas dan air
matanya!"
"Siapakah perempuan itu?"
"Seorang perempuan cantik berambut hitam panjang. Suatu hari aku
akan menceritakan padamu tentang dirinya. Yang kutahu adalah aku
harus menemuinya lagi dan memohon ampun padanya. Aku tak bisa
mati tanpa melakukannya. Kau harus menemukannya untukku. Sudah
dua puluh tahun aku tidak bertemu dengannya." Suara Siraj Din
mereda, lenyap dalam lamunan. Tepat ketika Shahzada akan bangkit
meninggalkannya, Siraj Din menghentikannya dengan kata-kata
berikut.
"Aku melihat Sikander menyentuh wajah cucu perempuanku,
Shahzada."
Kata-kata itu menggantung canggung di antara mereka dalam kelam
malam. Siraj Din dengan alis berkerut menoleh pada menantunya-
menunggu dan mengharapkan penjelasan.
Shahzada duduk dengan berat di ujung charpoy Siraj Din. Dengan
tatapan serius di matanya, dia menjelaskan, "Sikander mungkin
menyeka air mata Zarri Bano seperti yang kerap dilakukannya dalam
tiga hari terakhir. Sikander adalah seorang yang lembut dan penuh
perhatian." Lalu, ketika dilihatnya tatapan curiga berkilat di mata
Siraj Din, dia menambahkan, "Sikander amat perhatian pada
putriku." Tiada yang tersisa dalam kehidupannya selain kejujuran.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Siraj Din terdiam lama sekali. Akhirnya ia bertanya, "Dan Zarri


Bano?"
Sebuah tawa menahan luka terlontar dari mulut Shahzada. Dia
menatap gelap malam, pada bayang-bayang pepohonan di halaman.
"Putriku sekarang terlalu takut untuk menyayangi orang lain,
terlampau luka batinnya. Semua yang dia sayangi dan orang-orang
yang dia cintai telah hilang darinya. Kini dia kehilangan dirinya
sendiri-menuju sebuah kehidupan yang penuh perenungan religius."
Dengan letih, Shahzada bangkit dan beranjak tidur. Hari itu terasa
begitu panjang.

46.

DARI JENDELA kamar tidurnya di lantai atas hawali, tatapan sedih


Kaniz mengikuti kuda putih putranya ketika kuda itu berlari ligas
keluar desa. Dia melihat Khawar berhenti dan berbicara pada salah
seorang petani dekat sumber air. Lalu, Khawar mengambil jalan
menuju kompleks pembuatan batu bata dengan dua tungku
pembakarannya yang memuntahkan asap.
Ketika putranya lenyap dari pandangannya, tatapan nanar Kaniz
jatuh pada batang-batang tebu yang telah dipotong yang
mengelilingi desa itu. Terpotong hingga rata dengan tanah, tebu itu
diikat menjadi gerombol-gerombol besar sebelum diangkut dengan
truk ke kota terdekat dan dijual ke pabrik-pabrik gula.
Kaniz perlahan-lahan menjadi lesu, terkurung di balik dinding rasa
terhina, "Setahun telah berlalu dan Khawar belum juga mengucapkan
sepatah kata pun padaku!" Suaranya yang memilukan bergema di
ruangan itu saat dia mengalihkan pandangannya dari jendela. Khawar
kerap menghindari ibunya. Kerinduan Kaniz pada senyum hangat dan
sepatah kata manis anaknya makin dalam seiring dengan berlalunya
hari.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kaniz mencoba sebaik mungkin untuk mengabaikan keadaan itu,


tetapi keasingan perlahan-lahan melahapnya, membuatnya kehilangan
ketertarikan pada segala hal, termasuk gairahnya untuk
mengendalikan hawali dan pemasukan bisnis bagi tanahnya.
Cengkeraman Kaniz pada kehidupan normal dengan cepat menjadi
lenyap. Dia tak peduli pada film-film, pakaian, atau gosip. Dia juga
tak merasa terganggu untuk mencari rishta yang cocok bagi
putranya. Dia bahkan telah berhenti mengomeli Neesa. Pendeknya,
tiada hal yang penting lagi baginya!
Neesalah yang memerhatikan perubahan bertahap majikannya.
Merasa bahagia dengan nasibnya karena kini Chaudharani Sahiba tak
lagi sering mengomelinya, Neesa bagai-manapun peduli pada kebaikan
Kaniz dan merasa risau akan majikannya. Dengan berani dia
memutuskan untuk mengatakan perasaan cemasnya kepada Khawar
pada suatu malam saat meladeninya makan.
"Khawar Sahib, saya cemas mengenai ibunda Anda. Dia tidak seperti
dulu lagi. Anda harus menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya.
Hanya Andalah putra satu-satunya," dia memohon dengan penuh
hormat.
"Neesa, ini adalah urusan antara ibuku dan aku. Tolong jangan
membicarakannya denganku!" Khawar memperingatkannya seraya
berdiri meninggalkan meja makan walaupun ia belum selesai makan.
Pembicaraan mengenai ibunya adalah hal yang menjengkelkannya. Ia
sendiri heran seiring dengan berjalannya waktu hatinya terasa makin
keras terhadap Kaniz, alih-alih menjadi lebih lembut.
Bibinya, Sabra, telah berusaha keras berkali-kali saat beberapa kali
kunjungannya untuk melunakkan perilaku kemenakannya itu terhadap
ibunya. Seperti Neesa, dia tahu dengan hati cemas bahwa tiada
kata-kata bujukan atau nasihat yang akan membuat siasatnya
berhasil. Pendeknya, batin Khawar tak mampu memaafkan ibunya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Oh, Sabra, Khawar dan aku seperti orang asing saja," Kaniz dengan
bersimbah air mata mengadu padanya. "Aku ingin memeluk putraku,
tetapi aku bahkan tak mampu memandang matanya. Yang bisa kulihat
dalam matanya hanyalah kebencian. Apakah salahku sehingga Khawar
memperlakukanku begitu buruk? Sudah dua tahun berlalu sejak kami
bercakap-cakap secara layak, percayakah kau?" Nada suara Kaniz
yang memohon menyayat hati adiknya.
"Tidak apa-apa," Sabra menenangkan Kaniz dengan memeluk
kakaknya itu erat-erat.
"Tukang sihir itu, si Fatima, memang benar. Aku telah kehilangan
anakku. Mereka telah merebutnya dariku- walaupun tidak secara
ragawi. Fatima mengambil semuanya dariku. Suamiku-ia adalah
miliknya. Dan kini anak perempuannya memalingkan putraku dariku."
"Tidak, Kakak sayang, tidak begitu. Putramu masih milikmu. Firdaus
telah pergi. Dialah yang tak menginginkan anakmu."
"Kukatakan padamu, Sabra, aku akan mati karena keterasingan ini."
Dengan bibir bawah bergetar karena kesedihannya, Kaniz mencoba
membuat adiknya memahami keadaan. "Aku hanya punya satu anak.
Aku hidup hanya untuk Khawar. Aku tetap menjanda demi Khawar.
Seperti yang kau tahu, aku menolak Younus Raees, si tuan tanah,
ketika umurku baru dua puluh tujuh tahun. Kau memiliki anak-anak
yang lain. Jika yang satu tak bertegur sapa denganmu, kau bisa
dengan mudah berpaling pada yang lain. Kepada siapakah aku akan
meminta pertolongan selain kepadamu, Sabra? Tak ada!"
Sabra berdebat dengan dirinya sendiri mengenai apa yang bisa dia
lakukan untuk menolong kakaknya. Saatnya berkata jujur. Seraya
menarik Kaniz bersandar ke bahunya lagi, dia berbisik penuh kasih,
"Sebagai seorang ibu, putuskan dengan hatimu apa yang bisa kau
lakukan untuk anakmu."
Merasa kakaknya menjadi lebih tenang dalam pelukannya, Sabra
melanjutkan perkataannya dengan nada suara yang sama, berharap

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kakaknya memahami maksudnya. "Terkadang dalam kehidupan kita


harus meneguk bercangkir-cangkir racun demi kebahagiaan anak-
anak kita. Itulah salah satu tarian jahat kehidupan. Kita mungkin
harus mengingkari dan mengorbankan kebahagiaan kita sendiri demi
kebahagiaan mereka."
Memahami makna perkataan adiknya dengan jelas, hati Kaniz luruh
dalam kekecewaan dan membatu. Dia menepiskan lengan adiknya dan
duduk terhenyak di atas charpoy di beranda. Sabra berdiri dan
menyaksikan reaksi kakaknya dengan kecewa. Lengannya masih
terbuka. Ia berkata sedih pada dirinya sendiri, "Bagaimanapun, aku
harus mengatakannya."
Selama sisa hari itu, Kaniz menolak berbicara dengan Sabra.
Wajahnya berkabut, seakan-akan hendak menyatakan pada semua
orang bahwa "Chaudharani Kaniz sedang tidak enak hati".
Pada malam harinya, Kaniz berguling-guling ribut di atas ranjangnya.
Tidurnya terganggu oleh sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, dia berdiri
di halaman hawali. Khawar berdiri di sisi yang berlawanan. Wajahnya
menunjukkan raut keras. Di tengah halaman terdapat Firdaus
dengan seulas senyum memesona di bibirnya. Lengannya menggapai
Khawar.... Merasa terganggu, Kaniz menggigit bibirnya, terjaga dan
merasakan darah yang asin di lidahnya.
"Aku akan melakukan apa pun demi mendapatkan putraku kembali-
apa pun! Bahkan dengan minum racun sekalipun, seperti yang
disarankan Sabra. Aku bahkan akan mengizinkan perempuan
mengerikan itu masuk ke rumahku!" dia berkata pada dinding-dinding
gelap kamarnya. Cintanya pada anaknya membakarnya.
Seraya duduk di atas ranjang, dia menyeka butiran keringat dari
wajahnya dan darah dari bibirnya dengan chador Muslim-nya. Dia
meninggalkan kamarnya, beranjak ke balkon atap dan membiarkan
udara malam yang dingin menerpa tubuhnya. Merasa kalah, dia
menatap rumah Fatima yang terpaut dua jalan dari rumahnya, seraya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengingat kata-kata adiknya, "Tarian jahat kehidupan". Kehidupan


nyaris membuat Kaniz menampilkan salah satu tarian itu. Dengan
gelisah, dia berjalan telanjang kaki hilir mudik di balkon atap
rumahnya, hanyut dalam lamunan dan kini gemetar karena dingin
malam. Ketika memutuskan sesuatu, Kaniz tak pernah mundur.
***
Setelah melihat adiknya pergi, esok siangnya, Kaniz menyuruh
sopirnya mengeluarkan mobil. "Aku akan berbelanja di pasar kota,"
ujarnya dengan angkuh.
Begitu mereka meninggalkan jalan desa, Kaniz menyuruh sopir
mengantarnya ke sekolah khusus perempuan di kota itu. Setelah
tiba, Kaniz menyuruh sopirnya menunggu di luar gerbang sekolah.
Begitu menemukan pintu masuk, dia menghampiri penerima tamu dan
bertanya pada perempuan muda itu apakah dia bisa bertemu dengan
wakil kepala sekolah, Ibu Firdaus. Kaniz dipersilakan duduk di kursi
tamu yang nyaman beralas karpet, sementara wakil kepala sekolah
dihubungi melalui telepon.
Kaniz menunggu dengan jantung berdebar. Mendengar langkah-
langkah menapaki lorong, dia mengangkat wajahnya dengan penuh
harap.
Firdaus yang keheranan berdiri di depannya. Kaniz membalas
pandangannya dengan tenang. Firdaus berbalik dan hendak
meninggalkan ruangan itu ketika lengan Kaniz terulur dan
merengkuhnya.
"Tunggu dulu. Jangan pergi." Dia berdiri.
Isyarat permohonan dalam suara Kaniz mengejutkan Firdaus. Seraya
berbalik, dia menatap tangan yang mencekalnya. Dengan lembut
tetapi tegas, Firdaus melepaskan lengannya dari cekalan tamunya.
"Aku butuh bertemu denganmu. Tolong beri aku waktu beberapa
menit saja, Firdaus," Kaniz memohon. Suaranya parau.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Firdaus tak bisa memercayai kata-kata Kaniz atau fakta bahwa


Chaudharani yang angkuh itu ada di sini. Lalu dia membeku,
mengingat adegan di kantor sekolahnya. Karena perempuan inilah,
aku harus meninggalkan sekolahku dan desa itu, pikirnya dengan
marah. Mengapa dia tak mau membiarkanku tenang! Apakah dia
datang ke sini untuk menghinaku lagi?
"Aku tidak menyalahkanmu karena kau menghindariku," kata Kaniz
dengan penuh martabat, "tetapi aku telah datang dari jauh, Firdaus,
terimalah kedatanganku sebentar saja."
"Baiklah. Silakan Anda melalui jalan ini," ujar Firdaus pada Kaniz
sambil berjalan membelakanginya.
Dengan hati terasa makin ringan seiring setiap langkahnya, Kaniz
berjalan di belakang Firdaus sepanjang beranda berpilar menuju
kantornya. Segalanya akan baik-baik saja sekarang, pikirnya. Aku
akan segera mendapatkan kembali putraku. Seulas senyum berkilau
di wajahnya.
Berdiri di luar, Firdaus dengan sopan mempersilakan Kaniz masuk ke
ruangannya. Kaniz mengedarkan pandangan dengan penuh minat,
memerhatikan perabotan penuh selera yang menunjukkan tingginya
kedudukan pemilik ruangan ini. Anak tukang cuci ini memang seorang
wakil kepala sekolah!
Seraya duduk di kursi kulit, dengan canggung Kaniz menatap Firdaus
yang duduk di seberangnya di balik meja besar dari kayu walnut.
Firdaus balik memandang dingin di balik kacamata bacanya,
menunggu Kaniz mengatakan keperluannya dan bertanya-tanya
apakah dia telah melakukan hal yang benar dengan memberi
perempuan menjijikkan itu waktunya yang amat berharga.
Kaniz menarik ujung chador-nya dengan gugup. Saat perhitungan
telah tiba, tetapi dia tidak tahu bagaimana harus memulai, terutama
di depan perempuan ini-"perempuan murahan" ini. Wajah putranya
berkilat di depan matanya dan membuat Kaniz harus menelan pil

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

pahit itu dan melakukan sesuatu yang telah dia ikrarkan tidak akan
pernah dilakukannya dalam seribu tahun. Mulutnya terasa kering. Dia
menjilat bibirnya yang penuh.
"Firdaus, aku datang untuk melamarmu, untuk anakku." Kata-kata itu
terucap lirih dan terlontar di sekeliling mereka.
Keheningan yang mencekam setelahnya dikacaukan oleh tawa nyaring
Firdaus. Kaniz tak memercayai telinganya. Merasa tidak nyaman,
Kaniz menatap anak perempuan musuhnya itu.
"Apakah aku sedemikian terhormat sehingga Chaudharani kita yang
mulia berkenan datang untuk melamarku? Pasti ini bukan karena
keadaan fisikku, Sahiba Jee, karena Anda selalu mencerca warna
kulitku dan tinggi tubuhku. Juga pasti bukan karena ibuku dan
keluargaku karena Anda membenci kami semua-seperti yang selalu
Anda siarkan pada seluruh dunia. Dan kini Anda memiliki keberanian
untuk melamarku. Pergilah, Chaudharani Kaniz! Aku tak tahu
permainan apa yang sedang Anda mainkan, tetapi aku tak punya
waktu dan kesabaran untuk ikut serta. Lagi pula, aku tak mau
berurusan dengan Anda, anak Anda, atau rumah Anda-selamanya."
"Tidak, Firdaus! Jangan katakan itu." Kaniz mulai panik. "Jangan
tampik aku. Aku datang dengan niat baik. Aku ingin kau menjadi
menantuku, sungguh."
"Sungguh-tetapi mengapa? Karena anak Anda menginginkannya?"
Firdaus naik pitam. Tubuhnya condong ke depan di kursinya.
"Ya. Ya!" ucap Kaniz. Dia tidak tahan dengan reaksi Firdaus.
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik. Aku sungguh-sungguh tidak ingin
menikah dengan anak Anda, Chaudharani Kaniz. Ingatlah apa yang
kukatakan tiga tahun lalu. Aku tak akan menikahi anak Anda, bahkan
jika Anda berlutut memohon padaku."
Keputusasaan yang lahir dari rasa cinta pada putranya membuat
Kaniz mempersetankan harga dirinya dan dia melakukan apa yang
dikiranya tak akan pernah dilakukannya dalam mimpi buruk yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

paling liar sekalipun. Dengan getir, dia menunjukkan sebuah "tarian


jahat kehidupan". Dengan mengorbankan harga dirinya, Kaniz
berlutut di atas lantai kantor yang berkarpet itu dan menangkupkan
kedua tangannya memohon-mohon pada Firdaus.
Merasa amat terkejut, Firdaus jatuh terhenyak di kursinya.
"Aku memohon padamu dengan berlutut! Pulanglah, Firdaus, dan
menikahlah dengan putraku. Ia amat mencintaimu. Maafkanlah aku.
Kembalikan putraku padaku. Aku menyerah. Ia milikmu seutuhnya."
Firdaus makin melongo. Pemandangan Chaudharani yang sebelumnya
angkuh dan tinggi hati berlutut di depannya membuatnya malah
merasa muak.
"Sahiba, bangunlah! Aku tak suka melihat orang yang memohon-
mohon dengan berlutut, terutama orang-orang yang lebih tua
daripadaku. Aku hanya bergurau tadi. Apa yang Anda minta tidak
mungkin terjadi dan menyembahku tak akan mengubah apa pun.
Maafkan aku, tetapi aku sungguh-sungguh tak ingin melakukan apa
yang Anda katakan. Pergilah!"
Firdaus membuka pintu, ingin mengusir perempuan tua itu dari
ruangannya. Semuanya terlalu berlebihan baginya. Kaniz bangkit.
Terlongong dan merasa terhina, dia berjalan ke luar ruangan,
merayap sepanjang lorong, dan keluar dari gedung sekolah itu. Tanpa
berkata-kata, dia masuk ke mobilnya dan duduk di jok mobil dengan
tatapan hampa.
Dia tak mengucapkan sepatah kata pun dalam perjalanan pulang ke
desa. Dia juga tak membalas sapaan Kulsoom ketika bertemu
dengannya di jalan di luar rumahnya. Di dalam rumah, dia langsung
masuk ke kamarnya dan terus mengurung diri sepanjang hari. Neesa
mengetahui majikannya telah pulang secara tak sengaja ketika akan
membersihkan kamarnya.
Neesa kembali, membawakan baki makanan. Dengan sopan, Neesa
bertanya apa yang dibeli majikannya di pasar. Kaniz tak menjawab.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Ketika Neesa datang untuk mengambil baki, Kaniz masih duduk


dalam posisi yang sama, menatap nanar ke ruang hampa-makanannya
tak disentuh. Merasa cemas, Neesa menyuruh pelayan lelaki
memanggil Khawar, mencarinya apakah ia ada di ladang.
Ketika akhirnya Khawar pulang ke rumah, Neesa bergegas
menghampirinya. "Khawar Sahib, Anda harus memanggil dokter!
Ibunda Anda tidak sehat. Dia tak berbicara sepanjang malam."
"Jangan konyol, Neesa. Ibuku tidak harus berbicara terus-menerus
sepanjang waktu."
"Tidak! Tidak, Khawar Sahib, Anda tidak mengerti. Dia terus
menatap nanar. Tolonglah Anda tengok dulu." Khawar mengikuti
saran Neesa dan dengan enggan masuk ke kamar ibunya, tetapi Kaniz
sedang berada di kamar mandi. Khawar bergegas pergi dan kemudian
ia pun segera melupakan ibunya.

47.

TELAH TIBA bulan suci Ramadhan, bulan puasa. Masjid desa


mendentangkan suara bel di waktu senja, memberi tahu para
penduduk desa bahwa telah tiba saatnya berbuka puasa. Kaniz duduk
di balkon atap hawali-nya, di depannya terletak baki berisi makanan,
tetapi dia tak merasa perlu membatalkan puasanya. Dia malah
menatap nanar jauh ke batas cakrawala.
Neesa yang kembali beberapa menit kemudian dengan segelas besar
jus limau dingin, melihat majikannya sedang duduk diam membatu
dengan makanan belum disentuh, merasa cemas dan berpikir untuk
memperingatkan majikan mudanya, Khawar, bahwa ibunya kembali
bertingkah aneh. Begitu aneh kenyataannya, dia bahkan belum mulai
berbelanja untuk keperluan Idul Fitri-sebuah ritual yang biasanya
menelan waktu dua minggu baginya. Kini hari raya itu tinggal dua hari
lagi! Dia belum membuat persiapan, juga tidak memilih-milih hadiah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

untuk dibagikan setiap tahun kepada para perempuan muda di desa


itu-kecuali anak-anak perempuan Fatima tentunya.
Khawar kembali mengabaikan peringatan Neesa dengan tertawa
enteng, tetapi kemudian ketika ia akhirnya pergi ke balkon atap dan
melihat sendiri ibunya duduk menatap nanar dengan sebaki makanan
tak tersentuh di depannya, langkahnya terhenti dan kata-kata
Neesa terngiang kembali di telinganya. Setelah tidak bicara pada
ibunya secara pribadi selama lebih dari setahun, Khawar tidak
menyukai gagasan bahwa ia harus berbicara padanya saat ini. Ia
terdiam dengan canggung di depan ibunya, bertanya-tanya apakah
yang akan dikatakannya dan bagaimana mengatakannya. Ia masih
harus bertanya pada ibunya toko kelontong mana yang sebaiknya ia
belanjai untuk hari raya di kota. Bayangan tinggi di lantai yang
disinari matahari senja memberi tahu Kaniz bahwa putranya berdiri
di depannya, tetapi dia tak merasakan keinginan untuk mengangkat
wajahnya dan menatapnya.
"Ibu, makanannya dikerubuti lalat! Mengapa tidak makan? Bukankah
Ibu belum buka puasa?" akhirnya Khawar bertanya.
Dengan wajah tanpa ekspresi, Kaniz perlahan-lahan mengangkat
kepalanya. Dia tampak seakan-akan menatap tepat pada Khawar.
Lalu, dia mengalihkan pandangannya ke pilar pualam di ujung balkon
atap dan tirai jemuran di dinding balkon serta tetumbuhan rambat
yang hijau di pot keramik yang bergoyang-goyang dengan begitu
menarik di seputar pilar. Khawar bergerak-gerak tak sabar dan
kemudian beranjak pergi. Ibunya tampaknya sedang merajuk karena
suatu sebab. Itu saja.
Hari berikutnya, Khawar secara sambil lalu bertanya pada Neesa
apakah ibunya sudah memakan makan malamnya pada malam
sebelumnya.
"Tak sedikit pun!" Cetus pelayan itu. "Saya amat mencemaskannya.
Dia berpuasa, tetapi tidak makan apa pun untuk berbuka. Anda harus

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

memanggil bibi Anda, Sabra. Saya yakin dia akan bisa membuat
ibunda Anda berbicara dan makan. Dia sama sekali mengabaikan
saya. Sudahkah Anda melihat wajahnya? Pipinya makin kempot dan
matanya kian cekung. Lihatlah, hari raya sudah hampir tiba. Dia
harus membereskan semua hal."
"Baiklah, Neesa. Aku akan menelepon bibiku," Khawar menyahut
dengan berat hati. Kini ia pun mulai merasa cemas. Apa pun yang
telah dilakukannya, Kaniz tetaplah ibunya.
***
Merasa cemas atas keadaan kakaknya, Sabra dengan cepat tiba dari
Lahore esok paginya bersama putri tertua dan dua cucunya dengan
pesawat terbang. Dia memutuskan bahwa melihat anak-anak akan
membuat Kaniz riang, terutama karena mereka datang untuk
merayakan Idul Fitri bersamanya. Ketika anak-anak menghambur ke
dalam pelukannya, Kaniz menerima pelukan mereka dengan kaku.
Seraya membalas pelukan adik dan kemenakannya dengan cara
serupa, Kaniz duduk diam di kursinya. Menatap nanar pada ruang
hampa di depannya.
Sabra bertukar pandang dengan cepat dengan anak perempuannya,
tanda bahaya berdering di kepalanya. Sabra memberi isyarat kepada
putrinya agar membawa pergi anak-anaknya. Jelas ada sesuatu yang
keliru di sini karena kakaknya, Kaniz, bahkan tidak menyalaminya.
Seraya duduk di samping Kaniz, Sabra melingkarkan sebelah lengan
pada bahu Kaniz dan memberinya pelukan hangat. "Ada apakah, Baji
Jan? Kau bertingkah sangat aneh. Putramu, percayakah kau,
meneleponku semalam! Dan aku bergegas pergi ke sini naik pesawat
karena aku tak tahan berjam-jam dalam perjalanan dengan kereta
api. Khawar cemas kau tak mau makan. Ia bilang padaku bahwa kau
berpuasa-tetapi tak mau berbuka. Kau juga tak mau bicara pada
orang lain. Kini aku bisa melihat sendiri apa yang ia maksud jika kau

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bertingkah seperti ini pada adikmu sendiri, kemenakanmu, dan anak-


anaknya," ujarnya dengan berseloroh.
Dengan jantung berdetak gugup, Sabra menunggu Kaniz mengatakan
sesuatu. Kaniz balik menatap padanya dengan tatapan hampa.
"Ada apa, Kak? Katakan padaku!" Seraya duduk di atas karpet ruang
tamu, di depan Kaniz, Sabra mencekal tangan Kaniz yang dingin dan
menggosoknya, merasa jauh lebih peduli.
Pemandangan Sabra berlutut di atas lantai langsung menjernihkan
kabut dalam benak Kaniz. Merasa panik, dia memekik, "Tidak! Tidak!
Bangkitlah dari lantai!" Seraya merenggut tangan Sabra, Kaniz
condong ke belakang. Matanya menggambarkan kengerian.
Merasa terkejut, Sabra takut untuk menyentuh kakaknya lagi.
"Kaniz, tolong. Aku akan berdiri, jangan khawatir." Seraya duduk
terhenyak di sofa, dia mencoba lagi. "Kakakku sayang, tolong
katakan padaku apa yang terjadi denganmu."
Detik-detik berdetak pada jam dinding dalam kamar tamu sejuk
berpendingin udara. Akhirnya Kaniz menatap adiknya. "Kau
mengatakan padaku agar berkompromi dan mengalah. Agar minum
racun. Aku telah melakukannya, Sabra, dan mencapai penurunan
derajat paling rendah. Aku telah menampilkan salah satu 'tarian
jahat kehidupan' yang kau bicarakan. Aku berlutut, Sabra. Lututku
menyentuh bumi. Aku menyatukan kedua tanganku menyembah di
depannya. Aku memohon padanya, tetapi dia...." Kaniz menarik-narik
renda chador-nya yang terkait, menarik keras-keras benang sutra
putih itu dengan kukunya hingga menjadi cabikan tipis. "Pada siapa
kau memohon?" desak Sabra.
Kaniz tak mendengar pertanyaan adiknya. "Dia malah membuka pintu
dan mengusirku." "Siapa?"
Seraya membasahi lidahnya, Kaniz menghunjamkan tatapan tajam
menuduh pada adiknya. Tubuhnya yang besar bergetar. Tawa
histeris meledak dalam dirinya lalu terlontar keluar dari mulutnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kau bahkan tak tahu siapa yang sedang kubicarakan!" tuduh Kaniz
dengan penuh derita.
Rasa takut mencekam Sabra, sebuah pikiran tiba-tiba menancap
dalam benaknya. "Bukan Firdaus, kan?"
Kepala Kaniz jatuh ke depan pada dadanya ketika kabut turun
kembali seperti sebuah tirai wol di benaknya. Matanya menatap pola
merah hijau pada karpet sutra dengan keterpukauan yang hampa.
Dengan air mata menitik, hati Sabra serasa bengkak oleh limpahan
cinta dan rasa kasihan ketika membayangkan kakaknya yang angkuh
itu berlutut, memohon-mohon di depan "perempuan murahan" itu.
"Siapa yang menyuruhmu memohon? Aku hanya memintamu
melamarnya-aku tak ingin kau memohon!" jerit Sabra seraya
menyeka air mata dari pipinya dengan chador-nya. Dengan marah,
dia memeluk kakaknya. Luluh dalam pelukan erat penuh cinta ini,
Kaniz akhirnya juga ikut menangis di atas bahu Sabra yang
menenangkannya.
"Aku tak tahu lagi siapakah diriku-katakan padaku, Sabra," suara
penuh derita Kaniz pecah di antara tangisnya, menusuk-nusuk hati
adiknya. "Akukah chaudharani desa ini, pemimpin para perempuan
desa? Kau tahu apakah yang kukorbankan untuk pergi menemuinya?
Aku mencampakkan harga diriku untuk gadis itu. Kuminum racun yang
kau sodorkan padaku-aku meneguknya tandas. Aku melakukan
semuanya. Aku menari mengikuti iramanya. Dia menantangku agar
aku berlutut. Dan aku melakukannya. Aku berlutut. Aku, Kaniz,
perempuan yang dikenal bisa memberi perintah kepada semua orang
di sekelilingnya hanya dengan kedipan mata. Aku, Kaniz, ratu desa
ini, menangkupkan tangan seperti pengemis dengan mangkuknya. Aku
meminta bantuannya. Tetapi dia...." Kaniz berhenti, merasa ngeri
dengan adegan menatap Firdaus dalam benaknya. Suaranya melirih
hingga hanya menyisakan bisikan. "... dia pergi dan membuka pintu,
menyuruhku pergi. Katakan padaku, Sabra, apakah kini hidupku

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

masih layak kujalani? Bagaimana aku bisa menghormati diriku


sendiri? Wajahku telah dibenamkan dalam lumpur dengan kejam.
Penghinaan lebih besar macam apa yang mampu dihadapi oleh
seseorang dalam hidupnya? 'Tarian jahat' macam apa lagi yang bisa
ditarikan dibanding yang telah kupilih?
"Dia telah menang, Adikku, dalam segala hal. Aku telah kehilangan
anakku untuknya dan aku merayap menujunya dengan berlutut-
sesuatu yang tak akan pernah kulakukan bahkan dalam mimpiku yang
paling liar sekalipun, jika bukan karena cintaku pada Khawar. Dia
bilang dia tak akan pernah menikahi putraku, bahkan biarpun aku
memohon padanya. Ya, aku memohon padanya. Keinginannya terkabul.
Betapa dia dan ibunya pasti bakal tertawa tergelak-gelak!
"Aku benci diriku sendiri, Sabra. Yang ingin kulakukan sekarang
adalah tenggelam dalam jiwa yang hampa, menyelam ke sumur gelap,
dan dalam tempat yang aku bisa bersembunyi selamanya. Neesa
terus menyalakan video untuk kutonton. Menyetrika baju baru untuk
kupakai. Aku tak berselera pada video dan pakaian. Sabra, aku tak
bisa hidup dengan diriku sendiri dan dengan apa yang telah
kuperbuat! Bantulah aku, tolong!" Kaniz menyingkirkan lengan
adiknya dan berlari ke kamarnya dengan kalap.
Sabra berdiri di tengah ruangan, terguncang dan gundah, kata-kata
Kaniz menggema di kepalanya. Lalu dia menyusul kakaknya, berharap
bisa membujuknya makan sesuatu dan menenangkan kegusarannya.
Kaniz sedang berdiri di kamarnya. Sebelah tangannya memegang
segelas air dan tangan yang satunya mengepal erat-erat.
Melihat sekilas sebotol pil di meja rias, rasa takut meminjamkan
sayapnya ke kaki Sabra. Dia menghambur ke samping kakaknya,
mencakar pil-pil itu dari kepalan tangan Kaniz. Pil-pil itu jatuh di
atas lantai marmer, menggelinding ke bawah ranjang.
"Oh Tuhan! Apa yang kau lakukan, Kaniz?" pekik Sabra. "Khawar!
Bano! Neesa! Semuanya datanglah!"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Mendengar keributan itu, Neesa. bergegas lari mendatangi kamar


Kaniz. "Panggil Khawar dan dokter segera!" perintah Sabra. Neesa
pun berlari melaksanakan perintahnya.
Diserang panik, jantung Sabra bergemuruh di balik tulang rusuknya.
Apa yang telah terjadi pada mereka? Ini bukanlah skenario terburuk
yang pernah dia perkirakan. Kakaknya hendak bunuh diri! Ini tak
terpikirkan!
Seraya memeluk Kaniz dengan lembut ke tubuhnya seakan-akan dia
tak akan pernah melepaskannya lagi, Sabra bertanya, "Mengapa
Kakak, mengapa?" dengan sebuah suara yang dipenuhi emosi.
"Aku tak punya apa-apa lagi. Semuanya telah direnggut dariku."
Kaniz menatap adiknya dengan mata dipenuhi rasa sakit. "Tak ada
anak, tak ada harga diri-hampa. Aku hanyalah seorang perempuan
setengah baya yang angkuh dan jahat. Begitulah semua orang
memandangku. Cerminku dengan senang mengedipkan sebuah
gambaran suram padaku. Aku tak bisa menerimanya lebih lama,
Sabra. Hidupku telah tiada artinya!"
"Tidak, kau bukan perempuan jahat. Itu konyol! Dengarkan aku,
Kaniz," Sabra berkata tegas, berusaha menguasai keadaan. "Demi
Allah, aku tak akan membiarkanmu luput dari pengawasanku atau
membiarkan sesuatu terjadi padamu. Aku berjanji padamu, kau akan
mendapatkan kembali anakmu dan Firdaus-'perempuan murahan' itu-
akan mengemis memohon maaf padamu. Harga dirimu akan kembali.
Jangan pernah-kuulangi, jangan pernah-berpikir untuk melakukan
sesuatu yang bodoh lagi. Kakakku tercinta, tidakkah kau tahu dalam
agama kita haram hukumnya melakukan bunuh diri? Tidak seorang
pun punya hak mencabut nyawanya sendiri!" Sabra menghela napas
dalam-dalam.
"Firdaus tak layak membuatmu bunuh diri," ujar Sabra lirih. "Dia
hanyalah seorang gadis bodoh yang tak menghargai pengorbananmu
untuk memohon di hadapannya. Kau telah mengalahkan harga dirimu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dan aku amat bangga padamu. Dia adalah seorang perempuan


berpikiran kerdil yang berhati batu." Sabra mencium wajah
kakaknya dan merapikan rambutnya pula. Mereka terus berpelukan
erat hingga beberapa menit yang terasa panjang dan pedih.
Setelah mengawasi Kaniz makan, Sabra membimbingnya ke tempat
tidur dan menungguinya hingga Kaniz tertidur. Tak mampu
menemukan Khawar, Neesa mengirim seorang pesuruh untuk
menemui dokter setempat.
Ketika Khawar pulang malam itu, dokter telah datang dan kembali
pulang. Sabra berdiri dengan cemas di samping ranjang Kaniz ketika
dokter memeriksa Kaniz dan bertanya tentang kesehatannya.
Seraya memberi isyarat pada Neesa untuk menunggui Kaniz, Sabra
mengajak dokter ke ruang tamu.
"Saya mencemaskannya, Dokter," ledaknya. "Kakak saya hampir saja
menelan sebotol penuh pil sebelum saya secara kebetulan masuk ke
kamar."
"Dia menderita apa yang saya kira merupakan gejala depresi dalam
bentuk akut karena suatu sebab. Jelas ada sesuatu hal yang
mengganggunya dan membekas dalam. Dia membutuhkan banyak
dukungan dari Anda dan seluruh keluarga."
Sabra menyimak dengan berdiam diri dan menganggukkan kepalanya
tanda setuju. Cintanya pada kakaknya membuatnya mulai menangis
lagi. Sabra berjanji pada dirinya sen-diri bahwa dia tidak akan
berhenti mendampingi kakaknya sampai dia benar-benar sembuh.
***
"Ini adalah waktunya untuk mengakhiri permusuhan antara ibu dan
anak." Sabra berkata tegas kepada Khawar. "Persoalan ini hampir
saja merenggut nyawa kakakku!" Begitu Khawar berjalan masuk,
Sabra langsung mencecarnya dengan serangan kata-katanya.
"Sadarkah kau, kemenakanku yang sombong, bahwa ibumu menderita
sakit secara mental? Hari ini dia mencoba bunuh diri!" Di sini Sabra

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bimbang, tetapi berhasil menguasai diri. "Dia tak mau makan atau
bicara-seperti yang kau tahu. Dan aku menyalahkanmu! Anak macam
apakah kau? Apakah kau begitu tergila-gila pada Firdaus sehingga
tega mengabaikan ibumu sendiri? Kakakku mungkin saja bersalah,
tetapi dia tak layak diperlakukan seperti ini!"
"Dia telah menanti perhatianmu sejak lama dan akhirnya melakukan
sesuatu yang secara pribadi tak mampu kubayangkan akan
dilakukannya dalam seratus tahun. Tetapi, dia melakukannya demi
dirimu, Khawar! Dia menemui Firdaus dan memohon padanya agar
mau menerima lamarannya-dengan berlutut! Bisakah kau
memercayainya?" Sabra mengakhiri serapahnya, sepasang matanya
yang gelap berkilat-kilat seperti batu bara oleh api kemarahan.
"Apa? Omong kosong apa ini, Bibi?" desak Khawar, tak mampu
memercayai apa yang dikatakan bibinya.
"Kau terkejut, kan? Dan tahukah kau apa yang dilakukan oleh
perempuan laknat itu? Dia membuka pintu mengusir ibumu dan
berkata bahwa dia tak akan pernah menikah denganmu! Bisakah kau
mulai memahami betapa besarnya penghinaan yang diderita ibumu,
betapa dalam ia telah terpuruk? Bisakah kau bayangkan? Berlutut di
atas lantai! Ibumu-menyembah pada anak seorang perempuan yang
selalu dibencinya."
"Mengapa dia melakukannya? Aku tak memintanya melakukan hal
itu," cetus Khawar dengan muka masam. Cuping hidungnya membesar
karena amarah ketika ia mendengarkan cerita bibinya tentang
peristiwa memalukan itu. Merasa bersalah dan kapok, ia segera pergi
ke tempat ibunya berada. Karena kelelahan, Kaniz tertidur pulas.
Seraya duduk dekat tempat tidurnya, Khawar mengawasi ibunya
hampir sepanjang malam.
Esoknya, pagi-pagi benar Sabra tetap berjaga-jaga di samping
kakaknya, menenangkan Khawar bahwa dia akan tetap tinggal hingga
kakaknya pulih semangatnya. Seraya memanjatkan doa khusus bagi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kaniz, Sabra berikrar bahwa ia akan membuat kakaknya yang


periang walaupun gampang marah itu akan kembali seperti sediakala
saat dia telah selesai merawatnya. Putri dan cucunya disuruhnya
kembali ke Punjab esok harinya.
Khawar menerima pertolongan bibinya dengan penuh terima kasih.
Sepanjang malam ia duduk mengawasi ibunya. Pikirannya beralih pada
Firdaus. "Mengapa kau tega melakukan hal ini pada ibuku? Awas,
lihat saja nanti!" ikrarnya. Rahangnya menjadi kaku karena amarah.

48.

DUA HARI kemudian, Khawar mengunjungi Firdaus secara tiba-tiba


di sekolahnya. Ia langsung dibawa ke kantor Firdaus dan diberi tahu,
"Ibu wakil kepala sekolah sedang rapat, tetapi dia akan segera
menemui Anda."
Khawar menatap berkeliling pada ruangan yang berperabotan mewah
itu. Karena beberapa alasan, ia tidak menyukai bertemu dengan
Firdaus di sini, di daerahnya sendiri. Kembali ke penerima tamu, ia
memberi tahu sekretaris muda berpakaian bagus itu bahwa ia lebih
suka menunggu di luar dan akan berterima kasih apabila Firdaus
berkenan menemuinya di sana. Ketika ditanya siapakah dirinya, ia
berkata, "Katakan padanya saya seorang kenalan dari kampungnya."
Ia lalu mengikuti sekretaris itu keluar dari gedung menuju sebuah
beranda yang agak terpencil.
Seraya duduk, ia bersandar pada pilar batu tinggi dan menatap ke
luar pada lapangan hoki yang hijau.
"Assalamu 'alaikum!" sebuah suara yang dikenalnya menyela
lamunannya beberapa saat kemudian. Dengan bahu yang menjadi
kaku, Khawar menoleh. Ketika melihat raut wajah Khawar, Firdaus
mengedip karena terkejut. Sepasang mata Khawar menatapnya tanpa
nada senyum. Tubuh lelaki itu, walaupun menampakkan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ketidakpedulian dengan bersandar pada pilar, adalah sebuah per


yang siap melenting ke arahnya.
"Atas alasan apakah aku berutang rasa senang ini?" tanya Firdaus
dengan sopan. Matanya memandang kerah kemeja Khawar. Entah
bagaimana dia merasa takut beradu pandang dengannya.
Khawar mengangkat alisnya pada pertanyaan polos Firdaus.
"Rasa senang itu hanya ada di pihakmu, Ibu Kepala Sekolah. Karena
aku tak mengalaminya di sini dengan ditemani olehmu." Wajah
Firdaus menjadi pucat mendengar kekurangajaran Khawar. Lalu,
yang membuat Firdaus menatap heran, Khawar tiba-tiba berlutut
secara teatrikal dan menangkupkan kedua tangannya menyembah
Firdaus di hadapannya. Merasa terkejut, Firdaus terjajar mundur.
"Khawar Sahib, sandiwara apakah yang sedang kau mainkan?"
tanyanya dengan wajah melongo.
"Aku memainkan kembali sandiwara yang melibatkan kau dan ibuku di
dalamnya, Ibu Kepala Sekolah," cemoohnya. "Itulah yang dilakukan
ibuku, bukan? Dia menangkupkan tangannya padamu seperti seorang
pengemis dengan mangkuknya-ya, kan?Ibuku yang angkuh! Sang
Chaudharani! Seseorang yang dikenal tak pernah meminta maaf pada
siapa pun, membiarkan dirinya memohon pada seseorang. Ya, dia
telah jatuh dari awang-awang ke bawah kakimu, memohon
pertolonganmu. Ya, kan?"
"Aku tak pernah memintanya melakukan hal itu. Aku tak ingin dia
memohon padaku." Sahutan Firdaus yang tenang memukul balik
Khawar.
"Tetapi kau mengusirnya, bukan?" Terdengar ancaman berbahaya
dalam nada suaranya.
Firdaus terpojok. "Ya, memang! Lalu kenapa?" Firdaus melengking.
Kini dia tak mampu lagi menahan kemarahannya atau harga dirinya.
"Bagus!" teriak Khawar. Mulutnya membentuk seulas senyum sinis.
Seraya bangkit, ia bertepuk tangan. Suaranya bergema aneh di

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

telinga Firdaus. "Itu adalah perlakuan yang layak diterima ibuku-


begitu pantasnya sehingga setelah dia meninggalkanmu, dia mencoba
bunuh diri!" Khawar mengakhiri serapahnya dengan getir.
"Apa?" kepala Firdaus terdongak.
"Ya, Kepala Sekolah Firdaus. Kematiannya terletak di pintumu."
"Aku tak tahu bagaimana cara ibumu berpikir, tetapi tolong jangan
gunakan aku sebagai kambing hitam." Bersembunyi dari tatapan
kebencian yang liar di mata Khawar, Firdaus mencoba membela diri.
Bibirnya bergetar karena marah dan gundah.
"Kau mungkin tak tahu isi pikiran ibuku, tetapi aku tahu isi pikiranku.
Dia pasti sudah gila sampai mau mohon pertolonganmu. Kau tak layak
mendapatkannya, Firdaus. Demi dirimu, aku menjauhkan diri dari
ibuku dan meninggalkan rumahku. Aku tidak berbicara padanya
selama setahun lebih. Dengan putus asa, dia menelan harga dirinya
dan membungkuk serendah ini. Aku mengatakan hal ini padamu
karena bagi seseorang dengan kedudukan seperti ibumu, ini jelas
sebuah tindakan yang rendah hati. Tetapi, ia tak mendapat balasan
darimu, bukan? Hanya penghinaan. Karena dirimu, dia kini menderita
depresi, terus-menerus menangis, tak mau makan dan menatap
hampa. Dia ingin mengakhiri hidupnya."
"Maafkan aku," ujar Firdaus hampa. Tatapan matanya tertunduk.
"Aku belum selesai." Suara Khawar mengiris Firdaus. "Pada akhirnya,
kau membuktikan dirimu lebih buruk daripada ibuku. Aku tak ingin
menikahi seseorang yang tak menghormati ibuku. Kau adalah seorang
perempuan angkuh berdarah dingin. Aku telah berbuat bodoh
dengan menghabiskan waktu bertahun-tahun untukmu. Akhirnya,
yang kukira emas dan kukejar sepanjang waktu ternyata hanyalah
kuningan. Barang sepuhan! Tetapi dalam bukumu, dalam kenaikan
derajatmu sebagai seorang kepala sekolah, Ibu Firdaus, kami adalah
kuningan, orang-orang kampung yang ingin kau hindari dengan susah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

payah. Ya, kini kau terbebas dari kami semua, Firdaus. Kami tak akan
merepotkanmu lagi. Selamat Siang untukmu, Ibu Kepala Sekolah!"
Dengan tercenung, Firdaus menatap Khawar pergi. Wajah Firdaus
telah sedari tadi pucat pasi. Merasa terguncang, dia terduduk di
sebuah kursi di beranda. Benaknya dipenuhi lamunan. Jantungnya
berdentam-dentam karena terkejut.
Khawar lenyap melalui pintu ganda menuju lorong sekolah. Dengan
langkah-langkah penuh amarah, ia sampai ke jipnya. Sopir dengan
cepat membuka pintu baginya dan melihat raut wajah majikannya
yang muram, ia menahan diri untuk mencoba mengobrol ringan.
Semangat Khawar menurun. Kehendaknya untuk menikahi Firdaus
telah berakhir. Membutuhkan waktu lama baginya untuk pulih, tetapi
harga diri kelelakiannya dipertaruhkan. "Dia telah menjadi bagian
para sahib kota yang mungkin saja berkerumun di sampingnya setiap
malam," cacinya dalam hati, lalu mengenyahkan Firdaus dari
benaknya.

49.

ZARRI BANO membawa Haris ke desa untuk mengunjungi kakeknya


dan agar Haris lebih akrab dengan kehidupan desa. Siraj Din merasa
senang mendengar celoteh cicitnya itu di hawali-nya.
Tiba di rumah mertuanya pada hari Jumat untuk membawa pulang
Haris ke Karachi, Sikander menyembunyikan kekecewaannya karena
tak bertemu putranya. Seraya duduk-duduk di beranda halaman
belakang, Shahzada dan Sikander bercakap-cakap ngalor-ngidul dan
kemudian mengenai Haris. Sikander bertanya-tanya bagaimanakah
sebaiknya cara mengutarakan persoalan yang menggelayuti benaknya
selama beberapa bulan terakhir ini.
"Bibi," ujarnya lirih, menghindari tatapan mata Shahzada, "aku amat
berharap Anda tidak tersinggung dengan apa yang akan kukatakan."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ada apa, Anakku?" Shahzada menatap penuh perhatian seraya


meletakkan poci teh keramik Cina di meja beranda yang terbuat dari
besi putih di depannya.
"Aku... aku ingin mengawini putri Anda, Zarri Bano!" Shahzada
menatap tajam pada Sikander. Sepasang matanya terbeliak kaget.
"Aku tahu dia seorang Perempuan Suci," lanjut Sikander sebelum
Shahzada sempat mengatakan sesuatu, "tetapi aku juga tahu bahwa
Paman Habib Khan, lebih setahun silam, telah membebaskannya dari
sumpah untuk tak akan pernah menikah. Ia secara pribadi telah
memberi restu pada Zarri Bano jika dia ingin menikah. Ruby
mengatakan padaku semua ini."
Ini adalah sebuah kejutan menyenangkan bagi Shahzada. Seulas
senyum membayang di bagian bawah wajahnya, tetapi gagal
meninggalkan mulutnya. Sikander menunggu dengan cemas dan
kemudian cepat-cepat menjelaskan.
"Aku tak bermaksud menyinggung Anda, Bibi. Maukah Anda
memaafkanku? Anda harus mengerti bahwa ini untuk kebaikan Haris.
Aku memerlukan seorang ibu pengganti untuknya. Perjalanan bolak-
balik dari Karachi ke sini harus dihentikan suatu saat nanti. Ini
melelahkanku. Dan ini sudah berlangsung selama setahun. Aku ingin
putraku bersamaku, tetapi ia juga sangat dekat dengan bibinya dan
Anda. Ia menganggap Zarri Bano sebagai ibu keduanya. Jika aku
menikahinya, itu akan memecahkan semua masalah, bukan?"
Suaranya terdengar tulus.
"Aku sama sekali tak merasa tersinggung oleh saranmu, Anakku.
Tiada yang lebih memberiku kesenangan selain melihat Zarri Bano
menikah dengan bahagia dan juga menjadi ibu bagi Haris. Aku
memahami betul situasinya. Pada akhirnya kau harus menikah
kembali suatu saat. Aku hanya terkejut karena itu tidak terlalu
lama. Tapi katakan padaku, Anakku, mengapa kau ingin menikahi
Zarri Bano? Dia bukan lagi perempuan yang sama dengan yang kau

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

lihat lima tahun yang lalu. Apakah kau sungguh-sungguh ingin


menikahinya hanya demi Haris atau karena alasan-alasan pribadi?"
Kali ini tatapan Shahzada terpaku lekat di wajah Sikander.
Sikander menunduk pada cangkir yang digenggamnya, membiarkan
jemarinya merabai pinggirannya yang keemasan.
Ia menimbang-nimbang untuk menjawab, tetapi akhirnya memilih
berkata jujur.
"Aku tak akan berpura-pura, Bibi, ini lebih karena alasan-alasan
pribadi. Aku tak tahu bagaimana mengatakannya pada Anda. Anda
adalah ibunda dari istriku yang telah tiada." Sikander menghela
napas dengan sedih. "Yang bisa kukatakan untuk membela diri adalah
bahwa aku amat ingin menikahi Zarri Bano-seperti halnya dulu aku
ingin menikahi Ruby. Aku mencintai kedua putri Anda. Aku tak tahu
bagaimana aku bisa mencintai kedua kakak beradik ini, tetapi aku
telah melakukannya. Tolong, jangan salah paham. Zarri Bano adalah
perempuan yang sebetulnya ingin kunikahi, tetapi akhirnya aku malah
menikah dengan Ruby.
"Dengan jujur bisa kukatakan bahwa Ruby dan aku sangat bahagia
bersama. Aku mencintainya sedalam yang bisa dilakukan oleh
seorang suami mana pun, ketika kami berbagi hidup bersama selama
empat tahun. Cinta tumbuh seiring dengan waktu. Tempatnya di
dalam hatiku akan selalu ada. Dia adalah ibu anakku. Perempuan yang
telah berbagi hidup bersamaku, dua puluh empat jam sehari.
Bagaimana mungkin aku melupakannya? Jika memejamkan mata, aku
masih bisa melihatnya di hadapanku dengan sepasang mata
cokelatnya yang hangat dan senyumnya yang lembut." Shahzada
melihat gurat kepedihan di wajah Sikander. Matanya terpejam saat
ia melanjutkan.
"Aku masih bisa mendengar langkahnya di tangga marmer atau di
kebun. Pakaiannya masih tergantung di dalam lemari, membawa
ingatan pedih setiap hari dalam seminggu. Aku amat merindukan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Ruby, Bibi-tetapi dia telah tiada. Aku tak bisa memikirkan


perempuan asing bersama anakku. Tak ada perempuan lain yang bisa
menjadi ibu bagi Haris seperti yang dilakukan oleh Zarri Bano. Haris
memuja Bibi Zarri Banonya dan Zarri Bano mencintainya pula. Jika
ada Zarri Bano di sisinya, bisa jadi Haris tak akan terlalu sakit
kehilangan ibunya."
"Ya," Shahzada menyetujui dengan lirih.
"Anda bertanya apakah aku ingin menikahi Zarri Bano karena alasan
pribadi? Ya, memang, dan bukan cuma demi Haris. Aku ingin
sungguh-sungguh jujur pada Anda. Seperti yang Anda tahu, Zarri
Bano adalah perempuan yang sebenarnya ingin kunikahi, perempuan
yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu terjadi di
mela, " kata Sikander melembut seakan-akan ia langsung
mengingatnya.
"Dia berdiri di bawah sebuah pohon mengenakan gaun sifon hitam.
Rambutnya berkibar bebas di sekeliling wajahnya, dan kemudian
kami beradu pandang. Sesuatu terjadi di antara kami. Di antara
kerumunan lelaki yang berkumpul dalam acara itu, jiwa kami seakan
saling melompat. Dia terlihat amat cantik. Aku mabuk kepayang. Hal
seperti itu tak pernah terjadi padaku. Kejadiannya tak sama dengan
Ruby, maafkan aku mengatakan hal ini. Aku tahu sejak awal bahwa
Zarri Bano memiliki perasaan tertentu padaku. Dia selalu berusaha
menyangkalnya, tetapi aku tahu bahwa dia menyukaiku. Sisanya
adalah sejarah. Tapi sudah terlambat bagi kami. Kehidupan lain telah
dipersiapkan oleh suami Anda bagi Zarri Bano. Aku membuka isi
hatiku pada Anda, Bibi. Bagiku, itu adalah sesuatu yang amat pribadi
dan menyakitkan." Air mata membayang di mata Sikander ketika ia
menguraikan rahasia hatinya.
"Selama bertahun-tahun aku tak pernah melupakan Zarri Bano,"
ujarnya pada Shahzada. "Aku mencoba melupakannya, tetapi dia
selalu ada dalam kepala dan pikiranku, memburuku. Di Arab Saudi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

aku merasa amat cemburu pada lelaki Mesir berewokan itu. Aku tak
tahan memikirkan lelaki itu menatapnya atau berhubungan
dengannya. Aku juga membenci Zarri Bano," aku Sikander dengan
suara lirih. "Aku masih tidak bisa memaafkannya karena ia berpaling
dariku dan cinta kami."
Ia menatap dengan tatapan memohon pada ibu mertuanya. "Aku
telah menjalani kismet buruk dengan mencintai bukan saja dua
perempuan, melainkan juga dua bersaudara, menikahi salah satunya
tetapi masih merindukan yang lain. Sebagai ibu mereka, aku tak tahu
apa yang Anda pikirkan tentang diriku."
"Terima kasih, Anakku, karena kau telah begitu jujur." Shahzada
amat tersentuh. "Aku sangat sadar akan betapa dalam rasa sakitmu
dan betapa memalukannya mengakui perasaan-perasaanmu padaku,
tetapi kau telah membuktikan padaku perasaan-perasaan
sesungguhnya yang kau miliki pada kedua putriku. Kau benar, aku tak
tahu bagaimana semestinya perasaanku atas soal ini karena mereka
berdua adalah anakku, terlahir dari rahim yang sama. Aku senang,
Anakku, kau ingin menikahi putri sulungku demi kau, demi Haris, dan
terutama demi Zarri Bano. Sebagai nenek Haris, aku berharap tak
ada perempuan lain yang akan menggantikan tempat putriku."
Kini saatnya bagi Shahzada mengeluarkan isi hatinya pada Sikander.
"Tetapi ini bukan hanya demi Haris," ujarnya. "Aku telah diserang
rasa bersalah sejak Zarri Bano menjadi seorang Shahzadi Ibadat.
Aku ingin dia menikah denganmu dan menjalani hidup normal. Dia
mengatakan bahwa dia amat bahagia dengan hidupnya sekarang,
tetapi dalam lubuk hatiku, aku tahu kami telah berlaku salah pada
kalian berdua, terutama pada Zarri Bano. Pada hari dia mengetahui
Ruby akan menikah denganmu, aku tak pernah melupakan tatapan
matanya, Sikander. Itu adalah tatapan seorang perempuan yang
dihancurkan dan tumbang di ujung penalaran. Aku melihat putriku
nyaris mati di depan mataku, tetapi dia bertempur dengan dirinya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sendiri dan menang. Zarri Banoku selalu berhasil. Aku amat bangga
padanya. Dia amat bagus dalam menghadapi dan mengatasi krisis,
tetapi apa yang harus dia korbankan? Kita tak pernah tahu. Kita
telah membunuhnya secara emosional." Sejenak Shahzada
membiarkan perasaan yang mengharukannya. Sikander tetap
berdiam diri. Nalurinya memberitahunya untuk membiarkan ibu
mertuanya menumpahkan isi hatinya.
"Hingga hari ketika kita pergi naik haji, aku tak pernah memaafkan
suamiku," lanjutnya. "Sikander, pada hari Jafarku mati, seluruh
hidup kami diliputi oleh chador bencana. Aku mendukung suamiku,
tetapi aku mengkhianati putriku. Kini, katakanlah padaku, Anakku,
bagaimana mungkin aku memaafkan diriku karena telah mengkhianati
Zarri Bano? Aku tak berdaya melawannya. Tak ada jalan keluar bagi
kami berdua sebagai perempuan. Tak ada jalan untuk membantah
keputusan ayah mertuaku dan suamiku. Kami punya harga diri, tetapi
sebagai perempuan dan demi keluarga kami, kami tunduk dan
mengalah.
"Kau harus memaafkan Zarri Bano karena telah berpaling darimu.
Dia tak punya pilihan, Sikander! Zarri Bano mengorbankan dirinya
untuk berbahagia dan telah memaafkan ayahnya. Dia telah
menemukan sebuah kesempatan hidup baru dalam identitas yang
diterimanya dan telah menemukan dunia baru bertaraf internasional.
Putriku secara mengagumkan berhasil menyesuaikan diri dengan
peran hidupnya. Aku, di sisi lain, kehilangan rasa hormat terhadap
diriku sendiri dan pada suamiku. Aku membangun sebuah dinding
terhadap suamiku tercinta yang tak pernah bisa dirobohkan. Hatiku
menjadi sebuah cangkang yang dingin. Hampa! Suamiku tak bisa
merobohkannya dan juga melakukan hal yang sama-tetapi semuanya
tak berhasil. Aku tahu ia kesepian-tapi aku tak bisa memaksa diri
untuk memaafkannya. Itulah kismet burukku, Anakku. Seandainya
saja aku bukan istri yang kejam terhadapnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Jika mengintip isi hatiku, kau hanya akan melihat hati yang sakit
dan menderita. Dua anakku telah meninggal dunia. Aku kehilangan
suami dan cucuku kehilangan ibunya.
"Oleh karena itu, Anakku, tak ada yang bisa memberiku kebahagiaan
lebih besar selain kau menikahi Zarri Bano. Aku ingin putriku
menjalani hidup normal, kehidupan yang dia sangkal lima tahun lalu.
Aku ingin tangannya dicat dengan hiasan pacar dan menimang
seorang bayi di pangkuannya. Aku mau segala mimpiku untuknya
terlaksana. Biarlah aku bicara dulu padanya, Anakku. Aku perlu
menyampaikan secara halus padanya. Kau tahu, kini dia tak memiliki
tempat bagi pernikahan atau lelaki dalam hatinya maupun dalam
pikirannya."

50.

ZARRI BANO tidak pulang malam itu. Dia mengirim pesan bahwa
kakeknya, Siraj Din, menginginkan agar dia dan Haris tinggal dua
hari lagi di Chiragpur. Merasakan bahwa kesunyian rumahnya tak
tertahankan, Shahzada memutuskan bergabung dengan mereka di
desa.
Ketika ibunya tiba, Zarri Bano sedang sendirian di ruang tamu rumah
keluarga mereka di desa. Merasa senang, dia memeluk Shahzada
dengan hangat.
"Mana Haris?" tanya Shahzada, tak tahan ingin memeluk cucunya.
"Ia sedang berjalan-jalan dengan kakek buyutnya. Ia mungkin
sedang naik traktor di sawah atau bermain-main dan menggoyang-
goyangkan ekor kerbau-kerbau perahan di pertanian kita. Ia
menyukainya, Ibu. Udara segar dan lapangan terbuka baik baginya.
Para perempuan desa menyukainya dan kerap mengajaknya bermain
ke rumah mereka. Ia sudah dua kali diundang ke rumah Chaudharani
Kaniz."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku bisa membayangkannya. Haris adalah bocah yang tampan. Para


perempuan desa juga kerap melakukan hal yang sama padamu ketika
kau masih kecil. Jadi, kau memutuskan tinggal di sini dua hari lagi?"
"Ya. Kakek berkeras agar kita semua pindah kembali ke desa ini. Ia
ingin aku mengepalai madrasah desa yang ia dan aku buka untuk para
perempuan muda agar bisa mendapat pendidikan agama bermutu
tinggi."
"Aku tahu ia memang amat menginginkannya, sayangku, tetapi aku
khawatir ia tak akan mendapatkan apa yang diinginkannya. Haris
memiliki sebuah rumah di Karachi bersama ayahnya. Kita terlalu
mementingkan diri sendiri dengan membawanya terus-menerus
bersama kita. Sikander datang semalam untuk menjemput Haris dan
ia sangat kecewa karena tak berjumpa dengan anaknya."
"Ya, ia bisa saja datang kemari mengunjungi kami," tukas Zarri Bano
dengan tajam.
"Ia harus pergi. Kau tahu, ia merasa lelah dengan perjalanan bolak-
balik. Ia akan datang kembali dua hari lagi. Atau mungkin biar kita
saja yang mengantarkan Haris pulang ke Karachi. Sudah lama sekali
sejak aku terakhir kali pergi ke kota besar itu dan mengunjungi
pusat-pusat perbelanjaan."
"Aku tak bisa ikut, Ibu. Ibu saja yang mengantarnya jika mau. Aku
amat bahagia di desa ini. Aku sedang berpikir untuk memenuhi
keinginan kakek dan mendirikan sebuah madrasah di sini."
"Apakah kau sungguh bisa menghabiskan sisa hidupmu di sini, Zarri
Bano? Kau seorang gadis kota-kurasa kau tak akan menyukai
pemandangan di desa."
"Aku tak tahu. Di sini damai sekali, Ibu. Aku sudah banyak bepergian
beberapa tahun terakhir dan menjadikannya kebiasaan. Kini aku
menginginkan kedamaian dalam hidupku. Juga para perempuan di sini
membutuhkanku. Aku mengajari salah seorang guru dari sekolah
Firdaus untuk mengepalai madrasah."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Bagaimana jika kau menikah, Zarri Bano?" Shahzada menyela


dengan halus. Dia telah mencari-cari kesempatan untuk mengatakan
hal itu.
Buku catatan Zarri Bano jatuh dari tangannya dengan suara keras ke
atas lantai marmer.
"Ibu!" Zarri Bano menatap Shahzada seolah-olah dia hendak pingsan.
Kipas angin di langit-langit berputar di atas mereka,
memperdengarkan satu-satunya suara di ruangan itu. Seraya
bersandar pada bantal-bantal sofa yang lembut, Shahzada dengan
tenang menatap putrinya. Zarri Bano duduk di seberang, ibunya.
Shahzada condong ke depan. Matanya menatap lekat wajah Zarri
Bano. "Dengan Sikander!" tambahnya dengan suara lirih, tetapi
tegas.
Zarri Bano terlongong, tak mampu bicara. Apakah dia telah salah
mengerti? Mulutnya terbuka, lalu mengatup. "Demi Haris, putriku,"
jelas Shahzada dengan cepat, merasa tidak senang atas reaksinya.
Buku catatan yang tergeletak di pangkuan Zarri Bano pada ujung
burqa hitamnya juga terjatuh ke lantai ketika dia bangkit. Berarti
dia tidak salah dengar!
"Ibu, bagaimana mungkin Ibu bisa mengatakan hal seperti ini?"
Tubuhnya bergetar dan matanya berkilau oleh kepedihan hatinya.
"Aku seorang Perempuan Suci. Menikahi suami adikku yang telah
meninggal, Ibu bilang? Apakah Ibu tak punya perasaan atau rasa
hormat?" Zarri Bano menutupkan sebelah tangannya ke mulut dan
tangan yang satunya menekan perutnya, pada rasa mual yang melilit
menuju tenggorokannya dan otot-otot perutnya yang menyembul.
Di hadapan mata Shahzada yang gelisah, Zarri Bano berlari keluar
dari ruangan itu menuju halaman yang terbuka di mana dia menghela
udara segar mengisi dadanya. Dia bergetar seperti daun.
Di dalam rumah, Shahzada terpuruk lesu dalam kekalahan. Jika itu
reaksi putrinya terhadap sarannya, tampaknya Zarri Bano tak akan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

pernah mau menikah dengan Sikander. Kalau begitu, siapakah nanti


yang akan menjadi ibu tiri bagi cucunya tercinta? Kesedihan melanda
Shahzada, mengacaukan segala harapannya dengan serta-merta.
***
Menatap ke depan pada cakrawala biru jernih, Zarri Bano berjalan
sendirian di jalan setapak sempit dibatasi gugusan rumput sepanjang
sawah kakeknya. Angin mempermainkan dan menggelombangkan
burqa hitamnya di sekeliling tubuhnya. Kata-kata berpijar dalam
benaknya. "Pernikahan! Dengan Sikander!"
Bayangan tentang dirinya sendiri, Ruby, dan Sikander membuat
perutnya kembali mual. Kali ini dia tak bisa menahan gelombang rasa
mual yang menderanya. Seraya menyeka butir-butir keringat dari
wajahnya dengan saputangan, Zarri Bano terus berjalan.
Dia sampai di sumur desa tempat dia, Khawar, dan Firdaus biasa
bermain bersama saat kanak-kanak dan melemparkan batu-batu
kecil ke dalam air. Seraya duduk di atas birai batu bata sumur itu,
dia berteriak, "Tak akan pernah! Tak akan pernah!" ke dalam kolam
air yang gelap itu. Kata-kata itu bergema di dinding bata sumur yang
lembab. "Aku telah melenyapkan dan membunuh perempuan ceroboh
yang kau pancing keluar dari dalam diriku, Sikander. Dia bersedih
karenamu. Tak akan pernah terjadi lagi!" Bangkit dari birai sumur
itu, Zarri Bano berjalan menuju tanah pertanian kakeknya. Dia
berjalan mengelilingi kandang ayam, menyaksikan kerbau-kerbau
perahan dicancang pada kandang besi mereka tengah memamah biak
rumput hijau yang diletakkan di depan mereka dalam bak-bak kayu
yang sengaja dibuat.
Ketika kembali ke hawali beberapa lama kemudian, dia melihat
ibunya sedang duduk dan bercakap-cakap dengan kakeknya.
Shahzada dengan cepat meneliti wajah putrinya, memerhatikan raut
wajahnya yang tertutup dan penolakannya membalas senyum sang
ibu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Tanpa kata-kata, Zarri Bano pergi ke kamar mandi untuk


membersihkan diri sebelum melakukan shalat asar. Bahkan saat
shalat pun dia tak mampu mengusir kata-kata ibunya atau bayangan-
bayangan yang tak diinginkannya itu melintas.
Tak lama kemudian, Shahzada menghampiri anaknya dan dengan
jantung berdegup kencang, dia bersiap untuk kembali mencoba. Aku
harus melakukannya demi semua orang, ujar Shahzada pada diri
sendiri dengan penuh semangat. Seraya mengulurkan tangan untuk
menggenggam tangan Zarri Bano, dia menggosok punggung tangan
putrinya itu dengan lembut dengan tangannya sendiri. Dia menatap
kulit lembut putrinya dengan rasa senang dan penuh kebanggaan-
mereka tak pernah tahu apa yang tersembunyi dalam batinnya.
"Begitu burukkah berkorban menjadi ibu bagi kemenakanmu
sehingga hanya menyebutkannya saja bisa membuatmu pergi dari
hawali?" Shahzada mengomeli anaknya dengan halus.
"Ibu, jangan mulai lagi!" tukas Zarri Bano seraya memejamkan
matanya erat-erat. "Tolong jangan katakan apa-apa lagi."
"Mengapa tidak?" sahut Shahzada.
"Apakah Ibu lupa?" segah Zarri Bano. "Aku ini seorang perempuan
pakeeza. Bagaimana mungkin Ibu menyarankanku menikah? Apalagi
dengan suami adikku sendiri!" Kemarahan menari-nari dalam
sepasang mata permata hijaunya.
"Ingatlah bahwa ayahmu telah membebaskanmu dari sumpahmu."
"Betapa tepatnya Ibu mengingatkanku sekarang. Kini yang kalian
inginkan. Aku diminta menikah. Ibu kira aku ini boneka lilin, sesosok
phutley yang bisa dibentuk sesuka hati untuk menarikan lagumu
ketika diperlukan? Aku ini seorang manusia! Seorang perempuan
yang tak pernah bisa memikirkan ikatan perkawinan!
"Kini meminta agar aku sebaiknya melupakan semua itu dan menikahi
siapa? Seorang lelaki yang memiliki hubungan ragawi dengan adikku
selama empat tahun. Apakah aku ini sayuran di pasar tempat

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander bisa dengan mudah berpindah ke sayuran lainnya? Apakah


Ibu tak punya perasaan; tak memikirkan apa yang Ibu sarankan? Aku
tak bisa menikah dengan lelaki mana pun. Apa lagi dengan Sikander!
Tak akan pernah, Ibu, tak akan!" Zarri Bano menentang Shahzada.
Pipinya bergetar merona merah.
"Aku memahami perasaanmu, sayang, tetapi kau akan berubah, kau
akan lihat. Kita terutama harus memikirkan Haris."
"Ya, aku bisa melihat Ibu memikirkan Haris. Aku tak akan pernah
berubah, Ibu, kujamin. Ibu, Ayah, dan Kakek telah mengubahku di
hari saat kalian membuatku menjadi seorang Perempuan Suci. Kini
tak mungkin lagi bagiku kembali ke masa lalu. Aku tak bisa menjalani
kehidupan yang lain. Jika Ibu menginginkan aku berterus terang, aku
akan melakukannya sepanjang Ibu memahami bahwa persoalan ini
telah tertutup dan tak pernah terbuka lagi. Aku seorang perempuan
beragama, karena itu aku tidak akan pernah bisa, maafkan kalau aku
tidak sopan dengan mengatakannya, tidur dengan lelaki mana pun!
Apalagi dengan lelaki yang telah memiliki hubungan intim dengan
adikku. Harapan Ibu agar aku menggantikan tempat Ruby
membuatku ngeri dan terkejut. Seharusnya Ibu tidak memanfaatkan
Haris untuk memaksaku."
Merasa kesal, Zarri Bano menarik tangannya dari genggaman ibunya.
Seraya berdiri tegak, dia meninggalkan kamar itu. Burqa hitamnya
berkibas dengan marah mengitari tubuhnya. Shahzada tetap
meringkuk di atas sajadah, sesosok tubuh yang dilanda kesedihan.
Melihat perasaan dan kata-kata Zarri Bano tampaknya tak ada
peluang baginya untuk menikah dengan Sikander.
Tetapi, sesungguhnya putrinya memang benar. Mereka tak bisa lagi
memaksanya melakukan apa pun. Sebagai orang dewasa, dia tahu apa
yang baik baginya. "Kecuali jika dia tak tahu," desah Shahzada.
"Bagaimana dia tahu rasanya kehidupan pernikahan dan hidup
bersama anak-anak dan seorang pasangan? Dia tak pernah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengalaminya, atau merasakan kehidupan seperti itu, tetapi dia


telah mempersiapkan pikirannya untuk melawan hal itu."
Shahzada dengan sedih menerima fakta bahwa anak perempuannya
telah sungguh-sungguh menjadi seorang Shahzadi Ibadat yang
sejati. Dan dalam proses itu, dia menukarnya dengan
keperempuanannya. Jalan hidup yang diterimanya dengan ngeri lima
tahun lampau, kini telah dijalaninya dengan sepenuh hati dan dengan
komitmen seumur hidup.
***
Malam itu Fatima datang mengunjungi Chaudharani Shahzada.
Keduanya amat senang bisa berjumpa dan berpelukan hangat.
"Bagaimana keadaan keluargamu, Fatima? Aku akan segera
mengunjungi mereka. Bagaimana kabar Fiaz?"
"Ia sehat-sehat saja, Chaudharani Sahiba."
"Dan bagaimana dengan rishta Salma? Sudah sejauh apa?"
"Ya, Kulsoom, mak comblang desa kita, dan saya telah berjumpa
pemuda itu dan bertemu keluarganya. Mereka orang-orang yang
menyenangkan, Chaudharani Sahiba. Mereka sudah datang untuk
menemui Salma. Kami senang bisa saling jumpa. Mereka datang lagi
dan meletakkan segan untuk tangannya dalam pernikahan. Salma dan
pemuda itu telah diperkenalkan dan tampaknya saling cocok. Seperti
yang Anda lihat, saya akan sangat sibuk mempersiapkan pernikahan
Salma yang akan segera tiba. Saya tentu saja akan sangat
membutuhkan bantuan saran Anda."
"Aku ikut senang, Fatima. Tentu saja aku akan membantumu. Andai
saja putriku, Zarri Bano, menikah dengan Sikander."
"Apakah Anda telah mengusulkannya padanya?"
"Ya, tetapi dia menolaknya mentah-mentah."
"Apakah saya sebaiknya membujuknya, Chaudharani Sahiba?"
"Kau boleh coba, tapi dia seperti batu karang yang tak tergoyahkan.
Tahukah kau, Fatima, dia merasa saranku itu memuakkan. Aneh,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bukan? Ini bukan pertama kalinya seorang lelaki mengawini saudara


perempuan istri mereka yang meninggal dunia. Tentu saja ini
dilakukan terutama demi sang anak."
"Tentu saja itu tepat sekali bagi semua orang," dengan cepat Fatima
menyetujui. "Terutama bagi sang suami dan anaknya. Sang suami
akan merasa tenang karena mengetahui bahwa ibu tiri anaknya akan
mengurus mereka dengan kebajikan seorang bibi. Bagi anak-anak,
karena mereka bisa berhubungan dengan seorang bibi yang bagaikan
ibu kedua. Begitu pula akan menguntungkan bagi Zarri Bano bila
menikahi Sikander. Namun itu bukan hanya untuk Haris semata.
Secara pribadi aku percaya mereka memang berjodoh satu sama
lain. Aku selalu ingin agar tuan putriku itu menikah dengan Sikander
seperti halnya aku selalu ingin agar Firdaus menikah dengan Khawar.
Anda tahu, Chaudharani Sahiba? Aku masih tidak bisa memaafkan
Habib Sahib karena perbuatannya. Walaupun ia sudah meninggal
dunia...." Fatima cepat-cepat menghentikan perkataannya, merasa
malu hati.
"Tak apa-apa, Fatima," ujar Shahzada dengan sedih. "Aku juga baru
belajar memaafkannya. Tapi, aku harus sadar ia bukanlah satu-
satunya orang yang bersalah. Orang lain yang ikut ambil bagian
dalam hal itu adalah ayah mertuaku, Siraj Din. Dialah yang
mengawali segala urusan ini."
"Jika itu persoalannya, mengapa Anda tidak mengatakannya pada
beliau, Chaudharani Sahiba? Barangkali beliau bisa membujuk Zarri
Bano. Aku sendiri akan mencoba membujuknya."
Setelah makan malam, Fatima pergi. Zarri Bano tidak ikut makan
bersama mereka karena dia telah makan lebih awal bersama kakek
dan kemenakannya.
***
Fatima memilih saatnya dengan hati-hati. Sudah dua hari sejak
obrolannya dengan Shahzada. Zarri Bano sedang duduk bersama

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kemenakannya di pangkuannya, membelai rambutnya dari dahinya


dengan sentuhan penuh cinta seraya menyaksikan sebuah drama seri
televisi di ruang santai.
"Tampan, ya?" ujar Fatima seraya duduk dekat Zarri Bano.
"Ya, ia mirip sekali dengan adikku Ruby." Gurat kesedihan tersirat di
wajah Zarri Bano.
"Ia bisa dengan mudah dikira anakmu sendiri, sayangku. Kalian kakak
beradik sungguh mirip. Bagaimanapun, Haris juga mirip ayahnya dan
Sikander memang amat tampan. Membutuhkan dua orang untuk
meraut wajah anak ini. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada
Haris jika ayahnya menikah lagi...." Fatima menunggu tanggapan
Zarri Bano. Ketika tak ada tanggapan yang ditunggunya, dia
melanjutkan. "Sikander tentu akan menikah lagi. Sulit bagi seorang
lelaki menduda terlalu lama. Ibuku selalu berkata bahwa sebagian
besar lelaki menikah lagi bahkan sebelum para istri mereka dingin
dalam kuburan. Sudah setahun sejak Ruby meninggal. Jika bukan
untuk diri mereka sendiri, para lelaki menikah untuk anak-anak
mereka. Itu alasan yang selalu mereka berikan, tentu saja, walaupun
kita tahu tidak begitu. Begitulah yang dikatakan oleh ibuku padaku.
Hidup melajang adalah sebuah masalah bagi mereka semua." Fatima
berhenti bicara dengan merasa malu. Lidahnya bisa-bisa terpiting
karena dia membicarakan sesuatu yang tabu. Dia sedang berbicara
dengan Zarri Bano-sang Perempuan Suci.
"Tapi mengapa kau berbicara tentang Adik Sikander, Fatima?" tanya
Zarri Bano.
"Aku hanya merasa penasaran apa yang akan terjadi pada Haris bila
ia menikah lagi," sahut perempuan itu dengan lembut.
"Haris bisa tinggal bersama kami seperti yang ia lakukan saat ini.
Selamat tidur, Fatima." Zarri Bano mengakhiri pembicaraan mereka.
Dia telah bisa menebak ke mana arah pembicaraan Fatima.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

51.

KERAP KALI, di malam hari, sekelompok lelaki yang terdiri atas lima
orang tua di desa itu datang berkunjung menyampaikan rasa hormat
mereka pada Siraj Din. Mereka membawa hookah dan berjalan
masuk halaman hawali dan tinggal berlama-lama seraya bercakap-
cakap ngalor ngidul. Dengan hookah mereka dipenuhi tembakau segar
oleh para pelayan Siraj Din dan dengan dendeng lezat untuk dimakan
serta kacang untuk dikunyah dengan gigi tua mereka, para tetua
desa itu menyampahi pekarangan berlantai marmer itu dengan kulit
kacang pistachio, mengabaikan piring-piring yang diletakkan dekat
mereka. Mengapa harus memedulikan piring kalau lantai itu akan
disapu dan dipel pagi-pagi benar? Mereka menikmati percakapan
akrab di antara mereka dan mendengarkan cerita-cerita Baba Siraj
Din tentang India di masa lalu. Misalnya, bagaimana Siraj Din dan
keluarganya melarikan diri ke Sind di Pakistan dan memulai hidup
baru setelah "Pemisahan antara India dan Pakistan".
Di bawah embusan angin sejuk dari kipas di langit-langit, Shahzada
duduk di sudut yang jauh dari para lelaki itu di atas sebuah charpoy,
tersembunyi dalam bayang-bayang pot tanaman tinggi di beranda.
Dia mendengarkan percakapan mereka tanpa menunjukkan diri.
Ketika melihat mereka pergi, beranjak ke altar halaman dengan
hookah di depan mereka, Shahzada mendekati Siraj Din untuk
bertanya apakah ia memerlukan sesuatu sebelum berangkat tidur.
"Aba Jan, apakah aku perlu membawakanmu hookah yang masih
segar? Aku akan menyiapkannya sendiri." Dia dengan sukarela
menawarkan pelayanannya walaupun para pelayan biasa menyiapkan
tugas ini. Berdiri dekat kasur lipat milik Siraj Din di beranda,
Shahzada menutupkan kerudung wolnya erat-erat di sekeliling bahu
dan kepalanya sebagai tanda hormat pada lelaki tua itu. Siraj Din
tak pernah melihatnya tanpa penutup kepala-sebuah kenyataan yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

disyukuri dan kerap digembar-gemborkan Siraj Din pada orang lain


dengan amat senang hati.
"Tidak, Anakku. Yang kuinginkan hanyalah ditemani olehmu.
Duduklah, sayangku-di sini, di dekatku." Siraj Din menekuk kakinya
yang panjang dan memberi tempat pada Shahzada untuk duduk di
atas palang-nya.
"Betapa menyenangkan ada kalian semua di sini, Shahzada. Kuharap
kau dan Zarri Bano bisa tinggal di sini untuk seterusnya. Ini
mengingatkanku pada masa lalu ketika kalian biasa tinggal di sini dan
tempat ini menjadi hidup oleh kehadiran kalian dan anak-anak. Ada
banyak hal yang telah terjadi-saat itu ibu mertuamu, Zulaikha,
masih hidup. Kau tahu, aku masih ingat Zarri Bano dan Ruby-semoga
dia berada di surga-bertengkar, saling menjambak rambut, di
beranda ini. Zarri Bano selalu memiliki masalah dengan menutup
kepalanya," ia terkekeh. "Ah, ya.... Sudah lima tahun berlalu sejak
aku terakhir melihat rambutnya. Betapa banyak hal telah berubah!"
Suasana hatinya berubah. "Terkadang, Shahzada, aku merasa amat
sedih karena aku masih hidup. Ini hampir seperti hukuman. Tak adil
rasanya kehilangan cucu yang masih muda dan seorang anak lelaki-
semua telah tiada. Aku bersedih untukmu, Anakku. Kau telah
kehilangan mereka semua. Suami, anak lelaki, dan anak perempuan."
"Ya, aku telah kehilangan mereka semua," Shahzada menyetujui
perkataan Siraj Din dengan lirih.
"Hari ini kau tampak sedih. Aku memerhatikan semuanya, Shahzada,
putriku. Aku mungkin bertambah tua, tapi tiada yang luput dari
mataku ini. Apakah semuanya baik-baik saja?" Shahzada tersentuh
oleh nada peduli dalam suara Siraj Din. Siraj Din mencondongkan
tubuh ke depan, menarik hookah panjang ke mulutnya dan
mengisapnya, tetapi sepasang matanya menatap wajah menantu
perempuannya itu-dengan hati-hati mengamatinya. Shahzada
menunduk.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku baik-baik saja," akhirnya Shahzada menyahut dengan menghela


napas panjang.
Merasa tidak puas dengan jawaban Shahzada, Siraj Din berpendapat
itu adalah saat yang tepat baginya menyinggung persoalan yang telah
melukai keluarganya.
"Kau tak pernah memaafkan anakku, Habib, karena membuat Zarri
Bano menjadi seorang Perempuan Suci, bukan? Ia mati sebagai
seorang lelaki yang sedih dan kesepian. Karena itu, bagaimana
mungkin kau bisa memaafkan aku, ayah mertuamu, orang yang
mendorong dan mendukungnya."
Shahzada berpura-pura tak peduli. "Aku tak tahu apa yang kau
bicarakan, Aba Jan," sahutnya.
"Shahzada, menantuku tersayang. Mengapa kau sembunyikan? Jika
kau membenciku karena membuat Zarri Bano menjadi seorang
Perempuan Suci, beranilah menunjukkan kebencianmu. Berteriaklah
padaku jika itu yang ingin kau lakukan! Tapi jangan kau pendam dalam
hatimu! Aku telah berbuat jahat padamu. Jangan membuat lebih
buruk bagiku dengan berlaku terlalu baik. Hati yang tua ini masih
memiliki ruang dan kekuatan untuk mendengar teriakan dan
kutukanmu jika itu yang ingin diutarakan oleh bibir dan hatimu."
Mata Siraj Din menatap lembut pada kepala Shahzada yang ditutupi
kerudung dan tertunduk. Seraya menunggu Shahzada mengatakan
sesuatu dengan sabar, Siraj Din menarik hookah ke mulutnya lagi.
"Umurku sudah lebih dari lima puluh tahun, Aba Jan," kata Shahzada
dengan suara jernih serta mengangkat pandang matanya pada Siraj
Din. "Aku telah menjadi seorang nenek, tetapi masih menganut
ajaran bahwa aku harus menghormatimu sepanjang masa. Maka,
bagaimana mungkin aku berteriak dan mengutuk walaupun misalnya
aku ingin? Aku adalah perempuan patuh dan bodoh yang tak bisa
lepas dari sopan santun sejak begitu lama, bagaimana mungkin aku
berani membuka mulut pada Anda, Aba Jan?

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku menaruh gembok dan rantai berat di mulut dan hatiku dan
menguncinya selamanya untuk kebaikan ketika Anda dan Habib
memutuskan untuk menentukan nasib putriku dalam kuasa tangan
maskulin kalian. Anda tak berpikir untuk meminta pendapatku. Aku
tentu saja tak ikut bertanggung jawab atas akibatnya. Aku malah
menerima hukuman dari Anda karena membiarkan Zarri Bano tinggal
di rumah Sikander. Anda pun tak mempertimbangkan perasaan
seorang ibu sama sekali atau perasaan putriku. Anda tahu, kami
kaum perempuan hanyalah para pelayan bodoh dalam rumah tangga
Anda-budak-budak yang patuh. Maka, bagaimana mungkin kini aku
mencurahkan segenap perasaanku pada Anda?"
Itu adalah perkataan terpanjang dan paling terbuka yang pernah dia
lakukan di depan ayah mertuanya. Tawa Siraj Din bergema
menakutkan dalam temaram beranda, membuat senyap suara
jangkrik untuk beberapa waktu. "Tidak,
menantuku tidaklah bodoh. Kebalikannya, dia justru diberkahi otak
yang cerdas. Dia tidak berteriak atau mengutuk, tetapi dia tahu
bagaimana menajamkan kata-katanya dan menusukkannya pada
tempat yang paling melukai."
Dengan tersipu, Shahzada menatapnya dan memutuskan berterus
terang padanya seperti yang dikehendaki oleh Siraj Din. "Anda
memintaku berbicara, maka aku pun bicara. Hari ini budak yang
bodoh ini menyatakan kegetiran. Anda harus memaafkanku, Aba Jan.
Anda telah menyentuhku pada titik getir dalam hidupku-putriku,
Zarri Bano. Memang benar apa yang Anda katakan. Aku berubah
pada hari Anda memenjarakan putriku dalam jalan suci ini. Aku
kehilangan dan menguburkan seorang anak perempuan pada hari itu,
Aba Jan, Zarri Bano yang kukenal dan kucintai. Aku tak pernah pulih
dari kehilangan itu-aku berhadapan dengan orang asing. Aku merasa
sedih hari ini karena aku ingin putriku menikah dengan Sikander.
Aku meminta pertimbanganmu soal ini dan Anda memberikan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

restumu. Tapi, kenyataannya tak seorang pun di antara kita bisa


melakukan tawar-menawar dengan apa yang terjadi pada Zarri Bano.
Dia sungguh-sungguh seorang Perempuan Suci. Dia tak mau berubah
pikiran bahwa dia tak akan pernah menikah dengan Sikander atau
lelaki mana pun! Karena itulah, aku merasa sedih. Aku tak tahu
bagaimana harus membujuk putriku. Aku ingin dia berubah menjadi
perempuan normal lagi-memiliki suami dan keluarga. Aku ingin Haris
memiliki Zarri Bano sebagai ibunya yang baru, bukan ibu tiri asing
yang kebetulan dinikahi ayahnya. Aku tahu Sikander selalu mencintai
Zarri Bano. Namun, Zarri Bano mundur dari gagasan menikah
dengannya."
Dilanda emosi, Shahzada berhenti bicara. Kesedihan yang dalam di
dalam nada suaranya melukai Siraj Din. Seraya mengulurkan
lengannya, Siraj Din dengan lembut menyentuh kepala Shahzada
yang tertutup kerudung. Itu tak tertahankan oleh Shahzada. Dia
menjatuhkan diri di bahu Siraj Din dan tangisnya pun meledak.
"Diamlah, Anakku. Jangan menangis, atau kau akan membuatku
menangis pula. Aku akan mencoba membereskannya dengan Zarri
Bano. Sayangnya, aku tak bisa memutar waktu ke belakang,
Shahzada. Seandainya saja aku bisa. Aku tak tahu apakah kau akan
memaafkanku. Terkadang aku berharap kau seperti ibunda Gulshan-
pemarah, pembangkang, dan tidak patuh. Karena jika kau seperti itu,
kau akan memperjuangkan putrimu dengan segala cara. Tetapi, kau
seorang menantu yang terlalu baik, terlalu sempurna, terlalu pasrah
untuk berpikir menggoyang perahu patriarkat kami. Untuk semua ini,
kau mendapat tempat khusus di hatiku. Putriku, aku tak bisa
mengubah masa lalu, tetapi biarkan aku mencoba dengan meminta
maaf padamu."
Ia dengan lembut membangkitkan Shahzada dari bahunya. Lalu,
seraya duduk tegak ia menangkupkan kedua tangannya di depan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Shahzada dengan sikap yang mengingatkan pada permohonan maaf


secara tradisional.
"Tidak, Aba Jan!" pekik Shahzada. Matanya mendelik. Dia bangkit
dari kasur lipat itu seakan-akan tersengat dan meraih tangan Siraj
Din erat-erat. "Mengapa kita melakukan hal ini?" tanyanya. Suaranya
serak.
"Maafkan aku, Shahzada. Aku tahu anakku menyentuh kakimu. Kami
telah melakukan kejahatan terhadapmu dan putrimu. Aku tak tahu
kau akan membiarkanku menyentuh kakimu atau tidak, tetapi apakah
permohonan tanganku ini ada pengaruhnya bagimu?"
"Tolong, Aba Jan! Jangan hinakan aku atau dirimu sendiri dengan
tindakan ini," teriaknya. "Aku tak tahan! Kau tak perlu melakukannya.
Aku memaafkanmu. Tetapi tolong, turunkan tanganmu. Kau
membuatku gemetar." Shahzada mencium tangan Siraj Din yang
berkenjal-kenjal, tersentuh batinnya, seraya menggenggamkan
tangan itu pada wajahnya.
"Baiklah, Shahzada. Aku akan menurunkan tanganku, tetapi izinkan
aku berkata, kau dinamai tepat sekali, seorang putri-seorang
'shahzadi', perempuan bangsawan. Aku selalu merasa terhormat
memilikimu sebagai menantu. Semoga kau panjang umur dan semoga
Allah memberimu kedamaian pikiran yang amat kau idamkan. Aku
akan berdoa untukmu dalam shalatku. Beristirahatlah, Anakku. Aku
akan berbicara dengan Zarri Bano esok hari." Ia dengan lembut
menarik tangannya dari cekalan erat Shahzada.
"Hudah Hafiz, Aba Jan." Seraya mengucapkan selamat malam dan
mengembalikan hookah ke mulut Siraj Din, Shahzada bangkit. Dia
kembali ke kasur lipatnya sendiri di beranda, tetapi tak dapat tidur.
Sudah lama sekali sejak ia bercakap-cakap dari hati ke hati dengan
ayah mertuanya. Orangtuanya sendiri tinggal di tempat yang jauh
dan dia amat jarang bertemu mereka. Shahzada memejamkan
matanya dengan tak percaya ketika dia memikirkan tangan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mertuanya yang tertangkup memohon, meminta permaafannya. Itu


dilakukan oleh seorang zemindar yang angkuh! Dia bergidik, merasa
malu atas diri mertuanya. Merendahkan diri hingga menyembah pada
menantunya sendiri. Itu tak terpikirkan! "Dan ia melakukannya
untukku! Aku memaafkanmu, Aba Jan," tangisnya bermurah hati
dalam tidurnya.
***
Esok paginya, setelah sarapan disiapkan oleh Naimat Bibi di beranda
terbuka, Siraj Din meminta cucu perempuannya menemaninya
berjalan-jalan di ladang seperti yang biasa ia lakukan setiap hari.
"Ya, tentu saja, Kakek. Haris dan aku akan sangat menyukainya.
Ayolah, bocah kecil!"
Zarri Bano baru saja mengawasi kemenakannya makan setelah
mengganti bajunya dan menyisir rambutnya. Dia mengikuti kakeknya
keluar rumah dan mengambil jalan setapak melintasi desa, seraya
menyalami para perempuan yang dia temui. Dengan sabar mereka
mengawasi Haris yang melompat-lompat di depan mereka di atas
jalan setapak yang sempit berdebu.
"Kau amat menyayangi kemenakanmu, bukan, Zarri Bano sayangku?"
Siraj Din memulai dengan mata tertunduk ke bumi dan menusukkan
tongkatnya yang terbuat dari gading.
"Ya, tentu saja, Kek." Zarri Bano tertawa seraya menjajarkan
langkahnya dengan laju tongkat kakeknya. "Ibumu berbicara padaku
semalam. Dia amat bersedih karena dirimu." Nada tenang itu kini
telah sirna. "Begitukah?" Suara Zarri Bano mengandung
kewaspadaan. "Ya, dan kau tahu mengapa, bukan?" ujar Siraj Din.
Zarri Bano menahan napas. "Jika Kakek tahu mengapa, berarti aku
bisa mengatakan padamu bahwa aku tak bisa melakukan apa yang dia
minta," jawab Zarri Bano dengan tenang seraya menatap ke depan
dan mengawasi Haris dengan hati-hati.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Bahkan seandainya kakekmu memintanya padamu?" Siraj Din


mendesaknya dengan lembut.
Zarri Bano berhenti berjalan dan memalingkan wajahnya ke arah
kakeknya. Siraj Din melihat garis tegas mulut Zarri Bano yang
berwarna merah jambu. Siraj Din pun berhenti dan bertumpu pada
tongkatnya. Kakek dan cucunya itu saling bersitatap dengan
keteguhan hati yang setara.
"Kakek dan Ayah menggunakan tekanan moral dan psikologis untuk
membuatku menjadi seorang Perempuan Suci," ujar Zarri Bano pada
kakeknya kini. "Aku kemudian patuh dan pasrah. Aku tak akan
melakukannya kali ini, Kakek, bahkan jika Kakek berlutut pun. Aku
bukanlah sebuah boneka lilin yang bisa kau bentuk sesuai dengan
kemauanmu. Lagi pula, aku tak punya keinginan untuk menikah dengan
lelaki mana pun! Tolong jangan munculkan persoalan ini lagi. Ini
sangat menyakitkan bagiku. Maafkan aku karena kekasaranku,
Kakek, tapi aku tak bisa mematuhimu. Kau tahu, aku tidak bisa
melakukannya ketika otonomi individualku dipertaruhkan."
Jika Siraj Din merasa kecewa, ia berhasil menyembunyikannya
dengan baik. Penolakan Zarri Bano bisa dimengerti. Siraj Din
menelan harga dirinya yang terluka, tetapi ia merasa kasihan pada
Shahzada. Ia telah berjanji pada menantunya itu. Ia pun mencoba
lagi.
"Zarri Bano, sayangku, maafkan kami atas apa yang telah kami
lakukan," ia memulai.
"Tiada yang perlu dimaafkan, Kakek. Aku amat bahagia dengan
hidupku." Zarri Bano berjalan dengan bergegas.
"Aku kenal dirimu, sayangku, tapi kini kukira perkawinan akan baik
bagimu." Begitu ia mengucapkan kata-kata itu, Siraj Din langsung
menyesalinya.
"Betapa baiknya Kakek berpikir seperti itu," tukas Zarri Bano
dengan kasar. "Pernikahan baik bagiku sekarang, bukan? Tapi tidak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

baik bagiku lima tahun lalu-mengapa? Kau tahu, Kakek, aku sudah
sepakat akan menikah dengan seorang lelaki yang sungguh ingin
kunikahi, tetapi Kakek dan Ayah dengan tangan besi
membatalkannya. Aku sudah melakukan apa yang kau inginkan. Tapi
tidak sekarang, tidak kali ini, Baba Jee."
"Ya, sebenarnya kau bisa menikahinya sekarang, Zarri Bano," Siraj
Din buru-buru menawarkan.
"Tidak, Kakek, aku tak bisa. Sudah terlambat lima tahun. Asal Kakek
tahu, kalau-kalau kau tak memerhatikan, aku seorang pribadi yang
lain sekarang ini. Aku tak berhasrat menikah-dengan atau tanpa
izinmu yang begitu murah hati. Ayahku memaksaku menjadi seorang
Perempuan Suci dengan menolak memberiku izin menikah. Aku tak
membutuhkan izin siapa pun, aku sudah dewasa, tapi aku menjadi
seorang tawanan dari perasaan wajib berbakti kaum perempuan.
Ketika mengalah, aku mengorbankan jiwa dan kebahagiaanku serta
kedamaian pikiranku. Aku tak akan melakukan hal serupa lagi.
Melakukan hal seperti itu akan melenyapkan inti otonomi
individualku. Jika aku sampai kehilangan hal itu, Allah melarangnya,
aku sama saja dengan seorang tolol-sesosok phutley. "
"Aku tidak tahu apa-apa tentang jiwa atau otonomi individu atau
phutley, Zarri Bano. Yang kami minta darimu hanyalah menjadi ibu
Haris," tegas Siraj Din dengan suara mengeras.
"Maafkan aku, Kakek, jawabannya masih tidak." Suara Zarri Bano
sama tegasnya dengan kekerasan Siraj Din. Dia berlari mengikuti
Haris.
Tiada lagi yang perlu dibicarakan. Keheningan meraja di antara
mereka-sebuah pengalaman unik bagi Siraj Din. Ia terbiasa dengan
orang-orang yang mematuhi perintahnya. Penolakan tegas cucunya
adalah sebuah pil pahit yang terpaksa harus ditelannya.
Mengapa dia tidak bisa menolak mereka lima tahun yang lalu? Dalam
hatinya, Siraj Din tahu jawabannya. Saat itu Zarri Bano tak memiliki

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

peluang membangkang di hadapan empat lelaki kuat. Apakah yang


bisa dilakukan seorang gadis yang baru berumur dua puluh tujuh
tahun saat harus berhadapan sekaligus dengan seorang ayah,
seorang paman, seorang kakek, dan seorang lelaki yang lebih tua?
Zarri Bano tak memiliki pilihan selain pasrah, tunduk di hadapan
mereka semua.

52.

"TIADA GUNANYA, Sahiba," Fatima berkata terus terang pada


majikannya di kamar tidur Shahzada setelah dia bercakap-cakap
dengan Zarri Bano. "Dia tidak mau mendengarkanku dan berkeras
tak mau menikahi Sikander. Anda benar. Dia langsung menentang
gagasan itu."
"Terima kasih telah mencoba, Fatima." Shahzada menarik napas
dalam-dalam. "Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Dia mungkin
akan menghindariku kini. Hari ini dia bahkan tidak pulang untuk
makan siang, tetapi tetap tinggal di madrasah, berpura-pura
mengadakan sebuah rapat penting. Aku harus mengatakannya pada
Sikander besok ketika ia datang menjemput Haris. Aku takut. Kau
tahu, waktu seminggu berlalu begitu cepat, Fatima. Rasanya baru
kemarin Haris datang untuk tinggal bersama kami."
Malam berikutnya Sikander tiba untuk menjemput anaknya. "Mana
bibimu, Haris?" tanyanya setelah beristirahat dan memeluk anak itu.
"Dia masih di madrasah, Sikander Anakku," sahut Shahzada.
"Aku tahu. Sudah malam, bukan? Apakah aku jemput saja dia agar
pulang ke rumah atau kusuruh sopir untuk menj emputny a?"
"Tidak usah, tidak apa-apa. Aku menyuruh Ali untuk menemaninya,"
kata Shahzada padanya. Dia tahu secara naluriah Zarri Bano sengaja
tinggal di madrasah begitu lama agar tak perlu bertemu dengan
Sikander. Shahzada telah berniat untuk berkata sejujurnya pada

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander dan membuatnya tahu persis apa yang terjadi antara


dirinya dan putrinya.
"Sikander, aku amat menyukai usulanmu," dia memulai. Sikander
menatap tajam padanya. "Kau tahu apa yang sedang kubicarakan,
bukan? Ya, aku telah berbicara pada Zarri Bano soal ini dan maafkan
aku, Anakku, tapi dia tak mau mendengarkan atau
mempertimbangkannya. Dia menolaknya mentah-mentah."
Sikander mencoba menutupi kekecewaannya. "Aku tahu," akhirnya
Sikander menyahut.
"Kau bisa mengerti situasinya, kan?" Shahzada meminta
pengertiannya.
"Ya, bisa, Bibi," jawabnya datar.
"Dia telah berubah kini. Dia menuduh kami telah memperlakukannya
seperti boneka lilin, membentuknya sesuai dengan keinginan kami
dan keadaan kami."
"Ya, aku bisa membayangkan Zarri Bano mengatakan hal itu-dan
memikirkan itu. Itu juga barangkali yang akan kupikirkan jika aku
berada dalam posisinya. Aku ingat dia pernah berkata padaku dulu
bahwa di atas segalanya dia tidak mau dibentuk, tetapi ironisnya dia
telah dibentuk."
"Dia juga merasa bersalah atas kematian adiknya. Pilihan harus
menggantikan Ruby terasa mengerikan baginya."
Sikander kembali menyimak perkataan Shahzada dengan tekun,
tetapi tidak segera menyahut.
"Ayo, Nak. Kita harus pulang," ujar Sikander akhirnya pada Haris
dan bangkit untuk pergi. Lalu ia berpaling pada Shahzada lagi.
"Bolehkah aku berkata sendiri padanya tentang soal itu? Apakah aku
diizinkan?"
"Tentu saja, sayangku, lakukanlah. Aku akan amat senang jika kau
menikahi putriku."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander tersenyum berterima kasih. "Daripada aku mengantar


Haris kemari, mungkinkah Anda membujuk Zarri Bano untuk datang
ke Karachi seminggu lagi untuk menjemput Haris? Aku akan senang
berjumpa dengan Zarri Bano di sana, begitu juga orangtuaku."
"Aku tak tahu apakah itu bisa dilakukan," Shahzada merasa cemas.
"Perangai Zarri Bano saat ini aneh. Dia bahkan lari hanya karena
mendengar namamu disebut. Aku akan mencoba melakukan yang
terbaik atau aku akan datang sendirian."
"Baiklah. Tolong lakukan itu. Hudah Hafiz, Bibi."
Sikander berjalan keluar menuju halaman depan yang gelap. Ketika
baru saja mendekati jipnya, ia melihat Zarri Bano berjubah hitam
panjang tiba di halaman bersama Ali.
Zarri Bano berhenti saat melihat Sikander. Dia sudah terlihat oleh
Sikander dan ragu-ragu apakah akan kembali atau maju. Akal
sehatnya berkata padanya agar ia harus maju. Sikander tetap
berdiri di bawah beranda yang bertudung seraya memeluk erat
putranya, menunggu Zarri Bano mendekatinya.
"Assalamu 'alaikum, Adik Sikander," sapa Zarri Bano memberi
penekanan pada kata "Adik".
"Wa 'alaikumussalam, Zarri Bano," sahut Sikander lirih: Sepasang
matanya berkilat dalam cahaya temaram beranda. Zarri Bano
memerhatikan bahwa Sikander menghilangkan kata "Kakak". Selama
empat tahun terakhir, selama pernikahannya dengan Ruby, Sikander
dengan hormat memanggilnya sebagai "Kakak Zarri Bano". Pipi Zarri
Bano merah padam dalam gelap.
"Aku menjemput Haris pulang." Sikander kini berjalan perlahan
menghampiri Zarri Bano.
"Aku tahu. Apakah Bibi sehat?" tanya Zarri Bano dengan sopan,
mencoba menjaga nada datar dalam basa-basinya. Zarri Bano masih
tak menatap langsung mata Sikander, tetapi menatap Haris yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mencondongkan tubuh ke depan dan menggenggam lengan Zarri


Bano.
"Bibi, maukah Bibi menjemputku minggu depan di Karachi?"
rengeknya. "Nenek bilang Bibi akan datang. Bibi harus datang dan
tinggal dengan kami dua hari." Haris tak peduli dengan ketegangan di
antara kedua orang dewasa itu.
Zarri Bano menahan napas, terperangkap oleh pertanyaan polos
Haris. "Tidak, sayang. Aku tidak bisa. Aku akan menghadiri rapat di
Multan minggu depan," sahutnya dengan jujur.
"Datanglah kalau Bibi ke sana. Bibi tak pernah berkunjung ke rumah
kami di Karachi, kan?" Celoteh bocah keluar dari mulut mungilnya.
Zarri Bano merasa terperangkap makin dalam.
"Anakku menyampaikan undangan untuk membantuku. Aku tidak
perlu melakukannya sendiri," Sikander tersenyum seraya berkata
lembut pada Zarri Bano dengan suara dalam.
Zarri Bano melangkah mundur. Wajahnya menggambarkan ekspresi
panik. Kali ini Zarri Bano menatap langsung mata Sikander. Gagasan
itu harus segera dibasmi. Dia tak bisa berpura-pura tak peduli lagi.
"Maafkan aku, Adik Sikander, tapi aku sungguh harus menolak
undangan itu. Mungkin nanti, kalau kau menikah lagi, aku akan
menghadiri pernikahanmu."
"Kau pasti akan datang," sahut Sikander sebelum berjalan pergi
bersama anaknya dalam pelukan. Setelah meletakkan Haris di
tempat duduk penumpang dalam jipnya, ia sekali lagi menoleh pada
Zarri Bano. Perempuan itu berdiri melihatnya, terguncang oleh
kesadaran aneh yang merasuki tubuhnya.
Zarri Bano masuk ke rumah, merasa jijik pada diri sendiri dan pada
perasaannya, dan menuntaskannya dengan tiga patah kata tajam,
"Tak akan lagi!" Bab itu dalam hidupnya telah berakhir-tak akan
pernah hidup kembali.
***

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Lebih dari beberapa hari kemudian Shahzada mencoba dengan amat


keras untuk memberi isyarat pada Zarri Bano agar mereka
sebaiknya pergi menjemput Haris lain kali. Gadis itu bergeming. "Ibu
saja yang pergi! Tak perlu aku pergi ke sana. Ibu bisa mengirim Ali
untuk menjemputnya." Kini dia mulai berpikir ada persekongkolan
untuk mengirimnya ke Karachi dan melemparkannya bersama
Sikander.
"Ibu, kenapa Ibu ngotot? Ibu tahu aku tidak seharusnya menemui
seorang gher merd, seorang asing." Dia menoleh dengan marah pada
ibunya.
"Tapi, Sikander bukanlah seorang gher merd, " Shahzada berkeras.
"Oh, ya, ia orang asing. Ia tak memiliki hubungan darah denganku,
maka ia adalah seorang gher. Sampai ia menikah lagi dengan
seseorang, aku tak ingin berurusan dengannya atau keluarganya.
Tolong jangan bersekongkol di belakangku karena jawabannya akan
selalu sama."
***
Tiga hari kemudian, Zarri Bano dengan enggan akhirnya menemani
ibunya ke Karachi. Dia menunda kunjungannya ke Lahore karena
Haris dikabarkan sakit dan ingin agar Bibi Zarri Bano dan neneknya
yang lain bersamanya. Merasa terjebak, dia akhirnya bersedia pergi.
Jika Haris memang sakit, tak baik baginya jika dia menjauh. Haris
telah berbicara di telepon dengan suara gemetar, "Bibi, datanglah.
Aku kangen sekali. Aku sayang Bibi. Kapan Bibi akan datang?"
"Ya, sayang," ujar Zarri Bano dengan pasrah. Haris adalah pusat
dunia mereka, peninggalan yang bernyawa dari adik perempuannya.
Dia tak pernah bisa menolak permintaan sepenuh hati semacam itu.
"Aku akan menuntaskannya dengan Sikander jika waktunya tiba,"
Zarri Bano berkata tegas pada dirinya sendiri.
Ketika menatap Haris beberapa jam kemudian di atas ranjangnya di
Karachi, Zarri Bano merasa malu atas keegoisannya. "Semuanya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

baik-baik saja, sayangku. Bibi ada di sini untuk menemanimu,"


janjinya seraya memeluk bocah yang tengah diserang demam itu dan
mengecup keningnya. Lidahnya serasa kelu. Dia terharu untuk
adiknya yang telah tiada. Dengan Haris masih berada dalam
pelukannya, Zarri Bano tidak kuasa lagi menahan tangisnya.
"Bibi, apakah Bibi menangis?" ujar Haris seraya menatap penuh
selidik kepada Zarri Bano.
"Ya, sayang. Aku menangis untuk ibumu karena aku merasa kangen
sekali padanya."
"Aku juga rindu padanya," kata bocah itu dengan suara lirih.
"Kita semua kangen padanya, tetapi menangis tak akan menolong,"
sela Sikander. Rupanya ia telah masuk ke kamar. Zarri Bano menyeka
matanya dengan tangannya dan menoleh. Sikander dan Bilkis berdiri
bersama. Tatapan mereka hangat ketika melihat bibi dan kemenakan
itu saling berangkulan.
Zarri Bano menyeka pipi bocah kecil itu dengan sehelai tisu. "Haris,
maukah kau minum sedikit kuah sup yang dibawakan Dadi Ama
untukmu?" Zarri Bano mengambil sup itu dari Bilkis dan mencicipinya
terlebih dahulu. "Oh, enak sekali! Kau cobalah cicipi dulu." Seraya
menyendok sup ke mulut Haris, Zarri Bano memusatkan perhatian
pada sup itu karena tubuhnya menyadari bahwa Sikander tengah
duduk di ujung lain ranjang itu seraya mencondongkan tubuh ke
depan dan memerhatikan mereka berdua lekat-lekat.
"Kau beruntung memiliki bibi yang menghabiskan banyak waktu
bersamamu," ujar Sikander pada anaknya. "Kedua bibimu yang lain,
saudara-saudaraku, tinggal amat jauh dan amat sibuk dengan anak-
anak mereka sendiri sehingga tidak bisa datang biarpun hanya
sebentar."
"Aku mungkin tinggal di tempat yang berdekatan, Sikander Sahib,"
jelas Zarri Bano pada Sikander, "tapi seperti yang kau tahu aku pun
menjalani hidup yang sibuk dan hanya memiliki sedikit waktu untuk

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dihabiskan bersama. Aku datang hanya karena Haris sakit. Aku sibuk
saat ini terutama karena berharap bisa mendirikan sebuah
perusahaan penerbitan seperti yang ingin kulakukan sejak lima tahun
yang lalu."
"Ya, tentu saja, Sahiba. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa
kau tak memiliki urusan," Sikander dengan cepat menimpali. "Kami
tahu kau memiliki kehidupan yang amat sibuk. Aku juga sadar kau
harus menunda kepergianmu ke Lahore. Kami semua amat berterima
kasih kau bersedia meluangkan begitu banyak waktumu untuk
kunjungan ini. Apakah kau merencanakan Karachi sebagai basis
perusahaanmu?" tanyanya penuh rasa ingin tahu, secercah cahaya
tersirat di matanya.
"Aku belum yakin, tetapi aku berharap bisa membuat penerbit yang
memiliki spesialisasi dalam buku-buku akademis dan pelajaran,
barangkali di Hyderabad atau Islamabad," kilah Zarri Bano yang
telah membeli tanah di Karachi untuk perusahaannya. Sikander tak
tahu, begitu pula Shahzada-hanya kakeknya yang tahu.
Zarri Bano menuruni tangga untuk makan malam dan bergabung
dengan ibunya. Tak lama setelahnya, dia kembali ke kamar Haris dan
memutuskan untuk tidur dengan bocah mungil itu. Sejak kematian
ibunya, Haris selalu tidur dengan Zarri Bano ketika ia tinggal
dengannya. Seraya membuka burqa dan mengenakan kurta malamnya,
Zarri Bano naik ke ranjang besar, memeluk Haris dan jatuh tertidur.
Sikander masuk kamar anaknya tidak lama kemudian di malam itu.
Ketika ia melihat anaknya dikeloni bibinya, sesuatu membuat
kerongkongannya serasa tercekat. Ia berdiri begitu lama menatap
mereka berdua. Itu adalah untuk
pertama kalinya ia melihat Zarri Bano tidur di rumahnya. "Aku tak
akan melepaskannya! Aku harus segera berbicara dengannya. Setiap
hari adalah hari yang terbuang," ujar Sikander pada diri sendiri
seraya menutup pintu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

***
Sikander menemukan kesempatan untuk berbicara dengan Zarri
Bano dua hari kemudian. Zarri Bano sedang berada di kebun jeruk,
bermain-main dengan Haris. Kesehatan bocah itu telah membaik
hanya dalam waktu dua puluh delapan jam. Zarri Bano tidak
menyadari kehadiran Sikander untuk beberapa waktu karena begitu
asyik bermain petak umpet dengan kemenakannya, merasa senang
dengan tawa sehat kekanak-kanakan bocah itu.
"Oh, itu Ayah!" teriak Haris seraya berlari ke arah Sikander. Ketika
Zarri Bano berpaling untuk melihat Sikander, senyum telah lenyap
dari wajahnya. Sikander memeluk anaknya dan menatap Zarri Bano
melalui atas kepala Haris.
Tatapan Sikander yang membakar tertangkap oleh mata Zarri Bano.
Kata-kata, "Haram! Haram! Itu dosa!" menggeledek dalam benak
Zarri Bano ketika dia buru-buru membuang muka. "Aku tidak boleh
menatap seorang gher merd, " gumamnya pada diri sendiri.
Selama beberapa detik Sikander telah berhasil menggiring Zarri
Bano masuk ke dalam dua dunia: dunia masa lalu dan masa kini,
dengan dirinya sebagai seorang Perempuan Suci. Zarri Bano merasa
tidak senang karena dia melihat dirinya kembali berada pada titik
yang sama seperti lima tahun silam ketika Sikander telah
melamarnya. Sepasang mata Sikander bermain-main di wajahnya,
memaksanya mengingat saat-saat itu dan mengakuinya-membuat
sepasang mata Zarri Bano kembali menatap Sikander sekali lagi.
Bola di tangan Sikander terlepas, melepaskan Zarri Bano kembali ke
dunia masa kini. Zarri Bano menunduk untuk mengambil bola dari
atas tanah.
"Haris, Nenek memanggilmu ke dalam rumah," ujar Sikander pada
anaknya seraya meletakkannya di tanah.
"Oke! Sebentar, Bibi," teriak Haris seraya berlari riang sepanjang
jalan setapak di kebun menuju vila. Zarri Bano menyaksikannya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

pergi, berharap dan ingin mengikutinya, tetapi tak mampu karena


sejumlah alasan.
Dia berpaling pada Sikander dengan seulas senyum sopan seraya
menarik kepala burqa-nya lebih dalam menutup keningnya dan
memeriksa tak ada jalinan rambutnya yang terlihat oleh tatapan
mata Sikander. "Haris sudah membaik, Adik Sikander. Setelah
beberapa hari aku bisa membawanya kembali ke Sind bersamaku,"
tawarnya karena ingin mengucapkan sesuatu.
"Ya, ia agak baikan, tapi aku lebih suka ia tinggal di sini. Ini
rumahnya. Ia harus tinggal di sini, Zarri Bano. Aku juga
merindukannya. Perjalanan bolak-balik antara Karachi dan rumahmu
harus dihentikan. Ini sudah berlangsung lebih dari setahun. Ini tak
baik bagi kesehatannya, juga bagi pendidikannya."
"Aku tahu."
"Bisakah kau tinggal dulu di sini bersama kami beberapa waktu?"
tanya Sikander dengan hati-hati, mengambil langkah pertama
menuju tujuannya.
"Aku... aku...." Zarri Bano tergagap seraya menatap Sikander
langsung pada matanya. "Sikander Sahib, aku hanya datang karena
Haris tidak sehat. Aku tak berhak tinggal di sini. Aku memiliki
kehidupanku sendiri."
"Aku tahu kau orang yang sangat sibuk. Katakan padaku, mengapa
kau tak berhak tinggal di sini? Kau adalah bibinya Haris."
"Sikander Sahib, kau tahu tidak pantas bagiku tinggal di sini,
terutama sebagai seorang perempuan lajang dan kau kini seorang
lelaki lajang."
Sikander menyambut umpan yang ditawarkan oleh Zarri Bano dengan
kata-kata tegas. "Aku tahu. Ya, mungkin kita bisa membereskan soal
itu, Zarri Bano. Mengapa tak kita resmikan saja kehadiranmu di sini
bersama kami. Haris membutuhkanmu-kami memerlukanmu. Mengapa
tak kau gantikan saja Ruby?"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Begitu kata "gantikan" terlontar dari mulut Sikander, ia tahu ia


telah membuat kesalahan fatal.
"Menggantikan Ruby? Tak akan pernah! Aku tak ingin menggantikan
Ruby, Adik." Zarri Bano memberi penekanan kata "adik" dengan
gamblang.
"Mengapa?" tanya Sikander, mengernyit pada kata "adik".
"Mengapa?" Zarri Bano balik bertanya. "Apakah kau tak memiliki
rasa kepantasan, Sikander Sahib? Ruby adalah adikku, istrimu, dan
aku adalah seorang Perempuan Suci! Apa yang kau sarankan itu
mustahil bisa terjadi-itu menghinakan dan sekaligus menjijikkan."
"Aku hanya memikirkan yang terbaik untuk Haris. Tak ada hal yang
menghinakan atau menjijikkan dalam usulan itu," sergah Sikander.
Suaranya mengeras.
"Ya, semua orang cenderung memikirkan Haris, tetapi bagaimana
denganku? Ibuku dan kakekku telah mendesakku. Tidakkah aku
diperhitungkan? Tidakkah aku seseorang yang memiliki pendapat
tentang segala hal? Haris membutuhkan perawatan perempuan lain.
Ia bisa mendapatkannya dari sumber mana pun, tidak harus dariku.
Lagi pula, aku bukan ibu yang baik. Hidupku terlalu sibuk. Aku punya
sejumlah pekerjaan yang harus kuawasi saat ini. Aku tak punya
pengalaman mengurus anak-anak. Aku telah meninggalkan
pernikahan. Aku telah dibuat menjadi seperti itu-."
"Aku tidak membuatmu seperti itu!" sergah Sikander dengan dingin.
Zarri Bano mengabaikan sergahan Sikander dan melanjutkan
perkataannya. Matanya menyipit. "Kini itu dilakukan oleh semua
orang. Aku disuruh memenuhi keinginan semua orang. Kau adalah
adikku, Sikander Sahib. Itulah anggapanku terhadapmu selama
empat tahun. Kau adalah suami adikku yang telah mati. Bagaimana
mungkin aku bisa hidup bersamamu? Lagi pula, aku bukan lagi
seorang perempuan biasa. Aku telah menjadi seorang Perempuan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Suci, dalam setiap arti kata yang dimaksud oleh kakekku dan
ayahku-dan lebih banyak lagi.
"Lima tahun lalu hidupku jungkir balik. Aku lalu menyerah. Aku
belajar untuk tak memedulikan dirimu dan kemungkinanku menikah.
Dan aku bisa bertahan. Orang berubah seiring dengan berjalannya
waktu, Adik Sikander. Dalam kasusku, aku menjalani sebuah
perubahan kepribadian. Selama beberapa minggu aku tak tahu
siapakah diriku.
Kini aku telah berdamai dengan diriku sendiri dan merasa bahagia
dengan jalan hidupku sekarang. Aku tak punya keinginan untuk
kembali ke kehidupan masa laluku atau berhubungan dengan semua
itu.
"Kau adalah hubungan lamaku, seperti yang kukatakan padamu di
Mina, Arab Saudi. Haram hukumnya menghubungkan namaku dengan
seorang lelaki, termasuk suami adikku. Aku menikah dengan
keyakinanku. Jadi, tolong jangan sebutkan sesuatu tentang ini lagi.
Aku telah menunaikan kewajibanku atas apa yang tak pernah bisa
terjadi. Jalan hidup kita, walaupun berpapasan lagi, tak ditakdirkan
untuk muncul kembali, Adik Sikander. Ruby pasti akan bangkit dari
kuburnya."
"Tidak akan." Kata-kata lirih itu terlontar dengan tegas. "Dia pasti
ingin agar kau menjadi ibunda Haris. Kau tahu dia selalu merasa
bersalah karena menikahiku. Dia tak pernah berterus terang soal
itu-tapi aku tahu. Dia berpikir telah mengambil bagianmu. Ingat, aku
dulu tunanganmu, bukan tunangannya."
"Kami ini kaum perempuan, Sikander Sahib! Kami bukan sayuran yang
bisa kau pertukarkan semaumu," ujarnya dengan suara lirih penuh
kepedihan. Di depan mata Sikander, Zarri Bano mulai bergidik,
mengingat bayangan waktu lain di taman ketika Sikander nyaris
mengurungnya dalam pelukannya dekat sebatang pohon dan
melamarnya. Sikander telah menyentuh tangannya dan kemudian dia

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

melepaskan Sikander! Zarri Bano ingin menghapus kenangan itu


sepenuhnya dari benaknya. Dia menemukan lebih mudah lari dari
masa kini daripada dari bayangan masa lalu- maka dia pun melarikan
diri. Sikander menyaksikan Zarri Bano pergi dengan sedih.
Sikander tetap berdiam diri di taman, lama setelah Zarri Bano
pergi. Dengan kedua tangan mengepal dalam saku celananya, ia
berjalan mengitari pepohonan buah-buahan dengan kata-kata Zarri
Bano terus terngiang di kepalanya. Ketika mengingat sikap Zarri
Bano yang berapi-api dan raut kebencian di wajahnya, ia merasa
semangatnya anjlok. Ia tak pernah siap dengan perubahan semacam
ini dalam diri Zarri Bano. Dari seorang perempuan yang penuh
gairah, dia telah berubah menjadi seseorang yang berkecil hati
terhadap gagasan mengenai hubungan antarmanusia. "Bagaimana aku
bisa memenangkan dirinya?" tanyanya pada diri sendiri dengan putus
asa. Jika Zarri Bano sungguh-sungguh memandangnya sebagai
seorang adik, harapan apa yang bisa membuatnya mengawini Zarri
Bano? Ia kini berharap dengan sepenuh hati andai ia tak pernah
menaruh hati pada Zarri atau Ruby tidak mati. Apakah memang ini
jalan takdirnya? Tergila-gila selamanya pada perempuan yang
sepenuhnya menolaknya? Seorang perempuan yang tetap tak
tersentuh olehnya sepanjang waktu!
Namun, walaupun ia mengerti dan berempati terhadap perasaan-
perasaan Zarri Bano, itu tak mengurangi rasa rindu di hatinya. Zarri
Bano selalu ada di sana dan akan selalu ada di sana, terkunci dalam
ceruk rahasia jiwanya- membuatnya malu, terkenang-kenang, dan
terpesona.
Dalam dua hari berikutnya, Sikander menghindari kehadiran Zarri
Bano sepenuhnya. Zarri Bano telah menyatakan perasaannya dengan
amat jelas. Apakah inti dari mengejar semua itu? Zarri Bano
menghabiskan seluruh waktunya di rumah Sikander bersama

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kemenakannya, bermain-main dengannya, dan membacakannya


cerita-cerita. Setelah seminggu, Zarri Bano pun pergi.

53.

SABRA TINGGAL dengan Kaniz selama dua minggu, menjaga


kakaknya terus-menerus selama dua minggu itu- bahkan tidur
sekamar. Dia menyuruh palang lain dipindahkan ke kamar tidur besar
itu. Sabra terus berbicara tentang berbagai hal dengan harapan
agar wajah sedih Kaniz dihiasi senyum.
Khawar tak mengatakan pada siapa pun tentang kunjungannya pada
Firdaus. Kini ia berusaha sebaik mungkin menebus kesalahannya pada
ibunya yang telah ia abaikan di masa lalu. Seperti bibinya, ia terus
mendampingi ibunya sebisa mungkin. Kaniz, yang kini menjadi begitu
rendah hati, dengan haus mereguk segala perhatian anaknya.
Serangan panik yang ganjil dan depresi yang melandanya sejak
kejadian di kantor Firdaus itu bagaimanapun terus menyerangnya.
Tiada yang bisa membuatnya tertawa lagi. Seakan-akan keriangan
hidup telah sirna darinya. Sebaliknya, Kaniz terus-menerus ingin
menangis. Sabra menemukannya gemetar di sebuah kursi dan
menangis diam-diam di balik kerudungnya pada suatu siang ketika dia
duduk sendirian di lantai atas, berjemur dalam cahaya matahari.
"Kakak Kaniz, mengapa kau menangis? Semua baik-baik saja! Jangan
menangis. Duduklah di Sini, kupijat kepalamu dengan minyak almond,"
Sabra menawarkan.
Menatap dengan mata sembab, Kaniz duduk patuh di charpoy di
depan adiknya dan mencondongkan kepalanya ke belakang, ke
pangkuan Sabra. Seraya melepaskan kerudung kakaknya, Sabra mulai
mengurai jalinan rambut kakaknya yang panjang dan menggumpal
dengan gesit. Dia memerhatikan bahwa Kaniz mengenakan chador
katun yang sama sejak tiga hari yang lalu dan merasa air matanya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

membayang. Berganti baju dua kali sehari telah menjadi aturan dan
kebiasaan bagi Kaniz sejak dia berumur delapan belas tahun.
Pengabaian diri ini menunjukkan dengan jelas betapa amat dalamnya
dia telah terpuruk.
Seraya mengoleskan sedikit minyak dari botol ke telapak tangannya,
Sabra mengoleskan tetesan itu di kepala kakaknya dan
menggosoknya dengan sentuhan lembut. Kaniz menikmati pijatan itu.
Sepasang matanya terpejam.
"Mengapa kau menangis?" tanya Sabra lembut seraya
mencondongkan kepalanya ke depan di atas bahu kakaknya.
Mata Kaniz terbuka dengan gugup, tetapi dia tidak segera
menjawab. "Aku teringat hari pernikahanku pada malam resepsinya."
"Mengapa ingatan itu membuatmu menangis?" tanya adiknya
penasaran. Dia terus memijat. Rasa terhipnotis dan penyembuhan
membawa keluar perasaan-perasaan yang tersembunyi.
"Aku mencoba melupakan jenis orang yang menjelma dari diriku
sejak saat itu," ujar Kaniz. Nada suaranya penuh perasaan.
"Aku tidak mengerti, Kakak. Apa hubungannya hari pernikahanmu
dengan sesuatu hal?"
"Segalanya, Adikku. Pada hari itulah aku diselubungi selimut
penghinaan yang masih kukenakan tiga puluh tahun kemudian dan tak
bisa lenyap."
"Selimut penghinaan? Apakah yang kau bicarakan?" Sabra menatap
tajam wajah kakaknya. Kaniz tetap berdiam diri sejenak. Matanya
terpejam rapat seakan-akan memutar kembali bayangan itu.
"Aku tak pernah membicarakan soal ini dengan siapa pun," ujarnya
dengan suara lirih. "Sabra, bisakah kau bayangkan bagaimana
rasanya menjadi seorang istri yang tak diinginkan? Aku tahu sejak
hari pertama perkawinanku bahwa aku hanyalah yang kedua terbaik."
"Benarkah itu?" Sabra menghentikan pijatannya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Seraya duduk, Kaniz berpaling dari tatapan ragu adiknya dan mulai
menjalin rambut lebatnya yang panjang, menariknya dengan
sentakan-sentakan gugup.
"Pada hari pernikahanku aku tahu bahwa Sarwar sesungguhnya ingin
menikahi Fatima. Kau tahu soal ini, bukan? Adegan ini tercetak di
benakku untuk selamanya. Aku duduk dengan gaun pengantin
Shanghai merah di sofa- seorang chaudharani baru yang penuh
harga diri, penuh gairah hidup dan percaya diri. Ada sekelompok
kecil perempuan muda yang sedang duduk mengitariku. Beberapa
adalah perempuan desa setempat, yang lainnya adalah sanak
keluarga-tapi aku tidak kenal siapa dia-charail itu, penyihir itu. Aku
tak pernah melihatnya lagi sejak hari itu.
"Fatima juga ada di situ. Aku tak tahu siapakah dia hingga
perempuan ini membuka mulut jahatnya. Dengan suara nyaring yang
jelas terdengar, walaupun dia berpura-pura berbisik pada temannya,
dia berkata, 'Itu Fatima, perempuan yang sesungguhnya ingin
dinikahi Sarwar, tetapi perempuan itu menolaknya dan kini menikahi
sepupunya.' Dia terus berkata bahwa dia tak akan mau menjalani
nasibku-karena kau hanyalah 'yang terbaik kedua'!
"Aku tercenung. Telingaku panas terbakar oleh luka dan rasa malu.
Mataku tertunduk pada tanganku yang penuh perhiasan dan diwarnai
pacar. Dalam hati, aku bergetar seperti sehelai daun dengan penuh
rasa terhina. Aku melirik cepat-cepat ke arah perempuan yang
ditunjuk oleh perempuan bermulut jahat itu dan melihat Fatima. Dia
balas menatapku dengan malu-malu. Aku tahu secara naluriah siapa
dia. Dia telah mendengar bisikan jahat itu pula dan cepat-cepat
memalingkan wajahnya. Pipinya merona malu. Pada saat itu, aku bisa
melompat ke dalam danau, Adikku Sabra, dan menenggelamkan
diriku. Aku berdoa agar bumi di bawah kakiku rekah dan menelanku,
enyah dari tatapan para perempuan itu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku tak berani mengangkat mataku, membayangkan semua orang


membicarakanku dan mungkin tertawa terkikik-kikik
menggunjingkanku. Aku tahu aku dibanding-bandingkan dengan
perempuan itu dan aku mundur dengan malu hati. Merasa kecil hati
dengan semua itu, jantungku berdebar-debar oleh kebencian
terhadap perempuan itu yang telah mengacaukan mimpi-mimpiku dan
seluruh duniaku, serta telah merampok bukan saja kebahagiaanku,
melainkan juga skoon-ku, kedamaian pikiranku dalam satu kedipan
mata.
"Aku datang ke rumah baruku dengan penuh kebahagiaan dan dengan
harga diri setinggi langit. Perempuan berlidah tajam itu telah
melenyapkannya dariku. Dari segala angan-angan muluk, aku terpuruk
ke jurang penghinaan.
Aku membenci Fatima bukan karena alasan lain, kecuali karena dia
adalah sang perempuan idaman lain-perempuan yang dihasrati
suamiku dan yang sesungguhnya ingin dikawininya. Juga karena dia
telah ikut mendengar dan oleh karenanya menyaksikan
keterhinaanku. Katakan padaku, Adikku, bisakah seorang istri
menahan pikiran bahwa ada perempuan lain yang dihubungkan dengan
suaminya dan tahu bahwa dia selalu hanya menjadi orang kedua yang
disayanginya?"
"Tapi, sesungguhnya ia adalah seorang suami yang baik," kata Sabra
dengan tulus. "Aku tahu. Aku menyaksikan betapa penuh cinta dan
baiknya ia padamu."
"Ya, memang. Tapi, ia juga menghinakanku pada malam pernikahan.
Seandainya saja ia mau berpura-pura demi perasaanku. Seandainya
saja ia mengatakan pada hatiku yang rapuh ini apa yang ingin
didengarnya. Tetapi, kaum lelaki adalah makhluk yang suka berterus
terang; mereka tak memiliki akal siasat untuk berpura-pura seperti
yang bisa dilakukan oleh kaum perempuan. Terutama, itu tak bisa
dilakukan oleh Sarwar, semoga ia berdiam di surga."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Apa yang terjadi?" tanya Sabra. Nalurinya waspada, merasa peduli


pada kakaknya. Soal ini dia tak tahu.
"Pada malam pernikahan, masih terguncang oleh topan perasaan atas
kata-kata yang dilontarkan oleh perempuan itu, aku tak tahan untuk
bertanya pada suamiku tentang Fatima. Aku perlu tahu apakah ia
memang ingin menikahinya -dan ia mengatakan padaku dengan terus
terang bahwa itu memang benar. Aku lalu bertanya padanya apakah
ia mencintainya, dan lagi-lagi tanpa keraguan ia mengatakan padaku
bahwa ia memang mencintai perempuan itu.
"Ia tak menyangkal apa pun, Sabra, padahal harga diri perempuanku
amat menuntut dan membutuhkan sangkalan -tapi itu tak pernah
muncul! Aku mencari hiburan dari harga diriku yang terluka, alih-alih
aku malah mendapat racun -seonggok penuh. Sejak saat itu, aku
bersembunyi dalam diriku sendiri. Rasa percaya diriku yang jatuh
hingga nol benar-benar meninggalkanku. Tampak bagiku bahwa semua
hal dan semua orang di hawali adalah tertuduh. Kubayangkan mereka
semua menertawakanku di belakangku. Kecemburuan mengoyak
keberanianku. Tampaknya Fatima masih menggenggam hati suamiku.
Walaupun kami mempertahankan perkawinan kami, bagiku tiada lagi
yang nyata. Kesenangan menjadi seorang chaudharani hanya
bertahan sehari. Aku menangis lirih untuk diriku sendiri di atas
bantal, lama di malam hari.
"Esok paginya aku tak bicara pada siapa pun. Pandanganku terus
tertunduk. Rasa malu menjadi seorang mempelai yang tak diinginkan
menutupiku seperti sebuah selubung putih. Para perempuan,
termasuk para kerabatnya, mencoba bercakap-cakap denganku,
meledekku, seperti yang umumnya dilakukan para perempuan setelah
malam pernikahan, tetapi aku tak bisa dan tak ingin menanggapi
mereka. Aku merasa terasing dari mereka semua. Aku tak menyukai
seorang pun. Mereka semua adalah tersangka dalam benakku.
Akhirnya, mereka menyerah dan membiarkanku, barangkali

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

membayangkan bahwa aku adalah seorang perempuan yang tak tahu


diuntung.
"Pada pagi di hari kelima setelah pesta pernikahan, aku berdiri di
balkon lantai atas mengeringkan rambut panjangku dalam sepoi-sepoi
angin hangat ketika melihat Fatima di halaman bawah dengan
perempuan lain berbicara pada bibinya Sarwar. Ketika mataku
menyusuri hawali, kulihat Sarwar menuruni tangga dari lantai atas.
Rasa cemburu kembali mengoyak urat-uratku. Aku tak berpikir,
melainkan bereaksi secara irasional. Aku tak ingin Sarwar dan
Fatima bertemu, tidak di depanku atau di rumahku. Aku tak tahan!
Neesa sedang duduk di balkon denganku, siap menjalin rambutku. Dia
telah ditugaskan menjadi pelayan pribadiku.
"'Neesa,' kataku, 'turunlah dan bisikkan pada Fatima, perempuan
berbaju hijau itu, bahwa dia tak dikehendaki di rumah ini sejak hari
ini. Katakan padanya bahwa chaudharani yang mengatakan hal ini!'
"Merasa terkejut oleh pesan itu, Neesa melakukan apa yang
diperintahkan padanya. Dia berlari turun tangga. Sarwar, untunglah,
telah pergi ke kamar tidur kami di lantai pertama sehingga ia tidak
melihat Fatima. Dari balkon, aku menyaksikan Neesa dan
membisikkan pesanku padanya. Fatima menatapku dan melihatku
menatap ke bawah ke arahnya dari balkon lantai atas. Pada saat
itulah, Sabra, aku bangkit dari keterhinaanku. Kupelototkan mataku
sebagai tanda kemenanganku atasnya. Akulah sang chaudharani, istri
sah Sarwar. Siapakah dia? Dia tak punya hak untuk datang
menyerobot ke dalam hawali-ku. Hawali kami-rumahku!
"Kurasa, saat itu adalah titik balik dalam hidupku. Dengan sepenuh
hati, aku berubah dan meraih kepercayaan diri. Aku memeluk peran
yang dikehendaki dariku sebagai seorang chaudharani. Aku menjaga
jarak dari semua orang. Tiada orang yang berani mendekat padaku.
Sebagian besar terlalu takut untuk mencobanya. Rasa takut dan
keterpesonaan mereka memberiku kekuatan dan dorongan. Aku

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menerapkannya pertama kali pada Neesa. Aku bersikap keras


terhadapnya. Aku masih diriku, aku katakan dengan menyesal." Kaniz
menghela napas dalam-dalam. "Suatu hari, aku akan minta maaf
padanya-aku telah bersikap begitu kejam padanya selama tiga puluh
tahun ini. Itulah jenis orang yang terbentuk dalam diriku. Aku
mengenakan perilaku kejam dan egois ini sebagai topeng selama
bertahun-tahun. Namun, karena itulah yang membantuku tetap
waras dan memberiku rasa percaya diri. Tanpa itu, aku hanyalah jiwa
yang sesat.
"Bisakah kau bayangkan betapa dalam aku telah terpuruk? Ketika
tahu tentang kecelakaan yang menimpa Fiaz, aku tak merasa kasihan
padanya. Suamiku sudah mati, tapi aku masih tetap merasa cemburu
pada Fatima. Percayakah aku? Aku masih tak bisa memaafkannya
karena menjadi perempuan idaman lain dan karena dia telah menolak
suamiku. Ketika dia mulai bekerja di rumah Siraj Din, hatiku benar-
benar bernyanyi riang. Inilah pembalasanku yang manis, tampaknya.
Aku hanya berharap bahwa aku bisa menemukan siapakah perempuan
yang satunya lagi, perempuan nyinyir yang mengacaukan hari
pernikahanku dan seluruh duniaku. Kini aku bisa mencampakkan
wajahnya ke lumpur dan berkata padanya, 'Itukah perempuan yang
Sarwar ingin jadikan chaudharani? Perempuan memelas yang menjadi
seorang tukang cuci?' Aku mati-matian mencari perempuan jahat
yang menyebarkan desas-desus itu. Sayangnya, aku tak pernah lagi
berjumpa dengannya sejak saat itu. Begitu pun terhadapnya, aku
telah membencinya begitu lama!
"Lalu, Fatima mengalami pembalasan yang manis. Tapi, seperti halnya
dia menggenggam suamiku dalam tangan mungilnya yang gelap, anak
perempuannya yang pendek dan hitam lalu mencuri anakku di bawah
hidungku sendiri. Di depan mataku! Inilah lingkaran itu, berulang lagi.
Aku tak pernah bisa menerima anak perempuan Fatima di rumahku.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Sisanya kau tahu sendiri, kepedihan yang kualami. Aku kehilangan


anak tunggalku yang tinggal jauh dariku selama setahun lebih. Lalu
tinggal denganku setahun yang lain, tetapi selama itu tak mau
menatapku atau berbicara padaku-semua karena perempuan murahan
itu.
"Demi anakku, aku merendah-rendahkan diri, mengorbankan harga
diriku, dan terpuruk hingga tingkat penghinaan yang baru. Memohon
dengan berlutut demi seorang perempuan yang tak kusukai, anak
dari perempuan yang kujijiki- dan apa balasan yang kuterima? Aku
diusir." Dia bergidik dan tampaknya sulit berkata-kata.
Lalu, "Setiap kali mengingat adegan itu, aku teringat oleh kenangan
hari pernikahanku, karena perasaanku sama. Di luar, orang-orang
melihat tubuh yang besar dan gempal ini, dan kulit yang seperti
gajah. Tapi, di dalam, Adikku sayang, aku ini rapuh, lemah, cengeng.
Sebuah pukulan kecil, sebuah luka memar, sudah cukup membuatku
menangis berkepanjangan. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan,
Sabra, bagaimana membuat diriku kuat kembali. Kau tak bisa tinggal
bersamaku sepanjang waktu walaupun aku berharap kau bisa. Kaulah
satu-satunya yang bisa menyelamatkanku dari diriku sendiri. Kalau
tidak, Sabra, ada saat-saat ketika aku ingin menghindari semua ini.
Bahkan, senyum anakku pun tidak lagi memiliki keajaiban yang sama.
Aku terus teringat diriku berlutut dengan tangan terulur padanya.
Aku sudah mati ratusan kali, setiap kali aku memikirkannya. Itu akan
mengejar-ngejarku hingga hari kematianku." Kaniz lalu mulai tersedu
lagi dalam lipatan kerudungnya.
"Sst, sayangku. Aku akan tinggal denganmu selama kau suka," Sabra
berjanji padanya. "Aku tak akan meninggalkanmu. Tiada yang lebih
penting bagiku daripada kau. Diamlah. Apakah kau ingin aku
mencucikan rambutmu?"
"Tidak, aku bisa melakukannya sendiri. Neesa akan membantuku.
Terima kasih, Adikku-karena telah mendengarkanku."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kau harus berpakaian rapi seperti biasa. Rawatlah dirimu sendiri.


Semua ini menodai kulitmu yang terang! Kau terlalu banyak duduk di
bawah terik matahari. Kau selalu memiliki kulit yang indah dan
membuatmu bangga karenanya."
"Apa gunanya itu semua, Sabra?" ujar Kaniz hampa. "Aku sudah tak
muda lagi. Umurku sudah lewat lima puluh tahun. Apa gunanya?"
Kaniz mengangkat bahu, menolak kepedulian Sabra. Kulitnya
bukanlah masalah baginya.
Kaniz bangkit dan pergi mencari Neesa agar membereskan barang-
barangnya untuk mandi dan menyetrika pakaian yang akan
dipakainya.
Sabra tetap berada di balkon atap yang datar, menatap ladang-
ladang desa. Pikirannya mengembara pada kata-kata kakaknya.

54.

ZARRI BANO berguling-guling dengan gelisah di atas tempat


tidurnya. Kata-kata pendekatan ibunya terngiang di telinganya.
"Itu bisa menjadi sebuah perkawinan formalitas belaka pada
awalnya," saran Shahzada. "Sikander telah menyetujui hal ini. Hanya
demi Haris. Setidak-tidaknya pikirkanlah soal itu, Zarri Bano.
Bisakah kau menjadi seorang ibu sepenuh waktu bagi Haris dan
menghabiskan separuh waktumu di Karachi? Apakah itu terlalu
berlebihan?" Perkataan Shahzada terhenti saat putrinya bergegas
pergi meninggalkan ruangan.
Kini Zarri Bano menekan wajahnya ke atas bantal, tersiksa oleh
perasaan-perasaan yang bertentangan. "Aku tidak siap dengan
perkembangan baru dalam hidupku. Allah, apakah yang akan
kulakukan?" doanya. "Aku mencintai kemenakanku, tapi aku tak bisa
menerima hal ini. Aku tak mau berurusan dengan Sikander-
selamanya!"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

***
Selama beberapa hari kemudian, Zarri Bano berhasil mengenyahkan
seluruh urusan itu dari benaknya. Shahzada tidak menyebut-
nyebutnya lagi dan Zarri Bano menghindari pertemuan dengan
Sikander ketika ia datang mengantarkan Haris untuk perjalanan
mingguannya.
Setelah mengimami shalat Jumat bagi para perempuan di
madrasahnya, Zarri Bano menyelenggarakan sebuah seminar untuk
kelompok reguler para muridnya.
Duduk bersila di atas karpet di ruangan seminar yang luas, para
perempuan muda itu mendiskusikan hadis Nabi Muhammad Saw. dan
tulisan-tulisan tentang Al-Quran. Sebuah meja yang ditumpuki buku-
buku teks dalam bahasa Inggris, Arab, dan Urdu berdiri dekat Zarri
Bano.
Pada peristiwa ini mereka memperdebatkan isu kaum perempuan dan
hukum waris menurut syariat Islam.
"Keyakinan kita mengatakan bahwa kita memiliki hak-hak waris yang
jelas, tetapi pada kenyataannya kaum lelakilah yang mendapat lebih
banyak," seorang perempuan muda mengeluh dengan nada marah,
mengawali debat itu.
"Kau benar, Nargis. Sayangnya, itu cenderung terjadi dalam
masyarakat kita, terutama jika perempuan tak peduli pada hak-
haknya," Zarri Bano menimpali setuju seraya memberi tanda halaman
mengenai bab waris dalam salah satu buku teksnya. "Jika kau tahu
hak-hakmu dan mengenal hukum syariah, serta berkonsultasi dengan
buku-buku ini, kau mungkin bisa mengubah banyak hal. Kau bisa
membawa persoalan itu ke pengadilan syariah kita."
"Apa yang kau katakan itu benar, Ukhti Zarri Bano, tapi
kenyataannya berapa banyak perempuan, entah muda atau tua, yang
akan bangkit dan melawan keluarga lelaki mereka, atau berjuang
untuk hak-hak mereka, apalagi membawa soal ini ke pengadilan? Ini

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mudah dikatakan, tapi sulit dicapai dalam kenyataan. Keluarga lelaki


juga kerap menghina perempuan, mengatakan bahwa dia serakah,
terutama ketika mereka telah menghabiskan banyak biaya dalam
membesarkan mereka dan membayar maskawin mereka."
"Bisakah kau berhenti dulu, Nargis. Ada kebenaran dalam
perkataanmu tentang maskawin. Katakanlah, sebagai contoh, sebuah
harta sedang dipersoalkan-sebuah rumah dibagi lima oleh anak-anak
lelaki dan perempuan. Jika para saudara lelaki sudah menghabiskan
banyak uang bagi para saudara perempuan untuk keperluan
pernikahan (catatan, para saudara lelaki, bukan ayah mereka),
kurasa kita punya sebuah persoalan moral dan etik dalam hal ini.
Apakah perempuan yang dipersoalkan mendapat bagian yang sama
dalam warisan seperti para saudara lelakinya? Benarkah baginya
mengakuinya, jika secara pribadi tak memiliki keperluan untuk itu
dan jika para saudara lelakinya telah menghabiskan banyak uang
baginya dari uang mereka sendiri? Kurasa ini adalah wilayah abu-abu
yang membuat situasinya menjadi rumit. Itu tidak berarti bahwa
para ayah bisa terus maju dan secara agresif menafikan hak-hak
anak perempuan mereka dengan berbicara berulang-ulang tentang
berapa banyak mereka telah menghabiskan uang untuk anak-anak
perempuan mereka." Zarri Bano berhenti sejenak, lalu melanjutkan.
"Persoalan warisan merupakan hal yang pahit bagiku secara pribadi.
Seperti yang kau tahu, aku mewarisi limpahan harta ayahku. Aku tak
memiliki keinginan atas warisan ini, tetapi sebagai putri tertua yang
tak punya lagi saudara lelaki, ayahku memutuskan untuk
mengatasnamakan nyaris semua harta dengan namaku. Karena aku
tak punya anak dan tak ingin...," Zarri Bano berhenti lagi, kehilangan
jalinan pikirannya, "... aku akan memberikan warisanku pada
kemenakanku Haris. Harta waris adalah sebuah isu utama bagi para
keluarga tuan tanah seperti kami. Para saudara saling membunuh dan
berseteru seumur hidup gara-gara tanah. Beberapa di antaranya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

akhirnya menerapkan hukum brutal mereka bahwa yang paling


tangguh dan yang paling berpengaruh akhirnya akan memenangkan
semuanya."
Zarri Bano tiba-tiba berhenti, takut telah berkata dan membuka
terlalu banyak hal. Dia menatap para perempuan yang berkumpul
mendengarkannya dengan penuh perhatian. "Mari kita buka halaman
tujuh puluh tempat persoalan ini didiskusikan...."
Zarri Bano memandang sepupunya, Gulshan, yang masuk ke ruangan
pertemuan. "Gulshan, senang bertemu denganmu. Ayo bergabung
dengan kami," kata Zarri Bano dengan hangat. Gulshan melihat
berkeliling dengan canggung pada para perempuan di lantai dengan
buku-buku terbuka terhampar di pangkuan mereka.
Zarri Bano bergerak untuk memberi tempat bagi Gulshan di
sampingnya, seraya menarik kepala burqa-nya. Berpakaian warna
merah jambu dan biru, Gulshan merasa sembrono berada di tengah
para perempuan berpakaian rapi yang mengelilingi Zarri Bano.
Dengan sebuah gerakan canggung, dia menarik dupatta sifon warna
merah jambu menutupi rambutnya, merasa bahwa dia harus
menutupinya juga, sebagai penghormatan terhadap kelompok itu
walaupun biasanya dia tak pernah melakukan hal ini di depan para
perempuan lainnya. Lalu, dia duduk dan mendengarkan Zarri Bano
memimpin sisa sesi seminarnya.
Penampilan Zarri Bano mengesankan Gulshan. Zarri Bano berbicara
penuh wibawa tentang berbagai persoalan dengan perilaku yang
seimbang dan cerdas. Gulshan menatap sepupunya itu, takjub
padanya. Dia tak percaya bahwa lima tahun yang lalu Zarri Bano
bahkan tak pernah tergerak untuk menunaikan shalat, tetapi di
sinilah dia, dianggap
sebagai orang yang memiliki kewenangan dalam persoalan agama di
antara kaum perempuan setempat. "Dia mengetahui semuanya,"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

renung Gulshan terpesona, menjadi makin sadar akan


ketidakpeduliannya sendiri.
Akhirnya acara pun selesai dan para perempuan itu beranjak pergi.
"Bagaimana kau bisa duduk bersilang kaki begitu lama di atas
lantai?" tanya Gulshan seraya bangkit dan meregangkan kakinya yang
kaku. "Aku tak bisa."
"Kau akan terbiasa setelah beberapa lama," sahut Zarri Bano
tertawa seraya berdiri. "Ingatlah shalat lima waktu tidak hanya
berarti penyatuan spiritual dengan Allah, tapi juga bentuk terbaik
untuk olahraga. Wudhu adalah bentuk kesehatan terbaik. Ada tujuan
mulia bagi manusia dalam segala hal bahwa Allah telah menentukan
aturan bagi kita agar diikuti. Ketika melakukan shalat, terutama jika
kita paham bahasa Arab, kita sesungguhnya sedang berkomunikasi
langsung dengan Allah, Gulshan."
"Bagus bagimu, Zarri Bano, karena kau paham bahasa Arab. Bagi
kami, orang-orang biasa yang membacanya seperti seekor beo,
hubungan yang kau katakan itu tidak terjadi. Kau tahu, aku belajar
banyak dari satu dua kali mengikuti seminarmu."
"Tentu saja, Sayang, kau diterima dengan senang hati di sini. Ada
sekelompok perempuan dari latar belakang dan kelas kita yang telah
benar-benar terceraikan dari agama kita. Aku baru saja sadar
betapa banyaknya. Aku ini seperti orang buta yang jatuh dalam gelap
dan bangkrut secara spiritual. Kini aku bersyukur pada ayahku
karena mengarahkanku ke jalan ini sehingga hidupku menjadi amat
berubah. Aku mendapatkan amat banyak hal!"
"Tapi kau juga kehilangan banyak hal," tukas Gulshan dengan lembut,
mengingat alasan mengapa dia mencari-cari Zarri Bano dan sengaja
mengunjunginya setelah Shahzada meneleponnya.
"Aku tak kehilangan apa pun!" sergah Zarri Bano. Senyumnya sirna
dari wajahnya. "Dulu, aku berpikir seperti itu -tapi sekarang tidak
lagi."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ayolah, Zarri Bano. Tentu kau tidak lupa bagaimana kau dipaksa
menjalani hal ini. Kau tak akan berpura-pura padaku bahwa kau
menjalani kehidupan seperti ini dengan bebas, bukan? Kau hampir
saja menikah dengan Sikander!"
"Ayo kita pulang, Gulshan," sela Zarri Bano, memotong perkataan
sepupunya. Tampaknya seakan-akan semua orang memaksanya
membandingkan kembali kehidupan masa kini dan masa lalunya, dan
kemudian membuktikan padanya bahwa kehidupannya hampa dan
menyedihkan serta bahwa Sikander tiba-tiba menjadi jawaban atas
segalanya! Tentu saja itu membuatnya marah.
***
Malam itu, seraya duduk di beranda belakang rumah, Gulshan
melanjutkan percakapannya yang dengan kejam dipotong oleh
sepupunya. Haris sedang bermain-main di halaman. Zarri Bano
menyaksikannya dengan rasa kasih sayang berkilau-kilau di matanya.
"Kau amat mencintainya, bukan?"
"Ya, jika Haris yang kau maksud," kata Zarri Bano. "Ia adalah harta
peninggalan Rubyku."
"Apakah kau tak bosan memakai itu?" canda Gulshan, mengubah
pokok pembicaraan secara halus.
"Yang kau maksud burqa?" sahut Zarri Bano. "Tidak. Ini seperti kulit
kedua bagiku kini. Aku hanya merasa nyaman apabila memakainya. Ini
juga membuat hidupku terasa lebih enteng dan leluasa. Aku tidak
perlu mencemaskan apa yang harus kupakai di dalamnya atau tentang
tatanan rambutku dan seterusnya. Ini adalah sebuah pengalaman
yang menakjubkan. Aku masih ingat saat pertama kali
mengenakannya. Bisakah kau bayangkan getar rasa ngeri melandaku?
Kini aku merasa telanjang dan rapuh tanpa mengenakannya, terutama
ketika aku berada di depan para lelaki asing. Oleh karena itu, aku
menjumpai banyak di antara mereka merasa wajib menjaga jarak dan
menghormatiku. Zarri Bano lama yang ceroboh membuat para lelaki

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ingin bersiul padanya, Zarri Bano yang ini membuat orang-orang


merasa hormat. Hidupku terasa terlindungi karena kaum lelaki tidak
mencampurinya."
"Bagaimana dengan masa depan?" kata Gulshan dengan cerdik
mengarahkan pembicaraan. "Kau tidak menggambarkan masa depan
dengan seorang lelaki di dalamnya? Aku tahu Paman Habib telah
memberimu restu untuk menikah jika kau ingin. Kau tidak tahu apa
yang telah kau lewatkan. Pernikahan adalah sebuah pengalaman yang
amat luar biasa, terutama dengan hadirnya anak-anak-lihatlah dirimu
sendiri, Zarri Bano!" desak Gulshan.
"Aku tahu," Zarri Bano bergumam, menatap tertunduk pada cangkir
kosong di tangannya.
"Apa yang kau tahu?" tukas Gulshan setelah terasa keheningan
cukup lama di antara mereka.
"Aku tahu ibuku telah berbicara padamu. Rasanya, sekarang ini,
seseorang mencoba terus-menerus untuk menikahiku. Baru seminggu
yang lalu, Ukhti Sakina mengajakku bicara soal itu. Sebelumnya
bekas guruku, Profesor Nighat, meneleponku dan mencoba
membujukku untuk menikah dengan mengacu pada pengalamannya
sendiri. 'Kuharap aku akan menikah kembali setelah kematian
suamiku,' ujarnya. 'Aku melepaskan masa mudaku demi putriku. Kini
aku amat kesepian. Apa yang akan kulakukan apabila dia telah pergi?
Kau bahkan tak punya anak. Apa yang akan kau lakukan apabila ibumu
meninggal? Kau akan sendirian. Kesepian adalah sesuatu yang
mengerikan. Ambillah kesempatan ini, Zarri Bano, sebelum
terlambat!'
"Tiba-tiba saja aku diminta melupakan siapakah aku, meninggalkan
apa yang telah kulakukan dan menjadi seorang perempuan normal
bagi cara berpikir semua orang. Gulshan, pernikahan mungkin tepat
bagimu. Itu mungkin jawaban bagi apa yang kau inginkan dalam
kehidupan. Aku tahu pernikahanmu bahagia dan kau kini telah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

memiliki sebuah keluarga sendiri. Tapi, bagaimana jika kukatakan aku


tak menginginkan itu dan aku amat mencintai hidupku sekarang
sehingga tak mungkin kutinggalkan."
"Aku yakin kau masih tetap bisa melakukannya, tetapi dengan
menikah hidupmu akan lebih bermakna."
"Bagaimana, Gulshan? Hidupku sudah bermakna, tidak seperti dalam
bayanganmu. Aku tak membutuhkan seorang lelaki dalam hidupku."
"Termasuk Sikander? Apakah ia tak berarti apa pun bagimu?"
"Tidak, terutama bukan Sikander! Maaf, Gulshan, ini saatnya aku
shalat." Zarri Bano mengakhiri percakapannya, meninggalkan
sepupunya menyaksikannya dengan melongo.

55.

KETIKA SAMPAI di kamar tidurnya, Zarri Bano melihat Haris


sedang berbicara dengan ayahnya di telepon. Dia dengan cepat
menutup pintu, takut kalau-kalau Haris dengan polos memintanya
berbicara dengan Sikander. Zarri Bano menunggu di lorong sejenak,
baru kemudian masuk. Haris sedang mengucap salam perpisahan pada
ayahnya. Bibir bawahnya bergetar karena sedih dan air matanya
menitik. Zarri Bano berlari ke samping kemenakannya. Seraya
meletakkan kembali gagang telepon pada tempatnya, Zarri Bano
memeluk bocah itu dan mengangkatnya ke udara.
"Mengapa kau menangis, Sayang?" tanyanya. Zarri Bano
menyurukkan kepalanya di rambut Haris, seraya memeluknya erat-
erat.
"Ayah bilang aku harus pulang besok. Tapi aku tak mau pergi, Bibi.
Aku ingin tinggal di sini denganmu," ia menangis seraya makin
menyurukkan diri dalam pelukan Zarri Bano.
"Tapi kau harus pulang, Sayang. Ayahmu juga rindu padamu," ujar
Zarri Bano lembut.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku senang tinggal di sini denganmu. Apakah Bibi tak mau tinggal
denganku? Bibi tak sayang padaku!"
"Tentu saja aku sayang padamu, Haris," dengan cepat Zarri Bano
menenangkan kemenakan mudanya.
"Tidak, Bibi tak sayang padaku. Tak ada yang sayang padaku! Aku
ingin ibuku! Mama!"
"Berhentilah, Haris. Kami semua amat menyayangimu."
"Aku ingin ibuku kembali! Di mana dia?"
"Ya Allah, Haris-aku juga ingin ibumu kembali, tapi Allah telah
membawanya ke surga."
"Apakah Mama tidak akan pernah kembali lagi?" tanya Haris dengan
suara takut seraya menatap lekat bibinya dengan sepasang mata
cokelatnya yang mengabur oleh air mata.
"Tidak, Haris sayang, maafkan aku, dia tak akan kembali," jawabnya
dengan sedih, memilih berkata jujur. "Tapi aku ingin ibuku!" Haris
meratap. Tubuh mungilnya bergetar ketika ia tersedu sedan.
Kesedihan dalam nada suara kemenakannya melukai Zarri Bano. "Aku
juga adalah ibumu. Ingatlah kau selalu menyebutku ibu keduamu."
"Tapi ibuku tinggal bersamaku. Bibi selalu mengirimku kembali ke
Karachi!" jawab Haris dengan marah seraya melepaskan diri dari
pelukan bibinya.
Merasa tersengat, Zarri Bano berteriak, "Aku tak akan mengirimmu
pergi, Sayangku-selamanya, aku berjanji. Aku tidak akan pernah
membiarkanmu menangis lagi."
Seraya memeluknya erat-erat ke dadanya, Zarri Bano berjanji pada
dirinya sendiri bahwa dia tak akan membiarkan kemenakannya itu
meneteskan setitik pun air mata lagi. "Oh, keegoisan orang dewasa,"
batinnya dengan sedih.
Ketika dia mengeloninya sebelum tidur di ranjang, Haris meminta
jaminan dari bibinya. Dengan lengan mungilnya melingkari leher Zarri

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Bano, Haris bertanya, "Bibi sungguh-sungguh? Maukah Bibi selalu


bersamaku, juga di Karachi?"
Jantung Zarri Bano berhenti berdetak. Tubuhnya dilanda serangan
panik. Dia tak berpikir panjang lagi. "Juga di Karachi, aku janji!" dia
dengan cepat menenangkan bocah itu. "Kini tidurlah."
Dengan lembut Zarri Bano memijat pelipis Haris dan merapikan
rambut di dahi anak itu, lalu mengecupi wajah bocah itu hingga jatuh
tertidur.
Seraya bangkit dari ranjang, dia merasakan sebuah tanggung jawab
baru dibebankan di pundaknya. Putra adiknya kini menjadi tanggung
jawabnya dan dia akan menjaganya sepanjang waktu.
"Mereka semua menang!" teriaknya dalam hati. Namun, mereka
memang benar. Yang terpenting adalah Haris dan kebahagiaannya.
Untuk waktu lama, dia berdiri menatap ke luar jendela pada lapangan
hijau subur di halaman rumah. Dengan hati berat, dia lalu melangkah
ke telepon dan berdiri di sampingnya, mengumpulkan keberanian. Dia
tahu apa yang harus dia lakukan. Dengan tangan gemetar, dia
memijit nomor telepon Karachi, berharap Sikander akan
menjawabnya.
Harapannya terkabul.
"Ini aku, Sikander Sahib." Zarri Bano berbicara dengan suara lirih
sehingga dia sendiri sulit mengenalinya. Dia harus dengan sadar
mengingatkan diri untuk tidak memanggil Sikander dengan sebutan
"adik" kini. Terasa jeda yang canggung sebelum Sikander menyahut.
"Apakah semuanya baik-baik saja? Aku tadi baru berbicara dengan
Haris, Zarri Bano." Zarri Bano tahu Sikander terkejut mendengar
dirinya menelepon.
"Ia baik-baik saja dan sedang tidur lelap di tempat tidurku. Ia tadi
agak gusar waktu kau mengingatkannya bahwa ia harus pulang hari
Jumat."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku tahu, tapi kau sadar bukan, ia harus pulang sesekali." Suaranya
terdengar tenang.
"Tentu."
"Maukah kau sendiri yang mengantarnya?" tanya Sikander lebih
ramah, setelah beberapa saat. Zarri Bano mengambil umpan yang
disodorkan Sikander.
"Ya. Aku mau. Lebih dari itu, aku akan tinggal selama yang diinginkan
Haris dan selama aku masih diperbolehkan tinggal di rumahmu.
Kebahagiaan Haris berarti segalanya bagiku," ujarnya dengan cepat.
Terasa kesunyian yang panjang di pihak Sikander.
"Kau tahu kau diterima dengan baik, Zarri Bano, kapan pun. Apakah
itu berarti waktunya tidak terbatas?" tanya Sikander setelah jeda
kembali, merasakan ketegangan merebak di ujung lain telepon.
Zarri Bano menunduk pada tangannya yang memegang gagang
telepon. Telapak tangannya basah.
"Jika itu yang terbaik bagi Haris," jawabnya dengan suara yang
terdengar seperti makhluk asing di telinganya.
Sikander seakan-akan kehabisan kata-kata, lalu ia bicara, "Terima
kasih, Zarri Bano! Lihat-kau paham apa yang kau katakan, bukan?"
"Ya."
Sikander tak bisa menahan diri. Ia ingin semuanya menjadi lebih
jelas. "Kapan itu bisa terlaksana?" desaknya.
Zarri Bano tak mampu berlagak pilon. "Aku... aku tak tahu. Aku
belum berpikir sejauh itu," gumamnya. Jantungnya serasa hendak
copot, seolah-olah dia baru berlari bermil-mil di ladang milik
kakeknya. "Aku sampai pada keputusan ini baru beberapa menit yang
lalu. Tangisan Haris menyayat hatiku. Aku tak tahan melihat
tangisnya. Aku melakukan ini untuknya."
"Demi Allah, Zarri Bano. Aku tak akan pernah membiarkanmu
menyesali keputusanmu. Kau akan bebas mengejar kariermu, baktimu
dalam kehidupan. Kau boleh datang dan pergi ke rumah sesukamu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Aku tak menuntut apa pun, hanya bahwa kau menjadi ibu permanen
bagi Haris dan membuat rumahku menjadi rumahmu." Zarri Bano
bisa menangkap ketulusan yang hangat dalam nada suaranya.
Begitulah, semuanya telah terbuka. Kata tabu pernikahan belum
terlontar dari mulut mereka, hampir seakan-akan mereka berdua
takut bahwa jalinan rapuh yang tengah ditempa itu akan putus
dengan kata tersebut. Mereka berdua tak menginginkannya terjadi,
apa pun balasannya.
"Terima kasih. Kuharap kau menghargai bahwa aku hanya melakukan
ini untuk anakmu belaka. Aku bukanlah orang yang sama dengan
diriku lima tahun lalu, Sikander. Ini bukanlah sebuah pernikahan
biasa untuk seorang perempuan normal." Zarri Bano merasa
mengingatkannya adalah sesuatu yang penting.
"Tentu saja aku tahu kau kini orang yang berbeda dengan yang
pertama kali kujumpai-tapi, di balik itu semua, aku percaya kau
masih perempuan yang sama, Zarri Bano. Tapi aku tak ingin kembali
ke saat itu. Yang bisa kukatakan padamu adalah bahwa semuanya ada
di tanganmu. Aku tak akan menuntut apa pun darimu. Itu akan maju
secara bertahap."
Zarri Bano merasa pipinya menjadi hangat mendengar kata
"menuntut" yang diucapkan Sikander. Seraya memejamkan matanya,
Zarri Bano mencoba mengenyahkan bayangan-bayangan merangsang
di balik bulu matanya. Sudah lama sekali sejak pikirannya menyukai
bayangan-bayangan seperti itu.
"Terima kasih atas pengertianmu. Aku akan mengatakan pada Ibu
tentang hal ini malam ini juga. Tampaknya semua orang menang-
Gulshan, Fatima, Kakek, kau, dan Ibu." Zarri Bano menggelengkan
kepala, tak mampu menyembunyikan nada getir dalam suaranya.
"Allah Hafiz, Sikander Sahib!"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Setelah meletakkan gagang telepon, dia menoleh ke jendela dan


menatap hampa ke luar. "Apa yang telah kulakukan kini?" tanyanya
pada diri sendiri dengan perasaan masygul.
***
Di Karachi, setelah mengakhiri percakapan telepon dengan Zarri
Bano, Sikander duduk menatap gagang telepon itu untuk waktu yang
sangat lama. Lalu dengan setengah linglung ia mencari ibunya. Bilkis
sedang berada di atas sajadahnya, tengah menunaikan shalat isya.
Sikander menunggu sampai Bilkis selesai shalat, lalu ia bersimpuh
dan mencium dahi ibunya.
"Lakukanlah shalat sunnah hari ini, Ibu, untukku, Zarri Bano, dan
Haris. Doakanlah agar kami hidup sentosa dan bahagia bersama
sebagai sebuah keluarga dan untuk masa depan kami."
Bilkis menatapnya dengan rasa senang terpancar dari matanya dan
seraya berdiri dia memeluk Sikander.
"Oh, Anakku Sayang. Aku berbahagia untukmu!" Seraya merengkuh
tangannya, Bilkis mencium kedua pipi Sikander. "Apakah Zarri Bano
sudah bersedia menerima lamaranmu?"
"Tidak, dia justru menawarkan diri! Sebagai awal mula, ini akan
menjadi sebuah pernikahan formalitas belaka." Melihat tatapan aneh
di wajah ibunya, Sikander merasa harus menjelaskan. "Zarri Bano
membutuhkan banyak kesabaran, Ibu. Sudah banyak hal berat
terjadi dalam hidupnya. Dia telah menerima terlalu banyak pukulan
emosional. Dia hanya menikahiku demi anakku, bukan untuknya atau
untukku. Itu akan sulit, tapi setidaknya anakku akan memiliki
seorang perempuan yang bagaikan seorang ibu baginya dan akan
bersamanya hampir sepanjang waktu."
"Lalu, bagaimana halnya dengan pekerjaan Zarri Bano? Apakah dia
akan meninggalkan sekolahnya yang baru, sekolah perempuan yang
baru didirikannya itu?" tanya Bilkis.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kuharap tidak. Kita akan lihat apa yang terjadi, tetapi perlahan-
lahan saja. Aku perlu menjaga dalam benakku bahwa ini adalah
perempuan yang pernah memperdayakanku dengan sekali pandang
lima tahun yang lalu, dan kini bergidik jijik pada segala gagasan intim
denganku karena aku menikahi adiknya. Kini kami memiliki jalan
panjang membentang. Kita tidak bisa memaksanya memenuhi
keinginan-keinginan kita. Dia telah tertekan dan dimanfaatkan oleh
ayah dan kakeknya. Aku tak akan menjadi lelaki penindas lainnya
dalam selubung seorang suami. Aku akan menjadi seorang teman
baginya hingga dia memutuskan telah siap untuk sebuah hubungan
pernikahan yang lebih sempurna."
"Aku akan berdoa untuk kalian semua. Semoga Allah memberkahi
keluargaku dan semoga jiwa Rubyku yang malang beristirahat dengan
tenang."
"Amin. Ya, Ibu, ya!" ujar Sikander pada ibunya dengan segenap
ketulusan dalam hatinya.

56.

KARENA KAMPUSNYA ditutup selama libur musim panas, Firdaus


pulang ke rumah untuk berlibur. Dia merasa takut selama tinggal di
kampung. Pikiran akan pertemuan dengan Khawar menggelisahkannya.
Dia masih belum pulih dari kunjungan terakhir Khawar dan serangan
verbalnya. Kesadaran Firdaus kerap menusuknya, membuatnya
berpikir dan merenung tentang adegan Kaniz yang berlutut dan
memohon-mohon padanya. Persoalannya adalah, makin dia berpikir
mengenai peristiwa tak terduga itu, dia makin merasa terpukul
karenanya. Pada hari kedua di rumah, dia gemetar karena merasa
bersalah. Dorongan untuk menceritakan hal itu pada ibunya menjadi
amat kuat. Rumah Kaniz hanya berselisih satu jalan dari rumahnya.
Selalu ada kesempatan untuk secara kebetulan berjumpa dengannya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kulsoom kembali berkenan mengunjungi mereka. Diperlakukan


sebagai seorang tamu terhormat, Kulsoom makan pagi dengan leluasa
terdiri atas dua paratha dan sebuah omelet, diselesaikan dengan
semangkuk yoghurt krim segar dari perusahaan susu Sardara. Ketika
didesak agar tinggal untuk makan siang, Kulsoom melakukan
penolakan setengah hati dengan berpura-pura menampik, tapi
kemudian dengan rakus menerimanya. Fatima, dengan pipi
menggembung menahan tawa, dan para anak perempuannya
menanggapi perilaku ini dengan humor dan menganggapnya enteng.
"Bagaimanapun, ini adalah imbalan yang tak seberapa untuk
menjodohkan Salma dengan bujangan dari desa sebelah," ujar
Fatima pada anak-anak perempuannya berupaya meyakinkan mereka,
dan dirinya sendiri, bahwa jumlah yang diboroskan oleh Kulsoom,
termasuk sarapan dan makan siang, memang adil.
Sejak Firdaus meninggalkan desa dan menolak membicarakan
rencana pernikahannya dengan siapa pun, Fatima memutuskan untuk
memusatkan diri mencari pasangan untuk anaknya yang lebih patuh,
Salma. Firdaus bukanlah satu-satunya yang harus dia pikirkan.
Dengan demikian, dia yakin bahwa setidak-tidaknya salah satu di
antara tiga putrinya akan menikah. "Jika Firdaus tidak berhati-hati,
dia akan tertinggal," batin Fatima. Dia mulai hilang kesabaran pada
putri sulungnya itu. "Gadis ini umurnya sudah hampir tiga puluh
tahun, demi Allah. Aku punya empat anak. Siapa yang akan
menghendakinya seumur ini, belum lagi ditambah persyaratan
darinya?"
Fatima telah membereskan maskawin Salma. Perabotan telah
dipesan dari sebuah toko terpandang di Karachi. Kini tersisa
hanyalah menentukan tanggal pernikahan. Kulsoom memiliki tujuan
khusus untuk kunjungannya. Dia datang untuk berdiskusi dengan
Fatima mengenai hadiah apa yang akan diberikan pada mempelai pria
dan keluarganya. Dia memikirkan tanggung jawabnya untuk memberi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Fatima pengetahuan yang didapatnya dari pengalaman lebih dari dua


puluh tahun dalam hal menyusun pesta pernikahan dan menyiapkan
baju pengantin untuk mempelai perempuan.
"Dengarkan, Kulsoom, hatiku memberitahuku untuk memesan
seperangkat anting emas dan liontin yang sesuai bagimu. Aku akan
sangat senang memberikannya padamu sebagai sebuah hadiah. Kami
sanggup membelinya," ujar Fatima pada Kulsoom, melihat mata
Kulsoom terbuka lebar karena terkejut.
"Tidak perlu, kau tahu. Kau tak perlu memaksakannya sekarang,
Fatima Jee. Ingatlah, kau masih memiliki dua putri lain yang akan
dinikahkan dan kau harus melakukan hal yang sama pada mereka agar
adil. Tentu saja terserah padamu, aku akan berpikir dua kali tentang
itu. Kini, bagaimana dengan baju pengantin? Berapa banyak kau akan
memberinya?"
"Aku ingin berkonsultasi dulu dengan Firdaus tentang soal itu."
"Aku tahu. Bicara soal Firdaus, Fatima Jee, aku belum melihatnya
hari ini," Kulsoom mengizinkan dirinya mendapat kemewahan ini.
"Dia mungkin lelah. Ada sedikit pekerjaan yang harus dilakukan di
akhir masa kuliah musim panas, dengan ujian dan sebagainya.
Bagaimanapun, aku juga memerhatikan bahwa dia agak sedikit
berbeda pada saat ini, tak seperti dia yang biasanya, Kulsoom Jee."
"Apakah kau ingin aku berhubungan dengan mak comblang di kota
untuk menemukan seorang rishta yang cocok untuk Firdaus?"
"Aku akan sangat menyukainya, Kulsoom Jee, tapi aku tak ingin kau
melakukan sesuatu hingga aku berbicara padanya tentang itu. Aku
tak ingin memulai tanpa izin," Fatima buru-buru menambahkan.
"Bagaimana dengan Khawar?" Kulsoom bertanya lirih.
"Bab itu sudah sepenuhnya ditutup." Fatima menggelengkan
kepalanya dengan sedih, sebuah tatapan pedih tersirat di matanya.
"Aku ini seorang perempuan bodoh yang ambisius, menghabiskan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

waktuku dan waktu mereka. Aku tahu, tiada guna mengejar perkara
yang telah selesai."
"Aku tahu," ujar Kulsoom berpikir keras, otaknya menjadi hidup
dengan rasa ingin tahu. "Apakah kau telah mendengar bahwa
Chaudharani Kaniz jatuh sakit akhir-akhir ini dan tak terlihat oleh
orang lain selama beberapa minggu? Sudahkah kau menengoknya?
Dia tidak memanggilku selama dua tahun terakhir ini, maka aku tak
tahu apa yang dia lakukan mengenai pernikahan anak lelakinya."
"Tidak, aku belum menengoknya, juga tak ingin menemuinya-atau
mendengar apa pun tentang perempuan itu!" sergah Fatima,
mengingat pertemuan terakhir antara dirinya dan Kaniz yang masih
terasa segar di benaknya. Syukurlah, dia tidak lagi berjumpa dengan
harridan itu sejak saat itu!
***
Pada malam-malam musim panas yang gerah, Firdaus dan Fatima,
seperti halnya banyak penduduk desa lainnya di Pakistan, senang
tidur di tempat terbuka di atap rumah mereka. Ibu dan anak itu
berbaring di atas selimut katun perca di atas kasur lipat mereka
yang ditempatkan bersisian.
Fazeelet dan Salma memilih tidur di dalam rumah di lantai bawah, di
bawah tiupan kipas angin di langit-langit. Jika terjadi hujan, terlalu
mengganggu bagi mereka harus bergegas pergi dari tempat tidur
mereka, bersegera membereskan perlengkapan tidur dan masuk ke
ruangan. Ya, mereka selalu tidur di halaman terbuka di lantai bawah.
Fatima dan Firdaus bersiap untuk tidur. Seraya merapikan bantal
mereka dan menarik seprai katun tipis menutupi sekujur tubuhnya,
Firdaus berbaring telentang dan menatap bintang-bintang. Dia
memalingkan wajahnya ke arah
ibunya. "Para pengganggu ini!" Cetus Fatima ketika mengibaskan
seekor nyamuk besar yang berputar-putar di dekat wajahnya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ibu, aku ingin mengatakan sesuatu padamu," ujar Firdaus memulai


perkataannya dengan lirih.
"Ya?" sahut Fatima setengah hati. "Oh, para pengganggu ini! Kurasa
aku harus segera memasang kawat nyamuk. Aku tak pernah berpikir
ketika kami membeli kawat nyamuk di Hyderabad, kita juga akan
memerlukannya di Chiragpur. Para pengganggu ini bahkan menyerang
desa kita. Kukira mereka cuma ada di kota." Dia menguap nyaring.
Itu adalah sebuah hari yang panjang.
"Chaudharani Kaniz datang menemuiku," kata Firdaus. Kini dia
mendapatkan perhatian penuh ibunya.
"Apa? Kapan? Mengapa tidak kau katakan padaku?" tanya Fatima
bertubi-tubi, seraya berdiri tegak dan melupakan sama sekali
nyamuk-nyamuk yang mengganggunya.
"Itu terjadi beberapa minggu yang lalu."
"Ya Tuhan, mengapa tak kau ceritakan padaku? Apa yang dia
katakan?" dia merasa heran. Rasa senang dalam suara ibunya
membuat Firdaus tidak senang dan tertekan.
"Ya..., aku kan baru pulang kemarin, Bu," katanya dengan jengkel.
"Kalau begitu, ayolah, katakan padaku apa yang terjadi," desak
Fatima tak sabar. Detak jantungnya berlomba di luar kendali. Dia
ingin tahu apa maksud Kaniz mengunjungi putrinya.
Firdaus sendiri tak merasa senang dengan pemikiran harus
menceritakan pada ibunya segala hal tentang kunjungan Kaniz. Mata
Fatima berkilat-kilat dengan dugaan licik. Bagaimana dia akan
bereaksi apabila aku menggambarkan Kaniz berlutut dan memohon
padaku agar aku mau mengawini anaknya? Firdaus bertanya-tanya
dengan cemas. Ibunya barangkali akan melompat dari tempat tidur
karena senang! Hingga dia mendengar keseluruhan kisahnya.
Firdaus memutuskan untuk memberi ibunya kehormatan mendengar
seluruh cerita yang sebenarnya. Persoalan dengan Khawar menjadi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

beban berat di hati dan perasaannya. Dia amat membutuhkan untuk


berbagi bebannya dengan seseorang.
"Dia datang untuk melamarku," ungkap Firdaus seraya menatap lagi
bintang-bintang di atasnya dalam langit gelap. "Oh, Tuhan.
Sungguhkah? Aku tak memercayainya!" sepasang mata Fatima
membelalak takjub memandangi wajah putrinya.
Selimut katun itu dilemparkannya ke samping, kakinya kini menjulur
keluar tempat tidur, bergetar dengan ketukan hampa pada lantai
atap. Firdaus menelan ludah saat memikirkan apa yang harus dia
katakan berikutnya.
"Itu belum semuanya, Ibu. Chaudharani Kaniz berlutut dan
menangkupkan tangannya di depanku, memohon padaku agar
mengawini Khawar." Firdaus berhenti, merasa ngeri atas keterangan
berikutnya yang akan ia sampaikan.
Fatima kini tak mampu berkata-kata. Bayangan Kaniz berlutut,
memohon pada putrinya, Firdaus, untuk mengawini Khawar adalah
sebuah mimpi yang ganjil-terlalu bagus untuk menjadi kenyataan! Dia
tak tahu apa yang seharusnya dia rasakan. Berbagai emosi-rasa
kemenangan, heran, tak percaya-bertempur dalam batinnya.
Akhirnya yang dia katakan adalah, "Kapankah itu terjadi? Mengapa
tidak kau katakan padaku? Apakah dia sungguh-sungguh berlutut?
Aku tak memercayainya! Perempuan sombong yang angkuh itu...
memohon." Kepala Fatima menggeleng-geleng karena takjub.
"Ya, dia memang berlutut," Firdaus menjilat bibirnya yang kering,
sebelum dia menjatuhkan bom. "Dan aku menolaknya."
Kata-kata kutukan Khawar menari-nari di benak Firdaus. Sebuah
dorongan masokhistik untuk menghukum diri sendiri membuat
Firdaus melanjutkan kata-katanya dengan suara nyaring, "Dan ketika
dia memohon, Ibu, dan menangkupkan tangannya yang terjulur
padaku, aku membuka pintu dan mengusirnya."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kesunyian terasa ketika Fatima bergulat untuk mencerna kabar


mengherankan yang telah dilontarkan putrinya dengan sembrono.
Firdaus dengan penuh rasa sakit menyadari kesunyian yang menekan
itu. Tarikan napas ibunya adalah satu-satunya suara selain dengung
nyamuk di sekeliling wajah Fatima. Serangga-serangga brengsek itu
terlupakan ketika pikirannya berkecamuk. Bayangan kembar putrinya
berdiri dengan pintu terkuak dan Kaniz yang berlutut dengan tangan
menyembah, membangkitkan setiap indranya mengenai kesenonohan
manusia dan kepantasan sosial.
Pada akhirnya Fatima menemukan kegunaan lidahnya. "Firdaus!
Teganya kau?" Fatima mengomel dalam kelam malam, suaranya
menyatakan ketidaksukaan dan kejijikannya. "Ke mana perginya akal
sehatmu, Nak? Aku tak percaya kau telah melakukannya!"
"Aku tahu," sahut Firdaus dengan menderita, merasa takut dengan
perkataan ibunya. "Tapi tak ada lagi yang bisa kulakukan."
"Tak ada lagi yang bisa kau lakukan? Aku tak tahu apa yang telah
terjadi padamu. Kukira aku telah membesarkan anak-anakku dengan
baik, membuat kalian menjadi anak-anak perempuan yang berperilaku
baik dan cerdas. Tapi, yang baru saja kuketahui, ternyata aku
memiliki anak sulung yang pendek pikir dan berhati batu. Kau tahu
apa pengorbanan yang harus dilakukan perempuan itu untuk merayap
padamu dan berlutut memohon-mohon, Firdaus? Dan kau-kau dengan
kejam mempermalukannya! Aku selalu tidak menyukai perempuan itu,
tetapi, Firdaus, apa yang telah kau lakukan padanya tak termaafkan.
Itu bertentangan dengan segala aturan manusia yang beradab. Tak
seorang pun layak diperlakukan seperti apa yang telah kau lakukan
padanya, termasuk musuh yang paling jahat sekalipun. Perempuan
yang malang!" Fatima bergidik pada bayangan Kaniz berlutut.
"Tolong, Ibu, berhentilah. Khawar telah menghinaku karena soal ini,"
ujar Firdaus, merasa lebih menderita daripada yang dia perkirakan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kapan kau bertemu Khawar? Apa yang ia katakan?" Fatima bertanya


dengan suara seakan-akan tak percaya. "Maksudmu, kau sengaja
menyimpannya sendiri untukmu-dan meninggalkan kita dalam gelap!"
"Ini memang tak layak dibicarakan," gumam Firdaus, merasa jijik
untuk mengulang apa yang telah dikatakan Khawar kepadanya.
Perkataan Khawar masih menyayat hatinya.
"Kau bilang ia telah menghinamu. Apa maksudmu?" desak Fatima.
Lalu dengan marah Fatima berkata, "Katakan padaku, Firdaus! Apa
yang telah dikatakan Khawar padamu?"
"Baiklah, Ibu, jika Ibu harus tahu, anggap saja ia sedang amat
marah. Ia menyebutku... dengan kata-kata kasar." "Aku tidak
terkejut, Nak. Kau memang layak mendapatkannya."
"Ia bilang bahwa ia telah mengibaskan tangannya padaku untuk
selama-lamanya," ujar Firdaus tak berdaya. Dia tahu dirinya telah
sungguh-sungguh mencampakkan mimpi ibunya ke dasar sumur.
"Bagus, Anakku. Selamat. Kau telah mendapat kenaikan derajatmu
dengan baik," ledek Fatima. "Tuhan tahu apa yang telah dikorbankan
perempuan itu untuk merayap padamu, tapi kau tak punya karunia
untuk menghargainya. Tidak, kau begitu picik dan kerdil sehingga
malah mempermalukannya. Kukatakan padamu, Anakku, pelajarilah
hal ini dengan sungguh-sungguh: jangan pernah membuang hal yang
bagus! Kau kira Khawar masih akan menatapmu lagi, apalagi
mengawinimu, apabila kau telah melakukan hal ini pada ibunya?
Firdaus, ia mungkin saja tergila-gila padamu, tapi biar kukatakan
padamu: seorang perempuan tak berarti apa-apa dalam mata seorang
lelaki bila berkaitan dengan ibunya. Ia telah banyak berkorban
untukmu. Bertengkar dengan ibunya dan minggat dari rumah
karenamu. Dan kau bahkan tak memiliki akal sehat, apalagi kebaikan
hati, untuk menyambut ibunya dan menerima yang dia tawarkan
padamu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Sebaliknya, kau malah mengusirnya. Seorang perempuan tua-


seorang chaudharani! Seorang perempuan yang bisa menjadi ibu
mertuamu. Oh, Firdaus, aku amat malu memiliki anak seperti dirimu.
Aku tak percaya harga dirimu telah membuatmu begitu kejam."
Fatima menggoyang-goyangkan dirinya sendiri beberapa saat. Dia
tak melihat ke arah putrinya, tak tahan, sehingga dia tak melihat
betapa Firdaus amat menderita. Akhirnya Fatima membuat
keputusan.
"Sampai kau meminta maaf padanya dan dimaafkan oleh perempuan
itu, Firdaus, atas perbuatanmu yang tidak berperasaan-dengan
berlutut-aku tidak akan memaafkanmu. Ini ultimatumku. Sekarang,
apakah kau masih punya kejutan tidak menyenangkan lainnya untuk
dibeberkan padaku, putriku sayang?" ujar Fatima dengan sarkastis.
"Maafkan aku, Ibu. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta.
Mungkin dengan itu aku akan bisa mendapatkan kembali kedamaian
pikiranku," Firdaus menghela napas panjang.
"Huh! Putriku yang egois masih berpikir hanya tentang diri sendiri-
tentang kedamaian pikirannya sendiri! Bagaimana dengan pikiran
perempuan lain? Kau barangkali telah menjungkirbalikkan dunianya.
Bukan kedamaian pikiranmu yang kupedulikan saat ini. Yang lebih
perlu dicemaskan adalah jiwa malang yang egonya telah kau pukul itu.
Jika kesadaranmu mengizinkan, pergilah tidur sekarang, andai kau
bisa. Karena aku tak akan bisa tidur sekedip pun." Fatima
mendecakkan lidahnya dengan susah hati! "Pertama aku menghinanya
di rumahnya, lalu kau melakukan hal ini! Tak heran jika dia tidak
punya mimpi yang lebih buruk lagi tentang kita berdua!"
Seraya berbaring, Fatima membelokkan kepala kipas angin di dekat
tempat tidurnya agar menghadap ke arahnya. Lalu, dia melonggarkan
kancing atas dasternya. Tubuhnya terasa gerah dan dia tak ingin
tidur. Mata Fatima menoleh ke arah hawali Kaniz. Nyamuk-nyamuk

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

yang mereka usir dengan embusan kipas angin kini telah terlupakan
sama sekali.

57.

FIRDAUS MENANDAI kuda putih dan sosok bertubuh tinggi itu


dari atas, bertumpu pada pegangan pagar besi atap rumahnya. Itu
pasti Khawar yang sedang naik kuda pagi-pagi. Khawar sudah biasa
melakukannya selama bertahun-tahun. Sebagai seorang gadis
belasan tahun di masa lalu, Firdaus kerap melihat Khawar naik kuda
dengan sembunyi-sembunyi pagi-pagi benar, walaupun dia biasanya
menundukkan kepalanya dengan malu-malu. Khawar biasanya akan
menatapnya dengan sorot mata menyiratkan kegagahan dan
memberinya seulas senyum.
Firdaus tahu Khawar menggunakan sejam waktu pagi harinya untuk
berkuda. Itu memberinya cukup waktu untuk berganti baju dan
sarapan. Firdaus lalu pergi ke atap rumah dan menunggu dengan
sabar, memerhatikan cakrawala, menanti munculnya kuda putih itu.
Khawar adalah satu-satunya yang menunggang kuda dengan warna
mencolok perhatian semacam itu dan dengan jubah yang bagus.
Setelah melihat pasangan penunggang dan kudanya itu, Firdaus
dengan cepat turun tangga dan memanggil Fatima yang sedang
sarapan di dapur, "Ibu, aku mau berjalan-jalan dulu di ladang."
Saat melihat Kulsoom Bibi dan Naimat Bibi berjalan di dataran desa,
Firdaus mempercepat langkahnya. Dia sedang tidak ingin bertegur
sapa dengan kedua biang gosip desa itu dan berharap mereka tidak
membuntutinya. Dengan bergegas, dia berjalan keluar desa itu dan
sepanjang jalan yang menurutnya akan diambil oleh Khawar, berdoa
agar dia tak akan bertemu orang lain di tengah jalan.
Khawar tidak melihat Firdaus sampai gadis itu muncul dan
menyentuhnya. Khawar menatap ke bawah dengan terkejut, lalu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

buru-buru menarik kainnya, tetapi tangan Firdaus tetap mencekal


betisnya.
"Tolong singkirkan tanganmu, Ibu Kepala Sekolah," ujar Khawar
menyindir gadis itu. "Aku tidak terbiasa dianiaya oleh seorang
perempuan dalam acara berkuda pagi-pagiku."
Pada saat yang lain, kata-kata Khawar itu pasti akan membuat
Firdaus terkekeh, tetapi ini bukan hal yang layak ditertawakan.
Dengan merah padam, Firdaus menyingkirkan tangannya. Dia datang
untuk minta maaf, maka dia tak ingin bertengkar dengan lelaki
angkuh itu.
"Aku hanya mencoba menghentikanmu, Khawar Sahib," ujarnya lirih.
"Tolong janganlah kau menghinaku. Aku tidak terbiasa menyentuh
lelaki, apalagi menganiaya mereka."
Khawar mendengarnya dan sejenak tergoda untuk tersenyum, tetapi
ia masih merasa tidak senang terhadap gadis itu setelah peristiwa
yang terjadi dengan ibunya. Khawar berharap ingin pergi-
memisahkan jarak sejauh mungkin antara dirinya dan perempuan itu.
Firdaus terus memandanginya, mencoba mereka-reka apa yang ada
dalam benak Khawar saat lelaki itu balik memandangnya. Firdaus
tampaknya memang telah terjebak dalam gaya orang kota. Dia telah
mengganti jalinan rambut panjangnya menjadi rambut yang dipotong
sebahu. Rambutnya yang sehitam bulu gagak membingkai wajahnya
menjadi amat menarik, mau tak mau Khawar harus mengakuinya.
Salah satu yang selalu ia kagumi dari Firdaus adalah rambut
panjangnya yang berjalin hingga ke bawah pinggangnya. Bagi Khawar,
selalu ada pesona keanggunan dan aura feminin dalam diri seorang
perempuan dengan jalinan rambut yang terjuntai di balik bahunya.
Bajunya yang bermotif bunga-bunga biru dipotong bergaya kota dan
dupatta-nya tersampir dengan sembrono mengelilingi bahunya, bukan
di atas kepalanya seperti adat kebiasaan di desa itu. Secara
keseluruhan, gadis itu menampilkan gambaran yang sangat memikat,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tetapi dia bukanlah Firdaus yang pernah dikenal Khawar. Ini adalah
ibu kepala sekolah yang canggih dan bergaya kota.
Tangan Khawar mencengkeram erat tali kekang kudanya. Ia nyaris
hendak bergerak ketika Firdaus mencekal betisnya lagi.
"Apakah aku tak akan pernah dimaafkan?" desaknya. "Aku datang
untuk meminta maaf padamu, Khawar Sahib." Sepasang mata Firdaus
enggan berkedip di hadapan amarah Khawar.
"Untuk apa, Ibu Kepala Sekolah? Karena telah menghina dan
mengusir ibuku...," katanya dengan marah, "... dan membuatnya
menderita sakit jiwa?"
Dengan berani Firdaus berdiri di tanah dan terus tersenyum
padanya, tahu secara naluriah bahwa dia harus bercanda pada
Khawar. "Apa pun yang kau katakan, Khawar Sahib. Aku amat
menyesal telah berbuat bodoh-aku mengakuinya. Kini aku menyadari
apa yang telah kulakukan. Kenyataannya hari ini aku berencana
mengunjungi ibumu dan meminta maaf padanya dengan berlutut, jika
itu akan memuaskan harga dirimu, Khawar, atau membuatmu mau
memaafkan kebodohan usia mudaku. Ingatlah ini; aku melakukannya
demi dirimu."
"Oh, tolong, Ibu Kepala Sekolah, jangan merendahkan dirimu dengan
memohon karena aku," sahut Khawar kaku.
"Kini selamat pagi untukmu." Sekali lagi ia membuat gerakan akan
pergi.
"Kau kejam, Khawar Sahib," ledak Firdaus. "Aku tidak menyukai ini.
Kau tidak memudahkan aku." Kini mulai membenci setiap detik
pertemuan ini.
Dengan kemarahan di matanya, Khawar menukas, "Apakah ibuku
senang memohon-mohon padamu? Apakah kau memudahkan dia?"
Seraya mencondongkan badannya ke bawah, ia menyemburkan kata-
kata itu ke wajah Firdaus.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Mencampakkan sisa terakhir harga dirinya, Firdaus memekik, "Jika


dia melamarku sekarang, aku akan mengatakan ya! Ya!" Penampilan
luarnya yang tenang telah musnah sama sekali.
Khawar menegang di atas kudanya. Sebuah kesunyian yang
menggelisahkan terjadi di antara mereka. Detak jantung Khawar
membeku sejenak. Lalu, seraya membuang muka, ia melontarkan
serangan terakhirnya.
"Aku tidak terbiasa menerima tawaran basi-dan dari pihak
perempuan pula! Kami yang melamar di sini. Kini mengapa kau tak
pergi saja dan menawarkan dirimu pada lelaki-lelaki kota yang
mungkin akan lebih cocok dengan gaya kotamu yang baru!" Dengan
itu, Khawar pergi memacu kudanya.
Firdaus tetap terdiam di tempat itu. Masih gemetar karena nada
menghina dalam suara Khawar. Dia merasa direndahkan, seakan-akan
bola-bola lumpur telah dilemparkan padanya dari selokan desa itu.
Dia telah melamar
Khawar-dan lelaki itu menolaknya dengan hinaan! Apa yang telah
menimpanya? Betapa rendah dia telah terpuruk. Pipinya merah
padam karena terhina.
Saat pulang ke rumahnya dengan linglung, Firdaus merasa terluka
secara mental. "Aku layak mendapatkannya!" ujarnya pada diri
sendiri. Dan andai kekejaman menawarkan sebentuk penyelamatan
pada harga diri Khawar, Firdaus bisa memahaminya-sepanjang
Khawar mau memaafkannya pada akhirnya.
Seraya memegangi kepalanya, dia masuk ke rumah orangtuanya. Pada
saat itu, dia telah memaafkan Khawar. Pikiran itu tiba-tiba terlintas
di benaknya. "Inilah yang dirasakan dan dialami Chaudharani Kaniz
ketika aku mengusirnya." Firdaus merasa penolakan itu adalah
sebuah pil pahit yang harus ditelannya. Itu membuat harga dirinya
serasa musnah.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sepanjang sisa hari itu, Firdaus menghindari keluarganya. Dia telah


melakukan sebuah tugas berat yang kini disesalinya. Dia masih punya
satu tugas lagi dan dia amat tidak menyukai hal itu! Ibunya menuntut
agar dia mengunjungi Kaniz dan merendahkan diri untuk meminta
maaf.

58.

FIRDAUS BELUM melakukan kunjungan mengerikan itu Hingga dua


hari kemudian. Dia mengalami mimpi buruk tentang pertemuan itu
dan apa yang harus dia kerjakan-memohon maaf dengan berlutut.
Pada hari ketiga, seraya menyisihkan rasa takut dan harga dirinya,
Firdaus memutuskan untuk menghadapinya. Dari atap rumahnya, dia
terus mengamati hawali Kaniz. Begitu melihat Khawar naik jipnya dan
pergi ke luar desa dengan sopirnya, Firdaus memutuskan memberi
kehormatan pada Chaudharani Kaniz dan hawali-nya dengan
kehadirannya. Selama sepuluh tahun ini, itu akan menjadi yang
pertama kalinya dia memasuki tempat itu lagi.
"Aku melakukan hal ini karena dua alasan," ujar Firdaus pada diri
sendiri. "Meminta maaf pada Kaniz hanya karena dia lebih tua dan
karena itu menjadi kewajibanku. Untuk Khawar, karena jika aku
tidak melakukannya, ia tak akan pernah memaafkanku. Lalu tak akan
ada lagi peluang berdamai di antara kami, apalagi pernikahan."
Dengan sedih, dia menerima kenyataan bahwa, melalui
keangkuhannya yang bodoh, dia telah membuat kapalnya karam. Kini
mata Firdaus terbuka pada lubuk hatinya yang menyingkap dengan
jernih padanya bahwa dia sungguh-sungguh ingin menikah dengan
Khawar-dan dalam hatinya selalu ingin-tetapi penentangan Kaniz
membuatnya jual mahal. Kini dia sadar akan apa yang telah hilang
darinya. Jika kunci untuk kembali memenangkan Khawar adalah
dengan tiarap di kaki ibunya, dengan senang hati dia akan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

melakukannya. Di atas segalanya, bukankah chaudharani yang angkuh


itu pun telah merendahkan diri di kakinya, demi kebahagiaan
anaknya?
Komentar Khawar yang menyakitkan terhadapnya masih membekas.
Firdaus mulai belajar bahwa keangkuhan adalah sebuah fenomena
jahat yang tak akan menghasilkan apa pun, selain jurang di antara
orang-orang yang saling mencinta.
Berpakaian hari-hari dan pantas dengan baju bergaya lembut dan
rapi, Firdaus menjalin rambutnya dan dijepit di belakang kepalanya.
Menyeka wajahnya dari riasan, dia memakai kerudung lebar yang
dililitkan rapat di atas kepala dan bahunya, tampak seperti
perempuan desa setempat dan bukan seorang kepala sekolah.
Setiap langkah menuju hawali adalah sebuah tindakan yang perlu
dilakukan. "Andai saja aku bisa memutar jarum jam dan menelan
kata-kataku bahwa 'Aku akan mati sebelum menginjakkan kaki di
hawali-mu.'" Kini dia ada di sini, masih hidup. Tidak hanya melangkahi
beranda itu, tetapi juga untuk memohon maaf di hadapan perempuan
itu. Nasib memang kejam, Firdaus sadar. Nasib dengan riang
melemparkan kata-kata dan perbuatan seseorang kembali pada yang
bersangkutan. Bukankah Kaniz sendiri memohon-mohon padanya,
padahal dia bersumpah tak akan melakukan hal seperti itu.
Fatima secara pribadi mengantarkan anaknya keluar rumah serta
meyakinkannya bahwa tindakannya tak akan sia-sia. Dia bertanya
pada Firdaus apakah dia ingin ditemani untuk memberinya dukungan
moral. Firdaus menolak karena dia menginginkan hal itu sebagai
pertemuan pribadi.
Dengan jantung berdetak kencang, Firdaus berdiri di luar gerbang
besi besar. Tangannya menekan bel. Tak ada sahutan. Dia harus
menghadapi musik itu-bahkan seandainya itu meminta akal waras dan
harga dirinya.
***

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kaniz sedang duduk di lantai berkarpet di ruangan luas di depan


adiknya. Sabra sedang melakukan pijatan kepala minyak almond rutin
ketika Neesa datang memberi tahu mereka bahwa seorang Nona
Firdaus sedang menunggu di ruang tamu untuk menemui Chaudharani
Kaniz.
Sebuah kesunyian mengisi ruangan itu. Sabra berhenti meneteskan
minyak dari botol pada kulit kepala Kaniz. Kaniz menatap liar pada
adiknya, seakan-akan bertanya, "Ada apa?" Kepanikan merajai
wajahnya. Tangannya yang menggenggam chador di pangkuannya
mulai bergetar.
Sabra berdiri dan berkata pada Neesa, "Bawa Nona Firdaus ke atas
sini. Terima kasih."
"Mengapa dia di sini?" Kegelisahan yang tergambar di mata dan
suara Kaniz membuat adiknya bergidik. "Aku tak ingin menemuinya,
Sabra. Tolong." Gigi Kaniz gemeletuk karena takut. Bahkan setelah
empat bulan berobat, didoakan dan kepalanya dipijat dengan minyak
almond dan tweez-azimat penyembuh luka yang melingkari leher dan
pergelangan kakinya-insiden itu masih membuat Kaniz panik dan
histeris.
"Tak apa-apa, Kakak. Aku ada di sini," Sabra menenangkan seraya
menepuk bahu Kaniz. "Ia tak akan mengatakan apa pun yang akan
membuatmu gusar, kujamin. Aku yang akan bicara padanya."
"Tidak, Sabra, tolong. Aku tak mau ada pertengkaran di depanku.
Jantungku tak tahan-jantungku sudah melompat-lompat seperti
mainan yoyo. Mengapa dia datang ke sini?" Kaniz kembali bertanya
dan dengan gugup menarik chador-nya serta membalutkannya di
sekeliling bahu dan di atas rambut lebatnya yang terbuka dan
berminyak.
"Kita akan segera mengetahuinya, Sayang. Sini, biar kubetulkan
kerudungmu. Duduk sajalah di sofa. Jangan cemas, aku akan
menanganinya," Sabra menenangkan kakaknya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kaniz baru saja duduk di sofa, menghadap ke pintu, ketika pintu itu
terbuka dan masuklah mula-mula Neesa, lalu diikuti Firdaus.
Sosok berkerudung rapat itu berdiri di muka pintu. Dengan wajah
terangkat lurus, dia menyapa mereka, "Salam." Tanpa malu-malu,
matanya bergerak menatap kakak beradik itu bergantian.
Melihat mata kakaknya tertunduk takut di hadapan Firdaus, Sabra
merasakan rasa sakit mengiris batinnya. Tatapan kakaknya yang
angkuh itu tak pernah tunduk di hadapan orang lain, tapi kini dia
duduk di sini dengan gugup. Sepasang matanya tertunduk karena
perempuan itu! Sabra menatap tamu tak diundang itu dengan penuh
kebencian, dan Firdaus tersentak.
"Wa 'alaikumussalam, Nona Firdaus!" Nada suara Sabra yang nyaring
dan kasar itu membuat saraf-saraf Kaniz menegang. "Untuk apakah
kami berutang kunjungan ini? Apakah kau ingin menghina kakakku di
rumahnya sendiri sekarang? Apakah kau belum cukup membuat
kerusakan, gadis muda?"
Dengan mengabaikan perkataan Sabra, Firdaus menatap tenang pada
sosok diam sang chaudharani, merasa terkejut dan jatuh kasihan
oleh sosoknya yang gugup. Tangannya mencengkeram pinggiran sofa.
Sesuatu menyentuh hati Firdaus.
Lalu hal yang aneh terjadi. Firdaus melupakan harga dirinya. Dia
melupakan dirinya. Dia bahkan melupakan Khawar-dan hanya melihat
perempuan kesepian yang menderita itu dan mengingat kata-kata
Khawar bahwa ibunya mencoba bunuh diri sebagai akibat peristiwa
malang yang dialaminya.
Firdaus tidak harus berpura-pura; tidak perlu mencari awalan apa
pun-tidak perlu ada basa-basi yang harus dilakukan. Hanya perasaan
kasihan dan empati bagi sosok malang di atas sofa yang terlintas
dalam hati Firdaus dan dengan sebuah dorongan dia menghambur ke
samping Kaniz. Seraya berjongkok di lantai di depan perempuan yang
lebih tua itu, dia meletakkan kepalanya di pangkuan Kaniz.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kaniz membeku. Seraya terjajar ke belakang di atas sofa, dia


menghunjamkan tatapan panik kepada adiknya, lalu menatap ke
bawah, bingung, pada kepala Firdaus yang berkerudung di
pangkuannya dan tangan Firdaus yang menyentuh kaki telanjangnya.
Jemari Kaniz yang gemetar mengorek-ngorek ujung tempat duduk,
mencengkeram sofa itu dengan lebih kuat.
"Maafkanlah aku. Aku mohon," Firdaus memohon. "Maafkanlah
kemudaanku yang tak banyak pikir, Bibi Kaniz. Aku tak tahu apa yang
kulakukan atau kukatakan. Aku tahu aku telah melukai Anda parah
sekali pada hari yang buruk itu."
"Siasat apakah ini? Permainan ini mungkin akan berpengaruh pada
kakakku yang malang yang sedang sakit, tapi tidak padaku, gadis
muda," Sabra mengejek. Dia telah menemukan lidahnya lagi.
Seraya mengangkat kepalanya dari pangkuan Kaniz, Firdaus menatap
nanar pada Sabra. Kaniz juga menatap adiknya.
Sabra balik memandang mereka berdua-bersikap menantang. Dia
tidak akan jatuh pada omong kosong ini. Tampak sekali dia amat
merendahkan gadis muda itu. Apakah makhluk licik ini yang dalam
sedetik membaringkan diri di kaki kakaknya? Betapa sebuah drama
yang luar biasa. Berani-beraninya perempuan ini!
"Aku tidak tahu apa yang Anda maksud. Siasat apakah?" Firdaus
bertanya dengan tergagap.
"Tak perlu bermain-main dengan kami, atau berlagak pilon. Kau
adalah gadis pendengki, kami tahu itu. Apa yang kau harap bisa kau
dapat dengan sandiwara ini? Apakah kau pikir dengan membaringkan
dirimu di kaki kakakku kau bisa membuat segalanya bersemi lagi?
Apakah hati dan kepalamu telah terbang dari tubuhmu ketika kau
menghina kakakku dengan menampiknya? Perempuan yang kau lihat
di depanmu ini kini menderita tekanan mental-hasil dari berlutut
memohon-mohon di depanmu! Dan itu saja tidak cukup. Tanpa

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

perasaan kau telah mengusirnya. Tidak hanya sekali, melainkan dua


kali!"
"Aku... aku...." Firdaus tertunduk dengan malu hati.
"Kau kehilangan kata-kata? Kau, Kepala Sekolah yang pintar omong?"
ledek Sabra pedas.
"Sabra, hentikan." Nada suara Kaniz yang lirih sejenak
menghentikan ledakan amarah Sabra. "Bangunlah, Nak," perintah
Kaniz lunak. Tangannya dengan lembut membantu Firdaus bangkit.
Sabra menatap kakaknya dengan pandangan penuh tanya. Mengapa
Kaniz bertingkah seperti ini?
Firdaus bangkit dan duduk di samping Kaniz. Keseluruhan perilaku
Kaniz, kata-katanya, nadanya, dan ekspresi di matanya memberi
isyarat pada Firdaus bahwa Kaniz tidak mendendam padanya-
setidak-tidaknya tidak pada saat itu. Dengan rendah hati, Firdaus
mencium tangan Kaniz di pangkuannya. Kaniz tidak layak
diperlakukan dengan buruk. Kaniz kini telah menjelma menjadi sosok
yang mulia di mata Firdaus.
"Tak apa-apa, Sayang. Kau kumaafkan." Kaniz berbicara dengan
lemah lembut pada Firdaus. "Kita semua melakukan hal-hal konyol di
masa muda kita dan sebaiknya kita menyadarinya! Aku juga bukan
perkecualian. Kita semua memiliki saat-saat malang dalam batin kita
yang membuat kita malu dan mengejar-ngejar kita seumur hidup.
Selamat datang di rumahku!"
Mendengar kata-kata kakaknya, mata Sabra membelalak dan
bibirnya ternganga. Dia benar-benar tercengang.
"Terima kasih. Anda baik sekali." Firdaus menatap tak pasti kedua
kakak beradik itu.
Suasana kini telah berubah. Setelah berhasil mencapai tujuannya,
Firdaus dengan bijaksana memutuskan bahwa itu adalah saat yang
tepat baginya untuk pergi. "Aku hanya datang untuk meminta maaf
pada Anda. Anda sangat pemurah, Chaudharani Kaniz. Anda

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

membuatku dan perbuatanku jadi memalukan. Selamat siang untuk


Anda berdua. Hudah Hafiz!"
Dengan langkah gontai dan harga diri yang terjaga, Firdaus berjalan
keluar dari ruangan itu. Tangan Kaniz teracung untuk menghentikan
Firdaus, tetapi kemudian dia melihat tatapan memperingatkan dari
adiknya, dan dia pun menjatuhkan tangannya ke samping tubuhnya.
Di luar gerbang hawali, Firdaus meletakkan tangannya ke dada,
merasa jantungnya berdegup kencang seakan-akan dia sedang
melakukan lompat tali berjam-jam di dataran desa. Dia telah
memanjat sebuah gunung, tetapi anehnya dia tak merasakan
kemenangan dalam pencapaiannya. Sebaliknya, dia merasa malu
terhadap dirinya sendiri menghadapi kemurahan hati Chaudharani
Kaniz. Perempuan itu kini telah menjadi pribadi yang berbeda.
Apakah dia yang telah menjadi penyebabnya? Firdaus bergidik. Kini
dia bisa membayangkan dengan jelas bagaimana Kaniz mencoba
bunuh diri.
***
Di dalam hawali, kedua kakak beradik itu saling menatap. Sabra
marah sekali, tetapi dia berjuang untuk menahan diri. Dengan enggan
dia membiarkan dirinya menjadi tenang dan berhasil menahan diri.
Sabra tidak tega membuat gelisah kakaknya.
"Kau merasa terganggu dengan sikapku, bukan, Sabra?" ujar Kaniz
dengan malu-malu. "Namun, apa yang bisa kulakukan? Dia datang ke
rumahku. Dia berlutut. Aku tidak tahan mendengarmu berkata
seperti itu, Sabra. Aku harus menghentikanmu. Kau mengerti,
bukan?" dalih Kaniz, menginginkan dukungan adiknya, tak tahan
merasa terasing dari Sabra.
"Tidak, aku tak paham," ujar Sabra jujur. "Mengapa kau tidak
tahan? Dia adalah putri dari perempuan yang kau benci bertahun-
tahun. Orang yang telah dengan kasar menghinakanmu dan menjadi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

penyebab depresi serta sakitmu. Makhluk licik itu hampir saja


membunuhmu!"
Seraya mendengarkan omongan adiknya dengan sabar, Kaniz memilih
kata-katanya yang berikut dengan amat hati-hati karena tahu Sabra
pasti akan merasa terkejut mendengarnya.
"Yang kau katakan itu memang benar, Adikku. Tetapi, alasan utama
aku tidak tahan mendengarmu berkata seperti itu adalah karena
Firdaus merupakan takdir putraku, Khawar."
Sabra terdiam sepenuhnya. Ketika masih tiada kata-kata yang
tercetus dari mulut adiknya, Kaniz merasa terpaksa harus
menjelaskan.
"Aku tahu kau terkejut, Sabra. Tetapi tolong dengarkan aku dulu
dan simaklah apa yang akan kukatakan. Karena aku tahu dia
menggenggam kebahagiaan anakku di tangannya, maka aku
melamarnya. Kau sendiri yang menyarankan aku melakukan hal itu-
ingat?"
"Tetapi tidak lagi setelah apa yang terjadi," sahut Sabra tajam,
kembali bisa bersuara.
"Kita semua membuat kesalahan, Sabraku Sayang. Kesalahanku
adalah memendam dendam pada ibunya selama lebih dari dua puluh
tahun. Aku amat mencintai putraku. Yang kuinginkan hanyalah
melihat senyum di wajahnya dan matanya berbinar-binar. Itu sudah
terpendam lama, Sabra. Dan itu karena aku. Aku telah menghalangi
kebahagiaannya seperti yang selalu kau katakan padaku. Aku tak
peduli soal kehilangan muka. Aku tahu, dalam sumsum tulangku,
bahwa hati anakku terjalin dengan perempuan ini. Siapakah aku
sehingga tega memisahkan mereka berdua, Sabra? Aku pernah
mencoba melakukannya, tetapi aku telah mendapat pelajaran pahit
sebagai balasannya. Katakan padaku, ke mana hal itu membawaku?
Seperti yang kau peringatkan padaku, aku kehilangan anakku
karenanya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kini aku ingin anakku kembali! Aku ingin bertemu dengan Khawar,
kini, hari ini-siang ini! Detik ini juga! Sabra, sebuah beban telah
terlepas dariku. Kini aku merasa enteng pikiran dan bahagia. Aku
senang Firdaus datang ke sini-ingat, dia datang sendiri, aku tidak
memanggilnya. Dia memohon maaf kepadaku-aku tidak menuntutnya.
Kini kita bisa melamarnya dengan layak. Dia tidak akan menolak kita
sekarang. Dia tidak akan berani dan pasti tak akan melakukannya.
Dia mencintai anakku! Kau tahu, aku mengenalnya dengan baik!" Kaniz
mengakhiri perkataannya dengan penuh kemenangan. Matanya
berbinar dengan rasa senang dan kegairahan, menatap adiknya
dengan bersemangat.
Sabra benar-benar tercengang, tidak tahu apa yang harus dikatakan
olehnya-apakah dia harus berkata kasar, marah-marah, atau malah
menertawakan kakaknya. Akhirnya, dia memilih berdiam diri,
membayangkan dalam benaknya kakaknya akan kembali mekar
berseri oleh kehidupan dan kebahagiaan ketika dia mulai memercayai
kata-kata Kaniz.
"Sabra, ada banyak hal yang harus kita lakukan saat ini. Suruh
Neesa menjemput mak comblang itu, Kulsoom. Aku harus bergerak
cepat! Setiap menit amat berharga! Aku sudah tidak tahan
menunggu Firdaus segera tinggal di rumah ini sebagai menantu
perempuanku!"
"Kak, kukira kau benar-benar telah hilang akal. Aku tak bisa
memahaminya. Kau terlalu cepat berubah bagiku. Aku cemas," ujar
Sabra menghela napas dengan seulas senyum dan kehangatan di
matanya yang berkilat sebagai jawaban yang diminta oleh Kaniz.
"Aku tahu aku telah mengejutkanmu," Kaniz terkekeh, "tapi ingatlah,
aku ini Kaniz yang baru. Lupakan saja Kaniz yang lama. Aku telah
membunuhnya pada hari saat aku memutuskan melamar Firdaus. Kini,
kau akan duduk di sini seharian atau akan memanggil Neesa?" Dia
menggosok-gosokkan kedua tangannya. "Aku ingin segera mengobrol

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dengan Kulsoom. Desa ini akan melihat sebuah pernikahan yang tak
akan terlupakan! Lagi pula, ini adalah perkawinan putra tunggalku-
anak kesayanganku. Akan ada baju pengantin untuk Firdaus yang
bahkan anak perempuan Habib sekalipun, Ruby, tidak
mendapatkannya dari konglomerat Karachi, Sikander. Aku juga ingin
halvie, juru masak dendeng, dipanggil kemari segera untuk
menyiapkan makanan bagi pesta pertunangan. Aku tak hanya ingin
dendeng biasa, tetapi juga dendeng tradisional dengan gula putih
pathasay yang dibuat khusus untuk anak-anak. Seluruh desa akan
menerima cukup makanan untuk membuat mereka kekenyangan. Ada
banyak hal yang harus dilakukan, Sabra Sayang, dan aku amat
bersukacita. Aku amat membutuhkan bantuanmu. Kau lihat, kau
benar-benar tak bisa meninggalkan kami hingga setelah usai pesta
pernikahan," ujar Kaniz dengan bahagia pada adiknya.
Sabra tersenyum penuh cinta pada kakaknya. Seakan-akan masa
depan akan penuh bunga bagi Kaniz. Sabra duduk dekat kakaknya
dan seraya menyingkap chador dari kepala Kaniz, dia mulai memijat
kulit kepalanya yang berminyak itu lagi. Tak akan diperlukan lagi
pijatan dengan minyak almond. Pernikahan putranya akan
mengembalikan kekuatan batin Kaniz.
Seraya duduk di lantai di depan sofa, Kaniz memiringkan kepalanya
ke belakang ke arah adiknya dan memejamkan matanya. Di balik
kelopak matanya dia masih bisa melihat Firdaus di atas lantai,
dengan tangan menggenggam sebagai permohonan. Lalu, dari antah
berantah sekilas adegan dirinya sendiri dalam posisi yang sama.
Mata Kaniz menantikan rasa sakit yang akan menjelang, tetapi tidak
terjadi. Terkekeh-kekeh dalam benaknya, Kaniz membuka matanya.
Dua perempuan angkuh yang konyol telah sama-sama menunduk dan
menyentuh bumi. Keduanya telah merasakan wajahnya berlumur
lumpur dalam bentuk yang setara. Chaudharani Kaniz telah sehat
kembali dan sungguh-sungguh bertahan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

59.

KULSOOM MENYEBERANGI jalan utama desa dari hawali Kaniz ke


sisi dataran yang menuju rumah Fatima. Langkah kakinya ringan dan
tergesa-gesa. Dia tak bisa menunggu saat ketika dia menjatuhkan
bom pada Fatima dan anak-anaknya yang tak menduga. Melihat raut
wajah mereka saja sudah merupakan imbalan yang cukup.
Salma mendengar ketukan tak sabar di pintu rumahnya dan bergegas
membukanya. Kulsoom berdiri di luar, bersedekap dan menatap
gelang kacanya. Dia Baru saja mematahkan tiga di antaranya karena
mengetuk pintu keras-keras. Salma membuka pintu lebar-lebar dan
menyuruhnya masuk. "Kabarmu baik-baik saja, Bibi?" tanyanya,
merasa penasaran kabar apakah yang membuat Kulsoom begitu
bersemangat.
"Mana ibumu dan kakakmu Firdaus?" tanya Kulsoom, membiarkan
dirinya dibawa ke ruang tamu seraya menghitung berapa banyak
gelang yang masih dia miliki di lengan kurusnya.
"Silakan duduk. Aku akan memanggil mereka. Mereka sedang
berjemur di atap rumah."
"Tunggu, Salma, tak perlu memanggil mereka. Biar aku saja yang ke
atas," Kulsoom dengan berani menawarkan diri.
"Kau yakin, Bibi?" goda Salma. Dia tersenyum. Dia tahu Kulsoom
tidak suka menaiki tangga.
Ketika Kulsoom sampai di balkon atap, napasnya terengah-engah.
Namun, rasa sukacita yang berkecamuk membuat iganya seakan-akan
terbelah.
Melihat Kulsoom muncul, dengan lengan kurusnya memegang erat
dadanya yang sesak dan pipinya yang gelap terbakar terik matahari
memerah karena kepanasan, Fatima tertawa nyaring.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Selamat datang, Kulsoom Jee, ada apa kau hingga naik ke sini? Kau
tak perlu naik tangga. Biar kami saja yang turun."
"Tak apa-apa, Fatima Jee," sahut Kulsoom bermurah hati dengan
suara parau dan masih mencoba menarik napas. "Aku tak terbiasa
dengan kerja fisik seperti memanjat tangga sekaligus," jelasnya.
Firdaus dengan cepat mengambil bukunya dari kursi dan
menyodorkan kursi itu untuk Kulsoom. Diam-diam merasa senang,
Salma lalu turun kembali. Seraya menatap wajah-wajah mereka,
Kulsoom tersenyum. Matanya yang mungil berkilat-kilat di tengah
kulit keriputnya.
"Aku punya kabar bagus untuk kalian berdua," ujarnya, masih
terengah-engah kehabisan napas.
"Apakah itu, Kulsoom Jee? Aku tahu dari wajahmu yang merona
bahwa kau punya kabar penting buat kami," goda Fatima yang merasa
senang seraya menengok pada putrinya.
"Fatima Jee, rasanya seakan-akan dadaku ini hendak meledak.
Jantungku yang tua ini tak pernah mengalami begitu banyak sukacita
sejak pagi ini. Aku yakin aku akan mati karena serangan jantung,
mungkin di sini, di atap ini."
"Tuhan melarang sesuatu yang buruk terjadi padamu, Kakak Kulsoom.
Apa yang bisa kami semua lakukan tanpa dirimu?" Fatima berkata
dengan ramah. "Katakan pada kami, jangan biarkan kami tegang."
Kulsoom menguatkan dirinya dan berdiri tegak. Dia ingin
menimbulkan kesan yang tepat. Dia tidak mau mengorbankan
jantungnya dan menaiki tangga hanya untuk sesuatu yang nihil. Dia
juga tak ingin menyia-nyiakan peluang emas yang telah mengubah
peruntungannya. Lagi pula, Chaudharani Kaniz telah memberinya
status yang tinggi dalam kariernya sebagai seorang mak comblang
yang ulung dengan memenuhi impian seumur hidup Fatima.
"Fatima, kau seorang perempuan yang amat beruntung," ujarnya
sebagai pendahuluan seraya mempermainkan anting-anting di kuping

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kanannya yang mungil. "Bintangmu telah memberi pertanda baik


untukmu."
Percakapan itu menjadi tak jelas arahnya dan Fatima mulai kesal
pada Kulsoom, tetapi dia berhasil menyembunyikannya. Dia tahu
betul perangai mak comblang itu dengan segala cacat dan
kekurangannya, dan karena itu dia bisa memaklumi cara khas
Kulsoom dalam menyampaikan kabar. Dengan sabar, Fatima
membiarkan Kulsoom berbicara berbelit-belit semaunya.
"Aku tahu, Kulsoom Jee," sahut Fatima dengan nada suara wajar
seraya menjaga agar wajahnya tetap senang, berpura-pura tak
terlalu tertarik ketika Kulsoom menyenang-nyenangkan diri.
Bibir Firdaus bergerak-gerak. Baginya, sosok mak comblang tua itu
sangat aneh, tetapi menyenangkan. Perempuan tua itu tak pernah
berubah. Bagaimana lagi dia bisa mencari nafkah? Tentu saja dia
melakukannya dengan memanfaatkan keinginan dan ketertarikan
orang, dengan pintar menarik dawai yang benar di saat yang tepat,
di tempat yang tepat, dan dengan orang yang tepat pula, seperti
yang diketahui dengan baik oleh Firdaus.
Dengan kerudung yang terletak di atas dadanya dan liontin
berhiaskan kalimat Allah diukir di atasnya menjuntai di chador-nya,
perempuan tua itu berkata dengan penuh isyarat, "Aku baru saja
datang dari hawali. "
Dia kini mendapatkan perhatian mereka berdua. Firdaus mengejang,
menjatuhkan pandangannya ke buku di pangkuannya. Tatapan Fatima
terkunci di bibir Kulsoom. Detik demi detik berlalu dan Fatima takut
semua orang bisa mendengar detak jantungnya. Lalu, seraya menatap
mereka, merasa pasti kini dia mendapatkan perhatian mereka semua,
Kulsoom melanjutkan.
"Chaudharani Kaniz melamar Firdaus untuk anaknya, Khawar. Jika
kau menyetujui lamaran ini, dia akan datang untuk mempersiapkan
upacara pertunangan. Bagaimanakah?" Kulsoom menyelesaikan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

perkataannya dengan tawa riang seraya menatap wajah mereka


dengan penuh minat.
Keheningan menyambut pengumuman dramatis Kulsoom. Suara yang
bisa didengar hanyalah bunyi mesin penggiling gandum dan suara air
tumpah ke ladang tebu dari pipa sumur desa, serta suara deru mesin
penggiling makanan ternak. Ibu dan anak itu beradu pandang. Yang
tak pernah terjadi itu kini telah terjadi. Langit telah bertemu
dengan bumi. Chaudharani yang mustahil itu telah secara resmi
melamar putrinya, anak si tukang cuci itu.
Dengan helaan napas kepuasan tersungging di bibirnya, Fatima
menyandarkan punggungnya pada bantal panjang yang tebal. Tahun-
tahun penghinaan dan pelecehan oleh perempuan itu akan segera
sirna. Apakah mereka menerima lamaran itu atau tidak, chaudharani
itu telah melamar sendiri Firdaus. Itu sudah dilakukan, terlepas dari
pernyataannya
yang berapi-api bahwa dia lebih baik mati daripada melakukannya.
Hidup ini aneh, kerap membuat orang-orang menelan kata-kata
mereka sendiri dan menghinakan diri mereka, renung Fatima.
Firdaus sendiri merasa malu dan tidak enak hati. Bagaimana mungkin
Kaniz melamar Firdaus lagi setelah apa yang dia lakukan? Juga ada
persoalan tentang Khawar. Apakah Kaniz telah berembuk dengan
anaknya? Atau itu hanya keputusannya sendiri? Walaupun bersyukur
dan menjadi rendah hati oleh lamaran Kaniz, harga dirinya tak akan
membiarkan Firdaus mengabulkannya hingga dia tahu perasaan
Khawar padanya. Terakhir dia berjumpa dengan Khawar, lelaki itu
memperlakukannya seperti kotoran. Aku tidak akan menyerahkan
diri padanya, Firdaus memutuskan. Aku juga punya harga diri. Aku
tak akan mengawininya hanya untuk menyenangkan kedua ibu
mereka. Khawar harus melamarnya secara pribadi.
Fatimalah yang pertama memecahkan keheningan. "Terima kasih,
Kakak Kulsoom, karena telah melakukan perjodohan yang baik.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Bagiku, ini sulit dipercaya. Bagaimana ini bisa terjadi? Kau tahu apa
pendapatnya dahulu soal ini. Di sisi lain, kurasa dia telah mengalami
perubahan sikap akhir-akhir ini." Fatima melepaskan tatapan penuh
arti pada putrinya, menyebabkan Firdaus merona. Ibunya tak akan
pernah mengizinkannya melupakan tindakan bodohnya membiarkan
Kaniz memohon-mohon padanya dengan berlutut.
"Kau benar, Fatima Jee, ini sangat tidak biasa. Aku tak bisa percaya
ketika Neesa datang untuk memanggilku ke hawali. Ini sangat
mengejutkan. Kau tahu, aku sudah tak bertegur sapa dengannya
selama dua tahun, terutama sejak Khawar minggat dari rumah."
Kulsoom berhenti, mengingat keheranannya pada perubahan sikap
dan penampilan Kaniz. "Kini seorang perempuan yang berbeda,"
ujarnya pada mereka. "Kau tahu, tangannya sungguh-sungguh
gemetar saat dia mengangkat secangkir teh, Fatima Jee! Kau belum
menjumpainya baru-baru ini, bukan? Dia selalu tampil sebagai
seorang perempuan cantik, tapi kini dia tampak kurus dan cekung.
Sikapnya-aku tak bisa menggambarkannya." Kulsoom berpikir
sejenak. "Untuk pertama kali seumur hidupnya, dia sungguh
menghargaiku sebagai manusia dan bukan hanya sekadar pelayan
yang melayani perintahnya. Tatapannya terasa hangat. Dia tak
banyak bicara, tapi apa pun yang dia utarakan tidak mirip dengan
sosok Kaniz yang lama, yang banyak menuntut. Dia sungguh menatap
langsung mataku sepanjang waktu aku di sana."
Kulsoom tertawa lembut. "Adiknya, Sabra, yang tinggal bersamanya
untuk waktu lama, memperingatkanku agar aku bertingkah lembut
dan tidak mengatakan apa pun yang bisa membuatnya gusar. Andai
saja! Aku tak pernah membuat orang gusar. Pekerjaanku adalah
menyenangkan orang, bukan membuat mereka gusar. Bagaimana lagi
bisnisku akan berjalan?"
Dia tampak berseri-seri. "Dulu dia kerap membuatku tersinggung.
Baginya, aku hanyalah seorang mak comblang, salah satu orang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

rendahan yang memainkan peranan kecil dalam hidupnya. Kini


tahukah kau apa yang dia katakan, Fatima Jee? Dia memanggilku
'Kakak Kulsoom'! Sudah kukatakan padamu, kini dia telah berubah.
Tahukah kau apa yang membuatnya berubah, Fatima Jee?"
"Aku sama sekali tak tahu," sahut Fatima mengelak.
"Jadi, apa yang akan kau lakukan, Fatima Jee? Apa yang harus
kukatakan pada Chaudharani Kaniz?"
"Aku tak tahu. Kami jelas sangat tersanjung dan merasa terhormat.
Kurasa itu bergantung pada kedua orang yang akan menikah. Kau
tahu pandanganku soal ini. Aku selalu menginginkan Khawar untuk
Firdaus. Ia adalah orang yang menarik. Tapi aku khawatir, Kulsoom,
mengenai ketegangan yang terjadi antara kedua keluarga kami di
masa lalu. Aku sungguh tak tahu harus bagaimana. Tanyalah sendiri
putriku! Dia orang yang angkuh dan keras kepala. Dia pernah
berikrar tak akan pernah menikah dengan anggota keluarga itu dan
memilih tetap menjadi perawan tua daripada memasuki rumah itu.
Benarkah begitu, Firdaus?"
Suara Fatima tertuju pada putrinya dengan amarah. Firdaus yang
sedari tadi mendengarkan apa yang sedang dibicarakan, hanya
menatap kedua perempuan itu bergantian.
"Memang benar yang dikatakan ibuku, Bibi Jee," kata Firdaus
akhirnya. "Tapi segala sesuatu berubah-kita semua berubah. Aku
akan menerima lamaran Chaudharani Kaniz dengan senang hati dan
aku sangat bahagia dan terhormat menerimanya, tetapi dengan satu
syarat...."
"Apa?" Fatima terlompat bangkit dari kursinya, tidak percaya pada
pendengarannya. "Apakah kau sudah gila, Nak?" Dia tidak peduli
apakah Kulsoom mendengar omelannya atau tidak! "Kau tidak sedang
dalam posisi untuk menawar! Kau ini dasar rubah betina yang
angkuh!"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ibu, tolonglah!" Firdaus menukas. "Setidak-tidaknya biarkanlah aku


selesai bicara. Aku hendak berkata bahwa aku akan menerima
lamaran itu dengan syarat Khawar melamarku secara pribadi. Lagi
pula, aku akan menikahinya, bukan ibunya. Baru chaudharani itu yang
melamarku, bukan Khawar. Bagaimana aku tahu bahwa ia masih ingin
menikahiku? Ia mungkin saja telah berubah pikiran. Aku tidak ingin
menikahi seorang lelaki yang akan mengawiniku hanya untuk
menyenangkan ibunya agar tidak menderita."
"Oh, kau perempuan cerdik!" Kulsoom tertawa. "Anak muda itu
mengejar-ngejar dirimu selama lima belas tahun dan kau masih
mengatakan bahwa ia tidak mau menikahimu?"
"Orang-orang berubah, Bibi Jee. Kami baru saja mendiskusikan soal
itu," jawab Firdaus kaku, terkungkung oleh kepolosan Kulsoom dan
sindiran ibunya.
"Baiklah," ujar perempuan tua itu. "Jadi kukatakan saja pada
Chaudharani Kaniz bahwa kau menerimanya, tetapi juga ingin agar
Khawar datang sendiri melamarmu, begitu?"
"Ya, Bibi Jee," bisik Firdaus.
"Kulsoom Jee, juga katakan pada Chaudharani Kaniz bahwa aku
secara pribadi senang menerima lamarannya dan akan datang
mengunjunginya dalam waktu dekat," tambah Fatima.
"Tentu. Kuharap kau akan membuatku bahagia, Fatima. Aku akan
memenuhi mimpimu. Sepasang anting dan liontin ini sudah mulai tua
sekarang." Kulsoom mengambil liontinnya dari dadanya dan
menjuntai-juntaikannya di depan Fatima.
Fatima hanya tertawa. "Jika Firdaus menikah, aku berjanji akan
menghadiahimu sebuah liontin baru yang akan membuat lehermu
berat. Sebuah liontin bermata rubi yang besar."
"Betapa pemurahnya kau, Fatima Jee. Aku akan berterima kasih
padamu dengan menemukan seorang rishta yang cocok untuk
Fazeelet, putri bungsumu, dan tentu saja untuk putramu. Katakan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

padanya agar segera pulang dari Dubai. Kalian semua sudah kaya
sekarang. Aku akan mencarikan untuknya seorang pengantin yang
cantik. Seorang perempuan bertubuh tinggi, berkulit terang-sama
sepertinya."
"Jangan lupakan pendidikannya, Kulsoom Jee," goda Fatima.
"Tentu saja. Dewasa ini para lelaki tampaknya menyukai para
perempuan yang berpendidikan-biarpun tanpa ijazah atas nama
mereka sendiri.
"Memang ada juga sejumlah lelaki yang amat berpendidikan yang
hanya menginginkan para ibu rumah tangga- para perempuan geraloo.
Secara pribadi, kurasa mereka merasa terancam oleh para
perempuan berpendidikan yang memiliki pekerjaan dan aktif. Mereka
ingin memiliki kuasa dan kewenangan di atas istri mereka. Aku
percaya pendidikan memang bagus untuk kaum perempuan, tetapi
bukan untuk bekerja. Sebuah rumah membutuhkan seorang
perempuan untuk mengelolanya. Jika kedua suami-istri bekerja,
bagaimana rumah bisa dikelola dengan baik?"
"Aku khawatir, Kulsoom Jee, kau berbicara tentang perempuan yang
salah di sini. Aku ini perempuan yang bekerja. Lupakah kau, aku telah
bekerja begitu lama dan tetap mengurus keluarga. Firdausku
bekerja dan aku tak berharap dia berhenti bekerja jika menikah.
Aku membayar ribuan rupee baginya untuk bersekolah dan tak ingin
itu sia-sia hanya karena dia harus tinggal di rumah dan berpangku
tangan. Tidak, seorang perempuan membutuhkan kehidupannya
sendiri, perasaan merdeka, dan dihargai. Perempuan perlu mencapai
sesuatu."
"Kurasa kau benar juga, Fatima Jee," sahut Kulsoom diplomatis
seraya mengubah nada suaranya. Bukan taktik yang baik dalam
bisnisnya jika dia membuat tidak senang kliennya. Dia selalu setuju
sebisa mungkin, tanpa kehilangan muka. Lagi pula, dia sendiri seorang
perempuan yang bekerja.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Setelah beristirahat dan makan siang, Kulsoom kembali ke hawali


Kaniz untuk menyampaikan pesan itu. Dijalan pulang, dia bertemu
dengan Siraj Din dan mengabarkan pula padanya kabar baik itu.
Siraj Din merasa ikut senang. Pikirannya yang gesit langsung
bekerja. Jika Firdaus menikahi Khawar, mungkin Firdaus akan
tinggal di desa dan kembali ke pekerjaannya semula di sekolah desa.
Pada saat itu mereka hanya melangsungkan kontrak sementara
dengan kepala sekolah yang baru. Kepala sekolah yang ini baik-baik
saja, tetapi dia bukanlah seorang perempuan setempat. Terkadang ia
berharap cucunya sendiri, Zarri Bano, yang akan menjadi kepala
sekolah. Tapi ia tahu, ia menipu diri. Zarri Bano lebih cocok untuk
kehidupan kota besar dan pergaulan internasional. Anaknya benar.
Zarri Bano bukanlah seorang Bibi, seorang perempuan rumahan.
Siraj Din berdoa untuk kebahagiaan dan keselarasan dalam
kehidupan menantu perempuan dan cucunya itu.

60.

FATIMA TELAH bertanya pada Chaudharani Kaniz, melalui Kulsoom,


apakah mungkin dia datang berkunjung.
Kaniz segera memberikan jawaban. Hampir sejam kemudian Neesa
datang ke rumah Fatima dengan sebuah pesan dari Chaudharani
Kaniz dan adiknya, Sabra, kepada Fatima bahwa mereka ingin
bertemu dengannya. Mendengar kata-kata Neesa, sebuah getaran
rasa senang melanda tubuh Fatima.
"Gadis-gadis, ambilkan setelan Shanghai biruku!" perintahnya pada
anak-anaknya segera setelah Neesa pergi. "Kesan baik itu penting
dan aku ingin terlihat dalam keadaanku yang terbaik. Kurasa aku
juga membutuhkan itu karena sejujurnya aku agak takut dengan
pertemuan ini." Dia menatap anak-anak perempuannya ganti-
berganti, seraya berdiri di tengah halaman.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Mengapa Ibu takut?" tanya Salma penasaran.


"Aku tidak yakin, Sayang. Seperti kau tahu, kami berdua tidak saling
berhubungan selama hampir separuh umur kami. Jadi, agak aneh
rasanya membayangkannya menjadi besanku. Tapi kami berdua harus
membiasakannya, kurasa," ujar Fatima dengan penuh sesal.
Fatima menatap Firdaus yang sedang menisik tali sarung bantal
seraya duduk di beranda. Gadis itu menatap ibunya seraya menjaga
agar ibu jarinya tetap memegang tongkat penisiknya.
"Jangan lupa sebutkan bahwa tanpa lamaran pribadi Khawar, aku
tidak akan bisa menikahinya," ujar Firdaus tegas. "Dalam demam
rasa senang Ibu, jangan lupakan harga diriku!"
"Harga dirimu!" Fatima nyaris berteriak. Lidahnya panas. Lalu,
seraya memutari putri sulungnya, dia melanjutkan, "Harga dirimu
hampir saja membuat kita mengorbankan semuanya, kau gadis tak
tahu diuntung!"
Firdaus dengan tenang menentang pandangan ibunya, lalu kembali
melanjutkan menisik. Merasa jengkel, Fatima membuang muka.
Sejam kemudian dia meninggalkan rumahnya ke hawali. "Orang-orang
muda ini tidak menghargai apa pun," Fatima menggerundel seraya
menggelengkan kepalanya tak percaya. Chaudharani itu, ibunda
Khawar, telah melamar putrinya, tetapi Firdaus, si nona angkuh itu,
masih berharap mendengar sendiri lamaran itu dari bibir si pemuda.
Dunia memang telah berubah. Fiaz tidak melamarnya sendiri. Pada
masa itu, hal semacam itu dianggap tidak terhormat. Orangtualah
yang melamar dan mengatur. Anak-anak hanya menyetujui atau
menolak lamaran itu.
Dan lihatlah apa yang dilakukan putrinya! Mengusir seorang
Chaudharani! Fatima gemetar. Di masa mudanya, jika seorang tetua
desa mengatakan bahwa ia melamar putrimu untuk seorang
kerabatnya atau orang lain, orang itu akan merasa berkewajiban
menerimanya karena kehormatan tetua desa itu, izzat-nya,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bergantung pada hal itu. Jika ia meletakkan turbannya di depanmu,


penolakan benar-benar tak bisa dilakukan. Itu nyaris serupa dengan
meletakkan kehormatannya di kakimu.
Saat ini, jelas sekali anak-anak muda tidak peduli pada izzat siapa
pun. Tidak pada izzat keluarga mereka atau izzat mereka sendiri.
Kaum perempuan kini lebih mandiri dan sombong. Mereka ingin
membentuk takdir mereka sendiri. Para orangtua kini harus tunduk
pada anak-anak mereka dan karena itu menjadi tawanan bagi tingkah
dan kesenangan anak-anak mereka.
***
Fatima berdiri di luar gerbang hawali dan membiarkan matanya
melihat-lihat gedung bercat putih yang anggun dan tinggi itu dengan
penuh harga diri. Rumah itu akan menjadi rumah putrinya. Orang
bisa mengenali hawali ini satu mil dari desa itu. Hanya rumah inilah
yang memiliki dua lantai. Bahkan, rumah Siraj Din hanya satu lantai.
Dia membunyikan bel, lalu gemetar, teringat kunjungan sebelumnya.
Andai saja dia bisa menghapusnya dari benaknya untuk selamanya!
Neesa membiarkannya masuk. Dia dipersilakan masuk ke ruang tamu
dan dipersilakan duduk. Chaudharani dan adiknya akan segera turun
dari lantai atas, demikian dia diberi tahu.
Fatima menatap penuh minat ke sekeliling ruangan itu,
memerhatikan bahwa perabotan di ruangan itu mencerminkan selera
terbaik. Lantai ubin marmer, meja pualam serasi dengan kaki
berlapis yang kokoh, tungku tinggi menopang sebuah pemanas listrik-
semuanya berkilau seperti cermin. Tirai-tirai dengan temali yang
indah, dengan anggun terlipat di sepanjang jendela, jatuh dengan
lembut di atas lantai. Tempat itu berbau kemewahan. Bahkan, ada
sebuah permadani sutra tenun mahal terhampar di atas lantai di
tengah ruangan.
Untunglah aku melepaskan sepatuku di luar, pikir Fatima, seraya
merasai lembutnya sutra karpet itu dengan jari jemari kakinya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Ini adalah sebuah pengalaman yang aneh bagi Fatima. Dia melihat
segalanya dari sebuah sudut yang baru. Putrinya akan segera hidup
di tengah semua ini dan suatu hari nanti dia akan menjadi majikan
atas semua ini. Fatima menghela napas dalam dengan senang hati.
Neesa kembali dan Fatima menatapnya dengan penuh harap.
"Chaudharani kesulitan untuk turun tangga," pelayan itu berkata
padanya. "Dia jatuh dari tangga kemarin malam. Dia meminta Anda
bersama saya naik ke tempatnya jika Anda tidak keberatan."
"Tentu saja tidak," sahut Fatima. Jantungnya tiba-tiba mulai
berdetak lebih kencang. Apakah ini semacam penghinaan yang
disengaja oleh Kaniz? Apakah dia diminta naik seperti orang-orang
rendahan lainnya? Lalu Fatima mengenyahkan pikiran itu. Bukankah
tadi Neesa mengatakan Kaniz terjatuh? Dia sendiri tidak dalam
posisi untuk terlalu memedulikan hal-hal sepele. Lagi pula, Kaniz
mungkin masih menganggapnya sebagai si tukang cuci. Oleh karena
itu, di mata Kaniz, bukan persoalan jika Fatima diminta ke atas dan
bukannya Kaniz sendiri yang turun.
***
Kaniz sedang duduk dengan gugup di kamarnya. Dia menatap adiknya
yang duduk di sampingnya. Matanya menyiratkan kepanikan, dan
Sabra mengelus tangan kakaknya untuk menenangkannya.
Suara langkah kaki di luar ruangan membuat mereka menatap ke
arah pintu. Neesa mula-mula masuk, diikuti dari dekat oleh Fatima.
Sabra berdiri menyambut Fatima, sementara Kaniz menemukan
dirinya tak mampu bergerak.
Pemandangan musuh lamanya berdiri di muka pintu membawa kembali
kenangan mengenai pertemuan terakhir mereka dan Kaniz mengingat
kata-kata kejam Fatima dengan rasa sakit. Itu membuat otaknya
berdenyut-denyut. Senyum yang ditujukannya kepada Fatima lenyap
dan dia menemukan dirinya tengah menatap sepasang mata Fatima
dengan penuh kebencian.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Melihat Kaniz tetap duduk dan merasakan hawa permusuhan yang


meruap dari tatapan perempuan itu, kebahagiaan Fatima pun padam.
Apakah Kaniz mengundangnya hanya untuk menghinakannya? Apakah
semua ini hanya lelucon? Kepercayaan dirinya memudar.
Sabra segera mengakhiri pertanyaan-pertanyaan Fatima saat dia
dengan hangat memeluknya dan mengucapkan kata-kata sambutan
untuknya. "Bismillah, bismillah, saudariku."
"Assalamu 'alaikum," Fatima menyalami Sabra dengan bibir kering.
"Wa 'alaikumussalam. Silakan duduk di sofa. Kakakku sedang sakit
dan sulit untuk banyak bergerak. Maafkan kami karena memanggilmu
ke atas."
"Tidak apa-apa, Adik Sabra. Apa kabar, Kakak Kaniz?" Sepasang
mata Fatima kini tertuju pada wajah Kaniz.
Bergulat dengan kebencian pribadi terhadap musuhnya, Kaniz
memenangkannya dan berhasil menyunggingkan seulas senyum di
bibirnya. "Aku baik-baik saja," sahutnya dengan cukup
menyenangkan. "Bagaimana kabar keluargamu? Bagaimana kabar
Kakak Fiaz?" Kata-kata itu terdengar asing di bibir Kaniz dan
keduanya tahu itu. Sebelumnya, Kaniz tak pernah bertanya atau
bahkan peduli satu paisa pun pada keluarga Fatima. ini adalah sebuah
permulaan baru yang aneh bagi mereka berdua. Seutas benang rapuh
ditenun dalam jalinan hidup dan hubungan mereka.
"Ia baik-baik saja dan mengirim salam pada Anda. Putri-putriku
sehat dan Firdaus secara khusus bertanya tentang kesehatan Anda."
Fatima berkata sopan untuk mengalihkan pembicaraan pada pokok
tujuan kedatangannya. Di hadapan tatapan matanya yang terkejut,
wajah Kaniz melunak dan tersenyum.
"Dia datang menemuiku dan meletakkan kepalanya di pangkuanku,
seperti ini...," Kaniz menunjuk ke pangkuannya. "Dia menyentuh
kakiku."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku senang, Kakak Kaniz. Sudah selayaknya dia melakukannya. Dia


menceritakan semuanya padaku." Tatapan Fatima ragu-ragu sejenak
di depan Kaniz dan kemudian dia memutuskan untuk bersikap jujur.
Lebih baik terbuka mengenai segalanya sekarang. "Aku merasa heran
dan sangat terluka karena perangainya. Kurasa dia telah menjadi
seorang gadis yang amat bodoh. Kuharap Anda memaafkannya
karena aku sendiri sulit memaafkannya."
"Aku sendiri telah memaafkannya. Karena itulah, aku melamarnya
untuk anak tunggalku."
Fatima segera menundukkan pandangan matanya, khawatir
memperlihatkan rasa senang yang tiba-tiba melanda sekujur
tubuhnya. Jadi, Kaniz memang sungguh menginginkan putrinya
menjadi menantunya.
"Aku merasa terhormat," sahut Fatima seraya menarik napas
panjang. "Seluruh keluargaku merasa terhormat, Kaniz Sahiba.
Kulsoom membawa pesan Anda pada kami. Itu menjadi kejutan
istimewa karena kami tak menduganya. Terutama mengingat
pertemuan terakhir kita." Fatima melirik wajah Kaniz dengan cemas.
"Kita sering saling berkata hal-hal yang buruk," lanjutnya dengan
suara lirih. "Hal-hal yang tak selalu sungguh-sungguh kita
maksudkan, Chaudharani Sahiba."
"Jika yang kau maksud adalah kata-katamu, Fatima Jee, aku harus
mengingatkanmu bahwa kau sungguh-sungguh dengan setiap kata-
katamu itu," sela Kaniz dengan tenang. Dia tak akan membiarkan
Fatima meloloskan diri dengan komentar itu.
"Kalau begitu, aku minta maaf padamu," sahut Fatima dengan pipi
merona. Kembali tatapannya tertunduk di depan Kaniz.
"Tak apa-apa, aku layak mendapatkannya," timpal Kaniz dengan
murah hati. "Tapi, janganlah kita membicarakan masa lalu. Aku tak
mau memikirkan terlalu lama soal itu. Fatima Jee, aku sudah agak
lama sakit. Selama sakit, aku memiliki kesempatan untuk

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

merenungkan segalanya dan menghadapi sejumlah fakta menyakitkan


mengenai kita dan yang lainnya. Kini aku ingin menyingkirkan masa
lalu. Aku ingin menatap masa depan dan menjadikan putrimu
menantuku, istri anakku, chaudharani berikutnya."
"Anda sangat pemurah, Kaniz Sahiba. Anda telah membuat kami
berdua, ibu dan anak, merasa malu." Fatima terharu atas
kemurahhatian Kaniz.
"Sudahlah, tak perlu dibahas lagi!" Kaniz mengangkat tangannya.
"Katakan padaku, apakah dirimu ataukah putrimu yang menerima
lamaranku. Karena hanya yang dikatakan oleh putrimu yang berarti
bagiku. Dia seorang gadis yang angkuh, sama seperti aku dulu.
Apakah dia akan memberi kami penghormatan dengan melangkahkan
kaki ke rumahku sebagai menantuku? Mampukah dia menelan harga
dirinya?"
"Tak ada keangkuhan, Kaniz Sahiba, hanya kebodohan masa muda.
Dia telah berkata...." Fatima berhenti, mengingat kembali kata-kata
putrinya dengan jijik. Namun, semua itu harus dikatakan.
"Apa katanya?" tanya Kaniz, merasakan detak jantungnya makin
cepat. Sabra memerhatikan kecemasan yang tersirat di mata
kakaknya dan mengelus tangannya lagi untuk menenangkannya.
"Dia mengatakan bahwa dia menerimanya, tetapi hanya jika Khawar
menginginkannya secara pribadi. Dia percaya Andalah yang
menginginkan perjodohan itu, bukan putra Anda. Jika Khawar secara
pribadi melamarnya, dia akan sangat bahagia menerimanya."
"Aku tahu." Kaniz berhenti dan sejenak terserap dalam lamunannya
sebelum bicara dan menatap langsung pada Fatima lagi. "Dia benar,
tentu saja. Khawar sebaiknya melamarnya secara pribadi. Itulah
tata cara yang berlaku di dunia saat ini, terutama di kalangan anak-
anak muda. Tapi, jika orangtua yang melamar terlebih dahulu, itu
merupakan sesuatu yang terhormat."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ya, tentu saja. Tapi Anda tahu sendiri bagaimana anak-anak muda
ini."
"Ya, pasti. Katakan pada putrimu bahwa Khawar akan melamarnya
secara pribadi, lalu kita akan segera mengadakan upacara
pertunangan. Apakah kau senang dengan hal itu?" "Ya. Terima kasih,
Kaniz Sahiba."
Mereka bercakap-cakap lagi beberapa waktu, menjaga hanya
membicarakan hal-hal yang aman, seraya minum es jeruk limau.
Dengan hati bernyanyi riang, Fatima pergi-sebagai seorang
perempuan yang berbahagia. Pikirannya berdengung dengan gagasan-
gagasan mengenai persiapan pesta pernikahan yang akan datang.
***
Di ruang atas, kedua kakak beradik itu duduk dalam hening.
Sabralah yang pertama angkat bicara. "Apa yang kau pikirkan,
Sayang? Apakah barangkali kita memikirkan hal yang sama-bahwa
kau belum mengatakan apa pun pada Khawar mengenai ini?"
"Ya, Sabra Jee. Aku bertanya-tanya apakah yang akan ia katakan.
Apakah ia akan marah sekali, menurutmu?" Wajah Kaniz digurati
garis-garis kecemasan. Dengan gugup, dia menarik ujung
kerudungnya.
"Tidak, Kakakku Sayang, mengapa ia harus marah padamu?
Bagaimana mungkin ia berani? Lagi pula, kau melakukan semua ini
untuknya. Jika ia berani mengomel... aku akan berurusan dengannya!"
***
Wajah Khawar merah padam. Ia tak percaya apa yang telah
dilakukan oleh ibu dan bibinya. Lama sekali ia tetap berdiam diri
dengan kepala tertunduk dan tangan mendatar di atas meja makan.
Sabra telah mengatakan semuanya setelah ia selesai makan malam.
Kaniz sedang duduk di ruangan lain.
"Nah, kemenakanku sayang, kau pendiam sekali. Bukankah kau yang
selalu menginginkannya?" desak Sabra.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Memang aku pernah menginginkannya," ujar Khawar, mencoba


menahan diri, "tapi tidak setelah apa yang terjadi baru-baru ini,
tidak setelah apa yang diderita oleh ibuku. Bibi tidak punya hak
untuk ikut campur! Mengapa kau tak berunding dulu denganku? Kau
kira aku masih ingin berurusan dengan makhluk itu setelah dia
memperlakukan Ibu seperti itu? Aku tak akan pernah
memaafkannya! Dia tak layak menerimanya, Bibi. Kau tak sungguh
berpikir aku akan menikahinya kini, bukan? Tak bisa!" Khawar
membelalakkan matanya pada bibinya.
Sabra bangkit dari duduknya, berdiri di belakang Khawar dan
menyentuh lembut lehernya.
"Hm, gadismu itu tak akan menerima lamaran itu kecuali kau
melamarnya secara pribadi."
Sebuah tawa getir terdengar dari mulut Khawar.
"Dia akan lama menunggu kalau begitu. Kalian berdua bisa saja
menyusun rencana apa pun yang kalian sukai- tapi aku tak bermaksud
menikahinya." Khawar bangkit untuk pergi. Tubuhnya menjulang
melebihi tinggi bibinya. Sabra menahannya. Tangannya mencekal
lengan Khawar dan seulas senyum tersungging di wajahnya.
"Kalian anak-anak muda sangat egois, tak pernah memikirkan orang
lain. Kini dengarkan aku-dan dengarkanlah baik-baik. Khawar, kau
minggat dari rumah untuk perempuan itu. Tampaknya kau amat
menginginkannya. Kau telah bertengkar demi dia. Kini mungkin kau
mengatakan padaku bahwa dia tak berarti apa pun bagimu! Kau masih
menginginkannya, Nak. Jangan coba-coba mengingkari dirimu sendiri.
Bukan hanya itu, perkawinan ini banyak artinya bagi ibumu. Dia amat
bahagia. Sebelumnya aku tak pernah menyaksikannya sebahagia ini-
dan dia ingin membuatmu bahagia, terutama karena Firdaus datang
dan meminta maaf padanya."
"Dia datang!" seru Khawar dengan suara meninggi. "Tidak ada lagikah
yang memberitahuku sesuatu? Mengapa dia datang?"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Dia datang, berlutut, dan memohon maaf pada ibumu. Oh, itu
seperti sandiwara saja. Kau melewatkannya, Khawar. Kakakku
memaafkannya dan kini dia siap menerimanya di rumah ini sebagai
istrimu. Tahukah kau apa yang dikatakan ibumu? Dia bilang, Firdaus
adalah takdirmu dan dia memegang takdirmu di tangannya."
"Aku tahu. Ibuku tampaknya telah berubah," ujar pemuda itu seraya
berpikir. "Ya, jika ibuku memang amat menginginkannya, mengapa
aku harus menolaknya? Jika hatinya condong pada Firdaus,
tampaknya aku akan harus mulai memukul-mukul jantungku sendiri."
Khawar tertawa. "Untuk membangunkannya!" Ia menepuk-nepuk
dadanya dengan sebelah tangan.
"Hah. Jantungmu telah bangun sejak tadi," goda Sabra. "Apakah aku
ini kau kira? Semua ini hanya pura-pura."
"Tidak, Bibi. Aku tadi tak berpura-pura. Kemarahan membuatku
melupakannya. Aku masih marah padanya, tapi jika dia menginginkan
lamaran, kita akan lihat apa yang bisa kita lakukan."
Ada kilatan di mata Khawar yang tak tampak sebelumnya. Ia juga
tampak jauh lebih santai. Sabra merasa senang untuknya. Tepat
ketika Khawar akan beranjak pergi, Sabra menarik kepalanya ke
bawah dan mencium dahi serta pipinya.
"Kami tak akan membiarkanmu pergi hingga ada seorang pengantin
perempuan di rumah ini, Bibi," Khawar berjanji dan mencium pipi
Sabra sebagai balasan.
"Aku tak berniat pergi hingga saat itu tiba," ujar bibinya. "Tapi
sebaiknya kau cepat bergerak. Aku sudah berada di sini selama lebih
dari dua bulan. Keluargaku sendiri mulai gelisah kini. Oh, Khawar, aku
tak tahan menunggu saat pernikahanmu. Rumah ini akan kembali
berbahagia akhirnya."
"Bagaimana dengan Bibi Fatima?" tanya Khawar tiba-tiba.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Oh, jangan cemaskan dia. Ibumu dan dia telah saling memahami. Kau
tidak akan lagi punya ganjalan. Aku berjanji kepadamu, Nak," kata
Sabra seraya membiarkannya pergi.
Sabra segera menemui kakaknya. Kaniz menatapnya penuh harap,
merasa gugup tiba-tiba.
"Semuanya baik-baik saja-ia akan melamarnya. Kau bisa santai."
Sabra tersenyum padanya, berusaha menenangkannya.
"Kau adik yang baik! Aku tak tahu apa yang bisa kulakukan tanpamu.
Apa yang ia katakan?" "Tidak usah cemas, Kak. Khawar sangat
bahagia dan ia ingin segera menikahi gadis itu."
"Oh, Sabra, aku amat bahagia!" Kaniz berdiri dan memeluk erat
adiknya. Mereka terus saling berpelukan selama beberapa waktu
lamanya. Tangis bahagia dan lega mengaliri pipi Kaniz.
"Terima kasih atas segalanya dan aku bersyukur kepada Allah
karena telah memberkahiku. Apakah kau tahu apa yang akan
kulakukan sebelum pesta pernikahan diadakan, Sabra? Aku akan
mengadakan acara syukuran besar-besaran dan mengundang seluruh
kaum perempuan di desa ini. Kita akan meminta Zarri Bano untuk
memimpin doa khusus."
"Aku tak tahu apakah dia masih tinggal di desa ini, Kakak. Kudengar
dia sendiri akan segera menikah. Apakah kau belum mendengarnya?
Dia akan menikahi suami almarhum adiknya. Aku tak pernah
melihatnya dari dekat, tapi mereka bilang dia cantik sekali."
"Tapi, Firdausku juga sangat menarik."
"Apakah dia tidak pendek dan hitam lagi?" goda Sabra pada
kakaknya seraya mengedipkan matanya.
"Jangan berani berkata begitu tentang dia! Dulu aku hanya ingin
melampiaskan kekesalanku. Warna kulitnya bagus. Kulitnya nyaris
seterang kulitmu atau kulitku, dan tingginya seukuran rata-rata
perempuan kebanyakan. Kalau ada orang yang mengejeknya begitu,
aku akan memotong lidahnya."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Mereka berdua tertawa-tawa. Lalu, Kaniz mendesak Sabra agar


pergi ke ruang penyimpanan barangnya yang luas untuk melihat kotak
penyimpanan uang mereka. Ada begitu banyak hal yang harus
dilakukan dan dibeli. Setidak-tidaknya mereka bisa melihat apakah
mereka cukup punya persediaan gulungan kain untuk hadiah
pertunangan bagi Firdaus dan keluarganya.

61.

SEMINGGU TELAH berlalu sejak Fatima mengunjungi Kaniz di


hawali-nya. Khawar masih belum berupaya menghubungi Firdaus. Ia
terus saja berjanji pada ibu dan bibinya bahwa ia akan segera
melakukannya. Firdaus sendiri menunggu dengan gelisah kabar dari
Khawar setiap hari. Pada hari kelima Firdaus menyerah.
"Ibu, aku sudah bilang padamu, bukan?" ujarnya dengan sinis.
"Chaudharani Kaniz mungkin menginginkan perjodohan ini, tapi sang
pengantin pria jelas tidak. Jika ia sungguh ingin menikahiku, ia pasti
sudah menghubungiku saat ini. Menurutku, ini sebuah penghinaan.
Aku sudah bilang padamu sebelumnya bahwa ia tak berniat
menikahiku. Ia belum memaafkanku." Firdaus tampak menyesal.
"Aku meragukannya, Sayangku. Tapi aku sendiri agak terkejut.
Jangan cemas, beri ia waktu satu dua hari lagi, nanti aku akan turun
tangan."
"Tidak, Ibu. Tolong jangan ikut campur," Firdaus memohon.
"Terserah kau, Anakku." Fatima melambaikan tangannya menyerah.
Rishta putri sulungnya memberinya lebih banyak sakit kepala dan
sakit hati dibandingkan dengan dua putrinya yang lain. Dia yakin, dia
akan mati lemas sebelum melihat tangan Firdaus dicat dengan hiasan
pacar untuk pesta pernikahan.
Esok paginya, yang membuat seluruh keluarga Firdaus merasa
senang, seorang pemuda pesuruh dari hawali Kaniz datang membawa

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sebuah pesan. "Tuan Khawar ingin berbicara secara pribadi dengan


Ibu Firdaus jika diizinkan oleh Bibi Fatima dan Paman Fiaz. Dia
ditunggu di sumur tua, di luar desa, sore ini. Sumur itu adalah
tempat mereka biasa bermain sewaktu masih kanak-kanak," jelas
pemuda itu.
Naluri pertama Firdaus adalah menolaknya. "Biarkan saja ia
menunggu. Memangnya siapa ia?" ujar Firdaus dengan sebal pada
ibunya.
"Lagi-lagi aku merasa berkewajiban mengingatkanmu, putriku yang
keras kepala," tukas Fatima, "bahwa kau tidak dalam posisi
membiarkannya menunggu, seperti yang kau katakan. Sebaliknya, ia
sedang memberimu pelajaran. Membiarkanmu menunggu. Ia yang
memegang kendali, Sayangku, bukan kau."
Akhirnya Firdaus pergi ke sumur tua itu.
***
Cuaca Siang itu cerah dan burung-burung gagak dengan riang
berkaok-kaok di dahan pepohonan. Firdaus telah berpakaian dengan
hati-hati. Adik-adiknya dengan bersemangat membantunya memilih
warna dan corak pakaiannya. Mereka juga mendesaknya agar
mengeriting ujung rambut legamnya sehingga rambut itu jatuh
seperti tirai menyelubungi bahunya. "Kami ingin kau membuat
Khawar bertekuk lutut," goda mereka.
Seraya melingkarkan sehelai dupatta secara santai di atas rambut
dan bahunya, Firdaus meninggalkan rumah. Dia berjalan melalui
dataran desa yang berbatu-batu, melompati kubangan-kubangan air
di mana batu-batu telah hilang dan kemudian mengikuti jalan
melintasi ladang-ladang menuju sumur tua. Dia membiarkan dupatta-
nya jatuh ke bahunya ketika angin mengembusnya.
Tak ada orang di sekitar ladang. Ketenteraman sekelilingnya dan
permadani kuning kehijauan ladang-ladang itu membuatnya
menyunggingkan senyum. Inilah yang dirindukannya di tengah Kota

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Hyderabad yang sibuk dan penuh polusi-kedamaian dan udara segar


yang bersih.
Di bawah naungan sebatang pohon tua dengan akarnya yang menjalar
hingga ke jalan, terletak sumur tua itu. Sumur itu kini telah tak
terpakai, selain untuk mengaliri sawah ladang tempat kerbau
berkubang. Di masa lalu, sumur itu menjadi pusat kegiatan sosial
warga desa, ketika kaum perempuan melakukan perjalanan setiap
hari ke tempat itu dari rumah-rumah mereka untuk mengambil air.
Setelah mengisi guci gerabah, mereka lalu menyungginya dengan rapi
di atas kepala mereka, lalu kembali pulang seraya bergunjing ramai.
Setelah menggosok pinggiran sumur yang tebal dengan tinggi sekitar
satu kaki itu dengan sehelai kain usang yang tergeletak di dekatnya,
Firdaus duduk di atasnya dan menatap ke arah air sumur. Sudah
lama sekali sejak dia terakhir kali mengunjungi tempat ini. Benaknya
terbang ke masa kanak-kanaknya ketika dia, Zarri Bano, Ruby, Jafar
kecil, dan Khawar biasa bertemu dan bermain kejar-kejaran di
seputar pohon besar dekat sumur itu. Semilir angin sepoi-sepoi
bertiup di antara reranting pohon dan meniup rambutnya ke depan
wajahnya.
Firdaus menegakkan pandangannya saat didengarnya suara derap
kaki kuda. Khawar dan kuda putihnya hanya beberapa meter
jaraknya. Firdaus kembali menunduk menatap air sumur, tiba-tiba
saja dia merasa amat malu.
"Merenung, Firdaus?" Khawar beranjak turun dari kudanya dan
mengikatkannya pada sebatang pohon.
"Tidak, aku sedang menunggumu mendorongku ke dalam sumur,
seperti yang nyaris kau lakukan dua belas tahun lalu!" Firdaus
jengkel karena Khawar tidak tersenyum padanya atau sekadar
memberi salam yang menyenangkan. Ia hanya mengucapkan dua
patah kata dingin seperti seember air es dari sumur di musim dingin.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Khawar berjalan dan seraya menjemba rantai yang kokoh dengan


sebelah tangan. Ia melemparkan ember perak sumur itu ke dalam
air. Sumur itu dipenuhi suara berdebur saat ember memukul
permukaan air yang gelap. Khawar menarik keluar ember itu, kini
penuh berisi air. Dan dengan gayung plastik yang tertinggal di
pinggiran sumur yang datar, ia mulai menyeka tangan dan wajahnya.
"Apakah tempat ini sekarang menjadi kamar mandimu? Apakah kau
telah diusir dari rumahmu?" Firdaus bertanya padanya dengan
bergurau, membiarkan matanya menatap wajah Khawar. Rambut dan
lehernya terlihat dari kerah kemejanya.
"Seperti yang kau ketahui benar, aku punya banyak kamar mandi,
Ibu Firdaus, tetapi tak ada yang menyerupai air sumur. Tapi kau tak
akan mengetahuinya, bukan? Sumur desa dan seorang ibu kepala
sekolah tidak bergandengan tangan akhir-akhir ini, bukan?"
Firdaus tak luput memerhatikan sindiran pribadi Khawar dan
tatapannya yang menusuk. "Tak seorang pun mengambil air dari
sumur akhir-akhir ini," ujar Firdaus dengan tenang. "Aku dibesarkan
di desa, seperti yang kau tahu, tapi aku tak pernah menyunggi
gentong air. Itu terjadi pada masa nenekku masih hidup. Orang-
orang mandi di pancuran kamar mandi dan menyalakan air panas
sekarang ini, bahkan di desa sekalipun. Jadi, tolong jangan coba-
coba membuatku merasa bersalah!"
"Aku hanya berkomentar." Khawar menyeka wajahnya dengan sehelai
saputangan besar. Matanya memandangi wajah Firdaus, rambutnya,
bajunya, memerhatikan segalanya, dan tak melewatkan satu hal pun.
"Kau harus mengakui," lanjutnya, "bahwa ini tempat yang layak untuk
bertemu. Kau jelas menerima pesanku. Bukan kebetulan kau ada di
sini, bukan?"
"Tidak. Aku di sini karena Yang Mulia menuntut kehadiranku."
"Dan kau, Ibu Kepala Sekolah, berkenan mematuhinya. Aku amat
tersanjung," ujar Khawar seraya tertawa dan duduk di lapisan bata

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dekat Firdaus. Mata Khawar menatap lekat raut wajah Firdaus-dagu,


hidung, tulang pipinya yang tinggi.
"Kau tahu mengapa aku ingin bertemu denganmu," Khawar berkata
lirih. Wajahnya kini amat dekat dan Firdaus nyaris merasakan napas
Khawar di wajahnya. "Kau minta aku melamarmu secara pribadi."
"Tidakjika kau tak mau!" sergah Firdaus.
"Apa yang menurutmu kuinginkan, Firdaus?" tanyanya dan menunggu
Firdaus menjawab, tapi gadis itu tak menghiraukannya. "Ya?" desak
Khawar, tapi tetap tak ada sahutan. "Kepala Sekolah yang pandai
bicara dan dikenal memiliki lidah yang tajam-apakah ular telah
mengambilnya sekarang?" Suaranya pekat oleh derai tawa.
Firdaus berpaling dan tersenyum. Matanya menyiratkan rasa malu.
Khawar menatap tajam mata Firdaus dan mengerti. "Baiklah! Aku
akan mengatakannya untukmu. Aku menginginkanmu, Firdaus. Sama
seperti aku selalu menginginkanmu selama hampir sepuluh tahun. Aku
menginginkanmu menjadi istriku. Kau ingin lamaran pribadi, maka
inilah dia. Kini, apakah jawabanmu? Apakah kau akan bersikap tak
tahu aturan dan menampiknya ke wajahku sebagai pembalasan?"
tantangnya.
"Tentu saja tidak! Sebaliknya aku bahagia menerimanya, tapi hanya
jika kau memberiku jaminan bahwa ini memang yang kau inginkan dan
kau sungguh-sungguh telah memaafkanku atas apa yang telah
terjadi." Pipi Firdaus merona. "Aku cemas kau akan menikahi
kuningan-itukah yang kau inginkan? Barang buangan."
"Itu terserah padamu, Firdaus, bagaimana kau membuktikan bahwa
kau bisa mengubah kuningan menjadi emas yang dulu kumiliki," sahut
Khawar. Wajahnya bersungguh-sungguh.
"Katakan padaku, Khawar, harga diri perempuanku tak membiarkanku
menyerah. Apakah kau menikahiku demi ibumu atau karena kau
menginginkannya secara pribadi?"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kau gadis yang keras hati. Kukira aku telah menjelaskannya. Sekali
lagi kukatakan padamu. Tidak, aku akan menunjukkannya." Seraya
berkata, Khawar berpaling dan meraih tangan Firdaus. "Lihatlah aku,
Firdaus. Aku ingin kau menikahiku. Aku amat berhasrat padamu
karena aku mencintaimu. Kenyataannya keinginan ibuku adalah
sebuah bonus tambahan. Kini, apakah semuanya jelas?"
"Sangat jelas." Firdaus menarik tangannya dan bangkit. Mereka
belum menikah atau bertunangan. Tidak benar jika terlalu dekat
secara ragawi. Firdaus bergeser, membuat jarak di antara mereka.
"Apa yang akan kau lakukan dengan pekerjaanmu?" tanya Khawar. Ia
perlu tahu. Kebahagiaannya terletak pada jawaban Firdaus.
"Aku akan meninggalkan pekerjaanku di kota," jawab Firdaus segera.
Matanya menatap senang Khawar.
"Aku tak bisa membiarkanmu melakukannya. Aku tahu itu jawaban
yang baik buatmu," Khawar keberatan.
"Pekerjaan bukanlah segalanya, Khawar Sahib. Lagi pula, aku senang
kembali ke desa dan jika dewan pengelola sekolah desa memberiku
pekerjaan mengajar di sini, aku sudah cukup senang."
Khawar tertawa. "Pekerjaan sebagai kepala sekolah masih menjadi
milikmu. Yang sekarang menjabat hanya bersifat sementara. Desa ini
akan senang menerimamu kembali, gadisku."
Tiba-tiba saja Firdaus melihat Baba Siraj Din menuruni jalan dari
arah kawanan biri-biri miliknya. Pipi Firdaus menjadi hangat.
"Katakan pada ibumu, dia bisa mulai melakukan persiapan. Aku
menerimanya dengan senang hati. Hudah Hafiz! Aku harus pergi.
Baba Siraj Din ada di sini!" Firdaus dengan cepat menarik dupatta
ke atas kepalanya untuk menghormati orang tua itu. Ia tak pernah
melihat rambutnya terbuka dan terurai mengelilingi bahunya.
Dengan pipi merah padam, Firdaus lari, mengambil jalan kembali ke
arah desa.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Ketika menanti Siraj Din mendekat, Khawar melepaskan ikatan


kudanya dari pohon.
"Assalamu 'alaikum, Anakku. Apa kabarmu? Itu Firdaus, bukan?"
Siraj Din bertanya seraya menunjuk ke arah sosok Firdaus yang
menghilang dengan tongkatnya. "Ya, itu memang dia, Baba Jee."
Siraj Din tak melewatkan apa pun. Bahkan dari kejauhan pun ia telah
melihat mereka duduk dan mengobrol bersama.
"Apakah aku benar dengan berpikir bahwa kini kedua keluarga kalian
rukun kembali dan kami akan segera mendengar kabar baik mengenai
dirimu dan Firdaus? Ada desas-desus di sekeliling desa ini bahwa
ibumu sedang mempersiapkan pesta pernikahan besar-besaran
untukmu."
"Ya, Baba Jee. Insya Allah. Dengan doa dan restumu, tampaknya
permusuhan antara ibuku dan Bibi Fatima telah berakhir. Firdaus
dan aku akan segera menikah-alhamdulillah."
"Mubarak, Anakku! Aku amat senang untuk kalian berdua. Ibumu
telah menunggu begitu lama. Dia layak mendapat pujian dan ucapan
selamat. Aku akan mengunjunginya. Beri tahu kapan pesta
pernikahan kalian akan berlangsung."
"Tentu saja, Baba Jee. Kami tak bisa melakukan apa pun tanpa
kehadiran, bimbingan, dan pengawasanmu, dan tentu saja restu dan
doamu. Kami hanya perlu menggelindingkan bola. Allah Hafiz. "
Khawar naik ke punggung kudanya dan melaju ke arah desa.
Ketika Baba Siraj Din menyaksikan Khawar pergi, pikirannya beralih
pada cucunya sendiri, Zarri Bano. Ia berdoa agar cucunya itu akan
hidup mapan dan bahagia bersama Sikander!

62.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

DUA JAM setelah upacara dan resepsi pernikahan sederhana usai,


dengan baju pengantin telah dikemas, Zarri Bano pergi menuju
Karachi bersama Sikander dan keluarganya.
Seraya melambaikan tangan pada mereka dari beranda, Fatima
menangis di bahu Shahzada.
"Jangan menangis, Fatima. Tidakkah kau bahagia?" ujar Shahzada
dengan terharu. Air matanya sendiri berlinang.
"Ya," isak Fatima. "Itulah sebabnya aku menangis. Aku akan sangat
merindukannya."
"Kita harus mendoakan mereka berdua, Fatima. Kuharap pernikahan
mereka berhasil. Kita berdua tahu bahwa Zarri Bano menikah
dengan enggan. Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia hanya
akan bertahan dalam pernikahan itu selama setahun. Raut wajahnya
tampak seperti itu, kau tahulah, Fatima. Aku cemas dia bersungguh-
sungguh dengan perkataannya." Shahzada menatap cemas pada
teman sekaligus pembantunya itu.
"Tak perlu cemas, Shahzada Jee. Mereka akan berhasil,
percayalah," Fatima mencoba menenangkan chaudharani-nya dengan
lembut, dengan keyakinan yang kuat. Dia percaya pada hubungan
alkemi antarmanusia. Selalu ada keajaiban dalam hubungan antara
tuan putrinya dan Sikander.
***
Zarri Bano duduk di sudut mobil. Haris duduk di antara Zarri Bano
dan Sikander. Celoteh kekanak-kanakannya membantu meredakan
ketegangan yang terbangun antara ayah dan bibinya. Di balik
pinggiran dupatta lebar di kepalanya, Zarri Bano tercekam di bawah
tatapan mata Sikander-sepasang mata itu serasa menjelajah ke
mana-mana.
"Aku ingin duduk dekat jendela!" desak Haris dalam perjalanan.
Semua orang menata diri untuk membiarkannya duduk di tempat
yang ia mau. Saat mereka bergerak, paha Sikander secara tak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sengaja menggesek paha Zarri Bano, membuatnya berputar dengan


panik. Suaminya menatapnya dengan tenang ketika melihatnya
menjauh beberapa inci darinya. Seraya menarik dupatta-nya yang
penuh sulaman, Zarri Bano melilitkannya lebih rapat menutupi
wajahnya, melindungi dirinya dari tatapan Sikander yang seakan
membakar.
Tiba-tiba, Sikander meraih tangannya dan menggenggamnya erat-
erat dalam rengkuhannya. Merasa terkejut, dan megap-megap, Zarri
Bano mencoba menarik tangannya. Dengan suara yang terlalu lirih
untuk bisa didengar ibunya atau sopirnya, Sikander menggeram,
"Aku tidak akan memakanmu." Sikander menyentuhkan jemarinya di
atas jemari Zarri Bano dan mulai mengelusnya dengan lembut. Tak
berdaya, Zarri Bano membiarkan Sikander bermain dengan
jemarinya sejenak. Lalu, dia menarik tangannya.
Haris beralih dari jendela mobil dan kembali duduk meringkuk di
antara mereka, dengan dipeluk oleh kedua orang dewasa di
sampingnya. Bocah itu tetap duduk di situ hingga akhir perjalanan.
***
Ketika mobil itu berhenti, Zarri Bano menatap rumah Sikander di
Karachi. Beranda depan vila yang luas itu dihiasi dengan karangan
bunga dan diterangi cahaya warna-warni. Di dalamnya, sekelompok
perempuan yang tengah berdoa dan para kerabat menunggu untuk
menyambut kedatangan pengantin perempuan Sikander yang baru.
Mereka maju bergiliran secara resmi begitu Zarri Bano duduk di
sofa ruang tamu untuk memberinya salam penyambutan berupa
hadiah salami dalam bentuk uang. Para perempuan terutama amat
senang bertemu dengan mempelai baru. Mereka mendengar kabar
bahwa sang mempelai adalah kakak mantan istri Sikander yang telah
meninggal dunia dan tidak hanya dikatakan lebih cantik daripada
Ruby, tetapi juga dia seorang perempuan yang amat saleh. Konon dia
selalu memakai hijab. Beberapa orang bahkan percaya pada desas-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

desus bahwa mempelai ini bahkan tidur dengan mengenakan pakaian


tertutup itu.
Hari ini, bagaimanapun, burqa tak terlihat di mana pun dan dia tidak
tampak saleh sama sekali. Sebaliknya, gadis ini menampakkan sosok
seorang mempelai yang tersipu-sipu dan hampir seperti seorang
bintang film gemerlap. Mereka tak bisa membayangkan Zarri Bano
mengenakan burqa. Rambutnya ditata dengan anggun. Sepasang
matanya bersinar-sinar bagaikan permata. Serasi dengan mulut yang
tersenyum manis itu, Allah memberkahinya dengan lesung pipit
paling menarik yang tampak mengintip setiap kali dia tersenyum.
"Seperti yang bisa kau lihat, pengantin lelaki tak mampu melepas
pandangan darinya. Si lelaki berpura-pura tidak menatap padanya,
tetapi apakah kau perhatikan, temanku, ia tidak melihat orang lain di
ruangan ini. Tak mengejutkan karena istrinya cantik sekali. Bukankah
sudah kukatakan padamu?" bisik seorang perempuan pada temannya.
Dia senang melihat sosok Zarri Bano.
"Tahukah kau bahwa gadis inilah yang sesungguhnya ingin dinikahi
Sikander pada mulanya," lanjut perempuan ini.
"Benarkah?" Perempuan yang satunya menatap takjub pada pasangan
rupawan itu. "Oh, betapa romantisnya!" Seperti tetangga mereka,
dia pasti akan menjalin persahabatan dengan istri baru Sikander.
***
Makan malam dihidangkan khusus untuk Sikander dan Zarri Bano di
meja tersendiri dengan Haris ikut bersama mereka. Mereka makan
dengan diam. Selama itu Sikander kerap menatap mempelainya. Di
sisi lain, Zarri Bano terus menundukkan pandangannya seakan-akan
mereka sungguh-sungguh orang asing. Tuhan, dia tampak begitu
rapuh, pikir Sikander. Seakan-akan dia takut padaku! Sikander
tersenyum, ingin menghibur Zarri Bano, tetapi tak tahu apa yang
harus dikatakannya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Malam itu kakak perempuan Sikander, Rahat, menyarankan Zarri


Bano agar beristirahat di kamarnya. Dengan canggung seraya
mengangkat rok sutranya yang penuh sulaman, Zarri Bano mengikuti
Rahat naik tangga ke sebuah kamar tidur yang luas. Seraya
membukakan pintu lebar-lebar, Rahat menepi untuk membiarkan
Zarri Bano masuk.
Mengenali kamar itu, Zarri Bano terdiam membeku. Sebuah ranjang
besar berdiri di tengah kamar dengan sebuah tudung pernikahan
dihiasi pita-pita di sekelilingnya. Zarri Bano memejamkan matanya,
merasakan kakinya lemas.
Seraya meraih sebuah kursi, dia duduk dan menatap ranjang itu
dengan kengerian tergambar di wajah dan sepasang matanya.
"Kau baik-baik saja, Dik?" tanya Rahat merasa peduli. Pada saat
itulah Sikander muncul di kamar itu. Ia menatap ranjang itu dan
kemudian wajah Zarri Bano yang pucat pasi.
"Rahat, tolong tinggalkan kami," desaknya. "Aku akan menjaganya."
"Baiklah, Adik Sikander." Rahat dengan cepat pergi, merasa
terganggu oleh perilaku adik iparnya dan bertanya-tanya apakah
yang salah.
Dalam satu gerakan yang gesit, Sikander melepas semua pita hiasan
dan melemparkannya ke sudut lantai. Marah pada diri sendiri,
kakaknya, dan seluruh situasi itu, ia membungkukkan tubuhnya dan
berbicara pada istrinya dengan suara tersiksa. "Percayalah padaku,
Zarri Bano, aku tidak tahu kalau mereka akan membawamu ke kamar
ini!"
Zarri Bano menatap pada ranjang terbuka yang tampak menyedihkan
di tengah ruangan.
"Ini adalah kamarnya. Itu adalah ranjangnya!" Zarri Bano berteriak
pedih dengan nada suara menyalahkan. "Beginilah dulu dia
diperlakukan. Aku tak bisa tidur di sini! Kau telah berjanji padaku,
Sikander."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Lalu di depan mata Sikander, tubuh Zarri Bano bergidik. Sepasang


mata gadis itu terpejam ketika dia sengaja berusaha mengenyahkan
Sikander dan kamar itu dari benaknya.
"Kau tidak tidur di sini," ujar Sikander dengan lembut. "Kau memiliki
kamarmu sendiri. Kakakku tidak mengerti keadaan kita. Mereka
hanya melakukan apa yang biasanya dilakukan orang terhadap
mempelai perempuan. Maafkanlah dia."
"Ruby tidur di ranjang itu, Sikander!" teriak Zarri Bano, merasa
sedih dan menangis untuk adiknya yang telah tiada. Perhiasan di
kepalanya berayun-ayun di depan wajahnya.
Sikander menjauh darinya, menatapnya tak berdaya. Bukan hanya
Zarri Bano yang memiliki kenangan. Ruby adalah mendiang istrinya!
Tidakkah dia menyadari bahwa aku pun merasa ngeri pada kenangan
buruk itu? pikir Sikander dengan masygul. Ia ingin menghibur Zarri
Bano, tetapi tak tahu harus berbuat apa. Jika menyentuhnya, ia
yakin akan membuat Zarri Bano kehilangan kendali dirinya yang
rapuh. Alih-alih, ia menggunakan suaranya untuk menggapai hati
Zarri Bano.
"Zarri Bano, ini bukan kamarmu dan tak akan pernah menjadi
kamarmu. Jika merasa aman dan senang, kau bisa tidur di kamar
Haris untuk sementara. Ayolah, kita keluar dari sini."
Seraya menyeka air matanya, Zarri Bano mengikuti Sikander tanpa
kata ke dalam kamar Haris. "Di sinilah kamarnya, buatlah dirimu
merasa nyaman," ujar Sikander dengan riang. "Kau biasa tidur di sini
dengan Haris, bukan? Aku atau Ibu akan membawakan susu untukmu
nanti. Pelayan kita akan mengantarkan koper-kopermu." Zarri Bano
mengangguk penuh terima kasih dan Sikander pun meninggalkannya.
Setelah berganti dengan pakaian tidur, Zarri Bano meletakkan Haris
ke tempat tidur. Setelah shalat, dia berbaring di samping Haris dan
mencium dahi Haris yang telah mengantuk. "Aku melakukan semua ini

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

untukmu, kemenakanku sayang," bisiknya di atas wajah Haris yang


sedang menguap.
Zarri Bano merasa tegang ketika seseorang mengetuk pintu.
Sikander masuk membawa segelas susu. Zarri Bano lebih suka jika
ibunda Sikander yang datang daripada Sikander sendiri. Dalam
kamar yang temaram, rambut Sikander berkilat basah sehabis
mandi. Ia tampak tinggi dan sangat menarik dengan jubah tidur di
atas piyamanya. Zarri Bano merasa gugup.
Dengan memandang wajah Zarri Bano, Sikander maju dan
meletakkan gelas susunya di atas meja kecil di samping ranjang.
Sikander menyembunyikan kekecewaannya dari Zarri Bano. Zarri
Bano telah melepaskan perhiasan, riasan, dan pakaian pengantinnya-
merampok salah satu hak istimewa mempelai pria darinya, yakni
membantunya melepaskan segala pernak-perniknya.
Sikander melangkah mundur, menjauh dari ranjang, dan tersenyum
kepada Zarri Bano. Zarri Bano tersipu-sipu. Lalu, dia menarik
selimut hingga sebatas leher untuk menyembunyikan diri.
Memerhatikan gerakan Zarri Bano, Sikander berpaling untuk
melihat putranya.
"Ia cepat tertidur pulas," bisiknya.
"Ya," sahut Zarri Bano, senang bisa mengatakan sesuatu untuk
meredakan ketegangan dalam ruangan itu dan berdoa agar Sikander
cepat pergi.
Sikander bergerak ke sisi tempat anaknya berbaring di ranjang dan
duduk di sudut yang berlawanan. Zarri Bano bersikap santai.
"Ia akan bahagia menemukan dirimu tidur bersamanya."
"Mudah-mudahan. Lagi pula, kita menikah hanya demi Haris, bukan?"
tukas Zarri Bano.
Sikander menunduk, menatap corak burung-burung dan pepohonan
yang menarik di bagian luar selimut Zarri Bano. Ia tak segera
menjawabnya. "Ya, Zarri Bano, kita memang menikah demi Haris,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tapi aku masih berharap pada akhirnya ini akan menjadi pernikahan
sungguhan. Aku tidak menikahimu hanya demi Haris, tetapi untuk
diriku juga." Sikander ingin berkata lebih banyak pada Zarri Bano,
membuka pintu hatinya, tetapi ia tahu secara naluriah bahwa ini
bukanlah saat yang tepat. Sebuah gerakan yang salah, sebuah
langkah yang keliru darinya dan Zarri Bano pun akan meledak. Ia
tidak bisa mengambil risiko itu dan mengacaukan hubungannya
dengan Zarri Bano. Mereka berdua tadi telah bertengkar di kamar
lain.
"Zarri Bano, aku memiliki perasaan bahwa kau takut padaku," ujar
Sikander seraya menatapnya dengan ekspresi tenang di matanya.
"Kau takut pada kehadiranku, bukan? Jangan takut. Apa
sesungguhnya yang paling kau takutkan, Zarri Bano? Bahwa aku akan
menuntut hakku? Untuk menyempurnakan perkawinan kita?"
Sikander melihat pipi Zarri Bano memerah.
"Itukah yang paling kau takutkan? Aku amat mengenalmu untuk kau
ingkari, Zarri Bano. Kau harus belajar memercayaiku. Aku berjanji
sebelum kita menikah bahwa semuanya akan seperti yang kau
inginkan. Kaulah yang memegang kendali. Maka, kau tak perlu takut
pada kehadiranku. Perempuan yang kukenal lima tahun lalu tidak
takut padaku-pada apa pun. Aku tak meminta apa pun, Sayang, selain
persahabatan dan pertemanan. Yang tak kuinginkan
adalah kau bergegas menjauh dari sentuhan kecilku. Tampaknya kau
sungguh-sungguh melakukan tugasmu dengan baik, menjadi seorang
perempuan pakeeza yang sempurna, sehingga kau bahkan merasa
takut terhadap bayangan seorang lelaki. Namun, aku mengenalmu
dan pernah melihat seorang perempuan yang sangat bergairah di
dalam dirimu. Tapi cukuplah soal itu, aku tak akan berbicara tentang
masa lalu."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Apakah kau sudah menyelesaikan kuliahmu? Perempuan yang kau


perbincangkan itu adalah perempuan binal yang malu untuk kuingat-
ingat," ujar Zarri Bano datar.
"Aku tidak setuju. Dia tidak binal. Dia hanyalah seorang perempuan
normal, dengan naluri yang normal pula."
"Kalau begitu, kau harus tahu bahwa perempuan di depanmu ini
bukanlah perempuan normal."
"Aku akan buktikan padamu, suatu hari nanti, betapa normalnya
dirimu, Zarri Bano. Tapi aku tak akan berdebat denganmu malam ini.
Dan ya...," ia mengakhirinya dengan tawa dan kedipan mata, "... aku
sudah selesai memberikan kuliahku."
Zarri Bano akhirnya membiarkan sesungging senyum merayap di
bibirnya. Untuk pertama kalinya, ia memerhatikan binar-binar di
mata Sikander. Hati Sikander bengkak oleh kebanggaan dan
harapan. Zarri Banonya yang lama tidaklah mati, hanya terbaring
tidur. Zarri Bano hanya membutuhkan waktu dan dorongan untuk
dibangunkan.
"Belajarlah memercayaiku," ia memohon. Sekali lagi ia memutari
ranjang dan berdiri di dekat Zarri Bano. Ia menatap wajah Zarri
Bano dan rambutnya yang tergerai di atas bantal. Bibir gadis itu
separuh terbuka. Inilah bayangan yang telah menghantuinya sejak
lama.
Zarri Bano melihat tatapan matanya dan merasa tegang. Sikander
duduk di tepi ranjang dan tak mampu menahan diri untuk
menjulurkan tangan dan meraba pipi Zarri Bano. Zarri Bano
merasakan dirinya terperangkap dalam danau tak berdasar sepasang
mata Sikander yang menjadi makin gelap dalam bayangan temaram.
Seraya mengingat kata-kata Sikander, Zarri Bano berusaha
bersikap santai, mengetahui bahwa dia harus belajar memercayai
Sikander. Kini jemari Sikander membelai rambutnya. Hawa panas

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

merasuk dalam diri Zarri Bano, tetapi dibiarkannya Sikander terus


beraksi.
Tersirat rasa penasaran di wajah Sikander. "Kau adalah perempuan
tercantik yang pernah kutemui," ujarnya. Suaranya membelai Zarri
Bano seperti beludru.
"Bahkan lebih cantik daripada Ruby?" Zarri Bano merasa terkejut
dengan pertanyaannya sendiri.
Tatapan sedih terlintas di wajah Sikander. "Tentu saja. Dia adalah
bayanganmu yang lebih pucat, Zarri Bano. Kau masih terlihat cantik
walaupun memakai kerudung. Inilah wajah yang telah menantang dan
membayang-bayangiku selama lima tahun terakhir ini."
Zarri Bano tak menyahut. Dia takjub pada kilau hangat yang
mendadak hidup dalam hatinya. Dia menyadari bahwa dia masih amat
menarik bagi Sikander. Ia masih menganggapku cantik, pikir Zarri
Bano senang.
Jari Sikander akhirnya mendarat di bibir Zarri Bano dan
merabainya. Lalu dengan enggan Sikander menarik tangannya dan
menarik selimut ke bahu Zarri Bano, menutupinya. Kemudian
Sikander berdiri hendak beranjak pergi. Selangkah demi selangkah,
sudah kukatakan pada diriku sendiri, dan memang begitulah
seharusnya, Sikander mengingatkan dirinya dalam hati.
"Selamat malam, Zarri Bano. Dan selamat datang di rumahku. Kau
akan pergi ke Timur Jauh lusa, bukan?" ujar Sikander dengan suara
nyaring.
"Ya," sahut Zarri Bano, merasa bersalah karena suatu alasan.
"Aku akan mengantarmu sendiri ke bandara. Apakah semua
persiapan sudah dilakukan?" "Ya."
"Allah Hafiz, Zarri Bano." Sikander berbalik hendak pergi.
"Sikander, terima kasih atas segalanya. Lelaki lain mungkin tidak
akan penuh pengertian sepertimu. Aku menghargainya."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sikander berbalik menghadap ke arah Zarri Bano. Zarri Bano kini


duduk. Selimut telah jatuh dari bahunya dan bentuk tubuhnya
tercetak pada baju tidurnya. Merasakan tatapan Sikander di
bahunya, Zarri Bano tak membuat gerakan apa pun untuk menarik
selimut agar menutupi tubuhnya.
Sikander merasa tersentuh oleh sentakan kecil ini. Zarri Bano tidak
lagi menganggapnya sebagai seorang gher merd dan karenanya
merasa tak perlu menutupi dirinya lagi.
"Akulah yang harus berterima kasih, Zarri Bano, karena kau mau
melangsungkan pernikahan, terutama ketika kau nyaris dipaksa
untuk melakukannya oleh anakku. Jika kapan pun kau merasa tidak
senang atas segala sesuatu hal, yang harus kau lakukan hanyalah
memberitahuku. Bagaimanapun, kita kini adalah sepasang suami-istri.
Selamat tidur!"
Tak memercayai dirinya sendiri jika ia tetap tinggal di kamar itu
beberapa saat lagi dengan Zarri Bano, Sikander bergegas pergi.
Setelah menutup pintu di belakangnya, ia melintasi lorong dan masuk
ke kamarnya sendiri.
Di ranjang, Sikander merenungi kejadian hari itu dan hubungannya
dengan Zarri Bano. Ia mengingat saat-saat Zarri Bano memasuki
gedung pernikahan dengan pakaian pengantin dan ia masih bisa
merasakan gelombang rasa senang yang membasuhnya. Zarri Bano
tampak sangat memesona, seperti yang selalu dibayangkannya. Hati
Sikander bengkak oleh rasa bangga ketika lamunan itu melintas
dalam benaknya. Inilah perempuan yang kuinginkan, yang selalu
kuinginkan-dan kini dia telah menjadi milikku.
Kegembiraannya, bagaimanapun, hanya berumur pendek. Setelah ia
mengucapkan ikrarnya dalam upacara nikah, sang imam menoleh pada
Zarri Bano. Zarri Bano menatap langsung pada Sikander. Lalu dengan
para tetamu sebagai saksi, dia memanggil Haris dan berkata dengan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

jelas, "Haris, apakah kau ingin aku menikahi ayahmu? Aku hanya akan
melakukannya jika kau menginginkannya."
"Ya, Bibi, ya!" bocah itu berkata seraya mengangguk-anggukkan
kepalanya penuh semangat dan duduk mendesak di sampingnya.
Lalu Zarri Bano mengikuti kata-kata imam dan akhirnya
menandatangani surat nikah. Ketika memegang pena, bersiap
mencoretkan tanda tangannya, Zarri Bano kembali menatap
Sikander. Kali ini matanya lebih dingin daripada
yang pernah ia lihat sebelumnya. Hati Sikander terpuruk dalam
kemasygulan. Dia tak bisa lebih jelas daripada itu melakukannya.
Sikander telah dihina-Zarri Bano berkata padanya dan para tetamu
bahwa dia melangsungkan upacara itu hanya karena kemenakannya.
Beberapa saat kemudian, ketika tangannya menyentuh tangan Zarri
Bano tanpa sengaja di meja makan, perempuan itu menampiknya
dengan tatapan panik. Meskipun kecewa, Sikander sadar bahwa
masa-masa sulit belum usai. Ia buru-buru menyingkirkan kecemasan
tiba-tiba yang terlintas di kepalanya: bagaimana jika dia tak akan
pernah berubah?
Dalam satu hari, ia telah mencapai banyak hal, tetapi masih harus
bersabar. "Aku harus mendapatkan rasa hormat dan
kepercayaannya," gumamnya. "Hormati keinginan dan hasratnya,
bahkan jika itu merupakan sebuah kutukan bagiku sekalipun. Bahkan
dia sudah harus melakukan kunjungan panjang ke Timur Jauh, hanya
sehari setelah pernikahan."
Di kamarnya, Zarri Bano memeluk tubuh mungil Haris ke tubuhnya.
Dia senang Sikander datang dan berbicara secara terbuka padanya.
Sikander telah mengusir beberapa rasa takutnya. Rasa takut
terbesar yang tidak bisa dienyahkan oleh Sikander adalah
ketakutannya pada dirinya sendiri. Rasa takut terhadap perempuan
binal yang penuh gairah dan penuh cinta yang telah dia kubur saat
mendengar pertunangan Sikander dengan Ruby. "Perempuan itu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sudah mati! Aku tak akan mati lagi untukmu, Sikander," jerit Zarri
Bano dalam tidurnya.

63.

ESOK HARINYA merupakan hari yang ramai bagi Zarri Bano ketika
dia harus menghabiskan waktu dengan para tetamu dan menyiapkan
perjalanannya ke Indonesia dan Malaysia. Hanya para anggota
keluarga dekat yang sadar bahwa dia akan pergi meninggalkan rumah
barunya selama sebulan hanya sehari setelah pernikahan
dilangsungkan. Apa yang mereka pikirkan mengenai rencana Zarri
Bano merupakan tebakan semua orang. Ibunda Sikander, Bilkis,
bersikap sangat sopan atas hal itu. Ayahnya, Raja Din, menerimanya
dengan tenang ketika putranya mendiskusikan hal itu dengannya saat
mereka menyantap makan Siang.
"Kau tahu, Ayah, Zarri Bano punya banyak komitmen. Dia tidak bisa
langsung meninggalkan semuanya walaupun kini telah menikah
denganku. Salah satu komitmennya adalah kunjungan kaum
perempuan Jamaah Muslim ke Indonesia dan Malaysia. Zarri Bano
telah membuat perencanaan mengenai hal ini sejak lama, sebelum
rencana pernikahan disepakati," jelas Sikander, berharap mereka
akan memahami tindakan istrinya dan tidak menghalang-halanginya.
"Tak apa-apa, Nak." Raja Din tersenyum menenangkan Zarri Bano
saat dia mendengarkan dan menyaksikan percakapan mereka dengan
berdiam diri. Raja Din menatap menantu barunya dengan bertanya-
tanya. Takdir adalah fenomena yang aneh. Takdir telah membawa
kembali perempuan yang telah membuat ia dan putranya jatuh hati.
Kini dia memang seorang perempuan yang berbeda, tentu saja, tapi
tetap merupakan kejutan yang menyenangkan memilikinya di sini, di
sisi putranya. "Semoga Allah mengabulkan segala keinginan Sikander
dan permohonanku untuk memiliki cucu lelaki lainnya," doanya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Seorang anak seperti Haris, tapi dengan sepasang mata seperti


gadis ini."
Malam itu Shahzada, Gulshan, dan Fatima datang mengunjungi Zarri
Bano. Mereka terkejut melihatnya mengenakan salah satu gaun
pengantin anggun dari perlengkapan pengantinnya, alih-alih
mengenakan burqa hitam yang diam-diam mereka cemaskan akan
masih dipakai oleh Zarri Bano.
Zarri Bano sedang menatap pakaiannya yang baru dalam koper
perlengkapan pengantinnya dan bertanya-tanya baju apakah yang
akan dipakainya untuk perjalanannya ketika Sikander masuk.
"Pakailah baju ini untukku." Seraya mengulurkan tangan di atas bahu
Zarri Bano, Sikander memilih sebuah gaun berwarna ungu gelap.
"Baju ini akan serasi jika kau kenakan," bujuk Sikander seraya
mematut-matut gaun itu di depan Zarri Bano dan menatapnya
dengan pandangan kagum.
"Lihatlah pada hiasan kelap-kelip di atas korset ini. Terlalu
mencolok, apalagi untuk perjalanan jauh," Zarri Bano keberatan.
Pipinya merona dan berharap Sikander akan pergi menjauh.
"Ah, tidak. Kau adalah pengantin baru dan ini adalah baju yang biasa
digunakan oleh para pengantin baru. Omong-omong, terima kasih kau
tidak mengenakan burqa di dalam rumah ini. Itu adalah peraturan
yang tampaknya harus kau patuhi saat kau menjadi istriku."
"Peraturan! Bagaimana dengan para tamu lelaki lain yang bisa saja
mengunjungi kita sewaktu-waktu?" tanya Zarri Bano merasa terusik.
"Sayangku, tak seorang pun mengenakan burqa di rumah. Kau bisa
mengenakan kerudung lebar seperti orang lain. Pasti kerudung itu
akan menutupimu lebih dari cukup, bukan? Atau kau bisa melilitkan
seprai mengelilingi tubuhmu kalau kau mau. Aku ingat di masa lalu
Zarri Bano hanya memakai dupatta sifon hitam yang tipis di tempat
umum, di tengah para lelaki asing, tapi dia masih berpakaian cukup

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sopan. Kau bisa berpakaian sopan sekaligus tampil cantik. Tampil


menarik bukanlah kejahatan."
"Terima kasih atas kuliahmu. Tapi kau berbicara soal masa lalu! Tak
termaafkan jika kau mengingatkanku pada masa itu," ujar Zarri Bano
dengan marah, berupaya menghapus ingatannya tentang peristiwa di
mela itu. "Waktu itu aku seorang perempuan ceroboh yang sombong."
"Kau tidak pernah ceroboh, Zarri Bano, tetapi aku amat merindukan
perempuan yang sombong itu. Aku bertanya-tanya apakah dia akan
muncul ke permukaan sekali lagi?" Entah bagaimana, Sikander
merasa dirinya telah memaksakan keberuntungannya terlalu jauh.
Seraya menunduk bertumpu pada lututnya di atas koper bajanya,
Zarri Bano menatap Sikander lama sekali. "Sikander, mustahil kita
memundurkan kembali jarum jam," ujarnya pada akhirnya. "Jangan
berbicara lagi, tolong. Kau telah menjeratku di dalam jaringmu."
"Maafkan aku jika kau merasa kami telah menjeratmu." Sikander
merasa tersinggung. "Kami pikir pernikahan ini yang terbaik bagi
semua orang-bagiku, bagimu, dan terutama, bagi anakku." Sikander
berjalan ke arah jendela dan menatap ke bawah ke arah kebun jeruk
di kejauhan. Pulih dari lamunannya, ia kembali menatap Zarri Bano.
"Maafkan aku, Zarri Bano. Kau bebas datang dan pergi ke mana pun
dan kapan pun kau mau. Tak ada larangan dalam pernikahan ini, Zarri
Bano. Ini adalah sebuah rumah, sebuah perkawinan, bukan tahanan
atau penjara."
"Jangan menatapku seperti itu!" ledak Zarri Bano, tak mampu
menahan dampak yang ditimbulkan oleh tatapan mata Sikander pada
dirinya.
"Seperti apa?" tanya Sikander, sungguh merasa bingung.
Zarri Bano membanting tutup koper pakaiannya dan membelalakkan
matanya pada Sikander. "Kemarin, di mobil, kau meremas tanganku.
Semalam kau merabai wajahku. Kini kau memerkosaku dengan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tatapan matamu. Akankah nanti matamu melakukan apa yang tak bisa
dilakukan oleh tanganmu?"
Kehabisan kata-kata dan wajahnya yang kemerahan menjadi pucat
pasi, sebuah tatapan yang menyiratkan kebencian berkilat di mata
Sikander. Zarri Bano melihat tatapan itu dan tahu bahwa kali ini
dirinya telah kelewat batas. Jantungnya serasa hendak copot. Tiba-
tiba saja dia merasa telah kehilangan seorang kawan. Sikander
menatapnya dalam sekali.
"Kau mungkin seorang perempuan cantik yang menggairahkan, Zarri
Bano, tapi aku tidak seputus asa itu menuntut hakku sehingga harus
memerkosa istriku sendiri!" ia membentak Zarri Bano dari ujung
ruangan, melukai perempuan itu seperti perempuan itu melukainya.
"Juga tidak pada perempuan lain. Kau tak paham arti kata
memerkosa! Simpanlah kesucianmu yang beku itu untuk dirimu
sendiri." Sikander lalu menghambur keluar kamar itu dengan
membanting pintu.
Zarri Bano melemparkan gaun yang diminta Sikander dipakainya ke
arah pintu. Dupatta sifon bersulam berwarna ungu yang lebar itu
terhampar di lantai marmer. "Aku tak peduli jika ada orang yang
melangkah di atasnya!" teriaknya. Lalu dia pun menangis tersedu-
sedu.
"Ada apakah ini?" tanya Shahzada yang masuk ke kamar. "Mengapa
baju itu ada di lantai? Kau baik-baik saja?" Shahzada menunduk di
atas putrinya. Zarri Bano memalingkan wajahnya yang penuh air
mata pada ibunya, tak merasa perlu menyembunyikan keadaannya
yang berantakan.
"Ada apa, Anakku Sayang? Mengapa kau menangis?"
"Ibu, aku tak tahan dengan semua ini-dengan Sikander, dengan
perkawinan ini. Terutama dengan matanya.... Ibu, aku takut pada
matanya, dengan yang dilakukan mata itu padaku. Aku tak tahan!"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

isaknya. "Ia menatapmu seperti yang dilakukan semua suami yang


amat mencintai istrinya."
"Justru itu! Aku tak ingin ia menatapku seperti itu! Aku benci
tatapan matanya-aku ingin lari dari pandangan matanya dan
bersembunyi. Ke dalam apakah kau telah menjerumuskanku, Ibu?
Aku tak mau menikah!" Zarri Bano memekik pada Shahzada, tatapan
tersiksa tersirat di matanya.
"Aku tahu. Aku baru saja berpapasan dengannya di tangga. Ia juga
tidak tampak bahagia. Kenyataannya, ia justru tampak amat sengit,"
ujar Shahzada dengan tenang seraya menarik sebuah kursi untuk
duduk di samping putrinya. Dia menatap tumpukan baju warna-warni
dan beragam corak yang terletak di atas kursi dekat koper baja.
"Kuharap kau tahu apa yang kau lakukan, Nak. Ia adalah seorang
lelaki terhormat dan penuh pengertian yang amat menginginkan
dirimu. Jangan terlalu menekannya. Kau mungkin akan menyesalinya
setelah semuanya terlambat." Shahzada berpikir sudah merupakan
tugasnya menasihati putrinya. Perlakuannya terhadap suaminya
selama lima tahun terakhir masih membekaskan rasa bersalah
baginya.
Dengan mata berkilat, Zarri Bano berpaling pada ibunya. "Kalianlah
yang terlalu menekanku!" Dilanda oleh amarah, kata-kata itu
tersekat di tenggorokannya. "Kaulah, Ibu, yang memaksaku
melakukan pernikahan ini dan mengatakan pernikahan ini hanyalah
formalitas belaka. Kini setelah sehari, kau mengatakan padaku untuk
berhati-hati agar tidak terlalu menekan suamiku. Kalian semua
munafik! Tidakkah kalian berpikir dengan jujur bahwa begitu aku
menikah, aku bisa dengan cocok menggantikan tempat Ruby? Ya,
ternyata kau salah, Ibu! Aku menikahi Sikander supaya aku bisa
tinggal di rumahnya, bukan untuk memberi cucu bagimu, atau
menjadi teman tidurnya. Ini perkawinan formalitas belaka.
Perkawinan ini akan selalu begitu sampai aku... dengarkan aku baik-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

baik... menginginkan yang lainnya. Aku sudah bosan dengan tirani


lelaki. Pertama ayahku dan kini Sikander."
"Oh, Zarri Bano, Sayangku, maafkanlah aku jika kau merasa seperti
itu. Sikander sungguh bukan seorang tiran, dalam hatimu kau tahu
itu. Ayahmu dulu seorang tiran seperti yang kita berdua tahu.
Kakekmu masih seorang tiran sampai batas tertentu. Mereka jenis
orang yang berbeda sama sekali dengan Sikander. Suami lain,
biarpun pernikahannya hanya formalitas belaka (seperti yang kau
ketahui, itu tidak halal kecuali sudah menjadi pernikahan
sungguhan), tak akan mengizinkanmu sebagai seorang perempuan,
sebagai seorang istri, pergi sendirian ke luar negeri. Ia adalah
seorang suami yang sangat toleran, tapi selalu ada batas dalam
toleransi seseorang, putriku, dan jangan lupakan itu. Walaupun hari
ini ia mencintaimu, besok ia bisa saja mulai membencimu dan
membatalkan pernikahan kalian. Tatapan yang kulihat di matanya
tadi bukanlah sebuah pertanda baik. Tidak ada: yang abadi
selamanya, Zarri Bano. Tiada yang bisa kau dapatkan tanpa timbal
balik."
"Ia sudah membenciku, Ibu. Lihatlah tatapan matanya! Terima kasih
atas nasihatmu. Kini dengarkan aku baik-baik. Pernikahan ini,
terlepas dari hubungannya dengan Haris, kecil artinya bagiku. Yang
penting adalah identitasku. Untuk kedua kalinya dalam hidupku,
identitasku dirampok. Aku sekali lagi menjadi seorang korban. Dari
seorang gadis biasa yang menyukai teman-teman dan baju-baju
modis, aku menjadi seorang perempuan sederhana yang saleh,
mengorbankan segala aspek dalam kehidupanku yang terdahulu. Kini
perempuan saleh itu ditekan untuk memenuhi tugas-tugas seorang
istri. Esensi hidupku dan keseluruhan diriku dipertaruhkan. Jika aku
tak bisa jujur pada diriku sendiri dan perasaanku, atau menghormati
diriku, aku adalah seorang perempuan yang sesat.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Pada saat ini, aku berjuang untuk membuat detail kecil dan
perubahan dalam gaya hidupku masuk akal. Contohnya, aku berdebat
dengan diriku sendiri apakah aku sebaiknya mengenakan baju
berwarna gelap, seperti yang kulakukan lima tahun terakhir, atau
menukarnya dengan baju berwarna pastel dan warna-warna terang.
Tapi benakku menjauh dari itu semua. Hingga kini, aku pergi ke mana
pun dengan mengenakan burqa, merasa amat bahagia dan aman
mengenakannya, Ibu, sehingga tanpanya aku merasa telanjang dan
tak tentu arah, merasa amat sadar dengan tubuhku. Aku sudah lama
tak menyentuh peralatan rias, tapi kini aku harus merias wajahku
sebagai seorang pengantin baru dan untuk menyenangkan suamiku.
Aku merasakan semua ini menjijikkan. Aku tak memiliki keinginan
terhadap hal itu lagi. Tapi aku melakukan semua itu. Aku telah
berkompromi, tapi ada batas berapa banyak tekanan dan perubahan
yang bisa kutanggung, kecuali jika Ibu ingin aku berakhir di rumah
sakit jiwa."
"Jangan konyol!" kini Shahzada sungguh-sungguh merasa cemas. "Kau
berpikir yang terbaik menurutmu. Yang kuharapkan, sebagai seorang
ibu, adalah agar kau memiliki apa yang bisa kau miliki jika Jafar
tidak meninggal dunia. Kau dan Sikander menikah dengan bahagia
dan hidup sejahtera. Tak ada pasangan yang lebih cocok bagimu
selain Sikander, dan kau tahu itu. Ia adalah satu-satunya lelaki yang
membuat matamu berbinar-binar. Jangan lupa, kau telah diberi
kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Setidaknya biarlah
ada hal-hal baik yang lahir dari kematian adikmu," dia memohon
dengan lembut. "Jangan hancurkan sesuatu yang berharga, begitu
indah. Tidak ada banyak Sikander. Ia hanyalah satu di antara sejuta!
"Dan ia tidak seperti ayahmu," ujarnya tegas. "Habib adalah tiran,
tapi aku mencintainya. Aku berdamai dengan kediktatorannya dan ia
juga mencintaiku. Aku tak pernah mengatakan padamu sebelumnya,
tapi aku hidup dengan rasa

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

takut pada awal kehidupan perkawinanku. Seperti yang kau tahu,


ayahmu sangat tampan dan ia menyadari ketampanannya.
Dibandingkan dirinya, aku ini biasa-biasa saja. Ketampanannya
membuatku takut, Zarri Bano. Aku cemburu pada perempuan mana
pun yang bertemu dengannya, terutama pada para perempuan yang
lebih cantik daripadaku. Aku selalu takut ia akan jatuh cinta dan
membawa pulang istri kedua. Para perempuan di desa, aku malu
mengatakannya, selalu mendekat padanya dengan berpura-pura atau
melakukan cara lainnya-tak peduli masih lajang atau sudah menikah.
Mereka tak punya malu-beberapa bahkan tak bisa melepaskan
pandang darinya. Tak mengejutkan karena ia tampan sekali, muda,
kaya, dan putra seorang tuan tanah kaya raya. Di atas itu semua, ia
memiliki karisma yang kau warisi-dan itu tak hanya berkaitan dengan
raut wajah.
"Tapi, sebagai pujian baginya, semoga ia berada di surga, ia tak
pernah melirik perempuan lain. Rasa takut kehilangan dirinya baru
lenyap pada tahun-tahun terakhirku ketika aku telah memiliki
sebuah keluarga yang telah berkembang. Kebanggaan yang ia rasakan
pada anak-anaknya, 'anak-anaknya yang cantik', sebagaimana ia
menyebut kalian dengan bangga, melenyapkan perasaan tidak aman
dariku.
"Pada akhirnya, tak perlu lagi ada rasa takut pada perempuan lain. Ia
memusatkan seluruh cintanya padaku dan anak-anaknya, terutama
kau, Zarri Bano-kau tahu itu, bukan? Ia memujamu karena kau
mewarisi raut wajahnya, termasuk warna matanya. Kau pada
gilirannya memujanya sebagai kebalikannya. Kau adalah, anak yang
dilahirkan berwajah cantik. Tapi aku tidak tahu apakah kau tahu
bahwa ayahmu mencegahmu menikahi Sikander karena ia cemburu
padanya. Ia bahkan mengancam akan menceraikanku!"
"Ibu!" Zarri Bano tampak terkejut.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Tidak, tidak seperti cara berpikirmu. Ia takut kehilangan dirimu


karena lelaki itu. Ia memperlihatkan sesuatu yang tersirat dalam
matanya bahwa ia tak pernah menemui pasangan lainnya yang cocok
dan bisa mengatasi hal itu. Jika kau setuju menikahi Khawar,
misalnya, ia akan dengan gembira menerima penyatuan itu karena
Khawar tak memberi ancaman padanya dan cinta yang kau limpahkan
padanya. Tapi dalam diri Sikander, ia melihat seorang pesaing dalam
mendapatkan cintamu. Kau perlu tahu, Zarri Bano, ayahmu
merasakan ketidaksukaan pribadi pada Sikander sejak pertemuan
pertama. Sebagai seorang ayah yang bangga dan menyukai anak-
anaknya, ia terbiasa pada para lelaki yang jatuh cinta padamu, tapi
ini ada seorang lelaki yang ia percayai telah menghina anaknya. Ta
bahkan tak merasa perlu menatap Zarri Bano, tapi lebih peduli pada
biskuit'-itulah yang dikatakannya padaku setelah pertemuan
pertama itu."
"Tapi, Ibu, Sikander telah melihatku-di mela. "
"Ayahmu tak tahu itu. Dalam kunjungan kedua mereka, ketika kau
kembali dari berjalan-jalan bersama Sikander di sawah, lagi-lagi
ayahmu jengkel dan gundah karena memikirkanmu. Ketika Sikander
menampilkan dirinya yang dingin-'jahanam angkuh' sebut ayahmu-
tersirat tatapan sayu di matamu yang bisa dibaca setiap orang
bahwa kau telah terpikat oleh Sikander. Ketika aku sebagai seorang
ibu merasa senang dengan sorot matamu itu, tahu bahwa putriku
akhirnya bertemu jodohnya, seorang lelaki kuat yang akan
membimbing, mencintai, dan menghormatimu, hal itu menakutkan
ayahmu, Sayangku. Habib tak tahan memikirkan putrinya yang
angkuh dan berkemauan keras menjadi rapuh dan jatuh cinta pada
seorang lelaki yang memiliki kekuatan untuk mematahkan hatinya,
melukainya, dan lebih penting, menempatkannya dalam kasih
sayangnya. Ia juga takut Sikander mungkin akan mengecewakanmu-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dan harga diri ayahmu tak bisa menerima penghinaan seperti itu. Ia
bahkan tak bisa mengatasinya, Sayangku."
"Ibu, aku tak percaya, hentikanlah."
"Aku juga tak percaya, Sayangku, hingga aku terkejut melihat raut
penuh kemenangan di wajahnya, langsung tertuju pada Sikander,
setelah upacara pengerudunganmu. Raut wajah itu menggetarkanku,
Zarri Bano." Dia bergidik. "Lelaki lain akan mengizinkanmu menikah,
tetapi entah bagaimana ia tak bisa mengizinkan Sikander
memilikimu. Pada akhirnya ia diyakinkan bahwa kau tak akan pernah
menikah. Kelak, seperti yang kau tahu, ia menyesali tindakannya. Ia
mati sebagai seorang lelaki yang bersusah hati, tak mampu
memaafkan diri sendiri karena menjadikanmu seorang Shahzadi
Ibadat. Dalam proses itu, ia mengasingkan aku dan aku menjadi sakit
hati. Jika ia membawa perempuan lain ke rumah saat itu, aku
mungkin bisa tak peduli. Ia bisa saja memelihara seorang harem dan
aku tak akan peduli sekedip mata pun. Oh ya, ia berhasil
mengurungmu di rumah, tapi akibatnya ia kehilangan aku. Sejak saat
itu, kami hidup sebagai sepasang orang asing hingga saat terakhir.
Dan aku tak bisa memaafkan diriku karena tidak bisa mengenyahkan
rasa sakit akibat beban rasa bersalah dalam jiwanya. Aku gagal
melakukan tugasku sebagai seorang istri.
"Kini yang kuminta darimu, Zarri Bano, hanyalah membiarkan sesuatu
yang positif muncul dari musibah yang telah melanda hidup kita
sejak Jafar meninggal dunia. Jangan sampai kau kehilangan suamimu
dan cintanya gara-gara kekeras-kepalaanmu! Kau adalah harta paling
berharga dalam hidup Sikander pada saat ini. Tapi harta yang
dicintai kehilangan nilai mereka jika mereka terbukti tak layak
dicintai. Jangan kehilangan kelayakanmu, Putriku. Jangan hanya
belajar menerima, tetapi juga belajarlah memberi. Hubungan
antarmanusia adalah soal memberi dan menerima. Ingatlah itu,
sebagai sebuah pengalaman hidup dari ibumu. Seperti yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

semestinya kau tahu, dengan mempelajari agamamu lebih dalam,


kalian berdua adalah pakaian bagi satu sama lain-pelengkap satu
sama lain."
Shahzada membiarkan putrinya menatap cermin. "Aku bukan milik
siapa pun!" Cetus Zarri Bano. "Aku tak mau menjadi pakaiannya!" Di
dalam hati dia memikirkan apa yang dikatakan ibunya tentang Habib.
"Aku akan selalu mencintaimu, Ayah," ratapnya. "Kau tak perlu takut
kehilangan diriku. Oh, Ayah, betapa kangennya aku padamu!"
Zarri Bano menundukkan kepala ke pangkuannya dan menangis untuk
kedua kalinya pada hari itu.
***
Shahzada beranjak mencari Sikander dan akhirnya menemukan
menantunya itu tengah duduk di sebuah bangku di kebun. Dia duduk
di samping Sikander dan lelaki itu menolehkan wajahnya yang tanpa
senyum pada mertuanya. "Bagaimana keadaanmu, Anakku?" tanya
Shahzada dengan nada lembut. "Baik," sahut Sikander dengan kaku,
seraya menatap ke depan pada rumpun pepohonan jeruk. "Maafkan
dia, Anakku. Dia kesulitan mengatasi keadaan yang dialaminya," jelas
Shahzada.
"Bibi, dia mengatakan bahwa aku...." Ia berhenti. Sepasang matanya
berkilat marah, "... bahwa aku memerkosanya dengan mataku."
"Aku tahu. Kau lihat, dia begitu takut terhadapmu." "Tapi, mengapa,
Bibi? Aku juga memerhatikan itu."
"Bukan karena dirimu secara pribadi, Sikander, melainkan karena
perasaan yang kau bangkitkan dalam dirinya. Kau adalah ancaman
baginya. Ingatlah, dia kini seorang Perempuan Suci, Sikander.
Karena itu, dia bergelut untuk menerimamu sebagai seorang suami.
Dia belum siap melakukannya sekarang. Beri dia waktu, Anakku."
"Sudah, Bibi, aku sudah melakukannya. Anda tahu dia menghindar
dariku dan pernikahan kami dengan pergi melakukan tur besok. Aku
menelepon Ukhti Sakina pagi ini. Dia memberitahuku bahwa Zarri

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Bano sebenarnya tak perlu bergabung dengan mereka di Malaysia,


tetapi aku mengizinkannya pergi."
"Aku tahu, dan aku berterima kasih padamu, Anakku. Kau seorang
lelaki yang baik dan suami yang baik pula. Suatu hari nanti Zarri
Bano akan menghargainya, tetapi saat ini dia seperti sebuah perahu
yang tengah melakukan muhibah, dan tak tahu ke mana hendak
menuju. Dia selalu dikendalikan orang lain-kau, aku, ayahnya. Biarlah
dia menemukan tujuannya sendiri, sekali dalam hidupnya."
"Seperti semua perahu, perahunya pun akhirnya nanti akan berlabuh
di dermaga. Aku akan menunggunya di sana, atau," sebuah tatapan
ganjil berkilat di mata Sikander, "atau aku memutuskan bergabung
dengannya dalam perjalanannya dan menemukan jalan itu
bersamanya."
Shahzada menghela napas. "Apa pun yang kau mau, Anakku. Aku
memberi restu padamu. Yang kuat, tetapi tetaplah lembut, itu saja
yang bisa kusarankan. Dia itu rapuh seperti perhiasan kaca, mudah
pecah, dan kali ini tak akan mudah memperbaiki pecahannya. Dia
pernah menderita dan berdarah-darah karenamu di masa lalu-
berkeping-keping karenamu. Dia tak akan bersedia melakukannya
lagi, Anakku."
***
Masih berkemas di kamarnya, Zarri Bano mendengar suara derai
tawa dari halaman. Dengan penuh rasa ingin tahu, dia beranjak ke
jendela untuk melihat ke luar. Shahzada dan Sikander berjalan
kembali ke dalam rumah seraya tertawa-tawa dan bercakap-cakap
bersama.
Ketika Sikander menatap ke jendela dan melihat Zarri Bano, ia
tersenyum dan melambai, membuat jantung Zarri Bano melompat.
Wajah Zarri Bano menjadi santai dan dia pun balas tersenyum.
Ketika dia mengangkat tangannya untuk balas melambai, entah dari

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mana terngiang kata-kata mengancam yang menancap di kepalanya,


"Kita akan selalu menjadi sepasang kekasih!"
Seraya menjatuhkan tangannya, Zarri Bano beranjak dari tepi
jendela. "Aku tak membutuhkanmu! Aku tak menginginkanmu,
Sikander!" teriak Zarri Bano pada dinding kamar kemenakannya.
Seraya menghampiri kopernya, dia mengeluarkan semua pakaian
pengantinnya dan mencampakkannya ke atas tempat tidur. Dia
menggantinya dengan baju-baju madrasah yang kuno dan sederhana.

64.

WAJAH ZARRI Bano memucat saat dia berjalan keluar dari kamar
Sakina dan melihat suaminya berdiri di lorong hotel.
Bersandar santai di pintu kamarnya, Sikander menatapnya mendekat
dengan hati senang. Zarri Bano menatap ke segala arah, kecuali ke
arah Sikander. "Assalamu 'alaikum," salam Sikander dengan mata
berbinar-binar.
"Sedang apa kau di sini, Sikander Sahib?" tanya Zarri Bano sesak,
masih tak mampu memandang matanya.
"Aku tahu kau terkejut. Bukan cuma kau yang bisa mengunjungi
Malaysia, Zarri Bano, kau tahu. Aku juga bisa pergi ke sini," godanya
dengan suara penuh tawa. "Sini, biar kubantu," tawar Sikander saat
melihat Zarri Bano mencari-cari anak kunci.
Seraya membuka pintu lebar-lebar, Sikander membiarkan Zarri
Bano masuk lebih dulu dan kemudian baru mengikutinya. Melihat
berkeliling kamar itu dengan penuh rasa ingin tahu, ia lalu
meletakkan kopernya di atas salah satu dari dua ranjang yang ada di
kamar itu.
Zarri Bano terdiam tak pasti di tengah kamar, merasa kehadiran
suaminya amat mengancamnya. Dia berusaha keras untuk tersenyum,
tetapi yang keluar adalah sebuah seringai.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Maafkan aku karena tak mengatakan padamu akan datang saat aku
meneleponmu kemarin," ujar Sikander lembut. "Aku ingin ini menjadi
sebuah kejutan. Aku ada urusan bisnis di sini. Juga aku memiliki
seorang istri cantik yang sedang menungguku," goda Sikander.
Zarri Bano dengan berdiam diri terus memandang Sikander.
Mulutnya kering. Lidahnya kelu.
Sikander memerhatikan kegelisahan Zarri Bano dan memutuskan
untuk bertindak. "Aku lapar, Zarri Bano. Bisakah kita cari makan
dulu?"
"Ya, tentu," Zarri Bano akhirnya bersuara. "Aku memang akan turun
untuk makan malam."
"Bagus, ayo kita pergi." Sikander mengulurkan tangannya pada Zarri
Bano dan melintasi ruangan. Zarri Bano menatap tangan itu, lalu pada
wajah Sikander. Sikap menantang dalam mata Sikander membuatnya
terpaksa meletakkan tangannya sendiri di tangan suaminya dengan
enggan.
Rengkuhan Sikander yang hangat terasa menenangkan saat ia
menggandengnya keluar kamar dan turun ke ruang makan. Sikander
baru melepaskan tangan Zarri Bano saat dia mendekati meja tempat
teman-temannya dari kelompok Jamaah Muslim lelaki dan perempuan
tengah duduk. Zarri Bano tersipu ketika dengan cepat
memperkenalkan Sikander sebagai suaminya dan kemudian duduk di
samping Sakina.
Sikander menatap Zarri Bano dari seberang meja dengan mata
berbinar-binar ketika mereka menyantap hidangan.
***
Beberapa saat kemudian di malam itu juga, Sikander, Zarri Bano,
dan Sakina bepergian bersama-sama, berkeliling Kota Kuala Lumpur.
Dari Pasar Jalan Petaling yang terkenal, mereka membeli
cenderamata untuk banyak orang. Zarri Bano merasa bahagia karena
Sikander membantu menawar barang-barang yang dibelinya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Anehnya, dia sendiri ternyata menikmati ditemani oleh Sikander.


Merupakan hal yang baik bagi kedua perempuan itu mendapat
pengawalan dari seorang lelaki di samping mereka, terutama karena
para pemuda Melayu dan Cina terus-menerus memandangi mereka
berdua yang mengenakan burqa hitam.
Kemudian saat mereka naik taksi dengan barang-barang belanjaan di
pangkuan mereka, Sakina berkata, "Senang sekali Anda ikut dengan
kami, Saudara Sikander. Kami tak bisa menawar barang sepertimu."
"Bagaimana menurut istriku?" Seraya menaikkan sebelah alisnya,
Sikander menatap Zarri Bano dengan pandangan bertanya.
Zarri Bano tersenyum padanya, memerhatikan kata "istri". "Kurasa
kami jadi malas karena kehadiranmu dan membiarkanmu melakukan
semua pekerjaan-begitu, Ukhti Sakina?"
"Hmm," Sikander menggumam seraya memijit lembut paha Zarri
Bano untuk menunjukkan bahwa ia tidak puas dengan jawaban Zarri
Bano.
Mereka ke pasar dalam ruangan di pusat Kota Kuala Lumpur dan
ketika Sakina dan Zarri Bano asyik melihat-lihat barang kerajinan,
kain batik, dan kerudung sutra, Sikander menghilang untuk melihat-
lihat dan membeli hadiah. Ia kembali membawa dua buah bingkisan.
Di hotel mereka mengucapkan selamat malam pada Sakina di luar
kamarnya dan kemudian pergi ke kamar mereka sendiri. Setelah
menutup pintu, mereka meletakkan bingkisan di atas ranjang.
Sikander menatap bayangan istrinya dalam cermin ketika ia
setengah berbaring di salah satu dari dua ranjang itu dan
menatapnya melepaskan burqa serta menyisir rambutnya.
"Kau tahu apa yang ingin kulakukan di meja makan tadi? Tapi kurasa
lebih baik aku tak melakukannya agar tidak menggegerkan kelompok
sucimu itu."
Seraya mengabaikan pertanyaan Sikander, Zarri Bano terkekeh
pendek, merasa dirinya lebih santai. Tiba-tiba saja Zarri Bano

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

merasa bahagia karena Sikander ada di kamar itu bersamanya.


Perjalanan itu telah membukakan cara pandang baru baginya dan
dengan cara yang aneh membuatnya ingin menghabiskan lebih banyak
waktu lagi bersama Sikander.
Sikander bangkit untuk membuka kopernya. "Tak apa-apa kan aku
tidur di kamar ini? Aku membawa tasku kemari." Ia melihat seulas
senyum tersungging di wajah Zarri Bano. "Ada dua ranjang di sini.
Tak masuk akal jika aku harus mencari kamar lain. Tapi, jika kau
sungguh-sungguh tidak menyukainya, aku akan pergi pada resepsionis
dan minta kamar lain."
Zarri Bano mempermainkan jemarinya dengan gelisah. Sikander
nyaris bisa merasakan ketegangan yang terbangun dalam tubuh
Zarri Bano.
"Ya, tentu saja kau boleh tinggal di kamar ini," ujar Zarri Bano lirih.
Matanya tak memandang mata Sikander. Zarri Bano berdiri dan
berjalan melewati Sikander, hendak ke kamar mandi. Sikander
menghalangi jalannya seraya mencekal lengannya.
"Zarri Bano, kau harus belajar memercayaiku. Yang akan kita
lakukan hanyalah tidur di ranjang, tidak lebih. Hal paling akrab yang
kulakukan padamu hanyalah menyentuh tanganmu. Tiba-tiba saja kau
menjadi siaga lagi. Semenit yang lalu kau gembira, santai, dan
tersenyum. Mengapa kau tiba-tiba jadi bersikap dingin padaku? Jika
kehadiranku membuatmu amat gusar, sekarang juga aku akan pergi."
Seraya membiarkan lengan Zarri Bano terlepas, Sikander berpaling
ke arah pintu.
"Tidak, Sikander," panggil Zarri Bano. "Kau tak perlu pergi. Kau bisa
tidur di ranjang itu. Kini aku sudah terbiasa dengan kehadiranmu.
Aku tak apa-apa jika kau tidur di ranjang itu. Hanya itu yang bisa
kulakukan, tidak lebih."
Sikander mendengarkannya dengan memunggunginya. Tangannya
masih memegang pegangan pintu. "Kita berteman saja dulu, Zarri

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Bano," ujar Sikander seraya berbalik menghadap Zarri Bano dengan


raut tenang di wajahnya. "Soal lainnya itu nomor dua. Yang
kuinginkan hanyalah pertemananmu, itu saja."
Sikander kembali membongkar barang-barangnya. Zarri Bano duduk
di ranjangnya dan menatap Sikander. Dia melihat bingkisan yang
dibeli Sikander.
"Apa itu, Sikander?"
"Apa?"
"Bingkisan yang kau beli di pasar induk."
"Oh, itu, yang satu adalah hadiah bagimu dan satu lagi untuk ibuku.
Itu adalah jam yang bergambar dan aku meminta kedua jam itu
diukir dengan pesan pribadi khusus. Itulah yang ingin kuberikan
padamu saat makan malam. Di sini, maukah kau melihat milikmu? Aku
akan mandi dulu. Apakah kau tak keberatan mencarikan piyamaku di
dalam koper dan menggantungkannya di luar pintu kamar mandi?
Kuharap kau menyukainya-bingkisan itu maksudku, bukan piyama."
Seraya tertawa Sikander memberikan pada Zarri Bano sebuah
bingkisan dan pergi ke kamar mandi.
Zarri Bano membuka bungkusan koran yang menutupi bingkisan itu
dan melihat pesan yang terpahat di kaca depan jam itu. Untuk
istriku tercinta yang cantik, Zarri Bano, dari suamimu, Sikander.
Seraya menatap pesan itu dengan takjub, Zarri Bano merasa
tersanjung oleh kata-kata itu. Kata "tercinta" itu melompat padanya.
Tiba-tiba saja, entah dari mana, muncul pikiran tak diundang: apakah
ia juga menulis pesan yang sama untuk Ruby?
Dengan hati-hati, Zarri Bano menaruh kembali jam itu dalam
kotaknya, tak siap mengikuti perasaannya sendiri mengenai hubungan
suaminya dengan adiknya yang telah meninggal. Siapakah perempuan
tercinta Sikander? Mereka berdua? Salah satu di antara mereka?
Dia lebih dahulu mengenal Sikander, tapi Ruby telah hidup
bersamanya selama empat tahun. Dalam empat tahun, banyak hal

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bisa terjadi dan telah terjadi. Mereka memiliki seorang anak yang
manis sebagai bukti.
Zarri Bano teringat pada permintaan Sikander untuk menyiapkan
piyamanya dan membuka koper suaminya itu. Tangan Zarri Bano
menyentuh sesuatu yang hitam dan lembut di dasar koper itu. Dia
menarik kain sifon hitam dengan terkejut. Itu adalah pakaian hitam
yang dia pakai pertama kali saat bertemu Sikander di mela. Mengapa
benda itu ada di sini? Bagaimana Sikander bisa mendapatkannya?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkelebat di kepalanya.
Jemarinya mengelus bahan itu. Seraya menutup matanya, Zarri Bano
mencoba mengingat hari itu saat di pekan raya-dan pertemuan
dengan Sikander. Dia kembali merasakan sepasang mata Sikander
menjelajahi tubuhnya hari itu. Mengapa Sikander membawa benda
ini? Apa pentingnya baju ini baginya? Zarri Bano tiba-tiba merasa
tersentuh oleh pemujaan itu. Sikander pasti memiliki perasaan
khusus terhadapku, pikir Zarri Bano. Pasti, kalau tidak, mengapa ia
sampai bersusah payah mencari pakaian ini dan menyimpannya?
Ketika mendengar pancuran air di kamar mandi dimatikan, Zarri
Bano dengan cepat meletakkan kembali baju itu di dalam koper dan
mengeluarkan piyama Sikander. Zarri Bano lalu menggantungkan
piyama itu di luar pintu kamar mandi, tak berani masuk.
Ketika Sikander kembali, Zarri Bano telah berganti baju dan naik ke
ranjangnya. Sikander tersenyum pada Zarri Bano ketika ia
mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk.
"Apakah kau menyukainya?" tanyanya, tahu bahwa Zarri Bano akan
memahami apa yang dimaksudnya.
"Ya, bagus sekali. Apakah kau membawakan Ruby hadiah seperti itu
dan menulisinya dengan pesan semacam itu pula?" tanyanya sebelum
dia bisa tidur. Jawaban yang jujur dari Sikander amat penting
baginya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku banyak memberi Ruby hadiah-sebanyak yang bisa diberikan


seorang suami, tapi ini adalah kali pertama aku menuliskan pesan di
atasnya." Sikander menatap balik pada Zarri Bano dengan tenang.
Zarri Bano menatap ke bawah, menyembunyikan matanya, merasa
tak bahagia dengan jawaban Sikander. Sementara itu, Sikander
merasa ia telah terlalu banyak mengungkap perasaannya.
"Kurasa ini saatnya kita menelepon Haris. Ia pasti amat rindu
padamu," ujar Sikander, dengan cepat mengubah bahan pembicaraan.
"Ia mungkin sedang menunggu telepon dari kita. Dua hari lalu ia
berkata, 'Mengapa Bibi menikahi Ayah kalau dia pergi ke luar
negeri.'"
Ia mencondongkan tubuh di atas tepi tempat tidur untuk memijit
nomor telepon. Zarri Bano mundur. Mata Zarri Bano menatap leher
telanjang Sikander yang kancingnya terbuka. Menyela tatapan Zarri
Bano, Sikander menatap arah yang ditatap oleh Zarri Bano. Merasa
malu, Zarri Bano memalingkan muka, merasa seakan-akan tertangkap
basah melakukan sesuatu yang salah.
Dengan segera, panggilan telepon itu terhubung dan ibunya
menjawab telepon. Ketika Haris berbicara, Zarri Bano datang
mendekat untuk mendengarkan percakapan mereka.
"Ini ada Bibi Zarri Bano, dia ingin bicara denganmu, Haris." Sikander
menyodorkan gagang telepon ke atas kepala Zarri Bano dan
karenanya melingkari Zarri Bano dengan tangannya.
Ketika bicara pada Haris, Zarri Bano amat sadar bahwa lengan
Sikander melingkari tubuhnya. Zarri Bano tidak menatap Sikander,
tetapi mendengar napasnya saat Sikander mendengarkan percakapan
itu. Bilkis lalu berbicara
dengan Zarri Bano. Ketika Sikander bergerak menjauh untuk
memberi ruang pada Zarri Bano, Haris kembali berbicara di telepon,
ingin berbicara pada ayahnya. Zarri Bano memberikan gagang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

telepon pada Sikander, tapi alih-alih menjauh, dia tetap pada


posisinya semula.
Entah dari mana datangnya dorongan itu, tapi Zarri Bano ingin
meletakkan tangannya pada rambut ikal Sikander yang segar dan
basah. Sebelum dia tahu apa yang dilakukannya, tangannya telah
merayap ke leher Sikander.
Sepasang mata Sikander menatap tajam mata istrinya dengan
terkejut, tapi Zarri Bano menunduk, berpura-pura mendengarkan
suara Haris. Jemarinya yang tidak patuh itu terus melanjutkan
perjalanan penjelajahannya ke atas hingga mencapai kepala
Sikander, dan kemudian dengan nakal mengelus rambut lebat
Sikander. Sikander menggerakkan kepalanya untuk memudahkan
tangan Zarri Bano.
Sikander kemudian meraih tangan Zarri Bano dan mendekatkannya
ke bibirnya, lalu dengan lembut mengecupnya, seraya masih
mendengarkan suara Haris. Zarri Bano dengan cepat menarik
tangannya menjauh, tersadar kembali- merasa malu. Sepasang mata
Sikander yang menggoda menertawakan Zarri Bano ketika ia
mengakhiri percakapan dengan anaknya.
Lalu Sikander terdiam. Bayangan tawa lenyap dari matanya ketika ia
terkejut melihat tatapan gelisah bercampur gairah di mata Zarri
Bano. Perempuan itu bahkan tak bisa merasakan apa yang dia
rasakan dan lakukan! kata Sikander dalam hati, tersadar dan merasa
masygul.
Dengan berat hati, Sikander bangkit dan menaruh kembali gagang
telepon. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Ia tak berani membuat
langkah yang salah. Zarri Bano seperti sehelai kembang sutra yang
rapuh dalam tangan lelakinya yang ceroboh.
"Kurasa ini waktunya aku tidur," ujar Sikander lembut. "Aku masih
merasa tak enak badan karena jet lag. Allah Hafiz, Zarri Bano."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri Bano terduduk tercenung. Tubuhnya panas dingin karena malu.


Kedua lengannya bersilang di dadanya sebagai perlindungan. Aku
menawarkan diri padanya dan ia menolakku, batin Zarri Bano
terpukul.
Di depan matanya yang gelisah, Zarri Bano melihat Sikander naik ke
ranjangnya dan berbaring dengan punggung menghadap padanya. "Ia
tak menginginkan aku!" teriak batin Zarri Bano. Lalu Zarri Bano pun
berbaring dan mematikan lampu, merasa aneh dalam hatinya. Ini
pertama kalinya seumur hidup tidur dengan seorang lelaki di
kamarnya. Dia menatap belakang kepala Sikander dengan malu hati.
Jemarinya telah mengelus rambut Sikander. "Apakah yang telah
merasukiku?" tuduhnya pada diri sendiri, masih tak memercayai
reaksinya sendiri. "Apakah ia sudah tertidur?" tanyanya dalam hati.
Seraya berbalik, Zarri Bano mencoba tidur.
Sikander terbaring di ranjangnya. Ia tak bisa tidur. Didengarnya
suara napas Zarri Bano. Kepalanya masih bisa merasakan sentuhan
lembut jemari Zarri Bano di rambutnya. Itu adalah gerakan spontan
pertama yang dibuat Zarri Bano malam ini dan tanpa dorongan
darinya. Hati Sikander sangat senang. Ia telah melihat tatapan
terkejut Zarri Bano saat ia berpaling dari gadis itu dan mengucap
selamat tidur. Kemudian, ia melihat Zarri Bano melingkarkan
tangannya di sekeliling tubuhnya sebagai perlindungan. "Kuharap
Zarri memahami tindakanku," batin Sikander. "Aku melakukannya
demi dirinya."
Betapa rindunya ia memeluk Zarri Bano dan mencintainya dengan
cara yang sepantasnya dilakukan oleh seorang suami! Tapi ini terlalu
cepat. Istrinya belum tahu pikirannya sendiri, atau apa yang
dirasakannya saat ini. Pelajaran yang didapatnya hari ini adalah
bahwa Zarri Bano yang dilihatnya di mela masih hidup dan baik-baik
saja. Kini hanya tinggal soal waktu-dan banyak kesabaran.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dalam kegelapan, sepasang mata Zarri Bano bercahaya. Sikander


bertekad akan memberi Zarri Bano waktu yang dibutuhkannya. Yang
juga akan diberikannya pada istrinya itu adalah seratus persen
kehadirannya, demikian ia memutuskan, sehingga Zarri Bano tak
akan mampu memisahkan lagi kehidupannya yang baru darinya. Ia tak
akan membiarkan Zarri Bano mencampakkannya lagi dari hidupnya.
Sekitar dua jam kemudian, saat kembali dari kamar mandi, Sikander
merasakan dorongan untuk duduk di ranjang Zarri Bano dan
menatapnya saat dia tertidur. Lalu, tak tahan, ia mencondongkan
tubuh ke depan dan dengan lembut mengecupkan bibirnya ke bibir
Zarri Bano. Dalam tidurnya, lengan Zarri Bano menggapai ke atas,
nyaris menyentuh Sikander. Sikander dengan cepat beranjak
mundur. Ia ingin memeluk Zarri Bano, lalu mengecupi wajahnya, tapi
dengan keteguhan yang lahir dari cinta dan pertimbangan matang, ia
dengan enggan kembali ke ranjangnya sendiri dan akhirnya jatuh
tertidur.
***
Ketika Sikander bangun esok paginya, Zarri Bano telah berpakaian
dan memakai burqa. Dia tengah melakukan wirid, berkonsentrasi
dengan tasbihnya.
"Kau terlalu letih. Kau tahu jam berapa sekarang, Sikander? Ini
sudah jam sepuluh!" Zarri Bano tertawa ketika melihat Sikander
duduk dan menguap.
"Ya, aku tertidur pulas," Sikander berdusta. Ia tak akan mengatakan
pada Zarri Bano bahwa ia menghabiskan waktu setidaknya satu
setengah jam memandangi istrinya itu saat dia tertidur. "Apa
rencanamu hari ini?" tanya Sikander.
"Kami akan menemui Malvi Bilal yang terkenal itu di rumahnya."
"Aku punya saran yang lebih baik. Kini aku di sini, tidakkah akan
menyenangkan jika kita berjalan-jalan bersama?"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri Bano menunduk menatap tasbih di tangannya. Lalu sejenak


kemudian dia berkata, "Sikander, mungkin kita bisa melakukannya
besok. Aku ingin pergi mengikuti pertemuan ini, lagi pula, itulah
alasanku berada di sini, di Malaysia-bukan hanya untuk berjalan-
jalan!"
"Aku yakin nanti akan ada pertemuan yang lain. Sakina bisa
menghadiri pertemuan ini dan menceritakan padamu apa yang
terjadi," desak Sikander seraya bangkit dari ranjangnya. Ia tidak
menempuh perjalanan sejauh ini hanya untuk berjalan-jalan
sendirian.
"Tidak. Aku ingin pergi ke sana. Acara jalan-jalanmu, Sikander, bisa
menunggu lain waktu," sahut Zarri Bano dengan dingin seraya
kembali menatap butiran tasbih di tangannya.
Sikander sedang memunggungi Zarri Bano. Jika tidak, Zarri akan
melihat kilatan di mata Sikander. "Tentu saja acara jalan-jalanku
bisa menunggu," ujar Sikander dengan sopan. "Acara pertemuanmu
jauh lebih penting. Kau sebaiknya pergi sekarang, kalau tidak nanti
kau bakal terlambat bergabung dengan teman-temanmu untuk
sarapan." Sikander meninggalkan Zarri Bano yang sedang duduk
bersimpuh di atas sajadah dan pergi ke kamar mandi.
***
Beberapa saat kemudian, ketika Malvi Bilal membawa rombongan itu
berkeliling Masjid Nasional di pusat Kota Kuala Lumpur, Zarri Bano
tak tahan untuk memikirkan Sikander. Sedang apa ia sekarang?
batin Zarri Bano.
Setelah mereka shalat di dalam ruangan masjid yang berhiaskan
pilar-pilar bermozaik dan lampu-lampu kristal besar yang tergantung
di langit-langit penuh hiasan, mereka duduk di bawah kipas angin di
lantai yang beralaskan karpet dan beristirahat. Para lelaki duduk
terpisah di bagian lain ruang utama. Sakina menoleh pada Zarri Bano
ketika tuan rumah mereka, seorang perempuan Melayu berumur

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sekitar 55 tahun yang memakai gaun tradisional Melayu yang indah-


terdiri dari rok panjang dengan tunik serasi sebatas lutut dan
kerudung-pergi ke kelompok pengunjung yang lain.
"Apa yang dilakukan Sikander Sahib siang ini?" tanyanya.
"Aku tak tahu. Katanya, mungkin ia akan berjalan-jalan keliling kota."
"Mengapa kau tidak pergi bersamanya?" nada suara Sakina yang
tampak terkejut segera membuat Zarri Bano merasa harus membela
diri.
"Karena aku ingin bersama kalian semua dan menghadiri pertemuan
di rumah Malvi Bilal." "Ya, aku tahu," sahut Sakina seraya menatap
sehelai halaman Al-Quran di tangannya. "Apa yang kau tahu, Ukhti
Sakina?" tanya Zarri Bano.
"Bukan apa-apa, Zarri Bano. Hanya saja kau tak memberi
kesempatan pada pernikahanmu." Sakina tersenyum pada muridnya
itu.
"Jangan lupa, aku menikah karena terpaksa," sahut Zarri Bano lirih.
"Mungkin memang begitu. Tapi apakah kau akan membiarkan awan itu
terus menggelayut selamanya? Ada banyak hal dalam hidup ini,
Saudariku. Apa yang kita lakukan pagi ini yang lebih penting daripada
bepergian dengan suamimu? Kalian jarang punya waktu bersama.
Setelah pernikahanmu, kau segera pergi dengan kami ke luar negeri.
Aku merasa kau mencoba melarikan diri dari suamimu, Zarri Bano.
Tapi ia mengikutimu kemari. Ia juga memiliki komitmen lain: anak,
rumah, keluarga, dan bisnisnya. Dan ia memilih kemari menemuimu,
tapi alih-alih menghabiskan waktu bersamanya dan mencoba
melakukan sesuatu dengan perkawinanmu, kau malah terus
bergantung pada kehidupan lamamu."
"Kehidupan lama yang mana, Ukhti?" Zarri Bano bertanya dengan
suara lirih. "Kehidupanku lima tahun yang lalu?"
"Tidak, kehidupan sebelum kau menikah. Itu sudah menjadi masa
lalu. Kau tak bisa bergantung terus pada masa lalu itu. Kau tak bisa

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menjadi perempuan yang sama lagi, Saudariku, karena kini ada orang
lain dalam kehidupanmu. Hidupmu oleh karenanya memiliki bentuk
dan cara pandang yang baru. Itu bisa tercapai. Jangan bergulat
dengan dirimu sendiri, Ukhti. Kau akan selalu menjadi seorang
Perempuan Suci sepertiku, tapi beri kesempatan pula pada dirimu
untuk menjadi seorang perempuan normal. Pasrahkan dirimu!"
"Kurasa aku telah melakukannya," bisik Zarri Bano, seraya mengingat
naluri tiba-tibanya untuk menyentuh Sikander semalam. Lalu
antiklimaks terjadi ketika Sikander berpaling darinya dan naik ke
ranjangnya. Kemudian rasa malu itu. Dia tak bisa tidur separuh
malam karena pikiran yang terus menggedor kepalanya: aku
menawarkan diri padanya dan ia menolakku.
"Apakah arti kepahitan di dalam nada suaramu, Zarri Bano? Aku bisa
merasakannya."
"Karena aku bergulat dengan perasaanku dan kedua identitasku,
Ukhti Sakina, dengan apa yang sesungguhnya terjadi dan dengan
hantu masa lalu. Di tengah itu semua adalah Sikander. Ia selalu
berada di sana, entah aku ingin atau tidak. Pada mulanya ia adalah
jodohku, lelaki yang amat ingin kunikahi. Kemudian ia menjadi adik
iparku, suami adikku tersayang, Ruby, dan ayah dari kemenakanku
tercinta, anak Ruby. Kini ia adalah suamiku.
"Awalnya akulah yang ingin menikahi lelaki ini. Lalu ayahku
menolaknya. Lalu aku kehilangan ia untuk adikku- dan kini akhirnya
aku memilikinya. Bagaimana mungkin aku mengubah-ubah perasaanku
tanpa membuatku menjadi sakit secara emosional karenanya?"
"Ya, aku paham, Zarri Bano. Kau telah menjelaskannya dengan baik.
Yang kukatakan hanyalah mengapa kau tak mencoba berkompromi?
Kau tahu, ketika melihat kalian berdua makan malam kemarin, aku
hampir saja merasa iri padamu. Kau memiliki sebuah hubungan
istimewa. Hargailah itu! Tapi pagi ini aku merasa seakan-akan tak
ada yang terjadi. Bahwa kau masih sesuci saat kau dilahirkan."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri Bano tersipu dan menghindari tatapan mata Sakina.


Percakapan itu telah melenceng. "Teman-teman lelaki kita telah ada
di sini. Kita pergi sekarang?" saran Zarri Bano, merasa lega karena
dia bisa mengubah bahan pembicaraan.
Dari Masjid Nasional, mereka pergi ke Museum Kota untuk melihat
pameran artefak dari berbagai negeri Muslim di seluruh dunia, mulai
dari Maroko hingga Malaysia. Dikumpulkan secara bersama-sama,
artefak-artefak itu menandai berlangsungnya Konferensi dan
Festival Muslim Internasional.
Sudah malam ketika Zarri Bano dan rombongannya pulang ke hotel
mereka. Dan ketika sampai di kamarnya, ditemukannya kamar itu
kosong. Tak ada tanda-tanda kehadiran Sikander, tetapi kopernya
masih ada. Zarri Bano turun untuk makan malam dan bertanya-tanya
apakah dia akan bertemu Sikander. Namun, suaminya tak kunjung
datang.
Sudah jam sembilan malam ketika Zarri Bano kembali ke kamarnya
dan bersiap untuk tidur. Dia menyalakan televisi, tapi tak bisa
berkonsentrasi. Dia terus-menerus menatap jam dinding. "Di
manakah Sikander? Sedang apa ia?" tanyanya kepada diri sendiri.
Tiba-tiba telepon berbunyi, membuatnya terlompat kaget. Dia
mengangkat gagang telepon dan mendengar suara resepsionis.
"Suami Anda meninggalkan pesan untuk Anda. Tidak perlu
menunggunya pulang, ia sedang bersama teman-teman bisnisnya."
Zarri Bano mengucapkan terima kasih dan menutup telepon dengan
membanting gagangnya. Dia lalu mematikan televisi. Keterlaluan aku
telah menunggunya, pikirnya. Setelah menata dirinya di tempat
tidur, dia akhirnya tertidur, tak tahu jam berapa Sikander kembali
ke kamar mereka.
***
Ketika terbangun esok paginya, Zarri Bano meraih burqa-nya dan
pergi ke kamar mandi. Sikander telah bangun dan berpakaian.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Apakah kau menerima pesanku semalam?" seru Sikander dari ruang


tidur.
"Ya. Apakah rapatmu berjalan lancar?" tanya Zarri Bano saat
mendengar Sikander berjalan mengelilingi kamar. Dia merapikan
lipatan burqa-nya dan membuka pintu kamar mandi.
"Aku akan pergi-sampai ketemu nanti. Kuharap kau menikmati
pertemuanmu hari ini!" seru Sikander dengan riang ketika
meninggalkan kamar.
Zarri Bano menyaksikan Sikander pergi, merasa kecewa karena
sesuatu alasan. Dia bahkan tak punya kesempatan untuk berbicara
atau mengatakan pada Sikander bahwa dia ingin berjalan-jalan
dengannya hari ini. Sikander telah pergi, bahkan tanpa merasa perlu
sarapan dulu bersamanya. Tampaknya seakan-akan ia ingin menyia-
nyiakannya! "Pikirkanlah baik-baik," katanya pada diri sendiri. "Kau
telah mengatakan padanya bahwa kau memiliki kehidupanmu sendiri.
Ya, kini ia meninggalkanmu untuk itu! Tapi mengapa itu melukaimu?"
Zarri Bano berkeliling di dalam kamar, merapikan tempat tidur dan
melipat pakaian-pakaian Sikander ke dalam kopernya. Tangannya
kembali menyentuh baju sifon hitam itu dan dia bertanya pada diri
sendiri, "Mengapa ia membawanya bersamanya ke Malaysia? Apakah
ia ingin aku memakainya?" Dia mengeluarkan baju itu dan
memegangnya.
Seraya memejamkan mata, Zarri Bano membiarkan pikirannya
berkelana.

65.

"KALIAN BELUM siap, anak-anak? Tapi bharat akan segera tiba di


sini!" Fatima mengomeli anak-anaknya, meledakkan rasa tegangnya
akibat acara pernikahan Firdaus ketika melihat bahwa mereka masih

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

merias wajah Firdaus. Tampaknya ada banyak lapisan riasan yang


masih harus ditempelkan.
Ada seratus satu hal yang masih harus dilakukan sebelum pengantin
pria datang dengan segala prosesi acara pernikahan. Namun, putri-
putrinya tampaknya mengira bahwa mereka masih punya waktu
sehari penuh. Fatima merasa heran pada nada tenang dalam suara
Firdaus ketika dia menggodanya, "Ibu, masih ada banyak waktu,"
seraya tertawa dalam cermin padanya. Padahal dia adalah si
pengantin perempuan!
Salma kini menempelkan sebuah untaian tiara emas dan batu rubi
mungil di kepala Firdaus. Dengan berseri-seri melihat wajah
bersinar putrinya, Fatima membawa ke luar ruangan beberapa gadis
muda yang mengintip dan melihat sekilas sang mempelai perempuan
berdandan.
Firdaus dengan cepat membaca catatan di tangannya dan setelah
meremasnya, dia membuangnya ke tempat sampah. Itu Surat dari
Khawar, dikirim melalui Neesa seminggu yang lalu. Dalam Surat itu,
Khawar memberi perintah: Firdaus, aku ingin kau datang ke rumahku
dalam sebuah dholi. Seraya terkekeh sendiri, Firdaus menulis surat
balasan: Tentu saja. Apa pun yang diperintahkan oleh rajaku dan
majikanku!
Firdaus secara pribadi tak memiliki keberatan harus mempersiapkan
dholi, tandu kayu. Menurutnya, itu adalah salah satu tradisi desa itu
yang terbaik. Firdaus lebih suka ditandu oleh empat orang lelaki,
seperti di masa lalu, daripada pergi naik mobil milik Chaudharani
Shahzada.
Soal itu menambah sebuah masalah bagi Fatima. Dia harus memesan
dholi baru yang dirancang untuk upacara itu. "Putriku tak akan
diusung dalam tandu lawas dan reyot yang pernah digunakan oleh
pengantin lain," dengusnya dengan terhina pada keluarganya. Tidak
boleh! Para penduduk desa akan membicarakan dholi ini hingga

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bertahun-tahun kemudian. Bahan dan hiasannya akan serasi dengan


baju pengantin putrinya.
"Mengapa lama sekali merias pengantin perempuan sekarang ini?"
canda Fatima pada Kulsoom di halaman rumahnya. Seorang juru rias
telah dipanggil secara khusus dari salon kecantikan terbaik di kota.
"Aku tidak tahu, di zaman kita dulu hal semacam itu hanya butuh
waktu dua menit! Olesan krim di pipi, olesan lipstik di bibir, dan kita
pun bisa pergi."
"Waktu kita masih muda, kehidupan ini begitu sederhana, Fatima
Jee. Tak seorang pun pernah mendengar tentang ahli kecantikan
atau salon kecantikan. Kita juga tak punya uang untuk memanggil
juru rias dan membayarnya ribuan rupee untuk merias wajah kita.
Saat itu, hal semacam itu bisa menjadi skandal. Tapi, lihatlah,
semuanya sudah ditangani sekarang, Fatima Jee. Mari kita periksa
tenda untuk pesta pernikahan."
Kulsoom mengajak Fatima ke halaman seraya memegang erat
dupatta sifon di kepalanya dan menggoyangkan anting-antingnya
yang panjang dan berat di kupingnya. Perhiasan itu baru dihadiahkan
oleh Fatima padanya semalam, seperti janji Fatima sejak lama
sebagai ucapan terima kasih atas jasa Kulsoom dalam perkawinan
Firdaus. Fatima selalu menepati janjinya. Anting-anting itu sedap
dipandang dan sangat mahal sehingga Kulsoom tak bisa begitu kurang
ajar dengan mengeluh bahwa anting-anting itu terlalu berat untuk
kupingnya yang mungil. Dia hanya bisa berharap andaikan dia
dilahirkan dengan telinga yang lebih besar. "Dua thola emas habis
untuk membuatnya!" pikir Kulsoom, tahu bahwa telinganya akan sakit
setelah upacara pernikahan usai.
Dia merasa enggan melepasnya walaupun hanya sedetik. "Rasa sakit
ini adalah harga yang harus kubayar," ujarnya keras kepala. Dia
memaksa diri memakai anting-anting itu di kupingnya dan
memamerkannya kepada para perempuan lain yang mungkin

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

merupakan calon klien atau hendak menggunakan tenaganya dalam


mencarikan pasangan yang cocok bagi anak-anak mereka. Lagi pula,
jika seorang klien merasa perlu memberinya imbalan semahal itu, dia
bisa menjadikannya sebagai patokan bagi yang lain agar melakukan
hal serupa. Maka, dia memutuskan untuk tidak memedulikan
kupingnya yang sakit.
Kulsoom mengikuti Fatima dengan bergegas menuju tenda
pernikahan yang telah didirikan di lapangan bermain sekolah putri.
Chaudharani Shahzada dan Fiaz, yang duduk di kursi roda, terlihat
sudah berada di tenda itu. Keduanya diminta dengan hormat untuk
menerima para tetamu Fatima, termasuk sang pengantin lelaki dan
seluruh anggota rombongannya.
Di pihak yang lain, Baba Siraj Din telah dipilih oleh Chaudharani
Kaniz untuk mendapat kehormatan menjadi wali bagi Khawar dan
buzurg untuk memimpin upacara pernikahan.
Tanggung jawab untuk mengawasi jalannya upacara nikah juga
diberikan kepadanya. Ia menerima kedua peran itu.
Dengan penuh kepuasan, Fatima memeriksa kursi-kursi berlapis kain
dan meja-meja yang telah disiapkan dengan indah, diletakkan dengan
peralatan makan perak buatan Cina terbaik yang disewa secara
khusus dari tempat penyewaan alat-alat pernikahan di kota. Sudah
lama dia berjanji pada diri sendiri untuk memberikan kemewahan
menjamu tamu-tamu pernikahan putrinya dengan penuh gaya, bukan
hanya membiarkan mereka berkerumun mengelilingi meja seraya
memegang piring dan mengulurkan tangan di atas bahu tamu lain
untuk mengambil makanan secara prasmanan. Para tamunya akan
duduk anggun dan menunggu dilayani oleh para pelayan. Lagi pula,
tidak setiap hari anak perempuannya menikah. Selain itu, dia tak
akan membiarkan Kaniz menjumput semua shan, segala pusat
perhatian, dari pernikahan itu. Ini kan pernikahan putrinya!

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Fatima memandang diam-diam enam koper baja baru berukuran


besar, penuh dengan pakaian dan hadiah perkawinan yang datang
dari hawali Kaniz pagi ini untuk Firdaus dan keluarganya. Setelah
acara makan malam selesai, koper-koper itu akan dibuka secara
seremonial di hadapan mata elang para tamu perempuan dan seluruh
hadiah itu akan dijejerkan untuk dilihat semua orang. Fatima tahu
hadiah-hadiah itu pasti akan memesona semua orang! Kabar akan
menyebar di segenap penjuru desa bahwa jihaz yang disiapkan
Chaudharani Kaniz untuk Firdaus
tidak tertandingi. "Mungkin," demikian desas-desus yang disebarkan
oleh Kulsoom, "Benazir Bhutto sekalipun tidak menerima
jihazseperti ini saat perkawinannya."
"Firdausku memang beruntung!" Fatima menghela napas bahagia.
Agar tidak merasa terkalahkan, Fatima telah melengkapi tenda
maskawin dengan hadiah-hadiah memesona untuk Firdaus. Lagi pula,
dia tidak mengirim putranya ke Dubai hanya untuk sia-sia. Dia juga
tidak bekerja di rumah orang lain hanya untuk sia-sia. Putrinya pun
tidak menabung penghasilannya sebagai guru hanya untuk sesuatu
yang sia-sia, jika pada akhirnya mereka tak bisa mengantarkan
maskawin yang layak dengan kedudukan mereka dalam kehidupan dan
sesuai dengan profesi putrinya.
Walaupun Kaniz telah mengatakan dengan amat baik hati bahwa dia
tak menginginkan apa pun dari keluarga Firdaus dan bahwa mereka
telah memiliki apa pun yang mereka perlukan, Fatima tidak mau
ambil risiko dengan membiarkan Kaniz nantinya menghina putrinya
dengan berkata, "Kau datang kemari dengan tangan hampa!" Harga
diri Fatima dipertaruhkan dan tak ada yang membuatnya
berkompromi. Karena itu, entah Kaniz menginginkan antaran
maskawin di hawali-nya atau tidak, dia tetap akan memberikannya.
Tak perlu diragukan soal itu. Apa yang bisa dilakukan oleh Kaniz juga
bisa dilakukan oleh Fatima!

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

***
Beranda besar berlantai marmer di hawali milik Chaudharani Kaniz
kini tampak berhias untaian lampu warna-warni yang berkerlap-
kerlip dan dipasang saling silang. Tidak satu meter pun lahan yang
tersisa. Jajaran lampu-lampu kuningan yang tinggi dan indah tegak
berdiri di jalanan di luarnya, menghiasi jalan masuk para tamu ke
dalam hawali. Grup musik khusus pesta pernikahan, yang nanti akan
memainkan nada-nada Skotlandia, berbaris di belakang lampu-lampu
itu, dengan antusias menanti kedatangan mempelai laki-laki dan
bharat untuk segera mulai memainkan musiknya.
Di dalam hawali, tamu-tamu pesta pernikahan itu berseliweran
dengan bebas keluar masuk seluruh ruangan. Untuk pertama kali
dalam hidupnya, Chaudharani Kaniz tidak mengasari siapa pun.
Sebaliknya, dia menyenangkan semua orang dengan mengundang
seluruh kerabat dari kedua belah pihak, baik darinya maupun dari
keluarga almarhum suaminya. Untuk semua itu, tidak sedikit pun dia
berhemat. Sebuah kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan,
sebagian besar dari tetamu yang hadir dengan bersemangat
menerima undangan sang Chaudharani untuk tiba seminggu
sebelumnya, agar bisa menikmati dan terlibat dalam keramaian
perayaan pesta itu. Lagi pula, itu adalah pesta pernikahan anak laki-
laki Kaniz satu-satunya. Tidak akan ada lagi pesta serupa di hawali
itu.
Kaniz tampak sibuk mondar-mandir di antara kerumunan orang dan
mengatasi stres yang ditimbulkannya dengan kebersahajaan,
merasakan semuanya dengan kebahagiaan. Dirinya sendiri yang
mengawasi mangkuk-mangkuk penuh oleh makanan yang disiapkan
tiga kali setiap harinya. Timnya terdiri atas enam orang koki yang
terus-menerus sibuk sepanjang minggu itu, hampir delapan belas jam
sehari. Persiapan untuk perayaan itu tampak sudah dilaksanakan dan
diawasi dengan saksama oleh Sabra, putrinya, dan Neesa.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Baba Siraj Din duduk kaku di ruang tamu yang luas di sebuah sofa
besar yang nyaman, di samping Khawar yang didandani dalam pakaian
resmi seorang mempelai laki-laki. Siraj Din dengan tidak sabar
mengetuk-ngetukkan tongkat gadingnya di atas karpet sutra sambil
menunggu upacara sehrahandi dan pemberian hadiah Khawar dimulai.
Mengenakan setelan yang sudah dikanji kaku, sebuah jubah hitam
panjang dan sebuah turban khusus di kepalanya, Siraj Din tampak
berpenampilan layaknya kepala suku di desa itu.
"Di manakah ibumu, Khawar?" tanya Siraj Din angkuh. "Semua orang
sudah ada di sini dan menunggu! Upacaranya harus segera dimulai,
Anakku."
"Dia pasti ada di suatu tempat di sini, Kakek, di dalam hawali. "
"Sabra, pergilah dan cari kakakmu! Aku tahu bahwa bharat j araknya
hanya dua ruas jalan dari sini, tetapi tetap saja kita harus berada di
sana. Para pemain musik sudah berdiri di luar lebih dari satu jam
lamanya. Udaranya cukup panas di sini. Kuda untuk mempelai laki-laki
mungkin bahkan sudah kelelahan, apalagi dengan semua hiasan di
atas tubuhnya."
"Ya, Baba Jee, aku akan pergi dan mencari Kaniz," Sabra
meyakinkannya, meninggalkan sekelompok perempuan yang sedang
ramai berbincang, yang sedang dilayaninya atas nama sang kakak.
***
Di lantai atas, di kamar tidurnya, Kaniz mengeluarkan sebuah kotak
besar, yang tutupnya dicat merah dan perak, dari lemari pakaiannya.
Sambil mengepit kotak itu, dia menuruni tangga menuju lantai satu
dan melangkah ke arah kamar Neesa. Kamar itu bertempat di ujung
terjauh hawali itu, di koridor jajaran gudang. Kaniz sangat jarang
mengunjungi bagian koridor ini. Dia tidak pernah merasa harus
melakukannya. Suaranya yang otoritatif bisa mengerjakan semua
pekerjaan itu untuknya. Hari ini langkah itu laksana sebuah ziarah
singkat.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dia mengetuk pintu kamar Neesa-sebuah aksi yang tidak pernah


terdengar dilakukan oleh Chaudharani Kaniz di dalam rumahnya
sendiri. Tindakan itu terlahir dari kepekaannya, kalau-kalau
pelayannya itu sedang berganti pakaian.
Kenyataannya, Neesa memang sedang bersiap-siap untuk
mengenakan pakaian terbaiknya. Ketika mendengar ketukan di pintu,
dia langsung mendongak dan berseru, "Masuk." Begitu pintu terbuka,
wajah Neesa memucat, melihat majikannya memasuki kamarnya yang
sangat sederhana.
"Apakah Anda menginginkan sesuatu untuk kulakukan, Chaudharani
Sahiba?" ucap Neesa terbata sambil memandangi Kaniz dengan ragu-
ragu. Sesuatu yang sangat salah pasti sudah terjadi hingga
Chaudharani sendiri harus mendatangi kamarnya.
"Ya, memang," jawab sang Chaudharani sambil tersenyum dan dengan
seraut tatapan aneh di wajahnya. Neesa membalas tatapannya
dengan gugup. Dia tak sanggup memaknai tatapan maupun tindakan
majikannya dengan mendatanginya langsung seperti itu.
Kaniz menyodorkan kotak itu ke hadapan pelayannya.
Dengan tersipu karena rasa senang, Neesa memandangi kotak itu,
membayangkan bahwa nyonyanya sudah datang untuk menunjukkan
padanya sebuah gaun baru untuk mempelai perempuan. Menjadi
sebuah kehormatan jika majikannya memikirkannya dan datang
sendiri untuk menunjukkan gaun itu padanya.
"Aku ingin memberimu ini," ujar Kaniz lembut sambil memandangi
wajah pelayannya itu.
Neesa menatap nanar kotak itu-tak mampu berkata-kata.
"Ini, ambillah." Sang Chaudharani perlahan mendorong kotak itu ke
tangan pelayannya yang terangkat kaku. "Bukalah, Neesa. Itu
untukmu. Dan itu sama seperti milikku dan milik Sabra."
Dengan jemari bergetar, Neesa membuka tutup kotak itu dengan
jari-jari kurusnya yang rusak karena terlalu banyak bekerja.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kemudian dia menatap ke dalam kotak itu dengan terpana, ke arah


sehelai gaun sutra berwarna biru yang sangat indah, yang diletakkan
beralaskan kertas tisu putih yang halus. Mulutnya ternganga.
Matanya tertuju pada bordiran yang menghiasi sekeliling garis leher
gaun itu. Sehelai gaun, persis seperti yang dikenakan Chaudharani,
adalah sungguh-sungguh sebuah kehormatan yang tak terbayangkan.
Sesuatu yang tidak pernah dimimpikannya dalam jutaan tahun.
"Itu adalah dupatta sifon yang juga senada," lanjut Kaniz ketika
Neesa menyentuh kerudung sifon yang lembut itu. Dia tampak takut
merusak bahan yang begitu halus itu dengan jemari kasarnya, jemari
yang menjadi kasar karena terus-menerus menggosok dan
membersihkan barang-barang di dapur.
Satu bongkahan besar tertahan di tenggorokan Neesa, nyaris
membuatnya tercekik. Orang yang bodoh sekalipun bisa melihat
betapa gaun itu sudah disiapkan khusus dan berharga ribuan rupee.
Dia terpukau.
"Sekarang, lihatlah apa yang ada di bawah gaun itu," pinta Kaniz
dengan suara lembut. Dia masih saja tersenyum ke arah pelayannya,
dan dengan kebahagiaan pribadi yang dirasakannya, dia terhanyut
dalam sorot mata penuh kekaguman dan terguncang di wajah Neesa,
saat pelayan itu meraba di balik onggokan gaun, dan menarik sebuah
kotak beludru merah panjang. "Bukalah," pinta Kaniz. Semburat
gairah tampak di wajahnya sendiri.
Sekali lagi jemari Neesa bergetar. Dengan gugup, dia membuka
kancing kotak yang lembut itu. Dengan mata terbelalak, dia menatap
sebuah kalung choker emas, dipadu dengan sepasang anting dan
sebuah cincin yang sepadan, tersimpan di atas bantalan beludru
hitam tebal.
Neesa menatap nanar nyonyanya. "Apakah ini untukku, Chaudharani
Sahiba?" bisiknya. Dia terpukau mengamati kepala Kaniz yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dengan ajaibnya mengangguk dan kemudian menengadah kembali ke


arahnya.
Itu semua terlalu berlebihan untuk Neesa yang malang! Dunianya
yang kecil dan sederhana tiba-tiba saja kehilangan pembatas dalam
lingkaran sosialnya. Chaudharani Sahibanya, yang selalu galak
meneriakkan serangkaian perintah padanya dan selalu
membelakanginya selama setengah umurnya, kini menawarkan
seuntai kalung seharga enam thola emas! Sambil menyandarkan
tubuhnya ke kursi dan meletakkan kotak itu di ranjangnya, yang
sudah berisi segunung kain sprai yang harus disetrika, dia mulai
menangis terisak ke dalam kerudung Muslimnya. Kedua bahunya yang
kurus berguncang-guncang.
Kaniz terpukau memandangi sosok pengurus rumah tangganya yang
kurus dan rapuh, dengan rambut beruban. Sebentuk cinta
membuncah dalam dadanya. "Perempuan ini sudah mempersembahkan
seluruh hidupnya untukku dan anakku, dan aku sudah begitu bersikap
penuh kebencian padanya selama bertahun-tahun!" Kaniz berkata
pada dirinya sendiri dengan sedih. Kemudian, merasa tak mampu lagi
melihat Neesa menangis, dia merengkuh pelayannya itu ke dalam
pelukannya dan mendekapnya erat-erat di dadanya.
Dipeluk sedemikian erat oleh Sahibanya, sisa-sisa kekuatan terakhir
pengendalian dirinya hancur, dan Neesa pun tersedu seakan dia
tidak pernah menangis sebelumnya. Seakan selama bertahun-tahun
dalam kesunyian yang mencekam itu, merasakan kurangnya perlakuan
manusiawi di bawah tekanan Kaniz, sudah sepadan dengan yang
dirasakannya sekarang ini. Bahkan sambil terisak, dia tetap
memastikan bahwa dia menggunakan kerudung jeleknya dengan pas
di depan wajahnya agar tidak merusak gaun pesta nyonyanya yang
baru.
"Neesa, mengapa kau menangis?" tanya Kaniz. "Tidak ada yang perlu
ditangisi! Kau saudariku juga, sama seperti Sabra. Hari ini aku ingin

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menunjukkan padamu dan pada seluruh dunia, lewat gaun dan kalung
yang tak seberapa ini, betapa aku menyayangimu dan menghargai
seluruh waktu yang kau habiskan untuk mengabdi padaku dan pada
anakku.
"Kau sudah membesarkan Khawar dengan segenap kasih sayangmu
seolah ia anakmu sendiri. Hari ini adalah hari pernikahannya,
Sayangku. Aku sudah menghambur-hamburkan banyak hadiah untuk
orang-orang asing, pada para pengemis di jalanan, pada semua
perempuan dan gadis di desa ini. Jadi, tidak bolehkah aku
memberikan semua ini pada seseorang yang mempersembahkan
hampir tiga puluh tahun umurnya untuk kami dan yang menjadi
beruban karenanya? Ambillah pemberian kecil ini sebagai
penghargaanku, ayolah. Aku sudah mulai menganggapmu sebagai
seorang adik yang kusayang dan kucintai...."
Suara Kaniz menguap menjadi sebuah keheningan yang aneh. Kini dia
melakukan sesuatu yang tidak pernah terbayang akan dilakukan
olehnya seumur hidup. Dia mendekapkan kedua tangannya ke tubuh
Neesa, pelayan perempuannya. "Neesa, lihat tanganku. Kedua
tanganku ini terangkat dalam mafi padamu, bermohon padamu.
Maafkan aku atas semua kekejaman yang kulakukan di masa lalu
padamu. Aku tahu, aku adalah seorang perempuan yang sulit
dijadikan majikan. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Neesa! Rumah ini
sudah menjadi rumahmu sejak kau datang ke tempat ini sebagai
seorang remaja yatim piatu. Kau bahkan tidak menikah, hanya untuk
bisa tetap bersama kami. Hari ini kau akan mendampingiku,
berpakaian sepertiku, tidak sebagai pelayanku, tetapi sebagai adik
dan ibu kedua bagi Khawar, dan kau akan menerima para tetamu di
sampingku. Jadi tolonglah, Neesa, jangan menangis. Aku ingin agar
kau mengganti pakaianmu memakai gaun ini dan pakailah kalung ini."
"Tidak Nyonya, aku tidak bisa melakukannya," seru Neesa sambil
mundur satu langkah dan tercekat panik, sebelum akhirnya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menemukan kembali lidahnya. "Aku tidak bisa mendampingi Anda."


Penghormatannya terhadap majikannya tidak memperbolehkannya
melintasi batasan sosial. Kaniz adalah ibu dari seorang tuan tanah
terkemuka di desa ini, sementara dirinya hanyalah seorang pelayan!
"Neesa, aku memaksamu. Ini sebuah perintah-jika itu yang kau mau!"
bujuk Kaniz sambil tersenyum. Dia merasa tersentuh oleh kata-kata
Neesa; kini matanya sendiri sudah mulai berair.
"Aku juga akan memaksamu." Suara hangat Sabra membuat mereka
berdua terkesiap. Sambil bersandar pada kusen pintu, Sabra
tersenyum pada kedua perempuan itu.
"Sabra! Sejak kapan kau ada di situ?" tanya Kaniz. Dia merasa malu
dengan situasi di saat dia tertangkap basah oleh adiknya itu.
"Cukup lama, Kakakku tersayang, cukup lama untuk membuatku
merasa sangat bangga padamu. Aku sangat mencintaimu, Kaniz."
Setelah melangkah mendekat, Sabra lalu merangkul kakaknya. Dari
balik bahu Kaniz, dia tersenyum ke arah Neesa yang masih saja
menatap mereka berdua dengan mata berlinangan. Neesa mulai
mempertanyakan dalam hatinya, sampai kapankah mimpi yang begitu
aneh dan luar biasa ini akan berakhir. Kedua kakak beradik
majikannya itu kini berada di dalam kamarnya!
"Ayo, Kak Kaniz, Baba Siraj Din sudah mulai tidak sabar. Aku yakin,
kini ia dengan tongkatnya sudah membuat lubang bundar di
karpetmu, dari caranya terus mengetuk-ngetukkannya. Bharat-nya
sudah siap. Semua laki-laki tetua desa dari desa itu telah tiba. Kau
harus melihat mereka semua, Kaniz-mereka berdandan habis-
habisan dan pakaian mereka yang berkanji seakan ikut membuat
sikap mereka kaku juga. Mereka semua berdiri melingkar, berdiri
dengan bangga bagaikan barisan burung merak yang sedang unjuk
diri di halamanmu. Para istri mereka, tidak ingin kalah penampilan
dari suami-suaminya, mengenakan busana berwarna cerah dan gaun-
gaun murahan. Ini sangat mengejutkan karena tidak setiap hari dua

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

anggota dari setiap keluarga, dan dari setiap kasta yang berbeda di
desa ini, semuanya diundang untuk mengikuti pesta bharat. Kau
sudah berhati mulia dengan tidak tega menyisakan siapa pun. Kau
memang benar-benar murah hati, Kakakku, menantang kami semua
untuk memutarbalikkan peraturan sosial yang ada di komunitas desa
ini."
"Ini hanyalah pesta pernikahan putraku, Sabra. Aku ingin semua
orang menikmatinya. Aku tidak akan mengadakan pesta lainnya lagi,"
jawab Kaniz singkat. "Aku ingin menjadikan ini sebagai satu-satunya
pesta yang akan dibicarakan dan dikenang selama puluhan tahun.
Selain itu, sebagai, seorang kepala sekolah, Firdausku akan
memasuki rumah ini. Dia patut mendapatkan penerimaan terbaik
yang bisa kita lakukan. Sekarang, cepatlah, Neesa, berpakaianlah,"
seru Kaniz dengan nada bangga dari balik bahunya, saat dia dan
adiknya meninggalkan pemondokan Neesa.
"Apakah kau sudah mendapatkan bundelan uang kertas lima
rupeean?" tanya Kaniz tiba-tiba, begitu dia mengingat anak-anak
desa itu. Bundelan uang kertas itu akan dibagikan di luar jalan,
mengiringi prosesi bharat. Kaniz tidak akan merendahkan derajat
putranya dengan menaburkan koin-koin atau uang kertas satu
rupeean. Tidak, harus lembaran uang kertas lima rupee yang masih
baru; dia sudah memerintahkan agar uang-uang itu dibundel dari
bank setempat, sejumlah ribuan rupee. Kaniz sendiri tersenyum
lebar. Suatu perasaan yang luar biasa bisa menyenangkan orang lain.
Lembaran uang-uang kertas itu melayang-layang di atas kepala
putranya dan segenap iring-iringan, dan akan dipunguti atau
disambar oleh jemari mungil anak-anak yang berebut penuh
semangat, memasukkan uang-uang itu ke dalam saku mereka.
"Lembaran uang lima rupee! Kau kini sudah keterlaluan, Kaniz,"
gerutu Sabra tak sepakat ketika mereka berjalan melintasi halaman.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Sabra, pahamilah aku." Kaniz menyorotkan tatapan memohon pada


adiknya itu. "Pada acara pesta pernikahan putraku saja yang bisa
menghindarkanku dari proses penghancuran diri sendiri. Apa
gunanya uang jika kau tidak bisa membeli kebahagiaan dengannya?"
dia mengakhiri kalimatnya secara retoris.
"Ya, ya, ya, Kakak, maafkan aku, ampuni aku," jawab Sabra dengan
terpaksa. Dia tidak ingin membangkitkan penderitaan kakaknya-
tidak pada hari khusus ini.
"Mengapakah Younus Raees ada di sini, di pesta pernikahan anakku?
Aku tidak mengundang laki-laki itu kemari, Sabra." Tatapan gusar
kini kembali menghiasi wajah Kaniz.
"Putramu yang mengundang."
"Aku tidak menginginkannya di hawali-ku!"
"Jangan bodoh, Kaniz. Kini lupakan Younus Raees dan ayo jalan! Baba
Siraj sedang menunggumu."
***
Di dalam kamarnya, Neesa memeluk gaun itu, mendekapnya erat.
Matanya mengatup kuat. Kemudian, dengan tangan-tangan
gemetaran, dia memegangi satu set kalung emas itu, dan terpukau
oleh keindahannya. Dia tidak pernah memiliki, tidak juga sempat
memimpikan bisa memiliki sesuatu semahal itu sepanjang hidupnya.
Dengan mengangkat gaun itu keluar dari kotaknya, dia sungguh-
sungguh berniat untuk mengenakannya.
Segera saja, dan untuk pertama kalinya dalam hidup Neesa, dia akan
membantah perintah majikannya. Dia akan mengenakan gaun itu,
tetapi pada suatu kesempatan lain-tidak hari ini. Dia merasa tidak
sanggup merendahkan derajat majikannya dengan menjadi
sedemikian berani berpakaian seperti Kaniz. Adiknya, Sabra, bisa
saja melakukannya, tetapi dia tidak bisa.

66.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"DHOLI-NYA SUDAH datang, Sabra Jee!" teriak Neesa penuh


semangat seraya melihat ke halaman tengah dari balkon atas hawali.
Matanya mengikuti perjalanan bharat yang perlahan-lahan
mengambil jalan terjauh, berputar-putar di jalan-jalan desa.
Begitu melangkah ke luar, Neesa melihat salah satu ujung dupatta
sifon berbordir yang dikenakannya, yang diberikan Chaudharani
Kaniz padanya pagi tadi. Matanya terbelalak ketakutan dan air
matanya langsung menggenang. "Alangkah bodohnya aku melongok
lewat teralis besi seperti anak kecil dalam busana seperti ini," ratap
Neesa. Dia berharap seandainya saja dia tidak mengenakan pakaian
itu. Meski Chaudharani Kaniz memaksanya untuk mengenakannya, dia
segera kembali ke pondokannya dan berganti pakaian.
Hari yang luar biasa! Neesa tidak begitu yakin apa yang lebih
menggairahkan, pesta pernikahan tuan mudanya yang dicintainya,
atau dirinya, seorang pelayan separuh baya, berdandan sedemikian
luar biasa mengenakan pakaian pesta yang sangat indah, dilengkapi
seuntai kalung emas asli yang melingkar di lehernya yang keriput.
Sepanjang siang, dia masih juga belum mampu memutuskan apakah
dia akan merasa tersanjung atau malu dengan semua sorot mata
yang melirik ke arahnya dari semua perempuan desa itu, saat dia
duduk di meja makan utama di samping Sabra dan Kaniz. Satu hal
yang pasti: akan ada begitu banyak desas-desus di masa yang akan
datang. Neesa tahu sumber yang akan menyebarluaskan desas-desus
itu-Kulsoom si mak comblang. Kulsoom sendiri tampak terganggu
dengan pengaturan tempat duduk itu. Dia sudah diam-diam
mengharapkan Chaudharani Kaniz akan menghadiahkan kehormatan
padanya dengan memberinya tempat di meja utama. Lagi pula,
bukankah dia adalah penghubung utama antara kedua keluarga itu?
Entah bagaimana, tampaknya, tempatnya itu sudah digantikan
semata-mata oleh seorang pelayan perempuan!

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Empat orang pemuda secara khusus dipekerjakan untuk memanggul


dholi di pesta pernikahan itu, sebuah tandu tradisional untuk
pengantin, berisi Firdaus, di atas pundak mereka. Dengan anggun,
mereka memimpin iring-iringan tamu dari pondok penerimaan, keluar
melintasi jalan-jalan desa, dan kembali menuju hawali Kaniz.
Kaniz, Chaudharani Shahzada, dan kerabat perempuan lainnya
berjalan di samping tandu itu, dengan riang gembira mengobrol dan
menyanyikan lagu-lagu perkawinan khas daerah itu. Khawar, ditemani
Baba Siraj Din, sahabat, dan relasi laki-laki lainnya, berjalan di
depan dholi itu.
Di halaman hawali, Neesa dengan gemetaran menyerahkan mangkuk
kristal berisi minyak dan sebuah Kitab Suci Al-Quran besar kepada
Sabra. Dengan membawa sekeranjang kecil camilan tradisional,
Neesa yang diikuti Sabra menempatkan diri sestrategis mungkin di
pintu masuk untuk menyambut sang pengantin laki-laki dan pasangan
hidupnya. Dia membuka lebar-lebar pintu gerbangnya untuk jalan
masuk para tamu.
Sampai di hawali, prosesi itu pun berhenti. Tandu pengantin itu
diturunkan dan diletakkan di tanah di depan gerbang. Kaniz
melangkah ke depan sambil mengangkat brukat merah hati yang
menutupi tandu itu dan melongok ke dalam.
"Bagaimana perjalananmu, Sayang?" tanyanya seraya tersenyum
lebar pada menantunya.
Firdaus, yang duduk sendirian di dalam kotak kayu seluas empat kaki
itu, dan masih saja tampak tegang dengan kedua tangannya
berpegangan erat pada dua sisi tandu, menatap mertuanya dengan
gugup.
"Sebaik yang diharapkan, Bibi," ujarnya santun. "Tidak setiap hari
orang dihormati sedemikian rupa ditandu di atas pundak empat
orang laki-laki."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ayo, Putriku, aku akan membantumu keluar. Kau hanya ditandu


sepanjang dua ruas jalan; aku dulu ditandu bermil-mil. Aku tahu
betul apa yang sedang kau rasakan. Aku terus berpikir bahwa aku
akan jatuh dan leherku akan patah saat itu. Tentu saja itu tidak
terjadi," Shahzada tertawa kecil. "Selamat datang ke rumah
barumu, Sayangku."
Membiarkan Chaudharani Shahzada membantu Firdaus keluar dari
dholi, Kaniz kemudian bergabung dengan adiknya dan berdiri di pintu
masuk rumahnya untuk mempersilakan mereka semua masuk.
Firdaus meluruskan rok pengantinnya, rok sepanjang enam meter
sutra tebal yang dibordir, yang sempat terjepit di bawah kakinya,
sebelum dia dibantu keluar dari dholi.
"Ayolah, Sayangku. Ibu mertuamu menunggu di pintu masuk rumah
barumu," bisik Shahzada di telinga Firdaus sambil membimbingnya
melewati pintu gerbang. Khawar berjalan di sampingnya.
Menggenggam semangkuk porselen kecil minyak di tangannya, Kaniz
menanti dengan jantung berdegup kencang, matanya menatap wajah
Firdaus saat gadis itu berdiri di ambang pintu kayu walnut berukir
yang menuju hawali. Dia membungkuk untuk membubuhkan beberapa
tetes minyak ke dua sudut pintu masuk, mengikuti ritual tradisi
Hindu lama dalam menyambut pengantin baru masuk ke rumahnya
yang baru. Ketika membungkuk, kerudung lebar berbordir yang
dipakainya menyentuh anak tangga, Kaniz menangkap sorot cemas di
mata Firdaus.
Dunia seakan berhenti berputar bagi kedua perempuan angkuh itu,
saat mereka berdua secara simultan mengingat kejadian di kantor
sekolah. Firdaus tersentak oleh ingatannya tentang kata-kata penuh
emosi yang dilontarkannya: "Aku lebih baik mati daripada memasuki
hawali-mu." Kemudian, entah dari mana, datanglah satu pikiran yang
menakutkan: mungkinkah ini akan menjadi pembalasan Kaniz yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

termanis jika ternyata dia kemudian mengusirku di ambang pintu


itu?
Sementara di kepala Kaniz, kata-kata kasarnya kembali terngiang
menusuk telinganya. "Aku tidak akan pernah mengizinkan anak
tukang cuci memasuki hawali-ku!"
Dengan takut-takut Firdaus menundukkan matanya di depan Kaniz,
merasa sangat malu. Chaudharani Kaniz kini menggenggam izzat-nya,
kehormatan dirinya, di kedua tangannya. Dialah yang memegang
kendali kekuasaan sekarang. Sekarang semuanya terserah padanya.
Sambil menghela napas, Kaniz berdiri tegak, bangkit dengan penuh
kemenangan dari kolam berlumpur masa lalunya. Seulas senyum
menyeruak di wajahnya, ujung matanya berkerut saat dia mengambil
Kitab Suci Al-Quran dari Sabra dan mengelilingkannya dengan
takzim di atas kepala menantunya,
sesuai dengan tradisi penyambutan. "Selamat datang di rumah,
Firdausku," dia menyambutnya dengan suara yang nyaring dan tegas.
Merasa lega dan penuh syukur, Firdaus melangkah masuk ke rumah
barunya, untuk kemudian segera ditarik ke dalam pelukan hangat ibu
mertuanya.
"Kakak, kau sudah merusak gaun pengantinnya," protes Sabra
kepada Kaniz. Semua orang menyaksikan proses penerimaan Firdaus,
termasuk Fatima, yang membuntuti di belakangnya bersama
perempuan-perempuan lainnya. Dia sibuk menghapus air mata
bahagia yang mengucur deras di pipinya. Tidak ada lagi
kekhawatirannya mengenai masa depan putrinya-Kaniz sudah
menampakkannya dengan jelas di depan semua orang, bahwa dia akan
menjadi seorang mertua yang baik. Dia hanya bisa berharap dan
berdoa bahwa putrinya sendiri akan belajar menjadi perempuan yang
lembut dan baik hati, seperti Kaniz-dan menerima semua dalam
kehidupannya dengan kedewasaan dan kebersahajaan yang sama.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Sambil tersenyum ke arah kamera video yang disorotkan oleh


kamerawan yang dipanggil dari Karachi, Kaniz menuntun menantu
perempuannya dan putranya memasuki ruang tamu, dan mendudukkan
mereka di sebuah sofa kulit putih baru yang khusus diperuntukkan
bagi mereka berdua. Sambil diikuti kerabat dan anggota keluarga
lainnya memasuki ruangan, Fatima sejenak merasa bimbang untuk
melangkah di ambang pintu. Ketika Kaniz mendongak dan melihatnya,
Kaniz bangkit, lalu dengan langkah mantap menghampiri Fatima dan
merangkulnya dengan hangat. Fatima sesaat terpaku di pelukan
musuhnya, dan kemudian dia membalas rangkulan itu.
"Mubarak, Saudariku, selamat datang. Terima kasih telah merelakan
putrimu untuk kami. Kami merasa terhormat mendapatkannya. Kau
telah membuatku dan putraku sangat bahagia, Adik Fatima."
Merasa sangat tersentuh dengan kemurahhatian Kaniz, Fatima tidak
mampu menahan tangisnya di balik saputangan katun merah
jambunya yang lebar, saat dia duduk di dekat sahabat dan
majikannya. "Lagi pula, sudah menjadi hakku sebagai ibu dari
mempelai perempuan untuk menangis terisak," isaknya bahagia pada
Chaudharani Shahzada.
Semua perempuan di ruangan ini tidak akan pernah mampu menerka
setinggi apa hatiku membumbung ke udara. Mereka pasti akan
mengira aku menangis karena sedih, pikir Fatima, saat dirinya duduk
di dekat majikannya dan menatap ke sekeliling ruangan dengan
perasaan bangga. Semua kini menjadi milik putriku. Jantungnya
kembali membumbung tinggi membayangkan masa depan putrinya
yang akan menjadi chaudharani berikutnya, dan nyonya di hawali ini,
serta tentu saja menguasai berhektar-hektar tanah.
Duduk di samping Khawar, Siraj Din mengamati semuanya dan semua
orang, dengan kebijakan filosofinya, dari balik alis tebalnya yang
cokelat. Setiap hari terbukti ada sesuatu yang terungkap-selalu ada
hal baru yang memukaunya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ya, Khawar, Anakku, pernahkah kau dalam mimpimu sekalipun


membayangkan ibumu memeluk musuh seumur hidupnya?" tanya
Siraj Din retoris, sambil mengacungkan tongkatnya ke arah Kaniz
dan Fatima yang duduk bersisian, keduanya tersenyum hangat dan
saling memandang satu sama lain.
"Tidak, tapi, alhamdulillah, berkat Anda dan doa semua orang, Allah
Yang Mahakuasa sudah memberkati keluarga ini. Ibuku sekarang
seorang perempuan yang berbeda. Dia tidak lagi bersikap memusuhi
pada siapa pun, bahkan pada mereka yang sudah
mempermainkannya."
Firdaus tersipu, menyadari sindiran itu ditujukan padanya.
"Aku sangat senang. Aku akan meninggalkan kalian berduaan. Aku
akan pergi dan duduk bersama putriku, Shahzada." Siraj Din bangkit
dan dengan bantuan tongkat gadingnya, ia berjalan menghampiri
sofa lainnya. Begitu ia mendekat, Fatima segera saja memberikan
tempat duduknya pada laki-laki tua itu dan memutuskan pergi dan
duduk di dekat suaminya, Fiaz, di halaman luar.
"Ya, aku harus bilang padamu bahwa kau tampak sangat memesona,"
goda Khawar sambil menoleh ke samping, memandangi pengantinnya.
"Aku tidak akan pernah mengenalimu, Ibu Kepala Sekolah, saat kau
keluar dari dholi. Sekarang itu adalah pemandangan yang luar biasa!
Begitu juga dengan sosok yang melangkah masuk ke rumahku."
"Tolong ingatkan aku soal itu, Khawar. Kau tidak berhasil
membenamkanku ke dalam sumur saat kita kanak-kanak, tetapi kau
bisa saja membunuhku sekarang dengan sindiran-sindiranmu!"
gerutunya. Tawa Khawar yang nyaring segera memenuhi ruangan itu.
Firdaus pun salah tingkah dengan memain-mainkan tas tangannya
yang berbordir emas dan berhias permata. Dia merasa semua sorot
mata perempuan di ruangan itu ditujukan padanya.
"Mereka sungguh-sungguh bahagia, Shahzada," sahut Siraj Din yang
mengamati sepasang mempelai itu dari seberang ruangan. "Aku

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berharap cucuku sendiri Zarri Bano juga bahagia, di mana pun dia
berada bersama suaminya saat ini."
"Amin!" suara Shahzada antusias, sebias kecemasan muncul di kedua
matanya. "Andai saja mereka memang suami-istri!" ujarnya setengah
berbisik pada dirinya sendiri.
"Aba Jan, tadi malam aku bermimpi melihat seorang anak yang
rupawan di pangkuan Zarri Bano-tampangnya sangat mirip
dengannya. Kalau saja mimpiku itu menjadi kenyataan! Aku sedang
berpikir jika kini dia mau menetap, setidaknya di Karachi, tidak ada
lagi yang tersisa bagiku di khoti di kota. Fatima juga akan
meninggalkan kita, kembali ke Chiragpur dan merawat Fiaz. Karena
itu aku penasaran, apakah kau menginginkanku datang dan tinggal di
desa ini, di hawali bersamamu? Aku senang sekali di sini, lebih dari
tinggal di kota. Jika di sini, aku juga bisa sekaligus menjagamu di
hari-hari terakhir hidupmu. Selain itu, Fatima, sahabatku, juga ada
di sini dan aku bisa bertemu dengannya setiap hari...."
Shahzada terdiam, dia melihat mata ayah mertuanya yang hijau itu
berkilauan air mata. "Aba Jan?" tanyanya cemas.
"Shahzada, menantuku yang paling kusayang. Kau sudah membuatku
sangat bahagia! Tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa lebih
menyenangkanku daripada mendapatimu kembali di hawali. Tempat
itu tidak pernah sama lagi rasanya sejak kau pergi meninggalkan
desa ini, dan ibu mertuamu, Zulaikha, wafat. Dengan kau di sini,
tempat ini akan hidup kembali. Orang-orang akan mendatangi
rumahku dan menemanimu. Zarri Bano akan datang dan insya
Allah membawa serta anaknya. Dia juga akan tinggal di hawali. Lagi
pula, anaknyalah yang menjadi ahli warisnya dan mewarisi sebagian
besar tanah ini, Shahzada sayang.
"Jika ini semua terwujud di hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan,
dan tahun-tahun terakhirku, ini akan menjadi karunia Allah yang
sesungguhnya. Terima kasih, Shahzada sayangku. Kau menempati

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tempat seorang anak perempuan yang tidak pernah kumiliki, dalam


hatiku. Kau tahu itu, bukan?"
"Dengan sangat senang hati, Aba Jan. " Shahzada amat tersentuh,
air matanya segera saja berlinangan. Dia mengangkat tangan ayah
mertuanya dan dengan penuh hormat menciumnya, lalu
menempelkannya ke pipinya.
Begitu masuk lagi ke ruangan, Fatima menyaksikan perbincangan
antara Shahzada dan Siraj Din. Dia segera bergerak mendekati
Shahzada dan menggenggam tangannya. "Ayolah, Chaudharani
Sahiba, Anda tidak boleh menangis, tidak hari ini. Ini adalah hari
perayaan. Mari kita melihat kamar tidur Firdaus."
"Ya, Chaudharani Sahiba," tambah Kulsoom bersemangat begitu
mendengar kata-kata Fatima dan segera berdiri di dekatnya. "Kata
orang, Chaudharani Kaniz sudah menghabiskan ber-lakh-lakh rupee
untuk mendekor kamar pengantin."
Sambil menghapus air matanya menggunakan ujung chador,
Shahzada menggenggam tangan Fatima, sahabat sejatinya, dan
bangkit berdiri.
Kulsoom otomatis menyentakkan anting-anting panjangnya yang
berdentingan di telinganya, dia nyaris menjerit kesakitan karenanya.
Dia menuntun keduanya naik ke tangga hawali di lantai dasar, sambil
bertanya-tanya dalam hati, kapan Kaniz akan memberinya
penghormatan dengan memberikan hadiah atas jasanya. Dia sangat
berharap hadiah yang akan diterimanya dari Kaniz nanti adalah
sebuah bandul emas. Kedua telinga mungilnya sudah tidak sanggup
menerima lebih banyak anting-anting lagi.
Mengangkat tubuh lebarnya dengan kedua kaki kurusnya di atas anak
tangga marmer itu, Kulsoom berharap pada Allah agar orang-orang
penting ini tidak harus memiliki rumah berlantai banyak. Mereka
baru akan tahu akibatnya jika suatu saat, mereka menemukannya

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mati di tangga rumah mereka. Maka, mereka pun akan terkutuk


seumur hidup.
Sambil tersenyum penuh arti melihat wajah Kulsoom yang memucat
dan napasnya yang tersengal, Kaniz berdiri di anak tangga teratas,
lalu menuntun mereka dengan anggun menyusuri koridor. Dia
mendorong sebuah pintu hingga terbuka lebar dan dengan bangga
memberi jalan bagi ketiga perempuan di belakangnya untuk masuk.
Mereka terpukau oleh ukuran perabotnya dan dekorasi ruangan itu.
Sejenak, Kaniz memiringkan kepalanya ke satu sisi dengan angkuh,
sebuah sikap tubuh yang mencuatkan tampang Chaudharani Kaniz
lama yang jahat. Ekspresi kagum dan kebersahajaan di wajah
Fatima, saat dia melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru
ruangan itu, menyentuh dan memeriksa semuanya dengan kekaguman,
membuat Kaniz merasa semua itu sepadan dengan setiap paisa yang
dikeluarkannya.

67.

"KHAWAR DAN bharat-nya pasti baru meninggalkan hawali,


Sikander Sahib," ujar Zarri Bano kepada suaminya sambil
memandangi arlojinya dan menerjemahkannya ke dalam waktu
Pakistan.
"Hawali siapa?" tanya Sikander sambil mengulurkan tangannya untuk
membantu Zarri keluar dari Gua Batu. Perlahan mereka menuruni
jalan turun dari pintu masuk gua di pedesaan Malaysia itu.
Sambil mengangkat burqa-nya karena takut kakinya menginjak
ujungnya dan menyebabkannya terjerembap, Zarri Bano
berkonsentrasi pada dua ratus anak tangga sempit yang sudah
ditinggalkannya, yang dipahat ke bukit, bukit yang berisi gua-gua itu.
Dia melihat tungkai-tungkai kakinya dengan gamang saat dua ekor
monyet melintas dan berlarian di sekitar kakinya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Jangan takut!" Sikander tertawa sambil menggenggam erat tangan


Zarri dan bergerak ke sisinya. Monyet itu ada di mana-mana di
sepanjang anak tangga. Di malam hari mereka menghilang ke dalam
gua-gua, tetapi sepanjang siang, mereka melompat-lompat dan
bermain-main di sekitar kaki para turis, khususnya orang Hindu yang
datang untuk berziarah ke kuil Hindu, menaungi jejeran patung para
dewa mereka di dalam gua besar di Gua Batu.
"Kau ingat Khawar, tuan tanah muda di desa kami?" tanya Zarri pada
Sikander. "Hari ini adalah hari pernikahannya. Ia menikahi Firdaus,
putri pengurus rumah tangga kami. Kakek dan ibuku pasti berada di
pesta pernikahan mereka, sebagai tamu kehormatan."
"Oh, begitu," jawab Sikander sambil membimbingnya ke arah taksi
yang menunggu mereka untuk segera pergi ke tujuan berikutnya,
hutan Malaysia.
Sambil mengintip ke luar dari jendela mobil, Zarri Bano mengagumi
pemandangan yang melenakan dari tumbuhan-tumbuhan tropis, yang
menghampar indah menyelimuti lereng pegunungan, yang juga
berbaris di sepanjang jalan yang mereka lewati.
"Ngomong-ngomong," tambah Zarri sambil memamerkan lesung
pipitnya pada Sikander. Dia selalu memiliki kecenderungan untuk
menggoda suaminya. "Khawar adalah salah satu yang melamarku
dulu." "Apakah ia masih menjadi salah satu calon pelamar sampai
sekarang?" balas Sikander nakal.
Kedua pipi Zarri merona merah menerima sorot matanya, segera
saja dia membuat penjelasan. "Oh, tidak, Sikander Sahib, ini tidak
seperti yang kau bayangkan. Khawar selalu menaksir Firdaus sejak
dulu. Ini adalah ulah ibunya, Chaudharani Kaniz, yang terus
mengejar-ngejar rishta-ku untuk alasan angkuh yang sangat nyata."
"Dan tentu saja, istriku yang angkuh ini menolaknya. Aku harus
merasa terhormat karena entah mengapa kau tidak menolakku
seperti calon-calon pelamar yang lain," gurau Sikander, kemudian ia

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kembali serius. "Meski demikian, pada akhirnya kau masih saja


menolakku, Zarri Bano-sama seperti yang lainnya," ujarnya lirih.
"Tidak ada yang angkuh tentang itu, Sikander," sahut Zarri Bano,
wajahnya masih merona. "Aku selalu menganggap Khawar seperti
kakakku sendiri. Aku bermain dengannya waktu kami masih kanak-
kanak di desa. Alasan kedua adalah bahwa aku tidak sanggup
membayangkan aku melangkahkan kaki ke dalam rumah Chaudharani
Kaniz yang nyinyir itu. Aku tidak pernah cocok menjadi seorang
chaudharani desa, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ibuku atau
Kaniz. Mereka perempuan yang dibesarkan dalam zaman yang
berbeda. Mematuhi serangkaian adat istiadat atau tradisi dan
tujuan-tujuan hidup yang berbeda. Waktu itu, hatiku tertambat
pada kota-kota besar dan kehidupan internasional. Kehidupan desa
yang tenang dan damai akan melunakkanku dan karier jurnalistikku."
Zarri Bano berpikir sesaat. "Setelah mengatakan itu semua, baru-
baru ini aku menikmati waktu yang kuhabiskan di desa sejak
memimpin sebuah madrasah di sana. Aku sudah mendirikan dua
sekolah perempuan. Firdaus lebih cocok untuk kehidupan desa
daripada aku. Allah tampaknya merencanakan sesuatu yang lain
untukku-ayahku yang menjadi alat-Nya. Meskipun tidak pernah
membayangkan diriku menjadi seorang ulama Islam atau seorang
Perempuan Suci, aku sudah berkeliling dunia seperti yang aku
inginkan. Bagaimana denganmu, Sikander? Apakah kau lebih memilih
kehidupan kota besar atau pedesaan?" Zarri Bano memberanikan
diri untuk bertanya pada suaminya saat taksi mereka berhenti,
berharap Sikander akan menoleh ke arahnya. Tetapi ia tidak
menoleh lagi.
Mereka turun dari taksi dan meregangkan otot-otot kaki. Lalu
mereka mengikuti si pengemudi taksi naik dan menuruni sebuah
bukit menuju sebuah perkebunan karet. Sambil melihat berkeliling,
mereka dibuat terpana oleh nuansa hijau susu yang indah yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

seakan menyelimuti pepohonan itu. Sambil terus mendaki, mereka


akhirnya sampai pada sebuah pondok kecil yang didirikan di atas
sebuah dataran tinggi di tepi bukit. Di depan sebuah meja kayu
kecil, seorang laki-laki Melayu sedang duduk merokok. Begitu
melihat mereka mendekat, ia berdiri untuk menyambut mereka
dengan sesungging senyum hangat di wajahnya.
"Assalamu 'alaikum!" sapa laki-laki itu yang ternyata penyadap karet.
Ia segera tahu dari jilbab hitam Zarri Bano bahwa mereka Muslim
seperti dirinya. Sambil tersenyum lebar, ia membawa mereka ke
dekat sebuah pohon karet, dan dengan sebilah pisau khusus, ia
menunjukkan bagaimana karet disadap. Zarri Bano dan Sikander
mengamatinya dengan kagum saat cairan kental seperti jel yang
berwarna Jingga keluar dari pelepah terluar batang karet itu.
Setelah berterima kasih dan memberi uang pada si laki-laki tua atas
demonstrasinya, Sikander dan Zarri Bano mengikuti sopir taksi yang
orang Tamil itu kembali menaiki bukit.
"Hutan ini lama-kelamaan akan menjadi rimba," ujar si sopir, sambil
mengacungkan tangannya ke arah hutan nan luas dan tebal di depan
mereka, yang terhampar jauh sampai ke cakrawala. "Apakah Anda
ingin menjelajahinya sendiri selama satu atau dua jam? Aku akan
menunggu Anda di bawah."
"Baiklah," jawab Sikander sambil mengangguk tanda setuju.
"Jangan pergi terlalu jauh agar Anda tidak tersesat," laki-laki itu
memperingatkan. "Tetap di tempat yang terang dan ikuti jalurnya."
Setelah berterima kasih pada si pengemudi dan menggenggam erat
tangan Zarri Bano, Sikander menuntunnya mendaki jalur dan
memasuki wilayah hutan. Segera saja tetumbuhan hijau dan pohon-
pohon tua yang tinggi tampak menjulang menggapai langit dan
membentuk kanopi raksasa di atas mereka dan di sekeliling mereka.
Suasananya terasa magis, sekeliling mereka dipenuhi suara-suara
aneh binatang-binatang hutan. Di mana-mana, tampak kupu-kupu dan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

serangga malam, beberapa di antaranya berukuran besar sehingga


mereka nyaris sulit terbang, hanya bertengger di batang-batang
pohon.
"Aku ingin berada di tempatmu, Zarri Bano," bisik Sikander lembut.
Zarri Bano menghentikan langkahnya. "Apa?" tanyanya Pada awalnya
dia tidak paham. Sikander menatapnya. Matanya memancarkan
sesuatu yang penuh arti. Secercah cahaya menerobos turun dari
balik kanopi hijau di atas mereka, membuat Zarri Bano tampak aneh
dalam burqa hitamnya.
Pada akhirnya Zarri mengerti, hawa panas segera saja menjalar
hingga ke wajahnya, dan seperti biasa, dia segera berusaha
melarikan diri. Perlahan dia melangkah melewati tetumbuhan kecil di
bawah pohon seraya mengangkat ujung burqa-nya agar tidak
menggores tunas pohon dan semak-semak.
"Jangan bersikap dingin padaku sekarang, Zarri Bano, ayolah!" desak
Sikander dari arah belakang, sambil mendorong semak-semak kecil
yang menghalanginya, dan segera menuju ke samping Zarri lagi. "Kita
berbincang-bincang dengan hangat di mobil tadi. Kini aku bisa
merasakan kau mengucilkan diri dariku-masuk lagi ke dalam dunia
pribadimu. Ayolah, jangan lakukan itu."
"Dengar, Sikander," ujar Zarri Bano putus asa, "aku sedang
melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan, kau tahu itu, tetapi aku
merasa semuanya begitu sulit. Dalam sebulan terakhir ini, semua
orang seolah menggedor-gedor pintuku. Sedikit demi sedikit mereka
berhasil menyelinap ke dalam. Mengenai kau, kau tidak hanya
menggedornya, tapi bahkan mendobraknya. Sekarang tidak banyak
lagi pintu-pintu yang terkunci, Sikander, sebelum kau sampai ke
Zarri Bano yang lama." Zarri Bano tiba-tiba merasa cemas kalau
dirinya sudah mengungkapkan terlalu banyak.
Sikander tidak segera menjawabnya. Dia malah melayangkan
pandangan ke sekelilingnya. Mereka sudah memasuki satu tanah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

lapang. Zarri Bano menengadah dengan sukacita, memandang ke arah


langit biru dari celah-celah ujung pepohonan nan hijau. Keduanya
terkagum-kagum melihat warna cemerlang dari burung-burung tropis
dan parkit yang berseliweran dari satu batang pohon ke batang
lainnya.
"Di sini seperti surga, begitu damai. Seakan-akan hanya kita
berdualah manusia di muka bumi ini," ujar Zarri Bano sambil
mengelap dahinya yang basah.
"Mengapa tidak kau buka saja burqa-mu?" usul Sikander dengan
nada lembut. "Tidak ada siapa pun di sini, Zarri Bano. Tidak ada yang
akan melihatmu-kecuali aku. Mari, kubantu kau."
Merasakan kesunyian tempat itu dan tidak akan ada mata laki-laki
yang mengintai, Zarri Bano lalu merasa aman untuk membuka
jubahnya. Ketika Sikander membantunya menarik burqa itu,
rambutnya melorot keluar dari kerudungnya dan jatuh ke bahunya,
menjuntai dalam gulungan-gulungan ikal yang tak beraturan. Di
bawah sorotan cahaya matahari yang menyeruak dari balik
pepohonan, rambutnya tampak menyala dengan warna api yang begitu
memesona.
Sikander terkesiap memandang keindahannya. Ia berperang dengan
nalurinya yang ingin menyentuhkan jemarinya ke gumpalan ikal indah
itu. Kemudian ia sepenuhnya terpaku saat melihat apa yang
dikenakan Zarri Bano di balik burqa-nya-baju sifon hitam yang
dipakainya saat di mela, baju yang sangat disukainya dan bayangan
Zarri memakai baju itu melekat di benaknya selalu. Zarri Bano
langsung tahu bahwa pakaian yang dipakainya mengandung sebuah
arti khusus bagi Sikander. Dia juga sangat mengingat apa yang
terjadi di mela-dan tatapan mata penuh gairah di mata Sikander...
tiba-tiba saja dia merasa tersadar, keinginan untuk berlari dari
Sikander kembali muncul.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri terus berjalan sampai mencapai satu titik di mana tergeletak


satu bonggol pohon besar, akarnya mencuat ke atas menyebar ke
segala arah di tanah itu. Sikander melihatnya duduk di salah satu
akar-akar itu. Dia tampak memukau dengan latar belakang hutan
rimba nan gelap pekat, sesosok anggun yang mengenakan pakaian
yang memperindah dan menonjolkan bentuk feminin tubuhnya.
Ia membuntuti Zarri dan berdiri di sampingnya. Tak sanggup
mengendalikan dirinya, tangan Sikander terjulur menyentuh rambut
Zarri Bano. Ia begitu mengagumi kelembutan helaian-helaian rambut
itu yang berayun di sela jemarinya.
Zarri Bano terpaku saat dirasakannya jemari Sikander menyusuri
lehernya dari belakang dan menyentuh kulit kepalanya. Dia
mengingat dengan perasaan aneh aksi serupa yang dilakukannya pada
malam sebelumnya. "Inilah yang aku lakukan padanya! Bagaimana aku
bisa melakukannya?" jeritnya dalam hati. Dia merasa gemetar oleh
rasa malu dan senang.
"Kau memiliki rambut yang sangat indah, Zarri Bano. Biarkan
rambutmu panjang hingga ke pinggangmu," bisik Sikander seraya
sedikit membungkukkan badannya ke dekat kepala Zarri.
"Maksudmu, seperti sebelumnya? Ketika kau pertama kali melihatku
dengan pakaian ini lima tahun lalu, Sikander?" suara Zarri Bano
terdengar lemah. "Rambutku bisa saja tumbuh, tetapi mengharapkan
hal lain untuk kembali seperti dulu adalah tidak mungkin."
"Betulkah?" tanya Sikander seraya menegakkan tubuhnya. "Tetapi
aku sedang memandanginya, dan aku berpikir dan berharap bahwa
aku sudah menemukan perempuan yang pernah hilang dari hidupku."
"Kalau begitu, aku mohon maaf telah memberimu angan semu,
Sikander Sahib. Kau benar-benar sedang mengejar pelangi! Apa yang
kau saksikan di depanmu sangat menyesatkanmu. Aku mungkin
tampak sama, tetapi lihatlah ke dalam sukmaku, dan kau akan
temukan aku bukan perempuan yang sedang kau cari. Aku sudah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berubah terlalu banyak, Sikander. Sangat tidak mungkin


mewujudkan mimpi-mimpi menjadi sebuah kenyataan."
"Aku tidak sependapat denganmu, Zarri Bano!" tanpa disadari
Sikander, jemarinya menarik rambut Zarri dengan agak kasar,
memaksanya untuk mendongak ke arahnya lagi. "Mimpi sering sekali
bisa diwujudkan, dengan upaya tentunya. Halangan-halangan
pribadilah yang mencegah kita mewujudkannya. Dalam hal ini, dirimu
sendiri sudah
menjadi halangan terbesar. Dulu ayahmu." Sikander menghentikan
kalimatnya tiba-tiba. "Aku tidak pernah bisa memaafkannya atas apa
yang dilakukannya padamu dan pada kita."
"Aku sudah memaafkannya sejak lama. Tahukah kau, Sikander,
bahwa ayahku cemburu padamu-sangat cemburu, kenyataannya.
Ibuku baru-baru ini memberitahuku betapa ia merasa terancam
olehmu dan memandangmu sebagai saingannya untuk mendapatkan
kasih sayangku."
"Kau tidak perlu mengatakannya padaku. Aku sudah mencurigai hal
itu sejak lama. Ia membenciku, Zarri Bano. Apa lagi menurutmu
alasannya mencegah pernikahan kita dan memaksamu menjadi
seorang Perempuan Suci? Yang tidak kumengerti adalah, apa yang
dipikirnya akan kulakukan padamu? Lagi pula, kau masih putrinya dan
akan selalu menjadi putrinya selamanya."
"Ia terlalu mencintaiku, Sikander. Ia takut kau lambat laun akan
menggantikan tempatnya dalam mendapatkan kasih sayangku-itu
adalah ketakutan terbesarnya. Ia juga berpikir bahwa kau memiliki
kekuatan untuk menyakitiku secara emosional."
"Ia berhasil membuatmu hanya menjadi miliknya, bukan? Ia
memilikimu di rumah yang ada menara gadingnya sehingga tidak ada
laki-laki mana pun yang bisa mendekatimu. Aku tidak akan pernah
memaafkannya, Zarri Bano, tidak peduli apa pun yang kau katakan.
Ia mengubah semua hal dalam hidup kita." Zarri bisa merasakan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kemarahan bergetar hebat dalam diri Sikander, lewat sentuhan


jemarinya. Jemari Sikander mencengkeram rambutnya dan
membuatnya merasa sakit.
"Kau harus ingat Sikander, andai Jafar tidak tewas, ayahku tidak
bisa mencegah kita menikah. Ini memang sudah ditakdirkan terjadi.
Itu sudah tertulis dalam suratan kita, Sikander. Kau harus
memercayainya, itu saja." Dia membujuknya dengan tulus.
"Apa pun yang kau katakan, Zarri Bano, kenyataannya tetap saja,
bahwa aku tidak bisa memaafkannya. Sebagai istriku, aku tidak ingin
ada kaitan apa pun dengan warisanmu, tanahmu. Semua itu haram
bagiku." Mata Sikander menyorot tajam penuh kemarahan ke arah
Zarri Bano.
"Semua itu bukan milikku ataupun milikmu, Sikander. Warisan itu
milik Haris. Aku juga tidak menyukainya. Kenyataannya aku sudah
menjual sebagian dari tanah itu untuk membangun madrasah-
madrasah dan membayar biaya operasionalnya." Zarri merasa kesal
sekarang.
"Anakku tidak ada kaitannya dengan warisanmu, Zarri Bano!" desis,
Sikander. Ia menarik tangannya dari rambut istrinya dan menjauh.
Zarri Bano merasakan sentakan fisik saat Sikander menarik
tangannya dari kepalanya. Dia menginginkan tangan suaminya itu
kembali menyelusuri rambutnya, menginginkannya tetap memberikan
kehangatan fisik dan ikatan mental yang baru saja mereka rasakan.
"Baiklah! Jika tidak mengizinkan Harismu mewarisinya, kau tidak
dapat menghentikan 'putraku' melakukannya!" Dia mengejutkan
Sikander, sebelum menyadari apa yang sedang dikatakannya. "Tanah
itu sangat penting bagi keluargaku. Aku harus mempertahankannya
sebagai kenangan atas ayahku."
Sebuah keheningan yang ganjil memak di tengah rimba itu.
"Putramu yang mana?" tanya Sikander perlahan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Zarri Bano bisa merasakan napasnya terganjal di leher, saat


rambutnya terjatuh ke wajahnya bak sehelai gorden berat. Dia
menundukkan kepalanya semakin dalam, menyembunyikan wajahnya
dari Sikander lewat tirai rambutnya dan memeluk kakinya sampai ke
dagunya.
"Anak laki-laki yang mungkin nanti kumiliki, Sikander," gumamnya,
begitu pelan sehingga Sikander harus membungkuk mendekat ke
kepala istrinya untuk bisa mendengar suaranya.
Sikander menegakkan tubuhnya. Wajahnya mengembangkan satu
senyum dan matanya bersinar mengalahkan sang surya. Ia
melemparkan pandangan ke sekelilingnya, segalanya baru, dan bunga-
bunga anggrek keluar dari bonggol-bonggol pohon tempat Zarri Bano
duduk. Bunga-bunga itu sedikit di atas kepala Zarri sehingga
terlihat bagai mahkota permata. Tubuh Sikander terasa terangkat
ringan karena sukacita. Dunia tiba-tiba saja menjadi sebuah tempat
yang gilang-gemilang bagi Sikander.
Dengan jantung berdegup kencang, Zarri Bano mendongakkan
kepalanya, menanti tanggapan suaminya. Matanya bertabrakan
dengan sorot mata lembut Sikander, dan Zarri merasa begitu rapuh
di bawah sorot mata yang sedang memandanginya lekat-lekat. Dia
sudah tidak terkunci lagi bagi Sikander.
"Jika demikian, aku tidak dapat mencegah putramu, maksudku, anak
lelaki kita, untuk mewarisi tanah itu." Bisikan suaranya yang sedikit
serak terdengar hangat dan mengandung tawa.
"Aku senang, Sikander Sahib," jawab Zarri Bano malu-malu, merasa
bahagia melihat cinta di mata Sikander, suaminya.
Sikander memetik setangkai bunga anggrek terindah dari pohon itu
dan menyelipkannya ke rambut Zarri dengan lembut.
"Aku sangat mencintaimu, Zarri Bano," ujarnya lirih.

68.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

MATA ZARRI Bano tertuju pada seekor kupu-kupu Raja Brook yang
terbang melayang dan hinggap di atas seonggok semak kecil di
depannya. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya dan juga apa
yang dirasakannya. Dia takut bersuara. Takut merasa.
Sambil melihat ke arah kepala Zarri yang tertunduk, Sikander
menunggu. Lalu, "Zarri Bano, apakah kau pernah mencintaiku?"
tanyanya, memecahkan keheningan memilukan yang menyelimuti
mereka. "Aku sudah menelanjangi jiwaku di hadapanmu, tetapi aku
tidak tahu apakah aku sempat menangkap hati perempuan yang
membiusku lewat sebuah pandangan di mela dahulu. Kau memang
sepakat untuk menikah denganku pada akhirnya-tetapi aku tidak
tahu atas dasar apa kau menyepakatinya. Katakan padaku! Lihatlah
mataku, Zarri Bano!" desak Sikander dengan suara yang bergetar
karena luka dan rindu.
Akhirnya, Zarri Bano memalingkan matanya dari kupu-kupu hijau dan
biru yang besar itu dan menatap nanar Sikander, membiarkannya
melihat isi batinnya yang sedang bergelut dengan kekuatan-kekuatan
menyakitkan dalam dirinya.
"Kau bertanya apakah aku pernah mencintaimu, Sikander?" ujarnya
dengan suara bergetar. "Aku sudah mati untukmu, Sikander, ribuan
kali. Kau memusnahkanku! Di hari aku mengetahui bahwa kau akan
menikahi adikku, aku meratap dan memohon pada Allah Yang
Mahakuasa untuk membantuku! Untuk menghilangkan dari dalam
diriku kau dan rasa sakit yang kau tambatkan. Kau adalah ular
berbisa yang sudah memangsa kepolosanku. Sementara aku duduk di
atas sajadah memohon pada Allah agar mencekik dan mengubur
perempuan yang, meski ditutup rapat oleh jubah pengabdiannya,
masih saja mencintaimu dengan sepenuh hati. Masih saja
mendambamu! Aku harus membunuh perempuan yang berdarah-
darah untukmu itu. Jika tidak, aku akan binasa. Allah Yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Mahakuasa, yang begitu murah hati, mendengar doaku-doa-doa


seorang pendosa. Di hari kau menikah, aku bersumpah pada diriku
sendiri bahwa Zarri Bano tidak akan pernah mati ataupun menangis
lagi untuk laki-laki mana pun. Di saat itulah aku menjadi seorang
Perempuan Suci yang sesungguhnya. Allah telah membasuh apiku
untukmu, seolah-olah diriku seutuhnya terbasuh oleh air suci
zamzam, air dari Makkah-aku menjadi benar-benar murni."
Dengan terbuka lebarnya semua pintu gerbang jiwanya dan tidak ada
lagi yang tersisa untuk disembunyikan, tidak ada lagi tempat
untuknya bersembunyi dari Sikander.
"Sebelum Jafar tewas," lanjutnya, "aku benar-benar memujamu. Kau
adalah laki-laki yang kudambakan. Laki-laki asing tampan yang
kutemui di mela, yang masuk begitu saja ke dalam duniaku, dan
dengan satu sorotan tajam matanya, berhasil merampok hatiku.
Laki-laki yang merampas kepolosanku, membenamkanku ke dalam
lautan rinduku padamu. Bagaikan Sikander, sang Iskandar Agung,
Raja Yunani Kuno, itulah namamu, kau menaklukkanku dan aku pun
tiada berdaya selain menjadi korban penaklukanmu dan terus
mengikutimu hingga ke ujung dunia. Kau mengubahku menjadi
seorang perempuan penuh gairah, di luar pemahaman dan kendali
diriku.
"Lalu, seperti yang sudah kau ketahui, nasib bersekongkol melawan
kita. Keadaan memaksaku untuk menampik dirimu." Suara Zarri Bano
melemah berbentuk kepedihan. "Kau pikir aku kejam, tetapi kau
tidak akan pernah tahu betapa sulitnya mengorbankan dirimu! Tidak
juga akan kau ketahui kepedihan yang menderaku ketika aku
memalingkan diriku darimu dan membiarkanmu berlalu dari
kehidupanku. Aku menukarmu, cintaku, dan keperempuananku dengan
tugas dari orangtuaku. Aku merana dan menangisimu selama
berbulan-bulan, Sikander.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Dengan getir, hari itu di halaman belakang rumahku, kau bersumpah


padaku akan membalas dendam. Nah, kau sudah melakukannya ketika
kau menikahi Ruby!" Zarri Bano terdiam. Air mata mengucur deras
dari sepasang matanya. Dia tidak mampu melupakan apa yang terjadi
malam itu. "Mengapa kau menikahi Ruby, Sikander? Apakah itu untuk
menghukumku? Karena memang itu yang kurasakan, kau tidak akan
menemukan senjata yang lebih baik dari itu. Itu adalah sebuah
hantaman yang sangat fatal bagiku. Aku kembali mati untukmu,
Sikander. Aku tidak akan pernah melakukannya lagi!" Zarri Bano
terisak pilu.
Sambil duduk di sampingnya di bonggol pohon itu, Sikander perlahan
menolehkan wajah Zarri ke arahnya menggunakan ujung jarinya.
"Aku tidak pernah bermaksud menghukummu," bisiknya. "Kau harus
memercayaiku, Zarri Bano. Allah menjadi saksiku, aku tidak pernah
mampu melakukan itu padamu. Kau lihat, itu sama saja untukku.
Tidak ada seorang perempuan pun yang mampu menyalakan apiku
seperti yang kau lakukan. Dan ketika kau berkata tidak akan
menikah denganku, aku merasa sekarat-aku merasa sangat
dikhianati. Kupikir kau mencintaiku hingga aku tidak bisa mengerti
mengapa kau mampu berpaling dariku. Aku merasa sangat pedih saat
itu dan balas dendam sering terlintas dalam benakku. Pernikahan
antara aku dan Ruby, entah bagaimana, tidak dilakukan untuk
menghukummu. Meskipun itu adalah gagasan ibuku, jika aku harus
jujur pada diriku sendiri, di dalam benakku aku hanya ingin
berdekatan denganmu. Jika aku tidak bisa mendapatkanmu,
setidaknya aku bisa menjadi bagian dari duniamu. Tetapi, Zarri Bano,
semua itu menghantam diriku sendiri.
"Ketika kau sungguh-sungguh menjadi seorang Perempuan Suci, aku,
sebaliknya, merasa ditinggalkan olehmu dan terbakar di neraka. Aku
masih saja mendamba dan menginginkanmu saat aku menikah dengan
adikmu. Bisakah kau bayangkan neraka yang kualami, Zarri Bano-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menikahi seseorang padahal kau masih berhasrat pada orang lain?"


Zarri Bano menatap mata Sikander berganti warna dengan
kedalaman perasaannya, betapa kata-katanya sulit untuk
diungkapkan.
"Sementara aku benar-benar mencintai istriku, adikmu, aku juga
tidak pernah bisa melupakanmu, Zarri Bano. Kau selalu ada di sana.
Aku mencoba sekuat tenaga menjadi seorang suami yang baik untuk
Ruby, tetapi sering sekali dia seakan tahu bahwa sebagian dari
diriku akan selamanya terkunci untukmu. Beberapa kali saat malam
tiba, di atas ranjangku, aku merana mengatasi perasaan itu."
Sikander terdiam dan berdiri. Kedua tangannya dimasukkan ke
dalam saku celananya. Ia melemparkan pandangan ke sekelilingnya,
pada indahnya hutan rimba. Semuanya tampak begitu hening. Seolah-
olah semua binatang liar dan burung-burung sudah berhenti
bersuara dan kini mendengarkan mereka berdua, turut menyimak
kisah mereka.
"Hukumanku, Zarri Bano," lanjutnya, menoleh ke arah Zarri Bano
dengan wajah merana, "adalah mencintai dua perempuan-dua kakak
beradik. Menyaksikanmu bersama orang Mesir berjanggut di Mina,
membuat semuanya tampak jelas bagiku, bahwa masa lalu belum
terkubur, seperti yang kau ingin kami percayai. Perasaanku yang
meledak-ledak untukmu selalu berkilau dari balik permukaan. Aku
tidak mampu menahan diri melihat laki-laki itu berdiri begitu dekat
denganmu meskipun kau menganggapnya sebagai seorang abang.
Kecemburuanku mendorongku mengeluarkan kebodohan diriku.
"Zarri Bano, aku harus mengetahuinya. Aku masih saja didera pikiran
itu: apakah laki-laki itu sempat berarti sesuatu bagimu? Aku masih
terbayang kalian berdua, berdiri dan berbincang-bincang sedemikian
intim. Ia tidak berhak memandangimu seperti itu, Zarri Bano! Tidak
ada seorang laki-laki pun yang berhak-kecuali aku," ia mengakhiri
kalimatnya dengan penuh gejolak.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kau tidak adil pada kami, Sikander," balas Zarri Bano dengan nada
sedih. "Ia sudah menikah sekarang. Ia menikahi Selima begitu ia
kembali ke Mesir. Mungkinkah kita bisa mengunjungi mereka suatu
saat?"
"Mungkin," tukas Sikander. Ia tahu bahwa hal itu adalah hal terakhir
yang ingin dilakukannya. Ia tidak akan pernah bisa menahan diri
memikirkan laki-laki mana pun menginginkan Zarri Banonya seperti
dirinya.
"Tidak ada laki-laki yang berarti untukku, tidak dia, tidak juga kau,
Sikander," jelas Zarri Bano.
"Dan sekarang?" desaknya, setelah hening beberapa saat dan dengan
suaranya yang tersengal. Sikander ketakutan mendengar jawaban
Zarri.
Mata Zarri Bano mengelana jauh dari Sikander. "Maafkan aku,
Sikander. Aku begitu takut! Takut padamu-takut akan apa yang kau
bangkitkan dalam diriku. Aku juga takut pada diriku sendiri, pada
perempuan yang terkubur di dalam diriku. Jangan memintaku untuk
jatuh cinta padamu lagi, Sikander. Aku tidak mampu menanganinya.
Aku sudah menderita terlalu berat...," dia mendongak memandang
suaminya, "... bahwa aku sungguh-sungguh percaya kalau aku secara
emosional sekarang sudah hancur. Aku tidak tahu apakah aku mampu
membuat lompatan besar yang kau mintakan padaku itu." Matanya
bercahaya bak permata, sekali lagi air matanya menggenang.
Hati Sikander terlonjak mendengar luka hati istrinya dan
menginginkan pemahaman. Sambil menggenggam tangan Zarri Bano
dan mendekapnya di dadanya, ia berkata, "Pengantinku yang cantik,
Perempuan Suciku." Suaranya yang tulus menggapai Zarri Bano. "Kau
tidak hancur secara emosional. Tidak ada lagi yang harus ditakutkan,
Sayangku. Kau tidak akan menderita bersamaku, kau juga tidak akan
mati lagi untukku. Tidak ada seorang pun yang pantas begitu. Dengan
keagungan Allah, aku akan selalu mendampingimu, selalu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku tidak memintamu melakukan lompatan besar, Zarri Bano. Yang


kuminta darimu hanyalah agar kau mengizinkanku memasuki hatimu
sekali lagi. Beri aku ruang di sana, tolonglah-sekecil apa pun ruang
itu, Sayang. Jangan memerangiku atau perasaan-perasaanmu sendiri.
Runtuhkan benteng pembatas yang kau ciptakan! Kita selalu memiliki
sesuatu yang istimewa-kau tahu itu. Kau bisa duduk di atas sajadah
sepanjang hidupmu, tetapi kau akan tahu bahwa di dalam hatimu
tidak akan pernah berakhir apa yang terjadi di antara kita. Tidak
akan pernah!
"Biarkanlah perempuan penuh gairah itu hidup kembali. Tidak ada
yang harus ditakutkan, Zarri Bano. Kita tidak sedang melakukan
dosa atau kejahatan. Aku berjanji padamu, kau akan selalu menjadi
seorang Perempuan Suci. Kau bisa terus menjalani kehidupanmu
sebagaimana yang kau pilih. Kau bisa menjalankan madrasahmu,
menghadiri konvensi-konvensi, menyelenggarakan seminar-apa pun
yang kau inginkan. Aku tidak akan menghentikanmu atau menjadi
musuh bagi Shahzadi Ibadat. Aku tidak akan membuatmu
melepaskan identitas keagamaanmu jika itu yang kau takutkan. Aku
menghormati dan menerimamu apa adanya. Kenyataannya, aku
merasa terhormat mendapatkan seorang perempuan pakeeza
sekaligus seorang ulama sebagai seorang istri. Janganlah kau
melihatku sebagai sebuah ancaman bagimu, tetapi pandanglah aku
sebagai sahabat.
"Zarri Bano, ada satu hubungan unik antara seorang suami dan
istrinya, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Yang
kuminta darimu hanyalah, tolong libatkan aku ke dalam hidupmu, dan
biarkan dirimu menemukan kebahagiaan menjadi perempuan dan
menjadi ibu."
Matanya menyapu wajah Zarri, mencoba mengukur perasaan, pikiran,
dan ekspresinya. "Zarri Bano, jangan biarkan benakmu berkata tidak
saat hati dan tubuhmu berkata ya. Tolong jangan palingkan dirimu

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

dari apa yang selalu ada di antara kita. Kau tak bisa melakukannya!
Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya! Jangan perangi apa
yang kita berdua tidak sanggup lakukan. Dulu kau membiarkan
ayahmu mengambil keputusan atas dirimu. Kali ini, kau yang harus
memutuskan, Zarri Bano."
Sikander terdiam. Wajahnya memucat begitu ia sampai di titik
persimpangan dalam benak dan dalam hidupnya. Hatinya luruh karena
ia tahu dengan jelas apa yang harus dilakukannya. Ia tidak memiliki
pilihan lain-taruhannya sangat tinggi, tetapi ia ingin melakukannya.
Karena ia tidak punya jalan lain. "Kau harus memutuskan," lanjutnya,
"apakah kita akan terus melanjutkan pernikahan ini, atau...."
"Atau?" desak Zarri Bano sambil menahan napasnya.
"Atau...." Dia tidak akan pernah tahu betapa riskannya Sikander
mengatakan kata-kata ini. "Atau aku melepasmu pergi! Kau
mengancam akan keluar dari pernikahan ini setelah satu tahun. Aku
membebaskanmu untuk keluar dari pernikahan ini sekarang juga. Kau
menikahiku di bawah tekanan, demi Haris. Kau hanya boleh tetap
dalam pernikahan ini atas kehendakmu sendiri. Jika
menginginkannya, kau bisa kembali sepenuhnya ke dalam kehidupan
ibadahmu, jika itu semua lebih berarti bagimu daripada pernikahan
kita atau daripada diriku. Karena kau tahu, aku tidak akan bisa
mendapatkan jalan lain, Zarri Bano."
Zarri Bano menatap nanar wajah tegang Sikander, tak bisa
memercayai apa yang didengarnya. Ia membebaskan dirinya pergi!
Sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, dia meletakkan
kepalanya di atas kedua lututnya yang tertekuk. Lalu dia
menyilangkan tangannya di depannya, menutupi mata dan wajahnya
dari Sikander.
Aku membenamkannya! Sikander memarahi dirinya sendiri, sambil
menunduk memandangi kepala yang tertunduk itu. Ia lalu
memutuskan untuk melangkah menjauh.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Mendengar langkah kaki Sikander menjauh di atas tumbuhan semak


di tanah lapang itu, kepala Zarri Bano tersentak bangkit. Gelombang
kerinduan melandanya. Dia tidak mampu melakukannya. Dia tidak
bisa membiarkannya keluar dari hidupnya untuk kedua kalinya.
"Jangan berani-berani kau menjauh dariku, Sikander!" pekiknya.
Kedua tungkai kakinya terlonjak.
"Aku memberimu ruang yang sangat kau butuhkan dan kau inginkan!"
Zarri Bano mengatakan itu ke arah Sikander, lewat bahunya, tetapi
ia tetap saja meneruskan langkahnya.
Dengan langkah ringan, Zarri Bano sampai ke sisi Sikander.
Zarri menyentuh lengan Sikander, lalu dengan ragu menyelipkan
tangannya di antara lengannya. Sambil menatapnya lekat-lekat, Zarri
membaca wajah suaminya itu. Tidak ada seulas senyum pun, hanya
mimik penerimaan yang lembut terhadapnya. Tatapan hampa itu
masih ada di dalam mata Sikander. Zarri Bano tidak tahan lagi.
"Kau menang, Sikander," sahutnya. Dia membiarkan kedua matanya
mengatakan semuanya. Sorot mata Zarri Bano itu berbisik padanya,
"Aku membutuhkanmu! Aku menginginkanmu! Aku mencintaimu!"
"Tidak, Zarri Bano, kita yang menang. Tidak ada yang kalah," goda
Sikander lembut.
Mereka berdiri berdampingan di tepi tanah lapang, memandangi
hamparan hijau pucuk pohon saat hutan rimba tiba-tiba bagaikan
terjatuh dan terhampar menjadi lembah hijau menggairahkan di
bawah mereka. Seolah-olah selimut hijau itu tertutupi permata dari
warna-warni cemerlang bebungaan, burung-burung, dan kupu-kupu.
Keduanya terdiam terpana, merasakan keagungan dunia ciptaan
Allah.
"Apa yang ingin kau lakukan selanjutnya?" tanya Sikander, setelah
beberapa detik hening yang penuh makna itu. "Taksi sudah
menunggu. Bisakah kita melanjutkan perjalanan kita sesuai rencana,
atau mari kita pulang ke hotel?"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Apa pun yang kau inginkan," jawab Zarri Bano lirih sambil
mendongak menatap Sikander dengan segenap isi hati terpancar di
kedua bola matanya itu.
"Tidak, Zarri Bano! Kau yang memutuskan. Bola itu ada di
lapanganmu, seperti seharusnya," ujarnya pada sang istri, dengan
wajah yang begitu takzim.
"Kalau begitu," ujar Zarri Bano, matanya berkilauan oleh kejujuran
dan keterbukaan, Zarri Bano akhirnya berdamai dengan dirinya
sendiri. "Aku lebih suka kembali ke hotel."
Tidak ada semburat kemenangan yang disembunyikan di mata
Sikander yang bercahaya oleh rasa bahagia mendengar jawaban
istrinya. Ia memandangi rambut Zarri Bano yang ikal mayang, di
mana jemarinya menikmati mengelus-elus dan mencengkeram
kelembutannya. "Aku akan mengambil burqa-mu. Kalau tidak, si
tukang sadap karet Melayu itu akan bertanya-tanya apa yang sudah
terjadi di dalam hutan rimba ini," guraunya.
Zarri Bano tertawa. Suara tawa yang alami dan jernih mengalun di
udara di sekitar mereka.
Sikander berpaling ke arah pohon untuk mengambil burqa milik
Zarri. "Lagi pula," lanjutnya nakal, "kita tidak ingin mengejutkannya,
bukan?"
Dalam keheningan yang damai, pasangan itu menyelusuri kembali
tapak-tapak mereka melintasi hutan dan kebun karet, lalu menuruni
bukit kembali ke taksi mereka yang sudah menunggu.
Dalam perjalanan pulang, Zarri Bano kembali melayangkan
pandangannya menikmati panorama yang luar biasa itu, pemandangan
yang diberkahi dengan keindahan alami. Dia mendekatkan tubuhnya
ke arah Sikander dan meletakkan tangannya di atas tangan laki-laki
itu. Jemari Sikander mencengkeram kuat, wajahnya menyeruakkan
sebuah senyuman yang hanya dipersembahkan untuk istrinya itu.
Zarri Bano membalas senyumannya. Tidak ada lagi yang harus

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

disembunyikan. Tidak ada lagi yang harus ditahan. Ia sudah


membuka semua pintu menuju hatinya dan juga memegang kuat
setiap kuncinya-kunci pada segalanya.
"Lusa kita akan ke Singapura untuk bulan madu sebagaimana yang
kujanjikan padamu lima tahun yang lalu, Zarri Bano," bisik Sikander
lembut di telinga Zarri Bano.
Si penyadap karet tua keturunan Melayu itu berdiri di atas bukit,
menggoresi kulit batang karet untuk mengeluarkan cairan getah
karet demi menyenangkan para turis. Ia mengamati lewat ujung
matanya saat dilihatnya taksi itu berlalu, dengan perempuan
berjubah hitam di dalamnya.

Istilah Khusus

Aba Jan, panggilan takzim kepada ayah; aba berarti ayah, sedangkan
jan ditambahkan sebagai penanda ketakziman. Badmash, niat buruk,
sering digunakan untuk menggambarkan laki-laki yang mempunyai
niat buruk terhadap
perempuan. Baji Jan, kakak perempuan.
Burqa, jilbab panjang yang menutupi seluruh tubuh; ada yang
menutupi muka, ada yang tidak. Zarri Bano
menggunakannya tanpa tutup muka. Buzurg, panggilan takzim kepada
lelaki yang lebih tua.
Chador, sal yang lebar, terbuat dari pelbagai bahan; yang paling
sering dipakai adalah yang terbuat dari bahan linen,
katun, dan wol. Digunakan perempuan untuk menutup kepala hingga
ke bahu. Chaie, minuman yang terbuat dari campuran teh dan susu.
Chapatti, roti rata-pipih khas India.
Chaprassi, tangan kanan. Seorang pegawai yang menjaga tanah dan
kekayaan majikannya. Charail, tukang tenung (istilah yang
berkonotasi merendahkan).

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Charpoy, tempat tidur yang mudah dibawa-bawa, dapat digunakan di


sembarang tempat, misalnya di halaman atau di
atap rumah rata yang terbuat dari kayu. Chaudharani, nyonya tanah
(pasangan tuan tanah); sebutan untuk perempuan yang berkedudukan
sosial tinggi. Darbar, makam Muslim, dengan bentuk serupa masjid.
Dupatta, tutup kepala. Geraloo, urusan-urusan rumah tangga.
Gher merd, bukan muhrim; orang luar yang tidak mempunyai ikatan
darah. Gher, orang asing, bukan kerabat, orang luar. Ghunagar,
pendosa.
Gushty, pelacur. Istilah yang digunakan untuk penghinaan dan
pelecehan.
Halwa puri, chana, makanan terkenal dan istimewa, sering dimakan
pada saat sarapan {halwa adalah makanan berasa manis, terbuat dari
semolina; puri adalah kue sejenis serabi; chana adalah masakan kari
yang terbuat dari kacang polong putih).
Harridan, perempuan tukang tenung; sebutan untuk perempuan
bejat. Hawali, rumah besar di pedesaan; semacam vila besar.
Hijab, pakaian yang dikenakan perempuan Muslim untuk menjaga
kesopanan. Hookah, pipa rokok tradisional; sudah jarang dijumpai,
dan kini hanya ada di pedesaan. Hudah Hafiz, "semoga Allah
melindungi"; hudah bermakna Tuhan. Izzat, kehormatan. Kala Jadoo,
sihir jahat.
Kerala ghost, masakan kari khas Pakistan yang terkenal; terbuat
dari daging dan bitter curd. Khoti, vila besar. Kismet, ramalan.
lengha, baju pesta yang panjang dan bergelombang (biasanya
terbuat dari sutra atau sifon). Majnoon, lelaki penggial; istilah untuk
lelaki yang tergila-gila dengan seorang perempuan. Malika, ratu.
Matrpilau, makanan yang terbuat dari nasi dan kacang polong.
Mela, perayaan, sejenis pesta rakyat.
Meria, satuan yang dipakai untuk mengukur tanah.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Munshi, tangan kanan tuan tanah, yang mengelola bisnis dan tanah
tuannya.
Nafi, shalat sunnah (jamak: shalat nawafi); biasanya dilakukan
sebagai tanda syukur atas kabar gembira yang diterima seseorang.
Nathu pethu, lelaki pada umumnya (dengan nada yang agak
merendahkan). Paisa, koin; uang recehan terkecil. Pakeeza, murni.
Paratha, chapatti goreng, dibuat dari mentega. Pathasay, gula
berbentuk bulat, biasanya ada di pedesaan. Perandah, sejenis wig;
untuk memanjangkan rambut perempuan. Phutley, boneka yang
dimainkan dalam pertunjukan drama. Pingra, sangkar burung.
Ressmeh, kebiasaan atau ritual.
Rishta, orang yang menggandeng tangan mempelai perempuan dalam
acara pernikahan. Sahib, istilah untuk lelaki, terutama dari kalangan
sosial yang tinggi. Sath sumundarphar, tujuan lautan.
Segan, persembahan bagi mempelai perempuan/lelaki; sering berupa
uang. Shabz tea, teh khas Pakistan, berwarna pink.
Shahzadi Ibadat, perempuan suci, zahidah; perempuan yang
mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Tuhan;
semacam biarawati. Istilah ini sendiri tidak dikenal di masyarakat
yang sebenarnya. Sengaja saya ciptakan sendiri istilah ini untuk
menggambarkan upaya si ayah untuk memingit putrinya.
Shalwar kameze, pakaian resmi Pakistan, terdiri dari tunik panjang
dan shalwar, dengan celana baggy.
Shan, penghormatan personal, kedudukan sosial, dan kehormatan.
Skoon, damai, tenang.
Tabla, drum bulat khas alat musik India/Pakistan.
Takkia, bantal besar, yang biasa digunakan di tempat tidur atau di
lantai.
Tandoor, oven besar terbuat dari tanah, biasa digunakan untuk
membuat chapatti di pedesaan.
Thola, ukuran gram emas di Pakistan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Topee, topi.
Zemindar, pemilik tanah, tuan tanah.

Buku Sumbangan dari: GY. Trims, Sob.


Epub: clickers
http://facebook.com/epub.lover

Edit & Convert Jar: inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Anda mungkin juga menyukai