mobi
Prolog
Satu
Marseille September 1997
Marseille adalah tempat yang indah untuk mati dan sudah seperti itu
selama berabad-abad. Pelabuhan kapalnya yang legendaris memiliki
1 Semacam kari yang setidaknya terbuat dari dua jenis ikan, biasanya
lima atau enam., ditambah bawang dan sayuran,
Roger-Bernard Gelis bukanlah penduduk asli Marseil-le. Ia lahir dan
besar di kaki bukit Pyrenees, dalam suatu komunitas yang berbangga
bisa bertahan sebagai bukti sejarah. Abad 20 belum merusak
kebudayaannya yang mengagungkan kekuatan cinta dan perdamaian
melebihi segala urusan duniawi. Namun, ia tetap lelaki paruh baya yang
tidak sepenuhnya mengabaikan urusan duniawi. Bagaimanapun juga,
dialah pemimpin kaumnya. Dan meski komunitasnya sama-sama bernaung
dalam suatu kedamaian spiritual, tak urung mereka memiliki musuh.
Roger-Bernard gemar berkata bahwa cahaya terindah mengundang
kegelapan terkelam.
Ia lelaki bertubuh raksasa. Sosoknya membuat orang orang yang belum
mengenalnya merasa terancam. Mereka yang belum mengenal
kelembutan jiwa Roger-Bernard barangkali akan keliru karena
menyangka lelaki ini patut ditakuti. Namun belakangan terbukti bahwa
orang-orang yang menyerangnya bukanlah orang-orang yang tidak
mengenalnya.
Seharusnya ia tahu peristiwa itu akan terjadi. Seharusnya ia sudah
mengira bahwa ia tak akan bisa memiliki sesuatu yang tak ternilai
harganya dengan begitu bebas. Bukankah hampir sejuta nenek
moyangnya mati demi harta karun yang sama? Tapi tembakan itu datang
dari belakang, memecahkan kepalanya, bahkan sebelum ia tahu
musuhnya sudah dekat.
Bukti forensik dari peluru terbukti tak ada gunanya bagi polisi, karena
para pembunuh tidak menuntaskan perbuatan kotornya dengan
sederhana. Kejahatan ini pasti dilakukan oleh beberapa orang. Karena
melihat ukuran dan berat tubuh korban, dibutuhkan tenaga sangat
besar untuk dapat menuntaskan tindakan
selanjutnya.
Untungnya Roger-Bernard sudah mati sebelum ritual dimulai. Jika tidak,
ia akan mendengar caci maki para pembunuhnya selama mereka
melaksanakan tugas yang mengerikan. Terutama sang pemimpin, terlihat
sangat bersemangat dengan kejadian berikutnya. Ia melafazkan mantra
kuno berisi kebencian sambil bekerja.
"Neca eos omnes. Neca eos omnes."
Memenggal kepala manusia dari posisi tubuhnya semula adalah
pekerjaan yang sangat kotor dan sulit. Diperlukan kekuatan, kegigihan,
dan alat yang sangat tajam. Para pembunuh Roger-Bernard Gelis
memiliki semua ini, dan mereka menggunakannya dengan sangat efisien.
Kota Tua di Yerusalem yang kuno dan ramai saat itu penuh dengan
bermacam aktivitas Jumat siang. Sejarah terasa kental di udara yang
tipis dan suci sementara para pemeluk agama bergegas menuju rumah-
rumah ibadah
sudah tua, rusak termakan cuaca, dan mudah luput dari penglihatan
orang yang belum mengenal wilayah ini. Maureen mengumpat pelan saat
sadar bahwa ia tersesat lagi. Ia bernaung di depan pintu sebuah toko,
berusaha menghindari sinar matahari langsung. Panas yang menyengat,
meski dengan semilir angin, mengisyaratkan bahwa musim ini
berlangsung lebih lama. Sambil berlindung di balik buku panduan, ia
melihat ke sekeliling, mencoba menentukan arah tujuannya.
"Posisi Salib Kedelapan. Pasti di sekitar sini," gumamnya dalam hati.
Lokasi ini sangat menarik bagi Maureen yang tengah meneliti sejarah
yang bertalian dengan perempuan. Setelah merujuk buku panduan, ia
kembali membaca sebuah paragraf tentang Posisi Kedelapan dari Injil.
"Banyak orang mengikutinya, termasuk perempuan perempuan yang
berduka dan menangisinya. Yesus berkata, 'Jangan tangisi aku, anak-
anak perempuan Yerusalem, menangislah untuk dirimu sendiri dan untuk
anak-anakmu.'"
Maureen dikejutkan oleh sebuah ketukan keras pada jendela di
belakangnya. Ia menengok, mengira akan melihat sang empunya
memelototkan mata dengan marah karena ia menghalangi jalan masuk ke
tokonya. Tapi yang ia lihat adalah wajah yang menatapnya dengan ceria.
Seorang lelaki Palestina berusia paruh baya yang berpakaian rapi,
membuka pintu toko barang antik itu, mengajaknya masuk. Ia berbicara
dalam bahasa Inggris yang baik, meski beraksen.
"Mari, silakan masuk. Selamat datang, saya Mah-moud. Apakah Anda
tersesat?"
Maureen mengibaskan buku panduannya dengan loyo. "Saya sedang
mencari Posisi Kedelapan. Peta menunjukkan..."
Mahmoud mengesampingkan buku itu sambil tertawa. "Ya, ya. Posisi
Kedelapan. Yesus Bertemu Perempuan perempuan Suci Yerusalem.
Letaknya di sebelah sini, di sekitar sudut itu," tunjuknya. "Tandanya
adalah sebuah salib di bagian atas dinding batu, tapi Anda harus melihat
dengan teliti."
Mahmoud memerhatikan Maureen dengan seksama beberapa saat
sebelum melanjutkan. "Sama seperti semua yang lainnya di Yerusalem.
Anda harus teliti melihat agar Anda menemukan tempat yang Anda
cari."
Maureen mengamati gerak-gerik lelaki itu. Ia puas karena Maureen
memahami petunjuk-petunjuk yang ia berikan. Sambil tersenyum,
Mauren berterima kasih dan
berbalik akan pergi. Namun langkahnya terhenti karena sesuatu di rak
yang berdiri di dekatnya menarik perhatiannya. Toko milik Mahmoud
termasuk yang berkelas di Yerusalem. Berbagai barang antik yang
dijamin keasliannya, dijual di sana. Di antaranya lampu minyak dari
zaman Kristus dan uang logam berlambang Pontius Pilatus. Suatu kilauan
warna indah yang menembus jendela menarik perhatian Maureen.
"Itu perhiasan yang terbuat dari pecahan kaca Romawi," jelas Mahmoud
sementara Maureen mendekati rak yang memajang perhiasan perak dan
emas berhiaskan batu permata.
"Cantik sekali," jawab Maureen sambil mengangkat sebuah kalung perak.
Aneka warna menembus keluar toko saat ia menghadapkan perhiasan itu
ke cahaya, menyinari imajinasinya sebagai seorang penulis. "Kira-kira,
ada kisah apa di balik kaca ini?"
"Siapa yang tahu, benda apa ia dulunya?" Mahmud mengangkat bahu.
"Botol parfum? Toples bumbu? Pot bunga mawar atau lili?"
"Kalau dipikir-pikir, sungguh mengagumkan bahwa dua ribu tahun yang
lalu ini adalah benda sehari-hari yang terdapat di rumah seseorang.
Mengagumkan."
Setelah mengamati toko dan isinya dengan lebih cermat, Maureen
takjub dengan kualitas dan keindahan benda-benda yang dipajang. Ia
mengulurkan tangan untuk menyentuh sebuah lampu minyak keramik.
"Benarkah benda ini berumur dua ribu tahun?"
"Tentu saja. Sebagian barang dagangan saya bahkan lebih tua lagi."
Maureen menggelengkan kepala. "Bukankah barang antik seperti ini
seharusnya berada di museum?"
Mahmoud tertawa, suaranya keras dan berat. "Sayangku, seluruh
Yerusalem adalah museum. Anda tidak pernah bisa menggali halaman
rumah tanpa menemukan sesuatu yang antik. Kebanyakan benda yang
"Kita tidak bisa berasumsi bahwa kita tahu apa yang dimengerti oleh
orang-orang zaman dulu." Mahmoud mengangkat bahu. "Coba saja."
Mencium trik penjualan tengah dilancarkan, Maureen mengembalikan
cincin itu ke tangan Mahmoud. "Oh, tidak, terima kasih. Cincin itu
memang indah sekali, tapi tadi saya hanya ingin tahu. Dan saya sudah
bertekad tak akan berbelanja hari ini."
"Tidak apa-apa," kata Mahmoud, besikeras tidak mau mengambil kembali
cincin itu dari Maureen. "Karena cincin ini memang tidak dijual."
"Tidak dijual?"
"Tidak. Sudah banyak orang yang menawar. Tapi saya tidak mau
menjualnya. Jadi Anda bebas mencobanya. Sekadar iseng saja."
Barangkali karena nada bicaranya yang berkelakar, Maureen tidak
merasa terbebani. Atau mungkin juga karena ia terpikat pola kuno di
cincin yang masih misterius. Yang jelas, sesuatu membuat Maureen mau
memasangkan cincin tembaga itu ke jari manis kanannya.
Ternyata pas sekali.
Mahmoud mengangguk, kembali serius, berbisik ke dirinya sendiri,
"Seolah cincin itu memang diciptakan untukmu."
Maureen mengangkat cincin itu ke cahaya, mengamatinya di tangannya.
"Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari perhiasan ini."
"Karena memang seharusnya kau memilikinya."
Maureen mengangkat kepalanya dengan perasaan curiga, kembali
mencium trik penjualan. Mahmoud boleh jadi lebih elegan dibandingkan
pedagang jalanan. Namun ia tetap seorang pedagang. "Saya pikir tadi
Anda mengatakan cincin ini tidak dijual."
Maureen hendak melepas cincin itu. Perbuatannya itu sangat ditentang
oleh sang pemilik toko, ia mengangkat tangannya, tanda protes.
"Jangan. Saya mohon."
"Oke, oke. Sekarang kita tawar menawar, bukan? Berapa harganya?"
Mahmoud terlihat sangat tersinggung sebelum menjawab, "Anda salah
paham. Cincin itu dipercayakan pada saya, sampai saya menemukan
tangan yang pantas untuk mengenakannya.
paling banter sebatas dasar. Karena itulah pada awalnya Maureen tidak
mengerti bahwa lelaki itu sedang memanggil namanya. Ia mengulangi lagi.
"Mo-ree. Nama Anda. Mo-ree, benar?"
Maureen bingung, mencoba memastikan bahwa lelaki kecil aneh ini
benar-benar memanggil namanya dan, kalau begitu, bagaimana ia bisa
tahu. Keberadaan Maureen di Yerusalem belum lagi dua puluh empat
jam. Dan tidak ada orang selain petugas resepsionis Hotel King David
yang tahu namanya. Tapi lelaki ini tidak sabar, ia bertanya kembali.
"Mo-ree. Anda Mo-ree. Penulis. Anda menulis, benar? Moree?"
Mengangguk perlahan, Maureen menjawab. "Ya. Namaku Maureen. Tapi
bagaimana Anda bisa tahu?"
Mengabaikan pertanyaan Maureen, lelaki itu menggamit tangannya dan
menariknya untuk melintasi lantai gereja. "Tidak ada waktu, tidak ada
waktu. Mari. Kami sudah lama menunggu. Mari, mari."
Untuk seorang lelaki bertubuh kecil ia lebih pendek dibandingkan
Maureen, yang memang sudah termasuk mungil gerakannya sangat cepat.
Kaki-kaki pendek membawanya melesat melintasi bagian tengah basilika,
melewati antrean tempat para peziarah menunggu giliran diberi izin
masuk ke Posisi Kristus. Ia tetap melesat dan mendadak berhenti saat
mereka sampai di sebuah altar kecil, dekat bagian belakang gedung.
Daerah itu didomi-
nasi sebuah patung seorang perempuan seukuran asli yang menjulurkan
tangannya ke seorang lelaki dalam posisi memohon.
"Kapel Maria Magdalena. Magdalena. Anda datang untuknya, benar?
Benar?"
Maureen mengangguk dengan hati-hati, matanya menatap ke patung itu
kemudian ke plakat di bawahnya yang bertuliskan:
betapa Simon mencintai Easa dengan kekuatan dan kesetiaan yang tak
tertandingi.
Dan banyak sudah cerita, atau kabar yang sampai kepadaku, tentang
hubunganku sendiri dengan Simon-Petrus. Ada yang
menjuluki kami pesaing, musuh Mereka ingin percaya bahwa Petrus
membenciku dan kami bersaing di setiap kesempatan untuk menperoleh
perliatian Easa Ada pula yang menjuluki Petrus sebagai seorang
pembenci perempuan-tapi tuduhan ini tidak pantas ditujukan kepada
seorang pun pengikut Easa. Harap diketahui bahwa tidak ada satu pun
pengikut Easa yang pernah mengecilkan seorang perempuan atau
meremehkan nilainya dalam rencana Tuhan. Siapa pun lelaki yang
melakukannya dan mengaku Easa sebagai gurunya adalah pembohong.
Tuduhan-tuduhan terhadap Petrus tidaklah benar. Mereka yang
menyaksikan pencelaan Petrus terhadapku tidak tahu sejarah kami atau
dari mana amarahnya berasal. Tapi aku mengerti dan tidak akan pernah
menghakiminya. Melebihi segala yang lain. inilah yang diajarkan Easa
kepadaku-dan aku berharap ia ajarkan pula kepada yang lain. Jangan
menghakimi.
Dua
"Mari mulai dari awal: Marie Antoinette tidak pernah berkata, 'Biarkan
mereka makan kue,'Lucrezia Borgia tidak pernah meracuni siapa pun,
dan Mary, Ratu Skotlandia, bukan seorang pelacur berjiwa pembunuh.
Meluruskan kesalahan-kesalahan ini adalah langkah pertama kita untuk
mengembalikan wanitawanita itu ke tempat yang pantas dan terhormat
dalam sejarah tempat yang telah diambil alih oleh bergenerasi-generasi
sejarawan dengan agenda politik tertentu."
hidup seribu enam ratus tahun lalu? Tidak. Jadi mengapa cara hidup kita
di abad 21 ini mesti diatur
oleh hukum, kepercayaan, dan pemaknaan sejarah yang diputuskan pada
Era Kegelapan? Ini tidak masuk akal."
Mahasiswa itu menjawab. "Justru itu sebabnya saya berada di sini.
Untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi."
"Bagus. Kalau begitu saya mendukung Anda untuk berada di sini. Saya
hanya meminta Anda untuk tetap berpikiran terbuka. Bahkan saya ingin
kalian semua menghentikan apa pun yang sedang kalian lakukan, angkat
tangan kanan kalian, dan lafazkan sumpah berikut."
Kelompok mahasiswa malam itu berbisik-bisik lagi dan melihat ke
sekeliling ruangan, sambil tersenyum dan saling mengangkat bahu, untuk
memastikan apakah dosen mereka serius. Sang dosen, seorang penulis
terlaris dan jurnalis terhormat, berdiri di depan mereka dengan tangan
kanan diangkat dan ekspresi wajah menunggu.
"Ayo," katanya besikeras. "Tangan di atas, dan ikuti ucapan saya."
Seluruh isi kelas mengikuti, mereka mengangkat tangan dan menunggu
aba-aba.
"Saya setulusnya berjanji, sebagai seorang pelajar sejarah sejati..."
Maureen berhenti sejenak sementara para pelajar mengikuti dengan
patuh, "untuk mengingat sepanjang waktu bahwa semua kata-kata yang
tertulis di kertas adalah tulisan manusia."
Ia berhenti sekali lagi sementara para mahasiswa mengulangi ucapannya
dengan patuh. "Dan, karena semua manusia dikuasai oleh emosi,
pendapat, dan ikatan politik serta agama, maka seluruh sejarah terdiri
dari pendapat sebagaimana juga fakta dan umumnya telah direkayasa
agar sejalan dengan ambisi pribadi atau tujuan tersembunyi sang
penulis.
"Saya setulusnya berjanji untuk tetap berpikiran terbuka setiap saya
berada di ruangan ini. Inilah semboyan kami: Sejarah bukan sesuatu
yang telah terjadi. Sejarah adalah sesuatu yang dituliskan."
Ia mengangkat sebuah buku bersampul tebal dari podium di depannya
dan menunjukkannya kepada kelas.
"Apakah kalian sudah memiliki buku ini?" Anggukan kepala dan gumaman
mengiakan menyertai pertanyaan itu. Buku di tangan Maureen adalah
buku kontroversial ciptaannya sendiri. Judulnya Her Story: A Defense
of History's Most Hated Heroins (Kisahnya: Sebuah Pembelaan
terhadap Perempuan Pahlawan yang Paling Dibenci Sepanjang Sejarah).
Inilah alasan mengapa ia mengisi penuh kelas-kelas malam dan ruangan-
ruangan kuliah setiap kali ia memutuskan untuk mengajar.
"Malam ini, kita akan mulai dengan sebuah diskusi mengenai perempuan
dalam Perjanjian Lama, leluhur leluhur perempuan dalam tradisi
Kristiani dan Yahudi. Minggu depan kita akan berpindah ke Perjanjian
Baru. Kebanyakan sesi tersebut akan kita gunakan untuk membahas
seorang perempuan Maria Magdalena. Kita akan menganalisis berbagai
sumber dan materi mengenai kehidupannya, baik sebagai seorang
perempuan maupun sebagai seorang murid Kristus. Bacalah bab-bab
yang bersangkutan dengan topik ini sebagai persiapan diskusi minggu
depan.
"Kita juga akan kedatangan seorang tamu khusus, Dr. Peter Healy.
Barangkali sebagian di antara kalian yang mengikuti program tambahan
kuliah humaniora sudah mengenalnya. Bagi kalian yang belum mendapat
kesempatan mengikuti kuliah dari doktor yang baik ini, ia juga dikenal
sebagai Bapa Healy, seorang cendekiawan
Yesuit dan pakar studi Alkitab kaliber internasional."
Pelajar yang gigih di baris depan tadi mengangkat tangan lagi, tanpa
menunggu Maureen mempersilakan untuk bertanya, "Bukankah Anda
memiliki hubungan keluarga dengan Doktor Healy?"
Maureen mengangguk. "Doktor Healy adalah sepupu saya. "Ia akan
menyampaikan perspektif Gereja tentang hubungan Maria Magdalena
dengan Kristus dan mengungkapkan bagaimana perkembangan pandangan
seputar isu ini selama dua ribu tahun," lanjut Maureen dengan perasaan
gelisah karena ingin segera kembali ke mata kuliahnya agar selesai tepat
waktu. "Akan menjadi malam yang menarik, jadi jangan sampai tidak
datang.
"Tapi malam ini, kita akan memulai dengan salah seorang di antara
sekian banyak ibu yang menjadi leluhur kita. Ketika pertama kita
bertemu Bathsheba, ia sedang 'menyucikan dirinya dari kenistaan...'"
Maureen bergegas keluar dari ruang kuliah sembari memohon maaf dan
berjanji bahwa minggu depan ia akan meluangkan waktu setelah kelas
usai. Biasanya ia menambahkan waktu sekitar setengah jam untuk
berbincang-bincang dengan sejumlah mahasiswa yang pasti tetap tinggal
dalam ruangan setelah sesi kuliah berakhir. Ia sangat menyukai saat
kebersamaan dengan murid-murid seperti ini. Malah mungkin lebih suka
dibandingkan saat ia menyampaikan kuliah itu sendiri. Karena mereka
yang tetap tinggal usai sesi, tentulah para peminat mata kuliahnya. Para
mahasiswa seperti inilah yang membuatnya terus mengajar. Ia tentunya
tidak
membutuhkan bayaran kecil yang diperoleh dengan mengajar di sekolah
malam. Maureen mengajar karena menyukai hubungan dan stimulasi yang
diperoleh ketika ia berbagi teori-teori yang diketahuinya dengan orang
lain yang antusias dan berpikiran terbuka.
Ketukan hak sepatu di jalan menciptakan irama. Maureen mempercepat
langkahnya, melewati jalan-jalan berpagar pohon di kampus utara. Ia
sangat berharap Peter belum pergi. Maureen menyesali gaya
berpakaiannya, seandainya saja ia mengenakan sepatu yang lebih cocok
untuk berlari agar sampai di kantor Peter sebelum ia pergi. Seperti
biasanya, Maureen berpakaian sangat rapi. Sama seperti terhadap
berbagai aspek kehidupannya, ia sangat berhati-hati memilih busana.
Baju resmi berpotongan sempurna karya seorang perancang itu sangat
pas di badannya yang mungil. Dan warna pepohonan yang ia kenakan
semakin menonjolkan matanya yang hijau. Sepasang sepatu tinggi
Manolo Blahnik menambah sedikit gaya pada pakaiannya yang jika tidak
terkesan konservatif, selain menambah tinggi untuk badannya yang
hanya setinggi satu setengah meter. Namun sepatu Manolo inilah yang
menjadi sumber frustrasinya. Terpikir olehnya untuk melempar saja
sepatu itu ke seberang lapangan.
setiap hari agar mendapat petunjuk apakah Maureen adalah orang yang
dipilih Tuhan untuk melakukan sebuah tugas yang berhubungan dengan
masa penderitaan, yang semakin diyakininya adalah peristiwa yang
disaksikan Maureen dalam mimpi-mimpinya. Ia jelas sangat memerlukan
bimbingan maksimal dari Sang Pencipta. Dan Gereja.
"Marie de Negre akan memilih waktu yang tepat bagi Dia Yang
Dinantikan. Perempuan yang terlahir dari domba Paschal ketika panjang
siang dan malam tiada berbeda. Perempuan yang adalah anak
kebangkitan. Perempuan yang menyandang Sangre-el akan diberikan
kunci untuk mengungkapkan Hari Gelap Tengkorak. Perempuan itu akan
menjadi sang Gembala baru dan menunjukkan Jalan kepada kita."
Lord Berenger Sinclair menapaki lantai mengilap di perpustakaannya.
Api dari tungku batu yang sangat besar memancarkan nyala keemasan
pada koleksi turun-temurun berupa buku dan dokumen yang tak ternilai
harganya. Sebuah umbul-umbul usang tergantung dalam sebuah lemari
kaca yang memanjang seukuran perapian raksasa di seberangnya.
Terlihat kain yang dulunya putih, namun kini menguning, bergambar
fieur-de-lis warna emas yang sudah pudar. Nama Jhesus-Maria
tersulam di kain kasar itu, tapi hanya dapat
dilihat oleh sedikit orang saja yang diberi kesempatan mendekati
barang antik ini.
Sinclaire mengulang nubuat itu dengan keras berkali-kali dengan aksen
Skotlandianya sehingga huruf-huruf "r" dalam kalimat terdengar jelas.
Berenger hapal isi nubuat itu kata perkata. Ia telah mempelajarinya
saat duduk di pangkuan kakeknya ketika masih kecil. Ketika itu ia tidak
mengerti artinya. Sekadar kalimat-kalimat yang ia hapal saat bermain
dengan sang kakek ketika ia menghabiskan musim panasnya di sini, di
tanah luas milik keluarganya, di Prancis.
Ia berhenti sejenak di depan sebuah gambar silsilah keturunan. Sebuah
pohon silsilah generasi-generasi selama ratusan tahun yang menutupi
dinding luas mulai dari lantai hingga langit-langit. Sebuah gambar sangat
besar yang menampilkan sejarah keturunan Berenger yang flamboyan.
Keturunan keluarga Sinclair termasuk yang tertua di Eropa. Awalnya
dipanggil Saint Clair, keluarga ini diusir dari Amerika lalu mengungsi ke
Skotlandia pada abad ke-13. Sejak itulah nama keluarga itu berubah
menjadi seperti sekarang. Para leluhur Berenger termasuk yang paling
masyhur dalam sejarah Inggris. Di antaranya James Pertama dari
Inggris dan ibundanya yang terkenal, Mary, Ratu Skotlandia.
Keluarga Sinclair yang berpengaruh dan pandai berhasil melewati perang
saudara dan gejolak politik di Skotlandia. Mereka menduduki posisi
penting di kedua sisi kerajaan sepanjang sejarah negara yang penuh
gejolak itu. Sebagai pemimpin industri di abad ke-20, kakek Berenger
berhasil membangun salah satu kekayaan terbesar di Eropa, yakni
sebuah perusahaan minyak Laut
Utara. Sedangkan Alistair Sinclair, biliuner dan petinggi Inggris yang
memiliki kedudukan di House of Lords, memiliki segala yang didambakan
seorang manusia. Namun ia tetap gelisah dan tak pernah puas, yang ia
cari adalah sesuatu yang tak dapat dibeli dengan kekayaan.
Kakek Alistair menjadi terobsesi dengan Prancis. Ia membeli sebuah
chateau(1) di luar desa Arques, di daerah barat daya. Sebuah wilayah
berbatu dan misterius yang dikenal dengan Languedoc. Rumah barunya
ia namai Chateau des Pommes Bleues Puri Apel Biru. Alasannya hanya
diketahui oleh segelintir orang terdahulu.
Languedoc adalah wilayah pegunungan yang terkesan mistis. Legenda
lokal tentang harta karun dan prajurit-prajurit misterius di wilayah ini
telah berumur ratusan, bahkan ribuan tahun. Alistair Sinclair menjadi
semakin terobsesi dengan legenda Languedoc. Lelaki ini membeli tanah
di daerah tersebut seluas yang bisa ia dapatkan dan ia cari seiring kian
kuatnya hasrat akan harta karun yang ia percaya terpendam di daerah
itu. Namun, koleksi yang ia cari tidak ada hubungannya dengan emas
atau kekayaan. Harta semacam itu telah dimilikinya dalam jumlah
berlimpah. Yang ia cari adalah sesuatu yang lebih berharga baginya, bagi
keluarganya, dan bagi dunia. Semakin usianya bertambah, semakin
"Kalau kau tak berkeberatan dengan perkataanku, kami Jean Claude dan
aku sedang bekerja di ruang seberang dan mendengarmu. Kami
mendengarmu mengucapkan isi
nubuatz(2) itu." Ia melihat ke Sinclair dengan bingung. "Apakah ada
masalah?"
Sinclair menyeberangi ruangan menuju sebuah meja kayu jati yang
menutupi dinding di belakangnya. "Tidak, Roland. Tidak ada masalah.
Malah, kupikir pada akhirnya keadaan akan menjadi sangat, sangat baik."
Ia mengambil sebuah buku berkulit tebal yang terletak di atas meja dan
menunjukkan sampul buku itu ke pelayannya. Sebuah sampul buku
modern, non-fiksi, berjudul: HerStory, subjudul: A Defense of
History's Most Hated Heroines.
Roland melihat buku itu, bingung. "Aku tidak mengerti."
"Bukan, bukan. Balik bukunya. Lihat ini. Lihat dia."
Roland membalik buku itu untuk melihat potret sang penulis di sampul
belakang dengan teks Penulis Maureen Paschal.
Penulis buku itu seorang perempuan menarik, berambut merah, usia tiga
puluhan. Ia berpose untuk foto itu dengan menyandarkan tangan di kursi
yang ada di depannya. Sinclair menggerakkan tangannya di atas sampul
itu, berhenti tepat di tangan sang penulis. Kecil, tapi jelas, di jari manis
kanan, adalah cincin tembaga antik dari Yerusalem, dengan gambar
planet.
Roland mendongak dari buku dengan terkejut. "Sacre bleu."
"Betul," balas Sinclair. "Atau mungkin lebih tepat lagi, Sacre rouge."
Kedua lelaki itu diganggu oleh kedatangan seseorang di pintu masuk.
Jean-Claude de ia Motte, seorang elit dan
2 Ramalan/prediksi ilmiah
... Aku Telah mengenal Petrus sejak awal aku bisa mengingat, karena
ayahnya dan ayahku berteman, dan karena dia sangat dekat dengan
kakak lelakiku. Letak rumah Tuhan di Capemaeum sangat dekat dengan
rumah ayah Simon-Petrus dan kami sering mengunjunginya ketika kecil.
Aku ingat, kami bermain di tepi pantai di sana. Aku jauh lebih muda dari
lelaki-lelaki itu dan sering bermain sendiri tapi aku masih bisa
mengingat suara tawa mereka saat mereka bergulat satu sama lain
Petrus selalu lebih serius dibandingkan anak lelaki yang lain. Saudara
lelakinya. Andreas, lebih ceria. Meski begitu, mereka sama-sama
memiliki selera humor saat masih muda. Keceriaan Petrus dan Andreas
lenyap setelah Easa pergi. Dan mereka tidak bisa terlalu bersabar
kepada siapa pun di antara kami yang terus meratapi musibah itu
sementara kami harus berjuang mempertahankan hidup.
Petrus sangat mirip kakak lelakiku karena ia sangat serius dengan
tanggung jawabnya terhadap keluarga. Dan setelah beranjak dewasa, ia
memindahkan rasa tanggungjawab itu pada pengajaranJalanNya Ia
memiliki keteguhan dan kebulatan tekad yang tak tertandingi oleh siapa
pun kecuali para guru itu sendiri.
Itulah sebabnya ia sangat dipercaya. Tapi bagaimanapun. Easalah yang
mendidiknya. Petrus bertarung melawan kebiasaannya sendiri lebih
keras dibandingkan yang diketahui banyak orang. Aku percaya, ia telah
berkorban lebih banyak dibandingkan yang lain. demi mengikuti
JalanNya. Karena ajaran ini menuntut banyak dari dirinya. menuntut
banyak perubahan batin. Banyak orang yang akan keliru menilainya,
bahkan ada sebagian yang akan membencinya. Tapi aku tidak.
Tiga
dan mengambil kuncinya. Kemudian naik lift dan masuk ke kamarnya yang
indah, tempat ia memuaskan kebutuhannya menjaga kerapian dengan
segera membongkar koper dan mengamati tingkat kekusutan baju-
bajunya.
Maureen menyukai hotel mewah. Semua orang pasti begitu, pikirnya,
tapi ia bertingkah seperti anak kecil saat berada di hotel mewah.
Dengan teliti ia mengamati perlengkapan kamar, isi kulkas kecil, baju
kamar yang bersulam indah di belakang pintu kamar mandi, dan
tersenyum saat melihat telepon sambungan di samping toilet.
Ia bersumpah tak akan pernah terlalu lelah hingga tak bisa menikmati
kesenangan-kesenangan kecil ini. Barangkali tahuntahun saat ia harus
berhemat, makan mi instan Top Ramen, Pop Tarts, dan roti selai kacang,
saat proyek risetnya menguras sisa tabungannya, ternyata baik
untuknya. Pengalaman pengalaman awal itu membantunya menghargai
hal-hal kecil yang mulai dianugerahkan kepadanya.
Ia melihat ke sekeliling ruangan yang luas dan merasa sedikit menyesal
di luar kesuksesannya sekarang, tak ada orang yang bisa dijadikannya
tempat untuk berbagi segala yang telah dicapainya. Ia sendirian, selalu
sendirian, dan mungkin akan terus sendirian...
Maureen segera berhenti mengasihani diri sendiri, dan menengok ke
sumber hiburan terampuh untuk mengalihkan pikirannya dari hal yang
mengganggu itu. Beberapa pusat perbelanjaan paling menarik di Amerika
telah menunggu di luar pintu. Ia mengambil tas, memastikan apakah
kartu-kartu kreditnya ada di sana, lalu melangkah keluar untuk
merayakan kebudayaan Tysons Corner.
sendiri, tidak ada yang bisa saya dukung sebagai fakta yang kemudian
saya kutip dalam buku saya. Walaupun begitu, bisa saya katakan bahwa
ada beberapa dokumen otentik yang mengisyaratkan kemungkinan
adanya hubungan dekat antara Yesus dan Maria Magdalena. Sebuah injil
yang ditemukan di Mesir tahun 1945 mengatakan 'teman Juru Selamat
adalah Maria Magdalena. Ia lebih mencintainya dibandingkan seluruh
murid, dan sering menciumnya di bibir.'
"Tentu saja, injil-injil ini dipertanyakan pihak Gereja dan, seperti yang
kita ketahui, bisa saja merupakan National Enguirer versi abad kesatu.
Menurut saya, kita harus berhati-hati dalam hal ini, karena itulah saya
menulis hanya yang saya yakini. Dan saya yakin, Maria Magdalena bukan
seorang pelacur, ia adalah pengikut Yesus yang penting. Bahkan
kemungkinan yang paling penting, karena dialah orang pertama yang
dipilih sang Raja untuk melihat kehadiranNya setelah dibangkitkan.
Lebih dari itu, saya tidak mau mereka-reka perannya dalam kehidupan
Dia. Karena itu berarti tidak bertanggung jawab."
Maureen menjawab pertanyaan itu dengan hati-hati, seperti biasanya.
Tapi ia selalu berspekulasi bahwa jatuhnya Maria Magdalena
kemungkinan karena ia terlalu dekat dengan sang Pemimpin, sehingga
para murid lelaki merasa cemburu dan kemudian berusaha merusak
namanya. Berdasarkan dokumendokumen abad ke-2 yang
ditemukan di Mesir itu, Santo Petrus mencela dan memarahi Maria
Magdalena secara terang-terangan. Dan dalam tulisan-tulisan Santo
Paulus yang muncul belakangan, tampaknya ia menghilangkan seluruh
referensi tentang pentingnya perempuan dalam kehidupan Kristus
secara terencana.
Sebagai akibatnya, cukup banyak waktu riset Maureen yang tersita
untuk memilah doktrin yang terkait dengan Paulus. Paulus, murid yang
berubah menjadi menjadi sosok penganiaya, telah membentuk pemikiran
Kristiani dengan observasiobservasinya. Meskipun terbentang jarak
yang sangat jauh secara filosofis dan harfiah antara dia dengan Yesus
dan para pengikut terpilih serta keluarga sang Juru Selamat. Ia tidak
memiliki pengetahuan langsung tentang ajaran-ajaran Kristus. Seorang
Tangan kanannya sudah pegal sekali dan senyuman nyaris absen dari
wajahnya, tapi Maureen terus bekerja. Kehadirannya di toko buku
dijadwalkan berlangsung selama dua jam, termasuk istirahat dua puluh
menit. Tapi ia sudah memasuki jam ketiga sekarang, tanpa mengambil
istirahat, dan besikeras untuk terus memberi tanda tangan sampai
pelanggan terakhir merasa puas. Mauren tak akan pernah menolak
seorang pembaca. Ia tak akan meremehkan publik pembeli buku yang
telah mengubah impiannya menjadi kenyataan.
Ia sangat bersyukur melihat banyaknya jumlah lelaki di antara
kerumunan hari ini. Topik permasalahan yang ia angkat mengindikasikan
kalangan pembacanya kebanyakan perempuan. Tapi ia berharap cara
penulisannya akan memikat semua orang yang memiliki pikiran terbuka
dan akal sehat. Tujuan utamanya menulis buku itu adalah membalas
yang mungkin sangat menarik bagi Anda. Ditulis oleh penduduk lokal dan
diterbitkan sendiri. Tentang Maria. Maria kita."
Maureen menelan ludah lagi, menegaskan apakah perempuan itu benar
Rachel Martel, lalu menanyakan alamat Cahaya Suci.
Samar terdengar suara batuk di sebelah kiri Maureen, ia mendongak
dan mendapatkan sang manajer toko buku memberi isyarat bahwa
antrean harus terus berjalan. Maureen melotot ke pria itu sebelum
kembali ke Rachel.
"Apakah Anda akan berada di sana sore ini? Waktu luang saya hanya
sore ini."
"Tentu saya ada di sana. Letak toko kami hanya masuk beberapa mil dari
jalan utama. McLean tidak begitu besar. Anda akan mudah
menemukannya. Telepon saya sebelum Anda pergi jika Anda memerlukan
panduan. Terima kasih untuk tanda tangannya, dan saya berharap
bertemu Anda nanti."
Saat memerhatikan perempuan itu berlalu dari mejanya, Maureen
melirik manajer toko. "Lagi pula, rasanya aku perlu beristirahat,"
katanya pelan.
Paris (Kota Administratif Pertama) Caveau des Mousquetaires Maret
2005
Ruang batu bawah tanah yang tak berjendela di sebuah gedung kuno itu
telah dikenal sebagai Caveau des Mousquetaires selama orang bisa
mengingat. Ketika Louvre masih menjadi tempat tinggal raja-raja
Prancis, lokasinya yang dekat dengan museum itu menjadikannya tempat
yang strategis, dan masih begitu hingga zaman modern ini. Suatu
tempat tersembunyi dalam bangunan itu menjadi terkenal berkat karya
Alexandre Dumas. Para jagoan di dalam novel Dumas diilhami tokoh-
tokoh sungguhan yang menjalani misi sungguhan pula. Ruangan ini adalah
tempat pertemuan rahasia pengawal ratu setelah Kardinal Richelieu
yang sadis memaksa mereka untuk menyingkir. Dalam kenyataannya,
para Musketeer itu tidak bersumpah demi melindungi Raja Prancis Louis
XIII, tapi justru sang ratu. Anne dari Austria adalah anak perempuan
dari keturunan yang jauh lebih tua dan agung dibandingkan suaminya.
Dumas pasti akan gemetar dalam kuburnya jika tahu bahwa tempat yang
dulunya suci ini telah jatuh ke tangan musuh. Pada malam ini, ruangan
bak gua itu menjadi tempat pertemuan suatu perkumpulan rahasia yang
lain. Organisasi yang sedang menempatinya bukan saja 1500 tahun lebih
tua dari para Musketeer, tapi juga
menentang misi mereka dengan sebuah ikrar sumpah mati.
Diterangi dua puluh empat lilin, bayangan-bayangan menari di dinding,
memantulkan warna dan siluet sekumpulan lelaki berjubah. Mereka
berdiri mengelilingi sebuah meja kotak yang telah usang. Meskipun
wajah mereka tak bisa dikenali dalam cahaya remang-remang, logo
Persekutuan mereka yang khas jelas terlihat pada pakaian mereka
masing-masing seuntai pita merah yang terikat erat di leher. Terdengar
suara-suara pelan dalam berbagai aksen: Inggris, Prancis, Italia, dan
Amerika. Dan suara itu berhenti begitu pemimpin mereka menempati
kursinya di ujung meja. Di hadapannya, sebuah tengkorak manusia yang
mengilap, ditaruh di atas sebuah piring berlapis emas, bersinar ditimpa
cahaya lilin. Di satu sisi tengkorak terdapat sebuah gelas anggur,
berhiaskan lingkaran lingkaran emas dan bertatahkan batu-batu
permata seperti yang terdapat di piring. Di sisi lain tengkorak, berdiri
sebuah salib berpatung Yesus hasil pahatan tangan, wajah Kristus
menunduk.
Sang pemimpin menyentuh tengkorak itu dengan penuh hormat sebelum
mengangkat gelas emas berisi cairan merah. Ia berbicara dalam bahasa
Inggris dengan aksen Oxford.
"Darah sang Guru Keadilan."
Ia meneguk perlahan sebelum memberikan gelas itu ke lelaki di sebelah
kirinya. Lelaki itu mengambil gelas dengan sebuah anggukan, mengulangi
moto itu dalam bahasa Prancis, lalu meneguknya. Setiap anggota
Persekutuan megulang ritual ini, mengucap moto dalam bahasanya
masing-masing, sampai gelas itu kembali ke ujung meja.
Sang pemimpin perlahan meletakkan gelas itu di
depannya. Kemudian ia mengangkat piring dan mengecup tengkorak itu
dengan hormat pada tulang alisnya. Sama seperti gelas tadi, ia
Empat
dengan cepat. Ada buku-buku tentang Penduduk Asli Amerika, ada pula
seksi Celtic(1) yang mungkin akan diamatinya lain hari, dan ada seksi
malaikat sesuatu yang banyak terlihat di ruangan ini.
Di sebelah kanan seksi ini adalah buku-buku tentang pemikiran Kristen.
Aha, aku pasti sudah dekat. Maureen terus mencari dan berhenti tiba-
tiba. Di sana ada sebuah buku besar warna putih dengan huruf tebal
hitam MAGDALENA.
"Tampaknya kau sudah berhasil menemukannya tanpa bantuanku!"
Maureen melonjak kaget, tak mendengar kedatangan Rachel dari
belakangnya. Pelanggan muda itu membuat lonceng pintu berbunyi saat
ia keluar dari toko,
tangannya menggenggam tas kecil warna biru dan putih berisi kristal
pilihannya.
"Ini salah satu di antara buku-buku yang aku ceritakan padamu. Buku-
buku lainnya lebih tipis. Ini, menurutku kau harus melihat yang satu ini."
Rachel mengambil sebuah buku tipis, tidak lebih tebal dibandingkan
sebuah pamflet, dari lemari setinggi mata. Sampulnya merah muda dan
kelihatannya dicetak dengan komputer rumahan. Mary in McLean,
judulnya, tertulis dalam Times New Roman, 24 poin.
"Maria yang mana ini?" tanya Maureen. Saat menulis bukunya, ia telah
menelusuri sejumlah publikasi yang ternyata merujuk ke Bunda Maria,
bukan Magdalena.
"Mariamu," kata Rachel sambil tersenyum penuh arti.
Maureen setengah tersenyum ke perempuan itu. Memang, Mariaku. Ia
mulai merasa seperti itu.
"Tak perlu dijelaskan lagi, karena ditulis oleh seorang penduduk lokal.
Komunitas spiritual di Mclean tahu buku ini tentang Maria Magdalena.
Seperti yang telah aku katakan sebelumnya, dia memiliki pengikutnya
sendiri di sini."
Seberkas cahaya dari luar kamar hotel menyinari meja kecil di samping
tempat tidur. Cahaya itu juga menerangi pernak-pernik tidur Maureen :
segelas anggur merah separuh kosong dan sekotak pil tidur yang dijual
bebas. Sebuah asbak kristal kecil di samping meja lampu berisi cincin
tembaga kuno dari Yerusalem.
Pada suatu hari yang tenang, di tepi pantai Galilea, seorang bocah lelaki
berlari-lari di depan ibundanya yang cantik. Bocah itu tidak memiliki
mata cokelat yang tajam
dan rambut merah seperti yang dimiliki ibunya. Tapi adik perempuannya
mewarisi keduanya. Penampilan anak lelaki itu berbeda, matanya hitam
dan tegas. Dan untuk ukuran anak kecil, ia sangat lincah. Sambil berlari-
lari di tepian pantai, ia memungut sebongkah batu yang menarik lalu
mengangkatnya untuk dimain-mainkan di bawah sinar matahari.
Sang ibu memperingatkan agar ia tak terlalu jauh ke air. Perempuan itu
tidak mengenakan selubung formalnya hari ini. Rambut panjangnya tak
diikat, terurai di sekeliling wajahnya saat ia meraih tangan gadis cilik
yang wajahnya persis seperti dirinya.
Suara seorang lelaki mengekspresikan peringatan serupa, tapi dengan
cara yang halus, kepada gadis cilik yang telah terlepas dari tangan
ibunya itu dan kini berlari mendekati kakaknya. Anak itu tampaknya tak
mau menurut, tapi ibundanya hanya tertawa, lalu melirik lewat bahunya
dan tersenyum kepada lelaki yang berjalan di belakangnya. Dalam acara
santai bersama keluarga kecilnya, lelaki itu tidak mengenakan pakaian
putih dan tidak berikat pinggang. Pakaian yang ia kenakan berbeda
dengan jubah putih sederhana yang biasa ia kenakan saat bertemu
dengan jemaat. Ia mengibaskan rambut panjangnya yang berwarna
kastanye, sama seperti bola matanya, dan membalas senyuman
perempuan itu. Ekspresinya penuh kehangatan dan ketenangan.
... Aku harus menulis lebih banyak tentang Nathaniel. yang kami panggil
Bartolomeus. karena aku sangat terharu dengan pengabdiannya.
Bartolomeus sudah beranjak dewasa ketika pertama bergabung dengan
kami di Galilea. Dan meskipun ia diusir dari rumah ayahnya yang
terhormat. Tolma dari Canae. begitu bertemu dengannya aku merasa
Lima
1 Titik balik matahari yang terjadi pada musim semi, jatuh sekitar
tanggal 21 Juni.
maksud? Ia tak mungkin tahu tentang mimpiku. Tak ada yang tahu selain
kau dan aku." Maureen menelusuri surat itu dengan jarinya sambil
termenung.
Peter melihat sekeliling ruangan yang penuh dengan bunga dan karya
seni. "Siapa pun dia, skenario ini berpusat pada dua hal kefanatikan dan
uang dalam jumlah besar. Berdasarkan pengalamanku, itu kombinasi
buruk."
Maureen hanya separuh mendengarkan.
"Lihatlah kualitas surat ini, sangat mewah. Sangat Prancis. Dan pola
timbul di sudut ini...apa ya? Anggur?" Pola pada kertas itu menarik
perhatian Maureen. "Apel biru?"
Sambil memberbaiki letak kacamata di hidungnya, Peter menatap bagian
bawah surat. "Apel biru? Hmmm, mungkin kau benar. Lihat ini. Ada
alamat di bawah sini. Le Chateau des Pommes Bleues."
"Bahasa Prancisku kurang baik, tapi bukankah artinya apel biru?"
Maureen menyusuri tepi pelabuhan di Marina del Rey. Kapal kapal siar
yang mewah, bukti kemakmuran Hollywood, bersinar diterangi matahari
California selatan. Seorang peselancar mengenakan T-shirt buntung
bertuliskan "Satu Lagi Hari Sialan di Surga" melambai pada Maureen
dari dek sebuah kapal layar kecil. Kulitnya memerah dan rambutnya
kusam karena sinar matahari yang menyorot tanpa lelah. Maureen tidak
mengenal lelaki itu, tapi senyuman sumringah dan botol bir di tangan
lelaki itu menunjukkan suasana hatinya sedang senang.
Maureen membalas lambaiannya dan terus berjalan menuju sebuah
kompleks restoran dan butik untuk wisatawan. Ia masuk ke El Burito,
restoran Meksiko dengan selasar menjorok ke laut. "Reenie! Aku di sini!"
Maureen mendengar suara Tammy sebelum ia melihatnya, selalu seperti
itu jika ia bertemu temannya yang satu ini. Ia berpaling ke sumber
juga, jadi kami bernegosiasi kautahu, aku akan membuatnya senang jika
ia membuatku senang."
"Kau sedang menggarap film baru? Kenapa tidak cerita?"
"Kau jarang beredar belakangan ini, ya 'kan?" Maureen tampak malu. Ia
telah mengabaikan teman temannya karena kesibukan selama beberapa
bulan terakhir.
"Maaf. Dan jangan terlalu puas begitu dong. Apa lagi yang tidak aku
ketahui? Kautahu banyak tentang Sinclair? Tentang...ia membuntuti
aku?"
"Tidak, tidak sama sekali. Aku hanya bertemu dengannya sekali. Sialan,
kenapa bukan aku yang ia buntuti. Ia keren sekali keren dengan K besar
dan mengasyikkan. Kautahu, Reenie, ini kesempatan baik. Kapan terakhir
kali kaukencan?"
"Tidak ada hubungannya."
"Barangkali ada."
Maureen menolak topik pembicaraan itu, berusaha menahan rasa
kesalnya. "Aku tak punya waktu untuk menjalin hubungan. Lagi pula aku
tidak melihat isyarat
bahwa ia mengajak kencan."
"Sayang sekali. Tak ada tempat yang lebih romantis di planet ini."
"Jadi itu sebabnya kau berlama-lama di Prancis belakangan ini?"
Tammy tertawa. "Tidak, tidak. Hanya saja Prancis itu titik sentral
esoterika Barat dan kubah bidah. Aku bisa menulis ratusan buku
tentang topik ini atau membuat film sebanyak mungkin, dan itu semua
baru kulitnya saja."
Maureen merasa sulit berkonsentrasi. "Menurutmu, apa yang diinginkan
Sinclair dariku?"
"Siapa yang tahu? Ia terkenal sebagai orang yang eksentrik dan luar
biasa. Terlalu banyak waktu dan terlalu banyak uang. Kurasa ada sesuatu
dalam bukumu yang menarik perhatiannya dan ia ingin menambahkan
tulisanmu itu ke dalam koleksinya. Tapi aku tak punya gambaran apa itu.
Karyamu itu sepertinya bukan seleranya."
"Apakah kau gila? Tentu saja aku akan datang. Aku telah mendapat
tiket. Dan pestanya tanggal 24 Juni, jadi tiga hari setelah summer
soistice. Hmmm..."
"Apa?"
"Ia memiliki rencana tertentu, tapi aku tidak tahu apa itu. Ia
mengundangmu ke Paris tanggal 21 Juni, dan pesta diadakan pada
tanggal 24 tepat pertengahan musim panas menurut kalender kuno, tapi
juga bertepatan dengan hari peringatan Yohanes Pembaptis. Sangat
menarik. Aku rasa ini bukan kebetulan. Ia ingin bertemu denganmu di
mana?"
Maureen mengeluarkan surat itu dari tasnya, berikut peta Prancis yang
terlampir dengan surat itu. Ia menyerahkan keduanya pada Tammy.
"Lihatlah," Maureen menunjuk. "Ada garis merah yang ditarik dari Paris
ke Prancis selatan."
"Itu garis Meridian Paris. Garis itu tepat melewati jantung teritori
Maria Magdalena dan tanah milik Sinclair, sehubungan dengan persoalan
ini."
Tammy membalik peta untuk melihat daerah lain, kali ini Paris. Ia
menelusuri peta dengan jarinya yang berkuteks merah menyala dan
tertawa keras saat melihat simbol Tepian Kiri2 dilingkari tinta merah.
"Ya, ampun. Apa maksudmu, Sinclair?" Tammy menunjukkan peta Paris
itu. "Gereja Saint-Sulpice. Di tempat ini ia ingin bertemu denganmu?"
Maureen mengangguk. "Kautahu tempat itu?"
"Tentu saja. Gereja yang sangat besar. Terbesar kedua di Paris setelah
Notre Dame, kadang disebut Katedral Tepian Kiri.
Tempat itu menjadi situs perkumpulan rahasia
setidaknya sejak abad 16. Andai saja aku mengetahui rencana ini lebih
awal. Aku akan mengubah jadwal ke Paris agar sampai beberapa hari
sebelumnya. Aku rela melakukan apa saja agar bisa menyaksikan
pertemuanmu dengan sang dewa."
"Aku belum mengatakan akan pergi. Sepertinya semua ini gila. Aku tidak
tahu bagaimana menghubunginya. Aku tidak punya nomor teleponnya,
memotong. "Ini sesuatu yang harus aku lakukan sendiri, Pete. Aku akan
menemuimu di JFK keesokan harinya dan kita pergi ke Paris bersama-
sama dari sana."
Peter tercenung sesaat lalu menjawab singkat, "Oke."
Maureen merasa bersalah karena tidak berterus terang. "Pete, aku di
Westwood sekarang, baru keluar dari biro berjalanan. Bisakah kita
makan siang bersama. Terserah kau di mana, aku traktir."
"Aku tidak bisa. Aku harus memberi kuliah pada mahasiswa tingkat satu
untuk persiapan ujian akhir di Loyola hari ini."
"Ayolah, kau 'kan bisa mencari orang lain untuk mengajarkan bahasa
Latin selama beberapa jam?"
"Kalau Latin, ya. Tapi aku satu-satunya dosen bahasa Yunani di sini, jadi
tidak ada pengganti."
"Oke. Mungkin suatu hari kau akan menjelaskan padaku mengapa remaja
abad dua satu perlu mempelajari bahasa yang membosankan."
Peter tahu Maureen hanya bercanda. Gadis itu sangat menghargai
pengetahuan Peter dan kemampuan bahasanya yang luar biasa.
"Untuk alasan yang sama mengapa aku perlu mempelajari bahasa
membosankan, dan kakekku juga. Bemanfaat untuk kita, bukan?"
Maureen tidak bisa membantah, bahkan dengan lelucon. Kakek Peter,
Dr. Cormac Healy yang terpandang, masuk ke dalam suatu komite di
Yerusalem yang mempelajari dan memberikan jasa penerjemahan untuk
perpustakaan Nag Hammadi yang mengagumkan. Minat Peter terhadap
manuskrip kuno telah tumbuh sejak remaja, saat ia menghabiskan musim
panas di Israel bersama kakeknya. Saat magang, Peter berpartisipasi
dalam suatu penggalian di Scriptorium di Qumran, tempat Naskah Laut
Mati dituliskan. Selama bertahun-tahun, ia menyimpan serpihan batu
dari dinding Scriptorium dalam suatu kotak museum yang diletakkan di
mejanya. Tapi
saat melihat sepupunya sangat tertarik dan membutuhkan untuk
pekerjaannya sebagai penulis, Peter merasa pantas menghadiahkannya
sebagai sumber inspirasi. Maureen memasukkan serpihan batu itu ke
Mauren memandang gereja itu lewat jeruji pagar, seperti orang asing
menatap ke dalam.
Ia melindungi matanya dari kilauan cahaya salib perunggu lalu
membalikkan badan dari gereja dan melangkah pergi.
Kota Vatikan Juni 2005
Tomas Cardinal DeCaro berdiri dari kursi kerjanya dan menatap ke
halaman terbuka di luar jendela. Matanya yang sudah berumur bukan
satu-satunya hal yang perlu diistarahatkan dari kertas kuning di atas
mejanya. Pikirannya perlu rehat untuk kemudian merenungkan informasi
yang baru ia terima pagi ini. Terjadi gempa bumi. Itu yang pasti. Yang
belum ia ketahui adalah seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan
musibah ini dan siapa orang yang menjadi korban.
DeCaro membuka laci paling atas untuk melihat ba-
rang yang memberinya kekuatan di saat-saat seperti ini. Potret Paus
Yohanes XXIII Yang Diberkati di bahwa tajuk Vatican Secundurn
Vatican II. Di bawah potret itu tertulis kutipan dari seorang pemimpin
besar dan visioner yang telah banyak berkorban demi mengangkat
Gereja yang ia cintai ke dunia kontemporer. Meski DeCaro telah hapal
kutipan itu, ia masih takut membacanya:
"Bukanlah injil yang telah berubah. Akan tetapi kita yang mulai
memahaminya lebih baik. Sudah tiba waktu untuk merenungkan isyarat-
isyarat masa, untuk merebut kesempatan, dan berpandangan jauh ke
depan."
Di luar, musim panas tengah menjelang, menjanjikan hari yang indah di
Roma. DeCaro memutuskan absen beberapa jam untuk berjalan-jalan
menelusuri Kota Abadi kesayangannya.
Ia perlu berjalan-jalan, ia perlu merenung, dan lebih dari semua itu, ia
perlu berdoa untuk mendapatkan bimbingan. Barangkali roh Paus
Yohanes yang baik berkenan membantunya menemukan jalan untuk
melewati krisis yang menghadang.
. ..Bartolomeus datang kepada kami lewat Filipus. seorang lagi
kalangan kami yang disalahpahami-dan aku akan mengaku
sekarang bahwa pada awalnya aku salah menilainya. Dulu ia
Enam
Petir menyambar di langit yang gelap secara tidak wajar pada Jumat
siang yang paling nestapa. Perempuan berselubung merah berjuang
keras mendaki bukit untuk mencapai puncaknya. Goresan dan luka
terlihat di tubuhnya dan pakaiannya robek. Hanya satu tujuannya,
mendekati Dia.
"Aku serius. Persoalan ini di luar lingkup pengalamanku. Tapi aku bisa
menghubungi orang yang mengetahui hal-hal semacam ini. Bicaralah
dengannya, hanya itu.
Barangkali akan membantu."
"Tidak usah." Maureen berkukuh dan bangkit dari sofa.
"Kita kembali saja ke hotel agar aku bisa beristirahat. Setelah tidur,
pasti aku akan baik-baik saja."
Gua Musketeer tidak terlalu suram di siang hari, lantaran diterangi bola
lampu mahaterang yang tak kenal ampun. Penghuninya mengenakan
pakaian kasual dan tanpa pita merah aneh terikat di leher yang
menandakan mereka sebagai anggota Persekutuan Keadilan.
Sebuah replika lukisan Yohanes Pembaptis karya Leonardo da Vinci
tergantung di dinding belakang, terpisah satu blok saja dari versi
orisinilnya yang tersimpan di Louvre. Dalam lukisan tersohor ini,
Yohanes menatap dari kanvas dengan senyum penuh makna. Tangannya
diangkat, jari telunjuk dan ibu jari kanannya menunjuk ke langit.
Leonardo melukis Yohanes dalam pose yang sering disebut sebagai pose
"Ingat Yohanes" ini, pada beberapa kesempatan. Makna posisi tangan itu
mengundang perdebatan selama berabad-abad.
Lelaki Inggris itu duduk di kursi ujung meja seperti biasa. Punggungnya
menghadap lukisan. Seorang lelaki Amerika dan Prancis duduk di kanan
dan kirinya.
"Aku tak mengerti maksudnya," kata si Inggris itu gusar. Diangkatnya
buku besampul tebal dari meja dan digoyanggoyangkannya ke dua lelaki
itu. "Aku sudah membaca dua kali. Tak ada yang baru, tak ada yang
menarik perhatian kita. Atau dia. Lalu apa? Apakah kalian memikirkan
persoalan ini? Atau aku hanya berbicara
sendirian?"
Ia melempar buku itu ke atas meja dengan muak. Si Amerika mengambil
buku itu lalu membuka-buka lembarannya tanpa perhatian.
Ia berhenti pada sampul lipatan dalam dan melihat foto penulisnya.
"Cantik. Mungkin itu sebabnya."
Si Inggris itu mengejek. Dasar Yankee goblok, tidak bisa mengambil
kesimpulan. Ia selalu keberatan jika orang Amerika menjadi anggota
Persekutuan. Tapi si idiot ini dari keluarga kaya raya dan berhubungan
erat dengan pusaka mereka, jadi mereka tak bisa mendepaknya.
"Dengan uang dan kekuasaannya, Sinclair bisa memperoleh lebih dari
sekadar 'cantik' dengan sekali menjentikkan jari, setiap saat selama
dua puluh empat jam sehari. Gayanya yang playboy sudah terkenal di
Inggris dan Amerika. Tidak, pasti ada sesuatu yang lebih besar
Piramida kaca I.M. Pei berkilau di pagi hari musim panas yang cerah di
Prancis. Maureen dan Peter, sama-sama merasa bugar setelah tidur
nyenyak semalam, mengantri bersama turis-turis lain untuk memasuki
Louvre.
Peter menatap para pemandu museum di sekelilingnya yang menunggu di
antrean panjang, menggenggam buku panduan. "Aku tidak mengerti,
mengapa banyak orang meributkan Mona Lisa. Lukisan paling top di
jagad ini."
"Setuju. Tapi sementara orang lain pergi kesana-ke-mari untuk
melihatnya, kita akan mendapat balkon
Richelieu untuk kita sendiri."
Maureen dan Peter membeli tiket dan memeriksa peta lantai Louvre.
"Bagian mana yang akan kita kunjungi lebih dulu?"
Maureen menjawab, "Nicolas Poussin. Aku ingin melihat Gembala
Arcadia secara langsung sebelum kita melihat yang lain."
Mereka berjalan menelusuri sayap bangunan yang berisi karya-karya
besar Prancis, memerhatikan dinding-dinding untuk menikmati
mahakarya Poussin yang penuh teka-teki.
Maureen menjelaskan, "Tammy mengatakan bahwa lukisan ini menjadi
pusat kontroversi selama berabad abad. Louis XIV berjuang selama dua
1 Teknik melukis pada medium gips basah atau kering yang kemudian
dipecah menjadi sejumlah bagian, mengikuti kontur objek yang dilukis,
arsitek dalam posisi yang canggung.
Peter mengungkapkan isi pikirannya. "Tujuh seni liberal. Ranah
pembelajaran tingkat tinggi. Lukisan ini menyampaikan bahwa pemuda ini
berpendidikan tinggi?" "Tujuh seni liberal itu apa?"
banyak waktu."
Mereka menyeberangi Seine dan mengikuti peta, menuju jalan-jalan
Tepian Kiri yang berkelok-kelok. Dari Pont Neuf mereka masuk ke rue
Dauphine, melewati stasiun kota Odeon lalu ke rue Saint-Sulpice, dan
berakhir di taman yang bak lukisan dengan nama yang sama.
Menara lonceng gereja yang sangat besar dan tidak serasi mendominasi
taman, memayungi air mancur terkenal yang dibangun oleh Visconti pada
1844. Ketika Maureen dan Peter memasuki pintu masuk yang kelewat
besar, Peter merasakan keragu-raguan sepupunya.
"Kali ini aku tak akan meninggalkanmu." Peter menggenggam tangan
Maureen untuk membesarkan hatinya lalu membuka pintu gereja yang
megah.
Sinclair mengangkat bahu dan menoleh pada Maureen. "Dia benar juga."
"Tapi ada hal lain berkenaan dengan Meridian Paris ini, bukan?"
"Sebagian orang menyebutnya Garis Magdalena. Garis itu sama dengan
garis di peta yang aku kirimkan padamu. Garis itu bermula di Amiens dan
berakhir di Montserrat. Jika kau ingin tahu apa sebabnya, temui aku di
rumahku di Languedoc dua hari lagi. Aku akan menunjukkan alasannya,
dan lebih banyak lagi. Oh, aku hampir lupa."
Sinclair mengeluarkan satu amplop mewah berwarna krem dari saku
bagian dalam.
"Aku tahu kalian kenal dengan seorang pembuat film yang
menyenangkan, Tamara Wisdom. Ia akan datang ke pesta kostum kami
di akhir minggu. Aku harap kalian mau bergabung.
Dan aku juga sangat berharap kalian mau menginap sebagai tamu di
chateauku."
Maureen memandang Peter untuk melihat reaksinya. Mereka sama sekali
tidak menduga akan mendapat
2 Jatuh sekitar tanggal 23 September, salah satu dari dua hari setiap
tahun kala matahari melintasi khatulistiwa dan panjang siang dan malam
sama,
undangan ini.
"Lord Sinclair," kata Peter. "Maureen telah bepergian jauh untuk
memenuhi pertemuan ini. Dalam surat, kau berjanji memberi jawaban..."
Sinclair memotong ucapannya. "Bapa Healy, orang menghabiskan waktu
dua ribu tahun untuk memahami misteri ini. Kau tidak bisa berharap
mengetahui segalanya dalam satu hari. Pengetahuan sejati harus
dihargai, bukan? Sekarang aku sudah terlambat untuk suatu pertemuan,
dan harus cepat-cepat pergi."
Maureen memegang lengan Sinclair untuk menahannya. "Lord Sinclair,
dalam surat itu kau menyebut tentang ayahku.
Aku harap setidaknya kau mau menceritakan apa yang kau ketahui
tentang dia."
berubah olehnya. Maka setiap malam, ketika anak-anak dan yang lainnya
terlelap. kuberitakan rahasia-rahasia itu kepada Bartolomeus. Ia akan
siap ketika waktunya tiba.
Tapi alu tak tahu bagaimana jika aku adalah dia. Aku mencintainya
seperti darah dagingku sendiri. Dan aku mencemaskannya-karena
keindahan dan kemurniannya tak akan dipahami oleh orang lain
sebagaimana yang dipahami orang-orang yang sangat mencintainya. Dia
lelaki yang jujur.
Tujuh
Hari itu adalah hari pasar di desa Quillan. Kota di kaki gunung Pyrenees,
Prancis, itu ramai dengan aktivitas berkaitan dengan acara mingguan ini.
Penduduk daerah pedalaman Languedoc bergegas dari satu kios ke kios
lain. Mereka memborong hasil bumi dan ikan yang diangkut dari
Mediterania.
Maureen dan Peter menelusuri pasar. Di tangan Maureen ada duplikat
lukisan Gembala Arcadia. Seorang pedagang buah melihatnya dan
tertawa sambil menunjuk ke lukisan itu.
"Ah, Poussin!"
Ia mulai memberondong mereka dengan petunjuk petunjuk dalam bahasa
Prancis. Peter memintanya berbicara lebih lambat.
Putra pedagang itu, usianya sepuluh tahun, memerhatikan Maureen
dengan pandangan bingung sementara sang ayah berbicara dengan Peter
dalam bahasa Prancis. Sang anak memutuskan untuk mencoba berbicara
dalam bahasa Inggris, meski terpatah-patah.
"Anda ingin ke kuburan Poussin?"
Maureen mengangguk senang. Ia baru tahu bahwa kuburan dalam lukisan
itu benar-benar ada. "Ya. Oui!"
"Oke. Pergilah ke jalan utama dan ikuti jalan itu. Jika Anda melihat
gereja, belok ke kiri. Kuburan Poussin ada di puncak bukit."
Maureen berterima kasih pada bocah itu. Lalu ia membuka tasnya, dan
mengeluarkan uang lima euro. "Merci, merci beaucoup," katanya pada
anak laki-laki itu sambil menyelipkan uang ke tangannya. Anak itu
tersenyum lebar.
"De rien, Madame! Bon chance," teriak pedagang buah itu ketika
Maureen dan Peter meninggalkan pasar. Putranya melontarkan kalimat
terakhir. "Et in Arcadia ego!" Bocah itu tertawa, lalu berlari untuk
membeli permen dengan uang yang baru diterimanya.
1 Yerusalem.
"Kau tak akan menemukan tempat itu pada kesempatan pertama. Kecuali
ada orang yang menunjukkan jalan." Tammy memberi arahan-arahan dari
kursi belakang. "Belok kanan lihat jalan kecil di sana? Jalan itu menuju
Rennes-le-Chateau di puncak bukit."
Jalan sempit yang menanjak dan penuh belokan tajam itu belum diaspal.
Di puncak bukit, terpancang papan petunjuk yang sebagiannya tertutup
semak. Di papan itu tertera nama desa kecil.
"Kau bisa parkir di sini." Tammy mengarahkan mereka ke suatu tanah
kosong yang kecil dan berdebu, tepat di jalan masuk desa.
Begitu keluar mobil, Maureen melihat arlojinya. Ia melihat dua kali
sebelum berkomentar. "Aneh, arlojiku mati. Padahal sebelum
meninggalkan AS, aku telah memasang baterai baru."
Tammy tertawa. "Nah, kelucuan telah dimulai. Waktu memiliki makna
baru di pegunungan misterius ini. Aku jamin, arlojimu akan kembali
normal setelah kita
meninggalkan wilayah ini."
Peter dan Maureen saling berpandangan lalu membuntuti Tammy. Tanpa
berusaha menjelaskan, ia terus saja berjalan sembari melemparkan
guyonan ke Peter dan Maureen yang berjalan di belakangnya. "Hadirin,
sekarang kita memasuki Zona Antah-berantah."
Desa itu sendiri terkesan menyeramkan, seperti wilayah yang diabaikan
waktu. Ukurannya luar biasa mungil dan terlihat lain daripada yang lain.
"Adakah orang yang tinggal di sini?" tanya Peter.
"Oh, ya. Desa ini benar-benar berfungsi. Penduduknya tidak sampai dua
ratus, tapi tetap penduduk seperti di wilayah yang lain."
"Sepi sekali," ujar Maureen sambil mengamati.
"Memang selalu seperti ini," jelas Tammy, "hingga bus tur mengeluarkan
penumpangnya." Ketika mereka memasuki desa, di sebelah kanan mereka
tampak sisa-sisa chateau, sebuah rumah yang nyaris hancur yang
darinyalah desa ini memperoleh nama.
"Itu Chateau Hautpol. Puri itu dulu milik para Ksatria Templar saat
Perang Salib. Lihat menaranya?" Tammy menunjuk menara kecil yang
"RLC?"
"Rennes-le- Chateau. Begitu sebutan orang karena nama lengkapnya
terlalu panjang. Kalian mesti belajar
menggunakan dialek lokal agar bisa menyesuaikan diri di pesta besok
malam."
Maureen kembali menatap ukiran di dinding. Peter pun mengawasi
dengan seksama.
"Aku mengenali simbol-simbol ini. Planet-planet. Itu bulan, dan
Merkurius. Apakah itu matahari?" Ia menunjuk lingkaran dengan titik di
bagian tengah.
"Benar," jawab Tammy. "Dan itu Saturnus. Simbol selebihnya
berhubungan dengan astrologi. Ini Libra, Virgo, Leo, Cancer, dan ini
Gemini."
Sepuah pikiran melintas di kepala Maureen. "Adakah Scorpio di sini?
Atau Sagitarius?"
Tammy menggeleng, namun ia menunjuk ke sebelah kiri jam matahari
dengan posisi seperti jam tujuh pada permukaan jam biasa.
"Tidak ada. Kalian lihat lokasi tempat tanda-tanda ini berakhir? Itu
planet Saturnus. Jika tanda-tanda berlanjut dengan arah yang
berlawanan dari arah jarum jam, kalian akan menemukan Scorpio diikuti
Libra dan kemudian Sagitarius."
"Kenapa berhenti di lokasi yang sangat aneh?" tanya Maureen.
"Dan apa artinya?" Peter jauh lebih tertarik dengan jawaban.
Tammy mengangkat kedua tangannya, syarat bahwa ia tak bisa
menjelaskan. "Kami rasa ada hubungannya dengan susunan planetarium.
Selain itu, kami benar-benar tidak tahu."
Maureen terus memandangi gambar itu. Ia tengah membayangkan
lukisan fresco Sandro di Louvre dan berusaha memastikan apakah
lukisan itu ada kaitannya dengan kalajengking. Maureen ingin tahu, kira-
kira apakah
manfaat jam matahari yang aneh ini, jika pun ada. "Apakah ini seperti
ungkapan 'ketika bulan berada di rumah ketujuh dan Yupiter sejajar
dengan Mars'?"
"Jika kalian berdua akan menyanyikan 'The Age of Aquarius', aku pergi
saja," ujar Peter.
Mereka semua tertawa. Tammy kemudian menjelaskan, "Tapi dia benar.
Barangkali ada kaitannya dengan susunan planetarium tertentu. Dan
karena gambar itu ditempatkan di sini, di depan rumah utama, bisa
diasumsikan gambar itu penting untuk diketahui seluruh penghuni desa."
Tammy memimpin mereka menjauhi jam matahari itu dan mengakhiri
tur. Mereka menuju vila nun di atas. "Sentra desa ini adalah museum dan
wilayah vila. Letaknya di atas, persis di hadapan kita."
Di ujung jalan sempit di depan mereka, berdiri sebuah bangunan rumah,
sebuah vila yang tersusun dari bebatuan artistik. Menara batu yang
bentuknya aneh mencuat di suatu bagian di belakangnya, menyatu
dengan lereng gunung.
"Misteri desa ini terpusat pada kisah yang sangat aneh tentang seorang
pendeta terkenal atau bahkan legendaris yang tinggal di sini pada akhir
abad 18. Abbe Berenger Sauniere."
"Berenger? Bukankah itu nama depan Sinclair?" tanya Peter.
Tammy mengangguk. "Ya, dan itu bukan kebetulan. Kakek Sinclair
berharap jika cucunya diberi nama yang sama, barangkali ia akan
mewarisi sifat-sifat nama yang disandangnya.
Sauniere menjaga sejarah dan misteri lokal tanpa kenal takut.
Dan ia sangat berbakti pada warisan Maria Magdalena.
"Omong-omong, ada berbagai legenda yang menceritakan penemuan
Abbe di sini, ketika ia akan merestorasi gereja.
Sebagian orang percaya bahwa ia menemukan harta terpendam Rumah
Tuhan (Temple) Yerusalem yang hilang. Karena chateau di sebelahnya
terkait dengan Ksatria Templar maka tidak mustahil mereka
menggunakan permukiman terpencil ini untuk menyembunyikan barang
rampasan dari Tanah Suci. Siapa yang akan mencari barang berharga di
sini? Dan sebagian orang mengatakan bahwa Sauniere menemukan
dokumen-dokumen yang luar biasa berharga. Apa pun itu membuatnya
sangat kaya, secara mendadak secara misterius. Sepanjang hidupnya, ia
menghabiskan banyak uang padahal gajinya sebagai pendeta lokal hanya
sekitar dua puluh lima dolar setahun. Lalu, dari mana ia mendapatkan
uang?
"Dulu, di tahun 1980-an, trio peneliti Inggris menulis buku tentang
Sauniere dan harta kekayaannya yang misterius. Buku itu laris. Di AS
judulnya Holy Blood, Holy Grail, dan dianggap klasik oleh kalangan
esoteris. Sayangnya, buku itu menimbulkan semangat berburu harta
karun ke daerah ini. Sumber daya alam dieksploitasi, dan sejumlah
landmark dirusak oleh fanatikus agama dan pemburu harta. Sinclair
bahkan menempatkan penjaga bersenjata di tanahnya untuk melindungi
kuburan itu."
"Kuburan Poussin?" tanya Maureen.
Tammy mengangguk. "Tentu saja. Itulah bagian inti keseluruhan misteri,
berkat Para Gembala dari Arcadia."
"Kami ke kuburan kemarin. Aku tidak melihat seorang penjaga pun," ujar
Peter.
Tammy tertawa terkekeh-kekeh. "Itu karena kedatangan kalian
diterima. Percayalah, jika kalian datang ke sana, dia tahu.
Dan jika kedatangan kalian tidak ia inginkan, kalian yang akan tahu."
Mereka sampai di sebuah bangunan besar yang mendominasi desa. Pada
papan penunjuk, tertera tulisan "Villa Bethania Kediaman Berenger
Sauniere".
Begitu mereka melewati pintu museum, Tammy tersenyum dan
mengangguk pada wanita di meja depan yang melambaikan tangan,
menyuruh mereka masuk.
"Bukankah kita harus membeli karcis?" tanya Maureen ketika mereka
melewati papan yang menunjukkan harga karcis.
Tammy menggeleng. "Tidak, mereka sudah mengenalku. Aku
memanfaatkan museum ini sebagai latar dokumentasi sejarah alkemi."
Ia memimpin mereka melewati kotak kaca yang memajang jubah
kependetaan yang dikenakan Abbe Sauniere pada abad 19. Peter
berhenti untuk melihat-lihat pakaian ini sementara Tammy terus
berjalan ke ujung lorong. Ia berhenti di depan pilar batu kuno yang
berukir salib.
"Namanya Pilar Ksatria dan diyakini diukir oleh Visigoth pada abad 18.
Dulu, pilar ini ditempatkan di altar gereja lama.
Ketika Abbe Sauniere memindahkan pilar ini saat restorasi vila, ia
menemukan perkamen yang berisi sandi-sandi misterius, atau begitulah
yang mereka katakan."
Tempat pemajangan perkamen telah diperluas oleh kurator museum
agar kodenya terlihat lebih jelas. Surat-surat bertinta tebal
berserakan, tapi jika dilihat
lebih seksama, penempatannya tidaklah acak. Maureen menunjuk tulisan
ET IN ARCADIA EGO dalam huruf kapital hitam.
"Tulisan itu lagi," kata Maureen pada Peter. Ia beralih ke Tammy. "Lalu
apa artinya? Apakah itu sebuah kode?"
"Setidaknya ada lima puluh teori yang pernah kudengar yang
menyebutkan makna frasa itu. Bahkan hal ini memicu industri pondokan
yang muncul nyaris dengan sendirinya."
"Peter menemukan teori menarik ketika di kereta dalam perjalanan ke
sini," sela Maureen. "Ia pikir ada kaitannya dengan desa Arques. 'Di
Arques, desa Tuhan, aku berada'."
Kelihatannya Tammy terkesan. "Dugaan yang bagus, Padre.
Kepercayaan yang paling umum adalah penjelasan anagram Latin. Jika
kita mengubah posisi huruf-hurufnya, maka kalimat itu berbunyi 'I tego
arcana Dei'."
"Aku menyembunyikan rahasia-rahasia Tuhan," Peter menerjemahkan.
"Ya. Tidak banyak membantu, bukan?" Tammy tertawa.
"Ayolah, aku ingin mengajak kalian melihat bangunan ini dari luar."
Peter masih memikirkan kuburan Poussin. "Tunggu sebentar. Tidakkah
itu artinya ada sesuatu yang disembunyikan di dalam kuburan? Jika
kalimat-kalimat itu disatukan maka hasilnya 'Di Arques, desa Tuhan, aku
menyembunyikan rahasia'."
Maureen dan Peter menunggu tanggapan Tammy. Yang ditunggu
termenung sejenak. "Teori itu sama bagusnya dengan teori lain yang
pernah kudengar. Sayangnya,
percaya makhluk yang lebih rendah adalah penjaga planet bumi, yakni
iblis yang mereka namakan Rex Mundi Raja Dunia.
Jiwa kita senantiasa berjuang untuk mengalahkan Rex dan merebut
kerajaan Tuhan, ranah roh. Rex mencerminkan godaan duniawi dan
fisik."
"Tapi, apa yang ia lakukan di gereja Katolik yang kudus?" tanya Peter.
"Ia dikalahkan para malaikat, tentu saja. Lihatlah di atasnya." Patung
empat malaikat yang membuat tanda salib, menjulang di atas punggung
iblis. Keempatnya berdiri pada wadah air suci yang bentuknya seperti
cangkang kerang raksasa.
Peter membaca prasasti itu keras-keras kemudian menerjemahkannya
ke dalam bahasa Inggris. "Par ce signe tu le vaincrais. Dengan tanda ini,
aku menaklukkannya."
"Kebaikan mengalahkan kejahatan. Roh menundukkan materi. Malaikat
mengungguli setan. Tidak ortodoks memang, tapi itulah Sauniere."
Tammy mengusap leher patung iblis itu.
"Lihat ini? Beberapa tahun lalu, seseorang menerobos gereja dan
memenggal kepala Rex. Kepala ini dibuat untuk menggantikannya. Tidak
ada yang tahu apakah mereka pemburu harta atau penganut Katolik yang
marah dan mengarahkannya ke simbol dualis di wilayah suci.
Sepengetahuanku, ia satusatunya patung iblis dalam gereja Katolik.
Bukankah demikian, Padre?"
Peter mengangguk. "Harus kukatakan, aku tidak melihat patung ini di
gereja Katolik Roma. Pada dasarnya, ini adalah penistaan agama."
"Cathar adalah sekte dualis. Mereka percaya pada dua kekuatan ilahiah
yang berlawanan. Yang satu bekerja demi kebaikan dan berusaha
menyucikan esensi roh, sementara yang satunya lagi bekerja demi
kejahatan dan
berjuang mengotori dunia materi," jelas Tammy. "Lihatlah lantai ini."
Ia mengalihkan perhatian mereka ke ubin yang menyusun lantai gereja.
Ubin hitam dan putih cemerlang membentang seperti papan catur. "Satu
lagi konsesi Sauniere terhadap dualitas hitam dan putih, baik dan buruk.
Sentuhan desain yang eksentrik. Tapi kupikir Sauniere gila seperti
itu.
"Menara Magdalena. Dulu, bangunan itu menjadi perpustakaan pribadi
Sauniere. Tapi, pemandangan dari sana sungguh menakjubkan."
Mereka membuntuti Tammy melewati interior menara kecil, melihat
sekilas beberapa barang pribadi Sauniere yang tersimpan dalam kotak
kaca, sebelum menapaki dua puluh dua anak tangga menuju dek menara
itu. Pemandangan Languedoc dari atas sungguh menakjubkan. Tammy
menunjuk ke arah suatu bukit di kejauhan. "Kalian lihat di sana itu?
Itulah Arques. Dan lembah di seberangnya adalah desa Coustaussa yang
legendaris. Di sana, seorang pendeta bernama Antoine Gelis, teman
Sauniere, dibunuh secara keji di rumahnya. Kediamannya digeledah, dan
masyarakat percaya bahwa orang yang membunuh lelaki tua itu
menginginkan sesuatu yang lebih besar dibandingakan uang.
Mereka tidak menyentuh koin emas yang tergeletak di atas meja, tapi
mereka mencuri semua yang terlihat seperti dokumen. Lelaki yang
malang ia terbunuh di usia tujuh puluhan, bersimbah darah akibat
hantaman kapak dan penjepit kayu bakar."
"Mengerikan." Maureen menggigil mendengar cerita Tammy, tetapi juga
karena suasana dalam bangunan itu. Meski sangat terpesona, ia juga
merasa ingin menjauhi tempat itu.
"Orang-orang bersedia membunuh demi misteri ini," ungkap Peter
sederhana.
"Yah, itu terjadi seratus tahun lalu. Aku lebih suka berpikir bahwa
sekarang ini kita menyikapinya dengan lebih beradab."
"Apa yang terjadi dengan Sauniere?" Maureen mengembalikan fokus ke
kisah pendeta aneh itu dan hartanya
yang misterius.
"Keadaannya semakin aneh. Setelah memesan peti mati untuk dirinya
sendiri, ia terserang stroke. Legenda daerah ini menyebutkan bahwa
seorang pendeta yang tidak dikenal oleh penduduk setempat dipanggil
untuk memimpin ritus terakhir.
Namun, ia menolak tugas ini setelah mendengar pengakuan terakhir
Sauniere. Akhirnya lelaki malang itu meninggalkan Rennes-le-Chateau
kita saksikan di wilayah ini karena angka ini berhubungan dengan energi
sakral wanita.
Kalian bisa melihat bahwa menurut kalender gereja, hari puasa Maria
Magdalena jatuh pada..."
"Tanggal dua puluh dua Juli," sela Peter dan Maureen
berbarengan.
"Tepat. Jadi, untuk akhirnya menjawab pertanyaanmu, barangkali itulah
sebabnya mengapa Maria Magdalena datang ke sini. Karena ia
mengetahui faktor kekuatan alamiah atau memahami sesuatu tentang
pertarungan terang dan gelap seperti yang terjadi di sini. Kalian tahu,
masyarakat Palestina mengenal wilayah ini. Bahkan ada tradisi yang
mengatakan bahwa ibunda Maria Magdalena berasal dari Languedoc.
Jadi kedatangan Maria Magdalena ke sini bisa diartikan kepulangannya."
Tammy menengadah ke menara Chateau Hautpol yang sudah rusak. "Apa
yang tak akan kuserahkan agar bisa menjadi lalat abadi yang hinggap di
dinding bangunan itu."
Languedoc 23 Juni 2005
Mereka menurunkan Tammy di Couiza. Di sana, ia bertemu teman-
temannya untuk makan siang yang sudah terlambat.
Maureen merasa kecewa karena Tammy tidak bersama mereka lebih
lama lagi. Ia gugup memikirkan akan ke rumah Sinclair tanpa teman yang
juga dikenal sang tuan rumah sehingga ia tidak terlalu canggung. Selain
itu, Maureen bisa merasakan ketegangan Peter. Pria ini berusaha keras
menutupinya, tapi tangannya yang mencengkeram kuat kemudi
menunjukkan perasaannya. Barangkali, menetap di kediaman Sinclair
adalah kekeliruan.
Tapi mereka sudah berjanji. Tidak sopan dan akan membuat tuan rumah
tersinggung jika mereka mengubah pikiran sekarang.
Maureen tidak mau mengambil risiko itu. Sinclair adalah bagian yang
terlalu penting dalam rangkaian puzzienya.
Peter memperlambat laju mobil sewaan itu dan melewati gerbang besi
yang luar biasa besar. Ketika mobil melewatinya, Maureen memerhatikan
bahwa gerbang itu dihiasi fleur-deiis besar berwarna keemasan yang
Kamar Peter lebih kecil dari kamar Maureen, namun tetap indah dan
menunjukkan kebangsawanan. Koper Peter belum diantarkan, namun ia
membawa tas jinjing berisi barang-barang yang ia perlukan sekarang.
Peter mengeluarkan Alkitab bersampul kulit dan rosari bermanik kristal
dari tas hitamnya.
Digenggamnya rosari itu kemudian ia merebahkan diri ke ranjang. Peter
merasa lelah sebagian karena perjalanan, juga keletihan fisik dan
spiritual karena tanggung jawabnya atas keselamatan Maureen. Kini ia
berada di wilayah yang tak dikenal. Pengalaman ini membuatnya gugup.
Peter tidak memercayai Sinclair. Yang lebih parah, ia tidak percaya
DeCaro tidak sabar untuk melihat isi map-map itu. Tapi ia memilih
melihatnya pertama kali sendirian.
Ia membuka map pertama. Semua file di dalamnya diberi label
EDOUARD PAUL PASCHAL dengan tinta hitam tebal.
.. Aku belum menulis tentang Bunda Agung. Maria Agung. Sudah lama aku
menunggu dengan perasaan ragu. apakah kata-kataku mampu melukiskan
kebaikannya, kearifannya, dan kekuatannya. Dalam kehidupan setiap
perempuan, selalu ada pengaruh dan ajaran perempuan lain yang lebih
tinggi. Bagiku, dia adalah Maria Agung, ibunda Easa. dan hanya dia.
Ibuku sendiri meninggal ketika aku masih sangat belia. Aku tidak
mengingatnya. Dan meski Martha selaki mengurusi aku dan
memerhatikan kebutuhan duniawiku sebagai seorang saudari namun
ibunda Easalah yang memberikan ajaran spiritual kepadaku, ia mengasuh
jiwaku dan mengajarkan aku berbagai pelajaran tentang kasih sayan"
dan pengampunan. Ia menunjukkan aku bagaimana menjadi seorang ratu
dan mendidikku agar memiliki perilaku yang pantas bagi seorang
perempuan dengan takdir seperti kami.
Jika tiba waktunya bagiku untuk mengenakan selubung merah dan
menjadi Maria yang sesungguhnya, aku sudah siap. Berkat dia. dan
segala yang ia berikan padaku.
Maria Agung adalah teladan ketaatan. Namun ketaatannya hanya kepada
Tuhan semata Ia mendengar pesan-pesan Tuhan dengan jelas. Putranya
pun memiliki kemampuan ini. Dan itulah sebabnya mereka berbeda dari
orang lain yang juga berdarah mulia. Ya. Easa adalah putra Singa,
penerus tahta Daud. dan ibundanya keturunan kasta Harun yang saleh
Ia terlahir sebagai ratu dan Bisa sebagai raja. Tapi bukan darah semata
yang membuat terhadap berbeda dari yang lain. Semangat dan kekuatan
iman mereka kepada pesan Tuhan kepada kepada kamilah yang membuat
mereka berbeda.
Seandainya aku hanya berjalan di bawah bayangannya untuk selamanya,
aku sudah merasa sangat di berkati
Maria Agung adalah perempuan pertama dalam ingatanku yang begitu
diberkati dengan pengetahuan jernih akan Ilahi. Inilah tantangan bagi
Delapan
Sinclair membawa Maureen dan Peter keluar dari rumah megah itu,
melewati jalan berkerikil. Bebatuan merah terhampar di kaki bukit itu,
dan timbunan puing-puing kastil yang sudah rapuh menjadi mahkotanya.
Maureen hanyut dalam pemandangan yang memukau.
"Tempat ini sungguh menakjubkan. Sarat dengan kesan mistis."
"Kita berada di jantung negara Cathar. Dulu, seluruh wilayah ini dikuasai
bangsa Cathar. Sang Murni."
"Bagaimana mereka mendapat julukan itu?"
"Ajaran mereka bersumber dari jalur yang murni dan tak terputus
kepada Yesus Kristus. Melalui Maria Magdalena. Dialah pendiri
Catharisme."
Peter terlihat sangat skeptis, tapi Maureenlah yang mengekspresikan
keraguan itu. "Mengapa aku tidak pernah membaca penjelasan semacam
ini?"
Berenger Sinclair cuma tertawa. Tak sedikit pun ia merasa cemas
apakah mereka memercayai penjelasannya atau tidak. Ia lelaki yang
sangat nyaman dengan keyakinannya dan begitu percaya diri hingga opini
orang
pertahankan. Namun tak ada yang tahu, apa sesungguhnya harta karun
terbesar mereka."
"Apa harta karun mereka?" tanya Peter.
Sinclair memandang sekelilingnya. Hubungannya yang kuat dengan
daratan ini terlihat lewat ekspresinya. Tempat ini dan sejarahnya telah
terukir dalam jiwanya. Betapapun sering ia menyampaikan kisah-kisah
semacam ini, gairah yang menggebugebu selalu terlihat setiap kali ia
bercerita.
"Banyak legenda besar yang menceritakan apa sesungguhnya harta
bangsa Cathar. Sebagian mengatakan Holy Grail (Cawan Suci), sebagian
lagi mengatakan kafan sejati Kristus atau mahkota durinya. Namun
harta sejati itu adalah satu di antara dua kitab paling sakral yang
pernah ditulis. Bangsa Cathar adalah penjaga Kitab Cinta, suatu dan
satu-satunya injil sejati."
Ia sengaja memotong kalimat itu, sebelum menambahkan poin utamanya.
"Kitab Cinta adalah injil sejati karena ditulis sepenuhnya dengan tangan
Yesus Kristus sendiri." Peter mati kutu mendengar pernyataan ini. Ia
menatap Sinclair.
"Ada apa, Bapa Healy? Apakah kau tidak pernah mendengar tentang
Kitab Cinta di seminari?"
Maureen terlihat sama sangsinya. "Apakah menurutmu hal semacam itu
benar-benar ada?"
"Ya. Buku itu dibawa dari Tanah Suci oleh Maria Magdalena dan
diturunkan dengan sangat hati-hati kepada keturunan-keturunannya.
Sangat mungkin, Kitab Cintalah yang menjadi tujuan sejati di balik
Perang Salib terhadap Cathar. Para pejabat Gereja tidak sabar ingin
memiliki kitab itu. Tapi bukan untuk melindungi dan merawatnya, aku
bisa memastikannya."
"Gereja tidak akan merusak benda yang begitu sakral dan tak ternilai
harganya," kata Peter gusar.
"Tidak? Lalu bagaimana jika dokumen semacam itu diabsahkan? Dan
bagaimana jika dokumen yang telah diabsahkan itu mempersoalkan tidak
mengamini setiap kata Sinclair. Tapi wanita ini begitu terhanyut, begitu
terfokus pada pria Skotlan yang karismatik ini.
Ketika mereka mengitari sudut di puncak bukit kecil, terlihat sebuah
menara batu yang mirip dengan menara kastil, menjulang di lereng bukit.
Bangunan setinggi beberapa tingkat itu berdiri sendirian dan terlihat
ganjil di tengah bentang alam yang berbatu.
"Bangunan itu seperti menara Sauniere!" pekik Maureen.
"Kami menyebutnya menara Folly. Dibangun oleh kakek saya. Dan ya,
bentuknya mencontoh menara Sauniere.
Pemandangan dari bangunan itu tidak sedramatis pemandangan seperti
dari menara yang berada di Rennes-le-Chateau karena tempatnya lebih
rendah. Tapi tetap indah. Mau ke sana?"
Maureen menatap Peter yang sedang termenung, untuk mengetahui
apakah ia ingin mengamati menara itu. Peter menggelengkan kepala.
"Aku di sini saja. Kau naiklah."
Sinclair mengeluarkan kunci dari sakunya kemudian membuka pintu
menara. Ia masuk lebih dulu dan memimpin Maureen menaiki tangga yang
melingkar. Setelah membuka pintu menuju geladak di lantai atap, ia
mempersilakan Maureen untuk masuk lebih dulu.
Pemandangan negara Cathar berikut puing-puing dan puripuri kuno di
kejauhan sungguh luar biasa. Maureen menikmati sajian itu sejenak
sebelum bertanya pada Sinclair, "Mengapa ia membangun menara ini?"
"Sama dengan alasan Sauniere membangun menaranya. Pemandangan
dari mata burung. Mereka percaya, kita bisa menyibakkan banyak
rahasia dari atas."
Maureen bersandar ke pagar sambil mengeluh dengan rasa frustrasi.
"Mengapa semuanya penuh teka-teki? Kau berjanji akan memberi
jawaban, tapi sejauh ini kau malah menimbulkan semakin banyak tanda
tanya."
"Mengapa kau tidak bertanya pada suara-suara di kepalamu? Atau, yang
juga lebih baik, pada perempuan
yang hadir dalam visimu? Dialah yang membuatmu ke sini." Maureen
tercengang. "Dari mana kautahu tentang
dia?"
Sinclair tersenyum penuh arti, tapi tidak arogan.
"Kau wanita dari darah Paschal. Pengalaman itu sudah bisa diduga.
Apakah kautahu asal-usul nama keluargamu?"
"Paschal? Ayahku lahir di Lousiana dari keturunan Prancis, seperti
warga lainnya di daerah rawa itu." "Cajun?"
Maureen mengangguk. "Itu yang kuketahui. Ia meninggal saat aku masih
kecil. Tak banyak yang kuingat tentang dia."
"Kautahu dari mana asal kata 'Cajun'? 'Arcadian'. Orang Prancis yang
tinggal di Lousiana disebut Arcadian. Akibat dialek lokal, kata itu
berubah menjadi 'Acadian', kemudian 'Cajun'.
Apakah kau pernah melihat arti kata 'paschal' di kamus bahasa
Inggris?"
Sekarang Maureen mengawasi lelaki ini, penuh rasa ingin tahu tapi
semakin waspada. "Tidak. Aku tak pernah melakukannya."
"Sungguh mengherankan. Seorang dengan kemampuan riset seperti
dirimu tidak banyak tahu tentang nama keluarganya sendiri."
Maureen mengalihkan tatapannya ketika mengisahkan masa lalunya.
"Ketika ayahku meninggal, ibu memboyongku untuk tinggal bersama
kerabatnya di Irlandia. Setelah itu aku tidak ada kontak dengan
keluarga ayahku."
"Tetap saja, salah satu dari orangtuamu pasti memiliki firasat
bagaimana nasibmu."
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Namamu. Maureen. Kau tidak tahu apa artinya?"
Angin yang hangat berembus kembali, menerpa rambut merah Maureen.
"Tentu saja. Itu kata Irlandia untuk 'Maria kecil'. Peter selalu
memanggilku dengan nama itu."
Sinclair mengangkat bahu seolah pertanyaannya terjawab, tatapannya
menerawang ke pemandangan Languedoc. Maureen mengikuti arah
tatapannya, yakni ke serangkaian bebatuan besar yang tersebar di
dataran rumput yang luas.
... Berkali-kali sudah lelaki bernama Paulus ini memberitahu aku. ia telah
mengakibatkan kericuhan hebat diantara umat terpilih. Sebagian orang
jauh-jauh datang dari Roma sebagaimana juga dari Efesus. untuk
berkonsultasi denganku tentang lelaki ini dan kata-katanya.
Bukannya aku menghakimi, dan aku pun tidak bisa mengatakan apa isi
hatinya karena aku belum berjumpa langsung dan belum menatap
matanya. Namun bisa kukatakan dengan pasti bahwa lelaki ini belum
Sembilan
Ruang makan yang dipilih untuk senja itu adalah ruang makan pribadi
Sinclair yang tidak terlalu formal dibandingkan ruang makan utama
chateau yang sangat besar. Ruangan itu memukau dengan berbagai
replika indah lukisan-lukisan Botticelli yang paling terkenal. Dua versi
masterpiece yang berjudul Ratapan nyaris menutupi salah satu dinding.
Lukisan itu menunjukkan Yesus yang disalib berada dalam posisi Pieta di
atas pangkuan ibundanya. Dalam versi pertama, Maria Magdalena
menangis sambil memeluk kepala Yesus. Versi kedua menunjukkan Maria
Magdalena sedang memeluk kaki Yesus. Ada pula tiga lukisan madonna(1)
dari era Renaisans, Madonna dengan Buah Delima, Madonna dengan
Alkitab, dan Madonna Nyanyian Maria, tergantung dengan bingkai
bersepuh emas yang sangat mahal di dua dinding lainnya.
Perhatian Maria dan Peter kepada karya seni itu tergangguvketika
mereka melihat sajian tradisional
Languedoc dihidangkan.
Semangkuk besar buncis dan sosis babi panggang yang masih mengepul
dan tumis kacang dengan daging bebek yang lezat disajikan oleh
beberapa orang pelayan wanita. Ada juga roti renyah yang ditempatkan
dalam keranjang dan anggur merah pekat dari Corbieres yang menanti
untuk dituangkan.
"Selamat datang di ruangan Botticelli," salam Sinclair begitu masuk.
"Aku tahu, belakangan ini kalian sangat terkesan dengan Sandro."
Maureen dan Peter menatapnya.
"Apakah kau membuntuti kami?" tanya Peter.
"Tentu saja," jawab Sinclair tanpa tedeng aling-aling. "Dan aku sangat
senang telah melakukannya karena aku sangat terkesan mengetahui
perhatian kalian berakhir pada lukisan fresco pernikahan. Sandro luar
biasa berbakti pada Magdalena.
Sikap ini terlihat jelas dalam karya-karya terkenalnya. Contohnya yang
satu ini."
Sinclair menunjuk sebuah replika Kelahiran Venus karya Botticelli.
Lukisan yang kini menjadi ikon itu menggambarkan dewi telanjang
muncul dari balik gelombang, berdiri di atas cangkang kerang.
Gambar itu mencerminkan kedatangan Maria Magdalena di pantai
Prancis. Ia sering ditampilkan sebagai Dewi Cinta dalam lukisan
Renaisans dan berkaitan erat dengan planet Venus."
"Aku sudah melihat lukisan itu setidaknya seratus kali," komentar
Maureen. "Tapi aku tak tahu kalau itu lukisan Maria Magdalena."
"Sangat sedikit orang yang tahu. Sandro kami ini terlibat aktif dalam
organisasi Tuscan yang bertujuan
melestarikan nama dan kenangan terhadap Maria Magdalena.
Persaudaraan Maria Magdalena, demikian nama organisasi itu. Apakah
kalian mengetahui makna simbol-simbol dalam lukisan fresco yang kalian
lihat di Louvre?"
Maureen agak ragu-ragu. "Aku tidak yakin." "Bagaimana perkiraanmu?"
"Aku pikir berhubungan dengan astrologi, atau setidaknya astronomi.
Kalajengking mewakili gugusan Scorpio, dan busur pemanah
melambangkan Sagitarius."
"Bravo. Aku yakin perkiraanmu benar. Pernah dengar tentang Zodiak
Languedoc?"
"Belum, tapi aku pernah mendengar tentang Zodiak Glastonbury di
Inggris. Apakah sama?"
"Ya. Jika kita menumpukkan peta gugusan bintang di atas peta wilayah
itu, maka kita akan melihat bahwa kota-kota tersebar mengikuti
gugusan tertentu. Demikian pula dengan Zodiak Glastonbury."
Peter mengekspresikan rasa bingungnya. "Maaf, aku tidak paham."
Maureen menjelaskan padanya. "Tema semacam ini cukup umum di
kalangan masyarakat kuno, dimulai dari bangsa Mesir.
Mereka membangun lokasi-lokasi suci mengikuti konstelasi langit.
Umpamanya, piramid Giza mengikuti gugusan Orion.
Kota-kota di sana direncanakan sedemikian rupa a-gar serasi dengan
pola bintang-bintang. Hal ini sesuai dengan filsafat alkemis
'Sebagaimana di atas, demikian pula di bawah'."
"Lukisan fresco yang menggambarkan pernikahan itu adalah peta.
Sandro bermaksud memberitahu ke mana
kita melihat," Sinclair ikut menjelaskan.
"Tunggu sebentar. Jadi menurutmu, pelukis terhebat sepanjang sejarah
itu pun terlibat dalam teori konspirasi Magdalena?" Peter sudah
kelelahan dan sebagai akibatnya ia tak lagi berbasa-basi.
"Sebenarnya, Bapa Healy, menurutku banyak pelukis terhebat sepanjang
sejarah yang turut ambil andil dalam konspirasi ini. Seyogianyalah kita
menyatukan dua dinasti keluarga yang sangat kuat, yang sejak dulu
bertikai."
Baik Maureen maupun Peter diam, menunggu penjelasan apa lagi yang
dipilih Sinclair untuk disampaikan.
"Bahkan ada spekulasi bahwa semua seniman ini berasal dari garis darah
itu dan bahwa bakat hebat mereka menurun dari genetika yang suci.
Pendapat ini mungkin saja benar, misalnya dalam kasus Sandro. Dan kami
yakin begitu juga dengan sejumlah tokoh Prancis, contohnya Georges de
ia Tour, yang berulang kali melukiskan pembimbing dan leluhurnya."
Maureen senang karena ia memiliki pengetahuan tentang topik ini. "Aku
melihat salah satu lukisan de ia Tour saat melakukan riset. Lukisan
Pertobatan Magdalena
berada di Los Angeles." Maureen sangat tergugah dengan cahaya dan
bayangan dalam lukisan indah itu. Maria Magdalena, tangannya di atas
tengkorak pertobatan, menatap pantulan cahaya lilin yang redup di
cermin.
"Itu salah satu lukisan Pertobatan Magdalena. Ia membuat banyak
lukisan berjudul sama, yang masing-masing memiliki perbedaan halus.
Beberapa di antaranya hilang. Salah satunya dicuri dari museum pada
zaman kakekku."
"Bagaimana kautahu bahwa Georges de ia Tour berasal dari garis darah
itu?"
"Namanya saja sudah menjadi petunjuk awal. De ia Tour berarti 'dari
menara'. Memang, agak melibatkan permainan kata. Nama Magdala
berasal dari kata 'migdal', yang berarti menara. Jadi, secara harfiah ia
adalah Maria dari tempat menara.
Seperti yang sudah kau ketahui, sebagian orang berpendapat bahwa
Magdalena adalah julukan, artinya Maria sang menara, atau pemimpin
sukunya.
"Ketika terjadi pembantaian, orang-orang Cathar yang selamat terpaksa
mengubah nama untuk menyembunyikan identitas mereka karena nama-
nama Cathar sudah sangat dikenal. Mereka juga menyembunyikan pusaka
indah'. Apakah kalian ingat lukisan fresco lainnya yang ada di Louure?
Lukisan yang dinamakan Venus dan Tiga Dewi mempersembahkan hadiah
kepada seorang perempuan muda? Perempuan muda yang mengenakan
gaun merah itu Giovanna Albizzi. Kalian akan melihat, perempuan dalam
lukisan Botticelli ini mengenakan kalung yang menunjukkan garis darah
yang sama dengan perempuan pada potret Ghirlandaio.
Perhiasan yang sangat berharga itu dipersembahkan baginya untuk
merayakan perdamaian antara kedua keluarga yang sangat kuat. Ada
harapan besar yang disandarkan pada Giouanna yang mulia.
"Sayangnya, harapan itu tidak terwujud. Giouanna yang malang
meninggal saat melahirkan, dua tahun setelah ia menikah."
Maureen menyerap semua yang dikisahkan Sinclair. Otaknya berusaha
memproses kisah Italia dengan kisah yang ia peroleh sebelumnya di
Rennes-le-Chateau. Tiba-tiba, sebuah pikiran melintas.
"Apakah Anda berpikir Sauniere mungkin telah menemukan injil
Magdalena? Itukah yang membuatnya kaya raya?"
"Tidak. Tentu saja tidak." Sinclair sangat serius ketika mengatakannya.
"Namun jelas, Sauniere memang mencari pusaka itu. Penduduk setempat
mengatakan bahwa ia sering berjalan bermil-mil di wilayah itu,
memeriksa batuan dan liangliang, mencari petunjuk."
"Bagaimana kau yakin bahwa ia tidak menemukannya?" Peter ingin tahu.
"Karena jika ia menemukannya, keluargaku pasti tahu. Lagi pula, harta
itu hanya bisa ditemukan oleh seorang perempuan.
Seorang perempuan yang berasal dari garis darah itu dan dipilih oleh
Magdalena sendiri."
Peter tak sanggup menahan kecurigaannya. "Dan kau pikir, Maureenlah
orangnya."
Sinclair tercenung sesaat. Kemudian ia menjawab terang-terangan,
seperti biasanya. "Aku mengagumi keterusteranganmu, Bapa. Dan
jawabanku...Ya, aku memang berpikir Maureenlah orang yang dipilih.
Belum ada seorang
pun yang berhasil, padahal ribuan telah mencoba. Kita tahu, harta itu
ada di sini. Meski begitu, orang yang paling berani pun telah gagal
menemukan harta itu. Termasuk aku sendiri.
Saat beralih ke Maureen, ekspresi dan nada bicara Sinclair melembut.
"Sayangku, kuharap kau tidak takut. Aku tahu, semua ini rasanya aneh,
bahkan mengejutkan. Aku hanya berharap kau sudi mendengarkan. Kau
tidak akan diminta melakukan apa pun yang berlawanan dengan
keinginanmu.
Kehadiranmu di sini adalah keinginanmu sendiri, dan kuharap kau
memilih untuk terus tinggal di sini."
Maureen mengangguk padanya, tapi tidak mengatakan apaapa.
Ia tak tahu apa yang mesti dikatakan atau bagaimana menanggapi
pengungkapan itu. Ia bahkan tidak tahu pasti, bagaimana perasaannya
terhadap semua ini. Apakah ia merasa mendapat suatu kehormatan?
Suatu privilese? Ataukah ia merasa semua ini menakutkan belaka?
Barangkali ia tak lebih dari boneka seorang eksentrik dan kultusnya.
Rasanya semua yang ia dengar tidak hanya benar, tapi juga terkait
dengan dirinya.
Tapi ada sesuatu dalam sikap Sinclair yang terasa benar-benar tulus
bagi Maureen. Dengan pendapat-pen-dapatnya yang ekstrem dan
keeksentrikannya, Maureen merasa lelaki ini bisa dipercaya.
Akhirnya, Maureen menjawab dengan ucapan pendek.
"Teruskanlah."
Peter menekan agar memperoleh keterangan lebih
jauh.
"Apa yang membuatmu berpikir Maureenlah orangnya?"
Sinclair mengangguk pada Roland. "Tolong tunjukkan Primavera."
Roland menekan tuts lain dan muncullah mahakarya Botticelli,
Prirnavera, selayar penuh, dengan warna-warni memukau.
"Karya lainnya dari Sandro kita. Kau sudah tahu, tentu saja."
"Ya." Jawaban Maureen nyaris tidak terdengar. Ia tidak tahu pasti ke
mana arah pembicaraan ini, tapi ia merasa ada simpul yang mengencang
di perutnya.
Peter menjawab. "Tentu saja. Itu salah satu lukisan paling terkenal di
dunia."
"Alegori Musim Semi. Hanya sedikit orang yang tahu makna lukisan ini
yang sebenarnya. Tapi sekali lagi Sandro mempersembahkan
penghargaan kepada Maria kami. Tokoh sentral dalam lukisan ini adalah
Maria Magdalena yang tengah mengandung perhatikanlah jubah
merahnya. Apakah kalian tahu mengapa Magdalena mencerminkan musim
semi?"
Peter berusaha mengikuti pemikiran Sinclair sedekat mungkin. "Karena
Paskah?"
"Karena Paskah pertama jatuh pada ekuinoks. Kristus disalib pada
tanggal 20 Maret dan dibangkitkan pada 22 Maret.
Legenda esoteris di wilayah ini mengatakan bahwa Magdalena dilahirkan
pada tanggal 22 Maret juga. Hari pertama dalam zodiak pertama, Aries
sang biri-biri jantan. Tanggal itu menandai permulaan baru dan
kebangkitan. Selain itu, angka dua puluh dua dipandang memiliki makna
spiritual sebagai angka sang perempuan suci. Dua puluh dua Maret.
Apakah angka itu berarti bagimu, Maureen?"
Peter sudah memahami hubungannya. Ia menoleh
untuk melihat reaksi Maureen terhadap pengungkapan ini. Cukup lama
Maureen terdiam. Ketika akhirnya menjawab, suaranya pelan bergetar.
"Itu tanggal ulang kelahiranku."
Sinclair menoleh ke Peter. "Dilahirkan pada tanggal kebangkitan,
dilahirkan dengan garis darah Perempuan Gembala. Dilahirkan di bawah
lambang biri-biri jantan pada hari pertama musim semi dan kelahiran
kembali."
Sinclair menyampaikan kesimpulan akhir kepada Maureen.
"Sayangku, kaulah domba paschal."
"Lalu apakah kau bisa menjelaskan semua kebetulan ini, Pete? Suara-
suara itu, visi-visi itu? Karena selain ucapan Sinclair, aku tidak bisa
memberi penjelasan lain." Suara Peter tegas, seolah sedang berbicara
pada
seorang anak kecil. "Kita pergi dari sini besok pagi. Kita bisa mengambil
penerbangan dari Toulouse ke Paris. Bahkan kita bisa memilih
penerbangan dari Carcassonne ke London..."
Maureen mencengkeram pegangan kursi, sikapnya tidak bisa ditawar-
tawar. "Aku tetap di sini, Peter. Aku tidak akan pergi hingga aku
mendapatkan jawaban yang kucari."
Kemarahan menguasai Peter. "Maureen, aku bersumpah pada ibumu
sebelum ia meninggal bahwa aku akan selalu menjagamu, bahwa aku tak
akan membiarkan peristiwa yang menimpa ayahmu..."
Maureen terlihat seperti baru ditampar. Peter cepat cepat
mengembalikan pembicaraan. "Aku minta maaf, Maureen, aku..."
Maureen memotong ucapan Peter dengan dingin. "Ayahku. Terima kasih
karena telah mengingatkanku pada satu alasan lagi mengapa aku harus
tetap tinggal di sini. Untuk mengorek keterangan tentang ayahku dari
Sinclair. Nyaris sepanjang hidup, aku bertanya-tanya tentang ayahku
karena yang dikatakan ibuku hanyalah bahwa ia tidak waras. Kurasa, itu
juga yang ia katakan padamu. Tapi ingatanku pada ayahku, meski remang
sekalipun, membuatku yakin bahwa itu tidak benar. Jika ada orang yang
bisa memberiku penjelasan lebih banyak tentang ayahku, siapa pun dia,
akan kulakukan segala cara untuk menemuinya. Aku berutang pada
ayahku. Dan diriku sendiri."
Peter akan mengatakan sesuatu, tapi ia berpikir u-lang. Alih-alih, ia
membalikkan badan dan meninggalkan ruangan, dengan raut wajah
terluka. Maureen mengawasinya sejenak, perasaannya melunak,
kemudian ia me-
manggil Peter.
"Bersabarlah denganku. Aku harus memecahkan persoalan ini. Bagaimana
kita tahu apakah visi-visi ini memiliki makna atau tidak, jika kita
berhenti di tengah jalan? Bagaimana seandainya ucapan yang dikatakan
Sinclair malam ini benar, meski hanya sebagian kecil? Aku harus tahu
jawabannya, Pete.
Jika aku pergi sekarang, aku akan menyesal seumur hidup. Dan aku tidak
mau hidup seperti itu. Sepanjang hidup, aku selalu lari. Aku lari dari
segala persoalan. Saat masih kecil, aku lari dari Lousiana sedemikian
jauh dan cepat aku berlari hingga aku bahkan tidak ingat apa pun.
Setelah ibuku meninggal, aku lari dari Irlandia dan kembali ke AS. Aku
lari ke suatu kota tempat tak ada kenangan, tempat setiap orang
menjadi seseorang yang berbeda dari yang sesungguhnya. Los Angeles
adalah kota tempat setiap orang seperti aku, setiap orang berlari dari
dirinya yang dulu. Tapi aku tidak mau seperti itu lagi."
Maureen menghampiri Peter dan berdiri di hadapannya.
"Sekarang, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa seolah
sedang berlari menuju sesuatu. Ya, ini memang menakutkan. Tapi aku
tahu, aku tidak bisa berhenti. Dan aku tidak ingin menghadapi semua ini
tanpamu. Tapi aku sanggup dan akan kulakukan jika kau memilih untuk
pergi besok pagi."
Peter mendengarkan luapan perasaan Maureen dengan penuh perhatian.
Setelah Maureen selesai, ia mengangguk pada gadis itu lalu beranjak
pergi. Ia diam berdiri, tangannya memegang pintu. Sebentar kemudian,
ia berbalik mendekati Maureen.
"Aku tidak akan pergi. Tapi tolong, jangan membuat
aku menyesali keputusan ini sepanjang hidupku. Atau hidupmu."
citacita Cathar. Itulah salah satu alasan mengapa Perang Salib yang
membantai Golongan Murni disambut dengan tangan terbuka oleh raja
Prancis. Dengan begitu ia bisa merampas karta yang dulu menjadi milik
Toulouse, memperlebar wilayah kerajaan Prancisnya sendiri, dan
memperluas jaringan sembari menghilangkan pengaruh para musuhnya.
Dengan bangga, Roland menceritakan kampung halamannya dalam dialek
penduduk setempat, disebut Oc, yang menjadi nama wilayah itu. Langue
(bahasa) Oc kemudian lebih dikenal dengan Languedoc. Saat
berbincang-bincang, Peter menyebut Roland sebagai orang Prancis.
Namun lelaki ini langsung menukas seraya mengatakan bahwa ia bukan
orang Prancis, tetapi Occitan.
Roland bercerita panjang lebar tentang berbagai kekerasan di abad ke-
13 yang melukai tanah maupun rekan-rekan sedaerahnya. Ia begitu
memuja sejarah tanah kelahirannya.
"Kebanyakan orang di luar Prancis bahkan tidak tahu tentang Cathar.
Atau, jika mereka tahu, mereka berpikir bahwa itu adalah sekte kecil
yang tidak penting, yang muncul di pegunungan di sini. Mereka tidak
sadar bahwa Cathar adalah ras dan budaya yang dominan dalam sebuah
wilayah Eropa yang luas dan sejahtera. Kejadian yang menimpa wilayah
ini tidak kurang dari genosida. Hampir sejuta orang dibantai oleh
pasukan Paus."
Ia menoleh ke Peter dengan tatapan simpatis. "Saya tidak merasa
dendam dengan kependetaan modern atas dosa-dosa yang dilakukan
gereja pada abad pertengahan, Abbe Healy. Anda menjadi pendeta
karena mendapat
panggilan Tuhan, semua orang bisa melihatnya."
Roland memimpin mereka tanpa berkata-kata. Maureen dan Peter
takjub melihat kastil-kastil megah yang dibangun di puncak gunung yang
bergelombang, nyaris seribu tahun lalu.
Benteng-benteng ini pada dasarnya tak tertembus-kan, mengingat
lokasinya di pegunungan, sekaligus arsitektur yang tak tertandingi pula.
Kedua pelancong itu mengagumi sumber daya suatu kebudayaan yang
Tak seorang pun mampu mengubah hal itu. apalagi menghilangkan aku
sepenuhnya dari sejarah.
Lebih jauh aku diberitahu bahwa Paulus ini menyuarakan makna
kematian Easa. bukan sabda Easa. Ini suatu kesalahpahaman yang patut
disayangkan.
Lelaki bernama Paulus ini cukup lama menjadi tawanan Nero. Aku
diberitahu bahwa ia banyak menulis surat untuk orang kepercayaannya
dan menyampaikan ajaran-ajaran yang ia klaim berasal dari Easa. Tapi
orang-orang yang datang kepadaku mengatakan bahwa tidak sekali pun
ia menyebut tentang JalanNya. bahwa ajaran-ajarannya berbeda dari
jalan kami.
Aku berduka untuk siapa pun yang terluka dan terbunuh oleh Nero yang
jahat itu. Namun aku merasa takut. Aku takut lelaki bernama Paulus ini
akan dipandang sebagai martir besar di JalanNya. dan bahwa banyak
orang akan meyakini ajaran-ajaran palsu sebagai sabda Easa. Padahal itu
keliru.
Sepuluh
Maureen dan Peter mengikuti alunan melodi lagu abad pertengahan saat
berjalan menelusuri ruang-ruang. Mendekati pintu masuk ruang dansa,
untuk pertama kalinya mereka menyaksikan acara mewah nan indah yang
diselenggarakan Sinclair.
Maureen merasa seolah berada di masa yang lain. Loronglorong ruangan
dansa itu dihiasi tirai-tirai beludru. Bebungaan dan lilin-lilin pun turut
memperindah ruangan-ruangan itu hingga ribuan kali lipat. Para pelayan
yang mengenakan wig dan kostum bergerak dengan efisien dan tanpa
menimbulkan bunyi ketika menyediakan makanan dan minuman, serta
"Jangan pedulikan mereka, Nona. Kau wajah baru, dan misteri baru bagi
mereka. Tapi sekarang," ujar Roland menekankan, "mereka akan segera
menerimamu. Mereka tak punya banyak pilihan."
Maureen tidak sempat memikirkan makna ucapan Roland sementara
lelaki ini menuntunnya ke lantai dansa. Tinggallah Peter yang menonton
dengan minat yang membungkah.
"Kau datang pada waktunya. Aku baru saja akan mengajak Yang Mulia ini
melihat pertunjukan sinting. Mau ikut?"
Peter mengangguk, dan tersenyum pasrah pada Maureen, menuruti saja
ke mana Tammy membawa mereka dengan langkah cepat melintasi ruang
dansa.
"Ksatria Naga Merah," jawab Derek dengan nada dramatis yang dibuat-
buat.
"Menakutkan," kata Tammy menambahkan sembari mengerutkan
hidungnya tanda jijik. "Mereka mengenakan kostum seperti seragam Ku
Klux Klan, hanya dari bahan satin merah menyala. Mereka bilang, aku
bisa mengetahui rahasia kelompok mereka jika aku menyumbangkan
darah haid untuk keperluan eksperimen alkemis. Tentu saja aku tolak."
"Siapa yang mau?" jawab Maureen ketus sebelum tawanya meledak. "Di
mana mereka? Aku harus mengetahui seperti apa mereka." Maureen
melihat ke sekeliling ruangan tapi tidak menemukan seorang pun yang
sesuai dengan yang digambarkan Tammy.
"Aku melihat mereka di luar," jawab Newton membantu.
"Tapi aku tidak tahu apakah sebaiknya Maureen melihat mereka
sekarang. Mungkin ia belum siap."
Tammy menjelaskan. "Perkumpulan yang sangat rahasia. Mereka
mengaku keturunan seseorang yang sangat terhormat dan terkenal.
Pemimpin mereka adalah seorang lelaki yang dipanggil Draco Ormus."
"Sepertinya nama itu tidak asing?" tanya Maureen.
"Dia seorang penulis. Di Inggris, kami bernaung di bawah penerbit yang
sama. Itulah sebabnya aku mengenalnya.
Barangkali kau pernah membaca salah satu bukunya saat kau melakukan
penelitian tentang Magdalena. Ironisnya, meski menjunjung tinggi
prinsip wanita dan menganggap penting penghambaan pada dewi, wanita
dilarang menjadi anggota kelompok mereka."
"Inggris sekali," kata Derek, menyikut Sir Isaac yang kelihatannya
tersinggung.
"Jangan bawa-bawa aku dong, Cowboy. Tidak semua orang Inggris
seperti itu."
"Isaac adalah contoh pria yang baik," Tammy menjelaskan.
"Tentu saja, banyak jenius bonafide di Inggris. Sebagian di antara
mereka adalah teman baikku. Tapi berdasarkan pengalamanku, banyak
kalangan eksklusif Inggris yang sombong. Mereka merasa rahasia dunia
ada di tangan mereka, sementara kita khususnya orang Amerika adalah
Aku menamakannya Taman Trinitas dan hanya sedikit orang saja yang
kuizinkan memasukinya dan percayalah padaku, banyak tamu yang hadir
malam ini berani membayar mahal asal dibolehkan melewati gerbang
itu."
Sinclair menambahkan. "Pesta kostum adalah tradisi. Suatu pertemuan
tahunan bagi orang-orang tertentu yang memiliki minat yang sama." Ia
memberi isyarat ke tamu pesta yang berada di selasar di bawah mereka.
"Sebagian aku hormati bahkan aku junjung tinggi. Sebagian kuanggap
teman, sebagian lagi...membuatku senang. Tapi semuanya kuawasi dengan
ketat. Sebagian
bahkan sangat ketat.
"Aku rasa, barangkali menurutmu menarik, menyaksikan bagaimana
orang berdatangan dari segala penjuru bumi untuk meneliti misteri-
misteri di Languedoc."
Maureen memerhatikan pemandangan lewat balkon, menikmati embusan
angin yang membawa aroma mawar awal musim panas dari kebun yang
letaknya tidak jauh dari situ.
Maureen melihat betapa akrabnya Tammy dengan Derek dan Derek
terlihat seolah seia sekata dengan si ratu gipsi yang seksi itu. Maureen
melirik ke seseorang yang disangkanya Peter, tapi pikiran itu langsung
ditepis. Lelaki itu merokok sedangkan Peter tidak mengisap cerutu
sejak remaja.
Mendadak ia menoleh ke Sinclair dan bertanya, "Bagaimana kau
menemukanku?"
Sinclair mengangkat tangan kanan Maureen dengan lembut.
"Cincin ini."
"Cincin?"
"Kau memakai cincin ini di foto, di sampul bukumu." Maureen mengagguk,
mulai paham. "Kautahu apa arti pola ini?"
"Ada teori yang bisa menjelaskan. Itulah sebabnya aku mengajakmu ke
balkon ini. Mari."
Dengan halus Sinclair meraih tangan Maureen dan mengajaknya untuk
kembali memasuki suatu ruangan. Di dalamnya ada sebuah karya seni
4>
Sebelas
tempat yang sepi. Terlalu banyak yang ia alami selama dua puluh empat
jam itu, sekarang kepalanya berdenyut-denyut.
Larut malam, Maureen terjaga karena mendengar suarasuara di lorong
masuk. Ia merasa mengenali suara Tammy yang berbisik-bisik. Suara
berat lelaki membalas dengan berbisik pula.
Kemudian terdengar tawa parau. Tawa khas Tammy, sebagaimana sidik
jarinya. Maureen mendengarkan, senang karena temannya menikmati
pesta.
Maureen tersenyum dan melanjutkan tidur. Dengan kepala masih
mengantuk, ia merasa bahwa suara laki-laki yang berbisik mesra pada
Tammy pastilah bukan logat Amerika.
Carcassonne 25 Juni 2005
sendiri.
Kau akan memperoleh segalanya jika kau berhasil, dan kehilangan
segalanya jika kau gagal.
Permainan telah berubah. Sekarang menjadi jauh lebih berbahaya
dibandingkan yang mereka duga.
Tammy meletakkan sisir lalu menyemprotkan parfum beraroma bunga ke
pergelangan tangan dan lehernya. Ia sedang bersiap-siap untuk
peristiwa yang akan terjadi. Sebelum meninggalkan kamar, ia berhenti
di depan sebuah lukisan mengagumkan yang membuat dinding kamarnya
terlihat indah.
Lukisan itu karya seorang simbolis Prancis, Gustave Moreau,
menampilkan putri Salome dengan balutan kain tujuh lapis, membawa
baki berisi kepala Yohanes Pembaptis.
"Ini baru gadisku," bisik Tammy pada dirinya sendiri lalu berangkat
untuk menuntaskan rencana terbarunya yang sangat penting.
"Bagaimana tidak bisa jika di ranjang seperti itu? Seperti tidur di atas
awan." Semalam Maureen menyadari bahwa ada kasur bulu tebal di balik
seprai katun Mesir yang sangat mahal.
"Bagus sekali. Apa rencanamu pagi ini?"
"Tidak ada sampai jam sebelas. Aku akan bertemu dengan Jean-Claude
hari ini, ingat?"
"Ya, tentu saja. Ia akan membawamu ke Montsegur.
Tempat yang mengagumkan. Aku menyesal karena bukan aku yang
pertama kali menunjukkan tempat itu padamu."
"Maukah kau ikut dengan kami?"
Sinclair tertawa. "Sayangku, Jean-Claude akan menggantung,
menenggelamkan, lalu mencincangku menjadi empat bagian jika aku ikut
denganmu. Kau menjadi primadona sekarang, setelah debutmu semalam.
Tiap orang ingin lebih mengenalmu. Kau akan meningkatkan pamor Jean-
Claude di wilayah ini seratus poin jika ia terlihat berjalan denganmu.
"Tapi aku tidak perlu iri. Ada sesuatu yang akan kutunjukkan padamu,
begitu kau selesai sarapan. Sesuatu
yang aku yakin tak akan kau lupakan."
"Ada apa?"
"Dia hamil. Aku melihatnya. Ia hamil di Via Dolorosa dan...pada
penyaliban."
Sinclair mulai paham apa yang sesungguhnya terjadi, mendadak
langkahnya terhenti. Sekarang, giliran Maureen yang bertanya.
"Ada apa?"
"Apakah kau mengatakan penyaliban? Apakah kau mengalami visi
penyaliban?"
Maureen mulai merasa tenggorokannya tercekat dan air mata
menggenang di matanya. Untuk sesaat ia takut
berbicara, takut jika ia berbicara maka tangisnya akan tumpah. Sinclair
melihatnya, ia berkata dengan sangat lembut.
"Maureen, Cinta, kau bisa percaya padaku. Katakanlah, kumohon. Apakah
kau mengalami visi Magdalena pada peristiwa penyaliban?"
Air mata itu tidak terbendung lagi. Namun Maureen tidak merasa perlu
menahannya. Biarlah ia ceritakan, kalau pun tidak aman, kepada
seseorang yang paham. "Ya," bisiknya.
"Kejadiannya di Notre-Dame."
Sinclair mengulurkan tangan dan menghapus air mata di wajah Maureen.
"Sayangku, Sayangku Maureen. Apakah kautahu betapa luar biasanya
pengalaman itu?"
Maureen menggelengkan kepala. Sinclair melanjutkan percakapan
dengan halus. "Menurut sejarah lokal, ratusan keturunan Magdalena
mengalami mimpi dan visi tentang dia.
Termasuk aku sendiri. Tapi visi-visi itu berhenti sebelum Jumat Agung.
Sepengetahuanku, tidak seorang pun pernah mengalami visi utuh
tentang dia ketika peristiwa penyaliban, kecuali kau."
"Dan mengapa hal itu begitu penting?"
"Karena nubuat itu."
Maureen menunggu penjelasan, yang ia tahu akan muncul.
"Ada sebuah nubuat yang telah diturunkan sejak lama sekali. Legenda
mengatakan bahwa nubuat itu adalah bagian dari kitab nubuat dan
wahyu yang pernah ditulis di Yunani.
Tidak, yang mereka cari adalah seorang keturunan: seorang putri Grail
yang juga dikenal sebagai Dia Yang Dinantikan. Dia adalah anak
perempuan yang memegang kunci yang mereka semua inginkan."
"Tunggu sebentar. Apakah maksudmu perburuan Holy Grail sebenarnya
adalah pencarian seorang perempuan yang dimaksud dalam nubuatmu?"
"Sebagian, ya. Yeshua-Daud, sang putra bungsu, pergi ke Glastonbury di
Inggris bersama kakek sampingnya, seorang lelaki yang dikenal dalam
sejarah sebagai Yusuf dari Aritmatea.
Bersama-sama, mereka menemukan permukiman Kristen pertama di
Inggris. Dari sanalah legenda Grail lahir."
Sinclair menunjuk ke patung lain dalam lingkungan taman yang sama, tapi
letaknya agak jauh. Patung itu berupa seorang raja yang sedang
memegang pedang yang sangat besar.
"Menurutmu, mengapa Raja Arthur dikenal sebagai RajaYang Dulu dan
Yang Akan Datang? Karena darahnya berasal dari Yeshua-Daud. Dari
sanalah lahir orang-orang terhormat Inggris hingga sekarang. Umumnya
mereka berada di Skotlandia."
"Termasuk kau sendiri."
"Ya, dari pihak ibuku. Aku juga mewarisi garis darah Sarah-Tarnar dari
pihak bapakku, seperti juga kamu."
Bunyi deringan mengganggu percakapan mereka. Sinclair menyumpah dan
mengangkat telepon genggamnya, berbicara cepat dalam bahasa Prancis,
tak lama kemudian menutupnya.
"Dari Roland. Jean-Claude sudah datang untuk mengambilmu dariku."
Maureen tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Dia belum siap
menyudahi obrolan itu. "Tapi aku belum melihat taman ketiga."
Wajah Sinclair terlihat menyuram. Entah apa sebabnya, tapi Maureen
merasa yakin.
"Barangkali memang sebaiknya begitu," katanya. "Hari ini sangat indah.
Dan itu," katanya menunjuk dengan anggukan kepala," adalah kebun
putra tertua Magdalena."
dukkan mereka, maka raja memiliki solusi yang ia harap akan menghapus
sebagian dosa masa lalunya.
Pemimpin masyarakat Cathar selebihnya melakukan pertahanan terakhir
di benteng Monsegur pada Maret 1244.
Seperti kaum Yahudi di Masada lebih dari seribu tahun sebelumnya,
mereka berdoa bersama-sama sebagai suatu komunitas, memohon
diselamatkan dari para penindas, dan bersumpah tidak akan
menanggalkan keimanan mereka.
Memang, ada spekulasi bahwa bangsa Cathar memperoleh kekuatan dari
warisan para martir Masada selama penjajahan terakhir. Dan seperti
tentara Romawi yang adalah leluhur mereka sendiri, pasukan Paus
berusaha membuat mereka kelaparan dengan menutup akses ke air dan
makanan. Tindakan ini jelas menimbulkan persoalan di Montsegur,
seperti yang terjadi di Masada. Kedua tempat itu berlokasi di puncak
bukit sehingga nyaris mustahil aman dari segala penjuru. Pemberontak
kedua kebudayaan itu mencari jalan untuk mengacaukan dan
menundukkan para penindas.
Setelah blokade berlangsung beberapa bulan, pasukan Paus merasa
yakin pembangkangan mesti diakhiri. Mereka memberi ultimatum pada
pemimpin Cathar. Jika mereka mengaku dan menyesali perbuatan bidah
dalam ketundukan kepada Inkuisisi, mereka akan dibebaskan. Tapi jika
tidak, mereka semua akan dibakar di atas tungku karena menghina
Gereja Romawi Suci. Mereka diberi waktu dua minggu untuk mengambil
keputusan.
Di hari terakhir, para pemimpin pasukan Paus menyalakan tungku
pembakaran mayat dan meminta jawaban. Dan jawaban yang mereka
peroleh tak akan
pernah dilupakan di Languedoc. Dua ratus warga Cathar muncul dari
persembunyian di Monsegur, mengenakan jubah sederhana dan saling
berpegangan tangan. Dalam kesatuan sempurna, mereka menyanyikan
Doa Bapa Kami dalam bahasa Occitan sambil berjalan menuju tungku
pembakaran massal. Mereka meninggal sebagaimana mereka hidup:
dalam keharmonisan sempurna dengan iman kepada Tuhan.
Diduga, harta itu tidak terlalu berat karena orang-orang yang melarikan
diri itu adalah perempuan muda dan diperkirakan bertubuh mungil.
Selain itu, mereka tentulah lemah setelah berbulan-bulan dalam
keadaan darurat tanpa pasokan air dan makanan. Sebagian orang
mengatakan bahwa mereka membawa Holy Grail, atau mahkota duri,
atau bahkan harta yang paling berharga sedunia, Kitab Cinta."
"Bukankah itu injil yang ditulis oleh Yesus sendiri?" Jean-Claude
mengangguk. "Semua legenda peristiwa ini dipastikan lenyap dari
sejarah di sekitar masa itu."
Semangat sejarawan dan jurnalis Maureen bangkit.
"Adakah buku yang bisa kau rekomendasikan? Dokumen yang bisa aku
jadikan bahan riset dan memberi informasi lebih dalam tentang
peristiwa ini selama aku berada di Prancis?"
Lelaki Prancis itu tertawa kecil dan mengangkat bahu.
"Madamoiselle Paschal, orang-orang di Languedoc ini ahli sejarah semua.
Mereka menjaga rahasia dan legenda tanpa menuliskannya di atas
kertas. Aku tahu, ini sulit dipahami. Tapi lihatlah sekelilingmu, Manis.
Siapa yang memerlukan buku jika semua ini bercerita?"
Sekarang mereka sudah sampai di puncak bukit.
Reruntuhan benteng yang dulunya megah, terbentang di hadapan
mereka. Melihat tembok-tembok batu yang seolah memancarkan
sejarah lingkungan sekelilingnya, Maureen paham maksud ucapan Jean
Claude. Namun Maureen terombangambing antara kesan yang ia tangkap
dengan kebutuhan jurnalisnya untuk mengotentikkan seluruh penemuan
itu.
"Pendapat itu cukup aneh bagi seseorang yang menyebut dirinya
sejarawan," komentarnya.
Sekarang Jean-Claude tertawa keras. Suaranya menggema ke lembah
hijau di bawah sana. "Aku menganggap diriku sendiri seorang sejarawan,
tapi bukan sejarawan akademik. Ada perbedaannya, terutama di tempat
seperti ini. Pendekatan akademik tidak bisa diaplikasikan di sembarang
tempat, Mademoiselle Paschal."
Tapi lihatlah sekelilingmu. Jika kau tidak pernah mendaki gunung ini,
atau menyaksikan tempat pembakaran massal, atau mengamati
betapa tembok-tembok ini tidak tertembuskan, bagaimana kau bisa
paham? Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu."
Maureen mengikuti lelaki Prancis itu ke ujung jurang, tempat tembok-
tembok benteng yang dulunya tak tertembuskan itu hancur berantakan.
Ia menunjuk ke suatu titik yang telah terhempas melewati lereng yang
curam, ribuan kaki di bawah sisi gunung. Angin hangat berembus, meniup
rambutnya sementara Maureen berusaha menempatkan diri dalam posisi
seorang gadis muda Cathar di abad 13.
"Dari titik inilah keempat orang itu kabur," jelasnya.
"Bayangkanlah sekarang, saat kau berada di sini. Di tengah malam yang
pekat, membawa benda pusaka yang sangat berharga yang diikatkan ke
tubuhmu, dalam kondisi lemah setelah berbulan-bulan tertekan dan
kelaparan. Kau masih muda dan ketakutan dan tahu bahwa seandainya
kau selamat, semua orang yang kau cintai akan dibakar hidup-hidup.
Dengan pikiran-pikiran itu di dalam kepala, kau menuruni tembok,
menuju ke cuaca dingin membeku dan kehampaan tengah malam, dan ada
kemungkinan kuat kau akan menempuh ajal."
Maureen menghela napas panjang. Sungguh pengalaman yang menguji
nyali, berdiri di sini, di tempat legenda itu hidup dan sangat nyata di
sekelilingnya.
Jean-Claude memotong lamunan Maureen. "Sekarang, bayangkan jika
kau hanya membaca kisah itu di perpustakaan New Haven. Bukankah
pengalamannya akan berbeda?'
Maureen mengangguk setuju sebagai jawaban, "Tentu saja."
"Oh, aku hampir lupa. Perempuan termuda yang kabur malam itu?
Kemungkinan ia adalah leluhurmu. Orang yang
kemudian memakai nama Paschal. Bahkan mereka menujulukinya La
Paschalina hingga ia meninggal."
Maureen tak bisa berkata-kata mendengar satu lagi informasi
fenomenal tentang leluhurnya. "Seberapa banyak yang kau ketahui
tentang dia?"
"Rencananya empat hari. Setelah itu kami akan pergi ke Paris beberapa
malam. Tapi aku tidak yakin sekarang. Masih banyak yang perlu dilihat
dan dipelajari di sini. Aku banyak mendapat informasi."
Entah mengapa, Jean-Claude terlihat termenung saat mendengar ucapan
Maureen tadi. "Apakah ada kejadian aneh semalam, setelah pesta?
Sesuatu di luar kebiasaan? Mimpi yang lain dari yang lain?"
Maureen menggelengkan kepala. "Tidak, tidak ada. Aku merasa lelah lalu
tertidur pulas. Kenapa?"
Jean-Claude mengangkat bahu kemudian meminta
bon.
Saat ia berbicara, nyaris seperti ditujukan pada dirinya sendiri.
"Kalau begitu kemungkinannya bisa dipersempit."
"Kemungkinan apa yang dipersempit?"
"Oh, kalau kau tidak akan lama di sini, kami mesti memikirkan apa yang
bisa kami lakukan untuk menentukan apakah kau keturunan La Paschalina
atau bukan. Singkatnya, apakah kau adalah Dia Yang Dinantikan, yang
akan memimpin kami menuju harta karun yang sangat rahasia, atau
bukan."
Ia mengedipkan mata menggoda pada Mauren, setelah itu menggeser
kursi untuk mempersilakan gadis itu berdiri, dan mereka bersiap
meninggalkan wilayah Montsegur yang sakral.
"Sebaiknya aku mengantarmu kembali ke chateau sebelum Berenger
memenggal kepalaku."
Dua Belas
Akhirnya, perpaduan antara alkohol dan hasrat pada Tammy yang telah
lama dipendam membuatnya membocorkan lokasi markas besar mereka
yang terletak sedikit di luar Carcassonne.
Atau setidaknya itulah yang ia pikir telah meluncur dari bibir Derek
yang sedang meracau. Hari ini, Derek bahkan telah menawarkannya
untuk melihat tempat keramat itu. Tapi jika Derek tidak berbohong
tentang konsekuensi petualangan tersebut, itu bukan sesuatu yang
diinginkan Tammy.
"Dengar Derek, jika tindakan ini sangat berbahaya, aku tak ingin
mendorongmu melakukannya. Sungguh. Aku dapat menggunakanmu
sebagai narasumber anonim jika aku memutuskan untuk mengulas
Persekutuan rahasia itu dalam proyekku. Lebih baik kita kembali saja ke
Carcassonne dan makan siang. Kau aman mengungkapkan segalanya
kepadaku di kafe pada siang bolong."
Nah. Ia telah memberinya jalan untuk mengelak. Namun keputusan
Derek membuat Tammy terkejut.
"Oh , tidak. Aku ingin menunjukkannya padamu. Bahkan sekarang aku
merasa tidak sabar untuk memperlihatkannya padamu."
Tammy merasa gelisah mendengar nada bicaranya yang antusias.
"Kenapa?"
"Kaulihat saja nanti."
Tammy menatap Derek tidak percaya. "Apakah kau percaya pada semua
itu? Bajingan, Derek, seberapa jauh kau meyakini filosofi macam itu?
Dan tega-teganya kau menyembunyikan rahasia ini dariku?"
Derek hanya mengangkat bahu. "Rahasia memang urusan kami.
Sedangkan tentang filosofi, aku dibesarkan untuk memercayai hal itu
dan mempelajari berbagai teks rahasia selama bertahun-tahun. Kautahu,
semuanya sangat meyakinkan."
"Apanya?"
"Berbagai materi yang kami miliki. Kami menyebutnya The True Book of
the Holy Grail. Materi ini telah diwariskan sejak masa Romawi dari para
pengikut sejati
Sang Pembaptis. Di situ diungkapkan kejadian-kejadian seputar
wafatnya Yohanes dengan rinci. Kau akan melihat bahwa materi itu
memang mengagumkan." "Bisakah aku melihatnya?"
"Aku akan memberimu satu salinannya. Aku memiliki satu di kamar
hotelku." Ada lebih dari sekadar sindiran halus dalam ucapan
terakhirnya.
Tammy menanamkan kesan dalam hati dan berusaha tidak terlihat
takut. Ia sudah bisa menduga apa yang diharapkan Derek sebagai
imbalan dokumen berharga tersebut. Tammy bergerak menjauh,
berjalan pelan untuk melihat berbagai lukisan dalam ruangan itu.
"Apakah kau melihat kesamaan dalam semua lukisan ini?" tanya Derek.
"Selain bahwa semuanya karya Leonardo?" Tammy menggelengkan
kepalanya. Ia tak dapat melihat selain dari hubungan yang sudah jelas
itu. "Tidak. Awalnya aku pikir semuanya gambar Yohanes Pembaptis, tapi
ternyata tidak.
Lukisan itu tampak seperti rincian peristiwa Perjamuan Malam Terakhir,
tapi itu tidak masuk akal mengingat ucapanmu barusan. Mengapa lukisan
itu disimpan di sini jika Persekutuan membenci Yesus karena
menganggapnya seorang perampas dan menyalahkan Maria Magdalena
atas kematian Yohanes?"
"Begini," kata Derek, mengangkat tangan kanannya ke depan wajah
dengan posisi khusus. Telunjuknya mengarah ke langit dan ibu jarinya
Batasan itu menjadi sebuah amandemen dalam The True Book of the
Holy Grail. Baca saja nanti."
Derek menguraikan sejarah singkat Leonardo. Bahwa sang seniman
diabaikan oleh ibu kandungnya dan mengalami masa kanak-kanak yang
suram bersama ibu tiri yang keras.
Bahkan hubungan Leonardo dengan wanita yang terdokumentasikan
seluruhnya bersifat negatif jika tidak
traumatis. Kebenciannya terhadap perempuan telah diteliti dengan
sangat baik oleh para ahli sejarah yang juga melaporkan bahwa sang
seniman pernah dipenjara karena melakukan sodomi. Namun kutukan
yang paling menodai reputasinya terjadi saat Leonardo mengadopsi
seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun sebagai siswa magangnya dan
mengasuhnya sebagai seorang sahabat selama bertahuntahun.
Meski kehidupan pribadinya sarat dengan skandal, Leonardo berusaha
tidak terlibat masalah dengan pihak berwenang. Caranya dengan melukis
untuk Gereja dan bersandar pada sejumlah hartawan yang kerap
membantunya.
"Setiap dipaksa melukiskan seorang perempuan, seperti Mona Lisa, ia
mengubahnya menjadi lelucon, kebanyakan untuk menghibur dirinya
sendiri. Begitulah caranya menghadapi tekanan melukis sesuatu yang
tidak ia sukai."
Derek kembali ke Madonna of the Rocks. "Setahu kami, satu-satunya
perempuan yang ia hormati adalah Elisabeth, seorang perempuan dan ibu
yang sempurna. Perempuan terhormat sejati. Lihat, di sini ia sedang
menggendong bayi, anaknya. Jelas bayi itu adalah Yohanes."
Tammy mengangguk. Bayi yang meringkuk dalam dekapan perempuan itu
tak diragukan lagi memang Yohanes Pembaptis.
"Sekarang lihatlah tangan kiri Elisabeth. Ia mendorong bayi Kristus
menjauh, artinya bayi itu lebih rendah dibandingkan putranya sendiri.
Leonardo bahkan secara fisik menempatkan Yesus di bawah Yohanes
untuk menunjukkan kerendahannya.
Dan akhirnya, lihatlah mata malaikat Uriel. Siapa yang ditatapnya
dengan penuh kasih? Kaulihat pada lukisan pertama?
Tapi Tammy tidak berani mengucapkan sepatah kata pun yang bisa mem
bahayakan jiwanya sebelum ia keluar dari pintu dengan selamat.
Derek belum selesai. "Omong-omong, jika aku adalah kamu, aku pasti
akan mengeluarkan si rambut merah itu dari Languedooc sesegera
mungkin."
Tammy berbalik ke arah pintu tapi kemudian berhenti. Ada pertanyaan
terakhir yang harus ia ajukan. Ia harus tahu, seberapa jauh Derek
mengelabuinya selama beberapa tahun ini.
"Bagaimana perasaanmu tentang semua ini?" tanyanya pelan.
"Sama sekali tidak peduli," jawab Derek, merasa luar biasa bosan dan
ingin segera kembali tidur akibat anggurnya.
"Walaupun temanmu itu kelihatannya cukup baik, tetap saja dia
keturunan Yesus. Jadi dia musuh biologisku. Begitulah.
Mungkin kau tidak paham, tapi latar belakang keyakinan kami sangat
panjang. Mengenai penemuan gulungan naskah oleh si jalang itu,
tampaknya semua orang yakin kali ini bakal terjadi.
Sebab temanmu itu cocok dengan seluruh kriteria dalam nubuat.
Bukan cuma sebagian saja. Tapi aku sendiri tidak khawatir. Lagi pula,
apa masalahnya?"
Derek tertawa sejenak lalu berbaring ke samping, bertumpu pada
sikunya agar bisa memandang Tammy. "Kautahu, lucunya tidak seorang
pun menginginkan isi
gulungan kertas itu. Vatikan tidak menginginkan naskah itu karena
isinya, tidak juga para pemeluk Kristen pada umumnya. Para sejarawan
pun tidak sebab pusaka itu membuat seluruh peneliti ilmiah dan para
sarjana Alkitab terlihat seperti sekumpulan idiot. Jadi kemungkinannya
musuh kami sendiri yang akan menguburkan naskah itu sebelum
masyarakat luas mengetahui isinya. Dengan begitu kami tidak perlu
repot-repot mengurusinya begitulah aku melihat persoalan ini."
Derek menguap lagi. Seolah topik itu terlalu menjemukan untuk
dibicarakan lebih lanjut, ia kembali membalik punggungnya sambil
menambahkan, "Tentu saja, kami benci karena naskah itu memuat
berbagai kebohongan tentang Yohanes Pembaptis.
Tammy ingin kabur dari hotel, menjauh dari Derek beserta filosofi
penuh kebenciannya secepat mungkin. Dia mencengkeram erat telepon
selulernya lalu menariknya keluar dari sakunya begitu sudah berada di
luar. Tak ada waktu lagi untuk berpikir, tak ada waktu untuk melakukan
apa pun selain mencari tahu di mana Maureen sekarang ini.
Tammy menekan tombol speed dia! ke Roland dan merasa ingin menangis
saat mendengar suara pria itu yang menenangkan dengan aksen
Occitannya. Hubungan telepon sangat buruk sehingga ia mesti berteriak
beberapa kali agar bisa terdengar.
"Maureen! Di mana Maureen sekarang, apakah kau tahu?" Sial! Jawaban
Roland tak terdengar. Tammy
kembali berteriak. "Apa? Aku tak bisa mendengarmu. Berteriaklah,
Roland. Berteriaklah supaya aku bisa mendengarmu."
Roland berteriak. "Maureen. Ada. Di sini." "Kau yakin?"
"Ya. Dia mencarimu tadi, dia...."
Hubungan terputus. Itu sudah cukup, pikir Tammy. Aku tak ingin
menjelaskan apa pun pada Roland sebelum aku memikirkan semuanya.
Selama Maureen aman di Chateau des Pommes Bleues, berarti ada
waktu untuk kembali bersama. Ia akan menemui Sinclair sebelum makan
malam untuk menyusun strategi.
Tammy mengecek waktu pada telepon selulernya. Dia dijadwalkan
bertemu dengan sopirnya kurang dari setengah jam lagi di dekat
gerbang kota. Jaraknya sebenarnya tidak begitu jauh dari tempat dia
berada saat ini. Tapi Tammy merasa lemas dan tidak yakin apakah ia
bisa sampai di tempat itu dengan cepat karena kakinya gemetar. Ia
mulai berjalan, mencoba bernapas dengan tenang sambil menimbang-
nimbang seluruh informasi mengejutkan dari dan tentang Derek. Saat
merasa segalanya mulai terang, Tammy merasa perutnya bergejolak.
Dilihatnya taman sebuah hotel kecil di depannya. Tammy berlari dan
sampai di rerumputan tepat pada saat ia tak sanggup lagi
menahan muntah.
telah hancur. Karena wilayah reruntuhan itu sangat luas, segera saja ia
mendapati dirinya sendirian, terpisah dari para peziarah lain yang
menjelajahi bagian lain situs suci itu dengan alasan masing-masing. Ada
kesunyian mencekam di tempat ini. Ada kesenyapan yang tenang
bagaikan puing di dalam reruntuhan itu sendiri, yang senyata bebatuan.
Ketika menatap lekat reruntuhan mosaik Romawi tersebut, ia merasa
larut dalam sensasi. Lalu, ia melihat dirinya.
Peristiwa itu terjadi dengan cepat dan tanpa diundang, sebagaimana
berbagai visi sebelumnya. Ia tak lagi bisa mengingat kembali bagaimana
ia tahu ada seorang bocah perempuan di sana. Ia hanya tahu, ada
keberadaan lain di ruangan tersebut. Sekitar sepuluh kaki darinya,
seorang anak yang tak lebih dari empat atau lima tahun sedang
menatapnya dengan matanya yang bulat dan hitam. Pakaiannya
compangcamping dan kotor. Air mata bercampur lumpur melumuri
wajahnya. Bocah itu tidak berbicara, tapi dalam momen itu Maureen
tahu bahwa namanya Hannah. Dan bahwa ia telah
menyaksikan berbagai kejadian yang tidak selayaknya disaksikan
seorang anak.
Maureen juga tahu bahwa entah dengan cara bagaimana anak itu
selamat dari tragedi Masada yang tak terperikan.
Anak itu telah pergi dan membawa kisah-kisah itu bersamanya. Itulah
amanatnya, untuk menyebarkan peristiwa sesungguhnya yang terjadi di
sana kepada kaumnya.
Maureen tidak tahu, sudah berapa lama bocah itu berada di hadapannya.
Ada kesan, waktu tidak mengada dalam visivisinya.
Apakah beberapa menit? Detik? Ataukah abadi?
Belakangan Maureen berbincang-bincang dengan salah seorang pemandu
wisata dari Israel di Masada. Lelaki tersebut masih muda dan bersikap
terbuka. Maureen merasa terkejut sendiri karena menceritakan
pengalaman itu kepada lelaki yang belum dikenal. Lelaki itu mengangkat
bahu.
Menurutnya, menyaksikan hal-hal semacam itu di tempat yang
menggugah perasaan bukanlah sesuatu yang tidak wajar atau tidak
... Easa adalah putra yang disebutkan dalam nubuat, semua orang sudah
mengetahuinya. Dan nubuat itu melahirkan pula sebuah takdir yang
mesti dilakoni dengan cara yang tepat Easa telah melakoninya. Bukan
demi kejayaan pribadi, namun untuk membuat peranannya sebagai
mesias lebih mudah dipahami dan diterima oleh bani Israel. Semakin
tepat Easa menjalani perannya dalam nubuat semakin kuat umat
sepeninggalnya.
Namun bahkan dengan itu semua, kami tak pernah menduga kejadiannya
akan seperti ini.
Easa memasuki Yerusalem berkendara keledai seraya hendak memenuhi
perkataan nabi Zakaria tentang kedatangan seseorang yang terpilih.
Kami mengikutinya dengan membawa dedaunan palma dan menyanyikan
bosanna. Kerumunan orang bergabung bersama kami saat memasuki
Yerusalem, dan perasaan gembira serta harapan terasa di udara. Banyak
yang mengikuti kami berasal dari Bethany. dan kami bertemu dengan
para sekutu Simon. kaum
Tiga Belas
Makan malam di chateau selalu bukan perkara sederhana jika ada tamu,
seperti malam ini. Berenger Sinclair telah mempersiapkan staf dapur
dan staf gudang bawah tanah tempat penyimpanan anggurnya untuk
menyajikan sebuah pesta jamuan bergaya abad pertengahan dan era
kemerosotan ala Languedoc.
Percakapan yang terjadi pun sama liarnya. Tammy mengerahkan daya
tariknya dengan kepercayaan diri yang layak diberi penghargaan Oscar.
Ia tampak natural dengan sikap blak-blakan yang memang ciri khasnya.
Dengan tenang, Maureen menikmati perdebatan antara Sinclair dan
Tammy di satu pihak dengan Peter di pihak lain, karena tahu sepupunya
memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam topik teologi. Maureen
yakin akan hal ini berdasarkan pengalamannya sendiri.
Sinclair memulai dengan sebuah umpan. "Berdasarkan sejarah, kita tahu
bahwa Perjanjian Baru seperti yang ada saat ini dibentuk di Konsili
Nicea. Kaisar Constantine dan penasihatnya memiliki banyak injil yang
bisa dipilih, tapi mereka hanya memilih empat. Keempat injil itulah yang
menyaksikannya."
Sinclair mengangguk. "Kuakui kau memang tidak seperti yang kami duga,
Bapa Healy."
"Dan apa dugaanmu, Lord Sinclair?" tanya Peter.
"Mmm, maaf saja karena aku mengira akan menemui seorang anjing
penjaga Roma. Seseorang yang tenggelam dalam dogma dan doktrin."
Peter tertawa. "Ah, tapi Lord Sinclair, kau melupakan satu hal yang
sangat penting. Aku bukan hanya seorang pendeta, tetapi juga seorang
Yesuit. Ditambah lagi seorang Irlandia."
"Salut, Bapa Healy." Sinclair mengangkat gelas untuk Peter.
Gereja Peter, Society of Jesus, yang lebih dikenal sebagai kaum Yesuit,
memfokuskan diri pada pendidikan dan tujuan kecendekiawanan. Meski
merupakan unit gereja terbesar dalam Katolisisme, kelompok
konservatif dalam Gereja Katolik Roma biasanya memandang mereka
memiliki hukum sendiri dan ini telah berlangsung selama ratusan tahun.
Mereka dijuluki "serdadu Paus," meski beredar pula isu bahwa kaum
Yesuit memilih pemimpin dari ordo mereka sendiri dan patuh pada Roma
hanya sebatas formalitas dan seremonial.
Sekarang Tammy merasa penasaran. "Apakah pendeta-pendeta di
gerejamu juga berpendapat begitu? Maksudku, tentang peran wanita."
"Tidak bijak jika kita memukul rata," jawab Peter. "Seperti yang
dikatakan Maureen, masyarakat cenderung menyamaratakan pendeta
seolah kami semua berpikir dengan otak yang sama. Ini tentu saja tidak
benar. Pendeta juga manusia, dan banyak di antara kami yang sangat
cerdas, berpendidikan tinggi, juga berkomitmen
dalam hal keimanan. Tiap orang menarik kesimpulannya sendiri.
"Tapi ada sesuatu yang perlu kita bicarakan secara panjang lebar
menyangkut Maria Magdalena dan keakuratan keempat Injil. Para rasul
pria tentunya malu karena Yesus ternyata memercayakan keseluruhan
misiNya kepada perempuan, apa pun kedudukannya dalam kehidupan dan
gerejaNya. Dia tetap seorang perempuan yang hidup pada masa ketika
kaumnya dianggap tidak setara dengan lelaki. Jadi para pewarta Injil
terpaksa menulis uraian tentang dia karena itulah kebenaran, betapapun
Sinclair menawarkan diri untuk tetap menemani Maureen, tapi gadis itu
menolak. Maureen terguncang hingga ke lubuk hati, ia ingin sendirian.
Terlintas dalam pikirannya untuk membangunkan Peter, tapi niat ini
diurungkan. Dia perlu memikirkannya dulu. Dan tanpa sengaja Peter
telah mengatakan bahwa ia "berjanji kepada ibunya untuk tak
membiarkan hal yang sama terjadi". Ucapan ini membuat Maureen curiga
dan tidak nyaman. Selama ini Peter selalu menjadi tempatnya bersandar.
Ia adalah lelaki yang memberikan rasa aman.
Maureen terang-terangan menunjukkan keyakinannya bahwa Peter tak
akan pernah melakukan sesuatu yang ia
pikir bukanlah hal terbaik bagi keamanan Maureen. Tapi bagaimana jika
Peter bekerja berdasarkan informasi yang salah? Pemahaman Peter
tentang masa kecil Maureen, yang tak pernah mau ia ungkapkan dalam
kondisi apa pun, berasal dari satu sumber, ibu Maureen.
Ibunya. Maureen duduk di ranjang berpegas, sedikit bersandar pada
bantal berbordir. Bernadette Healy adalah seorang perempuan keras
dan tak kenal kompromi, atau begitulah seingat Maureen. Satu-satunya
petunjuk bahwa mungkin dulu ia memiliki kepribadian berbeda berasal
dari beberapa lembar foto. Maureen memiliki beberapa foto ibunya di
Louisiana, sedang menggendong dirinya saat masih bayi.
Bernadette terlihat bercahaya di hadapan kamera, tampak bangga
sebagai seorang ibu baru.
Tidak jarang Maureen bertanya-tanya peristiwa apakah yang telah
mengubah Bernadette, yang membuatnya berpaling dari sosok seorang
ibu belia dan penuh harap dalam foto-foto itu menjadi seseorang yang
sangat tegas seperti yang ia ingat?
Ketika mereka pindah ke Irlandia, Maureen dibesarkan terutama oleh
bibi dan pamannya orangtua Peter. Ibunya menitipkan Maureen di
tempat aman dan terpencil di komunitas peternakan Irlandia Barat,
sementara Bernadette sendiri kembali menjadi perawat di kota Galway.
Maureen jarang melihat ibunya, hanya saat Bernadette kembali ke desa
itu karena tugas atau kewajiban. Hubungan mereka semakin kaku karena
sang ibu semakin lama semakin asing di mata putrinya. Maureen merasa
keluarga Peter seperti keluarganya sendiri dan menyatu dalam
kehangatan keluarga besar dan ramai itu. Bibi Ailish, ibu Peter, mengisi
peran seorang ibu bagi Maureen.
Gadis ini memperoleh sikap hangat dan selera humor berkat pengaruh
keluarga Peter. Sedangkan kecenderungan menutup diri, teratur, dan
berhati-hati ia warisi dari ibunya.
Empat Belas
Banyak orang yang akan terkejut (jika tahu) bahwa aku memasukkan
seorang perempuan Romawi. Claudia Procula. cucu Augustus Caesar dan
anak angkat Kaisar Tiberius. ke dalam deretan pengikut kami. Namun,
bukanlah statusnya sebagai seorang Romawi yang membuatnya tidak
diharapkan untuk berada di antara kita. Akan tetapi dia adalah istri
Pontius Pilatus. petugas yang menghukum Easa ke tiang salib.
Di antara banyak orang yang membantu kami di hari-hari kegelapan.
Claudia Procula mempertaruhkan sama atau bahkan lebih besar
dibandingkan mereka, demi Easa. Jelas yang ia korbankan jauh lebih
besar dibandingkan kebanyakan orang.
Namun malam hari itu di Yerusalem, ketika nyawa kami berada di ujung
tanduk, dia dan aku menyatu dalam hati dan jiwa kami. Semenjak hari
itu kami menjalin hubungan erat. sebagai istri sebagai ibu. sebagai
perempuan. Dari matanya aku tahu kalau dia akan menjadi seorang putri
JalanNya ketika waktunya tiba. Aku bisa melihatnya, pancaran sinar
yang muncul seiring perubahan, ketika seorang lelaki atau perempuan
melihat Tuhan dengan jelas untuk kali pertama.
Dan hati Claudia dipenuhi cinta dan pengampunan. Bahwa ia tetap
bersama Pontius Pilatus dengan segala peristiwa itu adalah sebuah
petanda kesetiaannya. Hingga lelaki itu meninggal, ia
berkorban baginya dengan pengorbanan yang hanya bisa dilakukan oleh
seorang perempuan yang benar-benar mencintai. Inilah yang aku
ketahui.
Kisah Claudia belum diungkapkan. Aku berharap bisa melakukannya
dengan adil.
Lima Belas
Dan Tammy telah berkorban jauh lebih banyak dibandingkan yang kalian
ketahui. Dia tidak mementingkan diri sendiri, dan dia seorang pejuang
sejati yang membela JalanNya."
Maureen berusaha menyatukan semuanya kebohongan, penipuan yang
disengaja, tahun-tahun penuh dengan nubuat dan mimpi aneh. Semuanya
terlalu berat dengan kondisinya sekarang. Kekesalannya barangkali
terlihat, karena Peter langsung menyela.
"Sudah cukup untuk sekarang. Begitu kaupulih, mereka akan
menjelaskan segala yang belum kauketahui."
Maureen diam sejenak. Tapi masih ada satu pertanyaan sangat penting
yang perlu dijawab. "Kapan kita membuka peti itu?"
Ia benar-benar heran karena mereka belum melakukannya.
Orang-orang ini telah menghabiskan banyak waktu untuk menemukan
harta karun ini. Menyangkut Sinclair, sudah beberapa generasi yang
menghabiskan jutaan dolar demi tujuan yang sama. Meskipun mereka
memandangnya sebagai Dia Yang Dinantikan, Maureen merasa tidak
pantas melihat peti itu sebelum mereka. Tapi Sinclair berkeras tak
seorang pun bahkan boleh menyentuh peti sebelum Maureen siap. Dan
secara pribadi, Roland selalu menjaga peti itu sepanjang malam. Ia tidur
di antara pintu dan peti.
"Sampai kau siap turun ke lantai bawah," jawab Sinclair.
Roland merasa gelisah. Suatu pemandangan menarik jika menyangkut
orang sebesar dia. Tammy menangkap kegelisahaannya, ia bertanya
dengan perasaan prihatin, "Ada apa, Roland?"
Raksasa Occitan itu berjalan mendekati Maureen. "Peti itu.
Pusaka yang suci, Mademoiselle. Aku pikir...aku percaya jika kau
menyentuhnya, peti itu akan menyembuhkan lukamu?"
Maureen sangat tersentuh dengan keyakinan lelaki itu. Ia mengulurkan
tangan dan meraih tangan Roland. "Barangkali kau benar. Coba lihat,
apakah aku bisa berdiri..."
Peter merasa cemas. "Apakah kau yakin sudah siap mencoba secepat
ini? Koridornya cukup panjang, dan ada beberapa anak tangga."
Roland tersenyum pada Peter, kemudian pada Maureen.
Kemudian Tammy duduk di salah satu ujung sofa, dan Peter duduk di
ujung lain. Sinclair dan Roland tetap berdiri. Tak ada yang bergerak
atau berbicara untuk waktu yang lama. Kesunyian itu dipecahkan oleh
isak kecil Maureen.
Tak ada yang bergerak saat Maureen menyorongkan tubuhnya dengan
hati-hati. Kedua tangannya diletakkan pada penutup peti besar itu,
Maureen memejamkan mata. Air mata menetes dari pelupuk matanya,
mengalir ke pipi. Akhirnya ia membuka mata dan melihat wajah-wajah di
sekelilingnya.
"Pusaka itu ada di sini," bisiknya. "Aku bisa merasakannya."
"Apakah kau sudah siap?" tanya Sinclair lembut.
Maureen tersenyum padanya. Senyuman tenang dan penuh makna yang
mengubah wajahnya. Sejenak ia bukanlah Maureen Paschal. Ia
seseorang yang berbeda total. Seorang perempuan yang dipenuhi cahaya
dan kedamaian batin. Belakangan, saat Berenger Sinclair
mengenang momen ini, ia berkata bahwa yang dilihatnya adalah Maria
Magdalena sendiri yang sedang duduk di tempat Maureen.
Maureen menoleh ke Tammy sambil tersenyum penuh
kasih.
Ia menjangkau tangan Tammy dan meremasnya sesaat, kemudian ia
lepaskan. Dalam momen yang singkat itu, Tammy tahu bahwa ia telah
dimaafkan. Mereka datang ke tempat itu untuk suatu tujuan suci, suatu
kepentingan luhur. Semua yang berada di ruangan itu tahu. Pengetahuan
itulah yang mengubah mereka semua, sekaligus menyatukan mereka
untuk selamanya.
Tammy membenamkan wajah dalam kedua tangannya lalu menangis pelan.
Sinclair dan Roland berjongkok di samping peti dan memandang Maureen
untuk mendapat penegasan. Ketika ia mengangguk, kedua lelaki itu
mendongkrak penutup peti dengan jari, bersiap-siap karena menduga
peti itu akan sulit dibuka.
Namun ternyata engsel peti tidak berkarat seperti layaknya benda-
benda tua. Tanpa susah payah, peti itu terbuka.
Sedemikian mudahnya hingga Roland kehilangan keseimbangan.
Peter merasa gelisah di samping Maureen. Tapi dialah yang pertama kali
memecah keheningan. "Toples itu
keduanya nyaris sama persis dengan yang digunakan sebagai wadah
Naskah Laut Mati."
Roland berjongkok di samping peti dan mengusap-usap bagian atas salah
satu toples. "Sempurna," bisiknya.
Sinclair mengangguk. "Tentu saja. Dan lihatlah, tak ada debu atau erosi
dan tanda usang atau lapuk. Seolah toples ini tidak terpengaruh waktu."
Roland berkomentar, "Ada sesuatu yang melapisi tutup toples."
Maureen meraba bagian atas salah satu toples, ia tersentak seolah
terkena aliran listrik. "Mungkinkah lilin?"
"Tunggu sebentar," sela Peter. "Kita perlu berdiskusi sebentar. Kalau isi
kedua toples ini sesuai dengan yang kalian harap dan kalian yakini, kita
tidak berhak membukanya."
"Tidak? Lalu siapa?" nada suara Sinclair tajam. "Gereja?
Toples ini tak akan pergi ke mana pun hingga kita semua bisa
memverifikasi isinya. Lagi pula, ruangan Vatikan adalah tempat terakhir
yang kupilih untuk menyimpan toples-toples ini. Di sana, kedua benda
suci ini akan disembunyikan dari dunia selama dua ribu tahun."
"Bukan itu maksudku," kata Peter, lebih tenang dibandingkan yang
sebenarnya ia rasakan. "Maksudku, jika ada dokumen dalam toples yang
telah ditutup selama dua ribu tahun ini, paparan mendadak ke udara bisa
membuatnya rusak, bahkan hancur. Aku hanya mengusulkan untuk
mencari pihak netral barangkali lewat pemerintah Prancis untuk
membuka toples.
Jika kita membuatnya rusak, tak akan ada yang bisa kita tunjukkan,
padahal kalian telah melakukan pencarian ini seumur hidup. Dan itu
termasuk tindakan kriminal,
secara harfiah dan spiritual."
Sinclair menghadapi dilema. Pikiran membuat isi toples itu rusak terlalu
menakutkan untuk dibayangkan. Tapi godaan impian seumur hidup yang
kini hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari jarinya sulit ditepis,
selain prasangka batinnya bahwa ada pihak luar yang terlibat dalam
urusan garis darah ini. Sejenak ia tak mampu berkata-kata, sementara
Roland berlutut di hadapan Maureen.
"Madernoiselle," ujarnya, "keputusan berada di tanganmu.
Aku percaya, dialah yang membawamu kepada kami dan lewat kaulah dia
akan memberitahukan wasiatnya kepada kami."
Maureen hendak menjawab Roland, tapi ucapannya terhenti karena
gelombang rasa pusing menerpa dirinya.
Berbarengan, Peter dan Tammy menjulurkan tangan untuk menopang
tubuh Maureen. Semuanya menjadi gelap bagi gadis itu, tapi cuma
sejenak. Kemudian segalanya menjadi jernih seperti kristal. Saat kata-
kata itu meluncur, bunyinya seperti sebuah titah. "Buka toples itu,
Roland."
Perintah itu keluar dari mulut Maureen, tapi suara yang berbicara
bukanlah dia.
Dengan hati-hati Sinclair dan Roland mengangkat kedua toples itu dari
peti dan meletakkannya di atas meja mahogani besar.
Roland menunda instruksi itu dengan satu pertanyaan.
"Yang mana yang lebih dulu."
Ditopang Peter dan Tammy di kanan dan kirinya, Maureen menunjuk
salah satu toples. Ia tidak bisa mengatakan mengapa ia memilih toples
itu. Ia tahu begitu saja bahwa pilihan itulah yang tepat. Roland menuruti
perintah Maureen. Ia menelusuri jarinya ke bibir toples. Sinclair
mengambil alat antik untuk membuka surat dari meja kerjanya dan
menoreh lapisan lilin.
Tammy berdiri diam, terpesona, matanya tak pernah lepas dari Roland.
Peter tampak takut. Di antara mereka, dialah satu-satunya orang yang
tahu bagaimana mengurusi dokumen kuno dan datadata masa lampau
"Akulah istri sah Yesus, dijuluki sang mesias, yang adalah putra agung
dari keluarga Daud."
Enam Belas
Peter yang lebih dulu bicara, suaranya lembut dan penuh kekaguman.
"Apa yang terjadi, Maureen? Bagaimana kita bisa sampai di sini, menjadi
bagian semua ini? Rasanya seperti mimpi, seperti...sebuah keajaiban.
Apakah semua ini terasa nyata bagimu?"
Maureen mengangguk. "Ya, aku tak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi
aku merasakan semacam ketenangan.
Seolah peristiwa ini terjadi sesuai dengan rencana. Dan kau sama
terlibatnya seperti aku, Pete. Bahwa kau datang ke sini bersamaku
bukanlah kebetulan, atau bahwa kau mengajar bahasa kuno dan bisa
menerjemahkan bahasa Yunani. Semua ini...telah diatur."
"Aku memang merasa menjadi bagian dalam suatu rencana mahabesar.
Tapi aku tidak tahu bagian mana, atau mengapa aku."
Maureen berhenti untuk mencium sekuntum mawar merah cantik yang
telah mekar sempurna. Lalu ia menoleh kembali ke Peter. "Berapa lama
semua ini berlangsung? Apakah rencana itu sudah dibuat sebelum kita
lahir? Dulu sekali? Apakah kakekmu ditakdirkan bekerja di
perpustakaan Nag Hammadi agar kau siap untuk peristiwa ini? Ataukah
kejadian ini telah direncanakan dua ribu tahun lalu ketika Maria
menyembunyikan injilnya?"
Peter diam sejenak sebelum menjawab. "Kautahu, sebelum semalam aku
akan memberikan jawaban yang jauh berbeda dengan jawabanku
sekarang."
"Mengapa?"
"Karena dia, dan kata-katanya dalam naskah itu. Ia mengatakan persis
seperti yang baru saja kau ucapkan ini
mengagumkan. Ia mengatakan bahwa sebagian hal telah tertulis dalam
rencana Tuhan, bahwa sebagian orang di takdirkan memainkan suatu
peran. Maureen, ini menakjubkan. Aku membaca kisah Yesus dan rasul
rasulnya dari sumber langsung yang mengungkapkan semua itu dalam
bahasa yang dipahami manusia. Tak ada yang serupa dengan..." ia ragu-
ragu sejenak untuk menggunakan kata itu-"...injil ini dalam literatur
mana pun yang dimiliki Gereja. Aku merasa tidak layak."
"Kau layak," Maureen meyakinkan Peter sungguh-sungguh.
"Kau dipilih untuk melakukan tugas ini. Lihatlah betapa besar campur
tangan Tuhan untuk membawa kita bersama-sama, ke tempat ini dan
pada waktu sekarang ini, untuk menceritakan kisah ini."
"Tapi kisah apa yang kita ceritakan?" Peter tampak tersiksa, dan untuk
pertama kalinya Maureen menyaksikan lelaki ini bergumul dengan
semacam iblis batin yang sangat kuat. "Kisah apa yang aku ceritakan?
Jika Injil-injil ini otentik..."
Maureen menghentikan langkahnya dan memandang Peter dengan
tatapan tak percaya. "Bagaimana kau bisa sangsi?
Setelah segala kejadian yang membuat kita sampai ke sini, ke tempat
ini?" Maureen menyentuh belakang kepalanya yang beberapa waktu lalu
terluka parah dan sekarang dalam proses penyembuhan.
"Bagiku, ini persoalan keimanan, Maureen. Naskah itu terjaga dengan
sempurna, tak ada kerusakan, tak ada kata yang hilang. Toples-toples
itu bahkan tidak kotor sama sekali.
Bagaimana bisa? Hanya ada dua kemungkinan:
pemalsuan era modern atau kehendak ilahi."
"Menurutmu yang mana?"
"Aku menghabiskan waktu dua puluh jam penuh untuk menerjemahkan
dokumen yang paling menakjubkan. Dan kebanyakan yang kubaca pada
dasarnya adalah...bidah, tapi juga memberikan suatu visi Yesus yang
indah dengan cara yang luar biasa dan manusiawi. Tapi pendapatku tidak
penting.
Naskah-naskah itu masih harus ditentukan keasliannya lewat proses
seksama agar dunia luas menerimanya."
Peter terdiam, memanfaatkan waktu untuk berda-mai dengan segala
yang berkecamuk dalam kepalanya. "Jika terbukti otentik, naskah-
naskah itu akan menantang sistem keyakinan sebagian besar umat
manusia selama dua ribu tahun terakhir.
Juga menantang segala ajaran yang pernah aku terima, segala yang
pernah aku yakini."
Maureen cukup lama memandang lelaki itu, sepupu sekaligus sahabat
terdekatnya. Ia mengenal Peter sebagai batu, sebagai pilar kekuatan
dan integritas yang mutlak. Peter juga seorang lelaki dengan keimanan
dan kesetiaan kokoh terhadap Gereja.
Maureen bertanya singkat, "Apa yang akan kau lakukan?" "Aku belum
sempat berpikir sejauh itu. Aku harus melihat dulu isi naskah selebihnya
untuk mengetahui seberapa besar kontradiksinya, atau mudah mudahan
peneguhan, dengan kisahkisah injil sebagaimana yang kita ketahui. Aku
belum sampai ke deskripsi Maria tentang peristiwa penyaliban atau
kebangkitan."
Maureen tiba-tiba saja paham mengapa Peter begitu enggan
meninggalkan naskah sebelum ia selesai menerjemahkan.
Pengakuan keotentikan penuturan Maria Magdalena tentang peristiwa-
peristiwa sesudah penyaliban boleh jadi sangat berdampak terhadap
sistem keyakinan yang dianut sepertiga populasi bumi. Ajaran Kristen
menjadikan pemahaman bahwa Yesus bangkit dari kematian di hari
ketiga sebagai landasan.
Dan karena Maria Magdalena adalah saksi utama kebangkitannya,
menurut uraian Injil, maka penuturan peristiwa-peristiwa itu dari
versinya sendiri bersifat vital.
Semasa melakukan riset, Maureen menjadi tahu bahwa para teoretikus
yang telah membuat tulisan tentang Maria Magdalena sebagai istri
Yesus secara berlebihan juga membuat pernyataan bahwa Yesus
bukanlah putra Tuhan dan tidak bangkit dari kematian. Ada berbagai
hipotesis tentang kehidupan Yesus setelah penyaliban. Teori yang cukup
umum menyatakan bahwa tubuh fisiknya dipindahkan oleh para
pengikutnya. Tapi tak ada yang berteori bahwa Yesus menikah dan
menjadi Putra Tuhan.
Dengan alasan tertentu, kedua kondisi itu selalu dianggap saling
eksklusif, tidak bisa berlaku dua-duanya. Barangkali itulah alasannya
mengapa keberadaan Maria sebagai rasul pertama selama ini dianggap
sangat mengancam Gereja.
Tidak diragukan, semua gagasan ini berkecamuk dalam benak Peter
dalam beberapa jam terakhir yang menegangkan ini. Akhirnya ia
menjawab pertanyaan Maureen.
Tujuh Belas
Galilee(1) 26 M
Tanah terasa lunak dan dingin di antara jemari kaki Maria. Ia menunduk
melihat kakinya, sadar bahwa kaki yang telanjang itu benar-benar kotor.
Tapi ia tidak peduli sama sekali. Lagi pula, kondisi itu justru serasi
dengan keseluruhan penampilannya hari ini. Rambut panjangnya yang
cokelat kemerahan dan mengilap terurai lepas ke pinggang, tidak diikat
dan acakacakan.
Gaunnya longgar, tanpa ikat pinggang.
Sebelumnya, saat berusaha menyelinap keluar rumah, ia tertangkap
basah oleh Martha yang lalu menggerutu.
"Kaupikir, kau mau ke mana dengan penampilan seperti itu?"
Maria tertawa kecil, tidak kesal sama sekali lantaran tertangkap basah
saat berusaha melarikan diri.
"Aku hanya ingin ke kebun. Dan kebun itu dikelilingi tembok. Tak ada
yang akan melihatku."
Martha tampak sangsi. "Tidak pantas seorang wani-
Sang kakak pernah mendapati Maria di sini dan bertanya apa yang
dilakukannya selama "menghilang" dari rumah.
"Tidak ada! Benar-benar tidak ada!"
Sorot mata Lazarus yang tadinya tajam kini melembut. Ia marah karena
adiknya tidak muncul saat makan malam, kemarahan yang lahir dari
kekhawatiran. Perhatiannya terhadap sang adik lebih dari sekadar
terhadap saudara kandung. Ia sangat memerhatikan adik kecilnya yang
cantik dan cerdas, tapi ia juga pelindung
Maria. Kesehatan dan kenyamanan Maria menjadi prioritas utamanya.
Dengan cara apa pun, Maria harus dilindungi. Ini adalah tugas suci
baginya, baik terhadap keluarga, masyarakat, maupun Tuhannya.
Ketika ia muncul, sang adik tengah terbaring di rumput dengan mata
terpejam, tidak bergerak sedikit pun. Pemandangan ini membuatnya
sangat takut. Tapi Maria bergerak, seolah mencium kepanikannya.
Sembari menutupi matanya yang mengantuk dari sinar matahari, ia
memandang wajah kakaknya yang murka. Sang kakak memang marah
besar.
Kemarahan Lazarus reda begitu mendengar ucapan sang adik. Untuk
pertama kalinya, ia paham betapa adiknya sangat membutuhkan
kesempatan untuk bisa menyendiri, suatu kesempatan yang langka.
Sebagai anak perempuan satu-satunya dari garis keturunan Benjamin,
masa depannya telah ditentukan sejak ia masih bayi. Ia menyandang
takdir istimewa dari darah dan nubuat suci. Yakni pernikahan agung,
sesuatu yang telah diramalkan oleh para rasul besar Israel suatu
pernikahan yang diyakini banyak orang sebagai tak kurang dari
kehendak mutlak Tuhan.
Beban yang terlalu besar untuk bahu semungil itu, pikir Lazarus saat ia
mendengarkan penjelasan adiknya. Maria berbicara dengan sikap yang
biasanya tidak ia lakukan, terbuka dan disertai emosi. Ini membuat sang
kakak sadar, sekaligus merasa bersalah, bahwa Maria merasa takut
dengan peran yang telah ditentukan baginya dalam sejarah. Aneh
memang, tapi ia jarang mengizinkan dirinya menganggap sang adik
Pada saat seperti ini, ia sangat jauh dari gambaran seorang calon ratu.
Maria memohon maaf atas penampilannya yang kurang pantas, tapi Easa
memotong dengan tawa cerianya.
"Jangan cemas, Merpatiku. Engkaulah alasanku ke sini, bukan pakaian,
bukan pula penampilanmu." Ia mengulurkan tangan dan mengambil daun
dari rambutnya dengan lagak menggoda.
Maria tersenyum padanya, merapikan pakaian, dan
membersihkan kotoran yang menempel. "Kakakku tidak boleh melihatku
dalam keadaan seperti ini," kata Maria dengan mimik cemas.
Lazarus sangat ketat dalam hal protokol dan kehormatan. Ia pasti
marah besar jika mengetahui adiknya sekarang berada di kebun, tak
didampingi, berpenampilan tak pantas di hadapan calon raja dari garis
Daud pula.
"Aku akan mengatasi Lazarus," kata Easa menenangkan.
"Tapi sekadar berjaga-jaga, bagaimana jika kaumasuk ke dalam dan
berpura-pura tidak bertemu denganku. Aku akan keluar lewat belakang
dan kembali malam ini setelah memberi informasi bahwa aku akan
datang. Dengan begitu, baik kakakmu maupun Martha tidak akan
terkejut."
"Baiklah, aku akan bertemu denganmu malam ini," jawab Maria,
mendadak merasa malu. Ia merasa canggung sejenak, lalu menuju
rumahnya.
"Pura-pura kaget, ya," teriak Easa, menyaksikan calon istrinya berlari
melewati kebun.
Siang itu, dan malam yang menyertainya, memberi kenangan yang tak
akan dilupakan Maria seumur hidup. Itulah kali terakhir ia tahu
bagaimana rasanya hidup bebas, belia, kasmaran, dan bahagia.
Jonathan Annas datang keesokan hari, tapi dengan agenda baru. Iklim
politik dan spiritual di Yerusalem menunjukkan situasi yang semakin
tidak stabil sehingga rencana diubah untuk mengantisipasi ancaman yang
kian hebat dari Roma. Para imam telah memilih seorang pemimpin baru
lewat dewan rahasia.
mengakui bahwa aku keturunan Daud. Akulah pemimpin mereka yang sah.
Juga kalian."
"Kau tidak paham siapa yang kita hadapi," Annas menjawab dengan
bentakan. "Pontius Pilatus, gubernur baru, adalah seorang barbar. Ia
Ia akan merasa malu jika menghina imam besar. "Kami percaya Tuhan
telah memilih lelaki lain. Seorang pembela hukum yang luhur, seseorang
yang akan menegakkan segala ketentuan suci bagi kita tanpa
menimbulkan penghinaan politis terhadap Romawi."
Itulah dia, kebenaran telah disampaikan kepada semuanya.
Seorang pembela hukum yang luhur. Inilah cara Annas menunjukkan
pada Easa bahwa mereka tidak akan menolerir reformasi kaum Nasrani
meski garis darahnya tak bercela.
"Dan siapa dia?" tanya Easa tenang. "Yohanes."
"Sang pembaptis?" Lazarus tak percaya.
"Ia keluarga Singa," sebuah suara yang juga keras terdengar, Maria
tidak mengenal suara itu. Kemungkinan imam yang lebih muda, Caiaphas,
menantu Annas.
"Dia bukan dari keturunan Daud," suara Easa tetap tenang.
"Ya." Yang ini suara Annas. "Tapi ibunya berasal dari garis keturunan
imam-imam Harun dan ayahnya dari kaum Zadok.
Orang-orang menganggapnya pewaris rasul Elijah. Fakta ini cukup untuk
mengalihkan orang agar mengikutinya, jika ia menikah dengan mempelai
yang sesuai."
Mereka telah berkomplot. Annas datang untuk meng amankankan
pertunangan Maria dengan seorang calon mesias dari pilihan mereka. Ia
menjadi komoditas yang mereka butuhkan untuk mengesahkan suatu
kerajaan.
Suara berikutnya adalah teriakan marah. Maria belum pernah bertemu
Yakobus, adik Easa, tapi ia menduga lelaki itulah yang berteriak.
Suaranya mirip Easa, hanya saja tanpa ketenangan yang tetap terjaga.
"Kau tidak bisa mengambil dan memilih mesias seperti barang-barang di
pasar. Kita semua tahu, Yeshua adalah orang yang dikuduskan untuk
memimpin kalangan kita tanpa paksaan.
Betapa lancangnya kau mengambil pengganti karena
kau mencemaskan kedudukanmu sendiri."
Teriakan memuncak seiring lelaki-lelaki itu saling membentak agar
didengarkan. Maria berusaha mencerna suarasuara dan kata-kata itu,
dua, melainkan satu. Dan segala yang telah disatukan Tuhan, tak ada
manusia yang dapat memisahkannya.'"
Easa mengangguk. "Ibuku adalah wanita paling bijaksana dan seorang
rasul besar. Ia tahu bahwa Tuhan telah menciptakanmu untukku. Jika
Tuhan memutuskan dalam rencananya bahwa aku tidak akan memilikimu,
maka tak akan ada yang lain untukku."
Rasa lega menjalar di tubuh Maria. Satu hal yang tidak sanggup ia
hadapi adalah adanya perempuan lain di sisi Easa.
Tapi ada pikiran lain yang menyentak kesadarannya.
"Tapi...jika aku harus menjadi istri Yohanes... ia tak akan mengizinkan
aku menjadi imam Nasrani."
Easa terlihat berpikir keras sebelum menjawab. "Tidak, Maria. Yohanes
akan mendorongmu mengikuti hukum dengan ketaatan penuh. Ia
mengecam pembaruan orang-orang kita, dan barangkali ia akan bersikap
tegas padamu dan menetapkan hukuman keras. Tapi ingatlah kata-
kataku kepadamu, juga pesan yang diajarkan ibuku. Kerajaan Tuhan ada
dalam hatimu, tidak ada seorang penindas pun tidak orang Romawi,
bahkan tidak pula Yohanes dapat merenggutnya darimu."
Easa mengangkat dagu Maria dan menatap lurus ke mata besar
berwarna cokelat itu. "Dengarkan aku baik-baik, Merpatiku. Kita harus
menempuh jalan ini dengan besar hati, dan kita harus menunjukkan sikap
yang benar terhadap anakanak Israel. Ini berarti aku tidak bisa
menentang Jonathan Annas dan Rumah Tuhan sekarang. Aku akan
menegakkan keputusan mereka agar ajaran JalanNya bisa terus
berlanjut dengan damai dan tumbuh subur di wilayah ini. Dan aku telah
menyepakati dua hal sebagai bukti dukunganku. Aku dan ibuku akan
menghadiri pernikahanmu dengan Yohanes dan aku akan mengizinkan
Yohanes membaptisku di hadapan khalayak untuk menunjukkan bahwa
aku mengakui otoritas spiritualnya."
Maria mengangguk dengan pilu. Ia akan menempuh jalan yang kini
tergelar di hadapannya. Inilah tanggung jawabnya sebagai seorang putri
Israel. Kata-kata cinta dan kekuatan dari Easa membuatnya mampu
melalui semua ini.
"Dialah yang dipilih sebelum aku" adalah isyarat jelas bahwa Yohanes
tetap mengakui nubuat sejak kelahiran Easa. Ucapan ini melindungi
Yohanes bersama kaum
pertengahan yang mendukungnya dan takut dengan pembaruan orang-
orang Nasrani, tapi tetap menghormati Easa sebagai putra yang disebut
dalam nubuat. Kata kata pertamanya, "Sesudahku akan datang lelaki ini,"
adalah indikasi bahwa Yohanes mengambil peran sebagai orang yang
dipilih. Yohanes, pengkhotbah yang hidup di alam terbuka dengan
pakaian kasar dan gayanya yang bak malaikat, barangkali mudah
diremehkan. Tapi tindakan dan sabda-sabdanya di tepian Sungai
Yordania hari itu menunjukkkan bahwa dia seorang politisi yang jauh
lebih cakap dibandingkan yang dibayangkan kebanyakan orang.
Setelah Easa keluar dari sungai, kerumunan orang menyambut kedua
lelaki ini, dua rasul yang berkerabat yang telah mendapat sentuhan
Tuhan. Namun keheningan melanda lembah itu ketika seekor merpati
putih yang melayang dari angkasa, dengan anggunnya bertengger di
kepala Easa, sang Putra Daud. Momen ini dikenang oleh masyarakat
Lembah Yordania dan generasi-generasi yang hidup jauh setelah
mereka.
itu.
Bukankah burung yang muncul dari langit setelah proses pembabtisan
membuktikan bahwa Easalah orang yang dipilih Tuhan? Yohanes menjadi
ragu, akhirnya ia mengambil keputusan untuk kembali mendukung
kedudukan sepupunya. Namun Caiaphas, murid teladan mertua nya,
Annas, telah memperhitungkan kemungkinan ini. Ia melancarkan taktik
lain.
"Sepupu Nazaretmu itu bersama orang-orang lepra hari ini," katanya
memberitahu.
Yohanes tercengang. Tak ada yang lebih kotor dibandingkan orang-
orang hina yang diabaikan oleh Tuhan itu. Dan mendekati mereka
setelah pembaptisan adalah sikap yang tidak masuk akal.
"Kau yakin berita itu benar?" tanya Yohanes.
Caiaphas mengangguk pasti. "Ya, aku menyesal telah mengabarkan berita
ini. Ia berada di tempat yang paling tidak bersih pagi ini. Aku mendapat
kabar bahwa ia berkhotbah tentang kerajaan Tuhan kepada mereka. Ia
bahkan membolehkan mereka menyentuh tubuhnya."
Yohanes kaget karena Easa telah melangkah sejauh ini, dan secepat ini.
Ia mafhum bahwa orang-orang Nazaret sangat berpengaruh terhadap
sepupunya. Bukan kah ibunya seorang Maria dan pemimpin kalangan itu?
Tapi dia seorang perempuan dan karenanya tidak begitu penting kecuali
pengaruhnya besar terhadap putranya.
Namun jika Easa berkumpul dalam dunia orang-orang tidak bersih,
bahkan belum genap sehari setelah pembaptisannya, barangkali Tuhan
mengalihkan pilihan kepadanya.
Dan ada seorang gadis yang mesti dipikirkan. Yohanes merasa sangat
terusik lantaran gadis itu dinamai Maria. Itu adalah nama Nasrani, suatu
tanda bahwa gadis itu dididik dengan cara mereka yang menurutnya
tidak layak. Diyakini, Maria adalah Putri Sion seperti yang diungkapkan
dalam kitab rasul Mikha. Uraian itu mengacu pada Migdal-Eder, Menara
Jemaat, seorang perempuan gembala yang akan memimpin umat: "Dan
kau, Wahai Menara Jemaat, benteng putri Sion, kepadamulah akan
datang...Kerajaan akan datang kepada putri Yerusalem."
hanya sedikit orang yang tahu," gurau Caiaphas. "Tapi kau menyimpan
anggur terbaik untuk momen terakhir."
Yohanes memandang Caiaphas dengan bingung. Baik ia maupun sang imam
sama sekali tidak tahu apa maksudnya. Satusatunya hal yang
menandakan terjadinya peristiwa tidak lazim hanyalah beberapa pelayan
yang saling berbisik, juga beberapa murid Nasrani. Tapi tak lama
kemudian semua orang di Galilee mengetahui peristiwa yang terjadi di
acara pernikahan itu.
"Mereka tidak akan tinggal di sini. Dan kau tidak boleh menemui mereka,
Maria. Suamimu telah melarang," Lazarus memasang wajah seperti batu
mendengar permohonan Maria.
"Mengapa kau bersikap seperti ini padaku?" isak Maria.
"Mereka adalah teman-teman lamaku-dan sebagian di antara mereka
juga teman lamamu. Sang nelayan Petrus dan Andreas yang bermain
bersama kita di tangga Capernaeum dan pantai Galilee. Mengapa kau
tidak ramah kepada mereka?"
Ketegangan akibat keputusan itu tampak di wajah kakak Maria.
Menjauhi teman masa kecil, juga Easa dan Maria Agung yang
dinisbahkan sebagai anak-anak Daud, adalah keputusan yang menyiksa.
Tapi Lazarus telah mendapat perintah dari imam besar untuk tidak
mendekati kelompok Nasrani saat mereka lewat dalam perjalanan dari
Yerusalem. Lebih jauh lagi, suami adiknya telah mengeluarkan instruksi
tegas bahwa Maria tidak boleh mendengarkan ajaran Nasrani. Lazarus
sendiri telah bersumpah untuk menjaga kesalehan Maria dalam batasan
yang disampaikan suaminya.
"Aku melakukan ini demi kepentinganmu, Adikku."
"Apakah menikahkan aku dengan sang Pembaptis ada-
lah demi kepentinganku?" Maria tidak menunggu jawaban kakaknya atau
melihat raut terkejut di wajahnya. Ia berlari keluar rumah, menuju
kebun. Di sana ia menumpahkan tangisnya.
"Ia sungguh-sungguh ingin melakukan yang terbaik untukmu."
Maria tidak mendengar langkah-langkah Martha mendekat.
Ia terlalu larut dalam kesedihannya. Meski sangat mencintai Martha, ia
sedang tidak ingin mendengarkan ceramah tentang kepatuhan. Maria
bicara, tapi Martha memotong.
Rambutnya yang merah dan mudah dikenali ditutup dengan tudung tebal.
Setelah mengucapkan salam, ia segera diizinkan masuk dan menatap
gembira wajah-wajah yang sudah akrab dengannya. Maria mengelilingkan
pandangan ke ruangan itu tapi tidak menemukan dua wajah yang paling
penting dan paling ia cintai, karena Easa dan ibundanya belum tiba.
Namun tak banyak waktu untuk memikirkannya karena suara wanita dari
arah
belakang berteriak memanggil namanya.
Maria menoleh dan melihat senyum cantik Salome, putri Herodias dan
anak tiri penguasa wilayah Galilee, Herod. Maria menjerit senang
melihat sahabatnya karena mereka sama-sama mengenyam pendidikan di
bawah asuhan Maria Agung. Mereka saling berpelukan dalam kehangatan
dan kegembiraan.
"Apa yang kau lakukan jauh-jauh dari rumahmu?" tanya Maria.
"Ibu mengizinkan aku ikut bersama Easa dan melanjutkan pendidikanku
agar boleh mengenakan tujuh selubung." Tujuh selubung hanya boleh
dikenakan oleh perempuan yang telah dinobatkan sebagai imam besar.
"Herod Antipas telah menyediakan semua yang diinginkan ibuku. Lagi
pula ia bersimpati pada orang Nasrani. Hanya sang Pembaptis yang ia
benci."
Salome buru-buru menutup mulut karena sudah kele-pasan bicara. Ia
tampak malu. "Maafkan aku. Aku lupa."
Maria tersenyum sedih. "Tidak, Salome, tidak perlu meminta maaf. Aku
sendiri kadang lupa."
Salome terlihat sangat iba. "Apakah menakutkan bagimu?"
Maria menggelengkan kepala. Ia mencintai Salome laiknya saudara, dan
mereka memang saling memanggil dengan sebutan itu karena tradisi
para imam Nasrani. Tapi Maria tetap seorang putri dan dididik untuk
berperilaku sebagai seorang putri. Ia tidak akan berbicara buruk
tentang suaminya, apa pun alasannya. "Tidak, tidak menakutkan. Aku
jarang bertemu Yohanes."
"Saudara kita, Veronica, ada di sini," Salome yang merasa resah segera
mengubah topik pembicaraan. Kemenakan Simon, Veronica, adalah
seorang gadis yang cantik dan memiliki kualitas spiritual yang mendalam.
Ia juga mendapat didikan di rumah ibunda Easa. Maria menyayangi
Veronica, ia melihat ke sekeliling, mencari wajah sahabatnya.
"Itu dia!" Salome menarik tangan Maria dan mengajaknya menghampiri
Veronica. Ketiga perempuan yang bersaudara dalam kredo Nasrani itu
saling berpelukan hangat. Tapi tak banyak waktu untuk berbincang-
bincang karena Easa memasuki ruangan.
Ia diikuti sang ibu dan dua saudaranya, Yakobus dan Yudas (Jude), juga
saudara-saudara nelayan dari Galilee dan seorang lelaki berwajah tegas
yang Maria percaya bernama Filipus. Easa memberi salam kepada semua
orang yang hadir, tapi berhenti di hadapan Maria. Ia memeluk hangat
Maria, tapi dalam batasan yang wajar disertai hormat terhadap seorang
wanita yang sudah bersuami. Easa menatap Maria untuk menunjukkan
rasa herannya karena ia melanggar perintah kakaknya, tapi ia tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
Maria tersenyum dan meletakkan tangan di dadanya.
"Kerajaan Tuhan ada dalam hatiku, tak ada seorang penindas pun yang
dapat merebutnya dariku."
Easa membalas tersenyum, suatu ekspresi kehangatan yang luar biasa,
lalu melangkah ke depan untuk menyampaikan khotbah.
Malam itu sungguh indah, penuh dengan cinta para teman dan dunia
JalanNya. Maria hampir saja melupakan pentingnya Dunia itu bagi
dirinya dan betapa Easa seorang guru yang menggugah. Tapi duduk
bersimpuh dan mendengarkan ajarannya adalah pengalaman Kerajaan
Tuhan yang nyata di dunia ini. Maria tidak bisa membayangkan,
bagaimana seseorang mengutuk kata-kata yang sedemikian indah, atau
mengapa seseorang secara sengaja tidak mengindahkan ajaranajaran
cinta, kasih sayang, dan kedermawanan.
Setelah berdiri untuk berpamitan, Easa mendekati Maria dan
menyentuh lembut perutnya.
Herod sadar bahwa ia terpojok. Perwakilan Roma itu akan pulang besok,
dan Herod tidak mau mengambil risiko kelemahannya itu dilaporkan
kepada Caesar. Banyak musuk yang akan senang melihat ia jatuh. Tapi
itu tak akan terjadi.
Antipas tidak akan menyia-nyiakan darah raja yang mengalir dalam
tubuhnya. Bukankah kakeknya menghukum mati putranya sendiri ketika
singgasananya terancam? Herod tahu bagaimana caranya
memperjuangkan sesuatu yang menjadi milik sah mereka.
Herod Antipas menepukkan tangan dua kali untuk memanggil pelayan. Ia
menyuruh mereka memanggil senturion untuk menghadap.
"Segera jalankan hukuman pada tahanan bernama Yohanes Pembaptis.
Penggal dia dengan pedang."
Petinggi Roma mengangguk puas melihat Herod Antipas menorehkan
catatan dalam sejarah untuk kali pertama tapi bukan yang terakhir.
Karena itulah, kau tidak perlu meminta maaf kepadaku atau kepada
siapa pun."
Lazarus merasa luar biasa lega. Telah lama ia memendam rasa pedih
karena telah memutus pertunangan antara Easa dan adiknya. Juga rasa
bersalah karena tidak menyediakan penginapan bagi kaum Nasrani di
Bethany malam itu, yang akhirnya menyebabkan bencana besar bagi
Maria. Tapi ia tidak sempat mengungkapkannya, karena Yohanes-Yusuf
kecil telah mengumumkan
kehadirannya di ruangan itu dengan tangisan keras.
Easa tersenyum ke arah Maria dan bayinya. Ia menjulurkan tangan
untuk menggendong bayi, yang kini wajahnya merah padam akibat jerit
tangisnya. "Ia rupawan seperti ibunya dan keras hati seperti ayahnya,"
Easa tertawa, menerima bayi dari tangan Maria. Sentuhan pertama
tangan Easa membuat bayi itu berhenti menangis. Ia menjadi tenang,
memandang sosok yang baru ia lihat dengan penuh minat. Yohanes kecil
tertawa gembira saat Easa mengayun-ayunnya dengan lembut.
"Ia menyukaimu," kata Maria, tiba-tiba malu melihat kehadiran lelaki
yang kini telah melegenda itu. Easa memandang serius pada Maria. "Aku
harap begitu."
Ia memandang ke arah Lazarus. "Lazarus, Saudaraku. Aku ingin
berbicara secara pribadi kepada Maria tentang suatu persoalan yang
sangat serius. Ia seorang janda dan berbicara langsung dengannya
bukanlah sesuatu yang tidak pantas."
"Tentu saja," gumam Lazarus lalu bergegas meninggalkan ruangan.
Easa, masih menggendong bayi, memberi isyarat pada Maria untuk
duduk. Mereka duduk bersama dalam suasana yang tenang dan bahagia,
sementara bayi itu terus tertawa-tawa pada Easa dan menarik rambut
panjangnya yang memang menjadi gaya orang Nazaret.
"Maria, ada sesuatu yang ingin kutanyakan."
Maria mengangguk pelan, tidak tahu apa yang akan diucapkan Easa, tapi
hatinya dipenuhi ketenangan karena bisa mendengar suaranya lagi.
Kehadiran Easa bak obat bagi jiwanya yang hancur.
Delapan Belas
cinta damai, tapi sangat ketat dalam menerapkan hukum dan memegang
keyakinan bahwa
Yohanes adalah satu-satunya mesias sejati.
Boleh jadi mereka adalah keturunan langsung, dan kemungkinan
Yohanes-Yusuf atau keturunannya pergi ke timur jauh mengikuti suatu
pecahan umat Kristen awal. Dan tentunya sekarang kau sudah tahu
tentang Persekutuan Keadilan yang mengklaim sebagai keturunan garis
darah yang sejati di wilayah Barat ini."
Maureen menatap tengkorak itu sambil mendengarkan Sinclair. Suatu
pikiran melintas di kepalanya, ia berteriak, "Itu Yohanes! Tengkorak itu
ada di semua ikon dan lukisan Maria Magdalena. Ia selalu muncul dengan
tengkorak, tapi tak seorang pun bisa memberi penjelasan yang
memuaskan. Selalu hanya referensi samar ke sikap bertobat. Tengkorak
itu mencerminkan pertobatan. Tapi mengapa? Sekarang aku tahu
jawabannya. Lukisan Maria disertai tengkorak karena ia sedang
melakukan pertobatan untuk Yohanes secara harfiah dengan tengkorak
Yohanes."
Sinclair mengangguk. "Ya. Dan buku. Ia selalu muncul dengan sebuah
buku."
"Tapi barangkali itu Alkitab," kata Maria.
"Bisa saja, tapi ternyata bukan. Maria muncul dengan buku karena itu
adalah bukunya sendiri, pesan yang ia tinggalkan untuk kita temukan.
Dan kuharap buku itu akan memberi kita wawasan tentang misteri putra
sulungnya dan bagaimana akhir hidup putranya. Karena sampai sekarang
kita belum tahu.
Mudah-mudahan buku Magdalena sendiri yang akan menyibakkan misteri
itu untuk kita semua."
Mereka berjalan menelusuri taman tanpa bicara. Langit senja
menebarkan titik-titik bintang pertama di atas mereka.
Akhirnya Maureen memecah kebisuan. "Kau mengatakan ada yang lain,
pengikut Yohanes yang tidak fanatik."
"Tentu saja. Jumlah mereka jutaan orang. Mereka disebut umat
Kristiani."
Bersama-sama.
Tapi ia menduga mereka orang yang bisa dipercaya dan sangat setia.
Roland dan Sinclair bertemu untuk membahas segi keamanan sampai
seluruh injil Maria selesai diterjemahkan.
Mereka memutuskan untuk mengambil tindakan yang tepat.
Tidak ada yang membicarakan masalah ini secara terbuka sehingga
Maureen sangat penasaran apa kiranya rencana Sinclair dan kapan
rencana itu dilaksanakan.
"Masuklah, masuklah." Tammy memberi isyarat saat melihat Maureen di
pintu. Maureen menjatuhkan tubuhnya di sofa di sebelah Tammy,
mendongakkan kepalanya sambil menggerutu.
"Loh, ada apa?"
Maureen tersenyum. "Oh, aku hanya sedang berpikir, apakah hidupku
akan sama seperti dulu?"
Tammy menjawab dengan tawa keras. "Tidak. Jadi sebaiknya kau
membiasakan diri mulai dari sekarang." Tammy memegang erat tangan
Maureen. Kali ini, ia berbicara dengan lebih simpatis. "Dengarlah, aku
tahu kebanyakan keterangan ini masih baru untukmu. Dan kau
memproses banyak informasi dalam waktu singkat. Aku hanya ingin
mengatakan bahwa kau adalah pahlawanku, oke? Juga Peter, persoalan
ini."
"Terima kasih," Maureen menarik napas. "Tapi apakah kau benar-benar
berpendapat bahwa dunia sudah siap dengan guncangan sistem
kepercayaan ini? Karena menurutku belum."
"Aku tidak setuju," kata Tammy dengan yakin. "Kupikir sekaranglah
waktu yang paling tepat. Sekarang abad 21. Kita tidak lagi membakar
orang lantaran mereka melakukan bidah."
"Ya, kita cuma menghantam kepalanya saja," kata Maureen sambil
meraba belakang kepalanya untuk menegaskan.
"Benar juga. Maaf."
"Tidak, aku mendramatisir. Aku baik-baik saja, sungguh."
Maureen menunjuk televisi layar lebar. "Kau sedang mengerjakan apa?"
Tapi Yudas tidak setuju, Ia marah dan mencela aku di hadapan orang
dengan mengatakan. "Balsem itu sangat berharga. Tutup, Jika dijual
akan mahal harganya dan kita bisa memperoleh uang untuk menambah
dana bagi kalangan miskin."
Aku tidak perlu membela diri. karena Easa telah melakukannya untukku
Ia menegur Yudas. "Kau akan selalu bisa menyantuni orang miskin, tapi
kau tidak akan mendapatiku selamanya. Dan biarkanlah aku mengatakan
lebih jauh-di mana pun amal hidupku disampaikan di seluruh dunia.
demikian pula nama wanita ini akan menyertai namaku. Biarlah ini
terlaksana sebagai peringatan atas dirinya dan baktinya kepada kita
semua."
Momen itu menunjukkan bahwa Yudas belum sepenuhnya memahami
ritual suci JalanNya. Dalam momen itu. sebagian pengikut merasa
marah-sebagian bahkan tidak lagi percaya pada Yudas.
Seperti yang telah aku katakan, aku tidak memendam kemarahan
padanya karena tindakan itu atau tindakan yang lain. Yudas tidak mampu
membohongi dirinya, dan ia selalu mendengar kata hatinya.
Aku masih berduka untuknya.
Sembilan Belas
Yerusalem 33 M
Hari itu tak akan dilupakan oleh orang Nasrani. Ketika Easa tiba di
Yerusalem, masyarakat yang telah mengetahui kedatangannya
menyambut dengan hangat. Tentu saja, penerimaan serupa ini di luar
dugaan. Ketika para pengikut diminta untuk mempelajari Doa Jalan
Terang kini Easa menyebutnya Doa Bapa Kami lokasi di gunung Zaitun
menjadi terlalu sempit. Para pengikut yang ingin mendengarkan khotbah
Easa memenuhi gunung itu, menanti giliran untuk berada di dekat orang
terpilih ini, mesias mereka, agar ia juga bisa mengajarkan mereka
bagaimana berdoa.
Easa tidak meninggalkan tempat sampai semua lelaki, perempuan, dan
anak-anak merasa puas karena telah mengetahui dan memahami doa ini,
dan menghayatinya dalam hati.
Saat menuruni gunung dan menuju kota, langkah kaum Nasrani
dihentikan oleh sepasang senturion Romawi. Mereka adalah penjaga
gerbang timur kota, gerbang terdekat ke kediaman Pilatus di Benteng
Antonia. Keduanya menjegal kelompok itu dengan ucapan kasar
dalam bahasa Semit. Easa maju dan membuat mereka terkejut dengan
bahasa Yunaninya yang sempurna. Ia menatap salah seorang senturion
yang tangannya dibebat pembalut.
"Apa yang terjadi denganmu?" tanya Easa. Senturion itu tidak
menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu, tapi ia menjawab
dengan nada datar. "Aku terjatuh ke bebatuan saat bertugas malam."
"Terlalu banyak minum anggur," cela temannya, wajahnya sangar dan ada
bekas luka melintang di pipi kirinya.
Senturion yang terluka itu memelototi temannya lalu berkata, "Jangan
dengarkan ucapan Longinus. Aku kehilangan keseimbangan."
Easa berkata singkat, "Pasti sangat sakit."
Senturion itu mengangguk. "Rasanya tulangku patah, tapi aku tidak
mendapat kesempatan untuk pergi ke tabib. Kami harus menyebar di
antara kerumunan orang yang memperingati Paskah(1)."
"Boleh kulihat?" tanya Easa.
Lelaki itu mengulurkan tangannya yang dibalut, posisi tulangnya telah
bergeser dari pergelangan tangan. Dengan halus, Easa meletakkan salah
satu tangannya di atas tangan senturion itu dan satunya lagi di
bawahnya. Sambil memejamkan mata, ia mengucapkan doa sementara
tangannya menangkup tangan senturion itu dengan lembut tapi kuat.
Mata lelaki Romawi yang terluka itu membelalak sementara kerumunan
orang Nazaret menyaksikan proses kesembuhan. Bahkan senturion
dengan luka di pipi pun tampak seperti dihipnotis.
1 Passover: Hari Raya Paskah: hari raya Yahudi mulai pada tanggal 14
Nisan untuk memperingati pembebasan orang Ibrani dari Perbudakan
Mesir,
Dialah yang diduga telah memberi racun mematikan kepada Maria yang
tidak curiga. Sejak hari itu, Maria Magdalena berhati-hati. Ia tidak
minum atau makan di
luar kecuali ia tahu persis sumber makanan itu. Sepanjang sisa hidupnya,
ia mengalami berbagai serangan dari orang yang benci atau dengki
padanya.
Kesembuhan Maria Magdalena dari racun tujuh setan menjadi salah satu
legenda besar dalam kependetaan Nasrani.
Seperti berbagai fragmen dalam sejarah Maria Magdalena, peristiwa ini
pun disalahpahami dan dimanfaatkan untuk menyerangnya.
Lamunan Maria terusik dengan suatu teriakan dari halaman rumah. Itu
suara Yudas. Ia mencari Easa dengan sikap putus asa. Maria berlari
menghampirinya. "Ada apa?"
"Keponakanku, anak perempuan Jairus." Yudas terengahengah dan
kehabisan napas. Ia berlarian dari batas timur untuk menemui Easa.
"Barangkali sudah terlambat, tapi aku membutuhkan dia. Di mana dia?"
Maria mengantar Yudas menuju tempat pertemuan di rumah Yusuf. Easa
melihat kegelisahan di wajah Yudas dan langsung berdiri menyambutnya.
Dengan terengah-engah, Yudas menjelaskan bahwa keponakannya
terserang demam yang mewabah di kalangan anak-anak Yerusalem dan
sekitarnya.
Banyak di antara mereka yang meninggal. Ketika Yudas mendengar kabar
itu dan berangkat ke rumah Jairus, para dokter telah angkat tangan.
Berkat kedudukannya di Rumah Tuhan dan hubungan akrabnya dengan
Pontius Pilatus, Jairus memiliki akses ke dokter-dokter hebat. Yudas
tahu, jika dokter-dokter ini saja sudah menyerah maka kemungkinan
gadis cilik itu sudah meninggal
sekarang. Betapapun, ia harus berusaha.
Hati Yudas sesungguhnya lembut, tapi ia tidak membiarkan orang lain
melihatnya. Dan sebagai lelaki yang menolak hidup berkeluarga demi
menempuh jalan revolusioner, cinta kasihnya tertumpah kepada para
keponakannya. Dan Smedia yang berusia dua belas tahun, gadis cilik
yang sakit itu, adalah kesayangannya.
Easa bisa melihat raut takut dan cemas akan kehilangan anak itu di
wajah Yudas, ia memandang Maria Magdalena.
"Apakah kau sanggup bepergian malam ini?"
Maria mengangguk. Tentu ia akan pergi. Ada seorang ibu yang berduka
di rumah itu, dan Maria akan berusaha memberi dukungan sebisa
mungkin.
"Kita berangkat sekarang," kata Easa singkat. Ia tidak pernah ragu-
ragu, Maria sangat mengetahuinya. Tidak peduli jam berapa pun, tidak
peduli selelah apa pun, Easa tidak pernah menolak seseorang yang
sangat membutuhkannya.
Yudas berjalan di belakang mereka. Lewat tatapan matanya, ia
menyatakan terima kasih kepada Maria. Dan Maria merasa hangat
melihat sorot mata itu. Barangkali Yudas akan lebih sempurna
menghayati JalanNya malam ini, pikir Maria.
Harapan itu melekat kuat dalam jiwanya.
lain. Di ujung lainnya, Rachel adalah perempuan Yahudi dari salah satu
keluarga Israel yang terhormat. Meski latar belakang mereka berbeda,
kedua perempuan ini kompak lantaran sama-sama menjadi istri lelaki
yang berkuasa, dan yang paling penting, sama-sama seorang ibu.
Anak perempuan Rachel, Smedia, sering kali datang ke Benteng Antonia
bersama ibunya. Smedia senang bermain di dalam kamar yang indah. Dan
dengan usianya yang beranjak remaja, Claudia mengizinkannya
menggunakan losion dan kosmetiknya. Di usia dua belas, Smedia tumbuh
menjadi gadis muda yang cantik.
Claudia mencurahkan perhatian istimewa pada Smedia karena gadis ini
adalah teman main putranya sendiri. Pilo, putra Pontius Pilatus dan
Claudia, yang berusia tujuh tahun, adalah misteri bagi kebanyakan
penduduk Yerusalem. Tidak banyak yang tahu bahwa Pilatus memiliki
seorang putra. Pilo mengalami kelainan, kakinya bengkok sehingga
aktivitasnya terbatas dan ia tidak
pernah meninggalkan benteng. Pilatus tidak mengenalkan putranya
karena ia tahu, anak ini tak akan pernah menjadi seorang prajurit. Ia
tidak akan mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang penguasa Roma.
Seorang anak yang lahir dengan kemurkaan tuhan seperti itu adalah
pertanda buruk.
Tapi Claudia melihat sisi lain dari pribadi Pilatus yang tidak dilihat orang
lain. Ia tahu, suaminya kerap menangis mengingat putranya di malam
hari ketika ia pikir tidak ada orang yang melihat atau mendengarnya.
Pilatus telah mengeluarkan separuh harta mereka untuk membayar
sejumlah dokter dari Yunani, ahli tulang dari India, dan berbagai ahli
pengobatan lain. Tapi semuanya tidak membuahkan hasil apa pun kecuali
tangis Pilo yang merasa kesakitan dan frustrasi. Claudia mendekap anak
yang menangis itu hingga ia tertidur. Sedangkan sang ayah keluar dari
benteng selama berjam-jam dan menjauhi diri dari mereka berdua
setiap kali peristiwa ini terjadi.
Smedia kecil memiliki kesabaran yang luar biasa terhadap anak itu. Ia
biasa duduk bersamanya selama berjam-jam, menceritakan dongeng, dan
bernyanyi untuknya. Claudia tersenyum sendiri menyaksikan mereka
"Selimuti dia. Mari kita bawa dia dengan kereta kuda. Cepat, ayo, cepat
pergi."
Lelaki Yunani itu, yang juga pembimbing Pilo dan sangat menyayangi anak
itu, membungkus Pilo dengan selimut lalu menggendongnya menuju
kereta kuda. Claudia berlari di belakang mereka. Ia tidak meluangkan
waktu untuk meninggalkan pesan bagi Pilatus. Tapi ia tidak berpikir
suaminya itu akan tahu bahwa ia pergi. Lagi pula, ia sendiri memiliki hak
untuk mengambil keputusan penting sendiri. Bukankah ia cucu seorang
Caesar?
menyentuh bahu Easa. Easa menoleh untuk mengetahui apa yang Maria
inginkan. Sesaat, mata Easa bertemu pandang dengan Claudia, kemudian
ia tersenyum padanya.
Suatu ekspresi harapan dan cahaya murni. Claudia tidak tahu berapa
lama peristiwa itu berlangsung. Perhatiannya beralih karena suara
putranya memanggil.
"Mama! Mama!" Pilo menggeliat dalam gendongan budak Yunani.
"Turunkan aku!"
Claudia bisa melihat, wajah putranya tidak lagi pucat. Ia tampak sehat
dan kuat kembali. Dalam sekejap, Pilo yang sekarat telah pulih
sepenuhnya. Dan tidak hanya itu. Saat kaki Pilo menjejak tanah,
tampaklah kakinya tidak lagi bengkok. Ia bisa berjalan menuju Claudia,
kedua kakinya lurus dan kuat. "Lihat, Mama! Aku bisa berjalan!"
Claudia memeluk putranya yang tampan sembari melihat sang sosok
penyembuh dan istrinya yang mungil menghilang dalam kerumunan orang
Yerusalem.
"Terima kasih," bisiknya. Dan anehnya, meski mereka sudah sangat jauh,
Claudia tahu mereka mendengar.
Pengusasa Romawi itu seorang lelaki yang kompleks, penuh dengan rasa
ragu, takut, dan ambisi. Tragedi Pontius Pilatus terjadi ketika semua hal
ini membayangi apa pun yang pernah ia miliki dengan penuh cinta,
kekuatan, atau rasa syukur.
Hari sudah larut malam ketika orang-orang Nasrani tiba di rumah Yusuf.
Seperti biasa, Easa masih terjaga dan tengah membuat persiapan untuk
satu pertemuan lagi
bersama pengikut terdekatnya sebelum tidur. Mereka tengah
membahas pilihanpilihan yang akan dilakukan di Yerusalem besok. Maria
ikut mendengarkan diskusi mereka untuk mendapat petunjuk tentang
kegiatan besok. Peristiwa di rumah Jairus menunjukkan bahwa
masyarakat Yerusalem terbagi-bagi dalam menyikapi isu Easa sebagai
mesias. Jumlah pendukung lebih banyak dibandingkan penentang. Tapi
mereka beranggapan bahwa kelompok penentang terdiri dari orang-
orang berkuasa yang terkait dengan Rumah Tuhan.
Yudas berbicara kepada kelompok yang tengah berdiskusi itu. Ia tampak
letih, tapi kegembiraan lantaran peristiwa yang ia saksikan di ranjang
kematian Smedia membuatnya kuat.
"Jairus berbicara empat mata denganku sebelum kita pergi," katanya.
"Ia semakin cenderung mendukung kita setelah menyaksikan sendiri
bahwa Easa benar-benar seorang mesias.
Ia juga memperingatkan kita bahwa dewan Farisi dan Saduki terganggu
dengan gerombolan pendukung Nasrani yang memasuki kota. Dari segi
kuantitas, kita lebih kuat dibandingkan yang mereka bayangkan. Mereka
merasa khawatir dan kemungkinan akan bertindak jika mereka rasa kita
mengancam mereka atau mengancam ketenangan Rumah Tuhan selama
Paskah."
Petrus membuang ludah karena jijiknya. "Kita semua tahu apa sebabnya.
Paskah adalah hari yang paling menguntungkan.
Pada saat itu, persembahan di Rumah Tuhan mencapai puncaknya, begitu
juga pengumpulan uang."
"Itulah masa panen bagi para pedagang dan lintah darat,"
jawaban yang dianggap menghina itu. Tapi Easa belum selesai. Ia sudah
lelah dengan orang-orang Farisi tak bermoral yang hidup seperti raja,
hanya ongkang-ongkang kaki menerima
sumbangan dari kaum miskin dan orang-orang Yahudi yang saleh. Easa
memandang barisan imam ini, lelaki-lelaki yang bertugas menegakkan
hukum dengan kejujuran tinggi, sebagai orang munafik. Mereka
berkhotbah tentang kehidupan yang suci, tapi tidak menjalaninya.
Selama tahun-tahun terakhir pengabdiannya, Easa akhirnya sadar
bahwa penduduk Yerusalem dipecundangi orang-orang itu. Mereka takut
terhadap kekuasaan Farisi sebagaimana juga kekuasaan Roma. Dalam
banyak hal, orang-orang Rumah Tuhan ini sama berbahayanya bagi
rakyat Yahudi dengan orangorang Romawi. Pasalnya, mereka memiliki
wewenang untuk memengaruhi cara hidup sehari-hari orang Yahudi
dengan banyak cara.
"Apakah kau tidak membaca Alkitab?" pertanyaan Easa ini merupakan
hinaan lain terhadap lelaki yang ia ketahui menjabat sebagai imam. Lalu
Easa beralih ke kerumunan. "Dia yang menciptakan mereka pada
permulaan menjadikan mereka lelaki dan perempuan, dan berkata,
'Karena sebab ini seorang lelaki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan
berpasangan dengan istrinya, dan keduanya akan menjadi satu tubuh,
mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Sesuatu yang telah disatukan
Tuhan, tak seorang pun dapat memisahkannya.' Dan aku berkata kepada
siapa pun yang menceraikan istrinya, selain untuk berzina, berarti
melakukan zina itu sendiri."
"Jika begitu, barangkali menikah tidak baik," canda seorang lelaki.
Easa tidak tertawa. Sakramen pernikahan dan pentingnya hidup
berkeluarga adalah batu landasan ajaran Nasrani. Ia menjawab gagasan
itu. "Sebagian lelaki terlahir sebagai orang yang dikebiri dan sebagian
lainnya
menjadikan dirinya orang yang dikebiri. Bagi lelaki seperti itu,
pernikahan tidak bisa diterima. Biarkanlah seluruh lelaki yang mampu
menerima sakramen pernikahan untuk menerimanya, karena itulah
kehendak Tuhan Bapa kita. Dan biarlah dia menyatu dengan istrinya
hingga maut memisahkan."
Merasa terpukul, lelaki Farisi itu melawan. "Dan bagaimana denganmu,
Orang Nazaret? Hukum Musa mengatakan bahwa siapa pun lelaki yang
akan dipilih harus menikah dengan seorang perawan, bukan pelacur atau
bahkan janda." Serangan telak itu ditujukan kepada Maria Magdalena,
yang berdiri di bagian belakang kerumunan bersama anak-anaknya.
Maria memilih mengenakan busana sederhana agar bisa berbaur dengan
kerumunan. Ia tidak mengenakan selubung merah yang menunjukkan
statusnya. Maria bersyukur dengan keputusannya itu saat menunggu
jawaban Easa.
Jawaban Easa adalah satu pertanyaan lagi bagi o-rang Farisi itu.
"Apakah aku seorang (keturunan) Daud?" Lelaki itu mengangguk. "Kau
tidak menjawab."
"Dan bukankah Daud adalah raja besar dan orang yang dipilih untuk
kita?"
Orang Farisi itu mengiayakan, sadar bahwa ia tengah diarahkan ke
dalam perangkap tapi tidak tahu bagaimana menghindarinya.
"Tidakkah kau berpikir bahwa aku meneladani Daud jika aku akan
menjadi penerusnya? Siapakah yang tidak berpendapat bahwa mengikuti
langkah Daud adalah sesuatu yang baik dan terpuji?" pertanyaan Easa
bergema di antara kerumunan, yang mengakui dengan anggukan dan
isyarat bahwa tentulah meneladani Singa Besar Yehuda adalah sesuatu
yang baik.
"Karena itulah yang aku lakukan. Seperti Daud yang menikahi seorang
janda, Abigail, putri Israel terhormat dari keturunan mulia, demikian
pula aku menikah dengan seorang janda dari keturunan mulia."
Orang Farisi itu tahu, ia telah masuk ke dalam perangkapnya sendiri dan
melangkah kembali ke tengah kerumunan. Tapi lelaki dari struktur
kekuasaan Rumah Tuhan tidak mudah digoyahkan. Saat pertanyaan-
pertanyaan dilancarkan, jawaban Easa menjadi panah-panah tajam yang
berbalik ke orang-orang Farisi. Seorang lelaki lain, yang ini jelas
mengenakan jubah imam, menghampiri Easa dengan serangan terbuka.
aku ingin ikut. Aku tahu kau, Easa, dan yang lainnya ada di sini. Di mana
Maria Agung?" "Ada di sini," jawab Maria. "Ia menginap di keluarga
Yusuf malam ini bersama dengan wanita lain. Aku akan mengantarmu ke
sana besok, jika kau mau."
Salome mengangguk dan melanjutkan kisahnya. "Aku berdalih ingin
bertemu Claudia untuk mendengar kabar tentang orang-orang Nasrani
yang tengah berada di Yerusalem. Tak kukira, Claudia mau bercerita
banyak! Maria, bukankah ini mengagumkan?"
Maria tidak mengerti maksud Salome. "Apa?"
Bola mata Salome yang hitam dan eksotis membelalak.
"Kau tidak tahu? Oh, Maria, ini berita besar. Di malam Easa
menghidupkan putri Jairus, tidakkah kau melihat seorang perempuan di
tengah kerumunan saat kau akan pergi? Dia bersama orang Yunani yang
menggendong anak sakit, anak laki-laki."
Peristiwa itu terbayang kembali dalam kepala Maria. Dua malam
terakhir, sebelum tidur, ia selalu terbayang wajah perempuan itu. "Ya,"
jawab Maria. "Aku memberitahu Easa, lalu ia menoleh ke perempuan itu
untuk menyembuhkan anaknya. Aku merasa yakin akan hal ini, selain
perempuan itu tidak tampak seperti rakyat biasa atau seorang Yahudi."
Salome tertawa lepas. "Maria, perempuan itulah Claudia Procula. Easa
telah menyembuhkan putra semata wayang Pontius Pilatus."
Maria terkejut. Sekarang semuanya menjadi jelas firasat itu, perasaan
mengetahui ada sesuatu yang terjadi
di luar penyembuhan itu.
"Siapa saja yang mengetahui hal ini, Salome?"
"Tidak ada kecuali Claudia, Pilatus, dan budak Yunani
itu.
Pilatus melarang istrinya menceritakan peristiwa itu. Ia justru
diperintahkan untuk mengatakan bahwa penyembuhan itu adalah
kehendak dewa-dewa Yunani jika ada orang yang bertanya". Salome
mencibir untuk menunjukkan rasa muaknya.
"Claudia yang malang tidak tahan untuk tidak menceritakannya, dan ia
tahu bahwa dulu aku seorang Nasrani."
"Kau masih seorang Nasrani," kata Maria dengan ramah sambil berdiri
agar bayi dalam perutnya bisa menyesuaikan posisi. Ia perlu
merenungkan informasi penting ini. Ini kabar yang menggembirakan, tapi
ia belum berani untuk terlalu senang.
Tentulah, peristiwa itu bagian dari rencana Tuhan untuk Easa.
Apakah Ia menghadirkan Claudia dan putranya yang sakit agar Easa bisa
menyembuhkannya dan membuktikan kerasulannya kepada Pilatus? Dan
seandainya nasib Easa berakhir di tangan Pontius Pilatus, tentulah ia
tidak akan memberikan hukuman kepada orang yang telah
menyembuhkan putranya sendiri?
"Tapi ada lagi, Saudaraku," wajah Salome kembali muram.
"Ketika aku di sana, Jonathan Annas dan iparnya yang kejam datang
mengunjungi Pilatus dan ayah tiriku. Mereka mengajukan tuntutan
terhadap Easa." Salome tersenyum getir. "Aku mendengar kedatangan
mereka, maka kemudian aku memohon pada Claudia untuk
memberitahukan tempat yang paling aman untuk bersembunyi agar aku
bisa menguping."
Maria tersenyum pada Salome, yang selalu banyak
akal.
"Pilatus tidak mau mendengarkan dan berusaha mengenyampingkannya
sebagai sesuatu yang tidak penting agar ia bisa menyudahi
pertemuannya dengan Herod. Yang penting bagi Pilatus, Roma mendapat
laporan baik tentang kemampuannya selaku gubernur. Ia mengincar
posisi di Mesir."
Maria mendengarkan dengan sabar, jantungnya berdegup keras saat
Salome melanjutkan. "Tapi ayah tiriku si Herod yang sombong berpihak
pada imam-imam goblok itu. Mereka mempermainkannya dengan
mengatakan bahwa Easa menyebut dirinya raja Yahudi dan ingin
menggeser Herod dari singgasananya.
Maria menggeleng-gelengkan kepala. Tentu saja, itu tidak masuk akal.
Easa tidak memiliki hasrat untuk duduk di atas singgasana duniawi. Ia
adalah raja yang bertahta di dalam hati jemaat, raja yang
menyampaikan kerajaan Tuhan pada mereka.
Untuk itu ia tidak memerlukan istana atau singgasana. Tapi Herod yang
gelisah merasa terancam lantaran manipulasi Annas dan Caiaphas.
"Kudengar Pilatus menemui Claudia tak lama sesudah itu ia tidak melihat
tempat persembunyianku-dan berkata, 'Sayangku, aku khawatir nasib
tidak berpihak pada Easa. Para imam menuntut agar ia dihukum mati.
Dan mereka ingin Easa ditahan sebelum Paskah.' Lalu Claudia berkata,
'Tapi tentunya kau tidak akan membiarkan ia dihukum.' Pilatus tidak
menjawab, lalu kudengar Claudia bertanya lagi, 'Bukankah begitu?'
Kemudian aku tidak mendengar apa-apa lagi hingga Pilatus keluar dari
ruangan. Saat aku yakin ia sudah pergi, aku keluar dan menemui Claudia
dalam kondisi gemetar. Ia berkata bahwa suaminya tidak berani
menatap matanya saat ia keluar.
Oh, Maria, dia sangat mencemaskan kejadian yang akan menimpa Easa.
Aku juga merasa cemas. Kau harus mengajaknya keluar dari Yerusalem."
"Apakah ayah tirimu tahu di mana kau sekarang?"
Salome mengangkat bahu. "Aku memberitahu bahwa aku akan
berbelanja kain sutra. Ia terlalu sibuk dengan rencana
keberangkatannya ke Roma hingga tidak tahu atau tidak peduli di mana
aku menginap malam ini. Dia asyik dengan dirinya sendiri."
Maria berusaha memikirkan strategi. Ia harus menung gu sampai Easa
pulang malam ini, baru kemudian menceritakan segalanya, tentu saja.
Maria tahu, ia perlu sedikit membujuk Salome agar mau menginap dan
menceritakan semuanya dengan rinci.
Salome menginap, dan merasa sangat gembira ketika Maria Agung
datang siang harinya. Ibunda Easa yang bijak itu datang bersama Maria-
Maria lain yang lebih tua saudaranya, Maria Yakobus, dan sepupu
mereka, Maria Salome. Yang terakhir ini adalah ibunda dua pengikut
Easa yang paling setia. Salome merasa mendapat kehormatan karena
berada di dekat wanitawanita bijaksana ini, mereka adalah pemimpin
tradisi Nasrani yang kuat, meski tidak banyak berbicara. Tapi
kegembiraan Salome menguap, seperti juga Maria Magdalena.
"Aku melihat kegelapan besar di cakrawala, Putri-pu-triku."
kata Maria Agung. "Aku datang untuk bertemu de-
ngan putraku.
Kita semua harus bersiap menghadapi ujian kekuatan dan keimanan pada
peringatan Paskah ini."
"Apa yang kau lihat, Easa?" tanyanya pelan. "Aku melihat bapaku di
surga telah menghamparkan rencana besar dan kita harus
mengikutinya." "Memenuhi nubuat?" "Jika itu yang ia kehendaki."
Maria terdiam sejenak. Bunyi nubuat sangat jelas bahwa sang mesias
harus mengakhiri hidupnya di tangan orangorangnya sendiri.
"Bagaimana dengan Pontius Pilatus?" tanya Maria dengan secercah
harapan. "Kau adalah orang yang diutus untuk menyembuhkan putranya.
Jadi dia telah menyaksikan sendiri siapa engkau sesungguhnya. Tidakkah
itu bagian dari rencana Tuhan?"
"Maria, dengarkan aku baik-baik. Yang akan kusampaikan ini adalah
intisari ajaran Nasrani. Tuhan membuat rencana, dan Ia menempatkan
lelaki dan perempuan pada tempatnya masingmasing.
Tapi ia tidak memaksa mereka untuk melakukan sesuatu. Seperti
seorang ayah yang baik, Tuhan membimbing anak-anaknya, juga memberi
mereka kesempatan untuk menentukan pilihan."
Maria mendengarkan dengan penuh perhatian, berusaha menghubungkan
falsafah Easa dengan situasi yang mereka hadapi. "Kau percaya bahwa
Tuhan menempatkan Pontius Pilatus pada posisi ini?"
Easa mengangguk. "Ya. Pilatus, istrinya yang baik, anak mereka."
"Dan apakah Pilatus akan memilih untuk menolongmu atau tidak...itu
bukan ketentuan Tuhan?"
Easa menggeleng. "Tuhan tidak mendikte kita, Maria. Ia membimbing
kita. Terserah pada individu masing-masing, untuk memilih pemimpinnya.
Termasuk pilihan antara rencana Tuhan dengan hasrat duniawi. Kau
tidak bisa mengabdi pada Tuhan sekaligus mengabdi pada kebutuhan
duniawi. Kerajaan Surga akan datang kepada mereka yang memilih
Tuhan. Aku tidak bisa mengatakan, kepada siapa Pontius Pilatus memilih
untuk mengabdikan diri jika waktunya tiba."
Maria mendengarkan dengan seksama. Meskipun ia mengenal baik
kalimat dalam ajaran Nasrani itu, tapi penjelasan Easa yang mengambil
contoh Pontius Pilatus menjadikan dogma ini jernih dan bertenaga.
Dalam suatu kilatan firasat, Maria merasa perlu menyimpan kata-kata
ruangan. Easa menjelaskan ritual itu suatu bentuk pengakuan bahwa tiap
orang adalah putra Tuhan yang memiliki tugas khusus menyampaikan
kerajaan Tuhan.
"Aku telah memberi kalian contoh, segala yang telah dilakukan di sini
terhadap kalian, lakukanlah juga terhadap orang lain. Dan akuilah bahwa
di mata Tuhan, kalian setara dengan orang lain. Aku akan memberikan
perintah baru malam ini bahwa kalian akan saling mencintai sebagaimana
aku mencintai kalian. Karena ketika kalian memasuki dunia, aku akan
membuat orang mengenali kalian sebagai orang Nasrani lewat sikap
saling mencintai." Setelah mencuci kaki semua pengikutnya dalam
ruangan itu, Easa memimpin mereka menuju meja untuk makan malam
Paskah. Ia mengerat roti yang tidak beragi, memberkatinya, lalu
berkata, "Ambillah ini dan makanlah, karena roti ini akan menjadi
seperti tubuhku." Lalu ia mengambil secawan anggur dan mengucapkan
syukur sebelum mengedarkannya ke sekeliling meja. "Inilah darah
perjanjian baruku, yang akan tertumpah untuk banyak orang."
Maria mengamati tanpa bersuara bersama yang lainnya. Hanya dia dan
Maria-Maria lain yang tahu rincian peristiwa yang akan terjadi. Saat
Yudas mendapat isyarat dari Easa, ia akan meninggalkan makan malam
dan menemui Jairus. Jairus akan membawanya menemui Annas dan
Caiaphas, dan menunjuknya sebagai seorang pengkhianat. Yudas akan
meminta tiga puluh keping perak agar pengkhianatannya tampak otentik.
Sebagai imbalannya, ia akan menunjukkan tempat Easa menyendiri pada
para imam itu. Di tempat yang jauh dari kota dan tidak akan ada
kerumunan orang, akan mudah menangkap Easa.
Ketegangan tampak jelas di wajah Yudas. Murid-murid lain tidak
mengetahui rencana ini karena Easa tidak ingin mengambil risiko. Ia
tidak ingin terjadi perselisihan, apalagi jika mereka menolak rencana ini.
Belakangan, Maria meratapi Yudas dan ketidakadilan kejadian itu. Ia
akan membela Yudas di hadapan murid lain, yang memandangnya sebagai
pengkhianat belaka.
Tapi ketika waktu itu tiba, sudah sangat terlambat bagi Yudas Iskariot.
Tuhan telah menciptakan tempat untuknya, dan ia memilih menerimanya.
Maria Magdalena tetap berjaga dan berdoa bersama Maria- Maria lain
hingga larut malam. Mereka tidak bisa mendekati kaum lelaki, karena
risikonya terlalu tinggi.
Emosi mereka memuncak, meski tak seorang pun yang memberitahu
mereka kejadian yang tengah berlangsung.
Para Maria bergantian memimpin doa dan saling menenangkan. Malam
sudah larut saat mereka melihat obor melintasi Lembah Kidron, menuju
tempat mereka. Ternyata mereka hanya kelompok kecil terdiri dari dua
lelaki dan seseorang yang tampaknya perempuan mungil. Maria berdiri
setelah menyadari bahwa perempuan itu adalah putri Herodian.
Ia berlari menyambut Salome dan memeluknya. Ketika itu, barulah ia
tahu bahwa lelaki yang memegang obor adalah senturion Romawi yang
berpakaian sehari-hari. Ia adalah lelaki bermata biru yang disembuhkan
Easa.
"Saudaraku, tidak ada banyak waktu," kata Salome terengah-engah.
Jelaslah ia berlarian hingga sampai ke tempat itu. "Aku datang dari
Benteng Antonia. Claudia Procula mengutusku dan menitipkan rasa
anak-anak ke sana. Begitu Maria telah sampai dengan aman di rumah itu,
menanti kedatangan iparnya bersama Yohanes dan Tamar, Salome
segera mengirim utusan lain untuk menjemput Maria Agung dan yang
lainnya di Getsemane.
"Bagus. Temani dia dan pastikan ia tetap di sana. Jika ia bangun, jaga ia
agar sejauh mungkin dari pagar. Aku tidak ingin ia melihat atau
mendengar kejadian di kota ini."
"Tentu, Nyonya," jawab budak Yunani itu dan Claudia berlari keluar
kamar, menjalankan misi terpenting dalam hidupnya.
ini layak kita dapatkan? Apakah satu lagi nyawa pemberontak Yahudi
layak membuat masa depan kita hancur?"
"Dia bukan pemberontak!" teriak Claudia.
Namun mereka diganggu dengan kehadiran seorang perwakilan Herod
yang meminta Pilatus kembali ke ruang sidang. Saat Pilatus akan pergi,
Claudia mencengkeram tangannya.
"Pontius, aku bermimpi buruk semalam. Tolonglah, aku
mencemaskan dirimu dan Pilo jika kau tidak menyelamatkan lelaki ini.
Kutukan Tuhan akan menimpa kita semua."
"Mungkin. Tapi Tuhan yang mana? Apakah aku harus percaya bahwa
Tuhannya orang Yahudi berkuasa menggulingkan Roma?" tanya Pilatus.
Ketika seorang lagi datang memintanya kembali ke ruang sidang, Pilatus
menatap tajam wajah istrinya. "Ini dilema, Claudia. Dilema paling berat
yang pernah aku hadapi. Jangan berpikir bebanku tidak seberat beban
yang kaurasakan."
Ia kembali ke kursinya untuk mengajukan pertanyaan kepada tahanan
sementara Claudia mengawasi dari balik tirai.
"Kepala imam kaummu telah mengirimmu kepadaku, menuntut agar kau
dihukum mati," kata Pilatus kepada tahanannya. "Apa yang telah kau
lakukan? Apakah kau raja umat Yahudi?"
Easa menjawab dengan tenang seperti biasa. Jika ada orang asing
menyaksikan peristiwa ini, pasti ia tidak mengira bahwa nyawa sang
tahanan dipertaruhkan dengan jawabannya.
"Apakah itu pertanyaanmu sendiri, karena segala yang kau ketahui
tentang aku? Ataukah orang lain memintamu mengajukan pertanyaan
ini?"
"Jawab saja pertanyaanku. Apakah kau seorang raja? Jika kau
mengatakan tidak, aku akan mengembalikanmu ke para imam, biar
mereka yang menentukan hukuman bagimu berdasarkan hukum kalian
sendiri."
Jonathan Annas melompat kaget mendengar ini. "Kami tidak memiliki
hukum untuk mengkum mati, Yang Mulia.
Karena itulah kami datang kepadamu. Jika dia bukan pengacau dan orang
yang berbahaya, kami tak akan mengganggu Yang Mulia dengan
persoalan ini."
"Biar tahanan sendiri yang menjawab," kata Pilatus mengabaikan ucapan
Annas.
Easa menatap lurus ke wajah Pilatus. Saat Claudia mengawasi tanya-
jawab itu, ia mendapat firasat kuat bahwa keduanya tidak melihat atau
mendengar orang lain yang ada di ruangan itu. Peristiwa itu hanya
berlangsung antara Easa dan Pilatus, suatu tarian takdir dan keimanan
yang akan mengubah dunia. Claudia merasakan dalam tubuhnya yang
gemetar.
"Aku datang ke dunia agar bisa menunjukkan jalan Tuhan kepada umat
dan bersaksi atas kebenaran."
Filsuf Romawi dalam diri Pilatus bangkit mendengarkan ucapan ini.
"Kebenaran," katanya sambil berpikir. "Katakan padaku, wahai Nasrani,
apakah kebenaran itu?"
Dua lelaki itu saling berpandangan, terkunci dalam nasib yang saling
menjalin. Pilatus yang lebih dulu mengalihkan pandangannya, sekarang ia
menatap para imam.
"Akan aku katakan apa itu kebenaran. Kebenaran adalah bahwa aku sama
sekali tidak menemukan kesalahan pada lelaki ini."
Ucapan Pilatus terpotong dengan pemberitahuan kedatangan seseorang.
Sidang terhenti sementara saat Jairus memasuki ruangan dan memberi
salam pada imam-imam lain.
Ia memohon maaf pada Pilatus atas keterlambatannya dengan alasan
urusan mendesak untuk keperluan Paskah.
"Bagus, Jairus," kata Pilatus lega melihat kehadiran perwakilan yang
telah menjadi temannya itu. Mereka saling berbagi rahasia yang hanya
diketahui mereka berdua. "Aku telah memberitahu saudara-saudaramu
di
sini bahwa aku tidak menemukan kesalahan lelaki ini. Dengan demikian,
aku tidak bisa memberikan hukuman kepadanya."
Jairus mengangguk dengan bijak. "Aku mengerti."
luar.
Easa memandang anak-anaknya dan meletakkan tangan di dadanya.
"Ingatlah, aku ada di sini. Selalu." Mereka berdua mengangguk sungguh-
sungguh. Mata hitam Yohanes besar dan berani, mata Tamar penuh air
mata seolah paham dengan situasi yang menakutkan.
Kemudian Easa menoleh ke Maria dan berbisik. "Berjanjilah, kau tak
akan membiarkan mereka menyaksikan kejadian hari ini. Dan aku tidak
ingin kau menyaksikan kejadian selanjutnya. Tapi jika sudah berakhir..."
Maria tidak mengizinkannya menyelesaikan ucapannya. Ia meraih tubuh
Easa dan memeluknya erat-erat untuk kali terakhir, menyerap segala
yang Easa rasakan ke dalam otak dan tubuhnya seolah mereka satu
tubuh. Ia akan menyimpan kenangan terakhir ini hingga maut
menjemput. "Aku akan berada di sampingmu," bisik Maria. "Apa pun yang
terjadi."
"Terima kasih, Mariaku," ucap Easa sambil mendorong lembut tubuh
istrinya. Sambil tersenyum, ia mengucapkan katakata terakhir padanya.
Seolah ia akan kembali nanti untuk makan malam bersama.
"Kau tidak akan merindukanku karena aku tidak akan pergi. Nanti akan
lebih baik dibandingkan sekarang, karena setelah ini kita tidak akan
terpisah."
"Salib dia! Salib dia!" teriakan itu terdengar lagi, berulangulang, seolah
mereka telah dilatih dan dimobilisasi. Pilatus kesal melihat manipulasi
khalayak ramai, karena membuat posisinya menjadi sulit.
Ia menyentuh Easa sambil membungkuk untuk me-
nyampaikan sesuatu. "Dengarkan aku, hai orang Nasrani," katanya pelan.
"Inilah kesempatan terakhir untuk menyelamatkan diri. Aku bertanya
padamu, apakah kau raja umat Yahudi? Karena jika kau mengatakan
tidak, aku tidak mempunyai alasan untuk menyalibmu berdasarkan
hukum Romawi. Aku memiliki kekuasaan untuk membebaskanmu."
Kalimat terakhir itu diucapkan dengan desakan yang sangat.
Easa menatap Pilatus cukup lama. Katakan! Ayo, katakan!
Seolah membaca pikiran Pontius Pilatus, Easa menjawab dengan bisikan,
"Aku tidak bisa membuat persoalan ini lebih mudah bagimu. Takdir telah
dipilihkan untuk kita, tapi sekarang kau harus memilih pemimpinmu
sendiri."
Ketegangan di tengah-tengah kerumunan memuncak. Teriakan-teriakan
mereka membuat otak Pilatus serasa mau pecah. Ada teriakan yang
membela Easa, cukup banyak jumlahnya. Tapi teriakan mereka tertutup
dengan kutukan haus darah orang-orang suruhan yang mendapat bayaran
untuk menunaikan tugasnya tanpa kenal iba. Saraf-saraf Pilatus
menegang seperti busur saat ia berusaha menyeimbangkan tugasnya,
ambisinya, falsafahnya, dan keluarganya di bahu orang Nasrani yang
mengenaskan ini. Sebuah teriakan dari sebelah kiri membuatnya kaget.
Ia menoleh, ternyata suara itu berasal dari perwakilan Herod, sang
penguasa Galilee.
"Ada apa?" bentaknya.
Orang itu menyerahkan gulungan kertas dengan stempel Herod. Pilatus
merobek perekatnya lalu membaca tulisan.
"Selesaikan urusan dengan orang Nasrani ini secepat-
nya karena aku akan berangkat ke Roma lebih awal. Dan aku akan pergi
setelah tahu bahwa aku bisa memberikan laporan baik kepada Caesar
tentang caramu mengatasi ancaman terhadap Kekaisarannya."
Itulah pukulan terakhir bagi Pontius Pilatus. Ia membaca kertas itu lagi
dan sadar bahwa darah telah menutupinya darah Easa, yang melumuri
tangan Pilatus. Ia memanggil seorang pelayan untuk membawakan
mangkuk perak berisi air. Pilatus mencuci tangannya, menggosok noda-
noda itu, berusaha tidak melihat air yang berubah menjadi merah
karena darah tahanan di hadapannya.
"Aku mencuci tanganku dari darah lelaki ini!" teriaknya pada kerumunan
orang. "Saliblah raja kalian, jika itu yang kalian inginkan." Ia
membalikkan badan tanpa menoleh ke Easa dan bergegas menuju
Benteng Antonia.
Tapi urusan Pontius Pilatus belum selesai. Caiaphas datang tak lama
kemudian bersama sejumlah orang dari Rumah Tuhan.
"Apa kau belum cukup menyusahkanku hari ini?" Pilatus membentak
imam itu.
"Hampir, Yang Mulia." Caiaphas tersenyum puas.
"Apa lagi yang kau inginkan dariku?"
"Adalah tradisi kami untuk memberi tanda pada tiang
salib.
Tanda itu berupa tulisan yang menjelaskan kejahatan orang yang
dihukum. Kami memintamu menuliskan bahwa dia adalah penista agama."
Pilatus menarik bahan untuk menulis. "Aku akan menuliskan hukuman
yang kuberikan padanya, bukan yang kau minta. Itulah tradisi."
Dan ia menuliskan singkatan INRI(2), di bawahnya
tertera makna singkatan itu Easa dari Nazaret, Raja umat Yahudi.
Pilatus menatap pelayannya. "Pastikan tulisan ini yang dipakukan di atas
salib tahanan. Dan salin tulisan itu ke dalam bahasa Ibrani dan Aram."
Caiaphas terperanjat. "Tidak boleh begitu! Jika pun terpaksa, kau harus
menulis, 'Ia mengklaim dirinya sebagai raja umat Yahudi', agar orang-
orang tahu bahwa kami tidak menghormatinya karena perbuatannya itu."
Pilatus tidak mau berurusan lagi dengan lelaki itu dan manipulasinya,
sekarang dan selamanya. Ia menancapkan bisa dalam jawabannya. "Kata-
kata yang telah kutulis, tidak bisa diubah lagi."
Maria menahan tangis. Tak ada waktu lagi, tapi kehadiran Martha
membuatnya sangat lega. "Ayo, Putri kecilku," kata Martha pada
kemenakannya, sambil mengangkat Tamar. "Dan kau juga, Pangeranku,"
katanya menggandeng tangan Yohanes.
Maria memeluk erat kedua anaknya sejenak, berusaha meyakinkan
bahwa mereka akan bertemu lagi di Bethany secepat mungkin. "Pergilah
bersama Tuhan, Saudaraku," bisik Martha.
"Kami akan menjaga anak-anak sampai kau bisa pulang. Jagalah dirimu."
Martha mencium iparnya, yang kini seorang wanita dewasa dan seorang
ratu, lalu berjalan
melawan arus kerumunan sekali lagi, sambil membawa anak-anak.
Maria Magdalena tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Terlalu banyak
bayangan yang bermunculan di kepalanya, terlalu banyak bunyi dan
kenangan pula. Lalu ada satu hal lain.
Mulanya adalah perasaan tak tenang, suatu pemahaman samar bahwa
ada sesuatu yang tidak beres. Maria bangun dari ranjangnya lalu
berjalan perlahan meninggalkan kamarnya. Langit masih gelap. Masih ada
setidaknya satu jam lagi sebelum subuh. Tak seorang pun terbangun,
dan tak ada yang aneh di rumah itu.
Lalu ia tahu. Maria merasakan kilatan nubuat disertai kemampuan
melihat kegaiban. Easa. Ia harus ke kuburan.
Sesuatu terjadi di makam Easa. Maria ragu-ragu sejenak. Apakah
sebaiknya ia membangunkan Yusuf atau salah seorang di antara mereka
untuk menemaninya? Petrus, barangkali?
Dua Puluh
"Kautahu bagian mana yang paling berat?" suara Peter nyaris seperti
bisikan.
Maureen menggeleng. Baginya, ini adalah bagian paling mendebarkan
dari segala kondisi yang mungkin. Tapi ia tahu, banyak keyakinan Peter,
bahkan alasan hidupnya, mendapat tantangan dari berbagai kalimat
dalam injil Maria. Betapapun, kata-kata Maria meneguhkan premis yang
paling sakral dalam ajaran Kristiani, yaitu kebangkitan.
"Tidak, apa? Katakanlah," jawab Maureen. Peter menatap sepupunya,
matanya merah dan
berkacakaca saat ia berusaha membuat Maureen memahami pikiran yang
tengah berkecamuk dalam kepalanya. "Bagaimana seandainya...bagaimana
seandainya selama dua ribu tahun ini kita menentang wasiat terakhir
Yesus Kristus? Bagaimana jika pernyataan yang hendak disampaikan
Injil Yohanes, ketika Yesus muncul untuk kali pertama di hadapan Maria
Magdalena adalah bahwa ia penerus yang dipilihnya?
Betapa ironisnya jika kita, dengan menggunakan namaNya, telah menolak
posisi Maria, bukan hanya sebagai seorang rasul, tetapi juga sebagai
pemimpin para rasul?"
Peter termenung sesaat, berusaha memilah tantangan-tantangan yang
muncul dalam benaknya, juga dalam jiwanya.
'"Jangan menempel padaku.' Itulah yang ia katakan pada Maria.
Kausadar, betapa pentingnya ucapan itu?"
Maria menggeleng, menunggu penjelasan.
"Injil-injil tidak menerjemahkan seperti itu melainkan dengan kalimat
'Jangan menyentuhku.' Kemungkinan kata Yunani aslinya adalah
'menempel', bukan 'menyentuh'. Tapi tak ada yang memandangnya
seperti itu. Kau lihat perbedaannya?" Keseluruhan gagasan ini adalah
suatu pengungkapan baru bagi Peter sebagai seorang cendekiawan dan
ahli bahasa. "Bisakah kaulihat, penerjemahan satu kata saja bisa
mengubah segalanya? Tapi dalam injil ini, kata yang dipakai jelas
'menempel', bahkan kata ini digunakan dua kali saat ia mengutip ucapan
Yesus."
Cincin itu disertai potongan jari telunjuk dari tangan kanan Derek
Wainwright.
"Ayo," kata Maureen sambil berlari melewati koridor chateau lalu turun
ke ruang kerja Sinclair. Tammy mengikuti separuh langkah di
belakangnya.
Mereka berhenti di pintu, sudah separuh terbuka. Sejak naskah itu
berada di ruang kerja ini, pintu selalu tertutup dan terkunci. Bahkan
jika seorang di antara mereka berada di dalamnya. Maureen menelan
ludah dan menguatkan hati saat memasuki kamar yang gelap itu. Di
belakangnya, Tammy menemukan tombol lampu lalu menghidupkannya
dan tampaklah meja baca sudah kosong. Permukaan kayu mahogani yang
licin itu memantulkan cahaya lampu. Kosong sama sekali. "Semuanya
hilang," bisik Maureen.
Berdua dengan Tammy, mereka menggeledah kamar itu, tapi tak ada
naskah Maria Magdalena yang tersisa. Kertas catatan warna kuning pun
hilang. Tak ada secarik kertas pun, bahkan satu batang pulpen pun tak
terlihat. Satu-satunya bukti naskah itu pernah ada di sana adalah toples
tanah liat yang masih berdiri di sudut. Lokasinya memang tidak dilewati
orang. Tapi kedua toples itu sudah kosong. Pusaka yang sesungguhnya
telah hilang.
Dan kelihatannya Bapa Peter Healy, orang yang paling dipercaya
Maureen, yang telah membawanya.
Maureen melangkahkan kakinya yang lemas untuk duduk di sofa beludru.
Ia tak sanggup bicara, tak tahu apa yang harus diucapkan atau
dipikirkan. Ia duduk saja di sofa, tatapannya nanar.
"Maureen, aku harus mencari Roland. Kau tetap di sini, ya? Kami akan
segera kembali."
Maureen mengangguk, lidahnya terlalu kelu untuk menjawab. Ia masih
duduk dalam posisi yang sama saat Tammy dan Roland kembali, diikuti
Berenger Sinclair.
"Madernoiselle Paschal," sapa Roland lembut sambil berjongkok di
samping sofa. "Aku mohon maaf atas kesedihan akibat kejadian malam
ini."
Maureen menatap lelaki Occitan bertubuh besar itu, yang menunduk
dengan perasaan prihatin. Belakangan, ketika Maureen memiliki waktu
Maria Magdalena yang melakukan pertobatan. Dua puluh empat jam lagi,
ia akan memperoleh jawaban lengkap.
Aktivitas di chateau sepanjang hari itu sangat sibuk. Sinclair dan Roland
berjalan mondar-mandir, berbicara dalam bahasa Prancis dan Occitan,
satu sama lain, dengan pelayan dan dengan bermacam-macam orang
lewat telepon. Dalam dua peristiwa, Maureen menduga Roland berbicara
dalam bahasa Italia, tapi ia tidak yakin dan tidak mau bertanya.
Maureen bertemu Tammy sejenak di ruang media. Mereka memeriksa
beberapa gambar untuk dokumentasi garis darah Magdalena yang dibuat
Tammy. Mereka berbincang-bincang tentang bagaimana naskah Maria
Magdalena mengubah pandangan Tammy sebagai seorang pembuat film.
Maureen semakin kagum pada temannya ini setelah menyaksikan betapa
terampil dan kreatifnya dia. Selain itu, Tammy mampu berkonsentrasi
dalam pekerjaannya saat ia stres, seperti yang mereka semua rasakan
pada saat ini.
Di pihak lain, Maureen merasa dirinya tidak berguna. Ia tidak bisa
berkonsentrasi, sama sekali tidak bisa fokus. Ia merasa harus
menggoreskan catatan cepat-cepat, berusaha menangkap sebanyak
mungkin materi tentang Magdalena yang ia ingat. Tapi ia tak mampu
melakukannya. Ia terlalu sakit hati dengan pengkhianatan Peter. Apa
pun motifnya, ia pergi tanpa meninggalkan pesan. Dan ia membawa
sesuatu yang bukan haknya. Maureen merasa butuh waktu lama untuk
pulih dari persoalan ini.
Makan malam berjalan sepi di antara mereka bertiga
Maureen, Tammy, dan Sinclair. Menurut Sinclair dan Tammy, Roland
sedang keluar tapi akan kembali sebentar lagi. Tammy mengatakan
bahwa Roland sedang menjemput seorang tamu dari bandara pribadi di
Carcassonne. Begitu tamu misterius itu sampai, mereka akan
memperoleh informasi lebih banyak lagi. Maureen mengangguk untuk
tentang sang ayah. Sekarang teka-teki itu menjadi jelas rasa takut yang
membuat ibunya menunjukkan sikap bermusuhan, dan kemarahannya
terhadap Gereja. Hal ini juga menjelaskan surat dari ayahnya kepada
keluarga Gelis yang tersimpan dalam arsip di chateau ini. Ayah Maureen
menulis surat karena stigmata di tubuhnya dan karena ia ingin
melindungi putrinya dari nasib yang sama. Maureen menatap Kardinal di
antara air matanya.
"Mereka selalu mengatakan bahwa ia bunuh diri akibat sakit jiwa. Ibuku
berkata ia meninggal dalam kondisi tidak waras. Aku tidak tahu, tak
seorang pun memberitahukan kejadian ini..."
Pejabat gereja itu mengangguk dengan iba. "Sayangnya, banyak orang
yang salah paham terhadap ayahmu," katanya.
"Bahkan orang-orang yang seharusnya bisa membantunya. Yaitu kalangan
Gerejanya sendiri. Dan ke sanalah Peter pergi."
Maureen mengangkat pandangannya, ia mendengarkan dengan penuh
perhatian. Bisa ia rasakan, keringat dingin mengucur di punggungnya dan
terus ke jari kakinya, sementara sang Kardinal bercerita.
"Sepupumu lelaki yang baik, Signorina. Aku rasa, janganlah kau
menghakiminya atas perbuatan yang akan aku sampaikan padamu. Tapi,
kita harus mundur ke masa kanak-kanakmu. Saat tubuh ayahmu
menunjukkan stigmata, pendeta setempat yang ia datangi untuk
meminta bantuan adalah bagian organisasi dalam Gereja yang membelot.
Seperti yang lainnya, kami hanya manusia biasa. Meski banyak di antara
kami, orang-orang gereja, yang mengabdikan diri untuk kebaikan, ada
sebagian orang yang melindungi keyakinan tertentu dengan cara apa pun.
"Kasus ayahmu seharusnya disampaikan langsung ke Roma. Tapi ternyata
tidak. Kami akan membantunya, bekerja sama dengannya untuk
menemukan sumber atau memahami signifikansi suci luka-luka itu. Tapi
orang yang mengambil alih kasus ini membuat keputusan sendiri bahwa
ayahmu adalah orang yang berbahaya. Seperti yang sudah aku katakan,
mereka adalah pembelot yang memiliki agenda tersendiri. Aku baru
mengetahuinya belakangan ini."
Esok paginya, sebuah paket untuk Maureen tiba. Paket itu dikirim dari
Paris kemarin. Tak ada alamat pengirim, tapi Maureen tak perlu
penjelasan siapa pengirimnya. Ia sangat kenal tulisan Peter.
Maureen merobek bungkus kotak, ingin segera tahu apa isinya. Meskipun
ia tidak marah dengan perbuatan Peter, tapi sepupunya itu belum tahu.
Mereka mesti melewati masa memaafkan yang canggung dan melakukan
pembicaraan serius tentang sejarah mereka bersama. Tapi Maureen
merasa yakin, mereka akan akrab kembali
seperti sebelumnya.
Maureen menjerit kaget bercampur senang setelah melihat isi kotak
itu. Ada fotokopi tiap halaman catatan Peter dari ketiga kitab injil
Maria Magdalena. Semua catatannya ada di sana, mulai dari transkripsi
awal hingga terjemahan akhir. Di bagian atas halaman yang disobek dari
salah satu kertas catatannya yang berwarna kuning, Peter menulis:
Maureen tersayang:
Sampai aku bisa menjelaskan segalanya padamu secara langsung, aku
percayakan semua ini padamu. Pada akhirnya, kaulah orang yang paling
pantas menyimpan warisan ini, jauh lebih pantas dibandingkan orang-
orang yang memaksaku menyerahkan versi aslinya kepada mereka.
Tolong sampaikan juga permohonan maaf dan terima kasihku kepada
yang lain. Aku berharap bisa melakukannya secara langsung secepatnya.
Aku akan menghubungimu dalam waktu dekat.
Peter
Penutup
dokumentasi ini semuanya ditulis dengan lapisan bias politik, sosial, dan
pribadi. Kebenaran menjadi hilang selamanya kecuali, barangkali, bagi
orang-orang yang menyaksikannya secara langsung. Umumnya, saksi-
saksi ini adalah kelas buruh yang hidupnya sulit. Mereka tidak akan
menuliskan peristiwa yang mereka saksikan ke surat kabar nasional atau
mencari penerbit yang mau mencetak kisahnya demi mendapatkan uang.
Mereka hanya menguburkan mayat, berdoa untuk kedamaian, lalu
berusaha sekuat tenaga agar hidup terus berputar. Tapi tetap saja,
mereka menyimpan pengalaman dengan cara mereka sendiri sebagai
saksi sejarah, yaitu dengan menyampaikan kisah itu kembali kepada
keluarga dan
komunitas.
Pengalaman di Irlandia meyakinkan saya kembali akan pentingnya tradisi
lisan dan budaya, dan mengapa semua itu biasanya adalah sumber yang
paling kuat untuk memahami pengalaman manusia. Kejadian-kejadian di
sekitar jalan-jalan di Belfast menjadi mikrokosmos saya. Jika peristiwa-
peristiwa di sana dipandang cukup penting untuk disusun kembali dan
diubah oleh surat kabar besar dan media elektronik, lalu apa artinya
ketika konsep yang sama diterapkan ke dalam skala makrokosmos, ke
sejarah dunia? Tidakkah kecenderungan untuk memelintir kebenaran
menjadi semakin besar dan semakin absolut ketika kita menengok ke
belakang, ke masa lalu ketika hanya orang-orang yang kaya,
berpendidikan tinggi, dan memiliki kedudukan politik yang mampu
mencatat peristiwa?
Saya semakin merasa berkewajiban untuk mempertanyakan sejarah.
Sebagai seorang perempuan, saya ingin membawa gagasan ini satu
langkah lebih jauh. Dengan semaraknya dunia tulisan, berbagai materi
dalam jumlah tak terhitung yang dianggap cendekiawan dapat diterima
secara akademis diciptakan oleh orang-orang dari strata sosial dan
politik tertentu. Kita percaya, biasanya dengan begitu saja, bahwa
dokumen-dokumen itu benar hanya karena dokumen itu bisa
"diabsahkan" ke dalam periode waktu tertentu. Jarang kita
memperhitungkan fakta bahwa dokumen itu ditulis pada masa kegelapan,
cara biasa. Saya malah membungkus diri dalam jubah hangat seorang
pendongeng lalu masuk lebih jauh ke dalam misteri. Ternyata berbagai
cerita tradisional dan mitologi tentang Maria Magdalena begitu kaya
dan tua. The Expected One dan buku-buku kelanjutannya mengupas
teori-teori tentang identitas dan dampak kontroversial Maria yang
diilhami subkultur Prancis selatan dan tempattempat lainnya di Eropa.
Cerita daerah dan tradisi Eropa juga memberikan wawasan baru bagi
misteri Maria. Wawasan-wawasan ini belum pernah diungkapkan secara
memuaskan berdasarkan jalur tradisional.
Selama berabad-abad, sebuah ayat dalam injil Mar-kus (16:9) digunakan
untuk menyerang Maria: "Kini,
setelah Yesus bangkit di awal hari pertama dalam seminggu, ia muncul
pertama kali di hadapan Maria Magdalena, yang darinya Yesus telah
mengeluarkan tujuh iblis." Satu ayat ini memicu berbagai klaim ekstrem
menyangkut kondisi mental Maria. Di antaranya bukubuku yang
mengabdikan diri pada pandangan bahwa Maria dikuasai setan atau ia
sakit jiwa. Setelah saya akrab dengan perspektif Argues seperti yang
dituangkan di sini bahwa Yesus menyembuhkan Maria setelah ia diberi
racun yang mematikan yang disebut racun tujuh setan barulah saya
memahami ayat Markus ini.
Pada masa ketika status perempuan diukur melalui hubungan mereka,
Perjanjian Baru tidak memperkenalkan Maria Magdalena sebagai istri
siapa pun, apalagi pasangan Yesus. Fakta ini saja telah mendorong para
cendekiawan menyatakan dengan pasti bahwa ide Maria dan Yesus diikat
dalam hubungan pernikahan sebagai ide yang mustahil. Tapi fakta yang
sama juga menimbulkan teka-teki lain karena Maria Magdalena juga
perempuan satu-satunya dalam keempat Injil yang digambarkan sebagai
dirinya sendiri. Bahwa ia sebuah karakter terpisah menunjukkan
namanya sudah dikenal oleh masyarakat di masanya dan sesudahnya.
Saya percaya, hubungan Maria kompleks statusnya sebagai wanita
bangsawan yang menjadi janda kemudian menjadi istri kembali memang
problematis.
Claudia pada abad pertama yang telah diterbitkan Issana Press. Selain
itu, saya juga memanfaatkan berbagai versi kitab apokrif(2), tulisan
awal para pendeta Gereja, sejumlah sumber Gnostik yang sangat
berharga, dan bahkan Naskah Laut Mati. Saya paham, versi kejadian
yang saya ungkapkan barangkali mengejutkan hingga membuat pembaca
terkesima. Setulus hati, saya berharap pembaca akan terinspirasi untuk
menggali pemahaman masing-masing tentang misteri ini.
Harta karun informasi telah tersedia, kebanyakan berasal dari abad dua
hingga empat, yang tidak disertakan dalam kanon Gereja tradisional.
Ada pula ribuan halaman materi yang menanti untuk diketahui Injil-injil
alternatif, tambahan untuk kitab Kisah Para Rasul, dan tulisan lain yang
mengungkapkan detail dan wawasan untuk memahami kehidupan dan
masa Yesus yang sepenuhnya baru bagi pembaca yang belum pernah
melihat selain yang ditulis oleh keempat pewarta injil. Saya percaya,
jika materi-materi ini digali dengan pikiran dan hati terbuka maka akan
tercipta sebuah jembatan cahaya dan pemahaman antara berbagai divisi
dalam Kristiani, dan di luar itu.
Selama bertahun-tahun melakukan riset, saya telah berdiskusi,
bertanya, berdebat, bahkan mengakui berbagai poin dengan para
pendeta dan kaum beriman dari sejumlah keyakinan. Saya bersyukur
karena memiliki teman dan rekan dari dunia spiritual, termasuk pendeta
Katolik, pendeta Luteran, praktisi Gnostik, dan imam wanita pagan. Di
Israel, saya berjumpa dengan para cendekiawan dan mistikus Yahudi,
juga wali situs-situs Kristiani yang sakral dari golongan Ortodoks.
Ayah saya seorang Pembaptis, suami saya penganut Katolik yang taat.
Individu-individu inilah yang menjadi bagian dalam mosaik sistem
keimanan saya, dan pada hakikatnya bagian kisah ini.
seandainya selama dua ribu tahun ini kita menolak wasiat terakhir
Yesus?" Dalam usaha saya membahas kemungkinan itu, saya menawarkan
gambaran saya sendiri tentang Yudas sebagai teman setia, bahkan
seorang pahlawan; tentang Maria Magdalena sebagai istri, ibu, belahan
jiwa, dan pasangan hidup; tentang Petrus sebagai seorang yang
membantah teman dan gurunya hanya karena ia diperintahkan untuk
bersikap seperti itu. Saya juga percaya, penemuan arkeologis di waktu
yang lalu dan yang akan datang akan semakin bersinar dan membuktikan
bahwa penggambaran ini benar dan adil.
Saya hanya bisa berharap karya saya ini layak di mata para penjaga
kebenaran Maria Magdalena yang mengandalkan saya untuk
mengungkapkan kisahnya. Lebih dari itu, saya harap karya ini
menyuarakan pesan cinta, toleransi, pengampunan, dan kelayakan pribadi
Maria dalam suatu cara yang barangkali membuat pembaca terinspirasi.
Tulisan ini adalah pesan kesatuan dan sikap tidak menghakimi terhadap
semua orang dengan segala sistem keyakinan. Sepanjang proses
penulisan, saya tetap taat pada ajaran damai dan keyakinan bahwa kita
bisa menciptakan surga di bumi seperti yang disampaikan Kristus.
Iman saya kepadaNya dan kepada Magdalena membuat saya bertahan
menghadapi rintangan jiwa.
Saya sadar, saya akan mendapat kecaman dari para cendekiawan dan
akademikus, dan banyak di antara mereka yang akan menyebut saya
tidak bertanggung jawab karena menyampaikan versi yang tidak bisa
dikuatkan dengan sumber-sumber yang menurut mereka bisa diterima.
Tapi saya tidak hendak meminta maaf atas fakta bahwa saya melawan
praktik akademis dalam menyampaikan kisah ini. Pendekatan saya
dilandasi keyakinan pribadi, yang barangkali radikal, bahwa menerima
sesuatu yang dituliskan adalah tidak bertanggung jawab. Saya akan
dengan bangga mengenakan label "anti akademik" dengan tulisan
mencolok, berbekal semboyan Boudicca. Para pembaca tentu akan
mengambil keputusan menyangkut versi kisah Maria yang sesuai dengan
jiwa mereka.
Tapi bagi semua penulis dan pencari yang telah membuat teori dan
postulasi, mendebat, berspekulasi, dan dengan berani menelusuri
petunjuk dan jebakan sejarah sepanjang 2.000 tahun untuk memahami
kesejatian Maria Magdalena dan putraputrinya, saya menghaturkan
salam persahabatan. Semangat menentang peran Magdalena juga para
penulis dan seniman yang mengabadikannya pada dasarnya barangkali
adalah pencarian kebenaran. Saya berharap mereka akan melihat saya
sebagai seorang yang layak dijadikan saudara jika semuanya telah
selesai.
Dua ribu tahun berselang, dan tetap saja sebuah kebenaran yang
menantang dunia.
Persembahan
Menghaturkan terima kasih kepada satu per satu orang yang telah
membantu saya selama dua puluh tahun ini adalah sesuatu yang patut
dilakukan. Sama patutnya dengan pembuatan buku ini sendiri.
Sayangnya, hal itu tidak mungkin karena keterbatasan ruang. Tapi saya
berusaha sebisa-bisanya untuk menyebut sebanyak mungkin orang yang
telah membantu menyelesaikan buku ini.
Untuk agen dan teman saya, Larry Kirshbaum, yang menjadi malaikat
agung saya selama proses ini, saya berterima kasih sebesar-besarnya.
Semangatnya terhadap kisah Maria dan keteguhannya membantu saya
mempersembahkan karya ini kepada dunia adalah dorongan yang telah
membuat segalanya menjadi mungkin.
Penghargaan saya atas dorongan, bimbingan profesional, dan nasihat
yang bersahabat dari editor saya, Trish Todd, tidak bisa diungkapkan
dengan kata-kata. Apresiasi yang tidak terbatas saya tujukan
kepadanya dan kepada tim profesional yang luar biasa di Simon &
Schuster/Touchstone Fireside.
Et in Arcadia Ego
Dari album Music of The Expected One, produksi Finn MacCool, lirik
dan musik oleh Peter McGowan dan Kathleen McGowan.
Kunjungi situs www.theexpectedone.com untuk ndengarkan musik ini.
TAMAT