*****
Pendahuluan
JULI, 1928
***
SEEKOR kambing berbulu
cokelat, gemuk dan sehat
mendengus senang ketika
merasakan jemari lembut hangat
mengusap-usap puting susunya.
Dengan pijatan-pijatan lunak
dan teratur, dari puting susu
kambing itu memancur deras
cairan putih segar ke dalam
panci tanah di bawahnya. Lalu
mendadak, gerakan
menyenangkan itu berhenti.
Padahal susu yang diperah
keluar baru sedikit.
Sejenak sang kambing diam
menunggu. Kemudian tubuh
binatang itu menegang. Matanya
menangkap bayang-bayang
hitam jatuh di permukaan tanah.
Merambat pelan menaungi
rerumputan, kebun sayurmayur.
juga sebuah gubuk mungil
beratap ijuk. lalu
kandang-kandang kecil di
sebelahnya. Sengatan panas
matahari yang mendadak lenyap
dirasakan pula oleh beberapa
ekor ayam yang berkeliaran di
sekitar gubuk.
9
Ayam-ayam betina berkotek riuh
rendah. Yang jantan berlarian
kian kemari. Anak-anak ayam
mencicit ribut sambil berebutan
menyelinap di balik sayap-sayap
induknya, bersembunyi
ketakutan. Seekor kucing hitam
yang tadinya rebahan di tanah
berpasir, mengeong nyaring lalu
meloncat ke pintu gubuk dan
menghilang di dalam. Kambing
betina tadi seketika mencium
bahaya. Si cokelat mengembik
keras, memanggil anak-anaknya.
Beriringan mereka lari masuk,
bukan ke kandang, melainkan ke
dalam hutan. Meninggalkan
perempuan yang tadi memerah
susunya. Perempuan itu
menengadah. menatap langit
biru jernih. Namun sesaat
kemudian ia tertegun, manakala
melihat sekelompok awan hitam
pekat keluar dari balik puncak
gunung lalu bergantung diam
tepat di atas ubun-ubunnya.
"Pertanda buruk!" la bergumam,
cemas. Kemudian ia
membungkuk. Tetapi panci
tanah itu telah pecah
berantakan. lsinya tumpah.
membasahi dan membuat
rerumputan berubah putih. Ini
tentunya perbuatan induk
kambing yang ketakutan itu,
pikirnya. Ia harus mencari tanah
liat lagi. Membuat panci baru.
juga periuk. Karena periuk
satu-satunya yang ia miliki
sudah retak pula. Tadi malam ia
terpeleset, hingga periuk berisi
nasi yang baru masak tersenggol
jatuh dari atas tungku. Jadi
pertanda buruk itu sudah
muncul semenjak malam
harinya. Perempuan itu
membenahi rambutnya yang
terurai panjang.
menyanggulkannya di bagian
tengah atas
kepala. Lehernya kini tampak
semakin jenjang. Kegelisahan
muncul pada sepasang matanya
yang bening bundar. Setetes
peluh jatuh dari ujung
hidungnya yang mancung. Jatuh
di permukaan bibir merah segar.
Bibir ranum itu tergetar, lalu
mengatup rapat. Si perempuan
tahu sesuatu akan terjadi.
Namun secara naluriah ia
menyadari, apa pun yang kelak
terjadi toh ia tidak akan mampu
menghindar. Batinnya
membisikkan, ada kekuatan gaib
yang diam-diam mendekat dan
berusaha mengepungnya dari
segala penjuru. Sambil tegak
mematung. perempuan itu
merapal mantra dalam hati.
Menjerit tanpa suara,
memanggil nama leluhurnya.
Tak lama kemudian terdengar
suara langkah kaki berlari
serabutan. la menoleh ke arah
menghilangnya si cokelat
beserta anak-anaknya tadi.
Semak belukar tiba-tiba terkuak
di antara pepohonan yang
tumbuh rapat. Seorang laki-laki
berusia sekitar 30-an
tergopoh-gopoh mendatanginya.
Begitu melihat si perempuan,
lelaki itu langsung berteriak
memperingatkan. "Lari, Esih!
Cepat, tinggalkan tempat ini!
Mereka?"
Teriakan lelaki itu terputus
tiba-tiba. Rupanya kakinya
terkait akar pohon yang
menyembul di tanah. la jatuh
terjerembap. Tanpa mengaduh
apalagi memperlihatkan rasa
sakit ia bergegas bangkit dan
mendekati si perempuan dengan
wajah gempar.
"Ayo. Esih! Tunggu apa lagi"
Cepatlah lari..." ujar
nya. terengah-engah. Melihat si
perempuan masih bergeming di
tempatnya, ia menjerit. "Kau
dengar aku, Sukaesih?" Pundak
si perempuan diguncangnya
keraskeras. "Kubilang lari!
Mereka akan membunuhmu!"
Sukaesih memandangi wajah
laki-laki di depannya. Kumis
maupun cambang lelaki itu
tampak kotor. Wajahnya penuh
goresan. begitu pula lengannya.
Masygul, ia bergumam, "Kau
terluka. Supardi."
"Hanya tergores duri dan... ya
ampun, Esih! Kau gila kalau tak
mau mendengar kata-kataku.
Larilah!"
"Ke mana?"
"Tuhanku! Masih juga kau
bertanya. Larilah ke mana saja.
Sejauh mungkin dari tempat ini.
Mereka akan tiba sebentar lagi.
Hanya karena aku lebih tahu
tempatmu ini yang membuat aku
berhasil memotong jalan
mereka. Kalau kau tahu siapa
yang ikut di antara mereka.?"
"Siapa, Supardi?" tanya
Sukaesih. Tenang dan dingin.
"Tonggo!" Supardi setengah
menjerit ketika menyebutkan
nama itu. "Ia membawa senjata
ajaibnya yang terkenal itu. Besi
panjang yang dapat
menyemburkan api!"
Sukaesih menghela napas
panjang. "Besi panjang itu
dibuat oleh orang-orang kafir.
Apinya juga bukan api alami.
Aku tidak takut
menghadapinya."
"Mereka akan membakarmu,
Esih..." Suara lelaki itu
melemah. Sudut-sudut matanya
mulai basah.
Sukaesih terkesiap. "Siapa
bilang?"
"Orang sekampung ribut tadi
malam. Beberapa orang
berembuk di balai desa. Baru
tadi pagi aku tahu, ketika aku
ikut memperbaiki rumah si
Aming. Katanya ada orang yang
akan ditangkap lalu dibakar
hidup-hidup. Si Aming tidak
menyebut nama, ia hanya
berkata, ,hukum yang pantas
untuk seorang penyihir.' dan aku
tahu siapa yang mereka
maksud."
"Aku bukan tukang sihir!"
"Astaga, Sukaesih. Jangan
berbantah lagi. Mereka..."
"Sssshhhh!"
Supardi mengatupkan mulut. Ia
melihat cuping telinga Sukaesih
bergerak-gerak. Tetapi baru
agak lama setelahnya ia
mendengar suara sayup-sayup,
suara orang sahut bersahut.
Supardi berputar, wajah
semakin pucat. Dengan telapak
tangan, ia melindungi matanya
dari silau dan sengatan
matahari. Ia menatap ke lereng
bukit, mencari-cari dengan mata
agak dipicingkan. jauh di bawah
sana. ia dapat melihat beberapa
sosok tubuh menyeberangi anak
sungai pada bagian yang
dangkal. Sosok-sosok lain
tampak menyelinap keluar dari
balik pepohonan. Hanya
beberapa ratus meter jaraknya
dari tempat Supardi dan
Sukaesih berdiri. Di antara
rombongan yang semakin
mendekat itu, kelihatan
seseorang mengangkat sebelah
tangan tinggi-tinggi. Tangan itu
memegang sebuah
benda yang tampak
samar-samar, namun dapat
diketahui Supardi apa kiranya.
"Besi panjang Tonggo!" Supardi
bergumam kecut.
Gumam Sukaesih justru
berbeda. Seraya tengadah ke
langit ia mengeluh, "Awan hitam
itu sudah menghilang!"
"Matilah kita. Esih." Supardi
hampir menangis.
"Tidak, Supardi."
"Aku barusan melihat besi
berapi si Tonggo."
"Senjata orang kafir itu tak akan
melukaiku, Supardi. Tetapi kau.
Dan bayiku?" Suara Sukaesih
berubah getir. Ia memegang
tangan Supardi. menatap lurus
ke matanya. Mata Supardi
semakin basah. "Aku akan
menunggu mereka. Kau
masuklah ke gubuk. Selimuti
bayiku baik-baik. Kemudian
bawa dia pergi sejauh mungkin."
***
WAJAH-WAJAH letih
bermunculan dari balik
pepohonan. Empat orang yang
pertama tiba, tidak segera
mendekati gubuk yang pintunya
seakan disengaja terbuka.
Mereka menunggu sampai
semua anggota rombongan
lengkap hadir. Baru setelahnya
mereka beringsut mengitari
gubuk dalam formasi pagar
betis. Semakin dekat ke gubuk,
wajah-wajah itu sebagian
beringas. Namun tak urung satu
dua di antara mereka
memperlihatkan kegentaran hati.
Laki-laki yang bersenjatakan
bedil panjang berbisik perlahan
pada orang di sebelahnya, "Kau
yakin ia ada di dalam?"
Hidung orang di sebelahnya,
seorang lelaki tua kurus dengan
punggung agak bongkok tetapi
berkaki kekar dan kokoh,
mengendus-endus sebentar.
lantas
menjawab pasti, dari jauh pun
aku sudah mencium bau
perempuan itu, Tonggo!"
"Panggillah dia keluar, Darso."
"Pintunya terbuka. Agaknya
mengundang kita untuk
masuk..."
"Siapa tahu itu jebakan!"
"Takut?" Si tua bongkok
bernama Darso menyeringai.
Mengejek. "Percuma kau punya
besi berapi."
Yang disindir menanggapi
tantangan itu dengan gerutuan.
Ia memandang orang di
sekeliling gubuk seolah-olah
meminta dukungan. Semua balas
memandang, tatapan mereka
seolah menuduh: kaulah
pemimpinnya, bukan"
Menyaksikan sinar mata
orang-orang di sekelilingnya,
Tonggo tidak saja merasa
ditantang. Ia terpojok. Sambil
mengumpat dalam hati, Tonggo
memeriksa senjata di tangannya.
Setelah yakin senjata siap
tembak, barulah ia
memberanikan diri maju ke
depan. Senjatanya dikokang.
Tiga langkah menjelang pintu, ia
tertegun sejenak. Bimbang.
Bagaimana kalau yang ia
hadapi benar-benar kekuatan
sihir" Mampukah peluru
menghadangnya.>
Lamat-lamat telinganya
menangkap suara halus dari
belakang. Bisikan yang
disampaikan lewat kekuatan
telepati. "Jangan ragu. Aku siap
melindungimu."
Tonggo menelan ludah. Ia
meneruskan langkah sambil
memanjatkan doa agar Tuhan
menjauhkannya dari ancaman
setan laknat terkutuk. Dengan
dagu
terangkat ia masuk melalui pintu
yang terbuka. Dan untuk yang
kedua kalinya. setiba di dalam
gubuk ia tertegun lagi. Semula
ia berharap akan melihat
bendabenda aneh yang biasa
dimiliki kaum penyihir. Rempah
beraneka ragam, kemenyan yang
menguarkan aroma magis,
tulang-belulang atau mungkin
tengkorak-tengkorak manusia.
Tetapi apa yang ia lihat di
dalam gubuk sangat
mengecewakan hatinya. Selain
peralatan masak memasak, ia
hanya melihat kursi rotan,
lemari kecil, dan sebuah dipan.
Di pinggir dipan kayu itu.
Sukaesih duduk tenang dengan
kaki menjuntai.
Tonggo membasahi
kerongkongannya yang kering
dengan menelan ludah lagi dan
lagi. Keberaniannya mendadak
sirna saat menangkap tatapan
bening perempuan itu. serta
sikap yang begitu tenang dan
damai. Sesaat, Tonggo
kehilangan kata-kata. la
mengalihkan pandang pada
seekor kucing hitam yang
melingkar di pangkuan
Sukaesih. Sepasang mata kucing
itu berkilauan menatap
kehadiran orang asing di dalam
gubuk. Binatang itu
memperlihatkan gigi taringnya,
sambil mendengus tak senang.
Apakah kucing itu makhluk
jadi-jadian"
Akhirnya, tuan rumah yang
memulai.
"Kudengar, kalian mencari aku."
Sukaesih berujar ramah.
"Kok tahu?" rungut Tonggo,
curiga. Tetapi kemudian dalam
hari ia menambahkan sendiri.
"Tentu saja
tahu. kau kan tukang sihir!"
Sayang, penampilan perempuan
di hadapannya jauh dari sosok
tukang sihir dalam dongeng
yang dibacakan untuk memaksa
seorang anak bandel bergegas
naik ke tempat tidur di malam
hari. Sejak menghilang
beberapa bulan yang lalu dari
desa di lembah sana,
penampilan Sukaesih justru
semakin memesona. Wajahnya
tampak begitu segar, sehat, dan
senyumnya meruntuhkan hati
setiap lelaki yang memandang.
"Ada perlu apa?" tanya
Sukaesih polos.
"Kau harus ikut kami ke desa,"
jawab Tonggo, enggan.
"Untuk?"
"Diadili."
Senyum di bibir Sukaesih tetap
mengembang. Suaranya pun
tetap ramah. "Apa
kesalahanku?"
Tonggo tiba-tiba merasa
jengkel. Bukan dia yang
menguasai perempuan itu.
melainkan sebaliknya. Harga
dirinya terhina. Ia telah
membiarkan hatinya larut oleh
penampilan perempuan itu, dan
lupa bahwa ia harus bertindak
tegas. Setelah susah payah
mengumpulkan semangat dan
kekuatan batin, Tonggo
menjawab. "Kita bicarakan itu
nanti saja. setiba di desa. Kau
harus menjawab banyak
pertanyaan. Salah satu saja
jawabanmu keliru, maka
nasibmu sudah ditentukan!"
"Oleh siapa?"
"Jangan mengajakku bersilat
lidah. Mereka yang di
luar sana sudah tak sabar
menunggu. Ikutlah secara
baik-baik. Kalau tidak?"
"Kudengar," potong Sukaesih,
"besi yang dapat menyemburkan
api itu kan rebut dari kompeni."
"Apa pedulimu, Sukaesih?"
"Tentunya sudah banyak nyawa
yang melayang di tanganmu,"
sahut Sukaesih acuh tak acuh.
"Aku akan ikut kalian, Tonggo.
Bukan karena takut pada senjata
ajaibmu. Aku rela pergi dengan
kalian, karena aku yakin tidak
bersalah atas apa yang selama
ini kalian tuduhkan kepadaku."
Tonggo menghela napas lega.
Beban berat yang sejak tadi
menekan pundaknya hilang
begitu saja. Ia membiarkan
perempuan itu berjalan
mendahuluinya. Kucing
hitamnya menguntit dari
belakang. Tetapi dengan
bujukan lembut si perempuan,
kucing itu mengeong lemah lalu
meloncat naik ke dipan,
melingkar tenang namun
matanya tetap mengawasi
punggung Tonggo yang
menggiring majikannya. Di luar
gubuk, Sukaesih langsung
berhadapan dengan belasan
pasang mata yang memandang
ke arahnya dengan berbagai
reaksi. Marah, benci, bercampur
segan dan takut.
Sebelum Sukaesih menyadari
apa yang terjadi, tahutahu
seseorang telah meringkus
kedua lengannya yang ditarik ke
belakang punggung. Dengan
gerakan cepat.
Darso sudah mengikat
pergelangan tangan Sukaesih
dengan seutas tali tambang yang
tersimpul kuat. Puas dengan
pekerjaannya, Darso meloncat
mundur. Terbungkuk-bungkuk.
Seakan takut kalau-kalau
perempuan itu membalikkan
tubuh lalu menerkam dan
merengkah dirinya. Sambil
mundur ia terus membiarkan
gulungan tali di tangannya jatuh
terulur. Ujungnya ia genggam
erat-erat.
"Jangan coba coba melepaskan
tali itu, penyihir!" ancamnya,
sambil menggeram puas. "Tali
itu dilumuri minyak bermantra.
Setiap gerakan tak dikehendaki
kau lakukan, belitan tali di
lenganmu akan mengeluarkan
panas yang membakar kulit
maupun daging, bahkan
tulang-tulang lenganmu!"
Wajah Sukaesih memucat.
Matanya bersinar marah.
Namun sekejap cuma. Sikapnya
kembali tenang. Pasrah. Dan
saat itulah. manusia di
sekitarnya mulai hiruk pikuk.
Semua mendadak punya
keberanian untuk mencerca.
"Bunuh saja dia sekarang!"
"Biarkan golokku memotong
lidahnya yang berbisa!"
"Telanjangi dia!"
"Seret dia ke jurang!"
"Gantung!"
"Cincang!"
Sambil berteriak-teriak histeris,
mereka juga menjambaki rambut
si perempuan. menarik-narik
bajunya
sampai robek, bahkan
bertubi-tubi meludahi mukanya.
Tindakan membabibuta itu baru
berhenti setelah Tonggo
membentak nyaring. "Diam!
Diam! Hentikan mulut besar
kalian!" Tonggo menahan
kemarahannya sejenak,
kemudian merendahkan
suaranya. "Ayo. Semua kembali
ke desa. Jangan lagi membuat
keributan yang tidak perlu."
Ketika rombongan yang
beringas itu menuruni bukit
dengan tangkapan mereka
berjalan paling depan. Tonggo
justru tampak tak bersemangat.
Wajahnya berubah muram.
Beberapa kali pula terdengar ia
menghela napas panjang.
Darso yang berjalan di
dekatnya, bergumam heran.
"Kau gelisah."
Tonggo manggut-manggut.
"Ada sesuatu yang salah?"
"Perempuan itu."
"Ada apa dengan dia?"
"Entahlah. Yang jelas, ia tidak
seperti yang kita bayangkan
sebelumnya. Kita semua tahu. ia
punya kekuatan gaib, kekuatan
hitam. Tadi di atas sana, ia bisa
saja mencederai kita. Sekali saja
ia mengucapkan sumpah
serapah. orang-orang bodoh itu
mungkin sudah pada mati
berdiri. Atau berubah wujud jadi
makhluk menjijikkan. Herannya,
ia tampak begitu pasrah.
Memang sempat kutangkap
kemarahan di matanya. Tetapi
setelahnya. ia diam saja dihina
scdemikian rupa."
"Hm, mungkin ia sadar,
beberapa di antara kita setara
ilmunya dengan dia. Belum lagi
besi berapi di tanganmu. ia tidak
bodoh."
"Kau benar. Ia tidak bodoh. Kau
tahu?"
"Apa?"
"Aku curiga ada sesuatu yang ia
sembunyikan di balik sikapnya
yang aneh itu..."
Ternyata bukan hanya Tonggo
yang merasa heran akan sikap
Sukaesih. Supardi yang lebih
tahu mengenai perempuan itu,
tidak saja heran tetapi juga
marah melihat Sukaesih diam
saja sewaktu dipermalukan.
dihina dan diludahi. Di tempat
persembunyiannya, Supardi
menggeram, menyumpah dan
mengutuk. Hasilnya, air
matanya semakin membanjir
melelehi pipi. Bayi dalam
pelukannya menggeliat, lalu
merengek. Supardi
menciuminya. membujuk dan
membisikkan kata-kata
menyedihkan. "Aku tahu. Nak.
Aku tahu. Kau, seperti juga aku.
tidak akan pernah melupakan
penderitaan dan hinaan yang
diterima ibumu!"
Supardi kemudian menyelinap
keluar dari persembunyian.
Yakin bahwa semua orang sudah
pergi. la berlari ke padang
terbuka, berdiri di bibir tebing
di depan gubuk, memandang ke
bawah. Rombongan itu sudah
tak kelihatan lagi. Demikian
pula Sukaesih. Batin Supardi
membisikkan, bahwa sesuatu
yang mengerikan akan terjadi
atas diri perempuan itu. ia
tiba-tiba merasa kehilangan.
tanpa ia mampu mencegahnya.
Putus asa, Supardi masuk ke
dalam gubuk. Ia rebahkan bayi
Sukaesih di atas dipan beralas
jerami. Bayi itu menggeliat lagi.
Supardi akan menggumamkan
bujukan kasih sayang, manakala
ia dengar sesuatu bergerak di
belakangnya. la berpaling.
Sayang, terlambat. Sebelum
melihat apa atau siapa yang
menimbulkan suara
mencurigakan itu, tengkuknya
sudah dihantam pukulan keras.
Supardi melorot, jatuh. Dua tiga
detik sebelum kesadarannya
menghilang, ia masih sempat
melihat ke arah dipan. Bayi itu
lenyap, bersama dengan
lenyapnya sosok tubuh orang
yang menghantam tengkuknya.
Detik berikutnya Supardi tak
ingat apa-apa lagi.
***
***
LEPAS waktu Isya, Pak Lurah
berjalan seorang diri menuju
kandang kuda tempat Sukaesih
disekap penduduk. Ada sekitar
tujuh atau delapan orang lelaki
berjaga-jaga di sekitar kandang,
dipimpin oleh Darso.
Melihat siapa yang datang,
Darso bergegas menyongsong
sambil meludahkan sisa
kunyahan tembakau dari
mulutnya. Tanpa ditanya.
setelah mengangguk hormat
Darso langsung berujar, "Tak
ada yang perlu dikhawatirkan,
Pak. Penyihir itu juga tak akan
mampu meloloskan diri dari
kurungan yang telah kubuat."
Pak Lurah mengawasi tanah di
depan kakinya. Di antara
serakan jerami. debu dan tahi
kuda, ia lihat cairan hitam pekat
berkilat-kilat dalam jilatan
lampu obor. Cairan itu
ditumpahkan mengelilingi
kandang
kuda, tanpa terlewat walau
seujung jarum. Baunya apak
menusuk hidung. sehingga Pak
Lurah menyempitkan
lubang-lubang pernapasannya.
Darso menyeringai. Katanya,
"Maklum, Pak. Terbuat dari
ramuan minyak damar,
dicampur kencing kuda, darah
ular, dan... ah, maaf, sedikit
tahiku sendiri."
"Hem!" Pak Lurah mendengus,
lalu menatap atap kandang.
Atap itu penuh ditaburi
rempah-rempah dengan bau
sangit alang kepalang. Di antara
taburan aneka ragam rempah itu
terlihat bangkai seekor ular
hitam. Melingkar tepat di atas
pintu masuk kandang. "Perlukah
semua itu?" dengus Pak Lurah.
tanpa menyembunyikan
perasaan jijik yang membuat
perutnya mual.
"Agar tak satu pun yang dapat
keluar masuk. Pak Lurah."
"Siapa yang masuk" Siapa yang
keluar?"
"Roh jahat!"
"Tetapi aku mau masuk ke
dalam. Dan aku tak berhasrat
tidur di kandang kuda!"
Sindiran itu membuat kuping
Darso memerah. Katanya,
malu-malu, "Ah. Apalah arti
ilmuku, dibanding ilmu yang Pak
Lurah miliki!"
"Karena itu, jangan kau campuri
urusanku. Setuju?"
Darso membungkuk
dalam-dalam. "Dengan senang
hati. Pak Lurah."
Penguasa desa itu memandang
orang-orang yang mengitari
mereka. "Kalian juga!" katanya.
Mereka semua mengangguk,
kemudian pergi diikuti Darso.
Setelah agak jauh, mereka
berhenti. Lalu duduk
bergerombol, sambil semua
mata mengawasi ke arah
kandang kuda. Bisikan mereka
campur aduk. Dan baru berhenti
setelah Darso mendengus kesal.
"Diam semua! Terkutuklah
kalian yang berpikiran bahwa
Pak Lurah berjiwa bejat. Jangan
menyamakan diri beliau dengan
jiwa kotor kalian. Sekarang,
tutup mulut! Biarkan aku
bersemadi. Siapa tahu Pak
Lurah sewaktu-waktu
membutuhkan pertolongan kita!"
Tak jauh dari mereka. Pak
Lurah mendekapkan kedua
lengan di depan dada. Matanya
dipejamkan, mulut komat-kamit.
Setelah beberapa helaan napas,
ia melangkahi benteng gaib
ciptaan Darso dengan mata
terpejam. Ia baru membuka
mata setelah melewati pintu
kandang. Gelap di dalam. Tak
ada suara kuda mendengus atau
menyepak-nyepak. Kuda-kuda di
dalam kandang itu telah
disingkirkan begitu ada kabar
Sukaesih telah diringkus
rombongan pencari di lereng
gunung.
Tetapi ada desah napas lain.
Lembut, teratur.
"Aku hampir tak percaya kau
bersedia datang." Terdengar
suara rendah dalam kegelapan
kandang.
"Aku sudah berjanji," sahut Pak
Lurah.
"Mau duduk di dekatku?"
Terdengar ajakan ramah.
"Terima kasih. Aku di sini saja."
"Aku tidak lagi menggairahkan,
ya?"
"Bukan itu sebabnya." Pak
Lurah merendahkan suaranya,
mendekati bisikan. Ia
memperingatkan, "Darso bisa
mendengar percakapan kita."
"Aku tahu. Dan aku tahu pula, ia
sedang menguping. la pikir ia
hebat, ya" Benteng yang ia buat
di sekeliling kandang,
diam-diam kumanfaatkan untuk
membentengi diriku sendiri. Tak
satu pun yang terjadi atau kita
percakapkan di dalam sini dapat
disedot hawa gaib dari luar!"
"Aku datang sebagai kepala
desa. Sukaesih!" desah si lelaki,
memperingatkan.
"Dan aku memang tidak
mengharapkan kehadiranmu
sebagai seorang jantan yang
perkasa, Buyung!" balas si
perempuan, tak kalah sengit.
Pak Lurah tersinggung oleh
sindiran si perempuan tahanan
mereka. Tetapi ia dapat
menguasai emosinya. Katanya,
"Kau bilang, kau ingin
membicarakan sesuatu."
"Ya." Sukaesih menggeliat
dalam kegelapan.
"Katakanlah. Cepat!"
"Mengapa buru-buru?" tanya
Sukaesih lembut, lalu tertawa
ringan. "Dulu, kau begitu
sabar," lanjutnya.
"Yang lalu sudah berlalu, Esih!"
"Ah. Aku lupa."
"Apa yang akan kau
bicarakan?"
"Pengakuan. Buyung!
Pengakuan dari engkau sen
diri. Tidak padaku. Tetapi pada
semua orang di luar sana.
Bahwa aku tidak bersalah!"
"Kau berlebihan," ujar Pak
Lurah tenang.
"Aku tidak bersalah!" Sukaesih
setengah memekik. "Kau tahu,
dia yang bersalah!"
"Dia?"
"Jangan berlagak tidak paham
siapa orang yang kumaksud, Pak
Lurah!"
"Kau salah tafsir," sahut kepala
desa itu. "Dia memang bersalah.
Tetapi tidak seluruhnya. Ia tidak
akan berkelakuan semengerikan
itu kalau kau tidak membuat
dirinya berubah wujud sama
mengerikannya!"
"la memaksaku!"
"Tetapi kau tidak perlu berlaku
sekejam itu padanya, Sukaesih."
"Tidak perlu" Lupakah kau, apa
akibatnya kalau keinginannya
yang begitu menjijikkan
kuterima begitu saja" janinku
akan dikotorinya! Dengar"
Janinku akan dikotorinya. Dan
kau tahu, janin itu bukan hanya
milikku seorang!"
"Sudahlah. Masa silam telah
lama kulupakan."
"Hebat!"
"Apa boleh buat. Sukaesih.
Bukan aku yang menghendaki.
Kalau waktu itu kau patuhi
permintaanku..."
"Aku ingin punya keturunan dari
seseorang yang... waktu itu,
kucintai. Dan kukira juga
mencintaiku. Hanya itu yang
kudambakan dalam hidupku
yang
penuh siksaan dan nestapa. Kau
dengar, Pak Lurah." suara
Sukaesih menusuk dalam. "Aku
sudah lama mendambakan
seorang anak. Dan kini, aku
telah memilikinya. Karena itu,
katakanlah pada mereka siapa
yang sesungguhnya bersalah.
Agar mereka membiarkan aku
pergi dengan bebas!"
"Mereka tidak akan membiarkan
kau pergi."
"Mereka harus!" Sukaesih
menggeram. "Aku sudah berbuat
baik pada mereka semua.
Kutelan semua siksaan dan
hinaan, karena aku tahu mereka
semua tidak bersalah. Mereka
hanya tidak tahu yang
sebenarnya. Mereka tidak sadar
apa yang telah mereka pikirkan
tentang aku, tidak sadar akan
apa yang mereka lakukan
terhadapku. Aku hanya perlu
bertahan. Tidak perlu
membalaskan sakit hati.
Kuampuni mereka! Sebagai
imbalannya, mereka harus
merelakan aku pergi!"
"Mereka dipenuhi dendam
kesumat, Sukaesih. Mereka
sudah tak tahan menghadapi
bencana-bencana mengerikan
yang terus menerus harus
mereka alami..."
"Bukan aku penyebabnya, Pak
Lurah!"
"Mereka tidak tahu itu."
"Mereka harus tahu!"
"Maaf, Sukaesih. Sia-sia kau
berharap, bahwa aku akan
memberitahu mereka siapa
sebenarnya penyebab dan
sumber dari bencana itu!" Ia
diam sejenak, menunggu reaksi.
Karena tak ada sahutan atau
reaksi
apa-apa. Pak Lurah
menambahkan. "Atau kau yang
akan mengatakannya pada
mereka?"
Hening.
Menyentak. Dan menyakitkan
hati.
Pak Lurah menghela napas
panjang. Dengan sabar ia
menjelaskan apa yang
sebenarnya tidak perlu ia
jelaskan, karena sadar siapa
orang yang ia hadapi. "Kau
tidak akan mengatakannya.
Karena kau tahu. kalau rahasia
itu kau ungkapkan, maka akan
kukatakan pula pada mereka
bahwa kau sudah melahirkan
seorang bayi. Itulah sebabnya
kau diam saja ketika
diperlakukan semena-mena,
bukan" Kau harus tabah, harus
kuat. harus sanggup menahan
semua azab. demi keselamatan
anakmu. Sekali kau lemah. maka
mereka akan tahu kau punya
keturunan. Akibatnya, kita
berdua sama-sama tahu kalau
ilmu sihir harus dimusnahkan
sampai ke akar-akarnya. Itu
berarti, keturunan si tukang sihir
harus pula ikut dimusnahkan..."
"Tidak!" Suara Sukaesih
berubah gemetar. "Mereka tidak
boleh melakukan itu. Mereka
tidak boleh membakar anakku.
Kau... kau tidak akan
membiarkan mereka
melakukannya! Kau tak akan
tega mereka membakar bayiku,
karena bayi itu toh masih?"
Pak Lurah menukas, "Jadi.
keadaan tak mungkin lagi
diperbaiki. Bukankah demikian
Sukaesih?" tandasnya.
Sukaesih muncul dari kegelapan.
Dengan lengan masih terikat di
belakang punggung. ia merayap
men
dekati lelaki yang tegak di
ambang pintu kandang. Dalam
jangkauan nyala obor dari luar,
samar-samar tampak Sukaesih
seperti seorang pengemis hina
yang rela menjilati telapak kaki
seseorang demi sebutir nasi
untuk mengobati laparnya. "Pak
Lurah... kumohon..."
Si lelaki meloncat mundur.
Berseru dengan suara bergetar,
"Jangan berlaku sehina itu
terhadapku, Sukaesih!"
"Pak Lurah..."
"Aku harus pergi sekarang.
Keinginanmu telah kudengar.
Sayang. aku tak mungkin
memenuhinya. Esih. Benar,
hidupmu kini hancur
berantakan. Tetapi kau telah
lebih dulu membuat kehidupanku
dan keluargaku runtuh tak
berarti. Maafkan aku, Sukaesih.
Bukan aku menyimpan dendam.
Sungguh, jauh dari itu. Kita
harus menyadari. bahwa apa
yang kini kita alami adalah
sebagai akibat dari kebodohan
yang pernah kita perbuat.
Dan..."
Suara gaduh orang bertengkar
di luar membuat ucapan Pak
Lurah menggantung. tak sempat
memungkasinya.
Tanpa memedulikan isak tangis
Sukaesih. Pak Lurah bergegas
meninggalkan kandang. Ia tidak
lupa melindungi diri dari
pengaruh gaib benteng
pertahanan yang dibuat Darso.
Bergegas ia mendatangi sumber
kegaduhan. Terlihat Darso dan
teman-temannya bertengkar
dengan seorang laki-laki yang
ke
mudian dikenali Pak Lurah
sebagai satu-satunya tukang
kayu di desa mereka.
"Ada apa, Darso?" tanya Pak
Lurah.
"Ini, Pak. Supardi. Ia memaksa
bertemu dengan perempuan sihir
itu."
"Astaga!" Pak Lurah
tercengang. "Perlu apa kau
menemui perempuan itu?"
"Sudah kubilang pada mereka
ini." kata Supardi,
terengah-engah. Ia nampak
sangat keletihan. wajahnya
kelihatan sakit. "Aku ini
bujangan tua. Sebelum aku
benar-benar lapuk, aku ingin
ketemu jodoh. Sudah berapa
orang gadis atau janda yang
kukencani. tetapi tak seorang
pun yang benar-benar cocok di
hati."
"Lantas?"
"Bukankah tukang sihir itu
dulunya seorang tabib masyhur
yang ilmunya mandraguna"
Dulu, ia seringkali menolong
orang sakit atau orang-orang
yang menemui kesulitan
macam-macam. Jadi, sebelum ia
kita bakar esok siang. sebelum
ia kita bunuh sampai mati.
sebelum ilmunya benar-benar
musnah. biarkanlah aku
meminta pertolongannya.
Barangkali saja, perempuan
sihir itu masih mempunyai
sisa-sisa kebaikan yang..."
"Ia perempuan jahat. Ia
terkutuk! Kau akan
disumpahinya menjadi seekor
anjing buduk!" bentak Darso.
"Biarkan dia. Darso." tukas Pak
Lurah. menengahi.
"Kalau terjadi apa-apa.
bukankah aku, bahkan kau juga
dapat mengatasinya?"
Setelah menimbang-nimbang
sejenak, dan bangga ilmunya
"dianggap" juga oleh Pak
Lurah, Darso terpaksa
menyetujui. Ia kemudian
berjalan ke arah kandang kuda.
diikuti Pak Lurah dan yang
lain-lain. Tiba di depan
kandang, Darso memandang
orangorang yang
mengelilinginya dengan seringai
malumalu. la tanggalkan tali
pengikat celananya,
menurunkannya pelan-pelan. Di
balik celana itu. ia tidak
memakai apa-apa lagi. Seorang
temannya menggerutu,
menertawakan. Darso memaki.
lantas, dengan seenaknya ia pun
kencing, sembari memercikkan
air seninya ke cairan hitam di
depan pintu kandang. Kemudian
meludah.
"Nah. Kau boleh masuk
sekarang, bung," katanya,
bersungut pada Supardi.
"Barangkali, supaya kau cepat
ketemu jodoh. perempuan itu
akan mengajukan syarat. Siapa
tahu, ia mengajakmu tidur. Dan
kalau kau mulai ditelanjanginya,
Pardi, maka ingatlah..."
"Cabul!" dengus Pak Lurah
pendek.
Darso menalikan kembali
celananya dengan wajah tak
senang. lantas membentak ke
arah Supardi. "Masuk, kubilang.
Dan berdoa saja, waktu keluar
nanti perabotmu masih utuh!"
Diiringi gelak tertahan
orang-orang di belakangnya,
Supardi menyelinap masuk ke
dalam kandang. Darso beserta
teman sekelompoknya ribut
menduga-duga
syarat apa yang diminta si
tukang sihir sebagai imbalan
keinginan Supardi. Ucapan
mereka sangat jorok. Tapi Pak
Lurah tak peduli kini. Ia tetap
berdiri agak jauh dari mereka.
Menatap lurus ke arah kandang,
sikapnya tenang dan
wajar-wajar saja. Tak seorang
pun yang tahu, ia tengah
memusatkan pikiran dengan
gendang telinga
berdenyut-denyut. Berharap,
akan mendengar sesuatu.
Namun sampai Supardi keluar
dari kandang dan Darso
menyempurnakan tutup
bentengnya yang sempat
terbuka. Pak Lurah tak berhasil
menguping pembicaraan
Supardi dan Sukaesih. Dengan
kecewa, ia mengawasi si pemuda
yang melenggang dengan
senyum dikulum, tanpa
menjawab serangan pertanyaan
dari Darso dan
teman-temannya. Mereka semua
mendongkol setengah mati,
menatap Supardi menyelinap
hilang dalam kegelapan malam.
Pak Lurah sendiri kemudian
pulang ke rumahnya, dengan
benak dipenuhi berbagai
pertanyaan.
***
***
***
Di alun-alun, orang-orang
berlarian panik.
Api unggun masih
berkobar-kobar. Pekat sudah
menepi, berganti langit yang
kembali membiru jernih.
Matahari kembali menyengat
tanpa belas kasihan. Tonggak
kematian masih tetap
terpancang di tengah api
unggun. Tetapi Sukaesih tak lagi
terikat pada balok kayu itu.
Tali-tali pengikatnya tampak
masih melingkar kemudian
meluncur jatuh ke dalam
kobaran api. Namun si
perempuan sihir, sudah lenyap
tak berbekas!
***
Pandeglang
Juli 1984
CUACA siang itu sangat tidak
menyenangkan. Matahari
bersinar garang. Panas
menggigit. Dan se pertinya
angin begitu malas berembus.
Seorang pejalan kaki di trotoar
seenaknya menyepak keranjang
bekas yang menghalangi jalan.
Keranjang itu terbang
menghantam tiang listrik, mental
kembali ke tengah jalan dan
menghantam roda depan sebuah
sepeda motor yang sedang
melaju kencang. Keranjang
bekas terlindas. Namun tak
urung pengendara sepeda motor
kaget setengah mati. Rem tangan
dicengkeram mendadak.
Motornya berhenti, tersendat
sendat. Si pengendara
membentak si pejalan kaki,
"Bang sat!" "E-eee. Nggak ujung
nggak pangkal, marah marah.
Ngajak berkelahi?" Si pejalan
kaki membalas, tak kalah sengit.
"Ho! Jadi kau belum kenal siapa
Edi Naga, ya?" Si pengendara
turun dari motornya. "Kuinjak
kau. Biar gepeng!"
Keduanya sama sama
menyingsingkan lengan baju.
Sambil saling mendekat, mereka
memasang wajah beringas. Otot
lengan si pejalan kaki
menggembung kekar. Otot
lengan si pengendara biasa
biasa saja, tapi lengan itu
dirajah dengan tato bergambar
naga yang menyeringai buas.
Orang orang di sekitar mulai
ber kerumun, ingin tahu apa
yang terjadi. Juga seorang polisi
lalu lintas yang sedang bertugas
jaga di perempatan.
"Hei! Apa apaan itu?" teriak si
polisi yang bergegas datang
untuk melerai. Derap sepatu
dinasnya yang khas,
mengalihkan perhatian si lengan
ber-tato naga dan si pejalan
kaki. Melihat polisi yang benar
benar datang menghampiri,
rupanya nyalinya ciut juga. Ia
langsung memutar langkah.
Meloncat naik ke sepeda motor
dengan tangkas, lantas tancap
gas. Kabur.
"Pengecut! Jangan lari kau!"
Lawannya, si pejalan kaki
berteriak mengejar. Malang, ia
tidak melihat siapa yang datang
dari arah berlawanan. Tak ayal
lagi, ia bertubrukan dengan si
polisi. Terdengar suara
berdebuk ketika keduanya jatuh
ke jalan aspal. Orang orang
yang menyaksikan di pinggir
jalan sontak ter tawa terbahak,
buat mereka adegan itu tak lebih
dari lawakan.
Tapi tidak dengan si polisi, ia
marah. Lantas
mencengkeram kerah baju orang
yang menubruknya. "Ayo, ikut
aku ke kantor!" dengusnya
garang.
Barulah si penubruk sadar dari
seketika menjadi pucat pasi.
"Jangan nangkap saya, Pak. Dia
yang mestinya Bapak tangkap. Si
Edi Naga! Gara-gara dia, aku?"
***
PULANG ke Pandeglang,
mereka berdua ber tengkar.
Bertengkar benar benar. Yang
mereka pertengkarkan pun
sepele saja. Lemari berpintu ukir
itu, beli atau tidak. Begitu
mereka tinggalkan toko mebel
Pak Haji, Harlas langsung
menggerutu.
"Aku malu ketemu Pak Haji lain
kali."
Ismed diam saja. Pikirannya
menerawang tak menentu.
jiwanya gelisah.
Ia tak habis pikir, mengapa ia
sangat dipengaruhi oleh ukiran
perempuan itu. Terjadi
pertentangan di batin Ismed.
Diam diam ia takut dan merasa
seram melihat sorot mata dan
senyum si perempuan. Tapi
sebaliknya, ia mendadak sangat
ingin memiliki lemari iru. Ia
yakin, lemari itu akan menjadi
sebuah kejutan besar untuk
istrinya, Farida. Farida yang
manja, yang penuh kasih
sayang. Tetapi yang juga suka
memper
olok olokkan sang suami yang
selalu lupa memberi hadiah
ulang tahun untuk sang istri.
Kalaupun ingat, hadiah ulang
tahun si suami sering kali salah.
"Aku senang sepatu ini," kata
Farida suatu hari. "sayang
tumitnya ketinggian ya." Lain
kali, "Kok beli gelang berlian
segala, padahal tadinya aku
cuma ingin di hadiahi ciuman."
Ah, Farida....
Merasa didiamkan, Harlas
tambah sengit. "Kau dengar"
Pak Haji pikir aku sama
bejatnya dengan kau!"
"Bejat?" Baru Ismed tergugah.
"Ya! Berjiwa bejat, berpikiran
kotor, berkelakuan menjijikkan!"
***
***
***
***
"Gak.
"Pernah dicari?"
"Percuma."
"Percuma bagaimana?"
"la terlambat meninggalkan
hutan. Rupanya ia berselisih
paham dengan salah seorang
sepupunya di kampung terasing
itu. Perselisihan mereka sudah
didamaikan Puun, kepala suku
yang menolongmu. lalu suamiku
pamit. Sayang, tak ada yang
mengetahui bahwa ia sudah
lama menderita sesak napas.
Selain padaku, penyakit itu ia
rahasiakan pada orang lain.
Karena orang di sini percaya,
penyakit sesak napas adalah
penyakit akibat kualat.
melanggar pantangan
karuhun-nenek moyang. atau
menghina roh orang tua.
Begitulah yang terjadi.
Kudengar ia pulang dari tempat
saudara sepupunya ketika hari
telah mulai gelap. Seseorang
sempat melihatnya limbung
sewaktu akan memasuki jalan
setapak di hutan. Tetapi batas
perjanjian telah menjelang.
Tidak seorang pun yang berani
menolongnya. Lalu suamiku...
tak pernah lagi dilihat orang..."
"Tradisi mengerikan." gumam
Ismed dengan bulu kuduk
merinding. "Padahal suamimu
punya saudara di sana."
"Juga orang tua," timpal Asih
dengan suara sendu. "Suamiku
lahir di perkampungan itu.
Begitu pula aku."
Ismed meletakkan gelas kopinya.
***
***
Benar. Makhluk-makhluk
pengepung itu ternyata ratusan
ekor tikus. Bukan sembarang
tikus! Jangankan sebanyak itu.
satu ekor saja sudah cukup
untuk mengusir kucing.
Bagaimana tidak. Tikus yang
dihadapi bertubuh jauh lebih
besar dari kucing itu sendiri.
Dari bentuk kepala, ekor. serta
caranya mendekam,
makhluk-makhluk itu jelas-jelas
tikus, bukan musang atau pun
binatang lainnya. Farida
mungkin masih punya
keberanian apabila yang
dihadapinya seekor harimau.
Tetapi tikus....
"Oh"!" Farida mengeluh gentar.
Lututnya goyah. kemudian
menekuk. dan tubuhnya pun
melorot jatuh ke tanah. Suara
berdebuk ketika Farida
bersimpuh jatuh, terdengar
begitu kerasnya.
Makhluk-makhluk buas di
sekelilingnya seketika
memperdengarkan bunyi
mencicit kembali, riuh rendah
dan menggema di sepanjang
lereng gunung bahkan sampai
jauh ke lembah hitam mencekam
di bawah
sana. Lalu beratus-ratus kaki
kecil merayap perlahanlahan.
Moncong-moncong mengerikan
menganga, siap menerkam
dengan sorot-sorot mata yang
haus darah.
Seekor di antaranya, yang
paling besar dan paling
menakutkan, telah mencapai
lutut Farida yang gemetar hebat.
Makhluk itu mendengus-dengus
buas. Taringnya yang tajam
mengerikan sudah siap
merobek-robek kulit dan daging
manusia yang sudah tak berdaya
itu. Tapi suara mencicit yang
lebih keras dan nyaring
membuat tikus di depan lutut
Farida urung menancapkan
taringnya. Suara yang muncul
terakhir, seakan mengatasi
suara riuh rendah di sekitar
Farida.
Ratusan ekor tikus di sekitar
tubuh Farida. serempak
memutar tubuh. Lari
bertemperasan, serabutan.
Makhluk-makhluk itu lenyap
dalam sekejap. Menghilang di
balik pepohonan, di celah-celah
batu maupun ceruk dinding
gunung. Sebagian jatuh
tunggang langgang ke lembah.
Hiruk-pikuk bunyinya. Semua
berlangsung dalam tempo yang
begitu singkat. Farida bahkan
belum sempat menarik napas.
tatkala kesunyian yang lengang
mencekam kembali menghantui
kegelapan di sekitar Farida.
Dan ia kemudian melihat apa
penyebab makhluk-makhluk
mengerikan itu minggat
ketakutan.
Di atas seonggok batu besar,
tegak sesosok tubuh tinggi kekar.
la bercelana sontok hitam
sebatas betis. Dadanya bidang
dengan otot-otot pundak
menyembul kokoh. Seluruh
penampilan tubuhnya, sampai
sebatas leher, adalah sosok
tubuh manusia perkasa. Tetapi
yang membuat Farida memekik
tertahan adalah penampilan
orang itu dari batas leher ke
atas.
Orang itu tegak persis
menghadap rembulan. sehingga
tampak jelas sepasang
telinganya yang kecil lancip.
rambut lurus rata berkilauan di
atas kepala yang juga lancip.
Matanya memang berbentuk
normal seperti sepasang mata
manusia biasa. Akan tetapi
justru keadaan itu membuat
penampilan wajahnya semakin
buruk mengerikan.
Karena. mata manusia tidaklah
serasi untuk wajah seekor tikus!
Terlindung dalam
bayang-bayang pepohonan,
Farida menggeliat resah.
Ia berusaha bangkit. Namun
segera jatuh terduduk kembali,
karena persendian tubuhnya
seakan lumpuh total. Bagai
dilanda teror yang tak mungkin
dilawan, Farida hanya bisa
diam memperhatikan bagaimana
lelaki tinggi kekar berkepala
tikus itu turun dengan
langkah-langkah tegap ke
tempat terbuka. Kemudian
berhenti diam di depan Farida.
Dengus napas berat setengah
mencicit keluar dari
lubang-lubang hidungnya yang
sempit. Wajah itu menyeringai.
Sungut-sungutnya yang hitam
berkibarkibar ditiup angin
malam, sementara taring-taring
besar namun runcing menyeruak
dari sela-sela moncongnya. la
mengawasi sejenak. Kemudian
membungkuk. Telapak
tangannya yang lebar
menggapai ke depan, berusaha
menjamah wajah Farida yang
sudah lebih dulu merunduk
manakala makhluk itu mendekat.
Merasakan endusan napas
panas dan melihat tangan yang
menggapai ke arahnya, Farida
tersentak kaget.
Teror yang melanda dirinya
telah mencapai puncak.
Anak anjing sekali pun, kalau
sudah kepepet masih mampu
menggigit.
Maka, Farida mengumpulkan
sisa-sisa keberaniannya untuk
menepiskan tangan itu.
Tepisannya ternyata sangat
lemah. Tangan itu hanya
tergeser sedikit, kemudian malah
semakin berani menerjang ke
depan lalu mencengkeram
pundak Farida. Makhluk itu
dengan tangkas mengangkat
Farida berdiri. Farida
meronta-ronta, menendang,
mencakar dan melakukan apa
saja untuk membebaskan diri.
Panik dan takut telah membuat
Farida melupakan cara
membela diri yang benar seperti
yang pernah ia pelajari.
Akibatnya, perlawanan Farida
menjadi kacau tak berarti.
Tangan kokoh itu terus
membetot Farida, berusaha
memeluk dan menciumnya.
Dengus napas keras dan panas
berapi-api menyapu wajah
Farida. Ia terus saja mencakar
sambil berteriak-teriak tak
menentu. Setiap teriakan yang
keluar menahan kekuatan
nya. Sekali ia berhasil
menendangkan lutut ke perut
makhluk itu. Yang kena tendang,
meliuk keras, namun tidak mau
melepaskan pelukannya.
Makhluk itu terjaiar ke
belakang, jatuh ke tanah seraya
menyeret tubuh mangsanya.
Mereka jatuh terjerembab di
tempat terbuka yang lebih
terang oleh sinar rembulan.
Merasa mulai tidak bisa
mengendalikan Farida. makhluk
itu menghantamkan satu pukulan
keras. Farida merasakan
sesuatu menerpa sisi kepalanya
begitu kuat dan menyakitkan,
Dalam sekejap. Farida hilang
keseimbangan. la terguling di
tanah, lalu tergeletak
menelentang dengan kepala
berdenging menyakitkan.
Kesadarannya lambat laun
semakin menurun. Farida mulai
didera rasa putus asa.
Dalam keputus-asuhnya timbul
niatan untuk tetap sadar. Paling
tidak selama beberapa detik
yang singkat, namun cukup
untuk membawa tubuhnya
merayap ke batu terdekat.
Daripada harus kembali ke
pelukan makhluk itu. Farida
merasa lebih baik mengakhiri
semuanya. Kepalanya akan ia
benturkan keraskeras. Sampai
retak, dan ia mati....
Sayang untuk merayap pun
Farida tak mampu lagi.
Ia hanya mampu telentang diam.
Matanya nanar memperhatikan
sosok tubuh menakutkan itu
mendekat, lalu membungkuk.
Dekat dengan wajah Farida.
Tapi anehnya, bukan untuk
menciumi perempuan yang
sudah tak berdaya itu.
Melainkan hanya menatap
wajahnya lekat-lekat.
Hanya memperhatikan!
Lalu sekoyong-koyong, sosok
tubuh perkasa itu tampak
bergetar hebat. Terdengar
cicitan keras dari mulutnya. Saat
berikutnya, makhluk itu mundur
menjauh, lantas menjatuhkan
diri di atas rerumputan.
Makhluk itu menekankan
kepalanya ke rerumputan
dengan tangan mendekap tanah.
Tubuhnya meliuk, bersimpuh.
Suara mencicitnya terdengar
kacau. Seperti cicitan tikus yang
terpojok di celah sempit yang
masih dapat dijangkau kuku
seekor kucing yang siap
menerkamnya. Dengan sisa-sisa
kesadarannya. Farida masih
sempat menyaksikan bagaimana
makhluk perkasa berkepala dan
berwajah tikus itu tengah
bersimpuh di tanah dengan
posisi menyembah memohon
ampun kepadanya.
Farida membelalak heran.
Sekejap cuma. Karena kelopak
matanya keburu mengatup tanpa
bisa ia kendalikan. Kesadaran
Farida, sudah menghilang.
"Kau tahu apa yang kemudian
terjadi?" desah Farida, lirih.
Bayi di pangkuannya diam.
Rupanya sudah lama tertidur.
Farida menghela napas,
kemudian bangkit dan berjalan
ke dipan. la sambar sehelai kain
rombeng keras
dan kasar dari gantungan di
dinding.dilempar ditumpukan
jerami. lalu bayi yang sudah
lelap itu ia baringkan dengan
hati-hati. Diselimuti baik-baik.
Bayi yang montok dan cantik,
pikirnya.
lbu mana yang telah tega
membuangnya" Apakah
peristiwa-peristiwa memalukan
yang sering terjadi di kota-kota
besar itu telah merembet pula ke
pegunungan yang jauh
terpencil" Tentang
perempuan-perempuan muda
yang hamil di luar nikah. lantas
karena malu pergi menyingkir
jauh-jauh, melahirkan anaknya
diam-diam, membawanya ke
suatu tempat tanpa diketahui
orang. lalu membunuhnya"
Akan tetapi, bayi ini tidak
dibunuh.
Bayi ini dibuang begitu saja.
Lalu mengapa untuk membuang.
harus menempuh jarak yang
begitu jauh" Mengapa harus
bersusah payah mendaki
gunung. bahkan harus
menyeberangi sungai dan
menerobos rimba belantara"
Tadi siang, Farida sempat
beberapa kali memperhatikan ke
arah lembah. Nun di lembah
sana. ia melihat rumah-rumah
penduduk yang tampak begitu
kecil, menyerupai kotak korek
api saking jauhnya.
Perempuan mana yang nekat
meninggalkan kampung itu
untuk pergi mendaki gunung,
hanya untuk membuang
bayinya"
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***