Anda di halaman 1dari 986

Kolektor E-Book

Misteri Lemari Antik


Karya Abdullah Harahap
Sumber Djvu : Koleksi Kolektor
E-Book
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri
Situbondo
Ebook persembahan Group Fb
Kolektor E-Book
Selesai di edit : 6 juli 2018
(Situbondo)
Selamat Membaca ya!!!

*****

Misteri Lemari Antik


Abdullah Harahap

Pendahuluan
JULI, 1928
***
SEEKOR kambing berbulu
cokelat, gemuk dan sehat
mendengus senang ketika
merasakan jemari lembut hangat
mengusap-usap puting susunya.
Dengan pijatan-pijatan lunak
dan teratur, dari puting susu
kambing itu memancur deras
cairan putih segar ke dalam
panci tanah di bawahnya. Lalu
mendadak, gerakan
menyenangkan itu berhenti.
Padahal susu yang diperah
keluar baru sedikit.
Sejenak sang kambing diam
menunggu. Kemudian tubuh
binatang itu menegang. Matanya
menangkap bayang-bayang
hitam jatuh di permukaan tanah.
Merambat pelan menaungi
rerumputan, kebun sayurmayur.
juga sebuah gubuk mungil
beratap ijuk. lalu
kandang-kandang kecil di
sebelahnya. Sengatan panas
matahari yang mendadak lenyap
dirasakan pula oleh beberapa
ekor ayam yang berkeliaran di
sekitar gubuk.
9
Ayam-ayam betina berkotek riuh
rendah. Yang jantan berlarian
kian kemari. Anak-anak ayam
mencicit ribut sambil berebutan
menyelinap di balik sayap-sayap
induknya, bersembunyi
ketakutan. Seekor kucing hitam
yang tadinya rebahan di tanah
berpasir, mengeong nyaring lalu
meloncat ke pintu gubuk dan
menghilang di dalam. Kambing
betina tadi seketika mencium
bahaya. Si cokelat mengembik
keras, memanggil anak-anaknya.
Beriringan mereka lari masuk,
bukan ke kandang, melainkan ke
dalam hutan. Meninggalkan
perempuan yang tadi memerah
susunya. Perempuan itu
menengadah. menatap langit
biru jernih. Namun sesaat
kemudian ia tertegun, manakala
melihat sekelompok awan hitam
pekat keluar dari balik puncak
gunung lalu bergantung diam
tepat di atas ubun-ubunnya.
"Pertanda buruk!" la bergumam,
cemas. Kemudian ia
membungkuk. Tetapi panci
tanah itu telah pecah
berantakan. lsinya tumpah.
membasahi dan membuat
rerumputan berubah putih. Ini
tentunya perbuatan induk
kambing yang ketakutan itu,
pikirnya. Ia harus mencari tanah
liat lagi. Membuat panci baru.
juga periuk. Karena periuk
satu-satunya yang ia miliki
sudah retak pula. Tadi malam ia
terpeleset, hingga periuk berisi
nasi yang baru masak tersenggol
jatuh dari atas tungku. Jadi
pertanda buruk itu sudah
muncul semenjak malam
harinya. Perempuan itu
membenahi rambutnya yang
terurai panjang.
menyanggulkannya di bagian
tengah atas
kepala. Lehernya kini tampak
semakin jenjang. Kegelisahan
muncul pada sepasang matanya
yang bening bundar. Setetes
peluh jatuh dari ujung
hidungnya yang mancung. Jatuh
di permukaan bibir merah segar.
Bibir ranum itu tergetar, lalu
mengatup rapat. Si perempuan
tahu sesuatu akan terjadi.
Namun secara naluriah ia
menyadari, apa pun yang kelak
terjadi toh ia tidak akan mampu
menghindar. Batinnya
membisikkan, ada kekuatan gaib
yang diam-diam mendekat dan
berusaha mengepungnya dari
segala penjuru. Sambil tegak
mematung. perempuan itu
merapal mantra dalam hati.
Menjerit tanpa suara,
memanggil nama leluhurnya.
Tak lama kemudian terdengar
suara langkah kaki berlari
serabutan. la menoleh ke arah
menghilangnya si cokelat
beserta anak-anaknya tadi.
Semak belukar tiba-tiba terkuak
di antara pepohonan yang
tumbuh rapat. Seorang laki-laki
berusia sekitar 30-an
tergopoh-gopoh mendatanginya.
Begitu melihat si perempuan,
lelaki itu langsung berteriak
memperingatkan. "Lari, Esih!
Cepat, tinggalkan tempat ini!
Mereka?"
Teriakan lelaki itu terputus
tiba-tiba. Rupanya kakinya
terkait akar pohon yang
menyembul di tanah. la jatuh
terjerembap. Tanpa mengaduh
apalagi memperlihatkan rasa
sakit ia bergegas bangkit dan
mendekati si perempuan dengan
wajah gempar.
"Ayo. Esih! Tunggu apa lagi"
Cepatlah lari..." ujar
nya. terengah-engah. Melihat si
perempuan masih bergeming di
tempatnya, ia menjerit. "Kau
dengar aku, Sukaesih?" Pundak
si perempuan diguncangnya
keraskeras. "Kubilang lari!
Mereka akan membunuhmu!"
Sukaesih memandangi wajah
laki-laki di depannya. Kumis
maupun cambang lelaki itu
tampak kotor. Wajahnya penuh
goresan. begitu pula lengannya.
Masygul, ia bergumam, "Kau
terluka. Supardi."
"Hanya tergores duri dan... ya
ampun, Esih! Kau gila kalau tak
mau mendengar kata-kataku.
Larilah!"
"Ke mana?"
"Tuhanku! Masih juga kau
bertanya. Larilah ke mana saja.
Sejauh mungkin dari tempat ini.
Mereka akan tiba sebentar lagi.
Hanya karena aku lebih tahu
tempatmu ini yang membuat aku
berhasil memotong jalan
mereka. Kalau kau tahu siapa
yang ikut di antara mereka.?"
"Siapa, Supardi?" tanya
Sukaesih. Tenang dan dingin.
"Tonggo!" Supardi setengah
menjerit ketika menyebutkan
nama itu. "Ia membawa senjata
ajaibnya yang terkenal itu. Besi
panjang yang dapat
menyemburkan api!"
Sukaesih menghela napas
panjang. "Besi panjang itu
dibuat oleh orang-orang kafir.
Apinya juga bukan api alami.
Aku tidak takut
menghadapinya."
"Mereka akan membakarmu,
Esih..." Suara lelaki itu
melemah. Sudut-sudut matanya
mulai basah.
Sukaesih terkesiap. "Siapa
bilang?"
"Orang sekampung ribut tadi
malam. Beberapa orang
berembuk di balai desa. Baru
tadi pagi aku tahu, ketika aku
ikut memperbaiki rumah si
Aming. Katanya ada orang yang
akan ditangkap lalu dibakar
hidup-hidup. Si Aming tidak
menyebut nama, ia hanya
berkata, ,hukum yang pantas
untuk seorang penyihir.' dan aku
tahu siapa yang mereka
maksud."
"Aku bukan tukang sihir!"
"Astaga, Sukaesih. Jangan
berbantah lagi. Mereka..."
"Sssshhhh!"
Supardi mengatupkan mulut. Ia
melihat cuping telinga Sukaesih
bergerak-gerak. Tetapi baru
agak lama setelahnya ia
mendengar suara sayup-sayup,
suara orang sahut bersahut.
Supardi berputar, wajah
semakin pucat. Dengan telapak
tangan, ia melindungi matanya
dari silau dan sengatan
matahari. Ia menatap ke lereng
bukit, mencari-cari dengan mata
agak dipicingkan. jauh di bawah
sana. ia dapat melihat beberapa
sosok tubuh menyeberangi anak
sungai pada bagian yang
dangkal. Sosok-sosok lain
tampak menyelinap keluar dari
balik pepohonan. Hanya
beberapa ratus meter jaraknya
dari tempat Supardi dan
Sukaesih berdiri. Di antara
rombongan yang semakin
mendekat itu, kelihatan
seseorang mengangkat sebelah
tangan tinggi-tinggi. Tangan itu
memegang sebuah
benda yang tampak
samar-samar, namun dapat
diketahui Supardi apa kiranya.
"Besi panjang Tonggo!" Supardi
bergumam kecut.
Gumam Sukaesih justru
berbeda. Seraya tengadah ke
langit ia mengeluh, "Awan hitam
itu sudah menghilang!"
"Matilah kita. Esih." Supardi
hampir menangis.
"Tidak, Supardi."
"Aku barusan melihat besi
berapi si Tonggo."
"Senjata orang kafir itu tak akan
melukaiku, Supardi. Tetapi kau.
Dan bayiku?" Suara Sukaesih
berubah getir. Ia memegang
tangan Supardi. menatap lurus
ke matanya. Mata Supardi
semakin basah. "Aku akan
menunggu mereka. Kau
masuklah ke gubuk. Selimuti
bayiku baik-baik. Kemudian
bawa dia pergi sejauh mungkin."

Supardi menoleh lagi ke bawah.


Semakin banyak orang terlihat.
la berpaling menatap dinding
bukit di sebelah lain. Lalu
geleng kepala. "Di bawah sana,
mcreka siap mencincang aku
dan bayimu. Ke atas bukit, tetap
akan mereka lihat. Kalaupun
aku mampu, di sebelah sana
hanya ada jurang terjal
menganga. Tak ada jalan lari
sekarang, Esih."
"Tetapi banyak tempat untuk
bersembunyi. Supardi!"
"Percuma. Mereka toh akan
menemukan kami juga."
"Ada yang tahu kau datang ke
tempatku ini?"
"Aku yakin tidak."
"Mereka tahu aku punya bayi?"
"Entah."
"Juga tidak, kuharap." Sukaesih
mendesah getir. "lagi pula,
mereka toh cuma mencari aku.
Dengar, Supardi. Mereka
semakin dekat. Aku tahu, kau
tidak akan tega membiarkan aku
sendirian. Kau mungkin dapat
menolongku melawan mereka
semua. Aku sangat berterima
kasih. Tetapi terima kasihku
akan tiada terhingga, Supardi,
apabila kau tolong aku
menyelamatkan nyawa anakku."
Supardi hendak membantah, tapi
Sukaesih tidak memberi
kesempatan dan langsung
menyeretnya ke dalam gubuk.
Dalam kemarahan bercampur
rasa takut. Supardi menginjak
seekor anak ayam yang lari
serabutan begitu mereka lewat.
Ia juga menendang kucing hitam
yang keluar dari gubuk dan
mengibasngibaskan ekor ke kaki
Supardi. Sukaesih tidak lagi
mengacuhkan anak ayamnya
yang mati remuk, juga tidak
mendengar kucing
kesayangannya yang mengeong
kesakitan. Ia langsung menuju
dipan kayu beralas tikar dan
jerami. menyelimuti dengan
hati-hati sesosok bayi mungil
yang tertidur lelap sejak tadi.
Bayi perempuan itu diam saja
ketika selimutnya dia tambah
dua lapis lagi sampai-sampai
hampir menutupi wajahnya yang
lembut kemerah-merahan. Pun
ketika pipinya dicium
bertubi-tubi oleh ibunya yang
bercuCuran air mata, kemudian
berpindah tangan ke
pelukan Supardi. tidurnya tak
terusik. "Selain tak berdosa, bayi
ini benar-benar tahu diri."
Supardi membatin terharu.
"Pardi?"
"Ya, Esih?"
"Umur bayiku belum seminggu.
Kalau terjadi apaapa denganku,
dapatkah kau merawatnya?"
"Aku..."
"Kau dapat, Supardi. Karena
aku percaya kau akan
mencintainya, sebagaimana kau
mencintai diriku."
"Esih..."
"Mendekatlah."
Supardi mendekat. Sukaesih
mengangkat bibirnya. Ia
memegang pipi si lelaki dengan
kedua telapak tangan,
menariknya sedikit ke bawah.
Ketika bibir mereka bertemu,
Supardi lemas setengah mati.
Hampir saja bayi dalam pelukan
tangannya terlepas kalau tak
keburu ditahan oleh tangan
Sukaesih yang segera
menjauhkan bibirnya dari mulut
si lelaki.
Beberapa saat Supardi tegak
termangu. Wajahnya yang tadi
pucat pasi, kini berubah merah
padam. Suaranya gemetar ketika
berbisik, "Semoga ciuman yang
pertama tadi, bukan yang
terakhir."
"Berdoalah, Supardi." Sukaesih
balas berbisik.
"Esih..."
"Mata batinku melihat Tonggo
menudingkan besi apinya ke
gubukku, Supardi."
Kembali wajah si lelaki
memucat. Lalu tanpa ber
kata apa-apa lagi, ia berpaling
dan bergegas melangkah keluar
gubuk. Sesaat ia berhenti
mengedarkan pandang. Tak
seorang pun manusia di
sekitarnya. Tetapi ia dapat
mendengar suara seseorang
berseru dari bawah, "Ini pasti
jalan menuju gubuk di atas
sana!"
Supardi seketika minggat,
dengan sekujur tubuh gemetar.

***
WAJAH-WAJAH letih
bermunculan dari balik
pepohonan. Empat orang yang
pertama tiba, tidak segera
mendekati gubuk yang pintunya
seakan disengaja terbuka.
Mereka menunggu sampai
semua anggota rombongan
lengkap hadir. Baru setelahnya
mereka beringsut mengitari
gubuk dalam formasi pagar
betis. Semakin dekat ke gubuk,
wajah-wajah itu sebagian
beringas. Namun tak urung satu
dua di antara mereka
memperlihatkan kegentaran hati.
Laki-laki yang bersenjatakan
bedil panjang berbisik perlahan
pada orang di sebelahnya, "Kau
yakin ia ada di dalam?"
Hidung orang di sebelahnya,
seorang lelaki tua kurus dengan
punggung agak bongkok tetapi
berkaki kekar dan kokoh,
mengendus-endus sebentar.
lantas
menjawab pasti, dari jauh pun
aku sudah mencium bau
perempuan itu, Tonggo!"
"Panggillah dia keluar, Darso."
"Pintunya terbuka. Agaknya
mengundang kita untuk
masuk..."
"Siapa tahu itu jebakan!"
"Takut?" Si tua bongkok
bernama Darso menyeringai.
Mengejek. "Percuma kau punya
besi berapi."
Yang disindir menanggapi
tantangan itu dengan gerutuan.
Ia memandang orang di
sekeliling gubuk seolah-olah
meminta dukungan. Semua balas
memandang, tatapan mereka
seolah menuduh: kaulah
pemimpinnya, bukan"
Menyaksikan sinar mata
orang-orang di sekelilingnya,
Tonggo tidak saja merasa
ditantang. Ia terpojok. Sambil
mengumpat dalam hati, Tonggo
memeriksa senjata di tangannya.
Setelah yakin senjata siap
tembak, barulah ia
memberanikan diri maju ke
depan. Senjatanya dikokang.
Tiga langkah menjelang pintu, ia
tertegun sejenak. Bimbang.
Bagaimana kalau yang ia
hadapi benar-benar kekuatan
sihir" Mampukah peluru
menghadangnya.>
Lamat-lamat telinganya
menangkap suara halus dari
belakang. Bisikan yang
disampaikan lewat kekuatan
telepati. "Jangan ragu. Aku siap
melindungimu."
Tonggo menelan ludah. Ia
meneruskan langkah sambil
memanjatkan doa agar Tuhan
menjauhkannya dari ancaman
setan laknat terkutuk. Dengan
dagu
terangkat ia masuk melalui pintu
yang terbuka. Dan untuk yang
kedua kalinya. setiba di dalam
gubuk ia tertegun lagi. Semula
ia berharap akan melihat
bendabenda aneh yang biasa
dimiliki kaum penyihir. Rempah
beraneka ragam, kemenyan yang
menguarkan aroma magis,
tulang-belulang atau mungkin
tengkorak-tengkorak manusia.
Tetapi apa yang ia lihat di
dalam gubuk sangat
mengecewakan hatinya. Selain
peralatan masak memasak, ia
hanya melihat kursi rotan,
lemari kecil, dan sebuah dipan.
Di pinggir dipan kayu itu.
Sukaesih duduk tenang dengan
kaki menjuntai.
Tonggo membasahi
kerongkongannya yang kering
dengan menelan ludah lagi dan
lagi. Keberaniannya mendadak
sirna saat menangkap tatapan
bening perempuan itu. serta
sikap yang begitu tenang dan
damai. Sesaat, Tonggo
kehilangan kata-kata. la
mengalihkan pandang pada
seekor kucing hitam yang
melingkar di pangkuan
Sukaesih. Sepasang mata kucing
itu berkilauan menatap
kehadiran orang asing di dalam
gubuk. Binatang itu
memperlihatkan gigi taringnya,
sambil mendengus tak senang.
Apakah kucing itu makhluk
jadi-jadian"
Akhirnya, tuan rumah yang
memulai.
"Kudengar, kalian mencari aku."
Sukaesih berujar ramah.
"Kok tahu?" rungut Tonggo,
curiga. Tetapi kemudian dalam
hari ia menambahkan sendiri.
"Tentu saja
tahu. kau kan tukang sihir!"
Sayang, penampilan perempuan
di hadapannya jauh dari sosok
tukang sihir dalam dongeng
yang dibacakan untuk memaksa
seorang anak bandel bergegas
naik ke tempat tidur di malam
hari. Sejak menghilang
beberapa bulan yang lalu dari
desa di lembah sana,
penampilan Sukaesih justru
semakin memesona. Wajahnya
tampak begitu segar, sehat, dan
senyumnya meruntuhkan hati
setiap lelaki yang memandang.
"Ada perlu apa?" tanya
Sukaesih polos.
"Kau harus ikut kami ke desa,"
jawab Tonggo, enggan.
"Untuk?"
"Diadili."
Senyum di bibir Sukaesih tetap
mengembang. Suaranya pun
tetap ramah. "Apa
kesalahanku?"
Tonggo tiba-tiba merasa
jengkel. Bukan dia yang
menguasai perempuan itu.
melainkan sebaliknya. Harga
dirinya terhina. Ia telah
membiarkan hatinya larut oleh
penampilan perempuan itu, dan
lupa bahwa ia harus bertindak
tegas. Setelah susah payah
mengumpulkan semangat dan
kekuatan batin, Tonggo
menjawab. "Kita bicarakan itu
nanti saja. setiba di desa. Kau
harus menjawab banyak
pertanyaan. Salah satu saja
jawabanmu keliru, maka
nasibmu sudah ditentukan!"
"Oleh siapa?"
"Jangan mengajakku bersilat
lidah. Mereka yang di
luar sana sudah tak sabar
menunggu. Ikutlah secara
baik-baik. Kalau tidak?"
"Kudengar," potong Sukaesih,
"besi yang dapat menyemburkan
api itu kan rebut dari kompeni."
"Apa pedulimu, Sukaesih?"
"Tentunya sudah banyak nyawa
yang melayang di tanganmu,"
sahut Sukaesih acuh tak acuh.
"Aku akan ikut kalian, Tonggo.
Bukan karena takut pada senjata
ajaibmu. Aku rela pergi dengan
kalian, karena aku yakin tidak
bersalah atas apa yang selama
ini kalian tuduhkan kepadaku."
Tonggo menghela napas lega.
Beban berat yang sejak tadi
menekan pundaknya hilang
begitu saja. Ia membiarkan
perempuan itu berjalan
mendahuluinya. Kucing
hitamnya menguntit dari
belakang. Tetapi dengan
bujukan lembut si perempuan,
kucing itu mengeong lemah lalu
meloncat naik ke dipan,
melingkar tenang namun
matanya tetap mengawasi
punggung Tonggo yang
menggiring majikannya. Di luar
gubuk, Sukaesih langsung
berhadapan dengan belasan
pasang mata yang memandang
ke arahnya dengan berbagai
reaksi. Marah, benci, bercampur
segan dan takut.
Sebelum Sukaesih menyadari
apa yang terjadi, tahutahu
seseorang telah meringkus
kedua lengannya yang ditarik ke
belakang punggung. Dengan
gerakan cepat.
Darso sudah mengikat
pergelangan tangan Sukaesih
dengan seutas tali tambang yang
tersimpul kuat. Puas dengan
pekerjaannya, Darso meloncat
mundur. Terbungkuk-bungkuk.
Seakan takut kalau-kalau
perempuan itu membalikkan
tubuh lalu menerkam dan
merengkah dirinya. Sambil
mundur ia terus membiarkan
gulungan tali di tangannya jatuh
terulur. Ujungnya ia genggam
erat-erat.
"Jangan coba coba melepaskan
tali itu, penyihir!" ancamnya,
sambil menggeram puas. "Tali
itu dilumuri minyak bermantra.
Setiap gerakan tak dikehendaki
kau lakukan, belitan tali di
lenganmu akan mengeluarkan
panas yang membakar kulit
maupun daging, bahkan
tulang-tulang lenganmu!"
Wajah Sukaesih memucat.
Matanya bersinar marah.
Namun sekejap cuma. Sikapnya
kembali tenang. Pasrah. Dan
saat itulah. manusia di
sekitarnya mulai hiruk pikuk.
Semua mendadak punya
keberanian untuk mencerca.
"Bunuh saja dia sekarang!"
"Biarkan golokku memotong
lidahnya yang berbisa!"
"Telanjangi dia!"
"Seret dia ke jurang!"
"Gantung!"
"Cincang!"
Sambil berteriak-teriak histeris,
mereka juga menjambaki rambut
si perempuan. menarik-narik
bajunya
sampai robek, bahkan
bertubi-tubi meludahi mukanya.
Tindakan membabibuta itu baru
berhenti setelah Tonggo
membentak nyaring. "Diam!
Diam! Hentikan mulut besar
kalian!" Tonggo menahan
kemarahannya sejenak,
kemudian merendahkan
suaranya. "Ayo. Semua kembali
ke desa. Jangan lagi membuat
keributan yang tidak perlu."
Ketika rombongan yang
beringas itu menuruni bukit
dengan tangkapan mereka
berjalan paling depan. Tonggo
justru tampak tak bersemangat.
Wajahnya berubah muram.
Beberapa kali pula terdengar ia
menghela napas panjang.
Darso yang berjalan di
dekatnya, bergumam heran.
"Kau gelisah."
Tonggo manggut-manggut.
"Ada sesuatu yang salah?"
"Perempuan itu."
"Ada apa dengan dia?"
"Entahlah. Yang jelas, ia tidak
seperti yang kita bayangkan
sebelumnya. Kita semua tahu. ia
punya kekuatan gaib, kekuatan
hitam. Tadi di atas sana, ia bisa
saja mencederai kita. Sekali saja
ia mengucapkan sumpah
serapah. orang-orang bodoh itu
mungkin sudah pada mati
berdiri. Atau berubah wujud jadi
makhluk menjijikkan. Herannya,
ia tampak begitu pasrah.
Memang sempat kutangkap
kemarahan di matanya. Tetapi
setelahnya. ia diam saja dihina
scdemikian rupa."
"Hm, mungkin ia sadar,
beberapa di antara kita setara
ilmunya dengan dia. Belum lagi
besi berapi di tanganmu. ia tidak
bodoh."
"Kau benar. Ia tidak bodoh. Kau
tahu?"
"Apa?"
"Aku curiga ada sesuatu yang ia
sembunyikan di balik sikapnya
yang aneh itu..."
Ternyata bukan hanya Tonggo
yang merasa heran akan sikap
Sukaesih. Supardi yang lebih
tahu mengenai perempuan itu,
tidak saja heran tetapi juga
marah melihat Sukaesih diam
saja sewaktu dipermalukan.
dihina dan diludahi. Di tempat
persembunyiannya, Supardi
menggeram, menyumpah dan
mengutuk. Hasilnya, air
matanya semakin membanjir
melelehi pipi. Bayi dalam
pelukannya menggeliat, lalu
merengek. Supardi
menciuminya. membujuk dan
membisikkan kata-kata
menyedihkan. "Aku tahu. Nak.
Aku tahu. Kau, seperti juga aku.
tidak akan pernah melupakan
penderitaan dan hinaan yang
diterima ibumu!"
Supardi kemudian menyelinap
keluar dari persembunyian.
Yakin bahwa semua orang sudah
pergi. la berlari ke padang
terbuka, berdiri di bibir tebing
di depan gubuk, memandang ke
bawah. Rombongan itu sudah
tak kelihatan lagi. Demikian
pula Sukaesih. Batin Supardi
membisikkan, bahwa sesuatu
yang mengerikan akan terjadi
atas diri perempuan itu. ia
tiba-tiba merasa kehilangan.
tanpa ia mampu mencegahnya.
Putus asa, Supardi masuk ke
dalam gubuk. Ia rebahkan bayi
Sukaesih di atas dipan beralas
jerami. Bayi itu menggeliat lagi.
Supardi akan menggumamkan
bujukan kasih sayang, manakala
ia dengar sesuatu bergerak di
belakangnya. la berpaling.
Sayang, terlambat. Sebelum
melihat apa atau siapa yang
menimbulkan suara
mencurigakan itu, tengkuknya
sudah dihantam pukulan keras.
Supardi melorot, jatuh. Dua tiga
detik sebelum kesadarannya
menghilang, ia masih sempat
melihat ke arah dipan. Bayi itu
lenyap, bersama dengan
lenyapnya sosok tubuh orang
yang menghantam tengkuknya.
Detik berikutnya Supardi tak
ingat apa-apa lagi.
***

ROMBONGAN yang turun


gunung menggiring tangkapan
mereka tidak seberapa
jumlahnya. Tonggo masih punya
wibawa mencegah mereka
berlaku lebih kejam pada
Sukaesih. Akan tetapi
menghadapi orang sekampung
yang sedang marah, Tonggo
segera kehilangan pengaruh.
Rupanya salah seorang anggota
rombongan lebih dulu pulang
memberitahu penduduk bahwa
mereka berhasil meringkus si
penyihir. Maka begitu
rombongan memasuki mulut
desa, orang sekampung sudah
siap menyambut.
Mulanya mereka semua
terkesima melihat penampilan
Sukaesih. Perempuan itu tak
ubahnya makhluk mengerikan
atau hantu menyeramkan yang
baru keluar dari balik
kegelapan. Pakaian Sukaesih
compangcamping. Rambut kotor
acak-acakan. Wajah maupun
tubuhnya dipenuhi debu campur
lumpur. Ia telah
dipaksa jatuh bangun sepanjang
perjalanan. Terbanting karena
terantuk batu atau cabang
pohon. Tunggang langgang di
jalanan curam. Tiap kali
terjerembap di semak belukar
atau sawah, ia terpaksa diseret
agar rombongan itu tiba di desa
sebelum matahari tenggelam di
ufuk barat.
Sepanjang perjalanan, hampir
semua anggota rombongan
bersenang-senang melihat
tawanan mereka tersiksa.
Kecuali Tonggo dan Darso.
Mereka berdua tetap berkepala
dingin, memperhatikan dengan
penuh kewaspadaan. Beberapa
kali mereka menggelenggeleng
takjub, sekaligus ciut nyalinya.
Tampaknya hanya kedua orang
ini yang menyadari bahwa
Sukaesih tak pernah mengeluh
menghadapi semua siksaan.
Wajahnya memang
menggambarkan kesakitan,
namun bibir tetap terkatup
rapat. Matanya tetap bersinar
tajam, menandakan keteguhan
hati. Anehnya lagi, sedikit pun
tubuhnya tidak mengalami
memar atau tergores luka.
Keanehan itu semakin tampak
nyata setiba mereka di desa.
Penduduk yang mulanya terdiam
membisu, pelan-pelan
menyingkir memberi jalan
seolah takut tersentuh atau
terpandang mata si penyihir.
Mereka cuma berani
berbisik-bisik. Sampai seseorang
bergumam, "Makhluk terkutuk
itulah yang membuat cucuku tak
punya ayah dan ibu?"
Gumaman itu dengan segera
memperlihatkan pengaruh.
Orang-orang mulai berbicara
lebih keras,
kemudian mulai berteriak-teriak
marah. disusul jerit dan tangis.
Massa seketika berubah histeris.
Dari sana sini terdengar jeritan
atau seruan membabi buta.
"Kembalikan anak
perempuanku!"
"Kau apakan anakku lelakiku
yang paling bungsu itu?"
"Menantuku dijadikan tumbal!"
"Tak ada lagi waktu untuk
mengadilinya. Bakar dia
sekarang!"
"Benar! Lupakan saja rencana
untuk menanyai dia! Dia tak
akan mengaku!"
"Tombak jantungnya!"
"Tebas lehernya!"
"Lempari kepalanya biar
pecah!"
"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"
Tonggo membentak-bentak,
berteriak teriak
memperingatkan. Kemudian
setelah melihat amukan
penduduk, Darso ikut pula
berseru mencegah perbuatan
penduduk yang sia-sia itu.
Betapa tidak! lontaran tombak
ke lambung Sukaesih, mental
begitu saja. Mata golok yang
menghantam leher, tangan,
maupun kakinya, seolah
mendadak tumpul. Potongan
kayu atau lemparan batu-batu ke
kepalanya, memperdengarkan
bunyi berderak. Kepala Sukaesih
tetap utuh. wajahnya pun tetap
mulus.
Melihat keanehan itu, sebagian
penduduk menjadi gentar.
Ketakutan. Tetapi sebagian lagi
membakar se
mangat mereka. "Lihat! Dia
memang tukang sihir jahanam!
Hanya api yang dapat
memusnahkannya!"
"Api! Benar, api!"
"Bakar dia! Bakar dia! Bakar!"
"Ikat dia ke pohon!"
Orang-orang kembali mendekat
dan menggerayangi apa saja
yang dapat mereka jamah di
tubuh Sukaesih. berusaha
menarik, membetotnya kian
kemari. Sukaesih bergeming.
Mulutnya tetap mengatup rapat.
Tidak sekali pun ia mengeluh,
apalagi marah. Hanya matanya
saja yang memancarkan sinar
berkilau, sinar aneh yang
membuat Darso serta Tonggo
gemetar. Dalam hati. Darso
merapal semua ajian miliknya,
baik itu ajian putih maupun
ajian hitam. Ia berusaha
melindungi diri dari pengaruh
kekuatan setan.
Dengan jantung berdebar,
Tonggo mengekang senjatanya.
Tonggo tidak berharap si
perempuan sihir akan balas
mengamuk. Tetapi kalau itu
terjadi dan ia ikut diserang,
maka hanya senjata besi di
tangannya yang dapat
menolong. Itu pun tetap
membuatnya ragu-ragu. Ia telah
menyaksikan berapa banyak
batu, potongan kayu, mata
golok, ujung tombak. mata
lembing yang coba dihantamkan
ke tubuh Sukaesih. Hasilnya"
Semua mental. llmu yang
dimiliki perempuan itu
benar-benar bukan
sembarangan!
Di saat Tonggo bimbang itulah,
ia terpekik kaget. Besi panjang
di tangannya tahu-tahu sudah
direnggut seseorang. la
berteriak marah dan bermaksud
me
rampas kembali senjatanya.
Tetapi besi panjang itu dengan
cepat telah mengarah ke atas,
lalu picu ditarik. Sesaat
kemudian terdengar bunyi
letusan yang menggelegar, tak
ubahnya bunyi petir di tengah
kesunyian malam. Mendengar
bunyi mengagetkan itu, sebagian
penduduk buyar berantakan.
Sebagian lagi membalikkan
tubuh, memandang gusar pada
si pengacau. Tetapi seketika,
wajah-wajah mereka berubah
pucat, kemudian pasrah.
Teriakan-teriakan mereka pun
pelan-pelan merendah,
kemudian hilang ditelan
kesunyian yang mendadak
menyelimuti desa, dari ujung ke
ujung.
Tonggo sendiri terpaksa
menelan ludah. la berdesah
kaku. '.Ah Pak Lurah kiranya."
Laki-laki setengah baya
berwajah keras dengan sinar
mata berwibawa yang disebut
Pak Lurah, menurunkan besi
panjang yang larasnya masih
mengepulkan asap. Senjata itu
diserahkannya kembali pada si
pemilik, sambil bergumam
dingin, "lsi lagi!"
Tonggo menerima senjata
miliknya dengan senang hati. la
tarik keluar kantong mesiu dari
tali pinggangnya yang lebar.
Bersiap-siap mematuhi perintah.
Sementara itu, Pak Lurah
berjalan beberapa langkah ke
depan. Orang-orang menyeruak
memberi jalan, sampai akhirnya
lelaki setengah baya bertubuh
kekar itu menghentikan langkah.
Di depannya, tegak diam
Sukaesih yang penampilannya di
mata penduduk tamPak semakin
menyeramkan. Tetapi di mata
Pak
Lurah. justru tampak sangat
menyedihkan. Mereka saling
bertukar pandang sejenak.
Semua yang menyaksikan,
menunggu dengan diam campur
khawatir.
Keadaan sunyi senyap itu
mendadak dipecahkan suara
bergumam Pak Lurah. "Hari
sudah gelap."
Itu saja!
Penduduk tercengang, namun
tak seorang pun berani
membuka mulut. Hanya Tonggo
yang mengerti. la mengangguk,
yang segera diikuti Darso.
Masih tetap mengawasi lurus ke
mata si perempuan, Pak Lurah
berkata lagi, "Besok saja.
Menjelang tengah hari."
Usai berkata demikian, Pak
Lurah membalikkan tubuh. Ia
tidak segera berlalu, karena
untuk pertama kalinya Sukaesih
membuka mulut. Suaranya
tenang, dingin, menusuk sampai
ke sumsum.
"Aku ingin bicara."
Tanpa berpaling, Pak Lurah
menyahut, "Bukan di sini
tempatnya."
Lalu ia pun pergi. Dipandangi si
perempuan sihir dengan mata
berapi-api, dipandangi
penduduk dengan mata segan
setengah kebingungan.
Kebingungan mereka itu baru
buyar setelah Darso berseru
lantang. "Kalian dengar apa
perintah Pak Lurah" Hari sudah
mulai gelap. Kalau kalian semua
ingin memusnahkan perempuan
ini beserta ilmu sihirnya yang
terkutuk, esok sianglah
waktunya. llmu
sihirnya baru musnah apabila
terbakar oleh api dari bumi dan
api dari matahari!" Ia
memandang berkeliling untuk
meyakinkan bahwa semua orang
dapat mencerna kata-katanya.
Lalu ia melanjutkan, "Sekarang,
bantu aku menyeret tukang sihir
ini dan menguncinya di kandang
kuda!"
Merasa yakin akan keampuhan
mantra-mantra yang telah
dirapalkannya semenjak tadi.
Darso mendekati Sukaesih. Ia
tidak menjamah tubuh
perempuan yang tampak
semrawut dan memelas itu. Ia
sambar ujung tali yang terjulai
di tanah, menariknya. dan
kemudian menggiring Sukaesih
dengan tangannya yang masih
terikat ujung tali yang lain.
Sejumlah tenaga sukarelawan
kemudian membantunya, bahkan
ada yang berani mendorong
perempuan sihir itu disertai
suara membentak kasar, "Ayo,
jalan! Atau kau kuperkosa!"
Mereka lalu menggiring
Sukaesih ke kandang kuda
dimaksud, tak ubahnya
menggiring kerbau ke tempat
jagal. Tonggo tetap diam di
tempatnya. Memperhatikan
dengan kelopak mata tidak
berkedip. Pelan-pelan, ia
bergumam seorang diri. "Ia
menyembunyikan sesuatu.
Pasti!"
Malam pun, semakin menggelap
jua.

***
LEPAS waktu Isya, Pak Lurah
berjalan seorang diri menuju
kandang kuda tempat Sukaesih
disekap penduduk. Ada sekitar
tujuh atau delapan orang lelaki
berjaga-jaga di sekitar kandang,
dipimpin oleh Darso.
Melihat siapa yang datang,
Darso bergegas menyongsong
sambil meludahkan sisa
kunyahan tembakau dari
mulutnya. Tanpa ditanya.
setelah mengangguk hormat
Darso langsung berujar, "Tak
ada yang perlu dikhawatirkan,
Pak. Penyihir itu juga tak akan
mampu meloloskan diri dari
kurungan yang telah kubuat."
Pak Lurah mengawasi tanah di
depan kakinya. Di antara
serakan jerami. debu dan tahi
kuda, ia lihat cairan hitam pekat
berkilat-kilat dalam jilatan
lampu obor. Cairan itu
ditumpahkan mengelilingi
kandang
kuda, tanpa terlewat walau
seujung jarum. Baunya apak
menusuk hidung. sehingga Pak
Lurah menyempitkan
lubang-lubang pernapasannya.
Darso menyeringai. Katanya,
"Maklum, Pak. Terbuat dari
ramuan minyak damar,
dicampur kencing kuda, darah
ular, dan... ah, maaf, sedikit
tahiku sendiri."
"Hem!" Pak Lurah mendengus,
lalu menatap atap kandang.
Atap itu penuh ditaburi
rempah-rempah dengan bau
sangit alang kepalang. Di antara
taburan aneka ragam rempah itu
terlihat bangkai seekor ular
hitam. Melingkar tepat di atas
pintu masuk kandang. "Perlukah
semua itu?" dengus Pak Lurah.
tanpa menyembunyikan
perasaan jijik yang membuat
perutnya mual.
"Agar tak satu pun yang dapat
keluar masuk. Pak Lurah."
"Siapa yang masuk" Siapa yang
keluar?"
"Roh jahat!"
"Tetapi aku mau masuk ke
dalam. Dan aku tak berhasrat
tidur di kandang kuda!"
Sindiran itu membuat kuping
Darso memerah. Katanya,
malu-malu, "Ah. Apalah arti
ilmuku, dibanding ilmu yang Pak
Lurah miliki!"
"Karena itu, jangan kau campuri
urusanku. Setuju?"
Darso membungkuk
dalam-dalam. "Dengan senang
hati. Pak Lurah."
Penguasa desa itu memandang
orang-orang yang mengitari
mereka. "Kalian juga!" katanya.
Mereka semua mengangguk,
kemudian pergi diikuti Darso.
Setelah agak jauh, mereka
berhenti. Lalu duduk
bergerombol, sambil semua
mata mengawasi ke arah
kandang kuda. Bisikan mereka
campur aduk. Dan baru berhenti
setelah Darso mendengus kesal.
"Diam semua! Terkutuklah
kalian yang berpikiran bahwa
Pak Lurah berjiwa bejat. Jangan
menyamakan diri beliau dengan
jiwa kotor kalian. Sekarang,
tutup mulut! Biarkan aku
bersemadi. Siapa tahu Pak
Lurah sewaktu-waktu
membutuhkan pertolongan kita!"
Tak jauh dari mereka. Pak
Lurah mendekapkan kedua
lengan di depan dada. Matanya
dipejamkan, mulut komat-kamit.
Setelah beberapa helaan napas,
ia melangkahi benteng gaib
ciptaan Darso dengan mata
terpejam. Ia baru membuka
mata setelah melewati pintu
kandang. Gelap di dalam. Tak
ada suara kuda mendengus atau
menyepak-nyepak. Kuda-kuda di
dalam kandang itu telah
disingkirkan begitu ada kabar
Sukaesih telah diringkus
rombongan pencari di lereng
gunung.
Tetapi ada desah napas lain.
Lembut, teratur.
"Aku hampir tak percaya kau
bersedia datang." Terdengar
suara rendah dalam kegelapan
kandang.
"Aku sudah berjanji," sahut Pak
Lurah.
"Mau duduk di dekatku?"
Terdengar ajakan ramah.
"Terima kasih. Aku di sini saja."
"Aku tidak lagi menggairahkan,
ya?"
"Bukan itu sebabnya." Pak
Lurah merendahkan suaranya,
mendekati bisikan. Ia
memperingatkan, "Darso bisa
mendengar percakapan kita."
"Aku tahu. Dan aku tahu pula, ia
sedang menguping. la pikir ia
hebat, ya" Benteng yang ia buat
di sekeliling kandang,
diam-diam kumanfaatkan untuk
membentengi diriku sendiri. Tak
satu pun yang terjadi atau kita
percakapkan di dalam sini dapat
disedot hawa gaib dari luar!"
"Aku datang sebagai kepala
desa. Sukaesih!" desah si lelaki,
memperingatkan.
"Dan aku memang tidak
mengharapkan kehadiranmu
sebagai seorang jantan yang
perkasa, Buyung!" balas si
perempuan, tak kalah sengit.
Pak Lurah tersinggung oleh
sindiran si perempuan tahanan
mereka. Tetapi ia dapat
menguasai emosinya. Katanya,
"Kau bilang, kau ingin
membicarakan sesuatu."
"Ya." Sukaesih menggeliat
dalam kegelapan.
"Katakanlah. Cepat!"
"Mengapa buru-buru?" tanya
Sukaesih lembut, lalu tertawa
ringan. "Dulu, kau begitu
sabar," lanjutnya.
"Yang lalu sudah berlalu, Esih!"
"Ah. Aku lupa."
"Apa yang akan kau
bicarakan?"
"Pengakuan. Buyung!
Pengakuan dari engkau sen
diri. Tidak padaku. Tetapi pada
semua orang di luar sana.
Bahwa aku tidak bersalah!"
"Kau berlebihan," ujar Pak
Lurah tenang.
"Aku tidak bersalah!" Sukaesih
setengah memekik. "Kau tahu,
dia yang bersalah!"
"Dia?"
"Jangan berlagak tidak paham
siapa orang yang kumaksud, Pak
Lurah!"
"Kau salah tafsir," sahut kepala
desa itu. "Dia memang bersalah.
Tetapi tidak seluruhnya. Ia tidak
akan berkelakuan semengerikan
itu kalau kau tidak membuat
dirinya berubah wujud sama
mengerikannya!"
"la memaksaku!"
"Tetapi kau tidak perlu berlaku
sekejam itu padanya, Sukaesih."
"Tidak perlu" Lupakah kau, apa
akibatnya kalau keinginannya
yang begitu menjijikkan
kuterima begitu saja" janinku
akan dikotorinya! Dengar"
Janinku akan dikotorinya. Dan
kau tahu, janin itu bukan hanya
milikku seorang!"
"Sudahlah. Masa silam telah
lama kulupakan."
"Hebat!"
"Apa boleh buat. Sukaesih.
Bukan aku yang menghendaki.
Kalau waktu itu kau patuhi
permintaanku..."
"Aku ingin punya keturunan dari
seseorang yang... waktu itu,
kucintai. Dan kukira juga
mencintaiku. Hanya itu yang
kudambakan dalam hidupku
yang
penuh siksaan dan nestapa. Kau
dengar, Pak Lurah." suara
Sukaesih menusuk dalam. "Aku
sudah lama mendambakan
seorang anak. Dan kini, aku
telah memilikinya. Karena itu,
katakanlah pada mereka siapa
yang sesungguhnya bersalah.
Agar mereka membiarkan aku
pergi dengan bebas!"
"Mereka tidak akan membiarkan
kau pergi."
"Mereka harus!" Sukaesih
menggeram. "Aku sudah berbuat
baik pada mereka semua.
Kutelan semua siksaan dan
hinaan, karena aku tahu mereka
semua tidak bersalah. Mereka
hanya tidak tahu yang
sebenarnya. Mereka tidak sadar
apa yang telah mereka pikirkan
tentang aku, tidak sadar akan
apa yang mereka lakukan
terhadapku. Aku hanya perlu
bertahan. Tidak perlu
membalaskan sakit hati.
Kuampuni mereka! Sebagai
imbalannya, mereka harus
merelakan aku pergi!"
"Mereka dipenuhi dendam
kesumat, Sukaesih. Mereka
sudah tak tahan menghadapi
bencana-bencana mengerikan
yang terus menerus harus
mereka alami..."
"Bukan aku penyebabnya, Pak
Lurah!"
"Mereka tidak tahu itu."
"Mereka harus tahu!"
"Maaf, Sukaesih. Sia-sia kau
berharap, bahwa aku akan
memberitahu mereka siapa
sebenarnya penyebab dan
sumber dari bencana itu!" Ia
diam sejenak, menunggu reaksi.
Karena tak ada sahutan atau
reaksi
apa-apa. Pak Lurah
menambahkan. "Atau kau yang
akan mengatakannya pada
mereka?"
Hening.
Menyentak. Dan menyakitkan
hati.
Pak Lurah menghela napas
panjang. Dengan sabar ia
menjelaskan apa yang
sebenarnya tidak perlu ia
jelaskan, karena sadar siapa
orang yang ia hadapi. "Kau
tidak akan mengatakannya.
Karena kau tahu. kalau rahasia
itu kau ungkapkan, maka akan
kukatakan pula pada mereka
bahwa kau sudah melahirkan
seorang bayi. Itulah sebabnya
kau diam saja ketika
diperlakukan semena-mena,
bukan" Kau harus tabah, harus
kuat. harus sanggup menahan
semua azab. demi keselamatan
anakmu. Sekali kau lemah. maka
mereka akan tahu kau punya
keturunan. Akibatnya, kita
berdua sama-sama tahu kalau
ilmu sihir harus dimusnahkan
sampai ke akar-akarnya. Itu
berarti, keturunan si tukang sihir
harus pula ikut dimusnahkan..."
"Tidak!" Suara Sukaesih
berubah gemetar. "Mereka tidak
boleh melakukan itu. Mereka
tidak boleh membakar anakku.
Kau... kau tidak akan
membiarkan mereka
melakukannya! Kau tak akan
tega mereka membakar bayiku,
karena bayi itu toh masih?"
Pak Lurah menukas, "Jadi.
keadaan tak mungkin lagi
diperbaiki. Bukankah demikian
Sukaesih?" tandasnya.
Sukaesih muncul dari kegelapan.
Dengan lengan masih terikat di
belakang punggung. ia merayap
men
dekati lelaki yang tegak di
ambang pintu kandang. Dalam
jangkauan nyala obor dari luar,
samar-samar tampak Sukaesih
seperti seorang pengemis hina
yang rela menjilati telapak kaki
seseorang demi sebutir nasi
untuk mengobati laparnya. "Pak
Lurah... kumohon..."
Si lelaki meloncat mundur.
Berseru dengan suara bergetar,
"Jangan berlaku sehina itu
terhadapku, Sukaesih!"
"Pak Lurah..."
"Aku harus pergi sekarang.
Keinginanmu telah kudengar.
Sayang. aku tak mungkin
memenuhinya. Esih. Benar,
hidupmu kini hancur
berantakan. Tetapi kau telah
lebih dulu membuat kehidupanku
dan keluargaku runtuh tak
berarti. Maafkan aku, Sukaesih.
Bukan aku menyimpan dendam.
Sungguh, jauh dari itu. Kita
harus menyadari. bahwa apa
yang kini kita alami adalah
sebagai akibat dari kebodohan
yang pernah kita perbuat.
Dan..."
Suara gaduh orang bertengkar
di luar membuat ucapan Pak
Lurah menggantung. tak sempat
memungkasinya.
Tanpa memedulikan isak tangis
Sukaesih. Pak Lurah bergegas
meninggalkan kandang. Ia tidak
lupa melindungi diri dari
pengaruh gaib benteng
pertahanan yang dibuat Darso.
Bergegas ia mendatangi sumber
kegaduhan. Terlihat Darso dan
teman-temannya bertengkar
dengan seorang laki-laki yang
ke
mudian dikenali Pak Lurah
sebagai satu-satunya tukang
kayu di desa mereka.
"Ada apa, Darso?" tanya Pak
Lurah.
"Ini, Pak. Supardi. Ia memaksa
bertemu dengan perempuan sihir
itu."
"Astaga!" Pak Lurah
tercengang. "Perlu apa kau
menemui perempuan itu?"
"Sudah kubilang pada mereka
ini." kata Supardi,
terengah-engah. Ia nampak
sangat keletihan. wajahnya
kelihatan sakit. "Aku ini
bujangan tua. Sebelum aku
benar-benar lapuk, aku ingin
ketemu jodoh. Sudah berapa
orang gadis atau janda yang
kukencani. tetapi tak seorang
pun yang benar-benar cocok di
hati."
"Lantas?"
"Bukankah tukang sihir itu
dulunya seorang tabib masyhur
yang ilmunya mandraguna"
Dulu, ia seringkali menolong
orang sakit atau orang-orang
yang menemui kesulitan
macam-macam. Jadi, sebelum ia
kita bakar esok siang. sebelum
ia kita bunuh sampai mati.
sebelum ilmunya benar-benar
musnah. biarkanlah aku
meminta pertolongannya.
Barangkali saja, perempuan
sihir itu masih mempunyai
sisa-sisa kebaikan yang..."
"Ia perempuan jahat. Ia
terkutuk! Kau akan
disumpahinya menjadi seekor
anjing buduk!" bentak Darso.
"Biarkan dia. Darso." tukas Pak
Lurah. menengahi.
"Kalau terjadi apa-apa.
bukankah aku, bahkan kau juga
dapat mengatasinya?"
Setelah menimbang-nimbang
sejenak, dan bangga ilmunya
"dianggap" juga oleh Pak
Lurah, Darso terpaksa
menyetujui. Ia kemudian
berjalan ke arah kandang kuda.
diikuti Pak Lurah dan yang
lain-lain. Tiba di depan
kandang, Darso memandang
orangorang yang
mengelilinginya dengan seringai
malumalu. la tanggalkan tali
pengikat celananya,
menurunkannya pelan-pelan. Di
balik celana itu. ia tidak
memakai apa-apa lagi. Seorang
temannya menggerutu,
menertawakan. Darso memaki.
lantas, dengan seenaknya ia pun
kencing, sembari memercikkan
air seninya ke cairan hitam di
depan pintu kandang. Kemudian
meludah.
"Nah. Kau boleh masuk
sekarang, bung," katanya,
bersungut pada Supardi.
"Barangkali, supaya kau cepat
ketemu jodoh. perempuan itu
akan mengajukan syarat. Siapa
tahu, ia mengajakmu tidur. Dan
kalau kau mulai ditelanjanginya,
Pardi, maka ingatlah..."
"Cabul!" dengus Pak Lurah
pendek.
Darso menalikan kembali
celananya dengan wajah tak
senang. lantas membentak ke
arah Supardi. "Masuk, kubilang.
Dan berdoa saja, waktu keluar
nanti perabotmu masih utuh!"
Diiringi gelak tertahan
orang-orang di belakangnya,
Supardi menyelinap masuk ke
dalam kandang. Darso beserta
teman sekelompoknya ribut
menduga-duga
syarat apa yang diminta si
tukang sihir sebagai imbalan
keinginan Supardi. Ucapan
mereka sangat jorok. Tapi Pak
Lurah tak peduli kini. Ia tetap
berdiri agak jauh dari mereka.
Menatap lurus ke arah kandang,
sikapnya tenang dan
wajar-wajar saja. Tak seorang
pun yang tahu, ia tengah
memusatkan pikiran dengan
gendang telinga
berdenyut-denyut. Berharap,
akan mendengar sesuatu.
Namun sampai Supardi keluar
dari kandang dan Darso
menyempurnakan tutup
bentengnya yang sempat
terbuka. Pak Lurah tak berhasil
menguping pembicaraan
Supardi dan Sukaesih. Dengan
kecewa, ia mengawasi si pemuda
yang melenggang dengan
senyum dikulum, tanpa
menjawab serangan pertanyaan
dari Darso dan
teman-temannya. Mereka semua
mendongkol setengah mati,
menatap Supardi menyelinap
hilang dalam kegelapan malam.
Pak Lurah sendiri kemudian
pulang ke rumahnya, dengan
benak dipenuhi berbagai
pertanyaan.
***

Setelah cukup jauh berjalan dan


yakin tidak seorang pun
mengikutinya, Supardi lantas
jatuh bersimpuh di tanah.
Sambil menjambaki rambutnya
dan memukul-mukul tanah
sekuat-kuatnya, ia meratap.
"Sukaesih malang, kekasihku
sayang! Masih juga kau
memaafkan kealpaanku!
Mestinya kau hukum aku, kau
sumpahi. Kau jadikan cacing
hina pun, aku rela. Dengan apa
lagi aku harus menebus
kesalahanku?"
Ia terus memukul-mukul tanah
dengan air mata bercucuran.
"Supardi, cepatlah!" Telinganya
menangkap bisikan samar.
Supardi kaget, memutar
kepalanya mencari sumber
suara. Tak ada siapa-siapa.
Matanya tidak menangkap apa
pun kecuali kegelapan malam
sepekat tinta. "Tunggu apa lagi,
Pardi" Mereka akan
membakarku, kau dengar" Kau
ingin mereka melakukan itu
padaku" Kau tega, sayangku?"
"Sukaesih!" bisik Supardi,
terperanjat.
Ia kemudian menyeka air
matanya dan bergegas bangkit
menembus kegelapan menuju
rumah yang hanya ditempatinya
sendirian. Setelah memastikan
pintu terkunci rapat, Supardi
mulai mengumpulkan bilah
papan terbaik. halus tanpa
cacat, keras dan kokoh. Semua
perlengkapan bertukang ia
kumpulkan di dekatnya. Setelah
menarik napas berulang-ulang
untuk menenangkan pikiran,
hati, maupun debar jantungnya,
ia tepekur. Dan berbisik pelan,
"Aku siap, Esih."
Di dalam kandang kuda,
Sukaesih meratap dengan pipi
dibasahi cucuran air mata. "lbu
dan Nenek! Ampunilah aku yang
tidak tahu malu ini. Aku
terpaksa mengusik ketenteraman
kalian di alam sana. Terpaksa
melanggar sumpah. Aku tak
ingin, tetapi mereka memaksaku.
Mereka telah merampas anakku!
Merampas turunan kalian,
darah daging kalian, penerus
nama kalian. Oleh karena itu,
kumohon dengan segenap jiwa
dan raga. Bangkitlah, dan
menyatulah dengan sukmaku!"

***

Rumah Supardi mulai riuh


dengan irama palu beradu
dengan pahat kayu. Sambil
bekerja, Ia terus memikirkan
Sukaesih, membayangkan
perempuan itu dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki.
Meresapi sosok Sukaesih dari
baju luar sampai ke hati nurani.
Supardi beruntung, dengan
keluguan dan sedikit tipu daya ia
berhasil menemui Sukaesih yang
tengah
ditawan Darso dan
kawan-kawan. Di hadapan
perempuan itu, ia meratap
memohon ampun atas
kelalaiannya. Mendengar
bayinya hilang dicuri orang,
Sukaesih terdiam beberapa saat.
Selanjutnya, embusan napasnya
adalah erangan kepedihan.
Melolong pilu, meratapi
ketidakberdayaan. Tubuhnya
bergetar hebat, menahan liukan
dari rasa tersiksa. Hawa panas
memancar dari sekujur
tubuhnya. Sorot mata yang
semula teduh dan penuh
pengertian, berubah semerah
saga, berapi-api, menyalakan
kemarahan penuh dendam dan
sakit hati.
Tidak tahan dengan pancaran
hawa panas yang seakan mampu
melepuhkan kulit tubuhnya,
Supardi memekik dan
menggelepar kesakitan. lba
melihat Supardi, Sukaesih sadar
ia harus bisa menahan diri.
Tarikan napasnya yang
terengah-engah perlahan
berubah tenang. Setelah semedi
dalam beberapa hitungan,
Sukaesih berbicara pelan dan
hati-hati pada Supardi. la
menyuruh Supardi melakukan
sesuatu untuknya. Sesuatu, yang
tidak saja akan memberinya
kesempatan membalaskan
dendam dan sakit hati, juga
membuatnya akan tetap berada
di dekat Supardi, sampai akhir
hayat mereka berdua tiba.
Menjelang pagi, bilah papan itu
telah mempunyai bentuk.
Menyerupai daun pintu, namun
dalam ukuran kecil. Bukan pintu
rumah, melainkan pintu sebuah
lemari. Bukan pula pintu lemari
biasa. Ukiran yang halus
menghiasi bidang
permukaannya. Di bawah
sinar lampu damar yang
temaram. menyembul ukiran
sesosok perempuan.
Matahari beranjak naik.
Sementara penduduk
berbondong-bondong
menyaksikan Sukaesih digiring
dan diikat pada sebuah balok
kayu lalu dipancangkan di
tengah alun-alun, si tukang kayu
terus memoles dan
menghaluskan ukirannya. Sosok
perempuan dalam ukiran pintu
lemari semakin mendekati wujud
Sukaesih.
Di alun-alun desa, berikat-ikat
kayu bakar ditumpuk
mengelilingi balok kayu. kian
lama kian membukit,
hampir-hampir mencapai ujung
kuku Sukaesih yang terikat
tinggi di atasnya. Jauh di sudut
desa, di bawah jemari si tukang
kayu, wujud Sukaesih semakin
nyata pula. Keahlian tangan
sang pengukir mampu membuat
sepasang bola mata Sukaesih
bersinar-sinar cemerlang.
Membentuk lekuk bibir yang
tersenyum ramah mengundang.
ltulah gambaran Sukaesih dalam
jiwa si tukang kayu, sosok
kekasih tercinta yang penuh
kasih sayang.
Menjelang tengah hari.
orang-orang mulai ramai
membicarakan Pak Lurah yang
beralasan sakit hingga tidak
bisa datang menyaksikan
upacara pembakaran si
perempuan sihir. Tetapi
ketidakhadiran Pak Lurah
dengan segera mereka lupakan,
begitu Darso muncul membawa
obor besar yang apinya
menyala-nyala. Ia berjalan
paling depan, dikawal oleh
Tonggo dengan penuh
kewaspadaan. Di belakangnya,
beberapa orang
berjalan mengiringi dengan
obor-obor yang lebih kecil.
Orang sedesa, tumpah ke
alun-alun. Kecuali Pak Lurah
yang duduk bersemedi di
ranjang kamar tidurnya. Ah. dan
Supardi juga. Tukang kayu itu
keluar dari rumahnya begitu
matahari naik semakin tinggi,
menggantung di langit biru
jernih. la tegakkan pintu lemari
itu di tanah. dengan ukiran
Sukaesih menghadap alun-alun.
Alun-alun itu tidak tampak dari
halaman rumah Supardi karena
terhalang rumah-rumah
penduduk serta pepohonan yang
tumbuh rapat di sana-sini.
Namun dengan bantuan
kekuatan batin Sukaesih yang
disalurkan ke tubuh Supardi saat
mereka berbicara di kandang
kuda tadi malam, indera keenam
Supardi dapat menangkap
keadaan di alun-alun. Setelah
yakin posisinya tepat, Supardi
meluruskan tegak pintu lemari di
depannya, dengan jemari
mencengkeram kuat pada kedua
sisi pintu berukir itu.
Perlahan Supardi mulai
merasakan getaran pada
pegangan tangannya. Pintu
lemari itu seakan-akan ditarik
oleh tangan-tangan gaib, dibetot
ke arah alun-alun. Di
belakangnya. Supardi bertahan
dengan sekuat tenaga. Meski
hawa panas matahari mulai
terasa mengitari sekeliling
rumah. namun daun pintu di
depannya justru sebaliknya.
Daun pintu itu terasa dingin,
membeku. Otot-otot tubuh
Supardi menyembul kencang.
buku-buku jarinya
memutih. Tubuh Supardi mulai
kuyup oleh peluh yang seakan
menyembur dari pori-pori
kulitnya. Tarikan tangan-tangan
gaib pada pintu semakin keras.
Supardi terus bertahan. Bibirnya
terus komatkamit membisikkan
nama kekasihnya dengan
segenap rasa cinta dan kasih
sayang.
"Sukaesih, Sukaesih,
Sukaesih...!"
Sukaesih mengabaikan nyala api
yang mulai berkobar di
bawahnya. Matanya terpejam
rapat. Telinganya ditulikan agar
tidak mendengar suara tempik
sorak manusia di sekelilingnya,
Berusaha konsentrasi untuk
menangkap panggilan
sayup-sayup dari arah rumah
Supardi. Ia bisa merasakan
ketulusan kasih sayang pemuda
itu. Perasaan yang membuatnya
terharu sekaligus didera rasa
sedih tak terperi. Kenyataan
bahwa perasaan kasih sayang
yang begitu tulus tidak akan
pernah ia miliki perlahan
membangkitkan kembali
benih-benih kemarahan dan
dendam yang menuntut
pembalasan.
lalu mendadak, ketika matahari
tepat mencapai ubun-ubun,
Sukaesih membuka matanya.
Lidah api mulai menjilati
kakinya. Ditatapnya gerombolan
manusia di bawahnya dengan
mata terpentang lebar. bersinar
buas dan jalang. Bibirnya
menyeringai, lalu dari mulutnya
keluar suara lirih namun
melengking menusuk telinga.
"Kalian gerombolan
binatang-binatang terkutuk!
Kalian telah mencuri bayiku!
Demi raja dan ratu
setan jahanam dalam kegelapan
yang terkutuk, kalian akan
menerima pembalasanku!"
Sukaesih kemudian
memperdengarkan lolongan
panjang yang meremangkan
bulu roma. Kobaran api di
bawahnya bertemperasan,
meliuk-liuk bagai tertiup badai.
Matahari yang tadi bersinar
garang seakan ikut tersentak
lantas menyembunyikan diri di
balik awan hitam pekat yang
entah dari mana datangnya.
Pekat berarak-arakan di langit,
melingkupi alun-alun desa di
bawahnya dengan kesuraman
yang menakutkan.
Semua yang hadir terkesiap
ngeri.
Di kamar tidurnya, Pak Lurah
merintih.
Di halaman rumahnya, Supardi
mengerang menahan siksaan
sakit yang menyerang ototnya
dan nyaris memutuskan
urat-urat tubuhnya. Bersamaan
dengan lenyapnya lolongan
seram di alun-alun, daun pintu
lemari di depan Supardi
bergetar hebat seakan didorong
dan ditekan dengan kekuatan
penuh dari atas. Bagian bawah
daun pintu itu melesak beberapa
inci ke tanah. Supardi
merasakan angin dingin
menusuk sumsum. menampari
telapak tangannya dengan
pukulan tajam. Tamparan demi
tamparan itu begitu keras
menimbulkan bunyi berdetas,
begitu dinginnya sampai jemari
Supardi membeku dan membiru.
Suatu dorongan gaib kemudian
melemparkan tubuh Supardi ke
tanah. Sedangkan pintu lemari
itu tetap tegak di tempatnya
semula. dengan bagian
bawahnya melesak lebih dalam
ke tanah. Supardi yang
tidak mau mengulangi kesalahan
untuk kedua kalinya, bergegas
bangkit dan menyambar pintu
itu, mempertahankannya. la
berteriak panik, memohon agar
kekuatan gaib yang telah
menyerangnya enyah. dan
membiarkannya menjaga
Sukaesih.
"Jangan kalian ganggu
Sukaesihku!" Supardi kini
meratap disertai isak tangis.
Beberapa saat kemudian
Supardi menyadari bahwa
suasana di sekitarnya sudah
kembali seperti biasa. Isak
tangisnya mereda. Ia merasakan
sengatan panas matahari,
mendengar bunyi kambing
mengembik, melihat seekor
ayam jantan mengejar ayam
betinanya, dan seekor anjing
yang tadinya bersembunyi di
kolong rumah, menyembulkan
kepala dengan mata curiga.
Indera keenam Supardi
membisikkan, walaupun segala
sesuatu telah kembali pada
kehidupan yang biasa, pintu
lemari dalam pegangannya
seolah bukan lagi miliknya
seorang.
Bimbang, ia bergerak ke depan.
Memutar sampai ia tegak
berhadap-hadapan dengan
bagian depan pintu lemari.
Alangkah terkejutnya Supardi!
Wajahnya berubah pucat pasi.
Pada permukaan daun pintu,
ukiran mata cemerlang Sukaesih
telah berubah warna menjadi
hitam kemerahan. Pancaran
kasih di matanya berubah
menjadi sinar kedengkian
makhluk setan. Begitu pula
senyum manis pada lekuk
bibirnya telah berganti seringai
kejam, seringai yang
menebarkan benih-benih
dendam kesumat iblis jahanam."

***

Di alun-alun, orang-orang
berlarian panik.
Api unggun masih
berkobar-kobar. Pekat sudah
menepi, berganti langit yang
kembali membiru jernih.
Matahari kembali menyengat
tanpa belas kasihan. Tonggak
kematian masih tetap
terpancang di tengah api
unggun. Tetapi Sukaesih tak lagi
terikat pada balok kayu itu.
Tali-tali pengikatnya tampak
masih melingkar kemudian
meluncur jatuh ke dalam
kobaran api. Namun si
perempuan sihir, sudah lenyap
tak berbekas!
***
Pandeglang
Juli 1984
CUACA siang itu sangat tidak
menyenangkan. Matahari
bersinar garang. Panas
menggigit. Dan se pertinya
angin begitu malas berembus.
Seorang pejalan kaki di trotoar
seenaknya menyepak keranjang
bekas yang menghalangi jalan.
Keranjang itu terbang
menghantam tiang listrik, mental
kembali ke tengah jalan dan
menghantam roda depan sebuah
sepeda motor yang sedang
melaju kencang. Keranjang
bekas terlindas. Namun tak
urung pengendara sepeda motor
kaget setengah mati. Rem tangan
dicengkeram mendadak.
Motornya berhenti, tersendat
sendat. Si pengendara
membentak si pejalan kaki,
"Bang sat!" "E-eee. Nggak ujung
nggak pangkal, marah marah.
Ngajak berkelahi?" Si pejalan
kaki membalas, tak kalah sengit.
"Ho! Jadi kau belum kenal siapa
Edi Naga, ya?" Si pengendara
turun dari motornya. "Kuinjak
kau. Biar gepeng!"
Keduanya sama sama
menyingsingkan lengan baju.
Sambil saling mendekat, mereka
memasang wajah beringas. Otot
lengan si pejalan kaki
menggembung kekar. Otot
lengan si pengendara biasa
biasa saja, tapi lengan itu
dirajah dengan tato bergambar
naga yang menyeringai buas.
Orang orang di sekitar mulai
ber kerumun, ingin tahu apa
yang terjadi. Juga seorang polisi
lalu lintas yang sedang bertugas
jaga di perempatan.
"Hei! Apa apaan itu?" teriak si
polisi yang bergegas datang
untuk melerai. Derap sepatu
dinasnya yang khas,
mengalihkan perhatian si lengan
ber-tato naga dan si pejalan
kaki. Melihat polisi yang benar
benar datang menghampiri,
rupanya nyalinya ciut juga. Ia
langsung memutar langkah.
Meloncat naik ke sepeda motor
dengan tangkas, lantas tancap
gas. Kabur.
"Pengecut! Jangan lari kau!"
Lawannya, si pejalan kaki
berteriak mengejar. Malang, ia
tidak melihat siapa yang datang
dari arah berlawanan. Tak ayal
lagi, ia bertubrukan dengan si
polisi. Terdengar suara
berdebuk ketika keduanya jatuh
ke jalan aspal. Orang orang
yang menyaksikan di pinggir
jalan sontak ter tawa terbahak,
buat mereka adegan itu tak lebih
dari lawakan.
Tapi tidak dengan si polisi, ia
marah. Lantas
mencengkeram kerah baju orang
yang menubruknya. "Ayo, ikut
aku ke kantor!" dengusnya
garang.
Barulah si penubruk sadar dari
seketika menjadi pucat pasi.
"Jangan nangkap saya, Pak. Dia
yang mestinya Bapak tangkap. Si
Edi Naga! Gara-gara dia, aku?"

"Siapa?" si polisi terkesiap.


"Edi Naga. Tak salah lagi. Saya
lihat tato di lengan nya.
Sungguh, Pak?"
"Wah!" Polisi lalu lintas itu
jengah. Ia celingukan mencari
cara untuk mengejar orang yang
seharusnya ia tangkap. Ketika
melihat ada dua sepeda motor
menganggur di dekatnya, ia
lantas mendekat. Vespa yang
terpakir dilewatinya, lalu
menuding sepeda mOtOr
Yamaha. "Siapa punya ini?"
serunya tak sabar pada orang
yang menunggu aksi
selanjutnya.
Dari tengah kerumunan tampak
sebuah tangan mengacung.
"Saya, Pak. Ojek butut, tapi
kalau soal ngebut..."
"Oh, kau itu Dang! Pinjami aku
kunci ojekmu. Cepat!"
Setelah petugas negara itu
tancap gas dan hilang di balik
tikungan, kerumunan orang
orang mulai bubar satu per satu.
Dua orang pria yang tengah
membeli rokok di warung yang
berada tak jauh dari lokasi
kejadian, berjalan ke arah
vespa. Tenang tenang keduanya
menaiki kendaraan yang tadi di
pandang sebelah mata oleh
polisi. Yang berbaju
batik mengemudi. Yang duduk di
boncengan belakang, berbaju
safari.
"Sayang bukan punyaku yang
dipinjam polisi tadi," ujar si
baju batik. Vespanya ia pacu
meninggalkan alun alun,
memasuki jalan menurun arah
ke Labuan.
"Kok sayang" Mestinya kan
untung," timpal si baju safari.
"Kalau motorku yang dipakai
dan Edi Naga tertangkap,
motorku bakal punya sejarah."
"Memangnya siapa sih Edi Naga
itu?"
"Masa kau nggak tahu, Med?"
"Aku kan orang baru di
Pandeglang ini, Harlas."
"Oh ya. Aku lupa. Baiklah
kujelaskan. Kalau Edi Naga tahu
saat ini sakumu penuh uang,
pasti si pe
jalan kaki yang menyepak
keranjang tadi tidak akan dia
pedulikan."
"Maksudmu, Edi Naga itu
penodong?"
"Ya penodong, ya penjambret,
ya perampok. Kalau kepepet, dia
bisa jadi pembunuh. Konon
punya ilmu siluman, sehingga
sering lolos dari kejaran polisi."
"Wah!"
"Makanya. Kutemani kau
belanja. Biar uangmu aman.
Sekalian aku dapat komisi.
Urusan begini, biasa nya dua
puluh persen!"
"Kok murah!"
Dan mereka tertawa, mengakak.
Setelah tawa mereka reda,
Harlas yang mengenakan
kemeja batik bertanya sungguh
sungguh, "Omong
omong soal harga murah, Ismed.
Mengapa harus membeli
perabotan bekas" Nanti di toko
mebel itu, kau tinggal bilang
bahwa kau ini dari kantor
Depdikbud. Mereka akan senang
hati mempersilakan kau memilih
yang paling baru, yang paling
baik. Dengan harga miring pula.
Apalagi kalau mereka tahu
kalau kau ini seorang kepala
seksi."
"Memangnya kalau kepala seksi
kenapa rupanya?"
"Kau akan dianggap menak,
orang terhormat. Begitulah
kebiasaan orang di sini. Dan
sebagai menak, kau pantas
mendapat harga di bawah
pasaran. Tunai boleh,
mengangsur juga tak apa. Dan
kau bisa bayar kapan kau mau,
tanpa batas waktu."
"Masa iya?"
"Kalau tak percaya, potong
kupingku, bung! Aku asli orang
sini. Bukan menyombong, tapi
begitulah tradisi turun temurun
di daerah ini. Apalagi kalau si
empunya barang orangnya
sudah haji. Jangankan soal
waktu pembayaran, jumlah uang
angsuran perbulan pun tidak
diwajibkan harus segini atau
segitu. Bulan ini kau angsur
seratus ribu rupiah, bulan
depannya lima belas ribu pun
tak bakal usil dia."
"Dan kalau bulan ini tak punya
duit untuk mengangsur?"
"Masih ada bulan berikutnya."
"Dendanya?"
"Tanpa denda. Bahkan, biar
namanya kredit tidak ada beban
bunga."
"Kalau tak bayar bayar?"
"Hm... kau jadi bernafsu, Ismed.
Rupanya ada minat menipu,
ya?" Harlas tertawa, lalu
melanjutkan penjelasannya, "Si
pemilik barang tak takut."
"Tentu saja tidak takut." dengus
Ismed. "Mereka bisa menyita
barang kembali. Kalau perlu,
dengan bantuan polisi."
"Tidak juga. Barang yang kau
ambil tetap milikmu, tetap
hutangmu."
"Andai tak sanggup melunasi?"
"Kau akan sanggup."
"Sudah kubilang, kalau tidak
sanggup!"
"Mereka percaya, kau tetap
sanggup membayarnya. Tidak
sekarang, pasti nanti."
"Nanti itu tidak ada batas
waktu."
"Ada, bung!"
"Kapan?"
"Kelak, bila kita semua sudah
mati. Tuhan akan
mengumpulkan kita di Padang
Mahsyar. Di sanalah kita pasti
akan bertemu lagi. Di sana,
yang punya hutang harus
melunasi hutangnya, yang punya
piutang berhak menagih
piutangnya."
"Bukan main!" Ismed berseru
takjub.
"Inilah Pandeglang, kawan.
Kuucapkan selamat datang!"
Harlas tersenyum. "Apakah aku
lupa menyampaikan ucapan itu
ketika batang hidupmu nongol di
kota ini sebulan yang lalu?"
"Memang kau lupa," tukas Ismed
juga tersenyum.
"Tetapi bicara soal utang
piutang, kau belum kenal
Farida." Menyebut nama itu,
pandangan Ismed sempat
menerawang sebentar. "Dia
sangat anti berutang. Biar sudah
terjepit tak punya duit, ia selalu
menemu kan lobang untuk
meloloskan diri. Misalnya
dengan memasukkan ke dalam
periuk sekaligus; beras, kang
kung, dan kepala ikan asin.
Tambah sebutir cabe, seiris
bawang dan sejumput garam.
Jadilah masakannya istimewa
itu. Cepat, praktis, dan tentu,
irit."
Harlas tercengang sejenak.
Kemudian tertawa. "Kalau tak
ada lagi yang bisa dihemat?"
celctuknya menggoda.
"Ya, puasa!"
Tawa Harlas kian bergelak.
"Memang kau tahan?"
"Kadang kadang."
"Kalau sudah tak tahan?"
"Ya, ngutang di luar.
Diam-diam."
"Kalau istrimu tahu?"
"Gawat."
"Gawatnya?"
"Ia akan pakai celana dalam
tujuh lapis!"
"Astaga! Ha ha ha." Harlas
tidak dapat menahan tawanya
terpingkal pingkal. "Tetapi biar
kata berlapislapis, kau kan laki
laki. Masih bisa kau copot
dengan paksa."
"Boleh coba. Tetapi kusarankan,
lebih baik cari se lamat saja."
"Masa iya?"
"Dia punya ban cokelat karate,
kalau kau ingin tahu."
"Oh, oh, oh... payah kalau
begitu."
"Tidak begitu payah,
sebenarnya."
"Bagaimana pula itu, Met?"
"Soalnya, Ida cemburuannya
nggak ketulungan. Aku tinggal
mengancam, Kalau kau tak
kasih, Ida, aku akan pergi.
Banyak lobang lain yang masih
menganggur" Nah, bila sudah
begitu dia pasti menyerah.
Pasrah. Mulanya dia bersikap
dingin memang. Seperti batang
pisang. Tapi kalau sudah
digoyang..."
"Yang kau bicarakan itu istrimu,
Ismed!" Harlas
memperingatkan.
"Wah. Aku kelepasan. Jangan
kau laporkan ke Farida, ya."
"Baiklah. Kalau begitu, hari ini
aku kebagian dua puluh lima
persen. Untuk mengamankan
uangmu dua puluh persen, untuk
tutup mulut lima persen."
"Sialan!"
Mereka masih terus bercanda,
sampai vespa dibelok kan
Harlas memasuki halaman
sebuah toko mebel menjelang
persimpangan Cibiuk, kelurahan
Maja. Perabotan rumah tangga
berbagai jenis terpajang rapi,
baik di halaman maupun di
ruang depan toko. Baik yang
terbuat dari bahan kayu, besi,
maupun keramik. Melihat
sepintas Ismed membatin, bahwa
selera orang Pandeglang tak
begitu jauh ketinggalan dengan
selera
orang Bandung yang selalu
keranjingan model terbaru.
Harlas menggumamkan sesuatu
pada seorang perempuan muda
yang segera bangkit dari
duduknya melihat ada calon
pembeli muncul. Perempuan itu
segera menghilang di balik pintu
ke ruang dalam. Tak lama, ia
kembali dengan seorang lelaki
setengah umur, bertubuh sedang
dan berkopiah beludru.
Wajahnya yang jernih tampak
riang ketika mengenali tamunya.

"Assalamualaikum, Pak Haji,"


sapa Harlas, takzim.
"Waalaikumsalam. Aduh, Nak
Guru... ke mana saja kok lama
menghilang. Sudah lupa ya,
sama orang tua cerewet ini?"
sambut Pak Haji sambil
mengulur kan tangan untuk
bersalaman.
"Maklum, Pak Haji. Usai
penerimaan siswa baru, saya
harus ikut penataran Pancasila
di Cibodas. Habis itu, ada
perubahan kurikulum. Lalu ada
beberapa orang tamu dari pusat
yang harus diantar meninjau.
Dan..."
"Sibuk. Benar benar sibuk!"
tulus Pak Haji sambil menepuk
bahu Harlas. "Bapak harap kau
sekeluarga sehat sehat saja."
"Terima kasih, Pak Haji. Oh ya,
perkenalkan. Ini Ismed Effendi.
Dulu teman satu kelas waktu
SMA di Bandung. Nasib
menghendaki kami bertemu lagi.
Namun biar namanya aku
seorang kepala sekOlah, kalau
mau menemui beliau ini harus
lebih dulu mengisi
buku tamu, dan harus duduk
menunggu perkenan beliau
untuk bertemu."
Ismed dongkol tidak kepalang.
Ingin ia tonjok mulut kawannya
agar berhenti berkicau secara
berlebihan. Tetapi sambutan
tuan rumah yang begitu ramah
tamah tak dapat diabaikannya.
Mereka diajak masuk ke ruang
dalam, disuguhi minuman dingin
dan penganan ringan. Baru
setelah itu masuk ke tujuan
semula Ismed dan Harlas datang
ke toko.
Tetap riang dan tetap ramah
seperti pada keluarga sendiri,
pemilik toko bergegas mengajak
Ismed untuk memilih perabotan
di ruang depan. Untung Harlas
keburu menengahi.
Katanya, masih meledek
sahabatnya, "Maaf, Pak Haji.
Agaknya, beliau ini penggemar
barang antik."
Hampir Ismed memaki Harlas,
kalau pemilik toko tidak lebih
dulu angkat suara dengan nada
menyesal.
"Tetapi, Nak, kami tidak menjual
barang antik. Terlalu banyak
risiko. Lagi pula..."
"Maksud Pak Kepala Sekolah
begini, Pak Haji," sela Ismed
sambil mendelik pada temannya.
"Kami sedang mencari
perabotan bekas." Sambil
menerang kan, ia pergunakan
kesempatan yang ada sebaik
baiknya. Saat lolos dari
pengamatan tuan rumah, kaki
Ismed yang bersepatu memijak
kaki Harlas yang cuma
bersandal jepit.
"Eh, Nak Guru!" Pemilik toko
terkejut melihat perubahan raut
wajah Harlas. "Kau sakit,
agaknya."
Cepat Ismed menarik mundur
sepatunya.
Harlas menjawab
terengah-engah, "Bukan sakit,
Pak Haji. Geli, begitu. Ada
seekor tikus busuk meng
gerogoti sandalku."
Pemilik toko jadi kalang kabut
meneriaki pembantunya yang
segera berlarian mencari ke
mana tikus itu lari. Tentu saja
usaha mereka sia sia belaka.
Kepanikan itu dimanfaatkan
Harlas dan Ismed untuk saling
bertengkar berbisik-bisik.
Akhirnya mereka menahan tawa
saat tuan rumah menemui
mereka kembali dengan jidat
berkilat dibasahi peluh.
"Tak akan jauh tikus itu lari," ia
mengomel. "Kucingku, si Macan
lagi dibujuk supaya ikut
mencari. Si Macan rupanya
kekenyangan malah tidur
bermalas malas di luar sana. Oh
ya, ya. Perabotan bekas, Pak
Ismed" Ayo, saya tunjukkan
tempatnya..."
"Pak Haji, panggil saya dengan
sebutan yang sama kalau Bapak
memanggil Harlas," Ismed
memprores, tak enak.
"Oh. Anak juga guru?"
"Bukan. Saya..."
"Kepala seksi. Hm, ya, Nak
Kepala Seksi..." Pe milik toko
geleng geleng kepala. "Kok tak
enak menyebutnya," ia
mengomentari sendiri. "Tak apa
kalau kusebut nama saja?"
"Begitu lebih baik. Terima kasih,
Pak Haji."
"Syukurlah. Sampai di mana
pembicaraan kita tadi. Oh ya,
perabotan bekas. Tempatnya di
belakang.
Tetapi Nak Ismed, di depan
banyak yang bagusbagus.
Silakan pilih mana yang Nak
Ismed suka. Mengenai harga
dan pembayaran..."
"Jadi tempatnya di belakang,"
potong Ismed segera, namun
sopan. "Boleh saya melihat lihat,
Pak Haji?"
Di halaman belakang, ada
sebuah gudang besar dan lebar.
Tiga orang karyawan tengah
membersihkan dan memperbaiki
perabotan yang ada di dalamnya
ketika mereka masuk. Dijelaskan
oleh pemilik toko, bahwa
perabotan bekas itu ia dapatkan
dari pemilik semula yang ingin
punya model baru secara tukar
tambah. Umumnya, mereka
kalangan menengah ke atas.
Sebab kalangan bawah yang
bekerja sebagai penyawah atau
tukang kebun, baru melepas
lemari misalnya-setelah lemari
itu tinggal potongan papan yang
hanya pantas untuk
membesarkan api di tungku.
"Karena itu, Nak Ismed, biar
namanya barang be kas, model
dan mutunya tetap terjaga,"
komentar pemilik toko sedikit
berpromosi. Dan memang.
sewaktu Ismed melihat sana
melihat sini, komentar Pak Haji
benar adanya. Paling tidak,
model barang bekas itu telah
dipermak tukang-tukang
kayunya. Atau kalau masih
bagus, dibersihkan dan dirawat
dengan telaten.
Sambil melihat lihat, Ismed
mengingat jumlah dana yang
tersedia untuk membeli
perlengkapan rumah. Ia juga
bertanya tanpa segan harga
perabotan bekas dan
perabotan baru, sekadar
perbandingan. Kenyataannya,
kalau ia membeli perabotan
baru, paling ia hanya
mendapatkan satu meja rias
untuk Farida dan satu set meja
tamu. Kalau yang dibelinya
perabotan bekas di gudang itu,
maka ia dapat tambahan satu
bufet, satu lemari besar dan satu
tempat tidur nomor dua.
Komplet. Begitu Farida datang
dari Bandung, rumah mereka
sudah benar-benar siap pakai.
Setelah mereka berbincang dan
berhitung-hitung, Pak Haji
mengingatkan, "Apakah Nak
Ismed tidak melupakan meja
makan?"
ISmed ragu ragu. Ia tahu batas
keuangannya. Maka dengan
sopan ia menolak. "Kita dapat
makan di mana saja bukan, Pak
Haji" Asal tak berdiri saja.
Tabu."
"Juga tabu kalau makan di
tempat tidur. Kata orang tua tua
dulu, kalau makan di tempat
tidur, maka anak yang
dilahirkan di tempat tidur itu
bakal susah diatur, jorok
perilaku dan cara hidupnya,"
ujar Pak Haji tersenyum manis.
"Tak usah pikirkan soal uang.
Sekadar tanda kekeluargaan,
Bapak akan hadiah kan untuk
Nak Ismed satu set meja makan.
Hsst, jangan memprotes. Lihat
dulu mejanya..."
Pegawai toko segera
menurunkan kursi kursi yang
disusun rapi di atas sebuah
lemari kecil. Ada pun mejanya
diletakkan dengan posisi terbalik
sehingga bidang permukaan
meja menutupi lemari tadi. Meja
beserta kursi-kursinya memang
kuat. Dengan sedikit
polesan, perlengkapan itu akan
tampak seperti baru lagi. Ismed
memperhatikan dengan
saksama, semula matanya agak
terpicing dengan alis yang
nyaris bertaut, tetapi kemudian
Ismed terbelalak.
Ia tidak hanya memperhatikan
meja atau kursi makan saja.
Benda itu membetot seluruh
perhatian lsmed. Perlahan
wajahnya berubah tegang
dengan sinar mata takjub. Ada
sesuatu yang seakan akan
melecut saraf saraf tubuhnya,
menekan jaringan sel-sel
otaknya. Ia tegak kaku bagaikan
terkena mantra yang
membuatnya membatu.
Ketika menyimak apa yang jadi
sasaran perhatian tamunya,
pemilik toko memperlihatkan
wajah tak senang. Harlas yang
juga ikut memperhatikan, heran
melihat sikap aneh sahabatnya
yang mendadak ter paku
memandang lemari di hadapan
mereka. Ia sendiri sempat
terpesona melihat daun pintu
lemari mungil itu.
Ukiran pada daun pintu itu
menggambarkan se orang
perempuan muda rupawan
duduk santai di rerumputan.
Lekuk tubuh yang sempurna
dibiarkan terbuka tanpa sehelai
benang pun menutupinya.
Berlatar belakang sebuah gubuk
kecil di lereng gunting, suasana
tampak begitu damai dan
tenang. Sebelah tangannya naik
membentuk siku-siku dengan
jemari menyusup di balik kepala,
menggeraikan rambutnya yang
panjang bergelombang. Tangan
lain turun me
nutupi sebelah payudaranya
yang kencang padat, dengan
telapak membelai kepala seekor
anak kambing jantan yang rebah
di pangkuan si perempuan.
Ukiran pada daun pintu itu pasti
dikerjakan oleh tangan yang
tidak saja ahli dalam bidangnya,
namun seakan mengandung
kekuatan magis. Gambaran
perempuan itu begitu hidup.
Namun kesempurnaan ukirannya
tidak dapat menutupi kesan
seram, karena senyuman di
bibirnya justru menyiratkan
seringai kejam. Dan sepasang
mata di bawah lengkung alis
yang indah memancarkan
tatapan penuh dengki,
mengumandangkan benci dan
dendam kesumat.
Harlas menelan ludah, lantas
menyikut pinggang sahabatnya.
"Med. Ismed. Sikapmu
memalukan," bisiknya di telinga
Ismed.
Tanpa bergerak, Ismed
menyahut dengan suaranya
bergetar. "Kau bilang... kau
sudah tak sabar ingin melihat
seperti siapa Farida itu..."
"Hei! Apa yang kau bicarakan
ini, Ismed Effendi?"
"Ida."
"Farida?"
"Ya."
"Tetapi ia?"
"Ia di depan kita sekarang.
Har-las."

***

PULANG ke Pandeglang,
mereka berdua ber tengkar.
Bertengkar benar benar. Yang
mereka pertengkarkan pun
sepele saja. Lemari berpintu ukir
itu, beli atau tidak. Begitu
mereka tinggalkan toko mebel
Pak Haji, Harlas langsung
menggerutu.
"Aku malu ketemu Pak Haji lain
kali."
Ismed diam saja. Pikirannya
menerawang tak menentu.
jiwanya gelisah.
Ia tak habis pikir, mengapa ia
sangat dipengaruhi oleh ukiran
perempuan itu. Terjadi
pertentangan di batin Ismed.
Diam diam ia takut dan merasa
seram melihat sorot mata dan
senyum si perempuan. Tapi
sebaliknya, ia mendadak sangat
ingin memiliki lemari iru. Ia
yakin, lemari itu akan menjadi
sebuah kejutan besar untuk
istrinya, Farida. Farida yang
manja, yang penuh kasih
sayang. Tetapi yang juga suka
memper
olok olokkan sang suami yang
selalu lupa memberi hadiah
ulang tahun untuk sang istri.
Kalaupun ingat, hadiah ulang
tahun si suami sering kali salah.
"Aku senang sepatu ini," kata
Farida suatu hari. "sayang
tumitnya ketinggian ya." Lain
kali, "Kok beli gelang berlian
segala, padahal tadinya aku
cuma ingin di hadiahi ciuman."
Ah, Farida....
Merasa didiamkan, Harlas
tambah sengit. "Kau dengar"
Pak Haji pikir aku sama
bejatnya dengan kau!"
"Bejat?" Baru Ismed tergugah.
"Ya! Berjiwa bejat, berpikiran
kotor, berkelakuan menjijikkan!"

"Lho. Kok aneh?"


"Kau memaksa mengambil
lemari itu."
"Lantas?"
"Aku malu!"
"Kok malu?"
"Karena aku mk mampu
menasihati kau. Agar lemari itu
kau lupakan saja. Terus terang,
aku juga takut."
"Takut?"
"Ismed, apa kau lupa cerita
cerita yang diungkap kan Pak
Haji mengenai asal usul lemari
terkutuk itu?"
"Terkutuk, Harlas?"
"Ya, terkutuk!"
"Apanya yang terkutuk?"
"Perempuan itu! Senyumnya,
matanya, kebugilan nya.
Perempuan itu mengemong
kambing pula. Tahukah kau,
sebagian orang berpendapat
bahwa kambing adalah
perlambang setan jahanam?"
"Yang aku tahu, dalam kitab
kitab suci setan itu berwujud
ular. Yang menggoda Hawa
agar membujuk Adam memakan
buah larangan," tukas Ismed
seenak nya.
"Tetapi kitab kitab suci juga
banyak menceritakan tentang
kehidupan orang orang murtad
di jaman Rasul Rasul. Tentang
para penyembah patung, pemuja
berhala. Kebanyakan patung itu
dibuat oleh para pengingkar
Tuhan dalam wujud kambing!"
"Oke, tentang kambing. Dan si
perempuan?"
"Ia juga setan! Perempuan
setan!"
Ismed berubah tegang. Bertanya
dengan nada suara dingin,
"Siapa bilang dia perempuan
setan?"
"Pak Haji."
"Aku tak dengar Pak Haji
mengatakan dia itu setan,
Har-las."
"Dia mengatakannya Dia bilang,
mata perempuan itu dari tubuh
setan. Dia tak pantas dimiliki
manusia manusia bermoral!"
"Aku sudah memilikinya,
Harlas." Suara Ismed ber
tambah tajam. Tetapi Harlas tak
menangkap perbedaan suara
sahabatnya. Ia terus bernafsu
dengan kata katanya.
"Kau masih dapat
membuangnya."
"Di... buang?"
"Dibuang!"
"Tetapi, dia dan aku sudah
menikah, Harlas."
"Perempuan setan itu" Apakah
kau..." Umpatan Harlas
terputus. Sekoyong koyong ia
menyadari subjek pembicaraan
mereka yang ternyata berbeda
satu dengan lainnya. Diam diam
ia juga merasakan adanya
ketegangan pada orang yang
duduk di boncengan sepeda
motornya. Harlas kaget sendiri.
Terengah se bentar, gugup.
Katanya, "Ismed. Aku tidak
bicara ten tang Farida. Aku
biara mengenai perempuan di
daun pintu lemari itu."
"Dia Farida. Sudah kubilang,
dia Farida!"
"Cuma mirip, Ismed." Harlas
membujuk.
"Karena ukiran itu cuma benda.
Tetapi coba beri ia daging,
darah. Beri ia kehidupan. Maka
dia akan jadi Farida!" Ismed
tetap bersikeras.
"Baiklah. Kau sendiri
mengatakan itu cuma benda.
Jadi, kita Sudahi saja sampai di
sini." Harlas ikut ikutan gusar.
Lalu antara sadar dan tidak, ia
mengumpat lagi. "Benda mati
sialan!"
"Dia bukan benda mati. Dan dia
tidak sialan!" Ismed berteriak.
Harlas sampai hilang kendali
sesaat. Vespanya me lenceng ke
tepi jalan membentur pilar
trotoar, miring dan lari ke
tengah jalan. Hanya secara
naluriah Harlas berhasil
menguasai posisi Vespa agar
tidak terjatuh dan terhindar dari
hantaman bus antar kota yang
melaju
dengan kecepatan tinggi dari
arah berlawanan. Supir bus
yang sempat terperanjat
meneriaki Harlas dengan
umpatan "babi buduk" yang
membuat Harlas sangat marah.
Tetapi mengejar bus itu dan
mengajak Supirnya berkelahi di
depan umum, akan jadi bahan
tertawaan orang sekota. Alih
alih, Harlas hanya bisa marah
pada diri sendiri. "Kalau begini,
aku bisa gila!"
"Kau maksud, aku yang
membuatmu gila?" tukas Ismed.
"Ya!" balas Harlas tak kalah
sengit.
"Baiklah. Turunkan aku. Kita
berpisah di sini!" rungut Ismed.
Aneh memang. Harlas langsung
menepikan Vespa. Begitu Ismed
meloncat turun, Harlas
kemudian ber lalu. Tanpa
menoleh noleh lagi ke belakang.
Ia kebut Vespanya, seperti takut
kalau tak segera tiba di rumah
ia benar-benar keburu sakit
jiwa.
Ismed merasa sangat terhina.
Sepanjang jalan ia tidak
berhenti merutuki Harlas dan
menumpahkan kekesalannya.
Baru setelah mendapatkan
kamar kosong di hotel. pelan
pelan ia merasa menyesal.
Harlas seorang sahabat sejati.
Bukan saja karena mereka dulu
pernah satu kelas di sekolah,
satu tempat tidur di rumah kos
mereka. Tetapi juga karena
Harlas pernah berkelahi
untuknya. Itu terjadi ketika
Ismed sedang terbaring sakit
dan pemilik rumah masih tega
menagih sewa kos yang telah
beberapa bulan dirunggak
Ismed.
Ketika ayahnya di kampung
meninggal dunia, keluarga
mereka benar benar kehilangan
tempat bergantung. Ia meremas
telegram yang mengantarkan
kabar duka dan menyuruhnya
segera pulang. Ismed bersujud,
memohon ampunan Tuhan
karena tak hadir dalam upacara
penguburan ayahnya. Bukan tak
mau. Tetapi kalau ia pulang, ia
mungkin tidak akan bisa kembali
sekolah, cita citanya akan
musnah. Sejak itu pula, ia tidak
pernah lagi menerima kiriman
uang. Lalu sambil sekolah, ia
jungkir balik mencari pekerjaan.
Jadi calo karcis, pengemudi
becak bahkan kuli pengangkut
sampah. Hasilnya sekadar cukup
untuk bertahan hidup. Bila
perlu, makan cuma sekali sehari
di warung emperan. Yang
penting ia tetap bisa meneruskan
sekolah.
Tetapi ia bukan manusia super.
Kondisinya dengan cepat
merosot. Ia jatuh sakit.
Jangankan untuk membayar
uang kos, untuk membeli pil
sakit kepala pun ia sudah tak
bisa berpikir. Ia hanya dapat
bertahan hidup berkat bantuan
sahabat sahabatnya saja,
terutama Harlas.
Setelah terjadi pemukulan
terhadap pemilik rumah,
ributlah orang sekampung.
Untung dapat didamaikan, itu
pun setelah tunggakan sewa kos
Ismed dilunasi Harlas dari hasil
patungan dengan beberapa
orang kawan. Tetapi Harlas
harus angkat kaki dari rumah
itu. Ia mengajak Ismed ikut kos
dengannya di rumah yang lebih
kecil dan lebih murah. Hanya
saja harus
tabah untuk berjalan kaki sejam
lebih saat pulang dan pergi ke
sekolah.
Entah siapa yang memberi tahu,
peristiwa memalukan itu sampai
juga pada keluarga Ismed di
kampung. Salah seorang
pamannya akhirnya memahami
tekad bulat Ismed. Ismed disuruh
berhenti kerja serabutan lalu
didukung untuk maju sebagai
seorang berpendidikan yang
bakal jadi kebanggaan keluarga.
Akhir nya Ismed dapat dengan
tenang menekuni studinya.
Tamat SMA Ismed melanjutkan
ke Perguruan Tinggi. Namun
sejak itu pula ia dan Harlas
jarang bertemu dan hanya
saling memberi kabar lewat
surat menyurat.
Rupanya Harlas mengambil
program diploma di IKIP. Lulus
Diploma .ia langsung diangkat
sebagai guru dan dikirim ke
daerah terpencil sebagai batu
loncatan untuk jabatan yang
lebih tinggi. Beberapa kali ia
menjalani tugas belajar, sampai
akhirnya ia di tempatkan di kota
kelahirannya sendiri,
Pandeglang. Pelan pelan
kariernya meningkat dari hanya
sebagai guru, kepala bagian,
lalu kepala sekolah. Namun
dengan setia ia tetap menyurati
Ismed, mengabarkan kemajuan
kariernya serta menanyakan
keadaan sahabat nya.
Ismed mulanya rajin membalas
surat-surat Harlas. Tetapi
kesibukannya menghadapi
kuliah terutama menjelang ujian
sarjana, sangat menyita
waktunya. Dan kalaupun ia
masih sempat menulis surat,
bukan
lagi ditujukan kepada Harlas
melainkan untuk kekasih nya
seorang, Farida. Makin lama,
kehadiran surat Harlas pun
semakin jarang karena sering
tak berbalas. Ismed mulai
melupakan sahabatnya itu.
Perhatiannya lebih terpusat
pada ujian ujiannya, kemudian
pekerjaannya, kemudian lagi
kariernya. Semua itu ditujukan
untuk satu tekad: Ismed baru
akan melamar Farida jadi
istrinya, apabila ia sudah cukup
mapan untuk membina rumah
tangga. Harlas sudah tak pernah
di pikirkannya lagi. Sampai
akhirnya, takdir meng hendaki
Harlas kembali munCul dalam
kehidupan nya.
Beberapa bulan yang lalu Ismed
mendapat rekomendasi dari
kantor pusat untuk kenaikan
jabatan dari wakil kepala seksi
menjadi kepala seksi. Namun
kendalanya, orang yang tersedia
dan mampu menjabat kedudukan
empuk itu sudah bertebaran di
Bandung. Jadi Ismed harus rela
ditempatkan di kota yang lebih
kecil.
"Kalau Pak Ismed berprestasi,
kelak juga bisa loncat ke
Bandung lagi," kata
pimpinannya. "Bapak lupakan
dulu pikiran hanya setahun dua
di Pandeglang sana. Pikirkan
saja bagaimana dapat bekerja
baik dan lebih baik lagi, meski
itu butuh waktu yang tidak
sedikit."
Nyatanya, untuk benar benar
menduduki jabatan itu. Ismed
harus menunggu hampir satu
tahun. Tetapi birokrasi itu tidak
mengecilkan hatinya. Karena
begitu mendengar Ismed akan
ditempatkan jauh dari
Bandung, Farida langsung
menuntut, "Kita kawin sekarang,
atau silakan cari gadis lain!"
Setelah dilantik, Ismed lebih
dulu berangkat sendiri an ke
Pandeglang. Ia harus mengenal
situasi dan kondisi
pekerjaannya, jadi tak ingin
diganggu urusan tetek bengek
lainnya. Baru setelah cukup
beradaptasi, Farida boleh
menyusul. Tentu saja Farida
uring uringan.
"Mana bisa!" Suara Farida
melengking. "Kau akan segera
lupa padaku. Kudengar gadis
gadis di sana pintar menggaet
lelaki, biar sudah punya istri.
Kalau perlu, mereka pakai
dukun!"
"Kau percaya omongan
brengsek itu, eh?"
"Percaya sih tidak?"
"Jadi, beres, kalau begitu."
Ismed tertawa.
"Beres apanya! Siapa tahu,
omongan itu jadi kenyataan."
"Dan kalau ya?"
"Bukan saja si gadis, dukunnya
pun akan kulabrak habis!"
"Nah, beres kalau begitu," kata
Ismed lagi.
"Belum!"
"Apalagi?"
"Pertama, jangan kaget kalau
aku tiba tiba muncul di
Pandeglang."
"Pasti aku kaget. Dan karena
ada yang pertama pasti ada
yang kedua?" pancing Ismed
geli.
"Masuk kamar kau sekarang."
"Aku saja" Masa kau tega, Ida."
"E-ce, masih belum masuk juga
ya?"
"Ini maksa, apa?"
"Maksa."
"Jadi aku mau diperkosa, ya?"
Ismed bersungut sungut. Tentu
saja hanya pura pura, seraya
mendorong pintu kamar.
Di belakangnya Farida berjalan
membuntut, masih tetap
uring-uringan. Belum juga pintu
dikunci, Farida sudah
menerkamnya. Ismed sampai
terseret ke lantai. Setengah jam
lamanya mereka "melantai' baru
kemudian mandi. Setelah segar,
Farida mengajak naik ke tempat
tidur, dan tidak memberi
suaminya kesem patan untuk
istirahat sampai menjelang
subuh.
Akhirnya ia dilepas juga pergi
ke Pandeglang untuk memulai
tugas. Banyak pekerjaan, banyak
orang yang harus ditemui dan
menemuinya. Menjelang senja,
baru ia bisa meninggalkan
kantor dengan tubuh lesu dan
kepala pusing. Ia langsung
kembali ke hotel. Se belum
berbelok ke lorong kamarnya, ia
berpesan pada pelayan hotel
agar tidak seorang pun boleh
meng ganggu tidurnya. Seperti
kebingungan mendengar
instruksi tersebut, pelayan hotel
diam saja. Dan ber lalu sebelum
Ismed sempat bertanya.
Begitu tiba di depan kamar,
baru Ismed tahu sebab nya.
Harlas tengah enak enak minum
kopi, dan dengan temannya dia
berkata. "Kalau kau tetap mau
tidur
sekarang, aku akan lompat ke
bawah. Orang akan ribut semua
dan kau tetap tak bisa tidur
karenanya!"
Mereka kemudian terbahak lalu
saling teriak dan berangkulan.
Bertahun tahun tidak bertemu
rasanya begitu banyak yang
ingin diceritakan. Pandeglang
hanya kota kecil, informasi
kepindahan Ismed begitu mudah
untuk sampai di telinga Harlas.
Setelah puas tanya ini tanya itu,
Harlas mengultimatum, "Kemasi
barang barangmu. Pindah dari
sini."
"Apa?"
"Kau ke rumahku sekarang
juga."
"Hei, tunggu dulu!"
"Istriku tidak mau disuruh
menunggu sendirian di rumah.
Itu satu. Dua: aku tahu kau
diberi dana cukup untuk tinggal
di hotel. Di rumahku, semua
cuma-cuma. Artinya, kau dapat
berhemat. Terakhir tetapi yang
terpenting: kalau kau menolak,
kuanggap kau tak pernah hadir
dalam kehidupan masa laluku,
sehingga tidak perlu aku
mengingat-ingat punya sahabat
bernama Ismed!"
Suaranya bernada sungguh
sungguh. Kehidupan masa lalu!
Ismed teringat semuanya, malu
pada diri nya. Ia jadi salah
tingkah. Tak tahu akan berkata
apa. Harlas memahami, lantas
berujar lembut, "Gampang kalau
mau minta maaf. Caranya
mudah, saja. Ayo, kita angkat
kopermu!"
Harlas yang baik.1 Dan Ismed
telah membuatnya sakit hati
siang ini. Perbuatan yang
sungguh tidak patut, tidak
pantas untuk seorang intelek dan
punya kedudukan terhormat
pula. Itu dari sudut pandang
jabatan. Belum lagi kalau
dihitung dari segi moral.
Ismed rebah di pembaringan.
Terpejam, dengan belakang
kepalanya berdenyut denyut.
Sakit. Ia kaji dan kaji lebih
dalam. Akhirnya sampai pada
kesimpul an, pertengkaran itu
sebenarnya tidak perlu terjadi
kalau ia tidak emosional dan
mau memahami sikap
sahabatnya. Harlas sedang
diliputi perasaan takut. Yang dia
takuti bukanlah tentang dirinya
sendiri. Yang dia takuti justru
bayangan hal buruk yang akan
menimpa diri Ismed. Dibolak
balik bagaimanapun, perasaan
takut Harlas didorong oleh
naluri ingin melindungi
keselamatan Ismed.
Itulah Harlas!
Ismed mengerang dalam
tidurnya. Belakang kepala nya
bertambah sakit. Rasanya ia
ingin memukuli kepala sendiri.
Bukan untuk melenyapkan
perasaan sakit itu. Melainkan
untuk menyatakan penyesalan
yang teramat sangat setelah ia
menyadari kebodohan
pikirannya, menyadari kebutaan
jiwanya.
Semua gara gara lemari aneh
itu!
Ia teringat ucapan Pak Haji.
"Tadinya aku bermaksud
membongkar lemari ini. Aku tak
suka motif daun pintunya. Tetapi
buatannya begitu kuat. Seakan
mengandung besi, tak satu pun
alat pertukangan kami yang
mampu mengorek satu serpihan
saja dari ukiran memalukan itu.
Begitulah lemari ini tersimpan
di pojok sini. Pikiran untuk
mencari seorang yang betul
betul ahli untuk menukangi nya
entah mengapa terlupa begitu
saja. Barang barang datang dan
pergi silih berganti. Dan lemari
ini lantas terlupakan," ujar Pak
Haji sambil mengawasi benda
dimaksud dengan pandangan tak
senang. "Sudahlah, Nak. Cari
yang lain saja. Jangan yang ini.
Setelah melihatnya kembali, kini
terniat olehku untuk
membakarnya saja."
"Jangan!" potong ismed,
tersedak. "Berapa pun
harganya. akan kubeli."
"Tetap akan mengambilnya,
Nak?" tanya Pak Haji seraya
mengerling ke arah Hai'las.
"Kukira, ini bukan hadiah yang
pantas untuk istrimu."
"Biarlah Ida kelak yang
menentukan," jawab Ismed
mantap.
"Nanti dulu, Nak," ujar Pak Haji
melembut. "Kau tak kenal siapa
orang terakhir yang memiliki
lemari ini. Aku kenal. Ia orang
berpengaruh di kota ini. Usia
nya belum limapuluhan. Tetapi
ketika ia minta aku mengambil
lemari ini-tanpa minta
penggantian-aku sungguh
terkejut. ia tampak bertambah
tua dua puluh tahun. Berubah
kurus, pucat, kehilangan gairah
hidup dan selalu dibayangi
ketakutan. Kau tahu apa kata si
malang itu" Suatu hari ia
pergoki anak lelakinya ber buat
tak senenoh dengan "menggauli"
daun pintu
lemari ini. Malamnya, anaknya
mati mengerikan. Mulutnya
berbusa, kulit tubuhnya kering.
Lama ia berpikir kenapa anak
kesayangannya bisa mati
mendadak, semengerikan itu
pula. Lalu suatu malam, ia
berdiri tanpa sengaja di depan
lemari ini. Tiba tiba suatu
tarikan gaib menyeretnya
mendekat ke daun pintu lemari.
Disusul dengan bisikan gaib
mengajaknya berbugil. Lalu ia
mengucap istigfar, dan
lenyaplah godaan itu. Tetapi
semenjak itu seisi rumah
diganggu hal hal aneh. Jerit
tangis perempuan yang tak
kelihaian wujudnya, perabotan
perabotan yang melayang
sendiri, dilemparkan, jatuh
sendiri dan hanCur sendiri.
Berikutnya, tukang kebun
mereka mati pula. Keadaan nya
sama dengan keadaan anaknya
dulu: mulut berbusa dan kulit
kering bersisik. Lalu ia putuskan
membuang jauh-jauh lemari ini
dari rumahnya."
"Bapak percaya semua omong
kosong itu?" tanya Ismed,
tenang.
"Hampir."
"Kok hampir?"
"Kebetulan aku bertamu ke
rumahnya waktu ia berniat
membuang lemari ini. Aku lalu
disuruh menyingkirkannya.
Sejak lemari ini ia beli, setan
terkutuk dan segala macam roh
jahat laknat menghancurkan
kehidupan rumah mangga
bahkan kariernya. Itu kata dia.
Tetapi aku sering dengar ia suka
menyepi ke tempat tempat
keramat. Keluarganya bilang,
karena ingin memerangi
pengaruh jahat yang menghantui
rumah
mereka. Tetapi orang-orang
dekatnya di kantor me ngatakan,
ia sedang menuntut ilmu untuk
mempertahankan jabatannya. Ia
rupanya telah membuat
beberapa kekeliruan sehingga
terancam dipecat tidak hormat.
Timbul desas desus kalau
bencana yang me nimpa
keluarganya diakibatkan
ulahnya sendiri. Konon, ia gagal
memenuhi syarat roh jahat
pujaannya."
"Tak ada persoalan kalau
begitu," gumam Ismed, gembira.
Sementara Harlas yang takut
oleh sorot mata dan senyum
perempuan di daun pintu lemari,
sudah menyingkir jauh-jauh.
"Masih ada, Nak," desah pemilik
toko.
"Oh ya?"
"Setelah lemari ini kusimpan,
seorang dua orang sempat
melihatnya. Mereka bilang,
lemari itu sudah acap kali
berpindah tangan. Tiap kali
pindah, tiap kali meminta
korban. Ada yang mati, ada
yang sakit ingatan, ada pula
yang hilang raib tak tentu
rimba."
"Itu sebabnya Pak Haji ingin
membongkar ukirannya?" tukas
Ismed.
"Ya. Tetapi seperti sudah
kubilang, usaha kami ter nyata
gagal. Dan kemudian aku
dengan cepat telah melupakan
bahwa aku menyimpan benda ini
di gudangku sendiri. Yang aneh,
aku tidak punya sifat pelupa.
Obeng yang tertinggal di tempat
pekerjaan seminggu sebelumnya,
masih dapat kuingat dan ku
temukan dengan segera di
tempat semula. Itu kalau belum
ada yang memindahkan."
"Mungkin itu karena Pak Haji
sudah mulai uzur.
"Aku belum terlalu tua, Nak
Ismed. Jadi..."
"Ah, maaf. Yang pasti, lemari ini
tetap ingin ku miliki. Apa pun
syarat yang Bapak tentukan!"
ujar Ismed, teguh.
Lama orang tua itu berpikir,
sambil sesekali melirik dengan
segan pada daun pintu lemari di
depannya. Setelah menghela
napas, akhirnya Pak Haji
berkata de ngan enggan,
"Baiklah. Syaratku cuma satu
saja. Begitu istrimu mengatakan
tidak, segeralah bakar lemari
ini!"
"Dibakar" Mengapa harus
dibakar?"
"Tak tahulah. Aku cuma sekadar
teringat tentang dongeng dari
masa. silam. Dongeng tentang
perempu an sihir."
Lalu orang tua itu bergegas
pergi menyusul Harlas ke ruang
tamu. Kelihatan dari sikapnya,
ia tak suka ber lama lama di
dekat lemari mungil yang penuh
riwayat itu. Waktu Ismed
kemudian menyusul pula, ia
dapati kedua orang itu berbisik
bisik dengan serius.
Pembicaraan mereka diputuskan
begitu Ismed muncul.
Pulangnya, Harlas ngomong
yang bukan bukan.
Ismed emosi.
Waktu berpisah di tengah jalan,
mereka seakan di rasuki
kedengkian! Dan seketika,
persahabatan mereka nyaris di
ambang kehancuran.
"Astaga. Itu tak boleh terjadi,"
keluh Ismed seraya meloncat
turun dari tempat tidur.
***

IA harus menemui Harlas


sesegera mungkin. Minta maaf
atas kekeliruannya. Ia akan
mentraktir Harlas nonton film di
Rangkasbitung sebagai bukti
mereka telah berbaikan kembali.
"Dengan catatan," nanti ia akan
berkata pada sahabatnya itu,
"jangan kita singgung singgung
lagi mengenai lemari itu.
Biarlah Farida kelak yang
menentukannya."
Lalu ia berendam sepuas
puasnya di kamar mandi, sampai
tubuhnya yang gerah menjadi
segar kembali. Semua barang
miliknya masih di rumah Harlas.
Jadi sehabis mandi, ia tetap
mengenakan pakaian semula
meski sudah bau keringat.
Keluar dari hotel, hari sudah
senja.
la melambai pada ojek yang
kebetulan lewat. Naik di
boncengan belakang ia sebut
alamat yang dituju, Cadasari,
daerah tempat tinggal Harlas.
Dalam hati ia
berharap Harlas akan membuka
pintu lebar-lebar menyambut
kedatangannya. Baru saja ojek
melaju beberapa meter,
mendadak ia ingat janjinya
dengan pe milik toko mebel.
Maka ia minta pengemudi ojek
membelok ke jalan lain, menuju
rumah yang baru kemarin ia
lunasi kontrak sewanya.
Ternyata Pak Haji tidak
menyalahi janji. Di halaman
rumah yang bakal ditempatinya
bersama Farida, tampak sebuah
truk di parkir dan perabotan
yang ia beli sudah hampir
selesai diturunkan.
Hei, siapa pula yang berani
beranian mengambil kunci yang
ia titipkan di rumah sebelah"
Kok pintu sudah terbuka, dan
sebagian barang bahkan sudah
dimasukkan ke dalam!
Setelah membayar ongkos ojek,
Ismed bergegas memasuki
halaman rumah. Ia tak melihat
Pak Haji, tetapi mengenali dua
orang pegawai toko mebel yang
sibuk bekerja dibantu beberapa
orang lain. Dari dalam rumah,
seseorang keluar dan bersungut
marah pada orang orang yang
sedang sibuk bekerja.
"Hati hati menggeser bufet itu.
Lihat, peliturnya lecet kalian
buat!" Sambil ia mengusap
bagian bufet yang
diomelkannya.
Ismed tersenyum setelah
mengetahui siapa yang
mengomel itu. Sekali lagi,
Harlas telah menunjukkan
kesejatiannya sebagai seorang
sahabat. Tetapi karena
kehadirannya, biar sudah
diketahui namun tetap dianggap
angin lalu, membuat Ismed agak
dongkol
juga. Ia menyambar kursi jok
dan membawanya masuk ke
dalam. Caranya membawa
dibuat seapik mungkin, seakan
membawa sebutir telur di
kepala, membuat gerak-geriknya
tampak menggelikan.
"Maaf, Pak Omel. Numpang
lewat sedikit," gurau nya, ketika
melewati orang yang masih
tegak memerintah di depan
pintu.
"Enak, ya" Milih yang enteng!"
"Maklum Pak, lagi suntuk
pikiran"
"Siapa suruh kerja pakai
pikiran" Pakai tangan dan kaki,
tahu?"
"Eh, berlagak!"
"E-ee, mengomel pula kau. Mau
dipecat ya?"
"Nggak deh, ampun!" Lantas
Ismed terbirit birit menggotong
kursinya ke dalam rumah. Habis
itu ia kembali keluar. Kali ini
mengangkut beban agak berat,
sofa. Ternyata tak bisa
diangkatnya sendirian.
"E, Pak Ontel. Mau bantu aku
atau kita gantian jadi mandor?"
"Brengsek!" gerutu yang
disindir, lalu membantu Ismed
mengangkat sofa besar itu ke
dalam rumah. Tiba di dalam,
sofa mereka letakkan. Lantas
duduk bareng di atasnya.
"Punya acara nggak malam
ini?" tanya Ismed, tanpa
menoleh pada teman bicaranya.
"Anu-aku penuh." Yang ditanya
menjawab tanpa menoleh.
"Kosongkan sedikit," tawar
Ismed.
"Gantinya?"
"Nonton Film. Ke Rangkas."
"Plus istri dan empat anak
anakku?"
"Boleh. Asal bayar masing
masing!"
"Bangkrut, ya?"
"Hampir."
"Kasihan!"
"Terima kasih. Ayolah,
Harlas..."
"jadi kita nonton berdua saja?"
"He-eh."
"Terima kasih. Sayang, aku
banyak kerjaan hari ini."
Dan Har-las benar-benar sibuk
sepanjang senja hingga malam.
Menata letak, memindahkan
perabotan yang ini ke sana dan
yang itu digeser ke sini, begitu
seterusnya, sampai ia merasa
puas. Tak terasa jam sudah
menunjukkan pukul sembilan
malam. jadi memang mereka tak
punya waktu pergi nonton film
ke Rangkasbitung. Dan itu
memang tak perlu. Mereka toh
sudah berbaikan kembali.
"Sekarang kita ke rumahku,"
kata Harlas kemudian. "Ibunya
anak-anak tadi beli paha
kambing. Katanya mau disate.
Dan kalau kau tak mau ikut,
maka aku yang bakal disate!"
Sambil mengunci pintu, Ismed
bertanya kecut, "Jadi sudah kau
ceritakan padanya bahwa kita
Sempat berperang?"
"Aku kelepasan. Habis, jengkel."

rasti istrimu marah padaku,


Harlas."
"Justru aku yang habis dimaki."
"Kasihan."
"Jangan mengasihani aku, bung.
Nanti malam aku masih bisa
mengeloni istriku. Kau?"
"Nebeng, kalau boleh."
"Jadah!"
"Bagaimana asal mula kau bisa
diterima jadi suami nya?"
"Pertanyaanmu terbalik, bung."
"Tidak. Ia cantik. Kau jelek..."
"jadah!"
"Dan bagaimana si jadah itu
akhirnya berhasil memetik
bunga desa?"
"Kami piknik berdua. Mulanya
kami tak serius." Harlas
memulai ceritanya. "Maklum,
aku cuma seorang guru. Sedang
ayahnya, selain keturunan
menak, juga kaya raya. Kau
tahu" Tidak hanya memiliki
kebun cengkeh berhektar hektar,
ayahnya juga punya dua kapal
penangkap ikan di Labuan!"
"Aku tak tanya kekayaan
mereka. Yang kutanya,
bagaimana kau
menundukkannya?"
"Dengan bantuan hujan."
"Hujan?"
"He-eh. Hujan. Waktu itu kami
terjebak di kaki bukit. Jauh dari
kampung yang dihuni manusia.
Kebetulan ada dangau. Kami
masuk. Dan hujan kian
menderas. Rupanya ia sangat
penakut. Mendengar
bunyi petir dan guntur
menggelegar, ia terus lengket di
tubuhku. Tak mau lepas."
"Ah, kau yang tak mau lepas,"
tembak Ismed.
"Itu ada benarnya juga." Harlas
tertawa malu.
"Dan kalian terus lengket?"
"Ya."
"Waktu cuaca cerah kembali, air
masih terus me ngalir. Bukan air
hujan. Melainkan air matanya,
begitu" Betul kan, dugaanku?"
"Salah. Ia tak menangis. Ia
hanya menuntut supaya aku
segera melamarnya pada
orangtuanya. Setelah kuiyakan,
baru ia menangis."
"Bapaknya menerima
lamaranmu?"
"Tidak. Aku malah hampir
ditembak. Untung tak jadi."
"Mengapa tak jadi?"
"Karena anak gadisnya keburu
berdiri di antara kami. Anak
gadisnya bilang, 'Tembaklah aku
sekalian. Itu berarti kau
menembak cucumu sendiri" Dan
sang ayah jatuh pingsan
mendengarnya."
"Kok bisa begitu?"
"Habis" Aku takut menghadapi
ayahnya. Takut ditolak. Tetapi
setelah dia hamil empat bulan,
apa boleh buat. Kudatangi
ayahnya. Bertekad, lamaranku
diterima atau aku mati. Tak ada
pilihan lain."
"Tetapi selama aku di rumahmu,
kulihat hubunganmu dengan
mertuamu sangat akrab."
"Jelek jelek begini, aku menantu
kesayangan, lho.
Menantu yang paling tahu
bagaimana menghormati
mertua."
"Ala, berlagak pula!"
"Serius. Buktinya, biar punya
kunci, tak pernah kubuka
rahasia mertuaku laki laki."
Harlas bimbang se jenak. "Wah,
aku telanjur ngomong. Tetapi
untuk kau, tak apalah. Asal janji,
simpan untuk dirimu sendiri.
Bahkan istriku sendiri tak
pernah tahu. Bagaimana?"
"Iya deh."
"Ucapkan janjimu."
"Baik. Rahasia akan kusimpan
baik baik. Kalau janji ini
kulanggar, maka aku akan...
potong bebek angsa masak di
kuali."
"Boleh juga itu."
Mereka tertawa terbahak bahak.

Kemudian Harlas menceritakan


bahwa suatu ketika ia
memperoleh bukti bahwa
mertuanya yang di rumah selalu
berlagak suci, ternyata punya
istri simpanan. Seorang
perempuan bekas pelacur.
Setelah di nikahi, perempuan itu
malah memeras mertua Harlas
habis habisan. Uang dan
perhiasan hasil memeras,
kemudian dipakai untuk membeli
cinta lelaki lain yang seusia dan
lebih pantas untuknya. Karena
takut anaknya cacat, mertua
Harlas menggugurkan
kandungan istri mudanya.
Pelacur itu tak peduli. la butuh
uang, bukan anak. Lagi pula ia
sudah punya seorang anak dari
bekas Suaminya terdahulu.
sebelum ia menjadi pelacur.
Anak yang cuma sebiji mata
wayang itu, perempuan. Meski
lahir dari rahim seorang
perempuan yang melacurkan
dirinya, sang ibu gigih
mengarahkan agar putri
tersayangnya menjadi orang
terhormat di kemudian hari,
tidak seperti dirinya. Untuk
menutupi jejak aib, si anak
dititipkan pada seorang famili
yang mau mengangkat anak.
Tetapi bagaimanapun
menyembunyikannya, yang
busuk itu berbau juga. Akhirnya
ada orang yang tahu. Orang itu
masih keluarga dekat Harlas.
Suatu hari orang itu datang
menemui Harlas, marah marah.
"Percuma punya keluarga
kepala sekolah. Toh, anak ku
tetap tak diterima di SMP di
mana kau punya kuasa!" Meski
Harlas sudah menjelaskan
bahwa nilai anak tersebut
terlalu payah untuk ditolong,
terlebih lagi lulus SD pun berkat
uang sogok, orang itu tetap tak
mau terima. Harlas memang
senang membantu orang, selama
orang itu pantas dibantu.
"Tetapi meng apa si anu kalian
terima, padahal dia dari rayon
lain?" teriaknya seraya
menyebut nama seorang murid
baru di SMP tempat Harlas
menjadi kepala sekolah. Harlas
ingat nama itu, karena ia
menempati ranking pertama di
SD dan juga saat testing masuk
SMP. Hanya saja, Panitia
Penerimaan Siswa Baru
membantunya untuk pindah
rayon.
"Tetapi ia tak pantas dibantu. Ia
anak pelacur!" maki famili
Harlas sewot.
Harlas tentu saja terkejut. Ia tak
menyangka calon
murid dengan nilai tertinggi itu,
anak seorang pelacur. Namun
ketika ada ancaman akan
membeberkan rahasia anak itu,
naluri ingin melindungi muncul
dalam diri Harlas.
"Begini saja," bujuk Harlas
dengan suara rendah, "anak
Paman akan kuusahakan bisa
masuk di SMP Negeri di Menes.
Tetapi kasihanilah anak orang
lain, yang punya masa depan
cemerlang hanya tak ber untung
punya orangtua terhormat
seperti Paman. Tidak perlulah
Paman beberkan aib orang lain.
Cukup kita kita saja yang tahu."
Setelah mendengar janji Harlas,
barulah familinya terbujuk. Dan
baru pada tahun kedua, Harlas
menemukan bukti yang
menguatkan, bahwa anak
perempuan yang jadi bintang
pelajar di kelasnya, tak lain
adalah putri kesayangan si
pelacur yang ternyata istri muda
mertuanya.
Setelah menimbang nimbang,
Harlas mendatangi pelacur itu
untuk membujuknya. "Aku tahu,
sebagian uang hasil memeras
mertuaku, kau pergunakan untuk
masa depan putrimu. Namun,
bagaimana kalau kita ambil
jalan tengah saja. Lepaskan
mertuaku dari cengkeramanmu,
maka nama baik putrimu tetap
ku jaga serta kujamin
kelangsungan pendidikannya."
Ternyata dalam kondisi apa pun,
kasih seorang ibu pada anaknya
adalah harga mati. Dengan
mudah Harlas memenangkan
perundingan. Mertua Harlas
lolos dari ancaman kehancuran
akibat rongrongan si
pelacur. Meski pertolongan sang
menantu harus dibayar mahal
oleh si mertua, yaitu
menanggung biaya pendidikan
bintang pelajar itu selama
mertua Harlas mampu. Ismed
termangu mangu, takjub
mendengar cerita Harlas
tentang mertuanya. Kemudian ia
ingat untuk mengutarakan
sesuatu yang mengganjal di
tengah cerita Harlas. "Andai si
pelacur itu menolak tawaranmu,
apakah nama anak itu
sungguh-sungguh akan kau
cemarkan?" "Demi Tuhan,
tidak! Aku cuma untung untung
an." "Andaikata ia tetap
menolak?" "Yah. Daripada
mengorbankan anak malang itu,
lebih baik aku mengorbankan
mertuaku. Pendirianku ini
sebelumnya juga kuntarakan
pada mertuaku. Ku kira ia akan
marah seperti biasa. Nyatanya,
ia menangis. Ia malah
bersumpah tak akan mengulangi
kesalahan yang memalukan itu.
Mertuaku semakin mengenal
diriku, semakin menyayangi aku.
Bahkan melebihi sayangnya
pada anak anaknya sendiri."
Ismed terdiam membatin,
"Harlas bukan sahabatku
seorang. Ia sahabat sejati semua
orang." Sambil menutupi rasa
haru di hatinya, ia menepuk
bahu Harlas. "Baiklah. Kalau
begitu, tancap gas ke rumahmu
sekarang. Aku benar benar
lapar"
Setelah puas menyantap makan
malam buatan istri Harlas,
menjelang tengah malam Ismed
pamit. "Bu
kan aku tak senang menginap di
rumah ini. Aku merasa ada di
tengah keluargaku sendiri.
Hanya saja, aku khawatir kalau
Farida mendadak muncul dan
aku tak siap menerimanya." Lalu
ia tambahkan dengan gurau,
"Lagi pula, siapa tahu ada
maling membawa truk ke
rumahku."
Dengan Vespa nya Harlas
kembali mengantar Ismed
sampai di depan rumah yang
baru ditempati sahabatnya itu.
Saat Ismed menawarkan untuk
mampir, Harlas juga punya
gurau untuk buru-buru pulang
kembali. "Maaf, Ismed, isrriku
baru habis masa haidnya!"
Gurauan itu meninggalkan
kesan mendalam di hati Ismed.
Kini ia benar benar merasa
sendirian. Sepi.
Ia tiba tiba sangat merindukan
Farida.
Akibatnya, meski letih seharian
matanya tak dapat terpejam.
Beberapa kali ia mondar-mandir
di kamar, menghabiskan
berbatang batang rokok.
Sayang, tadi siang ia hanya
memikirkan yang besar besar.
Lupa hal hal kecil tetapi
ternyata sangat penting:
kompor, minyak tanah, panci,
termos dan gelas.
"Enakan ngelayap ke pasar.
Mungkin masih ada warung kopi
yang buka," pikirnya, sambil
beranjak meninggalkan kamar.
Begitu pintu dibuka,
pandangannya langsung terpaut
pada lemari mungil berukir yang
ditempatkan Harlas di seberang
ruangan. Darah Ismed tcrsirap.
Perempuan di daun pintu lemari
benar benar menatap
nya! Di bawah siraman lampu
neon, sinar matanya jelas
mengundang, senyumnya
mengajak Ismed mendekat.
Tarikan gaib perempuan itu
begitu kuatnya, sehingga
langkah Ismed bagai tersentak,
lalu mengambang di permukaan
lantai.
Gemetar jemarinya meraba
ukiran wajah si perempuan,
mengusap matanya, bibirnya,
turun ke leher, lalu menyusuri
lekuk dada si perempuan.
Gairah kelelakian
melonjak-lonjak garang dalam
tubuh Ismed. Namun tak urung
menimbulkan perang batin.
Antara keinginan untuk
menyetubuhi perempuan
itu-entah bagaimana
caranya-dan kesadaran bahwa
yang di hadapannya hanya
benda mati belaka. Wajah
perempuan itu memang begitu
mirip dengan Farida. Dan
ingatannya pada Farida
membuatnya malu sendiri.
Sangat malu. Malu karena
digelitik hasrat menyetubuhi
benda mati. Padahal kehadiran
Farida di sisinya tinggal
menunggu hari, bahkan mungkin
hanya dalam hitungan jam. Tak
lama lagi ia akan memiliki
Farida. Farida yang benar
benar hidup, dengan embusan
napas dan tubuh yang hangat,
Farida yang penuh rindu dan
cinta.
Ismed mengerjapkan matanya
sambil melafalkan istigfar.
Seperti tebasan pedang, ucapan
lirih itu membebaskannya dari
tarikan tangan tak kasatmata.
Dan seketika, perempuan jalang
di daun pintu lemari hilang
pengaruhnya. Kesadaran Ismed
perlahan semakin jernih. Ia
mengawasi lemari mungil di
depan
nya. Baru sekarang ia bisa
leluasa menatap lemari itu
berlama-lama tanpa gangguan
orang lain. Bila diamati dengan
teliti, tampaknya bagian sisi lain
lemari itu telah mengalami
beberapa perbaikan, kecuali
daun pintu yang masih tampak
kokoh.
"Mungkin ini pernah jadi lemari
pakaian. Tetapi kemudian orang
merombaknya jadi lemari buku,
lemari penyimpanan
benda-benda berharga, dan
segala macam." Terngiang
kembali di telinga Ismed ucapan
pemilik toko mebel tadi siang.
"Hm, sebaiknya dimanfaatkan
untuk keperluan apa ya lemari
ini," pikir Ismed sambil memutar
anak kunci dan pelan pelan
membuka pintu lemari.
Bagian dalamnya ternyata serba
guna. Ruang kosong di
bawahnya cukup untuk
menggantung pakaian.
Bagian-bagian sebelah atas...
oh! bagian atas itu tidak kosong.
Ada beberapa benda hias dari
keramik. juga sepucuk surat
dalam amplop. Ketika membuka
nya dengan heran, Ismed hanya
membawa sebaris kalimat
pendek. "Sekadar tanda mata
untuk istrimu. Tertanda, Haji
Bajuri bin Jamil."
Bukan main pemilik toko mebel
itu! Meski sempat bersitegang,
tapi perhatiannya mampu
membuat Ismed diliputi rasa
haru.
Ismed baru saja bermaksud
menutup dan mengunci kembali
pintu lemari ketika keanehan itu
terjadi. Benda benda keramik di
bagian atas mendadak le nyap.
Ismed sampai menggoyangkan
kepala untuk
meyakinkan kalau
pandangannya tak salah. Bidang
bidang sebelah dalam lemari itu
juga sirna. Sebagai gantinya,
udara dingin berembus dari
dalam lemari, menerpa
wajahnya serta membawa aroma
yang asing. Cahaya lampu yang
jatuh di atas tubuhnya menimbul
kan bayangan memanjang, jauh
ke dalam lemari lalu lenyap
ditelan kabut tipis.
Kabut! Astaga. Dari mana kabut
itu datangnya" Dan mengapa
ruangan di dalam lemari begitu
gelap, begitu suram" Ismed
seakan berada di depan goa
dengan lorong panjang. Udara
dingin dan kabut terus berembus
keluar, menyelimuti Ismed yang
diam ter pana. Lalu samar
samar terdengar bunyi
gemerincing. Seperti bunyi
benda besi saling beradu. Entah
besi apa, tetapi dari bunyinya
jelas seperti diseret seret. Ismed
menajamkan telinga, semakin
lama bunyi itu semakin nyaring,
semakin nyata.
Dari balik kabut, perlahan
mucul sesosok bayangan. Ismed
ingin meloncat, mundur
menjauh. Tetapi kedua kakinya
bagai dipaku ke lantai. Kelopak
matanya tak bisa dipaksa
terpejam untuk melenyapkan
bayangan mengerikan di
hadapannya. Matanya nyalang,
membelalak.
Lalu ia melihatnya!
Seorang laki-laki renta dengan
rambut dan jenggot seputih
kapas muncul dari lorong gelap
di balik kabut. Wajahnya bengis,
menggambarkan teror. Tangan
maupun kaki telanjangnya
dibelenggu dengan
rantai besi yang begitu panjang,
sehingga rantai besi itu terjurai
di tanah, melingkar lingkar.
Dengan langkah berat menyeret
rantai yang membelenggu, si tua
renta itu menyeringai seram,
matanya membeliak menatap
Ismed. Suaranya berdesis
mengancam, "Enyah kau,
manusia hina! Enyah kau...
jangan kau ganggu kekasihku!
Pergi. Pergi! Jauhi kekasihku.
Pergilah kau ke neraka
jahanam!"
Bibir keriput si tua renta terus
mendesiskan sumpah serapah,
langkahnya semakin mendekat.
Karena Ismed bergeming, tidak
juga mematuhi perintahnya, ia
menggeram, "Hem. Jadi kau
lebih suka kujadikan budakku !
Ayo, mendekatiah kemari,
mendekatlah." Kedua lengannya
terangkat makin tinggi ke depan.
Belenggu rantai besi itu pun ikut
terangkat, membentuk setengah
lingkaran, siap untuk
dikalungkan ke leher Ismed.
"Tid-tidak... ja... jangan..."
Ismed terengahengah.
Namun rantai besi semakin
terangkat. Kini hampir
mencapai bagian atas kepala
Ismed yang menggigil ketakutan.

Tapi mendadak, gerakannya


terhenti.
Lelaki renta yang berantai itu
menggeram dengan kalimat tak
menentu, mengumbar sumpah
serapah tanpa alamat. Pelan
pelan ia menurunkan tangan,
bibirnya terus mendesis.
"Pergi, pergi, pergi!"
Manusia ajaib itu terus saja
mundur ke balik kabut, lenyap
ditelan kegelapan lorong pekat
jauh di dalam lemari. Seiring
menjauhnya si tua renta, kabut
yang menyelimutinya pun pelan
pelan semakin menipis. Semua
kembali seperti semula.
Saat itulah Ismed mendengar
suara orang memanggil manggil
namanya disertai gedoran keras
di pintu. Bukan pintu lemari,
melainkan pintu depan
rumahnya sendiri. Seketika,
Ismed melompat mundur lalu
berlari ke pintu depan. Pintu
direnggutnya terbuka, nyaris
membuat Harlas tersuruk ke
dalam.
"Sialan! Begitu caramu
menerima tamu. ya?" umpat
Harlas dongkol. Ia terus
menyelinap masuk. Lalu
terheran heran melihat Ismed
gemetar dengan napas
terengah-engah, seolah habis
berlari ratusan kilometer. "Apa
yang terjadi, Med?" selidik
Harlas.
Ismed susah payah menarik
napas panjang. Megap megap.
Ia kemudian berpaling, melirik
lewat pintu penghubung ke
ruang tengah. Pintu lemari tadi
masih menganga terbuka. Tidak
ada lorong goa. Tidak ada
kabut. Tidak ada lelaki tua yang
mengerikan. Yang ada hanya
benda benda hias dari keramik,
ruang kosong di lemari bagian
bawah, serta amplop dengan
secarik kertas surat yang
terjatuh ke lantai.
"Ada orang mengganggumu,
Ismed?" tanya Harlas. Nada
suaranya terdengar khawatir.
Ismed lagi lagi menarik napas
panjang. Masih gemetar, ia
menyahut terbata bata, "Kau...
menggedor
pintu terlalu keras, mengagetkan
saja. Padahal aku sudah tertidur
dengan mimpi yang aneh, mimpi
buruk... dan..." Ismet tidak
melanjutkan ucapannya. la
mengembuskan napas lega. Ah,
benar. Semua itu hanya mimpi
buruk belaka. Mungkin karena
sempat berniat menduakan
Farida. pikiran jahat itu
kemudian melahirkan ilusi-ilusi
mengerikan.
Harlas menghambur ke ruang
dalam, menerobos ke dapur. la
mengedarkan pandangan ke
seluruh penjuru rumah, tetapi
tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan. Harlas kembali
menemui Ismed.
"Tampaknya kau aman,"
katanya, menggerutu bercampur
lega.
lsmed mencoba tersenyum. "Aku
hanya dikejutkan oleh polahmu.
Menggedor rumah orang tengah
malam buta, begini. Ada perlu
apa kau, he?"
"Yah...," Harlas menggaruk
belakang kepalanya yang tidak
gatal, "kupikir-pikir, tak pantas
juga aku membiarkanmu tidur
sendirian. Jadi di tengah jalan,
Vespa kuputar kembali. Kau
punya kopi?"
"Ada. Di pasar," tandas Ismed.
"Kalau begitu, ayolah kita ke
sana." timpal Harlas tak acuh.
"Aku sendiri entah mengapa tak
berhasrat tidur malam ini."
Sebelum mereka pergi, lsmed
menyempatkan diri merapatkan
pintu lemari yang menganga.
Perempuan dalam ukiran itu
menyeringai....

***

SENYUM di bibir Farida


melebar waktu mendengar ibu
mertuanya nyeletuk, "Ini
namanya janda ketemu janda!"
"Kenapa Ibu berkata begitu?"
tanya Farida sambil mengawasi
dua orang kuli yang
memindahkan kardus berisi
pesawat televisi ke dalam mobil
di halaman rumah.
"Habis?" keluh ibu mertuanya,
"aku sendiri sih jelas janda.
Kau. Semua kau yang mengurus.
Mengurus surat pindah,
berbenah barang-barang,
pamitan pada tetangga. Sedang
suamimu" Hem, Ismed pasti lagi
enak-enaknya tidur. Meringkuk
di bawah selimut. Masih untung
kalau di bawah selimut itu Ismed
cuma sendirian..."
"Eh. Ibu agaknya mencurigai
Bang Ismed, ya?"
"Apa kau tidak?"
"Aku tanya lbu. lbu yang punya
anak, bukan?"
"Tapi yang punya suami, kan
kau Ida?"
"Belum setengah tahun aku jadi
istrinya, Bu. Tetapi kami
pacaran sudah lebih dari tiga
tahun. Jadi aku sudah kenal dia
luar-dalam. Dan aku percaya, di
hati Bang lsmed cuma ada aku
seorang. Entah. kalau
perkiraanku ternyata keliru."
"Syukur kalau kau
berpandangan begitu, lda.
Soalnya, aku mengkhawatirkan
engkau. Aku sayang padamu.
Dan tak ingin kau disia-siakan
anakku. Itu saja. Yah. namanya
saja aku yang melahirkan dan
menyusui lsmed. Tetapi terus
terang saja, aku tak begitu
mengenal pribadinya. Tamat
SMP ia sudah meninggalkan
kami di Padangbolak. Dia nekat
merantau ke Bandung.
meneruskan sekolah sampai ke
bangku perguruan tinggi. Ia
hanya pulang dua kali ke
Padangbolak. Setamat SMA dan
setelah wisuda Perguruan
Tinggi. Sesudah itu, kami cuma
dua kali bertemu. Waktu kalian
menikah lalu sekarang, waktu
kalian akan pindah. Dan... eh,
mau apa mereka itu. Ida?"
Dua pasang suami-istri memberi
salam dan masuk ke dalam
rumah setelah dipersilakan.
Rupanya ketua RT dan tetangga
sebelah yang bersikeras ingin
ikut mengantarkan Farida ke
Pandeglang. "Aku bawa mobil
sendiri. Jadi kau dan ibu
mertuamu bisa ikut mobil kami,
lda. Tak pantas kalau kau naik
mobil barang yang sudah penuh
sesak itu," ujar ketua RT.
Sementara suami-istri yang
lainnya mengatakan
akan numpang di mobil barang
saja. "Lumayan, buat jaga-jaga
kalau terjadi apa-apa di tengah
jalan. Maklum, cukup jauh ke
Pandeglang. Mana
berangkatnya pagi buta begini
pula," kata si tetangga, tidak
mau menerima alasan Farida
yang tidak ingin merepotkan
orang.
Akhirnya Farida tidak dapat
menolak. Mobil barang yang
dikirimkan bekas kepala kantor
suaminya untuk dipakai memang
tidak begitu besar. Maklum yang
diangkut pun tidak begitu
banyak, hanya perabotan dapur,
peti berisi pecah belah, empat
koper pakaian, dua lemari lipat
dari plastik dan seperangkat
barang-barang elektronik.
Perabotan besar-besar di rumah
kontrakan mereka sebelumnya
disewa dari pemilik rumah.
Untuk keperluan itu, Ismed
katanya akan membeli sendiri di
Pandeglang karena sudah kapok
menyewa rumah sekalian
dengan perabotnya.
Nyatanya, biar semula
diperkirakan sedikit saja, mobil
barang itu jadi penuh sesak
juga. Mana ibu mertuanya yang
sudah tua itu belum habis
letihnya menempuh perjalanan
darat melalui lintas Sumatra
dari Padangbolak ke Bandung.
Jadi tawaran para tetangganya
yang baik hati itu tentu saja
sangat menolong. Diam-diam
Farida menyesal sendiri ketika
beberapa hari yang lalu
menolak bantuan suaminya.
"Kau bereskanlah urusanmu di
Pandeglang. Yang di sini biar
aku sendiri yang
menyelesaikan."
Betapa gampangnya kata-kata
itu terucap!
Sebelum berangkat, mereka
salat subuh bersama. usai salat,
Farida sekali lagi memeriksa
kalau-kalau ada yang
terlupakan. termasuk persediaan
untuk bekal makan di jalan.
Sebelum menyerahkan kunci
pada pemilik rumah. Farida
sempat termenung mengawasi
kamar tidur. Di kamar tidur itu,
meski dengan ranjang serta
kasur sewaan dari pemilik
rumah, ia menikmati malam
pengantin yang tak akan
terlupakan perempuan mana pun
juga. Ia masih ingat, tetesan
darah perawannya membasahi
seprai dan meninggalkan noda
di kasur. Seprainya disimpan
Farida sebagai kenangan.
Sayang, kasur di atas ranjang
itu lupa ia memintanya pada
pemilik rumah, kalau perlu
membeli.
Sambil menarik napas panjang,
Farida membalikkan tubuh.
Lalu angin dingin menampar
wajahnya.
Disertai bisikan tajam. "Jangan
pergi!"
"Apa?" Farida tersentak,
memandang berkeliling. Tidak
ada siapa-siapa, ia hanya
seorang diri di dalam rumah itu.
Di luar memang terdengar
suara-suara orang yang ribut
mau berangkat. Namun tak
mungkin bisikan salah seorang
dari mereka sampai ke
telinganya. Begitu dekat pula.
Begitu jelas terdengar
ucapannya. "jangan pergi!"
Siapa yang telah membisikinya"
Mengapa ia dilarang pergi"
Kembali ia mengawasi
sekelilingnya.
Sepi.
"Astaga. Aku telah melamun
kiranya!" Farida
menggeleng-gelengkan
kepalanya. la menyimpulkan
sendiri lalu berjalan ke luar
rumah.
Meski waktu menunjukkan belum
pukul lima pagi. jalan yang
mereka tempuh sudah mulai
ramai, terutama menjelang
perbatasan kota. Peristiwa aneh
yang sekejap tadi segera
terlupakan oleh Farida. Apalagi
bersama lbu RT yang senang
ngobrol. Ada saja topik
pembicaraannya.
"Apa kau sudah punya video,
Farida?"
"Belum, Bu," jawab Farida
tersenyum.
"Belum" Kalau begitu, belilah
satu. Kalian akan
membutuhkannya nanti. Habis,
di Pandeglang tidak ada
bioskop. Usaha semacam itu
ditentang keras warga
masyarakat setempat. Di bagian
mana kalian mengontrak
rumah?" tanyanya lagi. Tapi
belum juga Farida menjawab,
Ibu RT kembali mencerocos.
"Kalau di pusat kota, lumayan
ada air ledeng. Kalau di
pinggiran, wah... terpaksa harus
mandi dan mencuci di pancuran.
Enak sih enak, airnya konon
mengandung belerang pula.
bagus buat kulit. Tetapi kalau
tengah malam mau buang air
besar, payah!"
Dan banyak lagi hal lain yang
diceritakan oleh ibu RT yang tak
henti-hentinya berceloteh,
sehingga suaminya menyindir,
"Radio mobilku rusak. Untung
ada gantinya!"
Menjelang pukul delapan pagi,
mereka berhenti di Puncak.
Betapa menyenangkan
menikmati sarapan pagi,
menyeruput kopi panas sambil
menatap pemandangan
bukit-bukit dengan hamparan
teh menghijau yang sebagian
masih berselimut kabut. Meski
matahari sudah muncul, namun
udara Puncak tetap terasa
dingin menusuk. Oleh karena itu
mereka cuma istirahat sebentar.
sekadar mengisi perut kosong.
Kembali Farida orang terakhir
yang masuk mobil karena tak
tega membiarkan bekas makan
mereka berserakan begitu saja.
Pada saat ia beranjak ke mobil.
udara dingin sekali lagi
menampar wajahnya. Lebih
dingin dari udara Puncak yang
sebelumnya ia rasakan. Aneh,
padahal mentari pagi saat itu
menjilati wajahnya, hangat dan
menyenangkan. Namun udara
dingin itu lebih kuat menampar.
Seolah ada tangan-tangan gaib
melayang dari balik kabut.
Bisikan yang sama kembali
terdengar.
Hanya kalimatnya lain.
"Pulanglah! Pulanglah!
Pulanglah. . .!"
Tak ada orang lain di dekatnya.
Yang lain telah masuk ke mobil
masing-masing. Di jalan
tanjakan, tiga sepeda motor
menderu dengan bunyi knalpot
memekakkan telinga waktu
menyalip truk tangki yang
merayap dengan suara mesin
terbatuk-batuk. Tetapi di antara
kebisingan itu jelas ia
mendengar suara
berbisik, menyuruhnya pulang.
Sebuah perintah pendek, yang
diulangi sampai tiga kali!
Farida bukan seorang penakut.
Namun toh, bulu kuduknya
meremang juga. Sejenak ia tegak
mematung. Bingung. Gelisah.
Lalu ia dengar suara ibu
mertuanya memanggil.
"Hei. lda. Tunggu apa lagi?"
Dari Bogor mereka mengambil
jalan pintas lewat Leuwiliang
dan istirahat lagi sejenak
menjelang Jasinga. Jalannya
lebih sepi dan lancar ketimbang
mereka harus lewat Jakarta.
Panorama pun seakan tak
pernah habis. Bukit-bukit tandus
menyelingi hutanhutan pinus,
perkebunan yang teratur di kiri
kanan jalan. lembah dan sungai
yang airnya mengalir jernih di
antara batu-batu raksasa.
kehidupan penduduk yang
damai, anak-anak sekolah yang
berlarian di tepi jalan. udara
yang terasa semakin hangat,
serta matahari yang bersinar
semakin cemerlang.
Tetapi semua itu kurang menarik
minat Farida.
la tenggelam dalam
kegelisahannya. Kurang enak
badan, begitu jawabnya kalau
ada yang bertanya mengapa
Farida tiba-tiba tampak murung
dan pendiam. Untuk
menghindari lebih banyak
pertanyaan maupun perhatian,
ia memutuskan tidur sepanjang
sisa perjalanan ke Pandeglang.
Beberapa kali ia terlelap. Tetapi
beberapa kali pula ia
dibangunkan oleh
bisikan-bisikan aneh yang sama.
Jangan pergi! Jangan...
Pulanglah! Pulanglah... Pasti
ada sesuatu yang
terjadi dalam dirinya, begitu
pikir Farida. Barangkali ia
memang benar-benar sakit,
lantas dihinggapi ilusi yang
bukan-bukan. Di Pandeglang
nanti, ia akan konsultasi ke
dokter. Ya, siapa tahu, ia
memang benar sedang sakit.
Dengan keputusan itu, ia coba
lagi untuk tidur.
Sia-sia belaka.
Bagaimana kalau dokter
ternyata mengatakan ia sehat"
Bahwa ia segar bugar, tidak
menderita apa pun yang perlu
dicemaskan. Haruskah ia
ceritakan ilusi yang sangat
menganggu itu. Dan kalau
dokter bertanya apakah ia
sedang mengalami tekanan
batin. bagaimana ia harus
menjelaskan" Ia tidak menderita
tekanan batin. Ia sangat
berbahagia dengan keadaannya
sekarang. Punya suami yang
baik, yang dicintainya dan
mencintainya, kehidupan
ekonomi mereka meski masih
merangkak tetapi
mudah-mudahan belum pernah
kekurangan. Sesekali memang
cekcok, tetapi hanya mengenai
soal-soal sepele dan segera
dapat mereka atasi. Apa lagi"
Oh ya! Ia pernah merengek pada
suaminya, "Awas. kalau di
Pandeglang sana kau main
perempuan!"
Lalu ibu mertuanya sempat
bilang, "Masih untung kalau di
bawah selimut, lsmed cuma
sendirian..."
Farida yakin, hati dan jiwanya
tidak berubah.
Ataukah lsmed yang berubah"
Tidak. Baru beberapa hari lsmed
di Pandeglang.
Walaupun Farida sudah sering
mendengar cerita-cerita orang
tentang kepandaian wanita
Banten-gadis atau
janda-memikat perhatian
laki-laki, Farida tak percaya. Ia
tak yakin, kalau dalam tempo
begitu singkat seorang gadis
telah jatuh hati pada Ismed.
Apalagi janda. Seorang janda
lebih banyak pertimbangan
kalau hendak bersuami kembali.
Kecuali janda kesepian yang tak
punya harga diri!
Dan, janda model begitu pernah
hadir dalam kehidupan Farida.
Yang diganggu adalah ayahnya.
Waktu itu Farida baru
menginjak usia enam belas.
ibunya meninggal dunia tiga
bulan sebelum Farida
merayakan ulang tahunnya. Lalu
seorang wanita lain muncul di
rumah mereka. Namanya
Miranti, usianya lima tahun
lebih tua dari Farida atau
hampir setengah dari usia ayah
Farida. Tetapi meski sudah
memasuki usia ke-40, ayah
Farida masih fit, kuat dan sehat.
Jejak ketampanannya di masa
muda masih terlihat. Karena itu
tak heran kalau Miranti lantas
tertarik pada ayah Farida, dan
kebetulan pula Miranti
sekretaris di kantor ayah Farida.
Konon Miranti dicerai suaminya
karena ketahuan menyeleweng.
Kabar itulah yang membuat
ayah Farida tidak begitu tertarik
untuk melayani sang janda muda
yang binal itu. Tetapi Miranti
tak kalah taktik.
la mendekati Farida, sering
mengajaknya jalan-jalan dan
membelikannya sesuatu. Sering
pula ia muncul di rumah mereka
untuk mengerjakan apa saja
sekadar menarik hati Farida dan
ayahnya. Tetapi lama kelamaan
Farida kurang senang. Karena
Miranti suka bercerita tentang
mantan suaminya,
pacar-pacarnya dan apa saja
yang mereka lakukan. Semua
ceritanya penuh kesombongan.
Tentang bagaimana ia
dikejarkejar lelaki, main-main
sebentar dengan mereka,
kemudian ditendang satu
persatu. Sifat sombong itulah
yang tidak disukai Farida,
sehingga Farida mengultimatum
ayahnya, "Kalau Papa menikah
dengan dia. aku akan minggat
dari rumah ini!"
Ayahnya menjawab.
"Memperistri dia" Uh. mana aku
mau memperistri perempuan
yang pernah kupergoki di kamar
mandi kantor sedang
ditelanjangi bawahanku
sendiri?"
Nyatanya, memasuki bulan
kelima setelah Miranti muncul
dalam kehidupan mereka. Ayah
Farida mendadak berubah. Ia
begitu keranjingan pada
Miranti, sampai-sampai pernah
berkelahi dengan seseorang
yang ia lihat pergi ke kelab
malam bersama Miranti.
Kemudian sang ayah pun mulai
sering bertengkar dengan
anaknya. Kalau Farida
menentang, ayahnya naik pitam.
"Kalau kau mau minggat,
minggatlah. Pendeknya. aku
akan tetap kawin dengan si
Ranti!"
Farida pasti sudah nekat
meninggalkan ayahnya.
kalau tak keburu dicegah Ismed
yang ketika itu masih jadi
pacarnya. Kata Ismed,
"Perubahan sikap ayahmu yang
drastis itu, pasti ada
sebab-sebabnya!" Lalu
diam-diam mereka menyelidiki
Miranti hingga mengetahui
kabar kalau Miranti suka pergi
berdukun. Tak butuh waktu
lama. Ismed berhasil
memperoleh nama dan alamat
dukun dimaksud. Saat
mendatangi desa tempat si
dukun tinggal, beberapa warga
mengungkapkan kegalauan
mereka tentang keberadaan si
dukun. "Kami sebenarnya sudah
lama ingin mengusir dukun itu.
Tapi tak ada yang berani."
Ismed berani.
"Allah beserta kita," katanya
tegas.
Ismed berhasil membujuk warga
setempat yang tidak mau daerah
mereka dicemari oleh kelakuan
sang dukun, yang konon sudah
banyak mengambil korban
perempuan di desa mereka.
Waktu yang dipilih adalah saat
Miranti terlihat memasuki
rumah tempat praktik dukun.
Setelah menunggu beberapa
menit, Ismed beserta warga yang
geram lantas menyerbu masuk.
Di kamar tidur yang pepak
dengan peralatan aneh-aneh.
sesajian, serta bau asap
kemenyan yang menusuk hidung.
mereka temukan Miranti tengah
bertindihan dengan tubuh
kerempeng sang dukun yang
telanjang bulat. Tak pelak lagi,
dukun mesum itu dikeroyok
hingga babak belur sebelum
kemudian diserahkan ke polisi.
Miranti sendiri bukan main
malunya, tapi ia berdalih. "Aku
sungguh tidak sadar. Entah
mengapa
mau saja disetubuhinya!" Dan
setelah mengenal lsmed, tak
pernah lagi Miranti muncul di
rumah keluarga Farida. Ia juga
minta berhenti dari kantor
dengan alasan akan pulang ke
kampungnya di Indramayu.
Ayah Farida sendiri, sempat
seperti orang linglung beberapa
waktu. dan baru kembali pulih
setelah dibawa berobat ke
seorang ajengan di Sukabumi.
Tahun berikutnya ayah Farida
kawin juga. Masih dengan
seorang janda tetapi sebaya
dengannya, punya anak empat,
taat beribadah, serta masih ada
pertalian famili. Farida tentu
saja tak keberatan. Toh. ia
sendiri sudah punya tambatan
hati, sudah pula siap untuk
menikah. Bagaimanapun,
ayahnya perlu seorang
pendamping. Lucu kalau diingat.
begitu naik pelaminan maka
sang duda langsung punya
empat anak, lima dengan
Farida.
Farida terbangun dari tidurnya
setelah bahunya
diguncang-guncang.
He, penidur. Kita telah sampai!"
lbu RT berkicau riang gembira.
Rupanya mereka telah memasuki
kota Pandeglang yang
suasananya sesaat membuat
Farida agak bimbang.
Menjawab pertanyaan Pak RT,
Farida kemudian menyebut
alamat rumah yang telah
diberitahukan oleh lsmed lewat
telepon. Letaknya masih di pusat
kota. tak pula begitu jauh dari
pasar. Hingga
mereka tiba di sebuah rumah
mungil, halamannya resik
menyenangkan, dan yang
terpenting Ismed tengah
menunggu di dalam....
Tidak. Ismed tidak
menunggunya!
Yang membuka pintu untuk
Farida serta para pengiringnya
justru seorang perempuan
berusia 30-an, berwajah
rupawan dengan bentuk tubuh
yang masih menggiurkan. Belum
lagi tatap matanya yang tajam
ketika menatap rombongan di
hadapannya.
Jantung Farida berdenyut keras.

"Oh. Jadi, Andalah bakal teman


saya berbelanja ke pasar."
Perempuan itu tertawa renyah
seraya mengulurkan tangan, lalu
ia tidak saja menyalami Farida.
tetapi juga memeluk dan
menghadiahi kecupan hangat di
pipi. "Selamat datang, Ida. Tak
apa aku langsung menyebut
nama, ya?"
Melihat tamu-tamunya yang
kebingungan. perempuan yang
ramah itu memperkenalkan diri.
"Aku Euis Yuningsih. Panggil
saja Euis. Aku istrinya Harlas."
"Harlas" Harlas siapa?" kejar
Farida, masih belum puas.
"Teman lama suamimu. Apa
suamimu tak pernah cerita"
Tetapi itu nanti sajalah. Aku
disuruh suamiku menunggu di
sini, siapa tahu kalian tiba-tiba
datang. Suamimu tadi pulang
sebentar. tetapi pergi lagi ke
kantor. Dekat kok dari sini.
Cuma lima menit naik ojek.
Sebentar, kupanggilkan
anakku..." Tidak lama,
seorang anak laki-laki tanggung
muncul menjawab panggilan
Euis. "Adang! Kau cepat pergi
ke kantor Om Ismed. Katakan
padanya kalau yang ditunggu
sudah datang!"
Anak itu lantas pergi berlari-lari
ke pangkalan ojek di simpang
jalan.
"Ayo. silakan masuk." Euis
tersenyum mempersilakan.
Setelah tamu-tamunya masuk
beriringan, tinggal ia berdua di
luar pintu bersama Farida yang
tengah memandangi tanaman
bunga di pekarangan. Euis
menyentuh lengan Farida.
"Mestinya kau yang
mempersilakan. bukan begitu.
ida?"
Farida tertawa. "Yah, tak apa.
Sesekali disilakan orang lain
masuk ke rumah kita sendiri.
Jadi kakak ini istrinya Bang
Harlas ya" Apakah..."
"Nantilah kita ngobrol di dalam.
Kau masuklah. Biar aku
menemui orang-orang yang
akan menurunkan
barang-barang kalian dari
mobil." Tanpa menanti komentar
ia mendatangi supir dan kernet
mobil barang yang sibuk bekerja
dibantu oleh dua tamu lelaki
yang ikut dari Bandung.
Farida mendengar mereka
ngobrol dengan suara riang
diselingi tawa gembira. Entah
lelucon apa yang dilontarkan
Euis Yuningsih. Memandangi
perempuan itu. Farida merasa
seperti sedang memandangi
seorang sahabat. mungkin
malah seorang saudara.
Ia kemudian memutar tubuh, tak
sabar ingin melihat ke dalam
rumah.
Tap ! mendadak sebuah
tamparan mendarat di pipi
kanan Farida. Disusul dengan
suara hardikan.
"Anak bodoh! Kau sudah
kuperingatkan!"
Farida tersentak. Suara itu!
Suara yang memperingatkannya
bahkan saat masih di Bandung,
hanya saja kali ini tanpa
embusan udara dingin.
Tak ada seorang pun di
dekatnya. la meraba pipinya
yang masih terasa pedas, bekas
ditampar. Tamparan itu nyata.
Hardikan itu pun masih
mengiang nyata, "Kau sudah
kuperingatkan!"
Farida tegak mematung.
Wajahnya pucat, tak berdarah.

***

TAMU terakhir yang pulang


malam itu adalah Harlas beserta
istrinya. Para pengantar dari
Bandung lebih dulu pamit sore
harinya.
"Anak-anak di rumah tak biasa
kami tinggalkan berlama-lama,"
kata Pak RT.
Sedang yang seorang lagi
memberi alasan, "Malu ah,
kalau bolos kantor dua hari
berturut-turut."
Dengan dalih itu mereka
menolak halus ajakan lsmecl
untuk bermalam saja, juga
tawaran Harlas mengajak
jalan-jalan ke pantai Carita di
Labuan atau melihat-lihat
masjid terkenal yang dibangun
para Sunan di Demak.
Meskipun malam belum larut
benar, ibu Ismed sudah
mendengkur di kamar tidur.
Hari itu memang hari yang
teramat melelahkan. Setelah
menempuh perjalanan jauh,
mereka masih harus berbenah.
Ke
mudian tamu-tamu datang silih
berganti. Tetangga kiri-kanan
rumah juga rekan-rekan sejawat
Ismed dari kantor. Sampai
beberapa kerabat Harlas juga
ikut memperkenalkan diri,
mengucapkan selamat datang
dan semoga betah. Dengan tulus
juga mereka menawarkan
bantuan bila Farida butuh
sesuatu. Semuanya begitu
ramah. akrab dan
menyenangkan. Sehingga Farida
merasa datang ke tengah
keluarga sendiri, seolah-olah ia
ada di kota kelahirannya sendiri.

"Bagaimana sekarang?" gumam


lsmed setelah ia tinggal berdua
dengan istrinya. "Masih
menyesal karena aku dibuang ke
kota kecil yang tak ada
apaapanya ini?"
"Tidak lagi, Bang," jawab
Farida jujur.
"Punya rencana?"
"Ada. Kukira akan kembali
menekuni keahlianku di bidang
jahit-menjahit. Temanmu Harlas
seorang kepala sekolah, bukan"
lstrinya bilang. setidaknya aku
bisa mendapatkan order
pembuatan pakaian seragam
murid maupun karyawan. Tetapi
lebih dulu aku harus membeli
mesin jahit dan mesin obras.
Yang bekas saja. Asal masih
baik. Kemudian membuat
beberapa pakaian contoh. Model
terbaru, tetapi dengan harga
terjangkau peminat kelas
menengah ke bawah. Sekadar
promosi, tentu..." urai Farida
dengan antusias.
lsmed tersenyum. "Tampaknya
kau sudah berkomplot dengan
Euis," katanya.
"Ternyata ia teman yang
menyenangkan, Bang."
"Ternyata?"
"He-eh. Tadinya, ia hampir
kulabrak."
"Sebabnya?"
"Di jalan, aku melamun yang
bukan-bukan tentang kau. Lalu
ketika kami tiba" tahu apa yang
terjadi" Bukan kau yang
membuka pintu. Tetapi seorang
perempuan muda, cantik pula.
Sesaat kupikir, dia pasti seorang
janda yang kau ajak menginap
tetapi bangun kesiangan!"
"Ha ha ha. Kau mencurigai aku,
ya?"
"Abang tak menyimpan janda
sebelum aku datang, kan?"
selidik Farida sambil memasang
wajah mcrengut.
"Pertanyaan macam apa itu,
Ida?" Ismed mendengus, sambil
terus tertawa.
"Soalnya, Bang. Semenjak dari
Bandung, aku mengalami
hal-hal yang... ah. bukan
apa-apa. Aku cuma
mengkhawatirkanmu, Bang. Itu
karena ibumu ngomong yang
bukan-bukan."
"Ibu ngomong apa, Ida?"
"Katanya, jangan-jangan di
bawah selimutmu kau
menyimpan perempuan lain,"
cibir Farida.
"Astaga! Ibu bilang begitu?"
"Itu cuma guyon, Bang Ismed,"
ujar Farida menahan tawa.
"Lagi pula, yang mengatakan itu
ibumu, bukan ibuku. Itikad
baiknya bisa dipercaya. Kecuali,
kalau memang anaknya yang
tidak bisa dipercaya."
"Kau tidak percaya padaku,
Ida?"
"Percaya, Bang Ismed."
"Mau membuktikannya?"
"Boleh. Kapan?"
"Sekarang."
"Di sini?"
"Di kamar dong!"
Sambil tertawa cekikikan mereka
menyelinap masuk ke kamar
tidur. Lalu menuntaskan
kerinduan setelah beberapa
waktu sempat berjauhan.
Kemesraan mereka berlangsung
sekitar setengah jam, hingga
akhirnya letih dan kantuk
mendera. Yang lebih dulu
terlelap adalah Ismed, matanya
terpejam dengan bibir mengulas
senyum puas penuh
kebahagiaan....
Sedang Farida, meski lelah tetap
tak bisa memicingkan matanya.
Peristiwa-peristiwa aneh hari itu
masih terus mengganggu
pikirannya. Ia ingin
menceritakannya pada
seseorang, khususnya Ismed.
Tetapi ia takut jadi bahan
tertawaan. Syukur kalau cuma
disebut penakut. Bagaimana
kalau ia lalu dituduh sakit jiwa"
Orang yang terkena gangguan
saraf" Ataukah memang saraf
Farida mengalami gangguan di
luar sadar" Tetapi mengapa" Ia
merasa cukup sehat. Ia merasa
waras. Tapi mengapa ia
mendengar bisikan-bisikan
tajam itu. lalu tamparan keras di
pipinya. Apa apa dengan semua
itu" Orang-orang terlalu sibuk
hari ini, sehingga tidak
memperhatikan keadaannya.
Terpaksa ia me
nelan sendiri kenyataan aneh
yang diam-diam terasa mulai
terasa mengerikan itu.
Bahkan di depan rumahnya
sendiri. Tak ada orang. Tak ada
tanda-tanda. Tahu-tahu saja
pipinya ditampar.
Malam ini pun, Farida seperti
masih merasakan betapa keras
dan pedasnya bekas tamparan
itu. Tetapi setelah memeriksa di
depan kau riasnya. tidak terlihat
balur-balur di pipi kanan yang
mestinya timbul akibat tamparan
yang begitu keras. Hanya karena
naluri saja, ia tidak sampai
menjerit kesakitan. Lalu apa
maksud bisikan-bisikan aneh
itu" Pertama: Jangan pergi.
Kedua: Pulanglah! Terakhir:
Anak bodoh. Kau sudah
kuperingatkan!
Farida mencoba menganalisa
ketiga bisikan itu.
Tiba-tiba ia bergidik ngeri
menyadari kaitan ketiga bisikan
itu. Bahwa ia dilarang pergi ke
Pandeglang. Bahwa di tengah
jalan, ia disuruh pulang ke
Bandung. atau ke mana saja.
asal bukan terus ke Pandeglang,
Ketiga, ia perempuan bodoh
karena tidak mau dinasihati dan
tetap meneruskan niatnya. Tapi,
mengapa pula ia harus patuh" Ia
pergi untuk mendampingi suami.
Itu haknya!
Lalu siapa yang melarangnya"
Dan, mengapa"
Apakah semua itu benar-benar
cuma ilusi" Atau
sungguh-sungguh suatu
penanda" Apakah pertanda
bahwa sesuatu akan teriadi di
rumah ini" Sesuatu
akan terjadi atas dirinya. Atas
suaminya. Sesuatu yang ia tidak
tahu apa. Namun terasa begitu
menggelitik, menggugah,
menyiksa.
Farida menggigil di bawah
selimut. Takut.
Rumah yang tadi terasa hangat,
entah mengapa mendadak
teramat sepi. Dingin dan
diselubungi suasana misterius.
la seakan melihat kabut
melayang di langit-langit kamar.
Mula-mula berwarna putih. Lalu
berubah merah seperti darah.
Kabut itu kian tebal, kian
menurun dengan cepat, kian
membentuk... dan tiba-tiba ia
melihat wujud seorang
perempuan yang semakin dekat
ke mata Farida. semakin nyata.
Dengan napas terengah. gigil
Farida mendadak beku.
Terperangah. Karena yang ia
lihat adalah wujud dirinya
sendiri. Seolah bercermin. Dan
kini, wujud di hadapannya
mendekat, kemudian
membungkuk dan
memperhatikannya. Semakin
dekat, Farida semakin yakin.
Benar. Wajah itu adalah
wajahnya sendiri! Tidak salah
lagi. Yang berbeda hanya sorot
mata serta tarikan bibir. Sorot
mata perempuan yang muncul
dari balik kabut begitu kejam,
penuh dendam. Senyumnya sinis
mengandung kedengkian.
Mungkinkah itu hanya
gambaran sisi lain pribadinya"
Desisan suara dari sosok di
hadapannya menyentak
kesadaran Farida. "Siapa kau?"
Farida membuka mulut.
Gemetar. Menyahut
tergagap-gagap. "Kau sendiri"
Si... siapa kau?"
"Aku yang bertanya!"
"Ja... jangan dekati aku."
Wajah itu menyeringai.
Bisikannya lebih seram lagi.
"Aku akan tetap mendekatimu.
Bahkan aku akan menelanmu.
Kecuali kau jawab. Siapa
engkau?"
Farida memejamkan matanya,
tak berani menatap sosok di
hadapannya.
"Audzubillah... Ya Allah. Aku..."
Bibir Farida komat-kamit.
Dan seketika, wajah itu
menjauh. Gumpalan kabut yang
melingkupi sosok itu menyebar.
Semakin menipis, hingga lenyap
tak berbekas. Kemudian terasa
sesuatu yang hangat merayapi
pinggangnya, melingkari perut.
Tubuh Farida mengejang, kaku.
Tapi tak berani melihat apa
yang terus merayap hingga ke
dadanya lantas memeluknya.
Farida meronta-ronta. lngin
berteriak, tetapi lidahnya kelu.
la hanya bisa meronta. meronta.
dan terus meronta. Makin lama
makin kuat, makin dahsyat.
Farida hampir berhasil
menepisnya agar menjauh. Tapi
karena tekanan benda berat dan
hangat itu ternyata cukup kuat,
Farida berusaha menggigitnya.
Tiba-tida terdengar pekikan
tertahan, "Aduh, sakit!"
Ismed bangkit, menarik
lengannya menjauh.
"Kau apakan tanganku, he?" la
memprotes sambil
mengucek-ngucek mata. Sesaat
kemudian, barulah ia
lihat wajah istrinya yang pucat
di bawah jilatan lampu pojok
yang samar-samar. Dada Farida
naik turun, terengah-engah.
Bola matanya bergerak-gerak
ketakutan. Bibirnya terus
kemak-kemik namun tak
terdengar berkata apa.
"Ada apa, Ida?" Ismed
menggugah tubuh istrinya.
"Apakah kau sakit?" Tangannya
menyeka kening Farida yang
berpeluh, lalu merangkul tubuh
istrinya.
Kali ini Farida tidak mengelak.
la balas merangkul. lalu
menangis tersedu-sedu.
"Syukurlah, syukurlah..." Ia
mengucap beberapa kali.
"Kau bermimpi. ya?" tanya
Ismed.
Farida mengangguk di dadanya.

"Kubuatkan minuman. ya?"


Farida mengangguk lagi. Tetapi
ketika Ismed mau beranjak dari
tempat tidur, secepat kilat
Farida kembali menghambur ke
pelukan suaminya. "Jangan
tinggalkan aku!" Ia berbisik
ketakutan.
"Lho?"
"Tidurlah lagi. Dekap aku!"
"Farida sayangku. Kau
membuatku bingung. Apa yang
terjadi?"
"Aku cuma mimpi. Cuma
mimpi..."
"lantas. Mimpi apa kau, sampai
lenganku kau kunyah?"
"Kukunyah?" Farida terkejut.
Ismed tersenvum. "Rasanya sih
begitu."
"Sakit, Bang" Berdarah?" tanya
Farida, merasa bersalah.
"Uh, bukan main sakitnya.
Darah mengucur banyak
sekali!"
"Mana. Coba kulihat." Farida
mengambil lengan suaminya
yang terkena gigitan. Memang
ada bekas hunjaman gigi. Tetapi
tidak mengucurkan darah, walau
setetes. Farida menjatuhkan
tangan Ismed. Dongkol setengah
mati. "Brengsek!"
Ismed tertawa lembut. "Tadi aku
terpekik karena kaget. Habis,
lagi enak-enak tidur. Tetapi
kalau dalam keadaan biasa,
yakinlah, gigitanmu itu pasti
enak. Kau geram, ya?"
"Geram apa?"
"Ingin..."
"Ingin apa?"
"Ingin sekali lagi."
"Sekali lagi apa" Kok
berbelit-belit, sih."
"Kau yang berbelit, Ida. Bilang
saja deh terangtetangan. Bahwa
kau ingin ku'gitu'kan sekali
lagi." Sambil berkata begitu,
Ismed mencubit pinggang
istrinya.
"Ih. Genit!" Farida pura-pura
cemberut menanggapi godaan
suaminya. Tetapi ia biarkan juga
tangan Ismed bermain-main,
menyusuri lekuk tubuhnya. Dan
perlahan mimpi buruk
mengerikan itu menguap dari
pikiran Farida. Bersama
suaminya tidak ada lagi hal
yang perlu ditakuti. Semua
berubah menjadi indah.
penuh debaran yang
mengasyikkan. Kali ini mereka
bercinta lebih lama. Lebih
lembut. Lebih syahdu. Farida
benar-benar sangat menghayati
semua sentuhan Ismed. Seolah
permainan cinta itu baru
pertama kali ia alami, dan tidak
akan pernah terulang lagi.
Ketika mereka selesai. terdengar
bunyi beduk disusul suara azan
sayup-sayup sampai.
"Wah. Sudah subuh kiranya,"
ujar Farida seraya meloncat
turun dari tempat tidur. "Aku ke
dapur dulu. Masak air untuk
mandi."
Saat hendak menuju dapur,
Farida tertegun.
Untuk pertama kali sejak tiba di
rumah mereka yang baru.
Farida melihat lemari mungil di
ruang tengah itu. Sesaat ia
ternganga. jantungnya berdegup
lebih cepat. Ukiran di daun
pintu lemari menggambarkan
perempuan yang duduk dengan
seekor kambing di pangkuannya.
menarik perhatian Farida.
Meski gemetar, Farida tetap
melangkah mendekat lalu ia
menjulurkan kepalanya
memperhatikan lemari itu
dengan seksama.
Ia hampir saja terpekik.
Wajah perempuan di daun pintu
lemari itu adalah waiah yang ia
lihat dalam mimpinya!

***

Dikantornya. hari itu suasana


hati lsmed Effendi sedang bagus.
Berkas-berkas laporan yang
disodorkan bawahannya ia
periksa tanpa banyak tanya
ini-itu. Tamu-tamu ia layani
dengan senyum yang selalu
mengembang di wajahnya.
Surat-surat ia tanda tangani
dengan lancar.
Saat hendak keluar untuk pulang
sebentar makan siang di rumah,
ia lewat ruang utama dan
mendengar bisik-bisik para
pegawai di belakang
punggungnya.
"Untunglah bos kita yang baru
tidak galak seperti bos yang
lama." Seseorang bergumam.
"Ah. Biasa," sambut yang lain.
"Hari ini begitu. Besok. siapa
tahu?"
"Aku percaya padanya. Malah
aku berani taruhan..."
Sambil memacu mobil dinasnya
menuju rumah.
Ismed nyeletuk sendiri, "Silakan
kalian menduga apa saja.
Silakan kalian bertaruh. Dan
camkan, yang keluar sebagai
pemenang adalah yang
berprestasi!" serunya penuh
semangat. Ia
menggeleng-geleng, mengingat
obrolan pegawainya. Sesaat
kemudian. Ismed mendengus
senang. "Coba kalau kalian tahu
apa yang kupikirkan. Ya, betapa
mudahnya menyenangkan
seorang istri! Hanya dengan
tipuan kecil."
Tadi pagi selagi sarapan, Farida
mengomentari perabotan rumah
mereka.
"Baru kali ini kulihat lemari itu,
Bang. Sebuah lemari yang
bagus!"
"Lemari yang mana?" sahut
Ismed, pura-pura.
"Yang berada di ruang tengah.
Pcmbuatnya tentulah seorang
yang sangat ahli."
"Oh. betul itu." Cepat Ismed
menjawab, sambil
mengangguk-angguk. Bangga
mendengar pujian istrinya.
Sungguh, akan pingsan si Harlas
mendengarnya nanti!
"Sebuah surprise." Farida
mengerling.
"Tepat!"
"Ukiran pintunya pasti sengaja
dipesan..."
Ismed menelan makanannya.
Tertegun sesaat. Lantas melihat
ada kesempatan, ia jawab
sekenanya saja.
"Memang."
"Kau yang memesannya, Bang
Ismed?"
"Ya. Ya, aku." Ismed
menyeringai sambil mengunyah
tempe goreng dengan rakusnya.
Kunyahan itu tidak ia
nikmati. Yang ia nikmati,
tipuannya yang menakjubkan!
"Kok pengukirnya tahu benar
raut wajahku, ya?" tanya Ida
tiba-tiba. "Padahal. bertemu pun
kami bclum."
"Oh, itu. Itu... hm. aku memberi
dia gambaran tentang dirimu."
Tak urung Ismed gelagapan
menjawab pertanyaan Farida.
"Eh, maksudku, kuperlihatkan
salah satu potret dirimu pada
pengukir yang hebat itu!"
"Berapa lama ia
mengerjakannya, Bang Ismed?"
"Hm" Tiga hari. Ya. Tiga hari."
"Bukan main! Ia tentunya
seorang pengukir jempolan."
puji Farida penuh kekaguman.
"Jempolan tapi kampungan!
Berselera rendah," cela ibu
mertua Farida, tak senang.
"Kok Ibu bilang begitu?" rungut
Ismed, cemas.
"Aku juga sudah melihat lemari
itu, Nak. Pengukirnya memang
ahli. Tetapi menurutku, ia
menggambarkan istrimu
mengikuti imajinasi berlebihan."

"Berlebihan bagaimana. Bu?"


"Ia merusak citra istrimu."
"Merusak bagaimana?" tanya
Ismed, heran.
"Kelembutan yang dimiliki
istrimu, sama sekali tak terlihat
dalam ukiran kayu itu. Yang
kulihat, justru kekejaman. Kalau
mau terang-terangan-tetapi
jangan tersinggung, ya. Ia
menggambarkan istrimu sebagai
seorang wanita yang kejam.
Wanita jahat. Seperti
wanita menakutkan dalam
dongeng tentang dunia sihir!"
Hampir jatuh gelas berisi teh
yang akan diminum Ismed.
Apakah Harlas telah bercerita
sesuatu pada ibunya mengenai
asal usul lemari itu" Hm" terlalu
benar si Harlas. Awas nanti
kalau nanti mereka bertemu!
"Tapi aku senang, Bu," ujar
Farida, menenteramkan hati
Ismed yang resah. "Aku senang
dengan gambaran lain tentang
diriku. Karena kupikir,
gambaran seperti itu mungkin
saja tampil pada seseorang.
Dengan adanya ukiran diriku
itu, mengingatkan aku agar
selalu berusaha menekan emosi
kalau tak ingin membuat lawan
bicaraku ketakutan."
"Bukan saja menakutkan." comel
ibu Ismed. tak puas. "Di pintu
lemari itu, dibuatnya kau
seolah-olah perempuan binal!"
"Masa iya?" Farida tersenyum.
"Tambah nasinya, Bu?"
"Aku sudah kenyang." Ibu Ismed
meneguk tehnya. lalu menarik
napas sebentar. "Anak kambing
itu," lanjutnya, "apa-apaan si
pengukir menghadiahi
haribaanmu seekor kambing"
Berwarna hitam pula. Di zaman
dulu, zaman nabi-nabi, binatang
macam itu perlambang setan."
Ismed terbatuk.
Farida coba menengahi. "Kalau
Ibu kurang suka..."
"Bukan tak suka. Ida." sanggah
ibu menua Farida.
"Cuma yah, kok rasanya
kampungan dan... eh, kau
sendiri menyukai ukiran di pintu
lemari itu, bukan?"
Farida mangut-mangut.
"Hadiah dari suami tentulah
harus diterima sang istri dengan
sukacita. Bu. Apalagi aku tahu,
Bang Ismed bermaksud
menyenangkan hatiku.
Kuanggap lemari itu sebagai
hadiah dan pernyataan cinta
kasih darinya. Bukankah begitu.
Bang?"
Ismed menggerakkan kedua
lengan dengan telapak tangan
terbuka, tanda menyerah. Tak
lupa menambahkan dengan
malu-malu, "Kau lebih tahu,
sayangku."
Melihat anak dan menantunya
saling berpandangan bahagia,
ibunya Ismed tidak dapat
berkata apa-apa lagi.
"Kalau kau menyukainya, Ida,
aku pun suka jugalah," katanya
sambil mengangkat bahu. Lalu
sambil mendongak pada Ismed,
ia melanjutkan. "Dan, tolonglah
Ismed, perlihatkan juga potretku
pada pembuat lemari itu. Tetapi
aku punya permintaan khusus."
"Apa. Bu?" tanya Ismed sambil
berpikir siapa pembuat lemari
antik itu.Masih hidupkah
orangnya. atau tinggal tulang
belulang di bawah gundukan
kuburan tua, di suatu tempat
entah di mana"
"Kalau ia mengukir aku." kata
ibunya tenang. "tolong di
ribaanku jangan diletakkan
seekor kambing. Aku minta yang
lain saja."
"Apa. Bu?"
"Seekor gajah!" Dan mereka
tertawa berderai-derai.
Tiba di rumah. Ismed disambut
pertanyaan dari ibunya.
"Apakah istrimu menemui kau ke
kantor?"
"Tidak. Bu. Mengapa?"
"Aku tak melihatnya dari tadi,"
sahut ibunya seraya
menghidangkan makan siang
untuk Ismed. "Mungkin juga ia
pergi belanja ke pasar. Tetapi
kok lama benar, ya?"
"Jam berapa ia pergi?"
"Tak bisa kupastikan. Setelah
mencuci pakaian. lalu menyapu
rumah. Eh. tahu-tahu tak
kudengar lagi suaranya. Waktu
aku selesai menyetrika. aku tidak
melihat dia lagi. Heran. Kok dia
meninggalkan rumah tanpa
bilang-bilang. Apa dia biasa
begitu?"
"Tidak, Bu."
"Kau tahu ke mana ia kira-kira
pergi?"
"Entahlah. Ida baru pertama
kali ke kota ini. Barangkali, ia
pergi ke rumah Harlas.
Kudengar ia ada rencana usaha
bersama dengan Euis. Ibu tahu
apa rencana mereka?"
"Tidak."
"Ida bermaksud buka konveksi."
"Bersyukurlah kau, anakku.
Punya istri yang tidak hanya
berpangku tangan.
mengandalkan gaji suami."
"Gajiku sebenarnya lebih dari
cukup, Bu. Tetapi yah" mana
bisa kularang. Lagi pula.
timbang ia me
lamun, kesepian. Mana di kota
yang masih asing baginya. Jauh
dari sanak famili pula. Entah,
kalau lbu memutuskan untuk
tinggal selamanya dengan
kami."
"Aduh, Nak. Adik-adikmu di
kampung masih perlu diurus.
Belum lagi sawah peninggalan
ayahmu. Memang ada yang
mengerjakan dengan hasil bagi
dua, tetapi kalau tak diawasi.
kau tahu sendiri. Diserang hama
tikuslah, werenglah, rebutan
airlah. Pendeknya, segala
macam alasan mereka agar kita
kebagian sendikit dan yang
mengerjakan untung besar lalu
diam-diam membeli sawah
sendiri."
"Biarkan saja, Bu. Kau tinggal
saja dengan kami di sini. Si
Mariam toh sudah kawin. Si
Londuk juga sudah bekerja. Soal
si bungsu, Maraiman, biar
sekolah di Pandeglang ini saja."
"Kalau ia mau."
"Ibu yang tak mau!"
"Bukan aku tak betah dengan
kalian, Nak. Tetapi aku ini sudah
tua. Kalau kelak meninggal, aku
ingin dikubur di tanah tempat
aku dilahirkan. lagi pula,
kakekmu sudah pikun. Tak ada
yang sabar mengurusnya. Kalau
tak ada aku, bagaimana
nasibnya?"
Satu jam sudah Ismed di rumah.
Tetapi Farida belum pulang
juga.
"Jangan-jangan Ida tersesat,
Nak," ujar ibu Ismed, khawatir.
Ismed tertawa. "Dia bukan anak
kecil lagi, Bu. Kota ini pun
lebarnya cuma setelapak tangan.
Tak
usah khawatir. Pasti ia di rumah
Harlas. Euis memang teman
ngobrol yang membuat orang
lupa waktu."
Tetapi toh, ketika masuk kantor
kembali, pikiran Ismed mulai
tidak tenang. Apa-apaan
Farida" Pergi tanpa pamit.
Tidak ingat waktu. Kalau cuma
mereka berdua sih tak apa.
Tetapi ini. kan ada Ibu."
Sungguh memalukan! Tetapi ya.
barangkali Farida tak perlu
terlalu disalahkan. Mungkin ia
dan Euis sedang pergi
melihat-lihat mesin jahit yang
akan dibeli. Barang demikian
memang susah dicari di
Pandeglang ini. Mereka
mungkin mencarinya ke Serang,
siapa tahu juga malah ke
Jakarta. Sayangnya, kok nggak
bilangbilang!
Dan. di depan mata para
pegawai yang tadi berbisik-bisik
memuji dirinya, Ismed Effendi
tampak sudah berubah.
Mendadak tampak angker!
ISMED baru panik setelah
waktu menunjukkan pukul
delapan malam dan Farida
belum kelihatan batang
hidungnya. Paniknya bertambah
mendengar ibunya terus-terusan
menangis sambil ketakutan.
"Jangan-jangan istrimu
mengalami kecelakaan. Atau...
diculik orang!"
Kecelakaan. mungkin.
Tetapi tidak kalau diculik.
Orang yang berani
melakukannya bakal babak belur
lebih dulu, karena Farida jago
karate. lsmed menyabarkan
ibunya, kemudian keluar rumah.
la malu bertanya pada tetangga
sekitar rumah. Bisa-bisa jadi
bahan gunjingan. Ia juga malu
bertanya pada Harlas, karena ia
yakin tentulah Harlas dan
istrinya tidak akan sampai hati
menahan Farida berlama-lama
di rumah mereka. Farida tidak
mungkin pergi ke rumah Harlas,
pikirnya. Tetapi bagaimanapun
ia harus ke rumah sahabatnya
itu. Di kota ini, hanya Harlas
seorang yang dapat ia mintai
tolong.
Euis kaget setelah diberitahu
Farida menghilang. "Tidak.
Sejak kemarin malam itu, aku
belum bertemu dia lagi."
Harlas tak kalah kagetnya.
"Yang benar saja! Berani
istrimu berkeliaran seorang diri
di tempat yang masih asing
baginya?"
Mereka kemudian nekat ke
rumah sakit terdekat, mencari
informasi mana tahu ada korban
peristiwa kecelakaan lalu lintas.
Nihil. Lalu ke kantor polisi. tetap
tak ada jejak Farida. Mau tidak
mau Ismed meminta bantuan
polisi untuk ikut mencari
istrinya, tetapi agar
dirahasiakan benar pada orang
lain. Sangat memalukan, kepala
seksi sebuah instansi pemerintah
dilaporkan telah kehilangan
istrinya.
Harlas kemudian mengajak
Ismed pulang.
"Ibumu perlu didampingi. Kalau
perlu, beri ia obat tidur,"
katanya menyarankan agar ibu
Ismed bisa lebih tenang. Sambil
menyetir mobil ke rumah
sahabatnya. Harlas berpikir
keras. Kemudian ia menepuk
keningnya, menyesali otaknya
yang terlambat memberikan
informasi. "Oh ya, lsmed!
Kemarin Euis sempat
ceritacerita dengan istrimu. lda
bilang, memang ia baru pertama
kali ke daerah ini. Tetapi
sebenarnya ia-tepatnya
leluhurnya, bukan orang asing
di sini."
"Maksudmu?"
"lda bilang, kakeknya berasal
dari Malimping. Dikuburkan di
Malimping. Apa ia tak pernah
cerita padamu?"
"Oh. Itu sih pernah. Tetapi aku
tak tahu di mana Malimping
itu."
"Malimping kita singgahi kalau
pergi menuju Labuan. Memang
hanya kota kecamatan. Tetapi
luasnya bukan main.
Wilayahnya sampai ke pinggir
kabupaten Bogor. Sekarang,
coba kita andaikan ia pergi
menziarahi kuburan kakeknya
atau menemui seorang sanak di
sana. Di desa mana kiranya?"
"Mana aku tahu?" keluh lsmed
sambil angkat bahu. Putus asa.
"Tentang kakeknya yang di
Malimping, sudah lama rasanya
ia ceritakan padaku. Itu pun,
cuma sambil lalu."
"Payah kalau begitu. Tetapi,
nanti dulu. Seluasluasnya
daerah sekitar sini. kita masih
mungkin mencari alamat
seseorang, asal kita tahu siapa
orang yang kita cari."
"Siapa?" gumam Ismed. bodoh.
"Kakeknya itu."
"lda sendiri tak pernah tahu
siapa nama kakeknya!"
"Ya. ampun!" Harlas ikut putus
asa.
Tiba di rumah, Farida belum
pulang juga. Ismed kewalahan
mendengar ratap tangis ibunya.
Harlas sendiri tidak banyak
menolong. Harlas kemudian
pamit.
berjanji akan minta bantuan
beberapa orang kenalan dan
kerabatnya untuk ikut mencari
Farida.
"Kau di rumah saja. temani
ibumu. Biar aku yang
berkeliling," ujar Harlas
membesarkan hati Ismed.
"Aku ikut, Harlas."
"Jangan. Kau terlalu letih. juga
shock. Malah akan menambah
pekerjaan kami nanti."
"Tetapi Farida..." tukas Ismed
dengan nada waswas.
"Berdoalah bahwa ia akan
baik-baik saja. Bayangkan
misalnya ia iseng naik bus ke
Rangkas, tetapi salah naik yang
ke Jakarta. Doakan, istrimu
sudah tiba di rumah sebelum
matahari terbit esok pagi!"
Kemudian Harlas pergi.
Tinggal Ismed termangu-mangu.
Gelisah setengah mati. Ibunya
terus-menerus mengeluh soal
bencana. soal culik-menculik
dan segala macam. Sampai
Ismed jengkel dan berteriak
membentak ibunya, "Diamlah,
Bu! Ibu membuatku makin sakit
kepala saja!"
Ibunya terkejut, lantas mundur
teratur. Masuk ke kamar tidur.
menangis menyesali nasib. Di
usia setua ini, masih juga tega
anaknya membentak sekasar itu.
Ia hanya tidak tahu harus
melakukan apa untuk membantu
menemukan menantunya.
Ismed menyeka dahi, menyesali
sikapnya barusan. Ia lalu
melangkah Iungai ke kamar
ibunya. Perempuan tua itu
meringkuk, pucat dan bersimbah
air mata.
"Maafkan aku, Bu," bisik Ismed
tersendat.
"Aku mengerti, Nak."
"Ida..."
"Ya. Ya. Aku pun kehilangan
dia."
"Kalian berdua tidak bertengkar
sebelumnya, Bu?" tanya Ismed
hati-hati. Takut kembali
menyinggung perasaan ibunya.
"Demi Tuhan. tidak, anakku.
Lebih baik aku mati berdiri,
ketimbang harus menyakiti hati
menantuku itu."
Diam sejenak, Ismed bertanya
lagi. "Apa sebenarnya yang
terjadi pagi tadi. Bu?"
"Bukankah sudah kuceritakan?"
"Coba Ibu ulangi lagi," bujuk
Ismed lembut. "Bagian demi
bagian. Jangan lupakan hal-hal
yang terkecil sekali pun.
Misalnya, ibu mendegar ada
sendok jatuh."
"Bukan sendok." sanggah
ibunya.
"Apa, Bu" Bukan sendok?"
"Keramik. Salah satu keramik di
lemari itu. Aku sedang buang air
ketika kudengar suara benda
seperti gelas jatuh. Tetapi keluar
dari kamar mandi, aku mencium
bau gosong. Rupanya aku lupa
mencabut kabel setrikaan dari
stop kontak. Aku malunya bukan
main. Karena yang hangus
justru celana istrimu. Dan... eh,
apakah kau mendengar ceritaku,
Nak?"
Ismed mengangguk-angguk.
dengan jantung berdegup
kencang. Sekujur tubuhnya
mendadak terasa
dingin. "Ibu yakin, yang jatuh itu
keramik dari lemari" Lemari
yang mana?"
"Yang mana lagi" Itu, yang
ukirannya kampungan!" dengus
ibunya. Masih dengan nada
kesal.
"Lupakan dulu soal
kampungan!" Ismed tersedak.
"Siapa yang menjatuhkannya?"
"Pasti istrimu."
"Bagaimana Ibu tahu?"
"Tentu saja aku tahu! Karena
sebelumnya sempat kudengar
istrimu berkata akan
memindahkan keramik itu ke
bufet hias di ruang depan.
Katanya, lemari kecil itu lebih
pantas diisi buku-buku koleksi
kalian, juga barang-barang
pecah belah yang tidak patut
dipajang. Aku sendiri ikut
membantu mengangkatkan
sebagian barang dimaksud.
Tetapi Ida menyarankan agar
aku tak usah repot-repot, lalu
kupikir lebih baik aku
menyetrika saja. Dan ia pun
kutinggalkan..."
"Setelahnya, Bu" Setelahnya?"
desak Ismed hampir menjerit.
"Jangan terlalu keras suaramu,
Nak. Telingaku pekak kau bikin.
Hm. setelahnya... ya, aku ingin
buang air. Waktu masih di
kamar mandi itulah aku
mendengar suara benda jatuh,
pecah, dan..."
"Ibu memeriksanya?"
"Aku memeriksanya. Tetapi
setelah lebih dulu
menyembunyikan celana istrimu
yang hangus itu. Aku lantas
pura-pura menyetrika yang lain
satu dua lembar sambil cemas
kalau kelalaianku dipergoki
istrimu.
Tetapi setelah lama tak
kudengar suara, aku jadi heran.
Kuintip ke ruang depan, dan..."
"Dan?"
"Aku tak melihat Farida. Yang
kulihat, tumpukan buku-buku di
lantai. Juga seperangkat piring.
gelas, dan..."
Ismed menelan ludah.
Kerongkongannya kering
kerontang. Serak, ia bertanya,
"Apa yang lbu lihat di lemari?"
"Yang kulihat" Tentu saja
keramik-keramik itu. Kecuali
yang satu, pecahannya
berserakan di lantai. Pintu
lemari dalam keadaan terbuka.
Farida kukira belum sempat
memasukkan apa pun ke
dalamnya. Entah apa yang
membuatnya membatalkan niat,
lantas kemudian meninggalkan
rumah diam-diam."
lsmed bangkit dengan lutut
goyah.
"Aku tahu ke mana ia pergi,"
bisiknya parau.
"Kau tahu, Nak?" Ibunya
terheran-heran.
"Ya. Aku tahu. Ibu tidur saja.
Aku akan menjemput
menantumu. Tak akan lama."
Kemudian ia meninggalkan
kamar ibunya.
lsmed berjalan tersuruk-suruk ke
ruang tengah. Dengan dada
berdebur-debur. jantung
mengembang mengempis begitu
kuat, begitu menyakitkan, begitu
menyesakkan. Tersengal-sengal
nyaris tidak sanggup lagi
menarik napas, sampai juga ia
di depan lemari antik yang
sekonyong-konyong membuatnya
ketakutan setengah mati. Sesaat
ketika memandangi daun
pintu lemari, pengaruh gaib
yang aneh langsung
menyergapnya. Serupa
dorongan untuk melampiaskan
hasrat kelelakiannya.
Matanya dipejamkan agar tak
melihat gambaran perempuan
misterius yang terukir pada kayu
pintu lamari. Lalu dengan
tangan gemetar, ia meraba
pegangan pintu, lalu
menyentakkannya sampai
terbuka lebar. Matanya pun ikut
terpentang lebar. Dalam jilatan
lampu ruangan, ia mendapati
bagian dalam lemari telah diisi
dengan buku-buku yang tertata
rapi serta perabotan pecah
belah. Mungkin ibunya yang
telah menyusun dengan rapi.
"Tapi...," mulutnya ternganga
tak mengerti. "apakah aku
salah?"
Tidak.
Dugaan Ismed tidak salah
sedikitpun.
Perlahan, bentuk sebelah dalam
lemari beserta segenap isinya
mengabur. Sebagai gantinya.
muncul bayangan kegelapan.
Bayangan hitam pekat, seolah
tanpa batas. Dari balik
kegelapan itu, hidung Ismed
mencium bau yang asing. Bukan
bau apak ruang tertutup, bukan
pula bau kayu atau bingkai
papan lemari. Entah bau apa.
Tanpa sadar, Ismed mengangkat
tangannya.
Digapaikan ke depan.
Tangannya ternyata menembus
kegelapan. Kulit tangannya
merasakan udara dingin yang
menusuk.
"Tua bangka terkutuk.
Kembalikan istriku!" Ismed
menggeram, marah. Lalu
melangkahkan kakinya ke depan.
Selangkah. Dua langkah. Tiga
langkah. Makin jauh ia
melangkah, makin berubah
kegelapan itu. Rasanya ia
melihat seman cahaya. Kecil dan
samarsamar. Ia juga mulai
mencium bau udara alam
terbuka.
"Ida?" Mulutnya memanggil
dengan lidah yang kelu. "Ida" Di
mana engkau, sayangku?"
Suara Ismed
memanggil-manggil nama
Farida terdengar oleh
perempuan tua yang terbaring
letih di kamar tidurnya. Meski
diliputi rasa heran, ia diam
mendengarkan. Tapi suara
anaknya kian menjauh,
sayup-sayup, lalu hilang.
Perempuan itu turun dari tempat
tidur lalu tertatih-tatih keluar
dari kamar.
"Ismed?" Kini ia yang
memanggil-manggil. "Ismed"
Apakah kau masih di dalam
rumah?"
Perempuan itu beringsut ke arah
lemari di ruang tengah.
Ia melihat pintu lemari ukiran
itu dalam keadaan terbuka.
Buku-buku koleksi anak dan
menantunya serta barang pecah
belah tersusun di bagian dalam
lemari. Ia telah merapikannya
tadi pagi, setelah Farida
meninggalkannya begitu saja.
Pintu lemari yang terbuka ia
tutupkan dengan empasan keras.
Kasar sekali. lalu dikuncinya
sekalian.
ke mana itu anak: lsmed ! lsmed!
la memanggil-manggil lagi,
sambil matanya mencari-cari. Ia
tidak melihat anaknya. Ia kini
sendirian. Di rumah yang
teramat asing bagi nya.
***

LORONG hitam itu berakhir di


tempat yang seketika membuat
lsmed Effendi terperanjat.
"Bermimpikah aku?" gumamnya
kelu, seraya mencubit paha
keras-keras. Pahanya terasa
sakit. Ia tak bermimpi. Tetapi
bagaimana mungkin. Ia tahu
betul. beberapa saat sebelumnya
ia masih berada di rumah.
Membuka pintu lemari di ruang
tengah lalu masuk, mencari-cari
istrinya. Kini tahu-tahu ia sudah
muncul di tempat yang sangat
asing.
Cahaya samar-samar yang tadi
ia lihat, kini terpampang nyata.
Ternyata cahaya itu adalah bias
sinar matahari yang menembus
celah rimbunan pohonpohon
yang menjulang di sekitarnya.
Sinar matahari" Padahal belum
jauh ia berjalan, serta yakin
bahwa saat membuka pintu
lemari, waktu menunjukkan
tengah malam. Lebih
menakjubkan lagi, beberapa
detik
sebelumnya ia berada di rumah,
tahu-tahu kini sudah terjebak di
tengah rimba belantara!
Panik melanda diri lsmed.
la melangkah mundur, terus
mundur. Kemudian memutar
tubuhnya, berlari ke arah
semula ia datang. Tetapi ia tidak
melihat pintu tempat ia masuk.
la hanya melihat kegelapan
hutan di sekelilingnya dengan
bias-bias mentari di sana sini. Ia
tidak melihat dinding tembok
rumah. Yang ia lihat adalah
dinding hutan berupa
tumbuh-tumbuhan raksasa yang
tumbuh rapat, pepohonan yang
luar biasa besar dan dahsyat,
luar biasa tinggi seakan ingin
mencakar langit di atasnya.
"Mana pintu itu! Mana pintu itu!
Mana...!" lsmed berteriak-teriak
histeris. Sambil berteriak ia
berlari ke sana sini.
Tersaruk-saruk. Kakinya yang
telanjang menginjak duri dan
ranting-ranting patah,
membentur akar-akar yang
menyembul dari dalam tanah.
lsmed jatuh tunggang-langgang,
tetapi segera bangkit lagi seraya
menjerit-jerit. "Tidak! Aku tak
mau di sini! Aku harus pulang!
Aku harus menemukan pintu
lemari itu! Aku?"
Terdengar suara menggeram di
dekatnya.
lsmed tertegun. Diam.
Suara menggeram itu kian dekat.
Endusan napas yang berat
disusul suara menggeram lagi.
Lalu sepi sejenak.
Sekonyong-konyong, benda
hitam besar melonCat dari balik
semak belukar. Terbang ke
arahnya.
Satu dua detik Ismed hanya
terpana. Awalnya ia hanya
melihat dua bintik hijau
kemerahan di bagian depan
benda hitam tersebut. Detik
kemudian baru ia melihat
taring-taring putih. Berkilau
tajam. Ismed kini sadar,
makhluk apa yang
menerjangnya.
Ismed mencoba mengelak.
Tetapi ia terlambat beberapa
detik.
Dengan pekikan yang menyayat
hati, Ismed terempas dengan
benda hitam besar dan berat itu
berada di atas tubuhnya.
Terdengar suara menggeram,
suara mengaum. Kedua tangan
Ismed meronta-ronta,
mendorong-dorong tak
terkendali saat telapak
tangannya menyentuh benda
kenyal, hangat, dan berbulu.
Sekuat tenaga ia mendorong
tubuh makhluk itu. Ia jauhkan
wajahnya dari pancaran mata
hijau kemerahan itu, juga dari
terkaman taring-taring yang
mengancam buas.
Ismed bertarung seperti orang
gila, mempertahankan nyawanya
yang diancam maut. Kakinya
menendang-nendang lalu
dijejakkan sekuat-kuatnya ke
tanah. lutut dilipat, kemudian
tubuhnya menggeliat untuk
membebaskan diri dari impitan
makhluk angkara murka itu.
Tetapi cakaran demi cakaran
kuku mulai merobek bajunya,
kulit dada serta perutnya. Ia
mulai merasakan pedih dan
hangat darah yang merembes
dari balik bajunya. Tenaganya
semakin berkurang.
Perlawanannya pun semakin
mengendur. semakin lemah.
Tangannya meluncur terkulai.
Lehernya kini terbuka tanpa
perlindungan, siap direngkah
maut. Mata Ismed terpejam.
Pasrah.
Tetapi maut itu tak pernah
datang.
Justru menjauh.
Ismed merasakan endusan napas
hangat menerpa lehernya.
Tubuh hitam besar yang
mengimpitnya, terangkat pelan.
Endusan napas makin menjauh,
begitu pula suara dengus
menggeram. makin merendah.
Secara naluriah Ismed membuka
kelopak matanya. Takut-takut. Ia
sadar sudah makhluk apa yang
dihadapinya. Dan ia juga tahu,
makhluk itu akan menghentikan
serangannya kalau ia diam tak
bergerak, pura-pura mati.
Ismed menaikkan lehernya.
Sedikit saja. Dan hatihati.
Barangkali ia masih punya
kesempatan untuk lolos dari
bahaya. Paling tidak, untuk
melakukan perjuangan terakhir
sebelum benar-benar
menyerahkan nyawanya yang
cuma selembar ke
tangan-tangan malaikat maut.
Yang ia lihat justru keanehan.
Raja hutan berbulu hitam
berkilauan itu bergerak mundur
menjauhinya. Lebih aneh lagi.
raja hutan yang luar biasa
besarnya itu bergerak dengan
keempat kaki merayap di atas
tanah. Sepasang matanya yang
tadinya galak, meredup tak
berdaya. Seringai mulut yang
tadinya buas, juga mengendur.
Kepalanya yang mengerikan,
merunduk dalam penyerahan
yang patuh. Terdengar suara
menggumam. Pelan. Lirih.
lalu makhluk penguasa hutan itu
bangkit di atas keempat kakinya
yang kekar kukuh, bergerak
memutar, lantas dengan suatu
lompatan yang tangkas makhluk
itu menghilang di balik
pepohonan. Tak lama kemudian
terdengar suara aumannya,
sayupsayup sampai. Auman
lirih, seakan mengadukan nasib
malangnya pada matahari.
Ismed berusaha bangkit.
Dengan susah payah akhirnya ia
mampu juga untuk duduk. Meski
dengan sekujur tubuhnya terasa
remuk, persendian terasa mau
rontok dan kaki hampir lumpuh.
Di belakangnya. terdengar lagi
suara menggumam pelan. Suara
yang asing dengan logat yang
juga asing bagi telinganya.
Gemetar. lsmed berpaling.
Kemudian beringsut
menggerakkan tubuh agar bisa
menghadap ke arah dewa
penyelamat itu.
Tadinya ia menyangka akan
melihat seorang pemburu
dengan senapan berlaras dua di
tangan. Paling tidak. ia
berharap akan melihat seorang
tua bangka dengan rantai
belenggu terjuntai-juntai dari
pergelangan tangan serta
kakinya, si tua bangka yang ia
cari-cari. Tetapi orang yang
berdiri di depannya, bukan
orang yang ia bayangkan.
Orang itu tidak berseniata.
Tidak Dula memakai belenggu
besi. Orang itu
tegak dengan kukuh,
membelakangi matahari.
Menimbulkan bias-bias gaib di
sekeliling kepala dan tubuhnya.
Tangannya bersedekap di dada.
Seluruh tubuhnya sampai ke
batas leher, berwarna putih.
Dengan cemas Ismed menatap
lebih ke bawah.
Balutan warna putih itu ternyata
kain penutup tubuh. Bagian
bawah kain itu berakhir pada
betis, hingga lsmed bisa melihat
sepasang kaki telanjang, kurus
tetapi tegak dan kokoh. Dan
yang jelas. telapak kaki
telanjang itu tidak mengambang
di atas permukaan tanah.
Telapak kaki itu menjejak nyata
di rerumputan. lsmed menarik
napas lega, si pemilik kaki
bukanlah makhluk halus.
Karena orang itu berdiri
membelakangi matahari, Ismed
tidak dapat melihat wajahnya.
Hanya samarsamar ia
menangkap sinar mata yang
tajam menusuk. Lalu gerak bibir
mengucapkan kalimat tertentu
yang tidak dimengerti oleh
lsmed. Sadar kalau lawan
bicaranya tidak memahami
bahasanya, orang itu
menggantinya dengan bahasa
yang mungkin dapat dimengerti
lsmed. Bahasa Sunda dengan
logat serta tekanan kata khas
orang Banten.
"Kau bisa berdiri, anak muda?"
Suara seorang lelaki tua yang
ramah dan berwibawa.
lsmed membuka mulut, tergagap.
"Kukira... a-aku bisa."
"Bangkitlah."
Ismed mencoba bangkit. Tetapi
ia segera terjatuh lagi. Sesosok
tangan kurus dengan kulit hitam
menyembul dari balik putihnya
kain. Ismed merasakan jemari
hangat serta kokoh
mencengkeram lengannya dan
membantunya berdiri.
"Kau terluka." ujar orang tua
berjubah putih itu.
"Ya," Ismed mengerang.
Tiba-tiba merasa sakit luar
biasa setelah diingatkan
mengenai luka-lukanya.
"Kau berbaringlah kembali."
"Tetapi. . . "
"Berbaringlah. Agar
perdarahanmu berhenti."
Orang itu kemudian berpaling
ke arah lain, mengedarkan
pandangan mencari-cari
sesuatu. Lalu beranjak memetik
beberapa helai dedaunan
menyerupai daun nenas.
Kembali ke tempat Ismed
terbaring, dedaunan itu
dipatah-patahkan. Bagian luar
tampaknya keras. tetapi bagian
dalam daun teramat lunak.
Cairan getah putih kekuningan
segera mengalir dengan deras.
lantas dioleskan ke leher Ismed.
"Mujur, pembuluh darahmu
tidak putus," gumamnya lega.
Jemari yang kurus hitam itu
kemudian dengan terampil
merobek-robek baju serta celana
Ismed yang memang sudah tidak
karuan wujudnya. Kembali
cairan dingin dari getah
dedaunan itu dioleskan ke perut,
dada. serta paha Ismed yang
terluka oleh cakaran kuku-kuku
runcing si raja hutan.
"Getah ini untuk menawar
racun," kata orang
berjubah putih itu. "Mujur
luka-Iukamu tidak begitu parah.
Kulit tubuhmu yang terbuka
dapat kurapatkan kembali."
Setelah luka-luka Ismed diolesi
sampai rata dan tidak ada yang
terlewat, orang tua itu
menunggu sebentar. Kemudian.
setelah telapak tangan serta
jemarinya diusapkan sedemikian
rupa, terlihatlah keajaiban.
Luka-luka menganga di tubuh
Ismed mulai merapat dengan
sendirinya. Tinggal gurat
samar-samar serupa cakar ayam
yang semrawut.
Si tua berjubah melangkah
mundur.
"Gerakkan tubuhmu sedikit.
Agar bagian-bagian yang
terluka. terkena sinar matahari,"
perintahnya.
Ismed menurut dengan segenap
kepercayaan diri. Keajaiban
berikutnya pun terjadi.
Gurat-gurat merah tadi
perlahan-lahan sirna. Kulit
tubuhnya pulih seperti
sediakala. Seakan tidak pernah
mengalami luka.
"Sekarang... duduklah. Perlahan
saja."
Saking takjub dan senang
hatinya. Ismed bangkit. Duduk
serempak. Seketika, ia melolong
kesakitan lantas terhempas.
Tubuhnya menggeliat
menahankan azab.
Bagian-bagian yang tadinya
terluka, seolah dibakar dengan
sundutan puntung rokok
menyala.
"Aku sudah bilang.
Perlahan-lahan saja," bisik
orang tua di dekatnya dengan
nada mencela. "Diam dulu
sebentar. Ambil napas. Yang
tenang. Biar aliran darahmu
bekerja dengan baik. Bagus...
Tarik lagi na
pasmu... lebih panjang. Nah,
sekarang cobalah sekali lagi.
Ingat, duduklah
perlahan-lahan!"
Siksaan perih itu masih terasa
ketika lsmed mencoba bangkit.
Tetapi tidak sesakit tadi.
Akhirnya Ismed berhasil duduk
dengan napas terengah-engah.
"Tenangkanlah dirimu. Ambil
napas yang dalam. Teruslah
begitu selama beberapa saat?"
Lima menit lamanya Ismed
duduk bersimpuh, mengatur
pernapasannya seperti yang
diperintahkan. Lima menit pula
sang penolong berjubah putih
menungguinya dengan sabar.
Menit berikutnya ia disuruh
berdiri. Orang tua itu
membantunya dengan hati-hati.
"Sekarang, cobalah berjalan."
Ismed mematuhi.
"Masih terasa sakit?"
"Ya."
"Tadi aku hanya menyembuhkan
bagian luar. Luka dalam di
tubuhmu akan disembuhkan oleh
getah yang kini pasti telah
menyatu dengan daging serta
darahmu. Kemudian kau harus
meminum obat. Nanti akan
kuberikan. Bisa mengikuti aku
sekarang?"
Mereka berdua kemudian
berjalan menerobos hutan.
Perjalanan itu teramat lambat
karena mereka beberapa kali
harus berhenti. Menunggu
sampai siksaan perih yang
mendera tubuh Ismed mereda
kembali. Orang tua yang
ternyata memiliki wajah yang
sama ramah dengan tutur
katanya, menunggu dan mem
perhatikan dengan sabar seraya
memberi beberapa petunjuk
untuk mengurangi rasa sakit.
Di tengah perjalanan, Ismed
hampir menjerit dan lari
ketakutan, manakala dari
cabang rendah sebatang pohon,
menjulur ular dengan sisik
berbintik-bintik. Dari kepala
yang lancip terlihat lidah
bercabang keluar masuk di
ujung moncongnya. Orang tua
yang berjalan di depan Ismed
berhenti sejenak. Ditatapnya
ular besar yang sebagian
tubuhnya melingkar di cabang
pohon rendah itu. Mata ular
yang galak itu bersinar tajam,
sambil berdesis-desis, lalu
meliuk dengan gerakan liar. Dan
detik berikutnya, bagian tubuh
yang tadinya terjuntai ke bawah.
kini sudah kembali melingkar
lalu merayap naik ke cabang
yang lebih tinggi.
"Dia tak akan mengganggu
lagi," ujar si orang tua seraya
mengajak Ismed meneruskan
perjalanan.
Sambil mengawasi jalan setapak
di depan mereka, Ismed
bergumam heran, "Apakah tadi
Bapak berbicara dengan ular
itu?"
"Benar."
"Tetapi tak kudengar sepatah
kata pun Bapak ucapkan."
"Kami berbicara melalui hati
nurani."
"Oh. lalu apa yang Bapak
katakan?"
"Bahwa kau tamuku."
"Oh."
"Tetapi hanya sebatas senja."
"Apa?"
"Kau dalam perlindunganku
sampai batas senja. Begitu
malam terjatuh, maka kau harus
melindungi dirimu sendiri."
"Maksud Bapak?"" Ismed
tercekat.
"Sebelum malam tiba. kau harus
sudah pergi." jawab si orang tua
dengan suara tenang. "Karena
itu. marilah kita bergegas."
Mereka mempercepat langkah.
Perasaan cemas dan takut
mendorong semangat Ismed dan
mengabaikan sakit di dalam
tubuhnya. Setelah agak lama
mereka saling berdiam diri.
Ismed tak dapat menahan hati.
"Bapak siapa?" Ismed bertanya
pelan.
"Pu-un."
"Siapa?"
"Pu-un. Kepala suku."
"Maksud Bapak, kepala
kampung?"
"Kepala suku."
Mereka memasuki tempat
terbuka. Tempat yang lebih
banyak tersiram matahari.
Ismed tercengang melihat begitu
jarangnya rumah atau tepatnya
gubuk di tempat terbuka itu.
Lebih tercengang lagi setelah
menyadari. tidak satu pun gubuk
itu dibangun di permukaan
tanah. Semua dibangun di atas
pohon-pohon besar. Terbuat
dari potonganpotongan kayu,
bilah-bilah bambu dan beratap
dedaunan enau kering serta ijuk.
Sekeliling gubuk berpagar,
seolah tergantung di
awang-awang. Sepintas
saja Ismed memahami kegunaan
pagar yang sangat rapat itu.
Karena di depan salah satu
gubuk di atas kepalanya Ismed
melihat sesosok tubuh kecil,
merangkak-rangkak tak
terawasi. Pastilah bayi itu belum
berusia setengah tahun.
Sekelompok anak-anak yang
lebih besar bermain-main di
gubuk lain atau berlariIarian di
antara rerumputan. Ada pula
yang memanjati akar-akar
pepohonan yang
bergelantungan.
Semua kegiatan di tempat
terbuka itu mendadak terhenti.
Perhatian semua penghuni
tertuju pada Ismed. Tetapi
dengan satu gerakan tangan
sang kepala suku, kegiatan
mereka diteruskan lagi.
Kehadiran Ismed sepertinya
tidak lagi menarik minat mereka.
Ismed kemudian diajak naik ke
gubuk yang paling besar dan
paling bagus. Orang tua itu
tetap sabar membantu Ismed.
Tampak sekali tamunya tidak
terbiasa naik melalui
tangga-tangga bambu yang
posisinya tegak lurus, mana
terayun-ayun liar pula kala
dinaiki. Bukan itu saja. ujung
bawah tangga itu bergantung
hampir satu meter di atas
permukaan tanah.
Beberapa sosok tubuh
berpakaian hitam-hitam yang
sesaat sebelumnya beraktivitas
di teras gubuk di atas pohon,
menghilang dengan cepat
setelah Ismed menjejakkan kaki
di lantai gubuk. Ia dipersilakan
masuk ke ruang dalam yang
ternyata cukup luas. Tak ada
perabotan untuk menyimpan
barang-barang. Segala sesuatu
ditumpuk di lantai kayu. ada
yang
diselipkan ke dinding bambu
atau dijemur pada seutas
tambang memanjang yang
terbuat dari pintalan ijuk.
Sia-sia mata lsmed mencari
barang pecah belah apalagi
barang elektronik, semisal radio
berkekuatan baterai. Diam-diam
lsmed lantas menyadari bahwa
ia telah memasuki dunia primitif.
suatu peradaban yang
benar-benar sangat primitif.
lsmed tidak sedikit pun
mendengar sang kepala suku
memerintahkan sesuatu. Tetapi
beberapa orang perempuan
telah sibuk keluar masuk. Dalam
sekejap mata, di depan tempat
lsmed duduk bersila telah
terhidang nasi serta lauk
pauknya. Nasi putih itu
memancarkan aroma harum
semerbak yang menggoda
selera. Masih mengepulkan uap,
agaknya baru dikeluarkan dari
periuk. Lauknya terdiri dari
daging yang ternyata sangat
lunak. Mungkin daging
menjangan atau kelinci.
Kemudian ikan bakar, petai
rebus, sambal dengan
bermacam-macam lalap. Dari
kendi tanah dituangkan air
dingin sejuk ke cangkir yang
terbuat dari tempurung kelapa.
Kepala suku mempersilakan
tamunya makan, menasihatkan
agar tidak usah malu-malu,
kemudian menunggui dengan
sabar. lsmed yang kehabisan
tenaga dihadang maut, makan
dengan lahap. Begitu rakusnya,
sampai lsmed malu sendiri saat
sang tuan rumah menatapnya
dengan senyum penuh
pengertian.
Usai makan, kepadanya
disodorkan tempurung
berisi cairan hangat berwarna
kenijauan yang beraroma aneh.
"Apa ini?" tanya lsmed,
ragu-ragu.
"Teh."
"Hanya teh?" lsmed masih ragu.

"Dengan ramuan obat. tentu."


Teh hangat itu kesat di lidah,
tetapi enak di langitlangit mulut,
hangat di kerongkongan. dan
menyergap lebih hangat lagi
ketika memasuki lambung lsmed.
Tanpa malu-malu ia minta
secangkir lagi yang dengan
senang hati dikabulkan tuan
rumah.
"Bagus," ujar kepala suku.
gembira. "Paling lambat, dalam
dua hari luka dalammu akan
sembuh."
Tetapi matahari telah merosot
semakin rendah di balik jendela
gubuk.
Sikap orang tua itu mendadak
berubah dingin dan kaku. Dari
sela-sela bibir tuanya terlontar
gumam tajam tanpa kompromi.
"Sudah waktunva engkau pergi.
anak muda!"

***

LENYAP sudah keramahan tuan


rumah. Seketika. lenyap pula
kenikmatan hidangan yang telah
mendekam di perutnya. Ismed
Effendi menatap tuan rumah,
orang tua yang menolongnya
dari hadangan maut. "Ke mana
aku harus pergi?" gumamnya
getir,
mengharap belas kasihan.
"Aku tak tahu. Dan tak perlu
tahu." tandas orang tua itu
dengan tegas.
Ismed jengah. Campur bingung.
"Bapak dapat memberi saran?"
"Pergilah ke arah semula
engkau datang, anak muda!"
"Arah mana itu?"
"Sejalan dengan tenggelamnya
matahari."
"Jauhkah itu?"
"Tergantung secepat apa kau
mampu menerobos hutan
belantara yang harus kau jauhi."

Ismed pucat pasi. Terbayang


liukan ular dengan lidahnya
yang bercabang mengerikan.
Terngiang auman macan
kumbang dengan
taring-taringnya yang
mengancam buas. Itu baru satu
ekor, dari masingmasing jenis.
Berapa jenis lagi
binatang-binatang buas yang
harus ia hadapi" Berapa ratus
ekor pula makhluk-makhluk
yang siap berebut memangsa
dirinya"
"Aku... a-ku tak berani pergi,"
rintihnya. "Entah, kalau besok
pagi." Ismed mencoba menawar.

"Kau harus pergi, anak muda.


Sekarang juga."
"Tak bolehkah aku memohon
untuk diberi tempat bernaung
barang satu malam saja?"
"Tidak pernah, anak muda.
Tidak pernah kami perkenankan
pada orang luar atau pendatang
dari luar suku kami. Sudahlah.
Jangan banyak cakap lagi.
Waktumu semakin sempit."
"Aku... aku tak tahu jalan
pulang."
"Tak usah khawatir. Seseorang
akan mendampingimu. Ia juga
pendatang. Dan ia akan
menyertaimu pergi. Setelah kau
ada di tangannya. tergantung
dia ke mana akan membawamu.
Maafkan kami, anak muda.
Kami ingin membantu. Tetapi
kau pun tahu, bantuan setiap
manusia pada manusia lainnya
ada batasnya, ada batas
kemampuannya. Kunasihatkan,
setelah kau berhasil keluar dari
hutan ini-itu sangat kuharapkan
sekali, buanglah pikiran untuk
kembali kemari. Dan tolong,
jangan ceritakan pada
siapa-siapa tentang kami. Jadi,
begitu kau keluar dari
lingkungan kami, lupakanlah
semua yang terjadi hari ini."
"Aku... belum mengucapkan
terima kasih."
Orang tua itu bangkit dari
duduknya.
"Kau sudah mengucapkannya.
Silakan..." katanya sambil
mengulurkan tangan terbuka
dan diarahkan ke pintu. Cara
mengusir yang halus dan sopan.
Entah kapan dan pada siapa
sang kepala suku memberi
perintah. Yang jelas, begitu
Ismed kembali menjejakkan kaki
di permukaan tanah, seseorang
telah menunggunya. Tangan
orang itu tampak menjinjing
sebuah bungkusan besar.
Nasibnya sama dengan Ismed.
harus segera angkat kaki dan
tidak diperbolehkan menginap.
Yang mengejutkan Ismed, orang
yang akan menemaninya itu
ternyata perempuan berusia
sekitar 30-an. Berkulit cokelat
sawo matang tetapi bersih dan
halus. Parasnya tidak begitu
cantik. namun manis. Semula. si
perempuan ternganga takjub
melihat siapa orang yang harus
didampinginya meninggalkan
hutan terpencil itu. Baru setelah
melihat wajah Ismed yang kaku,
perempuan itu mencoba
tersenyum. Senyum ramah dan
bersahabat. Senyuman yang
langsung menarik hati.
"Siap untuk berangkat, anak
muda?" tanya pcrempuan itu
lembut.
Ismed memandangi wajah
pendampingnya sejenak.
Kemudian ia tengadah,
mengawasi gubuk di atasnya.
Tak tampak kehadiran sang
kepala suku maupun
keluarganya. Dari gubuk-gubuk
lain di sekitarnya juga tidak ada
wajah-wajah yang menyembul
dari balik pintu atau dari balik
jendela, sebagaimana kebiasaan
tuan rumah melepas kepulangan
tamunya.
"Ke mana mereka semua?" bisik
lsmed, heran.
"Di dalam rumah. Mengurus diri
masing-masing. Kita pun
demikian, harus mengurus diri
sendiri. Dan waktu kita tak
sampai dua jam."
Mereka mulai melangkah.
Ismed mengiringi perempuan itu
berjalan masuk ke dalam hutan,
menempuh jalan setapak yang
kelihatannya sudah sering
dilalui manusia. Meski di
sepanjang jalan tumbuh semak
belukar serta pepohonan yang
rapat, namun agaknya si perintis
jalan selalu berusaha mencari
tempat yang lebih terbuka dan
masih dapat dijangkau sinar
matahari. Namun semakin jauh
memasuki hutan, suasana
semakin temaram.
"Kau bawa senjata, kan?" tanya
Ismed penuh harap.
"Senjata?"
"Ya. Pisau. Atau parang."
"Buat apa?"
"Siapa tahu, kita harus
menghadapi serangan binatang
buas."
"Memang akan."
"Apa!" lsmed memekik. Matanya
langsung liar mengawasi setiap
pohon, mengawasi semak
belukar.
Perempuan itu tertawa lunak.
"Kita akan berhadapan dengan
makhluk-makhluk pemangsa
manusia, apabila masih di hutan
ini setelah matahari terbenam.
ltulah perjanjiannya."
"Perjanjian?"
"Ya. Maka, marilah kita
bergegas."
"Perjanjian antara siapa?"
"Antara manusia dengan sesama
penghuni hutan."
"Tetapi... toh. aku tadi sempat
diterkam macan!"
"Sudah kudengar itu dari mulut
utusan kepala suku. Dan aku
percaya, ia telah menyembuhkan
lukalukamu. Apa kau sudah
merasa baikan, sekarang?"
"Lumayan. Pertanyaanku tadi
belum kau jawab." tagih lsmed.
"Perihal kau diterkam binatang
buas di siang bolong?"
"Ya."
"Binatang itu tahu kau orang
asing."
"Ah..."
"Apakah kau perhatikan, kepala
suku serta keluarganya berubah
kaku dan tak mau tahu sebelum
kalian berpisah" Dan kau lihat"
Warga lainnya juga menghilang.
sama sekali tak peduli."
"Ya. Aku heran."
"Tak usah heran."
"Mengapa mereka berlaku
seperti itu?"
"Kebiasaan turun-temurun.
Bantu orang lain yang
memerlukanmu. Tetapi lepaskan
mereka pergi setelah bantuanmu
tidak lagi diperlukan..." ujar si
perempuan, seolah tengah
menghafal isi sebuah buku.
"Kemudian. lupakan orang itu.
Terlebih kalau ia orang asing.
Kalau kau terus mengingatnya
dan suatu ketika kau dengar
orang yang kau bantu itu
meninggal atau hilang karena
kau lepaskan, rohmu akan selalu
tersiksa. ltulah hukumannya!"
Ismed berusaha mencerna
hukum yang aneh itu.
"Mereka harusnya membantu
kita," tukas Ismed tak puas.
"Paling tidak. untuk mengantar
sampai kita benar-benar selamat
keluar dari hutan ini."
"Kita akan selamat. Sekali lagi.
kalau kita keluar hutan sebelum
matahari terbenam. Tepatnya,
sebelum malam jatuh."
"Kau percaya kita pasti
selamat?"
"Aku percaya. Bahkan yakin
seyakin-yakinnya. Karena semua
penghuni hutan telah
dikabari-dengan cara
masing-masing yang kalian
orang asing tak akan mengerti,
bahwa sampai matahari
terbenam. kita masih tetap
dianggap sebagai tamu
penghuni hutan dari jenis
manusia. Jenis yang paling
mulia. Paling dihormati. Tak
boleh dibantah!"
"Luar biasa!" Ismed menggeleng
takjub. "Tetapi, bagaimana kau
sampai begitu yakin?"
"Karena aku pernah tinggal di
tempat yang barusan kita
tinggalkan." Perempuan itu
berjalan lebih hati
hati karena jalan setapak mulai
menurun dan curam. Dari
sela-sela pepohonan tampak
sungai mengalir jauh di bawah
bukit. Juga sawah-sawah yang
menghampar luas, kebun
palawija, lalu
kelompok-kelompok pepohonan
yang di sela-selanya terlihat
samar sebuah perkampungan.
"Setelah lewat sungai itu, tak
ada yang perlu kita khawatirkan
lagi," lanjut si perempuan,
seraya mempercepat
langkahnya.
lsmed membantu si perempuan
waktu menuruni jalan yang
semakin curam dan licin oleh
hawa hutan yang lembab.
"Boleh kubawakan
bungkusanmu?" ujarnya malu.
ia baru menyadari kalau
sepanjang perjalanan hanya
lenggang kangkung tanpa
beban.
"Dengan senang hati." sambut si
perempuan.
Bungkusan itu berpindah
tangan. Ternyata ringan, meski
bungkusannya tampak
menggembung.
"Apa sih isinya?" tanya Ismed,
ingin tahu.
"Tembakau juga kopi. Buatan
mereka lebih enak ketimbang
buatan penduduk kampung
kami."
"Dapat beli. ya?"
"Benar. Tetapi jual beli tidak
pakai uang. Kami tukar dengan
barang. Aku membawakan
mereka garam. ikan asin. atau
gula merah. Gula merah banyak
di kampungku, tetapi garam dan
ikan asin harus beli dari Wan
Ahmad."
"Wah Ahmad" Siapa dia?"
"Pedagang keliling dari kota. Ia
keturunan Arab.
Sambil berdagang, ia juga
mengajarkan agama pada
penduduk kampung yang
disinggahinya. Ia menjual
barang dagangannya dengan
harga yang cukup murah.
Nantinya tembakau serta kopi
dalam bungkusan di tanganmu
akan kujual dengan harga yang
sebanding padanya. Tetapi Wan
Ahmad baik hati. Ia selalu
membeli barang jualanku
dengan harga lebih tinggi dari
orang lain. Karena mutu
daganganku juga lebih tinggi
serta laku keras di kota."
"Apakah" hei! Diam di
tempatmu!" Ismed mencekal
lengan si perempuan dan maju
lebih dulu ke depan. Seekor babi
hutan yang sangat besar. dengan
moncong bertaring mengerikan
tahu-tahu keluar dari balik
pohon dan tegak menghadang
mereka. Kaki depannya
mengais-ngais tanah dengan
ganas, moncongnya mendengus
keras. Belum lagi matanya yang
kecil, tetapi bersinar merah
menakutkan....
Ismed merasakan sekujur
tubuhnya tegang.
Yakin, makhluk menyeramkan
itu bukan tandingannya, Ismed
sempat berpeluh dingin.
Tetapi setelah mengawasi dua
sosok manusia yang ada di
depannya selama beberapa
helaan napas, babi hutan itu
segera menyelinap lagi ke dalam
rimbunan semak. Lalu tak
terdengar lagi suara kakinya
berlari menerobos semak.
Makhluk itu bergeming, diam di
tempatnya mengawasi dari balik
belukar.
"Ayo," si perempuan menyeret
tangan Ismed. "kita berlari
sekarang!"
"Celeng itu pasti mengejar."
"Tidak akan. Percayalah."
Lalu mereka berlari. Jatuh
bangun hingga wajah dan
pakaian mereka tidak keruan.
Akhirnya mereka tiba di pinggir
sungai yang airnya mengalir
tenang, pertanda mereka
berhadapan dengan lubuk yang
dalam. Untuk menyeberang,
terdapat titian bambu yang
cuma terdiri dari dua batang
bersambungsambung.
Tampaknya terikat cukup kuat.
Tiang-tiang penyangga yang
kokoh tertanam di kedua sisi
sungai. Untuk menahan
guncangan, di sisi titian
terbentang tambang besar yang
diikatkan ke batang-batang
pohon raksasa di tepi sungai.
Berjarak tetap sekitar dua meter.
bagian tengah tambang
disambungkan ke tambang lain
yang lebih pendek. Ujung
tambang inilah yang kemudian
diikatkan ke titian.
Titian gantung itu membuat
nyali Ismed menjadi ciut.
Tetapi matahari sudah terbenam
di balik gunung. Hutan
belantara telah mereka
tinggalkan. Namun di tempat
terbuka tak jauh di belakang
mereka. Ismed masih bisa
melihat celeng besar menunggu
kesempatan menyerang. Bukan
itu saja. kera dan monyet yang
bergelantungan mulai turun ke
dahan yang lebih rendah. Suara
mereka riuh dan terdengar
mengancam.
"Maju!" Ismed berseru, di luar
sadar.
Perempuan itu meniti dengan
tangkas dan hanya
sekejap ia telah tiba di seberang.
Ketika tiba giliran Ismed.
kakinya melangkah ragu-ragu
namun kemudian terlalu
terburu-buru. Titian gantung itu
bergoncang, terayun-ayun keras
mengombang-ambingkan tubuh
Ismed. Dengan perasaan ngeri
Ismed diam sejenak. menunggu
ayunan titian lebih tenang.
Lantas dengan lebih hati-hati ia
maju selangkah demi selangkah.
Tetapi karena takut, ia sesekali
masih berpaling juga ke
belakang. Siapa tahu celeng
atau kerakera buas itu
membuntutinya. Akibatnya,
Ismed lengah.
Sebelah kakinya menginjak
tempat kosong.
Ismed terpekik. lalu jatuh
tergelincir. Tercebur ke sungai.
Rasa sakit di tubuhnya kembali
menyerang dengan hebat
manakala ia berusaha berenang
dengan sekuat tenaga. Tepi
sungai di seberang semakin
dekat. Tetapi Ismed tetap
kepayahan menggapainya.
seakan ada kekuatan gaib dari
dalam lubuk yang menarik
kakinya, membetot begitu
misterius. Ismed gelagapan,
tangannya menggapai-gapai
udara kosong. Tapi tubuhnya
tertarik ke dalam dan tenggelam
lagi. Tangannya terus
berkecipak menggapai-gapai di
permukaan air.
Saat Ismed merasa tubuhnya
terseret semakin dalam.
seseorang mencengkeram
pergelangan tangannya lalu
menariknya ke atas. Terdengar
suara berkecipak. dan air
tersibak di kiri kanan tubuhnya.
Ia terus terseret tetapi bukan ke
hilir, melainkan ke tepian.
Barulah ia sadar kalau si
perempuan telah terjun ke lubuk
untuk menolongnya. Dengan
keahlian berenang yang
menakjubkan, perempuan itu
berhasil menyeret Ismed dan
menarik tubuh Ismed naik ke
seberang sungai.
Setelah itu mereka jatuh
terkapar di pinggir sungai.
Ismed sama sekali tidak sadar.
kalau ia masih merangkul
pinggang perempuan itu. Si
perempuan yang masih
kelelahan, membiarkan pula.
Wajah mereka rapat satu sama
lain, wajah yang sama-sama
basah kuyup. Rambut si
perempuan tergerai kian kemari,
menutupi sebagian wajah dan
lehernya. Pakaian yang basah
tak mampu lagi menyamarkan
lekuk dadanya yang naik turun
dengan cepat.
"Kita... sudah... selamat." desah
si perempuan dengan napas
terengah namun menyiratkan
kelegaan. Ia coba bangkit.
Tanpa menyadari gerakan itu
membuat lengan Ismed yang
memeluk pinggangnya
berpindah posisi. Beberapa saat,
telapak tangan Ismed terasa
menyentuh benda lunak, kenyal
lagi hangat. Wajah si
perempuan bersemu merah
tatkala ia sadari tangan Ismed
merayapi dadanya.
"Bangunlah..." perempuan itu
berbisik. gemetar.
Ismed membuka kelopak
matanya.
Lalu menyadari tangannya
berada di tempat yang tidak
semestinya. Terkejut dan malu,
Ismed menarik mundur tanganya
dan berusaha duduk dengan
susah payah. Untuk
menyembunyikan perasaan
malunya, ia menatap ke
seberang sungai.
Memperhatikan makhluk
maknluK buas di tepian sana
yang menyelinap satu persatu
kembali ke tengah kegelapan
hutan. Di sebelahnya, sorot
mata si perempuan menyiratkan
kekecewaan. Kecewa, karena
tangan yang hangat dan kekar
itu telah menjauhi dadanya.
Tatapan si perempuan bukannya
tidak menggugah indera keenam
Ismed. Pelan-pelan Ismed
berpaling. Tatapan mereka
bertemu, mengalirkan semacam
pengaruh magnet yang menarik
wajah Ismed mendekat ke wajah
si perempuan. Bibir perempuan
itu sedikit terbuka, menanti
dengan gemetar. Bibir Ismed
hampir menyentuh bibir yang
bergetar hangat itu. Namun
pada detik-detik terakhir Ismed
kembali menguasai
kesadarannya. Bibirnya beralih
mengecup pipi si perempuan.
"Terima kasih," bisiknya lembut.
"Kau telah menyelamatkan
aku...."
***
DENGAN apa harus kuganti
milikmu yang hilang itu?"
Pertanyaan itu diajukan Ismed
setelah mereka duduk dekat
tungku dapur rumah si
perempuan untuk
menghangatkan badan.
Perempuan itu telah bersalin
pakaian. Ia kini mengenakan
kebaya model sederhana dan
ringkas. Kain yang agaknya
terbuat dari bahan yang keras
karena mudah keriput.
Si perempuan menambahkan
sebatang kayu kering ke tungku
yang nyalanya hampir padam.
Bau ketela rebus dari dalam
periuk tanah di atas tungku
membuat perut terasa lapar.
"Lupakan saja." katanya seraya
memandangi percikan api dalam
tungku.
"Aku tak sengaja
menjatuhkannya ketika aku
tercebur ke sungai." desah
Ismed penuh sesal. "Kalau
saja bungkusan itu masih ada di
tempatnya jatuh. aku bersedia
menyelaminya besok pagi."
Si perempuan tersenyum.
"Tembakau apa namanya dan
kopi apa namanya kalau
diangkat dari dalam lumpur?" Ia
menjawab riang.
Mau tak mau. Ismed tergelak.
"Tembakau istimewa. Kopi
istimewa," sahutnya. "Tetapi
tidak seorang pun sudi
menikmatinya, kecuali orang itu
tidak waras otaknya!"
Perempuan itu ikut tertawa.
"Kau teman yang
menyenangkan," pujinya dengan
tulus, namun pandangannya
tidak berpaling dari tungku.
"Boleh aku tahu siapa
namamu?"
"Astaga" Rupanya kita lupa
berkenalan. Aku Ismed. Ismed
Effendi. Kau?"
"Selasih. Panggil saja, Asih."
Mereka tidak berjabat tangan.
Cuma saling bertukar pandang.
Perempuan itu menatap Ismed
dengan seksama. Dan sesaat
kemudian. ia terkikik sendiri
sambil mcnunjuk Ismed.
"Kau tampak tambun dengan
pakaian itu."
Ismed memperhatikan pakaian
yang melekat di tubuhnya. Baju
hitam dengan bahan yang keras,
berlengan tiga perempat. Celana
sebatas betis yang juga hitam
keras.
"Mantan suamimu orang gemuk
dan besar, ya?"
"Tepat ! Mirip kerbau. Tetapi ia
suami yang baik,"
berkata si perempuan, seraya
mengangkat periuk dari tungku.
Ketela rebus yang sudah masak
ia pindahkan ke sebuah piring
beling berhias gambar kembang.
Dari sebuah panci kecil, ia
menyendok cairan kental gula
merah yang sudah dicampur
parutan kelapa. Cairan itu
kemudian dituangkan ke
tumpukan ketela di atas piring.
Uap yang mengepul semakin
menerbitkan liur.
Ketela berkuah gula dan kelapa
itu mereka santap dengan
nikmat. Diselingi dengan
tegukan kopi panas. Mereka
makan diam-diam, dengan
pikiran masingmasing sama
berkecamuk.
Ismed menyesap kopinya.
sebelum kembali membuka
obrolan.
"Kapan suamimu meninggal?"
"Hampir empat tahun yang
lalu."
"Sakit?"
"Hilang," bisik si perempuan
lirih. Wajahnya mendadak
muram.
"Maaf..." Ismed menyesali
pertanyaannya.
"Tak apa." Perempuan bernama
Selasih itu memaksakan senyum.
"Toh, sudah lama terjadi. Lagi
pula, lumayanlah untuk
menambah pengetahuanmu
tentang perkampungan tempat
kita pertama kali bertemu. Di
sana pula lah suamiku hilang tak
tentu rimbanya."
"Tak pernah pulang " Tak
pernah kau dengar kabar
beritanya?"
"Tidak."
"Pernah dicari?"
"Percuma."
"Percuma bagaimana?"
"la terlambat meninggalkan
hutan. Rupanya ia berselisih
paham dengan salah seorang
sepupunya di kampung terasing
itu. Perselisihan mereka sudah
didamaikan Puun, kepala suku
yang menolongmu. Lalu suamiku
pamit. Sayang, tak ada yang
mengetahui bahwa ia sudah
lama menderita sesak napas.
Selain padaku, penyakit itu ia
rahasiakan pada orang lain.
Karena orang di sini percaya,
penyakit sesak napas adalah
penyakit akibat kualat.
melanggar pantangan
karuhun-nenek moyang, atau
menghina roh orang tua.
Begitulah yang terjadi.
Kudengar ia pulang dari tempat
saudara sepupunya ketika hari
telah mulai gelap. Seseorang
sempat melihatnya limbung
sewaktu akan memasuki jalan
setapak di hutan. Tetapi batas
perjanjian telah menjelang.
Tidak seorang pun yang berani
menolongnya. lalu suamiku... tak
pernah lagi dilihat orang..."
"Tradisi mengerikan," gumam
lsmed dengan bulu kuduk
merinding. "Padahal suamimu
punya saudara di sana."
"Juga orang tua," timpal Asih
dengan suara sendu. "Suamiku
lahir di perkampungan itu.
Begitu pula aku."
Ismed meletakkan gelas kopinya.

"Gak.
"Pernah dicari?"
"Percuma."
"Percuma bagaimana?"
"la terlambat meninggalkan
hutan. Rupanya ia berselisih
paham dengan salah seorang
sepupunya di kampung terasing
itu. Perselisihan mereka sudah
didamaikan Puun, kepala suku
yang menolongmu. lalu suamiku
pamit. Sayang, tak ada yang
mengetahui bahwa ia sudah
lama menderita sesak napas.
Selain padaku, penyakit itu ia
rahasiakan pada orang lain.
Karena orang di sini percaya,
penyakit sesak napas adalah
penyakit akibat kualat.
melanggar pantangan
karuhun-nenek moyang. atau
menghina roh orang tua.
Begitulah yang terjadi.
Kudengar ia pulang dari tempat
saudara sepupunya ketika hari
telah mulai gelap. Seseorang
sempat melihatnya limbung
sewaktu akan memasuki jalan
setapak di hutan. Tetapi batas
perjanjian telah menjelang.
Tidak seorang pun yang berani
menolongnya. Lalu suamiku...
tak pernah lagi dilihat orang..."
"Tradisi mengerikan." gumam
Ismed dengan bulu kuduk
merinding. "Padahal suamimu
punya saudara di sana."
"Juga orang tua," timpal Asih
dengan suara sendu. "Suamiku
lahir di perkampungan itu.
Begitu pula aku."
Ismed meletakkan gelas kopinya.

"Tetapi tadi, kepala suku-bahkan


kau sendiri mengatakan kau
juga pendatang," tukas Ismed
tak percaya.
"Orang luar, tepatnya. Tidak
lagi termasuk lingkungan
mereka."
"Bagaimana pula itu?"
"Di sana, setiap perempuan
boleh terus melahirkan anak.
Boleh menyusui anak-anaknya,
merawat mereka sampai tumbuh
besar hingga mencarikan
mereka jodoh. Tetapi sebelum
mendudukkan anak-anak mereka
di pelaminan, setiap perempuan
di sana harus memperhatikan
dua hal. Pertama, apakah
anaknya memang sudah ingin
buru-buru kawin. Atau kedua,
apakah anaknya lebih suka
membujang sampai tua atau
sampai ia punya kesempatan?"
"Kesempatan" Terhadap apa?"
"Jumlah penghuni. Suku yang
menghuni hutan terasing itu
hanya boleh berjumlah tak lebih
dari empat puluh kepala
keluarga. Kepala keluarga yang
keempat puluh satu dan
seterusnya harus rela
menyingkir, keluar dari
lingkungan suku maupun
keluarganya yang masih jadi
anggota suku. Apabila satu atau
lebih dari jumlah empat puluh
kepala keluarga itu meninggal,
barulah seorang bujang atau
perawan tua mempergunakan
kesempatan untuk menikah. ltu
terjadi disebabkan mereka tak
ingin dibuang dari lingkungan
kehidupan yang sangat mereka
cintai."
"Dan kau, apa tidak lagi
mencintai suku tempat
kau dilahirkan?" lsmed nyeletuk
tanpa berpikir, saking tertarik
mendengar kisah Selasih.
"Aku tetap mencintai tempat aku
lahir. Aku juga tetap mencintai
keluargaku. Tetapi aku lebih
mencintai Kosim. suamiku. Kami
lalu menikah. Dan karena kami
termasuk hitungan keempat
puluh tujuh bersama enam
pasangan lain yang kebetulan
menikah pada minggu yang
sama, maka kami pun keluar.
Begitu pula enam suami-istri
yang lain itu." Selasih kemudian
membereskan bekas makan
mereka, setelah Ismed menolak
menambah isi perutnya. "Toh, di
luar sini. kami hidup cukup
bahagia. Kami juga masih boleh
mengunjungi tempat asal, kapan
saja kami mau. yang penting
ingat waktu," lanjutnya.
"Kalian tak punya anak?" tanya
lsmed lagi. teringat suasana sepi
mencekik setelah ia dibawa
Selasih masuk ke rumahnya.
Sebuah rumah panggung,
berlantai papan dan berdinding
bambu. Beberapa bagian
dinding sudah agak reot. Tetapi
rumah panggung ini jauh lebih
menyamankan hati timbang
mendekam di atas pepohonan
tinggi, di gubuk angkasa yang
salah satunya telah beruntung
dimasuki lsmed.
"Anak" Rupanya dalam hal itu
kami kurang beruntung," ujar si
perempuan. "Suamiku mandul.
Namun kenyataan pahit itu
membuat kami lebih intim satu
sama lain. Mau kopi lagi?"
"Bolehlah. Terima kasih." ismed
mengangsurkan
gelasnya. "Sebenarnya sungguh
nikmat kalau ngopi sambil
merokok."
"Tentu saja. Kalau kau mau,
akan kubuatkan untukmu. Aku
masih punya persediaan
tembakau. Suka tembakau yang
dilinting dengan daun kawung"
Atau lebih suka mengisap pipa"
Aku masih punya pipa
peninggalan Kang Kosim."
"Yang dilinting saja!" jawab
lsmed ringkas, sambil membatin.
"Cukuplah bajunya yang
kupakai. Kalau tawaran pipanya
kuterima, nanti miliknya yang
lain ditawarkan pula!" Lalu
diam-diam ia memperhatikan si
perempuan melinting tembakau
untuknya, dan menyadari bahwa
janda itu tidaklah terlalu jelek.
Lekuk tubuhnya pun masih
mampu menarik hati lelaki.
"Mengapa kau tidak kawin
lagi?" Ia bertanya sambil lalu.
"Tidak mudah."
"Sebabnya?"
"Di kampung ini, janda dengan
gadis perbandingannya tujuh
banding satu. Tujuh untuk
jumlah janda dan satu gadis.
Dan kau lihat sendiri bukan?"
Perempuan itu menggerakkan
tangan menunjuk keadaan
rumahnya yang sederhana.
"Mungkin aku akan cepat laku,
kalau saja keuanganku lebih
baik. Sayangnya, aku ini cuma
seorang miskin. Hanya seorang
tukang tenun sederhana."
"Tukang tenung?" lsmed
terperanjat.
"Tenun. Tanpa huruf 'ge'!"
Selasih tersenyum. "Apakah aku
bertampang seorang penenung
atau penyihir?"
Pertanyaan itu mendadak
mengingatkan lsmed pada
sesuatu. Tetapi apa" Rasanya
waktu belum lama berlalu, tetapi
ia telah melupakan banyak hal.
Bahkan ia sampai lupa, dari
mana ia datang!
Keasyikan mereka tiba-tiba
diganggu oleh suara orang
memberi salam. Selasih
meninggalkan dapur lalu pergi
membuka pintu depan.
Terdengar ia mengobrol dengan
seseorang. Ketika muncul lagi,
ia telah ditemani seorang pria
berusia lanjut, tidak berpakaian
hitam-hitam sebagaimana
kebanyakan warga lainnya yang
sempat ditemui Ismed sebelum ia
sampai di rumah Selasih. Lelaki
yang satu ini mengenakan
kemeja biasa, celana biasa, juga
punya arloji. Sebuah arloji
rantai yang sempat dilihat lsmed
karena orang itu mengeluarkan
sebentar untuk melihat waktu.
Masih pula terdengar rungutnya
yang jelas dibuat sesopan
mungkin.
"Mestinya aku sudah berangkat
setengah jam yang lalu. Aku
harus bertemu Residen besok
pagi-pagi benar, untuk..." lalu
pria berusia lanjut serta perlente
itu melihat Ismed berdiri. "Jadi
dia inilah tamu yang kau
laporkan tadi?"
"Benar, Pak."
"Aku lurah desa ini." Pria
berwajah kaku dan bersikap
kaku itu mengulurkan tangan.
Ternyata ia masih
memegang kesopanan juga.
"Siapa namamu, anak muda?"
"Ismed. Pak," Ismed menyambut
uluran tangan itu. "Ismed
Effendi." Ia terkesiap merasakan
betapa kokoh cengkeraman
tangan si lelaki. Dan betapa
tajam bagai sembilu sorot mata
tuanya.
"Dari mana kau datang?"
"Itulah yang membingungkan
saya, Pak Lurah." Ismed
menyahut heran. Heran pada
dirinya sendiri. "Saya kira saya
telah tersesat, dan..."
"Asih sudah menceritakannya
tadi. tak lama setelah kalian tiba
di rumah ini. Kau beruntung.
anak muda. Beruntung dapat
keluar hidup-hidup dari hutan
terasing itu. Jadi kau bermaksud
menginap?"
"Bila diperkenankan, Pak
Lurah."
"Baiklah. Mestinya kau
kucarikan sebuah rumah lain
untuk tempat pemondokan
sementara. Tetapi aku terlalu
sibuk, tak sempat
mencarikannya." Pak Lurah
berpaling pada Selasih. "Kau
dapat menjaga diri bukan, Asih"
Atau perlukah kupanggilkan
seseorang untuk menemanimu?"
"Aku sudah terbiasa hidup
menyendiri, Pak Lurah," jawab
Selasih. sambil berusaha
menghindari tatap mata Ismed.
"Biarlah tamuku menginap di
rumahku barang semalam.
Besok pagi, aku sendiri yang
akan membantu mencari
keluarga lain yang mau
menerima dia. Kecuali, ia
bermaksud meneruskan
perjalanannva.
"Baiklah kalau begitu, Asih. Dan
kau, anak muda. Desa kami ini
dihuni oleh orang baik-baik.
Kau tentu sependapat dengan
kami, bukan?"
Itu suatu peringatan halus.
Ismed mengangguk. Kaku.
"Nah. Selamat berpisah kalau
begitu. Aku harus pergi
sekarang. Kudengar. Residen
cuma sebentar saja muncul di
Pandeglang sebelum
meneruskan perjalanannya ke
Bogor."
Pandeglang! Nama kota itu
pelan-pelan berdenyut di otak
Ismed. Pandeglang. Bogor.
Lebih ke sana lagi, Bandung.
Dari sanalah ia datang. Ke
Pandeglang ia pergi. Ismed
menyadari sesuatu Ialu bergegas
menyusul ke pintu depan. Tetapi
lurah perlente itu sudah lenyap
ditelan kegelapan malam.
"Sia-sia kalau kau bermaksud
menyusulnya," bisik Selasih di
dekatnya. "Pak Lurah dapat
berjalan melebihi kecepatan
orang-orang biasa. llmunya
tinggi. Dan ia termasuk salah
seorang lurah yang disegani
kompeni."
Ismed tersedak. "Disegani
siapa?"
"Kompeni." Selasih menatap
terheran-heran. "Apa kau tak
pernah mendengar tentang
kompeni?"
"Maksudmu, Belanda," bisik
Ismed, parau.
"Benar. Belanda, dengan
serdadu-serdadunya yang telah
merenggut banyak anak negeri
tercinta ini!" Suara Selasih
terdengar berapi-api.
Bersemangat tinggi. Dengan
nada kebencian dalam suaranya.
Selasih
meneruskan. "Baru seminggu
lalu mereka menyerbu Desa
Taraju. Desa itu setengah hari
perjalanan dari sini. Serdadu
kompeni membumihanguskan
Taraju, membunuhi
penduduknya dan menawan
sejumlah pejuang kita. Termasuk
Pak Tonggo. Demi Pak
Tonggo-lah Pak Lurah ingin
bertemu Residen.... Eh. ada apa
dengan kau. Ismed?"
Ismed surut dari pintu.
Jatuh terduduk di kursi paling
dekat yang mampu digapainya.
Wajahnya memucat seputih
kapas.
"Kompeni..." Menyerbu...?"
Mulutnya menggagap.
"Mustahil! Perang sudah lama
berakhir!"
"Siapa bilang" Justru perang
kian menjadi-jadi, Ismed.
Ataukah kau tak pernah ikut
bertempur ke medan laga?"
"Ikut bertempur?" Sesak napas
Ismed mengucapkannya. "Kau
pikir, di zaman apa kita hidup
sekarang ini?"
"Aku tak mengerti maksudmu..."
"Perang sudah lama berakhir.
Asih. Kita sudah lama merdeka.
Kita sekarang justru menuju
negara... ah, kau barangkali tak
pernah tahu. Haruskah kau
kuberitahu, tahun berapa
sekarang?"
"Menurutmu tahun berapa?"
"1984."
Dahi Selasih mengernyit. Ia
bergumam bingung. "Itu masih
sekitar setengah abad lagi..."
"Setengah abad?"
"Benar. Sekarang baru
menginjak tahun 1929 Masehi.
Atau kalau menurut perhitungan
Wan Ahmad, sekarang baru
tahun 1349 Hijriah."
"itu tidak mungkin, Asih!"
"Astaga. Ada apa denganmu.
Ismed" Apakah terkaman macan
kumbang itu telah
mempengaruhi jalan pikiranmu"
Ataukah kepala suku telah
menyuruh kau meminum obat
yang salah" Siapa kau
sebenarnya" Dari mana kau
sebenarnya" Apa maksudmu
datang ke daerah ini?"
Selasih bertanya, bukan lagi
sekadar bertanya.
Selasih bertanya, disertai
gambaran khawatir di matanya.
la mendekati Ismed, berlutut di
depan kursi yang diduduki lelaki
itu. Wajah Selasih menengadah.
Tangannya menggapai dan
mengusap wajah Ismed yang
pucat, dingin bagaikan es.
"Apa yang kau cari, Ismed?"
Bisikan lirih Selasih membuat
lsmed terperangah.
la mengingat-ingat.
Lalu mengeluh sakit, "Aku
mencari Farida. Istriku. Ia
menghilang dari rumah."
Selasih menarik mundur
tangannya dari wajah lsmed.
Mata perempuan itu berubah
sayu. "Mengapa istrimu
menghilang?" tanyanya,
setengah berharap setengah tak
suka.
"Aku tak tahu. Ia menghilang
begitu saja. Lewat pintu lemari!"

Selasih membelalak. Lelaki ini


menderita gangguan
jiwa, pikirnya. tentulah Karena
lelaki ini telah Keburu memasuki
hutan terlarang tadi siang.
Bagaimana mungkin orang
asing ini berpikir bahwa ia
hidup di masa mendatang" Lalu
ia bilang. istrinya menghilang.
Lewat pintu lemari pula. Astaga!

***

"KAU tentunya letih. Perlu


istirahat. Pergilah tidur
sekarang. Kamar untukmu telah
kusiapkan. Yang itu..."
Selasih berkata demikian seraya
menunjuk ke sebuah pintu.
lsmed mengangguk, namun
kelihatannya masih bingung.
Lalu beranjak ke kamar yang
ditunjuk, berjalan dengan
langkah-langkah lesu dan
kepalanya merunduk dalam.
Sebelum menghilang di balik
pintu, ia sempat berpaling.
Mengawasi tuan rumah sejenak
dengan sorot mata mengandung
curiga.
Selasih melempar senyum untuk
membesarkan hati tamunya.
Ia sebenarnya ingin memeluk
lsmed.
Ingin mengantarkannya sampai
ke tempat tidur, lalu
menyelimutinya. Lelaki itu
tampaknya sedang
kehilangan pegangan. Seperti
seorang anak manja dan
periang, yang tiba-tiba
diberitahu bahwa ibunya sudah
mati. Ismed membutuhkan
seseorang untuk
mendampinginya.
Hati Selasih diliputi perasaan
bahagia yang aneh, dan berjanji
pada diri sendiri untuk siap
mendampingi Ismed setiap saat
lelaki itu membutuhkan dirinya.
Terbayang sekilas waktu mereka
berdua rebah keletihan di tepi
sungai. Wajah mereka begitu
rapat satu sama lain. Malah
Selasih masih dapat merasakan
kehangatan napas Ismed di
pipinya.
Bayangan sekilas yang
menggoda hati itu seketika
membuat pipi Selasih bersemu.
Ia berpaling menyembunyikan
perasaan. Setelahnya. ia
mendengar bunyi daun pintu
ditutupkan perlahan-lahan. Di
relung sanubarinya yang paling
dalam, Selasih berharap ia akan
mendengar langkah-langkah
kaki mendekat, lalu sepasang
lengan yang kuat memeluknya
dari belakang, disertai bisikan
lembut pada telinganya.
"Asih. Tanpa kau, aku tak bisa
tidur...!"
Selasih berpaling lagi.
Menantap pintu yang telah
tertutup rapat. Lelaki itu telah
menghilang di kamarnya.
Mengucapkan selamat tidur pun
tidak. Selasih menghela napas
panjang. Sambil membereskan
tatanan rambutnya. ia kembali
ke dapur.
"Tolol!" hati kecilnya merutuk.
"Bukankah Ismed bilang dia
sudah punya istri?"
la bereskan perabotan bekas
mereka makan di
dekat tungku perapian.
Baju-baju kotor dimasukkan ke
sebuah bakul untuk dicuci besok
pagi.
Dalam jilatan sisa nyala api di
tungku, sesaat ia tertegun.
Diamatinya baju dan celana
lsmed yang kotor dan
robek-robek. Pakaian lelaki itu
masih lembap basah. Tetapi
Selasih dapat merasakan, baju
dan celana lsmed terbuat dari
bahan yang halus dan licin.
Celana itu tidak pakai kancing.
Melainkan pakai kaitan pada
pinggang depan. Warnanya
kuning tua, seperti perunggu.
Namun begitu tipis dan kuat
sehingga sesaat Selasih berpikir
kaitan itu terbuat dari bahan
besi.
Aneh sekali, pikirnya.
Lebih aneh lagi. belahan depan
celana itu sampai selangkangan.
Belahan itu juga tidak pakai
kancing. Tampaknya
mempergunakan semacam
bahan yang sama keras tetapi
lebih halus lagi. Ada kaitan
putih persegi, kecil sekali.
Setelah beberapa kali
merapatkan belahan celana itu
dengan sia-sia, Selasih ganti
mempermainkan kait putih itu.
Hampir setengah jam lamanya
baru ia dapat memahami
penggunaannya.
Kait putih itu tinggal kau tarik
ke atas, maka belahan celana
akan menutup. Tarik ke bawah,
maka yang terjadi sebaliknya.
Selasih sangat tercengang
dengan penemuannya yang
menakjubkan itu.
Ia yakin, Pak Lurah yang begitu
kaya dan terhormat tidak pernah
punya kancing tarik semacam
itu.
Bahkan tidak juga para serdadu
kompeni yang sudah sering
muncul ke kampung mereka
untuk mencari orang-orang yang
mereka sebut "ekstremis" sambil
merampas barang-barang
berharga milik penduduk.
terkadang juga memerkosa
wanita-wanita muda.
Selasih salah seorang yang
pernah mengalami kebejatan
serdadu-serdadu penjajah itu.
Jadi ia ingat betul bagaimana
bentuk kancing celana mereka.
Konon peradaban mereka sudah
sangat maju, tetapi kancing tarik
semacam punya Ismed ini, tak
pernah dipakai serdadu-serdadu
bule itu.
Selasih tak lagi begitu heran lagi
ketika kemudian ia juga
memperhatikan kemeja Ismed.
Kemeja itu boleh dibilang sudah
hancur, hampir tak mungkin lagi
diperbaiki. Kemeja berkerah,
tetapi kerahnya lebih kecil dan
lebih halus dari kerah baju Pak
Lurah atau serdadu-serdadu
kompeni itu.
Kancing-kancingnya berwarna
bening, dibuat sedemikian
halusnya. Entah dari bahan apa.
Yang jelas bukan dari bahan
tanduk sebagaimana kancing
yang selalu dipakai Pak Lurah.
Nyala api di tungku semakin
redup.
Selasih tidak memedulikannya.
la tengah dibingungkan oleh
pikiran mengenai pemilik
pakaian yang
mencengangkannya itu. Selasih
berpikir, tentulah Ismed sangat
kaya. Jauh lebih kaya dari Pak
Lurah sendiri. Ia juga jelas
bukan orang daerah sekitar sini.
Selain mengingat logatnya yang
Keras dan asing juga melihat
penampilan serta pakaiannya
yang ganjil itu.
Ismed mungkin anak bangsawan
terkemuka, entah di mana.
Mungkin juga anak seorang
raja. Ismed tentunya pernah
dikirim orang tuanya ke negeri
orang-orang bule itu. Ke negeri
yang peradabannya sangat
maju, negeri impian, negeri
yang sering kali didongengkan
serdadu-serdadu kompeni itu
dengan bangga.
Hem. Pantaslah Ismed
mengatakan perang telah lama
berakhir. Di negeri yang pernah
didatanginya mungkin benar
perang telah berakhir. Di sana
ia terkena pengaruh orang.
sehingga ketika kembali lagi ke
negeri sendiri. Ismed
menganggap apa yang diperbuat
kompeni adalah sesuatu hal
yang wajar. Sebagaimana acap
kali diucapkan serdadu-serdadu
itu kepada penduduk di sini.
"Kami datang bukan untuk
memusuhi kalian. Tetapi untuk
menjaga keselamatan harta dan
nyawa kalian."
Ucapan yang tentu saja
bertentangan dengan kenyataan
yang terjadi. Apakah Ismed
belum pernah mengangkat
senjata melawan kompeni"
Ataukah, ia salah seorang dari
mereka"
Astaga!
Jangan-jangan. Ismed seorang
mata-mata!
keras dan asing juga melihat
penampilan serta pakaiannya
yang ganjil itu.
Ismed mungkin anak bangsawan
terkemuka, entah di mana.
Mungkin juga anak seorang
raja. Ismed tentunya pernah
dikirim orang tuanya ke negeri
orang-orang bule itu. Ke negeri
yang peradabannya sangat
maju. negeri impian, negeri
yang sering kali didongengkan
serdadu-serdadu kompeni itu
dengan bangga.
Hem. Pantaslah Ismed
mengatakan perang telah lama
berakhir. Di negeri yang pernah
didatanginya mungkin benar
perang telah berakhir. Di sana
ia terkena pengaruh orang,
sehingga ketika kembali lagi ke
negeri sendiri. Ismed
menganggap apa yang diperbuat
kompeni adalah sesuatu hal
yang wajar. Sebagaimana acap
kali diucapkan serdadu-serdadu
itu kepada penduduk di sini.
"Kami datang bukan untuk
memusuhi kalian. Tetapi untuk
menjaga keselamatan harta dan
nyawa kalian."
Ucapan yang tentu saja
bertentangan dengan kenyataan
yang terjadi. Apakah Ismed
belum pernah mengangkat
senjata melawan kompeni"
Ataukah. ia salzdr seorang dari
mereka"
Astaga!
Jangan-jangan, Ismed seorang
mata-mata!
Di kamar tidurnya, lsmed
berbaring gelisah.
Kamar yang ditempatinya tanpa
langit-langit. Berdinding tipis
pula. Hawa dingin menerobos
dari mana-mana, termasuk dari
celah-celah lantai papan. Dipan
kayu yang ditidurinya hanya
dilapisi sehelai tikar pandan.
Bantalnya sangat tak nyaman di
kepala. karena isi bantal bukan
kapas melainkan jerami.
Selimutnya keras dan kasar
tetapi cukup hangat.
Namun hawa dingin pegunungan
menusuk tiap jengkal tubuhnya,
hingga mata Ismed sukar sekali
terpejam. Padahal. betapa
inginnya ia tidur barang
sejenak. Walau cuma satu dua
menit. Dan ia berharap, saat
terbangun nanti ia kembali
berada di kamar tidurnya
sendiri, Ia akan melihat Farida
menguap di sebelahnya. sambil
mencemooh, "Kau mengigau
yang anehaneh. Mimpi apa kau
tadi malam?" Atau, barangkali
mendapati Farida merungut
cemburu. "Asih itu pacarmu ya,
sampai kau sebut-sebut dalam
mimpimu!"
Benarkah ia hanya bermimpi"
Ah, semoga semua ini hanya
bermimpi.
Lalu mengapa segalanya begitu
jelas dan nyata" Ia masih
mampu mengingat semua
detailnya. la membuka pintu
lemari. Terperangkap di lorong
gelap. Tahu-tahu ia sudah ada
di tengah hutan belantara.
Seekor macan kumbang
menerkamnya, mencabikcabik
pakaian dan tubuhnya. Muncul
sesosok tubuh aneh berpakaian
putih-putih, yang semula ia
sangka seorang malaikat. Lalu
rumah-rumah di atas pohon,
Di kamar tidurnya, Ismed
berbaring gelisah.
Kamar yang ditempatinya tanpa
langit-langit. Berdinding tipis
pula. Hawa dingin menerobos
dari mana-mana, termasuk dari
celah-celah lantai papan. Dipan
kayu yang ditidurinya hanya
dilapisi sehelai tikar pandan.
Bantalnya sangat tak nyaman di
kepala, karena isi bantal bukan
kapas melainkan jerami.
Selimutnya keras dan kasar
tetapi cukup hangat.
Namun hawa dingin pegunungan
menusuk tiap jengkal tubuhnya,
hingga mata Ismed sukar sekali
terpejam. Padahal. betapa
inginnya ia tidur barang
sejenak. Walau cuma satu dua
menit. Dan ia berharap, saat
terbangun nanti ia kembali
berada di kamar tidurnya
sendiri. la akan melihat Farida
menguap di sebelahnya. sambil
mencemooh. "Kau mengigau
yang anehaneh. Mimpi apa kau
tadi malam?" Atau. barangkali
mendapati Farida merungut
cemburu. "Asih itu pacarmu ya,
sampai kau sebut-sebut dalam
mimpimu!"
Benarkah ia hanya bermimpi"
Ah. semoga semua ini hanya
bermimpi.
Lalu mengapa segalanya begitu
jelas dan nyata" ia masih
mampu mengingat semua
detailnya. Ia membuka pintu
lemari. Terperangkap di lorong
gelap. Tahu-tahu ia sudah ada
di tengah hutan belantara.
Seekor macan kumbang
menerkamnya. mencabikcabik
pakaian dan tubuhnya. Muncul
sesosok tubuh aneh berpakaian
putih-putih, yang semula ia
sangka seorang malaikat. Lalu
rumah-rumah di atas pohon.
penghuni-penghuninya yang
menatap curiga sebelum
menghilang.... Ular, babi hutan,
puluhan ekor monyet, dan"
Selasih!
Pertemuan mereka hanya
kebetulan belaka. Tetapi Selasih
telah bercerita sangat banyak.
Tentang penghuni-penghuni
hutan terasing itu. Tentang
orangorang yang hilang raib di
sana. termasuk suaminya. Lalu
mereka meniti jembatan bambu.
Ismed terpeleset, hampir mati
terbenam kalau tak keburu
ditolong Selasih. Alangkah
memalukan, ia ditolong seorang
perempuan lemah bertubuh
kecil, perempuan yang justru
memerlukan lindungan seorang
laki-laki. Selasih tidak begitu
cantik. Tetapi pesona senyumnya
tidak bisa diabaikan. Apalagi
ketika tubuh mereka begitu rapat
di tepi sungai, dan ah... saat
lsmed menyentuh payudara
perempuan itu tanpa sengaja.
Ismed mengeluh. Belum
apa-apa, ia sudah hampir
mengkhianati Farida!
Betapa jelas dan nyata semua
gambaran itu, bahkan juga
perasaan yang ditimbulkannya.
Belum lagi mengenai Pak Lurah,
ceritanya tentang residen
Belanda, arloji rantainya yang
kuno. dan corak pakaiannya
yang sama kunonya. Hingga
penuturan Selasih tentang
perang dan kompeni.
Tidak. Tidak mungkin semua itu
hanya mimpi belaka.
Mimpi tidak akan pernah
senyata yang ia rasakan. Tetapi
bagaimana mungkin" Rasanya
sungguh tidak
masuk akal. Bahwa, Ismed
Effendi telah memasuki apa
yang hanya pernah ia baca
dalam buku atau ia lihat dalam
film yaitu lorong waktu! Benar.
Lorong gelap di balik pintu
lemari adalah sebuah lorong
waktu. Waktu ke masa silam!
Sekarang tahun 1929, itu yang
dikatakan Selasih. Dan Pak
Tonggo, siapa pun dia. tengah
ditawan serdadu kompeni.
"Gila!" umpat Ismed, seraya
mencengkeram kepalanya. la
memiijit ubun-ubunnya, lalu
menekan pelipisnya. Kepalanya
bedenyut teramat sakit
menyadari kenyataan bahwa ia
tetap berada di kamar asing
tanpa langit-langit, berdinding
tepas dan berlantai papan.
Frustrasi karena menyangka ia
tengah berada dalam suatu
kegilaan yang aneh, Ismed
bangkit dari dipan dan berjalan
ke jendela. Daun jendela ia buka
lebarlebar. Berharap akan
melihat jalan raya, melihat
banban mobil menderu di aspal
dan berharap sebuah gerobak
dorong lewat menjajakan mi
bakso!
Sia-sia ia berharap. Selain hawa
dingin yang kian menusuk, yang
ia temui hanyalah kegelapan di
bawah sinar rembulan yang
suram. Setelah beberapa saat,
pandangannya mulai
beradaptasi dengan kegelapan.
Ismed terkesiap. Tegak kaku di
belakang jendela.
Sesosok tubuh semampai tampak
berdiri dalam kegelapan. Angin
kencang menghembus
rambutnya, tergerai kian kemari.
Kegelapan malam tak mampu
menyembunyiakan lehernya
yang jenjang dan pundak
nya yang putih kekuningan. Dari
pakaian yang hanya sebatas
dada, sosok tubuh itu jelas sosok
seorang perempuan. la berdiri
membelakangi jendela tempat
Ismed memperhatikan
diam-diam. Rupanya perhatian
si perempuan tengah dipusatkan
ke sebuah rumah di depannya.
Suara rengekan bayi. terdengar
samar-samar dari rumah
tersebut.
Sesaat kemudian, rengekan itu
berhenti mendadak. Seakan
dipaksa. Mungkin ibu atau
ayahnya yang terganggu
tidurnya, menutup mulut bayi
itu, atau mungkin si bayi tengah
disusui ibunya. Kegelapan
semakin hening. Sosok
perempuan tadi pelan-pelan
melangkah maju. Gerakannya
lamban dan tenang, tampak
seperti setengah melayang di
permukaan tanah. Dan
herannya, hanya dalam
beberapa helaan napas
perempuan itu telah sampai di
bagian samping rumah tadi.
Lenyap di balik bayang-bayang
pepohonan.
lsmcd masih bingung siapa
perempuan itu dan mengapa ia
keluar malam-malam sendirian.
Apa pula tujuannya mengintai
rumah di depan sana. Sebelum
kebingungan Ismed terjawab, si
perempuan sudah tampak
kembali. Dia meninggalkan
rumah itu dengan membopong
sesuatu. Perempuan itu terus
melangkah dengan penuh
percaya diri, tenang dan
lamban. Ketika akan membelok
di pertigaan jalan tak jauh dari
jendela tempat Ismed mengintip,
sinar rembulan yang tak
terhalang apa pun membuat
wajah perempuan itu terlihat
ielas.
Ismed ternganga.
Rupanya perempuan itu merasa
tengah diamatamati. Hanya
butuh sepersekian detik untuk
menemukan orang yang tengah
memperhatikan gerak-geriknya.
Perempuan itu tegak diam,
menatap ke arah Ismed dengan
pandangan tajam. Raut
wajahnya semakin jelas. Itulah
yang membuat Ismed ternganga.
Walaupun perempuan itu
mengenakan pakaian orang
gunung, tapi wajahnya adalah
seraut wajah yang sangat
dikenal Ismed.
?" Ida," bisik Ismed, tersentak.
Saking tak percaya dengan
pandangan matanya. Ismed
mengerjap-ngerjap. Tapi ketika
ia menyalangkan matanya
kembali, perempuan itu telah
lenyap. Jangankan tubuhnya.
Bayangannya pun, tak kelihatan
lagi. Ismed terkesiap. Ia yakin
siapa yang telah dilihatnya.
Keyakinan itu membuat
jantungnya berdebar kencang.
Lalu tanpa pikir panjang lagi ia
melompat dari jendela, berlari
ke arah perempuan tadi
menghilang.
Saat itulah, terdengar pekik
menyayat disusul ratap tangis
dari rumah tadi. Keributan itu
demikian mendadak, sehingga
Ismed terpekik sendiri. Kaget.
Secara naluriah ia
menghentikan langkah mengejar
perempuan yang ia perkirakan
adalah Farida. lalu berbalik
memutar langkah dan
mendatangi rumah di depan
sana. Pintu rumah itu terpentang
lebar. Sesosok tubuh laki-laki
menghambur ke luar disertai
jeritan pilu.
"Bayiku! Tolong... bayiku
diculiknya! Tolong...!"
Tapi aneh. tetangga sekitar tidak
ada yang segera ke luar. Orang
itu kemudian melihat lsmed dan
bergegas menghampirinya.
"A-apakah kau... melihat ke
mana bayiku dibawa olehnya?"
Napas lelaki itu
tersengal-sengal.
"Oleh siapa?" tanya Ismed
dengan napas sesak.
"Perempuan sihir itu! Ya
Allah..."
Melihat Ismed yang tampaknya
tidak tau apa-apa. si ayah yang
malang meninggalkan lsmed,
berlarilarian kian kemari
mencari dan
memanggil-manggil nama
anaknya yang masih bayi.
Barulah kemudian, satu dua
pintu rumah tetangga terbuka.
Itu pun, penghuninya tidak
segera keluar. Si ayah
berlari-lari mendatangi salah
satu rumah, menangis minta
tolong pada orang yang
membuka pintu. Satu per satu
para tetangga bermunculan.
turun dengan bimbang dari
rumah masing-masing. Lalu
bersama-sama mereka menarik
lelaki itu kembali ke dalam
rumahnya sendiri. Lelaki itu
meronta-ronta. melolong dalam
jeritan menyedihkan.
Berteriak-teriak memaki para
tetangganya yang telah
membiarkan bayinya dilarikan
oleh apa yang ia sebut-sebut
perempuan sihir.
Karena perhatian mereka semua
lebih tercurah pada laki-laki
malang itu. maka kehadiran
Ismed tidak mereka pedulikan.
Ismed yang semula bermaksud
ingin
masuk ke rumah di depan sana
untuk menanyakan apa yang
terjadi, hanya bisa diam di
tempatnya. Tegak mematung. Di
rumah depan, terdengar suara
jerit tangis dan suara orang
berdebat. Sementara pintu demi
pintu rumah di sekitar yang
tadinya dibuka. oleh penghuni
yang masih tinggal diam-diam
ditutup kembali.
Aneh, pikirnya. Tak seorang pun
dari mereka yang berusaha
mengejar si penculik. Malah,
tetanggatetangga sekitar
kelihatan begitu takut keluar
rumah. Begitu cepat menutup
pintu masing-masing. Seakan,
kejadian semacam itu buat
mereka sesuatu yang sudah
lumrah. namun mendatangkan
rasa takut sehingga semua
orang terpaksa mengurung diri.
Persetan dengan kemalangan
tetangganya!
Ismed kembali teringat pada
penculik bayi tadi. Perempuan
sihir atau apa pun dia, buat
Ismed hanya berarti satu hal: ia
telah menemukan Farida,
istrinya. Dengan pikiran itu
Ismed membalikkan tubuh.
Bermaksud mengejar ke arah
mana ia perkirakan Faridanya
menghilang.
Pada saat itulah terdengar
suara menegur dengan pelan.
"Mau ke mana?"
Ismed terperanjat. Mundur
dengan kaget manakala tampak
olehnya sesosok bayangan
muncul dari naungan pepohonan
yang gelap. Ternyata seorang
lelaki. Ia bertelanjang kaki dan
bertelanjang dada. Tubuhnya
hampir sama tinggi, hampir
sama besar dengan Ismed
sendiri. Usianya pun mungkin
tidak berbeda jauh dengan
lsmed. Hanya kulitnya lebih
gelap, otot-orotnya menonjol
kuat, pundaknya lebar dan
kokoh serta dada bidang
membusung.
"Aku Supardi." Lelaki itu
memperkenalkan diri tanpa
mengulurkan tangan. Sikapnya
pun tampak sangat kaku. "Anda
siapa" Aku belum pernah
melihatmu sebelum ini."
Setelah kekagetannya hilang,
Ismed balas memperkenalkan
diri. Tak lupa menyebutkan di
rumah siapa ia tinggal.
"Oh. Janda penenun itu. Apakah
kau calon suaminya?" tanya
Supardi tanpa basa-basi.
"Bukan."
"Oh. Kapan kau tiba di kampung
ini, dan..."
"Bung sengaja menahan aku,
bukan" Agar penculik itu dapat
lari dengan aman!" Ismed
menukas dengan perasaan kesal.
Supardi tersenyum, kaku.
"Tanpa kutahan pun, kau tak
akan pernah dapat mengejar
dia," tandasnya. "Mengapa
tidak?"
"Tak seorang pun yang bisa. Ia
muncul atau menghilang tanpa
seorang pun tahu dari mana ia
muncul dan ke mana ia
kemudian menghilang. Kau telah
mendengarnya tadi, bukan"
Perempuan itu seorang
penyihir."
"Dia Farida!" senggak Ismed,
tak sabar.
"Farida" Nama itu tak ada di
kampung ini. Dan..."
"Menyingkirlah. Biarkan aku
pergi mengejarnya!"
Suara Ismed yang tegas dan
tidak ingin ditentang. membuat
lelaki yang mengaku bernama
Supardi menyingkir memberi
jalan. Ismed segera berlalu. Ia
berjalan tak tentu arah. berlari
ke salah satu cabang pertigaan,
lalu kembali. Berlari kian
kemari. Namun hanya kegelapan
yang menakutkan dan
kehampaan yang menyakitkan
saja yang ia peroleh.
Ketika kembali ke tempat
semula, Supardi telah
menghilang.
Dari rumah depan, suasana
hiruk pikuk itu telah reda. meski
jerit tangis perempuan masih
terdengar begitu menyayat hati.
Ismed berdiri bingung dan
gelisah. Ia semakin yakin bahwa
Farida juga telah membuka
pintu lemari antik di rumah
mereka, dan mungkin terseret
oleh lorong waktu ke tempat
yang sama. Yang membuatnya
tak habis pikir, mengapa Farida
tadi lenyap begitu saja meski ia
telah melihat kehadiran
suaminya" Dan yang lebih
mengerikan, mengapa Farida
harus menculik bayi orang lain"
"Ismed?"
Ia menoleh dan melihat Selasih
berdiri di pintu rumahnya.
"Masuklah, Ismed. Lekas,
sebelum kau terkena kutuk!"
"Terkena kutuk?" tanya Ismed
setelah pintu ter
tutup di belakangnya. la heran
melihat wajah Selasm yang
pucat dengan ketakutan yang
membayang di matanya. "Kutuk
apa, Asih?"
"Panjang ceritanya," jawab
Selasih gemetar. "Lebih baik
tidur saja sekarang. Jangan lagi
nekat meninggalkan rumah
tengah malam buta begini."
"Tetapi bayi itu, Asih..."
"Bayi yang malang," Selasih
mengeluh. "Kita cuma bisa
berdoa, semoga arwahnya
diterima di sisi Tuhan."
"Hei. Nanti dulu!" Ismed
tercengang. "Setelah
orang-orang di luar sana tak
satu pun yang mau berusaha
mengejar si perempuan sihir itu
untuk merebut bayi yang
diculiknya, kini kau malah
beranggapan bayi itu telah mati!
Apa-apaan semua ini. Asih?"
pekik Ismed tak mengerti.
"Tidurlah, Ismed." bujuk
Selasih.
"Tidak!"
Selasih menghela napas
panjang. Lalu
mengembuskannya dengan
resah.
"Kalau begitu. duduklah. Akan
kuceritakan semuanya
padamu...."

***

TANGIS bayi menyentakkan


Farida dari tidurnya yang resah.
la meluncur turun dari dipan.
Berjalan bimbang ke pintu
gubuk. Selama beberapa saat ia
diam mendengarkan. Sesaat
terasa kesepian mencekam di
luar sana, tapi kemudian tangis
bayi itu terdengar lagi.
Takut-takut, Farida membuka
pintu. Bunyi keriut engsel pintu
itu membuat Farida terkejut
sendiri.
Sinar rembulan menerangi
halaman gubuk yang disemaki
belukar. Rumpun-rumpun
ilalang bergerakgerak dalam
irama tertentu, dan Farida
segera menyadari gerakan itu
disebabkan oleh makhluk
makhluk mengerikan yang
muncul dari semua penjuru.
Farida mengarah ke jalan
setapak menuju pancuran tempat
mandi, dengan cepat ia
menyambar obor menyala dari
dinding di dekat pintu, lalu ia
memberanikan diri menyerbu ke
luar.
Seraya menggerakkan obor kian
kemari. ia berlarilari ke jalan
setapak dan menjerit-jerit
mengusir. "Enyah! Pergi kalian
semua! Jangan ganggu bayi
itu!"
Kibaran nyala obor dan
jeritan-jeritan panik Farida
segera memperlihatkan reaksi.
Semak belukar di sekelilingnya
bergerakfgerak semakin liar.
Disertai suara mencicit yang
semakin riuh rendah. puluhan
bahkan mungkin ratusan ekor
makhluk berbulu cokelat
maupun hitam lari
bertemperasan. Farida bahkan
sempat menendang salah satu di
antaranya, yang kebetulan
berlari ke arah Farida datang.
Dengan satu sepakan keras,
makhluk itu terangkat dari
tanah, terbang di udara
kemudian jatuh dengan suara
berdebuk di kedalaman tebing
yang menggelap hitam. Sesaat
sebelum melayang ke bawah
tebing, nyala obor sempat
menangkap bentuk makhluk
berkaki empat dengan moncong
lancip bertaring. Sepasang mata
merah menyorot marah namun
setelah terbanting, tampaknya
makhluk itu tidak mampu lagi
merangkak naik ke atas untuk
melampiaskan kemarahannya.
Di tempat yang sedikit terbuka.
Farida menemukan bayi itu.
Terbungkus dalam selimut, ia
lihat sesosok tubuh mungil
berkulit putih kemerah-merahan
menggeliatkan tangan maupun
kakinya. Belasan ekor makhluk
hitam merayap di sekelilingnya.
Bahkan dua tiga ekor di
antaranya sudah mulai
mencacah selimut pembungkus
bayi.
"Tikus-tikus terkutuk. jangan
sentuh dia!" teriak Farida
histeris, sembari obor di tangan
ia sorangsorongkan ke arah
kerumunan makhluk itu. Kakinya
ikut pula menendang-nendang.
Terdengar bunyi debak-debuk.
kaki-kaki kecil bertemperasan
tak menentu disertai cicitan
nyaring melengking.
Kemudian. sepi menyentak.
Tinggal rengekan lemah sang
bayi, serta napas Farida yang
memburu. la mengawasi
sekelilingnya. Dari kegelapan di
balik semak belukar, Farida
dapat menangkap
berpuluh-puluh titik cahaya kecil
merah ganti mengawasinya.
Mengawasi dengan penuh
dendam. namun juga bercampur
rasa takut seperti halnya
dirasakan oleh Farida sendiri.
Maka, sebelum
makhluk-makhluk mengerikan
itu berubah pikiran lantas nekat
menyerbu dirinya. Farida
membungkuk. Bayi yang
terbungkus selimut itu
direngkuhnya dengan sebelah
tangan, lantas cepatcepat masuk
kembali ke dalam gubuk. Pintu
dihempaskan dengan keras, lalu
dipasangnya palang. Khawatir
pintu itu ada yang mendobrak
dari luar.
Sejenak ia mengatur napas.
Obor disimpan ke tempat
semula. Lalu berjalan ke arah
dipan. Farida merebahkan si
bayi di atas tumpukan jerami
yang oleh penghuni sebelum dia
sengaja ditumpuk sebagai
pengganti kasur.
"Kau aman di sini," gumam
Farida tersengal-sengal. Ia
tersenyum. menikmati suatu
kehangatan yang aneh
dengan kehadiran sang bayi.
"Kita dapat berteman, bukan?"
lalu untuk pertama kali
semenjak ia menghuni gubuk
kecil di lereng gunung itu,
Farida dapat tertawa.
"Ah... kiranya kau perempuan
seperti aku. Siapa namamu.
Neng" Oh ya. Tak apa kau
kupanggil Neneng saja, ya?"
Farida mengusap-usap rambut
bayi yang tebal dan halus itu.
Pipinya yang montok dieluselus
dan sang bayi rupanya merasa
senang. Terdengar rengekannya
yang riang, sementara matanya
yang bening memancarkan sinar
bersahabat. "Anak cantik. lbu
mana yang telah begitu tega
membuangmu?"
Dibilang begitu, sang bayi
merengek lagi.
"Hussy, diamlah, Nak. Kau ingin
menyusu ya" Sebentar.
kuhangatkan..."
Bayi itu ia selimuti baik-baik.
Sambil membopong sang bayi. ia
berjalan ke tungku perapian di
salah satu pojok gubuk. Periuk
tanah di dekat tungku
dibukanya. Masih ada sisa susu
kambing, tetapi telah mengental
beku karena hawa dingin. Periuk
itu diletakkannya di atas tungku.
Bara api dikebutnya dengan
sepotong kayu bakar. ditiup
sampai apinya menyala. Kayu
bakar ditambahkannya dua
potong ke dalam tungku.
Seketika suasana di dalam
gubuk berubah menjadi hangat.
Bayi itu menggeliat. Tangannya
yang kecil secara naluriah
menggapai payudara Farida
yang setengah terbuka. Farida
tertawa kecil.
"Sabar-lah," bujuknya. "Aku
belum bisa menetcki
mu...
Susu kambing dalam periuk
mulai mencair, lalu mendidih.
Periuk diangkat Farida dari atas
tungku. Dengan sendok kayu,
isinya dipindahkan sedikit ke
sebuah mangkuk dari tempurung
kelapa. Didiamkannya sejenak.
Setelah hangat-hangat kuku lalu
disendokkan sedikit demi sedikit
ke mulut bayi perempuan yang
mereguknya dengan lahap.
Selagi memberi minum bayi di
pangkuannya, mulut Farida
terus saja berceloteh. Ia tidak
lagi bertanya-tanya tentang
siapa ibu yang telah begitu tega
dan begitu bersusah payah
mendaki gunung untuk
membuang anaknya di tempat
yang begini jauh terpencil. Jadi
ia hanya bercerita dirinya
sendiri. Tentang sebuah kisah
yang menyerupai dongeng.
Hanya tidak seindah
dongengnya Andersen yang dulu
kerap kali dibacanya waktu
masih duduk di Sekolah Dasar.
Apa yang diceritakan Farida
dengan sikap setengah melamun
adalah sebuah dongeng yang
tidak saja mengharukan tetapi
juga mengerikan.
"Kau ingin tahu dari mana aku
datang, bukan?" bisiknya pada
sang bayi. Suara Farida
bergetar ketika pertanyaan itu ia
jawab sendiri.
"Aku datang dari sebuah
lemari."!"
Farida tak sedikit pun curiga
ketika ia membuka pintu lemari.
ia juga tidak merasakan sesuatu
hal yang aneh. Kecuali desahan
kagum akan ukiran perempuan
yang menyerupai dirinya itu.
Puas memandangi duplikat
dirinya, Farida tenang-tenang
saja membuka pintu lemari.
Keramik-keramik yang bagus itu
lebih pantas dipajang di balik
lemari kaca di ruang tamu. Di
lemari yang ini, lebih cocok
untuk menyimpan buku atau
benda benda lain yang tidak
begitu mereka butuhkan kecuali
diperlukan.
Tangannya baru saja
menjangkau sebuah poci antik
ketika peristiwa itu terjadi.
Mendadak, keramik-keramik
lainnya menghilang secara
ajaib. Bilah-bilah papan dan
kayu lemari lenyap. berganti
lorong yang pekat seakan tak
berujung. Yang tinggal hanyalah
poci di tangannya saja. Di
hadapannya, Farida
menyaksikan munculnya
gumpalan kabut yang kemudian
menyergap tubuhnya dengan
sebuah tarikan yang aneh.
Poci keramik di tangannya,
jatuh ke lantai. Pecah berderai.
Farida ingin menjerit. Namun
lidah kelu. Bahkan sekujur
anggota tubuhnya, lemas tak
berdaya. Kabut itu terus saja
menyeretnya, seakan ada
tangan-tangan gaib yang
menarik tubuhnya untuk
melangkah masuk semakin jauh
ke dalam lemari. Beberapa saat
sebelumnya. kehangatan sinar
matahari yang menerobos dari
jendela masih sempat
dinikmatinya, kini tahu-tahu saja
telah berubah dingin menusuk
dalam kegelapan yang
menghitam. Dan kemudian ia
melihat sinar rembulan di pucuk
pepohonan. Astaga, pepohonan
tinggi menjulang di sekitarnya.
Farida melangkah ke tempat
terbuka. Kaki telanjangnya tidak
lagi menjejak di lantai licin.
Melainkan di permukaan tanah
berbatu dan ditumbuhi semak
belukar.
Bagaimana mungkin"
Farida mengerjapkan matanya.
Berbisik pada dirinya sendiri,
"Hei, anak tolol. Bangun!"
Telinga Farida menangkap
suara. Begitu lirih. Hanya sayup
sampai terdengar. "Eh,
apa-apaan si Ida?" Disusul
suara bunyi menghempas.
Seperti pintu ditutupkan. Pintu
lemari itu!
Farida membuka matanya
lebar-lebar.
Berharap. ia melihat wajah ibu
mertuanya yang mencemooh
karena telah memecahkan poci
antik yang mungkin tak ternilai
harganya. Tetapi apa yang
dilihatnya masih tetap sama.
Suasana remang-remang dalam
siraman cahaya rembulan,
pepohonan yang menjulang.
langit kelam. lereng terjal
mendaki jauh di depannya. lalu
jurang yang menganga hanya
beberapa langkah dari
tempatnya berdiri. Farida
tersentak. Melangkah mundur
secara naluriah, menjauhi bibir
tebing yang curam menganga
itu. Ia membalikkan tubuh
disertai perasaan takut yang
luar biasa.
Ada suara-suara aneh
tertangkap oleh telinganya.
Bunyi mencicit lemah.
Mula-mula hanya satu dua
suara, kemudian bertambah
banyak. Bunyi mencicit itu
makin kuat. makin ramai. Lalu
terdengar suara gemerisik yang
ribut. Semak belukar di
sekelilingnya bergerak-gerak
liar. Terdengar pula
langkah-langkah kaki kecil.
merayap di tanah. menyeruak
semak maupun belukar. Suara
maupun gerakan itu seakan
datang dari segenap penjuru,
menjurus langsung ke arah
Farida yang tegak kaku.
lalu ia melihatnya.
Berpasang-pasang sorot mata
merah dan jahat mengawasi
dirinya. Sorot mata itu
kecil-kecil, tetapi berkilat-kilat
tajam. Mengintai dari balik
semak belukar. di atas
rerumputan. di atas batu.
Jumlahnya puluhan. mungkin
ratusan... semua mengawasi
Farida, dengan kesunyian yang
tiba-tiba sangat menyesakkan.
Farida tak berani bergerak.
Dia mematung.
Farida mencoba mengendalikan
kepanikannya. ia masih teringat
pesan guru karatenya dulu.
"Menghadapi musuh yang
tiba-tiba mengepung.
bersikaplah tenang. Setenang
orang yang berbaring diam.
sampai ular berbisa yang
merayap di perutnya menyangka
orang itu benda mati sehingga
ular itu kemudian berlalu tanpa
mematuknya. Kemudian..."
Kemudian, apa"
Pikiran Farida mendadak buntu.
la bukan meng
hadapi manusia biasa. Ia
menghadapi musuh yang jauh
lebih berbahaya dari sekadar
manusia. Matanya semakin
terbiasa dengan kegelapan,
samar cahaya rembulan
membuat Farida dapat
mengetahui seperti apa
musuhnya. Makhluk-makhluk itu
berbulu cokelat dan hitam.
Bulu-bulu halus berkilauan.
Kaki-kakinya menekuk. berkuku
runcing. Kepalanya melancip ke
depan, memperlihatkan
moncong bersungut serta gigi
taring tajam mengancam.
"Tikus!" Farida membatin ngeri.

Benar. Makhluk-makhluk
pengepung itu ternyata ratusan
ekor tikus. Bukan sembarang
tikus! Jangankan sebanyak itu.
satu ekor saja sudah cukup
untuk mengusir kucing.
Bagaimana tidak. Tikus yang
dihadapi bertubuh jauh lebih
besar dari kucing itu sendiri.
Dari bentuk kepala, ekor. serta
caranya mendekam,
makhluk-makhluk itu jelas-jelas
tikus, bukan musang atau pun
binatang lainnya. Farida
mungkin masih punya
keberanian apabila yang
dihadapinya seekor harimau.
Tetapi tikus....
"Oh"!" Farida mengeluh gentar.
Lututnya goyah. kemudian
menekuk. dan tubuhnya pun
melorot jatuh ke tanah. Suara
berdebuk ketika Farida
bersimpuh jatuh, terdengar
begitu kerasnya.
Makhluk-makhluk buas di
sekelilingnya seketika
memperdengarkan bunyi
mencicit kembali, riuh rendah
dan menggema di sepanjang
lereng gunung bahkan sampai
jauh ke lembah hitam mencekam
di bawah
sana. Lalu beratus-ratus kaki
kecil merayap perlahanlahan.
Moncong-moncong mengerikan
menganga, siap menerkam
dengan sorot-sorot mata yang
haus darah.
Seekor di antaranya, yang
paling besar dan paling
menakutkan, telah mencapai
lutut Farida yang gemetar hebat.
Makhluk itu mendengus-dengus
buas. Taringnya yang tajam
mengerikan sudah siap
merobek-robek kulit dan daging
manusia yang sudah tak berdaya
itu. Tapi suara mencicit yang
lebih keras dan nyaring
membuat tikus di depan lutut
Farida urung menancapkan
taringnya. Suara yang muncul
terakhir, seakan mengatasi
suara riuh rendah di sekitar
Farida.
Ratusan ekor tikus di sekitar
tubuh Farida. serempak
memutar tubuh. Lari
bertemperasan, serabutan.
Makhluk-makhluk itu lenyap
dalam sekejap. Menghilang di
balik pepohonan, di celah-celah
batu maupun ceruk dinding
gunung. Sebagian jatuh
tunggang langgang ke lembah.
Hiruk-pikuk bunyinya. Semua
berlangsung dalam tempo yang
begitu singkat. Farida bahkan
belum sempat menarik napas.
tatkala kesunyian yang lengang
mencekam kembali menghantui
kegelapan di sekitar Farida.
Dan ia kemudian melihat apa
penyebab makhluk-makhluk
mengerikan itu minggat
ketakutan.
Di atas seonggok batu besar,
tegak sesosok tubuh tinggi kekar.
la bercelana sontok hitam
sebatas betis. Dadanya bidang
dengan otot-otot pundak
menyembul kokoh. Seluruh
penampilan tubuhnya, sampai
sebatas leher, adalah sosok
tubuh manusia perkasa. Tetapi
yang membuat Farida memekik
tertahan adalah penampilan
orang itu dari batas leher ke
atas.
Orang itu tegak persis
menghadap rembulan. sehingga
tampak jelas sepasang
telinganya yang kecil lancip.
rambut lurus rata berkilauan di
atas kepala yang juga lancip.
Matanya memang berbentuk
normal seperti sepasang mata
manusia biasa. Akan tetapi
justru keadaan itu membuat
penampilan wajahnya semakin
buruk mengerikan.
Karena. mata manusia tidaklah
serasi untuk wajah seekor tikus!
Terlindung dalam
bayang-bayang pepohonan,
Farida menggeliat resah.
Ia berusaha bangkit. Namun
segera jatuh terduduk kembali,
karena persendian tubuhnya
seakan lumpuh total. Bagai
dilanda teror yang tak mungkin
dilawan, Farida hanya bisa
diam memperhatikan bagaimana
lelaki tinggi kekar berkepala
tikus itu turun dengan
langkah-langkah tegap ke
tempat terbuka. Kemudian
berhenti diam di depan Farida.
Dengus napas berat setengah
mencicit keluar dari
lubang-lubang hidungnya yang
sempit. Wajah itu menyeringai.
Sungut-sungutnya yang hitam
berkibarkibar ditiup angin
malam, sementara taring-taring
besar namun runcing menyeruak
dari sela-sela moncongnya. la
mengawasi sejenak. Kemudian
membungkuk. Telapak
tangannya yang lebar
menggapai ke depan, berusaha
menjamah wajah Farida yang
sudah lebih dulu merunduk
manakala makhluk itu mendekat.
Merasakan endusan napas
panas dan melihat tangan yang
menggapai ke arahnya, Farida
tersentak kaget.
Teror yang melanda dirinya
telah mencapai puncak.
Anak anjing sekali pun, kalau
sudah kepepet masih mampu
menggigit.
Maka, Farida mengumpulkan
sisa-sisa keberaniannya untuk
menepiskan tangan itu.
Tepisannya ternyata sangat
lemah. Tangan itu hanya
tergeser sedikit, kemudian malah
semakin berani menerjang ke
depan lalu mencengkeram
pundak Farida. Makhluk itu
dengan tangkas mengangkat
Farida berdiri. Farida
meronta-ronta, menendang,
mencakar dan melakukan apa
saja untuk membebaskan diri.
Panik dan takut telah membuat
Farida melupakan cara
membela diri yang benar seperti
yang pernah ia pelajari.
Akibatnya, perlawanan Farida
menjadi kacau tak berarti.
Tangan kokoh itu terus
membetot Farida, berusaha
memeluk dan menciumnya.
Dengus napas keras dan panas
berapi-api menyapu wajah
Farida. Ia terus saja mencakar
sambil berteriak-teriak tak
menentu. Setiap teriakan yang
keluar menahan kekuatan
nya. Sekali ia berhasil
menendangkan lutut ke perut
makhluk itu. Yang kena tendang,
meliuk keras, namun tidak mau
melepaskan pelukannya.
Makhluk itu terjaiar ke
belakang, jatuh ke tanah seraya
menyeret tubuh mangsanya.
Mereka jatuh terjerembab di
tempat terbuka yang lebih
terang oleh sinar rembulan.
Merasa mulai tidak bisa
mengendalikan Farida. makhluk
itu menghantamkan satu pukulan
keras. Farida merasakan
sesuatu menerpa sisi kepalanya
begitu kuat dan menyakitkan,
Dalam sekejap. Farida hilang
keseimbangan. la terguling di
tanah, lalu tergeletak
menelentang dengan kepala
berdenging menyakitkan.
Kesadarannya lambat laun
semakin menurun. Farida mulai
didera rasa putus asa.
Dalam keputus-asuhnya timbul
niatan untuk tetap sadar. Paling
tidak selama beberapa detik
yang singkat, namun cukup
untuk membawa tubuhnya
merayap ke batu terdekat.
Daripada harus kembali ke
pelukan makhluk itu. Farida
merasa lebih baik mengakhiri
semuanya. Kepalanya akan ia
benturkan keraskeras. Sampai
retak, dan ia mati....
Sayang untuk merayap pun
Farida tak mampu lagi.
Ia hanya mampu telentang diam.
Matanya nanar memperhatikan
sosok tubuh menakutkan itu
mendekat, lalu membungkuk.
Dekat dengan wajah Farida.
Tapi anehnya, bukan untuk
menciumi perempuan yang
sudah tak berdaya itu.
Melainkan hanya menatap
wajahnya lekat-lekat.
Hanya memperhatikan!
Lalu sekoyong-koyong, sosok
tubuh perkasa itu tampak
bergetar hebat. Terdengar
cicitan keras dari mulutnya. Saat
berikutnya, makhluk itu mundur
menjauh, lantas menjatuhkan
diri di atas rerumputan.
Makhluk itu menekankan
kepalanya ke rerumputan
dengan tangan mendekap tanah.
Tubuhnya meliuk, bersimpuh.
Suara mencicitnya terdengar
kacau. Seperti cicitan tikus yang
terpojok di celah sempit yang
masih dapat dijangkau kuku
seekor kucing yang siap
menerkamnya. Dengan sisa-sisa
kesadarannya. Farida masih
sempat menyaksikan bagaimana
makhluk perkasa berkepala dan
berwajah tikus itu tengah
bersimpuh di tanah dengan
posisi menyembah memohon
ampun kepadanya.
Farida membelalak heran.
Sekejap cuma. Karena kelopak
matanya keburu mengatup tanpa
bisa ia kendalikan. Kesadaran
Farida, sudah menghilang.
"Kau tahu apa yang kemudian
terjadi?" desah Farida, lirih.
Bayi di pangkuannya diam.
Rupanya sudah lama tertidur.
Farida menghela napas,
kemudian bangkit dan berjalan
ke dipan. la sambar sehelai kain
rombeng keras
dan kasar dari gantungan di
dinding.dilempar ditumpukan
jerami. lalu bayi yang sudah
lelap itu ia baringkan dengan
hati-hati. Diselimuti baik-baik.
Bayi yang montok dan cantik,
pikirnya.
lbu mana yang telah tega
membuangnya" Apakah
peristiwa-peristiwa memalukan
yang sering terjadi di kota-kota
besar itu telah merembet pula ke
pegunungan yang jauh
terpencil" Tentang
perempuan-perempuan muda
yang hamil di luar nikah. lantas
karena malu pergi menyingkir
jauh-jauh, melahirkan anaknya
diam-diam, membawanya ke
suatu tempat tanpa diketahui
orang. lalu membunuhnya"
Akan tetapi, bayi ini tidak
dibunuh.
Bayi ini dibuang begitu saja.
Lalu mengapa untuk membuang.
harus menempuh jarak yang
begitu jauh" Mengapa harus
bersusah payah mendaki
gunung. bahkan harus
menyeberangi sungai dan
menerobos rimba belantara"
Tadi siang, Farida sempat
beberapa kali memperhatikan ke
arah lembah. Nun di lembah
sana. ia melihat rumah-rumah
penduduk yang tampak begitu
kecil, menyerupai kotak korek
api saking jauhnya.
Perempuan mana yang nekat
meninggalkan kampung itu
untuk pergi mendaki gunung,
hanya untuk membuang
bayinya"
***

FARIDA tersentak ketika ia


sampai pada sebuah pemikiran
baru.
Seseorang, entah siapa, telah
masuk pula lewat pintu lemari.
Bayinya dibuang. Kemudian
orang itu keluar kembali. Lewat
pintu yang sama. Ia tentunya
telah mengetahui rahasia lemari
antik itu. Entah dengan cara
apa. ia dapat masuk ke dalam
rumah tanpa sepengetahuan
lsmed atau ibu mertuanya.
Dengan leluasa pula ia
membuka dan menutupkan pintu
lemari setelah melaksanakan
niat jahatnya. Dan bayi itu,
mungkin bukan anak haram.
Bayi itu mungkin memang
terlahir dari sebuah pernikahan
yang sah. la dibuang, tidak
untuk dibuang begitu saja.
Tetapi untuk dijadikan tumbal.
Persembahan kepada setan
laknat terkutuk!
Tetapi. ah....
Siapa pula orangnya yang telah
mampu membuat lemari yang
mengandung kekuatan gaib
sedemikian rupa." Itu hanyalah
sebuah lemari biasa. Lemari
dengan pintu ukir antik yang
dapat dibuat dan dipesan oleh
siapa saia. Jangka waktu
pembuatannya pun, cuma tiga
hari. Atas pesanan Ismed,
suaminya. Pesanan Ismed,
astaga! Mengapa pula Ismed
tiba-tiba berpikir untuk
memesan sebuah lemari yang
dapat melemparkan istrinya ke
sebuah dunia yang begitu jauh.
Sebuah dunia terasing" Ismed
tidak akan melakukan itu.
Karena ia tahu, betapa Ismed
sangat mencintai dirinya.
Kalaupun setelah di
Pandeglang, cinta Ismed
padanya mengalami perubahan,
maka Ismed tidak akan berani
melakukan perbuatan
mengerikan itu di depan mata
ibunya sendiri.
Tidak. Bukan Ismed yang
melakukannya.
Lalu siapa"
Kehilangan selera untuk tidur
kembali, Farida turun dari
dipan. Bayi itu menggeliat.
Merengek lembut. Tetapi dengan
tepukan-tepukan halus
diselimutnya, bayi itu terlelap
lagi. Bayi malang, pikirnya.
"Aku tak percaya, kau
dilemparkan orangtuamu untuk
dirajah oleh setan," ia
bergumam. "Aku bukan setan.
Orang itu pun... aku yakin,
bukan!"
Farida beranjak lalu duduk
menghadap tungku perapian.
Baranya masih menyala. Hangat
dan menyenangkan. Di sebelah
tumpukan kayu bakar, ada
setumpuk singkong mentah.
Farida mengambil se
potong lalu disorongkannya ke
tengah bara. Ia juga
menambahkan sepotong kayu
bakar agar api tetap menyala.
Kayu maupun singkong itu, si
muka tikuslah yang
menyediakannya. Ya. Si muka
tikus. Itulah julukan yang paling
pas. Muka tikus, namun tetap
sebagai manusia. Ia bukan
setan, meski penampilannya
mirip dengan penampilan setan
yang mengerikan.
Begitu seram sosok tubuhnya
ketika pertama kali ia muncul di
atas onggokan batu. Bahkan
ratusan ekor tikus-tikus buas
yang mengerikan itu pun sampai
minggat ketakutan. Sungguh
aneh, begitu Farida sudah tidak
berdaya untuk melawan, orang
itu malah mendadak berubah
sikap. Bersimpuh dengan sikap
lebih ketakutan dari perasaan
takut yang dialami Farida
sendiri. Ia menyembah Farida,
seakan mcmohon ampun atas
kelancangan dirinya yang telah
memperlakukan Farida dengan
kasar, bahkan hampir
menodainya. Apa yang membuat
makhluk itu bersikap demikian"
Farida tak dapat memahaminya.

Ia hanya tahu, bahwa begitu


siuman, ia sudah terbaring di
atas dipan kayu dalam gubuk
kecil terpencil ini. Si muka tikus
ia lihat duduk bersila tak jauh
dari pintu gubuk. Ia duduk
membelakangi obor sehingga
wajahnya tidak terlihat jelas.
Walaupun nyala api di tungku
masih mampu menerangi,
wajahnya tetap saja kelihatan
sangat samar. Karena lelaki itu
telah memakai kerudung hitam
yang tepi bagian atas depan
ditarik serendah mungkin.
Membuat wajahnya tak lebih
dari sebuah kegelapan yang
kabur.
Orang itu gemetar ketika Farida
menggeliat bangun.
la cepat bersimpuh mencium
lantai tanah. Menangkupkan
kedua telapak tangan pada
kepalanya yang ditutupi
kerudung. Memperdengatkan
suara mencicit yang ribut. tetapi
lemah seakan tak berdaya.
Seolaholah Farida adalah sang
Ratu Penguasa yang turun dari
tahta untuk menghukum
langsung si pendurhaka.
Terheran-heran campur takut.
Farida beringsut ke pojok dipan.
Duduk meringkuk dengan
sekujur tubuh gemetar.
"Mau apa kau?" la bergumam
cemas.
Makhluk itu setengah
mengangkat kepalanya.
Menunjuk-nunjuk ke Farida.
kemudian menunjuk-nunjuk ke
wajahnya. Gerakan itu ia
lakukan berulang-ulang. Seakan
ingin menyampaikan sesuatu
mengenai wajahnya punya
sangkut paut dengan Farida.
Tentu saja Farida tercengang.
"Aku tak tahu apa maksudmu.
Pergilah... tinggalkan aku
sendirian." Suara Farida
setengah memerintah. setengah
memohon.
Si muka tikus beringsut mundur
ke pintu. Tiba di sana. ia berdiri.
Berpaling sejenak ke arah dipan
namun tidak secara
terang-terangan. Setelah
membuka pintu ia kemudian
keluar dengan patuh. Lewat
pintu yang terbuka. Farida
menangkap kegelapan yang
pekat
di luar sana. Angin malam
menerobos masuk. Farida
menggigil. la memberanikan diri
turun dari dipan. Berlari-lari
kecil ke arah pintu. Lalu pintu
itu ditutup kannya buru-buru.
Saat melihat sebuah palang kayu
tergeletak, disambarnya palang
itu dan dipasangnya dengan
bernafsu.
Sendirian di dalam gubuk,
Farida mulai memperhitungkan
kesempatannya.
Kalau terjadi sesuatu di luar
kehendaknya, ia akan melawan.
Kini ia sudah sadar sepenuhnya
dan tahu akan kemampuannya
membela diri dengan tangan
kosong. Kemudian, masih ada
sebatang obor menyala. juga
potongan kayu bakar menyala di
tungku perapian. Setelah
matanya bergerak liar,
mencari-cari alat lain yang bisa
digunakan untuk berjaga-jaga.
ia akhirnya menemukan sebilah
pisau terselip di dinding. Pisau
itu ia sembunyikan di bawah
bantal. Juga ada sebuah kapak
besi di dekat pintu. Kapak itu
dipindahkan ke dinding dekat
dipan. Cukup dekat untuk
dijangkau sewaktu-waktu.
Meringkuk kembali di dipan.
Farida mengatur napas supaya
ia dapat lebih tenang. Kalaulah
semua ini cuma mimpi buruk
belaka, semoga apa yang terjadi
dalam mimpinya tidak berlanjut
sejauh yang ia cemaskan.
Seumur hidupnya, Farida tidak
pernah membayangkan akan
tega membunuh seseorang.
Kecuali, kalau orang itu berniat
jahat dan nekat menganiaya
atau memerkosa dirinya.
Teringat sampai di situ, Farida
dengan gugup memperhatikan
letak pakaiannya. Pakaiannya
sangat kotor. Namun masih
utuh. Dan setiap lembar tetap
melekat di tempat semula. la
gerak-gerakkan pahanya. Juga
tidak terasa adanya kelainan.
Benar. ia teramat letih. Namun
tahu kalau hal itu adalah
keletihan yang wajar. Letih
karena syok. Letih karena
pertarungan melawan orang itu
sebelum ia jatuh pingsan. Bukan
letih karena diam-diam telah
diperkosa saat pingsan.
Si muka tikus agaknya
memperlakukan Farida dengan
baik. Tumpukan jerami di
permukaan dipan jelas telah
disiapkan oleh si muka tikus
sebelum Farida direbahkannya
di situ. Karena di lantai masih
terlihat serpihan sisa jerami
yang berceceran sampai ke
pintu. Dan apa pun maksud
orang itu, jelas ia tidak berniat
mengurung Farida. Karena
kalau ia bermaksud demikian,
pintu justru harusnya dikunci
dari luar. Ia juga tak akan
membiarkan pisau serta kapak
tertinggal begitu saja.
Farida mengawasi setiap sudut
gubuk.
Hanya ada satu ruangan saja.
Merangkap segala keperluan
untuk tinggal. Ada gantungan
baju. Perlengkapan memasak,
perlengkapan makan, sebuah
meja kecil dengan sebuah kursi
yang terbuat dari rotan. Lalu
sebuah rak kayu untuk tempat
pakaian. Di dalamnya beberapa
helai pakaian tersusun rapi.
Semua berwarna hitam. dan
tanpa perlu menyentuhnva
kelihatan jelas hanya terbuat
dari bahan kasar.
Modelnya pun serba kuno. susah
membedakan apakah pakaian itu
untuk lelaki atau perempuan,
kecuali satu dua helai kain
sarung yang diberi renda. Puas
mengamati seisi gubuk yang
ditinggalinya. Farida masih
tetap bimbang. Keperluan untuk
hidup ala kadarnya, cukup
tersedia.
Yang mengherankan, mengapa
ia harus hidup di gubuk yang
menakutkan ini" Dengan ratusan
atau mungkin ribuan tikus-tikus
besar mengerikan mengintai di
luar sana. Makhluk-makhluk
kejam dan ganas, yang
seakan-akan berada di bawah
perintah si manusia bermuka
tikus. Melawan seorang itu saja
mungkin Farida masih mampu.
Tapi untuk melawan pasukan
tikus yang bisa menyerbu dari
segala penjuru. apakah gubuk
kayu berdinding tepas ini
sanggup menahannya" Pisau
serta kapak itu pun akan sia-sia
akhirnya. Juga api. Dan sampai
kapan ia di sini."
Alangkah tenteram hatinya,
andai kata ada lsmed di
dekatnya.
Apa yang tengah dikerjakan
Ismed sekarang ini" Tidur
nyenyak" Atau kalang kabut
menjelajahi setiap sudut kota
untuk mencarinya" Dan ibu
mertuanya. sungguh kasihan.
Dia seorang perempuan yang
baik. Meski teramat jarang
bertemu, Farida dapat
merasakan kasih sayang dan
cintanya. secinta pada anak
kandungnya sendiri. Tentulah
ibu mertuanya
terpingsan-pingsan mengetahui
menantunya telah hilang tak
tentu rimba. Ya. siapa pula yang
tahu kalau ia
ada di sini" Lebih menakjubkan
lagi, siapa pula yang percaya
kalau hanya dalam tempo
sekejap, ia telah pergi ke suatu
tempat yang begitu jauh" Hanya
dengan membuka pintu sebuah
lemari, Farida telah tiba di
lereng sebuah gunung.
dikelilingi hutan belantara!
Lemari. wahai.... Pasti itu hanya
mimpi buruk!
Namun ketika akhirnya ia
tertidur juga menjelang subuh
dan bangun kesiangan esok
harinya. Farida menyadari ia
tidak sedang bermimpi. la
menghadapi kenyataan. ia
berjalan tertegun-tegun menuju
pintu. Dari celah di bawahnya.
lidah matahari tampak menjilati
lantai di sebelah dalam pintu.
Sinar matahari yang hangat
juga menerobos lewat
celah-celah sempit di antara
bilah-bilah dinding tepas. Tidak
ada bayangan mencurigakan di
luar. Farida menggenggam erat
pisau bergagang besi di tangan
yang ia tekuk di balik
punggungnya. Dengan satu
tangan, palang diturunkan lalu
pintu dibuka dengan hati-hati.
Bunyi keriutnya yang keras
mengejutkan Farida, sehingga ia
sempat menahan napas dengan
wajah pucat.
Tak seekor tikus pun ada di luar.
Juga lelaki berkerudung itu.
ia hanya melihat semak belukar
berpanggang matahari. Dan di
dekat pintu, menyandar ke
dinding ada sebuah gerigik
bambu penuh berisi air. Juga
setumpuk kayu bakar yang
masih baru, setumpuk singkong
yang tanahnya masih gembur
basah, beberapa macam
buah-buahan hutan yang masih
segar karena jelas baru dipetik,
dan periuk tanah berisi cairan
putih kental. Ketika Farida
mengangkat periuk itu dan
mencium-cium, ia segera
membaui susu perah. Baunya
yang khas jelas menunjukkan
bahwa isi periuk tanah itu
adalah susu kambing.
Heran karena yakin si muka
tikus yang menyediakan semua
itu, Farida kini lebih
memantapkan diri. Ia tidak lagi
menyembunyikan pisau di
belakang punggung. la
memperlihatkan
terang-terangan, seraya
melangkah lebih jauh ke luar
gubuk. Hari telah beranjak
siang. Dan kecuali bunyi lutung
yang bergaung bersahut-sahutan
dari kejauhan, ia tidak
mendengar bunyi apa pun lagi.
Suasana di sekitar gubuk
lengang mencekam. Angin
pegunungan yang segar
menyapu wajah Farida yang
pelan-pelan memerah lagi oleh
jilatan matahari. la berputar,
melihat dinding bukit batu yang
menjulang di belakang gubuk.
Dan setelah menerobos semak
belukar ia melihat lembah
menganga curam di bawahnya.
Nun jauh di bawah sana. sejauh
mata dapat memandang, tampak
kotak-kotak kecil sebesar korek
api bergerombol di antara
pepohonan. Pandangan Farida
tidak mampu melihat adanya
aktivitas kehidupan di sana.
tetapi ia tahu betul dari
bentuknya bahwa apa yang
tampak seperti kotak-kotak korek
api itu adalah rumah-rumah
penduduk sebuah
perkampungan. Berapa jauh
letak kampung itu dari sini"
Berapa lama
waktu yang diperlukan untuk
tiba di sana" Dan, jalan mana
yang harus ditempuh" Ke mana
pun Farida mencari, ia tidak
menemukan adanya petunjuk
jalan kecuali jalan setapak yang
kelihatan jarang dilewati dan
berakhir di tengah hutan yang
remang-remang menyeramkan.
Tanpa berpikir dua kali. Farida
segera melangkah ke arah jalan
setapak itu. Mula-mula
langkahnya pelan dan hati-hati.
Tetapi semakin jauh ia
meninggalkan gubuk. semakin ia
takut diketahui lalu dikejar oleh
lelaki asing bermuka
menyeramkan itu. Maka tak ayal
lagi, Farida segera ambil
langkah seribu. Berlari lebih
cepat. cepat. makin cepat. ia
melupakan kakinya yang
telanjang. Dan dengan segera ia
merasakan telapak kakinya
pedih. lecet dan terluka. Lengan
maupun betisnya juga tergores
di sana sini. Sementara
pakaiannya robek-robek
menyedihkan, setelah beberapa
kali tersangkut saat terpaksa
menerobos semak belukar,
terantuk ke akar pohon yang
membelintang di depan
jalannya, jatuh terjerembap,
bangkit lagi dengan susah payah
untuk meneruskan perjalanan
dengan berpedoman pada
bayang-bayang yang
ditimbulkan sinar matahari.
Bagaimanapun, ia lebih suka
hidup bersama manusia normal
lainnya. Tak peduli di mana dan
dengan siapa. Tinggal di sebuah
kampung tak dikenal jauh lebih
baik daripada harus hidup
berdua di tempat terasing
bersama makhluk manusia
berwaiah tikus.
Perbandingan yang kontras itu
kembali membangkitkan
semangatnya tiap kali terjatuh
atau lari kehilangan arah.
Suara binatang-binatang hutan
membuatnya takut. Puluhan ekor
monyet serta lutung yang
bergelantungan dan
berloncat-loncatan dari satu
pohon ke pohon lain dengan
suara jerit yang riuh rendah,
membuatnya ngeri. Seekor ular
berkulit hijau dengan
bintik-bintik kuning yang
menyelinap cepat ke semak
belukar di dekatnya,
membuatnya ciut. Tetapi
bayangan si muka tikus lebih
menakutkan. lebih ngeri, lebih
menciutkan hati.
Dan ia terus menerobos hutan,
yang semakin ke dalam semakin
gelap.
Entah telah berapa jam berlalu.
Tiba-tiba saja Farida terjebak
rimbunan belukar dan jatuh
jumpalitan ke lereng terjal di
balik semak belukar yang gelap
itu. Kepalanya membentur
benda keras. Sakit alang
kepalang. Pisaunya terlempar
entah ke mana. Ia berusaha
menggapai-gapaikan tangannya
mencari pegangan. namun
sia-sia. Hingga akhirnya
punggungnya menghantam
sebatang pohon besar yang
tumbang dan sudah berlumut.
Farida terempas dengan
tulang-belulang di sekujur
tubuhnya bagaikan remuk dan
lolos satu per satu. Kepalanya
bertambah sakit, berdenging
dengan pandangan matanya
kian nanar.
Farida hanya sanggup terbaring
menelentang
***
Perbandingan yang kontras itu
kembali membangkitkan
semangatnya tiap kali terjatuh
atau lari kehilangan arah.
Suara binatang-binatang hutan
membuatnya takut. Puluhan ekor
monyet serta lutung yang
bergelantungan dan
berloncat-loncatan dari satu
pohon ke pohon lain dengan
suara jerit yang riuh rendah.
membuatnya ngeri. Seekor ular
berkulit hijau dengan
bintik-bintik kuning yang
menyelinap cepat ke semak
belukar di dekatnya,
membuatnya ciut. Tetapi
bayangan si muka tikus lebih
menakutkan, lebih ngeri, lebih
menciutkan hati.
Dan ia terus menerobos hutan,
yang semakin ke dalam semakin
gelap.
Entah telah berapa jam berlalu.
Tiba-tiba saja Farida terjebak
timbunan belukar dan jatuh
jumpalitan ke lereng terjal di
balik semak belukar yang gelap
itu. Kepalanya membentur
benda keras. Sakit alang
kepalang. Pisaunya terlempar
entah ke mana. Ia berusaha
menggapai-gapaikan tangannya
mencari pegangan, namun
sia-sia. Hingga akhirnya
punggungnya menghantam
sebatang pohon besar yang
tumbang dan sudah berlumut.
Farida terempas dengan
tulang-belulang di sekujur
tubuhnya bagaikan remuk dan
lolos satu per satu. Kepalanya
bertambah sakit, berdenging
dengan pandangan matanya
kian nanar.
Farida hanya sanggup terbaring
menelentang cle
ngan air mata bercucuran.
sembari mengumpulkan sisa-sisa
tenaganya. Entah sudah berapa
lama, ia tidak tahu. Farida baru
akan membuka kelopak matanya
manakala telinganya menangkap
suara langkah kaki mendatangi
lalu berhenti di dekatnya.
Bayangan sosok tubuh itu sangat
samar, seakan jumlahnya tiga,
empat atau lima. Tapi setelah
pandangan Farida semakin
terfokus dan hanya melihat satu
bayangan, dengan cepat Farida
mengenali kerudung hitam yang
dikenakan si pendatang.
"Oh..." Farida mengeluh, getir.
Tak ada yang mampu ia
lakukan, kecuali membiarkan
tubuhnya diangkat dari tanah,
kemudian dibopong oleh
lengan-lengan yang kokoh.
Dibawa naik mendaki ke atas
bukit. Matanya dipejamkan
dengan kepasrahan yang
teramat menyesakkan hati.
Entah ia kemudian pingsan atau
tertidur, Farida tidak mau tahu.
Saat terjaga. Farida mendapati
dirinya telah terbaring lagi di
atas dipan beralas jerami itu.
Kepalanya dibebat dengan
sehelai kain rombeng. Sakit.
berdenyut-denyut. Kulit di
sekujur tubuhnya sangat
menyedihkan. Luka dan memar
membiru di sana sini. Tapi ada
yang aneh. Sebagian besar
lukanya dibaluri oleh cairan
berwarna hitam pekat, kental
seperti lumpur. Baunya sangat
memualkan. Sebagian sudah
mengering, tapi di beberapa
bagian yang lain masih basah.
Ketika menggerakkan tubuhnya,
dengan takjub Farida
menyadari, apa pun yang
dioleskan si muka tikus ke
luka-lukanya, jelas ramuan itu
memberi pengaruh dingin. sejuk
dan mengurangi rasa pedih
pada luka-lukanya. Sendi-sendi
tubuhnya memang masih terasa
sakit, tetapi ia sudah mampu
untuk duduk. Pelan-pelan
Farida mengangkat tubuhnya.
melangkah tertatih-tatih untuk
memastikan bahwa tidak ada
tulangnya yang patah.
Denyutan di kepalanya sudah
mulai reda.
Farida duduk kembali di dipan.
Baru saat itulah ia lihat dua
potong kain hitam terlipat di
ujung dipan. Pasti si muka tikus
yang menyediakannya selagi ia
tertidur. Farida
menggeleng-gelengkan kepala.
bingung. Sungguh sulit untuk
memahami sikap si muka tikus.
Farida telah mencoba minggat,
dan gagal. Tetapi orang itu
masih berbaik hati
menolongnya, tidak melakukan
hal-hal mengerikan. bahkan
tidak juga berusaha menyentuh
tubuhnya kecuali pada
bagian-bagian yang terluka.
Farida malu dan memerah
mukanya sewaktu menyadari
bahwa pakaiannya yang robek
di sana sini membuatnya hampir
telanjang.
Gugup, ia tanggalkan
pakaiannya yang sudah tidak
keruan itu. Lalu mengenakan
pakaian lain yang sudah
tersedia. Begitu selesai, ia
jengah sendiri. Kemben sebatas
dada itu pas benar dengan
ukuran tubuhnya. Agaknya,
sudah sangat lama tidak dipakai
oleh yang empunya. Sia-sia saja
ia mengibas kemben itu, sisa
sisa debu kepalang menempel
kuat di serat kain. Terpikir oleh
Farida, apakah pemilik kemben
itu dulunya, istri si muka tikus"
Lalu ke mana perempuan itu"
Minggat atau meninggal..."
Ah. pasti minggat! Putus Farida
dalam hati. Kalau meninggal,
tentu di luar tadi ia bisa
menemukan kuburannya.
Lelaki itu ditinggalkan, karena
muka tikusnya!
Memikirkan hal itu, timbul rasa
iba dalam hati Farida. Ia mulai
memikirkan lelaki itu dari sisi
yang lain. Seorang laki-laki
malang, yang entah terkena
kutuk atau mungkin memang
terlahir cacat. la terpaksa hidup
menyendiri, jauh dari penduduk
lainnya. Entah apa yang
membuat lelaki itu pasrah pada
keadaan dirinya yang
menyedihkan. Tidak putus asa.
lantas bunuh diri. Entah
bagaimana ia bisa tetap
bertahan hidup. Dan yang pasti,
ia mempunyai keahlian untuk
mengobati luka. Farida sudah
membuktikannya. Dokter di kota
mungkin masih mengharuskan
Farida berbaring di tempat tidur
untuk beberapa hari lamanya.
Tetapi di sini, meski cedera
berat tetapi ia tetap mampu
berdiri. mampu berjalan. Hanya
kepalanya yang terasa sering
berdenyut-denyut. Obat
tradisional yang diramu lelaki
itu walaupun baunya memualkan
namun ternyata sangat banyak
menolong.
Farida beringsut ke tungku.
Hendak menghangatkan
tubuhnya.
Kembali ia mendapati kebaikan
si muka tikus. Semua persediaan
yang tadi pagi ia lihat ada di
dekat pintu, kini sudah
dipindahkan ke dalam gubuk, tak
jauh dari tungku. Dengan rakus
Farida mengunyah jambu serta
mentimun, sempat berpikir untuk
membuat bumbu rujak. Tapi
detik kemudian ia tertawa kecil
mencemooh kebodohannya
sendiri.
Puas mengunyah jambu, Farida
menyorongkan singkong ke bara
api sambil sesekali meniup-niup
membesarkan apinya. Tak lama,
dari dalam periuk tanah di atas
tungku menguar aroma gurih
bercampur sedikit bau sangit
menyenangkan. Bau susu
kambing segar yang sudah
mendidih. Busanya membuih ke
luar ketika bara api semakin
membesar. Cepat Farida
menurunkan periuk itu dari
tungku. Farida merasa tubuhnya
semakin pulih setelah menyesap
susu kambing yang hangat,
sambil mengunyah singkong
bakar yang ia keluarkan dari
dalam bara.
Sekali, ia sempatkan mengintip
dari celah pintu. Ia melihat
bayangan lelaki itu berdiri di
kejauhan. Bergeming,
memandang ke lembah. Farida
juga menangkap gerakan
makhluk-makhluk berbulu hitam
atau cokelat di antara semak
belukar, merayap kian kemari.
Namun seketika lari menghilang
ketika Farida membuka pintu. Si
muka tikus tergugah oleh bunyi
kaki-kaki kecil yang ribut
menyeruak belukar, disertai
suara mencicit yang terdengar
hanya sekejap. la menoleh,
melihat Farida di ambang pintu.
Dari balik
kerudungnya tampak kegelapan
yang menghitam. Lebih hitam
dari kegelapan malam. Farida
cepat-cepat menutup pintu.
Tetapi sebelum benar-benar
tertutup, ia lihat lelaki itu
menghilang ke arah lain.
Mungkin untuk mencari tempat
untuk tidur, tanpa mengganggu
Farida.
Setelah pintu terpalang dengan
baik, Farida naik ke dipan.
la rebah dengan pikiran
berkecamuk tak menentu.
Kantuknya pun segera muncul.
Rasanya ia belum benar-benar
tertidur ketika ia mendengar
jerit tangis bayi di luar gubuk.
Bayi yang kini terlelap
ditumpukan jerami.
Dan tiba-tiba Farida berpikir.
bahwa bayi itu bukan dibuang
oleh seseorang. Bayi itu justru
telah diambil. Tepatnya dicuri.
Si muka tikus yang mencurinya
dari kampung di lembah sana.
Entah apa maksudnya.

***

Di desa, Selasih mengakhiri


ceritanya dengan suara kecut.
"Itulah yang terjadi. Ia lenyap
begitu saja. Tanpa bekas. Yang
tinggal cuma tonggak kayu dan
tali-tali pengikat si perempuan
yang segera pula musnah
dilahap api."
Ismed Effendi menggigil. Bukan
karena udara dingin yang
menerobos lewat celah-celah
dinding. Melainkan karena akhir
kisah mendebarkan tentang si
perempuan sihir bernama
Sukaesih yang raib pada saat
dihukum bakar oleh penduduk
desa.
"Pasti ada yang melarikannya,"
ia bergumam.
"Siapa pula yang mampu
menerobos amukan api yang
tengah berkobar-kohar dengan
dahsyatnya itu?" bantah Selasih.
seraya menggelengkan kepala.
"Kalaupun orang sakti macam
itu memang ada. tapi tak
seorang pun dari kami
melihatnya. Entah, kalau yang
melakukannya roh-roh jahat
yang berusaha melindungi
Sukaesih. Roh-roh yang tak
dapat dilihat dengan mata
biasa."
"Anu...." Ismed menebak
bimbang, "perempuan itu
mungkin telah jatuh ke dalam
kobaran api tanpa kalian
ketahui."
"Kau rupanya sukar
diyakinkan." Selasih tersenyum
setengah mencibir. "Setelah
kegelapan agak reda,
orang-orang ramai membongkar
sisa-sisa pembakaran. Tak
sepotong tulang pun ditemukan.
Orang-orang mulai berpencar
mencarinya. Tapi ke mana pun
dicari, perempuan itu tetap tidak
diketahui jejaknya."
"Tetapi aku tadi melihat dia!"
sanggah Ismed. "Kalau tidak
dicegah seseorang, mungkin aku
dapat mengikuti jejaknya."
"Siapa yang menahanmu?"
tanya Selasih, tertarik.
"Hm. Kalau tak salah, ia
menyebut namanya Supardi. Ya,
Supardi."
"Oh. Tukang kayu itu. Apa
katanya?"
"Ia bilang, tak ada seorang pun
yang bisa mengikuti jejak si
perempuan itu. Tetapi andai aku
tidak terganggu oleh jeritan ibu
yang kehilangan bayi itu. dan
tidak dicegah oleh Supardi, tentu
aku..."
"Nanti dulu." Selasih menyela
tidak sabar. "Kau bilang tadi,
kau melihat Sukaesih?"
"Yang kulihat itu. Farida.
Istriku." Suara Ismed ter
tekan dan kebingungan. "Tetapi
untuk apa istriku menculik bayi
orang" Dan mengapa ia bisa
menghilang begitu cepatnya"
Mengapa pula ia seperti tidak
mengenali aku?"
"Karena ia bukan istrimu.
Ismed. Dia Sukaesih. Si
perempuan sihir. Apakah kau
tidak merasakannya?"
"Merasakan apa?"
"Kehilangan daya ingat.
Kehilangan tenaga.
Menggerakkan kelopak mata
pun tak mampu. Kau seakan
lumpuh. Seakan tidur lelap,
meski kau sadar saat itu kau
bangun. Itulah yang dialami
setiap orang di kampung yang
pernah melihat Sukaesih."
"Tidak. Aku merasa biasa-biasa
saja. Aku terkejut memang.
Tetapi cuma itu saja."
"Aneh," bisik Selasih gelisah. Ia
mengawasi Ismed dengan mata
curiga. "Mengapa pengaruh
sihir perempuan itu tidak
mempan padamu?"
Ismed angkat bahu. "Mana aku
tahu?"
"Jangan-jangan. . . "
"Jangan-jangan apa?" desak
Ismed melihat Selasih terdiam
tiba-tiba. Wajah perempuan itu
berubah pucat. matanya
memandang gundah.
"Kau... tidak berdusta?"
"Tentang?"
"Asal usulmu. Bahwa kau bukan
berasal dari masa kini.
Tepatnya, kau berasal dari masa
datang. Tahun berapa tadi kau
bilang?"
"1984."
"Apakah pada tahun itu tidak
ada lagi peperangan?"
"Ada sih ada. Tetapi tidak di
negeri ini." Lalu Ismed
menceritakan terjadinya
peperangan yang terjadi di
Timur Tengah, Kamboja.
Afganistan dan beberapa negara
lain.
Selasih tercengang.
Ismed juga tak kalah bingung.
Begitu butanya perempuan
ini-mungkin seluruh penduduk
desa ini juga, mengenai
peristiwa-peristiwa yang terjadi
di luar lingkungan mereka.
Sungguh aneh bahwa Selasih
ternyata tidak pernah
mendengar tentang surat kabar,
televisi. pesawat ruang angkasa,
bahkan juga tidak pernah
mendengar apa itu mobil,
sepeda motor, radio atau
benda-benda lainnya yang
umum dimiliki masyarakat kota.
Setidaknya mengetahui
bentuknya, bagaimanapun
miskin hidupnya atau jauh
terpencil tinggalnya.
Reaksi Selasih yang melongo
tidak dibuat-buat. tak urung juga
membuat Ismed bergidik seram.
Ia memutuskan untuk
menghentikan cerita-cerita
mengenai apa yang ia ketahui
atau ia alami di kota. Kalau
diteruskan. bisa jadi Selasih
menganggap ia sudah gila atau
sebaliknya ia yang menganggap
Selasih yang gila. Dan di sisi
lain, Ismed merasa dadanya
seperti terimpit sebongkah batu
besar saat harus meyakinkan
dirinya, bahwa yang ia lihat di
luar rumah beberapa saat yang
lalu bukanlah Farida.
Melainkan Sukaesih.
Perempuan yang oleh penduduk
desa ini disebut sebagai si
perempuan sihir. Lebih-lebih
lagi untuk membayangkan,
bahwa ia benar-benar telah
terlempar ke tahun 1929!
Suaranya serak. ketika ia
mengalihkan percakapan.
"Kau ceritakan tadi. Sukaesih
menyumpahi kalian. Apakah
sumpahnya benar-benar
terjadi?"
Tampaknya masih terpesona
oleh dongeng-dongeng ajaib
yang barusan dikisahkan Ismed.
agak lama baru Selasih
menjawab dengan suara lirih.
"Ya. la membuktikan
kutukannya!"
Wajah Selasih kembali murung
serta dibayangi ketakutan ketika
ia meneruskan kisah tentang apa
yang terjadi setelah Sukaesih
lenyap dari tiang pembakaran".
Kegemparan akibat lenyapnya
Sukaesih masih menghantui
penduduk. manakala mata
pencaharian pokok mereka
tiba-tiba terancam musnah.
Hama tikus menyerang padi,
palawija, bahkan tanaman lada
maupun cengkeh. Tikus-tikus
yang bukan main banyaknya
serta lebih besar dari tikus
biasa, nekat pula menyerbu
rumah-rumah penduduk. Apa
saja digerogoti. Ketika bahaya
kelaparan mulai mengancam,
menyusul pula teror yang lebih
kejam. Makhluk-makhluk
bermata semerah saga itu
dengan
buas memakan bayi-bayi yang
tengah tertidur lelap, bahkan
juga bayi yang tengah disusui
ibunya. Yang aneh, tiap kali
tikus-tikus itu datang menyerbu,
kucing maupun anjing penjaga
rumah lari menghilang. Dan
kalau ada di antara penduduk
yang sempat menyambar golok.
maka sabetan golok mereka
senantiasa gagal menghantam
tikus penyerbu. Kalaupun
terkena mata golok, tikus-tikus
itu tidak terluka sama sekali.
Acap kali terjadi, golok malah
salah sasaran, menghantam
pemiliknya sendiri, atau anggota
keluarganya.
Penduduk desa mulai meyakini
bahwa kejadian itu bukan hama
tikus biasa. Mereka
menyimpulkan,
makhluk-makhluk terkutuk itu
digerakkan oleh pengaruh sihir.
Tapi kesimpulan itu terlambat
datangnya. Bencana sudah
menjadi-jadi. Sudah banyak
penduduk yang menjadi korban.
Mati kelaparan atau karena
terjangkit penyakit pes.
Beberapa orang perempuan
histeris kemudian bunuh diri
setelah bayi yang disusuinya
tinggal tulang-belulang
mengerikan. Kaum lelaki
mendadak jadi pemarah, gemar
berkelahi dan tidak sedikit yang
kemudian saling bunuh.
Dukun satu-satunya di kampung
itu, Eyang Darso, kewalahan
mengatasi bencana yang
menimpa. Dibantu oleh lurah
yang juga memiliki kesaktian,
beberapa orang berhasil
diselamatkan nyawanya.
Sayangnya, yang mati ternyata
lebih banyak.
Upaya Eyang Darso dan Pak
Lurah melawan serbuan
makhluk-makhluk mengerikan
itu, akhirnya menemui hasil
juga. setelah menemukan jejak
tikustikus ganas itu.
Beberapa kali terjadi, kalau ada
kuburan baru digali akan
terlihat ada lubang misterius di
dalam tanah. Karena curiga,
Pak Lurah memerintahkan
supaya lubang-lubang itu
ditelusuri. Ternyata di bawah
tanah pekuburan didapati
lorong-lorong panjang yang
simpang siur, mengarah dari
kuburan yang satu ke kuburan
yang lain. Kuburan-kuburan
lama terpaksa dibongkar. Dan,
semua terperangah. Bukan
mayat atau tulang-belulang
manusia yang mereka dapati di
dalam liang lahat, melainkan
tikus besar yang selama ini
mereka cari. Makhluk-makhluk
itu tampaknya tertidur pulas di
tiap liang lahat. Tidak terusik
oleh ayunan pacul, sengatan
matahari, atau suara-suara
pekik kaget di sekeliling mereka.

"Jasad leluhur-leluhur kita telah


dikotori oleh roh roh jahat!"
Eyang Darso menggeram penuh
kemarahan. Eyang Darso
meyakini bahwa semua ini
adalah perbuatan Sukaesih. ia
kemudian bertukar pikiran
dengan Pak Lurah. Lalu
diputuskan untuk mengumpulkan
sebanyak mungkin tahi kucing
yang akan diaduk dengan garam
dapur.
Pada hari yang ditentukan,
Eyang Darso memantrai ramuan
yang berbau busuk itu untuk
kemudian ditaburkan ke sosok
tikus-tikus yang mendekam di
liang
lahat. Makhluk-makhluk itu
menggelepar, mencicit seram,
kemudian wujudnya sirna
perlahan-lahan. Dan tak berapa
lama kemudian, di liang lahat
itu terlihat apa yang semestinya
ditemukan: tulang-belulang
manusia, atau mayat-mayat
yang baru beberapa hari
sebelumnya dikuburkan. Meski
lega. tapi penduduk tak mampu
menahan kengerian mereka
sembari menggumamkan nama
Sukaesih.
Tetapi, membongkar setiap
kuburan yang sudah ada di
pekuburan tersebut selama
puluhan bahkan ratusan tahun.
bukanlah pekerjaan mudah.
Hari-hari berikutnya, liang lahat
yang digali kembali tampak
kosong melompong. Ditunggui
sepanjang malam sampai pagi,
liang lahat tetap kosong.
Menurut Eyang Darso, Sukaesih
telah mengetahui apa yang
mereka kerjakan. dan Sukaesih
telah mencegah budak-budaknya
yang terkutuk kembali memasuki
liang lahat mereka.
Tidak ada yang tahu di mana
roh-roh yang sengsara itu
berkeliaran menyembunyikan
diri. Tetapi desaS desus
kemudian tersebar mengatakan.
makhlukmakhluk itu menyingkir
ke lereng gunung. tempat si
perempuan sihir dulu pernah
mengucilkan diri. Kabar itu
tidak pernah berhasil dibuktikan
karena orangorang pun takut
mendekati lereng gunung
dimaksud. Apalagi setelah
muncul kabar lain yang
mengatakan bahwa di lereng
gunung itu sering terlihat
sesosok manusia berkerudung
untuk menutupi wajahnya yang
menyerupai tikus. Kabar burung
itu menyebutkan bahwa makhluk
bertubuh manusia berkepala
tikus itu adalah jelmaan putra
tunggal Pak Lurah yang
dikabarkan hanyut terseret air
sungai yang banjir. namun
mayatnya tidak pernah
ditemukan.
Pak Lurah sendiri tidak
menanggapi kabar burung yang
memalukan itu. Cukup sekali ia
bertitah.
"Tak seorang pun
kuperkenankan menggunjingkan
almarhum putra kesayanganku!"

Dan penduduk terpaksa tutup


mulut. Tidak berani lagi
mempercakapkannya. Demi
menghormati Pak Lurah pula,
tidak ada yang berusaha
membuktikan kebenaran kabar
burung mengenai almarhum
putranya. Kalau ada yang
berbisik-bisik untuk mencoba
mencari tahu atau iseng-iseng
menguji nyali untuk
membuktikannya. maka teman
atau kerabatnya akan langsung
menasihati.
"Daripada menghadapi makhluk
mengerikan itu, lebih baik kau
korbankan nyawamu untuk
membantu kami memerangi
penjajah!"
"Perang melawan penjajah!"
dengus Selasih. Kini dengan
wajah merah, bersemangat.
"ltulah yang kemudian mengisi
hati setiap penduduk desa ini,
terutama kaum lelaki. Entah
kapan peperangan ini akan
berakhir. Tetapi paling tidak,
kaum muda kita telah
berhasil menciptakan sesuatu
yang sangat penting artinya,
menjelang akhir tahun yang
lalu..."
lsmed kembali bergidik. la
mendesah lirih.
"Maksudmu, Sumpah Pemuda.
Yang dideklarasikan pada
tanggal 28 Oktober 1928?"
"Ah. Jadi kau juga
mengetahuinya!" seru Selasih.
Punggungnya langsung tegak
karena begitu senang dan
bersemangat. "Apakah kau juga
hadir waktu Kongres Pemuda itu
berlangsung?"
"Hadir?" Hampir saja Ismed
tertawa bergelak. "Jangankan
aku. Ayahku pun waktu itu
belum lahir!"
Sesaat setelah selesai
mengucapkan hal itu, lsmed
mendadak lunglai. Perasaannya
jungkir balik. dari semula ingin
tertawa menjadi ingin mati saja.
Sekujur tubuhnya terasa dingin.
kesadaran kembali berkecamuk
dalam pikirannya, bahwa saat
ini, ia sedang terlempar jauh
dari kehidupan normalnya ke
suatu desa sunyi terpencil di
tahun 1929. Dan itu semua
bukan omong kosong, bukan
sekadar mimpi buruk belaka."
lsmed mencengkeram kepalanya.

"Kau berkeringat, lsmed." bisik


Selasih seraya menyeka
butir-butir peluh yang meleleh
dari kening lsmed. "Tubuhmu
dingin sekali."
"Aku takut, Asih." Suara Ismed
bergetar. "Semua ini terlalu
mustahil!"
"Sebaiknya kau tidur lagi,"
Selasih menyarankan. Ketika
dilihatnya Ismed bangkit dengan
susah payah. Selasih membantu
lelaki itu masuk ke kamar, mem
baringkan tubuhnya di dipan,
lantas menghamparkan selimut.
"Kalau kau bangun besok pagi,
kau akan lebih segar."
"Dan, semoga aku sudah di
rumahku kembali," bisik lsmed
lirih. namun penuh
pengharapan. "Juga Farida."
pungkasnya.
"Ya. Ya. Juga Farida," gumam
Selasih, murung.
"la bukan penculik bayi!"
"Memang bukan, lsmed. Yang
kau lihat itu bukan istrimu.
Tetapi Sukaesih."
"Yang kulihat itu Ida!"
"Sudah berapa kali kukatakan."
"Ida. la Farida!"
"Kau sakit. Tenanglah?"
"Tolonglah aku. Ida. lda. lda..."
"Ismed?"
"Peluk aku, Sayang. Dekap aku
erat'erat!" lsmed mulai
menggigil dan meracau.
"Mengapa kau diam saja,
Farida" Peluk dan ciumlah aku.
Temani aku tidur, Farida
sayangku. . ."
Selasih menghela napas,
bingung sesaat.
Tetapi ketika tangannya ditarik
oleh lsmed, ia kemudian
menurut. Rebah di sebelah lelaki
itu. Tubuhnya juga gemetar.
Hanya saja, tubuh lsmed terasa
dingin bagaikan es, sedang
tubuh Selasih sebaliknya. Panas,
bagai dibakar api. Ismed
merasakan kehangatan tubuh
perempuan di sebelahnya, lantas
memeluk kuat-kuat sambil terus
meracau tak menentu. Naluri
Selasih mendorongnya untuk
balas memeluk lelaki itu. Bahkan
memberikan reaksi hangat
manakala mulut lsmed
mencari-cari bibirnya.
Puas menciumi Selasih,
akhirnya lsmed mulai tenang
hingga kemudian tertidur. Ismed
tidak tahu, bagaimana resah
gelisahnya Selasih. Perempuan
itu bimbang. Apakah ia senang
lsmed akhirnya tertidur. Atau ia
ingin. lsmed tetap bangun. tetap
memeluk dan menciuminya. Dan
setelah itu...
Selasih menggigil. "Alangkah
memalukan," pikirnya, "jikalau
lsmed tahu apa yang
kupikirkan."
Hati-hati, Selasih meluncur
turun dari dipan.
la keluar dari kamar lsmed.
Menutup pintu perlahan-lahan,
khawatir membangunkan lelaki
itu.
Sadar bahwa ia sendiri sudah
kehilangan kantuk dan tidak
mungkin akan bisa memejamkan
mata. Selasih kemudian berjalan
ke ruangan lain. Dalam ruangan
itu terdapat seperangkat
peralatan untuk menenun
benang. Sebuah peralatan
tradisional yang terbuat dari
kayu. la duduk di hadapan alat
tenunnya, siap untuk bekerja.
Tetapi bunyi detak-detuk alat
tenunnya terdengar lebih
nyaring di tengah keheningan
malam menjelang pagi.
Selasih memutuskan berhenti,
lalu bangkit dari duduknya.
Pergi ke belakang rumah, ia
nyalakan sebuah tungku besar.
Di atas tungku sudah terjerang
sebuah ketel besi yang lebih
besar lagi. Setelah air di dalam
ketel itu mendidih, ke dalamnya
dijejalkan se
tumpuk daun pandan duri yang
telah ia petik dari hutan dua
hari sebelumnya. Ia menggodok
pandan duri itu sampai bias
matahari pagi mulai menjilati
halaman belakang rumahnya.
Tetangga di rumah sekitar pun
mulai bangun satu per satu.
Kehidupan kampung yang
tadinya sunyi mencekam, mulai
berdenyut hidup.
Beberapa orang tetangga pergi
mendatangi rumah yang malam
harinya tertimpa musibah. lsak
tangis kembali terdengar.
Selasih ingin turut mengucapkan
belasungkawa. Tetapi ia pikir,
kehadirannya akan menambah
sedih perempuan yang telah
kehilangan bayinya itu. Sudah
acap kali Selasih mendengar
komentar yang sangat ironis,
"Kau beruntung, Asih. Tak
pernah punya bayi." Padahal
bagaimanapun, sebagai seorang
perempuan ia sangat
mendambakan memiliki seorang
buah hati.
Ah. andaikata tadi ismed tidak
segera tertidur, mungkin apa
yang diharapkannya bisa
terwujud.
"Astaga. Pikiran busuk itu lagi!"
keluh Selasih, bergidik.
Lalu ia pergi ke dapur untuk
mempersiapkan makan bagi.

***

FARIDA menggeliat. Resah.


Puluhan sosok bayang-bayang
aneh berkeliaran di dalam
gubuk. Mengelilingi dipan
tempatnya tidur. Mereka
berbisik-bisik satu sama lain.
Kian lama, suara bisikan mereka
kian riuh rendah. Lalu sosok
bayangan itu bergerak semakin
cepat. Berlari memutari dipan.
Farida berusaha bangkit namun
sekujur tubuhnya terasa lumpuh.

Ketakutan ia melihat puluhan


bayang-bayang itu saling
mengejar. kemudian menyatu
satu sama lain. Perpaduan
bayang-bayang tadi kini
berubah jadi sesosok tubuh
samar-samar. Sosok itu
bertubuh tinggi besar, hitam
sekelam malam. Farida tidak
dapat melihat raut wajah
makhluk itu dengan jelas,
kecuali sorot matanya yang
semerah saga memancarkan
percikan-percikan api. Terang.
menyilaukan. Makhluk
itu mendekati dipan, menatap
Farida dengan sorot matanya
yang membara.
Farida berusaha mengelak
ketika sepasang lengan makhluk
itu terjulur ke depan. langsung
ke arah lehernya. Astaga.
otot-otot lehernya kejang bukan
main. Kaku membatu, tidak mau
digerakkan. Dengan perasaan
ngeri Farida hanya dapat
menatap bagaimana
lengan-lengan makhluk itu terus
memanjang, mulut seperti karet.
Semakin dekat ke lehernya
wujud lengan itu semakin nyata.
Sepasang lengan yang terus
mulur ditumbuhi bulu-bulu
hitam dan kasar. Jemarinya ikut
pula mulur. kian lama kian
runcing. Tampak kukukuku
tajam di ujung jemari yang
pelan-pelan menyentuh
lehernya, menggurat-gurat
mengerikan.
Pada saat kritis itulah Farida
akhirnya dapat mengeluarkan
suaranya.
la menjerit tertahan.
Seketika, sosok bayangan
makhluk hitam itu lenyap.
Farida mengerahkan segenap
kemampuannya untuk bangkit.
Napasnya megap-megap. Peluh
dingin membanjiri sekujur
tubuhnya. Lambat laun,
kelumpuhan pada setiap
persendiannya mulai hilang.
Otot-ototnya mengendur sedikit
demi sedikit. Tangan dan
kakinya mulai dapat digerakkan,
meski masih sangat lemah.
Matanya dikerjap-kerjapkan lalu
dengan suatu keluhan berat ia
berusahan bangun.
Kegelapan yang mengerikan itu
ikut sirna seketika. Farida
membuka matanya lebar-lebar.
Menatap ber
keliling. dan melihat seberkas
sinar terang menerobos dari
celah dinding kayu. demikian
pula dari lubanglubang kecil di
atap gubuk. Ia segera mengenali
suasana di sekelilingnya dan
menyadari matahari pagi telah
terbit.
"Ya ampun!" bisiknya.
terengah-engah. "Rupanya aku
bermimpi buruk tadi."
Untuk meyakinkan bahwa apa
yang tadi dilihatnya hanyalah
mimpi buruk belaka. Farida
mencubit pahanya keras-keras.
Terasa sakit. Dengan perasaan
lega ia menggeliat lagi beberapa
kali. baru setelah itu bergerak
bangkit. Duduk terenyak dengan
kaki berjuntai ke lantai tanah,
Farida berusaha mengatur
napasnya yang masih memburu.
Dalam beberapa helaan napas,
jantung Farida kini berdenyut
lebih tenang.
la putuskan untuk turun dari
dipan. Pergi ke pintu. lalu keluar
untuk menghirup udara pagi
yang hangat dan segar. Baru
juga Farida menggerakkan kaki
untuk berdiri. ia sudah menegun.
Telinganya menangkap suara
berisik di belakang
punggungnya.
"Ah, hampir saja kulupakan bayi
malang itu," pikirnya. Lalu ia
membalikkan tubuh,
mengamat-amati bayi yang ia
yakin tentunya juga sudah
bangun dan ingin dipangku.
Tangan Farida sudah terjulur
untuk mengangkat bayi itu
manakala pandangan matanya
menangkap sesuatu yang
mengerikan. Lidah matahari
yang menerobos masuk lewat
lubang kecil di atap gubuk
menjilati tubuh bayi itu. tetapi
apa yang di
saksikan oleh Farida bukanlah
bayi yang malam sebelumnya ia
nina bobokan.
Dari batas pinggang sampai
kaki, tubuh kecil itu masih tetap
tubuh seorang bayi manusia.
Namun dari batas pinggang ke
atas, tubuh bayi itu sudah
ditumbuhi bulu-bulu cokelat
yang tiap saat terus bertambah
tebal. Tangan-tangan bayi itu
telah berubah semakin kecil dan
pendek. Ujung-ujung jarinya
yang runcing meliuk tajam
seperti kuku-kuku seekor tikus.
Wajah bayi itu pun entah sejak
kapan telah berubah jadi wajah
tikus. Matanya merah,
memandang lurus ke mata
Farida yang tertegun ngeri.
Farida tiba-tiba menyadari
bahwa apa yang tadi dia
perkirakan mimpi buruk adalah
sebuah kenyataan yang lebih
buruk lagi. Kuku-kuku bayi yang
telah berubah jadi tikus itulah
yang tadi menggerayangi
lehernya dan membuatnya
terbangun.
"Ti... tidak." Tidak mungkin!"
Farida tergagap. berusaha
membantah kenyataan di depan
matanya. "Ini cuma pengaruh
mimpiku barusan," keluhnya.
Lalu ia kerjapkan mata
berulang-ulang, ia cubit
pahanya lebih keras sampai ia
kesakitan sendiri. Dan ketika
matanya ia buka kembali, ia
nyalangkan lebar lebar, Farida
pun terkesima dengan bulu
kuduk merinding seram. Bayi
setengah tikus itu
menggeliatgeliat. dari tidur
menelentang berusaha ke posisi
menelungkup. Setelah berhasil.
bayi itu kemudian merayap
keluar dari bawah selimutnya.
Lidah mata
hari pun menerpa bagian tubuh
yang tadinya terlindung oleh
selimut. Dan bagian tubuh yang
diterpa matahari dengan cepat
ditumbuhi bulu-bulu cokelat
yang semula samar-samar
namun dari detik ke detik
semakin jelas. semakin tebal.
Bayi itu terus merayap menjauhi
selimutnya sampai kaki-kakinya
pun terkena jilatan matahari.
Dan kakikaki mungil mulus
kemerahan itu pelan-pelan
berubah wujud jadi kaki-kaki
pendek kecil berkuku runcing.
lalu dengan keempat
kaki-kakinya yang menekuk di
bawah tubuhnya yang bulat
berbulu, tikus sebesar bayi
manusia itu merayap di atas
dipan, mencium-cium dengan
moncongnya seolah mencurigai
segala sesuatu di dalam gubuk
itu.
Suatu saat, kepala tikus itu
terangkat.
Menatap sosok tubuh manusia
yang berdiri terpaku di samping
dipan. Sepasang mata makhluk
itu menyala merah. Moncongnya
terbuka, memperlihatkan
gigi-gigi taringnya serta
bulu-bulu sungutnya yang tegak
kaku, mengancam. Sebelum
Farida sempat memikirkan
sesuatu, terdengar sura mencicit
nyaring dari moncong terbuka
itu. Lalu sang makhluk kemudian
mencengkeramkan kaki-kakinya
ke permukaan dipan.
Kuku-kukunya menggaruk-garuk
sebentar. kemudian berhenti
dengan suatu sentakan
mengejutkan.
Jantung Farida serasa berhenti
berdegup. Matanya terbelalak
mengawasi makhluk berbulu itu.
Persendian tubuhnya kembali
melemah. lumpuh. Teror yang
me
landa dirinya sudah tidak
tertahankan lagi. Pelan pelan,
tubuh Farida limbung. Melorot
jatuh. Pada waktu yang
bersamaan sang makhluk
melompat dari dipan dengan
suatu lonjakan cepat yang
sangat tibatiba. Kaki-kaki depan
makhluk itu mengembangkan
kuku-kukunya yang runcing, siap
mencengkeram apa pun yang
tersentuh.
Farida dapat merasakan
bagaimana makhluk itu
melayang lewat di samping
lehernya. la selamat, hanya
karena pada saat bersamaan
tubuhnya meliuk jatuh. Farida
terjerembap di lantai tanah
dengan sisi kepala lebih dulu
membentur dipan. Kepalanya
berdenyut menyakitkan ketika
terempas pula dengan keras di
tanah. Ia mencoba mati-matian
untuk tetap sadar. Namun
pandangan matanya kian nanar.
kian mengabur. Selama
beberapa saat ia melihat sosok
makhluk yang tadi gagal
mencaplok lehernya, kini sudah
merangkak bangkit di lantai dan
dengan cepat membalikkan
tubuh menghadap lurus ke arah
tubuh Farida yang tergeletak
semakin lemah. Kaki-kaki
berkuku iru menekuk lagi.
mengambil ancang-ancang.
Tatapi, sesuatu yang besar serta
berat mendobrak pintu gubuk
dari luar.
Bayangan sosok tubuh si muka
tikus muncul dengan seram di
ambang pintu yang menganga.
Farida berjuang keras
mempertahankan kesadaran
pikiran serta pancaindranya.
Tetapi ia gagal....

***

ISMED tersentak bangun dari


tidurnya ketika hari menjelang
siang.
Suara ribut-ribut di kejauhan
melonjakkannya dari dipan.
Rasanya ia mendengar bunyi
letusan yang semula ia kira
bunyi ban sepeda motor meletus.
Tetapi ketika membuka jendela
kamarnya, ia tidak melihat
sepeda motor atau orang yang
turun dari sepeda motor. Ia
hanya melihat Selasih yang
tegak dengan tubuh kaku
memandang ke arah mulut desa
yang tidak dapat terlihat dari
tempat Ismed berdiri.
lsmed terkesiap setelah
menyadari ia bukan membuka
jendela rumah kontrakannya di
Pandeglang. Tidak pula melihat
Farida tengah sibuk menjemur
cucian pakaian. Yang ia lihat
adalah suasana desa yang serba
asing. dan Selasih yang tegak
dengan beberapa helai
dedaunan aneh masih
tergenggam di salah satu
tangannya. Dedaunan itu
panjang-panjang, berwarna
cokelat kehitaman seperti layu.
Lebih banyak lagi dedaunan
yang sama dilihatnya terjemur
di permukaan tanah yang
bermandi cahaya matahari pagi.
Masih takjub dengan suasana
sekelilingnya, Ismed menyapa
gelisah.
"Selamat pagi. Asih!"
Selasih membalikkan tubuh.
Wajahnya tampak tegang.
Senyumannya dipaksakan ketika
melihat Ismed.
"Oh. Kau sudah bangun
kiranya."
"Apa yang di tanganmu itu,
Asih?"
"Pandan duri. Tetapi yang
sudah masak digodok."
"Untuk apa?"
"Bahan benang."
Ismed bingung mencerna
keterangan Selasih. Lebih
bingung lagi ketika melihat
orang-orang tergesa-gesa
meninggalkan rumah
masing-masing dan berjalan ke
suatu arah yang sama. Mereka
itu tampak ribut berbicara satu
sama lain dengan suara-suara
tegang dan ketakutan.
"Apa yang teriadi?" tanya Ismed
heran.
"Semua penduduk harus hadir di
alun-alun desa." jawab Selasih
seraya meletakkan sisa pandan
duri di tangannya ke tanah.
"Kau juga harus ikut."
"Aku" Mengapa?"
"Karena setiap rumah akan
digeledah. Yang bersembunyi di
dalam akan dipukuli."
"Astaga. Oleh siapa?"
Selasih tak perlu menjawab.
Karena dari kejauhan muncul
tiga sosok tubuh berpakaian
aneh. Mereka bertubuh tinggi
besar, berkulit bule, kecuali
seorang yang berkulit agak
kehitaman dan tampaknya
peranakan lndonesia Timur.
Kesemuanya. termasuk si kulit
cokelat kehitaman. memakai
pakaian seragam yang sama.
Baju dan celana kasar dengan
bagian paha yang lebar. Ujung
celana menyempit di bawah,
terbungkus dalam sepatu lars
hijau bertali. Di kepala mereka
bertengger topi pet hijau dengan
lambang yang belum pernah
dilihat oleh Ismed.
Tetapi ia segera dapat
mengenali pentungan karet yang
dipegang si serdadu berkulit
cokelat kehitaman, mengenali
pedang yang tergantung pada
selempang karet di bagian
pinggang dari serdadu-serdadu
lain yang berkulit bule. Salah
seorang di antaranya
mengacungkan sebuah senjata
ke atas, Kembali terdengar
sebuah letusan menggelegar
yang membuat Ismed tersentak
kaget.
"Hai. kamu orang. Mengapa
belum pergi ke alunalun, ha?"
hardik si serdadu berkulit
cokelat kehitaman tadi dengan
bahasa Indonesia campur
bahasa Sunda pasaran yang
kasar dan patah-patah.
Logatnya seperti logat orang
Maluku. pikir Ismed yang masih
berdiri kebingungan. Ketika
laras senjata di tangan salah
seorang serdadu itu ditunjukkan
ke jendela tempat Ismed masih
terpaku diam, Selasih segera
menarik tangan Ismed.
"Turun cepat sebelum kau
dipukuli mereka!" bisiknya
ketakutan.
Tanpa pikir panjang lagi, lsmed
meloncat turun dan berlari-lari
kecil mengikuti Selasih ke arah
penduduk lainnya telah lebih
dulu pergi bergerombol. Waktu
melewati serdadu-serdadu itu.
salah seorang yang berkulit bule
menyambar lengan Selasih.
Wajah si perempuan
diamat-amati dengan seringai
mengandung berahi. Terdengar
ucapan-ucapan dalam bahasa
Belanda yang sayang sekali
tidak dimengerti oleh lsmed
kecuali satu patah kata yang ia
kira-kira mungkin artinya
"bagus" atau "cantik". Selasih
diam saja ketika wajahnya
diusap. kemudian tangan si
serdadu bule merayap ke leher,
terus ke bundaran payudara di
balik kembennya.
lsmed yang tadinya masih
kebingungan, seketika naik
amarahnya. la melontarkan
makian. Baru saja lsmed akan
merenggut tangan kurang ajar
itu dari dada Selasih, entakan
kasar menghantam tengkuknya.
Ternyata ia telah dipukul
dengan pentungan sehingga
tubuhnya limbung. Ketika
hampir jatuh. ia lihat sebuah
sepatu melayang ke arahnya.
Bagian bawah sepatu itu jelas
berpaku-paku.
Secara refleks. lsmed
menghindar sementara Selasih
memekik.
lsmed selamat dari terjangan
paku-paku sepatu itu.
tetapi pukulan pentungan lain
mendarat pula di lambungnva.
ISMED seketika terjungkir ke
tanah.
Kepalanya pening. la menggeliat
berusaha bangun, sementara
Selasih segera berjongkok untuk
membantunya.
Umpatan-umpatan kasar dalam
bahasa Belanda terdengar di
telinganya. Popor senjata
tampak melayang di udara, siap
dihunjamkan ke kepala lsmed.
Tetapi Selasih keburu
menghalangi dengan tubuhnya
sambil memohon.
"Jangan. Jangan kalian sakiti
dia...."
Salah seorang serdadu itu
tertawa menyeringai seraya
menarik Selasih berdiri. Tetapi
serdadu-serdadu lainnya segera
mengerubungi lsmed betapapun
Selasih menjerit-jerit memohon
sambil menangis. Pada saat
itulah terjadi suatu peristiwa
yang seketika menyadarkan
lsmed akan situasi sesungguhnya
yang tengah ia hadapi. Salah
seorang. serdadu itu berteriak.
menuding
ke satu arah. Serdadu yang
memegang senjata api, lantas
membalikkan tubuh dan dengan
kecepatan luar biasa telah
mengarahkan senjatanya,
menarik picu dengan suara
berdetak.
Tanpa membidik lagi, ia
melepaskan satu tembakan.
lsmed mendengar suara
seseorang menjerit di kejauhan.
Ketika ia berpaling dengan
susah payah, pandangan
matanya yang nanar menangkap
sesosok tubuh lelaki
bertelanjang dada, terlempar
dari gundukan tanah di tempat
ketinggian, lalu jatuh ke bawah
dengan suara berdebum keras.
Dari dadanya tampak
menyembur darah segar yang
kemudian menggenangi
rerumputan hijau tempatnya
tersungkur.
Serdadu-serdadu itu segera
memburu ke arah orang yang
tertembak tadi. Yang tinggal
hanya serdadu yang masih
memegangi tangan Selasih
dengan kuat. la tampaknya tidak
peduli dengan nasib penduduk
yang terkena tembakan senjata
itu. Tidak mau tahu ketika
teman-temannya menyepaki
tubuh yang sudah sekarat dan
mengakhiri kekejaman mereka
dengan sebuah tembakan lagi.
Langsung ke kepala orang yang
malang itu.
Ismed memejamkan matanya.
ngeri.
la berbaring diam. Tidak punya
keinginan untuk bangun, apalagi
bergerak. Peristiwa
menyeramkan yang berlangsung
hanya dalam tempo beberapa
detik itu telah
menghancurluluhkan hati dan
semangatnya.
Lamat-lamat ia dengar suara
langkah bersepatu menjauhinya
disertai suara kaki terseret-seret
dan isak tangis Selasih. Ketika
ia buka kelopak matanya yang
terasa perih, ia masih sempat
melihat bayangan serdadu itu
menyeret Selasih masuk ke
dalam rumah.
"Ayo, bangun dan ikut aku!" ia
dengar suara bisikan tajam di
dekatnya.
Tanpa nafsu, Ismed
menggerakkan tubuhnya.
Seseorang membantunya berdiri
lalu menyeret tangannya
menjauhi rumah Selasih. Ismed
tahu ia dibawa pergi ke arah
alun-alun desa, dan juga tahu
bahwa orang yang menyeretnya
adalah Supardi, pemuda
misterius yang tadi malam
mencegahnya mengejar si
penculik bayi.
"Aku kebetulan lewat, melihat
kau dipukuli mereka," kata
Supardi dengan napas
tersengal-sengal. "Perbuatanmu
tadi sungguh sangat
membahayakan dirimu, kawan!"
"Selasih... mereka apakan dia?"
"Ah. Masa kau tak tahu" la
perempuan. Masih muda. Cantik
pula. Dan serdadu yang
menyeretnya tadi, jarang punya
kesempatan mencumbu
perempuan. jadi.?"
"Tetapi. Selasih. Ia..."
"Alah. Perempuan itu cuma
janda. Jangan kau ributkan!"
Ismed ingin marah. Tetapi
mereka sudah tiba di alunalun
desa, ikut berbaris dalam
kelompok-kelompok
penduduk lainnya. Tua muda,
laki perempuan, semua
berkumpul dengan penjagaan
yang ketat. dengan lebih banyak
lagi serdadu. Rasanya Ismed
seperti tengah menyaksikan film
perang yang divisualisasikan
dengan amat sempurna. Sebuah
film tiga dimensi. dan ia sebagai
penonton ikut berperan di
dalamnya. Kepalanya masih
pening. Perutnya pun mual
bukan main.
Lamar-lamat ia dengar bunyi
orang membentakbentak.
Penduduk dibariskan sejajar,
bersaf saf. Agaknya, inspeksi
tengah dilakukan karena
serdadu serdadu itu kemudian
meneliti setiap wajah terutama
kaum lelaki dan yang masih
muda. Beberapa nama dipanggil
supaya tampil ke depan. Yang
pura-pura tidak tahu kemudian
diseret dan dipukuli. Dalam rasa
sakit bercampur takjub oleh apa
yang ia hadapi, lsmed kemudian
menyadari bahwa Supardi telah
menghilang dari sebelahnya.
Ke mana pun matanya mencari,
pemuda itu tidak dilihatnya lagi.

Kemudian, setelah komandan


para serdadu bule iru berpidato
panjang lebar tentang tujuan
mereka mengamankan negeri
dan menghukum siapa pun yang
mencoba merusak apa yang
mereka namakan ketenteraman
masyarakat dan dicap sebagai
pengkhianat ratu, penduduk
kemudian dibubarkan. Tinggal
beberapa orang lelaki yang
tetap disuruh berjemur
terpanggang matahari. Seorang
serdadu muncul dari bayangan
pepohonan di sebelah utara
alun-alun,
mereka mendekati komandannya
lalu membisikkan sesuatu seraya
tangannya menuding-nuding.
Yang terkena tuding dari
barisan tawanan, lengannya
masingmasing langsung diikat di
belakang punggung. Yang
lainnya disuruh bubar di bawah
todongan senjata. ada pula yang
sambil ditendang.
Para serdadu berkumpul setelah
terdengar aba-aba kemudian
berlalu meninggalkan desa
membawa sekitar lima atau
enam orang pemuda sebagai
tawanan mereka. lsmed
diam-diam mengawasi dari jauh.
Ia tidak kenal siapa-siapa
penduduk yang ditawan itu.
Yang memenuhi pikirannya
adalah pakaian-pakaian
seragam para serdadu, juga
lambang di topi pet mereka.
lsmed sempat memperhatikan
waktu berbaris tadi. Sebuah
lambang dari perunggu berukir
singa atau macan. Setelah
serdadu-serdadu itu lenyap di
dalam hutan, lsmed semakin
memahami ia berhadapan
dengan kenyataan yang
sesungguhnya, bahwa saat itu
perang masih berlangsung, dan
beberapa orang penduduk desa
baru saja dibawa pergi oleh
polisi militer Belanda.
"Kudengar ada beberapa orang
yang pergi menyebar ke dalam
hutan." bisik seseorang di dekat
lsmed. la menoleh dan bingung
ketika melihat Supardi telah ada
lagi di dekatnya.
"Apa kau bilang?"
"Beberapa orang penduduk
nekat menyelinap ke dalam
hutan, sebelum serdadu-serdadu
itu pergi dengan tawanan
mereka."
"lantas?"
"Orang-orang itu gila. Mereka
mestinya menunggu Pak Lurah
pulang. Tidak boleh bertindak
sendiri-sendiri."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Mencegat serdadu-serdadu itu
di tengah jalan. Apalagi kalau
bukan itu!"
"Mengapa kau tidak ikut?"
Ismed berkata seenaknya.
"Aku masih memiliki akal sehat.
Dan kau?"
Ismed terdiam.
"Sebaiknya kau ikut ke rumahku
saja." kata Supardi tersenyum.
"Kukira kita dapat berteman.
Aku tinggal sendirian."
"Terima kasih. Tetapi aku sudah
punya pondokan lain," tolak
Ismed.
"Ah. Lupakanlah janda yang
malang itu."
"Maksudmu?"
"Ia tidak akan menerima kau
tinggal di rumahnya lagi."
"Hei. Tidak mungkin..."
"Mau bukti?"
Lalu Supardi mengajak Ismed
bergegas pulang ke rumah
Selasih. Pintu rumah perempuan
itu menganga terbuka. Ketika
Ismed akan melangkah masuk,
dari dalam ia dengar suara getir
mencegahnya.
"Pergilah, Ismed."
Ismed ternganga.
Meski ia tidak melihat Selasih
secara langsung, tetap ia dapat
mengenal suaranya. Penasaran,
Ismed menerobos masuk. Selasih
bersimpuh di lantai ruang
tengah. Pakaian perempuan itu
acak-acakan. Kembennya yang
terlepas, ditutupkan sekenanya
ke dadanya yang telanjang. Ia
tampak sangat pucat. Tetapi
sinar matanya keras dan garis
mulutnya tajam. Mengiris. Ismed
sampai tertegun dan salah
tingkah melihat bayangan ganjil
di wajah Selasih.
"A... aku tak dapat
meninggalkanmu, Asih,"
katanya, terbata-bata.
"Kau harus."
"Asih..."
"Tak usah berlagak sebagai
pahlawan. Semuanya sudah
terlambat. Pergilah!"
"Diapakan kau oleh serdadu itu,
Selasih" Apakah setelah semua
ini terjadi, kau pikir aku tega
meninggalkan kau begitu saja"
Aku tak akan pergi, Asih!" tegas
Ismed.
"Kalau kau tak mau pergi dari
rumah ini," suara Selasih
terdengar getir, tajam dan
menusuk. "biar aku yang pergi."
"Asih!"
Supardi yang dari tadi diam saja
di luar bergegas masuk dan
menarik Ismed keluar dari
rumah.
"Ayolah," bujuknya, "perempuan
itu tidak bermaksud kasar
padamu. Ia hanya ingin agar
kau memahami keadaannva. Ia
telah mengorbankan kehormat
annya demi keselamatan
jiwamu. Dan itu bukannya tidak
menimbulkan akibat," ujar
Supardi.
"Ia diperkosa!" Ismed ingin
berteriak. Tetapi yang keluar
dari mulutnya, hanya keluhan
putus asa.
"Itu hanya sebab. Bukan akibat."

"Aku tak mengerti."


"Nanti juga kau akan mengerti."
Ismed kemudian diajak ke rumah
Supardi. yang letaknya agak
terpisah di pojok paling jauh
dari pusat desa. Sebuah rumah
kecil yang hanya memiliki dua
ruangan. Satu kamar tidur, dan
ruangan lain untuk bekerja.
Ruangan kedua dan lebih luas
itu dipenuhi oleh alat-alat
pertukangan serta sejumlah
bahan untuk mebel yang serba
sederhana. Dapurnya di luar
rumah. hanya ditutupi atap
nipah tanpa dinding kecuali
bidang dinding belakang rumah.

"Bukan tempat yang


menyenangkan," kata Supardi
malu-malu. "Tetapi kuharap kau
betah di sini."
Ismed mengempaskan tubuhnya,
duduk di sebuah kursi kayu.
"Kau baik sekali. Tetapi,
mengapa aku kauajak tinggal
bersamamu?"
"Oh. itu gampang. Kedatangan
orang asing di desa ini mudah
menjalar beritanya. Tetapi
karena dalam suasana perang,
orang tidak mudah untuk
menerima kehadiranmu.
Akhirnya. jurutulis desa-atas
perintah Pak Lurah tadi
malam-hanya menemukan aku
***

annya demi keselamatan


jiwamu. Dan itu bukannya tidak
menimbulkan akibat," ujar
Supardi.
"Ia diperkosa!" Ismed ingin
berteriak. Tetapi yang keluar
dari mulutnya, hanya keluhan
putus asa.
"Itu hanya sebab. Bukan akibat."

"Aku tak mengerti."


"Nanti juga kau akan mengerti."
Ismed kemudian diajak ke rumah
Supardi, yang letaknya agak
terpisah di pojok paling jauh
dari pusat desa. Sebuah rumah
kecil yang hanya memiliki dua
ruangan. Satu kamar tidur, dan
ruangan lain untuk bekerja.
Ruangan kedua dan lebih luas
itu dipenuhi oleh alat-alat
pertukangan serta sejumlah
bahan untuk mebel yang serba
sederhana. Dapurnya di luar
rumah. hanya ditutupi atap
nipah tanpa dinding kecuali
bidang dinding belakang rumah.

"Bukan tempat yang


menyenangkan," kata Supardi
malu-malu. "Tetapi kuharap kau
betah di sini."
Ismed mengempaskan tubuhnya,
duduk di sebuah kursi kayu.
"Kau baik sekali. Tetapi,
mengapa aku kauajak tinggal
bersamamu?"
"Oh, itu gampang. Kedatangan
orang asing di desa ini mudah
menjalar beritanya. Tetapi
karena dalam suasana perang,
orang tidak mudah untuk
menerima kehadiranmu.
Akhirnya. jurutulis desa-atas
perintah Pak Lurah tadi
malam-hanya menemukan aku se
orang yang hidup sendirian dan
tidak akan bermasalah bila
kedatangan tamu. Suka kopi?"
"Bolehlah. jangan terlalu
manis."
"Ah. Gula semakin sukar
didapat. Aku hanya bisa
menghidangkan kopi kental.
Tetapi tanpa gula. Maaf."
"Oh."
Mereka kemudian duduk minum
sambil membicarakan situasi
yang tengah mereka hadapi.
Ketika ditanya dari mana asal
usul Ismed, ia menceritakan
garis besarnya saja. Bahwa ia
lahir di Sumatera. kuliah dan
kemudian bekerja di Bandung.
Setelah menikah dengan Farida.
ia pindah ke Pandeglang.
"Begitulah. Tiba-tiba saja. aku
sudah ada di sini."
"Begitu saja?"
"Ya. Begitu saja."
"Kau lewat jalan mana ke desa
ini" lkut kelompok pejuang yang
mana" Dan di mana pula
teman-temanmu yang lain."
Apakah kalian dipergoki
serdadu Belanda" Atau
pasukanmu hancur. dan kau
sempat meloloskan diri?" tanya
Supardi bertubi-tubi.
"Pertanyaanmu banyak sekali.
Supardi. Tak apa aku menyebut
nama. bukan?"
"Silakan. Kita sebaya."
"Pertanyaanmu itu, hanya satu
saja yang bisa kujawab."
"Yang mana?"
"Tentang. lewat jalan mana aku
tiba di desa ini."
"Oh, itu. lewat Rangkas atau
lewat Malimping?"
"Nama-nama itu memang
pernah kudengar. Tetapi aku
tidak datang melalui dua daerah
yang kau sebutkan."
"Jadi?"
Ismed menghela napas. "Aku
datang melalui pintu sebuah
lemari."
Seperti sudah diduganya,
Supardi tercengang. Tak
percaya.
"Kau pasti main-main," tukas
Supardi.
"Tidak," bantah Ismed, "aku
sungguh-sungguh."
"Tetapi" lewat lemari!
Bagaimana mungkin?"
"Aku sendiri sampai saat ini
belum mengerti."
Ismed mulai menceritakan
bagaimana mulanya ia
mendapatkan lemari antik
berukir perempuan dengan anak
kambing hitam di pangkuannya
itu. Tetapi. belum lagi kisahnya
berlanjut, ia semakin heran
melihat perubahan sikap sang
tuan rumah. Supardi tampak
pucat dan gelisah.
"Nanti dulu!" sela Supardi di
tengah cerita Ismed. Wajahnya
menunjukkan kebingungan.
"Dari semua yang kau ceritakan
padaku tentang ciri-ciri ukiran
lemari itu" aku bisa memastikan
bahwa lemari itu... tentulah aku
yang membuatnya. Tetapi
beberapa waktu yang lalu. ketika
pembantu bupati datang untuk
mengambil hasil panenan lada
di desa ini, ia melihat lemariku
itu lalu membawanya pergi
dengan paksa."
"Mengapa begitu?"
"Aku tak pernah berniat
memberikan lemari itu pada
orang lain. Karena lemari itu...
punya hubungan erat dengan...
ah, apakah kau telah mendengar
kisah Sukaesih. yang mereka
sebut si perempuan sihir" Yang
lenyap sewaktu akan dihukum
bakar di alun-alun?"
Ismed baru akan menjawab
ketika di kejauhan terdengar
bunyi letusan-letusan senjata
sayup-sayup sampai. Keduanya
terperangah.
"Gila!" dengus Supardi.
"Mereka nekat juga
melakukannya. Sungguh bodoh.
Tak memikirkan akibatnya.
Entah apa nanti kata Pak Lurah
kalau beliau sudah pulang!"
Hampir satu jam mereka duduk
terdiam dengan raut menegang.
Kemudian suara-suara itu
semakin reda dan akhirnya
berhenti.
"Yang berikutnya tak dapat
kubayangkan." keluh Supardi.
"Maksudmu?"
"Akibat perbuatan mereka
mencegat serdadu serdadu
Belanda itu. Sanak keluarga
mereka juga yang bakal jadi
korban!"
"ltulah perang." ujar Ismed.
"Ya. ltulah perang!" Supardi
bergumam menyetujui.
"Mengenai Sukaesih,..." Ismed
menggantung kalimatnya.
Karena Supardi diam saja, ia
meneruskan, "Benarkan ia
perempuan yang sama-sama kita
lihat tadi malam" Ketika ia
menculik bayi itu?"
Supardi mengangguk.
"Sebenarnya, Sukaesih tidak
bermaksud jahat," katanya,
pelan.
"Apa?"
"la menculik bayi itu hanya
untuk melihat bahwa yang ia
curi bukan bayinya sendiri."
"Jadi perempuan sihir itu juga
punya bayi?" Ismed semakin
tertarik. "Apa yang diperbuatnya
setelah ia ketahui bahwa yang ia
curi bukan bayinya sendiri?"
"itulah yang tidak pernah kami
ketahui. Yang pasti, tak satu pun
bayi-bayi yang dicurinya itu
pernah ditemukan lagi. Entah
dibuang, entah dibunuh. Tetapi
aku tak percaya omongan orang
bahwa Sukaesih kemudian
menghirup darah bayi itu,
memamah daging serta tulang
belulangnya. Sukaesih tidak
sejahat itu!" Suara dan wajah
Supardi jelas bernada membela
disertai kesedihan mendalam.
"Kalaupun bayi-bayi yang
dicurinya kemudian mati. aku
dapat memahami tujuannya. Ia
tidak mau mendengar suara bayi
orang lain. Ia hanya ingin
mendengar suara bayinya
sendiri, sampai akhirnya ia
dapat menemukan bayinya itu."
"Kok aneh. Maksudmu. bayinya
juga pernah dicuri orang?"
"Benar. Dan itu terjadi akibat
kelalaianku...." Suara supardi
lirih penuh penyesalan.
Makin menarik, pikir lsmed. Ia
akan bertanya lebih lanjut.
Tetapi tanpa diminta pun,
Supardi sudah menceritakan
peristiwa yang terjadi hampir
satu tahun
berselang. la kisahkan
bagaimana Sukaesih ditangkap
oleh penduduk. Perempuan yang
hidup menyendiri di lereng
gunung itu kemudian diseret
turun ke kampung untuk
dihukum bakar dengan tuduhan
sebagai perempuan sihir.
Karena sudah biasa berlaku
hukum memusnahkan kaum
penyihir sampai ke
akar-akarnya, maka bayi
Sukaesih mestinya ikut pula
dibakar. Tetapi tidak seorang
pun penduduk yang mengetahui
kalau di tempat pengucilannya,
Sukaesih diam-diam telah
melahirkan seorang bayi.
"Sebelum ditangkap. Sukaesih
menugasi aku untuk
menyembunyikan dan merawat
bayinya. Tetapi karena aku lalai.
bayi itu kutinggalkan sendirian
dalam gubuk untuk melihat
mereka yang menyeret dan
menyiksa Sukaesih selagi turun
gunung. Ketika aku masuk lagi
ke dalam gubuk. bayi itu sudah
lenyap." papar Supardi dengan
suara tersendat dan mata basah.

"Siapa yang mencurinya?" tanya


Ismed penuh rasa ingin tahu.
"Dulu aku tak pernah
mengetahuinya. Tetapi lama
kemudian. setelah menjalin
kejadian satu sama lain yang
sebelumnya terpisah-pisah. aku
mulai memperoleh petunjuk
bahwa pelaku pencurian itu tak
lain tak bukan adalah Pak Lurah
sendiri!"
"Pak Lurah" Untuk apanya bayi
itu?"
"Ceritanya panjang, kawan!"
"Tak keberatan kalau aku ingin
tahu?"
"Tidak," jawab Supardi.
"Kaupikir, mengapa semua ini
kuceritakan padamu" Karena
kau orang asing. Kalau kau
ceritakan pada penduduk desa di
sini, tak seorang pun yang akan
percaya. Aku cuma seorang
tukang kayu yang miskin dan
papa. Leluhurku pun dahulunya
hanya budak dari leluhur
penduduk desa ini. Tepatnya,
budak leluhur Pak Lurah."
Supardi menarik napas berat
dan panjang, menggambarkan
betapa panjang dan betapa
berat pula penderitaan yang
dialami olehnya maupun para
leluhurnya. "Jadi, mustahil
kalau kuceritakan pada mereka
semua, bahwa bencana-bencana
yang mengerikan yang menimpa
penduduk desa ini, bukan akibat
perbuatan Sukaesih. Melainkan
akibat perbuatan putra Pak
Lurah sendiri!"

***

PUTRA Pak Lurah itu namanya


Suminda. Konon dimaksudkan
berarti 'Si bagus Minda', atau
Guru Minda yang tersebut
dalam salah satu legenda
tersohor di seantero Pajajaran,
yakni legenda Lutung Kasarung.

Tetapi si Minda yang satu ini,


yang oleh orangtuanya diberi
nama Suminda. ternyata setelah
dewasa tak lebih dari seorang
Minda yang salah kaprah.
Kerjanya bersenang-senang
menghabiskan harta
orangtuanya. Suka minum arak,
berjudi sabung ayam dan main
perempuan. Biar sudah punya
istri, Suminda masih senang
mencabuli anak perawan bahkan
istri orang lain. Tak ada yang
berani mencegah. Selain
mengingat posisi keluarganya
sebagai lurah dan masih ada
pertalian famili dengan salah
seorang selir bupati, juga
karena kesalahan
perempuan-perempuan itu
sendiri.
Rayuan Suminda yang kaya dan
tampan membuat
perempuan-perempuan yang
jadi korban-korban menyerah
dengan sukarela. Kalau toh
akhirnya disiasiakan, mereka
tetap punya kebanggaan sempat
jadi kekasih Suminda.
Sampai suatu ketika. Suminda
ketemu batunya.
la tertarik lalu jatuh cinta pada
Sukaesih. salah seorang dukun
masyhur yang suka menolong
orang. Tak ada yang tahu dari
mana asal Sukaesih dulunya
sebelum pindah ke desa mereka.
Kabar burung mengatakan,
leluhurnya adalah orang-orang
sakti dari hutan-hutan
Pameumpeuk di pesisir selatan.
Ada pula yang mengatakan,
nenek Sukaesih adalah salah
seorang dayang Nyi Roro Kidul.
Orang lebih tidak tahu lagi
berapa usia Sukaesih
sebenarnya. Tahun demi tahun
berlalu. ia tetap cantik, tetap
muda seperti perawan yang
sudah siap diajak naik
pelaminan. Orang cuma tahu
kalau Sukaesih itu seorang
dukun perempuan muda lagi
cantik yang kapan pun
dibutuhkan, bersedia menolong
orang yang sakit atau
kesusahan.
Dari sekian orang yang pernah
jatuh cinta padanya. Supardi
termasuk salah satunya. Cinta
Supardi ternyata hanya bertepuk
sebelah tangan.
"Aku telah beberapa kali
menikah, Pardi. Dan tiap kali,
suamiku akhirnya mati begitu
kami melakukan persetubuhan."
kata Sukaesih setelah Supardi
menyatakan siap berkorban apa
saja demi niat sucinya menikahi
Sukaesih.
Dukun muda itu membuka
rahasianya, setelah Supardi
hilang akal dan merasa cintanya
ditolak karena ia hanya seorang
keturunan budak. Tetapi sebagai
imbalan kegagalan cintanya, ia
diperkenankan Sukaesih jadi
pembantu kepercayaan pada
waktu waktu tertentu. la
disayangi dan dikasihi
perempuan itu sebagai saudara
sendiri. Hal itu tidak diketahui
orang lain. karena Supardi
memang merahasiakannya.
Malu kalau dijadikan bahan
olok-olok. Seorang tukang kayu
miskin keturunan budak belian,
cobacoba mendekati Sukaesih
yang jadi pujaan semua orang.
Meski orang lain pun akhirnya
gagal juga mempersunting
Sukaesih.
Satu-satunya orang yang dapat
mempersunting Sukaesih hanya
Pak Lurah. Menurut apa yang
didengar Supardi dari mulut
Sukaesih, cinta Pak Lurah
diterima Sukaesih meski tahu
Pak Lurah sudah punya istri dan
anak. Mereka melakukan
hubungan diamdiam dan
nyatanya Pak Lurah tetap hidup.

"Hanya ia satu-satunya orang


yang punya ilmu sejajar dengan
ilmuku sendiri." begitu kata
Sukaesih. "Karena itu. ia dapat
menahan serbuan maut yang
menyerang dari dalam tubuhku
tiap kali kami bersetubuh."
Mulanya, mereka melakukan
persetubuhan itu sebagai batu
uiian. Jadi tidak langsung
menikah, karena kuatir Sukaesih
jadi serbuan amarah penduduk
kalau ternyata setelah menikah
Pak Lurah mati seperti
juga suami-suami Sukaesih
sebelumnya. Hubungan rahasia
itu berjalan beberapa waktu
lamanya.
Dan ketika keduanya berencana
untuk menikah, muncullah
Suminda.
Ia tidak tahu kalau Sukaesih
adalah kekasih gelap ayahnya.
bahkan bakal jadi ibu tirinya.
Suminda yang sudah lama
menaruh hati pada Sukaesih,
mencoba merayu perempuan itu.
Ketika diberitahu bahwa si
perempuan akan menikah
dengan ayahnya. Suminda
bukannya mundur. la malah naik
pitam, dan mencoba memerkosa
Sukaesih seraya menyumpah
serapah.
"Tidak seorang perempuan pun
kubolehkan memisahkan ayah
dan ibuku!"
Biarpun dikatakan bahwa
Sukaesih tidak bermaksud
merenggut Pak Lurah dari istri
pertamanya, Suminda tetap
nekat. Rupanya ia sakit hati.
Baru pertama kali cintanya
ditolak oleh seorang perempuan.

"Lebih baik aku jadi tikus saja


daripada tidak dapat
memilikimu!" umpat Suminda
selagi dengan paksa ia
menggerayangi tubuh Sukaesih.
Sukaesih yang marah dan
terhina oleh perbuatan Suminda
yang tak senonoh itu. menjadi
lupa diri.
"Baiklah. Jadilah kau tikus!"
sumpah Sukaesih. geram.
Dan seketika itu juga perubahan
terjadi pada tubuh Suminda.
Kepalanya pelan-pelan berubah
menjadi kepala tikus. Melihat
kejadian itu, Sukaesih
menyadari kelancangannya. la
menarik sumpahnya. Sayang,
yang dapat ia tarik mundur
hanya bagian yang belum
berproses. Tubuh Suminda dari
batas pundak ke bawah tetap
utuh sebagai manusia. Tetapi
kepalanya sudah telanjur
berubah jadi kepala tikus.
Supardi yang mengintip
peristiwa itu dari balik dinding
di luar rumah. merinding ngeri.
Tampak olehnya Suminda
melolong-lolong, lolongannya
kian lama juga berubah menjadi
suara mencicit yang
menyeramkan. Pemuda itu
menyembah-nyembah Sukaesih,
memohon ampun dan meminta
agar kepalanya dikembalikan
pada bentuk semula.
Dengan nada menyesal Sukaesih
berkata, "Sayang sekali, Minda.
Kutuk yang telah keluar dari
mulutku atau mulut leluhurku,
tidak dapat dicabut apabila
kutuk itu telah terjadi!"
Putus asa, Suminda berusaha
menyerang Sukaesih. Tetapi
hanya dengan tiupan pelan dari
mulut Sukaesih, si lelaki
bermuka tikus sudah
terhumbalang.
Tunggang-langgang menerpa
dinding hingga roboh. Supardi
cepat menyingkir. Dari jauh ia
lihat Suminda yang berkepala
menakutkan itu melarikan diri ke
dalam hutan.
Tahu bahwa Supardi mengintip,
Sukaesih memanggilnya dan
menyuruh Supardi tutup mulut.
"Biar aku sendiri yang
memberitahu nasib Minda pada
ayahnya." kata Sukaesih.
Tapi malang bagi Sukaesih.
Suminda adalah ke
turunan satu-satunya dari Pak
Lurah. Biarpun anak itu nakal
dan sering berlaku memalukan,
tetap saja ia putera kesayangan
Pak Lurah. Setelah diberitahu
kejadian yang menimpa putra
kesayangannya, Pak Lurah
bukannya menyesalkan sikap
Suminda. Ia malah menyesalkan
Sukaesih yang tidak dapat
mengendalikan diri. Mereka
lantas bertengkar dan semenjak
itu hubungan mereka rusak.
Putus. Tanpa Sukaesih dapat
mencegahnya.
"Aku tidak dapat tinggal lagi di
kampung ini. Pardi." kata
Sukaesih suatu hari. "Aku juga
tak dapat pergi ke daerah lain
dengan perutku yang sudah
mulai terisi. Kukira aku lebih
baik pergi bertapa saja.
Menyepi, menjauhi kehidupan
yang selama ini kunikmati. Tak
ada lagi sesuatu yang
kukehendaki, kecuali menunggu
anakku lahir. Setelah anak itu
lahir, barulah dapat kutentukan
sikapku selanjutnya."
Diam-diam Sukaesih kemudian
menyingkir tanpa setahu orang
lain. Karena perutnya sedang
mengandung, ia tak dapat pergi
jauh. Dengan bantuan Supardi,
Sukaesih dibawa ke lereng
gunung, dicarikan tempat yang
baik dan dibuatkan gubuk
tempat berteduh. Tak hanya itu,
dicarikan dan diusahakan
Supardi juga apa saja yang
diperlukan Sukaesih untuk dapat
tetap bertahan hidup. Tetapi
Sukaesih tidak memperbolehkan
Supardi tinggal bersamanya,
atau sering-sering
mengunjunginya.
"Kalau Pak Lurah tahu. kau
akan jadi korban
amarahnya," ujar Sukaesih.
"Kau pulanglah. Dan temui aku
sekali-sekali. Karena
bagaimanapun, aku masih tetap
membutuhkan seorang teman
untuk mengisi kesepianku."
Baru belakangan mereka tahu,
tabiat Suminda ikut berubah
sejalan dengan perubahan
wujudnya. Suminda yang
terpaksa mengasingkan diri ke
hutanhutan untuk menutupi
rahasianya. masih belum dapat
menghilangkan kebiasaan
lamanya.
Hanya kali ini, ia bertindak
lebih kejam.
Setiap perempuan yang berhasil
ia pergoki berjalan sendirian, ia
sergap dan disetubuhi lalu
darahnya dihirup. Ia juga
membunuh lelaki-lelaki yang
mengawini bekas
kekasih-kekasihnya, lalu
memerkosa dan menghirup
darah bekas kekasih-kekasihnya
itu. Kalau perempuan itu tengah
menggendong bayinya, maka
bayi itu pun tak selamat dari
kebuasan Suminda.
Dan karena lama kelamaan
orang mulai mendengar adanya
permusuhan pribadi antara Pak
Lurah dengan Sukaesih yang
menghilang entah ke mana,
maka mulailah tersebar
gunjingan bahwa
bencana-bencana mengerikan
itu terjadi karena Sukaesih ingin
membalas dendamnya. Pak
Lurah dengan sengaja
membiarkan kabar itu
berkembang, hingga setiap kali
bencana terjadi tiap kali pula
Sukaesih dikambinghitamkan.
Satu dua orang penduduk
akhirnya mengetahui
pula di mana Sukaesih
bersembunyi. Tetapi entah
mengapa, Pak Lurah mencegah
siapa saja yang ingin membalas
dendam.
"Perempuan itu berbahaya.
Kalian tidak akan sanggup
menghadapinya. Tunggulah
waktu yang tepat. Aku sendiri
yang akan turun tangan."
lalu diam-diam ia menghubungi
putranya dan memaksa Suminda
menyingkir lebih jauh dan
mencari mangsa di desa-desa
yang lain. Dengan demikian.
luapan amarah penduduk bisa
ditahannya.
Supardi yang telah menguping
semua peristiwa yang
berlangsung di desa, bertanya
pada Sukaesih, "Apa yang
ditunggu Pak Lurah?"
"Anaknya," jawab Sukaesih,
kecut.
"Anaknya" Yang mana?"
"lni," jawab Sukaesih seraya
menuding perutnya yang bunting
tua.
"Lalu apa yang akan kau
lakukan?"
"Cuma berharap, Pardi.
Berharap. akan tiba saatnya
ayah anak ini sadar bahwa ia
tidak akan dapat merebut bayiku
begitu saja. Karena itu hanya
punya satu arti. Salah seorang
akan mati. Aku, atau dia!"
Sayangnya, Sukaesih tak pernah
menduga bahwa Pak Lurah akan
berlaku pengecut. la bukannya
datang sendiri ketika waktu yang
ditunggu-tunggu itu tiba.
Pak Lurah dengan culas justru
memperlihatkan kekerdilan
jiwanya. la justru memakai
tangan ketiga
untuk menyingkirkan Sukaesih.
Yakni, luapan amarah penduduk
dibantu oleh dua orang dukun
saingan Sukaesih, yakni Tonggo
dan Darso.
Supardi terlambat untuk
memberitahukan kecurangan
Pak Lurah itu pada Sukaesih.

***

DAN, demikianlah yang terjadi."


Supardi mengakhiri kisahnya.
"Penduduk meringkus Sukaesih,
menyeretnya turun dari gunung.
Aku terlalu mengkhatirkan
keselamatannya, hingga lengah
menjaga bayi Sukaesih. Bayi itu
dicuri orang setelah lebih dulu
kepalaku dipukul sampai aku
pingsan. Ketika kemudian aku
berhasil menyelundup ke
kandang kuda tempat Sukaesih
disekap, aku hanya dapat
melaporkan kejadian itu dengan
perasaan panik dan penyesalan
yang tiada terhingga. Pikiranku
sangat tumpul. Tidak pernah
punya sangkaan kalau Pak
Lurah yang melakukannya."
"lalu," lsmed mendesak,
"bagaimana kau akhirnya yakin
kalau Pak Lurah yang
melakukannya?"
"Setelah merangkai
kejadian-kejadian sebelumnya.
Bukankah sudah kubilang tadi?"

"Itu hanya dugaan."


"Tidak. setelah belakangan
kudengar Pak Lurah pernah
menitipkan bayi pada seorang
kerabat jauhnya. Tetapi karena
perang, kerabat Pak Lurah itu
terpaksa mengungsi. Entah ke
mana..."
"Tak kau beritahukan
penemuanmu itu pada
Sukaesih?"
"Bagaimana mungkin?" keluh
Supardi getir. "Sukaesih sudah
lenyap. Kalaupun aku pernah
beberapa kali melihatnya-kau
juga bukan, tadi malam" Yang
aku dan kau lihat itu adalah
rohnya!"
"Begitu nyata?"
"Mengapa tidak" Sukaesih dapat
melakukan apa saja. Misalnya,
memindahkan jasad dan rohnya
ke daun pintu lemari yang kuukir
atas permintaannya!"
Ismed ternganga.
Pindah ke pintu lemari" Roh dan
jasad Sukaesih pindah lalu
menyatu dengan pintu lemari"
Belum habis keheranan lsmed, di
kejauhan terdengar bunyi
kentongan dipukul. Mula-mula
satu, lalu dua. dan kemudian
makin banyak. Supardi menjadi
tegang seketika.
"Kita semua disuruh berkumpul
lagi di alun-alun desa."
desahnya.
Ismed tersentak.
"Serdadu Belanda lagi?"
"Yang ini. bukan. Dari bunyi
dan ketukan-ketukan
pada kentongan, yang menyuruh
berkumpul adalah Pak Lurah.
Kukira, ia telah pulang!"
Tak lama kemudian, Ismed
bersama Supardi telah
berkumpul bersama penduduk
lainnya di alun-alun. Di balai
desa. tampak banyak orang
berkumpul pula. Di antara
mereka yang khusus berkumpul
di balai desa, Ismed dapat
mengenali Selasih yang pada
saat itu tengah mempercakapkan
sesuatu dengan Pak Lurah.
Entah mengapa, melihat
perempuan itu berbicara dengan
Pak Lurah. naluri Ismed
dihinggapi suatu perasaan aneh.
Bahwa nasibnya sedang
ditentukan.
Sementara itu, orang-orang
yang berkumpul di sekelilingnya
ramai mempercakapkan
peristiwa pencegatan oleh
sekelompok warga desa
terhadap serdadu-serdadu
Belanda yang sedang dalam
perjalanan pulang ke
Pandeglang. Ismed mendengar
sedikitsedikit bahwa para
pejuang itu-termasuk yang
ditawan, sebagian besar telah
gugur. Selebihnya, membawa
yang luka-luka pulang lagi ke
desa. Beberapa orang serdadu
berhasil juga mereka tewaskan.
Sisa pasukan Belanda itu
kemudian melarikan diri.
"Mereka pasti sudah meminta
bantuan ke Pandeglang." ujar
seseorang.
"Dan kita bakal diserbu habis,"
sahut yang lain.
"Itulah, kalau tak berpikir
panjang," seseorang
menyesalkan pula.
"Kesempatan demikian jarang
kita dapatkan!'
bantah yang lain lagi. "Pasukan
orang bule dan
pengkhianat-pengkhianat
bangsa itu sangat yakin. bahwa
kita tak akan bertindak tanpa
kehadiran Pak Lurahi .Mereka
lengah, dan coba hitung berapa
orang serdadu dan berapa
pucuk senjata api yang dapat
kita rebut!"
"Mudah-mudahan saja Pak
Lurah ikut berbangga hati."
Tetapi ketika Pak Lurah tampil
di depan semua orang yang
seketika diam membungkam,
nada suara Pak Lurah jelas
tidak berbangga sedikit pun.
"Perjuangan kalian semata-mata
menurutkan emosi itu memang
menghasilkan beberapa pucuk
senjata api dan kudengar sekitar
ruiuh orang musuh dapat kalian
bunuh. Tetapi. berapa orang
dari kalian yang harus
berkorban jiwa" Dan pernahkah
kalian pikirkan, nasib apa yang
bakal menimpa desa kita?" ujar
Pak Lurah dalam pidatonya
yang berapi-api.
Semua penduduk diam. Yang
terdengar hanya isak tangis
beberapa orang yang kehilangan
sanak keluarganya dalam
pencegatan itu. Pak Lurah
melanjutkan dengan kalimat
pendek dan bernada dingin.
"Desa ini akan
dibumihanguskan oleh
Belanda!"
Suasana semakin sunyi
mencekam.
"Memang," kata Pak Lurah
lantang. "aku percaya kalian
semua merelakan rumah dan
harta kalian musnah ditembaki
peluru-peluru meriam musuh.
Tetapi kalian. sebagian besar
belum pernah melihat akibat
ledakan satu peluru meriam
saja. Bila itu nanti terjadi,
lihatlah. Tak sejumput pun harta
kalian akan tersisa untuk
dinikmati. Tak sejengkal tanah
pun dapat kalian diami atau
tanami tanpa harus bekerja
keras selama bertahun-tahun
mendatang!"
Melihat wajah-wajah pucat di
depannya, Pak Lurah
merendahkan suara.
"Sudahlah. Yang terjadi, telah
terjadi. Hanya sangat
kuscsalkan. Kalian melupakan
taktik yang sudah beberapa kali
kita laksanakan. Biarkan
serdadu-serdadu itu pergi cukup
jauh, sehingga mereka tidak
dapat menebak pasukan gerilya
mana yang mencegat mereka.
Jadi mereka tidak dapat
menuding kita sebagai
orang-orang yang bertanggung
jawab. Tetapi," Pak Lurah
menghela napas. "yah... aku
juga dapat memahami.
Kawan-kawan kita yang pergi
menyerbu tanpa setahuku
memang masih sangat
muda-muda."
"Kita harus berbuat apa
sekarang, Pak Lurah?"
seseorang berseru lantang.
"Mengungsi!" tegas Pak Lurah.
"Mengungsi ke mana. Pak
Lurah?" seru yang lain.
"Ke mana lagi" Desa yang
terdekat adalah Taraju. Desa itu
sudah dibombardir sampai tak
bersisa oleh meriam Belanda
seminggu yang lalu. Untuk pergi
ke desa berikutnya, waktu sudah
terlambat. Kita baru akan tiba di
desa itu sekitar besok pagi-pagi
benar. Dan aku khawatir, kita
akan bentrok dengan pasukan
musuh yang harus melalui desa
itu untuk sampai ke
desa kita. Satu-satunya jalan
paling mudah dan mungkin, kita
semua harus menyingkir ke
lereng gunung. Bersembunyi di
hutan-hutan lebat yang jarang
kita masuki itu."
Pak Lurah menunjuk ke lereng
gunung berhutan lebat dan
rimbun nun jauh di sebelah
utara desa.
Penduduk terdiam tiba-tiba.
Suasana sunyi menyentak.
Bahkan mereka yang telah
kehilangan sanak keluarganya
tiba-tiba berhenti menangis. Tak
seorang pun yang bersuara. Pak
Lurah manggut-manggut, seakan
mengerti apa yang dipikirkan
penduduk desa.
"Kalau kita muncul
beramai-ramai,
makhlukmakhluk terkutuk itu
pasti menyingkir ketakutan.
Jangan kalian lupa. bahwa
makhluk-makhluk itu tadinya
adalah roh-roh sengsara dari
leluhur atau sanak keluarga kita
sendiri."
"Tetapi si perempuan sihir..."
yang berkata itu adalah Supardi.
Ia tidak meneruskan kalimatnya.
Dan meski kalimat itu pendek
dan menggantung begitu saja,
Ismed dapat menangkap
perasaan khawatir dalam suara
Supardi. Bukan
mengkhawatirkan keselamatan
penduduk. Tetapi
mengkhawatirkan Sukaesih yang
baru beberapa saat berselang ia
sebut sebagai jelmaan roh
belaka.
Agak lama Pak Lurah
mengawasi wajah Supardi. Ia
juga mengawasi orang yang
berdiri bingung di dekat
Sunardi. Yakni, lsmed. Dengan
sendirinya, Ismed
terpaksa menelan ludah.
Rasanya, ia menangkap se
suatu dalam sorot mata Pak
Lurah. Sesuatu yang
mengganggu ketenangannya.
Dengan perasaan kecut
ia berpaling ke arah lain.
Sialnya. justru ia berpaling
ke arah tempat Selasih berdiri.
Perempuan itu pun
menatapnya dengan sorot mata
yang sama ganjilnya. lsmed
gentar. Gelisah.
"Kalian mau percaya atau
tidak," ia dengar suara Pak
Lurah yang tenang. "Perempuan
sihir itu benar masih ada di
suatu tempat. Tetapi aku yakin,
tidak di lereng gunung itu."
"Kami percaya pada Bapak,"
ujar beberapa orang. seperti
dikomando saja. Seseorang
kemudian mewakili
teman-temannya bertanya.
"Kapan kita mulai mengungsi?"
"Sekarang juga. Kita harus tiba
di lereng gunung itu sebelum
senja tiba. Karena aku khawatir,
bila sudah malam beberapa dari
kalian bisa tersesat ke rimba
larangan."
"Rimba larangan?" desah lsmed,
tak mengerti.
"Rimba tempat berdiam suku
Badui dalam." jelas Supardi di
sebelahnya. "Dari orang-orang.
kudengar kau datang dari dalam
rimba itu ditemani Selasih."
lsmed hendak mengutarakan
sesuatu yang ia alami di dalam
rimba itu, ketika Supardi
menyuruhnya diam. Pak Lurah
sudah angkat suara lagi. Kini
dengan nada lebih tenang.
Tetapi tajam menusuk.
"Sebelum kita bubar. aku ingin
kalian semua
mengetahui srapa pengkhianat
yang telah mengorbankan sekian
orang pejuang-pejuang kita."
Sambil berkata begitu, Pak
Lurah tiba-tiba menghardik,
"Tangkap dan borgol dia.
anak-anak!"
Beberapa orang pemuda yang
berdiri dalam kelompok lepas,
kemudian bergerak ke satu arah.

Ismed gemetar mengetahui


pemuda-pemuda itu membawa
segulungan rantai borgol besi
yang sebagian terseret di tanah,
menimbulkan bunyi
bergemerencing menakutkan.
Lebih gemetar lagi, manakala ia
sadari bahwa kelompok pemuda
berwajah bengis dan penuh
dendam kesumat itu berjalan
serempak ke arah tempatnya
berdiri!

***

DALAM gubuk kecil terpencil


sendirian di lereng gunung.
Farida perlahan-lahan siuman
dari pingsannya. Ketika kelopak
matanya terbuka. segala sesuatu
tampak kabur. Sisi kanan
kepalanya terasa sakit.
Dirabanya bagian yang sakit itu.
Bersyukur tidak ada luka.
Namun toh lepas juga
keluhannya manakala jarinya
meraba benjolan kecil yang
berdenyut menyakitkan bila
ditekan.
Ia terpejam lagi beberapa saat.
Bernapas dengan teratur.
Sambil mencoba
mengingat-ingat kesialan apa
yang telah menimpa dirinya.
Kemudian ia ingat bahwa ia
terjatuh dengan kepala lebih
dulu membentur sisi dipan. la
ingat juga penyebabnya. Bayi
manusia yang terbungkus
selimut secara aneh telah
berubah wujud jadi seekor tikus.
Lalu tikus sebesar bayi manusia
itu melompat menerjangnya.
Berusaha mencaplok
lehernya dengan kuku-kukunya
yang runcing serta
taring-taringnya yang tajam
mengerikan.
"Ya Tuhan... mengapa"." keluh
Farida, tertahan.
Matanya membelalak ketika
mendengar suara desah berat
tidak jauh dari tempatnya
terbaring menelungkup. Astaga,
ia masih rebah di lantai tanah
yang kotor berdebu. Dan tikus
mengerikan itu....
Farida beringsut bangun,
menahan segenap rasa sakit di
tubuhnya yang masih lemah.
Sinar matahari dari luar pintu
yang menganga terbuka. agak
mengganggu pandangannya
sebentar. Tetapi setelahnya. ia
mengetahui bahwa sosok tubuh
besar yang dilihatnya barusan
bukanlah bayi yang telah
berubah wujud itu. Melainkan
sosok tubuh perkasa dari
seorang laki-laki dewasa dengan
kepala tikusnya.
Farida menarik napas lega. Aku
aman. pikirnya.
Sayang, tidak lama kelegaan itu
dapat ia nikmati. Karena
tiba-tiba nalurinya menangkap
sesuatu telah berubah pada diri
laki-laki itu. Bukan wujudnya,
mclainkan sikapnya. Si muka
tikus tidak lagi mengenakan
kerudung untuk
menyembunyikan kepalanya
yang mengerikan. Ia juga tidak
lagi duduk dengan sikap
bersimpuh, hormat mengandung
takut. Si muka tikus justru duduk
dengan kedua lengan bersilang
di depan dada. Sepasang mata
kecilnya bersinar merah, lebih
merah dari biasa.
Farida mencoba tersenyum
manis untuk menenang
kan kegelisahan yang bergelayut
di dada, ia bergumam
menyatakan keheranannya.
"Kau biarkan aku di lantai.
Mengapa?"
Si muka tikus diam membeku.
Hanya matanya yang
berkilat-kilat. menandakan
bahwa ia bereaksi atas
pertanyaan Farida. Suatu reaksi
yang jelas tidak lagi bersahabat.
Diam-diam. Farida mulai
merasa gentar. la beringsut ke
arah dipan. Berusaha
mencaricari pisau yang
sebelumnya ia sembunyikan di
kepala dipan. Gerakan
tangannya terhenti ketika ia
dengar suara menggeram kasar.
Makhluk itu berdiri dengan kaki
mengangkang. Moncong
tikusnya terbuka.
Memperdengarkan suara
mencicit dan mencicit makin
keras. sehingga Farida
merasakan gendang telinganya
mau pecah.
"Hentikan! Hentikan! Aku tak
tahan!" Farida menjerit
kesakitan bercampur takut.
Suara mencicit itu terenggut
hilang. Membuat suasana
berubah total, sunyi mencekik.
Lantas kakikaki yang kekar itu
melangkah maju. Cepat sekali.
Farida kalang kabut. Kini kedua
tangannya dipergunakan
mengaduk-aduk jerami di atas
dipan,sampai berhamburan kian
kemari. Wakru ekor matanya
akhirnya dapat menangkap kilau
mata pisau, Farida sudah
terlambat. Benda yang sangat
didambakannya itu telah
disambar lebih dulu oleh si
muka tikus yang menyeringai
seram.
Farida tersentak di dipan. Putus
asa.
Dengan jantung berdegup
kencang, ia memperhatikan
bagaimana si muka tikus
mempermain-mainkan pisau di
tangannya. Digerakkan
berputar-putar di depan wajah
Farida, seakan ingin
mencencang kulit wajah yang
halus mulus itu. Farida pucat
pasi ketika merasakan ujung
pisau menyentuh kulit lehernya.
Ia tak berani bergerak. Bahkan
bernapas pun tidak.
Si muka tikus menggeram
senang.
Pisau di tangannya digerakkan
dengan cepat. Sangat cepat.
Farida memejamkan mata,
membayangkan lehernya
tergorok putus dan darahnya
mcnyembur-nyembur. Tetapi
ternyata yang
menyemburnyembur itu hanya
darah di sekujur pembuluh saja.
serta denyut jantungnya yang
berpacu begitu kuat dan
menyesakkan. la terengah-engah
ketika membuka matanya
dengan rasa takut dan heran.
Masih sempat ia lihat pisau itu
melayang ke luar pintu.
Begitu keras si muka tikus
melontarkannya hingga pisau itu
seakan melayang terbang ke
langit lepas. Kian lama kian
mengecil dan ketika berubah
jadi titik samar-samar. pisau itu
pun lenyap. Bagaikan langit
menelannya dengan sukacita.
Mencicit lagi si muka tikus.
Menatap kejam ke wajah Farida
yang berjuang mati-matian
memulihkan kesadaran dirinya.
"Mau apa... kau?" Suara Farida
bergetar. "Apa yang terjadi
denganmu" Apa yang
membuatmu marah Dadaku?"
Si muka tikus diam sesaat. Lalu
telunjuknya menuding-nuding
wajah Farida, kemudian telapak
tangannya dikembangkan
terbuka dan digerakkan ke kiri
dan kanan.
Farida mencoba menebak
maknanya.
"Aku" tidak. Tidak apa?"
tanyanya bingung.
Kembali si lelaki berkepala tikus
mengulangi hal yang sama. Kali
ini, disusul dengan tudingan ke
sekeliling gubuk, lalu ke lantai.
Menuding lagi ke dada Farida,
lalu gerakan telapak tangannya
seakan membantah atau
penolakan terhadap sesuatu.
Farida kebingungan setengah
mati mencari kata-kata untuk
mengutarakan sesuatu, tetapi
hanya kebingungan saja yang ia
dapatkan. Si muka tikus
mencicit. la mundur selangkah.
Lalu kedua tangannya
digerak-gerakkan secara teratur
dan menurutkan bentuk-bentuk
tertentu dari atas ke bawah,
menggambarkan sosok tubuh
manusia. lalu telunjuknya
menuding, melakukan gerakan
semula secara berulang-ulang.
"Aku" bukan... dia?" tebak
Farida. yang mulai mengerti
maksud si muka tikus. "Dia
siapa?"
Si muka tikus mencicit. la angkat
kedua tangannya. Digerakkan
melengkung di udara, lalu
jemarinya
mencengkeram-cengkeram,
seraya moncongnya
menggeram-geram. Mata
tikusnya mengerjap-ngerjap.
tampak seperti ketakutan. lalu ia
menuding Farida, menidakkan
lagi dengan telapak tangannya.
Farida berusaha mengikutinya
dengan tekun, mencoba me
nerka-nerka yang akhirnya
ternyata salah dan salah lagi.
Gambaran sosok tubuh
seseorang. Agaknya perempuan.
karena si muka tikus
menggerakkan jarijemari di
belakang kepala sendiri,
mengurai-urai menggambarkan
rambut panjang bergelombang.
Telunjuknya menuding ke udara
kosong tempat ia gambarkan
sosok imajiner itu. Lalu
membuat gerakan imajiner
dalam bentuk lingkaran.
Bola, pikir Farida. Tapi, bola
apa"
Si lelaki berkepala tikus mencicit
waktu Farida menggumamkan
"bola". Kemudian, kedua telapak
tangannya bergerak memutar
saling bertentangan di
kiri-kanan pada apa yang ia
maksudkan dengan "bola"
seraya matanya semakin
berkilat-kilat marah dan
mulutnya menggeram-geram,
Sesekali lengan dan telapak
tangannya diangkat,
digerak-gerakkan dalam bentuk
jari-jemari seperti
mencengkeram.
"Bola" Bulat" Bola menakutkan"
Bola apa?" Farida terus
menerka. sampai telinganya
berdenging dan tiba-tiba
berseru, "Bola kaca.
maksudmu?"
Si muka tikus mengangguk.
seraya mencicit senang. ia
melakukan lagi beberapa
gerakan. dan Farida mulai
menangkap maksudnya dengan
lebih jelas. Tercekat ia
berbicara menerka.
"Dia itu" perempuan sihir?"
Si muka tikus bertepuk tangan.
Mencicit-cicit, seraya
menghentak-hentakkan kaki ke
tanah. Ia baru
memulai beberapa gerakan
lagi-gerakan-gerakan yang telah
berulang kali ia peragakan. Tapi
belum selesai ia melakukannya,
Farida sudah bisa langsung
menerka.
"Aku bukan si perempuan sihir,
begitu maksudmu?"
Si muka tikus manggut-manggut
senang. Lalu ia gambarkan
beberapa peragaan lagi,
memperlihatkan
ketakutan-ketakutannya,
kemudian peragaan rasa
gembiranya ketika
menuding-nuding Farida.
Perbuatan itu ia lakukan
berulang-ulang karena Farida
kembali salah menebak, sampai
akhirnya Farida dapat menjalin
suatu gambaran yang benar.
"Perempuan sihir itu
membuatmu takut. Aku juga
membuatmu takut" Oh... ketika
kau temukan aku di luar sana
itu" Oh, kini kau tidak takut lagi
padaku. Apa" Kau menyukai
aku" Tetapi?"
Gerakan-gerakan berikutnya
membuat Farida tidak sanggup
lagi membuka mulut.
Kesimpulan yang diperolehnya
dari peragaan si muka tikus
membuat jantungnya berdebar
kencang. Sekujur tubuhnya
terasa kaku. Si muka tikus tidak
saja menyukainya. Si muka tikus
menghendaki ia dan Farida
hidup bersama di gubuk itu.
Dan si muka tikus tidak sudi
menunggu berlamalama. Karena
setelah memeragakan
maksudnya, ia lantas
membuktikannya. la bergerak ke
pintu dan menutupnya
rapat-rapat. lalu berbalik sambil
merenggut lepas kemeja
hitamnya. la bergerak lagi ke
arah dipan, menuding kemben
yang dikenakan Farida. Sambil
melangkah, ia terus
menggeram-geram dengan mata
memerah saga, memaksa Farida
agar menanggalkan pakaian.
Karena Farida diam saja, si
muka tikus menjadi marah. la
merenggut kedua lengan Farida
dengan cepatnya. Setelah Farida
tertegak bangun, tangan lelaki
itu dengan kasar mulai memeluk
dan berusaha menanggalkan
kemben Farida. Bau busuk lepas
dari moncongnya yang
menganga terbuka.
Taring-taringnya tampak
mengerikan. Begitu pula
lidahnya yang basah
berbuih-buih menjijikkan ketika
berusaha menjilati wajah
Farida.
Farida meronta-ronta ketakutan
dan kaget dengan perbuatan si
muka tikus yang serbamendadak
itu. Ia melihat sinar mata si
muka tikus dipenuhi nafsu
berahi yang tidak lagi
terkendali. Mereka saling
bergelut dan saling dorong.
Yang satu ingin menggagahi,
yang lain mempertahankan diri.
Tetapi kekuatan si lelaki itu
begitu besar. Tubuhnya begitu
perkasa. Farida dengan cepat
telah dipaksa menelentang.
Kembennya lepas menggantung,
sehingga payudara Farida
terbuka menantang. Si muka
tikus makin bernafsu. Dengan
buas ia naik pula ke dipan dan
siap untuk mengangkangi
Farida.
Pada detik yang kritis itulah
refleks Farida bergerak. Sisi
tangan kanannya memukul
bagian sensitif di tengkuk si
muka tikus. Pada waktu
bersamaan pula
lututnya menerjang dengan kuat,
menghantam bagian yang paling
peka di selangkangan sang
makhluk yang sudah diperbudak
nafsu bejat itu.
Si muka tikus
melengking-lengking kesakitan,
terlempar jatuh dari dipan. Tapi
kemudian ia bangkit lagi,
merangkak berdiri seraya
mengusap-usap tengkuknya yang
pasti kejang bukan main. Ketika
tubuh yang sempoyongan itu
mendekat lagi, Farida terkesiap.
Pukulan karate yang mematikan
pada tengkuk si muka tikus
ternyata tidak begitu
berpengaruh. Begitu pula
hentakan lutut Farida pada
selangkangan makhluk itu,
justru membuatnya semakin
buas saja.
Farida tiba-tiba menyadari
bahwa ia tidak mungkin
bergerak leluasa dengan kain
selendang yang ketat melilit
tubuhnya. Lebih parah lagi,
dadanya telanjang terbuka. Ia
sangat malu, sebaliknya juga
sangat marah. Tetapi ia harus
berpikir dua kali untuk beradu
fisik dengan makhluk yang
memiliki kekuatan fisik luar
biasa itu. Makhluk gunung itu
tak bisa dianggap remeh.
Beberapa pukulan yang lebih
terarah mungkin dapat
melumpuhkannya. Tetapi untuk
itu, Farida harus menanggalkan
kembennya agar bisa bergerak
dengan bebas. Suatu pikiran
yang sungguh tak masuk di akal
untuk dilakukannya di depan
makhluk yang sudah nekat itu.
Farida mengelak ke samping
waktu si muka tikus menerjang
dengan dahsyat. Makhluk itu
terempas di atas dipan. Tetapi ia
berguling lagi dengan sangat
cepat dan bersiap-siap untuk
memulai serangan berikutnya.
Namun, serangan berikut itu
tidak mungkin lagi terlaksana.
Farida sudah menghadang.
Dengan sebelah tangan
menutupi payudaranya, tangan
Farida yang lain sudah
menggenggam kapak besi yang
disambarnya dari dinding
gubuk.
"Aku tak ingin membunuhmu.
Tetapi kalau kau memaksa, apa
boleh buat!" desis Farida,
mengancam.
Sambil mengancam, ia maju
dengan kapak diayunayunkan ke
depan, membuat si muka tikus
mundur dan terus mundur.
Farida maju sedemikian rupa
sehingga gerak mundur si muka
tikus mengarah ke pintu. Dan
begitu si muka tikus sudah
berada di dekat pintu, Farida
mengultimatum.
"Keluar! Atau, kuhunjamkan
kapak ini ke kepalamu yang
buruk menjijikkan itu!"
Dengan lengking mencicit dan
menyayat, makhluk malang itu
merenggut pintu sampai terbuka
lantas menghambur dengan
cepat ke luar. Secepat kilat pula
Farida menutupkan pintu
kembali. Palangnya telah patah,
karena sebelumnya telah
didobrak oleh si muka tikus saat
mendengar jerit Farida yang
ketakutan melihat bayi manusia
berubah menjadi seekor tikus
yang mengerikan.
Begitu pintu tertutup, Farida
bersandar di daun pintu dengan
sekujur tubuh lemas.
Di luar sana terdengar suara
mencicit-cicit berke
panjangan dari si muka tikus
yang sesekali menggeram buas.
Tak ada yang dapat
menghalanginya kalau makhluk
itu bermaksud menyerbu lagi
dengan mendobrak pintu, karena
palangnya telah patah. Di kamar
itu hanya ada meja kayu kecil.
kursi rotan, dan dipan kecil.
Semua itu tidak mungkin mampu
menghalangi serbuan dari luar,
walaupun ditumpukkan di
belakang pintu.
Farida juga tidak mau terkurung
terus di dalam.
Ia harus melakukan sesuatu.
Dan yang paling mungkin
adalah bahwa ia sendiri yang
harus menyerbu ke luar sana
selagi hari masih siang. Bila
hari sudah malam, bukan si
muka tikus saja yang akan
dihadapinya. Tetapi juga
ratusan ekor tikus besar yang
pernah ia lihat menggerogoti
daging dan tulang-tulang
seorang bayi manusia sampai
habis. Kalaupun ia mampu lolos,
ke arah mana ia harus lari di
tengah kegelapan malam, di
dalam hutan belantara pula"
Yakin bahwa si muka tikus di
luar sana pasti sedang
memulihkan tenaga dari azab
sengsara akibat pukulan pada
tengkuk dan terjangan pada
selangkangannya, Farida
meninggalkan pintu yang
dibiarkan tanpa terhalang apa
pun juga. Ia segera mencari-cari
dan akhirnya menemukan blus
kaus serta celana pendek
miliknya sendiri. Kainnya
dilepas, lalu ia mengenakan blus
dan celana pendek tersebut.
Kedua potong benda itu sudah
tak keruan bentuk
nya, dan bagian-bagian yang
robek justru membuatnya tetap
dalam keadaan setengah
telanjang.
Tetapi dengan blus dan celana
pendek itu, ia bisa bergerak
bebas.
Apalagi, dengan sebuah kapak
besi di tangan.
Di lembah jauh di bawah sana,
suasana hening menyelimuti
alun-alun desa begitu rantai besi
yang panjang selesai
diborgolkan ke sepasang lengan
yang gemetaran menahan
amarah.
Ismed Effendi menghela napas
panjang dan lega setelah
mengetahui bukan lengannya
yang diborgol. Entah mengapa,
timbul rasa ibanya pada Supardi
yang berdiri gemetar dengan
wajah pucat di sebelahnya.
Tukang kayu itu memandangi
rantai besi yang terjuntai-juntai
di antara kedua kakinya yang
mengangkang. Seakan tak
percaya dengan penglihatannya.
Supardi mengangkat kedua
lengannya dengan susah payah.
Seketika itu juga, rantai besi itu
memperdengarkan bunyi
bergemerencing yang
mendirikan bulu roma.
"Supardi!" Pak Lurah berseru
lantang.
Supardi mengangkat mukanya.
Juga lsmed dan semua penduduk
desa yang memenuhi alun-alun.
Mereka menatap serempak ke
arah Pak Lurah yang berdiri di
depan sana dengan wajahnya
yang gundah.
Pak Lurah berujar hambar,
"Subuh tadi. Pak Tonggo telah
dihukum tembak oleh Belanda."
Terdengar seruan dan gumaman
kaget campur prihatin di
sana-sini.
Pak Lurah mengangkat
tangannya, menyuruh diam. lalu
melanjutkan. "Tetapi sebelum ia
menjalani hukuman matinya,
Pak Tonggo sempat berbicara
denganku. Katanya, ia berhasil
memancing keterangan dari
orang-orang Belanda tentang
bagaimana cara mereka berhasil
membunuh Eyang Darso, serta
siapa orang yang telah
membuka rahasia ilmu kebal
Eyang Darso. Rahasia itu hanya
aku dan Pak Tonggo saja yang
tahu. Eyang Darso sendiri
sangat hati-hati, jadi mustahil ia
menceritakannya pada orang
lain, kecuali tanpa sebab. Dan
kau, Supardi. Kau telah
pura-pura berguru kebathinan
pada Eyang Darso. Selama
enam bulan kau jadi muridnya.
dengan berbagai cara akhirnya
kau dapat mengorek rahasia itu
dari mulut Eyang Darso yang
terlanjur menganggap kau
sebagai murid terpercaya.
Begitulah yang terjadi, Supardi.
Ketika serdadu Belanda
menyerbu desa Taraju dan
berhasil menangkap Eyang
Darso yang menyusup ke desa
itu untuk mem
bantu para pejuang kita di sana,
mereka langsung merampas
kerisnya. Salah seorang serdadu
itu kemudian mengencingi ujung
keris Eyang Darso lalu
menghujamkan keris yang
dibasahi air kencing itu ke
jantung dukun yang sama-sama
kita segani dan hormati itu. Kau
yang memberitahukan rahasia
itu pada Belanda. Supardi! Kau
pula yang menunjukkan
siapa-siapa di antara kita yang
pernah ikut menyerbu tangsi dan
gudang amunisi Belanda di
Pandeglang. Jadi terpupuslah
keherananku selama ini,
mengapa serdadu Belanda yang
mendatangi desa kita langsung
menangkap dan menembak mati
orang-orang tertentu..."
Belum habis Pak Lurah
berbicara. suasana seketika
berubah ribut. Beberapa orang
penduduk di sekeliling Supardi
bergerak maju lalu mulai
memukulinya, meludahi, dan
mencaci makinya. Sebilah golok
hampir saja menebas leher
Supardi ketika Pak Lurah
berseru, "Tahan!" Penduduk
ribut memprotes, tetapi Pak
Lurah tetap memerintahkan agar
mereka semua diam di tempat
masing-masing dan jangan
melakukan apa pun tanpa
seizinnya.
"Aku tak ingin menumpahkan
darah salah seorang dari kita
lagi. Meski dia itu pengkhianat!"
tegas Pak Lurah setelah
keadaan tenang kembali. "Lagi
pula, setelah kusimak dan
kupelajari, aku lantas sadar.
Orang-orang yang dicelakakan
oleh Supardi, semuanya adalah
orang-orang yang pernah ikut
bersama
rombongan Eyang Darso dan
Pak Tonggo yang pergi
meringkus si perempuan sihir
bernama Sukaesih itu?" Pak
Lurah diam sebentar, tampak
letih dan kehilangan semangat.
"Mengapa, Supardi?"
Supardi diam, tak menjawab.
Orang-orang kembali
berteriak-teriak, kembali
mendekatinya, tetapi Pak Lurah
menahan mereka dengan
bentakan marah. Kepada
Supardi, ia berkata pelan tetapi
cukup jelas untuk didengar
semua orang.
"Semua itu kau perbuat karena
cinta kasihmu pada Sukaesih,
bukan" Ya. ya. Siapa pula yang
tidak tergilagila dan tidak
berbuat khianat kalau sudah
dipengaruhi sihir jahat si
Sukaesih?"
Pak Lurah lalu menarik napas
panjang.
Kalimat terakhir itu. pikir Ismed
Effendi dalam hati. agaknya
ditujukan oleh Pak Lurah untuk
dirinya sendiri. Ia juga telah
berbuat khianat setelah ia
tergilagila pada Sukaesih. la
sampai mengorbankan anaknya.
Suminda. Mestinya, sekaranglah
saat yang tepat dan pas buat
Supardi untuk membuka kedok
Pak Lurah.
Pikiran itu baru saja tercetus di
benak Ismed manakala Supardi
mendadak bergumam dengan
suara rendah.
"Kau, pencuri bayi. Kau akan
dihukum Sukaesih untuk
perbuatanmu memperhinakan
aku serendah ini!"
"Apa kau bilang, Supardi?" Pak
Lurah bertanya lantang.
Supardi menjawab sama
lantangnya. "Kau pencuri bayi!
Kau akan dilaknat Sukaesih!
Terkutuklah engkau, Pak Lurah.
Tunggulah pembalasan
Sukaesih!"
Sambil berteriak-teriak histeris,
Supardi bergerak mundur
menyeruak kerumunan orang di
belakangnya. Mereka pun entah
mengapa diam-diam memberi
jalan padanya. Supardi
kemudian melarikan diri ke
dalam hutan. menyeret rantai
besi panjang yang
bergemerencing seram
sepanjang pelariannya.
Kebanyakan penduduk ikut
memperhatikan ke arah mana
Supardi lari. Sebagian
menunduk diam dan sebagian
lain saling berbantah apakah
akan membiarkan Supardi lari
begitu saja, atau mengejar dan
membunuhnya. Hanya Ismed
seorang yang memandang ke
satu jurusan, yakni ke tempat
Pak Lurah berdiri.
Wajah orang tua itu tampak
pucat, terlebih-lebih setelah
saling beradu tatap dengan mata
Ismed. Orang tua itu berpaling
dengan enggan, lantas tertegun.
lsmed menggeser pandangannya
lalu menyadari ada orang lain
yang melakukan hal sama. ingin
melihat reaksi Pak Lurah atas
teriakan-teriakan Supardi tadi.
Dan orang itu, tak lain tak
bukan adalah Selasih.
Ketika suasana mulai kacau
setelah Supardi lenyap ditelan
kegelapan hutan, Pak Lurah
kembali menyuruh semua orang
diam.
"Jangan kalian pikirkan atau
pertengkarkan lagi si Supardi.
Pikirkanlah nasib kalian dan
keluarga kalian
sendiri. Aku khawatir Belanda
sedang dalam perjalanan untuk
menghancurkan desa kita ini.
Bergegaslah! Kemasi apa saja
yang dapat kalian bawa dan
segeralah berangkat ke lereng
gunung itu!"
Sebagian besar penduduk bubar
untuk mematuhi perintah Pak
Lurah. Yang lain masih ribut
berdebat, sampai salah seorang
maju ke depan dan bertanya
pada Pak Lurah.
"Mengapa si tukang kayu itu
hanya dihukum rantai, Pak
Lurah" Bukankah utang darah
harus dibayar dengan darah
pula?"
Yang ditanya. menatap lurus ke
mata si penanya. Kemudian
menjawab dengan suara dingin.
"Rantai besi itu akan
membuatnya hidup sengsara. la
atau siapa pun tak dapat
melepaskan rantai itu, karena
aku telah memberi ajianku pada
borgolnya. Ia akan tetap terantai
sepanjang hayatnya. Apakah itu
belum cukup?"
Mereka yang penasaran
semuanya memperlihatkan
wajah puas, kemudian bubar
untuk berkemas mengungsi ke
lereng gunung bersama keluarga
masingmasing. Ismed masih
tetap di tempatnya semula. Dan
dengan perasaan khawatir, ia
juga mengetahui bahwa Selasih
lagi-lagi melakukan hal yang
sama. Di antara tatapan mereka
berdua, Pak Lurah tegak diam.
Orang tua itu tidak
mempedulikan pandangan mata
ingin tahu dari Ismed maupun
Selasih. la justru tengadah,
menatap ke langit lepas.
Ismea secara perlahan iKut
menatap.
Dan, ia tercengang.
Matahari yang tadinya bersinar
terang cemerlang. mendadak
redup. Bergumpal-gumpal awan
kelam dan hitam yang entah dari
mana datangnya, dalam sekejap
telah menggelapkan alun-alun
desa. Angin yang bertiup pun
mula-mula pelan, tapi kemudian
kencang dan semakin kencang.
Cuaca yang tadinya panas
menggigit, mendadak dingin
menusuk tulang".

***

TAMPAK cemas oleh perubahan


cuaca yang ganjil itu, Pak Lurah
menggumamkan sesuatu pada
Selasih yang segera berlalu
tanpa menoleh lagi. Ia berjalan
setengah berlari. menempuh
arah yang diduga Ismed pasti ke
rumahnya sendiri. Apakah ia
juga akan segera mengungsi"
Lalu mengapa ia tidak mengajak
Ismed serta" Mengajak" Bah,
melirik pun tidak. Seolah Ismed
tak lebih dari tunggul kayu
belaka.
"Aku mau bicara sebentar
dengan engkau, anak muda!"
Suara Pak Lurah yang keras
mengatasi tiupan angin agak
mengejutkan Ismed. Ia kemudian
berjalan mengikuti Pak Lurah
yang sudah lebih dulu
melangkah tersuruk-suruk ke
dalam balai desa.
Setelah pintu dan jendela ditutup
rapat-rapat oleh Pak Lurah,
suara ingat-bingar di luar balai
desa tinggal samar-samar
belaka. Namun atau di atas
mereka terdengar
berderak-derak, seolah
dibongkar oleh tangan-tangan
gaib. Kemudian sesuatu
berdebum dengan keras di luar
sana. Ismed mengintip lewat
celah-celah kisi kayu jendela
dan terkejut melihat sebatang
pohon besar telah terbongkar
dari dalam tanah, dan pohon itu
tumbang tepat di tempat Pak
Lurah sebelumnya berdiri!
Pak Lurah yang berdiri diam di
sebelahnya mengeluarkan napas
panjang dan tersendat. Ia tidak
berkomentar mengenai arah
tumbangnya pohon itu. Yang ia
komentari adalah kepanikan
sebagian penduduk yang masih
berkemas dan tampak
berlari-larian kian kemari untuk
mencari perlindungan.
"Mereka itu," katanya dengan
suara lirih, "panik oleh
bayangan mereka sendiri. Tetapi
aku yakin, mereka akan segera
pergi dengan selamat. Karena
yang dituju oleh kekuatan jahat
itu bukan mereka. Melainkan
aku seorang."
"Kekuatan jahat?" tanya lsmed.
tercengang.
"Bukankah kau sudah dengar
apa yang tadi diumpatkan si
tukang kayu?" sahut Pak Lurah
tersenyum miris. "Kukira,
umpatan dan sumpah
serapahnya akan segera menjadi
kenyataan."
"Tetapi. . . "
"Diamlah, anak muda! Dan
simak baik-baik apa yang ingin
kuutarakan padamu." Pak Lurah
menukas seraya
mengamat-amati Ismed dari
ujung rambut sampai ke ujung
kaki. Senyumnya lebih polos
ketika
ia berujar lembut, "Betapa
longgarnya baju dan celana
suami Selasih di tubuhmu.
Kuharap saja sisa-sisa
pakaianmu yang asli masih
dapat dipakai."
"Maksud Bapak?"
"Kau harus mengenakan apa
yang pernah kau bawa ke desa
ini, anak muda," jawab Pak
Lurah dengan wajah serius.
"Setelah itu, kau harus pergi.
Dan sebaiknya kau pergi ke arah
dari mana engkau pernah
datang!"
"Aku tak mengerti."
"Memang sukar untuk
dimengerti, anak muda. Tetapi
untuk orang-orang berusia
lanjut macam aku dan yang
hidup di dunia jaman ini...," ujar
Pak Lurah dengan suara penuh
penekanan pada kata demi
sembari menatap lurus-lurus ke
mata lsmed, "kami dapat
mengerti. Meski agak terlambat.
Aku baru memahaminya setelah
Selasih bercerita panjang
lebar."
"Dan. apa yang diceritakannya"
Tentang usahanya
menyelamatkan aku. hingga ia
merelakan dirinya diperkosa
salah seorang serdadu Belanda
itu?" tanya lsmed hambar.
"Ah... itu juga suatu sebab
mengapa kau harus pergi. anak
muda."
"Sebab?" ulang lsmed.
"Kau harus memilih."
"Pilihannya?"
"Ini kebiasaan leluhur yang
turun-temurun selama beberapa
generasi, anak muda. Dengan
apa yang telah
dilakukan Selasih demi
keselamatanmu, maka kau harus
menentukan sikap tegas.
Pertama. kau harus
mengembalikan nama baiknya
dengan menikahi dia sekarang
juga."
"Ah...," Ismed terjengah. Kaget
dan bingung. "Pilihan kedua?"
"Nama baiknya tetap akan
terjaga. Tetapi sebaliknya.
semua orang di desa ini akan
menjauhimu dan menganggap
kau manusia rendah dan paling
tidak bertanggung jawab yang
pernah mereka temui!"
Ismed terkejut. Menelan ludah
dengan wajah pucat.
"Me" mengapa?" tanyanya,
tergagap.
"Karena, Nak... Pilihan kedua
adalah lupakan bahwa kau
pernah bertemu dia dan
enyahlah sejauh engkau dapat
pergi."
lsmed terdiam seribu bahasa.
Pak Lurah menepuk pundaknya
lembut dan berkata menghibur.
"Tak usah cemas. Selasih dapat
memahami kalau pilihanmu
adalah yang kedua. la
memahaminya dan bersedia
memaafkanmu setelah tadi kami
berbincangbincang tentang
engkau."
"Bapak membuatku bingung,"
desah Ismed, jujur.
"Tentu saja. Karena aku pun
sempat dibuat bingung setelah
mendengar penuturan Selasih
secara lengkap sejak semula
pertama ia melihatmu dan
mendengar tentang engkau dari
kepala desa suku dalam."
"Suku dalam?"
"Benar. anak muda. Suku dalam.
Yakni, mereka yang menempati
serta hidup menyendiri di dalam
hutan larangan yang kau
masuki, sebelum kau tiba di desa
ini."
Atap balai desa kembali
berdetak. Sebagian malah
terlepas, kemudian melayang
ditiup angin kencang yang saat
berikutnya telah menerobos
masuk ke dalam. Ismed
menggigil. Karena hawa dingin
yang tibatiba menyerang
tubuhnya dan juga karena apa
yang dituturkan oleh Pak Lurah
barusan.
Angin bertiup masuk semakin
kencang tatkala pintu dibuka
oleh seseorang dari luar. Orang
itu berusaha menutupkannya
kembali, tetapi gagal. la terlalu
lemas untuk menahan empasan
angin sehingga terpaksa mundur
menjauhi ambang pintu yang
tibatiba copot engselnya satu
demi satu, kemudian
terhumbalang ke lantai. Pecah
berderai.
Yang masuk itu. Selasih. Dengan
sebuah bungkusan di tangannya
yang sempat terlepas ketika
diulurkan ke tangan Pak Lurah.
Dengan cepat Pak Lurah
menyambar bungkusan yang
hampir melesat tertiup angin
yang mulai menghantam kursi,
meja, dan segala macam
perabotan maupun arsip-arsip
yang ada di ruangan dalam
balai desa.
"Perubahan cuaca ini, Pak
Lurah," kata Selasih
terburu-buru, "mengingatkan
aku pada suatu ketika..."
"Ya. ya. Aku tahu," tukas Pak
Lurah.
Lalu ia memeriksa isi bungkusan
dari Selasih. Bungkusan itu
berisi pakaian milik Ismed,
tepatnya sisa-sisa pakaian yang
sudah setengah hancur. Setelah
memperhatikannya sekilas, Pak
Lurah menyerahkannya ke
tangan Ismed dan berkata
sekeras-kerasnya untuk
mengatasi suara ingat-bingar
oleh bunyi benda-benda yang
porak poranda. Kusen-kusen
penyangga atap balai desa tak
hanya berderak-derak. tetapi
juga mulai terayun-ayun
mengerikan.
"Pakailah ini kembali, anak
muda! Dan kau, Selasih.
Bawalah ia pergi dari sini.
Cepat!"
"Dan Bapak?" tanya Selasih.
khawatir.
"Jangan pikirkan aku.
Barangkali sudah waktunya?"
Tahu-tahu, tubuhnya terangkat
dari lantai. Kedua tangannya
terkembang. begitu pula kedua
belah kakinya. Tubuhnya
terayun-ayun di antara lantai
dan atap sampai kemudian
terempas membentur tiang
utama penyangga atap. Tetapi
bukannya jatuh. tubuh orang tua
itu justu menempel. seolah ada
yang memakunya dengan kuat.
Anehnya. tiupan angin badai
yang luar biasa itu hanya
mengempaskan tubuhnya
seorang.
Adapun Selasih dan Ismed.
meskipun terkena sambaran
angin, namun tak terlalu kuat
dan hanya membuat mereka
limbung beberapa saat sambil
mencari pegangan.
Selasih menggapai tangan Ismed
dan berusaha menariknya ke
pintu lain di ruangan itu untuk
menyelamatkan diri ke luar.
Baru beberapa langkah, mereka
dikejutkan oleh bisikan tajam
yang aneh. Disusul daun jendela
copot dari kusen, pecah
berantakan dan
pecahan-pecahan itu melejit
bagaikan panah yang dilepaskan
dari busurnya. Beberapa bilah
pecahan kayu kering berujung
runcing itu tahu-tahu telah
menghunjam ke beberapa
bagian tubuh Pak Lurah. dan
benar-benar memakunya ke
balok utama di tengah ruangan
balai desa!
Selasih menjerit-jerit ngeri,
sementara Ismed terkesiap
melihat darah menyembur dari
bagian tubuh Pak Lurah yang
terkena hunjaman pecahan kayu.
Wajah Pak Lurah menyeringai
menahan sakit. Namun ia masih
sempat berseru, "Kalian jangan
berhenti... pergilah cepat.
sebelum terlambat!"
"Tidak!" bantah Ismed, tak tega
melihat keadaan Pak Lurah. Ia
berusaha melepaskan pegangan
Selasih dan mendekat ke balok
penyangga atap. "Aku tak
akan..."
"Pergi! Manusia bodoh.
Kubilang. pergi!"
Dan. satu teriakan menyentak
dan menyayat hati lepas dari
mulut Pak Lurah ketika salah
satu kusen atap dekat pintu
terayun patah. dan ujungnya
yang panjang mengayun pula ke
depan, lalu menghunjam dengan
buasnya di dada Pak Lurah.
Terdengar suara berdetak keras
manakala ujung kusen itu
beradu
balok penyangga setelah
menembus punggung Pak Lurah.
Balok besar dan kokoh itu,
bergetar hebat.
Angin keras bertiup
membabibuta di dalam ruangan.
Dan, kali ini mengempas dan
mendorong Ismed demikian
kuatnya. Bersama Sukaesih yang
terus merangkulnya erat. tubuh
Ismed terhumbalang di lantai
dan terpental lewat ambang
pintu di seberang ruangan.
Tetap berusaha melindungi
Selasih, Ismed berjumpalitan
untuk menghindari cedera fatal.
Setelah itu, ia kemudian bangkit
seraya menyeret tubuh Selasih.
"Jangan ke situ?" larang Selasih
ketika Ismed akan berlari ke
arah selatan. "Kita ambil jalan
utara. Ayo!"
Mereka terus berlari tanpa
menghiraukan apa pun. Hingga
mereka kemudian menyadari
ada sesesuatu yang aneh.
Tahu-tahu saja mereka telah
berada di tempat terbuka
dengan panas matahari
menggigit ubun-ubun. Angin
masih terasa bertiup. Tetapi
begitu pelan dan terasa kering
menggerahkan.
Rupanya mereka tengah
mendaki sebuah bukit. Kaget
dengan perubahan cuaca itu.
mereka berdiri tertegun. Saling
memandang. Lalu serempak
mereka berpaling. Menatap
alun-alun desa di kejauhan.
Gumpalan-gumpalan awan
hitam yang pekat tampak
bergerak saling menyatu,
kemudian bergulung-gulung
mengerikan membentuk
lingkaran yang kian turun ke
bawah kian mengecil.
Dan ketika apa yang mereka
sangka awan hitam itu mengenai
balai desa. seketika bangunan
itu hancur porak poranda. lebur
rata dengan tanah. Tinggal tiang
utamanya yang masih tegak
berdiri. Balok besar yang kokoh
itu seakan tak tergoyahkan. Dan
di bagian tengahnya... tubuh Pak
Lurah terpaku pasak kayu,
setengah bergantung.
Selasih terisak.
"Sebenarnya ia orang yang
baik." ratap Selasih. "Ia tidak
bermaksud jahat ketika mencuri
bayi si perempuan sihir."
Ismed membuka mulut untuk
bertanya. Tetapi Selasih sudah
menarik tangannya.
"Ayolah. kita harus bergegas.
Sambil berjalan akan
kuceritakan. Oh ya, sebaiknya
kau ganti pakaianmu dulu. Di
sana..."
Malu juga Ismed mengenakan
kembali pakaiannya yang sudah
robek-robek. Tetapi karena
Selasih tampaknya abai, ia pun
tak mengacuhkannya pula.
Sebelum mencapai jembatan
penyeberangan menuju tempat
kediaman orang-orang suku
dalam, Ismed telah dapat
menangkap garis besar apa
yang diceritakan Selasih.
Suatu hari sekitar setahun yang
lalu, ke rumah Selasih muncul
Pak Lurah dengan sesosok bayi
perempuan yang mungil dan
cantik. Bayi itu ia akui sebagai
anaknya sendiri yang terlahir
dari rahim Sukaesih, si
perempuan sihir. Setelah
berbicara Singkat. akhirnya
Selasih bersedia mendampingi
Pak
Lurah pergi ke desa Menes, ke
tempat seorang ajengan
terkemuka yang masih ada
pertalian saudara dengan
Selasih.
"Pak Lurah ingin anaknya
terbebas dari pengaruh roh
jahat nenek moyang dari sang
ibu. Sebab. bayi itu memiliki
tanda adanya kekuatan gaib
yang mengalir dalam darahnya.
Apabila salah mempergunakan.
akan dipengaruhi oleh kekuatan
roh-roh jahat nenek
moyangnya," demikian kata
Selasih. "Dan hanya kerabatku
yang ajengan itulah yang dapat
melakukannya. Bayi itu
diharapkan tumbuh besar dan
hidup dengan wajar,
sebagaimana manusia-manusia
normal lainnya. Bayi itu. oleh
ajengan diberi penangkal. Ciri
yang juga akan dimiliki secara
merata oleh setiap keturunannya
kelak di kemudian hari."
Sambil terus berjalan. Selasih
melanjutkan ceritanya.
Penangkal ilmu gaib yang
sekaligus menjadi ciri itu berupa
lingkaran putih seperti panu di
kulit paha kiri dan kanan
sebelah dalam.
Setelah upacara pembebasan
pengaruh gaib pada bayi itu
selesai, semula Pak Lurah akan
membawanya pulang ke
kampung dan dirawatnya
sendiri. Tetapi setelah
mendengar kabar bahwa
Sukaesih, ibu si bayi lenyap dari
tiang pembakaran, niat itu
diurungkan Pak Lurah. Ia
titipkan bayi itu pada ajengan,
kemudian pulang bersama
Selasih ke kampung.
Apa mau dikata. Sehari setelah
Menes mereka
tinggalkan, desa itu diserbu oleh
Belanda. Karena keadaan
kacau, keberadaan bayi itu
terlupakan. Sementara sang
ajengan pergi mengungsi
bersama keluarganya. Setelah
Menes ditinggalkan oleh
pasukan Belanda, ajengan
beserta keluarganya kembali
dan menemukan rumah mereka
sudah hancur. Tetapi
bagaimanapun mereka mencari.
keberadaan bayi Pak Lurah
tidak pernah lagi mereka
temukan. Salah seorang
tetangga memberitahu bahwa
jerit tangis bayi itu telah
menarik perhatian. Seseorang
kemudian mengambilnya dan
membawanya pergi mengungsi.
Tapi orang itu tak pernah lagi
pulang ke Menes. Tldak
diketahui ke mana perginya.
Entah masih hidup atau sudah
mati.
"Pak Lurah terus berkelana
mencari bayinya yang hilang,"
gumam Selasih, lirih. "Dalam
pengelanaan yang sia-sia itulah
konon Pak Lurah memperdalam
ilmu. Dari beberapa orang
pintar, ia ketahui bahwa roh
Sukaesih ikut pula berkelana
mencari anaknya. Ia juga
mendengar. roh Sukaesih hanya
dapat mati oleh tangan
keturunannya sendiri. Suatu
hukuman mengerikan untuk para
penganut ilmu gaib yang
menempuh jalan sesat...."
Selasih menghela napas
panjang, kemudian menunjuk ke
depan. "ltu titiannya. Ayo kita
menyeberang."
Belum juga mencapai tepian
sungai, hawa dingin melesat di
samping tubuh lsmed.
Rasanya, ada sesuatu yang
menyentuh dan me
lewati tubuhnya. Ia berpaling
takjub dan heran waktu
menyadari bahwa Selasih
berjalan lebih dulu beberapa
langkah di depan, tak mungkin
perempuan menyentuhnya.
Keheranan Ismed
bertambah-tambah tatkala ia
lihat adanya bayang-bayang
samar yang menyerupai sosok
tubuh manusia tahu-tahu sudah
berjalan di samping tubuh
Selasih, tanpa perempuan itu
menyadarinya.
Bayangan yang samar dan
keputih putihan itu terus saja
berlalu dengan cepat, seperti
melayang di permukaan tanah.
Dan tahu-tahu, sudah berada di
seberang sungai. Terlindung di
bawah keteduhan pepohonan
berdaun rimbun, bayangan itu
semakin jelas bentuknya.
Ismed terbelalak, ketika
samar-samar ia mengenali
wujud perempuan yang dari
seberang sungai melempar
senyum misterius ke arah
mereka.
"lda!" bisik Ismed, tercekat.
"Apa?" Selasih membalikkan
tubuh, tercengang. "Rasanya
kudengar kau menyebut nama?"
"Ida. Aku melihatnya" bisik
Ismed lagi, lantas berlari
mendahului Selasih menuju ke
titian bambu.
Melihat cara Ismed berlari
tergopoh-gopoh, Selasih terkejut
dan berseru cemas,
"Awas, Ismed. Nanti kau
terperosok lagi."
Tetapi Ismed terus saja berlari.
Titian bambu itu terayun-ayun
keras ketika dilewati Ismed yang
sesekali kelihatan limbung.
Namun
ajaib, Ismed dapat menyeberang
dengan selamat, meski sekali
waktu tampak ia bagaikan
melayang akan jatuh ke dalam
sungai di bawahnya. Begitu tiba
di seberang, Ismed terus saja
memburu ke arah bayangan
pepohonan. Sambil berlari, ia
terus memanggilmanggil nama
Farida, memohon-mohon agar
Farida jangan pergi dan mau
menunggunya.
Makin lama suara Ismed makin
hilang, bersamaan dengan
lenyapnya tubuh Ismed di antara
rimba pepohonan yang semakin
ke dalam kian rapat dan kian
gelap.

***

Di bagian lain hutan itu. Farida


juga berlari dan terus saja
berlari.
Ia telah nekat keluar dan
meninggalkan gubuk. Selagi si
muka tikus bertanya-tanya apa
yang bakal terjadi, Farida sudah
melesat menuruni tebing dan
menyelinap masuk hutan. Di
belakangnya, ia dengar suara
menggeram mencicit, yang kian
lama kian menjauh. Suatu saat,
ia sempat berpaling ke belakang
dan melihat si muka tikus
tertinggal jauh kemudian lenyap
di balik pepohonan.
Mula-mula Farida masih dapat
mengikuti jalan setapak, tetapi
setelah semakin jauh memasuki
hutan maka jalan setapak itu
menghilang. Farida tak peduli.
Ia terus saja berlari, meski
sesekali tersangkut semak
belukar atau ranting-ranting
pohon yang menghalangi
jalannya. Kapak besi itu
ternyata sangat berguna. Ia
terus menerobos hutan, dengan
ganas merambah setiap
penghalang. Ia harus segera tiba
di desa yang pernah dilihatnya
dari lereng gunung. Ia harus
bertemu penduduk di sana atau
siapa pun yang dapat
menolongnya keluar dari hutan
belantara yang menakutkan ini.
sena melepaskannya dari
rongrongan si muka tikus yang
tidak kalah menyeramkan.
Tetapi semakin ke dalam,
semakin hilang arah yang ingin
ditempuh Farida. Dedaunan
pohon di sekitarnya teramat
rimbun, hampir-hampir tak
tembus matahari. Padahal,
hanya dengan bayang-bayang
matahari itu ia dapat
menentukan arah. Beberapa kali
ia tersesat dalam kegelapan
hutan yang sangat
membingungkan dan beberapa
kali pula ia harus kembali ke
arah semula karena terjebak di
depan jurang-jurang menganga.
Suatu saat, ia melihat lapangan
rumput terbuka. Hanya sebidang
kecil, namun yang sedikit itu
tampak terang benderang
bermandi cahaya matahari.
Farida segera menyelinap dari
bayangan pepohonan, dan
bermaksud memasuki lapangan
rumput itu manakala terdengar
suara gemerisik di sebelah
kirinya.
Farida menoleh, terperanjat!
Mulanya ia tidak melihat
apa-apa. Namun setelah
pandangannya digerakkan lebih
ke atas, tampaklah sosok si
muka tikus berjongkok santai di
puncak sebuah batu raksasa
yang menjulang di antara
pepohonan.
Manusna berkepala tikus itu
menyeringai.
Taring-taringnya yang tajam
berkilauan di terpa cahaya
matahari. Sepasang matanya
yang kecil merah semerah
darah. berbinar-binar
mengawasi Farida yang seketika
menjadi gugup. Farida terpekik
waktu makhluk itu menggeram.
Buas. Kepala tikusnya
ditelengkan ke kiri. entah
mengapa. Namun wajahnya
yang buruk itu kembali tegak
manakala Farida siapsiap untuk
berlari. Makhluk itu segera
mengubah posisi. Sikapnya
seperti akan menerkam.
Di bawahnya, Farida yang
merasa terperangkap secara
refleks segera memasang
kuda-kuda. Meski ketakutan. kali
ini Farida lebih percaya diri. Ia
sangat letih setelah pelarian
yang melelahkan dan
menimbulkan luka-luka gores di
wajah dan lengannya. Sedang
telapak kakinya mulai lecet.
Paling tidak, dengan pakaiannya
yang serba ringkas ia dapat
membela diri dengan berbagai
jurus karate yang sudah ia
dalami. Namun sadar bahwa ia
menghadapi musuh paling ganjil
dan paling menakutkan yang
pernah ia temui, ia tetap
memegang kapaknya erat-erat.
Farida memberanikan diri.
Berkata mengancam, "Ayo.
Turunlah. Aku tak ingin
membunuhmu. Tapi kalau kau
memaksa..."
Belum habis ucapan Farida, si
muka tikus telah melayang turun
dari puncak batu raksasa itu.
Kedua lengannya mengembang
dengan jari-jarinya membentuk
cengkeraman berbau kematian.
Tiba di tanah.
si muka tikus tegak dengan
angkuhnya. Moncongnya
terbuka, mengeluarkan suara
mencicit lemah, seakan mengiba
dan berharap agar Farida tidak
memaksanya berlaku keras.
Farida segera menjawabnya
dengan seruan.
"Enyahlah. Biarkan aku pergi.
Kumohon!"
Mendengar ucapan Farida,
makhluk itu menggeram. la
menerjang. Farida berkelit dan
berusaha mengayunkan kapak di
tangannya. Malang. ayunannya
terlalu tinggi dan ia tidak
melihat ada cabang kayu di atas
kepalanya. Kapak itu membentur
cabang dengan keras dan
terlontar lepas dari tangannya.
Si muka tikus seperti halnya juga
Farida, ingin berkelahi
habis-habisan. Makhluk itu
langsung menyerbu ke depan
dengan kedua lengan terpentang
bagaikan seorang pegulat.
Farida membungkukkan tubuh,
bertahan dengan satu kaki di
tanah sementara kaki lainnya
melayang ke perut si muka tikus.
Tanpa menurunkan kakinya itu,
ia menendang lagi
berulang-ulang mengenai
bagian-bagian lainnya. Si muka
tikus mencicit nyaring. bertahan
dengan kebuasannya. Tak
ubahnya sebuah buldoser, ia
kembali menyerbu dan berhasil
menangkap pinggang Farida
manakala perempuan itu tengah
mengganti posisi.
Mereka jatuh berguling di
permukaan tanah yang lembap
dan licin karena humus yang
padat. Sial buat Farida. Si
makhluk tikus lebih
berpengalaman dengan hutan
tempatnya hidup selama ini.
Ketika melihat
ancaman bibir jurang yang
tersembunyi di balik semak
belukar, si muka tikus secara
refleks menyambar batang
pohon terdekat dengan sebelah
tangannya. Sebelah tangan yang
lain tetap memeluk pinggang
Farida, membetot dengan kuat.
Farida menggeliat, lalu tiba-tiba
terdiam. la merasakan pundak
dan kepalanya mengapung di
tempat kosong. Waktu ia
menoleh, Farida membelalak
ngeri. Di bawah sana, bebatuan
padas memenuhi sisi sebuah
jurang yang berakhir di tepian
sungai. Telinganya menangkap
suara arus sungai yang meluap
menghantam batubatuan,
bersorak-sorai mengejek.
Mengetahui dirinya dalam posisi
sebagai pemenang. si muka tikus
perlahan-lahan melepaskan
tangannya dari batang pohon,
lalu bekerjasama dengan tangan
lainnya ia raup tubuh Farida
yang terkulai lemas saking ngeri
dan gamang oleh pemandangan
menyeramkan di bawah
kepalanya. Diseretnya tubuh
Farida yang terkulai lemas itu
menjauhi bibir jurang. Lalu
tanpa belas kasihan, ia
mengimpit tubuh Farida dengan
kejam. Tangannya meraba-raba
blus. berusaha menanggalkan
pakaian bagian atas yang
menutupi tubuh mulus yang ia
sangat dambakan.
Farida mengeluh dan memohon,
berusaha mengembalikan
kesadarannya yang seakan
berontak ingin pergi.
Lalu tiba-tiba ia dengar suara
gcmerencing yang aneh.
Ketika ia membuka matanya, ia
melihat sesuatu tengah menjerat
leher si muka tikus. Rantai besi
yang melingkar kuat dan
ujung-ujungnya bertaut pada
borgol-borgol yang melingkari
sepasang lengan kokoh.
"Kau haram jadah terkutuk!"
Seseorang mengeluarkan
raungan kemarahan luar biasa.
"Berani kau sentuh kekasihku,
he" Mampuslah kau, Suminda.
Seperti ayahmu. aku dan
Sukaesih akan mengirim kau ke
neraka!"
Si muka tikus yang oleh
penyerang gelap itu disebut
Suminda, menggeliat dan
terangkat dari atas tubuh
Farida. Kakinya menerjang ke
segala arah, sementara jemari
tangannya berusaha melepaskan
jepitan rantai besi yang
melingkari lehernya.
"Sia-sia kau melawan, anak
haram jadah!" Si penyerang
memaki. Jepitan rantai pada
leher lawannya ditarik semakin
dahsyat. Lalu dengan kedua
lengannya yang terborgol, orang
itu membuat suatu silang gaib di
belakang kepala si muka tikus,
dan melakukan suatu sentakan
tiba-riba.
Terdengar suara berderak pada
leher si muka tikus. Dengan biji
mata hampir mencelat dari
rongganya dan lidah merah
kehitaman yang berbuih terjulur
lewat moncong tikusnya,
makhluk itu berkelojotan
mengerikan.
Farida yang sudah terbebas dari
impitan si muka tikus. beringsut
menjauh dengan mata
membelalak
Dan mulut terbuka. Ia ingin
menjerit, tetapi suaranya
tertahan di kerongkongan. Siapa
pun orang yang telah
menyelamatkan dirinya, ia baru
menyadari bahwa orang itu tak
kalah buas dan sama
menakutkannya dengan si muka
tikus sendiri. Ia lalu merayap di
permukaan humus yang padat,
merayap-rayap bagaikan ular.
Setelah berhasil menemukan
kapaknya yang hilang, ia
kemudian beringsut menjauhi
kebiadaban makhluk-makhluk
penghuni hutan yang buas itu.
Pada saat kritis itulah Farida
mendengar suara lain. Suara
sayup-sayup. Suara seseorang,
memanggilmanggil namanya.
Ketika Farida menoleh, ia lihat
seorang laki-laki berpakaian
compang-camping tampak
berlari-lari di lapangan rumput
yang terbuka itu. Orang itu
seperti mengejar seseorang. dan
terus saja berlari sambil
memanggil-manggil.
"Ini aku, Ida. Jangan pergi,
tunggulah aku!"
"Ismed!" bisik Farida,
terperanjat. Sekujur bulu
kuduknya tegak merinding.
"Bang Ismed!" teriaknya,
melengking.
Lalu ia pun menghambur lari,
menyusul sosok tubuh lelaki
berpakaian compang-camping
tadi. Lelaki yang dipanggil.
seketika tegak menegun dan
berpaling ke arah suara orang
yang memanggil namanya.
"Ya Allah. Dia memang Bang
Ismed!" pekik Farida.
Tanpa membuang waktu, Ismed
memutar langkah. la berlari
menyongsong Farida. Sesaat
sebelumnya, Ismed sempat
terheran-heran. Apa yang ia
lihat

***

dan mulut terbuka. Ia ingin


menjerit, tetapi suaranya
tertahan di kerongkongan. Siapa
pun orang yang telah
menyelamatkan dirinya, ia baru
menyadari bahwa orang itu tak
kalah buas dan sama
menakutkannya dengan si muka
tikus sendiri. Ia lalu merayap di
permukaan humus yang padat.
merayap-rayap bagaikan ular.
Setelah berhasil menemukan
kapaknya yang hilang, ia
kemudian beringsut menjauhi
kebiadaban makhluk-makhluk
penghuni hutan yang buas itu.
Pada saat kritis itulah Farida
mendengar suara lain. Suara
sayup-sayup. Suara seseorang,
memanggilmanggil namanya.
Ketika Farida menoleh, ia lihat
seorang laki-laki berpakaian
eompang-camping tampak
berlari-lari di lapangan rumput
yang terbuka itu. Orang itu
seperti mengejar seseorang, dan
terus saja berlari sambil
memanggil-manggil.
"Ini aku, Ida. Jangan pergi,
tunggulah aku!"
"Ismed!" bisik Farida,
terperanjat. Sekujur bulu
kuduknya tegak merinding.
"Bang Ismed!" teriaknya,
melengking.
Lalu ia pun menghambur lari.
menyusul sosok tubuh lelaki
berpakaian compang-camping
tadi. Lelaki yang dipanggil,
seketika tegak menegun dan
berpaling ke arah suara orang
yang memanggil namanya.
"Ya Allah. Dia memang Bang
Ismed!" pekik Farida.
Tanpa membuang waktu, Ismed
memutar langkah. Ia berlari
menyongsong Farida. Sesaat
sebelumnya. Ismed sempat
terheran-heran. Apa yang ia
lihat se
bagai bayangan Farida itu
berlari ke arah matahari
tenggelam, tetapi sosok tubuh
yang berwujud Farida justru
datang dari arah matahari
terbit. Di padang terbuka itu,
mereka kemudian saling
rangkul, saling cium bagaikan
orang gila yang kesurupan.
Tapi suara gemerencing rantai
menghentikan niat mereka untuk
saling bertanya satu sama lain
mengenai kegaiban yang
tiba-tiba mempertemukan
mereka berdua begitu saja.
Ismed dan Farida berpaling ke
arah suara itu. Tampak sosok
tubuh seorang lelaki berjalan
mendekati mereka, seraya
menyeret rantai yang
berjuntai-juntai ke tanah.
"Astaga. Bukankah dia Supardi.
Tetapi mengapa?" ucapan heran
Ismed tergantung tanpa makna.
Dengan takjub ia melihat
perubahan si tukang kayu
setelah dihukum rantai oleh Pak
Lurah. Saat sosok Supardi
keluar dari bayangan kegelapan
pohon, ia tampak jauh lebih tua
dan semakin tua dalam setiap
langkahnya.
"Lepaskan Sukaesih, Ismed! Ia
punyaku. Jangan jamah dia!"
hardik Supardi dengan suara
lantang. namun nada suaranya
berubah semakin serak dan
parau.
"Kau" kau bukan Supardi"!
Kau..." Ismed terperangah.
"Aku Supardi. Dan yang kau
peluk itu kekasihku, Sukaesih.
Tinggalkan dia, Ismed! Atau kau
akan mengalami nasib serupa
dengan si muka tikus jahanam
"Mimpi apa lagi ini?" desah
Ismed seram.
"Ya. Mimpi apa lagi?" Farida
bergumam dalam bisikan
tercekat. "Kita harus
mengakhirinya sekarang. Bang
Ismed."
"Apa" Mengakhiri apa?"
"Mimpi buruk ini. Ayo, kita lari
sekarang!"
Seketika itu juga mereka
mengambil langkah seribu.
Padang rumput itu mereka
terobos membabibuta. Ismed
menyambar kapak yang
dipegang Farida scmenjak tadi
dan menebas semak belukar
yang kian rapat mengurung.
Ismed sama sekali tidak
menyadari, bahwa arah yang
ditempuhnya justru mengarah ke
tempat bayangan yang ia kejar
tadi menghilang. Tahu-tahu saja
mereka telah memasuki hutan
yang gelap gulita. Beberapa kali
mereka harus berhenti untuk
membiasakan mata dengan
kegelapan di depan mereka.
Kemudian kembali berlari
diikuti oleh suara rantai
bergemerencing yang terus
membuntuti dari belakang.
"Manusia hina dina. Jangan kau
bawa lari kekasihku!" Dalam
kegelapan terdengar suara
teriakan dan jeritan yang
bergaung. sahut-menyahut oleh
suara sipongang. "Esih. Esih...
Sukaesih. Sukaesih... kembalilah.
Kembalilah padaku, Sukaesih.
Kekasihku..."
Tiba-tiba Farida menjerit.
Kakinya terantuk, tangan dan
kepalanya membentur sesuatu
dalam kegelapan. Sesuatu yang
keras.
tetapi licin dan rata. lsmed
segera merangkul Farida,
menyangka isterinya berhasil
ditangkap oleh lelaki rantaian
itu.
"lda. Ada apa" Apakah kau..."
"Di depanmu, Bang," sela
Farida. "Coba raba" apakah ini,
bu... bukankah ini..." sahut
Farida. gugup dan penuh harap.

Setelah meraba apa yang telah


dibentur oleh Farida, lsmed
memekik.
"lni sebuah dinding, Ida!"
"Dinding apa" Dinding apa,
Bang lsmed" Dinding apa?"
desak Farida, dengan pekik tak
sabar.
"Berdoalah, sayangku.
Berdoalah, bahwa apa yang kita
temukan adalah dinding lemari
antik itu!"
"Ya Tuhanku. Bukalah segera,
Bang lsmed. Bukalah..."
"Tenanglah. Tetapi, ah, mana
sisi pintunya" Astaga, mengapa
tak bisa kudorong. Bantu aku,
Farida!"
Bersama-sama mereka
mendorong bidang dinding
dalam kegelapan itu, tetapi
usaha mereka sia-sia saia.
Sementara itu, sesosok
bayang-bayang hitam kian
mendekat dari balik pepohonan,
memperdengarkan suara
gemerencing rantai besinya
serta maki-makian dan sumpah
serapah.
"Manusia-manusia tak berguna.
Kalian rupanya tak boleh
diampuni! Kau, si lelaki perebut
kekasih orang. Dan kau"
Sukaesih khianat. Kau biarkan
aku sengsara sendirian!"
Dibayangi rasa putus asa,
telinga lsmed mendengar
suara-suara menyeramkan itu
semakin dekat. Kapak besi di
tangannya dihantamkan ke
dinding, membabibuta. Tetapi
kapak itu seakan membentur
batu keras dan kokoh. tidak
menghasilkan apapun kecuali
perasaan pedih di kedua telapak
tangan lsmed.
"Aduh. Bang lsmed. Bagaimana
ini?"
"Ambil kapak ini. Teruslah
hantam pintu itu, sementara si
pelarian terkutuk itu akan
kuhadapi."
"Tapi, Bang..."
"Ayo, kerjakan apa yang
kuperintahkan!" teriak Ismed
marah dan putus asa.
la kemudian maju beberapa
langkah, berusaha melindungi
Farida di belakang tubuhnya.
Dalam kegelapan, ia merasakan
hawa dingin menusuk serta
semburan sesuatu yang
berwarna putih
keperak-perakan. Cahaya ganjil
muncul samar-samar, disusul
gumpalan kabut dingin yang
datang bergulung-gulung ke
arah mereka. Dan dari balik
kabut itu, muncul sesosok
bayangan. Bayangan tubuh
seorang laki-laki tua renta,
dengan borgol dan rantai besi
terayun-ayun mengikuti gerak
majunya.
Rasanya orang tua misterius itu
pernah dilihat lsmed. Dan
suaranya begitu khas,
mengeluarkan tuntutan yang
tidak ingin dibantah.
"Enyah kau, terkutuk.
Kembalikan kekasihku!"
Rantai-rantai besi itu terangkat
perlahan-lahan. Pada waktu
bersamaan. di belakang lsmed
terdengar
Bunyi kapak membentur sesuatu.
Seperti kayu atau papan yang
dibelah. merengkah. Lalu
disusul suara Farida yang
histeris.
"Aku berhasil, Bang Ismed!
Pintunya sudah kuhancurkan.
Bantulah aku sekarang!"
"Terus kapaki. lda. Terus kapaki
pintu itu!"
"Ya, ya. ya!"
.. Suara ingar-bingar hantaman
kapak menyemangati Farida
untuk terus merengkah dan
menjebol daun pintu lemari.
Sambil menggerakkan kapak,
mulut Farida tak henti-hentinya
menjeritjerit.
"Buka! Buka" buka! Aku melihat
cahaya, aku melihat cahaya..."
Suaranya kian lama terdengar
menyerupai tangis ritual, tangis
roh-roh dari liang lahat yang
berusaha lolos dari kerangkeng
gaibnya.
Diselang-seling oleh seruan
tertahan.
"Sukaesih... jangan!"
Itu adalah suara si tua rantaian
yang terus mengejar menerobos
kabut.
Rantai besinya diayun-ayunkan
ke depan, berusaha menjangkau
lsmed yang bergerak mundur
dan terus mundur dan kemudian
membantu Farida mendobrak
pintu.
Di ruang dalam rumah
kontrakan Ismed di wilayah kota
kabupaten Pandeglang, seorang
perempuan tua yang duduk
terkantuk-kantuk di sebuah kursi
mendadak mengangkat
mukanya. terperanjat. Rasanya
ia mendengar sesuatu.
Sekan-akan dinding di
sekelilingnya dihantam oleh
pukulan-pukulan menakutkan
dari bagian lain. Cangkir kopi di
tangannya terlepas, terhempas
jatuh ke lantai. Pecah berderai.
Perempuan itu duduk tegang di
kursinya. Menatap dengan
sepasang mata terpentang lebar
ke arah suara ingar-bingar itu
datang. Ia melihat dinding
lemari antik tak jauh di
depannya bergetar hebat,
kemudian mulai retak lalu
terbelah. Dari retakan itu,
cairan kental berwarna merah
kehitam-hitaman menyembur
membasahi lantai. Tak ubahnya
semburan darah dari leher
seekor kerbau yang disembelih.
Dengan takjub campur ngeri si
perempuan menyaksikan
bagaimana ukiran di daun pintu
lemari seakan bergerak. Wanita
muda yang duduk telanjang
dengan kambing hitam kecil di
haribaannya, kelihatan
menggeliat. Mata yang tadinya
kaku, kini bergerak liar. Mulut
yang tadinya menyeringai
misterius, menganga terbuka
memperdengarkan suara
lolongan menyayat hati. Sesuatu
telah menghantam bagian dalam
daun pintu lemari berukir, tepat
mengenai bagian lambung
ukiran wanita muda itu. Daun
pintu itu merekah hebat,
mengucurkan cairan kental
merah kehitaman yang semakin
menggenangi lantai.
Lalu dengan suatu empasan
keras, daun pintu lemari antik
itu terlepas dari
engsel-engselnya. Suatu
kekuatan yang dahsyat
melemparkan daun pintu itu ke
lantai, hingga pecah berantakan.
Apa yang telah mendorongnya,
ternyata dua sosok tubuh yang
muncul dalam keadaannya yang
tidak keruan.
Di kursinya, si perempuan
ternganga.
la mengenali dua sosok yang
terjerembap jatuh saling
berpelukan itu, lalu bergumam
heran.
"Astaga. Ismed! Dari mana saja
kau dengan istrimu" Dari tadi
aku menanti. Dan..."
Dan, ucapan perempuan itu
tidak selesai. Ia langsung
terkulai di kursinya. Pingsan.
Rupanya akhir dari pukulan
jiwanya terlambat datang.
Ismed bergegas bangun.
Diseretnva tubuh Farida
menjauhi lemari antik
yang kini tanpa daun pintu.
Sesaat matanya masih dapat
menangkap bayangan kapak
yang tadi dilemparkan Farida
setelah berhasil merengkah
pintu. Kapak itu hanya beberapa
senti di sebelah dalam lemari.
Namun ia tak ingin
menjangkaunya, entah mengapa.
Detik demi detik berlalu. Kapak
besi itu pun mengabur, lalu
lenyap bersama gumpalan kabut
yang menjauh ke dalam
kegelapan misterius di sebelah
dalam lemari. Samar-samar,
masih terdengar jerit sayup
seseorang memanggil-manggil
nama Sukaesih. Tapi suara itu
pun kemudian semakin
mengabur.
Kemudian cahaya lampu
menangkap bagian dalam
lemari, yang masih tetap utuh.
Dinding lemari sebelah
belakang, tidak tergores sedikit
pun juga. begitu pula
papan-papan yang
membagi-bagi bagian dalam
lemari, lengkap dengan
benda-benda keramik tetap utuh
di tempatnya semula.
Lemari itu tegak diam.
Menganga terbuka.
Karena, daun pintunya sudah
hancur berkepingkeping.
Pagi pun datang.
Lidah matahari menjilati kaca
jendela, kemudian menari-nari
riang dan gemulai di permukaan
lantai. Tidak ada apa pun di
lantai itu, kecuali
serpihanserpihan daun pintu
lemari. Ketika siang harinya
ibunya mengatakan di lantai itu
rasanya ia pernah melihat
semburan darah, Ismed
menggerutu tak senang.
"Darah, Bu" Darah siapa?"
"Mungkin aku cuma bermimpi,"
Ibunya mengalah.
"Ya. Ibu hanya mimpi. Kami
juga bermimpi," hibur Ismed.
"Mimpi apa kalian?"
"Macam-macamlah."
"Aneh. Untuk bermimpi saja
kalian merasa perlu sembunyi di
dalam lemari kecil dan sempit
itu. Mengapa tak pilih tempat
lain saja. Misalnya di kolong
tempat tidur."
"Ah. Cuma sebentar kok!" Ismed
tersenyum.
"Apa" Sebentar" Semenjak
kalian menghilang sampai
kalian muncul dalam keadaan
yang memalukan itu, aku telah
menunggu dua jam lamanya.
Paling kurang, satu jam!"
"Sesingkat itu?" Ismed bertanya
balik.
"Eh, Ismed. Bercumbu di dalam
lemari sempit selama satu menit
saja, pasti sudah membuat aku
pingsan kehabisan napas.
Heran, kalian tahan sampai
hampir dua jam!"
"Oh. Malah rasanya kami
mengalami berharihari..."
"Dan asyik tentunya, ya?"
Ibunya tersenyum mengejek.
Tetapi bagaimanapun, hari
berikutnya ibu ismed akhirnya
memutuskan.
"Kukira aku betah di rumah ini.
Aku ingin tetap bersama kalian.
Paling tidak, untuk menjaga
agar kau jangan menyiksa
istrimu dengan cara bercumbu
yang berlebihan itu...."

***

MINGGU berikutnya. barulah


Farida terbebas dari kejutan
menyeramkan yang terus
menghantui tidurnya setiap
malam. Ismed lalu mengajak
Farida jalan-jalan menghirup
hawa segar di Pantai Carita.
Karena bukan hari libur dan
masih pagi pula, pantai itu
kebetulan tidak banyak
pengunjung. Mereka dapat
berenang dan menyelam sampai
puas. berlari-larian saling
kejarmengejar dengan leluasa.
Suatu saat. Farida terjerembap
jatuh. Lalu rebah menelentang
di permukaan pasir lembut,
bermandi sinar matahari. Ismed
tegak di ujung kaki Farida,
tersenyum nakal dan
seakan-akan mau menerkam
Farida untuk melakukan
permainan cinta yang liar.
Tapi mendadak Ismed tertegun.
Setelah berbulan-bulan menikah
dengan Farida, barulah hari ini
ia memperhatikan tubuh istrinya
dengan sungguh-sungguh.
Farida memiliki raut tubuh yang
dalam keadaan dan posisi
bagaimanapun. selalu
mengundang berahi. Farida
yang letih sehabis menyelam dan
berlari-lari, pura-pura terpejam.
Seakan mengantuk. tetapi
dengan mulut sedikit terbuka.
Menggoda. Dadanya yang
terbungkus bikini. naik turun
dengan teratur. Ismed
mengamati gumpalan payudara
istrinya dengan pandangan
berahi. Pandangan terus turun
ke bawah, semakin ke bawah.
Saat itulah ia melihatnya!
Semacam tanda yang khas pada
bagian sebelah dalam paha
Farida. Di paha kiri maupun
paha kanan Farida, seakan
menjaga rahim isterinya.
Lingkaran putih samar. seperti
panu.
Ismed tergetar.
Jatuh bersimpuh di pasir.
Matanya tak lepas memandangi
sepasang tanda itu, sehingga
secara naluriah Farida
membuka kelopak matanya.
Mengintip diam-diam. Kemudian
mendesah manja.
"Kau menginginkannya,
sayangku?"
Ismed jengah.
Lalu tertawa.
"Di sini?" tanyanya, tersendat.
"Mengapa tidak?" bisik Farida
tergetar, seraya mengulurkan
kedua lengannya, terkembang.
Minta dirangkul. Oleh Ismed.
Dan oleh sinar lembut matahari.
Dan.........
catatan :
Untuk pembaca cerita ini, yuk
gabung di Group Fb Kolektor
E-Book untuk mendapatkan
ebook ebook menarik lainnya..
yang suka baca cerita silat dan
novel secara online bisa
kunjungi
http://cerita-silat-novel.blogspot.
com
Sampai jumpa di lain cerita ya!
Terimakasih
TAMAT
(http://cerita-silat-novel.blogspot.co

Anda mungkin juga menyukai