Anda di halaman 1dari 130

BAB 1

KRING....!!! Jam beker warna pink berbentuk sepatu yang bertengger manis di meja coklat tepat
di sebelah tempat tidur Rhea mulai berteriak nyaring, membangunkan si empunya dari tidur
lelapnya.

Tangan Rhea menggapai-gapai, mencari sumber suara dan berusaha menghentikan bising yang
sudah mengganggu mimpi indahnya. Matanya tetap tertutup rapat. Kepalanya pun masih terasa
berat. Tapi belum sempat Rhea meraih jam bekernya, HP-nya malah ikut berbunyi, menambah
semarak suara di kamarnya. Meriah banget kaya lg pesta tahun baru.

"Aaarrggh...!!!" Rhea akhirnya berteriak marah dan bangun dari tidurnya. Ditekannya tombol off
pada jam beker di meja dan disambarnya HP di sebelah bantalnya untuk segera dinonaktifkan.

Suasana kamar Rhea kembali tenang. Ogah-ogahan, Rhea melirik jam beker yang telah
mengganggu tidurnya itu. Baru jam 05.45.

Rhea melempar selimut yang melilit kakinya. Ia duduk di tempat tidur masih dengan mata
setengah terpejam. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala, membuat rambut panjangnya yang
kusut bertambah kusut. Rhea menatap sekeliling kamar, lalu menguap lebar. Setelah energinya
mulai terkumpul, ia bangkit menuju cermin yang tergantung di samping pintu kamarnya,
kemudian menatap wajahnya. Entah apa yang dilihatnya, namun setelah beberapa saat lagi-lagi
ia menguap. Setengah enggan Rhea melangkah gontai, seakan terdapat beban dua ton yang
terikat di kedua kakinya yang membuat langkahnya terasa berat.

Perlahan ia beranjak menuju kamar mandi. Ia berhenti sejenak di lemari kecil yang ada di
samping kamar mandi dan menyambar handuk yang masih terlipat rapi diatas lemari itu,
kemudian menyampirkannya di bahu. Diayunkannya langkah memasuki kamar mandi mungil
bernuansa biru laut yang terletak di dalam kamarnya, lalu menutup pintunya.

Jam 06.15 Rhea sudah siap. Rambutnya yang panjang sudah tersisir rapi. Jepitan berbentuk
burung menempel di rambutnya, di dekat telinga kanannya. Ia cuma memakai badak tipis,
lipglos, plus cologne bayi. Rhea menuruni anak tangga menuju ruang makan. Tas ransel warna
pink bergambar babi kecil yang selalu setia setia menemaninya ke sekolah diletakannya di meja
telepon yang berada nggak jauh dari ruang makan.

Papa, Mama, dan Mbak Reva sudah duduk mengelilingi meja makan. Papa lagi serius baca koran
sampai-sampai mukanya nggak kelihatan karena tertutup koran. Mama lagi sibuk mengolesi selai
kacang ke roti tawar. Mbak Reva lagi asyik menikmati setangkup roti tawar sambil baca buku
yang tebalnya 5 cm dan nggak jelas apa isinya.
"Pagi, Ma!" sapa Rhea sambil mengecup pipi mamanya yang sedang mengolesi selai. Kali ini
selainya selai coklat, jelas untuk Rhea karena selai coklat itu favoritnya.

"Semalam tidur jam berapa, Rhe? Kok lampu kamar masih nyala sampai jam sepuluh?" tanya
Mama sambil menyodorkan roti tawar selai coklatnya ke Rhea.

"It, Ma.. Rhea ngerjain tugas," jawab Rhea. Dengan senang hati disambutnya roti tawar itu dari
tangan sang mama, dan dilahapnya tanpa ampun.

Papa melipat koran yang sedari tadi bacanya lalu menatap putrinya tajam. "Sudah berkali-kali
Papa bilang, biasakan mengerjakan tugas langsung sepulang sekolah."

Rhea berhenti menggigit rotinya lalu menjawab pelan, "Maaf, Pa. Lain kali nggak lagi deh."

Papa sudah mau bicara lagi, untung mama langsung menahan, "Sudah deh, Pa... inikan masih
pagi. Nggak perlu lah ngerusak suasana yang udah enak begini..."

Papa akhirnya memilih diam dan meneguk kopi susu yang sudah disediakan mama.

Rhea menarik nafas lega. Dia bersukur banget atas bantuan mamanya barusan. Kalau nggak,
entah berapa lama dia harus mendengarkan ceramah dari Papa. Masalahnya, Papa itu kalau
ceramah panjangnya kaya Jakarta-Perth (hiperbola dikit lah!). Tapi bener deh, Papa itu paling
cinta sama peraturan. Makanya kalau ada yang melanggar aturan, apa lagi aturan Papa, jangan
harap lolos dari cengkramannya. Pokoknya siapin aja gendang telinga yang kuat dan tulang
punggung yang oke biar bisa bertahan selama mendengarkan ceramah dari Papa.

Ma... Pa... Reva berangkat dulu ya. Takut jalanan macet. Ini kan hari senin. Reva bangkit dari
tempat duduknya sambil membawa buku tebalnya.

"Kamu nggak berangkat sama-sama ?" tanya Papa.

"Nggak deh, Pa, tolak Reva halus. "Reva naik angkot aja."

"Kamu pulang kuliah jam berapa, sayang ?" kali ini mama yang bertanya.

"Mungkin sekitar jam empat," jawab Reva. "Tapi kalau Reva pulang telat, Reva telepon rumah
dulu. mama mengangguk-angguk sambil tersenyum.

"Ya udah Reva berangkat dulu ya!" ujar Reva lagi, lalu mencium pipi Mama dan Papa, dan
dengan cueknya mengacak-acak rambut Rhea sebelum meninggalkan ruangan.

Rhea sudah ingin berteriak marah, tapi diurungkannya niatnya begitu sadar ada Papa di ruangan
itu. Bisa didamprat sama Papa kalau dia berani teriak-teriak di ruang makan.

Rhea cuma bisa memaki dalam hati. Rambutnya yang sudah disisir serapi mungkin jadi
berantakan lagi gara-gara ulah kakaknya itu.
Reva kakak perempuan Rhea satu-satunya. Usia mereka selisih lima tahun. Sekarang Reva sudah
semester enam, kuliah di fakultas kedokteran UI. Tapi bagi Rhea, itu bukan hal menyenangkan,
malah jadi sumber mala petaka baru. Mama dan Papa bangga sekali atas prestasi putri sulungnya
itu. Rhea bangga juga sih, tapi... gara-gara itulah Papa-Mama menuntut Rhea agar bisa mencapai
prestasi, minimal sama dengan yang dicapai Reva.

Menurut Rhea, itu sih nggak susah-susah amat. Tapi sepertinya kedua orangtuanya nggak ada
puas-puasnya. Bayangin aja, nilai 8 untuk ulangan kimia yang menurut teman-teman Rhea
adalah anugrah terindah yang pernah dimiliki masih kurang bagi Mama dan Papa. Mereka mau
Rhea bisa mencapai nilai 9 di ulangan selanjutnya, yang kalau menurut pendapat teman-teman
Rhea butuh mukjizat untuk mencapai angka itu. Itulah yang membuat beban Rhea jadi kelihatan
lebih berat.

Diam-diam Rhea menghela napas pelan. Terbersit rasa kesal di hatinya, kenapa sih hari-harinya
selalu monoton seperti ini? sampi detik ini nggak pernah sekalipun ada kejadian fantastis dalam
hidupnya.

Setiap hari wajib bangun pagi, jam enam seperempat sudah harus di meja makan untuk sarapan
bersama, setengah tujuh lewat lima berangkat sama Papa ke sekolah. Dan sengsaranya lagi, Papa
itu kepala sekolah di sekolah Rhea. Itu berarti semua tindak tanduk Rhea di sekolah selalu dalam
pengawasan Papa. Belum lagi papa tuh terkenal sebagai kepala sekolah yang asli super sangar
dan disiplin. Teman-teman Rhea pada takut dan sebal sama papa alias pak kepsek.

Tambahan lagi nieh, setiap pulang sekolah, Rhea harus menunggu papa untuk pulang sama-
sama. Kalau dia mau jalan-jalan sama teman-temannya, dia harus pulang dulu ke rumah untuk
ganti baju dan makan siang. Dan hal itu yang membuat teman-temannya akhirnya ogah
mengajaknya jalan-jalan. Masalahnya, kalau lagi nunggu Rhea ganti baju dan makan siang,
teman-temannya harus melewati acara setengah jam bersama papa Rhea yang nggak lain adalah
kepala sekolah mereka. Siapa sih yang mau menghabiskan waktu untuk mendengarkan ceramah
kepala sekolah? Rhea bisa maklum kalau akhirnya teman-temannya enggan main ke rumahnya
atau mengajaknya jalan-jalan. Tapi kalau janjian langsung untuk ketemuan di mal, papa nggak
akan kasih izin. Jadi gimana dong? Yah... Cuma bisa pasrah sama nasib, kan?

"Susunya diminum, Rhe," tegur mama, membuyarkan lamunan Rhea.

Rhea mengambil segelas susu coklat hangat di depannya, lalu meneguknya sampai nggak tersisa.
Diliriknya jam tangan baby-G pink di tangannya. Setengah tujuh lewat lima. Papa sudah mulai
merapikan dasinya dan membereskan map-map kerjanya. Rhea bangkit menuju meja telepon,
tempat ia meletakan tasnya tadi.

"Rhea berangkat ya, Ma," pamit Rhea begitu papa sudah masuk ke mobil.

"Iya. Hati-hati ya.." jawab mama. "jangan pulang sore-sore."


Itu tergantung papa, ada rapat mendadak atau nggak, sahut Rhea dalam hati. Soalnya selama ini
kalaupun Rhea pulang sore, bukan jalan-jalan ke mal sama temen-temennya atau nongkrong di
lapangan basket, jadi suporter anak cowok yang lagi seru tanding basket, tapi gara-gara
nongkrong di perpustakaan nungguin papa selese rapat. Jadi kalau memang mama nggak mau dia
pulang sore, mendingan bilang sama papa nggak usah pake acara rapat-rapat segala.

Rhea lalu bergegas masuk ke mobil dengan bibir rada manyun.

Satu pagi lagi berlalu, pagi yang membosankan buat Rhea.

***

"Hai, Rhea!" sapa Marcia, gadis manis berambut pendek yang udah jadi sobat Rhea sejak hari
pertama MOS (Masa Orientasi Siswa ), sesampainya Rhea di kelas 1 D.

"Hai juga!" balas Rhea tanpa semangat. Ia menjatuhkan tasnya di meja lalu duduk di bangkunya
dengan tampang bete. "Aduh, nona manis... Pagi-pagi kok udah pasang muka jelek getu," celetuk
Marcia begitu melihat tampang Rhea yang nggak asyik.

Rhea diam saja, ekspresinya masih sama. BETE!!! " kenapa sih, Rhe? Cerita dong! rayu Marcia
yang sudah pindah dari bangkunya dan duduk di sebelah Rhea.

"Gue sebel sama hidup gue. Kok nggak ada seru-serunya sedikit pun!" Rhea akhirnya bersuara
juga.

"Oooh... Pasti ada masalah lagi sama bokap lo," tebak Marcia.

"Gue pengin banget kaya Harry Potter. Hidupnya tuh seru banget. Tiap taun ajaran baru, pasti
dia punya pengalaman seru yang bisa dibikin jadi satu novel tebal yang laris manis di pasaran.
Nggak kaya gue ini!" gerutu Rhea panjang-lebar.

"Ya ampun, Rhe! Itu kan bisa-bisanya J.K. Rowlling aja," sahut Marcia, heran mendengar
keluhan sobatnya itu. Aneh-aneh aja si Rhea. Masa iri sama tokoh imajinasi sih?

"Tapi tetap aja menurut gue hidup si Harry Potter itu kaya warna!"

Belum sempat Marcia menyahut lagi, terdengar suara tas dilempar ke atas meja dari seberang
kanan tempat duduk Rhea dan Marcia.

"Gila! Gue ngantuk banget! Eh, ntar ada ulangan, nggak?" cerocos si sumber keributan dengan
suara cemprengnya yang khas, Rachel.
"Elo ini nggak bisa kalem dikit ya, Chel?" Marcia agak kesel melihat tingkah Rachel yang selalu
grasa-grusu.

"Lho, kenapa gue harus kalem? Apa ada yang lagi berduka? Nggak, kan? So, kenapa juga gue
harus kalem? Nggak asyik, tau!" sahut Rachel dengan tampang innocent.

Marcia menatap Rachel kesal, sedangkan Rhea cuma diam saja.

Paling nggak, hidup Rachel dan Marcia jauh lebih menarik dari pada hidup gue, pikir Rhea. Kalo
kayak begini terus, gue bakal mati kebosanan.

Oh, God... Kapan hidup gue bakal benar-benar terasa indah? Rhea pun larut dalam lamunannya
sambil bertopang dagu.

"Gila Pak Yo! Ngasih PR kok nggak tanggung-tanggung!" maki Rachel nggak karuan.

Dua jam pelajaran fisika bagai seabad rasanya. Rhea, Rachel,dan Marcia sudah duduk di kantin,
melepas penat yang mereka rasakan selama dua jam penuh. Tiga sekawan itu langsung memesan
soft drink untuk menenangkan otak yang rasanya akan segera meledak jika tidak didinginkan.

Rachel masih kesal gara-gara Pak Yo memberikan dua puluh soal fisika yang dijadikan PR buat
mereka dan dikumpulkan besok. Es batu di gelasnya berdenting keras karena diaduk terlalu
kencang.

"Chel, pelan-pelan ngaduknya. Ntar gelasnya pecah," tegur Marcia yang ngeri melihat
kemarahan Rachel.

Rachel kelihatan sama sekali nggak peduli, ia malah mengaduk minumannya semakin kencang.
Marcia menghela napas dan Rhea cuma bisa geleng-geleng kepala. Mereka maklum. Rachel
memang paling anti sama pak Yo dan fisika. Alasannya sederhana, pelajaran dan guru sama
mautnya. Memang Pak Yo ini di kenal Mr. Killer. Selagi galak, Pak Yo juga nggak pandang bulu
kalau lagi marah. Selain itu, kalau ngasih tugas, nggak pernah kurang dari sepuluh soal. Rachel
sendiri pernah dikatain "tampang cakep, otak lemot" karena nggak bisa menjawab soal yang di
tanyakan Pak Yo. Sejak itu lengkaplah sudah kebencian Rachel pada pak Yo.

Tapi menurut Rhea, fisika dan Pak Yo nggak seseram itu. Mengotak-atik rumus fisika cukup
mengasyikan untuk mengisi waktu luang. Apalagi fisika banyak sekali manfaatnya dalam
kehidupan sehari-hari. Pak Yo juga sebenernya baik kok, soalnya dia pernah berkunjung ke
rumah Rhea. Ada urusan sama papa. Dan ternyata, aslinya Pak Yo itu ramah dan humoris. Hanya
saja Rhea nggak berani menceritakannya pada kedua sahabatnya ini. Rhea bisa membayangkan
reaksi Rachel. Cewek itukan temperamental banget. Jangan-jangan nanti malah Rhea yang
dimusuhin karena membiarkan Pak Yo menginjakkan kaki di rumahnya. Rhea nggak mau itu
terjadi.
"Chel, dari pada lo marah-marah begitu, mendingan dengerin nih gosip seru dari gue!" Marcia
berusaha mengalihkan kemarahan Rachel. Marcia tahu, cuma kata bernama "gosip" yang bisa
membuat Rachel tertarik.

Dan kelihatannya Marcia benar. Rachel berhenti mengaduk minumannya. Matanya menatap
Marcia penuh rasa ingin tahu. Senyum mengembang di bibirnya.

"Ada gosip apaan?" tanya Rachel.

Rhea juga menatap Marcia penasaran. Kalau urusan gosip, Marcia memang salah satu sumber
terpercaya yang sanggup menampung berbagai macam informasi baru dari sekelilingnya. Jarang
sekali gosip yang keluar dari mulut Marcia nggak terbukti kebenarannya, bahkan biasanya gosip
bisa berubah jadi fakta kalau sudah di tangan Marcia.

"Lo tau Felix, nggak?" tanya Marcia.

"Felix?" Rhea dan Rachel malah balik bertanya untuk memastikan nama yang mereka dengar
dari mulut Marcia.

"Iya, Felix.... Itu lho... Yang ganteng itu!" jawab Marcia.

"Oooh... Felix anak 3 IPS 3..," kata Rhea begitu berhasil mengingat makhluk yang dimaksud
Marcia.

"Gue tau! Anak basket yang tinggi, kulitnya bersih, hidungnya mancung, en rambutnya di-spike,
kan? Itu sih pangeran impian gue..," cerocos Rachel yang diikuti cibiran Marcia.

"Yang pasti nih, kemaren sore Lola nembak Felix di lapangan basket," kata Marcia.

Mata Rachel langsung melotot mendengar berita itu. Mulutnya terbuka lebar. Tampaknya dia
benar-benar kaget mendengar gosip satu ini.

"Lola?" Rhea mencoba memastikan pendengarannya. "si kutu buku dari kelas 1 B itu?"

Marcia mengangguk sambil tersenyum puas karena gosipnya kali ini berhasil membuat kedua
sobatnya itu terkejut.

"Ah, bohong lo!" kata Rachel begitu bisa menguasai rasa kagetnya.

"Kapan sih gosip dari mulut gue pernah salah? Marcia tampak tersinggung mendengar Rachel
bilang dia bohong.

Rachel dan Rhea terdiam. Susah memercayai gosip itu, soalnya Lola tuh kutu buku berat. Setiap
hari yang jadi tempat favoritnya adalah kelas dan perpustakaan. Selalu ada buku tebal di depan
matanya yang berkacamata tebal itu. Rasanya mustahil kalo cewek seperti dia berani nembak
cowok, apalagi kakak kelas yang jadi idola cewek-cewek satu sekolah. Tapi... Nggak mungkin
juga Marcia berbohong.

"Gue nggak bohong kok. Gue liat kejadian itu kemarin dengan mata kepala gue sendiri, pas gue
baru selesai rapat majalah sekolah." kata Marcia begitu dilihatnya keraguan di mata Rhea dan
Rachel.

"Cerita dong!" todong Rachel segera.

"Begini.... Kemarin selesai rapat, gue langsung balik sama anak-anak lain. Kami lewat lapangan
basket. Tapi ada pemandangan aneh yang menarik perhatian kami. Lola lagi nge-shoot bola ke
ring basket diiringi sorakan anak-anak cowok yang saat itu memang lagi main basket. Felix
berdiri di samping Lola. Setelah gue usut, ternyata Lola nekat nembak Felix pas cowok itu lagi
main basket. Felix sih nggak langsung nolak. Dia bilang, kalo Lola berhasil masukin lima bola
ke ring dari sepuluh kesempatan yang dia kasih, dia bersedia jadi pacar Lola," jelas Marcia.

"Apa?! Masa sih segampang itu!" seru Rachel tak percaya.

"Kalo menurut elo yang jago basket, itu jelas gampang. Tapi ini kan Lola. Nggak ada satu pun
tembakan yang masuk. Lola sampe nangis," lanjut Marcia.

"Trus, Felix-nya gimana? Lola pasti malu banget," Rhea ikut nimbrung.

"Pasti malu lah! Ditonton banyak orang gitu. Tapi Felix emang top. Dia malah ngerangkul Lola
dan bilang, kita berteman aja ya," lalu Felix ngajak Lola duduk sama teman-temannya yang lain
dan berusaha bikin Lola tersenyum lagi. Gila... Baek banget kan tuh cowok," jelas Marcia.

"Ya ampun! Beruntung banget si Lola. Ditolak tapi masih dapat bonus rangkulan mesra,
komentar Rachel yang jelas iri mendengar cerita Marcia.

Dasar penggosip ulung, Marcia nggak puas kalau belum cerita sampai tuntas. "Lo tau kenapa
Lola nekat nembak Felix kemarin ?''

"Kenapa?" Rachel jadi penasaran.

"Gara-gara ramalan bintang. Lola baca ramalan bintang hari itu. Katanya dia harus nembak
cowok yang disukainya hari itu juga di lapangan terbuka..'' Marcia tertawa ngikik.

"Apa?!" Rhea dan Rachel berseru bersama.

"Nggak masuk akal deh. Anak kutu buku gitu masih percaya sama ramalan bintang?" komentar
Rhea.
Mereka bertiga akhirnya tertawa terbahak-bahak. Sebenernya agak jahat sih, ngetawain temen
sendiri. Tapi mau gimana lagi? Emang lucu sih!

Suara bel kemudian menghentikan tawa mereka. Mereka kembali ke kelas sambil terus bercanda.

"Ntar pulang sekolah lo berdua temenin gue dulu ya!' seru Rachel tiba-tiba, membuat langkah
kedua sobatnya terhenti.

"Ke mana?" tanya Rhea.

"Lapangan basket," jawab Rachel tersenyum genit.

"Ngapain?" tanya Rhea lagi.

"Mau coba peruntungan nasib buat nembak Felix, ya?" tebak Marcia.

"Tepat! Siapa tau gue di suruh nge-shoot bola juga. Gue jamin, kola itu persyaratannya, Felix
bakal jd milik gue," kata Rachel pede.

"Hahaha! Rachel... Rachel... Felix tuh nyuruh Lola nge-shoot bola karena dia tau Lola nggak
bisa main basket." Marcia tertawa geli mendengar ucapan Rachel!

"Masa sih?" Rachel nggak percaya sama omongan Marcia.

"Gue rasa, kalo nanti elo nekat nembak Felix, cowok itu bakal nyuruh lo melakukan sesuatu
yang berbeda dari Lola," kata Marcia lagi.

"Apa tuh?"

"Ngerjain sepuluh soal fisika di hadapan Pak Yo. Satu aja jawaban lo ada yang benar, gue jamin
Felix jadi milik lo," jawab Marcia.

"FISIKA!? NO way!" seru Rachel manyun. Rhea dan Marcia tertawa ngakak melihat ekspresi
wajah Rachel.

"Kalo gitu elo harus ngerelain Felix lo itu," kata Marcia di sela-sela tawanya.

"Eh, enak aja..!" rajuk Rachel manja. Rhea dan Marcia tertawa makin keras.

"Hei, kalian bertiga!" suara bentakan dari belakang membuat ketiga cewek itu terlonjak kaget.

"Eh, Bu Nur..," kata Marcia begitu melihat sosok guru bahasa inggris mereka.

"Mau ngajar ya, Bu?' tanya Rachel basa-basi.

"Benar.. Di kelas 1 D, jawab Bu Nur tegas.


"Lho, itu kan kelas kami, Bu, kata Rachel gugup. Keasyikan ngobrol, mereka sampai lupa
pelajaran beriktnya.

Memang! Karena itu sedang apa kalian berdiri disini? Bel sudah berbunyi lima menit yg lalu!
Kembali ke kelas! Bentak bu Nur.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Rhea, Rachel dan Marcia cepat-cepat berlari ke kelas mereka,
meninggalkan Bu Nur yang masih bertolak pinggang marah.

Mampus deh! Kalo Bu Nur lapor Bokap, gue bisa dapet ceramah 2 jam nih, Ratap Rhea
memelas. Rachel dan Marcia cuma bisa nyengir mendengar ucapan Rhea. Kali ini mereka nggak
bisa berbuat apa-apa untuk menolong Rhea.
BAB 2

"GIMANA, Rhe? Bu Nur ngelapor ke bokap lo, nggak?" tanya Marcia di telepon sore itu.

"Ngelapor dengan selengkap-lengkapnya. Bukan cuma soal telat masuk kelas, tapi juga masalah
ulangan yang tadi dia bagikan," jawab Rhea dongkol.

"Lho, bagus donk! Elo kan dapet 85. Bokap lo pasti seneng."

"Marcia, kita ini lagi ngomongin bokap gue. Bagi bokap gue, angka yang sempurna tuh 100.
Nilai 85 ya masih kurang."

Masih kurang? Gemana gue dong yang cuma dapat 75?"

"Tau ah! Yang pasti kuping gue sampai sakit dengerin pidato bokap."

"Malang banget nasib lo, Rhe."

"Bener banget. Dan lo tau nggak, bokap gue berniat nyariin gue guru les privat."

"Apa?"

"Gue bakal tambah stres deh dengan kehadiran guru les itu."

"Ya ampun! Bokap lo itu nggak ada puasnya ya. Elo kan dari SD selalu ranking satu. IQ lo juga
jauh di atas rata-rata. Nilai ulangan lo nggak pernah di bawah 80. Apa sih yang kurang dari otak
lo?

"Bokap tuh mau gue bisa masuk perguruan tinggi negeri, atau kalau bisa dapat beasiswa buat
ngambil S1 di luar negri.

"Yah... Tapi nggak usah sampai maksa elo belajar terus dong! Elo kan juga butuh menikmati
masa remaja lo."

"Tau nggak komentar bokap waktu gue mencoba menyampaikan isi hati gue seperti yang lo
bilang tadi?"

"Apaan?"

"Terlalu banyak bersenang-senang di masa muda bakal menuai sengsara di masa tua. Gitu
katanya. Sebenarnya sih, kalo gue bisa ngatur waktu, gue masih sempat memperluas pergaulan
gue. Itu kata bokap gue juga. Selanjutnya, gue kembali mendengarkan siaran ulang perjalanan
panjang bokap gue dalam meraih kedudukannya sekarang sebagai kepala sekolah."
"Hahaha!" Marcia tertawa terbahak-bahak.

"Bagus ya, lo ketawa di atas penderitaan orang lain, sahut Rhea kesal. Kalau saja Marcia ada di
situ, bantal yang ada di tangan Rhea pasti akan melayang ke muka Marcia detik itu juga.

"Sorry, Rhe. Gue nyerah deh kalo udah menyangkut bokap lo." kata Marcia sambil terus tertawa.

Rhea tambah kesal mendengarnya. Mau nggak mau dia kembali meratapi nasibnya yang malang.

"Eh, udahan dulu, Rhe. Nyokap gue manggil." Marcia menghentikan tawanya.

"Ya udah," jawab Rhea masih sebal.

"Kalo guru lesnya cakep, gue ikutan les, ya," goda Marcia sebelum menutup telepon.

"Sialan lo!" Rhea tambah sebal lagi. Ia lalu meletakan gagang telepon sambil menggerutu.
Tampaknya Rhea nggak sadar Reva sudah berdiri di belakangnya.

Rhea masih terus menggerutu di bawah tatapan Reva yang geli melihat ekspresi adik semata
wayangnya ini.

"Kamu ngapain marah-marah sendiri?" tegur Reva, membuat Rhea terlonjak kaget.

"Lho mbak udah pulang? kok Rhea nggak tahu mbak masuk?" Rhea mengelus-elus dada.
Jantungnya berdetak lebih cepat karena teguran Reva barusan.

"Kamu sih keasyikan ngobrol sampai-sampai mbak pulang nggak tau," kata Reva lalu berjalan
menuju dapur.

"Si Marcia nyebelin sih, makanya Rhea jadi terlalu konsentrasi ngobrolnya..," Rhea membela
diri. Ia membereskan keripik dan buku-buku pelajarannya yang bertebaran di meja.

"Mama mana, Rhe?" tanya Reva dari dapur dengan volume suara tinggi.

"Pergi sama Papa ke rumah Oom Rido. Katanya sih mau jenguk anaknya Oom Rido yang baru
keluar dari rumah sakit karena demam berdarah," jawab Rhea dengan suara nggak kalah keras.

"Pantes kamu berani belajar di sini, bukannya di kamar. Udah gitu pake acara makan keripik
sampai berantakan begini, lagi..." Reva kembali muncul di depan sang adik dengan segelas sirop
di tangan. Ia duduk di samping Rhea lalu mulai membolak-balik majalah yang baru
dikeluarkannya dari tas.

"Majalah baru ya, Mbak?" Rhea melirik majalah yang di pegang Reva.

Reva hanya mengangguk.


"Mbak, Rhea bikin kasus lagi nih sama Papa..." Rhea mencoba mengalihkan perhatian Reva dari
majalahnya.

Reva berhenti membolak-balik majalah dan menatap Rhea heran. "Kasus apaan?" tanyanya.
dahinya mengerut saat menatap wajah adik kesayangannya itu.

"Ulangan Bahasa Inggris Rhea cuma dapat 85. Terus, tadi di sekolah Rhea dan teman-teman
ditegur guru gara-gara telat masuk kelas sehabis istirahat.

Reva menghela napas begitu mendengar penuturan Rhea. Ia mengambil gelas siropnya dan
meminumnya beberapa teguk.

"Rhe, kamu tuh nekat ya! Udah tau Papa itu orangnya keras, masih berani-beraninya kamu telat
masuk kelas," ujar sang kakak seraya meletakan gelas di meja.

"Itu gara-gara keasyikan ngobrol. Lagian Rhea kan cuma telat lima menit..," ujar Rhea membela
diri.

"Trus, gimana reaksi papa?"

"Papa mau nyuruh mbak cariin guru les buat Rhea," jawab Rhea dengan wajah memelas.

Reva menggelengkan kepalanya. Ia akui, Papa terlalu keras dalam mendidik anak-anaknya. Dari
kecil dia dan Rhea nggak pernah menikmati masa bermain dengan bebas. Belajar harus prioritas
utama. Jadwal nonton TV juga diatur papa. Mereka nggak boleh nonton acara TV sesuka hati,
cuma boleh nonton yang bertema pendidikan. Beruntung sekali cita-citanya sesuai dengan
kehendak Papa. Kalo nggak, pasti dia terpaksa merelakan cita-citanya untuk menuruti keinginan
Papa. Papa memang terlalu otoriter. Mungkin ini pengaruh pola asuh keras yang ditanamkan
pada diri papa oleh kakek. Terlebih lagi masa sulit yang harus Papa alami sewaktu muda pasti
telah membuat Papa ingin anak-anaknya menjadi yang terbaik. Meskipun begitu, di mata mereka
Papa tetap sosok ayah yang baik dan penyayang. Mereka sangat mengerti bahwa apa yang Papa
lakukan ini untuk kebaikan mereka. Lagi pula masih ada Mama yang siap membela kalau
kerasnya Papa sudah keterlaluan. Biasanya sih kalau Mama sudah keluar suara, Papa pasti nurut.

"Mama setuju dengan rencana Papa?' tanya Reva. Rhea mengangguk bibirnya manyun saat
menjawab pertanyaan Reva.

"Wah.. Kalau Mama udah setuju, Mbak nyerah deh," kata Reva seraya mengangkat kedua
tangannya.

"Yah.. Mbak bantuin Rhea bujuk papa dong untuk membatalkan rencana pencarian guru les
itu...," rayu Rhea sambil menarik-narik lengan baju Reva, persis seperti anak kecil.

"Kamu tau Papa, kan? Kalo papa udah memutuskan, nggak akan ada yang bisa mengubahnya.
Apalagi mama juga setuju...
"Tapi kan masih ama Mbak yang belum menyumbangkan suara dalam penarikan keputusan itu."

"Apalah arti suara Mbak buat Papa, Rhe?"

Dia ngerti banget maksud kata-kata Reva. Separtinya hari-hari depannya akan bertambah suram
lagi. Ia akan punya waktu tambahan di rumah. Ia harus belajar dengan guru lesnya, sementara
teman-temannya asyik nonton TV, jalan-jalan, atau bahkan pacaran. Rhea tahu, mbak Reva tidak
bisa menyelamatkannya. Cepat atau lambat, rencana papa pasti akan terlaksana.

"Udahlah... jangan bete gitu dong! Mbak janji akan mencarikan kamu guru les yang ganteng dan
masih muda." Reva berusaha membujuk adiknya yang kelihatan mulai ngambek.

Rhea diam saja. Ia merapikan buku-bukunya lalu membawanya meninggalkan Reva. Tanpa
menghiraukan panggilan kakaknya, Rhea terus berjalan menuju kamarnya. Ia meratapi nasibnya
yang malang. Tanpa guru les saja hidupnya sudah begitu membosankan, apalagi kalau ditambah
guru les.

Rhea menutup pintu kamarnya dengan agak keras. Diletakannya buku-bukunya di meja, lalu
direbahkannya tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit. Rhea nggak tahu
apalagi yang harus dipikirkannya. Rasanya di dalam otaknya terdapat benang kusut yang susah
diuraikan kembali.

Selang beberapa menit kemudian, Rhea sudah melayang menuju alam mimpi dengan membawa
benang kusut di dalam otaknya.

***

Rhea duduk di kelas tanpa semangat. Ia lebih memilih menghabiskan waktu istirahat di kelas
dari pada ke kantin bersama kedua sahabatnya lalu terlambat masuk kelas lagi.

"Nih, pesanan lo!" Marcia memberikan teh botol buat Rhea.

"Cepet banget lo ke kantin. Ngga ngegosip dulu!" Rhea mengambil teh botol dari tangan Marcia.

Marcia duduk di samping Rhea tanpa menjawab pertanyaan sobatnya itu. Ia asyik menikmati
tahu goreng.

"Rachel mana?" tanya Rhea.

"Di lapangan basket. Nonton anak cowo kelas tiga yang lagi main," jawab Marcia dengan mulut
penuh makanan. "Eh iya, bokap lo jadi nyari guru les buat lo?" tanya Marcia masih dengan mulut
penuh makanan.
"Jadi. Kemarin pas makan malam bokap udah minta mbak Reva segera mencarinya," jawab Rhea
setengah hati. Rasanya kesal sekali kalau mengingat hal itu kembali.

Belum sempat Marcia bicara lagi, terdengar suara cowok dari luar kelas.

"Rhea..!" panggil cowok bersuara ngebas itu berulang kali sampai akhirnya terlihat juga batang
hidungnya di muka kelas.

"Elo yang manggil-manggil gue, Tet?" tanya Rhea begitu melihat sosok yang memanggilnya
sejak tadi, si Betet.

"Hehehe..." yang ditanya malah tertawa. Rhea dan Marcia saling pandang karena heran. Apanya
yang lucu? Kenapa ketawa? Apa ada yang aneh?

"Gue cuma mau bilang, nanti ada rapat OSIS, Rhe," kata Betet yang sekarang malah senyum-
senyum sendiri.

"Rapat apaan?" tanya Rhea.

"Mau bahas something important," jawab Betet setengah berbisik.

Dahi Rhea berkerut heran. Ketua OSIS yang satu ini memang rada aneh. Nama aslinya sih
Johannes Putra Leksono Cahya. Betet itu nama julukan dari teman-teman karena hidungnya yang
besar seperti paruh burung betet.

"Oke deh. Segitu aja short message delivery service dari gue. Jadi jangan sampai lupa ya," kata
Betet lalu segera meninggalkan kelas Rhea.

"Sampai sekarang gue masih, heran. Kenapa anak-anak yang always jayus itu terpilih jadi ketua
OSIS, ya?" celetuk Marcia begitu Betet menghilang dari pandangan mereka.

"Dia emang rada aneh, tapi idenya selalu inovatif lho, Mar..."

Marcia menatap Rhea. Wajahnya tampak ketakutan. "Rhea... Lo jangan sampai jatuh cinta sama
cowok aneh itu, ya. Dia cuma akan menambah suram kehidupan lo."

Rhea melongo mendengar ucapan Marcia. Sedetik kemudian, sebuah jitakan keras mendarat di
ubun-ubun Marcia.

"Adauw!" jerit Marcia.

"Lo gila ya? Siapa yang jatuh cinta sama Betet..." Rhea tidak memedulikan jerit kesakitan
Marcia.

"Habis, elo ngebelain dia sih!" sahut Marcia sambil mengelus ubun-ubunnya yang sakit.

"Gue kan cuma memberi penilain tentang dia, bukan ngebelain...," balas Rhea.
"Yah... Gue kan bermaksud baik. Gue cuma ngingetin elo aja kalo cowok di dunia tuh masih
banyak. Jangan sampai salah pilih..."

Tangan Rhea sudah ingin melayangkan satu jitakan lagi ke ubun-ubun Marcia, tapi suara bel
menyelamatkan cewek itu.

Marcia buru-buru kembali ke tempat duduknya sebelum Rhea berhasil melancarkan serangan
keduanya.

***

"Pa, Rhea ada rapat OSIS. Papa bisa nunggu Rhea sebentar, nggak?" saat itu Rhea sedang duduk
di ruang kepala sekolah.

Bel pulang sudah berbunyi lima menit yang lalu. Marcia dan Rachel sudah pulang lebih dulu.

"Papa nggak bisa nungguin kamu. Papa udah janji sama Mama mau nganter mama ke dokter
gigi" jawab papanya sambil membereskan surat-surat yang ada di mejanya.

"Lho, emangnya mama sakit gigi?" tanya Rhea heran.

"Nggak. Mama cuma mau nambal giginya yang berlubang."

"Jadi Rhea nggak ikut rapat OSIS dong."

"Ikut saja. Tapi setelah selesai rapat kamu harus segera pulang."

"Rhea boleh pulang sendiri, Pa?"

"Memangnya kamu nggak bisa pulang sendiri?"

"Bisa.. Bisa..," buru-buru Rhea menjawab.

Hatinya begitu gembira. Baru kali ini papa mengizinkan dia pulang sekolah sendiri. Biasanya
pasti harus sama-sama papa. Pasti ini karena papa terlanjur janji sama Mama. Papa kan orang
yang nggak pernah ingkar janji. Jarang-jarang ada kesempatan seperti ini. Pokoknya harus
dimanfaatkan sebaik mungkin.

Rhea keluar dari ruang kepala sekolah dengan senyum merekah. Suara ramai anak-anak yang
berceloteh riang sudah terdengar dari ruang OSIS. Sepertinya rapat sudah dimulai. Rhea segera
mempercepat langkahnya.
"Dari mana aja lo, kok baru nongol?" tegur Betet. Cowok itu berdiri di depan ruangan,
memimpin jalannya rapat.

"Sori. Gue ada sedikit keperluan tadi," jawab Rhea sambil tersenyum kecil lalu menempatkan
diri di bangku kosong yang ada di sebelah Luna, si bendahara OSIS.

"Ya udah kalo gitu. Besok proposal kegiatan udah harus lo serahin ke gue. Jangan sampai lupa!"
Betet mengingatkan.

"Tunggu dulu. Proposal apaan nih?" Rhea terkejut dan heran. Baru saja masuk ruang rapat sudah
ditugaskan membuat proporal.

"Oh iya. Elo kan belum tau ide terbaru gue.." sambil cengar-cengir, Betet menggaruk-garuk
kepalanya yang nggak gatal.

"Kita mau cari dana, Rhe, buat pemasukan untuk kas OSIS," celetuk Luna.

"Tepat. Dan ide pencarian dana ini berasal dari si kreatif Johannes Putra Leksono Cahya.." Betet
menepuk dadanya bangga.

Semua anggota OSIS langsung menatap ke arah Betet sambil menggelengkan kepala dan
menghela napas panjang. Dalam hati mereka heran, kok bisa cowok itu kepilih jadi ketua OSIS?

"Memang ide apaan sih?" tanya Rhea penasaran.

"Jualan bunga mawar plastik dan message in the bottle. Setiap anak yang berminat bisa memesan
ke panitia. Selain membayar sesuai harga, setiap pemesan juga boleh menyapaikan pesan
mereka. Nanti panitia yang nyiapin botol dan menulis di kartu ucapan," jelas Luna.

"Setelah itu barang pesanan akan diserahkan ke pada orang yang dituju pada hari yang di
tentukan oleh si pemesan," kata Nathan yang duduk di bangku paling depan, melanjutkan
penjelasan Luna.

Rhea mengangguk berulang kali, lalu berkata, "Jadi begini, misalnya gue pesen bunga untuk
Marcia, nanti gue kasih tau pesan apa yang harus ditulis di kartunya ke panitia. Bunga itu
diserahkan ke Marcia pada waktu yang ditentukan, bersama dengan pesanan-pesanan lainnya.
Begitu kan?

"Pinter! Itu ide yang gue sampaikan tadi, jawab Betet tersenyum puas.

"Tapi itu sih lebih cocok diadakan pas Valentine," kata Rhea.

"Lho, tapi kan tetap sesuai tema yang gue berikan.." Betet berusaha mempertahankan ide
cemerlangnya itu.

"Memang apa temanya?" tanya Rhea lagi.


"Everyday is Valentine's Day. Tema yang asli basi banget, Rico, yang duduk di sebelah Nathan,
menyerobot jawaban Betet.

Rhea berusaha menahan tawa melihat ekspresi wajah Rico yang tampaknya nggak suka banget
dengan tema yang di sampaikan Betet. Dan sepertinya bukan hanya Rico yang nggak suka sama
tema itu, melainkan semua nggota OSIS yang sekarang menunjukkan wajah jijik. Tapi anehnya,
nggak satu pun dari mereka menolak usulan tema itu. Mungkin mereka nggak punya tema lain
yang lebih cocok untuk kegiatan pencarian dana ini. Akhirnya, mau nggak mau semua
menyetujuinya walaupun dengan sangat terpaksa.

Rapat OSIS sudah selesai, namun Rhea masih enggan pulang ke rumah. Ia memilih duduk-duduk
di bangku dekat lapangan basket, menikmati saat-saat tenang tanpa tekanan dan gangguan dari
siapapun. Sudah lama sekali Rhea nggak merasakan suasana seperti ini.

Rhea duduk santai sambil membaca novel remaja yang dibawanya setiap hari. Kalau di rumah, ia
nggak akan punya waktu untuk membaca novel itu sampai selesai. Soalnya kalau sampai
ketahuan papa, pasti ia celaka. Papa nggak pernah mengizinkan Rhea membaca novel. Kata
papa, buku seperti itu hanya menawarkan mimpi bagi pembacanya. Makanya, novel yang di
pinjamnya dari Marcia sejak sebulan yang lalu itu belum selesai dibacanya sampai sekarang.

Hanya dalam waktu lima menit, Rhea sudah tenggelam dalam novel yang dibacanya. Karena
begitu terhanyutnya ia dalam cerita di dalam novel itu, ia sampai nggak menyadari ada orang
yang berdiri di hadapannya dan asyik memperhatikannya.

"Halo....," sapa orang itu sambil memainkan bola basket yang ada di tangannya.

Rhea terlonjak kaget. Buru-buru ditutupnya novelnya.

"Elo Rhea Athena anak kelas 1 D, ya? Anaknya kepala sekolah?" tanya orang itu yang ternyata
makhluk yang disebut cowok.

Rhea mengangguk pelan. Dia kenal cowok ini. Namanya Felix, gebetannya Rachel, dan jadi
idola cewek-cewek sekolah ini. Cowok ini juga yang baru-baru ini ditembak Lola, cewek kutu
buku dari kelas 1 B.

Kenalin gue Felix, anak 3 IPS 3," cowok itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan
kanannya. Bola basket dipeluknya dengan tangan kiri.

Ragu-ragu Rhea menyambut uluran tangan Felix. Mimpi apa ya gue semalam? Rasanya nggak
mimpi yang aneh-aneh deh. Lalu, kenapa hari ini gue bisa berhadapan sama cowok paling beken
di sekolah? Diajak kenalan pula. Padahal selama ini nggak ada cowok yang berani deketin gue
karena takut sama papa. Atau jangan-jangan selama ini Felix diam-diam naksir gue, dan karena
dia tahu papa udah pulang, dia nekat deketin gue. Ih, Rhea! Ko elo jadi ke-GR-an begini sih,?
"Hei, kok bengong? Gue ganggu, ya?" teguran Felix membuyarkan lamunan Rhea yang mulai
menjadi liar.

"Eh, nggak kok," buru-buru Rhea menjawab.

"Kalo gitu, boleh dong gue duduk di sebelah lo."

"Oh, silakan...silakan." dalam hati Rhea senang, tapi ia nggak bisa menyembunyikan rasa
gugupnya.

Felix duduk di sebelah Rhea. Tangannya kembali memainkan bola basket yang sedari tadi
pegangnya. Rhea jadi salah tingkah. Ini pertama kalinya Rhea duduk sedekat ini sama anak
cowok. Kalau ini mimpi, Rhea sungguh berharap jangan ada yang membangunkannya dulu.

"Kok elo duduk sendirian? Biasanya selalu bertiga." ups! Ternyata Felix tahu Rhea selalu
bersama Rachel dan Marcia. Berarti benar dong, Felix diam-diam sering memerhatikannya.

"Mmm.., gue baru selesai rapat OSIS. Mereka kan bukan anggota OSIS.

"Oooh... Rapat OSIS. Trus, anak-anak yang lain mana? Elo nggak pulang bareng bokap lo?"

"Mereka udah pada pulang duluan. Bokap gue juga ada keperluan, jadi harus pulang lebih dulu."

"Jadi elo sendirian dong?"

"Iya."

"Lagi baca apaan sih tadi?"

"Novel cewek."

"Novel cewek? Emang apa bedanya novel cewek sama novel cowok?"

"Nggak... Ng.. Bukan begitu. Maksud gue, novel cewek tuh novel remaja yang biasanya jadi
bacaan anak cewek."

Tiba-tiba Felix merebut novel dari tangan Rhea. "Oh, Fairish. Kalo ini sih gue udah baca. Bagus
kok ceritanya. Nggak cengeng," komentar Felix sambil mengembalikan novel itu pada Rhea.

Elo udah baca? Rhea menatap Felix dengan pandangan nggak percaya.

Felix mengangguk. "Iya. Adik gue yang cewek koleksi buku-buku semacam itu. Gue pernah
iseng baca salah satu koleksinya itu. Kebetulan buku yang gue baca itu sama dengan buku yang
ada di tangan lo. Dan menurut gue it's not bad."
Mata Rhea menatap Felix nyaris nggak berkedip. Cowok ini asli langka. Rhea belum pernah
melihat cowok yang dengan asyiknya bercerita bahwa dirinya salah satu penggemar novel
remaja seperti ini. Sangat langka dan tampaknya perlu dilestarikan.

"Hei, emangnya ada yang aneh di muka gue? Ada yang salah, Rhe?"

"Eh... nggak. Nggak kok."

"Elo belum mau pulang? Nanti dicariin lho, sama orang rumah."

"Eh... iya."

"Gue anterin sampai rumah, ya?"

"Nggak.. nggak. Nggak usah."

Nggak apa-apa kok. Gue anterin, ya?"

"Eh, tapi.."

"Udah... jangan nolak. Please..."

Rhea terpana dan jadi makin salah tingkah. Felix mau mengantarnya pulang. Mana mungkin dia
nolak dan membuang kesempatan ini? Tapi...

"Mau, ya ?" Felix terus membujuk Rhea.

Akhirnya Rhea mengangguk. Luluh juga dia, melihat senyum memelas kian menggoda yang
tersungging di bibir Felix.

"Kalo gitu, sekarang yuk!" Felix tersenyum puas lalu bangkit dari duduknya dan membawa tas
Rhea. Dan lagi-lagi, Rhea nggak kuasa menolak kebaikan hati Felix.

***

Papa, Mama, Reva, dan Rhea duduk mengelilingi meja makan menikmati makan malam. Hari ini
Mama memasak makanan rebusan semua. Pasti ini karena Mama baru pulang dari dokter gigi
dan dilarang dokter makan yang keras-keras.

"Gimana gigi mama? Ada yang ditambal?" tanya Rhea pada mama sambil mengambil sendok
sup sosis dan menuangkannya ke atas piring sendiri.

"Ada. Tapi dua hari lagi harus kembali ke dokter.


Rhea mengangguk tanda mengerti. Ia sekarang lagi asyik menikmati ayam rebus kegemarannya.

Tapi pertanyaan Papa mendadakan membuat Rhea kehilangan nafsu makan.

"Kamu pulang sama siapa tadi siang, Rhe?" suara papa yang serak membuat pertanyaan singkat
itu terasa menakutkan buat Rhea.

"Mmm.. Sama.. Sama teman, Pa," jawab Rhea gugup.

"Siapa namanya? Anggota OSIS? Anak kelas berapa dia? Perempuan, kan?" tanya papa
beruntun, membuat jantung Rhea berdegup semakin kencang.

Papa pasti marah besar jika tahu Rhea pulang diantar anak cowok. Apalagi naik motor. Tapi...
Masa Rhea harus bohong sama Papa? Seumur-umur Rhea belum pernah berbohong pada kedua
orangtuanya. Tapi kalau Rhea jujur, apa papa mau terima? Padahal Felix kan sudah berbaik hati
mau mengantarnya pulang. Bagaimana kalau papa sampai menskors Felix gara-gara nekat
mengantar Rhea pulang mnaik motor tanpa seizin Papa? Aduh, apa mungkin bakal separah itu?
Tapi nggak ada yang mustahil untuk orang seperti Papa. Jadi gimana dong?

"Rhea, kok pertanyaan Papa nggak dijawab?" tanya Mama, membuat Rhea tambah panas-dingin.

"Tadi Rhea pulang diantar teman cowok, Pa." akhirnya malaikatlah yang memenangi
pertempuran seru dalam batin Rhea. Nyaris berbisik.

Sesuai dugaan Rhea, wajah papa langsung berubah jadi merah padam begitu mendengar jawaban
putrinya. Bahkan Mama dan Reva pun terdiam.

"Siapa teman yang kamu maksud itu, Rhe?" tanya Papa. Suaranya yang serak jadi terdengar
semakin serak karena menahan marah.

"Felix, Pa. Dia anak kelas tiga," jawab Rhea pelan.

"Felix, anak yang sama sekali nggak tahu aturan itu?!" Papa berteriak marah.

"Pa.." Mama berusaha menenangkan papa.

"Kenapa kamu bisa pulang diantar dia? Mau jadi perempuan apa kamu? Setahu papa dia
berangkat sekolah naik motor, berarti kamu pulang diantar naik motor, kan?"

Rhea mengangguk pelan. Kepalanya menunduk menatap kaki meja makan.

"Rhea berarti kamu naik motor tanpa memakai helm?" kali ini Mama bertanya.

"Iya, Ma.." Rhea mengangguk pelan.


"Papa melarang kamu bergaul dengan anak laki-laki itu. Dia itu nggak bisa dipercaya, pengecut,
dan nggak tahu aturan! Kalau papa sampai tahu kamu masih berteman dengannya, Papa akan
bertindak lebih keras terhadap kamu!" bentak papa.

Ingin rasanya Rhea berteriak, membalas semua makian papa. Tapi Rhea nggak bisa. Ia tahu,
semakin ia berani melawan papa, maka papa akan semakin marah. Padahal jelas Rhea nggak
terima papa marah-marah seperti ini. Apalagi pakai acara menjelek-jelekan Felix segala. Papa
tahu apa sih tentang Felix? Felix itu baik banget kok. Sama sekali berbeda dengan makian papa
tadi. Papa nggak punya alasan, juga nggak punya hak untuk menjelek-jelekan cowok sebaik
Felix.

"Rhea... maksud papa tuh baik. Papa dan mama nggak mau kamu salah pergaulan. Lagi pula
sangat berbahaya kalau kamu naik motor tanpa memakai helm walaupun jarak yang ditempuh
nggak jauh, kamu ngerti kan sayang?" suara mama yang lembut berusaha menetralkan atmosfir
tegang yang memenuhi ruang makan.

Rhea cuma bisa mengangguk. Saat ini, hati dan otaknya penuh rasa marah pada papa. Rhea muak
dengan kerasnya papa yang selalu merasa dirinya paling benar. Nafsu akan Rhea jadi hilang.

"Sabar ya Rhe.." bisik Reva pada Rhea yang duduk di sebelahnya.

"Reva.. Papa minta besok kamu sudah mendapatkan guru les untuk Rhea. Adikmu itu perlu
belajar lebih serius lagi agar dia nggak terlalu banyak bergaul dengan anak-anak yang nggak
mengerti tata krama," pinta papa dengan nada tegas yang lebih berkesan sebagai perintah dari
pada permintaan.

"Reva usahakan, Pa," jawab Reva dengan sopan dan manis.

Dibandingkan Rhea, Reva memang lebih pintar mengambil hati orangtua mereka. Karena itu
sejak dulu Rhea selalu menganggap kakaknya itu dianakemaskan papa dan mama. Tapi Rhea
nggak bisa iri ataupun membenci kakaknya itu, karena Reva selalu baik dan memanjakan
dirinya. Reva selalu berusaha melindunginya dari kerasnya papa. Saat Rhea lagi kesel sama
papa, Reva pasti hadir sebagai ibu peri buat Rhea, kemudian menyiapkan seribu satu lelucon
yang kadang sama sekali nggak ada lucu-lucunya demi menghibur Rhea. Dan akhirnya, Rhea
merasa Reva memang layak menjadi "anak emas" di keluarga ini.

Tangan kanan Rhea menyendok nasi dengan marah dan memaksa diri untuk menelan nasi. Rhea
benar-benar dongkol sama papa dan seisi rumah ini. Gue benci sama semuanya!

***
Rhea duduk di depan komputernya yang ada di pojok kamarnya, di depan jendela yang tertutup
rapat oleh gorden biru muda berpola bola-bola kecil. Ia masih kesal dengan peristiwa di meja
makan tadi. Tapi ia nggak bisa terus ngedumel seorang diri karena masih harus membuat
proposal OSIS yang sudah dibicarakan saat rapat tadi siang. Terlebih lagi proposal itu harus ia
serahkan pada Betet besok pagi.

Rhea mulai mengetik lembar demi lembar. Tangannya bergerak lincah di atas keyboard.
Membuat proposal bukan hal asing buat Rhea karena sejak SMP ia sudah terlatih membuat
proposal. Soalnya, setiap ada kegiatan, dia selalu kebagian jabatan sebagai sekretaris. Nggak
pernah jabatan lain. Makanya, dia hafal banget format pembuatan proposal yang baik dan benar.

Selang dua puluh menit, proposal itu sudah rapi, berada di dalam map hijau dan siap di serahkan
besok. Rhea mematikan komputernya dan mengambil HP-nya yang ada di meja tempat tidurnya.

HP-nya terbilang sudah ketinggalan zaman jika dibandingkan dengan HP teman-temannya.


Bentuknya masih besar, warna layarnya masih kuning, masih monofonik, dan hanya bisa
digunakan untuk nelpon dan SMS. Nggak seperti punya teman-temannya yang sudah bisa
digunakan untuk internet, foto, video, MMS, bahkan bisa digunakan sebagai radio dan MP3.

Tapi bagi Rhea, HP-nya ini salah satu benda berharganya, hadiah dari Reva waktu Rhea ulang
tahun yang ke-14. Gara-gara hadiah ini kakaknya dimarahi papa seharian penuh karena dianggap
menghambur-hamburkan uang. Papa juga melarang keras Rhea membawa HP itu ke sekolah
karena dianggap dapat mengganggu konsentrasi belajar. Larangan itu terus berlaku sampai
sekarang. Makanya Rhea cuma perlu menyiapkan dana sebesar RP 50,000,- per bulan untuk
membeli pulsa karena ia jarang menggunakan HP-nya itu. Berbeda dengan Marcia dan Rachel
yang jatah pulsa setiap bulannya minimal Rp 250.000,-.

Rhea membuka fitur message pada HP-nya dan segera menulis pesan untuk Marcia.

Mar, gw pnya info menrk buat elo. Td plng skul, gw dianterin Felix smp rmh.

Pesan terkirim, dan dalam waktu enam puluh detik Rhea sudah menerima balasannya.

Gw call elo skrng jg! ! !

Baru Rhea selesai membaca pesan itu, telepon di ruang bawah berdering nyaring.
"Rhea! Ada telepon dari Marcia!" panggil mama dari bawah.

"Iya, ma! tunggu sebentar!" jawab Rhea, lalu bergegas turun menyambut telepon untuknya.

"Hallo...," sapa Rhea ramah begitu gagang telepon menempel di telinganya.

"Gila, elo diantar Felix sampai rumah Rhe?" Marcia memberondong Rhea dengan pertanyaan
yang menggebu-gebu.

"Weits... sabar dong! Nanyanya satu-satu... Begini, gue juga nggak tau kenapa si Felix mau
nganterin gue pulang. Tau-tau dia ngajak gue kenalan, ngobrol, habis itu nganterin gue pulang
deh," jawab Rhea dengan suara pelan. Ia nggak mau ketahuan papa ngobrolin masalah tadi siang
di telepon. Kepala Rhea celingak-celinguk ke segala arah.

Tapi tampaknya dia cukup aman sekarang. Soalnya papa udah masuk ruang kerja, Mama juga
sudah masuk kamar. Reva juga nggak kelihatan lagi batang hidungnya. Berarti Rhea bisa
ngobrol bebas di telepon.

"Suara lo pelan banget sih. Gue nggak kedengeran nih! protes Marcia.

"Gue nggak bisa ngomong keras-keras. Kalau ketauan bokap, gue bisa runyam," kata Rhea
masih dengan suara pelan.

"Oke.. oke... trus, gimana critanya Felix bisa ngajak lo pulang bareng?"

"Hari ini gue pulang tanpa bokap. Selesai rapat OSIS gue males pulang. Gue duduk-duduk dulu
dekat lapangan sambil baca novel yang gue pinjam dari elo. Tau-tau Felix nongol di depan gue
dan ngajak kenalan."

"Apa? Dia ngajak kenalan duluan?"

"Iya. Emangnya lo kira gue yang kecentilan deketin dia?"

"Hehehe... Bukannya begitu, Rhe. Cuma aneh aja kalo ada cowok yang nekat deketin elo jika
mengingat latar belakang kelurga lo."

"Apa maksud lo dengan latar belakang keluarga gue? Emangnya gue dari keluarga narapidana,
apa?"

"Maksud gue bokap lo itu. Anak cowok kan pada takut deketin elo gara-gara Mr. Headmaster
yang sangar itu."

"Iya sih. Gue juga bingung pas dia tiba-tiba deketin gue. Mungkin karena dia tahu bokap gue
udah pulang duluan, dia jadi berani deketin gue."

"Mungkin juga. Dan kalau itu benar, berarti Felix diam-diam memperhatikan elo.!"
"Nggak tau deh.."

"Gila! Ini baru namanya hot gossip!"

"Eits, tunggu dulu! Elo jangan coba-coba nyebarin cerita ini ke anak-anak lain ya. Kalau bokap
gue sampai denger, tamat deh riwayat gue."

"Eh iya, sampai lupa. Gimana reaksi bokap lo?"

"Ngamuk berat. Besok deh gue critain detailnya."

"Ya, udah. Gue tunggu cerita lo besok. Bye!"

"Oke.. Bye!"

Rhea menutup telepon dan berjingkat-jingkat kaya maling kembali ke kamar. Rhea takut papa
tahu dia sudah menggunakan telepon untuk ngobrol selama lebih dari limabelas menit. Baru saja
Rhea menutup pintu kamarnya, ringtone Toxic nya Britney Spears mengalun dari HP-nya. Buru-
buru Rhea menyambar HP yang masih tergeletak di tempat tidur.

"Rachel.., desis Rhea membaca identitas penelpon yang tertera di layar. "Ada apa Chel ? Tanya
Rhea begitu selesai menekan tombol answer.

"Gila lo! Gimana caranya lo bisa diantar pulang sama yayang Felix gue?"

Marcia ember! Udah diperingatkan untuk tutup mulut masih aja kaya ember bocor.

"Gue juga nggak ngerti gimana caranya. Tau-tau dia menawarkan diri nganterin gue pulang."

"Oh my God. Gue yang setiap hari berdiri di pinggir lapangan melototin dia sampai mata gue
mau keluar, tetep nggak pernah punya kesempatan nyapa dia. Tapi elo.. Oh my God.. It's very
unfair."

"lh, Rachel nggak usah segitunya kali.."

"Ya ampun, Rhe. Elo tuh lucky banget, tau!"

"Masa sih? Gue emang seneng ada cowok yang berani ngajak gue ngobrol berdua aja. Tapi
rasanya itu bukan hal yang luar biasa, kan?"

"Bukan cuma luar biasa Rhe, tapi sangat luar biasa karena cowok yang lo maksud itu Marcellus
Felix, cowok paling ngetop di sekolah kita."

"Jangan terlalu hiperbola gitu dong. Gue jadi risi nih."

"Tapi ini memang luar biasa Rhe. Sama sekali bukan hiperbola."
"Whatever deh. Tapi yang pasti elo jangan cerita ke siapa pun ya. Please... soalnya kalo masalah
ini jadi gosip, bokap gue pasti ngamuk berat."

"Bokap lagi bokap lagi.."

"Please, Chel..

"Iya, iya. Gue tutup mulut, tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Kenalin gue ke yayang Felix dong."

"Iya.."

"Huahaha... Rhea memang my sweetest friend."

"Tapi inget, tutup mulu lo! Oke?"

"Siap, Bos. Udahan dulu ya. Gue mau mimpiin yayang Felix dulu nih dah Rhea!"

"Dah...!"

tut..tut...tut...

Rhea meletakan HP-nya ke atas meja setelah mengatur alarm HP agar berbunyi seperti biasanya
besok pagi. Diliriknya jam beker yang sekarang berdampingan dengan HP-nya. Sudah jam
21.10. Waktunya mematikan lampu kamar. Hanya tinggal temaram cahaya dari lampu hias
berbentuk hati yang ada di sebelah tempat tidurnya.

Rhea merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Bayangan kejadian hari ini seperti rol film yang di
putar kembali di dalam otaknya. Untuk partama kali dalam hidupnya, Rhea merasa hari yang
dilaluinya sungguh menakjubkan.

Rhea pun larut dalam lamunannya sendiri. Apakah yang terjadi hari ini cuma terjadi hari ini aja!
Apa besok hidup gue bakal ngebetein lagi? Gue happy ada cowok yang berani deketin gue.
Apalagi tuh cowok inceran cewek-cewek satu sekolah. Walau gue kesel banget sama papa yang
udah marah-marah tanpa alasan yang jelas, tetap aja gue nggak bisa mengurangi rasa happy gue
atas apa yang udah terjadi hari ini. Felix.... are you my white knight yang selama ini selalu hadir
dalam angan-angan gue? Apa elo pangeran yang akan membawa gue menuju nageri dongeng
dan menjadikan hidup gue seseru hidupnya Harry Potter? Boleh nggak gue berharap seperti ini?

Pikiran Rhea melayang entah kemana sampai akhirnya matanya pun menutup rapat. Angan-
angan Rhea pun di bawah oleh peri mungil menuju dunia mimpi, dunia tempat Rhea selalu bisa
menjadi tokoh utama yang menjalani berbagai petualangan seru, yang nggak akan pernah
mungkin dijalaninya di dunia nyata.
***

"Bokap lo ngejelekin yayang Felix Gue seperti itu?" Rachel berseru marah begitu mendengar
cerita lengkap mulut Rhea saat jam istirahat.

Tiga sekawan ini sudah duduk di sudut kiri kantin menikmati soto mie pak Jenggot yang terkenal
kelezatannya.

"Rachel, lo nggak usah sampai seheboh itu dong!" tegur Marcia.

"Tapi kepala sekolah kita tuh udah keterlaluan banget. Apa maksudnya dia bilang yayang Felik
gue nggak tau aturan? Jelas Felix paling jago soal aturan. Buktinya, kalo main basket dia nggak
pernah tuh yang namanya walking, double, atau menyalahi aturan-aturan lainnya," Rachel sewot
bukan main. Soto minya hampir tumpah saat dia menggebrak meja untuk melampiaskan rasa
kesalnya.

"Rachel, lo mau anak-anak dengerin omongan kita ya?! Lagian kan bukan peraturan seperti itu
yang di maksud bokap gue," protes Rhea saat dirasakannya puluhan mata yang ada di kantin
mulai menatap mereka dengan curiga.

Rachel sudah mau menanggapi protes Rhea, tapi diurungkannya begitu ia melihat sosok
pujaanya berjalan mendekati tempat duduk mereka. Mulut Rachel terbuka lebar, lidahnya terasa
kelu. Rachel menatap sosok yang berdiri di depannya seperti melihat hantu.

Marcia dan Rhea membalikan badan, mencari tahu apa yang telah membuat Rachel mendadak
terdiam dan terpana seperti orang blo'on. Dan sosok yang mereka lihat kemudian hampir
membuat jantung mereka copot.

"Felix..," gumam Rhea dengan tatapan nggak percaya.

"Hai, Rhe. Boleh gabung, nggak?" sapa Felix ramah.

"Bo.. Boleh.," jawab Rhea gugup. Ia jadi salah tingkah karena sama sekali nggak mengira Felix
datang menemuinya.

Felix duduk di bangku kosong yang ada di sebelah Rachel. Mata Rachel tak lepas menatap Felix,
mulutnya masih terbuka lebar.

"Bokap lo marah nggak, Rhe, begitu tau elo diantar pulang sama gue?" Felix memulai
percakapan.

"Mmm... Dikit sih," Rhea menjawab ragu-ragu.


"Kalau gitu sori ya... Gara-gara gue, lo jadi diomelin bokap lo."

"Nggak apa-apa kok. Gue yang mesti minta maaf udah nyusahin elo kemarin."

"Nggak nyusahin kok. Tiap hari nganter elo pulang juga it's okay. Gue bersedia kok."

Kata-kata Felix membuat jantung Rhea berdebar kencang. Rhea menundukan kepalanya dalam-
dalam, karena ia tahu saat ini pasti pipinya memerah seperti tomat. Rhea nggak mau Felix
sampai mengetahuinya. Malu!

"Rhe, gue boleh nggak minta nomor HP lo? Kalo nomor rumah lo sih gue udah punya..." Felix
mengeluarkan HP miliknya dari saku celana.

"Boleh..."

Saat Rhea menyebutkan nomor HP-nya, jemari Felix dengan cekatan menyimpan ke dalam
memiori HP-nya.

"Boleh gue telepon nanti malem?"

"Boleh aja. tapi ke HP aja, ya."

"Oke deh. Kalo gitu gue balik ke kelas duluan ya. Tunggu telepon dari gue nanti malam ya,
Rhe...!" Felix bangkit dari duduknya.

Rhea hanya mengangguk dan tersenyum. Tangannya terasa begitu dingin karena terlalu tegang
dan gugup.

"Eh, gue sampai lupa." Felix merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sesuatu. "Gue punya
coklat. Satu buat Rhea dan yang dua ini buat Marcia dan Rachel."

"Makasih...," ucap Rhea tulus. Kedua sahabatnya cuma bisa melongo. Mereka nggak
menyangka, kecipratan rezeki juga.

"Lumayan lah... dapet coklat. Anggap aja ongkos jadi tembok selama sepuluh menit," kata
Marcia asal.

"Hehehe.. sory. Nggak ada maksud buat nyuekin elo kok. Lain kali kita ngobrol-ngobrol bareng
lagi deh. Oke?" Felix akhirnya sadar, sejak tadi ia terlalu asyik ngobrol sama Rhea dan
melupakan dua cewek manis yang ada di dekatnya.

"Nggak pa-pa.. Nggak pa-pa...! Kan udah ada coklat buat biaya ganti rugi.." Rachel dan Marcia
memamerkan coklat di tangan mereka.

Felix tersenyum lalu menuju kelas, meninggalkan ketiga cewek yang masih memandangi coklat
di tangan mereka.
"Rhe, gue yakin Felix pasti naksir elo," kata Marcia setelah Felix menghilang dari kantin.

"Nggak usah terlalu GR. Mana mungkin cowok sekeren dia naksir gue. Baru aja dikasih coklat,
udah mikir yang bukan-bukan," elak Rhea sambil menikmati soto minya yang masih tersisa
setengah porsi.

"Tapi lo liat sendiri kan, dia nanya nomor HP lo. Dia mau call elo nanti malam. Itu jelas
menunjukan dia lagi PDKT sama elo." Marcia mencoba berargumen.

"Itu belum bisa menjadi bukti dia suka sama gue..." tegas Rhea.

"lh, Rhea.. tapi elo setuju sama pendapat gue kan, Chel?" Marcia mencoba mencari pembelaan
dari Rachel.

Tapi tampaknya usaha Marcia sia-sia. Rachel sama sekali nggak memerhatikan pertanyaannya.
Cewek itu masih melongo menatap coklat yang ada di tangannya. Mulut Rachel terbuka lebar,
matanya nggak berkedip.

"Chel! Rachel!" panggil Marcia.

"Rachel!" Rhea ikut membantu. Digoyang-goyangkannya pundak Rachel, tapi tetep nggak ada
respons. Jangan-jangan Rachel kesambet jin, lagi! Ih.. Syerem!

"Rachel.." sebuah jitakan keras melayang di ubun-ubun Rachel. Kayaknya Marcia nggak sabar
melihat tingkah Rachel yang bikin bulu kuduk jadi merinding.

"Adauw!" Rachel berteriak kesakitan.

"Elo kenapa sih? Kesambet ya!" Marcia sewot.

Rachel mengelus ubun-ubunnya sambil cengar-cengir. Tangan kanannya masih memegang


coklat pemberian Felix. Marcia dan Rhea mengernyitkan dahi. Jangan-jangan si Rachel benar-
benar kesambet. Masa kesakitan sambil cengar-cengir gitu. Aneh, kan? Marcia dan Rachel
bergidik ngeri.

"Gue bener-bener nggak nyangka Felix tau nama gue, bahkan dia ngasih gue coklat," akhirnya
Rachel bersuara. Dipamerkannya coklat di tangannya ke depan hidung Marcia.

Marcia dan Rhea manggut-manggut tanda mengerti. Akhirnya mereka paham bahwa teman
mereka yang satu ini bukan kesambet jin, tapi kesambet Felix.

"Chel, lo jangan GR dulu dong.. Felix tuh ngasih cokelat bukan cuma buat elo, tapi juga buat
Rhea en gue," kata Marcia.
"Biarin! Yang penting gue dapat cokelat." Rachel memeluk cokelatnya erat-erat.

"Rachel... Sadar ya, Felix tuh bukan lagi PDKT sama elo, tapi sama Rhea," kata Marcia lagi.

"Belum tentu, Mar," elak Rhea.

"Belum tentu bagaimana? Masa lo nggak ngerasa sih?" Marcia tampak keki.

"Menurut gue Marcia bener deh, Rhe," celetuk Rachel.

"Tuh kan.. Rachel aja setuju sama gue. Eh tapi lo kan juga demen sama Felix, Chel." Marcia
menggoda sahabatnya.

Rhea menatap Rachel dengan perasaan nggak enak. Rhea tahu banget bagaimana perasaan
Rachel ke Felix. Rachel udah jatuh cinta sama Felix sejak MOS. Tapi kalau benar Felix naksir
Rhea, bagaimana dengan Rachel?

"Gue emang naksir Felix. Tapi gue bisa sportif kok. Kalo emang Felix dan Rhea saling suka...
gue marestui," kata Rechel mantap.

"Gue bangga sama elo, Chel..," puji Marcia sambil mengacungkan kedua jempolnya tinggi-
tinggi. Elo memang sahabat sejati..."

Rhea tersenyum lega mendengarnya. Males banget deh kalo harus kehilangan sahabat cuma
gara-gara makhluk yang bernama cowok. Tapi apa benar Felix suka sama Rhea? atau Marcia
yang terlalu cepat menarik kesimpulan? dan yang paling penting, apa Rhea juga suka sama
Felix? tampaknya alur hidup Rhea sudah mulai seru nih!

Rhea menelan sesendok terakhir soto minya lalu mengaduk-aduk es teh manisnya. Saat itu
otaknya penuh dengan satu nama, Felix.

"Eh, sampai lupa. Nanti lo berdua temenin gue ke kelas Betet dulu ya," Rhea mengajak kedua
sahabatnya. "Gue mau nyerahin proposal." Marcia dan Rachel mengangguk setuju.

***

Rhea duduk di tempat tidur sambil membaca catatan geografi. Besok mau ada ulangan, makanya
Rhea sudah mulai belajar dari jam tujuh malam. Dia nggak mau sampai dapat nilai 9,9 besok
karena pasti menurut papa itu bukan nilai sempurna. Tapi tampaknya Rhea nggak bisa
berkonsentrasi pada catatan yang dibacanya. Berulang kali matanya melirik HP yang ada di
sampingnya. Rhea lagi menunggu telepon dari Felix yang katanya mau nelepon malam ini. Tapi
yang ditunggu nggak kunjung berdering.
Rhea mulai kesal. Jangan-jangan Felix cuma basa-basi. Jangan-jangan dia saja yang terlalu ke-
GR-an dan banyak berharap. dalam hati Rhea mulai memaki-maki dirinya sendiri.

Tapi... masa sih Felix bohong? Soalnya waktu ke kelas Betet untuk menyerahkan proposal, Rhea
sempat berpapasan lagi dengan Felix. Dan Felix kembali mengingatkan Rhea untuk menunggu
telepon darinya nanti malam. Masa Felix bohong? buat apa? atau mungkin lupa.

derrrttt...terasa getaran halus dari HP-nya.

Rhea buru-buru mengambilnya. 1 message recaived Rhea membaca pesan masuk ke inbox.

gmn, Rhe? Felix da call elo?

SMS dari Marcia. Rhea mulai mengetik balasan untuk sobatnya yang selalu pengin tahu itu.

blm! Mgkn dia bong. Mgkn aja cm basa-basi blng mo call gw.

Message sent..

Rhea meletakan HP-nya ke tempat semula, ke pulau kapuk yang tercinta. Ia kembali membaca
catatannya, tapi tetap aja dia nggak bisa berkonsentrasi penuh.

Derrtt.. Derrt.. HP-nya bergetar. Tapi kali ini berulang kali. Berarti ada telepon yang masuk.
Rhea menatap layar HP-nya. Cuma ada nomor telepon. Si penelpon pasti lah orang yang jarang
menghubunginya atau orang yang nomor teleponnya lupa Rhea simpen di memori HP-nya. Atau
jangan-jangan,.. Felix!

"Halo.." sapa Rhea ragu.

"Halo, Rhe.. Lagi ngapain?" tanya seseorang di seberang.

Rhea kenal suara ini. Benar Ini suara Felix. Pasti! Rhea yakin 100%.

"Lagi belajar geografi... Ada ulangan besok."

"Rajin banget. Tapi belajarnya sambil nungguin telepon dari gue, kan?"

"Iya.."

"Syukur deh. Gue kirain elo nggak suka kalo gue nelepon elo. Tapi gue nggak ganggu, kan?
"Nggak.."

"Mmm.. Gimana cokelatnya? Udah lo makan?"

"Udah. Malahan tuh cokelat udah jadi salah satu penghuni WC di rumah gue. Hehehe..

"Nggak apa-apa. Besok gue bawain cokelat lagi deh. Biar cokelat yang ada di WC lo dapat
temen dan nggak kesepian. Kaya gue sama elo..."

Apa maksudnya kaya gue sama elo? pikir Rhea bingung.

"Eh iya, kapan-kapan jalan yuk. Mau nggak?" tanya Felix.

"Mmm.. gue mau sih. Tapi lo tau bokap gue, kan? Mungkin gue bakal susah dapat izin."

"iya, gue tau. Temen-temen gue juga udah pada ngingetin gue. Soalnya ada bokap lo yang siap
menghadang jalan gue ngedekatin elo.."

Ngedekatin gue? pikir Rhea.

"Tapi tenang aja, Rhe. Gue tahan banting kok. Gue nggak akan nyerah walaupun bokap lo
ngelepasin sepuluh herder buat ngusir gue dari sisi lo."

"Bokap gue nggak sejahat itu kok. Dia cukup naro sarang tawon di kepala lo, biar nyiumin muka
lo yang oke itu. Hehe.."

"Ternyata elo sadis juga ya. Tapi nggak apa-apa, gue suka kok cewek sadis. Biasanya cewek
yang sadis lebih menantang."

Rhea terdiam. Pipinya terasa panas. Untung Felix ngomong begini lewat HP, jadi cowok itu
nggak akan melihat wajah Rhea yang saat ini pasti merah banget.

"So, elo mau ya kalo kita kapan-kapan jalan berdua!"

"Mmm... liat nanti deh. Gue nggak janji."

"Kok nggak janji? yah... elo ngecewain gue nih."

"Maksud gue bukan begitu... Gue bener-bener nggak berani janji dulu sama elo."

"Ya udah. Tapi gue jamin, gue pasti berhasil ngajak jalan cewek yang gue suka..."

Cewek yang dia suka? apa yang dia maksud gue? tanya Rhea dalam hati.

"Oke deh, Rhe. Udahan dulu ya. Gue nggak mau lo nggak jadi belajar gara-gara gue."

"Iya..."
"Jangan bobo malem-malem ya. Nanti lo sakit, lagi. Kan gue yang sedih kalo elo sampai sakit."

"Iya deh."

"Satu lagi.. jangan lupa mimpiin gue ya."

"He-eh."

"Bye bye, sweety."

"Bye.."

tut.. tut... tut...

Rhea meletakan HP-nya. Hatinya berbunga-bunga. Felix baik banget. Rhea merasa bagaikan
terbang ke awan, dan saat ini ia bukan sedang duduk di tempat tidur, melainkan di atas awan
putih yang lembut seperti kapas. Ternyata di-PDKT-in sama cowok rasanya seindah dan semanis
ini. Rhea benar-benar happy. Kata-kata Felix terus terngiang di telinganya.

Derrtt... HP-nya kembali bergetar. Ada SMS yang mampir di inbox-nya.

Woi, anak kutu. Hp lo sbk bgt! Felix ada call, ya ?

Dari Marcia. Rhea segera membalasnya.

Uda. Lo ga ush ganggu gw lg d! Bsk gw crt, janji! Skrg gw mo bljr geo dulu nih
! Oc.

Sambil menunggu balasan dari Marcia, Rhea mencoba mengembalikan konsentrasinya pada
catatan geografi yang ada di hadapannya. Tapi, alih-alih geografi, yang masuk dalam otaknya
malah kata-kata romantis yang didengarnya dari mulut Felix di telepon tadi. Rhea mengacak-
acak rambutnya dengan kesal. Lh, gimana caranya gue bisa konsentrasi! Alamat dapat nilai jelek
deh besok! Ya ampun, kenapa otak gue malah mikirin Felix terus sih? Felix lo ngasih gue candu
ya, sampai-sampai gue jadi kayak begini. Tapi... Kalau yang ngasih candu itu Felix, gue rela deh
kecanduan sampai overdosis. Hehehe. Cinta.. Oooh... Cinta...! Manis banget deh rasanya!

HP-nya kembali bergetar membuyarkan lamunan Rhea. SMS dari Marcia.


Yg da pny gebetan, tmn d lupain. Bljr lo sana, bsk sontekan hrs mampir di meja
gw! Awas lo!

Dasar Marcia! Gimana caranya gue bisa belajar kalau sampai detik ini gue masih belum mampu
konsentrasi? Gerutu Rhea dalam hati.

Kemudian cewek itu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Buku catatannya dibiarkannya
tergeletak begitu saja di samping kakinya. Rhea menatap langit-langit kamar, satu pertanyaan
memenuhi kepalanya. Apa benar gue jatuh cinta? Masa sih? Memangnya jatuh cinta kayak gini
ya? Gue seneng sih. Rasanya deg-degan dan berbunga-bunga. Habis, Felix baik banget. Kayak di
sinetron, gitu. Romantis! Tapi,.. Apa iya gue jatuh cinta sama Felix? kok gue masih ngerasa aneh
aja sama perasaan gue sekarang?

Rhea terus bertanya-tanya dalam hati sampai ia nggak sadar sudah jam sembilan lewat. Ketukan
dipintu kamar menyadarkan Rhea dari perdebatan panjang yang tengah berlangsung dalam
hatinya.

"Siapa?" tanya Rhea langsung terduduk.

"Kamu tau sekarang jam berapa?" ups, suara papa.

Rhea menatap jam beker dan kontan langsung menepuk dahinya. Gila, udah jam 21.18 pantes
papa menegurnya. Sudah lewat 18 manit dari waktunya memadamkan lampu kamar.

"Maaf, pa.. Rhea nggak tahu kalo udah jam segini. Rhea tidur sekarang juga deh..," jawab Rhea,
lalu buru-buru memadamkan lampu kamarnya.

Tidak ada sahutan dari papa. Hanya terdengar suar langkah kaki menuruni tangga dan beberapa
kali terdengar suara batuk yang pastinya juga keluar dari mulut papa.

Rhea kembali ke tempat tidur. Mampus, deh gue belum belajar sama sekali, Rhea memaki
dirinya sendiri. Lalu ia menangkupkan kedua telapak tangannya dan berdoa, memohon Tuhan
memberinya mukjizat besok. Minimal, semoga Bu Enggar nggak bisa masuk gara-gara pantatnya
keserempet tawon mabuk dan ulangan geografi terpaksa dibatalkan.

Asmiinn.
BAB 3

Rhea sudah duduk manis di meja makan untuk sarapan. Syukurlah papa nggak memberikan
ceramahnya gara-gara semalam Rhea tidur melewati waktu yang sudah ditentukan papa. Papa
malah kayaknya lupa tuh sama kesalahan Rhea semalam. Padahal biasanya lewat lima menit
saja, Rhea sudah mendapat ceramah panjang. Waktu itu pernah terjadi, Rhea baru memadamkan
lampu kamarnya jam sebelas malam. Ya udah deh, Rhea dapet hadiah ceramah sepanjang
perjalanan menuju sekolah. Makanya, pagi itu terasa sangat berbeda. Mungkinkah semalam
Tuhan mengirimkan malaikat ke dalam mimpi papa untuk memperingatkan papa agar jangan
memberikan ceramah mautnya pada Rhea pagi ini? Jika itu bener, oh... thanks God!

Rhea menikmati sepiring nasi goreng spesial di hadapannya dengan wajah penuh suka cita.
Urusan ulangan geografi, lihat nanti saja deh!

"Rhea..," tegur Papa.

Deg! jantung Rhea berdetak kencang. Jangan-jangan ceramah papa baru mau dimulai sekarang.
God help me!

"Hari ini guru les kamu akan datang. Reva sudah menemukan guru les yang bagus buat kamu.
Papa juga sudah bicara dengan guru itu, dan papa yakin dia bisa mengajarimu banyak hal.
Lesnya dimulai jam enam sore selama satu setengah jam. Papa minta kamu belajar yang baik dan
jangan mengecewakan papa. Kamu mengerti?"

"Iya, pa," jawab Rhea. Guru les yang udah jadi favorit papa? berarti hari-hari bahagia gue tamat
lah sudah, gerutu Rhea dalam hati.

Rhea menatap Reva tajam lalu berbisik, "Kok mbak nggak bilang-bilang dulu sih sama Rhea?"

"Maaf Rhe... mbak lupa." Reva tersenyum tipis dengan wajah memelas.

Rhea jadi kesel mendengarnya. Katanya mbak Rhea mau cari guru les yang muda dan ganteng?
kok yang didapat yang sesuai selera papa? Selera papa kan guru yang kaku dan berkacamata
tebal, yang setiap kali bicara lngsung memuntahkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Masa
orang kaya gitu sih yang dipilih mbak Reva? nasi goreng di hadapan Rhea yang sebetulnya
begitu nikmat, sekarang terasa hambar.

***
Di kelas Rhea duduk bertopang dagu. Ia masih meratapi nasibnya yang akan segera mendapatkan
guru les sesuai selera papa. Pasti suram sekali.

Marcia dan Rachel belum datang. Rhea mencoba mengalihkan pikirannya dari masalah guru les
itu. Tiba-tiba Rhea teringat, pelajaran pertama kan geografi. Lebih baik ia mengisi waktu dengan
belajar dari pada memikirkan masalah yang hanya membuatnya bete. Rhea membuka ritsleting
tasnya dan mengambil catatan geografi. Dibukanya bab yang menjadi bahan ulangan untuk hari
ini. Rhea mulai berkonsentrasi membaca dan memahami isi catatannya. Mulutnya komat-kamit
kayak lagi baca mantra.

"Hai, Rhe.." sapaan Felix yang tahu-tahu sudah duduk di sebelahnya membuat Rhea terlonjak
kaget.

"Hei.. Kapan lo dateng? Rhea berusaha menguasai diri biar nggak kelihatan grogi di depan
Felix.

"Baru aja. Elo lagi baca mantra apa sih? Gue dateng aja lo sampai nggak tau."

"Bukan mantra, tapi geografi. Jam pertama kan gue ada ulangan.

"Oh.. Gue kira lo lagi baca mantra cinta buat gue. Hehe..

"Yee GR lo!"

"Boleh dong gue PD dikit. Eh iya, nih cokelat buat lo sesuai janji gue kemarin. Biar cokelat di
WC lo punya teman."

"Makasih.. Tagi gue rasa nggak usah tiap hari lo ngasih cokelat. Lama-lama gue bisa buka pabrik
cokelat deh."

"Nggak apa-apa. Asal untung penjualannya dibagi rata. Hehe..

"Jayus lo!"

"Tapi suka, kan?" Felix mendekatkan tubuhnya ke tubuh Rhea.

"Ih... Apaan sih?" perlahan Rhea mendorong tubuh Felix. Jantungnya berdegup cepat, belum lagi
mukanya yang pasti sudah berubah warna seperti tomat. Rhea jd salah tingkah.

"Hehe.. Cuma bercanda kok, Rhe," kata Felix, lalu dengan beraninya membelai lembut rambut
Rhea.

Rhea semakin salah tingkah. Tapi nggak kuasa menolak. Untung kelas sepi dan belum ada yang
datang selain Rhea, jadi nggak ada yang melihat adegan romantis ini.
"Rambut elo halus dan lembut ya.. Benar-benar sesuai sama penampilan elo yang asli cantik
banget."

"Gombal! Cewek kayak gue kok dibilang cantik.?! Udah berapa cewek sih yang lo rayu kayak
gini?

"Baru satu... ya elo ini. Makanya gue kurang pengalaman nih, takutnya gue gagal deh ngedeketin
elo," ujar Felix, membuat Rhea nggak bisa bersuara. "Kasih gue harapan dan kesempatan ya,
Rhe..," kata Felix lembut.

Rhea nggak bisa menjawab. Lidahnya terasa kelu. Mendadak terdengar suara. "Nah lho! pagi-
pagi udah asyik pacaran ya!" Marcia tiba-tiba muncul di muka kelas. Rhea dan Felix terlonjak
kaget.

"Siapa yang pacaran sih, Mar? Nggak usah bikin gosip deh..," sahut Rhea sebal karena sobatnya
ini sudah mengganggu suasana romantisnya.

"Kalo bukan pacaran, apa lagi tuh namanya... duduk berduaan, nempel banget, lagi. Trus pake
acara belai-membelai gitu..." Marcia nggak mau kalah, lalu berjalan ke bangkunya sendiri dan
meletakan tasnya sambil senyum-senyum.

"Ini belum resmi pacaran Mar. Nanti deh kalo udah resmi, baru deh gue umumin ke seluruh
pelosok dunia kalo gue tuh cinta banget sama gadis manis yang sekarang ada di samping gue
ini..." Felix memandang Rhea penuh kehangatan.

Rhea tambah salah tingkah. Pipinya terasa panas.

"Duh... romantisnya!" seru Marcia.

"Ya udah, Rhe, gue balik ke kelas dulu ya. Selamat belajar! Semoga sukses ulangannya. Kalo
ada soal yang susah, sebut aja nama gue tiga kali, pasti lo tetep nggak bisa ngerjainnya. Soalnya
nama gue belum pernah masuk buku Geografi. Hehe.."

Rhea berusaha tersenyum walaupun susah, karena ia masih sangat gugup gara-gara perkataan
Felix tadi yang jelas menunjukan bahwa cowok itu suka sama Rhea.

"See you, sweety." Felix beranjak meninggalkan kelas Rhea.

Rhea masih terdiam. Matanya nggak lepas menatap sosok Felix yang menghilang di balik pintu
kelasnya. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

"Gila lo, Rhe.... cewek-cewek yang lain pada jatuh-bangun berusaha ngedapetin cinta Felix, eh
elo malah ngedapetin cintanya semudah membalikkan telapak tangan. Lo main dukun ya, Rhe?"
tuduh Marcia yang langsung menghampiri Rhea begitu Felix nggak kelihatan lagi batang
hidungnya.
"Sial lo! Emangnya gue cewek apaan pake main dukun segala."

"Habis elo keren banget sih, bisa bikin Felix jatuh cinta sama elo. Felix tuh romantis banget ya.
Lo beruntung lho, bisa dapetin dia."

"Nggak tau ya, Mar. Feeling gue sama dia masih rada aneh nih. Felix emang baik, romantis,
lembut dan perhatian banget, tapi nggak tau kenapa gue ngerasa ada something yang kurang."

"Mungkin karena ini yang pertama buat elo, Rhe. Selama ini kan lo nggak pernah ngerasain hal-
hal sepeti ini, makanya perasaan lo masih belum bisa menerima kenyataan ini, masih
menganggap semua keindahan yang terjadi ini tuh cuma mimpi."

"Masa sih, Mar?"

"Udah deh..... lo nikmati aja semuanya dulu. Nanti juga lo akan mengerti apa yang lo mau dan
apa yang lo rasakan." Rhea membenarkan kata-kata Marcia.

Anak-anak sudah mulai berdatangan. Rachel juga sudah muncul di muka kelas dengan suara
khasnya dan tingkahnya yang selalu grasa-grusu. Kelas mulai ramai seperti pasar. Ada yang
sibuk minta sontekan PR kimia, ada yang sibuk ngegosip, ada juga yang sibuk menyalin catatan
geografi ke selembar tisu. Melihat sontekan geografi, Rhea teringat dia juga belum belajar.

"Mampus deh! Gue belum belajar geografi nih!" ujar Rhea pada Marcia.

"Belum belajar gimana? kemarin kan gue ngasih lo waktu buat belajar? kok elo malah bilang
belum belajar sih? nasib gue kan tergantung elo, Rhe," protes Marcia."

"Yah... gimana dong nasib gue?" Marcia menunduk di atas meja. Pasrah pada nasib.

Rhea mulai sibuk membuka kembali catatannya. Tapi dalam suasana yang begini ribut mana bisa
ia belajar. Tampaknya Rhea hanya pasrah pada nasib. Semoga Tuhan mau mendengarkan doanya
semalam.

***

"Rhea pulang...!" teriak Rhea begitu tiba di rumah. Papa yang juga selalu pulang sama-sama
Rhea langsung masuk ke ruang kerja. Sepertinya ada berkas-berkas dari Depdiknas yang
membuat papa terlihat agak sibuk sejak kemarin.

Rhea berjalan menuju dapur. Tas ranselnya masih nangkring di punggung. Dilihatnya mama lagi
asyik memotong bawang putih.
"Halo, ma... masak apa nih? Rhea udah lapar." Rhea mencomot kerupuk yang ada di stoples di
meja makan.

"Ada sayur asem, ikan asin, dan lalapan. Sekarang mama tinggal bikin cah kangkung favoritnya
papa. Kamu ganti baju dulu. Selesai kamu ganti baju, masakan mama pasti sudah selesai dan kita
bisa makan bersama. Kakakmu juga sudah pulang."

"Tumben mbak Reva udah pulang."

"Katanya nggak ada dosen. Sudah, kamu ganti baju sana.

"Iya, Rhea. Tapi cah kangkungnya jangan lupa pakai cabe rawit ya."

"Iya...," jawab mama.

Rhea meninggalkan dapur menuju kamarnya. Menurut Rhea, kamarnya adalah ruangan terindah
karena di sini Rhea bisa menjadi ratu yang bebas melakukan apa saja meskipun cuma sesaat.
Setelah menutup kembali pintu kamar. Rhea melepaskan tas ranselnya di atas meja. Lalu
mengambil kapas dan membersihkan wajah dengan susu pembersih. Tak lupa ia gunakan pula
penyegarnya. Setelah itu Rhea mengambil kaos dan celana pendek dari lemari pakaian. Dalam
waktu lima menit Rhea sudah mengganti seragamnya dengan kaos rumah. Rhea duduk di depan
cermin dan mulai menyisir rambutnya.

Ulangan geografi sudah membuat rambutnya berantakan karena terlalu banyak diacak-acak saat
ia sedang berfikir. Mengingat ulangan geografi, Rhea jadi tertawa sendiri. Ia ingat betapa
nekatnya dia waktu mengoper penghapus yang sudah ditulisi jawaban pada Marcia dan Rachel.
Untungnya Bu Endar tidak melihat dan malah asyik mengotak-atik HP. Rhea juga bersyukur
karena soal-soal yang diberikan Bu Endar itu multiple choice, jadi paling tidak Rhea masih bisa
menggunakan jurus andalan kalau kepepet, yaitu nembak (asal pilih jawaban getu lho ). Kalo
saja semua guru seperti bu Endar, betapa bahagianya para murid. Sekarang rambut Rhea sudah
tersisir rapi dan digelung pakai sumpit rambut. Rhea bangkit dari duduknya dan keluar kamar
menuju dapur. Reva sudah mondar-mandir di dapur membantu mama menata meja makan. Rhea
bergegas mempercepat langkahnya untuk turun tangan membantu.

"Biar Rhea yang ngambil gelas, mbak..."

"Ya udah, mbak yang nyiapin air putihnya.

Tak lama kemudian, mama muncul dari dapur sambil membawa sepiring cah kangkung yang asli
harum banget dan meletakannya di meja makanan.

"Hidangan sudah siap! kalian tunggu sebentar ya. Mama panggil Papa dulu..." Mama
melepaskan celemek bermotif mawar merah yang di kenakaannya memasak tadi, dan melipatnya
sambil berjalan menuju ruang kerja papa.
Rhea dan Reva menunggu di meja makan sambil sesekali mencomot mentimun dari piring
lalaban.

Mbak.... kok mbak nyari guru les buat Rhea yang kayak selera papa sih! Kan payah semua....."
protes Rhea sambil mencomot mentimun yang ketiga.

"Eits.... jangan salah! Nggak semua selera papa mengerikan. Kalo yang satu ini di jamin Top.
Lagi pula ini kebetulan aja kok," Reva membela diri. Tangannya ikutan mencomot timun yang
ke lima.

"Kebetulan gimana?"

"Yang jadi guru les kamu itu Nico, temen kuliah mbak. Masa kamu nggak ingat sama dia. Dia
kan anaknya temen papa.

"Nico? Nico siapa?"

"Itu, lh, temen favorit kamu waktu kecil. Dulu Nico kan sering banget diajak papanya main ke
sini. Waktu dulu mereka tinggal nggak jauh dari sini. Jadi masih tetangga gitu deh sama kita.
Cuma sejak mamanya Nico meninggal dan mereka pindah ke Australia, kita jadi lost contact
sama mereka."

"Nico Nico yang mana ya?"

"Memori kamu nih kapasitasnya kecil ya. Masa gitu aja nggak ingat, dulu waktu kamu kena
tifus, papanya Nico yang nganter kamu ke rumah sakit tempat dia praktik. Waktu itu keluarga
kita nggak seperti sekarang, keuangan papa masih sekarat. Untung ada papanya Nico yang mau
bantuin biaya rumah sakit. Kita tuh utang budi sama dia.

"Oooh... Rhea inget deh! Kak Nico yang badannya bulet pendek itu kan? Dulu dia paling suka
main perang-perangan sama Rhea. Rhea masih inget kok. Orangnya lucu banget. Rhea suka deh
main sama dia.

"Ya, betul! Makanya tadi kan mbak bilang, dia itu temen favorit kamu waktu kecil. Umur kalian
memang beda tapi kalo lagi main kelihatan serasi banget. Kompak abis."

"ih, mbak... nggak sampai segitunya kali. Jadi gara-gara itu papa langsung setuju? Memangnya
otaknya bisa diandalkan mbak?

"Kalo nggak bisa diandalkan, mana mungkin mbak mencalonkan dia. Nico itu cowok paling top
di kampus. Otaknya oke. Kamu tau, IPK terakhirnya aja 3,79. IPK setinggi itu untuk yang
namanya fakultas kedokteran tuh sangat luar biasa. Belum lagi papanya profesor sekaligus guru
besar di universitas. Kurang apa lagi coba?"
"Masa sih? Seingat Rhea, kak Nico tuh badannya bulet pendek. Udah gitu mukanya culun
banget. Dia masih gitu nggak sekarang?

"Itu sih dulu. Sekarang beda banget. Nanti kamu liat aja sendiri...

"Apa iya? Rhea mengerutkan keningnnya. Ia meragukan perkataan Reva. Masa sih kak Nico
yang dulu bulet pendek itu sekarang berubah jauh? Rhea nggak bisa membayangkannya. Kira-
kira seperti apa ya sekarang? Trus kenapa tiba-tiba berminat jadi guru les? Bukannya dia cukup
kaya?

"Woi! kok malah bengong sih? teguran Reva membuyarkan lamunan Rhea.

"Ih mbak ngagetin aja! Rhea cuma berfikir, kalo papanya tuh dokter, profesor, plus guru besar,
berarti mereka kaya dong?

"Iyalah... Papanya kan sering dapat undangan buat jadi pembicara di seminar-seminar. Pasti
mereka kaya."

"Terus, kenapa kak Nico masih mau jadi guru les segala? Dia kan nggak kekurangan uang?

"Awalnya mbak juga heran waktu dia nawarin diri," lanjut Reva. "waktu itu mbak bukan
menawarkan job ini ke dia, tapi ke teman-teman mbak yang lain. Kebetulan dia denger. Eh dia
langsung antusis. Mbak sendiri heran. Tapi katanya dia berminat banget jadi guru les soalnya
bisa sekalian belajar. Ya mbak setuju aja, karena mbak pikir papa pasti langsung setuju kalo dia
yang jadi guru les kamu.

Rhea manggut-manggut. Yah.... paling nggak sekarang ia bisa bernapas lega karena bayangan
akan mendapatkan guru les manusia robot nggak akan jadi kenyataan.

"Nah, tuh papa! yuk kita makan...," sela mama tiba-tiba lalu duduk di bangku yang ada di depan
Reva.

Papa segera menempatkan diri di tengah-tengah keluarga. Reva menuangkan air putih ke dalam
gelas papa. Mama menyendokkan nasi dan cah kangkung ke piring papa. Pelayanan penuh dari
keluarga membuat penat yang dirasakan papa karena surat-surat yang menggunung hilang
terbawa angin.

***

Rhea sudah mandi sore. Sekarang sudah jam enam kurang seperempat. Berarti limabelas menit
lagi guru lesnya akan tiba, tapi itu juga kalo tuh guru bukan tukang ngaret. Ini pertama kalinya
Rhea punya guru les. Dari dulu, segala hal harus Rhea pelajari sendiri. Kalo ada yang nggak
ngerti, tinggal tanya papa, mama atau mbak Reva. Jadi yang namanya guru les sama sekali nggak
dibutuhkan. Entah kenapa sekarang papa jadi berubah pikiran begini.

Rhea merapikan meja ruang tamu yang akan digunakannya untuk belajar nanti. Koran-koran dan
majalah ditumpuknya dan disingkirkannya ke lemari dekat dapur. Kata mama, Rhea belajar di
ruang tamu saja, jadi mama bisa terus memantau sistem belajar mereka. Mama takut Rhea malah
keasyikan ngobrol sama guru lesnya ini, soalnya mereka berdua kan teman lama. Takut
keasyikan bernostalgia.

Rhea juga menyiapkan buku kosong dan alat tulis di meja ruang tamu yang kini sudah tertata
rapi. Hari ini mau belajar apa ya? tanyanya dalam hati. Atau mau perkenalan dulu? Kata mbak
Reva, kak Nico udah berubah. Kira-kira dia sekarang kaya apa ya? Apa sekeren Felix? Atau
seancur Betet? Dia baik atau jutek ya? Apa dia masih selucu dan seasyik dulu? Kalo memang
seperti ucapan mbak Reva, berarti dia lumayan banget dijadiin gebetan baru. Marcia dan Rachel
pasti iri. Hehehe... Rhea cengar-cengir sendiri membayangkannya. Tapi dia kan udah punya
Felix. Eits, tunggu dulu! gue kan belum jadian sama Felix. So masih terbuka peluang untuk siapa
aja dong... eh, gue gila kali ya, kok jadi kepedean begini!

"Rhea, kamu kok malah melamun? Sini bantu mama nyiapin minum untuk guru les kamu!" suara
mama membuyarkan lamunan Rhea yang mulai ngaco.

"Iya, ma!" sahut Rhea, lalu melangkah ke ruang makan. Setelah berkutat dengan jus jeruk dan
potongan brownies, Rhea mendengar bel rumah berdering.

"Nah, mungkin itu guru les kamu! Sana bukain pintunya!" Rhea segera mencuci tangan dan
bergegas keluar untuk membuka pintu.

Tet! bel kembali berbunyi.

Rhea mempercepat langkahnya, bahkan jadi setengah berlari. Nih orang nggak sabaran banget
sih! gerutunya dalam hati.

Rhea membuka pintu depan dan kembali berlari kecil menuju pagar. Dan di depan pintu pagar
yang lumayan tinggi, berdiri sesosok cowok yang postur tubuhnya tinggi dan tegap, hidungnya
mancung, penampilannya bersih, dan rambutnya cepak. Gila... dia ini kak Nico yang dulu itu?
Not bad... Rhea agak terpesona melihat cowok dihadapannya, sampai lupa membuka pintu pagar.

"Sore... kamu Rhea, ya?" tanya cowok itu dengan ekspresi datar.

"Iya...," Rhea menjawab pelan. "ng.... ini kak Nico, ya?"

"Iya," jawab Nico singkat. Melihat Rhea yang cuma bisa berbengong-bengong, Nico bertanya
lagi, "ehm... kita mau belajar di dalam rumah atau mau gelar tikar dan belajar gaya lesehan di
luar pagar sini?"
Pertanyaan cowok itu mengingatkan Rhea bahwa dia belum mempersilahkan tamunya masuk.

"Eh... iya. Mmm.... mari masuk.... masuk..." buru-buru Rhea membukakan pintu pagar. "Kita
belajar di ruang tamu aja. Udah siap kok.." Rhea nggak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.

Nico memasukan motornya melewati pagar rumah Rhea yang telah dibuka lebar, lalu mengikuti
Rhea masuk ke ruang tamu. Mama, Papa, dan Reva sudah duduk di ruang tamu. Tampaknya
meraka siap menyambut guru les Rhea yang baru. Melihat semua anggota keluarga ngumpul
seperti ini, Rhea jadi merasa sedang diperkenalkan dengan calon suami.

"Sore, Oom, Tante.... Hai, Va," sapa Nico ramah.

"Sore....," balas Papa dan Mama.

"Duduk dulu, Nic...." Reva mempersilahkan teman kuliahnya itu untuk duduk di sofa kosong
yang ada di sebelahnya. Nico pun duduk, sedangkan Rhea berjalan ke sisi mama dan berdiri di
situ.

"Gimana kabar papa kamu?" tanya papa.

"Baik, oom... Papa titip salam untuk oom sekeluarga. Kata papa, papa pasti berusaha
menyediakan waktu untuk silaturahmi ke sini," jawab Nico tersenyum ramah.

"Nggak usah dipaksakan. Oom bisa mengerti kesibukan papamu..."

"Papa memang seperti itu, Oom... Selalu saja sibuk. Malah menurut saya, papa mungkin nggak
punya waktu lagi untuk dirinya sendiri. Makanya... gimana kalo oom yang main ke rumah..."
Nico menawarkan dengan sopan.

"Ide yang bagus tuh pa." kali ini mama angkat bicara. "Kapan-kapan biar kita yang ke rumah
Nico.

Papa mengangguk. "Kamu bisa mulai mengajar Rhea hari ini juga ya. Anak itu mulai perlu
bimbingan khusus. Tolong ajari dia baik-baik. Oom percaya sama kamu."

Bimbingan khusus? Apa maksudnya tuh? tampang Rhea jadi bete mendengar kata-kata papa
barusan. Memberi kesan buruk tentang anaknya sendiri.

"Saya usahakan semampu saya, Oom.." jawab Nico.

Iih... dasar penjilat! Nyari muka di depan Papa. Pantes papa suka sama dia. Rhea mulai memberi
penilaian tentang guru barunya ini. Tapi sepertinya sebagai nilai awal, Rhea cuma berkenan
memberinya nilai 3. Dan menurut Rhea, cowok yang ada di depannya ini memang sudah berbeda
dengan cowok yang jadi tetangganya sekaligus teman kecilnya dulu. Bukan hanya penampilan,
tapi juga gaya bicara dan tingkah lakunya. Sombong dan sok banget!

"Tentang hal lainnya, semua sesuai dengan apa yang telah kita bicarakan kemarin. Setuju?" tanya
Papa.

"Baik, Oom..."

"Kalian belajar di sini saja ya. Biar tante lebih mudah mengantarkan minuman buat kalian," kali
ini mama yang bicara.

Nico mengangguk. "Nggak usah repot-repot, Tante."

"Ya udah. Dimulai saja belajarnya" kemudian mama menatap mata Rhea tajam. "Belajar yang
bener ya Rhe..

"Iya, ma."

Papa, Mama dan Reva segera meninggalkan ruang tamu, membiarkan Nico dan Rhea memulai
pelajaran mereka hari ini. Mama menuju dapur, Papa kembali ke ruang kerja. Reva kembali ke
kamarnya di atas.

Rhea menatap guru lesnya dengan tajam sambil tetap berdiri. Dipandanginya Nico dari ujung
rambut smpai ujung kaki. Cakep sih.. tapi nyebelin.

Nico yang sadar Rhea belum duduk langsung menatap Rhea dan bertanya, "Ngapain kamu di
situ? Memangnya kita belajar sambil berdiri? Kalo kamu minta kuajarin cara menjadi satpam
yang baik sih boleh-boleh aja, kita belajar sambil berdiri. Itung-itung latihan..."

Rhea melotot mendengar ucapan Nico. Tapi ia enggan bicara. Rhea memilih duduk di depan
Nico.

"Besok pelajaran apa?" tanya cowok itu.

"Mmm... Geografi, Matematika, Biologi, Bahasa Indonesia sama Bimbingan Karier."

"Kalo gitu kita belajar Matematika sama Biologi aja. Kamu ada PR apa?"

"Nggak ada.

"Ya udah, kalo gitu aku liat dulu buku matematika sama biologi kamu. Aku pengin tau sudah
sejauh mana bahan yang kamu pelajari di sekolah.

Rhea menyodorkan buku-bukunya yang diambil dari tas sekolah yang sejak tadi teronggok di
meja telepon. Nico membolak balik halaman demi halaman. Rhea terdiam dan mengamati guru
lesnya itu dengan seksama. Harus Rhea akui sekali lagi, penilaian Reva tentang cowok ini
hampir benar. Nico sekarang cakep juga! Apalagi kalo dilihat dari dekat seperti ini. Hidungnya
mancung, kulitnya yang kecoklatan bersih banget. Jauh dari yang namanya jerawat atau komedo.
Bola matanya yang dark brown bikin matanya terlihat bercahaya, belum lagi alisnya yang tebel
banget. Kemeja biru muda yang melekat rapi di tubuhnya bikin dia tambah keren. Apalagi aroma
tubuhnya yang mengikat. Pakai parfum apa ya? Gue bener-bener nggak menyangka kak Nico
yang dulu bulet pendek itu bisa berubah jadi secakep ini.

"Lumyan banyak juga yang udah diajarin guru kamu." suara Nico membuat Rhea sedikit kaget.
Nico yang melihat reaksi Rhea jadi heran. Kenapa? Kamu ngelamun ya? Atau jangan-jangan
kamu lagi ngelamun yang nggak bener?"

"Apaan sih? seru Rhea sebal.

"Makanya, kalo lagi belajar jangan pake adegan ngelamun segala. Konsentrasi dong!"

"Sirik aja. Suka-suka gue dong!" Rhea tidak terima dikritik cowok yang baru hari ini jadi guru
lesnya.

"Sorry.... aku cuma nggak pengin ngajar murid yang bisanya cuma menghayal atau ngelamun.
Aku di sini diminta dan dibayar untuk ngajarin kamu, bukan nemenin kamu ngelamun. Atau gini
aja, kalo kamu memang nggak suka diajarin aku, aku bilang deh ke papa kamu untuk stop belajar
hari ini juga." Nico menutup buku yang dipegangnya dan siap-siap bangun dari duduknya.

"Eh... jangan!" tahan Rhea. "Kalo kak Nico ngomong gitu ke papa, papa pasti ngamuk berat
sama aku. Please..."

Nico mengurungkan niatnya begitu melihat tampang Rhea yang begitu memelas. Ia mendesah
pelan.

"Sorry," ujar Rhea. "Cuma aku pikir..... ini kan hari pertama aku les. Mestinya hari ini
perkenalan aja dulu." Rhea memberanikan diri menyampaikan idenya.

"Lho, bukannya kita udah saling kenal?"

"Kenalan kan bukan buat itu aja. Misalnya... kita saling cerita pribadi masing-masing. Soalnya
kan kita udah lama nggak ketemu. Bisa aja kan, sifat Kak Nico sekarang berubah? Soalnya aku
ngerasa kak Nico beda sama yang dulu.

Kedua ujung bibir Nico sedikit terangkat, tapi kemudian ekspresi cowok itu kembali datar.
"Memangnya sekarang aku gimana? ujarnya dingin.

"Ng... sekarang kak Nico jaim."

"Yah.... kamu juga jaim. Manggil aku aja pake 'kak' segala. Kak Nico, Kak Nico.. kayak di
pramuka aja..."
"Habis kak Nico duluan sih. Dulu kita ngomingnya 'elo-gue', sekarang kak Nico nyebutnya 'aku-
kamu' kan aku.. eh... gue jadi ikut jaim."

"Oke deh. Sekarang kita ganti!" suara Nico lebih lunak, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Trus
masih ada yang mau lo omongin?"

"Ng... ini.. kembali ke persoalan perkenalan. Kak Nico.. eh.. elo masih ingat nggak kalau waktu
kecil dulu, kita suka main perang-perangan?"

"Gue rasa itu nggak perlu. Pribadi gue ya urusan gue. Gue nggak dibayar untuk menyampaikan
riwayat hidup gue ke elo. Gue inget atau enggak, itu bukan urusan lo!"

"Tapi..."

"Ah... udah deh," Nico memotong ucapan Rhea. Rhea cuma bisa bengong. "Sekarang lo kerjain
aja soal-soal Matematika ini dari nomor 1 sampai 20. Gue mau tau sejauh apa pemahaman lo
terhadap materi yang lo dapet selama ini. Belajar matematika tuh yang paling dibutuhkan cuma
latihan. Nggak boleh nanya-nanya. kerjain aja semampu lo. Gue kasih waktu satu jam. Kalo
sudah selesai, langsung gue koreksi," perintah Nico sambil menyodorkan buku soal-soal
matematika kepada Rhea.

Mata Rhea melotot lebar begitu melihat buku yang disodorkan Nico. "Hah!? Banyak banget?
Mana mungkin selasai dalam waktu satu jam?" protes Rhea.

"Pasti selesai. Soalnya gue pernah ngerjain tuh soal cuma dalam waktu setengah jam. Jadi jangan
banyak alasan, kecuali kalo elo ngerjainnya sambil ngelamun."

Rhea melotot kesal. Rasanya ingin sekali melayangkan satu tonjokan ke muka Nico yang asli
nyolot banget. Sombong banget sih, mentang-mentang sekarang jadi guru les gue, dia semena-
mena gitu sama gue, pikir Rhea. Lagian Nico sih enak otaknya encer. Ngerjain dua puluh soal
matematika yang panjang-panjang gini cuma dalam waktu setengah jam. Nah gue kan masih
pemula? Rhea ngedumel dalam hati. Apa kerennya sih nih cowok? Tampang boleh oke, tapi
sifatnya masuk black list. Mbak Reva bener-bener buta, cowok kaya gini kok dibilang top. Ini sih
cuma menang tampang, tapi dalamnya sungguh menyedihkan.

Rhea keki setengah mati. Fia mengerjakan soal-soal itu dengan hati yang teramat dongkol. Pensil
yang ditekannya keras-keras di kertas sewaktu ia mulai menghitung. Bahkan ujung pensilnya
patah sampai lima kali gara-gara ditekan terlalu keras. Tapi Rhea sama sekali nggak peduli, ia
tetap menulis dengan setengah tenaga. Begitu pula Nico, ia malah asyik membaca buku Biologi
Rhea tanpa memedulikan Rhea yang berkutat dengan angka-angka di hadapannya.

***
Otak Rhea terasa mau pecah. Badannya juga terasa pegal-pegal. Nico sudah pulang, jadi Rhea
sudah bisa beristirahat sekarang. Malapetaka bagi Rhea, kenapa nasibnya malang begini. Dapat
guru les boleh aja punya tampang cakep, tapi kok kaya serigala berbulu domba. Rhea
merebahkan dirinya di tempat tidur. Untung lesnya cuma seminggu tiga kali. Coba kalo tiap hari,
huh, rasanya Rhea mau minggat dari rumah aja! Bayangkan aja, hari pertama les sudah dijejali
20 soal Matematika plus 30 soal Biologi yang harus dikerjakan dalam waktu singkat. Bukan
hanya itu setiap kali ada jawaban yang salah, Rhea harus mengerjakan satu soal tambahan. Dan
itu akan terus berlanjut sampai semua soal yang ia kerjakan benar semua. Kalo begini terus,
otaknya pasti akan meledak. Rhea memijit-mijit keningnya yang terasa senut-senut. Tiba-tiba
HP-nya bergetar. Rhea pun bangkit dan setengah terpaksa menyeret tubuhnya ke arah meja
belajar untuk mengambil HP yang memang lagi nangkring manis di situ. Ada SMS. Rhea
membuka pesan itu.

Hi, sweety! Lg ngapain? gue lagi mikirin elo nih. kangeeennn... banget.

Dari Felix!

Penat yang dirasakan Rhea, juga senut-senut di kepalanya, langsung sirna nggak berbekas.
sekarang jantungnya jadi berdebar-debar. Rhea segera mengetik message balasan untuk Felix.

kpl gw lg skt bgt. prtama kli les gw disiksa hbs2an sm gurunya. skrng rasanya
kpl gw mo pecah.

Tidak lebih dari lima menit Rhea sudah menerima SMS yang kedua dari Felix. Cepat juga nih
operator kerjanya.

kacian.. cb gw da di situ... gw pijitin d . awas tuh guru klo cinta gwa ampe
knp2.... elo mnm obat aja skrng.

Rhea senyum-senyum sendiri mebaca SMS yang baru diterimanya. Ah... senangnya diperhatikan
sepeti ini. Apalagi Felix sudah berani memanggilnya "cinta". Rhea jadi berbunga-bunga. Entah
berapa kali message-message bertebaran lewat satelit. Yang pasti sekarang Rhea sudah lupa
dengan deritanya gara-gara Nico.

***

Sudah dua minggu Rhea les. Dan penderitaannya sama sekali nggak berkurang. Nico masih saja
menjejalinya dengan berbagai macam soal yang tingkat kesulitannya semakin lama semakin
tinggi. Entah itu untuk mata pelajaran matematika, kimia, fisika, biologi, geografi, bahasa
indonesia, atau apa sajalah. Sepertinya Nico mempunyai kumpulan soal semacam itu yang asli
lengkap banget. Dan yang bikin Rhea sebel banget yaitu saat Mama mengantarkan cemilan untuk
mereka, Nico sama sekali nggak mengizinkan Rhea untuk menyentuhnya. Rhea harus
menyelesaikan semua tugasnya dulu, baru boleh menikmati cemilan dari Mama. Parahnya, Nico
malah asyik menikmati cemilan itu saat Rhea sedang pusing mencari jawaban. Dan hasilnya saat
Rhea sudah menyelesaikan semua tugasnya, cemilan itu sudah ludes. Gondok banget rasanya.
Tapi anehnya, semua orang di rumah ini suka bangeet sama Nico. Bahkan pernah Mama sengaja
mengundangnya makan malam walaupun hari itu bukan jadwal les Rhea. Setelah makan malam,
Papa malah asyik ngobrol dengan Nico sampai lupa waktu. Rhea akui, cowok itu memang hebat.
Dia bisa nyambung saat ngobrol sama Papa, bahkan tidak ragu-ragu adu argumentasi.
Pengetahuannya luas banget. Dia tahu tentang banyak hal, baik masalah publik, pendidikan,
ataupun masalah-masalah umum, seperti gosip-gosip selebriti. Reva juga seneng banget karena
Nico menyediakan waktu untuk membantu mengerjakan beberapa tugas kuliahnya.

Selain itu, yang bikin Nico punya nilai lebih lagi, cowok itu juga mengerti medan dapur. Dia
pernah datang lebih awal ke rumah Rhea sebelum les dimulai untuk mempraktikan kemampuan
memasaknya di hadapan Mama. Makanya, Mama jadi suka banget sama dia. Kali ini Rhea nggak
bisa mencela karena memang terbukti hasil masakannya sedap banget.

Sekarang Rhea semakin sulit melepaskan diri dari guru lesnya ini, karena Papa dan Mama pasti
nggak akan membiarkan Rhea berhenti les karena alasan apapun. Kalo saja Rhea bisa menyukai
Nico seperti keluarganya menyukai cowok itu, Rhea pasti nggak akan sengsara seperti ini. Tapi
bagaimana mungkin Rhea bisa menyukainya kalo Nico-nya sendiri nggak pernah sekalipun
bersikap manis dan baik sama Rhea.

Seperti sore ini, datang-datang Nico langsung menyodorkan sebuah buku yang isinya 50 soal
kimia. Dan dalam waktu satu setengah jam Rhea sudah harus menyelesaikan soal itu.

Karena telah terbiasa berada dalam situasi ini, Rhea nggak mau lagi membuang tenaga untuk
protes karena ia tau itu akan sia-sia saja. Makanya dia memilih mengambil buku itu dari tangan
Nico dan mulai mengerjakannya tanpa suara.
Sudah satu jam berlalu dan Rhea telah menyelesaikan 28 soal. Tapi Rhea mulai menemukan
kesulitan saat ia mengerjakan soal nomor 29. Berkali-kali angka-angka ia masukan ke dalam
rumus, tapi tetap saja ia nggak berhasil menemukan jawabannya. Rhea sama sekali nggak
mengerti di mana letak kesalahannya.

"Nic... ng... gue boleh nanya nggak? Gue bener-bener nggak bisa nih," Rhea memberanikan diri
untuk bertanya.

Yang ditanya malah diam aja dan tetap asyik membaca buku tebal yang dipinjamnya dari Reva
sebelum les di mulai. Kayaknya sih itu buku kedokteran.

"Nic.... satu soal aja deh. Bantuin gue..," rayu Rhea pantang menyerah.

"Elo coba dulu sendiri. Manja banget sih, apa-apa selalu minta bantuan," Nico malah menjawab
dengan setengah membentak.

Rhea yang nggak terima dibentak seperti itu langsung membalas, "lo rese banget sih? Gue minta
tolong baik-baik malah dibentak. Lagian juga tugas lo di sini kan bukan buat ngasih gue soal-
soal doang terus lo malah sibuk sendiri dan nyuekin gue begitu! Kalo kayak gini sih mending
gue beli kumpulan soal aja sendiri!"

"Oooh jadi lo nggak suka gue ngajar lo les?"

"Iya! Dari awal gue emang nggak suka diajar sama elo. Gue terpaksa tau!"

"Fine! Gue stop aja ngajar lo," tegas Nico, lalu merapikan buku-bukunya dan bangkit dari
duduknya.

"Eh, tunggu!" Rhea baru sadar akibat ucapannya barusan. "Ng... lo serius, ya?" Rhea berusaha
menahan Nico yang sudah berjalan hendak menuju pintu.

"Lho, memang ini kan yang lo mau? Gue serius kok. Gue nggak minat ngajar orang yang pada
dasarnya emang nggak punya motivasi buat belajar." Nico kembali melangkahkan kakinya.

Melihat itu, Rhea cepat-cepat menghadang Nico. "Eits, ntar dulu!"

"Why? Ini kan yang elo mau?" Nico menatap Rhea galak.

"Kalo elo stop, Papa pasti marah banget sama gue. Papa pasti nganggep gue yang nggak mau
belajar.

"Tapi memang itu kenyataannya?"

"Iya nggak lah... gue bukannya nggak mau belajar. Gue kan tadi cuma nanya."

"Nanya kok malah akhirnya maki-maki gurunya sendiri."


"Gue nggak bermaksud begitu. Tadi gue lagi keki aja."

Oooh... keki..."

Rhea cemberut melihat ekspresi Nico yang asli nyebelin banget. Kalo bukan karena takut kena
omel Papa, Rhea ogah nahan-nahan nih cowok sampai seperti ini. Malah Rhea bersyukur Nico
mau berhenti ngajar. Tapi karena Rhea sudah bisa membayangkan reaksi papa kalo Nico bilang
mau berhenti ngajar atas permintaan Rhea, Rhea jadi nggak berani ngambil resiko. Lebih baik
menurunkan gengsinya dan menahan nih cowok dari pada Papa benar-benar ngamuk nantinya.

Terdengar langkah kaki dari arah dapur. Rhea menoleh dan melihat Mama sedang berjalan
dengan membawa nampan berisi dua cangkir minuman dan kue kecil. Langkah Mama langsung
terhenti melihat Rhea dan Nico yang berdiri nggak jauh dari muka pintu. Mama menatap mereka
heran.

" Lho, ada apa ini? Kok belajarnya sambil berdiri?"

"Ah nggak ada apa-apa, Ma," Rhea buru-buru menjawab.

"Saya mau pamit pulang tante." kata-kata Nico membuat wajah Rhea pucat.

"Kenapa?" tanya Mama heran. Tatapannya sekarang menuduh Rhea-lah yang membuat Nico
hendak pulang lebih awal hari ini. Yah... kalau Rhea mau jujur, setengah kecurigaan Mama itu
memang betul sih!

Nico ikut menatap Rhea, sorot matanya penuh kemenangan, tapi Rhea membalas tatapan cowok
itu dengan sorot memohon agar Nico mau berbaik hati padanya.

Tak lama kemudian Nico tersenyum. Rhea nggak mengerti arti senyuman itu. Sekarang dia
malah jadi heran sendiri. Apakah itu senyum kemenangan? atau.. apakah itu senyum yang
melambangkan Nico nggak peduli pada permohonan Rhea?

"Maaf tante... malam ini saya harus mengantar Papa ke tempat temannya. Maaf ya, Tante," kata
Nico sambil menatap Mama Rhea sopan.

Ternyata hari ini Nico memang sudah punya rencana pulang cepat, nggak peduli apakah tadi
Rhea menahannya atau tidak. Mendengar kata-kata Nico, Rhea cuma bisa melotot dan menyesal
tadi sudah menahan cowok itu.

"Oh... nggak apa-apa kalo begitu. Tante pikir Rhea sudah membuat kamu marah dan memaksa
kamu berhenti dari pekerjaan ini," jawab mama, terlihat begitu lega.

"Nggak kok Tante Rhea sangat menikmati saat-saat belajar bersama saya. Makanya kalo
boleh, besok saya akan datang lagi untuk melunasi utang saya hari ini sama Rhea. Iya kan, Rhe?
Apa?!! Besok mau les lagi? Mata Rhea hampir keluar begitu mendengar ucapan Nico. Cowok itu
tampaknya berhasil membuat Rhe nggak berkutik. Rhea akhirnya mengangguk pasrah.

"Kalo Rhea bersedia, Tante sih setuju-setuju saja. Toh yang belajar kan Rhea juga.

"Terima kasih Tante. Kalo begitu saya pamit pulang dulu. Takut terlambat sampai di rumah.

"Nggak munum dulu? Mama menawarkan minuman yang dibawanya.

"Nggak usah, Tan makasih.

"Ya sudahlah. Tante bisa ngerti kok." Mama tersenyum.

Rhea tambah bete melihat adegan itu. Ngapain sih semua orang di sini baik sama Nico, si
serigala berbulu domba.

"Oh ya, Rhe. Besok elo ulangan kimia kan? Ini semua rumus sekaligus contoh soalnya udah gue
rangkum. Elo pelajari aja sendiri. Nomor 29 yang tadi lo nggak ngerti juga ada caranya di buku
itu. Dan jangan lupa tuh soal-soal harus udah selesaikan malam ini juga. Soalnya besok gue
bakal memeriksa semua kerjaan elo," ujar Nico datar sambil menyodorkan buku kecil berwarna
biru kepada Rhea.

Setengah terpaksa Rhea mengambil buku itu. Kenapa nggak ngomong dari tadi sih kalau dia
udah merangkum rumus-rumus buat gue? Rhea ngedumel dalam hati. Kan gue jadi nggak perlu
berantem sama dia. Jangan-jangan Nico emang punya maksud ngerjain gue lagi. Pengin gue
mohon-mohon sama dia. ih jijay!

"Rhea, kok kamu diam aja?" tegur Mama melihat Rhea dengan cueknya mengambil buku dari
tangan Nico. "Nico udah susah-susah buat rangkuman untuk kamu, eh kamunya malah begitu.

"Makasih ya," jawab Rhea datar dan ogah-ogahan. Sedikitpun dia nggak melirik ke arah Nico.
Mama cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan putrinya yang sama sekali nggak sopan
dan nggak tau berterima kasih itu.

"Ya sudah, mari tante anter Nic," ujar Mama sambil meletakkan nampan di atas meja ruang
tamu.

"Terima kasih, Tante," jawab Nico lalu berjalan mengikuti langkah Mama keluar rumah.

Buru-buru Rhea menutup pintu begitu mama dan Nico keluar. Cepat-cepat dia berlari menuju
kamarnya. Rhea melempar buku Nico di atas tempat tidur. Rhea kesel banget. Diraihnya bantal-
gulingnya dan ditinjunya kuat-kuat untuk melampiaskan emosi yang bersarang dalam dirinya.
Kasihan banget tuh guling, cuma bisa diam dan pasrah menjadi tempat pelampiasan kekesalan
sang nona. Setelah puas, diraihnya HP yang tergeletak di samping jam beker. Rhea membuka
fitur message dan menulis pesan untuk Marcia.
lg ngapaib nek? gw lg bt bgt nih. otak gw mumet. gw bth penyegaran nih!

Pesan terkirim.

Rhea berbaring, menenangkan otaknya, sambil menunggu balasan dari Marcia. Sepuluh menit
kemudian datang balasan dari Marcia,

gw jg lg mumet nih. gw lg bkn pr fisika yg 25 soal itu. lo da y? klo da, gw


pnjm dong!

Rhea tertegun membaca balasan dari Marcia. PR fisika? Plak! Rhea menepuk dahinya keras-
keras. Dia baru ingat ada PR fisika buat besok. Oh... God, ulangan Kimia, PR Fisika, ditambah
lagi PR les. Bagaimana cara Rhea menyelesaikan semuanya dalam waktu semalam? Kenapa juga
dia sampai lupa PR Fisika? Rhea melirik jam. Sudah jam tujuh kurang sepuluh menit. Jam
sembilan jatah memadamkan lampu kamar. Tampaknya malam ini Rhea harus menyelesaikan
tugasnya dalam keremangan cahaya. Rhea mengetik SMS balasan untuk Marcia tanpa semangat.
BAB 4

Setengah mengantuk, Rhea berjalan memasuki kelas. Matanya berat dan pedih, rasanya enggan
sekali untuk terbuka. Semalam ia mengerjakaan semua tugasnya dalam cahaya lampu lima watt
sampai jam satu pagi. Itu pun tanpa belajar Kimia. Kalo masih harus belajar kimia lagi, mungkin
saat ini Rhea masih tergolek di tempat tidur dan nggak akan mampu berangkat ke sekolah.

Beberapa kali Rhea menguap. Saat ia sudah duduk di bangku kelasnya, Rhea baru menyadari
bahwa suasana pagi ini sangat berbeda dari biasanya. Tidak biasanya kelas sudah ramai sepagi
ini. Biasanya Rhea termasuk orang pertama yang tiba di kelas. Tapi nggak untuk hari ini. Sudah
setengah dari penghuni kelas datang. Bahkan Marcia dan Rachel juga sudah datang. Aneh!

"Kok tumben, kelas sudah rame, Mar?" Rhea mendekati Marcia yang lagi siibuk menyalin
sesuatu berdua dengan Rachel.

"Lo udah datang ya! Mana PR Fisika lo? Gue pinjem dong! Cepetan!" kata Marcia tanpa
menjawab pertanyaan Rhea. Rhea langsung tahu, apa penyebab keadaan yang nggak biasa ini.
PR Fisika.

Rhea beranjak kembali ke tempat duduknya, lalu mengambil buku PR dari dalam tasnya dan
menyerahkannya pada Marcia. Tapi Rachel ternyata lebih cekatan. Ia menyambar buku itu dari
Rhea. Selama beberapa detik terjadi tarik-menaraik buku antara Marcia dan Rachel. Melihat ulah
kedua temannya, Rhea jadi ngeri. dia cemas bukunya bakal robek.

"Hei! Dari pada lo berdua rebutan, mending lo taruh di tengah dan salin sama-sama. Lima belas
menit lagi bel, tau?"

Teguran Rhea berhasil membuat Marcia dan Rachel saling mengalah. Mereka meletakkan buku
di tengah-tengah meja dan mulai sibuk menyalin dengan kecepatan tinggi. Yah... sesekali sih
mereka masih tarik-menarik buku saat membalik halaman-halamannya.

Rhea cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua sobatnya itu. Pertama soal Marcia.
Katanya semalam ngerjain PR, tapi kok hari ini nyontak juga? Kalo Rachel sih Rhea nggak heran
lagi. Tuh anak mana pernah ngerjain PR dari rumah? Apalagi ini PR fisika. Walaupun langit
runtuh, Rachel nggak bakalan mau ngerjain PR di rumah. Soalnya dia punya filosofi yang dia
karang sendiri, bahwa tugas dari sekolah ya harus diselesaikan di sekolah juga. Kata Rachel sih
dia mengikuti prinsip bokapnya, yang nggak pernah membawa tugas kantor pulang ke rumah.
Ah, Rachel, cari alasan kok maksa banget. Padahal memang dianya aja yang malas. Tapi ada
yang janggal dengan pemandangan pagi ini. Kok David alias si gepeng belum nongol juga
batang hidungnya? Padahal biasanya kalo ada PR yang banyak begini, gepeng termasuk siswa
yang rajin datang pagi buat cari sontekan. Apa gepeng sudah bertaubat ya? Rhea kembali
menguap untuk kesekian kalinya. Ia menelungkupkan kepala di atas meja dan memejamkan
mata. Tapi baru saja matanya terpejam, terdengar suara khas dari depan kelas yang memanggil-
manggil namanya.

"Rhea Athena dari kelas 1 D.... Rhea...Rhea..!" Rhea yakin itu suara Betet.

"Gue di dalam. Lo masuk aja kenapa!" teriak Rhea kesal.

Tapi nggak seorang anakpun di dalam kelas yang merasa terganggu karena teriakan Rhea
barusan. Tampaknya semua terlalu khusyuk dengn contekan masing-masing.

"Aloha, Rhe!" sapa Betet begitu masuk. Cowok itu menghampiri Rhea. Wajah Rhea kelihatan
suntuk banget.

"Ada apa pagi-pagi udah mampir ke kelas gue?" tanyanya malas.

"Ih, lo kok nggak semangat gitu sih! Nggak asyik ah!" Betet jadi manyun melihat ekspresi bete
Rhea.

"Gue lagi ngantuk berat nih.. Ada apa?" Rhea berusaha tersenyum walaupun hatinya ngedumel
nggak karuan.

"Nah, gitu dong... itu baru cantik! Hehehe..." Betet malah sok ngegodain Rhea segala, bikin Rhea
jadi keki berat.

"Udah deh... nggak usah ngegombal. Lo kesini mau apa?" Rhea berusaha bersabar.

"Cuma mau ngingetin. Anggota OSIS wajib ngumpul jam sepuluh nanti.

"Jam sepuluh? Itu kan masih jam pelajaran?"

"Kan kemarin gue udah bilang, hari ini kita pulang jam sepuluh kurang seperempat, jadi kita
ngadain rapat jam sepuluh.

"Hah! masa sih?!" pekik Rhea nggak percaya.

Seisi kelas terdiam sesaat. Sepertinya mereka mendengarkan ucapan Betet barusan.

"Elo nggak nyimak omongan gue pas rapat kemarin ya?" Betet mengerutkan kening. Dia mulai
kesal karena ternyata Rhea nggak mendengarkan jalannya rapat kemarin dengan baik.

"Sori, Tet..."

Kemarin emang Rhea nggak sepenuh hati ikut rapat. Bahkan nggak ada satupun isi rapat yang
nyangkut ke kepalanya. Itu semua gara-gara Felix. Pas dalam perjaanan ke ruamg rapat, Rhea
ketemu Felix yang memang sedang mencari-cari dia. Felix sengaja memberikan Rhea cokelat
berbentuk hati yang di atasnya terukir kata "I LOVE YOU". Saat menyerahkan cokelat itu, Felix
berbisik di telinga Rhea, "Special chocolate... just for my princess...." Nah gimana hati Rhea
nggak berbunga-bunga?

Rhea menatap Betet yang bibirnya monyong lima senti gara-gara kesal. Rhea nggak enak hati.
"Maaf ya, Tet! Tapi ntar pasti gue ikut ngumpul. On time.

"Ya udah. Nih, gue punya cokelat buat lo sama dua teman lo itu. Tante gue baru pulang dari
Canada dan dia bawain gue banyak cokelat. Mau nggak?" Betet menyodorkan tiga batang
cokelat pada Rhea dengan wajah sedikit manyun.

"Tentu dong.. Makasih ya, Tet. Elo emang cowok paling baik sedunia," rayu Rhea sambil
menerima cokelat-cokelat itu.

"Hehehe... emang..." Betet tertawa lebar dipuji Rhea, seakan sudah lupa akan rasa kesalnya
beberapa detik lalu.

Kali ini giliran Rhea menyesali kata-katanya sendiri. Soalnya, kalau Betet sudah mulai tertawa,
butuh waktu lama untuk menghentikannya. Anak-anak sudah pada menutup buku mereka.
Nggak ada seorangpun yang menyalin sontekan, termasuk Rachel dan Marcia. Itu karena
pelajaran Fisika pelajaran terakhir. Kalau pulang jam 09.45 berarti nggak akan ada pelajaran
Fisika dong! Paling cuma ulangan Kimia yang memang jam pelajaran pertama hari ini. Sambil
menunggu Betet selesai tertawa, Rhea menyesal kemarin nggak mendengarkan jalannya rapat.
Tahu gitu kan dia nggak perlu begadang semalam. Capek-capekin aja! Pantes gepeng belum
nongol juga, soalnya Gepeng anggota OSIS dan dia pasti tahu informasi ini. Rhea kesel banget.
Capek-capek ngerjain fisika malah nggak ada pelajarannya. Eh, nggak belajar kimia malah jadi
ulangan. Gondok banget rasanya!

***

"Oke! Yang cewek pada nulis pesan di kertas yang udah disiapin, lalu yang cowok pada bantuin
masukin kertas-kertas yang udah ditulis ke dalam tempatnya sesuai pesanan yang diminta. Ingat,
jangan sampai ada yang salah ya!" Betet menginstruksi semua anggota OSIS.

"Siap, bos!" jawab anak-anak serentak.

Semua mulai mengambil posisi masing-masing. Anak-anak cewek mengambil kumpulan pesan
dan mulai menyalinnya kembali pada selembar kertas kecil. Setelah itu para cowok menggulung-
gulung kertas-kertas tersebut dan memasukannya ke dalam botol, atau ke dalam amplop yang
kemudian di tempel di bunga mawar plastik. Melihat banyaknya pesan yang harus mereka tulis,
tampaknya usaha pencarian dana kali ini cukup sukses. Berarti banyak anak yang tertarik untuk
memesan ke panitia. Pasti OSIS bakal untung gede nih!

Rhea ikut sibuk menyalin pesan-pesan itu. Beberapa kali ia terkikik geli waktu membaca
beberapa pesan yang konyol atau sok puitis. Apalagi yang namanya pesan cinta, wuih asli deh,
gombal banget. Bahkan ada juga pesan nekat yang dikirim oleh anak cowok kelas 1 buat kakak
kelas 3 yang isinya super konyol. Begini bunyinya, "Cantik.. sejak pertama bertemu, aku telah
jatuh cinta padamu. Rambutmu yang ikal kayak mi kriting, matamu yang cokelat kaya mata
doggy kesayanganku di rumah, juga aroma tubuhmu yang seharum bunga raflesia, membuatku
tak pernah berhenti merindukanmu." Gila banget kan tuh? Mau ngungkapin Cinta atau mau
ngajak berantem? Jangan-jangan tuh cowok nggak ngerti lagi sama yang namanya bunga
Raflesia. Rhea jadi bingung, harus ketawa atau kasihan melihat pesan cinta itu.

Selesai menulis pesan itu, Rhea mengambil pesan selanjutnya. Kali ini ia kembali terpana
melihat pesan yang ada di tangannya. Pesan itu buat Marcia. Bahkan kerennya lagi, isi pesan itu
sebait puisi indah.

Mentari senja merah membara

Mengukir mega dengan pesona warnanya

Izinkan aku menyentuh relung hatimu

Mengukir cinta dengan pena kasihku

Ya ampun, cowok mana yang bisa bikin puisi seindah ini buat Marcia? Kok Marcia punya
penggemar rahasia tapi nggak pernah ngomong-ngomong sih?

"Sabrina, lo tau nggak siapa pengirim pesan ini? Elo kan panitia penerima pesan. Semestinya lo
tau dong?"

Sabrina yang lagi asyik mebulis menghentikan kegiatannya. Diambilnya kertas di tangan Rhea
lalu dibacanya. Kemudian dia pun senyum-senyum sendiri. "Iya.. sebenernya gue tau sih. Tapi
gue nggak boleh ngasih tau elo. Apalagi ini kan pesan buat bestfriand lo. Nanti lo bocorin ke
Marcia, lagi. Padahal gue udah janji untuk merahasiakan identitas si pengirim ini," tolak Sabrina,
lalu menyerahkan kembali kertas itu ke tangan Rhea.

"Nggak. Gue nggak akan kasih tau Marcia deh. Gue cuma pengin tau aja,"

Sory, Rhe.. Gue nggak bisa ngasih tau elo," kata Sabrina lagi.
"Iya Rhe. Kami panitia memang udah janji nggak akan membocorkan identitas pengirim pada
siapapun juga," celetuk Luna yang menguping pembicaraan Rhea dan Sabrina itu.

Rhea mengangguk mengerti. Emang sih, sebetulnya dia nggak boleh memaksa Sabrina untuk
membocorkan rahasia.

"Iya deh, gue ngerti kok posisi kalian. Sori bukan maksud gue maksa," ujar Rhea.

"It,s okey, lagi.., sahut Sabrina, lalu mulai sibuk lagi.

Rhea membaca pesan itu sekali lagi. Ada gejolak rasa penasaran yang bersarang dalam dirinya.
Siapa kira-kira pengirim pesan ini? Pasti ini akan jadi kejutan yang manis untuk Marcia. Rhea
mulai asyik membayangkan pipi Marcia yang merona saat menerima pesan ini nanti. Dan Rhea
sama sekali nggak sadar ada seseorang yang terus memerhatikannya dari sudut ruangan sambil
memasukan kertas ke botol.

***

"Apa maksud lo bakal ada kejutan buat gue hari ini?" tanya Marcia penasaran.

Hari ini adalah hari pengiriman pesan yang sudah disiapkan panitia pengumpulan dana.
Kelihatan banget anak-anak pada nggak sabar menunggu jam pelajaran terakhir. Soalnya Betet
sudah minta izin kepala sekolah menggunakan satu jam terakhir untuk membagikan pesanan
melalui setiap wali kelas ke kelas masing-masing. Terbukti, saat pelajaran ke tujuh berakhir,
anak-anak berteriak antusias. Jantung mereka berdebar-debar. Yang punya pacar deg-degan,
ingin tahu apakah mereka dapat kiriman dari pacar mereka. Yang masih jomblo juga deg-degan,
siapa tahu ada yang mengirim pesan buat menyatakan cinta. Yang nggak mesen cuma bisa
bengong menyesali diri kenapa nggak ikut mesen.

Anak-anak kelas 1 D berteriak heboh waktu pak Hery, Wali kelas mereka, muncul di kelas
sambil membawa sekardus mawar dan message in the bottle. Rhea juga bisa mendengar teriakan
anak-anak dari kelas lain yang sepertinya juga sudah kedatangan wali kelas mereka. Suasana saat
itu benar-benar berisik.

"Weleh.. weleh! Ternyata anak didik Bapak laku juga ya! Lumayan berat nih kardus," kata pak
Hery yang langsung disambut tawa seisi penghuni kelas.

"Perlu bantuan nggak, Pak?" teriak David.

"Kamu ya, kalo soal beginian semangat banget menawarkan bantuan. Tapi kalau giliran Bapak
minta tolong kamu ngerjain soal Matematika di papan tulis, kamu langsung lari minta izin ke
WC," kata pak Hery yang memang guru Matematika. Anak-anak tartawa heboh mendengar
ucapan Pak Hery.

Sambil garuk-garuk kepala, David langsung menjawab, "Habis... kalo ketemu yang namanya
Matematika, hasrat buat pipis tak tertahankan lagi, Pak."

"Dasar kamu kalau nanti ada pesanan yang ditujukan buat kamu, Bapak minta kamu bacain di
depn kelas ya," kata pak Hery, diikuti tepuk tangan tanda setuju dari teman-teman sekelas.

"Yah... jangan gitu dong, Pak..," ujar David memelas.

Tapi tampaknya pak Hery nggak peduli. Ia mulai mengambil potongan kertas dari dalam kardus.
Rhea cuma bisa tersenyum iba pada David, soalnya Rhea tau David memang dapat satu message
in the bottle dari Aster, anak kelas 1 C yang baru sebulan ini jadi pacarnya.

"Untuk Deborra.., Pak Hery mulai membacakan nama pemilik pesan-pesan itu.

Deborra maju dengan wajah bersemu merah. Ia mendapat setangkai mawar. Selanjutnya Calvin,
yang dapat tiga message in the bottle. Ya ampun...! Ternyata laku juga si Calvin! Lalu Laticia,
Clarissa, Kevin, Andry, Gerry, Sonia, Aulia, bergantian maju mengambil pesan buat mereka.

"Kali ini ada lima mawar buat Jessica.., kata pak Hery.

"Jessica yang mana pak?" David tampak bingung. Soalnya di kelas mereka ada dua anak
bernama Jessica. Yang satu Jessica Wijaya, satunya lagi Jessica Miliana. Pak Hery mencoba
membaca nama yang tertulis di salah satu mawar itu, lalu mengucapkan satu nama, "untuk
Jessica Miliani."

Jessica Miliani yang lebih akrab di panggil "Jemi" maju ke depan kelas. Pak Hery kembali
melanjutkan tugasnya membagikan pesan cinta itu.

Kali ini giliran Marcia. Marcia sempat bengong sewaktu namanya disebut. Rhea dan Rachel
bertepuk tangan heboh. Tampang Marcia benar-benar tolol sewaktu kembali ke tempat duduknya
sambil membawa setangkai mawar.

Rhea dan Rachel tidak lagi mendengarkan nama-nama yang disebutkan Pak Hery. Mereka
berdua meninggalkan kursi masing-masing dan mengerubungi Marcia.

"Nah, itu kejutan buat elo! Gue yang nyalin tuh pesan kemaren," kata Rhea.

Marcia begitu terpesona melihat mawar plastik di tangannya. Dia sama sekali nggak menyangka
akan mendapat bunga, soalnya udah dua tahun ini dia ngejomblo.

"Lo tau siapa yang ngirim?" Marcia penasaran.


Rhea menggeleng. "Nggak tau Mar. Soalnya yang dapat tugas nerima pesan kan bukan gue. Gue
udah coba nanya ke anak lain, tapi mereka bilang nggak boleh kasih tahu siapa-siapa, atas
permintaan si pemesan."

"Paksa dong! ujar Marcia.

"Yee.. enak aja lo main paksa anak orang!" bantah Rhea.

"Udah deh.. yang penting dibaca dulu dong kartunya." Rachel yang juga penasaran mencoba
menengahi perdebatan ini.

Marcia mengangguk setuju. Sedangkan Rhea, berhubung sudah tahu isi kartu itu, dia nggak lagi
penasaran seperti kedua sahabatnya. Marcia dan Rachel membaca pesan itu bersama-sama.
belum sampai semenit, Rachel terkikik geli. Ia membekap mulutnya untuk menahan tawa yang
seakan hendak meledak.

"Ih, gombal banget sih nih orang!" gerutu Marcia, pipinya merona. Ia memasukan kembali kertas
kecil yang baru saja dibacanya ke dalam amplop.

"Emang gombal sih.. tapi suka kan?" goda Rachel.

"Apaan sih lo!" seru Marcia malu. Tapi cewek itu tetap nggak bisa menutupi perasaan berbunga-
bunga di hatinya.

Bahkan Rhea dan Rachel bisa melihatnya jelas dari ekspresi maupun sorot mata Marcia kalau tuh
anak seneng banget mendapatkan bunga itu.

"Tapi hati-hati, Mar.. jangan keburu seneng dulu! Jangan-jangan tuh bunga salah kirim lagi.
Yang namanya Marcia kan bukan cuma elo. Atau malah jangan-jangan yang ngirim tuh Pak
Tukul tukang bakso di depan sekolah yang demen banget lo godain, Rachel kembali menggoda
Marcia.

Rhea membekap mulutnya menahan tawa. Marcia sudah ingin membalas ledekan Rechel, tapi
tertahan karena melihat David sudah berdiri di depan kelas dengan sebuah message in the bottle.
Rhea dan Rachel buru-buru kembali ke tempat duduk mereka. David berdiri di depan kelas
dengan tampang memelas.

"Pak, masa harus saya bacain sih? Jangan dong pak!" pinta David setengah memohon.

"Lho memangnya kenapa kalo dibaca? Teman-temanmu kan juga mau tau isinya. Memangnya
ada rahasianya ya?" tanya pak Hery.

"Nggak ada rahasia sih, tapi kan malu, Pak! ungkap David.

Seisi kelas riuh melihat David dikerjain Pak Hery seperti ini. Smua makin bersemangat
menyoraki David yang semakin tak berdaya.
"Udah, Vid... paling nggak kalo lo baca di depan kita-kita, rasanya jadi nggak begitu sakit,"
sambung Calvin.

"Sial lo. baru sebulan gue jadian, lo udah nyumpahin gue putus! dia nggak mungkin ngajak gue
putus, soalnya gue sama dia lagu hot-hotnya nih!" seru David membela diri.

"HUUUU!" anak-anak berteriak heboh mendengar pembelaan David.

"David ayo baca sekarang! Kalau nggak, kamu nggak boleh pulang!" perintah pak Hery pura-
pura marah.

David semakin tersudut. Ia nggak punya pilihan lain selain membaca pesan di tangannya itu.
David mengeluarkan gulungan kertas dari dalam botol.

"Dibaca nih pak?" tanyanya sambil menatap Pak Hery. Dia berharap banget Pak Hery berhenti
ngerjain dia.

"Kalau nggak mau dibaca, kamu tulis aja di papan tulis dan jangan di hapus sampai besok pagi.

Itu sih sama aja bohong! David menelan ludah dan mulai membaca nyaris berbisik.

"Kamu ngomong apa, David? Suara kamu kok pelan bener? Biasanya kalo lagi ribut di kelas,
suara kamu stereo!" protes Pak Hery yang d ikuti teriakan anak-anak yang pada protes.

David kembali menelan ludah dan membaca pesan yang ada di tangannya sekali lagi. "Untuk my
big rabbit...." seisi kelas langsung tertawa mendengarnya. Bahkan Pak Hery nggak bisa menahan
gelu. David terdiam, mukanya merah banget.

"Ayo lanjutin dong, Vid!" Aulia memberi semangat.

David memandang Pak Hery dengan sorot memelas. Tapi tampaknya Pak Hery nggak mau
peduli. Tangannya bergerak memberi isyarat agar David terus membaca.

David pasrah. Ia menarik napas dalam-dalam dan membaca untaian kata yang tertera di kertas
kecil di tangannya.

"Untuk my big rabbit.. terima kasih untuk malam indah yang kau berikan padaku. Kamu hebat,
tapi jangan lupa, kamu harus mau bertanggung jawab. Salam penuh cinta. Your honey." David
selesai membaca dan buru-buru menggulung kertas itu lagi dan memasukannya ke dalam botol.
Ia menatap teman-temannya, menunggu reaksi mereka. Tapi sungguh aneh, seluruh kelas jadi
hening. David mengerutkan keningnya menatap heran.

"David, bapak mau kamu jujur.... sejauh apa gaya pacaranmu selama ini? tanya Pak Hery tajam.

David melongo seperti orang bodoh mendengar pertanyaan pak Hery. "Maksud bapak apa, pak?
"Bapak mau tanya. Apa maksud kata-kata 'kamu hebat' lalu minta pertanggung jawaban kamu
itu? tanya pak Hery lagi.

Tampaknya kali ini David mengerti arah pembicaraan Pak Hery.

"Apa harus saya jawab pak? tanya David ragu-ragu.

"Ya harus lah! bentak pak Hery.

"Ih, bapak jangan galak-galak dong! Sini pak saya bisikin." David mendekati pak Hery dan
mulutnya komat-kamit. Anak-anak menatap dengan curiga. Masa iya David dan Aster baru
sebulan pacaran sudah berbuat "macam-macam"?

"Apa! kamu masak?" seru pak Hery tiba-tiba. David masak? cerita konyol apa lagi nih?

"Jadi pacar kamu muji kamu jago masak, lalu tanggung jawab itu maksudnya adalah
membuatkan dia bekal setiap hari? pak Hery mencoba memastikan pendengarannya.

"Yee bapak. Sekalian aja ngomongnya pakai mikrofon. Apa gunanya saya bisik-bisik tadi.."
David keki banget sama gurunya yang satu ini.

"Apa? Elo masak buat cewek lo, Vid? Gue nggak salah denger kan?! seru Gery, menatap David
nggak percaya.

"Nggak mungkin! Pasti masakannya hangus!" teriak Laticia.

"Jangan-jangan David ngibul, lagi! Belinya di restoran tapi ngakunya masak sendiri!" Calvin
nggak mau ketinggalan.

"Pantas aja si Aster udah tiga hari nggak masuk sekolah. Dia pasti keracunan makanan yang lo
buat, Vid!" Rachel ikut-ikutan ngeledek David.

"Enak aja! Kalo itu sih gara-gara kena cacar! Lo semua kok sirik gitu sih sama gue!" David jadi
sewot.

Anak-anak tertawa heboh dan nggak henti-hentinya meledek David sampai akhirnya bel tanda
pulang berdering nyaring.

"Elo berdua masih nunggu apa sih kok belum pada pulang?" tanya Rhea heran. Dia masih ikutan
duduk di kelas bersama Rachel dan Marcia. Katanya mereka berdua lagi nunggu seseorang dan
mereka memaksa Rhea untuk ikut menemani mereka.

"Udah deh, lo jangan banyak tanya. Pokoknya tunggu aja yang sabar.." Rachel tersenyum penuh
rahasia.
"Tapi bokap gue bisa marah-marah kalau dia harus nunggu gue. Lo tau kan, bokap gue kayak
gimana..." Rhea mulai gelisah. Sesekali ia melirik jam tangannya dengan cemas.

"Nah, itu yang ditunggu muncul! Marcia menunjuk ke arah pintu kelas.

Rhea menatap sosok yang ditunjuk Marcia dengan pandangan heran. "Felix...," ucapnya heran.

Marcia dan Rachel kemudian beranjak, meninggalkan Rhea di dalam kelas.

"Sukses ya, Rhe. Kami nunggu di luar. Lo tenang aja, biar kami berdua yang jaga-jaga biar
nggak ada yang masuk," kata Marcia sebelum menghilang di balik pintu.

Rhea nggak tahu harus berkata apa. Dia bingung ada apa sebenarnya? Apa yang direncanakan
kedua sahabatnya itu?

Felix berjalan menghampiri Rhea dengan senyum mautnya. "Halo, Rhe!" sapa cowok itu.

"Halo.. ada apa sih, temen-temen gue ngerjain elo ya?" tanya Rhea.

"Nggak kok. Malah mereka yang bantuin gue. Gue yang minta tolong mereka untuk nahan lo
disini," jawab Felix .

"Elo? What for?

"Untuk nyerahin ini ke elo.." Felix menyodorkan setangkai mawar merah yang asli indah banget.

Rhea terpana menatap mawar yang begitu cantik itu. "Ini buat gue?" tanyanya nggak percaya.

"Iya.

"Makasih ya. Elo baik banget.

"Gue ngasih elo bunga karena gue nggak mau kayak anak-anak lain, yang cuma ngasih bunga
plastik untuk pacarnya. Bagi gue, elo terlalu spesial dan nggak boleh disamain dengan anak-anak
lain. Makanya gue sengaja mempersiapkan bunga itu untuk elo

"Makasih... ini indah banget!

"Rhe... would you be mine?

Rhea terpana mendengarnya. Mulutnya terbuka lebar. Dia nggak mempercayai pendengarannya
barusan. Would you be mine. Itu kan artinya Felix nembak gue! Gue nggak salah denger kan? Ini
bukan april Mop kan? Rhea bertanya-tanya dalam hati.

"Elo becanda, kan?


"Gue serius, Rhe. Gue jatuh cinta sama elo. Gue sayang sama elo. Apa elo bersedia nerima cinta
gue, Rhe?

"Ng... tapi..."

Please, Rhe. Gue nggak lagi main-main. Gue bener-bener serius sama elo!"

Rhea jadi bingung harus menjawab apa. Felix memang baik banget. Rhea seneng saat bersama
cowok itu. Tapi apa ini yang namanya cinta? Lalu bagaimana dengan Papa? Papa pasti nggak
setuju.

"Tapi bokap gue nggak mungkin setuju. Bokap belum ngizinin gue pacaran.

"It's oke. Asal elo bersedia jadi pacar gue, urusan izin belakangan aja.

"Itu berarti kita pacarannya ngumpet-ngumpet alias backstreet dong.

"Kalo emang harus seperti itu, nggak jadi masalah kok. Cinta memang butuh pengorbanan. Lagi
pula, pacaran ngumput-ngumpet kan lebih seru dan menegangkan.

"Apa elo kuat?

"Kan gue udah bilang, Rhe... Cinta tuh butuh pengorbanan.

Rhea termenung. Dia lagi berpikir. Terima... nggak... terima nggak...

"Gimana Rhe, apa elo bersedia jadi pacar gue?

Rhea menatap Felix dalam-dalam lalu tersenyum sambil berkata, Gue coba ngejalanin seperti
yang lo bilang tadi... Cinta emang butuh pengorbanan.

"Ah, akhirnya!" Felix tertawa lega, lalu ditariknya Rhea ke dalam pelukannya. Muka Rhea
bersemu merah, tapi ia menikmati pelukan itu.

"Makasih ya, Rhe. Lo nggak tau betapa bahagianya gue saat ini.

"Tapi inget ya, Lix... ini rahasia. Nggak boleh ada yang tau. Di sekolah kita harus bersikap
seperti teman biasa, jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Cuma Marcia dan Rachel yang tau
tentang hubungan kita ini. Oke?

"I'll do everything for you.

Tiba-tiba terdengar suara grasak-grusuk dari luar kelas. Rhea dan Felix melepas pelukan mereka.
Marcia dan Rachel muncul di muka kelas dengan muka panik.

"Bokap lo lagi menuju ke sini, Rhe!" seru Marcia.


"Hah?! wajah Rhea langsung berubah pucat. Rhea berlari mengintip dari pintu kelas. Benar kata
Marcia, Papanya sedang menuju kelas mereka.

"Gimana nih?" tanya Rhea cemas. Semua coba memutar otak untuk mencari akal.

"Gue tau! Marcia mendapat ide. Felix, lo cepat masuk ke kolong meja guru. Lo jangan keluar
sampai kami bertiga benar-benar udah pergi. Sekarang kami mau keluar sebelum bokapnya Rhea
masuk ke kelas ini. Oke?" semua manggut-mangut tanda setuju.

"Udah cepetan gih sana! Jangan cuma manggut-manggut doang!"seru Marcia.

Semua buru-buru bergerak sesuai ucapan Marcia. Felix masuk ke kolong meja sedangkan Rhea,
Marcia dan Rachel dengan jantung berdebar keluar menghampiri kepala sekolah mereka alias
Papanya Rhea sambil menenteng tas masing-masing. Rhea asli tegang banget saat ini, dan itu
bisa dilihat dari keringat yang mengalir di keningnya serta mukanya yang sudah sewarna dengan
dinding sekolahan yang berwarna putih pucat.

"Eh.. siang, Pak! Baru saja kami mau ke tempat parkir, Pak," sapa Marcia begitu mereka mereka
bertiga berdiri di hadapan papanya Rhea.

Papa nggak membalas sapaan Marcia. Dia diam saja menunjukan wibawanya.

"Pa... Rhea udah mau pulang kok," kata Rhea takut-takut.

"Sedang apa kalian di kelas? Apa masih ada kegiatan?" tanya Papa tegas.

"Ng... anu, Pa... nggak ada kegiatan lagi kok. Kami cuma... cuma...." Rhea nggak tau harus
menjawab apa.

"Cuma apa?" Papa kelihatannya mulai kesal melihat Rhea gugup begitu.

"Kami cuma..." Rhea makin nggak ngerti harus ngomong apa sama Papa.

Rhea sama Marcia cuma nemenin saya nyelesaiin catatan saya kok, Pak. Soalnya catatan itu
buat ulangan besok. Makanya saya tadi pinjem catatannya Rhea biar bisa secepatnya saya
selesaiin." bantuan datang dari mulut Rachel, dan alasannya masih masuk akal kok. Semoga saja
Papa percaya.

Papa terdiam. Dia sedikit curiga pada ketiga ABG ini. Soalnya kalo cuma nemenin Rachel,
menyelesaikan catatan di kelas, untuk apa Rhea terlihat gugup kayak gitu. Aneh aja. Tapi Papa
nggak bisa menemukan letak kesalahan mereka. Jadi papa cuma bisa bilang, "Makanya
hilangkan kebiasasan malas mencatat kamu. Jadi kalo ada ulangan catatan kamu selalu lengkap
dan siap untuk di pelajari. Jangan cuma ngobrol atau tidur di kelas. Bagaimana kamu bisa pintar
kalo begitu? Kamu mengerti Rachel?

"Iya Pak... saya tau." kasihan Rachel. Demi teman ia harus rela berkorban jadi kambing hitam.
Rhea menatap Rachel penuh rasa terima kasih. Bahagia banget rasanya punya teman kayak gini.
Ini baru yang namanya sahabat sejati. Ingin rasanya ia memeluk Rachel erat-erat saat ini juga.

"Ayo Rhe, kamu sudah membuat Mama menunggu terlalu lama untuk makan siang sama-sama
di rumah! Papa nggak mau ini terulang lagi. Ngerti!" tegas papa.

Rhea cuma bisa manggut-manggut pasrah.

"Kalian berdua juga pulang sekarang. Jangan keluyuran kemana-mana!" perintah papa pada
Rachel dan Marcia yang cuma bisa tersenyum masam. Kemudian papa berbalik dan menyusuri
koridor sekolah menuju tempat parkir.

"Gue balik duluan ya! Thanks for everything... nanti sore gue telepon kalian! pamit Rhea penuh
rasa terima kasih, lalu berjalan cepat menyusul papanya yang mulai menjauh.
BAB 5

"Tuh kan, gue bilang apa! Felix naksir elo! Cie...! Akhirnya Rhea punya pacar juga, goda
Marcia di telepon sore itu.

Rhea yang sedang menunggu Nico sambil menerima telepon dari Marcia jadi tersipu malu dan
sok imut. Dia memilin-milin rambutnya sendiri sampai berantakan.

"Tapi gue nggak yakin, Mar. Habis gue harus backstreet gini."

"Elo nih, banyak banget khawatirnya! Jalanin aja dulu, backstreet ya backstreet. Elo takut?

"Jelas gue takut! Kalau ketahuan bokap, gue bisa digantung.

"Nggak akan ketahuan kalo elo hati-hati dan nggak ada yang ember.

"Nah itu yang gue takutin! Mulut lo sama Rachel kan bocor banget!"

"Sial lo! Emangnya gue temen apaan? Masa gue tega nyelakain temen sendiri sih?"

"Hehehe.. bercanda Mar.

"Itu sih penghinaan namanya!

"Sori deh.. tapi, gue masih belum sepenuhnya yakin keputusan gue ini tepat. Gue bahagia banget
pas tadi dia nembak gue. Untung mawarnya nggak ancur gara-gara gue masukin tas. Cuma gue
nggak yakin apa iya gue cinta sama dia.

"Rhea... Rhea... elo tuh polos banget sih? Lo kan cuma pacaran, bukannya mau kawin? Kalo
emang ternyata lo ngerasa nggak cocok, ya tinggal putus aja. Ngapain juga lo pusingin?

"Itu sih artinya gue jahat dong Pacaran cuma buat have fun aja. Gue nggak mau kalo gitu.

"Itu kan kalo emang nggak cocok. Tapi kalo cocok ya jalan terus. Pacaran itu kan sebuah proses
yang membuat kita mengenal pasangan lebih dekat lagi dan saling menyesuaikan diri. Kalo
ternyata dalam proses itu kita nggak menemukan kecocokan, yah... buat apa lagi diterusin?"
ceramah Marcia panjang-lebar.

Asli Marcia cocok banget jadi konselor pernikahan! Lagi kesambet jin apaan tuh anak? Kok
ngomongnya sok bijak kaya gitu. Tapi Rhea nggak berani mengomentari langsung, takut jinnya
kabur. Soalnya saat ini dia memang butuh advice.
"Tapi Mar, bukannya ini berarti gue ngebohongin Felix dan diri gue sendiri? Felix jelas tau dan
sadar sepenuhnya kalau dia lagi jatuh cinta sama gue. Sedangkan gue sama sekali belum
memahami apakah gue juga jatuh cinta sama dia dan main asal nerima aja pernyataan cintanya
itu.

"Rhe, cinta itu bisa tumbuh sejalan dengan waktu. Nggak semua cinta muncul saat pertama kita
kenal pasangan kita. Ada lho pasangan yang udah sahabatan lama, tapi baru menyadari pasangan
masing-masing setelah persahabatan mereka memasuki tahun ke lima. Itu yang dialami sepupu
gue yang nikah bulan lalu. So, bisa aja setelah elo menjalani masa-masa pacaran sama Felix, lo
bisa benar-benar jatuh cinta dan tergila-gila sama dia. Nggak ada seorang pun di dunia ini yang
tau pasti apa yang akan terjadi besok.

Gila! Marcia keren banget. Kata-katanya itu, bo! Bijak banget.

"Mungkin elo bener, Mar. Gue mesti coba dulu, baru gue memutuskan apa yang harus gue
lakukan selanjutnya. Backstreet, siapa takut?

"Nah... Gitu dong!

Bel rumah Rhea mengalunkan musik merdu. Pasti Nico sudah datang. Hari ini kan ada jadwal
les.

"Mar, udahan dulu ya. Guru les gue udah datang nih.

"Oke deh. Tapi jangan lupa ya, besok istirahat pertama dua mangkok soto mi sebagai ongkos
tutup mulutnya.

"Ye.. rese lo!

Marcia tertawa lalu say bye. Setelah meletakan kembali gagang telepon, Rhea berlari menuju
pintu depan.

***

"Ini udah selesai. Rhea menyodorkan buku tugasnya ke Nico.

Lagi-lagi disuruh ngerjain soal. Tiap kali les selalu kayak gini. Hari ini giliran 50 soal biologi
yang mesti Rhea selesaikan. Memang sih gara-gara sering latihan soal kayak gini dia jadi
mengenal banyak tipe soal. Mulai dari soal yang langsung ketahuan apa jawabannya sampai soal
yang banyak sekali jebakan dan bikin syaraf otak jadi kusut. Selain itu banyak banget
pengetahuan yang sama sekali belum pernah Rhea dengar selama ini, dia temukan di soal-soal
itu. Apalagi Nico rajin banget ngasih rumus-rumus alternatif untuk ngerjain soal-soal Fisika,
Kimia dan Matematika. Bahkan sampai ngebuatin rangkuman rumus-rumus. Dan hasilnya, Rhea
jauh lebih ngerti lagi sekarang. Bahkan kalo dipikir-pikir lagi, belakangan ini soal-soal ulangan
MAFIA (Matematika, Fisika, Kimia) jadi terasa jauh lebih mudah. Contohnya ulangan Kimia
tadi pagi. Biarpun Rhea nggak belajar, tapi gara-gara diwajibkan Nico ngerjain soal-soal dan
baca rangkuman rumusnya, ulangan tadi asli gampang. Bukannya sombong, tapi memang
gampang!

Nico yang sudah mulai mengoreksi pekerjaan Rhea merasa kalau cewek di depannya ini lagi
bengong. Nico menghentikan kegiatannya.

"Rhea, jangan bengong! bentak Nico, membuat Rhea terlonjak kaget.

"Siapa yang bengong?! Rhea membela diri.

"Itu apa namanya kalau bukan bengong? Kenapa? Lagi mikirin cowok? Tenang aja... nggak
bakal ada cowok yang mau sama elo. Soalnya cewek tukang bengong kaya elo pasti susah diajak
jalan. Nggak bakal ada yang mau deh!

"Apaan sih lo? Kok nyolot banget? Apa hak lo ngelecehin gue kayak gitu?!

"Ini hak gue sebagai guru untuk negur murid yang suka bengong sewaktu pelajaran.

"Udah gue bilang, gue nggak bengong!

"Nggak bengong tapi ngelamun. Iya kan?

"Terserah elo deh!

"Ya udah kalo gitu. Daripada elo nerusin pentas bengong lo, mending lo ambil buku biologi yang
warnanya biru. Nico menunjuk tumpukan buku yang dibawanya dari rumah. Lo baca dari
halaman 234 sampai 242.

Rhea menarik napas dalam-dalam untuk meredakan emosinya. Matanya mulai mencari-cari buku
yang dimaksud Nico, sedangkan Nico udah mulai serius lagi memeriksa hasil pekerjaan Rhea.
Yups! Ketemu juga buku itu yang ternyata ada di tumpukan paling bawah. Dan....GILA! Tebel
banget tuh buku! Udah kaya high heels kesayangan Marcia yang pernah dia pamerin sebulan
lalu. Kalo diukur pake penggaris pasti tebalnya sekitar sepuluh senti. Yang bikin nih buku niat
banget sih?

Rhea mengambil buku itu dan membuka halaman-halaman pertamanya pelan-pelan. Ya ampun,
bahasa inggris, lagi! Gila! Masa gue disuruh baca buku beginian? Nggak deh, makasih!

"Lo yakin gue harus baca nih buku? Rhea memberanikan diri bertanya.

"Kenapa? Lo nggak bisa baca? Nico balik bertanya tanpa sedikit pun menghentikan
aktifitasnya.
Ye... dasar manusia nyebelin! Rhea berusaha menahan emosinya. Rhea menarik napas dalam-
dalam, berusaha sabar.

"Bukan begitu... soalnya nih buku pake Bahasa Inggris. Lo punya nggak, buku yang pake Bahasa
Indonesia aja. Trus, nggak usah tebal-tebal kayak ini.

"Nggak punya! Lagian kan pake bahasa inggris. Jadi selain belajar biologi, lo juga bisa
memperkaya vocab inggris lo.

"Tapi kan... "

Udah... baca aja, potong Nico. "cerewet banget sih lo! Disuruh baca aja susah banget!

Rhea terdiam. Dia menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam. Sabar ya Rhe! Anak sabar
disayang Tuhan.

Rhea mengalihkan pandangannya ke buku yang ada di depannya dan mulai membaca halaman
yang udah terbuka. Belum satu kalimat dibacanya, ada suara yang dia kenal berbunyi nyaring
dari atas meja telepon. Nada-nada lagu Toxic itu pasti berasal dari HP-nya yang lagi bertengger
di meja telepon. Rhea jadi bingung. Mau angkat atau nggak ya? Kalau diangkat, Nico bisa marah
karena ini jelas mengganggu. Tapi kalo nggak diangkat malah jauh lebih mengganggu, kan?
Gimana dong? Angkat... nggak angkat... nggak...

"Woi, Non! Elo tuli ya? Nggak denger apa, HP lo bunyi?" suara Nico membuat Rhea terlonjak
kaget.

"Iya gue denger! jawab Rhea sewot.

"So, kenapa nggak lo angkat? Mau pamer sama gue kalo lo punya HP?!

"Lo kenapa sih nggak bisa ngomong baik-baik sedikit aja? Bikin orang marah aja!

"Ah, bawel lo! Angkat aja tuh HP, bisa nggak? Berisik, tau!

Jantung Rhea berdegup kencang. Rasanya darahnya menjalar naik sampai ke ubun-ubun. Cowok
gila! Bisa gila gue ngeladenin cowok kayak gini! pikirnya.

Rhea pun bangkit dan berjalan menuju meja telepon. HP-nya masih berbunyi. Langsung saja
disambarnya benda itu dan ditekannya tombol answer, tanpa sempat melihat nama yang muncul
di layar HP-nya.

"Halo"

Halo, sweety... lagi ngapain? terdengar suara di seberang sana.


Oh, God... Felix! Rhea langsung merapatkan diri ke dinding, berusaha menjauhkan diri dari Nico
yang sedang serius memeriksa buku tugas Rhea.

"Felix.. ada apa? tanya Rhea dengan suara berbisik.

"Gue kangen sama elo.

"Hah? Kan tadi baru aja ketemu di sekolah.

"Iya gue tau. Tapi kan sedetik aja nggak ketemu elo, rasanya seperti seabad. Gue nggak tahan
kangen banget!

Rhea heran, kenapa Felix tiba-tiba jadi begini? Kesannya manja banget. Bikin gue geli aja nih.

"Gue lagi les nih. Lo teleponnya nanti aja deh. Guru les gue galak banget, ujar Rhea setengah
berbisik.

"Ya udah deh. Nanti malam gue call elo lagi. Tapi elo mau janji satu hal dulu nggak sama gue?

"Janji apa?

"Bilang aja iya.

"Iya, tapi apa?"

Sabtu kita jalan ya. Gue mau ngajak elo nonton. Oke, honey?

First date! Felix ngajak kencan. Tapi gimana caranya? Rhea mulai bingung. Emangnya Papa
bakal kasih izin? Kayaknya gue nggak mungkin bisa keluar begitu aja tanpa dicurigai Papa. Tapi
ini kesempatan pertama yang asli langka banget seumur hidup gue. Masa sih gue sia-siain gitu
aja!

"Mmm... lo tau kan gue susah keluar. Lagian kan kita backstreet. Gue nggak bisa janji bakal
jalan berdua elo sabtu nanti. Tapi gue bakal usahain. Gue pikirin dulu gimana caranya ya. Kalo
gue udah yakin bisa keluar, gue kabarin elo lagi. Gimana?

"Iya gue ngerti kok. Tapi usahain ya Rhe... Gue pengin banget jalan sama elo.

"Iya, gue usahain.

"Ya udah, nanti malam gue call elo lagi ya say. Met belajar!

"Iya, bye!

Rhea meletakkan kembali HP-nya ke atas meja, dan beranjak kembali mendekati Nico yang
masih tekun dengan buku tugas Rhea. Tapi baru aja dia mau duduk, HP-nya kembali berdering
nyaring. Rhea menatap Nico takut-takut, tapi nggak ada reaksi dari cowok itu. Dia tetap menatap
buku seperti nggak peduli suara HP. Rhea buru-buru balik ke meja telepon dan menyambar HP.
Nama Felix muncul di layar.

"Ada apa lagi sih, Lix?

"Lho, kok elo ngomongnya gitu sih? Elo nggak suka ya gue nelepon?

"Bukan gitu. Cuma gue kan udah bilang kalo gue lagi les. Kalo gue angkat telepon terus gue
bisa kena marah.

"Oh, sori deh kalo gitu. Gue cuma mau bilang... kalo sabtu elo bisa keluar, kita janjiannya jam
empat aja ya. Urusan tempat nyusul, oke?

"Iya... gue setuju-setuju aja.

"Gue udah nggak sabar nih mau jalan berdua sama elo.

"Iya, gue juga.

Bener?

"Iya..

"Makasih ya, Rhe. Elo udah bikin gue bahagia banget hari ini.

Pipi Rhea bersemu merah. Dia terharu banget. Dia sama sekali nggak menyangka Felix benar-
benar serius sama dia.

"Lix... gue les dulu ya, ujar Rhea yang nggak tau harus gimana merespon ucapan Felix tadi.

"Iya, iya.. gue nggak ganggu elo lagi deh. See you, honey! I love you so much.

"Iya. bye!

Pipi Rhea merah padam. Ia terpesona mendengar untaian kata yang keluar dari mulut Felix. Ini
pertama kali dalam hidupnya ada seorang cowok yang mengatakan hal-hal yang begitu manis
padanya. Rhea berjalan pelan setelah men-silent HP-nya dan meletakannya lagi ke atas meja.

Rhea kembali duduk dan membaca buku yang ada di depannya. Lebih tepatnya pura-pura
membaca, soalnya sebenarnya dia cuma melamunkan kembali percakapan mesranya dengan
Felix barusan. Buku di depannya cuma sebagai kedok, biar kesannya tuh dia lagi baca. Nico
menatap cewek di depannya yang lagi menunduk. Nico tau Rhea tidak sedang membaca, karena
nggak mungkin ada orang yang baca buku Biologi setebal itu dengan wajah bersemu merah dan
senyum-senyum sendiri. Nico yakin telepon tadilah yang membuat Rhea seperti ini.

"Telepon dari cowok lo ya? tegur Nico.


Rhea terlonjak kaget. Jangan-jangan Nico mendengar percakapannya di telepon tadi.

"Apaan sih? Bukan urusan elo! Rhea berusaha mengelak.

"Nggak usah ditutupi deh, Nico tersenyum sinis. "Muka lo tuh udah ngasih jawabannya.

"Ih, sok tau! Rhea mulai kesal.

"Rhe, bukannya lo nggak boleh pacaran sama bokap lo? Pasti elo backstreet! tepat di sasaran.
Wajah Rhea langsung berubah pucat. "Mmm... gimana ya kalo gue lapor ke bokap lo? Pasti
bakal jadi tontonan seru nih! Mungkin akan terjadi perang dunia ketiga kali ya?

Psikopat! Dasar cowok psikopat! maki Rhea dalam hati.

Nico menatap wajah Rhea yang kini benar-benar seperti mayat. Nico tau tebakannya memang
tepat. Tapi sedetik kemudian, segores luka menyayat hatinya. Rasanya perih sekali saat melihat
ekspresi Rhea.

"Tapi... kayaknya nggak mungkin juga sih, kata Nico lagi, kini mencoba menghibur Rhea.
Wajah Rhea berangsur-angsur normal kembali. Tapi cuma sesaat, karena Nico nyeletuk lagi.
"Soalnya, mana ada sih cowok yang mau pacaran sma elo?

"Elo gila ya! Kenapa sih mulut elo nggak pernah bisa dikontrol!?! maki Rhea kesal.

"Tapi gue benerkan? Mana mungkin ada yang mau sma elo! Nico mulai cengengesan.

"ADA ATAU NGGAK, ITU BUKAN URUSAN LO! Rhea membanting buku dan masuk ke
kamar. Soal Nico, sebodo amat!

***

Perpustakaan sudah sepi. Nggak banyak anak-anak yang nongkrong di situ. Sebagian besar
sudah pada pulang. Rachel, Rhea dan Marcia mojok di sudut ruangan sambil sibuk mencari
bahan makalah tentang sejarah olimpiade, sekalian nungguin papanya Rhea yang masih rapat.
Selain mereka, cuma ada beberapa pasang muda-mudi yang lagi di mabok cinta, ngambil setting
perpustakaan sebagai lokasi pacaran.

"Chel... Mar.. gimana dong? Udah hari jumat nih, dan gue belum dapat satu ide pun untuk bisa
keluar sama Felix, kata Rhea setengah berbisik.

"Ya ampun, gitu aja kok repot! Rachel menatap Rhea heran. "Itu kan gampang. Lo tinggal cari
alasan aja biar bisa keluar rumah.
"Ngomong sih gampang, tapi gimana prakteknya? Gue kan belum pernah bohong sama bokap
gue, jawab Rhea. Kalau ketauann, gimana? Gue takut, Chel.

"Yah... Rhea. Justru ini serunya bacsktreet, Rhe! Marcia tersenyum menggoda.

"Gila! Ini sih namanya cari mati. Gue benar-benar stres berat nih!

Rachel dan Marcia tertawa geli mendengar ucapan Rhea. Rhea memang terlalu lugu. Pacaran,
apalagi backstreet, benar-benar hal baru untuknya.

"Ya udah, biar kami yang bantuin elo, Marcia memberikan harapan baru buat Rhea.

"Bantuin gimana?

Marcia berdecak, lalu berkata, "lo bilang aja ke bokap lo kalo kita mau belajar kelompok buat
ngerjain makalah tentang Olimpiade ini di rumah gue. Nanti biar gue sama Rachel yang jemput
elo, supaya bokap elo percaya. Nah pulang dari jalan sama Felix, lo minta deh si Felix nganterin
elo lagi ke rumah gue. Seterusnya biar gue yang nganter elo pulang. Oke?"

Rhea mengernyitkan keningnya. Ide yang sederhana tapi cukup bagus. Kenapa gue nggak
kepikiran ke situ ya? ujarnya dalam hati.

Tapi... gimana kalo sampai ketahuan?"

Lo nggak usah mikir macam-macam, Rhe, ujar Rachel, seperti bisa membaca hati Rhea. "Lo
mau kan jalan sama Felix? tanyanya begitu dilihatnya keraguan di wajah Rhea.

"Iya, gue mau banget, tapi... "

Rhe, kapan lagi momen berharga ini terjadi dalam hidup lo? Lo mau kencan sama cowok yang
benar-benar sayang sama elo, cowok yang jadi inceran cewek-cewek satu sekolah. Elo kan selalu
ngimpiin punya pengalaman yang seru dalam hidup lo. Nah, sekaranglah kesempatan itu datang.
Masa lo mau mundur gitu aja sih? Come on, Rhe, masa gitu aja lo takut? bujuk Marcia.

Rhea terdiam. Ia mulai memikirkan kembali ide sahabatnya itu, juga semua kata-kata Marcia
barusan. Marcia benar, Rhea nggak boleh mundur begitu saja. Kesempatan seperti ini belum
tentu akan terulang lagi.

"Oke, gue setuju. Gue coba nekat kali ini, kata Rhea mantap.

"Nah.. gitu dong! seru Rachel dan Marcia bersamaan, membuat beberapa pasang mata yang
masih ada di dalam ruangan itu menatap mereka. Rachel dan Marcia buru-buru menutup mulut.

Rhea tersenyum geli. Makasih ya, kalian udah bantuin gue cari ide.
"Ini sih soal gampang, Rhe. Tapi jangan lupa balas budinya ya. Rachel mengembalikan buku ke
dalam rak.

"Iya deh... apa aja yang kalian mau, gue kabulin.

"Bener nih? Kami berdua cuma minta satu hal. Nggak susah kok. Rachel tersenyum manis, tapi
senyum itu malah membuat Rhea curiga. Pasti ada maksud terselubung di balik senyum Rachel
itu. "Mmm... kami cuma mau makalah kelompok kita jadi tanggung jawab lo sepenuhnya.
Gampang kan Rhe.

Yup! kecurigaan Rhea terbukti benar.


BAB 6

CUACA sore itu agak mendung. Matahari tengah bersembunyi di balik awan. Rhea duduk di
tempat tidurnya sambil menggenggam HP. Tampak keraguan di matanya. Rhea menarik napas
panjang, kemudian menekan nomor telepon Felix yang sudah disimpannya dalam speed dial.

"Halo, Felix, sapa Rhea begitu teleponnya tersambung.

"Halo, honey, ada apa? balas Felix dari ujung telepon.

Mmm... gue mau bicara soal besok.

"Besok? elo bisa keluar?

"Iya. Gue udah pikirin caranya dan itu yang mau gue bahas sama elo sekarang.

"Oke, gimana?

Rhea menarik napas dalam-dalam. Besok gue bilang sama bokap kalau gue mau ngerjain tugas
kelompok di rumah Marcia. Nanti Marcia yang jemput gue biar bokap gue percaya. Trus kita
ketemuan di rumah Marcia. Dan sebelum jam sembilan gue udah harus pulang. Elo anterin gue
ke rumah Marcia lagi, biar nanti Marcia yang anterin gue pulang ke rumah.

"Brilian! Itu ide yang asli oke banget! Bokap lo pasti nggak bakal curiga.

"Semoga aja begitu. Trus kita janjiannya di mana?

"Di Plaza Senayan aja... di depan bioskopnya. Kita kan mau nonton. Oke say?

"Ya udah. Kita ketemuan besok jam empat di depan Plaza Senayan.

"Say makasih ya.

"Makasih untuk apa?

"Makasih karena elo mau berkorban banyak banget biar kita bisa jalan berdua. Gue seneng
banget walaupun gue tau ini berat buat elo. Elo pasti nggak pernah melakukan hal seperti ini
sebelumnya.

"Iya ini pertama kalinya gue nekat melakukan hal semacam ini. Bohong sama keluarga,
ngarang-ngarang cerita, rasanya seperti bukan gue. Jujur aja, gue takut banget. Tapi gue tetap
mau jalan sama elo karena gue pikir gue harus mencoba menikmati masa remaja gue. Kalo
nggak sekarang kapan lagi?
"Karena itu, Rhe, gue makasih banget sama elo. Tenang aja... gue janji, gue akan bikin besok
jadi hari yang nggak terlupakan buat elo.

"Iya,

***

Rhea meremas-remas kedua tangannya. Masalahnya dia nggak tahu bagaimana caranya minta
izin sama Papa dan mengawali semua rencana besarnya hari ini. Semua jam yang ada di kamar
Rhea kompak menunjukan pukul 14.30. Ini tandanya Rhea nggak punya banyak waktu lagi. Ia
semakin bingung.

Rhea berdiri di depan pintu kamarnya lalu menarik napas panjang. Tangannya bergerak pelan
hendak membuka pintu, tapi kemudian ia berubah pikiran. Rhea mundur beberapa langkah lalu
bolak-balik di depan tempat tidurnya kaya setrikaan. Ia terus meremas-remas kedua tangannya.
Sejenak Rhea berhenti di tempat, lalu memejamkan kedua matanya rapat-rapat dan menarik
napas panjang lagi. Setelah itu membuka mata dan tersenyum lebar. Oke, Rhea lakukan sekarang
untuk masa depanmu atau kamu akan menyesal seumur hidupmu. Rhea pun melangkah mantap
dan membuka pintu, lalu berjalan menuruni anak tangga satu per satu menuju ruang tamu. Di
sana papa dan mama lagi duduk berdua menonton televisi.

"Pa... Ma Rhea mau minta izin nih, Rhea langsung duduk di sebelah mamanya begitu sampai
di ruang tamu.

"Kamu mau ke mana Rhe? tanya mama lembut.

"Mmm.. Rhea... Rhea mau ke rumah Marcia, mau kerja kelompok bikin makalah tentang sejarah
Olimpiade, Ma, jawab Rhea ragu-ragu. Begini nih kalo nggak pernah bohong. Bohong sedikit
aja udah grogi dan keluar keringat dingin.

"Kenapa nggak kerja kelompok di sini saja? Papa kan punya koleksi buku yang jauh lebih
lengkap dan bisa dijadikan referensi untuk makalah kamu? tanya Papa.

Kayaknya ia mulai curiga melihat tingkah anak bungsunya. Rhea terdiam sesaat. Otaknya
berputar cepat berusaha mengarang jawaban yang masuk akal. Ini benar-benar pertanyaan di luar
dugaan. Nggak ada dalam skenario, dan membutuhkan improvisasi.

"Itu, Pa... rumah Marcia kan kosong. Soalnya mama-papanya lagi pada pergi. Makanya kami
mau kerja kelompok di rumah Marcia aja, sekalian nemenin Marcia jaga rumah, jawab Rhea
begitu menemukan alasan yang masuk akal.
"Kamu mau pergi jam berapa? Biar papa yang antar, kata mama.

"Nggak usah, Ma. Marcia nanti jemput Rhea jam setengah empat, buru-buru Rhea menolak
tawaran Mama.

"Kata kamu Marcia jaga rumah, kok dia bisa jemput kamu? O-o pertanyaan Papa membuat
Rhea menelan ludah.

"Mm... anu, Pa... kan jemput Rachel sama Rhea cuma sebentar, jadi nggak apa-apa kalau
rumahnya ditinggal. Masalahnya, mobil Rachel lagi di bengkel, jadi mau nggak mau Marcia
harus jemput Rachel lalu sekalian jemput Rhea.

Ya sudah, yang penting kamu jangan pulang malam-malam. Sebelum jam sembilan kamu sudah
harus sampai rumah. Kalo tugasnya belum selesai kan bisa dilanjut besok. Selain itu kamu juga
nggak boleh telat makan. Mama percaya sama kamu, kamu kan sudah besar, kata mama lembut,
sambil membelai rambut Rhea.

"Iya, Ma. Makasih sahut Rhea lirih. Perasaan bersalah memenuhi hatinya. Ini pertama kali
dalam hidupnya ia berbohong pada orangtua. Padahal Mama udah begitu baik, bahkan mama
memberikan kepercayaan padanya. Tapi Rhea sudah terlanjur basah dan nggak mungkin mundur
lagi. Maaf, Ma Maaf, Pa Maafkan Rhea...

***

Rhea berjalan pelan menuju bioskop tempat dia janjian sama Felix kemarin. Rhea merasa agak
risi. Masalahnya, tank top bermotif polkadot yang disediakan Rachel dan Marcia malah
membuatnya nggak percaya diri. Dia merasa penampilannya terlalu sexi. Tadi di mobil, selama
perjalanan menuju Plaza Senayan ini, Rhea dipermak habis-habisan. Mukanya dipakein bedak
dan blush-on, sampai-sampai Rhea merasa mukanya mirip.... hmm.. maaf... pantat monyet.
Matanya juga dipakein eye-shadow plus eyeliner. Belum lagi bibirnya dipoles lipstik lengkap
dengan lipgloss-nya, membuat bibirnya kelihatan berminyak banget kaya habis makan bakmi
ayam.

Untung saja dia tadi berhasil menolak memakai rok mini yang juga udah disiapin kedua sobatnya
itu, dan tetap bertahan dengan celana jinsnya. Tapi tank top dan berbagai aksesoris seperti ikat
pinggang, kalung warna-warni, anting-anting berbentuk bola warna-warni, dan gelang warna
pelangi sama sekali nggak bisa ditolak. Bahkan Rachel sampai memakaikannya secara paksa ke
tubuh Rhea. Belum lagi sendal jepitnya juga dipaksa ganti dengan sepatu high heels warna biru
muda. Dan yang terakhir, tas ransel kesayangannya juga disita dan diganti dengan tas cangklong
bermotif polkadot.
Penampilan Rhea benar-benar beda dari biasanya. Bahkan Rhea sendiri sampai nggak ngenali
dirinya lagi. Selama ini dia nggak pernah beresperimen dengan penampilannya atau mengikuti
tren mode masa kini. Cukup bedak, pelembab bibir, dan cologne bayi yang menyentuh tubuhnya.
Pakaiannya paling cuma celana jins dan T-shirt. Ditambah tas ransel dan sendal jepit.
Penampilan beda seperti ini membuat Rhea kurang pede. Tapi kata Rachel dan Marcia, kencan
pertama wajib meninggalkan kesan yang berbeda, biar hubungan sama gebetan bisa awet.
Karena itu Rachel juga melengkapi Rhea dengan tiga perlindungan ekstra, yaitu permen
penyegar mulut, body lotion, dan eau de toilette. Perman penyegar mulut fungsinya agar mulut
Rhea terhindar dari napas tak sedap, juga supaya bibir Rhea siap kapan saja menyambut
serangan mendadak bibir Felix. Trus body lotion berfungsi supaya tangan Felix betah mengelus-
elus tangan Rhea, dan eau de toilette menjaga tubuh Rhea wangi 24 jam dan membuat Felix
mabok kepayang. Mendengar semua itu Rhea cuma bisa pasrah dan nurut aja. Rhea sudah
hampir sampai di depan bioskop matanya mulai mencari-cari sosok Felix.

Yups, ketemu. Felix sedang berdiri nggak jauh dari pintu masuk bioskop. Cowok itu memakai
kaus ketat tanpa lengan berwarna hitam, celana bahan yang juga berwarna hitam, dan sepatu kets
warna hitam dengan garis-garis putih di pinggirnya. Asli, Felix jadi kelihatan lebih keren dari
biasanya.

"Hai! Lama, ya? sapa Rhea tersenyum manis.

"Rhea? Felix terpana melihat sosok gadis di depannya yang baru saja menyapanya dan kini
sedang tersenyum manis padanya.

"Iya. Emang kenapa? Gue aneh ya?

"Bukan nggak... nggak aneh. Malah... elo kelihatan cakep banget. Beda dari biasanya.

"Masa sih? Rhea sedikit tersanjung, tapi dia merasa gugup juga. "Gue malah merasa nggak pede
nih.

"Bener gue jujur lho. Elo emang cakep banget.

"Makasih, pipi Rhea bersemu merah, membuat warna blush-on di pipinya terlihat semakin
menyala.

"Gue sampai pangling lho.

Rhea cuma bisa tersenyum malu. Ternyata nggak rugi juga nurutin Marcia dan Rachel. "Elo
udah lama nunggu, ya? Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Nggak juga. Tapi gue udah beli tiketnya, soalnya takut kehabisan. Kita nonton Spiderman 2,
ya? Katanya filmnya keren banget. Elo belum nonton kan?
"Eh, belum.., jawab Rhea berbohong. Padahal baru dua hari yang lalu dia nonton di VCD yang
dipinjam Reva dari temannya.

"Bagus deh kalau begitu. Kita masuk yuk. Tapi kita beli minum dan popcron dulu, Rhea
mengangguk.

Felix meraih tangan Rhea dan menggandengnya masuk ke area bioskop. Jantung Rhea berdegup
cepat, dan dia yakin saat ini pasti pipinya sudah semerah kepiting rebus.

***

Studio 1 sudah gelap. Felix menggandeng tangan Rhea mencari tempat duduk mereka. Filmnya
sudah dimulai. Gara-gara Rhea kebelet pipis, mereka jadi telat masuk. Akhirnya ketemu juga deh
tempat duduknya. Felix duduk di sebelah kanan Rhea. Tangannya tak lagi menggenggam tangan
Rhea, tapi sibuk mengambil popcorn dan melahapnya. Cowok itu tampak serius menatap layar
lebar yang ada di hadapan mereka. Rhea menghirup minumannya. Tadi dia memang nggak mau
beli popcorn, dan hanya membeli segelas soft drink. Udah terasa begitu dingin. Apalagi saat ini
dia hanya memakai tank top. AC yang begitu dingin membuat mata Rhea terasa berat. Belum
lagi semalam dia sama sekali nggak bisa tidur gara-gara mikirin hari ini. Sekarang rasanya Rhea
benar-benar ngantuk... pengin tidur... Rhea nggak tahan lagi...

"Rhe, kamu ketiduran ya? tegur Felix.

"Ah, sory... ya ampun! Rhea terkejut saat melihat ruangan sudah kembali terang dan para
penonton sudah mulai beranjak dari tempat duduk. "Filmnya udah selesai ya, Lix? Rhea
bertanya dengan nada menyesal. Gimana nggak menyesal? Ini kencan pertamanya, dan dia
malah ketiduran. Ini benar-benar nggak bisa di percaya.

"Iya, filmnya emang sudah selesai. Kamu ngantuk banget ya? Kita keluar yuk, ajak Felix, tetap
lembut seperti sebelumnya.

Rhea mengangguk pasrah lalu berdiri mengekor Felix menuju pintu keluar. Felix memperlambat
langkahnya agar bisa berjalan sejajar dengan Rhea.

"Kita makan dulu ya, Rhe.

"Iya, Rhea menjawab pelan sambil mengangguk.

Dia masih nggak henti-hentinya mengutuk diri karena kebodohan yang baru saja dilakukannya.
Ia pun berjalan sambil menunduk, soalnya dia mau menguap. Mereka menuruni eskalator lalu
memasuki restoran jepang. Mereka mengambil tempat di pojok ruangan. Suasana di restoran ini
memang agak remang-remang sehingga memberi kesan romantis. Dekorasinya seperti taman
kota. Ada banyak pohon dan tanaman-tanaman plastik di setiap sudut ruangan. Semua
pelayannya memakai kimono berwarna hijau-putih. Benar-benar membuat perasaan jadi teduh
dan tenang.

"Elo mau makan apa Rhe? tanya Felix ramah.

Pelayan yang berdiri di sebelah mereka juga ikut tersenyum manis. Jangan-jangan nih pelayan
naksir Felix lagi? pikir Rhea. Kalau nggak, ngapain dia senyam-senyum segala. Cari perhatian.

"Gue terserah elo aja, Rhea buru-buru menjawab agar Felix segera menyelesaikan pesanan
mereka dan si pelayan cepat-cepat pergi.

"Ya udah, Mbak. Samain aja dengan pesanan saya tadi.

Pelayan itu mengangguk sambil tersenyum ramah, lalu kembali membacakan pesanan mereka,
setelah itu baru meninggalkan meja mereka.

"Kamu tadi ngantuk banget ya? Nyenyak sekali tidurnya, Felix memulai percakapan

"Sori... gue emang ngantuk banget. Gue sama sekali nggak sadar, tau-tau gue udah ketiduran
gitu.

"Nggak apa-apa kok. Elo nggak usah merasa bersalah gitu dong.

"Tapi gue kan jadi nggak enak sama elo. Diajak nonton kok malah ketiduran.

"It's okay lagi. Rhe.

"Beneran... elo nggak marah?

"Buat apa gue marah? Mmmm.... gue malah pengin ngomong serius sama elo.

"Ngomong serius?

"Iya... gue mau jujur sama elo, tentang rahasia terbesar yang gue simpan dalam hidup gue selama
ini. Gue nggak mau nyembunyiin apa pun dari elo, Rhe.

"Rahasia apa sih? Rhea jadi deg-degan dan penasaran ingin mendengar penuturan Felix.
Memangnya selama ini cowok itu nyimpen rahasia apa ya?

"Tapi elo janji ya, Rhe. Jangan bilang sama siapa pun tentang hal ini.

"Iya gue janji, Rhea menjawab mantap. Dia udah penasaran banget pengin tahu apa yang
hendak dikatakan Felix.

"Rhe...sebenarnya gue.. sebenarnya gue ini.... SPIDERMAN..."


HAH? Rhea melongo. Dia nggak percaya sama kata-kata yang baru saja menyentuh gendang
telinganya.

"sss-Spiderman?"

"Iya, Rhe.. gue ini Spiderman. Selama ini gue menyembunyikan identitas gue dari semua orang.
Diam-diam gue ngebantuin polisi menangkap penjahat-penjahat yang berkeliaran di Jakarta.
Bahkan sekarang ini gue lagi dalam tahap pelacakan lokasi tempat tinggal pelaku pemboman
yang meneror Jakarta akhir-akhir ini.

Mulut Rhea terbuka lebar mendengar penjelasan Felix. Nggak mungkin! Nggak lucu banget sih
bercandanya. Konyol! Benar-benar konyol! Apa Felix terlalu terbawa film tadi ya? Ini benar-
benar nggak bisa di percaya.

"Lo bercanda kan ?" Rhea tertawa. Dia menduga Felix mungkin sedang iseng menjailinya.

Felix menghela napas panjang. Gue tau elo nggak mungkin percaya sama omongan gue
barusan. Tapi gue harus jujur sama elo agar elo hati-hati. Musuh-musuh gue pasti akan
mengincar gue karena mereka tau elo orang terpenting dalam hidup gue. Terutama Lord
Voldemord. Elo harus hati-hati sama dia.

Hah? Lord Voldemord? Rhea semakin melongo dibuatnya. Dia benar-benar nggak ngerti arah
percakapan ini. Kok jadi semakin nyasar begini sih? Musuh Spiderman kan Dr. Octopus dan
Harry Osborn yang bapaknya mati. Lord Voldemord kan musuhnya Harry Potter. Gila ini benar-
benar gila! Kepala gue kayak mau pecah. Ini terlalu konyol. Terlalu konyol!

"Rhe, kamu nggak dengerin aku ya? Apanya yang konyol? sayup-sayup Rhea mendengar suara
Felix. Rhe kamu ketiduran ya?

Rhea tersentak. Dia membuka kedua kelopak matanya. Lampu ruangan sudah menyala. Banyak
orang yang sudah beranjak dari kursi. Tapi yang pasti, ini masih di ruang bioskop? Bukannya di
restoran Jepang?

"Rhe, kamu kenapa? Kamu mimpi ya? tanya Felix lembut.

"Sori filmnya baru selesai ya?" Rhea mengucek-ucek matanya. Kacau deh. Benar-benar kacau.
Kirain gue tadi udah bangun, trus makan di restoran Jepang. Eh ternyata masih mimpi juga,
gerutu Rhea dalam hati.

Felix mengangguk sambil tersenyum manis. Rhea memandang sekeliling. Ia pun menarik napas
panjang. Lega. Berarti percakapan tentang Spidermen itu hanya mimpi. Ya ampun, bisa-bisanya
gue mimpi kayak begitu. Rhea menertawai dirinya sendiri.

"Kamu pasti ngantuk banget ya? Kita keluar sekarang yuk, habis itu kita cari tempat makan. Aku
tau restoran Jepang yang enak di sini. Kita makan dulu yuk!"
Restoran Jepang? Makan malam? Deg...! Rhea menatap Felix dalam-dalam. Mimpinya tadi
seperti diputar kembali dalam memorinya.

"Nggak deh, Lix. Kita langsung pulang aja. Gue takut kemalaman," tolak Rhea. Masalahnya
bukan takut kemalaman, tapi Rhea takut mimpinya tadi benar-benar jadi kenyataan.

"Ya udah, kalo begitu," Felix nggak mau memaksa walau dari nada bicaranya tersirat
kekecewaan.

Namun bukan hanya Felix yang kecewa. Rhea juga sama kecewanya. Dia benar-benar kesal
karena kencan pertamanya harus berakhir seperti ini. Mimpi yang benar-benar mengacaukan
semuanya.
BAB 7

Sudah tiga hari berlalu sejak kencan pertama yang kacau itu. Semalam Felix menelepon Rhea.
Minta ditemenin cari buku di mal. Rhea nggak bisa nolak, soalnya dia masih merasa bersalah
karena kejadian waktu kencan itu. Coba kalau dia nggak pake acara ketiduran, pasti semuanya
nggak akan kacau begitu.

Hari ini Rhea minta bantuan Marcia dan Rachel lagi. Dua sobatnya itu akan kembali
mengorbankan diri untuk membantu Rhea. Marcia dan Rachel datang ke rumah Rhea dan
menunggunya ganti baju sekaligus makan siang, lalu sama-sama ke mal dengan alasan
menemani Rachel mencari baju senam. Mau nggak mau mereka berdua pun harus siap
mendengarkan ceramah setengah jam dari kepala sekolah mereka di rumah Rhea nanti. Tapi
demi sahabat, kita kan harus selalu siap berkorban. Iya nggak sih?

"Makasih ya. Lo berdua udah rela ngebantuin gue, ucap Rhea tulus sewaktu mereka sudah
berada di dalam mobil Marcia menuju mal.

"No problemo, Rhe. That's what friends are for, sahut Rachel yang duduk di bangku depan di
samping Marcia yang lagi nyetir.

Rhea duduk di bangku belakang sendirian. Kali ini Rachel nggak ngotot memermak Rhea,
soalnya ini kan cuma jalan-jalan biasa. Jadi kata Rachel, Rhea boleh aja tampil kasual.

"Tapi Rhe, bokap lo itu beneran hebat lho, kata Marcia. Bayangin aja. Selama tiga puluh menit
dia sama sekali nggak kehabisan bahan buat ceramah. Ada aja yang dia omongin. Tentang anak-
anak yang mulai nggak peduli sama aturan sekolah, sampai ring basket sekolah kita yang rusak
gara-gara anak tim basket ngelempar bola terlalu kuat. Aneh juga bokap lo itu. Kalo ngelempar
bola pelan-pelan ya mana bisa masuk. Iya nggak?"

Rachel dan Rhea tertawa mendengarnya. Dosa sih ngetawain orang tua, apalagi orang tua
sendiri, tapi Marcia emaang bener. Papa tuh nggak pernah kehabisan stok kalo lagi asyik
ceramah.

"Oke, girls, kita udah sampai, kata Marcia begitu mobil berada di depan mal Taman Anggrek.

"Thanks banget ya, Mar, Chel.

"Sama-sama Rhe, sahut Marcia. Lo yakin nanti nggak usah gue jemput lagi?

"Nggak usah. Gue bisa minta Felix nganterin gue sampai halte yang nggak jauh dari rumah gue.
Habis itu gue tinggal jalan sedikit.
"Ya udah kalo begitu. Sukses ya! kata Marcia tulus.

"Satu lagi, jangan sampai lo ketiduran waktu lagi cari buku. Oke! ujar Rachel sambil tertawa.

"Rese lo! seru Rhea sambil menutup pintu mobil.

"Bye, Rhe! Rachel melambaikan tangannya dari dalam mobil yang udah mulai melaju lagi.

Rhea membalas lambaian tangan Rachel sampai sobatnya itu menghilang dari pandangannya.
Setelah itu baru ia melangkah memasuki mal. Suasana mal Taman Anggrek hari ini nggak begitu
ramai. Mungkin karena hari kerja. Rhea berjalan santai. Kali ini ia berjalan penuh percaya diri,
nggak perlu merasa risih seperti waktu itu. Rhea memasuki toko buku tampat ia janjian sama
Felix. Suasananya agak sepi. Kepala Rhea mulai celingak-celinguk mencari Felix. Itu dia!
Cowok itu lagi berdiri di bagian buku-buku otomotif. Rhea langsung mempercepat langkahnya
mendekati Felix.

"Hai...! sapa Rhea.

"Hai, Rhe! Kamu baru sampai ya? tanpa lupa tersenyum manis pada Rhea yang sekarang berdiri
di sampingnya, Felix balas menyapa. Ia masih memegang buku bergambar mobil sport.

"Elo lagi baca apa sih? Rhea berusaha mengintip buku di tangan Felix.

"Ini... buku tentang otomotif.

"Oh, elo suka otomotif juga?

"Sedikit."

Buku yang elo cari udah ketemu? Memangnya buku apaan sih yang elo cari?

"Belum ketemu nih. Tadi gue udah nyoba nyari, tapi di sini lagi kosong. Gue lagi nyari buku
yang ngebahas latar belakang terjadinya perang dunia ke satu dan kedua.

"Oh, kalo buku tentang perang dunia sih gue punya. Bokap gue punya banyak koleksi buku dan
gue pernah baca tentang perang dunia di salah satu bukunya. Nanti gue cariin deh.

"Nggak usah! tiba-tiba jawaban Felix terdengar ketus. Mimik wajahnya seperti nggak suka
dengan tawaran Rhea itu.

Rhea menatap Felix heran. Rasanya dia nggak salah bicara, tapi kenapa cowok ini tiba-tiba jadi
ketus begitu?

"Sori, Rhe. Gue nggak bermaksud kasar. Gue cuma nggak mau nyusahin elo. Gue lebih suka
nyari dan beli buku itu sendiri dari pada minjem, suara Felix mulai lembut kembali.
Kelihatannya dia sadar kata-katanya tadi emang kasar.
Rhea tersenyum lega. Nggak apa-apa kok. Ya udah, kalo kamu memang mau cari dulu. Mm...
gimana kalo kita coba cari di tempat lain?

"Boleh. Felix tersenyum dan mengangguk. Ia meletakan buku yang dipegangnya ke dalam rak,
lalu menggandeng tangan Rhea dan berjalan keluar dari toko buku itu.

Genggaman Felix terasa begitu hangat. Jantung Rhea jadi berdebar cepat. Rhea berjalan di
samping Felix sambil terus menatap tangannya yang kini berada dalam genggaman tangan Felix.
Tapi tiba-tiba... BUK! Tanpa sadar Rhea menabrak seseorang.

"Aduh! Sori... Rhea buru-buru minta maaf. Genggaman Felix sudah terlepas. Rhea
menengadahkan kepalanya, dan ia pun langsung terpana begitu menatap wajah orang yang baru
saja ditabraknya. Jantungnya langsung berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. "Nico, kata
Rhea lirih.

Nico juga sama terkejutnya dengan Rhea. Dia nggak sadar kalo cewek yang menabraknya adalah
Rhea. "Lo ngapain di sini? tanya Nico kasar.

Melihat tanggapan Nico begitu, Rhea jadi kesal. "Eh, apa urusan elo? Gue mau ngapain di sini ya
terserah gue.

"Asal jangan lupa waktu aja. Ini udah hampir jam lima. Sejam lagi jadwal les kita. Jangan
keasyikan pacaran ya, ujar Nico sinis sambil menatap Felix dari ujung rambut sampai ujung
kaki.

Felix tampaknya nggak suka dilihat dengan cara begitu. Ia langsung maju selangkah dan berkata,
Apa ada masalah? Dia cewek gue. Apa hak lo ngatur-ngatur dia? Kapan dia mau pulang, itu
urusan dia.

"Oh... ini cowok lo, Rhe? Bukannya lo nggak boleh pacaran sama bokap lo? kemudian Nico
menatap Felix. Eh, sekalian deh elo gue kasih tau... Gue guru les Rhea. Dan asal lo tau aja ya,
gue punya hak ngingetin dia untuk pulang karena hari ini dia ada jadwal les sama gue.

Felix sudah hendak bicara lagi, tapi Rhea buru-buru menahannya. Ia bisa merasakan api yang tak
berwujud sedang menyelubungi kedua cowok ini, dan Rhea nggak mau kalau sampai terjadi
masalah. Apalagi ini kan tempat umum.

"Gue pacaran atau nggak, bokap gue ngasih izin atau nggak, itu urusan pribadi gue. Elo cuma
guru les yang sama sekali nggak punya hak mengatur kehidupan gue. Tenang aja deh, gue pasti
pulang tepat waktu Pak Guru! tukas Rhea. Ia sendiri sampai kagum dengan nada bicaranya
yang bisa terdengar begitu tegas. Rasanya jadi mirip Papa kalau lagi ngomong, membuat lawan
bicara jadi nggak bisa berkutik lagi.

Nico terdiam. Dia menatap cewek di depannya dengan sorot mata tajam seperti hendak menelan
Rhea bulat-bulat. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, Nico berbalik dan meninggalkan Rhea begitu
saja. Rhea terpaku. Perasaannya jadi nggak karuan. Ada rasa takut Nico akan mengadukan
masalah ini kepada orangtuanya. Ada perasaan bersalah karena sudah bersikap kasar pada Nico.
Juga ada perasaan sedih karena Nico sama sekali nggak membalas kata-katanya dan berlalu
begitu saja.

"Rhe, elo nggak apa-apa? tegur Felix.

Rhea tersentak. Nggak... nggak apa-apa. Kita jalan lagi yuk. Gue masih punya waktu 45 menit
untuk bantuin lo cari buku.

Felix mengangguk. Tangannyya merangkul bahu Rhea segera mengajak cewek itu menuju toko
buku lain. Rhea sendiri hanya diam dan nggak lagi banyak bicara. Ia hanya tersenyum dan
menjawab sekadarnya jika Felix mengajaknya bicara. Peristiwa tadi telah membuat mood-nya
jadi berantakan.

***

"Rhe, sori... Gue benar-benar minta maaf. Elo jangan diam aja dong! Felix berkata sambil
setengah memohon. Tatapannya tetap ke depan, kedua tangannya memegang setir.

Hari ini Felix bawa mobil. Motor yang biasa dipakainya lagi rusak dan terpaksa menginap di
bengkel. Rhea duduk di sebelah Felix dengan kebisuan. Dia benar-benar kesal. Udah jam 18.15.
Nico pasti sudah di rumah sekarang. Papa dan Mama pasti marah besar karena Rhea telat pulang.
Bagaimana kalo Nico mengadu pada Papa dan Mama kalau dia ketemu Rhea di mal lagi jalan
sama cowok? Ini semua karena tadi Felix ketemu teman-teman SMPnya lalu mengobrol sampai
lupa waktu. Sudah berkali-kali Rhea berusaha mengingatkan Felix bahwa dia harus segera
pulang, tapi Felix selalu menjawab, "Iya, say.. sebentar lagi say. Rhea benar-benar kesal.

"Rhe, maafin gue. Mereka tuh teman-teman SMP gue, dan gue udah lama banget nggak ketemu
mereka. Pas tadi ketemu mereka lagi, gue benar-benar lupa waktu. Gue nggak bermaksud
nyuekin elo dan bikin elo terlambat pulang.

Rhea tetap diam. Masalahnya sekarang bukan karena dia masih kesel, tapi karena dia pusing dan
takut akan apa yang dihadapi begitu tiba di rumah nanti.

"Lix, gue turun di halte depan itu aja, kata Rhea begitu mereka hampir memasuki area
perumahan tempat tinggal Rhea.

"Gue anterin sampai rumah aja ya, tawar Felix.


"Hah? Lo lupa ya? Kita ini kan backstreet! Kalo lo nganterin gue sampai rumah, orang tua gue
bisa tau kalau kita tuh pacaran.

"Tapi Rhe...

"Nggak ada tapi-tapian. Turunin gue disitu.

Felix terdiam dan menuruti kemauan Rhea. Ia mengambil jalur kiri dan menghentikan mobilnya
tepat di depan halte. Rhea buru-buru melapaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobil.

Sebelum Rhea menutup pintu, Felix berkata pelan, Rhe, gue benar-benar minta maaf. Gue
nggak bermaksud bikin elo marah.

Rhea menarik napas dalam_dalam. Gue udah nggak marah lagi kok. Tadi gue emang sempet
kesel, tapi sekarang udah nggak lagi.

"Makasih, Rhe. Hati-hati ya.

Rhea mengangguk dan menutup pintu mobil, lalu segera berlari kecil ke arah rumahnya.
Jantungnya berdegup kencang. Rhea berhenti tepat di depan rumah. Keringatnya bercucuran.
Napasnya juga ngos-ngosan kaya habis dikejar anjing. Rhea berusaha mengatur napasnya. Ia
memperhatikan situasi rumahnya. Kok sepi ya? Motor Nico juga nggak ada di garasi. Apa
jangan-jangan Nico sudah datang, melaporkan semua kejadian tadi siang pada Papa, lalu
langsung pulang lagi? Rhea semakin ketakutan dan cemas. Perutnya sampai terasa mules gara-
gara terlalu tegang. Belum lagi peluh yang bercucuran di dahinya sudah berganti dengan keringat
dingin. Tangannya saja sudah mulai sedingin es. Gimana dong? Tapi bagaimanapun Rhea harus
masuk, nggak mungkin dia berdiri terus di sini. Memangnya mau ganti tugas satpam kompleks
buat jaga rumah?

Rhea melirik baby-G pinknya. Sudah hampir jam tujuh. Rhea menelan ludah. Habislah ia kali
ini. Rhea melangkah pelan dan masuk ke rumah. Perlahan dibukanya pintu ruang tamu, dan
matanya langsung tertuju pada sosok Papa yang berdiri tepat di depan meja telepon sambil
bertolak pinggang. Papa yang menyadari kepulangan Rhea langsung menoleh dan menatap Rhea
tajam. Mama yang lagi membereskan meja makan langsung buru-buru mendekati putrinya.

"Rhea, kamu dari mana aja? Ini kan sudah malam? tanya mama khawatir dan langsung
merangkul putri bungsunya.

"Rhea dari mal, Ma. Kan tadi nemenin Rachel cari baju senam.

"Diam! bentak papa. Kamu nggak usah bohong lagi, Rhea!

Deg! Jantung Rhea berdegup cepat. Rasanya jantungnya udah mau kabur dari tempatnya.
Bohong? Apa Papa sudah tahu semuanya? Wajah Rhea langsung pucat. Lidahnya terasa kelu.
"Papa nggak nyangka, kamu sudah berani berbohong pada orang tua. Kamu bilang kamu pergi
sama Marcia dan Rachel, tapi kenapa saat Papa menghubungi rumah mereka, mereka ada di
rumah? Marcia sedang mandi, dan Rachel sedang tidur. Lalu kamu...?

Rhea nggak bisa jawab pertanyaan Papa. Mulutnya terasa begitu berat untuk terbuka. Air mata
menggenang di pelupuk matanya, tapi mati-matian ditahannya air mata itu agar tidak menetes. Ia
sama sekali nggak berani menatap mata Papa.

"Pa, jangan marah-marah seperti itu. Kita dengar dulu penjelasan Rhea. Mungkin mereka
memang berpisah di mal karena Rhea ada keperluan lain, bela Mama.

"Benar Oom, Tante.. dan itu semua salah saya.

Nico muncul tiba-tiba dari belakang sebelum Rhea sempat membuka mulut. Rhea membalik
badan dan tersentak kaget melihat Nico yang tiba-tiba muncul begitu saja.

"Maaf Oom, Tante saya masuk tanpa permisi. Tapi saya merasa perlu menjelaskan persoalan
sebenarnya pada Oom dan Tante, ujar Nico sopan.

"Apa maksud kamu Nico? tanya Papa tegas.

"Maaf, Oom saya yang membuat Rhea pulang terlambat. Tadi waktu jalan-jalan di mal saya
bertemu Rhea dan teman-temannya. Saat itu saya sedang bingung mencari hadiah ulang tahun
yang tepat untuk Papa saya. Kebetulan saya bertemu Rhea, dan saya langsung minta tolong dia
mencarikan kado untuk Papa. Saya memang salah, seharusnya saya minta izin dulu pada Oom
dan Tante supaya Oom dan Tante nggak perlu cemas memikirkan Rhea. Saya benar-benar minta
maaf...

Suasana jadi hening. Rhea menatap Nico yang menundukan kepala, menunjukan permohonan
maafnya pada Papa untuk sesuatu yang sama sekali bukan kesalahannya. Rhea nggak percaya,
orang yang selama ini selalu dikasarinya, hari ini malah muncul untuk menjadi pahlawan
penyelamatnya.

"Kapan Papa kamu ulang tahun? pertanyaan Papa memecah keheningan.

"Sabtu ini Oom... ini saya bawa undangan dari Papa untuk Oom sekeluarga. Tadi saya menyuruh
Rhea turun dari mobil lebih dulu karena saya masih harus mencari undangan ini yang terselip di
kursi belakang, jawab Nico seraya memberikan undangan itu pada Papa.

Papa mengambilnya lalu segera membuka dan membacanya. Mama melepaskan rangkulannya
dari pundak Rhea dan buru-buru mendekati Papa untuk melihat undangan itu. Rhea masih berdiri
terpaku di tempatnya sambil menatap Nico. Merasa ada mata yang mengawasinya, Nico menoleh
dan menatap Rhea. Tatapan mereka bertemu. Rhea merasakan getaran dahsyat pada dirinya. Ada
kehangatan yang begitu luar biasa menjalar dalam kalbunya hanya dengan menatap kedua bola
mata Nico yang begitu teduh. Nico tersenyum. Senyum pertama yang sama sekali nggak pernah
Rhea lihat selama ini. Dan entah kenapa, saat ini senyum itu telah menawan hatinya dan
membawanya terbang tinggi.

"Bilang sama Papa kamu Nico... kami sekeluarga pasti akan datang... kata-kata Mama
menyadarkan Rhea dari keterpakuannya.

"Iya, Tante, jawab Nico.

"Masalah hari ini lupakan saja, ujar Papa. Kalo memang Rhea perginya sama kamu, Oom
izinkan karena Oim percaya sama kamu. Tapi Oom minta lain kali kamu tidak boleh lupa
memberitahu Oom terlebih dulu jika memang kamu mau mengajak Rhea keluar.

"Baik, Oom. Terima kasih. Kalau begitu saya permisi pulang. Sudah malam, pamit Nico.

"Baiklah salam untuk Papamu.

"Hati-hati di jalan ya. Biar Rhea yang mengantar kamu ke depan, sambung Mama sambil
menatap Rhea dan memberi isyarat dengan matanya. Rhea menurut dan ia pun berjalan
mendahului Nico menuju pintu keluar.

"Kenapa? tanya Rhea begitu mereka sampai di depan pagar.

"Apanya yang kenapa? Nico malah balik bertanya.

"Kenapa elo nolong gue?

Nico menghela napas panjang dan memandang hitamnya langit malam. "Gue cuma nggak mau
melihat wajah kecewa Mama-Papa lo kalo tau anak mereka udah jadi pembohong.

Gue terpaksa, sela Rhea pelan. "Gue nggak punya pilihan lain. Gue cuma pengin merasakan
indahnya pacaran di masa remaja.

"Apapun alasan elo, bohong tetaplah bohong. Dan orang tua lo nggak layak dibohongi.

"Elo tau apa? Elo tau apa tentang perasaan gu..."

Ssst.. kecilin suara elo. Nico buru-buru membekap mulut Rhea dengan telapak tangannya.
"Apa lo mau Mama-Papa lo dengerin percakapan kita?

Rhea terdiam.

Nico melepas bekapannya dengan perlahan, takut tiba-tiba Rhea teriak lagi. "Gue emang nggak
tau apa yang lo rasakan. Tapi yang gue tau, orang tua lo sayang banget sama lo dan mereka pasti
kecewa jika tau elo telah membohongi mereka. Itu aja.

Rhea nggak bisa membalas ucapan Nico karena setiap kalimat yang diucapkan cowok itu
mengandung kebenaran. Rhea hanya diam dan menunduk.
"Ya udahlah, gue pulang dulu, kata Nico. Oh iya, berhubung hari ini kita nggak les, jadwal les
hari ini dipindah besok ya. Jangan jalan-jalan lagi, oke!

Rhea hanya diam. Nico menatap cewek di sampingnya dalam-dalam. Lalu ia melangkah keluar
dan masuk ke mobilnya yang diparkir di depan rumah Rhea.

***

Rhea mengempaskan tubuhnya di tempat tidur dan memeluk guling erat-erat. Tubuhnya terasa
begitu lelah. Hari ini terlalu banyak masalah yang dihadapinya. Dulu saat berbaring di tempat
tidur seperti ini yang dirasakannya adalah kebosanaan akan kehidupan yang dijalaninya.
Kehidupan monoton yang hanya menampilkan warna hitam putih. Sekarang, saat hidupnya
mulai lebih berwarna, ia malah merasa begitu lelah. Sangat lelah! Setiap kata yang diucapkan
Nico terngiang kembali di telinganya. Rhea nggak mengerti apa yang hrus dilakukannya saat ini.
Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Felix?
BAB 8

Rhea berjalan gontai menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya. Hari masih pagi, sekolah pun
masih sepi. Kepala Rhea masih agak berat. Kejadian kemarin membuatnya sama sekali nggak
bisa tidur nyenyak. Dan hasilnya ia jadi pusing.

Sesampainya di kelas, Rhea terkejut melihat Marcia dan Rachel sudah datang dan duduk di
bangku Rhea.

"Kalian kok datangnya pagi banget? Memangnya hari ini ada PR ya?" tanya Rhea heran sambil
berjalan mendekati bangkunya.

"Rhea!" seru Marcia dan Rachel bersama, lalu bangkit dari tempat duduk dan langsung
menyerbu Rhea. Mereka memeluk Rhea begitu erat, sampai-sampai Rhea susah bernapas.

"Heh, lepas dong... lepas. Rhea berusaha meronta sebelum benar-benar kehabisan napas.

Marcia dan Rachel akhirnya melepas pelukan mereka lalu sama-sama nyengir.

"Apa-apaan sih lo berdua? Kalian pada pengin bunuh gue ya? Rhea tersengal-sengal dan
berusaha menarik napas sebanyak-banyaknya.

"Sori Rhe, ucap Marcia sambil meringis.

Setelah napasnya kembali normal, Rhea meletakan tas ranselnya di meja dan duduk di
bangkunya sendiri. Marcia juga ikutan duduk di bangku sebelah Rhea yang masih kosong,
sedangkan Rachel duduk di bangku depan dengan posisi menghadap Rhea.

"Lo berdua kenapa sih? Rhea heran melihat tingkah aneh kedua sobatnya ini.

"Gini Rhe... kami tuh mau minta maaf. Kami juga khawatir sama elo, jawab Marcia yang
diikuti anggukan Rachel.

"Minta maaf? Khawatir? Rhea mengerutkan keningnya.

"Kemarin bokap lo tau ya, kalo elo jalan sama Felix? Pembokat gue yang bilang kalo bokap lo
nyari gue dan dia malah bilang kalo gue lagi mandi. Rachel juga di telepon.

"Iya, gue juga ditelepon. Pas saat itu gue lagi tidur. Kakak gue tuh yang ngangkat dan langsung
bilang gue lagi tidur. Sori, Rhe. Gue lupa bilang ke mereka kalo ada yang nyari gue bilang gue
lagi pergi.
Rhea menghela napas panjang. "Jadi ini yang bikin kalian datang pagi-pagi?"

Marcia dan Rachel mengangguk berbarengan. Tampak keprihatinan dan rasa bersalah di wajah
mereka. Rhea jadi nggak tega kalo harus marah-marah. Lagi pula ini bukan salah mereka.

"Kalian tenang aja. Rahasia gue masih aman kok.

"Kok bisa? Marcia terkejut sekaligus lega.

"Lo ngarang cerita apa Rhe ? Lo udah mulai jago bohong ya? mata Rachel membelalak. Dia
nggak percaya rahasia Rhea masih aman-aman saja.

"Gue nggak ngarang cerita apapun kok. Nico yang bantuin gue.

"Hah? Nico? Guru les yang kata lo nyolot abis itu kan? tanya Rachel heran.

Rhea mengangguk. Dia lalu menceritakan kejadian kemarin pada kedua sahabatnya ini. Marcia
dan Rachel mendengarkan cerita Rhea tanpa berkedip.

"Kok Felix gitu sih? Dia jelas tau lo ada les dan nggak bisa pulang malam-malam, tapi dia malah
lebih mementingkan teman-temannya dari pada elo, komentar Rachel begitu Rhea
menyelesaikan ceritanya.

"Felix nggak salah-salah amat kok. Dia memang lupa waktu karena udah lama nggak ketemu
teman-temannya itu. Lagian dia juga udah minta maaf berkali-kali sama gue, bela Rhea.

"Sekarang yang jadi topik bukan Felix, tapi Nico. Kata lo dia nyolot abis dan selalu marah-marah
sama elo. Tapi kenapa dia mau bantuin elo, bahkan sampai rela mengakui kesalahan yang sama
sekali nggak pernah dia lakukan, hanya untuk menolong elo? Gimana kalo bokap lo ngamuk?
Pasti tamat riwayatnya. Marcia coba menganalisis cerita Rhea.

Rhea terdiam. Marcia benar. Kenapa Nico rela membantu Rhea seperti itu? Kalo saja kemarin
Papa ngamuk, Nico bisa-bisa masuk rumah sakit.

"Jangan-jangan Nico suka sama elo Rhe, celetuk Rachel tiba-tiba.

"Gue sependapat sama elo Rachel, timpal Marcia.

Rhea melotot. "Mana mungkin?! Lo nggak liat sih gimana sikapnya kalo lagi ngajarin gue.
Nyebelinnya amit-amit.

Tapi masalahnya, Rhe, cuma orang yang lagi jatuh cinta yang rela berkorban apa saja untuk
menolong sang pujaan hati dari marabahaya. Dan itu yang dilakukan Nico kemarin, nolongin elo
tanpa peduli akibatnya, kata Marcia.

"Tapi tetap aja nggak mungkin! Rhea bersi keras.


Tiba-tiba terdengar lagu Sexy Naughty Bitchy-nya Tata Young.

Marcia buru-buru merogoh saku roknya dan mengeluarkan HP ber-casing hitam. "Ada SMS.
Gue lupa silent. Marcia mulai memencet tombol-tombol di keypad HP-nya.

"Dari siapa, Mar?" tanya Rachel ingin tahu.

"Nggak tahu

Kok bisa nggak tau? Emangnya nggak muncul nama pengirimnya? Rachel jadi heran.

"Nggak ada. Dan gue nggak tau ini nomor siapa. Dia nggak mau ngasih tau namanya siapa. Ini
bukan pesan pertama yang dia kirim ke gua. Gue udah sering SMS-an sama dia tapi dia nggak
mau ngasih tau dia siapa.

"Hah? Kok lo nggak cerita-cerita sih? protes Rachel.

Rhea ikut mengangguk sambil menatap Marcia yang jadi salah tingkah.

"Bukannya gue nggak mau cerita, tapi gue rasa ini bukan hal penting yang harus di certain, kata
Marcia.

"Nggak bisa gitu dong, Mar. Kita kan sobatan bukan untuk berbagi hal yang penting-penting aja.
Kita berbagi segala hal, ujar Rachel diplomatis.

"Udah deh... sekarang kita dengerin dulu cerita Marcia, Rhea menengahi.

Marcia terdiam sesaat. Lalu disodorkannya HP-nya kepada Rhea dan Rachel. "Kalian baca aja
SMS-nya. Semua SMS dari dia masih gue simpen. Juga ada beberapa MMS dari dia.

Rachel mengambil HP dari tangan Marcia dan langsung membuka fitur message. Rhea buru-
buru ikutan melihat. Ada banyak sekali SMS dari si pengirim nggak di kenal itu yang dinamai
Marcia "someone". Sebagian besar isinya kata-kata romantis dan berbagai macam bentuk
perhatian. Ada yang isinya sekedar pertanyaan "kamu udah makan belum?. Ada juga puisi
pendek yang asli puitis banget sampai-sampai Rhea sendiri nggak ngerti apa arti puisi itu.
Setelah puas membuka beberapa SMS dan MMS, Rachel mengembalikan HP itu ke Marcia
sambil senyum-senyum.

"Lo jujur ya sama gue. Lo naksir ya sama penggemar rahasia lo ini? tanya Rachel tiba-tiba
dengan pandangan menyelidik.

"Mmm.. gimana ya? Marcia menjawab ragu-ragu. Gue masih nggak yakin sama apa yang gue
rasain. Mungkin karena gue nggak tau siapa orang itu. Tapi selama dia SMS-an sama gue, gue
ngerasa enak banget ngobrol sama dia. Nyambung gitu deh. Gue ngerasa dia bisa bikin gue
nyaman dan senang.
"Itu berarti lo udah jatuh cinta sama dia Rachel berkesimpulan.

"Nggak tau deh. Orangnya aja gue nggak tau siapa. Gimana bisa jatuh cinta? Marcia menghela
napas lalu kembali menyimpan HP-nya ke dalam saku.

"Kenapa lo nggak nyoba cari tau? tanya langsung kek, paksa, ngancam juga boeh, desak
Rachel.

"Gue udah coba berbagai cara, tapi jawabannya cuma satu, dia belum bisa bilang karena dia
belum siap mental, kata Marcia.

"Belum siap mental? Memangnya kenapa? Jangan-jangan tampangnya nyeremin. Atau jangan-
jangan.... dia si Parmin, tukang parkir sekolah kita. Parmin kan demen banget sama lo, Mar.
wajah Rachel tampak serius.

"Hah? Gila lo! Mana mungkin? Emangnya si parmin punya HP?" Marcia berusaha cuek, tapi
terpengaruh juga dengan kata-kata Rachel. Dia jadi sedikit khawatir.

"Bisa aja dia punya HP. Zaman sekarang, punya HP udah nggak pandang status sosial. Sopir
angkot, tukang ojek, sampai tukang sayur, semua punya HP. Tukang bakso langganan gue aja
punya nomor delivery service, kata Rachel.

"Serius lo? Marcia bergidik ngeri. Dia nggak bisa membayangkan kalau dugaan Rachel sampai
terbukti benar. Gila aja kalo ternyata selama ini dia tuh SMS-an sama Parmin yang selalu dia
jutekin karena nggak kapok-kapoknya godain dia.

Rhea jadi geli sendiri melihat Marcia mulai terpengaruh kata-kata Rachel yang jelas banget lagi
berusaha ngerjain dirinya. Logika aja deh, anggap si Parmin punya HP, tetap aja nggak mungkin
dia yang ngirim SMS-SMS itu. Soalnya si Parmin kan buta huruf. Gimana caranya dia ngetik,
kalo huruf A aja dia nggak tau. Rhea geleng-geleng kepala sambil berusaha menahan tawa.
Heran ya, kok bisa-bisanya Marcia gampang banget di kerjain. Padahal biasanya tuh anak
logikanya jalan banget. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta?

***

Pelajaran hari ini berakhir lebih cepat, karena guru-guru ada rapat mendadak. Rhea duduk
sendirian di perpustakaan sambil nungguin Papa selesai rapat. Rachel dan Marcia nggak
menemaninya karena mereka ada keperluan mendesak. Jadi terpaksa Rhea menghabiskan waktu
dengan melumat buku-buku di perpustakaan yang hampir semuanya sudah pernah dia baca,
kecuali buku-buku tebal yang menurut Rhea nggak jelas apa isinya.
Seperti biasa, perpustakaan selalu sepi. Siang ini hanya Rhea satu-satunya pengunjung. Rhea
mengambil tempat duduk di meja paling pojok yang dekat dengan jendela. Ia meletakkan
beberapa buku yang tadi diambilnya dari dalam rak di atas meja. Diambilnya buku di tumpukan
teratas, lalu mulai membacanya. Baru lima menit Rhea tenggelam dalam bacaannya, sebuah
tepukan pelan di pundak membuatnya tersentak.

"Betet! Lo mau bikin gue jantungan ya! maki Rhea pelan, soalnya di perpustakaan kan nggak
boleh berisik.

Betet cuma tertawa lalu menarik kursi di sebelah Rhea.

"Mau ngapain sih lo? Ada rencana OSIS yang baru?"

Betet menggeleng, lalu duduk di kursi. "Gue ada keperluan pribadi sama elo.

"Keperluan pribadi? kedua alis Rhea bertaut.

"Iya Rhe. Gue mau minta tolong sama elo.

"Minta tolong?

Betet mengangguk, kemudian menunduk seperti sedang mengheningkan cipta. "Gue lagi jatuh
cinta, Rhe," kata Betet lirih dengan kepala masih tertunduk.

"Bagus dong!

"Tapi masalahnya, gue nggak berani bilang sama cewek itu. kali ini Betet menatap Rhea.

"Kenapa? Lo takut ditolak?

"Ih, Rhea... Elo to the point banget sih.

"Lho, tapi benerkan?

"Iya.., suara Betet terdengar lemas dan putus asa.

"Siapa sih cewek yang lo suka? Lo udah PDKT belum?

"Mmm... gue udah coba ngedekatin dia, tapi nggak secara terang-terangan sih.. gue masih
ngerahasiain identitas gue.

"MARCIA, YA!?" pekik Rhea nggak percaya.

Suaranya yang keras membuat Bu Naomi, petugas perpustakaan, melotot ke arah mereka. Rhea
buru-buru membekap mulutnya sendiri. Ia benar_benar kaget. Jadi cowok yang sering SMS-an
sama Marcia Betet?
"Marcia cerita ya sama elo kalau dia sering SMS-an sama orang yang sama sekali nggak dia
kenal?"

Rhea mengangguk. "Jadi..., elo suka Marcia, Tet?

"Iya. Gue naksir berat sama dia sejak pertama kali gue masuk sekolah ini. Tapi gue nggak pernah
berani ngedekatin dia. Gue takut di tolak. Gue lebih suka merhatiin dia secara diam-diam. Betet
terdiam sesaat. "Tapi gue nggak tahan kalo cuma diam terus. Gue takut tau-tau dia udah direbut
orang. Makanya gue nekat ngedeketin dia. Gue kasih Message in the botle ke dia, gue cari tau
nomor HP-nya, dan nekat SMS-in dia.

"Oh jadi elo orangnya, yang ngasih Message in the botle ke Marcia?

Betet mengangguk. "Gue harus gimana dong, Rhe? Nggak mungkin kan... gue terus ngerahasiain
identitas gue?"

Rhea menatap Betet dalam-dalam. Ternyata kalau berurusan dengan yang namanya cinta, Betet
bisa kehilangan ide-ide inovatifnya, bahkan dia bisa berubah serius dan nggak konyol lagi.
Mmm... malah kalo dilihat dari deket begini, Betet lumayan kok. Hidungnya yang besar itu jadi
kelihatan oke juga, pas sama bentuk mukanya.

"Gue cuma punya satu saran buat elo. Jelasin identitas lo ke Marcia, terus tembak dia.

"Hah?! Nggak kecepetan, Rhe? Gimana kalo gue di tolak?

"Sama sekali nggak kecepatan Tet. Ini memang waktu yang tepat. Lagi pula lebih baik ditolak
kan, dari pada sama sekali nggak mencoba dan berusaha?

"Tapi.. "

Udah deh.. lo nggak usah ragu-ragu. Lo harus percaya diri. Gue rasa lo punya peluang besar
buat ngedapetin Marcia. Manfaatin deh peluang itu sebaik-baiknya, sebelum Marcia jadian sama
Parmin.

"Parmin? Maksud lo, Parmin tukang parkir sekolah kita?

"Yup. Soalnya Marcia curiga, SMS yang dia terima selama ini tuh dari Parmin. Parmin kan
ngebet banget sama dia.

"Hah? Kok bisa?

"Mana gue tau. Makanya lo harus bergerak lebih cepat kalo nggak mau keduluan si Parmin.

Betet mengangguk mantap. "Thanks ya, Rhe. Gue mau ke rumah Marcia sekarang juga. Gue
nggak akan kalah dari si Parmin."
Rhea tersenyum geli. "Oke.. Good luck ya!

Betet buru-buru melesat meninggalkan perpustakaan. Rhea tertawa melihatnya. Kira-kira gimana
ya reaksi Marcia kalau tahu someone-nya Betet? Apa dia bakal shock atau dia malah menerima
Betet jadi pacarnya? Tapi menurut insting Rhea, Marcia pasti nerima Betet. Jauh lebih baik Betet
kan, dari pada si Parmin? Rhea tertawa sendiri membayangkan reaksi Marcia. Lalu ia pun mulai
melanjutkan kegiatannya tadi yang sempat terhenti gara-gara Betet.

***

"Ma, Rhea pulang!" teriak Rhea sesampainya di rumah. Ia melempar tas ranselnya ke sofa dan
mengenyahkan tubuhnya di sana.

"Hush! anak gadis nggak baik teriak-teriak begitu," sahut Mama yang muncul dari ruang makan.

"Kalau pelan-pelan, mana mungkin Mama dengar?" Rhea membela diri.

"Kan kamu bisa samperin Mama di ruang makan. Udah deh nggak usah ngebantah lagi. Ganti
baju sana, lalu kita makan sama-sama. Papa mana?"

"Papa di garasi, lagi meriksa mobil. Kayaknya ada yang eror gitu deh."

"Mama liat Papa dulu ya. Kamu cepat ganti baju sana. Oh iya, ada Nico di taman belakang sama
kakakmu.

Rhea kaget sekaligus heran. "Nico? di taman belakang sama mbak Reva? Ngapain ?"

"Mama nggak tau. Tapi kayaknya Reva sedang minta diajari salah satu mata kuliahnya.
Udahlah... kamu ganti baju sana!" perintah Mama.

Rhea pun menurut. Ia berjalan lalu mengambil tas ranselnya dan berjalan menuju kamar. Pikiran
Rhea masih penuh tanda tanya. Nico ngapain sih ke sini? Ada perlu apa sama mbak Reva? Ini
kan baru jam dua, kok mbak Reva juga udah pulang kuliah? Kok motornya Nico juga nggak ada
di depan? Aneh!

Langkah Rhea terhenti di depan tangga. Ia mendengar suara tawa dari taman belakang. Rhea jadi
penasaran. Pasti itu suara tawa Mbak Reva dan Nico. Tapi aneh, masa Nico bisa tertawa seperti
itu. Selama ini cowok itu boro-boro tertawa, senyum aja baru kemarin. Nico kan manusia robot.

Rhea mengendap-endap menuju taman. Suara tawa yang didengarnya semakin keras. Tawa itu
terdengar begitu lepas. Pintu belakang sepertinya nggak tertutup rapat. Rhea berusaha mengintip
keluar dari celah-celah pintu yang terbuka.
Mbak Reva tampak duduk di depan laptop-nya sambil tertawa dan menunjuk-nunjuk layar
laptop. Di sebelahnya ada Nico yang juga tertawa lepas. Rhea baru pertama kali melihat wajah
Nico yang sedang tertawa seperti itu. Mukanya jadi seperti anak kecil. Cakep banget. Ada lesung
pipi di kedua pipinya. Rhea terpesona melihatnya. Jauh lebih keren dari senyum yang kemarin
Rhea lihat. Asli cakep banget! Entah apa yang sedang mereka lihat, Nico bisa tertawa seperti itu.
Rhea benar-benar heran. Kenapa kalau Nico sedang bersama Mbak Reva, cowok itu terlihat
begitu santai, lembut, dan ramah? Tapi kalau sedang bersama Rhea, dia langsung berubah diam,
galak, sangar, dingin dan menyebalkan. Ya ampun... ngapain itu mbak Reva pakai nyubit-nyubit
pipi Nico? Kecentilan banget sih! Ngapain juga tuh tangan pakai ditaruh di pundak Nico. Sok
akrab banget! Nico juga kenapa sih mau-maunya dicubitin kayak gitu? Waduh, malah megang-
megang rambut Mbak Reva! ih sebel! Rhea menggerutu. Rhea cemberut. Nggak tau kenapa
rasanya marah sekali. Sepertinya ada yang menyulut api di dalam tubuhnya, rasanya panas
banget, dan menjalar dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Rhea membalik tubuhnya dengan marah. Dia nggak tahan melihat pemandangan di depannya itu.
Lalu dengan emosi yang masih memuncak, dia berlari menaiki tangga lalu masuk ke kamarnya
dan membanting pintu.

Reva dan Nico tersentak kaget. Mereka berpandangan.

"Apaan tuh? Gempa ya?" tanya Nico heran.

"Bukan gempa.. bom, kali..," Sahut Reva sama herannya.

Tiba-tiba terdengar teriakan kesal dari garasi. Suara Papa.

"Ooooh... pasti Rhea udah pulang," duga Reva. "Gue ke kamar Rhea dulu ya. Mungkin dia lagi
ada masalah.

Nico mengangguk. Reva bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar adik kesayangannya.
Diketuknya pintu kamar Rhea pelan-pelan.

"Rhea ini Mbak, sayang. Mbak boleh masuk, ya?

"Nggak!" teriak Rhea dari dalam.

Reva bengong. Nggak biasanya Rhea seperti ini. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi, dan Reva
harus segera mencari tahu. "Kamu ada masalah ya, Rhe? Cerita dong sama Mbak. Mbak janji
pasti bakal bantuin kamu," bujuk Reva lembut.

"Nggak! Mbak nggak usah sok baik gitu deh. Rhea nggak butuh bantuan siapa pun. Rhea nggak
mau diganggu.
Weleh.. weleh... kenapa nih si Rhea? Reva jadi bingung dibuatnya. "Oke. Mbak nggak akan
ganggu kamu. Tapi kamu keluar ya, kita kan mau makan siang sama-sama. Nanti Papa marah lho
kalau kamu nggak turun makan.

Rhea diam. Dia masih kesal. Tapi benar kata mbak Reva. Kalau dia nggak turun, pasti Papa
bakal marah-marah.

"Mbak tunggu di bawah ya, Rhe... Nico juga ikut makan siang sama kita lho," kata Reva, lalu
menghela napas panjang dan kembali ke taman.

Rhea menjatuhkan diri ke tempat tidur. Pemandangan di taman tadi kembali muncul di pelupuk
matanya. Buru-buru disambarnya guling yang ada di sampingnya, dan dibenamkan wajahnya ke
guling. Rasanya sebel banget. Ada apa sih dengan dirinya? Kenapa pemandangan itu bisa begitu
mengganggunya dan membuatnya marah?

***

Rhea duduk di depan Nico, masih dengan setumpuk kesal. Nico nggak menyadari hal itu, tapi dia
bisa merasakan ada sesuatu dalam diri Rhea yang berbeda. Rhea mengerjakaan soal-soal
Geografi di hadapannya dengan setengah hati. Banyak soal yang dia lewatkan begitu saja tanpa
jawaban.

"Maaf, Rhe. Mbak boleh ganggu sebentar, nggak?" Reva muncul tiba-tiba, membuat Rhea
terlonjak kaget.

Rhea menoleh, dan bibirnya langsung mencebik karena kesal melihat wajah kakaknya yang udah
berdiri manis di sebelah Nico. Boleh, nggak boleh, Mbak juga udah ngeganggu tau! gerutunya
dalam hati.

Reva tersenyum dan duduk di sebelah Nico tanpa menunggu tanggapan Rhea. Ia memeluk
sebuah buku berwarna hijau yang nggak begitu tebal. "Nic, ada yang gue nggak ngerti nih. Gue
boleh nanya sebentar nggak? tanya Reva manis sambil mendekatkan dirinya pada Nico.

Rhea melihat kedua insan itu dengan mata melotot.

"Boleh. Yang mana?" tanya Nico ramah.

Reva membuka buku yang dipegangnya dan memperlihatkannya kepada Nico.

"Ooo... yang ini. Memang agak sulit sih. Elo harus perhatiin kasusnya dulu, terus elo jabarin apa
aja penyakit yang diderita pasien, baru setelah itu lo bisa menentukan obat dan dosis yang tepat
untuk diberikan. Kalo elo masih belum jelas juga, lo buka kasus 12 yang ada di halaman 131.
Kasus 12 mirip sama kasus yang ini, jelas Nico pelan. Nico menjelaskan ke Reva sampai Reva
benar-benar mengerti.

Rhea hanya diam memandang dua orang di hadapannya dengan emosi terbakar. Oke dddehhh!
Sekarang yang lagi les itu gue atau mbak Reva? Kalau Mbak Reva mau ngeles, cari hari lain
dong. Juga cari guru yang lain, jangan sama Nico. Nico itu guru les gue.

"Oke deh, Nic, gue udah ngerti sekarang. Makasih ya, Pak Guru," kata Reva setelah Nico selesai
menjelaskan.

"Asal jangan lupa traktir gue ya, kalo ujian lo dapet A, balas Nico.

"Tenang aja deh, Reva tersenyum dan menepuk pundak Nico pelan. Ia lalu bangun dari
duduknya dan menatap Rhea yang pura-pura sibuk menulis. Reva tersenyum lalu mengedipkan
sebelah matanya ke arah Nico dan bergegas kembali ke kamarnya.

Nico menatap Rhea. "Masih belum selesai juga ngerjainnya?

"Belum, jawab Rhea, tetap menunduk.

"Makanya ngerjainnya yang serius, jangan cuma dipelototin tuh kertas. Gue juga masih banyak
kerjaan lain."

Rhea menjatuhkan pensil di tangannya ke atas meja, lalu menatap Nico lekat-lekat. Melihat
wajah Nico yang persis di hadapannya, entah kenapa malah membuat Rhea ingin menangis.
Buru-buru Rhea menunduk lagi, menarik napas dalam-dalam, menggigit bibir, berusaha
menahan air mata yang hendak bergulir di pipinya. Rhea mengambil pensil lagi dan mencoba
mengalihkan pikirannya kembali pada soal-soal di kertas.

Dahi Nico berkerut. Ditatapnya Rhea dengan sejuta pertanyaan.


BAB 9

Sudah empat hari ini Rhea bersikap dingin pada Reva. Ia hanya bicara seperlunya, dan lebih
banyak menghabiskan waktu di kamar. Hubungannya dengan Felix masih berjalan cukup lancar
meskipun mereka udah jarang jalan-jalan. Di sekolah mereka nggak banyak bicara, tapi Felix
rajin menghubungi Rhea lewat handphone. Terkadang Felix juga suka menitip cokelat dan surat
cinta lewat Rachel.

Marcia juga udah jadian sama Betet. Di antara Rhea, Marcia dan Rachel, sekarang tinggal
Rachel yang masih ngejomblo, dan itu yang bikin Rachel kadang-kadang jadi sewot kalau
melihat Marcia dan Betet ngobrol di kelas atau melihat Rhea dapat cokelat dari Felix.

Seperti siang itu, Marcia sama Betet lagi berduaan di pojok kelas.

Rachel dan Rhea yang baru balik dari kantin untuk membeli soft drink langsung disuguhi
pemandangan mesra. Rachel yang belakangan ini memang lagi sensitif langsung marah-marah.

"Woi! Lo berdua! ini kelas ya, bukan pantai Ancol!"

Marcia yang melihat Rachel sewot langsung tersenyum geli. Dia sudah mengerti banget sifat
Rachel yang kalau lagi sensitif begitu pasti suka marah-marah.

"Iya, Bu Hansip. Betet juga udah mau balik ke kelasnya kok, sahut Marcia.

Betet cuma bisa mengangguk pasrah. Marcia dan Betet berjalan bergandengan mendekati Rhea
dan Rachel.

"Lho, kok minuman buat gue nggak ada?" tanya Marcia heran.

"Minta aja sama cowok lo! Jangan cuma mojok doang kerjanya," jawab Rachel ketus.

"Ya udah. Say, aku minta tolong dibeliin minuman boleh nggak? Marcia sengaja bermanja-
manja ke Betet, tepat di depan muka Rachel.

Rhea nggak bisa menahan tawa melihat Rachel yang tambah keki melihat ulah Marcia.

"Lautan pun akan kubeli hanya untukmu, dewi ku," balas Betet nggak kalah manja dan romantis.

"Udah deh pergi sana! Jangan bikin gue tambah enek nih!" usir Rachel, diikuti tawa Marcia,
Betet dan Rhea.
Betet meninggalkan kelas sambil tertawa. Rachel yang kesel langsung menjatuhkan diri di
tempat duduknya. Marcia dan Rhea mengikuti sambil tersenyum geli.

"Lo kenapa sih marah-marah terus, Chel?" tanya Rhea.

"Chel, lo nggak suka ya, gue jadian sama Betet?" tanya Marcia.

Rachel mencebikan bibirnya. Kaleng minumannya di letakan di pojok meja, lalu ia merebahkan
kepala ke atas meja.

"Chel, lo kenapa sih?" tanya Rhea sambil membelai rambut Rachel.

"HUAAA....gue kesel!" teriak Rachel, sambil kembali duduk tegak.

Seisi kelas kaget mendengar teriakan Rachel. Mereka malihat ke sumber suara.

"Kenapa sih lo, Chel? Pakai teriak-teriak segala. Jantung gue mau copot nih dengar teriakan lo,"
gerutu Teddy yang lagi duduk di meja depan sambil menikmati kuaci.

Rachel sudah mau menjawab, tapi buru-buru dibekap Marcia. "Sori, Ted. Biasa si Rachel lagi
kumat," Marcia yang menjawab.

Teddy manggut-manggut dan kembali menikmati kuacinya.

"Rachel sayang, kalau elo emang punya masalah, kita bicara baik-baik aja," kata Marcia sambil
melepas bekapannya dari mulut Rachel.

Rachel mencebik lagi. "Abis, lo berdua udah punya pacar... Tinggal gue yang jomblo sendirian.

"Ya ampun, Chel, emangnya kenapa kalau elo jomblo?" tanya Rhea heran.

"Ya gue iri aja!

"Kalau elo iri, kenapa elo nggak cepat-cepat cari pacar?" tanya Marcia.

"Emangnya cari pacar gampang? Tinggal jalan ke pasar, pilih yang bagus, nawar, terus beli
gitu?" jawab Rachel sewot.

"Elo sih terlalu milih. Coba elo kayak Marcia yang mau membuka hati sama cowok jenis
apapun. Pasti lo juga udah punya pacar sekarang," kata Rhea.

"Betul!" sahut Marcia menyetujui. Contohnya si Black. Dia kan demen banget sama elo. Dia
pintar, lagi. Bisa gampang dapet sontekan tuh kalau ada ulangan.

"Hah lo gila! Pinter sih pinter, tapi itemnya itu lho. Kalau dia jalan-jalan malam-malam, yang
kelihatan cuma giginya doang. Ogah lah ya!"
Marcia dan Rhea sama-sama tertawa.

"Rachel nggak usah cemas ngejomblo," kata Rhea. "Tenang aja, cinta itu akan datang dengan
sendirinya kalau saatnya udah tepat. Elo hanya perlu bersabar dan menunggu.

"Betul, Chel, seperti gue yang mendapatkan Betet begitu aja. Gue nggak perlu cari ke mana-
mana, dia datang sendiri."

Rachel diam saja. Lalu dalam satu tarikan napas dia berkata, "Emang sih. Gue juga berharap, gue
yakin malah, akan mendapatkan pasangan yang pas buat gue. Sama seperti kalian.

Rhea dan Marcia mengangguk, lalu tersenyum lega melihat sinar semangat di wajah Rachel.
Sahabat mereka yang satu ini memang unik. Kadang begitu ceria, berisik, bawel dan lucu.
Kadang bisa berubah jadi menyebalkan, nyolot, tulalit dan meledak-ledak emosinya. Butuh
kesabaran ekstra dan pengertian yang dalam untuk menghadapi Rachel. Tapi yang namanya
sahabat memang harus seperti itu kan?

***

Rhea duduk di tempat tidur. Hari ini rasanya begitu melelahkan. Tas ranselnya tergeletak begitu
saja di lantai. Tok tok tok! terdengar ketukan halus di pintu kamar. Rhea bisa menebak, yang
berdiri di balik pintu itu pasti mbak Reva. Ketukan halus itu memang ciri khas Reva kalau mau
masuk kamar Rhea.

"Rhea, mbak boleh masuk nggak?" tanya Reva dari balik pintu.

"Masuk aja," jawab Rhea singkat.

Dia masih kesel sama kakaknya itu, tapi Rhea sadar nggak sepantasnya Rhea marah-marah sama
kakaknya yang sama sekali nggak tau apa-apa. Marcia juga bilang kalau Rhea marah-marah
hanya karena melihat Mbak Reva dan Nico berakrab-akrab, itu dia namanya cemburu. Nico kan
bukan siapa-siapanya. Karena itu Rhea nggak mau marah-marah lagi sama Mbak Reva. Reva
membuka pintu kamar adiknya dan masuk sambil tersenyum manis. Tangan kanannya
menenteng kantong besar.

"Kamu belum ganti baju kan? Kalo begitu kamu sekalian mandi aja ya. Mbak tunggu kamu di
sini..." Reva meletakkan kantong besar itu di meja belajar Rhea.

"Mandi? Jam segini? Buat apa?" tanya Rhea.

"Lho, hari ini kan kita mau ke pesta ulang tahun Papanya Nico. Masa kamu lupa. Acaranya kan
jam enam. Sekarang udah jam tiga. Kamu kan butuh waktu buat dandan dan siap-siap."
"Oh iya, Rhea lupa. Tapi... buat apa sih dandan segala? Rhea nggak mau."

"Harus, Rhea. Mama udah beliin kamu baju pesta, dan mama udah nyuruh Mbak yang dandanin
kamu, jadi kamu nggak boleh nolak."

"Ih, ngapain sih sampai segitunya? cuma pesta ulang tahun kan?"

"Tapi ini pesta ulang tahun Pak Alexius Djayaprana, guru besar yang terkenal. Pasti banyak
orang penting yang hadir di pestanya. Kita nggak boleh malu-maluin."

Iya, Mbak Reva pasti mau tampil secantik mungkin biar bisa memikat hati Nico dan Papanya.
Paling gue cuma jadi kambing congek di pesta itu, gerutu Rhea dalam hati.

"Udah, kamu mandi sana. Mbak tunggu di sini. Habis itu biar mbak yang bantuin kamu dandan."

Rhea merengut kesal. Dia berdiri lalu menyambar handuk yang tersampir di kaki ranjangnya,
dan masuk ke kamar mandi.

***

Reva sibuk memblow rambut Rhea. Sang adik duduk di tempat tidur, sedangkan si kakak
berlutut di belakang Rhea, di atas tempat tidur. Soalnya di kamar Rhea nggak ada meja rias,
sehingga Reva meletakan peralatan make-up di atas kursi.

"Nah, rambut kamu udah kering. Kira-kira bagusnya di apaain ya?" tanya Reva sambil meletakan
hair-dryer ke atas tempat tidur.

"Terserah Mbak deh. Tapi awas ya, kalau Rhea jadi kelihatan kayak ibu-ibu.

"Iya, iya... Mbak tau.

Reva mengambil sisir dari atas kursi dan mulai menyisir rambut Rhea perlahan-lahan. Sekali dua
kali Reva memelintir rambut Rhea lalu kembali mengurainya lagi. Reva tampak barpikir serius,
lalu memutuskan untuk menyanggul rambut Rhea. Ia menyisakan sedikit rambut di bagian depan
untuk di plintir-pelintir. Reva menambahkan sedikit foam ke sanggul Rhea, juga menyemprotkan
hairspray agar sanggulnya nggak lepas. Setelah itu ia menyematkan beberapa jepitan berbentuk
kupu-kupu putih di sanggul itu.

Reva tersenyum puas melihat hasil karyanya. "Oke. Sekarang tinggal mukanya yang di make-
up," kata Reva.
Reva berjalan dan menarik kursi dari depan meja komputer lalu menempatkannya di hadapan
Rhea. Ia duduk dan mulai mengambil foundation dari tempat make-up-nya, lalu menyapukan
tipis-tipis ke wajah Rhea.

"Jangan tebal-tebal, Mbak," Rhea mengingatkan.

"Iya. Udah deh, kamu diam aja dulu," jawab Reva.

Kemudian dengan gaya bak penata rias profesional, ia mulai merias wajah Rhea. Nggak sampai
sepulug menit, Reva selesai mendandani sang adik tersayang. Ia memandang wajah Rhea dan
tersenyum puas.

"Udah selesai Mbak?" tanya Rhea.

"Udah. Kamu lihat aja hasilnya di cermin. Mbak jamin kamu pasti terpesona melihat wajahmu
sekarang.

Rhea bangun dan berjalan menuju cermin yang tergantung di samping pintu kamarnya. Begitu
dilihatnya bayangan di cermin itu, Rhea langsung melotot. Dia nggak percaya kalau gadis yang
ada di cermin itu adalah dirinya. Nggak mungkin banget. Cewek di cermin itu terlalu cantik.
Karena pengaruh make-up yang tipis tapi oke, wajah Rhea jadi bikin pangling. Hidungnya jadi
kelihatan lebih mancung. Matanya juga kelihatan lebih bulat.

"Mbak, ini Rhea?" tanya Rhea nggak percaya.

"Lho, menurut kamu siapa?" Reva tertawa melihat reaksi Rhea.

"Ya ampun... nggak nyangka ya, ternyata Rhea cakep begini," Rhea memuji dirinya sendiri.

"Ye.... itu sih karena penata riasnya aja yang jago, bisa dandanin muka kamu yang biasa-biasa
aja itu jadi oke.

"Enak aja. Apa maksudnya tuh, muka Rhea yang biasa-biasa aja?" Rhea memelototi Reva.

"Hahaha! Udah ah, sekarang giliran Mbak yang siap-siap. Kamu pakai sendiri ya bajunya. Hati-
hati, jangan sampai dandanan kamu jadi rusak. Sepatunya juga udah Mbak sediain di dalam
kantong itu," ucap Reva diikuti anggukan Rhea.

Reva berjalan keluar kamar dengan senyum merekah di bibirnya. Rhea melirik jam beker di meja
belajar. Udah jam empat sore. Rhea mengambil kantong yang dibawa Reva lalu duduk di tempat
tidur. Ia mengeluarkan sebuah kotak besar dari dalam kantong itu. Pelan-pelan dibukanya kotak
itu. Ada kain warna putih di dalamnya. Rhea mengambil kain itu hingga tergerai. Ternyata
sebuah gaun berwarna putih. Gaun berbahu terbuka, dengan tali spageti di bahu. Bagian
bawahnya mengembang, dihiasi renda-renda bermotif manis. Selain itu juga terdapat bordiran
berbentuk kupu-kupu yang terbuat dari benang sutra berwarna putih keemasan di bagian perut
gaun itu. Di dasar kotak masih terdapat sehelai kain putih berkilau sebagai selendangnya. Indah
sekali. Harganya pasti mahal banget. Jarang lho, Mama mau membeli gaun semahal ini.
Biasanya mama bilang, nggak ada gunanya membeli gaun pesta yang harganya mahal. Soalnya
cuma akan dipakai satu-dua kali saja, selebihnya hanya akan membuat sumpek lemari. Jadi aneh
rasanya kalau hanya untuk pesta ulang tahun Papanya Nico, Mama sampai rela mengeluarkan
banyak uang. Tapi.. lumayan lah! Sering-sering aja Papanya Nico bikin pesta. Pesta ulang tahun
kek, pesta pernikahan kek, atau pesta sunatan juga boleh. Hehehe...

Rhea melepas pakaiannya dan berusaha mengenakan gaun itu dengan hati-hati. Lalu ia
mengeluarkan satu kotak lagi dari dalam kantong. Kotak itu berisi sepatu berhak tinggi,
warnanya putih. Itu sepatunya Reva yang dibelinya sebulan yang lalu. Rencananya akan Reva
pakai saat menghadiri pesta pernikahan temannya, dua bulan lagi. Sepatu itu masih baru dan
belum pernah Reva gunakan. Rhea tersenyum melihat sepatu itu. Sepatu itu memang bagus
banget dan sesuai dengan gaun yang dikenakannya saat ini. Mbak Reva memang baik. Rhea jadi
menyesal udah bersikap jahat sama mbak Reva kemarin. Rhea duduk di tempat tidur dan
memasang sepatu itu ke kakinya. Sempurna! Sekarang Rhea siap berangkat. Ia melilitkan
selendang ke lengannya, lalu berjalan menuju cermin dan berputar-putar di depannya. Gadis itu
siap berangkat ke pesta!

***

Rhea dan Reva duduk di jok belakang, sedangkan Mama di depan bersama Papa yang bertugas
mengemudikan mobil. Papa mengenakan kemeja batik cokelat, dan mama mengenakan gaun
berwarna krem. Rambut mama diblow sehingga terlihat rapi. Mama terlihat cantik sekali. Tapi
jauh lebih cantik Mbak Reva. Rhea melirik kakaknya yang duduk di sampingnya. Rambut Reva
yang panjang sepundak digerai begitu saja. Namun ada sejumput rambut di dekat kedua
pelipisnya yang di kepang kecil dan diikat menjadi satu ke belakang. Jepitan berbentuk bunga
berwarna pink membuat Reva tampak lebih manis. Rhea melirik gaun yang dikenakan Reva.
Gaun pink itu pas banget di tubuh Reva. Tubuhnya yang tinggi jadi tampak anggun. Pokoknya
cantik banget. Rhea yakin semua mata akan tertuju pada Reva di pesta nanti, terutama Nico.

"Reva, habis ini kita belok kanan atau kiri?" tanya Papa saat mobil mereka berhenti di lampu
merah. "Kita lurus dulu, Pa. Nanti kalau ada perempatan, kita belok kanan. Setelah itu kita lurus
aja. Rumahnya gede banget kok, Pa. Dari ujung jalan juga udah kelihatan," jawab Reva.

Rhea menata Reva heran. "Memangnya Mbak pernah ke rumah Nico?

"Pernah sekali. Waktu itu Mbak mau pinjem buku, tapi dia lupa bawa jadi Mbak diajak ke
rumahnya.
Tanpa Rhea sadari, rasa kesal yang berusaha dia hapus dari dalam dirinya kembali muncul.

Mobil mereka kembali melaju. Rhea mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dia nggak
menyangka, ternyata hubungan Nico dan Mbak Reva sudah lebih jauh dari yang dia kira.

"Yang putih itu ya rumahnya?" tanya Mama dengan nada kagum.

"Iya, Ma. Besar banget, kan? Ya ampun... kayaknya udah rame deh," komentar Reva sambil
celingak-celinguk memerhatikan suasana di luar mobil.

Rhea melihat ke luar jendela, berusaha melihat rumah yang dimaksud mama. Rumah megah itu
didominasi warna putih, berlantai tiga.

Mobil mereka mulai melambat. Sudah ada beberapa mobil di depan mereka yang mengantre
untuk mencari tempat parkir.

"Untung kita dandan rapi. Lihat saja... yang datang orang kaya dan orang penting semua. Di
depan kita itu mobil jaguar kan, Pa?" komentar Reva.

"Iya. Walaupun Papa cuma Kepala Sekolah, kita nggak boleh malu-maluin di depan mereka
dong," Mama menggantikan Papa merespon komentar Reva.

Setelah mereka turun dari mobil dan bersama-sama memasuki gerbang, seorang petugas
berseragam batik tersenyum ramah mempersilahkan mereka.

"Papa sih... Mama kan udah bilang, Papa pakai jas aja. Eh Papa malah nggak mau. Tuh kan,
jadinya baju Papa sama dengan satpamnya," kata Mama, diikuti tawa Reva dan Rhea. Papa cuma
tersenyum kecut.

Benar kata Reva, rumah Nico sangat besar. Jarak dari pintu gerbang ke rumah aja cukup buat
main badminton. Mereka harus mengitari taman yang cukup luas untuk sampai ke depan rumah.
Rhea berjalan di sebelah Mama sedangkan Reva menggandeng Papa. Bersama beberapa tamu
lain, mereka memasuki tempat pesta.

Rhea memandang takjub ke arah rumah yang ada di depan matanya. Terdapat dua pilar besar di
depan pintu utama. Ukiran naga menghiasi kedua pilar itu, seakan sedang melilit pilar menuju
atas. Pintu masuknya yang terbuka lebar juga sangat besar. Begitu memasuki ruangan, Rhea
kembali dibuat takjub. Ruangan ini seperti aula besar. Di bagian kanan dan kiri masing-masing
terdapat tiga pondok yang menyediakan berbagai macam makanan. Di bagian kanan dekat
tangga ada pondok yang lebih besar tampaknya untuk menyediakan makanan utama. Di dinding
sebelah kiri terpajang foto berpigura berukuran besar, dihiasi untaian bunga, foto wanita
setengah baya yang sangat cantik. Hidungnya mancung, kulitnya putih, matanya agak sipit
dengan rambut disanggul ke atas.

"Itu foto siapa, Ma?" tanya Rhea setengah berbisik.


"Itu foto almarhumah Mamanya Nico," jawab mama.

"Oooh.. pantas cantik," kata Rhea.

"Halo, Pak Kepala Sekolah! Apa kabar?" sapa seorang laki-laki yang mengenakan setelan jas
berwarna hitam. Kelihatannya laki-laki itu seumuran Papa.

"Halo, Lex. Wah... lama ya kita tidak bertemu," balas Papa, langsung merangkul laki-laki itu.

Rhea langsung mengerti, laki-laki itu pasti Om Alex, Papanya Nico.

"Kelihatan makin tua saja kamu," kata Om Alex lagi.

"Umurku bertambah, penampilanku semakin tua lah. Memangnya kamu. Makin tua makin
gagah," sahut papa.

"Hahaha! Bisa saja kamu. Wah ini pasti Sri. Istrimu ini makin cantik saja " Oom Alex tertawa
sambil menyalami mama.

"Kamu bisa saja, Lex. Aku tersanjung mendengarnya..." pipi Mama bersemu merah.

"Aku jujur lho. Nanti aku pinjam istrimu untuk menemaniku berdansa ya. Papa tertawa
mendengarnya. "Wah... apa kedua bidadari ini putrimu?" tanya Oom Alex.

"Benar," jawab Papa tersenyum bangga.

"Malam Om. Saya Reva. Waktu itu saya pernah ke sini sekali, tapi Om lagi nggak ada di rumah.
Oh iya, Oom, selamat ulang tahun ya," Reva memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

"Kok Nico nggak cerita ya?" Oom Alex membalas uluran tangan Reva lalu menoleh ke arah
Papa. "Dia cuma bilang, dia sekarang jadi guru les salah satu anakmu.

"Benar, anakmu itu pintar sekali. Dia sudah banyak membantu Rhea selama ini," kata Papa.

"Rhea?" Oom Alex memandang ke arah Rhea.

"Malam, Oom. Saya Rhea. Selamat ulang tahun ya, Oom," gantian Rhea memperkenalkan diri.

"Jadi ini yang namanya Rhea. Dulu waktu kecil kamu suka main sama Nico. Kamu ingat tidak,
dulu kamu tuh pernah main bola sama Nico sampai memecahkan guci antik kesayangan Oom."

Rhea hanya mampu tersenyum malu. Ih payah nih Oom Alex. Kejadian kayak gitu saja masih
diingat-ingat, gerutu Rhea dalam hati. Tapi Rhea juga mengakui, kalau kita kehilangan barang
yang kita sayang, kita nggak bakal ngelupain sepanjang hidup kita.
Kejadiannya sih udah lama, waktu rumah Oom Alex masih bertetangga sama Rhea. Ketika itu
Papa lagi ngobrol sama Oom Alex di ruang tamu, dan Rhea main sama Nico. Karena menendang
bola terlalu keras, bolanya melenting dan mengenai guci Oom Alex. Papa marah banget sama
Rhea, sampai-sampai Papa memarahi Rhea habis-habisan di depan Nico dan Oom Alex. Padahal
kan Rhea waktu itu nggak sengaja. Namanya juga anak kecil, kalau sudah main lupa sama
lingkungan sekitar. Untung Nico ngebelain Rhea. Oom Alex juga buru-buru menenangkan Papa
sehingga kemarahan Papa bisa cepat mereda.

"Kamu tuh waktu kecil sifatnya mirip laki-laki, tomboi sekali. Mama dan Papamu sampai pusing
melihat kenakalanmu itu. Berbeda dengan Reva yang dari kecil memang sudah kalem," kata
Oom Alex lagi.

Rhea kembali tersenyum malu. Pipinya jadi bersemu merah.

"Tapi melihat kamu hari ini tampil sangat cantik, Oom sampai pangling. Oom pasti seneng kalau
punya anak gadis secantik kamu."

"Makasih, Oom." Rhea merasa meayang dipuji seperti itu. Rhea jadi berpikir, beda sekali Nico
dengan ayahnya. Ayahnya begitu ramah dan menyenangkan, tapi kenapa anaknya begitu
menyebalkan.

"Oh iya, ayo silakan makan. Oom Alex mempersilakan mereka untuk segera menikmati
hidangan di pesta itu yang tampaknya sangat menggugah selera.

"Oh iya Oom, Nico-nya mana?" tanya Reva.

"Lagi di taman belakang. Nanti biar Oom panggilkan. Kalian makan saja dulu.

Reva mengangguk lalu bersama Rhea menuju pondok-pondok yang ada di sekitar mereka untuk
mencicipi makanan.

***

"Gimana kambing gulingnya? Enak nggak?" tegur Nico, mengejutkan Rhea dan Reva yang lagi
asyik menikmati kambing guling.

"Ngumpet di mana lo, Nic? Kok baru nongol sekarang?" tanya Reva.

"Gue dari tadi di belakang, mempersiapkan mental. Lo tau kan mempersiapkan mental untuk
apa...," jawab Nico sambil melirik ke arah Rhea. Reva tertawa kecil mendengarnya. Dia tahu
maksud Nico.
Rhea pun diam-diam melirik ke arah Nico. Mempersiapkan mental apa ya? tanya Rhea dalam
hati. Malam ini Nico keren banget. Jauh lebih keren dari biasanya. Ganteng banget, malah! Dia
tampil rapi, dengan setelan abu-abu dan jas warna hitam. Oh, God! Gila nih cowok. Cakep abis.
Kaki gue sampai lemas.

"Gimana? Cantik kan adik gue?" tanya Reva berbisik.

Nico mengacungkan kedua jempolnya dan menganggukan kepala.

Rhea menatap kakaknya dan Nico yang saling berbisik mesra itu dengan kesal. Dia merasa
seperti kambing congek. Benar-benar nggak ngerti dengan pembicaraan kedua orang itu.

"Eh, tuh lagunya udah diputar. Kita dansa yuk," ajak Nico pada Reva begitu mendengar alunan
Hero-nya Mariah Carey.

"Boleh." Reva mengangguk setuju dan meletakan piring kecil berisi irisan kambing guling ke
meja yang ada di sebelahnya.

Nico pun mengulurkan tangan dan Reva langsung menyambutnya sambil tersenyum manis.

Rhea membuang muka, pura-pura menikmati kambing guling yang masih tersisa di piringnya.
Reva dan Nico bergandengan tangan menuju ke area dansa. Disitu telah banyak pasangan lain
yang berdansa mengikuti alunan penyanyi dan pemain musik. Rhea menyendok bumbu kambing
guling di piringnya dengan kesal, lalu membanting sendok itu ke atas piring dan meletakannya
kembali ke atas meja. Rhea menatap ke arah Nico dan Reva yang kini sedang berdansa penuh
kehangatan. Mereka tampak begitu romantis. Rhea benar-benar kesal melihatnya.

Gue nggak peduli apa kata Marcia kalau gue bilang gue kesel banget melihat Mbak Reva dan
Nico akrab. Yang jelas , gue emang benar-benar kesal! Cemburu atau jealous namanya, gue
nggak mau tau. Yang penting, gue nggak suka melihat mereka mesra-mesraan di depan mata
gue! Rhea ngedumel dalam hati.

Rhea terus memandang Reva dan Nico yang masih melangkahkan kaki mengikuti irama. Sorot
mata Rhea begitu tajam. Sama sekali nggak ada senyuman terukir di wajahnya. Belum sampai
sepuluh menit Reva dan Nico berdansa, Reva berjalan kembali ke arah Rhea. Rhea mengerutkan
kening penuh tanda tanya. Hanya Reva yang berjalan kembali ke arahnya sedangkan Nico tetap
berdiri diam di area dansa.

"Rhe... gantiin Mbak dansa ya," pinta Reva.

Tanpa menunggu jawaban dari Rhea, Reva langsung menarik tangan kanan Rhea dan
menariknya menuju lantai dansa. Dengan wajah bengong, Rhea hanya menurut begitu tangannya
ditarik Reva.
"Nih, Nic... Rhea aja yang gantiin gue. Gue mau ke belakang dulu ya. Kambing guling lo
ngadain pembrontakan nih di perut gue, minta segera di keluarin," kata Reva asal, lalu
mendorong adiknya pelan ke hadapan Nico dan bergegas meninggalkan mereka.

Rhea melongo. Bola matanya mengikuti langkah kaki Reva yang menghilang di tengah
keramaian tamu.

Nico menatap Rhea. Sorot matanya penuh permohonan. Lalu dengan segenap keberanian dan
tekad, diulurkannya tangan kirinya ke hadapan Rhea. Rhea menatap tangan itu, lalu menolehkan
kepalanya menatap Nico yang tersenyum padanya. "Kita dansa yuk, Rhe," ajak Nico lembut.

Rhea terpana. Ia merasa dirinya terbang ke awan-awan. Jantungnya berdebar begitu cepat,
sampai rasanya dadanya nggak mampu lagi menahan jantung itu untuk tetap berada di
tempatnya. Mendadak ia jadi begitu tegang.

Perlahan Rhea menggerakan tangannya dan menyambut uluran tangan Nico. Tangan cowok itu
begitu hangat. Nico menggenggam tangan kiri Rhea dan meletakan tangan kirinya di pinggang
Rhea. Rhea pun meletakan tangan kanannya di pundak Nico. Jarak mereka sekarang nggak lebih
dari sepuluh senti. Rhea dapat mencium aroma parfum dari tubuh Nico. Ia dapat pula merasakan
desah napas cowok itu. Bahkan ia yakin, ia juga bisa merasakan detak jantung Nico berdebar
cepat.

Alunan lagu My Endless Love-nya Lionel Richie mengiringi setiap langkah dan goyangan
mereka. Begitu seirama.

"Hari ini lo cantik banget, Rhe..," puji Nico setengah berbisik.

"Gombal," sahut Rhea, padahal mukanya udah semerah kepiting rebus.

Nico tertawa kecil. Rhea merasa ada rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhnya.

"Pestanya mewah, ya. Keren banget." Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Terima kasih, Rhe," sahut Nico. " Tapi pesta ini nggak akan berkesan tanpa kehadiran elo."

"Apaan sih lo" Rhea pura-pura ngambek.

"Bener. Kalau bukan karena elo, gue nggak akan mau membantu Papa mengatur
penyelenggaraan pesta ini. Pasti gue akan memaksa papa untuk mengadakan syukuran kecil-
kecilan aja."

"Kenapa begitu?"

"Untuk apa bikin pesta besar? Cuma menghamburkan uang aja. Tapi ceritanya akan berbeda jika
dengan adanya pesta ini, gue bisa berdansa sama elo.
Rhea tersipu malu. Tapi dalam hati ia juga bertanya-tanya, kenapa Nico jadi berubah ya? Kok
dia jadi romantis begini? Jadi lembut banget, lagi. Setiap kata yang diucapkannya seakan
mengatakan bahwa dia melakukan semuanya memang cuma untuk Rhea. Apa iya?

Mas Nico, permisi sebentar..." tiba-tiba seorang laki-laki berseragam batik menghentikan
pembicaraan mereka.

Nico dan Rhea sama-sama melepas pegangan tangan mereka. Tapi tangan kiri Nico masih tetap
di pinggang Rhea seakan takut kehilangan gadis itu.

"Ada apa, Din?" tanya Nico.

"Pak Alex meminta saya untuk memanggil Mas Nico," jawab laki-laki yang bernama Udin itu.

Nico mengangguk dan berbisik di dekat telinga Rhea, "Gue pergi dulu sebentar. Jangan ke mana-
mana ya."

Jantung Rhea berdegup kencang. Ia dapat merasakan desah napas Nico di tengkuknya. Bola
matanya yang hitam mengikuti langkah kaki Nico yang berjalan ke arah tangga menuju atas.
Rhea terus menatap punggung Nico hingga cowok itu menghilang dari pandangannya.

Nico bilang dia harus menunggunya di sini. Tapi ini kan tempat orang-orang yang mau dansa.
Rhea memutuskan untuk beranjak dari tempatnya. Ia mencari-cari Reva dan kedua orang tuanya,
tapi mereka seperti lenyap ditelan keramaian para tamu yang semakin lama semakin banyak.
Rhea menghela napas putus asa. Nggak enak banget di tempat pesta seperti ini harus berdiri
sendirian. Udah gitu nggak ada yang kenal lagi.

Rhea melangkahkan kakinya menuju belakang ruangan. Ada pintu kaca yang tertutup tirai putih.
Rhea menyibak tirai itu sedikit dan mengintip. Ternyata ada taman dan kolam di belakang
ruangan ini. Rhea berusaha membuka pintunya. Nggak dikunci. Perlahan ia mendorong pintu itu
dan keluar dari ruangan pesta. Ia berjalan melewati teras kecil kecil menuju taman.

Udara malam begitu sejuk. Angin berembus sepoi-sepoi. Sedikit terasa dingin di kulit. Terdengar
suara dedaunan yang saling bergesek, seakan mereka sedang bercengkrama. Terkadang terdengar
juga suara jangkrik yang bernyanyi bersahut-sahutan.

Rhea berjalan menyusuri jalan setapak yang di kanan kirinya terhampar taman yang penuh
berbagai macam tanaman. Di taman itu juga ada air mancur dan patung wanita menggendong
kendi. Airnya keluar dari dalam kendi dan menimbulkan suara gemericik. Lampu taman
menghiasi setiap sudut sehingga suasana jadi tampak lebih indah.

Rhea menyusuri jalan setapak menuju gazebo yang berada tepat di tengah kolam renang. Ia
menaiki jembatan yang terbuat dari batu pualam untuk sampai di gazebo itu. Lalu Rhea berdiri di
tepi gazebo, menatap kolam renang luas yang mengelilinginya. Cahaya rembulan membuat air di
kolam tampak bercahaya.

"Kenapa elo menyendiri di sini?" tegur Nico, membuat Rhea tersentak kaget. Rhea nggak
menyadari Nico sudah berdiri di belakangnya.

"Gue nggak enak di dalam sendiri. Gue udah cari mbak Reva dan Mama-Papa, tapi nggak
ketemu..."

Nico tersenyum lembut. Lalu ia melepas jas yang melekat di tubuhnya dan memakaikannya ke
pundak Rhea. Rhea terkejut. Pipinya langsung bersemu merah.

"Udara malam ini agak dingin, jangan sampai elo masuk angin," kata Nico dengan senyum
manisnya.

"Makasih," kata Rhea lirih. Jantungnya kembali berdebar keras. Bahkan tangannya mulai dingin
karena gugup.

"Orang tua lo lagi sama bokap gue di atas. Tadi gue ketemu mereka. Entah mereka
membicarakan apa." Nico berdiri di samping Rhea dan menengadah, menatap kelamnya langit
malam.

"Pantes gue cari-cari nggak ketemu.

"Biasalah... kalau di pesta seperti ini, Papa pasti semangat banget ngenalin gue ke semua
temannya.

"Itu artinya bokap lo sayang dan bangga sama elo.

"I know tapi bosen banget kan kalau harus pura-pura tersenyum terus di depan bapak-bapak
dan ibu-ibu itu. Udah gitu yang paling nyebelin kalau ada ibu-ibu yang bilang, 'Ih, anak Pak Alex
cakep ya. Mukanya lucu deh.' Habis itu pipi gue dicubit sama mereka.

Rhea tertawa. "Masa ada yang kayak gitu sih?

"Betul ada. Ngapain juga gue bohong?

"Abis, lo emang cakep kok." Ups! Rhea buru-buru menutup mulutnya dan mengalihkan
pandangannya ke sudut kolam yang lain.

Nico tersenyum. Kalau elo juga mau nyubit pipi gue boleh kok." Nico mendekatkan pipinya ke
arah Rhea.

"Ih... apa-apaan sih lo...?" Rhea mendorong pipi Nico dan tertawa.
Nico ikut tertawa renyah. Jantung Rhea berdegup lebih cepat. Ini pertama kalinya ia bisa
bercanda begitu santai dengan Nico. Ada jutaan rasa berkecamuk dalam batinnya. Ingin sekali
rasanya waktu berhenti berputar dan malam terus terjaga tanpa pagi menjelang. Entah mengapa
Rhea ingin terus seperti ini, berdua dengan Nico, ngobrol dengannya, bercanda, menatap
rembulan dan bintang yang bertebaran di langit, menghabiskan setiap detik dengan menatap
senyum Nico. Perasaan seperti ini nggak pernah sekali pun ia rasakan sebelumnya. Begitu
tenteram, hangat, damai, dan berbunga-bunga. Perasaan apa ini?
BAB 10

"YA ampun! Lo berduaan sama cowok lain tanpa sepengetahuan Felix?!" pekik Rachel saat
Rhea menyelesaikan ceritanya tentang pesta Sabtu malam kemarin.

"Ssst..! Kecilin suara elo, Chel," bisik Rhea sambil memandang sekeliling kelas. Untung nggak
ada yang mendengar. Semua tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Tapi Rhe, itu kan sama aja artinya elo selingkuh," kata Rachel yang sudah memperkecil volume
suaranya.

"Masa gitu doang selingkuh sih?" bantah Marcia. "Nggak kok, Rhe.. Rachel aja yang terlalu
membesar-besarkan."

"Nggak selingkuh gimana? Jelas Rhea berduaan sama cowok lain pas malam minggu tanpa
bilang-bilang sama Felix. Itu kan artinya Rhea berusaha menutupi hubungannya sama cowok
itu." Rachel mencoba berargumen.

"Tapi cowok itu kan cuma guru les Rhea...," bantah Marcia.

"Emangnya kalau guru les nggak bisa jadi orang ketiga? Sopir aja bisa kok jadi perusak
hubungan cinta majikan.. Rachel nggak mau kalah.

"Udah.. udah! Stop! Kok malah kalian sih yang ribut?" Rhea berusaha menghentikan perdebatan
kedua sahabatnya itu.

Rachel dan Marcia sama-sama bete.

"Gue tau gue emang salah. Sesaat gue emang lupa diri. Kelembutan Nico bikin gue terlena dan
lupa sama Felix. Dan itu yang menjadi kesalahan gue, kata Rhea.

Rachel dan Marcia terdiam, lalu mereka bertatapan.

"Rhea, elo jatuh cinta ya sama Nico?" tanya Marcia pelan.

Rhea diam, lalu menjawab, "Gue nggak tau. Tapi yang jelas gue bahagia malam itu. Bahkan
perasaan itu sulit gue ucapkan dalam kata-kata. Saat gue di dekat Nico, gue merasakan debaran
yang berbeda dibandingkan Felix. Selama ini Nico selalu nyolot kalau ketemu gue, dan Sabtu
kemaren tiba-tiba dia jadi begitu lembut dan hangat. Dia bikin gue terhanyut.."

Marcia menghela napas panjang. "Jadi sekarang lo mau gimana? Lo mau mutusin Felix, terus
nyoba PDKT sama Nico?
"Hah? Gue nggak mungkin sejahat itu lah...! Gue nggak boleh melakukan itu. Soalnya itu berarti
gue mempermainkan ketulusan Felix.

"Jadi lo maunya gimana?" tanya Rachel.

Rhea diam sejenak, lalu berkata pelan, "Yah... gue sih mau serius sama Felix. Gue akan berusaha
menghentikan perasaan gila gue ke Nico. Lagian gue rasa, Nico sukanya sama kakak gue, bukan
sama gue.

"Iya, Rhe.. Felix udah baik banget sama elo. Elo nggak boleh ngecewain dia. Rachel ikut
memberi semangat.

Rhea mengangguk dan tersenyum. Ia bangkit dari kursinya lalu menggandeng tangan Marcia dan
Rachel.

"Eh, eh.. mau ke mana lo?" tanya Marcia.

"Ke kelasnya Felix," jawab Rhea enteng.

"Mau ngapain? Tumben...," timpal Rachel.

"Nggak tau nih. Kok tiba-tiba gue kangen sama dia," jawab Rhea.

"Ceileh...! Tapi oke deh. Yuk kita ke sana. Kali aja si Felix bawa cokelat buat kita..

"Huu.. maunya!" sahut Rhea.

Marcia dan Rachel semangat banget. Bersama Rhea, keduanya melangkah ke luar kelas.

***

"Itu suara Felix, kan? Berarti dia ada di kelas. Ayo, Rhe!" ujar Rachel saat mereka mulai
mendekati kelas Felix.

Rhea berusaha mendengarkan suara-suara yang berasal dari dalam ruang kelas Felix. Tapi ada
yang aneh, dia merasa namanya disebut-sebut dalam percakapan itu. Rhea berhenti dan menahan
kedua sahabatnya.

"Ssst..! Gue ngerasa ada yang lagi ngomongin gue di dalam sana," bisik Rhea.

Marcia dan Rachel berusaha menajamkan pendengaran mereka.


Rachel yang penasaran mencoba mengintip dari jendela kelas. "Itu Felix dan beberapa
temannya, kata Rachel memberi info kepada Marcia dan Rhea.

"Ngapain mereka ngomongin gue? Jangan-jangan Felix cerita tentang hubungan gue sama dia...,"
kata Rhea heran.

Marcia cuma mengangkat bahu.

"Ssst.. jangan berisik. Kita dengerin aja percakapan mereka," kata Rachel sambil menempelkan
telunjuknya ke bibir.

Rhea, Marcia, dan Rachel bersama-sama menajamkan pendengaran mereka, berusaha


menguping pembicaraan di kelas Felix.

"So for so good...," sayup-sayup terdengar suara Felix.

"Lo jahat juga, Lix! Tu cewek kan masih polos, belum bernah pacaran. Lo malah manfaatin dia
kayak gitu," kata Leo, salah satu temen dekat Felix.

"Siapa suruh dia lahir jadi anak kepala sekolah sialan itu? Gue udah bilang, gue pasti bakal
ngebales si tua bangka itu, dan gue nggak main-main!" kata Felix berapi-api.

"Itu kan, udah lama, Lix. Ngapain juga sih lo dendam gitu?" ujar Marcell, yang menjabat kapten
di klub basket sekolah.

"Gue nggak akan pernah ngelupain kejadian itu. Si tua bangka itu udah mempermaluin gue di
depan umum. Dia nuduh gue sebagai anak yang nggak bertanggung jawab, pembohong dan
nggak tau aturan. Bahkan dia ngasih gue skors selama seminggu. Bokap gue jadi marah besar
sama gue. Padahal itu gara-gara gue nggak sengaja mecahin jendela ruang guru dan
melimpahkan kesalahan pada si bloon Tony.

Leo dan Marcell tertawa.

"Salah lo juga sih, ngejadiin si Tony sebagai kambing hitam.

"Siapa suruh tuh anak bloon banget!? Yang pasti dendam itu nggak bakal gue lupain begitu aja.

"Tapi kasihan Rhea, Lix. Dia nggak tau apa-apa," kata Marcell.

"Tapi cuma dia satu-satunya alat paling tepat untuk membalas dendam gue pada si tua bangka
itu. Gue pengin tau gimana reaksi tua bangka sialan itu saat dia mengetahui putri kesayangannya
udah berubah jadi pembrontak dan pembohong. Gue nggak akan pernah berhenti membuat Rhea
tergila-gila sama gue, dan membuat dia membohongi orang tuanya lalu memberontak dari segala
aturan rumahnya. Rhea Athena, yah.. cuma alat yang sangat cantik dan berguna buat gue. Felix
tertawa, sama sekali nggak menyadari bahwa cewek yang lagi diomongin sedang berdiri di luar
kelas, mendengar semua kata yang dilontarkannya.
Jantung Rhea berdegup cepat. Ia terdiam. Marcia dan Rachel sama-sama terkejut atas apa yang
barusan mereka dengar. Mereka menatap Rhea tanpa tahu harus berbuat apa. Rhea terpaku di
tempatnya. Setiap kata yang masuk telinganya seperti anak panah yang menusuk jantungnya satu
per satu. Tangan Rhea bergetar, begitu juga seluruh tubuhnya. Ia bahkan seperti nggak mampu
lagi menopang berat tubuhnya. Lalu dengan mengerahkan segenap tenaga yang tersisa dalam
dirinya, ia berlari kencang meninggalkan Marcia dan Rachel yang meneriakan namanya. Entah
berapa orang yang mengumpat kesal karena ditabrak Rhea, tapi cewek itu nggak peduli. Ia terus
berlari menuju ruang guru untuk menemui guru piket dan meminta izin pulang. Rhea berhenti di
depan meja piket dengan napas terengah-engah. Tubuhnya masih gemetaran. Keringat pun
mengalir di keningnya. Bibirnya terlihat kering dan pucat.

"Maaf, Bu, saya mau minta izin pulang. Saya merasa nggak enak badan," ujar Rhea sambil
berusaha mengatur napasnya. Bu Epin yang hari ini bertugas sebagai guru piket menatap Rhea
heran.

Namun melihat wajah Rhea yang pucat, ia nggak lagi banyak bertanya, tapi langsung menulis
surat izin agar Rhea dapat segera pulang. Bu Epin itu guru BP. Ia guru favorit anak-anak,
soalnya selain baik hati ia juga lembut dan pengertian. Rhea beruntung hari ini Bu Epin yang jadi
guru piketnya.

Bu Epin menyodorkan surat izin pada Rhea sambil bertanya, "siapa yang akan mengantar kamu
pulang? Sebaiknya kamu jangan pulang sendirian. Apa perlu saya beri tahu Papa kamu? \

"Nggak, Bu. Jangan bilang ke Papa. Biar saya pulang sendiri naik taksi," tolak Rhea, lalu
tersenyum tipis dan meninggalkan meja piket menuju kelasnya untuk mengambil tas.

Marcia dan Rachel menghalangi jalan Rhea.

"Rhe, lo mau ke mana?" tanya Marcia.

"Pulang. Gue butuh ketenangan saat ini."

"Gue anterin ya!" Marcia menawarkan diri.

"Nggak usah, Mar. Gue bisa sendiri kok. Rhea berusaha tersenyum, tapi yang keluar malah
seringai hambar.

"Rhe, lo yakin nggak butuh kami?" tanya Rachel dengan sorot mata cemas.

"Tenang aja. Gue cuma lagi butuh waktu buat menyendiri."

"Ya udah. Kalau gitu kami anterin lo cari taksi. Soal tas lo, biar gue aja yang nganterin ke rumah
lo. Tapi janji ya, Rhe, kalau ada sesuatu, langsung hubungi kami..." Marcia meraih tangan Rhea
dan menggenggamnya erat.
"Iya, gue janji..."

***

Rhea berbaring di tempat tidurnya dengan perasaan kacau. Kepalanya terasa sakit, begitu pula
hatinya. Seperti ada sesuatu yang menusuk-nusuk kedua sudut matanya, dan tak mau hilang. Ia
meraih guling dan menutup wajahnya dengan benda itu. Percakapan yang didengarnya tadi
seperti diputar ulang dalam memorinya. Rhea sama sekali nggak nyangka Felix tega melakukan
semua itu. Ternyata semua kebaikan dan keromantisannya hanya untuk memperalat Rhea. Felix
nggak pernah benar-benar jatuh cinta padanya, nggak benar-benar tulus padanya. Rhea hanya
dijadikan alat balas dendam, nggak lebih dari itu.

Rhea ingin berteriak marah. Kenapa semua ini harus terjadi padanya? Tapi Rhea nggak bisa
menyalahkan Felix. Ia yang bodoh hingga terbedaya rayuan Felix. Ia yang bodoh karena
membohongi keluarganya demi Felix. Ia yang bodoh karena nggak memedulikan nasihat Papa.

Kalau memang ada yang harus disalahkan, dirinya lah yang seharusnya disalahkan. Felix
hanyalah salah satu murid di sekolah yang menyimpan dendam pada Papa dan berniat
membalasnya melalui Rhea. Felix hanyalah manusia rapuh berjiwa kerdil, sikapnya yang seperti
ini cuma menunjukan ketidakdewasaannya dan membuktikan kebenaran dari semua makian Papa
pada Felix dulu. Felix hanyalah laki-laki yang sedang dalam tahap pencarian jati diri, yang salah
melangkah dan patut dikasihani. Cowok itu hanya sedang melindungi jiwanya yang rapuh di
balik ketampanan dan popularitasnya di sekolah.

Rhea menyesal telah terpedaya rayuan Felix. Rasanya sakit.. benar-benar sakit. Tapi Rhea tahu,
dia nggak boleh lemah. Dia nggak boleh melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya dengan
membiarkan Felix terus memperalat dirinya. Dia harus menyelesaikan semua ini sekarang juga.

Rhea bangun dari tempat tidur dan meraih HP-nya yang ada di meja belajar. Ia membuka fitur
message dan menulis SMS.

Lix, gw mo ktemu elo jam 3 di PS. tnggu gw di McD. pntng!

Pesan terkirim. Beberapa saat kemudian ia menerima SMS baru. Rhea membacanya.
OK. honey! Ge tunggu elo di sana. Muuaachh!

Rhea menarik napas panjang, berusaha menahan ledakan mual di perutnya setelah membaca
SMS itu. Rhea sakit hati sekaligus jijik pada semua kepura-puraan Felix.

Rhea berjaan membuka pintu kamarnya, menuju kamar Reva. Diketuknya pintu kamar Reva
perlahan.

"Mbak... ini Rhea.. "

Masuk aja Rhe, sahut Reva dari dalam kamarnya.

Rhea membuka pintu dan memasuki kamar kakaknya yang bernuansa putih. Reva sedang duduk
di depan meja rias sambil menyisir rambut.

"Kata Mama kamu nggak enak badan ya?" tanya Reva sambil sibuk mengucir rambutnya dengan
model ekor kuda.

"Sedikit. Tapi sekarang udah nggak lagi.

"Ada apa kamu cari Mbak? Ada yang mau diceritain?" Reva yang sudah selesai mengucir
rambutnya berbalik dari depan kaca, dan menatap Rhea sambil tersenyum.

"Ah... nggak kok. Rhea mau minta nomor HP Nico. Rhea ada perlu sedikit sama dia. Mbak
punya kan?

"Oh.. cuma itu?" Reva mengambil dompetnya yang tergeletak di tempat tidur dan memberikan
selembar kartu nama buat Rhea. Ini buat kamu aja. Mbak udah simpen nomor HP Nico di
phonebook HP Mbak.

Rhea tersenyum. "Makasih ya, Mbak." Rhea pun meninggalkan kamar Reva, diikuti senyuman
misterius yang tersungging di bibir Reva.

Rhea kembali ke kamarnya lalu mengambil HP dan menekan nomor yang tertera di kartu nama
Nico.

"Halo..," sapanya begitu hubungannya tersambung.

"Halo..," sahut cowok di sebrang sana.

"Ini Nico ya? Gue Rhea..

"Iya.. gue tau.

"Tau?
"Ada perlu apa lo telepon gue?

"I need your help.

"Maksud lo?

"Gue mesti keluar rumah untuk menemui seseorang. Ini penting banget. Jadi gue butuh bantuan
elo untuk meyakinkan Papa kalau elo ada perlu sama gue. Papa kan pernah bilang.. kalau sama
elo, dia percaya. Please.. gue bener-bener butuh bantuan elo nih..

Nico terdiam sesaat, lalu akhirnya berkata, "Oke jam berapa gue harus jemput elo?"

Rhea tersenyum. "Jam dua ya. Thanks banget ya, Nic."

"Ya udah, kalau gitu sampai nanti.

"Iya, sampai nanti.." Rhea pun menutup sambungan teleponnya.

***

Rhea berjalan di samping Nico memasuki Plaza Senayan yang hari ini cukup ramai. Sesuai
dugaan Rhea, kalau sama Nico ia pasti lebih mudah mendapatkan izin dari Papa. Ya.. memang
sih, ia harus sedikit berbohong dengan mengatakan bahwa ia ingin melihat-lihat koleksi buku
yang ada di rumah Nico. Tapi Rhea janji, ini akan menjadi kebohongannya yang terakhir.

McD sudah di depan mata. Jantung Rhea mulai berdegup cepat. Tangannya mulai dingin dan
berkeringat.

"Gue tunggu lo di sini," kata Nico singkat.

Rhea mengangguk. Sejenak dipejamkannya mata dan ditariknya napas panjang. Kemudian
dengan mantap ia melangkahkan kakinya.

"Rhea...," panggil Nico.

Rhea membalik badannya dan menatap Nico.

"Gue nggak tau elo mau nemuin siapa dan ada masalah apa. Tapi yang pasti elo harus tau, gue
ada di sini, nungguin elo, dan siap membela elo. Jadi jangan takut ya.

Setiap kata yang keluar dari mulut Nico seperti angin yang menyejukkan hati Rhea dan mengusir
kecemasan serta keraguan di hatinya. Kata-kata itu seperti memberinya kekuatan yang nggak
berwujud dan langsung menyelubungi dirinya bagai perisai.
Rhea tersenyum lalu membalikkan badannya dan melangkah santai. Bola matanya bergerak-
gerak mencari sosok Felix.

Begitu diliihatnya Felix duduk sendirian di pojok ruangan sambil menikmati segelas soft drink,
Rhea tersenyum dan berjalan ke arahnya. Hatinya begitu tenang. Rhea sudah merasa sangat siap
untuk bicara empat mata dengan Felix.

"Hai!" sapa Rhea lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Felix.

"Hai, Rhe. Gue denger tadi elo pulang cepet karena sakit. Apa sekarang elo udah baik?"

Rhea mengangguk sambil tersenyum. "Makasih ya, atas perhatiaan elo."

"Itu karena gue khawatir sama elo.

Lagi-lagi Rhea tersenyum.

"Ada perlu apa, Rhe? Elo bilang apa sama bokap lo, sampai elo dapat izin keluar rumah lagi?

"Gue bohong." Rhea menarik napas dalam-dalam. "Tapi ini kebohongan gue yang terakhir. Gue
udah tau semuanya, Lix. Gue tau tujuan elo macarin gue. Gue udah dengar semuanya..."

Maksud lo apa?"

"Gue udah nggak mau lagi jadi alat balas dendam lo ke bokap gue, Lix. Gue nggak mau lo
peralat lagi. Gue nggak mau ngecewain keluarga gue, terutama bokap gue. Gue sayang dia, gue
sayang keluarga gue. Elo nggak punya hak untuk menghancurkan keluarga gue.

"Memperalat elo?

"Lo nggak usah pura-pura lagi deh. Gue udah denger dengan telinga gue sendiri, percakapan elo
di kelas tadi pagi..." Rhea berusaha mengatur napasnya, berusaha tetap tenang di tengah gemuruh
emosi yang mengguncang perasaannya.

Felix terdiam. Dia nggak menyangka rencananya sudah terbongkar.

"Tenang aja, gue nggak dendam kok. Menurut gue, elo cuma salah satu anak kecil yang nggak
terima dirinya dihukum karena udah berbuat salah. Di sekolah kita pasti bukan cuma elo yang
kesal karena kedisiplinan bokap gue terhadap peraturan. Hanya saja dari siswa-siswi itu, cuma
elo yang rapuh dan seperti anak kecil, yang menyimpan dendam dan nggak mau mengakui
kesalahan. Elo nggak lebih dari pengecut yang mencari kambing hitam untuk menutupi setiap
kesalahan yang elo perbuat.

Felix masih diam. Kata-kata Rhea seperti membuka tabir yang menutupi kekelaman dalam
dirinya.
"Gue kasihan sama elo, Lix. Tapi gue tetep berterima kasih atas semua yang udah elo berikan
buat gue. Elo membuat gue punya pengalaman berharga. Elo membuat gue mengerti pahitnya
cinta, membuat kehidupan gue yang monoton jadi memiliki riak, bahkan ombak. Gue berterima
kasih atas semua itu.... Met tinggal..." Rhea bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari
restoran fastfood yang selalu ramai itu.

"Rhea tunggu!" panggil Felix yang ikut bangun mengejar Rhea. Felix menarik tangan Rhea dan
menahannya. "Tunggu Rhe... please...

"Apa lagi yang lo mau, Lix? Gue nggak akan mempercayai setiap kata yang keluar dari mulut
lo!

"Ma-maafin gue, Rhe..... elo bener.... gue cuma cowok rapuh dan pengecut. Gue seperti anak
kecil. Gue minta maaf, Rhe... gue bener-bener minta maaf.

"Sejak awal gue udah maafin elo.

"Kalau begitu tolong kasih gue kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Gue nggak akan
nyakitin elo lagi. Gue janji!" Felix memohon sambil menggenggam erat tangan Rhea.

"Nggak! Semua udah selesai..." jawab Rhea.

"Please, Rhe... kasih gue kesempatan.

"Nggak! Lepasin tangan gue, Lix. Gue mau pulang!" Rhea berusaha meronta dan melepaskan
tangannya dari genggaman Felix.

"Nggak akan gue lepas sampai elo mau ngasih gue kesempatan lagi...

"Lepas!" Rhea mulai berteriak panik. Ia mulai takut melihat sorot mata Felix yang sepertinya
penuh obsesi gila

"Lepasin tangan lo!" hardik Nico yang tiba-tiba muncul di sebelah Rhea dengan tatapan tajam.

Melihat Nico, Felix jadi marah. Dia ingat Nico, cowok yang ditemuinya di toko buku.

"Ngapain lagi lo disini? Ini bukan urusan lo!" Felix berteriak marah. Ia melepaskan tangan Rhea
lalu maju menghadap Nico dan menarik kerah kaus Nico dengan kasar. "Rhea itu cinta sama gue
dan elo nggak akan bisa menghancurkan hubungan gue dengan status lo yang cuma guru lesnya
aja. Asal lo tau, lo nggak bakal lama jadi guru les Rhea karena Rhea nggak akan tahan punya
guru les kayak elo!" maki Felix.

Nico menatap Felix dengan tenang. Ia melepaskan cengkraman Felix di kerahnya. Rhea melihat
kedua cowok itu berhadapan. Telapak tangan Rhea cepat-cepat menutup mulutnya kuat-kuat,
berusaha agar tak berteriak. Banyak pengunjung mal mulai berhenti dan memperhatikan mereka
penuh dengan rasa ingin tahu.
"Status gue sebagai guru les Rhea lebih berharga dari pada status lo itu. Kalau dia nggak mau
sama elo lagi, lo jangan maksa dong! Heh, asal elo tau aja ya, bokapnya Rhea percaya 100%
sama gue. Dia cukup dengerin cerita gue tentang kejadian hari ini, dan gue jamin elo pasti akan
menghadapi masalah besar dengan Kepala Sekolah lo itu. Gue yakin, demi membela putri
kesayangannya, dia nggak akan segan-segan ngeluarin elo dari sekolah.

"Brengsek! Sialan!" Felix melayangkan tinjunya ke wajah Nico.

Nico nggak menghindar dan sama sekali nggak melawan. Tinju itu bersarang tepat di wajahnya,
darah segar mengalir dari bibirnya. Nico terhuyung sedikut ke belakang.

"Nico..!" Rhea berteriak kaget. Dia hendak mendekati Nico, namun cowok itu menahan dengan
isyarat tangannya.

Rhea menghentikan langkahnya.

"Cuma segini aja..." Nico kembali berdiri tegak dan mencibir. "Gue rasa luka ini cukup menjadi
bukti untuk bokap Rhea. Kalau elo masih mau mukul gue lagi, jangan salahin gue kalau elo
bukan hanya dikeluarin dari sekolah, tapi juga harus berurusan dengan polisi.

"Sialan!" Felix berteriak marah dan mengepalkan tinjunya ke udara. Namun ia nggak berani
melayangkan pukulan lagi ke arah Nico.

Nico mendekati Felix hingga jarak mereka tinggal lima sentimeter, lalu berkata tegas, Inget
kata-kata gue! Jangan coba-coba ganggu Rhea lagi, atau elo akan berurusan dengan gue. Gue
nggak akan hanya membuat elo membayar satu pukulan ini, tapi gue juga akan bikin lo menyesal
seumur hidup karena pernah mengenal gue!"
BAB 11

NICO duduk di belakang setir mobil sambil menghapus darah di sudut bibirnya dengan selembar
tisu.

"Masih sakit ya?" tanya Rhea cemas.

Nico tertawa. "Nggak kok. Ini cuma luka kecil. Mungkin bibir gue sedikit robek. Tenang aja.."

Rhea menunduk. "Sori ya, Nic. Ini semua gara-gara gue."

"Nggak perlu minta maaf, ini bukan salah lo. Cowok itu emang perlu dikasih pelajaran.

Rhea menatap ke depan, pandangannya jauh menerawang.

"Felix emang pacar gue, Nic. Dia cowok pertama yang berani ngedeketin gue di sekolah. Bahkan
dia cowok pertama yang berani menyatakan cinta ke gue. Papa selama ini nggak pernah ngizinin
gue pacaran. Gue bosen hidup gue begini-begini aja. Makanya gue nerima Felix. Gue rasa dia
bisa memberi warna lain dalam hidup gue," jelas Rhea pelan.

"Sejak itu gue jadi sering ngebohongin Papa-Mama biar bisa jalan sama Felix. Gue seneng
banget, karena hidup gue mulai seru, meskipun gue tau gue udah berdosa besar sama orangtua
gue. Tapi ternyata... Felix cuma memperalat gue. Dia menyimpan dendam sama Papa dan
menggunakan gue untuk menyakiti Papa. Dia sengaja mendekati gue, ngajak gue pacaran,
backstreet, lalu perlahan-lahan menjadikan gue sebagai pembrontak, sebagai pembohong ulung.

Rhea menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Rasanya ingin sekali menangis, tapi
nggak bisa. Air matanya enggan mengalir walaupun sepertinya sudah menumpuk di sudut mata.

Nico diam saja. Ia mengemudikan mobil dengan tenang, seakan memberi waktu pada Rhea
untuk mengontrol emosinya.

***

Nico menghentikan mobilnya di pantai. Hari sudah mulai sore. Jam tangan Rhea sudah
menunjukan pukul 17.00.

"Mau jalan-jalan sebentar?" tanya Nico sambil tersenyum manis.


Rhea mengangguk. Nico keluar dari mobil diikuti Rhea. Mereka berjalan menyusuri pasir
terhampar luas di pesisir pantai. Pantai ini indah, tapi kenapa pengunjungnya sedikit? tanya Rhea
dalam hati. Padahal kebersihannya cukup terjaga.

"Kita naik ke batu karang itu yuk!" ajak Nico sambil menunjuk ke arah batu karang yang cukup
tinggi. Ombak menerpa bagian bawah karang dengan keras sehingga menimbulkan suara
lecutan.

Rhea menggeleng. "Nggak ah. Gue takut.

"Tenang aja... kan ada gue. Nico mengulurkan tangannya ke arah Rhea.

Rhea menatap tangan Nico lalu menyambutnya dengan senyuman yang paling manis. Mereka
berjalan menuju karang dan mulai mendakinya perlahan-lahan. Nico menggenggam erat tangan
Rhea dan menuntunnya hingga ke tepi.

Nico duduk di atas karang itu dan menarik tangan Rhea untuk duduk di sampingnya. Kaki
mereka terjuntai ke bawah karang, menyentuh air laut yang beriak. Ombak yang datang menerpa
karang, membuat tubuh mereka basah terkena percikan-percikan air. Angin laut mengibarkan
rambut Rhea yang tergerai. Rhea jadi kerepotan karena rambutnya berantakan.

Nico tersenyum dan bertanya, "Elo nggak bawa karet rambut?

Rhea menggeleng sambil berusaha memegangi rambutnya. Nico mengambil sapu tangan dari
saku celananya, kemudian mengikat rambut Rhea dengan sapu tangan itu.

Jantung Rhea berdegup kencang.

"Nah, kalau begini nggak berantakan lagi, kan...

"Iya, makasih."

Nico kembali menatap lautan luas di hadapan mereka.

"Rhe, apa sekarang elo masih mau nangis?" tanya Nico pelan tanpa menoleh ke arah Rhea.

Rhea menatap Nico. Hatinya terasa begitu hangat. Senyum manis mengembang di bibirnya.
Ternyata itu alasan Nico mengajaknya ke pantai ini. Nico khawatir melihat Rhea begitu sedih.

"Nggak kok, gue udah nggak pengin nangis lagi. Seharusnya gue malah bersyukur dan senang
bisa melepaskan diri dari Felix sebelum terperosok semakin dalam.

"Syukurlah kalau begitu," kata Nico lega.

"Nic, gue boleh nanya nggak?"

Nico menoleh dan menatap Rhea."Nanya aja...


"Kenapa belakangan ini lo jadi baik dan lembut sama gue?"

Nico terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke laut.

"Karena... gue berfikir untuk menyerah," jawab Nico akhirnya.

"Menyerah? Menyerah untuk apa?" dahi Rhea berkerut heran.

"Menyerah untuk mengejar elo, menyerah untuk merebut perhatian elo, menyerah untuk
mendapatkan cinta lo, kata Nico kembali menatap Rhea.

Rhea tersentak kaget. Matanya membelalak dan mulutnya sedikit terbuka.

"Rhe, gue... gue suka sama elo Nico menelan ludah, wajahnya agak gugup. "Sejak pertama
kita ketemu lagi, setelah sekian lama nggak bertemu, entah kenapa gue terpesona sma elo. Tanpa
gue sadari, rasa suka gue perlahan berubah jadi sayang. Gue sendiri nggak tau bagaimana sampai
semua itu terjadi. Semua rasanya tumbuh begitu aja dalam diri gue. Dan semakin hari rasa itu
semakin besar dan kuat...

Rhea mendengar semua cerita Nico dengan perasaan setengah percaya.

"Gue masih ingat jelas masa kecil kita. Tapi waktu itu gue cuma menganggap elo adik. Perasaan
suka itu timbul secara tiba-tiba, sejak hari pertama gue ngajar elo. Elo ingat nggak, kejadian di
hari pertama itu? Waktu gue benar-benar nggak bisa ngontrol diri gue. Gue jadi gugup dan salah
tingkah. Hasilnya gue malah bersikap kasar sama elo. Waktu itu gue benar-benar menyesali
kebodohan gue, gue merasa stupid dan konyol. Apa ini yang namanya love first sight, gue juga
nggak tau..

Nico berhenti bercerita. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Langit
mulai gelap. Matahari mulai bergerak ke garis cakrawala. Laut yang berwarna biru mulai
bernuansa kemerahan.

Nico melanjutkan ceritanya. "Tapi waktu gue melihat elo di mal sama cowok brengsek itu, gue
putus asa. Gue merasa udah nggak ada harapan lagi buat ngedapetin elo. Gue sakit hati dan
kecewa. Rasanya hidup gue hancur. Gue berusaha tegar karena gue sadar elo bukan siapa-siapa
gue, dan elo bebas jalan sama siapa pun yang elo suka. Semua rasa sakit hati gue bukan karena
kesalahan elo. So, sejak itu gue memutuskan menyerah. Tapi semakin gue berusaha mundur,
semakin kuat rasa cinta itu mengikat gue. Bahkan ikatannya hampir membuat gue nggak mampu
bernapas.... Sorot mata Nico mendadak berubah redup. Ada kepedihan terbayang di sana.

"Gue.. gue nggak tau elo suka sama gue karena selama ini lo selalu kasar sama gue. Gue pikir....
elo suka sama mbak Reva."

"Reva?"
"Iya. Setiap kali elo berada di samping Mbak Reva, elo pasti bersikap lembut dan santai. Seperti
sikap lo belakangan ini ke gue. Sedangkan kalo elo sama gue, pasti tingkah lo jadi kasar, tukang
nyolot, galak... nyebelin banget deh pokoknya."

"Itu karena gue berusaha menjadi sosok yang elo impikan sebagai pacar lo. Lagian juga.. Reva
kan udah punya pacar."

"Mbak Reva udah punya pacar?" Rhea terkejut mendengarnya.

"Iya, pacarnya itu masih sepupuan sama gue. Pacarnya juga dateng kok ke pesta ulang tahun
bokap gue. Makanya mereka menghilang begitu saja, soalnya mereka ngobrol di teras kamar
gue, biar nggak ketahuan sama bokap lo."

"Jadi Mbak Reva juga backstreet?"

"Ya. Jadi nggak mungkin gue suka sama Reva..."

Rhea termenung. Dia sama sekali nggak menyangka, ternyata Mbak Reva diam-diam juga sudah
punya pacar, Mbak Reva juga backstreet seperti dirinya. Tunggu dulu, ada yang aneh! Kenapa
Nico bilang bahwa dia bersikap nyebelin karena berusaha menjadi sosok pacar impian gue?
Sejak kapan gue mau punya pacar nyebelin?

"Eh Nic, tadi lo bilang lo bersikap beda ke gue karena elo ingin menjadi sosok pacar impian gue.
Memangnya kapan gue bilang gue pengin punya pacar nyebelin gitu?"

"Lho, dulu waktu elo masih kecil, elo pernah bilang sama gue. Kalau nanti udah gede, lo pengin
punya pacar yang berwibawa, tegas, cool dan sedikit angkuh. Lo mau punya pacar yang kaya
bokap lo itu. Makanya gue bersikap begitu biar elo tertarik sama gue."

Rhea berusaha mengingat-ingat masa lalunya. Apa iya dia pernah bilang begitu? Mmm....
kayaknya si pernah. Kalau nggak salah waktu itu Rhea lagi mengagumi sosok Papa yang begitu
berwibawa. Makanya dia bilang pada semua orang bahwa dia pengin punya pacar yang
berwibawa kayak Papa. Tapi itu kan dulu waktu dia masih kecil.

"Kalau bukan karena gue teringat kata-kata elo itu, gue nggak akan bersikap tegas gitu di depan
lo. Cukup di hari pertama aja. Lagian, ngapain juga gue pura-pura tegas dan sok cool gitu kalau
bukan untuk membuat lo suka sama gue? Padahal gue pengin banget ngobrol dan bercanda sama
elo. Hmmm... kalo dipikir-pikir, gue payah juga ya. Bikin susah aja. Semua itu gue lakuin hanya
untuk mendapatkan perhatian dari elo. Itu aja," gerutu Nico dengan tampang seperti anak kecil
yang lagi merajuk.

Rhea tertawa melihat wajah cowok itu. "Hahaha! Siapa yang tertarik kalau elo nyebelin gitu? Itu
sih bukannya tegas dan cool tapi nyolot."
Nico terdiam. Rhea jadi merasa bersalah melihatnya. Seharusnya dia nggak boleh tertawa seperti
itu. Nico melakukan semua itu kan karena dia ingin mendapatkan perhatian dari dirinya.

"Maaf ya, gue nggak bermaksud ngetawain elo," kata Rhea tulus.

"Nggak apa-apa. Gue emang bodoh. Nggak seharusnya gue berusaha menjadi orang lain. Nggak
seharusnya gue masih mengingat kata-kata anak kecil yang pastinya suka berubah-ubah.

"Iya, lo emang bodoh. Gue jauh lebih suka dengan sifat asli lo yang lembut, dewasa, dan
perhatian."

Nico terpana. Ia menatap Rhea yang pipinya bersemu merah.

"Maksud lo... lo juga suka sama gue?"

Rhea mengangguk pelan.

Nico tersenyum lebar dan langsung menarik tubuh Rhea dalam pelukannya. Pipi Rhea terasa
panas. Ia dapat merasakan detak jantung Nico di telinganya. Ia bahkan dapat mencium aroma
parfum yang dipakai Nico dengan jelas. Tanpa sadar tangan Rhea bergerak melingkar di
punggung Nico dengan erat. Rhea ingin terus seperti ini, dia nggak mau kehilangan pelukan ini.
Rasa bahagia ini, Rhea tahu, inilah rasanya jatuh cinta. Sungguh berbeda dengan yang
dirasakannya pada Felix. Kali ini Rhea tahu, inilah yang namanya cinta.

Tiba-tiba Rhea teringat sesuatu, lalu didorongnya tubuh Nico.

"Kenapa Rhe?" Nico bertanya heran.

"Gue nggak bisa. Kalau gue pacaran sama elo, gue akan menimbulkan kebohongan lagi ke Papa.
Kita pasti backstreet, dan setiap mau keluar rumah kita pasti harus berbohong sama Papa seperti
tadi. Gue nggak mau kayak gitu lagi.

Nico tersenyum mengerti. "Mau nggak mau kita memang harus backstreet karena bokap lo
belum ngizinin elo pacaran. Iya kan?"

Rhea mengangguk.

"Tapi itu bukan berarti kita harus bohong kalau mau pergi kencan. Gue janji, gue akan minta izin
bokap lo secara jantan dan terus terang kalau mau ngajak elo jalan-jalan. Lagian juga bokap lo
pernah bilang, sama gue dia percaya sepenuhnya. Gue juga akan tetap jadi guru les lo. Gue akan
berusaha menempatkan diri sebagai guru maupun pacar. Gue akan terus membantu elo untuk
meningkatkan prestasi, biar bokap lo bangga dan percaya bahwa anaknya nggak akan pernah
ngacewain mereka. Asal prestasi lo tetap oke, gue yakin mereka nggak akan melarang hubungan
kita.

"Tapi kalau Papa tetap nggak mau merestui hubungan kita dan marah sama kita bagaimana?
"Tenang aja. Kalau itu sampai terjadi, dengan sangat terpaksa... gue akan minta bokap gue segera
ngelamar elo. Bokap gue pasti bisa meluluhkan hati bokap lo...

"Hah? Nggak mau! Gue nggak mau kawin muda!"

Nico tertawa. Ditariknya tubuh Rhea kembali ke dalam pelukannya. Matahari mulai terbenam di
cakrawala. Perlahan-lahan turun dan menghilang di telan bumi. Rembulan yang bergerak
menemani sang malam tersenyum manis, melihat sepasang kekasih yang duduk di atas karang
saling mengikat janji. Rhea sadar perjalanan cintanya masih panjang. Ini cuma sebuah awal yang
akan membawanya menuju kedewasaan. Sebuah awal yang akan membuat hidupnya kembali
penuh warna. Sebuah awal yang akan memperkenalkannya pada arti cinta. Ini hanya sebuah awal
yang baru.

-END-

Sumber:

https://id-id.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novel-remaja/398889196838615

Anda mungkin juga menyukai