Anda di halaman 1dari 2

Asmaraloka

“Ibu tak lelah? Seharian bekerja tanpa henti. Coba lihat tetesan peluh yang jatuh
perlahan tanpa ibu sadari. Sudah, ibu pergi tidur sekarang ya.” Dengan penuh perhatian, ia
tatap mata ibunya. Diraih lengan ibunya dengan pelan dan perlahan. Ibunya hanya dapat
tersenyum dan melakukan apa yang dianjurkan anaknya.
Begitulah kiranya gambaran kecil kehidupan mereka. Seorang ibu yang dikaruniai
seorang anak perempuan. Hidup mereka hanya tentang berdua, tak punya sanak saudara
apalagi harta. Sang ayah tiba-tiba pergi ketika ibu sedang mengandung. Alhasil sejak umur
anak belum dihitung, sang ibu mesti menaruh perhatian yang lebih baik untuk dirinya juga
anaknya.
Kini empat belas tahun telah berlalu. Hidup mereka masih saja sederhana dan penuh
derita. Rumah yang mereka tinggali hanya sebatas tempat tidur dan dapur. Mereka
menggunakan kamar mandi umum di dekat sumur yang letaknya hanya beberapa langkah
dari rumah. Meski terdengar pilu dan menyedihkan, namun setidaknya mereka akan selalu
berkasih sayang hingga kapanpun.
“Rhea, sini nak sarapan dulu.” Sambut ibu setelah Rhea bersiap-siap untuk pergi ke
sekolah. Pagi ini tetap sama seperti pagi sebelumnya, ibu menyiapkan dagangan untuk ia jual.
Sedangkan Rhea pergi ke sekolah menengah tempatnya menimba ilmu hingga matahari
berdiri di barat laut. Setiap hari sepulang sekolah, Rhea membantu ibunya untuk berjualan.
Di sekolah, Rhea merupakan anak yang tekun. Meski tak menjadi peringkat pertama
di kelasnya, ia merupakan seseorang yang multitalenta. Dalam prestasi akademik, ia lumayan
cerdas. Begitupula dalam prestasi non-akademik, ia pandai berolahraga dan memainkan alat
musik. Piano menjadi andalannya di sekolah. Ketika ia sedang bosan ataupun bersedih hati
atas apa yang menimpa hidupnya, berjalanlah ia pada sebuah ruangan yang berisi alat musik.
Ruang itu sepi dan sedikit berdebu, wajar saja karena murid-murid di sekolahnya tak terlalu
tertarik pada hal berbau seni. Berkat permainannya yang hanya iseng dan coba-coba, ia
menjadi begitu terampil dalam bermain piano. Seringkali gurunya menawarkan berbagai
perlombaan. Namun Rhea menolak karena menurutnya ia tak punya waktu untuk hal seperti
itu. Baginya waktu yang ia punya hanya berhak ia gunakan untuk membantu ibu, yang
bahkan setiap detik yang dimilikinya tak luput dari perjuangan untuk membahagiakan Rhea.
Pada suatu siang yang teramat terik, ibu sedang berjualan di pinggiran jalan komplek.
Tempatnya berjualan cukup jauh hari ini, hal itu dikarenakan daerah sekitar rumahnya kini
sepi dan jarang ada orang yang melewati jalannya. Sementara itu dagangan ibu masih
menumpuk, mungkin baru empat sampai lima bungkus kue kering dijualnya hari ini. Tanpa
ibu sadari, dari arah kanannya melaju sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Ibu
yang hendak menyebrang jalan sontak terkejut, sepeda motor itu hampir saja menabraknya.
Beruntung nyawa masih digenggamnya, hanya saja kini ia terbaring rapuh, jatuh
menghantam barisan aspal panas. Badannya lemas serta tangan dan kakinya tergores. Jangan
tanya bagaimana nasib dagangannya. Semua tercecer hingga memenuhi bahu jalan, ada yang
masuk ke parit, ada yang terlempar ke tengah jalan, ada pula yang hancur lebur akibat
terhantam keras saat jatuh.
“Kini aku harus sesabar apalagi ?” hanya itu yang terlintas dalam hatinya. Tanpa keluh kesah
yang berarti, ia hanya bisa menahan rasa sakit sembari menyunggingkan senyum kecil ketika
seorang wanita menolongnya berdiri. Setelah ibu diantar ke rumah, seorang wanita itu pergi
sehabis berpamitan.
Sore telah tiba, Rhea pulang ke rumahnya. Alangkah terkejut hatinya ketika ia melihat
seorang wanita berumur tergulai lemah di atas kasur tipis tempatnya biasa tidur. “Ibu, apa
yang terjadi padamu?” tanya Rhea dengan penuh bingung dan sendu. Kemudian ibu
menjelaskan apa yang telah terjadi padanya. Rhea merasa begitu sedih, dilihatnya luka lebam
yang mulai membiru, banyaknya goresan pada lengan ibu. Naasnya, ia tak bisa membawa ibu
ke rumah sakit untuk mendapat perawatan yang pantas. Usahanya hanya berbatas pada obat
sederhana dan obat alami. Selama proses penyembuhan ibu, terpaksa Rhea harus
menggantikannya untuk berjualan. Selagi bersekolah, ia berjualan kepada teman-temannya.
Sepulang sekolah, ia kembali berjualan makanan yang berbeda dengan mengambilnya dahulu
ke rumah. Selain itu, ia berusaha mengikuti berbagai lomba untuk mendapat uang pembinaan.
Hidupnya kini amat sibuk. Ditambah sejak ibu jatuh, ia semakin rentan terhadap
penyakit. Mungkin karena faktor usia juga, kini usianya menginjak kepala lima. Ibu jadi
sering batuk-batuk dan mudah sekali pusing. Rhea semakin saja khawatir, ia bahkan berpikir
untuk berhenti bersekolah agar dapat mengurus ibunya dengan baik. Tetapi ibu melarangnya,
ibu berkata bahwa apabila Rhea tak bersekolah, sama saja ia mengecewakan hati ibu. Dengan
berat hati ia mengurungkan niatnya. Rhea menjalani harinya seperti biasa.
Hari ini, cuaca nampak tak bersahabat. Langit begitu muram, awan kelabu menyeru
tanpa ragu. Entah mengapa Rhea merasa enggan dan ragu untuk pergi ke sekolah. Iapun
meminta izin pada ibunya agar tak pergi ke sekolah hari ini. Namun dengan cepat ibu
melarangnya, “Cepat pergi, ayo bersemangatlah. Hidupmu tak hanya tentang kesedihan.
Kelak, segala pengorbananmu akan berbuah kebahagiaan.” Mendengar itu, Rhea tertegun.
Untuk kesekian kalinya ia urungkan berbagai niat yang ingin ia lakukan demi mendengar
perkataan ibunya. Jam demi jam berlalu, tiba saatnya bagi Rhea untuk pulang ke rumahnya.
Alangkah terkejutnya ia, pemandangan dua bulan lalu ketika ibunya terjatuh kini terulang
lagi. Namun ada yang berbeda, ibunya benar-benar terbujur kaku tanpa ada helaan nafas yang
nampak. Dengan panik ia hampiri ibunya, ia sentuh perlahan lengannya, ia cek apakah masih
ada nadinya. Terhempas tubuh mungilnya ke tanah. Tanpa sadar air mata menetes, kian lama
kian deras. Ibunya telah tiada, entah apa yang jadi penyebabnya. Ribuan sesal menusuk
dadanya, mengapa ia tak bisa sekali saja membangkang pada ibu untuk tak pergi ke sekolah.
Kata mengapa memenuhi pikirannya. Kini, hidupnya hanya tentang ia.
“Ibu tak lelah? Seharian bekerja tanpa henti. Coba lihat tetesan peluh yang jatuh
perlahan tanpa ibu sadari. Sudah, ibu pergi tidur sekarang ya.” Dengan penuh perhatian, ia
tatap mata ibunya. Diraih lengan ibunya dengan pelan dan perlahan. Ibunya hanya dapat
tersenyum dan melakukan apa yang dianjurkan anaknya.
Kiranya begitu hayalnya. Terulang terus-menerus. Membayangkan ibu masih di hadapannya.

By s.w.
(2020)

Anda mungkin juga menyukai