Anda di halaman 1dari 5

Menemukan Titik Terang Kehidupan di SMA Islam Athirah Bone

Badan yang tegap lagi berotot, senyum yang senantiasa mengiasi wajahnya serta mata
yang dibaluti oleh 2 buah kaca bening. Itulah ilustrasi yang tepat menggambarkan seorang
inspiratif yang memiliki mobilitas horizontal ke atas di dalam hidupnya.

Pria kelahiran Bone ini lahir pada 21 Desember 1995, dan menempuh pendidikannya di
SD Inpres 12/79 Polewali, kemudian di SMP 4 Watampone dan selanjutnya menemukan titik
terang hidup menuju Turki di SMA Islam Athirah Bone.

Tak seindah kehidupan anak kecil lainnya, kesulitan yang dialami dalam hidup kian terus
menghiasi. Kala itu,masih pada masa industri 2.0, dimana eksistensi teknologi belum
tersentuh bagi seluruh masyarkat desa saat itu. Hanya orang-orang beradalah yang
memilikinya. Mereka hanya dipenuhi oleh ajaran-ajaran mitos dan legenda- legenda lokal
yang diajarkan secara turun temurun oleh orang tua. Tak ayal jika waktu kecil dia senang
sekali menonton sinetron- sinetron. Demi menonton sinetron – sinetron tersebut, ia rela
berjalan kurang lebih 2 KM dari kampung tiap malamnya bersama warga kampung lainnya.
Sekiranya setiap jam delapan malam mereka sudah tiba di salah seorang warga yang punya
TV ukuran 14 inci disana. Terkadang ia berangkat lebih awal untk mendapatkan tempat
paling depan. Hal itu untuk mengantisipasi membludaknya warga dan mendapatkan tempat
duduk paling belakang padahal ukuran TV nya kecil.

Di masa itu, ia belum masuk sekolah, umurnya masih sekitar lima tahun. Ia sangat ingat
ketika menonton iklan sepatu yang diperankan oleh anak berbaju SMP dan bernyanyi.
Meskipun ia tidak mengerti bahasanya karena belum terlalu memahami bahasa Indonesia,
tapi dari situlah ia mulai mengenal yang namanya pendidikan. Dirumah, layaknya seperti
anak-anak lainnya ia gemar bermain ‘mappappe’ (sejenis permainan ketapel) dan
‘mappagoli’ (permainan kelereng) .

Kejadian yang tak terlupakan pada saat usia Kahar menginjak usia tujuh tahun, dimana
saat ia bermain bersama teman-temannya yang memiliki taraf ekonomi setingkat dengannya .
Lewatlah segerombolan anak SD dan meneriaki si Kahar “ Huu, Loppo pa, na depa
nassikola, loko mancaji aga mbe ?. “ Artinya sudah besar kok belum sekolah, mau jadi apa
kau nantinya. Ia hanya tertunduk malu dan berpikir bahwa olokkan mereka itu adalah logis.

Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, iapun menyampaikan niatnya untuk bersekolah
kepada sang Ibu. Sehinnga muka sang ibunya pun memerah dan matanya berkaca-kaca.
Ibunya hanya mengatakan “ Kita harus meminta persetujuan ayahmu dulu “. Merekapun
menghadap ke Sang ayah, namun bukan kata setuju yang didapatinya melainkan sebuah
ocehan dan kata – kata kasar “ Buat apa kamu sekolah, banyak orang yang tidak pernah
sekolah mereka juga pintar, juga kaya. Kakak-kakak mu juga tidak sekolah, tapi mereka
pintar membaca, pintar berhitung. Jadi apa tujuanmu sekolah, untuk mengabiskan uang ?.”

Mendengar hal itu seolah tak ada lagi harapan untuk sekolah. Memang betul kata
ayahnya. Biaya makan sehari-hari saja susah, apalagi masalah lainnya. Sehingga iapun lebih
memilih menggugurkan niatnya daripada harus menyusahkan keluarga. Akhirnya menginjak
usia delapan tahun , pekerjaan ia sehari-hari adalah mencangkul di sawah dan membantu
ibunya mencari kayu bakar.

Karena ibu dan ayahnya tidak memiliki warisan dari orang tua mereka dan merekapun
tidak mampu membeli sawah. Jalan satu-satunya yaitu menggarapn sawah milik orang lain.
Hasil padi yang nantinya dihasilkan akan dibagi dua antara pemilik dan penggarap sawah.

Itulah keseharian laki-laki berdarah bugis ini. Meskipun ia tidak bersekolah, tapi itu tidak
menurunkan semangat ia untuk belajar. Ia memiliki tetangga bernama Nurhayati. Kala itu si
Nurhayati duduk di kelas 5 SD, semangatnya untuk mengajari sosok tetangganya bak guru
profesional. Mulai saat itu Kahar pun menghentikan kebiasaan untuk pergi antri menonton da
lebih memilih untuk belajar bersama Nurhayati.

Tak lama kemudian ketika ia berkunjung ke rumah kerabat di kota. Saat sampai disana
ibunya berbincang dengan sang bibi dan kesempatan itu mulai ada. Dimulai saat ia berjalan
di depan teras dan menemukan bungkusan rokok, Satu persatu tulisannya ia eja dan baca “
MUSTANG “. Itulah merek dari rokok tersebut. Tak ia duga disaat membacanya kerabat
ibunya tak sengaja mendengar dan bertanya “ Anak ibu sudah kelas berapa ? “. Tanya
kerabat. Sontak ibunya tertunduk sembari mengatakan bahwa anaknya belum sekolah.
Mendengar pernyataan tersebut si kerabat pun kaget dan berusaha mempengaruhi Ibu Kahar
serta menjelaskan bahwa di zaman sekarang pendidikan itu sangat penting. Mendengar hal
itu, sang ibupun lantaran mencoba menjelaskan bahwa ini bukanlah faktor ketidakmauan
melainkan karena faktor ekonomi dan dilarang oleh sang ayah.

Mendengar pemaparan dari Ibu Kahar, si kerabat pun masuk ke dalam rumah, tak lama
kemudian ia keluar membawa kantong plastik merah dan menyerahkannya kepada Ibu Kahar
sambil berbisik.

Kira-kira dua pekan setelah setelah berkunjung ke rumah kerabatnya. Sekolah-sekolah


mulai membuka penerimaan siswa baru. Namun disaat itu ia tidak pernah bermimpi untuk
masuk sekolah di salah satu SD yang ada di desa sebelah.

Keesokan harinya, tepatnya di Hari Selasa. Sang Ibu membangunkannya subuh-subuh


sekali sebelum adzan berkumandang. Iapun bingung disaat itu karena ini tidak terjadi seperti
biasanya. Dengan langkah pelan,merekapun beranjak keluar rumah dan pergi menuju sumur
yang jaraknya sekitar 50 meter. Ia terus bertanya “ Ibu, kita mau apa? “ Tanya sepanjang
jalan yang tak pernah direspon oleh ibu. Sampai pada akhirnya, ia dimandikan di subuh yang
sunyi itu. Sesampainya di rumah, ia berdiri menggigil di dekat tempat tidurnya. Ayah yang
saat itu tertidur pulas, tidak menyadari keberdaannya di rumah.

Tak lama kemudian, datanglah sang Ibu dan memberikan isyarat” sssstttttt” yang
menandakan ia tidak boleh ribut. Iapun mengambil kantong merah tersebut yang berisi
sebuah seragam putih yang agak kusam. Seragam itupun ia kenakan dengan penuh rasa
bangga dengan ukurannya yang jauh lebih besar dan celana yang resletingnya yang telah
rusak.

Tak hanya itu, ada juga sebuah buku dan sebuah pensil yang mirip seperti tusuk pensil
lolipop. Melihat hal itu saya telah sadar bahwa saya akan sekolah formal. Ibunya pun berkata
“ Agguruki’ wa “. Yang berarti belajarlah sungguh-sungguh. Mendengar hal itu ia pun
menaruh haru dan harapan bahwa ia harus menjadi orang yang berhasil kelak. Ibunya
kemudian memeluknya, seolah itu adalah sebuah harapan, doa dan restu agar ia dapat
menjadi Pattola Palallo ( Orang yang melampaui batas ).

Setelah itu, sang Ibupun menyuruhnya ke sekolah di waktu yang menunjukkan pukul
05.30. Inilah hal yang ia lakukan agar tidak diketahui oleh sang ayah. Dengan menggunakan
saandaal jepit, ia berlari dar rumah menuju sekolah yang jaraknya sekitar 2 Km. Berbekal
dari cerita teman dekatnya yang sudah bersekolah, ia hanya mengetahui sekolah itu berda di
pinggir jalan raya yang jalannya menuju ke arah pasar yang biasa orang tuju.

Ia sangat bersyukur akhirnya dapat bersekolah, namun keceriaan itu tiba berganti rasa
takut tatkala kembali di rumah dan melihat ayahnya yang telah berdiri di depan pintu dengan
wajah memerah serta kayu di tangannya. Ia tidak pernah melihat wajah serupa sebelumnya.
Setelah mendekat di pintu mau tidak mau ia harus merasakan kerasnya pukulan dari sang
Ayah. Mendengarnya menangis San Ibu lalu datang menghampiri dan membela sang anak,
namun naa yang didapatkannya sang ibupun mendapat pukulan juga.

Setelah kejadian tersebut, sang ayah tidak pernah mengajaknya berbicara selama
beberapa hari. Namun meskipun sakit ia tetap berangkat ke sekolah tanpa sarapan, uang jajan.
Dan untuk menutupi hal itu, ia menjual es di sekolah milik guru bahasa daerahnya. Lumayan
jika es habis ia dapat mengantongi uang sejumlah Rp 500.

Kesulitan yang ia alami tak sampai disitu, ia bahkan pernah putus sekolah akibat SPP
yang menunggak selama 2 bulan, iapun akhirnya berhenti sekolah. Terkadang ia mersa ingin
kembali bersekolah untuk belajar, Namun apa daya sudah enam bulan lebih ia tidak masuk
dan pasti biayanya bertambah. Sampai pada suatu hari, tetangganya yang juga temannya
datang membawa kabar gembira bahwa ia kembali dipanggil bersekolah oleh guru agamanya
tak hanya itu, ia akhirnya bisa bersekolah dengan tenag tanpa memikirkan biaya SPP karena
saat itu, terjadi pergantian pemerintahan dari Megawati dan Hamzah Haz ke pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhiyono dan Jusuf Kalla dengan salah satu programnya yakni
pendidikan wajib 9 tahun dan biaya SPP untuk semua sekolah negeri dihapuskan dan biaya
perlengkapan sekolahnya akan dibantu oleh sang guru agama Ibu Hj Anugrah.
Menjelang penamatan, ia tak mampu membayar uang rekreasi sebesar Rp 200.000. Itu
adalah jumlah yang sangat fantastis buat keluarganya. Ibunya tak mampu membantunya
dengan jumlah sebesar itu. Sang ibupun hanya bergantung kepada sang ayah mengenai
keuangan. Sang ayah memiliki uang lebih dari itu, tapi begitulah ia sangat pelit
untukmengeluarkan uang bagi urusan sekolahnya. Bagi ayahnya resiko harus ditanggung
sendiri. Akhirnya iapun tidak kesekolah selama 2 pekan. Karena diancam ijazah tidak akan
diberikan jika tidak membayar uang tersebut, maka ia memilih tinggal di rumah dan mencari
solusinya. Melihatnya seperti demikian selalu murung dan melamun, Sang Ibupun pergi
meminjam uang ke sang nenek tiri, namun hanya Rp 150.000 saja. Ibunya pun tak habis pikir
dengan menjual beras untuk mencukupinya dan akhirnya iapun lulus dari sekolah tersebut.

Setelah tamat dari SMP, kembali ia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk
memasuki jenjang SMA itu biayanya jauh lebih mahal. Ditambah lagi ia harus melewati
kakaknya yang selalu memandangnya sisnis. Bahkan ketika ia mengutarakan niatnya untuk
melanjutkan studinya ke SMA sang kakak malah berkata kotor dan kasar kepadanya.
Sungguh kalimat yang keluar dari mulut sang kakak sangat melukai hatinya dan
menghantuinya akan tidak adanya dukungan dari sang keluarga. Ia pun tertunduk dan
menangis, selama ini hanya ibunyalah yang harus berkorban dan berkorban.

Karena putus asa, hampir saja ia pergi merantau ke Tarakan bersama sang paman untuk
menjadi nelayan disana. Tapi sang ibu melarangnya dan terus memberinya motivasi untuk
tetap bersekolah di jenjang yang lebih tinggi, karena sang ibu tidak ingin Kahar nernasib
sama dengan kakak-kakaknya yang lain.

Harapan itupun mulai nampak tatkala ia selesai mengerjakan UN SMP, meskipun tak
lagi belajar, ia tetap rajin ke sekolah dan membantu guru-gurunya disana atau ikut
membersihkan sekolah. Saat itu, baru saja ia selesai membantu guru olahranya memperbaiki
net voli yang rusak. Sang gurupun bertanya “ Kahar, mau lanjut SMA dimana?”. Ia hanya
menjawab bahwa ia tidak akan bersekolah lagi, melainkan ikut pergi ke tarakan bersama sang
Kakak.

Sang gurupun lantas menyayangkan apa yang dikatakan oleh Kahar dan memberinya
informasi mengenai sekolah berasrama yang di tahun itu membuka pendaftaran siswa baru
untuk angkatan pertama. Namun ia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Bagaimana
mungkin, sekolah negeri yang tidak berasrama saja sudah mahal apalagi sekolah swasta
dengan sistem boarding. Sang gurupun menjelaskan bahwa sekolah itu milik pak Jusuf Kalla
dan memberikan beasiswa full selam 3 tahun. Hingga iapun berpikir untuk menanyakan hak
tersebut kepada sang Ibu. Sang ibuu mennyerahkan sepenuhnya kepada Sang anak,
kaharuddin Ali.

Proses – proses pun ia lalui untuk masuk ke SMA Islam Athirah Boarding School Bone.
Mulai dari kertas formulir yang dibagikan oleh sang guru. Setelah itu, ia pun dipanggil
untuktes tertulis di Toyota Cabang Bone, namun ia terlambat karena tidak memiliki
kendaraan dan harus menunggu sang guru olahraga sampai selesai mengajar. Benar saja,
setelah sampai disana satu dari tiga mata pelajaran telah selesai. Tapi pengawas tetap
memberinya kesempatan dengan syarat waktu tetap berjalan dari dimulainya tes. Setelah
kurang dari 2 jam, ia berhasil menjawab soal tesnya.

Tes wawancara menjadi tes selanjutnya, selang beberapa hari setelah tes akademik di
Toyota. Ia kembali harus ikut tes wawancara yang berlokasi di Jalan Sungai Musi Km ,
Kelurahan Panyula tersebut. Disana ia dites oleh Ibu Sumarni Bekka dan Pak Saharuddin,
dimana soalnya terbilang mudah karena hanya menyakan masalah kondisi ekonomi dan
keluarga serta beberapa pertanyaan untuk cicitanya ke depan.

Beberpa bulan kemudian setelah tes wawancara, datanglah pria bertubuh tinggi
menggunakan motor berwarna merah jenis F1 ZR. Pria tersebut mencari rumah ayah kahar
dengan tujuan untuk mensurvey apakah Kahar layak diberikan beasiswa atau tidak. Setelah
lama berbincang, Pria yang bernama Syamsul bahri tersebut akhirnya pulang. Dan memberi
tahu bahwa pengumuman lulus akan disampaikan melalui SMS.

Ia sempat khawatir karena keterlambatan SMS yang sampai kepadanya berselang kurang
lebih satu jam. Akhirnya SMS pun sampai dan ia resmi menjadi siswa SMA Islam Athirah
Boarding School Bone serta mendapatkan besiswa full selama3 tahun.

Sampai pada akhirnya, ia telah duduk di Kelas XII IPS Al-hadi. Ia pun tersadar bahwa
Athirahlah yang telah mengubah hidupnya. Sang Ayah yang awalnya mencegah untuk
bersekolah kini telah terbuka dan mendukungnya. Satu hal yang tidak pernah ia lupakan
bahwa kita boleh mengingkan ini dan itu, mau menjadi seperti ini dan itu, tapi semua
Allahlah yang menentukannya. Teruslah bersyukur apa yang kita punya hari ini dan
berhentilah mengeluh atas apa yang belum kita miliki. Meskipun seolah perjalanan hidup
mengatakan “ kamu yang orang susah tidak usah sekolah”. Karena kini perlahan tapi pasti, ia
dapat menarik pesan dari segala kepahitan hidup yang membuatnya mengambil makna bahwa
Tuhan mencoba untuk membuat ia menjadi lebih kuat.

Kini, ia telah duduk di sofa pesawat dengan nyaman dan akan terbang menuju Jakarta
bersama direktur Sekolah Islam Athirah untuk menerima beasiswa penuh dari Pemerintah
Turki berkuliah di salah satu universitas terbaik Turki di Istanbul, Selcuk Univesity. Sehingga
tak dapat dipungkiri impiannya pun gencar meluas dan ingin menjadi Duta Besar Indonseia
di Turkiy.

Anda mungkin juga menyukai