Anda di halaman 1dari 4

Nama: Siti Mutia Suryani

NIM: 5171311016
Autobiografi Siti Mutia Suryani

Namaku adalah Siti Mutia Suryani, lahir di Pemalang tepatnya di desa Gombong 19
April 1999. Aku merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Anak dari seorang buruh
pabrik dan pedagang kaki lima. Perawakanku kecil dengan tinggi kurang lebih 155 cm, aku
biasa dipanggil dengan Tia, Mutia atau Mut. Adikku seorang perempuan berusia 11 tahun, dia
kini bersekolah di MI Al-Islamiyah Jakarta dan berencana ingin mondok di pesantren saat
lulus MI nanti. Ayahku bernama Moh. Misja, pria berusia 44 tahun, berdarah Sunda.
Sedangkan ibuku, Koriah, wanita kesayanganku yang berusia 35 tahun itu merupakan seorang
wanita berdarah Jawa.

Sejak umur 4 tahun, aku hidup terpisah dengan orang tuaku. Aku tinggal di desa yang
jauh dari perkotaan bersama dengan Nenek, Kakek dan adik sepupuku. Ayah dan ibuku
merantau ke Jakarta banting tulang untuk bisa menafkahi keluargaku dikarenakan beberapa
faktor. Salah satunya adalah faktor keuangan yang memang saat itu keadaan finansial
keluargaku sedang tidak baik.

Awal pendidikanku dimulai ketika aku berusia 5 tahun disebuah TK Islam, R.A. Al-
Amin namanya. Lalu setahun kemudian, aku beranjak SD, aku didaftarkan oleh Nenek di
SDN 04 Gombong. Sebuah sekolah yang sudah tua dan bangunannya sudah agak keropos dan
bobrok dimakan usia. Masa-masa di SD tidaklah seindah dan sebaik keinginanku. Aku yang
bertubuh kecil terkadang harus mengalah demi teman-temanku yang bertubuh lebih besar.
Keadaan fasilitas sekolah yang buruk juga terkadang membuatku harus berbagi bangku dan
berdesakkan dengan tiga orang (padahal satu bangku biasanya digunakan dua orang), berbagi
buku pun begitu, dan setiap pagi aku selalu berjalan kaki dari rumah ke sekolah sejauh kurang
lebih 2 km.

Tapi hal itu tak membuatku pantang semangat untuk terus belajar, lambat laun aku
mulai merasa jenuh dan bosan. Namun, semua itu berubah saat aku duduk dibangku kelas 4
SD. Saat itu sekolahku kedatangan guru baru, ibu Sunarsih namanya. Beliau adalah orang
pertama yang terang-terangan menegurku saat melihat baju seragam pramukaku kusut dan
lecek karena tidak disetrika, Beliau juga yang menegurku saat aku tidak masuk sekolah
karena alasan yang konyol, capek. Terkesan sepele, namun itulah yang selalu kuingat darinya.
Beliau juga yang memberiku sebuah topi merah SD saat topiku berwarna merah putih
sendirian, Beliau jugalah yang memberiku sebuah rok merah yang kuyakin sekarang sudah
hilang entah kemana. Aku pun menjadi pengangumnya diam-diam dan pernah bermimpi ingin
menjadi guru yang persis seperti dirinya, guru yang sangat memperhatikan muridnya.

Aku si bocah sederhana suka sekali dengan pelajaran IPA. Alhamdulillah, IPA ku
selalu mendapat nilai bagus, bahkan bu Narsih sangat bangga padaku. Aku senang jika Beliau
senang. Namun, aku begitu buruk dipelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika. Aku
memiliki hobi menggambar. Tak ayal, saat saat aku kecil, aku pernah menggambar figur ayah
dan ibuku lalu ditengah-tengah mereka kuberi gambar diriku yang sedang menggandeng
tangan mereka, angan-anganku, hal yang tidak bisa kulakukan saat itu, hal yang sangat
diidam-idamkan untuk bocah sepertiku saat itu. Aku mengirimnya dengan menitipkannya
pada pamanku yang hendak pergi ke kota. Beberapa bulan kemudian saat aku berlibur ke
kota, aku terkejut, ternyata ayah dan ibuku memajang gambarku di dinding kamar kontrakan.
Dadaku bergemuruh senang. Itu adalah hal yang paling berkenang.

Di sekolah, aku selalu dapat peringkat 1,2 dan 3 dikelas. Menjadi kebangaan orang tua
itu berat. Apalagi ketika aku sedang belajar menghitung dengan ibu dan aku tidak bisa
menjawab sebuah soal, maka ayah akan mencubit kakiku hingga membuatku hampir
menangis. Untuk itulah, aku terus berusaha untuk menjadi yang terbaik di sekolah. Hasilnya,
aku sering ditunjuk untuk mengikuti lomba-lomba, seperti lomba cerdas cermat, lomba
melukis dan lomba prestasi. Puncak prestasiku di sekolah dasar adalah saat aku menjadi
peringkat pertama untuk UASBN di sekolah, dengan nilai IPA 9.0, nilai Bahasa Indonesia
8.00, dan Matematika 8.75.

Memasuki jenjang sekolah menengah pertama, aku kembali didaftarkan oleh Nenekku
di SMPN 1 Belik. Padahal sebenarnya aku ingin memasuki Mts yang tak jauh dari desaku.
Namun aku diam saat Nenek mencoba merayuku agar aku bersekolah disana. Setelah lolos
dan menjadi siswi di SMP itu, aku tidaklah terlalu menonjol, semakin beranjak remaja aku
justru semakin pendiam. Namun aku masih aktif mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, seperti
Pramuka dan PKS (Polisi Keamanan Sekolah). Tak lupa, aku juga mengikuti beberapa kali
lomba, salah satunya adalah lomba Qira’ah yang mengantarkanku menjadi juara satu. Hobi
menggambarku pun mulai kuasah. Apalagi saat aku juga hobi menonton kartun, terlebih
anime (kartun yang berasal dari Jepang). Mulai saat itu, mimpiku bertambah, menjadi
pembuat kartun. Aku berencana memasuki jurusan Desain Komunikasi Visual saat kuliah.

Lalu menginjak tahun 2014, aku memilih pindah ke kota (Jakarta) menyusul ayah dan
ibu karena tak kuasa menahan rindu. Meninggalkan Nenek dan Kakek dalam bisu. Hatiku pun
sedikit pilu dan ngilu. Aku melanjutkan SMA disana, dan ibu menyarankanku untuk
mendaftar di MAN 16 Jakarta. Selama tiga tahun aku hidup di hiruk pikuknya Ibu kota milik
negara Indonesia itu. Panas dan penuh polusi. Aku disana tidaklah terlalu menutup diri seperti
saat masa SMP atau menjadi bocah yang selalu mengalah saat SD. Aku sudah mulai berani
menunjukan diriku yang berani dan supel. Akhirnya, disana aku memiliki banyak teman yang
kuidam-idamkan sejak kecil. Meski sudah dilarang, aku mengikuti banyak ekstrakulikuler,
seperti English Club, Karya Ilmiah Remaja, Fisika Club dan Paduan Suara. Beberapa kali
juga aku diikutkan dalam lomba, misalnya saja lomba News Anchor, lalu ada juga lomba
membuat membuat karya ilmiah.

Tahun kedua di MAN, klub paduan suara di sekolahku itu mendapat undangan dari
HIPMIKINDO untuk tampil dan mengisi acara. Kami berminggu-minggu latihan dan
menahan dahaga akan minyak goreng. Pada akhirnya usaha tidak akan mengecewakan hasil.
Kami mendapat apresiasi besar dari pimpinan HIPMIKINDO. Itu sangat membanggakan dan
menjadi oengalaman yang menarik. Lalu ada juga acara Lego (robotic) yang dilaksanakan di
USBI sebagai salah satu kegiatan dari Fisika Club. Disana aku sangat bersyukur karena
pandai merangkai, aku pun bisa merangkai beberapa komponen robot dan menjalankannya
sendiri tanpa intruksi. Aku ini orang yang mudah belajar jika aku suka, sebab aku sangat
menyukai teknologi, namun tidak dengan teori, aku bisa melakukannya tanpa diajari.

Menurutku, pengalaman sekolah di MAN adalah pengalaman sekolah yang paling


berkesan. Dimana disana akupun memiliki guru yang juga menjadi inspirasiku. Yaitu Mr.
Arul. Seorang guru Bahasa Inggris yang nyasar menjadi guru Seni Budaya untuk kelas 3. Dia
adalah guru yang friendly, tegas, lucu dan juga disiplin. Bakatnya dimana-mana, mulai dari
bermain musik, bernyanyi, berbahasa, teknisi sekolah, dan lain sebagainya. Aku diam-diam
pun menjadi pengagumnya, aku ingin menjadi guru yang serba bisa seperti Mr. Arul. Suatu
ketika, aku dan teman-temanku dihadapkan dengan Ujian Praktek Seni Budaya, dimana kami
harus menampilkan sebuah pertunjukan seni. Kami pun digembleng, benar-benar ditekan
emosinya, diancam nilai nol jika gagal, kami tidak tahu jika hal itu dilakukan agar kami bisa
menampilkan karya yang terbaik. Kami berlatih hingga larut malam. Harus berani dengan
lampu-lampu temaram. Namun semakin loyo ketika semangat padam. Saat penampilan, kami
tidak tahu akan hasilnya. Akan tetapi Mr. Arul selalu memberi nilai plus pada kami apapun
hasilnya. Dia benar-benar tahu bagaimana cara agar kami tidak down saat melihat hasil
pertunjukan gagal atau tidak memuaskan.

Lalu ditahun 2017 aku lulus dan harus meninggalkan MAN tercinta. Pendaftaran
kuliah untuk maba dibuka dimana-mana. Aku sudah mengikuti pendaftaran jalur rapot,
beberapa tes bersama atau mandiri. Tapi nasibku ternyata tidak berada di PTN. Akhirnya aku
melakukan tes di kampus swasta dan lolos untuk jurusan yang kuinginkan, DKV. Tapi,
namanya juga Jakarta. Kota padat dengan biaya hidup menguras dompet. Biaya untuk masuk
dikampus itu sangatlah mahal, hingga aku memutuskan untuk mencari alternatif lain daripada
menyusahkan ayah dan ibu atau menjadi pengangguran. Aku mencoba memasuki Balai
Pelatihan Kerja (BLK), namun lagi-lagi aku gagal masuk tes, aku menjadi pengangguran
selama beberapa minggu memikirkan nasibku. Bagai hidayah, aku tak sengaja membuka
sebuah situs kampus di Jogja yang pernah diberikan sepupuku. Ada sebuah beasiswa
penerimaan mahasiswa baru menggunakan jalur rapot, iseng-iseng aku mengikuti jalur itu dan
akhirnya lolos. Ibu bangga, ayah bangga, aku tersenyum bangga. Aku pun akhirnya menjadi
mahasiswa jurusan Pendidikan TI dan mengharuskan aku untuk tinggal di Jogja.

Sedih rasa karena harus meninggalkan keluarga, namun aku harus tetap melihat
kedepan dimana impianku terkatung-katung. Di Jogja aku tinggal dengan menyewa sebuah
kamar kost, isinya cukup untuk membuatku tinggal sendiri. Saat ini aku masih menjadi
mahasiswa baru yang masih harus banyak belajar beradaptasi, menekan kesedihan karena
berpisah dengan orang terkasih, tanpa orang tua, tanpa teman, tanpa keluarga. Aku tidak
pernah menghilangkan rasa kesedihan dan frustasi itu, terkadang rasa frustasi bisa
membangkitkan sebuah motivasi dan kekuatan tersendiri untuk menjadi kuat. Manfaatkan
rasa itu dan gapai mimpi lalu pulang.

Sebenarnya, menjadi guru bukanlah suatu hal yang sangat kudambakan, namun
melihat kota Jogja saja yang katanya disebut sebagai kota pelajar masih memiliki banyak
orang-orang terbelakang membuat mataku terbuka dan memikirkan sebuah pertanyaan,
“kenapa masih banyak orang seperti itu?” puncak rasa penasaranku adalah dimana aku
melihat seorang anak kecil yang kurus kering menjual sekeranjang kue di warung-warung
makan saat aku sedang beristirahat disana. Aku sungguh kasihan melihatnya, aku ingin
membantunya, namun dengan apa? Kenapa dia seperti itu?

Lalu pemikiran itu timbul, “aku ingin mencerdaskan kehidupan bangsa”. Aku harus
selalu mengingat pesan-pesan ayah, ibu, nenek, kakek dan segenap keluarga untuk selalu
belajar dengan tekun dan selalu berdoa pada Allah agar diberikan kelancaran. Maka, doaku
saat ini adalah, biarkan aku menjadi seseorang yang akan mencerdaskan bangsa ini, meski aku
tidaklah cerdas, biarkan aku yang bertanggung jawab untuk anak muda yang akan datang,
meski aku seorang pengecut, biarkan aku membanggakan ayah dan ibu, meski nyatanya aku
tidak bisa dibanggakan. Hanya satu impianku, yaitu menjadi apa yang kudambakan, lalu
menjadikannya panutan, dan memastikannya untuk kembali menjadi impian. Aku akan
menyebutnya siklus impian.

Anda mungkin juga menyukai