Anda di halaman 1dari 8

KONTRIBUSIKU SEBAGAI GENERASI UNGGUL UNTUK MEWUJUDKAN

INDONESIA MAJU 2045

Essay ini saya buat sebagai persembahan saya untuk mengikuti program Bea siswa
Unggulan Kemdikbud tahun ajaran 2021/2022.

Perkenalkan nama saya Marwah Afifah Tanjung. Saya adalah anak kedua dari
empat bersaudara. Kami tinggal di desa simpang empat , Kecamatan Marbau,
Kabupaten Labura, Provinsi Sumatera Utara. Ayah bekerja sebagai penyuluh agama di
KUA dan ibu mengajar di SMK S Al Washliyah Marbau. Menurut mereka, pada zaman
mereka, sulit sekali untuk kuliah, karena memang keterbatasan biaya, jadi mereka
duluan bekerja/mengajar baru kuliah sambil mengajar.
Jadi pada kondisi saya saat ini, bisa kuliah di FKIP PGSD UNIMED adalah
suatu pertolongan ALLAH yang luar biasa patut disyukuri. Bagaimana tidak, dari 500
orang yang lulus berasal dari 3000 orang pendaftar di jurusan itu saya terpilih di
dalamnya. Saya masuk melalui jalur SNMPTN. Belum lagi bila dibandingkan kedua
orang tua, tamat SLTA tidak bisa langsung kuliah, tapi harus mencari kerja. Begitu
bekerja, baru bisa kuliah sambil mengajar.
Saya menyadari sepenuhnya betapa berat tanggung jawab dan beban mereka
terhadap kami terutama dari segi biaya dan ekonomi. Mereka harus membiayai 3 orang
yang semuanya menuntut ilmu di Medan, ibukota Provinsi. Saya dan abang, yang saat
ini sama- sama kuliah di PTN, dan adik saya di ponpes RH. Sedang adik saya yang
bungsu masih sekolah SD di di desa kami.
Perjalanan dari desa ke Medan memakan waktu sekitar 6 jam kalau naik kereta
api, bisa sampai 9 jam kalau naik bus atau angkutan lainnya . Selanjutnya, naik grab,
adalah akomodasi akhir untuk sampai ke tempat tujuan. Bisa dibayangkan betapa
panjangnya rute perjalanannya , dan biaya yang dikeluarkan orang tua kami , jika mau
datang menjenguk walau hanya sekejab, sekedar melepas kerinduan kepada buah
hatinya yang sedang menuntut ilmu di kota besar. Karena mereka juga dikejar tanggung
jawab untuk bekerja/mengajar keesokan harinya.
Setiap bulan mereka harus mengirimi uang belanja kami, SPP/UKT, paket data,
listrik, kos,jajan,transport atau sekedar biaya ngeprint/ fotocopy untuk bahan presentasi.
Semuanya bergantung pada orang tua. Bukannya tidak ada keinginan untuk membantu

1
mereka, misalnya dengan bekerja , namun jam masuk/ belajar di PTN tidak
memungkinkan untuk bisa kerja sambilan kuliah / part time layaknya kuliah di
perguruan tinggi swasta.
Makanya , sebagai ikhtiar maksimal meringankan beban orang tua, saya
mengajukan essay ini, kiranya apa - apa yang saya tuliskan ini benar-benar membawa
hasil. Pokoknya ibu dan ayah adalah motivasi utama saya . Mereka lah guru pertama
saya, di saat saya mulai mengenal benda lain di dunia ini.Walaupun saya tidak pernah
mengenyam pendidikan di Pesantren, namun , sebagaimana syariat ajaran agama islam
yang saya yakini, bahwa “Ridho ALLAH terletak pada Ridho orang tua,” akan saya
junjung tinggi sampai akhir hayat saya, Insyaallah.

Mengambil jurusan FKIP PGSD merupakan mutlak keinginan saya sendiri.


Lahir dari kalangan keluarga besar yang hampir semua berbasis pendidik dan pengajar,
menjadikan nilai “guru” sebagai sosok yang punya nilai estetika lebih dan sangat
istimewa bagi saya. Entah itu bakat dari genetika atau apa pun itu, yang jelas, saya suka
jadi guru. Guru adalah renjana saya.
Pendidikan saya sejak TK, SD, MTs, bahkan MA saya jalani dengan lancar,
bahkan bisa digolongkan berprestasi, karena ranking 1 hampir selalu saya dapatkan,
sesekali rangking 2.Paling rendah rangking 3. Walau pun orang tua terutama ibu selalu
mengingatkan , kesuksesan seseorang tidak hanya diukur dari goresan angka-angka
tinggi dari selembar buku laporan pendidikan. Seolah mereka berpesan agar kami,
anak-anaknya, untuk memenuhi diri dengan berbagai pengetahuan dan kemampuan,
jangan sampai waktu terbuang percuma. Hal itulah yang selalu ditanamkan dan
dibiasakan kepada kami semua, anak-anaknya.

Saat di TK, banyak perlombaan yang saya menangkan, mulai dari puisi, cerdas
cermat,pidato, nasyid anak-anak, hafalan ayat pendek, bahkan sampai fashion show.
Hingga untuk kesekian kalinya, saat mengajar les sore di sekolah, ibu mengajak saya
ikut ke sekolahnya . Dari balik pintu kelas, saya perhatikan ia mengajar. Luwes, jelas,
sesekali terlihat para siswa tertawa, kemudian angkat tangan, bicara, kemudian teman-
teman lainnya tepuk tangan juga sambil bersorai, berganti dengan siswa/i lainnya. Saat
itu, saya tidak tahu, mereka ngapain, tapi yang ada dalam fikiran saya , mengajar itu

2
nikmat, walaupun siswa-siswa yang saya lihat itu adalah siswa/i SMK, level kakak dan
abang.
Berlanjut ke pendidikan SD, yang letaknya dekat ke rumah saya. Jadwal
masuknya jam 7.30 wib sampai 12.30 wib. Pulang dari sekolah pagi (SD), sorenya
sekitar jam 14.30 wib sampai 17.00 wib saya juga sekolah sore (MDA). Atau sering
dibilang sekolah Arab.Jadi waktu tanpa aktivitas terjadwal saya adalah saat sesudah
pulang sekolah sore saja, habis shalat ashar.Karena pada jam 18.30, shalat magrib, lalu
pergi mengaji ke rumah guru mengaji sampai shalat isya. Lalu pulang, makan malam
dan belajar sama ibu sebagai persiapan untuk keesokan harinya.
Namun demikian di masa SD ini pula, saya mendapatkan pengalaman pahit,
yang takkan mungkin bisa saya lupakan sampai kapan pun. Hal ini saya ungkapkan,
tanpa bermaksud menyalahkan guru-guru SD saya. Karena walau bagaimanapun ,
mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, mungkin dengan pengalaman ini, bisa jadi
pengalaman berharga , agar kelak ketika saya jadi guru bisa memperbaiki lebih baik
lagi.
Sejak di kelas I, saya berteman akrab dengan 3 orang lainnya, yakni Rika,
Lijah, dan Diyah. Hingga pada saat bagi rapor di kelas II semester I. Saya sudah siap-
siap berbaris dengan teman-teman di lapangan, karena biasanya siswa yang mendapat
rangking 3 besar akan dipanggil berbaris di depan seluruh siswa lainnya. Sekian lama
saya menunggu, namun sampai akhir acara nama saya tidak terpanggil sama sekali
dalam kategori siswa berprestasi. Bahkan dalam peringkat 10 besar sekali pun saat di
kelas, juga tidak ada. Padahal dua semester sebelumnya, rangking satu selalu di tangan.
Akhirnya, Saya dapati di rapor tertera rangking 17. Lesu, sedih,kecewa karena ini tidak
pernah saya alami sebelumnya. Apalagi orang tua dan keluarga, hal ini jadi bahan
pertanyaan inti saat itu. Menanggapi hal tersebut, saya jelaskan kepada mereka,saya
sudah berusaha, mungkin ada yang lebih baik dari saya. Dan orang tua pun
memakluminya, namun tetap memotivasi agar semakin rajin belajarnya di semester-
semester mendatang
Hari pertama masuk sekolah setelah habis libur semester, belajar kembali dan
bertemu dengan sahabat-sahabat lainnya.Tidak ada yang aneh,kami bertiga tetap
berkawan akrab seperti biasa. Namun pada hari itu, sepulang dari sekolah, pada hari itu,
ibu dan ayah mengajak saya ke kamar . Lalu mereka menyampaikan ke saya, bahwa

3
mereka sering kehilangan uang dari dompet. Selanjutnya, ibu menanya kembali ke pada
saya, apakah saya ada mengambilnya.Saya diam, lama sekali, ketika tiba-tiba, ibu
kembali menanyakan hal yang sama. Saat itu, saya diam dalam ketakutan, sambil
menangis sesenggukan, lalu mengakui bahwa saya lah yang mengambil uang-uang yang
hilang tersebut. Saya pasrah dan bersedia dengan rela kalau mau dihukum, sebagai
bentuk tanggung jawab saya. Karena saya tahu itu salah, apapun alasannya. Tidak
pernah ada pembenaran dalam mencuri karena mengambil hak orang lain tanpa seizin
yang punya.
Hal tak terduga terjadi. Alih-alih menghukum, ibu saya hanya menanyai saya
alasan saya melakukannya. Tanpa tahu bersilat lidah, jawaban polos langsung saya
katakan bahwa saya mencuri karena disuruh oleh diyah. Dia selalu bilang ke kami;
saya,Rika dan Liza, kalau kami tidak mengambil uang orang tua kami dan memberikan
kepadanya, maka orang tua kami akan celaka dan meninggal dunia. Mendengar
ucapannya itu, kami langsung mengerjakan apa yang dibilangnya.Pikiran kami saat itu,
kami tidak ingin kehilangan ibu dan ayah. Sambil menangis, saya katakan saya sayang
ibu dan ayah. Saya tidak ingin ibu dan ayah meninggal, maka saya mencuri uang dan
memberikannya kepada dia. Saya meminta maaf kepada ibu dan ayah. Ibu segera
memeluk saya, seolah memahami maksud saya itu juga tanpa bisa menahan air
matanya. Ternyata berita ini sudah diketahui oleh orang tua liza dan rika sebelumnya,
maka ibu dan ayah saya segera mengonfirmasinya kepada saya.
Sedikit lega, rasanya beban yang selama dipendam, akhirnya diketahui ibu dan
ayah. Selanjutnya, saya juga bercerita bahwa Diyah juga mengancam kami, kalau saat
koreksi ujian semester, lembar jawaban dia harus dibenarkan seluruhnya, sementara
lembar jawaban kami harus disalah-salahkan.Seolah sosok Diyah ini tahu, apa yang
akan dilakukan oleh bu guru di kelas II saat itu, kalau habis ujian, pasti siswanya yang
disuruh mengoreksi lembar jawaban.Dan hasil koreksi itu langsung diproses tanpa
dianalisa kembali oleh bu guru.
Terbongkarnya kasus ini dilaporkan ke pihak sekolah oleh orang tua Liza dan
Rika. Dan keesokan harinya Diyah di sidang di hadapan seluruh guru di SD kami untuk
mengonfirmasi kebenarannya, baik kejahatan yang berhubungan dengan uang
maupun, urusan nilai. Tanpa bantahan sedikit pun, ia mengakui perbuatannya. Akhirnya
diputuskan dia harus meminta maaf kepada saya, Rika dan Liza. Dan orang tuanya

4
bersedia mengganti.Dan mengenai nilai rapor, setelah diperiksa kembali hasil
pembelajaran selama satu semester oleh bu guru, maka diadakan revisi nilai secara
total. Akhirnya, di rapor tertera saya ranking 3 saat itu. Pihak sekolah dalam hal ini,
wali kelas, memohon maaf atas kejadian ini dan menjelaskan walau saat itu rangking
saya sudah direvisi menjadi ranking 3, namun bingkisan hadiah yang sudah diterima
oleh rangking tiga sebelumnya tidak mungkin, diambil lagi dari orang lain. Dengan
besar hati, saya mengikhlaskannya dan tidak akan mempermasalahkannya. Sejak itu
rangkingku kembali naik.
Sebagai lanjutan dari SD, saya masuk ke MTs di kecamatan Marbau. Tentu
persaingan lebih meningkat dibanding saat di SD. Namun, hal itu tidak menyurutkan
prestasi saya. Selama 6 semester menjalani pendidikan di sana, selalu mendapat
Ranking satu. Bahkan di kelas II dan III saya mendapatkan bea siswa bebas SPP karena
juara umum. Saat pembelajaran, terkadang bu guru menyuruh saya menyampaikan
kesimpulan dengan bahasa saya sendiri agar teman-teman lebih memahami materi ajar.
Bahkan sebagian teman-teman datang ke rumah cuma mau menanyakan tentang materi
di sekolah yang tidak dipahami.Bagi saya, ilmu yang disampaikan ke orang lain, tidak
akan mengurangi ilmu kita, bahkan menjadi keberkahan.
Saat di bangku MTs pula saya berhasil memenangkan perlombaan baik atas
nama pribadi maupun tim pada tingkat Kabupaten. Diantaranya lomba pidato Bahasa
Arab, Syahril Qur’an dan Nasyid. Saya mengundurkan diri dari tim saat pengajuan
untuk maju ke Tingkat Provinsi Sumatera Utara, karena jadwal latihannya bersamaan
dengan jadwal Ujian Nasional saat itu.Selesai UN, sambil menunggu pengumuman
kelulusan, saya dan abang mengikuti Kursus komputer . Saat aktivitas kosong, saya
belajar menjahit di rumah bersama ibu. Ya, walaupun belum bisa menjahit sebuah gaun,
setidaknya saya sudah bisa menempel baju atau kain yang masih layak dipakai, agar
tidak terbuang begitu saja karena koyak atau lepas jahitan.
Melihat perkembangan prestasi saya, ternyata ibu dan ayah mengarahkan saya
agar saya melanjutkan pendidikan di Medan. Tentu syarat utama SLTA yang jadi
pilihan saya dan orang tua adalah harus berasrama, agar mereka pun bisa tenang
melepas saya belajar. Maka jadilah saya melanjutkan pendidikan di MAN 2 Model
Medan, setelah saya dinyatakan lulus mengikuti beberapa tahapan tes masuk di sana.
Kalau cakupan persaingan para siwa di MTs dominan pada perbedaan desanya, maka di

5
MAN 2 Model Medan tidak demikian halnya. Mayoritas peserta didiknya, adalah
siswa/i dari kota medan itu sendiri,bahkan provinsi-provinsi lainnya di indonesia ,tentu
teknologi, gadget sudah menjadi makanan mereka sehari-hari.Awalnya, rasa minder itu
ada, minder karena saya berasal dari sekolah di kampung, jauh dari kelengkapan
fasilitas sarana dan prasarana, belum lagi perbedaan strata ekonomi yang nampak
mencolok antara saya dengan kawan-kawan baru saya ini yang multi suku, etnis, dan
bahasa.Sekali lagi hal itu bisa teratasi dengan lancar, terbukti saya kembali bisa
berprestasi Rangking satu dan dua hampir selalu ku terima saat pengumuman hasil
rapor. Walau hanya selembar piagam penghargaan yang menyertai pembagian rapor
itu, setidaknya menjadi kebanggan tersendiri bagi saya dan keluarga saya, bahwa
pendidikan di desa tidak ketinggalan dengan pendidikan di kota besar. Tiga tahun saya
jalani di sana, masuk jam 07.30 wib sampai 16.45 wib setiap hari. Kegiatan Life skill,
dan Ekstra kurikuler,merupakan makanan wajib bagi seluruh siswanya.
Dari MAN 2 Model Medan inilah, langkah selanjutnya saya pijakkan, yakni
kuliah di FKIP PGSD Unimed. Sebagai mahasiswa baru, tentu saya sudah harus bisa
beradaptasi dan bertransformasi dengan perubahan sistem belajar dari yang sudah saya
jalani sebelumnya. Menjadi guru memang sudah emnjadi renjana saya, namun
pendidikan di SD jadi pilihan saya karena pengalaman pahit yang pernah saya alami,
bisa menjadi tolak ukur bagi saya. Saya adalah objek yang langsung menghadapi
pembelajaran itu. Kalau saya pada posisi guru, apa yang harus saya lakukan? Apa yang
harus saya perbaiki? Bagaimana kondisi kejiwaan siswa usia SD ? Bagaimana siswa
usia SD menghadapi permasalahan-permasalahannya ?Apa akibat dari kekerasan yang
pernah dialami? Bagaimana cara guru mentransfer ilmu kepada siswa/i usia SD agar
diminati dan menarik perhatian mereka? Bagaimana memasukkan misi-misi kita ke
siswa? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang terbersit di fikiran saya tentang
pendidikan Sekolah Dasar ini. Mengapa? Karena saya pernah mengalaminya sendiri.
Sesuai dengan judul pada Essay saya ini yaitu kontribusi generasi unggul untuk
mewujudkan Indonesia Maju 2045 , saya merasa terpanggil menyahutinya. Sejak
diproklamirkannya Indonesia merdeka pada tahun 1945, hingga kini tahun 2022, berarti
sudah 77 tahun, sudah banyak perbedaan dan perubahan yang dilakukan anak negeri
dalam berbagai bidang.Kalau dulu, di awal kemerdekaan, yang bisa mengenyam
pendidikan terbatas pada kalangan-kalangan bangsawan, maka coba perhatikan saat ini,

6
pendidikan sudah bisa diakses oleh semua warga negara Indonesia secara daring. Di
bidang kebutuhan lainnya, dulu, sepeda sudah menjadi barang mewah, sekarang, kulkas,
mesin cuci, sepeda motor dan mobil pun sudah menjadi barang biasa saja.
Pembangunan dulu dengan sekarang, bisa kita lihat sendiri, penuh sesak.Dulu mau
makan, harus memasak sendiri, sekarang tinggal klik, pesanan datang. Semua fasilitas
dan kemudahan ini sudah kita rasakan saat ini, 2022, di saat Indonesia baru menginjak
usia 77 tahun.

Konon lagi, kita berbicara ketika Indonesia sudah masuk ke periode emasnya di
2045, tepat satu abad. Masyaallah.....Berkah Indonesia merdeka. Jayalah Negeriku
menjadi Negara Maju. Bisa kita pastikan akan banyak perubahan-perubahan signifikan
dalam berbagai bidang kehidupan sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan Teknologi. Kondisi ini bukan hanya membawa nilai positif,
pada kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ibarat uang
logam, yang punya dua sisi berbeda yang menyertainya. Contoh dengan penggunaan HP
yang akses ke internet , kita bisa berkomunikasi tanpa harus bertemu, tanpa harus
menjalani perjalanan panjang,hemat waktu dan biaya. Semua informasi bebas, bahkan
hard skill otodidak pun bisa dikuasai, hanya dengan mengakses internet. Namun tanpa
kita sadari, hal itu pula, yang menjadi pemicu menjauhkan kita dari sesama anggota
keluarga. Berada saling berdekatan namun tidak bercakapan, karena yang diakses
berbeda.Betapa banyak hal-hal nyata terjadi di sekitar kita sebagai dampak negatif nya.
Mulai dari kesenjangan sosial di masyarakat, radiasinya bagi tubuh, pelecehan seksual,
pencurian uang, bahkan penyalah gunaan data yang kesemuanya bersumber dari
kebebasan mengaksesnya. Apakah HP dalam hal ini yang patut dipersalahkan?
Jawabannya tidak. HP dan internet itu hanya objek, yang menentukannya adalah sumber
daya manusianya.Baik buruknya teknologi tergantung kepada kualitas sumber daya
manusianya. kualitas sumber daya manusia yang baik akan memiliki karakter yang baik
pula. Dan karakter baik setiap individu hanya bisa dirubah melalui pendidikan. Melalui
pendidikan seseorang akan belajar berbagai macam ilmu pengetahuan seperti
pengetahuan kognitif, psikomotor, etika, pola pikir, kemampuan analisis informasi dan
sebagainya. Ilmu-ilmu inilah yang menjadi potensi positif , menghasilkan regenerasi
manusia dengan kemampuan berfikir kritis, kreatif serta berdaya saing global. Generasi

7
yang bukan hanya berkompeten dalam teori, namun kritis dan siap dalam kondisi nyata
dalam menyikapi tantangan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai