Anda di halaman 1dari 8

PROFIL PENULIS

Novita Winarni, putri dari Yusak Sugianto (alm) dan Supatmi, tempat
lahir metro lampung tanggal 9 november 1977. Menghabiskan masa
kecilnya di kota kecil metro. Mengenyam pendidikan SD
Muhammadiyah 1 Metro, SMP Negeri 2 Metro, SMA Negeri 1 Metro,
dan S1 FMIPA Biologi Unila. Terjerumus ke dalam dunia pendidikan
awalnya keterpaksaan karena salah satu pekerjaan yang waktunya
fleksibel agar bisa merawat ibu tiri yg sakit parah yg sudah
membesarkan dengan kasing sayang. Semakin lama muncul perasaan cinta terhadap pendidikan
dan ada rasa puas melihat anak didiknya sukses akhirnya penulis mengambil AKTA IV di FKIP
Unila. Tahun 2006 penulis bergabung di Nurul Fikri BS Anyer, 4 tahun lebih mengabdi di NF
banyak pengalaman yang penulis rasakan seperti menjadi pendamping OSN tingkat nasional,
pelatihan pembimbing OSN jakarta, banten dan Jawa Barat, pembimbing LKIR, pembimbing
IJSO, pembimbing Pelajar Teladan dan banyak siswa yang dibimbingnya mengukir prestasi yg
membanggakan. Menikah dengan Supriadi dan memiliki tiga orang buah hati yaitu Aznii Faizah
Rafifah, Lazuardi Riyadh Imanuddin, dan Niyaz Abdi Bageur. Ini adalah kali keduanya penulis
mecoba menuangkan pengalamannya ke dalam sebuah tulisan semoga bisa menjadi cambuk agar
bisa berkarya melalui tulisan tulisan berikutnya yang lebih inspiratif
SEBERKAS ASA DI UJUNG SENJA

Aku berusaha berlari sekuat tenaga tanpa menghiraukan kakiku yang melepuh bergesekan
dengan aspal jalanan dikarenakan alas sepatuku yang sudah koyak. Walaupun udara tidak panas
karena matahari perlahan mulai menghilang tertutup awan dan banyaknya pepohonan di kampus
hijau ini. Sesampainya di depan sebuah gedung terlihat tenda mulai dibongkar, dengan tersenggal
senggal aku menuju loket yang hampir separuh ditutup. “Maaf dek udah tutup” kata petugas loket,
setengah menangis aku memohon “ jangan tutup dulu pak, saya telat karena baru dapat uangnya
dan rumah saya dari kampus lumayan jauh harus naik bus 1 jam”. Petugas itu terdiam seperti
berusaha menyimak semua perkataanku. Dengan wajah memelas dan mulut komat kamit membaca
doa menunggu jawaban darinya. “baiklah dek mungkin ini sudah rizki kamu” akhirnya kata kata
yang membuatku seperti menemukan air di gurun sahara. “terima kasih pak smoga Allah
membalas kebaikan bapak”

Dengan sumringah aku berjalan meninggalkan tempat itu, hilang lah rasa letih saat berlari
tadi dan tak terasa pedihnya kaki yang lecet dan memerah. Terbayang wajah mamakku yang
dengan lembutnya bilang “ ta, Alhamdulillah mamak dapat uang untuk bayar daftar ulang
kuliahmu”. Aku terima uang itu dengan hati berbungah, hanya setelah aku hitung jumlah uangnya
sangat ngepas yaitu 550 ribu, padahal menuju kampus yang ingin aku datangi harus naik bus dan
butuh ongkos busnya. Tapi berusaha tersenyum karena aku tidak ingin membuat mamak jadi sedih.
Ketika aku lulus SMA mamak sebenarnya sudah bilang bahwa beliau tidak sanggup untuk
membiayai pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi dan beliau memintaku untuk mencari
pekerjaan saja. Apalagi adik laki lakiku juga masih membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit.
Tapi aku berpikir kenapa aku tidak mencoba ikut tes masuk universitas dulu toh belum tentu
ketrima. Alhamdulillah dengan biaya ke tanjung karang untuk tes patungan dari temen temen dan
di tanjung karang ditrima dengan hangat oleh kakak kakak akhwat alumni SMA kami, pengalaman
ini membuat aku merasakan indahnya ukhuwah. Aku melaksanakan ujian dengan berbekal pensil
sebesar telunjuk dan alasnya menggunakan kaca rautan karena memang hanya itulah yang aku
punya. Setelah beberapa minggu ujian peserta bisa melihat hasilnya di surat kabar. Saat itu aku
tidak mau berharap banyak, sekitar jam 10 teman temanku ke rumah dengan membawa surat
kabarnya dan mengabarkan bahwa aku ketrima di Fakultas MIPA Unila. Aku hanya bisa terdiam,
ada hal yang berkecamuk dalam hati dan pikiranku. Tidak ada kesinkronan antara hati dan pikiran,
hatiku berteriak kegirangan sedangkan pikiranku kalut bagaimana kelanjutannya. Mamak
menatapku seakan memiliki rasa yang sama, antara rasa bangga anaknya bisa mengalahkan sekian
banyak pesaing dan rasa bingung mencari biayanya darimana. Segera aku tersentak dan mulai
berdamai dengan semuanya lalu aku berusaha mensingkronkan antara hati dan pikiran. Kudekati
mamak dan dengan tersenyum kupeluk tubuh tuanya “ Mak, jangan bingung ya Ita gak akan ambil
kuliah itu walaupun Ita lulus, Ita cuma mau membuktikan bahwa Ita punya kemampuan yang sama
dengan temen temen” tanpa sadar air mata jatuh luruh di pipiku. Mamak hanya diam aja dan
akhirnya mamak berkata “ maafin Mamak ya gak bisa mewujudkan mimpi kamu”. Makin erat
kupeluk beliau “gak apa apa mak, Ita gak mau mamak sedih dan susah, gak usah dipikirin” dengan
suara bergetar menguatkan hatiku. Aku baca namaku di surat kabar, aku gunting dan kusimpan
untuk kenangan bahwa aku pernah mencoba. Teman teman yang tadinya terhanyut melihat drama
di depan mereka segera memelukku dan menguatkanku, sekilas ku lihat ada mata nanar
memandang kami dari arah dapur, mata tua mamakku. Waktu daftar ulang satu bulan setelah
pengumumam, aku berusaha cari kerja sana sini dan sekaligus berusaha mengubur mimpiku dalam
dalam dan tidak ada harapan untuk bisa kuliah. Ternyata Allah berkehandak lain, di antara
kepasrahanku akan takdirNya dan di antara tatapan nanar mata tua mamakku yang ingin memenuhi
keinginan anak perempuannya, hari terakhir daftar ulang mamak memberikanku sejumlah uang
untuk daftar ulang. Uang yang jumlahnya pas gak berlebih sama sekali. Sekali lagi kekuatan
ukhuwah kurasakan, teman teman ngajiku mengulurkan bantuannya, melalui tangan tangan itulah
aku bisa sampai di kampus hijau untuk daftar ulang. Terima kasih teman teman tersayang smoga
Allah mencatatnya sebagai amal jariah kalian.

Mamak wanita tua yang buta huruf, wanita tua yang selalu hangat kepada siapapun bahkan
kepada hewan sekalipun, wanita tua yang darinya lah aku belajar keikhlasan belajar tentang
semangat berjuang dan belajar tentang kesabaran. Sebenarnya beliau bukan ibu kandungku, beliau
adalah ibu tiriku, istri pertama bapakku. Ibu kandungku adalah istri kedua bapakku, dari rahimnya
lah lahir aku dan adik laki lakiku. Ibu kandungku masih sangat muda, aku lahir saat beliau masih
berusia 13 tahun, dimana sebelumnya beliau adalah anak angkat mamak dan bapakku. Karena
mamak ingin punya anak kecil makanya mamak menikahkan bapakku dengan ibu kandungku.
Mamakku sebenarnya punya anak satu perempuan hanya sudah menikah dan tinggal jauh darinya.
Mamak, Bapak, dan Ibu kandungku merantau ke Lampung sekitar tahun 1976, mereka tidak punya
gambaran akan tinggal dimana dan akan bagaimana kehidupan kedepannya. Mereka hanya punya
harapan akan ada kehidupan yang lebih baik di negeri orang. Bersyukurnya saat di kapal laut yang
pada saat itu penyebrangan lewat pelabuhan Tanjung Priok ke Panjang Lampung, mereka bertemu
dengan seseorang yang bernama Bu Jahet yang sangat baik menawarkan tumpangan di rumahnya,
sampai mereka bisa punya uang untuk mengontrak rumah. Sampailah mereka di kota Metro
Lampung dan numpang tinggal dengan Bu Jahet di rumah gubugnya. Mulailah kehidupan baru
mereka yang sangat pahit, mamak dan ibu kandungku bekerja serabutan dari jual rambutan sampai
ngumpulin botol bekas demi menyambung hidup. Allah Maha baik ada sesepuh kampung situ
bernama Pak Suri (semoga Allah menempatkan beliau di tempat terbaik) menawarkan untuk
menempati rumah Pak Sukiman tetangganya (semoga Allah menerangkan kuburNya, yang saat itu
sedang tugas di Bengkulu selama satu tahun. Akhirnya dari rumah Bu Jahet mereka pindah ke
rumah pak Sukiman. Nah saat itulah muncul gossip gossip tentang Bapak dan Ibu kandungku dan
akhirnya Mamakku memutuskan menikahkan Bapakku dengan ibu kandungku untuk menghindari
fitnah. Tidak lama kemudian Ibuku hamil, yang paling bahagia adalah Mamak dan sangat menjaga
Ibu kandungku dengan kasih sayang. Akhirnya aku lahir dan saat itu aku tertahan di rumah sakit
karena Bapak dan Mamak tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit. Dan lagi lagi ada
pertolongan Allah melalui Pak Hamid (semoga beliau dijauhkan dari siksa kubur) yang
meminjamkan biaya rumah sakit dengan jaminan ayam peliharaan mamak yang masih kecil kecil.

Setelah kelahiranku kehidupan keluargaku mulai membaik, Mamak jualan baju bekas dan
barang rumah tangga bekas, Bapak dapat uang yang lumayan dari makelar tanah, beliau adalah
pensiunan polisi (pensiunnya tidak diurus) jadi tidak terbiasa bekerja berat. Sedikit demi sedikit
keluargaku bisa membeli tanah dan pelan pelan membangun rumah walaupun seadanya. Karena
perjuangan mereka yang pahit membuat mereka mau menampung orang orang yang tidak punya
tempat tinggal. Jadi rumahku itu tempat singgah berbagai macam orang yang tidak punya
hubungan keluarga sampai orang tersebut bisa berdikari sendiri. Kemudian Bapak bisa membeli
becak satu persatu sampai jumlahnya 25 becak. Mamak tetap jualan dan sangat memanjakan aku,
apapun yang aku mau selalu dituruti. Secara emosional aku tidak memiliki kedekatan dengan ibu
kandungku, demikian juga adik laki lakiku saat dia lahir. Kami hidup sangat cukup bahkan
berlebih hingga akhirnya kenikmatan itu diambil oleh yang Maha Pemberinya dan kita sebagai
hambaNya harus menerima. Ketika aku duduk di bangku SMP Kelas 3 Bapak mulai sakit sakitan,
perlahan tapi pasti satu persatu harta dijual seperti becak untuk biaya berobat. Saat aku kelas 1
SMA aku sering sekali lihat ibu kandungku jarang pulang ke rumah dan Bapak makin parah
sakitnya. Aku mulai curiga setelah beberapa kali mengikuti ibu kandungku ternyata beliau
selingkuh dengan tetangga jauhku. Aku benar benar kecewa dan terluka karena aku mulai merasa
ada ikatan emosional dengannya. Mamak berusaha menenangkanku “Ita harus paham bahwa dia
masih muda jadi masih punya keinginan hidup bahagia tapi bukan sama Bapak” dengan bijaknya
Mamak memandang kemarahanku. “sejak kapan?” tanyaku. Mamak tersenyum “untuk apa Ita tahu
hal itu? Biarkan dia dengan pilihan hidupnya” Ya Rabb betapa ikhlasnya beliau saat menikahkan
Bapakku dengan ibu kandungku, Mamak gak pernah sekamar dengan Bapak karena dia fokus
mengurus aku dan saat suami mereka sakit dengan sabarnya beliau merawatnya dan madunya
malah asyik dengan kegilaannya. Aku bertengkar hebat saat ibu kandungku pulang, aku sangat
marah dan benci dengan kelakuannya. Dia pergi tanpa pamit dan aku gak peduli. Bapak
memanggilku dengan lirih “Ta, mungkin Bapak gak bisa menemani kamu sampai nanti, Bapak
cuma pesan jangan benci dengan ibumu bagaimanapun beliau yang melahirkan kamu dan adikmu”
aku menangis sejadi jadinya dan gak lama dari beliau berkata kata beliau menghembuskan nafas
terakhirnya. Ya Allah dalam satu waktu aku harus kehilangan dua orang yang paling penting dalam
hidupku yaitu Bapak dan Ibu kandungku. Aku harus kuat karena masih ada Mamak yang
menyayangiku beliaulah malaikat buatku dan aku masih ada adik laki lakiku yang saat itu masih
kelas 5 SD yang harus aku pikirkan perasaannya juga yang pasti terluka.

Waktu bisa menyembuhkan luka, kiasan bijak itu berharap berlaku untuk aku dan adikku.
Bismillah perlahan namun pasti kami menjalani hidup kami tanpa berusaha menyalahkan takdir
yang sudah tercatat saat pertama kali ruh ditiupkan ke dalam raga kami. Awalnya terasa pincang
namun kaki ini tetap bertahan berjalan walau tertatih. Mamak kembali berdagang untuk memenuhi
kebutuhan kami, karena sekarang hanya kepada beliaulah kami menggantungkan hidup kami.
Bersyukurnya aku sekolah di SMA negeri sehingga biaya yang dikeluarkan tidaklah besar, lulus
SD adikku melanjutkan ke pesantren tanpa biaya dengan syarat adikku tidak boleh pulang sampai
pendidikannya selesai. Demi masa depan adikku mau dengan ikhlas menjalani kehidupan
pesantren, jauh dari aku dan mamak. Akhirnya aku lulus SMA dengan nilai yang cukup lah di
tengah kepenatan hati dan pikiranku terhadap masalah yang menimpaku.

Sedikit berlari kususuri jalan menuju tempat bus mangkal, sambil sedikit menahan
dinginnya udara pagi ini aku menyongsong hari pertama ke kampus hijau. Ya hari ini adalah
pertemuan pertama mahasiswa baru dengan jajaran akademisi di kampus hijau. Sebelum berangkat
dengan takzimnya aku memohon restu dari mamakku tercinta untuk menata masa depanku, mamak
menanyakan apakah perlengkapan yang dibutuhkan sudah dibawa. Aku meyakinkan beliau bahwa
semua sudah beres, aku hanya membawa beberapa bajuku yang masih layak pakai, perlengkapan
mandi, alat sholat, alat tulis dan tak lupa mamak memasukkan kantong plastik yang di dalamnya
berisi nasi dan telur sambal. “nanti disana tinggal dimana” mamak bertanya dengan nada cemas.
“insyaAllah ada mak” aku menjawab menenangkan beliau. Padahal dalam hati kecilku aku sendiri
tidak tahu bagaimana kedepannya, untuk beberapa hari aku bisa numpang tempat kakak kelasku
yang sebelumnya sudah pernah aku tumpangi saat ujian. Tapi untuk selanjutnya aku mesti cari
tempat tinggal walaupun belum ada bayangan uang sama sekali. Untuk ongkos bus ke kampus
hijau mamak rela menjual kain songket koleksinya.

Saat Penataran P4 berlangsung aku bertemu dengan teman SMA ku Hana, ternyata Hana
ketrima di Fakultas Pertanian. Hana bertanya aku kost dimana, aku jawab belum tau Han dan dia
mengajakku mencari kost bersama. Akhirnya kami menemukan kost yang sangat murah dan
sederhana walaupun jarak kost ke kampus lumayan jauh. Tak apalah yang penting kami ada tempat
bernaung selama awal kuliah. Aku dan Hana kost sekamar dan kami tinggal serumah bersama
seorang induk semang yang tinggal bersama suami dan anaknya. Mulailah aku menjalani hari
hariku di semester pertama di kampus hijau dengan hati penuh harapan untuk masa depan yang
lebih baik.
Tahun pertama dapat kulalui dengan keprihatinan yang sangat, berusaha menahan keinginan untuk
merasakan jajanan di kampus ataupun keinginan lain. Seminggu sekali aku pulang ke Metro untuk
mengambil biaya hidup untuk minggu berikutnya, biasanya tetangga kanan kiri yang berprofesi
sebagai pedagang akan ikut membantu membekaliku dengan berbagai dagangan mereka, dari sayur
mayur, bumbu dapur, ikan asin dan masih banyak yang lainnya. Betapa mulianya hati mereka, aku
hanya bisa membalas dengan doa agar rizki mereka dilancarkan. Minggu ini aku pulang ke Metro
aku melihat mendung di wajah mamakku. Aku dekati beliau dan bertanya “Mak, ada apa?
Sepertinya mamak sedih sekali”, Mamak menatapku dan tiba tiba bulir-bulir air mata membasahi
pipinya. Dengan suara lirih dia berkata “Ta maafin mamak mungkin untuk seterusnya mamak gak
bisa kasih uang mingguan dan tahun depan mamak gak bisa bayarin uang semesteran kamu dan
kost kamu”. Aku terdiam sesaat, hatiku sakit dan pikiranku bingung, melihatku seperti itu mamak
makin merasa sedih dan bersalah. Segera aku berusaha menenangkannya dan menenangkan hatiku
“Mak gak usah mikirin itu mudah mudahan Ita ada jalan keluar dari semua masalah”. Sambil
tersenyum aku meninggalkan beliau yang masih terpaku menuju kamarku. Sesampainya di kamar
aku berusaha menata hatiku dan menahan air mataku tumpah ya Allah apakah takdirku cuma
merasakan satu tahun kuliah di kampus hijau, sisi hatiku menjawab gak aku gak boleh menyerah
pasti ada jalan agar aku bisa tetap kuliah sampai menjadi sarjana.

Aku kembali ke kampus hijau dengan perasaan berkecamuk dengan semuanya dan apa
yang aku bisa lakukan agar aku bertahan. Sesampai di kost aku berusaha berpikir dan mencatat
semua kemungkinan kemungkinan jalan yang dapat aku ambil. Pertama aku akan coba
mengajukan beasiswa kerja mahasiswa, kedua aku akan mencoba melobi ibunya temanku yang
punya toko baju agar aku bisa menjualkan bajunya di kampus, dan ketiga aku akan mencari kerja
yang bisa sambil kuliah. Bismillah semoga Allah mempermudah dan melancarkan semua plan
yang sudah aku susun.

Satu demi satu plan kujalankan dan Alhamdulilah Allah mempermudah semuanya hanya
plan ketiga yang belum bisa aku jalankan karena kuliah masih banyak sehingga susah untuk bagi
waktunya. tak terasa aku sudah melewati 4 semester di kampus hijau ini, masalah baru datang lagi.
Beasiswa kuliah kerja mahasiswa tidak bisa dilanjutkan lagi karena memang harus bergantian
dengan mahasiswa yang lain. Oh ya aku sudah pindah kost di tahun kedua, aku kost di tempat
Bapak Djumurung dimana jarak kost an dan kampus tidak sebegitu jauh dari kost an sebelumnya.
Tapi entahlah untuk tahun depan apakah aku masih bisa kost lagi karena tidak ada bayangan uang
untuk membayarnya jika aku tidak mendapatkan beasiswa lagi. Allah Maha baik aku diberikan
teman teman yang sangat mensuportku dan mau membantuku dengan senang hati. Akhirnya tahun
ketiga aku tidak kost lagi dan aku menjadi mahasiswa nomaden dimana aku harus berpindah dari
satu rumah temanku ke teman yang lainnya dari satu kost temanku ke kost teman yang lainnya.
Mereka dengan senang hati menampungku dan itu kujalani hampir setahun. Lalu bagaimana
dengan bayar uang semesteran?? Banyak jalan menuju Roma dan tetap ikhtiar dan yakin bahwa
aku bisa membayarnya. Semester 5 aku membayar uang semesteran dari uang yang aku
kumpulkan yang kudapatkan dari upah mengetikkan laporan, dagang baju dan macam macam juga
menawarkan jasa membersihkan dan mencucikan baju teman teman kost yang aku tumpangi.
Semester 6 aku membayar uang semesteran dari menggantikan teman satu angkatan mengantri
bayar uang semesteran dan dari kelebihan bayaran itulah aku mampu membayar uang semesterku.
Kejadian ini sangat membekas dihatiku karena dari 60 mahasiswa satu angkatan di depan loket
cuma berdiri aku sehingga petugas loketnya heran dan bingung.

Tahun keempat dimulai dengan harapan yang mulai bercahaya walaupun masih remang
remang. Aku tidak menjadi mahasiswa nomaden lagi, aku tinggal di rumah kakaknya temanku
dengan syarat aku mau mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dan membantu mengurus
rental computer. Hal ini sangatlah kebetulan karena semester 7 aku sudah mulai menjalankan
tahapan pengerjaan skripsi dimana sebelumnya aku melewati prorosal pengajuan skripsi dengan
ditulis tangan, karena dosen dosenku sangat mengerti kondisiku mereka menerima saja mahasiswa
yang mengajukan proposal pengajuan skripsi dengan ditulis tangan. Aku ikut proyek penelitian
kultur jaringan untuk skripsiku dan ini sangatlah berat karena aku termasuk orang yang sangat
ceroboh dan tidak teliti. Sedangnkan di proyek kultur jaringan dibutuhkan orang yang sangat hati
hati dan teliti. Alhamdulillah aku sangat dibantu oleh Bu Tunjung, beliau ini lah yang mengajakku
gabung di proyeknya dan meyakinkan aku bahwa aku bisa. Berbulan bulan aku mengerjakan
penelitian ini dari kami satu tim 4 orang sampai tinggal aku sendiri dan dengan sabarnya Bu
Tunjung membimbing dan mendampingiku. Beliau lah yang sangat tau kondisiku, dari menangis
dan tertawa selalu kulalui bersama beliau. Setelah hampir satu tahun di Lab Kultur Jaringan
akhirnya aku dapat menyelesaikannya. Terima kasih bu Tunjung sayang atas semua
pengorbananmu, terima kasih buat rekan rekan HImbio yang sangat setia menjagaku jika aku harus
mengerjakan proyek ini sendiri saat malam hari dan mereka jugalah yang setia menyediakan
kudapan sampai makanan berat selama penelitian di malam hari dan yang pasti terima kasih teman
teman terbaikku di angkatan 96 yang sangat mengerti semua sakit dan deritaku.

Tahun kelima aku di kampus hijau, tinggal tugas tugas besar sebagai syarat kelulusan yang
harus aku penuhi agar aku bisa mendapat gelar sarjana. Mata kuliah semua sudah tuntas hanya ada
satu dua mata kuliah yang harus aku perbaiki nilainya agar tidak membuat IPK jelek. Aku
mengerjakan satu persatu syarat itu sambil aku bekerja mengajar di Bimbel sehingga untuk urusan
bayar semesteran sudah bisa teratasi. Harusnya aku bisa mengajukan wisuda pada bulan Oktober di
tahun kelima ini namun aku masih terganjal di Toefl dan biaya wisuda, jadi aku mengajukan di
bulan Maret agar aku punya waktu mengumpulkan biaya untuk wisuda.
Mamak sudah mulai sakit sakitan dan aku sudah mulai jarang pulang karena urusanku di
kampus yang tidak bisa kutinggalkan. Maafkan aku mak ini semua demi masa depanku, masa
depan kita karena dengan aku menjadi sarjana mudah mudahan nasib kita kedepannya akan
berubah. Untung saja mamak dijaga oleh tetangga tetanggaku yang sangat baik sehingga aku bisa
tenang menyelesaikan semua urusanku.

Maret 2002, seorang gadis dari kota kecil akhirnya bisa menuntaskan pendidikannya,
dengan perjuangan yang penuh keringat dan air mata, dengan orang orang yang selalu
mendampingi dan mensuportnya melalui doa dan bantuan yang tak terhingga, dengan tatapan
berkaca kaca dosen dosen tercinta yang tau bagaimana gadis ini mengais untuk mencapai gelar
sarjana. Dan yang pasti semua berkat Allah yang Maha baik yang selalu menunjukkan keajaiban
keajaiban dari sebuah doa dan usaha. Aku melangkah menuju podium pelantikan wisuda dengan
hati penuh rasa syukur dan bahagia menerima semua rizkimu ya Rabb. Mata tua itu nanar menatap
anak gadisnya yang notabene bukan anak kandunganya dalam balutan toga, tak ada kata kata yang
keluar dari bibirnya yang kering, meraihku dalam pelukan tubuhnya yang ringkih dan gemetar,
menepuk bahuku dengan bangga. Aku berbisik di telinganya walaupun aku tau dia tak bisa
mendengarnya “ Mak, Ita bisa, Ita Sarjana, Terima kasih Mak” engkau laksana cahaya yang
memberiku Seberkas Asa di Ujung Senja.

Anda mungkin juga menyukai