Anda di halaman 1dari 5

Anak Broken Home, Sekolah Dengan Seragam Bekas Berprestasi Nasional

(Karya: Ahmad Syahril Mahasiswa IAIN Curup Bengkulu)

Hujan jatuh di tubir jendela. Sejenak aku terdiam mengikuti tetesan hujan yang
berjatuhan membawaku ke alam bawah sadar, mengingat kembali memori-memori hidup yang
penuh perjuangan.

Namaku Ahmad Syahril, aku anak kedua dari tiga bersaudara. Ayah dan ibuku bekerja
sebagai buruh tani. Di usia ku 7 tahun keluarga kami mengalami cobaan. Ayah yang dulunya
adalah sosok pekerja keras berubah menjadi pemalas dan sering bepergian yang tak jelas.

Di pagi hari yang masih mengantuk saat aku baru saja pulang dari sekolah. Dirumah
keluargaku sedang ribut besar. Wargapun berdatangan untuk mencoba menghentikan
pertengkaran antara ayah dan ibu. Tak lama setelah itu pertengkaran itu reda ibupun keluar dari
rumah lalu menggendongku menuju ke rumah nenek. Di sepanjang jalan ibu tidak dapat
membendung air matanya membuat orang-orang yang melihat bertanya “kenapa engkau
menangis Rohima?” namun ibu terus berjalan karena tak kuasa menjawab pertanyaan-
pertanyaan itu. Setelah sampai di rumah nenek keluarga sudah berkumpul. Nenek dengan
histeris menangis langsung memelukku dan semua keluarga menangis sambil menenangkan
ibu. Aku tidak bisa melukiskan melalui tulisan ini bagaimana hancurnya hatiku pada saat itu.
Bagiku hari itu adalah hari yang sangat memilukan.

Matahari tenggelam malam pun datang aku bertanya kepada ibu “mengapa bapak tidak
ikut tidur di rumah nenek?” mendengar pertanyaan itu air mata ibu pun jatuh lalu berkata
“mulai saat ini kita tidak lagi tinggal serumah dengan bapak” mendengar pernyataan itu air
mataku jatuh dan kembali bertanya “di mana bapak bu aku ingin tidur dengan bapak kalau
tidak ada bapak aku tidak mau tidur” protes ku. Semakin aku bertanya semakin deras air mata
ibu keluar. Nenek berusaha untuk menenangkanku dan akhirnya aku tertidur dalam
pangkuannya.

Keesokan harinya kami kembali ke rumah tapi bukan untuk berdamai melainkan untuk
meresmikan perpisahan. Dimana hari itu hanya pakaian kami yang dibawah kerumah nenek.
Ibu sibuk mengemas pakaian kami dan aku sibuk memasukkan pakaian bapak dalam tas ku.
Aku berharap bapak bisa ikut pindah ke rumah nenek, namun takdir berkata lain keinginan
seorang anak kecil saat itu hanya menjadi angan-angan yang tak kesampaian karena bapak
memilih hidup dengan istri barunya.
Sejak saat itu ibu lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Bekerja sebagai buruh
tani. Bekerja dari pagi sampai sore demi mencari sesuap nasi. Ibuku adalah sosok yang sangat
tangguh menghidupkan anak seorang diri tanpa mengeluh.

Hari demi hari pun terus berlalu. Apapun keadaannya aku harus tetap tumbuh meski
tanpa sosok ayah di sampingku. Aku harus menepis kesedihan saat melihat teman-teman
seumuran ku dengan sosok ayahnya yang selalu ada. Mau apapun tinggal minta, beda dengan
diriku kalau mau jajan maka harus menguras keringat dulu. Menjual sayur, menjual es orio dan
menjual roti milik tetangga. Semua aku lakukan dengan penuh semangat demi bisa jajan.

Saat di sekolah dasar Aku menjual es Oreo yang setiap harinya aku mendapatkan upah
Rp. 3.000 sampai 5.000. Aku harus mengorbankan masa bermainku ketika jam istirahat tiba.
Saat teman-temanku sibuk bermain. Aku sibuk menawarkan es Oreo. Tak apa tidak ikut
bermain asalkan es ini habis terjual pikirku waktu itu. Awalnya aku malu untuk berjualan es di
sekolah namun seiring berjalannya waktu keadaan menyadarkanku bahwa aku harus menjadi
anak yang tangguh.

Setelah pulang dari sekolah SD aku melanjutkan belajar di sekolah madrasah. Di


sekolah madrasah inilah tempatku belajar mengaji dan berpidato. Setiap peringatan hari besar
Islam aku mengikuti perlombaan pidacil yang diadakan oleh ikatan remaja masjid Al-bayyinah
desa batu gajah. Alhamdulillah berkat ketekunan ku aku selalu mendapat juara satu. Seiring
berjalannya waktu aku berhasil menciptakan senyuman kebanggaan di wajah ibu. semangat
dalam belajar semakin membara karena bagiku senyuman itu merupakan kebahagiaanku.

Setelah lulus SD aku melanjutkan sekolah di MTs Al-khairiyah Batu Gajah. Waktu itu
perasaanku bercampur aduk antara senang dan sedih. Senang karena sudah lulus SD dan sedih
karena aku harus sekolah dengan seragam bekas. Saat ibu membawakan seragam bekas itu aku
hanya tersenyum seakan-akan aku bahagia. Namun dalam hatiku tersimpan kesedihan yang
amat mendalam. Aku tahu sebenarnya ibu begitu ingin membelikan seragam sekolah yang baru
tapi keadaan berkata lain jangankan untuk membeli seragam sekolah untuk makan dari hari ke
hari saja susah. keadaan inilah yang membuat aku harus tetap semangat.

Tibalah hari pertama masuk sekolah MTs betapa tidak percaya dirinya aku. Melihat
teman-teman sekolah dengan seragam baru. Terlihat jelas warna baju putihnya yang masih
baru, beda dengan baju putihku yang sudah agak menguning. Kulihat sepatu teman-temanku
semua memakai sepatu baru hanya aku yang memakai sepatu ketika SD dulu. Begitupun
dengan tas hanya aku yang tidak memakai tas baru. Aku tidak bisa melukiskan melalui tulisan
ini bagaimana hancurnya hatiku pada saat itu.

Dengan keadaanku yang berasal dari keluarga broken home Kepala Sekolah
menawarkan pekerjaan kepadaku sebagai tukang sapu ruangan guru. Kami masuk sekolah
pukul 13:00, sehingga aku harus berangkat ke sekolah lebih awal untuk membersihkan ruangan
guru. Setiap bulannya aku mendapatkan upah sebesar 100 ribu. Aku sangat bersyukur karena
Allah mempertemukan dengan orang-orang yang sangat baik.

Tibalah pada hari gajian pertama betapa bahagianya aku ketika mendapatkan uang 100
ribu dari hasil keringatku sendiri. Gajian pertama ini aku gunakan untuk membeli sepatu karena
telapak sepatu ku sudah tidak layak untuk dipakai. Alhamdulillah pekerjaan sebagai tukang
sapu sekolah bertahan sampai aku lulus MTs Al-khairiyah sehingga bisa memenuhi kebutuhan
sekolahku. Bahkan sedikit membantu meringankan beban ibu karena setiap gajiannya sebagian
besar aku berikan kepada ibu.

Selama 3 tahun belajar di bangku Madrasah Tsanawiyah aku selalu mendapat peringkat
1 di kelas dan sering menjadi utusan sekolah dalam lomba berpidato. Alhamdulillah berkat
kesungguhan aku sering menjadi juara pidato baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat
kabupaten. Terlahir dari keluarga broken home tidak menyurutkan semangatku untuk
menggapai cita-cita. Sebagai anak yang broken home bukan berarti tidak bisa berprestasi
semua anak memiliki kesempatan yang sama pembedannya hanyalah kemauan dan
kesungguhan.

Waktu membawaku tanpa sadar 3 tahun dibangku MTs begitu cepat berlalu. Aku
melanjutkan sekolah di Madrsah Aliyah Muratara. Belum sembuh luka ku Kejadian 3 tahun
lalu kembali terulang. Aku harus kembali sekolah dengan seragam bekas. Di sinilah ujian yang
terasa sangat berat kembali terulang. Hari itu aku hanya bisa memperbanyak istighfar berharap
Allah subhanahu wa ta'ala melapangkan dada ku agar ridha terhadap ketentuan darinya. Berkat
dengan banyak beristighfar Allah subhanahu wa ta'ala mendatangkan pertolongannya dengan
memberikan kelapangan pada dada ku sehingga hilanglah rasa malu dan gengsi ku dalam
menuntut ilmu.

Dengan harapan dan semangat yang masih menyengat pada kelas X Aliyah aku
mengembangkan bakat berpidato yang kumiliki, dengan menekuni bidang Khutbah Jum’at.
Sehingga pada kelas X Aliyah aku sudah menyampaikan khutbah jum’at dimasjid desaku dan
di masjid-masjid desa terdekat. Sejak itu aku mulai dikenal oleh masyarakat luas. Dan aku
merasakan sesuatu yang belum aku rasakan selama ini dimana di hargai dan dikasihi oleh
masyarakat. Aku langsung teringat dengan janji Allah dalam Al-Quran Surah Muhammad ayat
7 : “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. Dan janji Allah itu benar-benar pasti dengan
aku menyampaikan khutbah, ceramah dan mengisi pengajian Allah muliakan dengan perantara
kasih sayang dan perhatian dari Masyarakat.

Dengan memperjuangkan Agama Allah banyak keajaiban yang Allah datangkan


dalam hidupku. Seperti tawaran Bea Siswa dari beberapa kampus. dari Universitas PGRI
Palembang, UIN Raden Fatah Palembang dan IAIN Curup Bengkulu. Itu semua berkat dari
menyampaikan Khutbah Jum’at dimasjid-masjid desa terdekat dan masjid agung kabupaten.

Suatu hari aku sedang menyampaikan khutbah jum’at didesa ku dan ternyata salah satu
jama’ah nya adalah seorang aseseor akreditasi sekolah yang juga merupakan dosen di
Universitas PGRI Palembang. Setelah sholat Jum’at beliau menghampiriku dan menyampaikan
niat untuk memberikan bea siswa kuliah di Universitas PGRI Palembang. Dan ternyata beliau
tahu dari salah satu jama’ah mengenai latar belakang kehidupanku.

Dan singkat cerita akhirnya Allah takdirkan pilihan ku melanjutkan pendidikan di IAIN
Curup Bengkulu. Dengan jalur prestasi mendapatkan bea siswa kip kuliah. Bagiku berstatus
sebagai mahasiswa adalah anugera besar sehingga mampu membawah ku kepada mimpi-
mimpi besar. Seperti salah satu mimpi yang ku munajatkan kepada Allah ketika kelas XI
Aliyah saat mendengar rekaman 2014 Sambutan dari Mahasiswi Bidikmisi Birul Qodriyah
dihadapan Presiden Indonesia saat itu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa sadar air
mata ku tak dapat ditahan. Aku bermunajat kepada Allah berharap juga mendapatkan bea siswa
bidikmisi seperti Birul Qodriyah Mahasiswa yang menginpirasi diriku.

Alhamdulillah Allah mengabulkan doa-doaku untuk berstatus sebagai mahasiswa.


“Sebagai mahasiswa penerima beasiswa yang berasal dari keluarga broken home dan sekolah
dengan seragam bekas tidak akan mengggunakan bea siswa ini biasa-biasa saja, siap menjadi
mahasiswa yang mau bekerja kerja keras dan siap menjadi generasi emas.”
Biodata Narasi

Nama saya Ahmad Syahril saat ini saya merupakan Mahasiswa Semester 4 Progrm
Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Intitut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup
provinsi Bengkulu. Saya lahir di Palembang pada 07 Juni 2002. Hobi saya membaca dan
berceramah. Saya terlahir dari keluarga broken home, sekolah dengan seragam bekas namun
berkat kekuatan tekad dan usaha bisa kuliah di Universitas Negeri dengan Bea Siswa.

Kartu Tanda Mahasiswa

Anda mungkin juga menyukai