Anda di halaman 1dari 3

SEPENGGAL KISAH DI PONDOK TERCINTA

Inilah kisahku, gadis remaja yang ingin mendewasakan dirinya. Namaku


Ocselia Hariyana, teman-temanku akrab memanggilku Selia. Kisah ini berawal
ketika aku masih bersekolah di SDN Karangkajen 2 di tahun terakhir. Karena
prestasi yang selama ini aku raih, alhamdulillah seminggu sebelum ujian aku
mendapatkan tawaran untuk melanjukan pendidikan di SMPN Baturaja yang
merupakan sekolah impianku. Namun apa hendak dikata ketika ibuku sendiri
mempunyai pandangan lain tentang masa depanku. Entah dengan pertimbangan
apa Ibu menginginkan aku melanjutkan pendidikan menengah pertamaku di
Pondok tanpa mau mengerti apa inginku. Ada rasa kecewa yang merambahi ulu
hatiku karena Ibu yang selama ini selalu kuhormati dengan segenap hatiku tidak
memberikku kesempatan untuk menentukan sendiri arah hidupku.
Telah banyak malam kulewati untuk meminta petunjuk pada Allah. Tak
hentinya aku berdoa kepada-Nya di setiap sujudku, agar aku ditunjukkan jalan
yang terbaik untuk masa depanku. Aku berusaha mencerna keadaan dan
berusaha berfikir lebih dewasa. Aku mencoba memahami keinginan Ibu yang
pasti akan mengusahakan kebaikan untuk putra putrinya. Untuk itu aku
memberanikan diri bertanya dan mendiskusikan permasalahan ini dengan Ibu.
Aku berharap mendapat jawaban mengapa Ibu ingin menyekolahkanku ke
Pondok yang berarti aku harus hidup jauh dari keluargaku, termasuk Ibu.
Buk... Aku menyapa wanita yang sangat kukasihi itu dengan segenap
penghormatan.
ya, ada apa nak? Seperti biasa Ibu menjawab panggilanku dengan lembut
penuh kasih sayang.
Insya-Allah Selia siap melanjutkan sekolah di Pondok seperti keinginan Ibu. Aku
beranjak mendekati Ibu dan duduk di samping beliau.
Alhamdulillah, kamu serius, nak?. Aku tahu pertanyaan itu hanya retorika yang
sebenarnya tak terlalu butuh jawaban. Tapi aku tetap menganggukkan kepalaku
dan berusaha menyunggingkan senyum di bibirku. Aura kebahagiaan sangat
tampak di wajah ibu. Namun masih ada gemuruh dahsyat yang menyesakkan
dalam hatiku. Aku sendiri sebenarnya tidak yakin bisa menjalani hidup di Pondok
yang pasti akan penuh dengan segudang aturan. Apakah aku sanggup hidup di
Pondok hanya demi menuruti keinginan Ibu?.

Tapi, sebelumnya Selia mau tanya alasan Ibu ingin menyekolahkanku ke


Pondok. Apakah Ibu merasa sudah tidak sanggup mendidik Selia sehingga Ibu
ingin mengirim Selia ke Pondok. Itu berarti nanti Selia harus tinggal jauh dari
rumah, Bu. Aku berusaha keras menyusun kata-kata agar tidak menyinggung
perasaan Ibu. Tanpa terasa air mataku telah tumpah menggenangi pipiku.
Membayangkan harus hidup jauh dari Ibu dan keluargaku, membuat hatiku perih
seperti diiris sembilu.
Nak, kamu tahu hal yang paling menyakitkan bagi seorang Ibu. Ibu balik
bertanya kepadaku dengan tangan lembutnya tetap mengelus kepalaku. Sedang
aku hanya menggelengkan kepala karena sudah tak mampu lagi untuk
berbicara.
Hal yang paling menyakitkan bagi seorang Ibu adalah membayangkan harus
hidup jauh dari anak yang sangat disayanginya, nak. Tapi jika itu untuk kebaikan
anaknya, maka sepahit apapun seorang ibu pasti akan merelakannya. Aku
merasakan suara Ibu yang semakin bergetar. Sepertinya Ibu juga berusaha
menahan tangis yang hendak tumpah karena keharuan yang mencekam.
Ibu hanya ingin yang terbaik buat kamu, nak. Kamu tahu Ibu dan Bapak hanya
lulusan SD. Dan kami merasa semua itu tidak cukup dijadikan bekal untuk
mendidikmu. Kami ingin kamu menuntut ilmu setinggi mungkin. Insya-Allah
kamu akan dididik oleh Ustadz dan Ustadzah yang lebih berkompeten untuk
mengajarimu ilmu agama juga ilmu dunia disana. Insya-Allah pergaulanmu juga
akan lebih terjaga jika kamu tinggal di Pondok. Ibu mencoba memberiku
pengertian. Dan aku hanya bisa semakin tersungkur meresapi kesedihan. Aku
menyesal karena sudah membuat Ibu menangis. Kugenggam tangan Ibu yang
sudah dipenuhi keriput karena dimakan usia. Kukecup tangannya dengan lisanku
yang tak berhenti mengucap kata maaf tak terhingga.
Ibu, aku janji akan menjadi santri yang berprestasi nantinya. Tekat itu
membulat dalam hatiku.
***
Tak terasa kenangan itu telah tiga tahun berlalu. Bayangan tangisan Ibu
ketika melepaskanku berangkat ke Pondok seperti masih hangat dalam ingatan.
Dan tepat hari ini wantia yang sangat aku kasihi itu duduk dalam barisan wali
santri untuk menghadiri acara wisudaku. Kenangan bersama kawan-kawanku

semasa hidup tiga tahun di Pondok berkelebatan satu persatu. Kawan-kawanku


yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri, tempatku berbagi cerita dikala
dirundung sedih, teman yang mengajariku arti berbagi, memberi, percaya, dan
menerima apa adanya. Kenangan saat kita bermain bersama, memasak
bersama, mencuci, dan bahkan melakukan kenakalan bersama. Kini, semua itu
terasa sangat indah dan berharga. Betapa aku menyayangi mereka. Dan kini
kami harus berpisah setelah sekian lama hidup bersama melewati suka dan
duka.
Di akhir cerita ini aku harus menguatkan diri untuk berdiri di podium
karena didaulat menjadi santriwati berprestasi. Di depan seluruh dewan Ustadz
dan

Ustadzah,

wali

santri,

dan

semua

kawan

seangkatan,

aku

sedikit

menyampaikan pidato mewakili seluruh wisudawan dan wisudawati seangkatan.


Terimakasih kepada Ustadz dan Ustadzah yang selama ini tak pernah lelah
membimbing kami agar menjadi insan yang berguna bagi agama dan bangsa.
Kenangan dan teladan yang engkau berikan pasti akan terus kami kenang
menjadi pijakan kami dalam menjalani masa depan...
Serentak suara isak tangis itu bersautan dari kawan-kawan seangkatanku yang
kini telah resmi dinyatakan lulus dari Pondok. Sesekali aku pun mengusap air
mata yang seperti tak akan berhenti mengalir dari muaranya. Sungguh aku tak
pernah menyesali keputusan untuk menimba ilmu di Pondok tercinta ini.
Terimakasih Ibu, karena telah membimbing anakmu untuk menentukkan satu
pijakan berharga dalam episode panjang hidupku. Dulu aku datang ke Pondok ini
dengan linangan air mata, dan sekarang akupun harus meninggalkan Pondok
tercinta ini dengan linangan air mata yang sama derasnya. Dulu aku datang ke
Pondok ini tanpa mengenal siapa-siapa, namun kini aku mempunyai jalinan
persahabatan suci yang tidak akan ada tandingannya di dunia meskipun kami
harus berpisah selamanya. Persahabatan inilah yang menyatukan kami dalam
haru tangis yang sama. Dan akhirnya, selamat tinggal Pondok tercinta.

Anda mungkin juga menyukai