Anda di halaman 1dari 171

NALENDRA

“Chronicles Of A Hidden World”

1
2
Nalendra
“Chronicles Of A Hidden World”

Penulis : Salwa Fecia Putri

Penyunting : Salwa Fecia Putri

Pendesain Sampul : Salwa Fecia Putri

Ilustrator : Salwa Fecia Putri

Penata Letak : Salwa Fecia Putri

Hak cipta dilindungi undang-undang

All rights reserved

3
Ucapan Terima Kasih

Pertama-tama, saya ingin mengucapkan Syukur


kepada Allah SWT. Karena berkat rahmatnya sehingga
saya bisa menyelesaikan novel ini. Yang kedua saya
mengucapkan terima kasih kepada diri saya sendiri
karena telah menyelesaikan novel ini dengann cukup
baik. Yang ketiga, tentu saya mengucapkan terima kasih
kepada keluarga dan sahabat saya yang telah
memberikan dukungan kepada saya dari awal menulis
sampai sekarang. Dan yang terakhir saya mengucapkan
banyak terima kasih kepada para seluruh pembaca yang
sudah meluangkan waktu untuk menghargai karya saya.

***

4
5
KATA PENGANTAR

Selamat datang dalam perjalanan melalui lembaran-


lembaran cerita yang membawa kita ke dunia Nalendra.
Dalam struktur novel ini, setiap kata adalah pintu menuju
keajaiban, setiap kalimat adalah jendela yang memandu
perjalanan melintasi ruang dan waktu.
Novel "Nalendra" mengajak pembaca menapaki
petualangan yang tak terlupakan bersama Cia, Jessie, Amar,
Fian, dan Juli. Dengan mesin antarwaktu, Tempo Travesti,
kita akan menjelajahi lapisan-lapisan misteri dan keindahan,
dipandu oleh karakter-karakter yang berani dan penuh
keajaiban.
Dalam perjalanan ini, kita akan menyelami kisah
persahabatan, pertanyaan tentang eksistensi, dan makna dari
setiap keberanian yang diambil. Sambutlah setiap halaman
dengan hati terbuka, dan biarkan kata-kata membimbing Anda
melalui lorong-lorong cerita yang tak terduga.
Terima kasih telah memilih untuk mengikuti jejakku
ke Nalendra. Selamat membaca, dan semoga pengalaman ini
memberikan warna baru dalam dunia imajinasi Anda.

Penulis

Salwa Fecia Putri

6
7
DAFTAR ISI

Ucapan Terima Kasih...................5

KATA PENGANTAR......................7

DAFTAR ISI........................................9

KONTRA...........................................11

TUDUHAN........................................19

LEPAS................................................31

PULIH.................................................37

PERKARA........................................43

RAMPAK..........................................51

RETAK..............................................59

8
HARI JADI.......................................73

BERKELANA..................................77

DATANG...........................................89

SALAH JALAN...........................101

KESAN............................................115

PETRANIA....................................121

PINTU..............................................129

PULANG.........................................141

KEMBALI........................................145

UPAYA............................................149

CLOSURE......................................163

9
BAB I

KONTRA
Jakarta, 14 Mei 2023
Senja menjelang, langit Jakarta memancarkan warna-
warni yang memukau. Aku, Diancia Amanda seorang lulusan
SMA dengan mimpi besar, menatap horizon kota yang selalu
menyimpan rahasia dan peluang. Namun, kisah hidupku tiba-
tiba berubah ketika keluargaku memberi kabar bahwa kita
harus pindah ke kampung halaman.
Di ruang tamu yang sederhana, suasana haru terasa
ketika keluargaku membicarakan keputusan sulit ini.
Keuangan yang sempit telah memaksa mereka untuk
mengambil langkah yang sulit, meninggalkan jejak Jakarta
yang telah menjadi bagian dari hidupku. Meskipun langkah
ini tampaknya tak terhindarkan, hatiku bersikeras untuk tetap
tinggal di kota ini.
Pada malam itu, aku menutup mata dan merenung di
atas atap rumahku. Angin lembut menyapu rambutku,
membawa aroma khas kota. Jakarta adalah kota yang
membentuk identitasku, tempat di mana setiap sudutnya
memiliki kenangan berharga. Aku tak ingin meninggalkannya
begitu saja.

10
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mencari
cara agar aku tetap bisa tinggal di Jakarta. Dengan semangat
yang cukup tinggi dan kuat, aku mulai mencari pekerjaan
paruh waktu dan beasiswa kuliah. Meski sulit, aku tak ingin
menyerah pada kenyataan bahwa uang bukan satu-satunya
penghalang. Sampai pada akhirnya aku berhasil mendapatkan
pekerjaan yang layak dan memulai studi di sebuah perguruan
tinggi. Setiap langkah yang aku ambil, Jakarta selalu menjadi
saksi bisu perjuanganku. Aku tahu bahwa keputusan
keluargaku untuk pindah ke kampung dilandasi kebutuhan
ekonomi, tetapi hatiku tetap bersumpah untuk menjaga ikatan
yang tak terlihat dengan kota ini.
Beberapa waktu berlalu, tibalah pada suatu malam di
teras rumah yang sederhana, aku mengundang keluargaku
untuk duduk bersama. Dengan penuh rasa syukur, aku
menceritakan hal yang telah aku mulai. Aku meyakinkan
mereka bahwa masih banyak peluang yang bisa kita ambil
untuk bisa menetap disini.
Dalam ruang keluarga yang penuh ketegangan, aku
duduk di antara ayah dan ibu yang menatapku dengan serius.
"Ayah, Ibu, kita masih bisa tinggal di Jakarta, sekarang aku
udah bisa kerja, sedikit demi sedikit aku bisa bantu." Ujarku
dengan mantap.
Ayahnya mendengus, “Ini udah kesekian kalinya
kamu bersikeras untuk tinggal di Jakarta. Kenapa sih! gak
mau nurut sama Ayah?!"
Ibu Cia mencoba memediasi, "Tapi, sayang, ini
mungkin kesempatan yang bagus untuk kita juga."

11
Ayahnya menatap Cia dengan tajam, "Pendidikan di
kamu itu sudah cukup. Kamu harus ikut dan membantu di
ladang keluarga."
Aku menjelaskan dengan penuh semangat, "Tapi,
Ayah, Ibu, aku punya mimpi yang lebih besar. Di sini banyak
banget peluang untuk pengembangan diri, dan aku juga mau
kasih yang terbaik untuk keluarga kita."
"Dengar baik-baik, Cia!" bentak ayah dengan wajah
serius. “Ayah tidak akan membiarkanmu untuk tetap tinggal
disini. Pendidikanmu sudah cukup!"
Aku merasa tertekan namun tetap berani, "Ayah,
semua hal udah aku mulai disini. Aku yakin disini…"
Ayah menyela omonganku dan mengangkat suaranya,
"Kamu masih gak ngerti juga ya? Ini keputusan ayah, bukan
keputusan kamu!"
Mataku berkaca-kaca, tetapi aku tetap bersikeras,
"Aku gak bermaksud menghancurkan apapun, Ayah. Aku
hanya ingin membuktikan bahwa aku bisa lebih dari ini."
Pertengkaran tersebut menciptakan suasana tegang di
dalam rumah, ayah pergi ke kamar begitu saja dan
meninggalkan aku dalam keadaan menangis. Mungkin
memang aku yang terlalu keras kepala. Percobaanku
menjelaskan atau memperbaiki situasi hanya menyulut
pertengkaran tanpa akhir. Aku merasa semakin terasing di
dalam rumah yang dulu dipenuhi tawa dan kehangatan.
Ketegangan mencapai puncaknya, dan keluargaku mengambil
langkah drastis. Mereka meninggalkanku, meyakini bahwa
keberadaanku adalah akar masalah dalam keluarga.
Perpisahan itu meninggalkanku luka yang mendalam dan rasa

12
kehilangan yang sulit diungkapkan. Dalam keheningan yang
menyusul, rumah yang dulu penuh dengan kebersamaan
menjadi sunyi tanpa jejak.
Aku merenung, mencoba memahami apa yang salah
dan bagaimana semuanya bisa berubah begitu cepat.
Ditinggalkan oleh keluarga, membuatku terdorong untuk
menjalani perjalanan yang penuh tantangan, menuju
pemulihan dan pencarian makna hidup yang baru. Dengan
hati yang hancur, kucoba menghadapi semua ini untuk
merangkai kembali kepingan-kepingan hidupku yang retak
dan menemukan jalan keluar dari kegelapan yang
mengelilingi aku sekarang. Dalam usaha untuk mencari
jawaban, aku merenung pada masa lalu yang dulu penuh
dengan kebahagiaan. Aku menggali kenangan bersama
keluarga, mencoba memahami bagaimana semuanya bisa
menjadi begitu rumit. Dengan setiap potongan kenangan, aku
mencoba menyusun kembali kisah hidupku yang hancur.
Tinggalah aku sendirian di rumah yang dulu dipenuhi
dengan tawa dan kebersamaan kami. Melalui proses pencarian
diri, mempertemukanku dengan emosi yang kompleks dan
tantangan yang tidak terduga. Rasa kehilangan itu masih
terasa begitu dalam, dan pertanyaan-pertanyaan tentang arti
sebenarnya dari kepergian keluargaku menghantuiku. Namun,
dalam keheningan itu, aku mulai menemukan kekuatan di
dalam diri untuk bangkit. Aku bertekad untuk tidak
membiarkan kejadian ini menghancurkan diriku sepenuhnya.
Tanpa dukungan yang ada, aku mencoba berusaha
mengarahkan hidupku ke arah yang lebih positif dan berarti.
Setiap langkah yang kuambil, meskipun kadang-kadang berat,
membawaku lebih dekat pada pemulihan dan rediscover diri.

13
Melalui perjalanan ini, aku belajar menerima
kenyataan bahwa hidup terkadang penuh dengan kejutan yang
tidak bisa dihindari. Meski kehilangan keluargaku adalah
pukulan berat, itu bukan akhir dari kisahku. Terus mencari
makna baru dalam hidupku, menemukan ketenangan di dalam
diri dan menerima bahwa aku bisa menjadi kuat melewati
semua ini.
Aku mulai mengejar minat dan impian yang dulu
mungkin terabaikan. Proses ini, meskipun lambat, membawa
kegembiraan dan arti baru dalam hidup. Meski penuh dengan
kesulitan, setiap langkah kecil menuju pemulihan membuka
pintu untuk pertumbuhan dan transformasi diri. Diriku
mungkin masih dalam tahap pengembangan, tapi aku
berkomitmen untuk terus maju. Meskipun ditinggalkan
keluarga adalah bagian dari masa laluku, aku yakin bahwa
masa depanku masih penuh potensi untuk kebahagiaan dan
keberhasilan. Aku tidak lagi terikat pada masa lalu, melainkan
fokus pada langkah-langkah mendatang yang akan membawa
aku ke tempat yang lebih baik.
Setelah melewati berbagai tantangan, aku berhasil
mendapatkan pekerjaan yang tidak hanya memenuhi
kebutuhan finansial, tetapi juga memberikan kepuasan
pribadi. Menemukan pekerjaan itu memberiku rasa percaya
diri dan arti dalam hidup yang baru. Pekerjaan baruku
membuka pintu untuk bertemu dengan banyak orang baru dan
membangun jaringan yang berharga. Meski awalnya terasa
sulit untuk menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan
hidup pribadi yang baru, aku terus berusaha menyesuaikan
diri.
Pekerjaan yang kini aku jalani memberikan peluang
untuk terus berkembang dan mengejar minat serta aspirasi

14
yang dulu terkubur. Meskipun kehidupan keluargaku telah
berubah, ada banyak peluang baru yang dapat aku raih untuk
menciptakan masa depan yang lebih cerah. Setiap hari berlalu,
aku merasakan semangat dan kehidupan yang kembali
memenuhi hariku. Pekerjaan yang kini kujalani membuka
babak baru dalam hidupku, mengajarkan aku arti perubahan,
ketekunan, dan harapan. Meskipun perjalanan ini tidak pernah
mudah, aku bersyukur atas pelajaran dan kekuatan baru yang
aku temukan sepanjang jalan ini. Dan dengan ini, aku
melangkah maju menuju halaman-halaman baru kehidupan
yang menantiku.
Aku tidak menyangka, secara kebetulan aku satu
perusahaan dengan teman lamaku dahulu. Tsamar Wira
Kusuma namanya. Dahulu saat SMA aku dan Amar tergabung
dalam sebuah perkumpulan. Banyak hal menyenangkan yang
kami lakukan dimasa itu. Masa yang benar benar terasa sangat
indah. Tak ada beban, tak ada masalah, tak ada drama. Semua
terasa sangat sempurna, tidak seperti sekarang. Hal itulah
yang membuat kami memiliki ide untuk mengumpulkan
kembali teman lama kami. Pada akhirnya kami mencoba
untuk mengontak satu per satu dari mereka. Ternyata hal itu
membuahkan kabar baik.
Pada suatu hari yang sudah direncanakan, aku
bertemu dengan teman-teman yang sudah lama tak
berhubung. Fian, Amar, Jessie, dan Juli, mereka adalah bagian
dari kenangan manis masa lalu yang pernah kita lewati
bersama. Pertemuan kami membawa gelombang emosi
campur aduk, dari kebahagiaan menyambut kembali kenangan
indah hingga sedih mengenang masa-masa sulit yang pernah
kita alami bersama.

15
Kami menghabiskan waktu untuk saling berbagi kisah
hidup masing-masing. Fian, yang telah mengalami banyak
perubahan, menceritakan banyak hal yang ia lalui setelah
lulus SMA. Jessie dan Juli, dengan hangatnya, menceritakan
kehidupan mereka yang tetap bersahaja namun penuh
kebahagiaan. Amar tak perlu ditanya, sudah pasti dia akan
menceritakan kehidupannya dengan penuh hiperbola.
Rasa antusiasme dan kegembiraan tumbuh dalam
diriku seiring dengan mendekatnya hari pertemuan. Ketika
kami akhirnya berkumpul, senyum-senyum kecil dan pelukan
hangat menyambut pertemuan yang lama dinanti-nantikan.
Kami duduk bersama, dan cerita-cerita lama pun mulai
mengalir. Fian menceritakan kenangannya dulu ketika
menjahili seorang guru, Amar berbagi pengalaman dalam
memikat hati perempuan, sementara Jessie menunjukkan
bagaimana hidup sederhana yang masih penuh kebahagiaan,
begitu pula Juli yang masih belum move on dengan kekasih
lamanya.
Bertemu kembali dengan mereka membuka mataku
tentang kekuatan persahabatan sejati. Kami saling
memberikan dukungan dan motivasi untuk terus maju
menghadapi hidup yang terus berubah. Kami menyadari
bahwa walaupun perjalanan hidup kami berbeda, tetapi ikatan
persahabatan kita tetap kuat dan mampu mengatasi segala
rintangan. Dalam kebersamaan itu, kami memutuskan untuk
mendukung satu sama lain melalui segala lika-liku hidup.
Mungkin memang benar bahwa keluarga bukan hanya yang
terlahir dalam satu rahim yang sama, tetapi juga orang-orang
yang kita temui dan teman sejati. Bersama teman-temanku
yang lama ini, aku merasa memiliki fondasi yang kokoh untuk

16
menghadapi apa pun yang akan datang dalam perjalanan
hidupku.
Setiap kisah yang dibagikan menggugah kenangan
indah dan menguatkan ikatan persahabatan kami. Kami
tertawa bersama mengenang kejenakaan masa sekolah dan
juga bersama-sama merenung ketika mengingat tantangan
hidup yang dulu pernah dihadapi. Pertemuan ini bukan hanya
tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang merayakan
perjalanan hidup kita masing-masing. Saat malam tiba, aku
merasa bersyukur atas momen berharga ini. Kami saling
memberikan dukungan dan inspirasi, menguatkan keyakinan
bahwa persahabatan sejati dapat bertahan meskipun melalui
berbagai perubahan dan tantangan. Meskipun hidup
membawa kita ke arah yang berbeda, kami selalu bersama
saling mendukung dan menghargai perjalanan masing-
masing.

17
BAB II

TUDUHAN
Jakarta, 2 Juni 2023
Polusi kendaraan menyelimuti langit ibu kota. Semen
yang keras nyatanya lebih nyaman dibanding empuknya kasur
dirumah. Berbaring di Rooftop sebuah gedung memang sudah
menjadi kebiasaanku dan teman-temanku dahulu. Kini kami
mulai rutin melakukan hal itu kembali. Beristirahat sebentar
sembari bercerita tentang hari ini, adalah rutinitas wajib yang
kami lakukan. Bagaimana tidak, bagi kami para budak
korporat, terkadang membutuhkan tempat untuk saling
bertukar cerita.
Setiap kali kami bertemu, kami selalu memilih tempat
ini sebagai tempat untuk berbagi cerita, tertawa, dan
menikmati momen-momen berharga. Tempat ini menjadi
saksi bisu dari banyak perbincangan hangat dan tawa yang
menggema di antara kami. Terkadang, kami membicarakan
impian masa depan, sementara pada waktu lain, kami saling
memberikan dukungan saat menghadapi tantangan hidup.
Pemandangan langit yang luas menjadi latar belakang yang
sempurna untuk mendengarkan cerita-cerita kami yang penuh
warna.

18
Pertemuan ini juga menjadi wadah bagi kami untuk
mengejar hobi bersama. Ada saat-saat di mana kita membawa
alat musik dan bernyanyi bersama di bawah langit malam.
Dan terkadang, kita hanya duduk bersama menikmati
ketenangan suasana malam sambil memandangi gemerlap
lampu kota yang membentang di bawah kami. Kebersamaan
ini tidak hanya tentang bersenang-senang, tetapi juga
menciptakan ruang yang aman untuk saling berbagi perasaan,
mimpi, dan rasa syukur. Tempat itu, dengan segala
keramahannya, menjadi lambang dari persahabatan yang
tumbuh di antara kami, di mana setiap pertemuan adalah
catatan indah dalam kisah hidup kami yang terus berkembang.
Namun, kebahagiaan kami terpatahkan ketika
mendapat kabar yang mengguncang: Amar dipecat dari
pekerjaannya karena dituduh mencuri uang perusahaan. Berita
ini seperti pukulan keras bagi kami semua, karena Amar
bukan hanya teman dekat, tetapi juga sosok yang penuh
integritas dan kepercayaan. Kami merasa tak percaya dan
bingung menghadapi tuduhan yang begitu serius terhadap
Amar. Rooftop yang biasanya menjadi tempat kebahagiaan
dan tawa, kini menjadi saksi dari kekhawatiran dan
ketidakpastian. Pertemuan rutin kami berubah menjadi diskusi
intens, di mana kami berusaha mencari kebenaran di balik
tuduhan ini dan memberikan dukungan penuh kepada Amar.
Meskipun Amar tetap bersikeras bahwa dia tidak
bersalah, tekanan dari tudingan itu memberikan dampak besar
pada dirinya. Kami bersatu untuk mencoba mencari bukti
yang bisa membuktikan kebersihannya, tetapi perasaan
ketidakpastian dan ketidakadilan menggantung di udara,
mempengaruhi dinamika pertemuan kami.

19
Bulan kala itu itu seperti saksi bisu dari rasa tidak
percaya dan tekad kuat kami untuk membantu Amar
membuktikan ketidakbersalahannya.
“Terima kasih, teman-teman. Gua gak nyangka bakal
dapet dukungan segede ini.” Ucap Amar seraya menatap mata
kami berempat.
“Ini bukan cuma buat lo, Amar. Kita sudah berteman
lama banget, kita bantu sampai ke ujungnya.” Sahut Fian
meyakinkan Amar
“Pasti, Amar. Kita cari tau bareng-bareng, dan pasti
ada jalan keluar dari ini.” Ucap aku ikut meyakinkan.
Pandangan Fian mendadak tegas. “Kita butuh strategi
yang bener-bener matang. Kalau gak pasti akan kecolongan
lagi!”
“Dan kita harus tetap tenang, cari bukti yang kuat.
Kita punya waktu, jangan panik.” Ucap Jessie agar tak
gegabah.
Percakapan kami penuh dengan rasa kesatuan dan
tekad. Kami menyusun rencana untuk mencari bukti yang
akan membantu membela Amar. Meskipun langkah-
langkahnya tidak akan mudah, kebersamaan kami
memberikan kekuatan ekstra untuk melangkah maju. Tempat
yang biasanya penuh tawa, kini menjadi panggung untuk
perjuangan keadilan dan persahabatan yang tak tergoyahkan.
Kami bersama Amar, menghadapi tantangan ini dengan
keyakinan bahwa kebenaran pasti akan terungkap
Berbagai ide dan rencana terus bermunculan di antara
kita saat kami menyusun strategi untuk membela Amar. Kami
sadar bahwa kami harus bergerak dengan hati-hati dan

20
mengumpulkan bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa
Amar tidak bersalah.
Tatapan Amar yang sendu mendadak berubah tegas,
“Gua bener-bener bersyukur punya teman kayak kalian. Kita
mulai dari mana?”
“Pertama, kita perlu cari tahu apa aja yang bisa jadi
bukti pembelaan. Adakah rekaman CCTV, atau mungkin
saksi yang melihat kejadian?” Sahut Juli menyusun strategi.
“Gue bakal coba kontak orang dalam perusahaan
yang mungkin bisa bantu kita, lihat apa mereka punya info
lebih lanjut.” Jawabku.
“Kita juga perlu cari tahu motif di balik tuduhan ini.
Ada apa sebenarnya?” Tanya Fian.
“Amar, lo harus siapin segala yang lo punya, semua
transaksi, catatan, bukti pekerjaan lo. Semakin lengkap,
semakin bagus.” Jelas Jessie.
Percakapan kami penuh dengan semangat untuk
bertindak. Kami membagi tugas, saling memberikan
dukungan, dan berjanji untuk tetap kuat menghadapi
rintangan yang akan kami hadapi.
Amar menatap mata kami berempat seraya mengucap
Syukur, “Makasih banget, teman-teman. Gua gak bakal bisa
lewatin ini tanpa kalian.”
“Santai, Mar. Kita hadapi ini bareng-bareng.”
Jawabku
Percakapan kami berakhir dengan tekad yang semakin
menguat. Kami bersama-sama, tak kenal lelah, untuk

21
membuktikan kebenaran dan memastikan bahwa Amar
mendapatkan keadilan yang seharusnya. Rooftop yang
biasanya menjadi saksi kebahagiaan, kini menjadi tempat
awal perlawanan kami untuk membela teman kami.
Malam semakin larut, tepat pukul 03.00 WIB kami
memutuskan untuk pulang kerumah masing-masing. Seperti
biasa sesampainya aku dirumah, hanya disambut dengan
bantal, guling, dan kasur yang hanya terisi boneka beruang
milikku. Kesepian ini entah harus aku jalani sampai kapan.
Entahlah aku tak tau apa alasan pasti mereka
meninggalkanku. Yang jelas aku tetap tidur sendiri diselimuti
dengan kesendirian

Jakarta, 4 Juni 2023


Setelah rapat terakhir kala itu, kami memutuskan
untuk berkumpul kembali dan bergegas menjalankan rencana.
Aku coba menghubungi beberapa orang di dalam perusahaan
untuk mencari informasi lebih lanjut, sementara Fian dan Juli
mencoba melacak adanya rekaman CCTV yang mungkin
dapat menjadi bukti pembelaan.
Amar menatap kami dengan kagum, “Gue bener-
bener gak tau harus gimana ngucapin terima kasih. Kalian
kayak malaikat penolong.”
“Jangan mikirin itu dulu, Amar. Kita masih punya
banyak kerjaan. Yang penting sekarang, kita fokus kumpulkan
bukti-bukti yang bisa bantu lo.” Sahut Jessie
“Betul, Jessie. Dan inget, kita semua di sini bukan
cuma buat bantu lo, tapi juga buat cari keadilan. Ini juga buat
kita semua.” Sambung aku membalas Jessie.

22
Di Tengah suasana yang penuh ketegangan, Fian
mulai menyampaikan progress yang sudah ia lakukan.
“Gua udah kontak beberapa temen di sana. Mereka
janji bakal bantu ngumpulin info. Semoga ada yang berguna.
Juli juga ikut menyambung Fian. “Dan gua lagi coba
kontak sama manajemen buat minta akses rekaman CCTV.
Semoga mereka bisa bantu.”
Pada malam berikutnya, kami kembali berkumpul di
tempat biasa kami kunjungi. Informasi yang kami dapatkan
menunjukkan tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres
dalam tuduhan tersebut. Namun, perjalanan untuk
membuktikan kebenaran masih panjang.
Meskipun kami berusaha keras dan mencoba berbagai
cara, kenyataannya tidak selalu seindah yang kami harapkan.
Aku tidak dapat memperoleh informasi yang cukup solid dari
dalam perusahaan, dan upaya Fian dan Juli untuk
mendapatkan rekaman CCTV juga menghadapi kendala teknis
yang sulit diatasi.
Menghadapi hal ini, Amar semakin tidak yakin. “Gue
rasa kayak langkah kita belum cukup, ya? Ini semakin rumit.”
Jessie mencoba meyakinkan Amar, “Emang sulit,
Amar. Tapi kita gak boleh nyerah. Pasti ada cara lain buat
ngebuktiin kebenaran.”
“Bener, Jessy. Kita bisa coba akses data keuangan
lebih lanjut atau cari tahu lebih dalam soal tuduhan ini.”
Ucapku seraya melanjutkan misiku”
“Atau kita coba temuin saksi yang mungkin udah
kelupaan atau takut ngomong.” Tanya Fian.

23
Juli meyakinkan kami berempat. “Kita tetap lanjutin
terus, ya? Masalahnya gak buat cuma Amar, tapi buat kita
semua.”
Percakapan kami terus berlanjut, semangat untuk
terus berusaha meskipun rintangan. Kami mulai menyadari
bahwa memperjuangkan keadilan bukanlah hal yang mudah,
dan kita perlu bersiap untuk menghadapi berbagai
kemungkinan yang tidak terduga.
“Gue tetap bersyukur punya temen-temen kayak
kalian. Gak tau harus gimana tanpa kalian.” Ucap Amar
“Jangan khawatir, Amar. Kita gak bakal berhenti
mencoba. Pasti ada jalan keluar.” Jawabku meyakinkan.
Meskipun keberhasilan masih tampak jauh, tekad
kami untuk membuktikan kebenaran tetap kuat, malam ini
menjadi saksi bisu dari upaya kami yang terus berlanjut. Kami
terus berpikir keras dan mengembangkan strategi baru untuk
menghadapi situasi ini yang semakin rumit. Juli dan Fian
mendekati beberapa karyawan lain untuk mencari saksi-saksi
yang mungkin tahu lebih banyak tentang kejadian tersebut.
Aku, dengan kepiawaiannya dalam akses informasi, mencoba
mendapatkan data keuangan yang lebih rinci untuk melihat
adanya anomali yang mencurigakan.
“Ini masih awal ya guys, dan kita gak bakal nyerah
begitu aja.” Ucap Jessie.
Sambil mengetik di laptop, aku menjawab. “Gua lagi
coba cari tahu lebih dalam soal transaksi keuangan ini.
Mungkin ada pola yang bisa jadi bukti pembelaan.” .

24
“Gua dan Fian masih coba temuin saksi. Ada
kemungkinan ada orang yang punya info penting tapi belum
kebagian berbicara.” Sambung Juli.
“Betul, kita harus explore semua kemungkinan. Kita
gak boleh melewatkan apa pun.” Jawab Fian mengingatkan
kami.
Amar menatap kami yakin. “Gue percaya, pasti ada
jalan keluar dari ini semua.”
“Gua juga yakin pasti ada. Kita hadapi ini bersama-
sama, ya.” Sahutku.
Percakapan kami kala ini tidak lagi hanya mengenai
persahabatan dan kebahagiaan, tapi juga mengenai tekad dan
keteguhan hati dalam menghadapi cobaan. Kami bersama-
sama merangkai strategi dan berharap bahwa langkah-langkah
baru ini membawa kami lebih dekat pada kebenaran yang
sedang kami cari.

Jakarta, 5 Juni 2023


Suasana kantor hari ini terasa sepi. Meja kerja Amar
terlihat kosong. Sunyinya kantor dihiasi desis-desis karyawan
yang membicarakan Amar, membuatku tidak nyaman.
Tuk, tak, tuk, tak, tuk, tak.
Suara high heels itu adalah suara dari Madam Lynda,
salah satu atasan tempatku bekerja. Satu langkah pertama
saat Madam Lynda keluar dari ruangan, sudah dapat
dipastikan banyak doa yg sedang terpanjatkan. Semua orang
berharap madam tidak berhenti didepan mejanya dan

25
memberikan setumpuk pekerjaan baru. Sayangnya saat ini
giliranku, tepat 20 menit sebelum jam pulang kantor, Madam
Lynda menghampiriku.
Brakk! Suara tumpukan berkas yang ditaruh di
mejaku menghantarkan bunyi yang sangat nyaring.
"Cia, hari ini lembur ya, ini ada beberapa berkas yang
harus diselesaikan malam ini juga, ini harusnya tugas Amar.
Tapi kayaknya bisa di selesaikan sama sahabatnya, kan? Siapa
suruh berteman dengan pencuri seperti Amar." Madam Lynda
memerintah sembari jalan menuju ruangannya, tanpa
menunggu jawaban dariku terlebih dahulu. Kalimat itu benar-
benar menembus jantungku.
“Bajingan! Dia kenapa ngomong kayak gitu sih.
Padahal kan belum tentu Amar yang melakukan. AH
PERSETAN! Aku hanya ingin masalah ini segera selesai”
Teriakku dalam hati, yang tentu saja dihiasi dengan senyum di
wajahku sambil berkata “Baik Madam”. Mana bisa orang
biasa sepertiku menolak suruhan dari Madam. Bisa-bisa aku
yang tidak dapat gaji bulan ini. Aku tidak tau, mungkin
sepertinya perusahaanku menganut sistem kerja paksa. Jadi
ya, mau ga mau harus diterima aja.
Tepat pukul 20.45 WIB aku berhasil menyelesaikan
semua berkas itu. Tentu saja aku segera bergegas menuju
tempat kami biasa berkumpul. Saat aku tiba, segeralah ku
bertanya pada mereka tentang progress masalah ini, seraya
menggerutu terkait ucapan Madam Lynda tadi.
“Sorry guys gua telat, Madam Lynda nyebelin banget
tadi. Tiba-tiba ngasih gua lembur, huft. Oh ya, progresnya
sudah sampai mana?”

26
Sebenarnya semua progress sudah hampir terjalani.
Namun, kendala terbesar kami adalah pandangan rendah
terhadap Amar di lingkungan perusahaan. Tuduhan ini
menciptakan prasangka yang sulit untuk dilawan. Sebagai
seorang yang dipecat dengan tuduhan serius, Amar merasakan
perubahan sikap dari rekan-rekannya. Beberapa di antaranya
merasa enggan berbicara atau membantu, sementara yang lain
merendahkan kemampuan Amar untuk membuktikan
ketidakbersalahannya.
Muka amar terlihat lemas, menatapku dengan tatapan
kosong. “Mereka semua udah ngejudge gue sejak awal, Cia.
Gue ngerasa kayak ngelawan arus sendirian.”
“Itu memang keras, Amar. Tapi kita gak boleh biarin
mereka menilai lo tanpa liat bukti-bukti yang bener.” Jawab
Jessie
“Gua bisa jadi saksi yang siap bersaksiin kejujuran lo,
Amar. Gua punya pengalaman kerja bareng lo dan ngerti
gimana lo kerja.” Sambutku dengan lantang.
“Atau mungkin kita bisa minta bantuan pengacara
yang bisa bantu lo menyusun pembelaan yang kuat.” Tanya
Juli dengan cukup yakin.
“Gak peduli seberat apa situasinya, kita bakal
bersama-sama melewati ini. Kita gak bakal ninggalin lo,
Amar.” Ucap Fian meyakinkan Amar.
Dalam situasi di mana pandangan negatif
menyelimuti Amar, kami harus merancang pendekatan yang
bijaksana dan taktis. Mencari saksi yang bisa membuktikan
integritas Amar atau mendapatkan dukungan hukum mungkin
menjadi langkah krusial.

27
Meskipun Amar menghadapi pandangan rendah dan
prasangka di lingkungan perusahaan, ia tetap gigih dalam
usaha membuktikan ketidakbersalahannya. Ia menyadari
bahwa untuk menanggapi tuduhan serius ini, perlu langkah-
langkah konkret dan bukti yang kuat. Amar mulai mencari
saksi-saksi yang bisa memberikan kesaksian tentang
integritasnya, meskipun langkah ini tidak selalu mudah.
Di tengah suasana yang terus menghangatkan rooftop
yang menjadi tempat kumpul kami, Amar menyampaikan
bahwa ia telah mencoba berbagai cara untuk mendapatkan
dukungan. Meskipun beberapa rekan kerja enggan terlibat,
beberapa yang lain tetap bersedia membantu. Kami berusaha
untuk terus membuktikan bahwa Amar adalah korban tuduhan
yang tidak berdasar.
Namun, realitas di perusahaan tidak seindah yang
kami harapkan. Beberapa pihak lebih memilih untuk tetap
skeptis, dan pandangan negatif terhadap imar masih sulit
untuk diubah. Ia juga harus menghadapi atmosfer toksik di
kantor. Sejak tuduhan muncul, beberapa rekan kerja mulai
menghindari dan merendahkan Amar, menciptakan
lingkungan yang tidak menyenangkan dan sulit untuk diatasi.
Amar harus menghadapi gosip dan tatapan sinis setiap
kali berada di sekitar rekan-rekannya. Perasaan kesepian dan
diasingkan membuatnya semakin sulit untuk menyampaikan
bukti dan membangun pembelaan. Lingkungan yang toksik
ini menciptakan tekanan tambahan yang membuat Amar
merasa terisolasi.

28
29
BAB III

LEPAS
Jakarta, 7 Juni 2023
Matahari tenggelam dan sudah tiba jam pulang
kantor. Saatnya aku kembali berkumpul untuk menyelesaikan
masalah. Namun kali ini kami berkumpul di tempat berbeda.
Warung Bi Yuni menjadi pilihan kami untuk hari ini. Sebuah
warung di sudut kecil kota yang ramai dan menyimpan
banyak kenangan dekat sekolahku dahulu. Aku, Fian, Jessie,
Amar, dan Juli memasuki warung tersebut dengan senyum
rindu di wajah kami.
Bi Yuni menyambut kami dengan penuh sukacita,
mengobrol layaknya keluarga yang bersatu kembali setelah
sekian lama terpisah. Suara canda tawa dan aroma makanan
khas Bi Yuni mengisi udara, menciptakan kesan bahwa waktu
tidak pernah merubah kehangatan dan kebersamaan di warung
itu. Dahulu kami sangat sering makan disini. Bi Yuni sudah
seperti ibu bagi kami semua. Saat kami datang, ia langsung
menyambut dan memeluk kami dengan sangat erat. Mungkin
sebagai ungkapan rasa rindu yang tak tertahankan.
"Alamak! Akhirnya datang juga kalian, udah lama
banget gak ketemu!"

30
“Iya nih, Bi Yuni. Rindu banget sama nasi goreng
legendaris mu." Sahutku.
"Aduh, Cia! Kamu selalu inget sama nasi gorengku.
Gimana kabar semua?"
"Kabarnya baik, Bi Yuni. Gak nyangka udah lama
gak mampir ke sini." Jawab Fian.
"Jessie, Amar, Juli, apa kabar? Udah lama banget nih
gak liat muka kalian."
"Kabarnya sih oke, Bi Yuni. Rindu banget sama
tempat ini" Jawab Jessie
"Betul, Bi Yuni. Tempat ini punya kenangan khusus
buat kita." Sambung Amar
"Aduh, beneran rindu. Yuk, duduk-duduk. Nanti aku
buatkan makanan, mau pesen apa? favorit masih nasi goreng
kan?"
"Pasti dong, Bi Yuni. Gak bisa lepas dari nasi goreng
legendaris mu." Timpal Juli.
Sembari menunggu makanan datang, Amar mulai
membagikan beban perasaannya, merinci betapa sulitnya
menghadapi sikap negatif dan atmosfer yang tidak bersahabat
di tempat kerja. Meskipun kami, sebagai teman-temannya,
terus memberikan dukungan, kenyataannya adalah bahwa
Amar terus berjuang dalam lingkungan kerja yang tidak
mendukung. Keberanian dan keteguhan hatinya diuji setiap
hari.
Bi Yuni dengan wajah penuh semangat tiba-tiba
muncul dengan nampan kesayangannya yang dihiasi oleh nasi

31
goreng yang menggoda selera. Nampan itu seolah membawa
nostalgia dan kenangan manis bagi setiap pengunjung
warung.
"Nih, teman-teman! Nasi goreng spesial dari dapurku.
Dikasih extra sayur dan cabe ya, sesuai selera kalian dulu."
"Wah, Bi Yuni! Ini dia nasi goreng yang bikin
kangen. Makasih ya!" Sahutku.
"Gak sabar buat nyicipin lagi. Dulu sering banget
makan ini bareng-bareng." Timpal Fian
"Aduh, Bi Yuni, kamu memang jago bikin nasi
goreng. Ini enak banget!" Jawab Jessie.
"Haha, senang kalau kalian suka. Ini spesial buat
kalian yang udah lama gak mampir. Tapi maaf ya, Bibi harus
pergi ke Rumah Sakit. Si Irman sakit. Kalau mau nambah
ambil lagi aja di dalem." Pamit Bi Yuni untuk mengantar
anaknya yang sakit.
Bi Yuni pergi dan menitipkan warungnya pada kami.
Memang sudah setinggi itu rasa percaya Bi Yuni pada kami.
Sambil duduk bersama, kami pun menikmati hidangan
kesayangan itu, seraya membahas permasalahan Amar yang
tak kunjung menemukan titik temu. Setelah berbagai upaya
yang dilakukan Amar, tekanan yang terus bertambah
membuatnya merasa terjebak dalam situasi yang semakin
sulit. Rasa putus asa dan kekecewaan mulai menggerogoti
semangatnya. Pada suatu titik, Amar merasa bahwa melawan
toksisitas di kantor dan membuktikan ketidakbersalahannya
sudah tidak lagi bernilai.
Tanpa dapat menahan lagi beban psikologis yang
begitu berat, Amar akhirnya menyerah. Keputusannya untuk

32
keluar dari perusahaan menjadi pilihan yang sulit namun saat
ini itu yang ia butuhkan. Amar memutuskan untuk segera
pulang ke rumah guna dapat memulihkan kesehatan mental
dan kestabilan emosionalnya.
Dalam kepergian Amar, warung Bi Yuni yang dahulu
menjadi saksi kebahagiaan dan perjuangan, kini menyaksikan
kepahitan dan kekecewaan yang melingkupi hatinya. Rasa
dendam pun muncul, bukan hanya terhadap perusahaan yang
tidak adil, tetapi juga terhadap rekan-rekan kerja yang turut
serta menciptakan lingkungan toksik.
Kami masih tak percaya bahwa langkah inilah yang
Amar ambil. Terutama aku yang sudah sekuat tenaga
berusaha. Namun lagi-lagi aku kembali merasa ditinggalkan
lagi-lagi dengan orang yang kuanggap keluarga.
Dengan rasa tidak percaya aku berkata, “Gak
mungkin ini bener. Amar harusnya gak sampai titik ini.”
“Lo bener, Cia. Kita sudah berusaha sekuat tenaga,
tapi kok...” Sahut Juli.
“Gue gak percaya dia sampai menyerah. Dia
seharusnya bisa melawan.” Sambut Fian yang ikut tak
percaya.
“Mungkin ini semua terlalu berat buat dia. Kita gak
bisa nyalakan Amar.” Jawab Jessie menenangkan.
“Tapi kita bisa terus mencari kebenaran, kan? Gue
gak mau ini jadi berakhir begitu saja.” Tanyaku seakan tak
menyerah.

33
“Betul, kita gak boleh berhenti. Kita tetap mencari
bukti dan membuktikan bahwa Amar tidak bersalah.” Jawab
Juli.
“Mungkin kita juga bisa coba bicara dengan Amar,
memberikan dukungan, membuat ia sadar kalau kita masih di
sini untuk dia.” Sambung Fian.
Percakapan kami kala itu mencerminkan
ketidakpercayaan dan keputusasaan atas keputusan Amar.
Meskipun dia telah menyerah, kami masih bersatu untuk
melanjutkan perjuangan mencari kebenaran dan memberikan
dukungan kepada Amar di masa-masa sulit ini.
Kami memutuskan untuk pulang masing masing ke
rumah. Aku pulang diantar dengan Juli, begitu pula Jessie
yang diantar Fian. Sesampainya dirumah aku bergegas untuk
beberes dan segera tidur. Hal itu aku lakukan selama kurang
lebih tiga puluh menit dan berhenti ketika menyadari bahwa
teleponku berdering.
Kriiiiiiinggggg…
Ternyata aku mendapati voice call grup yang dimulai
oleh Amar. Ia yang sudah lelah dengan segala perjuangan dan
beban yang dia emban, akhirnya bersua dengan kami di
telepon. Tatapan suaranya saja mencerminkan kelelahan yang
mendalam.
“Gue... gue udah nggak kuat lagi, temen-temen.
Semua ini terlalu berat buat gue.”
“Amar, kita harus tetap bareng-bareng, lo ga boleh
ninggalin kita kayak gini.” Jawabku.

34
“Bener, Amar. Kita gak percaya lo sampe titik ini.
Kita harus cari jalan keluar bersama-sama.” Sambut Juli.
“Jangan nyerah, Amar. Masih banyak yang bisa kita
coba, banyak dukungan yang bisa lo dapat.” Timpal Fian.
Amar menjawab seraya menggelengkan kepala. “Gue
udah mencoba semuanya, tapi gak ada yang berubah. Rasanya
kayak jalan yang gak ada ujungnya.”
“Kita bisa cari bantuan hukum, Amar. Ada banyak
organisasi yang bisa bantu kasus kayak gini.” Jawabku
menampilkan solusi.
“Atau kita coba cari saksi yang lebih berani buat
bersaksi. Pasti ada jalan keluar.” Sambung Fian.
“Jangan putus asa, Amar. Ayo, kita pasti bisa.”
Timpal Juli
Amar menghela nafas. “Gue ngerti kalian peduli, tapi
rasanya sudah cukup. Gue butuh waktu sendiri buat
merenung.”
“Baik, Amar. Tapi kita gak bakal jauh. Kapan pun lo
butuh, kita di sini.” Ucap Jessie.
Percakapan yang penuh emosi itu menegaskan bahwa
Amar merasa sudah mencapai titik terendahnya. Kini aku
harus menyaksikan temanku yang lelah dan terpukul oleh
kesulitan hidup. Meskipun ia memilih untuk menjauhkan diri
untuk sementara, kami, sebagai teman-temannya, tetap siap
memberikan dukungan ketika ia memutuskan untuk kembali.

35
BAB IV

PULIH
Jakarta, 15 Juni 2023
Aku memutuskan untuk kembali fokus pada
pekerjaan, mencoba menemukan makna baru dalam rutinitas
sehari-hari. Setiap langkahku di kantor menjadi upaya untuk
mengisi kekosongan yang terasa di dalam diriku. Meskipun
kesendirian terkadang mengejar, aku mencoba untuk tetap
profesional dan terlibat dalam tugas-tugas pekerjaan.
Tempat yang dulu menjadi saksi kebersamaan, kini
menjadi tempat pelarian saat aku merasa terjebak dalam
kehampaan. Pekerjaan memberikan struktur dan tujuan, tetapi
bayang-bayang kehilangan masih menghantui setiap sudut
kehidupanku.
Setiap kali aku melangkah ke tempat dahulu aku dan
Amar bersama, aku merenung tentang perjalanan hidup dan
perubahan yang telah terjadi. Bagaimana aku, yang dulu
bersamanya dengan penuh semangat, kini merasakan sepi
dalam keseharianku.
Dengan waktu, aku mulai menemukan keseimbangan
baru dan menerima bahwa kehidupan terus bergerak maju.
Aku terus menjalani rutinitas di kantor, namun suasana yang

36
kini sepi kontras dengan kehidupan kantor yang dulu penuh
dengan tawa dan obrolan bersama teman-teman. Meja yang
kosong dan ruangan yang sunyi menciptakan atmosfer yang
terasa begitu hampa. Aku merasa terasing, terutama ketika
melihat ruang rapat yang dulu dipenuhi diskusi dan proyek
bersama Amar, kini hanya tinggal kenangan.
Walaupun aku mencoba untuk terus fokus pada
pekerjaan, tetapi kehampaan di sekitarku membuat setiap
langkah terasa berat. Aku merindukan kehangatan tim dan
suasana kerja yang dahulu penuh semangat.
Pada satu titik, aku memutuskan untuk mencoba
menghidupkan kembali semangat di kantor, mengusulkan
pertemuan atau kegiatan kecil untuk membangkitkan
kebersamaan. Meskipun tak seperti dulu, langkah ini
setidaknya memberikan sedikit cahaya dalam suasana kantor
yang sepi.
Beberapa minggu berlalu, dan secara tak terduga,
Amar kembali berkumpul bersama. Wajahnya yang dulu
penuh semangat kini mencerminkan perjalanan yang berat.
Kami, teman-temannya, menyambutnya dengan hangat, tanpa
ada cela atau kekesalan.
“Senang rasanya lihat lo lagi, Amar. Gimana kabar?”
Tanyaku pada Amar.
Menjawab dengan mengangguk. “Gue merasa perlu
kembali ke sini. Makasih udah ngertiin gue waktu itu.”
“Kita selalu ada untuk satu sama lain, Amar. Ada
yang bisa kita bantu?” Tanya Juli.
“Emangnya lo udah punya rencana ke depannya?”
Sambung Fian.

37
Sembari menarik nafas panjang, Amar menjawab.
“Sejauh ini belum, guys. Rasanya susah nyari pekerjaan baru
setelah semua yang terjadi.”
“Jangan khawatir, Amar. Kita bakal bantu lo cari
jalan keluar dari situasi ini.” Ungkap Jessie.
Kami mulai merencanakan langkah-langkah
selanjutnya, mencoba membantu Amar menemukan kembali
pijakan hidupnya. Kami tahu bahwa perjuangan Amar masih
panjang, tapi dengan kebersamaan kami, kami yakin bahwa
bersama-sama, kami bisa mengatasi setiap rintangan.
Percakapan kali ini melibatkan berbagai ide dan saran
untuk membantu Amar mengatasi tantangan baru yang
dihadapinya. Kami berbagi pengalaman dan mencoba merinci
langkah-langkah yang bisa diambil Amar untuk menemukan
pekerjaan baru.
“Mungkin kita bisa update CV dan profil LinkedIn lo,
Amar. Itu bisa bantu banget buat mencari peluang pekerjaan.”
Saranku.
“Betul, dan coba kita cari info soal pelatihan atau
kursus yang bisa nambahin skill lo. Bisa jadi nilai tambah
buat CV.” Sambung Juli
“Plus, jangan ragu minta bantuan teman-teman atau
kenalan kita. Networking bisa membuka pintu-pintu yang gak
terduga.” Tambah Fian.
“Dan pastinya, kita bakal support lo selama proses ini.
Jangan ngerasa sendirian, Amar.” Sahut Jessie.

38
Amar mengangguk mengapresiasi dukungan dan
saran dari teman-temannya. Meskipun masih menghadapi
ketidakpastian.
“Makasih, teman-teman. Gue gak tau gimana gue
bakal lewatin ini tanpa kalian.”
“Iya, Mar. Kita hadapi semua ini bersama-sama. Ya?”
Sambungku.

Pulau Tidung, 17 Juni 2023


Kurasa masalah ini sudah kami anggap selesai.
Dengan mata yang bersinar penuh syukur, aku berjalan
menyusuri pantai dengan suara ombak seperti perlahan
berbisik dan memaklumkan kelegaan. "Akhirnya selesai,"
gumamku, sambil menatap ke langit senja yang dipenuhi
warna-warni.
"Mungkin saatnya aku memberi ruang pada diriku
sendiri." gumamku dalam hati, memutuskan untuk menikmati
kesendirian pulau ini selama beberapa hari. Suara angin dan
deburan ombak sepertinya akan menjadi teman baruku, dan
aku merasakan betapa berharganya momen tanpa beban, tanpa
bayang-bayang masalah yang menghantui.
Dalam senyap yang mendalam, aku bersenandung
dengan kalimat-kalimat bersyukur, mencatat setiap momen
dalam ingatanku. “Terkadang kesendirian adalah pelukan
lembut yang aku butuhkan," gumamku, sambil mengukir
catatan kebijaksanaan di bawah sinar matahari pagi yang
menembus pepohonan rindang.

39
Hari demi hari bergulir seperti air yang tenang, dan
aku merasakan semangat yang tumbuh dalam keheningan.
"Ini adalah perjalanan penyembuhan yang indah," gumamku,
mengulurkan tangannya ke arah langit, seolah-olah meminta
izin untuk membiarkan diriku melayang bersama hembusan
angin yang membawaku ke kehidupan yang baru.
Dalam gumaman lembut, aku menemukan kekuatan,
ketenangan, dan keberanian. Kesendirian yang dipilihku
menjadi tempat di mana aku menemukan diriku yang hilang,
dan dengan hati penuh syukur, aku siap untuk melangkah ke
depan, mengukir kisah baru yang memancarkan cahaya
kebahagiaan yang ditemukan dalam setiap langkahku.

40
BAB V

PERKARA
Pulau Tidung, 18 Juni 2023
Di tengah keheningan pulau ini, tiba-tiba aku
merasakan getaran ponselku yang tersembunyi dalam tas.
Tanpa ragu, aku mengambilnya dan melihat pesan singkat
dari Fian. “Besok ke rumah gua. Ya, teman-teman?" Tawaran
Fian untuk berkumpul seolah-olah seperti jawaban dari
keheningan yang selama ini menjadi temanku.

Jakarta, 19 Juni 2023


Dalam keheningan senja yang melingkupi kota,
Aditya Fian Ramadhan duduk di teras rumahnya yang akan
segera menjadi kenangan. Suara langkah-langkah waktu
seakan menjadi riuh, dan keheningan itu menyampaikan
berita yang menyedihkan, rumahnya akan segera digusur
untuk memberi ruang pada proyek pembangunan jalan tol.
Maklum saja, rumah Fian hanyalah rumah semi
permanen dan tidak memiliki sertifikat izin mendirikan
bangunan. Merasa terpukul, Fian memutuskan untuk
mengajak kami berkumpul di rumahnya, ingin merayakan
kenangan indah sekaligus menghadapi kenyataan yang sulit.

41
Aku, Juli, Jessie, dan Amar menerima undangan Fian
dengan penuh kepedulian. Kami datang dengan senyum
hangat, membawa kehangatan persahabatan di tengah
keresahan yang dirasakan Fian. Teras rumah yang menjadi
saksi bisu kisah kebersamaan kami menjadi saksi bisu pula
akan perpisahan yang tak terhindarkan.
Dalam ruangan yang dihiasi dengan kenangan, Fian
memulai cerita tentang setiap sudut rumah, setiap tawa yang
pernah terdengar, dan setiap cerita hidup yang tertempel di
dinding-dinding rumah itu. Aku, Juli, Jessie, dan Amar
mendengarkan dengan hati yang hangat, meresapi setiap kata
yang keluar dari bibir Fian, dan bersama-sama menghormati
setiap sudut rumah yang akan lenyap.
Di tengah kepedihan, tawa-tawa kecil pun merekah.
kami menyusun rencana untuk menjadikan malam itu sebagai
perayaan terakhir di rumah Fian. Makanan lezat dan canda
tawa memenuhi seisi ruangan, seakan menyatu dengan aroma
kenangan yang terlukis dalam setiap senti rumah itu.
Seiring malam berlanjut, meskipun masih terasa
kehilangan, Fian merasa terhibur oleh kehadiran sahabat-
sahabatnya. Kami berbagi cerita, menyanyikan lagu-lagu
kenangan, dan menciptakan momen-momen terindah sebelum
rumah itu menjadi bagian dari sejarah.
Malam itu, di tengah kehangatan perpisahan,
beberapa kali Fian memisahkan diri dan duduk di teras
dengan pandangan yang kosong. Seluruh cerita dari perayaan
terakhir seakan terhapus, meninggalkan rasa hampa di
hatinya. Dalam percakapan dan tawa, ia merenung tentang
kenyataan bahwa dirinya hanyalah pemuda biasa, sebatang

42
kara, yang tak memiliki kekuatan untuk memberontak
melawan keputusan besar seperti ini.
Aku yang selalu peka terhadap perasaan orang lain,
mendekati Fian dan duduk di sampingnya. "Fian, gua tahu ini
sulit untuk diterima. Tapi, kita di sini untuk lo. Persahabatan
kita tak akan pernah pudar, bahkan jika rumah ini pergi."
Amar, dengan penuh empati, menambahkan,
"Terkadang, hidup memberikan ujian yang sulit. Kita
mungkin tidak bisa mengubah keputusan ini, tetapi kita bisa
saling mendukung."
Juli dan Jessie, meskipun tak bisa menahan
kekecewaan, berusaha memberikan semangat. "Fian, kita akan
selalu bersama-sama. Jangan biarkan situasi ini meruntuhkan
semangat lo." ucap Juli dengan tulus.
Jessie menambahkan, "Ketidakadilan ini mungkin
membuat lo terpuruk, tapi ingatlah bahwa kita di sini selalu
ada buat lo."
Fian tersenyum kecil, menghargai dukungan teman-
temannya. "Terima kasih, kalian. Gua mungkin tak bisa
mengubah keputusan ini, tapi malam ini adalah kenangan
yang takkan pernah gua lupakan."
Dalam keheningan yang dipenuhi oleh kehilangan,
kami memilih untuk merayakan persahabatan yang tetap
teguh. Meski Fian hidup sebatang kara, ia merasa kaya karena
memiliki teman-teman sejati yang selalu ada dalam suka dan
duka. Malam itu, rumah mungkin pergi, tapi kenangan dan
persahabatan akan tetap hidup dalam hati kami.
Juli, dengan ekspresi tulus, menawarkan sebuah ide
yang tidak terpikirkan sebelumnya, "Fian, lo kenapa ga

43
tinggal dirumah gua aja? Gua punya ruang kosong, dan
setidaknya lo tidak perlu merasa sepi atau kehilangan tempat
yang nyaman."
Fian, terkejut dengan tawaran itu, menatap Juli
dengan rasa terharu di matanya. "Juli, lo serius? Gua gak mau
merepotkan."
Juli tersenyum, "Tentu saja serius. Jangan pikirkan itu
sebagai beban, tapi sebagai langkah baru menuju masa depan
yang lebih baik."
Aku, Amar, dan Jessie, yang mendengar percakapan
itu, memberikan restu mereka dengan senyuman. "Juli benar,
Fian. Lo bisa tinggal diruumahnya untuk beberapa saat." Ucap
Amar dengan penuh keyakinan.
Malam itu, di tengah rasa haru dan kebahagiaan atas
tawaran tak terduga, Fian menerima kebaikan hati Juli. kami
merencanakan bagaimana Fian akan mengatur barang-
barangnya di rumah Juli, memastikan bahwa perpindahan ini
akan berjalan dengan lancar.
Hari-hari berikutnya menjadi periode penyesuaian
bagi Fian. Meskipun rumahnya yang lama akan segera
menjadi kenangan, Fian menemukan kenyamanan dan
kehangatan di rumah baru Juli. Setiap langkah menuju
perubahan memberikan kesempatan baru untuk tumbuh, dan
Fian merasa beruntung memiliki teman-teman sejati yang
selalu ada untuknya.
Sebelum pulang, aku, Juli, Jessie, dan Amar
meninggalkan rumah itu dengan hati yang penuh kesedihan.

44
Keesokannya Fian, harus mengucapkan selamat
tinggal pada tembok dan pintu yang pernah melindunginya,
dan segera mengemaskan barang-barangnya untuk pindah.

Jakarta, 20 Juni 2023


Rumah Juli terbentang luas dengan sentuhan elegan
dan sederhana yang menciptakan atmosfer kehangatan.
Juliandika Putra Pramana adalah anak seorang pengusaha
sukses. Saat Fian tiba di rumah Juli, ia disambut oleh taman
bunga yang indah di halaman depan. Tersirat dari setiap
tanaman adalah kerja keras dan kepedulian Juli terhadap
rumahnya, menciptakan lingkungan yang menenangkan.
Masuk ke dalam rumah, Fian dapat merasakan
keharmonisan yang mengisi setiap sudut. Ruang tamu yang
lapang dihiasi dengan warna-warna cerah dan sentuhan seni
dari karya Juli sendiri. Pilihan furnitur yang nyaman dan
elegan mencerminkan keahlian Juli dalam menciptakan
suasana yang menyenangkan.
Dapur yang terbuka menyebar aroma masakan yang
menggoda. Juli, yang ternyata ahli masak, mempersiapkan
hidangan lezat yang menjadi penghibur di tengah perubahan
yang sedang dialami Fian. Bau rempah-rempah dan suara
dentingan panci menggambarkan kecintaan Juli terhadap
masakan, menciptakan kenangan indah bagi mereka berdua.
Fian diberikan kamar yang nyaman dan bersih,
dengan sentuhan personal yang sesuai dengan kebutuhannya.
Pemandangan dari jendela kamarnya melihat ke taman
belakang yang tenang, tempat Juli sering kali duduk sendiri.

45
Fasilitas yang disediakan di rumah ini memberikan
kenyamanan tanpa batas bagi Fian.
Setiap anggota keluarga Juli menyambut Fian dengan
tulus. Terlihat kehangatan dalam setiap percakapan dan tawa
yang terdengar. Fian merasa seolah telah menjadi bagian dari
keluarga ini.
Meskipun perubahan ini awalnya sulit, Fian merasa
diberkati karena mendapat peluang untuk membangun
kenangan baru dan ikut serta dalam kehidupan yang penuh
kehangatan bersama keluarga yang luar biasa ini.
Walaupun Fian merasa nyaman dan bahagia di rumah
Juli, kenangan rumah lama tetap melekat dalam hatinya.
Setiap sudut rumah yang dulu, setiap tawa dan cerita yang
terpahat di sana, menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Meski ada kebahagiaan baru, sesekali Fian masih merasakan
kerinduan akan rumah yang telah menjadi saksi perjalanan
hidupnya.
Pada suatu malam, Fian duduk di kursi beranda,
menatap bintang-bintang dengan pikiran yang melayang ke
masa lalu. Juli, yang peka terhadap perasaannya, mendekat
dan duduk di sebelahnya. "Fian, gua tahu bahwa rumah lo
yang lama memiliki makna yang mendalam buat lo. Jangan
ragu untuk berbagi jika lo butuh dukungan." Ucap Juli dengan
lembut.
Fian tersenyum dan mengangguk, "Terima kasih, Juli.
Gua sangat bersyukur memiliki teman kayak lo, tetapi
terkadang kerinduan akan kenangan lama masih datang."

46
Juli memahami, "Itu sepenuhnya wajar, Fian.
Kenangan itu bagian dari kita, dan rumah kita yang lama
selalu akan memiliki tempat istimewa di hati kita."
Hari-hari berlalu, dan Fian mulai menemukan
keseimbangan antara melanjutkan hidup dan merayakan
kenangan lama. Setiap kali rindu muncul, ia tahu bahwa ada
teman-teman yang siap mendengarkan dan memberikan
dukungan. Rumah lama mungkin telah berpindah, tetapi Fian
menyadari bahwa rumah sejati adalah di mana hati merasa
diterima dan dicintai.
Dalam langkah-langkahnya yang baru, Fian
menemukan kekuatan dalam memeluk perubahan dan
merangkul kebahagiaan. Juli, dengan kebijaksanaannya, terus
menjadi sahabat sejati bagi Fian. Mereka berdua sering
berbagi cerita, tertawa bersama, dan menangis bersama saat
mengenang kenangan lama. Juli membantu Fian mengenali
bahwa kebahagiaan tidak hanya terletak pada tempat,
melainkan pada cara kita merangkul perubahan dan menilai
momen-momen yang membentuk hidup kita.
Suatu hari, Fian membuka kotak tua yang berisi
kenang-kenangan dari rumah lamanya. Bersama Juli, mereka
membuka kotak itu dan merayakan setiap benda yang
memiliki cerita di baliknya. Juli mengatakan, "Ini adalah
bagian dari perjalanan yang membentuk lo menjadi siapa diri
lo sekarang, Fian. Dan gua bersyukur dapat berbagi setiap
langkah itu bersama lo."
Fian merenung sejenak, mengamati setiap foto dan
surat-surat lama. Dia merasakan kehangatan dan dukungan
dari Juli. Walau rumah lama meninggalkan jejak nostalgia
yang dalam, Fian merasa beruntung memiliki orang-orang di

47
sekitarnya yang memahami dan mendukung setiap fase
perubahan.
Dengan waktu, Fian tidak hanya menemukan
kebahagiaan di rumah baru, tetapi juga di dalam dirinya. Dia
menyadari bahwa, seiring berjalannya waktu, kenangan lama
menjadi bagian dari fondasi kebahagiaan yang baru.

48
49
BAB VI

RAMPAK
Dari yang kami tau, mungkin sebagian dari kami
akan berfikir bahwa Juli memiliki keluarga yang sempurna.
Namun nyatanya, keluarga Juli jauh dari kata harmonis. Juli
hidup dibalik tirai seolah menyimpan rahasia tersembunyi atas
senyum dan keceriaan yang ia pajang di muka umum.
Dalam redupnya cahaya lampu kamar Juli, dia duduk
sendiri, merenda dalam bisu yang terpenuhi oleh pemikiran
dan perasaan yang terpendam. Meskipun dia kerap menjadi
sumber kekuatan bagi teman-temannya, kekuatan itu hanyalah
topeng yang menutupi ranjau-ranjau dalam dirinya.
Fian, teman terdekatnya, duduk di seberangnya
dengan sikap yang lebih hangat daripada sinar lampu di antara
mereka. Dalam keheningan malam, Fian mencoba untuk
membuka obrolan. "Jul, gue lihat lo selalu ada buat temen-
temen, kasih semangat yang keren dan bijaksana. Tapi gue
jadi mikir, kalo kayak lagi ada masalah lo bakal cerita ke
siapa?"
Juli mengeryitkan kening, melongokkan kepala ke
arah Fian. Dia merasa ada ketidaknyamanan, namun juga
kelegaan karena akhirnya ada seseorang yang melihat di balik
tirai yang dia kibaskan.

50
"Gue? Oh, gue fine aja, Fian. Nanti masalah juga
akan ilang sendiri."
Fian menjawab dengan tegas, "Nggak usah pura-pura
di depan gue, Juli. Gue tahu lo enggak selalu fine. Gue cuma
pengen mastiin aja."
Juli terdiam sejenak, matanya menangkap sorot tajam
Fian. Pada akhirnya, dengan nafas berat, Juli mengakui, "Gue
sendiri, Ian. Gue selalu nyembunyiin luka, dan nggak pernah
ada yang nyadar."
Fian menarik nafas dalam-dalam, lalu tersenyum,
"Gue di sini buat itu, Jul. Lo nggak perlu ngelewatin semua
ini sendirian. Lo nganggep gua temen kan?"
Juli, tanpa mengucapkan kata, merasa sebuah beban
besar terangkat dari pundaknya. Terkadang, ia tak cukup
berani untuk menyatakan kelemahan.
Beberapa waktu lalu, Fian tanpa sengaja menemukan
sebuah kotak berisi surat dan foto di sudut ruangan kamar
Juli. Dalam kepenasarannya, dia mulai menjelajahi isi kotak
tersebut. Tanpa disadari Fian telah menguak sebuah
kebenaran tak terduga. Selama ini ternyata Juli memiliki
saudara tiri yang ia rahasiakan.
Fian mulai melanjutkan percakapannya dan jujur pada
Juli. “Juli, gua tau ini lancang, tapi gua tau sedikit tentang
bokap lo. Gua sedikit kaget ternyata lo punya saudara tiri.”
Juli, dengan ekspresi wajah yang marah, menatap
Fian dengan tajam. "Fian, lo ngerti gak sih betapa privasinya
urusan keluarga gue? Kenapa lo bisa tau soal saudara gue
yang selama ini disembunyiin?"

51
Fian merasakan tekanan dalam tatapan Juli, namun ia
tetap tenang. "Juli, gue nemuin sebuah kotak surat di kamar
lo, waktu kita abis main playstation bareng kemarin. Tapi
bukan dengan maksud nakal, gue cuma kebetulan nemu. Gue
gak sengaja buka dan akhirnya tau tentang saudara tiri lo."
Juli mendengus, merasa kesal namun juga
menunjukkan rasa penasaran. "Surat apa?"
Fian menunjukkan surat yang waktu itu ia temukan.
"Ini. Gue nggak niat baca, tapi gak sengaja jatoh terus
terbuka, isinya tentang hal itu. Gue pikir lo mungkin punya
alasan kenapa enggak cerita, tapi gue enggak tahu kalau ini
rahasia yang lo simpan."
Angin malam membelai rambut Juli yang berkibar,
mencerminkan getaran kemarahannya. "Lo tuh udah lewat
batas, Fian." Desisnya dengan suara berat, matanya
memandang tajam ke arah temannya itu.
Fian tersentak dan terkejut melihat amarah Juli,
seraya mencoba untuk membela diri. "Gua cuma pengen
ngerti, Juli."
"Gua nggak butuh alasan lo. Lo diam-diam ngambil
surat itu, nggak ada hak lo!" Bentak Juli dengan tangan
kanannya yang gemetar menggenggam erat surat yang telah ia
rampas dari Fian. Juli merasakan aliran darahnya memanas.
Juli menghampiri Fian dan tanpa aba-aba ia melancarkan
pukulan tajam ke pipi Fian. "Ini biar lo sadar, Ian. Gua nggak
abis pikir lo punya nyali kayak gini." Ancamnya dengan
penuh ketegasan.
Juli menatap Fian dengan sorot mata yang padam,
namun penuh kekecewaan. "Puas lo udah ngerusak

52
kepercayaan gua selama ini?" Desisnya, suaranya dipenuhi
rasa sakit yang sulit disembunyikan.
Fian mencoba bicara, namun bicaranya terbata-bata.
"Gua nggak maksud, Juli. Gua cuma mau..."
"Lo cuma mau apa, Fian? Menghancurkan
semuanya?" Potong Juli, nadanya menusuk tajam. "Ini bukan
cuma soal surat, tapi soal masa lalu dan keluarga gua. Lo
sadar nggak?”
Dalam keheningan malam, terdengar detak hati yang
terputus-putus, mencerminkan keretakan yang merambat di
antara mereka.
Juli merenung sejenak, kemarahannya berangsur
mereda. "Lo seharusnya ngomong dulu, bukan langsung ambil
surat gue. Ini privasi, tahu nggak?"
Fian mengangguk mengerti. "Iya, Juli, gue nyesel.
Gue cuma mau ngerti kenapa lo nggak pernah cerita.
Mungkin seharusnya gue tanya langsung ke lo."
Juli menggelengkan kepala, mencoba meredakan
emosinya. "Kita teman, Fian. Tapi lo juga harus inget batas-
batasnya. Gue akan cerita kalau gue mau, gak perlu kayak gini
caranya."
Fian meresapi kata-kata Juli, "Lo benar, Juli. Gue
minta maaf."
Juli merenung sejenak, lalu dengan ekspresi lebih
melunak, Juli mulai menceritakan apa yang ia pendam selama
ini. "Gua capek, Fian. Capek selama ini jadi anak yang nggak
pernah diperhatiin oleh kedua orang tua." Ucapnya dengan
suara yang serak.

53
"Keluarga gua gak seharmonis yang lo kira. Ayah gua
sering pulang malam bahkan keadaan mabuk, dan... dia suka
main perempuan." Sambung Juli. "Sampai pada akhirnya
ternyata gua punya kakak tiri hasil dari kebiasaan buruk ayah
gua itu."
Wajah Juli mencerminkan luka yang dalam, seolah-
olah setiap kata yang diucapkannya membuka pintu ke masa
lalu yang penuh dengan kekecewaan dan kesendirian. "Lo
nggak tau gimana rasanya jadi orang yang nggak dianggap di
rumah sendiri." Lanjutnya dengan suara gemetar karena emosi
yang sulit dikendalikan.
Fian mendengarkan pengakuan Juli dengan ekspresi
terkejut. Sejenak, ia mencoba memproses kata-kata tersebut.
"Gua nggak nyangka, Juli. Lo selama ini nunjukin
kebahagiaan dan kesuksesan, tapi..."
Juli mengangguk perlahan, matanya menyiratkan
kepedihan yang dalam. "Ayah gua nggak pernah sesayang itu
sama gua. Dia hanya pencitraan dihadapkan lo."
Juli melanjutkan. "Yang dia sayang, malah kakak tiri
gua. Gua sering jadi saksi bisu betapa dia lebih peduli sama
anak dari luar nikah daripada anak sendiri." Ucap Juli,
suaranya bergetar karena campuran rasa sakit dan kecewa.
Fian merenung, sadar bahwa ia baru saja melihat sisi
lain dari kehidupan Juli yang selama ini tersembunyi.
Perlahan, ia mulai memahami bahwa setiap senyuman dan
pencapaian yang diperlihatkan Juli hanyalah topeng untuk
menyembunyikan luka yang begitu dalam.
Juli tak mampu menyembunyikan kepedihannya lebih
lama lagi. Air matanya mulai mengalir, menyirami pipinya

54
yang pucat. “Ayah gua gak pernah ngerasa bangga sama gua,
Fian. Tapi kakak tiri gua? Dia sering banget."
Fian merasa keberatan di dadanya, melihat perasaan
hancur Juli. Ia mendekat perlahan, mencoba menenangkan
dengan penuh simpati. "Juli, lo jangan nangis. Lo gak
sendirian sekarang. Gua di sini buat lo." Ujarnya sambil
menaruh pelan tangan di pundak Juli.
"Gua capek, Ian. Capek jadi orang yang nggak
dianggap, yang nggak pernah dihargai ketika melakukan
sebuah pencapaian." Bisik Juli di antara isakan tangisnya.
Juli selalu berusaha keras untuk membuat ayahnya
bangga, namun upayanya selalu bertepuk sebelah tangan.
Setiap prestasi yang diukirnya, setiap pencapaian yang
diraihnya, sepertinya tak pernah cukup untuk menarik
perhatian ayahnya.
Fian memandang Juli dengan penuh pengertian. "Juli,
lo udah berusaha sekuat tenaga. Ayah lo mungkin buta sama
kehebatan lo, tapi bukan berarti lo nggak berharga."
Juli mencoba menghapus air mata yang masih
mengalir. "Gua cuma pengen dia notice, Ian. Notice kalo gua
juga bisa bikin dia bangga."
Fian tersenyum lembut, mencoba memberikan sedikit
sinar dalam kegelapan hati Juli. "Lo udah hebat, Jul. Dan kita
nggak selalu butuh pengakuan dari orang lain buat
membuktikan itu. Lo punya banyak orang di sekitar yang
menghargai lo, termasuk gua.”
Juli meluncurkan sebuah pengakuan yang
mengejutkan, Juli mengungkapkan bahwa ia pernah
melakukan dua kali percobaan mengakhiri hidupnya sebagai

55
bentuk ekspresi kesepian dan putus asa. Mendengar hal
tersebut Fian langsung mendekapnya dengan dekapan yang
kencang. "Juli, kenapa lo nggak cerita dari awal? Kenapa lo
harus menghadapi ini sendirian?" Bisiknya dengan suara yang
penuh kekhawatiran.
"Dengerin, Jul. Gua siap jadi tempat cerita lo. Jangan
pernah ngerasa sendirian." Ucap Fian, mencoba memberikan
kekuatan pada Juli yang terpukul. "Gua peduli sama lo, dan lo
itu berharga."
Dalam dekapan Fian, Juli merasakan kehangatan yang
mungkin selama ini dia cari. Suara Fian, meskipun diucapkan
dalam keheningan malam, mampu menghasilkan kekuatan
yang menerangi gelapnya hati Juli.
Meskipun di hatinya yang terdalam, ia menghargai
dukungan Fian, namun ia mencoba untuk menahan Fian agar
tak cerita pada siapapun. "Fian, gua nggak mau semua orang
tau tentang ini. Gua nggak mau mereka lihat gua sebagai
orang lemah."
Fian menatap Juli dengan serius, "Tapi, Juli,
seenggaknya mereka bisa bantu dan bisa ngertiin lo."
Juli menggeleng pelan. "Mereka nggak bakal ngerti,
Ian. Dan gua nggak mau membuat mereka khawatir. Lo aja
udah cukup, Ian."
Fian memahami keputusan Juli, meski hatinya masih
penuh keprihatinan. “Okedeh, Jul. Tapi lo harus janji, jangan
pernah ngerasa kesepian lagi."
Fian masih merasa getaran kekhawatiran Juli, dan ia
memutuskan untuk mengalihkan perhatian dari keheningan
yang terasa begitu berat. "Oke, mungkin kita bisa lakukan

56
sesuatu yang bisa bikin lo senyum sekarang. Mau nonton film
atau ngobrol-ngobrol ringan aja?"
Juli mencoba tersenyum kecil, menghargai usaha
Fian. "Iya, Fian. Nonton film asik si kayaknya!"
Fian mencoba menyuntikkan sedikit humor ke dalam
atmosfer yang tegang, "Eh, Jul, tadi tampolan lo itu kayaknya
bisa jadi kandidat buat Guinness World Records, deh.
Tampolan terkeras sepanjang sejarah!"
Juli yang awalnya masih dalam keadaan sedih,
akhirnya tersenyum kecil mendengar kelucuan Fian. "Lo bisa
bercanda di saat kayak gini, ya?"
Fian mengangguk, "Kadang-kadang humor bisa jadi
obat. Tapi serius, lo pemilik pukulan super keras!"
Juli tertawa pelan, dan suasana malam itu mulai terasa
lebih ringan, meskipun sedikit demi sedikit. Tapi setidaknya,
tawa itu menjadi sedikit pelipur lara untuk Juli yang sejak tadi
malam tenggelam dalam gelombang emosi.

57
BAB VII

RETAK
Jakarta, 10 Februari 2022
Malam itu, hujan lebat membasahi jendela rumah
kecil yang menjadi tempat tinggal Jessie dan Kakeknya,
Benjamin Chloe atau yang biasa kami sebut “Babeh”. Suara
gemuruh petir seolah mencerminkan keheningan yang turun
menyusup di hati Jessie. Di ruang tamu yang sederhana,
Babeh duduk di kursi goyang sambil memandang jendela
yang berkabut oleh tetesan air hujan.
Jessie duduk di sampingnya, mencoba mencari kata-
kata untuk mengungkapkan perasaannya. Baru saja seminggu
yang lalu, kedua orang tuanya, Michelle dan David,
mengumumkan keputusan yang mendalam. Mereka memilih
untuk bercerai setelah perjalanan panjang mencoba
mempertahankan rumah tangga yang terombang-ambing.
"Jessie, kamu tahu, keputusan ini bukanlah sesuatu
yang mudah bagi kami," ucap Michelle, sesaat sebelum kedua
orang tuanya meninggalkan rumah itu. "Kami pikir ini yang
terbaik untuk semua orang."
Namun, bagaimana Jessie bisa memahami kehilangan
kedua orang tua adalah yang terbaik? Di antara keping-keping
kenangan manis bersama keluarga yang dulu utuh, Jessie

58
berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Babeh, yang
selalu menjadi benteng kekuatan, merangkul Jessie dengan
penuh kelembutan.
"Jessie, terkadang hidup memberikan ujian yang sulit
untuk dihadapi," ujar Babeh dengan suara lembut. "Tapi
ingatlah, kita masih punya satu sama lain."
Malam itu, dalam ruang yang penuh cahaya redup,
Jessie dan Babeh membentuk ikatan yang lebih kuat. Hujan
yang turun seperti tanda perubahan, dan dalam kepedihan,
mereka menemukan kekuatan untuk melanjutkan. Mereka
tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal
yang pasti, kebersamaan mereka akan menjadi pelita di tengah
gelapnya malam.
Dalam ketidakpastian yang menggelayuti, Jessie
memutuskan untuk tetap bersama Babeh. Keduanya berusaha
membangun kembali rutinitas sehari-hari mereka,
menciptakan kehangatan dalam ruang yang sepi. Setiap pagi,
Jessie bangun lebih awal untuk memasak sarapan bersama
Babeh, mencoba menyelipkan senyum di balik kesedihan
yang masih menyelimuti.
Kehidupan Jessie terus berlanjut, diwarnai oleh tangis
dan tawa yang berbaur dalam rumah mereka. Babeh, dengan
kebijaksanaannya, menjadi tiang penopang bagi Jessie yang
berjuang mencari identitas dan makna dalam perubahan besar
yang melanda keluarga mereka. Kakek yang baik hati itu
memberikan ketenangan, memberikan Jessie landasan yang
kokoh di tengah-tengah badai emosional.
Ketika kakeknya, Babeh, menjalani rutinitasnya
sebagai pengepul barang bekas, Jessie membantu sebisa
mungkin. Di antara barang-barang yang ditemukan, mereka

59
menemukan keindahan di setiap benda yang sederhana. Babeh
selalu memberikan pelajaran tentang kehidupan dan
bagaimana melihat kebahagiaan di tengah kekurangan.
Pada suatu sore yang cerah, Jessie duduk di kursi
goyang sambil memandang ke luar jendela. Babeh duduk di
sebelahnya, membaca surat kabar sore. Mereka mungkin
bukan keluarga yang sempurna, tetapi dalam keseharian itu,
Jessie menemukan kebahagiaan dan kehangatan yang
membantu menyembuhkan luka-luka yang terpendam.
Dalam perjalanan yang baru ini, Jessie dan Babeh
belajar untuk saling menguatkan dan merangkul
ketidakpastian. Kehidupan terus bergerak maju, dan mereka
bersama-sama menjelajahi setiap babak yang belum
terungkap, menemukan arti sejati dari keluarga yang terpilih
sendiri.

Jakarta, 12 Juli 2023


Chloe Jessie Utami bersama Babeh, hidup dalam
keharmonisan di rumah kecil di tengah hiruk-pikuk kota.
Meskipun kota memberikan keramaian yang berbeda dengan
desa kecil tempat mereka sebelumnya berasal, kebahagiaan
Jessie tetap utuh di antara gedung-gedung tinggi.
Babeh, yang masih setia pada profesi pengepul barang
bekasnya, menjadikan rumah kecil itu sedikit penuh.
Meskipun tanpa kehadiran orang tua, Jessie menemukan
kehangatan keluarga dalam kebersamaan dengan kakeknya.
Setiap hari, aroma masakan lezat pun memenuhi
dapur mereka, menciptakan suasana keakraban di antara
dinding rumahnya. Meskipun terbatas secara finansial, Jessie

60
selalu merasa cukup dengan hidupnya yang sederhana.
Keduanya duduk bersama di meja makan kecil, berbagi tawa,
cerita, dan memakan makanan lezat yang disiapkan dengan
penuh kasih oleh Babeh.
Di tengah hiruk-pikuk kota, Jessie menemukan
kegembiraan dalam setiap momen kecil. Tiap hari, setelah
pulang dari kuliah atau dari tempatnya bekerja, Jessie
bercerita pada kakeknya tentang pengalaman dan impian masa
depannya. Babeh, dengan bijak, memberikan nasihat dan
dukungan yang tak pernah pudar.
Jessie tidak hanya membagi kehidupan dengan
kakeknya, tapi juga merajut hubungan dengan erat. Bersama-
sama, mereka mengejar mimpi, tertawa, dan saling
memberikan dukungan dalam setiap perjalanan hidup masing-
masing. Fian, si pencipta seni muda berbakat, seringkali
menjadi sumber inspirasi dan kreativitas bagi Jessie. Amar,
yang penuh keceriaan, selalu hadir dengan energi positif yang
menyebar ke seluruh kelompok. Sedangkan Juli, si penuh
kebijaksanaan, menjadi tempat Jessie berbicara saat
diperlukan nasihat dan pandangan bijak.
Tak hanya dalam kebahagiaan, tetapi juga dalam
kesedihan, mereka saling bersandar. Jessie menganggap kami
sebagai keluarga dalam genggaman tangan kami. Setiap
perayaan atau kesuksesan Jessie menjadi momen
kebersamaan yang meriah, dan setiap cobaan hidupnya
menjadi pelajaran berharga yang mereka lewati bersama.
Jessie memasuki bab baru dalam kehidupannya yang
sederhana di tengah hiruk-pikuk kota. Selain mengejar cita-
citanya di dunia pendidikan tinggi, Jessie juga membantu

61
ekonomi keluarganya dengan bekerja paruh waktu di sebuah
kafe yang penuh dengan aroma kopi yang menggoda.
Setiap pagi, Jessie berangkat ke universitas swasta di
tengah kota, merayap di kereta api yang penuh dengan orang-
orang bergegas. Kuliah menjadi tantangan baru yang dihadapi
Jessie dengan semangat dan tekad. Di sela-sela perkuliahan,
Jessie melibatkan diri dalam berbagai kegiatan mahasiswa,
membentuk pertemanan baru yang melengkapi kehidupan
kampusnya.
Di sore hari, setelah menyelesaikan tugas kuliah,
Jessie bergegas ke kafe tempatnya bekerja. Meladeni pesanan
pelanggan sambil mencatat materi perkuliahan, Jessie
membagi waktu dengan efisien. Namun, di balik rutinitas
yang padat, Jessie menemukan kebahagiaan dalam setiap
usaha yang dilakukan.
Babeh, yang selalu mendukung Jessie dari belakang
layar, merasa bangga melihat cucunya tumbuh menjadi
pemuda tangguh yang mampu menyeimbangkan antara studi
dan pekerjaan. Di malam hari, di meja makan yang sederhana,
Jessie dan Babeh berbagi cerita hari itu. Cerita tentang
kehidupan kampus, pelanggan di kafe, dan impian yang
semakin dekat terwujud.
Namun, di balik keberhasilan Jessie, terdapat
tantangan dan ujian yang harus dihadapi. Dalam momen sulit
itu, dukungan dari kakek dan teman-teman tercinta tetap
menjadi pilar yang kokoh.
Suatu hari, kesibukan Jessie di kafe memberikan ide
cemerlang pada teman-temannya. Mereka, yaitu aku, Fian,
Amar, dan Juli, memutuskan untuk berkumpul di kafe tempat

62
Jessie bekerja. Suasana kafe yang nyaman dengan aroma kopi
yang khas menjadi latar pertemuan hangat itu.
Saat Jessie lihat teman-temannya masuk ke kafe,
senyum bahagia langsung muncul. "Wah, Jessie, kayaknya ni
kafe asik sih jadi tempat ketemuan buat kita!" ucap Fian
dengan senyum khasnya.
Tawa dan obrolan pun bertebaran di sekitar meja. Juli,
dengan bijaknya, ngegoda pelan, "Jessie, kayaknya jadi
pelayan kafe lebih asik daripada jadi mahasiswa, deh."
Sambil memberi secangkir kopi yang baru diseduh,
Jessie balas senyum, "Ah, mungkin lo semua belum tau
serunya ngerjain tugas kalkulus malem-malem."
Amar, yang selalu penuh energi positif,
menambahkan, "Tapi beneran, Jessie, kita bangga sama lo.
Bisa kerja sama kuliah sekaligus, itu nggak gampang, loh!”
Obrolan yang semula penuh ledekan kecil berubah
menjadi momen kebersamaan yang hangat. Tidak hanya
menghibur Jessie, pertemuan ini juga memberikan semangat
baru bagi semua. Melalui tawa dan candaan, kami saling
mendukung dan melepaskan penat dari kesibukan sehari-hari.
Di balik segala beban, kami menyadari bahwa persahabatan
kami adalah anugerah berharga yang membuat hidup semakin
berwarna.
Dalam suasana yang semakin meriah, aku merapatkan
diri ke meja dan bertanya, "Jessie, ceritain tentang temen-
temen kampus lo dong! Siapa tau ada yang asik."
Jessie tersenyum dan mulai cerita tentang teman-
teman kampusnya, "Mereka semua luar biasa. Ada Rini, dia

63
rajin bantu gua kalo ada kesulitan dalam studi. Dan Ryan,
selalu jadi pemberi semangat di tengah kesusahan ujian."
Fian, yang selalu kreatif, nambahin dengan riang,
"Eh, tapi pasti mereka belum sehebat kita, kan? Kita ini
levelnya luar biasa, bisa bercanda dan saling mengingatkan.
Hahahah, Gimana, Juli?"
Juli tersenyum, "Tentu aja, kita yang paling spesial
gak sih? Hahahaha."
Amar, yang selalu optimis, berkomentar, "Pokoknya
kita gak boleh tergantikan. Jessie, lo boleh punya teman di
kampus, tapi kita tetap nomor satu, ya!"
Semua tertawa, menikmati momen kebersamaan itu.
Pembicaraan beralih ke rencana-rencana masa depan. Aku
bertanya, "Jessie, apa impian lo setelah lulus nanti?"
Jessie memandang ke depan dengan mata penuh
harapan, "Impian gua? Gua pengen menciptakan perubahan,
bantu orang-orang. Dan tentu aja, nggak pernah lupa berbagi
kebahagiaan sama kalian."
Kafe yang semula cuma berisik sama suara mesin
kopi dan tawa kami, kini penuh dengan inspirasi dan cita-cita.
Percakapan yang berlangsung menggambarkan kekuatan
persahabatan yang nggak tergantikan, dan kalo kami bareng,
apapun mungkin terjadi.
Jessie, berjalan sambil mengambil secangkir kopi,
lalu mulai menceritakan kejadian di kampus, "Tau nggak, ada
temen kampus gua yang satu ini bener-bener rese. Mulai dari
tugas kelompok sampe diskusi kelas, dia kayaknya cuma bisa
mikirin diri sendiri."

64
Amar, yang selalu punya candaan untuk segala
situasi, menyelipkan komentar, "Gila, kayaknya itu orang
belajar kursus mahir 'Menang Sendiri 101'. Hahahah. Eh tapi
lo diem aja, gak coba ngomong?"
Jessie menggeleng, "Belum gua omongin, tapi
kadang gua bingung gimana cara deketin dia. Kayaknya kita
tuh kayak air sama minyak, nggak nyambung."
Juli, yang selalu bijaksana, memberikan saran,
"Mungkin perlu waktu dan kesempatan lebih banyak buat
kenal lebih dalam. Bisa jadi dia nggak sengaja keliatan gitu.
Coba aja ajak dia ngobrol, mungkin aja ada alasan di balik
sikapnya."
Fian dengan semangatnya menambahkan, "Gak ada
yang nggak bisa diselesaikan dengan obrolan baik-baik. Siapa
tau ada kesalahpahaman atau sesuatu yang dia nggak ngerti."
Tawa kembali memenuhi kafe, kali ini bercampur
dengan semangat untuk membantu Jessie menghadapi situasi
yang agak rumit. kami, seperti selalu, saling mendukung satu
sama lain dalam melewati berbagai rintangan, termasuk
menghadapi teman yang sulit.
Jessie melanjutkan ceritanya, "Nah, bukan cuma itu
aja. Ada satu temen yang bener-bener nyebelin banget. Setiap
kali ada tugas kelompok, dia selalu ngasih sharing tugasnya
pas H-1 pengumpulan. Padahal, udah dikasih dosen dari jauh-
jauh hari."
Aku, dengan rasa penasaran, bertanya, "Seriusan?
Kok bisa dia kayak gitu?"
Jessie mengangguk, "Iya, serius. Kayaknya dia suka
banget ngejar sensasi deadline atau mungkin emang suka

65
bikin stres orang lain. Udah beberapa kali gua coba bicara,
tapi dia cuek aja."
Juli, dengan tatapan serius, berkomentar, "Kadang
emang ada orang kayak gitu, mau keliatan hebat sendiri. Kali
ini lo harus lebih tegas, bilang kalo itu nggak fair buat kalian
semua."
Amar, sambil mengangguk, menambahkan, "Bener
juga. Kalau nggak bisa diubah, mungkin kita harus cari cara
agar nggak terlalu terpengaruh sama tindakannya."
Fian, dengan nada ringan, berkata, "Atau lo bikin
grup baru tanpa dia, biar dia gak tau info tugas yg lain.
Hahaha!"
Tawa kembali memecah keheningan, kali ini dengan
nada penyelesaian masalah yang diusulkan Fian. Meskipun
terdapat tantangan dari teman yang menyebalkan itu, Jessie
merasa lega memiliki teman-teman yang selalu ada untuk
memberikan dukungan dan saran yang bijak. kami, sekali lagi,
membuktikan bahwa persahabatan sejati mampu mengatasi
segala masalah.
Jessie melanjutkan keluhannya, "Dan yang lebih
parahnya lagi, kadang-kadang file gua suka dihapus setelah
gua ngumpulin. Jadi, pas dilihat lagi, nilainya kosong.
Beneran toksik banget deh di kampus gua."
Amar, dengan wajah serius, berkata, "Itu bener-bener
nggak fair. Kayaknya ada yang nggak beres di sana. Lo aduin
aja sama dosen atau pihak kampus"
Jessie menggeleng, "Udah, tapi nggak ada tanggapan
yang jelas. Kayaknya gua bakal cari cara buat lebih hati-hati

66
aja mulai sekarang. Ngerasa jadi kayak main di medan perang
buat dapetin nilai."
Juli menambahkan, "Mungkin lo bisa coba arsipin
tugas lo di cloud atau tempat yang aman biar kalo ada yang
ngilang bisa dibuktikan. Dan sebaiknya lo catet setiap
interaksi dengan dosen atau siapapun terkait tugas lo."
Fian, dengan rasa kesal, berkomentar, "Kayaknya lo
juga butuh backup plan kalo gitu. Biar nggak terlalu
kecolongan."
Terkadang, cerita kuliah tak hanya berisi kebahagiaan
dan pencapaian, tapi juga tantangan dan ketidakadilan. Kami
saling memberikan dukungan dan saran untuk menghadapi
situasi yang tidak adil tersebut.
Jessie, meski dihadapkan pada ketidakadilan dan
toksisitas di kampus, memilih untuk memelihara sikap yang
kuat dan tak tergoyahkan. Dengan raut wajah tegas, Jessie
berkata, "Meskipun kadang-kadang rasanya kayak dendam,
tapi gua lebih milih untuk nggak terlalu ambil pusing. Gua
tetep fokus sama tujuan gua dan nggak mau dikalahin sama
situasi yang nggak adil."
Juli, dengan senyuman mengerti, berkomentar, "Itu
attitude yang bener, Jessie. Jangan biarkan ketidakadilan
menghancurkan semangat lo. Tetap jaga fokus sama tujuan,
dan ingat, kita selalu ada buat dukung lo."
Fian, yang selalu humoris, menambahkan, "Biarin
mereka aja yang main kotor. Kita tetap main fair dan dapat
nilai seadil-adilnya."
Jessie mengangguk, merasakan kekuatan dari
dukungan teman-temannya. Meski dendam kadang

67
menyelinap, Jessie memilih untuk memandang ke depan,
fokus pada cita-cita, dan tak terperangkap dalam lingkaran
toksisitas. Dalam cerita kuliahnya yang penuh warna, Jessie
menjadi contoh bahwa kekuatan karakter dan persahabatan
adalah kunci untuk mengatasi segala rintangan di dunia
kampus yang kadang keras ini.
Waktu telah menunjukkan setengah sembilan malam.
Di dalam kafe, Jessie dengan cekatan mengisyaratkan bahwa
saatnya menutup pintu dan jendela, mengakhiri aktivitas
malam itu. Tatapan kami, Fian, Amar, dan Juli, saling
bertemu, dan tanpa banyak bicara, kesepakatan pun terjadi,
kami akan menunggu Jessie pulang.
Jessie tersenyum, "Kalian nggak perlu nungguin, kok.
Gue bisa pulang sendiri."
Amar, dengan semangat tulusnya, menyahut, "Enggak
masalah, Kita mau tungguin sampai selesai, baru pulang
bareng."
Juli menambahkan, "Iya, betul."
Senyum Jessie terlihat terharu, "Terima kasih, teman-
teman. Kalian terbaik parah!"
Di dalam kafe yang hening, kami melanjutkan
obrolan ringan, menunggu Jessie menyelesaikan tugas-tugas
terakhirnya. Suara tawa dan percakapan hangat, seolah
membentuk ruang terpisah dari kegelapan malam yang
menyelimuti kota.
Setelah beberapa saat, Jessie menutup gerbang kafe.
Bersama-sama, kami melangkah keluar ke malam yang sejuk.
Di bawah sinar rembulan, langkah-langkah bersama itu
mengisyaratkan kehangatan, membuktikan bahwa kita bukan

68
hanya sekadar teman, melainkan keluarga yang kita pilih
untuk bersama-sama menyelesaikan setiap bab dalam
perjalanan hidup.
Langit malam menyelimuti kota dengan cahaya
rembulan yang lembut, sementara langkah-langkah kami,
Jessie, Fian, Amar, dan Juli, memecah keheningan malam.
Pergulatan obrolan yang ceria dan lelucon kecil mewarnai
perjalanan pulang bersama.
Fian, yang selalu penuh ide gila, memulai obrolan,
"Nah, mungkin kita bisa bikin tradisi pulang bareng gini tiap
kali pulang. Gimana, guys?"
Amar menimpali, "Iya, bisa jadi ide bagus. Setelah
sehari capek kerja, kita bisa ngobrol-ngobrol santai sambil
pulang. Lebih asyik daripada kita ke rooftop itu lagi.
Hahaha!"
Juli menyisipkan saran bijak, "Tradisi kecil ini juga
bisa jadi pelipur lara setelah sehari penuh dengan tugas dan
toksisitas kampus."
Sementara itu, Jessie dengan senyum hangatnya
menanggapi, "Gue setuju. Lagipula ini searah kan sama
rumah kita semua. Akses TransJakarta juga gampang."
Malam semakin dalam, tetapi semangat dan
kehangatan masih terasa di antara kami. Sesekali, tawa
melengkapi cerita perjalanan pulang bersama ini. Mungkin
langkah kami bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tapi juga
perjalanan menuju kedewasaan dan kekuatan melalui
persahabatan yang tulus.
Setelah perjalanan yang menyenangkan pulang
bersama, akhirnya, satu per satu kami tiba di rumah masing-

69
masing. Fian mengucapkan selamat malam di obrolan chat,
"Selamat tidur, guys. Besok kita lanjut aktivitas lagi!"
Amar berseloroh, "Iya, besok kita lanjutin aja tradisi
pulang barengnya. Biar lebih seru!"
Jessie, dengan rasa syukur, menyimpulkan, "Makasih,
teman-teman. Kalian bikin hari ini jadi luar biasa."
Juli menambahkan, “Semoga tradisi ini bisa jadi
kenangan yang indah di hari-hari ke depan."
Dalam keheningan malam, cerita hari ini berakhir,
tapi kenangan dan ikatan persahabatan kami tetap abadi.
Setiap perjalanan pulang bersama bukan hanya perjalanan
fisik, melainkan perjalanan menuju rumah, tempat di mana
hati merasa aman dan diterima dengan tulus oleh keluarga
yang kita pilih sendiri.

70
71
BAB VIII

HARI JADI
Jakarta, 20 Juli 2023
Beberapa minggu setelah perjalanan pulang bersama
itu, tiba-tiba gua kirim pesan di grup chat, "Hey, guys!
Gimana kalau kita berkumpul di rumah gua minggu depan?
Ada sesuatu yang spesial nih!"
Fian langsung jawab dengan antusias, "Wah, apa nih,
Jess?"
Amar menyambung, "Gue penasaran parah."
Juli yang dengan bijaknya berkata. "Apa pun itu, gue
pasti hadir. Sukses bikin penasaran, Jess."
Aku hanya menjawab menggunakan emotikon
penasaran, menambah rasa keingintahuanku. Semakin
mendekati hari H, kegembiraan dan rasa penasaran semakin
terasa di antara kita. Momen seperti ini menunjukkan bahwa
kebersamaan dan kejutan kecil bisa bikin rutinitas sehari-hari
jadi lebih istimewa.
Kami berkumpul di rumah Jessie dengan rasa
penasaran yang menggebu-gebu. Setibanya kami suasana

72
kehangatan langsung terasa. "Eh, Jessie, nggak sabar nih, ada
apa sih?" celetuk Fian dengan mata berbinar-binar.
Jessie tersenyum misterius, "Sabar ya, guys. Ayo
duduk-duduk dulu di ruang tamu."
Setelah duduk bersama, Jessie mulai membuka kartu
dan kue yang sudah disiapkan. "Selamat ulang tahun, Cia dan
Juli! Ini kejutan kecil dari kita semua."
Aku dan Juli terkejut, senyum bahagia terpancar di
wajah kami. "Seriusan ini buat kita? Wah, terima kasih,
Jessie!" ucap Aku sambil memeluk Jessie.
Juli menimpali, "Gak nyangka banget, makasih,
teman-teman. Kalian luar biasa!"
Momen kejutan ini membawa kebahagiaan dan tawa
di antara kami. Pada akhirnya, yang lebih berharga dari
kejutan itu adalah momen berbagi dan kebersamaan. Aku
merasa bersyukur punya teman-teman sehebat mereka.
Saat kebersamaan masih menghangat di rumah, Jessie
tersenyum misterius dan berkata, "Eh, tapi nih, teman-teman,
masih ada sesuatu yang gua simpen. Ada satu lagi kejutan
yang mungkin bakal kalian suka."
Jessie menuju ke sudut ruangan dan mengeluarkan
beberapa kotak kecil. "Tadaa! Gue bikin album foto kenangan
kita bersama. Setiap momen spesial, dari main di Rooftop,
perjalanan pulang bersama sampe malam ini, ada di sini."
Fian langsung melotot sambil ambil satu album, "Jess,
ini keren banget! Gila, gua ga nyangka lo punya bakat
fotografi."

73
Amar, sambil memperhatikan setiap halaman,
berkomentar, "Beneran, ini mah masterpiece. Kita bisa
flashback ke semua kenangan seru kita."
Juli tersenyum, "Jessie, lo emang keren. Terima kasih
sudah simpen semua ini. Sumpah ini bakal jadi kenangan
indah sepanjang masa."
Aku menambahkan, "Ini lebih dari kejutan, Jess. Ini
beneran keren parah! Terima kasih banyak, teman-teman."
Malam itu terus berlanjut dengan tawa, cerita, dan
nostalgia. Album foto tersebut menjadi bukti visual dari setiap
petualangan dan kebahagiaan yang telah kami bagikan.
Momen indah itu terpatri dalam setiap foto, mengingatkan
kami bahwa persahabatan sejati selalu meninggalkan jejak
yang abadi di hati.
Ketika sedang asik mengobrol, tiba-tiba Juli
mencetuskan ajakan yang spektakuler kepada kami. Suasana
ruang tamu menjadi heboh, tapi kami menyadari sorot mata
Juli terlihat cukup serius.
“Guys, dalam rangka ulang tahun gua, kali ini gua
mau ngajakin kalian liburan. Mungkin ke sebuah pulau
terpencil yang kece abis. Asik deh pokoknya!”
Jessie penasaran. “Serius kita mau ke pulau Jul? Kok
tumben lo mau ajak kita ke sana?”
Juli menjawab dengan senyum misterius di wajahnya.
“Kenapa gua mau ngajak? Pertama, karna ini lagi musim
liburan. Kedua, gua mau merayakan ulang tahun gua lebh
lama sama kalian. Dan yang ketiga, disana banyak keindahan
alam dan legenda mistis, guys! Seru, kan?”

74
Amar menjawabnya dengan antusias. “Gak masalah,
yuk ah, pasti seru!”
Fian pun membalas, “Gua ikut, pasti bisa dapet foto-
foto keren nih! Lumayan buat profil picture baru. Hehehehe.”
Akhirnya dengan bumbu candaan dan tawa, kami
semua setuju. Sambil menikmati secangkir teh, Juli tiba-tiba
bangkit dari kursinya.
“Oke, kita berangkat besok ya, guys!”
“Setuju!” Seruku dengan cepat, diikuti dengan seruan
yang hampir bersamaan dari yang lainnya.
Setelah kesepakatan untuk berangkat esok pagi, Juli
dengan tegas memutuskan, "Ayo, kita pulang sekarang dan
besok kumpul lagi di rumah Jessie. Bawa barang bawaan
masing-masing, ya!"
Kami semua bangkit dari tempat duduk kami,
bergerak dengan cepat untuk menyelesaikan persiapan kami.
Juli memimpin langkah keluar dari rumah Jessie, dan segera
berpamitan dengan Babeh.
“Beh, kami pulang dulu ya! Besok saya izin mau
bawa Jessie lima hari. Biasa, anak muda mau berpetualang
dulu Beh. Hehehe!”
Babeh pun menjawab. “Iya boleh, tapi dijagain, ya.
Inget! cuma Jessie yang Babeh punya!”
Juli pun membalas tanpa ragu, “SIAP BEH!

75
BAB IX

BERKELANA
Jakarta, 21 Juli 2023
Keesokan harinya, sinar matahari mulai menyinari
langit, dan kami berempat sudah berkumpul di rumah Jessie
dengan ransel dan barang bawaan masing-masing.
Ketenangan pagi hanya dipenuhi oleh bisikan angin dan riuh
rendah percakapan antara kami.
Sementara kami menunggu Juli, mata kami tertuju
pada sebuah mobil tua yang datang perlahan ke depan rumah
Jessie. Mobil itu memiliki aura sendiri, menyimpan banyak
cerita di setiap lekukannya. Saat mobil itu berhenti, jendela
kaca mobil terbuka, dan Juli muncul dengan senyuman ceria
di wajahnya.
"Selamat pagi, petualang!" Sambut Juli,
menyemarakkan pagi yang tenang itu.
Mobil tua itu terlihat siap menghadapi petualangan
baru. Bersama dengan kegembiraan yang merebak di wajah
kami, kami memuat barang bawaan ke dalam mobil itu. Angin
pagi berbisik, dan mobil itu mulai meluncur meninggalkan
rumah Jessie menuju pulau terpencil yang akan mengubah
kisah hidup kami. Dalam detik itu, petualangan telah dimulai.

76
Duduk di sebelah Juli, terpaksa membuatku harus
memegang maps dan menavigasi jalan. Jessie dan Amar
duduk di bagian tengah, sementara Fian menguasai kursi di
belakang, sibuk menyusun peralatan fotografinya.
Beberapa saat berlalu jalanan berliku mulai terlihat
serta pemandangan pegunungan yang menakjubkan di sekitar
kami. Dalam mobil ini, kami merasakan kebersamaan yang
hangat, dipenuhi tawa dan cerita-cerita ringan tentang apa
yang mungkin akan kami temui di sana nanti.
Juli, yang mengemudikan mobil dengan penuh
semangat, sesekali tertawa, "Siap-siap, guys! Petualangan kita
baru dimulai, kita akan seru-seruan disana."
Fian melirik dari belakang, “Gua siap mengabadikan
setiap momen seru, jadi pastikan kalian tampil perfect, muka
kalian jangan jelek ya!"
Dengan musik yang diputar pelan di mobil dan
perbincangan yang ramai, kami melaju menuju petualangan
yang penuh misteri dan keindahan.
Juli menyampaikan dengan tegas, "Guys, perjalanan
ini sekitar satu hari, jadi ayo bikin senyaman mungkin di
dalam mobil. Ada camilan di sini dan playlist musik yang
asik. Dinikmati aja setiap momen perjalanan ini."
Aku sibuk memutar playlist musik untuk menciptakan
suasana yang pas. “Ada yang mau request lagu, nggak nih?”
Fian dengan lantang menjawab, “Penjaga Hati-Nadhif
Basalamah asik tuh.”
Tanpa pikir panjang aku langsung memutar musik
sambil menahan tawa.

77
Dia buatku nyaman, Dalam hangat pelukan
Dia perasa Yang mengerti yang kurasa
Hanya dia…
Kan ku arungi tujuh laut samudra
Kan ku daki pegunungan himalaya
Apapun kan ku lakukan tuk dirimu sayang
Oh penjaga hatiku…

Amar meledek, "Eh Fian, lo aja gak punya pacar, lagu


bucin terus. Mau daki Himalaya buat siapa sih?"
Fian sedikit tidak terima, “Eh, lagu bucin tuh
universal, Mar. Gak cuma buat yang punya pacar."
“Jujur aja, Ian. Lagi pengen ngedeketin siapa?
Hahahaha.” Timpalku disambut gelak tawa.
“Hahahaha, gak kebayang Fian mengarungi tujuh laut
samudra, apa gak jadi kenyel tu badan?” Ucap Juli sambil
meledek.
Jessie membalas sambil tertawa, “Sumpah itu lucu
banget, gua beneran ngebayangin, Hahahaha.”
“Udah dong, jangan ngeledekin gua terus, males
banget, gua turun juga nih lama-lama.”
“Lah ya udah nih turun, mau turun dimana? Didepan
dikit ya.” Jawab Juli menyambut candaan Fian.
“Eh apaansi, Jul. Gua bercanda doang, gak beneran.”

78
“HAHAHAHA, biarin aja diturunin ditengah hutan
sama Juli.”
Kami semua tertawa dan melanjutkan perjalanan
dengan riang. Meskipun terkesan absurd, candaan seperti ini
bisa jadi perekat dalam pertemanan kami.
“Aduh ini mah terlalu bucin. Mending lagu ini nih,
yang lebih asik!” Usul Juli.
Wanita racun dunia
Karna dia butakan semua
Racun…
Racun…
Racun…

Jessie menyahut dengan nada heran, "Apaansih ni


lagu, berisik apa serunya?"
Juli dengan riang menjawab, "Seru banget, Jess! Lagu
ini bikin vibe naik, coba dengerin deh."
Amar berseru, “Asikk parahh!”
Fian ikut membalas, “Lagu berisik gini bikin sakit
kuping!”
Aku dan yang lain hanya tertawa, Lagu The
Changcuters terus berkumandang, walaupun Jessie dan Fian
agak protes, tapi akhirnya mereka ikut goyang juga. Suasana
di mobil makin ramai, sambil terus melaju dalam perjalanan
kita.

79
Malam hampir tiba, Jessie dan Amar mencoba
mencari posisi paling nyaman di kursi masing-masing. Fian
sibuk melihat sekeliling mobil, dan mencari camilan untuk
segera ia kuasai. Juli, dengan senyuman penuh semangat,
kembali berfokus pada jalanan yang menggeliat di depan.
Meskipun masih dalam perjalanan, suasana di dalam mobil
mulai tenang. Fian, Amar, dan Jessie sudah terlelap ke dalam
mimpi, meninggalkan hanya aku dan Juli yang terjaga.
Cahaya lampu mobil menyinari wajah-wajah yang lelah,
menciptakan suasana yang damai di dalam ruang itu.
Aku dan Juli, duduk di kursi depan, memandangi
jalan yang bergelombang di bawah cahaya bulan. Suara mesin
dan jalan yang bergelombang menjadi teman setia kami di
malam yang sunyi ini.
Juli melirik ke arahku, "Seru, kan? Walaupun capek
dikit."
Aku mengangguk perlahan. "Seru, tapi agak creepy
dikit ya jalannya, Jul.”
Perbincangan ringan itu melanjutkan malam kami,
memecah keheningan malam yang sepi. Di bawah langit
berbintang, kami terus melaju, menyongsong keajaiban yang
mungkin menanti di pulau terpencil.
Tiba-tiba, wajah Juli memperlihatkan ekspresi
keheranan. "Eh, Cia, ada yang aneh nih. Jalan yang kita lewati
kok jadi agak aneh ya?" Ujarnya dengan nada khawatir.
Aku memandang sekeliling, merasa ada keanehan
dalam pemandangan di sekitar. Jessie, Amar, dan Fian masih
tertidur pulas, tak menyadari bahwa kami sepertinya telah
nyasar dari jalur semula.

80
Aku mencoba memahami peta di gawai, "Kayaknya
kita nyasar, nih. Gua cek peta, tapi kayaknya kita harus puter
balik lagi."
Malam yang tadinya tenang menjadi agak tegang.
Kami berdua, di bawah cahaya lampu mobil, mencoba
mencari tahu di mana kami berada dan bagaimana bisa
kembali ke jalur yang benar.
Dalam cahaya redup lampu mobil, kami mencoba
menemukan petunjuk arah yang hilang. Suara mesin yang
sebelumnya monoton, kini menjadi sumber kegelisahan. Aku
dan Juli bingung, mencoba mencari tahu di mana titik balik
yang tepat.
Juli dengan suara pelan, "Kita mungkin melewatkan
belokan yang seharusnya, atau mungkin ada jalur alternatif
yang kelewatan. Coba gua lihat mapsnya sini."
Sementara Juli fokus pada maps, aku melirik ke arah
gelap di sekeliling. Suasana hutan yang tadinya menenangkan,
kini terasa lebih misterius. Namun, tak ada yang bisa kulihat
selain bayangan pepohonan dan jalanan yang
membingungkan.
"Seharusnya ada jalan keluar di depan sana," Juli
menyatakan, mencoba memahami peta yang ditampilkan di
gawai-nya. "Kita perlu mencoba kembali ke titik sebelumnya
dan mencari rute yang benar."
Dengan hati-hati, Juli memutar mobil menuju titik
balik yang mungkin terlewatkan. Dalam kegelapan malam,
kami berdua bersiap untuk menjalani babak baru dari
perjalanan ini, dengan harapan menemukan kembali jalur

81
yang benar dan melanjutkan perjalanan kami menuju pulau
terpencil.
Kulihat wajah Juli penuh ketidaknyamanan, dan aku
segera menyadari bahwa kesalahan ini tak hanya tanggung
jawabnya. Dengan tulus, aku berkata, "Maaf, Juli. Gua
harusnya lebih waspada tadi. Maaf kalo kurang fokus."
Juli tersenyum ramah, "Tenang aja, lo ngantuk juga
kan, tadi? Bentar lagi juga sampe di jalur yang benar."
Aku merasa lega mendengar kata-kata Juli, dan kami
berdua kembali fokus mencari jalur yang benar. Dalam
gelapnya malam, perjalanan kami berubah menjadi ujian
ketangguhan dan kekompakan.

Antah-berantah, 22 Juli 2023


Sekitar jam 3 dini hari, mobil kami meluncur dengan
pelan masuk ke dalam perkampungan yang gelap. Cahaya
bulan bersinar samar-samar, menyinari jalanan menuju
pelabuhan yang sempit di antara rumah-rumah kayu yang
tertidur pulas. Tempat itu terasa sepi dan hening, hanya
terdengar suara mobil kami. Lampu-lampu di sekitar
berpendar lemah, menciptakan suasana misterius yang
membuat hati berdebar.
Juli menoleh padaku dengan senyuman lembut, "Kita
mungkin sampai di pelabuhan ini lebih awal dari yang
direncanakan. Kebetulan gua juga udah booking salah satu
penginapan sederhana di pulau sana. So, kita bisa tidur
nyenyak pagi ini, Cia."

82
Angin laut berdesir lembut, membelai wajah kami.
Kapal kecil berlabuh di dermaga, menunggu untuk membawa
kami ke pulau kecil yang jauh di cakrawala biru.
Ketika kami turun dari mobil, kehadiran kami
langsung disambut oleh Pak Rusli, ia adalah pria pemandu
lokal. Pak Rusli, berdiri dengan raut serius dan senyum tulus,
menyambut kami.
Pak Rusli, dengan suara yang ramah, "Selamat datang
di sini, teman-teman! Saya Pak Rusli, pemandu lokal kalian.
Ayo, segera naik, banyak yang harus kita jelajahi di pulau
sana."
Fian, dengan cepat memberi komentar, "Wah, kami
ini udah kayak bintang tamu yang disambut di red carpet!"
Juli melirik kami dengan antusias, "Ayo, guys, ini dia
kapal kita yang menuju ke pulau mandela."
Amar tersenyum penuh semangat, “Gila! Gua gak
sabar banget."
Aku, sambil mengamati kapal kecil yang tenang di
air, berkomentar, "Gak nyangka, kita bakal liburan ke tempat
keren gini, gak sabar banget!"
kami bergegas memasuki kapal kecil, mengisi
perjalanan kami dengan antusiasme dan rasa ingin tahu.
Sebagai awal dari bab baru petualangan kami, kapal itu pun
melaju meninggalkan pantai, membawa kami menuju horison
yang jarang terjamah.
Kami meninggalkan mobil sambil memasuki kapal
kecil yang entah kenapa lebih mirip aktor film komedi
daripada kendaraan laut, aku membalas meledek, "Eh, ni

83
kapal mukanya lucu amat, siap-siap jadi bintang YouTube
Fian, nih! Kita bakal bikin vlog petualangan gila si ini."
Amar, yang langsung nyambung, "Gak masalah, asal
gak ada adegan kita nyasar di tengah laut. Itu klise banget!"
Juli, semangatnya makin naik, “Fian, gimana nih? kita
bawa pulang harta karun, apa malah bawa pulang pacar baru
dari Pulau Mandela? Siapa tahu!"
“Ah lo mah nyenggol gua mulu, Jul.” Sahut Fian.
Jessie mulai memegang kamera dan menjadi host
acara petualangan, "Oke, pelaut-pelaut kece, kita akan
menjelajahi Pulau Mandela sambil mencari misteri dan
mungkin juga cinta! Stay tuned!"
Saat kapal kami melaju menjauhi dermaga, tawa-tawa
kami masih terdengar, mewarnai pagi yang cerah dengan
rencana-rencana gila dan energi positif yang khas kami.
Sekitar dua jam berikutnya, kami merasa seolah-olah
sudah mulai mendekati pelabuhan tempat kami akan singgah.
Aku dengan cepat membangunkan teman-temanku,
memberikan kabar gembira bahwa perjalanan malam kami
akan segera berakhir.
"Hey, guys, kita sudah mulai dekat dengan pelabuhan
Pulau Mandela! Ayo, bangun!" Seruku dengan semangat,
mencoba memecah suasana kantuk yang masih menyelimuti
mereka.
Jessie, Amar, Juli dan Fian membuka mata mereka,
terlihat bingung sejenak sebelum sadar dengan penuh
semangat. Mereka saling pandang, senyum merekah di wajah

84
mereka ketika mereka menyadari bahwa tujuan malam ini
sudah tercapai.
Juli tersenyum puas, "Kita sudah melewati perjalanan
panjang, guys. Segera bersiap-siap, dan ayo
nikmati tempat penginapan ini untuk istirahat sejenak."
Dengan semangat baru, kami semua bersiap-siap
untuk menyambut tempat penginapan dan beristirahat setelah
malam yang penuh tantangan. Suasana kegembiraan mulai
memenuhi jalan setapak, mengiringi kami menuju penginapan
yang memunculkan cerita dan kenangan baru.
Kami berhenti di sebuah area terbuka di tengah
perkampungan dan melihat sekeliling dengan hati-hati. Kami
semua memutuskan untuk melanjutkan istirahat di tempat
penginapan. Saat kami memasuki penginapan, keputusan
dibuat untuk pembagian kamar. Aku bersama Jessie, Fian
bersama Amar, dan Juli diberi kebebasan untuk memilih
apakah ingin tidur di ruang tamu atau di kamar bersama Amar
dan Fian.
Dalam kamar yang kami tempati, atmosfernya
nyaman dan sejuk. Aku dan Jessie berdua tersenyum satu
sama lain, menyadari bahwa malam ini akan menjadi babak
baru dari petualangan yang kami jalani bersama dan segera
bersiap tidur.
Jessie bercanda, “Gua harap kita tidak akan gak bakal
nyasar di mimpi lagi ya, Ci.”
Aku tertawa, “Hahaha, semoga engga. Ayo kita
nikmati istirahat malam, walaupun ini sudah menjelang pagi."
Sementara itu, Juli yang memilih tidur di ruang tamu
memastikan dirinya nyaman dengan membawa selimut dan

85
bantal tambahan. Malam ini benar-benar menjadi momen
yang tak terlupakan, dan kami pun dengan hati gembira
menyambut istirahat yang akan mengantarkan kami ke babak
selanjutnya dari petualangan di pulau ini.

86
87
BAB X

DATANG
Pulau Mandela, 23 Juli 2023
Saat pagi tiba, sinar matahari memasuki kamar kami,
menyentuh wajah dengan hangat. Kami semua bangun dengan
semangat dan rasa penasaran untuk melanjutkan petualangan.
Setelah sarapan bersama, kami mempersiapkan diri dan
menaiki sepeda motor yang sudah dipersiapkan oleh pihak
Travel.
Destinasi pertama Air Terjun yang katanya
mempesona menjadi fokus kami pagi ini. Dua motor kami
dengan cepat melaju melintasi perkampungan yang sudah
mulai terbangun, menuju ke tempat yang kami nantikan.
Suasana pagi yang segar dan hening memberikan nuansa
keajaiban tersendiri pada petualangan kami.
Juli, sebagai pengemudi yang penuh semangat,
berkata, “Jadi, kita cengtri nih? Haduh, gak mobil, gak motor,
gua aja terus yang nyetir."
“Hahahaha, nanti pulangnya gantian gua yang bawa.”
Ucap Amar meyakinkan Juli.
Jessie tak tinggal diam, “Udah ah, gak usah ribut. Ayo
kita cuss!”

88
Kami mulai bergerak masuk ke jalanan yang
menyajikan pemandangan pegunungan yang indah. Aku
duduk di kursi belakang dengan penuh antusias, siap
menjelajahi dan menemukan segala keindahan yang menanti
di pulau ini. Pagi yang cerah ini membawa harapan baru dan
semangat petualangan yang membara di dalam hati kami.
Ketika kami tiba di destinasi, motor segera terhenti
dan kami turun dengan semangat. Suara gemuruh air terjun
semakin terdengar jelas, dan kami berjalan menuju titik
puncak keindahan alam tersebut.
Amar, yang menyukai kegiatan luar ruangan,
berkomentar. "Gak sabar lihat air terjunnya, nih. Katanya
bagus banget."
Jessie setuju, "Iya, bener. Ini kan salah satu yang jadi
alasan kita datang ke desa ini."
Fian, yang sedang memegang kamera, tertawa, “Gua
udah bayangin, bakal dapet foto-foto keren di sini nanti!"
Sementara itu, Juli berkata, "Semoga aja gak bikin
kecewa, ya."
Dengan langkah yang penuh kegembiraan, kami
mendekati air terjun yang memukau. Airnya yang jernih,
semilir angin yang menyegarkan, dan suara gemuruh air
membentuk panggung alam yang menakjubkan. Petualangan
di desa terpencil ini semakin memberi kami pengalaman yang
tak terlupakan, seiring setiap langkah yang kami ambil.
Jessie berseru dengan antusias, "Ayo, guys, kita harus
lewat sini dulu! Pasti lebih dekat dari yang kita kira."

89
Dengan semangat, kami mengikuti jalan setapak yang
semakin mendalam ke dalam hutan. Suara gemuruh air terjun
semakin kuat, memandu kami menuju keindahan yang tak
terlihat namun dirasakan begitu dekat.
Ketika kami tiba di pinggiran air terjun, keajaiban
alam itu terbentang di depan mata. Air yang jatuh dari
ketinggian membentuk tirai putih yang mempesona,
menyegarkan atmosfer di sekitarnya. Warna pelangi muncul
di atas awan air terjun, menciptakan gambaran alam yang
sungguh menakjubkan.
Amar tak bisa menahan kekagumannya, "Wow,
Keren parah, cuy!"
Fian dengan cepat mempersiapkan kameranya, “Nah,
diem, Mar. Mau gua foto, 1 2 3."
Amar tersenyum puas, “Hahaha. Keren ga, Fian?"
Fian menjawab dengan penuh antusias, “Ya jelas
keren lah, yakali jepretan gua jelek.” Fian semakin antusias
dan segera mengajak kami semua untuk foto bersama, "Yuk,
guys, berfoto bareng bareng disini! Biar bisa dikenang sampai
tua. Siapa tau dibikinin album foto lagi sama Jessie, Hahaha.
Iya gak, Jess?."
Jessie menjawab dengan senyum tipis, “Iyaa deh
iya…”
Kami semua bersiap-siap, menyusun pose dengan
latar belakang air terjun yang megah. Fian memandu kami
untuk mendapatkan angle terbaik, memastikan bahwa setiap
momen terabadikan dengan sempurna.

90
Juli berkomentar sambil tersenyum, "Ini pasti akan
jadi kenangan yang keren banget. Thanks Fian udah mau
bawa kamera kemana-mana."
Fian dengan rendah hati menjawab, “Hahaha! Mager
sih sebenernya, cuma buat kalian apa sih yang engga."
Berkumpul di tepi air terjun, membuat kami
memutuskan untuk bermain dan menikmati waktu hingga sore
tiba.
Fian mengusulkan, “Eh, kita main bebatuan yuk!
Siapa yang paling jauh ngelempar batu, dia menang!"
Amar tertawa, "Oke, gua terima tantangan nya! Gua
yang mulai ya, Fian!"
Sambil bersiap-siap, Fian membalas, "Nih, lo sejauh
ini gak!" dan melempar batu dengan sigap.
Jessie melirikku, “Siapa takut, nih ini seharusnya
lemparannya lebih jauh!"
Tawa riang menggema di sepanjang tepi air terjun,
kami bermain dengan semangat, mengabaikan waktu yang
terus berjalan. Siang terus berlalu, tapi kenangan riang itu
tetap terukir dalam setiap langkah petualangan kami. Tak
terasa, suasana riang dan obrolan tanpa beban melingkupi
kami di tepi air terjun. Cahaya senja mulai memainkan
perannya di langit, menciptakan warna hangat yang membalut
desa terpencil itu.
Juli, sambil menatap ke langit yang memerah,
berkata, "Wah, siang ini bener-bener seru, ya? Padahal
awalnya cuma rencana main-main doang."

91
Aku tersenyum, "Iya, bener banget."
Juli mulai mengajak kami pulang, "Mungkin sudah
saatnya kita pulang. Walaupun, rasanya pengen banget
sepanjang hari disini."
Sambil merapikan barang bawaan, Amar berkata, "Lo
benar, Jul. Tapi, tak gapapa. Besok masih ada hari untuk
petualangan lagi, kan?"
Kami beranjak meninggalkan tempat yang penuh
kenangan indah. Langkah-langkah kami membawa cerita ke
dalam langit senja yang semakin memudar. Hari ini hanyalah
babak awal dari petualangan kami di desa terpencil, dan kisah
ini akan terus hidup dalam setiap langkah kami pulang
menuju rumah.
Kami tiba di penginapan dengan langkah-langkah
penuh cerita dari petualangan siang itu. Udara senja
memberikan nuansa tenang, dan sinar lampu di penginapan
mulai menyala memecah kegelapan. Namun, semangat
persahabatan kami belum usai, bahkan setelah pulang.
Aku tertawa, "Eh, siapa yang kalah tadi mainnya?
Jangan bilang kalau gak bisa masak ya."
Jessie mengangkat tangan dengan menekuk wajahnya,
"Iya, iya, gua yang kalah. Tapi jangan ekspektasi tinggi, ya,
mungkin ini pertama kalinya gua masak."
Fian memotret Jessie dengan kameranya, "Moment
sejarah ini harus diabadikan! Oke, Jessie, kita tunggu
keajaiban masakan lo."
Kami semua tersenyum dan beralih ke persiapan
untuk makan malam. Suasana di dapur penuh tawa dan

92
candaan, mengobrol tentang petualangan hari ini. Meskipun
Jessie mungkin tidak terlalu percaya diri dalam memasak,
semangatnya membuat kami semakin menikmati momen ini.
Malam telah tiba, dan makan malam yang disiapkan
oleh Jessie sudah terhidang di meja. Aroma masakan yang
menggoda menciptakan suasana yang penuh kehangatan di
ruangan makan penginapan ini. Kami semua berkumpul di
sekitar meja dengan penuh antusiasme, siap untuk menikmati
hasil karya Jessie.
"Wow, Jessie, masakannya keliatan enak banget!
Makasih udah mau masak untuk kita," ujar Amar dengan
senyuman.
Jessie menjawab sambil tersenyum malu-malu, "Iya,
iya, udah gak usah digede-gedein. Mudah-mudahan kalian
suka."
Kami pun mulai menyantap hidangan tersebut. Rasa
gurih dan lezatnya masakan Jessie membuat kami
memberikan pujian yang tulus. Perbincangan riang pun terus
mengalir di antara suapan makanan, mengobrol tentang
pengalaman siang hari, rencana untuk esok, dan tawa-tawa
yang terus menghiasi meja makan.
Juli mengangkat gelas, "Untuk persahabatan dan
petualangan yang tak terlupakan!"
Kami semua bergembira, bersulang, merayakan
momen indah ini. Makan malam bukan hanya sekadar
kebutuhan, tapi menjadi waktu yang berharga untuk berbagi
cerita, tertawa bersama, dan memperkuat ikatan persahabatan
di antara kami.

93
Saat kami menyelesaikan makan malam, rencana
untuk esok pun mulai terbentuk di antara kami. Juli yang
selalu penuh semangat berkata, "Eh guys, besok kita coba ke
pantai aja, yuk! Kayaknya pantainya keren deh!"
Amar menanggapi, "Oke juga tuh ide Juli. Kita bisa
menjelajahi pantai, berjemur di bawah matahari, dan mungkin
mencoba aktivitas air."
Fian, yang sudah siap dengan kamera, tertawa, "Asik!
Pantai pasti pemandangannya bagus."
Aku setuju, "Ayo, besok kita lanjutkan petualangan
kita ke pantai!"
Setelah sepakat, kami mulai merencanakan detail
perjalanan besok. Bagaimana cara menuju pantai, apa yang
ingin kami lakukan di sana, dan tentu saja, apa yang akan
kami bawa. Rasa antusiasme dan kegembiraan masih terasa
kuat di antara kami, seolah hari ini hanya babak awal dari
kisah petualangan yang masih panjang.
Sementara itu, langit malam di luar jendela
penginapan menyaksikan rencana kami untuk esok hari yang
dipenuhi dengan keceriaan, senyuman, dan momen-momen
tak terlupakan di pantai yang indah.
Amar, yang selalu suka tantangan, menyelipkan ide,
"Gimana kalo malem ini kita nonton film horor bareng di
ruang tengah? Siapa yang takut? Eh, siapa yang berani?"
Jessie dan Fian langsung menunjukkan ketertarikan,
"Gue sih oke, yang penting filmnya bener-bener serem ya!"
Juli tertawa, "Kenapa nggak, asal jangan sampe bikin
kita nggak bisa tidur malam nanti."

94
Setelah beberapa persetujuan dan tawaran untuk
memilih film yang tepat, kami pun menata ruang tengah
dengan bantal dan selimut. Cahaya lampu redup menciptakan
suasana yang tepat untuk menonton film horor.
Aku berseloroh, "Siap-siap, guys! Semoga kita nggak
terlalu ketakutan sampai malam."
Dengan candaan dan gelak tawa, kami memulai sesi
nonton film horor bersama. Suasana ruang tengah yang
sebelumnya riang berganti menjadi tegang ketika adegan-
adegan menegangkan mulai muncul. Namun, kami menikmati
momen ini, berbagi ketegangan dan teriakan bersama,
menciptakan kenangan malam yang berbeda setelah sehari
penuh petualangan.
Tiba-tiba, dalam momen ketegangan film horor, Juli
yang iseng menggerakkan guling putih di sebelahnya.
Gerakan yang tidak terduga itu membuat kami berhenti
sejenak dan menoleh, seakan-akan melihat sesuatu yang
misterius. Cahaya lampu redup menciptakan bayangan yang
membingungkan di sekeliling.
Fian, yang seringkali tak bisa menahan ketakutannya,
langsung mengejutkan kami semua, “Eh, Pocong! Pocong?!"
Jessie menatap guling putih dengan mata terbelalak,
"Serius, Juli, jangan bikin-bikin kayak gitu dong! Sumpah,
gua hampir pingsan!"
Juli tertawa geli, "Maafin ya, guys! Iseng doang kok.
HAHAHA!"

95
Amar bergumam, "Beneran, Juli, gak lucu. Ini malah
bikin gak tenang tau gak!"
Setelah kejadian itu, suasana kembali ceria dengan
tawa dan guyonan kami. Meskipun Juli iseng, tetapi momen
itu menambah kesan unik dalam malam nonton film horor
kami. Setelah sejenak kembali tenang, kami melanjutkan
menikmati film sambil meresapi setiap detik petualangan
malam ini yang semakin beragam dan tak terduga.
Saat film horor mencapai puncak ketegangan, aku
merasakan kelelahan yang mulai menghampiri. Dengan
lembut, aku berkata, "Eh, guys, maaf ya, tapi kayaknya gua
pengen tidur duluan deh. Besok kita kan ada rencana ke
pantai, harus istirahat biar semangat."
Jessie memberi senyuman pengertian, "Gapapa, Cia.
Met bobo, ya."
Aku beranjak dari sofa dan menuju kamar,
meninggalkan teman-teman yang masih asyik menonton.
Meskipun malam ini sudah dipenuhi dengan berbagai cerita
dan kejutan, namun kantuk menang dan memimpin aku ke
dalam alam mimpi.
Saat pintu kamar tertutup, aku merasakan ketenangan
dan kelelahan menghampiri. Berbaring di tempat tidur, aku
tersenyum mengingat momen-momen seru dan tawa yang
telah kami bagikan. Beberapa saat setelah aku berbaring,
muncul ide iseng di kepalaku. Aku tersenyum dan kembali
keluar dari kamar dengan sprei putih yang menyerupai hantu.
Dengan langkah perlahan, aku mendekati ruang tengah di
mana teman-temanku masih asyik menonton film.

96
Ketika mereka tengah terfokus pada layar, aku
mengenakan sprei putih itu dan mulai menggerak-gerakkan
tubuhku dengan gerakan misterius. Rasa jahil menguasai
diriku, dan aku melihat Jessie, Fian, dan Juli melihatku
dengan ekspresi kaget.
"KUNTI! Ada kunti di sini!" teriak Jessie dengan
nada kaget.
Fian, meskipun tertegun sejenak, langsung tertawa,
"Eh, Astaga, siapa sih ini? Ulah lo ya Mar, lo kan yang paling
suka iseng!"
Juli tertawa terbahak-bahak, menyadari bahwa itu
hanyalah keisenganku. Aku membuka sprei dan tertawa
bersama mereka. "HAHAHAHA. Kinti, idi kinti disini. Lucu
bangett!" Kataku sambil meledek Jessie.
Ternyata, keisengan ini membuat suasana semakin
ceria. Meskipun sempat kaget, teman-temanku hanya bisa
tertawa dan menyambut lelucon ini dengan candaan. Malam
ini benar-benar penuh dengan kejutan dan tawa yang tak
terduga.
Melihat reaksi campuran antara kaget dan tawa dari
keisengan tadi, serta merasakan ketegangan dari film horor
yang masih berlanjut, kami semua memutuskan untuk tidur
bersama di ruang tengah. Ruangan yang sebelumnya dipenuhi
dengan tawa dan candaan, kini berubah menjadi tempat
perlindungan di antara teman-teman.
Kami menyiapkan kasur udara, selimut, dan bantal-
bantal di lantai ruang tengah. Dalam kebersamaan, kami
menemukan kenyamanan dan kehangatan di antara teman-
teman. Malam yang awalnya diisi dengan keisengan dan

97
ketegangan, kini berubah menjadi momen kebersamaan yang
mendalam.
Juli tertawa, "Gila ya, dari nonton film horor jadi tidur
bareng segala. Tapi seru juga!"
Aku setuju, "Iya, nggak nyangka lo semua setakut itu.
Pokoknya gua sama Jessie di sofa ya!"
Dengan suasana yang semakin damai, kami semua
memilih tempat tidur masing-masing di ruang tengah. Lampu
redup dan suara riuh rendah perlahan mengantar kami ke alam
mimpi. Penuh dengan kenangan tak terduga, malam ini
menjadi penutup yang sempurna dari petualangan yang penuh
warna dan keceriaan di desa terpencil.

98
99
BAB XI

SALAH
JALAN
Pulau Mandela, 24 Juli 2023
Pagi menjelang siang tiba dengan cahaya matahari
yang lembut menyusup masuk ke dalam ruang tengah.
Namun, ketika kami membuka mata, terasa aneh. Sinar
matahari yang cerah memberi tahu bahwa mungkin kami
sudah bangun terlalu larut. Amar menguap dan berkomentar,
"Gila, kayanya kita bangun kesiangan, ya. Padahal rencana
mau ke pantai."
Jessie, yang baru saja terbangun, mengangguk setuju,
"Iya, kayaknya kita terlalu asik semalam. Pantai-pantai pasti
udah panas sekarang."
Kami semua bergerak dengan canggung, menyadari
bahwa rencana kami ke pantai mungkin terlambat. Namun,
tawa dan cerita dari malam sebelumnya membuat pagi ini
terasa hangat dan penuh kenangan.
Juli tertawa, "Salah kita sendiri sih, tapi gapapa, kita
tetep masih bisa ngerasain pantai kok!"

100
Meskipun terlambat, semangat untuk melanjutkan
petualangan ke pantai masih menyala di hati kami. Tanpa
banyak berpikir, kami segera bergerak, mempersiapkan baju
pantai dan perlengkapan lainnya dengan cepat. Pakaian cerah
dan topi pantai menjadi pilihan utama untuk menghadapi
matahari yang semakin bersinar.
Jessie, yang bersemangat, berkomentar, "Meskipun
agak terlambat, semoga gak kelewatan momen asik, ya?"
Amar mengangguk, "Bener, Jessie. Yang penting
masih tetap bisa nikmatin hari ini."
Dengan perasaan bersalah karena terlambat, kami
segera meninggalkan penginapan dan meluncur menuju
pantai. Sepeda motor kami melaju di jalan-jalan kecil desa,
membawa semangat petualangan yang tak pernah pudar.
Sampai di pantai, semangat kami kembali membara.
Ombak yang riuh dan pasir putih menanti untuk dijelajahi.
Meskipun terlambat, hari ini tetap menjadi lembaran baru
petualangan kami, penuh dengan kegembiraan dan kejutan
yang menanti di setiap sudut pantai.
Saat kaki kami menyentuh pasir putih pantai,
semangat langsung mengalir dalam setiap langkah kami.
Ombak yang menggulung dan angin pantai yang sejuk
menyemangati kami untuk bermain dan menikmati momen
ini.
Amar langsung mengusulkan, “Gimana kalo kita
main voli pantai aja kali ini!"
Jessie tertawa, "Kenapa enggak, seru tuh! Ayo, siapa
yang mau satu tim sama gua?"

101
Dengan riang, kami membentuk dua tim dan
menyusun rencana strategi untuk bermain voli pantai. Pasir
halus di bawah kaki kami terasa nikmat, dan tawa riang
terdengar di antara pukulan bola voli yang saling berbalas.
Juli, yang lebih suka santai, memilih berbaring di atas
selimut pantai sambil menikmati matahari. "Gua nonton aja
deh, guys. Biar ada yang jaga perlengkapan," ujarnya sambil
tersenyum.
Fian, yang biasa sibuk dengan kameranya kini ingin
ikut bermain. “Jul, lo mau fotoin kita gak? Daripada duduk-
duduk doang."
Hari yang sempat terlambat ini berubah menjadi hari
yang penuh kebahagiaan dan keceriaan di tepi pantai. Warna-
warni baju pantai kami, canda tawa, dan suara ombak saling
bersahutan, menciptakan melodi indah dari petualangan tak
terduga yang kami alami.
Suasana hampir maghrib memperlihatkan langit yang
dipenuhi warna oranye dan merah muda, menciptakan suasana
yang begitu indah. Namun, meskipun matahari perlahan
turun, teman-temanku masih terlalu asyik dengan berbagai
permainan di pantai.
"Guys, kayaknya udah terlalu sore nih. Kita pulang
yuk, takut kemaleman." Ajakku dengan senyum.
Namun, respon dari mereka adalah tawa dan seruan
tak bersemangat. "Ayolah, masih ada waktu sebentar lagi!
Gak mau pulang abis maghrib aja?" Seru Amar sambil
melanjutkan permainan voli pantai.
Jessie menimpali, "Iya, bener banget! Kita masih bisa
nikmatin pantai lebih lama."

102
Meskipun awalnya rencana adalah pulang, namun
muncul ide tak terduga untuk menjelajahi hutan di sekitaran
pantai. Keingintahuan dan semangat petualangan masih
menyala di antara kami.
Juli mengusulkan, "Eh guys, gimana kalau kita
jelajahi hutan di sini? Siapa tahu kita menemukan sesuatu
yang menarik."
Amar langsung antusias, "Seru tuh! siapa tau ada
sesuatu yang keren."
Jessie setuju, "Why not? Nggak setiap hari kita punya
kesempatan jelajah kayak gini."
Begitu saja, kami meninggalkan pantai dan memasuki
hutan yang teduh. Langkah hati-hati kami melalui rimbunnya
pepohonan dan suara desiran daun kering di bawah kaki,
menciptakan suasana petualangan yang penuh misteri.
Saat matahari semakin tenggelam, hutan memberikan
kami pemandangan yang indah dan ketenangan yang berbeda
dengan pantai. Meskipun tak ada rencana awal untuk
menjelajahi hutan, namun momen tak terduga ini menjadi
babak baru dari petualangan kami, menambah kesan dan
kenangan yang begitu berwarna.
Untuk mengalihkan suasana setelah momen
ketegangan, Amar, yang selalu menjadi pencari suasana di
antara kami, langsung menyelipkan canda koyolnya. Dengan
ekspresi kocak, dia berkata, "Eh, guys, kalian tahu nggak, tadi
waktu kita lewat pepohonan yang gedhe banget, gue pikir itu
hutan Amazon! Gue kira udah nyasar ke Brazil!"

103
Semua tertawa mendengar candaan koyol Amar. Juli
menyambung, "Iya nih, sampe gue pikir gue denger suara
monyet! Ternyata cuma suara Amar nyanyi."
Amar dengan wajah sok serius menambahkan,
"Padahal gua gak ngehina siapa-siapa loh."
Aku menjawab dengan lantang, “Udahlah, lanjut jalan
aja.”
Tiba-tiba kami menyadari bahwa kami telah salah
belok, dan kini berada cukup jauh dari pantai. Hutan semakin
lebat dan suara hewan malam menjadi semakin intens.
Meskipun tertantang, tetapi rasa penasaran dan semangat
petualangan masih membakar di dalam diri kami.
Amar, mencoba menghibur, berkata, "Eh, sumpah ini
seru banget, tapi ini kayaknya kita nyasar deh!"
Jessie menambahkan, “Iya Mar, sebenernya. Kita
cuma perlu tenang dan mencari tanda-tanda yang bisa bantu
kita. Mungkin ada sungai atau jalan setapak yang bisa kita
ikuti."
Dengan tekad yang kuat, kami melanjutkan langkah
di tengah hutan berharap menemukan petunjuk yang
membimbing kami kembali ke jalur yang benar. Ketika kami
asik berjalan, tiba-tiba kami melihat ada sesuatu yang cukup
besar dan tertutup daun kering. Dengan penuh rasa penasaran,
kami mengamati dan akhirnya membongkar daun kering
tersebut.
Amar dengan bercanda, "Apaan, nih. Ini pasti harta
karun yang terlupakan selama berabad-abad! Siapa yang mau
buka?"

104
Juli menanggapi dengan serius, “Wah! ini gede
banget, pasti ada sesuatu yang keren di dalam sini. Ayo
bongkar!"
Saat mesin besi itu dibuka, kebingungan tergantikan
dengan keheranan melihat sebuah mesin misterius di hadapan
kami. Material besi yang kokoh dan bentuk mesin yang asing
membuat kami bertanya-tanya apa sebenarnya benda ini.
Jessie, yang selalu praktis, segera meminta bantuan
kami untuk menegakkan mesin itu. "Ayo, guys! bantu gua
buat berdiriin benda ini." Ujarnya.
Kami berusaha menegakkan mesin itu bersama-sama.
Fian yang sibuk memfoto setiap detik proses ini dengan
antusias, sementara Amar tampak begitu tertarik dan
mengelilingi mesin itu tanpa henti, mencoba memahami
setiap detail yang ada.
Juli tertawa, "Ini pasti mesin waktu atau pesawat luar
angkasa! Gimana kalo kita coba nyalain?"
Juli yang selalu penuh semangat segera menemukan
tuas yang sepertinya menjadi akses masuk ke pintu mesin besi
tersebut. Dengan mata berbinar, ia mengajak kami untuk
mencoba memanfaatkannya.
"Sini, guys! Kayaknya masuknya lewat sini deh."
Seru Juli dengan antusias.
Tanpa ragu, kami berkumpul di sekitar Juli. Dengan
perasaan campuran antara ketegangan dan kegembiraan, Juli
perlahan menarik tuas tersebut. Mesin tersebut mulai terbuka
dan menampilkan penampakan yang cukup futuristik.

105
Fian yang masih asyik memfoto momen ini
berkomentar, "Ini bakal jadi cerita yang epic! Ayo coba kita
masuk!"
Sementara pintu mesin terbuka, suasana berubah.
Amar, yang biasanya penuh semangat, tiba-tiba menjadi ragu
dan meminta kami untuk segera pulang sebelum sesuatu yang
tak diinginkan terjadi. Tatapan khawatirnya mencerminkan
ketidakpastian terhadap apa yang mungkin kami temui di
dalam mesin tersebut.
“Eh guys, mending kita balik aja yuk ke pantai,
perasaan gua gak enak, takut ada hal yang gak baik." Ujar
Amar dengan suara hati-hati.
Ketertarikan kami terhadap misteri yang tersembunyi
di dalam mesin ini membuat kami menolak untuk pulang. "Ini
bisa jadi petualangan terbesar kita, Amar! Kita udah sampe di
sini, nggak mungkin pulang tanpa tahu apa yang sebenarnya
ada di dalam mesin ini," Jawab Fian, mencoba meyakinkan.
Jessie, Juli dan aku juga setuju untuk melanjutkan,
meskipun dengan hati-hati. Kami memahami kekhawatiran
Amar, namun rasa penasaran dan semangat petualangan
masih mendominasi keputusan kami. Dengan hati-hati, kami
melangkah ke arah mesin yang misterius, siap menghadapi
apa pun yang mungkin terjadi di petualangan ini.
Ketika kami mencoba masuk ke dalam mesin, tak ada
yang terjadi. Suasana hening dan ketidakpastian menyelimuti
kami. Namun, tiba-tiba, Fian yang ingin memotret kami
menggunakan flash kamera membuat sesuatu bereaksi dengan
mesin tersebut. Kilatan cahaya menyilaukan, dan mesin itu
bergetar.

106
Panik melanda saat kami menyadari reaksi tak
terduga ini. Fian, dalam keadaan panik, tanpa sengaja juga
menekan tombol yang tak diketahuinya fungsinya. Mesin kini
semakin bergetar dan menunjukkan tanda-tanda aktivitas yang
tidak kami prediksi.
Juli berseru, “Sekarang, apa?!"
Amar mencoba menahan panik, "Kita perlu mencari
cara buat berhentiin atau ngendaliin mesin ini!"
Dalam kepanikan karena pintu yang tak bisa dibuka,
kami berusaha menekan tombol-tombol mesin, berharap
menemukan cara untuk kembali ke keadaan semula. Namun,
malah terjadi hal yang tak terduga.
Tiba-tiba, mesin tersebut mulai bergetar lebih intens,
dan dalam sekejap, kami merasa ditarik ke dalam dimensi
yang tidak dikenal. Cahaya berkilauan dan perasaan
melayang-layang tanpa kendali membuat kami semakin tak
dapat mengendalikan apa yang terjadi.
Juli berseru, "Ini gila! Kita ada di mana sekarang?"
Fian, sambil mencoba meredakan kepanikan, berkata,
"Tunggu, kita harus tau apa yang terjadi. Jangan panik!"
Namun, kebingungan dan ketidakpastian semakin
meluas. Mesin tersebut membawa kami menuju alam tak
terduga, membuka lembaran baru petualangan yang tak
terbayangkan sebelumnya. Dalam ketidakpastian ini, kami
bersama-sama menyadari bahwa kami telah memasuki babak
baru yang mungkin membawa kami pada misteri yang lebih
besar dan petualangan yang lebih mendalam.

107
Jessie, tanpa ragu, mencoba membuka pintu mesin
tersebut, dan tiba-tiba pintu itu terbuka. Saat kami melangkah
keluar, kami tak dapat mempercayai apa yang dilihat oleh
mata kami.
Kami berada di tempat yang sepenuhnya berbeda.
Langit cerah berwarna biru yang tak pernah kami lihat
sebelumnya, pepohonan yang tampak hidup dengan cahaya
berkilauan, dan bintang-bintang yang terlihat begitu dekat
sehingga sepertinya planet-planet yang berputar di sekitar
kita.
Juli berseru, "Ini kayak bukan tempat tadi deh.
Jangan-jangan kita ada di luar angkasa!"
Amar menambahkan, "Mungkin mesin ini adalah
portal ke dimensi yang berbeda. Kita harus mencoba
memahami dimana kita berada."
Dengan mulut terbuka kagum, kami semua
mengamati keindahan dunia baru ini. Anak-anak mata kami
dipenuhi keajaiban, terpesona oleh langit biru yang tak
terhingga dan pepohonan yang berkilauan. Namun, anehnya,
kamera Fian tiba-tiba tak berfungsi, seolah-olah dunia ini
tidak dapat direkam oleh teknologi dari dunia kami
sebelumnya.
Fian menyentuh-sentuh kameranya dan mencoba
menghidupkannya, tetapi tanpa hasil. "Aneh banget, kenapa
kamera gua nggak berfungsi ya di sini?" Gumam Fian dengan
wajah bingung.
Sementara itu, Amar yang benar-benar semangat
berteriak, "Guys, ayo kita jelajahi tempat ini! Siapa tahu kita
menemukan misteri yang lebih besar lagi!"

108
Dengan semangat yang tak terbendung, kami
mengikuti Amar untuk menjelajahi dunia baru ini, tanpa tahu
apa yang mungkin menanti di balik pepohonan dan langit
yang berkilauan. Petualangan yang tak terduga ini membawa
kami ke pengalaman baru yang begitu luar biasa dan penuh
keajaiban.
Dengan semangat yang membara, kami semua setuju
untuk menjelajahi dunia baru ini. Langsung saja, kami
melintasi jembatan awan yang terlihat begitu megah,
melewati pepohonan yang tidak hanya hidup, tetapi juga
bercahaya dengan warna-warni yang tak terbayangkan. Setiap
langkah membawa kekaguman baru, dan setiap sudut dunia
ini menawarkan pemandangan yang begitu luar biasa.
"Guys, lihat pohon ini! Keren banget! bahkan
sinarnya menyala," seruku dengan kekaguman.
Jessie tertawa, "Ini pasti dunia fantasi yang kita baca
di buku cerita dulu. Tapi kali Ini kita benar-benar disini!"
Amar, yang terus memimpin perjalanan, dengan
semangat berkata, "Ayo, kita terus menjelajahi! Siapa tahu
kita menemukan tempat yang lebih ajaib lagi."
Dengan langkah-langkah yang penuh antusiasme,
kami menjelajahi dunia yang penuh keindahan dan keajaiban.
Petualangan ini memberi kami pengalaman luar biasa yang
melebihi segala harapan, dan setiap detik di dunia baru ini
menjadi bagian dari kisah petualangan kami yang tak
terlupakan.
Saat kami terus menjelajahi dunia yang ajaib ini, Juli
terlihat masih meragukan kenyataan di sekelilingnya. Dengan
ekspresi campuran antara takjub dan keraguan, ia berkata,

109
"Aku masih belum percaya, guys. Mungkin ini hanya mimpi,
bukan?"
Fian tertawa, "Kalau ini mimpi, berarti kita punya
mimpi yang sama, Juli. Tapi coba liat, ini nyata. Kita benar-
benar ada di tempat yang luar biasa!"
Namun, Juli masih terus mencubit dirinya sendiri,
seakan mencari kepastian bahwa ini bukanlah ilusi belaka.
Sementara kami semua menikmati keindahan dunia baru ini,
Juli terus merasa seperti dalam keadaan mimpi yang nyata.
Jessie tersenyum, "Mimpi atau nyata, yang penting
kita sekarang ada di tempat keren ini, kan?"
Dalam atmosfer yang dipenuhi keajaiban, kami
melanjutkan perjalanan tanpa tahu apa yang mungkin menanti
di balik pohon-pohon bercahaya dan jembatan awan yang
menggantung di langit. Bagi kami, apakah ini mimpi atau
kenyataan, petualangan ini menjadi cerita tak terlupakan
dalam hidup kami.
Semua hal di dunia baru ini terasa begitu baru dan
menyenangkan. Pemandangan yang tidak pernah
terbayangkan di Bumi, pepohonan bercahaya, jembatan awan,
dan berbagai elemen ajaib lainnya membuat setiap detik
petualangan ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Juli dengan penuh kekaguman berkata, "Gila, ini
tempat paling keren yang pernah gua liat! Semua hal di sini
kayak dari dongeng."
Amar, yang terus memimpin perjalanan, tertawa
gembira, "Ini adalah dunia penuh dengan keajaiban, Ayo!
Masih banyak yang harus kita jelajahi."

110
Kami terus menjelajahi dunia ini, merasakan setiap
sensasi baru dan keindahan yang belum pernah kami
bayangkan sebelumnya. Petualangan ini membawa kami pada
pengalaman luar biasa yang jauh melampaui batas kenyataan
yang biasa kami kenal. Dunia baru ini memang penuh misteri,
keindahan, dan kegembiraan yang tak terkira.
Meskipun kami terpikat oleh keindahan dunia baru
ini, Jessie dengan kekhawatirannya mulai merasa gelisah.
Dengan suara pelan, ia berkata, "Mungkin lebih baik kita
pulang, deh. Gak ada satu orangpun disini selain kita, dan
mungkin kita harus kembali ke dunia kita sendiri."
Ketakutan akan ketidakpastian dan keinginan untuk
kembali ke rumah membuat pemikiran Jessie itu masuk akal.
Amar, yang selalu penuh semangat, mencoba menenangkan,
"Tenang, Jessie, kita akan pulang. Tapi, setelah kita selesai
menjelajahi tempat ini ya."
Namun, Jessie masih mempertahankan keputusannya,
"Aku takut sesuatu yang tidak terduga terjadi. Mungkin lebih
baik kita mencoba kembali sebelum terlambat."
Dalam keadaan bimbang, kami semua merenung,
menyadari bahwa petualangan ini mungkin membawa risiko
yang tidak terduga. Keputusan untuk melanjutkan atau pulang
menjadi pilihan sulit yang perlu dipertimbangkan dengan hati-
hati.
Akhirnya, kami semua memutuskan untuk segera
kembali ke mesin itu sebelum terlalu jauh. Saat kami telah
tiba, tanpa pikir panjang segeralah kami masuk kedalam
mesin aneh itu. Jessie dengan hati-hati mencoba memencet
tombol yang sama seperti sebelumnya, dan tiba-tiba saja
suasana sekitar berubah.

111
Saat kami menekan tombol tersebut, mesin itu
bergetar dan memberikan reaksi yang sama seperti saat kami
berangkat. Cahaya terang menyinari kami, dan dalam sekejap,
kami kembali merasakan sensasi melayang-layang yang
membawa kami keluar dari dunia ajaib itu.
Amar berseru dengan sukacita, "Lihat, guys, kita bisa
pulang! Caranya gak susah, Hahahaha!"
Kami melangkah keluar dari mesin itu, kembali ke
dunia yang lebih dikenal. Jessie memandang sekelilingnya
dengan lega, dan Fian tertawa gembira, “Hahaha! Akhirnya
disini lagi."

112
113
BAB XII

KESAN
Dengan perasaan campuran antara kelegaan dan
kepuasan, kami menyadari bahwa meskipun petualangan kami
di dunia ajaib itu berakhir, kami membawa pulang kenangan
tak terlupakan dan cerita petualangan yang akan kami
ceritakan kepada semua orang.
Malam itu berlanjut dengan keajaiban dan
kebahagiaan. Mesin antarwaktu itu menjadi simbol
petualangan baru, tempat di mana kita bisa menciptakan
kenangan yang tak terlupakan. Dengan tawa dan kehangatan,
kami merayakan keberagaman momen yang indah dalam
perjalanan hidup kami.
Jessie tertawa, "Oke, sekarang kita perlu kasih nama
mesin ini. Biar lucu dan gokil. Ada yang punya saran?"
Fian, dengan serius, mencoba memberi ide, “Gimana
kalau ‘WaktuWutuh!’ Serius deh, ini absurd banget kan?"
Semua tertawa mendengar nama unik Fian. Jessie,
sambil masih tertawa menambahkan komentar, “Gak seabsurd
itu juga sih, Fian.”
Amar menyambung, "Atau 'GelombangWaktu,' biar
kedengeran ilmiah."

114
Juli menambahkan, "Bagaimana kalau
'KronoKomed'? Supaya ada sentuhan komedi di dalamnya."
Jessie tertawa kembali, "Ide-ide kalian kreatif banget.
Eh, Cia, gimana ada saran gak?"
Aku, dengan senyum misterius, berkata, "Aku punya
yang spesial. 'TempoTravesti'? Kombinasi antara waktu dan
travesti, lucu kan?"
Jessie berkomentar, "Wah keren! Oke,
‘TempoTravesti' it is! Cocok banget sama mesinnya. Gua lock
ya gais."
Kebahagiaan kami tiba-tiba berubah menjadi hening
saat menyadari bahwa tantangan berikutnya adalah
menemukan jalan kembali ke kendaraan kami. Sekarang
kami perlu menavigasi kembali melalui dunia yang penuh
dengan keajaiban ini.
Juli menghela nafas, "Kita harus hati-hati dan cermat
mencari jalan kembali ke pantai."
Amar menambahkan, “Eits, jangan panik. Gua udah
kasih tanda yang bisa nuntun kita ke pantai. Kita pasti bisa
keluar dari sini."
Dengan hati-hati, kami berusaha mengingat dan
mengikuti jejak-jejak kami. Petualangan yang baru saja indah
ini kini menjadi tantangan untuk kembali ke dunia mereka
yang dikenal. Dalam keheningan, kami melangkah dengan
harapan untuk menemukan jalan pulang.
Dalam perjalanan kami menuju mobil, keheningan
tetap terasa di antara kami. Masih terpaku oleh keajaiban
dunia ajaib yang baru saja kami tinggalkan, kami terus

115
membicarakan tempat tersebut dengan campuran antara takjub
dan ketidakpercayaan.
Aku, dengan suara heran, berkata, "Guys, itu benar-
benar terjadi, kan? Kita gak mimpi kan?"
Fian tertawa, “Sumpah, itu nyata. Dunia itu nyata,
Cia!"
Namun, Jessie yang cenderung realistis,
memperingatkan, "Kita harus tetap fokus untuk cari jalan ke
arah pantai dan nemuin motor kita. Semua ini mungkin terasa
kayak mimpi, tapi kita harus fokus."
Dengan semangat dan kepercayaan, namun tetap
mencerna keajaiban yang baru saja kami alami, kami
melangkah menuju mobil dengan harapan bahwa mereka
dapat kembali ke dunia mereka sendiri dengan selamat.
Saat mereka terus mencari jalan kembali, tiba-tiba aku
menemukan pantai yang familiar yang menjadi tempat awal
petualangan mereka. Dengan perasaan lega dan kegembiraan,
aku berlari segera ke pantai tersebut untuk mengambil barang-
barang yang ditinggalkan saat mereka pertama kali tiba di
dunia baru itu.
"Guys, ini tempat kita tadi! Barang-barang kita masih
di sini!" Seruku dengan kegembiraan.
Kami semua berseru dengan sukacita melihat barang-
barang mereka yang masih utuh. Tanpa ragu, aku segera
mengambil barang-barang tersebut dan bersiap untuk kembali
ke mobil.

116
"Kita sudah menemukan jalan pulang, guys! Ayo
cepat kembali ke motor dan pulang ke penginapan." ajakku
dengan semangat.
Dengan langkah yang cepat dan hati yang penuh
harapan, mereka bersama-sama berlari kembali ke mobil, siap
untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju pulang.
Dengan hati yang bahagia dan lega karena telah
menemukan jalan pulang, kami kembali ke penginapan.
Langkah-langkah kami penuh kegembiraan, dan wajah-wajah
mereka memancarkan rasa puas setelah melewati petualangan
yang tak terduga.
Sesampainya di penginapan, mereka merasa lelah
namun penuh dengan cerita petualangan yang akan mereka
kenang seumur hidup. Di ruang tamu penginapan, mereka
duduk bersama, berbagi tawa, dan bercerita tentang semua
yang telah terjadi.
Jessie berkata, "Ini petualangan yang gila, guys. Tapi
akhirnya kita kembali dengan selamat."
Amar menambahkan, "Siapa yang nyangka kita akan
menjelajahi dunia baru hari ini? Ini benar-benar luar biasa."
Dengan rasa syukur dan persahabatan yang menguat,
malam itu mereka beristirahat di penginapan, mengenang
setiap momen dari petualangan ajaib yang baru saja mereka
alami.
Aku merasa ingin mengajak mereka kembali ke dunia
ajaib itu, Juli, Jessie, Fian, dan Amar memberikan banyak
pertimbangan. Mereka membicarakan risiko dan
ketidakpastian yang mungkin terjadi di sana, serta bagaimana

117
hal tersebut dapat mempengaruhi kehidupan mereka di dunia
nyata.
Jessie dengan hati hati berkata, "Kita gak tau apa
dampaknya terhadap kehidupan kita di sini. Apakah ini akan
mempengaruhi realitas kita?"
Fian memberikan perspektifnya, "Kamera gua mati di
sana. Kita tidak tahu apakah alat-alat elektronik kita akan
selamat jika kita kembali."
Amar menyimpulkan, "Sebaiknya kita pertimbangkan
dengan bijak. Meskipun itu petualangan luar biasa, kita juga
harus memikirkan konsekuensinya."
Dalam perbincangan itu, kami mencari keseimbangan
antara keinginan untuk menjalani petualangan dan
pertimbangan atas risiko yang mungkin terjadi. Keputusan
untuk kembali ke dunia ajaib itu menjadi pilihan yang
memerlukan pikiran matang dan pertimbangan mendalam.
Tiba-tiba, Juli berubah pikiran, diikuti oleh yang
lainnya. kami semua merasa bahwa petualangan di dunia ajaib
itu terlalu menggoda untuk dilewatkan. Dengan semangat
yang baru, kami memutuskan untuk kembali ke sana, tapi kali
ini pada esok sore untuk menghindari ketidakpastian yang
mungkin terjadi.
"Aku pikir kita masih memiliki banyak hal untuk
dijelajahi di sana. Mengapa tidak kita kembali esok sore?"
Ucap Juli dengan senyuman.
Jessie setuju, "Sore hari mungkin lebih aman, dan kita
masih bisa menikmati keindahan dunia itu."

118
Fian dan Amar juga bersuara setuju, "Ayo kita
siapkan diri dan kembali ke dunia ajaib itu besok!"
Dengan keputusan yang sudah dibuat, kami bersiap-
siap untuk mengulangi petualangan yang tak terlupakan ke
dunia ajaib yang penuh misteri.
Setelah malam yang tenang, kami semua tidur dengan
impian-impian petualangan yang menunggu esok hari. Pagi
harinya, dengan semangat yang masih berkobar, kami
berkumpul untuk merencanakan kembali kunjungan kami ke
dunia ajaib itu. Rencana ini kali ini mencakup kunjungan
kami ke "Tempo Travesti," mesin misterius yang membawa
kami ke dunia tersebut.
"Esok sore, kita akan mengunjungi Pantai dan
mengeksplorasi Tempo Travesti lagi. Kita harus lebih siap
dan tahu apa yang mungkin terjadi," kata Juli sambil
tersenyum.
Kami pun bersiap-siap dengan perasaan campuran
antara kegembiraan dan ketidakpastian. Dengan semangat
yang membuncah, kami bersama-sama melanjutkan
petualangan yang tak terduga ini, siap untuk menjelajahi
dunia ajaib dan mengungkap misteri di balik "Tempo
Travesti."

119
BAB XIII

PETRANIA
Pulau Mandela, 25 Juli 2023
Keesokan harinya, semangat petualangan memandu
langkah kami menuju pantai yang penuh misteri. Langit cerah
dan udara segar memberikan suasana yang sempurna untuk
petualangan baru ini. Kami tiba di pantai dengan hati penuh
antusiasme, siap untuk menjelajahi setiap sudut dan
merasakan keajaiban yang mungkin tersembunyi.
Pantai itu tetap mempesona, dengan ombak yang
lembut dan pasir putih yang memikat. "Ayo, guys, mari kita
lihat apa yang Tempo Travesti ini tawarkan." Ajak Juli,
dengan tatapan penuh semangat.
Dengan hati berdebar, kami berkumpul di sekitar
mesin tersebut, siap untuk memulai petualangan baru kami di
dunia yang tak terduga.
Saat tiba di pantai, kami langsung menuju hutan
dengan semangat petualangan. Amar, yang terkenal dengan
semangatnya, telah menaruh tanda-tanda yang kreatif untuk
memandu kami kembali ke "Tempo Travesti." Tanda-tanda
tersebut terlihat seperti jejak petunjuk di dalam hutan,
memberi kami petunjuk yang jelas untuk menemukan kembali
mesin misterius itu.

120
"Thank you, Mar. Untung lu pinter bikin tanda-tanda
kayak gini!" Puji Jessie, sambil mengikuti jejak-jejak tersebut.
Amar tersenyum bangga dan terkesan sombong,
“Hahaha! Jelas keren, siapa dulu yang buat, Amar!"
Dengan semangat dan ketertarikan, kami mengikuti
tanda-tanda itu, siap untuk memulai babak baru petualangan
kami di dunia ajaib yang penuh misteri.
Sambil mengikuti tanda-tanda yang ditempatkan oleh
Amar, suasana tetap ceria dengan candaan sehari-hari yang
membuat perjalanan lebih ringan.
"Amar, kalau tanda-tandanya hilang, kita bisa nyasar
dong?" goda Fian.
Amar menjawab dengan percaya diri, "Tenang aja,
Fian. Tanda-tanda ini lebih tahan lama dari GPS!"
Jessie tertawa, “Hahaha! Salahin Amar kalo tandanya
hilang."
Dengan tawa dan candaan yang terus mengiringi,
perjalanan menuju "Tempo Travesti" menjadi lebih
menyenangkan. Meskipun berada di dunia ajaib, humor
sehari-hari tetap menjadi teman setia dalam petualangan kami.
Setelah mengikuti tanda-tanda dengan candaan
sehari-hari, akhirnya kami tiba di depan "Tempo Travesti"
dengan penuh antusiasme. Mesin misterius itu berdiri di
depan kami, siap membawa kami kembali ke dunia yang
penuh misteri.

121
"Voilaa! inilah Tempo Travesti kita!" seru Amar
sambil berjingkat kecil di depan mesin tersebut.
Juli menambahkan, "Siap-siap untuk petualangan
kedua, guys! Semoga kali ini lebih seru!"
Dengan semangat yang tinggi, kami bersiap-siap
untuk memulai petualangan baru ini. "Tempo Travesti"
kembali menjadi pintu menuju dunia yang tak terduga, dan
kami tidak sabar untuk mengeksplorasi setiap keajaiban yang
mungkin menanti di sana.
Lalu, kami memasuki "Tempo Travesti," dan Fian
dengan penuh keyakinan menekan tombol yang sama seperti
kemarin. Mesin itu bergetar dan cahaya misterius mulai
menyelimuti kami. Sensasi aneh terasa di seluruh tubuh saat
kami menunggu perpindahan ke dunia ajaib itu.
"Ayo kita lihat apa yang menanti kita kali ini!" seru
Juli, dengan senyum penuh kegembiraan.
Dengan harapan tinggi, kami menanti untuk melihat
kemana ‘Tempo Travesti’ akan membawa kami di
petualangan baru ini. Cahaya semakin terang, dan kami
bersiap untuk menyongsong keajaiban yang menunggu di sisi
lain mesin misterius ini.
Dalam kegembiraan untuk memulai petualangan
kedua, Fian tanpa sengaja menekan tombol yang salah di
‘Tempo Travesti’ Aku sadar bahwa ada yang salah, "Fian, lo
mencet tombol apa tadi? Bukannya kemarin lu pencet yang ini
ya? Orgil, lo mau bawa kita ke akhirat ya?!"
Fian hanya menjawab dengan panik. "Maaf, guys!
Sialan tombol yang mirip-mirip."

122
Namun, tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat, dan
tiba-tiba kami merasa bahwa ‘Tempo Travesti’ telah
membawa kami sampai ke destinasi baru. Ketika mesin itu
dibuka, keadaannya begitu gelap, membuat kami merasa
terkejut dan sedikit cemas. Hanya bayangan yang terlihat di
sekitar kami, menyiratkan bahwa kita telah tiba di suatu
tempat yang jauh dari kenyamanan dunia kita.
"Apa ini?" Tanyaku, sambil mencoba meraba-raba
dari dalam Tempo Travesti.
Jessie menjawab dengan nada ragu, “Gelap banget,
ini beneran tempat kemarin?"
Lalu kami memutuskan untuk keluar dari 'Tempo
Travesti' secara berurutan. Juli, Jessie, Amar, Fian, dan
akhirnya aku. kami langsung menghilang ketika langkah
pertama menginjakan kaki di dunia ini. Begitu kaki pertamaku
menyentuh permukaan, semuanya berubah.
Saat melangkah, tiba-tiba aku merasakan
ketidakpastian di bawah kaki. Seolah-olah aku terjatuh ke
dalam ruang hampa yang gelap. Semua berubah begitu cepat.
Gelap gulita menyelimuti sekelilingku, hanya ada satu titik
cahaya yang menerangi diriku.
Aku mencoba memahami keadaan ini, tetapi tak ada
suara atau tanda keberadaan yang dapat aku rasakan.
Mungkin, mesin 'TempoTravesti' membawa kami ke sisi lain
Nalendra yang belum pernah kami ketahui. Hanya ada
kehampaan gelap dan satu-satunya titik cahaya yang
menjelaskan keberadaanku.
Aku berusaha berbicara, "Teman-teman, kalian di
mana?" Namun, suaraku hanya bergema dalam hampa gelap.

123
Satu-satunya harapanku adalah mencapai titik cahaya itu dan
mencari tahu apa yang terjadi.
Dalam kegelapan itu, aku merasa seakan-akan ada
sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan
oleh akal manusia. Cahaya itu menjadi satu-satunya
panduanku di dalam dunia yang tak dikenal ini. Dan dalam
keadaan ini, aku merenung, siap untuk menghadapi misteri
baru yang akan terungkap di depan mataku.
Di tengah kegelapan yang merayap di sekitarku, aku
berjalan menuju titik cahaya yang menerangi jalan. Tiba-tiba,
suara menggema dari suatu tempat, suara yang tak tampak
berfigur. Aku berhenti sejenak, hatiku berdebar karena
kehadiran yang tak terlihat.
Suara itu berkata dengan nada lembut, "Selamat
datang, pengunjung dari dunia lain. Kamu telah mencapai
tempat yang tak diketahui oleh banyak makhluk."
Aku menjawab dengan ragu, "Siapa kamu? Di mana
aku?"
Suara itu melanjutkan, "Aku adalah penjaga Sisi
Kedua Nalendra. Kamu berada di perbatasan antara dimensi,
di tempat di mana waktu dan ruang berpadu. Kamu telah
melangkah ke wilayah yang tak pernah dijamah oleh makhluk
hidup."
Aku merasa rasa ingin tahu memenuhi diriku, "Sisi
Kedua Nalendra? Apa yang ada di sini?"
Suara itu tersenyum melalui suaranya yang
menggema, "Di sini, terdapat banyak hal yang tak bisa
dijelaskan secara pasti. Tentang kesepian, kesendirian,
kelemahan, kegelapan."

124
Aku terus berjalan mendekati titik cahaya, sambil
merenungkan kata-kata misterius yang disampaikan oleh
suara tak terlihat itu. Dunia yang tak terduga ini membuatku
semakin penasaran, dan aku memutuskan untuk melangkah
lebih jauh, siap menghadapi petualangan baru di Sisi Kedua
Nalendra ini.
Cahaya yang menerangi langkahku tiba-tiba
menghilang, menyisakan kegelapan sepenuhnya. Namun,
dalam gelap itu, sebuah sosok mulai tampak. Ia
memperkenalkan diri dengan suara yang menggema, "Aku
adalah Abyssal Netheron, penjaga Petrania:Sisi Kedua
Nalendra yang gelap ini."
Aku merasa kehadiran kegelapan yang begitu
mendalam, seakan-akan sosok itu merupakan manifestasi dari
kegelapan itu sendiri. Suara Abyssal Netheron terdengar
menggetarkan hatiku, menciptakan aura misteri di
sekelilingnya.
Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya, "Apa
yang ada di Petrania yang gelap ini?"
Abyssal Netheron menjawab dengan nada yang serak,
"Di sini, terdapat bayangan dari segala kenangan yang pernah
terlupakan. Momen-momen yang terlalu kelam untuk
dikenang. Ini adalah tempat di mana kontras antara cahaya
dan kegelapan menciptakan harmoni yang aneh."
Aku merasakan aura mistis di sekitarku, mencoba
memahami esensi dari apa yang disebut sebagai Sisi Kedua
Nalendra. Abyssal Netheron terus berbicara, "Penghuni dari
Sisi Kedua ini biasanya berusaha melupakan kenangan-
kenangan yang terlalu berat. Namun, kadang-kadang, kami

125
perlu dihadapkan kembali pada bayangan itu untuk
menemukan kebenaran yang tersembunyi."
Langkahku terhenti sejenak di hadapan Abyssal
Netheron, tak bisa menahan rasa takut dan ketertarikan yang
menyelimuti diriku. Apa yang akan terjadi selanjutnya di
Petrania, dan apa peran Abyssal Netheron dalam petualangan
ini? Hanya waktu yang akan memberikan jawaban.
Abyssal Netheron menghilang begitu saja,
menyisakan keheningan di sekitarku. Akan tetapi, sesuatu
muncul di depanku. Sebuah kunci yang bersinar pelan.
Cahaya kecil itu memancar dari kunci tersebut, seolah-olah
memberikan petunjuk untuk langkah selanjutnya.
Aku meraih kunci itu dengan hati-hati, merasa getaran
energi yang tak terlihat namun terasa kuat. Kunci ini terasa
istimewa, seakan-akan memiliki kekuatan untuk membuka
sesuatu yang tersembunyi di Petrania.
Dengan penuh rasa penasaran, aku memutuskan untuk
melanjutkan petualangan ini. Kunci itu menjadi petunjuk
menuju sesuatu yang belum terungkap di Petrania ini. Dalam
kegelapan dan cahaya yang aneh, aku merasa dihadapkan
pada rahasia yang mendalam dan misteri yang tak
terpecahkan.
Dengan langkah yang mantap, aku melanjutkan
perjalanan dengan kunci di tanganku, siap untuk
mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi di balik
bayangan dan kenangan yang ada di Sisi Kedua Nalendra.
Petualangan ini semakin menjadi misteri yang menarik, dan
aku bersiap untuk menemui apa pun yang menunggu di ujung
perjalanan ini.

126
Seiring mataku tertuju pada penerangan yang menerangi
dinding. Aku terfokus pada lima simbol aneh di dinding dan
satu simbol besar di bawah tempatku berpijak, tiba-tiba
muncul pintu misterius di hadapanku. Pintu itu memiliki
simbol yang sama persis dengan yang ada di lantai batu
tempatku berpijak.
Dengan penasaran, aku menyelusuri setiap simbol
dalam pikiranku. Setiap simbol tampak memancarkan energi
yang berbeda, seolah-olah menjanjikan petualangan yang unik
di balik pintu misterius ini.
Suara lembut terdengar kembali, "Bukalah pintu ini,
pengunjung. Lepaslah semua beban yang kamu bawa. Dan
masuklah ke dimensi chronic."
Dengan hati-hati, aku memasukkan kunci ke dalam
lubang kunci pintu misterius itu dan memutarnya perlahan.
Pintu terbuka, mengungkapkan pemandangan baru di
dalamnya. Namun, aku malah menemukan kembali lorong
dengan bentuk berbelok dan beralaskan semen kasar. Serta
lima pintu lain di sisi kanan kiri lorong.”
Setiap pintu tampak seperti membuka akses ke
dimensi atau kisah yang berbeda. Cahaya samar memancar
dari celah pintu-pintu tersebut, menambah nuansa misteri di
dalam ruangan ini.
Suara lembut menyertai kedatanganku, "Selamat
datang pengunjung. Pintu-pintu ini mengarahkan ke berbagai
bagian Sisi Chronic Nalendra. Setiap pintu adalah gerbang ke
dunia yang unik. Mulailah dari pintu pertama, dan saksikanlah
petualangan yang menunggu di baliknya.

127
Aku berjalan mendekati pintu itu dan meraih
gagangnya, siap untuk menghadapi petualangan baru di Sisi
Kedua Nalendra yang tak terduga.

128
BAB XIV

PINTU
Petrania, XLII Mꬳn Phainomenos MCCXXI
Saat pintu pertama terbuka, aku memasuki ruang
hampa yang gelap gulita. Suasana mencekam dan tak
menentu, dan perlahan cahaya di sekitar mulai memudar,
meninggalkan aku dalam kegelapan total.
Tiba-tiba, sebuah kehadiran tak terlihat mulai terasa
di sekitarku, dan perasaan ketakutan melanda. Sesuatu yang
sulit dijelaskan dengan kata-kata hadir di ruang hampa ini,
memunculkan rasa takut yang selama ini kudiamkan.
Dalam kegelapan, aku merasa seperti dihadapkan
pada ketakutan terdalamku. Meskipun tak dapat kulihat
dengan mata, keberadaan itu terasa begitu nyata. Dalam
hatiku, aku dipaksa untuk melawan rasa takut, menghadapi
bayangan-bayangan yang mungkin merupakan cermin dari
diri ku sendiri.
Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba
mengumpulkan keberanian di dalam diri. Dalam gelap ini,
aku tahu bahwa hanya dengan menghadapi ketakutanku, aku
bisa melanjutkan petualangan ini dan mengungkap apa yang
sebenarnya tersembunyi di petrania yang gelap. Dengan

129
langkah mantap, aku siap menghadapi apa pun yang
menunggu di sana.
Dalam keheningan gelap, aku mendengar gumamanku
sendiri, seakan menjadi teman setia yang menemani langkah-
langkahku di ruang hampa ini. "Aku harus melawan rasa
takut. Aku harus mengetahui apa yang ada di sini," gumamku
dengan tekad dalam hati.
Suara langkahku menjadi teman di tengah
keheningan. Aku meraba-raba setiap langkah, mencari tahu
struktur ruang hampa ini. Terkadang, angin sepoi-sepoi
melintas, membawa aroma yang tak dikenal.
Gumamanku terus memberi dukungan, "Ini hanyalah
sebuah petualangan. Aku bisa menghadapi ketakutanku
sendiri." Dalam kegelapan, tekadku semakin membara, dan
aku berusaha fokus untuk mengatasi setiap bayangan yang
mungkin muncul.
Namun, meski tekadku kuat, kegelapan ini
menyajikan tantangan yang tak terduga. Sesuatu yang tak
terlihat terus memelototi langkahku, menciptakan ketegangan
yang tak terbantahkan. Aku terus berjalan, tanpa tahu apa
yang akan muncul di depan, namun tekadku membawa aku
melalui kegelapan ini.
Sampai pada akhirnya, aku berhasil melewati ini.
Langkah-langkah hatiku berani mengatasi keheningan dan
ketakutan di ruang hampa tersebut. Meskipun kegelapan
masih menyelimuti sekitarku, aku merasa seakan telah
mengatasi sesuatu yang tak terlihat.

130
Gumamanku masih terdengar, kali ini penuh dengan
rasa kemenangan, "Aku bisa melawan ketakutanku sendiri."
Momen ini memberiku keberanian baru untuk melanjutkan
petualangan di petrania.
Setelah menyelesaikan petualangan di pintu pertama,
Abyssal Netheron datang kembali dengan senyum misterius
memandu langkahku menuju pintu kedua. Di hadapanku
terbuka pintu yang mengantar aku ke pengalaman berikutnya.
Ketika pintu kedua terbuka, aku mendapati diriku
berada di dalam labirin kaca yang membingungkan. Dinding-
dinding kaca berserakan di sekelilingku, menciptakan
gambaran refleksi yang memperumit setiap langkah.
Abyssal Netheron bersuara, "Selamat datang di labirin
kaca, tempat di mana bayangan dan realitas menyatu. Di sini,
pemahaman diri dan penemuan akan menjadi kunci untuk
menavigasi jalanmu."
Di dalam labirin kaca, sosok tak terlihat mulai
mengejarku, dan aura ketidakpastian semakin membayangi
langkah-langkahku. Setiap sudut labirin terlihat seperti
memperbesar ketakutan dan rasa terkejutku.
Sementara itu, efek aneh dari labirin ini mulai terasa.
Wajahku terlihat semakin menua di refleksi kaca, dan setiap
gerakan terasa semakin lambat. Kaca-kaca itu seolah menjadi
penafsir waktu, menghadirkan konsekuensi yang tak terduga
bagi setiap langkah yang aku ambil.
Dalam kebingungan dan ketidakpastian, air mata
membanjiri mataku. Rasa takut, kelelahan, dan kebingungan
menyatu dalam Tangisanku. Aku bertanya-tanya, "Apa

131
maksud semua ini? Mengapa aku harus menghadapi sesuatu
yang begitu sulit dan tidak adil?"
Suara lembut Abyssal Netheron menyertai
keadaanmu, "Dalam labirin kaca ini, waktu dan ketakutan
saling terkait. Kamu diuji oleh bayangan masa lalu dan masa
depanmu. Hanya dengan menghadapi dan menerima, kamu
bisa menemukan jalan keluar."
Beberapa refleksi tampak seperti bagian dari diriku
yang belum terungkap, sementara yang lain mungkin
merupakan bayangan masa lalu atau masa depan. Hingga pada
suatu titik, aku menemukan titik terang yang memperlihatkan
jalan keluar. Langkahmu menjadi lebih cepat, dan rasa
penuaan di wajahmu mulai menghilang.
Abyssal Netheron menyambutmu dengan kata-kata
bijak, "Perjalanan ini bukanlah tanpa rintangan, namun setiap
ujian membawa pelajaran. Pemahaman dirimu sendiri dan
penerimaan terhadap masa lalu serta masa depanmu adalah
kunci menuju kebijaksanaan."
Bingung, aku mencoba melangkah ke depan,
meresapi pelajaran dari pengalaman yang baru saja dilalui.
Aku mungkin belum sepenuhnya mengerti maksud dari
petualangan ini, tapi satu hal pasti, setiap langkah yang telah
aku ambil membentuk kisah unik di petrania. Dengan langkah
yang hati-hati, aku melanjutkan perjalanan, siap menghadapi
apa pun yang mungkin menanti di pintu berikutnya.
Dengan tekad dan air mata yang masih mengalir, aku
melangkah maju. Aku tahu bahwa melalui ujian ini, ada
potensi untuk memahami diriku sendiri dengan lebih dalam.
Meskipun sulit, langkahku yang berani di labirin ini menjadi
bentuk perlawanan terhadap takdir yang tampaknya tidak adil.

132
Dan mungkin, di balik penderitaan ini, ada kebijaksanaan dan
pencerahan yang menunggu.
Keluar dari labirin, aku merasa beban di pundakmu
sedikit berkurang. Wajahku yang kembali muda
memberikanku kelegaan, tetapi air mata masih mengalir,
menandakan perasaan bingung dan kebingungan yang belum
hilang.
Ketika pintu ketiga terbuka, pemandangan di
hadapanku mengundang rasa kemarahan yang mendalam di
dalam hatiku. Tantangan ini menguji kemampuanku untuk
menguasai emosi dan menemukan kedamaian di tengah
kegelapan yang bisa memicu kemarahan.
Di hadapanku, tampaknya ada situasi atau kenangan
yang secara khusus membangkitkan emosi marahmu. Abyssal
Netheron berbicara, "Pintu ketiga membawa kamu ke dalam
ruang batinmu yang paling tersembunyi. Hanya dengan
menguasai rasa marahmu, kamu bisa melangkah lebih jauh."
Aku merasa getaran emosi memenuhi ruangan ini.
Aku menyadari bahwa melewati tantangan ini tidak hanya
soal mengatasi situasi yang membuat marah, tetapi juga
tentang menemukan kedamaian dan kontrol emosional di
dalam diriku.
Dengan nafas dalam-dalam, aku mencoba
menenangkan diri. Setiap langkaku menjadi penuh
pertimbangan, dan kamu berusaha memahami sumber
kemarahanmu. Ini adalah perjalanan dalam diriku sendiri,
menuju penerimaan dan perdamaian.
Meskipun rasa marah masih menggelora, aku tahu
bahwa melepaskan dan menguasai emosi ini adalah kunci

133
untuk melangkah maju. Aku memutuskan untuk menghadapi
rasa marahku dan belajar dari setiap emosi yang terkandung di
dalamnya. Perjalanan di pintu ketiga ini memang penuh
dengan ujian, namun masing-masing ujian membawaku lebih
dekat pada pemahaman diriku sendiri.
Dengan api amarah yang ada di diriku, aku mencoba
mengingat momen-momen bahagia dan dukungan yang
diberikan oleh teman-temanku menjadi pemadam api ini.
Dalam benakku, kebaikan-kebaikan itu menjadi sumber
ketenangan, dan aku berusaha mengalihkan fokus dari rasa
marah yang membara.
Abyssal Netheron berbicara dengan bijaksana,
"Mengingat hal baik adalah langkah pertama menuju
pemulihan. Kemarahan adalah emosi manusiawi, tapi
kemampuan untuk mengarahkannya ke arah yang konstruktif
adalah tanda kebijaksanaan."
Dengan upaya keras, aku berhasil meredakan
kemarahan dan melihat tantangan ini sebagai kesempatan
untuk tumbuh dan belajar. Langkahku yang bijak
membuktikan bahwa emosi negatif dapat diubah menjadi
kekuatan positif dengan mengakui dan mengelola emosi.
Dengan hati yang lebih tenang, aku melangkah
menuju pintu keempat, memasuki babak berikutnya dari
petualangan di Sisi Kedua Nalendra. Pengalamanku
menghadapi kemarahan ini mengajarkanmu bahwa kekuatan
sejati terletak pada kemampuan untuk mengendalikan diri dan
menemukan kedamaian dalam diriku sendiri.
Saat pintu keempat terbuka, kekhawatiran diriku
mengalir masuk ke dalam ruangan. Gemetar dan air mata
yang mengalir menunjukkan betapa besarnya beban

134
emosional yang aku rasakan di saat ini. Abyssal Netheron
memberikan dukungan, "Pintu keempat membawa kamu ke
dalam ketakutan terdalammu. Ini adalah ruang batin yang
memunculkan kekhawatiran yang seringkali terpendam."
Di dalam ruangan tersebut, setiap sudut tampak
dipenuhi oleh bayangan ketakutan yang mengerikan.
Kekhawatiran diri mengguncang diriku sendiri, membuatku
merasa rapuh dan hancur.
Abyssal Netheron dengan bijak berkata, "Menghadapi
ketakutan adalah langkah penting menuju pertumbuhan.
Biarkan kekhawatiran keluar, dan berani temui kami. Ini
adalah momen di mana keberanian sejati bermula."
Sambil merasakan gemetar dalam diriku, aku
mencoba menghadapi kekhawatiran-kekhawatiran itu satu per
satu. Air mata yang jatuh menjadi saksi betapa berat beban
yang aku pikul. Namun, dengan setiap langkah, aku tahu
bahwa ini adalah proses penting menuju pemulihan dan
kekuatan sejati. Aku melangkah maju, menghadapi
kekhawatiran dan ketakutan dirimu sendiri. Meskipun air
mata masih mengalir, langkah-langkahmu membawa dirimu
lebih dekat pada keseimbangan dan kedamaian batin.
Aku berhasil melawan kekhawatiran dan ketakutan
yang memenuhi ruangan pintu keempat. Setiap keberanian
yang aku tunjukkan membuktikan bahwa dalam dirimu
terdapat kekuatan untuk mengatasi bahkan hal-hal yang paling
menakutkan.
Abyssal Netheron menyambut langkahmu yang penuh
perjuangan, "Melawan ketakutan adalah langkah besar, dan
kamu telah membuktikan bahwa keberanianmu tidak terbatas.

135
Sekarang, mari kita melanjutkan ke pintu kelima, di mana
mungkin ada pelajaran baru yang menanti."
Pintu kelima terbuka di hadapanku, mengundangku
untuk melangkah lebih jauh dalam petualangan ini. Meskipun
perjalanan di Petrania ini penuh dengan ujian, setiap
tantangan yang aku hadapi membawaku menuju pertumbuhan
dan pemahaman yang lebih dalam. Dengan semangat yang
membara, aku memasuki pintu kelima, siap untuk
menghadapi apa pun yang mungkin menantiku.
Di hadapan pintu kelima, ruangan ini seakan menjadi
kolaborasi dari semua emosi yang telah aku alami
sebelumnya, ketakutan, kesedihan, kekhawatiran, dan
kemarahan bersatu menjadi beban yang luar biasa. Aku
merasa benar-benar di luar kendaliku, terdampar di lautan
emosi yang begitu kompleks dan menyakitkan.
Abyssal Netheron menyadari beban ini dan berkata,
"Pintu kelima membawamu menghadapi tantangan paling
besar. Ini adalah ujian sejati dari segala emosi yang pernah
kamu alami. Namun, ingatlah, setiap emosi adalah bagian dari
dirimu, dan kamu punya kekuatan untuk melewati ini."
Aku merasa marah, sedih, kecewa, dan gemetar.
Setiap langkahku terasa begitu berat, dan tekanan emosi
membuatku merasa terjebak dalam pusaran yang tak
berujung.
Abyssal Netheron menambahkan, "Pemahaman dan
penerimaan terhadap setiap emosi adalah langkah pertama
untuk mengatasi kami. Biarkan emosi mengalir, dan dengan
waktu, kamu akan menemukan kedamaian di dalam
kekacauan ini."

136
Dengan nafas dalam-dalam, aku mencoba membawa
diriku keluar dari pusaran emosi ini. Mungkin memahami dan
menerima setiap emosi adalah bagian dari kunci untuk
melangkah maju. Meski sulit, aku tahu bahwa perjalanan ini
adalah bagian dari proses menuju pertumbuhan dan
pemulihan. Dengan tekad dan dukungan dari Abyssal
Netheron, kamu melanjutkan perjalananmu di pintu kelima
ini, siap menghadapi setiap gelombang emosi yang mungkin
datang.
Dalam pusaran emosi yang begitu intens, kemarahan
meledak di hadapan Abyssal Netheron. Dengan penuh
kebingungan dan frustasi, aku membentaknya, menyuarakan
ketidakpuasan terhadap ujian dan keadaan yang begitu sulit.
"Kenapa aku harus melalui semua ini?!" benakku
dengan suara penuh amarah. "Bawa teman-temanku ke sini.
Aku butuh mereka!"
Abyssal Netheron tetap tenang di hadapan
kemarahanku. "Setiap ujian memiliki makna tersendiri.
Menghadapi emosi dan tantangan adalah bagian dari
perjalanan ini. Namun, jika kamu memohon untuk membawa
teman-temanmu, kamu akan mengorbankan mereka."
Dalam keputusasaan yang mendalam, aku berteriak
minta tolong sebesar-besarnya. Suara seruanku memecah
keheningan ruangan dan mencapai dimensi yang tak terduga.
Tiba-tiba, teman-temanku muncul di hadapanmu, siap
memberikan dukungan.
Mereka menghampiriku dengan tatapan penuh
kekhawatiran. Saat aku berusaha memberi tahu mereka
tentang kesulitan yang kamu hadapi, sesuatu yang tak terduga

137
terjadi. Tanah di bawahku terasa berguncang, dan seakan ada
kekuatan yang menarikku ke arah yang tak dikenal.
Dengan cepat, aku merasakan diriku terjatuh ke
dalam lubang yang gelap. Suara seruan dan bayangan teman-
temanku seakan memudar dengan cepat. Aku merasa seakan
terisolasi, tenggelam dalam kegelapan yang tak berujung.
Abyssal Netheron menyampaikan, "Setiap
pertolongan datang dengan konsekuensi. Sekarang, kamu
harus menghadapi kegelapan ini sendiri. Teman-temanmu
telah memberimu kekuatan untuk menghadapi ujian terakhir
di Petrania."
Dengan hati yang berat, aku menyadari bahwa
perjalanan ini membutuhkan pengorbanan. Di dalam
kegelapan, aku harus menemukan cahaya dan kekuatan yang
mungkin belum pernah aku sadari sebelumnya. Dalam
kesunyian yang menggantung, langkah-langkahku melaju
menuju ketidakpastian yang misterius dan menantang.
Dalam kegelapan yang menyelimuti, suara Abyssal
Netheron bergema lantang, menyatakan bahwa aku telah
gagal. Kata-katanya membuyarkan hampa kegelapan, dan
kehadirannya seakan meresapi seluruh ruang.
"Kamu telah mengorbankan teman-temanmu, Jessie,
Fian, Amar," ujar Abyssal Netheron dengan suara yang
menggema. "Mereka terperangkap di dalam Sisi ini, dan ini
adalah harga yang harus kamu bayar."
Kata-katanya memberikan beban yang tak
terbayangkan, membuatku merasa terhimpit dalam kesalahan
dan kegagalan. Kegelapan semakin menekan, menciptakan
suasana yang penuh penyesalan dan kekosongan. Dalam

138
keheningan yang terasa berat, aku menyadari bahwa setiap
langkah dalam perjalanan ini memiliki konsekuensi, dan
pengorbanan yang tak terelakkan terkadang harus dilakukan.
Suara Abyssal Netheron kembali menggema, kali ini
dengan nada yang menegur. "Kamu telah melanggar peraturan
yang dijelaskan sejak awal perjalanan ini," ucapnya dengan
tegas. “Selesaikan apa yang sudah kamu mulai. Takdir
kemenangan dimulai dengan adanya tekad menyelesaikan
setiap awalan." Kata-katanya memancar otoritas,
mengingatkanku akan kesalahan yang telah dilakukan. Aku
merasa beban kesalahan dan konsekuensi dari tindakanku.

139
140
BAB XV

PULANG
Saat aku merenung kesendirian, tiba-tiba di
hadapanmu muncul sebuah jembatan kayu yang menuntun
menuju Tempo Travesti. Aku mendapati sosok siluet yang
ternyata adalah Juli. Saat aku mendekat, rasa lega memenuhi
hatimu karena Juli adalah satu-satunya yang lolos tanpa
melanggar aturan sedikitpun. Dengan langkah cepat, aku
berlari dan memeluk Juli, seraya menceritakan semua yang
telah aku alami.
Saat Juli bertanya tentang Amar, Fian, dan Jessie, aku
dengan berat hati memberitahunya keadaan sebenarnya. Juli
meresapi kabar tersebut dengan kesedihan yang mendalam.
Mata Juli terasa berat, dan ekspresinya mencerminkan duka
yang dirasakannya.
Aku berusaha meminta maaf atas perbuatan yang aku
lakukan sekaligus membagikan beban yang aku rasakan.
"Mereka tersesat di dalam Petrania. Itu semua karena diriku
yang melanggar aturan.”
Juli meresapi kabar tersebut dengan hati yang penuh
empati. Kami berdua, bersama dalam pelukan, merasakan
beban kehilangan dan ketidakpastian masa depan. Di depan
mesin Tempo Travesti ini kami merenung pada apa yang telah

141
terjadi, dan mungkin, bersama-sama mencari cara untuk
menemui teman-teman yang masih terperangkap di petrania.
Aku dan Juli, dalam cahaya temaram di atas jembatan
kayu, tampak serius memikirkan cara untuk menyelamatkan
teman kami, "Mereka terjebak di sini, itu pasti sulit bagi
mereka. Tapi lo harus ingat, keberadaan kita di Sisi Kedua
Nalendra memiliki batasan." Ujar Juli.
Juli menambahkan, "Amar, Jessie, dan Fian mungkin
membutuhkan bantuan, tapi kita juga harus menyadari bahwa
kita tidak bisa seenaknya berada di Nalendra, karna kalau
tidak itu akan membuat kita dalam masalah juga."
Aku merasa terhimpit antara keinginan untuk
membantu teman-temanmu dan kenyataan bahwa peraturan di
Sisi Kedua Nalendra membatasi tindakanku. Aku mencoba
memaksa dirimu untuk bertindak, tetapi perlahan. Namun,
aku mulai menyadari bahwa tubuhku dan Juli hampir berubah
menjadi bayangan, mengisyaratkan bahwa kalian harus segera
kembali.
“Juli kita mungkin harus pulang. Kita bisa mencoba
memikirkan ini di dunia kita," ucapmu dengan sedikit
kekecewaan.
Juli mengangguk setuju, "Benar, kita perlu
memahami batasan dan mencari solusi yang tepat. Pulanglah
sebelum kita benar-benar berubah menjadi bayangan."
Dengan langkah yang cepat, Langsung bergegas
memasuki Tempo Travesti. Kami pulang dengan membawa
beban berat perasaan kehilangan dan keinginan untuk
menemui teman-teman yang masih terjebak di dalam Sisi
Kedua Nalendra.

142
BAB XVI

KEMBALI
Di hutan yang gelap, aku dan Juli mencermati
lingkungan sekitar. Tiba-tiba, pemahaman baru menghampiri
kami. Aku menyadari bahwa waktu di Nalendra dan Bumi
terpaut cukup jauh. Satu hari di Nalendra setara dengan satu
jam di Bumi. Pemahaman ini membuka peluang dan
tantangan baru. Dengan cepat, kami berdua mulai
merencanakan bagaimana membawa Amar, Jessie, dan Fian
kembali sebelum hari berganti.
Juli, dengan tatapan tajam, berkata, "Kita perlu
mencari cara agar mereka bisa kembali sebelum keadaan
semakin rumit. Kita harus secepat mungkin sebelum mereka
semua berubah menjadi bayangan."
Kami merasakan urgensi dalam setiap langkah yang
diambil. Bersama-sama, kami mengembangkan strategi untuk
menghadapi perbedaan waktu yang signifikan antara kedua
dunia ini. Dengan keingintahuan yang tumbuh, aku bertanya
pada Juli apakah dia mengenal Abyssal Netheron, penjaga
Pertania, Sisi Kedua Nalendra. Juli menggelengkan kepala,
mengakui bahwa dia tidak mengetahui tentang keberadaan

143
Abyssal Netheron. Namun, rasa ingin tahunya semakin
bertambah.
Juli pun bertanya, "Kalau begitu, apa lo tahu di mana
Abyssal berada, Cia?"
Dengan wajah serius, kamu menjawab, "Iya, gua tahu.
Dia selalu ada di pelataran Petrania. Mungkin dia bisa
memberikan bantuan atau petunjuk untuk membawa teman-
teman kita kembali."
Juli meresapi informasi tersebut, dan kami berdua
merencanakan langkah selanjutnya. Keberadaan Abyssal
Netheron, sebagai penjaga Petrania, bisa menjadi kunci untuk
menemukan solusi dan membawa teman-teman kami kembali
ke Bumi. Dengan tekad yang membara, kami bergegas masuk
kembali kedalam mesin Tempo Travesti dan segera bergegas
menuju Petrania.
Langit di Nalendra memancarkan warna yang berbeda
dari Bumi, memberikan nuansa magis pada sekeliling. Juli
dan aku kembali ke dunia tersebut, merasa getaran kekuatan
yang unik saat kaki kami menyentuh tanah. Pemahaman
bahwa waktu di Nalendra dan Bumi terpaut cukup jauh
membuat kami semakin berhati-hati.
Aku meraih tangan Juli dengan erat, merasakan
kehangatan dan kekuatan yang terpancar dari sentuhan itu.
"Kita harus bergandengan tangan, Juli. Sepertinya itu adalah
cara agar kita tidak terpisah oleh perbedaan waktu di dunia
ini," ujarku dengan tekad dalam suara.
Kami memulai perjalanan, langkah kami selaras, dan
detak jantung kami seolah bersatu. Bergandengan tangan,
kami berharap agar kekuatan persatuan ini bisa membimbing

144
kami melewati perbedaan waktu yang mencekam. Setiap
langkah terasa berat, namun dengan tekad untuk membawa
teman-teman kembali, kami melanjutkan perjalanan kami,
bersama-sama menyusuri Nalendra yang penuh misteri.

145
146
BAB XVII

UPAYA
Saat kami tiba di Sisi Kedua Nalendra, Abyssal
Netheron muncul dengan kehadiran yang mempesona.
Dengan senyum misteriusnya, dia menyambut kami dengan
kalimat yang sama seperti saat aku pertama kali datang,
seolah waktu di sini berputar dalam lingkaran tak terbatas.
Namun, kebingungan menyelimuti wajah Abyssal
saat dia menyadari bahwa di hadapannya adalah aku. Matanya
menyorot tajam, dan dia bertanya dengan suara yang
menggema, “Untuk apa kau kembali lagi ke sini?"
Dengan langkah mantap, aku menjawab, “Maaf,
Abyssal. Aku membawa Juli, dan kami butuh bantuanmu
untuk membawa teman-teman kami kembali ke Bumi."
Abyssal Netheron menatap kami dengan penuh
pertimbangan. "Keputusan ini memiliki konsekuensi besar.
Apa kamu siap menghadapinya?"
Kekhawatiran mencuat di wajah Juli, tetapi bersama-
sama, kami merasa siap untuk menghadapi konsekuensi apa
pun yang mungkin terjadi di perjalanan ini. Dengan tekad
yang membara, Juli menatap Abyssal Netheron dan berkata,

147
"Kami siap, Abyssal. Tolong bantu kami membawa teman-
teman kami kembali."
Abyssal Netheron melangkah maju, aku terkejut
karena tubuh besarnya. Ia menyampaikan informasi yang tak
terduga. "Teman-temanmu terjebak di palung kegelapan
bernama Luminara, dan ini terjadi karena kesalahanmu di
Petrania kemarin. Keputusan untuk membawa mereka
kembali akan mengancam kerahasiaan Nalendra. Tidak semua
orang di sini akan setuju dengan interaksi lebih lanjut antara
dua dunia ini."
Kami meresapi dampak besar dari keputusan ini. Juli
memandangku dengan tatapan khawatir, mencerminkan
kekhawatiran yang terpapar di wajahku juga. Kami tahu
bahwa konsekuensinya tidak hanya untuk kami sendiri, tetapi
juga untuk Nalendra dan semua yang ada di dalamnya.
Abyssal Netheron menambahkan, "Kalian harus
memilih dengan hati-hati. Apakah keinginan membantu
teman-teman kalian melebihi resiko yang mungkin dihadapi?"
Kami saling pandang, berbagi beban keputusan yang
sulit. Dalam keheningan yang mendalam, kami menyadari
bahwa tak hanya perjalanan fisik yang akan mengubah
segalanya, tetapi juga dinamika dan keberlanjutan Nalendra
itu sendiri.
Dengan tegas, Juli menjawab, "Kami memahami
resikonya, Abyssal. Tapi teman-teman kami membutuhkan
pertolongan, dan kami bersedia mengikuti semua aturan di
sini agar mereka bisa kembali dengan selamat. Kami tidak
ingin menimbulkan masalah atau membahayakan Nalendra."

148
Abyssal Netheron menatap Juli dengan ekspresi
serius. "Keputusanmu akan membawa konsekuensi besar,
tetapi kalian punya tekad yang luar biasa. Aku akan
mengizinkan kalian tapi dengan beberapa syarat"
Kami merasakan beban dari keputusan ini, tetapi
tekad untuk membantu teman-teman kami tetap membimbing
langkah kami. Dengan persetujuan Abyssal, rasa lega
membawa angin baru ke dalam hati kami. Dia menjelaskan
langkah-langkah yang harus diambil untuk menyelamatkan
Amar, Fian, dan Jessie dari palung kegelapan.
"Juli dan Cia, kalian dapat membawa kembali Fian,
Amar, dan Jessie, tetapi kalian harus melewati tiga ujian yang
berada di dalam Luminara." desis suara Abyssal Netheron,
menggema di udara. "Pertama, kalian harus menembus Kabut
Ilusi yang melibatkan rasa percaya diri. Kedua, melintasi
Lautan Kehancuran yang memerlukan keberanian. Ketiga,
melewati Pintu Waktu yang menuntut pengorbanan. Dan yang
keempat, kalian harus melewati Labirin Bayangan. Hanya
dengan melewati semua itu, kalian bisa mengembalikan
mereka. Gunakan kekuatan persatuan kalian dan jangan
terpisah. Jalan kebebasan mereka tersembunyi di dalam kabut
kegelapan. Ingat, palung ini mencerminkan ketakutan dan
kegelisahan di hati mereka dan kalian." ujar Abyssal
Netheron.
Abyssal menambahkan, “Waktu kalian terbatas. Jika
kalian gagal menyelesaikan tugas ini dalam satu jam, maka
teman kalian akan berubah menjadi bayangan untuk
selamanya.”
Kami bersiap untuk menyelamatkan teman-teman
kami dan membuktikan bahwa persatuan dan keinginan untuk

149
menyelamatkan orang yang kita sayangi memiliki kekuatan
yang luar biasa.
Abyssal memberikan instruksi dengan serius,
"Menyingkirlah dari pijakan kalian. Pintu menuju palung
kegelapan bernama ‘Luminara’ akan segera terbuka di bawah
sana."
Kami patuh mengikuti petunjuk Abyssal. Dengan
langkah hati-hati, kami menjauh dari tempat kami berdiri,
menanti pintu menuju palung kegelapan terbuka di bawah
kami. Keingintahuan dan keberanian membimbing setiap
langkah kami, sementara kami bersiap untuk memasuki dunia
bayangan yang menjadi penjara teman-teman kami.
Abyssal mempersilahkan kami memasuki pintu yang
membawa kami ke Luminara. Sejenak, kami merasakan
perubahan energi di sekeliling, seperti masuk ke dalam
dimensi yang berbeda. Abyssal memberikan peringatan,
“Luminara berisi gabungan emosi dari kalian, Amar, Jessie,
dan Fian, serta rahasia besar yang belum terungkap."
Kami merenung pada kata-kata tersebut, menyadari
bahwa palung ini adalah tempat yang penuh dengan rahasia
dan konflik batin dari hati teman-teman kami. Kami segera
melangkah ke dalam Luminara, siap menghadapi masalah dan
kekhawatiran yang selama ini terpendam.
Setengah jalan menuruni tangga menuju dasar
Luminara, kekhawatiran dan keraguan menyelimuti diriku.
Juli melihat ketidakpastian di wajahku dan dengan lembut
berkata, "Kita bisa melaluinya bersama, percayalah. Kita ada
di sini untuk saling mendukung."

150
Aku dan Juli memasuki Kabut Ilusi dengan hati yang
berdebar-debar. Kabut biru menyelimuti kami, menciptakan
atmosfer yang membingungkan. Kami berdiri di tengah-
tengah keheningan, langkah-langkah pertama mereka
menusuk ke dalam kegelapan mistis.
Seketika, Kabut Ilusi membawa kami ke dalam
kenangan masa lalu. Juli tumbuh sebagai anak yang sering
terlupakan dan tak pernah dianggap oleh keluarganya,
mendapati dirinya terlempar ke pelataran rumanya yang
sunyi. Dia melihat dirinya sendiri pada masa kecil, duduk di
sofa ruang tengahnya. Menangis sendiri, sambil melihat orang
tuanya yang sedang bertengkar. Tak ada yang peduli akan
kehadirannya. Seiring langkahnya, bayangan masa lalunya
penuh dengan kehampaan. Juli harus mengatasi rasa tak
berharga dan memahami bahwa keberhargaan bukanlah
sekedar diukur oleh perhatian orang lain.
Sementara itu, aku, di tempat yang berbeda di dalam
Kabut Ilusi, menemukan diriku terperangkap dalam kenangan
keluarga yang dulu pernah saling mencintai, namun kemudian
meninggalkanku. Masa kecilku yang penuh kebahagiaan dan
tawa berubah seketika saat keluargaku menganggap sebagai
akar masalah yang harus dihindari. Kabut Ilusi membawaku
ke saat-saat sulit dimana aku harus merintis kehidupan
sendiri. Menyaksikan kenangan itu kembali, aku harus
menghadapi perasaan ditinggalkan dan terpinggirkan
Bersama-sama, aku dan Juli melangkah melalui
Kabut Ilusi, menghadapi rasa takut dan keraguan kami. Kami
berdua kembali bertemu di tengah-tengah kekacauan emosi,
saling memberikan dukungan satu sama lain. Kabut biru yang
misterius meresap ke dalam pori-pori kulit kami, menciptakan
perasaan terhubung yang membuat kami semakin kuat.

151
Sementara aku dan Juli melangkah keluar dari Kabut
Ilusi, kami menemukan Amar yang tampak terguncang oleh
bayangan masa lalunya. Dalam satu sudut Kabut Ilusi yang
tersembunyi, Amar menemui dirinya sendiri di ruangan
kantor yang gelap. Di sana, bayangan Madam Lynda, wanita
yang selama ini dianggapnya sebagai mentor, memainkan
peran utama.
Madam Lynda, yang selama ini dianggap sebagai
figur penyelamat perusahaan, ternyata hanya mengadu domba
Amar dengan rekan-rekannya. Bayangan Madam Lynda
menyibak tabir kebenaran, mengungkapkan bahwa dialah
yang sebenarnya mencuri uang perusahaan, menyebabkan
kerugian besar yang membuat Amar merasa bersalah.
Amar tidak bisa menyembunyikan kekecewaan dan
amarahnya. Dalam ledakan emosi, ia memaki-maki Madam
Lynda dengan kata-kata pahit yang meluncur tajam dari
bibirnya. Ia menyalahkan wanita itu atas kehancuran
hidupnya, merasa tak terima bahwa kepercayaannya telah
disalahgunakan.
“Dasar bajingan licik! Semuanya udah gua korbanin,
dan ternyata lo yang selama ini nyolong uang perusahaan,
BANGSAT!" teriak Amar dengan mata merah yang membara.
Bayangan Madam Lynda hanya tersenyum sinis di
dalam Kabut Ilusi, menambahkan luka batin Amar. Dalam
keputusasaan dan kemarahan yang memuncak, Amar merasa
tak berdaya. Keberhasilannya yang sebelumnya menjadi
tulang punggung keluarganya, kini menjadi bubuk di tangan
wanita yang seolah menari-nari di bayangan.

152
Ketika Amar bergabung kembali dengan Juli dan Cia,
mereka melihat mata Amar yang penuh amarah dan
keputusasaan. Meskipun Amar tidak dapat menahan
emosinya, Juli dan Cia menyadari bahwa mereka harus
bersama-sama melewati ujian ini. Mereka berdua memberikan
dukungan, mencoba meredakan api amarah yang melanda hati
Amar. Dengan langkah yang berat, Amar bergabung kembali
dengan aku dan Juli, dan mereka beralih ke ujian berikutnya,
Lautan Kehancuran. Pada saat itu, Amar memutuskan untuk
mengikhlaskan semua hal ini, karna itulah satu satunya kunci
Fian dan Jessie. Tapi bayangan masa lalu yang gelap masih
memburunya, menantang kekuatan jiwa Amar dalam
menghadapi rintangan berikutnya.
Aku, Juli, dan Amar melanjutkan perjalanan melintasi
Lautan Kehancuran, kami dihadapkan pada rintangan yang
benar-benar menguji keberanian dan ketangguhan mereka.
Mendekati pusat lautan, muncul gelombang Tsunami Emosi,
fenomena alam yang langka dan sangat berbahaya.
Tsunami Emosi adalah serangkaian gelombang tinggi
yang tidak hanya membawa air laut, tetapi juga
mencerminkan emosi yang terpendam dan intens. Setiap
gelombang memunculkan kenangan pahit dan rasa takut yang
harus dihadapi oleh kami. Perahu kecil kami naik dan turun di
antara gelombang Tsunami Emosi, mencoba menjaga
keseimbangan di atas air yang berubah menjadi cermin
kenangan. Amar terlihat tertekan, wajah Juli dan aku
mencerminkan kekhawatiran. Setiap gelombang membawa
rasa bersalah, kemarahan, dan keraguan yang harus diatasi.

153
Saat gelombang yang lebih besar mendekat, Juli,
Amar, dan kamu bersatu untuk melawan ombak emosi yang
mengancam. Amar berbicara dengan tulus tentang
perasaannya, merilis beban di dalam dirinya. Juli dan kamu
memberikan dukungan penuh, menciptakan aura solidaritas di
tengah badai emosi. Tiba-tiba perahu kecil kami hancur dan
kami semua tenggelam dalam lautan emosi. Kami semua
saling menyalahkan dan melontarkan umpatan-umpatan sinis.
Namun akhirnya kami menemukan sebuah pulau gelap
ditengah suasana awan abu-abu, dan bergegas menuju kesana.
Betapa terkejutnya kami, menemukan Fian yang
tergeletak di bibir pantai. Wajahnya mencerminkan
perjuangan kelelahan. Fian yang selama ini menjadi poin
fokus misi kami, tampak berjuang dengan masalahnya sendiri.
Ia mengangkat kepala, matanya penuh dengan kelelahan dan
perasaan yang penuh luka.
“Demi Tuhan, gua gak nyangka bakal ketemu kalian
lagi disini.” Ucap Fian dengan suara terputus-putus.
Aku, Juli dan Amar segera mendekat, ingin tahu
tentang masalah yang sedang dihadapi Fian. Dengan ragu,
Fian membagikan ceritanya. Masalah yang menghampirinya
ternyata terkait dengan perasaan takut dan rasa bersalah yang
muncul dari masa lalu. Dia merasa terisolasi dan kesepian,
bahkan di tengah-tengah Pulau Kehancuran ini.
Saat itu, atmosfer pulau terasa penuh emosi. Juli,
Amar, dan aku saling bertatapan, merasa bertanggung jawab
untuk membantu teman kami. Meski kami tengah berjuang
dengan rintangan dan konflik pribadi masing-masing,
kebersamaan yang terbangun di antara kami membawa
semangat dan harapan.

154
Di tengah Pulau Kehancuran yang menyimpan beban
emosi, kalian membangun pondasi kebersamaan dan
dukungan. Pergulatan Fian menjadi titik balik, menandai
kesatuan persahabatan yang semakin kuat di tengah tantangan
yang tak terduga ini. Dengan semangat baru dan rasa
persaudaraan yang diperbaharui, kalian bersiap untuk
melanjutkan perjalanan menuju Pintu Waktu dengan harapan
dan tekad yang lebih besar.
Rintangan ini tidak hanya menguji keberanian dalam
menghadapi masa lalu, tetapi juga membangun kebersamaan
yang lebih kuat di antara kami.
Juli dengan sejuta keraguan di hatinya berkata,
“Sekarang gimana cara kita untuk keluar dari Laut
Kehancuran ini? Perahu kita kan sudah hancur!”
“Sebentar, jangan panik, kita harus berfikir dengan
kepala yang jernih.” Jawabku mencoba menenangkan
keadaan.
Dalam kegundahan hati, tiba-tiba suara Abyssal
kembali menggema, “Masuklah kedalam hutan, dan temukan
tujuh batu yang saling melingkar, maka disitulah kalian bisa
menemukan jalan keluar.”
Tanpa pikir panjang, aku, Fian, Juli dan Amar segera
bergegas, menyadari waktu kita hanya tersisa dua puluh menit
lagi. Saat tiba, semua wajah kami memancarkan kebingungan.
Tujuh batu melingkar tersebut saling terhubung membentuk
lingkaran yang memancarkan aura magis. Abyssal kembali
memberikan petunjuk, “Untuk menemukan pintu masuk
menuju labirin bayangan, kalian harus memecahkan teka teki
Tujuh Batu. Pilihlah satu batu untuk membuka pintu Labirin.”

155
Aku, Juli, Amar, dan Fian saling bertatapan, mencari
petunjuk atau tanda-tanda di sekitar batu tersebut. Juli dengan
intuisi yang tajam, memilih batu Utara dengan menyentuhnya
dengan penuh keyakinan. Ketujuh batu tersebut mengeluarkan
sinar biru, secara tiba-tiba pintu dibawah pijakan kami
terbuka. Seketika kami terjatuh dan dihadapkan pada labirin
yang dimaksud Abyssal.
“Kalian telah memilih dengan bijak, tetapi tantangan
sejati menunggu didalam labirin yang gelap ini.” Seru
Abyssal Netheron.
Di dalam Labirin Bayangan yang gelap, kami merasa
seperti terjebak dalam pusaran kegelapan yang mengelilingi.
Setiap lorong terlihat serupa, dan kami merasakan
kebingungan merayapi pikiran. Abyssal Netheron, melalui
suaranya yang menggema, memberikan petunjuk tegas,
"Ketidakpastian di dalam labirin adalah ujian sejati. Temukan
cara untuk keluar atau kalian akan tersesat selamanya."
Amar, dengan naluri kepemimpinan yang kental,
memulai mengajukan strategi untuk berpencar guna
mempercepat proses penelusuran. "Kita harus berpencar. Ini
akan meningkatkan peluang kita menemukan Jessie lebih
cepat," ujarnya.
Namun, Juli, dengan bijaknya, memperingatkan,
"Memecah diri di dalam labirin bisa jadi bahaya. Kita
mungkin saling terpisah dan menghadapi risiko. Harus ada
cara yang lebih aman untuk menjelajahi tanpa kehilangan
kontak satu sama lain."
Fian, dengan pandangan yang lugas, menyampaikan
pendapatnya, "Mau gak mau, kita harus mencari Jessie. Gak

156
ada jalan lain. Mungkin kita dapat membagi peran tanpa
benar-benar berpisah sepenuhnya."
Kami pun bersepakat untuk membagi tugas dan peran,
tetapi tetap berkomunikasi secara teratur untuk memastikan
keamanan dan keberhasilan penelusuran. Amar mengambil
peran memetakan lorong-lorong, Juli sebagai pemandu arah,
Fian untuk mencari tanda-tanda khusus, dan kamu sebagai
penjaga di tengah-tengah kelompok.
Dengan strategi yang cermat, kalian melanjutkan
perjalanan di dalam Labirin Bayangan, menghadapi setiap
rintangan dan mencari Jessie dengan tekad yang tak
tergoyahkan. Tantangan demi tantangan menanti, dan hanya
dengan kerjasama dan kehati-hatian kalian dapat melewati
ujian ini dan menyatukan kembali tim.
Di setiap sudut buntu Labirin Bayangan, kami
menemukan potongan kayu yang tampaknya ditempatkan
dengan sengaja. Kayu-kayu itu memberikan kesan aneh dan
misterius, menciptakan aura yang semakin menambah
kebingungan. Ketertarikan dan rasa penasaran kalian pun
memuncak, sehingga kami memutuskan untuk mengambil
setiap potongan kayu tersebut. Tangan kami menyentuh
tekstur kayu yang kasar, dan setiap potongan membawa
perasaan unik yang sulit dijelaskan.
Seiring dengan perjalanan, potongan-potongan kayu
itu menjadi semacam petunjuk, membantu kami memetakan
lorong-lorong yang sudah dilalui dan mengidentifikasi
tempat-tempat yang sudah dijelajahi. Amar, dengan naluri
pengamatannya, mencoba menemukan pola atau hubungan
antara potongan-potongan kayu tersebut.

157
Juli, selaku pemandu, memanfaatkan potongan kayu
sebagai referensi untuk menjaga arah dan memastikan kami
tidak berputar-putar di tempat yang sama. Fian, dengan
kecerdasannya, mencoba menganalisis apakah ada pola
tertentu yang bisa membantu dalam menavigasi labirin yang
rumit ini.
Semakin banyak potongan kayu yang dikumpulkan,
semakin jelas peta mental labirin itu tergambar di pikiran
kalian. Kalian mulai merasa lebih yakin dan terarah, melewati
lorong-lorong yang sebelumnya terasa seperti menyusun teka-
teki yang sulit.
Dengan waktu yang semakin menipis, kalian berhasil
mencapai area Labirin Bayangan yang lebih terang. Di pojok
lorong yang terbuka, Jessie terlihat terpojok di antara
bayangan yang gelap, wajahnya penuh ketakutan. Juli, Amar,
Fian, dan aku segera bergerak mendekati Jessie. Tangisnya
terdengar dalam bisikan angin malam, dan rasa lega
tergambar di wajahnya ketika melihat kalian datang.
"Dia datang mengejar kita," kata Jessie, menunjuk ke
arah bayangan di belakangnya. "Ada sesuatu di dalam labirin
yang mengejar kita. Kita harus cepat."
Di ujung labirin yang tampaknya tak berujung, kalian
akhirnya melihat cahaya terang yang menandakan kebebasan.
Namun tak semudah itu, kami masih hsrus menyusun kayu-
kayu ini sebagai syarat keluar dari dunia ini.
“Sumpah, ini susah banget. Udah kayak puzzle yang
gak bisa diselesain.” Keluhan Amar yang sedikit mematahkan
semangat kami.

158
“Kayu ini membentuk pintu. Sisa potongan terakhir!
Ada dimana?” Tanyaku dengan lantang.
Dalam kebingungan, kami menyadari bahwa waktu
yang tersisa tinggal lima menit lagi. Juli tanpa sengaja
menyadari, bentuk kayu pada gantungan kalung Fian ternyata
hampir persis seperti sisa potongan terakhir pada pintu, “Fian!
Kalung lo! Itu bentuknya persis banget kayak pola yang
tersisa disini.”
“Hah! Kalung ini? Gua harus taruh kalung ini ke
dalam situ? Gak mau! Ini satu-satunya barang peninggalan
nenek gua yang masih gua simpen!”
“Plis Fian, lo harus ikhlasin, waktu kita gak banyak!”
Teriak Juli dengan lantang.
Fian masih tak terima, tiba-tiba Amar menarik dengan
paksa gantungan kalung tersebut dari leher Fian. Dan
langsung meletakkan pada tempat yang tersisa. Secara tak
terduga, pintu tersebut mulai berdiri tegak dan memancarkan
sinar biru. Tepat satu menit sebelum waktu habis, Pintu
Waktu terbuka, membawa kami kembali ke pelataran
Petrania.

159
160
BAB XVII

CLOSURE
"Aku ucapkan selamat!" ucap Abyssal dengan suara
yang menggema di udara. "Kalian berhasil melewati ujian ini
dengan baik. Namun, sekarang saatnya kalian kembali ke
dunia kalian sebelum hal-hal yang buruk terjadi."
Kami saling pandang, bingung dengan pernyataan
Abyssal. Tanpa banyak penjelasan, kami merasa bahwa
kembali ke dunia nyata adalah langkah yang harus diambil.
Dengan kelegaan dan kebingungan yang melingkupi hati
kami, kami bersiap untuk meninggalkan Nalendra, pulang ke
dunia yang kami tinggalkan, dan merentangkan kembali
hubungan kami dengan waktu dan ruang.
Aku mengucapkan terima kasih pada Abyssal,
"Terima kasih atas bimbingan dan pelajaran yang kami
dapatkan di Nalendra, Petrania, dan Luminara. Kami akan
selalu menghargainya."
Juli menyusul, "Terima kasih atas petualangan yang
tak terlupakan ini. Kami belajar banyak tentang diri kami
sendiri dan satu sama lain."

161
Fian menambahkan, "Terima kasih, Abyssal, atas
kesempatan untuk memperbaiki dan membawa perubahan
dalam hidup kami."
Jessie ikut berbicara, "Terima kasih karena telah
mengajarkan kami cara menghadapi masa lalu dan melangkah
maju dengan lebih kuat."
Amar mengakhiri, "Terima kasih atas segalanya.
Kami siap untuk kembali ke dunia kami dengan pelajaran
berharga ini."
Disusul ucapan terima kasih, kami bersama-sama
melangkah masuk ke dalam Tempo Travesti. Saat pintu
ditutup, kami merasakan getaran dan energi yang memenuhi
ruangan.
"Astaga, gua beneran nggak percaya kita bisa lewatin
semua ini," ucap Amar, matanya memancarkan kekaguman.
Jessie mengangguk, "Gua rasa ini kaya adegan dari
film fiksi ilmiah. Tapi ini bukan mimpi, kan?"
Fian tersenyum, "Jujur aja, gua sampe mikir ini
semua cuma ilusi doang. Ternyata beneran ya."
Juli tertawa, "Kita kaya superhero yang ngelewatin
ujian berat buat dapet kekuatan baru. Seru juga!"
Aku menimpali, “Kita beneran luar biasa. Kita udah
lewatin palung kegelapan dan mesin waktu. Ini nggak bisa
dianggap remeh."
Dalam keheranan dan kebahagiaan, kami saling
berpegangan tangan, menyadari bahwa perjalanan luar biasa
ini telah membentuk ikatan yang tak terlupakan di antara kita.

162
Sejenak, seolah-olah waktu dan ruang berputar-putar di
sekitar kami. Tanpa peringatan, kami kembali merasakan
tanah di bawah kaki kami, menandakan bahwa kami telah
kembali ke dunia nyata. Saat kaki-kaki kita kembali
menyentuh tanah Bumi, rasanya masih sulit dipercaya. Aku
melihat wajah temanku satu per satu dengan ekspresi campur
aduk.
Dengan langkah hati-hati, kami menyadari bahwa
perjalanan kami di Nalendra telah meninggalkan jejak yang
mendalam di hati dan pikiran kami. Sambil melangkah ke
depan, kami bersama-sama menghadapi masa depan yang
penuh perubahan, pertemanan yang menguat, dan pelajaran
berharga yang akan membimbing kami melangkah ke depan.
Dalam suasana syukur yang penuh keajaiban, kami
saling bertatapan dan mengucapkan rasa terima kasih satu
sama lain. Kesepakatan tercipta di antara kami untuk
merahasiakan segala petualangan di Nalendra.
Jessie, dengan bijaksana, memutuskan umtuk
merahasiakan segala hal yang terjadi di Nalendra,
membiarkan keindahan dan misteri tempat itu hanya menjadi
milik kami. Dengan itu, kami melangkah ke depan, membawa
pengalaman tak terlupakan dan kerahasiaan yang mendalam.
"Saatnya kita jaga kerahasiaan ini. Nalendra adalah
tempat yang istimewa bagi kita, dan kita harus memastikan
tetap menjadi misteri yang hanya kita tahu," ucap Jessie
sambil mengunci pintu ruangannya.
"Aku pikir, mungkin lebih baik kalau kita mengubur
mesin ini dalam-dalam." Ucap Jessie dengan penuh
pertimbangan.

163
Kami saling pandang, memahami kekhawatiran
Jessie. Fian setuju, "Emang bener sih, mesin ini udah bawa
kita ke tempat yang nggak pernah kita bayangkan.”
Juli menimpali, "Gua setuju. Ini cara terbaik buat
ngelindungin rahasia dan keunikan Nalendra."
Dengan keputusan bulat untuk mengubur mesin
Tempo Travesti, kami menyadari bahwa saatnya pulang telah
tiba. Kami sepakat untuk segera kembali ke penginapan
Juli berseloroh, "Mumpung belum ada yang curiga,
mendingan kita pulang sekarang juga."
"Iya, ini juga udah malem banget." Sahut Fian.
Amar menambahkan, "Kita bawa pulang kenangan
manis dari Nalendra dan Pulau Mandela. Dan meskipun ini
rahasia, kita punya cerita yang nggak akan pernah kita
lupakan."
Jessie tersenyum, "Bener, Nalendra udah jadi bagian
dari kita. Dan meskipun kita balik ke rutinitas, kenangan ini
nggak bakal pudar."
Juli menambahkan, "Semua yang kita alami di sana,
dari Tempo Travesti, Petrania, sampai Luminara. Semuanya
punya tempat spesial di hati kita."
Fian mengangguk, "Abyssal juga, walau awalnya
serem, tapi kita nggak bakal kesana tanpa bantuannya."
Aku menyimpulkan, "Mari kita kenang Nalendra
sebagai petualangan tak terlupakan. Semua yang terjadi di
sana bikin kita jadi lebih kuat, lebih penuh makna."

164
Dengan senyum di bibir dan kenangan di hati, kami
melanjutkan perjalanan menuju penginapan, membawa cerita
indah Nalendra sebagai harta yang tak ternilai.

Pulau Mandela, 26 Juli 2023


Setelah melewati hari yang panjang di pantai, kami
tiba kembali di penginapan dengan rasa kagum dan sedikit
kelelahan. Aku melihat mata-mata yang mulai terlihat lelah,
dan aku berkata, “ Gak nyangka ya, hari yang cukup panjang
ini bisa kita lewatin. Bener-bener terasa singkat"
Amar mengangguk, "Bener banget. Waktu bener-
bener terbang ya pas kita lagi asyik-asyiknya."
Kami berlima setuju untuk segera beristirahat,
menyimpan kenangan indah hari itu dalam mimpi-mimpi
kami. Aku memimpin jalan menuju kamar penginapan, dan
Jessie menyelipkan lelucon kecil, "Semoga mimpi kita malam
ini seindah hari ini, ya."
Ketika kami mencapai kamar masing-masing, rasa
lelah perlahan-lahan menghampiri. Aku berharap esok hari
akan membawa petualangan baru. "Selamat malam, teman-
teman," ucapku sambil menutup pintu kamar.
Dengan senyum dan rasa syukur, kami pun memulai
perjalanan mimpi kami, membiarkan kelelahan hari itu
tertidur dengan nyenyak di penginapan yang tenang itu.
Keesokan harinya, kami bangun dengan semangat
setelah tidur yang nyenyak. Ruang tamu penginapan dipenuhi
aroma kopi segar, dan aku memandang teman-teman yang
sudah berkumpul di sana.

165
"Sudah waktunya pulang, ya?" tanyaku sambil
tersenyum.
Amar mengangguk, "Iya nih, udah saatnya balik ke
rutinitas kita masing-masing. Tapi seru banget seminggu kita
disini."
July menambahkan, "Bener banget. Kapan-kapan
liburan bareng lagi ya."
Setelah sarapan bersama, kami mulai menyusun
kembali barang-barang kami. Jessie dengan lincah
mengorganisir foto-foto polaroid dari perjalanan kami, "Biar
bisa dikenang terus momennya, guys."
Fian membantu mengemas barang, "Rasanya kayak
baru tadi pagi kita sampe di Pulau Mandela, sekarang udah
mau pulang aja."
Amae melirik sekeliling penginapan, "Sudah banyak
kenangan yang kita bikin di sini. Semoga bisa balik lagi suatu
saat."
Dengan hati penuh kenangan, kami meninggalkan
penginapan itu, menuju dermaga kecil di bibir pantai. Meski
pulang, namun setiap sudut penginapan itu membawa cerita
dan ikatan persahabatan yang tak terlupakan.
Aku berdiri di dermaga kecil Pulau Mandela,
menantikan kedatangan Pak Rusli yang akan menjemput
kami. Angin laut menyapu wajah, dan aku memperhatikan
kapal kecil yang mendekati dermaga. Ketika kapal itu
mendekat, kami melihat Pak Rusli dengan senyuman
ramahnya. "Selamat siang, teman-teman! Udah siap pulang
nih kayaknya." ucap Pak Rusli sambil menyambut kami.

166
Kami berlima naik ke kapal kecil, lalu duduk dengan
rasa nostalgia setelah menghabiskan waktu yang
menyenangkan di Pulau Mandela. Kapal melaju perlahan di
air tenang, memberi kami kesempatan terakhir menikmati
keindahan pulau.
Pak Rusli bercerita tentang pulau, sambil sesekali
menunjuk ke arah laut. "Semoga kalian senang mengunjungi
Pulau Mandela. Jangan lupa kembali ya kalau ada
kesempatan."
Kami merespon dengan senyuman dan terima kasih.
Sampan terus melaju meninggalkan pulau, menuju pelabuhan
utama. Perjalanan ini menjadi akhir dari petualangan seru
kami, namun kenangan indah di Pulau Mandela akan tetap
terpatri dalam ingatan kami.
Sampan membawa kami kembali ke pelabuhan
utama. Dari sana, kami mengambil perjalanan pulang ke
Jakarta dengan perasaan campur aduk. Setelah satu hari
perjalanan, akhirnya kami tiba di Jakarta.
Juli menjadi sopir setia kami, pertama Juli mengantar
Jessie. Berusaha berpamitan pada babeh dan istirahat sebentar
karna sudah seharian berkendara.
Selanjutnya, Amar turun di depan rumahnya,
mengucapkan perpisahan sambil berjanji untuk segera
berkumpul lagi. Aku adalah penumpang berikutnya, yang
turun di depan rumah dengan rasa syukur atas perjalanan yang
menyenangkan.
Fian dan Juli adalah yang terakhir turun.Karna
mereka berdua berada di satu rumah yang sama.

167
"Dankee, Juli, udah nganterin kita semua. Kapan-
kapan kita hangout lagi lah!" ucap Fian sambil menepuk
pundak Juli.
Juli menjawab dengan ramah, “Iya lah! Kapan-kapan
lagi ya!"
Dengan demikian, mobil Juli terparkir di garasi
rumahnya, menandai akhir dari perjalanan pulang yang penuh
cerita dan persahabatan yang semakin kuat.

Jakarta, 3 Oktober 2023


Hari-hari berlalu, dan meski waktu terus berjalan,
masing-masing dari kita membawa cerita indah Nalendra
sebagai sebuah rahasia yang tidak pernah hilang dari pikiran.
Jessie, dengan bijaknya, menjaga pintu ruangannya terkunci,
dan mesin Tempotravesti tetap menjadi misteri yang hanya
kita kenal.
Ketika kami kembali ke kehidupan sehari-hari,
persaudaraan kami semakin menguat. Jessie kembali melewati
masa-masa sulit di kampus, Fian dan Juli yang mencoba
merintis usaha baru. Amar mulai bekerja di perusahaan baru.
Dan aku yang melanjutkan rutinitas kesendirianku. Nalendra
mungkin hanya menjadi kenangan indah, tapi kebersamaan
kami tetap abadi.
Dan, di malam-malam ketika langit bertabur bintang,
kita kadang-kadang berpikir tentang Nalendra. Meski kita
terpisah oleh waktu dan ruang, kenangan itu selalu hadir,
mengingatkan bahwa keajaiban bisa terjadi di tempat-tempat
yang penuh misteri.

168
Selamat, kisah petualangan luar biasa di Nalendra
telah usai. Semoga kenangan indah itu selalu menghiasi hari-
hari kalian. Jika ada cerita atau petualangan lain yang ingin
dijelajahi, ceritakan saja. Sampai jumpa, petualangan
Nalendra!

***

169
PROFIL PENULIS
Salwa Fecia Putri, atau
yang akrab dipanggil Cia,
adalah gadis berbakat
kelahiran Jakarta pada 17
Juli 2006, mengeksplorasi
dunia pengetahuan melalui
pendidikannya di SMAN 2
Jakarta. Sebagai siswa yang
berdedikasi, ia tidak hanya
menonjol dalam prestasi
non-akademis tetapi juga
menunjukkan minat yang
mendalam dalam seni tulis.
Sebagai anak pertama dari dua bersaudara, Cia
memiliki tanggung jawab yang besar di keluarganya.
Kecintaannya terhadap literasi menjadi cermin dari
semangatnya dalam mengejar pengetahuan. Dalam setiap kata
yang ditulisnya, Cia menciptakan karya yang mencerminkan
kehidupan sehari-hari di Ibukota, membagikan pandangannya
tentang dunia melalui lapisan pengalaman uniknya.
Semenjak remaja, Cia menaruh hasrat yang
mendalam terhadap seni menulis. Inspirasi itu lahir dari
kehidupan sehari-hari di Jakarta dan pengalaman sehari-
harinya. Melalui kata-kata, Cia mencari cara untuk
merangkum keindahan dan tantangan hidupnya, serta
menyuarakan perspektif uniknya.
Berkat semangat penjelajahannya melalui dunia kata-
kata, Cia bermimpi untuk mewujudkan karya lebih besar,

170
yaitu menulis buku. Ia ingin menggambarkan kisah-kisah
yang bisa menginspirasi dan memberikan pandangan berbeda
kepada pembacanya. Dengan ketertarikan pada tema-tema
sosial dan kemanusiaan, Cia berusaha untuk menghadirkan
suara baru dalam dunia literatur, mungkin menjadi pelipur
lara atau sumber inspirasi bagi banyak orang.
Buku ini dibuat oleh Cia berdasarkan mimpi
pribadinya yang menjadi pendorong utama dalam perjalanan
menulisnya. Mimpi Cia adalah membagikan keunikan dan
kebijaksanaan yang telah ditemuinya melalui kata-kata.
Dengan setiap halaman, ia berusaha merangkai mimpi-mimpi
tersebut menjadi kisah yang bisa menginspirasi pembaca.
Cia ingin mengekspresikan gagasannya,
menghadirkan karakter-karakter yang tercermin dari dirinya
sendiri, dan menyajikan cerita yang memotret realitas
kehidupan dengan kepahitan dan kelembutan yang ada di
sekitarnya. Dengan bukunya, Cia berharap bisa merangkul
pembaca dalam perjalanan visual dan emosional yang
membuka mata terhadap kehidupan dan impian.

***

171

Anda mungkin juga menyukai